LAMBANG-LAMBANG ISLAM DALAM BENTUK FISIK TOKOH PURWA GAGRAG BANYUMAS

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh : FEBRI NIM : 1112051000020

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

ABSTRAK

Febri Lambang-Lambang Islam dalam Bentuk Fisik Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Penyebaran agama Islam ke tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama yang dikenal dengan Walisongo. Dalam melaksanakan dakwahnya, para wali menggunakan beberapa pendekatan agar ajaran Islam dapat diserap dengan mudah oleh masyarakat. Salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan kultural, memanfaat kesenian yang saat itu sedang digemari masyarakat. Wayang Purwa merupakan salah satu sarana yang digunakan para wali khususnya Sunan Kalijaga untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sangat kental dengan bentuk perlambangan yang sering disebut dengan pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran). Caranya dengan barang, gambar, warna, bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti” (tingkah laku). Kebiasaan masyarakat Jawa yang lekat dengan perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukkan unsur Islam ke dalam pertunjukkan Wayang Purwa. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana lambang-lambang Islam dalam Wayang Purwa, khususnya Wayang Purwa dalam gaya (gagrag) Banyumas. Dengan metode analisis semiotik, penulis berusaha mengurai proses produksi tanda dan pemaknaan terhadap lambang-lambang tersirat dalam bentuk fisik tokoh wayang. Model semiotika yang dipilih ialah model semiotika Charles Sanders Pierce (1839-1914). Dalam sistem penandaan Pierce, terdapat tiga hal penting yang saling bertalian yaitu tanda (sign), acuan (referent/object) dan interpretan (interpretant). Hubungan ketiganya tidak terhenti pada satu makna saja, tetapi pemaknaan dapat berkembang atau berkelanjutan. Perkembangan ini disebut proses semiosis. Tokoh wayang yang dikaji dalam penelitian ini ialah tokoh Bawor dan Werkudara. Keduanya dipilih karena dianggap sebagai simbol identitas masyarakat Banyumas. Dari penelitian ini diketahui bahwa di dalam bentuk fisik tokoh Bawor tersirat lambang-lambang Islam berupa: konsep tauhid, ulul albab, wara,‟ keberanian dalam menyampaikan kebenaran dan sifat qonaah. Sedangkan dalam tokoh Werkudara tersirat pelambangan: kesadaran sebagai hamba Allah, sikap tawadu‟, jujur dan teguh memegang janji, orang yang berilmu yang mampu memberikan pencerahan, kuat melaksanakan shalat lima waktu serta mampu mengendalikan nafsunya.

Kata Kunci: Wayang Purwa, Banyumas, Semiotika, Bawor dan Werkudara.

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, hidayah dan kasih sayang-Nyalah penulisan skripsi ini akhirnya dapat selesai dengan baik. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, manusia yang mulia dan dimuliakan, suri tauladan yang tak lekang oleh zaman, baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, serta pengikutnya yang istiqomah hingga akhir zaman. Islam sebagai agama yang purna dan sempurna telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali ke tanah Jawa. Penyebaran Islam ke tanah Jawa tidak dapat dipisahkan dari peran Walisongo. Salah satu metode dakwah yang digunakan oleh para wali khususnya Sunan Kalijaga adalah dengan pendekatan kultural. Memanfaatkan kebudayaan yang digemari masyarakat Jawa terutama Wayang Purwa. Nilai-nilai Islam secara simbolis disisipkan dalam Wayang Purwa. Maka tak salah apabila sejak dahulu orang Jawa mengatakan bahwa wayang merupakan “tontonan dan tuntunan” karena memang wayang digunakan sebagai media pendidikan dan dakwah. Namun dewasa ini unsur tontonan lebih dominan daripada tuntunan dalam pergelaran Wayang Purwa secara konvensional. Ketidaktauan masyakat di masa sekarang akan simbolisasi yang terdapat dalam Wayang Purwa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran fungsi Wayang Purwa ini. Berawal dari keprihatinan itu penulis berupaya melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi. Dalam penulisan skripsi ini memerlukan usaha yang keras menghadapi berbagai rintangan dan waktu yang cukup panjang. Rintangan itu ada yang berasal dari diri penulis sendiri, juga hal-hal yang sama sekali tak terduga seperti hilangnya laptop beserta seluruh data penelitian yang menjadi tantangan tersendiri yang akan selalu terkenang. Perjalanan penulis yang setiap hari harus naik turun Pegunungan Kendeng, dari pantai selatan Jawa Tengah hingga ke kaki Gunung Slamet untuk melakukan penelitian. Bahkan pencarian bahan referensi sampai ke keraton dan secara intensif belajar seni pedhalangan, menjadi pengalaman yang juga tak terlupakan.

ii

Terselesaikannya penulisan skripsi tentu tidak bisa dilepaskan dari semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr.H.Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah. 2. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan/Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. 3. Prof.Dr.M.Yunan Yusuf selaku Dosen Pembimbing Akademik KPI A angkatan 2012. 4. Dr.Suhaimi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, yang memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat dalam penelitian ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat berguna sebagai bekal dalam menjalani kehidupan ini. 6. Kedua orang tuaku tercinta, bapak Latif Saefulloh dan ibu Partiyah dan adikku Alif Saefulloh yang telah dengan setulus hati dan penuh kasih mendukungku dalam pengerjaan skripsi ini. 7. Para narasumber yang sekaligus guru-guruku Kyai Sunan Sunhaji, Kyai Muhammad Ma‟ruf, Ki Daulat Karsito Darmocarito, Ki Tarjono Wignyo Pranoto, Ki Didik Himawan, Ki Rasito Purwopengrawit dan Ki Katim yang telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat untuk penelitian ini. 8. Mas Mudakir Damam yang telah meminjamkan laptop sehingga penulis skripsi ini bisa dilanjutkan hingga selesai. Mas Faunsyah seorang cendekiawan komunitas Nuun dan Mas Siswanto yang telah memberikan arahan-arahan secara metodologis. Uswatun Chasanah sahabatku seorang penulis inspiratif yang telah memberikan arahan-arah teknis penulisan dan kebahasaan. Amrurrohman sahabatku yang telah rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk menemani pendokumentasian penelitian ini. Mas Indra dan Mas Yusuf juru kunci Museum Wayang Banyumas yang selalu sabar membantu keperluan penelitianku di Museum. Mbak Aswina

iii

pustakawan bagian naskah kuno perpustakaan pusat Universitas yang telah banyak membantuku mengumpulkan naskah-naskah kuno. 9. Para guru dan teman-teman siswa dalang Sanggar Pedhalangan Redi Waluyo: Mbah Tomo, Pak Sriyanto, Pakde Wanto, Pak Warsito, Mas Medi, Mas Susilo, Mbak Wati, yang memberikan banyak masukan dan ilmu pedhalangan dan karawitan untuk mendukung penelitian ini. 10. Keluarga besar HTI Chapter UIN Jakarta: Ust.Ali Abdurrahman, Ust.Ade Sudiana, Ust.Wahyudi Al-Maroki, Gustar Umam, Andi Badren, Faiz Nashor, Adnan Hanafi, Joko Suroso, yang dengan berkat doa dan dukungannya penyusunan skripsi dapat terselesaikan. 11. Keluarga Besar Gema Pembebasan: Jend.Ricky Fatamazaya, Hanif Ansharullah, Firmansyah Mahiwa, Ardan Radali, Wahid Kaimudin, Ali Baharsyah, Febi Rizki Rinaldi. Terima kasih atas bantuan moral dan materialnya sehingga dapat menunjang penyelesaian skripsi ini. 12. Keluarga besar DKM Masjid Jami‟ Al-Muhajirin: H.Nasri Yahya, H.Wahab Siam, H.Ismail, terima kasih atas bantuan beasiswanya sehingga dapat menunjang penyelesaian skripsi ini. 13. Keluarga Besar Pesantren Alternatif Pelajar Mahasiswa (PELMAHA) Al- Mujahidin: H.Samingun, H.Budi Santoso, H.Anwar, Ust.Saiful, Ust.Reza, Ust.Asep, Ust.Maman dan Hilman yang telah membantu logistik dan meminjamkan kitab-kitab rujukan. 14. Junior-juniorku: Niko Pandawa, Farhan, Saiful, Falah, Wawan, Nazar, terima kasih atas bantuan tenaga dan waktunya dari awal penelitian ini hingga penyelenggaran sidang skripsi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini banyak bermanfaat, sebagai sumbangan pemikiran yang menjadi rujukan dan dilanjutkan pada penelitian yang lebih mendalam. Ciputat, 22 Maret 2017

Febri

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………………... i KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… ii DAFTAR ISI………………………………………………………………………………v DAFTAR TABEL………………………………………………………………………..vii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………viii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 D. Metodologi Penelitian ...... 10 1. Jenis Penelitian ...... 10 2. Lokasi Penelitian ...... 11 3. Sumber Data ...... 11 4. Tehnik Pengumpulan Data ...... 12 5. Tehnik Analisis Data ...... 12 E. Tinjauan Kepustakaan ...... 14 F. Sistematika Penulisan ...... 16

BAB II TINJAUAN TEORITIS...... 16 A. Semiotika Komunikasi ...... 16 B. Model Semiotika Charless Sanders Pierce ...... 18 C. Konsep Perlambangan Islam ...... 25 D. Wayang Purwa ...... 26 1. Definisi Wayang Purwa ...... 26 2. Sejarah Perkembangan Wayang Purwa ...... 27 3. Macam Gagrag Wayang Purwa ...... 30 4. Bentuk Wayang Purwa ...... 31 E. Kerangka Pemikiran ...... 43

BAB III GAMBARAN UMUM WAYANG PURWA GAGRAG BANYUMAS ...... 16 A. Sejarah Wayang Purwa Gagrag Banyumas ...... 16 B. Karakteristik Wayang Purwa Gagrag Banyumas...... 50 C. Pembakuan Wayang Purwa Gagrag Banyumas ...... 64

BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISIS ...... 70 A. Analisis Bentuk Fisik Wayang Bawor ...... 75 1. Pemaknaan Bentuk Rambut Bawor ...... 79 2. Pemaknaan Bentuk Jidat Bawor ...... 81 3. Pemaknaan Bentuk Mata Bawor ...... 83 4. Pemaknaan Bentuk Mulut Bawor ...... 87 5. Pemaknaan Bentuk Jari Tangan Bawor ...... 90 6. Pemaknaan Pakaian Bawor ...... 92 B. Analisis Bentuk Fisik Wayang Werkudara ...... 96 1. Pemaknaan Rambut Werkudara ...... 100 2. Pemaknaan Hiasan Telinga ...... 102 3. Pemaknaan hiasan bahu ...... 105 4. Pemaknaan Gelang...... 108 5. Pemaknaan Jari Tangan ...... 111 6. Pemaknaan pakaian ...... 113

v

BAB V PENUTUP ...... 68 A. Kesimpulan ...... 68 B. Saran ...... 117

DAFTAR PUSTAKA ...... 119

vi

DAFTAR TABEL

Tabel.1 Sejarah Perkembangan Bentuk Wayang Purwa ...... 33 Tabel.2 Bentuk Mata Wayang ...... 34 Tabel.3 Bentuk Hidung Wayang ...... 35 Tabel.4 Bentuk Mulut Wayang ...... 37 Tabel.5 Perbandingan Wayang Purwa Gagrag Banyumas, Yogja dan Solo ...... 64 Tabel.6 Makna Bentuk wayang Bawor ...... 95 Tabel.7 Makna Bentuk Wayang Werkudara ...... 117

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 Segitiga Tanda Pierce ...... 18 Gambar.2 Proses Semiosis Tak Terbatas ...... 22 Gambar.3 Hubungan Antar Tanda ...... 23 Gambar.4 Topong Makuta, Topong Kethu, Kethu Dewa dan Kethu Tumpuk ...... 37 Gambar.5 Gelung Minangkara, Gelung Keling dan Gelung Gembel ...... 38 Gambar.6 Sumping Pudak Sinumpet, Sumping Surengpati, ...... 39 Gambar.7 Garuda Mungkur, Kalung Praba dan Ulur-Ulur ...... 39 Gambar.8 Kelat Bahu Naga Mamangsa, Kelat Bahu Clumpringan, ...... 40 Gambar.9 Gelang Clumpringan, Gelang Punggawa dan Gelang Candrakirana ...... 40 Gambar.10 Konca ...... 41 Gambar.11 Uncal Kencana dan Uncal Wastra ...... 41 Gambar.12 Kroncong ...... 42 Gambar.13 Macam-Macam Bentuk Jari Wayang...... 42 Gambar.14 Perbandingan wayang Dewi Kunti Yogya dan Solo ...... 51 Gambar.15 wayang Duryudana dan Anoman Gagrag Yogja...... 52 Gambar.16 Wayang Duryudana dan Anoman Gagrag Solo ...... 52 Gambar.17 Perbandingan wayang Gatotkaca Banyumas dan Solo ...... 53 Gambar.18 Perbandingan Muka Werkudar Gagrag Jogja dan Solo ...... 54 Gambar.19 Werkudara Banyumas Kuno dan Modern ...... 54 Gambar.20 Perbandingan Bentuk Bawor dan Bagong ...... 56 Gambar.21 Petruk Lengkur dan Petruk yang saat ini banyak digunakan...... 56 Gambar.22 Sarawita dan Togog koleksi Musem Wayang Banyumas ...... 57 Gambar.23 Togog dan Bilung dalam Gagrag Solo dan Jogja ...... 57 Gambar.24 Sarkawi, Jaewana dan Sontoloyo...... 58 Gambar.25 Beberapa kreasi bentuk wayang Srenggini ...... 58 Gambar.26 Cempala milik Ki Bagas Kriswanto dan Ki Daulat Darmo Carito ...... 62 Gambar.27 keprak/kecrek milik Ki Daulat Karsito Darmocarito ...... 63 Gambar.28 Perbandingan tokoh wayang Bima dalam relief Candi Sukuh dan ...... 72 Gambar.29 Bentuk fisik tokoh wayang Bawor ...... 78 Gambar.30 Bentuk Rambut Bawor ...... 79 Gambar.31 Bagan Pemaknaan Bentuk Rambut Bawor ...... 81 Gambar.32 Bentuk Jidat Bawor ...... 81 Gambar.33 Bagan Pemaknaan Jidat Bawor...... 83 Gambar.34 Bentuk Mata Bawor ...... 83 Gambar.35 Bagan Pemaknaan Bentuk Mata Bawor...... 87 Gambar.36 Bentuk Mulut Bawor ...... 87

viii

Gambar.37 Bagan Pemaknaan Bentuk Mulut Bawor ...... 90 Gambar.38 Bentuk Jari Tangan Bawor ...... 90 Gambar.39 Bagan Pemaknaan Bentuk Jari Tangan Bawor ...... 92 Gambar.40 Pakaian/jarit Bawor ...... 92 Gambar.41 Bagan Pemaknaan Pakaian/jarit Bawor ...... 95 Gambar.42 Busana Tokoh Werkudara ...... 98 Gambar.43 Wayang Werkudara Gagrag Banyumas ...... 99 Gambar.44 Gambar Bentuk Rambut Werkudara ...... 100 Gambar.45 Gambar Bagan Pemaknaan Rambut Werkudara ...... 102 Gambar.46 Gambar Bentuk Hiasan Telinga Werkudara ...... 102 Gambar.47 Gambar Bagan Pemaknaan Hiasan Telinga Werkudara ...... 105 Gambar.48 Gambar Bentuk Hiasan Bahu Werkudara ...... 105 Gambar.49 Gambar Bagan Pemaknaan Hiasan Bahu Werkudara ...... 108 Gambar.50 Gambar Bentuk Gelang Werkudara ...... 108 Gambar.51 Gambar Bagan Pemaknaan Gelang Werkudara ...... 110 Gambar.52 Gambar Bentuk Jari Tangan Werkudara ...... 111 Gambar.53 Gambar Bagan Pemaknaan Jari Tangan Werkudara ...... 112 Gambar.54 Gambar Bentuk Kampuh Werkudara ...... 113 Gambar.55 Gambar Pemaknaan Kampuh Werkudara ...... 116

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedatangan agama Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa mendorong terjadinya perubahan yang cukup besar di berbagai bidang kebudayaan, baik menyangkut perilaku manusia maupun hasil kebudayaannya.

Salah satu bidang kebudayaan yang mengalami perubahan cukup besar adalah

Wayang Purwa. Jenis budaya ini semula telah dikenal secara luas dan berperan dalam kegiatan keagamaan serta telah memiliki bentuk dan tatanan baku. Setelah

Islam datang, Wayang Purwa mengalami perubahan secara total baik menyangkut wujud maupun nilai simbolis keagamaannya.

Wayang Purwa atau dikenal dengan sebutan merupakan salah satu jenis wayang yang mengkhususkan diri untuk menceritakan lakon

Ramayana dan beserta cerita sempalannya. Menurut Ir.Haryono

Guritno terutama di pulau Jawa terdapat sekitar 40 macam wayang, yang dapat digolongkan menurut cerita yang dibawakannya, pembuatannya dan cara mementaskannya. Lebih dari separuh jumlah itu, sekarang tidak dipertunjukkan lagi dan bahkan beberapa diantaranya sudah punah sama sekali. Di antara pertunjukan wayang yang paling utama dan masih terdapat hingga saat ini adalah

Wayang Kulit/Purwa dari Jawa Tengah dan dari Jawa Barat, yang keduanya mementaskan cerita dan Mahabharata.1

1 RM.Ismunandar K, Wayang Asal-Usul dan Jenisnya (Semarang: Dahara Prize, 1994), h.62.

1

2

Wayang Purwa merupakan produk budaya yang dihasilkan jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Wayang Purwa telah disebutkan dalam Kekawin

Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa pada zaman pemerintahan raja Airlangga di

Jawa Timur (1019-1043 M).2 Jika dihitung dari zaman itu, berarti Wayang Purwa telah dikenal dan digemari selama hampir seribu tahun. Namun dalam kelangsungannya Wayang Purwa mengalami perubahan drastis, baik menyangkut bentuk maupun pemaknaannya. Wayang Purwa yang telah menemukan bentuknya pada masa Hindu Jawa. Kemudian pada masa Islam mengalami perubahan di segala sisi, dari tampilan wujud hingga fungsinya yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran dan aturan dalam agama Islam.

Pertunjukan wayang yang sampai masa Majapahit, digambar di atas kain dengan diberi warna dan dikenal dengan nama Wayang Beber atau Karebet. Pada masa awal kekuasaan Demak, wayang-wayang digambar pipih dua dimensi dengan gaya dekoratif menjauhi kesan bentuk manusia sebagaimana tampak pada relief-relief candi. Wayang tidak lagi digambar di atas kain, melainkan digambar di atas selembar kulit kerbau dengan warna putih dan hitam. Wayang tidak lagi berwujud gambar utuh, tetapi berupa satuan-satuan gambar lepas yang tidak bersatu dalam beberan wayang, namun gambar-gambar wayang masih mirip dengan Wayang Beber. Pada dasawarsa kedua awal abad ke-16, atas kreativitas salah seorang tokoh Walisongo yaitu Sunan Kalijaga, wayang disempurnakan

2R.M.Ng Purbacaraka dan Tarjan Hadjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta : Jambatan, 1952), h.56.

3

dengan tangan bisa digerakkan dan warna-warna yang digunakan makin beraneka macam.3

Pada masa Sunan Kalijaga wayang digubah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai media dakwah Islam. Wayang Purwa dipilih karena pada saat itu pertunjukan wayang menjadi kegemaran masyarakat Jawa. Pertunjukan wayang dilakukan dengan berbagai perubahan untuk disesuaikan dengan ajaran

Islam. Tokoh-tokoh wayang yang masih sarat dengan cerita tentang Ramayana dan Mahabharata, diramu sedemikian rupa agar masyarakat mendapatkan pengajaran tentang Islam. Perlahan tapi pasti, tidak sedikit masyarakat Jawa yang kemudian masuk ke dalam Islam tanpa paksaaan.4

Masyarakat Jawa sangat kental dengan bentuk perlambangan yang sering disebut dengan pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran). Caranya dengan barang, gambar, warna, bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti”

(tingkah laku). Dalam karakter tokoh pewayangan seorang yang sakti dan berilmu tinggi selalu menggendong tangan kirinya, jika sedang berjalan tangan kanannya saja yang bergerak.Ini adalah perlambangan orang suci yang berilmu tinggi seperti dalam tokoh Semar.5 Pralambang lain yaitu pralambang berupa barang misalnya:

Adas pula-waras (berarti orang sakit akan waras), pupus gedang (orang yang sakit akan mati, sanak saudaranya agar mupus/merelakan takdir Tuhan), gulungan tembakau (orang yang sakit akan dibungkus seperti menggulung rokok, karena sudah tidak dapat diobati), jarit putih (orang yang sakit akan mati dibungkus kain

3 Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. (Jakarta: Transpustaka, 2011), h.100. ` 4 Rahmat Abdullah, Walisongo; Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. (Solo: Al- Wafi, 2015), h.204. 5 RM.Ismunandar, Wayang Asal-Usul dan Jenisnya, h.32.

4

kafan yang berwarna putih). Adapun pralambang warna misalnya: merah berarti berani, putih berarti suci, kuning berarti luhur/agung, dan sebagainya.6

Kebiasaan masyarakat Jawa yang lekat dengan perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukkan unsur Islam ke dalam pertunjukkan Wayang Purwa. Dalam cerita Jamus Kalimasada merupakan perlambangan dari kalimat syahadat yaitu syarat pertama seseorang memeluk

Islam. Tokoh wayang satriya Pandawa dalam kisah Mahabharata kemudian mempersonifikasikan 5 rukun Islam. Bahkan, kisah pewayangan juga dijadikan media untuk mengajarkan tasawuf seperti dalam lakon “Bima Ngaji” atau “Dewa

Ruci.”

Perlambangan Islam yang lain juga terdapat dalam gunungan. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, gunungan ditaruh di tengah-tengah kelir yang merupakan titik pusat jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambaran simbolis dari “Mustika Masjid.” Apabila gunungan dijungkir-balik maka akan menyerupai jantung manusia. Makna yang tersirat tidak sembarangan.

Sebagai orang hidup, jantungnya harus selalu berada di masjid. Jika orang itu belum ada niat ke masjid, berarti imannya belum sempurna. Gunungan oleh Ki

Dalang selalu ditancapkan di tengah kelir ketika awal pertunjukan ini mengandung arti bahwa yang pertama-tama diperhatikan dalam hidup ini adalah masjidnya, yang berarti beribadah kepada Allah sebagai tujuan hidup manusia.7

Wayang Purwa kaya akan makna simbolis dan merupakan budaya yang bernilai tinggi (budaya adiluhung). Bahkan, pada tanggal 7 November 2003,

UNESCO telah menganugerahi wayang sebagai karya kebudayaan yang

6 Ibid, h.34. 7 Ibid, h.102

5

mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga

(Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).8 Bagi sebagian besar masyarakat Jawa wayang bukan hanya tontonan melainkan juga tuntunan.

Wayang Purwa dapat digunakan sebagai sarana komunikasi masa, hiburan, dakwah dan pendidikan. Unsur pendidikan dalam Wayang Purwa bukan sekedar pada ceritanya saja, namun juga terdapat pada perwujudan gambar masing-masing wayang yang merupakan gambaran watak dan sifat manusia.9

Namun sangat disayangkan, seringkali generasi muda saat ini banyak tidak mengetahui dan memahami makna perlambangan yang tersirat dari Wayang

Purwa. Dr.Suwardi Endraswara,M.Hum, (Ketua Jurusan PB Jawa UNY) mengungkap keprihatinannya soal kondisi wayang saat ini: “Generasi muda cenderung lebih percaya diri dengan mengakui budaya asing daripada budaya sendiri, malahan banyak yang berkilah wayang itu tidak patut ditonton karena banyak mengajarkan kekerasan.”10 Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman tentang wayang dan ketidakmampuan menerjemahkan perlambangan yang ada di dalamnya, seperti dikatakan salah seorang ahli kebudayaan Jawa Sri Mulyono:

“Wayang Purwa tidak lain dan tidak bukan merupakan bahasa simbol atau ensiklopedi dari kehidupan dan hidup sendiri, orang sekarang tidak memerhatikan ketajaman intuisinya, yang dikehendaki hanya yang kongkrit dan instan.”11 Hal inilah yang kemudian memudarkan kemampuan masyarakat dalam menginterprestasi bahasa perlambangan dalam Wayang Purwa.

8 Solichin. Wayang Master Piece Seni Budaya Dunia. (Jakarta : Sheila Offset, 2010), h.15. 9 Muchyar Abi Tofani, Mengenal Wayang Kulit Purwa, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2013) h.5. 10 https://uny.ac.id/berita/sarasehan-tentang-wayang-kulit-dan-islam-terhadap-seni- budaya.html diakses pada 6 Juni 2016 11 Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia 3, (Jakarta: Yayasan Nawangi, 1977), h.43.

6

Ketidakmampuan masyarakat khususnya generasi muda memahami makna perlambangan yang ada di dalam wayang disebabkan karena beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah karena kurangnya lembaga pendidikan tinggi yang secara khusus mempelajari Wayang Purwa. Seperti dalam kasus Wayang

Purwa Gagrag Banyumas. Berdasarkan penelusuran penulis, tidak ada perguruan tinggi yang mengajarkannya. Hal ini diiyakan oleh salah satu dalang senior Ki

Tarjono: “Memang Wayang Gagrag Banyumas diwariskan secara turun-temurun, tidak punya sekolah, jadi wajar kalo banyak yang tidak faham.”12 Hal serupa juga dikatakan budayawan Banyumas, Ki Rasito: “Wayang Gagrag Banyumas sulit ditelusuri karena berkembang dari bawah dan merupakan kesenian rakyat, jadi tidak terlembagakan secara khusus.”13

Selain itu kurangnya sumber-sumber bacaan baik berupa buku maupun penelitian ilmiah yang mengupas mengenai makna perlambangan dalam Wayang

Purwa Gagrag Banyumas menjadi faktor penyebab memudarnya pemahaman masyarakat terhadap wayang ini. Penulis melakukan penelusuran di beberapa perguruan tinggi di kawasan Banyumas, tidak satupun ditemukan bahan bacaan yang membahas secara khusus tentang pemaknaan simbol-simbol dalam Wayang

Gagrag Banyumas. Begitu juga ketika berkunjung ke Museum Wayang

Banyumas, tidak ditemukan satu pun buku bacaan terkait. Didik Himawan

(Kepala Museum Wayang Banyumas) mengakui bahwa selama ini belum ada penelitian yang membahas tentang makna simbol-simbol atau perlambangan dalam Wayang Purwa Gagrag Banyumas.

12 Wawancara pribadi dengan Ki Tarjono, Banyumas, 1 Agustus 2016. 13 Wawancara pribadi dengan Ki Rasito Purwopengrawit, Banyumas, 25 Juli 2016.

7

Wayang Purwa Gagrag Banyumas sebagai bagian tak terpisahkan dari

Wayang Purwa gagrag lainnya merupakan gubahan dari Walisongo. Bahkan

Sunan Kalijaga sendiri pernah singgah dan mendalang di kawasan Banyumas yang dikenal dengan Dalang Kumendung.14 Hal ini juga dikemukakan Ki Sugito

Purbocarito bahwa Wayang Purwa sudah berkembang pesat di kawasan

Banyumas khususnya yang berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng

(Gagrag Lor Gunung) yaitu sejak zaman Kesultanan Demak (1478-1550 M).15

Wayang Purwa Gagrag Banyumas memiliki nuansa kerakyatan yang kental seperti karakter masyarakat Banyumas yang jujur dan terus terang. Secara filosofis hal ini juga dapat dilihat dari bentuk fisik boneka wayang Gagrag

Banyumas yang pewarnaannya sangat mencolok dan apa adanya. Ukuran wayangnya juga agak kecil jika dibandingkan dengan wayang dalam gagrag lainnya. Hal ini dikarenakan wayang Gagrag Banyumas dikembangkan dari

Wayang Kidang Kencana yang berasal dari masa Kesultanan Pajang (1556 M) yang memang ukurannya dibuat lebih kecil dari ukuran wayang pada umumnya.

Wayang tersebut pernah digunakan Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah Islam kepada masyarakat Banyumas. Sampai saat ini wayang tersebut prototypenya masih tersimpan di Museum Wayang Banyumas. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Wayang Purwa Gagrag Banyumas memiliki kedekatan dengan Islam sehingga sangat dimungkinkan dalam perupaan boneka wayang Gagrag

Banyumas memiliki makna simbolis tentang ajaran Islam.16

14 Agus Sunyoto, Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), h.146 15 Rene.A.Lysloff. Srikandi Dances Lengger; a performance of music anda shadow theater. (Leiden: KITLV Press, 2009), 34. 16 Wawancara pribadi dengan Didik Himawan, Banyumas, 7 Juli 2016.

8

Oleh karena itu, menarik untuk ditelusuri apa sesungguhnya makna perlambangan Islam yang terkandung dalam Wayang Purwa Gagrag Banyumas yang merupakan peninggalan sejak masa Sunan Kalijaga. Untuk dapat menginterpretasi makna perlambangan tersebut penulis menggunakan pendekatan teori semiotika. Melalui semiotika makna dari sebuah tanda dapat diuraikan. Dari sekian banyak model semiotika penulis menggunakan model semitioka Charles

Sanders Pierce yang banyak mengurai klasifikasi tanda yang sangat kompleks.17

Atas dasar beberapa hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi berjudul “Lambang-Lambang

Islam dalam Bentuk Fisik Tokoh Wayang Purwa Gagrag Banyumas.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dengan pertimbangan banyaknya tokoh wayang dalam Wayang Purwa

Gagrag Banyumas, maka penulis akan membatasi dan memfokuskan penelitian pada bentuk fisik tokoh Bawor dan Werkudara yang merupakan simbol identitas masyarakat Banyumas. Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah pada penelitian ini ialah :

1. Bagaimana makna lambang-lambang Islam yang tersirat dalam perwujudan

bentuk fisik tokoh wayang Bawor?

2. Bagaimana makna lambang-lambang Islam yang tersirat dalam perwujudan

bentuk fisik tokoh Werkudara?

17 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi; Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013) h.19.

9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

a. Penulis ingin mengungkap lebih dalam tentang makna lambang-lambang

Islam yang tersirat dalam bentuk fisik tokoh Wayang Purwa Gagrag

Banyumas.

b. Penulis ingin memberikan masukan baru dan konstribusi bagi

perkembangan ilmu komunikasi tradisional terutama yang berhubungan

dengan lambang-lambang sosial, budaya, dan keagamaan dengan fokus

pada Wayang Purwa Gagrag Banyumas.

c. Penulis ingin mengungkap lebih dalam tentang perkembangan Wayang

Purwa Gagrag Banyumas dan perannya dalam dakwah Islam.

2. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini dapat mengungkapkan misteri makna lambang-

lambang Islam yang tersirat dalam bentuk fisik karakter tokoh Wayang

Purwa Gagrag Banyumas khususnya tokoh wayang Bawor dan

Werkudara.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman terhadap

lambang-lambang Islam dalam budaya Jawa khususnya dalam Wayang

Purwa.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat yang

mencintai seni budaya Wayang Purwa dan para budayawan agar dapat

10

melestarikan bahkan mengemas seni budaya tersebut sehingga lebih

dirasakan manfaatnya khususnya dalam syiar Islam.

d. Hasil penilitian ini dapat melengkapi kepustakaan mengenai Wayang

Purwa Gagrag Banyumas yang jumlahnya sangat terbatas karena

kurangnya lembaga pendidikan tinggi yang secara khusus mempelajari

Wayang Purwa Gagrag Banyumas.

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terperinci dari pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang dialami.18 Sedangkan metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian

(seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat ini berdasarkan fakta- fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.19

Usaha mendeskripsikan fakta-fakta pada tahap permulaan penelitian metode deskriptif tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara lengkap tentang aspek yang diselidiki agar jelas kondisinya. Oleh karena itu, pada tahap ini tidak lebih dari sekedar penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta

18H.Ardial, Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi (Jakarta : Bumi Aksara, 2014), h.249. 19Hadiri Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2003), h.63.

11

seadanya serta menghubungkan satu dengan yang lainya di dalam aspek-aspek yang diteliti. Pada tahap berikutnya, metode ini harus diberi bobot yang lebih tinggi perlu dikembangkan dengan memberikan penafsiran yang dekat terhadap fakta-fakta yang ada. Dengan kata lain, metode ini tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu.20

Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara faktual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini yaitu bentuk tokoh wayang Bawor dan Werkudara di Museum Wayang Banyumas. Dari data-data yang ditemui di lapangan, penulis juga akan memaparkan hubungan diantara satu aspek dengan aspek lainnya. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dan diinterpretasikan menggunakan teori atau metode analisis semiotika Charles

Sanders Pierce.

2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian adalah di sekitar kawasan eks.Karasidenan

Banyumas tempat berkembangnya Wayang Purwa variasi Gagrag Banyumas yang meliputi Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari manuskrip sejarah, catatan dalam buku-buku, jurnal atau majalah, koran, dokumentasi dari pengamatan lapangan dan hasil wawancara dengan para ahli, pengamat dan praktisi Wayang

Purwa (dalang), para mubaligh, dan pengrajin wayang.

20 H.Ardial, Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi, h.262-263.

12

4. Tehnik Pengumpulan Data

a. Observasi, yaitu pengamatan langsung bentuk Wayang Purwa Banyumas di

museum wayang, pengamatan langsung terhadap pengajian Wayang Purwa,

serta pengamamatan proses pembuatan wayang di lokasi yang telah

ditentukan yaitu di wilayah eks.karasidenan Banyumas pada periode Juni-

Agustus 2016.

b. Studi Dokumentasi, merupakan tehnik yang juga dilakukan dengan

mengumpulkan data sumber rujukan utama yang terdiri dari Pakem

Pedalangan Gagrag Banyumas, dokumentasi bentuk fisik wayang

Banyumas dari museum wayang Banyumas (Sendang Mas).

c. Wawancara, yakni suatu cara untuk mengumpulkan data dengan

mengajukan pertanyaan langsung kepada narasumber yang berkompeten

dalam hal pewayangan yang terdiri dari Ki Daulat Darmo Carito (dalang

senior) pada 29 Juli 2016, Ki Tarjono (dalang senior) pada 1 Agustus 2016,

Kyai Sunan Sunhaji (Da‟i yang menggunakan wayang sebagai media

dakwah) pada pada 24 Juli 2016, Kyai Mochammad Ma‟ruf (Da‟i yang

menggunakan wayang sebagai media dakwah) pada 26 Agustus 2016, Didik

Himawan (Kepala Museum Wayang Banyumas) pada 26 Juli 2016, Ki

Rasito Purwo Pengrawit (pakar kesenian banyumas) pada 25 Juli 2016, dan

Ki Katim (pengrajin wayang) pada 23 Juli 2016.

5. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui dan menganalisis pesan dalam obyek melalui simbol- simbol yang ada di dalamnya, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisis semiotika. Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti

13

“tanda”.21 Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan tanda.22

Menurut Charles Sanders Pierce (1839-1914) tanda merupakan “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Sesuatu itu dapat berupa hal yang konkret (dapat ditangkap dengan panca indera manusia), yang kemudian melalui proses, melalui

“sesuatu” yang ada dalam kognisi manusia. Jadi yang dilihat oleh Pierce, tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap oleh panca indera.23

Proses pemaknaan tanda menurut Pierce mengikuti hubungan prosesual antara tiga titik yaitu: Representament [R], Object [O] dan Interpretant

[I].Representamen [R] adalah bagian tanda yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya [O]. Kemudian Interpretan [I] adalah bagian dari proses menafsirkan hubungan [R] dan [O]. Oleh karena itu, bagi Pierce tanda tidak hanya representatif tetapi juga interpretatif.24

Pierce mengemukakan bahwa proses semiosis (pemaknaan) pada dasarnya tidak terbatas. Jadi, interpretan dapat berubah menjadi tanda baru yang kemudian mengikuti semiosis secara tak terbatas. Sebuah interpretan dari suatu tanda (I) dapat menjadi tanda baru (S) pada proses berikutnya. Tanda baru itu memiliki

21 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h.11. 22 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h.5. 23 Benny H.Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2007). h.4. 24 Ibid, h.5.

14

object dan interpretan baru pula. Interpretan itu, kelak akan menjelma menjadi tanda baru lagi dan seterusnya.25

Pierce mengidentifikasikan 66 jenis tanda yang berbeda, tiga diantaranya lazim digunakan dalam berbagai karya semiotik saat ini, yaitu: Ikon, Indeks dan

Simbol. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan menunjukan padanya atau mengaitkan (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain. Simbol adalah tanda yang mewakili obyeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik.26

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk menghindari kesamaan, maka penulis memberikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Karya-karya itu antara lain :

1. “Simbol-Simbol Sosial Kebudayaan Jawa, Hindu dan Islam yang

Direpresentasikan dalam Artefak Masjid Agung Surakarta (Studi Semiotika

Komunikasi Tentang Simbol-Simbol Sosial Kebudayaan Jawa, Hindu dan

Islam yang Direpresentasikan dalam Artefak Masjid Agung Surakarta).

“Tesis karya Machrus, Mahasiswa pasca sarjana jurusan Ilmu Komunikasi,

Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2008. Kesamaan penelitian

dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sama-sama berupa kajian

semiotika dengan menggunakan metode analis Semiotika Charless Sanders

Pierce terhadap artefak kebudayaan. Sedangkan perbedaannya terletak pada

obyek penelitian yang berupa artefak Masjid Agung Surakarta dalam bentuk

25 Christomy dan Untung Yuwono. Semiotia Budaya. (Depok: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004) h.129. 26 Marcel Danesi. Pesan, Tanda dan Makna.(Yogyakarta: Jalasutra, 2012). h.33.

15

mihrab, mimbar dan gapura. Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan

yang obyeknya berupa Wayang Purwa.

2. “Aspek-Aspek Simbolik Gunungan dalam Wayang Purwa Gaya Surakarta.”

Skripsi Karya Radhita Yuka Heragoen, Mahasiswa Jurusan Studi Jawa,

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2009.

Kesamaan penelitian dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sama-

sama mengkaji aspek simbolik dalam Wayang Purwa. Sedangkan

perbedaannya terletak pada jenis Wayang Purwa yang dikaji yaitu Wayang

Purwa gaya (gagrag) Surakarta dan Banyumas. Selain itu fokusnya juga

berbeda, dalam penelitian ini lebih menfokuskan pada gunungan dengan

beragam jenisnya dan dalam penelitian yang penulis lakukan lebih berfokus

pada tokoh-tokoh wayangnya.

3. “Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumas Sebagai Media

Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter di Kabupaten Banyumas.” Skripsi

karya Leli Ristawati, Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu

Sosial Politik, Universitas Jenderal Soedirman, tahun 2015. Kesamaan

penelitian dengan penelitian yang penulis lakukan adalah mengangkat tema

wayang kulit Gagrag Banyumas. Sedangkan perbedaannnya terletak pada

fokus pembahasan, dalam penelitian tersebut ditekankan pada pesan

pendidikan karakter, sementara itu penelitian yang peneliti lakukan lebih

berfokus pada lambang-lambang Islam yang tersirat dari bentuk tokoh

wayang Gagrag Banyumas.

Dari beberapa ulasan judul penelitian skripsi terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar dengan judul penelitian

16

yang penelitian yang penulis lakukan, oleh karena itu penulis berasumsi bahwa judul yang penulis angkat adalah baru.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terdiri dari beberapa bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN terdiri dari Latar Belakang, Batasan dan

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian,

Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, serta Sistematika

Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS terdiri dari sub bab Semiotika Komunikasi,

Model Semiotika Charles Sanders Pierce, dan Wayang Purwa.

BAB III GAMBARAN UMUM WAYANG PURWA GAGRAG

BANYUMAS yang mendeskripsikan tentang sejarah Wayang

Purwa Gagrag Banyumas, karakteristiknya, serta pembakuannya.

BAB IV ANALISIS DATA yang menguraikan hasil temuan lapangan serta

hasil analis makna lambang-lambang Islam yang tersirat dari bentuk

fisik tokoh Bawor dan Werkudara.

BAB V PENUTUP terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari

permasalahan yang dibahas dan saran atas permasalahan yang

dibahas. Kemudian bagian terakhir memuat daftar pustaka dan

lampiran-lampiran.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Semiotika Komunikasi

Menurut Dedi Mulyana, komunikasi merupakan proses transaksi, komunikator secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Komunikasi berlangsung jika seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, pihak-pihak yang berkomunikasi berada pada keadaan interdepedensi dan timbal balik.27 Moss dan Tubbs berpendapat bahwa yang membuat komunikasi manusia menjadi unik adalah kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang.28

Semiotika atau semiologi berasal dari kata semeion yang berarti tanda.

Secara singkat semiotika dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu tentang tanda (the science of sign). Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan tanda.29 Semiotika mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat, menyangkut segala hal yang membentuk tanda-tanda serta kaidah- kaidah yang mengaturnya. Asumsi dasar yang melatarbelakangi pendekatan ini adalah bahwa kebudayaan merupakan sistem pemaknaan. Melalui sistem

27 Dedy Mulyana.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. (Bandung: Rosdakarya, 2001) h.68 28 Stewart L Tubbs dan Sylvia Moss.Human Comunication Prinsip-Prinsip Dasar.(Bandung: Rosdakarya, 1996) h.5 29 Indiwan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi; Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013) h.7

16

17

pemaknaan ini tatanan sosial dikomunikasikan, direproduksi, dialami dan dieksplorasi.30

Menurut Umberto Eco, kajian Semiotika saat ini dibedakan menjadi dua, yaitu: semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komukasi dan acuan yang dibicarakan.

Sedangkan semiotika signifikasi tidak „mempersoalkan‟ adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya.31 Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis semiotika yang pertama yaitu semiotika komunikasi.

Semiotika sebagai konsep tentang tanda-tanda dipergunakan secara fleksibel akan tetapi seksama dalam memecahkan persoalan makna pesan dalam tindakan komunikasi. Semiotika bekerja menggali berbagai perspektif dalam ranah tindakan komunikasi. Ia merupakan suatu model yang akan membantu menjelaskan bagaimana tindak komunikasi berlangsung sebagai bagian proses interaksi. Pesan yang berupa tanda-tanda dibangun dan diciptakan oleh komunikator karena mempunyai maksud dan tujuan, yaitu pesan disampaikan kepada komunikan, khalayak atau publik. Pesan diwujudkan dalam tanda, ditafsirkan melalui proses penandaan (signifikasi) yang disebut dengan proses semiosis yaitu suatu proses pemaknaan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada objek, akhirnya terjadi proses interpretasi.

30 Kris Budiman. Jejaring Tanda-Tanda; Strukturalisme dan semiotik dalam kritik kebudayaan. (Magelang: Indonesia Sejahtera, 2004) h.104-105 31 Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.9

18

B. Model Semiotika Charless Sanders Pierce

Charles Sanders Pierce mengembangkan semiotika dengan terminologi studi tanda yang disebut sebagai semiotika komunikasi, yaitu semiotika yang menekankan aspek produksi tanda ketimbang sistem tanda. Sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika sangat bertumpu pada pekerja tanda (labour), yang memilih tanda dari bahan baku tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna.32

Dalam teori semiotika yang dikemukakan Pierce dan para penerusnya, model semiosis yang menjadi dasar pemaknaan tanda mengikuti tiga tahap

(trikotomis), yakni representamen (R) (“sesuatu”) >>Object (O) (sesuatu yang di dalam kognisi manusia”) >>Interpretant (I) (“proses penafsiran). 33

Obyek (O)

Representamen (R) Interpretan (I)

Gambar.1 Segitiga Tanda Pierce Sumber: Christomy (2004: 117)

Menurut Pierce, tandaSumber: dibentuk Danesi oleh(2012: hubungan33) segitiga yaitu

Representamen yang oleh Pierce disebut juga dengan tanda (sign) berhubungan dengan object yang dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan interpretant.

Tanda atau representamen adalah bagian tanda yang merujuk pada sesuatu

32 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003) h.xii 33 Benny H.Hoed. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. (Depok: FIB UI, 2007) h.18

19

menurut cara dan kapasitas tertentu. Pierce mengistilahkan representamen sebagai tanda atau obyek yang berfungsi sebagai tanda. Object adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Biasanya object merupakan sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri atau obyek dan tanda bisa jadi merupakan entitas yang sama.34

Penerapan dari model trikotomis Pierce ini dapat dilihat dari contoh berikut: Apabila seorang melihat bendera warna kuning (R) yang membuatnya merujuk pada sesuatu (O), yakni dilekatkan pada sebuah kayu yang dipegang oleh seorang pengedara motor. Proses selanjutnya ialah menafsirkannya, misalnya, bahwa bendera berwarna itu menandakan ada orang yang meninggal dan si pemegang bendera hendak mengantar jenazah ke pekuburan (I). Pada saat tanda (bendera berwarna kuning) ini masih dalam tataran R dan O, maka tanda itu masih menunjukan dasar identitasnya. Inilah yang nanti disebut icon/ikon.

Selanjutnya, bila dalam kognisi pemakai tanda itu, ia menafsirkan bahwa bendera kuning adalah simbol kematian maka tanda itu disebut symbol/simbol, yaitu hubungan antara R dan O yang bersifat konvensional (seseorang harus memahami konvensi antara hubungan warna kuning dengan kematian). Proses R-O-I disebut dengan semiosis yakni proseses pemaknaan dan penafsiran tanda.35

Pierce juga mengemukakan bahwa proses semiosis pada dasarnya tidak terbatas. Jadi, interpretan dapat berubah menjadi tanda baru yang kemudian mengikuti semiosis secara tak terbatas. Sebuah interpretan dari suatu tanda (I) dapat menjadi tanda baru (S) pada proses berikutnya. Tanda baru itu memiliki

34 Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.169 35 Ibid, h.195

20

object dan interpretan baru pula. Interpretan itu, kelak akan menjelma menjadi tanda baru lagi dan seterusnya.”36

Sebagai contoh apabila seseorang melihat tokoh wayang yang mengenakan kain kampuh poleng bang bintulu, maka hal itu sebagai

Representamen (R/S1). Selanjutnya orang tersebut akan merujuk pada acuan berupa konsep pakaian wayang yang berupa kain yang menutupi bagian tubuh wayang dengan motif kotak-kotak dengan empat warna (hitam, merah, kuning, putih), hal ini sebagai Object (O). Dari hubungan tersebut akan membuahkan penafsiran berupa kemungkinan tokoh wayang yang dimaksud adalah tokoh wayang golongan tunggal bayu (memiliki kekuatan angin) seperti tokoh

Werkudara (Bima) dan Anoman,37 hal ini menjadi interpretant (I). Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada proses semiosis tahap pertama akan menjadi tanda baru

(S2) yang merujuk pada acuan/object berupa ciri lain tokoh wayang yang dimaksud berupa postur tubuh wayang yang tinggi besar, bermata telengan, hidung bentulan, bergaya rambut gelung minangkara (O2). Maka orang tersebut akan menafsirkan bahwasannya dapat dipastikan tokoh wayang yang dimaksud adalah Werkudara (Bima) (I2). Selanjutnya akan diteruskan pada semiosis tahap ketiga (I2=S3) dengan acuan cerita tentang Dewa Ruci O3). Dari sini akan didapatkan interpretant berupa hal yang dimaksud adalah cerita perjalanan spiritual Bima hingga dapat bertemu dengan Dewa Ruci yang telah digubah Sunan

36 Christomy dan Untung Yuwono. Semiotia Budaya. (Depok: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004) h.129 37 Dalam Konsep Pewayangan kain kampuh Bang bintulu hanya dikenakan oleh tokoh wayang yang memiliki kekuatan angin seperti; Werkudara (Bima), Anoman, dll. Lihat Susilo Bambang dkk, Seneng Wayang Cinta Budaya, h.52

21

Kalijaga untuk kepentingan dakwah(I3).38 Sampai di sini merupakan proses semiosis tahap ketiga yang akan diteruskan pada semiosis tahap keempat.

Pada semiosis tahap keempat diawali dari interpretant tahap ketiga

(I3=S4) yaitu kisah Dewa Ruci. Kemudian hal menjadi tanda baru yang merujuk pada acuan berupa kisah pertemuan Syekh Malaya (Sunan Kalijaga) dengan Nabi

Khidir yang diceritakan dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga (O4). Maka dapat ditafsirkan bahwa kisah Dewa Ruci memiliki korelasi dengan kisah pertemuan

Sunan Kalijaga dan Nabi Khidir. Terdapat kesamaan dari dua cerita tersebut.

Bima mendapatkan tugas dari gurunya yaitu Pendita Drona sedangkan Sunan

Kalijaga juga mendapatkan tugas dari gurunya yaitu Sunan Bonang. Pada akhir cerita Bima dapat menunaikan tugas dan bertemu Dewa Ruci, Sementara itu

Sunan Kalijaga juga berhasil menunaikan tugas dan bertemu Nabi Khidir. Jadi sebenarnya yang ingin diungkapkan adalah Kisah Dewa Ruci merupakan versi pewayang dari kisah pertemuan Sunan Kalijaga dan Nabi Khidir (I4).

Dalam perjumpaannya dengan Nabi Khidir, Sunan Kalijaga melihat cahaya berwarna-warni yang terdiri dari empat warna yaitu hitam, merah, kuning dan putih yang melambangkan bermacam-macam nafsu manusia (S5). hal ini merupakan sebuah tanda yang mengacu pada konsep tentang hawa nafsu manusia yang terdiri dari nafsu lawwamah yang identik dengan warna hitam, nafsu amarah yang identik dengan warna merah, nafsu sufiyah yang identik dengan warna kuning dan nafsu mutmainah yang identik dengan warna putih. Konsep seperti ini

38 Cerita Dewa Ruci merupakan cerita dalam pewayangan yang digubah oleh Sunan Kalijaga untuk keperluan dakwah Islam terutama menggambarkan konsep tasawuf. Kisah ini pada mulanya berasal dari naskah kuno Kitab Nawa Ruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti. Kitab Nawaruci menerangkan kisah Bima yang berguru kepada Pendita Durna dan mendapatkan titah untuk mencari “tirta prawitra”. Ringkasnya Bima berhasil menunaikan tugas dan bertemu dengan Nawaruci.

22

dikenal luas dalam Sufime Jawa (O5).39 Sehingga dapat ditasirkan bahwa sesungguhnya keempat warna yang dilihat oleh Sunan Kalijaga merupakan perlambangan dari konsep empat nafsu manusia (I5). Sampai di sini dapat ditafsirkan bahwa atribut kain kampuh bang bintulu yang dikenakan oleh tokoh wayang Werkudara (Bima) adalah perlambangan dari pencapaian spiritualnya yang telah mengusai empat macam nafsu.40 Penafsiran ini didapatkan melalui proses semiosis bertingkat.

Gambar.2 Proses Semiosis Tak Terbatas Sumber: Christomy (2004: 130)

Bagi Pierce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu.

Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi seperti itu menjadi fungsi utamanya. Representasi juga baru dapat berfungsi apabila ada bantuan dari sesuatu (ground). Seringkali ground suatu tanda merupakan kode, namun ini tidak berlaku mutlak. Kode ini sendiri merupakan suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual (melampai batas individu). Namun demikian, banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Seperti dikemukakan diatas, tanda juga diintrepretasikan. Jadi, tanda selalu dihubungkan dengan acuan,

39 Simuh. Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2016) h.76. 40 Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. (Jakarta: Transpustaka, 2011), h.151.

23

dari tanda orisinil berkembang suatu tanda baru (interpretant). Jadi, tanda selalu terdapat hubungan segitiga (ground, object dan interpretant) yang satu sama lain saling terkait.41

Berdasarkan sifat hubungan antara ground dan objectnya, Pierce membagi tanda menjadi tiga jenis: Indeks, ikon dan simbol. Indeks adalah melihat keterkaitan atau hubungan kausal antara ground dan obyeknya. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan. Dengan kata lain terjadi kemiripan identitas tanda dan obyeknya. Sedangkan simbol adalah hubungan yang terbentuk secara konvensional. Jadi terjadinya hubungan ground dan obyeknya itu didasarkan pada konvensi, meskipun tidak ada kemiripan antara ground dengan obyek yang diacunya dan tidak mempunyai kedekatan dengan obyek tersebut.42

Gambar.3 Hubungan Antar Tanda Sumber: Cristomy (2004: 122)

Ikon menunjukan kemiripan dengan obyeknya. Ini yang kerapkali amat jelas pada tanda-tanda visual, foto seseorang yang menunjukan kemiripan pada seseorang, peta merupakan sebuah ikon yang memiliki kemiripan dengan bagaimana bentuk muka bumi. Bentuk wayang pada dasarnya merupakan ikon dari manusia karena memiliki kemiripan anatomi. Pada bagian tubuh tertentu tokoh wayang misalnya tokoh Bawor, terdapat penamaan yang sebenarnya

41 Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.195-196. 42 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.41-42.

24

didasari karena unsur kemiripan. Bentuk jidat Bawor disebut mungkal gerang karena mirip benda berupa wungkal (batu pengasah).

Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan obyeknya. Di dalam indeks, hubungan antara tanda dan obyeknya bersifat kongkret, aktual dan biasanya melalui cara yang sekuensial atau kausal.43 Contoh: Asap adalah indeks api, bersin adalah indeks flu, ketukan pintu indeks tamu, mendung indeks dari hujan. Bila saya berjanji bertemu Anda, dan saya menyatakan Anda bisa mengenali saya karena berkumis dan mengenakan jas berwarna hitam, maka kumis dan jas hitam adalah indeks saya.

Begitu juga dalam tokoh wayang, karakter satriya berpostur tinggi besar, bergaya rambut gelung minangkara, mengenakan kain poleng, berkuku pancanaka adalah indeks tokoh Werkudara.

Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan obyeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Kata-kata umumnya adalah simbol. Rambu-rambu lalu lintas merupakan simbol karena didasari kesepakatan internasional. Seseorang harus memahami misalnya rambu lalu lintas berupa huruf “S” berwarna merah disilang merupakan tanda dilarang berhenti. Begitu juga dalam dunia pewayang kain kampuh bangbitulu yang dikenakan Werkudara dengan warna merah, hitam, kuning, putih merupakan simbol nafsu manusia yang terdiri amarah, lawamah, sufiyah dan mutmainah. Pemaknaan tersebut juga berasal dari konvensi yaitu dari pakem pedhalangan.

Namun perlu dicatat, Pierce membagi tanda dan cara kerjanya ke dalam tiga kategori sebagaimana penjelasan di atas. Meskipun begitu pada prakteknya,

43 Wibowo, Semiotika Komunikasi, h.15.

25

tidak dilakukan secara „mutually exclusive‟ sebab dalam konteks-konteks tertentu ikon dapat berubah menjadi simbol. Banyak simbol yang berupa ikon. Di samping menjadi indeks sebuah tanda sekaligus menjadi simbol. Selain itu Pierce juga memilah-milah tanda menjadi kategori lanjutan, yakni kategori firstness, secondness dan thirdness. Tipe-tipe tanda tersebut meliputi: (1) qualisgn, (2) signsign dan (3) legisign. Begitu juga (1) rheme, (2) dicent sign dan (3) argument.

Dari berbagai kemungkinan persilangan di antara seluruh tipe tanda ini tentu dapat dihasilkan berpuluh-puluh kombinasi yang kompleks.44

C. Konsep Perlambangan Islam

Secara etimologis simbol atau lambang berasal dari kata Yunani “sym- ballien” yang berarti melemparkan bersama sesuatu dikaitkan suatu ide. Ada pula yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan

WJS Poerwadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengundang maksud tertentu. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga negara Republik Indonesia. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri.45

Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab Aslama-Yuslimu-

Islaman, yang artinya tunduk, patuh, beragama Islam.46 Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur

44 Ibid, h.19. 45 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.155-156. 46 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.th.), h. 177.

26

interaksi antara manusia dengan Allah, sesamanya dan juga dengan dirinya sendiri.47 Menurut Mahmud Syaltut, Islam adalah agama Allah yang ajarannya dalam bidang ushul dan syari‟ah-nya diwasiatkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang kepada beliau tanggung jawab untuk menyampaikannya dan menyerukannya kepada seluruh umat manusia.48 Dengan demikian, secara terminologis pengertian

Islam tidak dapat dilepaskan dari makna kata asal yang dimaksud.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perlambangan Islam adalah perlambangan yang menunjukan anggapan, gagasan atau pandangan hidup yang didasari oleh ajaran Islam.

D. Wayang Purwa

1. Definisi Wayang Purwa

Menurut Amir Martosedono, dalam Bahasa Jawa perkataan wayang berarti wayangan (layangan). Dalam bahasa Indonesia berarti bayang-bayang, samar- samar, dan tidak jelas.49 Sedangkan Purwa berasal dari kata “parwa”, yang berarti bagian dari cerita Mahabharata.50 Wayang Purwa atau sering juga disebut wayang kulit adalah salah satu jenis wayang yang penyaduran ceritanya bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa

Jawa Kuno.51 Oleh karena itu, Wayang Purwa mengkhususkan pada cerita

Ramayana dan Mahabharata serta cerita sempalannya. Selain Wayang Purwa terdapat beberapa jenis wayang lain seperti: Wayang Krucil, Wayang Beber,

47 Samih „Atif Al-Zayn. Al-Islam wa Idayulujiyah Al-Insan. (Beirut: Dar Al-Kitab Al- Lubnani cet.III, 1982) h.66. 48 Mahmud Syaltut, al-Islam „Aqidah wa Syari‟ah, (Kairo: Daar al-Qalam, 1966), h. 12. 49 Amir Mertosedono, Sejarah Wayang, (Semarang: Dahara Prize, 1993), h.28 50 Sri Mulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya, (Jakarta: BP. Alda, 1975), h.6 51 Bambang Susilo dkk, Seneng Wayang Cinta Budaya. (Semarang: Media Wiyata, 1993) h.vi

27

Wayang Gedog, Wayang Suluh, Wayang Madya, Wayang Wahyu dan masih banyak lagi.

2. Sejarah Perkembangan Wayang Purwa

Secara garis besar sejarah perkembangan Wayang Purwa dapat dirangkum sebagai berikut:

a). Zaman Dyah Balitung (898-910 M). Pada masa itu, Kitab Ramayana yang berasal dari India dialihbahasakan ke dalam Bahasa Jawa Kuno (Kawi).

Tepatnya tahun 907 M diketahui adanya pertunjukan wayang karena dalam

Prasasti Balitung menyebutkan “mawayang buat hyang”.52

b). Zaman Raja Darmawangsa (991-1016 M). Pada zaman ini Kitab

Mahabharata yang juga dari India dialihbahasakan ke dalam Bahasa Jawa Kuno.

Semula terdiri dari 18 parwa kemudian dirakit kembali menjadi 9 parwa.53

c). Zaman Raja Airlangga (1019-1042 M). Pada masa Raja Airlangga kesusastraan Jawa kuno berkembang pesat. Pada masa itu ditulis kitab

Wiwaha oleh Mpu Kanwa, wayang disebutkan dalam prasasti dengan istilah

“ringgit” atau“welulang inukir”.

d). Zaman Kediri (1042-1222 M). Raja Kerajaan Kediri yang berhubungan dengan pesatnya perkembangan kesusastraan adalah Raja Jayabaya

(1135-1157 M). Menurut legenda Raja Jayapurusa (Jayabaya) untuk memperingati para nenek moyangnya, Sang Raja memerintahkan agar membuat gambarnya di daun lontar. Gambar tersebut ditiru dari arca-arca, jadi bentuknya

52 Srimulyono. Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya, h.311. 53 Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI), Pathokan Pedalangan Gagrag Banyumas, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h.18.

28

“methok” yaitu gambar orang dari muka (anface) dan disebut “Gambaring

Wayang Purwa”.54

e). Zaman Majapahit (1293-1528 M). Pada masa Raja Brawijaya I

(Kertarajasa Jayawardana) mempunyai seorang anak bernama R.Sungging

Prabangkara yang pandai menyunging (menggambar dengan warna) pada saat itu gambar Wayang Purwa mulai diberi warna. Hingga saat ini istilah mewarnai wayang disebut menyungging.55

f). Zaman Demak (1478-1550 M). Setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada masa Raja Brawijaya V pada tahun 1478, semua perlengkapan upacara kerajaan dipindah ke Demak. Raden Patah (1478-1520), Pangeran Sabranglor (1520-1521) dan para wali di pulau Jawa juga gemar akan kesenian daerah, sehingga secara aktif mereka mengadaan penyempurnaan dan perubahan bentuk wayang, wujud, cara pertunjukan dan alat perlengkapan Wayang Purwa dari Majapahit, sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada tahun 1518-1521 wayang dibuat pipih menjadi dua dimensi dan digambar miring tidak menyerupai relief candi.

Wayang dibuat dari kulit kerbau yang ditatah halus, diberi warna dasar dari bubuk tulang yang berwarna putih, sedangkan pakaiannya diberi warna hitam. Gambar muka wayang dibuat miring dengan tangan masih menjadi satu dengan badan

(irasan) diberi gapit (bilah penegak/pegangan wayang). Bentuk dan gambar wayang yang meniru gambar wayang beber Majapahit kemudian digambar terpisah-pisah satu persatu. Untuk melengkapi disempurnakan lagi dan ditambah jumlahnya termasuk wayang binatang, rampogan (wayang bala tentara) dan gunungan. Peralatan juga disempurnakan misalnya kelir dari kain, kothak, dan

54 RM. Ismunandar K. Wayang, Asal-Usul dan Jenisnya. (Semarang: Dahara Prize, 1994) h.22. 55 Ibid, h.74.

29

debog/batang pisang untuk menancapkan wayang, blencong untuk lampu penerangan, sulukan dan pathetan (nyanyian pengiring suasana) mulai diatur lebih baik.56

g). Zaman Pajang (1556-1586 M). Setelah Kesultanan Demak runtuh, Jaka

Tingkir memindahkan pusat kerajaan ke Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya.

Pada saat itu Sultan bersama ahli kesenian membuat wayang yang lebih kecil ukurannya dari wayang pada wayang umumnya dan setelah selesai satu kotak disebut “Wayang Kidang Kencana”. Pada masa itu pakaian wayang disempurnakan, misalnya raja memakai mahkota/topong, satriya memakai gelung atau ngore, memakai dodot dan celana. Kemudian dibuat bermacam-macam senjata seperti gada, bindi, alugara dan sebagainya.57

h). Zaman Panembahan Senopati (1582-1586 M). Peperangan antara

Panembahan Senopati dan Sultan Pajang dimenangkan oleh pihak Panembahan

Senopati dari Mataram. Ia mengangkut semua peralatan upacara kerajaan Pajang ke Mataram. Dalam sejarah perkembangan wayang, Panembahan Senopati tidak menciptakan sesuatu yang baru tetapi hanya menyempurnakan wayang binatang dan rambut wayang ditatah gempuran.58

i). Zaman Sulthan Agung Hanyakrawati (1601-1613 M) Pada masa ini

Sulthan memerintahkan agar Wayang Kidang Kencana peninggalan Pajang dibuat lebih tinggi dan lebih panjang, bahu wayang dibuat agar bisa gerakan dan diberi cempurit. Dibuat wayang Arjuna wanda jimat dan wayang Cakil.59

56 Srimulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya, h.84 57 Ibid, h.88. 58 Ibid. 59 SENAWANGI, Pathokan Pedalangan Gagrag Banyumas, h.21.

30

j). Jaman Sulthan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M). pada masa ini bentuk wayang lebih disempurnakan. Wanda60 dan mata wayang dibeda-bedakan ada mata kedondongan, liyepan dan sebagainya. Dibuat wayang Arjuna wanda mangu dan wayang Buta Rambut Geni.61

k). Zaman Amangkurat Tegal Arum (1645-1677 M). Pada masa ini dibuat satu kotak wayang dinamakan Kyai Kanyut. Pada saat itu ditetapkan diangkat

Kyai Anjangmas sebagai sesepuh pimpinan dalang.62

l). Zaman Kartasura (1680-1774 M). Pada tahun 1680 Mataram di bawah pemerintahan Raja Amangkurat II dengan bantuan Belanda, ibukotanya dipindahkan dari Pleret ke Kartasura. Termasuk juga perlengkapannya dan upacara kerajaan. Perkembangan wayang pada saat itu berupa diciptakan wayang

Bagong, bentuk wayang disempurnakan, wayang dewa memakai baju, selendang dan sepatu. Pendeta memakai baju dan sepatu serta dibuat wayang Buta Terong.

Pada masa Pemerintahan Paku Bhuwana I (1703-1719 M) dibuat “wayang sabrangan” dengan mata liyepan, thelengan, memakai baju dan keris.63 Pada masa-masa selanjutnya Mataram Pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Tidak ada perkembangan berarti pada masa-masa ini, hanya penyempurnaan saja.

3. Macam Gagrag Wayang Purwa

Dalam Wayang Purwa terdapat beberapa gaya atau dalam istilah pedalangan disebut dengan istilah gagrag. Masing-masing gagrag dalam Wayang

Purwa mula-mula tumbuh dari daerahnya sendiri dan mencerminkan ciri khas

60 dalam Wayang Purwa dikenal istilah wanda yaitu ekspresi atau ungkapan watak atau ekpresi batin. Satu karakter wayang biasanya memiliki beberapa wanda seperti Arjuna memiliki wanda Kanyut, Kinanthi dan Mangu. Werkudara memiliki wanda thathit, gurmat, dan guntur. 61 SENAWANGI, Pathokan Pedalangan Gagrag Banyumas, h.21. 62 Srimulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya,h.89 63 Ibid, h.92

31

daerah masing-masing. Gaya Wayang Purwa yang paling terkenal adalah Gagrag

Surakarta (Solo) dan Gagrag Yogyakarta, kemudian Gagrag Banyumas.

Ketiga gaya Wayang Purwa Jawa ini telah dibukukan, yang tertua pembakuan dan penerbitannya yaitu Gagrag Surakarta, yang tertua pula perguruan pedalangannya yaitu dimulai tahun 1924. Jika Pedoman Gagrag

Surakarta telah diterbitkan pada awal dasawarsa 1930-an, pedoman pedalangan

Gagrag Yogyakarta diterbitkan tahun 1977, sedangkan Pedalangan Gagrag

Banyumas baru diterbitkan pada tahun 1983.64

Dalam Wayang Purwa, berbagai gagrag itu merinci dan membedakan:

1).Pakaian dalang dan niyaga, 2).Wujud dan wanda wayangnya yang meliputi pola bentuk perincian tatahan dan sunggingannya, 3).Wujud dan bahan membuat kepyak (Solo)/Keprak (Yogya)/kecrek (Banyumas), 4).Seluruh unsur-unsur audio visual pertunjukan wayangnya.

4. Bentuk Wayang Purwa

Boneka wayang yang saat ini digunakan dalam pertunjukan Wayang

Purwa telah mengalami perubahan bentuk dan wujud visual sejak zaman Kerajaan

Mataram Hindu - Kediri – Majapahit – Demak – Mataram Islam –

Yogyakarta/Surakarta. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh keyakinan dan kebutuhan di era itu. Misalnya, pada zaman Kediri wayang menjadi sarana penceritaan nenek moyang atau leluhur keluarga raja di bawah faham animisme.

Pada zaman Kesultanan Demak wayang digunakan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam. 65

64 Pandam Guritno. Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press, 1988) h.76. 65 Haryanto. Seni Kriya Wayang Kulit: Seni Rupa, Sunggingan dan Tatahan. (Jakarta: Grafiti, 1991) h.30.

32

Dalam hal perupaan di zaman Hindu wayang kulit digambar realistis dan belum bisa digerakkan, mengacu pada relief Candi Penataran. Sedangkan di zaman Islam, wayang digambar stilasi dekoratif serta bisa digerakkan bagian tangannya. Puncaknya, sampai saat ini terdapat ± 350 tokoh wayang dengan wujud visual yang berbeda satu sama lain.66Adapun perubahan bentuk dan wujud visual Wayang Purwa dapat dilihat pada tabel berikut:

Pembagian Bentuk dan Karakteristik Wayang Wujud Visual Periode I Pra Berbentuk lembaran pada daun lontar Majapahit (ukuran 2,5 cm) ( + 400-903 M)

I Mulai muncul wayang kulit purwa: Kerajaan mengadopsi bentuk yang ada pada Kediri- relief candi; gaya realistis–menyerupai Majapahit anatomi manusia; sabet belum ( + 903-1478 berkembang (tangan wayang masih M) menjadi satu dengan tubuh); tokoh

wayang terbatas III Bentuk wayang berubah, dari gaya Kerajaan realistis ke bentuk stilasi: Demak- penyimpangan anatomi, tidak Mataram- menyerupai bentuk manusia; sabet Belanda mulai berkembang (tangan dibuat (± 1478 – terpisah dan bisa digerakkan); gagrag 1945 M) dan wanda mulai muncul

66 Ibid, h.26.

33

IV Sama dengan periode sebelumnya, Pasca karena wayang kulit purwa telah kemerdekaan mencapai puncak kesempurnaan di (± 1945 - periode III sekarang)

Tabel.1 Sejarah Perkembangan Bentuk Wayang Purwa Sumber: Haryadi (2013: 13-17)

Dalam boneka wayang purwa dapat diketahui peran yang digambarkan melalui wajah (meliputi bentuk mata, hidung, mulut), posisi kaki serta atribut- atribut yang menunjukan status wayang tersebut sebagai mulai dari raja, satriya, pandita, raksasa, kera, atau wayang-wayang dagelan. Adapun detail bentuk wayang dan maknanya dapat dilhat dari tabel berikut:

Gambar Nama Mata Keterangan Liyepan/ Bentuknya menyerupai biji gabah Gabahan (padi yang belum dikupas kulitnya. Jenis mata ini digunakan tokoh wayang yang bertubuh kecil, langsing, yang memancarkan sifat/watak luhur. Bijaksana Kedelen Bentuknya menyerupai biji kedelai. Menggambarkan tokoh-tokoh berwatak perwira, tangkas, pemberani serta bertubuh sedang.

Peten Bentuknya menyerupai biji petai. Menggambarkan tokoh bertubuh sedang tapi berwatak kurang terpuji, licik, suka curang

Thelengan Bentuk biji matanya berbentuk bulat penuh. Menggambarkan tokoh berwatak bersahaja, berbudi luhur, tangkas, tangguh

34

Plelengan Bentuknya bulat penuh seperti jenis mata thelengan, tetapi lebih besar dan disesuaikan dengan mata wayang. Mata ini disungging dengan warna hitam yang berkesan membelalak untuk menganggambarkan tokoh bertubuh besar, berwatak angkara murka, serakah, perkasa tetapi keji Kiyer/ Bentuknya menyerupai bulan sabit. Penanggalan Tokoh wayang yang bermata kiyer memancarkan sifat yang tidak terpuji, licik, tidak dapat dipercaya, pencemooh dan sebagainya.

Kiyipan Hampir sama dengan mata kiyer tetapi pada biji matanya terlihat setengah lingkaran, tokoh wayang dengan mata kiyipan ini bertubuh besar menggambarkan tokoh gemuk67 Tabel.2 Bentuk mata wayang Sumber : Sunarto (1989: 37-38)

Gambar Nama Keterangan Hidung Wali Miring Merupakan hidung yang diperuntukan bagi tokoh wayang yang bertubuh kecil. Pada umumnya disertai dengan jenis mata liyepan. Jenis hidung ini juga diperuntukan bagin wayang putren (wanita). Contohnya: Arjuna, Kresna, Basudewa, Drupada, Sembadra dan sebagainya. Bentulan Bentuknya menyerupai buah soka (bentul). Tokoh wayang berhidung bentulan biasanya bermata thelengan atau peten. Contohnya: Bima, Gatotkaca, Antareja, Citraksa, Sitija dan sebagainya.

67 Sunarto menambahkan disamping ketujuh bentuk mata wayang tersebut, masih ada lagi jenis lainnya seperti mata mbrebes dan mata plolon. Namun jenis mata tersebut merupakan bentuk mata pengembangan dari ketujuh bentuk mata sebelumnya.

35

Wungkal Wujud dari jenis hidung wungkal Gerang Gerang hampir sama dengan hidung wayang jenis bentulan tetapi ujungnya runcing (tajam) sedikit. Sehingga bentuknya menyerupai bentuk batu pengasah (wungkal) yang sudah lama digunakan (gerang). Tokoh wayang yang berhidung wungkal Gerang antara lain: Rahwana, Boma, Dursasana, Burisrawa dan sebagainya. Pelokan Pada umumnya digunakan pada tokoh wayang bermata plelengan. Bentuknya menyerupai biji mangga. Tokoh wayang yang berhidung pelokan biasanya adalah raksasa, seperti: Kumbakarna, Prahasta, Suratrimantra dan sebagainya. Pesekan Menggambarkan tokoh-tokoh kera, seperti: Anoman, Sugriwa, Subali, Anggada, Anila, Jembawan dan sebagainya.

Terong Bentuknya menyerupai buah terong Glatik glatik atau terong jenis kecil. Diperuntukan bagi tokoh-tokoh wayang yang luar biasa memancarkan sifat kesetiaan, kemuliaan, kearifan.

Belalai Menyerupai hidung binatang yang memancarakan kekuatan yang luar biasa karena terjadinya perpaduan antara sifat binatang dan raksasa. Contohnya Batara Gana (Ganesa)68

Tabel.3 Bentuk Hidung Wayang Sumber: Sunarto (1989: 39-41)

Gambar Nama Mulut Keterangan Mingkem Bentuk mulut ini menggambarkan mulut dalam keadaan mingkem (bibir atas dan bibir bawah tertutup rapat). Pada umumnya

68 Sunarto menambahkan, terdapat bentuk hidung wayang lain seperti hidung terong kopek, hidung sumpel, hidung bruton. Tetapi jenis mulut tersebut adalah bentuk hidung wayang pengembangan yang disesuaikan dengan karakter wayang tertentu.

36

tokoh wayang yangb bermulut mingkem adalah tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Biasanya bermata liyepan dan hidung wali miring. Contoh: Wenang, Batara Guru (wand areca), dan Begawan Abiyasa Gethetan Bentuknnya menyerupai bentuk mulut jenis mingkem tetapi menggunakan salitan (bagian ikal pada ujung belakang mulut wayang) dengan gigi sedikit terlihat. Jenis wayang yang bermulut gethetan adalah bagusan (wayang ksatria). Biasanya bermata thelengan, liyepan, peten, kedelen dan kadang bermata plelengan dan biasanya pula berhidung wali miring dan bentulan. Contoh: Bima, Arjuna, Drupada, Salya. Gusen Bentuknya hampir sama dengan mulut gethetan yang ditambah penggambaran gusi (untuk gusen tanggung) dan kadang tidak menggunakan salitan. Giginya terlihat dan kadang-kadang bertaring. Biasanya berhidung wungkal gerang dan bermata plelengan. Contoh: Dursasana,

Citraksa, Dasamuka, Pragota, Indrajit dan Sengkuni Mesem Bentuk mulut ini digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh wayang yang suka tersenyum dan memancarkan kegembiraan. Contohnya: Gareng, Petruk, dan tokoh-tokoh cantrik Mrenges Mulut ini dipergunakan untuk menggambarkan jenis mulut yang kelihatan gigi atas dan gigi bawahnya. Kadang- kadang bertaring dan dalam keadaan sedikit terbuka. Umumnya tokoh wayang dengan jenis mulut ini adalah raksasa yang bertubuh kecil seperti: Kalamarica, Cakil dan lain-lain. Biasanya bermata kiyer dan berhidung pelokan. Anjeber Bentuknya hampir sama dengan jenis mulut mrenges, yaitu sama-sama keliatan gigi atas dan gigi bawahnya. Tetapi mulut tokoh wayang tersebut mulutnya terbuka lebar, gigi-giginya kecil, atas dan bawah

37

bertaring. Pada umumnya jenis mulut ini menggambarkan tokoh wayang kera. Contohnya: Anoman, Anggada, Subali dan lain-lain.

Ngablak Bentuk mulut ini menggambarkan mulut wayang dalam keadaan terbuka lebar dengan gigi besar dan bertaring panjang. Biasanya untuk menggambarkan tokoh wayang raksasa, seperti: Pancatnyana, Suratrimantra, Niwata kawaca dan tokoh- tokoh raksasa lainnya. Tabel.4 bentuk mulut wayang Sumber : Sunarto (1989: 42-44)

Menurut R.M. Ismunandar dalam bukunya “Wayang Asal-Usul dan

Jenisnya,” pakaian dan atribut wayang terdiri dari:

1. Topong Makutho pakaian (Mahkota Runcing). Biasanya dipakai dalam

wayang Kresna, Baladewa dan golongan raja lainnya.

2. Topong Kethu (Mahkota Tumpul). Mahkota yang dipakai oleh Batara Guru,

Karna dan lainnya Karna dan lain sebagainnya.

3. Kethu-Dewa (sebangsa kain yang dipakai di kepala), pakaian Batara Surya,

Brahma, Bayu dan para dewata.

4. Kethu Tumpuk (mahkota melingkar) yang dipakai Pragota, Sengkuni dan

lain sebagainya.

Gambar.4 Topong Makuta, Topong Kethu, Kethu Dewa dan Kethu Tumpuk/Udeng Sumber: R.M.Sulardi (1953: 23-24)

5. Gelung (bentuk rambut yang diatur ke atas), terdapat tiga jenis gelung yaitu:

38

a) Gelung Supit Urang, atau Gelung Minangkara, seperti gelungnya

Werkudara dan Janaka.

b) Gelung Keling, seperti gelungnya Puntadewa.

c) Gelung Gembel, seperti gelungnya Jayadrata.

Gambar.5 Gelung Minangkara, Gelung Keling dan Gelung Gembel Sumber: R.M.Sulardi (1953: 23-24)

6. Jamang, Ikat kepala yang berbentuk segitiga yang terletak didahi dan pelipis.

Yang terdiri dari dua macam:

a) Jamang Sada Saelar, pakaian putran dan bambangan (wayang remaja

dan murid-murid di pertapaan).

b) Jamang Sungsun (kadang-kadang bersusun sampai tiga) dipakai oleh para

raja.

7. Sumping, hiasan yang dimasukan ke daun telinga. Sumping terdapat 5

macam yaitu:

a) Sumping Surengpati, hiasan yang dipakai oleh raja-raja.

b) Sumping Waderan (seperti ikan wader) hiasan yang dipakai oleh

bambangan dan ksatria.

c) Sumping Gajah Ngoling (seperti gajah terbalik), hiasan dipakai oleh para

putri.

d) Sumping Kembang Kluwih (bunga kluwih), hiasan yang dipakai oleh

Nakula, Sadewa dan Sebagainya.

39

e) Sumping Pudhak Sinumpet (bunga pandan) hiasan yang dipakai oleh

Werkudara (Bima).

Gambar.6 Sumping Pudak Sinumpet, Sumping Surengpati, Sumping Kembang Kluwih, dan Sumping Waderan Sumber: R.M.Sulardi (1953: 23-24)

8. Garuda Mungkur (Burung Garuda yang menghadap ke belakang) dan

paruhnya mencuat dipakai untuk mengunci gelung.

9. Kalung, hiasan untuk leher yang terdiri dari dua macam yaitu: Kalung Rante

dan Kalung Tanggalan.

10. Praba, hiasan mirip sayap yang terletak di punggung.

11. Ulur-Ulur, hiasan dari leher berjumbai sampai ke perut dan menjadi satu

dengan pending (timang).

Gambar.7 Garuda Mungkur, Kalung Praba dan Ulur-Ulur Sumber: R.M.Sulardi (1953: 32,38)

12. Kelat Bahu, hiasan yang berada di bahu. Terdiri dari tiga macam:

a) Kelat Bahu Naga Mamangsa hiasan yang dipakai oleh raja-raja

b) Kelat Bahu Clumpringan, hiasan para perwira

40

c) Kelat Bahu Bogeman, hiasan darah bayu seperti: Anoman dan

Werkudara.

Gambar.8 Kelat Bahu Naga Mamangsa, Kelat Bahu Clumpringan, Kelat Bahu Bogeman Sumber: R.M.Sulardi (1953: 25)

13. Gelang, biasanya di pergelangan tangan. Terdiri dari empat macam:

a) Gelang Nagendra Resmi, hiasan para raja

b) Gelang Kena (rangkap dua dan bulat, atau yang satunya berbentuk segi

empat), hiasan para ksatria dan putri

c) Gelang Clumpringan (rangkap dua dan dihubungkan dengan pepethan

(lembaran yang bertaut pada bambu), hiasan para perwira

d) Gelang Candrakirana

Gambar.9 Gelang Clumpringan, Gelang Punggawa dan Gelang Candrakirana Sumber: Sunarto (1989: 79)

14. Ikat Pinggang, terbuat dari beludru atau cinde yang dihiasi bunga-bungaan.

15. Timang, hiasan pada ikat pinggang yang berbentuk seperi gesper.

16. Dodot (Kampuh), sebangsa kain.

41

17. Badong, hiasan yang berupa lempengan emas berbentuk tanggalan (bulan

sabit) terletak di paha atau menggantung di paha.

18. Kathok, pakaian/celana yang hanya sampai di atas lutut.

19. Clana, pakaian yang panjang sampai di ujung kaki (celana panjang).

20. Kunca, yaitu ujung dodot yang lepas ke bawah, biasanya lebih dari satu

kecuali pada Anoman dan Werkudara.

Gambar.10 Konca Sumber: Sunarto (1989: 76)

21. Uncal Kencana, lempengan emas yang menjadi satu letaknya menggantung

ujungnya.

22. Uncal Wastra, hiasan dari sejenis kain yang berjumba (seperti kunca)

Gambar.11 Uncal Kencana dan Uncal Wastra Sumber: R.M.Sulardi (1953: 36)

23. Kroncong, yaitu gelang di kaki.

42

Gambar.12 Kroncong Sumber: Sunarto (1989: 79)

Gambar.13 Macam-Macam Bentuk Jari Wayang Sumber: Sunarto (1989: 78)

43

E. Kerangka Pemikiran

Wayang Purwa

Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Tokoh Wayang 1. Bawor 2. Werkudara

Analisis Makna Bentuk Wayang Bawor Werkudara Unit Analisis: Unit Analisis: 1. Bentuk Rambut 1. Bentuk Rambut 2. Bentuk Jidat 2. Bentuk Hiasan Telinga (Sumping) 3. Bentuk Mata 3. Bentuk Hiasan Bahu (Klat Bahu) 4. Bentuk Mulut 4. Bentuk Hiasan Lengan (Gelang) 5. Bentuk Jari Tangan 5. Bentuk Jari tangan 6 . Bentuk Pakaian (Jarit/Kampuh) 6. Bentuk Pakaian (Kampuh)

Proses Semiosis

Makna Lambang-Lambang Islam dari Bentuk Wayang

44

Kerangka Pemikiran dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Wayang Purwa atau wayang kulit merupakan salah satu jenis wayang

(pertunjukan bayang-bayang) yang mengkhususkan pada cerita Ramayana dan

Mahabharata. Dalam konteks dakwah Islam, Wayang Purwa merupakan salah satu sarana dakwah yang digunakan oleh para Walisongo khususnya Sunan kalijaga.

Wayang Purwa dipilih karena sejak dahulu sangat digemari oleh orang Jawa.

Sunan Kalijaga menggubah Wayang Purwa sehingga orang Jawa mendapat pengajaran tentang Islam. Pertunjukan wayang diubah sedemikian rupa disesuaikan dengan ajaran Islam. Bentuk wayang, cerita dan seluruh unsur pertunjukan wayang menyiratkan perlambangan tentang nilai-nilai atau ajaran

Islam. Hal ini dilakukan karana memang sejak dahulu orang Jawa tidak bisa dilepaskan dari konsep perlambangan.

Dalam Wayang Purwa terdapat beberapa gaya yang dalam istilah pedalangan disebut dengan istilah gagrag. Masing-masing gagrag dalam Wayang

Purwa mula-mula tumbuh dari daerah asalnya sendiri dan mencerminkan daerah masing-masing. Masing-masing gagrag juga merinci dan membedakan: 1)pakaian dalang dan niyaga, 2)wujud/wanda wayang, 3)wujud dan bahan pembuatan peralatan keprak, 4)seluruh unsur audio-visual pertunjukkan wayang.

Gaya/gagrag dalam Wayang Purwa diantaranya: Gagrag Solo, Gagrag Yogya,

Gagrag Banyumas, Gagrag Cirebon dan Gagrag Jawa Timuran.

Dalam penelitian ini yang dikaji adalah Wayang Purwa dalam gaya/gagrag Banyumas. Wayang Purwa Gagrag Banyumas memiliki ciri khas tersendiri baik dari segi bentuk wayang maupun pemaknaannya. Tokoh Wayang

45

Bawor dan Werkudara dikaji untuk mengungkap lambang-lambang Islam yang tersirat di dalamnya. Adapun unit analisis yang diteliti diantaranya: bentuk rambut, mata, jidat, mulut, pakaian serta atribut dari tokoh wayang tersebut.

Pemaknaan perlambangan kedua tokoh tersebut dikaji melalui pendekatan semiotik dengan penerapan teori yang diajukan oleh Charless Sanders Pierce.

Proses pemaknaan tanda menurut Pierce mengikuti hubungan prosesual antara tiga titik yaitu Representament (R), Object (O), dan Interpretant (I).

Representamen merupakan tanda atau sesuatu yang berfungsi sebagai tanda, object (obyek) merupakan sesuatu yang dirujuk oleh tanda, dan interpretant merupakan proses penafsiran dengan menghubungkan Representamen dan Object.

Proses penafsiran yang dimulai dari Representamen hingga ke interpretan disebut proses semiosis.

Pierce juga mengemukan bahwa proses semiosis (pemaknaan) pada dasarnya tidak terbatas. Sebuah interpretan dari suatu tanda (I) dapat menjadi tanda baru (S) pada proses berikutnya. Tanda baru itu memiliki object dan interpretan baru pula. Interpretan itu, kelak akan menjelma menjadi tanda baru lagi dan seterusnya. Sebagai contoh bentuk jidat tokoh wayang Bawor merupakan sebuah tanda (representamen) yang mengacu kepada object benda yang berupa wungkal (batu pengasah). Hubungan keduanya menghasilkan interpretan berupa penafsiran bahwa bentuk jidat tokoh wayang Bawor disebut mungkal gerang karena menyerupai bentuk wungkal. Sampai di sini merupakan proses semiosis tahap pertama yang akan dilanjutkan ke semiosis tahap berikutnya hingga ditemukan makna perlambangan Islam yang tersirat darinya.

BAB III

GAMBARAN UMUM WAYANG PURWA GAGRAG BANYUMAS

A. Sejarah Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Wayang Purwa Gagrag Banyumas merupakan salah satu gaya Wayang

Purwa di Jawa yang berkembang di daerah eks-karesidenan Banyumas seperti:

Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap serta ditambah

Kebumen. Seni Wayang Purwa sering disebut dengan istilah pakeliran yaitu meliputi: lakon (penyajian alur cerita dan maknanya), sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan percakapan), dan karawitan (gending, sulukan dan properti panggung).

Perkembangan Wayang Purwa Gagrag Banyumas tidak dapat dipisahkan dari sejarah Wayang Purwa secara umum. Apabila dikaitkan dengan asal-usul daerah Banyumas, cikal bakal warga Banyumas adalah salah seorang satriya dari

Majapahit bernama R.Arya Baribin menantu Prabu Siliwangi di Pajajaran yang nantinya meninggalkan Kerajaan Pajajaran dan menetap di kawasan Banyumas serta menurunkan para adipati di kawasan Banyumas.69 Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan awal mula seni pewayangan masuk dan berkembang di kawasan Banyumas dibawa orang-orang

Hindu dari Majapahit yang terdesak karena perkembangan agama Islam.

69 Budiono Herusatoto. Banyumas; Budaya Bahasa dan wataknya. (Yogyakarta: LKis, 2008) h.35-36.

46

47

Selanjutnya pada masa Kesultanan Demak, orang-orang Islam juga masuk ke kawasan Banyumas untuk menyebarluaskan agama Islam ke sana. Dalam menyampaikan agama Islam juga digunakan seni pewayangan atau pedalangan.

Akhirnya seni pewayangan yang telah diawali dari zaman Hindu berubah dengan pengaruh agama Islam. Selanjutnya saling mempengaruhi serta saling menguatkan antar kebudayaan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Banyumas.

Pengaruh tersebut masih dapat dirasakan hingga tahun 1980-an yaitu adanya seni pedalangan Banyumas-Purbalinggaan yang menggunakan cakepan, janturan, serta sulukan yang menggunakan bahasa Banyumasan terutama di daerah pegunungan di lembah sungai serayu. Oleh karena itu kemudian dikenal

Pedalangan Gagrag Banyumas Lor Gunung (sebelah utara pegunungan

Kendeng).70

Kesultanan Pajang yang merupakan penerus dari Kesultanan Demak juga memiliki andil besar terhadap perkembangan seni pewayangan di kawasan

Banyumas yang terdiri dari kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan

Cilacap yang pada mulanya merupakan Kadipaten Wirasaba. Kadipaten Wirasaba sebagai cikal bakal Kabupaten Banyumas masuk ke dalam wilayah Kesultanan

Pajang. Hal ini dapat diketahui dari cerita awal mula berdirinya Kabupaten

Banyumas yaitu terbunuhnya Adipati Warga Utama I karena salah faham antara para utusan Sulthan Hadiwijaya yang disebut para “gandhek.” Sebagai permintaan maaf atas hal tersebut, maka Raden Joko Kaiman menantu Adipati Warga Utama I dipanggil ke keraton Pajang. Beliau kemudian dinobatkan menjadi pengganti

70 Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI). Pathokan Pedalangan Gagrag Banyumas. (Jakarta: Balai Pustaka, 1983) h.23

48

mertuanya. Selanjutnya wilayah Kadipaten Wirasaba dipisah menjadi 4 Kadipaten yang salah satunya disebut Banyumas.71 Lebih penting lagi terhadap perkembangan seni pedalangan Gagrag Banyumas adalah masuknya bahasa halus

(bahasa seperti di keraton Solo atau Yogya) yang oleh masyarakat Banyumas disebut dengan bahasa “bandhek” yang berasal dari kata bahasanya para gandhek yaitu para utusan keraton pajang tersebut.

Pada masa Kesultanan Mataram Islam dari masa Panembahan Senopati –

Sulthan Agung Hanyakrawati – Sulthan Agung Hanyakrakusuma sampai pada runtuhnya Keraton Pleret pada masa Sri Susuhan Amangkurat Tegal Arum, seni pedalangan banyumas semakin berkembang pesat karena eratnya hubungan antara

Banyumas dengan Mataram dan Kedu. Terlebih lagi ketika runtuhnya Keraton

Pleret karena pemberontokan Trunajaya, diceritakan bahwa dalam pelarian

Susuhan Amangkurat Tegal Arum pergi ke daerah barat ditemani dalang dari keraton bernama Ki Lebdajiwa singgah di kawasan Banyumas. Ki Lebdajiwa yang berasal dari Kedu merupakan murid dari Ki Panjangmas, dalang utama sejak zaman Sultan Agung Hanyakrawati hingga Sultan Agung Hanyakrakusuma.72

Eratnya hubungan antara Banyumas dengan Mataram dan Kedu menyebabkan pedalangan Gagrag Mataram dan Kedu memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap pedalangan Gagrag Banyumas, khususnya daerah

Banyumas sebelah selatan, yakni daerah pesisir selatan yang menimbulkan seni pedalangan Gagrag Banyumas Pesisiran (Kidul Gunung). Pengaruh itu dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920-an, dan terus berkembang melalui dalang trah atau keturunan Gombong, yaitu Ki Cerma yang terkenal dengan nama

71 Soegeng Wijono dan Sunardi. Banjoemas Riwajatmoe Doloe. (Purwokerto: Daya Mandiri Production, 2006) h.2-3 72SENAWANGI, Pathokan Pedalangan Gagrag Banyumas. h.24

49

Ki Dalang Menganti. Dengan demikian di Banyumas terdapat dua gaya atau gagrag pedalangan yakni gagrag pesisiran dan gagrag lor gunung. Gagrag

Pesisiran maju di dalam hal seni karawitan, sedang Gagrag Lor Gunung maju dalam hal falsafah. Dalang Gagrag Pesisiran yang terkenal adalah almarhum Ki

Tutur dari Kesugihan. Sedangkan Ki Parsa dan Ki Sugih keduanya merupakan dalang terkenal dalam Gagrag Lor Gunung.73

Menurut Rasito, seorang ahli karawitan dan kesenian Banyumas, berdasarkan dengan rasa garap atau cakrik pewayangannya dan rasa garap di dalam karawitannya, Wayang Purwa Gagrag Banyumas terdiri dari dua kategori yaitu: Lor Gunung dan Kidul Gunung.

“Jadi, kidul gunung itu umumnya dulu itu kalo menurut penelitian saya, penyajiannya ringan sekali dalam arti; monoton seperti Mataraman kuno, seperti Jogjan, tidak ada macem-macem, dari sore sampai pagi ya pathet manyura, patheh nem, pathet songo, pathet manyuro iringannya srepegan. Lah terus lor gunung, menurut penelitian saya entah bagaimana garapannya mirip wayang gagrag solo. Kalo sekarang yang mungkin sudah tau gayanya yang molak-malik (dinamis).” 74

Rasito menambahkan berdasarkan pengalamannya sejak tahun 1959 bahwa yang termasuk dalang dalam kategori Kidul Gunung yaitu Ki Tutur

(Kesugihan), Ki Yono, Ki Saring, Ki Taram, Ki Sugir dari desa Bangsa, Ki Cipto,

Ki Tarjono dan Ki Jithut. Sedangkan dalang dalam kategori lor gunung diantaranya: Ki Lukmadi, Ki Radam (Purwokerto Kulon), Ki Bongkot, Ki

Niswan (Keniten), Nawan (Karangnangka), Waryan (Kalimanah), Darsip

(Jompo), Supandi (Kedung Wuluh), Ki Mad Idris, Ki Marum (Mersi), Ki Surono

(Karangjati) dan Ki Sugito Purbocarito.

73 Sudarko dkk. Sejarah Pedalangan. (Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta, 2007) h.221. 74 Wawancara dengan Rasito Purwo Pengrawit, Purwokerto, 25 Juli 2016.

50

Selain dalang-dalang yang disebutkan di atas terdapat seorang dalang yang dianggap “dalang besar” Wayang Purwa Gagrag Banyumas yaitu Ki Sugino

Siswo Carito atau sering dipanggil “Gino.” Ki Sugino merupakan dalang yang dianggap “dalang terlaris” untuk kategori Wayang Purwa Gagrag Banyumas.

Namun demikian, Ki Sugino mengakui bahwa dalang wayang Gagrag Banyumas terbaik adalah Ki Sugito Purbocarito. Hal ini juga dikemukakan oleh Rasito, dari segi sastra, pengetahuan dan wawasan pedalangan Ki Sugito jauh di atas Ki

Sugino. Namun di sinilah menariknya, bahasa yang digunakan oleh Ki Sugino lebih mudah dipahami dan disenangi masyarakat awam, berbeda dengan Ki Sugito yang menggunakan sastra tinggi dan terkesan wayangnya untuk kalangan priyayi.

Ki Sugito cenderung mempertahankan pakem, sedangkan Ki Sugino cenderung untuk membuat inovasi dan kreasi. Hingga saat dalang-dalang muda banyak meniru dan mengikuti gaya pewayangan almarhum Ki Sugino.

B. Karakteristik Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Wayang Purwa Gagrag Banyumas merupakan seni wayang yang bermuara dari beberapa beberapa gagrag seperti Yogyakarta, Kedu, dan Surakarta.

Karakteristik yang membedakan dengan gagrag lainnya. Diantaranya yang paling menonjol adalah tokoh Bawor yang dalam gagrag lainnya disebut dengan nama

Bagong. Namun perbedaannya Bawor dalam Gagrag Banyumas merupakan anak sulung Ki Semar, sementara dalam gagrag lain Bagong merupakan anak bungsu

Ki Semar.

Dalam perupaan Wayang Purwa Gagrag Banyumas bentuknya merupakan perpaduan dari gagrag Surakarta dan Yogyakarta. Pada tokoh gagahan terutama

R.Werkudara mengikuti bentuk wayang Yogyakarta (Mataraman) yang memiliki

51

karakteristik berbentuk tambun yaitu penggambarannya tubuh pendek dan gemuk.75 Sedangkan pada wayang putren (wanita) lebih mengikuti gagrag

Surakarta yaitu ujung kain dodotnya tebal dan mengarah ke belakang.76

Kain Dodot

Gambar.14 Perbandingan wayang Dewi Kunti Yogya (Kiri) dan Solo (kanan) Sumber: http://ceritawayang.blogspot.co.id http://kokiers.com/article/126

Dari segi ukuran wayang dalam Gagrag Banyumas ukurannya lebih pendek dan agak gemuk sehingga mirip wayang Yogja, berbeda dengan wayang

Solo yang tubuhnya tinggi dan ramping. Ki Daulat Karsito Darmocarito, salah seorang dalang senior wayang Banyumas mengatakan “Kalo Banyumas endhep- endhep (pendek-pendek), nek Jogja, lemu-lemu (gemuk-gemuk), Banyumas ndengkluuuk banget (menunduk sekali), Wayang Banyumas kecil-kecil cakriknya

Jogja. Jadi Banyumas, Kedu, Jogja.”77 Hal ini juga dikemukakan oleh Katim,

75 Sunarto. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) h.36 76 RM. Ismunandar K. Wayang, Asal-Usul dan Jenisnya. (Semarang: Dahara Prize, 1994) h.67. 77 Wawancara Pribadi dengan Ki Daulat Karsito Darmocarito, Banyumas, Kamis 28 Juli 2016.

52

seorang pengrajin wayang kulit di kawasan Cilacap: “Sebenarnya sih cuma wayang banyumas lebih kecil ukurannya, wayangnya tidak tingi-tinggi.”78

Gambar.15 wayang Duryudana dan Anoman Gagrag Yogja Sumber: http://ceritawayang.blogsopot.com, http://www.pitoyo.com/

Gambar.16 Wayang Duryudana dan Anoman Gagrag Solo Sumber: http://ceritawayang.blogsopot.com, 3.bp.blogspot.com/

78 Wawancara dengan Katim, Cilacap, 23 Juli 2016.

53

Dari segi pewarnaan wayang Banyumas lebih mencolok, seperti dikatakan oleh Didik Himawan yang pernah menjabat sebagai kepala Museum Wayang

Banyumas:

“Gagrag Yogya itu pewarnaannya halus, kalo Gagrag Solo pewarnaanya jelas sedangkan dalam Gagrag Banyumas itu full colour. Kalo saya mengatakan Banyumas itu warnanya lebih mencolok, kalo Jogja lebih keemasan banyak bermedium emas, warna emas. Kalo Solo saya menyebutnya lebih masem. Lebih banyak warna tetapi tidak terlalu mencolok seperti Banyumas.”79

Gambar.17 Perbandingan wayang Gatotkaca Banyumas (kiri) dan Solo (kanan) koleksi Ki Dalang Bagas Kriswanto Sumber: (Ristawati: 2010)

Pada wayang gagahan80 seperti Werkudara, Gatotkaca, Duryudana, digunakan sungging ulat-ulatan yaitu cat merah pada ujung bibir atau kumis.

Tidak seperti wayang Solo yang menggunakan sunggingan bludiran yaitu teknik sunggingan dengan guratan yang membentuk seperti bunga-bungaan. Seperti dikemukakan Tarjono, Seorang dalang senior wayang gagrag Banyumas:

“Wayange benten, wayang banyumas niku mawi godeg, langkung nglegena, meh kados Jogja. Dados menawi Werkudara, Gatotkaca teng Solo niku bludren, ning angger wayang niki mboten, cekap ngangge cet abang kemawon.” (Wayangnya

79 Wawancara Pribadi dengan Didik Himawan, Purwokerto, 29 Juli 2016. 80 Wayang Gagahan merupakan jenis wayang berpenampilan kekar dan berotot, bermata thelengan atau peten, berhidung bentulan. Misalnya: Werkudara,Gatutkaca, Duryudana, Antareja dan Antasena.

54

berbeda kalo Banyumas menggunakan jambang, lebih nglegena, mirip wayang Jogja. Jadi kalo Werkudara, Gatotkaca di Solo itu bludiran, tetapi kalo di Banyumas tidak, cukup menggunakan cat merah saja)81

Gambar.18 Perbandingan Muka Werkudara antara Jogja dan Solo Sumber: http://kluban.net

Gambar.19 Werkudara Banyumas Kuno (Kiri) dan Modern (Kanan) koleksi Museum Wayang Banyumas Sumber: Dok.Pribadi Dari segi punakawan atau abdi yang mendampingi para kesatria dan raja dalam Gagrag Banyumas untuk abdi para ksatria Pandawa terdiri dari Semar,

Bawor, Gareng, Petruk. Sementara dalam Gagrag Wetanan (Solo dan Jogja)

81 Wawancara Pribadi dengan Ki Tarjono, Banyumas, 1 Agustus 2016.

55

terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Bentuk Bawor dan Bagong sedikit berbeda, begitu pula dengan posisinya sebagai anak sulung dan anak bungsu Ki

Semar.

Tokoh wayang Bawor dalam pakem pedalangan Gagrag Banyumas didasarkan atas Layang Purwacarita. Berbeda dengan Bagong dalam pedalangan

Gagrag Yogyakarta didasarkan pada Serat Purwakanda. Perbedaan itu sangat tampak dalam segala hal baik dalam ukuran besar kecilnya bentuk wayang, bentuk tubuh, watak tokoh, serta urutan sebagai anak Semar sebagai sulung atau bungsu.82

Bentuk tubuh Bawor sama besarnya (mirip) dengan tubuh Semar yang nyaris bulat (tambun). Kepala Bawor berambut bkoak, perut bulat pusarnya bodong, suaranya besar dan berat dan dalam setiap penampilannya selalu menjadi menjadi tokoh yang dihormati dan pendapatnya dipercaya oleh adik-adiknya yaitu

Gareng dan Petruk. Sebaliknya, dalam wayang Gagrag Yogya, Bagong bertubuh lebih kecil dari Bawor, namun lebih tambun bila di bandingkan dengan bentuk tubuh Gareng yang krempeng. Suaranya kemeng (kecil/cempreng), manja, bodoh dan ngeyelan (pendapatnya tidak bisa diubah/dikalahkan) dalam ceritanya ia disebut sebagai anak bungsu Semar.83

82 Budiono Herusatoto, Banyumas; Sejarah, Budaya,Bahasa dan Watak (Yogyakarta: LKiS, 2008), h.201. 83 Ibid, h.202.

56

Gambar.20 Perbandingan Bentuk Bawor (kiri) dan Bagong (Kanan) Sumber: Dok.Pribadi, http://www.pitoyo.com/

Selain itu pada tokoh Petruk, di Banyumas terdapat bentuk Petruk yang berbeda yang dinamakan Petruk Lengkur. Menurut Rasito, Petruk ini berasal dari desa Kaligondang dan merupakan cikal bakal Petruk Banyumas. Saat ini Petruk ini sudah jarang sekali digunakan, para dalang lebih sering menggunakan petruk biasa yang bentuknya sama dengan Petruk Gagrag Solo dan Jogja.

Gambar.21 Petruk Lengkur (Kiri) dan Petruk yang saat ini banyak digunakan (kanan) Koleksi Museum Wayang Banyumas Sumber: Dok.Pribadi

57

Sementara itu untuk punakawan sabrangan yaitu abdi raja dari negri asing, terdiri dari Togog dan Sarawita untuk Gagrag Solo dan Yogja dinamakan

Togog dan Bilung. Bentuknya sedikit berbeda sarawita (Bilung) pada gagrag

Banyumas lebih kurus dan kecil. Di Banyumas ada tambahan lagi yaitu Degel atau

Sarkawi yang merupakan punakawan negri Hastina. Sarkowi atau disebut Degel selalu ada dalam adegan dimana ada Pendita Drona. Kemudian ada lagi untuk punakawan sabrangan yaitu Jaewana dan Sontoloyo yang berasal dari Gagrag

Banyumas Kidul Gunung. Saat ini tokoh-tokoh tersebut sudah jarang sekali dipentaskan, perannya diambil alih oleh Togog dan Sarawita.

Gambar.22 Sarawita dan Togog koleksi Musem Wayang Banyumas Sumber: Dok.Pribadi

Gambar.23 Togog dan Bilung dalam Gagrag Solo dan Jogja Sumber: https://wayangwordpress.com

58

Gambar.24 Sarkawi (kiri), Jaewana (tengah) dan Sontoloyo (kanan) koleksi Museum Wayang Banyumas Sumber: Dok Pribadi

Menurut versi wayang gagrag Banyumas Werkudara mempunyai empat anak yaitu: Antareja, Gatotkaca, Antasena dan Srenggini. Sementara dalam

Gagrag Solo dan Gagrag Yogja Werkudara hanya mempunyai tiga anak yaitu:

Antareja, Gatotkaca dan Antasena. Srenggini adalah anak Werkudara dengan

Dewi Rekatawati. Bentuknya wayangnya mirip Antasena tetapi mempunyai capit.

Gambar.25 beberapa kreasi bentuk wayang Srenggini Sumber: http://kluban.net

59

Dalam Wayang Purwa Gagrag Banyumas juga terdapat perbedaan cerita dan sudut pandang. Dalam cerita kematian Drestrarasta dan Dewi Gendari yaitu orang tua para kurawa, dalam versi aslinya Mahabharata dari India keduanya mati setelah Perang Bharatayuda usai. Begitu juga dalam Wayang Purwa Gagrag Solo dan Gagrag Yogja. Namun dalam Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Drestrarastra dan Dewi Gendari justru mati pada babak awal atau sesaat sebelum

Perang Bharatayuda dimulai. Keduanya mati tertindih oleh runtuhnya tembok watu kelir Gedung Gajah Hoya.

Dari Segi iringan dalam Gagrag Banyumas temponya agak lambat seperti

Gagrag Yogja. Hal ini akan terasa apabila dibangdingkan dengan Gagrag Solo yang lebih sigrak (cepat dan semarak). Untuk iringan jejeran dalam Gagrag Solo biasanya diawali dengan ayak-ayak kemudian dilanjutkan dengan gendhing tertentu sesuai dimana adegan jejer itu berada, seperti; permulaan) di negri

Pandawan (Amarta) digunakan gendhing kawit untuk Negeri Amarta, gendhing kabor untuk Negeri Hastina,gendhing karawitan untuk negri Dwarawati.

Sementara dalam Gagrag Banyumas tidak dibeda-bedakan dan hanya menggunakan satu gending yaitu: gendhing bondet Banyumas.84

Dalam Wayang Purwa dikenal beberapa aturan pembagian pathet. Hal ini berkaitan dengan gending. Masing-masing pathet akan memberikan efek suasana tertentu dan memiliki makna tertentu. Pathet itu terbagi menjadi tiga didasarkan pada laras slendro yaitu pathet nem, pathet sanga dan pathet manyura. Pathet

Nem dipakai untuk bagian pertama pada jadwal pagelaran, yaitu dari pukul 21.00-

24.00, atau pada Jejer I sampai Jejer Pandita (Pertapaan). Pathet Sanga dipakai

84 Wawancara dengan Rasito Purwo Pengrawit, Purwokerto, 25 Juli 2016.

60

untuk bagian kedua pada jadwal pagelaran, yaitu pukul 24.00-03.00, atau pada

Jejer Pandita sampai Perang Kembang dan sebagainya. Pathet Manyura dipakai untuk bagian terakhir dari jadwal pagelaran, yaitu pukul 03.00-05.00 pagi, atau dari Jejer Sabrang Akhir sampai perang Pupuh/Tancep Kayon. Seperti halnya dalam gagrag lainnya dalam Gagrag Banyumas terdiri dari tiga pathet seperti diatas. Akan tetapi dalam Gagrag Banyumas klasik ada tambahan yang dinamakan manyuri. Seperti yang dikatakan Ki Tarjono:

“Wayang banyumas niku, nggih meh sami, Pathet Nem, Pathet Sanga, Pathet Menyura, ning ngger niki wonten Menyuri, kaya niku. Menyuri niku bibar Menyuri inggih dudu pathet mpun klebet pathet nem tapi Menyuri niki kados dene slawatan niku. Dadi nek wayang asli Banyumas sing bener-bener klasik, niku enjing sami ngelik, niku teng nggen Menyuri, bibar Menyuri sami kalian Solo niku neter, ning niki pancere pancer lima, niku mung bedane wayang banyumas, dadi tetep sami Pathet Nem, Pathet Sanga, Menyura, bibar menyura nek Banyumas Menyuri.” (Wayang Banyumas itu sebenarnya hampir sama: “Pathet nem, pathet sanga, pathet manyura, tetapi kalo di Banyumas ada manyuri, seperti itu. Manyuri itu setelah manyura, sebenarnya bukan pathet tetapi manyuri itu mirip shalawatan. Jadi kalo asli Banyumas yang benar-benar klasik itu kalo pagi meninggi nadanya pas pada bagian manyuri. Setelah manyuri sama seperti Solo neter, pancer lima. Jadi tetap sama nem, pathet sanga, menyura, setelah manyura kalo banyumas ada manyuri.)85

Dari segi sulukan (nyanyian pembawa suasana) dalam Gagrag Banyumas menggunakan sulukan khusus yang bahkan terkadang tidak dikenal dalam gagrag lainnya. Terkadang sulukannya mengikuti si wayang seperti dikatakan Ki

Tarjono:

“Banyumas niku paling beda, wayang tiba ya sulukane tiba “Nibo kantep mangrawat wojo wang-wang..” niku nek wayange tiba. Dados pancen benten. Nggih angger jengkel nggih benten malih. Dadi sulukane ngetutaken si wayang. Nyekel Kresna ya.. “Kresna wis sayenggono, nambak segoro gempal,..” nyekel Samba ya “Somboo Prawiroo…” nyekel Gatotkaca ya “Gatotkaca tinon…” (Banyumas itu paling beda, ketika adegan wayang jatuh sulukunnya: “Nibo kantep mangrawat wojo wang-wang…” itu kalo wayang jatuh. Jadi memang beda. Kalo wayang marah juga berbeda lagi. Jadi sulukannya mengikuti si wayang. Ketika dalang memegang Kresna sulukannya: “Kresna wis sayenggono, nambak segoro gempal...” ketika memegang Raden Samba Sulukannya

85 Wawancara Pribadi dengan Ki Tarjono, Banyumas, 1 Agustus 2016.

61

“Somboo Prawiroo” Ketika memegang Gatotkaca sulukannya: “Gatotkaca tinon…”)

Sebagian sulukan Banyumas telah dibukukan dalam PATHOKAN

PEDALANGAN GAGRAG BANYUMAS yang diterbitkan oleh Sekretariat

Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI). Salah satu sulukan yang cukup dikenal masyarakat yaitu:

SULUKAN PATHET NEM AGENG/WANTAH Lengleng myang sasangka Wayahnya lagya rumaras Rinegga laring puri Yekti ana sir mandaya Mandaya sekaring kiswa Jaladri kapitaning surya diningwangkawa Hanjrah sumumbur saking salira Risang sekararing narendra lela lela Risang sekaring narendra sukma nala Rum sedya asmara dewa Dewataning suksmeng nala Salira madibya-dibya jayeng Amurja alon o…86

Sebagai pembanding yaitu Sulukan yang sama pathet nem ageng dalam

Gagrag Solo sebagai berikut:

Lengleng ramyanikang sasangka kumenyar o… Mangrengga ruming puri o… Mangkin tanpa siring Halep nikang umah Maslir murubing langit o… Tekyan sarwa manik, o… Tawingnya sinawung, o… Saksat sekar sinuji Unggwan Bhanuwati, o… Yen amrem alangen Lan nata Duryudana o…87

Dalam Wayang Purwa dikenal perlengkapan bernama keprak dan cempala. Keduanya memiliki fungsi yang sama yaitu membentuk suasana tertentu

86SENAWANGI, Pathokan Pedhalangan Gagrag Banyumas, h.135-136 87 Ki S.Darsomartono.Suluk Pedalangan Cengkok Mangkunegaran. (Surakarta: Dwija Pedalangan PMDM, 1995) h.1

62

dan sebagai aba-aba atau isyarat tertentu untuk memainkan gendhing yang dikehendaki dalang. Keprak atau dalam bahasa Banyumas disebut kecrek terdiri dari lempengan logam yang baik berupa besi maupun perunggu. Sedangkan

Cempala merupakan semacam pemukul yang terdiri dari bagian bulat dan pegangan. Bentuknya agak mirip dengan gangsing tradisional dan terbuat dari kayu. Keprak dalam Gagrag Yogja terdiri dari satu lembar keprak, dibunyikan dengan cara mengayun kaki kanan saat dalang bersila dan biasanya dibantu dengan cempala kecil yang dijepitkan di sela-sela ibu jari dan telunjuk kaki. Suara yang dihasilkan berbunyi ting…ting…ting.

Sedangkan dalam Gagrag Banyumas biasanya digunakan tiga lembar keprak yang disusun secara bertumpuk. Suara yang dihasilkannya terdengar seperti crekk…crek…crekk. Lain halnya dalam Gagrag Solo biasanya digunakan empat lempar keprak atau lebih menghasilkan suara pyak…pyak…pyak dan terdengar lebih ramai.

Gambar.26 Cempala milik Ki Bagas Kriswanto dan Ki Daulat Darmo Carito Sumber: (Ristawati: 2010)

63

Gambar.27 keprak/kecrek milik Ki Daulat Karsito Darmocarito Sumber: (Ristawati: 2010)

Berdasarkan keterangan-keterangan sebelumnya maka karakteristik wayang Gagrag Banyumas diantaranya:

No Hal-hal yang Gagrag Gagrag Gagrag Dibedakan Banyumas Yogyakarta Surakarta 1 Ukuran Wayang Pendek-agak Pendek- Tinggi- gemuk Gemuk langsing 2 Pewarnaan wayang Menggunakan Halus, banyak Menggunakan warna menggunakan warna yang mencolok warna emas terang tetapi tidak terlalu mencolok 3 Penggunaan Bludiran Tidak Tidak Menggunakan pada wayang gagahan menggunakan Menggunakan Bludiran 4 Jambang tebal pada Ada Ada Hanya jenggot tokoh gagahan tipis di sekitar dagu 5 Letak ujung kain dodot Di belakang Di depan Di belakang pada wayang Putren 6 Punakawan Pandawa Semar, Bawor, Semar, Semar, diurut dari yang tertua Gareng, Petruk Gareng, Gareng, Petruk, Petruk, Bagong Bagong 7 Punakawan Sabrangan Togog, Togog, Togog, Sarawita, Bilung Bilung

64

Jaewana, Sontoloyo 8 Punakawan Hastina Degel/ Limbuk Limbuk Sarkowi Cangik Cangik 9 Putra Raden Antareja, Antareja, Antareja, Werkudara Gatotkaca, Gatotkaca, Gatotkaca, Antasena, Antasena Antasena Srenggini 10 Cerita kematian Sesaat sebelum Setelah perang Setelah perang Destrarastra dan perang bharatayuda bharatayuda Gendari bharatayuda usai usai 11 Tempo iringan gending Cenderung Cenderung Cepat dan agak lambat lambat semarak 12 Gending yang Hanya Ada gending- Ada gending- digunakan pada saat menggunakan gending gending jejer Gending khusus khusus Bondet Banyumas 13 Aturan Pathet Pathet nem, Pathet nem, Pathet nem, sanga, sanga, sanga, manyura manyura manyura Tambahan manyuri 14 Penggunaan Keprak Biasanya 3 Hanya 1 Digunakan lembar lembar keprak lebih dari 4 dan digunakan lembar keprak Bungkul 15 Sulukan Sesuai Sesuai Sesuai ketentuan ketentuan ketentuan khusus daerah khusus daerah khusus daerah masing-masing masing-masing masing-masing Tabel.5 Perbandingan Wayang Purwa gagrag Banyumas, Yogja dan Solo

C. Pembakuan Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Pada tahun 1983 Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia

(SENAWANGI) yang diketuai oleh Soepartono Brotosoehendro datang ke

Banyumas dalam rangka ingin membakukan seni pewayangan dalam gaya

Banyumas (Gagrag Banyumas). Namun, menurut Rasito dalam perpekstif

65

seniman, istilah pembakuan kurang tepat digunakan dalam proyek ini, ia lebih cocok dan mengusulkan istilah pendokumentasian wayang Gagrag Banyumas:

“Dulu waktu tahun berapa gitu yah itu ada proyek inpres, Presidennya Pak Soeharto. Istilahnya saja menurut saya salah, yang menangani itu SENA WANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia). Jaman waktu itu ketuanya Pak Jendral Brotosewoyo (Brotosoehendro), kalo tidak salah pangkatnya Brigjen. Beliau datang ke Banyumas membuat kelompok kerja dengan catatan “akan membakukan wayang Banyumas” kalo dalam istilah kesenian kata “membakukan” itu salah. Kalo “membuat gaya” mungkin itu masih bisa diterima. Tapi kalo membakukan berarti bentuknya harus seperti itu seperti yang sudah dibakukan. Maksud sebenarnya saya juga kurang tau. Saya meneliti sendiri ternyata maksudnya apa yang dikehendaki SENAWANGI ya inilah wayang Banyumas. Tapi bukan baku, bukan membakukan, jadi istilahnya apa yah? Kalo saya ya “membuat gaya Banyumas” gitulah, atau “penulisan, pendokumentasian wayang gagrag banyumas.”88

Dalam hal ini memang Wayang Purwa Gagrag Banyumas tidak seperti gagrag lainnya (Solo dan Jogja) yang telah mapan dan memiliki lembaga khusus yang mengajarkan seni pedalangan bahkan sampai perguruan tingginya. Seperti halnya di Surakarta (Solo) yang memiliki Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)

Sekarang diubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) sejak tahun 1924. Di sana diajarkan secara khusus dalam jurusan pedalangan mengenai bagaimana gaya pewayangan khususnya Gagrag Solo. Kemudian Yogjakarta membuat sekolah dalang “HABIRANDA” (Hanganakake Biwara Rancangan Dalang) di bawah perintah langsung Sri Sultan Hamengku Bhuwana VIII pada tahun 1925.89

Wayang Purwa Gagrag Banyumas seperti halnya kesenian Banyumas lainnya yaitu: ebeg, lengger, sintren, begalan, cowongan, angguk, calengsai, dan kenthongan merupakan kesenian yang berkembang dari bawah atau kesenian rakyat. Kesenian tersebut berkembang dan tersebar di tengah-tengah masyarakat

88 Wawancara Pribadi dengan Rasito Purwopengrawit, Banyumas pada 25 Juli 2016. 89 Sri Mulyono. Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. (Jakarta: BP. Alda, 1975) h.97

66

yang juga seringkali disebarkan dengan “mbarang” yaitu kesenian keliling dari rumah ke rumah. Mengenai wayang Banyumas, khususnya wayang banyumas klasik disebarkan dan berkembang dengan gethok tular (dari mulut ke mulut), keturunan atau dengan sistem nyantrik (mengabdi kepada dalang-dalang senior).

Hal ini menyebabkan wayang gagrag banyumas tidak tersistematis atau terlembagakan.

Pada tahun 1970-an di untuk kategori wayang Gagrag Banyumas, terdapat dua dalang besar yang banyak disukai masyarakat yaitu Ki Sugino Siswocarito dan Ki Sugito Purbocarito. Dalam proyek pembakuan Wayang Purwa Gagrag

Banyumas, Ki Sugito Purbocarito memiliki peran penting. Brotosoehendro mempercayakan kepada Ki Sugito Purbocarito untuk memimpin proyek yang mengerahkan hampir seluruh dalang Gagrag Banyumas ini. Para dalang dikerahkan dan dibuat dalam beberapa kelompok kerja untuk menangani bidang tertentu. Hasil kerja dari kelompok kerja ini kemudian dibukukan dalam sebuah buku berjudul “PATHOKAN PEDALANGAN GAGRAG BANYUMAS” yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta. Tak kurang sebanyak 187 halaman telah tersusun rapi dalam sebuah buku dalam Bahasa Jawa halus yang memuat seluruh unsur Wayang Purwa Gagrag Banyumas, mulai dari sejarah, pengetahuan pedalangan, pedoman penyajian pertunjukan, kanda/cariyos, sulukan, gendhing baku, sabetan, dodogan hingga keprakan.

Pada tahun 1970-an teknologi kaset pita mulai banyak digunakan. Hal ini juga merambah ke dunia pewayangan. Ki Sugino Siswocarito adalah dalang yang paling aktif dan produktif mendokumentasikan dan menyebarkan karya-karyanya melalui kaset. Lebih dari 40 lakon telah tersebar dalam kaset-kaset yang direkam

67

oleh berbagai perusahaan rekaman. Gaya pewayangannya yang dekat dengan rakyat, mudah difahami dan banyak menyajikan lakon yang disukai masyarakat, membuat namanya dikenal luas oleh masyarakat. Dalang-dalang banyak yang belajar melalui kaset-kaset yang merekam karya-karya Ki Sugino.

Pada saat proyek pembakuan wayang Gagrag Banyumas sedang dilaksanakan, bertepan dengan sedang “tenar-tenarnya” Ki Sugino. Beliau lebih memilih untuk fokus terhadap pertunjukannya daripada rapat untuk mengurusi proyek SENAWANGI tersebut. Saat ini masyarakat awam justru lebih mengenal sulukan-sulukan atau gaya pedalangan Ki Sugino sebagai Gagrag Banyumas daripada gaya pedalangan yang telah terbukukan dalam buku yang telah disusun oleh SENAWANGI. Padahal sebenarnya sulukan-sulukan yang dibawakan oleh

Ki Sugino sebenarnya kerap kali berinovasi dan mencampuradukkan beberapa gaya dari gagrag lain. Hal ini bisa difahami karena masyarakat lebih mengenal Ki

Sugino melalui kaset-kaset rekamannya. Meskipun demikian, perbedaan- perbedaan tersebut tidak menyakut hal baku, seperti harus adanya tokoh wayang

Bawor dan gendhing-gendhing Banyumas. Sehingga dapat dikatakan bahwa, apa yang dibawakan Ki Sugino Siswocarito juga merupakan bagian dari Gagrag

Banyumas.

Ki Sugino dengan nama besarnya telah mendapat tempat tersendiri bagi masyarakat pecinta Wayang Purwa Gagrag Banyumas. Ki Sugino dikenal sebagai

“maestronya wayang Banyumas” seperti halnya Ki Nartosabdo atau Ki Manteb

Sudarsono dalam Gagrag Surakarta (Solo). Ki Sugino telah wafat pada 20 Januari

2013 lalu. Saat ini terdapat tiga dalang yang disebut-sebut sebagai dalang kasepuhan yaitu Ki Sugino Siswocarito, Ki Sugito Purbocarito dan Ki Daulat

68

Karsito Darmocarito. Ki Sugino telah wafat sedangkan Ki Sugito yang disebut- sebut sebagai dalang babon pakem yaitu dalang yang paling ahli dan mengusai pakem,juga sudah wafat pada pertengahan tahun 2016 lalu sehingga tidak dapat ditemui untuk wawancara penelitian ini. Sedangkan Ki Daulat masih aktif dalam pergelaran dan berhasil penulis temui untuk wawancara.

70

BAB IV

TEMUAN DATA DAN ANALISIS

Pada bab ini, penulis membahas permasalahan utama yaitu lambang- lambang Islam yang terkandung dalam perupaaan bentuk fisik Wayang Purwa

Gagrag Banyumas. Wayang Purwa Gagrag Banyumas sebagai bagian tak terpisahkan dari Wayang Purwa gagrag lainnya merupakan gubahan dari

Walisongo. Bahkan Sunan Kalijaga sendiri pernah singgah dan mendalang di kawasan Banyumas yang dikenal dengan Dalang Kumendung.90 Hal ini juga dikemukakan Ki Sugito Purbocarito bahwa Wayang Purwa sudah berkembang pesat di kawasan Banyumas khususnya yang berada di sebelah utara Pegunungan

Kendeng (Gagrag Lor Gunung) yaitu sejak zaman kesultanan Demak (1478-1550

M).91

Wayang Purwa Gagrag Banyumas memiliki nuansa kerakyatan yang kental seperti karakter masyarakat Banyumas yang jujur dan terus terang. Secara filosofis hal ini juga dapat dilihat dari bentuk fisik boneka wayang Gagrag

Banyumas yang pewarnaannya sangat mencolok dan apa adanya. Ukuran wayangnya juga agak kecil jika dibandingkan dengan wayang dalam gagrag lainnya. Hal ini dikarenakan wayang Gagrag Banyumas dikembangkan dari

Wayang Kidang Kencana yang berasal dari masa Kesultanan Pajang (1556 M) yang memang ukurannya dibuat lebih kecil dari ukuran wayang pada umumnya.

Wayang tersebut pernah digunakan Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah Islam

90 Agus Sunyoto, Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), h.146 91 Rene.A.Lysloff. Srikandi Dances Lengger; a performance of music anda shadow theater. (Leiden: KITLV Press, 2009), 34.

71

kepada masyarakat Banyumas. Sampai saat ini wayang tersebut prototypenya masih tersimpan di Museum Wayang Banyumas. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Wayang Purwa Gagrag Banyumas memiliki kedekatan dengan Islam sehingga sangat dimungkinkan dalam perupaan boneka wayang Gagrag

Banyumas memiliki makna simbolis tentang ajaran Islam.92

Menurut Kyai Sunhaji, Sunan Kalijaga melakukan apa yang disebut masyarakat Jawa sebagai tapa ngeli. Tapa ngeli berarti ikut arus tapi sebenarnya dia sendiri tidak masuk di dalamnya. Beliau melihat bahwa masyarakat menyukai wayang, tapi keyakinan terhadap agama lama Hindu-Budha masih lekat. Sunan Kalijaga berusaha memasuki alam pemikiran mereka yang masih sulit menerima dakwah Islam, melalui wayang. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi mereka untuk menerima

Islam.93

Pada masa Sunan Kalijaga, wayang digubah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai media dakwah Islam. Wayang Purwa dipilih karena pada saat itu pertunjukan wayang menjadi kegemaran masyarakat Jawa. Pertunjukan wayang dilakukan dengan berbagai perubahan untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Tokoh-tokoh wayang yang masih sarat dengan cerita tentang Ramayana dan Mahabharata, diramu sedemikian rupa agar masyarakat mendapatkan pengajaran tentang Islam. Perlahan tapi pasti, tidak sedikit masyarakat Jawa yang kemudian masuk Islam tanpa paksaaan.94

92Wawancara pribadi dengan Didik Himawan, Banyumas, 26 Juli 2016. 93 Wawancara pribadi dengan Kyai Sunhaji, Banyumas, 24 Juli 2016. ` 94 Rahmat Abdullah, Walisongo; Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. (Solo: Al- Wafi, 2015), h.204.

72

Upaya yang dilakukan Sunan Kalijaga yakni menggunakan wayang sebagai media dakwah termasuk mendeformasi bentuknya, merupakan bentuk pengislaman pertunjukan wayang. Adanya larangan penggambaran mahluk bernyawa dalam ajaran Islam mempengaruhi perubahan bentuk pada boneka wayang. Bentuk wayang yang semula bergaya realistik (menyerupai wujud aslinya) seperti pada gambar relief candi, diubah menjadi bergaya stilistik yang jauh dari kesan sama dengan gambar manusia.95 Oleh karena itu, meskipun tokoh wayang memiliki mata, hidung, mulut dan bagian tubuh lainnya, tetapi sudah tidak sama lagi bentuknya dengan manusia. Hidung dan matanya bermacam- macam bahkan ada yang sangat runcing, mulutnya berkelok-kelok, lehernya sebesar lengan, tangan panjang hingga hampir menyentuh kaki. Anatomi bagian tubuh wayang juga menyimpang dari logika modern, karena dalam satu wujud tokoh terdapat sudut penggambaran tampak samping, depan, bawah, serta atas.

Gambar.28 Perbandingan tokoh wayang Bima dalam relief Candi Sukuh (kiri) dan bentuk Bima yang telah distilasi dalam Wayang Purwa (kanan) Sumber: (Haryadi, 2013: 38)

95 Sunarto. “Pengaruh Islam dalam Perwujudan Wayang Kulit Purwa,” Ars Jurnal Seni Rupa dan Design, no.3 (November 2006): h.40

73

Perubahan bentuk boneka wayang tersebut juga tidak bisa dipisahkan dari perlambangan-perlambangan yang sudah dikenal masyarakat Jawa sejak masa lampau. Keanehan bentuk wayang memiliki makna simbolis yang berfungsi untuk mengemukakan sesuatu. Seperti dalam tokoh-tokoh punakawan yang terdiri dari

Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (Bawor). Bentuk wayang Semar yang bulat melambangkan kebulatan tekadnya untuk mengabdi kepada kebenaran. Bentuk matanya setengah tertutup. Matanya dikatakan rebes (selalu melelehkan air mata) karena sering menangis mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Salah satu tangannya menunjuk melambangkan senang menunjukan kepada kebaikan.

Tangan lainnya menggenggam, tertutup, karena apa yang dinamakan „baik‟ itu sifatnya memang subyektif dan nisbi. Apa yang baik bagi orang yang satu belum tentu bagi yang lain.96

Walaupun konsep punakawan telah ada jauh sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Islam, tetapi pada masa Islam di Jawa banyak dimanfaatkan untuk keperluan dakwah. Oleh karena itu, terjadi pemaknaan kembali tokoh punakawan sesuai dengan syariat Islam. Hal ini terjadi karena ada yang menghubungkan nama-nama punakawan berasal dari bahasa Arab yang bermakna kebaikan. Semar dimaknai sebagai Ismaar berarti paku yang menstabilkan sesuatu yang tidak tenang atau bergejolak. Gareng dimaknai berasal dari kata Khoiron yang berarti perbuatan baik. Petruk berasal dari Fatruk yang bermakna „tinggalkanlah‟ artinya

96 Pandam Guritno, Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila (Jakarta: UI Press, 1988), h.84.

74

meninggalkan yang jahat. Bagong (Bawor) berasal dari kata Baghoo yang artinya menentang pada hal-hal yang tidak baik.97

Dalam Wayang Purwa terdapat banyak sekali perlambangan- perlambangan yang disandikan melalui bentuk perupaan tokoh-tokoh wayangnya.

Masing-masing tokoh memiki makna perlambangan tertentu yang berkaitan dengan falsafah atau ajaran tertentu. Penelitian ini menelaah lebih jauh dua tokoh yang sangat berpengaruh, khususnya dalam Wayang Purwa Gagrag Banyumas yaitu tokoh Bawor dan Werkudara. Kedua tokoh tersebut begitu dekat dan dianggap sebagai simbol atau identitas masyarakat Banyumas karena memiliki beberapa kesamaan antara karakter kedua tokoh tersebut dengan karakter sosial

Wong Banyumasan.

Pemaknaan perlambangan kedua tokoh tersebut dikaji melalui pendekatan semiotik dengan penerapan teori yang diajukan oleh Charless Sanders Pierce.

Dalam sistem penandaan Pierce, terdapat tiga hal penting yang saling bertalian yaitu tanda (sign), acuan (referent/object) dan interpretan (interpretant), yang selanjutnya seringkali disebut dengan “trikotomi Pierce”. Hubungan ketiganya tidak terhenti pada satu makna saja, tetapi pemaknaan dapat berkembang atau berkelanjutan. Perkembangan ini disebut proses semiosis. Setelah pemaknaan pertama, terjadi pemaknaan kedua dari interpretan pertama yang dijadikan konsep dan berpotensi menjadi tanda baru pada pemaknaan berikutnya yang merujuk pada acuan baru dan diteruskan juga dengan interpretan baru; demikian seterusnya pemaknaan terjadi.

97 Ibid, h.243.

75

A. Analisis Bentuk Fisik Wayang Bawor

Bawor merupakan salah satu tokoh wayang yang menjadi ciri khas wayang Banyumas karena tokoh ini tidak ada dalam gagrag Wayang Purwa lainnya. Bawor dikategorikan wayang punakawan atau abdi yang bertugas sebagai pelayan, pengikut serta pamong yaitu pembimbing dan penasehat para satriya dalam melaksanakan tugas dan menjalani kehidupannya. Bawor bersama Semar,

Gareng dan Petruk merupakan punakawan para Pandawa.

Punakawan atau panakawan secara etimologi berasal dari kata pana yang berarti cerdik, mengetahui, paham, jelas sekali atau cermat dalam pengamatan.

Pana berasal dari kata purna yang memiliki arti „sempurna‟ atau tuntas dan kata kawan berarti teman. Dengan demikian punakawan memiliki pengertian sebagai teman/pamong, mempunyai pandangan yang luas serta pengamatan yang tajam dan cermat. Kelompok wayang ini disebut dengan prepat (parepat) karena tokoh- tokoh dalam kelompok ini berjumlah empat yang senantiasa dijadikan kawan berunding dalam segala masalah sulit dan pelik yang dihadapi oleh tokoh satriya.98

Tokoh punakawan bentuknya beraneka ragam, tetapi secara keseluruhan memiliki kesamaan fundamental, yaitu bentuk tidak proporsional dan bersifat lucu. Hal ini berkaitan dengan cara penggambaran yang serba dilebih-lebihkan, sehingga tampilannya aneh dan lucu. Tokoh punakawan itu bertubuh gemuk atau kurus ditampilkan sedemikian rupa hingga bentuknya tidak wajar. Wujud yang aneh pada tokoh punakawan merupakan media atau sarana dalam menyampaikan ajaran secara sinandi melalui bentuk sebagai sasmita atau perlambangan. Ajaran

98 Sunarto. “Punakawan wayang kulit purwa; Asal-usul dan Konsep Perwujudannya,” Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol.22 No.3 (Juli-September 2012): h. 242.

76

yang disampaikan melalui bentuk punakawan berhubungan dengan falsafah hidup dan kehidupan dalam semesta ini. Oleh karena itu dalam memahami makna punakawan memerlukan penafsiran yang tepat, kecermatan dan kesabaran yang tinggi.

Bentuk tubuh Bawor memiliki kesamaan dengan Semar, yaitu tambun.

Kepala Bawor berambut bkoak dan berpusar bodong, suaranya besar dan berat, dan menjadi tokoh yang dihormati dan dipercaya oleh adik-adiknya. Makna dari penampilan bentuk Bawor secara umum menjadi ciri pola tingkahnya yang menggambarkan watak Bawor, seperti diungkapkan Herusatoto sebagai berikut:

a. Sabar lan narima (sabar dan menerima apa adanya dalam kehidupan

kesehariannya),

b. Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran, rukun, suka membantu

orang lain, mementingkan kepentingan bersama),

c. Cancudan ( rajin dan cekatan), dan

d. Cablaka (lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang atas

apapun yang diucapkannya secara spontan dengan bahasa yang lugas,tanpa

tedheng aling-aling atau eufemisme). 99

Sifat dan watak yang dimiliki Bawor memiliki kesamaan dengan sifat dan watak universal yang dimiliki orang Banyumas. Dalam sejarahnya, Banyumas merupakan daerah mancanagari atau daerah yang jauh dari pusat kekuasaan keraton sehingga sangat sedikit dipengaruhi budaya keraton. Hal ini juga dapat dilihat dari peribahasa Jawa yang menunjukkan karakter Wong Banyumasan, yaitu adoh ratu cedhek watu (jauh dari raja dan hanya dekat dengan batu). Ungkapan

99 Budiono Herusatoto. Banyumas; Budaya Bahasa dan wataknya. (Yogyakarta: LKis, 2008) h.202.

77

ini memiliki makna bahwa wong Banyumas memiliki tata pergaulan yang jauh sekali dari tradisi keraton dan hidup dengan cara yang alamiah saja.100

Kondisi yang demikian menyebabkan Wong Banyumasan memiliki bahasa yang relatif berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya yang memang terpengaruh budaya keraton. Bahasa ini dikenal sebagai bahasa ngapak yang didasari oleh cablaka.Wong Banyumasan adalah masyarakat yang egaliter dan mengedepankan kesetaraan dibanding dengan unggah-ungguh yang bersifat struktural-hirarkis. Oleh sebab itu, banyak yang beranggapan kalau Wong

Banyumasan kurang memiliki sopan santun, kalau berbicara menggunakan

Bahasa Jawa Kluthuk (bersahaja), sing pating blekuthuk (saling menimpali adu keras), mbleketupruk (kalau berbicara akrab dan tidak peduli dengan kondisi sekitar).101

Mengenai Bawor, Ki Daulat Karsito Darmocarito menggambarkan:

“Bawor saka tembung tibane bisa awor kelawan sekabehe bisa campur, kembul. Bawor tan petung drajat lan pangkat. Bisa numpuk rasaning Gusti. Mripat bunder mlolo tansah mawas lan ngawas sembarang kang bakal dilakoni, bisa milah-milahake ala beciking tumindak, lan waspada. Bathuk nonong mungkal Gerang, tuhune menungsa tansah eling lan waspada karana Bawor iku ayang-ayang Semar ingkang Sanghyang Ismaya. Irung Ngempis kadhok mundur, nadya sifating batur nyingkir salira ganda kang cengkah kelawan kang awon. Lambe ndower untu sajuga, nadyan kelantur geguyon barang wis mengkono sejatine mung sawiji kang dadi gegebengan lahir antebing bebener batin naming sajuga panembah marang kang maha mulya. Gulu mungku punuk, wong kang wis weruh gebyaring jagat. Tangan loro ginawe rangkep kang sawiji nuding lan nggegem, pralampita urip tansah manembah marang Gusti, kenceng panggegem sarta seneng paring pituduh dalan bebener. Suku mbujel, nadya ala tanpa rupa darbe watek jejeg, adeg, teguh. Ngundi kuncir ing wuri sejatini dudu kucir satuhune kucir kejaba namung kang Maha Tunggal kang pinundi.”

100 Ridha Widyaningsih. “Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer” Jurnal Ultima Humaniora, Vol II No.2 (September 2014): h.192. 101 Ibid.

78

Dari penjelasan tersebut, penulis mengidentifikasi bagian-bagian tubuh wayang Bawor untuk selanjutnya dilakukan analisis pemaknaan perlambangan yang tersirat di dalamnya.

Gambar.29 Bentuk fisik tokoh wayang Bawor Sumber: dok.pribadi

79

1. Pemaknaan Bentuk Rambut Bawor

Gambar.30 Bentuk Rambut Bawor

Bentuk rambut wayang Bawor disebut kuncir yaitu rambut yang diikat di tengah.102 Selain Bawor punakawan lain seperti Gareng dan Petruk juga memiliki memiliki rambut kuncir. Dalam semiotika Pierce hal seperti ini bisa menjadi tanda yang mengacu pada sesuatu. Rambut memiliki hubungan indeksikal dengan kepala, artinya ketika melihat rambut akan mengacu kepada kepala. Selanjutnya dari hubungan tersebut maka akan membuahkan interpretan berupa kepala merupakan bagian tubuh yang paling atas dan biasanya yang paling pertama dilihat. Sampai di sini telah terjadi semiosis pada tataran pertama.

Pierce mengemukakan bahwa proses semiosis pada dasarnya tidak terbatas. Jadi interpretan dapat berubah menjadi tanda baru yang kemudian mengikuti semiosis lanjutan. Interpretan dari semiosis tataran pertama dapat menjadi tanda baru yang mengacu kepada rukun Islam yang pertama yaitu syahadat. Dalam hal ini kepala mengacu pada kepala rukun Islam atau rukun

Islam yang pertama. Pertalian tanda antara kepala dan syahadat berupa ikon karena didasari unsur keserupaan antara kepala sebagai bagian tubuh yang paling atas dan syahadat merupakan rukun Islam yang paling atas. Dari pertalian tersebut

102 R. Rio Sudibyoprono, Ensiklopedi Wayang Purwa, (Jakarta: Balai Pustaka,1991), h.74.

80

didapatkan interpretan bahwa kepala yang dimaksud adalah kepala rukun Islam yaitu membaca kalimat syahadat. Sampai di sini merupakan proses semiosis tataran kedua.

Syahadat terdiri dari dua kalimat yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan persaksian bahwa nabi Muhammad utusan

Allah. Syahadat khususnya kalimat yang pertama, sering disebut dengan syahadat tauhid. Dalam semiotika Pierce, hal ini merupakan sebuah tanda yang mengacu pada sesuatu. Acuan dari tanda ini adalah konsep tentang tauhid. Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid diambil kata:

Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang artinya satu atau ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam

Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah La illaha ilallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan.103 Dari hubungan ini membuahkan interpretan berupa sebuah pemahaman bahwa tauhid merupakan keyakinan akan keesaan Allah. Pertalian tanda dari hubungan tersebut berupa simbol yaitu berdasarkan konvensi tentang konsep tauhid. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran ketiga. Dari tingkatan proses semiosis tersebut dapat disimpulkan bahwa rambut tokoh Bawor yang berbentuk kuncir merupakan perlambangan dari tauhid atau mengesakan Allah. Hal ini selaras dengan candran (penggambaran/pemaknaan) bentuk tubuh Bawor dalam dunia pedhalangan seperti dikemukakan Ki Daulat Karsito Darmocarito: “Bawor

103 Imam Muhammad ibn Abdul Wahab, Tauhid, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h. 4

81

Ngundi kucir ing wuri sejatini dudu kucir satuhune kucir kejaba namung kang

Maha Tunggal kang pinundi.” (Bawor memiliki kuncir melambangkan hanya satu yang diagungkan ialah Yang Maha Esa).

Gambar.31 Bagan Pemaknaan Bentuk Rambut Bawor

2. Pemaknaan Bentuk Jidat Bawor

Gambar.32 Bentuk Jidat Bawor

Bentuk jidat tokoh wayang Bawor disebut jidat mungkal gerang. Hal ini merupakan suatu tanda yang mengacu pada benda berupa wungkal. Wungkal merupakan batu pengasah. Masyarakat pedesaan di Jawa menggunakan pengasah untuk perkakas rumah tangga seperti pisau, golok dan berbagai jenis senjata menggunakan batu pengasah berasal dari batu alam yang disebut wungkal.

Sementara kata gerang berarti aus. Sehingga wungkal gerang berarti wungkal yang sudah aus karena sering digunakan. Pertalian tanda ini berupa ikon karena didasari unsur keserupaan antara bentuk jidat tokoh Bawor dengan wungkal gerang. Sehingga interpretan dari semiosis tataran pertama ini adalah penamaan

82

bentuk jidat tokoh Bawor dinamakan mungkal gerang karena memiliki kemiripan dengan bentuk benda berupa wungkal gerang.

Interpretan tataran pertama dapat menjadi tanda baru yang mengacu pada seorang yang banyak berpikir dan mengasah kecerdasaannya. Batu wungkal yang berfungsi sebagai pengasah melambangkan pikiran yang senantiasa diasah sehingga mampu memahami kondisi yang ada dan mampu menyelesaikan segala permasalahan. Pikiran itu diwakili dengan jidat yang didalamnya terdapat otak yaitu bagian tubuh yang berfungsi untuk berpikir. Dari pertalian tanda ini didapatkan interpretan baru berupa bentuk jidat mungkal gerang merupakan perlambangan dari orang yang banyak berpikir dan mengasah kecerdasannya.

Sampai di sini merupakan proses semiosis tataran kedua.

Interpretan pada proses semiosis tahap kedua dapat menjadi tanda baru untuk proses semiosis tahap berikutnya yang mengacu pada konsep ulul albab.

Istilah ulul albab berasal dari dua kata yakni ulu dan albab, kata ulu artinya yang memiliki. Sedangkan albab berasal dari kata allubb yang artinya otak atau pikiran

(intellect). Albab di sini bukan mengandung arti otak atau pikiran beberapa orang, melainkan hanya dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian ulul albab artinya orang yang memiliki otak yang berlapis-lapis. Ini sebenarkan membentuk arti kiasan tentang orang yang memiliki otak yang tajam.104 Sedangkan menurut pendapat Abuddinata ulul albab adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat(Allah), dan tafakkur memikirkan (ciptaan Allah).105

Sehingga interpretan dari proses semiosis tataran ketiga adalah penafsiran berupa bentuk jidat mungkal gerang simbol dari konsep ulul albab.

104 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an;Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), h.556. 105 Abuddinata, Tafsir ayat-ayat pendidikan (Jakarta: Raja grafindo, 2002), h.131

83

Rantai pemaknaan sampai pada semiosis tataran ketiga menghasilkan penfsiran berupa bentuk jidat tokoh Bawor merupakan perlambangan dari konsep ulul albab yaitu seseorang yang memiliki otak (pikiran) yang tajam khususnya dalam mengingat Allah dan memikirkan kebesaran Allah, Sang Maha Pencipta.

Hal ini selaras dengan peran tokoh Bawor sebagai punakawan yaitu sebagai teman/pamong, mempunyai pandangan yang luas serta pengamatan yang tajam dan cermat senantiasa dijadikan kawan berunding dalam segala masalah sulit dan pelik yang dihadapi oleh tokoh satriya.106

Gambar.33 Bagan Pemaknaan Jidat Bawor

3. Pemaknaan Bentuk Mata Bawor

Gambar.34 Bentuk Mata Bawor

Bentuk mata Bawor disebut plolon. Istilah plolon berasal dari kata mlolo atau mendelo yang berarti mata bulat besar dan jarang berkedip. Bentuk mata

106 Sunarto. “Punakawan wayang kulit purwa; Asal-usul dan Konsep Perwujudannya,” Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol.22 No.3 (Juli-September 2012): h. 242.

84

tokoh wayang dibuat bermacam-macam. Ada yang menyerupai bentuk padi yang disebut mata gabahan, ada yang yang menyerupai biji kedelai yang disebut mata kedelen, ada yang berbentuk sipit menyerupai bulan sabit yang disebut mata kiyer.

Masing-masing bentuk mata memiliki makna dan merupakan ciri dari tokoh wayang tertentu. Jenis mata plolon merupakan pengembangan dari jenis mata plelengan tokoh yang memiliki mata jenis ini adalah Togog dan Bagong

(Bawor).107 Bentuk ini pada dasarnya merupakan bentuk peniruan terhadap jenis mata manusia yang besar dan lebar (belo) atau lawan kata dari jenis mata sipit.

Dalam istilah Pierce, tipologi tanda seperti ini disebut ikon yaitu jenis tanda yang didasari atas unsur kemiripan dengan obyek acuannya. Dari hubungan ini didapatkan interpretan bahwa jenis mata plolon merupakan peniruan dari bentuk mata manusia yang lebar. Sampai di sini merupakan semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru dalam proses semiosis berikutya. Bentuk mata tokoh wayang Bawor mengacu pada konsep tanggap sasmita. Tanggap sasmita merupakan salah satu sikap atau pandangan hidup orang Jawa. Kata “sasmita” berasal dari bahasa sansekerta yang berarti: tanda, alamat atau isyarat.108 Sasmita dapat diartikan sebagai pertanda yang bisa saja secara fisik kelihatan tetapi juga sering lebih pada simbol atau lambang- lambang. Dengan kata lain sasmita adalah pertanda yang ditangkap oleh kepekaan indera jiwa. Sedangkan kata “tanggap” memiliki kesamaan arti dalam bahasa

Jawa maupun bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata

“tanggap” diartikan sebagai: 1.segera mengetahui (keadaan) dan memperhatikan

107 Sunarto. Wayang Purwa Gagrag Yogyakarta; Bentuk, Ukiran dan Sunggingan. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) h.38. 108 Sidomulyo, Sengkalan Tuwin Kawi Jarwo (Sukoharjo: CV.Cendrawasih, 1987), h.55.

85

sungguh-sungguh, 2. cepat dapat mengetahui dan menyadari gejala yg timbul.109

Secara sederhana tanggap sasmita dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menangkap informasi simbolik dari suatu hal atau peristiwa. Interpretan dari proses semiosis pada tataran kedua ialah bentuk mata tokoh Bawor yang lebar adalah perlambangan dari seorang yang tanggap sasmita, memiliki kepekaan terhadap pesan simbolis. Biasanya ketika akan terjadi hal-hal buruk terhadap Semar atau Pandawa, maka dari ketiga anak Semar, Baworlah yang paling peka terhadap sasmita. Sehingga dalam setiap penampilannya selalu menjadi menjadi tokoh yang dihormati dan pendapatnya dipercaya oleh adik- adiknya yaitu Gareng dan Petruk.110

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru mengacu pada konsep sikap eling lan waspada. Sikap ini merupakan salah satu wujud kehati- hatian orang Jawa. Eling berarti ingat, sedangkan waspada memiliki arti yang sama dengan kata “waspada” dalam bahasa Indonesia. Sikap ini berasal dari salah satu wejangan Sunan Drajat yait “Jroring suka kudu eling lan waspada.” Secara umum wejangan Sunan Drajat dikenal sebagai pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang terdiri dari: 1. Memangun resep tyasing sesama (kita selalu membuat senang hati orang lain), 2. Jroning suka kudu eling lan waspada (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat kepada Allah dan selalu waspada, 3.Laksitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan), 4.Meper hardaning pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-nafsu inderawi).

109 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008) h. 1621. 110 Budiono Herusatoto, Banyumas; Sejarah, Budaya,Bahasa dan Watak (Yogyakarta: LKiS, 2008), h.201

86

5.Heneng-hening-henung (dalam diam akan mencapai keheningan dan di dalam hening, akan mencapai jalan kebebasan mulia), 6.Mulya guna panca waktu

(pencapaian kemulian lahir batin dicapai dengan menjalani shalat lima waktu),

7.Menehana teken marang wong wuta, menehana mangan marang wong kang luwe, menehana busana marang wong kang wuda, menehana pangiyup marang wong kang kaudanan (berikan tongkat kepada orang buta, berikan makan kepada orang yang lapar, berikan pakain kepada orang yang telanjang, berikan payung kepada orang yang kehujanan).111 Sikap eling lan waspada juga diisyaratkan oleh

R.Ng.Ronggowarsito dalam menghadapi zaman kekacauan, yaitu dalam Serat

Kalatida bait ke-7 Pupuh Sinom:

Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begjabegjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada. (Hidup di dalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Allah. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia/selamat lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada).

Apabila ditilik lebih jauh ternya sikap eling lan waspada yang difahami orang

Jawa memiliki kesamaan dengan salah satu konsep akhlak terpuji yaitu wara.‟

Sikap ini juga menjadi maqomat dalam pembahasan tasawuf. Kata wara‟ mengandung arti menjauhi hal-hal yang baik dan hal-hal yang mengandung syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu.112 Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap tanggap sasmita selain mampu memahami pesan simbolis juga membuat pelakunya menjadi lebih berhati-hati dan waspada (eling lan waspada)

111 Agus Sunyoto, Walisongo; Rekontruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), h. 170 112 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h.53

87

terhadap sesuatu terkait baik buruk, halal-haramnya, serta meninggalkan perkara yang meragukan (syubhat) atau dalam kata lain bersikap wara.‟ Maka pada proses semiosis tataran ketiga didapatkan interpretan berupa penafsiran bahwa bentuk mata wayang Bawor merupakan perlambangan dari sikap eling lan waspada atau sikap wara.‟ Hal ini sesuai dengan apa yang diungkap Ki Daulat Karsito

Darmocarito: “Mripate Bawor bunder mlolo tansah mawas lan ngawas sembarang kang bakal dilakoni, bisa milah-milahake ala beciking tumindak, lan waspada” (Matanya Bawor bundar mlolo melambangkan senantiasa mawas diri dan awas terhadap hal-hal yang akan dilakukan, bisa memilah baik dan buruknya perbuatan serta senantiasa waspada).113

Gambar.35 Bagan Pemaknaan Bentuk Mata Bawor

4. Pemaknaan Bentuk Mulut Bawor

Gambar.36 Bentuk Mulut Bawor

113 Wawancara Pribadi dengan Ki Daulat, Banyumas, 29 Juli 2016.

88

Tokoh wayang Bawor memiliki bentuk mulut lebar, melengkung, terdapat ikal di ujung mulut yang memberi kesan sedang tersenyum. Hal ini merupakan tanda yang mengacu pada bentuk mulut manusia yang tersenyum. Pertalian tanda dalam hal ini berupa ikon karana didasari pada unsur keserupaan. Dari hubungan tersebut membuahkan interpretan berupa bentuk mulut tokoh wayang Bawor merupakan peniruan dari bentuk mulut manusia yang sedang tersenyum. Inilah proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tahap pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep tentang macam-macam bentuk mulut wayang. Dalam perupaan

Wayang Purwa terdapat berbagai jenis mulut, seperti: mingkem, gethetan, gusen,mesem, mrenges, anjeber dan ngablak. Bentuk mulut dengan ciri-ciri seperti pada tokoh wayang Bawor disebut bentuk mulut mesem. Bentuk mulut mesem dipergunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh wayang punakawan yang suka tersenyum dan memancarkan kegembiraan.114 Istilah mesem sendiri merupakan bahasa Jawa yang berarti tersenyum. Lebih spesifik lagi Ki Daulat

Karsito Darmocarito menggambarkan bentuk bibir Bawor dengan sebutan ndower, yaitu bentuk bibir yang tebal dan agak menonjol ke depan.115 Tipologi tanda dari pertalian tanda ini disebut simbol karena didasari konvensi tentang konsep mulut wayang. Dari hubungan ini kemudian membuahkan interpretan berupa penafsiran bahwa bentuk mulut tokoh wayang Bawor disebut mulut jenis mesem dengan bentuk bibir ndower. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

114 Wayang Purwa Gagrag Yogyakarta; Bentuk, Ukiran dan Sunggingan. h.43 115 Wawancara Pribadi dengan Ki Daulat, Banyumas, 29 Juli 2016.

89

Interpretan pada semiosis tahap kedua menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep sikap cablaka. Bentuk bibir Bawor yang ndower memang identik dengan karakter masyarakat yaitu cablaka, seperti dikatakan Ki Tarjono:

“Lambene Bawor niku ndower ya anu kados niku anane, kaya wong mbanyumas sing wateke cablaka, blag-blagan” (Bibirnya Bawor itu ndower memang begitu adanya, seperti watak orang Banyumas yaitu cablaka, blak-blakan).116 Istilah cablaka sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan.

Karakter cablaka menununjukkan bahwa wong banyumas lebih suka menyampaikan pendapat dan pemikirannya secara terus terang dan apa adanya tanpa basa-basi atau menyembunyikan sesuatu.117 Asal kata cablaka yaitu blaka yang jika dirunut dari asal-usulnya dari bahasa Jawa Kuno, balaka, atau bahasa

Sansekerta, walaka, yang artinya “terus terang, sejujur-jujurnya, lurus, tanpa tedhing aling-aling.118 Sikap cablaka dipandang sebagai sikap yang berani, terutama dalam konteks menyampaikan kebenaran. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa sahabat Abu Dzar Radiyallahu‟anhu diberikan beberapa

لُ ِم ْان َح َّك ََإِ ْن َك َان ُم ًّّسا :wejangan oleh Rasulullah SAW yang salah satu isinya berbunyi

(“Katakan kebenaran, sekalipun itu pahit”) [HR.Baihaqi]. Sehingga interpretan dari proses semiosis tataran ketiga adalah mulut mesem dengan bibir ndower pada tokoh wayang Bawor merupakan perlambangan dari sikap cablaka yaitu keterusterangan dalam menyampaikan kebenaran. Hal ini seperti dikemukakan Ki

Daulat dalam menggambarkan bibir Bawor: “Lambe ndower untu sajuga, nadyan kelantur geguyon barang wis mengkono sejatine mung sawiji kang dadi

116 Wawancara Pribadi dengan Ki Tarjono, Banyumas, 1 Agustus 2016. 117 Sugeng Priyadi, Sejarah Mentalitas Brebes, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h.17 118 Ridha Widyaningsih. “Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer” Jurnal Ultima Humaniora, Vol II No.2 (September 2014): h.190.

90

gegebengan lahir antebing bebener batin naming sajuga panembah marang kang maha mulya” (bibirnya ndower dan hanya memiliki satu gigi depan, meskipun senang bergurau tapi sejatinya batinnya selalu teguh memegang kebenaran dan hanya menghamba pada Yang Maha Mulia).119

Gambar.37 Bagan Pemaknaan Bentuk Mulut Bawor

5. Pemaknaan Bentuk Jari Tangan Bawor

Gambar.38 Bentuk Jari Tangan Bawor

Bentuk jari tangan Bawor disebut gegeman. Istilah ini berasal dari kata nggegem yang berarti menggenggam. Hal ini merupakan tanda yang mengacu kepada bentuk jari tangan manusia yang menggenggam sesuatu. Pertalian tanda dalam hal ini dikategorikan ikon karena didasari unsur kemiripan atau keserupaan.

Dari hubungan tanda dan acuannya membuahkan interpretan berupa bentuk tangan Bawor merupakan peniruan atau penggambaran tangan manusia dalam

119 Wawancara Pribadi dengan Ki Daulat, Banyumas, 29 Juli 2016.

91

posisi tangan sedang menggenggam. Sampai di sini merupakan proses semiosis tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tahap pertama menjadi tanda baru yang mengacu kepada konsep falsafah teguh cekelan waton. Teguh berarti kuat, kokoh, tak bergeming. Cekelan berarti pegangan, sedangkan waton berasal dari kata wewaton yang berarti pedoman, sesuatu yang dijadikan acuan atau landasan. Sehingga istilah teguh cekelan waton berarti berpegang teguh kepada prinsip, punya pendirian kuat dan tidak terbawa arus.120 Sehingga interpretan dari hubungan ini ialah bahwa bentuk tangan gegeman dalam tokoh wayang Bawor merupakan simbol dari falsafah teguh cekelan waton atau berpegang teguh dengan prinsip yang diyakini. Sampai di sini merupakan semiosis pada tataran kedua.

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru yang mengacu kepada wasiat Rasullah yaitu Al-Quran dan Sunah yang harus senantiasa dipegang teguh.

اَ َّن َز ْسُُ َل هللاِ ص َل َال: َت َـس ْك ُت فِ ْـي ُك ْم اَمـْ َسيـْ ِه َن ْه َت ِض ُّه ْـُا َما َت َـم َّس ْكـتُ ْم تِـٍِ َما: ِك َـت َاب هللاِ ََ سُى َّ َـة َز ْسُُنـــِ ًِ.

Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah Rasul- Nya”. (HR. Malik)

Sehingga interpretan dalam hubungan ini adalah yang harus dipegang teguh dalam menjalani kehidupan ini adalah Al-Quran dan Sunah yang merupakan wasiat

Rasulullah. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ki Daulat, bahwa: tangan loro ginawe rangkep kang sawiji nuding lan nggegem, pralampita urip tansah manembah marang Gusti, kenceng panggegem (tangannya berbentuk

120 Wawancara Pribadi dengan Ki Tarjono, Banyumas, 1 Agustus 2016.

92

menunjuk dan menggenggam perlambangan bahwa hidupnya senantiasa mengabdi kepada Tuhan, teguh dalam mengamalkan ajaran agama).

Gambar.39 Bagan Pemaknaan Bentuk Jari Tangan Bawor

6. Pemaknaan Pakaian Bawor

Gambar.40 Pakaian/jarit Bawor

Tokoh wayang Bawor mengenakan pakaian berupa jarit yang bermotif batik kawung. Mengacu pada penggunaan motif batik kawung, dalam wayang purwa motif batik kawung merupakan busana yang diperuntukkan bagi golongan punakawan.121 Tokoh punakawan seringkali diterjemahkan sebagai simbol rakyat jelata yang penuh kesederhanaan. Dikarenakan kehidupannya sebagai seorang lurah desa. Tokoh Semar dan punakawan lainnya selalu berada di antara rakyat kecil. Kesederhanaan telah membawanya kepada kearifan sifat dan kesucian pandangan tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap

121 M.Yoesoef. Membaca Punakawan. Makalah dalam Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik dan Kebudayaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada 17 Juni 2016.

93

kebenaran seperti apa adanya.122 Hal ini juga dikemukan oleh Ki Sugito

Purbocarito, dalang sekaligus pakar wayang Banyumas: “Motif batik kawung umumnya dipakai oleh wong cilik, artinya tidak membeda-bedakan dalam pergaulan masyarakat karena sesama makhluk ciptaan Tuhan menunjukan pula hidup sederhana dalam berbusana dan berperilaku.”123 Sehingga didapatkan interpretan bahwa motif batik kawung yang dikenakan tokoh punakawan merupakan simbol kesederhanan. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep nrimo ing pandum. Nrimo ing pandum merupakan sebuah sikap penerimaan secara penuh terhadap berbagai kejadian pada masa lalu, masa sekarang serta segala kemungkinan yang bisa terjadi pada masa yang akan datang.

Hal ini merupakan upaya untuk mengurangi kekecewaan apabila yang terjadi kemudian ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sikap nrimo ing pandum tidak dapat disebut sebagai sikap fatalistik. Menurut Mangkunegara I, sikap ini harus didahului dengan obah (usaha) untuk menerima dan menjalani pepesthen Gusti (takdir Tuhan) secara ikhlas sebagaimana kodrat diciptakannya manusia.124 Jadi interpretan dari pertalian tanda ini adalah penafsiran dari sikap nrimo ing pandum. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

122 Zairul Haq, Tasawuf Semar Hingga Bagong (Yogykarta: Kreasi Wacana, 2009), h.109. 123 Rini Fidiyani, Banyumas Dan Kebudayaannya; Membaca Kearifan dan Tradisi (Semarang: Purbasari Multiprinting, 2008), h.45 124 Fananie. Z, Restrukturisasi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MN I (Surakarta: Muhammadiyah University Press., 2005), h.56.

94

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep qonaah. Menurut bahasa qonaah berarti menerima apa adanya atau tidak serakah.125 Dalam sebuah hadits disebutkan:

َل ْد ْأف َه َح َم ْه ْأس َه َم ََ ِزُش ُق َك َفا ًّفا، ََ َلىَّ َعًُ هللاُ تِ َما َآتاي ُ “Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekadar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.”(HR.Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al- Baghawy)

Qona‟ah artinya sikap merasa cukup atau menerima apa adanya terhadap segala usaha yang telah dilaksanakan. Sikap qona‟ah akan mengendalikan diri seseorang

126 dari keinginan memenuhi hawa nafsu. Sehingga interpretan pada semiosis tataran ketiga adalah pakaian jarit kawung yang dikenakan tokoh wayang Bawor merupakan simbol dari konsep nrimo ing pandum atau qona‟ah. Hal ini sesuai dengan perannya sebagai punakawan yang merupakan abdi yang harus senantiasa menjadi pamomong para satriya.127 Hal ini juga selaras dengan watak Bawor yang dikemukakan Herusatoto yaitu sabar lan narima (sabar dan menerima apa adanya dalam kehidupan kesehariannya).128

125 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.57. 126 Badi‟uz-Zaman Sa‟id an-Nursi, Bersyukurlah Bersabarlah Terj., Shofwan Abbas (Surakarta: Indiva Pustaka, 2007), h. 131. 127 Sunarto. “Punakawan wayang kulit purwa; Asal-usul dan Konsep Perwujudannya,” Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol.22 No.3 (Juli-September 2012): h. 252 128 Budiono Herusatoto. Banyumas; Budaya Bahasa dan wataknya. h.202.

95

Gambar.41 Bagan Pemaknaan Pakaian/jarit Bawor

Gambar Tanda Makna Bentuk Rambut Perlambangan sikap tauhid atau (Kuncir) mengesakan Allah

Bentuk Jidat Perlambangan konsep ulul albab yaitu (Mungkal Gerang) seseorang senantiasa mengingat Allah dan memikirkan kebesaran Allah. Bentuk Mata Perlambangan orang yang tanggap (Plolon) sasmita dan wara‟ (berhati-hati dan meninggalkan sesuatu yang syubhat). Bentuk Mulut Perlambangan sikap cablaka yaitu (Mesem) bibir keterusterangan dalam menyampaikan ndower kebenaran. Bentuk Jari Tangan Perlambangan harus berpengang teguh (Nggegem) kepada Al-Quran dan Sunah dalam menjalani kehidupan ini seperti yang diwasiatkan Rasulullah.

Bentuk Pakaian Perlambangan kesederhanaan, sifat (Jarit Kawung) qonaah atau nrima ing pandum

Tabel.6 Makna bentuk wayang Bawor

96

B. Analisis Bentuk Fisik Wayang Werkudara

Tokoh wayang Werkudara merupakan nama lain dari Bima yaitu golongan satriya Pandawa yang terdiri dari Puntadewa (Yudistira), Werkudara (Bima),

Janaka (Arjuna), Nakula dan Sadewa. Dalam cerita Mahabharata, Bima adalah putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunthi dan merupakan anak yang kedua dari lima Pandawa. Tokoh ini terkenal satriya yang bijaksana dan menjadi tulang punggung Negara Amarta. Bima juga ditakuti oleh lawan-lawannya, bila ia berperang pantang menyerah kalau belum menemui ajalnya.129

Ketika masih muda, Bima atau Werkudara bernama Bratasena. Menurut

Kyai Muhammad Ma‟ruf, nama Bratasena berasal dari kata bararta = kebaikanmu, shaana = jagalah.Sehingga Bratasena bermakna jagalah kebaikanmu.130 Sedangkan menurut Kyai Sunhaji nama Werkudara berasal dari kata Waqaa dahro. Waqaa-waqyan-wawiqayatan = yang menjaga, ad-dahra = hidup sepanjang masa. Sepanjang hayat masih di kandung badan orang punya kewajiban dua, yaitu beribadah bertauhid yang benar, kepada sesama manusia untuk bargaul sebagai mahluk sosial yang membutuhkan orang lain, butuh bermasyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.131

Sosok Werkudara juga mempersonifikasikan rukun Islam yang kedua yaitu shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai penegak Pandawa. Ia hanya dapat berdiri saja, karena memang tidak dapat duduk. Baginya terpikul tugas penegak agama Islam dan jangan lupa shalat tiang agama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Shalat lima waktu adalah

129 Bendung Layung Kuning, Atlas Tokoh-Tokoh Wayang dari Riwayat Sampai Silsilahnya. (Yogyakarta: Narasi, 2011), h.387. 130 Wawancara Pribadi dengan Kyai Muhammad Ma‟ruf, Cilacap, 26 Agustus 2016. 131 Wawancara Pribadi dengan Kyai Sunhaji, Banyumas, 24 Juli 2016.

97

penegak agama Islam, barangsiapa yang menjalankannya menegakkan islam dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti merobohkan Islam.” Dalam pewayangan, Werkudara memperlakukan semua orang tanpa pandang bulu, bahkan menggunakan bahasa ngoko (Bahasa Jawa kasar) terhadap siapa pun.

Seperti halnya shalat lima waktu berlaku terhadap setiap kaum muslim siapa saja dan di mana saja.132

Menurut Kyai Sunhaji, dari segi pakaiannya Werkudara memakai gelung minangkara cinandi renggo yang berbentuk tinggi belakang rendah depan itu gambaran orang yang sedang sujud. “Wataknya Werkudara rawe-rawe rantas malang-malang putung, artinya kalo tahu sebuah kewajiban maka laksanakan, walau dia tahu itu akan membawanya kepada kematian.” Kyai Ma‟ruf menambahkan bahwa kelat bahu Werkudara melambangkan kejujuran, dan gelangnya melambangkan orang yang berilmu. Didik Himawan juga menambahkan, Werkudara mengenakan kain poleng bang bintulu yang melambangkan nafsu amarah, lawamah, sufiyah dan muthmainah.

Ki Daulat Karsito Darmocarito menggambarkan Werkudara sebagai berikut:

Pranyata busanane sang arya sena minangka pralampita keraning budi: (1)Gelung minangkara cinandhi rengga endhep ngarep dhuwur mburi, pranyata sang Arya Sena datan kewrat dununging kawula gusti. (2)Pupuk mas rineka jaroting asem. minangka pratanda denya ngisep pangawikan marang sang Hyang Bayu. Rineka jaroting asem, Wrekudara budine ngrawit pindha jaroting asem. (3)Sumping pudhak sinumpet amengku kawruh panunggalane Hyang Hodipati, nanging sinasapan, pinter api balilu. Binasakake: jayalaga, jembar budhine nglangut pindha jalanidhi. (4) Anting-anting panunggul maniking warih. Bratasena padhang paningale datan kasamaran marang sawiji-wiji. (5)Sangsangan naga banda, ula gedhe tegese. Karosane Sena kaya karosane

132 RM.Ismunandar, Wayang Asal-Usul dan Jenisnya, (Semarang: Dahara Priza, 1994), h. 99-100.

98

naga raja. Yen bandayuda ora watak kalah, kalaeh mati. (6)Kelat bahu rineka balibar manggis binelah tekan kendhagane. Binasekake bawaleksana, datan kersa ngoncati sabda kang wus kawedhar. (7)Gelang candrakirana, candra wulan kirana sorot. Kawruhe Sena sumorot pindha wulan purnama. (8)Kampuh poleng bang bintulu, pralampita Sang Werkudara saget meper nepsu patang perkara. (9)Paningset cinde bara binelah numpang wentis karo, Bratasena bisa ambedakake laksitaning brata, lahir bareng angakate sahari ratri datan kendhat. (10)Porong dhapur nagaraja, minangka kancing, pranyata Arya Sena wus memet amomot marang salekering jagade.

Gambar.42 Busana Tokoh Werkudara Sumber: http://www.bimagz.com/2015/06/busana-raden-werkudara.html

Sosok Werkudara juga sangat erat dengan masyarakat Banyumas.

Beberapa karakternya memiliki kesamaan dengan karakter umum masyarakat banyumas yaitu cablaka (apa adanya), ksatria (patriotis) dan cancudan (rajin dan

99

cekatan). Bahkan Ki Daulat Karsito Darmocarito mengemukakan, seharusnya simbol kabupaten Banyumas yang tepat adalah Werkudara yang sesuai dengan semboyan kabupaten Banyumas yaitu Kota Satriya. Hal senada diungkapkan oleh

Didik Himawan, dalang sekaligus eks kepala museum wayang Banyumas, Bawor merupakan lambang rakyat jelata seperti halnya masyarakat Banyumas yang jauh dari hegemoni kraton, sedangkan Werkudara merupakan lambang ksatria.133

Nama Werkudara juga selalu disebut-sebut untuk membuka lagu banyumasan khususnya lagu eling-eling banyumasan:

Raden Arya Werkudara,nyata lamun satriya ing Jodhipati Prakoso geng aluhur,godheg wok simbar dada Yen ngendika gereng-gereng pindho guntur Dasar Satriya prawira, eling kula eling dunungane senapati

Dalam bentuk fisik tokoh wayang Werkudara memiliki makna simbolis yang banyak. Selengkapnya dapat dianalisis sebagai berikut:

Gambar.43 Wayang Werkudara Gagrag Banyumas koleksi Museum Wayang Banyumas (Sumber: Dok.Pribadi)

133 Wawancara Pribadi dengan Didik Himawan, Banyumas, 26 Juli 2016.

100

1. Pemaknaan Rambut Werkudara

Gambar.44 Gambar Bentuk Rambut Werkudara

Bentuk rambut tokoh Werkudara berupa gelung (ikal rambut). Bentuk ini mengacu pada konsep tentang rambut wayang. Dalam perupaan wayang terdapat berbagai macam jenin irah-irahan (hiasan kepala). Ada yang berupa topong/makutha (mahkota) yang dipakai oleh tokoh wayang golongan raja, kethu

(sebangsa kain yang dipakai dikepala pada tokoh pendeta dan dewa, ngore

(bentuk rambut terurai) pada tokoh-tokoh putran atau bambangan dan gelung

(tata rambut diatas kepala). Gelung sendiri terdapat beberapa macam bentuk yaitu: gelung minangkara pada tokoh Werkudara, gelung keling pada tokoh Yudistira dan gelung gembel pada tokoh Jayadrata.134 Sehingga interpretan dan hubungan ini adalah jenis rambut pada tokoh wayang Werkudara disebut gelung minangkara. Pertalian tanda dalam hal ini merupakan simbol karena didasari konvensi dalam perupaan wayang. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada bentuk orang yang sedang sujud. Sebutan untuk gelung minangkara biasanya diberi keterangan ndep ngarep dhuwur mburi (rendah

134 RM.Ismunandar K. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya.(Semarang : Dahara Prize, 1994) h.86

101

dibagian depan dan tinggi di bagian belakang). Seperti halnya bentuk orang yang sedang sujud posisi kepala sebagai bagian tubuh depan lebih rendah daripada bagian pantat. Sehingga interpretan dari hubungan ini adalah gelung meningkara merupakan gambaran orang yang sedang sujud. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Kyai Sunhaji bahwa bentuk gelung pada tokoh Werkudara merupakan penggambaran orang yang sedang sujud.135 Adapun pertalian tanda dalam hal ini merupakan ikon karena didasari unsur keserupaan. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

Interpretan pada tataran kedua menjadi tanda yang mengacu pada konsep sangkan paraning dumadi. Dalam cerita Bima Ngaji atau Dewa Ruci, Bratasena

(nama Werkudara pada waktu muda) diceritakan sedang mencari ilmu sangkan paraning dumadi (hakekat kehidupan). Diakhir perjalananya dia berhasil bertemu dengan Dewa Ruci dan berguru kepadanya. Setelah perjalanan spiritual tersebut,

Bratasena mampu memahami hakikat kehidupan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang wajib beribadah kepada Tuhannya. Dalam pewayangan secara simbolis peralihan tersebut digambarkan dengan peralihan bentuk rambut

Bratasena dari bentuk ngore menjadi mengenakan gelung minangkara.136 Ilmu sangkan paranin dumadi berasal dari kata sangkan atau saka = asal mula sesuatu, paran = tempat yang dituju, dumadi = titah, mahluk.137 Sehingga ilmu sangkan paraning dumadi berarti ilmu yang membahas tentang asal mula kehidupan manusia dan tujuan hidupnya. Dalam konsep Islam istilah sangkan paraning dumadi memiliki kesamaan dengan konsep uqdhatul qubra (simpul besar) yang

135 Wawancara Pribadi dengan Kyai Sunhaji, Banyumas, 24 Juli 2016. 136 Cerita Dewa Ruci dalam video pegelaran padat wayang lakon Dewa Ruci kerjasama GELAR dan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia, tahun 2000. 137 Abikusno, Pepak Basa Jawa; Ngewrat Bab Kawruh Basa, kasusastran, Parasastra lan Aksara Jawi, (Surabaya: ekspress, 1996), h.83

102

berisi pertanyan pokok dan mendasar tentang keberadaan manusia di dunia berupa: dari mana asal manusia dan kehidupan ini? untuk apa manusia dan kehidupan ini ada? akan kemana manusia dan kehidupan setelah ini?138 Sehingga dapat disimpulkan bahwa bentuk gelung minangkara merupakan perlambangan manusia yang telah sadar akan kedudukan dirinya sebagai hamba Allah sehingga tak patut untuk menyombongkan diri terhadap sesama manusia. Seperti dikemukakan Ki Daulat: pranyata sang Arya Sena datan kewrat dununging kawula gusti (nyatalah bahwa Sang Arya Sena (Werkudara) tak terlupa akan kedudukan hamba dengan Tuhannya).

Gambar.45 Gambar Bagan Pemaknaan Rambut Werkudara

2. Pemaknaan Hiasan Telinga

Gambar.46 Gambar Bentuk Hiasan Telinga Werkudara

138 Arif B.Iskandar. Materi Dasar Islam; Islam mulai Akar Hingga Daunnya (Bogor, Al- Azhar Press, 2015), h.8.

103

Hiasan telinga seperti gambar pada diatas disebut sumping. Mengacu pada konsep atribut atau pakaian dalam wayang purwa, sumping merupakan hiasan yang yang dimasukan ke daun telinga. Sumping terdiri dari lima macam yaitu: sumping surengpati yang dipakai wayang oleh golongan raja, sumping waderan

(seperti ikan wader) yaitu hiasan yang dipakai oleh bambangan dan ksatria seperti

Arjuna, sumping gajah ngolih (seperti gajah terbalik) yaitu hiasan dipakai oleh para putri, sumping kembang kluwih (bunga kluwih) seperti dipakai oleh Nakula dan Sadewa, dan sumping pudhak sinumpet (bunga pandan) yaitu hiasan yang dipakai olehWerkudara.139 Sehingga interpretan dalam hubungan ini adalah hiasan telinga yang ada pada tokoh Werkudara disebut sumping pudhak sinumpet.

Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada bentuk bunga pudak. Bunga pudak merupakan nama bunga dari pohon pandan. Nama latin dari tumbuhan ini adalah pandanus tectoricus.

Tanaman ini Ia tersebar di seluruh pantai-pantai dan pulau-pulau di kawasan Asia

Selatan dan Timur sampai ke Polinesia. Bentuk dan sifatnya berbeda-beda, penduduk lokal umumnya mengenali banyak varietas dari pandan ini, memberinya nama yang berbeda-beda, dan bahkan membudidayakan beberapa banyak dari mereka untuk tujuan-tujuan yang berlainan. Varietas-varietas tertentu disukai karena daunnya yang lembut dan kuat untuk dianyam sebagai tikar, yang lain digemari karena bunga jantannya (pudak) yang berbau wangi dapat digunakan untuk mengharumkan ruangan, pakaian, atau minyak wangi dan ada

139 RM.Ismunandar K. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya (Semarang : Dahara Prize, 1994) h.82

104

pula varietas yang buahnya dapat dimakan.140 Dari keterangan tersebut maka didapatkan interpretan bahwa nama sumping pudak sinumpet memiliki hubungan bentuk bunga pudak yaitu bunga tumbuhan pandan. Pertalian tanda dalam hal ini merupakan ikon karena didasari unsur kemiripan. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep rendah hati. Istilah pudak sinumpet berasal dari kata pudak = bunga pudak, dan sinumpet berasal dari kata cupet + in = cinupet = sinupet berarti cukup, dimatikan (disipet), atau tertutup. Jika dilihat bentuk sumping berupa segitiga yang melengkung pada ujungnya, terdapat tiga kelopak yang menyerupai bunga pudak,sedangkan pada pangkalnya menempel dan tertutup daun telinga wayang. Menurut Siswoharsojo, sumping pada tokoh Werkudara bermakna ia telah mampu mengusai ilmu kesempurnaan hidup syariat, hakikat dan makrifat, tetapi tidak pernah menyombongkan diri, dia sering berpura-pura bodoh.141

Pencapaian ilmu tokoh Werkudara terkait erat dengan kisah Bima Ngaji atau

Dewaruci, diceritakan bahwa Werkudara telah mampu menguasai ilmu sangkan paranining dumadi. Namun demikian ia tidak pernah menyombongkan diri dengan ilmunya. Ia tetap menunduk seperti halnya digambarkan dalam postur tubuhnya dan pandangan matanya yang menunduk. Seperti dalam pepatah “ilmu padi semakin berisi semakin menunduk.” Hal ini juga berkaitan dengan perlambangan dalam gelungnya yang menyimbolkan kesadarannya sebagai seorang hamba Allah sehingga tidak patut menyombongkan diri. Dalam Islam sikap seperti ini disebut denga tawadu‟. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

140 https://id.wikipedia.org/wiki/Pandan_duri diakses pada 12 Januari 2017. 141 Purwadi, Seni Pedhalangan Wayang Purwa (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), h.102-104.

105

interpretan pada semiosis tataran ketiga yaitu sumping pudak sinumpet merupakan perlambangan dari sikap kerendahan hati tokoh Werkudara, seorang yang berilmu namun tetap tawadu.‟

Gambar.47 Gambar Bagan Pemaknaan Hiasan Telinga Werkudara

3. Pemaknaan hiasan bahu

Gambar.48 Gambar Bentuk Hiasan Bahu Werkudara

Bentuk atribut pakaian atau hiasan pada lengan bahu tokoh wayang

Werkudara disebut kelat bahu. Hal ini mengacu pada pocapan tentang

Werkudara. Pocapan merupakan istilah untuk prolog yang disampaikan yang dilafalkan oleh dalang yang berfungsi mendeskripsikan atau memberitahukan kepada penonton siapa tokoh yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang.

Biasanya pocapan berupa hafalan dalang karena mengandung unsur sastra dan bahasa tinggi. Seperti pocapan yang disampaikan Ki Daulat Karsito Darmocarito tentang Werkudara: “Pranyata busanane sang Arya Sena minangka pralampita keraning budi…. Kelat bahu rineka balibar manggis binelah …(Tersebutlah

106

busana sang Arya Sena/Werkudara.. kelat bahu balibar manggih binelah…)”142

Sehingga interpretan dari semiosis tataran pertama ialah bahwa hiasan pada lengan atau bahu tokoh Werkudara disebut kelat bahu balibar manggis binelah.

Pertalian tanda dalam hal ini merupakan simbol karena didasari atas konvensi dalam dunia pedalangan.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada filosofi buah manggis sebagai buah kejujuran. Pepatah Jawa mengatakan “jujur lan prasaja kaya wohing manggis ora tau cidra karo janji, yen kembange lima isine uga lima yen kembange pitu isine uga pitu” (jujur dan bersahaja seperti buah manggis tan pernah berbohong, jika bunganya lima maka isi bulir buahnya juga lima, jika bunganya tujuh isi bulir buahnya juga tujuh).

Seperti dikemukakan Prof.Dr.Suwardi Endraswara: “buah manggis selalu memberikan kebenaran, kesamaan antara apa yang ada dalam penampilan

(perkataan) dengan isi (kenyataan). Bila anda ingin membuktikannya, hitunglah bagian bawah dari manggis, maka jumlah ruas manggis yang ada akan menunjukkan jumlah isi buah manggis yang terkandung di tiap buah, hasilnya pasti akan sama. Maka dari itu, manggis dianggap lambang kejujuran.”143

Sehingga interpretan pada proses semiosis tataran kedua ialah bahwa kelat bahu pada tokoh Werkudara menggambarkan filosofi manggis sebagai lambang kejujuran.

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep bawalaksana. Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan yang berbunyi: “Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali,” maknanya adalah bahwa

142 Wawancara Pribadi dengan Ki Daulat, Banyumas, 29 Juli 2016. 143 http://www.rumahsuluh.or.id/prof-suwardi-antara-pemakan-dan-buah-manggis/ diakses pada 12 Januari 2017.

107

seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk melaksanakan atau mewujudkan apa yang telah diucapkan. Seorang pemimpin yang secara konsekuen selalu bertekad untuk melaksanakan apa yang telah diucapkannya dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai pemimpin yang memiliki sifat bawalaksana. Seperti dalam pepatah Jawa:

“dene utamanming nata, berbudi bawalaksana (sifat utama bagi seorang raja adalah bermurah hati dan teguh memegang janji).144 Dalam Islam, nilai-nilai kejujuran juga sangat dijunjung tinggi, bahkan mengingkari janji dianggap merupakan sifat yang sangat tidak terpuji dan ciri orang munafik. Seperti dalam hadits:

آيَة ُ ْان ُم َىافِ ِك َث َال ث اِ َذ َاح َد َث َك َر َب ََاِ َذا ََ َع َد اَ ْح َه َف ََاِ َذ ْااؤتُ ِم َه َخ َان “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar dan jika dipercaya ia berkhianat”. (HR. Bukhari).

Sehingga interpretan pada semiosis tataran ketiga yaitu kelat bahu balibar manggis binelah merupakan perlambangan dari kejujuran dan sikap bawalaksana.

Hal ini sesuai dengan pocapan Werkudara yaitu: Kelat bahu rineka balibar manggis binelah tekan kendhagane, Binasekake bawaleksana, datan kersa ngoncati sabda kang wus kawedhar (kelat bahu berbentuk seperti manggis yang terbelah hingga kulit luarnya, memiliki sifat bawalaksana tak mau mengingkari apa yang telah diucapkannya).

144 Sujamto, Sabda Pandhita Ratu (Semarang: Dahara Prize, 1991) h.17.

108

Gambar.49 Gambar Bagan Pemaknaan Hiasan Bahu Werkudara

4. Pemaknaan Gelang

Gambar.50 Gambar Bentuk Gelang Werkudara

Hiasan pada pergelangan tangan tokoh Werkudara berupa gelang.

Mengacu pada konsep gelang dalam Wayang Purwa, terdapat empat macam gelang yaitu: Gelang nagenda resmi yang dikenakan wayang golongan raja, gelang kana yan berbentuk rangkap dua bulat atau segi empat yang dikenakan oleh wayang golongan satria dan putri, gelang clumpringan yang dikenakan wayang golongan punggawa, dan gelang candrakirana yang dikenakan wayang golongan darah Bayu seperti Anoman dan Werkudara.145 Istilah candrakirana berasal dari bahasa Sansekerta candra = bulan dan kirana = sinar. Sehingga candrakirana berarti cahaya bulan. Dari hubungan tersebut didapatkan interpretan bahwa gelang yang dikenakan tokoh Werkudara disebut gelang candrakirana

145 RM.Ismunandar K. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya, h.82.

109

yang berarti cahaya bulan. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep hasta brata. Dalam dunia pewayangan, konsep hasta brata diceritakan dalam lakon wahyu makutharama. Hasta brata merupakan konsep ilmu keprabon atau kepemimpinan. Pemimpin yang menguasai ilmu hasta brata mampu mengimplementasikan diri dalam delapan sifat alam. Delapan sifat alam ini mewakili simbol kearifan dan kebesaran Sang Maha Pencipta yaitu: sifat bumi, sifat angin, sifat samudra, sifat bulan, sifat matahari, sifat angkasa, sifat api, dan sifat bintang. Dalam hasta brata, sifat bulan (candra) merupakan sumber cahaya, sinarnya menyejukkan. Pemimpin hendaknya menjadi penuntun, memberikan pencerahan. Bersifat welas asih, menciptakan suasana damai tentram di bawahnya.146 Sehingga interpretan dari hubungan ini adalah candra kirana merupakan simbol dari konsep candra dalam hasta brata. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru mengacu pada bulan sebagai perumpamaan orang yang berilmu. Dalam ajaran Islam, untuk mengemukakan sesuatu seringkali digunakan perumpamaan-perumpamaan.

Seperti dalam sebuah hadits diterangkan:

ََ َف ْضمُ ْا َنعانِ ِم َع َهى ْا َنعاتِ ِد َك َف ْض ِم ْا َنم َم ِس َع َهى َسائِسُ ْا َنك َُ ِاك ِة, إِ َّن َانعُه َم َاء ََ َز َثةُ ْا َأل ْوثِيَ ِاء , إِ َّن األَ ْوثِيَ َاء َن ْم

َيُُ ِّزثُ ُْا ِد ْي َى ًّازا ََ َال ِد ْزٌَ ًّما, إِوَّ َما ََ َّزثُ ُْا ْا ِنع ْه َم َف َم ْه أَ َخ َريَ أَ َخ َر تِ َح ٍّظ ََافِ س

“Keutamaan orang yang berilmu dibanding dengan ahli ibadah, seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah

146 Abi Muhyar Tofani, Mengenal Wayang Kulit Purwa (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2013), h.27.

110

mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dari hadits tersebut terdapat perumpamaan tentang keutamaan orang yang berilmu yaitu seperti bulan purnama. Maka bulan merupakan perumpamaan bagi orang yang berilmu. Mengenai hubungannya dengan candrakirana merupakan perumpaan orang yang berilmu. Jadi interpretan dalam hubungan ini adalah bahwa gelang candra kirana yang dikenakan tokoh Werkudara merupakan perlambangan dari keilmuannya yang bersinar seperti cahaya bulan, memberikan pencerahan, menciptakan suasana damai tentram. Seperti dikemukakan Ki Daulat

Darmocarito tentang gelang candra kirana; candra wulan kirana sorot. Kawruhe

Sena sumorot pindha wulan purnama. (candra berarti bulan dan kirana berarti cahaya, Keilmuan Sang Sena/Werkudara bagaikan sinar bulan purnama yang terang).

Gambar.51 Gambar Bagan Pemaknaan Gelang Werkudara

111

5. Pemaknaan Jari Tangan

Gambar.52 Gambar Bentuk Jari Tangan Werkudara

Bentuk jari tangan tokoh Werkudara merupakan sebuah tanda yang mengacu pada konsep tentang bentuk jari tangan wayang. Dalam perupaan wayang terdapat berbagai jenis bentuk jari wayang. Dr.Sunarto, M.Hum mencatat jenis-jenis bentuk jari (driji) tangan wayang meliputi: driji janma, driji wanara, driji denawa, pancanaka, gegeman, driji dagelan, driji tuding dan driji kepelan.147 R.M.Sulardi juga mencatat bahwa bentuk –bentuk jari tangan wayang meliputi: driji janma, driji wanara, driji raseksa, pancanaka, tuding dagelan, gegeman dagelan dan gegeman denawa.148 Pancanaka merupakan senjata tokoh

Werkudara yang berupa kuku yung ada di ibu jari kedua tangannya dan merupakan bawaan sejak lahir.149 Dari penjelasan tersebut maka didapatkan interpretan bahwa bentuk jari pada tokoh Werkudara dinamakan pancanaka.

Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu pada konsep asal kata pancanaka. Secara bahasa istilah pancanaka berasal dari bahasa kawi (sansekerta) panca = lima, dan naka = kuku.150 Menurut

Ki Manteb Sudarsono kata naka atau kuku bermakna sebagai penguat, Bima

147 Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta (Jakarta: Balai Pustaka,1989), h.78. 148 R.M.Sulardi, Printjening Gambar Ringgit Purwa (Jakarta: Balai Pustaka, 1953), h.26. 149 R. Rio Sudibyoprono. Ensiklopedi wayang purwa (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h.373. 150 Sidomulyo, Sengkalan Tuwin Kawi Jarwa (Sukoharjo: CV.Cendrawasih, 1987), h.47

112

adalah penguat para Pandawa.151 Menurut Kyai Aris Budiono pancanaka dapat diartikan panca = lima dan naka = kuku, kukuh, kuat.152 Sehingga interpretan dari hubungan ini ialah kuku pancanaka berarti lima hal yang harus dikuatkan. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru yang mengacu kepada shalat lima waktu. Tokoh-tokoh Pandawa oleh Sunan Kalijaga dianggap merupakan personifikasi dari lima rukun Islam. Bima (Werkudara) mempersonifikasikan rukun Islam yang kedua yaitu shalat lima waktu.153

Werkudara memiliki kuku pancanaka yang selalu digenggam kuat sebagai senjata perang. ini merupakan isyarat yang berarti shalat itu harus dikerjakan dengan baik maka ia akan memiliki kekuatan yang tangguh.154 Hal serupa juga diungkapkan oleh Kyai Aris Budiono bahwa kuku pancanaka melambangkan seseorang yang kuat dan istiqomah dalam melaksanakan shalat lima waktu dan jauh dari godaan setan. Sehingga interpretan dari hubungan ini ialah kuku pancanaka merukan perlambangan orang yang kuat melaksanakan shalat lima waktu.

Gambar.53 Gambar Bagan Pemaknaan Jari Tangan Werkudara

151 Penjelasan Ki Manteb Sudarsono dalam pagelaran Wayang Purwa dengan lakon/cerita “Bima bangkit” yang diunggah di situs Youtube. 152 Penjelasan Kyai Dalang Aris Budiono di Desa Cihonje, Cilacap-Jateng pada 3 Januari 2013 yang diunggah di situs Youtube. 153 R.M Ismunandar, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, h.99-100. 154 Djoko Dwiyanto dkk, Ensiklopedi Wayang (Yogyakarta: Media Abadi, 2010), h.181

113

6. Pemaknaan pakaian

Gambar.54 Gambar Bentuk Kampuh Werkudara

Pakaian yang dikenakan tokoh Werkudara berupa dodot atau kampuh.

Pakaian ini menggambarkan sebangsa kain yang menutupi bagian pinggang sampai dengan kaki. Mengacu pada pocapan tentang busana Werkudara yang berbunyi: “Pranyata busanane sang arya sena minangka pralampita keraning budi: ...(8)Kampuh poleng bang bintulu, pralampita Sang Werkudara saget meper nepsu patang perkara.” Maka interpretan dari hubungan ini ialah bahwa dodot/kampuh yang dikenakan tokoh wayang Werkudara disebut kampuh poleng bang bintulu. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran pertama.

Interpretan pada semiosis tataran pertama menjadi tanda baru yang mengacu kepada konsep empat macam nafsu manusia. Syekh Abdul Qodir Jaelani membedakan nafsu ammarah, nafsu lauwwamah dan nafsu muthmainnah, yang menggambarkan tingkat kesadaran manusia. Kelengkapan tiga nafsu itu membedakan manusia dengan malaikat, dan merupakan salah satu kelebihan bagi manusia dibandingkan mahluk Allah yang lain. Nafsu ammarah adalah sifat hewani, dan manusia yang masih dikuasai nafsu ini berarti tingkat kesadarannya

114

paling rendah sehingga kehendak orang tersebut sulit dikendalikan. Tingkat berikutnya manusia yang dikuasai nafsu lauwwamah berarti dia sedang melawan hawa nafsu, sedangkan pada tingkat nafsu muthmainnah seseorang telah memiliki kesadaran terhadap Sang Khalik. Kadang-kadang ada pula yang menambahkan nafsu sufiah, yaitu nafsu yang berkaitan dengan nafsu seksual.155 Konsep seperti ini dikenal luas dalam Sufisme Jawa.156 Bentuk kampuh poleng bang bintulu berupa motif kotak-kotak dengan empat warna yaitu: hitam, merah, kuning, putih.

Dalam dunia pewayangan kempat warna tersebut merupakan lambang dari nafsu manusia yaitu lawwamah, amarah, sufiyah dan muthmainah.157 Sehingga maksud dari empat macam nafsu yang di maksud dalam pocapan “Kampuh poleng bang bintulu, pralampita Sang Werkudara saget meper nepsu patang perkara” ialah nafsu lawwamah, amarah, sufiyah dan muthmainah. Dari hubungan ini didapatkan interpretan berupa Kampuh poleng bang bintulu merupakan simbol atau lambang dari nafsu amarah, lauwwah, sufiyah dan muthmainnah. Sampai di sini merupakan proses semiosis pada tataran kedua.

Interpretan pada semiosis tataran kedua menjadi tanda baru yang mengacu kepada kisah Dewa Ruci. Sunan Kalijaga menggubah cerita Wayang

Purwa seperti cerita Jamus Kalimasada untuk menjelaskan kalimat sahadat dan cerita Dewa Ruci untuk menjelaskan konsep tasawuf. Dalam lakon/cerita Dewa

Ruci, Bima digambarkan sebagai seorang salik (ahli tarekat) dalam perjalanan untuk mencapai ma‟rifat, yang menghadapi godaan batin berupa nafsu yang

155 Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.398. 156 Simuh. Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2016) h.76. 157 Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia Seri 3 (Jakarta: Yayasan Nawangi dan Inaltu, 1997), h.123.

115

berasal dari dalam dirinya. Pertama, nafsu lawwamah dipersonifikasikan sebagai

Begawan Maenaka (Bayu Langgeng) berwatak hitam. Warna hitam dianggap sebagai perlambangan menggelapkan batin dan pikir. Kedua, nafsu sufiah dipersonifikasikan sebagai Gajah Situbanda (Bayu Kanitra) yang berwatak kuning sebagai perlambang tendensi yang membuat seoarang salik menjadi lemah dan lupa. Ketiga, nafsu ammarah yang dipersonifikasikan sebagai Raksasa

Jayawreksa (Bayu Anras) berwatak merah, perlambangan kecenderungan merusak, membakar hati dan pikir salik. Keempat nafsu muthmainnah dipersonifikasikan dengan Resi Hanoman (Bayu Kinara) berwatak putih, serta bersifat membimbing dan menyucikan serta menuntun salik.158

Sunan Kalijaga menggambarkan bagaimana tokoh Bima bertemu dengan tokoh Dewa Ruci yang bertubuh sebesar ibu jari, tetapi Bima dapat masuk dalam tubuhnya. Selama berada berada dalam tubuh Dewa Ruci, Bima menyaksikan dimensi-dimensi alam ruhani.159 Pengalaman ruhani ini sebenarnya merupakan penggambaran pengalaman ruhani yang dialami sendiri oleh Sunan Kalijaga dan yang dimaksud Dewa Ruci sebenarnya adalah Nabi Khidir. Hal ini tertuang dalam naskah Suluk Linglung.160 Perjalanan Bima hingga bertemu Dewa Ruci merupakan perlambangan usaha mengapai tingkatan tasawuf yaitu syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.161 Wejangan Dewa Ruci kepada Bima tentang ilmu sangkan paraning dumadi merupakan penjabaran dari tingkatan makrifat yang dibalut dalam nuasa Hindu agar lebih mudah dipahami, mengingat pada masa itu

158 Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, h.338. 159 Agus Sunyoto, Wali Songo;Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011), h.148. 160 Ibid, h.149. 161 Hamid nasuhi, Serat Dewa Ruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2009), h.148

116

pengaruh Hindu-Budha masih sangat kuat tertanam dalam masyarakat Jawa.

Diakhir cerita Dewa Ruci, sebagai tanda bahwasanya Bima telah mencapai makrifat dan menguasai empat macam nafsu (nafsu amarah, lauwwah, sufiyah dan muthmainnah) ia dipakaikan kain poleng bertapak empat warna merah, hitam, kuning, putih yang dinamakan kain poleng bang bintulu.162 Dari penjabaran tersebut maka interpretan pada proses semiosis tataran ketiga adalah kampuh poleng bang bintulu merupakan perlambangan seseorang yang telah mampu mengendalikan nafsunya.

Gambar.55 Gambar Pemaknaan Kampuh Werkudara

Gambar Tanda Makna Bentuk Rambut (Gelung Perlambangan manusia yang telah Minangkara) sadar akan kedudukan dirinya sebagai hamba Allah.

Bentuk Hiasan Telinga Perlambangan dari sikap kerendahan (Sumping Pudak hati tokoh Werkudara, seorang yang Sinumpet) berilmu namun tetap tawadu.‟

Bentuk Hiasan Perlambangan dari kejujuran dan lengan/Bahu (Kelat Bahu teguh memegang janji (berbudi Balibar Manggis Binelah) bawalaksana).

Bentuk Hiasan Tangan Perlambangan orang yang berilmu (Gelang Candrakirana) yang mampu memberikan pencerahan, menciptakan suasana damai, tentram bagaikan cahaya bulan

162 Ibid, h.174

117

Bentuk Jari Tangan Perlambangan orang yang kuat (Pancanaka) melaksanakan shalat lima waktu.

Bentuk Pakaian (Kampuh perlambangan seseorang yang telah Poleng Bang Bintulu) mampu mengendalikan nafsunya.

Tabel.7 Makna Bentuk Wayang Werkudara

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan temuan data, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Makna Lambang Islam dari Bentuk Fisik Bawor

Makna yang tersirat dari bentuk fisik tokoh wayang Bawor antara lain: bentuk rambut kuncir merupakan perlambangan sikap tauhid atau mengesakan

Allah. Bentuk jidat mungkal gerang merupakan perlambangan konsep ulul albab yaitu seseorang senantiasa mengingat Allah dan memikirkan kebesaran Allah.

Bentuk mata plolon merupakan perlambangan orang yang tanggap sasmita dan wara‟ (berhati-hati dan meninggalkan sesuatu yang syubhat). Bentuk bibir ndower perlambangan sikap cablaka yaitu keterusterangan dalam menyampaikan kebenaran. Bentuk jari tangan nggegem perlambangan harus berpengang teguh kepada Al-Quran dan sunah dalam menjalani kehidupan ini seperti yang diwasiatkan Rasulullah dan bentuk pakaian berupa jarit kawung merupakan perlambangan kesederhanaan, sifat qonaah atau nrima ing pandum.

Pemaknaan tersebut didapatkan dari proses berpikir masyarakat yang berusaha memahami Islam melalui simbol atau lambang-lambang.

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa masyarakat Jawa memang sangat lekat dengan perlambangan. Sehingga ajaran Islam akan lebih mudah dipahami jika dijelaskan menggunakan cara pemikiran atau alam pikiran masyarakat Jawa yang sangat memperhatikan lambang-lambang.

115

116

.

Tokoh Bawor sangat digemari masyarakat Banyumas karena memiliki sifat-sifat yang mendekati karakter umum masyarakat di kawasan Banyumas.

Tokoh ini seringkali diidolakan dan ditunggu-tunggu kehadirannya dalam pertunjukkan Wayang Purwa. Bahkan masyarakat Banyumas menganggap tokoh

Bawor sebagai simbol kepribadian mereka. Jika diketahui bahwa bentuk wayang

Bawor memiliki makna yang mendalam, yang menggambarkan konsep ajaran

Islam maka seharusnya orang yang menganggap Bawor sebagai identitas kepribadian mereka harus mengamalkan wewulang (ajaran) yang dilambangkan darinya. Demikian cara Sunan Kalijaga mendakwah Islam melalui simbol atau lambang-lambang.

2. Makna Lambang Islam dari Bentuk Fisik Werkudara

Lambang Islam yang terkandung dalam bentuk fisik wayang Werkudara antara lain: Bentuk Rambut gelung minangkara merupakan perlambangan manusia yang telah sadar akan kedudukan dirinya sebagai hamba Allah. Bentuk

Hiasan Telinga (sumping pudak sinumpet) merupakan perlambangan seorang yang berilmu namun tetap tawadu.‟ Bentuk Hiasan bahu kelat bahu balibar manggis binelah) merupakan perlambangan dari kejujuran dan teguh memegang janji (bawalaksana). Bentuk gelang candrakirana merupakan perlambangan orang yang berilmu yang mampu memberikan pencerahan, menciptakan suasana damai dan tentram. Bentuk tari tangan berupa kuku pancanaka merupakan perlambangan orang yang kuat melaksanakan shalat lima waktu.Bentuk pakaian berupa kampuh poleng bang bintulu merupakan perlambangan seseorang yang telah mampu mengendalikan nafsunya.

117

Seperti halnya Bawor, tokoh Werkudara juga sangat digemari masyarakat

Banyumas. Jika Bawor mewakili keserhanaan rakyat Banyumas dan tatacara hidup mereka yang cenderung egaliter, tokoh wayang Werkudara mewakali konsep ksatria yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Banyumas.

Dalam kaitannya dengan konsep perlambangan, tokoh Werkudara khususnya dalam cerita Dewa Ruci, seringkali diidentikan dengan konsep tasawuf. Masyarakat Jawa sudah mendarah daging dan tertanam erat ajaran

Hindu-Budha juga cenderung menyukai hal-hal yang mistis. Upaya untuk mencapai kesempurnaan hidup seringkali diwujudkan melalui tapa dan laku tirakat. Bagi masyarakat kesempurnaan hidup akan terwujud jika seseorang telah mampu meraih ilmu kesempurnaan yang disebut ilmu sangkang paraning dumadi.

Melihat celah tersebut, Sunan Kalijaga menggubah salah satu cerita dari Kitab

Kuno yaitu Kitab Nawaruci yang menceritakan perjalanan Bima (Werkudara) dalam mencari ilmu sangkan paraning dumadi. Cerita ini digubah dan diramu sehingga dapat dimasukkan unsur-unsur tasawuf tentang tingkatan sareat, tarekat, hakekat dan makrifat. Berita ini tersebar luas melalui cerita tutur. Kisah ini pada masa Kesultanan Surakarta ditulis dalam bentuk sastra oleh Yasadipura I.

B. Saran

Terkait dengan penelitian ini, ada beberapa saran yang akan penulis sampaikan:

1. Ajaran Islam yang disampaikan melalui lambang-lambang harus dilihat dari

konteks bahwa pada masa lalu pengaruh Hindu-Budha masih sangat kuat

sehingga digunakan pendekatan yang bersifat hinduistik.

118

2. Ajaran tersebut juga harus dilihat pada konteks masyarakat yang masih awan,

artinya sebagai sarana untuk memudahkan pengajaran. Dewasa ini khususnya

di daerah pedesaan di Jawa, dakwah wayang sangat digemari karena dianggap

lebih menarik. Hal ini perlu dikembangkan dan dilanjutkan. Namun yang

penulis menggaris bawahi yang dimaksud di sini adalah pengajian wayang

bukan pertunjukkan wayang bukan pertunjukkan wayang secara keseluruhan

yang sarat dengan unsur hiburan daripada pengajaran.

3. Pertunjukkan wayang yang lebih dominan pada unsur hiburan harus

dikembalikan pada tujuan awal dari pertunjukkan wayang oleh Sunan

Kalijaga sebagai sarana dakwah Islam

119

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rahmat.. Kerajaan Islam Demak; Api Revolusi Islam di Tanah Jawa. Solo: Al-Wafi, 2015.

------. Syekh Siti Jenar; Pemutarbalikan Sejarah Perjalanan Hidup dan Ajarannya. Solo: PT Aqwam Media Profetika, 2012.

.------.Walisongo; Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. Solo: Al-Wafi, 2015.

Abi Fada‟ Al-Hafidz Ibnu Katsir Ad-dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1. Bairut: Darul Kutub Ilmiyah,1994.

Abikusno. Pepak Basa Jawa; Ngewrat Bab Kawruh Basa, Kasusastran, Paramasastra lan Aksara Jawi.Surabya: Ekpress, 1996.

Abimanyu, Soedjipto. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram.Yogyakarta: Saufa, 2015.

Abuddinata. Tafsir ayat-ayat pendidikan. Jakarta: Raja grafindo, 2002.

Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf; Pengenalan Pemahaman dan Pengaplikasiannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Akaha, Abduh Zulfidar. 165 Kebisaan Nabi. Jakarta: Maktabah Abiyyu, 2006.

Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Yusuf. Muntakhab Ahadits [Terj.Musthafa Sayani]. Bandung: Pustaka Ramadan, 2007

Al-Zayn, Samih „Atif. Al-Islam wa Idayulujiyah Al-Insan. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnani, 1982.

An-Nawiy, Fatih Syamsuddin Ramadhan. Amalan Sholeh yang Dianggap Bid‟ah. Bogor: Al-Azhar Fresh Zone Publishing, 2015.

Ardial. H. Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2014.Basuki, Sulistyo. Metode Penelitian. Jakarta: Penaku, 2010.

Budiman, Kris. Jejaring Tanda-Tanda; Strukturalisme dan semiotik dalam kritik kebudayaan. Magelang: Indonesia Sejahtera, 2004.

Bustomi, Suwaji. Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang : Dahara Prize, 1993.

Christomi, Tommy dan Untung Yuwono. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004.

120

Chodjim Achmad. Sunan Kalijaga; Mistik dan Makrifat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013.

Danesi, Marcel. Pesan Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Darsomartono. Suluk Pedalangan Cengkok Mangkunegaran. Surakarta: Dwija Pedalangan PMDM, 1995.

D.M., Sunardi. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

------. Bharatayudha. Jakarta: Balai Pustaka, 1995

Endraswara, Suwardi. Agama Jawa; Ajaran Amalan dan Asal-usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi, 2015.

Fananie. Z, Restrukturisasi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MN I. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005.

Fidiyani, Rini. Banyumas Dan Kebudayaannya; Membaca Kearifan dan Tradisi. Semarang: Purbasari Multiprinting, 2008.

Guritno, Pandam. Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press, 1988 ------. "Wayang Salah Satu Dimensi dalam Dinamika menuju Kebudayaan Nasional", Analisis Kebudayaan,Departemen Pendidikan, Th. II No.1(1972), h.102.

Hamidy, Zainudin,dkk. Terjemah Hadits Shahih Bukhari. Jakarta: Widyaka, 1983

Harghana, Bondan. Reroncen Balungan Lampahan Ringgit Purwa. Sukoharjo: Cendrawasih, 1998.

Haryadi, T, dkk. “Implementasi Teknik Sabetan Melalui Kinect (Studi Kasus Pengenalan Gerak Wayang Kulit Tokoh Pandawa”. Jurnal TechnoCOM Universtias Dian Nuswantoro Semarang, Vol 12 (Januari 2013), h. 51-64..

Haryanto. Seni Kriya Wayang Kulit; Seni Rupa, Sunggingan dan Tatahan. Jakarta: Grafiti, 1991.

Hasyim, Umar. Sunan Kalijaga. Kudus: Menara Kudus, 1974.

Haq, Zaairul. Tasawuf Semar Hingga Bagong. Yogykarta: Kreasi Wacana, 2009.

Heragoen, Radhita Yuka. “Aspek-Aspek Simbolik Gunungan Dalam Wayang Purwa Gaya Surakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2009.

121

Herusatoto, Budiono. Banyumas; Budaya Bahasa dan wataknya. Yogyakarta: LKis, 2008

Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB Universitas Indonesia, 2007.

Imam Muhammad ibn Abdul Wahab. Tauhid. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.

Iskandar, Arif B. Materi Dasar Islam; Islam mulai Akar Hingga Daunnya (Bogor, Al-Azhar Press, 2015.

Ismunandar K, RM. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize, 1994.

Kats, J. De Wajang Poerwa. Dordretch (Netherland): Foris Publication, 1984.

Kuning, Bendung Layung. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi, 2011.

Lysloff, Rene T.A. Srikandi Dances Lengger; A Performance of Music and Shadow theather. Leiden: KITLV Press, 2009.

Machrus. “Simbol-Simbol Sosial Kebudayaan Jawa, Hindu Dan Islam Yang Direpresentasikan Dalam Artefak Masjid Agung Surakarta.” Tesis S2 Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

Masinambow dan Hidayat Rahayu. Semiotika Mengkaji Tanda dalam Artefak. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

Mardiwarsito, dkk. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

------. Kamus Bahasa Indonesia-Jawa Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2001

Mertosedono, Amir. Sejarah Wayang;Asal Usul Jenis dan Cirinya. Semarang: Dahara Prize, 1993

Moeleng, Lexy. J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdya Karya, 1993.

Mulyana, Dedy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya, 2001

Mulyono, Sri. Wayang, Asal-usul. Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: BP.Alda, 1975.

122

------. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: CV.Haji Mas Agung, 1978.

------. Wayang dan Karakter Manusia; Seri Harjuna Sasrabahu dan Ramayana. Jakarta: Pustaka Wayang, 1976

------. Wayang dan Karakter Manusia; Nenek Moyang Kurawa dan Pandawa. Jakarta: PT Nawangi dan Inaltu, 1977

Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progressif. 1984.

Nasuhi, Hamid. Serat Dewa Ruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2009

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2002.

------. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 2012

Olthof, W.L. Babad Tanah Jawi (alih bahasa: Sumarsono). Yogyakarta: Narasi, 2014.

Nawawi, Hadiri. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003.

Priyadi, Sugeng. Sejarah Mentalitas Brebes. Yogyakarta: Ombak, 2013.

Purbacaraka, R.M.Ng dan Tarjan Hadjaja. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Jambatan, 1952.

Purwadi. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur‟an;Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.

Rahimsah, Kisah Walisongo. Solo: CV.Beringin 55, t.t.

Ranggawarsita, R. Ng. Serat Pustaka Raja Purwa.(Terj) Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1993.

Ras, J.J. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Rasjidi. Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

123

Resi, Maharsi. Islam Melayu vs Jawa Islam; Menuluri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Ristawati, Leli. “Pertunjukan Wayang Kulit Gagrag Banyumas Sebagai Media Penyampaian Pesan Pendidikan Karakter Di Kabupaten Banyumas”. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Jenderal Soedirman, 2015.

Sa‟id an-Nursi, Badi‟uz-Zaman. Bersyukurlah Bersabarlah Terj., Shofwan Abbas. Surakarta: Indiva Pustaka, 2007.

Saleh, M. Mahabharata. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi). Pathokan Pedhalangan Gagrag Banyumas. Jakarta: Balai Pustaka, 1983.

Sidomulyo.Sengkalan Tuwin Kawi Jarwo. Sukoharjo: Cendrawasih, 1987.

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Simuh. Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2016.

Sjamsudduha. Walisongo Tak Pernah Ada?; Menyingkap Misteri Para Wali dan Perang Demak-Majapahit. Surabaya: JP Books, 2006.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Jakarta: PT. Remaja Rosda Karya, 2009.

Solichin. Wayang Master Piece Seni Budaya Wayang. Jakarta : Sheila Offset, 2010.

Stewart L Tubbs dan Sylvia Moss. Human Comunication Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung: Rosdakarya, 1996.

Sudarsono. Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Sudarko dkk. Sejarah Pedalangan. Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta, 2007.

Sudibyoprono, R.Rio. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Sugito, Bambang. Dakwah Islam Melalui Media Wayang Kulit. Solo: CV.Aneka, 1992.

Sujamto. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize, 1991.

------. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1992.

124

Sulardi, R.M. Printjening Gambar Ringgit Purwa. Surakarta: Balai Pustaka, 1953.

Sunarto. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

------. “Punakawan wayang kulit purwa; Asal-usul dan Konsep Perwujudannya,” Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol.22 No.3 (Juli- September 2012).

Sunyoto, Agus. Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang disingkirkan. Jakarta: Transpustaka, 2011

Susilo dkk, Bambang. Seneng Wayang Cinta Budaya. Semarang: Media Wiyata, 1993.

Syaltut, Mahmud. Al-Islam „Aqidah wa Syari‟ah. Kairo: Daar al-Qalam, 1966.

Syamhudi, M.Hasyim. Akhlak Tasawuf; dalam Rekonstruksi Piramida Ilmu Islam. Malang: Media Madani, 2015.

Tofani, Abi Muchyar. Mengenal Wayang Purwa Wujud Karakter dan Sifatnya.Surabaya : Pustaka Agung harapan, 2013.

Timoer, Soenarto. Serat Wewaton Padhalangan Jawi Wetanan. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.

Wibowo, Indiawan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011.

Widyaningsih, Ridha. “Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer” Jurnal Ultima Humaniora, Vol II No.2 (September 2014)

Widyokusumo, Lintang. “Kekayaan Ragam Hias Dalam Wayang Kulit Purwa Gagrak Surakarta.” Jurnal humaniora Bina Nusantara University Vol.1 No.2 (Oktober 2010)

Wijono, Soegeng dan Sunardi. Banjoemas Riwajatmoe Doeloe. Purwokerto: Daya Mandiri Production, 2006.

Yoesoef, M. “Membaca Punakawan.” Makalah dalam Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik dan Kebudayaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada 17 Juni 2016.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, t.t.

125

Naskah-Naskah Sastra: 1. Serat Dewaruci (jarwa sekar macapat) gubuhan R.Ng.Yasadipura I, koleksi Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. 2. Serat Serat Pustaka Raja Purwa gubahan R.Ng.Ranggawarsita, koleksi bagian naskah kuno koleksi Perpustakan Pusat Universitas Indonesia. 3. Suluk Linglung gubahan Sunan Kalijaga dalam: https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/suluk-linglung.pdf 4. Serat Kalatida gubahan R.Ng.Ranggowarsita dalam: https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/serat-kalatidha.pdf 5. Serat Wulangreh gubahan Sri Susuhan Paku Buwana IV dalam: https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/serat-wulangreh.pdf

Situs Internet: 1. https://uny.ac.id/berita/sarasehan-tentang-wayang-kulit-dan-islam-terhadap- seni-budaya.html 2. http://www.ragamseni.com/9-candi-peninggalan-kerajaan-majapahit-yang- menarik-para-wisatawan/ 3. http://www.rumahsuluh.or.id/prof-suwardi-antara-pemakan-dan-buah- manggis/ 4. http://www.bimagz.com/2015/06/busana-raden-werkudara.html 5. https://id.wikipedia.org/wiki/Pandan_duri 6. http://ceritawayang.blogspot.co.id 7. http://kokiers.com/article/126 8. http://www.pitoyo.com/ 9. http://kluban.net

LAMPIRAN

DOKUMENTASI PENELITIAN

Foto Penulis di Museum Wayang Banyumas (Sendang Mas)

Foto Penulis bersama Kyai Sunhaji dan pengajian wayang Kyai Sunhaji

Foto Penulis bersama Kyai Moch.Ma’ruf dan pengajian wayang Kyai

Ma’ruf

Foto Penulis dengan Keluarga Ki Katim dan beberapa wayang yang masih dalam proses pengerjaan

Foto penulis bersama Pak Didik Himawan

Foto penulis bersama Ki Daulat Karsito Darmocarito

Foto penulis bersama Ki Tarjono

Foto Penulis bersama Ki Rasito Purwo Pengrawit

Foto beberapa siswa SMKI Banyumas yang sedang belajar memainkan kendang

Latar belakang dalang itu akan mempengaruhi cerita wayangnya. Kalo dia muslim ya mesti wayangnya muslim, kalo dia Kristen ya wayang Kristen. Jadi ada dalang Kristen, lakonnya apa? Puntadewa dibaptis. 4. Pengalaman apakah yang paling mengesankan selama dakwah menggunakan wayang? Saya mencoba mengislamkan wayang saya. Dulu itu wayang kalau di Cilacap, waktu jaman Soeharto, itu diharuskan mempunyai surat ijin ndalang. Harus ada kartu GANASIDI, kalo sekarang disebut PEDADI. Saya berusaha menggunakan wayang untuk media dakwah, terus saya mencoba mengubah- ubah lakon, saya karang-karang sendiri lakon itu. Terus ketika saya wayangnya wayang dakwah, itu yang dipermasalahkan. Saya oleh kalo dulu namaya DEPDIKBUD kalo sekarang disebut KEMENDIKNAS. Surat Ijin Dalang saya dicabut karena saya diaggapn mau merusak budaya wayang. Sesungguhnya wayang dari kitab-kitab perdalangan, dari sekian banyak weda. Sesunggunya dulu lakon-lakon wayang diciptakan oleh orang. Kanapa sekarang tidak boleh diciptakan lakon-lakon baru. Setelah berdebat akhirnya Surat Izin itu diberikan lagi. Terus ada lagi, ada orang nanggap saya di Jatijajarn sana. Orangnya ketakutan nanggap saya, karna saya gak membawa sesaji. Kalo dulu kan diatas dalang ada sajennya, saya minta diturunkan, terus yang dibawah gong itu “tolong bawa ke belakang.” Jadi yang punya rumah itu ketakutan. Saya bilang “udah jangan takut, kalo ada apa-apa saya yang tanggung jawab”. Toh buktinya tidak terjadi apa-apa. Sekarang wayang saya sudah saya buat 4 jam 5. Apakah ada perbedaan penyajian wayang dakwah dengan wayang biasa? Sesungguhnya sama penyajiannya sama, tapi ketika wayang berbicara tentang akhlak, saya selipkan konsep islam itu seperti apan sih? Misalnya ketika Durna sedang berbicara kejujuran, saya ungkap konsep jujur dalam islam serperti apa. Diselipkan cerita tentang sahabat nabi misalnya. Jadi dimasukan dalam adegan, pocapan, antawacana awal. Saya lebih banyak kalo mau memasukan unsur dakwah dalam adegan awal karna orang masih seger nonton. 6. Untuk janturan membuat sendiri atau sama seperti yang lain yang menggunakan kata hong ilaheng awignam astu nama sidhem? Kalo saya tidak suka, jadi saya buat sendiri aja. Misalnya: Murwani gelaring carito, (kita mengawali sebuah kisah ini), kang minangka ciri pribadining manungso, yo budoyo manungso kang pranyoto adiluhung, yekti kuoso mbabar sedoyo pakartining manungso, saindenging jagat kathah negari ingkang sampun mandiri mardikengrat, nyokrowati mbau dendo, nanging mboten kadya….. iya seperti itu 7. Cerita-cerita yang pernah digubah untuk kepentingan dakwah apa saja?

Misalkan kisah birul walidain, lakon “Trigangga Takon Bopo.” Trigangga itu kan diasuh juga oleh Semar. Dia bertanya: “sesungguhnya bapak saya itu siapa sih? Padahal katanya kiata harus berbakti kepada orang tua” kemudian semar memberi nasihat begini.. begini.. jadi pesan dakwahnya saya sampaikan melalui pengajaran Semar kapada Trigangga. Saya kalo bikin lakon singkat-singkat karena wayangannya cuma 4 jam. Jadi Semer ngandani Trigangga saya penonton merasa wah jebule anak harus berbakti kepada orang tua. Karena baktinya anak kepada orang tua akan membawa keberkahan, siapa pun orang yang mampu merawat orang tua sampai akhir hayat pasti dia berkah, keberkahan jauh lebih banyak dibandingkan yang lain. 8. Bagaimana tanggapan penonton, apakah dengan wayang mereka akan jauh lebih faham? Sebenarnya penonton itu gampang. Jangan terlalu serius, beri mereka kelakar dengan guyon-guyon segar. Kita menyampaikan sesuatu yang sebenarnya menyakitkan lhoo kalo dirasa bagi saya. Tapi dengan kelekar dan guyon- guyon mereka bisa menerima. Jadi kita harus kreatif, membuat lelucon- lelucon tapi yang mendidik, karena menurut saya “lucu boleh tapi saru tidak boleh”. Tidak seperti Ki Enthus, itu pernah debat dengan saya. Dia kadang- kadang menggunakan dalil-dalil agama, padahal ndalil faseh ora. Jadi wayang yang mestinya jadi “tuntunan dan tontonan” malah menjadi “tuntunan dijadikan tontonan”. Seperti ketika ketika memerankan gareng: “semilah rahman rahim” itu walaupun orang tertawa tapi ya jangan main- main dengan kalimat-kalimat itu lah. Saya paling tidak suka. “Nabi Mekamad selele hu salam”. Nah itu kan pelecehan banget. Nabi kok buat guyon seperti itu lhoo. Rumangsane ya anu genah udu wong islam ya ora bisa ngucapna nabi, tapi ya jangan menggunakan kalimat seperti itu lah. Jadi nabinya kita bersihkan dulu lah, saya ga seneng. 9. Dalam versi wayang Banyumasan tokoh Bawor merupakan anak Semar yang tertua sedangkan di timur tokoh Bawor dinamakan Bagong. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Jadi begini, sebenarnya kan semua itu otak-atik dari dalang lah. Bagong sendiri kalo versinya kejawen mungkin ya utak-atiknya Nartosabdo sebetulnya. Ketika Semar dicipta, Semar kan sendirian jadi pamong sejati harus membutuhkan teman. Semar kowe ndelengo wayanganmu sing bebagongan. Maka dilihat langsung banyanganya Semar menjadi orang, diberi nama Bagong. Nah itu juga kan ngawur banget, kalo saya tidak mau. Ya Semar ya tetap punya anak, dia punya istri, hamil, melahirkan. Nah kalo Nartosabdo kan seperti itu, yang sekarang malah ditiru oleh muridnya Manteb, Anom Suroto, Joko Edan, sekarang juga Purbo Asmoro ikut-ikutan. Yang jelas banyak otak-atiknya lho wayang itu. 10. Dulu itu sebenarnya ada atau tidak tokoh-tokoh wayang itu? Apakah memang benar-benar fiktif?

Ya tidak ada. Yang meyakini bahwa wayang benar-benar ada itu cuma satu, dalang Gito thok bapaknya Mayang Sari, salah satu dalang wayang Banyumasan. Dia pakar wayang paling bagus banyumasan. Nah itu satu- satunya dalang yang meyakini bahwa wayang itu dulu ada. Dulu ada pertanyaan di sebuah pertemuan di Jatijajar. Waktu itu saya tanya: “Sesungguhnya wayang itu dulu ada gak sih?”. Madep Mantep jawabanya Pak Gito: “Wayang dulu ya ada, nek wayang ora nana nggo ngapa aku dadi dalang?” saya bilang: “Pak Gito sebelumnya saya mohon maaf kalo kata Jogja Solo kan Idu kemu keno, waton ojo bedaning panemu ojo nganti..boleh berbeda pendapat tapi jangan sampai merusak persamaan. Menurut saya wayang tidak ada, mohon maaf kalo wayang ada sekarang dimana? Itu ya setidaknya harus dibuktikan dengan bukti-bukti ilmiah. Sekarang secara bodone begini: ngger memang wayang kuwe ana, Semar, Gareng, Petruk Bagong kuwe kuburane nang ndi? Kalo memang ada. Ir.Sri Mulyono kan mengatakan jangankan wayang ada atau tidak, wayang sendiri asli dari Indonesia atau bukan itu juga masih asumsi. Ko Pak Gito sampai mengatakan wayang itu ada, kan kebangeten mbanget mbok? Sekarang sih mendingan, kalo orang salam masih mau njawab, dulu kalo ada orang salam malah dimarahin. Wong jawa kula nuwun apa piye! Begitu. 11. Jika memang wayang tidak ada berarti wayang seperti Semar memang hanya sebagai simbolis atau falsafah saja? Penjabarannya bagaimana? Kalo mengenai versi Banyumas. Kejadianya saja kan lucu. Katanya Semar, Betara Guru, Togog kan berasal dari telur. Kalo saya tidak seperti itu, tetap dia punya orang tua. Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang. Ya tetap saya ceritakan yang logis saja lah, Sanghyang Tunggal punya istri, anaknya tiga, yang mbarep Togog, kedua Semar, terus Betara Guru, hanya mereka masing- masing tugasnya berbeda-beda. Makanya saya juga ngarang lakon, saya buat sebuah lakon yaitu Purbo Wenang. Jadi ceritanya Sanghyang Wenang memanggil ketiga cucunya, Semar, Togog, Betara Guru. “Saya itu kecewa banget dengan kamu bertiga, kamu tugasnya apa?”. Kata Batara Guru: “saya jadi pamonging jagating triloka” yaitu jagating manungso, jagating jawoto… kalo dewa itu saya jarang menyebutkan dewa, dewa saya terjemahkan sebagai pejabat tinggi negara lah, apalagi sampai dewa disejajarkan dengan Tuhan saya paling benci sekali dengan itu. Dia adalah ratuning jagating triloka, jagating dewa/jawata, titah mahluk manusia, kalo kejawen yang ketiga itu jagating lelembut, kalo saya tidak mau tapi jagating sato kewan yaitu binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sebab kalo sudah setan-setan urusannya berbeda, soalnya nanti kan menguasai itu. Sebagai pejabat harus mampu menyelesaikan permasalahan pejabat-pejabat tinggi, juga bisa ngatur tentang rakyat biasa, bisa mengatur tentang pertanian, peternakan, karena seorang pemimpin kan harus seperti itu. “Nah tugasnya kamuu itu seperti itu, tapi sudah dilaksanakan belum? Kamu itu mendapat kenikmatan jarang

bersyukur, bahkan kamu sering mengutak-atik kanugrahan yang seharusnya diberikan justru diberikan kepada orang lain yang tidak berhak. Dalam Lakon Wahyu Lananging Jagat yang seharusnya diberikan kepada Arjuna malah akan diberiakan kepada Dewa Srani, Lakon Gatotkaca Nagih Janji, kamun juga menyalahin janjimu kepada Gatotkaca, ya kurang lebih seperti itu. Terus Lakon Tapa Senjang Rambut, cerita ketika anak-anak Resi Gotama yaitu Guwarsa, Guwarsi dan Anjani berebut Cupu Manik Astagina, kemudian menceburkan ke danau kemudian menjadi berubah menjadi kera. Untuk menebus dosanya Anjani di suruh tapa senjang rambut, bertapa tanpa busana. Batara Guru tertarik dan melakukan skandal perzinahan. Akhirnya hamil dan lahirlah Hanoman. “Kamu punya Anoman kan kamu gak nikah kan? Bagaimana akan dapat keberkahan?” ya seperti itu lah. 12. Dari silsilah Semar - Sanghyang Tunggal - Sanghyang Wenang - Sanghyang Nurasa – Sanghyang Nurcahya – Nabi Syis. Ko bisa muncul seperti itu bagaimana? Kalo seperti itu cuma othak-athik gathuk, karna wayang tidak ada, cuma sekedar budaya, tidak mungkin sambung sampai nabi. Walaupun sebenarnya orang tertarik dengan wayang, mungkin yang diinginkan itu dewa ya bukan Tuhan karena dia punya orang tua. Tapi mengotak-atiknya sampai dengan nabi itu yang saya tidak setuju, tinggal tegas saja kenapa sih, dewa ya bukan Tuhan, andaikan tuhan ya bukan orang islam, Tuhannya orang hindu budha, jadi tidak usah disilsilahkan sampai ke Nabi Adam, saya tidak sepekat dengan yang sperti itu. 13. Bagaimana mengotak-atik kisah yang lain ,yang mungkin tidak seperti contoh sebelumnya? Misalnya saya pernah membuat cerita othak-athik gathuk yang sempat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Ceritanya Rahwana Lair, Wisrawa akan bermaksud melamar Dewi Sukesi untuk anaknya, Danapati. Tapi Dewi Sukesi memberikan syarat harus bisa mewejang Sastra Jendra Hayuningrat. Kalo saya menafsirkan Satra Jendra itu. Sastra = Satra, Jendra = rajanya raja, Hayuning = yang bisa membuat ketentraman, rat = dunia. Jadi artinya “Rajanya sastra yang mampu menentramkan dunia”. Tidak lain yaitu Al- Quran. Maka Sastra Jendra menurut saya adalah Al-Quran. Cuma ketika Sukesi diwejang kok salahnya Wisrawa meminta: “Saya tolong diberikan satu vila yang tersembunyi, nanti saya wejang. Nah disini kan setan masuk, karena nabi mengatakan: “Seorang laki-laki dan perempuan di tempat yang sepi maka yang ketiganya setan.” Nah akhirnya setan berperan, terjadilah skalndal perzinahan antara Wisrawa dan Sukesi, tanpa nikah, lahirlah Rahwana. Terus masih punya anak lagi yaitu Kumbakarna dan Sarpakenaka, semuanya raksasa jelek. Wisrawa nangis kan karena anaknya berwujud begitu semua. Akhirnya Narada menasihati agar Wisrawa menikah secara sah. Setelah menikah Wisrawa dikarunia anak yang tampan bagus yaitu Wibisana. Jadi

pelajarannya kalo pengen punya keturunan yang baik harus nikah, jalankan itu. Itu otak-atik saya, Cuma trik-trik dakwah 14. Jika Sastra Jendra ditafsirkan dengan Al-Quran, padahal kalo pada umumnya Sastra Jendra diartikan sebagai ilmu yang terlarang, yang tidak boleh sembarang diajarkan, bagaimana? Kita tidak ngurus tentang itu. Mereka punya keyakinan sperti itu ya silahkan. Tapi ketika saya terjemahkan sendiri lakonnya seperti itu. Kalo dihubung- hubungkan seperti itu ya pasti tidak nyambung, karena memang beda, maka sengaja itu saya tutup. Saya tidak mau menerangkan yang sebenarnya seperti Pak Manteb itu menjelaskan Sastra Jendra yang juga dulunya niru Nartosabdo. Saya terjemahkan sendiri, toh penonton sekrang kalo bukan ahlinya banget tentang wayang ga faham yang seperti itu, itu paling sperti itu, maka saya sering mengotak-atik 15. Tokoh Bawor di Banyumas kan menjadi simbol masyarakat, maknanya apa? Mengapa mengambil tokoh Bawor? Yang saya tau karena Bawor itu bahasanya persis banget Banyumas. Bahasanya cowag, ngapak kan bahasa Banyumas. Kalo Gareng tidak begitu, petruk tidak begitu, kadang bisa halus, tapi kalo ngomongnya seperti itu pasti orang Banyumas itu Bawor. Makanya menggunakan Bawor karena suaranya memang persis dengan orang Banyumas. 16. Dari bentuknya juga berbeda dengan Bawor dengan Bagong di Solo atau Jogja, mengapa? Antara Jogja, Solo dan Banyumas itu memang beda. Yang paling membedakan itu Bawor dan Gareng. Kalo wetan garengnya ndengar, kula Banyumas menunduk, Jogja juga agak menunduk tapi tidak terlalu. 17. Dari segi bentuk apa makna atau falsafahnya? Kalo disini kan ditakan Bawor itu bayanganya semar makanya bentuknya mirip, bulat. Yang mirip semar kan cuma Bawor. Kata mereka kan Bawor berasal dari bayangnya Semar. Itu yang saya tadi bilang tidak mau. Kalo saya ya, terkadang anak ya ada yang mirip bapaknya adan yang mirip ibunya, nah Bawor itu mirip bapaknya. 18. Dari bentuk matanya yang besar, mulutnya yang lebar itu simbol sesuatu atau bagaimana? Kalo itu harus saya baca-baca lagii.. ini cuma dari majalah yang saya baca: “Bentuk wayang Semar, badannya bulat itu menggambarkan kebulatan tekadnya untuk mengabdi dan memperjuangkan kebenaran, matanya rebes sebab sering kurang tidur karna banyak pendekatan kepada sang pencipata atau menangis melihat tingkah laku manusia yang semakin tidak karuan. Salah satu tangannya menunjuk dan………. 19. Bagaimana dari bentuk-bentuk punakawan dan sebagainya yang bisa digunakan untuk menyisipkan pesan dakwah islam?

HASIL WAWANCARA

IDENTITAS INFORMAN: Nama : Kyai Mochamad Ma‟ruf Profesi: Mubaligh Umur: 57 tahun (1960) Alamat: Jl.Jenderal Sudirman Rt 02/02 Desa Nusawungu Kecamatan Nusawungu Kabupaten Cilacap

1. Bagaimana awal mula dakwah menggunakan wayang? Awal mulanya yakan ada orang yang tidak begitu suka dengan ceramah agama, tapi mereka senang wayang jadi dengan dakwah menggunakan wayang, yang tadinya tidak suka ngaji menjadi ikut ngaji karena ada wayangnya. Nanti kan saya hubung-hubungkan. Kiye wong sing jahat sing gelem nginum, buto. Kiye wong sing Jejeg lugu Kaya werkudara. Saking manute karo guru jane niko nalika lakon bima ngaji, kana rep dipateni nang drona jane. Kon munggah aring gunung Reksamuka . kon aring segara ya men mati. Jadi saking taatnya sama guru itu jadi mendapapat keberkahan dari Allah ceritanya. 2. Bagaimana penyajiannya? Jadi kalo saya menyajikan wayang, ngajinya, wayangnya hanya digunakan sebagai bumbu. Wayang ini untuk menggambarkan tokoh yang baik, yang itu sebagai contoh yang tidak baik. Sulukannya bisa juga diubah syairnya. Intinya wayang digunakan agar pengajiannya tidak terasa menjenuhkan. Wayang cuma digunakan untuk menggambarkan, misalnya di dalam kitab diterangkan bagaimana azab untuk orang yang tidak zakat, korupsi, dipakai wayang yang perutnya besar. Diterangkan kalo orang yang tidak zakat nanti perutnya besar seperti gunung sebagai azab di akherat. Lagi, orang waktu menyebarangi shirath ada yang ngesot, ada yang jalan tertatih-tatih, digambarkan pake wayang. Jadi orang ada gambaran, diperagakan gitu. 3. Tanggapan masyrakat? Ya bagus, masyarakat sangat memahami. Jadi tanpa harus didalili sudah bisa faham. Kaya walisongo karo wayang, tembang dadi lewih nancep. Memang walisongo niku metodenya berbeda beda.. kalo yang lugu cuma ngaji saja itu Sunan Rahmat dan Sunan Gunungjati. Hadis hukum. Selain itu dengan wayang tembang Contohnya : Kinanti>> sapa wonge pengen mulya kudhu kinantenan usaha ingkang tekun. Kepengin pinter kudu kinantenan belajar. Dhandanggula >>

ndandang: mujikna. Gula;manis … memuji sing manis. Asmaradana >> Asmara = seneng, dana=weweh. Sinom >> Pemuda, Megatruh>> pesateng nyawa, Mijil >> lahir, Pucung: “Urip iku ibarate wong lumaku, mampir ngombe sawetara, yen wis budhal ora biso bali, sangune iman sarto laku utomo” “Lamon siro ageguru kaki, milih menungsa kang nyoto, ingkang becik martabate, sarto weruh ing hukum lan ngibadah, kang wirangi” Wirangi memalu = memalu , Weruh ing hukum lan ngibadah = orang alim, Sukur oleh kong wong topo = riyadhoh, sering puasa seperti itu. Kang wis mungkur mikir paweheng liyan = ora ngarep-arep wong liya, kudu kasab (usaha) ngger nganggur bae. Iku kang pantes siro guronono kaki, sarto kawruhono. Maksudnya disiruh mencari guru yang pantas untuk digurui, akhlaknya harus bagus, faham terhadap hukum, dalil, ahli riyadhoh (senang berpuasa) itu cirri- cirinya. Nah ini semua dinyanyikan. 4. Kenapa dalam cerita Dewaruci werkudara berguru kepada Durna padahal kan tau Durna itu tidak baik? Durna itu sebenarnya dulunya bagus, berilmu tinggi dan tampan. Kemudian ia mengikuti sayembara perang di negara Pancala tapi kalah dan badannya jadi jelek babak belur. Kemudian badannya di buang oleh Patih Gandamana ke hutan Sokalima. Itu wilayah kekuasaan negera Astina. Di sana ada danyang sejenis iblis, jin setan, peri prayangan. Tubuh Durna diobati dan dirasuki oleh danyang makanya dinamakan Danyang Durna. Ketika masih Bambang Kumbayana (durna muda) dia sakti tapi ketika sudah dirasuki danyang durna menjadi tidak baik, sifatnya tercela. Termasuk ketika menyuruh Werkudara kayu gung susuhing angin sebenarnya tujuannya untuk mencelakai Werkudara. Tapi karena keberkahann ketaatannya kepada guru, Werkudara tidak mati, bahkan justru dia berhasil menemukan guru sejati yaitu Dewa Ruci. Memang kalo cerita wayang seharusnya meminta keterangan ke dalang yang senior, kalo saya cuma memungut saja. Karena bukan dalang yang tidak terlalu memahami. Kyai itu kurang mendalam mengenai pedhalangan karena fokusnya kan agama. Jadi cuma dicuplik terus dihubungkan dengan dalil. Nah kalo dalang biasanya kurang faham tentang dalil agama. Karena tidak mendalami masalah agama (Islam). Karena belajar mendalang saja sudah susah apalagi kalo belajar mendalam mangengenai agama. Kalo Kyai tidak seperti itu, sebenarnya fokusnya pada agama, melihat wayang lalu dihubung-hubungkan, dalil ini dihubungkan dengan wayang ini, dalil itu dihubungkan dengan wayang itu. 5. Bagaimana dengan Sunan Kalijaga? Sunan Kalijaga itu kalo sebelum mendalang itu wudhu dulu, lah orang dia wali kok. Kalo dia mendalang juga hanya untuk menarik perhatian orang Hindu supaya tertarik, seneng dulu lah, nanti kan dibelokkan dia gak berasa.

Ada wayang namanya Puntadewa berasal dari kata kunta dakwah mempunyai senjata Kalimasada yaitu kalimat sahadat. Wayang Janoko berasal dari kata Janatuka (Raden Janaka=Arjuna). Samir tetaplah kamu dalam beribadah, Fatruk maka tinggalkanlah, Al-bagho keburukan. Siapa yang yang sudah mampu meninggalkan keburukan (kemungkaran) maka nala khoiron akan senantiasa memperoleh kebaikan (menjelaskan tetang Semar, Petruk, Bagong dan Gareng). Maka mereka bersatu dengan Janatuka. Itu jelas kalo orang sudah mampu melaksanakan perintah Allah menjauhi larangkan-Nya jelas balasannya jannah (surga). Jadi wayang hanya digunakan sebagai i‟tibar (gambaran) 6. Bagaimana dengan makna nama Werkudara? Werkudara nama mudanya Brotoseno berasal dari kata Barorta (perbaikilah dirimu) Shauna (jagalah). Punya anak namanya Antasena berasal dari kata anta shauna dan Antareja yang berasal dari kata anta rojaun. 7. Dari segi pakaian yang digunakan Werkudara bagaimana maknanya? Werkudara memakai gelung minangkara menggambarkan orang yang sujud, mengenakan kelat bahu dan gelang candrakirana melambangkan orang yang kejujuran dan orang yang berilmu Godeg woh simbar dada--- Dzkir sir yang tesebar masuk ke dalam dada. Pupuk mas rineka jaroteng asem--- Tempat dzikir ya latif di dahi.. Sumping Pudak Sinumpet--- pada jaba jerone pada, lahir batinnya sama Anting-anting panunggul maniking warih--- mampu membedakan yang halal dan yang haram, bagaimana caranya? ya harus ngaji. Kelat bahunya simbol orang yang jujur Gelangnya itu simbol orang yang berilmu 8. Bagaimana dengan tokoh Bawor, apakah memliliki perlambangan islam? Kalo itu saya kurang begitu faham, yang jelas kalo di Banyumas Bawor itu anak sulung Semar sedangkan kalo di Jogja atau Solo dia anak bungsunya Semar.

HASIL WAWANCARA IDENTITAS INFORMAN: Nama : Ki Daulat Karsito Darmocarito Profesi: Dalang Umur : 69 tahun (22 Desember 1947) Alamat: Jl. Raya Sidabowa, RT 03/IV Desa Sidabowa Kecamatan Patikraja. Kabupaten Banyumas Jawa Tengah

SKRIP WAWANCARA

1. Bagaimana Karakteristik wayang purwa gagrag banyumasan? Seni Pedhalangan sendiri versinya 3 yaitu: Jogja, Solo dan Banyumas. Padahal yang pokok itu Jogja dan Solo, Banyumas itu istilahnya meniru Solo atau Jogja contoh: Kakek saya dulu ya dalang kalo suluk kan dengar dari Solo “Lengleng menyang sasangko kumenyar…” lah pahamnya kakek saya “Lengleng menyang sasangko” nah disitulah dinyatakan sulukan banyumas. Padahal pakem yang mempunyi itu Solo dan Jogja. Contoh lagi Jogja dan Solo. Kalo Solo Antareja ya Antasena namanya dua wayangnya satu. Padahal kalo di Jogja Antareja itu anaknya Werkudara yang nomer satu, nomer dua Gatotkaca, nomer tiga Antasena. Sedangkan kalo dalam versi Banyumas ada lagi yaitu Srenggini. Jadi dalam versi Banyumas anaknya Werkudara ada empat. Jadi kalo saya memberi pengarahan kepada dalang-dalang di Solo, Jogja, lebih-lebih di Banyumas, kalo masalah wayang, Antareja, Gatotkaca, Antasena, Srenggini putranya Werkudara.. semua benar. Jangan ada yang berdebat masalah pakem. Lah kalo meninggalkan pakem itu salah, misalnya Kresna itu anaknya Werkudara itu meninggalkan pakem namanya. Silsilah kan ada. 2. Bagaimana Perbedaan Wayang Kulit Gagrag Jogja, Solo, dan Banyumas dari segi janturan? Nah kalo masalah itu, kalo di solo menggunakan kata “Syuh rep data titana” kalo Jogja “hongwilaheng awigno mastu nama sidhem” kalo Banyumas kan “Montro-montro wetan anggendanu kilen” 3. Bagaimana Perbedaan Wayang Kulit Gagrag Jogja, Solo, dan Banyumas dari segi bentuknya? Kalo Banyumasan endhep-endhep (pendek-pendek), nek Jogja, lemu-lemu (gemuk-gemuk). Gaya Banyumasan ndengkluuuk banget (menunduk sekali). Wayang banyumasan kecil-kecil cakriknya Jogja. Jadi Banyumas, Kedu, Jogja 4. Bagaimana Perbedaan Wayang Kulit Gagrag Jogja, Solo, dan Banyumas dari segi kepraknya?

Kalo masalah Keprak itu kalo Jogja kan satu suaranya ting..ting..ting, Kalo Banyumas ada yang dua, ada yang tiga bebas. Solo sampai empat suaranya pyak..pyak..pyak seperti itu. Bungkul yang di kaki kalo cempala yang di tangan. 5. Bagaimana Perbedaan Wayang Kulit Gagrag Jogja, Solo, dan Banyumas dari segi punakawannya? Kalo masalah punakawan kan kalo Jogja: Semar, Gareng, Petruk Bagong. Cuma Banyumas yang Bawor, Gareng, Petruk anaknya Semar. Tapi bener, kalo dulu itu katanya kenapa Banyumas Bawor menjadi anak tertua, ketika Semar turun dari kahyangan ke bumi tidak ada teman. Di prepat kepanasan mencipta bayangnya sendiri terus jleg jadi manusia yaitu Bawor. Jadi Bawor berasal dari kata tiba kawor. Kemudian mencipta lagi dari kedalaman hati jleg ada anak diberi nama Nala Gareng. Nala itu hati, Gareng berarti kering. Lah terus Petruk, Petruk itu anaknya Gandarwo Rojoswolo yang dipasrahkan kepada Semar, jadi Petruk sebenarnya anak gandarwa.Tapi kalo menurut istilah islam seperti kyai Sunhaji yang menggunakan wayang untuk dakwah, Semar itu katanya berasal dari kata “samirun” “nala khoiro” “fatruk” “bagho” dan sebagainya. 6. Apakah tanggapan saudara dengan adanya wayang sebagai media dakwah? Menurut saya budaya adat seni jangan sampai pisah dengan agama. Fungsi dalang itu 3: menghibur, mendidik dan …. Ya dalang itu istilahnya ya dakwah ya mulang, Ngudal piwulang. Jadi yaitu satu mendidik, memberikan pendidikan kepada penonton dan diri sendiri. Kedua menerangkan program- program pemerintah, diselipkan pada pewayangan. Contoh: “keamanan jangan mengandalkan POLRI..jangan mengandalkan TNI..jangan mengandalkan hansip..tentara.. partisipasi masyarakat ikut menjaga keamanan, InsyaAllah aman..” nah itu kan menerangkan jadi membantu polisi, membantu keamanan. Selanjutnya kalo misalnya pengantenan “Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah. nah warahmah itu kalo penganten kalo sedang hajatan cara jawane: pada sing sehat, sing tentrem atine, tut runtut, jinam-jinem langgem seneng, kalis ing sambekolo, gansar rejekine. Jodo dunya akherat. Aja kaken-kaken ninen-ninen enggko ngger kaken-kaken ninen pada pegatan malah repot kaya kuwe..” (Semoga sehat, tentram hatinya, dijalani dengan senang hati, dijauhkan dari segala halangan dan rintangan. Jangan sampai kakek-kakek nenek-nenek, nanti kalo kakek-kakek nenek-nenek pada berceri malah repot.. begitu) Nah itu pengarahan pada penganten. Lantas jangan lupa: 1)Manembah, 2)Manunggal, 3)Makarya, 4)Mandiri setelah itu baru yang kelima yaitu momong anak. Seperti itu ketika memberi pengarahan kepada penganten ketika mbaranggawe (hajatan).. “tapi walaupun momong anak jangan lupa program pemerintah adanya KB program Keluarga Berencana..kan kalo para penyuluh

program KB katanya dua anak cukup kalo saya tambahin.. dua anak cukup, dua istri bangkrut hehehe… itu fungsi dari segi penerangan. Nah yang lain misalnya ada parikan (pantun) “Nandur rajeg aja nganggo kawet, pajeg aja nganti keliwat” (Menanam pembatas rumah jangan menggunakan kawat, pajak jangan sampai terlewat” Nah seperti membantu pemerintah. Setelah itu baru menghibur. Dalang-dalang sekarang Cuma hura-hura, hiburan, sindennya banyak, penyanyi dangdut. Nah wose mayang nangendi? (Isinya wayang dimana?). Umpama pentas wayang 7 jam, 2 jam untuk sesi Limbukan hura-hura, 2 jam untuk sesi Gara-Gara juga hiburan, hura-hura. Tinggal 3 jam, nah 3 jam wos-nya dimana? Makanya kemarin saya di Maos memberikan pengarahan “dalang-dalang muda sing sregep sinau, dadi dalang sing bermutu, payu tur berwahyu” (dalang-dalang muda rajin-rajinlah belajar, menjadi dalang yang bermutu, laku, dan berwahyu). Contohnya: kalo ingin menjadi dalang yang berwahyu, mendoakan dalang-dalang yang sudah meninggal syukur bage (Lebih baik lagi) mengirim tahlil. Contoh saya hafal, dalang dari Banyumas: dalang Suyud Hadiwinoto, dalang Surono. Terus Semarang, Solo dan Yogya: dalang Nartosabdo, Ki Dalang Gondo Darsono, Ki Dalang Murjiyat, Ki Dalang timbul Hadiprayitno, Ki Dalang Hadisugito. Terus dari sini: Ki Dalang Panut Darmoko, Ki Dalang Karto Suyono, Ki Dalang Sugir, Ki Dalang Saring, Ki Dalang Cipto, Ki Dalang Tutur, Ki Dalang Adas, Ki Dalang Jono, Ki Dalang Darmono. Nah dalang-dalang.. saya hafal dalang yang sudah meninggal itu disuwuna pangapura luput lan dosane Allah paring maghfiroh, tetep iman islame, khusnul khatimah (dimintakan ampun kesalahan dan dosanya Allah memberikan ampunan, teguh iman islamnya, khusnul khatimah), Insyallah arwah dalang-dalang itu ada yang akan masuk kedalam surga. Seperti saya sendiri bukannya hanya pada dalang tetapi memohonkan ampun kepada para kyai, para ulama sepeti itu. Misalnya memohonkan ampun untuk Kyai Sodiq, Kyai Nuh, Kyai Nur, Kyai Ali Maksum, Kyai Barkah, Bung Karno, Gusdur. Seperti itu, masih saya sempat- sempatkan. Orang saya sejak awal mendalang tahun 1964 sampai sekarang sudah berumur 71 tahun Alhamdulillah masih diberi kesehatan, bisa pentas. Percaya atau tidak? Kemarin saya tanggal 9 kemarin setelah lebaran siangnya saya pentas ruwatan, malamnya saya pentas semalam suntuk, Alhamdulillah masih kuat 7. Bagaimana pemaknaan wayang Bawor, mengapa jadi simbol Banyumas? Sebenarnya kalo Banyumas yang katanya kota Satriya itu Werkudara. Banyumas kota satriya malah lambangnya Bawor kan lucu. Padahal Werkudara itu iya ya iya ora ya ora mula kaku kena nggo teken lemes kena go tali jadi menurut saya lambang banyumas yang lebih tepat itu werkudara. Kalo simbol bawor saya ada makalah silahkan dibaca;

“Bawor tibane bisa awor kelawan sekabehe bisa campur, kembul. Bawor tan petung drajat pangkat lan slamet. Bisa numpuk rasaning gusti. Mripat bunder mlolo tansah mawas lan ngawas sembarang kang bakal dilakoni, bisa milah-milahake ala baening tumindak, waspada. Bathuk nonong mungkal Gerang, tuhune menungsa tansah eling lan waspada karana Bawor iku ayang-ayang Semar ingkang Sanghyang Ismaya. Irung Ngempis kadhok mundur, nadya sifating batur nyingkir salira ganda kang cengkah kelawan kang awon. Lambe ndower untu sajuga, nadyan kelantur geguyon barang wis mengkono sejatine mung sawiji kang dadi gegebengan lahir antebing bebener batin naming sajuga panembah marang kang maha mulya. Gulu mungku punuk, wong kang wis weruh gebyaring jagat. Tangan loro ginawe rangkeng kang sawiji nuding lang nnggegem, pralampita urip tansah manembah marang gusti kenceng panggegem sarta seneng paring pituduh dalan bebener. Buthak kagok mungal mengku kekar. Suku mbujel nadya ala tanpa rupa darbe watek jejeg, adeg, teguh. Ngundi kucir, sejatini dudu kucir satuhune kucir kejaba hamung kang Maha Tunggal kang pinundi.” 8. Bagaimana makna dari perupaan werkudara dan seluruh pakaiannya? Oh itu anak mas bisa baca dibuku ini: Apa ta busanane risang werkudara, Gelung minangkara cinandi rengga. Endhep ngarep dhuwur mburi. Pupuk mas rineka jaroting asem, sumphing pudhak sinumpet, anting-anting panunggul maniking warih, sangsangan naga banda gelang candra kirana, kelat bahu kencana winangun balibar manggis binelah tekan kendhagane. Kampuh poleng bang bintulu, paningset cindhe bare binelah nunpang wentis kanan kering. Celana cinde wilis, kinancingan porong endhasing nagaraja. Pranyata busanane sang arya sena minangka pralampita keraning budi. 1. Gelung minangkara cinandhi rengga endhek ngarep dhuwur mburi, pranyata sang Arya Sena datan kewrat dununging kawula gusti. 2. Pupuk mas rineka jaroting asem. Pupuk mas mingka pratanda denya ngisep pangawikan marang sang Hyang Bayu. Rineka jaroting asem, Wrekudara budine ngrawit pindha jaroting asem. 3. Sumping pudhak sinumpet amengku kawruh panunggalane Hyang Hodipati, nanging sinasapan, pinter api balilu. Binasakake: jayalaga, jembar budhine nglangut pindha jalanidhi. 4. Anting-anting panunggul maniking warih. Bratasena padhang paningale datan kasamaran marang sawiji-wiji. 5. Sangsangan naga banda, ula gedhe tegese. Karosane Sena kaya krurane naga raja. Yen bandayuda ora watak kalah, kalaeh mati 6. kelat bahu rineka balibar manggis binelah tekan knendhagane, kusumadilaga terus njaba njerone. Binasekake bawaleksana, datan kersa ngoncati sabda kang wus kawedhar.

7. Gelang candrakirana, candra rupa kirana wulan. Gandawasratmaja. Kawruhe Sena sumorot pindha wulan purnama. 8. kampuh poleng bang bintulu, abang ireng, kuning, putih, minangka pralampita pancadriya mayaning nepsu patang perkara. 9. paningset cinde bara binelah numpang wentis karo. Bratasena bisa ambedakake laksitaning brata, lahir bareng angakate sahari ratri datan kendhat. 10. porong dhapur nagaraja, minangka kancing, pranyata Arya Sena wus memet amomot marang salekering jagade.

9. Mengapa di Banyumas Pendita Drona dianggap jelek, apa maknanya? Di Solo ya juga jelek contoh; lakon Dewa Ruci Bima Ngaji, wong ndilallah adiling Allah becik ketitik ala ketara. Pendita Druna menjanjikan kepada Duryadana Bima akan mati. “sampun mboten usah khawatir anak prabu Duryudana mengkin Bratasena kula jlomprongaken teng gunung Reksamuka supada madosi susuhangin ndi nggone” kemudian bertarung dengan dua Raksasa penjelmaan Dewa Bayu dan Indra. Kemudian disuruh ke sumur Jalatunda, disana kemudian bertemu dengan naga yang merupakan penjelmaan dari Bidadari dan memberikan kesaktian. Kemudian disuruh ke Samudra Minangkalbu, kemudian masuk ke dalam samudra, disana bertemun dengan Dewa Ruci dan diwejang ilmu jatining panembah, upaya manusia untuk mencapai kesempurnaan. Dewa ruci itu seperti ini. Ketika kita memandang cermin kemudian yang ada dalam cermin adalah gambar kita maka seperti itulah perumpaan Dewa Ruci. Jadi mengetahui jatidirinya, ketika mengetahui jatidirinya maka ia dapat mencapai kesempurnaan. Dalam istilah islam disebut insan kamil yaitu manung sing nggayuh marang kasampurnan.

orang dravida. Terus, nduduki batur arep nggo ngedegna umah, gawe slametan (membajak tanah untuk mendirikan rumah lalu membuat selamatan), sebab kenapa? Percaya bahwa kiye lemah ana sing nduwe (tanah ini ada yang punya), nah sing duduk batur niku ora sengaja ora sengaja kadang mragad ana cacing, kadang mragad ana luwe, mragad ana ketunggeng, ora sengaja sebab napa, anu agi diduduk, pramila disuwunaken pangapunten. merga napa? merga mateni umat walaupun kuwe wujude kewan sing nang njero ngumah inyong ora ngerti, mulane njur gawe slametan wujude njaluk pangapunten, ingkang kepragad mboten sengaja inggih menika ameng-amenganipun kanjeng nabi Sulaiman. Bisane ngerti ameng-amengipun nabi Sulaiman bareng mlebu agama sebab dravida jaman riyin jawa dwipa, pertamu mlebu iku tiyang hindu-budha, nek islam sing teng aceh sih mpun mlebet, mrika kan pelabuhan besar sedayo mampire kang teng mrika riyin. Ning maring bumi jawa dereng. Sing teng mriki wontene hindu kaliyan budha. Hindu niki manembaeh teng dewa-dewa, dewa surya, dewa rembulan, dewa lintang, dewa angin, dewa bumi, alam semesta. Niku wong hindu, nah dhateng malih agama budha, ngadege Borobudur, Sidharta Gutama. Nah diantara wong dravida, wong hindu, wong budha niku apik, bersatu, manunggal, terus dateng malih agami islam. Nah yang terakhir Brawijaya pikantuk Putri Champa, manak Raden Patah, sing Raden Patah niki laire teng Palembang, niki mlebune agami islam teng Bumi Jawa wonten pesisir ler dibarengi kalih walisanga. Nah ewo semanten meh gagal. Sing pinter Sunan Kalijaga, nah Sunan Kali niki gandheng ngerti wong jawa kuwe senenge budayane budaya wayang purwa, piyambakipun ngadege Demak Bintoro, niku Lajeng Mayang. Wong Hindu-Budha arep nonton “wis ra kena nonton”/“oraa..nyong mbayar/“Nyong ora butuh duit, ning ngger kowe meksa arep nonton kena, asal maca sahadat”. Nah niku dadi wong Hindhu Budha syarate maca sahadat tetepe kowe wong islam sebab rukun islam itu yang pertama maca sahadat, kan niku? Lah njur nika pada nonton, “tetep kowe wong islam” kaya niku kan. Nah sareng ngaten, niki njur Sunan Kali salah setunggaling wali ingkang paling pinter teng bumi tanah jawa, sebab nganggo dakwah niku wau, wayang kulit. Rumiyin wayang kulit niku diharamkan wonten Sunan Giri. Sebab napa? Sebab menyerupai manusia, lajeng ditata kalian Sunan Giri, mulane sing mbiyen Betara Guru? Panjengen Pirso? Nah riyin jenenge niko Sanghya Siwahboja, nah sareng Sunan Giri ingkang nata lajeng diparingi jeneng Sanghyang Jagat Giri Nata, tegese Sunan Giri ingkang nata. Nah lajeng wayang sudah tidak diharamkan sebab wayang niko tulisan Allah. Contonipun. Niki wonten alif lam-lam ha. Inggih kan? Dadi wayang setelah ditata oleh Sunan Giri menjadi tidak haram lagi karena sudah disesuaikan dan membentuk tulisan Allah, kaya niku. Banjur lajeng wayang saget kangge dakwah agami, mila ngrembakaning agami islam wonten bumi jawa niko perjuangane Sunan Kali, gamelane taksih wonten, ditahun sepisan

sekali wonten nggene Jogja disebut sekaten saking tembung sahadatain ingkang riyin wonten Demak Bintoro. Ning sareng wonten kemajuan alam gamelenanipun kan diboyong wonten nggene Jogja. Dipun prengeti setiap Grebeg Maulud Nabi, ditabuh setaun sepisan. Nah kamongko ingkang nami wayang kulit niku wau, nik sing bener-bener tontonan sing isine tuntunan, niku setunggaling pergelaran wayang semalam suntuk kados dene tiyang mbikak Al-Quran, sebab sedoyo wonten hadisipun, kedhaeh niku ngge mulang, aweh pengertian wong-wong sing urung ngerti. Jaman riyin niku taksih langka wong sing pinter nulis. Napa malih maca, nulis be ora bisa, sagete naming mirengaken,nah niku. Dados ngrembakanipun agami islam niku liwat pagelaran wayang kulit Sunan Kali sing ndalang, dengan catatan pada datang tanpa diundang. Sebab krungu gamelan wonge byuuk…teka, kan ngoten. Nah niku mlebetipun agami islam teng bumi jawa sesampunipun Raden Pateh kalih wali-wali. Diantar dravida, hindu, budha, Kristen, islam berdamen, ndamel bhineka tunggal ika. Sing jenenge manungsa urip nang alam dunya nek esih kengetan falsafah bhineka tunggal ika kudune ora padha congkrah, kudune ora padha tawuran, sebab pada menungsane. Dadi sampean kula niki kudu ngerti apa maknane menungsa? “Manuggalaken Rasa.” Diciwit lara aja cokan nyiwit, digawe gela rumangsa gela, aja gawe gleaning liyan, niku. Dadi selalu instrospeksi, mulat sarira, mawas diri, inggih aja kesusu nyalahna wong liya. “awake dhewek bung urung karuan bener nyalah- nyalahna wong” kan kaya niku, nyalahna sih paling gampang ning urung karuan awake dhewek sing paling bener, “awake dhewek be urung karuan bener, nyalah-nyalahna wong” kaya niku lhoo. Dadi sipat manungsa kepengin guyub rukun nang alam dunya, niku ampun remen milah-milahaken paham, mbuh kue paham apa-mbuh kue paham apa awit pada menungane kabeh kawulane Gusti Allah ayuh pada manunggal dadi siji. InsyaAllah dadi kekuatan, kan kaya niku. Dadi angger ana manungsa gelem milah-milahaken paham, dadine congkrah, kaya niku. Nek angger kita bersatu, manunggal dadi siji insyallah dadi kekuatan. Keilngan butir-butir pancasila niku onten sing nyebutaken: saling menghormati kepercayaan dan keyakinan orang lain, lah niki, dadi kowe kapercayane nopo? Ya monggo, mulane “agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku” kan ngaten niku. Sing penting aja open dakwen, monggo ayuh urip bareng, tetanggan guyub rukun, mbangun negara ben dadi kuat, kaya niku kan. Nah pramilo, ingkang kulo aturaken niku wau mawi dhasar. Tegese wonten buku niku wonten. Dadi angger nyong ora maca mungkin ora bisa matur. Nyong bisa matur karna maos, muane kula bisa matur anu remen maos. Mulane dadi wong urip sing remen maos, sebab napa? wong ngger seneng maca bisa pinter tanpa guru, niku koran saka tembung “nglekor weruh paran” sampean karo nglekor ngerti lho..lhoo kiye ngangkana Amerika agi ana banjir. Anu ora weruh ngkana teyeng ngomong, sebabn napa? Mawi dhasar koran. Mulane panjenengan sing seneng maca,

Al-Quran diwaca dinganti katam dirampungaken, napa mawon diwaca sing nang ati cocok, sing nang ati pas, kaya niku. Ning dengan catatan niku wau, sebab tiyang gesang neng alam dunya ora nana wong sing sempurna, sedaya niku sipat menungsa sami, kulo, panjenengan Pak Presiden ya pada menungsane, sing beda nasib, kula bakul soto, panjengan mungkin mengkin dadi pejabat, nggih kan? Ming beda nasib, menungsane sami, wong nasib sing beda, kaya niku. 2. Kados pundi blegeripun wayang sederengipun wonten Sunan Kalijaga? Kados menungsa, mulane diharamkan oleh Sunan Giri. Merga rumiyin menyerupai manusia, mangka diharamkan. 3. Kados relief teng candi-candi? Pokoke ngger anu digambar persis manusia niku, mulane diharamkan oleh Sunan Giri, nah sareng digambar miring, disesuaikan dengan tulisan Allah sing wau Alif-lam-lam-ha, iku nembe dipun keparengaken dingge dakwah agami islam, kaya niku. Nggih pancen niku kados dene iya-iyaa. “uh kiye ngekene Kendalisada nggone Anoman” kan pada kaya niku. Nah padahal jane namung napa nggih, nuwun sewu banget percayane teng mriki, jane ya ora nanalah Anoman, mboten wonten. Namung falsafah, diconto Anoman kuwe derete kepriwe, Janoko kperiwe, Werkudara kepriwe. Janatuka kepriye? Walkudaroh kepriye?, kan kaya niku. Dadi tetep wayang anu mboten wonten, namung dingge falsafah hidup, simbolik, geofisika. 4. Menawi wayang purwa mlebet Banyumas pripun mula bukanipun? Lah inggih riyin kan niku anu saking Kartosuro, dereng Surakarta. Kartosura geger pecah dadi Surakarta Hadiningrat karo Ngayogyakarta Hadiningrat, nah niku wong sing pada pinter-pinter mlayun, klebet dalang ameng-ameng kraton Ki Panjangmas niku mlebete teng Ambal. Nah teng mriko niku mbeberaken ngelmu pedhalangan sing dhasare kaitane kaliyan ajarane Sunan Kalijogo niku wau ngiras panthes ngrembakaaken agami islam kapurih wong sing pada urung ngerti agama ben dadi ngerti agama, niku. 5. Riyin dalang-dalang Banyumas ingkang kangge pathokan niku sinten mawon? Sing dingge ya pesisiran, dadi dalang pesiran sing ngge pathokan. Dadi perkawis nggen pakem kulo kinten saking Jogja dumugi Banyumas sami. Saking Solo dumugi Banyumas sami. Namuung, bentenipun kados dene “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Dadi kula kinten ingkang nglampahaken, sing beda jane menungsane, dadi kantun menungsane mawon. Sedoyo ajaran agami niku sae. Sing mboten sae ingkang nglampahaken, kan kaya niku? Dados pramila ngajeng kula aturaken wayang niku namung falsafah hidup, simbolik, geofisika, cuman namung ampun dingge debat. Sebab niku nek nggo debat mboten kenging mengko dadine mung padu. Pramila langkung sae, monggolah bersatu, mbuh kue paham apa-

mbuh kue paham apa, ayuh dikukub diraup sebab pada dene menungsane, sing bisa manunggalaken rasa, kaya niku. 6. Menawi wonten ingkang sami mastani wonten gagrag banyumas lor gunung kaliyan kidul gunung pripun? Lah niku anu saniki mawon, fanatik, niku anu fanatik. Jane pun gagrag banyumas nggih tetep banyumas. Deretan wayang banyumas niku, nggih meh sami, “Pathet Nem, Pathet Sanga, Pathet Menyura, ning ngger niki wonten Menyuri, kaya niku. Menyuri niku bibar Menyura inggih dudu pathet mpun klebet pathet nem tapi Menyuri niki kados dene slawatan niku. Dadi nek wayang asli Banyumas sing bener-bener klasik, niku enjing sama ngelik, niku teng nggen Menyuri, bibar Menyuri sami kalian Solo niku neter, ning niki pancere pancer lima, niku mung bedane wayang banyumas, dadi tetep sami Pathet Nem, Pathet Sanga, Menyura, bibar menyura nek Banyumas Menyuri. Terasipun wayang banyumas niku mboten gadah sekolah, namung terun- temurun. Mboten kados Solo niku kan wonten ISI terus Njogja wonten Habiradando. Ingkang kados niku pramila tiyang banyumas piyambak khatah inkang mboten ngertos kados pundi wayang banyumas. 7. Menawi wayangipun, sami menapa benten? Wayange benten, wayang banyumas niku mawi godeg, langkung nglegena, meh kados jogja. Dados menawi Werkudara, Gatotkaca teng Solo niku blusdren, ning angger wayang niki mboten, cekap ngangge cet abang kemawon. 8. Menapa leres wayang banyumas ukuranipun langkung alit-alit? Niku namine wayang kencanan, niku juga.. lhoo nuwun sewu nggih, jaman rumiyin menika kan.. kemungkinan lhoo, dadi nggawene niku ora langsung gedhe, kan seniki mawon wayang gedene ora mekakat pada karo dalange, saniki mawon. Mulane banyumas dijenengi wayang kencanan,lah nek wayang pesisir dijenengi wayang Kedu. 9. Menapa leres rumiyin teng wayang banyumas wonten ingkang dipunwastani Petruk Lengkur? Petruk Lengkur niku pancen cirikhas wayang banyumas, niku Petruk Lengkur jaman riyin. Petruke niku temungkul, dados mboten ndengengek kados Petruk wayang biasa. Niku benten, namine Petruk Lengkur. Nate mirsani? Totol- totol mbok nikine? Niku wayang banyuamas. Cuman wonten salebeting pakem ingkang dipun bentenaken antawisipun Bawor kalian Bagong. Menawi Banyumas niku Bawor menawi sanese Bagong. Lajeeng, sanese gadaeh Bilung, nek Banyumas gadaeh Sarawita, ning Togoge kan sami. 10. Menawi Jaewana Sontoloyo kados pundi? Jaewana, Santalaya niku dagelan Sontoloyo, Jaewana. Sontoloyo niki jane, pripun nggih.. kaya kurang ajar” Sontoloyooo.. dadi nggo wayang humor, dadi wayang dagelan. Kawit riyin wonten, wong niku ngger wongs sing meresapi budaya krungu Sontoloyo be mpun ngguyu.

11. Wonten ugi menika wayang Degel utawi Sarkawi, menika kados pundi? Oh Degel Kartawi.. niku wayang tambahan kreas dalang. Sing baken, siji Bawor, loro Sarawita, kaping telu dagelan Sontoloyo Jaewana, ditambah setunggal malih, Kidang Gayoran Kadal Ijo, niku pekathik Dwarawati tukang jarane Prabu Kresna, niku Kidang gayoran lah sing jelas. Niku tambahan, ewadene wonten Degel Kartawi niku kreasi dalang. 12. Menawi Sulukan teng Wayang Banyumas menika sami menapa benten kalian lintunipun? Nek sulukan janepun menika, nek Banyumas nggih, niku Banyumas niku paling beda, wayang tiba ya sulukane tiba “Nibo kantep mangrawat wojo wang-wang..” niku nek wayange tiba. Dados pancen benten. Nggih angger jengkel nggih benten malih. Dadi sulukane ngetutaken si wayang. Nyekel Kresna ya.. “Kresna wis sayenggono, nambak segoro gempal,..” nyekel Samba ya “Somboo Prawiroo…” nyekel Gatotkaca ya “Gatotkaca tinon…” 13. Menawi Sulukan Pathetan niku sami napa benten? Kados pundi cakepanipun? Nggih sami lah nem sanga, niku sami namung cakepanipun ingkang benten.. namung ngger panjenengan taken cakepan tah repot, kudune ngger nggon cakepan niku khusus tukang gending. Menawi wetan kan.. “hanjrah ingkang puspita arum… arepa nganggo nem apa sanga wong niko cakepane dhewek- dhewek, arepa nem jujag nik ya kaya niku pada mawon, cuman angger Banyumas kadang cok beda... “Amit kua narendra…” Namung beda ucapan, cuman banyumas ora nduwe sekolahan, sinaoso wonten SMKI ajarene nggih Soloan, sing banyumas blak-blakan niku mboten wonten. Lah wong seniki nuwun sewu, “nganggo basane dhewek be pada ora gelem” padahal nggih tiyang Banyumas nik blakasuta, tulisane apa ya diwaca apa, apa ana tulisan apa diwaca opo? Iya ya iya ora iyo. Dadi wong Banyumas niku cablaka pada karo tulisane, ora diowah-owaih. Namung unggah-ungguh sopan santun tata susila, kedah nderekaken. Upami wonten kraton, kulo kudu menyesuaikan adat kraton, carane kepripun. Ning nek nang nggone dhewek aja isin, kadangkala nembe bali kang Jakarta bae ora gelem nganggo basane dhewek, padahal niku dialeke dhewek. 14. Wonten Banyumas Wayang Bawor dados simbol masyarakat Banyumas, kados pundi mula bukanipun? Lah inggih Bawor niku falsafah hidupe niku wong cablaka, blakasuta, nek iya iya nek ora ora. Niku Simbul Bawor 15. Saking blegeripun Bawor kados pundi maknanipun? Nah niku kaya niki. Niki nggih klebune kados dene peristiwa kelahiran. Namung niki namung nek Banyumasan, angger wetan mboten. Rumiyin bumi menika urung ana menungsane. Niki namung cerita lho nggih, namung dongeng, dadi mboten kangge debat sebab ora ana asale. Semar tumurun maring arcapada kaya dene kelahiran. Sedurunge bayi lair, kan kemer putih

mecati pertanda bayi arep lair. Niki sing lair dhisit dhewek, sing mulane kepercayaane wong jawa, sing nggawa mlayu sanguku urip nang alam dunya, sing adoh tanpa wangenan, perek tanpa senggolan, niku cara kepercyaane wong jawa. Mulane bayi lair nangis sebab sangune digawa mlayu hehe.. niki memang kepercayaan, kepercayaan adat jawa, dadi mboten saget di sepelekaken, sebab niki wis mbalung sumsum karo wong jawa. Mulane ora keri gawe slametan kelahiran, wetonan. Lah saniki nuwun sewu, inyong dilairna nang dunya dadi menungsa kue kudu bersyukur, “Alhamdulillahirobil‟alamin, nyong dilairna dadi wong ora dadi pithik” kenangapa kelairane aku koh ora diemut-emut. Kemerdekaan, pitulasan diormati, uh ngendi ora diormati, hari angkatan perang diormati, koh lairane dhewek niku ora ngerti, salah niku nang bumi jawa nang pahame wong jawa. Kenangapa laire dhewek ora disyukuri. Ora bersyukur maring ngarso dalem Allah SWT. Ulang taun digede-gedekna, ulang taun apa paham jawa? Sanes. Mula sing sebenere bener mula aja ngormati ulang taun. Saben dina lair, dina kuwe, aku meditasi, bersyukur karo ngarso dalem Gusti Allah, niku angger jawa. Mulane Semar mudun aring ngarcapada, kene wis ana setan, Gandarwo Rojo. Nah Semar kemutan welinge ramane, “Angger lungan-lungan aja dhewek, angger dhewek kuwe bathang ilang, ning lungan-lungan kudu ana kancane, mengkon jenenge bathang ngucap-ucap, angger wong telu bathang urip” sebabe angger lungane wong loro, siji cilaka, siji aweh kabar. Angger lunga wong telu sing siji cilaka digotong gawa bali jenenge bathang urip. Niki paham jawa, mulane Semar barang tekan Arcapada kudu duwe kanca, dheweke meditasi, gandheng nyawang ayang-ayangane kesorot sengenge pada wujude, di sidikara, dadi menungsa wujude Bawor, mulane bawor meh pada kalih Semar. Niki sanes anu bener-bener onten, namung othak-athik gathuk, mbok mungkin ngge debat sih, mboten pareng. Mulane Semar njur nduwe kanca dijenengi Bawor, bayangan sing awor karo jagate kaki Semar, wayangan sing awor, Bawor. Nah niki wis ana Bawor kan dhisit dhewek niki, pembarep. Nek nang Banyumas tapi, nek nang wetan kan beda, mulane kula matur Banyumas. Niku terus ana Gandarwo Rojo, jengkel, wong genah kene anu nggonku dadi ana menungsa, tarung, pada kuate, ya wong anu nunggal seweteng kan pada kuate, dheweke genah sedulur tuwa sih mau, kemer putih nika wau, lair dingin dhewek kan setan (jin khorin -pent). Nah niku tarung pada kuate, banjur nantang si setan kue mau. “Angger menungsa pinter temenan, jajal kowe nyipta kama tanpa wadah dadena menungsa” niki namung dongeng lhoo nggih ning kaya niku nek Banyumas. Temenan ditantang nang Semar, mrebelaken kama, dipepe disidikara, dadi garing, dadi menugsa dijenengi Gareng. Kama garing jenenge gareng, nomer loro kan? Nah takon Semare: “Jajal gari kowe, nyong wis bisa ngetokna kama dadi menungsa tanpa wadah, jajal kowe bisa pora?” ning wong jejengane setan mbok kondang ngakal, gandheng ngetokna lumo, ngetokna kama ora dadi,

nakal, gawe gambar kewadonan, dibruki kama dipepe dadi menungsa dijenengi Petruk. Saka “tembung mepe… niku (turuk –pent) niki menurut Banyumas. Rumangsa kalah kan Gandarwone, lah njur diakokna dingo anake Semar sing keri dhewek, niki Banyumas, wetan mboten duwe dongeng kaya niki, asli mboten kula kurangi, kula tambaih, pancen kaya niku. 16. Saking blegeripun Bawor kados mripatipun bunder, bathukipun mungkal gerang, tangane nggegem. Menika maknanipun menapa? Kados pundi sambung tumalinipun kaliyan simbol islam? Sing jane wayang Bawor tangane nggegem, Bawor meniko pralambang tiyang ingkang emoh open dakwen, teguh cekelan waton. Dadi ana rungu dirungu, ana deleng dideleng. Maksude kadangkala tulih wonten mbene krungu kabar thok jengkel, sebab urung genah nyatane, kesusu jengkel, mulane percaya kalih sing barang nyata mawon, aja mung ngrungoaken tembung jere, sing wis genah bener-bener nyata, kaya niku, mulane bawor kan tangane nggegem. Niki namung nggambaran, simbol, falsafah, wong gemiyen-gemiyene ora nana. Kaya dene wong salaman. Angger saget ngeker nepsu kang papat (digambaraken kaliyan driji, panengah, manis, jenthik) niku jempol. Napsu kang papat napa? Amarah, Luwamah, Mutmainah, Supiyah. Ning angger Semar tangane nuding mecucung, angger ana Bawor mecucung salah. Semar mbuh salah mbuh bener niku salah setunggaling paling bagus Semar, wong ora duwe kere ning ora gelem melik, ora gelem colong juput, ora gelem goroh. Semar niku waune jenenge Asmoro Ghoib, dipasraih kon manggon nang pucuke gunung tidar, kon momong banga siluman wonten bumi tanah jawa. Sebab rumiyin menika bumi tanah jawa dikirim wong pirang-pirang mati, dikirim wong pirang-pirang entong, saking Rum. Sing keri dhewek sing diutus Syekh Subakir, mlebu maring tanah jawa nemoni Asmoro Ghoib nang Gunung Tidar. Teng mriko Syekh Subakir ngomong karo Asmoro Ghoib arep numbal bumi jawa carane kepriwe? Kiblat papat tandurana sanepan. “Sisih kiblat lor kulon tandurana wit andong” supaya wong tansah eling lan ndedonga marang panguasaane gusti sing nyipta bumi saisine, “Sebelah lor wetan tandurana alang-alang”, mulane wong urip ngger kepingin ora ana alangan kudu ndonga. “Sebelah kidul wetan tanduri glagah” nggo nyegah ben ora kena alangan tansah ndonga, glagah kuwe artine nyegah. Nyegah ben ora ana alangan tansah ndonga. “Kidul Kulon tanduri uyah utawa sarem” dicegah ben ora nana alangan tansah ndonga uripe bisa marem nang alam ndunya bisa tentrem. Nikun sanepan saking Syekh Subakir, mulane Asmoro Ghoib dijenengi Ismar. Ismar niku saking basa Arab tegese paku. Pakune bumi tanah jawa niku Gunung Tidar sing go manggon nang Asmoro Ghoib yakuwe Semar. Bawor lambene ndower, bathuke mungkal Gerang, niki namung candran. 17. Menawi Werkudara blegeripun dipun candra menapa maknanipun?

Werkudara ya nggih wonten tapi niku kan pada mawon karo wetan, ning ngger panjenengan ngersaaken asline banyumas, dongeng banyumas sing niku wau, bawor sing kaitane karo islam ya Semar Gareng Petruk Bawor inggih Amar Ma‟ruf nahi mungkar. Nek werkura ora nang wetan ora nang banyumas pada mawon, gelung minangkara cinandi renggo ndep ngarep dhuwur mburi niku lenggahing kawula gusti, nggih sami mawon. 18. Menepa teng Banyumas Pendita Durna dipun gambaraken awon, menapa maknanipun? Lah nggih pancen Banyumas niku beda, Banyumas niku nggone wong blakasuta. Wong jena be Durna, Drona mbok. Sing jenengane Drona mbok wong mboten apik ya memang dijumbuhken falsafaeh. Nggih tunggale niki mawon, Bharatayuda Jayabinangun. Angger nang Banyumas, Destrarastra kaliyan Dewi Gendari menika mati kugurugan gedong silara denok nang lakon kresna dhuta, sebab apa? Sebab surakah karo dudu dunyane. Kuwe hak waris pendawa dikukuih mulane matine ya kurugan dunya sing ora halal. Niku juga falsafah, angger ana wong surakah karo dunya dudu dunyane ya ngunduh wohing pakarti. Pada karo Drona, angger nang wetan Drona bagus, angger nang Banyumas elek, sebab napa? Nggawe jenenge mawon Drona, „Dronani” mbok elek artine ngadu domba. Lah wong Durna, mundur-mundur kena, nika kan wonten Lakon “Kumbayana Nyabrang” lah wong menungsa koh nunggangi jaran nganti meteng, tulih kurang ajar banget mbok? Niku namung falsafah lhoo dadi ora nana temenan mboten. Nggambaraken wong sing ala ngante kewan be digarap. 19. Menawi Durna awon menapa Werkudara meguru kaliyan Durna? Jane ora meguru nika, ning nek wetan lah meguru, tujuane niku namung diblosokaken, jane anu werkudara kon mati. Nang lakon Babad Mertani kon munggah Alas Tribasara Gununge Reksamuka.

color. Kalo saya mengatakan banyumas itu warnanya lebih mencolok, kalo Jogja lebih keemasan banyak bermedium emas, warna emas. Kalo Solo saya menyebutnya lebih masem. Lebih banyak warna tetapi tidak terlalu mencolok seperti Banyumas. 5. Dari segi cerita/lakon apakah ada yang membedakan dengan Gagrag lainnya? Nah kalo cerita Sesaji Raja Suya dalam Gagrag Surakarta (solo) Jarasandanya mati, sedangkan dalam Gagrag Yogya Jarasandanya tidak mati, sedangkan menurut versi Banyumas Jarasandanya bisa mati bisa engga. 6. Iringan apakah ada perbedaan dengan Gagrag Lainnya? Iya, kalo dari segi iringan tempo gamelan yang dimainkan temponya lebih lambat mirip gaya Metaraman (Yogya). Ya kalo dibandingakan dengan Yogya ya iabratnya Solo 90 km/jam, Banyumas 75 dan Yogya 60. Di Yogya menggunakan sebilah lempengan keprak sehingga memunculkan bunyi ting..ting..ting, kalo di Banyumas itu menggunakan 3 lembar keprak sehingga lebih rame, kalo di Solo lebih banyak lagi kepraknya. 7. Dari segi sulukan apakah ada perbedaan? Ada, kalo di Banyumas atau gaya Banyumasan didominasi, hampir segala macam suluk berupa sendhon. 8. Mengapa dalam Gagrag Banyumas Bawor merupakan anak sulung dari Semar? Ceritanya dulu ketika Semar turun ke Bumi harus ada temannya maka kemudian diciptakanlah Bawor yang berasal dari bayangan semar. Nah itu liat perawakan Bawor mirip dengan Semar kan? Setelah itu ada cerita di berperang melawan Gandarwa, setelah itu barulah Semar mendapatkan anak lagi yaitu Gareng dan Petruk. Jadi dikatakan bahwa Bawor merupakan anak sulung Semar. 9. Dalam Pewayangan Gagrag Banyumasan ada beberapa tokoh wayang yang tidak ada dalam gagrag lainnya seperti putra R.Werkudara dengan Dewi Rekathawati yaitu R.Srenggini, mengapa bisa demikian? Kalo menurut saya itu sebagai salah bentuk cirikhas agar membadakan dengan gagrag lain, atau bisa juga merupakan imajinasi dalang untuk memperkaya cerita wayang yang kemudian ditiru oleh dalang lainnya sehingga menjadi identitas wayang banyumasan. 10. Kenapa Wayang Bawor dijadikan simbol masyarakat Banyumas? Dari perwatakannya, perwatakan Bawor orangnya jujur, apa adanya, cablaka. Kemudian simbol rakyat jelata Banyumas kan jauh dari keadiluhungan keratin makanya simbol rakyat kecil. Jadi maaf, sifat negatifnya ora ngerti unggah-ungguh, tapi dari sifat negatif itu bisa dialih menjadi sikap positif. 11. Dari bentuk fisik Bawor falsafah atau simbol apakah yang terkadung di dalamnya?

Ini kalo menurut saya ya.. Bawor memiliki mata yang besar itu mengiabaratkan melihat apa adanya. Jadi orang harus melihat apa adanya, jujur dan menjadi diri sendiri. Mulutnya lebar itu menyimbolkan Bawor kalo berbicara apa adanya, tidak ditutup-tutupi dan ditambah-tambaih. Ada juga yang bilang bahwa Bawor menyimbolkan karakter masyarakat Banyumas yang cowag. 12. Berarti kalo begitu sosok Werkudara juga bisa dapat dijadikan simbol masyarakat Banyumas? Bisa, jadi Bawor simbol seorang rakyat sedangkan untuk Werkudara simbol ksatria. 13. Terus yang beda lagi kalo di Jogja atau di Solo sosok Pendita Durna sosok yang baik sedangkan kalo di Banyumas seolah tokoh Durna itu jelek sikali sifatnya. Jadi seperti ini mas, yang membedakan adalah kalo di Solo Durna itukan disebut sebagai gurunya Pandawa dan Kurawa. Sosok guru berarti kan punya pengetahuan lebih. Tapi kalo di Banyumas, Durna itu Cuma pujangganya orang Kurawa yang terkadang disepelekan oleh punakawan. Karna apa di Solo itu Durna digambarkan sebagai sosok seorang guru, guru segalanya, terutama guru olah kridaning perang, bukan olah kridaning kebatian. Kalo di Banyumas, Durna hanya dianggap sebagai pujangganya orang kurawa, gurunya orang kurawa. Tapi itu juga tergantung dalangnya bagaimana menyajikan cerita melukiskan tokoh Durna itu seperti apa sebenarnya. Dalam cerita Dewa Ruci, Durna berperan sebagai tokoh yang sangat baik. Karena apa? Jadi Werkudara atau Bratasena itukan disuruh naik ke Gunung Reksamuka disuruh mencari kayu gung susuhing angin. Sebenarnya Durna bukan guru olah kridaning kebatinan, tapi olah kridaning prajurit perang. tapi kenapa Bratasena berguru kepada Durna? Karna Bratasena mempunyai keyakinan Durna punya. Kemudian Bratasena bertanya kepad Durna. Akhirnya ditunjukanlah Gunung Reksamuka untuk mencari kayu gung susuhing angin. Bratasena karena merasa hanya seorang murid ya mau berangkat, meskipun tidak tau maksud yang terkandung di dalamnya itu apa. Dan Durna memerintahkan seperti itu kan atas dasar. Dasarnya apa? Dia tau Bratasena bakalan olih. Itu satu, yang kedua Gunung Reksamuka bukan gunung sembarangan. Kalo bukan gunung sembarangan pasti disitu menyimpan sebuah rahasia besar. Tapi lamise (alasan yang digunakan untuk menyenangkan lawan tapi sesunggunya hanya upaya mengelabuhi) Durna kepada Kurawa, nanti Bratasena mati. Nah itu salah satu cara untuk melemahkan kekuatan Pandawa. Lamise, jadi yang di tangkap oleh masyarakat Banyumas itu lamise thok. Ga sampai kepada yang lain. Karna apa? Batinnya Durna yang sesungguhnya tidak diungkap. Tapi kalo di Solo diungkap. Ketika Durna pagi-paginya bertemu dengan Permadi (Arjuna; adik Bratasena/Bima). Karna apa? Sampai tengah hari Bratasena belum juga

muncul dari samudra. Otomatis kan Permadi gusar dan mendatangi Durna. Durna menceritakan kenapa Durna menyuruh Bratasena naik ke Gunung Reksamuka. Durna disitu cerita disana Bratasena telah memperoleh gada rujak polo dan mustika manik candrama. Fungsinya adalah mustika manik candrama itu kalo naik ke laut dipakai. Orang yang memakainya seperti berada di daratan biasa. Kemudian Bratasena disuruh masuk ke Samudra adalah agar dia memperoleh air Tirta Prawitasari. air Prawitasari itu apa? Air yang sangat jernih. Itu secara lahir. Secara batinnya adalah agar Bratasena bertemu dengan jatidirinya yaitu ilmu sangkan paraning dumadi sedangkan Durna sendiri belum memilikinya. 14. Dari tokoh Bratasena atau Werkudara dengan berbagai macam aksesoris atributnya itu maknanya apa? Nah Bratasena itu memakai kain poleng bang bintulu yang terdiri dari empat warna yaitu: merah, hitam, kuning, putih yang melambangkan nafsu Amarah, Sufiyah, Lawwamah dan Mutmainah. Berarti apa? Bratasena sudah menguasai empat macam nafsu ini. Dia bisa mengendalikan nafsu ini. Walaupun terkadang dia marah, tapi bisa menahan. Dia memakai gelung minangkara yang rendah didepan tinggi belakang maknanya apa? Agar selalu bersujud kepada Allah. Nah oleh karena itu Durna menyuruh agar Brotoseno agar mendapatkan ini agar bertemu dengan Dewa Ruci. Kalo dikita ya Dewa Ruci itu Allahlah. Jadi Brotoseno bisa bertemu dengan Allah seperti orang sufi. Kalo tidak ya bertemu dingan yang momongi itu kiblat papat limo pancer. 15. Kira-kira bagaimana kedekatan Islam dengan wayang Purwa Gagrag Banyumas? Wayang Banyumas ini memang unik, jadi merupakan persilangan dua budaya yaitu Jawa dan Sunda, jadi dalam wayang Gagrag Banyumas itu ada unsur Jogja dan Solo yang jadi satu, Jawa barat dan pesisiran (Kedu). Dari segi bentuk fisiknya, ukuran wayangnya sedang, tidak terlalu besar dan terlalu kecil. Ya tapi kalo dibandingkan dengan wayang Solo ya lebih kecil sedikit. Warnanya mencolok banget, istilah sekaranggnya ya ngejreng. Jadi merah ya merah, hijau ya hijau, tidak dicampur. Kalo wayang Solo dan Jogja kan tidak, jadi wayang Solo dan Jogja agak dipermanis, diperhalus warnanya. Ini bisa dilihat dari wayangnya Ki Kukuh yang berasal dari wayang Ki Tarjono itu memang warnanya mencolok banget. Sebenarnya kalo bicara soal Islam dan wayang, pada mulanya kan penyebarannya dari Demak. Sunan Kalijaga kan pernah ndalang, wayang digunakan untuk dakwah. Nah ada ada versi yang mengatakan bahwa wayang di Banyumas berasal dari Sunan Kalijaga. 16. Sunan Kalijaga mendalang di kawasan Banyumas (Purbalingga) dengan nama Ki Dalang Kumendung? Iya itu benar tapi namanya belum Banyumas, lebih tepatnya Kadipaten Wirasaba. Ya dulu kan asal muasal kabupaten Banyumas kan dari Kadipaten

Wirasaba. Yang cerita itu, Joko Kaiman dan peristiwa terbunuhnya Adipati Wargo Utomo. Mengingat pada saat merupakan masa Kerajaan Pajang berarti penyebaran Islam sudah dilakukan sampai di Banyumas. 17. Wayang Kidang Kencana digunakan Sunan Kalijaga? Kalo dari dua versi tentang asal usul Wayang Kidang Kencana yaitu dari keraton dan dari Sunan Kalijaga maka dapat diambil benang merah bahwa wayang itu memang digunakan Sunan Kalijaga yang dipinjam dari keraton Pajang. Ya Sunan Kalijaga kan gurunya Joko Tingkir Sultan Pajang. Nah si pembuat wayang Kidang Kencana itu memang orang banyumas yang menjabat sebagai Patih di Kesultanan Pajang, jadi sah juga kalo dikatakan wayang Kidang Kencana memang buatan orang Banyumas. 18. Jadi dulu wayang banyumas kecil-kecil karena dikembangkan dari wayang kidang kencana? Bisa dikatakan begitu, tapi seperti yang saya katakan, kalo sekarang mungkin kurang terlihat, karena para dalang lebih suka menggunakan wayang Solo. Ya wayangnya bisa dikatakan gede ya ora cilik ya ora lebih besar jika dibandingkan wayang Kidang Kencana tapi lebih kecil jika dibandingkan wayang solo. Itu kalo wayang Banyumas yang asli, atau wayang banyumas dulu lah. 19. Jika sejarah wayang banyumas berhubungan dengan Sunan Kalijga berarti banyak memiliki makna simbolis tentang Islam? Ya itu sangat dimungkinkan mengingat Sunan Kalijaga pujangga yang sangat hebat jadi dia mampu memasukan unsur-unsur islam ke wayang Banyumas. Tapi saya masih belum mengkaji lebih dalam soal itu, yang jelas memang ada.

ngopo?.” Saya kadang-kadang kalo wayangan mau rame terus dari sore sampai pagi yaitu sedang wayangan omaeh kobongan (rumahnya kebakaran), nah rame itu pasti. Lakonya tidak diperhatikan tapi itu banyak orang berkerumun hehe. Kalo saya malah justru dalam arti sebagai pengiring, kemarin saya habis memainkan rabab dalam pementasan Mas Jithut rasane yo wayangan kok ngene yo mentes, critane mentes terus plot- plotnya. Kalo misalnya saya berpikiran fanatic maunya molak-malik gitu yah. Tapi walaupun seperti itu kalo sindennya kepenak, dilakukan dengan sungguh-sungguh, lah nyatanya saya senang sekali. Lah itu sekilas kidul gunung. Nah dulu itu ada dalang yang namanya Mbah Yono dari desa Bangsa. Terus beranak kan punya istri satu, anaknya itu diantaranya: Pak Saring, Pak Taram, Pak Sugir terus ada perempuan katanya dua orang lagi saya lupa siapa namanya. Nah terus ganti istri beranak lagi Pak Cipto, terus siapa lagi pokoknya ada dalang. Pak Cipto katanya malah baru meninggal beberapa bulan yang lalu. Nah itu pak Cipto, saya sebagai orang seniman sendiri saya kecewa dengan pemerintah kabupaten Cilacap karena belum sempat mengabadikan baik cakrik (gaya) maupun garap oh kaya sekali itu Pak Cipto. 3. Berarti Pak Cipto gayanya Kidul Gunung? Iya kidul Gunung, katakan begitulah Kidul Gunung, ada juga yang mengatakan gaya pesisiran. Jadi itu lengkap sekali. Saya mengiringi beberapa kali itu, walaupun saya buka pengiringnya yah biasanya saya bintang tamu. Pak Cipto tidak pernah membawa srati baik penggender maupun pengendang. Jadi percaya sekali kepada kru yang mengiringnya. Padahal kan tau sendiri bagaimana vitalnya fungsi seorang pengendang yang harus kompak denga dalangnya. Pernah ditanya: “lhoo Pak Cipto mana pengiringnya?” ya paling tidak ya membawa pengedang gitu.. dia jawabnya “Ini kalo saya bawa pengendang kalo rombongan ini seperti Mas Rasito malah pengendang saya ga bisa main, udah saya percaya sekali sama kalian”. Ternyata seperti itu jadi baru pertama ketemu itu langsung percaya dan garapnya itu mudah sekali dibaca itu lho.. kepenak sekali itu lhoo.. padahal setiap ketemu mesti garapnya lain, baik dagelan maupun apa saja, yang membedakan hanya iringannya monoton seperti itu lah, lasem gitulah terus. Bagi saya tidak masalah sebetulnya. Sekarang coba, wayang sekarang yang katanya molak-malik, katanya kalo tidak seperti itu wayangannya ketinggalan zaman, uh iringannya macem-macem, budalannya seperti ini, ininya seperti ini,, tapi rasanya? Terus lakonnya? Garapnya? Sanggitnya? Ya kan? Itu saja tertolong dari sanggitnya oleh peninggalan almarhum Ki Sugino. Jadi walaupun gagrag macem-macem tapi sanggitnya masih banyak yang menggunakan sanggitnya Pak Gino. 4. Bagaimana dengan Gaya Lor Gunung?

Nah kalo Lor Gunung saya mulai tau itu dulu dari Dalang Jompo yang nama aslinya Darsim, beliau jadi lurah lah terus ndalang tapi dulu itu beliau pengendang. Ada lagi Dalang Waryan dari Kalimanah itu juga dulu pengedang. Nah Jompo dengan Kalimanah itu memang sudah letaknya berdekatan. Kalimanah ituu,, jadi ini kan ada Jompo, Jompo ada dua, Jompo Kulon itu masuk Kabupaten Banyumas kalo Jompo Wetan ikut Purbalingga. Nah sebelah utara Jompo ada Kalimanah. Kecamatannya juga Kalimanah dan desanya juga Kalimanah. Jadi Jompo itu termasuk kecamatan Kalimanah. Nah itu cakriknya sudah seperti Gaya Surakarta (Solo). Ada buka terus bondetnya itu dengan bondet di Solo yang berkembang sekarang, atau ada notasi-notasi yang berkembang di STSI, lain. Bondetnya lain. Jadi arahnya itu sama tapi balungannya itu lain, malah bahkan ada sulukan yang sama sekali tidak mempunyai cakepan jadi Cuma hooo..hooo..ho.. terus dari awal sampai akhir. Saya kalo tidak salah tahun 66an itu sudah mulai. Nah saya jadi yogo itu terus terang saja saya dulu tahun 1959. Artinya saya bisa cari uang denga jadi yogo itu 5. Termasuk Karawitan Fajar Budaya? Oh kalo Fajar Budaya itu sudah kesini, hampir-hampir ya katakanlah mencapai jaman keemasan itu. Lah orang sudah didatangi orang-orang luar negeri. 6. Berarti kalo Ki Dalang Taram itu masuk ke kategori kidul Gunung itu? Iya karna beliau berdomisili di Kroya, Kroya itu kabupatennya Cilacap. Pak Cipto dari Kemuning, Kemuning juga Kroya kecamatannya. Terus Pak Sugir desa Bangsa itu masuk Kabupaten Banyumas jadi Buntu ke barat, buntu kan masuk wilayah Banyumas. Jadi Sugir, Saring nah terus ada lagi. Nah Mas Jithut itu turunanya yang tadi turunan dari anaknya Mbah Yono dari julur perempuan. Jadi bukan turun dalan tapi turunnya Mbah Yono yang perempuan. Wayangnya lugu, bagus, orangnya masih muda terus tidak neko-neko, wayangnya seperti itu ndak neko-neko tapi menthes, memeragakan suatu tokoh ya cocok. Sekarang masih hidup tapi kalah denga dalang-dalang muda yang suka molak-malik. Apalagi ini timbulnya Mas Gandik, Mas Yakut itu yang sedang terkenal-terkenalnya, ya sebenarnya Kidul Gunung wong Karangrau ke bawah Mas Kukuh, terus Mas Eko Suwaryo dari Gombong. Itu kubunya seperti dulu Mas Anom dengan Mas Manteb. 7. Pernah wawancara sebelumnya dengan Ki Tarjono, beliau tidak setuju dengan adanya dikotomi Lor Gunung dan Kidul Gunung, bagaimana pendapat anda? Jadi begini, itu sbetulnya kita ngomong ada Kidul Gunung-Lor Gunung itu dengan rasa garap atau cakrik pewayangannya dan rasa garap di dalam karawitannya. Saya menggaris bawahi itu, sebab ada perbedaan yang

kentara sekali antara Kidul Gunung dan Lor Gunung, ada itu. Contohnya begini: Wayang Punakawan Ngastina, itu Kidul Gunung gak ada, namanya Degel, ada Lisun, dan ada lagi macem-macem itu. Tapi yang umum itu Degel. Jadi dia kaya punakawan, pakaiannya juga seperti punakawan, tapi dia kalo dalam sesuatu masalah musuhnya Drona, selalu protes dengan idenya Drona. Jadi wong ngastina ning ngeloni wong pendawa (orang Astina namun membeli orang Pandawa). Terus ada lagi Petruk Lengkur, Petruk hitam, terus melengkung badannya dan wajahya tutul-tutul. Itu Petruk dari Kaligondang Purbalingga ke timur jurusan ke Jompong itu. Nah sekarang bisa ke Banjarnegara lewat situ. 8. Petruk Lengkur itu adalah cikal bakal petruk Banyumas apa hanya digunakan oleh Gaya Kidul Gunung saja? Nah begini, kalo pendapat saya, justru itu pertama Petruk Banyumasan ya itu. Karna dulu di Lor Gunung, di Kalimanah itu ada terkenal sekali namanya Ki Lukmadi. Lah sekarang kalo mau tanya orang tua-tuanya sudah gak ada. Saya saja cuma konon kabarnya, saya sudah tidak menangi. Saya hanya tau Pak Waryan itu. Pak Waryan itu dulu pengendangnya. Dalang Nawan dari Karannangka itu penyaronnya. Terus Dalang Bongkot itu juga dulu Yaganya. Terus Pak Niswan bapaknya Pak Gito juga itu tau benar itu ada dalang namanya Lukmadi. 9. Nah kalo Lor Gunung itu tadi siapa saja dalangnya? Dalangnya yah.. kalo saya yang tahu yah,, saya kembali lagi.. saya itu jadi yaga mulai dari tahun 1959. Tahun 59 itu saja sudah hanya konon kabarnya. Dalang Lukmadi ya tidak menangi, masih ada dalang Radam (Purwokerto Kulon), Dalang Bongkot saya menangi, Pak Nawan saya juaga menangi, terusn Dalang Kusno (Ajibarang) saya menangi. Jadi yang saya tahu dari urut tua yah.. Radam, Bongkot, Pak Niswan (Keniten), Nawan (Karangnangka), Waryan (Kalimanah), Darsip (Jompo), Supandi (Kedung Wuluh) tapi semuanya itu setelah Pak Lukmadi. Terus dari Mersi ada juga Dalang Mad Idris dan Dalang Marum. Terus ada Pak Surono dulu dia di Karangjati, letaknya Banyumas ke arah Timur, Soma Gede, ke timur lagi Susukan, nah di daerah susukann itu ada namanya desa Karangjati. Dulu Pak Surono juga pengendang, dia juga satu-satunya dalang banyumasan yang pertama kali pernah sekolah di Solo dengan Pak Ngabei Tarno gurunya Ki Nartosabdo,orang Mangkunegaran. 10. Jadi tadi Petruk Lengkur bagaimana apakah Kidul Gunung saja yang menggunakan? Apakah Lor Gunung juga menggunakannya? Justru Lor Gunung malah saya taunya. Kalo daerah Kidul Gunung ya punakawannya Togog. Togognya ya bentuknya masih seperti sekarang itu lebih bagus tidak seperti Togog Solo yang mulutnya terlalu lebar. Sarawitanya ya seperti itu kecil, Kidul Gunung sama dengan Lor Gunung. Terus punakawannya ada lagi yang sabrangan yaitu Jaewana dan

Sontoloyo nah itu Kidul Gunung itu. Dibawa oleh Mas Gito disini terus ada Dundung Bikung juga. Oh iya ada dalang terkenal lagi, termasuk gurunya Pak Surono sebelum beliau ke Solo. Namanya Dalang Tutur dari Kesugihan. Itu malah sama dengan Pak Cipto itu, saya masih kecil. Pernah disuruh pentas. Dia tidak bawa apa-apa yaganya dari sini. Cuma itu dulu tersandung jaman-jaman PKI. 11. Di Banyumas apakah benar menggunakan sulukan khusus yang tidak ada dalam gagrag lainnya? Iya jadi memang ada khusus, sampai pada garapnya itu memang ada khusus kadang-kadang yah dituliskan itu juga susah. Dulu waktu tahun berapa gitu yah itu ada proyek inpres, Presidennya Pak Soeharto. Istilahnya saja menurut saya salah, yang menangani itu SENA WANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia). Jaman waktu itu ketuanya Pak Jendral Brotosewoyo, kalo tidak salah pangkatnya Brigjen. Beliau datang ke Banyumas membuat kelompok kerja dengan catatan “akan membakukan wayang banyumasan” kalo dalam istilah kesenian kata “membakukan” itu salah. Kalo “membuat gaya” mungkin itu masih bisa diterima. Tapi kalo membakukan berarti bentuknya harus seperti itu seperti yang sudah dibakukan. Maksud sebenarnya saya juga kurang tau. Saya meneliti sendiri ternyata maksudnya apa yang dikehendaki SENAWANGI ya inilah wayang banyumasan. Tapi bukan baku, bukan membakukan, jadi istilahnya apa yah? Kalo saya ya “membuat gaya banyumasan” gitulah, atau “penulisan, pendokumentasian wayang gagrag banyumas. Nah terus membuat kelompok-kelompok. Nah disini kelemahannya orang jawa, Pak Gito punya adik cantik sekali yang dipersunting Pak Suyud namanya Bu Murnilah. Datanglah dari SENAWANGI ingin mendokumentasikan gaya banyumasan. Nah Banyumasan kan yang dimaksud empat kabupaten yaitu: Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara. Semua dikerahkan, terus dijadikan kelompok kerja, termasuk Pak Surono juga. Nah terus ketika nulis, menulis sulukan banyumasan, waktu itu juga saya belum juga namanya dipercaya masyarakat, masih baru, tadinya saya ikut Pak Gito, tapi setelah saya di bawa terus sama Pak Gino, Pak Gito jengkel, saya sudah tidak diurusi. Jadi ini malah lucu, Pak Gito itu malah merangkul orang-orang Sekar Wiku dari Cilacap, padahal Sekar Wiku itu 99,99% orang Solo. Jadi nulisnya ya pikiran Solo, padahal berbeda. Contohnya ada syair yang diulang terus diulang lagi. Ya memang gayanya seperti itu, jangan disangkal, jangan dirobah, memang seperti itu. Tapi sekarang berkembang di Cilacap sekarang sudah berubah. 12. Itu sulukan seperti apa contohnya? Jleg tumuran saking tepak sasonoo.. apa ya namanya Plencung atau apa itu.. itu lhoo kalau lengseran kedhaton.

13. Bukankah Ki Sugino ketiaka adengan lengser kedhaton menggunakan Ladrang Gleyong biasanya? Oh iya itu kan sudah jaman kesini, artinya beliau itu menyesuaiakan diri. “oh nggone Mas Anom Suroto, apik luhh..” terus niru. Melihat Hadi Sugito seperti ini dagelannya.. terus niru. Pak Gino itu seperti itu sanggitnya jadi mengambil dari yang lain terus di transfer ke Banyumas. Jadi orang kadang-kadang gak tau sama sekali kalo itu sebenarnya ngambil dari orang lain. Seperti sulukan. “Ana peteng dudu ratri, ana padang dudu ratrii” orang menganggapnya “Oh sulukan Gino werna- werna yah..” saya sebagai seniman yang sudah pernah kesana-sana ketawa saja. Lah itu kan Sulukannya Pak Timbol Jogja. Oleh karena saya dipercaya sebagai rombongannya Pak Gino ya sendiko dhawuh saja,, lah inyong ya butueh ngode.. kaya kuwe. Nyatanya ya ternyata orang ikut dalang laris ekonominya ya ikut terangkat hehehe.. kembali lagi ke kasus pembakuan tadi. 14. Bagaimana kelanjutan cerita upaya pembakuan wayang banyumas? Rehning Pak Brigjennya itu melihat waktu itu sebenarnya Murnilah akan dipersunting Dalang Suyud tapi dia ada masalah karena tidak mendapat restu dari ibunya Murnilah. Nah Jendral kan tau hukum, nih ini statusnya belum menjadi istrinya Suyud berarti. melihat wanita yang begitu cantik dan berniat mempersunting Murnilah. Akhirnya semua program yang dicanangkan kemudian diserahkan kepada Pak Gito (Ki Sugito Purbo Carito). Sampai Pak Surono saja cuma nrimo saja, padahal sebenarnya Pak Surono kan juga gurunya Pak Gito, saat itu merasa dibawah komando Pak Gito. Ya begitu ketua SENAWANGI (Brigjen Brostosewoyo) pokoknya percayalah dengan Pak Gito.. ya seperti dalang yang lain ya seperti Dalang Jompo, Bongkot, Waryan ya cuma sendiko dhawuh. Nah akhirnya jadi itu yang ditulis “PATHOKAN PEDHALANGAN GAGRAG BANYUMASAN.” Waktu itu saya itu seperti di ultimatum: “kamu tidak boleh keluar, pokoknya kalo saya pentas kamu harus ikut.” Padahal waktu Pak Gino (Ki Sugino Siswo Carito) sedang laris-larisnya. Sehingga saya selaku penayagan banyumas yang lagi merintis dan dipercaya masyarakat, sudah hampir kondang, lah ini di dek sama Pak Gino. Nah kata Pak Gino tidak boleh pokoknya, jadi saya tidak bisa mencampuri urusan SENAWANGI, pokoknya urusanmu ya urusan saya. Pak Gino sendiri waktu itu, kalo sedang rapat ya tidak datang, malamkan habis pentas orang satu-satunya dalang yang paling laris “buat apa ikut rapat” katanya. tur nuwun sewu Pak Gino sendiri ngomong: “saya itu kalo mau ikut rapat mau dijadikan apa, saya tidak mampu, saya itu dalang cuma dalang gabrulan, cuma dalang tiban, kecuali kalo Pak Gito lah memang keturunan dalang”. Nah jadi ketika memberikan alasan seperti itu memang tepat sekali. Anda tahu sendiri kan wayang garapannya Pak Gino cuma seperti tapi larise pol.

Tapi suruh nangani seperti itu Pak Gino tidak bisa. Sama itu kalo pentas di Jakarta ada wartawan bilangnya ya temui aja itu Pak Rasito, ya yang diwawacarai ya jadi saya. 15. Lalu mengapa kok seperti sulukan-sulukan yang sudah di bakukan justru jarang dikenal oleh masyarakat? Nah iyan itu memang ada cerita itu mas, entah bagaimana, mungkin karena tidak diridhoi Allah yaini, Pak Gito kan setelah membuat gagrag itu namanya tenar. Tapi karena mungkin tidak diridhoi Allah yah.. itu gayanya yang ditulis dibuku itu justru masyarakat bingung. “deneng sih banyumasan kaya kiye banyumasan ya kaya gino lah, Solone ana Jogjane ana kaya kuwe.” Nah itu orang awam yah seperti itu “rame wayangane? rame Dronane metu.” kalo Pak Gito iringannya saja sudah seperti Gaya Mataraman, tidak ada teteran kan, tidak ada sampak itu sampai pagi. Lah itu tadinya itu ko bisa seperti itu bagaimana? Masalahnya orang itu jangan berpikir kedaerahan, “lah itu kan wayangane kaki Gino kan ana Solo ana Jogjane dicampur.” Ya jangan dinilai seperti itu. Nah tapi kalo saya sekarang begini. Bagi saya dalam kacamata seniman, orang Solo misalnya; “jane iki karepe ya Solo yah tapi tak gawe tekan Purworejo ngono lohh, jane kiye ya karepe kaya Pak Timbul tapi ya age tekan Gombong kaya kuwe” Nah seniman kan seperti itu. Tapi kalo liat Pak Gino kalo ada wartawan saya bicara: “Kalo mau lihat Pak Gino, jangan pake kacamata seniman, kacamatanya ya kaya orang mau nonton wayang gitu saja jadi kan beres kan udah jadi ga macem-macem. Sebab Pak Gino itu penyajiannya itu apa yah,, yang kira-kira.. misalnya Pak Manteb jejeran, yang nonton sudah jarang sudah pada males. Padahal wayangnya besar semua, ada Werkudara, Gatotkaca, Janoko, lah jan anta banget. Itu dari kaca mata saya sebagai seorang seniman loh ya. Kiye ngger sastrane Pak Gino alaahh wis ara karu-karuan kuweh.. rasane wis ledekk, jeleh. Iya kan Werkudara ya kaya gitu, Antasena ya kaya gitu. Tapi sastranya orang Kedung Wuluh. Ya tapi justru orang yang nonton seneng. Jadi tidak mikir dua kali. Contohnya: “Mulane Janoko ndlodor andon tuane ngiloni” Werkudara kok ngomong ndlodor, haha ya itu sastranya orang Kedung Wuluh. Ya tapi dulu orang nonton jadi senang. Ibaratnya ya tukang becak saja sudah faham, tidak usah berfikir dua kali. Lah ndilallah setelah saya masuk itu iringannya, waluapun cuma gletaktung.. ger tapi rasanya enak loh. 16. Itu iringan pembukaan setelah gending talu kan? Iya.. dog..dog..dog.. bem.. Guung.. itu ciri khasnya itu dari Banyumas dari dulu itu, dari dalang siapa saja. Jadi kalo sudah dog..dog..dog..drodog.. kendangnya memberi aba-aba ..deng.. gongnya mengikuti ..Guung. siap kan nah kemudian drodog..gentaktung..deng. nah mantap sekali itu

memang orang mendengarnya.. huhh senang banget sepertinya kalo suda ada suara goongg. 17. Terus setelah itu langsung masuk Lasem Mataraman kan biasanya? Iya jadi Mataraman tapi itu kalo orang Jogja mengatakan Mataraman kuno. Makanya ketika adegan perang, dugangan itu iringanya.. tang..dung..nonang..ning..nong..nang..nong..nong. tapi dikurangi balungannya jadi mirip Solo.

Iya kalo Banyumas lebih mencolok warnanya. Kalo wayang Solo kan kelihatannya warnanya tidak gelap, seperti wayang lama tapi kalo dilihat dari dekat terlihat seperti baru 8. Perbandingannya sepelemahan atau seberapa? Ya selisihnya tidak seberapa sih selisihnya, paling beberapa senti saja. 9. Untuk gapit lebih baik menggunakan kayu atau tanduk. Ya lebih baik tanduk. Tapi kalo untuk sabet sebenarnya kalo tanduk gampang patah sebenarnya, tapi kalo untuk wibawa-wibawahan, mriyayi-mriyayian memang lebih baik tanduk. Sepertinya kelihatan ada wibawanya. Cuma seperti itu perbedaannya sebetulnya 10. Mengenai wayang khas Sikampuh, apakah tatahan dan sunggingannya berbeda? Kalo dulu ya tatahan juga sunggingan. Wayangnya tidak seperti Banyumas, mirip solo tapi bukan Soloan. Ukurannya lebih besar dari wayang banyumas tapi bukan wayang Solo. Terkenal memang dulu itu, disebut wayang Sikampuhan. Kalo Solo kan wayangnya kelihatan kurus, janjang. Kalo Sikampuhan tidak seperti itu. 11. Untuk kulit sapi dan kerbau manakah yang lebih baik kualitasnya untuk membuat wayang? Bagaimana perbedaannya? Ya lebih bagus kulit kerbau. Kalau kulit kerbau itu tidak mudah nglinting lebih tahan cuaca, terus rata jadi mudah dibentuk. Kalo kulit sapi seratnya kerep, kalau kebo kan seratnya jarang-jarang. Itu lho bekas bulunya. Kalo ditrawang itu kelihatan akan lebih bening jarang bulunya. 12. Ada yang mengatakan kalau wayang banyumasan itu tebal-tebal sedangkan Solo tipis-tipis, itu benar atau tidak? Iya itu benar. Kalo wayang Jogja itu baik pengerjaannya, bisa tipis tapi tidak nglinthing, kemunkinan ada teknik tertentu, saya sendiri juga tidak faham. Yang penting saya membuat wayang yah. Yang penting kulitnya rata itu sudah senang. 13. Untuk pembuatan wayang, stok kulitnya didapatkan darimana?

Biasanya saya sih pesen sama langganan, atau dapat dari teman, dari Jogja biasanya ada. Terkadang juga yang minta dibuatkan wayang membawa kulit sendiri. 14. Biasayanya yang pesan wayang dari mana saja? Ya paling daerah sini, dalang-dalang Cilacap. Dari Jakarta juga pernah ada yang pesan wayang punakawan untuk dalang disana. Ke Korea ya pernah, Cuma orang sini yang bawa buat hiasan. 15. Untuk satu wayang gunungan lengkap dengan gapitnya berapa biasanya? Ya kalo tidak membawa kulit sendiri yang kurang lebih satu juta lebih harganya. 16. Untuk falsafah atau simbol tertentu yang terdapat dalam wayang bagaimana ya penjabarannya? Kalo itu ya saya kurang faham mas.