Lambang-Lambang Islam Dalam Bentuk Fisik Tokoh Wayang Purwa Gagrag Banyumas

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Lambang-Lambang Islam Dalam Bentuk Fisik Tokoh Wayang Purwa Gagrag Banyumas LAMBANG-LAMBANG ISLAM DALAM BENTUK FISIK TOKOH WAYANG PURWA GAGRAG BANYUMAS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) oleh : FEBRI NIM : 1112051000020 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M ABSTRAK Febri Lambang-Lambang Islam dalam Bentuk Fisik Wayang Purwa Gagrag Banyumas Penyebaran agama Islam ke tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama yang dikenal dengan Walisongo. Dalam melaksanakan dakwahnya, para wali menggunakan beberapa pendekatan agar ajaran Islam dapat diserap dengan mudah oleh masyarakat. Salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan kultural, memanfaat kesenian yang saat itu sedang digemari masyarakat. Wayang Purwa merupakan salah satu sarana yang digunakan para wali khususnya Sunan Kalijaga untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sangat kental dengan bentuk perlambangan yang sering disebut dengan pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran). Caranya dengan barang, gambar, warna, bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti” (tingkah laku). Kebiasaan masyarakat Jawa yang lekat dengan perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukkan unsur Islam ke dalam pertunjukkan Wayang Purwa. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana lambang-lambang Islam dalam Wayang Purwa, khususnya Wayang Purwa dalam gaya (gagrag) Banyumas. Dengan metode analisis semiotik, penulis berusaha mengurai proses produksi tanda dan pemaknaan terhadap lambang-lambang tersirat dalam bentuk fisik tokoh wayang. Model semiotika yang dipilih ialah model semiotika Charles Sanders Pierce (1839-1914). Dalam sistem penandaan Pierce, terdapat tiga hal penting yang saling bertalian yaitu tanda (sign), acuan (referent/object) dan interpretan (interpretant). Hubungan ketiganya tidak terhenti pada satu makna saja, tetapi pemaknaan dapat berkembang atau berkelanjutan. Perkembangan ini disebut proses semiosis. Tokoh wayang yang dikaji dalam penelitian ini ialah tokoh Bawor dan Werkudara. Keduanya dipilih karena dianggap sebagai simbol identitas masyarakat Banyumas. Dari penelitian ini diketahui bahwa di dalam bentuk fisik tokoh Bawor tersirat lambang-lambang Islam berupa: konsep tauhid, ulul albab, wara,‟ keberanian dalam menyampaikan kebenaran dan sifat qonaah. Sedangkan dalam tokoh Werkudara tersirat pelambangan: kesadaran sebagai hamba Allah, sikap tawadu‟, jujur dan teguh memegang janji, orang yang berilmu yang mampu memberikan pencerahan, kuat melaksanakan shalat lima waktu serta mampu mengendalikan nafsunya. Kata Kunci: Wayang Purwa, Banyumas, Semiotika, Bawor dan Werkudara. i KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, hidayah dan kasih sayang-Nyalah penulisan skripsi ini akhirnya dapat selesai dengan baik. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, manusia yang mulia dan dimuliakan, suri tauladan yang tak lekang oleh zaman, baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, serta pengikutnya yang istiqomah hingga akhir zaman. Islam sebagai agama yang purna dan sempurna telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali ke tanah Jawa. Penyebaran Islam ke tanah Jawa tidak dapat dipisahkan dari peran Walisongo. Salah satu metode dakwah yang digunakan oleh para wali khususnya Sunan Kalijaga adalah dengan pendekatan kultural. Memanfaatkan kebudayaan yang digemari masyarakat Jawa terutama Wayang Purwa. Nilai-nilai Islam secara simbolis disisipkan dalam Wayang Purwa. Maka tak salah apabila sejak dahulu orang Jawa mengatakan bahwa wayang merupakan “tontonan dan tuntunan” karena memang wayang digunakan sebagai media pendidikan dan dakwah. Namun dewasa ini unsur tontonan lebih dominan daripada tuntunan dalam pergelaran Wayang Purwa secara konvensional. Ketidaktauan masyakat di masa sekarang akan simbolisasi yang terdapat dalam Wayang Purwa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran fungsi Wayang Purwa ini. Berawal dari keprihatinan itu penulis berupaya melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi. Dalam penulisan skripsi ini memerlukan usaha yang keras menghadapi berbagai rintangan dan waktu yang cukup panjang. Rintangan itu ada yang berasal dari diri penulis sendiri, juga hal-hal yang sama sekali tak terduga seperti hilangnya laptop beserta seluruh data penelitian yang menjadi tantangan tersendiri yang akan selalu terkenang. Perjalanan penulis yang setiap hari harus naik turun Pegunungan Kendeng, dari pantai selatan Jawa Tengah hingga ke kaki Gunung Slamet untuk melakukan penelitian. Bahkan pencarian bahan referensi sampai ke keraton dan secara intensif belajar seni pedhalangan, menjadi pengalaman yang juga tak terlupakan. ii Terselesaikannya penulisan skripsi tentu tidak bisa dilepaskan dari semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr.H.Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah. 2. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan/Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. 3. Prof.Dr.M.Yunan Yusuf selaku Dosen Pembimbing Akademik KPI A angkatan 2012. 4. Dr.Suhaimi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, yang memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat dalam penelitian ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat berguna sebagai bekal dalam menjalani kehidupan ini. 6. Kedua orang tuaku tercinta, bapak Latif Saefulloh dan ibu Partiyah dan adikku Alif Saefulloh yang telah dengan setulus hati dan penuh kasih mendukungku dalam pengerjaan skripsi ini. 7. Para narasumber yang sekaligus guru-guruku Kyai Sunan Sunhaji, Kyai Muhammad Ma‟ruf, Ki Daulat Karsito Darmocarito, Ki Tarjono Wignyo Pranoto, Ki Didik Himawan, Ki Rasito Purwopengrawit dan Ki Katim yang telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat untuk penelitian ini. 8. Mas Mudakir Damam yang telah meminjamkan laptop sehingga penulis skripsi ini bisa dilanjutkan hingga selesai. Mas Faunsyah seorang cendekiawan komunitas Nuun dan Mas Siswanto yang telah memberikan arahan-arahan secara metodologis. Uswatun Chasanah sahabatku seorang penulis inspiratif yang telah memberikan arahan-arah teknis penulisan dan kebahasaan. Amrurrohman sahabatku yang telah rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk menemani pendokumentasian penelitian ini. Mas Indra dan Mas Yusuf juru kunci Museum Wayang Banyumas yang selalu sabar membantu keperluan penelitianku di Museum. Mbak Aswina iii pustakawan bagian naskah kuno perpustakaan pusat Universitas Indonesia yang telah banyak membantuku mengumpulkan naskah-naskah kuno. 9. Para guru dan teman-teman siswa dalang Sanggar Pedhalangan Redi Waluyo: Mbah Tomo, Pak Sriyanto, Pakde Wanto, Pak Warsito, Mas Medi, Mas Susilo, Mbak Wati, yang memberikan banyak masukan dan ilmu pedhalangan dan karawitan untuk mendukung penelitian ini. 10. Keluarga besar HTI Chapter UIN Jakarta: Ust.Ali Abdurrahman, Ust.Ade Sudiana, Ust.Wahyudi Al-Maroki, Gustar Umam, Andi Badren, Faiz Nashor, Adnan Hanafi, Joko Suroso, yang dengan berkat doa dan dukungannya penyusunan skripsi dapat terselesaikan. 11. Keluarga Besar Gema Pembebasan: Jend.Ricky Fatamazaya, Hanif Ansharullah, Firmansyah Mahiwa, Ardan Radali, Wahid Kaimudin, Ali Baharsyah, Febi Rizki Rinaldi. Terima kasih atas bantuan moral dan materialnya sehingga dapat menunjang penyelesaian skripsi ini. 12. Keluarga besar DKM Masjid Jami‟ Al-Muhajirin: H.Nasri Yahya, H.Wahab Siam, H.Ismail, terima kasih atas bantuan beasiswanya sehingga dapat menunjang penyelesaian skripsi ini. 13. Keluarga Besar Pesantren Alternatif Pelajar Mahasiswa (PELMAHA) Al- Mujahidin: H.Samingun, H.Budi Santoso, H.Anwar, Ust.Saiful, Ust.Reza, Ust.Asep, Ust.Maman dan Hilman yang telah membantu logistik dan meminjamkan kitab-kitab rujukan. 14. Junior-juniorku: Niko Pandawa, Farhan, Saiful, Falah, Wawan, Nazar, terima kasih atas bantuan tenaga dan waktunya dari awal penelitian ini hingga penyelenggaran sidang skripsi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini banyak bermanfaat, sebagai sumbangan pemikiran yang menjadi rujukan dan dilanjutkan pada penelitian yang lebih mendalam. Ciputat, 22 Maret 2017 Febri iv DAFTAR ISI ABSTRAK………………………………………………………………………………... i KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… ii DAFTAR ISI………………………………………………………………………………v DAFTAR TABEL………………………………………………………………………..vii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………viii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 9 D. Metodologi Penelitian ....................................................................................... 10 1. Jenis Penelitian .............................................................................................. 10 2. Lokasi Penelitian ........................................................................................... 11 3. Sumber Data .................................................................................................. 11 4. Tehnik Pengumpulan Data ...........................................................................
Recommended publications
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Contents List
    [Show full text]
  • Balinese Dances As a Means of Tourist Attraction
    BALINESE DANCES AS A MEANS OF TOURIST ATTRACTION : AN ECONOMIC PERSPECTIVE By : Lie Liana Dosen Tetap Fakultas Teknologi Informasi Universitas Stikubank Semarang ABSTRACT Makalah ini menguraikan secara ringkas Tari Bali yang ditinjau dari perspekif ekonomi dengan memanfaatkan Bali yang terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Keterkenalan Bali merupakan keuntungan tersendiri bagi pelaku bisnis khususnya bisnis pariwisata. Kedatangan wisatawan asing dengan membawa dolar telah meningkatkan ekonomi masyarakat Bali, yang berarti pula devisa bagi Indonesia. Bali terkenal karena kekayaannya dalam bidang kesenian, khususnya seni tari. Tari Bali lebih disukai karena lebih glamor, ekspresif dan dinamis. Oleh karena itu seni tari yang telah ada harus dilestarikan dan dikembangkan agar tidak punah, terutama dari perspektif ekonomi. Tari Bali terbukti memiliki nilai ekonomi yang tinggi terutama karena bisa ‘go international’ dan tentunya dapat meningkatkan pemasukan devisa negara melalui sektor pariwisata. Kata Kunci: Tari, ekonomi, pariwisata, A. INTRODUCTION It is commonly known that Bali is the largest foreign and domestic tourist destination in Indonesia and is renowned for its highly developed arts, including dances, sculptures, paintings, leather works, traditional music and metalworking. Meanwhile, in terms of history, Bali has been inhabited since early prehistoric times firstly by descendants of a prehistoric race who migrated through Asia mainland to the Indonesian archipelago, thought to have first settled in Bali around 3000 BC. Stone tools dating from this time have been found near the village of Cekik in the island's west. Most importantly, Balinese culture was strongly influenced by Indian, and particularly Sanskrit, culture, in a process beginning around the 1st century AD. The name Balidwipa has been discovered from various inscriptions.
    [Show full text]
  • Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali
    Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali A dissertation presented to the faculty of the College of Fine Arts of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Doctor of Philosophy Jennifer L. Goodlander August 2010 © 2010 Jennifer L. Goodlander. All Rights Reserved. 2 This dissertation titled Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali by JENNIFER L. GOODLANDER has been approved for the Interdisciplinary Arts and the College of Fine Arts by William F. Condee Professor of Theater Charles A. McWeeny Dean, College of Fine Arts 3 ABSTRACT GOODLANDER, JENNIFER L., Ph.D., August 2010, Interdisciplinary Arts Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali (248 pp.) Director of Dissertation: William F. Condee The role of women in Bali must be understood in relationship to tradition, because “tradition” is an important concept for analyzing Balinese culture, social hierarchy, religious expression, and politics. Wayang kulit, or shadow puppetry, is considered an important Balinese tradition because it connects a mythic past to a political present through public, and often religiously significant ritual performance. The dalang, or puppeteer, is the central figure in this performance genre and is revered in Balinese society as a teacher and priest. Until recently, the dalang has always been male, but now women are studying and performing as dalangs. In order to determine what women in these “non-traditional” roles means for gender hierarchy and the status of these arts as “traditional,” I argue that “tradition” must be understood in relation to three different, yet overlapping, fields: the construction of Bali as a “traditional” society, the role of women in Bali as being governed by “tradition,” and the performing arts as both “traditional” and as a conduit for “tradition.” This dissertation is divided into three sections, beginning in chapters two and three, with a general focus on the “tradition” of wayang kulit through an analysis of the objects and practices of performance.
    [Show full text]
  • The Origins of Balinese Legong
    STEPHEN DAVIES The origins of Balinese legong Introduction In this paper I discuss the origin of the Balinese dance genre of legong. I date this from the late nineteenth century, with the dance achieving its definitive form in the period 1916-1932. These conclusions are at odds with the most common history told for legong, according to which it first appeared in the earliest years of the nineteenth century. The genre Legong is a secular (balih-balihan) Balinese dance genre.1 Though originally as- sociated with the palace,2 legong has long been performed in villages, espe- cially at temple ceremonies, as well as at Balinese festivals of the arts. Since the 1920s, abridged versions of legong dances have featured in concerts organized for tourists and in overseas tours by Balinese orchestras. Indeed, the dance has become culturally emblematic, and its image is used to advertise Bali to the world. Traditionally, the dancers are three young girls; the servant (condong), who dances a prelude, and two legong. All wear elaborate costumes of gilded cloth with ornate accessories and frangipani-crowned headdresses.3 The core 1 Proyek pemeliharaan 1971. Like all Balinese dances, legong is an offering to the gods. It is ‘secu- lar’ in that it is not one of the dance forms permitted in the inner yards of the temple. Though it is performed at temple ceremonies, the performance takes place immediately outside the temple, as is also the case with many of the other entertainments. The controversial three-part classification adopted in 1971 was motivated by a desire to prevent the commercialization of ritual dances as tourist fare.
    [Show full text]
  • Dance in Bali 2
    Categories of Balinese Dance The Art Of A People Suggested Further Reading At the heart of Balinese culture is Hinduism. This unique religion Four Secular dances, known as Balih-balihan, are featured on There exists a vast range of literature concerning traditional is the foundation of Bali’s rich art forms and dance in Bali not only this disc: Teruna Jaya, Arja, Joged and Kecak. Although Balinese arts and culture. Below are suggested books that will serves as an offering to the Gods but also as entertainment for enjoyed as entertainment, these dances are art as metaphor and allow you to find out more information relating to Balinese human beings. In Bali, dances are divided into three fulfill a rich function in society as a purveyor of morals and dance and music: categories based upon the religious significance of a particular ethics. dance and the place of its performance. The three categories of Originally published in 1938, Dance and Drama in Bali by dance in Bali are: Teruna Jaya was choreographed before 1920 in north Bali Walter Spies and Beryl de Zoete (2002, Hong Kong and by I Gede Manik. It means ‘victorious youth’ and is a Singapore: Periplus Editions) contains a large selection of Wali means “ritual” and refers to forms of music and dance dynamic and sophisticated dance which is very challenging both pictures and stories relating to various forms of that must be performed during religious ceremonies or to the dancer and gamelan orchestra. Balinese dance-drama. festivals. These sacred dances are the oldest forms of dance Arja is known as Balinese opera.
    [Show full text]
  • Land- ​ En Volkenkunde
    Music of the Baduy People of Western Java Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal- , Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte (kitlv, Leiden) Henk Schulte Nordholt (kitlv, Leiden) Editorial Board Michael Laffan (Princeton University) Adrian Vickers (The University of Sydney) Anna Tsing (University of California Santa Cruz) volume 313 The titles published in this series are listed at brill.com/ vki Music of the Baduy People of Western Java Singing is a Medicine By Wim van Zanten LEIDEN | BOSTON This is an open access title distributed under the terms of the CC BY- NC- ND 4.0 license, which permits any non- commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided no alterations are made and the original author(s) and source are credited. Further information and the complete license text can be found at https:// creativecommons.org/ licenses/ by- nc- nd/ 4.0/ The terms of the CC license apply only to the original material. The use of material from other sources (indicated by a reference) such as diagrams, illustrations, photos and text samples may require further permission from the respective copyright holder. Cover illustration: Front: angklung players in Kadujangkung, Kanékés village, 15 October 1992. Back: players of gongs and xylophone in keromong ensemble at circumcision festivities in Cicakal Leuwi Buleud, Kanékés, 5 July 2016. Translations from Indonesian, Sundanese, Dutch, French and German were made by the author, unless stated otherwise. The Library of Congress Cataloging-in-Publication Data is available online at http://catalog.loc.gov LC record available at http://lccn.loc.gov/2020045251 Typeface for the Latin, Greek, and Cyrillic scripts: “Brill”.
    [Show full text]
  • The Artistic Prominence and Tension of the Malat in Painting and Contemporary Balinese Performance Emily Austin SIT Study Abroad
    SIT Graduate Institute/SIT Study Abroad SIT Digital Collections Independent Study Project (ISP) Collection SIT Study Abroad Spring 2017 Panji's Present Predicament: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance Emily Austin SIT Study Abroad Follow this and additional works at: https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection Part of the Asian Studies Commons, Dance Commons, Other Arts and Humanities Commons, Other Classics Commons, Painting Commons, and the South and Southeast Asian Languages and Societies Commons Recommended Citation Austin, Emily, "Panji's Present Predicament: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance" (2017). Independent Study Project (ISP) Collection. 2585. https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection/2585 This Unpublished Paper is brought to you for free and open access by the SIT Study Abroad at SIT Digital Collections. It has been accepted for inclusion in Independent Study Project (ISP) Collection by an authorized administrator of SIT Digital Collections. For more information, please contact [email protected]. Austin !1 PAÑJI'S PRESENT PREDICAMENT: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance Emily Austin Advised by Garrett Kam SIT Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change Spring 2017 Austin !2 Table of Contents Table of Contents ..............................................................................................
    [Show full text]
  • Ramayana Dan Mahabharata Penyambung Budaya Hindu Di Indonesia
    RAMAYANA DAN MAHABHARATA PENYAMBUNG BUDAYA HINDU DI INDONESIA Oleh Nyoman Wijaya Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali, Peneliti senior TSP Art and Science Writing Penulis koresponden: [email protected] Latar Belakang Tulisan ini tidak mempersoalkan asal muasal Mahabharata dan Ramayana, apakah sebagai fiksi atau fakta sejarah. Masih ada pro kontra dalam soal ini. Phalgunadi, berdasarkan penelitiannya terhadap pendapat para tokoh Hindu modern di India antara lain Mahatma Gandhi, Swami Dayananda Saraswati (pendiri Arya Samad) menyebutkan Ramayana dan Mahabarata bukan merupakan suatu kejadian nyata, bukan sebuah perang fisik, melainkan perang moral.1 Kedua epik asal India ini identik dengan Hindu, yang konon sudah dikenal di wilayah Nusantara (kini Indonesia) pada abad V.2 Pada abad IX relief Ramayana sudah terpahat pada dinding-dinding candi Prambanan. Pertunjukan dramatari bertema Mahabharata dan Ramayana juga sudah dipentaskan pada abad X, zaman Raja Belitung dari Kerajaan Mataram Kuna.3 Di zaman kejayaan Kerajaan Kediri pada abad XII muncul lima kitab yang juga menyebut atau menyinggung kedua epik tersebut yakni Gatotkacasya,4 karya Empu Penuluh,5 Bharatayudha karya Empu Sedah dan Empu Makalah yang dibacakan dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Prodi Ilmu Sejarah di Kediri Jawa Tengah pada tanggal 28 April 2017. 1 I Gusti Ketut Budiartha, “Dharmatula Telkom Jatim: Hindu Agama Budaya?”. Raditya Edisi 115- Februari 2007, pp. 24-25. 2 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992. 3 R.M.
    [Show full text]
  • Resital Volume 14 No 1 2013.Indd
    Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 1-8 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 Retorik dan Makna Ideologis Karya Instalasi dalam Film Opera Jawa Garin Nugroho Christian Budiman1, Irwan Abdullah, dan G.R. Lono Simatupang Kajian Media dan Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRAK Film Opera Jawa karya Garin Nugroho mencoba memadukan berbagai bidang dan genre seni di dalamnya. Melalui kolaborasi dengan sejumlah maestro seni, mulai dari seni vokal dan musik Jawa, seni kostum, seni tari, sampai dengan seni instalasi yang digarap oleh para perupa seperti Entang Wiharso, Nindityo Adipurnomo, dan kawan-kawan, boleh dikatakan bahwa Opera Jawa merupakan sebuah fi lm yang sangat peduli akan visualitas. Berdasarkan pada pembacaan semiotis atas karya-karya instalasi ini di dalam konteks adegan-adegan yang terkait, dapat diketahui bahwa signifi kasi karya-karya instalasi ini pada tataran pesan simbolik telah mengedepankan konotator-konotator utama yang berupa fi gur-fi gur retorik seperti metafora, metonimi, simbol, dan personifi kasi; sementara pada dimensi ideologisnya pun tersingkap beberapa petanda konotatif utama yang sangat signifi kan perannya bagi proses pemahaman atas fi lm ini. Kata kunci: seni instalasi, signifi kasi, retorik, ideologi. ABSTRACT The rhetorical and ideological meaning of the installation works in Opera Jawa Film by Garin Nugroho. Opera Jawa fi lm by Garin Nugroho tries to combine many kinds of art fi eld and its genre. The collaborative project carried out by some arts maestros - from the singing art and Javanese music, fashion, and the dancing art, to the installation art which was carried out by some artists, such as Entang Wiharso, Nindito Adipurnomo, and friends – could give the most signifi cant effect to Opera Jawa which pays more attention to visualization.
    [Show full text]
  • 563 Ceklek'an Sebagai Garap Gerak Dalam Kepenarian
    TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016 CEKLEK’AN SEBAGAI GARAP GERAK DALAM KEPENARIAN CAKIL GAYA SURAKARTA Agung Wening Titis Purwati Silvester Pamardi, Abstrak Tulisan ini berjudul ”Ceklek’an Sebagai Garap Gerak Kepenarian Cakil Gaya Surakarta” bertujuan untuk mereformulasikan pemikiran penari Jawa tentang fenomena ceklek’an dalam gerak Cakil. Fenomena estetik ini dibangun dari beberapa gejala yang timbul tentang bagaimana ide atau gagasan sehingga menjadi garap gerak dalam kepenarian Cakil gaya Surakarta. Kemampuan kepenarian seorang penari Cakil ditentukan oleh keterampilannya dalam penguaan permainan ceklek’an. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yaitu menghimpun data melalui observasi dan wawancara, kemudian dianalisis dan hasilnya dijelaskan secara deskriptif. di samping itu data akan dilihat dari pengalaman secara ketubuhan (embodiment). Kata Kunci: Cakil, ceklek’an, dan gaya Surakarta. Abstract This study entitled “Ceklek’an as movement work in Surakarta-Style Cakil Dancing” aimed to formulate Javanese dancer’s thinking about ceklek’an phenomenon in Cakil movement. This esthetic phenomenon built on some symptoms arising concerning how idea became movement work in Surakarta-style Cakil dancing. A Cakil dancer’s dancing ability was determined by his/her skill in mastering ceklek’an performance. This research employed qualitative method with phenomenological approach, by collecting data through observation and interview and then analyzing the result descriptively; in addition data would be seen from embodiment experience. Keywords: Cakil, ceklek’an, and Surakarta style Pengantar Jacques Maritian dan George Santayana Zaman akan terus mengalami dalam Sudarso mengatakan bahwa art is the perubahan, hal ini kemudian memacu creation of beauty (Sudarso, 2006: 54). Seni proses berfikir dan kreatif para pencipta merupakan ruang penciptaan yang berkaitan seni untuk selalu menghasilkan karya-karya erat dengan kajian tentang keindahan, baru.
    [Show full text]
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Theatres of the World Series editor: John Russell Brown Series advisors: Alison Hodge, Royal Holloway, University of London; Osita Okagbue, Goldsmiths College, University of London Theatres of the World is a series that will bring close and instructive contact with makers of performances from around the world.
    [Show full text]
  • Bab Ix Membuat Poster
    BAB IX MEMBUAT POSTER A. Pengertian Poster Poster merupakan media publikasi yang terdiri atas tulisan , gambar ataupun kombinasi keduanya dan mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Isi pesan yang disampaikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Poster biasanya dipasang di tempat – tempat strategis seperti sekolah , mall, kantor, pasar dan tempat tempat keramaian yang mudah dilihat masyarakat. Poster sering juga digunakan untuk mempromosikan pertujukan film, tari, musik dan teater, disamping itu juga digunakan untuk mengkampanyekan seperti kesehatan dan lingkungan hidup. B. Konsep Membuat Poster Poster merupakan sebuah karya seni yang memuat komposisi huruf dan gambar. Poster dibuat dengan ukuran besar dan kecil serta media yang dipergunakannya. Dalam pembuatan poster harus dibuat menarik, pewarnaanya, pemilihan jenis huruf dan tata letak penulisannya perlu diperhatikan dengan serius karena itulah unsur unsur terpenting dalam sebuah poster .Poster mempunyai fungsi untuk menyampaikan pesan secara singkat dengan menggunakan kata dan gambar, untuk itu dalam membuat poster ada kesatuan yang utuh antara gambar dan kata yang ditulis. Pada poster kata hendaknya ditulis sesingkat mungkin tetapi memiliki pesan kuat dan jelas. C. Syarat Membuat Poster Untuk membuat poster dibutuhkan beberapa syarat yang baik dalambentuk gambar maupun kata – kata, langkah – langkah yang harus dilalui dalam menggambar poster adalah sebagai berikut. 1. Menentukan Topik dan Tujuan Penentuan tema berdasarkan pesan yang akan disampaikan, berdasarkan tema tersebut kemudian mulai kita pikirkan bentuk visualisasinya dan kata yang dipergunakan untuk memperkuat gambar tersebut. 2. Membuat Kalimat Singkat dan Mudah Diingat Susunan kalimat poster harus singkat, padat, jelas dan berisi karena poster berfungsi mengirim pesan kepada masyarakat cepat. Melalui bahasa dan gambar orang senantiasa ingat terhadap pesan yang disampaikan dan tertarik untuk melakukan sesuatu.
    [Show full text]