UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTARA KOTA MEDAN

DENGAN KABUPATEN SIMALUNGUN

Proposal Skripsi

Diajukan oleh :

NAMA : FITRI R. MANIK

NIM : 050501079

DEPARTEMEN : EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi

2009

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antara Kota Medan dengan Kabupaten Simalungun dan melihat apakah hipotesis kuznets berlaku di kedua wilayah tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk yang diperoleh dari kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara. Sebagai alat analisis pembahasan digunakan Indeks Williamson, Hipotesis Kuznets, Tipologi Klassen, dan Korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan sedang di Kota Medan (IW = 0,3-0,5) dan ketimpangan pembangunan rendah untuk Kabupaten Simalungun (IW < 0,3), serta hipotesis kuznets berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Berdasarkan tipologi klassen, Kota Medan termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan Kabupaten Simalungun termasuk daerah yang cepat berkembang (Kuadran III). Hasil analisis korelasi pearson menunjukkan korelasi yang lemah antara pertumbuhan PDRB dengan indeks williamson dan tidak signifikan untuk Kota Medan dan Kabupaten Simalungun.

Kata kunci : Ketimpangan Pembangunan, Indeks Williamson, Hipotesis Kuznets, Korelasi Pearson

ABSTRACT

The main objective of this research is to analyse development disparity between Medan and and to observe kuznet’s hypothesis are occurred in both of the regions. This research use secondary data, Gross Regional Domestic Product (GRDP) percapita and the number of population obtained from North Sumatera Statistics Central Board. Analysed this study using Williamson Index, Kuznets Hypothesis, Klassen Tipology, and Pearson Correlation. The results of this research reveal that medium development disparity happened in Medan (IW = 0,3-0,5) and low development disparity for Simalungun Regency (IW < 0,3), and also kuznets hypothes are valid for both of the regions. According to klassen tipology, Medan included to high growth and high income area (Quadrant I) and Simalungun Regency included to high growth but low income area (Quadrant III). Pearson correlation show the low correlation between GRDP growth with williamson index and unsignificant for Medan and Simalungun Regency.

Keyword : Development Regional Disparity, Williamson Index, Kuznets Hypothesis, Pearson Correlation.

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan karuniaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas

Sumatera Utara.

2. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Paidi Hidayat, SE, MSi selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan bimbingan dari awal

pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini.

4. Drs. Arifin Siregar, MSp dan Drs. Aman Tarigan, SU selaku dosen penguji

yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan untuk

penyempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh staff pengajar dan pegawai di Fakultas Ekonomi terkhusus

Departemen Ekonomi Pembangunan atas pengajaran, bimbingan, dan

bantuannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

6. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta yaitu: M. Manik dan S.

Nainggolan sebagai rasa hormat atas perhatian, kasih sayang, serta dorongan

yang dibarengi kesabaran yang terus diberikan selama ini. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada abang saya tercinta Hartopo Manik yang

telah memberikan semangat dan kasih sayangnya.

7. Buat teman-teman EP’05 tanpa terkecuali, untuk kedua itoku (Andre n

Luhut), atas kebersamaan, doa dan semangat dalam proses penyelesaian

skripsi ini. Buat penghuni Rebab29 yang telah memberikan saya banyak hal

dan berbagi dalam setiap kondisi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca demi penulisan yang lebih sempurna di masa yang akan datang.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan membantu semua pihak yang memerlukannya, terutama rekan mahasiswa

Departemen Ekonomi Pembangunan.

Medan, Mei 2009

Penulis,

(Fitri R. Manik)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ...... i

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI...... v

DAFTAR TABEL...... viii

DAFTAR GAMBAR ...... ix

DAFTAR LAMPIRAN...... x

BAB I PENDAHULUAN...... 1

1.1 Latar Belakang...... 1

1.2 Perumusan Masalah...... 7

1.3 Hipotesis...... 8

1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...... 8

BAB II URAIAN TEORITIS...... 10

2.1 Teori Pembangunan Ekonomi ...... 10

2.2 Teori pertumbuhan Ekonomi ...... 12

2.2.1 Teori Pertumbuhan Kuznets...... 13

2.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ...... 14

a. Teori Ekonomi Klasik ...... 14

b. Teori Harrod-Domar ...... 16

c. Teori Neo-Klasik ...... 17

d. Teori Pertumbuhan Jalur Cepat ...... 17

e. Teori Basis Ekspor ...... 18

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ...... 19

a. Faktor Ekonomi ...... 20

b. Faktor Non-ekonomi ...... 21

2.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah ...... 21

2.3.1 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di ...... 23

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar

Wilayah ...... 23

BAB III METODE PENELITIAN ...... 26

3.1 Ruang Lingkup Penelitian...... 26

3.2 Jenis dan Sumber Data ...... 26

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...... 26

3.4 Metode Analisis Data ...... 27

3.4.1 Indeks Williamson ...... 27

3.4.2 Hipotesis Kuznets ...... 27

3.4.3 Tipologi Klassen ...... 28

3.4.4 Korelasi Pearson ...... 30

3.5 Defenisi Operasional ...... 31

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN...... 32

4.1 Gambaran Umum Kota Medan ...... 32

4.1.1 Kondisi Geografis, Iklim, Pemerintahan, dan Penduduk ...... 32

4.1.2 Kondisi Perekonomian Kota Medan ...... 34

4.2 Gambaran Umum Kabupaten Simalungun ...... 37

4.2.1 Kondisi Geografis, Iklim, Pemerintahan, dan Penduduk ...... 37

4.2.2 Kondisi Perekonomian Kabupaten Simalungun ...... 39

4.3 Analisis dan Pembahasan ...... 41

4.3.1 Indeks Williamson ...... 41

4.3.2 Hipotesis Kuznets ...... 46

4.3.3 Tipologi Klassen ...... 50

4.3.4 Korelasi Pearson ...... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...... 57

5.1 Kesimpulan ...... 57

5.2 Saran...... 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Distribusi PDRB Kota Medan Menurut Lapangan Usaha atas 4

Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rp)

1.2 Distribusi PDRB Kabupaten Simalungun Menurut Lapangan 6

Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rp)

4.1 Distribusi PDRB Kota Medan Menurut Lapangan Usaha atas 36

Dasar Harga Berlaku (Juta Rp)

4.2 Distribusi PDRB Kabupaten Simalungun Menurut Lapangan 40

Usaha atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp)

4.3 Indeks Williamson Kota Medan dan Kabupaten Simalungun 42

(1988-2007)

4.4 Korelasi Pearson antara Pertumbuhan PDRB dengan Indeks 56

Williamson di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun

(1988-2000)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

3.1 Kurva Kuznets U-terbalik 28

3.2 Tipologi Klassen 29

3.3 Kurva Uji t-statistik 31

4.1 Indeks Williamson Kota Medan 44

4.2 Indeks Williamson Kabupaten Simalungun 45

4. 3 Kurva hubungan antara Indeks Williamson dengan 48

Pertumbuhan PDRB (%) Kota Medan

4.4 Kurva hubungan antara Indeks Williamson dengan 50

Pertumbuhan PDRB (%) Kabupaten Simalungun

4.5 Tipologi Klassen Kota Medan dan Kabupaten Simalungun 51

(1988-2000)

4.6 Uji t-statistik hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan 54

Indeks williamson Kota Medan

4.7 Uji t-statistik hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan 55

Indeks williamson Kabupaten Simalungun

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 PDRB, Jumlah Penduduk, Indeks Williamson, dan Pertumbuhan

Ekonomi Kota Medan

Lampiran 2 PDRB, Jumlah Penduduk, Indeks Williamson, dan Pertumbuhan

Ekonomi Kabupaten Simalungun

Lampran 3 PDRB, Jumlah Penduduk, dan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera

Utara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi pada hakekatnya merupakan usaha yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Menurut Meier (Gemmel,

1994 : 196) pembagunan ekonomi adalah proses yang dapat menciptakan pendapatan riil perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat sejumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan mutlak tidak naik dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang. Namun tidak dapat disangkal bahwa pemerataan pembangunan merupakan salah satu indikator yang lazim digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara.

Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh setiap negara sedang berkembang yang dalam usaha pembangunannya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang tersebar cukup merata akan diikuti dengan perbaikan taraf hidup masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan.

Sasaran pembangunan yang ingin dicapai negara sedang berkembang adalah peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk (Robinson, 2004 : 18).

Permasalahannya adalah pendekatan dan pola pembangunan mana yang digunakan oleh suatu negara dalam mencapai pemerataan pembangunan di daerah. Studi yang dilakukan oleh ahli pendukung teori pembangunan lebih

cenderung mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam, alokasi biaya pembangunan, dan investasi pada sektor-sektor yang dominan untuk mencapai pemerataan pembangunan yang maksimal.

Dengan adanya pembangunan secara regional ingin diwujudkan kepentingan dan aspirasi daerah dengan mencapai sasaran pembangunan nasional yang didalamnya sudah tercakup kepentingan-kepentingan daerah. Kemajuan ekonomi tidak akan terjadi secara serentak di berbagai daerah, apabila di suatu daerah terjadi pembangunan maka di sekitar daerah tersebut merupakan awal pembangunan. Pembangunan wilayah dilaksanakan dengan tujuan mencapai sasaran pembangunan nasional serta meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat yang adil dan merata. Oleh karena itu pembangunan ditujukan untuk mengatasi masalah kesenjangan antar daerah (regional disparity).

Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya adalah ketimpangan ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan. Agar ketimpangan dan perkembangan antara suatu daerah dengan daerah yang lainnya tidak menciptakan jurang yang semakin lebar, maka implikasi kebijakan terhadap daur pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat (Suryana, 2000 : 29).

Studi oleh Akita dan Alisjahbana (2002) menunjukkan kesenjangan pendapatan regional di Indonesia mengalami peningkatan, kemudian penelitian oleh Mudrajat Kuncoro (2004) menarik sebuah kesimpulan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah selama periode pengamatan 1993-2000. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ketimpangan pembangunan tidak hanya terjadi antar wilayah untuk tingkat

propinsi maupun kabupaten/kota bahkan antar kecamatan. Ketimpangan pembangunan antar wilayah terjadi sebagai konsekuensi atas pembangunan yang terkonsentrasi. Berbagai program untuk menjembatani kesenjangan baik kesenjangan distribusi pendapatan maupun kesenjangan pembangunan antar wilayah belum membawa hasil yang signifikan.

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara nasional, tetapi pertumbuhan tersebut juga diiringi ketimpangan yang semakin lebar. Memasuki semester II tahun 2008, perkembangan ekonomi Sumatera Utara memberikan harapan ke arah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari tahun 2007. Harapan tersebut timbul setelah melihat laju pertumbuhan ekonomi triwulan III-2008 yang diperkirakan mencapai 7,26% atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan II-2008 sebesar 5,50%. Pertumbuhan ekonomi tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR), sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor industri pengolahan. Sektor PHR tumbuh paling pesat, yaitu sebesar 4,61%, terutama karena meningkatnya aktivitas perdagangan besar dan eceran, yang pada triwulan III-2008 mengalami lonjakan signifikan sehubungan hari raya Idul Fitri.

Pertumbuhan ekonomi Kota Medan secara sektoral terdiri dari : 1) Sektor

Primer yang terdiri dari Pertanian dan Penggalian. Tahun 2007 sektor primer memberikan kontribusi sebesar 2,86% terhadap perekonomian Medan yang mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2006 sebasar 2,93%, sektor ini merupakan sektor yang paling kecil perananya, 2) Sektor Sekunder terdiri dari

Industri, Listrik, Gas dan Air Minum, dan Bangunan. Pada tahun 2007 memberikan kontribusi sebesar 27,93% terhadap perekonomian Medan dan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006 sebasar 28,37%, 3) Sektor

Tersier terdiri dari Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR), Angkutan,

Komunikasi, Keuangan dan Jasa yang memberikan kontribusi 67,21% yang mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 68,70% dimana sektor ini menyumbang paling besar terhadap perekonomian kota Medan.

Tabel 1.1 Distribusi PDRB Kota Medan Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2006 2007 1. Pertanian 673.088,47 707.705,64 2. Penggalian 730,80 655,56 3. Industri Pengolahan 4.095.426,84 4.344.558,30 4. Listrik, Gas, dan Air Minum 435.638,97 423.392,62 5. Bangunan 3.011.370,27 3.205.063,07 6. Perdagangan, Hotel, dan 7.271.814,08 7.703.590,39 Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikas 5.255.762,61 5.813.393,38 8. Keuangan, Asuransi, Usaha 3.685.672,29 4.158.053,58 Persewaan Bangunan dan Tanah 9. Jasa-jasa 2.804.949,69 2.996.511,16 Kota Medan 27.234.454,02 29.352.923,70 (Sumber : BPS Sumut, Medan Dalam Angka 2008)

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Medan sebelum krisis ekonomi mencapai lebih dari 6,5% setiap tahunnya. Sebagai dampak krisis ekonomi dan moneter, pertumbuhan ekonomi sempat jatuh pada angka negatif (-20,11%) di tahun 1998, kemudian pertumbuhan positif kembali terjadi sebesar 5,49% pada tahun 2004 dan 6,98% pada tahun 2005. Perekonomian Kota Medan sangat ditentukan oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) yaitu Rp 7.703.590,39 juta dari total PDRB Medan 2007 atas dasar harga konstan 2000 Rp 29.352.923,70 juta

atau menyumbang sebesar 26,24%, diikuti sektor Pengankutan dan Komunikasi

Rp 5.813.393,38 juta (19,80%), dan sektor Industri Pengolahan Rp 4.344.558,3 juta (14,80%). Kondisi ini memperlihatkan bahwa perekonomian Kota Medan dapat pulih dan bangkit lebih cepat dari krisis yang terjadi sekaligus mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya.

Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi lainnya dapat dilihat dari jumlah pengeluaran pemerintah Kota Medan untuk pembangunan setiap tahun. Jika sebelum krisis investasi merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, maka selama krisis dan pada fase pemulihan, peningkatan konsumsi dan pengeluaran pemerintah (pusat/daerah) yang lebih berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Dana pembangunan yang dikeluarkan pemerintah Kota Medan dimaksudkan untuk mendukung kesiapan infrastruktur kota agar dapat merangsang peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Kabupaten Simalungun adalah daerah dengan pola pengembangan wilayah yang bebasis pertanian. Sektor pertanian menjadi andalan untuk meningkatkan perekonomian yang tidak hanya menekan angka kemiskinan tetapi juga berdampak terhadap penekanan angka pengangguran. Ekstensifikasi pada sektor pertanian menjadi tumpuan untuk mendongkrak perekonomian Simalungun dan dimungkinkan mendorong kepariwisataan “agrowisata” yang telah terwujud di daerah-daerah lain.

Perkembangan sektor industri yang berbasis pertanian atau dengan kata lain industri dengan penggunaan bahan baku pertanian selaras dengan kemampuan

sektor pertanian, tidak hanya sub sektor perkebunan sawit dan karet tetapi juga pertanian tanaman bahan makanan (holtikultura). Dengan kemampuan menarik investasi di Kabupaten Simalungun khususnya investasi di sektor industri akan memberikan kontribusi yang besar tidak hanya terhadap perekonomian Kabupaten

Simalungun tetapi juga bagi perekonomian Sumatera Utara.

Tabel 1.2 Distribusi PDRB Kabupaten Simalungun Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2006 2007 1. Pertanian 2.662.721,16 2.785.877,69 2. Penggalian 17.381,78 17.988,40 3. Industri 745.761,83 757.169,21 4. Listrik, Gas, dan Air Minum 20.419,41 22.140,37 5. Bangunan 78.409,65 81.118,97 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 371.123,97 388.645,93 7. Pengangkutan dan Komunikasi 115.712,74 119.595,77 8. Bank dan Lembaga Keuangan 77.713,61 86.784,67 9. Jasa-jasa 490.770,92 564.028,23 Kabupaten Simalungun 4.580.010,06 4.823.349,24 (Sumber : BPS Sumut, Simalungun Dalam Angka 2008)

Perekonomian sektoral Kabupaten Simalungun terdiri dari : 1) Sektor Primer terdiri dari Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, 2) Sektor Sekunder terdiri dari Industri, Listrik, Gas dan Air Minum, dan Bangunan, 3) Sektor Tersier terdirir dari Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan, Bank dan Jasa.

Peranan sektor pertanian dan industri masih menjadi kontributor utama dimana sekitar 74% perekonomian kabupaten ini digerakkan kedua sektor tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sumbangan sektor Pertanian terhadap PDRB pada tahun 2007

Rp 2.785.877,69 juta dari total PDRB Simalungun 2007 atas dasar harga konstan

2000 yaitu sebesar Rp 4.823.349,24 juta atau sebesar 57,76%. Sektor kedua terbesar setelah pertanian adalah sektor Industri yang menyumbang Rp

757.169,21 juta atau sebesar 15,69%, dimana 18,8% industri menggunakan bahan baku dari sektor pertanian itu sendiri (BPS, 2007).

Kota Medan dan Kabupaten Simalungun adalah dua daerah dengan pola pengembangan wilayah yang berbeda. Kota Medan berbasis industrialisasi dan perdagangan sedangkan Simalungun yang berbasis pertanian. Perbedaan ini telah menimbulkan ketimpangan yang diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain : perbedaan kandungan sumber daya alam, kondisi demografis, mobilitas barang dan jasa, konsentrasi kegiatan ekonomi, serta alokasi dana pembangunan antar wilayah.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk malakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Ketimpangan

Pembangunan antara Kota Medan dengan Kabupaten Simalungun”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah terjadi ketimpangan pembangunan antara Kota Medan dengan

Kabupaten Simalungun?

2. Apakah hipotesis Kuznets berlaku di Kota Medan dan Kabupaten

Simalungun?

1.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada, dimana kebenarannya masih perlu dikaji dan diteliti melalui data yang terkumpul.

Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut:

1. Ketimpangan pembangunan terjadi antara Kota Medan dan Kabupaten

Simalungun, cateris paribus

2. Hipotesis Kuznets berlaku di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun,

cateris paribus

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah terjadi ketimpangan pembangunan antara Kota

Medan dengan Kabupaten Simalungun.

2. Untuk mengetahui apakah hipotesis Kuznets berlaku di Kota Medan dan

Kabupaten Simalungun.

2. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan studi, literatur, dan tambahan ilmu pengetahuan bagi

kalangan akademisi, peneliti dan mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama

Departemen Ekonomi Pembangunan yang akan melakukan penelitian

selanjutnya.

2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam disiplin ilmu

yang penulis tekuni.

3. Sebagai tambahan, pelengkap sekalligus pembanding hasil-hasil penelitian

yang sudah ada.

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi mencakup pengertian yang sangat luas dan tidak hanya menaikkan pendapatan perkapita pertahun saja bahkan indikator Gross

National Product (GNP) sebagai indikator utama tidak selalu menggambarkan keberhasilan pembangunan. Indikator lain seperti pendidikan, distribusi pendapatan, dan jumlah penduduk miskin juga menggambarkan keberhasilan pembangunan. Saat ini banyak negara-negara di dunia ketiga yang telah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai target namun gagal dalam meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Masalah-masalah sosial seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan sebagainya tidak mengalami perbaikan. Melihat kenyataan ini, para ahli ekonomi mengganggap GNP sebagai indikator tunggal sudah tidak tepat lagi. Selama dekade 1970-an muncul pandangan bahwa tujuan utama pembangunan bukanlah menciptakan pertumbuhan GNP yang tinggi melainkan pengurangan tingkat kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan, penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

Pembangunan ekonomi dipandang sebagai kenaikan pendapatan perkapita dan peningkatan pembangunan ekonomi ditunjukkan dengan perkembangan PDB pada tingkat nasional dan PDRB untuk tingkat wilayah atau regional.

Pembangunan menyangkut perubahan mendasar dari seluruh sektor ekonomi.

Tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan pendapatan perkapita yang terus-menerus. Banyak faktor yang menyebabkan perekonomian mengalami stagnan bahkan kemunduran saat perang, kekacauan politik, dan lain-lain. Tetapi apabila kemunduran ekonomi hanya terjadi sesaat saja dan kemudian perekonomian cenderung meningkat, maka dapat dikatakan pembangunan ekonomi sedang berlangsung. Atas dasar inilah maka pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antar faktor-faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi.

Menurut Gant (1971) ada dua tahap dalam tujuan pembangunan yaitu tahap pertama pembangunan bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan, jika tujuan ini sudah tercapai maka tujuan kedua adalah menciptakan kesempatan- kesempatan bagi masyarakatnya untuk mencukupi segala kebutuhan. Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan (Suryana, 2000 : 29), antara lain adalah :

1. Dipenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan serta peralatan

sederhana dari berbagai kebutuhan yang secara luas dipandang perlu oleh

masyarakat yang bersangkutan.

2. Dibutuhkan kesempatan yang luas untuk memperoleh berbagai jasa

publik, pendidikan, kesehatan, pemukiman untuk yang dilengkapi

infrastruktur yang layak serta komunikasi dan lain-lain.

3. Dijaminnya hak unutk memperoleh kesempatan kerja yang produktif

(termasuk menciptakan kerja sendiri) yang memungkinkan adanya balas

jasa yang setimpal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

4. Terbinanya prasarana yang memungkinkan produksi barang dan jasa atau

perdagangan internasional untuk memperolah keuntungan dengan

kemampuan untuk menyisihkan tabungan untuk pembiayaan usaha-usaha

selanjutnya.

5. Menjamin partispasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan proyek-proyek.

2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah produk barang dan jasa mengalami peningkatan. Perubahan output ini tercermin dalam nilai produk domestik bruto (PDB).

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Kenaikan produksi total oleh suatu perekonomian oleh beberapa ahli ekonomi didefenisikan sebagai kenaikan PDRB/GNP riil suatu daerah/negara.

Perhitungan pertumbuhan ekonomi :

(PDB − PDB ) riilt riilt −1 Gt = 100% PDB riilt −1

Nilai PDB yang dipergunakan adalah PDB harga konstan sehingga disebut dengan PDB riil yang berarti pengaruh inflasi telah dihilangkan. Tujuan utama dari perhitungan pertumbuhan ekonomi adalah ingin melihat apakah kondisi perekonomian semakin membaik atau memburuk. Kondisi perekonomian yang baik mencerminkan adanya proses pembangunan dalam suatu negara.

Pertumbuhan haruslah berjalan secara beriringan dan terencana dalam mengupayakan terciptanya kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah miskin, tertinggal dan tidak produktif akan menjadi produktif dan akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri.

Strategi ini disebut “Redistribution With Growth” (Sirojuzilam, 2005 : 5).

Dalam kegiatan perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan fiskal produksi barang dan jasa yang berlaku disuatu negara, seperti perkembangan infrastruktur, jumlah sekolah, dan pertambahan produksi di semua sektor.

2.2.1. Teori Pertumbuhan Kuznets

Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang ekonomi yang terus meningakat kepada masyarakat. Kuznets mengemukakan enam (6) ciri pertumbuhan ekonomi modern yang dimanifestasikan dalam proses pertumbuhan oleh semua negara yang sekarang telah maju.

Keenam karateristik itu adalah :

 Dua variabel ekonomi yang bersamaan (aggregate) meliputi ;

1) Tingginya tingkat pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan

penduduk,

2) Tingginya peningkatan produktivitas tenaga kerja,

 Dua struktural variabel transformasi ;

3) Tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi,

4) Tingginya struktur sosial dan ideologi,

 Dua variabel penyebaran internasional meliputi ;

5) Kecenderungan negara-negara yang ekonominya sudah maju untuk

memperluas pasar dan sumber bahan baku,

6) Arus barang, modal, dan orang antar bangsa meningkat.

2.2.2 Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah a. Teori Ekonomi Klasik

Orang pertama yang membahas pertumbuhan ekonomi secara sistematis adalah Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the

Whealth of Nations yang menganalisis sebab-sebab berkembangnya suatu negara.

Menurut pandangan Adam Smith, kebijakan laissez-faire atau sistem mekanisme pasar akan menciptakan efisiensi, membawa ekonomi pada kondisi full emploeyment, dan menjamin pertumbuhan ekonomi sampai tercapai posisi stasioner (stationary state). Posisi stasioner terjadi apabila seluruh sumber alam sudah termanfaatkan. Jika terjadi pengangguran maka hal itu hanya bersifat

sementara, sehingga pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian.

Tugas pemerintah hanyalah menciptakan kondisi dan menyediakan fasilitas yang mendorong pihak swasta untuk berperan optimal dalam perekonomian serta memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi. Pengusaha perlu memperoleh keuntungan agar dapat mengakumulasi modal dan menciptakan investasi baru sehingga yang akan menyerap tenaga kerja.

Sebagai akibat depresi ekonomi dunia tahun 1929-1932, pandangan Smith kemudian dikoreksi oleh John Maynard Keynes dengan mengatakan bahwa untuk menjamin pertumbuhan yang stabil pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal

(perpajakan dan belanja pemerintah), kebijakan moneter (tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar), dan pengawasan langsung. Kemudian ahli ekonomi lainnya ada yang mendukung dan memperluas pandangan Smith maupun pandangan

Keynes yang tetap mengandalkan mekanisme pasar. Perbedaannya adalah ada yang menginginkan peran pemerintah tetapi ada yang menginginkan peranan pemerintah harus sekecil mungkin. Walaupun berbeda, kedua kelompok ini umumnya setuju bahwa salah satu tugas pemerintah adalah adalah menciptakan distribusi pendapatan yang tidak terlalu timpang.

Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam teori Adam Smith, pandangannya masih relevan untuk diterapkan dalam perencanaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk para investor yang akan menanamkan modalnya di wilayah tersebut.

b. Teori Harrod-Domar

Teori ini melengkapi teori Keynes yang melihat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (kondisi statis) sedangkan Harrod-Domar melihat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (kondisi dinamis). Teori Harrod-

Domar didasarkan pada asumsi :

a. perekonomian bersifat tertutup

b. hasrat menabung (Marginal Provensity to Saving) adalah konstan

c. proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to

scale), serta

d. tingkat pertumbuhan angkatan kerja (n) adalah kostan dan sama

dengan tingkat pertumbuhan penduduk.

Atas dasar asumsi tersebut, Harrod-Domar membuat analisis yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap (seluruh kenaikan produksi dapat diserap oleh pasar) hanya biasa tercapai apabila terpenuhi syarat keseimbangan g = k = n.

Dimana : g = growth (tingkat pertumbuhan output) k = capital (tingkat pertumbuhan modal) n = tingkat pertumbuhan angkatan kerja

Teori Harrod-Domar sangat perlu diperhatikan bagi daerah yang masih terbelakang kerena pada daerah yang masih terbelakang biasanya barang modal sangat terbatas sehingga sulit untuk melakukan konversi antar barang modal dengan tenaga kerja. Untuk wilayah seperti ini, sektor yang hasil produksinya

kurang menguntungkan untuk diekspor (karena biaya angkut tinggi atau tidak tahan lama) maka peningkatan produksi mengakibatkan produk tidak terserap oleh pasar lokal dan tingkat harga akan turun sehingga merugikan produsen. Oleh karena itu sebaiknya pertumbuhan berbagai sektor diatur secara seimbang, sehingga peningkatan produksi di suatu sektor dapat doserap oleh sektor lainnya. c. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik

Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow

(1970) dan T.W. Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Selain itu Solow-Swan juga menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya subsitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Teori ini melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak campur tangan. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini membuat teori mereka dan pandangan para ahli lainnya yang sejalan dinamakan teori neo-klasik.

Tingkat pertumbuhan ekonomi berasal dari tiga sumber yaitu akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi.

Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas meningkat. d. Teori Pertumbuhan Jalur Cepat

Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson

(1955). Setiap negara atau wilayah perlu melihat sektor atau komoditi yang

memiliki potensi untuk dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor ini memiliki competitive advantage. Artinya dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat diproduksi dalam waktu relatif singkat, dan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian daerah tersebut.

Selain itu perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi

(Schumpeter dan ahli lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (enterpreneurship) dalam masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya. e. Teori Basis Ekspor ( Export Base Theory)

Teori ini pertamakali dikembangkan oleh Tiebout, yang membagi kegiatan produksi dalam suatu wilayah atas : pekerjaan basis (dasar), dan pekerjaan service

(nonbasis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenius artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan pekerjaan nonbasis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah itu sendiri. Oleh karena itu pertumbuhannya bergantung pada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut dengan kata lain bersifat endogenius (tidak bebas tumbuh).

Dalam teori basis ekspor, ekspor tidak hanya mencakup barang dan jasa yang dijual ke luar daerah tetapi juga barang dan jasa yang dibeli orang dari luar

daerah walaupun transaksinya terjadi di daerah tersebut. Teori basis ekspor membuat asumsi pokok bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen

(independen) dalam pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain terikat

(dependen) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor yang mampu mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor lain terikat oleh peningkatan pendapatan daerah. Asumsi kedua ialah bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan. Harry W.

Richardson dalam bukunya Element of Regional Economics (terjemahan Paul

Sihotang, 1977 : 7) memberi uraian sebagai berikut :

Yi = (Ei – Mi) + Xi

Dimana :

Yi = pendapatan daerah

Ei = pengeluaran daerah

Mi = impor daerah

Xi = ekspor daerah

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Keberhasilan suatu pembangunan suatu negara dipengaruhi oleh beebrapa faktor yang dibagi kedalam dua unsur pokok yaitu faktor ekonomi dan non- ekonomi.

a. Faktor Ekonomi, meliputi :

1) Sumber Daya Alam (Natural Resources)

Sumber-sumber alam ini meliputi rumah, mineral, bahan bakar, iklim yang sering disebut dengan sumber fisik. Beberapa sumber daya alam relatif mudah untuk dieksploitasi sehingga dapat langsung menghasilkan output yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi ketersediaan sumber daya alam yang melimpah saja belum cukup bagi pertumbuhan ekonomi tetapi harus dimanfaatkan secara tepat dan optimal dengan dukungan teknologi.

2) Sumber Daya Manusia (Human Resources)

Peningkatan GNP sangat berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia seperti terlihat dalam efisiensi dan produktivitas. Oleh karena itu pembentukan modal manusia harus dilengkapi dengan peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan serta penguasaan teknologi.

3) Pembentukan Modal (Capital Formation)

Akumulasi kapital adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikonsumsi dan digunakan dalam proses produksi. Proses produksi akan lebih efisien dengan pembelian mesin-mesin baru dan memperbesar skala produksi sehingga keuntungan juga akan meningkat. Keuntungan ini akan diinvestasikan kembali sehingga akan tercipta lapangan pekerjaan yang baru dan daya beli masyarakat akan meningkat atau dengan kata lain akan memperluas pasar.

4) Teknologi dan Kewirausahaan (Technology and Entrepreneurship)

Science, engineering, management, entrepreneurship merupakan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi. Perubahan teknologi secara langsung atau tidak akan

mempengaruhi proses produksi. Perubahan teknologi akan menaikkan produktivitas. b. Faktor Non Ekonomi

Selain faktor ekonomi ada juga faktor-faktor non-ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu lembaga-lembaga sosial, keadaan politik dan institusional yang semuanya dapat mempengaruhi sikap dan kemampuan masyarakat sebagai pelaksana pembangunan. Disamping itu faktor sosial budaya sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pandangan dan nilai-nilai sosial harus dirubah, sehingga masyarakat dapat berpikir dinamis rasional sesuai dengan perkembangan jaman. Perubahan ini dapat dilakukan melalui penyebaran pendidikan dan ilmu pengetahuan.

2.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam perekonomian suatu wilayah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga berbeda. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana dalam suatu daerah terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang

(Underdeveloped Region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah dan formulasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan adalah Williamson Index yang digunakan oleh Jeffrey G. Williamson dalam studinya pada tahun 1966. Indeks williamson menggunakan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat kesejahteraan antar kelompok. Formulasi Indeks Williamson secara statistik adalah sebagai berikut :

(Y −Y )2 ( f − n) IW =  i i , 0 < IW < 1 Y

Keterangan :

IW = Indeks Williamson

Y = PDRB perkapita rata-rata seluruh daerah

Yi = PDRB perkapita daerah i fi = jumlah penduduk daerah i n = jumlah penduduk seluruh daerah

Angka indeks Williamson yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil atau makin merata dan sebaliknya angka yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.

Walaupun indeks ini mempunyai kelemahan yaitu sensitif terhadap defenisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan artinya apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda maka akan berpengaruh terhadap hasil perhitungannya, namun cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

2.3.1 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia

Munculnya studi Williamson telah mendorong beberapa ahli untuk melakukan studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia.

Studi pertama dilakukan oleh Hendra Asmara (1975), namun karena data PDRB pada saat itu masih sangat terbatas maka jangka pembahasan pada analisanya juga masih terbatas sehingga generalisasi untuk mendapatkan kesimpulan umum masih sulit dilakukan. Kemudian studi ini dilanjutkan oleh Uppal J.S dan Budiono Sri

Handoko (1986), studi ini menganalisa ketimpangan antar propinsi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua studi ini adalah bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Bahkan sesama negara berkembang, ketimpangan pembangunan antar wilayah di

Indonesia labih tinggi dibandingkan negara lainnya.

Studi lain yang membahas ketimpangan antar wilayah di Indonesia adalah

Syafrizal (2002) yang mengukur tingkat ketimpangan dan melihat pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hasil temuan studi Syafrizal adalah pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di indonesia ternyata cukup besar karena struktur ekonomi kota yang sangat berbeda dibandingkan propinsi lain di luar Jakarta.

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

1) Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Kandungan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, atau kesuburan lahan tentunya mempengaruhi proses pembangunan di masing-masing daerah. Daerah

yang kandungan sumber daya alamnya tinggi dapat memproduksi barang tertentu dengan biaya yang relatif lebih murah, kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan lebih cepat, demikian juga sebaliknya daerah lain yang kandungan sumber daya alamnya lebih sedikit akan memproduksi barang dengan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga daya saingnya lebih rendah.

2) Perbedaan Kondisi Demografis

Kondisi demografis yang dimaksud meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan tingkah laku masyarakat daerah tersebut.

Kondisi demografis ini akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Daerah dengan kondisi demografis yang baik cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga akan mendorong investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan.

3) Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi penduduknya karena apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suau daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan.

Demikian juga dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain. Akibatnya ketimpangan antar daerah cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong pembangunannya.

4) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada suatu wilayah akan menyebabkan pertumbuhan daerah tersebut lebih cepat dan akan mendorong proses pembangunan melalui penyediaan lapangan kerja. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antar lain ; a. Terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, b. Meratanya fasilitas transportasi baik darat, laut, maupun udara, c. Kondisi demografis, tersedianya sumber daya manusia yang berkuallitas.

5) Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Daerah dengan alokasi investasi yang lebih dari pemerintah, atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Investasi yang lebih terkonsentrasi di daerah perkotaan menyebabkan daerah perkotaan lebih cepat tumbuh dibandingkan daerah pedesaan.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah meneliti ketimpangan pembangunan antara Kota Medan dengan Kabupaten Simalungun, serta membuktikan berlakunya hipotesis Kuznets di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan, BPS Kabupaten Simalungun, dan

BPS Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 20 tahun (1988-2007).

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan- bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, dan laporan- laporan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Teknik

pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan pencatatan secara lagsung dari sumber informasi.

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Indeks Williamson

Untuk meneliti besarnya kesenjangan pembangunan di Kota Medan dan

Kabupaten Simalungun digunakan Indeks Williamson :

2 (Yi −Y ) fi / n IW = Y Keterangan :

IW = Indeks Williamson

Y = PDRB perkapita Sumatera Utara (Juta Rp)

Yi = PDRB perkapita Kota Medan / Kab. Simalungun (Juta Rp) fi = jumlah penduduk Kota Medan / Kab. Simalungun (jiwa) n = jumlah penduduk Sumatera Utara (jiwa)

Kriteria : 0 < IW < 1

IW = 0 : ketimpangan sangat rendah (merata sempurna)

IW = 0,5 – 1 : ketimpangan sangat tinggi (tidak merata sempurna)

IW = 0,3-0,5 : ketimpangan sedang

IW = < 0,3 : ketimpangan rendah

3.4.2 Hipotesis Kuznets

Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk namun pada tahap

selanjutnya distribusi pendapatannya akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan tampak seperti kurva berbentuk U terbalik (Todaro, 2004 : 240).

Hipotesis ini digunakan untuk melihat apakah terjadi ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun pada tahap awal pembangunan dan selama proses pembangunan berlangsung (selama periode pengamatan). Hipotesis Kuznets dapat dibuktikan dengan analisis Korelasi

Pearson dan akan digambarkan dengan membuat grafik antara pertumbuhan

PDRB dengan indeks williamson.

Gambar 3.1 Kurva Kuznets U-terbalik

3.4.3 Tipologi Klassen

Tipology Klassen merupakan alat analisis tipologi daerah yang digunakan untuk mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Domestik

Regional Bruto perkapita (PDRB perkapita). Dengan menggunakan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB perkapita sebagai sumbu horizontal, kemudian daerah (kecamatan) yang diamati dapat dibagi kedalam 4 klasifikasi atau bidang kuadran, yaitu :

Kuadran I : daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and

high income)

Kuadran II : daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)

Kuadran III : daerah yang berkembang cepat (high growth but low income)

Kuadran IV : daerah yang relatif tertinggal (low growth and low income)

Kuadran II Kuadran I

Kuadran III Kuadran IV

Gambar 3.2 Tipologi Klassen

3.4.4 Korelasi Pearson

Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara pertumbuhan PDRB (X) dengan Indeks Williamson (Y). Kuat tidaknya hubungan antara X dan Y dapat dinyatakan dengan koefisien koelasi (r).

n( XY )− ( X )( Y ) r =    2 2 n( X 2 )− ( X )  n(Y 2 )− (Y ) 

Kriteria : -1 ≤ r ≤ 1

Jika : r = 1 maka hubungan X dan Y sempurna dan positif (hubungan sangat

kuat dan positif).

r = 0 hubungan X dan Y lemah sekali atau tidak ada hubungan

r = -1 hubungan X dan Y sempurna dan negatif (hubungan sangat kuat

dan negatif).

Uji Signifikansi Koefisien Korelasi (Uji t-statistik)

Uji signifikansi koefisien korelasi dimasudkan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel mempunyai hubungan yang nyata (signifikan) atau tidak.

Dalam hal ini digunakan hipotesis sebagai berikut :

Ho : bi = b

Ha : bi ≠ b

Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

r n − 2 t-hitung = atau 1− r 2

r t-hitung = 1− r 2 n − 2

Dimana : r = koefisien korelasi n = jumlah data pengamatan

Kriteria pengambilan keputusan :

Ho : β = 0 Ho diterima (t* < t-tabel) artinya hubungan antar vaiabel sangat

lemah atau tidak nyata.

Ha : β ≠ 0 Ha diterima (t* > t-tabel) artinya hubungan antar variabel nyata

atau signifikan.

Ha diterima Ha diterima

Ho diterima

Gambar 3.3 Kurva Uji t-statistik

3.5 Defenisi Operasional

1. PDRB perkapita adalah PDRB harga berlaku dibagi dengan jumlah

penduduk pertengahan tahun dalam satuan milyar rupiah.

2. Jumlah penduduk adalah akumulasi dari seluruh penduduk yang bertempat

tinggal di suatu daerah baik yang bekerja ataupun tidak bekerja dalam

satuan jiwa.

3. Pertumbuhan ekonomi adalah laju pertumbuhan PDRB berdasarkan harga

konstan.

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kota Medan

4.1.1 Kondisi Geografis, Iklim, Pemerintahan, dan Penduduk

a) Kondisi Geografis

Terletak pada 2o27’-2o47’ Lintang Utara (LU) dan 98o35’-98o44’ Bujur Timur

(BT). Berada diatas 2,5-37,5 meter diatas permukaan laut (dpl) dan permukaan tanahnya cenderung miring ke utara. Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah barat, selatan dan timur. Sepanjang wilayah utaranya berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia.

Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber

Daya Alam (SDA) khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli

Selatan, Mandailing Natal, Karo, dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota

Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Luas Kotamadya Medan saat ini adalah 265,10 km2 atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Sebelumnya pada tahun 1972 luasnya

hanya 51,32 km2, namun sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1973 yang memperluas wilayah Kotamadya Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang. Sebagian besar wilayah Kotamadya Medan merupakan dataran rendah yang merupakan pertemuan dua sungai yaitu Sungai

Deli dengan Sungai Babura. Kotamadya Medan dapat dipresentasikan sebagai berikut :

▪ Pemukiman : 36,3%

▪ Perkebunan : 3,1%

▪ Lahan jasa : 1,9%

▪ Sawah : 6,1%

▪ Kebun campuran : 45,4%

▪ Industri : 1,5%

▪ Hutan rawa : 1,8%

Berdasarkan Undanng-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, penyebutan Kotamadya Medan berubah menjadi Kota Medan.

b) Iklim

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun

Polonia pada tahun 2006 berkisar antara 23,0oC-24,10oC dan suhu maksimum berkisar antara 30,6oC-33,1oC. Kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata- rata sebesar 0,42 m/sec sedangkan rata-rata laju penguapan tiap bulannya adalah

100,6 mm.

c) Pemerintahan

Kota Medan terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan yang dibagi dalam

2000 lingkungan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah :

▪ Medan Tuntungan ▪ Medan Helvetia

▪ Medan Amplas ▪ Medan Petisah

▪ Medan Denai ▪ Medan Barat

▪ Medan Area ▪ Medan Timur

▪ Medan Kota ▪ Medan Perjuangan

▪ Medan Maimun ▪ Medan Tembung

▪ Medan Polonia ▪ Medan Deli

▪ Medan Baru ▪ Medan Labuhan

▪ Medan Selayang ▪ Medan Marelan

▪ Medan Sunggal ▪ Medan Belawan

▪ Medan Johor

d) Penduduk

Pada tahun 2006 diproyeksikan penduduk Kota Medan mencapai 2.067.288 jiwa. Dibandingkan hasil sensus 2000 terjadi pertambahan penduduk sebesar

163.015 jiwa atau sebesar 0,92%. Dengan luas wilayah yang mencapai 265,10 km2 kepadatan penduduk Kota Medan adalah 7.798 jiwa/km2.

4.1.2 Kondisi Perekonomian Kota Medan

PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Data PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk mengelola sumber daya yang

dimiliki oleh karena itu besaran PDRB sangat tergantung pada sumber daya tersebut. Dengan disajikannya PDRB menurut lapangan usaha secara berkala, dapat dilihat kondisi perekonomian suatu wilayah dari waktu ke waktu.

Kota Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara masih menjadi pusat pertumbuhan utama untuk wilayah pantai timur karena didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Kota

Medan tercermin dari pertumbuhan ekonominya. Perubahan struktur perekonomian Kota Medan ditandai dengan perubahan kontribusi sektor primer, sekunder, dan tersier terhadap pembentukan PDRB. Proses perubahan ini didorong oleh perubahan pola konsumsi masyarakat yang timbul bersamaan dengan meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Kota Medan.

Perekonomian sektoral Kota Medan terdiri dari : sektor primer yang terdiri dari pertanian dan penggalian, sektor sekunder terdiri dari industri pengolahan, listrik, gas dan air minum, dan bangunan, dan sektor tersier terdiri dari perdagangan, hotel dan restoran (PHR), angkutan, komunikasi, keuangan dan jasa.

Secara keseluruhan, sektor primer hanya menyumbang 2,93% terhadap PDRB

Kota Medan pada tahun 2006, angka ini sangat kecil bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi ini desebabkan oleh semakin terbatasnya lahan untuk sektor primer yang tersedia dan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota

Medan. Situasi ini memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru masyarakat sehingga memungkinkan peningkatan di sektor sekunder dan tersier. Sumbangan sektor primer berasal dari beberapa kecamatan yang berada dipinggiran Kota Medan seperti Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Marelan yang secara umum

menyumbang subsektor tanaman pangan dan peternakan, serta Medan Belawan dan Medan Labuhan dari subsektor perikanan. Sektor sekunder merupakan sektor kedua terbesar yang memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Medan yaitu sebesar 28,37% pada tahun 2006, setelah sektor tersier yang sumbangannya sebesar 68,70% terhadap PDRB Kota Medan pada tahun 2006.

Tabel 4.1 Distribusi PDRB Kota Medan Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2005 2006 2007 1. Pertanian 1.306.921,44 1.427.430,11 1.580.644,71 2. Penggalian 2.596,57 3.283,61 3.089,43 3. Industri Pengolahan 7.094.919,38 7.960.595,91 9.029.327,78 4. Listrik, Gas, dan Air 917.530,98 1.102.658,52 1.040.734,65 Minum 5. Bangunan 3.502.798,64 4.795.785,16 5.420.082,16 6. Perdagangan, Hotel, dan 11.271.818,27 12.692.841,73 14.106.440,58 Restoran 7. Pengangkutan dan 7.979.778,29 9.164.618,54 10.548.090,28 Komunikas 8. Keuangan, Asuransi, Usaha 6.063.875,99 6.550.498,59 7.833.875,96 Persewaan Bangunan dan Tanah 9. Jasa-jasa 4.652.210,64 5.152.234,71 5.893.299,08 Kota Medan 42.792.450,19 48.849.996,89 55.455.584,62 (Sumber : BPS Sumut, Medan Dalam Angka 2008)

Bila didasarkan pada harga konstan 2000, pendapatan perkapita masyarakat

Kota Medan Rp 23.623.135,56 juta pada tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi Rp 29.352.923,70 juta pada tahun 2007, angka ini secara umum menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan perkapita masyarakat Kota Medan atas dasar harga berlaku pada tahun 2007 sebesar Rp

55.455.584,62 juta atau mengalami kanaikan yang cukup besar bila dibandingkan dengan pendapatan perkapita pada tahun 2004 yang hanya mencapai

Rp33.115.347,06 juta.

4.2 Gambaran Umum Kabupaten Simalungun

4.2.1 Kondisi Geografis, Iklim, Pemerintahan, dan Penduduk

a) Kondisi Geografis

Kabupaten Simalungun terletak antara 02o36’-03o18’ Lintang Utara dan

98o32’-99o35’ Bujur Timur, dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten

Toba dan Kabupaten Samosir, dan sebelah timur berbatasan dengan

Kabupaten Asahan. Luas wilayah Kabupaten Simalungun adalah 4.386,6 km2 atau sekitar 6,12% dari luas wilayah propinsi Sumatera Utara, dan berada pada ketinggian rata-rata 369 meter diatas permukaan laut.

Penggunaan lahan di kabupaten Simalungun terdiri dari :

Perkebunan : 38,23%

Sawah : 13,51%

Tegalan : 06, 39%

Pertanian Campuran : 04,41%

Semak- semak : 10,51%

Hutan : 25,21%

Pemukinan : 01,49%

Alang- alang : 0,06%

Sungai : 0,20%

b) Iklim

Keadaan iklim Kabupaten Simalungun bertemperatur sedang, suhu tertinggi terjadi pada bulan Mei dengan rata-rata 26,2 0C. Rata-rata suhu udara tertinggi pertahun adalah 26,90C dan terendah 25,8 0C dengan kelembaban udara rata-rata perbulan 83,7%.

c) Pemerintahan

Kabupaten Simalungun terdiri dari 31 kecamatan, 22 kelurahan, dan 345 desa atau nagori (bulan Juni 2008 terjadi pemekaran kelurahan dan desa/nagori). Dari

331 desa di Kabupaten Simalungun, sebanyak 22 desa merupakan desa swasembada dan 69 desa swakarsa. Kecamatan yang paling luas adalah

Kecamatan Tanah Jawa dengan luas 49,175 km2, sedangkan yang paling kecil luasnya adalah Kecamatan Dolok Pardamean dengan luas 9,045 km2. Kecamatan- kecamatan tersebut adalah :

▪ Silimakuta ▪ Hatonduhan

▪ Pematang Silimakuta ▪ Hutabayu Raja

▪ Purba ▪ Dolok Panribuan

▪ Haranggaol Horison ▪ Jorlang Hataran

▪ Dolok Perdamean ▪ Panei

▪ Sidamanik ▪ Panombeian Panei

▪ Pematang Sidamanik ▪ Raya

▪ Girsang ▪ Dolok Silau

SipanganBolon ▪ Silau Kahean

▪ Tanah Jawa ▪ Raya Kahean

▪ Tapian Dolok

▪ Dolok Batu Nanggar

▪ Siantar

▪ Gunung Malela

▪ Gunung Maligas

▪ Jawa Maraja Bah Jambi

▪ Pematang Bandar

▪ Bandar Huluan

▪ Bandar

▪ Bandar Masilam

▪ Bosar Maligas

▪ Ujung Pandang

d) Penduduk

Penduduk Kabupaten Simalungun pada tahun 2007 sebanyak 846.329 jiwa tersebar pada 31 kecamatan dengan perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio) sebesar 100,28. Jumlah penduduk terbesar berada di Kec.

Bandar yaitu 66.739 jiwa dan jumlah penduduk terkecil berada di Kec.

Haranggaol Horison yang hanya sebesar 5.789 jiwa, dimana kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kec. Siantar yaitu 781,70 jiwa/km2.

4.2.2 Kondisi Perekonomian Kabupaten Simalungun

Salah satu indikator yang dapat menggambarkan kondisi perekonomian secara makro di suatu wilayah adalah PDRB dan indikator ini lazim digunakan sebagai alat ukur tingkat pertumbuhan ekonomi maupun struktur perekonomian sektoral. PDRB Kabupaten Simalungun pada tahun 2006 sebesar Rp 6,882 triliun meningkat sebesar Rp 625 milyar dibandingkan tahun 2005 sebasar Rp 6,257 triliun atau naik sebesar 9,38%.

Pertumbuhan riil perekonomian Kabupaten Simalungun tahun 2006 yaitu sebesar 4,76% didorong oleh seluruh sektor kegiatan ekonomi kecuali subsektor kehutanan yang mengalami penurunan sebesar 8,39%. Hal tersebut dimungkinkan oleh pengetatan berbagai peraturan yang menyangkut pengambilan berbagai hasil hutan pada tahun-tahun terakhir sehingga kegiatan ekonomi pada subsektor ini mengalami penurunan.

Tabel 4.2 Distribusi PDRB Kabupaten Simalungun Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2005 2006 2007 1. Pertanian 3.372.802,16 3.748.511,40 4.150.354,11 2. Penggalian 25.614,77 33.101,97 35.127,81

3. Industri 1.261.222,20 1.290.599,35 1.392.045,10 4. Listrik, Gas, dan Air Minum 44.017,38 49.512,83 54.388,85 5. Bangunan 112.351,62 116.003,04 135.023,43 6. Perdagangan, Hotel, dan 541.558,84 577.601,87 624.499,30 Restoran 7. Pengangkutan dan 211.561,23 234.815,97 261.822,61 Komunikasi 8. Bank dan Lembaga 108.939,82 113.459,95 133.936,23 Keuangan 9. Jasa-jasa 578.890,53 718.018,55 860.283,12 Kabupaten Simalungun 6.256.958,55 6.881.629,93 7.647.485,63 (Sumber : BPS Sumut, Simalungun Dalam Angka 2008)

Perekonomian sektoral Kabupaten Simalungun terdiri dari sektor primer yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, sektor sekunder terdiri dari industri, listrik, gas, dan air minum, bangunan, serta sektor tersier terdiri dari perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan, bank, dan jasa-jasa. Perubahan struktur perekonomian suatu daerah dapat terjadi akibat perbedaan besaran laju perubahan kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB. Peranan sektor pertanian dan industri masih menjadi kontributor utama bagi perekonomian

Kabupaten Simalungun, sekitar 73,71% perekonomian daerah ini digerakkan oleh kedua sektor tersebut. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 54,47% terhadap total PDRB 2006, dimana sebesar 25,79% merupakan sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dan 24,41% dari subsektor perkebunan.

Sementara sektor industri memberikan sumbangan sebesar 18,75% terhadap total

PDRB yang dominan menggunakan bahan baku dari sektor pertanian itu sendiri.

Potensi ekonomi Kabupaten Simalungun sebagian besar terletak pada produksi pertaniannya. Produksi lainnya termasuk tanaman pangan, perkebunan, pertanian lainnya, industri pengolahan, serta jasa. Produksi padi di Kabupaten

Simalungun merupakan produksi terbesar kedua di Sumatera Utara pada tahun

2003 sesudah Kabupaten Deli Serdang. Produksi kelapa sawit dari perkebunan yang ada di kabupaten ini menjadi komoditas utama, kedua terbesar di Sumatera

Utara setelah Kabupaten Labuhan Batu (2001). Selain memproduksi kelapa Sawit, perkebunan rakyat di Simalungun juga menghasilkan karet dan cokelat, selain teh

(Kecamatan Raya dan Sidamanik) yang jumlah produksinya semakin menurun.

Penjualan hasil tani karet dibantu oleh kehadiran PT. Good Year Sumatra

Plantations (didirikan 1970) yang walaupun memiliki perkebunan sendiri tetapi tetap menampung hasil perkebunan rakyat dan mengolahnya menjadi bahan setengah jadi sebelum menjualnya keluar daerah.

4.3 Analisis dan Pembahasan

4.3.1 Indeks Williamson

Pertumbuhan ekonomi Kota Medan dan Kabupaten Simalungun cukup tinggi tetapi pertumbuhan tersebut juga diikuti oleh ketimpangan pembangunan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Jadi, model pembangunan di

Kota Medan dan Kabupaten Simalungun adalah model pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi (growth oriented), tidak mengacu kepada pemerataan pembangunan.

Untuk mengukur ketimpangan (disparitas) pembangunan antar wilayah digunakan Indeks Williamson. Dari hasil perumusan diperoleh nilai indeks williamson untuk Kota Medan dan Kabupaten Simalungun selama periode pengamatan seperti terlihat pada tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Indeks Williamson Kota Medan dan Kabupaten Simalungun Tahun 1988-2000

TAHUN INDEKS WILLIAMSON Medan Simalungun 1988 0,1267 0,0119 1989 0,1982 0,0159 1990 0,1739 0,0148 1991 0,1801 0,0219 1992 0,1736 0,0272 1993 0,1732 0,0221 1994 0,1579 0,0147 1995 0,1556 0,0139 1996 0,1456 0,0023 1997 0,0969 0,0359 1998 0,0754 0,0219 1999 0,0429 0,0529 2000 0,2744 0,0701 2001 0,2922 0,0711 2002 0,2959 0,0859 2003 0,2797 0,1052 2004 0,3022 0,0729 2005 0,3477 0,0858 2006 0,3466 0,0931 2007 0,3552 0,0933 (Sumber : BPS Sumut)

Dari tabel tersebut diperoleh gambaran bahwa ketimpangan pembangunan masih terjadi di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun walaupun tingkat ketidakmerataan regional (regional inequalitas) tersebut relatif kecil dan nilai

PDRB perkapita Kota Medan dan Kabupaten Simalungun menunjukkan peningkatan. Selama kurun waktu 1988-2000 tingkat ketimpangan untuk Kota

Medan masih tergolong pada ketimpangan pembangunan sedang bahkan rendah dengan rata-rata indeks williamson sebesar 0,21 sedangkan Kabupaten

Simalungun masih tergolong pada tingkat ketimpangan rendah dengan rata-rata indeks williamson sebesar 0,05.

1. Kota Medan

Kota Medan dengan tingkat pertumbuhan penduduk 9,9% (sensus 1990-

2000) memiliki jumlah penduduk sebesar 2.083.156 jiwa pada tahun 2007 dengan

PDRB perkapita atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp 29.352.923,70 juta.

Keberadaan Kota medan dengan PDRB perkapita yang cukup tinggi sangat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi kegiatan ekonomi daerah tersebut.

Perekonomian suatu daerah dengan kosentrasi kegiatan ekonomi tinggi akan cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah cenderung akan mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah (Tambunan, 2003: 176).

Kota Medan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, baik dalam lingkup

Sumatera Utara maupun Sumbagut menunjukkan kota ini memegang peranan penting dalam mendorong perkembangan ekonomi regional bahkan secara nasional. Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDRB Sumatra Utara,

Kota Medan menyumbang tidak kurang Rp 26,38 triliun (23%) dari total nilai produksi barang dan jasa yang ada pada tahun 2004. Kota Medan juga berfungsi sebagai pintu gerbang ekspor dan impor Sumatera Utara dimana 80% komoditi ekspor dan impor Sumatera Utara melalui Pelabuhan Laut Belawan maupun

Bandara Polonia Medan.

Indeks Williamson Medan

0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 Indeks williamson Medan 0,15 0,1

0,05 Indeks Indeks Williamson 0

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Pengamatan

Gambar 4.1 Indeks Williamson Kota Medan

Secara keseluruhan angka ketimpangan (indeks williamson) Kota Medan selama kurun waktu pengamatan berkisar antara 0,3-0,5 angka ini tergolong pada ketimpangan sedang bahkan hingga tahun 2003 masih tergolong pada ketimpangan rendah yaitu < 0,3. Ketimpangan pembangunan yang terendah di

Kota Medan terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 0,0429 dan pada tahun 2007 merupakan ketimpangan pembangunan tertinggi yaitu sebesar 0,3552. Dari tahun

1988-1991 indeks williamson Kota Medan berfluktuatif atau dengan kata lain mengalami naik-turun, namun pada dekade 90-an yaitu antara tahun 1992 hingga tahun 1999 indeks williamson terus mengalami penurunan dari 0,1736 pada tahun

1992 menurun hingga 0,0429 pada tahun 1999 yang artinya pembangunan di Kota

Medan semakin merata pada tahun-tahun tersebut. Sedangkan pada tahun 2000 indeks williamson terus mengalami peningkatan dari 0,2744 hingga mencapai

0,3552 pada tahun 2007 yang berarti pembangunan Kota Medan semakin timpang.

2. Kabupaten Simalungun

Indeks Williamson Simalungun

0,12 0,1

0,08 Indeks Williamson 0,06 Simalungun 0,04

0,02 Indeks Indeks Williamson 0

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Pengamatan

Gambar 4.2 Indeks Williamson Kabupaten Simalungun.

Kabupaten Simalungun berpenduduk 846.349 jiwa pada tahun 2007 dengan kepadatan penduduk sebesar 193 jiwa/km2 . Dari hasil perhitungan indeks williamson diperoleh rata-rata ketimpangan pembangunan di Kabupaten

Simalungun sebesar 0,05. Ketimpangan pembangunan terendah terjadi pada tahun

1988 yaitu sebesar 0,0119 dan ketimpangan tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 0,1052. Angka ketimpangan Kabupaten Simalungun cenderung mengalami kenaikan dari 0,0119 pada tahun 1988 hingga mencapai angka 0,0221 pada tahun 1993, dan mengalami penurunan hingga pada angka 0,0023 pada tahun

1996. Kemudian selama tahun 1997-2007 indeks williamson Kabupaten

Simalungun terus berfluktuatif pada kisaran nilai indeks 0,03-0,10. Secara keseluruhan indeks williamson Kabupaten Simalungun berfluktuatif atau mengalami naik-turun selama periode pengamatan. Namun ketimpangan pembangunan di Kabupaten Simalungun masih berada pada tingkat ketimpangan pembangunan rendah (IW < 0,3) yang berarti bahwa pembangunan di Kabupaten

Simalungun sudah cukup merata dari tahun ke tahun.

4.3.2 Hipotesis Kuznets

Menurut Simon Kuznets pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk namun pada tahap selanjutnya

distribusi pendapatannya akan membaik. Pada tahap awal pembangunan terjadi transisi ekonomi dari ekonomi pedesaan (pertanian) menuju ekonomi perkotaan

(industri), ketimpangan distribusi pendapatan semakin besar sebagai akibat proses urbanisasi (tenaga kerja) dan industrialisasi. Namun pada tahap pembangunan selanjutnya ketimpangan ini akan menurun kembali yakni pada saat sektor industri di perkotaan sudah mampu menyerap tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian (pedesaan). Hipotesis inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva U-terbalik, karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan tampak seperti kurva berbentuk U-terbalik. Hipotesis Kuznets dapat digambarkan dengan membuat grafik antara pertumbuhan PDRB (%) dengan indeks ketimpangan williamson yang menunjukkan hubungan antara pertumbuhan

PDRB dengan indeks williamson selamam periode pengamatan.

1. Kota Medan

Pada tahap awal pembangunan Kota Medan, nilai indeks williamson yang cenderung meningkat dari 0,1267 pada tahun 1988 hingga mencapai 0,1801 pada tahun 1991. Namun nilai indeks ini terus menurun hingga pada angka 0,0429 pada tahun 1999 yang berarti bahwa pembangunan semakin merata pada periode ini.

Kemudian pada tahap pembangunan selanjutnya indeks ketimpangan williamson kembali meningkat hinga pada angka 0,3552 pada tahun 2007.

Pertumbuhan PDRB Kota Medan yang cenderung berfluktuatif pada tahap awal pembangunan, namun pada tahun 1997 terjadi penurunan pertumbuha hingga 9,83% dan kembali meningkat pada tahun 1998 yaitu sebesar 38,48%.

Pertumbuhan PDRB menurun kembali hingga pada tahun 2002 mencapai 13,61%

dan kembali mengalami peningkatan hingga mencapai 29,22% pada tahun 2005.

Perekonomian Kota Medan pada tahun tersebut secara umum mengalami perbaikan dimana para pelaku ekonomi terus melakukan perbaikan di bidang ekonomi. Dengan diturunkannya tingkat suku bunga dan stabilnya nilai tukar meransang kegiatan ekonomi di sektor riil. Kemudian perkembangan PDRB Kota

Medan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari

PDRB Kota Medan pada tahun 2007 atas dasar harga berlaku terjadi kenaikan sebesar 13,19% jika dibandingkan tahun 2006 yaitu sebesar Rp 48,99 triliun naik menjadi Rp 55,46 triliun di tahun 2007. Sedangkan atas dasar harga konstan 2000 naik sebesar 7,78% dari Rp 27,23 triliun menjadi Rp 29,35 triliun di tahun 2007.

Dengan pertumbuhan PDRB yang cenderung berfluktuatif, kurva hubungan antara indeks ketimpangan williamson dengan pertumbuhan PDRB

Kota Medan tetap membentuk kurva U-terbalik atau dapat dikatakan bahwa hipotesis kuznets berlaku di Kota Medan, bahkan untuk tahun pengamatan 1988-

2007 kurva ini hampir membentuk kurva U-terbalik kedua atau dengan kata lain ketimpangan kembali meningkat dimana hipotesis ini berlaku untuk pembangunan jangka panjang.

Hipotesis Kuznets Medan

0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 Hipotesis Kuznets Medan 0,15 0,1

Indeks Indeks Williamson 0,05 0

20,82 23,96 13,7 13,75 17,08 27,8 16,29 13,32 10,25 9,83 38,48 12,88 72,45 17,11 13,61 13,67 15,5 29,22 14,48 13,19 Pertumbuhan PDRB (%)

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara Indeks Williamson dengan Pertumbuhan PDRB (%) Kota Medan.

2. Kabupaten Simalungun

Pada tahap awal pembanngunan Kabupaten Simalungun, nilai indeks williamson yang cenderung meningkat dari 0,0119 pada tahun 1988 hingga mencapai 0,0272 pada tahun 1992. Kemudian nilai indeks ini terus menurun hingga pada angka 0,0023 pada tahun 1996 yang berarti bahwa pembangunan semakin merata pada periode ini. Kemudian pada tahap pembangunan selanjutnya indeks ketimpanngan williamson kembali meningkat hinga pada angka 0,0933 pada tahun 2007.

Hampir sama dengan Kota Medan, pertumbuhan PDRB Kabupaten

Simalungun cenderung berfluktuatif pada tahap awal pembangunan, namun cenderung meningkat hingga tahun 1993 mencapai 24,36%. Pada tahun 1994 pertumbuhan sektor riil di Kabupaten Simalungun cukup baik dimana pada sektor listrik, gas, dan air minum tumbuh sebesar 10,03%, sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) 9,81%, bangunan 9,32%, angkutan dan komunikasi 8,67%, industri 8,41% dan pertanian 8,09%. Walaupn sektor pertanian hanya tumbuh sebesar 8,09% namun sektor ini cukup potensial unutk menopang pertumbuhan

PDRB Kabupaten Simalungun karena sektor ini memberikan kontribusi sebesar

61,88%. Pada tahun 2001 pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor jasa-jasa yang tumbuh sebesar 27,02% sedangkan tahun 2002 pada sektor keuangan 9,49%.

Kemudian pertumbuhan PDRB Kabupaten Simalungun terus menurun hingga

tahun 2003 mencapai pertumbuhan yang paling rendah yaitu sebesar 2,6%, namun pertumbuhan PDRB tertinggi justru terjadi pada saat pertumbuhan PDRB menunjukkan trend penurunan yang cukup lama yaitu pada tahun 1998 sebesar

55,41%. Pada tahun 2004 laju pertumbuhan ekonomi naik sebesar 2,72% yaitu dari Rp 4,128 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 4,240 triliun. Secara riil pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun selama tahun 2000-2004 menunjukkan adanya peningkatan hasil penggalian potensi ataupun produktivitas sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Simalungun setiap tahunnya.

Secara keseluruhan kurva hubungan antara indeks ketimpangan williamson dengan pertumbuhan PDRB Kabupaten Simalungun tetap membentuk kurva U-terbalik atau dapat dikatakan bahwa hipotesis kuznets berlaku di

Kabupaten Simalungun, bahkan untuk tahun pengamatan 1988-2007 kurva ini hampir membentuk kurva U-terbalik kedua atau dengan kata lain ketimpangan kembali meningkat dimana hipotesis ini berlaku untuk pembangunan jangka panjang.

Hipotesis Kuznets Simalungun

0,12

0,1

0,08 Hipotesis Kuznets 0,06 Simalungun 0,04

0,02 Indeks Indeks Williamson 0

2,6 27,21 16,08 17,23 13,38 17,77 24,36 16,02 12,55 7,45 5,26 55,41 6,42 3,25 3,83 2,83 34,8 12,15 9,98 11,12 Pertumbuhan PDRB (%)

Gambar 4.4 Kurva hubungan antara Indeks Williamson dengan Pertumbuhan PDRB (%) Kabupaten Simalungun.

4.3.3 Tipologi Klassen

Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola struktur pertumbuhan ekonomi di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun.

Tipologi klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita. Melalui analisis ini diperoleh empat (4) karakteristik pola dan stuktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda yaitu daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah yang berkembang cepat

(high growth but low income), dan daerah yang relatif tertinggal (low growth and low income).

Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh, daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata Propinsi Sumatera Utara; (2) daerah maju tapi tertekan, daerah yang memiliki pendapatan perkapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Propinsi

Sumatera Utara; (3) daerah berkembang cepat, daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata Propinsi Sumatera Utara; (4) daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapat perkapita yang lebih rendah dibanding rata-rata Propinsi Sumatera Utara. Dikatakan “tinggi” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh

kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara dan digolongkan “rendah” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara.

Tipologi Klassen

7

6 5 4 Medan

3 Simalungun 2 1

0 Pertumbuhan Ekonomi (%) 0 2000 4000 6000 8000 10000 PDRB Perkapita (Juta Rp)

Gambar 4.5 Tipologi Klassen Kota Medan dan Kabupaten Simalungun 1988-2000

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui pola dan struktur pertumbuhan

Kota Medan termasuk klasifikasi daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) atau kuadran I artinya tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Kota Medan lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Propinsi Sumatera Utara dimana rata- rata pertumbuhan ekonomi Kota Medan selama tahun pengamatan adalah 6,12% dengan rata-rata PDRB perkapita sebesar Rp 8.505,83 juta yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara sebesar

6,06% dengan rata-rata PDRB perkapita Rp 5.134,74 juta. Berbeda dengan

Kabupaten Simalungun masuk ke dalam klasifikasi daerah yang berkembang

cepat (high growth but low income) atau Kuadran III yang berarti tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita Kabupaten Simalungun lebih rendah dibandingkan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita

Propinsi Sumatera Utara. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun selama periode pengamatan adalah 5,05% dengan rata-rata PDRB perkapita sebesar Rp 3.800,85 juta.

4.3.4 Korelasi Pearson

Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara pertumbuhan PDRB (X) dengan Indeks Williamson (Y). Dikatakan berkorelasi apabila perubahan pada salah satu variabel akan diikuti dengan perubahan pada variabel yang lainnya. Kuat tidaknya hubungan antara X dan Y dapat dinyatakan dengan koefisien koelasi (r). Tidak signifikan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan dengan tingkat ketimpangan williamson. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan pertumbuhan PDRB maka peningkatan tersebut tidak akan mempengaruhi tingkat ketimpangan pembangunan.

1. Kota Medan

n( XY )− ( X )( Y ) r =    2 2 n( X 2 )− ( X )  n(Y 2 )− (Y ) 

(20)(87,84)− (407,39)(4,19) r = (20)(12131,52)− (165966 ,61) (20)(1,05)− (17,56)

49,84 r = 263723 ,44

49,84 r = 513,54

r = 0,0971 artinya tingkat hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan indeks

williamson Kota Medan adalah sebesar 9,71%.

Uji Signifikansi :

r n − 2 t-hitung = 1− r 2

(0,097 ) 18 = 1− (0,097 )2

0,412 = 0,995

= 0,414

Apakah signifikan pada α = 5%? t-tabel = 2,101 t-hitung = 0,414 < t-tabel = 2,101 → Ho diterima artinya hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan indeks williamson Kota Medan tidak signifikan pada

α = 5 %.

Ha diterima Ha diterima

Ho diterima

-2,101 π 0,414 2,101

Gambar 4.6 Uji t-statistik hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan indeks williamson Kota Medan.

Hasil analisis korelasi Pearson Kota Medan membuktikan bahwa terdapat korelasi yang lemah dengan nilai r = 0,0971 artinya tingkat hubungan antara pertumbuhan PDRB (X) dengan indeks williamson (Y) sebesar 9,71% pada tahun

1988-2007, dan tidak signifikan pada α = 5% yang artinya apabila terjadi perubahan (peningkatan maupun penurunan) pertumbuhan PDRB tidak akan mempengaruhi indeks ketimpangan williamson di Kota Medan. Hal ini dapat dilihat selama periode pengamatan, dengan rata-rata pertumbuhan PDRB 20,37 % tidak mempengaruhi ketimpangan pembangunan di Kota Medan yang rata-rata indeks ketimpangan williamsonnya 0,21.

2. Kabupaten Simalungun

(20)(10,88)− (299,7)(0,93) r = (20)(7614 ,75)− (89820 ,09) (20)(0,06)− (0,86)

− 61,12 r = 64474 ,11

− 61,12 r = 253,92

r = −0,241 artinya tingkat hubungan antara pertumbuhan PDRB dengam indeks

williamson Kabupaten Simalungun adalah sebesar 24,1%.

Uji Signifikansi :

r n − 2 t-hitung = 1− r 2

(0,241) 18 = 1− (0,241)2

1,023 = 0,971

= 1,053

Apakah signifikan pada α = 5 %? t-tabel = 2,101 t-hitung = 1,054 < t-tabel = 2,101 → Ho diterima artinya hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan indeks williamson Kabupaten Simalungun tidak signifikan pada α = 5 %.

Ha diterima Ha diterima

Ho diterima

-2,101 π 1,053 2,101

Gambar 4.7 Uji t-statistik hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan indeks williamson Kabupaten Simalungun.

Hasil perhitungan korelasi Pearson antara tingkat pertumbuhan PDRB dengan tingkat ketimpangan pembangunan di Kota Medan dan Kabupaten

Simalungun dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Korelasi Pearson antara Pertumbuhan PDRB dengan Indeks Williamson di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun 1988-2000

Korelasi Signifikansi Medan 0,097 0,414 Simalungun -0,241 1,503

Hasil analisis korelasi Pearson Kabupaten Simalungun membuktikan bahwa terdapat korelasi yang lemah dengan nilai r = -0,241 atau tingkat hubungan antara pertumbuhan PDRB (X) dengan indeks williamson (Y) sebesar 24,1% pada tahun 1988-2007, dan tidak signifikan pada α = 5 % yang artinya apabila terjadi perubahan (peningkatan maupun penurunan) pertumbuhan PDRB tidak akan mempengaruhi indeks ketimpangan williamson di Kabupaten Simalungun. Hal ini dapat dilihat selama periode pengamatan, dengan rata-rata pertumbuhan PDRB

14,99% tidak mempengaruhi ketimpangan pembangunan di Kabupaten

Simalungun yang rata-rata indeks ketimpangan williamsonnya 0,05.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis terhadap data-data di dalam penelitian atas permasalahan dan hipotesis yang ditulis dalam skripsi ini, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut adalah :

1. Ketimpangan pembangunan di Kota Medan cenderung berfluktuatif

namun secara keseluruhan terjadi peningkatan ketimpangan yang

tergolong pada ketimpangan sedang.

2. Untuk Kabupaten Simalungun ketimpangan pembangunan secara

keseluruhan masih tergolong pada tingkat ketimpangan rendah artinya

pembangunan di Kabupaten Simalungun sudah cukup merata dari tahun ke

tahun.

3. Hipotesis Kuznets berlaku di Kota Medan dan Kabupaten Simalungun

untuk tahun pengamatan 1988-2007, kurva ini hampir membentuk kurva

U-terbalik kedua karena hipotesis ini berlaku untuk pembangunan jangka

panjang.

4. Berdasarkan Tipologi Klassen Kota Medan termasuk daerah yang cepat

maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) atau kuadran I,

sedangkan Kabupaten Simalungun masuk ke dalam klasifikasi daerah

yang berkembang cepat (high growth but low income) atau Kuadran III.

5. Dari hasil analisis Korelasi Pearson Kota Medan menunjukkan bahwa

terdapat korelasi yang lemah antara pertumbuhan PDRB (X) dengan

indeks williamson (Y) dan tidak signifikan yang artinya apabila terjadi

perubahan (peningkatan maupun penurunan) pertumbuhan PDRB tidak

akan mempengaruhi indeks ketimpangan williamson di Kota Medan.

Sedangkan untuk Kabupaten Simalungun terdapat korelasi yang lemah dan

tidak signifikan.

5.2 Saran

Berdasarkan evaluasi analisis dari hasil penelitian serta kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, maka perlu untuk mengajukan saran-saran yang relevan yang diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terkait. Adapun saran-saran tersebut adalah :

1. Pemerintah Kota Medan maupun Kabupaten Simalungun diharapkan dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan distribusi pembangunan

yang semakin merata.

2. Untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah perlu

diprioritaskan pembangunan pada daerah yang kurang maju atau masih

ralatif terbelakang melalui peningkatan potensi dan sumber daya yang

dimiliki daerah tersebut serta alokasi dana pembangunan yang lebih besar.

3. Perlu dibuat suatu pendekatan atau kebijakan pembangunan yang pro

rakyat atau setidaknya mampu mengurangi masalah pembangunan di daera

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan dan pembangunan Ekonomi

Daerah, BPFE-Yogyakarta.

Gemmell, Norman, 1994. Ilmu Ekonomi Pembangunan : Beberapa Survei,

LP3ES, Jakarta.

Jhingan, M.L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajad, 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan

Kebijakan, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

------, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan,

Strategi, dan Peluang, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Sukirno, Sadono, 1982. Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan

Daerah, LPFE UI Jakarta.

------, 2006. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan,

Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Sirojuzilam, 2008. Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional :

Ketimpangan Ekonomi Wilayah Barat dan Wilayah Timur Provinsi

Sumatera Utara, Medan : Pustaka Bangsa.

------, 2005. Beberapa Aspek Pembangunan Regional. ISEI-Bandung.

Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi, Padang : Baduose Media.

Suhariadi, dan Purwanti S.K, 2004. Statistika Untuk Ekonomi dan Keuangan

Modern, Jakarta : Salemba Empat.

Suryana, 2000. Ekonomi Pembangunan : Problematika dan Pendekatan, Jakarta :

Salemba Empat.

Tambunan, Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia ; Beberapa Masalah

Penting, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Tarigan, Robinson, 2006. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi, Jakarta : PT.

Bumi Aksara.

Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia

Ketiga, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Laporan dan Jurnal-Jurnal

Badan Pusat Statistik, 2000. Pendapatan Regional (PDRB) Provinsi Sumatera

Utara Menurut Kabupaten/Kota 1993-1999, Medan.

------, 2007. Pendapatan Domestik regional Bruto (PDRB) Kabupaten

Simalungun, Medan.

------, 2001. (bebagai tahun terbitan) Sumatera Utara dalam Angka, Medan.

------, 2001. (berbagai tahun terbitan) Medan dalam Angka, Medan.

------, 2001. (berbagai tahun terbitan) Simalungun dalam Angka, Medan.

Noegroho, Yoenato Sinung dan Lana Soelistianingsih, 2007. Analisis Disparitas

Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Regional, 13 Desenber 2007,

Wisma Makara-Kampus UI, Depok.

Tasri, Evi Susanti, dkk, 2005. Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah Tingkat II di

Provinsi Sumatera Barat Tahun 1985-2003, Jurnal Ekonomi Vol. XV No.

39 Hal 66-73.

Lampiran 1

PDRB, Jumlah Penduduk, Indeks Williamson, dan Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan

Jumlah PDRB Pert. Indeks Pert. Tahun PDRB Penduduk Perkapita PDRB (X) Williamson (Y) Ekonomi 1988 1836239,97 1807466 1,015919508 20,82 0,1267 11,29 1989 2276307,79 1692865 1,34464815 23,96 0,1982 13,27 1990 2588269 1730752 1,495459199 13,7 0,1739 8,22 1991 2944341 1767470 1,665850623 13,75 0,1801 6,63 1992 3447340 1809700 1,904923468 17,08 0,1736 11,01 1993 4405776 1842300 2,391454161 27,8 0,1732 5,57 1994 5123668 1876100 2,731020735 16,29 0,1579 6,95 1995 5806572,8 1909700 3,040568047 13,32 0,1556 6,53 1996 6402013,53 1895315 3,377809773 10,25 0,1456 9,75 1997 7031630,46 1899028 3,702752387 9,83 0,0969 7,73 1998 9737645,51 1901067 5,122200064 38,48 0,0753 -18,11 1999 10992094,1 1902500 5,777710434 12,88 0,0429 3,43 2000 18956579,5 1904270 9,954775079 72,45 0,2744 4,95 2001 22200779,1 1926520 11,52377297 17,11 0,2922 4,55 2002 25222514,3 1963882 12,84319236 13,61 0,2959 4,99 2003 28670902,7 1993602 14,38145765 13,67 0,2797 5,76 2004 33115347,1 2006142 16,50698059 15,5 0,3021 7,29 2005 42792450,2 2036185 21,01599324 29,22 0,3477 6,98 2006 48992904,2 2067288 23,69911892 14,48 0,3466 7,77 2007 55455584,6 2083156 26,62094659 13,19 0,3552 7,76 Jumlah 337998960 38015308 170,116554 407,39 4,1937 122,32 Rata- rata 8,505827698 20,3695 0,209685 6,116

Lampiran 2

PDRB, Jumlah Penduduk, Indeks Williamson, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Simalungun

Pert. Indeks Jumlah PDRB PDRB Williamson Pert. Tahun PDRB Penduduk Perkapita (X) (Y) Ekonomi 1988 662538,49 813315 0,814614866 27,21 0,0119 3,73 1989 769080,86 806181 0,953980384 16,08 0,0159 9,07 1990 901660,88 805365 1,119567997 17,23 0,0148 11,25 1991 1022323,11 815114 1,254208749 13,38 0,0219 5,85 1992 1204005,88 818125 1,471664941 17,77 0,0272 5,51 1993 1497338,22 823066 1,819220111 24,36 0,0221 7,97 1994 1737300,01 834650 2,081471287 16,02 0,0147 6,47 1995 1955483,05 842343 2,321480739 12,55 0,0139 8,49 1996 2101292,15 850312 2,471201336 7,45 0,0023 6,52 1997 2211979,47 858519 2,576506134 5,26 0,0359 4,9 1998 3437823,22 867105 3,96471387 55,41 0,0219 -2,76 1999 3658657,28 877200 4,170835933 6,42 0,0529 4,85 2000 3777626,15 855802 4,414135688 3,25 0,0701 3,95 2001 3922332,23 803785 4,879827603 3,83 0,0711 3,9 2002 4033366,28 808210 4,990492916 2,83 0,0859 2,82 2003 4138510,47 809840 5,110281624 2,6 0,1052 2,58 2004 5578939,16 818975 6,812099466 34,8 0,0729 2,72 2005 6256958,55 826101 7,574084222 12,15 0,0858 3,11 2006 6881624,93 841198 8,180743333 9,98 0,0931 4,76 2007 7647485,63 846349 9,035853566 11,12 0,0933 5,31 Jumlah 76,01698476 299,7 0,9328 101 Rata- rata 3,800849238 14,985 0,04664 5,05

Lampiran 3 PDRB, Jumlah Penduduk, dan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara

Sumatera Utara Jumlah PDRB Tahun PDRB Penduduk Perkapita Pert.Ekonomi 1988 7907195 10115860 0,781663151 12,28 1989 9324401 10330091 0,902644614 9,59 1990 10774791 10256027 1,05058138 8,31 1991 12111557 10454686 1,158481183 7,62 1992 14316663 10685200 1,339859151 7,34 1993 18214600 10813400 1,684447075 7,56 1994 21701000 10981100 1,976213676 9,58 1995 24630520 11145300 2,209946794 9,22 1996 28173100 11306300 2,491805454 8,77 1997 34006270 11463400 2,966508191 5,69 1998 50705970 11754100 4,313896428 -10,91 1999 61957560 11955400 5,182391221 2,58 2000 68260770 11476272 5,947991647 4,5 2001 78501350 11722548 6,696611522 5,34 2002 88117500 11847075 7,43791189 4,56 2003 101323760 11850075 8,550474153 4,8 2004 118100510 12123360 9,74156587 5,73 2005 139618310 12326679 11,32651463 5,48 2006 160033720 12533411 12,76856875 6,17 2007 180799720 12762328 14,16667241 6,92 Jumlah 1228579267 227902612 102,6947492 121,13 Rata- rata 5,134737459 6,0565