MENGENAL KERAJAAN TANAH BUMBU: BERPOROS MARITIM : (Sejarah Perkembangan Politik Wilayah Kesultanan Banjar Di Tenggara Kalimantan Selatan Abad 17 Sampai 19) *
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MENGENAL KERAJAAN TANAH BUMBU: BERPOROS MARITIM : (Sejarah Perkembangan Politik Wilayah Kesultanan Banjar di Tenggara Kalimantan Selatan Abad 17 Sampai 19) * Rusdi Effendi 2 [email protected] PENDAHULUAN Bertahun-tahun penulis menjadi bingung atas kesimpang-siuran ceritera rakyat yang berkembang pada masyarakat di daerah Batulicin, Pagatan, Sebamban, Kusan Hulu hingga di Kotabaru tentang Kerajaan Tanah Bumbu, terutamanya tentang tokoh pendiri Kerajaan Tanah Bumbu. Kesimpang siuran tersebut dari ceritera yang irasional terbelenggu pada mitos atau legenda lebih menonjol jika dibandingkan pola keilmiahan sangat kental pada lidah informan lokal apabila dimintakan bertutur tentang ceritera tersebut selalu terkait dengan Sultan-sultan Banjar dengan berbagai kebijakannya. Setelah Kabupaten Tanah Bumbu berdiri tahun 2003 hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru, seakan-akan Kabupaten inilah yang dianggap bagian dari Kerajaan Tanah Bumbu tersebut. Buku yang agak diharapkan bisa membuka tabir tentang Kerajaan Tanah Bumbu dan Sejarah Kotabaru hadir dengan titel “Sejarah Kotabaru” (2009) belum puas untuk dibaca, mengingat Kerajaan Pagatan hanya terdapat empat lembar saja (halaman 62-66), Kerajaan Tanah Bumbu dan Sampanahan (halaman 67-68) dua lembar dan didalamnya terdapat setengah halaman tentang Kerajaan Sebamban, Jadi memerlukan penelitian akan hal ini. Dengan rasa penasaran tersebut akhirnya penulis berusaha mencari arsip atau dokumen berupa laporan pemerintah Kolonial Belanda, alhasil dengan ditemukannya laporan ekspedisi Schwaner tahun 1853, dimana ia pernah tinggal di kawasan Tanah Bumbu, Pagatan dan Pulau Laut dari tahun 1846 hingga laporan tersebut ditulis tahun 1853 sangat menolong membuka tabir sejarah tentang sejarah Kerajaan Tanah Bumbu. Melalui tulisan ini * Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kesejarahan, Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat. ** Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat. [105] diringkaskan hasil penelitian berupa draft pra buku “Tanah Bumbu dalam Sejarah” tentang Keberadaan, perkembangan Kerajaan Tanah Bumbu yang merupakan pemekaran dari kekuasaan politik wilayah Kesultanan Banjar di bagian Tenggara Kalimantan Selatan dari abad 17 hingga Abad ke-19 ternyata tidak bisa diabaikan begitu saja dalam sejarah di wilayah ini. Jauh sebelum berdirinya Kabupaten Kotabaru yang meliputi gabungan Pulau Laut dan Tanah Bumbu, ternyata wilayah ini telah memilki peristiwa- peristiwa bersejarah di masa lalunya. Dengan berbagai kesimpang-siuran ceritera mengenai sejarah pelan-pelan mulai diluruskan. Penulis mencoba membuka tabir untuk melihat titik terang peristiwa sejarah di daerah ini khususnya di Tanah Bumbu jauh sebelum pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003, Tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan di Provinsi Kalimantan Selatan, 5 (lima) kecamatan yang diberikan pemerintah Republik Indonesia sebagai hasil pemekaran untuk Kabupaten Tanah Bumbu berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Kotabaru. Kelima kecamatan tersebut di atas sebelum dilakukan pemekaran tahun 2003 adalah bagian kecamatan yang berada dalam lingkup administratif pemerintahan Kabupaten Kotabaru. Jika ditengok agak ke belakang dengan tinjauan peristiwa sejarah sebelumnya Kabupaten Kotabaru terbentuk juga melalui proses sejarah yang panjang dengan bagian berdirinya Republik Indonesia setelah perjuangan revolusi fisik di daerah-daerah di Indonesia untuk melepaskan diri dari masa penjajahan Belanda sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Peristiwa penting sebagai evolusi negeri ini dalam berusaha melepaskan diri dan meminta pengakuan kedaulatan dunia Internasional seperti usaha yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947, dimana pengakuan pihak Belanda akan kedaulatan Republik Indonesia hanya meliputi Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Madura. Kemudian usaha tokoh-tokoh Republik Indonesia dengan diplomasi menghasilkan Perjanjian Renville 17 Januari 1948, wilayah Republik Indonesia semakin sempit dan merugikan. Tanggal 17 Mei 1948 Perjanjian Roem-Royen menghasilkan kesepakatan pemerintah Republik Indonesia di kembalikan ke Yogyakarta dan delegasi tokoh-tokoh diplomasi Republik Indonesia terus berjuang menuju [106] Konferensi Meja Bundar di Den Haag Negeri Belanda. Hasil kesepakatan 23 Agustus 1949 perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dimana Kerajan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Dampak Republik Indonesia Serikat tersebut bagi di daerah Kalimantan termasuk bagian RIS dengan pembentukan Borneo dan Timur Besar. Untuk wilayah di bagian tenggara dikeluarkannya Surat Keputusan Letnan Gubernur Jenderal tanggal 18 Januari 1947 Nomor 2 Staatblad 1847 No. 3 yang kemudian diubah dengan Staatblad 1947 No.112 Jo Staatblad 1948 No. 189 dibentuk struktur pemerintahan Hindia Belanda di Kotabaru: (1) Neo Swapraja ( Neo Landschap ) Pulau Laut dan Neo Swapraja ( Neo Landschap ) Pasir; (2) Neo Swapraja (Nep Landschap) Pagatan Staatblad 1947 No. 37 Jo. Staatblad 1948 No. 50; (3) Neo Swapraja (Neo Landschap) Cantung Sampanahan. Berdasarkan hal itulah dibentuk Dewan Kotabaru. Dalam Konferensi I antara RI-Belanda di Yogyakarta, 29 Juli 199 dan Konferensi antara Indonesia II di Jakarta, 31 Juli 1949, Kotabaru masuk dalam B.F.O ( Bijoonkomen voor Federal Overleg ). Hasil Konferensi tersebut melahirkan Republik Indonesia dan RIS (Republik Indonesia Serikat). Rakyat Kotabaru tidak puas karena wilayahnya masuk RIS dan para tokoh Kotabaru dan Pagatan melakukan perjuangan untuk lepas dari RIS. Usaha tersebut membawa hasil dan tuntutan tersebut disetujui, Dewan Kotabaru dan Dewan Banjar dibubarkan, berdasarkan Keputusan Presiden RIS tanggal 4 April 1950 No. 137 dan No. 138 dimasukan ke dalam wilayah Republik Indonesia kesatuan Yogyakarta. Dalam keadaan situasi yang masih darurat, maka dibentuklah Dewan Pemerintahan Daerah Sementara beranggotakan Muchtar Hamzah, Usman Dunrung dan Ali Kumala Noor. Ketuanya adalah M. Yamani. Kepala daerah Kabupaten Kotabaru berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 3 Agustus 1950 No. 161/OPB/17/73 dan diperbaiki pada tanggal 14 Agustus 1950 tentang pembentukan acting Kepala Daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada tahun 1951 M. Yamani dipindahkan ke daerah lain dan digantikan dengan A. Rasyid sebagai Kepala Daerah Kabupaten Kotabaru. Adapun wilayah pemerintahan Kabupaten Kotabaru menurut Undang- Undang Daerah No. 3 Tahun 1953 tentang pembentukan (resmi) Daerah [107] Otonom Kabupaten/Daerah Istemewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam lingkungan Daerah di Propinsi Kalimantan Selatan adalah Wilayah Kabupaten Kotabaru meliputi kewedanaan-kewedanaan Pulau Laut, Tanah Bumbu dan Pasir. Kemudian berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1959, menetapkan Undang-Undang Darurat No.3 Tahun 1953 sebelumnya sebagai Undang-Undang, maka wilayah Kabupaten Kotabaru dikurangi dengan kewedanaan Pasir. Dengan demikian Kabupaten Kotabaru sejak tahun 1959 adalah wilayah adminsitratif pemerintahannya meliputi Pulau Laut dan Tanah Bumbu. Dari proses evolutif perkembangan administrasi pemerintahan hingga sekarang ini di bagian Tenggara Kalimantan menghasilkan Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu (hasil pemekeraan tahun 2003) di wilayah Kalimantan Selatan dan Kabupaten Paser Tanah Grogot di Kalimantan Timur juga harus merelakan Kabupaten Penajam Paser Utara (hasil pemekaran tahun 2003). Terlepas dari garis administratif pemerintahan saat ini dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya Kabupaten Kota Baru dan Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan mempunyai sisi historis yang sama, yakni dimana di masa lampaunya adalah bagian dari Kerajaan Tanah Bumbu yang merupakan pemekaran dari Kesultanan Banjar di wilayah Tenggara Kalimantan Selatan. ASUMSI DAN ANALISIS SEPUTAR KERAJAAN TANAH BUMBU 1. Awal Mula Kerajaan Tanah Bumbu: Pendapat dan Analisis Mengenai asal-usul berdirinya Kerajaan Tanah Bumbu dan suku bangsa penyerang yang menghancurkan tatanan kerajaan orang Dayak di Pamukan di wilayah sekitarnya, beberapa pendapat menyatakan mereka adalah ‘lanun’ (bajak laut), ada juga yang membuat argumentasi penyebaran Islam dari Kerajaan Pasir dan umumnya menyatakan sebagai serangan para perompak yang tidak terorganisir. Versi Pertama ; mengenai asal-usul kerajaan Tanah Bumbu dipaparkan oleh Kasuma (1981) diantaranya menyebutkan, “Pada pemerintahan Kesultanan Banjar, penduduk asli yang terdiri dari orang-orang Dayak dari Kalimantan Tenggara telah berangkat ke Banjarmasin menghadap Sultan Banjar, Sultan Tamdjidillah gelar Panembahan Badarul Alam untuk [108] meminta agar Sultan menunjuk putera (laki-laki atau wanita) untuk dijadikan raja di daerah mereka. Maka untuk itu Sultan Banjar menunjuk puterinya menjadi raja di Tanah Bumbu. Kemudian dikenallah di Kerajaan Tanah Bumbu Ratu Intan I yang menjadi raja, sebelumnya daerah ini belum pernah diperintah oleh siapapun. Ratu Intan bersama dengan rombongan yang diserahi oleh beberapa pengawal kerajaan berangkat menuju daerah yang dimaksud, dibawa masuk sungai keluar sungai. Akhirnya Ratu Intan memilih sebuah anak sungai yang terletak di dalam sungai Cengal, yang bernama “Sungai Bumbu”. Ditempat inilah oleh pemuka-pemuka rakyat setempat didirikan sebuah Keraton yang disebut “ Dalam ”, maka Sungai Bumbu menjadi pusat perhatian orang-orang daerah itu, daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan beliau dinamai “Tanah Bumbu”. Mulailah berkembang sebuah Kerajaan Tanah Bumbu. 1 Tentang