ISTIGHFAR DAN TAUBAT DALAM AL-QUR’AN (Studi Penafsiran Al-Alûsî)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: Muhammad Irwan Fadli NIM 11140340000277

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

ABSTRAK

Muhammad Irwan Fadli. Nim : 11140340000277. Istighfar Dan Taubat Dalam Al-Qur’an (Studi Penafsiran Al-Alûsî)

Di dalam al-Qur’an SWT banyak menyebutkan lafaz istighfar dan taubat baik tersendiri maupun dalam satu ayat. Istighfar dan taubat yang disebutkan tersendiri memiliki makna yang sama. Adapun istighfar disebutkan bersamaan memiliki makna yang berbeda tetapi memiliki satu tujuan. Hal ini sama seperti lafaz mukmin dan muslim atau fakir dan miskin. Dengan ini, penulis akan mengkaji ayat lafaz istighfar yang bersamaan dengan lafaz taubat. Supaya dapat mengetahui makna masing- masing dan tujuan dari keduanya. Terkait metode penelitian penulis ini termasuk dalam kategori kepustakaan (library research). Pendekatannya menggunakan pendekatan Tahlîlî (analisis) yakni dengan pengumpulan data dan mengadakan studi penelaahnya terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang ada sehingga memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka diperoleh beberapa hasil yaitu Istighfar dan taubat dalam empat ayat yang telaah dikaji memiliki perbedaan makna satu dengan yang lainnya. Istighfar diartikan meminta ampun atas dosa-dosa yang telah dikerjakan, atau diartikan memohon ampun atas dasar keimanannya. Sedangkan taubat diartikan menyesal dan kembali agar tidak mengulangi dosa yang dilakukan, atau diartikan , yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bentuk Isyari dari penafsiran ayat ini tidak terdapat dalam penafsirannya.

Kata Kunci : Taubat, Istighfar, Tahlîlî, Al-Alûsî

i KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, taufiq, dan hidayat-Nya yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, rasul pilihan yang membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan. Semoga untaian doa tetap tercurahkan kepada keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya sampai akhir zaman. Alhamdulillâh, penulis bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini melalui upaya dan usaha selama menyusun skripsi ini. Meskipun dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa terselesaikan skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun berkat bantuan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ii

iii

2. Bapak Dr, Eva Nugraha, M.Ag selaku ketua jurusan dan bapak Fahrizal , Lc, MIRKH selaku sekretaris jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berterima kasih, karena beliau telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan studi S1. Semoga Allah SWT selalu memberikan kemudahan dari setiap langkah beliau. 3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan arahan untuk segera terselesaikannya skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur, dan murah rejeki. 4. Bapak Ustadz Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku pembimbing akademik yang telah memberi saran dan masukan penulis selama perkuliahan S1 di UIN Jakarta. 5. Segenap seluruh dosen program Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, penulis mengucapkan banyak terima kasih karena telah sabar dan ikhlas mendidik serta banyak memberikan berbagai macam ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat dunia dan akhirat. 6. Segenap kepala dan staff karyawan serta staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta staff perpustakaan Iman Jama’, Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas pelayanan pustaka dalam penulisan skripsi ini.

iv

7. Teruntuk orang tuaku ayahanda Hadi Marwan dan ibunda Mardiyah yang selalu memberikan arahan dan dukungan baik berupa moril maupun materil serta doa yang tiada henti dari keduanya. Sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan sampai lulus. Kepada adik penulis yang bernama Pandji Mulawarman dan Bukhori, kepada kakak sebapak penulis yang bernama Kakak Nur beserta suaminya, Kak Yani beserta suaminya, Abang Yanto beserta istrinya yang selalu membantu penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap langkahnya dan selalu melimpahkan Raḥmān dan Raḥīm- Nya kepada mereka. Āmīn Yā Rabbal’ālamīn. 8. Ust Aan yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam menulis karya ilmiah ini. Semoga ust Aan dan keluarga selalu diberikan kesehatan dan keberkahan. 9. Keluarga besar alm H. Abdul Karim dan Hj. Masnah. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas suport dan motivasinya. Terutama kepada Ibu Hj. Diana Fitria dan alm Ust H. Ahmad Syarif S,Pdi. Serta kaka dari Ibu Diana yaitu Ibu Lisma dan suami. 10. Kawan-kawan penulis Adib, Mae, Tantri, Achi, Riha, Dwi, Eva dan kawan-kawan Th G 2014, 11. Kawan-kawan diskusi Azam, Chaidir, Rifqi, Imam Hudhori, Arif, Asywar, Syafi’i dll 12. Keluarga besar MSPP (Majelis Silaturrahmi Pemuda- Pemudi Pancoran)

v

13. Kawan-kawan penyemangat dalam penulis menyusun Skripsi; Ira, Tata, Laila, Anzah, dll 14. Kawan-kawan ngopi (ngobrol pencari inspirasi) Syehu, Raja, Apri, Faikar, Adan, Kanzul, Fikry, Ali, Burhan, Anas, Amin, Mirza, Agung, Mbot, Iqbal, Elgi, Imam N, Roi, dll 15. Kawan-kawan jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang rela berbagi ilmu, tawa, canda serta support kepada penulis. Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti masih sedikit, bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan mohon dimaafkan. Akan tetapi peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk menyelesaikan skripsi ini. Peneliti berharap tulisan ini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi kepada para pembaca, serta memberikan kontribusi yang signifikan bagi penelitian selanjutnya. Wasalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 14 Agustus 2019

Penulis

Muhammad Irwan Fadli

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penullisan Kaya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh Tim CeQDA (Center For Quality Development dan Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

A. Konsonan HURUF HURUF NAMA KETERANGAN ARAB LATIN alif - Tidak dilambangkan ا

ba’ b Be ب

ta’ t Te ت

tsa’ ts Te dan Es ث

jim j Je ج

Ha dengan titik di Ḥa’ ḥ ح bawah

kha’ kh Ka dan Ha خ

dal d De د

dzal dz De dan Zet ذ

ra’ r Er ر

vi

vii

zai z Zet ز

s Es س

syin sy Es dan Ye ش

Es dengan titik di Ṣad ṣ ص bawah

De dengan titik di Ḍad ḍ ض bawah

Te dengan titik di Ṭa ṭ ط bawah

Zet dengan titik di Ẓa ẓ ظ bawah

Koma terbalik hadap ‘ ain‘ ع kanan

ghain gh Ge dan Ha غ

fa f Ef ف

qaf q Ki ق

kaf k Ka ك

lam l El ل

mim m Em م

viii

nun n En ن

wau w We و

ha’ h Ha ه

hamzah ` Apstrof ء

ya’ y Ye ي

B. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: 1. Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ A Fatḥah ا

I Kasraḥ ِا ُ U Ḍammah ا

ix

2. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ ai a dan i ىﻲ َ au a dan u ﯨﻮ

3. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas َﺑﺎ

î i dengan topi di atas ِ�ﻲ

û u dengan topi di atas ُﺑﻮ

4. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. 5. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ◌ ّ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

x

yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah ( اﻟﻀﺮورة ) demikian seterusnya. 6. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Tarîqah ﻃﺮ�ﻘﺔ 1 al-jâmî’ah al-islâmiyyah �ﺳﻼﻣﯿﺔ ا�جﺎﻣﻌﺔ 2

wahdat al-wujûd اﻟﻮﺟﻮد وﺣﺪة 3

7. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

xi

diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî. 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara َ ُ ُ dzahaba al-ustâdzu ذ َھ َﺐ � ْﺳ َﺘﺎذ َ َ tsabata al-ajru ﺛ َب َﺖ � ْﺟ ُﺮ َ َ َ َ ْ ﱠ al-harakah al-‘asriyyah ا�حﺮﻛﺔ اﻟﻌﺼ ِﺮ�ﺔ َ َ ْ ﱠ al-mazâhir al-‘aqliyyah اﳌﻈ ِﺎھﺮ اﻟﻌﻘِﻠﯿﺔ

xii

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ...... vi DAFTAR ISI ...... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi, Batasan Dan Rumusan Masalah .... 5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...... 7 D. Tinjauan Pustaka ...... 8 E. Metode Penelitian ...... 12 F. Sistematika Penulisan ...... 14

BAB II AL-ALÛSI AL-BAGHDADÎ DAN KITAB TAFSIR RÛH AL-MA’ÂNÎ A. Biografi al-Alûsi 1. Seputar Kehidupan al-Alûsi ...... 16 2. Karya – Karya al-Alûsi ...... 19 B. Profil Kitab Tafsir Rûh Al-Ma’ânî 1. Historis Kitab Tafsir Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî ...... 20 2. Sumber Dan Metode Penafsiran Kitab Rûh al-Ma’ânî ...... 23 3. Corak Dan Sistematika Penafsiran Kitab Rûh al- Ma’ânî...... 25

BAB III ISTIGHFAR DAN TAUBAT A. Istighfar 1. Pengertian Istighfar ...... 32 2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Istighfar ...... 34 3. Tujuan Dan Manfaat Beristighfar ...... 38 4. Contoh Ayat Istighfar Dalam al-Qur’an ...... 43

xiii

xiv

B. Taubat 1. Pengertian Taubat ...... 47 2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Taubat ...... 51 3. Tujuan dan Manfaat Bertaubat ...... 55 4. Contoh Ayat Taubat Dalam al-Qur’an ...... 58

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AL-ALÛSI TERHADAP LAFAZ ISTIGHFAR YANG DISEBUTKAN BERSAMAAN DENGAN LAFAZ TAUBAT DALAM SURAH HUD A. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 3 ...... 64 B. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 52 ...... 72 C. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 61 ...... 76 D. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11]: 90 ...... 82 E. Hikmah Istighfar dan Taubat ...... 84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 85 B. Saran-Saran ...... 85

DAFTAR PUSTAKA ...... 87

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muḥammad SAW, ditulis dalam bentuk mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, bagi yang membacanya termasuk ibadah dan surat terpendeknya memiliki kemuliaan yang lebih tinggi daripada seluruh isinya.1 Al-Qur’an di dalamnya memuat ajaran moral, sosial, budaya, dan peradaban manusia secara universal. Ia diyakini tidak akan pernah hilang seiring dengan zaman. Perkembangan al-Qur’an selalu dinamis. Hal ini terbukti munculnya karya-karya tafsir, dari klasik hingga kontemporer. Dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing mufassir.2 Dalam kehidupan di dunia yang tidak kekal ini. Manusia tidak pernah luput dalam melakukan larangan dari Allah SWT. Larangan itu merupakan suatu hal yang bersifat kenikmatan bagi dirinya, tetapi menimbulkan kesengsaraan atau kecelakaan bagi pelakunya.3 Manusia tidak dapat terlepas dari perbuatan dosa dan kesalahan seperti halnya Malaikat. Tetapi manusia adalah insan yang senantiasa terlibat dalam konflik antara baik dan buruk. Baik kepada Allah SWT maupun kepada manusia lainnya.

1 Muhammad ‘Abdul ‘Aẓîm al-Zurqânî, Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûmul Qur’an, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 300. 2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h.1. 3 Abd Chafidz Farchun, Hidup Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996), cet I, h.119.

1

2

Manusia yang melakukan kebaikan akan menjadi insan yang mulia, sebaliknya jika melakukan keburukan maka akan menjadi kehinaan. Allah SWT memberi jalan kepada manusia untuk memilih tetap dalam dosa atau mendapatkan ampunan. Jika manusia memilih mendapat ampunan, maka Allah SWT telah memberi kesempatan kepada manusia untuk bertaubat. Misalnya, jika seseorang terkena penyakit karena dosa-dosa yang diperbuatnya dan ingin kembali sehat, maka ia harus bertaubat. Itulah cara pengobatan yang Allah SWT berikan kepada mereka yang mendapat penyakit secara metafisik. Karena jalan keluar bagi orang yang berbuat dosa hanyalah bertaubat.4 Sebagaimana dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

ِ ِﱠ ِ ِ ۤ ِ ٍ ِ ِ ِ ۤ ِ ُﰒﱠ إ ﱠن َرﺑﱠ َﻚ ﻟﻠﺬ َﻳﻦ َﻋﻤﻠُْ ﻮا ﱡٱﻟﺴْ ﻮءَ ﲜَﻬﺎﻟَﺔ ُﰒﱠ 庎َﺑـُْﻮا ﻣ ْﻦ َﺑـْﻌﺪ ٰذ ﻟ َﻚ َوأَ ْﺻﻠَ ُﺤْ ﻮا إ ﱠن ِ ِ ِ َرﺑﱠ َﻚ ﻣ ْﻦ َﺑـ ْﻌﺪ َﻫﺎ ﻟَﻐَُﻔ ٌﻮر ﱠرﺣ ٌﻴﻢ Artinya: “Kemudian, Sesungguhnya Tuhanmu terhadap orang-orang yang yang mengerjakan keburukan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaikinya. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 119).5

Manusia yang memohon ampun atas dosanya haruslah diniatkan untuk mendapat ampunan dari Allah SWT. Tidak hanya untuk dosa pada saat ini tetapi dosa masa lalu serta dosa masa

4 Maimunah Hasan, Al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), h. 41. 5 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid V, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), h. 477-478.

3

mendatang jika memang ada. Ini merupakan kewaspadaan batin, karena dosa seberat debu ternyata telah menyebabkan orang tidak masuk surga, terlebih bila dalam diri manusia masih banyak berbagai macam dosa. Istighfar ibarat sabun pencuci dosa. Dengan membiasakan mengucap lafaz istighfar, dosa itu dapat segera terhapus sebelum terlanjur berkarat dalam hati dan jiwa manusia serta menjadi noda yang sulit hilang.6 Bertaubat diwajibkan atas manusia kepada Allah SWT dari perbuatan dosanya. Supaya manusia benar-benar taat kepada Allah SWT dan dapat melakukan kebaikan apapun.7 Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, bersegera melakukan taubat adalah kewajiban. Taubat harus dilakukan secepatnya. Jika seseorang menunda-nunda taubat atas dosanya, ia harus segera bertaubat atas penundaan taubat yang ia lakukan.8 Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan lafaz istighfar dan taubat. Baik disebutkan tersendiri maupun bersamaan dalam satu ayat. Seperti lafaz muslim dan mukmin, keduanya ada yang disebutkan tersendiri dan ada juga disebutkan secara bersamaan. Lafaz istighfar yang disebutkan tersendiri dalam satu ayat maknanya mencakup makna dari lafaz taubat, sebaliknya jika lafaz taubat yang disebutkan tersendiri dalam satu ayat maknanya mencakup makna dari lafaz istighfar. Sedangkan, jika keduanya

6 Majdi Muhammad Asy-Syahawi, The Secret Of Istighfar, (Jakarta : Gema Insani, 2009), h. 21-22. 7 Imam al-Ghazâlî, Minhâjul ‘Âbidîn, terj. Abul Hiyaḍ, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), h. 47 8 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, At-Taubah Wal Inâbah, terj Abdul Hayyie al–Kattani, (Jakarta: Gema insani, 2006), h. 163.

4

disebutkan secara bersamaan ada sesuatu yang berbeda. Istighfar yang disebutkan di sini tidaklah sama dengan taubat. Istighfar memiliki makna sendiri dan taubat memiliki makna sendiri. Seperti dalam al-Qur’an,

ِ ِ ۤ ِ ِ ِ ِٰ ِ َوأَن ْٱﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْ وا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ﺗُﻮﺑـُ ْ ﻮ ﺎا إﻟَْﻴﻪ ُﳝَﺘّْﻌ ُﻜﻢ ﱠﻣﺘَ ًﻋﺎ َﺣ َﺴﻨًﺎ إﱃ أَ َﺟ ٍﻞ ﱡﻣ َﺴ ًّﻤ ﻰ َو ﻳ ـ ُ ْ ﺆ ت ِ ۖ ِ ﱠ ِ ٍ ِ ُﻛ ﱠﻞ ذ ْي ﻓَ ْﻀٍﻞ ﻓَ ْﻀﻠَﻪ ُ ◌ َوإ ْن َﺗـَﻮﻟْﻮا ﻓَﺈِّﱏ أَ َﺧ ُﺎف َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻋ َﺬ َاب َﻳـْﻮم َﻛﺒٍْﲑ Artinya; “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11] : 3).9

Menurut Ibnu al-Qayyim, tentang lafaz istighfar bersamaan dengan lafaz taubat dari ayat di atas yakni, istighfar adalah menghilangkan kejelekan, sedangkan taubat adalah meminta adanya manfaat (kebaikan).10 Sedangkan menurut Yûsuf al- Qardâwî, istighfar adalah memohon perlindungan dari dosa yang lampau. Sedangkan makna taubat adalah kembali dan memohon perlindungan dari akibat keburukan yang dikhawatirkan akan muncul di masa yang akan datang.11

9 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461. 10 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 1998), h.307-309. 11 Yûsuf al-Qardâwî, Taubat, (al-Taubah ilâ Allah), terj. Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 54.

5

Ayat di atas tertulis lafaz istighfar diikuti dengan lafaz taubat. Sehingga kedua lafaz tersebut memiliki makna dan tujuan masing-masing. Walaupun keduanya berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainnya. Selain itu, masih ada tiga ayat dalam surah Hûd seperti ayat di atas. Tidak sedikit orang memahami istighfar itu termasuk taubat. Jika disebutkan tersendiri memang memiliki makna yang sama. Akan tetapi, jika istighfar dan taubat bersamaan, keduanya memiliki makna berbeda. Istighfar belum tentu taubat, sebaliknya. Seperti mukmin dan muslim disebutkan bersamaan, apakah mukmin sudah tentu muslim ?. Hal ini pasti ada rahasia dibalik kedua kata baik istighfar dengan taubat atau muslim dengan mukmin. Atas dasar ini penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih dalam mengenai lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat menggunakan Penafsiran al-Alûsî. Oleh karena itu, judul skripsi penulis yakni “Istighfar Dan Taubat Dalam al-Qur’an (Studi Penafsiran al-Alûsî)”.

B. Identifikasi, Batasan, Dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi dari latar belakang di atas adalah: a. Mengkaji Ruang Lingkup Istighfar b. Mengkaji Ruang Lingkup Taubat c. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Istighfar d. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Taubat

6

e. Menjelaskan Semua Makna Ayat dari Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan Dengan Lafaz Taubat Menurut Para Mufassir f. Menjelaskan Makna Ayat Dalam Surah Hûd Tentang Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan dengan Lafaz Taubat Menurut Para Mufassir. g. Menjelaskan Makna Ayat Dalam Surah Hûd Tentang Lafaz Istighfar yang Disebutkan Bersamaan dengan Lafaz Taubat Menurut Imam Al-Alûsî.

2. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, penulis tertarik mengkaji lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat menurut Imam al-Alûsî dalam QS. Hûd [11] ayat 3, 52, 61, dan 90. Pembatasan ini bertujuan supaya pembahasan mengenai makna lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat lebih fokus dan tidak keluar dari latar belakang yang telah dijelaskan.

3. Rumusan Masalah Setelah dibatasi masalah yang akan dikaji. Rumusan masalah dari skripsi ini adalah “Bagaimana Analisis Lafaz Istighfar yang disebutkan Bersamaan Dengan Lafaz Taubat dalam Surat Hûd Ayat 3, 52, 61, dan 90 Menurut al-Alûsî (Tafsir Rûh al-Ma’ânî)”

7

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok masalah di atas maka hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini ialah; 1. Menjelaskan penyebutan lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat dalam al-Qur’an. 2. Mengetahui makna lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat dalam QS. Hûd ayat 3, 52, 61, dan 90 dalam tafsir al-Alûsî. 3. Menganalisa lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat menggunakan tafsir al-Alûsî. b. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dalam bidang studi al- Qur’an dan tafsir adalah: 1. Dalam konteks keilmuwan Islam, hasil penelitian ini akan memberikan informasi penting terkait dengan dinamika keilmuwan Islam di Indonesia, dapat menambah wawasan dan khazanah khususnya di bidang tafsir al-Qur’an. 2. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan rujukan di bidang studi tafsir al-Qur’an di Indonesia.

8

D. Tinjauan Pustaka Sebagai upaya untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan penelusuran terhadap peneliti-peneliti yang telah ada. Berikut ini beberapa peneliti skripsi yang relevan terhadap tema peneliti yang peneliti angkat, diantaranya : 1. Skripsi yang ditulis oleh Aminah Rahmi Hati Hsb, yang berjudul “Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alûsî Terhadap al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh al- Ma’ânî)”.12 Skripsi ini membahas biografi dari Imam al- Alûsî beserta metode dan corak serta sistematika dari kitab tafsir Rûh al-Ma’ânî. 2. Jurnal yang ditulis oleh Yeni Setianingsih dengan judul “Melacak Pemikiran al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh al- Ma’ânî”. 13 Artikel ini membahas biografi al-Alûsî dan latar belakang dari tafsirannya. Ia juga menjelaskan metodologi kitab tafsirnya serta implikasi penafsirannya dari kitab tafsir Rûh al-Ma’ânî. 3. Skripsi yang ditulis oleh Nurul Faizah, yang berjudul “Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan

12 Aminah Rahmi Hati Hsb, Metode dan Corak Penafsiran Imam Al- Alusi Terhadap Al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh Al-Ma’ânî), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013). 13 Yeni Setianingsih, Melacak Pemikiran Al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh Al- Ma’ânî. Kontemplasi. Vol. 5, 1, 2017.

9

Morokrembangan Surabaya.”14 Dalam skripsi ini menerapkan istighfar (memohon ampun) atas kesalahan remaja kepada orangtuanya. 4. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Hadi yang berjudul “Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al- Nawâwiyyah”.15 Skripsi ini mengkaji hadis-hadis tentang keutamaan orang yang beristighfar, atas dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia. 5. Skripsi yang ditulis oleh Zaky Taofik Hidayat, yang berjudul “Konsep Taubat Dalam al-Qur’an Menurut Qutb”.16. Dalam skripsi ini umat Islam dapat mengetahui dan mengamalkan ajaran taubat dengan benar sesuai dengan Rasulullah SAW. 6. Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Nazeri, yang berjudul “Konsep Taubat Menurut Syaikh ‘Abdul Qâdir al- Jailânî”.17 Skripsi ini membahas konsep taubat dalam pandangan Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî menggunakan corak tasawuf, yakni menutup pintu-pintu dosa yang

14 Nurul Faizah, Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan Morokrembangan Surabaya, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018). 15 Abdul Hadi, Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al- Nawâwiyyah, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2007). 16 Zaky Taofik Hidayat, Konsep Taubat Dalam al- Menurut Sayyid Qutb, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2010). 17 Muhamad Nazeri, Konsep Taubat Menurut Syekh ‘Abdul Qâdir al- Jailânî, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Darussalam, 2018).

10

dilakukan pada masa lalu dan akan menutup dosa pada masa yang akan datang. 7. Skripsi yang ditulis oleh Sayid Qutub, yang berjudul “Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap Perspektif Quraish Shihab”.18 Dalam skripsi ini dijelaskan penafsiran tentang ayat-ayat taubat dari kisah para Nabi menggunakan penafsiran Quraish Shihab. 8. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Arif Zunaidi, yang berjudul “Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut Perspektif Imam an-Nawawî”.19 Skripsi ini membahas konsep taubat menurut Imam Nawawi. Menurutnya, ada tiga macam syarat untuk bertaubat, Pertama, hendaklah menghentikan seketika itu juga dari kemaksiatan yang dilakukan. Kedua, supaya menyesali kesalahannya kerana telah melakukan kemaksiatan, dan Ketiga, berniat tidak akan mengulangi lagi perbuatan maksiat itu untuk selama- lamanya. Jika salah satu dari tiga syarat di atas tidak terpenuhi maka taubatnya menjadi tidak sah. 9. Jurnal yang ditulis oleh M. Sidik dengan judul “Tobat Dalam Perspektif al-Qur’an”.20 Artikel ini mengkaji makna dari sebagian ayat tentang taubat dalam perspektif al- Qur’an. Salah satunya jika manusia berbuat dosa dan

18 Sayid Qutub, Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap Perspektif Quraish Shihab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2009). 19 Ahmad Arif Zunaidi, Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut Perspektif Imam an-Nawawî, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang, 2018). 20 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. Vol. 7, 10, 2010.

11

maksiat maka akan datang suatu bencana dan malapetaka. Baik dosa itu dilakukan oleh pribadi maupun berjamaah. Sebagai solusinya mereka harus istighfar dan taubat dengan sungguh-sungguh. 10. Jurnal yang ditulis oleh Septiawadi dengan judul “Tafsir Sufistik Tentang Taubat Dalam al-Qur’an”.21 Artikel ini terdapat ayat-ayat tentang taubat menurut kepada Sa‘îd Hawâ pengarang tafsir al-Asâs fî at-Tafsîr. Poin inti dari jurnal ini adalah taubat sangat berpengaruh nyata membentuk pribadi yang tawadu’ dan menjaga perilaku serta ucapan dari hal-hal yang mencemari kesucian jiwa. 11. Jurnal yang ditulis oleh Rakhmawati dengan judul “Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia”.22 Artikel ini membahas tentang taubat, yakni upaya menyucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di samping itu, taubat berimplikasi positif pada kehidupan seorang muslim pasca ia bertaubat. Hal ini akan nampak dalam pergaulannya sehari-hari, ia tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT seperti menggibah, memfitnah, atau menyakiti orang lain. Segala hal yang dilakukan senantiasa menjadi rahmat bagi diri dan lingkungannya. Perilaku orang-orang yang telah memutuskan secara sadar untuk bertaubat kepada Allah

21 Septiawadi, Tafsir Sufistik Tentang Taubat Dalam al-Qur’an. Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 7, 2, 2013. 22 Rakhmawati, Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia. Madani. Vol. 4, 1, 2014.

12

SWT akan berbeda jika dibandingkan orang yang taubatnya masih sebatas ucapan saja. Setelah penulis meneliti semuanya, penelitian penulis berbeda dengan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menjelaskan analisis lafaz istighfar yang bersamaan dengan lafaz taubat dari tafsir al-Alûsî.

E. Metode Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian library research yaitu jenis penelitian kualitatif dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, dan laporan-laporan yang ada sehingga memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.23 Data diambil dari berbagai sumber tertulis, yakni berupa buku-buku atau dokumentasi dan lain-lain. 2. Sumber Data Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber data primer merupakan rujukan utama yang menjadi landasan data yang akan dicari dan dianalisis. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data lain yang berkaitan dengan tema penelitian guna memperoleh kelengkapan data penelitian. Dalam penelitian ini, sumber data primer yang digunakan adalah al-Qur’an dan terjemahannya, as-sunnah dan kitab Tafsir

23 Muhammad Nazir, Metode Penulisan, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h.24.

13

Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî (Karya Mahmûd al-Alûsî) yang menjadi inti dalam kajian penulis. Sumber data sekunder adalah kamus klasik di antaranya yaitu Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâẓ al-Qur’an al-Karîm,24 dan kamus al-Qur’an lainnya. Selain itu, penulis juga mengambil dari kitab tafsir lain, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel, dan skripsi, dengan pokok permasalahan yang sama dengan tema penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan. 3. Metode Pengolahan Data Pengolahan data pada penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode deskriptif yaitu suatu metode yang bermaksud untuk menggambarkan data-data dalam menjelaskan sebuah hipotesa, untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut dari pokok permasalahan.25 Sedangkan analitis yaitu sebuah tahapan, untuk menguraikan atau menafsirkan data-data yang telah terkumpul dan tersusun secara sistematis.26 Jadi metode deskriptif analitis adalah sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data yang tersusun dengan melakukan kajian dan tafsiran terhadap data-data tersebut melalui interpretasi yang tepat.

24 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâẓ al- Qur’an al-Karîm. (Bairut: Dar al-Fikr, 1980). 25 Jonathan Sarwono, Pintar Menulis Karya Ilmiah: Kunci Sukses dalam Menulis Karya Ilmiah, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), h. 34. 26 M. Jamiluddin Ritonga, Riset Kehumasan, (Jakarta: Grasindo, 2004), h.64.

14

4. Tehnik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.

F. Sistematika Penulisan Agar penulisan dapat tersusun dengan rapi dan sistematis, penulis menyusunnya sebagaimana berikut: Bab Pertama berisi pendahuluan. Bab ini mencakup latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab Kedua berisi biografi al-Alûsi al-Baghdadî dan profil kitab tafsir rûh al-ma’ânî, yang terdiri dari; Pertama, seputar kehidupan al-Alûsi dan karya – karya al-Alûsi. Kedua, historis kitab rûh al-ma’ânî fî tafsîr al-qur’an al-‘azîm wa sab’u al- matsânî, sumber dan metode penafsiran, corak dan sistematika penafsiran. Bab Ketiga berisi uraian tentang gambaran umum istighfar dan taubat, yang terdiri dari dua sub bab yaitu; Pertama, penjelasan tentang istighfar terdiri dari pengertian, syarat-syarat dan macam-macam, tujuan dan manfaat, dan contoh ayat istighfar dalam al-Qur’an. Kedua, penjelasan tentang taubat terdiri dari pengertian, syarat-syarat dan macam-macam, tujuan dan manfaat, dan contoh ayat taubat dalam al-Qur’an.

15

Bab Keempat berisi tentang analisis penafsiran al-Alûsi terhadap lafaz istighfar yang disebutkan bersamaan dengan lafaz taubat dalam surah Hûd terdiri dari lima sub bab. Pertama, penafsiran al-Alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] ayat: 3. Kedua, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 52. Ketiga, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al- ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 61. Keempat, penafsiran al-alûsi dalam tafsir rûh al-ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 90. Dan kelima, Hikmah istighfar dan taubat. Bab Kelima, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan atas kajian yang terdapat dalam penelitian dan memberikan saran-saran agar peneliti selanjutnya bisa dengan mudah mencari kekurangan dalam kajian ini.

BAB II AL-ALÛSI AL-BAGHDADÎ DAN KITAB TAFSIR RÛH AL- MA’ÂNÎ

A. Biografi al-Alûsi 1. Seputar Kehidupan al-Alûsi Nama lengkap al-Alûsi ialah Abû Sanâ’ Syihâb al-Dîn al- Sayyid Mahmûd Afandi al-Alûsi al-Baghdadî1 yang merupakan mufassir kondang asal Irak. Ia dilahirkan pada hari Jum‘at, tanggal 15 Sya‘bân 1217 H/1802 M, di daerah dekat Kurkh, Baghdâd, Irâk. Ia dikenal dengan nama al-Alûsi karena, nama yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alûsi, yaitu suatu pulau yang terletak di tepi barat sungai Eufrât antara Syâm (Syiria) dan Baghdâd.2 Dalam pengembaraannya menuntut ilmu, ia banyak belajar dan membaca kitab-kitab warisan sebelumnya di bawah bimbingan ayahnya. Ketika berumur sepuluh tahun ia telah mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti, syâfi‘iyah dan hanafiyah, mantiq, dan ḥadîts.3 Selain itu, dia juga belajar tasawuf dari seorang sufi bernama Syaikh Khalid al- Naqshabandi.4 Ketika umurnya 20 tahun ia telah mendalami kajian tafsir al-Qur’an. Kemudian ketika berumur 21 tahun, ia

1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 130. 2 Mannâ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulum al-Qur’ân, terj. Drs. Mudzakkir AS, (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1992), h. 521. 3 Muhsin Abdul Hamîd, Al-Alûsi Mufassîrûn, (Baghdad: Matba’ah al- Ma’ârif, 1968), h.42. 4 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Bairut, Dar al-Fikr, 1983), h. 3.

16

17

diberi kepercayaan oleh gurunya, Syaikh ‘Alâu al-dîn untuk mengajar di madrasah al-Khotuniyah.5 Di samping itu, ia diminta oleh Haji Nu‘mân al-Bahjah untuk mengajar di madrasah yang dipimpinnya. Dan ia tidak bertahan lama mengajar, dikarenakan banyak yang tidak setuju dengan dirinya. Al-Alûsi merupakan salah seorang ulama di Irâk yang pernah menjabat sebagai Baghdâd, pemikir dan ahli polemik. Pengetahuannya yang luas menjadikan dirinya diberikan gelar, yang berarti ‘ yaitu seorang ulama besar baik dalam ilmu naqlî (al-Qur’an dan al-Hadits) maupun dalam ilmu ‘aqli (berdasarkan akal) yang mengetahui setiap cabang dan dasar dari kedua bidang ilmu tersebut.6 Dalam bidang al-Alûsi mengikuti aliran sunni mâturîdiyya. Sedangkan dalam bidang fiqh pada mulanya ia bermadzhab syâfi‘iyah,7 kemudian ia pindah ke mazhab hanafiyah di tahun 1248 H. Ia menjabat sebagai ketua badan perwakafan lembaga pendidikan al-Marjaniyah, yaitu sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya seorang tokoh ilmuan. Lalu dia berhenti pada bulan syawwâl 1263 H, karena ia fokus menyusun tafsir hingga selesai.8 Selama menuntut ilmu al-Alûsi memiliki beberapa guru dan memiliki beberapa . Adapun guru-gurunya, antara lain:

5 Muhsin Abdul Hamîd, Al-Alûsi Mufassîrûn, h. 42. 6 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dar al-Kutub, 1976), juz I, h. 352. 7 Eva Amalia Megarestri, Study Tematik Terhadap Penafsiran al- Qur’an Tentang Ayat Sajadah dan Munasabahnya Dalam Tafsir Rûh al- Ma’ânî, (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 44-46. 8 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, h. 302.

18

a. Ayahnya sendiri Baharuddîn al-Alûsi (lahir 1248 H - wafat 1291 H). b. Pamannya, al-‘Allamah as-Salafî Nu‘mân Khaîruddîn Abû al-Barakât al-Alûsi. c. Ismâ‘îl bin Musthafâ al-Mushili (lahir 1200 H – wafat 1270). Dia juga mempelajari ilmu tafsir dari Syaikh Bahaulhaq al-Hindi, seorang ulama keturunan India yang menetap di Baghdâd (lahir 1256 H - wafat 1300 H). Adapun dalam cabang ilmu Muṣṭalah al-Hadîts, dia belajar kepada Syaikh Abdussalâm bin Muhammad bin Said an- Najd, yang lebih populer dengan nama asy-Syawwaf (lahir 1243 H – 1318 H). Salah satu guru Imam al-Alûsi yang lain adalah Syaikh Muhammad Amîn al-Khurâsânî al-Fârisî, dan lain-lain. Adapun murid-muridnya yang terkenal, antara lain: a. Muhammad Bahjah al-Atsary (lahir 1322 H – wafat 1416 H). b. Ma‘rûf al-Rasâfî (lahir 1294 H – wafat 1364 H). c. Nu‘mân bin Ahmad bin al-Haq Ismâ‘îl al-A’dhani al- Ubeidi (lahir 1293). d. Alî Alâuddîn al-Alûsi (lahir 1277 H – 1340 H). e. Abdul Azîz al-Rasyîd al-Kuwaîtî (wafat 1357 H). f. Ṭalḥah bin Ṣalih al-Dânî (lahir 1310 H – wafat 1365 H). g. Abdul Laṭîf, ia seorang ahli bahasa (wafat 1363 H). h. Abbâs al-Bazâwî, ia seorang ahli sejarah dari Irak yang masyhur (wafat 1971 H). i. Munîr al-Dâdî (lahir 1313 H – wafat 1340 H).

19

j. Sulaîmân al-Dakhîl al-Najdî (lahir 1244 H, wafat 1364 H)9 Al-Alûsî wafat diusianya yang ke-53 tahun pada hari Jum‘at tanggal 25 Dzulqa‘dah 1270 H/1854 M. Jasadnya dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma‘rûf al-Karakhi, salah seorang tokoh sûfî yang sangat terkenal di kota Kurkh.10 2. Karya-karya al-Alûsi Terdapat hampir 56 judul buku yang ditulis oleh Al-Alûsî, di antaranya a. Ghoyah al-Amâni fî al-Radh ala an-Nabhani, sebuah kitab bantahan atas kitab “Syawâhid al-Haq” karya al-Nabhani yang berisikan kebodohan, nukilan-nukilan palsu, pendapat yang lemah dan dalil-dalil yang dibalik dalam permasalahan “ Bolehnya istighasah kepada selain Allah SWT, dan celaan-celaan terhadap para ulama penolong sunnah, semisal Ibnu Taimiyyah”. b. Rûh al-Ma’ânî fi Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’u al-Matsânî, atau yang lebih dikenal dengan tafsir Rûh al- Ma’ânî. Tafsir ini merupakan karya yang populer dalam bidang tafsir. c. Al-Hasyiat ‘alâ al-Qatri fî al-Nahw. Kitab ini membahas gramatika bahasa Arab. d. Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘alâ As’ilah al-Irâniyah. Kitab ini membahas dalam bidang kenegaraan.

9 http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-Alûsî. html. Rabu, 15/ 5/ 2019. 10 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. I, h. 4.

20

e. Al-Ajwibah al-‘Irâqiyyah ‘an As’ilah al-Luhûriyah. Kitab ini juga membahas dalam bidang kenegaraan. f. Durrat al-Gawwâs fî Awhâm al-Khawwas. Kitab ini membahas dalam bidang tasawuf. g. Al-Nafahat al-Qudsiyyah fî al-Mabahits al-Imamiyah. Kitab ini juga membahas dalam bidang kenegaraan. h. Syarh al-Sâlim fî al-Manthiq. i. Nasywat al-Syamul fî al-dzahab il Istambul. j. Nasywat al-Mudam fî al-‘Awd ila dâr al-Salam. k. Gharaîb al-Ightirab wa nazhat al-Albab, dan lain-lain.11 Di antara karya-karya tersebut, karya yang paling populer ialah yang dikenal dengan tafsir al-Alûsî atau disebut tafsir Rûh al-Ma‘ânî.

B. Profil Kitab Tafsir al-Alûsi 1. Historis Kitab Tafsir Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm wa Sab’u al-Matsânî Latar belakang penulisan kitab tafsir Rûh al-Ma’ânî terkesan cukup mistis. Al-Alûsî menulis tafsirnya terdorong dari sebuah mimpi, meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Ia memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi masyarakat waktu itu. Namun ia senantiasa dihinggapi keragu-raguan untuk merealisasikan ide tersebut. Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam Jum‘at bulan

11 Mani’ ‘Abdul Halim, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 205.

21

Rajab tahun 1252 H, dia bermimpi disuruh Allah SWT untuk melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, ia seolah-olah mengangkat salah satu tangannya ke langit dan tangan yang lainnya ke tempat air. Namun, kemudian ia terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan ternyata ia menemukan jawabannya dalam sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab tafsir.12 Penulisan kitab tafsir dilakukan oleh al-Alûsî pada tanggal 16 Sya‘bân 1252 H saat ia berusia 34 tahun, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sultan Abdul Hamîd Khan. Ia menyelesaikan penyusunan kitab tersebut pada malam selasa di bulan Rabî‘ul Âkhir tahun 1267 H, kurang lebih kurun waktu 15 tahun. Setelah ia meninggal kitab tersebut disempurnakan oleh putranya yaitu Sayyid Nu‘mân al-Alûsi. Kitab ini kemudian diberi judul, Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Aẓîm wa al-Sab’ al-Masânî oleh Perdana Menteri Ali Ridho Pasha. Karena nama tersebut sesuai dengan tujuan awal penulisannya, yaitu “semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab‘ul mastanî”. Lalu al-Alûsi pun menyetujuinya dengan nama Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẓîm wa al-Sab’ al-Masânî yang di dalamnya terdiri dari 16 jilid. Jilid 1:635 halaman, 2:272 halaman, 3:416 halaman, 4:319 halaman, 5:270 halaman, 6:238 halaman, 7:399 halaman, 8:395 halaman, 9:431 halaman, 10:380 halaman, 11:251 halaman,

12 http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-alusi.html. Rabu, 15/ 5/ 2019.

22

12:347 halaman, 13:206 halaman, 14:300 halaman, 15:248 halaman, dan 16:523 halaman. Diterbitkan Beirut dengan penerbit: Dar al Kutub al-Ilmiyah.13 Setelah tafsirnya selesai, al-Alûsî melakukan perjalanan ke Konstatinopel pada tahun 1267 H/1850 M, di mana menurut sebagian riwayat ia tinggal selama dua tahun (1267 H-1269 H/1850 M-1852 M). Di sana ia menunjukkan tafsirnya kepada Sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Abdul Majid Khan untuk mendapatkan pengakuan dan kritik. Dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari Sultan, kemudian ia dihadiahi emas seberat timbangan kitab tersebut.14 Kitab tafsir Rûh al-Ma‘ânî merupakan karya Imam al-Alûsi yang terbesar. Kitab ini berisi pandangan dari kalangan ulama maupun khalaf dan mengandung kesimpulan dari kitab- kitab tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu Athiah, Ibnu Hibbân, Abû Hayyân, az-Zamakhsyari, Abû al-Sa‘ûd, al-Baîḍawî dan al- Razi,15 untuk menguatkan pendapat al-Alûsi. Ia berusaha bersikap netral dan adil ketika menukil tafsir-tafsir tersebut dan selanjutnya mengemukakan komentar serta pendapatnya sendiri tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir tersebut. Ketika menukil tafsir-tafsir terdahulu, ia menggunakan beberapa istilah antara lain “qâla syaikh al-Islâm” bila menukilkan dari tafsir Abu al-

13 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol I, h. 4. 14 Abdul Mustaqim, Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî dalam Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 154. 15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 161.

23

Sa‘ûd, “qâla al-qadlî” bila dari tafsir al-Baîḍawî, dan “qâla al- imâm” bila menukilkan dari tafsir al-Razi.16 2. Sumber Dan Metode Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî a. Sumber Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî Sumber-sumber penafsiran yang dipakai al-Alûsî adalah memadukan sumber al-ma‘tsur (riwayat) dan al-ra‘yi (). Artinya dalam menafsirkan suatu ayat ia menggunakan sumber riwayat dari Nabi SAW atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran al-Qur’an dan terkadang menggunakan ijtihad dirinya sehingga keduanya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Keterlibatannya dalam mazhab Abu Hanifah ternyata banyak mempengaruhi kajian rasionalisasi tafsirnya. Hal ini seperti diakuinya bahwa dinamika pemikiran Abu Hanifah sarat dengan sistem ijtihad. Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alûsî digolongkan kepada tafsir bil ra‘yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah kitabnya, ia menyebutkan beberapa penjelasan dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil- Ra’yinya tersebut.17 Meskipun begitu, al-Alûsî mampu mensintesiskan makna tersurat dan tersirat atau ẓahîr wa bâṭin baik ayat yang manqul (naql, riwayat, normatifitas) dan ma’qul (aqli, dirayat,

16 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz. 1. h. 356. 17 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, h. 6.

24

historisitas). Artinya, ia tidak murni hanya mengedepankan ijtihadnya semata. Namun, dia mampu memilah pendapat yang shahih dengan merujuk riwayat-riwayat terdahulu, baik yang diterima dari Nabi SAW, sahabat, tâbi‘în maupun kisah isrâîliyât.18 b. Metode Penafsiran Secara historis, setiap penafsiran pasti menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur’an. Pilihan metode- metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut pandang masing-masing mufasir, serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang melingkupinya.19 Al-Alûsî memandang al-Qur’an merupakan kitab yang sempurna dan harus digali sedalam-dalamnya, maka metode yang dipakai oleh al-Alûsî dalam menafsirkan al-Qur’ân adalah metode tahlîlî.20 Karena dengan metode tersebut, akan menghasilkan suatu penafsiran yang komprehensif dan menyeluruh baik dari berbagai aspek seperti bahasa, kosa kata, dan pendapat ulama. Karena dengan begitu, al-Qur’an benar- benar dapat dibaca dan mampu memberikan pencerahan dengan sempurna oleh umat Islam.

18 Isrâîliyât adalah berita atau cerita-cerita yang bersumber dari Ahl Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam. Namun dalam hal ini, cerita yang bersumber dari Yahudi jauh lebih banyak dari pada yang bersumber dari orang-orang Nasrani. 19 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38. 20 Salah satu yang menonjol dalam tafsir tahlîlî (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Baik dari segi bahasa, asbâb al-nuzûl, nasikh- mansukhnya dan lain-lain. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al- Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 32.

25

Sebagaimana mufassir yang menggunakan metode tahlîlî, al-Alûsî menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf ‘Utsmânî. Untuk itu, dia menguraikan kosa kata dan lafadz serta menginterpretasikan (al-bayân) ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan makna yang dikehendaki dan merelevansikan dengan surah sebelumnya.21 3. Corak Dan Sistematika Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî a. Corak Penafsiran Kitab Rûh al-Ma‘ânî Muhammad Quraish Shihab menyebutkan corak tafsir yang dikenal luas dewasa ini, yakni corak tafsîr fiqh, atau hukum, corak tafsîr falsafi, corak tafsîr ‘Ilmi, corak bahasa, corak tafsîr adabi al-ijtima‘i (sosial kemasyarakatan), dan corak tafsir sûfî.22 Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu dan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu-ilmu yang dimilikinya, kemudian munculah corak tafsir yang bermacam-macam. Adapun kategorisasi corak tafsir sûfî terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsîr sûfî nazari sebagai turunan dari tasawwuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud Tuhan dalam makhluknya) dan al-tafsîr sûfî al-isyârî sebagai turunan dari tasawwuf ‘amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah

21 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapannya, terj, Rosihon Anwar (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h. 12. 22 Muhammad Chirzin, Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Ẓilâl al-Qur’an, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 79.

26

SWT, bahkan ingin menyatu). Adapun pembahasannya adalah sebagai berikut:  Al-Tafsîr al-Sûfî al-Nazari Al-tafsîr sûfî nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari kalangan ahli sûfî. Ulama yang dianggap ahli dalam bidang ini adalah Muhyîddîn bin ‘Arabî, karena ia dianggap sering bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sûfî Ibn ‘Arabî banyak diikuti oleh murid-muridnya. Selain itu, pemikirannya banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti al-Futûhât al-Makkiyah dan Fusûs al-Hakîm. Dalam dua kitab ini kita akan banyak melihat ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan berlandaskan teori sûfî filosofis.23  Al-Tafsîr al-Sûfî al-Isyârî Menurut al-Dzahabi tafsir ini ialah menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan maknanya yang nyata berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sûfî.24 Dengan kata lain, tafsîr isyârî merupakan usaha menta’wil ayat-ayat al-Qur’an berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat- isyarat rahasia yang ditangkap oleh para ahli ilmu dan maknanya dapat disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-

23 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, h. 297-298. 24 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, h. 308.

27

Qur’an. Lahir batin merupakan konsep yang dipergunakan kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khususnya dan melihat dunia umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang bathin. Bagi mereka bathin adalah sumber pengetahuan sedangkan dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Qur’an memiliki empat makna: dzahir, bathin, had, dan matla’. Al-Ghazâlî sendiri menegaskan bahwa selain yang dzahir, al-Qur’an memiliki makna bathin. ‘Abdullah (al-Muhasibi) dan Ibn al-‘Arâbî memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah bacaan dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abû ‘Abdurrahmân mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dzahir adalah bacaannya, sementara yang bathin adalah pemahamannya.25 Khalid ‘Abdurrahmân al-‘Ak membagi tafsir isyârî berdasarkan isyaratnya dalam dua bagian, yaitu: pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) di mana yang memperolehnya hanyalah ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Qur’an, kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah (indikasi jelas) yang dikandung ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur’an yang

25 Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-‘Arâbî, (Beirut: Markaz al-Dirasah, 1990), h. 277.

28

mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era modern.26 Al-Alûsî banyak mengedepankan paradigma tafsir sûfî al- isyârî, yaitu suatu tafsir yang mencoba menerapkan dimensi makna bathin berdasarkan isyarat atau ilham dan ta’wîl sûfî. Tafsir sûfî al-isyârî mengarahkan sasaran penafsirannya pada pengungkapan makna ayat-ayat al-Qur’an yang tersirat dan juga berusaha menelusuri daya cakup al-Qur’an yang tersusun dari makna eksoterisnya secara transparan dan menjadikan pendekatan tafsirnya sebagai dua koin mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Dalam usaha menelusuri maknan yang tersirat, bukanlah satu-satunya yang dikehendaki oleh ayat, akan tetapi lebih merupakan perluasan makna dari maknanya yang tersurat.27 Karena itu, al-Alûsî menitikberatkan pada penafsiran ayat secara tersurat (eksotoris) kemudian diteruskan dengan menunjukkan beberapa muatan makna yang samar dan tersembunyi atau tersirat (esoteris) dibalik ayat secara kontekstual. Kecenderungan al-Alûsî terhadap tasawwuf ini terlihat dalam tafsir yang ditulisnya, dia mengatakan:

“ Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah SWT Yang Maha Pencipta dan

26 Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sûfî, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 3, 2, 2003, h. 58. 27 Wahib, Perspektif Tafsir Sûfî-Isyârî: Studi Atas Pemikiran Al-Alûsî dalam Tafsir Ruh al Ma’ânî, (Tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997), h. 51-52.

29

Maha Pelimpah kepada batin-batin hambanya yang dikehendaki.”28

Mengapa al-Alûsî membawa tafsirnya ke arah sûfî al- isyârî? Menurutnya, untuk sampai ke ilmu hakikat, seseorang tidak diperbolehkan mengabaikan ilmu syari’atnya. Untuk memahami makna esoteric (bathin) suatu ayat, telebih dahulu harus dikupas dulu makna eksotoris (dzahir). Pendapat ini dapat dilihat saat ia menafsirkan surat al-Kahf [18]: 65.

ِ ِ ِ ۤ ِ ِ ِ ﱠ ِ ﱠ ِ َﻓـَﻮَﺟ َﺪا َﻋ ْﺒ ًﺪا ّﻣ ْﻦ ﻋﺒَﺎدَ� ٰاَﺗـْﻴـﻨ َﺎﻩُ َر ْ ﲪَﺔً ّﻣ ْﻦ ﻋْﻨﺪَ� َوَﻋﻠ ْﻤﻨ َﺎﻩُ ﻣ ْﻦ ﻟ ُﺪﱠ� ﻋْﻠًﻤﺎ

Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”. (QS. al- Kahf [18]: 65).29

Dalam menafsirkan kalimat wa’allamnâhu mil-ladunnâ ‘ilmân, al-Alûsî menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan dasar yang dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya ilmu laduni (ilmu hakikat) atau ilmu bathin (esoteris), yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah SWT yang tidak dapat diperoleh tanpa taufiq-Nya, atau dapat dikatakan juga sebagai ilmu gaib. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh ilmu ini ada dua kemungkinan. Pertama dengan perantara wahyu dari malaikat, seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua melalui isyarat

28 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol I, h. 192. 29 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid V, h. 767-768.

30

dari malaikat yang disebut ilham, dapat diterima nabi maupun selain nabi. Untuk memperoleh ilham tersebut diperlukan pensucian batin (tathîr al-qalb). Untuk memperoleh tathîr al- qalb, menurut al-Alûsî harus melalui ilmu syari’at.30 Itu artinya, ia menentang keras seseorang yang meninggalkan syari’at dengan dalih telah sampai kepada hakikat. Ini semakin menguatkan pendapatnya bahwa dia tidak menafikkan makna eksotoris suatu ayat. Adapun syarat-syarat tentang bolehnya menafsirkan al- Qur’an secara isyârî adalah: penafsiran isyârî tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna dzahir, harus ada nas lain yang menguatkannya, tidak bertentangan dengan syara’ dan akal, serta harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir dan makna lain yang selain zhahir.31 Dari syarat-syarat tersebut jelas bahwa tafsir Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî ini telah memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai tafsir yang bernuansa sûfî al-isyârî. b. Sistematika Penafsiran Sistematika penafsiran yang ditempuh oleh al-Alûsî biasanya menggunakan langkah-langkah di bawah ini:32  Menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.

30 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, vol VIII, h. 330. 31 Muhammad Husaîn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn ssirun, Juz II, h. 263. 32 http://islamiceducatione.blogspot.com/2014/06/kajian-tafsir-ruhul- ma’ani-al-alusi/.10-04-2019.13.37 wib.

31

 Dalam analisisnya terkadang juga al-Alûsî menyebutkan asbâb al-nuzûl terlebih dahulu, namun kadang ia langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadits atau riwayat tabi’în.  Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu).  Menafsirkan dengan ayat-ayat lain.  Memberikan keterangan dari hadits Nabawi bila ada.  Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu.

Langkah-langkah ini digunakan dalam menafsirkan ayat- ayat al-Qur’an dengan mengacu pada susunan surah yang ada di dalam al-Qur’an.

BAB III ISTIGHFAR DAN TAUBAT

A. Istighfar 1. Pengertian Istighfar Secara etimologi (bahasa) istighfar berasal dari bahasa Arab ghafara-yaghfiru-ghufrân yang berarti mâlibâsu yaṣûnahu ‘ani al-danasi (pakaian yang bersih dari kotoran)1. Kata yang semakna dengan ghufrân adalah maghfiroh, yang artinya penutupan atau pengampunan yang diberikan Allah SWT terhadap kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Kata ghafara jika ditambahkan tiga huruf alif, sin, dan ta akan menjadi istaghfara-yastaghfIrû-istighfârân. Penambahan tiga kata tersebut terkandung makna ṭalabu al-maghfiroh yang artinya meminta ampun.2 Sedangkan secara terminologi (istilah) istighfar adalah memohon ampun. Ampunan bukan hanya untuk menghapuskan dosa akan tetapi sebagai pemeliharaan dari kejahatan dan dosa. Menurut al-Râghib al-Aṣfahânî kata istighfar adalah meminta ampunan dengan ucapan dan perbuatan, karena apabila istighfar hanya sekedar ucapan saja tanpa diiringi perbuatan yang baik maka hal tersebut termasuk pekerjaan pendusta.3

1 Al-Râghib al-Aṣfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur’an, (Beirut: Dar al- Fikr, 2002), h. 374. 2 Al-Râghib al-Aṣfahânî, Mufradât Alfâz al-Qur’an, h. 470-474. 3 Ainul Haris, Kunci-Kunci Rizki Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2002), h. 10.

32

33

Dengan demikian istighfar ialah suatu perkara istimewa yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, supaya manusia termotivasi ke jalan yang benar dan kembali kepada-Nya. Istighfar juga dapat mendatangkan kebaikan dan mencegah kejahatan di dunia maupun di akhirat bagi manusia.4 Memohon ampun sangatlah penting bagi manusia. Bukan karena manusia mempunyai kesempatan untuk berbuat dosa, tetapi karena Allah SWT berulangkali memerintahkan lewat firman-firman-Nya baik dari al-Qur’an maupun lisan utusan-Nya (Rasulullah SAW).5 Seperti dalam al-Qur’an, ِ ِ ﱠِ ِ ِ ِ ِ ۚ ِ ﻗُ ْﻞ َ� ﻋﺒَﺎد َي اﻟﺬ َﻳﻦ أَ ْﺳَﺮﻓُﻮا َﻋﻠَ ٰﻰ أَْﻧـُﻔﺴِﻬ ْﻢ َﻻ َﺗـْﻘﻨَﻄُﻮا ﻣ ْﻦ َر ْﲪَﺔ ﱠاﻪﻠﻟ ◌ إ ﱠن ﱠاﻪﻠﻟَ ِ ﱡ ِ ۚ ِ ِ َﻳـﻐْﻔُﺮ اﻟﺬﻧُ َﻮب َﲨ ًﻴﻌﺎ ◌ إﻧﱠﻪُ ُﻫَﻮ اﻟْﻐَُﻔ ُﻮر ﱠاﻟﺮﺣ ُﻴﻢ

Artinya: “Katakanlah : “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39] : 53).6

Dari definisi istighfar di atas baik menurut etimologi maupun terminologi, penulis dapat mengambil kesimpulan. Bahwa istighfar adalah permohonan ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh manusia. Allah SWT

4 Abdul Hadi, Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al- Nawâwiyyah, h. 15-16. 5 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’an, (Malang; UIN Maliki Press, 2011), h. 87. 6 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 490..

34

akan mengampuni dosa-dosa manusia jika mereka memohon ampun kepada-Nya.

2. Syarat – Syarat Dan Macam-Macam Istighfar a. Syarat – Syarat Istighfar Istighfar yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi syarat-syaratnya. Menurut Yûsuf al-Qardâwî syarat-syarat istighfar, antara lain:7  Niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman: ۤ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۤ ِ َ وَﻣﺎ أُﻣُﺮْ وا إﱠﻻ ﻟَﻴـْﻌﺒُُﺪْا و ﱠٱﻪﻠﻟَ ُﳐْﻠﺼ َﲔ ﻟ َﻪُ ّٱﻟﺪ َﻳﻦ ُﺣَﻨـَﻔﺎ ءَ َوﻳُﻘ ُﻴﻤْ ﻮا ﱠٱﻟﺼﻠَٰﻮةَ َوﻳـُْﺆُﺗـْ ﻮا ۚ ٰ ِ ِ ِ ِ ﱠٱﻟﺰَﻛ ٰﻮةَ ◌ َوذَﻟ َﻚ د ُﻳﻦ ٱ ﻟْ َﻘ ﻴّ َﻤ ﺔ

Artinya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).8

7 Yûsuf al-Qardâwî, Taubat, (al-Taubah ilâ Allah), terj. Abdul Hayyie al Kattani, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), Cet. I. 8 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 766-767.

35

Dan sabda Rasulullah SAW, ِﱠ ِ ِ ِ ِﱠ ِ ٍ إﳕَﺎ اْﻷَ ْﻋَﻤ ُﺎل 䚎ﻟﻨّﻴﱠﺎت َوإﳕَﺎ ﻟ ُﻜ ِّﻞ ْاﻣِﺮئ َﻣﺎ َﻧـَﻮى Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

 Hati dan lidah secara bersamaan melakukan istighfar. Sehingga tidak hanya lidahnya yang berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat. Ibnu Abbas r.a berkata, “orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa sementara ia masih terus menjalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!”. Seorang sufi besar Rabi’ah al-‘Adawiyah r.a berkata, “istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati”. Maksudnya istighfar yang dilakukan dengan kelalaian hati, butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri. b. Macam – Macam Istighfar Berikut ini macam-macam istighfar dari lafaz, diantaranya;9  Lafaz paling utamanya adalah yang dikenal dengan Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yaitu mengucapkan:

9https://aslibumiayu.net/5982-lafadz-lafadz-istighfar-yang-bisa- digunakan-untuk beristighfar.html. Diambil dari artikel berjudul “al-Istighfâr: Fadlâ`iluh, Awqâtuh, Shiyaghuh” karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd oleh Abu Shofiyyah).

36

ِ ِ اﻟﻠﱠُﻬ ﱠﻢ أَﻧْ َﺖ َرِّﰊ ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ أَﻧْ َﺖ َﺧﻠَْﻘﺘَِﲏ َوأََ� َﻋْﺒ ُﺪ َك َوأََ� َﻋﻠَﻰ َﻋْﻬﺪ َك َوَوْﻋﺪ َك ِ ِ ِِ ِ ِ َﻣ ْﺎاﺳﺘَﻄَْﻌ ُﺖ أَﻋُْﻮذُ ﺑ َﻚ ﻣ ْﻦ َﺷِّﺮ َﻣﺎ َﺻَﻨـْﻌ ُﺖ أَﺑـُْﻮءُ ﻟَ َﻚ ﺑﻨْﻌَﻤﺘ َﻚ َﻋﻠَ ﱠﻲ َوأَﺑـُْﻮءُ ﺑ َﺬﻧِْﱯ ِ ِ ِ ﱡ ِ ﻓَ ْﺎﻏﻔْﺮِﱄ ﻓَﺈﻧﱠﻪُ ﻻَ َﻳـﻐْﻔُﺮ اﻟﺬﻧـُْﻮ َب إﻻﱠ أَﻧْ َﺖ

Artinya: “Ya Allâh! Engkaulah Rabbku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain-Mu, Engkaulah Yang menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu, aku berada diatas ikatan dan janji-Mu selama aku mampu, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku buat, aku mengakui kepada-Mu atas nikmat-Mu kepadaku, dan aku juga mengakui kepada-Mu dosa-dosaku; maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau” (HR. Bukhari no. 6306).  Lafaz: ِ ِ (Aku mohon ampun kepada Allah أَ ْﺳَﺘـْﻐﻔُﺮ ﷲ َ اﻟَْﻌﻈْﻴْﻢ SWT yang Maha Agung). .( Lafaz: ِ ِ (Tuhanku, ampuni aku َر ّب ْاﻏﻔْﺮ ِﱄ ﱠ ِِ ِ ِ ِ ﱡ ِ : Lafaz اﻟﻠُﻬﱠﻢ إ ّﱏ ﻇَﻠَْﻤ ُﺖ ﻧـَْﻔﺴﻰ ﻇُْﻠًﻤﺎ َﻛﺜ ًﲑا َوﻻَ ﻳـَْﻐﻔُﺮ اﻟﺬﻧُ َﻮب إﻻﱠ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ أَﻧْ َﺖ ، ﻓَ ْﺎﻏﻔْﺮ ﱃ َﻣْﻐﻔَﺮًة ﻣ ْﻦ ﻋْﻨﺪ َك ، َوْارَﲪِْﲎ إﻧﱠ َﻚ أَﻧْ َﺖ اﻟْﻐَُﻔ ُﻮر ﱠاﻟﺮﺣ ُﻴﻢ Artinya: “Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705). ِ ِ ِ : Lafaz َر ّب ْاﻏﻔْﺮ ِﱄ َوﺗُ ْﺐ َﻋﻠَ ﱠﻲ إﻧﱠ َﻚ أَﻧْ َﺖ ﱠاﻟﺘـﱠﻮ ُاب اْﻟﻐَُﻔْﻮُر، أ َْو ﱠاﻟﺘـﱠﻮ ُاب ِ ﱠاﻟﺮﺣْﻴُﻢ Artinya:“Tuhanku! Ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima

37

taubat lagi Maha Pengampun, (atau) Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”. ِ ﱠِ ِ ِ ِ ِ : Lafaz أَ ْﺳَﺘـْﻐﻔُﺮ ﷲ َ اﻟﺬي ﻻَ إﻟَﻪَ إﻻﱠ ُﻫَﻮ اْﳊَ ﱡﻲ اْ َﻟﻘﱡﻴـْﻮُم َوأَﺗـُْ ﻮ ُب إﻟَْﻴﻪ Artinya: “Aku memohon ampun kepada Allah SWT Yang tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya”

Jika tidak hafal dengan kalimat itu, maka cukuplah dengan ucapan astaghfirullâhal ‘adzim atau rabbighfirlî. Namun perlu diketahui, sesuai mengerjakan istighfar di atas. Rasulullah SAW berkata, ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوَﻣ ْﻦ ﻗَ َﺎﳍَﺎ ﻣ َﻦ ﱠاﻟﻨـَﻬﺎر ُﻣﻮﻗﻨًﺎ 䛬َﺎ ، ﻓََﻤ َﺎت ﻣ ْﻦ َﻳـْﻮﻣﻪ َﻗـْﺒ َﻞ أَ ْن ُﳝْﺴ َﻰ ، َﻓـُﻬَﻮ ﻣ ْﻦ ِ ِ ﱠ ِ ِ ِ أَْﻫ ِﻞ ْاﳉَﻨﱠﺔ ، َوَﻣ ْﻦ ﻗَ َﺎﳍَﺎ ﻣ َﻦ اﻟﻠْﻴ ِﻞ َوْﻫَﻮ ُﻣﻮﻗ ٌﻦ 䛬َﺎ ، ﻓََﻤ َﺎت َﻗـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳُ ْﺼﺒ َﺢ ، ِ ِ َﻓـْﻬَﻮ ﻣ ْﻦ أَْﻫِﻞ ْاﳉَﻨﱠﺔ Artinya: “Barangsiapa membaca istighfar di siang hari dengan penuh keyakinan lalu yang bersangkutan meninggal sebelum petang datang, maka ia termasuk ahli surga. Dan barang siapa membacanya di malam hari dengan penuh keyakinan lalu yang bersangkutan meninggal sebelum subuh datang, maka dia termasuk ahli surga” (HR. Bukhari no. 6306).10

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah istighfar terbagi menjadi dua bagian. Pertama, istighfar mufrad ialah istighfar yang diucapkan dengan lafaz sendiri. Seperti perkataan Nabi Shaleh as dalam al-Qur’an, ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۚ◌ ِ ٰ ﱠ ﻗَ َﺎل َ�َﻗـْﻮم ﱂَ ﺗَ ْﺴَﺘـْﻌﺠﻠُْﻮَن 䚎 ﱠﻟﺴﻴّﺌَﺔ َﻗـْﺒ َﻞ ْاﳊَ َﺴﻨَﺔ ﻟَْﻮَﻻ ﺗَ ْﺴَﺘـﻐْﻔُﺮْوَن ّاﻪﻠﻟَ ﻟََﻌﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗـْﺮ َﲪُْﻮَن

10 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’ân, Jilid II, h. 89-90.

38

Artinya: “Dia (Saleh) berkata, “Wahai kaumku! Mengapa kamu meminta disegerakan keburukan sebelum (kamu meminta) kebaikan? Mengapa kamu tidak memohon ampunan kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat?”. (QS. An-Naml [27]: 46)11

Kedua, istighfar maqrûn bi al-taubah ialah istighfar yang disertai dengan taubah. Seperti perkataan Nabi Syu’aib as dalam al-Qur’an, ِ ۤ ِ ِ ۚ ِ ِ َو ْٱﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْوا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ﺗُﻮﺑـُْﻮا إﻟَْﻴﻪ ◌ إ ﱠن َرِّﰉ َرﺣ ٌﻴﻢ َوُد ٌود Artinya: “Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (QS. Hûd [11] : 90).12

3. Tujuan Dan Manfaat Beristighfar a. Tujuan Beristighfar Manusia beristighfar pasti memiliki tujuan, diantaranya:  Istighfar merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Hamba yang taat adalah hamba yang selalu mohon ampun kepada Allah SWT. Banyak perintah Allah SWT dalam al-Qur’an yang menyuruh hamba-Nya untuk beristighfar.  Istighfar merupakan sebab untuk diampuninya dosa. Sebab turunnya hujan, mendapatkan harta dan anak serta masuknya manusia ke dalam surga. Nabi Nuh berkata

11 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240. 12 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 561-562.

39

ketika mendakwahi kaumnya, sebagaimana firman Allah SWT: ِ ِ ِ ِ َﻓـُﻘْﻠ ُﺖ ْاﺳَﺘـﻐْﻔُﺮوا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ إﻧﱠﻪُ َﻛ َﺎن ﻏَﱠﻔ ًﺎرا . ﻳـُْﺮﺳِﻞ ﱠاﻟﺴَﻤﺎءَ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻣ ْﺪَر ًارا . ِ ِ ٍ ِ ٍ َوُﳝْﺪ ْدُﻛ ْﻢ 䚄َْﻣَﻮال َوﺑَﻨ َﲔ َوَْﳚَﻌ ْﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﺟﻨﱠﺎت َوَْﳚَﻌ ْﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ أَْﻧـَﻬ ًﺎرا Artinya:“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nûh [71]: 10-12).13

 Kekuatan menjadi bertambah dengan istighfar. Allah SWT berfirman, ِ ِ ۤ ِ ِ ِ ۤ ِ َوٰﻳـَﻘْﻮم ْاﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْوا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ُﺗـْﻮﺑـُْ ﻮا اﻟَْﻴﻪ ﻳـُْﺮﺳِﻞ ﱠاﻟﺴَﻤﺎءَ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ّﻣ ْﺪَر ًارا ﱠوﻳَِﺰْدُﻛ ْﻢ ُﻗـﱠﻮًة ِٰ ِ ﱠ ِ اﱃ ُﻗـﱠﻮﺗ ُﻜ ْﻢ َوَﻻ َﺗـَﺘـَﻮﻟْﻮا ُﳎِْﺮﻣَْﲔ

Artinya: “Dan (Hûd berkata): ”Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu taubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (QS. Hûd [11]: 52).14

13 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid. X, h. 390. 14 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 524.

40

 Penyebab mendapatkan kesenganan yang baik. Allah SWT berfirman, ِ ِ ۤ ِ ِ ِ ِٰ ِ ﱠواَن ْاﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْوا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ُﺗـْﻮﺑـُْ ﻮا اﻟَْﻴﻪ ُﳝَﺘّْﻌ ُﻜ ْﻢ ﱠﻣﺘَ ًﺎﻋﺎ َﺣ َﺴﻨًﺎ اﱃ اَ َﺟ ٍﻞ ﱡﻣ َﺴًّﻤﻰ ﱠوﻳـُْﺆت ِ ۗ ِ ﱠ ِ ۤ ٍ ِ ُﻛ ﱠﻞ ذ ْي ﻓَ ْﻀٍﻞ ﻓَ ْﻀﻠَﻪ ُ◌ َوا ْن َﺗـَﻮﻟْﻮا ﻓَﺎِّ ﱐْ اَ َﺧ ُﺎف َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻋ َﺬ َاب َﻳـْﻮم َﻛﺒٍْﲑ

Artinya:“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. ika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11]: 3).15

 Terhindar dari azab Allah SWT. Allah SWT tidak akan mengazab orang yang selalu beristighfar. Dia Allah SWT berfirman, ِ ِ ِ ۚ ِ ِ َوَﻣﺎ َﻛ َﺎن ﱠاﻪﻠﻟُ ﻟُﻴـَﻌ ّﺬَﺑـُﻬ ْﻢ َوأَﻧْ َﺖ ﻓ ِﻴﻬ ْﻢ ◌ َوَﻣﺎ َﻛ َﺎن ﱠاﻪﻠﻟُ ُﻣَﻌ ّﺬَﺑـُﻬ ْﻢ َوُﻫ ْﻢ ﻳَ ْﺴَﺘـﻐْﻔُﺮ َون

Artinya:“Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah SWT akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. Al-Anfâl [8]: 33).16

 Istighfar merupakan kebutuhan seorang hamba. Ia dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT karena mereka selalu berbuat kesalahan sepanjang malam dan

15 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461. 16 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid III, h. 752-753.

41

siang hari. Jadi, bila mereka beristighfar, Allah SWT pasti mengampuni mereka.  Penyebab turunnya rahmat Allah SWT. Rahmat akan turun dengan sebab istighfar. Allah SWT berfirman, ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۖ◌ ِ ﱠ ﻗَ َﺎل َ� َﻗـْﻮم ﱂَ ﺗَ ْﺴَﺘـْﻌﺠﻠُ َﻮن 䚎 ﱠﻟﺴﻴّﺌَﺔ َﻗـْﺒ َﻞ ْاﳊَ َﺴﻨَﺔ ﻟَْﻮَﻻ ﺗَ ْﺴَﺘـﻐْﻔُﺮ َون ﱠاﻪﻠﻟَ ﻟََﻌﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗـ ْﺮ َﲪُ َﻮن

Artinya:“Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah SWT, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. An-Naml [27]: 46).17

 Istighfar merupakan kaffarat (Penghapus dosa) yang dilakukan dalam suatu majlis.  Mengikuti Sunnah Nabi SAW. Seseorang yang melakukannya berarti telah meneladani Nabi SAW, sebab beliau beristighfar di dalam satu majlis sebanyak 70 kali. Dalam riwayat yang lain disebutkan, sebanyak 100 kali. b. Manfaat Beristighfar Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa memohon ampun memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menghilangkan penderitaan, ketakutan, kesedihan, kesulitan, dan penyakit hati. Orang-orang yang biasa melakukan dosa pada gilirannya akan merasakan kebosanan, dan pada saat itulah ada keinginan untuk melakukan dosa-dosa yang lain. Cara menghilangkannya adalah

17 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240.

42

dengan memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya.18 Kalimat istighfar diucapkan dengan penuh keikhlasan untuk memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menganjurkan untuk membaca istighfar setiap saat, agar selalu didekatkan kepada Allah SWT. Apabila mengucapkan istighfar dengan hati yang ikhlas, walaupun hanya satu kali. Maka Allah SWT akan mengampuni pembacanya. Allah SWT selalu mengampuni dosa-dosa hambanya betapapun besar dan banyaknya selama hamba-Nya mau meminta ampunan kepada- Nya.19 Rasulullah SAW menjelaskan fadhilah membaca istighfar, diantaranya:  Mendapat pengampunan dari Allah SWT dan rizki yang tidak terduga.  Menenangkan diri ketika marah.  Mendapatkan jalan keluar dari kesusahan dan kesempitan.  Istighfar tempat berlindung kaum mukminin saat muncul tanda-tanda ancaman Allah SWT yang diciptakan-Nya untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya, seperti gerhana.  Istighfar merupakan obat kekeringan, kemandulan, dan kemiskinan.

18 Su’aib H. Muhammad, 5 pesan al-Qur’ân, Jilid II, h. 236. 19 Kaserun AS. Rahman, Kitab Istighfar, (Tangerang: Anggota IKAPI, 2015), h. 2.

43

 Istighfar, sifat kaum mukmin yang mendapat sanjungan Allah SWT.20  Istighfar akan mendapatkan keturunan yang baik.  Istighfar termasuk satu dari dua hal yang dapat membinasakan setan.  Dengan membaca istighfar seorang hamba akan menjadi sebaik-baiknya manusia.  Allah SWT menghamparkan tangan-Nya siang dan malam bagi orang yang beristighfar.  Istighfar anak akan mengangkat kedudukan orang tua.  Istighfar akan menghapuskan kenistaan-kenistaan lisan dan menyelamatkan dari sifat riya.  Istighfar akan membantu dalam menghafalkan al- Qur’an.21

4. Contoh Ayat Istighfar Penulis mencatumkan tiga contoh dari lafaz istighfar tersendiri. Berikut ayat dan penafsirannya; a. Terkadang Istighfar Juga Bisa Menjadi . Misalnya, istighfar untuk orang kafir. Allah SWT berfirman, ِ ﱠِ ِ ِ ِِ ِ َﻣﺎ َﻛ َﺎن ﻟﻠﻨﱠِِّﱯ َواﻟﺬ َﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا أَ ْن ﻳَ ْﺴَﺘـﻐْﻔُﺮوا ﻟْﻠ ُﻤ ْﺸﺮﻛ َﲔ َوﻟَْﻮ َﻛﺎﻧُﻮا أُ ِوﱄ ُﻗـْﺮَٰﰉ ﻣ ْﻦ ِ ِ َﺑـْﻌﺪ َﻣﺎ َﺗـَﺒـﱠَﲔ َﳍُْﻢ أَﱠﻧـُﻬ ْﻢ أَ ْﺻ َﺤ ُﺎب ْاﳉَﺤ ِﻴﻢ

20 Ismail Al-Muqaddam, Fikih Istighfar, (Jakarta: Geramedia Pustaka Utama, 2016), h. 21-33. 21 Muhammad Arifin Ilham, Dahsyatnya Kekuatan Dzikir dan Sedekah, (Jakarta: Zikrul (Anggota IKAPI, 2017), h. 140-155.

44

Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah SWT) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwsannya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam.” (At- Taûbah [9]: 113).22

Imam al- Nawawî berkata,” Menshalatkan orang kafir dan memohonkan ampun bagi mereka hukumnya haram, berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan ’ ulama.”23 Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menggambarkan orang musyrik yang telah pasti kemusyrikannya baik dia kerabat Nabi ataupun kerabat orang yang beriman, tidak patut Nabi dan orang beriman untuk memohon ampun kepada Allah SWT untuknya. Karena orang musyrik telah menyekutukan Allah SWT.24 Di dalam kitab Tafsir Qurthubi, dijelaskan bahwa (istighfar) memohon ampun untuk orang musyrik itu tidak diperbolehkan. Adapula istighfar di sini diartikan menshalatkan. Sebagian ulama berkata, Aku tidak pernah meninggalkan shalat jenazah atas seorang ahli kiblat, walaupun dia wanita Habasyi yang hamil akibat zina. Karena tidak pernah mendengar Allah SWT melarang kita menshalatkan jenazah kecuali orang-orang musyrik.25

22 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 261. 23 Ismail Al-Muqaddam, Fikih Istighfar, h. 8-9. 24 M. Quraish Shihab, AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), h. 595. 25 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 686-687.

45

b. Nabi Shaleh as Menyuruh Golongan Yang Menolak Ajakannya Untuk Istighfar (Memohon Ampun) Kepada Allah SWT. ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۖ◌ ِ ﻗَ َﺎل َ� َﻗـْﻮم ﱂَ ﺗَ ْﺴَﺘـْﻌﺠﻠُ َﻮن 䚎 ﱠﻟﺴﻴّﺌَﺔ َﻗـْﺒ َﻞ ْاﳊَ َﺴﻨَﺔ ﻟَْﻮَﻻ ﺗَ ْﺴَﺘـﻐْﻔُﺮ َون ﱠاﻪﻠﻟَ ﻟََﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ُﺗـ ْﺮ َﲪُ َﻮن Artinya: “Dia berkata: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat". (QS. An-Naml [27]: 46)26

Menurut Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan tentang kaum Nabi Shaleh as. Ia menyuruh kaumnya untuk menyembah Allah SWT. Ada yang mengikuti ajakannya dan ada yang menolak ajakannya, ini menjadikan kaumnya menjadi dua golongan. Nabi Shaleh mengajak dan menyuruh mereka (golongan yang menolak) memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosa selama mereka perbuat. Supaya mendapatkan rahmat dan karunia dari Allah SWT.27 Menurut Abu Ja’far, hendaklah mereka (kaum yang menolak ajakan Nabi Shaleh as) meminta ampun kepada Allah SWT. Maksudnya adalah mengapa kamu tidak bertaubat kepada Allah SWT atas kekafiran kalian dan tidak mendapat hukuman atas kesalahan besar yang telah dilakukan. Tuhanmu akan

26 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 240. 27 M. Quraish Shihab, AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an, h. 21-22.

46

memberikan rahmat-Nya kepada kalian dengan permohonan ampunan kalian kepada-Nya atas kekafian kalian.28 Dalam kitab tafsir al-Qurthubi, orang musyrik hendaklah bertaubat kepada Allah SWT dari kesyirikan kalian. Dikarenakan mereka mengedepankan kekafirannya yang mengakibatkan siksa dan mereka berkata dengan ingkarnya, siksalah kami.29 c. Memohon Ampun Dari Perbuatan Dosa Dan Bertaubat ِ ِ َﻓـُﻘْﻠ ُﺖ ْاﺳَﺘـﻐْﻔُﺮوا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ إﻧﱠﻪُ َﻛ َﺎن ﻏَﱠﻔ ًﺎرا

Artinya: “Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”. (QS. Nûh [71]: 10)30

Di dalam tafsir ath-Thabari, dijelaskan bahwa Nabi Nuh as menyuruh mereka untuk memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosamu dan bertaubatlah kepada-Nya atas kekufuran dari syirik dan bersikap ikhlas dalam menyembah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun bagi orang yang kembali kepada-Nya dan bertaubat dari dosa-dosanya.31 Di dalam kitab Tafsir Qurthubi, dijelaskan bahwa memohon ampun di sini yakni memohon ampun dari dosa-dosamu yang terdahulu dengan mengikhlaskan keimanan. Dan Allah SWT mendorong mereka agar bertaubat.32

28 Abu Ja’far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 896. 29 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 540-541. 30 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 390. 31 Abu Ja’far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, h. 536. 32 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 278-279.

47

B. Taubat 1. Pengertian Taubat Secara etimologi taubat berasal dari bahasa arab yang diambil dari huruf ta, wau dan ba. Dalam bentuk fi’il sulasi mujarrad yakni tâba, yatûbu, taûbah artinya kembali (al-rujû’)33. Misalnya dalam kalimat, rajâ’a ‘anil-ma’siah artinya kembali dari perbuatan maksiat (telah kembali dari dosanya).34 Adapun maksud taubat kepada Allah SWT adalah pulang kepada-Nya, kembali keharibaan-Nya dan berdiri di depan pintu surga-Nya.35 Sedangkan secara terminologi taubat adalah kembali kepada Allah SWT yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang dengan penuh ketaatan dan ketundukan serta meninggalkan larangan-Nya. Selain itu, taubat diartikan menyesali. Maksudnya menyesali perbuatan yang telah dilakukan seseorang karena ia menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak dan keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, persyaratan penting bagi seseorang yang ingin diampuni dosa dan kesalahannya yaitu melakukan amal kebaikan yang sebelumnya ia tinggalkan dan menyesali perbuatan dosa yang pernah ia lakukan.36 Ada beberapa pendapat tentang pengertian taubat, diantaranya: a. Menurut Syaikh Abdul al-Qâdir Al-Jaîlânî, taubat yaitu kembali dengan penyesalan dan keikhlasan yang semurni-

33 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. h. 211. 34 Ibrahim Anis dkk, al-Mu‘ jâm al-Wasit (Kairo: Majma’ al-Lughah, 1972), h. 90. 35 Yusuf al-Qardhawi, Kitab Petunjuk Tobat Kembali Ke Cahaya Allah, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2000), h. 62. 36 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an, Hunafa. h. 211.

48

murninya dengan disertai penyesalan atas dosa yang telah dilakukan, menjauhi dari dosa yang akan datang, dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang berkaitan dengan lainnya. Kemudian menghiasi taubatnya dengan ketakwaan yang murni kepada Allah SWT sebagai Tuhan.37 b. Menurut Imam al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihya ‘ulumuddin, taubat ialah kembali menempuh jalan yang benar dari jalan yang salah yang telah dilaluinya.38 c. Menurut Quraish Shihab, taubat adalah kembali yaitu kembali pada posisi semula. Kesadaran manusia akan kesalahannya menjadi sebab Allah SWT memperhatikannya dan hal itulah yang menyebabkan manusia bertaubat.39 d. Menurut Hamka dalam Tafsir al Azhar, taubat adalah kembali dari apa yang mulanya dibenci Allah SWT, kepada apa yang diridhoi Allah SWT baik lahir maupun batin.40 e. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah hakikat taubat adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat ini harus berkumpul menjadi

37 Sisa Rahayu. Konsep Taubat Menurut Syaikh Abdul al-Qâdir Al- Jaîlânî Dalam Kitab Tafsir Al-Jaelani, (Skripsi S1 Ushuluddin, UIN WALISONGO, Semarang, 2014). 38 Imam al-Ghazâlî, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1975), h. 851. 39 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Tafsir Maudhu'î atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 216. 40 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 388.

49

satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia akan kembali kepada ubudiyah. Inilah yang disebut hakikat taubat.41 f. Menurut Ibnu Taîmiyyah taubat adalah menarik diri dari sesuatu keburukan dan kembali kepada sesuatu tindakan yang dapat membawa seseorang kepada Allah SWT.42 g. Menurut Harun Nasution, taubat yang dimaksud para sufi ialah taubat yang sesungguhnya, taubat yang tidak akan kembali kepada perbuatan dosa lagi. Selain itu Allah SWT juga telah membuka pintu taubat dengan selebar-lebarnya. Pintu itu akan senantiasa terbuka sampai tampaklah tanda- tanda kiamat kubra (besar) yaitu dengan terbitnya matahari dari sebelah barat.43 Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa taubat ialah kembalinya manusia kepada Allah SWT dengan rasa menyesal dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi dosa atau kesalahan yang pernah dilakukan. Dan agar manusia yang benar-benar mentaati perintah Allah SWT dan menjauhkan larangan-Nya. Taubat sebuah tuntutan dan kewajiban dari Allah SWT kepada semua umat manusia untuk ta’at dan patuh atas segala perintah-Nya. Taubat dilihat dari kacamata sûfî merupakan perhentian awal sebagai perjalanan menuju Allah SWT. Pada tingkat paling dasar, taubat berhubungan dengan dosa yang diperbuat oleh anggota badan. Sedangkan pada tingkat

41 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Majaridus salikin, h.35. 42 Ibnu Taîmiyyah, Memuliakan Diri Dengan Taubat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 15. 43 Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, Manusia Agung pun Menyesal, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004), h. 17.

50

pertengahan selain menyangkut dosa yang dilakukan anggota badan, taubat lebih berkosentrasi pada pangkal-pangkal dosa dan maksiat seperti sifat sombong, dengki, riya’, iri, ujub. Selanjutnya pada tingkatan yang lebih tinggi taubat untuk menghindar dari bujukan setan dan pada tingkatan yang paling tinggi, taubat berarti penyesalan atas kelalaian jiwa dalam setiap langkah selalu mengingat Allah SWT.44 Menurut al-Alûsi (1994:215), perintah bertaubat dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah perintah wajib bagi seluruh umat. Dan dipertegas lagi oleh al-Zuhaili (1990:226) yang mengatakan bahwa taubat itu wajib dan kewajibannya merupakan kewajiban mutlak. Sering dijumpai seseorang baru sadar dan ingin bertaubat, ketika musibah atau bencana telah datang kepadanya, saat ia tidak berdaya lagi dan pada waktu yang sudah terlambat. Akan tetapi, terkadang pula justru bencana sudah datang namun manusia tetap belum kembali dan taat kepada Allah SWT. Bahkan tampak semakin jauh dari-Nya, seperti keadaan jahiliyah moderen. Jahiliyah moderen sering beranggapan penyebab bencana adalah karena hukum alam. Semua kejadian di dunia hanya dihubungkan dengan sebab, tidak dihubungkannya dengan rabbul asbab (Tuhannya). Seperti, penggundulan hutan atau erosi tanah yang menyebabkan pendangkalan sungai. Terjadi gempa, mereka berkata karena pergeseran lempengan batu. Apabila terjadi kebakaran, mereka berkata karena sambungan pendek listrik, dan

44 Rosihan Anwar dan Muhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h.71-72.

51

seterusnya. Padahal semua yang disebutkan itu, jika direnungkan dan dihayati secara sungguh-sungguh, sebab-sebab itu untuk menguji keimanan seseorang. Apakah yakin kepada kekuasaan Allah SWT atau yakin kepada ciptaannya. Jahiliyah moderen tidak menyadari, bahwa penyebab utama dari semua bencana adalah disebabkan kemurkaan Allah SWT, akibat perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia sendiri.45 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa taubat merupakan kewajiban mutlak bagi semua orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, karena manusia pada dasarnya secara alamiyah, identik dengan kesalahan dan dosa. Sebagaimana kata pepatah manusia dinamai manusia karena sifatnya yang lalai.46 2. Syarat - Syarat Dan Macam-Macam Taubat a. Syarat – Syarat Taubat Jika kesalahan atau dosa itu terjadi antara manusia dan Allah SWT, serta antara manusia dengan manusia maka taubatnya harus memenuhi empat syarat, yaitu :  Harus menghentikan maksiat.  Harus menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.  Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali.  Apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya, yakni menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya

45 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. h. 215-216. 46 M. Sadik, Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. h. 213.

52

atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya.47 Selain itu ada syarat lain yang berhubungan dengan sesama manusia, yaitu pertama, kalau menuduh atau memfitnah orang lain, segeralah meminta maaf. Kedua, kalau dia diperguncingkan di belakangnya, akuilah kesalahan itu terus terang dan minta maaflah.48 Menurut Imâm Nawâwî, sebagaimana yang ia sebutkan dalam kitab al-Adzkâr, ada beberapa syarat yang harus kita penuhi agar taubatnya diterima Allah SWT, diantaranya:49  Harus ada rasa penyesalan (Nadâmah) dalam hati atas perbuatan dosa yang telah dilakukannya.  Berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat.  Memperbanyak istighfar sebagai bentuk permohonan maaf kepada Allah SWT. Nabi SAW, setiap harinya beristighfar tidak kurang dari 70 kali. Padahal beliau sudah mendapat kepastian ampunan dari Allah SWT.  Berusaha menghindari atau meninggalkan lingkungan yang memicu dan memacu berbuat maksiat dan dosa. Sebab sebagaimana pun juga lingkungan pergaulan sangat kuat pengaruhnya.  Jika perbuatan dosa yang kita lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita wajib memohon kehalalan atau

47 Muhammad Fadholi, Keutamaan Budi Dalam Islam, (Surabaya : Al- Ikhlas, tt), h. 387. 48 Hamka, Tafsir al-Azhar, cet ke 1, Juz 28, h.315. 49 Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), h. 53-56.

53

mengembaikan kepada orang yang bersangkutan. Sebab Allah SWT tidak menerima taubat seseorang yang berbuat dzalim kepada saudaranya, hingga ia minta maaf kepadanya. b. Macam – Macam Taubat Banyak ulama sûfî mengkategorikan taubat. Ada yang berpendapat tiga, ada juga yang berpendapat dua. Menurut Hasyim Muhammad dalam tradisi tasawwuf, taubat dikategorikan dalam tiga tingkatan.50  Taubat Bagi Kalangan Awwâm Yakni taubat pada tingkatan yang paling dasar. Seseorang yang melakukan taubat dituntut untuk memenuhi persyaratan paling minimal, yaitu menyesali perilaku kesalahan yang telah dilakukan dengan sepenuh hati, serta meninggalkan perilaku kesalahan tersebut untuk selama-lamanya. Lebih dari itu juga harus diikuti dengan keyakinan untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.  Taubat Dari Yang Baik Menuju Yang Lebih Baik Seorang yang bertaubat pada tingkatan ini, dituntut untuk kembali dari perbuatan yang baik menuju yang terbaik. Dalam dirinya ada semangat untuk senantiasa meningkatkan kadar kebaikan dan ketaatannya untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih taat lagi.

50 Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), h. 30-31.

54

 Taubat Dari Yang Terbaik Menuju Kepada Allah SWT Pada tingkatan ini seseorang yang bertaubat akan berbuat yang terbaik dengan tanpa motivasi apapun kecuali karena Allah SWT dan untuk Allah SWT. Seseorang pada tingkatan ini secara otomatis mencapai derajat wara’. Menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jaîlânî tingkatan taubat terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 51  Taubat Bagi Kalangan Awwâm Yaitu berusaha meninggalkan perbuatan dosa dan masuk ke dunia yang penuh dengan amal saleh melalui zikir kepada Allah SWT, meninggalkan godaan hawa nafsu, dan beramal saleh. Ia harus meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT dan melakukan segala yang diperintahkan-Nya.  Taubat Mukmin Sejati Yakni hamba Allah SWT yang sebenarnya, berbeda dengan orang awwâm. Mereka berada ditingkatan hikmah dan makrifat tentang ketuhanan. Suatu peringkat yang lebih tinggi kedudukannya daripada keadaan yang paling tinggi dalam peringkat orang awwâm.

51 ‘Abd al-Qâdir al-Jaîlânî, Rahasia ṣufî Syaikh ‘Abd al-Qâdir al- Jaîlânî, terj. Abdul Majid, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2010), h. 79.

55

3. Tujuan Dan Manfaat Bertaubat a. Tujuan Bertaubat Bagi orang yang pernah melakukan dosa, perbuatan taubat bertujuan mengembalikan diri ke jalan yang benar setelah melakukan penyimpangan dari jalan Allah SWT atau mengembalikan diri ke jalan yang diridhai Allah SWT setelah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tuntunan Allah SWT. Perbuatan taubat pada umumnya selalu dikaitkan dengan dosa yang dilakukan sebelumnya. Bagi orang yang merasa tidak melakukan kesalahan, perbuatan taubat bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran agar selalu patuh terhadap perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas iman, serta menjadi upaya meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT, kesemuanya itu akan meningkatkan perolehan pahala dari Allah SWT. Taubat sebuah perbuatan yang sangat terpuji yang tidak hanya menjadi jalan untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi juga menjadi sarana peningkatan iman dan kedekatan diri kepada Allah SWT. Taubat dasarnya harus dilakukan kapan saja, baik berdosa ataupun tidak, merasa menyimpang dari jalan yang benar atau tidak dan dalam keadaan apa pun perbuatan taubat harus senantiasa dilakukan.52 Ada beberapa tujuan taubat, diantaranya:  Penghapusan Dosa Dan Untuk Mendapat Surga Allah SWT

52 Ahmad Thib Raya, Hakikat Taubat, (Jakarta: 2007), h. 1-2.

56

Tujuan yang paling penting adalah untuk mendapat ampunan dari Allah SWT dan mendapat anugerah yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada orang yang benar-benar bertaubat kepadanya yaitu mendapat surga Allah SWT.  Menggantikan Keburukan Dengan Kebaikan  Mengalahkan Musuh Yang Abadi Untuk mengalahkan musuh yang abadi bagi manusia, yaitu setan. Ia telah disumpah di hadapan Allah SWT. Kata setan “Aku benar-benar akan menyesatkan Bani Adam as dan memperdayai mereka”.  Mengalahkan Bisikan Nafsu Yang Menyuruh Kepada Keburukan Untuk mendapat kemenangan bagi orang yang bertaubat adalah mengalahkan hawa nafsu yang bersemayam di hati nurani dirinya dan yang selalu mendorongnya. Sebab sesuatu dengan naluri yang sudah tersusun di dalam dirinya, akan kecenderungan untuk mendekati keburukan, kedurhakaan, malas mengerjakan kebaikan dan ketaatan. Di dalam al-Qur’an disebut dengan istilah Ammarah bis-su’,53 b. Manfaat Taubat Bertaubat dapat mendatangkan manfaat baik di dunia dan akhirat, baik berupa rohani dan materi, akhlak dan amal, individual dan sosial, diantaranya;  Penghapusan Keburukan Dan Masuk Surga Manfaat yang paling penting ialah mendapatkan ampunan dan menuju ke surga.

53 Yûsûf al-Qardhâwî, Taubat, h. 204.

57

 Memperbarui Iman Efektifitasnya untuk memperbarui iman orang yang bertaubat dan memperbaiki dirinya setelah dia mengerjakan kesalahan. Kesalahan yang dilakukan orang muslim telah menodai imannya dan menciptakan luka baik besar maupun kecil terhadap jiwanya.  Taubat Dapat Menghapuskan Segala Dosa Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa siapapun yang ber-taubat dengan sebenar-benarnya kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosa orang tersebut.  Taubat Dapat Mengganti Keburukan Menjadi Kebaikan Inilah salah satu kemurahan Allah SWT terhadap hamba- Nya yang tidak pernah berputus asa dari mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Dia berkenan untuk menjadikan taubat sebagai alat ganti keburukan menjadi kebaikan.  Taubat Dapat Mensucikan Hati Dosa itu diibaratkan noda. Ketika seseorang melakukan dosa maka di dalam hatinya akan terkumpul noda. Taubat itulah yang mampu mensucikan. Orang yang bertaubat dengan sebenar- benarnya niscaya hatinya akan menjadi suci.  Taubat Dapat Menjadikan Hidup Menjadi Tenang Dan Damai Orang yang mengakui kesalahan-kesalahannya dan dengan sebenar-benarnya, maka hatinya akan menjadi tenang. Itulah salah satu alasan mengapa Allah SWT memerintahkan kita untuk segera melakukan taubat ketika menyadari baru saja melakukan kesalahan.

58

 Taubat Dapat Mendatangkan Banyak Rezeki Dan Kekuatan Berkenan dengan taubat dapat mendatangkan banyak rezeki dan kekuatan.  Taubat Menjadi Sebab Keberuntungan Dunia Dan Akhirat Orang yang tidak mau bertaubat pasti akan celaka. Sementara orang yang mau bertaubat, menyesali kesalahannya, dan segera kembali kepada-Nya dengan banyak melakukan perbuatan saleh. Maka dia, orang yang beruntung.54 4. Contoh Ayat Taubat dalam al-Qur’an Penulis hanya mencantumkan tiga ayat saja yang berkaitan dengan lafaz taubat saja di dalam al-Qur’an. Berikut ayat-ayat dan penafsirannya; a. Allah SWT Mengampuni Dosa Manusia Bagi Orang Yang Bertaubat ِ ِ ِﱠِ ِ ٍ ِ ِٰ إﱠﳕَﺎ ﱠاﻟﺘـْﻮﺑَﺔُ َﻋﻠﻰ َ ﱠاﻪﻠﻟ ﻟﻠﺬ َﻳﻦ َﻳـْﻌَﻤﻠُ َﻮن ﱡاﻟﺴﻮءَ ﲜََﻬﺎﻟَﺔ ُﰒﱠ َﻳـﺘُﻮﺑُ َﻮن ﻣ ْﻦ ﻗَِﺮ ٍﻳﺐ ﻓَﺄُوﻟَﺌ َﻚ ۗ ِ ِ َﻳـﺘُ ُﻮب ﱠاﻪﻠﻟُ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ ◌ َوَﻛ َﺎن ﱠاﻪﻠﻟُ َﻋﻠ ًﻴﻤﺎ َﺣﻜ ًﻴﻤﺎ

Artinya: “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An- Nisâ’ [4]: 17).55

54 TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Islâm, Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 465-475. 55 Bahrun Abubakar, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 320.

59

Menurut Quraish Shihab mengenai ayat di atas, sesungguhnya taubat disisi Allah SWT yakni penerimaan taubat yang diwajibkan Allah SWT atas diri-Nya sebagai salah satu bukti rahmat dan anugerah-Nya kepada manusia. Mereka yang melakukan dosa, baik dosa kecil ataupun dosa besar. Lalu mereka taubat sebelum berpisahnya ruh dari jasad, maka Allah SWT akan menerima taubatnya. Allah SWT akan menerima taubat manusia yang benar-benar tulus mengerjakan taubatnya.56 b. Sekelompok Orang Musyrik Yang Ingin Insaf Atas Kesalahan (Dosa) Yang Pernah Dilakukannya ِﱠ ِ ِ ِٰ ِ ِ ِِ ٍ ۗ◌ إﻻ َﻣ ْﻦ 庎َ َب َو َآﻣ َﻦ َوَﻋﻤ َﻞ َﻋَﻤًﻼ َﺻﺎﳊًﺎ ﻓَﺄُوﻟَﺌ َﻚ ﻳـُﺒَّﺪ ُ ل ﱠاﻪﻠﻟُ َﺳﻴّﺌَﺎ廬 ْﻢ َﺣ َﺴﻨَﺎت ِ َوَﻛ َ ﺎن ﱠاﻪﻠﻟُ ﻏَُﻔ ًﻮرا َرﺣ ًﻴﻤﺎ

Artinya:“Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh maka kejahatan mereka akan diganti Allah SWT dengan kebajikan. Dan adalah Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Furqân [25]: 70)57

Dalam tafsir al-Mishbah, bertaubat di sini diartikan ialah menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya, memohon ampun kepada Allah SWT, serta mengamalkan amal saleh yang sempurna. Dengan kesemua hal itu mereka diampuni oleh Allah SWT, sehingga terbebas dari ancaman dan diganti dosa-dosanya dengan kebajikan. Ada ulama yang berpendapat bahwa taubat pertama yang diterima oleh Allah SWT akan

56 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 357. 57 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 42-43.

60

menghapus dosa. Namun, orang yang bersalah takut Allah SWT belum menerima taubatnya. Lalu dia taubat kedua kalinya, maka taubat itu dicatat sebagai amal shaleh.58 Sedangkan dalam al- Lubâb, dalam ayat ini mengacu ke ayat sebelumnya. Yang mana dijelaskan orang yang sadar melakukan dosa seperti syirik, membunuh manusia yang diharamkan Allah SWT maka akan mendapatkan sanksi berupa siksa pada hari Kiamat dalam keadaan terhina. Kecuali orang yang bertaubat kepada Allah SWT dengan keimanan yang benar dan tulus serta mengamalkan amal saleh. Maka mereka terbebas dari ancaman siksa, bahkan dosa-dosa mereka diganti oleh Allah SWT dengan kebajikan.59 Menurut al-Qurthubi, bahwa Allah SWT tidak menutup kemungkinan untuk menggantikan kejahatan dengan kebajikan apabila taubat seseorang itu benar.60 Sebagaimana dalam hadits dari Nabi SAW kepada Mu’adz, ِ ِ َﻋ ْﻦ أَِﰊ ذَ ّر ُﺟ ْﻨ ُﺪ ْب ﺑْ ِﻦ ُﺟﻨَ َﺎدةَ َوأَِﰊ َﻋْﺒﺪ ﱠاﻟﺮ ْﲪَ ِﻦ ُﻣَﻌﺎذ ﺑْﻦ َﺟﺒٍَﻞ َرﺿ َﻲ ﷲُ ِ ِ ﱠ ِ ﱠ ِ ِ َﻋْﻨـُﻬَﻤﺎ َﻋ ْﻦ َر ُﺳْﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠ َﻢ ﻗَ َﺎل : اﺗﱠِﻖ ﷲَ َﺣْﻴـﺜَُﻤﺎ ُﻛْﻨ َﺖ، َوأَﺗْﺒ ِﻊ ِ ِ ِ “ ﱠاﻟﺴﻴّﺌَﺔَ ْاﳊَ َﺴﻨَﺔَ َﲤْ ُﺤَﻬﺎ، َوَﺧﺎﻟِﻖ اﻟﻨﱠ َﺎس ﲞُﻠٍُﻖ َﺣ َﺴ ٍﻦ

Artinya: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” [HR. Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153.

58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 537-539. 59 M. Quraish Shihab, AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an, h. 662-663. 60 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 189.

61

Sa‘id Hawwa menjelaskan bahwa makna taubat dalam ayat ini adalah al-taubah al-nasuha. Dengan ini, maka Allah SWT akan memberikan taufiq kepada mereka yang taubat untuk selalu melakukan amal baik sebagai pengganti kejahatan sebelumnya. Selain itu, dengan taubat yang murni ini maka dapat merubah kejahatan menjadi kebaikan. Makna taubat dari penafsiran Sa‘id Hawwa di atas adalah taubat yang bersih dari hati pelakunya, sehingga taubat demikianlah yang bisa menghapus dosa-dosa yang pernah diperbuat. Taufiq bagi para sûfî merupakan anugerah yang diperoleh oleh orang yang berhati suci sehingga perbuatannya mendapat bimbingan Tuhan. Sehubungan dengan ini, Sa‘id Hawwa menambahkan bahwa taubat harus diiringi dengan amal saleh. Amal saleh sebagai realisasi dari taubat. Dengan demikian kejahatannya betul–betul hapus dan berganti dengan kebaikan hanya dengan taubat yang murni.61 c. Taubat Dengan Semurni-Murninya Taubat ﱠِ ِ ِ ِ َ� أَﻳـﱡَﻬﺎ اﻟﺬ َﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا ﺗُﻮﺑُﻮا إَ ﱃ ﱠاﻪﻠﻟ َﺗـْﻮﺑَﺔً ﻧَ ُﺼ ًﻮﺣﺎ َﻋ َﺴ ٰﻰ َرﺑﱡ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ﻳُ َﻜّﻔَﺮ َﻋْﻨ ُﻜ ْﻢ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ َﺳﻴّﺌَﺎﺗ ُﻜ ْﻢ َوﻳُْﺪﺧﻠَ ُﻜ ْﻢ َﺟﻨﱠﺎت ﲡَِْﺮي ﻣ ْﻦ َﲢْﺘَﻬﺎ ْاﻷَْﻧـَﻬ ُﺎر َﻳـْﻮَم َﻻ ُﳜْ ي ِﺰ ﱠاﻪﻠﻟُ اﻟﻨﱠِ ﱠﱯ ﱠِ ۖ ِ ِِ ِ َواﻟﺬ َﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا َﻣَﻌﻪُ ◌ ﻧ ُ ُﻮرُﻫ ْﻢ ﻳَ ْﺴَﻌ ٰﻰ َﺑـَْﲔ أَﻳْﺪ ِﻳﻬ ْﻢ َو䚄َِْﳝَﺎ� ْﻢ َﻳـُﻘﻮﻟُ َﻮن َرﺑـﱠﻨَﺎ أَْﲤ ْﻢ ﻟَﻨَﺎ ِ ۖ◌ ِ ٍ ِ ﻧُ َﻮرَ� َو ْاﻏﻔْﺮ ﻟَﻨَﺎ إ ﻧﱠ َﻚ َﻋ ﻠَ ٰﻰ ُﻛ ِّﻞ َﺷ ْﻲ ء ﻗَﺪ ﻳ ٌﺮ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah SWT dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,

61 Sa‘id Hawwa, al–Asas fī at–Tafsîr , jilid. 10,(Kairo: Dar as-Salam, 2003), h. 3879.

62

pada hari ketika Allah SWT tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At- Taḥrîm [66]: 8).62

Dalam tafsir ath-Thabari mengenai ayat ini, bahwasannya orang yang bertaubat ialah orang yang kembali ke jalan yang benar dengan meninggalkan dosa selama-lamanya dan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.63 Semoga Allah SWT menghapuskan kesalahan kalian yang telah lalu dan memasukan kalian ke surga. Kata waghfir dalam ayat ini, diartikan tutuplah dosa-dosa kami dan jangan cemarkan kami dengan siksa-Mu. Dalam Tafsir al-Qurthubi, taubat di sini banyak yang berpendapat, salah satunya menurut al-Kalbi, taubat nasuha adalah penyesalan dengan hati, permohonan dengan lidah, meninggalkan dosa, dan yakin bahwa dia tidak akan kembali berbuat dosa.64

62 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid X, h. 223-224. 63 Abu Ja’far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, h. 249-255. 64 Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 754.

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AL-ALÛSI TERHADAP LAFAZ ISTIGHFAR YANG DISEBUTKAN BERSAMAAN DENGAN LAFAZ TAUBAT DALAM SURAH HUD

Dari sekian banyak surah dan ayat di dalam al-Qur’an penulis menemukan beberapa ayat yang berkaitan dengan lafadz istighfar bersamaan dengan lafadz taubat, diantaranya sebagai berikut:1 No. Nama Surat Ayat 1 An- Nisâ’ [4] 64 2 Al- Mâ’idah [5] 74 3 Al- An‘âm [6] 54 4 Al- A‘râf [7] 153 5 At- Taûbah [9] 5, 27, 102 6 Hûd [11] 3, 52, 61, 90 7 An- Nahl [16] 119 8 Tâhâ [20] 82 9 An- Nûr [24] 5 10 Al- Furqân [25] 70 11 Al- Ahzâb [33] 24, 73 12 Gâfir [40] 3, 7 13 At- Taḥrîm [66] 8 14 Al- Muzammil [73] 20 Jumlah 14 21

1 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu‘jâm Mufahrâs li al-Fâẓ al- Qur’ân al-Karîm,

63

64

Dari kumpulan ayat di atas, ditemukan ayat yang membahas tentang istighfar yang disebutkan bersamaan dengan taubat dalam satu ayat berjumlah 21 ayat dari 14 surat. Penulis membatasi hanya 4 ayat saja untuk dijadikan penelitian penulis, yakni dalam surat Hûd ayat 3, 52, 61, dan 90.

A. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 3 1. QS. Hûd [11] Ayat: 3 ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۤ ِ َوأَن ْٱﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْ وا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ﺗُﻮﺑـُ ْ ﻮا إﻟَْﻴﻪ ُﳝَﺘّْﻌ ُﻜ ْﻢ ﱠ ﺎﻣﺘ َ ًﻋﺎ َﺣ َﺴﻨًﺎ إَٰ ﱃ أ َ َﺟ ٍﻞ ﱡﻣ َﺴ ًّﻤ ﻰ َو ﻳ ـ ُ ْ ﺆ ت ِ ۖ ِ ﱠ ِ ٍ ِ ُﻛ ﱠﻞ ذى ﻓَ ْﻀٍﻞ ﻓَ ْﻀﻠَﻪ ۥُ ◌ َوإ ْن َﺗـَﻮﻟْﻮا ﻓَﺈِّﱏ أَ َﺧ ُﺎف َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻋ َﺬ َاب َﻳـْﻮم َﻛﺒ ٍﲑ

Artinya: “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hûd [11] : 3).2

2. Penafsiran Al-Alûsi Terhadap QS. Hûd [11] Ayat: 3 Dan firman Allah swt: wa anistaghfirû rabbakum itu menjadi ‘athaf atas allâ ta’budû illâallah, dalam ayat sebelumnya, yang berarti nahyi (larangan) atau nafi (meniadakan). Pada an itu mashdariyyah yang bisa disambung dengan amar (perintah) dan nahyi (larangan), sebagaimana juga

2 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 461.

65

bisa disambung selain dari keduanya. Dan pada menyelangi (meletakkan) jumlah innanî lakumminhu dst, diantara dua jumlah yang saling berkaitan itu ada sesuatu yang tidak tersamar dari sebuah isyarat tentang ketinggian keadaan tauhid dan terangkatnya derajat Nabi SAW. Dan sungguh dijaga pada mendahulukan indzar (peringatan) atas tabsyir (kabar), mendahulukan nafi (ketiadaan) atas itsbat (ketetapan), dan mendahulukan takhliyah (pengosongan) atas tahliyah (pengadaan) supaya saling memberikan jawaban oleh masing masing sisi. Menunjukkan atas sifat ketuhanan untuk memantapkan bagi orang yang diajak bicara dan memberi petunjuk untuk mereka kepada jalur memohon dalam meminta, memberi pilihan tentang memberi kesenangan dan mendatangkan kelebihan (karunia). Dan firman Allah SWT, Tsumma tûbû ilaîhi menjadi ‘aṭaf atas istaghfirû dan diperselisihkan tentang taujih (pengarahan) atas kata tsumma diantara dua kata tersebut, bahwasanya istighfar dan taubat itu semakna dalam ‘. Berkata al-Jubba’iy: Sesungguhnya yang dikehendaki dengan istighfar di sini adalah taubat dari segala dosa yang sudah terjadi, dan yang dikehendaki dengan taubat adalah istighfar dari segala dosa yang akan terjadi setelah terjadinya nanti. Artinya beristighfarlah kalian kepada Tuhan kalian dari segala dosa yang sudah kalian kerjakan kemudian taubatlah kalian kepada-Nya dari segala dosa yang akan kalian kerjakan. Maka kata tsumma atas zohirnya bermakna terlambat dari segi waktu. Dan al-Farra’

66

berkata, sesungguhnya tsumma itu bermakna wawu, sebagaimana pada perkataan penyair: 䛬ﺰ ﻛﻬﺰ اﻟﺮدﻳﲏ * ﺟﺮى ﰲ اﻷ�ﺑﻴﺐ ﰒ اﺿﻄﺮب

‘Athaf yang dimaksud di sini adalah ‘athaf tafsir. Dan dikatakan: kami tidak terima bahwa istighfar itu adalah taubat. Akan tetapi istighfar itu adalah meninggalkan maksiat dan taubat itu kembali kepada taat. Jika keduanya itu semakna, maka tsumma di sini bermakna terlambat dalam urutan. Yang dikehendaki dengan taubat ialah ikhlas dalam bertaubat dan berkelanjutan (konsisten) atas taubatnya. Makna ini dipilih oleh pengarang kitab al-faraid. Sebagian ulama tahqiq mengatakan: istighfar itu adalah taubat, tapi yang dimaksud dengan taubat yakni sebagai yang di-‘athaf-kan bersambung kepada tujuan. Dan kata tsumma secara zohirnya menjadi indikasi atas yang demikian itu. Dapat diketahui bahwa asal makna istighfar adalah menuntut ampunan, artinya tutupan dan makna taubat adalah kembali. Kata pertama yang disebutkan ialah istighfar, untuk menuntut tutupan dosa dari Allah SWT dan ampunan dari-Nya. Kata yang kedua ialah taubat, untuk menyesal atas dosa serta bertekad untuk tidak kembali lagi. Maka tidak ada persamaan diantara keduanya, dan tidak saling berkaitan secara akal. Akan tetapi, secara syar’i untuk mengesahkan permintaan itu dan diterimanya (istighfar), yaitu menyesal atas dosa dan bertekad untuk tidak kembali kepada dosa. Datang pula penggunaan

67

(makna) yang pertama pada yang kedua, ini menjadi jelas tentang perlunya mentaujihkan ‘athaf. Adapun atas yang demikian itu, maka jelas yang dimaksud dari istighfar yang diperintah itu adalah istighfar yang didahulukan dengan taubat yang artinya menyesal. Maka seakan- akan dikatakan: beristighfarlah kalian kepada Tuhan kalian setelah menyesal kemudian taubatlah (kembalilah) kalian kepadanya. Dan ini lebih cenderung untuk memaknai yang kedua itu dengan ikhlas dalam bertaubat dan berkelanjutan atas taubat. Taubat itu boleh jadi maknanya lambat dari segi urutan atau dari segi waktu, sebagaimana yang sudah dijelaskan. Yumatti`kum matâ`ân itu di-jazam-kan dengan tholab (menuntut) dan nashab, matâ`ân itu menjadi maf’ul muthlaq dari selain lafaznya, seperti firman Allah SWT dalam surah Nuh: 17. Boleh jadi itu menjadi maf’ul bih atas isim (nama) bagi sesuatu yang bisa dimanfaatkan seperti pada harta, anak, dan lainnya. Sebagaimana dikatakan yaitu Dia memberi kehidupan kamu dalam rasa aman dan râḥah (tenang). Mungkin hal ini tidak menafikan keadaan dunia sebagai penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir, tidak menafikan pula keadaan manusia yang paling pedih ujiannya itu bertingkat-tingkat. Karena yang dimaksud dengan aman adalah amannya dia dari selain Allah SWT, “dan siapa orang yang bertawakal kepada Allah SWT niscaya Allah SWT cukupkan keperluannya” (At Thalâq: 3). Dan yang dimaksud dengan râḥah adalah baik kehidupannya dengan penuh pengharapan kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya hingga dia menganggap cobaan

68

sebagai pemberian. Penyiksaan kalian terhadapku itu manis untukku dan penindasan kalian atasku dengan sebab tuntutan bagi kalian itu sebuah keadilan. Berkata az-Zajjaj, Dia mengekalkan kalian dan tidak mendatangkan untuk kalian dengan azab, sebagaimana Dia datangkan kepada penduduk kampung yang kafir. Dan khitob ini diarahkan untuk seluruh umat dengan memutuskan pandangan dari setiap individu. IIâ ajalim musamma ditentukan di sisi Allah SWT, yaitu akhir umur kalian atau akhir dunia (kiamat), sebagaimana faham dari ucapan az-Zajjaj. Tidak ada petunjuk pada ayat ini, bahwa manusia itu memiliki dua ajal seperti yang disangka oleh kelompok mu’tazilah. Wayu`ti, artinya memberi. Kulla dzî faḍli artinya tambahan pada amal sholeh. Faḍlahu artinya balasan dari tambahannya di dunia atau di akhirat, karena sesungguhnya amal itu tidak diberikan. Dan kadang dikatakan: tidak perlu untuk mentakdirkan mudhof, maksudnya adalah batasan. “Kelak Allah SWT akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka” (Al-An’am:139). Dan dhomir (kata ganti) itu kembali kepada lafaz kulla, boleh juga kembali kepada Rabb. Yang dimaksud dengan faḍl yang pertama adalah apa yang dikehendaki pada pertama kali, dan dengan faḍl yang kedua adalah tambahan pahala dengan petunjuk, bahwasanya pemberian itu adalah pahala dan itu cukup dari ta’wil. Dan sebagian ulama tahqiq memilih akan tafsiran yang pertama, kemudian dia berkata: ini adalah penyempurnaan bagi apa yang global (penjelasannya) tentang pemberian kesenangan

69

hingga waktu yang ditentukan. Penjelasan yang mungkin sulit dipahami tentang hakikatnya, mengenai keadaan orang yang beramal. Maka mungkin saja ada orang yang memiliki kelebihan dalam ketaatan dan beramal, tapi tidak diberi kesenangan di dunia sebanyak kesenangan yang diberikan kepada orang lain (yang sedikit amalnya). Bisa jadi yang diberi kelebihan itu diberikan kesenangan lebih banyak di akhirat kelak. Maka setiap orang yang memiliki kelebihan amal akan dibalasan adakalanya di dunia dan adakalanya di akhirat. Dan hal yang demikian ini tidak ada keraguan di dalamnya. Bahwasanya Allah SWT memberi nikmat di dunia dan di akhirat kepada orang yang memiliki kelebihan (amalnya). Tidak ada keraguan bahwa setiap orang yang memiliki amal sholeh itu akan diberi nikmat di akhirat sesuai dengan apa yang Allah SWT ketahui dari amalannya. Begitu juga di dunia, dengan menghiasi amal sholeh itu di dalam hatinya terdapat râḥah (tenang) sesuai dengan ketergantungan harapannya kepada tuhannya. Tidak ada ke-musykil-an pada masalah ini, sebagaimana telah jelas bagi orang yang mau merenung. Dan dikatakan: dalam ayat ini ada laf dan nasyr, sesungguhnya memberikan kesenangan itu tersusun atas istighfar, dan memberikan karunia itu tersusun atas taubat. Dari apa yang telah diuraikan, maka pada pembahasan ini ada perincian dari yang global tentang pembahasan bisyaroh (kabar gembira) kemudian Allah SWT menjelaskan tentang indzar (peringatan) dengan firman-Nya: wain tawallaû artinya jika kalian terus-menerus menentang apa yang Aku berikan kepada kalian dari tauhid, istighfar, dan taubat. Kata asalnya

70

tatawallaû yaitu fi’il mudhori’ yang dimulai dengan ta’ khitob dan dibuang salah satu dari dua ta’, sebagaimana dilakukan pada banyak contoh. Ada juga yang mengatakan, bahwa tawallaû itu fi’il madhi untuk ghaib, maka tidak ada (huruf) yang dibuang, dan ditakdirkan pada setelahnya kalimat faqul lahum wahum khilaf ẓâhir, dan ini membelakangkan indzar atas bisyaroh karena memberlakukan atas ketentuan mendahulukan rahmat atas murka, atau karena azab itu sungguh digantungkan dengan berpalingnya (seorang hamba) daripada tauhid, dan selainnya. Dan hal demikian itu menuntut untuk didahulukan penyebutannya. ‘Isa bin ‘Amar dan al-Yamany membacanya dengan tuwalû, dhommah ta’, dan fathah wawu, dan dhommah lam, yaitu fi’il mudhori’, dari kata walâ dari ucapan mereka: yang memiliki arti membelakangi (mundur). Fainnî akhâfu ‘laîkum artinya dengan tuntutan kasih sayang, dan kelembutan, atau aku khawatir. ‘dzâba yaûmin kabîr yaitu hari kiamat. Disebut demikian, karena besarnya kejadian yang ada pada hari itu. Karena itu juga disebut juga dengan tsiqol (berat). Dia membolehkan penyebutan hari kiamat dengan besar karena keadaan hari kiamat memang benar-benar besar. Dan dikatakan, yang dimaksud adalah masa di mana Allah SWT menguji mereka di dunia. Mereka diuji dengan kemarau panjang di mana mereka memakan bangkai. Dari uraian ini, maka dalam penyandaran azab kepada hari kiamat adalah untuk mengagetkan dan mengejutkan mereka.3

3 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h.194-195.

71

3. Analisis Terhadap Penafsiran Al-Alûsi Ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni supaya kamu tidak menyembah selain kepada Allah SWT. Manusia diperintahkan untuk menyembah hanya kepada Allah SWT semata dan dilarang menyekutukannya. Jika manusia sudah terlanjur berbuat yang demikian. Maka segeralah istighfar kemudian taubat kepada Allah SWT. Kata istighfar dan taubat dalam kutipan di atas, menurut penafsiran al-Alusi bahwa keduanya semakna dalam ‘urf. Hal ini penulis tidak setuju. Karena dua kata yang terdapat di dalam ayat yang sama, pasti memiliki makna berbeda. Akan tetapi keduanya saling melengkapi. Istighfar di atas dapat diartikan menyesal. Padahal makna menyesal di sini masuk dalam pengertian taubat. Jadi, penulis mengartikan bahwa istighfar di sini artinya memohon ampunan atas dosa-dosanya, sedangkan taubat artinya menyesal atas dosa yang telah dilakukan dan bertekad untuk tidak kembali lagi berbuat dosa tersebut. Istighfar disebutkan terebih dahulu dikarenakan manusia yang telah melakukan dosa agar memohon ampunan atas dosa itu. Kemudian dilanjut dengan taubat supaya tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. Jika manusia sudah melakukan istighfar dan dilanjut dengan taubat maka akan terhindar dari azab hingga ajal menjemputnya. Manusia juga akan mendapatkan balasan yang lebih dari amal-amalnya baik di dunia maupun di akhirat. Namun

72

jika manusia berpaling atas itu maka Allah SWT akan menimpa siksa di hari kiamat.

B. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 52 1. QS. Hûd [11] Ayat: 52 ِ ِ ۤ ِ ِ ِ ۤ ِ َوٰﻳََﻘْﻮم ْٱﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْ وا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ﺗُﻮﺑـُ ْ ﻮا إﻟَْﻴﻪ ﻳـُْﺮﺳِﻞ ﱠٱﻟﺴَﻤﺎ ءَ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ّﻣ ْﺪَر ًارا َوﻳَِﺰْدُﻛ ْﻢ ُﻗـﱠﻮةً ِ ِ ﱠ ِ إَٰﱃ ُﻗـﱠﻮﺗ ُﻜ ْﻢ َوَﻻ َﺗـَﺘـَﻮﻟْﻮا ُﳎِْﺮﻣ َﲔ

Artinya: “Dan (dia berkata): “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atas kalian, dan menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, serta janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hûd [11] : 52).4

2. Penafsiran Al-Alûsi Terhadap QS. Hûd [11] Ayat: 52 Firman Allah SWT wa yâqaûmis taghfirû rabbakum, Nabi Nuh as mengajak kaumnya mohon ampun dari perbuatan syirik. Tsumma tûbû ilaîhi, artinya kembalilah kamu kepada Allah SWT dengan ketaatan yang sesungguhnya, atau kembali kepada jalan yang benar atau kembali kepada perbuatan yang baik dan ikhlaskanlah taubatmu serta beristiqomahlah dalam taubatmu. Dan dikatakan: istighfar (mohon ampun) itu sebagai kinayah (sindiran) atas iman, karena kata istighfar itu bersinonim dengan kata Iman. Bahwa sesungguhnya iman kepada Allah SWT tidak menuntut kekufuran dengan selain-Nya secara bahasa. Ada yang

4 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 524.

73

mengatakan, Tsumma tûbû, maka seakan-akan dikatakan berimanlah kamu kepada Allah SWT, kemudian taubat (kembali) kamu kepada-Nya dari menyembah selain-Nya. Sebelumnya Allah SWT berfirman, u‘budû Allâh “menyembahlah kalian kepada Allah SWT” itu menunjukkan atas kekhususan Allah SWT untuk disembah. Walaupun ada kalimat istaghfirû kalau seandainya hanya memohon ampun tetapi tetap melakukan dosa, tidak akan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Tetapi dengan adanya u‘budû Allâh, menjadi kekhususan Allah SWT yang patut disembah. Maka yang pertama itu u‘budû Allâh. Mengalihkan makna kepada yang tidak jelas serta sedikit faidahnya itu termasuk dari hal yang wajib dijaga dalam kalam Allah SWT yang bersifat mukjizat ini. Dikatakan yang dimaksud dengan istighfar itu taubat dari perbuatan syirik, dan ada pula taubat itu taubat dari segala dosa yang muncul dari mereka selain perbuatan syirik. Dan dia mengkiaskan bahwa iman itu wajib ada sebelumnya. Dikatakan, yang pertama istighfar itu adalah memohon ampunan atas dasar keimanan, dan yang kedua taubat itu adalah ber-tawasul (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dengan cara taubat dari perbuatan syirik. Dan dia menambahkan bahwa tawasul (mendekatkan diri) yang disebut tidak terlepas dari pada memohon ampunan dengan adanya iman, karena pada dasarnya kedua kata itu saling berkaitan. Yursilissamâa artinya Dia akan menurunkan hujan, sebagaimana pada ucapan, Idzâ nazalas samâu biarḍin qaûmin ra’aînâhu wain kânû ghaḍâbîn (Ketika hujan turun di tanah suatu

74

kaum, kami jaga dia meskipun mereka sedang marah). `alaîkum midrârân artinya banyak mutiara beriringan tanpa menyakiti, maka wazan maf’âlan untuk bermakna sangat. Artinya hujan turun terus-menerus tetapi tidak mendatangkan kemudaratan atas hujan itu Seperti kata mu’ṭâr dan miqdâm. Wayazidkum quwwatan ilâ quwwatikum, diberikan kekuatan yang sesuai kemampuan kalian. Dan hal ini dikembalikan kepada firman dan dia meluaskan kalian“ (وﯾﻤﺪدﻛﻢ ﺑﺄﻣﻮال وﺑﻨﯿﻦ) :Allah SWT dengan banyak harta dan anak” (QS. Nuh: 12). Karena hakikatnya kekuatan duniawi itu dengan diberikan anak laki-laki. Dan riwayat dari Ad-Dhohhak ditafsirkan kata al- quwwatan diartikan dengan kesuburan. Dapat menambah kekuatan bagi mereka baik itu kesuburan tanah ataupun anak. Dan riwayat dari ‘Ikrimah ditafsirkan dengan cucu. Dan dikatakan: yang dimaksud dengan kata kuat disitu adalah kekuatan fisik (badan), harapan mereka keselamatan dengan banyaknya hujan dan bertambah kekuatan mereka. Karena mereka itu banyak para petani, pengelolah kebun dan penggarap. Dan dikatakan, Allah SWT telah menahan hujan dari mereka dan Allah SWT memandulkan rahim istri-istri mereka selama tiga tahun, lalu Nabi Hûd as menjanjikan mereka. Jika mereka beristighfar dan taubat, maka akan banyak mendapatkan curah hujan dan berlipat kekuatan mereka untuk mendapatkan keturunan. Dan dikatakan, kata kuat yang pertama adalah kuat dalam keimanan dan yang kedua adalah kuat dalam fisik (badan), artinya Allah SWT menambahkan kalian kekuatan di dalam iman kalian untuk menambahkan kekuatan badan kalian.

75

Walâ tatawallaû, artinya jangan kalian berpaling (menentang) apa yang telah aku dakwahkan kepada kalian. Mujrimîn, artinya orang yang berbuat zhalim. Dan dikatakan: berbuat zhalim dengan berpaling itu adalah sebuah bentuk pembebanan.5

3. Analisis Terhadap Penafsiran Al-Alûsi Ayat ini masih membahas manusia yang berbuat syirik kepada Allah SWT. Dalam ayat sebelumnya Allah SWT berfirman, menyembahlah kalian kepada Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT-lah yang satu-satunya patut disembah. Jika mereka telah berbuat hal yang demikian maka seharusnya mereka beristighfar dan taubat kepada Allah SWT. Istighfar dan taubat dalam ayat ini menunjukkan masing- masing tujuannya. Penulis sependapat dengan mufassir di atas bahwa Istighfar itu disangkutkan dengan keimanan dari seseorang sedangkan taubat itu bertawassul kepada Allah SWT. Jadi istighfar dapat diartikan memohon ampun atas dasar keimanan sedangkan taubat mendekatkan diri kepada Allah SWT setelah melakukan istighfar. Misalnya ada seseorang yang berbuat syirik kepada Allah SWT, yang pertama kali dilakukan yakni beristighfar dengan keimanan yang dia miliki lalu ia lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah SWT supaya terhindar dan dilindungi dari perbuatan yang sama. Orang yang meminta ampun akan sia-sia perbuatannya jika tidak mengingat Allah SWT atas dosa-dosanya itu.

5 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h 279.

76

Perbuatan istighfar dan taubat yang dilakukan akan membawa kebaikan. Ayat ini Allah SWT menjelaskan Dia akan menurunkan hujan yang tidak akan membawa musibah bagi hamba-hamba-Nya. Selain itu, Allah SWT akan diberikan kekuatan iman dan kekuatan fisik. Sebaliknya jika hambanya berpaling kepada-Nya maka dia termasuk orang-orang yang zalim. Corak isyari dalam ayat ini tidak ada. Penulis mengutip corak isyari dari kitab Ibnu Ajibah6 dalam ayat ini mengenai istighfar dan taubat bahwa bersitighfarlah kalian kepada Tuhanmu dari perbuatan syirik yang kecil. Kemudian kembali kepada Allah SWT dari penglihatan sampai wujud kalian, dan penglihatan amal kalian.

C. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 61 1. QS. Hûd [11] Ayat: 61 ِ ِ ۚ ِ ِ ٍِٰ ۖ َ و إ َ ٰﱃ َﲦ ُ ﻮ َد أ َ َﺧ ﺎ ُﻫ ْ ﻢ ٰ َﺻ ﻠ ًﺤ ﺎ ◌ ﻗَ َﺎل َ� َﻗـْﻮم ْٱﻋﺒُُﺪوا ﱠٱﻪﻠﻟَ َﻣﺎ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ّﻣ ْﻦ إﻟ ﻪ ﻏَْﻴـُﺮﻩ ُ◌ ُﻫَﻮ ِ ِ ِ ِ ِ ۚ ِ ﱠ أَ َﻧﺸﺄَ ُﻛ ْﻢ ّﻣ َﻦ ْٱﻷَْر ِض َو ْٱﺳَﺘـْﻌَﻤَﺮُﻛ ْﻢ ﻓ َﻴﻬﺎ ﻓَ ْﭑﺳَﺘـﻐْﻔُﺮوﻩُ ُﰒﱠ ﺗُﻮﺑـُْ ﻮا إﻟَْﻴﻪ ◌ إن َرِّﰉ ﻗَِﺮ ٌﻳﺐ ﱡِﳎ ٌﻴﺐ

Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Wahai kaumku, sembahlah Allah SWT, sekali-kali tidak ada sembahan (yang hak) bagi kalian, kecuali Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian sebagai pemakmur (bumi) itu, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian

6 Ibnu Ajibah, al-Bahr al-Madid, (Teheren: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1345 H), h. 227

77

bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi mengabulkan (doa hamba- Nya).” (QS. Hûd [11] : 61).7

2. Penafsiran Al-Alûsi Terhadap QS. Hûd [11] Ayat: 61 Pembicaraan dalam ayat ini seperti pembicaraan pada ayat yang serupa di ayat-ayat sebelumnya. Mayoritas ulama berpegang untuk mencegah tanwin pada kalimat tsamûd, yang mana maknanya kembali kepada sebuah kabilah. Ibnu Watsab dan A’masy membaca kalimat itu dengan tanwin untuk maksud hidup. Kalimat huwa ansya akumminal arḍi, artinya Dia menciptakan kalian dari pada bumi (tanah), karena sesungguhnya itu adalah bahan utamanya. Adam yang menjadi asal mula manusia itu diciptakan dari tanah. Dan dikatakan: pembicaraan dalam ayat ini dengan membuang mudhof, yang artinya Dia menciptakan bapak kamu (ansyaa abâkum). Dan dikatakan: (min) bermakna (fî) dan tidak berarti apa-apa. Sebagaimana yang dipahami oleh pembicaraan sebagian pembesar seakan-akan kaum itu tidak menunaikan hak Allah SWT, sesungguhnya mereka meyakini bahwa yang melakukan itu semua adalah selain Allah SWT. Terdapat kemungkinan bahwasannya mereka dahulu meyakini salah satu, dari dua hal secara hakikat bukan secara penurunannya. Hal ini menuntut pandangan mereka thabi’iyyah atau tsanawiyah. Kalau tidak, maka mereka ada watsaniyah, sekalipun mereka menyembah Allah SWT bersama selain-Nya.

7 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 537.

78

Mereka tidak meyakini kemampuan menciptakan selain Allah SWT dengan satu jalan dari beberapa jalan. Pembatasan (hashor) tentang apa yang dikatakan, diambil dari pendahuluan fa’il ma’nawi. Dikatakan juga bahwa hashor itu diambil faham dari siyaq, bahwasanya ketika teringkas ketuhanan kepada Allah SWT maka menuntut pula akan teringkasnya kemampuan menciptakan. Maka penjelasan tentang apa yang mereka ciptakan darinya, bahwa pencipta itu bukan selain Allah SWT. Orang yang berkata dengan meringkas di sini dia mengatakan dengan meringkas di firman Allah SWT. Wasta’marakum fîhâ, karena tempat dan keadaannya itu sebagai ma’thuf (yang dihubungkan) setelah meninjau kepada sebelum itu. Maka dapat diartikan Dia-lah yang menjadikan manusia sebagai pemakmurnya dan penghuninya. Maka wazan istif’al bermakna if’al. Maka dikatakan, apabila kamu menjadikan dia sebagai pemakmurnya, dan kamu serahkan kepadanya urusan pemakmurannya. Berkata Zaid bin Aslam, Dia perintahkan kalian untuk memakmurkan apa yang kalian perlukan dari membangun rumah, menggali sungai, menanam pohon dan lain sebagainya. Maka huruf sin itu bermakna tholab (tuntutan), penafsiran ini dipilih oleh al-kiya, dan dai. Beristidlal dengan ayat ini untuk memakmurkan bumi ini adalah tuntutan. Dia membagi hukum memakmurkan ini menjadi wajib seperti membangun bangunan beratap, dan membangun masjid jami’. Sunnah seperti membangun masjid (ghoir jami). seperti membangun

79

tempat tinggal. Dan haram seperti membangun bar atau diskotik, dan sesuatu yang dibangun untuk bermegah-megah atau sesuatu yang dibangun dari harta yang haram seperti bangunan kebanyakan pelaku zhalim. Penafsiran al-kiya ini ditentang bahwasanya di sana tidak ada tholab secara hakiki, akan tetapi menempatkan mereka sebagai orang-orang yang perlu untuk memakmurkan dan memberi petunjuk mereka, bagaimana mereka akan memakmurkan. Berkata ad-Dhohhak, Dia memberi umur kalian di bumi dan mengekalkan kalian. Ada seseorang dari mereka yang berumur panjang hingga mereka berumur seribu tahun. Dikatakan oleh ar-Roghib, dalam pemberian jika kamu menjadikan baginya sesuatu sepanjang umurmu dan umurnya. Maksudnya adalah Dia memberikan kalian umur di dunia dan memberikan kalian umur itu selama kalian hidup, kemudian Dia mewariskan dunia dari kalian. Dapat juga yang dimaksud itu adalah Dia menjadikan kalian sebagai pemakmur rumah-rumah kalian di bumi karen seseorang apabila mewariskan rumahnya kepada orang setelahnya, seakan-akan dia memberikan umur kepadanya akan rumah itu. Dia akan menetapinya sepanjang umurnya, kemudian dia akan tinggalkan rumah itu, untuk orang lain. Kalimat fastaghfirûhu tsumma tûbû ilaîhi ini percabangan dari pembahasan sebelumnya. Sesungguhnya apa yang disebutkan tentang bermacam kebaikan Allah SWT yaitu mengajak kepada istighfar dan taubat. Dan firman-Nya, Inna rabbî qarîbum mujîbun, artinya dekat rahmat-Nya bagi siapa

80

yang berdoa kepada-Nya dan meminta kepada-Nya. Firman Allah SWT, Inna raḥmatallah qarîb minal muḥsinîn artinya “sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dari orang orang yang berbuat baik” (QS. al-a’raf: 56). Dan al-Qur’an itu menafsirkan sebagian dari sebagiannya. Mujîb, maksudnya bagi siapa yang berdoa kepada-Nya dan meminta kepada-Nya, ini sebagai tambahan dalam menjelaskan apa yang membawa kepada yang demikian itu. Alasan pertama muncul adalah alasan yang ghaib, alangkah indahnya pendahuluan dan pengakhiran. Dan menjelaskan kepada mereka bahwa kalimat qarîb itu sebagai bandingan bagi lafaz tûbû dan kalimat mujîb sebagai bagi lafaz istighfirû. Hal ini seakan-akan dikatakan, kembalilah kalian kepada Allah SWT, karena sesungguhnya Allah SWT itu dekat dari kalian lebih dekat dari urat leher dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Besar lagi Maha Tinggi, Dia memperkenankan orang yang meminta dari segala kebaikan.8

3. Analisis Terhadap Penafsiran Al-Alûsi Ayat ini menjelaskan bagaimana mulianya manusia dimata Allah SWT dibanding makhluk-makhluk Allah SWT yang lainnya. Manusia yang diharuskan memakmurkan bumi dengan memperlakukan sikap baiknya. Akan tetapi, manusia tidak akan luput dari perbuatan salah dan dosa, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk beristighfar dan bertaubat kepada Allah SWT.

8 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h.286.

81

Istighfar dan taubat di sini sama dengan sebelumnya, karena permasalahannya sama, yakni sama-sama menyembah selain kepada Allah SWT. menurut penulis istighfar dan taubat di sini dapat diartikan sebagai introfeksi diri agar sadar atas perbuatan dosa yang dilakukan sebelumnya dan selalu berharap hanya kepada Allah SWT semata. Lafaz qarîb disandarkan sebagai lafaz taubat, karena Allah SWT sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa kembali kepada-Nya setelah melakukan dosa. Sedangkan lafaz mujîb disandarkan sebagai lafaz istighfar, karena Allah SWT akan mengkabulkan doa-doa hamba yang senantiasa memohon ampun atas kesalahannya. Jika manusia masih memiliki dosa dan tidak mau beristighfar dan taubat, Allah SWT tidak akan dekat dan tidak menerima doa-doa yang dipanjatkan manusia kepada- Nya. Corak isyari dalam ayat ini tidak ada. Penulis mengutip corak isyari dari kitab Ibnu Ajibah9 dalam ayat ini mengenai istighfar dan taubat bahwa mendirikan kewajiban-kewajiban ibadah, terimakasih atas kedua nikmat itu. Jadi mensyukuri nikmat itu yakni istighfar dan taubat dengan cara mendirikan kewajiban ibadahnya.

9 Ibnu Ajibah, al-Bahr al-Madid, h. 231.

82

D. Penafsiran Al-Alûsi Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî QS. Hûd [11] Ayat: 90 1. QS. Hûd [11] Ayat: 90 ِ ۤ ِ ِ ۚ ِ ِ َو ْٱﺳَﺘـﻐْﻔُﺮْ وا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ُﰒﱠ ﺗُﻮﺑـُ ْ ﻮا إﻟَْﻴﻪ ◌ إ ﱠن َرِّﰉ َرﺣ ٌﻴﻢ َوُد ٌود

Artinya: “Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (QS. Hûd [11] : 90).10

2. Penafsiran Al-Alûsi Terhadap QS. Hûd [11] Ayat: 90 Wastaghfirû rabbakum tsumma tûbû ilaîhi penafsiran ayat seperti sebelumnya. Inna rabbî raḥîm, besar kasih sayang-Nya. Maka Dia menyayangi orang yang meminta ampunan dari-Nya. Wadûd artinya banyak cinta-Nya dan mahabbah-Nya. Maka Dia mencintai orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dan yang masyhur menjadikan kata wadûd sebagai majaz (perumpamaan) dengan melihat kepada tujuannya, artinya Allah SWT mencintai manusia yang bersifat dalam dirinya kelembutan dan perbuatan baik. Kata wadûd adalah majaz menurut orang yang tidak mensyaratkan makna asli dan menggabungkan majaz atas apa yang dikatakan. Kata mawaddah artinya kecenderungan hati dan itu tidak disifati kepada Allah SWT. Ulama salaf mengatakan, mawaddah pada kami (manusia) adalah kecenderungan hati, dan kepada Allah SWT termasuk dari apa yang layak dengan kebesaran dzat-Nya. Maksud dari wadûd adalah Allah SWT sangat mencintai bagi hamba-hamba-Nya,

10 Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid IV, h. 561.

83

dengan memberikan kebaikan kepada mereka. Besar kasih sayang-Nya bagi orang orang yang taubat dan berbuat dalam kelembutan, dengan memberi kebaikan kepada mereka. Dan dikatakan, Dia dicintain oleh orang-orang mukmin. Dan penafsirannya di sini dengan apa yang terdahulu itu lebih utama. Dan jumlah ini menempati di tempat ta’lîl (alasan) bagi hal yang sebelumnya dan kebanyakan ahli tafsir tidak menganggap apa yang kami isyaratkan kepadanya. Maka dikatakan, besar kasih sayang-Nya untuk orang orang yang taubat dalam kelembutan dan memberi kebaikan kepada mereka, dan penafsiran ini tidak bermasalah.11 3. Analisis Terhadap Penafsiran Al-Alûsi Ayat ini juga menyacu pada ayat-ayat sebelumnya, yang mana orang yang menyembah selain kepada Allah SWT dan berbuat curang dalam hal jual-beli mereka harus beristighfar dan dilanjut dengan taubat kepada Allah SWT atas perbuatannya. Hal ini harus mereka lalukan supaya mendapatkan ampunan dan perlindungan dari Allah SWT. Kenapa ayat ini membahas tentang istighfar dan taubat mengacu kepada ayat sebelum-sebelumnya. Menurut penulis ayat ini memiliki tujuan yang sama yakni untuk tidak kembali menyembah selain kepada Allah SWT. Allah SWT Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih, dapat dimaknai bahwa Allah SWT menyayangi dan mencintai bagi orang yang selalu beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.12

11 Mahmûd Afandi al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, h. 317-318. 12Abu Ja’far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, h. 273.

84

Corak isyari dalam ayat ini tidak ada. Penulis mengutip corak isyari dari kitab Ibnu Ajibah13 dalam ayat ini mengenai istighfar dan taubat bahwa hakikat taubat dan puncaknya taubat yakni dengan perbanyak dzikir dan istighfar. Karena dzikir dan istighfar, itu sebab kecintaan dari Yang Maha Mulia, Maha Pengampun.

E. Hikmah Istighfar dan Taubat Orang yang melakukan akan mendapat balasan baik di dunia langsung ataupun di akhirat. Dalam surah Hud di atas ada beberapa hikmah yang didapat, 1. Mendapatkan kebaikan yang Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang senantiatas beristighfar dan bertaubat. 2. Allah SWT akan menurunkan hujan bagi yang senantiasa beristighfar dan bertaubat 3. Allah SWT akan mengabulkan doa bagi yang memohon kepada-Nya. 4. Dan Allah SWT menyayangi dan mencintai bagi yang beristighfar dan bertaubat.

13 Ibnu Ajibah, al-Bahr al-Madid, h. 244.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Dari rangkaian yang telah penulis paparkan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai istighfar yang beriringan dengan taubat. Istighfar dan taubat merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Namun, jika kedua kata tersebut disebutkan dalam aya yang sama ia akan memilikin makna yang berbeda. Akan tetapi saling berkaitan satu sama lainnya. Istighfar di sini dapat diartikan memohon ampun atas dasar keimanan dari seseorang atas dosa-dosa yang dilakukannya. Sedangkan taubat diartikan menyesali atas perbuatan dosa itu dan lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah SWT. Isyari penafsiran al-Alusi dalam ayat ini tidak ditemukan. Padahal penafsiran al-Alusi condong kepada corak Isyari. Oleh karena itu, penulis mengambil isyari dari penafsiran lain.

B. Saran-Saran 1. Penulis berharap kepada para pembaca khususnya penulis sendiri agar lebih memahami lagi kajian istighfar dan taubat. Untuk itu perlu pengkajian ulang dan terus- menerus dilakukan evaluasi agar kajian tentang istighfar dan taubat ini menjadi sempurna. 2. Sebagai manusia biasa, penulis sadar akan keterbatasan ilmu pengetahuan sehingga banyak kekrangan dalam

85

86

penulisan skripsi ini. maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Dan mudah-mudahan skripsi ini menjadi inspirasi bagi para penulis selanjutnya dengan pembahasan yang lebih rinci, kritis dan aktual.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Bahrun. 2009. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Ajibah, Ibnu. 1345 H. al-Bahr al-Madid. Teheren: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Al-Alûsi, Mahmûd Afandi. 1983. Rûh al-Ma’ânî. Bairut, Dar al- Fikr. Al-Aṣfahânî, al-Râghib. 2002. Mufradât Alfâz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Anis, Ibrahim dkk. 1972. al-Mu‘ jâm al-Wasit. Kairo: Majma’ al-Lughah. Anwar, Rosihan dan Muhtar Sholihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. Ash-Shiddiqi, TM. Hasbi. 1971. Al-Islâm. Jakarta: Bulan Bintang. Asy-Syahawi, Majdi Muhammad. 2009. The Secret Of Istighfar. Jakarta : Gema Insani. Baidan, Nashruddin. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd. 1980. Mu‘jâm Mufahrâs li al- Fâẓ al-Qur’an al-Karîm. Bairut: Dar al-Fikr. Chirzin, Muhammad. 2001. Jihad Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Ẓilâl al-Qur’an. Solo: Era Intermedia. Al-Dzahabi, Muhammad Husaîn. 1976. al-Tafsîr wa al- Mufassirûn. Kairo: Dar al-Kutub.

87

88

Fadholi, Muhammad. Keutamaan Budi Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Faizah, Nurul. 2018. Terapi Istighfar Untuk Mengatasi Seorang Remaja yang Suka Marah Kepada Orangtua di Kelurahan Morokrembangan Surabaya. Skripsi. Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel: Surabaya. Farchun, Abd Chafidz. 1996. Hidup Dalam Islam. Surabaya: Al- Ikhlas. Al-Farmawi, Abdul Hayy. 2002. Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapannya. Bandung: CV. Pustaka Setia. Al-Ghazâlî, Imam. 1975. Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin. Bandung: CV. Pustaka Setia. Al-Ghazâlî, Imam. 2009. Minhâjul ‘Âbidîn. Surabaya: Mutiara Ilmu. Hadi, Abdul. 2007. Keutamaan Istighfar Dalam Kitab al-Azkâr al-Nawâwiyyah. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. Halim, Mani’ ‘Abdul. 2006. Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hamîd, Muhsin Abdul. 1968. Al-Alûsi Mufassîrûn. Baghdad: Matba’ah al-Ma’ârif. Hamka. 1983. Tafsir al-Azhar. Jakarta PT. Pustaka Panjimas. Haris, Ainul. 2002. Kunci-Kunci Rizki Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Jakarta: Darul Haq. Hasan, Maimunah. 2001. Al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa. Yogyakarta: Bintang Cemerlang. 89

Hawwa, Sa‘id. 2003. al–Asas fī at–Tafsîr. Kairo: Dar as-Salam. Al-Hazimi, Ibrahim bin Abdullah. 2004. Manusia Agung pun Menyesal. Jakarta: Penerbit Hikmah. Hidayat, Zaky Taofik. 2010. Konsep Taubat Dalam al-Quran Menurut Sayyid Qutb. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim: Riau. Hsb, Aminah Rahmi Hati. 2013. Metode dan Corak Penafsiran Imam Al-Alusi Terhadap Al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Rûh Al-Ma’ânî). Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim: Riau. Ilham, Muhammad Arifin. 2017. Dahsyatnya Kekuatan Dzikir dan Sedekah. Jakarta: Zikrul Hakim. Indonesia, Universitas Islam. 1990. Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi. 2001. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Al-Jabiri. 1990. Bunyah al-‘Aql al-‘Arâbî. Beirut: Markaz al- Dirasah. Al-Jaîlânî, ‘Abd al-Qâdir. 2010. Rahasia ṣufî Syaikh ‘Abd al- Qâdir al-Jaîlânî. Yogyakarta: Beranda Publishing. Al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim. 2006. At-Taubah Wal Inâbah. Jakarta: Gema insani. Al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim. 1998. Madârijus Sâlikîn. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Megarestri, Eva Amalia. 2003. Study Tematik Terhadap Penafsiran al-Qur’an Tentang Ayat Sajadah dan 90

Munasabahnya Dalam Tafsir Rûh al-Ma’ânî. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta. Muhammad, Abu Ja’far. 2009. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam. Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Muhammad, Su’aib H. 2011. 5 pesan al-Qur’an. Malang; UIN Maliki Press. Al-Muqaddam, Ismail. 2016. Fikih Istighfar. Jakarta: Geramedia Pustaka Utama. Mustaqim, Abdul. 2004. Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî dalam Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Teras. Mustaqim, Abdul. 2010. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis. Mustaqim, Abdul. 2013. Akhlak Tasawuf Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara. Nazeri, Muhamad. 2018. Konsep Taubat Menurut Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî. Skripsi. Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry: Darussalam. Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penulisan. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Nurdin, Asep. 2003 Karakteristik Tafsir Sûfî. Studi Ilmu-Ilmu al- Qur’an dan Hadis. 3 (2). Al-Qardâwî, Yûsuf. 1998. Taubat, (al-Taubah ilâ Allah). Jakarta : Pustaka al-Kautsar. 91

al-Qardhawi, Yusuf. 2000. Kitab Petunjuk Tobat Kembali Ke Cahaya Allah. Bandung: PT Mizan Pustaka. Al-Qattân, Mannâ Khalîl. 1992. Mabâhits fî ‘Ulum al-Qur’ân. Jakarta: PT. Litera Antar Nusa. Al-Qurthubi, Imam. 2008. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Qutub, Sayid. 2009. Taubat Dalam al-Qur’an dan Analisis Terhadap Perspektif Quraish Shihab. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. Rahayu, Sisa. 2014. Konsep Taubat Menurut Syaikh Abdul al- Qâdir Al-Jaîlânî Dalam Kitab Tafsir Al-Jaelani. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN WALISONGO: Semarang. Rahman, Kaserun AS. 2015. Kitab Istighfar. Tangerang: Anggota IKAPI. Rakhmawati. 2014. Urgensi Taubat Dalam Kehidupan Manusia. Madani. 4 (1). Raya, Ahmad Thib. 2007. Hakikat Taubat. Jakarta. Ritonga, M. Jamiluddin. 2004. Riset Kehumasan. Jakarta: Grasindo. Sadik, M. 2010. Tobat Dalam Persektif al-Qur’an. Hunafa. 7 (10). Sarwono, Jonathan. 2010. Pintar Menulis Karya Ilmiah: Kunci Sukses dalam Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Septiawadi. 2013. Tafsir Sufistik Tentang Taubat Dalam al- Qur’an. Studi Agama dan Pemikiran Islam. 7 (2). 92

Setianingsih, Yeni. 2017. Melacak Pemikiran Al-Alûsî Dalam Tafsir Rûh Al-Ma’ânî. Kontemplasi. 5 (1). Shihab, M Quraish. 1996. Wawasan al-Qur'an, Tafsir Maudhu'î atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung: Mizan. Shihab, M Quraish. 2001. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. Shihab, M Quraish. 2012. AL-LUBÂB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati. Suryadilaga, M. Alfatih dkk. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. Taîmiyyah, Ibnu. 2003. Memuliakan Diri Dengan Taubat. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Wahib. 1997. Perspektif Tafsir Sûfî-Isyârî: Studi Atas Pemikiran Al-Alûsî dalam Tafsir Ruh al Ma’ânî. Tesis. IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta. Zunaidi, Ahmad Arif. 2018. Konsep Taubat dan Implementasinya Menurut Perspektif Imam an-Nawawî. Skripsi. Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo: Semarang. Al-Zurqânî, Muhammad ‘Abdul ‘Aẓîm. 1998. Manâhilu al-‘Irfân fî ‘Ulûmul Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. https://aslibumiayu.net/5982-lafadz-lafadz-istighfar-yang-bisa- digunakan-untuk beristighfar.html. http://islamiceducatione.blogspot.com/2014/06/kajian-tafsir- ruhul-ma’ani-al-alusi/ http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-alusi.html.