Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

i Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 1 Nomor 1 (April 2020) Tema Hukum Internasional (Bulan Keempat)

Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H. Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H. Desain : Jacky Leonardo Kontributor : Amadda Ilmi

Amanda Eugenia Soeliongan

Danang Wahyu Setyo Adi

Dwi Imroatus Sholikah

Jodie Jeihan, dkk.

Kandi Kirana Larasati dkk.

Misbachul Munir dkk.

Moh. Roziq Saifulloh

Tasya Ester Loijens Distribusi : Guardino Ibrahim Fahmi

Liavita Rahmawati

Moch. Adrio Fahrezi

Moh. Haris Lesmana

M. Rizky Andika P.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis Klinik Hukum Rewang Rencang Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142 Telp: 087777844417 Email: [email protected] Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)

ii Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR ISI

Amadda Ilmi Legal Opinion: Nicaragua v. United States of America ...... 1

Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia ...... 12

Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah ... 24

Dwi Imroatus Sholikah Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) ...... 44

Jodie Jeihan dkk. Analisa Penetapan Evaluasi Generalized System of Preference (GSP) Amerika Serikat terhadap Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah World Trade Organization (WTO) ...... 54

Kandi Kirana dkk. : The Problems in Building a Space Society ...... 69

Misbachul Munir dkk. Contoh Penerapan Penetapan Zona Ekonomi Ekslusif (Studi Kasus Imajiner Amalea v. Ritania atas Malachi Gap) ...... 77

Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok ...... 84

Tasya Ester Loijens Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX ...... 97

Tasya Ester Loijens Legal Opinion: Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening ...... 108

iii Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Halo rencang-rencangku, senang rasanya bisa menyapa para pembaca melalui Platform ini. Rewang Rencang: JHLG (Jurnal Hukum Lex Generalis) dicanangkan agar kami (Klinik Hukum Rewang Rencang) dapat membantu memperluas wawasan anda. Tidak hanya di sektor Legalitas Usaha, Perusahaan, dan HAKI, tetapi juga Hukum secara umum. Kami harap para pembaca yang budiman juga turut menjadi bagian dari kebaikan dengan menyebar dan merekomendasikan Informasi Hukum ini, sehingga lebih banyak lagi Insan yang memperoleh kebermanfaatan dan rezeki pengetahuan. Demikian, semoga para pembaca yang budiman selalu dilimpahi kesehatan dan semangat kebaikan.

Malang, 12 Mei 2020

Ivan Drago, S.H. CEO Rewang Rencang

iv Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya Mahasiswa Hukum. Adapun tiga tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut: 1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum; 2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum; 3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum; 4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah; 5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.

Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih banyak kepada para pihak yang mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis pertama yang terbit pada bulan April 2020 dengan mengusung tema berkaitan dengan “Hukum Internasional” ini dan akan terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga kesempatan berikutnya.

Malang, 14 Mei 2020

Fazal Akmal Musyarri, S.H. Dewan Editorial RR : JHLG

v Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Undangan untuk Berkontribusi Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses: Https://jhlg.rewangrencang.com/

vi Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

LEGAL OPINION: NICARAGUA V. UNITED STATES OF AMERICA Amadda Ilmi Universitas Brawijaya Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation : Ilmi, Amadda. Legal Opinion : Nicaragua v. United States of America. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Kasus ini terjadi antara Amerika dan Nikaragua, dimana permasalahan antara keduanya merupakan sengketa yang beurujung pada tudingan pelanggaran hukum internasional, bermula dari masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Republik Nikaragua. Namun, Amerika Serikat justru terlibat secara aktif dalam permasalahan internal itu. Nikaragua menganggap bahwa campur tangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat semakin memperburuk keadaan pemerintahan Nikaragua dan merasa bahwa Amerika Serikat telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kaidah hukum Internasional. Salah satu campur tangannya yakni ketika Amerika mengambil langkah menghentikan bantuan ekonomi ke Nikaragua karena sebelumnya Nikaragua melawan El Savador, dimana El Savador diketahui memilki hubungan diplomatis yang baik dengan Amerika. Mengetahui hal tersebut, Amerika juga melakukan semacam upaya serangan dengan mengirimkan militernya di wilayah Nikaragua dan menanam ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman Nikaragua sehingga menyebabkan kapal-kapal yang melintas rusak bahkan hancur. Kemudian Amerika juga melakukan perusahaan fasilitas sipil dan militer di Nikaragua. Tentu hal tersebut sangat mengusik Nikaragua, lantaran tidak melakukan upaya apapun terhadap Amerika namun mendapat serangan atas kasusnya dengan El Savador. Kasus tersebut kemudian dilaporkan kepada ICJ yang menjadi penengah dan menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Amerika adalah salah, lantaran terlalu masuk kedalam urusan yang bukan termasuk yurisdiksinya untuk turut serta dalam kasus tersebut. Kata Kunci: ICJ, Konflik Internasional, Nikaragua vs. Amerika Serikat

1 Amadda Ilmi Legal Opinion: Nicaragua v. United States of America

A. KASUS POSISI Kasus Nikaragua vs Amerika Serikat atau dikenal juga dengan Nicaragua case merupakan kasus yang ditangani oleh International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional pada tahun 1986. Dalam kasus ini ICJ mendukung Repulik Nikaragua yang melawan Amerika Serikat untuk memberikan ganti rugi kepada Nikaragua. Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Amerika Serikat telah melanggar hukum internasional dengan mendukung gerilyawan atau pemberontak dalam pemberontakan mereka melawan Pemerintah Nikaragua dan pertambangan di pelabuhan Nikaragua.1 Kasus ini berawal dari adanya masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Republik Nikaragua. Namun, Amerika Serikat justru terlibat secara aktif dalam permasalahan internal tersebut. Sehingga pada akhirnya Republik Nikaragua menganggap bahwa campur tangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat semakin memperburuk keadaan pemerintahan Nikaragua dan pada akhirnya Nikaragua merasa bahwa Amerika Serikat telah melakukan tindakan- tindakan yang bertentangan dengan kaidah hukum Internasional. Amerika Serikat juga melakukan penghentian bantuan ekonomi ke Nikaragua dikarenakan tindakan-tindakan Nikaragua yang melawan El-Savador, dimana El-Savador memiliki hubungan diplomatis yang baik dengan Amerika. Atas respon dari tindakan Nikaragua ini, Amerika Serikat mulai menempatkan fasilitas militernua dan melakukan tindakan-tindakan yang diklaim Nikaragua sebagai pelanggaran hukum Internasional. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah penanaman ranjau di laut wilayah dan laut pendalaman Nikaragua sehingga menyebabkan hancurnya kapal-kapal yang melintas di laut tersebut. Amerika Serikat juga melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas sipil dan fasilitas militer Nikaragua, serta turut serta membantu pasukan Contras yaitu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa di masa itu.

1 ICJ (International Court of Justice), Nicaragua v. United States of America, diakses dari https://www.icj-cij.org/en/case/70/, diakses pada 11 Mei 2019.

2 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

International Court of Justice menemukan bahwa pada rentang waktu akhir tahun 1983 hingga awal tahun 1984, Presiden Amerika Serikat memerintahkan Pemerintah Amerika Serikat untuk menanam ranjau di pelabuhan Nikaragua, pada awal tahun 1984 ranjau-ranjau tersebut sudah tertanam di dekat pelabuhan El Bluff, pelabuhan Corinto dan Pelabuhan Puerto Sandino. Pelabuhan-pelabuhan tersebut berada dalam teritorial Republik Nikaragua. Sebelum menanam ranjau tersebut, Amerika Serikat memperingatkan kepada masyarakat dan perusahaan- perusahaan pengangkutan internasional akan adanya ranjau di wilayah tersebut yang dapat menyebabkan kerusakan yang diakibatkan oleh ledakan ranjau tersebut. International Court of Justice menemukan fakta bahwa pada tahun 1981 hingga tanggal 30 September 1984, Pemerintah Amerika Serikat terbukti memberikan sejumlah dana kepada para tentara dan kegiatan-kegiatan militer yang dilakukan oleh Contras di Nikaragua dengan tujuan untuk memberikan bantuan kemanusiaan. International Court of Justice juga menemukan fakta bahwa pada tahun 1983 agensi pemerintah Amerika Serikat memberi pasokan kepada para gerilyawan sebuah pedoman keadaan perang gerilya yang mana memaparkan mengenai tindakan-tindakan untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat sipil secara membabi buta. Buku yang diberikan kepada Contras tersebut juga berisikan anjuran-anjuran untuk menggunakan pembunuh professional untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, dan penggunaan media provokasi pada demonstrasi massa yang bertujuan untuk membentuk martir. Partisipasi Amerika Serikat telah memberikan pengaruh yang besar dalam hal pendanaan, pengorganisasian, pelatihan, pemasokan, dan penyediaan Contras, proses pemilihan pasukan tentara atau semi-militer, dan perencanaan keseluruhan operasi, namun tidak cukup hanya dengan hal tersebut. Berdasarkan bukti persidangan, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui Contras untuk melakukan operasi militer maupun semi-militer di Nikaragua. Segala bentuk partisipasi Amerika Serikat yang telah disebutkan diatas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa Amerika Serikat terbukti mengontrol atau melakukan tindakan perbuatan jahat yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan hukum perang sebagaimana yang didalilkan oleh Negara penggugat yaitu Nikaragua.

3 Amadda Ilmi Legal Opinion: Nicaragua v. United States of America

Alasan utama Amerika Serikat membantu Contras untuk melegalkan kehadirannya adalah besarnya campur tangan yang pernah dilakukan oleh Nikaragua terhadap urusan dalam negeri tetangganya. Namun tuduhan tersebut ditolak secara tegas oleh Nikaragua. Justru, Nikaragua menyatakan bahwa kehadiran Amerika Serikat lah yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk intervensi militer besar-besaran yang sangat berbahaya. Berdasarkan hal-hal yang terjadi tersebut di atas, Republik Nikaragua melaksanakan beberapa mekanisme penyelesaian untuk mencari jalan keluar. Pada tahun 1982 Nikaragua menempuh konsiliasi dan mediasi. Upaya ini ditempuh oleh Nicaragua melalui Contadora Group yang bertujuan untuk menuntaskan sengketa ini. Contadora Group ini melaksanakan mediasi dan konsiliasi, hal ini sejalan dengan pengertian Ad-hoc Arbitration. Adapun yang dimaksud dengan ad-hoc arbitration sebagai berikut: Ad-hoc arbitration that so-called “voluntary arbitration” or “individual arbitration” is arbitration which is set up specifially to resolve or decide certain disputes. The status and whereabouts is only to serve and to decide certain disputes”.2

Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian secara damai sengketa internasional oleh suatu organ yang telah dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa setelah lahirnya masalah yang dipersengketakan. Dalam hal ini organ tersebut mengajukan usul- usul penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa. Konsiliasi adalah suatu prosedur yang diatur oleh konvensi.3 Sedangkan, mediasi sendiri adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakan dan memutuskan.4

2 Yordan Gunawan, Arbitration Award of ICSID on the Investment Disputes of Churchill Mining PLC v. Republic of Indonesia, Hasanuddin Law Review, Vol.3, Issue 1 (April 2017), Hlm.17. 3 Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Almuni, Bandung, 2015, Hlm.212. 4 H. Djafar Al Bram, Penyelesaian Sengeket Bisnis Melalui Mediasi, Penerbit Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP), Jakarta, 2011, Hlm.10.

4 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Pada tahun 1983 diselenggarakanlah pertemuan negara-negara di Amerika Tengah atas inisiatif Contadora Group sehingga berhasil disusun sebuah draft agreement berjudul “Contadora Act on Peace and Co-Operation in Central America”. Dari tahun 1984 sampai dengan 1986 Dewan Keamanan terus aktif mengadakan pertemuan terkait dengan protes yang dilakukan oleh Nikaragua, begitu pula yang dilakukan oleh Majelis Umum, Sekjen PBB, Sekjen Organisasi Negara Amerika Tengah, dan negara-negara Grup Contadora. Ketidakberhasilan dari segala upaya ini menyebabkan Nikaragua memutuskan untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketanya ke Mahkamah Internasional pada tahun 1986. Sengketa ini diproses oleh Mahkamah Internasional berdasarkan yurisdiksinya sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah Internasional berwenang untuk menangani semua perkara yang diajukan terutama yang ditentukan dalam Piagam PBB. Dalam tuntutannya Nikaragua menyatakan beberapa hal yaitu, Amerika Serikat telah melanggar kewajiban dalam hukum internasional bahkan tetap melanjutkan pelanggarannya, menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat telah mengakibatkan kerugian pada pihak Nikaragua, serta Amerika Serikat diharuskan membayar ganti rugi sejumlah US$ 370.200.000.5 Dalam proses ini, Amerika Serikat menyatakan bahwa Mahkamah tidak memiliki yurisdiki dalam hal ini karena Nikaragua tidak pernah tercatat meratifikasi “Protocol of the Statuta Permanent Court of International Justice”, yaitu bagian pendahuluan Mahkamah yang mengatur masalah yurisdiksi Mahkamah. Namun Mahkamah menemukan bahwa Nikaragua telah menyatakan diri terikat pada yurisdiki Mahkamah (Nicaragua’s Declaration) dan telah menjadi anggota statuta yang baru sehingga memiliki yurisdiksi sesuai dengan Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional, walaupun Nikaragua tidak secara eksplisit membuat sebuah deklarasi langsung yurisdiksi mengikat Mahkamah Internasional, tetapi pernah menyatakan terikat pada yurisdiksi Mahkamah Permanen Internasional (PCIJ).

5 ICJ (International Court of Justice), Summaries of Judgements and Orders, Case Concerning The Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America, June 27 1986, diakses dari https://www.icj-cij.org/files/case- related/70/6487.pdf, diakses pada 11 Mei 2020.

5 Amadda Ilmi Legal Opinion: Nicaragua v. United States of America

Nikaragua mendasarkan argumennya pada beberapa ketentuan yang terdapat Statua Mahkamah Internasional dan juga Treaty of Friendship 1956. Namun Amerika Serikat menentang deklarasi yang dibuat oleh Nikaragua karena deklarasi tersebut sudah tidak lagi berlaku berdasarkan interpretasi terhadap Pasal 36 ayat (5) Statuta Mahkamah Internasional. Namun, untuk menyelesaikan persoalan ini Mahkamah Internasional menyatakan bahwa “Deklarasi ini tidak menghilangkan yurisdiksi mahkamah untuk menangani kasus ini, karena pada dasarnya walaupun ICJ tidak berwenang mengadili berdasarkan perjanjian internasional, ICJ dapat mengadili berdasarkan hukum kebiasaan internasional”.

Berdasarkan putusan Mahkamah Internasional bahwasannya pengajuan Nikaragua berdasarkan pada Pasal 36 ayat (2) dan ayat (5) Statuta Mahkamah Internasional diterima, perbandingan suaranya adalah 11 banding 5 suara. Mahkamah Internasional juga menerima pengajuan Nikaragua berdasarkan Treaty of Friendship, Commerce and Navigation 1956 dengan suara 14 berbanding 2. Mahkamah Internasional juga menyatakan memiliki yurisdiksi untuk menangani kasus ini dengan perbandingan suara, 15 banding 1 suara. Dan, berdasarkan suara mutlak, Mahkamah Internasional menyatakan pengajuan (application) Nikaragua dapat diterima (admissible). Dalam kasus ini, hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional yang melindungi kepentingan dari suatu negara telah dilanggar kepentingannya oleh negara lain yang merupakan anggota dari perjanjian tersebut. Kebiasaan internasional yang kita ketahui sebagai salah satu sumber hukum internasional, seperti dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah perilaku atau praktek negara-negara yang dilakukan dalam pergaulan internasional, yang berlaku secara umum dan telah diakui atau diterima sebagai bagian hukum internasional6. Agar suatu kebiasaan internasional dapat menjadi bagian dari norma hukum internasional, para ahli hukum pada umumnya menuntut dipenuhinya 2 (dua) elemen, atau yang biasa disebut dengan the two elements theory. Doktrin tersebut beranggapan timbulnya kebiasaan ada hanya apabila memenuhi dua syarat, yakni:7

6 Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2006, Hlm.61. 7 Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Ibid., Hlm.62.

6 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

a. Perilaku itu haruslah merupakan fakta dari praktek atau perilaku yang secara umum telah dilakukan atau dipraktekkan oleh negara-negara (The Evidence of Material Fact) b. Perilaku yang dipraktekkan secara umum tersebut, oleh negara-negara atau masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagai perilaku yang memiliki nilai sebagai hukum yang dalam istilah teknisnya dikenal sebagai Opinio Jusrid Sive Necessitaes atau singkatnya Opinion Juris. Dalam beberapa hal, hukum kebiasaan lebih menguntungkan dari hukum tertulis mengingat sifatnya yang luwes. Hukum kebiasan dapat berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan internasional sedangkan perubahan terhadap ketentuan hukum positif harus melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit.8

B. ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN 1. Para Pihak: Nicaragua vs United States of America 2. Analisis Kasus a. Prinsip Berdasarkan putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional atas kasus Nikaragua melawan Amerika Serikat, penjatuhan putusan tersebut didasarkan pada prinsip umum Hukum Internasional yang menjadi hukum kebiasaan internasional, antara lain: 1) Prinsip Non Intervention Menurut Black’s Law Dictionary, Intervention adalah “The procedure by which a third person, not originally a party to the suit, but claiming an interest in the subject matter, comes into the case, in order to protect his right or inpose his claim. The grounds and procedure are usually defined by various state statutes or Rule of Civil Procedure”.

Definisi lain dari Intervensi adalah turut campurnya suatu negara terhadap negara lain dengan tujuan untuk menjaga atau mengubah kondisi aktual tertentu. Turut campur tersebut dapat dilakukan dengan hak ataupun tidak, namun hal tersebut selalu mengenai kebebasan eksternal atau wilayah atau keunggulan negara lain, dan dari keseluruhan tersebut memiliki dampak yang penting untuk negara tersebut dalam posisi internasional.

8 Boer Mauna, Op.Cit., Hlm.11.

7 Amadda Ilmi Legal Opinion: Nicaragua v. United States of America

Intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut. intervensi dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak. Hal tersebut biasa dilakukan oleh negara adikuasa terhadap negara lemah.9 Sebagaimana telah dijelaskan dapat kita analisis dari fakta-fakta yang muncul dalam persidangan, terbukti bahwa Amerika Serikat melakukan upaya-upaya seperti memasok persediaan untuk keperluan militer dalam rangka menyukseskan pengambilalihan oleh Pasukan Contra yang dibentuk oleh Amerika Serikat. Oleh karena hal tersebut, maka apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat bertentangan dengan prinsip Non-Intervensi yakni prinsip yang didasarkan pada larangan untuk turut serta dalam urusan dalam negeri suatu negara. 2) Prinsip Non Use of Force dan Self Defence Seiring dengan pembentuka PBB dan diadopsinya Piagam PBB, masyarakat internasional sepakat menerima kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan menahan diri untuk tidak menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan hubungan internasional. Ada tipe tertentu dari tindakan negara yang dicoba untuk memperoleh justifikasi penggunaan kekerasan. Pertama adalah penggunaan kekerasan semata-mata dalam rangka melindungi atau mempertahankan haknya yang sah (Secure a Legal Right). Tipe Kedua adalah penggunaan kekerasan ketika negara merasa haknya dilanggar. Argumen pembenar untuk keduanya adalah bahwa menggunakan kekerasan ketika haknya dilanggar tidak dimaksudkan untuk melanggar integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara target, tidak juga bertentangan dengan tujuan PBB, sehingga tidak melanggar Pasal 2 Paragraf 4 Piagam PBB. Perkecualian terhadap larangan penggunaan kekerasan yang dibolehkan dan dituangkan secara eksplisit dalam Piagam PBB sesungguhnya hanyalah dalam rangka Self Defence yang diatur dalam Pasal 51 piagam dan yang kedua adalah atas otorisasi dari Dewan Keamanan dalam rangka penerapan BAB VII Piagam.

9 Anasthasya Saartje Mandagi Wagiman, Terminologi Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hlm.201.

8 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Berdasarkan fakta hukum yang timbul dalam persidangan, terbukti bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan-tindakan tanpa hak seperti menanam ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman Nikaragua yang berakibat pada rusak serta hancurnya kapal-kapal yang melintasi wilayah tersebut, lebih jauh lagi ditemukan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan perusakan terhadap fasilitas sipil dan fasilitas militer Nikaragua, bahkan fakta bahwa Amerika Serikat membantu pasukan Contras dalam rangka menggulingkan pemerintahan saat itu. Hal-hal tersebut di atas sudah tentu melanggar prinsip Non Use of Force, Amerika Serikat menggunakan kedigdayaannya untuk ikut serta dalam urusan dalam negeri suatu negara, yang merupakan tindakan pelanggaran hukum kebiasaan internasional. Adapun kaitannya dengan prinsip Self-Defence, bahwa Amerika Serikat dalam menggunakan kekukatannya kepada Nikaragua tidak sedang dalam keadaan membela diri karena sedang diserang. Sehingga penggunaan kekuatan oleh Amerika Serikat merupakan sesuatu yang lebih menjurus pada kepentingan politik Amerika Serikat dan sekutunya semata. b. Analysis of the Legal Tests Developed through Case Law Tinjauan hukum kasus Pengadilan Internasional mengungkapkan bahwa Pengadilan telah menggunakan tiga tes dasar untuk mengevaluasi sejauh mana Pasal 41 kekuasaannya untuk menunjukkan tindakan sementara. Demi kejelasan, mereka dibahas dalam urutan kesulitan relatif mereka kepuasan daripada dalam urutan kepentingan atau frekuensi mereka penggunaan oleh Pengadilan. Tes pertama adalah yang termudah dari ketiganya untuk memuaskan. Itu membutuhkan bahwa keluhan pemohon sebelum Pengadilan termasuk dalam ruang lingkup keadilan internasional. Meskipun ini tentu saja merupakan kriteria penting, tidak dengan sendirinya mendefinisikan standar yang menjadi dasar Pengadilan dapat mengevaluasi yurisdiksi insidentalnya. Agaknya, hampir masalah yang diajukan oleh pemohon yang tidak jelas berada di luar ranah hukum internasional akan memenuhi ujian ini.10

10 Noreen M. Tama, Nicaragua v. United States: The Power of the International Court of Justice to Indicate Interim Measures in Political Disputes, Dickinson Journal of International Law, Penn State International Law Review, Vol.4, No.1, Article 5 (1985), Hlm.81.

9 Amadda Ilmi Legal Opinion: Nicaragua v. United States of America

c. Metode Penyelesaian Sengketa Alternatif Serta Upaya Penyelesaian Sengketa yang dapat dipilih dan dapat dilaksanakan: Kasus Nikaragua vs Amerika Serikat atau dikenal juga dengan Nicaragua Case merupakan kasus yang ditangani oleh International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional pada tahun 1986. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya ataupun alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih yakni secara damai antar kedua belah pihak negara yang bersengketa, atau dengan menunjuk lembaga maupun pihak ketiga untuk menjadi mediator, atau dilaksanakan secara mediasi upaya perdamaiannya. Dan dalam kasus ini telah dipilih bahwa yang menjadi lembaga dalam membantu penyelesaian sengketanya adalah Mahkamah Internasional atau International Court Justice (ICJ). Pada dasarnya ICJ tidak serta merta mencampuri dan mengambil alih segala kewenangan dalam keputusan, karena memang kasus ini terkait dengan perjanjian, namun dapat menjadi alternatif yang sangat membantu untuk menguayakan terselesaikannya konflik dan menghindarkannya dari segala konflik yang berkepanjangan. Dan untuk menyelesaikan persoalan ini Mahkamah Internasional juga telah menyatakan bahwa “Deklarasi ini tidak menghilangkan yurisdiksi mahkamah untuk menangani kasus ini, karena pada dasarnya walaupun ICJ tidak berwenang mengadili berdasarkan perjanjian internasional, ICJ dapat mengadili berdasarkan hukum kebiasaan internasional”.

C. KESIMPULAN Sehingga dapat disimpulkan jika suatu negara dengan negara lainnya bersengketa yang mana hal tersebut berada dalam ruang lingkup sebuah perjanjian, tetap yang paling diutamakan adalah penyelesaian secara kekeluargaan antar kedua belah pihak negara tersebut atau secara damai. Pun jika terdapat pihak ketiga dalam upaya penyelesaian sengketanya adalah semata-mata untuk membantu menengahi konflik saja dan tidak memiliki kewenangan khusus untuk mengambil keputusan. Karena keputusan utama dikembalikan pada bagaimana kesepakatan dalam perjanjian sebelumnya.

10 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku Al Bram, H. Djafar. 2011. Penyelesaian Sengeket Bisnis Melalui Mediasi. (Jakarta: Penerbit Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP)). Mauna, Boer. 2015. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. (Bandung: Penerbit Almuni). Thontowi, Jahawir dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. (Bandung: Penerbit Refika Aditama). Wagiman, Anasthasya Saartje Mandagi. 2016. Terminologi Hukum Internasional. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).

Jurnal Gunawan, Yordan. Arbitration Award of ICSID on the Investment Disputes of Churchill Mining PLC v. Republic of Indonesia. Hasanuddin Law Review. Vol.3. Issue 1 (April 2017). Tama, Noreen M.. Nicaragua v. United States: The Power of the International Court of Justice to Indicate Interim Measures in Political Disputes. Dickinson Journal of International Law. Penn State International Law Review. Vol.4. No.1. Article 5 (1985).

Website ICJ (International Court of Justice). Nicaragua v. United States of America. diakses dari https://www.icj-cij.org/en/case/70/. diakses pada 11 Mei 2019. ICJ (International Court of Justice). Summaries of Judgements and Orders, Case Concerning The Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America. June 27 1986. diakses dari https://www.icj-cij.org/files/case-related/70/6487.pdf. diakses pada 11 Mei 2019.

Sumber Hukum Charter of the 1945. Statute of the International Court of Justice 1945. Treaty of Friendship, Commerce and Navigation 1956.

11 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

LEGAL OPINION: PERACUNAN EKS SPIONASE RUSIA Amanda Eugenia Soeliongan Universitas Brawijaya Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation : Soeliongan, Amanda Eugenia. Legal Opinion : Peracunan Eks Spionase Rusia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Peracunan Sergei Skripal di Inggris oleh intelijen militer Rusia menuai banyak kecaman dari berbagai negara di dunia. Aksi ini melanggar kedaulatan negara dan melanggar Hukum Internasional karena percobaan pembunuhan tersebut menggunakan senjata kimia yakni racun saraf dari era Uni Soviet bernama Novichok. Inggris akhirnya memberikan respon keras dengan menetapkan 23 duta besar Rusia sebagai Persona Non-Grata, yang telah sesuai dengan ketentuan Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Persona Non-Grata sebagai hak eksklusif setiap negara yang dapat dijadikan sebagai sanksi apabila terdapat pelanggaran hukum internasional, walaupun dapat terjadi kesewenangan dalam penggunaannya karena Negara Penerima tidak wajib untuk memberikan alasan yang sah. Oleh sebab itu, Persona Non-Grata dalam hukum diplomatik dapat dijadikan peringatan atau alat interupsi bagi suatu hubungan diplomatik yang dianggap tidak selaras. Tulisan ini akan membahas kejadian tersebut ditinjau dari Hukum Diplomatik dan Konsuler Internasional. Kata Kunci: Hubungan Diplomatik, Hukum Diplomatik, Persona Non-Grata

12 Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia

A. PENDAHULUAN Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional. Sejarah membuktikan bahwa sifat hubungan antar negara dengan negara lain senantiasa berubah-ubah menurut perubahan masa dan keadaan, tapi cara memelihara dan menghidupkan perhubungan itu adalah dengan diplomasi. Bertolak dari itu semua, diplomasi merupakan cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui, di mana praktik-praktik semacam itu telah diakui sejak dahulu. Kebiasaan suatu negara untuk mengirimkan seseorang untuk mewakili kepentingannya di negara lain adalah salah satu praktek tertua dikalangan masyarakat internasional. Kegiatan ini terus menerus dilakukan untuk melancarkan dan mempererat hubungan antar negara. Hubungan diplomatik yang dilakukan para diplomat memang diperlukan untuk memperkuat tali persahabatan dan kerjasama antarbangsa. Namun demikian, di sisi lain, tak jarang hubungan diplomatik digunakan sebagai alat penekan yang dilakukan oleh negara kuat terhadap negara-negara yang lemah untuk mencapai kepentingannya.1 Adanya kepentingan yang mendasari kebiasaan ini menjadi misi tertentu bagi perwakilan diplomatik negara pengirim di negara penerima. Perwakilan diplomatik ini juga sebagai perpanjangan wewenang negara pengirim untuk melaksanakan kepentingan tersebut di wilayah negara lain. Melaksanakan misi-misi tertentu harus dilakukan dengan itikad baik tanpa mengintervensi kehidupan bermasyarakat di negara penerima, untuk menjaga hubungan persahabatan antar kedua negara perwakilan diplomatik ini diharapkan dapat menghormati hukum dan tatanan masyarakat di negara-negara penerima.

1 Sefriani, Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016, Hlm.144.

13 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Mewakili (representation) negaranya pada negara penerima merupakan suatu fungsi di mana perwakilan diplomatik dipercayakan untuk bertindak sebagai saluran hubungan antara kedua negara, fungsi reporting tentu saja adalah upaya untuk mendapatkan suatu kepastian dengan cara yang sah atas seluruh keadaan maupun perkembangan di negara penerima. Perwakilan diplomatik harus menjaga integritas serta kredibilitasnya di negara penerima dalam melaksanakan misinya. Melaksanakan suatu misi tertentu yang merugikan negara penerima atau yang mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakatnya, atau dengan sengaja mengambil informasi rahasia untuk tujuan jahat merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Berdasarkan hal seperti itulah, negara penerima juga dapat sewaktu-waktu mengusir perwakilan diplomatik dengan berbagai alasan. Alasan-alasan ini tidak menjadi beban bagi negara penerima untuk disertai dengan penjelasan. Seperti halnya kasus yang terjadi antara Inggris dan Rusia, dimana Inggris mengusir perwakilan diplomatik Rusia terkait kasus peracunan mantan agen ganda Rusia di Inggris, yang akan penulis bahas dalam analisis di bawah ini.

B. POSISI KASUS Seorang mantan agen ganda Rusia, Sergei Skripal (66) dan putrinya, Yulia (33) ditemukan tak sadarkan diri pada bangku di luar suatu pusat perbelanjaan di Salisbury, Inggris, pada 4 Maret 2018. Kolonel Skripal, seorang pensiunan perwira militer Rusia, dipenjara selama 13 tahun oleh Rusia pada 2006. Dia dinyatakan bersalah karena menyerahkan identitas para agen intelijen Rusia yang sedang beroperasi di Eropa kepada Dinas Intelijen Rahasia Inggris, MI6. Pada bulan Juli 2010, Skripal adalah satu dari empat tahanan yang dilepas Moskow sebagai bagian dari pertukaran dengan 10 mata-mata Rusia yang ditangkap oleh FBI. Dia kemudian diterbangkan ke Inggris dan mendapatkan suaka. Skripal dan putrinya diserang dengan senjata kimia gas Racun Saraf Maut yang dikembangkan pada era Uni Soviet yang bernama Novichok. Racun ini bahkan lebih kuat dari sarin. Jejak gas saraf ditemukan di pub “The Mill” dan restoran “Zizzi” di Salisbury yang sempat dikunjungi Skripal dan putrinya. Temuan ini memicu langkah pencegahan secara luas untuk masyarakat setempat.

14 Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia

Selama ini, Inggris menuding Rusia sebagai dalang di balik percobaan pembunuhan ini. Namun, Rusia selalu membantah tudingan tersebut dengan dasar keterangan para tersangka bahwa mereka adalah turis yang sedang berlibur di Salisbury. Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, mengatakan bahwa mereka akan memberikan tanggapan “keras” jika Moskow ditemukan berada di balik insiden tersebut. Kemudian, identitas tersangka kasus peracunan mantan agen ganda Sergei Skripal di Inggris pun terungkap, yaitu Alexander Yevgenyevich Mishkin, seorang dokter intelijen militer Rusia yang bernama asli Alexander Petrov, bersama rekannya Ruslan Boshirov, yang bernama asli Anatoliy Chepiga, seorang kolonel badan intelijen Rusia. Inggris pun menganggap jawaban dari Rusia sangat tidak menghormati kegentingan dari kejadian yang sedang terjadi ini dimana senjata kimia beracun ini bisa sangat mengancam masyarakat di Salisbury. Ini menunjukkan penggunaan kekuatan melanggar hukum. Lalu, sebagai reaksi atas kejadian ini, di bawah Konvensi Wina, PM Inggris menegaskan akan mengusir setidaknya 23 diplomat Rusia yang diidentifikasi sebagai pejabat intelijen yang tidak dilaporkan, membekukan aset-aset Pemerintah Rusia, dan membekukan sementara kontrak bilateral. Sebagai bentuk solidaritas untuk Inggris, hal itu juga kemudian diikuti oleh negara-negara Uni Eropa dan barat. Diantaranya Perancis, Latvia, Jerman, Italia, Australia, Kanada, dan US. Menurut negara-negara itu, Rusia berada di balik serangan terhadap mantan agen ganda Rusia yang menetap di Inggris, Sergei Skripal dan putrinya Yulia, dengan zat saraf di Salisbury, Inggris. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan akan mengusir balik 23 diplomat Inggris. Hal ini merupakan bagian dari langkah balasan atas sikap keras Inggris terhadap Rusia terkait kasus upaya pembunuhan eks mata-mata Rusia, Sergei Skripal. Keputusan untuk balik mengusir diplomat Inggris ini diumumkan Rusia usai memanggil Duta Besar Inggris di Moskow, Laurie Bristow, ke kantor Kementerian Luar Negeri. Pemanggilan itu dimaksudkan untuk memberitahukan langkah-langkah balasan Rusia untuk Inggris. Selain mengusir diplomat Inggris, Rusia juga mengumumkan penghentian aktivitas British Council di seluruh wilayahnya. British Council merupakan organisasi internasional untuk hubungan budaya dan kesempatan pendidikan.

15 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Kementerian Luar Negeri Rusia pun menyatakan para diplomat dari negara-negara yang mengusir diplomat Rusia akan diberi nota protes dan diberitahu bahwa ini sebagai respons atas permintaan tak mendasar dari negara-negara bersangkutan dalam mengusir para diplomat Rusia, pihak Rusia menyatakan Persona Non-Grata untuk jumlah yang sama untuk staf (diplomatik) yang bekerja di masing-masing kedutaan negara-negara itu di Federasi Rusia.

C. RULES 1. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik Dalam Pasal 9 yang mengatur mengenai Persona Non-Grata menyatakan sebagai berikut2: “The receiving State may at any time and without having to explain its decision, notify the sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is Persona Non Grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving State.”

Yang berarti bahwa Negara penerima boleh setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya, memberitahu Negara pengirim bahwa kepala misinya atau seseorang anggota staf diplomatiknya adalah Persona Non-Grata atau bahwa anggota lainnya dari staf misi tidak dapat diterima. Dalam hal seperti ini, Negara pengirim, sesuai dengan mana yang layak, harus memanggil orang tersebut atau mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misi. Seseorang dapat dinyatakan non grata atau tidak dapat diterima sebelum sampai di dalam teritorial Negara penerima. Dan Konvensi Wina 1961 Pasal 3 ayat 1 huruf (d), yaitu: 3 “Ascertaining, by all lawfull means, conditions and developments in the receiving state and reporting thereon to the government of the sending state” atau dapat diartikan bahwasannya utusan Negara pengirim dapat melaporkan dengan segala cara yang sah perkembangan dan kondisi Negara penerima kepada Negara pengirim.

2 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Ps.9. 3 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Ps.3 ayat 1.

16 Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia

D. RUMUSAN MASALAH Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang diangkat melalui pembahasan analisis kasus diplomatik ini ialah: 1. Hal-hal apa saja yang dapat menjadi dasar legitimasi Persona Non Grata dalam praktek hukum internasional?

E. ANALISIS KASUS Diawali dengan kasus peracunan seorang mantan agen ganda Rusia bernama Sergei Skripal dan putrinya, Yulia, yang ditemukan tak sadarkan diri di Salisbury. Gas racun yang digunakan pun merupakan senjata kimia yang dikembangkan pada era Uni Soviet yang bernama Novichok. Inggris menilai bahwa hal ini merupakan sesuatu yang mengancam nyawa masyarakatnya, dan menuding pemerintah Rusia adalah dalangnya. Tidak puas dengan jawaban Rusia terhadap kasus ini, Inggris pun merespon dengan keras sehingga mengusir 23 diplomat Rusia dari Inggris. Hal ini pun didukung oleh negara-negara lainnya sebagai bentuk solidaritas kepada Inggris, berbagai negara ini pun turut mengusir beberapa diplomat Rusia dari negaranya. Menanggapi hal ini Rusia pun memberikan balasan dengan mengusir diplomat dari negara-negara yang bersangkutan tersebut. Menurut Pasal 9 Konvensi Wina 1961: “The receiving State may at any time and without having to explain its decision, notify the sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is Persona Non Grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving State.”

Dalam Pasal 9 tersebut dinyatakan bahwa negara penerima kapan saja dan tanpa memberikan penjelasan terkait keputusannya, memberitahukan pada negara pengirim bahwa perwakilan diplomatiknya adalah Persona Non-Grata, atau tidak dapat diterima. Persona Non-Grata sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961, memang merupakan salah satu jawaban yang disediakan ketika terjadi permasalahan diplomatik antara Negara penerima dan pengirim.

17 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Sayangnya praktek Persona Non-Grata semacam ini, pada prakteknya akan menimbulkan reaksi pembalasan dari Negara yang perwakilan diplomatiknya di Persona Non-Grata-kan. Sehingga akan menimbulkan masalah, dan bukan tidak mungkin ketegangan politik. Di bawah ketentuan inilah, Inggris beserta negara-negara lainnya memberikan respon keras dengan mengusir perwakilan diplomatik Rusia dari negaranya, begitu juga dengan Rusia. Hubungan diplomatik dilihat dari perspektif hubungan internasional modern dapat dilakukan antar negara secara bilateral guna memelihara dan meningkatkan pembangunan bangsa dan negara dalam rangka mencapai tujuan nasional. Hubungan antar negara dengan negara lain senantiasa berubah-ubah sesuai dengan keadaan kondisi dari negara-negara yang mengadakan hubungan tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan mungkin hubungan tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi dari negara-negara tersebut, di mana pada saat ini pergeseran peta politik dunia semakin mendesak. Lain halnya jika terjadi insiden yang melanggar hukum atau mengancam masyarakat daripada negara penerima. Dengan adanya kondisi ini jelas akan merugikan masing-masing pihak dimana dalam hubungan antar negara tersebut akan terjadi kemunduran yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Oleh karena itu segala usaha yang mengarahkan pada pemeliharaan dan penjagaan perdamaian dan keamanan internasional haruslah mendapat perhatian utama dan penting bagi negara-negara yang melakukan hubungan internasional. Media diplomasi dapat mengalami perubahan yang disesuaikan oleh kebutuhan suatu negara, yakni dari diplomasi dengan cara damai dapat berubah menggunakan kekerasan, seperti halnya ancaman dan tindakan tegas untuk menekan negara lain. Adanya perubahan sarana diplomasi dikarenakan antara dua negara yang berselisih tidak memiliki trust (kepercayaan), respect (rasa saling menghormati) dan keselarasan. Salah satu bentuk dari penggunaan tindakan tegas dan ancaman yaitu dengan melakukan penangguhan hubungan diplomatik antara negara satu dengan negara lain. Itu dilakukan karena dua negara bersikeras untuk mempertahankan argumennya. Aturan hukum internasional yang disediakan masyarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan kerjasama.

18 Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia

Konvensi Wina 1961, khususnya Pasal 9, memberikan hak eksklusif kepada negara penerima untuk tidak menerima, menolak, ataupun mengusir perwakilan diplomatik negara pengirim tanpa adanya dasar alasan yang sah. Akan tetapi, alasan yang biasanya ditemui adalah adanya pelanggaran kedaulatan negara penerima, mengancam kedamaian negara penerima, dan adanya pelanggaran terhadap hukum nasional negara penerima. Salah satu konsep dalam Hukum Diplomatik adalah Persona Non Grata. Pernyataan Persona Non Grata yang dikenakan kepada seorang diplomat khususnya terhadap mereka yang sudah tiba di negara tujuan, melibatkan terhadap kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi Wina 1961 yaitu: 1) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan saja dapat juga merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima. 2) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu sudah jelas melanggar peraturan hukum dan perundang-undangan negara penerima. 3) Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap dapat mengganggu baik stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima. Pengusiran perwakilan diplomatik yang dilakukan oleh Inggris merupakan bentuk dari respon keras terhadap kasus peracunan ini, dimana perwakilan diplomatik yang diusir merupakan pejabat intelijen Rusia yang tidak dilaporkan. 23 diplomat Rusia yang diusir oleh Inggris ini dituduh melakukan spionase. Di era informasi dan saling ketergantungan ini, penugasan misi intelijen secara terbuka biasanya dilakukan melalui fungsi diplomatik. Dalam hal ini, tidak sedikit negara asing yang menempatkan agen mata-mata berkedok sebagai diplomat di kedutaan. Di lain pihak, negara penerima juga umumnya telah mengetahui keberadaan agen-agen intelijen asing “resmi” tersebut.4

4 Prayoga Limantara, Diplomasi dan Praktik Spionase, diakses dari https://kumparan.com/prayoga-limantara/diplomasi-dan-praktik-spionase-1535102534011234035, diakses pada 16 Oktober 2019.

19 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Kegiatan mata-mata oleh seorang diplomat merupakan salah satu pelanggaran kejahatan dalam kekebalan diplomatik, jika kejadian itu terungkap, diplomat itu dapat ditarik kembali oleh negaranya atau dinyatakan Persona Non Grata oleh negara penerima. Bisa menjadi konflik yang sangat rumit ketika negara tempat pengirim diplomat tersebut melakukan aksi balasan tanpa adanya alasan yang sah menurut hukum internasional maupun nasional yang dilanggar oleh diplomat negara lain yang bertugas di negaranya. Jadi diplomat memegang peranan sentral bagi negara yang mengirimnya dalam menjaga hubungan baik dalam berdiplomasi antar negara, ketika seorang diplomat diusir, maka seketika itu pula kewibawaan negara tempat diplomat tersebut ditugaskan menjadi terusik. Seorang diplomat atau duta besar kadang-kadang disebut sebagai mata dan telinga dari pemerintahannya di luar negeri. Adapun tugas-tugas pokoknya adalah5: 1. Untuk melaksanakan politik/kebijaksanaan dari negaranya sendiri; 2. Untuk melindungi kepentingan negaranya dan warga negaranya; dan 3. Untuk memberikan informasi, bahan-bahan, keterangan, dan laporan kepada pemerintahannya tentang perkembangan penting di dunia ini. Tugas, kewajiban atau fungsinya berdasar fase pokok dari diplomasi, yaitu:6 1) Perwakilan (Representative) Seorang perwakilan diplomatik merupakan wakil resmi dan tidak resmi dari negaranya di negara lain atau asing. Dalam pandangan kebanyakan warga negara di mana perwakilan diplomatik itu ditempatkan, ia merupakan negara yang diwakili, dan negaranya akan dinilai menurut tindakan-tindakan sang perwakilan diplomatik itu. 2) Perundingan (Negotiating) Seorang perwakilan diplomatik menurut definisinya adalah orang yang melakukan perundingan, atau yang berunding. Dengan demikian kewajiban seorang perwakilan diplomatik meliputi untuk merencanakan berbagai macam persetujuan bilateral dan multilateral yang dituangkan ke dalam perjanjian-perjanjian yang pokok bahasannya dapat berupa pembentukan suatu organisasi, perubahan wilayah, dan lain sebagainya.

5 May Rudy, Hukum Internasional Jilid 2, Refika Aditama Bandung, 2006, Hlm.72. 6 May Rudy, Ibid., Hlm.73.

20 Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia

3) Laporan (Reporting) Seorang perwakilan diplomatik haruslah merupakan seorang pelapor yang baik. Laporan-laporan yang dikirim oleh para perwakilan di luar negeri merupakan bahan-bahan untuk menetapkan politik luar negeri, yang meliputi hampir semua pokok atau soal, mulai dari penyelidikan teknis sampai penilaian psikologis dari bangsa-bangsa lain. 4) Perlindungan atas kepentingan bangsa atau negaranya dan dari warga negaranya di luar negeri Seorang perwakilan diplomatik diharapkan dapat bergaul dan diterima dengan baik oleh penguasa-penguasa negara di mana ia ditempatkan, serta harus berusaha untuk menghindarkan atau mengoreksi praktek-praktek dari negara di mana beliau ditempatkan, yang bersifat diskriminasi terhadap negaranya atau warga negaranya. Perbuatan melanggar hukum yang diduga dilakukan oleh Rusia lewat anggota intelijennya di Inggris merupakan suatu kejahatan yang serius, karena mengancam nyawa masyarakat dan melanggar kedaulatan Inggris. Inggris pun menuding apa yang dilakukan oleh anggota intelijen Rusia ini merupakan komando langsung dari pemerintah Rusia, khususnya Presiden Rusia, Vladimir Putin. Tudingan yang dianggap konyol oleh Rusia ini merupakan hal yang serius, karena melibatkan penggunaan senjata kimia berbahaya yang dikembangkan pada saat Uni Soviet masih berdiri. Akan tetapi, kemunculan jejak gas beracun ini di Salisbury menandakan bahwa sisa-sisa dari Uni Soviet masih ada. Entah itu ideologi, kepentingan terselubung melalui misi-misi rahasia, ataupun keberadaan senjata mematikan lainnya yang telah terbukti digunakan untuk percobaan pembunuhan mantan agen yang dinilai tidak sejalan dengan pemerintahan Rusia, walaupun Rusia menyatakan telah menghancurkan senjata kimia era Uni Soviet. Melalui kejadian ini, hubungan antar Inggris-Rusia semakin buruk, diikuti dengan sejumlah negara lainnya yang secara kolektif ikut mengusir perwakilan diplomatik Rusia dari wilayahnya masing-masing. Adanya pembekuan aset-aset pemerintah Rusia juga merupakan bentuk sanksi yang diberikan oleh Inggris.

21 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Di dalam praktek hukum internasional, pembekuan aset diatur dalam Resolusi DK PBB Nomor 1373 terkait terorisme, serta dalam pemberantasan korupsi internasional, maupun apabila terdapat hal-hal yang membahayakan stabilitas negara, maka pembekuan aset pun dapat dilakukan terhadap suatu negara. Ini mengawali suatu permasalahan diplomatik antar negara-negara tersebut. Akan tetapi, ini juga dianggap sebagai sanksi terhadap Rusia yang diduga terlibat dalam peracunan Skripal, serta menunjukan kecaman oleh dunia internasional terhadap kejadian ini. Akibat yang ditimbulkan dari pengusiran perwakilan diplomatik ini ialah mundurnya hubungan persahabatan antar negara-negara yang bersangkutan tersebut, tidak dapat dilaksanakannya berbagai kepentingan negara, serta krisisnya hubungan diplomatik antar negara ini juga menghambat proses penyelesaian masalah yang ada.

F. KESIMPULAN Dalam hubungan internasional, memberikan label Persona Non-Grata bagi perwakilan diplomatik merupakan hal yang biasa, dan telah terkonsep dalam Hukum Diplomatik yang mengaturnya. Oleh karena itu, langkah Inggris beserta negara-negara lainnya yang mengusir atau meng-Persona Non-Grata-kan perwakilan diplomatik Rusia adalah sah dan tidak melanggar hukum internasional, walaupun tidak adanya aturan yang terhadap alasan apa saja yang dapat dijadikan acuan atau dasar untuk memberi Persona Non-Grata pada perwakilan diplomatik negara pengirim. Jadi, Persona Non-Grata terhadap perwakilan diplomatik juga dapat ditandakan sebagai sanksi atau kecaman terhadap keputusan politik negara pengirim yang mempengaruhi atau mengancam kedamaian negara penerima maupun masyarakat internasional yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip internasional.

22 Amanda Eugenia Soeliongan Legal Opinion: Peracunan Eks Spionase Rusia

DAFTAR PUSTAKA

Rudy, May. 2006. Hukum Internasional Jilid 2. (Bandung: Penerbit Refika Aditama) Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. (Jakarta: Penerbit Rajagrafindo Persada) Prayoga Limantara, Diplomasi dan Praktik Spionase diakses dari https://kumparan.com/prayoga-limantara/diplomasi-dan-praktik-spionase-15 35102534011234035, diakses pada 16 Oktober 2019. Konvensi Wina 1961 Tentang Hubungan Diplomatik. Resolusi DK PBB Nomor 1373.

23 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

PEMBATASAN HAK VETO DALAM DK-PBB TERKAIT KONFLIK BERSENJATA DI SURIAH Danang Wahyu Setyo Adi

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Adi, Danang Wahyu Setyo. Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi tatanan internasional baru yang dibentuk setelah kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pasca perang dunia. Di dalam PBB, terdapat organ-organ penting salah satunya adalah Dewan Keamanan (Security Council) dengan lima anggota tetap meliputi Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Perancis dan China. Lima anggota tetap tersebut memiliki kewenangan untuk mengeluarkan hak Veto terhadap kebijakan yang akan ditetapkan. Termasuk salah satunya adalah kebijakan untuk mengeluarkan resolusi terhadap kasus konflik bersenjata di Suriah. Tulisan ini akan membahas dengan lebih mendalam berkaitan dengan kebijakan resolusi tersebut ditinjau dari sumber hukum internasional dan teori-teori yang berkaitan. Termasuk dalam hal ini penulis mengritisi konsepsi hak Veto yang melekat pada lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang seharusnya ditujukan dan digunakan untuk mencapai perdamaian dunia dan bukan untuk kepentingan tertentu. Kata Kunci: Dewan Keamanan PBB, Konflik Bersenjata di Suriah, Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

24 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

A. PENDAHULUAN Pada saat berakhirnya Perang Dunia I, dibentuk suatu perjanjian Versailles pada tahun 1919. Perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian terkait pengakhiran Perang Dunia I pada tanggal 28 Juni 1919, dan juga merumuskan berdirinya Liga Bangsa-bangsa. Liga Bangsa-bangsa (LBB) resmi dibentuk pada tanggal 10 Januari 1920. Peran penting LBB yaitu, mencegah terjadinya perang melalui keamanan bersama negara-negara anggota. LBB mengalami kegagalan saat mencegah berbagai serangan yang terjadi pada tahun 1930-an. Pada tahun 1939 terjadi perang baru yang disebut dengan Perang Dunia II. Pecahnya Perang Dunia II menunjukkan LBB telah gagal mencegah pecahnya perang. Setelah Perang Dunia II berakhir pada tanggal 18 April 1946, LBB resmi dibubarkan dan diganti dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1946, yang mempunyai tugas untuk mencegah terjadinya konflik serupa (Perang Dunia) untuk ke III kalinya.1 Tujuan terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa yaitu2: 1. Menciptakan suatu perdamaian serta keamanan internasional, dan digunakan untuk mengambil suatu tindakan yang bersama-sama secara efektif guna pencegahan dan penghapusan dari suatu ancaman. 2. Terkait perdamaian, dan untuk menekankan suatu tindakan agresi ataupun pelanggaran lain, untuk membawa dalam cara damai, dan juga sesuai dengan prinsip keadilan serta hukum internasional, serta penyelesaian suatu konflik internasional ataupun situasi yang dimungkinkan melanggar suatu perdamaian. 3. Meningkatkan hubungan baik antar negara yang didasarkan pada penghormatan terkait dengan prinsip persamaan hak dan juga menentukan nasib sendiri, dan mengambil suatu tindakan yang tepat lainnya guna memperkuat perdamaian universal. 4. Mewujudkan kerjasama internasional dan memecahkan permasalahan internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, serta menciptakan dan mendorong suatu penghormatan HAM serta kebebasan bagi semua tanpa memandang ras, suku, bahasa, ataupun agama. 5. Mewujudkan harmonisasi suatu tindakan negara dalam mencapai tujuannya.

1 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2016, Hlm.118. 2 Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988, Hlm.106.

25 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Dalam menjalankan visi dan misi untuk mencapai suatu tujuan, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mempunyai lima organ utama yaitu3 Majelis Umum (The General Assembly), Dewan Keamanan (The Security Council), Dewan Ekonomi dan Sosial (The Economic and Social Council), Mahkamah Internasional (The International Court of Justice), Sekretaris Jendral (The Secretariat). Organ-organ yang berperan aktif dalam menyelesaikan konflik yaitu Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan Sekretaris Jenderal. Dalam hal ini, Majelis Umum memiliki kewenangan untuk merekomendasikan dan membicarakan hal yang termasuk ruang lingkup dari piagam PBB. Dewan Keamanan dan juga Majelis Umum membuat suatu rekomendasi untuk penyelasaian yang ada diantara para pihak ataupun negara-negara yang sedang berkonflik, serta menemukan suatu fakta- fakta dari suatu permasalahan.4 Tugas dari Sekretaris Jendral yaitu guna menyelidiki penyelesaian atas permintaan Majelis Umum, tugas terpenting dari Sekretaris Jendral yaitu pemeliharaan perdamaian PBB.5 Melihat pada konflik Suriah berawal dari sebuah protes tekait penangkapan beberapa pelajar di suatu tempat yaitu Kota Daraa.6 Konflik Suriah merupakan konflik yang diawali dengan pembakaran salah seorang penduduk yang bernama Hasan Ali Akleh tanggal 26 Januari 2011. Dari aksi bakar diri, terjadi demonstrasi di al-Raqqah tanggal 28 Januari 2011. Demonstrasi mendapatkan beberapa respon bagi kematian 2 tentara Kurdish tanggal 12 Januari 2011. Kemudian aksi-aksi tersebut dibubarkan oleh tentara Suriah dan akibatnya ada beberapa demonstran ditahan. Kemudian, banyak aksi-aksi yang menyuarakan pemberhentian rezim Assad tanggal 6 Maret 2011. Secara implisit gerakan revolusi dalam artikel dengan judul “The Youth of Syria : The Rebels on Pause”.7 Demonstrasi dan protes ini menjadi pemberontakan nasional Suriah dan menjadi perang sipil.8

3 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1989, Hlm.835. 4 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Penerbit UI Press, Jakarta, 2004, Hlm.298. 5 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit P.T.Alumni, Bandung, 2015, Hlm.591. 6 Stephen Starr, Revolt in Syria: Eye-Witness to the Uprising, Penerbit C Hurst & Co, London, 2012, Hlm.3. 7 Rania Abouzeid, The Youth of Syria: The Rebels Are on Pause, diakses dari http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2057454,00.html, diakses pada 10 Oktober 2017. 8 Sinar Harian, PBB Sahkan Syria di Kancah Perang Saudara, edisi 13 Juni 2012.

26 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

Pada perang ini tidak hanya senjata konvensional yang digunakan sebagaimana mestinya, melainkan juga senjata kimia yang diindikasikan sebagai senjata pemusnah massal, dan pada tahun yang berbeda penjatuhan bom klorin dilakukan dengan menggunakan pesawat tempur Rusia.9 Konflik Suriah ini mendapat resolusi dari Liga Arab didasarkan tindakan kejam yang mengarah pada kekerasan kemanusiaan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Resolusi dari Liga Arab mendapatkan suatu dukung dari Dewan Keamanan.10 Banyaknya korban jiwa, maka banyak pro dan kontra dari Dewan Keamanan11 untuk mengakhiri konflik Suriah.12 Suatu tindakan dari Dewan Keamanan untuk mengakhiri konflik di Suriah ini mengalami konflik internal di anggota tetapnya. Berulang-ulang telah dilakukan suatu perundingan penyelesaian secara damai tetapi tidak tercapai suatu kesepakatan, sudah terfikirkan untuk dikeluarkan resolusi namun selalu ada bayangan hak Veto dari anggota tetap Dewan Keamanan.13 Resolusi Dewan Keamanan dikeluarkan pada 4 Oktober 2011, yang berisikan untuk mengakhiri kekerasan yang telah menimbulkan korban jiwa yang banyak14 serta menyatakan dalam resolusi terkait perdamaian serta perlindungan hak asasi manusia (HAM). Topik bahasan dalam tulisan ini meliputi : 1. Sumber hukum dan konsep dasar Hukum Internasional yang diterapkan; 2. Yurisdiksi yang Yurisdiksi Kepribadian yang berlaku; dan 3. Putusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

9 BBC Indonesia, AS Pastikan Suriah Gunakan Senjata Kimia, diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/08/130828_as_biden_suriah, diakses pada 5 April 2017. 10 Kunto Wibisono, Dewan Keamanan PBB “Kecam” Penindasan Suriah, diakses dari https://www.antaranews.com/berita/270111/dewan-keamanan-pbb-kecam-penindasan-suriah, diakses pada 17 September 2017. 11 A. Setiawan, Dewan Keamanan PBB Kecam Penindasan Suriah, diakses dari http://www.dw.de/dw/article/0,,15805229,00.html, diakses pada 9 September 2017. 12 OkeZone Internasional, AS Persiapkan Aksi Militer Awal ke Suriah, diakses dari http://international.okezone.com/read/2012/03/08/414/589227/as-persiapkan-aksi-militer-awal-ke- suriah, diakses pada 9 September 2017. 13 Viva News, Rusia Siap Veto Resolusi PBB Soal Suriah, diakses dari http://dunia.vivanews.com/news/read/284999-rusia-siap-Veto-resolusi-pbb-soal-suriah, diakses pada 9 Oktober 2017. 14 United Nations Security Council, Securuty Council Fails to Adopt Draft Resolution Condemning Syria’s Crackdown on Anti-Government Protestors, Owing to Veto by Russian Federation, China, diakses dari http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10403.doc.htm, diakses pada 10 Oktober 2017.

27 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

B. PEMBAHASAN 1. Ketentuan dan Teori Hukum Internasional Dasar Aturan atau Ketentuan a. Pasal 1 Piagam PBB (The Purposes of the United Nations) Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk itu untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, serta untuk penindasan tindakan agresi atau pelanggaran perdamaian lainnya. Untuk mewujudkan dengan cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyelesaian sengketa atau situasi internasional yang mungkin mengarah pada pelanggaran perdamaian. Untuk mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan pada penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat, serta untuk mengambil langkah-langkah lain yang sesuai untuk memperkuat perdamaian universal. Untuk mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan masalah- masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan dalam mempromosikan serta mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua orang tanpa perbedaan dalam hal ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Untuk menjadi pusat untuk menyelaraskan tindakan negara-negara dalam mencapai tujuan bersama ini. Artinya : Melihat resolusi DK-PBB ini sangat bertolak belakang dan mengingkari realitas yang ada, dalam konflik suriah sudah jelas sekali tidak sejalan dengan tujuan dari PBB. Seperti pelanggaran HAM, Agresi, dan lain-lain sehingga tidak tampak konflik ini diselesaikan secara efektif dan damai. b. Pasal 24 Piagam PBB (Function and Powers) Untuk memastikan tindakan yang cepat dan efektif oleh PBB, para anggotanya mengemban tanggung jawab utama Dewan Keamanan untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, serta sepakat bahwa dalam melaksanakan tugasnya di bawah tanggung jawab ini Dewan Keamanan bertindak atas nama mereka. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini Dewan Keamanan akan bertindak sesuai dengan Tujuan dan Prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

28 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

Artinya : tujuan PBB sudah tidak sinkron lagi dengan kenyataan, seperti tidak adanya suatu prinsip keadilan, tidak tampaknya prinsip pencegahaan dan penghapusan ancaman serta penyiksaan dengan kekerasaan yang tidak manusiawi. Seharusnya dalam konflik ini DK-PBB memiliki peran besar untuk bisa meredam konflik dalam kondisi apapun, karena DK-PBB mempunyai fungsi dan kekuatan, bukan membatalkan Resolusi No. S/612/2011 Tanggal 4 Oktober 2011. c. Pasal 27 Piagam PBB (Voting) Setiap anggota Dewan Keamanan akan memiliki satu suara. Keputusan- keputusan Dewan Keamanan mengenai masalah-masalah prosedural harus dibuat dengan suara setuju dari sembilan anggota. Keputusan Dewan Keamanan mengenai semua hal lain harus dibuat dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara setuju dari anggota tetap. Artinya : Ada suatu kekeliruan dalam sistem pengambilan suara, menurut hemat saya voting seharusnya didominasi dengan suara yang terbanyak, bukan salah satu tidak setuju maka keputusan tersebut tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya, terkait permasalahn yang sangat darurat menyangkut hajat hidup orang banyak yang berhadapan dengan HAM. d. Pasal 28 Piagam PBB (Procedure) Dewan Keamanan harus diatur sedemikian rupa agar dapat berfungsi terus menerus. Dewan Keamanan akan mengadakan pertemuan berkala dimana masing- masing anggotanya dapat, jika diinginkan, diwakili oleh anggota pemerintah atau oleh perwakilan yang ditunjuk khusus lainnya. Artinya : seharunya pengaturan tentang prosedural pun harus rinci, seperti perincian pengambilan suara (Veto), suara itu bisa digunakan dalam hal apa saja, memang itu merupakan suatu hak istimewa, tapi menurut aturan-aturan hukum yang kata istimewa juga perlu adanya pembatasan, untuk menanggulangi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi kasus-kasus yang tidak cepat terselesaikan dalam dunia internasional yang berlembaga dalam naungan PBB. e. Pasal 39 Piagam PBB Dewan Keamanan akan menentukan adanya ancaman, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil.

29 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Artinya : Segala sesuatu harus bersumber pada Dewan Keamanan PBB, yang menentukan ya dan tidak diberhentikan melalui resolusi dari Dewan Keamanan PBB, karena Resolusi No.S/612/2011 Tanggal 4 Oktober 2011 merupakan suatu tindakan perang-agresi, resolusi awal ini merupakan langkah untuk penyelesaian konflik di Suriah, tetapi terjadi penyalahgunaan hak istimewa diantara salah satu DK-PBB pemegang Veto menolak akan resolusi tersebut, sehingga permasalahan ini terus berlanjut. f. Konvensi Den-Haag 1907 Secara garis besar di konvensi ini mengatur tentang cara berperang dan sarana serta prasarana senjata apa saja yang diperbolakan digunakan dalam perang ataupun agresi. Seperti senjata pemusnah massal tidak boleh digunakan dalam aturan-aturan berperang.15 Artinya : Mengingkari realitas aturan dari konvensi Den-Haag Negara tidak memandang senjata apa saja yang diperbolehkan, apalagi agresi yang dilakukan secara tiba-tiba. Peperangan membabi buta karena senjata pemusnah masal yang terjadi di Perang agresi suriah pada tangal 15 april 2018 kemarin merupakan suatu gas beracun klorin dan sarin, yang diklaim oleh PBB itu sangat melanggar dalam aturan-aturan Den-Haag 1907.16 g. Konvensi Jenewa Keempat 1949, “Mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” dan Protokol Tambahan I (1977) mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Secara berkala Konvensi Jenewa membahas terkait perlindungan orang sipil dan protokol tambahan membahas perlindungan korban perang, seperti perempuan, anak-anak, bahkan tempat yang tidak boleh dihancurkan seperti rumah sakit, ornamen-ornamen simbol besar budaya tidak boleh menjadi sasaran dalam perang ataupun agresi.17

15 Jean Pictet, Development and Principles of International Law, Penerbit Martinus Nijhoff, Dordrecht, 1985, Hlm.2. 16 Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War: An Introduction to International Humanitarian Law, Penerbit ICRC, Geneva, 2001, Hlm.40. 17 Christopher Greenwood dalam Dieter Fleck, ed., The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts, Penerbit Oxford University Press, USA, 2008, Hlm. 27-28.

30 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

Artinya : Pelanggaran konflik Suruah atas pembatalan Resolusi DK-PBB No.S/612/2011 Tanggal 4 Oktober 2011 ini seharusnya tidak bisa ditoleransi, dan sudah menyimpang dari ketentuan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, karena yang menjadi sasaran adalah tempat-tempat yang seharusnya dilindungi dan tidak boleh dihacurkan ataupun sasaran, sama seperti halnya warga sipil, perempuan serta anak-anak tidakdiperbolehkan untuk menjadi sasaran perang. h. Universal Declaration of Human Rights 1948 UDHR menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak18: 1) Hidup; 2) Kemerdekaan dan keamanan badan; 3) Diakui kepribadiannya; 4) Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah ; 5) Masuk dan keluar wilayah suatu Negara; 6) Mendapatkan asylum; 7) Mendapatkan suatu kebangsaan; 8) Mendapatkan hak milik atas benda; 9) Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan; 10) Bebas memeluk agama; 11) Mengeluarkan pendapat; 12) Berapat dan berkumpul; 13) Mendapat jaminan sosial; 14) Mendapatkan pekerjaan; 15) Berdagang; 16) Mendapatkan pendidikan; 17) Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat; 18) Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.

Artinya : Perlu disoroti dari UDHR yaitu isi pernyataan pada poin 1 dan 2, karena dalam peperangan Hak Hidup setiap manusia ingin mendapatkan perlindung oleh Negara, serta perlindungan Hak Kemerdekaan dan Keamanan Badan, melihat akibat dibatalkannya Resolusi No.S/612/2011, tidak hanya manusia satu saja yang hak hidupnya tidak dilindungi oleh Negara, melainkan hampir semua orang menjadi ancaman, banyak korban berjatuhan akibat konflik bersenjata Suriah ini, sehingga ini merupakan kejahatan kemanusian dalam kategori HAM berat.

18 David G. Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam, Midstream, New York, 1999.

31 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

i. Points of Resolution No.S/612/2011 1) Mengutuk keras hak asasi manusia yang berat dan sistematis pelanggaran dan penggunaan kekuatan terhadap warga sipil oleh otoritas Suriah, dan mengungkapkan penyesalan mendalam atas kematian ribuan orang termasuk wanita dan anak-anak. Artinya : Ini merupakan suatu pernyataan dari DK-PBB yang menyatakan bahwa perbuatan pelanggaran dengan menggunakan kekerasan militer harus segera diakhiri dikarena sudah tidak sejalan dengan tujuan PBB, Konvensi Jenewa, Konvensi Den-Haag serta UDHR, melihat point-point penting diatas sudah seharusnya konflik ini selesai, dan seharusnya juga DK-PBB selaku pengendali perdaimaian dan keamanan dunia tidak mencampuri kepentingan negaranya diatas negara yang sedang berkonflik. 2) Menuntut segera mengakhiri semua kekerasan dan mendesak semua pihak untuk menolak kekerasan dan ekstremisme. Artinya : pengakhiran ini didasarkan realitas kondisi yang ada, dari poin 2 bisa ditarik bahwa ini merupakan suatau kejahatan pada kejahatan kemanusian dalam status luar biasa (ekstrimisme) atau HAM berat, karena korban sudah mencapai ribuan baik anak-anak, perempuan dan warga sipil, seharusnya permasalahan-permasalahan daurat yang seperti inilah yang perlu segera diakhiri, tidak membantu atau mendalangi konflik oleh negara sahabat. 3) Ingat bahwa mereka yang bertanggung jawab atas semua kekerasan dan hak asasi manusia pelanggaran harus dimintai pertanggungjawaban. Artinya : Seharusnya segala sesuatu yang terjadi konflik di Suriah bisa dipertanggungjawabkan secara hukum baik itu pemerintah, dan tidak hanya itu seharusnya juga Organ-organ PBB yang aktif dalam menyelesaikan konflik ini (salah satunya DK-PBB) harus bisa mempertanggungjawabkan atas segala keputusannya, seperti membatalkan Resolusi No.S/612/2011 yang sampai saat ini konflik terus berlanjut, serta solusi efektif apa yang seharusnya PBB utuk mengambil langkah untuk pengakhiran konflik bersenjata Suriah tersebut, mengingat kembali bahwa tujuan dari PBB adalah menciptakan keamanan, perdamaian dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

32 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

4) Menuntut pemerintah Suriah segera : a) menghentikan pelanggaran hak asasi manusia, mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional yang berlaku, dan bekerja sama sepenuhnya dengan kantor Komisaris untuk Hak Asasi Manusia. b) memungkinkan pelaksanaan penuh hak asasi manusia dan kebebasan mendasar seluruhnya, termasuk hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, membebaskan semua tahanan politik dan menahan demonstran yang damai. c) menghentikan penggunaan kekuatan terhadap warga sipil. d) meringankan situasi kemanusiaan di daerah krisis, dengan membiarkan akses cepat, tanpa hambatan dan berkelanjutan, pemantauan hak asasi manusia, serta layanan dasar akses ke rumah sakit. e) memastikan pengembalian yang aman dari mereka yang telah melarikan diri dari kekerasan. Artinya : Ketika negara tidak mampu untuk mengatasi permasalahan dalam negaranya, maka permasalahan itu bisa di internasionalisasikan pada PBB meskipun dalam kasus ini Suriah bukan negara anggota bagian dari PBB melainkan bagian dari Liga Arab, Liga Arab memberikan Resolusi, tetapi tidak terlalu diperhatikan, sehingga permasalahan ini dilimpahkan kepada PBB melalui rekomendasi, karena PBB adalah tonggak utama yang sebagai wadah untuk menyelesaikan masalah secara univeersal. Maka dari itu, PBB menuntut Suriah seperti itu maka Suriah berkewajiban untuk melaksanakan, konflik ini merupakan krisis kemanusiaan dengan menggunakan kekuatan militer, penghancuran dengan angkatan bersenjata udara Suriah terhadap rumah sakit, menggunakan senjata pemusnah massal, terkurungnya kebebasan berpendapat dan tidak sesuainya prinsip-prinsip dalam hukum internasional yang ada yaitu teritorial dan kemerdekanan serta hak-hak lain suatu negara adalah tidak dapat diganggu gugat, setiap negara bebas untuk membangun sistem politik, sosial, ekonomi dan sejarah bangsanya, setiap negara wajib untuk hidup damai.

33 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

5) Panggilan untuk proses politik yang dipimpin Suriah yang inklusif dilakukan dalam lingkungan bebas dari kekerasan, ketakutan, intimidasi, dan ekstremisme, dan bertujuan secara efektif menangani aspirasi dan kekhawatiran sah penduduk Suriah, dan mendorong oposisi Suriah dan semua bagian masyarakat Suriah untuk berkontribusi untuk proses semacam itu. Artinya : Resolusi ini sudah sangat tepat, tetapi dalam proses pengambilan suara harus didasarkan pada politik yang bersih dan murni selaku pemegang Veto, yang tidak berlandaskan pada kepentingan negara pemegang Veto untuk mencampuri urusan dalam negeri. Dengan demikian jika pengambilan politik yang bebas dan murni maka akan tercipta suatau kedamaian tanpa kekerasan, tanpa ketakutan, tanpa intimidasi, serta seluruh negara berpartisipasi untuk membantu proses penyelesaian konflik bersenjata di Suriah. 6) Meminta Sekretaris Jenderal untuk terus mendesak Pemerintah Suriah mengimplementasikan paragraf 2 dan 4 di atas, termasuk dengan menunjuk pada waktu yang tepat Utusan Khusus dalam konsultasi dengan Dewan Keamanan, dan mendorong semua negara dan organisasi regional untuk berkontribusi pada tujuan ini. Artinya : Seharusnya tidak hanya meminta, melainkan juga memberi perhatian kepada Dewan Keamanan masalah apapun yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Karena Sekretaris Jenderal memiliki peran untuk menyelesaikan konflik internasional. 7) Mendorong negara-negara Liga Arab untuk melanjutkan upaya yang bertujuan mengakhiri kekerasan dan mempromosikan politik yang dipimpin Suriah yang inklusif proses. Artinya : Resolusi yang pertama kali keluar yaitu Resolusi dari Liga Arab sebelum dikeluarkannya Resolusi DK-PBB. Sudah seharusnya dalam ruang lingkup cakupan Negara Timur Tengah, Sehingga pada waktu itu Liga Arab mendorong, mendukung dan mengeluarkan suatu Resolusi yang tidak jauh berbeda dengan DK-PBB yaitu Resolusi untuk pengakhiran perang-agresi.

34 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

8) Sangat mengutuk serangan terhadap personil diplomatik dan mengingat kembali prinsip dasar dari diganggu gugat agen diplomatik dan kewajiban pada negara penerima, dalam Konvensi Wina 1961 tentang Diplomatik, untuk mengambil semua langkah yang tepat untuk melindungi dan mencegah kedutaan serangan terhadap agen diplomatik. Artinya : Memang di dalam Wina 1961 menghimbau kepada agen diplomatiknya untuk dikembalikan kepada negara pengirim, ketika negara penerima sedang berkonflik. Dikwatirkan menjadi sasaran konflik bersenjata, sehingga dikembalikan atau dipulangkan ke negara pengirim sampai situasi dalam status kondusif tidak berbahaya. 9) Menyerukan kepada semua negara untuk melakukan kewaspadaan dan menahan diri atas perintah langsung atau pasokan tidak langsung, penjualan atau transfer ke Suriah of arms dan material terkait dari semua jenis, seperti serta pelatihan teknis, sumber daya atau layanan keuangan, saran, atau layanan lainnya atau bantuan yang terkait dengan senjata dan materi terkait. Artinya : Seharusnya begitu karena, dikwatirkan misalnya ketika ada suatu layanan keuangan bisa saja dimungkingkan untuk transaksi bersenjata dari Negara sahabat, penonaktifan ini bertujuan untuk meminimalisir konflik yang berkelanjutan. 10) Meminta Sekretaris Jenderal untuk melaporkan implementasi ini resolusi dalam waktu 30 hari sejak diadopsi dan setiap 30 hari sesudahnya. Artinya : Poin ke sepuluh ini hanya membahas tentang prosedur berlakunya Resolusi saja. 11) Mengungkapkan niat untuk meninjau implementasi Suriah atas hal ini resolusi dalam waktu 30 hari dan untuk mempertimbangkan pilihannya, termasuk langkah-langkah di bawah Pasal 41 Piagam PBB.

35 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Artinya : Hal ini bisa terjadi apabila Suriah mau menerima Resolusi dari DK-PBB, dan mengambil pilihan dan langkah seperti apa, implementasi tersebut juga digaris besar oleh UN Charter dalam 41 terkait memutuskan tindakan apa yang tidak melibatkan penggunaan angkatan bersenjata. Tetapi hal tersebut menyimpangi dari peran DK-PBB sendiri dalam konflik tersebut, dimana salah satu DK-PBB pemegang Veto turut serta dalam peperangan tersebut dengan memfasilitasi Suriah dengan persenjataan yang dikirim oleh Rusia. Hal inilah yang menjadikan bahwa, perlunya rekonstruksi dan reformasi dalam organ-organ PBB sendiri, yang dibuktikan melalui kegagalan dalam penanganan konflik bersenjata internsional. 12) Keputusan untuk tetap aktif menyita masalah ini. Artinya : Keputusan yang dituangkan atau dibuat dalam bentuk Resolusi tersebut, maka tetap aktif (selalu ada) dalam pertimbangan masalah yang sama diantara resolusi-resolusi berikutnya. Konsep Dasar Hukum Internasional atau Asas Hukum Internasional a. Memilki Equality Rights (perlakuan hukum). b. Memiliki hak penuh terhadap kedaulatan. c. Teritorial dan kemerdekanan serta hak-hak lain suatu negara adalah tidak dapat diganggu gugat. d. Setiap negara wajib untuk hidup damai dengan negara lain.

Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970, terdapat tujuh asas hukum internasional yang berlaku yaitu : a. Setiap negara tidak melakukan ancaman agresi terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa setiap negara tidak memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Piagam PBB. b. Setiap negara harus menyelesaikan masalah internasional dengan cara damai. Dalam asas ini setiap negara harus mencari solusi damai, mengendalikan diri dari tindakan yang dapat membahayakan perdamaian internasional. c. Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain. Asas ini menekankan setiap negara memiliki hak untuk memilih sendiri keputusan politiknya, ekonomi, sosial dan sistem budaya tanpa intervensi pihak lain. d. Negara wajib menjalin kerjasama dengan negara lain berdasar pada piagam PBB, kerjasama itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional di bidang Hak Asasi Manusia, politik, ekonomi, sosial budaya, teknik, perdagangan.

36 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

e. Asas persaman hak dan penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu negara ditentukan oleh rakyat. f. Setiap negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajibannya, pemenuhan kewajiban itu harus sesuai dengan ketentuan hukum internasional. g. Asas persamaan kedaulatan dari negara, Setiap negara memiliki persamaan kedaulatan secara umum.

2. Jurisdiction and Personality Jurisdiction Organ-organ yang berperan aktif dalam menyelesaikan konflik yaitu Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan Sekretaris Jenderal. a. Majelis Umum (General Assembly) Majelis Umum terdiri dari wakil semua negara anggota dengan tidak lebih dari lima. Tiap-tiap negara memutuskan sendiri cara memilih wakil-wakilnya. Majelis Umum memiliki wewenang luas dalam memberikan saran dan rekomendasi berdasarkan Bab IV Piagam PBB (Pasal 9-14 Piagam). Berdasarkan Pasal 10 Piagam PBB disebutkan bahwa: Majelis Umum dapat membicarakan segala persoalan yang termasuk dalam ruang lingkup Piagam atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan fungsi suatu badan seperti yang terdapat dalam Piagam. Berdasarkan Pasal 12, Majelis dapat mengajukan rekomendasi kepada anggota PBB atau Dewan Keamanan atau kepada kedua badan tersebut mengenai setiap masalah. b. Dewan Keamanan (Security Council) Dewan Keamanan adalah salah satu dari enam organ utama PBB. Negara-negara anggota PBB telah memberikan tanggungjawab utama kepada Dewan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB yang terdapat pada Pasal 24 bahwa: Dalam menjalankan tugas-tugasnya, Dewan Keamanan harus bertindak sesuai dengan tujuan dan prinsip dari PBB. Dewan Keamanan harus menyampaikan secara tahunan dan, bila perlu, yaitu laporan khusus kepada Majelis Umum untuk dipertimbangkan.

37 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

c. Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag merupakan institusi internasional yang tugasnya menyelesaikan sengketa melalui judicial settlement. Lembaga ini merupakan lembaga independen yang secara hierarki tidak berada di bawah organ PBB lainnya. Mahkamah Internasional memiliki jurisdiksi untuk memberikan nasihat - Bahwa mahkamah tersebut tidak memiliki yurisdiksi memaksa (Compulsory Jurisdiction) dengan kata lain mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas suatu negara kecuali atas persetujuan atau consent dari para negara- negara yang berperkara. d. Sekretariat (The Secretariat) Sekretariat terdiri dari seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat oleh Majelis Umum atas usul Dewan Keamanan beserta staf yang diperlukan oleh organisasi. Upaya Sekretaris Jenderal PBB dalam penyelesaian sengketa termuat dalam dua Pasal penting, yaitu Pasal 98 dan Pasal 99 Piagam PBB. Pasal 98 menyebutkan: Memberi perhatian kepada Dewan Keamanan masalah apa pun yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional beserta fungsi laporan tahunannya.

3. Decision of the United Nations Security Council Putusan dari Dewan Keamanan PBB selaku organ penting untuk menyelesaikan konflik Internasional. Putusan dari Dewan Keamanan sudah tentu salah dengan cara mem-Veto draft resolusi S/2011/612 terkait pengakhiran konflik Suriah. Karena salah satu diantara anggota tetap Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Vetonya untuk kepentingan negara beserta pendukungnya. Seharusnya permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan memperhatikan dari sisi HAM, ini seharusnya menyetujui semua diantara satu dari beberapa resolusi terkait penghentian konflik Suriah. Sangat tidak dibenarkan apabila putusan Veto tersebut dilatarbelakangi dengan politisasi dan ajang promotor pertunjukan senjata kepada dunia.

38 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

Melihat dari sisi Deklarasi HAM sendiri ini merupakan suatu kejahatan HAM berat, karena semua tidak melihat apakah itu perempuan, anak-anak, ataupun warga sipil. Dan melihat Pasal dari Konvensi Den Haag perlindungan benda-benda yang seharusnya tidak boleh dihancurkan dalam bentuk alasan apapun, seperti benda-benda budaya, masjid dan rumah sakit. Tetapi dalam kasus ini melainkan penghancuran yang menjadikakan sasaran mereka untuk tempat persembunyian para tentara-tentara perang. Serta melihat dari sisi Konvensi Jenewa terkait perlindungan korban perang dan penggunaan senjata dalam perang ataupun agresi yang dimusnakan menggunakan senjata pemusnah masal (klorin) oleh negara pemegang Veto sendiri dalam wilayah teritorial Suriah. Selain itu juga seperti penduduk atau warga sipil menjadi, anak kecil, perempuan menjadi sasaran, seharusnya sangat tidak diperbolehkan karena sudah sesuai dan sepakat dan tertulis dalam perjanjian internasional, tetapi sekarang menjadi penyimpangan serta penyalahgunaan antara konvensi jenewa dan denhaag serta perjanjian internasional yang disepakati oleh Negara-negara didalamnya. Dari piagam PBB terkait Dewan Keamanan Pasal 27 dasar penolakan (Veto) terkait resolusi No.S/2011/612, ini merupakan suatu hak istimewa tanpa batas, artinya Negara berhak memberikan satu suara saja untuk menolak, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, seharusnya ada aturan pendukung terkait sistem voting yang mendominasi banyak atau tidaknya suara setuju dari 5 anggota tetap Dewan Keaman PBB. Sehingga jika memang seperti itu maka akan terjadi keseimbangan. Memang saat ini sangat perlu ada pembahasan lagi terkait rekonstruksi ataupun rekondisi dalam organ PBB merujuk Pasal 28 Piagam PBB.

C. PENUTUP Dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1946, yang mempunyai tugas untuk mencegah terjadinya konflik serupa (Perang Dunia). Pembentukan PBB ini bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia yang sesuai dengan Pasal 1 yang termuat dalam Piagam PBB, yang berdasarkan Perjanjian Internasional dan asas-asas dalam Hukum Internasional serta asas yang ada dalam pembentukan PBB.

39 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Organ-organ yang berperan aktif dalam menyelesaikan konflik Dalam hal ini, Majelis Umum (General Assembly), Majelis Umum terdiri dari wakil semua negara anggota dengan tidak lebih dari lima. Majelis Umum memiliki wewenang luas dalam memberikan saran dan rekomendasi berdasarkan Bab IV Piagam PBB (Pasal 9-14 Piagam) berdasarkan Pasal 10 Piagam PBB. Dewan Keamanan (Security Council) salah satu dari enam organ utama PBB. Negara-negara anggota PBB telah memberikan tanggungjawab utama kepada Dewan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB yang terdapat pada Pasal 24 Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sekretariat (The Secretariat) terdiri dari seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat oleh Majelis Umum atas usul Dewan Keamanan beserta staf yang diperlukan oleh organisasi. Upaya Sekretaris Jenderal PBB dalam penyelesaian sengketa termuat dalam dua pasal penting, yaitu Pasal 98 dan Pasal 99 Piagam PBB. Pasal 98 menyebutkan: Memberi perhatian kepada Dewan Keamanan masalah apapun yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional beserta fungsi laporan tahunannya. Dengan demikian seharusnya konflik-konflik internasional yang ditangani oleh PBB beserta organ-orannya seharusnya cepat terselesaikan dan tidak berkelanjutan yang bisa mengancam perdamaian ataupun keamanan internasional, maka jika menyelesaikan permasalahan tidak membawa kepentingan-kepentingan negara ataupun kepentingan politik. Melihat dari berbagai permasalahan yang ada seperti Suriah, Palestina sebagai bukti bahwa, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah gagal untuk menciptakan perdaimaian dunia. Perlu dibatasi juga penggunaan tentang hak Veto yang melekat pada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, supaya ada suatu pengaturan atau regulasi yang jelas terkait penggunaan dan sistem sistem pengambilan suara serta pengaturan apabila suatu negara tidak mematuhi putusan terhadap Pengadilan Internasional maka diperlukan sanksi pemberatan atas ketidakpatuhan terhadap Hukum Internasional yang ada.

40 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

Dan perlu diperjelas lagi dalam Pasal 28 Piagam PBB perlu diperinci kembali, supaya hak Veto yang melekat pada anggota tetap Dewan Keamanan PBB tidak disalah gunakan untuk kepentingan kelompok, melainkan digunakan kepentingan untuk menciptakan perdaiaman dunia serta tanpa kekerasaan melainkan melalui cara-cara yang sudah diatur dan disepakati oleh negara-negara. Veto sangat perlu dibatasi, suatu hal yang mendesak seperti resolusi No.S/2011/612 terkait permasalahan kemanusian terhadap perang dan agresi, dan Veto dikeluarkan ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip atau konsep dasar dari Hukum Internasional.

41 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku Anwar, Chairul. 1988. Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-bangsa. (Jakarta: Penerbit Djambatan). Greenwood, Christopher dalam Dieter Fleck, ed.. 2008. The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts. (USA: Penerbit Oxford University Press). Kalshoven, Frits and Liesbeth Zegveld. 2001. Constraints on the Waging of War: An Introduction to International Humanitarian Law. (Geneva: Penerbit ICRC). Littman, David G.. 1999. Universal Human Rights and Human Rights in Islam. (New York: Midstream). Mauna, Boer. 2015. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. (2015: Penerbit P.T.Alumni, Bandung). Pictet, Jean. 1985. Development and Principles of International Law. (Dordrecht: Penerbit Martinus Nijhoff). Starke, J.G.. 1989. Pengantar Hukum Internasional. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika). Starr, Stephen. 2012. Revolt in Syria: Eye-Witness to the Uprising. (London: Penerbit C Hurst & Co). Suwardi, Sri Setianingsih. 2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. (Jakarta: Penerbit UI Press). Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. 2016. Hukum Internasional Kontemporer. (Bandung: Penerbit PT Refika Aditama).

Koran dan Majalah Sinar Harian, PBB Sahkan Syria di Kancah Perang Saudara, edisi 13 Juni 2012.

Website Abouzeid, Rania. The Youth of Syria: The Rebels Are on Pause. diakses dari http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2057454,00.html. diakses pada 10 Oktober 2017. BBC Indonesia. AS Pastikan Suriah Gunakan Senjata Kimia. diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/08/130828_as_biden_suriah. diakses pada 5 April 2017. OkeZone Internasional. AS Persiapkan Aksi Militer Awal ke Suriah. diakses dari http://international.okezone.com/read/2012/03/08/414/589227/as- persiapkan-aksi-militer-awal-ke-suriah. diakses pada 9 September 2017. Setiawan, A.. Dewan Keamanan PBB Kecam Penindasan Suriah. diakses dari http://www.dw.de/dw/article/0,,15805229,00.html. diakses pada 9 September 2017. United Nations Security Council. Securuty Council Fails to Adopt Draft Resolution Condemning Syria’s Crackdown on Anti-Government Protestors, Owing to Veto by Russian Federation, China. diakses dari http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10403.doc.htm. diakses pada 10 Oktober 2017.

42 Danang Wahyu Setyo Adi Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah

Viva News. Rusia Siap Veto Resolusi PBB Soal Suriah, diakses dari http://dunia.vivanews.com/news/read/284999-rusia-siap-Veto-resolusi-pbb- soal-suriah. diakses pada 9 Oktober 2017. Wibisono, Kunto. Dewan Keamanan PBB “Kecam” Penindasan Suriah. diakses dari https://www.antaranews.com/berita/270111/dewan-keamanan-pbb- kecam-penindasan-suriah. diakses pada 17 September 2017.

Sumber Hukum The Hague Convention 1907 The Charter of the United Nations 1945 Universal Declaration of Human Rights 1948 Jenewa Convention 1949 The United Nations General Assembly Resolution 2625 1970 Protocol Additional to Geneva Conventions 1977 Resolution No. S/612/2011

43 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

ANALISA PENYELESAIAN PERBATASAN LAUT ANTARA PERU DENGAN CHILI YANG DISELESAIKAN OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ) Dwi Imroatus Sholikah

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Sholikah, Dwi Imroatus. Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Hukum laut yang merupakan cabang dari hukum internasional telah berkembang sejak dulu dan mengalami perubahan-perubahan yang sangat signifikan terkait peraturannya. Terlebih lagi hukum laut sangat berperan untuk membatasi daerah- daerah laut, daratan dan perairan suatu negara. Yang disini laut merupakan jalan yang sangat sering digunakan untuk menghubungkan suatu negara dengan negara lain untuk kepentingan perdagangan bahkan untuk kepentingan yang lainnya. Disisi lain adanya hukum laut internasional agar melindungi sumber daya alam agar tidak disalahgunakan. Mahkamah Internasional adalah untuk menyelesaikan sengketa antar negara anggota. Lembaga ini juga memberikan pendapat atau nasihat kepada badan-badan resmi dan lembaga khusus yang dibentuk oleh PBB. Dalam pelaksanaan tugasnya, Mahkamah Internasional mengacu pada konvensi- konvensi internasional untuk menetapkan perkara yang diakui oleh negara-negara yang sedang bersengketa. ICJ juga berpedoman pada kebiasaan internasional yang menjadi bukti praktik umum. Kata Kunci: Hukum Laut Internasional, Konflik antara Peru dengan Chili, Mahkamah Internasional (ICJ)

44 Dwi Imroatus Sholikah Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ)

A. PENDAHULUAN Perjanjian tentang laut internasional sudah dilindungi dalam peraturan UNCLOS 1982 yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu yang pertama laut merupakan Wilayah kedaulatan suatu Negara, seperti halnya laut teritorial dan laut pedalaman. Kedua laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan negara namun negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi tertentu terhadap aktifitas di laut tersebut, contohnya Zona Ekonomi Eksklusif. Ketiga laut yang memang benar-benar bukan wilayah kedaulatan Negara dan bukan merupakan hak-hak dan yurisdiksinya, namun Negara tersebut memiliki kepentingan di dalam laut tersebut, yaitu laut bebas.1 Zona-zona maritim yang termasuk ke dalam kedaulatan penuh adalah kapal pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Pasal 1 Konvensi Montevideo memberikan syarat-syarat terbentuknya negara yaitu adanya penduduk (permanent population), wilayah (a defined teritory), pemerintahan yang berdaulat (government) dan kemampuan berhubungan dengan negara lain (a capacity to enter into relations with the other states).2 Wilayah menjadi unsur yang sangat penting terbentuknya negara karena sebagai unsur konstitutif suatu negara. Di dalam hukum interasional sendiri tidak ada batasan harus mempunyai berapa luas wilayah suatu negara. Dilihat dari prespektif hukum, suatu wilayah negara menentukan ruang lingkup berlakunya hukum nasional suatu negra, sedangkan dalam sudut pandang politik wilayah suatu negara dan batas-batas wilayah negara merupakan suatu kekuasaan yang harus dilindungi dan dipertahankan segala sesuatu yang ada dalam wilayah negara tersebut.3 Dalam hal ini suatu wilayah negara sudah jelas akan berdampingan dengan wilayah negara lain, hal ini mengharuskan negara untuk hidup berdampingan dengan negara lainnya secara damai dan saling menghargai.4

1 Retno Windari, Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi- Konvensi Bidang Maritim, Penerbit Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, 2009, Hlm.18. 2 Budi Lazarusli dan Syahmin A.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Penerbit Remaja Karya, Bandung, 1986, Hlm.7. 3 Margaretha Hanita dalam Budi Hermawan Bangun, Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara: Prespektif Hukum Internasional, Tanjungpura Law Journal, Vol.1, No.1, (Januari 2017), Hlm.52. 4 Jawahir Thantowi, Hukum Internasional di Indonesia, Penerbit Madyan Press, Yogyakarta, 2002, Hlm.155.

45 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Sengketa wilayah antara Peru dan Chili melibatkan hubungan suatu negara dengan negara yang lain. Sengketa yang melibatkan kedua belah pihak tersebut masuk dalam ranah hukum internasional yang konfliknya didasari dengan sebab Peru dan Chili yaitu perbatasan antara kedua belah pihak sama-sama megklaim kepemilikan dari wilayah laut tersebut. Penetuan luas wilayah laut setiap negara terdapat pada UNCLOS 1982 yaitu tertuang pada Bab II tentang Teritorial Sea and Contigous Zone dari Pasal 2 sampai Pasal 32. Bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut sejauh 12 mil laut yang diukur dimulai dari garis pangkal yang telah diatur dalam UNCLOS 1982.5

B. PEMBAHASAN 1. Kronologi Kasus Peru vs. Chili Sengketa Peru dan Chili dimulai pada tahun 1947 yang diawali dengan klaim hak maritim 200 mil sepanjang pantai kedua Negara yang dipicu oleh Proklamasi Presiden Amerika Serikat Truman pada 28 September 1945 yang mengeluarkan pernyataan klaim atas landas kontinen bahwa negara menguasai sumber daya dari lapisan tanah dan dasar laut dibawahnya. Namun perikanan dan sumber daya air tetap tunduk pada yurisdiksi. Akhirnya Presiden Chili mengeluarkan deklarasi tentang klaim batas wilayah laut negaranya pada 23 Juni 1947, sedangkan Peru mengeluarkan Keputusan Agung Nomor 781 pada 1 Agustus 1947. Pada bulan Maret 1966, terjadi insiden di wilayah laut perbatasan, ketika Kapal perang angkatan laut Peru Diez Canseco merespon pelanggaran yang terjad di batas laut Chili-Peru oleh dua kapal penangkap ikan Chili (Mariette dan Angamos) dengan menembakkan 16 tembakan peringatan dari kanon. Dalam pertemuan subregional dalam kaitan dengan Kesepakatan Pasifik Selatan di Lima pejabat Peru mengadakan pertemuan dengan pejabat departemen luar negeri Chili untuk diskusi informal berkaitan dengan gesekan yang timbul dari kegiatan kapal nelayan di pesisir. Setelah itu Peru menulis kepada Chili pada tanggal 6 Februari 1968 menyatakan bahwa baik untuk negara harus membangun pos atau tanda- tanda dimensi dan terlihat pada jarak yang besar pada titik dimana perbatasan bersama mencapai laut dekat Penanda Batas nomor satu.

5 Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hlm.33.

46 Dwi Imroatus Sholikah Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ) Pada tanggal 8 Maret 1968, Chili menerima kesepakatan yang dicapai oleh para pihak. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah tentang operasi kapal nelayan Peru dan Chili ke pantai. Kemudian pada tanggal 23 Juli 1968 kapal penangkapan ikan Chili yang lain (Martin Pescador), diserang oleh kapal patroli Peru, di daerah sebalah utara perbatasan. Atas kejadian penyerangan Peru atas Chili tersebut pemilik kapal terluka oleh senjata tembakan api. Atico sebagai kapal patrol telah memberikan peringatan kepada 20 kapal Chili yang melakukan kegiatan diwilayah itu, pemberitahuan dipatuhi oleh semua kapal kecuali Martin Pescador. Sehingga kapal patroli menembak tanpa tujuan untuk peringatan yang mengakibatkan pemilik kapal terluka tanpa di sengaja. Chili sendiri juga memberlakukan batas maritim seperti Peru dimana kapal ilegal nelayan akan dikenakan sanksi jika melakukan penangkapan ikan diperairan selatan batas politik internasional. Kesepakatan tentang peraturan izin untuk eksploitasi sumber daya Pasifik Selatan dibawah naungan CPPS (Komisi Tetap Pasifik Selatan), Chili mengatur penerbitan izin untuk kapal-kapal asing yang menangkap ikan diwilayah perairan Chili dan ketentuan bahwa kapal asing penangkapan ikan yang tanpa izin akan dituntut. Dibawah rezim ini kegiatan penangkapan ikan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif. Adanya peraturan yang dikeluarkan oleh Chili bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi denda, Tindak Pidana bukan hanya melanggar aturan lalu lintas di laut melainkan juga kegiatan ilegal di laut teritorial Chili. Data yang masuk antar tahun 1984 dan 1994-2009 banyak kapal yang ditemukan di perairan Chili dan kebanyakn kapal yang berada di perairan Chili yaitu kapal Peru. Namun pada tanggal 28 Juli 2007 Presiden Peru menyatakan bahwa zona maritim antara Peru dan Chili tidak pernah dibatasi oleh kesepakatan atau perjanjian atau dalam instrument hukum yang mengatur. Atas dasar itu Peru menyatakan bahwa permasalahan batas akan ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan hukum kebiasaan internasional. Namun Chili berpendapat bahwa kedua belah pihak Negara sudah menyepakati batas dari zona maritime yang dimulai dari pantai dan kemudian berlanjut sepanjang lintang paralel, selain itu Chili telah menolak untuk mengakui hak-hak berdaulat Peru di daerah maritime yang terletak dalam batas 200 mil laut dari pantai.

47 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Chili beranggap bahwa Peru telah melanggar asa Pacta Sunt Servanda, karena Peru pada tahu 1968 telah menyetujui perjanjian batas laut antara Peru dan Chili, namun pada tahun 2007 peru menyatakan bahwa zona maritime Peru dan Chili tidak pernah dibatasi oleh kesepakatan atau perjanjian itu dan tidak pernah mencapai kata sepakat atau dengan kata lain tidak ada persetujuan akan perjanjian batas wilayah maritim tersebut. Pemerintah Peru secara resmi membawa sengketa ke Mahkamah Internasional pada tanggal 16 Januari 2008 sebagai akibat tidak pernah tercapainya kata sepakat dalam negosiasi yang dimulai pada tahun 1980 dan berujung pada sikap Chili yang diwakali oleh Menteri Luar Negeri Chili yang menutup pintu negosiasi pada tanggal 10 September 2004. 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah Internasional Penyelesaian sengketa intrnasional adalah melalui ICJ (International Court of Justice). Dalam hal ini negara yang bersengketa telah bersepakat untuk menyelesaikan sengketa untuk dibawah ke Mahkamah Internasional. Pada 16 Januari 2008 Peru mengajukan aplikasi kepada Mahkamah Internasional untuk menuntukan batas dari zona maritim dengan Chili sesuai dengan hukum internasional dan untuk memutuskan secara hukum dan menyatakan Peru memiliki hak berdaulat eksklusif maritim daerah yang terletak dalam batas 200 mil laut dari pantai, tetapi di luar zona ekonomi eksklusif Chili atau landas kontinen. Setelah proses pengajuan sengketa tahap selanjutnya yaitu tahap pembelaan dimana dalam pembelaan tersebut Peru dan Chili mempunyai perbedaan penafsiran tentang perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak pada tahun-tahun sebelumnya. a. Menurut Pembelaan Peru Dalam Deklarasi Santiago pasal IV tertulis mengenai batas maritim antara para Sepakat mengenai zona maritim tidak kurang dari 200 mil. Sesuai pasal tersebut metode yang akan diklaimkan secara eksklusif ke zona maritim pulau adalah dari titik paralel geografis dimana batas tanah masing-masing negara mencapai laut. Peru menilai bahwa Pasal IV tidak berlaku untuk situasi hubungan Peru-Chili. Akibatnya Deklarasi Santiago tidak termasuk kesepakatan mengenai batas antara zona maritim umum dari negara-negara penandatanganan.

48 Dwi Imroatus Sholikah Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ) b. Menurut Pembelaan Chilli Berbeda dengan Chili menurut Chili bahwa Deklarasi Santiago menetapkan kewajiban hukum yang mengikat. Hal ini dinyatakan dalm Pasal II, yaitu : “Pemerintah Chili, Ekuador dan Peru menyatakan sebagai norma kebijakan maritim internasional mereka bahwa masing-masing memiliki kedaulatan eksklusif dan yurisdiksi atas laut disepanjang pantai agar masing-masing untuk mengeluarkan jarak 200 mil laut dari pantai”. Ketetapan ini berkaitan dengan pemeliharaan kebijakan maritime internasional negara pihak tidak membuat kewajiban berkurang. Selanjutnya Pasal III menyatakan bahwa kedaulatan eksklusif dan yurisdiksi atas zona maritim juga harus mencakup kedaulatan eksklusif dan yurisdiksi atas dasar laut dan tanah di dalamnya. Ini sudah termasuk hak hukum yang berkaitan dengan wilayah maritim termasuk landas kontinen. Deklarasi Santiago memuat prinsip-prinsip dan dipertimbangkan selanjutnya, perjanjian lebih spesifik dalam pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip- prinsip tersebut, sebagai berikut6 : a. dua instrument yang ditandatangani pada tahun 1954 dan 1955 yang berkaitan dengan penerbitan izin untuk eksploitasi sumber daya maritim (baik yang hidup maupun yang tidak hidup) di zona maritim Chili, Ekuador dan Peru. b. Perjanjian berkaitan dengan ukuran pengawasan dan pengendalian zona maritim negara-negara penandatangan pad 1954 c. Perjanjian berkaitan dengan Zona Batas Maritim Khusus 1954 menciptakan zona toleransi di kedua sisi batas-batas maritim yang sudah dipisahkan dalam Deklarasi Santiago. 3. Keputusan Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional memutuskan sesuai Pasal 55 Statuta yang akan diputuska melalui suara terbanyak dari hakim yang hadir. Dalah hal putusan Hakim yang bersifat final, tanpa banding dan mengikat para pihak. Mahkamah menentukan batas maritim antar para pihak tanpa menentukan kordinat geografis.

6 ICJ, Rejoinder of the Government of Chile, Penerbit ICJ, Den Hag, 2011, Hlm.49-50.

49 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Ini mengingatkan bahwa belum adanya permintaan untuk melakukannya dalam pengiriman akhir pihak. Oleh karena itu Mahkamah Internasional mengharapkan bahwa para pihak akan menentukan ini dengan koordinat yang sesuai dengan putusan dengan adanya itikad baik dari masing-masing pihak agar menjadikan tetangga yang baik. Putusan dibacakan pada tanggal 27 Januari 2014 oleh Ketua Pengadilan Hakim Peter Tomka yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional. Peru dan Chili menyatakan akan mematuhi apapun hasil dari putusan Mahkamah Internasional mengenai sengketa mereka. Resolusi damai dari batas sengketa maritim ini harus dianggap suatu hubungan negara yang baik melihat bahwa asal mulanya sengketa ini dari permusuhan dan tumpang tindih kekuatan. Disini jelas Mahkamah Internasional berhasil mencapai kompromi yang masuk akal antara posisi absolut yang diinginkan Peru dan Chili. Dengan adanya putusan Mahkamah Internasional Peru dan Chili sama- sama sepakat Chili memiliki batas lateral untuk 80 nm dan beberapa perikanan terkaya di wilayah klaim tumpang tindih. Dan Peru meiliki batas berjarak sama dari titik itu ke 200 nm yang memberikan sekitar 21.000 km2 dari 38.000 km2 yang disengketakan. Dengan demikian, kedua belah pihak dapat mengklaim kemenangan sampai batas tertentu yang sudah disepakati menurut batas-batas wilayah. Putusan secara umum melekat pada proposisi bahwa delimitasi batas maritim merupakan suatu solusi yang adil. Pengadilan dalam putusannya secara proaktif dalam mencapai suatu hasil yang sudah dimohonkan dan diajukan para pihak tanpa berpihak dan condong dengan salah satu pihak. 4. Analisis Sengketa Wilayah Peru Vs. Chili Menggunakan Asas Uti Possidetis Juris Di dalam Hukum Internasional ada prinsip Uti Possidetis Juris yang secara sederhana dapat dikonsepkan bahwa wilayah atau batas suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah pendahulu. Penentuan wilayah yang berlandaskan Uti Possidetis Juris merupakan prinsip umum yang telah menjadi kebiasaan masyarakat internasional dalam penentuan wilayah baru, baik yang baru lahir melalui proses kemerdekaan secara sepihak ataupun melalui penggunaan hak untuk menentukan nasib sendiri.

50 Dwi Imroatus Sholikah Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ) Prinsip yang terkandung dalam Uti Possidetis Juris secara etimologi berasal dari bahasa Latin yang memiliki makna “sebagai milik ana” (as you possess). Makna tersebut berasal dari sejarah panjang hukum Romawi yang memiliki arti bahwa wilayah dan kekayaanlainnya mengikuti penguasaan pemilik asal yang telah disepakati oleh pemilik lama dan negara baru yang disepakati melalui perjanjian. Sehingga tujuan dari penerapan prinsip Uti Possidetis Juris ialah untuk mencegah terjadinya konflik-konflik yang didasari pada perebutan perbatasan oleh negara-negara baru. Prinsip ini telah menjadi bagian hukum kebiasaan internasional.7 Dalam kaitannya dengan kasus antar Peru dengan Chili dapat diterapkan prinsip uti possidetis juris, hal ini dikarenakan dari sejarah pembentukan negara Chili yang merupakan pemisahan dari negara Bolivia. Pada awalnya Chili telah diberikan ketetapan mengenai batas wilayah dan telah disetujui oleh negara Peru. Hal ini pula terjadi dengan adanya perjanjian di Lima yang telah disepakati oleh Peru dan Chili. Akan tetapi dikarenakan klaim secara sepihak berkaitan dengan 200 mil laut dari garis pangkal pantai yang dilatarbelakangi oleh adanya klaim Amerika Serikat. Sehingga Chili dan Peru saling klaim wilayah laut perbatasan meraka. Jika dikembalikan sesuai dengan kesepakatan awal, maka konflik antar dua negara bertetangaa ini tidak dapat terjadi. Tentu harus dengan syarat bahwa kedua negara harus memiliki persepsi penafsiran yang sama dengan yang ditentukan dalam Deklarasi Santiago dan Perjanjian Zona Batas Maritim Khusus. Suatu perjanjian membutuhkan suatu penafsiran agar perjanjian internasional dapat mengimplementasikan ketentuan perjanjian internasional tersebut ke dalam tindakan yang nyata untuk memenuhi prestasi dari perjanjian tersebut. Pentingnya persamaan penafsiran dan persepsi dalam menafsirkan suatu perjanjian internasional antar pihak sangat dibutuhkan. Dalam kasus Chili vs Peru memiliki persepsi berbeda mengenai Deklarasi Santiago. Penafsiran berbeda tersebut terjadi dengan dikeluarkan Undang-undang mengenai batas wilayah laut masing-masing negara.

7 Muhar Junef, Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18, No.2 (Juni 2018), Hlm.233-234.

51 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Dalam putusan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa8: “the maritimeboundary between the Parties starts at the intersection of the parallel of lattitude passing thourgh Boundary Marker No. 1 with the low water line, and extends for 80 nautical miles along that parallel of latitude to Point A. From this point, the maritime boundary runs along the equidistance line to Point B, and then along the 200 nautical mile limit measured from the Chilean baselines to Point C.”

Putusan Mahkamah Internasional berdasarkan analisis saya sudah sangat adil, karena penyelesaian secara baik tanpa ada kontrovensi antara kedua belah pihak dan tetap mengutamakan jalan damai. Namun Mahkamah Internasional disini tidak menentukan titik koordinatnya hanya menetapkan arah batas laut antara Chili dengan Peru, dikarenakan para pihak tidak meminta Mahkamah Internasional untuk memutuskan koordinat geografis tersebut.

C. PENUTUP Dari penjelasan diatas alasan Peru mengupayajan penyelesaian sengketa perbatasan lautnya dengan Chili melalui Mahkamah Internasional ialah Mahkamah Internasional yang lebih berhak dan menyelesaikan permasalahan sesuai hukum internasional, karena hasil Mahkamah Internasional bersifat mengikat para pihak yang bersengketa selain mengikat putusan Mahkamah Internasional bersifat final dan tidak dapat diajukan banding. Agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari antar pihak Peru dan Chili, maka para pihak harus menaati putusan dari Mahkamah Internasional agar tidak menimbulkan konflik dikemudian hari.

8 International Court of Justice, Maritime Dispute (Peru v. Chile), diakses dari https://www.icj-cij.org/en/case/137, diakses pada 30 September 2019.

52 Dwi Imroatus Sholikah Analisa Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ) DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Budi Hermawan. Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara: Prespektif Hukum Internasional. Tanjungpura Law Journal. Vol.1. No.1. (Januari 2017). ICJ. Maritime Dispute (Peru v. Chile). diakses dari https://www.icj- cij.org/en/case/137. diakses pada 30 September 2019. ICJ. Rejoinder of the Government of Chile Maritime Dispute (Peru v. Chile). (Den Hag: Penerbit ICJ). Joko, Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta). Junef, Muhar. Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Penelitian Hukum De Jure. Vol.18. No.2 (Juni 2018). Lazarusli, Budi dan Syahmin A.K.. 1986. Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional. (Bandung: Penerbit Remaja Karya). Thantowi, Jawahir. 2002. Hukum Internasional di Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit Madyan Press). United Nations of the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Windari, Retno. 2009. Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim. (Jakarta: Penerbit Badan Koordinasi Keamanan Laut).

53 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

ANALISA PENETAPAN EVALUASI GENERALIZED SYSTEM OF PREFERENCE (GSP) AMERIKA SERIKAT TERHADAP INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEPAKATAN PERDAGANGAN DIBAWAH WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Jeihan, Jodie, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas. Analisa Penetapan Evaluasi Generalized System of Preference (GSP) Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah World Trade Organization (WTO). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Liberalisme merupakan prinsip dasar yang dianut oleh Amerika Serikat dalam semua kebijakannya termasuk kebijakan perdagangan. Prinsip tersebut juga dijalankan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump berupa orientasi kepada kesepakatan yang bersifat bilateral. Jika ditinjau dari hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat, fasilitas Generalized System of Preference atau GSP merupakan satu-satunya hubungan bilateral yang dapat dijalankan oleh Indonesia dengan Amerika Serikat. GSP adalah kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang yang dalam hal ini Indonesia merupakan salah satunya. Namun ternyata terdapat kebijakan evaluasi pelaksanaan GSP terhadap Indonesia melihat pada neraca perdagangan dan kebijakan perekonomian Indonesia yang memberi dampak pada Amerika Serikat. Dengan adanya evaluasi tersebut berpotensi mengurangi Bargaining Position Indonesia dalam fasilitas GSP. Apabila sampai pada kondisi yang tidak diharapkan tersebut dapat merugikan Indonesia karena naiknya tarif yang dikenakan pada sektor ekspor. Penulis bermaksud menelaah kebijakan reevaluasi tersebut ditinjau dari segi hukum internasional. Kata Kunci: GSP, Hubungan Dagang Indonesia dan Amerika Serikat, WTO

54 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

A. PENDAHULUAN Perdagangan internasional merupakan hal yang penting dan berpengaruh bagi perekonomian setiap negara untuk mensejahterahkan masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan suatu negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Transaksi perdagangan internasional atau yang lebih dikenal dengan kegiatan ekspor dan impor dilakukan guna memenuhi kebutuhan keseharian masyarakatnya dan sebagai penunjang perekonomian negara.1 Untuk mencapai tujuan-tujuan dalam suatu negara, maka diadakan pengaturan timbal balik2 dan saling menguntungkan untuk mengurangi tarif dalam suatu negara dan hambatan- hambatan, serta menghilangkan diskriminasi dalam perdagangan internasional.3 Pengaturan-pengaturan terhadap perdagangan internasional diatur dalam perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi yang mengatur tentang perdagangan internasional di bidang barang, jasa, dan penanaman modal antar negara.4 Di tengah aksi agresif Amerika Serikat dalam menaikkan tarif impor dari berbagai negara, Indonesia bertumpu pada keberlanjutan kebijakan Generalized System Of Preference (GSP) agar bisa melanjutkan hubungan bilateral yang baik dengan AS. Dengan kecenderungan pemerintahan Presiden AS Donald Trump yang lebih mengandalkan kerja sama bilateral, GSP menjadi satu-satunya tumpuan Indonesia untuk dapat menjalin hubungan perdagangan dengan AS. Amerika Serikat melalui United States Trade Representative (USTR) tengah mengevaluasi kelayakan Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP. GSP menjadi satu-satunya tumpuan Indonesia untuk menjalin hubungan dagang dengan AS. GSP sendiri merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang.

1 Kegiatan suatu negara dalam perdangan internasional terutama ekspor dan impor dilakukan untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan penghasilan, pemenuhan kebutuhan, pemanfaatan sumber-sumber daya dunia sepenuhnya, dan memperluas produksi serta pertukaran barang. dalam Ade Maman Suherman, Hukum Perdagangan Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2014. 2 Timbal balik atau Reciprocity (Resiprositas) merupakan salah satu prinsip dalam hubungan internasional antar negara di komunitas internasional yang tertuang dalam General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT, beserta dengan prinsip Most Favored-Nation dan Prinsip Transparansi. 3 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 4 Prinsip-prinsip yang diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT menjadi acuan dalam pembentukan perjanjian-perjanjian perdagangan internasional antar negara.

55 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Dasar pelaksanaan evaluasi oleh USTR atas fasilitas GSP untuk Indonesia salah satunya karena AS merasa ada kebijakan Indonesia yang menghambat mereka.5 Padahal, Indonesia sudah mendapatkan fasilitas GSP sejak 40 tahun yang lalu. Sampai saat ini, saat pangsa pasar Indonesia masih sangat kecil dan industrinya dinilai masih berkembang, namun baru sekarang ada usulan untuk evaluasi fasilitas GSP. AS meninjau ulang GSP untuk Indonesia juga dikarenakan melihat neraca perdagangan kedua negara lebih menguntungkan Indonesia. Hal itu terlihat dari lebih banyaknya komoditi yang diekspor Indonesia ke AS ketimbang ekspor dari AS ke Indonesia. Jika dilihat dari riwayatnya, program GSP telah berlangsung sejak 1976, lalu sempat dihentikan pada 2013, kemudian dilaksanakan kembali Juni 2015 silam. Jika kebijakan GSP ditiadakan, maka dampaknya akan langsung terasa ke neraca perdagangan Tanah Air karena akan ada tarif yang dikenakan jika Indonesia mengekspor ke AS. Terkait fasilitas GSP, hanya sekitar 10 persen dari total ekspor Indonesia ke AS yang mendapat potongan tarif bea masuk. Kementerian Perdagangan mencatat, pada 2017 total perdagangan Indonesia dan AS mencapai 25,91 miliar dolar AS. Indonesia mendapat surplus terhadap AS sebesar 9,67 miliar dolar AS. Dengan fasilitas GSP, Indonesia menerima keringanan tarif ekspor hingga sekitar USD1,8 miliar per tahun. Total ekspor Indonesia selama 2017 mencapai USD17,8 miliar dengan USD9,7 miliar surplus perdagangan.6 Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross di Washington D.C pada bulan Juli dan sepakat untuk menaikkan nilai perdagangan tahunan AS- Indonesia menjadi USD50 miliar (Rp720 triliun).7

5 Kebijakan Indonesia yang dimaksud adalah kebijakan GPN atau Gerbang Pembayaran Nasional yang dianggap sebagai penghambat kerja sama dengan Amerika Serikat. Padahal seharusnya dengan ditingkatkannya GPN secara umum potensi ekonomi Indonesia akan lebih menarik bagi semua pelaku ekonomi baik domestik maupun luar negeri, termasuk Amerika Serikat. dalam Rizky Jaramaya, Amerika Serikat Keluhkan Kebijakan GPN Indonesia, diakses dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/07/15/pbwden383-amerika-serikat- keluhkan-kebijakan-gpn-indonesia, diakses pada 10 Desember 2018. 6 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Indonesia Export Import, diakses dari http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import, diakses pada 11 Desember 2018. 7 Anisa Luciana, Perang Dagang, AS Ancam Cabut Tarif Bea Masuk Produk Indonesia, diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1104241/perang-dagang-as-ancam-cabut-tarif-bea-masuk- produk-indonesia/full&view=ok, diakses pada 11 Desember 2018.

56 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

Pertemuan itu membuka kesempatan Indonesia dikecualikan dari tarif impor baja 25% dan aluminium 10% yang dikenakan Amerika Serikat sebagai upaya proteksionisme. Indonesia berharap hasil review tidak menganggu ekspor Indonesia ke AS dan tidak memberi dampak pada industri domestik AS yang selama ini memanfaatkan skema GSP. Tanpa skema GSP, harga produk akan naik dan daya saing akan terganggu. Melalui program GSP, AS memberi potongan bea masuk terhadap sekitar 5.000 produk dari total 13.000 jenis produk dengan tiga kategori, yakni kategori A, A* dan A. Sampai saat ini, Indonesia masih memperoleh GSP kategori A sehingga mendapatkan potongan bea masuk untuk 3.500 produk, termasuk produk agrikultur, produk tekstil, garmen, dan perkayuan. GSP akan diberikan sampai Indonesia tidak lagi menjadi negara penerima, sudah melampaui ambang batas Competitive Need Limitation (CNL)8 yang ditentukan, atau sampai periode program GSP berakhir pada tanggal 31 Desember 2020. Saat ini Indonesia sedang menjalani dua proses evaluasi (review) dengan Pemerintah AS. Pertama, evaluasi terhadap kelayakan Indonesia untuk memperoleh GSP AS. Kedua, evaluasi terhadap produk-produk yang akan diberikan pemotongan bea masuk jika diekspor dari Indonesia ke AS. Evaluasi pertama dikoordinasikan oleh USTR. Dalam evaluasi ini, proses dilakukan berdasarkan tiga parameter, yaitu evaluasi akses pasar Indonesia terhadap produk dan pelaku usaha AS, evaluasi terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual, serta evaluasi jaminan hak tenaga kerja. Sementara itu, evaluasi kedua dikoordinasikan dengan United States International Trade Commission/US ITC. Adapun Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah bea masuk termasuk sebagai salah satu hambatan dalam perdagangan internasional? 2. Bagaimana penentuan tarif bea masuk dalam perdagangan internasional? 3. Bagaimana korelasi dari hasil evaluasi preferensi bea masuk yang diberikan Amerika Serikat kepada beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia terhadap kesepakatan perdagangan dibawah WTO?

8 “The GSP program imposes quantitative ceilings called Competitive Need Limitations (CNLs) on GSP benefits for all tariff items and BDC. Under certain circumstances, these ceilings may be waived.” U.S. Customs and Border Protection, Generalized System of Preferences (GSP), diakses dari https://www.cbp.gov/trade/priority-issues/trade-agreements/special-trade- legislation/generalized-system-preferences, diakses pada 11 Desember 2018.

57 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

B. PEMBAHASAN 1. Hubungan Perdagangan Amerika Serikat dan Indonesia Liberalisme dan demokrasi adalah dua hal yang melatarbelakangi hampir seluruh kebijakan yang diterapkan di Amerika Serikat, baik dalam kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Liberalisme merupakan prinsip utama Amerika Serikat pula dalam kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan untuk memberi kebebasan kepada perusahaan swasta dan meminimalisir peran negara dalam perdagangan internasional.9 Adapun prinsip pengurangan tarif oleh Amerika Serikat dalam pelaksanaan hubungan perdagangan internasional dengan menetapkan tarif barang impor yang rendah. Di sisi lain, Negara Kesatuan Republik Indonesia (“Indonesia”) sedang melakukan beberapa negosiasi perjanjian perdangan internasional demi memperoleh peningkatan perekonomian. Keseluruhan perjanjian internasional tersebut merupakan pelaksanaan arahan Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (“Indonesia”) Joko Widodo untuk peningkatan ekspor dan investasi serta pengembangan potensi pasar non-tradisional Indonesia.10 Indonesia selalu mengedepankan prinsip-prinsip kerja sama multilateral dengan merujuk pada aturan perdagangan internasional dibawah World Trade Organization (WTO). Berbagai Perjanjian WTO merupakan standar minimal yang dianut oleh Indonesia selaku negara anggota, sejalan dengan upaya aktif melakukan perundingan di tingkat bilateral dan regional sebagai bagian dari kontribusi Indonesia dalam merumuskan aturan main perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan Internasional, Indonesia dan Amerika Serikat sejauh ini terus mengendalikan hubungan baik dalam bisnis barang dan jasa. Saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (“Indonesia”) sedang menjalani dua proses evaluasi (review) dengan Pemerintah AS mengenai kebijakan Generalized Preference System yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.

9 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 10 Rizky Akbar Hasan dan Tanti Yulianingsih, Genjot Perekonomian, RI Lakukan 23 Negosiasi Perjanjian Perdagangan Internasional, diakses dari https://www.liputan6.com/global/read/3593310/genjot-perekonomian-ri-lakukan-23-negosiasi- perjanjian-perdagangan-internasional, diakses pada 12 Desember 2018.

58 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

2. Kesepakatan Perdagangan di Bawah World Trade Organization (WTO) World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Bebas merupakan satu-satunya badan internasional yang mengatur mengenai perdagangan antar negara yang berisikan ketentuan-ketentuan pedoman atas aturan materiil dan aturan prosedural.11 Pembentukan WTO dinilai membuka peluang pasar yang luas, karena para negara yang menandatangani General Agreement on Tarifs and Trade (GATT) sepakat untuk antara lain mengurangi tarif atas dasar prinsip Most-Favored-Nation atau MFN12, yang menerapkan secara ketat aturan non-tarif khususnya yang berkaitan dengan Safeguards13, Anti- Dumping14, dan Countervailing Measures15, menetapkan kebijakan nasional yang transparan dan menetapkan aturan yang lebih jelas dalam perdagangan produk pertanian, sektor jasa, dan hak atas kekayaan intelektual.16 Adapun 5 (lima) fungsi utama dari WTO adalah untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan antar negara anggota yang tertuang dalam Pasal 3 Persetujuan WTO yakni17: a. Fasilitasi implementasi & administrasi persetujuan dan perjanjian WTO; b. Memberikan suatu forum untuk perundingan perdagangan; c. Sebagai administrasi dari Trade Policy Review Mechanism;

11 Hata, Hukum Ekonomi Internasional, Penerbit Setara Press, Bandung, 2016. 12 MFN atau Most-Favored-Nation adalah prinsip berdasarkan asas non-diskriminasi, yang terdapat pada Pasal 1 GATT yang mengatakan bahwa semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari kebijaksanaan perdagangan. 13 Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan pengamanan (Safeguard) oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious injury terhadap industri domestik. 14 Anti-Dumping adalah politik dagang yang menetapkan harga jual di luar negeri lebih rendah dari harga normal. Pada tahun 1994, negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan Perjanjian Anti-Dumping yang mengklarifikasi dan mengembangkan Pasal VI GATT. 15 Aturan WTO tentang subsidi dan perdagangan yang bersubsidi diatur dalam Pasal 6 dan 16 GATT 1994 dan WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yang disebut dengan SCM Agreement yang dihasilkan dalam Uruguay Round. Countervailing Measures atau Tindakan-Tindakan Imbalan atau Balasan Untuk Menyeimbangkan Subsidi hanya dapat diambil sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam Pasal 10 SCM Agreement. 16 Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan Hak Kekayaan Intelektual, Sekilas tentang WTO, Penerbit Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta, 2014. 17 WTO, Agreement Establishing the World Trade Organization mengenai Functions of the World Trade Organization berisikan 5 (lima) fungsi dari WTO, Article 3.

59 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

d. Sebagai administrasi dari Trade Policy Review Mechanism untuk mengawasi kebijakan perdagangan;18 dan e. Melakukan kerjasama dengan organisasi-organisasi non-pemerintahan.19 Dari fungsi-fungsi WTO, merupakan upaya untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dengan demikian, WTO memiliki alat untuk “memaksa” negara-negara untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya. 3. General Agreement on Tarifs and Trade (GATT) Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (bahasa Inggris: General Agreement on Tarifs and Trade atau GATT) adalah suatu perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Berdasarkan mukadimahnya, tujuan perjanjian ini adalah untuk “pengurangan substansial atas tarif dan hambatan perdagangan lainnya dan penghapusan preferensi, berdasarkan asas timbal balik dan saling menguntungkan.” Perjanjian ini dinegosiasikan selama Konferensi Perdagangan dan Ketenagakerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan merupakan hasil dari kegagalan negosiasi antarbangsa untuk menciptakan Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade Organization atau ITO).20 GATT ditandatangani oleh 23 negara di Jenewa, Swiss, pada tanggal 30 Oktober 1947 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1948. GATT berlaku hingga penandatanganan Perjanjian Putaran Uruguay oleh 123 negara di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 14 April 1994, yang menetapkan berdirinya World Trade Organization atau WTO pada tanggal 1 Januari 1995.21

18 Trade Policy Review Mechanism (TPRM) adalah mekanisme dalam meninjau (review) kebijakan perdagangan negara-negara anggota WTO. 19 Peter Bossche, dkk., Pengantar Hukum World Trade Organization, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Sleman, 2010. 20 Douglas A. Irwin, The GATT in Historical Perspective, American Economic Review, Vol.85, No.2 (Mei 1995). 21 Thomas W. Zeiler, Free Trade, Free World: The Advent of GATT, Penerbit UNC Press Books, Chapel Hill, 1999.

60 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

GATT dibentuk pada tahun 1947 membawa dua hal perubahan mendasar, yaitu: 1) WTO mengambil alih peran GATT dan menjadikannya sebagai salah satu lampiran aturan WTO; dan 2) Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO. Tujuan dibentuknya GATT tampak jelas pada Preambule-nya. Empat tujuan penting yang hendak dicapai adalah: 1) meningkatkan taraf hidup umat manusia; 2) meningkatkan kesempatan kerja; 3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan 4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.22 4. Generalized System of Preference (GSP) “The Generalized System of Preferences (GSP) is a U.S. trade program designed to promote economic growth in the developing world by providing preferential duty-free entry for up to 4,800 products from 129 designated beneficiary countries and territories. GSP was instituted on January 1, 1976, by the Trade Act of 1974.”23

Generalized System of Preferences (GSP) adalah program perdagangan Amerika Serikat yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dengan menyediakan entri bebas bea masuk preferensi untuk hingga 4.800 produk dari 129 negara dan wilayah penerima yang ditunjuk. Melalui program GSP, Amerika Serikat memberi potongan bea masuk terhadap sekitar 5.000 produk dari total 13.000 jenis produk dengan tiga kategori, yakni kategori A, A* dan A. Sampai saat ini, Indonesia masih memperoleh GSP kategori A sehingga mendapatkan potongan bea masuk untuk 3.500 produk, termasuk produk agrikultur, produk tekstil, garmen, dan perkayuan. 5. Bea Masuk dalam Perdagangan Internasional Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang muncul akibat adanya kebijakan ekspor-impor, antara lain24: a. Tarif atau bea cukai Tarif adalah pembebanan pajak (Custom Duties) terhadap barang-barang yang melewati batas kenegaraan. Tarif dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, antara lain:

22 Alfons Samosir, World Trade Organization (WTO) dan Negara Berkembang, Penerbit Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Jakarta, 2017. 23 U.S. Customs and Border Protection, Generalized System of Preferences (GSP), diakses dari https://help.cbp.gov/app/answers/detail/a_id/266/~/generalized-system-of-preferences- %28gsp%29, diakses pada 11 Desember 2018. 24 H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

61 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

1) Bea ekspor = yaitu pajak atau bea yang dikenakan terhadap produk yang diangkut menuju negara lain. 2) Bea transit = yaitu pajak yang dikenakan terhadap produk yang melalui wilayah negara lain dengan ketentuan bahwa negara tersebut bukan merupakan tujuan akhir dari pengiriman. 3) Bea impor = yaitu pajak yang dikenakan terhadap produk yang masuk dalam suatu negara dengan ketentuan negara tersebut adalah merupakan tujuan akhir dari pengiriman produk. 4) Uang jaminan impor = persyaratan bagi importir produk untuk membayar kepada pemerintah sejumlah uang tertentu pada saat kedatangan produk di pasar domestik sebelum penjualan dilakukan. b. Kuota Impor adalah Kuota yang membatasi banyaknya unit yang dapat diimpor. Tujuannya adalah untuk membatasi jumlah barang tersebut di pasar dan menaikkan harga produknya. c. Subsidi adalah bantuan pemerintah untuk produsen lokal. Subsidi dihasilkan dari pajak yang dipungut pemerintah dari rakyat. d. Exchange Control. Biasanya, negara-negara yang menggunakan kontrol devisa adalah mereka yang ekonomi lemah. Kontrol ini memungkinkan negara-negara yang ekonominya lebih stabil membatasi jumlah volatilitas nilai tukar mata uang yang masuk / keluar. e. State Trading Operation adalah pemerintah dalam perdagangan melakukan kegiatan ekspor. 6. Penentuan Tarif Bea Masuk (Impor) Tarif25 impor atau bea masuk terhadap produk impor mempunyai banyak tujuan, antara lain melindungi industri atau sektor-sektor tertentu di dalam negeri, mengurangi defisit saldo neraca perdagangan, meningkatkan kesempatan kerja, alasan-alasan fiskal, mencegah dumping, dan tujuan politik. Terdapat tiga sistem tarif yang umum di dalam perdagangan internasional yaitu Single-Column Tariff, Double-Column Tariff, dan Triple-Column Tariff.

25 “Tariff” adalah suatu kebijakan perdagangan yang digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak yang dipungut terhadap barang-barang impor pada saat barang tersebut masuk ke suatu negara. dalam Munir Fuady, Hukum Perdagangan Internasional Aspek Hukum dari WTO, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

62 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

Single-Column atau Autonomous Tariff adalah sistem dimana untuk setiap barang impor dikenakan satu macam tarif yang biasanya ditentukan oleh suatu negara secara sepihak (otonom) tanpa persetujuan dari negara mitra dagangnya. Double-Column Tariff adalah sistem dimana untuk setiap jenis barang dikenakan dua macam tarif yang ditentukan dengan undang-undang dalam bentuk tarif maksimum dan tarif minimum. Bila tarif maksimum dipakai sebagai bea normal yang ditentukan secara sepihak, sedangkan tarif minimum digunakan secara khusus terhadap barang impor dari negara-negara tertuntu dengan perjanjian yakni sebagian menggunakan autonomous dan sebagian conventional. Sedangkan perluasan dari kedua sistem ini ditambah dengan satu tarif untuk negara-negara jajahan disebut Triple Column Tariff.26 Penerapan Tarif Impor menurut ketentuan GATT-WTO. Pada perundingan putaran pertama di Genewa yang disebut dengan putaran Genewa pertama kali disepakati terbentuknya GATT atau Persetujuan tentang Tarif dan Perdagangan. GATT Conference 1947 yang diikuti oleh 23 negara peserta berhasil menyetujui konsesi penurunan tarif sebanyak 45.000 produk dengan nilai sebesar US$ 10 miliar. Daftar konsesi tersebut yang diterima sebagai komitmen penerapan tarif adalah yang diatur dalam Pasal II GATT tentang Schedules of Concessions. Pada pertemuan tingkat menteri di Punta del Este, negara-negara peserta telah menghasilkan kesepakatan atau pernyataan bersama yang disebut dengan Deklarasi Punta del Este. Deklarasi tersebut selain menentukan substansi yang akan dirundingkan, juga menentukan bahwa ruang lingkup perundingan yang diperluas mencakup masalah baru atau new issues yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh GATT, yakni (a) Masalah perdagangan jasa; (b) Masalah hak atas kekayaan intelektual, dan (c) Masalah kebijakan dalam investasi yang berkaitan dengan perdagangan.27 Perundingan putaran Uruguay berbeda dengan perundingan multilateral yang secara berkala diselenggarakan oleh GATT. Menurut H.S. Kartadjoemena, sekurang-kurangnya ada tiga hal pokok yang membedakan Uruguay Round dengan Putaran GATT yang sebelumnya, yaitu:

26 H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1996. 27 Astim Riyanto, World Trade Organization, Penerbit YAPEMBO, Bandung, 2003.

63 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

a. substansi yang biasa ditangani dalam rangka putaran perundingan perdagangan multilateral yang diselenggarakan oleh GATT. b. Partisipasi negara berkembang kali ini jauh lebih terasa daripada putaran perundingan Putaran GATT sebelumnya. c. Perundingan kali ini juga mencakup perubahan institusional, sehingga dari awal telah dibayangkan. Ringkasan dari hasil kesepakatan Uruguay Round adalah sebagai berikut: a. Kesepakatan sidang Montreal menentukan agar negara peserta menurunkan tingkat tarif sampai 30% dari tingkat sebelumnya. b. Karena tidak semua negara peserta dapat melakukannya, maka dapat dicapai adalah melakukan penurunan selektif secara total mempunyai dampak penurunan sebesar 30% Trade Weighted. c. Negara peserta berunding untuk mengadakan tukar menukar konsesi penurunan tarif secara spesifik dengan mitra dagangnya dengan pendekatan Item-By-Item melalui proses Request And Offer. d. Bagi Indonesia yang dilakukan bukan penurunan tingkat tarif 30% dari tingkat sebelumnya, melainkan penentuan tingkat tarif maksimal 40% untuk 95% dari produk yang diimpor. e. Komitmen Indonesia terhadap sejumlah produk yang dikenakan Binding walaupun tingkat tarif maksimal masih tinggi yakni 40%. Dengan ikut sertanya negara-negara berkembang sebagai peserta aktif pada perundingan perdagangan internasional Putaran Uruguay, maka pada tahun-tahun yang akan datang negara-negara berkembang akan semakin aktif berperan serta dalam setiap kegiatan-kegiatan perdagangan dunia, baik bilateral maupun multilateral. Hal ini diwarnai oleh semakin banyaknya kepentingan negara berkembang dalam kegiatan perdagangan dan perekonomian dunia. 7. Penyelesaian Sengketa dalam World Trade Organization (WTO) Sistem penyelesaian sengketa dalam World Trade Organization (WTO) terdapat dalam GATT.28 Terdapat prinsip-prinsip umum dalam sistem penyelesaian sengketa:

28 WTO, Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Dispute (DSU atau Dispute Settlement Understanding).

64 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

1. Menjaga agar setiap anggota menghormati hak dan kewajiban masing- masing sesuai dengan perjanjian yang telah disepakat. 2. Pencapaian pemecahan masalah secara positif. 3. Penyelesaian substansi dari masalah yang dapat menimbulkan kerugian terhadap negara lain akibat tindakan yang diambil oleh suatu negara. 4. Langkah awal yang dilakukan adalah negara-negara yang bersengketa mengambil langkah untuk menyelesaian secara langung. 5. Jika upaya penyelesain tersebut tidak dapat dicapai, maka permasalahan itu akan dibawa kepada tingkat yang melibatkan sistem GATT atau WTO secara langsung.29 Sistem penyelesaian sengketa WTO merupakaan elemen pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap perdanganan internasional. Mekanisme penyelesaian persengketaan mengacu pada ketentuan pasa XXII dan XXIII GATT 1947. Pasal XXII menghendaki para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral atau konsultasi multilateral apabila sengketa tidak bisa diselesaikan melalui konsultasi secara bilateral atas setiap persoalan, dan penjelasan atas bentuk-bentuk pelanggaran serta penyelesaian melalui badan tertinggi GATT sebagaimana diatur dalam pasal XXIII GATT.30

29 Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa Dagang dalam World Trade Organization (WTO), Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2005. 30 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

65 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

C. PENUTUP Tarif merupakan salah satu kebijakan pemerintahan dalam mengatasi perdagangan dalam negeri dan merupakan salah satu devisa negara. Bea yang dibebankan pada impor barang disebut bea impor atau bea masuk (import tarif, import duty) dan bea yang dibebankan pada ekspor disebut bea ekspor, sedangkan bea yang dikenakan pada barang-barang yang melewati daerah pabean negara pemungut disebut bea transit atau transit duty. Pembayaran dalam perdagangan internasional merupakan salah satu bentuk kebijakan perdagangan luar negeri mengenai pengenaan sistem tarif terhadap berbagai komoditi yang diperdagangkan. Bea masuk inipun dapat menjadi hambatan dalam perdagangan internasional apabila terdapat situasi dimana terdapat negara berkembang yang tidak mampu menyesuaikan dengan “harga” yang ditentukan, sehingga secara langsung terdampak dalam hubungan perdagannya dengan negara lain. Mengenai proses pengambilan keputusan (Decision Making) disebutkan bahwa WTO akan melanjutkan praktik pengambilan keputusan yang selama ini dilaksanakan dalam GATT, yaitu secara konsensus bila tidak ada anggota yang secara resmi merasa keberatan atas suatu masalah. Dalam hal tidak dicapai suatu keputusan secara konsensus, maka dapat diadakan pemungutan suara (Voting). Sehingga, Amerika Serikat dan Indonesia harus mencapai kesepakatan dalam perihal GSP yang mempengaruhi bea import. Dalam pengaruhnya pada perjanjian perdagangan yang diatur WTO, apabila terdapat ketidaksepahaman dari kedua belah pihak maka harus menyesuaikan dengan Dispute Settlement atau penyelesaian sengketa yang harus mendahulukan metode penyelesaian damai.

66 Jodie Jeihan, Tasya Ester Loijens dan Intan Ekaningtyas Analisa Penetapan Evaluasi GSP Amerika Serikat Terhadap Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah WTO

DAFTAR PUSTAKA

Buku Adolf, Huala. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada). ______. 2005. Penyelesaian Sengketa Dagang dalam World Trade Organization (WTO). (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju). ______. 2008. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika). Bossche, Peter, dkk.. 2010. Pengantar Hukum World Trade Organization, (Sleman: Penerbit Yayasan Obor Indonesia). Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan Hak Kekayaan Intelektual. 2014. Sekilas tentang WTO. (Jakarta: Penerbit Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia). Fuady, Munir. 2000. Hukum Perdagangan Internasional Aspek Hukum dari WTO. (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti). Hata. 2016. Hukum Ekonomi Internasional. (Bandung: Penerbit Setara Press). Kartadjoemena, H.S.. 1996. GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia). Riyanto, Astim. 2003. World Trade Organization. (Bandung: Penerbit YAPEMBO). Samosir, Alfons. 2017. World Trade Organization (WTO) dan Negara Berkembang. (Jakarta: Penerbit Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional). Suherman, Ade Maman. 2014. Hukum Perdagangan Internasional. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika). Zeiler, Thomas W.. 1999. Free Trade, Free World: The Advent of GATT. (Chapel Hill: Penerbit UNC Press Books).

Jurnal Irwin, Douglas A.. The GATT in Historical Perspective. American Economic Review. Vol.85. No.2 (Mei 1995).

Website Hasan, Rizky Akbar dan Tanti Yulianingsih. Genjot Perekonomian, RI Lakukan 23 Negosiasi Perjanjian Perdagangan Internasional. diakses dari https://www.liputan6.com/global/read/3593310/genjot-perekonomian-ri- lakukan-23-negosiasi-perjanjian-perdagangan-internasional. diakses pada 12 Desember 2018. Jaramaya, Rizky. Amerika Serikat Keluhkan Kebijakan GPN Indonesia. diakses dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/07/15/pbwden383 -amerika-serikat-keluhkan-kebijakan-gpn-indonesia. diakses pada 10 Desember 2018. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Indonesia Export Import. diakses dari http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export- import. diakses pada 11 Desember 2018.

67 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Luciana, Anisa. Perang Dagang, AS Ancam Cabut Tarif Bea Masuk Produk Indonesia. diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1104241/perang- dagang-as-ancam-cabut-tarif-bea-masuk-produk-indonesia/full&view=ok. diakses pada 11 Desember 2018. U.S. Customs and Border Protection. Generalized System of Preferences (GSP). diakses dari https://www.cbp.gov/trade/priority-issues/trade- agreements/special-trade-legislation/generalized-system-preferences. diakses pada 11 Desember 2018. U.S. Customs and Border Protection. Generalized System of Preferences (GSP). diakses dari https://help.cbp.gov/app/answers/detail/a_id/266/~/generalized-system-of- preferences-%28gsp%29. diakses pada 11 Desember 2018.

Sumber Hukum Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Dispute (DSU atau Dispute Settlement Understanding) 1950. Agreement Establishing the World Trade Organization 1994. General Agreement on Tarifs and Trade (GATT) 1947. WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures 2002. Multilateral Trade Agreements. Plurilateral Trade Agreements.

68 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (Maret 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

ASGARDIA: THE PROBLEMS IN BUILDING A SPACE SOCIETY* Kandi Kirana Larasati dan Amadda Ilmi Universitas Brawijaya Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation : Larasati, Kandi Kirana dan Amadda Ilmi. Asgardia : The Problems in Building A Space Society. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (Maret 2020).

ABSTRAK Asgardia merupakan sebuah wilayah yang membuktikan bahwa kemajuan berpikir manusia sangatlah visioner. Merupakan sebuah wilayah diruang angkasa yang disebut sebut mampu dan akan bisa menjadi tempat tinggal bagi manusia. Kebenarannya belum sepenuhnya dapat dibuktikan, namun pengupayaan regulasi maupun implementasi terus dilakukan. Karena mendapat dukungan dari berbagai pihak dan masyarakat yang dapat dikatakan tidak ingin lagi hidup di bumi. Cara perekrutannya pun unik, tim Asgardia telah membentuk sebuah website resmi untuk pendaftaran menjadi calon warga di wilayahnya, jumlahnya pun tak sedikit. Namun masih terus menjadi perhatian banyak pihak untuk menelusuri apakah hal tersebut merupakan sebuah halusinasi atau kenyataan. Sedangkan konferensi pemufakatan wilayah juga berjalan, yang dapat disaksikan dan diabadikan dalam video yang diunggah melalyi YouTube. Mereka juga telah menentukan semacam lambang negara hingga bentuk pemerintahan, namun status resmi “kenegaraan” masih belum memiliki legalitas yang dapat membuat masyarakat percaya dengan sepenuhnya. Mengingat Asgardia merupakan suatu wilayah bentukan yang terinspirasi dari sebuah kisah dalam film kelas dunia ternama. Kata Kunci: Asgardia, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Syarat Negara

* Keterangan Penulis : Sumber utama data artikel diambil dari : http://www.bbc.com/future/story/20180803-asgardia-the-problems-in-building-a-space-society

69 Amadda Ilmi dan Kandi Kirana Larasati Asgardia: The Problems in Building a Space Society

A. LATAR BELAKANG Kegiatan pemanfaatan ruang angkasa ditandai dengan peluncuran satelit Putnik I, milik Uni Sovyet, tahun 1957. Sejak itu, ruang angkasa yang dulunya kosong, mulai diisi dengan berbagai benda-benda angkasa (“Space Objects”), yang semakin hari semakin banyak memenuhi ruang angkasa dengan fungsi, tujuan yang beraneka ragam serta “Life Time” yang bervariasi oleh negara-negara berteknologi tinggi, terutama Amerika Serikat dan mantan Uni Sovyet.1 Kingdom of Asgardia adalah salah satu kemajuan pemikiran dan teknologi yang ada. Asgardia adalah sebagai negara yang mengklaim menjadi negara luar angkasa pertama (Space Nation) dengan tiga pilar utama yaitu landasan filosofis, hukum, dan ilmu pengetahuan yang akan dijabarkan berikut ini2: 1. Di alam mitologis kuno Norse, Asgard dulunya adalah sebuah kota di langit, negara dewa-dewa. Merupakan sebuah mimpi terdalam dari manusia untuk meninggalkan cangkangnya dan menjelajahi semesta. 2. Dari aspek hukum dewasa ini terdapat banyak persoalan tentang hukum luar angkasa dan mungkin tidak dapat diselesaikan dalam kompleksitas dan kontradiksi dari hukum internasional modern. Persoalan geopolitik memiliki pengaruh yang besar dan kadang bersumber dari sejarah lama Militer dan konflik-konflik yang belum diselesaikan oleh negara-negara di bumi. Sekaranglah saatnya untuk menciptakan keadilan baru yang nyata di luar angkasa. 3. Dari aspek ilmu pengetahuan atau teknologi ada tiga tujuan-tujuan utama yang ingin dicapai oleh Asgardia. 1) Memastikan penggunaan luar angkasa yang damai, 2) untuk melindungi planet Bumi terhadap ancaman dari luar angkasa, dan 3) untuk menciptakan demiliterisasi dan kebebesan ilmu pengetahuan di luar angkasa. Artikel yang penulis analisa ini adalah artikel yang berfokus kepada aspek terbentuknya negara, yaitu Asgardia. Sehingga berfokus kepada aspek-aspek terbentuknya negara yang ditinjau dari hukum internasional.

1 Marthinus Omba, Prinsip Kebebasan di Ruang Angkasa Menurut “Outer Space Treaty 1967” dan Perkembangannya, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol.24, No.4 (1994), Hlm.335. 2 Igor Ashurbeyli, Concept-Asgardia-Space Nation, diakses dari https://asgardia.space/en/word, diakses pada 7 Maret 2019.

70 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (Maret 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

B. PEMBAHASAN Dalam bagian analisis ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan hasil diskusi berkaitan dengan Eksistensi Negara Asgardia yang kemudian dibagi ke dalam dua pokok pembahasan, yaitu Asgardia ditinjau dari perspektif Montevideo Convention, Outer Space Treaty dan Liability Convention. 1. Montevideo Convention Negara merupakan subjek hukum yang terpenting dibanding dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara menyebutkan bahwa “Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu: penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.”.3 Bersangkutan dengan Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 yang menyebutkan bahwa negara sebagai subjek hukum internasional harus memiliki empat unsur, pada saat ini daerah teritorial yang secara sah diakui oleh Asgardia adalah satelit berbentuk kubus dengan perkiraan ukuran yaitu sebuah roti dan bukanlah sebuah wilayah yang merupakan bagian dari bumi melainkan di luar angkasa. Salah satu konsepsi yang berkaitan dengan wilayah territorial adalah salah satu konsep yang berasal dari putusan Arbitrasi Island of Palmas yang mendefinisikan bahwa wilayah teritorial merupakan sebuah bagian dari permukaan bumi.4 Hal ini kemudian berkaitan pula dengan Pasal 2 Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933 yang menyatakan bahwa negara Federal merupakan satu-satunya subjek hukum internasional berupa oran. Sehingga demikian, dengan belum terpenuhinya salah satu unsur terbentuknya suatu negara, Asgardia tidak dapat dikatakan dan diakui sebagai sebuah negara dan tidak dapat pula menyandang predikat sebagai subjek hukum internasional. Namun demikian, belum terdapat definisi pasti secara hukum mengenai wilayah teritorial bagi sebuah negara dalam hukum internasional.

3 Montevideo Convention on The Rights and Duties of States, Ps.1. 4 Permanent Court of Arbitration, The Island of Palmas Case (Or Miangas): United States of America V. The Netherlands, Penerbit Permanent Court of Arbitration, Den Haag, 1928, Hlm.39.

71 Amadda Ilmi dan Kandi Kirana Larasati Asgardia: The Problems in Building a Space Society

Dilihat dari kacamata hukum internasional yang ada saat ini, memang kita tidak dapat menemukan instrumen yang dapat mendukung terbentuknya sebuah negara yang tidak berada di bumi. Karena semua sumber sumber hukum internasional sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 38 ICJ Statute5 pengakuan terhadap negara adalah berbasis dari nature negara sebagai bagian dari permukaan bumi. Namun, menurut penulis, dengan melihat kemajuan peradaban manusia dan teknologi, tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Sehingga disaat itu pula hukum harus mengikuti perkembangan zaman. Penulis berpendapat bahwa hukum harus terbuka akan fenomena ini, terlepas dari segala kontroversinya akan tetapi sebagaimna teori hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo Hukum diciptakan karena kebutuhan manusia, sehingga itulah mengapa Prof. Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.6 Pada akhirnya, cepat atau lambat pengakuan Asgardia ini merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima oleh manusia manakala dapat diwujudkan dengan baik. 2. Outer Space Treaty Sebuah pengumuman dibuat pada 8 Desember 1966 bahwa kesepakatan telah dicapai diantara 28 negara anggota United Nations Outer Space Committee dengan naskah traktat yang menetapkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam aktivitas negara-negara untuk eksplorasi dan penggunaan luar angkasa, bulan dan benda luar angkasa.7

5 Sumber Hukum Internasional antara lain meliputi : 1) Perjanjian Internasional; 2) Hukum Kebiasaaan Internasional; 3) Prinsip-Prinsip Umum Hukum Internasional; dan 4) Doktrin. dalam United Nations, Statute of International Court of Justice, Ps.28 ayat (1). 6 Hukum Progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. dalam Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, 2006, Hlm.ix. 7 Paul G. Dembling dan Daniel M. Arons, The Evolution of the Outer Space Treaty, Journal of Air Law and Commerce, Vol.33 (1967), Hlm.419-420.

72 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (Maret 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Bersamaan dengan mulainya kegiaan pemanfaatan ruang angkasa, muncul pula peraturan-peraturan atau hukum yang mengatur mengenai kegiatan pemanfaatan ruang angkasa tersebut. Bermula dari resolusi- resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang kemudian melahirkan “Outer Space Treaty 1967” (OST 1967) dan penjabarannya dalam bentuk perjanjian-perjanjian dan/atau konvensi-konvensi internasional.8 Meskipun dari berbagai cabang dalam hukum internasional modern, hukum luar angkasa adalah yang paling menonjolkan masalah-masalah di dalam pembuatan perjanjian internasional.9 Jika ditinjau secara sekilas keberadaan Asgardia, terlepas dari tantangan dalam aspek teknologis, konsep ini tampak legal dan tidak ada persoalan. Asgardia tidak berupaya untuk menyalahgunakan (appropriation) dari bagian luar angkasa (Celestial Body) sehingga tidak melanggar hukum apa-apa yang ada di dalam hukum luar angkasa.10 Adapun Prinsip kebebasan yang tercermin dalam Pasal III OST, merupakan sesuatu jaminan bagi setiap negara dalam kegiatan pemanfaatan ruang angkasa. Prinsip Kebebasan di ruang angkasa lebih dijamin lagi dengan adanya larangan kegiatan di ruang angkasa (Pasal IV OST 1967).11 Namun di lain sisi Pasal I-III mengamanatkan tidak boleh adanya kepemilikan, pendudukan, penguasaaan ataupun klaim kedaulatan di ruang angkasa. Sebab ruang angkasa dipandang sebagai “Common Heritage of Mankind ”. Terlepas dari berbagai prinsip yang ada di dalam OST 1967 ini yang penulis hanya memaparkan sebagian prinsip yang ada, namun Asgardia dalam hal ini bukanlah merupakan negara anggota dari OST 1967. Sehingga klaim yang dilakukan oleh Asgardia sebagai negara berdaulat pun pada akhirnya tidak terikat secara hukum untuk memenuhi hak dan kewajiban OST 1967 itu sendiri.

8 Marthinus Omba, Prinsip Kebebasan di Ruang Angkasa Menurut “Outer Space Treaty 1967” dan Perkembangannya, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol.24, No.4 (1994), Hlm.335 9 Gennady M. Danilenko, Outer Space and the Multilateral Treaty-Making Process, High Technology Law Journal, Vol.4, No.2 (1989), Hlm.217. 10 Wg Cdr Kiran Krishnan Nair, Asgardia: The New Space Nation Examining The Legal, Economical and Technological Sense in the Proposal, Centre for Air Power Studies (CAPS), Forum for National Security Studies (FNSS), 107/16 (18 Oktober 2016), Hlm.2. 11 Marthinus Omba. Op.Cit., Hlm.342.

73 Amadda Ilmi dan Kandi Kirana Larasati Asgardia: The Problems in Building a Space Society

3. Liability Convention Pada saat ini dunia telah digemborkan dengan berbagai penemuan sains dan teknologi baru. Perkembangan teknologi tersebut juga membuat majunya peradaban manusia. Dari berbagai kemajuan tersebut menjadi adanya pemikiran-pemikiran baru yang membuat sekelompok orang membuat negara baru seperti Asgardia. Pembuatan negara tersebut masih menjadi problematika yang pelik dalam berbagai kalangan negara maupun masyarakat. Karena pembuatan negara tersebut dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam ruang angkasa. Karena Asgardia memiliki tujuan akhir untuk menciptakan negara baru yang memungkinkan akses ke luar angkasa, bebas dari kendali negara-negara yang ada. Hal tersebut dapat dianggap sebagai perusakan lingkungan yang dianggap penting. Konvensi berlaku bilamana terjadi suatu kerusakan yang disebabkan oleh benda- benda angkasa (Space Objects), di manapun kerusakan terjadi.12 Dalam hal ini Asgardia dapat membuat rusaknya tata ruang angkasa karena akses ke luar angkasa dan pengiriman benda-benda keluar angkasa. Mulanya pernah dipaparkan oleh pendiri Asgardia, Igor Ashurbeyli bahwasanya salah satu ambisi untuk mendirikan Asgardia ini adalah untuk menyimpan kekayaan pengetahuan manusia di luar angkasa.13 Bentuk wujud spesifik upaya realisasi negara Asgardia ini belum menjadi suatu gambaran yang dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi dalam suatu konferensi yang dilaksanakan di Hongkong sempat dinyatakan oleh pendiri Asgardia bahwa keinginan wujud realisasi dari pendirian negara ini adalah dengan mendorong 225 ribu calon warganya di seluruh dunia untuk mengunggah file ke database yang akan diluncurkan ke orbit menggunakan roket SpaceX. Data itu akan tersimpan selamanya dalam memori kemanusiaan di antariksa dan dapat diunduh kembali.14

12 K. Martono dan H. Sirait, Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional Kerusakan Disebabkan Oleh Benda-Benda Angkasa (Convention On International Liability For Damage Caused By Space Object), Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol.13, No.2 (1983), Hlm.116. 13 Putri Thaliah dan Amri Mahbub, Polemik Negara Antariksa Asgardia: Diwarnai Pelanggaran Hak Cipta, diakses dari https://tekno.tempo.co/read/894961/polemik-negara- antariksa-asgardia-diwarnai-pelanggaran-hak-cipta/full&view=ok, diakses pada 7 Maret 2019. 14 Putri Thaliah dan Amri Mahbub, Ibid.

74 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (Maret 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Jika memang bentuk realisasi pendirian Asgardia hanya sebatas memindahkan database keluar angkasa dengan peluncuran roket ke orbit, hal tersebut memang bukanlah suatu hal yang mustahil dan dirasa tidak mengganggu hak dan kewajiban. Sehingga dirasa bukanlah hal yang akan menimbulkan masalah khususnya hukum. Akan tetapi, berbeda jika konteks dalam pembentukan Asgardia ini adalah dengan memindahkan kehidupan manusia ke luar angkasa. Karena hal tersebut dapat menjadi suatu polemik yang memiliki dampak pula terhadap hukum, karena setiap manusia memiliki keterkaitan dan hubungan yang diatur oleh hukum. Akan tetapi, yang menjadi suatu polemik lagi dimana dikatakan bahwa upaya pendirian Asgardia dengan pengunggahan file ke database yang akan diluncurkan ke orbit menggunakan roket SpaceX tersebut merupakan sebuah pelanggaran hak cipta. Lantaran setidaknya ada lebih 7.000 file yang dilindungi Undang-Undang Hak Cipta Internasional, seperti “Intergalactic” dari grup musik Daft Punk dan film dokumenter Freething.15 Sehingga hal dapat tersebut memicu adanya kontroversi, karena banyak yang mensinyalir bahwa tindakan tersebut merupakan suatu pelanggaran hak cipta dan bisa dituntut.

C. PENUTUP Berdasarkan paparan diatas, dapat bahwasannya Asgardia belum dapat memenuhi semua syarat terbentuknya negara (Montevideo Convention), tidak dapat dilakukan klaim kedaulatan di luar angkasa dan pendudukan (Outer Space Treaty), dan Liability Convention hanya dapat berlaku manakala upaya pengiriman manusia ke luar angkasa yang dilakukan oleh Pemerintahan Asgardia menimbulkan kerusakan di bumi akibat Space Object tersebut. Namun, Penulis berpendapat bahwa perkembangan zaman tidak menutup kemungkinan adanya pengakuan atas eksistensi dari negara luar angkasa di masa yang akan datang, mengingat pesatnya kemajuan terknologi dan menangani aspek hukum yang secara garis besar belum dapat dipenuhi oleh Asgardia ini, namun ada potensi besar dengan revolusi hukum internasional yang ada seiring berjalannya waktu.

15 Putri Thaliah dan Amri Mahbub, Loc.Cit..

75 Amadda Ilmi dan Kandi Kirana Larasati Asgardia: The Problems in Building a Space Society

DAFTAR PUSTAKA

Buku Permanent Court of Arbitration. 1928. The Island of Palmas Case (Or Miangas): United States of America V. The Netherlands. (Den Haag: Penerbit Permanent Court of Arbitration). Raharjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum Progresif. (Jakarta: Penerbit Kompas).

Jurnal Danilenko, Gennady M.. Outer Space and the Multilateral Treaty-Making Process. High Technology Law Journal. Vol.4. No.2 (1989). Dembling, Paul G. dan Daniel M. Arons. The Evolution of the Outer Space Treaty. Journal of Air Law and Commerce. Vol.33 (1967). Martono, K. dan H. Sirait. Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional Kerusakan Disebabkan Oleh Benda-Benda Angkasa (Convention On International Liability For Damage Caused By Space Object). Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol.13. No.2 (1983). Nair, Wg Cdr Kiran Krishnan. Asgardia: The New Space Nation Examining The Legal, Economical and Technological Sense in the Proposal. Centre for Air Power Studies (CAPS). Forum for National Security Studies (FNSS). 107/16 (18 Oktober 2016). Omba, Marthinus. Prinsip Kebebasan di Ruang Angkasa Menurut “Outer Space Treaty 1967” dan Perkembangannya. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol.24. No.4 (1994).

Website Ashurbeyli, Igor. Concept-Asgardia-Space Nation. diakses dari https://asgardia.space/en/word. diakses pada 7 Maret 2019. Harby, Bill. Asgardia: The problems in building a space society. diakses dari https://www.bbc.com/future/article/20180803-asgardia-the-problems-in- building-a-space-society. diakses pada 7 Maret 2019. Thaliah, Putri dan Amri Mahbub. Polemik Negara Antariksa Asgardia: Diwarnai Pelanggaran Hak Cipta. diakses dari https://tekno.tempo.co/read/894961/polemik-negara-antariksa-asgardia- diwarnai-pelanggaran-hak-cipta/full&view=ok. diakses pada 7 Maret 2019.

Sumber Hukum Montevideo Convention on The Rights and Duties of States 1933. Statute of International Court of Justice 1945. The Outer Space Treaty 1966. Space Liability Convention 1972.

76 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

CONTOH PENERAPAN PENETAPAN ZONA EKONOMI EKSLUSIF (STUDI KASUS IMAJINER AMALEA V. RITANIA ATAS MALACHI GAP) Misbachul Munir, Churun Ain Nabila Elsyam, Fazal Akmal Musyarri, Nenny Sihotang, Puput Brenda Afriyanti dan Zipora Nadya A. Siregar

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Munir, Misbachul, dkk.. Contoh Penerapan Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (Studi Kasus Imajiner Amalea v. Ritania atas Malachi Gap). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Hukum Laut membagi batas teritorial kelautan suatu negara menjadi beberapa bagian yang salah satunya adalah Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone) atau yang sering diakronimkan sebagai ZEE. Zona Ekonomi Ekslusif adalah zona berjarak maksimal 200 mil yang dapat dimanfaatkan sumber dayanya namun tidak dapat dikuasai oleh suatu negara karena untuk keperluan seperti pelayaran dan navigasi penerbangan yang diperlukan secara umum. Namun karena sifat pemanfaatannya yang bebas tersebut dapat memicu konflik antarnegara karena hal ini layaknya domino yang memiliki korelasitas satu sama lain. Dalam karya tulis ini akan dijabarkan berkaitan dengan contoh penerapan penyelesaian konflik ZEE pada kasus imajiner atau kasus fiktif Negara Amalea dan Negara Ritania sebagai simulasi penyelesaian penetapan ZEE berdasarkan hukum laut UNCLOS 1982. Simulasi ini memiliki dinamika fakta fiktif yang menarik dari segi hukum dengan penyelesaian yang bersifat konvensional yaitu konsensus para pihak. Mengacu pada UNCLOS 1982, pemanfaatan aspek kelautan perlu diperhatikan agar tidak mengganggu negara lain. Kata Kunci: Hukum Laut, UNCLOS 1982, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)

77 Munir, Churun, Fazal, Nenny, Brenda, dan Zipora Contoh Penerapan Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (Studi Kasus Imajiner Amalea v. Ritania atas Malachi Gap)

A. KASUS POSISI1 Negara Amalea dan Negara Ritania adalah dua negara tetangga yang mana salah satu batas diantara kedua negara tersebut terbentang Selat Malachi dengan lebar 217-386 mil. Negara Amalea adalah negara kepulauan yang sedang berkembang dengan industri perikanan sebagai industri terbesarnya, dengan menerapkan praktek perikanan secara berkelanjutan. Sedangkan Negara Ritania memanfaatkan Selat Malachi sebagai salah satu sumber pendapatan negaranya, dibuktikan dengan penemuan Erabus Gas Field pada tahun 1988 di wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.2 Baik Negara Amalea maupun Negara Ritania menandatangai UNCLOS 1982, namun Negara Amalea tidak meratifikasi UNCLOS. Kedua negara tersebut sama-sama mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil. Maka di kawasan Selat Malachi karena tidak cukup lebar luasnya untuk kedua negara tersebut, terdapat tumpang tindih yurisdiksi atas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif dari Negara Amalea dan Negara Ritania. Untuk menghindari sengketa, kedua negara mengadakan perjanjian yang bernama Malachi Gap Treaty pada tahun 1992. Adapun isi dari Malachy Gap Treaty 1992 adalah sebagai berikut : 1. Amalea mempunyai hak untuk mengelola sumber daya alam hayati khususnya perikanan di Selat Malachi; 2. Ritania mempunyai hak untuk mengelola sumber daya alam non-hayati seperti Erabus Gas Field; 3. Tidak ada kesepakatan yang dibuat tentang aktivitas militer maupun aspek relevan dalam kegiatan komersial maupun lingkungan; 4. Sepakat bahwa masalah eksplirasi, eksploitasi serta perlindungan area Malachi Gap adalah sangat penting bagi kedua Negara.

1 Kasus ini ialah kasus fiksi yang disuguhkan oleh Dhiana Puspitawati, S.H., LL.M., Ph.D. (Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) sebagai Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah Hukum Laut Internasional pada tahun 2016. Kasus fiksi ini diangkat pada kegiatan The 2014 Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition. Jesup Compromis, Case Between The State of Amalea (Applicant) v. The Republic of Ritania (Respondent), ILSA Journal of International & Comparative Law, Vol.21, No.1 (2014). 2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah wilayah yang memiliki lebar tidak lebih dari 200 mil yang dapat dieksploitasi sumber daya dan kekayaannya secara biologis oleh negara pantai yang berdaulat dengan tanpa menguasai sepenuhnya dan mengganggu aktivitas seperti pelayaran dan penerbangan di kawasan tersebut. Dina Sunyowati dan Enny Narwati, Buku Ajar Hukum Laut, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya, 2013.

78 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Disisi lain Undang-Undang Negara Amalea tentang Perlindungan Perikanan Pesisir mengatur sebagai berikut : 1. Mengklarifikasi kembali bahwa hukum yang berlaku di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Amalea dan di Malachi Gap adalah sebagaimana diatur dalam Malachi Gap Treaty 1992. 2. Mensyaratkan adanya assessment di bidang lingkungan hidup untuk semua aktifitas yang dilakukan pada Selat Malachi yang dapat mempengaruhi hak berdaulat Amalea sebagaimana diatur dalam Hukum Internasional. Dalam perkembangan selanjutnya, Negara Ritania meletakkan investasi untuk membangun pulau buatan yang disebut Excelsor Island yang diatasnya dibangun Excelsor Island Gas and Power Limited (EIGP) yang sepenuhnya terletak di dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Ritania dan telah dilakukan Environmental Impact Assessment namun tidak untuk sumber daya perikanan. Amalea memprotes tindakan pembangunan EIGP tersebut karena tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Amalea namun Ritania menganggap hal tersebut tidak perlu karena EIGP berada di Zona Ekonomi Eksklusif Ritania. Setelah beberapa tahun berjalan ternyata aktifitas di EIGP sangat mempengaruhi kehidupan spesies ikan Dorian Wrasse hingga dinyatakan sebagai spesies ikan yang terancam punah. Padahal ikan Dorian Wrasse merupakan spesies ikan yang sangat penting bagi masyarakat Amalea dan berkembang biak di wilayah Selat Malachi yang dangkal yaitu di area Sirius Plateau yang terhubung dengan daratan Ritania, tempat yang sama dimana EIGP didirikan. Sehingga yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah bagaimana penerapan penyelesaian atas Zona Ekonomi Ekslusif yang seharusnya jika melihat pada konsepsi UNCLOS3 dan mengingat bahwasannya terdapat salah satu pihak yang tidak menjadi anggota dan tidak meratifikasi konvensi UNCLOS 1982?

3 UNCLOS atau United Nations of the Law of the Sea adalah konvensi yang memiliki peranan sebagai dasar Hukum Laut Internasional yang berlaku di banyak negara di dunia. UNCLOS diinisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang diwujudkan melalui Konferensi Hukum Laut Ketiga yang juga diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). UNCLOS pada awalnya ditandatangani oleh 117 negara di Montego Bay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982 sehingga UNCLOS dapat juga disebut sebagai UNCLOS 1982. dalam Ida Kurnia, Penerapan UNCLOS 1982 dalam Ketentuan Perundang-Undangan Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, Jurnal Hukum Prioris, Vol.2, No.1 (September 2008).

79 Munir, Churun, Fazal, Nenny, Brenda, dan Zipora Contoh Penerapan Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (Studi Kasus Imajiner Amalea v. Ritania atas Malachi Gap)

B. ANALISIS Pertama dalam kasus sengketa yang sebenarnya adalah aksi protes dari Negara Amalea atas dampak dari pembangunan EIGP oleh Negara Ritania dengan alasan rusaknya ekosistem dari spesies ikan “Dorian Wrasse” yang memang telah dinyatakan sebagai spesies hampir punah. Ditinjau dari perjanjian di antara kedua negara melalui Malachi Gap Treaty tepatnya pada Pasal 3 MGT 1992 yang menyebutkan bahwa bagi negara Ritania maupun Amelea dapat melakukan eksploitasi sesuai perjanjian namun harus menjaga dari ekosistem dalam Selat Malachi, jelas kegiatan EIGP sangat merugikan bagi ekosistem spesies ikan tertentu yang sangat penting bagi masyarakat Amalea. Berdasarkan batasan landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah hingga daratannya hingga pinggiran luar kontinen atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorialnya diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut yang terdapat pada pasal 76 ayat 1.4 Berdasarkan permasalahan itu terkait dengan batas Zona Ekonomi Ekslusif dapat ditinjau dari UNCLOS pasal 55 yang berbunyi: “Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.”

Sedangkan dalam kaitannya negara Amalea yang menegaskan bahwa negara tersebut merupakan negara dengan penyokong industrinya adalah dalam bidang pemanfaatan sumber daya hayati pada laut sebenarnya juga telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam UNCLOS. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 61-62 UNCLOS. Kemudian secara tegas pada pasal 63 UNCLOS mengenai Persediaan ikan yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dua Negara pantai atau lebih atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya yang pada intinya menjelaskan apabila ada hal tersebut terjadi maka harus adanya upaya negosiasi antara kedua belah pihak atau lebih yang pada akhirnya diharapkan menemukan sebuah kesepakatan bersama.

4 I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara – Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007.

80 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Apabila terjadi sengketa pada Zona Ekonomi Ekslusif antara dua negara atau lebih maka sengketa itu harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan, dengan memperhatikan masing- masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional sebagaimana diatur dalam pasal 59 UNCLOS.5 Dasar hukum perbuatan negara lawan yaitu Ritania, tindakan Negara Ritania dalam sengketa Zona Ekonomi Ekslusif ini sebenarnya tidak dapat dipersalahkan juga mengingat perbuatan negara Ritania telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam UNCLOS. Berkaitan dengan tindakan Ritania dalam membuat pulau buatan telah diakomodasi dalam pasal 60 UNCLOS. Pembangunan pulau buatan merupakan salah satu hak eksklusif bagi suatu negara dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif.6 Sedangkan tindakan Negara Ritania juga dapat dipandang sebagai unsur kesalahan apabila ditinjau dari pasal yang berbeda dari UNCLOS. Pasal sebagaimana dimaksud adalah Pasal 192 mengenai kewajiban-kewajiban umum yang menjelakan bahwa negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Kemudian dalam pasal selanjutnya yakni Pasal 193 mengenai Hak Kedaulatan Negara untuk mengeksploitasikan kekayaan alamnya ditegaskan kembali bahwa “Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasikan kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut”.7 Peraturan ini kemudian dilanggar oleh Negara Ritania mengingat tindakan negara tersebut telah menyebabkan spesies ikan Dorian Wrasse menjadi terancam punah. Hal yang menjadi pokok permasalahan dari permasalahan diatas adalah posisi kedua negara yang berbeda dalam menerapkan UNCLOS, Negara Amalea tidak meratifikasi UNCLOS sedang Negara Ritania telah meratifikasi UNCLOS. Hal inilah yang kemudian menyebabkan perbedaan penerapan UNCLOS dari kedua negara. Hal ini kemudian menuntut kedua belah pihak agar dapat duduk bersama dan menghasilkan kesepakatan bersama berdasar manfaat bersama.

5 Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional, Penerbit Kencana, Jakarta, 2017. 6 Darmawan, Menyibak Gelombang Menuju Negara Maritim – Kajian Strategis Mewujudkan Poros Maritim Dunia, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2018. 7 Poltak Partogi Nainggolan, Indonesia dan Rivalitas China, Jepang dan India, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2018.

81 Munir, Churun, Fazal, Nenny, Brenda, dan Zipora Contoh Penerapan Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (Studi Kasus Imajiner Amalea v. Ritania atas Malachi Gap)

C. KESIMPULAN Negara Amalea dan Negara Ritania yang notabene bertetangga dan dibatasi oleh Selat Malachi yang terbentang diantara kedua negara tersebut telah menjadi salah satu sumber pendapatan yang penting. Negara Amalea mengandalkan industri perikanan sedangkan Negara Ritania memanfaatkan gas alam yang terdapat di Erabus Gas Field. Kedua negara mengklaim Zona Ekonomi Ekslusif, namun karena lebar Selat Malachi tidak mencukupi maka kedua negara menyepakati Malachi Gap Treaty (MGT) pada 1992. Tindakan Negara Ritania membangun EIGP di pulau buatannya di kawasan Zona Ekonomi Ekslusif di wilayah Selat Malachi merugikan Negara Amalea karena pada perkembangannya menyebabkan spesies ikan tertentu yang dianggap sangat penting oleh Negara Amalea terancam punah. Berdasarkan tinjauan yuridis baik dari Malachi Gap Treaty 1992 maupun UNCLOS 1982 kedua negara tersebut dapat mengadakan perjanjian ulang untuk mendapatkan solusi yang tepat mengenai pengelolaan sumber daya alam yang terdapat pada Selat Malachi sebagai kawasan Zona Ekonomi Ekslusif dari kedua negara. Agar aktifitas EIGP tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan juga Amalea tidak menekan eksploitasi gas Ritania.

82 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku Arsana, I Made Andi. 2007. Batas Maritim Antarnegara – Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. (Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press). Darmawan. 2018. Menyibak Gelombang Menuju Negara Maritim – Kajian Strategis Mewujudkan Poros Maritim Dunia. (Jakarta: Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia). Nainggolan, Poltak Partogi. 2018. Indonesia dan Rivalitas China, Jepang dan India. (Jakarta: Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia). Sunyowati, Dina dan Enny Narwati. 2013. Buku Ajar Hukum Laut. (Surabaya: Penerbit Airlangga University Press).

Jurnal Compromis, Jesup. Case Between The State of Amalea (Applicant) v. The Republic of Ritania (Respondent). ILSA Journal of International & Comparative Law. Vol.21. No.1 (2014). Kurnia, Ida. Penerapan UNCLOS 1982 dalam Ketentuan Perundang-Undangan Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Jurnal Hukum Prioris. Vol.2. No.1 (September 2008). Puspitawati, Dhiana. 2017. Hukum Laut Internasional. (Jakarta: Penerbit Kencana).

Sumber Hukum United Nations of the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

83 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

KEBIJAKAN PROTEKSIONISME INDONESIA GUNA MENSTABILKAN IKLIM INVESTASI NASIONAL DAN MENGKAPITALISASI KONDISI PERANG DAGANG AMERIKA SERIKAT – TIONGKOK Moh. Roziq Saifulloh

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Saifulloh, Moh. Roziq. Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Liberalisasi perdagangan adalah penghapusan atau pengurangan batasan maupun hambatan pada pertukaran barang secara bebas antar negara. Disisi lain, kebijakan proteksionisme Amerika Serikat (AS) kepada produk Tiongkok menyebabkan perang dagang antara kedua negara tersebut. Dampak perang dagang AS- Tiongkok berdampak terhadap fluktuasi nilai IHSG di Indonesia, maka dibutuhkan kebijakan proteksionisme yang sesuai dengan instrumen hukum nasional dan internasional guna menstabilkan iklim investasi nasional serta mengkapitalisasi kondisi perang dagang AS-Tiongkok. Dalam esai ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan historis, sehingga penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Kata Kunci: IHSG, Kebijakan, Liberalisasi, Perang Dagang AS-Tiongkok, Proteksionisme

84 Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

A. PENDAHULUAN Liberalisasi perdagangan internasional merupakan fenomena yang dapat memberikan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan melalui pembagian kerja internasional dan spesialisasi di antara negara-negara.1 Dewasa ini, liberalisasi perdagangan memunculkan rivalitas antar dua negara adidaya yaitu AS dan Tiongkok. Munculnya Tiongkok sebagai negara adidaya ekonomi pada era ini menurut David Shambaugh dikarenakan faktor historis kejayaan tirani yang mempelopori pandangan para pemimpin Tiongkok, yang saat ini di bawah kekuasaan Xi Jinping, menjadikan Tiongkok sebagai negara Adidaya menggeser Amerika Serikat.2 Usaha Tiongkok yang ingin menggeser AS sebagai negara adidaya dimanfaatkan oleh Donald Trump sebagai janji kampanye untuk menerapkan kebijakan proteksionisme3 AS dan berhasil memenangkan Pemilihan Presiden AS mengalahkan Hillary Clinton.4 Trump dengan kebijakan proteksionismenya mengenakan kepada produk Tiongkok dan sebaliknya Tiongkok juga memberlakukan tarif impor mahal pada produk AS.5 Bahkan hingga saat ini kedua negara tersebut bukan hanya bersaing dalam aspek ekonomi dan keamanan saja, namun juga mencakup aspek teknologi sebagaimana yang terjadi pada kasus antara Google dan Huawei.6

1 Sanjaya Acharya, Trade Liberalization, In: Hölscher J., Tomann H. (eds) Palgrave Dictionary of Emerging Markets and Transition Economics, Penerbit Palgrave Macmillan, London, 2015, Hlm.393. 2 David Shambaugh, China Goes Global: The Partial Power, Penerbit Oxford University Press, Oxford and New York, 2013, Hlm.409. 3 Proteksi adalah upaya pemerintah mengadakan perlindungan pada industri-industri domestik terhadap barang impor dalam jangka waktu tertentu. Peter van Den Bossche (dkk), Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hlm.25. 4 Siroj Zakirin, Dampak Terpilihnya Donald Trump Terhadap Ekonomi di Indonesia, diakses dari https://www.kompasiana.com/siroj_boot_bois87/584ea82a4523bdde166ea5cd/dampak- terpilihnya-donald-trump-terhadap-ekonomi-di-indonesia?page=all, diakses pada 18 Juli 2019. 5 Elizabeth Belugunia, Proteksionisme Amerika, diakses dari https://www.fxstreet.web.id/analysis/proteksionisme-amerika-201803130945, diakses pada 18 Juli 2019. 6 Perkembangan teknologi 5G milik Huawei Technologies Co., Ltd. mengakibatkan Amerika Serikat gelisah dengan alasan keamanan nasional, sehingga Pemerintah AS memasukkan Huawei dalam “daftar hitam” (blacklist) di seluruh dunia. Hal ini berimplikasi pada produk Huawei yang kehilangan akses penuh pada produk Google. Antara, Google Vs Huawei: Tak Bisa Gunakan OS Android, Ini Langkah Huawei, diakses dari https://tekno.tempo.co/read/1207279/google-vs-huawei-tak-bisa-gunakan-os-android-ini-langkah- huawei, diakses pada 18 Juli 2019.

85 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Amerika Serikat dan Tiongkok merupakan pangsa pasar ekspor utama Indonesia sehingga perang dagang kedua negara tersebut berdampak signifikan pada sektor perekonomian Indonesia. Berdasarkan data BPS pada periode Januari – Juni 2019, Tiongkok mendominasi persentase ekspor nonmigas Indonesia yaitu sebesar 15,36 % diikuti oleh Amerika Serikat sebesar 11,23%.7 Kedua negara berperang ini saling mengeluarkan kebijakan bea impor besar terhadap seluruh barang yang masuk ke negaranya masing-masing. Pada sekitar bulan Mei 2019, Amerika Serikat memberlakukan kebijakan menaikkan bea impor terhadap produk Tiongkok hingga senilai US$200 miliar8. Tiongkok lalu membalas dengan menaikkan bea impor produk Amerika Serikat hingga senilai US$ 60 miliar.9 Menurut Ahmad Mikail seorang pakar ekonomi Samuel Sekuritas menyatakan bahwa kebijakan Trump ini lantas membuat ekonomi Tiongkok sangat melemah dan bahkan stagnansi pertumbuhan adalah sesuatu yang pasti terjadi.10 Kondisi ekonomi Tiongkok tersebut tentu memberi dampak pada stabilitas ekonomi negara-negara lain termasuk Indonesia.11 Dampak perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok memberikan efek domino ekonomi terhadap pergerakan bursa regional Asia, tidak terkecuali Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia. Pergerakan nilai jual surat berharga saham yang fluktuatif sebetulnya adalah hal biasa dan lumrah terjadi. Namun, kondisi serta kebijakan politik dan ekonomi suatu negara yang memberikan iklim stabil dalam berinvestasi saham tentu menjauhkan kekhawatiran investor akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

7 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Juni 2019, Berita Resmi Statistik, No. 54/07/Th.XXII, (Juli 2019), Hlm.6. 8 Prima Wirayani dan Wangi Sinintya Mangkuto, Resmi! Trump Naikkan Bea Impor terhadap Produk China Jadi 25%, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190510120106-4-71669/resmi-trump-naikkan-bea-impor- terhadap-produk-china-jadi-25, diakses pada 23 Juli 2019. 9 Putu Agus Pransuamitra, China Balas Naikkan Bea Impor, Dolar AS Langsung Jeblok, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20190513203624-17-72218/china-balas- naikkan-bea-impor-dolar-as-langsung-jeblok, diakses pada 23 Juli 2019. 10 Grace Novelia, Eskalasi Perang Dagang AS-China Memanas, Ekspor RI Diprediksi Tertekan, diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/eskalasi-perang-dagang-as-china- memanas-ekspor-ri-diprediksi-tertekan, diakses pada 23 Juli 2019. 11 Boyke. P. Siregar, Tiongkok, AS, dan Jepang Tujuan Ekspor Terbesar, diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read181306/tiongkok-as-dan-jepang-tujuan-ekspor-terbesar.html, diakses pada 24 Juli 2019.

86 Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

Menanggapi IHSG yang cenderung menurun akibat perang dagang, maka Negara Indonesia dituntut memberikan instrumen kebijakan proteksionisme sebagai standar dan norma hukum nasional12 terkait perekonomian nasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 194513. Meskipun perang dagang berdampak terhadap penurunan IHSG, namun di sisi lain perang dagang ini sebenarnya juga dapat memberikan dampak positif bagi beberapa sektor perekonomian Indonesia di luar IHSG seperti produk tekstil dan tire.14 Maka dari itu, Pemerintah Indonesia harus bijak dalam menentukan kebijakan guna memproteksi perekonomian nasional, sebab bila salah dalam mengambil langkah dapat memperburuk perekonomian nasional.

B. PEMBAHASAN 1. Dampak Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok terhadap IHSG Salah satu syarat sah perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata adalah adanya kesepakatan para pihak. Maka, para pihak khususnya para pelaku utama perdagangan saham yaitu emiten dan investor apabila telah sepakat dalam perjanjian maka harus menyepakati pula atas segala kemungkinan resiko dan cara menanggulanginya yang timbul akibat kejadian tertentu15, dimana ketentuan tersebut dalam suatu kontrak dapat ditemukan dalam klausul Events of Default and Remedies16. Saham merupakan bagian dari modal dasar Perseroan, yang mana diatur terkait prinsip full disclosure17 terhadap informasi dan financial resources atas transaksi saham investor, sehingga pemerintah berkewajiban melindungi hak investor atas keterbukaan informasi resiko pasar.18 Informasi tersebut dituangkan oleh pemerintah melalui PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam bentuk IHSG.

12 Kewajiban Negara Indonesia adalah menetapkan standar dan norma hukum nasional untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) kepentingan Warga Negara yang didalamnya termasuk kepentingan Negara. dalam Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, Penerbit IMRPress, Cianjur, 2012, Hlm.433. 13 Dasar Menimbang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 14 Tommy Kurnia, Efek Positif Perang Dagang buat Indonesia, Apa Saja?, diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/3984040/efek-positif-perang-dagang-buat-indonesia-apa- saja?, diakses pada 24 Juli 2019. 15 Pasal 81 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 16 Afifah Kusumadara, Kontrak Bisnis Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hlm.62. 17 Full Disclosure adalah pengungkapan yang menyajikan semua informasi yang relevan. 18 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

87 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Dewasa ini, menurunnya ekonomi Indonesia akibat perang dagang memukul jatuh IHSG. Menurut data bulanan BEI, penurunan ekstrim IHSG sepanjang perang dagang terjadi pada kuartal IV 2018 tepatnya Oktober 2018 yang terpukul jatuh sebesar 2,42% ke level 144.903.19 Kepala Riset Valbury Sekuritas, Alfiansyah menyatakan bahwa redanya ketegangan AS dan Tiongkok pada Juli 2019 berpeluang membuat pasar global pekan ini menguat, termasuk mendorong IHSG ke zona hijau.20 Sentimen positif itu muncul setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menyepakati beberapa hal terkait perdagangan kedua negara, di sela KTT G20 di Osaka, Jepang. Sejalan dengan meredanya perang dagang, IHSG pada awal Juli 2019 menguat ke level 6,373.477 dan terus melaju hingga pertengahan Juli ke level 6,456.539.21 Artinya, perang dagang berdampak siginifikan terhadap fluktuasi nilai IHSG di Indonesia yang cenderung menurun sehingga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional yang positif tidak lepas dari pengaruh perkembangan pasar modal.22 Sepanjang 2016, raihan pajak Rp.110 triliun dari industri pasar modal atau sekitar 10% dari total penerimaan pajak negara. Dari total nilai itu, penerimaan pajak didominasi dari emiten yaitu mencapai Rp.89,7 triliun atau setara sekitar 81%. Kontributor terbesar kedua berasal dari pajak dividen, Rp.12,99 triliun disusul oleh pajak obligasi sebesar Rp.4,43 triliun. Selebihnya, penerimaan pajak berasal dari transaksi saham, anggota bursa dan IPO.23 Selain pajak, pasar modal juga memiliki peran antara lain sebagai jembatan keuangan di luar bank, memberikan kesempatan bagi para pemilik modal untuk berinvestasi dan berpotensi untung, membantu perusahaan dapat terus berkembang dengan bantuan permodalan untuk mengekspansi bisnisnya sehingga membuka lapangan pekerjaan baru.

19 Indonesia Stock Exchange Research and Development Division, IDX Monthly Statistics October 2018, Vol.27, No.10, Hlm.2. 20 Dwi Hadya Jayani, Ketegangan AS-Tiongkok Mereda, IHSG Dibuka Menguat, diakses dari databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/01/ketegangan-as-tiongkok-mereda-ihsg-dibuka- menguat, diakses pada 24 Juli 2019. 21 Indonesia Stock Exchange Research and Development Division, IDX Weekly Statistics, No.26, Vol.XXIX, 1-5 Juli 2019, dan No.28, Vol.XXIX, 15-19 Juli 2019. 22 Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Mei 2018, Jurnal Media Keuangan, Vol.XIII, No.129, Jakarta, Juni 2018, Hlm.11. 23 Dityasa H. Forddanta, Rp 110 T Pajak Negara Berasal dari Pasar Modal, diakses dari https://investasi.kontan.co.id/news/rp-110-t-pajak-negara-berasal-dari-pasar-modal, diakses pada 25 Juli 2019.

88 Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

Perang dagang AS-Tiongkok memberikan dampak psikologis bagi para investor dalam mengambil sikap berinvestasi di Indonesia karena banyak investor asing yang meninggalkan bursa saham Indonesia karena khawatir nilai IHSG menurun. Menurut BEI, presentase investor domestik pada tahun 2018 mendominasi menjadi lebih dari 50%, sebab banyak investor asing yang meninggalkan bursa saham Indonesia.24 Lebih lanjut mengacu data BEI pada Mei 2019, investor asing telah membukukan jual bersih dalam 3 bulan mencapai hampir Rp. 10 triliun.25 Meredanya perang dagang pada Juli 2019 dapat menjadi momentum sesaat, maka pemerintah wajib memberikan kebijakan guna menstabilkan iklim investasi sehingga dapat menopang nilai IHSG serta meningkatnya kepercayaan investor akan prospek perekonomian Indonesia. 2. Posisi dan Peranan Indonesia dalam Menstabilkan Iklim Investasi Nasional Akibat Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok Indonesia memiliki posisi strategis dalam perdagangan internasional karena tidak terlepas dari keterlibatan Indonesia sebagai anggota dari organisasi internasional World Trade Organization (WTO) serta organisasi Free Trade Agreement (FTA). Baik hubungan yang bersifat bilateral maupun hubungan yang bersifat multilateral yang telah ditandatangani Indonesia. Keterlibatan secara aktif Indonesia di dalam perdagangan internasional sangat mempengaruhi perekonomian global, yang mana Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo mengapresiasi keterlibatan dan peran Indonesia dalam organisasi dagang internasional.26 Sejalan dengan hal tersebut, liberalisasi perdagangan mendorong agar kebijakan nasional dapat memproteksi perekonomian nasional atas suatu resiko pasar seperti perang dagang.27

24 Iit Septyaningsih, BEI Sebut Jumlah Investor Lokal Capai 50 Persen Lebih, diaksess dari https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/09/23/pfhw8d383-bei-sebut-jumlah-investor- lokal-capai-50-persen-lebih, diakses pada 24 Juli 2019. 25 Monica Wareza,Panasnya Perang Dagang, 3 Bulan Asing Sudah Keluar Rp 10 T, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20190514103115-17-72278/panasnya- perang-dagang-3-bulan-asing-sudah-keluar-rp-10-t, diakses pada 25 Juli 2019. 26 Suara Pembaruan, WTO Apresiasi Peranan Indonesia dan Minta Ditingkatkan, diakses dari beritasatu.com/ekonomi/359882/wto-apresiasi-peranan-indonesia-dan-minta-ditingkatkan, diakses pada 24 Juli 2019. 27 Robert W. McGee, Economic Protectionism and the Philosophy of Frederic Bastiat, Brooklyn Journal of Corporate, Financial & Commercial Law, Vol.5, Issue 2, Article 5, 2011, Hlm.445, diakses dari http://brooklynworks.brooklaw.edu/bjcfcl/vol5/iss2/5, diakses pada tanggal 25 Juli 2019.

89 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Liberalisasi perdagangan, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas.28 Di sisi lain, perang dagang AS-Tiongkok berdampak pada fluktuasi nilai IHSG yang cenderung menurun, maka dibutuhkan instrumen kebijakan proteksionisme guna menstabilkan iklim investasi nasional. Kebijakan proteksionisme diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, yang dalam ketentuan tersebut membatasi hanya pada tindakan pengamanan ekonomi apabila terjadi lonjakan jumlah barang impor dan bukan peristiwa yang secara umum mengancam perekonomian suatu negara. Sejatinya proteksionisme belum memiliki pengaturan yang dapat mendefinisikan dan mengelompokan secara fungsional untuk melihat motif, instrumen, dan respon penerapan kebijakan proteksionisme di suatu negara. Artinya, sepanjang kebijakan proteksionisme suatu negara tidak melanggar ketentuan WTO29 maka bentuk kebijakan tersebut sah dan dapat dilaksanakan. Secara historis, pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Indonesia pernah menerapkan proteksionisme berupa paket kebijakan guna menstabilkan perekonomian nasional.30 Berkaca dari pengalaman tersebut maka kebijakan proteksionisme yang dapat diterapkan pemerintah guna menstabilkan iklim investasi nasional akibat perang dagang, yaitu: a. Menurunkan batas minimum harga saham yang saat ini sebesar Rp. 50/saham. Dengan begitu, saham tidak dihentikan perdagangannya meskipun harganya telah menyentuh batas harga minimum Rp. 50/saham. Hal ini bertujuan guna meningkatkan aksesibilitas masyarakat agar nantinya jumlah investor bisa semakin meningkat, sebab saat ini investor pemegang saham berharga Rp. 50 tidak dapat melepas sahamnya di Bursa Efek Indonesia.

28 Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Sekilas WTO, diakses dari ditjenppi.kemendag.go.id/index.php/multilateral/tentang-wto/sekilas-wto, diakses pada 25 Juli 2019. 29 Ketentuan WTO yang dimaksud adalah The Text of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement Establishing The World Trade Organization. 30 Keempat paket kebijakan digunakan untuk merespon pelemahan ekonomi dalam negeri dan memulihkan kembali perekonomian Indonesia di tengah krisis global pada kepemimpinan Presiden SBY. dalam Noverius Laoli, Ini 4 Paket Kebijakan SBY untuk Stabilkan Ekonomi, diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/ini-4-paket-kebijakan-sby-stabilkan-ekonomi, diakses pada 25 Juli 2019.

90 Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

b. Pemerintah bekerja sama dengan Bank Indonesia memberikan kebijakan moneter guna menjaga tingkat inflasi serta mendorong perekonomian dalam negeri. Dengan adanya makroprudensial dan mikroprudensial antara dua lembaga tersebut dalam menjaga stabilitas keuangan nasional, maka dapat meminimalisir dampak faktor eksternal berupa perang dagang terhadap pasar modal (Bursa Efek). c. Larangan sementara bagi sebagian emiten yang melakukan transaksi jual kosong (Short-Selling) 31selama fluktuasi nilai Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG yang cenderung mengalami penurunan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kejatuhan indeks saham secara signifikan sebagaimana yang terjadi pada depresi besar di AS pada tahun 1929 serta seluruh negara di dunia menjelang akhir tahun 2008, yang mana disinyalir akibat adanya aksi Short Selling Ilegal atau yang lebih dikenal dengan istilah Naked Short Selling. d. Incidental Protectionism32 yang menggunakan Peraturan Menteri sebagai instrumen preventif maupun instrumen represif yang mengamankan industri lokal terutama yang terkena dampak langsung dari perang dagang. Misalnya, selama perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok, produk alumunium dan baja dari Tiongkok dikenakan bea masuk tinggi oleh Amerika Serikat. Meskipun Indonesia bukan penyuplai utama produk alumunium dan baja, namun Indonesia berpotensi kebanjiran impor produk tersebut dari Tiongkok yang berimplikasi mengancam keberlangsungan industri alumunium dan baja Indonesia.33

31 Short selling sendiri merupakan aksi jual saham yang dilakukan oleh investor dengan meminjam dana (on margin) atau saham yang belum dimiliki dari sekuritas. Tujuannya agar investor tersebut bisa membeli saham di harga yang murah. Biasanya strategi ini dipakai oleh kaum bearish, atau yang mengambil untung saat pasar turun. Aksi short selling akan menjadi buntung jika ternyata saham yang ditransaksikan menguat, sebab uang yang harus dikembalikan jadi lebih besar. 32 Incidental Protectionism merupakan bentuk proteksionisme yang dilakukan dengan menetapkan suatu peraturan yang secara eksplisit bertujuan untuk mendiskriminasikan produk impor serta mengamankan pasar domestik. Dalam Philip I. Levy, Imaginative Obstruction: Modern Protectionism in the Global Economy, Georgetown Journal of International Affairs, Vol.10, No.2, Penerbit Georgetown University Press, 2009, Hlm.9, diakses dari https://www.jstor.org/stable/43133568, diakses pada 25 Juli 2019. 33 Yulistyne Kasumaningrum, Imbas Perang Dagang, Produk Tiongkok Kian Masif Membanjiri Pasar Domestik, diakses dari https://www.bareksa.com/id/text/2015/08/25/bei-larang- short-selling-ini-latar-belakangnya/11259/news, diakses pada 25 Juli 2019.

91 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Selain itu, Indonesia harus bijak dalam mengambil tindakan kapitalisasi kondisi perang dagang. Mengingat Indonesia telah terlambat untuk memanfatkan perang dagang AS-Tiongkok, sehingga tidak termasuk dalam global value chain yang signifikan layaknya Vietnam dan Taiwan yang ekspor produknya ke AS, sementara Chile, Malaysia, dan Argentina yang ekspor produknya ke Tiongkok. Maka dari itu, Indonesia dapat memperoleh kesempatan lain sebagai pihak negara yang menempuh jalur diplomatik yang membantu mendamaikan negara yang terlibat perang dagang, sehingga ketika Indonesia berhasil tentu akan mendapatkan keuntungan jangka panjang berupa peningkataan kekuatan diplomatik di kancah internasional. Dengan kata lain, keuntungan Indonesia tidak hanya memanfaatkan keuntungan sementara disela perang dagang namun mendapatkan keuntungan jangka panjang, bahkan pasca perang dagang. Tidak hanya bagi negara, perang dagang merupakan ladang emas bagi firma hukum guna mengurus suatu perjanjian antar perusahaan, izin pendirian perusahaan, dan lainnya. Hal tersebut terjadi karena kebijakan AS yang merugikan industri Tiongkok di AS menyebabkan industri tersebut berniat memindahkan (relokasi) pabrik mereka dari AS ke Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada Jianghuai Automobile Co., Ltd. dan BYD Automobile Co., Ltd.34

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Liberalisasi perdagangan memunculkan rivalitas antar dua negara adidaya yaitu AS dan Tiongkok. Perang dagang antara kedua negara tersebut berdampak psikologis investor yang khawatir pada fluktuasi nilai IHSG yang cenderung menurun sehingga banyak investor yang meninggalkan bursa saham Indonesia. Dampak ini akan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi nasional seperti pajak, bantuan permodalan bagi perusahaan, dan lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan instrumen kebijakan proteksionisme guna menstabilkan iklim investasi nasional serta langkah pemerintah Indonesia maupun firma hukum dalam mengambil tindakan guna mengkapitalisasi kondisi perang dagang AS-Tiongkok.

34 Admin, Dua Pabrik Mobil Asal China Siap Relokasi ke Indonesia, https://www.radiodms.com/ekonomi/dua-pabrik-mobil-asal-china-siap-relokasi-ke-indonesia/, diakses pada tanggal 25 Juli 2019.

92 Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

2. Rekomendasi Rekomendasi bagi pemerintah sebainya menerapkan kebijakan proteksionisme guna menstabilkan iklim investasi nasional akibat perang dagang, dan mengambil tindakan yang bijak guna mengkapitalisasi kondisi perang dagang tersebut. Selanjutnya, rekomendasi bagi perusahaan sebaiknya mencari peluang dalam memanfaatkan perang dagang ini seperti mempromosikan dan memberikan harga yang tepat bagi kedua negara yang sedang perang dagang guna menggantikan produknya di negara rivalnya. Terakhir, rekomendasi bagi firma hukum, sebaiknya meningkatkan kualitas SDM untuk bersiap menghadapi tantangan dan dinamika persoalan hukum di tengah perang dagang AS-Tiongkok.

93 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku Acharya, Sanjaya. 2015. Trade Liberalization. In: Hölscher J., Tomann H. (eds) Palgrave Dictionary of Emerging Markets and Transition Economics. (London: Penerbit Palgrave Macmillan). Bossche, Peter van Den (dkk). 2010. Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). (Jakarta: PenerbitYayasan Obor Indonesia). Iskandar, Pranoto. 2012. Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual. (Cianjur: Penerbit IMRPress). Kusumadara, Afifah. 2013. Kontrak Bisnis Internasional. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika). Shambaugh, David. 2013. China Goes Global: The Partial Power. (Oxford and New York: Penerbit Oxford University Press).

Jurnal dan Publikasi Badan Pusat Statistik. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Juni 2019. Berita Resmi Statistik. No.54/07/Th.XXII (Juli 2019). Indonesia Stock Exchange Research and Development Division. IDX Monthly Statistics October 2018. Vol.27. No.10. Indonesia Stock Exchange Research and Development Division. IDX Weekly Statistics. No.26. Vol.XXIX (1-5 Juli 2019) dan No.28. Vol.XXIX. (15-19 Juli 2019). Levy, Philip I.. Imaginative Obstruction: Modern Protectionism in the Global Economy. Georgetown Journal of International Affairs Vol.10. No.2. Penerbit Georgetown University Press (2009). Robert W. McGee. Economic Protectionism and the Philosophy of Frederic Bastiat. Brooklyn Journal of Corporate. Financial & Commercial Law. Volume 5. Issue 2. Article 5 (2011). Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Mei 2018. Jurnal Media Keuangan. Vol.XIII / No.129. Jakarta (Juni 2018).

Internet Antara. Google Vs Huawei: Tak Bisa Gunakan OS Android. Ini Langkah Huawei. diakses dari https://tekno.tempo.co/read/1207279/google-vs-huawei-tak- bisa-gunakan-os-android-ini-langkah-huawei. diakses pada 18 Juli 2019. Belugunia, Elizabeth. Proteksionisme Amerika. diakses dari https://www.fxstreet.web.id/analysis/proteksionisme-amerika- 201803130945. diakses pada 18 Juli 2019. Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional. Sekilas WTO. diakses dari ditjenppi.kemendag.go.id/index.php/multilateral/tentang-wto/sekilas- wto. diakses pada 25 Juli 2019. Forddanta, Dityasa H.. Rp 110 T Pajak Negara Berasal dari Pasar Modal. diakses dari https://investasi.kontan.co.id/news/rp-110-t-pajak-negara-berasal-dari- pasar-modal. diakses pada 25 Juli 2019. Jayani, Dwi Hadya. Ketegangan AS-Tiongkok Mereda. IHSG Dibuka Menguat. diakses dari databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/01/ketegangan- as-tiongkok-mereda-ihsg-dibuka-menguat. diakses pada 24 Juli 2019.

94 Moh. Roziq Saifulloh Kebijakan Proteksionisme Indonesia Guna Menstabilkan Iklim Investasi Nasional dan Mengkapitalisasi Kondisi Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

Kasumaningrum, Yulistyne. Imbas Perang Dagang. Produk Tiongkok Kian Masif Membanjiri Pasar Domestik. diakses dari https://www.bareksa.com/id/text/2015/08/25/bei-larang-short-selling-ini- latar-belakangnya/11259/news. diakses pada 25 Juli 2019. Kurnia, Tommy. Efek Positif Perang Dagang buat Indonesia. Apa Saja?. diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/3984040/efek-positif-perang- dagang-buat-indonesia-apa-saja?. diakses pada 24 Juli 2019. Laoli, Noverius. Ini 4 Paket Kebijakan SBY untuk Stabilkan Ekonomi. diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/ini-4-paket-kebijakan-sby-stabilkan- ekonomi. diakses pada tanggal 25 Juli 2019. Novelia, Grace. Eskalasi Perang Dagang AS-China Memanas. Ekspor RI Diprediksi Tertekan. diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/eskalasi-perang-dagang-as-china- memanas-ekspor-ri-diprediksi-tertekan. diakses pada 23 Juli 2019. Pransuamitra, Putu Agus. China Balas Naikkan Bea Impor. Dolar AS Langsung Jeblok. diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20190513203624-17- 72218/china-balas-naikkan-bea-impor-dolar-as-langsung-jeblok. diakses pada 23 Juli 2019. Radio DMS. Dua Pabrik Mobil Asal China Siap Relokasi ke Indonesia. diakses dari https://www.radiodms.com/ekonomi/dua-pabrik-mobil-asal-china- siap-relokasi-ke-indonesia/. diakses pada tanggal 25 Juli 2019. Septyaningsih, Iit. BEI Sebut Jumlah Investor Lokal Capai 50 Persen Lebih. diakses dari https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/09/23/pfhw8d383-bei- sebut-jumlah-investor-lokal-capai-50-persen-lebih. diakses pada 24 Juli 2019. Siregar, Boyke. P.. Tiongkok. AS. dan Jepang Tujuan Ekspor Terbesar. diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read181306/tiongkok-as-dan-jepang- tujuan-ekspor-terbesar.html. diakses pada 24 Juli 2019. Suara Pembaruan. WTO Apresiasi Peranan Indonesia dan Minta Ditingkatkan. diakses dari beritasatu.com/ekonomi/359882/wto-apresiasi-peranan- indonesia-dan-minta-ditingkatkan. diakses pada 24 Juli 2019. Wareza, Monica. Panasnya Perang Dagang. 3 Bulan Asing Sudah Keluar Rp 10 T. diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20190514103115- 17-72278/panasnya-perang-dagang-3-bulan-asing-sudah-keluar-rp-10-t. diakses pada 25 Juli 2019. Wirayani, Prima dan Wangi Sinintya Mangkuto. Resmi! Trump Naikkan Bea Impor terhadap Produk China Jadi 25%. diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20190510120106-4-71669/resmi- trump-naikkan-bea-impor-terhadap-produk-china-jadi-25. diakses pada 23 Juli 2019. Zakirin, Siroj. Dampak Terpilihnya Donald Trump Terhadap Ekonomi di Indonesia. diakses dari kompasiana.com/siroj_boot_bois87/584ea82a4523bdde166ea5cd/dampak- terpilihnya-donald-trump-terhadap-ekonomi-di-indonesia?page=all. diakses pada 18 Juli 2019.

95 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Sumber Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 66. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5225. Agreement Establishing the World Trade Organization 1994. General Agreement on Tarifs and Trade (GATT) 1947.

96 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

IMPLIKASI YURIDIS PEMBERLAKUAN WACANA EARTH TO EARTH TRANSPORTATION OLEH SPACEX Tasya Ester Loijens

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Loijens, Tasya Ester. Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Perkembangan teknologi yang pesat memungkinkan manusia memanfaatkan sumber daya alam yang sebelumnya sulit dijangkau sekalipun seperti sumber daya yang terdapat di ruang angkasa. Dengan adanya kemajuan tersebut, hukum juga turut berkontribusi melalui hukum internasional yang mengatur tentang aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan ruang angkasa yang sering dikenal sebagai Five United Nations Treaties on Outer Space. Pada tahun 2017, CEO dari SpaceX (perusahaan kedirgantaraan swasta asal Amerika Serikat), Elon Musk, mengumumkan rencana pemanfaatan transportasi yang sebelumnya digunakan untuk memindahkan objek dari Planet Bumi ke Ruang Angkasa yaitu Roket, untuk digunakan sebagai transportasi publik yang digunakan sebagai sarana mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain di Planet Bumi. Hal ini menarik karena konsepnya menggunakan Ruang Angkasa setelah permukaan udara Planet Bumi sehingga menimbulkan kontemplasi baru berkaitan dengan perizinan dan aspek legalitasnya. Dalam tulisan ini, penulis bermaksud mengkaji dari perspektif hukum internasinal dengan pengaturan internasional yang berkaitan dengan hukum udara dan luar angkasa. Kata Kunci: E2E Transportation, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Perusahaan Kedirgantaraan SpaceX

97 Tasya Ester Loijens Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX

A. PENDAHULUAN Berkembangnya peradaban manusia seiring dengan dorongan untuk mengembangkan diri melalui kemampuan dan kepandaian teknologi ditandai dengan segala aspek inovasi hingga pemanfaatan seluas-luasnya terhadap sumber daya yang tersedia di dunia, hingga yang berada di udara dan luar angkasa. Kegiatan pemanfaatan ruang angkasa ditandai dengan peluncuran satelit Sputnik I milik Uni Sovyet pada tahun 1957. Sejak saat itu, ruang angkasa yang dulunya kosong mulai diisi dengan berbagai macam benda-benda angkasa (“Space Objects”) yang semakin hari semakin banyak memenuhi ruang angkasa dengan fungsi, tujuan yang beraneka ragam serta “Life Time” atau jangka hidup yang bervariasi oleh negara-negara berteknologi tinggi.1 Pada dasarnya, peluncuran benda angkasa merupakan bentuk kemajuan teknologi dalam memanfaatkan ruang angkasa yang memberikan dampak positif bagi kualitas kehidupan manusia.2 Dampak dari kegiatan pemanfaatan ruang angkasa pada prinsipnya memberikan dan mempunyai manfaat, kegunaan atau keuntungan bagi manusia di planet bumi. Namun adapun dampak negatif yang muncul adalah dapat disalahgunakan untuk maksud tidak damai seperti perang dan dapat pula menimbulkan kerugian atau bahaya di permukaan bumi.3 Bersamaan dengan mulainya kegiatan pemanfaatan ruang angkasa, muncul pula peraturan-peraturan atau hukum yang mengatur mengenai kegiatan pemanfaatan ruang angkasa tersebut. Bermula dari resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang kemudian melahirkan “Outer Space Treaty 1967” (OST) dan penjabarannya dalam bentuk perjanjian-perjanjian dan/atau konvensi- konvensi internasional. OST atau yang memiliki nomenklatur lengkap “Treaty On Principles Concerning The Activities Of State In The Exploration And Use Of Outer Space, Including The Moon And Other Celestial Bodies” dikenal sebagai hukum dasar dalam bidang Hukum Angkasa.

1 Negara-negara maju terutama Amerika Serikat dan Uni Soviet. dalam Priyatna Abdulrrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan “Space Treaty 1967”, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1997. 2 Tiara Noor Pratiwi, Setyo Widagdo, dan Nurdin, Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Sampah Angkasa (Space Debris) (Studi Terhadap Insiden Tabrakan Sampah Angkasa Milik Cina Dengan Satelit Milik Rusia), Skripsi, Universitas Brawijaya, Malang, 2013. 3 Benda-benda ruang angkasa yang jatuh di permukaan Bumi dapat menjadi salah satu contoh pemanfaatan ruang angkasa yang negatif karena menimbulkan kerugian dan bahaya.

98 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Pada pokoknya OST mengatur tentang status ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya, usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan manusia di ruang angkasa, dan menetapkan hak dan kewajiban bagi negara-negara.4 Dari konvensi ini, muncullah berbagai pengaturan internasional lainnya dalam perspektif hukum udara dan ruang angkasa yang dikenal sebagai “Five United Nations Treaties on Outer Space” atau lima konvensi yang mengatur mengenai ruang angasa meliputi “The Outer Space Treaty”5, “The Rescue Agreement”6, “The Liability Convention”7, “The Registration Convention”8 dan “The Moon Agreement”.9 Dewasa ini perjuangan perkembangan teknologi ruang angkasa oleh negara- negara maju begitu pesat hingga muncullah salah satu bentuk kegiatan keruangangkasaan yakni komersialisasi ruang angkasa. Letak ruang angkasa yang jauh dari dataran bumi pun bukan menjadi penghalang bagi manusia untuk terus mengeksplorasi dan melakukan aktivitas yang memberikan keuntungan bagi kehidupannya. Sebagai contoh kegiatan komersial ruang angkasa yang meliputi: 1) Tekelomunikasi dan Informasi yang merupakan perluasan pemanfaatan orbit bumi dan pemgembangan layanan jaringan infrastruktur informasi secara global; 2) Transportasi Ruang Angkasa antara lainnya peluncuran atau penempatan satelit-satelit pada orbit, pemasokan akomodasi stasiun ruang angkasa, wisata di ruang angkasa, pembangunan instalasi bagi industri ruang angkasa, hingga kemungkinan pemukiman di ruang angkasa; 3) Penginderaan Jauh (Remote Sensing); 4) Penambangan di Ruang Angkasa (Mining); dan lain-lain.10

4 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Penerbit Alumni, Bandung, 1987. 5 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies. Diadopsi di Majelis Umum Dewan PBB dan berlaku pada 10 Oktober 1967, mengatur mengenai prinsip pemanfaatan ruang angkasa. 6 Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space diadopsi dan Entry Into Force atau mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1968, mengatur mengenai penyelamatan astronot, kembalinya astronot serta benda- benda ruang angkasa ke Bumi. 7 Liability Convention atau Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects mulai berlaku pada 1 September 1972, mengatur tentang tanggung jawab negara- negara dalam kerusakan yang diakibatkan oleh benda-benda ruang angkasa. 8 Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space mulai berlaku pada 15 September 1976, mengatur mengenai pendaftaran benda-benda yang diletakkan di ruang angkasa. 9 Dikenal juga sebagai Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies yang berlaku pada 11 Juli 1984, mengatur mengenai aktivitas yang dapat dilakukan oleh negara-negara di Bulan dan benda-benda alamiah di ruang angkasa lainnya. 10 I.B.R. Supancana, Peranan Hukum dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Penerbit CV. Mitra Karya, Jakarta, 2003.

99 Tasya Ester Loijens Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX

SpaceX yang merupakan perusahaan dalam bidang teknologi ruang angkasa di Amerika Serikat yang belakangan ini berambisi untuk mengirim manusia ke Planet Mars dengan roket buatannya. Roket dengan nama Starship atau nama kode BFR ini direncanakan untuk digunakan juga sebagai transportasi cepat di bumi yang dinamai sebagai Earth to Earth Transportaion. Hal tersebut diucapkan oleh CEO SpaceX, Ellon Musk, di International Astronautical Congress (IAC) yang diselenggarakan di Australia pada tahun 2017 silam.11 “Kalau kami membuat roket untuk pergi ke Bulan dan Mars, maka kenapa tidak sekalian saja untuk perjalanan ke tempat-tempat lain di Bumi?” ucapnya. Roket BFR buatan SpaceX diklaim sanggup mengangkat penumpang ke tujuan manapun di seluruh titik di bumi dengan kecepatan roket yang bisa mencapai lebih dari 28.000 km per jam, mengalahkan kecepatan maksimal dari pesawat komersil maupun pesawat jet konvensional. Karena diterbangkan ke luar atmosfer sehingga tidak ada hambatan gesekan udara atau friksi, BFR dapat berjalan mulus tanpa turbulence yang biasa dialami penumpang di pesawat. Dalam tulisan ini penulis ingin mengkaji mengenai implikasi yuridis terhadap wacana SpaceX dalam Earth to Earth Transportation nya. Pengaturan dalam hukum udara dan ruang angkasa akan dianalisa guna mendapatkan titik terang dan penyesuaiannya.

B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Earth to Earth Transportation Space Exploration Technologies Corp. melakukan bisnis sebagai SpaceX, adalah produsen kedirgantaraan swasta Amerika dan perusahaan jasa transportasi ruang angkasa yang berkantor pusat di Hawthorne, California. Didirikan pada tahun 2002 oleh pengusaha Elon Musk dengan tujuan mengurangi biaya transportasi ruang angkasa dan memungkinkan kolonisasi di planet Mars. CEO SpaceX, Elon Musk, mengumumkan rencananya tentang perjalanan ke Bulan dan Mars dalam konferensi IAC. Dia mengakhiri pengumumannya dengan satu janji menarik, yaitu menggunakan sistem roket antarplanet untuk menempuh perjalanan jarak jauh di Bumi. Lalu Musk memamerkan demonstrasi dari ide itu.

11 Oik Yusuf, Elon Musk Bikin Roket Transportasi Super Cepat, Sydney Singapura 31 Menit, diakses dari https://tekno.kompas.com/read/2017/09/30/16050047/elon-musk-bikin-roket- transportasi-super-cepat-sydney-ke-singapura-31-menit, diakses pada 19 Desember 2018.

100 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Dia mengklaim, sistem transportasi ini akan dapat membawa penumpang menempuh “perjalanan paling jauh” hanya dalam waktu 30 menit dan pergi “kemanapun di Bumi dalam waktu kurang dari 1 jam” dengan biaya yang sama seperti tiket pesawat ekonomi, lapor The Verge.12 Saat ini, roket dan pesawat yang akan digunakan masih sekadar teori. Namun Musk berkata, dia berharap konstruksi roket yang akan digunakan akan dimulai dalam waktu dekat ini. Dalam video ilustrasi, para penumpang menggunakan kapal besar dari pelabuhan di New York ke tempat peluncuran roket yang mengambang di air. Dari sana, mereka kemudian naik ke roket yang juga ingin Musk gunakan untuk membawa manusia ke Mars pada 2024. Roket itu akan keluar dari atmosfer Bumi, walau ia tidak akan berangkat ke planet lain dan hanya membawa penumpang ke kota di belahan dunia lainnya. Sekitar 39 menit kemudian, roket kembali masuk atmosfer Bumi dan mendarat di tempat pendaratan di dekat Shanghai. Proses pendaratan ini sama seperti ketika Falcon 9 mendarat di tempat pendaratan di laut.13 Dalam video disebutkan, perjalanan dari Hong Kong ke Singapura akan memakan waktu 22 menit, London ke Dubai atau New Work 29 menit dan Los Angeles ke Toronto 24 menit. Jika berhasil direalisasikan, sistem transportasi ini akan menjadi metode perjalanan paling cepat. Pesawat ini akan mencapai kecepatan 18 ribu per mil, bahkan lebih cepat dari Concorde.14 Tabel berikut merupakan perbandingan waktu yang ditempuh BFR dengan Pesawat komersil dengan rute dan jarak yang sama15: Rute Jarak (Km) Pesawat Komersil BFR Los Angeles – New York 3,983 5 Jam, 25 Menit 25 Menit Bangkok – Dubai 4,909 6 Jam, 25 Menit 27 Menit Tokyo – Singapura 5,350 7 Jam, 10 Menit 28 Menit London – New York 5,555 7 Jam, 55 Menit 29 Menit New York – 5,849 7 Jam, 20 Menit 30 Menit Sydney – Singapura 6,288 8 Jam, 20 Menit 31 Menit Los Angeles – London 8,781 10 Jam, 30 Menit 32 Menit London – Hong Kong 9,648 11 Jam, 50 Menit 34 Menit Tabel 1. Perbandingan Waktu ke Kota-Kota Besar Sumber : Space X

12 Metro TV News, Elon Musk Ingin Gunakan Roket untuk Transportasi di Bumi, diakses dari http://m.metrotvnews.com/read/2017/09/30/766132/elon-musk-ingin- gunakan-roket-untuk- transportasi-di-Bumi, diakses pada 19 Desember 2018. 13 Falcon 9 atau Falcon Heavy adalah roket operasional paling kuat di dunia buatan SpaceX. 14 Jet komersial subsonik mengambil delapan jam untuk terbang dari New York ke Paris, waktu penerbangan supersonik Concorde rata-rata di rute transatlantik hanya di bawah 3,5 jam. 15 SpaceX, Time Comparison to Major Cities, diakses dari https://www.spacex.com/mars, diakses pada 20 Desember 2018.

101 Tasya Ester Loijens Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX

2. Tinjauan Umum tentang Perkembangan Peraturan-Peraturan Internasional Hukum Udara dan Ruang Angkasa Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional. Oleh karena itu, peranan Hukum Internasional sangat menentukan. Hukum internasional yang berlaku diterapkan pada bagian-bagian yang masih kurang atau belum diatur mengenai pihak-pihak yang berhubungan atas suatu kepentingan tertentu. Pengaturan ruang angkasa meliputi: 1. Outer Space Treaty 1967 adalah landasan hukum yang melarang senjata pemusnah massal di angkasa dan menyimpan bulan dan benda-benda lain untuk tujuan damai. Konvensi ini dibuka untuk ditandatangani pada Januari 1967 dan mulai berlaku pada 10 Oktober 1967. 2. Liability Convention 1973 mulai berlaku pada tahun 1972, yang isinya menetapkan aturan tanggung jawab negara untuk benda ruang angkasa miliknya yang jatuh di permukaan bumi. Uni Soviet dijatuhi hukuman di bawah konvensi ini ketika salah satu satelit bertenaga nuklirnya jatuh di sekitar kawasan Negara Kanada pada tahun 1978. 3. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 yang pada tahun 1976 konvensi ini menciptakan sistem untuk mengidentifikasi dan mendaftarkan benda-benda ruang angkasa yang diluncurkan oleh suatu negara. 4. Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space adalah perjanjian yang menguraikan kewajiban bagi setiap pihak negara yang menjadi sadar bahwa personil pesawat ruang angkasa berada dalam bahaya. Perjanjian mulai berlaku pada bulan Desember 1968. 5. Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies, dibuka untuk tanda tangan pada tahun 1979 tetapi tidak diberlakukan hingga 1984. Perjanjian tersebut menegaskan kembali dan menguraikan tentang Outer Space Treaty yang berhubungan dengan bulan dan benda langit lainnya, yang harus digunakan secara eksklusif untuk tujuan damai, lingkungan yang tidak boleh terganggu, serta setiap pembangunan stasiun harus diketahui oleh PBB.

102 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

3. Tinjauan Umum tentang Prinsip Kebebasan dan Kegiatan Pemanfaatan Ruang Angkasa Prinsip kebebasan yang tercermin dalam Pasal III OST16, merupakan suatu jaminan bagi setiap negara dalarn kegiatan pemanfaatan ruang angkasa. Sebab ruang angkasa yang hampa udara itu ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia di permukaan bumi. Dalam praktek kegiatan pemanfaatan ruang angkasa, nampak bahwa tidak setiap negara dapat dan mampu memanfaatkannya. Faktor penyebabnya ada dua yaitu faktor keadaan alamiah dari ruang angkasa17 dan faktor kepentingan nasional setiap negara.18 Prinsip kebebasan di ruang angkasa lebih dijamin lagi dengan adanya larangan kegiatan militer di ruang angkasa (Pasal IV OST). Walaupun ada kebebasan untuk kegiatan pemanfaatan ruang angkasa bagi setiap negara, secara teknis tidak semua negara mampu untuk memanfaatkannya, sehingga OST menawarkan suatu kerja sama antar negara dalam pemanfaatan ruang angkasa (Pasal V, IX-XIII). Negara-negara diwajibkan untuk saling terbuka satu sama lain dalam kegiatan pemanfaatan ruang angkasa (Pasal IX). Misalnya, mengenai peluncuran dan penempatan satelit-satelit. Ketentuan yang agak bertentangan atau bertolak belakang dengan prinsip kebebasan adalah Pasal VIII OST itu sendiri yang mengatur bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi dan kontrol atas pesawat angkasa dan awaknya. Perkembangannya lebih lanjut, masalah yurisdiksi dan kontrol berlaku juga terhadap “Space Objects”, “Space Shuttle” pada umumya, termasuk pembangunan laboratorium ruang angkasa, kemungkinan pendirian pabrik-pabrik dan pembukaan pertambangan pada benda-benda langit dan lain sebagainya. Hal ini sebagai konsekuensi dari masalah tanggung jawab internasional sebagaimana di atur dalam Pasal VI dan VII OST.

16 Pasal (Article) III dari OST mengatur bahwa negara-negara pihak dari Konvensi harus melaksanakan aktivitas eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa, sesuai dengan hukum internasional, termasuk di dalamnya Piagam PBB, dengan tujuan untuk menjaga kedamaian dan ketertiban internasional serta mengupayakan kerjasama dan pemahaman secara internasional. Dikutip dan diterjemahkan secara bebas oleh Penulis dari Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies. 17 Wilayah ruang angkasa yang hampa udara itu letaknya jauh dari Planet Bumi namun tetap bersambungan langsung dengan wilayah udara. Dengan demikian, untuk mencapainya saja diperlukan suatu teknologi khusus dengan biaya dan risiko yang besar pula. 18 Kepentingan nasional setiap negara yang selalu berbeda satu sarna lain di Planet Bumi, paling tidak berpengamh pula terhadap kegiatan pemanfaatan ruang angkasa.

103 Tasya Ester Loijens Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX

Masalah tanggung jawab internasional (Pasal VI dan VII OST), telah dijabarkan dalam “Liability Convention 1972”, yang mengatur: sistem tanggung jawab; siapa yang bertanggung jawab; apa yang dipertanggungjawabkan; siapa yang berhak atas ganti rugi, besarnya ganti rugi serta proses perolehan ganti rugi. Kegiatan pemanfaatan ruang angkasa yang proses kegiatannya pertama-tama dimulai dari permukaan bumi sampai ke ruang angkasa, selalu penuh dengan risiko tinggi, yang dapat saja menimbulkan suatu bahaya dan/atau kerugian besar di permukaan bumi. Untuk menghindari penolakan tanggung jawab internasional, “Registration Convention 1975”, mewajibkan negara-negara peluncur untuk mendaftarkan “Space Objects” nya di PBB. Masalah yurisdiksi dan kontrol negara atas “Space Objects” di ruang angkasa bila ditinjau dari segi prinsip kebebasan, memang beralasan bila dikatakan bertentangan dengan prinsip kebebasan, sebagaimana diatur dalam OST, dari aspek tanggung jawab internasional yang tujuannya untuk melindungi umat manusia dari bahaya dan/atau kerugian sebagai akibat kegiatan pemanfaatan ruang angkasa, maka pengaturan semacam ini dapat diterima akal pula.19

C. PEMBAHASAN Ide inovatif dari Ellen Musk selaku CEO SpaceX dewasa ini menjadi perbincangan publik, yang tidak lain terinspirasi dari ambisi perusahaannya untuk mengkolonisasi planet Mars dan menggunakan roket yang sama untuk digunakan berkali-kali bagi penduduk bumi sehingga dapat “terbang” dari satu titik di bumi ke titik lainnya dengan waktu yang sangat singkat. Dalam pernyataannya, Ellen Musk menjelaskan bahwa roket BFR akan keluar dari atmosfer Bumi, walau ia tidak akan berangkat ke planet lain dan hanya membawa penumpang dari kota satu ke kota di belahan dunia lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mekanisme teknis maupun perijinan dan legalitas dari jenis transportasi ini? Meskipun belum ada konvensi internasional yang mengatur mengenai kegiatan yang diwacanakan ini, tetapi berdasarkan beberapa konvensi internasional mengenai hukum ruang angkasa dapat dikaitkan mengenai keabsahan penyelenggaraan wacana Earth to Earth Transportation ini.

19 Adji Samekto, Kajian Menurut Hukum Internasional tentang Kedaulatan Indonesia pada Geo Stationary Orbit, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, No.6, Tahun Ke-XVIII (1988).

104 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Pasal VI Outer Space Treaty 1967 merupakan titik tolak bagi ekplorasi dan penggunaan antariksa yang bersifat komersial serta menjadi dasar kerangka hukum internasional bagi perkembangan aktivitas komersialisasi antariksa selanjutnya. Ketentuan penting yang banyak digarisbawahi para ahli terkait kegiatan komersialisasi di ruang angkasa berdasarkan Pasal ini adalah adanya pengawasan dari negara-negara atas kegiatan-kegiatan khususnya berkaitan dengan komersialisasi yang dilakukan oleh pihak swasta.20 Dalam hal tersebut, negara bersangkutan wajib menjaga agar kegiatan-kegiatan komersialisasi sejalan dengan kewajiban negaranya sebagaimana ditentukan dalam OST 1967, hukum internasional, Piagam PBB.21 Dengan ini, kegiatan yang dilaksanakan harus tetap bertujuan damai dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Liability Convention mejelaskan mengenai kewenangan dari negara atas objek yang diluncurkan ke ruang angkasa atau negara yang melakukan peluncuran di negara lain dan bila terjadi kecelakaan atau jatuh sehingga menyebabkan kerugian di negara lain, maka negara pemilik benda ruang angkasa tersebut harus bertanggungjawab atas kerugian yang ada.22 Sehingga konvensi ini menjadi panduan umum bila dibutuhkan tanggung jawab atas peluncuran objek dalam hal ini roket buatan SpaceX. Majelis Umum PBB dari semula menganggap bahwa negara-negara dalam melakukan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa luar harus didasarkan atas prinsip-prinsip kerjasama dan saling membantu.

D. PENUTUP Kegiatan di ruang angkasa yang dilaksanakan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta harus tetap bertujuan damai dan sesuai dengan ketentuan- ketentuan dalam konvensi-konvensi yang mengatur perihal hukum ruang angkasa, Piagam PBB, hukum internasional, dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Perkembangan kegiatan di ruang angkasa tentunya juga harus didukung dengan hukum ruang angkasa yang lebih memadai dan kondusif.

20 E. Saefullah, Komersialisasi Ruang Angkasa dan Ketentuan Hukum yang Mengaturnya, dalam Mochtar Kusumaatmadja, Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negararawan, Penerbit Alumni, Bandung, 1999. 21 Pasal 3 Outer Space Treaty 1967. 22 Pasal 1 Liability Convention 1972. Kerugian yang dimaksud yaitu loss of life, personal injury or other impairment of health, or loss or damage to property of states or of persons, natural or juridicial property of international intergovernmental organizations.

105 Tasya Ester Loijens Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX

Berkaitan dengan wacana SpaceX untuk menggunakan roket sebagai transportasi titik ke titik di bumi adalah masalah yurisdiksi, pertanggungjawaban dan asuransi serta menyinggung pula masalah hak kekayaan intelektual. Terlebih mengenai kasus ini dimana SpaceX merupakan perusahaan swasta yang menjalani bisnisnya mengatasnamakan pemerintahan Amerika Serikat, diperlukannya kerja sama yang mengikat sehingga pertanggungjawaban atas setiap kecelekaan atau kerusakan menjadi jelas.

106 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku Abdulrrasyid, Priyatna. 1997. Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan “Space Treaty 1967”. (Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional). Martono, K.. 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa. (Bandung: Penerbit Alumni). Saefullah, E.. 1999. Komersialisasi Ruang Angkasa dan Ketentuan Hukum yang Mengaturnya, dalam Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negararawan. (Bandung: Penerbit Alumni). Supancana, I.B.R.. 2003. Peranan Hukum dalam Pembangunan Kedirgantaraan. (Jakarta: Penerbit CV. Mitra Karya).

Jurnal Samekto, Adji. Kajian Menurut Hukum Internasional tentang Kedaulatan Indonesia pada Geo Stationary Orbit. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. No.6, Tahun Ke-XVIII (1988).

Karya Ilmiah Pratiwi, Tiara Noor, Setyo Widagdo, dan Nurdin. 2013. Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Sampah Angkasa (Space Debris) (Studi Terhadap Insiden Tabrakan Sampah Angkasa Milik Cina Dengan Satelit Milik Rusia). Skripsi. (Malang: Universitas Brawijaya).

Website Metro TV News. Elon Musk Ingin Gunakan Roket untuk Transportasi di Bumi. diakses dari http://m.metrotvnews.com/read/2017/09/30/766132/elon-musk- ingin-gunakan-roket-untuk-transportasi-di-bumi. diakses pada 19 Desember 2018. SpaceX. Time Comparison to Major Cities. diakses dari https://www.spacex.com/mars. diakses pada 20 Desember 2018. Yusuf, Oik. Elon Musk Bikin Roket Transportasi Super Cepat, Sydney Singapura 31 Menit. diakses dari https://tekno.kompas.com/read/2017/09/30/16050047/elon-musk-bikin- roket- transportasi-super-cepat-sydney-ke-singapura-31-menit. diakses pada 19 Desember 2018.

Sumber Hukum Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies atau Outer Space Treaty 1967. Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968. Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects atau Liability Convention 1972. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976. Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies atau The Moon Agreement 1984.

107 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

LEGAL OPINION-WHALING IN THE ANTARTIC (AUSTRALIA V. JAPAN: NEW ZEALAND INTERVENING) Tasya Ester Loijens

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : [email protected]

Citation Structure Recommendation :

Loijens, Tasya Ester. Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).

ABSTRAK Pada kasus Perburuan Paus di Antartika yang diajukan oleh Negara Australia, ICJ dihadapkan pada masalah yang sangat teknis berkaitan dengan penafsiran dan penilaian atas unsur-unsur yang bersifat ilmiah. Pengadilan mengevaluasi klaim dari Australia yang menganggap bahwa Jepang melalui program perburuan Paus yang disebut dengan JARPA II menyembunyikan tujuan komersial di balik penelitian ilmiah palsu. Kasus ini kemudian memunculkan perhatian dunia dalam agenda internasional khususnya korelasitas antara hukum dan sains. Di sisi lain, ICJ juga mendapat kritik karena menangani kasus yang bersifat teknis, sehingga muncul pertanyaan berkaitan dengan yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam menangani kompleksitas permasalahan faktual dengan cara yang sehat dan adil. Pada dasarnya, ICJ harus menghindari dua rintangan utama yaitu membatasi penilaian hanya pada aspek hukum atau menjadi hakim sains dengan melakukan analsis teknis dan mempertimbangkan posisi kasus yang ditangani sebelumnya. Kasus menarik ini akan dianalisis oleh penulis berkaitan dengan kajiannya dalam perspektif hukum internasional. Kata Kunci: JARPA II, Kewenangan ICJ, Perburuan Paus (Whaling)

108 Tasya Ester Loijens Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

A. PENDAHULUAN 1. Kronologi Prosedural Pada tanggal 31 Mei 2010, Australia mendaftarkan tulisan Application Instituting Proceedings1 terhadap Jepang kepada Registry2 dari International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional3 terkait sengketa mengenai4:

“Japan’s continued pursuit of a large-scale program of whaling under the Second Phase of its Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Antarctic (‘JARPA II’), in breach of obligations assumed by Japan under the International Convention for the Regulation of Whaling..., as well as its other international obligations for the preservation of marine mammals and the marine environment.”

Dari pernyataan laporan ICJ mengenai kasus ini, kita dapat melihat menurut aplikasi yang disubmisi oleh Australia terdapat upaya dari Jepang terkait program penangkapan ikan paus skala besar dibawah Second Phase atau tahap kedua dari Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Antarctic atau “JARPA II”5 yang merupakan Program Penelitian Ikan Paus dibawah Perijinan Khusus di Antartika. Australia menilai terdapat pelanggaran kewajiban oleh Jepang terhadap Konvensi Internasional untuk Peraturan Perburuan Ikan Paus, serta kewajiban internasional lainnya dalam perihal pelestarian sumber daya hewan (mamalia laut) dan lingkungan laut.

1 Tulisan Application Instituting Proceedings adalah dokumen unilateral atau sepihak yang mengindikasikan permasalahan serta para pihak dalam persengketaan (Statuta ICJ, Pasal 40, Ayat 1) dan sebaik mungkin menspesifikasikan dalam pengaturan yang mana pihak yang mengajukan permohonan atau applicant menemukan yurisdiksi/wewenang dari Mahkamah Internasional untuk mengadadili (Rules of Court, Pasal 38). 2 Registry of the ICJ merupakan panitera pengadilan Mahkamah Internasional yang berkewajiban untuk menyampaikan permohonan dari applicant kepada pihak-pihak yang bersangkutan serta memberitahukan kepada anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal, dan negara-negara lainnya yang berhak untuk hadir di persidangan (Statuta ICJ, Pasal 40, Ayat 2 dan 3). 3 International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional didirkan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai badan peradilan utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk dan bekerja sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Statuta Mahkamah Internasional (Statuta ICJ, Pasal 1). 4 International Court of Justice, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening) Judgment of 13 March 2014, I.C.J. Reports 2014, Penerbit ICJ, Den Haag, 2014. 5 JARPA II merupakan program penelitian paus oleh Jepang dengan tujuan utuk mengumpulkan data ilmiah yang diperlukan untuk pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya paus secara berkelanjutan, sehingga JARPA II merupakan kombinasi dari lethal dan non-lethal research atau penelian mematikan dan tidak mematikan. The Institute of Cetacean Research (ICR), Questions & Answers: Japan’s Research Whaling in the Antarctic, diakses dari https://www.icrwhale.org/QandA1.html, diakses pada 13 Desember 2018.

109 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Dalam dokumennya, Australia menggunakan sebagai dasar hukum yurisdiksi Mahkamah melalui deklarasi sesuai dengan Pasal 36 Ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional yang dilakukan oleh Australia pada 22 Maret 2002 dan oleh Jepang pada tanggal 9 Juli 2007.6 Lalu, sesuai dengan Pasal 40 Ayat (2), Panitera telah mengkomunikasikannya kepada pemerintah Jepang, dan berdasarkan Pasal 40 ayat 3, negara lain yang berhak untuk hadir di persidangan telah diberitahu. Berdasarkan arahan dari Mahkamah yang diatur dalam Pasal 43 dari Rules of Court7 panitera telah memberitahukan kepada negara pihak dari International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW)8 berdasarkan Pasal 63 Ayat (1).9 Kemudian sejalan dengan pengaturan pasal 69 Ayat (3) dari Rules of Court, Panitera juga mengirimkan notifikasi kepada International Whaling Commission atau IWC10 pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 34 Ayat (3) Statuta Mahkamah Internasional. Pada tanggal 20 November 2012, Selandia Baru berdasarkan Pasal 63 Ayat (2) dari Statuta Mahkamah Internsional mendaftarkan ke Registry sebuah deklarasi hak intervensi (ikut campur) dalam perkara dan pada tanggal 6 February 2013, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa deklarasi intervensi oleh Selandia Baru tersebut dapat diterima.11

6 Pada pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional mengatur bahwa negara-negara pihak pada statuta ini pada setiap saat dapat membuat deklarasi bahwa ia mengakui ipso facto dan tanpa perjanjian khusus, dalam hubungannya kepada negara lain yang menerima kewajiban yang sama, wewenang dari Mahkamah di setiap persengketaan hukum antara lain: a) penafsiran suatu perjanjian; b) setiap persoalan hukum internasional; c) adanya suatu fakta yang bila telah nyata akan menimbulkan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional; d) sifat atau besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu kewajiban internasional. 7 Rules of Court atau aturan mahkamah terakhir kali diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000 dan merupakan dasar hukum Mahkamah Internasional yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan mulai berlaku atau Entry Into Force pada tanggal 1 Februari 2001 serta bersifat tidak berlaku surut atau Non-Retroactive. 8 Konvensi Internasional untuk Pengaturan Paus merupakan perjanjian lingkungan internasional yang ditandatangani pada tahun 1946 untuk “menyediakan konservasi yang layak dari stok ikan paus sehingga memungkinkan pengembangan yang tertatur dari industri penangkapan ikan paus”. dalam Malgosia Fitzmaurice, International Convention for the Regulation of Whaling, Penerbit Codification Division (Office of Legal Affairs United Nations), New York, 1946. 9 Pasal 63 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional mengatur bahwa bilamana suatu tatanan konvensi dalam mana negara-negara yang tidak bersangkutan dalam perkara ini menjadi pihak yang dipersoalkan, panitera akan memberitahukan dengan segera kepada negara-negara itu. 10 International Whaling Commission atau Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional adalah organisasi antar-pemerintahan yang betujuan untuk konservasi ikan paus dan pengelolaan perburuan ikan paus, dengan kerangka hukum Konvensi Internasional untuk Pengaturan Paus. Konvensi ini didirikan pada tahun 1946. dalam International Whaling Commission, Overview, diakses dari https://iwc.int/iwcmain, diakses pada 15 Desember 2018. 11 International Court of Justice, Whaling in the Antarctic: Declaration of Intervention of New Zealand, Order of 6 February 2013, I.C.J. Reports 2014, Penerbit ICJ, Den Haag, 2014.

110 Tasya Ester Loijens Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

2. Kasus Posisi Dalam tahap penulisan memorial argumentasi, berikut adalah yang di permohonkan oleh masing-masing pihak dalam sengketa:

Pemerintah Australia (Memorial) Pemerintah Jepang (Counter-Memorial) 1. Untuk kepentingan dalam memorial ini, dan Berdasarkan fakta dan argument yang mencadangkan hak untuk melengkapi, memperkuat, ditetapkan [dalam Counter-Memorial] atau mengubah dokumen ini, Australia memohon dan mencadangkan hak untuk Mahkamah Internasional untuk memutuskan dan melengkapi, memperkuat, atau menyatakan bahwa Jepang melanggar kewajiban mengubah dokumen ini, Jepang internasionalnya dalam mengesahkan dan memohon agar Mahkamah Internasional mengimplementasikan JARPA II Di Samudera memutuskan dan menyatakan: Selatan atau (Southern Ocean). - Bahwa Mahkamah tidak memiliki 2. Lebih khususnya, dengan aktifitasnya, Jepang telah wewenang atas klaim yang diajukan melanggar kewajiban internasionalnya perihal: terhadap Jepang oleh Australia, a) Mengawasi zero catch limit dalam hubungan merujuk oleh Application tanggal 31 dengan pembunuhan ikan paus untuk Mei 2010; kepentingan komersial; - Dalam alternatifnya, semua klaim b) Menahan diri dari melaksanakan pembunuhan Australia ditolak. ikan hiu secara komersil di Suaka Samudera Selatan (Southern Ocean Sanctuary); c) Mengawasi moratorium pengambilan, pembunuhan, atau pengelolaan ikan paus, kecuali ikan paus minke, oleh kapan parik atau penangkap paus yang melekat pada kapal pabrik. 3. Selanjutnya, Mahkamah dimohon untuk memutuskan dan menyatakan bahwa JARPA II bukanlah program untuk tujuan penelitian ilmiah dalam arti Pasal 8 dari Konvensi Internasional untuk Pengaturan Ikan Paus. 4. Selanjutnya, kita memohon Mahkamah untuk memutuskan dan menyatakan bahwa Jepang harus: a) Menahan diri dari memberi otoritas atau menjalankan perijinan khusus apapun yang bukan untuk tujuan penelitian ilmiah dalam arti Pasal 8; b) Berhenti dengan segera penerapan JARPA II; c) Menarik kembali semua jenis otorisasi, perijinan atau lisensi yang memperbolehkan penerapan JARPA II. Tabel 1.1. Kasus Posisi Sumber: Kreasi Penulis12

Sebagai penjelasan lebih lanjut, berikut merupakan detil dari pembahasan yang terjadi dalam pengadilan:

12 Informasi pada tabel dapat diakses di International Court of Justice, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening) Judgment of 13 March 2014, I.C.J. Reports 2014, Penerbit ICJ, Den Haag, 2014.

111 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

a. Jurisdiction of the Court (Wewenang Mahkamah Internasional) Jepang menentang yurisdiksi Mahkamah atas sengketa yang diajukan oleh Australia, dengan alasan bahwa sengketa tersebut jatuh dalam reservasi Australia (b) tercantum dalam deklarasinya. b. Penafsiran Pasal 8 Konvensi Penafsiran dan penerapan Pasal 8 dari Konvensi adalah pusat dari kasus saat ini. Dalam pandangan Mahkamah, sementara Pasal ini memberikan keleluasaan kepada suatu Negara Pihak pada Konvensi untuk menolak permintaan untuk ijin khusus atau untuk menentukan kondisi di mana suatu izin akan diberikan, pertanyaan apakah pembunuhan, pengambilan dan pengelolaan ikan paus berdasarkan izin khusus yang diminta adalah untuk tujuan penelitian ilmiah tidak dapat hanya bergantung pada persepsi Negara-negara masing-masing tersebut. c. Alleged Violations of International Obligations under the Convention (Tuduhan pelanggaran kewajiban internasional dibawah Konvensi) Dalam hal ini, Australia memohon Mahkamah untuk memutuskan dan mengumumkan bahwa Jepang dalam mengotorisasi dan menjalani JARPA II di Lautan Selatan atau Southern Ocean. d. JARPA II in Light of Article 8 of the Convention (JARPA II berdasarkan Pasal 8 dari Konvensi) Mahkamah menemukan bahwa JARPA II secara luas dapat dikategorikan sebagai “penelitian ilmiah”. Kemudian memeriksa apakah desain dan penerapannya dalam batas wajar dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan penelitian yang dinyatakan oleh program. 3. Remedies13 Selain memohon Mahkamah Internasional untuk menemukan bahwa aktifitas membunuh, mengambil, dan menangani ikan paus di bawah perijinan khusus yang diberikan oleh JARPA II bukanlah sesuai dengan tujuan dari penelitian ilmiah dalam arti yang tertuang dalam Pasal VIII dan bahwa Jepang oleh karena itu telah melanggar tiga ayat dari pasal yang dimaksud.

13 Remedy merupakan sarana dimana pelanggaran hak dicegah, diperbaiki, atau dikompensasikan. dalam The Law Dictionary Online, Remedy, diakses dari https://thelawdictionary.org/remedy/, diakses pada 14 Desember 2018.

112 Tasya Ester Loijens Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

Sehingga, Australia memohon Mahkamah untuk memutuskan dan menyatakan bahwa Jepang memiliki kewajiban untuk14: a. Refrain from authorizing or implementing any special permit whaling which is not for purposes of scientific research within the meaning of Article VIII; b. Cease with immediate effect the implementation of JARPA II; and c. Revoke any authorization, permit or license that allows the implementation of JARPA II. Mahakamah Internasional mengamati bahwa karena JARPA II adalah program yang sedang berlangsung, langkah-langkah yang melampaui Declaratory Relief15pun menjadi terjamin. Sehingga, Mahkamah Internasional memerintahkan bahwa Jepang harus mencabut segala otorisasi, perijinan atau lisensi yang masih berlaku terkait membunuh, mengambil, atau menangani ikan paus berdasarkan JARPA II, dan menahan diri dari pemberian ijin lebih lanjut berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) dari Konvensi dengan tujuan program tersebut. Mahkamah Internasional melihat tidak perlu untuk menambahkan Remedy yang di mohon oleh Australia, dimana itu mengharuskan Jepang untuk menahan diri dari memberikan otorisasi atau melaksanakan perijinan khusus mengenai ikan paus yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian keilmuan ilmiah yang diatur dalam Pasal 8. Dalam pandangan Mahkamah, oleh karena kewajiban tersebut sudah berlaku untuk semua negara pihak dari Konvensi, diharapkan bahwa Jepang akan mempertimbangkan kembali alasan-alasan serta kesimpulan yang tertuang dalam Keputusan ini karena ini juga menjadi pertimbangan dari pemberian ijin berdasarkan Pasal 8 Ayat 1 dari Konvensi di masa yang akan datang.

14 Kepada Mahkamah Internasional Australia memohon bahwa Jepang diwajibkan untuk: a) Menahan diri dari pemberian otorisasi atau pemberlakuan perijinan khusus ikan paus yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian ilmiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; b) Memberhentikan dengan segera pemberlakuan dari JARPA II; dan c) menarik kembali semua jenis otorisasi, ijin atau lisensi yang memperbolehkan pemberlakuan JARPA II. dalam International Court of Justice, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening) Judgment of 13 March 2014, I.C.J. Reports 2014, Penerbit ICJ, Den Haag, 2014. 15 Declaratory Relief mengacu pada putusan pengadilan yang menentukan hak-hak para pihak tanpa memerintahkan apapun untuk dilakukan atau memberikan ganti rugi. Melalui putusan deklaratoir, pihak yang membuat permintaan tersebut mencari pernyataan resmi mengenai status masalah yang sedang dibahas.

113 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

4. Putusan Hakim Dalam Putusan yang diberikan pada tangal 31 Maret 2014, Mahkamah Internasional pertama menemukan bahwa mereka memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus tersebut, menolak argumen Jepang bahwa ruang lingkup sengketa jatuh dalam lingkup reservasi yang tercantum dalam deklarasi Australia yang mengakui yurisdiksi Mahkamah sebagai Compulsory. Hal ini kemudian berubah menjadi pertanyaan tentang interpretasi dan penerapan Pasal 8 ayat (1) dari Konvensi 1946, di mana menyatakan bahwa pihak-pihak “dapat memberikan kepada salah satu (bangsa) mereka sebuah izin khusus yang memberi wewenang kepada orang nasional untuk membunuh, mengambil dan mengelola ikan paus untuk tujuan penelitian ilmiah ”. Sehubungan dengan interpretasi pasal tersebut, Mahkamah pertama kali mengamati bahwa, meskipun Pasal 8 memberikan keleluasaan kepada suatu Negara pihak pada Konvensi untuk menolak permintaan untuk izin khusus, baik untuk pembunuhan, pengambilan dan pengelolaan ikan paus sesuai dengan permintaan khusus izin adalah untuk tujuan penelitian ilmiah tidak dapat hanya bergantung pada persepsi Negara itu. Dalam pandangan Mahkamah, dua elemen kalimat untuk “tujuan” ialah (1) penelitian ilmiah dan (2) bersifat kumulatif. Mahkamah kemudian beralih ke implikasi dari kesimpulan itu, mengingat kembali tuntutan Australia bahwa Jepang telah melanggar beberapa ketentuan dari pengaturan yang terlampir pada Konvensi tersebut. Setelah menemukan bahwa Jepang memang melanggar beberapa ketentuan yang diminta (yaitu moratorium penangkapan ikan paus komersial dan kapal pabrik, dan larangan penangkapan ikan paus komersial di Suaka Laut Selatan), itu dianggap sebagai masalah pemulihan. Karena JARPA II adalah program yang sedang berjalan, Jepang memerintahkan untuk mencabut otorisasi, izin atau lisensi yang masih ada untuk membunuh, mengambil atau merawat paus terkait dengan JARPA II, dan menahan diri dari pemberian izin lebih lanjut berdasarkan Pasal 8, Ayat (1), dari Konvensi, dalam mengejar program itu.16

16 International Court of Justice, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening) Judgment of 13 March 2014, I.C.J. Reports 2014, Penerbit ICJ, Den Haag, 2014.

114 Tasya Ester Loijens Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

Berikut merupakan amar putusan Mahkamah Internasional: “The Court, 1) Unanimously, Finds that it has jurisdiction to entertain the Application filed by Australia on 31 May 2010; 2) By twelve votes to four, Finds that the special permits granted by Japan in connection with JARPA II do not fall within the provisions of Article 8, Paragraph 1, of the International Convention for the Regulation of Whaling; 3) By twelve votes to four, Finds that Japan, by granting special permits to kill, take and treat fin, humpback and Antarctic mike whales in pursuance of JARPA II, has not acted in conformity with its obligations under paragraph 10 (2) of the Schedule to the International Convention for the Regulation of Whaling; 4) By twelve votes to four, Finds that Japan has not acted in conformity with its obligation under paragraph 10 (d) of the Schedule to the International Convention for the Regulation of Whaling in relation to the killing, taking and treating of fin whales in pursuance of JARPA II; 5) By twelve votes to four, Finds that Japan has not acted in conformity with its obligations under paragraph 7 (b) of the Schedule to the International Convention for the Regulation of Whaling in relation to the killing, taking and treating of fin whales in the “Southern Ocean Sanctuary” in pursuance of JARPA II; 6) By thirteen votes to three, Finds that Japan has complied with its obligations under paragraph 30 of the Schedule to the International Convention for the Regulation of Whaling with regard to JARPA II; 7) By twelve votes to four, Decides that Japan shall revoke any extant authorization, permit or license granted in relation to JARPA II, and refrain from granting any further permits in pursuance of that program.”

B. PEMBAHASAN Dari 3 (tiga) pokok permasalahan yang dipersengketakan antara Australia dan Jepang, serta dikeluarkannya keputusan Mahakamah Internasional pada tanggal 31 Maret 2014, berikut merupakan dasar-dasar argumentasi hukum sehingga mendapatkan 12 (dua belas) suara hakim Mahkamah untuk mengeluarkan putusan tersebut: 1. Jurisdiction of the Court (Wewenang Mahkamah Internasional) Mahkamah Internasional mencatat bahwa Australia memanggil kembali sebagai dasar yurisdiksi Mahkamah deklarasi yang dibuat oleh kedua Pihak berdasarkan Pasal 36 Ayat (2) termaktub pada Statuta Mahkamah Internasional.

115 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

Hal tersebut mengamati bahwa Jepang menentang yurisdiksi Mahkamah atas sengketa, dengan alasan bahwa itu jatuh dalam reservasi (b) dari deklarasi Australia, yang Jepang sebut berdasarkan asas timbal balik atau Reciprocity. Reservasi ini tidak termasuk dari yurisdiksi Mahkamah “setiap perselisihan mengenai atau terkait dengan batas zona maritim, termasuk laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, atau yang timbul dari, berkaitan, atau terkait dengan eksploitasi dari setiap wilayah yang disengketakan atau berdekatan dengan zona maritim apa pun yang menunggu penetapan batasnya.” Mahkamah Internasional menganggap bahwa sengketa yang menjadi acuan reservasi Australia (b) harus menyangkut delimitisasi maritim di area di mana terdapat klaim yang tumpang tindih atau berhubungan dengan eksploitasi area tersebut atau dari suatu area yang berdekatan dengannya. Adanya perselisihan mengenai batas maritim antara Para Pihak dengan demikian diperlukan menurut kedua bagian dari reservasi. Setelah mencatat bahwa kedua Pihak mengakui bahwa perselisihan saat ini bukan tentang pembatasan maritim, Mahkamah kemudian memeriksa apakah JARPA II melibatkan eksploitasi suatu wilayah yang merupakan subjek sengketa terkait dengan penetapan batas atau daerah yang berdekatan dengannya. Mahkamah mengamati dalam hal ini bahwa bagian dari kegiatan penangkapan ikan paus yang dibayangkan JARPA II terjadi di zona maritim yang diklaim oleh Australia sebagai berkaitan dengan Teritori Australia Antartika atau di daerah yang berdekatan, dan penangkapan ikan paus, terutama di jumlah yang cukup besar, dapat dilihat sebagai bentuk eksploitasi kawasan maritim meskipun terjadi sesuai dengan program bertujuan penelitian ilmiah. Namun, meskipun Jepang telah mempermasalahkan klaim maritim Australia yang dihasilkan oleh adanya Teritori Antartika Australia, ia tidak mengklaim memiliki hak kedaulatan apa pun di wilayah tersebut. Fakta bahwa Jepang mempertanyakan hak maritim itu tidak membuat pembatasan wilayah maritim ini di menjadi sengketa sebagai antara Para Pihak.

116 Tasya Ester Loijens Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

Para Pihak dalam proses ini tidak memiliki klaim yang tumpang tindih dengan Mahkamah menganggap bahwa sifat dan tingkat zona maritim yang diklaim tidak substansif terhadap perselisihan saat ini. Oleh karena itu Mahkamah menyimpulkan bahwa keberatan Jepang terhadap yurisdiksi atau wewenang dari Mahkamah Internasional tidak dapat ditegakkan. 2. Interpretasi Pasal 8 Ayat (1) Konvensi Mahkamah Internasional dalam hal ini beralih ke pencarian makna dari ungkapan “untuk tujuan penelitian ilmiah” dalam Pasal 8 dari Konvensi. Dalam pandangan Mahkamah, dua elemen dari frasa ini bersifat kumulatif. Akibatnya, bahkan jika program penangkapan ikan paus melibatkan penelitian ilmiah, pembunuhan, pengambilan dan pengelolaan ikan paus berdasarkan program tersebut tidak termasuk dalam Pasal 8 kecuali kegiatan ini adalah “untuk tujuan” penelitian ilmiah. Sehingga, Mahkamah memfokuskan perhatiannya pada arti istilah “untuk tujuan”. Untuk memastikan, khususnya, apakah penggunaan metode membunuh paus dalam program adalah “untuk tujuan” penelitian ilmiah, Mahkamah mempertimbangkan apakah unsur-unsur rancangan dan penerapan program tersebut wajar dalam kaitannya dengan tujuan penelitian yang dinyatakannya. Seperti yang ditunjukkan oleh argumen Para Pihak, elemen- elemen ini dapat meliputi: a) keputusan mengenai penggunaan metode pembunuhan; b) skala penggunaan sampling membunuh dari program; c) metodologi yang digunakan untuk memilih ukuran sampel; d) perbandingan ukuran sampel target dan pengambilan actual dari sambel; e) jangka waktu yang terkait dengan suatu program; f) output/hasil akhir ilmiah dari program; dan g) sejauh mana program mengkoordinasikan kegiatannya dengan proyek penelitian. 3. JARPA II Berdasarkan Pasal 8 Konvensi Secara keseluruhan Mahkamah menganggap bahwa JARPA II melibatkan kegiatan yang secara luas dapat dicirikan sebagai penelitian ilmiah, tetapi bahwa “bukti tidak menetapkan bahwa rancangan dan penerapan program tersebut wajar dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan yang dinyatakannya”. Pengadilan menyimpulkan bahwa izin khusus yang diberikan oleh Jepang untuk pembunuhan, pengambilan dan pengelolaan ikan paus sehubungan dengan JARPA II tidak “untuk tujuan penelitian ilmiah” berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) dari Konvensi.

117 Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020) Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat) https://jhlg.rewangrencang.com/

4. Tuduhan Non-Compliance Jepang dengan Kewajibannya yang Diatur Pasal 8 Ayat (30) Konvensi Mengingat tuntutan Australia bahwa Jepang telah melanggar beberapa ketentuan dari ketentuan Konvensi Berkenaan dengan Ayat 7 (b), 10 (d) dan 10 (e), Mahkamah menganggap bahwa, meskipun susunan kata dari ketentuan ini berbeda, semua penangkapan ikan paus yang berada di luar Pasal 8 Ayat (1) selain dari perburuan paus subscoral, tunduk pada ketiga ketentuan. Oleh karena itu Mahkamah menyimpulkan bahwa Jepang telah melanggar: (i) moratorium penangkapan ikan paus komersial di setiap tahun di mana ia telah menetapkan batas penangkapan di atas nol untuk paus minke, paus sirip dan paus humpback di bawah JARPA II; (ii) moratorium kapal pabrik di masing-masing musim selama paus fin diambil, dibunuh dan diolah di bawah JARPA II; dan (iii) larangan penangkapan ikan paus komersial di Suaka Laut Selatan di setiap musim selama paus fin diambil di bawah JARPA II. Melanjutkan ke tuntutan Australia di ayat (30) dari Pasal 8, yang mengharuskan bahwa Para Pihak pada Persetujuan menyediakan Komisi dengan izin ilmiah yang diusulkan sebelum dikeluarkan dan dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan Komite Ilmiah mengkaji dan memberi komentar pada mereka. Dalam hal ini, Rencana Penelitian untuk ditinjau oleh Komite Ilmiah sebelum memberikan izin pertama untuk program dan juga diserahkan ke semua izin berikutnya. Mahkamah juga menemukan bahwa Rencana Penelitian JARPA II menetapkan informasi yang ditentukan oleh ketentuan itu. Untuk alasan ini, Mahkamah menganggap bahwa Jepang memiliki persyaratan yang tertuang dalam Ayat 30 Pasal 8.

C. PENUTUP Meskipun ICJ menggunakan prosedur yang cukup unik yaitu pendekatan arbitrase pada sains dengan menilai tujuan dari suatu program dan menganalisis menggunakan kriteria berdasarkan informasi dari sumber yang ada. Kasus perburuan paus akan menetapkan standar internasional baru untuk penggunaan para ahli dalam perselisihan yang menghidupkan fakta ilmiah. Kasus ini memiliki implikasi untuk IWC, ICRW, dan perburuan ilmiah, untuk perjanjian internasional secara umum, dan paling umum untuk interaksi sains dan hukum.

118 Tasya Ester Loijens Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Publikasi Fitzmaurice, Malgosia. 1946. International Convention for the Regulation of Whaling. (New York: Penerbit Codification Division (Office of Legal Affairs United Nations)). International Court of Justice. Whaling in the Antarctic: Declaration of Intervention of New Zealand, Order of 6 February 2013. I.C.J. Reports 2014. (Den Haag: Penerbit ICJ). International Court of Justice. 2014. Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening) Judgment of 13 March 2014. I.C.J. Reports 2014. (Den Haag: Penerbit ICJ).

Website International Whaling Commission. Overview. diakses dari https://iwc.int/iwcmain. diakses pada 15 Desember 2018. The Institute of Cetacean Research (ICR), Questions & Answers: Japan’s Research Whaling in the Antarctic, diakses dari https://www.icrwhale.org/QandA1.html, diakses pada 13 Desember 2018. The Law Dictionary Online. Remedy. diakses dari https://thelawdictionary.org/remedy/. diakses pada 14 Desember 2018.

Sumber Hukum Statute of the International Court of Justice 1945. Convention for the Regulation of Whaling 1946. Rules of Court 1970.

119