Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 1-8 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Retorik dan Makna Ideologis Karya Instalasi dalam Film Opera Jawa Garin Nugroho

Christian Budiman1, Irwan Abdullah, dan G.R. Lono Simatupang Kajian Media dan Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK Film Opera Jawa karya Garin Nugroho mencoba memadukan berbagai bidang dan genre seni di dalamnya. Melalui kolaborasi dengan sejumlah maestro seni, mulai dari seni vokal dan musik Jawa, seni kostum, seni tari, sampai dengan seni instalasi yang digarap oleh para perupa seperti Entang Wiharso, Nindityo Adipurnomo, dan kawan-kawan, boleh dikatakan bahwa Opera Jawa merupakan sebuah fi lm yang sangat peduli akan visualitas. Berdasarkan pada pembacaan semiotis atas karya-karya instalasi ini di dalam konteks adegan-adegan yang terkait, dapat diketahui bahwa signifi kasi karya-karya instalasi ini pada tataran pesan simbolik telah mengedepankan konotator-konotator utama yang berupa fi gur-fi gur retorik seperti metafora, metonimi, simbol, dan personifi kasi; sementara pada dimensi ideologisnya pun tersingkap beberapa petanda konotatif utama yang sangat signifi kan perannya bagi proses pemahaman atas fi lm ini. Kata kunci: seni instalasi, signifi kasi, retorik, ideologi.

ABSTRACT The rhetorical and ideological meaning of the installation works in Opera Jawa Film by Garin Nugroho. Opera Jawa fi lm by Garin Nugroho tries to combine many kinds of art fi eld and its genre. The collaborative project carried out by some arts maestros - from the singing art and Javanese music, fashion, and the dancing art, to the installation art which was carried out by some artists, such as Entang Wiharso, Nindito Adipurnomo, and friends – could give the most signifi cant effect to Opera Jawa which pays more attention to visualization. Based on the semiotic reading to the installation works in the contexts of interrelated scenes, it can be known that the signifi cance of the installation works on the symbolic of the message level has emphasized the main connotations which consist of the rhetorical fi gures such as: metaphor, metonymy, symbol, and personifi cation. On the other hand, based on the ideological dimension, the main connotative signs which are regarded very signifi cant for the understanding process on this fi lm can be clearly exposed. Keywords: Installation art, rhetoric, Javanese opera.

Pendahuluan Konfl ik dan perang di antara kedua lelaki ini Film Opera Jawa disutradarai oleh Garin pun tidak terelakkan. Ludiro pada akhirnya mati Nugroho (2006) berdasarkan pada kisah “Pen- terbunuh. Siti pun tewas di tangan Setyo sendiri. culikan Sinta”, sebuah fragmen dari epik Rama- Bagi Garin Nugroho sendiri fi lm ini merupakan yana. Film ini mengisahkan hubungan cinta sejenis requiem duka atas berbagai peristiwa segitiga di antara Setyo (diperankan oleh Mar- kekerasan dan bencana di berbagai wilayah dunia, tinus Miroto), Siti (Artika Sari Dewi), dan khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ludiro (Eko Supriyanto). Pasangan Setyo dan Siti Sebagai sebuah fi lm opera, Opera Jawa mencoba menjadi pedagang gerabah yang usahanya tengah memadukan berbagai bidang dan genre seni di mengalami kebangkrutan, sementara Ludiro dalamnya. Di dalam fi lm ini Garin Nugroho telah seorang jagal kaya dan berkuasa. Ludiro menaruh bekerja-sama dengan sekian banyak maestro seni, hasrat terhadap Siti dan berusaha terus untuk mulai dari seni vokal dan musik Jawa (tembang dan menggoda dan merayunya. Siti menanggapi karawitan), seni kostum, seni tari, sampai dengan hasrat Ludiro dengan ambigu, di antara menerima seni rupa kontemporer, khususnya seni instalasi. dan menolak. Tak pelak lagi, Setyo pun terbakar Eric Sasono (2006) pun mencatat pentingnya oleh amarah karena perasaan cemburu-butanya. penggunaan media seni lain di dalam fi lm ini.

1 Alamat korespondensi: Prodi S3 Media dan Budaya UGM, Gedung Lengkung, jalan Teknika Utara, Pugung, Yogyakarta. E-mail: [email protected]. HP.: 0816 426 2907

1 Christian Budiman, dkk. Retorik dan Makna dalam Film Opera Jawa

Seni instalasi, misalnya, sanggup menghadirkan Tradisi semiotika fi lm yang paling berpengaruh, beberapa metafora yang luar biasa, keragaman dan dengan upaya pencarian atas struktur-struktur kedalaman interpretasi, lewat latar (setting) yang kode fi lmis, hampir pasti beranjak dari hipotesis dibangun di dalamnya; seni tari menjadi bagian tentang homologi di antara bahasa dan fi lm ini dari ekspresi akting, sementara tembang-tembang (Nöth, 1990: 463, 464). Tentu masih terdapat Jawa yang puitis (yang membungkus dialog-dialog beberapa topik lain yang telah melengkapi diskusi- antar-tokoh) dan komposisi musik karawitan diskusi ini, misalkan tentang hakikat tanda-tanda merupakan sebuah pilihan yang berani. Berkat fi lmis (the fi lmic signs) dan komunikasi fi lmis yang kolaborasi ini, khususnya di antara sutradara, juga merupakan topik sentral lain di dalam kajian- penata artistik, director of photography, dan para kajian semiotika fi lm pada fase perkembangan perupa instalasi (Entang Wiharso, Hendro berikutnya (lihat Nöth, 1990: 463, 464-466; Stam Suseno, Nindityo Adipurnomo, S. Teddy D., et al., 1998: 29-31). Kemudian, dengan meminjam Sunaryo, Titarubi dan Agus Suwage), Opera Jawa trikotomi ikon-indeks-simbol di dalam semiotika boleh dikatakan sebagai sebuah fi lm yang sangat Peircian sebagai titik pangkalnya, semiotika fi lm mementingkan misè-en-scene, yang sangat peduli juga menaruh perhatian kepada topik-topik lain dengan visualitas, mulai dari aspek komposisional seperti kemanasukaan (arbitrariness) dan ikonisitas sampai dengan segenap aspek visual lain dalam (iconicity) di dalam citra-citra fi lmis. dimensi keruangannya (lihat Bennet, Hickman, Selain itu, tidak sedikit pula pakar fi lmologi dan Wall, 2007: 25). yang bersepakat bahwa esensi fi lm dapat dikaji Dengan demikian, sebagai sebuah karya dengan lebih memadai pada tataran tekstual, sinematografi , Opera Jawa dihadirkan terutama bukan pada tataran sintaksis atau gramatika sebagai suatu komposisi citra-citra dan tanda- semata-mata. Seperti dikemukakan oleh Metz tanda visual. Visualitas ini tentu perlu pula (1974: 93; Andrew, 1976: 234), sarana penyampai dicermati secara tersendiri sebagai tanda-tanda makna yang khas pada fi lm sebetulnya terletak yang bermakna. Dari sekitar 80-an adegan (scenes) dalam penataan sekuens-sekuens, bukan dalam yang dihadirkan di dalamnya, dapat dipisahkan 11 shot atau scene, karena fi lm pada hakikatnya adalah adegan khusus yang di dalamnya diintegrasikan teks naratif yang “menyampaikan cerita”. Tentu karya-karya instalasi (dan patung) dari enam saja masih terdapat beberapa topik lain yang orang perupa. Karya-karya tersebut menjadi relevan bagi kajian semiotika fi lm. Salah satunya bagian penting, untuk tidak mengatakannya berkenaan dengan fi lm sebagai sistem konotasi utama, dari kesebelas mise-en-scène adegan- dan/atau ideologi. Titik berangkat topik ini adalah adegan tersebut. Pada bab berikut akan saya kaji sebuah asumsi bahwa fi lm bisa diperlakukan karya-karya instalasi ini secara lebih detail dalam sebagai mitos atau konotasi dalam pengertian konteks citra-citra atau tanda-tanda visual pada Roland Barthes (1983 & 1984), yakni sebagai adegan-adegan yang bersangkutan. Penelusuran sistem semiologis tataran kedua (the second order akan dilakukan satu demi satu, per karya instalasi semiological system) yang merujuk kepada fragmen dari masing-masing perupa tanpa mengikuti ideologi tertentu. kronologi peristiwa di dalam struktur naratif. Secara khusus berbicara tentang tanda- Pilihan ini semata-mata demi memudahkan tanda visual, Roland Barthes (1984: 16-27, 33- pengelompokkan dan pendeskripsian dengan 46), membedakan dua tipe pesan yang niscaya tujuan untuk memperlihatkan prosedur signifi kasi terkandung di dalam proses signifi kasi citra pada setiap karya secara lebih teliti, mulai dari (image). Sebagai pesan ikonik (iconic massage) dimensi retoriknya hingga dimensi ideologisnya. yang dapat kita lihat, entah berupa adegan, lanskap, atau realitas harfi ah yang terekam, Film Sebagai Sistem Signifi kasi mengikuti Barthes (1984: 17 & 33-36), citra Diskusi-diskusi dalam semiotika fi lm hingga dapat diperbedakan menjadi dua tataran, yaitu tahap perkembangannya, banyak didominasi (1) pesan harfi ah atau pesan ikonik tak-berkode oleh sebuah topik besar, yaitu tentang bahasa (non-coded iconic message) dan (2) pesan simbolik fi lm (fi lm language) atau, dengan konsep yang atau pesan ikonik berkode (coded iconic message). lebih teknis, gramatika fi lm (the grammar of fi lm). Pesan harfi ah, sebagai sebuah analogon itu sendiri,

2 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 merupakan tataran denotasi dari citra yang berfungsi untuk menaturalkan pesan simbolik; sementara pesan simbolik merupakan tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotipe tertentu. Dengan kata lain, sebagai pelengkap bagi isi analogis, kita dapat menemukan makna pada tataran kedua yang petanda-petandanya mengacu kepada budaya tertentu: kode dari Gambar 1. Detail karya instalasi Entang Wiharso. tataran konotasi ini mungkin tersusun dari suatu Sumber: Opera Jawa (2006). tatanan simbolik universal atau retorik dari satu periode tertentu atau, singkatnya, dari semacam stok stereotipe kultural. Petanda-petanda dari citra yang berkonotasi ini dapat disebut sebagai ideologi, sedangkan penanda-penandanya disebut sebagai retorika atau konotator-konotator. Dengan demikian, signifi kasi merupakan imposisi makna pada pesan itu sendiri, yang direalisasikan pada tataran-tataran yang berbeda, yakni pada tataran pertama (denotasi) dan kedua (konotasi) (lihat Barthes, 1984: 20-21). Gambar 2. Ludiro di tengah-tengah karya instalasi Signifi kasi Karya Instalasi dalam Entang Wiharso. Beberapa Adegan Opera Jawa Sumber: Opera Jawa (2006). Sebagaimana telah disinggung secara singkat di depan, kolaborasi dengan para perupa telah berdiri, berjongkok, dan menari di antara kepala- menjadikan latar ruang di dalam fi lm Opera kepala manusia yang terbuat dari lilin berwarna Jawa tampak ditaburi oleh karya-karya seni rupa, keemasan yang tersebar di sekujur lantai (Gambar khususnya karya instalasi (dan patung). Dengan 1 & 2). Masing-masing kepala manusia ini karyanya masing-masing, tujuh orang perupa ditempatkan pada sebuah piring. Tarian Ludiro telah ikut terlibat di dalam kerja kolaborasi menampilkan pula beberapa gestur dan sebuah ini, yaitu Entang Wiharso (Tegal, 19 Agustus objek lain yang signifi kan, yaitu mengangkat 1967), Hendro Suseno, almarhum (Yogyakarta, dan membanting objek yang berupa kepala sapi. 24 Oktober 1962 – Juni 2006), Nindityo Tindakan mengangkat dan membanting ini Adipurnomo (Semarang, 24 Juni 1961), S. Teddy merupakan rangkaian dua penanda yang berelasi D. (Padang, 1970), Sunaryo (Banyumas, 1943), dengan ‘tindak kekerasan’ sebagai petandanya serta Titarubi (Bandung, 15 Desember 1968) dan pada tataran signifi kasi pesan simbolik. Sementara, Agus Suwage (Purworejo, 1959). Berikut ini akan seperti halnya kepala-kepala manusia tadi, tubuh dibahas secara detail persoalan signifi kasi visual sapi yang tergantung dan kepala sapi pada tataran karya-karya mereka setahap demi setahap di dalam signifi kasi yang sama berelasi dengan petanda konteks adegan yang terkait. ‘korban-korban kekerasan’ dan menyodorkan sebuah fi gur retoris yang berupa metafora. Entang Wiharso Adegan ini diakhiri oleh sebuah tindakan Adegan yang mengintegrasikan karya instalasi memadamkan api pada sebuah kepala manusia dari Entang Wiharso menempati sebuah ruang yang lilin berwarna merah (bandingkan diksi warna ini berupa rumah jagal. Di sana Ludiro bersolilokui, dengan getih ‘darah’, sebuah kata kunci di dalam memperkenalkan diri: “aku panguasaning dunya solilokui yang ditembangkan Ludiro), yang pada [aku penguasa dunia],” ujarnya. Dia muncul dari tataran pesan simbolik berelasi dengan petanda balik sebongkah tubuh sapi yang tergantung, lalu ‘kematian’ atau ‘padamnya kehidupan’ dan

3 Christian Budiman, dkk. Retorik dan Makna dalam Film Opera Jawa mengambil fi gur retorik berupa metonimi dan dalam adegan ini kita dapat menyaksikan juga simbol. Perhatikan bahwa penanda yang berupa dengan lebih dekat betapa rupa mereka putih kepala-kepala manusia di dalam karya instalasi pucat, yang menunjukkan petanda ‘mayat’ secara Entang ini ditaruh di atas piring-piring sedemikian lebih jelas (Gambar 4). Sementara itu, Sukesi sehingga dapat berelasi dengan petanda lain, yaitu menembangkan sebuah doa bagi Ludiro dan para sebagai ‘sajian’. Kehadiran kedua unsur ini sebagai korban kekerasan lainnya. Menelusuri prosedur rangkaian penanda memperlihatkan bahwa pada signifi kasi pada adegan ini, tentulah penanda tataran signifi kasi simbolik ia merupakan ‘sesuatu utamanya tetap berupa boneka-boneka kain yang yang disajikan’ atau ‘korban yang disajikan’ di pada tataran pesan simbolik berelasi dengan hadapan seorang tokoh pelaku kekerasan, yaitu ‘korban-korban kekerasan’ seperti di dalam dua Ludiro. adegan lain sebelumnya yang juga menampilkan karya instalasi Hendro Suseno. Penanda ini Hendro Suseno berjalin dengan tindakan berdoa dan kostum yang dikenakan oleh Sukesi, seorang tokoh yang Persis pada adegan sesudah tewasnya Ludiro notabene adalah ibunda dari Ludiro. Dengan di tangan pasukan Setyo, karya Hendro Suseno kata lain, tindakan berdoa dan kostum Sukesi ini dihadirkan ketika tokoh Sukesi muncul di sebuah merupakan penanda-penanda signifi kan yang pelataran di belakang rumahnya, berkostum serba berelasi dengan petanda-petanda khusus dalam hitam yang pada tataran signifi kasi simbolik adegan ini, yakni ‘berdoa’ dan ‘berduka’. menandakan ‘dukacita’. Di pelataran itu boneka- boneka kain bergantungan (Gambar 3), yang pada tataran signifi kasi pesan simbolik berelasi dengan Nindityo Adipurnomo sebuah petanda, yaitu ‘mayat-mayat; korban- Meskipun hanya sebuah adegan (Sc. 17) korban kekerasan atau teror’. Kondisi digantung, yang mengintegrasikan karya instalasi Nindityo lemas, dan wajah pucat juga merupakan ciri Adipurnomo di dalam Opera Jawa, namun justru yang menjadi penanda-penanda langsung yang yang sebuah ini merupakan bagian penting yang berelasi dengan ‘mayat’ sebagai petandanya. Di sulit tergantikan sebagai sebuah latar spasial dari mise-en-scène. Adegan ini ditempatkan persis setelah adegan-adegan sebelumnya yang menyodorkan teror kekerasan yang disebarkan oleh anak buah Ludiro di pasar, juga ungkapan hasrat erotik Ludiro kepada Siti, yang berupa sebuah undangan untuk menari berdua. Adegan ini diawali dengan tindakan tokoh Sura membuka pintu gerbang sambil membawa banten, lalu memasuki sebuah pelataran terbuka. Siti, disebabkan oleh keingintahuannya, mengikuti Gambar 3. Karya instalasi Hendro Suseno Sura secara diam-diam dari belakang. Ternyata, (Foto: Opera Jawa, 2006). setelah menerima bija (sebuah tindak ritual dengan

Gambar 4. Sukesi dan mayat korban kekerasan Gambar 5. Karya instalasi Nindityo Adipurnomo. (Foto: Opera Jawa, 2006). Sumber: Opera Jawa (2006).

4 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

jelas memiliki kemiripan dengan struktur emosi yang tengah dialami Siti setelah dia menyaksikan teror kekerasan dan mengalami godaan (seduction) oleh Ludiro di dalam adegan-adegan sebelumnya. Dengan kata lain, pada dimensi retorisnya, konstruksi labirin dari serabut kelapa ini merupakan sebuah metafora. Sementara itu, sapu lidi dan kukusan merupakan simbol dan personifi kasi sebagai pilihan fi gur-fi gur retorisnya.

Gambar 6. Si diserang oleh makhluk-makhluk kukusan. Sumber: Opera Jawa (2006). S. Teddy D. Berbeda dengan para perupa yang lain, S. cara melekatkan butir-butir beras di dahi dan/atau Teddy D. menyumbangkan sebuah karyanya leher, merupakan tindak purifi kasi) dari Sura, di yang berupa patung logam, bukan instalasi. pelataran itu Siti menemukan sebuah labirin Patung yang berwujud seekor hewan bertanduk dan makhluk-makhluk kukusan yang kemudian (kerbau) ini diintegrasikan sebagai suatu properti mengepung dan menyerangnya (Gambar 5). paling penting di dalam sebuah adegan, yakni Makhluk-makhluk ini memerangkap Siti di dalam adegan kemarahan Setyo yang disebabkan oleh labirin (Gambar 6). Hanya berkat pertolongan kecemburuan, lalu berorasi di hadapan para Sura dan kawan-kawannyalah yang mengusir pengikutnya (Gambar 7 & 8). Adegan Setyo makhluk-makhluk itu dengan menggunakan sapu berdiri dan berorasi di atas patung logam (Sc. 48) lidi, Siti pada akhirnya dapat diselamatkan. ini memberikan signifi kasi baru terhadap karya yang bersangkutan. Sebagai sebuah penanda Apabila diamati dengan lebih saksama, karya pada tataran pesan simbolik, kerbau ini tentu instalasi Nindityo ini sesungguhnya tidak persis berelasi dengan petanda-petanda ‘kekuatan’ berbentuk sebuah labirin, melainkan “hanya” dan ‘keperkasaan’; sementara materialnya yang sebuah konstruksi spiral konsentris dengan memanfaatkan material sabut kelapa yang ditumpuk-tumpuk. Melalui karya ini Nindityo merespon tuntutan naratif dari adegan yang bersangkutan dengan memanfaatkan susunan serabut kelapa berstruktur spiral sebagai penanda yang berelasi dengan petanda bagi kondisi psikologis tokoh Siti, yaitu ‘ketakutan’, ‘kekalutan’, dan ‘kebingungan’. Sebuah kondisi yang membuat dia tak berdaya, bagaikan limbah di sungai (“tanpa daya..., kaya limbah jroning kali,” demikian Siti Gambar 7. Karya patung logam S. Teddy D melalui solilokuinya). Konteks peristiwa dan (Foto: Opera Jawa, 2006). adegannya itu sendiri ikut menghadirkan beberapa komponen properti yang ikut menjadi penanda, misalnya saja sapu lidi yang bagi Sura dan kawan- kawan berfungsi untuk melindungi dan mengusir kukusan yang telah menyerang Siti. Penanda yang terakhir ini, kukusan, berelasi dengan petanda ‘kekuatan jahat’ yang mewakili dan telah dikirimkan oleh Ludiro kepada Siti, sementara sapu lidi, pada tataran signifi kasi simbolik, berelasi dengan petanda ‘senjata atau sarana pengusir kekuatan jahat’ sebagaimana telah digunakan oleh Sura dan kawan-kawan. Anyaman serabut Gambar 8. Setyo berorasi kelapa yang rumit dan sebuah konstruksi “labirin” (Foto: Opera Jawa, 2006).

5 Christian Budiman, dkk. Retorik dan Makna dalam Film Opera Jawa berupa logam pun sejalan dengan signifi kasi ini, yakni merujuk kepada ‘kekuatan’ dan ‘daya tahan (ketahanan)’. Kecuali itu, mungkin bisa saja jika penanda kerbau ini direlasikan dengan petanda ‘keliaran’ dan ‘kebuasan’. Dengan demikian, pada aspek retoriknya, ia merupakan sebuah metafora bagi kekuatan, keperkasaan, bahkan mungkin keliaran Setyo. Orasi yang disampaikannya pun berfungsi untuk mereproduksi atau menjadi anchorage, sebagaimana dikatakan oleh Barthes Gambar 10. Detail karya instalasi Sunaryo (1984: 25-26), bagi petanda-petanda konotatif ini. (Foto: Opera Jawa, 2006). Di sini diumpamakan dirinya sebagai kebo yang “wis kalah, ra iso polah [telah kalah, tak berkutik],” namun masih mencoba untuk berontak, melawan, konstruksi bambu dan bertebaran lembar-lembar marah, mengamuk. “Sirnakno! Patenono! kain merah (Gambar 10). Konstruksi bambu ini [Musnahkan! Bunuh!],” seru Setyo kepada para sungguh tampak berkebalikan dengan konstruksi pengikutnya. Setyo adalah seekor kebo (banteng) batu (candi). Yang pertama terkesan lentur, ketaton, dalam idiom Bahasa Jawa, yang terluka rapuh, dan tak-permanen, sementara yang kedua dan mengamuk. terkesan kaku, kukuh, dan kuat (tahan lama, durable). Sebuah candi merupakan objek religius monumental yang datang dari masa lalu dan tetap Sunaryo bertahan hingga kini. Sedangkan lembar-lembar Setidak-tidaknya terdapat sebuah adegan utama kain merah tadi pun tampak lentur dan melambai, yang melibatkan karya instalasi Sunaryo, yaitu sangat berkontras dengan kebekuan batu-batu adegan di sekitar Sukesi yang tengah melatih anak- candi. Warna merah juga secara konvensional anak dusun menari (Sc. 41-43). Secara keruangan dapat menyodorkan sugesti tentang hasrat (desire), (spacial) peristiwa di dalam adegan ini bergeser dari selain amarah dan bahaya. Dengan kata lain, ketiga dalam ke luar, ke pelataran depan rumah Sukesi unsur utama karya instalasi ini telah membangun (perhatikan bagaimana angle kamera bergerak gugusan penanda yang pada tataran signifi kasi searah dengan kain merah yang dibentangkan oleh simbolik berelasi dengan petanda-petanda anak-anak dan sekaligus mengikuti point of view tertentu: konstruksi bambu dengan ‘kerapuhan’, subjektif Ludiro). Kehadiran Ludiro di rumah ‘kelenturan’, dan ‘kesementaraan’; candi dengan ibunya itu tentu membuat Sukesi bertanya-tanya ‘kekukuhan’, ‘kekuatan’, dan ‘keabadian’, juga mengapa dia pulang, “Ngger, anakku, kenapa ‘masa lalu’ dan ‘religiositas’; sedangkan kain-kain kowe bali marang ibumu? [Nak, anakku, kenapa merah dengan ‘kelenturan’, ‘hasrat, dan ‘amarah’. kamu kembali pada ibumu?]” Sementara di Apabila diletakkan dalam konteks adegan Opera latar belakang yang cukup jauh tampak Candi Jawa, unsur-unsur pembangun instalasi Sunaryo Plaosan Utara menjulang dari balik rumpun secara keseluruhan tampak menekankan beberapa pohon tembakau (Gambar 9). Di sana terbentang watak tokoh yang terlibat di dalamnya, terutama Ludiro yang penuh hasrat terhadap Siti serta tabiat angkara-murkanya. Lembar panjang kain merah yang keluar dari rumah Sukesi, menjadi sebuah indikasi bahwa hasrat Ludiro tersebut memang dapat diasalkan kepada sumbernya, yaitu Sukesi, sehingga Ludiro semakin bernafsu mengejar- ngejar Siti. Singkatnya, karya instalasi Sunaryo ini telah memberikan kontribusi berupa dimensi retorik yang luar biasa kepada adegan terkait, yang berupa penggunaan fi gur-fi gur retorik metafora Gambar 9. Karya instalasi Sunaryo dan metonimi, juga simbol, secara spektakular. (Foto: Opera Jawa, 2006).

6 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Titarubi dan Agus Suwage konstruksi tenda brokat dan boneka-boneka terakota Sebuah karya instalasi hasil kolaborasi di ini merupakan sebuah metonimi. antara Titarubi dan Agus Suwage terdapat di Ketika karya instalasi Titarubi dan Suwage dalam adegan kepergian Siti menuju pantai (Sc. tersebut diposisikan sebagai bagian penting dari 64, 66-67, 71). Melalui karya instalasi ini mereka mise-en-scène peristiwa fi lmis yang melibatkan dua menyusun dua buah unsur utama adegan yang tokoh utamanya, yakni Siti dan Setyo (Gambar 11), berupa konstruksi tenda berbahan kain brokat dan terjadilah pengimbuhan dan fi ksasi makna yang boneka-boneka dari material terakota. Kedua unsur lain. Kepergian Siti ke tepi pantai menghadirkan pokok ini sekaligus berfungsi sebagai penanda- sebuah lokasi perbatasan – sebagaimana halnya penanda yang signifi kan. Pada tataran signifi kasi vagina yang dia masuki pun merupakan sebuah simbolik, konstruksi tenda brokat ini berelasi dengan ruang ambang, yaitu rahim tempat berdiamnya petanda ‘rahim’ dan/atau ‘vagina’ –sebagaimana janin di ruang antara Dunia Sana dan Dunia dapat diketahui melalui proses anchorage melalui Sini. Dengan kata lain, di dalam adegan ini judul karya (“Vagina Brokat”). Sementara itu, Siti melintasi sebuah ruang transisi dan pulang signifi kasi atas boneka-boneka terakota yang kembali ke dalam yang feminin atau kepada aspek tersebar di sekeliling konstruksi tenda untuk ibu. Terlebih lagi pada adegan selanjutnya tampak sementara ini masih ambigu sampai nanti baru bertumbuh rumpun padi di dalam konstruksi menjadi jelas ketika keberadaan mereka dikaitkan tenda brokat tersebut (Gambar 12). Asosiasi pun dengan konteks adegannya. Setidak-tidaknya secara kultural (Jawa) merujuk langsung kepada untuk sementara ini dapat diduga bahwa boneka- fi gur Dewi Sri, dewi penjaga bumi sekaligus dewi boneka terakota ini berasosiasi dengan komponen kesuburan. Dia adalah sekaligus sosok Ibu Pertiwi, makna ‘maskulin’ lewat pengoposisiannya dengan tempat kembalinya Siti ke dalam haribaannya. tenda brokat yang berasosiasi dengan komponen Signifi kasi dan pemunculan petanda ‘sosok yang makna ‘feminin’. Disimak dari aspek retoriknya, feminin’ ini juga memperoleh penekanan lain melalui pilihan material yang digunakan, yaitu kain brokat, bukan plastik atau terpal misalnya, yang tentu tidak akan mungkin membawa asosiasi kepada petanda ‘feminin’ itu. Dalam konteks yang demikian, dapat dibuat juga sebuah oposisi dengan komponen penanda yang disebut sebagai ambigu sebelumnya, yaitu boneka-boneka terakota yang tersebar di sekeliling tenda brokat itu. Apabila disimak dari aspek bentuk, terutama anatomi tubuhnya, jelas bahwa boneka-boneka terakota Gambar 11. Si dan Setyo di dalam karya instalasi ini merupakan gugusan penanda yang berelasi Titarubi dan Agus Suwage (Foto: Opera Jawa, 2006). dengan petanda ‘maskulin’. Terbunuhnya Siti di dalam tenda brokat tersebut merupakan kematian sekaligus kelahiran kembali sebagai rumpun padi yang menjadi penanda bagi petanda ‘kesuburan’, ‘Dewi Sri’, atau ‘Ibu Pertiwi’. Maka dari itu, di samping metonimi, dapat diidentifi kasi pula fi gur retorik lain yang dimanfaatkan di sini, yakni simbol.

Penutup Berpijak dari pembahasan di depan dapat disimpulkan bahwa karya-karya seni instalasi Gambar 12. Rumpun padi tumbuh di dalam tenda tersebut telah dengan sangat koheren dimanfaatkan brokat (Foto: Opera Jawa, 2006). sebagai komponen penting dalam proses signifi kasi mise-en-scène beberapa adegan di dalam Opera

7 Christian Budiman, dkk. Retorik dan Makna dalam Film Opera Jawa

Jawa. Signifi kasi pada tataran pesan simbolik atau lebih berimbang dan variatif dalam pilihan-pilihan konotatif di dalam adegan-adegan ini menonjolkan pendekatannya. konotator-konotator atau retorik utama yang berupa fi gur-fi gur seperti metafora, metonimi, Kepustakaan simbol, personifi kasi, dan antitesis. Sementara Andrew, J. Dudley. 1976. The Major Film Theories: pada dimensi (fragmen-fragmen) ideologisnya An Introduction. London: Oxford University tersingkap beberapa petanda konotatif yang Press. pokok seperti ‘(korban) kekerasan’, ‘ketakutan’, ‘kematian’, ‘hasrat’, ‘amarah’, ‘femininitas’, serta Barthes, Roland. 1983. Mythologies. London: beberapa petanda lain yang tampaknya tidak Methuen. begitu diutamakan. ______. 1984. Image, Music, Text. New York: Sebagai kata penutup, ada sedikit catatan Hill and Wang. yang sangat mendasar perihal kajian fi lm yang, Bennet, Peter, Andrew Hickman, dan Peter Wall. menurut James Elkins (2003: 106-107), selama 2007. Film Studies: The Essential Resource. ini sering mengabaikan visualitas karena lebih London: Routledge. berorientasi pada aspek-aspek non-visualnya. Elkins, James. 2003. Visual Studies: A Sceptical Dengan pengabaian ini kajian fi lm itu, sebagai Introduction. London: Routledge. implikasinya, hampir tak pernah melakukan Nöth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. pembacaan ketat (close reading) dan pada gilirannya Indianapolis: Indiana University Press. mengabaikan kualitas prinsipal dari sebuah fi lm, Sasono, Eric. 2007a. “Medium dan Bentuk yakni visualitas, bahwa fi lm merupakan sebuah Hibrida Opera Jawa,” Kompas, Jumat/2 medium visual. Oleh karenanya perlu diingatkan Februari. http://ericsasono.multiply. com/ pula urgensi penelitian dan kajian fi lm sebaiknya reviews/item/32. (1) berorientasi pada dan dengan pendekatan- pendekatan yang menerapkan cara-cara close Stam, Robert et al. 1998. New Vocabularies in Film reading, serta (2) lebih sensitif terhadap visualitas, Semiotics. London: Routledge. mengingat kodrat fi lm sebagai media (audio-) Metz, Christian. 1974. A Semiotics of the Cinema: visual. Kedua jalur ini perlu dikerjakan lebih Film Language. New York: Oxford University sering terhadap teks-teks fi lm apapun agar studi Press. fi lm, khususnya studi fi lm di , menjadi

8 Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 9-23 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Tatag De Penyawo: Perenungan Atas Identitas Kesukuan

M. Heni Winahyuningsih dan Usman Najrid Maulana1 Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta

ABSTRAK Tatag de Penyawo adalah sebuah koreografi kelompok yang ditampilkan oleh 9 orang penari laki-laki. Karya ini lahir dari hasil perenungan penata tari yang gelisah dengan identitas kesukuan. Paham animisme merupakan citra yang melekat pada kehidupan masyarakat suku Dayak, yang sebagaian besar dari kehidupan mereka sangat dekat dengan roh-roh leluhur, hal-hal supranatural, dan keyakinan yang kuat terhadap gejala-gejala alam dan tingkah laku binatang. Kepercayaan leluhur yang disebut kaharingan memberi ruang yang luas untuk melakukan berbagai upacara adat dengan penampilan berbagai kesenian. Ketika agama-agama besar mulai dikenal dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Dayak, tradisi upacara adat mulai ditinggalkan, dan keberadaan kesenian pun mulai terancam. Ada sebagaian sub suku Dayak yang ketika mulai memeluk agama baru tidak lagi mengakui sebagai bagian dari Suku Dayak, tetapi menyebut suku Melayu sebagai identitas kesukuannya. Hal inilah yang dialami oleh penata tari. Dia dilahirkan oleh seorang perempuan Suku Tidung yang memeluk agama Islam, sehingga harus menanggalkan kedayakannya, dan menjadi warga suku Melayu. Panggilan hati untuk terus menghormati tradisi kesukuan leluhurnya melalui aktivitas kesenian membuatnya tidak ingin kehilangan identitas sebagai orang Dayak yang beragama Islam. Melalui karya tari Tatag De Penyawo ini ia ingin merefl eksikan identitas kesukuannya, dengan mengeksplorasi pola-pola gerak yang terdapat dalam tari tradisi Dayak, Kita`. Kata kunci: Dayak, identitas suku, Hudoq Kita`

ABSTRACT Tatag De Penyawo : The contemplation of ethnic identity. Tatag de Penyawo is a group of coreography performed by nine male performers. This piece was born from the coreographer’s contemplation who worries about the ethnic identity. Animism is an image which attaches to the social life of Dayak Tribe, which is very close to their ancestor’s spirit, supernatural things, and strong belief to the natural phenomena and animal behavior. The ancestral belief, which is called Kaharingan, gives a lot of opportunities to perform traditional ceremonies featuring a variety of arts. When the major religions rstly known and believed by Dayak people, the traditional ceremony had been left behind. The situation endangered the existence of arts. When some people of Dayak tribe started to follow the new religion, they claimed themselves as Melayu Tribe for their ethnic identity instead of Dayak Tribe. The situation had also affected the choreographer’s life. He was born by a Muslim Dayak lady, and consequently, the Dayak culture has been abandoned since he becomes a part of Melayu Tribe. The coreographer’s desire to honor his ancestor tradition with arts activities leads him to maintain his identity as a part of Dayak Tribe who follows Islam. By this piece of arts, Tatag De Penyawo, he wants to re ect his ethnical identity by exploring the movement pattern in traditional dance of Dayak, Hudoq Kita`. Keywords: Dayak dance, Ethnic identity, Hudoq Kita`

Pendahuluan mencakup negara Brunei Darussalam, sebagian Tatag De Penyawo adalah sebuah karya tari wilayah negara Malaysia yang terdiri dari Sabah kontemporer dengan latar belakang etnis Suku dan Sarawak, serta negara Indonesia yang terdiri dari provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Dayak di Kalimantan Timur. Karya ini merupakan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, ekspresi kegelisahan penata tarinya yang berada dan Kalimantan Utara. dalam keraguan identitas. Akankah dia menyebut dirinya suku Melayu karena ia muslim, ataukah Menurut Yekti Maunati, masyarakat Dayak Kalimantan merupakan suku bangsa yang hete- menyebut Dayak karena darah yang mengalir di rogen, yang terdiri dari kurang lebih 405 sub suku tubuhnya adalah tetesan leluhur yang mewariskan kecil dari 6 rumpun yaitu rumpun Klemantan, naluri kedayakan kepadanya. Iban, Apo Kayaan, Murut, Ot Danum-Ngaju, dan Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Punan, yang masing-masing memiliki sejumlah Dyak) adalah nama yang oleh penduduk pesisir kesamaan yang signifi kan sehingga masih pulau Kalimantan diberikan kepada masyarakat memungkinkan untuk mengkaji kebudayaan pedalaman yang mendiami pulau itu yang Dayak sebagai satu kesatuan, terkecuali suku

1 Alamat korespondensi: Jurusan Tari ISI Yogyakarta Jalan Parangtritis Km 6.5. Sewon, Bantul, Yogyakarta. E-mail: heniwie@ yahoo.com

9 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu

Punan yang lebih nomadik. Kesamaan-kesamaan Agama Kaharingan memuat kepercayaan yang dimaksudkan meliputi kesamaan hukum tentang makhluk-makhluk halus atau roh (bali) adat dan pantangan, upacara kelahiran anak, yang terdapat di berbagai tempat. Kepercayaan perkawinan, kematian, ritual pengobatan, tradisi terhadap roh dan makhluk halus ini kemudian mengayau (berburu kepala), serta ritual panen diwujudkan melalui upacara-upacara keagamaan. raya. Penyebab keberagaman sub-sukunya adalah Maunati (2006: 81) menjelaskan bahwa dalam persebaran populasi dari satu generasi ke generasi kaharingan terdapat tiga jenis roh yang mereka berikutnya melalui persebaran cabang anak sungai percayai yaitu roh baik, roh jahat, dan roh yang yang seiring berjalannya waktu mendiami dan tidak dapat diduga. Roh baik seperti Bungan Malan berkembang di wilayah tertentu dan membentuk PeSelung Luan biasanya dipuja dalam upacara pola kebudayaan baru berdasarkan kebudayaan keagamaan masyarakat kaharingan. Contoh roh lama leluhurnya (Maunati, 2006: 61). baik lain misalnya bali uma’ (roh penjaga rumah Paham animisme merupakan dominasi ter- panjang), bali utung (roh penjaga penghuni kuat pada citra kehidupan masyarakat suku rumah), bali uman (roh baik padi), bali kamat dan Dayak, yang sebagaian besar kehidupan mereka bali suen (dipercaya dapat memberi keberanian sangat dekat dengan roh-roh leluhur, hal-hal dan ketrampilan pada manusia khususnya supranatural dan keyakinan yang kuat terhadap dalam berburu kepala). Sementara hal kematian, gejala-gejala alam dan tingkah laku hewan (dalam sakit, dan perasaan tidak menyenangkan seperti hal ini bunyi-bunyian dan arah terbang burung kecemburuan dan keraguan disebabkan oleh roh Enggang/Rhinoceros Hornbill yang diyakini jahat. Roh yang tidak dapat diduga antara lain sebagai roh tertinggi dalam hubungannya bali engkau (roh petir) dan bali pelaki (roh yang dengan alam atas) sebagai pertanda menyangkut bersarang di tubuh burung elang). Jika burung kelangsungan hidup mereka. Kepercayaan yang elang terbang dari kiri ke kanan merupakan dianut masyarakat Dayak secara turun-temurun pertanda baik, dan begitu pula sebaliknya. dari nenek moyang mereka disebut kaharingan. Masyarakat Dayak juga mempercayai mite-mite Tri Indrahastuti (2012: 31) mencatat bahwa yaitu cerita dewa-dewa, roh atau makhluk halus Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak dan segala yang berhubungan dengan animisme. kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Mite sebagai cerita yang mempunyai latar belakang yang berarti ada dan tumbuh atau hidup yang sejarah sangat dipercayai oleh masyarakat Dayak, dilambangkan dengan Batang Garing (dibaca dianggap sebagai cerita suci, dan menjadi landasan batang haring) atau Pohon Kehidupan. Inti dari dalam menata kehidupan untuk kemudian muncul fi losofi pohon kehidupan adalah keseimbangan dalam berbagai ketentuan seperti adat dan ritus. atau keharmonisan antara sesama manusia, manu- Masyarakat Dayak pada umumnya mempercayai sia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. tiga cerita suci (mitos) yaitu tentang asal muasal Sebagai kepercayaan, kaharingan memuat tentang atau terciptanya alam semesta, manusia pertama aturan hidup dengan nilai dan isinya yang bukan dan keturunannya, serta mitos tentang asal sekedar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku muasal padi (Radam, 2001: 161). Mitos-mitos yang secara turun-temurun disampaikan secara itu terus tumbuh dan berkembang, sehingga lisan. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan keyakinan akan kehadiran roh-roh tertentu yang bagi masyarakat suku Dayak, yaitu sejak awal akan menjaga dan melestarikan alam semesta Raying Hattala menciptakan manusia beribu- juga terus bertumbuh seiring dengan keyakinan ribu tahun sebelum masuknya ajaran agama masyarakatnya. Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Raying Hattala Ketika agama-agama besar mulai masuk ke merupakan sebutan Tuhan yang merupakan wilayah Indonesia dan berpengaruh kuat pada sumber segala kehidupan bagi masyarakat masyarakat, termasuk diantaranya berpengaruh Kaharingan. “Ranying” berarti Maha Tunggal, pada masyarakat Dayak, berangsur-angsur Maha Agung, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha menggeser keyakinan yang telah turun temurun Lurus, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, diwariskan leluhur. Saat ini sebagian besar Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, kekal, masyarakat Dayak telah beralih memeluk agama- Abadi, Maha Mendengar, sedangkan “Hattala” agama yang diakui negara, meskipun dalam artinya Maha Pencipta.

10 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 kehidupan sehari-harinya keyakinan terhadap jumlahnya mencapai 90 % dari seluruh jumlah kepercayaan lama masih melekat dan menjadi penduduk Melayu di Kalimantan. bagian dalam kehidupan mereka. Bagi Usman, penata tari Tatag De Penyawo, Sebagian besar masyarakat Dayak memeluk identitas baru ini dirasakan sebagai sebuah agama Kristen, bahkan bisa dikatakan agama tekanan. Dirinya merasakan terhegemoni atas Kristen menjadi ciri khas masyarakat Dayak saat kekuatan agama, yang seolah-olah memaksanya ini. Melalui proses akulturasi, orang Dayak yang untuk menanggalkan identitas kesukuannya. Hal memeluk agama Kristen masih melakukan adat itu menimbulkan kegelisahan karena ia senantiasa tradisi leluhur. Dalam kehidupan budaya Dayak, mempertanyakan asal muasal dan identitias akulturasi terjadi dalam suatu proses dialektika dirinya. Kegelisahan ini akhirnya memunculkan antara kepercayaan asli Dayak (kaharingan) dengan ide-ide kreatif penciptaan karya tari, yang Kristen. Teologi Kristen telah memberi ruang yang sesungguhnya merupakan kegelisahannya akan luas bagi berlangsungnya proses dialektika itu, jati diri dan identitas budaya yang melekat sehingga memungkinkan munculnya inter pre- pada dirinya. Dari kegelisahan inilah pada tasi-interpretasi baru yang kemudian mengerucut akhirnya lahir karya tari yang berjudul Tatag De menjadi suatu sintesis. Sintesis tersebut merupakan Penyawo, yang merupakan upaya untuk mencoba suatu pilihan strategis yang ditentukan oleh meredefi nisikan dirinya sebagai orang Dayak masyarakat Dayak yang memeluk agama Kristen yang memeluk agama Islam. Pelacakannya akan agar dapat menjalankan tata aturan hidup sesuai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Dayak, ajaran baru yang dipeluknya tanpa harus benar- pengalaman religiositas dan spiritualitasnya, benar menanggalkan keyakinan lama, sehingga serta berbagai teknik ketubuhan menjadi modal eksistensi kesukuan Dayak masih terus bertahan. dalam menciptakan karya tari ini, dan hal itu Lain halnya dengan sebagian orang–orang akan direfl eksikan kembali dalam bentuk sebuah Dayak yang memeluk agama Islam. Dalam tatanan pertunjukan tari kontemporer. norma-norma agama Islam, ada hal-hal yang ber- seberangan dengan adat tradisi Dayak, misalnya Ekspresi Pengalaman Koreografer dalam pelaksanaan ritus-ritus adat Dayak yang Usman Najrid Maulana lahir dan besar seringkali menggunakan binatang-binatang yang sebagai Suku Tidung yang beragama Islam. Suku dianggap haram oleh agama Islam sebagai bagian Tidung merupakan kerabat dari sub-suku Dayak dari kebutuhan ritus dan bahkan menjadi elemen Murut yang mengembangkan kerajaan Islam, penting dalam kehidupan masyarakat Dayak. sehingga tidak dikategorikan sebagai bagian dari Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan rumpun Masyarakat Dayak, tetapi dianggap babi sebagai bagian penting dalam upacara sebagai masyarakat Melayu sebagaimana suku adat dan kehidupan masyarakat Dayak. Oleh Banjar, Kutai, dan Paser (Maulana, 2013: 6). sebab itu, ketika memeluk agama Islam, mereka Lingkungan dan keluarga mengajarkan tata cara berangsur-angsur tidak lagi melakukan cara hidup hidup sebagaimana suku yang berbudaya Melayu, berdasarkan adat dan tradisi budaya Dayak. tetapi ketika dewasa ia yang banyak berkecimpung Dalam konteks ini, masyarakat Dayak mengadopsi dalam dunia seni dan tradisi justru semakin banyak sepenuhnya tata cara hidup dan tata peribadatan bersinggungan dengan adat tradisi masyarakat Islam. Orang Dayak yang beragama Islam itu Dayak. Kegiatan-kegiatan seni pertunjukan yang selanjutnya meninggalkan adat tradisi leluhurnya diakrabinya pada umumnya merupakan bagian dan memilih identitas yang baru sebagaimana yang dari ritual upacara adat dan keagaman masyarakat dianut oleh orang-orang Melayu. Norma-norma Dayak, yang baginya berseberangan dengan ajaran agama Islam yang ketat tampaknya tidak memberi keluarga dan lingkungan masa kecilnya. Konfl ik ruang bagi perkembangan adat dan tradisi Dayak personal ini yang kemudian melatarbelakangi lama, yang menyebabkan sebagian dari masyarakat munculnya ide/gagasan untuk menciptakan karya Dayak kemudian merasa kehilangan jati dirinya. tari yang menceritakan kelahirannya yang secara Menurut Maunati (2006: 85), orang-orang garis keturunan adalah seorang manusia Dayak. Dayak yang memeluk agama Islam ini kemudian Ia tumbuh dan menyadari bahwa identitas bawaan menyebut dirinya sebagai orang Melayu, yang dan keinginan hidupnya saling bertolak belakang.

11 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu

Ia menyadari dalam tubuhnya mengalir upacara ini digelar setelah selesai menugal, yaitu darah Dayak, tetapi konstruksi sosial dan sebuah tahapan dalam tata cara bercocoktanam keagamaan memutus aliran darah itu. Tubuhnya secara tradisional di wilayah Kalimantan, yaitu berada dalam situasi ambigu, apakah sebagai menyiapkan lahan agar siap ditanami dengan tubuh yang mewadahi tradisi Dayak, ataukah cara membuat lubang-lubang kecil di tanah dan tubuh dalam konstruksi sosial keagamaan. Ada menaburkan benih ke dalam lubang-lubang itu. semacam perebutan identitas atas tubuh itu. Sarana upacara ritual kesuburan ini adalah Di sini ia mencoba mengambil sikap, berusaha kehadiran tari Hudoq, yaitu penari yang memposisikan dirinya dengan meredefi nisikan mengenakan topeng berwajah binatang, gambar- kedayakan dan keislamannya melalui karya tari an dewa-dewa penjaga tanaman. Menurut keper- ciptaannya yang diberi judul Tatag De Penyawo. cayaan masyarakat Dayak, Hudoq ini akan menjadi Karya tari ini dibawakan oleh sembilan penari media kehadiran dewa yang akan melindungi laki-laki yang memvisualisasikan kegelisahan- tanaman dari hama dan perusak tanaman yang lain, nya tentang identitas. Mode penyajian karya sehingga pada saatnya kelak dapat memberikan tari ini adalah simbolis representasional, yaitu hasil yang mencukupi kebutuhan pangan warga penyampaian pesan menggunakan gerak sim- masyarakat. Dalam upacara Pelas Tahun, topeng- bolis yang terkadang tidak dapat langsung topeng Hudoq yang berjumlah belasan akan dikenali maknanya oleh penonton. Karya tari ini menjadi media kehadiran roh/dewa. Mereka akan merupakan karya tari dramatik dengan musik menari dengan cara menggoyang-goyangkan ilustratif yang memberikan energi dan kekuatan kostum yang terbuat dari dedaunan. Dengan dalam penyajian karya tari. Adapun Gerak tari cara berkeliling para penari melakukan gerak dalam karya ini menginterpretasikan gerakan tari bergoyang-goyang dan diiringi dengan tetabuhan Hudoq Kita’ yang berupa gerakan hentakan kaki, dari instrumen musik gong (PSN, 2005). Gerak melangkah maju, dan gerak tangan melambai atau menggoyang-goyang busana yang terus berulang, mengayun ke depan dan ke belakang (Maulana, dipercaya akan mampu menghalau hama dan 2013: 7). gangguan-gangguan lain yang mencoba merusak tanaman yang baru tumbuh. Sesekali dilakukan Hudog Kita` Sebagai Inspirasi Artistik gerak memutar ke kanan atau ke kiri, yang Sember penciptaan karya seni bisa berupa bermakna meraih kebaikan bila ke kanan, dan apa saja. Pengalaman mendengar, melihat, mem- membuang kesialan bila berputar ke kiri. Bentuk baca, dan mengalami bisa menjadi sumber topeng Hudoq sendiri bermacam-macam, sesuai inspirasi untuk berkarya seni. Kejadian sehari- dengan bentuk roh pelindung masyarakat Dayak hari di dalam masyarakat seringkali menjadi yang juga terdiri dari sub suku yang beragam. inspirasi menarik bagi seorang seniman untuk Dalam penelitiannya tentang masyarakat Da- mengekpresikannya kembali ke dalam wujud yak Kenyah yang tinggal di desa Pampang Sama- karya seni. Melalui proses yang unik dan personal, rinda, Indrahastuti (2012: 31) melaporkan bahwa seorang seniman akan melakukan improvisasi upacara Pelas Tahun dilaksanakan setahun sekali, dan eksplorasi sampai mewujudkan bentuk seni yaitu di bulan Juni. Hudoq yang digunakan dalam yang diinginkan. Dalam hal ini koreografer Tatag upacara ini adalah Hudoq Kita`, yang dalam de Penyawo sesungguhnya ingin membagikan bahasa setempat berarti hudoq cantik, simbol perasaan dan kegelisahannya sebagai orang Dayak dewi pelindung tanaman. Topeng Hudoq cantik yang beragama Islam. Pengamatannya yang intens ini terbuat dari untaian manik-manik berwarna- pada sebuah upacara Pelas Tahun menuntunnya warni yang membentuk lembaran cadar, dengan untuk melakukan kerja kreatif menciptakan fi gure sebentuk wajah manusia di tengah lembaran sebuah karya tari. cadar itu. Topeng yang berbentuk cadar itu Pelas Tahun adalah sebuah upacara adat yang dihiasi dengan semacam serabut berwarna terang digelar oleh masyarakat suku Dayak sebagai bentuk di bagian atas yang membentuk semacam topi, ungkapan syukur atas hasil cocok tanam sekaligus sehingga bila topeng ini dikenakan akan menutup sebagai wujud harapan akan hasil yang lebih baik seluruh bagian kepala penari. Selain topeng yang untuk panenan yang akan datang. Umumnya menjadi elemen utama dalam tari Hudoq Kita`,

12 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 penari mengenakan atribut yang disebut kirip, dangan yang serba putih. Lantai tari telah dila- yaitu bulu-bulu burung enggang yang dijepitkan pisi lembaran plastik putih, cyclorama yang di antara jari-jari tangan. Bagi masyarakat Dayak dibuat dari kain putih, dan side wings semuanya Kenyah dan masyarakat Dayak pada umumnya, serba putih. Pusat pandangan berada pada satu burung enggang dipercaya sebagai burung penjaga penari, laki-laki berpostur tubuh semampai yang desa. duduk berselonjor merapatkan kaki di dead center Penampilan tari Hudoq Kita` dalam upacara proscenium stage. Ia membelakangi penonton, Pelas Tahun di Pampang Samarinda menghadirkan mengurai rambut panjangnya, menolehkan wajah 12 penari Hudoq Kita` yang semuanya adalah ke arah kiri, seolah ingin berucap sesuatu kepada wanita berusia sekitar 40-60 tahun. Bagi masya- penonton di belakangnya. Selembar cawat putih rakat Dayak Kenyah para wanita penari itu akan dikenakannya, dan hanya itu saja yang menempel menjadi media kehadiran dewi padi yang turun di tubuhnya. Di bagian belakang, yaitu di down dari Apo Lagan tempat para dewa dan dewi tinggal. center, 7 orang penari lain dalam balutan celana Roh-roh itu akan melindungi tanaman yang baru pendek merah menyala berdiri di dalam posisi tumbuh, menghalau hama dan gangguan lain, agar horizontal. Mereka semua diam. kelak dapat menghasilkan panen yang melimpah. Perlahan penari bercawat putih itu merubah Tempat upacara Pelas tahun di serambi lamin, posisi duduknya. Ia menekuk kakinya, perla- rumah adat suku Dayak Kenyah di Pedalaman, han berdiri sambil merentang tangan dan merupakan pusat kegiatan sehari-hari. Ruang menangkupkannya, kemudian berputar. Ketika terbuka di halaman lamin yang digunakan untuk ia sepenuhnya telah kembali membelakangi pelaksanaan upacara Pelas Tahun bermakna penonton, perlahan ia berjalan ke down center. untuk mendekatkan seluruh warga masyarakat Gerak berjalan itu mengingatkan pada gerak slow dengan lingkungan, agar terjadi keseimbangan motion dalam fi lm-fi lm action. Dalam gerakan dan hubungan yang harmonis antara manusia seperti ini ia kemudian menghilang ke center dengan alam sekitarnya. Alam yang merupakan right, bersamaan dengan tujuh penari yang lain sumber kehidupan harus dijaga kelestariannya telah membentuk formasi menyebar. Mereka agar senantiasa memberikan hasil melimpah. semua bergerak perlahan: melangkah, berputar, Sesuai dengan namanya, Hudoq Kita` memi- dan berjingkat menuju posisi masing-masing, liki karakter yang feminine –lembut yang akan sehingga proscenium terasa menjadi penuh karena menonjolkan kecantikan seorang perempuan. formasi menyebar tersebut. Kualitas gerak yang Hal itu tampak dalam gerak tari Hudoq Kita` ditampilkan begitu ringan, tidak membutuhkan yang sikap dasar tubuhnya cenderung tegak, kekuatan tenaga dan kelenturan, tetapi menyirat- merendah dengan gerak kaki melangkah dalam kan kebersamaan rasa yang diekspresikan dalam volume kecil, serta yang sangat khas dalam tarian langkah-langkah ringan itu. Ke tujuh penari sakral ini adalah kibasan-kibasan kecil di kepala, seolah telah memiliki ritme yang sama. Lantunan sehingga hiasan kepala itu bergetar seiring dengan dendang Sansana Malahoi, sebuah syair tentang gerak kibasan kepala itu sendiri. Gerakan kepala penciptaan manusia, dan pukulan bedug yang itu tampak menjadi aksen dari gerak langkah kaki seirama detak jantung yang teratur menjadi dan ayunan tangan dengan jemari menjepit kirip, pengiring bagian pembuka/ introduksi karya ini. yang dilakukan dengan volume kecil dan tempo Selanjutnya mulai digelar bagian pertama. pelan. Menekuk kaki dilakukan dalam setiap Pada bagian ini banyak ditampilkan gerak-gerak langkahnya, dan sesekali diberi aksen hentakan simultan, unison, dan rampak yang membutuhkan kaki semakin memperkuat kesan feminin dalam ketrampilan teknis yang sama diantara para tari Hudoq Kita`. Keanggunan dan kecantikan penarinya. Meskipun perkusi bedug yang ajeng gerak itu diperkuat dengan musik iringan yang mengiringi bagian ini, tetapi ritme gerak tarinya terdiri dari instrumen gong, jatung, dan sape. tidak selalu mengikuti ritme musik pengiring. Rangkaian gerak yang ditampilkan merupakan Deskripsi Karya Tari Tatag De Penyawo perpaduan gerak dalam kecepatan yang bervariasi. Ketika tirai panggung proscenium dibuka per- Dalam satu rangkaian gerak terdapat kecepatan lahan, penonton langsung bisa melihat peman - rendah dengan pola gerak mengalun, dan

13 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu dipadu dengan gerak yang dilakukan tiba-tiba sebagai cawat. Kibasan kain ketika dikenakan dalam kekuatan dan kecepatan tinggi, kemudian sebagai cawat membentuk disain melayang yang diakhiri dengan gerak pelan mengalun kembali. unik dan menarik, apalagi ketika di bagian up right Perpaduan menarik dari gerak-gerak canon juga muncul property lain yaitu topeng Hudoq Kita` menjadi tatanan yang secara cerdas memecah yang segera dikenakannya, seolah menjelmakan keheningan dan keajegan ritme yang ditampilkan penari itu sebagai sosok manusia Dayak yang sangat musik pengiringnya. Bagian ini didominasi oleh eksotis. Selanjutnya karakter dan tipe gerak yang kekuatan teknik gerak mengangkat kaki, berputar, disajikan secara solo ini semakin menunjukkan menjatuhkan diri, bangun dengan cepat dan ciri karakteristik gerakan tari Dayak yang anggun berlari untuk tiba-tiba berhenti tanpa kehilangan - feminin, yang dibangun dari gerak lambaian keseimbangan. Dalam satu rangkaian selalu tangan, kibasan kepala, sikap tubuh, posisi kaki, terdapat unsur gerak dengan mengalun lembut langkah, dan jingkat kakinya. Komposisi tunggal yang dipadu dengan gerak vibrasi pada bagian ini terasa pendek ketika dari bagian belakang stage tubuh tertentu serta gerakan yang dilakukan yaitu di up right stage muncul berderet 7 penari tiba-tiba, sesaat, dan dalam kecepatan tinggi dan mengenakan topeng hudoq kublo`, yaitu kreasi kekuatan penuh. Ditampilkan pula gerak-gerak pengembangan topeng Hudoq Kita`. Property dengan mengeksplorasi kekuatan penyangga ini menutupi seluruh bagian kepala hingga dagu tubuh yang bervariasi. Gerak ini membutuhkan penari, karena berupa semacam topi cadar tinggi ketrampilan teknik yang khusus, tetapi gerak- dengan rumbai kain warna-warni. gerak tersebut berhasil disajikan dengan baik Ke tujuh penari melakukan gerak langkah karena kemampuan teknik para penarinya, serta cepat dengan memegang sehelai kain hijau diperkuat dengan pilihan penari yang memiliki panjang. Beberapa motif gerak bergulung cepat postur tubuh yang hampir sama. dengan permainan kain panjang itu tampak sangat Semakin lama variasi gerak dan rangkaian kontras dengan penari yang mengenakan topeng gerak semakin rumit, panjang, dan kecepatan hudoq kita` yang terus menampilkan disain-disain makin meninggi, dengan perkusi yang semakin gerak feminin lembut dalam gaya spesifi k Dayak. cepat pula, sehingga memberikan suasana Dominasi tujuh penari semakin kuat, seiring tegang dan cukup melelahkan. Tiba-tiba dengan berlalunya penari Hudoq Kita` dengan para penari menjatuhkan diri di lantai secara langkah jingkat. Perpindahan perhatian kepada serempak, terlentang dan merentangkan kaki penari kelompok ini menandai diawalinya bagian mereka, bersamaan dengan aksen musik perkusi terakhir karya tari ini. menghentikan dentuman dan pukulan ritmenya. Selanjutnya suguhan disain yang dibangun Selanjutnya dengan perlahan mereka berputar dan dari kain panjang kembali muncul ketika ketujuh duduk berjongkok membelakangi penonton, lalu penari dengan caranya sendiri-sendiri mengenakan secara perlahan bergerak melangkah, menghilang kain panjang itu sebagai cawat. Kekuatan kibasan di balik side wings. Ini adalah akhir bagian pertama. lengan ketika melilitkan kain diantara kedua paha Bagian kedua menyuguhkan suasana yang dan pinggangnya memunculkan disain kain-kain lebih tenang, yang dibangun dengan iringan yang melayang di udara dengan lembut. Kibasan musik yang berasal dari instrumen sape (sampek). dan lilitan terus dilakukan, sampai tersisa ujung Seorang penari yang mengenakan G string kain yang kemudian dibiarkan berjuntai dari sewarna kulit turun perlahan dari gantungan yang pinggang ke bagian depan dan belakang tubuh. membungkusnya. Gerakannya sangat perlahan Selesailah ke tujuh penari mengenakan cawat tetapi dengan detil gerak yang sangat rumit, hasil hijaunya, untuk kemudian beralih menyuguhkan pengolahan eksplorasi gerak-gerak ingsutan kaki, pola-pola gerak lain yang tampak lebih atraktif berjingkat, melangkah, dipadu dengan gerak dan dinamis. Kecepatan dan keajegan ritme lengan dan pinggul yang sangat khas gaya Dayak. gerak sangat menonjol dalam bagian ini dan oleh Beberapa saat penonton disuguhi sajian komposisi karena dilakukan dengan rampak serempak maka tari solo yang memikat, sampai tiba-tiba di bagian suasana menjadi lebih semarak. Bila di bagian up right stage melayang kain panjang berwarna lain ekspresi kedalaman rasa dan jiwa mendapat hijau. Disambarnya kain itu, lalu dikenakannya porsi lebih banyak, maka pada bagian ini lebih

14 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 banyak ditampilkan disain-disain gerak yang Dayak. Penata tari ingin merefl eksikan kegelisahan ornamentik, ringan, dan semarak, sehingga terasa itu dengan menampilkan karya ini. Bagaimana sangat “menari” dan membuai. Gambaran akan kegelisahan itu diungkapkan, tentu menjadi etnis Dayak sangat kental pada bagian ini, karena bagian yang menarik untuk mengkajinya, yaitu elemen-elemen yang digunakan, yaitu elemen dengan menguraikan elemen-elemen pembangun gerak, iringan, karakter, property, dan atribut koreografi itu yang meliputi penari, struktur lainnya sangat lekat dengan ekspresi tari tradisi ruang, dan waktu. Elemen tersebut kemudian Dayak. dipahami sebagai bahasa simbol dan media Kesemarakan komposisi tari ini tiba-tiba ungkap kegelisahannya. terusik dengan kehadiran kembali penari bercawat putih yang dengan pelan memecah meriahnya Pemilihan Penari komposisi kelompok itu melalui gerak langkah Tatag de Penyawo adalah komposisi tari kaki yang teratur, dengan lambaian tangan ringan kelompok, yang terdiri dari 9 orang penari sebagai penyeimbang langkahnya. Ia melangkah laki-laki. Penyebutan akan koreografi kelompok seolah tidak hirau dengan permainan komposisi didasar kan atas jumlah penari pendukung, yang ruang dan gerak berjingkat yang tengah dilakukan satu sama lain memiliki ketergantungan fungsi penari kelompok dalam formasi diagonal. untuk membentuk satu kesatuan yang utuh, Sementara komposisi kelompok terus melakukan sehingga dapat dianalogikan sebagai sebuah locomotor movement dengan berjingkat, melambai, kesatuan organisma (Hadi, 2003: 1). Penentuan dan mengibas, penari bercawat putih dengan jumlah penari perlu mendapat perhatian tenang mengambil posisi di dead center stage, penting, karena melalui merekalah penata tari duduk berselonjor kaki membelakangi penonton, mengkomunikasikan gagasannya. Dalam karya ini dan menoleh ke kiri, sama seperti ketika dilakukan pilihan penari laki-laki adalah hal yang pertama di bagian pembuka tarian. Special light yang dilakukan, karena penata tari menginginkan penari- diarahkan padanya semakin meredup, seirama penarinya akan menjadi cerminan atau gambaran dengan dendang Sansana Malahoi yang makin dirinya sendiri yang berjenis laki-laki. Postur tubuh menghilang dari pendengaran. menjadi kriteria berikutnya, karena harus memiliki kemiripan dengan postur tubuh penata tari, yakni Analisis Koreografi penari dengan postur tubuh sedang dan kaki-kaki Sebuah karya tari adalah ekspresi, ungkapan yang jenjang. Kemiripan postur dan tinggi rendah jiwa dan rasa penata tari. Sebuah karya seni tubuh akan sangat menguntungkan untuk jenis- bisa jadi merupakan ekspresi individu dari para jenis garapan kelompok non drama tari. Tanpa ada pelakunya, tetapi juga merupakan ekpresi komunal penokohan dan peran, pilihan kesamaan postur masyarakat penyangga dan pendukungnya. akan menjadikan gerak-gerak rampak menjadi Tatag De Penyawo dalam bahasa setempat lebih optimal, dan meminimalisir kerepotan berarti rasa kehilangan yang sangat mendalam ketika akan menempatkan penari dalam formasi (Maulana, 2013: 13). Dalam konteks karya tari ini tertentu. yang dimaksudkan kehilangan adalah kehilangan Pilihan terpenting untuk para penari adalah identitas sebagai orang Dayak. Apakah benar kemampuan teknik tari yang prima. Modal dasar kehilangan identitas itu? Ataukah sesungguhnya seorang penari adalah kemampuan dan kecerdasan ia gelisah dalam upaya mengambil posisi dalam tubuhnya untuk melakukan gerak-gerak sesuai mendefi nisikan ulang identitas-identitas yang ada dengan kebutuhan dan tuntutan tekniknya. dalam dirinya, yaitu identitas Dayak yang diwaris- Tanpa bekal kemampuan teknik yang baik, maka kan leluhurnya, dan identitas yang dikonstruksikan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton oleh lingkungan sosial dan keagamaannya. tentu tidak akan sampai. Oleh karena itu, seorang Perantauannya di tanah seberang, bukannya penata tari akan memilih penari-penarinya yang semakin menjauhkan identitas kesukuannya itu, memiliki kemampuan teknik gerak dan kecerdasan tetapi justru semakin mengingatkan dan menya- tubuh sesuai dengan tuntutan karya yang akan darkannya akan kehadiran dirinya sebagai orang dilahirkannya, karena sebelum memulai proses

15 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu latihan pun, penata tari telah memiliki gambaran dalam mentransfer teknik dan cita rasa gerak kasar akan gerak-gerak yang akan digarapnya. yang dibuatnya untuk dilakukan seluruh penari, Melihat sajian koreografi Tatag de Penyawo, sehingga dalam komposisi kelompok tidak tampak maka kriteria penari yang dibutuhkan adalah ada seorang penari yang tampak lebih menonjol mereka yang memiliki stamina tinggi, lentur, dari yang lainnya. mampu melakukan teknik gerak jatuh-bangun, Lain halnya dengan pilihan penari tunggal bergetar, serta memiliki daya imitasi yang baik. Di dalam karya ini. Dalam karya ini ada 3 bagian samping itu, kepekaan akan ritme juga menjadi yang menampilkan penari solo, yaitu bagian awal, tuntutan tersendiri, karena dalam karya ini bagian ke dua, dan bagian akhir. Pada bagian awal banyak dilakukan gerak-gerak rampak yang ritme dan akhir komposisi solo ditampilkan sendiri geraknya tidak selalu selaras dengan ritme musik oleh penata tarinya. Ada keuntungan tersendiri pengiringnya. Sebagai contoh ada satu rangkaian bila seorang penata tari menjadi penari dalam gerak yang terdiri dari gerak tangan mengayun karyanya, karena ia tahu persis apa yang diinginkan pelan, kemudian tiba-tiba tubuh bergetar, lalu untuk diekspresikan. Untuk komposisi solo pada lari dengan cepat, dan diakhiri dengan berhenti bagian ke dua, pilihan penari lebih selektif karena mendadak. Rangkaian gerak seperti akan sangat keberhasilan komposisi itu hanya tergantung terasa “kering” bila dilakukan seiring dengan pada satu orang itu, sehingga harus dipilih penari ketukan perkusi pengiringnya, tetapi akan menjadi yang sangat tinggi kemampuan teknik tarinya. lebih hidup dan bermakna, ketika dilakukan Penari itu juga harus memiliki daya imitasi dengan ritme gerak penarinya sendiri yang muncul yang kuat, karena pada bagian solo ini banyak dari kedalaman rasa. Tantangan akan muncul ditampilkan motif gerak yang diambil dalam ketika gerak itu harus dilakukan bersama dalam tarian tradisi Dayak. Oleh karenanya, penari kelompok, sehingga perlu diupayakan melalui itu harus mampu menirukan pola gerak dengan latihan-latihan bersama untuk menyatukan ritme- teknik yang sesuai ketentuan, serta harus mampu ritme dan rasa gerak para penarinya. pula mengungkapkannya dengan kedalaman rasa Perpaduan antara postur tubuh, kelenturan, sesuai tuntutan ekspresi tarinya. stamina, ketrampilan teknik, dan kepekaan ritme ini akan makin lengkap bila penari memiliki Gerak dan Pola Lantai kesadaran ruang yang baik. Kepekaan akan Apabila penari menjadi intrumen dalam sebuah ruang antara, jarak antara, posisi, dan arah sangat karya tari, maka media untuk mengungkapkan dibutuhkan dalam garapan koreografi kelompok. adalah gerak. Keduanya menjadi bagian yang Akan terasa sangat mengganggu bila dalam satu tidak terpisahkan dalam sebuah koreografi , karena formasi berderet, jarak antar penari tidak rata hal itulah yang menjadi elemen utama koreografi . karena penarinya tidak cukup peka dengan jarak Materi gerak dalam karya tari ini adalah motif antara. Apalagi bila dikaitkan dengan pencahayaan, gerak yang ada dalam tari Hudoq Kita`, yang maka apabila seorang penari tidak tepat posisinya, berupa gerak berjalan melenggang dan melangkah ia akan kehilangan fokus pencahayaan. Bila hal itu menghentakkan kaki. Unsur-unsur gerak dalam terjadi, akan sangat mengganggu sentuhan emosi tari tradisi tersebut benar-benar dicermati, dan merusak keutuhan garap koreografi nya. untuk kemudian dilakukan eksplorasi dan Sembilan penari yang dipilih untuk membawa- pengembangan, sehingga melahirkan berbagai kan karya tari ini telah berhasil memenuhi motif gerak berjalan atau berpindah tempat tuntutan penata tari dalam hal-hal tersebut di atas, (locomotor movement) dengan disain, ornamen, ditambah dengan sebagian dari mereka tampak volume, level, ritme, dan variasi penggunaan telah memiliki pengalaman yang cukup dalam energi yang sangat kaya. Beberapa nama motif hal penampilan tari kontemporer. Keberhasilan gerak berpindah tempat ini adalah tanok diwa, itu tidak lepas pula dari kemampuan koreografer gantak, dan guang kati guang (gambar 1).

16 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Gambar 1. Sikap dasar tubuh dalam mo f gerak guang Gambar 2. Gejolak ba n yang digambarkan dalam gerak ka guang (Foto: Maulana, 2013) melen ng ke udara (Foto: Maulana, 2013)

Sebagaimana jenis locomotor movement, dalam terasa mengikat, tetapi ikatan itu begitu kuat karya ini gerak di tempat (stationary, body move- untuk dilepaskan. Kesan putus asa dan seolah tak ment) juga mendapat perhatian yang serius dalam ada harapan diwujudkan dalam rangkaian gerak pengolahannya. Body movement di sini banyak dengan menggeliat, melenting, dan berguling ditemukan dari pengolahan dan pencarian dari menjatuhkan diri (gambar 2). Kualitas gerak yang gerak keseharian, vibrasi, mengayun, memutar, begitu kuat untuk menggambarkan konfl ik batin meliuk, serta pengolahan variasi tumpuan badan. itu semakin terasa menyentuh karena kemampuan Baganak, gentimung, iluk jiwa, bepakot, dan muyak para penari mengekspresikannya dengan baik. adalah beberapa contoh body movement yang ada Gambaran akan keriangan dalam menjalani dalam karya tari ini. hidup dimunculkan dalam rangkaian gerak yang Sumber gerak yang diolah menjadi rangkaian tampak lebih ornamentik, ritmis, dan dipadu gerak tari ini bersumber dari sikap dasar gerak dengan iringan yang lebih melodis. Gerak-gerak tubuh dan gerak keseharian orang Dayak. Salah ini terdapat pada bagian ke tiga, yang banyak satu contohnya adalah sikap duduk berselonjor mengeksplorasi gerak berjingkat, berkibas, dan yang ditampilkan pada bagian paling awal tarian. melambaikan tangan. Corak gaya gerak tari Dayak Sikap duduk seperti ini adalah sikap duduk kuat, dengan hampir seluruh elemen ekspresi tari yang paling sopan yang harus dilakukan orang Dayak digunakan yaitu sikap tubuh, pola gerak, Dayak ketika berada di antara tetua. Kedua kaki iringan, serta atribut busananya. lurus dan rapat satu dengan lainnya, sedangkan Pengolahan materi gerak tari Dayak dengan tangan ditangkupkan di atas paha. Sikap kepala interpretasi dan pengembangan yang variatif itu dan pandangan tidak boleh mendongak, karena merupakan bahasa ungkap yang dipilihnya untuk itu menunjukkan ketidaksopanan. Ketika sikap memposisikan diri dalam situasi yang ambigu. ini ditampilkan di bagian awal dan akhir, ada Pengalaman ketubuhan Dayak menuntunnya pesan yang disampaikan, bahwa ia tetap berusaha untuk kembali kepada identitas lamanya, sehingga menjaga kesopanan dalam menuturkan perasaan dengan sengaja ia mengusungnya sebagai materi dan gejolak hatinya, juga sebuah kesadaran bahwa utama dalam karya ini. Idiom-idiom gerak Dayak hendak bertutur di depan tetua. yang diserap itu dihadapkan dengan idiom-idiom Kegelisahan dan konfl ik batin yang menjadi dan ikon-ikon gerak tari Melayu yang diwakili tema dalam karya koreografi ini disampaikan dengan gerak langkah kaki yang mengingatkan dalam rangkaian gerak yang mengekspresikan pada gerakan tari . Hal ini tampak misalnya perilaku religius orang berdoa, dirangkai dengan dalam gerak iluk diwa. Meskipun ikon tari gerak vibrasi tubuh, berlari, dan terhenti tiba- Melayu yang diwakili dengan langkah zapin itu tiba, untuk kemudian dilakukan gerakan serupa tidak selalu identik dengan Islam, tetapi ikon tari beberapa kali dalam variasi yang berbeda-beda. Melayu sengaja diambil karena dipandang sebagai Ada kesan seolah ingin lari dari sesuatu yang representasi atas identitas baru yang dianggap

17 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu telah menghegemoni dirinya. Sayangnya, porsi pemberian ikon Melayu ini sangat sedikit ditampilkan.

Cara penata tari mencoba memosisikan dirinya juga terbaca dari kehadiran gerak yang secara simbolis menggambarkan orang sedang beribadah. Diambilnya sikap orang akan bersholat dan diperkuat dengan lantunan ayat suci sebagai Gambar 3. Focus on one point dalam gerak rampak ilustrasi. Tampaknya ia pun merasakan terhegemoni simultan (Foto: Maulana, 2013) dengan kekuasaan agama, sehingga membuat tubuh bergetar dan meronta, lalu lari. Pola itu dilakukan beberapa kali, sehingga menimbulkan sentuhan emosi yang mengharukan. Bagian ini tampaknya ingin dimanfaatkan oleh penata tari untuk mengungkapkan kegelisahan, kegamangan, dan gejolak batiniahnya. Ikon-ikon keislaman dan kemelayuan yang ditampilkan dalam pola-pola gerak dan porsi yang terlalu sedikit, memberi Gambar 4. Focus on one point pada gerak gen mung kesan bahwa penata tari ingin kembali ke identitas (Foto: Maulana, 2013) lama, yaitu tradisi budaya Dayak. Dalam sebuah koreogra kelompok, penem- patan penari dalam sebuah formasi /pola lantai menjadi daya tarik tersendiri dan akan membantu menciptakan sentuhan emosional dan dinamika dalam pertunjukan. Untuk menciptakan sentuhan emosional dalam panggung proscenium, perlu mempertimbangkan pusat perhatian dengan menempatkan penari titik tertentu sesuai dengan Gambar 5. Focus on two points (Foto: Maulana, 2013) kuat lemahnya area stage. Secara konvensional di dalam panggung proscenium terdapat 7 area yang dianggap kuat dan 6 area lemah (Hadi, 2003: 31). Di samping menempatkan penari pada posisi yang sesuai dengan kebutuhan koreogra , maka dalam koreogra kelompok dapat dilakukan dengan cara membagi pusat perhatian. Hal ini dilakukan oleh koreografer Tatag De Panyawo dalam membuat formasi-formasi penari. Gambar 6. Formasi focus on three points dalam bagian Formasi yang kuat untuk gerak rampak ke ga (Foto: Maulana, 2013) (unison) adalah satu pusat perhatian (focus on one point) (gambar 3). Agar kerampakan gerak dapat ditampilkan optimal, maka jarak antara penari kendala tersendiri apabila gerakan ini dilakukan sebaiknya dipersempit. Salah satu contoh pola dalam formasi yang menyebar. Apabila dilihat dari tersebut terdapat dalam gerak rampak pada bagian formasi berkelompok di wilayah up right dengan pertama, ketika ke tujuh penari berada di wilayah up arah hadap ke samping, sesungguhnya bukan right dengan gerak rampak simultan yang dilakukan wilayah yang memberi sentuhan emosi kuat. Akan dengan cepat. Pola ini sangat menguntungkan, tetapi karena dilakukan dalam jarak antara yang karena ritme gerak tidak dituntun oleh ritme sempit menyebabkan penari dapat melakukan iringan tari, sehingga kesatuan rasa gerak penari gerak rampak cepat dengan optimal, sehingga menjadi andalan untuk dapat melakukan gerak memunculkan kesan yang kuat, menyiratkan rampak yang cepat tersebut. Akan menjadi kebersamaan, dan kekokohan.

18 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Untuk gerakan yang relatif lebih pelan, Musik pada iringan tari digarap sesuai dengan focus on one point dapat dilakukan dalam posisi kebutuhan tari serta suasana yang diinginkan yang berderet atau menyebar, seperti pada pada tiap bagiannya, sehingga pilihan bentuk dan gerak gentimung yang dilakukan dalam formasi struktur musik pun akan menyesuaikan kebutuhan berbanjar di wilayah up center. Wilayah ini bukan tarinya. Di bagian awal, iringan berupa vokal wilayah kuat yang mampu memberikan sentuhan tradisi kaharingan Sansana Malahoy yang ditambah emosional. Gerak gentimung yang dilakukan di dengan efek vokal delay yang memberi kesan wilayah ini tampak menjadi kuat bukan karena berulang, bersahutan, dan berkesinambungan penempatan formasi, tetapi karena pola gerak dan antara setiap lirik yang dinyanyikannya, sehingga suasananya sangat menghanyutkan (gambar 4). memunculkan suasana damai dan tenang. Pola ini dipecah dalam bentuk canon, sehingga Penggunaan vokal juga dilakukan pada bagian- sehingga suasana yang diinginkan dapat tercapai. bagian lain, dengan menampilkan lantunan ayat Pembagian pusat perhatian menjadi dua (focus suci Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 13. on two points) ditemukan pada bagian ke dua, ketika Pemanfaatan syair Sansana Malahoy dan penari tunggal solo berada di down left menari ayat suci itu mengisyaratkan bahwa diri penata dalam pola gerak tradisi Dayak, sementara di tari dihadapkan pada dua pilihan berat. Degub bagian up right tujuh penari dalam formasinya jantung dan irama hidupnya yang diwakili oleh membawa lembar kain hijau panjang. Meskipun tabuhan bedug menjadi tanda kegelisahannya dilakukan dalam arah hadap yang sama, kesan untuk bersikap. Sansana Malahoy dilantunkan yang muncul adalah dua hal yang berbeda (gambar dengan begitu menyayat karena efek delay, seolah- 5). Pada formasi ini penata tari akan menyatakan olah memanggil-manggilnya untuk kembali, dirinya sebagai orang Dayak baru. sedangkan lantunan ayat suci terasa begitu Contoh Focus on three points dalam gerak menyejukkan. Kontras ini sengaja dibangun rampak simultan yang kemudian dipecah menjadi untuk menyatakan kebutuhan rohaninya terasa pola gerak canon tampak dalam formasi pada disegarkan dengan ayat-ayat suci. Melalui kedua bagian ke tiga karya tari (gambar 6). Kesesuaian jenis ini, maka dapat dilihat posisi penata tari formasi dengan pola gerak dan arah hadap penari sebagai seorang muslim yang disegarkan dan akan memberikan sentuhan emosi yang berbeda- dihidupkan dengan ajaran Islam. beda, dan hal ini akan menjadi sumbangan yang Tampilan musik pengiring diperkaya dengan sangat berarti bagi pencapaian suasana dramatik tabuhan musik perkusi yang bersumber dari yang diperlukan dalam karya tari. Demikian pukulan bedug dengan karakter suara rendah atau pula halnya dengan pertimbangan jarak antara low section yang ajeg teratur seirama detak jantung, atau ruang antara yang dibangun dari disain yang kian lama kian berubah kecepatan dan gerak maupun formasi penari akan memunculkan intensitasnya sesuai dengan kebutuhan karakter sentuhan rasa yang berbeda. Seringkali menurut gerak dan suasana yang ingin dicapai. Dominasi perhitungan artistik pola-pola tertentu kurang musik perkusi ini sangat terasa pada bagian awal menguntungkan, tetapi kenyataannya justru tarian. pola tersebut bisa menjadi sangat kuat sentuhan Kesan dan suasana tradisi Dayak muncul dalam emosinya. bentuk-bentuk musik ilustratif dan melodis yang dihasilkan dari alat musik tiup, gesek, dan petik Iringan Tari yang sangat tipikal Dayak. Pada beberapa bagian Iringan tari merupakan salah satu faktor terdapat efek-efek khusus dari permainan alat penting yang mampu membangun suasana, dapat musik tiup yang diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan penguatan terhadap garapan tari, menciptakan suasana tegang dan mencekam. serta mampu membentuk atmosfi r yang mampu Pada saat memasuki adegan kedua dimainkan menyatukan seluruh gagasan (Sarjiwo, 2011: 181). alat musik petik tradisi yaitu sape` (sampek) yang Fungsi musik dalam karya tari ini tidak semata wujud dan juga karakter suaranya dapat mewakili bersifat ilustratif, tetapi hentakan beat, irama, identitas suku Dayak. Selanjutnya dihadirkan juga serta warna musik itu memberikan energi serta beberapa alat musik berbahan perunggu seperti kekuatan tersendiri dalam penyajian karya tari. gong dan kelintangan yang timbre atau warna

19 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu suaranya dapat membangun suasana agung. Tidak Bentuk yang kedua adalah cawat. Ada dua ketinggalan instrumen gendang digunakan sebagai warna cawat yang dikenakan, yaitu cawat berwarna pengatur tempo, dinamika, serta memberi aksen putih dan cawat berwarna hijau. Bahan cawat untuk gerak-gerak tertentu. itu adalah kain satin polos sepanjang 6 meter Di sinilah semakin jelas ke arah mana Usman dengan lebar 35 cm. Cawat putih dikenakan akan melangkah. Hampir seluruh identitas musik oleh penari tunggal di bagian introduksi dan Dayak diambil untuk menghidupkan karyanya bagian akhir, sedangkan Cawat hijau dikenakan itu. Perbandingan porsi yang kontras dalam hal oleh penari tunggal di bagian ke dua dan penari materi iringan tari menguatkan pengambilan kelompok 7 orang di bagian ketiga karya tari sikapnya atas identitas yang digelisahkannya. ini. Penari tunggal yang muncul di bagian kedua Ia tidak memilih untuk menghasilkan sebuah hanya mengenakan G-string warna kulit, sehingga sintesa dari proses yang secara dialektis dilakukan, memberi kesan telanjang dan polos. Beberapa tetapi ia memilih untuk kembali ke akar tradisi saat kepolosan itu dibiarkan, sampai melayang moyangnya. Ia ingin menyandingkan identitas kain hijau panjang dari batten, yaitu tempat untuk baru yang telah dikonstruksikan secara sosial itu menggantung lampu di proscenium stage (gambar dengan identitas lamanya. 7). Diraihnya kain itu, lalu mulai dikenakan sebagai cawat dengan melilitkannya beberapa Rias, Busana, dan Property. kali di antara selangkangan dan pinggangnya. Proses mengenakan cawat ini memunculkan Rias dan busana serta property merupakan disain tersendiri yang berasal dari kibasan kain elemen yang senantiasa hadir dalam sebuah panjang itu. Ketika cawat telah selesai dikenakan, pertunjukan tari. Ketiga hal itu seolah seperti lalu dilengkapi dengan property tari yang berupa halaman depan sebuah rumah. Itulah yang topeng Hudoq Kita`. pertama kali terlihat penonton, sehingga penonton Sebagaimana penari tunggal bercawat hijau, langsung dapat mengenali dan memberikan kesan. para penari kelompok juga hanya mengenakan Di dalam karya tari Tatag De Penyawo busana G string sebelum akhirnya mengenakan cawat yang dikenakan sangat sederhana, sehingga hijau. Selain G String, para penari mengenakan bagian-bagian tubuh penari sebagian besar topeng Hudoq Kublo, sebuah kreasi topeng yang tampak terbuka. Dari jenis yang sederhana itu, berbentuk semacam topi panjang yang menutupi ada 3 macam busana yang dikenakan. Ketiganya seluruh bagian kepala. Ada hiasan rumbai-rumbai seakan-akan hanya merupakan upaya menutup kain berwarna-warni yang melingkar pada topi aurat saja. Namun tidaklah demikian adanya, panjang itu, sehingga para penari tampak seperti karena ke 3 busana yang semuanya dikategorikan menyunggi benda di kepalanya. Rumbai-rumbai pakaian dalam itu memiliki dasar yang kuat dalam ini terus bergoyang seiring dengan gerakan para pemilihannya. penarinya yang dengan gesit bergerak dari satu Busana yang pertama adalah celana pendek motif ke motif berikutnya. berwarna merah terang. Busana ini dikenakan oleh penari kelompok 7 orang pada bagian pertama tarian, dan tidak ada atribut atau asesoris lain yang dikenakan selain celana pendek merah itu saja. Kesan bersahaja langsung muncul ketika para penarinya masuk ke area pentas hanya bercelana pendek merah, tanpa rias di wajah, dan tanpa hiasan apa pun di bagian-bagian tubuh lain. Dengan tubuh yang dibiarkan terbuka seperti ini detil gerak dan kekuatan otot penari sangat tampak jelas terlihat, seperti ketika mengangkat kaki lurus ke samping. Ketegangan otot paha dapat dilihat penonton, demikian juga ketika melakukan liyukan tubuh, otot-otot bagian tubuh Gambar 7. Disain garis lanjutan yang terbentuk dari yang menegang dapat disaksikan oleh penonton. kibasan kain panjang (Foto: Maulana, 2013)

20 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Dengan mengenakan G string dan topeng Hudoq Kublo, para penari masuk ke area pentas sambil menggigit sebagian dari kain hijau panjang. Bagian kain yang lain dipegang dan direntangkan sampai membentuk juntaian kain panjang, sebelum menjadi sebuah cawat. Gerak ke 7 penari kelompok itu sangat dinamis mengeksplorasi lembaran kain panjang itu. Kibasan-kibasan kain panjang itu membentuk disain garis lanjutan yang melayang di udara, kadang tampak seperti melesat dan menyambar. Ketika saatnya tiba, dengan caranya sendiri-sendiri kain itu dililitkan beberapa kali ke selangkangan dan pinggang, Gambar 8. Kostum yang sangat pikal Dayak: Cawat dan topeng Hudoq Kita` (Foto: Maulana, 2013) sampai tersisa ujung-ujung kain yang dibiarkan menjuntai menutupi separuh panjang pahanya. Jadilah mereka mengenakan cawat hijau dengan Kehadiran penari tunggal yang mengenakan topeng Hudoq Kublo di atas kepalanya. Topeng G string warna kulit menyiratkan bahwa manusia ini akan diganti dengan topeng hudoq yang lain, dilahirkan dalam kepolosan dan ketelanjangan, yaitu Hudoq Kita`, seperti yang dikenakan oleh sehingga identitas yang melekat dalam tubuhnya penari tunggal. Dengan demikian penonton adalah aliran darah warisan moyangnya. Kete lan- disuguhi proses mengenakan cawat 2 kali, yaitu jangan dan kepolosan ini sesungguhnya mem- oleh penari tunggal dan penari kelompok. bebaskannya untuk dikenai atribut apapun, yang kelak atribut-atribut luar itu akan membentuk Tampaknya pemilihan menggunakan busana identitas baru. Itulah mengapa penari itu meraih cawat itu adalah pilihan akan pernyataan diri kain yang turun dari atas. Ini sebuah simbol penata tari. Cawat adalah busana yang biasanya atribut yang datang dari “alam atas”, alam yang dikenakan oleh laki-laki di suku-suku pedalaman, memiliki kekuatan dan kekuasaan. Kain itu sebuah tidak saja di Indonesia tetapi di tempat-tempat lain atribut luar, atau pembungkus. Jadi, manusia yang di dunia masih ditemukan laki-laki mengenakan dilahirkan dalam ketelanjangan, kepolosan dan cawat sebagai pakaian sehari-hari dan pakaian keterbukaannya, akan tertutupi oleh pembungkus adatnya. Bahan cawat bisa terbuat dari dedaunan, yang berupa atribut-atribut bentukan sosial, kulit kayu, atau sehelai kain. Di sebagian suku budaya, dan religi. Kain hijau itulah bungkusnya, Dayak di pedalaman Kalimantan pun cawat simbol religi yang datang dari dunia atas, untuk masih menjadi pakaian yang melekat sebagai ciri diraih dan kemudian dikenakan sebagai identitas identitas suku tersebut. baru untuknya. Namun demikian dalam identitas Tatag De Penyawo yang sesungguhnya merupa- yang baru itu tetap melekat identitas lama, kan hasil perenungan dan pencarian diri penata karena ia mengenakan dengan cara yang dikenal tari terhadap identitas sukunya dengan sengaja dalam tradisi lamanya, yakni cawat (gambar 8). memilih cawat itu sebagai salah satu ciri identitas Dari elemen rias, busana, dan property dalam karyanya. Cawat di sini sebagai salah satu bentuk karya Tatag De Penyawo dapat diketahui posisi simbol yang diambilnya, untuk mewakili identitas dan sikap Usman dalam menghayati kehilangan suku dan leluhurnya. Di sisi lain, pilihan warna identitasnya. Ia mengukuhkan posisinya sebagai cawat hijau tua juga merupakan pertimbangan orang Dayak yang muslim. Atribut topeng- tersendiri. Dalam masyarakat tradisional, hijau topeng itu sungguh merupakan penguatan akan sering dimengerti sebagai simbol kesuburan, pengambilan sikapnya ini. gambaran masyarakat petani agraris yang hidup dari tanah pertanian. Lain halnya pilihan warna Tata Panggung dan Tata Cahaya hijau dalam karya Tatag De Penyawo yang secara Tata panggung dan tata cahaya menjadi unsur khusus ingin mengambil simbol warna yang penting dalam penataan artistik karya “Tatag De identik dengan simbol agama tertentu. Penyawo”, karena kedua unsur tersebut saling

21 NurSudarkoLalanMariaChristianM.Yohanes Heni RochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu mendukung dan berkaitan. Dalam karya ini Warna ruang pentas yang serba putih yang tempat pertunjukan yang dipilih adalah panggung dipilih oleh penata tari, menyiratkan sebuah proscenium, yaitu panggung dengan bingkai untuk keadaan yang terbuka dan suci. Apa yang dilaku- membatasi wilayah penonton dan pemain. Tata kan di atas panggung putih itu merupakan simbol panggung yang digunakan pada karya ini pada bahwa perenungan yang dilakukan Usman adalah dasarnya mengubah warna panggung proscenium sebuah kegiatan yang dilandasi niatan suci, yang biasanya berwarna hitam menjadi berwarna untuk mengisi dunianya dengan laku religi yang putih. Untuk itu digunakanlah cyclorama, side dengan kesadarannya telah diambilnya, tetapi wings, dan lantai panggung yang semuanya membiarkan degup aliran darah leluhurnya tetap berwarna putih. Cyclorama dibuat dari kain putih mengalir dalam tubuhnya. yang digantung di bagian belakang panggung, Penutup semua side wings dibalut dengan kain putih, sedangkan lantai panggung dilapisi dengan bahan Tatag De Penyawo adalah sebuah karya tari semacam perlak plastik yang menyerupai vinil kontemporer dengan latar belakang etnis Suku berwarna putih. Dayak di Kalimantan Timur. Karya ini merupakan ekspresi kegelisahan penata tarinya yang berada Keseluruhan ruang yang berwarna serba dalam keraguan identitas. Akankah dia menyebut putih itu memberi kesan panggung tampak dirinya suku Melayu karena ia muslim, ataukah lebih luas. Pertimbangan lain dalam pemilihan menyebut Dayak karena darah yang mengalir di war na panggung adalah kaitannya dengan pen- tubuhnya adalah tetesan leluhur yang mewariskan cahayaan, karena warna putih memiliki efek naluri kedayakan kepadanya. kuat dalam memantulkan cahaya warna apapun. Jadi, meskipun secara keseluruhan karya ini tidak Kebanyakan masyarakat Suku Dayak masih menggunakan pencahayaan yang rumit dan memegang teguh kepercayaan leluhur yang kompleks, tetapi dengan menggunakan warna disebut Kaharingan. Meskipun telah memeluk putih untuk seluruh bagian panggung, warna- agama - agama yang diakui pemerintah, mereka warna yang digunakan dalam busana maupun masih melestarikan tradisi adat Dayak, sebagai property tampak lebih kuat. Celana pendek merah bentuk pewarisan tradisi dan penghormatan menjadi begitu menyala ketika mendapat sorotan kepada leluhur. Akan tetapi ada salah satu sub lampu khusus di dalam panggung ini, demikian suku Dayak, yaitu Tidung warganya memeluk pula dengan kain panjang yang dikenakan sebagai agama Islam, dan tidak lagi menyebut sub suku cawat itu menjadi lebih tampak dramatis dalam itu adalah Dayak, tetapi menggolongkannya ke ruangan yang serba putih yang disorot lampu dalam rumpun suku Melayu. Tidung itu sendiri khusus. diturunkan dan masih berkerabat dengan Suku Unsur lain dalam tata panggung yang dimuncul - Dayak Murut. Hal inilah yang menggelisahkan kan adalah gambar ornamen yang dipro yeksi- penata tari, karena tampaknya ia ingin diakui kan di cyclorama dengan bantuan LCD projector. sebagai orang Dayak yang muslim. Gambar ornamen itu sangat khas Dayak, disebut Kegelisahan itu kemudian direfl eksikan ke Dewa Dange, yaitu gambaran manusia, symbol dalam sebuah karya koreografi kelompok 9 kebaikan. Motif seperti ini lazim digunakan penari laki-laki. Seluruh elemen koreografi yang oleh masyarakat Dayak untuk menghias dinding meliputi gerak, ruang, iringan tari, rias - busana, rumah panjang, rumah betang, lamin, perisai, pencahayaan, dan tata rupa pentas dijadikan serta topeng Hudoq. Kemunculan ornamen media ungkap kegelisaham dengan mengolah Dewa Dange dalam bentuk proyeksi ini semakin materi-materi elemen tersebut. menguatkan nuansa Dayak dalam keseluruhan Bagian-bagian dalam karya itu ditata secara apik karya. Ornamen itu menjadi titik perhatian dari untuk menyajikan penggalan dari bagian-bagian ruangan putih, yang mengingatkan akan hiasan pengalaman hidup dan harapan-harapan yang ingin serupa di tengah dinding rumah panjang suku dicapainya. Rangkaian gerak yang sangat puitis Dayak. di bagian pertama karya mengisahkan ketaatan

22 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 pada tatanan keagamaan, sekaligus kenangan Hadi, Sumandiyo. 2003. Aspek-aspek Dasar Koreo- akan tradisi leluhur yang terus membekas dalam grafi Kelompok. Yogyakarta: Elkaphi. sanubarinya. Hawkins, Alma M. 2003. Bergerak Menurut Kata Seluruh elemen koreografi menyiratkan bagai - Hati. Terjemahan I Wayan Dibia. Jakarta: mana ia mengambil posisi ketika berada pada dua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. situasi. Pengalaman ketubuhan, dan spiritualitas- Indrahastuti, Tri, 2012. Hudoq Kita’ Seni Pertun- nya pada akhirnya menuntunnya untuk men- jukan Ritual di Desa Pampang Kalimanta defi nisikan ulang identitas dirinya. Meskipun Timur (tesis). Yogyakarta: PPS ISI Yogyakarta. penata tari ingin kembali pada aliran darah Maulana, Najrid Usman. 2013. Tatag De Penyawo leluhurnya, akan tetapi ia ingin tetap mengenakan (skripsi). Yogyakarta: Jurusan Tari ISI Yogya- atribut baru yang menyejukkan dan yang telah karta. menyadarkannya akan keberagaman manusia. Maunati, Yekti. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta: Walaupun Tatag De Penyawo merupakan LkiS. karya tari yang membicarakan pengalaman dan kegelisahan seseorang, akan tetapi karya ini Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. memuat nilai-nilai religiositas yang universal, Yogyakarta: Yayasan Semesta. yaitu kesadaran bahwa Tuhan telah menciptakan Sarjiwo, 2011. “Rim-ba: Karya Tari Hasil Refl eksi manusia dengan segala keberbedaannya. Meski- Kehidupan Suku Anak Dalam” dalam Resital pun manusia memiliki perbedaaan warna kulit, Jurnal Seni Pertunjukan, Volume 12 No. 2 bangsa, bahasa, dan keyakinan, tetapi di dalam Desember 2011. Tuhan kedudukan manusia adalah sama, yaitu Smith, Jacqueline. 1976. Dance Composition; sebagai umatNya yang sepatutnya menjalani A Practical Guide for Teachers (Komposisi hidup seturut dengan perintah dan jalan yang Tari; Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru). telah digariskanNya. Terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalasti.

Kepustakaan Video Cheney, Gay. 1989. Basic Concepts in Modern Maulana, Najrid Usman. 2013. Tatag De Penyawo. Dance, A Creative Approach. New Jersey: (DVD), Koleksi pribadi. Prince ton. PSN. 2005. Tari Komunal (DVD). Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia.

23 MariaNurChristianYohanes Sahid Oktavia Don Vol.Budiman,, Konvensi-Konvensi 14 Bosko Rosiana No. dkk. 1,Bakok JuniDewi Retorik 2013:, , Musik dalamMinimax, dan 24-32 Inkulturasif DramaMakna Uwek-Uwek, dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Musik Liturgi Inkulturatif di Gereja Ganjuran Yogyakarta

Yohanes Don Bosko Bakok1 Program Studi Seni Drama dan Musik, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

ABSTRAK Gereja Ganjuran merupakan salah satu Gereja Katolik di Yogyakarta yang sering menggunakan musik inkulturatif dalam perayaan liturgi. Penggunaan musik inkulturatif sering kali aspek budaya lebih mendominasi dibanding aspek liturgi yang dirayakan. Jenis musik dan instrumen tertentu yang tidak disetujui oleh sebagian besar umat untuk digunakan dalam perayaan liturgi pun tetap digunakan. Penelitian ini bermaksud mengkaji fenomena- fenomena tersebut dalam perayaan Jumat Agung pada tanggal 22 April 2011 dengan berpedoman pada ketentuan- ketentuan mengenai musik liturgi yang berlaku dalam Gereja Katolik universal. Mengkaji fenomena ini digunakan teori inkulturasi dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik liturgi inkulturatif yang digunakan dalam perayaan ada yang sesuai dan ada yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada musik liturgi. Kata kunci: musik liturgi, inkulturatif, Ganjuran.

ABSTRACT The Inculturated Liturgical Music at the Sacred Heart of Jesus Church of Ganjuran Yogyakarta. The Sacred Heart of Jesus Church of Ganjuran is one of the Catholic Churches in Yogyakarta that often uses in culturated music in the liturgical celebration. In using the inculturated music, the cultural aspects often be more dominant than the celebrated liturgy. Certain types of music instruments that are not approved by the majority of people to be used in the celebration of the liturgy are still in use. This study is intended to analize this phenomenon, especially in the celebration of Good Friday on April 22nd, 2011 based on the provisions of the liturgical music that are applicable in the universal Catholic Church. The theory that is used to study the problem of this research is the theory of inculturation, and the research method is qualitative method. The result of the research showed that some inculturated liturgical music used in the celebration of Good Friday on April 22nd, 2011 was appropriate, and some of it was not appropriate based on the provisions of liturgical music. Keywords: liturgy music, inculturated, Good Friday, Ganjuran.

Pendahuluan yaitu; masa biasa, masa Natal dan masa Paskah. Musik liturgi baik musik vokal maupun musik Masa biasa adalah masa di antara masa Natal dan instrumen adalah musik yang digunakan dalam Paskah, di antara masa Paskah dan masa Natal perayaan liturgi umat Katolik. Musik liturgi berikutnya. Termasuk dalam masa Natal adalah memainkan peranan penting untuk menghantar masa Adventus yaitu masa persiapan bagi segenap umat ke dalam suasana hikmat ketika menjalankan umat Katolik untuk menyambut perayaan Natal. kebaktian kepada Tuhan sehingga menjadi bagian Termasuk masa Paskah adalah masa pra Paskah integral dari liturgi Gereja Katolik (Hardawiryana, yaitu masa persiapan untuk menyambut perayaan 1990: 44). Nyanyian liturgi bukan saja mengiringi Paskah (Komisi Liturgi KWI, 1993: XVIII-XX). perayaan liturgi melainkan juga menjadi bagian Perayaan Jumat Agung yang menjadi fokus tulisan dari liturgi itu sendiri karena lirik tertentu dari ini merupakan perayaan yang diselenggarakan nyanyian tersebut merupakan doa-doa liturgis. dalam masa pra Paskah dan secara khusus Musik liturgi yang dipakai dalam ibadat atau merenungkan penderitaan dan wafat Tuhan Yesus perayaan Ekaristi biasanya disesuaikan dengan demi mendatangkan keselamatan bagi umat tema liturgi. Lirik lagunya pun mencerminkan manusia. fi rman Tuhan yang tertera dalam Kitab Suci. Tema umum di atas menggunakan musik Secara umum tema-tema liturgi tersebut dibagi liturgi yang disesuaikan dengan tema-tema khusus menjadi tiga masa utama sesuai penanggalan liturgi perayaan Ekaristi atau ibadat seperti perayaan

1 Alamat korespondensi: Prodi Sendratasik, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Jalan A. Yani No. 50-52 Merdeka, Kupang – NTT. Email: [email protected]. HP: 085239066254.

24 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 nikah, perayaan kematian atau misa/ibadat arwah, seorang individu diintegrasikan ke dalam perayaan ulang tahun, perayaan syukur wisuda kebudayaan pada zaman dan tempat tertentu dan lain sebagainya. Demi memenuhi kebutuhan (Bakker, 1984: 103). Proses yang sama terjadi juga akan nyanyian pada tiap perayaan sesuai tema- dalam musik liturgi inkulturatif dimulai dengan tema tersebut, Pusat Musik Liturgi (PML) sudah pertemuan antara musik liturgi gereja tradisional menerbitkan buku-buku nyanyian resmi yang dengan kebudayaan tertentu. Dalam pertemuan dapat digunakan oleh umat antara lain, Madah tersebut terjadi proses penyesuaian dari musik Bakti, Kidung Adi, Mazmur Tanggapan, Pujian liturgi gereja tradisional dengan kebudayaan Senja dan Pujian Malam serta beberapa buku setempat tanpa menghilangkan atau mengaburkan nyanyian lainnya. nilai-nilai religius yang terdapat dalam musik Perayaan liturgi merupakan perayaan umat liturgi gereja tradisional tersebut. Perubahan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial terlihat antara lain pada bahasa yang digunakan budaya mereka sehingga sejak Konsili Vatikan II dalam lagu liturgi, alat musik dan motif-motif tahun 1962-1965, gereja membuka peluang bagi lagu, sedangkan yang masih tetap dipertahankan masuknya unsur-unsur budaya tradisional dalam antara lain isi dan makna lagu sesuai peranannya liturgi. Salah satu unsur budaya tradisional yang dalam perayaan liturgi. Nampak jelas di sini lazim digunakan dalam liturgi adalah kesenian bahwa ada aspek tertentu dari musik liturgi Gereja seperti seni musik, seni tari, seni sastra dan seni tradisional yang telah mengalami perubahan dan rupa. Secara spesifi k, musik tradisional yang biasa ada aspek lain yang masih dipertahankan. digunakan dalam liturgi disebut sebagai musik Metode penelitian yang penulis gunakan liturgi inkulturatif. Disebut musik inkulturatif dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena didalamnya terdapat pertemuan antara sedangkan pendekatan yang digunakan adalah aspek liturgi universal dan aspek tradisi yang pendekatan studi kasus. Metode kualitatif dirasa bertujuan menghantar umat dari latar belakang cocok dalam penelitian ini karena penulis ingin kehidupan dan budaya mereka yang kongkret memahami secara baik masalah yang ada melalui kepada perjumpaan dengan Allah dalam doa dan pengamatan langsung dan wawancara yang pujian. Pertemuan tersebut terjadi proses interaksi mendalam. Penelitian studi kasus dipilih karena sedemikian rupa sehingga baik aspek liturgi penulis sendiri sudah memiliki gambaran umum maupun tradisi mengalami transformasi (Prier, mengenai musik liturgi dan ingin mengkaji 1999:7). Keselarasan antara nilai-nilai liturgis dan tentang kasus spesifi k yang terjadi di Gereja nilai-nilai tradisi sangat ditekankan sehingga tidak Ganjuran berkaitan dengan musik liturgi tersebut. terjadi pertentangan di antara keduanya. Kasus tersebut diteliti secara komprehensif Gereja Ganjuran adalah salah satu Gereja dengan mewawancarai pihak-pihak terkait antara Katolik di Yogyakarta yang sering menggunakan lain pastor paroki Ganjuran, penanggungjawab musik inkulturatif dalam liturgi. Hampir setiap seksi musik liturgi pada perayaan Jumat Agung Minggu ada perayaan liturgi inkulturatif di gereja tanggal 22 April 2011, pemain , pemain ini di mana musik inkulturatif juga digunakan. trebangan, wakil umat yang hadir pada perayaan Demi memfokuskan pembahasan, dalam tulisan tersebut serta informan yang memahami lirik ini penulis hanya membatasi pada hasil peneitian lagu-lagu yang digunakan. mengenai musik liturgi inkulturatif dalam Perayaan Jumat Agung yakni perayaan untuk memperingati Sejarah dan Landasan Konstitusional penderitaan dan wafat Tuhan Yesus Kristus Musik Liturgi tanggal 22 April 2011. Masalah yang dianalisis di Musik liturgi Gereja Katolik adalah musik sini adalah apakah musik liturgi inkulturasi yang yang digunakan dalam liturgi atau kebaktian digunakan dalam perayaan Jumat Agung tersebut umat Katolik, baik musik vokal maupun musik sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang instrumen. Pemakaiannya pada kalangan umat musik liturgi? Katolik sendiri, istilah musik atau nyanyian liturgi Membedah masalah ini penulis menggunakan terkadang dipertukarkan secara kurang tepat teori inkulturasi yaitu teori yang menjelaskan dengan istilah musik atau nyanyian rohani. Musik tentang suatu proses latihan yang dengannya atau nyanyian liturgi adalah musik atau nyanyian

25 MariaNurChristianYohanes Sahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi Bosko Rosiana dkk. Bakok Dewi Retorik, , Musik dalamMinimax, dan Inkulturasif DramaMakna Uwek-Uwek, dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu yang pantas dan diijinkan dalam kegiatan-kegiatan Berdasarkan landasan konstitusional musik liturgis yaitu perayaan Ekaristi dan kegiatan- liturgi Gereja Katolik di atas dan dokumen- kegiatan ibadat, sedangkan musik atau nyanyian dokumen lain tentang musik liturgi, dirumuskan rohani digunakan untuk keperluan-keperluan ketentuan-ketentuan tentang musik liturgi sebagai keagamaan lainnya diluar perayaan liturgi. Bila berikut: (1) Musik liturgi harus sesuai dengan tema mengacu pada aturan liturgi yang diwariskan liturgi yang dirayakan (Hardawiryana, 1990: 44). dalam tradisi Gereja, lagu-lagu rohani sebenarnya Khusus untuk perayaan ekaristi, lagu-lagu proprium tidak diijinkan untuk dipakai dalam perayaan disesuaikan dengan tema perayaan sedangkan Ekaristi karena tidak semua lagu-lagu tersebut lagu-lagu ordinarium mengikuti teks liturgi yang sakral, ditulis dengan tujuan untuk dipakai dalam resmi (Prier, 2010: 8); Proprium yaitu lagu-lagu perayaan liturgi dan memiliki lirik sesuai tema yang dinyanyikan khusus untuk hari-hari tertentu perayaan. dan rumusannya bisa berubah-ubah sesuai tema Musik liturgi yang kita kenal pada saat ini perayaan. Termasuk dalam lagu ordinarium adalah telah melewati proses perkembangan yang pan- lagu pembuka, antar bacaan, bait pengantar Injil, jang. Dalam proses perkembangan itu, musik persiapan persembahan, komunio dan penutup. liturgi senantiasa mengalami perubahan dan Ordinarium yaitu lagu-lagu yang rumusannya tetap pembaharuan selaras perkembangan dan peruba- dalam setiap perayaan ekaristi. Yang termasuk lagu han zaman dari waktu ke waktu. Selain itu, ordinarium adalah lagu Tuhan Kasihanilah (Kyrie), musik liturgi juga mengalami perkembangan Kemuliaan (Gloria), Aku Percaya (Credo), Kudus dan perubahan akibat proses penyesuaian dengan (Sanctus) dan Anak Domba Allah (Agnus Dei) (2) aneka budaya dan kebiasaan di banyak bangsa dan Melibatkan partisipasi aktif umat dalam bernyanyi negara. Karena itulah musik liturgi yang dibawa (Hardawiryana, 1990: 44-46); (3) Memupuk oleh para misionaris ke bangsa-bangsa dan negara kesatuan hati umat untuk menghayati misteri tersebut tidak semuanya dapat diterima secara keselamatan yang dirayakan (Hardawiryana, utuh karena ada yang tidak sesuai dengan budaya 1990: 44 dan 46); (4) Lagu-lagu yang digunakan dalam perayaan liturgi disesuaikan dengan tradisi dan kebiasaan setempat. dan kemampuan umat setempat (Hardawiryana, Musik liturgi Katholik dimulai bersamaan 1990: 45-46). dengan muncul dan berkembangnya kekristenan. Pada masa hidup Yesus di Nasareth, umat sudah terbiasa membawakan doa dalam bentuk Musik Liturgi Inkulturatif nyanyian. Yesus sendiri bersama para murid-Nya Pemahaman tentang musik liturgi inkulturatif menyanyikan mazmur hallel pada perjamuan pertama-tama perlu diketahui pengertian malam terakhir (Mt. 26:30). Mazmur hallel inkulturasi itu sendiri. Kata inkulturasi terdiri dari yang dimaksud diambil dari kitab Mazmur BAB awalan in yaitu suatu proses ke dalam dan akar 113-118 dan 134-136. Tata urutan ibadat yang kata cultura yang berarti pengolahan atau budaya. dijalankan umat pada masa itu masih mengikuti Inkulturasi merupakan suatu proses pengungkapan ritus Yahudi yang diwariskan dari generasi-generasi suatu nilai dalam wujud kebudayaan tertentu sebelumnya (Fellerer, 1961: 9). (Prier, 2009: 71). Landasan konstitusional utama musik liturgi Berdasarkan pengertian inkulturasi tersebut Gereja Katolik adalah Dokumen Konsili Vatikan maka musik liturgi inkulturatif merupakan musik II, terutama pada bagian Konstitusi Tentang liturgi yang disesuaikan dengan latar belakang Liturgi Suci no. 112-121. Isi dokumen ini antara kebudayaan tertentu. Proses penyesuaian itu bisa lain membahas tentang martabat musik liturgi, dalam kaitan dengan musik vokal, instrumen liturgi yang meriah, pelestarian khasanah musik maupun kedua-duanya. Untuk musik vokal, yang liturgi, pendidikan musik, nyanyian gregorian disesuaikan dengan kebudayaan setempat bisa dan polifoni, penerbitan buku-buku nyanyian liriknya saja, melodinya saja atau kedua-duanya. gregorian, nyanyian rohani umat, musik liturgi Proses inkulturasi dalam musik liturgi sudah di daerah-daerah misi, orgel dan alat-alat musik terjadi sejak ajaran kekristenan mulai diwartakan lainnya, panggilan para pengarang musik. kepada bangsa-bangsa lain selain bangsa Yahudi.

26 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Ketika menerima ajaran Kristus dan percaya kepada- uis Neno yang berisikan nyanyian liturgi dalam Nya, bangsa-bangsa tersebut mulai membawakan bahasa Dawan-Timor. Tahun 1961 di Jawa doa-doa dan nyanyian liturgi yang diajarkan oleh diterbitkan buklet berjudul Kidungan Sutji Lagu para pewarta Injil namun dalam gaya baru sesuai Djawi yang berisikan lagu-lagu untuk kebutuhan dengan kebudayaan mereka sendiri. Akibatnya, ibadat selain misa yang sudah dipersiapkan sejak nyanyian-nyanyian itu menjadi sangat bervariasi 1956 atas prakarsa Mgr. A. Soegijapranata, SJ dari satu daerah ke daerah yang lain, dari suatu (Prier, 2007: 7). bangsa ke bangsa yang lain (Fellerer, 1961: 9). Musik liturgi inkulturatif di Indonesia meng- Pada abad 4 M musik liturgi di Eropa Timur alami perkembangan luas pada tahun-tahun disesuaikan dengan bentuk musik setempat. selanjutnya, baik musik karawitan di Jawa mau- Penyesuaian itu diprakarsai oleh uskup Ambrosius pun musik-musik lainnya di luar Jawa. Hal ini di Milano dengan tujuan agar umat tidak merasa didukung oleh inisiatif dan kerja keras Pusat asing dengan nyanyian liturgi yang mereka Musik Liturgi (PML) Yogyakarta yang berdiri bawakan dalam ibadat. Hal yang sama terjadi pada tahun 1971. Selama lebih dari 30 tahun, juga pada abad 10-11 di Eropa Utara terutama seperti yang dijelaskan oleh Paul Widyawan (2007: berkaitan dengan lagu Gregorian dalam ibadat 134), PML Yogyakarta sudah menyelenggarakan sesuai dengan kebiasaan mereka. Lagu tersebut sedikitnya 50 lokakarya musik Liturgi di berbagai tidak lagi dibawakan dalam satu suara (monofonik) daerah di Indonesia untuk mensosialisasikan tetapi dalam lebih dari satu suara (polifonik) yang dan mengembangkan musik liturgi inkulturatif. dikenal dengan sebutan organum (Prier, 1999: 9). Sampai saat ini lagu-lagu inkulturasi tersebut Penyusunan organum atau lagu polifon pada lagu masih digunakan dalam perayaan-peryaan ekaristi Gregorian itu dibuat dengan cara menambahkan maupun ibadat-ibadat lainnya di berbagai paroki suara lain yang bergerak paralel dengan melodi di tanah air. utama dalam interval quint atau quart di atas atau di bawahnya sehingga terjadilah parallel quint, Musik Liturgi Inkulturatif Di Gereja quart dan oktaf (Machlis, 1977: 220). Ganjuran Proses inkulturasi musik liturgi terus ber- Gereja Ganjuran adalah salah satu gereja langsung pada abad-abad selanjutnya di berbagai paroki di keuskupan agung Semarang yang secara bangsa kecuali di sekitar abad 16 saat Gereja administratif berada dalam wilayah kabupaten Katholik melakukan konsolidasi internal berkenaan Bantul propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. dengan gerakan reformasi. Pada abad 19 gereja Paroki yang terletak kurang lebih 17 km ke mulai terbuka lagi untuk berdialog dengan budaya arah Selatan dari kota Yogyakarta ini memiliki lokal termasuk dalam kaitannya dengan musik 7 stasi yaitu Tambran, Kretek, Baros, Kurabaya, liturgi. Perubahan dalam proses dialog tersebut Gunturgeni, Gilangharjo dan Ngireng-Ireng terjadi pada abad 20, tepatnya pada tahun 1962- (Hadi, 2006: 90). Pada umumnya umat dari 1965 ketika Konsili Vatican II memulai suatu era paroki ini bekerja sebagai petani di sawah maupun baru kehidupan menggereja dalam kaitan dengan ladang dan hanya sebagian kecil yang bekerja budaya-budaya lokal. Musik tradisional dan alat- sebagai pegawai negeri maupun swasta serta alat musik selain orgel pipa mulai diijinkan untuk guru di sekolah (Hadi, 2006: 115-116). Gereja digunakan dalam ibadat. Inilah langkah maju ini didirikan pada tanggal 16 April 1924 yang dalam proses inkulturasi yang terus berkembang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh sampai saat ini (Prier, 1999: 10-11). keluarga Schmutzer (Susantina: 2001: 56). Di Indonesia perkembangan musik liturgi Perkembangan inkulturasi di gereja Ganjuran inkulturatif dimulai setelah Perang Dunia II telah melewati proses yang panjang dan didukung (1934-1945) ketika Mgr. Van Bekkum, SVD oleh kerja keras para fasilitator dan motivator yang menyusun buku Dere Serani bersama para mensosialisasikannya kepada umat. Fasilitator dan pemusik di Manggarai-Flores. Buku tersebut motivator tersebut adalah anggota dewan paroki berisikan nyanyian-nyanyian liturgi yang ditulis dan para katekis di gereja Ganjuran. Secara konkret dalam bahasa daerah Manggarai. Tahun 1957 P. inkulturasi musik liturgi di gereja ditandai dengan Vincent Lechovic, SVD menulis buku Tsi Taneb pemakaian musik gamelan Jawa sebagai pengiring

27 MariaNurChristianYohanes Sahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi Bosko Rosiana dkk. Bakok Dewi Retorik, , Musik dalamMinimax, dan Inkulturasif DramaMakna Uwek-Uwek, dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu lagu-lagu liturgi terutama dalam perayaan Natal Analisis Lagu-lagu dan Instrumen dalam dan Paskah (Susantina: 2001: 64). Musik gamelan Perayaan Jumat Agung. memiliki hubungan erat dengan kehidupan Lagu-lagu yang dinyanyikan pada perayaan orang Jawa yang ditandai semangat musyawarah Jumat Agung tanggal 22 April 2011 antara lain, dan gotong royong. Ketika mementaskan musik Sungkawa (susah), Ayak Ayak Tlutur (sedih), Gya gamelan, masing-masing penabuh memainkan Sumewa (semua menghadap), Gusti Midhangetna instrumen namun dikendalikan oleh irama (Tuhan Dengarkanlah), Ngabekti Salib, Salib Suci, kendang dan ditutup dengan pukulan gong (Prier, Megatruh, Ing Ratri Njeng Gusti, Atur Roncen, Sri 1999: 21). Yesus Di, Rama Kawula, Linuhurna Gusti, Puji Musik gamelan dan nyanyian liturgi bahasa Luhung dan Sri Yesus Manis Ing Manah. Jawa nampak menjadi kesenian yang indah karena Lagu Sungkawa dinyanyikan oleh seorang solis dalam dirinya sendiri terdapat nilai-nilai luhur pria diiringi slenthem dengan volume yang halus. yang selaras dengan iman dan ketaqwaan umat Alunan melodinya mengekspresikan kedukaan yang merayakannya, disinilah letak hubungan mendalam sesuai pengertian judulnya, susah. antara seni dan agama. Kesenian diterima untuk Dari liriknya kita mengetahui bahwa lagu ini juga digunakan sebagai sarana pemujaan kepada Allah mengandung makna pertobatan dan permohonan karena di dalam dirinya terdapat isi, makna dan rahmat pengampunan dari Tuhan atas segala dosa. nilai-nilai moral yang mendukung penghayatan Dasar pemikirannya yakni, Tuhan menderita kepercayaan yang dianut (Hadi, 2006: 265). dan wafat akibat dosa manusia. Lagu Sungkawa Liturgi bila diiringi musik gamelan dan gendhing dalam urutan perayaan Jumat Agung berperan yang sesuai akan mendukung umat dalam mengiringi arak-arakan imam dan para petugas menghayati nilai-nilai liturgi yang dirayakan. liturgi menuju altar sekaligus mempersiapkan Selain musik gamelan, instrumen lain yang umat untuk memulai perayaan. Sampai di depan juga digunakan untuk mengiringi perayaan liturgi altar imam langsung berlutut sebagai ungkapan di gereja Ganjuran adalah musik trebangan dan kesedihan mengenang penderitaan dan wafat gejok lesung. Musik trebangan didominasi oleh Tuhan sementara itu solis tetap menyanyikan instrumen rebana yang terdiri dari satu trebang Sungkawa. besar (gong), satu trebang sedang (kempul), dua Ungkapan kesedihan dan penyesalan mendalam trebang kecil (tung dan tang), satu kendang dan atas dosa dilanjutkan dengan menyanyikan lagu dua angklung (Pasrah, wawancara, 26 Mei 2011). Ayak Ayak Tlutur. Ayak-ayak merupakan sebutan Gejok lesung merupakan alat musik yang berasal untuk bentuk gendhing yang jumlah kenong, dari alat penumbuk padi tradisional yang terdiri kempul serta gong tidak menentu sedangkan dari sebuah kayu berdiameter 75 cm, panjangnya tlutur berarti lagu, tembang atau gendhing 2 meter yang sebagiannya dilubangi dan alat yang mengungkapkan kesedihan. Peranan lagu penumbuk yang disebut alu. Para pemainnya Ayak Ayak Tlutur masih sama dengan lagu terdiri dari 3 atau 5 orang, biasanya wanita atau sebelumnya yaitu mengiringi arak-arakan imam ibu-ibu (Hadi, 2006: 132). dan para petugas liturgi menuju altar sekaligus Sampai saat ini proses inkulturasi musik liturgi mempersiapkan umat untuk memulai perayaan. masih tetap dipertahankan di gereja Ganjuran. Liriknya menggambarkan penderitaan Yesus untuk Secara rutin musik inkulturasi digunakan dalam menebus dosa manusia dan ungkapan penyesalan perayaan ekaristi pada malam Jumat pertama dan dan permohonan ampun atas dosa yang telah malam 10 November sedangkan perayaan-perayaan dilakukan. Umat manusia sudah sepantasnya besar lainnya disesuaikan dengan permintaan dihukum akibat dosa yang telah dilakukan dan kebutuhan umat. Penggunaan musik liturgi namun berkat penebusan Kristus dibebaskan inkulturatif di gereja Ganjuran didukung dan dan memperoleh jaminan untuk memasuki selalu berada di bawah pengawasan pastor paroki kehidupan yang kekal. Rahmat penebusan Kristus setempat. Gereja Ganjuran merupakan bagian dari itu didukung pula oleh penyesalan dan pertobatan Keuskupan Agung Semarang dan Gereja Katolik umat yang ditebus. universal yang patuh pada ketentuan-ketentuan Gya Sumewa adalah lagu pertama dalam mengenai musik liturgi. perayaan ini yang diiringi terbangan. Iramanya

28 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 berbeda dengan gamelan untuk lagu-lagu lain sebagai penjahat walaupun Ia tidak melakukan karena agak hidup dan memiliki ritme yang tegas. kesalahan, karena itu penderitaan dan wafat-Nya Lagu ini dipilih sebagai lagu antar bacaan I, di di salib menjadi tebusan bagi orang-orang berdosa. antara bacaan I dan bacaan II. Dari segi tempo dan Tanggapan umat di sini disertai ajakan terhadap ritmenya memang kurang mencerminkan suasana umat yang lain untuk menghormati salib Kristus. duka yang mewarnai perayaan Jumat Agung. Dalam urutan perayaan liturgi Jumat Agung, lagu Walaupun demikian, liriknya mengungkapkan ini mengawali upacara penghormatan salib. penderitaan Tuhan Yesus dan kesediaan-Nya Lagu salib suci mengiringi prosesi umat untuk untuk memikul salib demi menebus dosa manusia. memberi penghormatan pada salib. Lirik bagian Selain itu terdapat ajakan bagi umat untuk solo melukiskan pengorbanan Kristus sendiri. menyembah Tuhan Yesus karena jasa penebusan- Ia rela wafat di salib dan jasad-Nya dikuburkan Nya. Penyembahan ini juga disertai ungkapan namun tiga hari kumudian bangkit lagi dalam syukur karena Tuhan berkenan membatalkan kemuliaan. Pengorbanan Kristus ini merupakan hukuman-Nya atas manusia berdosa. Tuhan bukti cinta-Nya tanpa pamrih kepada manusia. menghendaki agar manusia tetap bersatu dengan Cinta itu tiada berakhir bagaikan air yang Dia tidak hanya di dunia ini melainkan sampai senantiasa mengalir. Hal ini dilukiskan dengan pada kehidupan yang kekal. indah dalam lirik lagu bagian refrain. Lagu yang Makna lagu Gusti Midhangetna tidak jauh diiringi musik trebangan ini masih termasuk berbeda dengan lagu-lagu sebelumnya yaitu dalam upacara penghormatan salib. memohon pengampunan dari Tuhan atas dosa. Makna yang terkandung dalam lagu Megat- Lagu ini merupakan lagu antar bacaan II yang ruh masih berupa ajakan untuk memberi dinyanyikan di antara bacaan II dan Injil. penghormatan pada salib suci sehingga sesuai Peranannya adalah menghantar umat dalam dengan penempatannya dalam upacara peng- merenungkan bacaan II dan mempersiapkan hormatan salib. Di dalamnya terdapat pula hati untuk mendengarkan bacaan Injil. Liriknya pengharapan akan rahmat belas kasih Tuhan. sesuai dengan isi bacaan II yaitu memohon Irama dan alur melodi lagu yang juga diiringi rahmat keselamatan dari Tuhan karena hanya musik trebangan ini memang agak hidup namun pada Tuhanlah terdapat keselamatan yang kekal. liriknya tetap mengungkapkan kesedihan dan Makna lagu ini sesuai pula dengan isi bacaan Injil penyesalan atas dosa. yaitu kisah sengsara Yesus demi menebus dosa Sebelum sampai pada momen penderitaan umat manusia. dan kematian-Nya, Tuhan Yesus sudah mengalami Lagu Ngabekti Salib mengandung ajakan sakratul maut pada malam sebelumnya di taman untuk menghormati salib suci. Pertama-tama Getsemani. Saat itu Ia berdoa kepada Bapa di imam mengajak umat untuk melihat salib tempat surga dan penderitaan-Nya sudah dimulai di sana. bergantung Yesus dalam bentuk nyanyian dan Ia gelisah dan sangat takut sampai mengeluarkan ditanggapi umat dengan nyanyian pula. Nyanyian peluh berupa titik-titik darah yang menetes ke yang sama dibawakan tiga kali berturut-turut pada tanah (Luk. 22:44). Walaupun demikian, Ia tingkatan pitch yang berbeda, naik setengah laras tidak menghindar dari hukuman mati karena pada setiap pengulangan. Maksud pengulangan itu Ia berdoa: “Ya Bapa, jikalau cawan ini tidak tersebut yakni agar umat semakin memfokuskan mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, perhatian pada salib Kristus dan merenungkan jadilah kehendak-Mu” (Mt. 26:42). Permulaan pengorbanan-Nya demi keselamatan manusia. penderitaan Yesus di taman Getsemani itu Salib dengan demikian tidak lagi merupakan dilukiskan dalam lagu Ing Ratri Njeng Gusti. lambang penghinaan melainkan lambang Walaupun singkat, lagu ini mampu menghantar kemenangan bagi semua orang yang percaya pada umat ke dalam permenungan tentang ketaatan Kristus. Dalam masyarakat Yahudi, penyaliban Yesus pada kehendak Bapa dan keberanian-Nya adalah hukuman mati yang diberikan kepada para untuk menghadapi kematian demi keselamatan penjahat karena itu ketika Yesus disalibkan, terdapat manusia. dua orang penjahat yang disalibkan bersama Dia Lagu Atur Roncen menggambarkan tentang di bagian kiri dan kanan-Nya. Yesus disalibkan pemberian bunga mawar yang indah pada Tuhan

29 MariaNurChristianYohanes Sahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi Bosko Rosiana dkk. Bakok Dewi Retorik, , Musik dalamMinimax, dan Inkulturasif DramaMakna Uwek-Uwek, dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu sebagai ungkapan penghormatan dan cinta terutama pujian pada Allah Tritunggal Maha kepada-Nya. Lagu ini sesuai dengan ungkapan Kudus, lagu ini sama dengan lagu kemuliaan penghormatan salib dalam perayaan ini. Di (Gloria), termasuk dalam kelompok lagu banyak gereja lain, umat biasanya memberi ordinarium untuk perayaan ekaristi. Seturut penghormatan pada salib dengan mengecup salib ketentuan liturgi, selama masa prapaskah yang namun pada kesempatan ini diungkapkan dengan berpuncak pada perayaan Jumat Agung, lagu menabur bunga mawar yang harum dan segar kemuliaan tidak dinyanyikan dalam perayaan pada salib. Mawar itu menutupi seluruh bagian liturgi. Alasannya karena lagu ini bernuansa korpus Yesus pada salib yang dibaringkan di atas gembira dan merupakan ungkapan sukacita, meja pendek di depan altar. Acara penaburan sementara dalam masa prapaskah, apalagi Jumat bunga ini sesuai dengan kebiasaan umat setempat Agung, umat terlibat dalam kesedihan mengenang yakni memberikan karangan bunga bagi anggota penderitaan dan wafat Tuhan Yesus. Selain itu, keluarga atau sahabat yang telah meninggal dunia. dalam lagu kemuliaan biasanya yang dipuji dan Lagu Atur Roncen yang dibawakan pada bagian dimuliakan hanya ketiga pribadi Allah Tritunggal ini berisikan juga alasan umat menaruh hormat yakni Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh pada Salib Kristus dan meletakan bunga mawar di Kudus, tidak termasuk Bunda Maria dan Santo atasnya yaitu karena Kristus telah rela memanggul Yosep. Bunda Maria dan Santo Yosep adalah salib dan wafat untuk menyelamatkan manusia. manusia biasa yang mendapat kasih karunia Lagu Sri Yesus Di menggambarkan martabat istimewa dari Allah dan tidak dimuliakan sejajar Yesus sebagai raja yang menderita. Makna yang dengan Allah Tritunggal. terkandung di dalamnya yaitu kerendahan hati Lagu Puji Luhung menggambarkan suasana Yesus karena ketaatan-Nya pada kehendak Bapa yang lain dan agak berseberangan dengan tema dan cinta-Nya pada manusia. Walaupun memiliki perayaan Jumat Agung. Liriknya berisikan martabat raja, Ia rela merendahkan diri-Nya penggalan nyanyian pujian Maria (magnifi cat) sampai wafat di kayu salib. Dalam urutan perayaan yang terdapat dalam Luk. 1:46-48. Lagu ini Jumat Agung ini Sri Yesus Di termasuk lagu sengaja dinyanyikan untuk menampilkan tokoh pengiring upacara penghormatan salib. Dengan Maria sebagai ibu Yesus yang turut terlibat dalam menyanyikan atau mendengar lagu ini umat karya keselamatan yang diemban Yesus puteranya dihantar untuk merenungkan misteri salib sebagai namun tidak tepat dibawakan pada perayaan tanda kemenangan setiap orang Kristen dan turut Jumat Agung. mewarisi martabat rajawi Yesus Kristus. Lagu Sri Yesus Manis Ing Manah melukiskan Lagu Rama Kawula (Bapa Kami) mengungkap- tentang karya keselamatan yang diemban oleh kan doa yang diajarkan oleh Yesus Kristus kepada Yesus Kristus. Keselamatan itu membawa sukacita pengikut-Nya. Dalam lagu yang singkat ini sejati bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. terkandung unsur-unsur penting sebuah doa Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang mempu yaitu pujian atau syukur dan permohonan. Lagu memberi sukacita sejati kepada kita seperti yang ini diawali dengan menghaturkan pujian atas Tuhan Yesus berikan. Ia rela mengorbankan diri kemuliaan Allah Bapa di surga diikuti beberapa agar sukacita itu tetap menjadi milik kita sampai rangkaian permohonan, di antaranya: memohon pada kehidupan yang kekal. agar Allah mewujudkan Kerajaan-Nya di dunia Dalam keseluruhan perayaan Jumat Agung dan agar kehendak-Nya terlaksana di dunia di Gereja Ganjuran tanggal 22 April 2011 ada seperti di surga, memohon karunia rejeki dan dua kelompok instrumen yang digunakan yaitu rahmat pengampunan dosa, memohon agar tidak gamelan dan trebangan. Gamelan merupakan dimasukan ke dalam percobaan dan dibebeaskan instrumen yang sudah lama digunakan dalam dari segala yang jahat. Dalam liturgi Jumat Agung, perayaan liturgi di Gerja Ganjuran dan mendukung lagu Bapa Kami mengawali upacara komuni. umat dalam menghayati makna perayaan liturgi Lagu Linuhurna Gusti termasuk lagu komuni, terutama Jumat Agung karena melodinya berisikan pujian pada Allah Tritunggal Maha yang tenang dan mengalun. Hal ini nampak Kudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus serta Bunda dari ekspresi umat yang khusuk berdoa ketika Maria dan Santo Yosep. Berdasarkan liriknya, mendengarkan alunan musik tersebut. Lagu yang

30 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 diiringi gamelan dalam perayaan ini terdiri dari 10 secara inkulturatif, baik doa-doa, bacaan maupun lagu yaitu Sungkawa (diiringi beberapa instrumen musik liturginya. Dalam hal ini kesesuaian antara gamelan), Ayak-ayak Tlutur (perangkat lengkap musik liturgi inkulturatif itu dengan ketentuan- gamelan), Gusti Midhangetna (perangkat lengkap ketentuan mengenai musik liturgi yang berlaku gamelan), Ngabekti Salib (beberapa instrumen), dalam Gereja Katolik universal merupakan hal Ing Ratri (perangkat lengkap gamelan), Sri Yesus urgen yang mesti diperhatikan. Di (perangkat lengkap gamelan), Atur Roncen Setelah melewati proses penelitian dan (perangkat lengkap gamelan), Rama Kawula analisis tentang musik liturgi inklulturatif dalam (beberapa instrumen), Puji Luhung (perangkat perayaan Jumat Agung di Gereja Ganjuran, dapat lengkap gamelan) dan Sri Yesus Manis Ing Manah disimpulkan bahwa musik liturgi inkulturatif (perangkat lengkap gamelan). dalam perayaan Jumat Agung di Gereja Ganjuran Trebangan merupakan alat musik yang baru tanggal 22 April 2011 secara keseluruhan ada pertama kalinya digunakan di Gereja Ganjuran yang sesuai dan ada pula yang tidak sesuai dengan dalam perayaan Jumat Agung. Sebelumnya alat ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang musik musik ini sering digunakan untuk mengiringi liturgi. Lagu-lagu yang sesuai dengan ketentuan- perayaan-perayaan liturgi lainnya. Yakobus Pasrah ketentuan tentang musik liturgi adalah Sungkawa, Harjanto selaku staf pengurus alat musik ini Ayak Ayak Tlutur, Gya Sumewa, Gusti Midhangetna, menjelaskan bahwa mereka memiliki paguyuban Ngabekti Salib, Salib Suci, Megatruh, Ing Ratri khusus yang dinamakan Palawija. Nama ini Njeng Gusti, Atur Roncen, Sri Yesus Di, Rama merupakan singkatan dari Paguyuban Langen Kawula dan Sri Yesus Manis Ing Manah. Beberapa Wirama Jawa. Palawija sudah berdiri sejak tahun pendasaran yang memperkuat kesimpulan ini 1998 dengan tujuan untuk memuji Tuhan lewat yakni lagu-lagu tersebut sesuai dengan tema alat-alat musik trebangan. Menurut Pasrah, perayaan Jumat Agung yakni peringatan sengsara mereka memuji Tuhan lewat alat musik trebangan dan wafat Tuhan Yesus Kristus. Selain itu, tidak harus dalam perayaan liturgi tetapi dalam berdasarkan pengamatan penulis dan pendapat kegiatan-kegiatan kesenian lainnya karena itu beberapa umat yang sempat diwawancarai, umat mereka aktif bermain dalam festival-festival ikut berpartisipasi dalam menyanyikan lagu-lagu kesenian. Mereka bersyukur karena alat musik tersebut dan didukung dalam menghayati makna ini dapat digunakan untuk mengiringi perayaan perayaan Jumat Agung. liturgi walaupun masih ada umat tertentu yang Lagu-lagu yang tidak sesuai dengan ketentuan- belum bisa menerimanya. ketentuan tentang musik liturgi adalah Linuhurna Khusus dalam perayaan Jumat Agung, Gusti dan Puji Luhung. Alasannya karena lirik terdapat empat lagu yang diiringi musik trebangan lagu-lagu tersebut bertentangan dengan tema palawija yaitu Gya Sumewa, Salib Suci, Megatruh perayaan Jumat Agung. Linuhurna Gusti berisikan dan Linuhurna Gusti. Walaupun hanya untuk lagu kemuliaan kepada Allah Tritunggal Maha mengiringi dua lagu namun alat musik ini Kudus yang tidak diijinkan untuk dinyanyikan menjadi sorotan umat karena iramanya cukup selama masa pra paskah sampai perayaan Jumat kontras dengan irama musik gamelan. Umat pada Agung. Puji Luhung berisikan nyanyian pujian dasarnya belum setuju dengan penggunaan alat Maria (magnifi cat) dan tidak cocok dinyanyikan musik ini dalam perayaan Jumat Agung karena pada perayaan Jumat Agung yang merupakan iramanya lebih merupakan ekspresi perasaan perayaan peringatan sengsara dan wafat Tuhan sukacita walaupun lirik lagu yang diiringinya Yesus Kristus puteranya. Memang fi gur Maria sesuai dengan tema perayaan. pantas ditampilkan dalam perayaan ini namun jenis lagu yang dipilih tidak sesuai, akan sesuai Penutup apabila diangkat lagu Maria yang mengungkapkan Musik liturgi inkulturatif memiliki peran kesedihan seperti Stabat Mater Dolorosa. penting dalam menghantar umat untuk Mengenai musik instrumen yang mengiringi menghayati nilai-nilai liturgi secara baik. Perayaan lagu-lagu di atas, penulis memiliki dua penilaian Jumat Agung merupakan sebuah perayaan liturgi berbeda. Pertama, musik gamelan cocok untuk resmi Gereja Katolik yang bisa diselenggarakan mengiringi lagu-lagu pada perayaan Jumat Agung.

31 MariaNurChristianYohanes Sahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi Bosko Rosiana dkk. Bakok Dewi Retorik, , Musik dalamMinimax, dan Inkulturasif DramaMakna Uwek-Uwek, dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Warna suara instrumennya mendukung suasana Prier, Karl-Edmund. 1999. Inkulturasi Musik duka yang sedang berlangsung berkenaan dengan Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. misteri penderitaan dan wafat Tuhan Yesus. Selain ______. 2009. Kamus Musik. itu, beberapa wakil dari kalangan umat juga Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. mengungkapkan bahwa alunan nada-nada dari ______. 2010. Kedudukan Nyanyian instrumen tersebut sungguh menghantar mereka Dalam Liturgi.Yogyakarta: Pusat Musik ke dalam suasana doa yang khusuk dan hikmat. Liturgi. Kedua, musik trebangan belum cocok mengiringi lagu-lagu dalam perayaan Jumat Agung. Umat ______. 2007. Perjalanan Musik yang dimintai pendapat pada umumnya tidak Gereja Katolik Indonesia Tahun 1957-2007. setuju dengan penggunaan musik instrumen ini Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. dalam perayaan Jumat Agung karena irama musik Susantina, Sukatmi. 2001. Inkulturasi Gamelan tersebut tidak selaras dengan suasana sedih dalam Jawa. Yogyakarta: Philosophy Press. perayaan Jumat Agung. Irama musik ini memiliki loncatan-loncatan ritmis yang hidup dan tidak Informan nampak sedih. Aji, Agustinus Windu (40 tahun), seniman. Ganjuran. Kepustakaan Pasrah, Yakobus Harjanto (61 tahun), pengurus Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. paguyuban musik palawija. Ganjuran. Yogyakarta: Kanisius. Priyono, Antonius Jarot Kusno (51 tahun), Pastor Fellerer, Karl Gustav. 1961. The History of Catholic Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Church Music. Baltimore: Helicon Press. Bantul, Yogyakarta. Hadi, Y. Sumandyo. 2006. Seni Dalam Ritual Santoso, Budi (58 tahun), dosen musik Institut Agama. Yogyakarta: Penerbit Buku Pustaka. Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sekaligus Hardawiryana, R. (penterj.). 1990. Konstitusi koordinator seksi musik liturgi paroki Hati Tentang Liturgi Suci. Jakarta: Departemen Kudus Tuhan Yesus Ganjuran pada perayaan Dokumentasi dan Penerangan KWI. Jumat Agung tanggal 22 April 2011. Ganjuran. Komisi Liturgi KWI. 1993. Ibadat Harian. Ende: Sukisno (65 tahun), umat paroki Hati Kudus Nusa Indah. Tuhan Yesus Ganjuran sekaligus penabuh Machlis, Joseph. 1977. The Enjoyment of Music. gamelan dalam perayaan Jumat Agung tanggal New York: w.w. Norton & Company. 22 April 2011. Ganjuran. Paul Widyawan. 2007. “Memutar Kembali Roda Utomo, Gregorius, Pr (82 tahun), pastor Inkulturasi” dalam Warta Musik Edisi 06. pembantu paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Bantul, Yogyakarta.

32 Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 33-40 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon: Studi Kasus Gaya Rasinah

Nur Rochmat1 Jurusan Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung

ABSTRAK Tulisan ini membahas guru panggung, sebuah proses pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon dari seorang empu kepada muridnya. Proses ini dilakukan oleh Rasinah, empu tari topeng kepada cucunya, bukan kepada anaknya. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi . Untuk menganalisis ini digunakan teori sistem pewarisan dan teori motivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu alasan Rasinah lebih memilih mewariskan kepada cucunya karena cucunya memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi seorang Dalang Topeng. Kata kunci: Pewarisan, Tari Topeng, Gaya Dermayon

ABSTRACT Pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon: Studi Kasus Gaya Rasinah. This article discusses the inheritance process of Dermayon Style Mask Dance. In 2008 Rasinah bequeathed Dermayon Style Mask Dance formally to her granddaughter, Aerli. This article analyzes the reasons of the inheritance of Dermayon Style Mask Dance from Rasinah to her granddaughter, not to her own daughter, Wacih. The theories which are applied to analyze the subject are the theory of “Transmission (Inheritance) System” stated by Cavalli-Sforza and Feldman, and the theory of “Motivation” by Abraham H. Maslow, Robert Session Woodworth and Clark Hull. The result of the research shows that one of the reasons that the daughter did not inherit Dermayon Style Mask Dance is due to her lack motivation on being a Mask Dancer (Dalang Topeng). Keywords: inheritance, Dermayon Style Mask Dance

Pendahuluan turunan ialah para seniman yang dilahirkan dari Pada umumnya kemampuan menari topeng keluarga seniman, dalam arti bapak dan ibunya yang dimiliki oleh para Dalang Topeng (penari adalah seniman. Sementara itu, seniman katurunan utama) merupakan bakat keturunan yang ialah para seniman yang dilahirkan dari keluarga seniman, namun hanya salah seorang saja yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Dalang menjadi seniman, yakni bapaknya atau ibunya Topeng dalam pengertian masyarakat Cirebon saja (Suanda, 1991: 35). ialah penari utama dalam sebuah rombongan Tari Topeng, misalnya rombongan Topeng Rasinah Berkaitan dengan sistem pewarisan, Cavalli- dari Pekandangan, Dalang Topengnya ialah Sforza dan Feldman (dalam Berry et al, 1999: Rasinah. Beberapa Dalang Topeng yang sudah 32) mengemukakan terdapat dua jenis sistem pewarisan yakni “Vertical Transmission” dan terkenal seperti Dasih dan Suji dari Palimanan, “Horizontal Transmission”. “Vertical Transmission” Dewi dan Sawitri dari Losari, Sujana dari Slangit, (Pewarisan Tegak) ialah sistem pewarisan yang serta Rasinah dari Indramayu berkeyakinan bahwa berlangsung melalui mekanisme genetik yang kemampuan mereka sebagai Dalang Topeng diturunkan dari waktu ke waktu secara lintas merupakan turunan dari nenek moyang mereka generasi yakni melibatkan penurunan ciri- (Rasidin, 2004: 31). ciri budaya dari orang tua kepada anak-cucu. Di kalangan seniman Cirebon ada dua istilah Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan yang biasa digunakan untuk menyebut status para nilai, keterampilan, keyakinan, motif budaya, seniman sesuai dengan silsilah keturunannya, dan sebagainya kepada anak-cucu mereka. Oleh yaitu seniman turunan dan katurunan. Seniman karena itu pewarisan tegak disebut juga “Biological

1 Alamat korespondensi: Jurusan Tari STSI Bandung. Jalan Buahbatu No. 212 Bandung. Email: [email protected].

33 NurMariaChristianYohanes RochmatSahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, BoskoPewarisanRosiana dkk. Bakok Dewi TariRetorik, , MusikTopeng dalamMinimax, dan Inkulturasif DramagayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Transmission” yakni sistem pewarisan yang bersifat atau Dalang Topeng pada zamannya biologis. “Horizontal Transmission” (Pewarisan masing-masing. Ia bahkan mengaku sampai saat Miring) ialah sistem pewarisan yang berlangsung ini memiliki sebuah topeng (Kedok Klana) yang melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti telah berusia ratusan tahun sebagai salah satu sekolah-sekolah atau sanggar-sanggar. “Horizontal warisan keluarga yang sangat berharga (Wawancara Transmission” terjadi ketika seseorang belajar dari dengan Aerli, 24 November 2010). Penelitian ini orang dewasa atau lembaga-lembaga (misalnya bertujuan untuk memahami proses pewarisan Tari dalam pendidikan formal) tanpa memandang Topeng Darmayon. apakah hal itu terjadi dalam budaya sendiri atau dari budaya lain. Proses Pewarisan Rasinah mendapatkan pengetahuan dan Dalam kesenian tradisional Tari Topeng, keterampilan menari topeng dari bapaknya yang dimaksud dengan proses pewarisan ialah melalui proses belajar dari panggung ke panggung proses pengalihan pengetahuan dan keterampilan yakni dengan mengikuti pertunjukan-pertunjukan menari topeng dari generasi tua kepada generasi yang dilakukan oleh bapaknya. Aerli, pewaris muda dalam lingkungan keluarga Dalang Topeng. Tari Topeng Gaya Dermayon, belajar menari Proses pewarisan atau pengalihan pengetahuan ini topeng di bawah bimbingan neneknya, Rasinah. erat hubungannya dengan praktik adat istiadat Oleh karena itu, sistem pewarisan yang terjadi dalam konteks sebuah desa dan sesuai dengan pada Tari Topeng Gaya Dermayon berlangsung lingkungan, adat, serta kepercayaan setempat. melalui mekanisme genetik, yakni pewarisan dari Proses pengalihan pengetahuan ini biasanya tidak orang tua kepada anak-cucu. Dengan demikian dilakukan melalui pembelajaran yang spesifi k, dapat dikatakan bahwa proses pewarisan Tari melainkan melalui pengalaman sehari-hari, Topeng Gaya Dermayon dilakukan melalui sistem pengamatan, dongeng-dongeng nenek moyang, “Vertical Transmission”. dan sebagainya. Beberapa seniman Topeng Konsep mengenai sistem “Vertical Trans- Cirebon yang mengalami proses pembelajaran mission” sebenarnya telah lama ada dalam seperti itu antara lain Dasih, Sudji, Andet Suanda, budaya masyarakat Sunda, seperti dinyatakan Sudjana, Carpan, Rasinah, Dewi, dan Sawitri dalam peribahasa: “Teng manuk teng, anak (Masunah, 2000: 5). merak kukuncungan”, yang artinya bahwa sifat/ Proses pengalihan pengetahuan dan keterampil- perilaku anak tidak akan jauh berbeda dari sifat/ an menari topeng dari orang tua (Dalang Topeng) perilaku orang tuanya. Peribahasa ini menjelaskan kepada keturunannya biasanya dilakukan secara bahwa sifat/perilaku orang tua biasanya akan lisan (oral tradition). Oleh karena itu, si anak harus menurun kepada anaknya. Demikian juga yang mampu menyerap dan menghapal setiap gerakan terjadi dalam seni tradisional Tari Topeng Gaya yang diajarkan oleh orang tuanya melalui proses Dermayon. Lastra (bapak Rasinah) adalah seorang belajar yang berlangsung terus-menerus dengan seniman yang berprofesi sebagai Dalang Wayang mengikuti berbagai pertunjukan topeng yang dan Dalang Topeng. Jiwa seniman ini kemudian dilakukan oleh orang tuanya. Jadi si anak belajar diturunkan kepada Rasinah yang menjadi dengan cara melihat, mendengar, menirukan seorang Dalang Topeng dengan keahlian yang dan mengembangkan sendiri gerakan-gerakan luar biasa. Wacih, anak Rasinah, meskipun tidak Tari Topeng melalui pertunjukan orang tuanya menjadikan Dalang Topeng sebagai profesinya dalam berbagai panggungan atau dikenal dengan tetapi ia memiliki jiwa seniman yang cukup baik. istilah “Guru Panggung”. Hal yang diandalkan Ia bisa menari dan memainkan beberapa alat dalam “Guru Panggung” itu adalah aspek melihat musik gamelan. Ia juga seorang penyanyi (sinden) dan mendengar. Oleh sebab itu, berguru di yang baik. Aerli, cucu Rasinah, dengan potensi panggung itu bukan hanya mempelajari tariannya jiwa seniman yang dimilikinya memilih Dalang saja, melainkan juga mempelajari bunyi-bunyi Topeng sebagai profesinya sehingga menjadi (tabuhan) iringan gamelannya (Rasidin, 2004: 34). pewaris Tari Topeng Gaya Indramayu. Seni rakyat diwariskan secara lisan dari Menurut pengakuan Aerli, para leluhurnya generasi ke generasi. Seni rakyat adalah seni lokal adalah seniman yang berprofesi sebagai Dalang sehingga berbeda lokalitasnya, akan berbeda

34 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 seninya. Dalam budaya rakyat, tidak dikenal 143). Pengertian “kebaruan” dalam konteks tradisi sistem pengawetan berupa pendokumentasian. sudah barang tentu bukan berarti menanggalkan Dokumentasi seni rakyat ada di masyarakat hanya gerak pokoknya begitu saja, tetapi menambah dalam masa tertentu. Akibatnya, seni rakyat lebih variasi gerak yang masih tetap berpegang pada “hidup”, penuh improvisasi dan tafsir setempat, akar ketradisiannya (Rasidin, 2004: 123). tidak ada pembakuan seni. Setiap lokal dapat Pada saat belajar menari topeng, Rasinah mengembangkan sendiri tafsirnya atas warisan seringkali menyisipkan gerakan-gerakan yang seni generasi sebelumnya (Sumardjo, 2002: 239). ia tiru dari Dalang Topeng lain yang ia tonton. Seni pertunjukan diajarkan atau diwariskan Rombongan topeng yang sering ditontonnya ialah secara lisan oleh guru kepada muridnya (biasanya rombongan Topeng Warimah dan rombongan dari bapak kepada anaknya) dengan langsung Topeng Sureh yang cukup terkenal pada masa melihat, mendengar, meniru, dan melakukannya. itu. Ketika bapaknya mengetahui Rasinah Jadi tidak ada patokan baku yang harus dipegang, menyisipkan gerakan-gerakan hasil peniruannya, semuanya berdasarkan penafsiran, baik pada guru ia sangat terkejut tetapi akhirnya menerima dan maupun bagi si murid, sehingga penambahan, mempersilahkan apa-apa yang telah dilakukan pengurangan, pengubahan bisa terjadi hanya oleh Rasinah selama gerak-gerak tariannya terlihat dalam satu atau dua generasi. Inilah sebabnya bagus (Rasidin, 2004: 46). varian suatu jenis tarian dapat cepat berkembang Dalam upaya mempertahankan dan melestari- antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu kan kesenian tradisional Tari Topeng, para Dalang kurun waktu dengan waktu-waktu berikutnya Topeng senantiasa berusaha untuk mewariskan (Sumardjo, 2001: 11). pengetahuan dan keterampilan mereka kepada Senada dengan hal tersebut, Sal Murgiyanto anak-cucu mereka. Lastra telah mewariskan menyatakan: pengetahuan dan keterampilan menari topeng Sebuah gaya tari tidaklah tetap sama kepada anaknya (Rasinah). Demikian halnya bentuknya sepanjang zaman. Ia berubah dengan Rasinah telah mewariskan pengetahuan ketika diajarkan oleh generasi tua kepada dan keterampilan menari topeng kepada anak dan generasi muda karena bentuk tari yang cucunya. Ditinjau dari pelaksanaannya, proses diwariskan itu harus diinterpretasikan...... pewarisan dalam Tari Topeng Gaya Dermayon Sesuatu yang diwariskan tidak berarti berlangsung dalam dua cara yakni: 1) pewarisan harus diterima, dihargai, diasimilasi, atau tidak resmi, dan 2) pewarisan resmi. disimpan sampai mati. Bagi para pewaris yang setia, apa-apa yang mereka warisi Pewarisan Tidak resmi tidak dilihat sebagai “tradisi”. Tradisi yang diterima akan menjadi unsur yang hidup Proses pewarisan tidak resmi biasanya sudah di dalam kehidupan para pendukungnya. dilakukan oleh orang tua (Dalang Topeng) Ia menjadi bagian dari masa lalu yang kepada keturunannya sejak si anak masih kecil. dipertahankan sampai sekarang dan Sebagai contoh, Rasinah sudah belajar menari mempunyai kedudukan yang sama dengan topeng ketika ia berusia sekitar 7 tahun. Sejak inovasi-inovasi baru (Murgiyanto, 2004: saat itulah proses pewarisan Tari Topeng secara 2). tidak resmi dari bapak kepada anak dimulai. Aerli sudah belajar menari topeng di bawah bimbingan Seringkali hasil dari pewarisan bukan merupa- neneknya ketika ia duduk di bangku kelas 4 kan pengulangan atau tidak sama persis dengan SD (sekitar tahun 1997). Sejak saat itu Rasinah generasi yang mewariskannya. Kasus ini hampir memberikan amanat kepada Aerli untuk menjadi terdapat dalam banyak seni tradisi di Jawa Barat. penerusnya, dan proses pewarisan secara tidak Meskipun para Dalang Topeng Cirebon masih resmi pun dimulai. merupakan satu keturunan, namun mereka Proses pewarisan tidak resmi kadang juga mempunyai gaya menari sendiri-sendiri. Setiap sudah dilakukan sejak si anak masih bayi, Dalang Topeng mempunyai ciri khas, estetis, bahkan ketika anak masih di dalam kandungan serta kemampuan masing-masing di dalam ibunya. Ketika Sarminah, ibu kandung Rasinah, menafsirkan tarian-tariannya (Caturwati, 2009: sedang mengandung ia seringkali ikut suaminya

35 NurMariaChristianYohanes RochmatSahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, BoskoPewarisanRosiana dkk. Bakok Dewi TariRetorik, , MusikTopeng dalamMinimax, dan Inkulturasif DramagayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu mengadakan pertunjukan dari panggung ke panggung. Dengan demikian sebelum lahir ke dunia sang bayi di dalam janin sudah terbiasa mendengarkan riuhnya alunan gamelan yang dimainkan oleh rombongan bapaknya. Demikian pula setelah Rasinah dilahirkan ke muka bumi, bayi kecil ini sudah terbiasa dibawa pentas dari satu panggung ke panggung lainnya. Terkadang si bayi kecil Rasinah ditidurkan beralaskan kain di tempat pagelaran. Lastra dan Sarminah tampaknya tidak perduli bayinya kepanasan, kegaduhan suara orang atau pun keramaian suara gamelan. Si bayi kecil Rasinah seakan “dininabobokan” oleh aura topeng (Rasidin, 2004: 35). Gambar 1. Anak laki-laki Aerli sedang berla h menari Dalam proses belajar menari topeng, si Topeng di sanggarnya. (Foto: Nur Rochmat, 2010) anak tidak secara langsung diajarkan tentang teknik tariannya, ia hanya disuruh melihat dan memperhatikan gerakan-gerakan yang dibawakan oleh orang tuanya ketika sedang menari di atas used in the West. The simplest of these is per- panggung. Kemudian ia menirukan gerakan- haps the most common: a youngster sits back- gerakan orang tuanya di belakang panggung. Proses stage; he watches and listens to performances; he learns. As time goes by this young apprentice belajar seperti ini dilakukannya selama bertahun- is given minor tasks. He becomes a spear-carri- tahun sampai akhirnya ia disuruh langsung menari er or plays one of the easier instruments....The oleh orang tuanya ketika sedang melakukan learning situation is unstructured and infor- pertunjukan bebarang atau pertunjukan hajatan. mal (Brandon, 1967: 155). Pada kesempatan itulah orang tua menunjukkan dan membetulkan gerakan-gerakan yang dianggap Untuk menguasai keterampilan menari topeng belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Menurut dianutnya. Proses belajar seperti ini berlangsung Wacih, proses belajar menari topeng memerlukan sangat lama karena hanya mengandalkan waktu- waktu yang sangat lama sehingga ia dulu tidak waktu senggang saja, biasanya dilakukan pada mau berlatih menari topeng. Dari kecil ia hanya sore atau malam hari atau pada saat orang tuanya mau berlatih tari-tari kreasi yang diciptakan oleh tidak ada panggungan (Suanda, 1989: 58). ibunya karena dianggap lebih sederhana dan lebih Dalam seni tradisi, proses transformasi biasa- cepat mempelajarinya. Ia mulai berlatih menari nya berjalan secara alami. Nyaris tidak ada tanya- topeng setelah ia dewasa dan mempunyai anak jawab antara yang mewariskan (pemberi) dan yang (Wawancara dengan Wacih, 24 November 2010). diwarisi (penerima). Prinsipnya adalah lakukan Sementara itu Aerli mengatakan bahwa ia saja, mainkan saja, nanti pun bisa atau tahu mulai berlatih menari topeng dari neneknya sejak sendiri. Prinsip ini dianut di kalangan seniman ia berusia sekitar 10 tahun. Proses belajar menari tradisi yang seringkali membiarkan penerima topeng yang sangat lama ini juga diakui oleh Aerli. untuk bisa dan mengetahuinya sendiri (Suanda, Ia bahkan harus mempelajari satu jenis tarian 2009: 21). topeng selama tiga tahun sebelum diperbolehkan Proses pengalihan pengetahuan dan keteram- pentas oleh neneknya (Wawancara dengan Aerli, pilan seni pertunjukan tradisional dari orang tua 24 November 2010). kepada anaknya, dikemukakan juga oleh James R. Hal senada juga dikemukakan oleh Juju Brandon sebagai berikut: Masunah: The forms and formulas of Southeast Asian Theatre are preserved and transmitted to suc- Berbeda dari bentuk seni pertunjukan rakyat ceeding generations through traditional teach- yang lain, gaya daerah dan gaya individu ing methods conspicuously different from those Topeng Cirebon memiliki perbendaharaan gerak yang tidak sederhana sehingga tarian

36 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Topeng Cirebon tidak bisa ditiru atau dipelajari hanya dengan satu atau dua kali melihat saja. Untuk menguasai tarian tersebut diperlukan motivasi tinggi dan waktu yang lama untuk belajar melalui proses pewarisan (Masunah, 2003: 227).

Setelah menjalani proses belajar menari topeng selama bertahun-tahun di bawah asuhan Rasinah, Aerli saat ini sudah menguasai semua gerakan Tari Topeng yang telah diajarkan oleh neneknya tersebut. Hal ini pun diakui oleh Wacih bahwa kemampuan Aerli dalam menari Gambar 2. Sanggar Tari Topeng Rasinah, Pekandangan, topeng jauh melebihi kemampuannya yang hanya Indramayu. (Foto: Nur Rochmat, 2010) berlatih menari topeng setelah ia berusia dewasa. Ia mengakui bahwa proses belajar menari topeng yang ia lakukan tidaklah terlalu lama (Wawancara dengan Wacih, 24 Novemebr 2010). Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mem pelajari dan menguasai Tari Topeng juga dialami oleh Wardiningsih, salah satu bekas murid Rasinah. Ia menuturkan bahwa dulu sekitar tahun 1960-an ketika ia belajar menari topeng kepada Rasinah sangatlah sulit untuk menguasai gerakan- gerakan yang ada dalam Tari Topeng. Ia bahkan memerlukan waktu berbulan-bulan hanya untuk menguasai salah satu gerakan dalam tarian ini (Wawancara dengan Wardiningsih, 24 November Gambar 3. Rasinah mengawasi Aerli yang sedang mela h tari kepada anak-anak yang belajar menari 2010). topeng di sanggarnya. (Foto: Sri Hastu , 2010) Selain harus menjalani proses belajar yang cukup lama, seorang Penari Topeng juga harus menjalani berbagai laku spiritual yang cukup berat agar dapat menjadi Dalang Topeng yang memiliki Pada umumnya para Dalang Topeng Cirebon kemampuan menari yang sangat baik serta mempunyai latar belakang yang sama dalam agar dapat “menyatu” dengan jiwa topeng yang mencapai tingkat kepenariannya. Sebelum dikenakannya dan dipercaya memiliki kekuatan seseorang menjadi Dalang Topeng, terlebih magis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dahulu ia harus menempuh suatu sistem apabila seorang Dalang Topeng sedang menari, penempaan diri di bidang kepenarian melalui seolah-olah ada roh lain yang merasuk ke dalam proses alami yang begitu panjang. Proses tersebut jiwanya sehingga ia mampu menari selama berjam- bukan hanya mengenai teknik tari dan menari jam dengan kekuatan fi sik yang luar biasa tanpa tetapi juga proses penempaan yang bersifat terlihat kelelahan. Wacih mengatakan bahwa kejiwaan/batiniah. Seseorang yang akan menjadi ketika Rasinah sudah memakai topeng untuk Dalang Topeng harus menempuh jalan penyucian menari, seolah-olah yang sedang menari itu bukan diri (laku spiritual) melalui berbagai cara tradisi. Rasinah tetapi yang tampak adalah seorang tokoh Proses penempaan diri yang bersifat kejiwaan dari karakter topeng yang sedang ditarikannya. ini ditempuh secara bertahap yang disebut Ketika Rasinah sedang menari dan memerankan dengan “meuseuh diri”. Kegiatan meuseuh diri Topeng Klana, maka yang tampak di hadapan dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: penonton adalah seorang tokoh Klana yang benar- puasa, tapa/semedi, mutih (hanya makan nasi saja benar gagah perkasa, bukan lagi seorang nenek tua tanpa dibarengi lauk-pauk), tidur hanya boleh yang kurus kering tak berdaya. beralaskan tikar, dan lain-lain. Cara-cara meuseuh

37 NurMariaChristianYohanes RochmatSahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, BoskoPewarisanRosiana dkk. Bakok Dewi TariRetorik, , MusikTopeng dalamMinimax, dan Inkulturasif DramagayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu diri tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan Pewarisan Resmi keyakinan diri dan untuk memperoleh kekuatan Proses pewarisan secara resmi dilakukan tambahan serta dimaksudkan agar Dalang Topeng oleh orang tua (Dalang Topeng) kepada anak tersebut menjadi laris di masyarakat (Suanda, (keturunannya) ketika orang tua merasa bahwa 1989: 55). anaknya tersebut sudah menguasai semua gerakan Hal senada juga diungkapkan oleh Tati (pokok) dalam Tari Topeng dan sudah dianggap Narawati: pantas dinobatkan sebagai “ahli warisnya”. Proses Agar memiliki kekuatan dan keutamaan, pewarisan ini dilaksanakan secara resmi dan melalui seorang Dalang Topeng dituntut untuk ritual tertentu yang harus dipenuhi oleh calon ahli melakukan tirakat sepanjang hayat. Melatih warisnya tersebut. Dalam pelaksanaannya, orang fi sik secara spiritual untuk mendapatkan tua (pewaris) memberikan seluruh perlengkapan daya magis lewat tata laku. Dia harus topeng dan aksesorisnya kepada anaknya menahan dan melawan keinginan serta untuk dapat menjaga, mempertahankan dan nafsu alamiahnya untuk pencapaian tujuan melestarikan Tari Topeng sebagai warisan budaya yang positif lewat kekuatan-kekuatan yang leluhur mereka. sangat dipertinggi. Untuk itu dia rela makan dan minum dengan menu menurut pola Tari Topeng biasanya diwariskan dari generasi kepercayaan tradisi (Narawati, 2005: 102). ke generasi di dalam lingkungan keluarga Dalang Topeng itu sendiri. Salah satu contohnya ialah Dalam upayanya untuk mensucikan diri, Keni (Dalang Topeng dari Slangit, Cirebon). Rasinah melakukan berbagai jenis puasa, di Keni belajar menari topeng di bawah bimbingan antaranya: ngetan (tidak makan nasi kecuali hanya bapaknya, Arja, dan kakak kandungnya, Sujana. makan secangkir nasi ketan setiap hari selama Kemudian Keni menurunkan kembali pengetahuan 40 hari), puasa pisang (hanya makan dua buah dan keterampilan menari topeng tersebut kepada pisang sehari selama 7 hari), nguler (hanya makan anaknya, Nunung Nurasih. Berbeda dari Tari daun-daunan seperti bayam dan kangkung selama Topeng gaya lainnya, pada Tari Topeng Gaya 7 atau 21 hari), balakandem (hanya makan jenis Rasinah terdapat satu loncatan generasi pewarisan umbi-umbian seperti singkong, kentang dan ubi yakni dari Rasinah tidak diwariskan kepada selama 40 hari), rawit (hanya makan beberapa anaknya tetapi langsung diwariskan kepada cabe rawit setiap hari selama 1 minggu), dan lain- cucunya. Beberapa alasan yang melatarbelakangi lain (Rasidin, 2004: 57). loncatan generasi pewarisan tersebut di antaranya sebagai berikut. Proses penempaan diri adalah pendidikan/ latihan jiwa yang harus dijalankan oleh setiap Pada waktu Wacih masih kecil, sekitar tahun Dalang Topeng karena merupakan salah satu dari 1970an-1980an, keadaan ekonomi keluarga serangkaian proses pewarisan yang diturunkan Rasinah sangat memprihatinkan, sedangkan dari Dalang Topeng kepada anak-cucu mereka. pertunjukan Tari Topeng yang menjadi mata Menurut pengakuan Carpan, dalang Topeng asal pencaharian Rasinah sudah sangat jarang mendapat Ciberang Indramayu, hingga saat ini ia masih undangan pentas dari masyarakat, sehingga melaksanakan beberapa laku spiritual untuk rombongan Topeng Rasinah mengalami masa menjaga kesehatan dan ketahanan fi siknya, di kevakuman. Oleh karena itu Wacih tidak memiliki antaranya dengan berpuasa selama tujuh hari motivasi untuk mempelajari ataupun menjadikan dalam setiap bulan (Wawancara dengan Carpan, Tari Topeng sebagai profesi/sandaran hidupnya 25 November 2010). Aerli pun mengaku bahwa (Wawancara dengan Wacih, 24 November 2010). ia sudah melaksanakan berbagai laku spiritual Di lain pihak, Aerli mulai mempelajari Tari seperti yang telah diajarkan/dilakukan oleh Topeng pada tahun 1990an ketika Tari Topeng Rasinah. Akan tetapi dari sekian jenis puasa Gaya Dermayon sudah mulai terkenal di dunia yang harus dilakukan, ia mengaku tidak kuat internasional, dan Rasinah sudah mengalami melaksanakan “rawit” (hanya makan beberapa pentas di berbagai kota besar di dalam negeri dan cabe rawit setiap hari selama 1 minggu). Ia hanya luar negeri. Selain itu, kehidupan ekonomi keluarga kuat melaksanakannya selama 3 hari (Wawancara Rasinah pun mulai mengalami peningkatan dengan Aerli, 24 November 2010). karena banyaknya undangan pertunjukan.

38 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Rumah keluarga Rasinah yang hampir roboh Rasinah. Rombongan topengnya sudah tidak dapat pun dibangun kembali dan diikuti dengan menopang kebutuhan hidup keluarganya. Rasinah pembangunan sanggar tarinya. Pembangunan tidak bisa meminta anaknya untuk menjadi rumah dan sanggar tari ini dilakukan atas usaha Dalang Topeng seperti dirinya karena pada saat itu besar para seniman, terutama Endo Suanda, ia pun menyadari bahwa menjadi Dalang Topeng Toto Amsar Suanda, dan lain-lain. Menyaksikan tidak bisa menjamin kehidupan ekonominya. keberhasilan yang telah diraih oleh Rasinah dan Demikian juga dengan Wacih, satu-satunya anak besarnya atensi dari berbagai pihak, khususnya Rasinah yang masih hidup, tidak tertarik untuk para seniman terhadap Tari Topeng menimbulkan menjadi Dalang Topeng karena ia menganggap adanya motivasi dan semangat dalam diri Aerli menjadi Dalang Topeng tidak mempunyai masa untuk belajar menari topeng dengan sungguh- depan ekonomi yang jelas. Ia hanya berpikir sungguh dan menjadikan Dalang Topeng bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan sebagai profesinya (Wawancara dengan Aerli, 24 hidup yang serba sulit pada masa itu sehingga ia November 2010). tidak mempunyai motivasi atau dorongan untuk Berkaitan dengan motivasi, Robert Session belajar Topeng secara lebih serius. Woodworth dan Clark Hull (dalam Koeswara, 1995: Dari hal-hal yang dikemukakan di atas dapat 67-68) mengungkapkan bahwa seluruh tingkah dikatakan bahwa pewarisan Tari Topeng Gaya laku (kecuali refl eks-refl eks) itu bermotivasi. Tanpa Dermayon dari nenek kepada cucunya dan bukan adanya dorongan, tidak akan ada kekuatan yang kepada anaknya dikarenakan beberapa faktor, di menggerakkan dan mengarahkan mekanisme- antaranya (1) Tidak adanya motivasi dalam diri mekanisme yang bertindak sebagai pemuncul Wacih untuk menjadi seorang Dalang Topeng tingkah laku. Pendek kata, dorongan itu perlu sehingga sejak kecil ia tidak mau mempelajari bagi kemunculan tingkah laku. Dorongan itu Tari Topeng, artinya ia tidak mengalami proses sendiri diaktifkan oleh kebutuhan yang timbul pewarisan secara tidak resmi. Sementara itu, Aerli akibat keadaan kekurangan pada tubuh atau memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi kekurangan fi siologis, yang pada gilirannya seorang Dalang Topeng sehingga sejak kecil ia dorongan mengaktifkan tingkah laku organisme. sudah mempelajari Tari Topeng dengan sungguh- Sementara itu Abraham H. Maslow mengung- sungguh, artinya ia mengalami proses pewarisan kap kan: tidak resmi di bawah bimbingan neneknya. (2) Kebutuhan yang biasanya dijadikan titik Lamanya proses belajar menari topeng yang tolak teori motivasi adalah apa yang dilakukan oleh Aerli membuat ia memiliki disebut dengan dorongan fi siologis (rasa keahlian menari topeng yang jauh lebih baik lapar, mengantuk, hasrat seksual, dan lain- daripada ibunya sehingga Aerli dianggap lebih lain).... Kebutuhan fi siologis manapun dan pantas untuk menjadi pewaris Tari Topeng dari kebutuhan konsumtif yang sejalan dengan Rasinah. itu berfungsi sebagai penyalur segala macam kebutuhan lainnya. Kebutuhan fi siologis Pada tanggal 15 Maret 2008 Rasinah secara ini adalah kebutuhan yang paling kuat. resmi memberikan amanat kepada Aerli melalui Tegasnya bahwa pada diri manusia yang kegiatan ritual untuk meneruskan tradisi Tari selalu merasa kurang dalam kehidupannya, Topeng Gaya Dermayon. Dalam pelaksanaan kebutuhan fi siologislah yang merupakan ritual tersebut Aerli harus melakukan pertunjukan motivasi terbesar dan bukan kebutuhan bebarang di tujuh tempat yang berbeda. Tepat yang lain (Maslow, 1994: 44-45). pada pukul 08.00 pagi mulailah Aerli bersama rombongan topengnya berkeliling dari kampung Ketika kebutuhan utama (fi siologis) tidak ke kampung melakukan pertunjukan bebarang terpenuhi, maka seseorang tidak akan terdorong sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhinya untuk melakukan hal lain bahkan akan melupakan untuk dapat mewarisi kesenian tradisional Tari kebutuhan yang lain. Pada tahun 1970an kegiatan Topeng dari sang nenek. Pertunjukan bebarang kesenian Tari Topeng mengalami kemunduran tersebut berlangsung selama kurang lebih 8 jam sehingga tidak dapat dijadikan tumpuan untuk yang berakhir pada sore hari. Lokasi terakhir yang mencari nafkah. Demikian juga yang terjadi pada dipilih untuk melakukan pertunjukan bebarang

39 NurMariaChristianYohanes RochmatSahid Oktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, BoskoPewarisanRosiana dkk. Bakok Dewi TariRetorik, , MusikTopeng dalamMinimax, dan Inkulturasif DramagayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu adalah di pinggir Sungai Cimanuk. Tempat itu Maslow, Abraham H. 1994. Motivasi dan dipilih karena fi losofi nya bahwa “ilmu” Tari Kepribadian 1: Teori Motivasi dengan Pendekat- Topeng akan terus mengalir ke anak cucu seperti an Hierarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan halnya air sungai yang terus mengalir. Aerli Nurul Imam. Bandung: Remaja Rosdakarya beserta rombongan topengnya pun kembali ke Offset. rumahnya tepat pada pukul 16.00. Setelah itu Masunah, Juju. 2000. Sawitri Penari Topeng Losari. Aerli menerima warisan beberapa buah Topeng Bandung: Tarawang. (Kedok), seperangkat baju dan aksesoris yang biasa ______dan Tati Narawati. 2003. Seni dikenakan oleh Rasinah untuk menari topeng. dan Pendidikan Seni. Sebuah Bunga Rampai. Sejak saat itu Aerli secara resmi menjadi pewaris Bandung: P4ST UPI. Tari Topeng Gaya Dermayon dari Rasinah. Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Penutup Wedatama Widya Sastra. Tari Topeng Gaya Dermayon telah mampu Narawati, Tati. dan Soedarsono, R.M. 2005. Tari mempertahankan eksistensinya melalui pewarisan Sunda. Dulu, Kini, dan Esok. Bandung: P4ST yang dilakukan secara turun temurun. Bagi UPI. para Dalang Topeng, tugas untuk menjaga dan Rasidin, Dindin. 2004. Rasinah Dalang Topeng mempertahankan kesenian tradisional Tari Indramayu Jawa Barat. Sebuah Biografi . Tesis. Topeng bukanlah merupakan sebuah beban tetapi Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas menjadi kewajiban mulia untuk melestarikan Gadjah Mada. budaya sebagai warisan dari leluhurnya. Suanda, Endo. 1991. “Seniman Cirebon dalam Proses pewarisan kesenian tradisional Tari Konteks Sosialnya”. Buletin Seni Pertunjukan Topeng Gaya Dermayon berlangsung melalui Indonesia. Surakarta: MSPI. sistem “Pewarisan Tegak” atau melalui mekanisme genetik, yakni sistem pewarisan budaya dari orang Suanda, Toto Amsar. 1989. Tari Topeng Panji tua kepada anak-cucu. Salah satu alasan yang sebagai Tari Meditasi. Bandung: Akademi Seni melatarbelakangi loncatan generasi pewarisan Tari Indonesia. pada Tari Topeng Gaya Dermayon ialah faktor ______. 2009. Tari Topeng Panji Cirebon. Suatu motivasi dalam diri seniman pelakunya. Kajian Simbolis. Tesis. Program Pascasarjana. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Kepustakaan Sumardjo, Jakob, et al. 2001. Seni Pertunjukan Berry, John W. et al. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Indonesia. Bandung: STSI Press. Riset dan Aplikasi. Terjemahan Edi Suhardono. ______. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Asia. Cambridge, Massachusetts: Harvard Yogyakarta: Qalam. University Press. Caturwati, Endang. 2009. Rekonstruksi dan Informan Revitalisasi Seni Topeng Cirebon dalam Aerli (23 tahun). Ketua Sanggar Tari Topeng Pemaknaan Kehidupan Masyarakat Mandiri, Rasinah (cucu Rasinah). Dinamis dan Sejahtera. Laporan Penelitian Carpan (70 tahun). Dalang Topeng dari desa Prioritas Nasional. Jakarta: Departemen Cibereng, Indramayu. Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Wacih (40 tahun). Putri Rasinah. Pendidikan Tinggi. Wardiningsih (54 tahun). Kepala Sekolah SDN Koeswara, E. 1995. Motivasi: Teori dan Penelitian- Kepandean I. Salah seorang murid Rasinah. nya. Bandung: Angkasa.

40 Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 41-55 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda

Lalan Ramlan1 Jurusan Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung

ABSTRAK Seni pertunjukan tari Sunda hingga saat ini telah diisi dengan tiga genre tari yang diciptakan oleh tiga tokoh pembaharu tari Sunda, yaitu Rd. Sambas Wirakusumah yang menciptakan genre tari Keurseus sekitar tahun 1920- an, Rd. Tjetje Somantri yang menciptakan genre tari Kreasi Baru sekitar tahun 1950-an, dan Gugum Gumbira Tirasondjaya yang menciptakan genre tari pada awal tahun 1980-an. Ketiga genre tari tersebut memiliki citra estetiknya sendiri-sendiri sesuai latar budaya generasinya masing-masing. Genre tari Jaipongan yang kini sudah lebih dari 30 tahun belum tergantikan di dalamnya menunjukkan nilai-nilai yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda. Untuk mengekplanasi berbagai aspek penting yang melengkapi pembentukan sebuah genre tari ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa genre tari Jaipongan dibentuk oleh konsep dasar etika dan estetik egaliter dengan menghasilkan struktur koreografi yang simpel dan fl eksibel yang terdiri dari empat ragam gerak, yaitu bukaan, pencugan, nibakeun, dan mincid. Kata kunci: Gugum Gunbira, genre tari, dan Jaipongan

ABSTRACT Jaipongan: The Genre of Third Dancing Generation in the Development of Performing Arts. Sundanese dancing performance art recently has been fi lled with three dancing genres created by three prominent reformers of Sundanese dances, namely Rd. Sambas Wirakusumah who created the dance genre of Keurseus around 1920, Rd. Tjetje Somantri who created the dance genre of Kreasi Baru (New Creation) 1950s, and Gugum Gumbira Tirasondjaya who created the dance genre of Jaipongan in the early 1980s. The three genres of the dances have their own aesthetic image based on their cultural background respectively. The Jaipongan dance genre which now has been more than 30 years and not yet been changed shows the values rooted in Sundanese community life. To explain various important aspects which complete the creation of a dance genre it applies qualitative method employing a phenomenological approach. Based on the research, it is concluded that Jaipongan dance genre is shaped by ethical and aesthetic concepts of egalitarian policies to produce a simple structure and fl exible choreography of four modes of motion, i.e. aperture, pencugan, nibakeun, and mincid. Keywords: Gugum Gunbira, dance genres, and jaipongan

Pendahuluan Sejak itu, dinamika perkembangan seni Tari tradisional Sunda dalam perjalanannya pertunjukan tari Sunda hingga saat ini tercatat mengalami perkembangan yang dinamis. Hal sudah melahirkan tiga generasi, yang sekaligus ini dapat diamati dari perubahan atau pergeseran memunculkan tiga tokoh pembaharunya. nilai yang terjadi, yaitu dari media hiburan Mereka adalah Rd. Sambas Wirakusumah yang (kalangenan) menjadi media ekspresi estetik melahirkan genre tari Keurseus pada kisaran masa pertunjukan. Fenomena pergeseran nilai tersebut akhir aristokrat feodalisme (± tahun 1920-an). Ia menjadi bahan diskursus tersendiri, terutama melakukan pembakuan terhadap berbagai motif di kalangan akademisi seni tari. Lebih jauh, dan ragam gerak yang selalu disajikan oleh para pembacaan terhadap tari tradisional Sunda sebagai pengibing dari kalangan priyayi/menak Sunda seni pertunjukan mengacu pada momentum dalam arena Tayuban. Pembakuan ini sekaligus perubahan yang terjadi ketika media kalangenan menghilangkan peran dan kehadiran para priyayi/menak Sunda yaitu Tayuban berubah yang semakin bercitra negatif. Proses pembakuan menjadi sebuah genre tari yang disebut Keurseus. tersebut pada akhirnya menghasilkan bentuk-

1 Alamat Korespondensi: Jurusan Tari - STSI Bandung, Jln. Buahbatu No. 212, Bandung, 40263. Tlp. (022) 7314982. Hp. 0815 721 36 195 email: [email protected]

41 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu bentuk penyajian tari tunggal putra dengan pada tari Merak, tetapi olahan geraknya tetap struktur koreografi yang terdiri atas ragam gerak mengacu pada pandangan estetika aristokrat. pokok (sembahan, adeg-adeg, raras konda, jangkung Struktur koreografi yang disusun dalam ilo, gedut, pakbang, mincid, tindak tilu, engke gigir, setiap karya tari Tjetje Somantri, merupakan santanaan, baksarai, mamandapan), ragam gerak pengembangan dari ragam gerak pokok yang ada penghubung (selut, galeong, lontang, cindek, dan pada genre tari Keurseus. Pada genre tari kreasi tumpang tali), ragam gerak khusus (ungkleuk tujuh), baru ini diberlakukan ketetapan dasar pada setiap dan ragam gerak peralihan (gedig, mincid, keupat, repertoar tarinya yang berjenis putri, misalnya trisi, raras, dan sirig). Segala atribut yang sudah olahan ruang gerak pada setiap motif dan ragam biasa dikenakan oleh para pejabat bupati (priyayi/ geraknya tidak boleh mengangkat tangan melebihi menak) Sunda masa itu menjadi kelengkapan bahu karena akan memperlihatkan ketiak; gerak busana tarinya, seperti pakaian takwa dan sinjang bahu dan pinggul tidak boleh terlalu kuat dan lereng atau motif lainnya dengan lipatan kain olahan ruang yang lebar, karena dianggap vulgar di ujung kanan (lamban) diletakkan di sebelah dan erotis; jarak kedua kaki pada sikap adeg-adeg kanan, epek/stagen, sabuk, keris, tali bandang, tidak boleh terlalu lebar, apa lagi mengangkat kaki dan bendo, kecuali soder/sampur. Digunakannya terlalu tinggi. Itu semua dianggap melanggar kodrat sampur/soder dalam menari karena properti ini perempuan dan mengurangi keindahannya. Oleh sudah digunakan dalam menari sejak Tayuban karenanya, tari-tarian karya Rd.Tetje Somantri masih populer di kalangan priyayi/menak Sunda ini oleh para pemerhati dan akademisi seni tari masa lalu. Soder ini diberikan kepada penari oleh disebut dengan nama kreasi baru dan ditempatkan panitia juru baksa sebagai tanda giliran menari, sebagai sebuah genre tari tersendiri, yaitu genre tari terutama karena para penari/pengibing yang kreasi baru sebagai genre tari generasi kedua dalam waktu itu adalah para pejabat (bupati) yang tentu perkembangan seni pertunjukan Sunda. saja tidak biasa membawa soder ke arena Tayuban. Lalu bagaiman dengan Jaipongan hasil karya Beberapa repertoar tari yang tercatat pada masa Gugum Gumbira Tirasondjaya pada sekitar awal itu adalah Lenyepan, Gawil, Kawitan, Gunungsari, tahun 1980-an?. Tari ini memiliki cerita dan dan Kastawa. Keseluruhan repertoar tari ini keunikannya tersendiri yang berbeda dengan dikategorikan dalam genre tari Keurseus. para pendahulunya. Karya tari dan penciptanya Setelah keberhasilan Rd. Sambas Wira- merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat kusumah dalam memulai babak modernisasi dipisahkan dari pengamatan, apalagi kiprahnya terhadap kesenian tradisional tari Sunda berjalan dalam mengisi perkembangan seni pertunjukan ± 30 tahunan, lalu tercatat nama baru yang tari Sunda sudah lebih dari 30 tahunan belum ada juga berlatar budaya priyayi/menak Sunda yaitu tanda-tanda akan lahirnya genre tari baru. Rd. Tjetje Somantri pada kisaran masa awal Fenomena kelahiran sebuah karya seni yang kemerdekaan Negara R.I (± tahun 1950-an). Ia sangat bercirikan latar budaya penciptanya dan berhasil menciptakan karya-karya tari baru dengan masyarakat penyangganya, telah dijelaskan oleh menitikberatkan pada jenis tari putri, yang pada Adolph S. Thomars dalam teorinya yang tersirat masa Rd. Sambas Wirakusumah sama sekali tidak dalam bukunya berjudul Class Systems and The mendapat tempat. Keberadaan perempuan pada Arts sebagaimana dikutif oleh R.M. Soedarsono masa aristokrat feodalisme di lingkungan priyayi (1999: 46) bahwa: ‘kehadiran sebuah kelas atau sangat dilarang bersentuhan dengan kesenian tari golongan masyarakat akan menghadirkan pula yang saat itu memiliki citra negatif. gaya dan bentuk seni yang khas, sesuai dengan Walaupun Rd. Tjetje Somantri menciptakan selera estetis golongan terentu”. tarian-tarian berjenis putri, tetapi tetap Dengan mengacu pada teori di atas sekaligus mempertahankan citra estetika aristokrat memahami substansi penelitian kebudayaan sebagaimana lingkungan budaya tempat ia hidup yang menitikberatkan pada persoalan teks dan dan dibesarkan. Hal ini bisa dicermati dari tari- konteksnya, maka dalam upaya mengeksplanasi tarian yang diciptakannya, seperti; tari Anjasmara, keberadaan tari Jaipongan yang fenomenal karena tari Sulintang, tari Kandagan, tari Ratu Graeni, dan melebihi kurun waktu yang dilampaui para sebagainya. Kalaupun ada yang di luar itu seperti pendahulunya, penulis menetapkan menggunakan

42 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 metode kualitatif dengan pendekatan fenomeno- tidak tahu diri, tidak tahu adat, dan banyak lagi logi. Dengan demikian, diharapkan nilai-nilai umpatan sejenis lainnya. Dominasi etika dalam estetika dan artistik tari lainnya, serta nilai- berperilaku tersebut menjadi sebuah tatanan nilai nilai budaya yang melatarbelakangi terciptanya etika adat tradisi yang harus atau wajib dipatuhi, Jaipongan dapat diungkap. Untuk hal itu ada dipelihara dan diwariskan kepada setiap generasi dua persoalan pokok yang berpengaruh pada urang Sunda berikutnya. Pada akhirnya, etika pembentukan citra estetik dan artistik dalam tari tradisi ini menjadi standar ukuran karakteristik Jaipongan, yaitu konsep dan struktur. Kedua sisi masyarakat Sunda, bahkan masih tetap berlaku tersebut, akan didekati dalam perspektif yang hingga saat ini walaupun sudah mulai longgar berdimensi etik, estetik, dan akademik. Tulisan sejalan dengan proses mordenisasi zaman yang ini bertujuan untuk memberikan informasi terus bergulir. akademis mengenai genre tari Jaipongan sebagai Tatanan etika aristokrat feodalisme itu, jenis tari generasi ketiga dalam perkembangan di sisi lain juga sangat berpengaruh terhadap seni pertunjukan Sunda. pembentukan kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kehidupan Konsep dan Struktur Tari Jaipongan masyarakat Sunda masa itu. Hal itu terlihat dari Penelitian seni, termasuk tari, substansinya kelahiran genre tari Keurseus dan Kreasi Baru yang mengungkap dua sisi yang saling melengkapi, yaitu diciptakan oleh masyarakat aristokrat seperti yang bentuk dan isi. Menurut Jakob Sumardjo (2000: sudah diuraikan di atas. 169) bentuk merupakan representasi dari faktor Pemberlakuan berbagai aturan (patokan) instrinsik seni yang dibentuk oleh medium atau tersebut bagi Gugum Gumbira dipandang sangat materialnya. Sejalan dengan itu, Tjetjep Rohendi membatasi ruang gerak penari, sehingga terasa Rohidi (2011: 53) menyebut faktor intrinsik ini membelenggu, lamban, dan monoton. Sementara sebagai faktor intraestetik yang dibangun oleh ketika mengamati dan merasakan langsung sebuah struktur yang tersistematis, sehingga berbagai bentuk tari produk budaya barat yang memiliki pola sususan yang dalam seni tari disebut tumbuh subur di lingkungan pergaulannya-Kota koreografi . Isi yang merupakan representasi dari Bandung (tahun 70-an)-begitu lincah, gesit, nilai gagasan, pikiran, dan perasaan senimannya enerjik, dan dinamis penuh kebebasan dalam oleh Sumardjo (2000: 169) disebut sebagai mengolah ruang gerak tubuh penari. Beberapa faktor ekstrinsik sedangkan oleh Rohidi (2011: bentuk kesenian yang sangat digandrungi kaum 53) disebut sebagai faktor esktraestetik yang muda Kota Bandung saat itu, antara lain; Chacha, terkandung dalam latar budaya dari kehidupan Salsa, Boll Room, Rock’n Roll, dan sebagainya, seniman penciptanya yang sudah merupakan menjadi bagian integral dari pergaulan kaum kristalisasi nilai kehidupan sosio-budaya dalam muda Kota Bandung. bentuk nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan, Keadaan itulah yang mempengaruhi pemikiran dan lingkungan. Dengan demikian, mengungkap kritis Gugum Gumbira dengan pertanyaan dasar keberadaan Jaipongan sebagai sebuah karya tari yang terlontar, sebagai berikut: “mengapa kesenian tidak akan lepas dari konsep penciptaan Gugum Sunda yang begitu kaya dan beragam tidak Gumbira sebagai penciptanya yang memiliki latar tersentuh, apalagi menjadi ajang pergaulan kaum budaya tradisi yang kuat, di sisi lain ia hidup di muda Bandung”. Bertitiktolak dari pemikiran lingkungan masyarakat kota. kritis inilah, Gugum memulai penjelajahannya dalam menemukan apa yang diinginkannya, yaitu Konsep Penciptaan Gugum Gumbira bentuk tari tradisional yang bisa menjadi media Sejarah perkembangan tari Sunda telah pergaulan kaum muda kota/modern. mencatat bahwa etika dalam budaya aristokrat Pemikiran kritisnya yang kuat terhadap feodalisme kehidupan kaum priyayi/menak Sunda keberadaan kesenian tradisional Sunda, jelas sangat berpengaruh atau mendominasi tata bukan hal yang tiba-tiba saja muncul dalam diri kehidupan masyarakat Sunda. Siapapun yang seorang Gugum tetapi mengalir dari ayahnya yang tidak menggunakannya dalam kehidupan sehari- pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat hari pasti akan dianggap manusia tidak sopan, Daerah (DPRD) Kotamadya Bandung. Menurut

43 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Gugum, semasa ayahnya menjadi anggota DPRD 1969), Ine Dinar (Bandung 24 Pebruari 1970), tersebut, ia salah seorang yang paling kritis dan Asye Ratna Mantili (Bandung 4 Agustus 1973), vokal dalam menyuarakan aspirasi masyarakatnya, dan Sonda Utami Dewi (Bandung 26 Pebruari sehingga banyak dikenal dan disegani oleh kawan- 1978). kawannya di DPRD tersebut (Edi Mulyana dan Gugum mempelajari berbagai jenis kesenian Lalan Ramlan, 2012: 15). Kebiasaan yang kritis seperti Ketuk Tilu dari Ki Sanhudi, Bu Jubaedah, dan vokal ayahnya itu tertanam dalam kehidupan dan Bah Akil. Secara koreografi s, tarian pada Gugum yang selalu kritis dalam menyikapi situasi kesenian Ketuk Tilu masih menggunakan struktur sosial dan vokal dalam menyuarakan keinginan koreografi yang terdiri dari ragam gerak bukaan, untuk mengangkat serta menghidupkan kembali pencugan, nibakeun, dan beberapa gerak mincid. keberadaan kesenian yang termarginalkan, karena Keberadaannya seperti itu memberikan inspirasi dianggap seronok, vulgar, dan kurang bernilai. terhadapnya dalam persoalan struktur tarian. Gugum memiliki perhatian yang besar Oleh karena itu kesenian tradisional Ketuk Tilu terhadap perkembangan kehidupan kesenian pada gilirannya menjadi dasar struktur koreografi tradisional Sunda. Ia ditempa sejak kecil dengan penciptaan tari Jaipongan. pengalaman dan pengetahuan seni dan budaya Setelah belajar Ketuk Tilu, Gugum berguru Sunda oleh ayahnya melalui latihan Pencak kesenian Topeng Banjet pada Bah Epeng, Ali Silat (maenpo/Penca: Sunda). Setelah jurus-jurus Saban, dan Bah Pendul. Dalam penampilan dasar tersebut dikuasai dengan baik, selanjutnya penari perempuan umumnya menggunakan diajarkan Penca kembang yang sederhana seperti ragam hias yang cukup menarik mulai dari tepak tilu. Adapun pemikirannya yang moderat, bagian rambut menggunakan hiasan kembang, karena pendidikannya yang cukup tinggi yaitu busananya menggunakan kebaya yang dihiasi sarjana dan pergaulannya yang luas dengan dengan toka-toka atau tola, kewer, dan bagian berbagai strata sosial yang berbeda. bawahnya menggunakan sinjang. Kesenian ini Dalam meniti karir berkeseniannya, Gugum umumnya diiringi oleh seperangkat waditra memulainya dengan belajar berbagai jurus Penca Ketuk Tilu, namun ada pula yang menggunakan dari berbagai aliran, seperti; Cikalong, Cimande, gamelan lengkap berlaras salendro. Gerak tarinya dan Sabandar. Ia belajar aliran Cikalong dan cenderung erotis (terkenal dengan istilah eplok Cimande dari Bah Saleh, Ki Bacih, dan Ki cendol atau goyang Karawang yang disajikan oleh Sanhudi. Proses pembelajaran yang diterimanya kembang topeng atau penari primadona). Hal ini tidak saja sebatas fi sik, tetapi sampai pada unsur- memberikan penebalan terhadap munculnya unsur di luar fi sik, yang dalam dunia persilatan nuansa erotis dalam Jaipongan. Gugum (2008) sering disebut kebatinan. Selain ayahnya sendiri, menegaskan bahwa dalam mempelajari gerak- Ki Bacih dan Ki Sanhudi inilah yang banyak gerak Penca, Ketuk Tilu, dan Topeng Banjet mewarnai prinsip berkeseniannya. Pendalamannya dilakukan sampai hatam”. terhadap Penca/maenpo, menggiring Gugum Pada proses hataman itulah Gugum menjalani pada penemuan bagian padungdung kendor yang sebuah prosesi akhir yang disebut upacara menjadi landasan inspiratif munculnya kebebasan tawajuh. Ia dimandikan dengan air kembang atau fl eksibilitas irama dalam Jaipongan, sehingga yang diwadahi dengan goong keramat. Menurut membuka ruang atau peluang bagi penari untuk Askin, seniman Karawang, tidak semua murid bebas bergerak menampilkan jurus-jurus dengan Bah Pendul ditawajuh, hanya murid-murid irama tidak terikat. yang dianggap istimewa saja yang diperlakukan Petualangannya dalam proses berkesenian demikian. Harapannya adalah agar orang yang terjadi terutama pada masa setelah berkeluarga, dimandikan air kembang dari goong tersebut kelak Ia melangsungkan pernikahan pada tanggal 18 namanya akan bergema seperti suara goong. April 1968 dengan perempuan yang dicintainya Setelah berguru kepada beberapa tokoh Topeng bernama Euis Komariah yang pada saat itu sudah Banjet, giliran berikutnya yang dipelajarinya menjadi penembang Cianjuran yang handal. Dari adalah seni Kliningan Bajidoran. Daerah Pantai pernikahannya tersebut, Ia dikaruniai empat orang Utara Jawa Barat, khususnya Karawang dan anak, yaitu: Mira Tejaningrum (Bandung 4 Maret Subang, memiliki banyak grup kesenian Kliningan

44 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Bajidoran yang dalam pertunjukannya selalu mempunyai keberanian walaupun berpotensi melibatkan kelompok bajidor (menunjuk kepada akan menjadi mandul. Ia menambahkan para pelaku yang berperan secara aktif dalam bahwa keberanian tersebut diimbangi pula oleh peristiwa Bajidoran), yakni meminta lagu, menari, pengetahuan dan pengalaman serta berpegang dan memberi uang jaban (saweran; memberikan teguh pada prinsip-prinsip kekaryaan seperti uang kepada sinden atau pangrawit). adanya kesatuan, harmoni, transisi serta berpegang Ketertarikan Gugum pada kesenian ini karena teguh pada norma-norma masyarakat seperti adat, terdapatnya kesamaan bentuk sajian dengan cara, dan kebiasaan-kebiasaan. Prinsip selanjutnya beberapa jenis kesenian yang telah dipelajari menurut Gugum Gumbira adalah ”terbuka sebelumnya yaitu Ketuk Tilu, Penca, dan Topeng terhadap segala saran dan kritik dari orang lain, Banjet. Tarian ini kaya akan variasi gerak yang tidak boleh alergi terhadap saran dan kritikan ditarikan secara spontan, improvisasi, dan unik, yang disampaikan orang lain. Hal ini dibuktikan baik yang ditarikan oleh para pesinden maupun ketika ia mendatangkan para seniman seperti para bajidor. Untuk mengetahui lebih dekat Nandang Barmaya, Samin, Tosin, Tati Saleh, kesenian tersebut ia memutuskan ikut ngabajidor. Omik Hidayat, Suwanda, dan Dali untuk diajak Gugum mulai berkenalan dengan beberapa tokoh bekerjasama dan berdiskusi untuk menghasilkan bajidor dari Karawang seperti Atut, Askin, dan karya-karya yang diinginkannya. Karya-karyanya Dimyati, serta Lurah Hilman, Upas Omo, dan diciptakan se-orisinal mungkin, tidak menjiplak Lurah Joni dari Subang. Secara khusus dalam atau meniru hasil orang lain. peristiwa Bajidoran tersebut ia selalu memberikan Gugum Gumbira memiliki pandangan yang beberapa krat (kotak) minuman bir untuk para sederhana tentang dunia tari atau menari, Ia bajidor dan mengeluarkan banyak uang untuk mengatakan: “ngigel mah moal jauh ti leungeun jaban. jeung dua suku, paeh hiji-hirup hiji” (menari itu Sejak itulah Gugum menemukan beberapa hanya menggerakkan dua tangan dan dua kaki, seniman potensial yang memiliki keahlian khusus, satu statis karena menjadi tumpuan berat tubuh seperti Suwanda dan Dali sebagai penabuh dan yang satu lainnya dalam posisi bebas). Kalimat kendang, Idjah Hadidjah, Umay Mutiara dengan ini sangat menekankan pada ketidakstabilan posisi suara emasnya sebagai sinden, serta Atut, Askin, tubuh, dalam arti posisi tubuh harus selalu dalam dan Upas Omo dengan ibing khas Bajidoran-nya. keadaan ‘hidup’ (plastis; tidak statis). Untuk Mereka itulah yang pada gilirannya diikut-sertakan kepentingan itu, terutama bagian kaki harus dalam proses berkesenian selanjutnya. Selain itu, dalam keadaan asimetris. Maksud dari asimetris Ia juga menemukan pola-pola tepak kendang serta atau “paeh hiji hirup hiji” adalah difokuskan pada berbagai ragam gerak, seperti bukaan, pencugan, posisi kaki dalam keadaan pasang/kuda-kuda atau nibakeun, dan motif-motif tepak dan gerak mincid. adeg-adeg. Kaki yang satu bersifat menahan atau Lebih lanjut pola-pola tersebut menjadi kerangka menjadi tumpuan berat tubuh (paeh) dan yang dasar Jaipongan yang selanjutnya menjadi lainnya bersifat hidup atau siap bergerak bebas kerangka garap Jaipongan. Euis Komariah, istri dengan berbagai kemungkinan; motif gerak, arah Gugum Gumbira, menegaskan bahwa Jaipongan gerak, dan/atau tempo dengan intensitas gerak yang dikenal dewasa ini merupakan hasil jerih yang berbeda. payahnya, bukan saja secara moral tetapi material Ada dua faktor yang membentuk daya pun ia korbankan untuk menciptakan Jaipongan. dinamika irama dalam tarian Jaipongan, yaitu Sebagai seorang seniman, Gugum mempunyai di satu sisi karena Gugum sangat mengidolakan prinsip bahwa dalam berkarya itu pertama adalah gaya menari dari seorang ronggeng yang pada masa keberanian, dalam arti keberanian kreatif. Selain aristokrat dipandang rendah, tetapi bagi Gugum itu tidak boleh takut disalahkan atau dikritisi justru sebaliknya. Ia menangkap daya pesona oleh orang lain. Hal yang diutamakan adalah menari yang luar biasa. Oleh sebab itu, pada mampu membuat lepas dari permasalahan apakah bagian pencugan (isi) dalam koreografi Jaipongan karya itu berkualitas atau tidak. Menurutnya, adalah merupakan kunci-kunci jurus untuk tanpa keberanian seseorang tidak akan mampu menghindar, menyerang, menangkis, mendorong, menghasilkan sesuatu. Seorang seniman yang tidak bahkan menantang pasangannya (para penari

45 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu pria). Daya pesona ronggeng itu diungkapkan oleh kain dan kebayanya, senum dan lirikan matanya, Atang Warsita, seorang seniman karawitan Sunda dengan langkahnya yang tenang berwibawa, dalam beberapa bait syairnya berikut. menambah aura daya tariknya. kewes pantes Mencermati konsep di atas, Gugum Gumbira singset dangdosanana menghendaki gambaran ideal perempuan Sunda adu manis jeung gerak ibingna itu secara realistis yang terekspresikan dalam rindat soca nyarengan tariannya, tidak seperti yang dilakukan oleh Rd. sumanding imut pangirut Tjetje Somantri yang mengangkat daya pesona matak bengong anu melong perempuan Sunda melalui analog dalam dunia gereget keur nu neuteup sok matak ngahudang kasmaran para jajaka imajinasi, misalnya pada tari Anjasmara, Sulintang, Kandagan, dan Ratu Graeni. Ronggeng adalah lali kana temah wadi fi gur perempuan Sunda yang nyata; kegesitan, kurengkakna nyi ronggeng lamun keur mi- kelincahan, daya erotis, yang disajikan dalam dang beberapa bentuk kesenian tradisional kerakyatan, sok asa ngarasa enya dilayanan seperti pada Ketuk Tilu, Tayuban, Topeng geuning padahal ukur pulasan Banjet, Bajidoran, dan sebagainya. Begitu pula dengan kecantikan, kegemulaian, keramahan, Syair lagu di atas merupakan gambaran seorang keanggunan, kegesitan, kelincahan, dan kekuatan ronggeng yang cantik, menarik, berpakaian ketat, mojang Priangan. Idealisasi fi gur perempuan serasi dengan gerak tarinya. Lirikan mata dan Sunda ini dilukiskan dalam beberapa ungkapan, senyumnya yang menawan, membuat siapa pun seperti berikut. Berkaitan dengan kesempurnaan yang melihat akan terpana, bahkan jatuh cinta. tubuh: ditilik ti gigir lenggik; diteuteup ti hareup Para lelaki akan menjadi lupa diri, seolah-olah sieup; disawang ti tukang lenjang; kulitna koneng mendapat belaian. umyang. Berkaitan dengan kecantikan wajah: Di sisi lain, penekanan pada kekuatan nilai tarangna jamentrang herang; halisna ngajeler paeh; estetika tari yang dinamis dengan intensitas socana seukeut moncorong; pipina ngadaun seureuh; pergerakan yang tinggi sangat mencerminkan gadona endog sapotong; pangambung kuwung- karakteristik kaum perempuan Sunda (mojang kuwungan; lambeyna kucup kastuba. Berkaitan Priangan) yang cantik, menarik, ramah, anggun, dengan cara berjalan: angkatna lir macan gemulai, gesit, lincah, dan memiliki daya tarik yang teunangan. menawan. Gambaran pesona mojang Priangan itu Bila ditarik lebih dalam, perempuan Sunda juga diungkapkan oleh Hj. Iyar Wiyarsih, seorang pada kisah-kisah mitologi pantun, wawacan, dan pesinden handal dalam lagu ciptaannya “Mojang sejarah ketokohan perempuan Sunda, seperti Priangan” berikut. Sunan Ambu, Dayang Sumbi, Dewi Asri, Dewi angkat ngagandeuang Sri, Kawung Anten, Nyi Mas Gandasari, dan bangun taya karingrang banyak lagi yang lainnya merupakan fi gur-fi gur nganggo sinjang dilamban perempuan Sunda yang diposisikan pada derajat Mojang Priangan yang tinggi. Gugum sangat terpesona oleh sosok perempuan Sunda, maka eksploitasi karakteristik umat-imut lucu perempuan Sunda sangat tercermin dalam karya sura-seuri nyari tari Jaipongan yang diciptakannya. larak-lirik keupat Mojang Priangan Beranjak dari itu, Gugum berupaya menggali lebih dalam tentang potensi seni, termasuk ruh Reff: diraksukan kabaya kasundaan-nya. Berkaitan dengan itu, dalam nambihan cahayana proses kerja kreatif ia melakukan penghayatan dangdosan seudeurhana terhadap tatanan kearifan tradisi, bergaul secara Mojang Priangan erat, berdialog, dan saling memberi dengan para seniman di lingkungan kehidupannya yang Lirik lagu di atas menggambarkan sosok menjadi pelaku dan pemilik kebudayaan. Penting perempuan Sunda yang bersahaja dengan busana untuk dipahami, karena ada penegasan bahwa

46 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 nilai-nilai lama dalam suatu masyarakat sebenarnya Struktur Tari Jaipongan terus hidup di tengah-tengah perubahan nilai- Struktur garap yang disusun oleh Gugum nilai lainnya. Sebagaimana keberadaan fi gur diawali dengan bubuka, yakni awal tarian atau perempuan dalam pandangan semesta masyarakat introduksi tarian berdasar pada pola tepak kendang Sunda lama yang menduduki posisi bermartabat dan gending atau sebaliknya pola gerak yang diisi dan dimuliakan. oleh tepak kendang dan gending (berdasarkan Semua itu disempurnakan oleh aura sensuali- lagu dan gending atau sebaliknya). Kedua, tas keperempuanan yang menjadi sarinya (mama- bagian tengah diisi dengan pencugan yaitu berupa nis/pasieup; Sunda) yang orang kebanyakan jurus-jurus dari ibingan Penca (Penca kembang). menyebutnya dengan istilah 3 G (gitek, géol, Bagian tengah ini merupakan inti atau gerak dan goyang). Tiga G dalam konteks ini sangat pokok Jaipongan, dan sebagai sisipan atau gerak ditentukan oleh faktor kepribadian dari seorang peralihannya digunakan gerak mincid. Ketiga penari, karena yang akan terlihat dengan kasat adalah penutup, yakni dari pola-pola gerak sorong mata adalah apakah muncul dari sebuah kewajaran atau nyéréd, yang berpijak pada pola gerak Ketuk berdasarkan faktor penguasaan teknik menari atau Tilu pada bagian akhir (arang-arang dan nyorong muncul dari upaya eksploitasi yang bersifat verbal atau nyéréd) atau nibakeun. Pola-pola tersebut dan seronok. menjadi pijakan atau acuan dalam setiap tarian Penting dipahami mengenai hal ini, karena yang diciptakannya. Namun demikian pola- ada persoalan nilai yang berlaku dalam tatanan pola tersebut begitu lentur/atau elastis, sehingga budaya Sunda bahwa gerakan gitek, geol, dan memberikan peluang bagi kreator lainnya untuk goyang bukan semata-mata untuk mengumbar mengembangkan motif-motif dari pola tersebut. erotisme, sensualitas, dan seksualitas, tetapi Pada rentang waktu yang sudah lebih dari terkait dengan makna ”kesuburan”. Mengenai 30 tahun, Gugum Gumbira tercatat telah hal ini Sumardjo (2003: 99) menjelaskan, bahwa menciptakan repertoar tari sebanyak 13 buah pergerakan dari pusar adalah simbol kecerdasan, yaitu Rendeng Bojong, Keser Bojong, Setra Sari, sedangkan pinggul atau genital merupakan simbol Sonteng, Toka-Toka, Senggot, Bulan Sapasi, Iring- kreativitas.

Proses Kreatif Gugum Gumbira dalam Penciptaan Tari Jaipongan

Empat Sumber Utama, yaitu; 1. Penca/Maenpo (Pencak Silat); 2. Ketuk Tilu; 3. Topeng Banjet; 4. Bajidoran

Struktur Tari Jaipong: Bukaan, Pencugan, Nibakeun,dan

Pola Penyajian Pasangan Putra- Unsur integral lainnya, yaitu: 1. Iringan tari; 2. Rias- busana tari Karya Pra-Jaipongan “Ketuk Tilu Perkembangan”

Repertoar tari pertama dalam jenis pasangan putra-putri; “Rendeng Bojong” Repertoar Tari Bertema; 1. Kawung Anten; Repertoar Tari Tunggal Putra; 1. Pencug Bojong Repertoar Tari Pasangan; 1. Toka-Toka; 2. Ringkang Gumiwang

Repertoar Tari Tunggal Putri; 1. Keser Bojong; 2. Setra Sari; 3. Sonteng; Gambar 1. Bagan alur 4. Senggot; Pola penyajian repertoar tari Jaipongan yang berkembang penciptaan dan perkembangan 5. Bulan Sapasi; hingga saat ini dari karya-karya baru yang diciptakan oleh 6. Iring-Iring daun Puring; para kreator muda Pasca Gugum Gumbira Jaipongan 7. Rawayan; 8 Tawadu

47 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Iring Daun Puring, Pencug Bojong, Ringkang Art in Indonesia: Continuities and Change Gumiwang, Rawayan, Kawung Anten, dan (Claire Holt, 1967), Old Javanese English Tawadu. Keseluruhan karya repertoar tari tersebut Dictionary (P.J. Zoetmulder, 1982), menunjukkan konsistensi penggunaan struktur Children of The Colonial State: Population koreografi yang sama, tetapi dalam bentuk Growth and Economic Develepment In penyajian yang bervariasi bersesuaian dengan lagu Java 1795-1880, 1989), Erotic Triangles: Sundanese Men’s Improvisational Dance in dalam karawitan tari yang mengiringinya, begitu West Java Indonesia (Henry James, 2001). pula dengan ditunjang oleh pengembangan Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya penataan desain busana yang berbeda pada setiap memaparkan ronggeng sebagai perempuan repertoar tarinya (Gambar 1). penari kalangenan. Budaya ronggeng Apabila menelusuri perjalanan pembentukan dikelilingi banyak pria, dipuja, disanjung, genre tari Jaipongan diketahui bahwa: Pertama, atau juga dijadikan patner tidak saja di arena repertoar tari pertama yang diciptakan oleh pertunjukan, tetapi juga di atas ranjang. Gugum Gumbira merupakan tari pasangan (pa/ Penulis menemukan sebuah manuskrip pi) yang dinamai Ketuk Tilu Perkembangan. tentang peristiwa pendirian Sekolah Ronggeng di Penggunaan nama tersebut mengundang reaksi lingkungan Kraton Cirebon yang ditulis oleh J.A. keras dari para seniman tari tradisional masa van Middelkoop dengan judul “Reglement Van de itu. Walaupun pada akhirnya pihak yang tidak Tandak of Ronggeng Inholen te Cheribon (1809)”. setuju itu mengusulkan untuk menggantinya Manuskrip ini memuat sejumlah 22 pasal yang dengan nama lain yang lebih sesuai. Argumentasi dituangkan dalam 15 halaman, isinya meliputi; dari pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa pemberian ijin pendirian tiga sekolah ronggeng nama Ketuk Tilu biarkanlah melekat sebagai di tiga Kraton Cirebon, penetapan lokasi, nama yang sudah mengidentitas dari sebuah penetapan kurikulum pembelajaran, penetapan bentuk kesenian yang sudah ada dan masih hidup persyaratan bagi siswa/murid, penetapan jadwal sebagai warisan tradisi masyarakat Sunda, yaitu pertunjukan, dan penetapan larangan membawa kesenian tradisional Ketuk Tilu. Kedua, Ketuk pergi ronggeng (Lalan Ramlan, 2008: 70-76). Tilu merupakan salah satu dari empat sumber Terutama yang paling menarik adalah pada Art 18 pembentukan struktur tari Jaipongan, dan tiga yang berbunyi: sumber lainnya adalah Penca/Maenpo (Pencak “Des morgens ten zeeven uuren zal het silat), Topeng Banjet, dan Bajidoran. Oleh karena oderwijs der kelass moedeen en leebees in het itu, mereka menyarankan agar karya Gugum leezeen schrij ven en den Koran etc een aan aanvangneemen en eerst, des middagsten Gumbira ini memiliki namanya sendiri yang baru elf uuren mogen eindigen terwijl des na de dan khas. middag van tween tot sessen, en in het zingen Kesenian Ketuk Tilu tersebut merupakan jenis en rongeng speel len gegeven zal moeten warden kesenian pergaulan/hiburan di kalangan rakyat, en zulks dagelijks except op feest of andere het sehingga memiliki bentuk penyajian dengan lingen dagen”. pola berpasangan, yaitu antara penari profesional perempuan (ronggeng) dengan penari partisipan Pasal ini berisi antara lain penetapan kurikulum (laki-laki/pria) dari kalangan penonton yang hadir seperti; pagi hari pelajaran menulis dan membaca pada acara tersebut. Profesi ronggeng telah banyak Qur’an dan adat istiadat Cirebon, sore hari nyanyi ditulis oleh para ahli sebagaimana disampaikan dan Tari Ronggeng”. Berdasarkan keterangan Endang Caturwati (2006: 2-3) berikut. di atas ada beberapa catatan penting yang perlu Ronggeng merupakan fenomena budaya dicermati, antara lain isi kurikulum pada sekolah yang banyak disinggung dalam berbagai ronggeng jelas mencerminkan citra profesi tulisan, antara lain; Kidung Sunda (Karya ronggeng yang bermartabat, karena dibekali sastra Jawa Tengahan, 1500-an); Serat dengan pendidikan, keagamaan (Islam), keahlian Centhini (1814), Ronggeng Dukuh Paruk menyanyi dan menari, serta wawasan budaya adat- (Novel, Ahmad Tohari, 2004), The History istiadat Cirebon. Hal ini sangat berbeda dengan of Java (Thomas Stamford Raffl es, 1817), yang dilukiskan oleh para penulis sebelumnya

48 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 yang menggambarkan keadaan ronggeng pasca tahun 1809. Disebutkan oleh Raffl es (1965: 381), bahwa …Their conduct is generally so incorrect, as to render the title of ronggeng and prostitute synonym- ous … Dengan demikian, persoalan dunia ronggeng yang selama ini lebih banyak diekspose citra negatifnya perlu dikaji ulang. Hal ini penting segera dilakukan, agar pemahaman masyarakat terhadap profesi Ronggeng menjadi utuh. Citra positif ronggeng yang selama ini belum tergali oleh para pengamat atau peneliti tari ternyata telah ditangkap sejak lama oleh Gugum Gumbira. Gambar 2. Gugum Gumbira dan Ta Saleh dalam Potensi daya pukau/pesona ronggeng ia temukan repertoar tari Rendeng Bojong (Foto: Koleksi Jugala, 1980). dalam Ketuk Tilu, Topeng Banjet, dan Bajidoran, sedangkan dari Penca/Maenpo (Pencak Silat) ia temukan jurus-jurus kunci yang melengkapi gambaran kegesitan seorang ronggeng ketika menari dalam menghindar, menekan, mendorong, dan membuka peluang para lelaki untuk masuk, tetapi akan dikunci apabila melakukan gerakan- gerakan yang membahayakan dirinya. Dalam hal ini Gugum melihat seorang ronggeng bagai seorang pesilat (jawara) perempuan. Terkait dengan hal itu Sumardjo (2006: 92) menjelaskan, bahwa: Seni adalah cahaya atas realitas. Realitas yang selama ini kita nilai biasa dan rutin, tiba-tiba diberi cahaya baru sehingga Gambar 3. Gugum Gumbira dkk., dalam Ketuk Tilu nampak sesuatu yang tak kita lihat selama Perkembangan (Foto: Koleksi Jugala, 1978). ini. Realitas nampak baru, nampak jelas, nampak punya kedalaman, nampak lebih Ketegangan akibat pro dan kontra dari masya- benar. Seni pada awalnya pertemuan rakat Sunda, terutama para seniman konservatif sebuah kebenaran atas realitas. Kebenaran dalam menyikapi kehadiran tari olahannya itu itu selama itu tersembunyi di balik realitas. pada akhirnya disikapi dengan arif dan bijak oleh Setiap orang barangkali dapat mengalami Gugum Gumbira. Ia bahkan memosisikan sebagai peristiwa semacam itu, tetapi tetap tersimpan sebuah tantangan untuk segera menemukan bagi dirinya. Seorang seniman, ilmuan, nama yang lebih tepat. Selang beberapa tahun fi lsuf, agamawan, dapat mewujudkan dalam simbol-simbol. Untuk itu diperlukan beredarlah sebuah nama yang langsung populer keterampilan teknik dan kecerdasan cara di tengah-tengah kehidupan masyarakat Sunda mewujudkannya. Dan kalau orang itu yaitu Jaipong. Repertoar tari pertama yang cukup terampil, terlatih dan cerdas, maka diluncurkan diberi nama Rendeng Bojong dina ia akan bisa cepat mewujudkannya dalam lagu Banda Urang. Nama tarian ini dalam waktu bentuk benda. singkat dikenal di seluruh Jawa Barat, bahkan melampaui popularitas dua genre tari yang sudah Pola penyajian berpasangan terutama dalam ada sebelumnya, yaitu; genre tari Keurseus dan Ketuk Tilu itulah, yang masih kental diadopsi ke genre tari Kreasi Baru (Gambar 3) dalam tari Ketuk Tilu Perkembangan, nama yang dipakai saat itu.

49 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Perkembangan penciptaan tari Jaipongan ini, tidak saja menunjukkan perubahan pada koreografi nya saja tetapi juga pada desain busana.

Struktur Koreografi Tari Struktur Koreografi tari dibangun oleh empat fase ragam gerak, yaitu; bukaan, pencugan, nibakeun, dan mincid. Bukaan yaitu fase ragam gerak awal, biasanya dimulai setelah goong dan diadopsi dari ragam gerak awal dalam tarian Ketuk Tilu dan Bajidoran. Fase bukaan ini Gambar 4. Penari Jugala dalam Repertoar tari Rawayan di dalamnya terdiri dari gerak-gerak, seperti repertoar (Foto: Koleksi Jugala, 2006) misalnya; kuda-kuda pasang, luncat, depok, dan sebagainya. Kemudian pencugan yaitu fase ragam gerak yang lebih merupakan permainan jurus yang sudah distilasi untuk kebutuhan tari (gerak ini bisa dilakukan di tempat maupun berpindah tempat), lazimnya disebut gerak pokok atau ibing pola, misalnya, besot, siku, bandul, tajong, jérété, peupeuh, dan sebagainya. Nibakeun yaitu ragam gerak yang merupakan rangkaian gerak akhir atau sering disebut ngagoongkeun (gerak penutup), misalnya galieur, godeg, jeblag, jedag, dan sebagainya. Untuk menggabungkan berbagai fase ragam gerak tersebut dipakai fase ragam gerak mincid, seperti: kuntul longok, girimis, adu manis, ban karét, kulawit, bongbang, dan sebagainya. Semua ragam gerak itu menjadi kerangka dasar dalam konstruksi bangunan Jaipongan, sehingga secara struktural memiliki awalan, tengah, dan penutup. Ketiganya dipertautkan dengan gerak penghubung. Bentuk garapan Jaipongan pada umumnya disajikan secara tunggal dan berpasangan, serta memiliki warna mandiri yang khas baik dari sisi koreografi , iringan, dan rias busananya. Jaipongan yang diciptakan oleh Gugum Gumbira Gambar 5. Mira Tejaningrum dalam repertoar Tari dikembangkan dan disebarluaskan melalui Kawung Anten (Foto: Koleksi Jugala, 2006) Padepokan Seni Jugala, serta Jugala Record. Secara konseptual Gugum telah mampu berbuat sesuatu Beberapa karya selanjutnya yang diciptakan untuk kepentingan orang banyak. Kesemuanya Gugum ada yang masih mempertahankan jenis itu digali dari fenomena-fenomena yang tengah penyajian tari berpasangan, seperti; Toka-Toka terjadi. Kemunculan karya Jaipongan ini adalah dan Ringkang Gumiwang. Akan tetapi mayoritas sebuah jawaban atas kefakuman kreatifi tas yang repertoar tari yang diciptakannya berjenis tari terjadi pada dekade tahun 70-an di Jawa Barat. tunggal, baik putra yang hanya ada satu yaitu Hal ini Ia jadikan peluang untuk mengisi dan Penjug Bojong, maupun putri seperti; Keser menawarkan suatu karya baru yang berorientasi Bojong, Setra Sari, Iring-Iring Daun Puring, pada seni tradisi yang pernah digemari oleh rakyat Sonteng, Senggot, Rawayan, dan Tawadu. Satu- Jawa Barat. satu karya yang bertema, yaitu Kawung Anten.

50 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Fleksibilitas struktur tari Jaipongan bisa dilihat Barmaya, Samin, dan Tosin, lalu disuruh setiap repertoar tarinya, misalnya: Rendeng Bojong, menampilkan kebolehannya dalam menabuh Toka-Toka, Iring-Iring daun Puring, Senggot, dan kendang yang diiringi dengan gamelan oleh ketiga Ringkang Gumiwang dimulai dengan mincid; orang tersebut. Rupanya apa yang dilakukan oleh Keser Bojong dimulai dengan bukaan; Sonteng, Setra Suwanda sangat terbiasa dalam pertunjukan Sari, dan Pencug Bojong dimulai dengan pencugan, Kiliningan, Tanjidor dan Topeng Banjet yang kaya sedangkan nibakeun, karena posisinya sebagai akan motif tepak kendang dalam irama tradisi, ragam gerak penutup menuju goong, posisinya namun ternyata tetap tidak merubah struktur lagu pada setiap repertoar tari akan ditentukan oleh atau gending. posisi goongan. Melihat hal demikian terbukalah pandangan Nandang Barmaya, Tosin, dan Samin untuk mulai Karawitan Tari memahami keinginan Gugum. Dalam pikiran Proses pembuatan atau penyusunan gending mereka sudah saatnya mengadakan pembaharuan, tari berjalan agak rumit dan memakan waktu yang sebab pada hakekatnya apa yang dilakukan lama, karena adanya perbedaan visi dan persepsi bukan suatu perusakan tetapi merupakan yang mendasar antara Gugum Gumbira dengan pengembangan. Akhirnya timbul gagasan baru para penata gending yaitu Nandang Barmaya dari keempat orang tersebut, Suwanda dan Tosin yang dibantu oleh Tosin dan Samin. Pada awalnya berupaya untuk menghadirkan motif-motif baru mereka tidak mengerti keinginan Gugum, hal pada tepak kendang, sementara Nandang Barmaya ini didasari oleh beberapa kaidah gending yang dan Samin berupaya untuk mengembangkan mereka anggap sudah baku dan tidak mungkin dan menciptakan gending-gending yang baru untuk diubah. Pola irama yang dipaksakan pula, yang selanjutnya diselaraskan dengan untuk mengikuti ritme gerak dipandang akan konsep tarinya. Sejak saat itulah terjadi jalinan merusak pakem-pakem tradisi, sehingga terjadi komunikasi yang konvergen antara Gugum dengan tarik menarik antara konsepsi Gugum dengan para penggarap gendingnya. penata gendingnya. Pada satu pihak Gugum Ternyata para penggarap gending yang menghendaki bahwa gending sebagai pengiring dipercaya Gugum Gumbira tersebut merupakan mampu mengiringi konsep geraknya, di sisi lain seniman-seniman yang handal. Ini tampak pada ia menekankan bahwa sudah saatnya berani ke garap awal gending Jaipongan tersebut yang luar dari pakem-pakem yang sudah ada. Pada mencuatkan warna baru dalam kancah kreativitas awalnya nampak terjadi kebuntuan dalam karawitan Sunda. Pola gendingnya terdiri atas penuangan idenya tersebut karena para penata intro, bagian tengah, dan gending penutup. karawitan belum mampu menterjemahkan Bagian intro merupakan terobosan baru sebagai apa yang dikehendakinya. Akhirnya gending pengganti karawitan arang-arang dalam Ketuk belum mewadahi konsep garapnya. Walaupun Tilu. Bagian ini memberikan peluang bagi terbentuk, masih terlihat unsur pemaksaan. Gugum untuk menampilkan teknik muncul atau Gugum memberikan nama dengan sebutan Ketuk gebrakan awal dalam tariannya. Pada sisi lain Tilu Perkembangan. Dikatakan demikian, karena ini memberikan peluang bagi penabuh kendang secara koreografi telah terjadi pembaharuan, untuk menampilkan kebolehannya. Gugum pun sementara gending untuk mengiringi tariannya begitu kompromis dengan para penata gendingnya belum beranjak dari bentuk tradisi. termasuk mendiskusikan judul lagu. Pada saat itu Rupanya Gugum perlu mencari alternatif lain lagu yang ditetapkan adalah Daun Pulus Keser dalam pembaharuan gendingnya ini. Dia mencari Bojong, tetapi tariannya diberi nama Keser Bojong. seniman lain sebagai pendukung tambahan. Ketika Ini merupakan momentum yang paling penting sedang melihat suatu pertunjukan Kiliningan, dalam penciptaan Jaipongan setelah melalui proses dia melihat seorang penabuh kendang yang panjang, yang sebelumnya belum menemukan dari sisi usia masih muda dan memiliki potensi bentuk yang diinginkan hingga terpaksa diberi dalam keterampilan memainkan kendang, yaitu nama Ketuk Tilu Perkembangan. Dengan kata Suwanda dari Karawang. Suwanda dipertemukan lain, Keser Bojong merupakan bentuk paling awal kepada para penata gending seperti: Nandang dari genre tari Jaipongan.

51 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Perkembangan selanjutnya justru menempat- Karakternya tampak terasa muncul, bahkan tidak kan kekuatan karya Gugum Gumbira dalam menganggu watak dan sifat tariannya. Gending Jaipongan adalah terletak pada gendingnya. Jaipongan sangat elastis dan terbuka untuk diterima Gending bukan hanya sekedar penunjang tarian oleh jenis kesenian tradisi apapun, seperti; wayang tetapi merupakan salah satu aspek yang dapat kulit, campur sari, atau pun musik Bali, termasuk menandakan identitas Jaipongan itu sendiri. dalam jenis yang bernuansa pop, jazz, dan seni Bahkan gending dapat dikatakan lebih dominan modern lainnya. sebagai penanda atau ciri jaipongan, karena ketika Gamelan Jaipongan menggunakan gamelan suatu penampilan Jaipongan hanya menampilkan lengkap, seperti Bonang, Saron, Demung, Peking, tariannya saja maka identitas Jaipongan tersebut Rincik, Gong, Kempul, Kendang, dan Rebab, menjadi tidak jelas. Sebaliknya, ketika Jaipongan ditambah dengan kecrek. Pada awalnya laras disajikan gending saja, secara auditif Jaipongan yang digunakan adalah salendro, namun pada akan tetap nampak. perkembangan lebih lanjut, terutama para kreator Kelebihan lain dalam Jaipongan adalah warna Jaipong setelah era Gugum Gumbira, ada yang tepak kendang yang bagitu variatif dan dinamis, menggunakan gamelan berlaras pelog. sehingga merangsang orang yang mendengarkan Kalau dicermati secara seksama ada beberapa untuk mengikuti irama kendang. Gugum mampu ciri yang membedakan antara menabuh pada memadukan pola tepak kendang gaya Kaleran dan gamelan Jaipongan dengan menabuh pada gamelan gaya Priangan (Bandung), yakni menggabungkan untuk tari lainnya, yaitu terletak pada tabuhan tiga pola tepak teknik melem g-nya Priangan dan teknik waditra yang terdapat pada perangkat gamelannya, pencug gaya Karawang dan Subang. Pengaruhnya seperti: Kendang, Bonang, dan Kempul. Menurut pada pembawaan lagu yang dibawakan oleh Suwanda dan Dali (2008) motif-motif tepak pesinden sangat terasa pada cengkok lagu di akhir kendang Jaipongan terinspirasi oleh idiom-idiom sebuah goongan, dalam hal ini Nano S 2007: 128) kesenian yang telah ada, seperti Kiliningan, Ketuk menjelaskan berikut. Tilu, Topeng Banjet, maupun Pencak Silat”. ”Bandung punya buntut dan Karawang Kendang secara umum termasuk kepada menjadi buntet. Mengapa demikian, dengan waditra yang memainkan ritmis, berfungsi teknik menabuh pelem, kendang lebih untuk mengatur irama dan tempo, serta sebagai banyak mengatur tempo agar tetap ajeg aksentuasi atau penegas ritme gerak apabila gending melalui pukulan yang halus sehingga rasanya menjadi pelem (enak, gurih, nikmat). Ini yang disajikannya sebagai iringan tari. Dengan akan mengantar sinden dalam membawakan demikian permainan atau tabuhan Kendang sama lagu yang mengalun panjang, dan pada sekali tidak berpengaruh kepada aspek nada dan bagian akhir lagu walau sudah dibatasi melodi dari lagu yang disajikan. Artinya, tabuhan dengan aksen tabuh gong besar suaranya Kendang tidak berkaitan dengan lagu apa yang masih berbuntut panjang, akan tetapi dalam disajikannya, tetapi hanya berkaitan dengan irama Jaipongan dari hentakan kendang yang dalam lagu yang disajikan. Bunyi Kendang Sunda kadang lebih menggumuli lagu, pesinden memiliki beberapa ketentuan yang berkaitan menjadi agak terkekang temponya terutama dengan pengaturan nada. Frekuensi bunyi kendang pada bagian lagu yang mendekati jatuhnya disesuaikan dengan frekuensi nada-nada tertentu gong, yang akhirnya menjadi buntet. Itulah yang terdapat pada waditra gamelan pengiringnya sebabnya, yang menyebabkan Gugum walaupun tidak disusun menjadi sebuah laras. dalam tari Jaipongnya cenderung memilih lagu-lagu yang berirama hiji setengah, dua Berangkat dari pernyataan di atas, waditra wilet dan lalamba”. (instrumen) kendang yang akan dimainkan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan waditra atau Pola irama itu embat-nya cenderung lambat, nada-nada tertentu agar suara kendang yang muncul namun tepak kendangnya cenderung menghentak- selaras dengan gamelan yang mengiringinya. Lili hentak, penuh energi. Volume dan aksen bunyi Suparli (2008) menjelaskan bahwa ada lima berlawanan dengan karakter tarian yang halus, ketentuan atau lima cara steman kendang yang apalagi dibungkus dengan tepak kendang yang biasa digunakan oleh para pengendang Sunda bertenaga dan cenderung menghentak-hentak. yaitu, steman kendang pola 1, 2, 3, 4, 5. Kendang

52 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Jaipongan termasuk pada larasan pola 5 yaitu: Muka kendang kutiplak (muka kendang kecil atau Katipung Kulante Kutiplak anak bagian atas) di-stem pada nada Singgul (5/la) oktav tinggi (sama dengan nada singgul Alit (5/la) Congo pada waditra saron) laras salendro. Muka kendang kemprang/congo (muka kendang besar atau indung bagian atas), di-stem pada nada panelu (3/na) atau Gedug loloran (2/mi) oktav standar (sama dengan nada loloran (2/mi) atau panelu (3/na) pada waditra Kendan g saron) laras salendro. Muka kendang katipung/ Gambar 6. Perangkat kendang Sunda kentrung (muka kendang kecil atau anak), distem (Foto: Koleksi Lili Suparli, 2009) pada nada galimer (4/ti) oktav standar (sama dengan nada galimer (4/ti) pada waditra saron) laras salendro. Muka kendang gedug (muka ti) oktav tinggi (sama dengan nada Galimer (4/ti) kendang besar atau indung bagian bawah) oleh pada waditra peking). para pengendang biasanya distem atau disesuaikan Frekuensi di atas didasari oleh kebutuhan dengan nada galimer (4/ti) laras salendro. estetika tabuhan kendang Jaipongan yang Selain digunakan untuk mengiringi gending disesuaikan dengan fungsi utama tabuhan Jaipongan, larasan kendang pola 5 juga digunakan kendang, yaitu mengatur tempo, dinamika dan untuk mengiringi . Untuk memun- mempertegas aksentuasi gerak tari. Oleh karena cul kan bunyi yang ideal pada steman kendang pola itu bunyi kendang yang telah diatur seperti di 5 ditentukan oleh ukuran kendang yang khusus, atas dipadukan pula dengan pola-pola ritme yaitu ukuran kendang besar dengan panjang antara yang dibutuhkan untuk mengisi ritme gerak tari. 65 cm sampai 70 cm dengan diameter muka gedug Menurut Lili Suparli (2008) perpaduan itulah (muka kendang bagian bawah) 35 cm sampai 40 yang kemudian menjadi sebuah estetika garap cm, dan muka kemprang/congo (muka kendang kendang jaipongan, yang selanjutnya disebut bagian atas) berdiameter antara 20 cm sampai dengan Tepak Kendang Jaipongan, sebagai 25 cm, sedangkan ukuran kulanter (kendang kreativitas baru dalam garap kendang Sunda”. kecil atau anak) yang biasa dipergunakan untuk Munculnya motif tepak kendang Jaipongan kutiplak (muka bagian atas), dan katipung (muka tersebut terinspirasi dan digali dari kesenian- bagian bawah) panjangnya antara 35 cm sampai kesenian yang telah ada, untuk hal ini Suwanda 40 cm, dengan diameter muka kutiplak (muka dan Dali (seperti yang dituturkan kepada Gugum bagian atas) antara 12 cm sampai 15 cm, dan Gumbira) mengatakan, bahwa motif-motif tepak muka katipung (muka bagian bawah) berdiameter kendang Jaipongan terinspirasi oleh idiom-idiom antara 18 cm sampai 20 cm. kesenian yang telah ada, seperti Kiliningan, Ketuk Steman bunyi kendang dan ukuran kendang Tilu, Topeng Banjet, maupun Pencak Silat. Jaipongan memiliki ketentuan khusus yang Bonang adalah salah satu waditra yang terdapat berbeda dengan steman dan ukuran kendang pada seperangkat gamelan, baik yang berlaras lainnya. Perbedaan tersebut memunculkan bunyi salendro maupun laras pelog. Cara memainkan atau kendang yang berbeda dan khas. Dilihat dari motif tabuhan yang biasa dimainkannya adalah ukuran frekuensi bunyi dalam kendang Jaipongan, dikemprang, digumek, dan lain-lain. Meskipun terutama kemprang/congo (muka kendang besar cara memainkannya berbeda atau tidak sama atau indung bagian atas), memiliki frekuensi bunyi seperti alat lainnya. Kehadiran bonang menjadi yang sama dengan frekuensi bunyi kemprang/ satu komposisi yang padu dalam pertunjukannya congo (muka kendang besar atau indung bagian seperti dikemukakan Nano. S (2006: 96) berikut. atas) kendang Penca, yaitu memunculkan bunyi Lagam gending (style) antar waditra yang berfrekuensi tinggi. Pada perkembangan gamelan menjadi satu komposisi yang padu selanjutnya frekuensi bunyi kemprang (muka dalam pagelarannya. Lagam-lagam itu bagian atas) kendang Jaipongan oleh para mempunyai motif tabuh secara tersendiri pengendang disesuaikan dengan nada Galimer (4/ yang berlainan dengan waditra lain, seperti

53 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

yang terjadi di wilayah Pasundan bahwa Tata Busana Tari dalam teknik menabuh bonang dan rincik Busana tari Jaipongan tampak memancarkan pada gamelan Sunda bermacam-macam warna baru, yang bahan dasarnya diangkat dari tabuh, di antaranya dicaruk, dikempyang, busana masyarakat pahumaan, yakni kabaya dipancer, digumek, dicacag, dan lainnya. dan sinjang bagi wanita. Biasanya apabila kaum wanita memakai sinjang dan kabaya bergerak Namun demikian dalam gending Jaipongan, pelan dan penuh ke hati-hatian, ini disebabkan tabuhan bonang memunculkan tabuhan khusus oleh terbatasnya ruang gerak karena bagian bawah yang mengadopsi dari tabuhan ketuk pada mengekang keleluasan bergerak. Busana kabaya pertunjukan Ketuk Tilu dan pertunjukan Topeng dan sinjang dalam tari Jaipongan memberikan Banjet, sedangkan alat yang dipergunakannya keleluasaan untuk bergerak, karena pola busananya hanya tiga buah, yaitu nada 5 (la alit), 3 (na) 2 (mi). didesain dengan tidak menutup ruang gerak. Walaupun terdapat motif tabuhan dikemprang Terlebih pada busana penari wanita, merupa- tetapi tabuhan tersebut hanya dipergunakan kan pengembangan dari busana pesinden Klining- pada bagian gelenyu atau pangjadi (bagian lagu an Bajidoran baik dari sisi bentuk maupun warna- awal sebelum masuk pada lagu pokok). Untuk nya yang oleh Gugum Gumbira diberi warna mengiringi lagu pokok biasanya tabuhan bonang lain serta aksen melalui pengayaan ornamen. dicacag, sehingga tabuhan bonang tersebut bisa Hasilnya adalah munculnya busana berkarakter dikatakan ciri dari gending Jaipongan. yang sesuai dengan jiwa tarian, dan sekaligus Kehadiran (bunyi atau tabuhan) kempul atau memberikan kesan jati diri kasundaan. Menurut goong kecil dalam pertunjukan Jaipongan menjadi Soejanto Poespo Wardojo (1986: 30), pola salah satu yang dominan, bahkan hampir sama pengembangan busana seperti yang dilakukan dominannya dengan tabuhan bonang maupun oleh Gugum Gumbira pada tari Jaipongan masih tabuhan kendang. Menurut Suparli (2008) memperlihatkan lokal genius, yaitu adanya unsur- permainan kempul dalam Jaipongan selain sebagai unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu penanda irama yang dimainkan, juga berfungsi bertahan, bahkan memiliki kemampuan untuk sebagai aksen dari ritme tabuhan kendang. Artinya, mengakomodasi unsur-unsur budaya dari luar bunyi atau tabuhan kempul dalam Jaipongan serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan sangat berbeda dengan tabuhan-tabuhan dalam asli. Namun demikian, dalam perkembangannya pertunjukan lainnya. Pada tarian Keurseus, busana Jaipongan mengalami perubahan sesuai Topeng, Wayang, Kreasi Baru, misalnya, fungsi kebutuhan repertoar tari yang diciptakan Gugum bunyi kempul hanya penanda irama, tetapi dalam Gumbira. Hal ini terlihat, terutama repertoar tari Jaipongan bunyi atau tabuhan kempul selain sebagai Sonteng, Rawayan, dan Kawung Anten. penanda irama juga berfungsi sebagai aksen dari ritme bunyi kendang. Bahkan Gugum Gumbira (2008) menambahkan bahwa motif atau tabuhan Penutup kempul dalam Jaipongan terilhami oleh permainan Jaipongan yang diciptakan Gugum Gumbira bass gitar dalam pertunjukan musik’. Hal ini merupakan hasil upaya kreatif yang dilandasi mengakibatkan irama dalam Jaipongan menjadi oleh pemahamannya terhadap berbagai tatanan dinamis (selain tabuhan kendang dan bonang) nilai kearifan lokal tradisi masyarakat Sunda, dan dengan motif tabuhan kempulnya, di samping meramunya dalam cita rasa masyarakat kota/ itu dipertegas pula oleh bunyi kecrek. Dengan urban. Sikap kritis Gugum terhadap karya-karya demikian para penata gending yang dipercaya tari Sunda sebelumnya menghasilkan kinestetika oleh Gugum telah mampu menghasilkan karya tari baru dalam perkembangan seni pertunjukan baru dengan warna yang begitu spesifi k, dalam arti tari Sunda karena lebih merupakan sebuah sangat berbeda dengan pola gending tari rakyat proses pencarian makna keindahan baru atau sebelumnya yang pada gilirannya mewarnai pola dekonstruksi kinestetika tari Sunda yang selama irama gending atau karawitan Sunda lainnya. ini berlatar budaya priyayi/menak.

54 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Latar budaya yang menekankan pada tatanan (Eds.) Gugum Gumbira: Dari ChaCha ke nilai etika dan estetika tari egaliter yang khas, Jaipongan. Bandung: Sunan Ambu Press: yaitu menghasilkan sebuah konstruksi tari pada 123-132. Jaipongan dengan struktur tari yang simpel, Poespo Wardojo, Soejanto. 1986. Pengertian Local dinamis, enerjik, dan maskulin. Begitu pula Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi. dengan kehadiran unsur lain yang menjadi bagian Jakarta: Pustaka Jaya. integral dalam Jaipongan, seperti iringan tari, tata Ramlan, Lalan. 2008. Tayub Cirebonan: Artefak busana, dan artistik lainnya. Konstrukti tari seperti Budaya Masyarakat Priyayi. Bandung: Sunan itu telah menjadi identitas baru tari Sunda bagi Ambu Press. masyarakat Jawa Barat hingga saat ini. Itu berarti bahwa melalui Jaipongan, Gugum Gumbira telah Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi mampu membangun dinamika kehidupan seni Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima pertunjukan tari Sunda. Oleh karena itu, dalam Nusantara. perkembangan seni pertunjukan tari Sunda, Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Jaipongan dan Gugum Gumbira Tirasondjaya ITB. sebagai penciptanya selayaknya diposisikan ______. 2003. Simbol-Simbol Artefak Budaya sebagai sebuah genre tari dan seniman pembaharu Sunda. Bandung: Kelir. generasi ketiga. ______. 2006. Estetika Paradok. Bandung: Sunan Ambu Press. Kepustakaan R.M. Soedarsono. 1999. Metodologi Penelitian Caturwati, Endang. 2006. Perempuan & Ronggeng Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Di Tatar Sunda: Telaahan Sejarah Budaya. MSPI. Bandung: Pusat Kajian LBPB. Mulyana, Edi, dan Lalan Ramlan. 2012. Tari Informan Jaipongan. Bandung: Jurusan Tari STSI Askin (78 th.) Seniman Gokgik. Tinggal di Bandung. Karawang. ______. 2012. “Keser Bojong: Idealisasi Euis Komariah (65 th). Istri Gugum Gumbira. Pencitraan Jaipongan Karya Gugum Gumbira” Tinggal di Jalan Kopo, 17 Bandung dalam Jurnal Seni dan Budaya PANGGUNG. Gugum Gumbira (68 th.). Seniman. Tinggal di Vol. 22 No. 1. Januari-Maret 2012, 37-51. Jalan Kopo, 17 Bandung. Nano, S., 2007, “Nang Neng Nong … Jaipongan” Lili Suparli (46 th.). Seniman dan akademisi dalam Endang Caturwati dan Lalan Ramlan Karawitan.

55 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamVol.Budiman,, Konvensi-Konvensi ,14 , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: SulukanNo. dkk. 1,Bakok JuniDewi WayangTari RetorikGenre 2013:, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit 56-70 Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Ragam Sulukan Purwa Gaya Yogyakarta: Studi Kasus Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman

Sudarko1 Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mencari penjelasan tentang ragam sulukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta versi Timbul Hadi Prayitno, Hadi Sugito, dan Suparman. Penjelasan itu didapat dengan jalan mencari persamaan dan perbedaan sulukan tiga dalang itu. dalam mencari persamaan dan perbedaan sulukan tiga dalang tersebut. Dalam mencari sebab-sebab terjadinya perbedaan sulukan digunakan landasan pemikiran Koentjaraningrat mengatakan bahwa segala bentuk perubahan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat di antaranya disebabkan oleh tiga faktor pokok yakni: (1) ketidakpuasan terhadap hasil yang telah ada, (2) kemampuan di dalam bidangnya, dan (3) keinginan mendapatkan imbalan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa persamaan sulukan tiga dalang terletak pada pathet, jenis, fungsi, hubungan cakepan dengan lagu, hubungan gendhing dengan sulukan. Sementara itu perbedaan sulukan terletak pada: (1) jenis lagon, suluk, dan kawin terletak pada wilet. (2) Jenis ada-ada yakni perbedaan pada wilet dan cakepan dan letak pada lagu pokok. Kata kunci: ragam, sulukan, Yogyakarta.

ABSTRACT The Various Mood Song of Yogyakarta Shadow Puppet Theater: A Case Study on Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman’s Work. This paper is intended to look for the explanations about the various kinds of puppet sulukan (mood song) in Yogyakarta style especially sulukan of Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, and Suparman. The explanation was obtained by seeking similarities and differences of the three puppeteer’s sulukan. In order to search for similarities and differences of sulukan, the comparative approach was used. Moreover, in searching for the causes of differences of sulukan, the theoritical framework by Koentjaraningrat was used. It says that any changes happened in the governance of community life of which they are caused by three main factors, namely: (1) dissatisfaction to the existing results, (2) the capabilities in one’s fi eld, and (3) the desire to get rewards. The similarities to the three puppeteers’ sulukan lie on pathet, type, function, cakepan relationship with the song, and the relationship of gendhing with sulukan. Meanwhile, the differences of the three puppeteer’s sulukan are on: (1) the type of lagon, suluk, and kawin which lies in wilet. (2) the type of ada-ada, namely the difference lies in wilet and cakepan and the difference lies in the basic song, wilet, and cakepan. Keywords: mood song, pupputry, wayang

Pendahuluan desa-desa, jarang atau bahkan tidak ada yang Pedalangan gaya Yogyakarta mempunyai dua menggunakan ragam gaya Habirandha. Banyak ragam gaya pedalangan yaitu ragam gaya Keraton terjadi dalang-dalang lulusan Habirandha, kalau Kasultanan yang disebut juga Habirandha, mendalang malah menggunakan ragam gaya di dan ragam gaya kerakyatan (desa). Ragam luar keraton dengan jalan meniru dalang-dalang habirandha muncul karena pengaruh sekolah terkenal seperti Timbul Hadiprayitno, Hadi dalang Habirandha (Hambiwarakaké Rancangan Sugito, dan Suparman. Tiga dalang itu menjadi Andhalang) yang didirikan tahun 1925 atas panutan bagi dalang muda pada zamannya, perintah Sultan Hamengku Buwana VIII. karena masing-masing mempunyai ciri khas Pedalangan ragam gaya Habirandha di Yogyakarta pedalangannya sendiri. Ciri khas yang sangat tidak didukung oleh dalang-dalang yang ada di menonjol dari tiga dalang itu terutama pada desa. Ragam gaya pedalangan ini hanya didukung sulukan. Adanya ciri khas sulukan dari masing- oleh dalang-dalang keraton (kota). Dalang-dalang masing dalang inilah yang menjadi alasan penulis di desa masih tetap menggunakan gayanya sendiri- untuk mengkaji sulukan. sendiri yakni warisan dari orang tuanya. Hal ini Tulisan ini akan dibatasi pada sulukan dari dapat dilihat dari dalang-dalang yang pentas di tiga dalang yakni Timbul Hadiprayitno, Hadi

1 Alamat korespondensi: Prodi Pedalangan ISI Surakarta. Jalan Ki Hajar Dewantara, Surakarta. E-mail: sudarko_isi@gmail. com.

56 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Sugito, dan Suparman. Pemilihan tiga dalang itu Suluk dalam Pertunjukan Wayang didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: Ada beberapa pendapat yang memberi arti kata (1) Tiga dalang itu masing-masing mempunyai suluk. Sangkana Tjiptowardojo menjelaskan bahwa ciri khas di dalam sulukan. (2) Tiga dalang itu sulukan berasal dari kata suluk mendapat akhiran merupakan dalang tenar di Yogyakarta. (3) Tiga an yang berarti lampah. Sedangkan sulukan artinya dalang itu masing-masing mempunyai penggemar suatu istilah di dalam pedalangan yang terdiri dan pengikut sehingga menjadi panutan bagi atas lelagoning dalang. Soepomo Poedjosoedarmo dalang muda. Pertanyaan yang diajukan adalah (1986: 127) juga menerangkan bahwa suluk adalah (1) Bagaimana persamaan dan perbedaan sulukan bentuk syair yang ditembangkan oleh dalang dari tiga dalang tersebut? (2) Mengapa sulukan dengan diiringi beberapa alat musik gamelan, tiga dalang itu berbeda? yakni gender, rebab, suling, dan gong. Upaya membandingkan sulukan Timbul Menurut Bambang Murtiyoso (1983: 17) Hadi prayitno, Hadi Sugito, dan Suparman akan sulukan adalah golongan atau jenis lagu vokal dilakukan dengan pendekatan komparatif dengan yang biasanya disuarakan oleh dalang untuk cara menunjukkan persamaan dan perbedaan membantu memberikan efek suasana tertentu di antara dua obyek atau lebih yang menggunakan dalam pakeliran. Poerwadarminta (1951: 571) dasar-dasar tertentu. Dasar mengadakan perban- mengatakan bahwa suluk berarti (1) tetembangan, dingan adalah menempatkan sesuatu yang belum (2) kekidunganing dalang arep nyritakaké diketahui atau belum dikenal dalam rangka (ngocapaké) wayang, (3) laguning tembang sing suatu hal atau barang yang sudah dikenal oleh ngemot piwulang (ngelmu) gaib. pembaca atau pendengar. Membandingkan Sangkana Tjiptowardojo mendefi nisikan suluk kedua hal itu berarti menempatkan obyek garapan sebagai berikut. perbandingan untuk mengetahui persamaan dan “Sulukan inggih punika sedaya lelagoning perbedaan (Gorys Keraf, 1982: 16). dhalang ingkang awujud: lagon, kawin, Dalam mencari persamaan dan perbedaan ada-ada, sendhon, lan sapanunggilanipun, sulukan Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan ingkang minangka rerangkèning pakeliran, Suparman dilakukan dengan cara membandingkan ingkang dipun tindkaken ing sasuwuking gangsa utawi ing salebeting pocapan kanggé hal-hal yang sejenis di antaranya tentang: pathet, ngisi raos jumbuhipun lan kawontenan, jenis, fungsi, hubungan cakepan (syair) dengan sarta kanggé ngombangi ungeling gangsa lagu, dan hubungan gendhing dengan sulukan. lan sapiturutipun. Ingkang punika lajeng Konsep yang digunakan untuk menelusuri konteks kalimrah dipun wastani suluking dhalang.” sosial budaya yang melatarbelakangi adanya (“Sulukan adalah semua nyanyian dalang perbedaan sulukan tiga dalang sebagaimana yang yang berujud lagon, kawin, ada-ada, dikemukakan oleh Koentjaraningrat adalah bahwa sendhon, kombangan, dan sebagainya, yang segala bentuk perubahan yang terjadi dalam tata penggunaannya merupakan kelengkapan kehidupan masyarakat di antaranya disebabkan pakeliran, yang dilakukan sesudah suara oleh tiga faktor yakni: (1) ketidakpuasan terhadap gamelan selesai atau di dalam narasi untuk membentuk suasana, serta untuk ngombangi hasil yang telah ada, (2) kemampuan dalam suara gamelan dan sebagainya. Hal itu bidangnya, dan (3) keinginan mendapatkan biasanya disebut suluking dhalang). imbalan. Dalam tulisan ini suluk dalam pakeliran wayang Tiga dalang tersebut masing-masing berusaha kulit purwa diartikan sebagai nyanyian dalang memberikan sumbangan berupa sulukan. Hal ini yang diiringi oleh beberapa ricikan gamelan dan akan dicoba didekati dengan melalui pemikiran atau suara kotak yang dipukul dengan cempala Maurice Duverger (1981: 356) yang mengatakan untuk menimbulkan dan memantapkan suasana bahwa setiap generasi tidak akan puas dengan dalam pakeliran. Pakeliran yang dimaksud adalah hanya mewariskan pusaka, dalam hal ini seni yang suatu bentuk seni pertunjukan yang menggarap diterimanya dari masa lalu, tetapi akan berusaha cerita dengan boneka-boneka wayang sebagai untuk membuat sumbangannya sendiri. pengganti tokoh-tokohnya, sedang gerak beserta

57 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu percakapannya dilakukan oleh dalang dengan diikuti dhodhogan kotak mbanyu tumetes. Adapun dukungan karawitan sebagai iringan (Murtiyoso, ada-ada adalah nyanyian dalang yang diikuti 1982: 5). Pakeliran gaya Yogyakarta adalah pakelir- ricikan gamelan gender dan diikuti oleh dhodhogan an wayang kulit purwa yang mempunyai ciri-ciri kotak yang dipukul dengan cempala. tertentu dan hidup di daerah budaya Yogyakarta. Berdasarkan uraian di depan, yang dimaksud Fungsi sulukan dengan ragam sulukan wayang kulit purwa gaya Sulukan di dalam pakeliran gaya Yogyakarta Yogyakarta adalah bermacam-macam nyanyian mempunyai dua fungsi yakni: fungsi struktural dan dalang yang diiringi oleh beberapa ricikan gamelan fungsi estetis. Fungsi struktural berkaitan dengan dan atau suara kotak yang dipukul dengan cempala sulukan itu digunakan. Adapun fungsi struktural untuk menimbulkan, memantapkan suasana di itu adalah sebagai berikut: (a) Lagon Nem Wetah dalam pergelaran atau pertunjukan yang pelakunya digunakan di dalam jejer pertama setelah gendhing dibuat dari kulit dan ceritanya mengambil dari suwuk (selesai). (b) Lagon Nem Jugag, digunakan Mahabarata, , dan Arjunasasrabahu, di dalam jejer pertama sebagai pengantar untuk sedangkan gerak dan percakapan dilakukan oleh mengalihkan pembicaraan dari bahasa yang selalu dalang serta dengan dukungan karawitan sebagai sama (Jawa: Bagongan) kepada inti pembicaraan. iringan yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan (c) Lagon Sanga Wetah digunakan menjelang hidup di daerah budaya Yogyakarta. perubahan pathet dari Pathet Nem ke Pathet Sanga yang di dalam kalangan pedalangan sering disebut Persamaan dan Perbedaan Sulukan petunjuk. Selain itu dapat pula digunakan pada Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan adegan pendhitan di dalam Pathet Sanga, atau Suparman pada adegan satria di tengah hutan. (d) Lagon Sanga Jugag, dapat pula digunakan seperti pada Persamaan Lagon Sanga Wetah kalau waktu telah mendesak. Sulukan Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, (e) Lagon Manyura Wetah, digunakan menjelang dan Suparman mempunyai persamaan dalam hal perubahan pathet dari Pathet Sanga ke Pathet pathet, jenis, fungsi, hubungan cakepan (syair) Manyura. Selain itu dapat juga digunakan setelah dengan lagu, dan hubungan gendhing dengan gendhing suwuk di dalam adegan Pathet Manyura. sulukan. (f) Lagon Manyura Jugag, dapat digunakan seperti pada Lagon Manyura Wetah, kalau waktu telah mendesak. (g) Suluk Plencung Wetah digunakan Pathet menjelang jejer ke dua. (h) Suluk Plencung Jugag, Sulukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta digunakan kalau di dalam jejer pertama ada versi Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan tamu, yakni setelah gendhing suwuk. Selain itu Suparman terdiri atas tiga pathet yakni pathet nem, juga digunakan dalam jejer ke dua (bukan raja sanga, dan manyura. Adapun yang dimaksud raksasa) setelah gendhing suwuk. (i) Suluk Galong, pathet adalah pembagian waktu berdasarkan garap digunakan pada jejer terakhir setelah gendhing iringan yang terdiri atas tiga bagian (pathet nem, suwuk. (j) Kawin Girisa, digunakan pada jejer sanga, dan manyura) (Sudarko, 1994: 54). pertama, selain Negara Astina yakni setelah Lagon Nem Wetah selesai. (k) Kawin Sikarini, digunakan Jenis sulukan pada jejer pertama Negara Astina yakni setelah Menurut jenisnya, sulukan wayang kulit purwa Lagon Nem Wetah selesai. (l) Ada-ada Nem gaya Yogyakarta terdiri atas empat jenis yakni: Wetah, Jugag dan Cekak, digunakan pada wayang lagon, suluk, kawin, dan ada-ada. Lagon adalah perang dalam Pathet Nem. (m) Ada-ada Sanga nyanyian dalang yang diiringi oleh beberapa Wetah, Jugag dan Cekak digunakan pada wayang ricikan gamelan seperti rebab, gender, gambang, perang dalam Pathet Sanga. (n) Ada-ada Manyura suling, dan gong. Suluk adalah nyanyian dalang Wetah, Jugag dan Cekak digunakan pada wayang yang diikuti oleh ricikan rebab, gender, gambang, perang pada Pathet Manyura. (p) Ada-ada Galong, dan gong. Kawin adalah nyanyian dalang yang digunakan pada wayang perang menjelang akhir diiringi ricikan gender, kempul, dan gong, serta pertunjukan.

58 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Fungsi estetis, yakni sulukan berfungsi sebagai Lagon Nem Wetah, selalu dibawakan pada jejer pemantap dan membuat serta mendukung suasana pertama setelah Gendhing Karawitan suwuk Versi supaya pakeliran terasa lebih mantap dan lebih Timbul Hadiprayitno. hidup. Adapun fungsi estetis itu adalah sebagai berikut: (a) Memantapkan keadaan jiwa, umpama 3 3 3 3 3 32 2.32323 keadaan suka menjadi lebih suka, digunakan Sri - ti - non pa - sé - wa - kan sulukan lagon wetah. Keadaan marah menjadi lebih 2 2 2 2 2 2 2.3535 3.5 6..5.65353 marah, dan suasana tegang menjadi lebih tegang Bu - sa - na ma - né - ka, war - na, O--- digunakan sulukan ada-ada. (b) Membuat suasana, 2 2 2 2 2 2 21 1 21212 umpama membuat suasana marah menjadi tidak marah, membuat suasana sedih menjadi suasana 6 6 6 6 6 6532 2 3535 3.5 suka, digunakan suluk lagon jugag. Membuat Myang pan- jrah ing - kang sar - wa ruk - ma suasana lego, lerem, dan udhar, digunakan lagon jugag. Membuat suasana suka, digunakan sulukan 5.353 3 3 3 3 3 3.5656 56 @..!@#!@!6 lagon wetah atau jugag. Membuat suasana sedih, tangisan, trenyuh dan kasihan, digunakan sulukan Reng- gèng ma - nik na - ra, wa - ta, O--- suluk tlutur. Membuat suasana prenes, digunakan 3 3 3 3 3 3 35 3.232 sulukan lagon wetah. Membuat suasana sereng, A - bra pra - ba - nya su - mi - rat tegang dan marah, digunakan sulukan ada-ada. 6 6 6 6 6 6 2 2 23 3.53535 Membuat suasana émeng, digunakan sulukan lagon Ku - me - nyar- ing té - ja, le - li - we - ran jugag. Membuat suasana regu, digunakan sulukan lagon nem wetah. Membuat suasana ngunggar 2 2 2 2 2 25 3.532 235.32 y 1..yt manah, digunakan sulukan Suluk Plencung Wetah. Membuat suasana padhang, digunakan sulukan Lir ki - lat si - si, lir - ing tha - thit, O--- Lagon Sanga Wetah, Lagon Manyura Wetah 1.y dan Suluk Galong. Membuat suasana menep, 5 5 5 5 56 3 3 35.3.2 digunakan sulukan Suluk Jingking Wetah. Wim-buh ge - gan - da, a - mrik mi - nging

Hubungan cakepan (syair) dengan lagu. 3..5321 1 1 1 3.53232 2 1.21y t.ete Berdasarkan penelitian terhadap sulukan versi Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Ka - tyup - ing ma, ru - ta, man - dra

Suparman, dapat diketahui bahwa cakepan dan 2 2 2 2 2 2 5..32 1 2.1y e w lagu mempunyai hubungan yang kuat. Adapun hubungan itu dapat diperinci menjadi Cakepan Se - pa - ran ma – ngam-bar, ko - ngas, ha ha ha dan lagu mempunyai hubungan tetap dan tidak tetap. Lagon Sanga Wetah yang selalu dibawakan 1. Cakepan dan lagu mempunyai hubungan menjelang perubahan dari Pathet Nem ke Pathet tetap. Sanga versi Hadi Sugito. Pengertian cakepan dan lagu mempunyai hubungan tetap ialah cakepan dan lagu menyatu 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 tidak dapat dipisahkan. Pada aspek ini terdapat Sa - ya da - lu a - ra - ras a - byor so - rot kesesuaian antara kesan rasa yang ditimbulkan 2 2 2 21 2.121 oleh lagu dengan kesan suasana yang dibangun lin – tang ku - me - dhap oleh kalimat cakepan. Kalimat cakepan membuat 3 323532 2 2 2 2 2 2 dan/atau menguatkan suasana tertentu. Cakepan Ti - ti so - nya ma - dya ra - tri di sini tidak pernah dilagukan dengan lagu sulukan 2.35 5 5 5 5 5 5 5 lain. Hal ini berlaku untuk sulukan tiga dalang itu. Berikut beberapa Lagon yang dibawakan oleh para dalang.

59 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Lu - mrang gan - da - ning pus - pi - ta Lagon Manyura Wetah, yang selalu dibawakan pada waktu menjelang perubahan dari Pathet !..6!.65.3.232 2 Sanga ke Pathet Manyura versi Suparman.

3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 O --- na Mèh ra - hi - na se - mu - bang Hyang Ha - ru - na 3.232 2 2 2 2 2 2 212 2 1 1 1 1.y y y y Ka - di né - tra - ning ang - ga ra - puh 1.23 3 3 3 323 3 Kar - na - ning pu - dya - ni - ra Sab - da - ning ku - ki - la 2.121 1 1 1 1 1 1 1 3.56 6 6 6 6 6 656 6 Sang dwi - ja - wa - ra mbre- nge – ngeng Ring ka - ni - ga - ra sa - ke - ter t 1 2 2 2 1 1.y1y y y @.!@!6.535.3

Lir ku - ma - ra - ning ma - du brang- ta O ---

3..23.2.1.t 2 2 2 2 1y1 y1

Ke - ki - dung - an ning - kung O--- Jineman y.12 2 2 2 2 2 212 2 t 1.y1 2 2 5 32 321 y Lir wu - wus –ing pi - ni - pan - ca

Bo - cah ba - jang nggi- ring a - ngin 3.21..212.1y

35 2 5 3 2 32 1 y É--- 3 3 3 3 3532 1 1 1 A - na - wu ba - nyu se - ga - ra Pa - pe - tog - ing a - yam wa - na

2..1232 y.te y 3 3 5 5.6! 5 5 5.3 2 É--- ha ha

Ngon i - ngo - é ke - bo dhung - kul Suluk Plencung Wetah, selalu dibawakan 5.! 6 1 6 2 31 y t pada waktu menjelang jejer ke dua versi Timbul Hadiprayitno.

Sak - si - sih sa - pi gu - ma - rang 6 6 6 6 6 6 6 53 5.65656 Sri - ti - non la - ngen- ing pa - mi - yat

2 2 2 2 2 2 21 1.y1y

Bu - sa - na ma - né - ka war - na 2.35 5 5 53 56 5 5 3232 Reng-gèng ken - ca - na ret - na bra

60 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

6 6 6 6 6 6 56 5.32 Selain itu suatu cakepan dapat digunakan pada jenis ada-ada dan jenis suluk, Adapun cakepannya Ban – dé - ra la - yu ku - mi - tir sebagai berikut: y 2 3 3.5 1 1 12 1.y1y Togog malegag legog, O--- Trembilung kang sabuk bandhil Mbreguguk ngutha waton Si - nrang pan - dres ing ma - ru - ta Téjamaya Téjamantri, O--- Ngélingana déwa kang kamanungsan, ha--- 6.! ! @...!@!6 3. Hubungan cakepan dengan lagu karena suasana Sir - na O--- tertentu dengan menyebut nama tokoh. 6 6 6 6 6 5.353 Suasana tertentu menyebabkan jenis sulukan yang dipilih adalah yang suasana itu, begitu juga Ku - ma - ra - ning wi - yat cakepannya. Misal tokoh dalam keadaan marah maka dipilih sulukan jenis ada-ada yang cakepannya @# #..@,!6 2 2 2 2 21 tentang tokoh itu. Sebagai contoh, Cakepan Ada- ada Nem Jugag oleh Timbul Hadiprayitno dengan Man – tyan ku - mlè - bèt - ing dwa - ja, menyebut nama tokoh Sencaki. 35 5 5 3 3 3 3 3 3 3 Sencaki tinulu wirang tumandang Kadi setyan garwanira Sencaki Mandra- Suh bras – tha suh bras –tha ka – yu pang ke atmaja, O--- Sedyaning prang kontit saliranira 3 56 3 3 3 3 321 21 1 Winewes riya Burisrawa, ha---

Pus - pi - ta an - jrah – ing si - ti, ha Cakepan Ada-ada Nem Wetah oleh Hadi Sugita dengan menyebut nama tokoh Durna. Singgetan Durna panalinganira 2 2 2 2 3 5 32 3 Lumajaring ratri, O--- Ron ma - wur ka - tyup- ing a - ngin Cinandhak Risang Trusthajumena kapisa- nan 2 2 21 1 2 3 2.1y y Linenggak jangga tinigas mustaka Binuncang sunundhul ing akasa, O--- Ngélingana duk patiné Sang Hèstitama, Ku - ki - la am - byar su - me - bar ha---

2. Cakepan dan lagu mempunyai hubungan Cakepan Ada-ada Nem Jugag oleh Suparman tidak tetap. dengan menyebut nama tokoh Baladéwa Pengertian cakepan dan lagu mempunyai Baladéwa setiti nenggalanira pamuk hubungan tidak tetap ialah cakepan bisa dilagukan Sri Baladéwa narpati tinarswala Kresna dengan lagu sulukan lain, di samping lagu yang Langkung ing tresnanira marang Dyah biasa diikutinya. Sebagai contoh bahwa suatu Banoncinawi, ha--- cakepan dapat digunakan pada Lagon Sanga Wetah maupun Suluk Plencung Jugag, yang cakepannya 4. Hubungan cakepan dengan lagu karena suasana sebagai berikut: tertentu dengan tidak menyebut nama tokoh. Wanodya ayu utama mangambar arum, O--- Cakepan Suluk Plencung Jugag Timbul Mangambar aruming kusuma Yèn ngendika èsmunya anggigit lathi Hadiprayitno. Sembada genging salira Wanodya ayu mangambar arum, O--- Leléwané milangeni, O--- Mangambar aruming kusuma Liringé nétra singa mulat leng-leng brangta. Yèn ngendika èsmunya anggigit lathi

61 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Sembada genging salira Baris pertama Lagon Nem Wetah Leléwané milangeni, O--- Timbul Hadiprayitno Liringé nétra singa mulat leng-leng brangta. 3 3 3 3 3 32 2.32323 Cakepan Ada-ada Nem Jugag Hadi Sugito Mundur saking ayuda Sri - ti - non pa - sé - wa - kan Mulat ponang pra wadyabala Jaja bang mawinga-winga, ha--- Hadi Sugito 3 3 3 3 3 3 3 23 Cakepan Ada-ada Nem Wetah Suparman Mijil saking jroning praja Sri - ti - non ing pa - sé - wa - kan Kondhanging pra wadya sawéga, O--- Puksur tambur myang suling pepandhèn Suparman daludag 3 3 3 3 3 3 32 2.123 Miwah bandéra kekandha warna-warna Pindha jaladri asri kawuryan, O--- Sri - ti - non ing pa - sé - wa - kan

Hubungan gendhing dengan sulukan dari Lagon Nem Wetah baris pertama dari ketiga dalang Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan dalang itu berawal dari nada 3 dan berakhir pada Suparman adalah sama, dapat diperinci sebagai nada 3. Inilah yang dimaksud dengan lagu pokok berikut: (1) Gendhing dan sulukan mempunyai tiga dalang itu sama. Adapun perbedaannya hubungan tetap, artinya bahwa gendhing X terletak pada wilet. Wilet adalah banyaknya sulukannya tentu Y. Hal ini dapat dilihat pada nada setiap suku kata. Pada baris pertama Lagon jejer pertama, jejer negara manapun tentu Nem Wetah Timbul Hadiprayitno, suku kata menggunakan Gendhing Karawitan. Gendhing menjelang akhir baris terdiri atas dua nada (32 Karawitan ini digunakan sebagai iringan janturan dengan cakepan wa), dan suku kata pada akhir (narasi). Setelah janturan selesai, gendhing disuwuk baris terdiri atas enam nada (2.32323 dengan kemudian selalu dilanjutkan dengan sulukan Lagon cakepan kan). Sedangkan baris pertama versi Hadi Nem Wetah. (2) Gendhing dan sulukan mempunyai Sugito, pada akhir baris terdiri atas dua nada (23 hubungan tidak tetap. Artinya bahwa Gendhing dengan cakepan kan). Adapun baris pertama versi X belum tentu disuluki dengan Y, akan tetapi dapat Suparman, pada suku kata menjelang akhir baris dengan sulukan lain, misalnya Srepeg suwuk dapat terdiri atas dua nada (32 dengan cakepan wa) disuluki dengan ada-ada, dan dapat juga disuluki dan suku kata pada akhir baris terdiri atas empat dengan lagon, tergantung pada suasana yang akan nada (2.123 dengan cakepan kan). Selain itu pada dicapai. cakepan Timbul Hadiprayitno ada perbedaan sedikit dengan lainnya yakni tanpa kata “ing”. Perbedaan Sulukan Pada awal uraian telah dikemukakan, bahwa Baris ke dua sulukan Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Timbul Hadiprayitno Suparman terdiri atas empat jenis yakni: lagon, suluk, kawin, dan ada-ada. Pada jenis lagon, suluk, 2 2 2 2 2 2 2.3535 35 6..5.653532 dan kawin pada dasarnya lagu pokok sulukan sama, sedangkan perbedaannya terletak pada wilet. Bu-sa-na ma-né-ka, war - na o.... Adapun yang dimaksud dengan lagu pokok adalah Hadi Sugito nada pada awal baris dan akhir baris. Sedangkan yang dimaksud dengan wilet adalah banyaknya 2 2 2 2 2 2 2.3 5 6.53..5.32 nada pada setiap suku kata. Agar lebih jelas akan dicontohkan Lagon Nem Wetah dari tiga dalang Bu-sa-na ma-né-ka, war -na, o... itu pada baris pertama, ke dua, tiga, ke empat, dan ke lima sebagai berikut.

62 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Suparman sulukan Hadi Sugito pada suku kata awal terdiri atas tiga nada (6.12 dengan cakepan sé), dan pada 2.35 5 5 5 5 5 535 5 6…56.53..535..32 suku kata ke tujuh terdiri atas empat nada (3..212 Bu - sa-na ma-né- ka war-na, o... dengan cakepan dya). Adapun sulukan Suparman pada suku kata awal terdiri atas tiga nada (6.12 dengan cakepan sé), dan pada suku kata ke tujuh Pada baris ke dua tiga dalang berawal dari terdiri atas tiga nada (212 dengan cakepan dya). nada 2 dan berakhir dengan nada 2. Adapun Cakepan Timbul Hadiprayitno sedikit berbeda perbedaan yang mencolok terletak pada wilet. dengan ke dua dalang lainnya yakni pada kata yang Sulukan Timbul Hadiprayitno, suku kata ketujuh pertama Timbul Hadiprayitno mengatakan sobak terdiri atas lima nada (2.3535 dengan cakepan sedangkan ke dua dalang lainnnya mengatakan war), dan suku kata kedelapan terdiri atas dua sébak. nada (35 dengan cakepan na), serta suku kata ke Baris ke empat delapan terdiri atas delapan nada (6..5.653532 Timbul Hadiprayitno dengan cakepan O). Sedangkan sulukan Hadi Sugito, suku kata ke tujuh terdiri atas tiga nada 6 6 6 6 6 6532 2 3535 3.5 (2.35 dengan cakepan war), dan suku kata terakhir terdiri atas enam nada (6.53.5.32 dengan cakepan Myang pan-jrah ing-kang sar-wa ruk-ma O). Adapun sulukan Suparman pada suku kata pertama terdiri atas tiga nada (2.35 dengan Hadi Sugito cakepan bu), dan pada suku kata ke tujuh terdiri 6 6 6 6 6 532.35 5 atas tiga nada (535 dengan cakepan war), serta pada suku kata terakhir terdiri atas sepuluh nada Myang pan-jrah sar-wa ruk - ma (6…56.53..535..32 dengan cakepan O). Suparman Baris ke tiga Timbul Hadiprayitno 6 6 6 6 6..56 5 53 35 Myang pan-jrah-ing sar - wa ruk-ma 2 2 2 2 2 2 21 1.21212

Se-bak pus- pi - tèng hu - dya - na... Pada baris yang ke empat ini lagu pokok tiga dalang sama yakni diawali dengan nada 6 dan Hadi Sugito berakhir dengan nada 5. Sedangkan wiletnya y.12 2 2 2 2 2 3..212 2 tidak sama yakni sebagai berikut. Sulukan Timbul Hadiprayitno pada suku kata ke enam terdiri atas Sé - bak pus-pi- tèng hu - dya - na empat nada (6532 dengan cakepan sar), dan pada suku kata ke delapan terdiri atas empat nada Suparman (3535 dengan cakepan ruk), serta pada suku kata yang terakhir terdiri atas dua nada (3.5 dengan y.12 2 2 2 2 2 212 2 cakepan ma). Sulukan Hadi Sugito pada suku kata Sé - bak pus - pi - tèng hu - dya - na ke enam terdiri atas lima nada (532.35 dengan cakepan ruk). Adapun sulukan Suparman pada suku kata ke lima terdiri atas empat empat nada Pada baris ke tiga versi Timbul Hadiprayitno (6..565 dengan cakepan sar), dan pada suku ke diawali dengan nada 2, sedangkan Hadi Sugito tujuh terdiri atas dua nada (53 dengan cakepan dan Suparman diawali dengan nada 6. Pada ruk). Serta pada suku kata terakhir terdiri atas dua akhir baris tiga dalang mengakhiri dengan nada nada (35 dengan cakepan ma). 2. Adapun perbedaan wilet adalah sebagai berikut. Sulukan Timbul Hadiprayitno pada suku kata ke Cakepan di dalam baris ke empat ini tiga tujuh terdiri atas dua nada (21 dengan cakepan dalang ada perbedaan sedikit sebagai berikut. dya), dan suku kata terakhir terdiri atas enam Sulukan Timbul Hadiprayitno pada suku kata ke nada (1.21212 dengan cakepan na). Sedangkan empat ada cakepan ingkang, sedangkan sulukan

63 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Hadi Sugito tanpa cakepan ingkang, dan sulukan 3 3 3 3 3 3 2…163 Suparman hanya menggunakan cakepan ing saja tanpa kang. Ma - ti ke - pa - nas - an o... 2 2 2 2 2 32 y Baris ke lima Ma - ti - né - nga - la - ga, ha Timbul Hadiprayitno

5.353 3 3 3 3 3 3.5656 56 Versi Hadi Sugito Reng - gèng ma-nik na- ra wa - ta 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Hadi Sugito Pan-dhi-ta ki-nar- ya wang-sit pin-dha 53 3 3 3 3 3 356 6 2 2 Reng-gèng na- nik na - ra wa - ta kom–bang Suparman 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5.353 3 3 3 3 3 3.56 6 Ne-sep- a ma- du sa- ri- ning ta-wang Reng-gèng ma-nik na-ra wa - ta @..!@..!6..5.35.3

Pada baris ke lima, lagu pokok tiga dalang sama o...... yakni diawali dengan nada 5 dan berakhir dengan nada 6. Sedangkan wilet-nya tidak sama yakni 2 2 2 2 2 2 2 2.121 1 sebagai berikut. Sulukan Timbul Hadipratitno pada awal baris terdiri atas empat nada (5.353 Me-dhar-na ngèl-mu kang sa - nya - ta dengan cakepan reng), dan pada suku kata ke tujuh 3…21212 y terdiri atas lima nada (3.5656 dengan cakepan wa), serta pada akhir baris terdiri atas dua nada o...... ha...... (56 dengan cakepan ta). Sulukan Hadi Sugito permulaan baris terdiri atas dua nada (53 dengan cakepan reng), dan pada suku kata ke tujuh terdiri Versi Suparman atas tiga nada (356 dengan cakepan wa). Adapun sulukan Suparman pada permulaan baris tediri 2 2 2 2 2 2 2 2 atas empat nada (5.353 dengan cakepan reng), dan pada suku kata ke tujuh terdiri atas tiga nada (3.56 Ri - kat - a Sang Ga - thut - ka - ca dengan cakepan wa). 2 2 2 2 Sulukan jenis ada-ada dapat diperinci menjadi dua macam yakni: (1) Lagu pokok sama, ki - nèn ma - pag perbedaannya pada wilet dan cakepan. Contoh: Ada-ada Nem Jugag dari tiga dalang sebagai 1 2 3 3 3 3 3 3 berikut. Ki - nèn ma - pag ar - ka su - ta Versi Timbul Hadiprayitno 3 5 2 2 2 2 2 2 2 2 ar - ka Di-pa kang ke- ba-wat ma- ja 323 53 @..!@!6.535.3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 su - ta, o...... Ku-me-pruk ti- ba - ning ra-raga ra-ga

64 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 y 1 2 3 212 12 y 2 5.35 6 6 6 6 6 6

Te - kap - i - ra Kres- na, ha--- Sa - mi - ra - na a - wor ku - la 6 6 6 !.6!.65.3.23.2 Lagu pokok, wilet, dan cakepan tidak sama. Ada-ada Sanga Wetah untuk gara-gara. -wan ri - ris o...... Versi Timbul Hadiprayitno. t y 1 1 1 1 1 1

@ @.!@#@ Lu – mrang gan- da - ning pus - pi - ta o...... oo...... 6 6 6 6 6 6 6.532 ! ! ! !6! 6.!6!6! Ti - ti so - nya ma - dya ra - Su - kra mang – ka - ra 2 5.3532.y.t ! ! ! ! ! ! ! !6 !6 tri, o...... Su-kra mang ka - ra num – pak mén - da 2 2 2 2 2 2 2 1y 5 5 5 323 23.21235 @!@!6 Ra - ras ru - men – dhèng ing a - ka Ti - tik - an na - ba o...... 12 2.3.2321 t

5 5 5 5 5 5 5 -sa, o...... ha.... Ti - tik - an na - ba so - ma

5 5.32 5 1.21 @!@!6 Versi Suparman war - ji - ta ha o...... @ @ @ @ @

2 3 3 3 35 32 2 2 Su - kra mang - ka - ra Ang – ga - ra re - ka - tha bu - da @.!@! ! 65 56!

2 21 1yt Tum - pak mén - da ma - é - sa 6 6 6 6 6 6 6!@ @ @

2 2 2 2 2 232 3.21 t @ Tum-pak mén-da dé-dé ka - la - ba Ba-nas pa- ti min – tu - na, ha.... o 6 6 6 535 3.53535

Versi Hadi Sugito So - ma wer - ji - ta 5 6 ! ! ! ! ! ! @..!@.!6

Ka - yon ka - ti - yup - ing a - ngin o...... 6 6 6 6 6 6 6.532 2 2.35 5 5 5 5 5.32 2 Su-myak swa-ra-ning ka re - ngyan sa - Ang-ga - ra re - ka - tha 1 1 2 1y1 y.1y1y1 y 5 5 5 mi - ra - na Bu - ta ma - é - sa, ha......

65 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Ciri-ciri sulukan Timbul Hadiprayitno 5 5 5 5 5.356 3.232.1y1y 1. Wilet Res - pa - ti min - tu - na a) Suku kata menjelang akhir baris terdiri atas tiga nada dan suku kata akhir baris 2..3.1212.1 t terdiri atas enam nada. Contoh sebagai berikut. é ha...... 3.56 6 6 6 6 6 656 5.65656 Ring -ka - ni - ga -ra sa - ke - ter Selain itu ada perbedaan-perbedaan yang b). Pada cakepan O terdiri atas enam nada. akan dikemukakan sebagai berikut. Timbul Contoh sebagai berikut. Hadiprayitno dan Suparman membedakan sulukan #%#.@#@ yang digunakan pada jejer pertama. Pada jejer pertama Negara Astina, setelah Lagon Nem Wetah o...... dilanjutkan dengan Kawin Sikarini, sedangkan c) Suku kata menjelang akhir baris terdiri untuk selain jejer Negara Astina menggunakan atas nada dan pada suku kata terakhir Kawin Girisa. Berbeda dengan Hadi Sugito, ia terdiri atas sebelas nada. Contoh sebagai tidak membedakan jejer pertama Negara Astina berikut. atau negara selain Astina, akan tetapi negara 6 6 6 6 6 6 6.532 manapun menggunakan Kawin Girisa. Menurut Pat - u - pat - é u - la la Hadi Sugito, penggunaan Kawin Girisa untuk semua negara itu didasarkan atas pertimbangan 56.5353.53535 bahwa Kawin Girisa lebih netral, bisa digunakan - nang untuk negara manapun, dengan hanya mengganti d) Suku kata menjelang akhir baris terdiri nama raja. atas dua nada dan suku kata pada akhir Timbul Hadiprayitno dan Suparman mem- baris terdiri atas empat nada. Contoh punyai sulukan Lagon Sanga Ngelik, mengambil sebagai berikut. dari Surakarta yang penyajiannya disesuaikan 6 6 6 6 6 65 !.6!6 dengan kemantapannya. Sedangkan Hadi Sugito tidak mempunyai sulukan Lagon Sanga Wi - sik - an ma - gu - ling - an Ngelik. Hadi Sugito dan Suparman tidak pernah 2. Cakepan menampilkan sulukan Suluk Galong. Dalam hal Cakepan suluk Tlutur Wetah ini Hadi Sugito memberi alasan teknis yakni O, ha, ha karena waktu telah habis (karahinan) sehingga Ana dhandhang saka sabrang apa tidak sempat untuk menampilkan Suluk Galong, akan tetapi langsung menampilkan Ada-ada Rupaning dhangdhang Galong. Lain dengan Timbul Hadiprayitno, ia Cucuk wesi pulosrani tetap menampilkan Suluk Galong. Laring pedhang aja nucuk sri sedana Hadi Sugito dalam menyajikan sulukan Lagon Nucuka sarap swané wong sukerta Sanga Wetah untuk perubahan pathet dari Pathet Adohna tekan segara kidul, ha Nem ke Pathet Sanga, dilanjutkan dengan jineman, Pujèkna teguh wiyana slamet, ana, ha. dengan cakepan: “Bocah bajang nggiring angin, anawu banyu segara, ngoningoné kebo dhungkul, 3. Sulukan saksisih sapi gumarang”, sedangkan Timbul Sulukan Ada-ada Sanga Wetah, untuk perang Hadiprayitno dan Suparman tidak menampilkan kembang jineman. ! #@! Berdasarkan uraian di depan dapat ditentukan ciri-ciri sulukan Timbul Hadiprayitno, Hadi o...... o...... Sugito, dan Suparman sebagai berikut.

66 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

3 3 3 3 3 3 3 3 c) Pada cakepan O menjelang akhir sulukan yang terdiri atas enam nada dan dumulai Nut - ti - nang ka - rang a - bang na dari nada 3. Contoh sebagaiberikut. 3 3 3 3 3 !..@!.65 3..5.35.32 - gih u - tang pa - ti o...... O ...... d) Pada cakepan O menjelang akhir sulukan 2 2 2 2 2 3 5 212 2 yang terdiri atas 15 nada. Contoh sebagai Lu - di - ra kang ma-nyem-bur nyem-bur berikut. @..!@.!6.5.35.3 3.535.32 #.%@#@! O..... O...... o...... 1 2 3 3 3 3 3 3 2. Cakepan a) Cakepan Suluk Tlutur Wetah É - ka si - ji dwi wa - tak nung- Balé lumut ambreganggeng, O--- 3 3 3 3 3 3 323 3 Suksma ilang kontrang-kantringan Oncaté suksma dhedhèncèngan gal bu - mi - nya kang gu - ming-sir Lir ganggeng kulawan lumut 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Manut ilining tirta Lelambat tumekèng samodra A - na pe - teng du - du we - ngi a Lebur katiyuping mandra, ha 2 2 2 2 2 2 2 b) Cakepan Ada-ada Sanga Wetah, untuk gara-gara menggunakan cakepan sebagai -na pa - dhang du - du ri - na berikut. 1 1 1 1 1 1 1 1y1 O ...... Kayon katiyuping angin Ya i - ku pe - teng – ing an - ta Sumyak swaraning karengyan samirana 21 12..32323 Samirana awor kulawan riris - ka, ha O ...... Lumrang gandaning puspita Titi Sonya madya ratri, O ...... Ciri-ciri sulukan Hadi Sugito Raras rumendhèng ing akasa, O ...... , ha 1. Wilet c) Cakepan Ada-ada Sanga Jugag a) Pada cakepan O terdiri atas sembilan nada, Macan mudhun sangka nggunung contoh sebagai berikut. Manut ilining tirta tumuruning jurang @..!@.!6.5.35.3 Wusnya manjing thelenging wana kumrasak swaraning jaladri o...... Wusnya kang tumibèng talaga b) Pada cakepan O menjelang akhir sulukan yang terdiri atas enam nada dan dimulai Surup ratri sima kang nginum warih,ha dari nada 1. Contoh sebagai berikut. 3. Sulukan 1.21212 Pada Sulukan Lagon Sanga Wetah untuk perubahan pathet dari Pathet Nem ke Pathet o...... Sanga, ditambah jineman dengan cakepan

67 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

“Bocah bajang nggiring angin. anawu banyu cara selalu melihat pertunjukan wayang di mana segara, ngoningoné kebo dhungkul, saksisih sapi berada dengan tidak membeda-bedakan dalang gumarang.” siapa yang tampil. Hal ini terjadi karena mereka berpendapat bahwa sejelek-jeleknya seorang Ciri-ciri Sulukan Suparman dalang tentu ada kelebihannya pada ssi yang lain. 1 Wilet Oleh karena itu kelebihannya yang diambil. a) Pada cakepan O tediri atas 10 nada. Pakeliran Timbul Hadiprayitno dapat dikata- Contoh sebagai berikut. kan sebagai ramuan dari tiga dalang yakni Ban cak, Gondomargono, dan Nartosabdo. @.!@!.6.5356.3 Khusus sulukan, ia memadukan dari Bancak O...... dan Gondomargono yang kemudian diolah b) Pada cakepan O menjelang akhir sulukan menjadi sulukan khas Timbul Hadiprayitno. yang terdiri atas tujuh nada. Contoh Sedangkan Hadi Sugito tidak mempunyai idola, sebagai berikut. ia menganggap bahwa semua dalang tentu ada 3.52323.2 kelebihannya dan kekurangannya, sehingga yang O...... harus diambil adalah kelebihannya. Adapun Suparman mempunyai idola yakni dalang Jayèng. 2. Cakepan Tiga dalang itu tidak begitu saja menerima a) Ada-ada Nem Jugag warisan dari orang tuanya apa adanya, akan Dhuh wayah non tumon wong aprang yèn tetapi mereka berusaha mengubah warisan itu kasasaran supaya tetap hidup pada zamannya. Hal itu Kasasaran nèng madyaning ngalaga menunjukkan bahwa mereka ingin memberikan sumbangan warisan budaya pada zamannya dan Lumadya angroning sekar manglir bawan generasi berikutnya. Seperti yang dikemukakan lamun mangsah oleh Maurice Duverger (1981: 256) bahwa: “Tidak mba lir juladri samodra hangron, ha ada generasi yang puas dengan warisan pusaka, b) Ada-ada Nem Jugag dalam hal ini sulukan yang diterimanya dari masa Marpating angin-angin upayanen lalu, ia membuat sumbangannya sendiri.” tribawana Timbul Hadiprayitna dalam mengembangkan O--- sulukan mengambil dari gaya (1) Habirandha, Kadi nganing awang-awang (2) dari luar Habirandha, dan (3) dari Surakarta. Sulukan Habirandha yang diambil terutama Padhang dudu raina peteng dudu wengi, jenis lagon seperti Lagon Nem Wetah, Lagon O, ha. Sanga Wetah, dan Lagon Manyura Wetah. Hal c) Ada-ada Manyura Jugag ini dimungkinkan karena ia pernah kursus di Ratu gumulung pangruwating waja, ha Habirandha pada tahun 1957, walaupun ia telah Kandheg krendha taranbaya menjadi dalang. Sedangkan sulukan jenis ada-ada Tan kilat-kilating wasta diambil dari luar Habirandha. Gumregut magut mangajap, O, ha. Hadi Sugito dalam mengembangkan sulukan, selain didapat dari orang tuanya juga meniru dari dalang-dalang lainnya dan dari membaca buku, Perbedaan Sulukan Timbul serta dari fenomena alam, misal Ada-ada Sanga Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Jugag yang cakepannya sebagi berikut: Suparman Macan mudhun sangka nggunung Tiga dalang yakni Timbul Hadiprayitno, Hadi Manut ilining tirta, tumuruning jurang Sugito, dan Suparman merupakan dalang yang Wusnya manjing thelenging wana kumrosak kreatif. Mereka tidak puas hanya mendapatkan swaraning jaladri warisan berupa pedalangan khususnya sulukan Wusnya kang tumibèng talaga dari orang tuanya. Selain sulukan didapatkan dari Surup ratri sima kang nginum warih. orang tua, mereka juga mengembangkan dengan

68 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Suparman, kecuali sulukan-nya diterima dari Tiga dalang tersebut tentunya tidak dapat orang tuanya, kemudian dikembangkan dengan lepas dari keinginan mendapatkan imbalan. cara meniru dalang yang menjadi idolanya dan Imbalan yang mereka harapkan ada dua macam mengambil dari Habirandha terutama pada jenis yakni imbalan berupa materi dan imbalan berupa lagon. Selain itu ia paling banyak mengambil nama. Imbalan yang berupa materi ini dapat dilihat sulukan Surakarta dibandingkan dengan Timbul bahwa tiga dalang merupakan dalang yang laris Hadiprayitno dan Hadi Sugito. Misalnya, Lagon di daerah Yogyakarta. Dengan kelarisannya itu Sanga Ngelik lagu dan cakepan-nya mengambil mereka menjadi kaya dan banyak uang. Imbalan dari Surakarta. Selain itu banyak cakepan yang yang lain adalah berupa nama atau penghargaan. diambil dari Surakarta seperti: Dengan kemampuannya mereka menjadi dalang Cakepan Ada-ada Nem Wetah yang laris, sehingga kemudian mempunyai status Tan samar pamoring suksma sosial tinggi. Selanjutnya masyarakat khususnya Sinuksmaya ywa hasepi pendukung pedalangan akan menghargainya. Sinimpen thelenging kalbu Pambukaning warana Penutup Tarlèn tyas liyep layaping aluyup Berdasarkan pembahasan di depan dapat Pindha pesating sumpena Sumusuping rasa jati. disimpulkan bahwa pakeliran gaya Yogyakarta mempunyai beberapa ragam gaya seperti ragam Cakepan Ada-ada Nem Wetah gaya keraton (Habirandha) dan ragam gaya di luar keraton atau ragam gaya kerakyatan, seperti Mundur sang rekyana patih Undhanging pra wadya bala sawéga pakeliran Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Umyung swaraning bendhé bèri Suparman. Pa pa gurnang kalawan Pakeliran tiga dalang yang diteliti mempunyai Puksur tambur myang suling pepandhèn da- ciri-ciri tersendiri, yang paling menonjol terletak ludag pada sulukan. Sulukan tiga dalang itu mempunyai Miwah bandéra kakandha warna-warna. persamaan dan perbedaan. Adapun persamaannya Cakepan Ada-ada Girisa terletak pada (1) pathet (nem, sanga, mnyura), (2) Yaksa gora risedheng naréndra Jenis (lagon, suluk, kawin, dan ada-ada), (3) fungsi Yaksa lelaku kan wal walèngkang (struktural dan estetis), (4) hubungan cakepan Gambira rangah angisis siyung dengan lagu, (5) hubungan gendhing dengan Metu prabawa lésus prakempa sulukan. Apapun perbedaannya terletak pada (1) Gora mawalikan wilet (2) Timbul Hadiprayitno dan Suparman Singa pawalta curnaning lawan pada jejer pertama menggunakan sulukan Kawin Tuwi wira, rodra. Sikarini untuk Negara Astina dan untuk negara selain Astina menggunakan sulukan Kawin Girisa. Selain tidak puas terhadap hasil yang telah Akan tetapi pada sulukan Hadi Sugito, pada jejer ada, tiga dalang memang orang yang ahli dalam negara manapun digunakan Kawin Girisa. bidang pedalangan. Ini tidak mengherankan karena mereka adalah turun dalang. Sejak kecil Kepustakaan sudah terbiasa dan terlatih dengan wayang, karena Murtiyoso, Bambang. 1982/1983. Pengetahuan setiap ayahnya mendalang anaknya tentu ikut. Pedalangan. Surakarta: Proyek Pengembangan Dengan demikian mereka terbiasa mendengarkan IKI Sub Proyek ASKI. suara gamelan yang berlaras slendro dan pelog, Clara Van Groennendael, Victoria M. 1987. terbiasa mendengarkan perbedaan suara wayang Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka satu dengan yang lain, terbiasa mendengarkan Utama Grafi ti. janturan, dan terbiasa mendengarkan sulukan. Dengan dasar yang kuat ini tidak mustahil pada Duverger, Maurice. 1981. Sosiologi Politik. Terje- gilirannya tumbuh dan berkembang menjadi mah an Daniel Dhakidae. Jakarta: Rajawali. dalang yang potensial dan berkembang luar biasa. Gorys Keraf. 1982. Eksposisi dan Diskripsi. Ende: Nusa Indah.

69 NurSudarkoLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGaya GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Harahap. E. St. 1951. Kamus Indonesia. Bandung: Soedarso Sp. 1990. Tinjauan Seni. Yogyakarta: Kalfeko. Suku Dayar Sana Yogyakarta. Holt, Clair. 1992. Seni di Indonesia Kontinuitas Sri Mulyono. 1989. Wayang Asal Usul, Filsafat dan dan Perubahannya. Yogyakarta: Institut Seni Masa Depannya. Jakarta: Haji Masagung. Indonesia Yogyakarta. Sudarko. 2003. Pakeliran Padat Pembentukan dan Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antro- Penyebaran. Surakarta: Citra Etnika. pologi. Jakarta: Aksara Baru. Mudjanattistomo, dkk. 1977. Pedalangan Ngayog- Audio ya karta Jilid I. Yogyakarta: Habirandha. Hadiprayitno, Timbul. Lakon Kresna Duta. Nojowirongko al. Atmotjendono. 1958. Serat (Kaset), Fajar Record. Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lam- Hadiprayitno, Timbul. Rama Nitik. (Kaset), Fajar pah an Irawan Rabi. Yogyakarta: Tjabang Record. Bagian Bahasa Yogyakarta Djawatan Kebuda- Sugito, Hadi. Durno Picis. (Kaset), Fajar Record. jaan Kementrian P.P. dan K. Sugito, Hadi. Anoman Lair. (Kaset), Fajar Record. Prawiro Atmodjo. 1994. Bau Sastra Jawa. Sura- baya: Djajabojo. Suparman. Sadewa Ratu. (Kaset), Kusuma Record. Purwadarminto W.J.S.1939. Bau Sastra Jawa. Suparman. Pramusinto Takon Bapa. (Kaset), Gro ningen: J.B. Wolters Dahlia Record.

70 Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 71-80 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Transformasi Yudhisthira Mahabarata dalam Tradisi Pedalangan

Aris Wahyudi1 Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta

ABSTRAK Artikel ini menjelaskan konsep Yudistira dalam tradisi wayang sebagai kontinuitas Yudhistira dalam epos Mahabharata. Transformasi ini diikuti oleh konsep berkelanjutan yang dapatmengikuti dengan menggunakan konsep Jawa, asma kinarya japa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep Yudistira dalam tradisi pedalangan adalah sistem transformasi dilihat dari mitologi ritual. Meskipun ceritanya diadopsi dari India Mahabharata, namun Wayang Purwa menggambarkan pola pikir asli Jawa. Wayang Purwa telah diwariskan dari generasi ke generasi, namun telah mampu mempertahankan konsep aslinya. Kata kunci: Yudistira, mahabarata, wayang

ABSTRACT Hermeneutic Cirkle of Yudhistira in Puppetry Tradition. This article explains Yudistira’s concept in a wayang tradition as a continuity of Yudhishthira in Mahãbhãrata epic. The transformation was followed by continuous concept that can be trailed by employing Javanese theory, such as asma kinarya japa theory. It can be concluded that the concept of Yudistira in the pedalangan tradition is a transformation system viewed from the ritual mythology. Although its story is adopted from Indian Mahabharata, but Wayang Purwa illustrates an original Javanese mindset. Wayang Purwa has been inherited through generations, yet it has been able to maintain its original concept. Keyword: Yudistira, Mahabarata, wayang

Pendahuluan Baratayuda dengan melarang saudaranya ketika Sebagian besar para peneliti wayang mem- berkehendak meminta haknya atas negara Astina. persamakan antara jagad wayang (tradisi peda- Sebagai raja, Puntadewa memiliki gelar langan Jawa) dengan Mahabharata (tradisi sastra), Prabu Puntadewa, Prabu Yudhistira, Prabu Dar- sehingga dikatakan bahwa wayang berasal dari ma Kusuma, Prabu Darmaputra, Prabu Darma- India (Brandon, 2003: 18-26). Hal demikian wangsa, Prabu Gunatalikrama, dan Sang Ajatha- dapat dimaklumi karena nama-nama tokoh satru. Setiap nama memiliki arti tersendiri, yakni dalam pedalangan banyak memiliki kesamaan sebagai berikut: Puntadewa: narendra péranganing dengan tradisi Mahãbhãrata, salah satunya jawata (raja yang menjadi bagian dari dewa); adalah Puntadewa atau Yudistira. Namun dalam Yudhistira: makuthaning prajurit (pemimpin kesamaan tersebut ternyata memiliki perbedaan perang yang tangguh); Dar ma kusuma: sekaring yang sangat signifi kan. Puntadewa dalam tradisi kautaman (menjadi buah bibir segala kebaikan); Mahãbhãrata lebih dikenal sebagai Yudhishthira Darmaputra: kapundhut putra déning Hyang (penulisan dengan ejaan Yuddhishthira untuk Darma (menjadi putra angkat Batara Darma); merujuk tradisi Mahãbhãrata, demikian berlaku Darmawangsa: karana dènira jumeneng nata untuk penulisan selanjutnya). Ia adalah seorang ahli manut rèh préntahing kadang (karena ia menjadi perang dan prajurit yang tangguh (Katz,1989: 34). raja hanya menuruti kehendak semua saudaranya); Sebagai seorang ahli perang tentunya ia memiliki Gunatalikrama: naléndra bisa nalèni basa (seorang sifat tega untuk membunuh lawan. Karakter raja yang sangat pandai menjaga perasaan orang demikian sangat berbeda dengan Puntadewa lain meskipun harus mengorbankan dirinya); dalam tradisi pedalangan (selanjutnya ditulis Ajathasatru: tuhu naréndra kang tan darbé Puntadewa) meskipun ia juga memiliki nama mengsah (seorang raja yang tidak memiliki musuh Yudistira (Yudhishthira). Puntadewa merupakan atau menjauhkan diri dari rasa permusuhan) tokoh yang selalu berusaha menghindari perang (Wignyosutarno, 1996: 110).

1 Alamat korespondensi: Prodi Pedalangan ISI Yogyakarta. Jalan Parangtritis Km. 6,5 Sewon, Yogyakarta. Telepon: (0274) 375380. E-mail: [email protected].

71 NurSudarkoLalanMariaChristianM.ArisYohanes Heni WahyudiRochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko MahabarataPewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan dalam, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Tradisi Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek,Pedalangan Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu

Berdasarkan makna nama-nama tersebut di berdasarkan istilah yang digunakan. Penggunaan atas, pengertian kata yudistira ternyata bertolak konsep asma kinarya japa dalam melacak belakang dengan karakter Puntadewa. Yudistira transformasi Puntadewa dengan cara menafsirkan yang berarti prajurit yang tangguh. Sifat demikian makna dari nama (gelar) Puntadewa dan ternyata sama sekali tidak dimiliki Puntadewa, kemudian merunut makna tersebut dalam tradisi bahkan sebaliknya. Meskipun demikian masih asalnya yang memiliki kesejajaran makna. Dari digunakannya nama Yudistira menunjukkan sini kita tafsirkan kembali mengenai aspek-aspek adanya kesetiaan tradisi pedalangan untuk yang memungkinkan terjadinya penyimpangan mengikuti tradisi asalnya. Fenomena demikian serta mendudukkan semua permasalahan yang menunjukkan bahwa banyak aspek yang ada dalam konteks alam pikiran Jawa. melatarbelakangi transformasi Yuddhishthira. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara Tipikal Puntadewa sebagai Identifi kasi tradisi pedalangan melakukan transformasi Batara Darma mitos Yudistira? Jawaban dari permasalahan ini Yang dimaksud tokoh Puntadewa atau Yudistira akan diperoleh dengan mengkaji makna yang dalam tradisi pedalangan pada dasarnya adalah terkandung dalam diri tokoh Puntadewa, baik tokoh Yuddhishthira dalam tradisi Mahãbhãrata. secara terminologi maupun mitologi.. Namun demikian karakter Yudistira Jawa Puntadewa dipandang sebagai sebuah teks. (Puntadewa) sangat jauh berbeda dengan karakter Dalam transformasi teks dapat dikenali tanggapan Yuddhisahthira dalam tradisi Mahãbhãrata. Hal penciptanya atas teks yang didapatkanya ter- demikian merupakan usaha untuk menegaskan dahulu. Seorang dalang menerima teks dari kapasitas Puntadewa yang dijadikan perhatian, pendahulunya, kemudian ia menanggapi dan baik karakter maupun maknanya yang disesuaikan menafsirkan menjadi sanggit dan bahkan lakon dengan selera, minat dan penilaian yang berkaitan baru. Dalang tersebut dipandang sebagai pencipta, dengan latar belakang sosial-budaya-religius dan demikian berkelanjutan. Dengan demikian masyarakat tradisi pedalangan melalui proses karena peranan peneliti adalah sebagai pembaca transformasi (Kuntara, 1990: 463). Penonjolan dan penafsir teks maka kedudukan peneliti sifat Puntadewa dapat dilihat pada beberapa gelar dipandang sebagai sisi lain (di luar dalang) dan Puntadewa sebagai identifi kasi sifat Puntadewa. menjadi bagian dari mata rantai sejarah yang ikut Perbedaan karakter tersebut menunjukkan bahwa berperan dalam proses perubahan atau penciptaan di Jawa telah terjadi proses transformasi wiracarita teks. Mahãbhãrata oleh tradisi pedalangan. Namun Makna tokoh Puntadewa tidak tersimpan demikian jejak-jejak tradisi masa lampaunya dalam sebuah lakon yang tunggal, tetapi masih dapat dilacak melalui penggunaan beberapa tersusun dari beberapa lakon yang terjalin dalam gelar Puntadewa. membentuk satu kesatuan mitos (Ahimsa Putra, Nama Puntadewa diartikan narendra pérang- 2001: 80-82). Dengan demikian transformasi aning jawata. Puntadewa adalah seorang raja yang Puntadewa dapat dilacak melalui intertekstualitas menjadi bagian dari dewa dalam pengertian bahwa yaitu hubungan dan kesinambungan dalam mata Puntadewa memiliki keterkaitan dengan dewa, rantai lakon-lakon yang berhubungan dengan apabila ditinjau dari sisi silsilah, karakter, tipikal, Puntadewa (Wiryamartana, 1990: 10-11). Makna ataupun aspek psikisnya (kapasitas). Pengertian Puntadewa dapat dianalisis melalui konsep asma istilah puntadewa tampak untuk menunjukkan kinarya japa (setiap nama selalu memiliki makna/ pandangan Jawa mengenai raja. Raja adalah sebagai mantra) dalam masyarakat Jawa (Wahyudi, penguasa tunggal dalam mikrokosmos. Ia sebagai 2001: 205). Asma di sini mengandung pengertian pengemban tugas dan wakil Tuhan dalam sebagai ’sebutan’ (pengucapan). Asma dapat mengatur jalannya roda pemerintahan di bumi. diidentikkan dengan penanda sebagai wadah dari Melalui raja, rahmat Tuhan mengalir rata ke sebuah konsep. Dengan demikian konsep asma seluruh rakyat dan negara. Ia berhak murba dan kinarya japa seperti halnya konsep linguistik masésa seperti halnya Tuhan yang Maha Kuasa dapat digunakan untuk melacak dan menjelaskan atas segala sesuatu di alam makrokosmos sehingga makna serta sumber konsep-konsep lakon wayang rakyat patuh dan tunduk kepada sabda raja. Sabda

72 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 raja tak ubahnya sabda Tuhan (Aris Wahyudi, darma sebagai kebalikan dari kapasitas ksatria 2001: 192). Kaitannya dengan nama gelar sebagai (Katz, 1989: 175). Bagi seorang kesatria, istri wadah dan makna sebagai isi, tampak bahwa adalah harga diri. Negara adalah sadumuk bathuk- dalam transformasi aspek Illahi di sini mengalami sanyari bumi yang harus dipertahankan sampai diskontinu dengan memunculkan wadah (gelar), titik darah penghabisan. tetapi kontinuitas dalam maknanya. Gelar Darmaputra merupakan bentuk konti- Darmakusuma: sekaring kautaman dalam nuitas konsep Yuddhishthira tradisi Mahã- pengertian bahwa Puntadewa memiliki sifat bhãrata. Yuddhishthira adalah putra dan sekaligus sangat baik. Ia dipandang sebagai sumber dan bagian dari Dharma (Hopkins, 1986: 62). Gelar model seluruh kebajikan di bumi. Puntadewa Yuddhishthira adalah Dharmarãja. Ia adalah memiliki rasa ikhlas dan penyerahan diri yang suami Laksmi dalam kapasitasnya sebagai Sri melebihi tokoh lain. Ketulusan rasa kasih- (kemakmuran) (Hopkins, 1986: 115). Kapasitas sayangnya terhadap sesama ditegaskan oleh ini masih diikuti oleh tradisi pedalangan. Dewi ketidaksediaannya untuk perang bahkan menya- Drupadi adalah inkarnasi Dewi Sri. Pemahaman kiti hati orang pun selalu dihindari. Puntadewa Dewi Sri dalam kasus ini disejajarkan dengan Sri rela memberikan haknya atas negara Hastina (Sadana) sebagai dewi padi (kemakmuran). Oleh kepada Kurawa seperti yang ditunjukkan pada karena itu dalam tradisi pedalangan dijumpai Lakon permintaannya kepada Kresna dalam Lakon Sri Mulih yang lazim dipentaskan sebagai lakon Kresna Duta dan Lakon Salya Gugur. Penegasan ruwatan dalam acara bersih desa. Gelar Darma- konsep dharma sebagai sumber kebajikan dan putra tampak sebagai usaha tradisi pedalangan kebenaran dilakukan dengan memberi gelar untuk menonjolkan kapasitas Puntadewa sebagai Darmakusuma untuk mendudukkan sifatnya putra Batara Darma, sebagai suami Dewi Sri sebagai sumber segala kebajikan, keikhlasan, (dewi penguasa pangan). Pemahaman ini tampak dan kejujuran yang kesemuanya menyatu dalam dipertegas dengan kedudukan Dewi Drupadi dirinya. Karakter demikian sering ditunjukkan, di sebagai Permaisuri Puntadewa, bukan istri antaranya dalam Lakon Durna Gugur. Dikisahkan Pandawa seperti dalam Mahãbhãrata. bahwa Puntadewa tidak bersedia berbohong Gelar Darmawangsa diartikan karana dènira kepada begawan Durna ketika ditanya tentang jumeneng nata manut rèh préntahing kadang dalam berita kematian Aswatama. Puntadewa menjawab pengertian bahwa kedudukan Puntadewa sebagai dengan jujur bahwa yang mati adalah Hestitama, raja bukanlah kehendaknya, tetapi atas kehendak tetapi penyebutan kata hesti sangat pelan sehingga saudaranya. Kata darmawangsa terbentuk dari kata Durna tidak mendengar. Dengan demikian darma dang wangsa. Darma (Sanskrit = dharma) transformasi tipikal aspek Darma mengalami berarti pokok ajaran, kebajikan, kebenaran, kontinuitas dan sekaligus mengalami diskontinu kewajiban, tempat keramat, candi pemujaan atau ketika diwujudkan menjadi gelar-gelar Puntadewa. pemakaman, saudara angkat atau segolongan Darmaputra: kapundhut putra déning Hyang (Mardiwarsita, 1990: 171-172). Wangsa dalam Darma dalam pengertian bahwa diambil sebagai bahasa Jawa Kuna wangsa (Sanskrit = wamsa) putra Batara Darma. Dalam tradisi Mahãbhãrata, yang berarti bangsa, kaum, keluarga, keturunan. dharma dipandang sebagai “hukum” atau “tata Pengertian darmawangsa untuk gelar Puntadewa tertib dunia”; juga sebagai “sifat kebajikan”, tersebut di atas diambil dari kata darma dalam “kewajiban”, “kebenaran” yang berkaitan dengan arti kewajiban dan wangsa dalam arti saudara “niat baik” atas perhatiannya yang sangat besar atau keluarga. Jadi jelas bahwa penggunaan terhadap dunia. Dewa Dharma dipandang gelar Darmawangsa untuk menegaskan bahwa sebagai penguasa hukum, dewa kebajikan, dewa Puntadewa menjadi raja Amarta hanya sekedar kebenaran. Yuddhishthira dipandang sebagai memenuhi kewajiban atas kehendak semua putra dan sekaligus inkarnasi Dewa Dharma saudaranya. Hal demikian diperjelas dengan sehingga ia disebut Dharmaraja dan memiliki sikapnya bahwa meskipun Puntadewa telah sifat bagaikan seorang brahmana (Katz, 1989: menjadi raja, tetapi segala sesuatu yang berkaitan 30-34). Sifat Puntadewa tersebut mempertegas dengan kenegaraan diserahkan kepada keempat pandangan tradisi pedalangan terhadap kapasitas saudaranya, atau dengan kata lain bahwa

73 NurSudarkoLalanMariaChristianM.ArisYohanes Heni WahyudiRochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko MahabarataPewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan dalam, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Tradisi Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek,Pedalangan Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu kedudukan Puntadewa sebagai raja Amarta kesejajaran dengan kapasitas Dewa sebagaimana hanyalah sebagai simbol. makna puntadewa. Oleh karena itu tampak bahwa Makna darmawangsa lebih jauh dapat ditarik gelar Puntadewa merupakan identifi kasi aspek ke dalam pemahaman mistis. Kedudukan sebagai Dewa Darma. raja adalah idaman setiap orang tidak berlaku Karakter Puntadewa sebagai darmakusuma, dalam pikiran Puntadewa. Keikhlasan yang darmaputra, dan gunatalikrama mendudukkannya berlebihan sehingga seolah-olah Puntadewa tidak sebagai orang yang tidak memiliki musuh memiliki sama sekali kemauan dan keinginan sebagaimana gelarnya, yakni sang Ajathasatru. duniawi mengarah kepada pemahaman tentang Gelar Ajathasatru dapat dimaknakan sebagai kesempurnaan sifat brahmana (insan kamil). Dia sifat yang selalu menganggap sebagai saudara hidup bukan karena makanan, dia terhormat atau teman kepada seluruh makhluk, terutama bukan karena kedudukan. Yang bersemayam manusia. Puntadewa selalu mengasihi orang lain dalam sanubarinya hanyalah penyerahan diri seperti halnya mengasihi dirinya sendiri bahkan kepada Yang Maha Kuasa. Dari keikhlasan dan melebihi. Karakter ini memiliki kesejajaran penyerahan diri inilah yang menyebabkan ia satu- dengan makna Mitra dalam tradisi Mahãbhãrata. satunya tokoh yang mampu mencapai nirwana Mitra dianggap sebagai dewa kasih-sayang, dewa beserta raganya atas tuntunan Batara Darma perdamaian (Macdonell, 1974: 30). Karakter dalam bentuk anjing putih. Puntadewa sebagai Ajathasatru dapat disejajarkan Satu hal yang menarik perhatian adalah apakah dengan aspek Mitra. Dengan demikian dapat gelar Darmawangsa ini memiliki keterkaitan ditafsirkan bahwa penggunaan nama Ajathasatru dengan raja Kediri Çri Dharmawangça Teguh merupakan identifi kasi aspek Mitra dalam diri Anantawikramotunggadewa? Dugaan ini beralasan Puntadewa. Aspek Mitra ditransformasikan ke karena pada masa pemerintahan Dharmawangsa, dalam diri Puntadewa untuk mempertegas atau kitab Mahãbhãrata disadur dalam bahasa Jawa menyempurnakan kebajikan Puntadewa sebagai Kuna (Roekmono, 1973: 51). Pada sisi lain sangat putra dan sekaligus inkarnasi Batara Darma. mungkin kemunculan ini pada jaman Airlangga Kebajikan Puntadewa dalam tradisi pedalangan dalam rangka menjalin hubungan Dharmawangsa digambarkan sangat sempurna, dan untuk (Puntadewa) dengan Arjuna (Airlangga) dalam menyangatkan, ia dipersonifi kasikan sebagai kitab Arjunawiwaha? Untuk membuktikannya orang yang darahnya berwarna putih. Warna putih perlu penelitian lebih lanjut. ditafsirkan sebagai lambang kesucian sehingga Penonjolan Puntadewa sebagai identifi kasi dalam diri Puntadewa mengalir segala kesucian kebajikan dan kebenaran dipertegas lagi dengan seperti halnya darah yang mengalir merata di gelar Gunatalikrama yang berarti pinter nalèni seluruh tubuh. basa. Arti ini mengandung makna bahwa basa yang dimaksud bukan sekedar perkataan, tetapi Gelar Yudistira sebagai Aspek Indra lebih cenderung pada sikap penghormatan. Jadi Adiparwa menunjukkan bahwa Puntadewa Puntadewa adalah seorang yang sangat menghargai adalah inkarnasi Indra (Siman Widyatmanta, keberadaan antarsesamanya. Dalam hatinya selalu 1968: 89). Puntadewa merupakan salah satu dari berprinsip jangan sampai menyakiti hati orang panca indera Indra (Hiltebeitel, 1990: 98). Hal lain (karyènak tyasing sasama), selalu menghargai ini berkaitan dengan kedudukannya sebagai raja keberadaan seluruh makhluk berdasarkan kodrat- di Indraprasta (Amarta). Kata prasta (prastha) nya masing-masing (tan ngendhak gunaning ada hubungannya dengan istilah prasthisthèng jalma). Puntadewa seorang yang tidak pernah (dhampar kencana) dalam sulukan yang berarti berbohong. Ia selalu mengatakan hal yang duduk (menduduki/bertahta). Jadi Indraprastha sebenarnya meskipun hal tersebut membahayakan artinya yang bertahta di Indraloka, merupakan dirinya atau bertolak belakang dengan kepen- identifi kasi Indra. tingan kelompoknya. Dengan demikian jelas Indra, dalam tradisi Mahãbhãrata disebutkan bahwa makna dari gelar Puntadewa yang sebagai putra Aditi (Hopkins, 1986: 122). menyertakan kata darma merupakan gambaran Sebagaimana nama indra yang berarti raja, ia dari sifat-sifatnya. Makna gelar tersebut memiliki adalah Surapati (raja para dewa). Seorang raja

74 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 adalah manifestasi tipikal kesatria yang selalu Puntadewa tidak akan melakukannya. Ia seorang mengayomi seluruh negeri dan rakyatnya dari yang sangat jujur dan menghargai perkataan. Hal berbagai ancaman. Ia sangat sakti dan mampu demikian ditunjukkan dalam kasus kematian merubah wujudnya menjadi seorang raksasa yang Durna (kasus yang sama dengan identifi kasi sangat mengerikan (Macdonell, 1974: 38). Indra kapasitas prajurit Yuddhishthira dalam tradisi adalah penguasa alam semesta, penguasa airdan Mahãbhãrata). Kasus kematian Durna dalam memberikannya kepada bumi agar padi dapat tradisi pedalangan telah mengalami perubahan tumbuh dan berkembang (Hopkins, 1986: 128). (diskontinu). Nama Ashvatthaman untuk putra Indra adalah penguasa kehidupan. Durna berubah menjadi Aswatama, dan gajah Hubungan antara Indra dan Yuddhishthira Ashvatthaman menjadi Hestitama. Ketika selain ditunjukkan bahwa Yuddhishthira sebagai Durna bertanya kepada Puntadewa mengenai inkarnasi Indra, juga ditunjukkan dalam peng- berita tentang kematian Aswatama, Puntadewa gunaan gelar Mahendra oleh Indra. Mahendra dengan jujur menjawab bahwa yang mati adalah pada sisi lain digunakan sebagai nama busur “hestitama”, tetapi ketika mengucapkan kata Yuddhisthira (baca: Puntadewa) (Hopkins, 1986: “hesti” volume suaranya pelan. Dengan demikian 124). Makna kata yuddhishthira merupakan salah tampak bahwa dalam transformasinya mengalami satu perwujudan dari aspek Indra, yakni sebagai kontinuitas, dan sekaligus terjadi diskontinu. penghancur musuh (kesatria) (Bhattacharjji, 1970: Perubahan nama Ashvatthaman menjadi 258). Dalam tradisi Mahãbhãrata, Yuddhishthira Hestitama untuk mempertegas perbedaan antara ditunjukkan sebagai seorang prajurit. Ia berdiri nama gajah dan putra Durna. Dengan perbedaan sebagai senapati dalam Bhãratayuddha untuk nama akan mempermudah mengidentifi kasikan menghancurkan musuh. Seorang prajurit dalam dari si empunya nama. Penyebutan nama medan pertempuran hanya memiliki dua pilihan, Ashvatthaman (gajah) oleh Yuddhishthira dan dibunuh atau membunuh. Dalam kasus kematian Hestitama oleh Yudistira merupakan usaha Drona, sikap demikian tampak lebih jelas. Ketika dalam menjada kuntinuitas narasi yang tanpa Drona mendengar teriakan tentang kematian mengikutsertakan kata gajah. Dan kasus Yudistira Ashvatthaman, ia mengira bahwa anaknya telah dengan menyebutkan Hestitama sebenarnya mencapai ajalnya. Untuk membuktikan kebenaran untuk menunjuk bahwa yang mati adalah gajah berita tersebut, Drona bertanya kepada orang yang dalam rangka menjaga kejujurannya. Tetapi tidak pernah berbohong, yakni Yuddhishthira. karena penyebutan kata hesti dengan suara Mendapat pertanyaan Drona, Yuddhishthira pelan, maka Durna yang pikirannya sedang kalut membenarkan bahwa Ashvatthaman telah menangkap bahwa Aswatama benar-benar telah mati, tanpa menjelaskan bahwa Ashvatthaman gugur di pertempuran. Lirihnya pengucapan yang mati adalah seekor gajah. Katz (1989: hesti disebutkan atas pengaruh kekuatan Kresna. 160) memandang kebohongan Yuddhishthira Dengan demikian jelas bahwa ketidaksesuaian merupakan konsekwensi kedudukannya sebagai antara karakter Puntadewa dengan makna nama prajurit dalam rangka mencapai kemenangan. Yudistira indikasi tentang pemilihan sebuah Penggunaan gelar Yudistira merupakan aspek yang ingin ditonjolkan dalam transformasi transformasi dalam menjaga kontinuitas kapasitas Puntadewa (Bandingkan dengan Kuntara, 1990: Indra dalam Puntadewa. Gelar Yudistira dalam 463), yakni sisi kebajikan dan kejujurannya. pedalangan juga diartikan sebagai mustikaning Kontinuitas transformasi Yuddhishthira prajurit. Makna ini tidak sesuai dengan karakter dilakukan dengan cara menciptakan beberapa Puntadewa. Hal demikian menunjukkan lakon wayang (sebagai proses diskontinu) yang bahwa transformasi Yuddhishthira dalam tradisi dijalin dalam sebuah mata rantai. Fenomena yang pedalangan mengalami diskontinu. Puntadewa memunculkan nama Yudistira terdapat dalam seharusnya memiliki watak seorang prajurit dan Lakon Babat Alas Mertani, yakni setelah Prabu pemimpin perang yang tangguh sebagaimana Jim Yudistira menitis ke dalam diri Puntadewa. Yuddhishthira. Namun kenyataannya sifat Hal demikian menunjukkan bahwa transformasi Puntadewa dalam tradisi pedalangan justru Yudistira tidak berlangsung serta merta, tetapi sebaliknya. Jangankan membunuh, menyakitipun melalui tahapan-tahapan yang berkesinambungan

75 NurSudarkoLalanMariaChristianM.ArisYohanes Heni WahyudiRochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko MahabarataPewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan dalam, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Tradisi Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek,Pedalangan Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu dengan cara diciptakan beberapa lakon yang kahyangan Sang Hyang Indra, sehingga penguasa berkaitan dengan keberadaan Yudistira. Mata di Mertani dapat diidentikkan dengan Dewa Indra. rantai transformasi Yudistira dapat dilacak melalui Disebutkan bahwa Yudistira adalah Jim yang lakon-lakon sebagai berikut. tidak lepas dari sifat raksasa. Kapasitas Yudistira Lakon Wisnu Ratu yang dipentaskan Ki demikian dapat dipandang sebagai identifi kasi Hadi Sugito dalam rangka HUT Kedaulatan aspek raksasa Dewa Indra (bandingkan dengan Rakyat ke 53 pada tanggal 28 September 1998 Macdonell, 1974: 38). Meskipun disebutkan mengisahkan bahwa Wisnu turun ke dunia untuk bahwa Yudistira adalah pemilik Jamus Kalimasada membabat hutan Purwa Carita dan mendirikan tetapi tipikalnya belum memenuhi persyaratan negara Dwaraka. Bersamaan dengan berdirinya sebagai pemegang Jamus Kalimasada, oleh karena negara Dwaraka, serta berdiri pula negara Mertani itu untuk melengkapinya harus menunggu saatnya (Indraprastha) sebagai imbangannya. Mengenai Pandawa membabat hutan Mertani. peristiwa di negara Mertani (Jejer VI) dikisahkan Disebutkan pula dalam Lakon Wisnu Ratu bahwa Prabu Jim Wilawuk (raja negara Mertami) bahwa terjadinya negara Dwaraka bersamaan ingin mengangkat putra sulungnya yaitu Jin dengan terjadinya negara Indraprasta. Indraprasta Yudistira untuk menggantikannya sebagai raja. merupakan pasangan negara Dwaraka (Dwarawati). Jim Yudistira menyanggupi tetapi terlebih Pasangan ini merupakan personifi kasi dari dahulu harus mendapatkan pusaka Kyai Jamus pasangan antara Indra (Indraprasta = Pandawa) Kalimasada. Tiba-tiba diributkan oleh dua dan Wisnu (Dwarawati = Kresna). Wisnu orang raksasa (Wisnu yang telah berubah wujud adalah adik sekaligus asisten Indra. Keduanya melawan Karungkala) berkelai. Prabu Wilawuk merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan segera melindungi anak-anaknya dalam pelukan. (Gonda, 1969: 29). Sebagai saudara muda, Wisnu Tindakan Wilawuk dicela Hyang Pada Wenang. selalu mengikuti jejak Indra, sebagaimana ketika Akibatnya Jim Wilawuk dikutuk menjadi Indra berdiri sebagai Mahendra, Wisnu sebagai seekor naga. Sebagai tebusannya, Jim Wilawuk Upendra (Hopkins, 1986: 204). Demikian juga harus bertapa di pertapaan Pring Cendani dan ketiga Indra menitis ke dunia menjelma menjadi berganti nama Begawan Wilawuk. Ia dibekali lima Pandawa, Wisnu pun mengikutinya dengan minyak Jayengkaton dan Jalasutra. Atas petunjuk menjelma menjadi Narayana dan Baladewa Sang Hyang Pada Wenang, Yudistira akhirnya (Siman Widyatmanta, 1968: 89). Hal demikian mendapatkan pusaka Jamus Kalimasada, jelmaan pula yang menjadi dasar munculnya personifi kasi Dewi Sadatwati, Dewi Kencanawulan, Raden hubungan antara Pandawa dan Kresna sebagai Kalimakusuma, dan naga Candrasengkala. Sang sesotya lan embanané (cincin dan matanya), kereta Hyang Pada Wenang menyuruh Jim Ydistira dan kusirnya. Keduanya merupakan satu kesatuan untuk menjadi raja di Mertani dan berpesan yang tidak dapat dipisahkan. bahwa pemegang pusaka Jamus tidak boleh Lakon kedua adalah Lakon Babat Alas melakukan angkara murka. Sebagai seorang Jim, Mertani, mengisahkan keberhasilan Pandawa Yudistira tetap memiliki watak raksasa, maka membabat hutan Mertani dan mendapatkan ketika pantangan itu dilanggar, seketika negara kerajaan Amarta. Dalam lakon ini dikisahkan Mertani hilang dari pandangan mata tertutup pula terjadinya penitisan Jim Yudistira ke Raden oleh kekuatan gaib, yang tampak hanya hutan Dwijakangka, Jim Dandun Wacana menitis belantara. Negara Mertani akan muncul kembali kepada Raden Bratasena, Jim Dananjaya apabila Pandawa membabat hutan Mertani. menitis ke Raden Permadi, Jim Nakula menitis Lakon Wisnu Ratu telah memunculkan nama ke Raden Pinten, dan Jim Sadewa menitis ke Yudistira dan sekaligus telah disebutkan memiliki Raden Tansen. Kekalahan Jim Yudistira bukan keterkaitan dengan para Pandawa di masa yang karena kesaktian Dwijakangka, tetapi karena akan datang. Lakon ini merupakan indikasi ciri-ciri yang dimilikinya. Dwijakangka secara sebagai mata rantai yang pertama dalam menjalin terpaksa bersedia menghadapi Jim Yudistira, kisah-kisah transformasi Yudistira. Nama lain tetapi bukan untuk perang melainkan untuk dari Mertani adalah Indraprasta (Indraprastha). menyerahkan diri. Ketika Jim Yudistira menggigit Makna dari indraprastha dapat ditafsirkan sebagai Dwijakangka, ia mengetahui bahwa Dwijakangka

76 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 darahnya berwarna putih. Ciri-ciri demikianlah Ketiga, Lakon Raden Narasoma. Lakon ini yang ditunggunya sebagai tempat penitisan berkesinambungan dengan Lakon Salya Gugur. untuk mencapai kesempurnaan. Jim Yudistira Permasalahan yang berkaitan dengan Puntadewa segera menitis ke Dwijakangka dan berpesan adalah kapasitasnya sebagai orang yang memiliki agar Dwijakangka menjadi raja di Amarta dan darah berwarna putih. Darah putih Puntadewa menggunakan gelar Prabu Yudistira. selain sebagai personifi kasi sifat kebajikan yang Lakon Babat Alas Mertani merupakan sempurna seperti telah disebutkan di atas, pada kesinambungan dari Lakon Wisnu Ratu seperti sisi lain tampak sebagai usaha untuk menjalin yang telah disebutkan Sang Hyang Pada Wenang rangkaian kisah gugurnya Salya oleh Puntadewa bahwa negara Amarta akan kembali ke sedia kala dalam Baratayuda dengan gugurnya Begawan apabila Pandawa membuka hutan Mertani. Bentuk Bagaspati oleh Raden Narasoma. demikian merupakan usaha untuk menjaga Begawan Bagaspati adalah seorang pertapa jalinan mata rantai dari kisah Yudistira, hubungan raksasa yang sangat sakti. Ia memiliki aji yang antara Dwarawati jaman Kresna dengan Amarta bernama Candrabirawa (ada pula yang menyebut pada jaman Puntadewa, dan bahkan mata rantai Candhabirawa). Selain sangat sakti, sang begawan sistem transformasi Yudistira menjadi Puntadewa. juga berbudi mulia dengan personifi kasi darahnya Pengertian raksasa dalam tradisi pedalangan berwarna putih. Ketika Raden Narasoma menjadi telah menjadi satu kesatuan dengan pengertian menantunya, Raden Narasoma merasa malu buta, diyu, ditya, dan gandarwa (jim). Keberadaan memiliki mertua seorang raksasa. Menghadapi Yudistira sebagai jim memiliki kesamaan makna persoalan demikian, Begawan Bagaspati dengan dengan raksasa. Oleh karena itu dimunculkannya ikhlas menyerahkan hidupnya kepada Raden Jim Yudistira dalam tradisi pedalangan sebagai Narasoma dan memberikan aji Candrabirawa. transformasi dari aspek raksasa Indra. Penggunaan Namun Begawan Bagaspati berpesan bahwa gelar Yudistira bagi Puntadewa setelah Jim Yudistira apabila Raden Narasoma berhadapan (sebagai menitis ke dalam diri Puntadewa. Nama Yudistira musuh) dengan seseorang yang darahnya hanyalah nunggak semi. Dengan demikian wajar berwarna putih, maka aji Candrabirawa akan apabila makna yudistira tidak sesuai dengan sifat meninggalkannya dan menyatu dengan orang pokok Puntadewa karena nama tersebut hanyalah yang darahnya berwarna putih tersebut. Fenomena nama “titipan”. Meskipun demikian pada saat- demikian menunjukkan adanya kesejajaran antara saat tertentu aspek Yudhistira sebagai raksasa akan Bagaspati (raksasa) dan Yudistira (jim), namun muncul dalam diri Puntadewa. dalam konteks yang berbeda. Peranan kedua tokoh Pada sisi lain keberadaan hutan Mertani tersebut akan menyatu dalam perang Baratayuda sebagai kerajaan Jim merupakan pemunculan Jayabinangun ketika Puntadewa berhadapan alam pemikiran Jawa dalam tradisi pedalangan. dengan Salya. Dalam alam pikiran mistis Jawa diakui bahwa Pesan Begawan Bagaspati kepada Salya gunung, pohon besar, sungai dan sebagainya ada terbukti dalam perang Baratayuda ketika Salya “penunggunya”. Sang penunggu bisa menyatu berhadapan dengan Puntadewa. Ketika Salya hidup berdampingan dengan orang yang cocok dengan kesaktian aji Candrabirawa memakan bahkan menyatu atau menitis. Pandangan tentang banyak korban dari pihak Pandawa, Kresna penyatuan ini lebih jauh dapat ditarik ke dalam meminta kepada Puntadewa untuk menghadapi pemahaman tentang prewangan, yakni seseorang Salya. Puntadewa dengan perasaan segan yang mampu mendatangkan atau kerasukan roh terpaksa harus berhadapan dengan Salya. Ketika leluhur tertentu ke dalam dirinya. Kerasukan keduanya berhadapan, aji Candrabirawa melihat ini biasanya atas permintaan seseorang untuk bahwa dalam diri Puntadewa terdapat Begawan menjalin komunikasi dengan arwah leluhur. Bagaspati sehingga Cadrabirawa meninggalkan Dengan demikian transformasi Yudistira menjadi Salya dan menyatu dalam diri Puntadewa. Hal Puntadewa dalam tradisi pedalangan merupakan demikian pula yang menyebabkan gugurnya proses kontinuitas konsep Yuddhishthira Salya di medan Baratayuda, terkena pusaka Jamus Mahãbhãrata, dan sekaligus untuk menyertakan Kalimasada. Dengan demikian jelas bahwa pesan alam pemiikiran Jawa. begawan Bagaspati merupakan usaha untuk

77 NurSudarkoLalanMariaChristianM.ArisYohanes Heni WahyudiRochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko MahabarataPewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan dalam, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Tradisi Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek,Pedalangan Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu merangkai jalinan mata rantai kisah pedalangan Puntadewa untuk merubah wujudnya menjadi dalam mendukung transformasi Puntadewa raksasa merupakan perwujudan hubungan antara sebagai orang yang tidak mau berperang tetapi Puntadewa dengan Bagaspati pada satu sisi, berhasil membunuh Salya dalam Baratayuda dan pada sisi lain sebagai manifestasi dari aspek Jayabinangun. Dengan darahnya yang berwarna raksasa Indra. Bagaspati sebagai transformasi putih, Puntadewa berhasil meruwat dosa Salya dari Brehaspati untuk menjalin kontinuitas tanpa harus melawannya dalam perang tanding. kedudukannya sebagai pasangan Indra. Pada saat Berbagai sanggit kematian Salya ditampilkan kapasitas Indra berdiri sebagai pasubanda dalam dalang dalam mewujudkan karakter Puntadewa korban kuda, Brehaspati adalah pemimpin dalam sebagai orang yang anti permusuhan. pemujaan Indra. Dengan demikian kemampuan Berdasarkan etimologi, hubungan Bagaspati Puntadewa untuk merubah wujudnya menjadi dengan Narasoma memiliki kemiripan dengan raksasa selain sebagai mata rantai dari kisah Brehaspati dan Narãsamsa dalam mitologi Wedik. Begawan Bagaspati tetapi sekaligus sebagai bentuk Brehaspati adalah tokoh dalam tataran mite kontinuitas dari sebagian tipikal Indra dalam diri yang menjadi pasangan Indra. Ia adalah seorang Puntadewa; Dengan demikian digunakannya gelar brahmana yang sangat sakti dan mejadi pemimpin Yudistira merupakan proses kontinuitas aspek para Brahmana. Kapasitas Brehaspati berdiri Indra dalam proses transformasi Yuddhishthira sebagai api (Agni), ia dipandang sama dengan menjadi Puntadewa oleh tradisi pedalangan. Narãsamsa (bentuk lain dari Agni). Di dalam Dinobatkannya Raden Dwijakangka menjadi raja mite (pemujaan) Indra, Brehaspati didudukkan di Mertani yang disebut pula negara Amarta atau seperti halnya Agni, yakni digunakan sebagai Indraprasta dengan gelar seperti yang disebutkan sarana yang sangat ampuh dalam membebaskan di atas mempertegas kapasitas aspek Indra sebagai perasaan dari rasa ketakutan. Di sini Brehaspati surapati di dalam dirinya. Berdasarkan uraian dikaitkan dengan sebuah ritual sebagaimana di atas transformasi Yuddhisthira dalam tradisi kapasitasnya sebagai Brahmana yang sangat sakti pedalangan dapat digambarkan dalam diagram dan pemimpin para brahmana (Brahmanaspati) (gambar 1). (Macdonell, 1974: 101-103). Brehaspati adalah Dengan demikian tampak bahwa wayang pemimpin dalam korban kuda untuk pemujaan sebagai mitologi Jawa merupakan sumber fi lsafat Indra (Hopkins, 1986: 130). yang terefl eksikan dalam karakter, nama (gelar), Transformasi Brehaspati menjadi Bagaspati, keberadaan (tempat tinggal), dan atributnya, yang sedangkan Narãsamsa menjadi Narasoma. diformulasikan menjadi lakon wayang. Setiap Kontinuitas transformasi Brehaspati ditunjukkan terjadinya perubahan mitologi, berarti terjadi dengan cara mendudukkan Bagaspati sebagai perubahan fi lsafatnya, dan akibatnya terjadi Brahmana, serta Bagaspati memiliki istri bidadari. pula perubahan lakon wayang. Demikian pula Transformasi kesaktian mengalami diskontinu sebaliknya bahwa apabila terjadi perubahan dalam dengan diwujudkan menjadi aji Candrabirawa, lakon wayang akan mengakibatkan terjadinya dan kesuciannya dipersonifi kasikan dengan perubahan pada mitologi dan fi lsafatnya (Gambar darahnya berwarna putih. Kesamaan kapasitas 2). Brehaspati dengan Narãsamsa dalam pedalangan diwujudkan dengan menitisnya aji Candrabirawa Penutup ke dalam diri Narasoma. Namun pada saatnya Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa nanti harus berpisah, dan Candhabirawa menyatu proses transformasi dalam wayang mengalami dengan orang yang darahnya berwarna putih. Kisah diskontinu dan sekaligus kontinu secara ber- ini merupakan usaha untuk mempertahankan samaan. Hal demikian tampak pada transformasi kesucaian Bagaspati. Yuddhishthira menjadi Puntadewa dengan mun- Menitisnya jim Yudistira dan aji Candrabirawa culnya beberapa perbedaan karakter. Dalam kon- pada Puntadewa merupakan kontinuitas kapasitas tinuitasnya tradisi pedalangan memilih karakter Brehaspati sebagai pasangan Indra. Kedua kapasitas yang ingin ditonjolkan oleh masyarakat Jawa. ini sama-sama memiliki aspek raksasa. Dengan Perbedaan karakter Puntadewa merupakan dis- demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan kontinu sekaligus kontinuitas dari transformasi

78 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Gambar 1. Diagram proses diskon nu-kon nuitas transformasi dalam pedalangan (Wahyudi, 2012).

Gambar 2. Diagram hubungan makna dan fungsi wayang (Wahyudi, 2012)

79 NurSudarkoLalanMariaChristianM.ArisYohanes Heni WahyudiRochmatSahid RamlanOktavia, DonWinahyuningsih RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko MahabarataPewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. Bakok Dewi WayangTari RetorikGenre dan dalam, , MusikTopeng dalam Minimax,Usman Tari danKulit Tradisi Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna PurwaNajrid Uwek-Uwek,Pedalangan Dermayon dandalam KetingaGayaMaulana GerejaTeater YogyakartaFilm dan RendraGanjuran, TatagOpera 100 DeABGJawa Penyawo BaBu

Yuddhishthira untuk memilih karakter Puntadewa Budaya” SENI, Jurnal Pengetahuan dan yang ingin ditonjolkan. Penciptaan Seni. Yogyakarta: PB ISI edisi Mei. Kemunculan gelar-gelar Puntadewa tampak ______. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos sebagai usaha untuk menonjolkan aspek dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press Darma, dan Mitra dalam menjaga kontinuitas Aris Wahyudi. 2001. “Sanggit dan Makna Lakon Yuddhishthira tradisi Mahãbhãrata. Gelar Wahyu Cakraningrat Sajian Ki Hadi Sugito.” Puntadewa untuk menunjukkan dan menonjolkan Tesis untuk mencapai derajad Sarjana S-2, idealisme masyarakat Jawa bahwa seorang raja Program Pascasarjana Universitas Gadjah merupakan manifestasi Illahi. Gelar Darmaputra Mada, Yogyakarta. untuk menunjukkan identifi kasi Putadewa sebagai Bhattacharji, Sukumari. 1970. The Indian putra sekaligus inkarnasi Dewa Darma. Gelar Theogony. Cambridge: At The University Press Darmakusuma untuk menonjolkan kapasitas aspek darma sebagai sumber kebajikan dan kebenaran. Brandon, James R. 2003. Jejak-jejak Seni Pertun- Gelar Darmawangsa untuk menonjolkan sifat jukan di Asia Tenggara. Terjemahan R.M. keikhlasan dan penyerahan diri kepada Yang Soedarsono. Bandung: P4ST UPI Maha Kuasa sebagai kapasitas brahmana yang Gonda, J. 1969. Ancient Indian Kingship From sempurna (insan kamil). Gelar Gunatalikrama The Religious Point of View. Leiden: E.J. Brill merupukan penonjolan sifat menghargai sesama Hiltebeitel, Alf. 1990. The Ritual of Battle; Krishna makhluk hidup sebagai perwujudan kapasitas in The Mahabharata, Albany: State University aspek Mitra. Gelar Ajathasatru untuk menegaskan of New York Press dan menyempurnakan kebajikan dari aspek Mitra Hopkins, Edward Washburn. 1986. Epic Mytho- dan Darma melalui darahnya yang berwarna logy. Delhi: Motilal Banarsidass. putih. Katz, Ruth Cecily. 1989. Arjuna In The Maha- Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa bharata: Where Krishna Is, There Is Victory US: aspek Indra (sebagai pemimpin prajurit) dalam University Of South Carolina Press. Puntadewa ditekan sedemikian rupa agar tidak Laksono, P. M.. 1985. Tradisi Dalam Struktur menonjol. Penekanan aspek Indra dilakukan Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan. secara kreatif melalui beberapa tahap dengan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press menciptakan lakon-lakon baru yang dijalin dalam sebuah mata rantai untuk membentuk satu Macdonell, A.A. 1974. Vedic Mythology. Delhi: kesatuan makna secara guna mempertahankan Motilal Banarsidass kontinuitas konsepnya. Kemunculan Lakon Manu Jayaatmaja. 1994. “Pasubandha di Kuru- Wisnu Ratu dan Babat Alas Mertani merupakan ksetra: Durgapuja menurut Lakon Baratayuda media untuk menyatukan aspek Indra dalam Tradisi Pedalangan Ngayogyakarta” dalam diri Puntadewa, tetapi aspek Indra di sini Pemasyarakatan Sastra Pewayangan. Yogya- dipahamkan hanya menempel melalui penitisan karta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Jim Yudistira. Proses demikian dilakukan untuk Universitas Gadjah Mada. menjaga keutuhan jalinan kisah (mulihing lakon) Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna – dalam lakon wayang agar ketika bermuara pada Indonesia. Ende: Nusa Indah peristiwa perang besar di Kuruksetra lakon Roekmono, R.. 1973. Pengantar Sejarah Kebu da- pedalangan dapat kembali pada induknya. Seperti yaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius yang ditunjukkan dalam lakon-lakon Baratayuda, Widyatmanta, Siman. 1968. Adiparwa: Djilid II. semua tokoh rekaan baru dimatikan. Jogjakarta: U.P. “Spring”. Wignyosoetarno, Ki Ng. 1996. Wahyu Pakem Kepustakaan Makutharama. Surakarta: STSI Press Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1998. “Sebagai Teks Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha. dalam Konteks Seni dalam Kajian Antropologi Yogyakarta: Duta Wacana University Press

80 Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 81-90 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

How Children Decode Visual Narrative in Gaiman’s and McKean’s The Wolves in the Walls

Chrysogonus Siddha Malilang1 English Literature, Universidad de Macao

ABSTRAK Bagaimana Anak Mengkode-ulang Narasi Visual dalam The Wolves in the Walls karya Gaiman dan McKean. Buku cerita bergambar sebagai teks untuk anak-anak merupakan kombinasi unik dari kata-kata dan gambar. Dua elemen yang saling terkait sama lain menciptakan inter-animasi bersama dalam membangun makna. Para ahli telah lama mempercayai bahwa proses membaca buku cerita bergambar melibatkan proses yang rumit dalam lingkaran hermeneutik. Namun, karena buku cerita bergambar terutama ditujukan untuk anak-anak, maka proses tersebut terjadi dalam pikiran sadar mereka. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan proses pembuatan makna anak dalam narasi visual buku cerita bergambar yang mana dalam penelitian ini menggunakan karya Gaiman, The Wolves in the Walls. Setelah melalui serangkaian penelitian kualitatif dengan lima anak di Inggris, aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah gaya bercerita, penggambaran pengalaman, dan tempat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak membaca buku cerita bergambar dengan cara yang berbeda dari orang dewasa, terutama dalam strategi yang digunakan untuk membaca teks yang panjang dan rumit. Kata kunci: cerita bergambar, gaya bercerita, penggambaran pengalaman, tempat, lingkaran hermeneutik

ABSTRACT Picturebook as a text for children is a unique combination of words and images. Those two elements are interrelated into one another, creating a mutual interanimation in constructing the meaning. Experts have long believed that the process of reading picturebook involves a complicated process of hermeneutic circle. However, since picturebook is mainly aimed for children, the process happens subconsciously within their mind. Therefore, this research aims to reveal children’s meaning making process in visual narrative of picturebook, in this research is Gaiman’s The Wolves in the Walls. After a series of qualitative research with fi ve children in UK, the aspects to research are style, projection of experience, and setting. The result shows that children read the picturebook in a different way than adult, alongside their strategy to cope with long and complicated text. Keywords: picturebook, style, projection of experience, setting, hermeneutic circle

Introduction a complicated combination of various elements, The picturebook is a meeting place, a point positioning it as not a mere childish entertainment. of intersection. It marks a spot where word Despite targeting children as its target readers, and image, adult and child, author and picturebooks also allow adults to fi nd pleasure reader [...] come into limited correspondence from different angle and depth. This phenomena is with each other. As a juncture of arrivals referred to as ‘dual audience’ (Nikolajeva & Scott, and departures, the picturebook mimes 2001), a condition where two different levels of the indeterminate, ephemeral condition of audience are able to enjoy different aspects of it. childhood (Beeck, 2003: 9). This dual audience happens due to the way of picturebook speaking to us in a childlike way, but Beeck’s defi nition above has challenged the at the same time also combines the sophistication common belief regarding picturebook in Indo- addressing more mature readers (Nodelman, nesia. In fact, the books commonly referred to as 1988). The childlike mean of conveying the picturebook in Indonesia is actually an illustrated message appeals to the children, while some book. Different with picturebooks, illustrated other sophisticated elements appeal to the mature books do not depend on the collaboration of readers. However, Arizpe and Styles (2003) found words and pictures in the meaning making that children should not be singled out from process (Nikolajeva & Scott, 2001). Therefore, the complication in the picturebook, due to the Beeck’s concept of picturebook in itself implies

1 Alamat korespondensi: English Literature, Universidad De Macao. E-mail: [email protected].

81 NurSudarkoLalanMariaChristianChrysogonusYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi , Siddha, Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. MalilangBakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalam,Minimax, HowTari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaChildrenMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaDecode GerejaTeater YogyakartaFilm Visual dan RendraGanjuran Opera 100 Narrative ABGJawa BaBu demonstration of their ability to make sense of from an illustrated book. Arizpe and Styles (2003: complex image in literal, moral, aesthetics, visual, 22) has summarised this distinction by saying, and metaphorical level. “[P]icturebooks composed of pictures and words Revisiting Beeck’s defi nition, we will fi nd that whose intimate interpretation creates layers of her fi rst emphasis was on the meeting of words meaning, open to different interpretations and and images. This collaboration constitutes a which have the potential to arouse their readers to very important part in defi ning picturebooks. refl ect on the act of reading itself”. The different natures of the two –words as the Driven by unique harmony of pictures and device telling the event (diegetic) and pictures as words in meaning making within picturebook, the device showing the events (mimetic)– forms children’s response to the visual part of it becomes a cyclical process of meaning making, referred to an interesting thing to investigate. In what ways as hermeneutic circle (Nikolajeva & Scott, 2011). are the images facilitate readers to understand Hermeneutic circle is explained as the condition the narrative progression? How do the readers in which one element will create an expectation response to the visual details along the story? To for the others in the meaning making process. assist this study, a book titled The Wolves in the Although pictures seem dominating in Wall by Neil Gaiman and Dave McKean is used. picturebook –as well as arousing readers’ interest, Thus, this study aims to answer the question: they are only able to portray condition within one How do children response to the visual narrative timeframe without limiting the focus. In a way, in The Wolves in the Wall by picking up the visual the limitless imagery is good as it instils bigger elements? imagination. However, a focus is still important in delivering the narrative continuity. And Structuring Picturebook this is where the texts play their role, providing Just like other texts, this picturebook as a text focus to the story and allowing readers to grasp needs to have a structure. Thus, there must be a the important bits (Nodelman, 1988). This special rule structuring the narration through harmony is referred to by Lewis (2001) as ecology the sequence of image. As the main focus of this of text, alluding to the biological concept of study is the response of visual narrative in a book, interdependency in the nature. Similar to plants therefore Kress & van Leeuwen’s (1996) ‘grammar and animals in biological ecology, two levels –text of visual design’ is of particular relevance. They and pictures– in picturebooks create a mutual attempted to seek rules of sequencing images to interanimation in composing a bigger picture, in form the narrative plot, thus transcribing the visual this case the picturebooks. design into language. The resulted rules cover With the unique harmony of pictures and style, colour palette, framing, and iconotext. texts in the picturebooks, Nodelman (1988) The style is one of the basic aspects in started the analysis using semiotic approach to constructing a picturebook. It is summarised by it. He created a parallel between words –images Nodelman (1988) as “all the aspects of a work of and Saussurean concept of signifi er– signifi ed. art considered together” (p.77). An analysis of style However, unlike the pure concept which is important, due to different effect of different puts things as signifi ed and words as signifi er, style to the reader. A recognisable style from other Nodelman treated both elements interchangeably era or culture may be used as reference to denote within Saussurean framework. The implication the setting (Sipe, 2001). For example, American of hermeneutic circle within picturebooks causes folk style art might be used in American Indian both elements to occupy the position of signifi er story to strengthen the feeling of the setting. Most and signifi ed simultaneously. However, since the readers will use their background knowledge to concept of hermeneutic circle came later in 2001, perceive this intertextuality. However, children Nodelman suggested a concept of a gap between with more limited knowledge to the particular the words and pictures, creating an asymmetrical style are still able to relate the setting because relationship. The existence of gap between these of their competence in reading the artistic style two elements becomes an important distinctive (Styles, 1996). With this concept, children will characteristic of picturebook, distinguishing it be able to understand the concept of changing

82 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 setting with the shifting or combined style in the character. Thus, the level of intimacy is higher and same book. the sense of distance is lower. A similar approach is The drawing style in most picturebooks also also proposed by Nodelman (1988) by borrowing involves the colour in establishing the setting and the analysis from a fi lm study about shot and tone. This element is fi rst and foremost drawing panning. The depiction of a whole background is children’s attention to the pictures, as suggested called establishing shot to portray the setting. The by Parson’s favouritism, the stage of children shot is then followed by the nearer pan shot to responding to art (1987, in Arizpe & Styles, 2003). give chance for the reader in focusing on smaller To appeal more to children, Sipe (2001) found details. This technique facilitates the reader in that most artists do not employ the naturalistic orienting the setting and has a closer intimacy rendering of the object, but choose the colour with the characters. based on the emotional effects to the reader. This Arizpe & Styles (2003) revealed that the unnatural colouring is done to help building the reading process is usually started by the noticing tension in the narrative on the way to climax. the largest identifi able object. The reader then Nodelman (1988) noted that the colour palette undergoes a deduction process in understanding infl uences the generation of mood and emotions. the picture. During this deduction process, the It is related to the nature of colour as metafi ctive reader will employ the metacognitive device by device in helping the reader recalling the experience taking hint from the colour, style, framing, and or object of the same colour they saw before. The other visual clues. The deduction process results in memory then serves as the background knowledge a tentative hypothesis to be confi rmed or denied to understand the image, thus generating the by the text. The existence of an intraiconic text mood and setting of the pictures (Nikolajeva & will start over the deduction process, as elaborated Scott, 2001). in the hermeneutic circle (Nikolajeva & Scott, 2001). This process, however, is not complete Another important aspect in picturebook yet, as there will be an information gap that design is framing technique. It creates both the readers should fi ll it with their schemata through sense of involvement and detachment for the metacognitive recognition such as intertextuality. reader (Nodelman, 1988). A borderless spread will create a sense of invitation for the reader to get The information gap is also a powerful tool involved more and sympathize with the character. to utilize by the author to stimulate curiosity. The Full bleed, a term defi ning the illustration which curiosity should be fi lled by the opening of the extends to the edge of the page on all four sides, next page of page turn (Sipe, 2001). It might be in suggests that the reader will be a participant, not a form of incomplete action or incomplete detail just a mere spectator of the story (Sipe, 2001). that cannot be found within visual and verbal However, the border outside tend to create a sense of detail of that spread, but is expected to be found detachment. The detachment is caused by the line in the next one. It is then, the progressive narrative around the spread which will create an impression device. of illusion and the realization of existence in the book, therefore the sense of detachment arises. Analyzing The Wolves in the Walls Without the border, the illusions of existence The Wolves in the Walls is a rich picturebook outside the book are amplifi ed and merge into the in terms of design and metaphors. The book is world of the reader. developed based on the premise of ‘a boy who cried The zooming and positioning of the object wolf’. Lucy, the protagonist, hears the sound of within the frame is also important in determining wolves from the walls and tries to warn her family. the involvement degree with the characters. In this But they do not believe it until the wolves really matter, Kress & van Leeuwen (1996) classifi ed the drive them out of house. Lucy then tries to take social distance created by zooming and positioning. the house back. The richness of the visual domain The closer the zooming, the closer the distance makes it fi t for this study about visual narrative. and intimacy it creates. For example, the close- The book combines three different styles. The up in the spread will invite the reader to observe fi rst one is the computer generated image which the detail more carefully and empathize with the dominates the whole book. The second one is the

83 NurSudarkoLalanMariaChristianChrysogonusYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi , Siddha, Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. MalilangBakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalam,Minimax, HowTari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaChildrenMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaDecode GerejaTeater YogyakartaFilm Visual dan RendraGanjuran Opera 100 Narrative ABGJawa BaBu

The cover of The Wolves in the Walls (Photo: Amazon, 2012) still photographs used several times to denote some Lucy. Some colour palettes can be interpreted as inanimate objects. The third one is the sketch bleak, although the expressionist style may not style mainly to portray the wolves and several suggest so. Therefore, it is subject to personal events. These rich visual feats have been presented interpretation. altogether in the cover, which shows Lucy draws a The typology of the words in this book creates wolf in sketch style. The character of Lucy herself a system of iconotext, in which it integrates is depicted in the computer generated image style. into the images to create a special tension. The However, the eyes of the drawn wolf are depicted lay outing of the text is arranged in a way that as photograph. This cover already gives a hint of it emulates the different frequency and volume three different styles included in the book. of text. Some words are arranged ascending and The computer generated image mainly some are arranged descending. The different font dominates the whole book, as almost all the size presented here in the image also contributes characters, save the wolves, are drawn in this in creating special sense of changing loudness and manner. Opening the fi rst spread of the book, sound volume. the computer generated image style welcomes the reader with the depiction of Lucy in the centre All these elements are arranged in a way that with the corridor of the house. The domination the mood constantly shifts, thus builds the tension. of sharp edges in the picture and collage like style Adult readers who are experienced in watching somehow remind some adult readers with the horror movie might be familiar with this style. cubism style of Picasso. Although it is drawn in The use of colour for mood and setting generation a cubism-like manner, the sense of empathy is is combined with iconotext to represent voices, developed through the close up shot and full bleed important element in horror story. The impression presentation. In most cases, the full bleed employs resulted from this arrangement also serves as the close-up shot to Lucy’s face, creating a near social pageturner. The framing is used to vary narrative distance and invites the reader to identify with pace.

84 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Research Methodology Five children were participating in this The qualitative approach is employed in this research. They were divided into two groups. The study because of its ability to provide a comprehensive fi rst group consists of Matt, Caleb, and Gina. understanding on social phenomenon from the Matt and Caleb are six years old, while Gina is perspective of human participants in the study fi ve. In the second group, both Kelly and Tim (Ary, Jacobs, & Razavieh, 1999). The research are fi ve years old. All of them are students in a itself deals with the spontaneous responses from community school in Cambridge, UK, and the the children, indicating the limited control of the interviews were done in school. researcher over the events. Therefore, Yin’s (1998) As the participants’ consent is considered, the concept of case study as the technique used to class teacher was approached in the initial stage. research on the event in which the behaviour After the approval was given, the consent letter cannot be manipulated is the answer. The similar was sent to the head teacher. Within the letter, study conducted by Arizpe and Styles (2003) the explanation of the research and the interview and Evans (2008) also employed case study. The was presented. During the interview itself, the technique allows an in-depth investigation over children were informed that they may terminate a case, providing the reason and insight over the the process at any convenient time. All the names phenomenon. However, result from this kind of of the children have been anonymised in reporting. study cannot be generalized due to the complexity When the research is complete, the brief report of human being and unclear boundary between summarising the fi nding shall be sent to the class phenomenon and context (Yin, 1998). teacher. The research used two unique sources in case study, direct observation and interviews with the Investigation process participants following Yin’s framework (1998). The fi rst interview went without any signifi cant The direct observation was done while reading problem. All of the children were fully engaged the book together with the children. Field note and even offered to read the book in turn. The was employed as one of the instruments to ensure interview was not done in a specifi c time after the the validity, reliability, and objectivity of the reading was fi nished, but some parts were even observation. done during the reading process. The recording started from the beginning of the reading process, A systematic analysis of the book was made thus recording every single reaction. prior to the fi eld study. Most of the visual elements signifi cant in constructing the narrative In order to verify and triangulate the fi ndings, were identifi ed, such as the varied styles, colour the additional pair was used, Kelly and Tim. palette, iconotext, and framing. Those elements However, the engagement level of the second pair became the framework in developing an interview was lower than the fi rst one. Kelly even indicated checklist. The checklist was employed to keep the that the story was too long and left three times to focus of the interview. the toilet. Meanwhile, Tim was too quiet in giving the response. Therefore, the result gotten from the The interview was done with semi-structured second interview was not as rich as the fi rst one. technique, considering the possibility of unexpected response and unanticipated reaction. It was done in groups to emulate the condition of normal Analysis of the Findings conversation, thus not putting any pressure to As all the data had been gathered, the transcripts, the children. Another reason was the interactivity fi eld notes, and drawings were analysed for the point, so they can discuss and elaborate the issue response of the visual narrative. The similarities better by commenting on friend’s response. In and differences between the interviews were noted that case, the researcher only gave encouraging and triangulated with the library study’s result. remarks or fi llers. The whole process of interview The analysis is then divided into several categories, was audio recorded to make sure no small details namely response to style, projection of experience, were missed. and setting.

85 NurSudarkoLalanMariaChristianChrysogonusYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi , Siddha, Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. MalilangBakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalam,Minimax, HowTari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaChildrenMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaDecode GerejaTeater YogyakartaFilm Visual dan RendraGanjuran Opera 100 Narrative ABGJawa BaBu

The attention to the smaller details was demonstrated by Gina’s response and focus on the stairs rather than the any of the larger design features in the picture. She pointed at the blurry line along the depiction of stair and came into conclusion that the dust was there. Shading was indeed present in the colour of that part of the wall near the stair. The shading was then perceived as the dust because of its darker colour. A plausible explanation for this is that Gina saw that picture in a mimetic style, depicting the condition of the room as it is. Therefore, she might not consider the lighting effect and the colour gradation in the picture and take a mimetic approach to decode. Within the mimetic decoding, she tried to make First opening of the book (Photo: Amazon, 2012) sense the gradation and created dust as the result. Style Probing from this unexpected response, the With the book being drawn in an expressionist- question was then rephrased into asking about cubism style, the fi rst impression that children got the temperature of the room. This question was was the unreal ambience over the picture. The supposedly probing the children into interpreting following excerpt was the initial response to the the colour palette in the spread. Yet, Matt said fi rst opening. confi dently that the room is cold. His justifi cation of C : Lucy walked around the house the answer includes the non-portrayed refrigerator in the kitchen. He mentioned that Lucy is heading Kelly : LOOK, there she is! [pointing at the to the kitchen, and there must be a refrigerator in picture] the kitchen. Additionally, he explained that the C : Hmm... Any other interesting thing? door in the picture leads to the kitchen. However, Kelly : It looks like.. it looks like a real girl. careful observation later on made me notice the white colour in the door where Lucy is heading to. From Kelly’s response, we can infer that she Since white colour is often associated with cold, saw the picture as something unreal. It is possible this might also be the trigger that caused Matt to that she mistook Lucy’s image as non-human in say that the room is cold. From this association, the fi rst attempt due to the absence of face and he might recall refrigerators, also due to the fact the cubism style. Therefore, when she fi nally that most refrigerators’ doors are often white, thus recognized Lucy, Kelly showed enthusiasm as if creating a new layout for the house, explaining the she was just solving a puzzle. This act supports existence of kitchen as the plausible link between Styles’ (1996) fi nding that children are unworried cold and white in the house. This response, by surrealist imageries. Within that frame of however, shows how much he engaged with the style, the clues to decode the meaning were in story, a strategy of owning the story by creating form of the smaller detail, just as demonstrated the complex setting of room arrangement. in children’s response to the whole picture in the Attention to the small detail on the same fi rst opening. picture also occurred in the second interview. Kelly C : What do you think of Lucy’s house? did not express an opinion on the temperature Caleb : It’s... It’s an old house..... or the colour palette. She focused instead to the pattern of the carpet by repeatedly saying that it is C : How do you know? nicely patterned. The plain coloured wall and the Gina : Dust.... absence of the furniture in the pictured room may C : Huh? Dust? cause the attention diversion to the carpet. Once Gina : Yes... Dust! There [pointing]. Do you see she found the existence of the pattern, it became the dust? There... Near the stairs. her focal point in the picture.

86 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Setting The setting construction, as a part of visual narrative, also goes through the same inductive process of meaning-making. Both interviews successfully address this matter and get an insight over the construction process. The spread exemplifying this best is the one where the family is forced to leave the house by the wolves’ invasion. The setting of time was clearly expressed here by the children, but the small details served as the clues for them. Caleb : There are people... shadow of people.... They look like the family. This one is Lucy... Matt : There’s the tornado! Look! Look! The one of content Illustra on of McKean’s The Wolves in the Walls (Photo: Amazon, 2012) Caleb : This looks like the father..... C : When do you think this picture take place? The colour pattern seems to occupy also a special place for children’s response towards Gina : At night. See... There’s the light the images. In another case, the focus of colour Caleb : It’s almost morning pattern even strengthens the fact that children pay Matt : Almost morning! There is the tornado! attention to smaller details fi rst. The bigger detail Tornado in the cloud means almost such as the colour impression to convey the mood morning! was not given the attention in the fi rst place. Caleb : And.... and its... it’s blue. The sky is This case was found when Caleb responded to a blue.... spread when Lucy felt very afraid of the wolves. Matt : Blue and tornado... It’s almost The pale brown palette was used here, with Lucy’s morning...... gaze demanding attention from the reader, as it is a close-up shot of her facial expression. The pre- The excerpt above was taken from the fi rst dominant colour, however, seem to be ignored interview where the children were more engaged. by Caleb. Instead, he turned his focus to the red Responses were given prior to the reading of text. stripes on Lucy’s T-Shirt. The focus on red colour We can see that the comprehension of the time might be associated with the fact that red is his setting departs from the small details and then favourite colour. When I asked him about the goes to the whole composition by looking at the other colours, he pointed at the white stripes and predominant colour. We can see that the fi rst happily screamed because he found a pattern. clue of a nighttime is the light from the house. Gina assumes that the lamp is on during the From all points presented above, it can be argued dark time, thus providing a hint of a night time. that the style creates a gap in the representation This conclusion might be inferred from the clue of this pictorial world due to the lack of realism. she picked in the previous three spreads, where The lack of realism then arguably triggers various ‘night’ was clearly stated. From the small detail of meaning-making strategies to bring the children the light, Matt went to the image of the clouds closer to their own sense of reality. However, all and concluded that it is dawn. From the cloud, the meaning-making strategies result from the children’s attention was moved to the background attention to the smaller detail in this picture. From featuring blue colour. It is a light blue, not dark the details, an inductive process appears to be used blue that suggests a midnight. Adult reader might to formulate meaning to the picture, thus children interpret that as the effect from the moonlight. appear more focused on local details compared to However, children may indicate that as ‘not a adults who see the whole impression in the fi rst nighttime’. The shadowy fi gures of the people, place.

87 NurSudarkoLalanMariaChristianChrysogonusYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi , Siddha, Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. MalilangBakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalam,Minimax, HowTari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaChildrenMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaDecode GerejaTeater YogyakartaFilm Visual dan RendraGanjuran Opera 100 Narrative ABGJawa BaBu

the response to the mood was strengthened by another reference. The response towards the colour itself did not even appear. C : What do you think about this picture? Kelly : She is quite scared. C : How do you know that she’s scared? Kelly : Because she’s is also worrying in mat. Tim : And she only has one tooth!! Kelly : Yes, she’s one tooth. Maybe she lost all her teeth and one tooth is there. Tim : I lost my tooth yesterday

We can see above that Tim brought the notion The other Illustra on of McKean’s The Wolves in the Walls (Photo: Amazon, 2012) of losing the teeth and related it to Kelly’s response to feeling scared. The clue about this tooth came wolf, and the house were noticed as the absence when he saw the shade in Lucy’s lips. The picture of the sun. Therefore, they came to the conclusion is drawn in an expressionist way and does not of dawn time. A compromising strategy to resemble real thing, thus leaving a huge gap to fi ll in accommodate both Matt’s and Gina’s inference is the meaning making process. This gap corresponds arguably employed here. to Caleb’s sense of association in recalling his We can see that the setting construction also experience and making reference to losing teeth. starts from the small details. The combination The spread itself is strongly infl uencing readers of the smaller details then formed into a bigger to intimately engage with Lucy. The character is picture and bigger understanding. The decoding portrayed in a close up angle, indicating a very close process demonstrated in the excerpt above must social distance. Her eyes are staring at the reader, have been a strategy for children, trying very hard demanding attention and identifi cation (Kress & to make sense. However, there is a possibility that van Leeuwen, 1996). Once the readers identify the process happened because the children are themselves with the character, the recollection trying to give the expected answer to my question, phase will begin. According to Clark (1986, in thus they engaged in such a process. Arizpe & Styles, 2003), recollection phase is where the brain integrates the new knowledge with what Projection of Experience readers already know, creating an intersection between the painting and the memories of personal The projection of experience initially was experience. not the main focus of the essay. However, as the research went on, the emerging data of the Another interesting point that I found during projection became infl uential in children’s process this research is the vast imagination of children of interpreting the image. Bromley explains this by can serve as the pool of various interpretations stating that children related some elements of the and stories drawing from their past experience. text with what’s in their memory (1996). Margaret The supporting data for this argument is found Meek, quoted by Bromley (1996), mentioned that as the children demonstrated the ability to this process thus gives the text a different meaning interpret abstract image and create a narrative and a unique explanation of certain phenomenon behind it through the association of their previous for each of the reader, considering their unique knowledge. past experience and background knowledge. One In the fi rst group, when the children reached example of this projection comes in the following the spread where the wolf is depicted as playing discussion. The question was initially intended video games, the illustrator fi lled the TV ser with to help revealing children’s response towards the colour collage just like an abstract picture. However, colour palette in determining the mood. However, Matt came up to me and drew attention to the

88 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

TV. He then said that it was a shooting game. The The intertextual reference to Nightmare before scattering colours are understood as the explosion, Christmas is also interfering with the prediction “... that’s why it’s like this!” said Matt. For him, of the next event. Matt, taking the reference every single aspect, every single fragment of the from the cruelty and devilish nature of creatures image should be meaningful and has a story behind in Nightmare before Christmas, predicted that the it. As Nikolajeva & Scott (2001: 228) mentioned wolves will rip the pig puppet. He quickly went that ‘intertextuality presupposes the reader’s active up and imitated the ripping gesture. Interestingly, participation in the decoding process’, we can there is no clue in the picture that the creature will safely assume Matt’s previous engagement with rip the pig puppet. Therefore, this prediction came such kind of game, as game can also be considered merely from his understanding of visual similarity as text. Furthermore, he mentioned that the red with the shadow play of claws in the movie’s coloured block within the TV reminded him of prelude. A case of vraisemblance, the anticipation fi re. With the clue from the book saying that it is a and identifi cation of what one expected to fi nd game, he found the explosion as the link between in a plot (Culler, 1975 in Wilkie-Stibb, 2005), those two. From the small scene reconstructed on can be seen here. An interesting point is that his mind, the explanation of the video game came occurrence of this vraisemblance was triggered by into existence. the similarity in style, not because the similarity Intertextual reference, as a part of past in plot. Both stories share the same genre, but the experience association, also played an important basic premises are different. The book is about role for the children to understand the multi- running away from home, while the movie is layered image style. In the spread where Lucy about stealing Christmas. Therefore, it raises the dreams about her pig puppet, Matt eagerly moved assumption that all storylines can be connected towards that spread, not paying attention to the one another, provided slight similarity to the reference before blending two or more completely verso of that opening. He pointed at the illustration different stories. of the wolves trying to eat the pig puppet. All of these instances prove that the narrative Matt : It’s a... it’s Nightmare before Christmas. It construction in the image of picturebook cannot looks like Nightmare before Christmas..... be separated from the intertextual reference. The R : Really? So, what do you think is arbitrary referential relationship between signifi er happening here? and signifi ed leaves gaps between images and Matt : It’s Nightmare before Christmas. I love meaning. The gap was then fi lled with reader’s that movie. WOOF! (imitating monster’s previous knowledge –experience, emotion, or walk) It’s Nightmare before Christmas. discourse– in the attempt of bringing sense and So.... So this is.... it’s like... this is a predict the meaning (Goodwin, 2009). In relation nightmare! to this, Hughes also argued that ‘very young reader enjoys seeing a world which is highly recognisable’ An interesting thing here is Matt’s deduction (1996: 74). Therefore, the children tried to put about nightmare happened before we read their previous knowledge into the story and the words in that spread. Without reading the making it their own. explanation and story of the pictures, he tried decoding the image through a reference to his Conclusion favorite movie. Surprisingly, a careful look on the The result of this study shows that children multi-styled picture, the one referred as Nightmare aged 5-6 years tend to pay more attention to the before Christmas by Matt indicates character’s small details in the image. The focus on these small imagination. His inference shows the construction details became important for them as the meaning- of understanding through the use of intertextual making was done in an inductive process, going reference. He didn’t utilize the clues in previous from the small things to a broader scope. They spreads about the meaning, but nevertheless came tend to fi nd an interesting, familiar, and expected in the same understanding. details in their sense fi rst (Arizpe & Style, 2003).

89 NurSudarkoLalanMariaChristianChrysogonusYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi , Siddha, Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. MalilangBakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalam,Minimax, HowTari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaChildrenMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaDecode GerejaTeater YogyakartaFilm Visual dan RendraGanjuran Opera 100 Narrative ABGJawa BaBu

These things then become a basis for them to Bearne, E. & Styles, M. (Eds.). Art, Narrative, develop the narrative and own explanation. This and Childhood. Trent: Trentham Book. familiarity and sense of involvement with the Bodmer, G. 2001. “How Picturebooks Work details enable them to anticipate and predict (Review)” in The Lion and the Unicorn. Vol. the plot through the existence of vraisemblance 25 (3), 444-448. (Culler, 1975 in Wilkie-Stibb, 2005) or their own Bromley, H. 1996. “Spying on Picture Book: personal experience (Bromley, 1996). Exploring Intertextuality with Young The inclusion of the familiar things into the Children” in V. Watson, & M. Styles (Eds.). story can also be seen as children’s strategy to own Talking Pictures: Pictorial Texts and Young the text and thus enable them to engage more. Readers. London: Hodder & Stoughton. The term of intertextuality here also refers to Doonan, J. 1992. “Close encounter of the pictorial broader scope of texts/discourses, as the children kind” in Children’s Literature. Vol. 20, 204- drew references from movies or discourses around their daily life. Nodelman’s (1988) and Kress & 210. van Leeuwen’s (1996) theory about colour and Evans, J. (Ed). 2009. Talking Beyond the Page: mood generation were not successfully verifi ed Reading and Responding to Picturebooks. due to different priority of children within this age London: Routledge Publishing range. This does not mean that their theories are Hughes, S. 1996. “Getting Into The Picture” wrong, yet they cannot be applied to children at In Watson, V. & Styles, M. (Eds.). Talking this age. Length of the story also posed a challenge Pictures: Pictorial Texts and Young Readers. for the children considering their attention span. London: Hodder & Stoughton However, this research managed to reveal various Gaiman, N. & McKean, D. 2003. The Wolves in children’s strategies to cope with such a complex the Walls. London: Bloomsbury and challenging text like The Wolves in The Walls, Kress, G. & van Leeuwen, T. 199). Reading Images: including creating a sense of familiarity, being The Grammar of Visual Design. London: playful with the images, and owning the story by Routledge Publishing. guessing and making up their own version of it. A better result of the research addressing the matter Lewis, D. 2001. Reading Contemporary Picture- might be achieved with older children, because books: Picturing Text. London: Routledge there is a possibility that their focus and awareness Publishing. might be different. Nel, P. 2001. “Inside picture book, Outside of history” in Children’s Literature. Vol. 29, 275 Bibliography -280. Agosto, D.E. 1999. “One and Inseparable: ______. 2002. “Reading Contemporary Interdependent Storytelling in Picture Picturebooks: Picturing Text” In Children’s Storybook” in Children’s Literature in Literature Association Quarterly. Vol. 27 (1), Education. Vol. 30 (4), 267-280. 57-58. Arizpe, E. & Styles, M. 2003. Children Reading Nikolajeva, M. & Scott, C. 2000. “The Dynamics Picture: Interpreting Visual Text. London: of Picturebook Communication” in Children’s Routledge Publishing. Literature in Education. Vol. 31 (4), 225-239. Ary, Donald J., Jacobs, Lucy J., & Razavieh, Ashgar. ______. C. 2001. How Picturebooks Works. 1999. Introduction to Research in Education New York: Garland Publishing. 6th Edition. New York: Holt, Rineheart, and Nodelman, P. 1988. Words About Pictures: The Winston, Inc. Narrative Arts of Children’s Picture Books. Bearne, E. & Watson, V. (Eds.). 2000. Where Texts London: Routledge Publishing. and Children Meet. London: Routledge. ______. 2000. “Inside Picture Books Beeck, N. 2003. “Mulberry Street Runs into Blis’: (Review)” in The Lion and the Unicorn. Vol. Slippery Intersection in Dr. Seuss’s Debut” in 24 (1), 150-156.

90 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

______. 2003. “How, but not What or Why” M. (Eds.). Talking Pictures: Pictorial Texts in Children’s Literature. Vol. 31, 192-200. and Young Readers. London: Hodder & Sipe, L.R. 2001. “Picturebooks as Aesthetic Stoughton Objects” in Literacy Teaching and Learning. Wesseling, E. 2004. “Visual Narrativity in the Vol. 6 (1), 23-42. Picture Book: Heinrich Hoffmann’s Der Spitz, E.H. 1999. Inside Picture Books. New York: Struwwelpeter” in Children’s Literature in Yale University Press Education. Vol. 35 (4), 319-345 Styles, M., Bearne, E., and Watson, V. (Eds.). Wilkie-Stibbs, C. “Intertextuality and the child After Alice: Exploring Children’s Literature. reader” in P. Hunt (Eds.), Understanding London: Cassell Children’s Literature (2nd ed.). Oxon: Routledge Styles, M. 1996. “Inside the Tunnel: A Radical Yin, R. K. 2003. Case Study Research: Design and Kind of Reading–Picture Books, Pupils, and Method. London: Sage Publication, Inc. Post-modernism” in Watson, V. & Styles,

91 NurSudarkoLalanMariaChristianChrysogonusYohanes RochmatSahid RamlanOktavia, Don RagamBudiman,, Konvensi-Konvensi , Siddha, Bosko PewarisanRosianaJaipongan: Sulukan dkk. MalilangBakok Dewi WayangTari RetorikGenre, , MusikTopeng dalam,Minimax, HowTari danKulit Inkulturasif DramaGenerasigayaChildrenMakna Purwa Uwek-Uwek, Dermayon dandalam KetingaGayaDecode GerejaTeater YogyakartaFilm Visual dan RendraGanjuran Opera 100 Narrative ABGJawa BaBu

92