FENOMENA AHRUF SAB’AH DAN QIRA’AH SAB’AH

NUR FITRIANI F Pondok Pesantren Nurul Huda Malang [email protected]

Abstrak: Disebabkan bahwa karena banyak nya perbedaan cara membaca Al-Qur’an membuka ruang bagi para orientalis untuk mengkritisi Al-Qur’an, bahwa Alqur’an adalah kitab suci yang rancu disebabkan banyak nya perbedaan bacaan., seyogyanga kita sebagai umat harus lebih memahami bahwa perbedaan yang ada dalam Al-Qur’an telah diperdebatkan sejak zaman sahabat, kemudian semua keresahan para sahabat langsung ditanyakan dan dijawab oleh Rosulullah SAW, dan jawaban dari Rosulullah SAW telah menjawab semua ketidakfahaman sahabat tentang Al-Qur’an. Pokok pembahasan dalam karya ilmiyah ini adalah menjelaskan dengan rinci pengertian sab’ah ahruf (tujuh huruf) bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf menurut hadits yang shahih dan pembahasan tentang Qira’ah sab’ah (tujuh bacaan Qira’ah) yang masyhur. Maka perlu diperhatikan beberapa point yang yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiyah ini yaitu apa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah dan apa yang dimaksud dengan qira’ah sab’ah dan apa perbedaan keduanya, dan bagaimana pendapat para ulama tentang kedua pokok pembahasan tersebut dengan tujuan untuk lebih memahami makna yang tersurat dan tersirat dari diturunkannya Al-Qur’an dalam tujuh huruf, dan perbedaan ulama dalam pembacaan bacaan Al-Qur’an sampai mencapai tujuh bacaan. Dari permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) yang Al-Qur’an diturunkan atas nya da nada beberapa pendapat para ulama tentang pemaknaan tersebut, sedangkan pengertian dari Qira’ah sab’ah adalah tujuh bacaan Al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang imam qira’at, bacaan itu berbeda dengan car abaca imam yang lain.

Kata Kunci: qira’ah sab’ah, Al-Qur’an, dialek, sab’ah ahruf.

Pendahuluan Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang diturunkan kepada Rosulullah SAW. Sebagaimana definisinya, Al-Qur’an tertulis dalam mushaf yang dapat dibaca dan difahami. Fakta historis mengungkapkan bahwa Al-Qur’an turun pada masyarakat nomaden yang buta huruf (ummiy) dan diturunkan kepada seorang nabi yang juga buta huruf. Karena Al-Qur’an berupa wahyu yang dapat diucapkan, maka Rosulullah SAW mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya dengan cara verbal dari lisan ke lisan (talaqqi) Nur Faizin (2011:111) Para sahabat mengajarkan Al-Qur’an dengan cara yang sama kepada sahabat yang lainnya dan juga kepada tabi’in. memang ada beberapa sahabat yang diperintah rosulullah SAW untuk menulis ayat yang turun, namun jumlah mereka sangat sedikit. Metode pengajaran yang verbalis (talaqqi) ini pun akhirnya menjadi satu-satunya metode yang dianggap sah dalam pengajaran Al-Qur’an. Nash Al-Qur’an tidak cukup

279 dengan ditulis, dibaca, atau difahami tetapi harus diujarkan sebagaimana kaidah pengujaran yang dipelajari dalam ilmu (ilmu membaca Al-Qur’an). Disebutkan bahwa karena banyak nya perbedaan membaca Al-Qur’an membuka ruang bagi para orientalis untuk mengkritisi Al-Qur’an, bahwa Alqur’an adalah kitab suci yang rancu disebabkan banyak nya perbedaan bacaan., seyogyanga kita sebagai umat islam harus lebih memahami bahwa perbedaan yang ada dalam Al-Qur’an telah diperdebatkan sejak zaman sahabat, kemudian semua keresahan para sahabat langsung ditanyakan dan dijawab oleh Rosulullah SAW, dan jawaban dari Rosulullah SAW telah menjawab semua ketidakfahaman sahabat tentang Al-Qur’an. Para sahabat tidak berasal dari kabilah yang sama, sehingga pada akhirnya timbullah perbadaan dialek (lahjah) bacaan Al-Qur’an. Munculnya term ahruf sab’ah dalam kajian Al-Qur’an disinyalir sebagai keringanan (rukhsah) Allah swt untuk umat islam dalam kaitannya dengan cara membaca Al-Qur’an. Memang para Sahabat belajar Al-Qur’an dari Rasulullah SAW namun perbedaan dialek membuahkan bermacam- macam versi cara membaca. Dalam keadaan seperti ini kemudian para sahabat berpindah dan berdomisili di daerah-daerah yang berbeda-beda. Para tabi’in yang mengambil Al-Qur’an dari mereka pun menerimanya dengan versi bacaan masing sahabat. Demikian juga tabi’ut tabi’in mereka belajar Al-Qur’an dari tabi’in dalam beragam versi. Demikian lah hingga sampai pada imam-imam qira’at yang mendalami cara-cara membaca Al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa tujuh huruf dan tujuh qiro’ah adalah pembahasan yang berbeda, maka kami akan merincinya sehingga tidak terjadi kesalahfahaman dan menukas pendapat bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Saw adalah kitab suci yang rancu dan terdapat banyak perbedaan. Pembahasan Qiraat menjadi salah satu pokok pembahasan dalam kajian ‘ulumul Qur’an karena perbedaan qira’at sering juga mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an. Oleh karenanya, tidak sedikit para ulama yang memperhatikan masalah qira’at, bahkan mereka menulis buku yang secara khusus mengkaji tentang qira’at.

Munculnya term Ahruf Sab’ah Bangsa Arab pada mulanya adalah bangsa yang tinggal di jazirah Arab. Secara umum, masyarakat dibagi menjadi dua : masyarakat urban (hadhar) dan masyarakat kampung (badui) (Nur, 2011: 112). Masyarakat urban tinggal di daerah Yaman dan sekitarnya (bagian selatan), sedang masyarakat badui di utara Arab. Mereka hidup dari hasil ternak mereka, mengkonsumsi daging ternak, minum air susunya dan membuat pakaian dari kulitnya. Mereka tidak begitu mengindahkan masalah kerajinan, pertanian dan perdagangan. Mereka yakin bahwa mereka adalah anak kabilah dan siap melakukan apa saja untuk membela kabilahnya, sehingga patriotisme masyarakat badui pada waktu itu adalah patrioisme kabilah bukan patriotisme kerakyatan. Masing-masing kabilah mempunyai dialek bahasa yang berbeda-beda sehingga kita mengenal dialek Quraisy, Hawazin, Hudzail, Tamim, Azad, Rabi’ah dan lain sebagainya. Al-Qur’an turun pada masyarakat Arab yang berbeda-beda dialeknya, sehingga Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan dalam hadits ketika menerima wahyu meminta agar Al-Qur’an diturunkan dalam beberapa huruf. Permintaan Rosulullah SAW tersebut mendapat persetujuan dari Allah SWT kemudian diturunkan lah Al- Qur’an dalam tujuh huruf (sab’ah ahruf). Hal ini diterangkan dalam beberapa hadits, seperti hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Abbas bahwasannya dia berkata, “Rosulullah SAW bersabda :”Jibril membacakan Al- Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengembalikan kepadanya. Maka aku pun terus meminta tambah dan dia menambahkan padaku hingga tujuh

280 huruf.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan juga dalam sebuah hadits ketika Umar ibn Khattab mendengar bacaan Hisyam ibn Hakam dalam shalat, yang berbeda dengan bacaannya. Keduanya berselisih dan memutuskan untuk pergi menghadap Rasulullah SAW. Setelah Rasul mendengar bacaan masing-masing, beliau kemudian membenarkan keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya.” (H.R Bukhari dan Muslim) Hadits yang berbicara tentang sab’ah aharuf ternasuk dalam kategori shahih yang dapat diterima. Namun, para ulama masih berbeda persepsi tentang istilah sab’ah ahruf. Sebagian berpendapat bahwa jika hadits tentang turunnya Al-Qur’an atas sab’ah ahruf itu pasti hukum kesahihannya (qat’iyyatuts tsubut), maka ia memberikan pengertian al ‘ilm al-yaqini al dhoruri bagi yang berpendapat bahwa hadits nya mutawatir. Dan menurut Ibn Shalah memberikan hukum al-ilm al yaqini an nadzari, karena hadits nya masih dzanni dilalah sebab makna sab’ah ahruf sendiri masih global (Al-Qattan, 2006).

Definisi Ahruf Sab’ah Sebelum masuk pada pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu perlu mengetahui makna term sab’ah ahruf. Menurut terminology bahasa, sab’ah adalah nama bilangan antara enam dan delapan yang dalam bahasa Indonesia berarti tujuh. Sedangkan ahruf, menurut Ibn Faris, huruf ha’ ra’ dan fa’ adalah tiga pokok yang berarti batasan sesuatu, keseimbangan dan takaran sesuatu, Firman Allah SWT: وﻣﻦ اﻟﻨﺎس ﻣﻦ ﯾﻌﺒﺪ ﷲ ﻋﻠﻰ ﺣﺮف “Dan sebagian manusia ada yang menyembah Allah dengan satu cara (‘ala harf) (Q.S Al-Hajj : 11) Secara terminogi, belum ada kepastian devinisi dari Rosulullah SAW, maupun ulama. Mereka masih berbeda pandangan dalam mendefinisikan sab’ah ahruf. Rosulullah SAW pun dalam haditsnya tidak memberikan makna pasti terhadap istilah ini, sedangkan untuk mengetahui maksud istilah ini harus menggunakan nash ataupun hadits. Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa tidak ditemukan nash maupun atsar (hadits) yang menjelaskan sab’ah ahruf sehingga ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya (Az-Zarkasyi). Abu Hatim Al-Bastani berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang hal ini menjadi 35 pendapat. Disini kami akan mengemukakan beberapa pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran. Pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengucapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman Menurut Abu Hatim As Sajistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain. Kedua, Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana denganya lah Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahsa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih dikalangan bangsa

281 Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy, sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman. Karena itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut Ketiga, sebagian ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu : Amr (perintah), Nahyu (Larangan), wa’d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita) dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal. Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, Nabi SAW bersabda : “kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Al- Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu : zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.” Keempat, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalam nya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu: 1. Ikhtilaful Asma (perbedaan kata benda) 2. Perbedaan dalam segi ‘irab 3. Perbedaan dalam tashrif 4. Perbedaan dalam taqdim 5. Perbedaan dalam segi ibdal 6. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan 7. Perbedaan lahjah dengan pembacaan tafhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam dan lain-lain. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiyah, tetepi angka tujuh tersebut hanya sebagai symbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafadz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam bilangan ratusan . kata-kata itu tidak dimaksudkan dalam bilangan tertentu Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiro’ah sab’ah Ada beberapa ulama yang berpendapat berdasarkan ijtihad mereka, bahwa maksud dari ahruf bisa juga cara membaca. Ibn Al Jazari berkata, “orang syam membaca dengan bacaan (harf) ibn Amir”. Kata ahruf juga dapat berarti makna dan arah, sebagaimana pendapat Abu Ja’far Muhammad ibn Sa’dan An Nahwi, tetapi pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari ahruf adalah bacaan (qiro’ah) sebagaimana dikutip dari Khalil ibn Ahmad merupakan pendapat yang lemah, apalagi jika diklaim sebagai qira’at sab’ah (tujuh bacaan qira’ah) (Sholih, 1990: 102-103). Pertanyaan timbul lagi apakah kata sab’ah dimaksudkan makna yang sebenarnya atau makna konotasi. Jika dimaksudkan sebagaimana makna asli (denotasi), maka huruf yang dimaksud benar-benar berjumlah tujuh, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, ada yang berpendapat bahwa sab’ah disitu tidak dimaksudkan pembatasan huruf sampai pada jumlah tujuh. Maksud dari tujuh bukanlah hakikat bilangan itu, tetapi dimaksudkan untuk mempermudah (li at taysir wa at tashil). Dalam penggunaan bahasa Arab, kata tujuh seringkali digunakan menunjukan makna banyak dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh yang berarti jumlah banyak dalam bilangan puluhan dan tujuh ratus dalam bilangan ratusan (Al-Suyuti). Tetapi penafian pembatasan makna dibantah oleh Dr. Subhi Shalih bahwa karena hal itu tidak masuk akal. Hal ini dilandaskan bahwa turunnya Al-Qur’an dalam tujuh huruf adalah masalah serius yang mempunyai kaitan langsung dengan wahyu dan turunnya.

282 Sehingga dalam hal semacam ini, Rosulullah SAW sudah semestinya menyampaikannya dengan jelas. Mereka yang menafikan pembatasan( jumlah ) disini telah melampaui batas dalam menyikapi nash yang sampai pada derajat mutawatir. Apalagi jika diperhatikan bahwa tema ini berkaitan dengan permasalahan yang mempunyai hubungan langsung dengan wahyu dan cara turunnya. Dalam hal semacam ini, Rasulullas SAW tidak mungkin memberitakan berita yang kabur dan tidak menyebut bilangan yang tidak difahami. Jadi, kata tujuh dalam tujuh huruf bukan berarti banyak sebagaimana difahami oleh sebagian ulama. Tujuh disitu menunjukan arti sebenarnya. Demikian ini pendapat mayoritas ulama.

Perbedaan Penafsiran Ahruf Sab’ah Tampaknya, term Ahruf Sab’ah setelah mengetahui kesahihan hadits nya mempunyai pengaruh signifikan dalam mengetahui sejarah Al-Qur’an. Menurut Manna’ Al-Qattan, ada beberapa alasan mengapa ulama mengkaji pembahasan sab’ah ahruf, diantaranya: Pertama, karena mempunyai hubungan erat dengan Al-Qur’an dalam kapasitasnya sebagai landasan agama dan sumber hukum Kedua, Hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya Al-Qur’an atas tujuh huruf adalah hadits-hadits yang mujmal (global) yang belum mengungkap hakikat makna “huruf” tersebut serta belum ada nash yang secara gambling menjelaskan makna huruf ini. Sementara, ijtihad malam menentukan definisi ahruf menjadi wilayah perbedaan bahkan perdebatan para ulama. Ketiga, bahwa perbedaan bacaan diantara sahabat dan pengembalian hukum kepada Rosulullah SAW. Kepada masing-masing bacaan. Tidak ada hadits yang menjelaskan titik perbedaan antara bacaan satu dengan yang lainnya. Artinya hal ini seudah menjadi isu umum diantara sejak zaman para sahabat. Keempat, riwayat-riwayat yang membahas masalah ini, secara umum belum merinci ayat mana saja yang menjadi pokok- pokok perbedaan (Al-Qattan).

Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf Hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (ahruf sab’ah) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummiy, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syari’at. Apalagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadits antara lain dalam ungkapan berikut: Ubay berkata, “Rosulullah SAW bertemu dengan Jibril di Ahjar Mira’, lalu berkata, “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Diantara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek dan nenek-nenek.” Maka kata Jibril, “Hendaklah mereka membaca Al- Qur’an dengan tujuh huruf. 2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri kebahasaan orang Arab. Al-Qur’an banyak mempunyai pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menajdi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama naluri mereka dan lahjah kaumnya, tanpa menganggu kemukjizatan Al-Qur’an yang ditantangkan Rosulullah SAW kepada mereka. Mereka memeng tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa, melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri

283 3. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab, perubahan bentuk lafadz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan sebagai hukum daripadanya. Hal inilah yang menyebabkan Al-Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat dan ijtihadnya berhujjah dengan qira’at tujuh huruf ini

Qira’ah Qira’ah secara etimologi adalah jamak dari Qira’ah artinya bacaan. Dan secara terminology qira’ah didefinisikan sebagai cara (madzhab) pelafadzaan dalam membaca Al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang imam qira’at, bacaan itu berbeda dengan cara membaca (madzhab) yang lain. Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rosulullah SAW. Periode Qurra yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada Terminologi qira’at sab’ah sendiri belum dikenal di daerah-daerah islam (Amshar Islamiyyah) ketika para imam qira’at mulai menulis tentang qira’at. Ilmu qira’at dipelopori oleh Abu Ubaid Al-Qasim ibn Salam, Abu ja’far Ath thabari dan abu hatim as sajistani. Berbeda dengan orientalis Goldziher yang menyebutkan bahwa orang pertama yang membahas tentang qira’at dengan segala variasinya secara kritis dan detail, kemudian menjelaskan kecenderungan masing-masing bacaan dan meneliti sanadnya adalah harun ibn Musa. Ilmu Qira’at sendiri baru dikenal pada abad ke 2 H ketika umat islam di daerah menemukan perbedaan cara baca antara imam satu dengan yang lain. Sehingga dikenal di Mekah bacaan Ibn Katsir, bacaan Nafi’ di Madinah, Ibn Amir di Syam, Abu Amr dan Ya’kub di Basrah, ‘Ashim dan Hamzah di kuffah Ibn Mujahid mengumpulkan ketujuh bacaan imam di atas, tetapi dia mengganti Ya’qub dengan Al Kisa’i. Kemudian ada pihak yang menduga bahwa Al-Qur’an adalah qiro’at yang dibaca oleh masing-masing imam. Atau dengan kata lain al-Qur’an dan Qira’at adalah satu hakikat. Jika demikan, akan ada banyak versi Al-Qur’an sebagai kitab suci akan dianggap mempunyai sanad yang rancu, tidak tetap dan tidak pasti. Orientalis Ignaz Goldziher juga pernah menuduh sinis melalui statement nya bahwa, “ tidak ditemukan kitab suci yang diakui oleh sekelompok umat beragama bahwasannya dia benar-benar nash atau wahyu yang turun, yang menyajikan nash nya dalam perjalanan masa yang panjang penuh dengan kerancuan dan ketidaktetapan seperti yang kita dapati di dalam Al-Qur’an. Az-Zarkasyi memberikan distingsi antara Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Qira’at sebagai cara membaca Al-Qur’an. Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an dan Qira’at adalah dua entitas yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Rosulullah SAW sebagai penjelas dan mukjizat, sedang Qira’at adalah perbedaan pelafadzan wahyu tersebut dalam huruf dan karakternya. Al-Qur’an ada sebelum qira’at muncul. Qira’at muncul setelah Al-Qur’an turun dan berinteraksi dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai kitab suci yang dibaca. Al-Qur’an adalah entitas tersendiri hasil dari pewahyuan, sedang qira’at adalah persepsi manusia dalam membaca teks Al-Qur’an.

Klasifikasi qira’at dalam konteks pengaruhnya terhadap penafsiran Kajian Qira’at dinilai urgent dalam menelaah Al-Qur’an. Oleh karennya banyak para ulama yang menulis buku tentang qira’at dan ilmu nya. Sampai sejauh manakah qira’at mempunyai pengaruh dalam Al-Qur’an? Jika ditelusuri, maka Qira’at dapat dikelompokan menjadi dua kategori. Kategori pertama, adalah kategori qira’at yang tidak mempengaruhi makna penafsiran kalimat atau ayat Al-Qur’an. Katagori qira’at ini hanya berupa perbedaan

284 pembaca dalam huruf dan harakat seperti mad (membaca panjang), imalah (antara fathah dan kasrah), takhfif (membaca ringan), tashil (mengurangi huruf hamzah), tahqiq, jahr, hams dan ghunnah. Seperti membaca “ adzabi dan adzabiya” semua ini tidak mempengaruhi makna atau hukum yang dibawa sebuah ayat. Kategori kedua, perbedaan yang mempengaruhi maknadalam penafsiran Al- Qur’an. Yaitu perbedaan pada huruf kata seperti maliki yaumiddin (huruf mim dibaca panjang) dengan maliki yaum ad-din (min dibaca pendek). Perbedaan bacaan juga menyebabkan perbedaan hukum dalam kajian fiqh. Sehingga ulama fiqh berbeda pendapat antara batal dan tidak nya wudhu seseorang karena persentuhan antar jenis berdasarkan perbedaan juga menyebabkan perbedaan hukum dalam kajian fiqh. Sehingga ulama fiqh berbeda pendapat antara batal dan tidaknya wudhu seseorang karena persentuhan antar jenis berdasarkan perbedaan bacaan antara “lamastum” (lam dibaca pendek) dengan “lamastum” (huruf lam dibaca panjang)

Klasifikasi Qiro’at menurut tingkat otentisitas sanad nya Qira’at dengan berbagai versinya, tampaknya menjadi titik perhatian para pengkaji qira’at. Karena keabsahan qira’at bergantung pada kesahihan sanad. Qira’ah bukanlah semata-mata produk ijtihad yang dapat disimpulkan dari premis-premis, tetapi ia adalah hasil tatap muka (talaqqi wal ‘ardh) antara guru dan murid. Kita tidak dapat dengan gegabah menerima suatu bacaan dan menolak yang lain tanpa klarifikasi sanad nya. Karena pada umumnya, masing-masing bacaan mempunyai sandarannya (isnad). Perbedaan qira’at adalah akibat dari perbedaan pengambilan Al-Qur’an oleh sahabat dari Rosulullah SAW. Beliau sendiri mengetahui dan membenarkan perbedaan diantara sahabatnya tersebut dan memakluminya. Hal ini berlanjut sampai pada generasi setelah sahabat dan seterusnya sampai muncul beberapa versi Qira’at yang dipelopori oleh imam-imam qira’at. Namun, perbedaan cara membaca ini berkembang, dan pada akhirnya mengkhawatirkan ulama qira’at sampai pada keputusan penetapan syarat kelayakan bacaan dan pengklasifikasian qira’at menurut tingkat otentitasnya. Qira’at dinyatakan diterima jika memenuhi tiga syarat: pertama, sesuai dengan salah satu tulisan () mushaf utsmani. Kedua, sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Ketiga, shahih sanad nya. Jika tiga sanad nya tersebut terpenuhi, maka qira’at tersebut termasuk dalam kategori bacaan yang benar (qira’at shahihah) yang tidak boleh ditolak ataupun diingkari. Bahkan qira’at tersebut termasuk dalam ahruf sab’ah yang mana Al-Qur’an diturunkan atasnya. Perlu disinggung juga tentang persyaratan sesuai dengan tulisan (rasm) mushaf utsmani yang telah disepakati sebagai standar keabsahan qira’at. Ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah seperti apa yang ditulis dengan mushaf utsmani dan kemudian mentafsirkannya. Hal ini, oleh M, Arkoun, dianggap mereduksi makna Al- Qur’an. Arkoun mencoba untuk merunut historitas Al-Qur’an mulai dari awal turunnya sampai masa kodifikasi pada masa khalifah utsman. Dia membagi historitas Al-Qur’an menjadi tiga fase: Fase Makkah, fase Madinah dan fase kodifikasi. Masing- masing fase memiliki karakteristik tersendiri. Menurutnya, Al-Qur’an yang dibaca dan ditafsiri ulama islam selama ini hanyalah mushaf yang ditulis pada zaman utsman, yang kemudian oleh Arkoun dinamakan Korpus Resmi Tertutup (Corpus Officiel Clos). Adapun Qira’at menurut tingkat otentitas nya, imam Ibn Al Jazari membaginya menjadi beberapa tingkatan. (1) Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong. Seperti yang telah disepakati mengambil qira’at dari imam tujuh. (2) Mashur, yaitu qira’at yang shahih sanad nya tetapi belum mencapai derajat mutawatir, dan qira’at ini sesuai dengan bahasa Arab

285 dan naskah utsmani. Qira’at jenis ini boleh dibaca. (3) Ahad yaitu qira’at yang shahih sanad nya tetapi berbeda dengan naskah utsmaniatau bahasa Arab, hukum Qira’at ini tidak boleh dibaca dalam shalat. (4) syadz yaitu qira’at yang tidak shahih sanad nya. (5) Maudhu yang tidak mempunyai sandaran sanad sama sekali seperti qira’at Imam Al-Khuza’i, Az-Zarqani menyebutkan tingkatan yang keenam yaitu qira’at mudraj sebagaimana istilah mudraj dalam ilmu hadits yaitu tambahan dalam qira’at untuk menafsirkan ayat, seperti bacaan sa’ad Ibn Waqqas: “wa lahu akhun aw ukhtun min umm” dengan tambahan “min umm”jenis pertama dan kedua boleh dibaca, sedang empat jenis qira’at terakhir tidak boleh dibaca sebagai Al-Qur’an. Jadi secara umum kita dapat membagi qira’at menjadi dua kelompok besar: yang boleh dibaca (al-maqru biha) dan yang tidak boleh dibaca (ghair maqru’ biha). Jumhur ulama bersepakat qira’ah sab’ah boleh dibaca (al-maqru’ biha).tujuh imam qira’at sab’ah itu adalah Abu ‘Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kasa’i Ibn Katsir dan Ibn Amir. Sedangkan Qira’at tsulatsah (tiga bacaan) yang melengkapi sepuluh qira’at masih diperdebatkan ulama, antara yang membolehkan untuk dibaca dan yang tidak. Ibn Al Subki berpendapat tiga bacaan tersebut mutawatir, menurut jalaluddin Al Mahalli hukumnya hanya shahih, sedang menurut Ahli Fiqh adalah syadz (tidak mutawatir dan tidak shahih). Namun sebagian ulama berlebihan dalam menilai tujuh bacaan, dan mengkafirkan orang yang meragukan kemutawatirannya. Mereka berdalil bahwa mengingkari atau meragukan keutawatiran tujuh Qira’at tersebut sama dengan meragukan kemutawatiran Al-Qur’an. Yang perlu diingat disini adalah bahwa Al- Qur’an bukanlah tujuh qira’at, keduanya adalah dua hal yang berlainan. Disebutkan dalam Manahil Al-irfan, barang siapa menganggap bahwa tujuh qira’at sama sekali tidak mutawatir, maka dengan itu ia telah kafir. Karena secara umum, hal itu mengindikasikan ketidakmutawatiran Al-Qur’an. Pendapat ini disandarkan kepada Mufti Andalusia Abu Sa’id Faraj ibn Lub. Sementara Ibn Al-Subki, Ibn Hajib, Abu Syamah dan mayoritas ulama berpendapat tujuh qira’at diatas adalah mutawatir.

Kesimpulan Banyak yang menganggap bahwa qira’at sab’ah adalah ahruf sab’ah yang disebutkan dalam hadits Rosulullah Saw. Abu Syahmah berkata, “orang yang menduga bahwa qira’at sab’ah (tujuh bacaan) yang ada sekarang adalah yang dimaksud dalam hadits (ahruf sab’ah), dimana hal itu bersebrangan dengan kesepakatan (ijma’) seluruh pakar bidang ilmu ini, maka orang itu hanyalah orang bodoh. Jika ditinjau dari fakta historis, term ahruf sab’ah muncul sejak zaman Rosulullah SAW (sejak turun nya wahyu). Sedangkan Qira’at sab’ah adalah hanya istilah yang muncul pada zaman Tabi’in (abad kedua hijriyyah) dan merupakan aliran (madzhab) dalam melafadzkan Al-Qur’an yang dipelopori oleh imam Qiro’at. Tidak ada alasan untuk menyamakan antara keduanya. Yang perlu kita garis bawahi adalah qira’at sab’ah, dengan berbagai versi nya masih dalam koridor ahruf sab’ah. Dan qiro’at merupakan manifestasi dari cara membaca Al-Qur’an yang mencangkup ahruf sab’ah. Dr. subhi shalih dalam bukunya menulis, “islam pada masa pertumbuhannya, telah menemukan bahasa ideal yang terpilih dan layak untuk dijadikan perangkat takbir (pengungkapan) dari beberapa orang arab secara umum. Kemudian, bertambahlah karakter persatuan dan menguatlah pengaruhnya dengan turun Al- Qur’an dengan bahasa Arab yang jelas (lisan arabi mubin) yaitu bahasa ideal yang terpilih, meskipun demikian, pertemuan bahasa yang ditemui islam pada masa tumbuhnya dan dikuatkan dengan Al-Qur’an setelah turunnya, tidak menafikan fenomena pluralisasi dialek sebelumnya. Bahkan umumnya, orang Arab ketika

286 kembali ke kampung halaman mereka, tidak berbicara dengan bahasa persatuan yang ideal tersebut. Tetapi mereka mengekspresikannya dengan dialek mereka masing- masing, sehingga sangat kentara dalam ekspresi mereka sorak dialek dan melodi mereka.

Daftar Rujukan Qattan, Manna’. Mabahits fi ‘ulumil Qur’an, Qattan, Manna’, Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Cet. 1 Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2012 Faizin, Nur. Tema Kontrovesial ‘Ulumul Qur’an, Jawa Timur : Kediri 2011 Shabur, Abdul, Syahin. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, Terj. Khoirul Amru Harahap, Akhmad Faozan. Cet.1 PT. Gelora Aksara Pratama (2005) Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir, Terj, M. Alaika Salamullah, Saifuddin Zuhri Qudsy, Badrus Syamsul Fata, Cet, 1, Yogyakarta, eLSAQ Press, 2003. Subhi, Shaleh. Mabahits fi ‘ulumil Qur’an, Dar al ‘ilm Al Malayin. Beirut (1990) hal: 102- 103 As Suyuti, Al- Itqan fi ‘ulumil Qur’an, maktabah Dar At-Turats Kairo. Hal.131.

287