Ramayana Dan Mahabharata Penyambung Budaya Hindu Di Indonesia

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Ramayana Dan Mahabharata Penyambung Budaya Hindu Di Indonesia RAMAYANA DAN MAHABHARATA PENYAMBUNG BUDAYA HINDU DI INDONESIA Oleh Nyoman Wijaya Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali, Peneliti senior TSP Art and Science Writing Penulis koresponden: [email protected] Latar Belakang Tulisan ini tidak mempersoalkan asal muasal Mahabharata dan Ramayana, apakah sebagai fiksi atau fakta sejarah. Masih ada pro kontra dalam soal ini. Phalgunadi, berdasarkan penelitiannya terhadap pendapat para tokoh Hindu modern di India antara lain Mahatma Gandhi, Swami Dayananda Saraswati (pendiri Arya Samad) menyebutkan Ramayana dan Mahabarata bukan merupakan suatu kejadian nyata, bukan sebuah perang fisik, melainkan perang moral.1 Kedua epik asal India ini identik dengan Hindu, yang konon sudah dikenal di wilayah Nusantara (kini Indonesia) pada abad V.2 Pada abad IX relief Ramayana sudah terpahat pada dinding-dinding candi Prambanan. Pertunjukan dramatari bertema Mahabharata dan Ramayana juga sudah dipentaskan pada abad X, zaman Raja Belitung dari Kerajaan Mataram Kuna.3 Di zaman kejayaan Kerajaan Kediri pada abad XII muncul lima kitab yang juga menyebut atau menyinggung kedua epik tersebut yakni Gatotkacasya,4 karya Empu Penuluh,5 Bharatayudha karya Empu Sedah dan Empu Makalah yang dibacakan dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Prodi Ilmu Sejarah di Kediri Jawa Tengah pada tanggal 28 April 2017. 1 I Gusti Ketut Budiartha, “Dharmatula Telkom Jatim: Hindu Agama Budaya?”. Raditya Edisi 115- Februari 2007, pp. 24-25. 2 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992. 3 R.M. Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), p. 4. 4 Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya , terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hadayati Yusuf ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 134. 5 Bercerita tentang kisah kepahlawanan Ghatotkaca yang berhasil menyatukan putra Arjuna, Abimanyu dengan putri Krisna, Sundari. P.J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta: Djambatan, 1994), pp. 322-338. 1 Panuluh,6 Kresnayana karya Empu Triguna,7 Smaradhana karya Empu Dharmaja,8 dan Sumanasantaka karya Empu Monaguna.9 Sejak abad XV kejayaan kisah Ramayana dan Mahabharata disela oleh tradisi baru yang berasal dari agama Islam dan abad XVI Agama Kristen, namun mengapa keduanya tidak mampu menghapus memori orang-orang di Nusantara terhadap dua epik tersebut, bahkan masih bertahan kuat dan mejadi penyambung budaya Hindu di masa kini.10 Inilah bahasan utama studi ini, yang sudah tentu terdiri dari sejumlah sub pertnyaan penelitian, namun tidak perlu disebutkan satu persatu. Bertahannya epik Ramayana dan Mahabharata, termasuk juga sebagian besar teks atau kitab berbahasa Jawa Kuna lainnya karena berpindahnya pusat agama Hindu dari Jawa ke Bali. Para elite agama Hindu asal Jawa itu membawa serta kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna melengkapi yang sudah terbawa sebelumnya. Naskah-naskah tersebut lalu disalin kembali dengan cara menulis ulang di atas daun rontal untuk menghasilkan lontar. 11 Namun keberadaan lontar-lontar berbahasa Jawa Kuna itu bukan satu-satunya faktor penyebab dari kebertahanan kedua epik ini, karena sekalipun penduduk Jawa mayoritas sudah memeluk agama Islam, namun kedua epik ini masih tersimpan dalam dalam tradisi, hidup berdampingan dengan praktik keagamaan Islam. Salah satu tradisi di Jawa yang punya peranan penting dalam kebertahanan epik ini adalah pertunjukan kesenian. Sebagai sebuah bahasa universal seni adalah wadah yang menjadikan kedua kisah epik ini bisa dinikmati oleh orang-orang yang sekalipun sangat berbeda, sehingga mereka dapat berkomunikasi tanpa saling memahami bahasa lisan atau tertulis. Dengan lain kata, melalui seni kisah kedua epik ini dapat disampaikan kepada orang lain, non-Hindu. Para seniman bisa memilih salah satu atau beberapa cabang seni yang diminatinya,12 yakni seni lukis, pahat, seni tari, dan musik. Melalui cabang seni pilihannya itu, para seniman menuangkan nilai spiritual dan kemanusiaan yang berpangkal dari Ramayana dan Mahabharata. Oleh karena itu Ramayana dan Mahabharata mengilhami penduduk Bali dari generasi ke generasi dalam berpikir, berkata, dan berbuat terutama di bidang seni.13 Seni Pahat Seni pahat yang bemuatan nilai-nilai Ramayana dan Mahabharata dapat berbentuk patung pemujaan dan relief dekorasi di monumen dan candi. Akan tetapi di Bali yang lebih banyak ditemukan bukan berupa patung pemujaan, melainkan dekorasi di pura, patung hiasan yang dipajang di rumah, serta relief pada batu atau kayu. Hal ini disebabkan oleh masih bertahannya agama rakyat dalam praktik keagamaan Hindu di 6 Bercerita tentang jalannya peperarangan antara Korawa dan Pendawa setelah gugurnya Bisma. Ibid., pp. 317-331. 7 Bercerita tentang Krisna, Ibid., pp. 355-362. 8 Menceritakan kisah asmara Kama dan Ratih. Kam menjadi Raja Jawa, Ratih menjelam di Kerajaan Jenggala, Ibid., pp. 369-374. 9 Berkisah tentang upaya Dewa Indra mengganggu seorang pertapa sakti dengan dengan cara menugaskan seorang bidadari bernama Harini, namun bidadari ini akhirnya dikutuk oleh pertapa tersebut, Ibid., pp. 377-388. 10 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djlantik, naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara The Ninth International Ramayana Seminar yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 3 Juli 1992. 11 Dikembangkan dari hasil pemikiran Anak Agung Made Djlantik, “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni 2002. 12 Dikembangkan dari hasil pemikiran Anak Agung Made Djlantik, “Universal Language,” naskah kata sambutan yang dibacakan dalam acara Joint Exhibition Annemarie and Jacues Guyot di Ubud tanggal 22 Juni 2002. 13 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djelantik, dalam naskah Kata Sambutan..” 2 Bali. Salah satu ciri agama rakyat terlihat dalam tradisi mendewakan leluhur atau pendiri masyarakat lokal dalam bentuk pratima. 14 Pratima Sumber google image Sementra, Tuhan yang maha esa atau Ida Sanghyang Widi diyakini tidak dapat diimajinasikan, sehingga tidak perlu direpresentasikan dalam bentuk realistik. Oleh karena itu hanya dibuatkan simbol magisnya berupa Acintya. 15 Ketika muncul konsep trinitas dalam praktik agama Hindu, Tuhan direpresentasikan sebagai Brahma, Siwa, dan Wisnu yang biasa disebut trimurti. Mereka disediakan sebuah tempat tinggal untuk dipuja, yang disebut sanggar agung dan tidak berisikan patung ke tiga desa tersebut. Akan tetapi mengikuti kehendak komunitas, pada bagian dasar sanggar agung dapat disertakan dekorasi relief, patung, dan bentuk pahatan lainnya.16 Bangunan ini disebut juga sanggar surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dari denah jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/ Hyang Widi. Acintya 14 Anak Agung Made Djlantik, “Estetika Seni Plastik Bali,” Manuskrip 15 Ibid. 16 Ibid. 3 Sumber google image Sanggar agung/sanggar surya Sumber google image Pahatan tradisional yang estetik sesuai dengan norma yang diberikan pada kitab untuk tokoh wayang. Bentuk wajah, mata, mulut, kumis, tutup kepala, pakaian dan atribut lain harus sesuai dengan kode yang ditentukan untuk wayang itu. 17 Dalam ukiran dan pahat, kisah epik ini dapat dilihat pada ukiran dan pahatan pada kayu, batu dan bahan lainnya, yang juga merepresentasikan gaya dari tradisional ke modern.18 Pahatan-pahatan itu bisa berupa patung-patung mungil tempat masuknya para dewa dan tinggal selama berlangsungnya upacara dan kembali ke tempatnya semula setelah seusai upacara. 19 17 Ibid. 18 Dikembangkan dari pemikiran Anak Agung Made Djelantik, naskah kata sambutan...” 19 Claire Holt, Melacak Jejak-Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono (Bandung: Arti.Line, 2000), p. 246. 4 Pahatan wayang di dinding pura Sumber google image Sementara pahatan seni ornamental secara figuratif diterapkan terutama pada pura-pura dan istana-istana raja. Dapat dilihat pada gerbang-gerbang pura dan istana, dinding-dinding, dan dasar-dasar tempat suci yang dibangun dari paras, batu cadas lunak, sehingga perlu selalu direnovasi. Pada bagian atas gerbang pura, seperti di Pura Batur, dipahatkan figur-figur para kesatria Mahabharata dengan gaya wayang tradisional. Sementara istana raja yang disebut puri, sebelum masa kolonial, didekorasi sangat mewah menyerupai sebuah pura. 20 puri/istana raja di Bali sumber google image Pada beberapa puri, dihiasi dengan begitu banyak patung dan lukisan gaya tradisional. Pahatan seni ornamen menyerupai puri ditemukan pula pada rumah pribadi bangsawan tinggi, terutama pada pilar-pilar dan balok-balok pavilion, sebuah bagunan yang terisah dari bangunan induk. Pavilion ini bukan saja dipahat, tetapi juga dilukis dan diberikan prada emas. Demi menghidupkan sebuah penunjang balok melintang, diberikan hiasan patung Wisnu lengkap dengan burung garudanya, binatang-binatang ajaib dan jenis burung lainnya. 21 Dewa Wisnu dan Burung Garuda Sumber Google image Sekarang ini, dengan semakin banyaknya muncul orang kaya baru (OKB), menjadikan proses barokisasi di Bali semakin semarak. Banyak sekali rumah para OKB diberikan ornamen menyerupai pura atau puri. Jadi, barokisasi yang dulunya hanya 20 Ibid. 21 Ibid. 5 dapat dilihat pada patung Bali pada periode tengahan, kini dapat
Recommended publications
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Contents List
    [Show full text]
  • Balinese Dances As a Means of Tourist Attraction
    BALINESE DANCES AS A MEANS OF TOURIST ATTRACTION : AN ECONOMIC PERSPECTIVE By : Lie Liana Dosen Tetap Fakultas Teknologi Informasi Universitas Stikubank Semarang ABSTRACT Makalah ini menguraikan secara ringkas Tari Bali yang ditinjau dari perspekif ekonomi dengan memanfaatkan Bali yang terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Keterkenalan Bali merupakan keuntungan tersendiri bagi pelaku bisnis khususnya bisnis pariwisata. Kedatangan wisatawan asing dengan membawa dolar telah meningkatkan ekonomi masyarakat Bali, yang berarti pula devisa bagi Indonesia. Bali terkenal karena kekayaannya dalam bidang kesenian, khususnya seni tari. Tari Bali lebih disukai karena lebih glamor, ekspresif dan dinamis. Oleh karena itu seni tari yang telah ada harus dilestarikan dan dikembangkan agar tidak punah, terutama dari perspektif ekonomi. Tari Bali terbukti memiliki nilai ekonomi yang tinggi terutama karena bisa ‘go international’ dan tentunya dapat meningkatkan pemasukan devisa negara melalui sektor pariwisata. Kata Kunci: Tari, ekonomi, pariwisata, A. INTRODUCTION It is commonly known that Bali is the largest foreign and domestic tourist destination in Indonesia and is renowned for its highly developed arts, including dances, sculptures, paintings, leather works, traditional music and metalworking. Meanwhile, in terms of history, Bali has been inhabited since early prehistoric times firstly by descendants of a prehistoric race who migrated through Asia mainland to the Indonesian archipelago, thought to have first settled in Bali around 3000 BC. Stone tools dating from this time have been found near the village of Cekik in the island's west. Most importantly, Balinese culture was strongly influenced by Indian, and particularly Sanskrit, culture, in a process beginning around the 1st century AD. The name Balidwipa has been discovered from various inscriptions.
    [Show full text]
  • Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali
    Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali A dissertation presented to the faculty of the College of Fine Arts of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Doctor of Philosophy Jennifer L. Goodlander August 2010 © 2010 Jennifer L. Goodlander. All Rights Reserved. 2 This dissertation titled Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali by JENNIFER L. GOODLANDER has been approved for the Interdisciplinary Arts and the College of Fine Arts by William F. Condee Professor of Theater Charles A. McWeeny Dean, College of Fine Arts 3 ABSTRACT GOODLANDER, JENNIFER L., Ph.D., August 2010, Interdisciplinary Arts Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali (248 pp.) Director of Dissertation: William F. Condee The role of women in Bali must be understood in relationship to tradition, because “tradition” is an important concept for analyzing Balinese culture, social hierarchy, religious expression, and politics. Wayang kulit, or shadow puppetry, is considered an important Balinese tradition because it connects a mythic past to a political present through public, and often religiously significant ritual performance. The dalang, or puppeteer, is the central figure in this performance genre and is revered in Balinese society as a teacher and priest. Until recently, the dalang has always been male, but now women are studying and performing as dalangs. In order to determine what women in these “non-traditional” roles means for gender hierarchy and the status of these arts as “traditional,” I argue that “tradition” must be understood in relation to three different, yet overlapping, fields: the construction of Bali as a “traditional” society, the role of women in Bali as being governed by “tradition,” and the performing arts as both “traditional” and as a conduit for “tradition.” This dissertation is divided into three sections, beginning in chapters two and three, with a general focus on the “tradition” of wayang kulit through an analysis of the objects and practices of performance.
    [Show full text]
  • The Origins of Balinese Legong
    STEPHEN DAVIES The origins of Balinese legong Introduction In this paper I discuss the origin of the Balinese dance genre of legong. I date this from the late nineteenth century, with the dance achieving its definitive form in the period 1916-1932. These conclusions are at odds with the most common history told for legong, according to which it first appeared in the earliest years of the nineteenth century. The genre Legong is a secular (balih-balihan) Balinese dance genre.1 Though originally as- sociated with the palace,2 legong has long been performed in villages, espe- cially at temple ceremonies, as well as at Balinese festivals of the arts. Since the 1920s, abridged versions of legong dances have featured in concerts organized for tourists and in overseas tours by Balinese orchestras. Indeed, the dance has become culturally emblematic, and its image is used to advertise Bali to the world. Traditionally, the dancers are three young girls; the servant (condong), who dances a prelude, and two legong. All wear elaborate costumes of gilded cloth with ornate accessories and frangipani-crowned headdresses.3 The core 1 Proyek pemeliharaan 1971. Like all Balinese dances, legong is an offering to the gods. It is ‘secu- lar’ in that it is not one of the dance forms permitted in the inner yards of the temple. Though it is performed at temple ceremonies, the performance takes place immediately outside the temple, as is also the case with many of the other entertainments. The controversial three-part classification adopted in 1971 was motivated by a desire to prevent the commercialization of ritual dances as tourist fare.
    [Show full text]
  • Dance in Bali 2
    Categories of Balinese Dance The Art Of A People Suggested Further Reading At the heart of Balinese culture is Hinduism. This unique religion Four Secular dances, known as Balih-balihan, are featured on There exists a vast range of literature concerning traditional is the foundation of Bali’s rich art forms and dance in Bali not only this disc: Teruna Jaya, Arja, Joged and Kecak. Although Balinese arts and culture. Below are suggested books that will serves as an offering to the Gods but also as entertainment for enjoyed as entertainment, these dances are art as metaphor and allow you to find out more information relating to Balinese human beings. In Bali, dances are divided into three fulfill a rich function in society as a purveyor of morals and dance and music: categories based upon the religious significance of a particular ethics. dance and the place of its performance. The three categories of Originally published in 1938, Dance and Drama in Bali by dance in Bali are: Teruna Jaya was choreographed before 1920 in north Bali Walter Spies and Beryl de Zoete (2002, Hong Kong and by I Gede Manik. It means ‘victorious youth’ and is a Singapore: Periplus Editions) contains a large selection of Wali means “ritual” and refers to forms of music and dance dynamic and sophisticated dance which is very challenging both pictures and stories relating to various forms of that must be performed during religious ceremonies or to the dancer and gamelan orchestra. Balinese dance-drama. festivals. These sacred dances are the oldest forms of dance Arja is known as Balinese opera.
    [Show full text]
  • Land- ​ En Volkenkunde
    Music of the Baduy People of Western Java Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal- , Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte (kitlv, Leiden) Henk Schulte Nordholt (kitlv, Leiden) Editorial Board Michael Laffan (Princeton University) Adrian Vickers (The University of Sydney) Anna Tsing (University of California Santa Cruz) volume 313 The titles published in this series are listed at brill.com/ vki Music of the Baduy People of Western Java Singing is a Medicine By Wim van Zanten LEIDEN | BOSTON This is an open access title distributed under the terms of the CC BY- NC- ND 4.0 license, which permits any non- commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided no alterations are made and the original author(s) and source are credited. Further information and the complete license text can be found at https:// creativecommons.org/ licenses/ by- nc- nd/ 4.0/ The terms of the CC license apply only to the original material. The use of material from other sources (indicated by a reference) such as diagrams, illustrations, photos and text samples may require further permission from the respective copyright holder. Cover illustration: Front: angklung players in Kadujangkung, Kanékés village, 15 October 1992. Back: players of gongs and xylophone in keromong ensemble at circumcision festivities in Cicakal Leuwi Buleud, Kanékés, 5 July 2016. Translations from Indonesian, Sundanese, Dutch, French and German were made by the author, unless stated otherwise. The Library of Congress Cataloging-in-Publication Data is available online at http://catalog.loc.gov LC record available at http://lccn.loc.gov/2020045251 Typeface for the Latin, Greek, and Cyrillic scripts: “Brill”.
    [Show full text]
  • The Artistic Prominence and Tension of the Malat in Painting and Contemporary Balinese Performance Emily Austin SIT Study Abroad
    SIT Graduate Institute/SIT Study Abroad SIT Digital Collections Independent Study Project (ISP) Collection SIT Study Abroad Spring 2017 Panji's Present Predicament: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance Emily Austin SIT Study Abroad Follow this and additional works at: https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection Part of the Asian Studies Commons, Dance Commons, Other Arts and Humanities Commons, Other Classics Commons, Painting Commons, and the South and Southeast Asian Languages and Societies Commons Recommended Citation Austin, Emily, "Panji's Present Predicament: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance" (2017). Independent Study Project (ISP) Collection. 2585. https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection/2585 This Unpublished Paper is brought to you for free and open access by the SIT Study Abroad at SIT Digital Collections. It has been accepted for inclusion in Independent Study Project (ISP) Collection by an authorized administrator of SIT Digital Collections. For more information, please contact [email protected]. Austin !1 PAÑJI'S PRESENT PREDICAMENT: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance Emily Austin Advised by Garrett Kam SIT Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change Spring 2017 Austin !2 Table of Contents Table of Contents ..............................................................................................
    [Show full text]
  • Resital Volume 14 No 1 2013.Indd
    Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 1-8 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 Retorik dan Makna Ideologis Karya Instalasi dalam Film Opera Jawa Garin Nugroho Christian Budiman1, Irwan Abdullah, dan G.R. Lono Simatupang Kajian Media dan Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRAK Film Opera Jawa karya Garin Nugroho mencoba memadukan berbagai bidang dan genre seni di dalamnya. Melalui kolaborasi dengan sejumlah maestro seni, mulai dari seni vokal dan musik Jawa, seni kostum, seni tari, sampai dengan seni instalasi yang digarap oleh para perupa seperti Entang Wiharso, Nindityo Adipurnomo, dan kawan-kawan, boleh dikatakan bahwa Opera Jawa merupakan sebuah fi lm yang sangat peduli akan visualitas. Berdasarkan pada pembacaan semiotis atas karya-karya instalasi ini di dalam konteks adegan-adegan yang terkait, dapat diketahui bahwa signifi kasi karya-karya instalasi ini pada tataran pesan simbolik telah mengedepankan konotator-konotator utama yang berupa fi gur-fi gur retorik seperti metafora, metonimi, simbol, dan personifi kasi; sementara pada dimensi ideologisnya pun tersingkap beberapa petanda konotatif utama yang sangat signifi kan perannya bagi proses pemahaman atas fi lm ini. Kata kunci: seni instalasi, signifi kasi, retorik, ideologi. ABSTRACT The rhetorical and ideological meaning of the installation works in Opera Jawa Film by Garin Nugroho. Opera Jawa fi lm by Garin Nugroho tries to combine many kinds of art fi eld and its genre. The collaborative project carried out by some arts maestros - from the singing art and Javanese music, fashion, and the dancing art, to the installation art which was carried out by some artists, such as Entang Wiharso, Nindito Adipurnomo, and friends – could give the most signifi cant effect to Opera Jawa which pays more attention to visualization.
    [Show full text]
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Theatres of the World Series editor: John Russell Brown Series advisors: Alison Hodge, Royal Holloway, University of London; Osita Okagbue, Goldsmiths College, University of London Theatres of the World is a series that will bring close and instructive contact with makers of performances from around the world.
    [Show full text]
  • Pola Lantai Panggung Un Dan Kompetensi Dasar Yang Tercantum Dalam Kurikulum
    Alien Wariatunnisa Yulia Hendrilianti Seni Tari Seni Seni S e untukuntuk SSMA/MAMA/MA KKelaselas XX,, XXI,I, ddanan XXIIII n i Tari untuk SMA/MA Kelas X, XI, dan XII untuk SMA/MA u nt u Yulia Hendrilianti Yulia Alien Wariatunnisa PUSAT PERBUKUAN Kementerian Pendidikan Nasional Hak Cipta buku ini pada Kementerian Pendidikan Nasional. Dilindungi Undang-undang. Penulis Alien Wariatunnisa Seni Tari Yulia Hendrilianti untuk SMA/MA Kelas X, XI, dan XII Penyunting Isi Irma Rahmawati Penyunting Bahasa Ria Novitasari Penata Letak Irma Pewajah Isi Joni Eff endi Daulay Perancang Sampul Yusuf Mulyadin Ukuran Buku 17,6 x 25 cm 792.8 ALI ALIEN Wiriatunnisa s Seni Tari untuk SMA/MA Kelas X, XI, dan XII/Alien Wiriatunnisa, Yulia Hendrilianti; editor, Irma Rahmawati, Ria Novitasari.—Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. xii, 230 hlm.: ilus.; 30 cm Bibliograę : hlm. 228 Indeks ISBN 978-979-095-260-7 1. Tarian - Studi dan Pengajaran I. Judul II. Yulia Hendrilianti III. Irma Rahmawati IV. Ria Novitasari Hak Cipta Buku ini dialihkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional dari Penerbit PT Sinergi Pustaka Indonesia Diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010 Diperbanyak oleh... Kata Sambutan Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, Pemerintah, dalam hal ini, Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun 2009, telah membeli hak cipta buku teks pelajaran ini dari penulis/penerbit untuk disebarluaskan kepada masyarakat melalui situs internet (website) Jaringan Pendidikan Nasional. Buku teks pelajaran ini telah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan telah ditetapkan sebagai buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 49 Tahun 2009 tanggal 12 Agustus 2009.
    [Show full text]
  • The Hero Disguised As a Servant Interview by Cristina Wistari
    The Open Page Ni Nyoman Candri The Hero Disguised as a Servant Interview by Cristina Wistari When did you start to dance? I was seven years old when I started to dance. My father, I Made Kredek, first taught me the Baris, a vigorous warrior I like him because he is gracious, dance that develops stamina, resistance and muscle power. polite, kind, delicate and My father was a renowned dancer who knew several charming. I do not like people genres of the Balinese repertoire: Topeng, the masked who are impolite and talk dance drama; Arja, the operetta; Gambuh, the most rudely. I like gentle refined ancient form of dance drama; and Parwa the masked dance people. Mantri Manis sings at a drama that narrates the Mahabharata epic. My father very high pitch and in a very played the Wijil, the king's servant in Topeng, Arja and sophisticated way. I identify with Parwa. He was small and thin and therefore this role suited such a character because he him very well. At that time only men danced Gambuh and embodies all the qualities that for therefore they played all the female roles. In Gambuh, my me are of main importance in a father played the Condong, the maid of the princess. human being and he portrays them through both dance and Whose choice was it for you to learn Baris? voice. My father decided I had to start with Baris, because this is the traditional way in Bali, at least for young boys. Baris incorporates a lot of the dance vocabulary of the male repertoire.
    [Show full text]
  • Kata Pengantar Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Buku
    Kata Pengantar Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, buku Pendidikan Seni Tari Bali Panduan pembelajaran untuk siswa SMP/MTs Kelas VII ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Permasalahan yang mendasar bahwa belum tersedianya buku panduan seni tari Bali sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar seni tari untuk kelas VII SMP/MTs. Dari hasil diskusi beberapa dosen seni tari Institut Seni Indonesia Denpasar dengan guru-guru seni tari di kota Denpasar disepakati untuk menyusun sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran seni tari Bali khususnya di SMP/MTs kelas VII. Buku tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sehingga diharapkan dalam proses pembelajarannya akan lebih terarah dan profesional. Untuk itu kami haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A yang telah menyumbangkan pikirannya dan rekan- rekan yang telah membantu untuk mewujudkan buku pendidikan seni tari Bali ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan selalu memberikan bimbingan kepada kita dalam mengantarkan anak bangsa sebagai generasi penerus untuk melestarikan seni budaya khususnya seni tari Bali. Denpasar, Pebruari 2009 Tim Penulis DAFTAR ISI Lembar Sampul Kata Sambutan Kata Pengantar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Kesenian 1.2 Pendidikan Seni 1.3 Tari sebagai Pendidikan Seni BAB II TINJAUAN TENTANG SENI TARI 2.1 Pengertian Seni Tari 2.2 Unsur-Unsur Seni Tari 2.2.1 Gerak 1. Tenaga 2. Ruang 3. Waktu 2.2.2 Iringan 1. Bunyi 2. Irama 3. Melodi 4. Birama 5. Harmoni 6. Tekstur 7. Tempo 8. Dinamik 2.2.3 Tata Busana, Tata Rias dan Properti 1.
    [Show full text]