Fenomena Ahruf Sab'ah Dan Qira'ah Sab'ah
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
FENOMENA AHRUF SAB’AH DAN QIRA’AH SAB’AH NUR FITRIANI F Pondok Pesantren Nurul Huda Malang [email protected] Abstrak: Disebabkan bahwa karena banyak nya perbedaan cara membaca Al-Qur’an membuka ruang bagi para orientalis untuk mengkritisi Al-Qur’an, bahwa Alqur’an adalah kitab suci yang rancu disebabkan banyak nya perbedaan bacaan., seyogyanga kita sebagai umat islam harus lebih memahami bahwa perbedaan yang ada dalam Al-Qur’an telah diperdebatkan sejak zaman sahabat, kemudian semua keresahan para sahabat langsung ditanyakan dan dijawab oleh Rosulullah SAW, dan jawaban dari Rosulullah SAW telah menjawab semua ketidakfahaman sahabat tentang Al-Qur’an. Pokok pembahasan dalam karya ilmiyah ini adalah menjelaskan dengan rinci pengertian sab’ah ahruf (tujuh huruf) bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf menurut hadits yang shahih dan pembahasan tentang Qira’ah sab’ah (tujuh bacaan Qira’ah) yang masyhur. Maka perlu diperhatikan beberapa point yang yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiyah ini yaitu apa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah dan apa yang dimaksud dengan qira’ah sab’ah dan apa perbedaan keduanya, dan bagaimana pendapat para ulama tentang kedua pokok pembahasan tersebut dengan tujuan untuk lebih memahami makna yang tersurat dan tersirat dari diturunkannya Al-Qur’an dalam tujuh huruf, dan perbedaan ulama dalam pembacaan bacaan Al-Qur’an sampai mencapai tujuh bacaan. Dari permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) yang Al-Qur’an diturunkan atas nya da nada beberapa pendapat para ulama tentang pemaknaan tersebut, sedangkan pengertian dari Qira’ah sab’ah adalah tujuh bacaan Al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang imam qira’at, bacaan itu berbeda dengan car abaca imam yang lain. Kata Kunci: qira’ah sab’ah, Al-Qur’an, dialek, sab’ah ahruf. Pendahuluan Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang diturunkan kepada Rosulullah SAW. Sebagaimana definisinya, Al-Qur’an tertulis dalam mushaf yang dapat dibaca dan difahami. Fakta historis mengungkapkan bahwa Al-Qur’an turun pada masyarakat nomaden yang buta huruf (ummiy) dan diturunkan kepada seorang nabi yang juga buta huruf. Karena Al-Qur’an berupa wahyu yang dapat diucapkan, maka Rosulullah SAW mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya dengan cara verbal dari lisan ke lisan (talaqqi) Nur Faizin (2011:111) Para sahabat mengajarkan Al-Qur’an dengan cara yang sama kepada sahabat yang lainnya dan juga kepada tabi’in. memang ada beberapa sahabat yang diperintah rosulullah SAW untuk menulis ayat yang turun, namun jumlah mereka sangat sedikit. Metode pengajaran yang verbalis (talaqqi) ini pun akhirnya menjadi satu-satunya metode yang dianggap sah dalam pengajaran Al-Qur’an. Nash Al-Qur’an tidak cukup 279 dengan ditulis, dibaca, atau difahami tetapi harus diujarkan sebagaimana kaidah pengujaran yang dipelajari dalam ilmu tajwid (ilmu membaca Al-Qur’an). Disebutkan bahwa karena banyak nya perbedaan membaca Al-Qur’an membuka ruang bagi para orientalis untuk mengkritisi Al-Qur’an, bahwa Alqur’an adalah kitab suci yang rancu disebabkan banyak nya perbedaan bacaan., seyogyanga kita sebagai umat islam harus lebih memahami bahwa perbedaan yang ada dalam Al-Qur’an telah diperdebatkan sejak zaman sahabat, kemudian semua keresahan para sahabat langsung ditanyakan dan dijawab oleh Rosulullah SAW, dan jawaban dari Rosulullah SAW telah menjawab semua ketidakfahaman sahabat tentang Al-Qur’an. Para sahabat tidak berasal dari kabilah yang sama, sehingga pada akhirnya timbullah perbadaan dialek (lahjah) bacaan Al-Qur’an. Munculnya term ahruf sab’ah dalam kajian Al-Qur’an disinyalir sebagai keringanan (rukhsah) Allah swt untuk umat islam dalam kaitannya dengan cara membaca Al-Qur’an. Memang para Sahabat belajar Al-Qur’an dari Rasulullah SAW namun perbedaan dialek membuahkan bermacam- macam versi cara membaca. Dalam keadaan seperti ini kemudian para sahabat berpindah dan berdomisili di daerah-daerah yang berbeda-beda. Para tabi’in yang mengambil Al-Qur’an dari mereka pun menerimanya dengan versi bacaan masing sahabat. Demikian juga tabi’ut tabi’in mereka belajar Al-Qur’an dari tabi’in dalam beragam versi. Demikian lah hingga sampai pada imam-imam qira’at yang mendalami cara-cara membaca Al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa tujuh huruf dan tujuh qiro’ah adalah pembahasan yang berbeda, maka kami akan merincinya sehingga tidak terjadi kesalahfahaman dan menukas pendapat bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw adalah kitab suci yang rancu dan terdapat banyak perbedaan. Pembahasan Qiraat menjadi salah satu pokok pembahasan dalam kajian ‘ulumul Qur’an karena perbedaan qira’at sering juga mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an. Oleh karenanya, tidak sedikit para ulama yang memperhatikan masalah qira’at, bahkan mereka menulis buku yang secara khusus mengkaji tentang qira’at. Munculnya term Ahruf Sab’ah Bangsa Arab pada mulanya adalah bangsa yang tinggal di jazirah Arab. Secara umum, masyarakat dibagi menjadi dua : masyarakat urban (hadhar) dan masyarakat kampung (badui) (Nur, 2011: 112). Masyarakat urban tinggal di daerah Yaman dan sekitarnya (bagian selatan), sedang masyarakat badui di utara Arab. Mereka hidup dari hasil ternak mereka, mengkonsumsi daging ternak, minum air susunya dan membuat pakaian dari kulitnya. Mereka tidak begitu mengindahkan masalah kerajinan, pertanian dan perdagangan. Mereka yakin bahwa mereka adalah anak kabilah dan siap melakukan apa saja untuk membela kabilahnya, sehingga patriotisme masyarakat badui pada waktu itu adalah patrioisme kabilah bukan patriotisme kerakyatan. Masing-masing kabilah mempunyai dialek bahasa yang berbeda-beda sehingga kita mengenal dialek Quraisy, Hawazin, Hudzail, Tamim, Azad, Rabi’ah dan lain sebagainya. Al-Qur’an turun pada masyarakat Arab yang berbeda-beda dialeknya, sehingga Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan dalam hadits ketika menerima wahyu meminta agar Al-Qur’an diturunkan dalam beberapa huruf. Permintaan Rosulullah SAW tersebut mendapat persetujuan dari Allah SWT kemudian diturunkan lah Al- Qur’an dalam tujuh huruf (sab’ah ahruf). Hal ini diterangkan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Abbas bahwasannya dia berkata, “Rosulullah SAW bersabda :”Jibril membacakan Al- Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengembalikan kepadanya. Maka aku pun terus meminta tambah dan dia menambahkan padaku hingga tujuh 280 huruf.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan juga dalam sebuah hadits ketika Umar ibn Khattab mendengar bacaan Hisyam ibn Hakam dalam shalat, yang berbeda dengan bacaannya. Keduanya berselisih dan memutuskan untuk pergi menghadap Rasulullah SAW. Setelah Rasul mendengar bacaan masing-masing, beliau kemudian membenarkan keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya.” (H.R Bukhari dan Muslim) Hadits yang berbicara tentang sab’ah aharuf ternasuk dalam kategori shahih yang dapat diterima. Namun, para ulama masih berbeda persepsi tentang istilah sab’ah ahruf. Sebagian berpendapat bahwa jika hadits tentang turunnya Al-Qur’an atas sab’ah ahruf itu pasti hukum kesahihannya (qat’iyyatuts tsubut), maka ia memberikan pengertian al ‘ilm al-yaqini al dhoruri bagi yang berpendapat bahwa hadits nya mutawatir. Dan menurut Ibn Shalah memberikan hukum al-ilm al yaqini an nadzari, karena hadits nya masih dzanni dilalah sebab makna sab’ah ahruf sendiri masih global (Al-Qattan, 2006). Definisi Ahruf Sab’ah Sebelum masuk pada pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu perlu mengetahui makna term sab’ah ahruf. Menurut terminology bahasa, sab’ah adalah nama bilangan antara enam dan delapan yang dalam bahasa Indonesia berarti tujuh. Sedangkan ahruf, menurut Ibn Faris, huruf ha’ ra’ dan fa’ adalah tiga pokok yang berarti batasan sesuatu, keseimbangan dan takaran sesuatu, Firman Allah SWT: وﻣﻦ اﻟﻨﺎس ﻣﻦ ﯾﻌﺒﺪ ﷲ ﻋﻠﻰ ﺣﺮف “Dan sebagian manusia ada yang menyembah Allah dengan satu cara (‘ala harf) (Q.S Al-Hajj : 11) Secara terminogi, belum ada kepastian devinisi dari Rosulullah SAW, maupun ulama. Mereka masih berbeda pandangan dalam mendefinisikan sab’ah ahruf. Rosulullah SAW pun dalam haditsnya tidak memberikan makna pasti terhadap istilah ini, sedangkan untuk mengetahui maksud istilah ini harus menggunakan nash ataupun hadits. Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa tidak ditemukan nash maupun atsar (hadits) yang menjelaskan sab’ah ahruf sehingga ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya (Az-Zarkasyi). Abu Hatim ibn Hibban Al-Bastani berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang hal ini menjadi 35 pendapat. Disini kami akan mengemukakan beberapa pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran. Pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengucapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman Menurut Abu Hatim As Sajistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain. Kedua, Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana