Ramayana Dan Mahabharata Penyambung Budaya Hindu Di Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
RAMAYANA DAN MAHABHARATA PENYAMBUNG BUDAYA HINDU DI INDONESIA Oleh Nyoman Wijaya Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali, Peneliti senior TSP Art and Science Writing Penulis koresponden: [email protected] Latar Belakang Tulisan ini tidak mempersoalkan asal muasal Mahabharata dan Ramayana, apakah sebagai fiksi atau fakta sejarah. Masih ada pro kontra dalam soal ini. Phalgunadi, berdasarkan penelitiannya terhadap pendapat para tokoh Hindu modern di India antara lain Mahatma Gandhi, Swami Dayananda Saraswati (pendiri Arya Samad) menyebutkan Ramayana dan Mahabarata bukan merupakan suatu kejadian nyata, bukan sebuah perang fisik, melainkan perang moral.1 Kedua epik asal India ini identik dengan Hindu, yang konon sudah dikenal di wilayah Nusantara (kini Indonesia) pada abad V.2 Pada abad IX relief Ramayana sudah terpahat pada dinding-dinding candi Prambanan. Pertunjukan dramatari bertema Mahabharata dan Ramayana juga sudah dipentaskan pada abad X, zaman Raja Belitung dari Kerajaan Mataram Kuna.3 Di zaman kejayaan Kerajaan Kediri pada abad XII muncul lima kitab yang juga menyebut atau menyinggung kedua epik tersebut yakni Gatotkacasya,4 karya Empu Penuluh,5 Bharatayudha karya Empu Sedah dan Empu Makalah yang dibacakan dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Prodi Ilmu Sejarah di Kediri Jawa Tengah pada tanggal 28 April 2017. 1 I Gusti Ketut Budiartha, “Dharmatula Telkom Jatim: Hindu Agama Budaya?”. Raditya Edisi 115- Februari 2007, pp. 24-25. 2 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992. 3 R.M. Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), p. 4. 4 Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya , terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hadayati Yusuf ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 134. 5 Bercerita tentang kisah kepahlawanan Ghatotkaca yang berhasil menyatukan putra Arjuna, Abimanyu dengan putri Krisna, Sundari. P.J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta: Djambatan, 1994), pp. 322-338. 1 Panuluh,6 Kresnayana karya Empu Triguna,7 Smaradhana karya Empu Dharmaja,8 dan Sumanasantaka karya Empu Monaguna.9 Sejak abad XV kejayaan kisah Ramayana dan Mahabharata disela oleh tradisi baru yang berasal dari agama Islam dan abad XVI Agama Kristen, namun mengapa keduanya tidak mampu menghapus memori orang-orang di Nusantara terhadap dua epik tersebut, bahkan masih bertahan kuat dan mejadi penyambung budaya Hindu di masa kini.10 Inilah bahasan utama studi ini, yang sudah tentu terdiri dari sejumlah sub pertnyaan penelitian, namun tidak perlu disebutkan satu persatu. Bertahannya epik Ramayana dan Mahabharata, termasuk juga sebagian besar teks atau kitab berbahasa Jawa Kuna lainnya karena berpindahnya pusat agama Hindu dari Jawa ke Bali. Para elite agama Hindu asal Jawa itu membawa serta kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna melengkapi yang sudah terbawa sebelumnya. Naskah-naskah tersebut lalu disalin kembali dengan cara menulis ulang di atas daun rontal untuk menghasilkan lontar. 11 Namun keberadaan lontar-lontar berbahasa Jawa Kuna itu bukan satu-satunya faktor penyebab dari kebertahanan kedua epik ini, karena sekalipun penduduk Jawa mayoritas sudah memeluk agama Islam, namun kedua epik ini masih tersimpan dalam dalam tradisi, hidup berdampingan dengan praktik keagamaan Islam. Salah satu tradisi di Jawa yang punya peranan penting dalam kebertahanan epik ini adalah pertunjukan kesenian. Sebagai sebuah bahasa universal seni adalah wadah yang menjadikan kedua kisah epik ini bisa dinikmati oleh orang-orang yang sekalipun sangat berbeda, sehingga mereka dapat berkomunikasi tanpa saling memahami bahasa lisan atau tertulis. Dengan lain kata, melalui seni kisah kedua epik ini dapat disampaikan kepada orang lain, non-Hindu. Para seniman bisa memilih salah satu atau beberapa cabang seni yang diminatinya,12 yakni seni lukis, pahat, seni tari, dan musik. Melalui cabang seni pilihannya itu, para seniman menuangkan nilai spiritual dan kemanusiaan yang berpangkal dari Ramayana dan Mahabharata. Oleh karena itu Ramayana dan Mahabharata mengilhami penduduk Bali dari generasi ke generasi dalam berpikir, berkata, dan berbuat terutama di bidang seni.13 Seni Pahat Seni pahat yang bemuatan nilai-nilai Ramayana dan Mahabharata dapat berbentuk patung pemujaan dan relief dekorasi di monumen dan candi. Akan tetapi di Bali yang lebih banyak ditemukan bukan berupa patung pemujaan, melainkan dekorasi di pura, patung hiasan yang dipajang di rumah, serta relief pada batu atau kayu. Hal ini disebabkan oleh masih bertahannya agama rakyat dalam praktik keagamaan Hindu di 6 Bercerita tentang jalannya peperarangan antara Korawa dan Pendawa setelah gugurnya Bisma. Ibid., pp. 317-331. 7 Bercerita tentang Krisna, Ibid., pp. 355-362. 8 Menceritakan kisah asmara Kama dan Ratih. Kam menjadi Raja Jawa, Ratih menjelam di Kerajaan Jenggala, Ibid., pp. 369-374. 9 Berkisah tentang upaya Dewa Indra mengganggu seorang pertapa sakti dengan dengan cara menugaskan seorang bidadari bernama Harini, namun bidadari ini akhirnya dikutuk oleh pertapa tersebut, Ibid., pp. 377-388. 10 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992. 11 Dikembangkan dari hasil pemikiran Anak Agung Made Djlantik, “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni 2002. 12 Dikembangkan dari hasil pemikiran Anak Agung Made Djlantik, “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni 2002. 13 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djelantik, dalam naskah Kata Sambutan..” 2 Bali. Salah satu ciri agama rakyat terlihat dalam tradisi mendewakan leluhur atau pendiri masyarakat lokal dalam bentuk pratima. 14 Pratima Sumber google image Sementra, Tuhan yang maha esa atau Ida Sanghyang Widi diyakini tidak dapat diimajinasikan, sehingga tidak perlu direpresentasikan dalam bentuk realistik. Oleh karena itu hanya dibuatkan simbol magisnya berupa Acintya. 15 Ketika muncul konsep trinitas dalam praktik agama Hindu, Tuhan direpresentasikan sebagai Brahma, Siwa, dan Wisnu yang biasa disebut trimurti. Mereka disediakan sebuah tempat tinggal untuk dipuja, yang disebut sanggar agung dan tidak berisikan patung ke tiga desa tersebut. Akan tetapi mengikuti kehendak komunitas, pada bagian dasar sanggar agung dapat disertakan dekorasi relief, patung, dan bentuk pahatan lainnya.16 Bangunan ini disebut juga sanggar surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dari denah jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/ Hyang Widi. Acintya 14 Anak Agung Made Djlantik, “Estetika Seni Plastik Bali,” Manuskrip 15 Ibid. 16 Ibid. 3 Sumber google image Sanggar agung/sanggar surya Sumber google image Pahatan tradisional yang estetik sesuai dengan norma yang diberikan pada kitab untuk tokoh wayang. Bentuk wajah, mata, mulut, kumis, tutup kepala, pakaian dan atribut lain harus sesuai dengan kode yang ditentukan untuk wayang itu. 17 Dalam ukiran dan pahat, kisah epik ini dapat dilihat pada ukiran dan pahatan pada kayu, batu dan bahan lainnya, yang juga merepresentasikan gaya dari tradisional ke modern.18 Pahatan-pahatan itu bisa berupa patung-patung mungil tempat masuknya para dewa dan tinggal selama berlangsungnya upacara dan kembali ke tempatnya semula setelah seusai upacara. 19 17 Ibid. 18 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djelantik, naskah kata sambutan...” 19 Claire Holt, Melacak Jejak-Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono (Bandung: Arti.Line, 2000), p. 246. 4 Pahatan wayang di dinding pura Sumber google image Sementara pahatan seni ornamental secara figuratif diterapkan terutama pada pura-pura dan istana-istana raja. Dapat dilihat pada gerbang-gerbang pura dan istana, dinding-dinding, dan dasar-dasar tempat suci yang dibangun dari paras, batu cadas lunak, sehingga perlu selalu direnovasi. Pada bagian atas gerbang pura, seperti di Pura Batur, dipahatkan figur-figur para kesatria Mahabharata dengan gaya wayang tradisional. Sementara istana raja yang disebut puri, sebelum masa kolonial, didekorasi sangat mewah menyerupai sebuah pura. 20 puri/istana raja di Bali sumber google image Pada beberapa puri, dihiasi dengan begitu banyak patung dan lukisan gaya tradisional. Pahatan seni ornamen menyerupai puri ditemukan pula pada rumah pribadi bangsawan tinggi, terutama pada pilar-pilar dan balok-balok pavilion, sebuah bagunan yang terisah dari bangunan induk. Pavilion ini bukan saja dipahat, tetapi juga dilukis dan diberikan prada emas. Demi menghidupkan sebuah penunjang balok melintang, diberikan hiasan patung Wisnu lengkap dengan burung garudanya, binatang-binatang ajaib dan jenis burung lainnya. 21 Dewa Wisnu dan Burung Garuda Sumber Google image Sekarang ini, dengan semakin banyaknya muncul orang kaya baru (OKB), menjadikan proses barokisasi di Bali semakin semarak. Banyak sekali rumah para OKB diberikan ornamen menyerupai pura atau puri. Jadi, barokisasi yang dulunya hanya 20 Ibid. 21 Ibid. 5 dapat dilihat pada patung Bali pada periode tengahan, kini dapat