bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

REPRESENTASI DALAM TIGA NOVEL

Yulianeta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI Korespondensi: Jln. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 Pos-el: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini didasari oleh fenomena bahwa ronggeng merupakan artefak budaya yang sangat populer dalam kehidupan masyarakat, terutama di Jawa. Tradisi ini pada awalnya merupakan bagian dari ritual yang sakral, akhirnya menjadi seni pertunjukan yang cenderung dipandang negatif. Dalam konteks sejarah, ronggeng yang pada konsep awalnya dipandang sebagai budaya sakral pada perkembangannya menjadi budaya profan. Resepsi terhadap ronggeng tidak hanya terlontar secara lisan, tetapi juga tertuang dalam tradisi tulis, yakni di dalam karya sastra yang bergenre prosa fiksi, yakni novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (2003), Ronggeng karya Dewi Lingga Sari (2007), dan Karti Kledek Ngrajek karya S.W. Warsito (2009). Hasil kajian ini memberikan gambaran bahwa sosok ronggeng yang direpresentasikan dalam ketiga novel tersebut beragam. Meskipun ada kesamaan, tetapi pengarang memiliki tingkat resepsi yang berbeda mengenai ronggeng. Hal itu menggambarkan perkembangan pemikiran masyarakat, ronggeng sebagai artefak kebudayaan daerah merupakan perwujudan dari kemampuan masyarakat setempat dalam menanggapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara aktif. Demikian pula apa yang direpresentasikan dalam ketiga novel tersebut tentang ronggeng merupakan cermin dari masyarakat yang melahirkannya. Kata-Kata Kunci: Novel, representasi, resepsi, ronggeng

Abstract

This paper is based on the phenomenon of dancer or “tayub” which is celebrated as a very popular cultural artifact in public life, particularly in . This tradition is originally part of a sacred ritual, which ultimately became a performing art, but tends to be viewed negatively. In a historical context, the dancer was originally seen based on cultural concept and evolves into culturally sacred profane. Negative reception of ronggeng is not only uttered orally but also embodied in the written tradition. It is found in the genre of literary fiction such as in Trilogy Ronggeng Dukuh Paruk written Ahmad Tohari (2003), Ronggeng works Dewi Lingga Sari (2007), and Karti Kledek Ngrajek by S.W. Warsito (2009) . The results of this study illustrate that the figure of dancer who is represented in Indonesian fiction are various. Although there are similarities, but the authors tend to have different reception levels regarding “ronggeng”. “Ronggeng” as cultural artifacts is the manifestation of the ability of local communities to respond and adapt to the environment actively. Similarly, what is represented in fiction about “ronggeng” is a mirror of the society where the work was born. Key Words: novel, representation, reception, ronggeng

79 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

PENDAHULUAN Kakawin Ghatotkacasraya maupun Ronggeng atau tayub adalah salah Kakawin Bharata Yudha. satu bentuk tari rakyat yang sangat Fenomena di atas menunjukkan populer. Ronggeng merupakan artefak bahwa ronggeng atau tayub sebagai tradisi budaya yang berkembang di seluruh sudah mengalami perkembangan karena Indonesia. Seni pertunjukan sejenis ini berbagai adaptasi atau menurut istilah dikenal dengan berbagai sebutan yaitu, Denys Lombard (2000) silang budaya, tayub, , lengger, taledhek, tandak baik dengan budaya daerah tertentu, dan sebagainya. Ronggeng Melayu maupun dengan pelaku budayanya. berkembang di Sumatra, Ronggeng Betawi Ronggeng atau tayub di dalam ilmu sastra, berkembang di , Bangreng khusus sastra lisan (folklor) dapat berkembang di Subang dan Sumedang, dikelompokkan sebagai folkor lisan, Jawa Barat. Gandrung dikenal di folklor setengah lisan dan folklor bukan Banyuwangi, , dan . Lengger lisan (Brunvand, 1968). dikenal di Purwokerto, Wonosobo, dan Menurut tradisi lisan kata tayub Magelang. Sementara itu sebutan taledhek, berasal dari keratabasa atau jarwodosok ledhek, kledek, joged, ronggeng, serta dari ditata cikben guyub, maksudnya tandak digunakan untuk menyebut penari tariannya diatur secara baik agar menjadi perempuan dalam pertunjukan tayub di kerukunan orang. Etimologi rakyat tersebut beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa tentu saja bertolak belakang dengan makna Timur, sedangkan di Jawa Barat disebut kata tayub dalam kamus. Misalnya di sindhen atau ronggeng. Bahkan menurut dalam kamus Baoesastra Djawa kata tayub Raffles (1965: 381) dasawarsa kedua abad diberi makna ”kasukan jejogedan nganggo ke-19 ronggeng terdapat di seluruh daerah dijogedi ing tledek” (Poerwadarminta, Jawa. 1939:586). Maksudnya bersuka ria menari Pertunjukan ronggeng atau tayub di bersama penari taledhek. Jawa merupakan tradisi yang sudah sangat Ronggeng atau tayub merupakan tua (Soedarsono, 1991; Narawati, 2003; fenomena budaya yang banyak disinggung Caturwati, 2008). Istilah tayub sudah dalam berbagai tulisan, Serat Centini dikenal pada masa Jawa Kuna, seperti yang (1818) karya sastra Jawa terkenal yang disebutkan dalam buku Old Javanese – berupa tembang dan Babad Mangir Jilid I, English Dictionary karya P.J, Zoetmulder serta tulisan-tulisan para pengamat asing dan S.O. Robson (1982) sebagai berikut. yang pernah mengamati kondisi budaya di Penggalan dari Kakawin Ghatotkacasraya Indonesia antara lain Thomas Stamford berbunyi “ ... tan hunine watek bini hajin Raffles dalam bukunya The History of panayub anapuk sasmita; penggalan Java (1965), Claire Holt dengan karyanya kalimat dari Kidung Wanbang Wideya berjudul Art in Indonesia: Continuitis and berbunyi “... aluwaran sri bupati, kuneng Change (1967), dan P.J. Zoetmulder dalam rahaden S. Malih anayub”; penggalan dari bukunya Old Javanese-English Dictionary Kakawin Arjuna Pralabda berbunyi “... (1982). sang angigel awusan mantuk ndan sang Tulisan-tulisan tersebut pada aulun malih anayub prasama linggih umumnya sebagian besar memaparkan mangko” (Zoetmulder dan S.O Robson, ronggeng sebagai perempuan penari 1982). Dalam penggalan kalimat-kalimat klangenan yang dikelilingi banyak laki- di atas, dijelaskan kata anayub atau nayub laki, dipuja, disanjung, atau dijadikan mirip dengan istilah tayub. Dengan patner tidak saja di arena pertunjukan tari, demikian dapat dikatakan istilah tayub tetapi juga di atas ranjang. Bahkan Raffles sudah muncul pada masa Jawa Kuna abad dalam bukunya The History of Java (1965: ke-12, seperti yang disebutkan dalam 381) menyatakan ronggeng tidak ada

80 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

bedanya dengan pelacur yang hanya dalam novel Indonesia yakni Trilogi memikirkan uang dan imbalan yang besar Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad serta perusak rumah tangga orang. Tohari (2003), Ronggeng karya Dewi Dari beberapa hasil tulisan di atas Linggasari (2007), dan Karti Kledek terlihat bahwa ronggeng atau tayub pada Ngrajek karya S.W. Warsito (2009). awalnya merupakan bagian dari tarian Representasi ronggeng dalam ketiga prosa dalam upacara keagamaan, berkembang fiksi tersebut menggambarkan menjadi tarian persembahan pada upacara perkembangan pemikiran masyarakat bedah bumi atau bersih desa, yakni upacara tentang tayub atau ronggeng. Karena itu, yang berkaitan dengan kesuburan atau dalam tulisan ini akan dibahas representasi persembahan kepada . Pada tahap ronggeng dalam ketiga novel tersenut berikutnya tayub menjadi tari hiburan yang dengan menggunakan teori sosiologi berkembang di keraton, sebagai bagian sastra. tradisi para priyayi. Tayub pun kemudian Teori sosiologi sastra sebagai tumbuh di luar keraton menjadi bagian dari suatu jenis pendekatan terhadap sastra upacara bedah bumi sekaligus tumbuh memiliki paradigma dengan asumsi dan menjadi hiburan tradisional rakyat di desa- implikasi epistemologis yang berbeda desa yang cenderung dipandang negatif daripada yang telah digariskan oleh teori karena disertai dengan minuman keras dan sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. tindakan yang tidak senonoh baik dari Tulisan -tulisan sosiologi sastra penari atau ronggeng maupun para menghasilkan pandangan bahwa karya sastra penayub. Namun tayub yang cenderung adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dipandang negatif, saat ini sudah mulai dan dengan demikian memiliki keterkaitan mendapatkan citra yang lebih baik sejak resiprokal (saling berbalasan) dengan adanya akademisi kesenian dan perhatian jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam pemerintah terhadap kesenian rakyat. masyarakat tersebut (Laurenson dan Tayub dikemas dalam berbagai bentuk tari Swingewood, 1972). dan berkembang di lingkungan yang lebih Sosiologi adalah ilmu pengetahuan luas. yang objek studinya berupa aktivitas sosial Resepsi negatif terhadap seni tayub manusia. Sementara itu, sastra adalah tidak hanya terlontar secara lisan, tetapi karya seni yang merupakan ekspresi juga tertuang dalam tradisi tulis. Hal ini kehidupan manusia. Dengan demikian, tampak pula dalam kajian Yulianeta (2013) meskipun antara karya sastra dengan yang memaparkan bahwa ronggeng atau sosiologi merupakan dua bidang yang tayub merupakan artefak budaya yang berbeda, tetapi keduanya saling berkaitan. sangat populer dalam kehidupan Sosiologi tidak hanya menghubungkan masyarakat, terutama di Jawa. Ronggeng manusia dengan lingkungan sosial yang pada konsep awalnya dipandang budayanya, tetapi juga dengan alam. Sastra sebagai budaya sakral pada merupakan suatu refleksi lingkungan perkembangannya menjadi budaya profan. budaya dan juga suatu teks dialektika Hal ini juga direpresentasikan dalam prosa antara pengarang, yaitu situasi sosial yang fiksi Indonesia. Ronggeng sebagai artefak membentuknya atau merupakan penjelasan kebudayaan tiada lain merupakan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan perwujudan dari kemampuan masyarakat dalam karya sastra (Eagleton, 2002). setempat dalam menanggapi dan Sastra menyajikan gambaran menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan, dan kehidupan itu sendiri secara aktif. sebagian besar terdiri dari kenyataan Selanjutnya dalam tulisan ini secara sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan khusus akan dibahas representasi ronggeng mencakup hubungan antarmasyarakat

81 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

dengan orang-orang, antarmanusia, Warsito (2009). Ketiga novel tersebut antarperistiwa yang terjadi dalam batin menggambarkan representasi ronggeng seseorang. Karena itu, memandang karya dalam prosa fiksi Indonesia. Dari uraian sastra sebagai penggambaran dunia dan singkat ini, analisis sosiologi sastra kehidupan manusia, kriteria utama yang berusaha memadukan masa silam dan masa dikenakan pada karya sastra adalah kini, dan berusaha menyusun kembali arti "kebenaran" penggambaran, atau yang historis tersebut dalam ”cakrawala hendak digambarkan. Akan tetapi, Wellek harapan” para pembaca prosa fiksi pada dan Warren (1990) mengingatkan bahwa waktu itu. Di samping itu, tulisan ini dapat karya sastra memang mengekspresikan menyusun kembali pandangan sosial kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap budaya masyarakat Jawa (khususnya) mengekspresikan selengkap-lengkapnya. terhadap representasi ronggeng yang hidup Hal ini disebabkan fenomena kehidupan dalam batin mereka. sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut terkadang tidak disengaja METODE dituliskan oleh pengarang, atau karena Penelitian sebagai kegiatan yang hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak sistematis dan terorganisir memerlukan pernah langsung mengungkapkan landasan kerja yang ilmiah, yang meliputi fenomena sosial, tetapi secara tidak tiga hal. Pertama, landasan teori yaitu langsung yang mungkin pengarangnya landasan yang berupa hasil perenungan sendiri tidak tahu. terdahulu terkait dengan masalah dalam Pengarang merupakan anggota penelitian dan bertujuan mencari jawaban yang hidup dan berhubungan dengan secara ilmiah. Kedua, landasan orang-orang yang berada di sekitarnya, metodologis yaitu landasan yang berupa maka dalam proses penciptaan karya sastra tata aturan kerja dalam penelitan dan seorang pengarang tidak terlepas dari bertujuan untuk membuktikan jawaban pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, teoretis yang dihasilkan. Ketiga, landasan karya sastra yang lahir di tengah-tengah kecendikiaan yaitu bekal kemampuan masyarakat merupakan hasil membaca, menganalisis, menginterpretasi, pengungkapan jiwa pengarang tentang dan menyimpulkan (Chamamah-Soeratno, kehidupan, peristiwa, serta pengalaman 2002:14-15). hidup yang telah dihayatinya. Meskipun Metode yang digunakan dalam demikian, sebuah karya sastra tidak pernah kajian ini adalah metode yang bersifat berangkat dari kekosongan sosial. Artinya deskriptif-kualitatif. Dinyatakan bersifat karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan deskriptif kualitatif karena pelaksanaan sosial masyarakat tertentu dan penelitian ini menggunakan beberapa konsep menceritakan kebudayaan-kebudayaan dan prinsip metodologis penelitian kualitatif yang melatarbelakanginya. (Bodgan & Biklen, 1982). Beberapa konsep Berangkat dari uraian tersebut, dan prinsip metodologis yang dimaksud, di pengertian sosiologi sastra dalam tulisan antaranya berupa konsep atau asas tentang ini adalah sebagai pendekatan dalam sumber data, pengumpulan data, dan teknik menganalisis karya sastra. Salah satu teori analisis data. Adapun penggunaan beberapa sastra yang dapat dijadikan tolak ukur konsep dan prinsip yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penerapan disesuaikan dengan keperluan penelitian. analisis sosiologi sastra terhadap ketiga Maksudnya konsep tersebut tidak diuraikan novel yang dikaji, yakni Trilogi Ronggeng tersendiri secara teoretis, tetapi diuraikan Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982), secara terpadu dengan masalah representasi Ronggeng karya Dewi Lingga Sari (2007), ronggeng dalam ketiga novel yang dikaji. dan Karti Kledek Ngrajek karya S.W.

82 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN dilekatkan dengan berbagai nilai yang 1. Representasi Ronggeng dalam Novel “memenjarakannya”. Ronggeng Dukuh Paruk, Ronggeng, Selain itu, agar layak menjadi dan Karti Kledek Ngrajek ronggeng Srintil harus melakukan upacara Representasi ronggeng dalam novel bukak klambu. Ritual tersebut merupakan Ronggeng Dukuh Paruk ditampilkan acara pelepasan keperawanan Srintil. melalui karakter Srintil. Ia sama sekali Lelaki yang akan mendapatkan tidak dideskripsikan sebagai perempuan keperawanan Srintil harus membayar yang cantik memesona. Srintil dipercayai sejumlah uang yang besarannya ditentukan masyarakat sebagai perempuan yang oleh dukun ronggeng. Keberadaan tradisi kemasukan roh sehingga dirinya demikian menunjukkan bahwa bisa menari sedemikian rupa tanpa adanya keperawanan perempuan ialah sesuatu yang mengajari. Karakter Srintil yang berharga. Tidak semua lelaki sanggup dikisahkan erat kaitannya dengan hal yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh sakral, seperti tampak dalam kutipan dukun ronggeng. Lelaki yang sanggup berikut memenuhi syarat tersebut ialah lelaki yang kaya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, keperawanan perempuan bisa dibeli seorang ronggeng sejati bukan hasil dengan uang. pengajaran. Bagaimanapun diajari, Srintil melakukan perlawanan seorang perawan tak bisa menjadi terhadap tradisi sebagai ronggeng. Srintil ronggeng kecuali roh indang telah menyerahkan keperawanannya pada Rasus, merasuk tubuhnya. Indang adalah lelaki yang dicintainya. Srintil tidak semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan (Tohari, 2003: 8). menceritakan hal tersebut pada siapa pun. Perlawanan Srintil dapat dipandang Keberadaan roh indang sebagai sebagai pemosisian Srintil sebagai subjek penentu apakah perawan tersebut bisa yang memiliki otoritas atas tubuhnya. menjadi ronggeng atau tidak menunjukkan Sebagai ronggeng, Srintil dipuja bahwa profesi seorang ronggeng tersebut oleh para istri lelaki yang menari erat kaitannya dengan hal yang sakral. Hal dengannya Bahkan para istri akan sangat yang sakral tersebut dikaitkan dengan senang jika Srintil mau melakukan adanya kepercayaan masyarakat. hubungan seksual dengan suaminya. Kepercayaan tersebut sama sekali tidak Kecemburuan para istri terhadap ronggeng dikaitkan dengan perolehan materi. Selain dalam masyarakat Dukuh Paruk tidak indang, terdapat aspek sakral lainnya yang pernah ada. Hal tersebut terjadi karena akan memperkuat daya magis pesona dalam masyarakat Dukuh Paruk, ronggeng Srintil. Aspek tersebut di antaranya adalah bukan saja berfungsi sebagai sosok yang pemanfaatan guna-guna, pekasih, susuk, sakral tetapi juga berfungsi sebagai dan pengaturan penyerahan Srintil pada penentu kejantanan lelaki (dilihat dari dukun ronggeng agar menjadi ronggeng birahinya). Berikut adalah kutipannya. yang laris. Menjadi ronggeng karena adanya indang menunjukkan bahwa peran Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan perempuan sebagai ronggeng bukan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah terlahir dengan sendirinya, tetapi dibentuk sebaliknya. Makin lama seorang suami oleh budaya yang ada di masyarakat bertayub dengan ronggeng, makin bangga tersebut. Identitas sebagai ronggeng pula istrinya. Perempuan semacam itu dibentuk sedemikian rupa agar sesuai puas karena diketahui umum bahwa dengan keinginan masyarakatnya. Dalam suaminya seorang lelaki jantan, baik konteks ini, tubuh perempuan tampak

83 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

dalam arti uangnya maupun birahinya Pursilah untuk hamil bagi setiap kunjungan (Tohari, 2003: 33). tamunya tidak pernah ada. Menjadi seorang ronggeng berarti Meskipun banyak yang memuja, memiliki tubuh yang sangat sensual. namun tetap ada pandangan masyarakat Seksualitas tersebut kemudian yang menganggap ronggeng sama dengan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga sundal. Masyarakat yang memiliki menjadi komoditas. Nyai mengatur pandangan demikian salah satunya adalah sedemikian rupa agar Pursilah tetap Rasus. Pandangan demikian memiliki pelanggan yang royal. Posisi dilatarbelakangi oleh intensitas aktivitas Nyai dalam kehidupan Pursilah menempati seksual yang dilakukan Srintil. Srintil posisi yang sangat penting. Nyai membuat sebagai ronggeng ditampilkan sebagai Pursilah berperilaku sedemikian rupa agar sosok yang dipuja sekaligus sosok yang sesuai dengan apa yang diinginkan lelaki. dilecehkan. Pursilah sebagai ronggeng ternama Keberadaan sosok laki-laki yang di satu sisi menjadi sosok yang dikagumi dicintai dalam kehidupan ronggeng acap karena kecantikan, kemolekan tubuh, dan kali digambarkan sebagai sosok pahlawan kepemilikan harta. Akan tetapi pada sisi yaitu sosok yang akan melepaskan lain, Pursilah pun menjadi sosok yang ronggeng dari kebiasannya bahkan ditakuti para istri. Para istri takut jika melepaskan ronggeng tersebut dari suaminya direbut oleh Pursilah. Meskipun profesinya. Dalam novel ini pun, sosok demikian, persaingan antarperempuan laki-laki diharapkan sebagai pahlawan. dalam novel ini tidak digambarkan terjadi Berbeda dengan laki-laki, sosok ronggeng antara Pursilah dengan perempuan desa. digambarkan sebagai perempuan yang Hal tersebut tidak terjadi karena pada akhirnya jenuh menjalani profesinya. perempuan desa tersebut memiliki suami Ia akan menginginkan menikah, memiliki yang tidak memiliki kesanggupan materi anak, dan membangun keluarga. Di akhir untuk dapat berhubungan seksual dengan cerita, Srintil menjadi gila. Srintil sebagai Pursilah. ronggeng dikisahkan terganggu psikisnya. Persaingan antarperempuan dalam Sementara sosok ronggeng dalam novel ini digambarkan melalui Pursilah novel Ronggeng karya Dewi Linggasari yang iri terhadap Sarinah, istri Pambudi. ditampilkan melalui Pursilah, seorang Sarinah dikisahkan sebagai kembang desa ronggeng yang laris dan memiliki daya yang sangat cantik. Sarinah tidak perlu pikat luar biasa. Untuk menjadi seorang menjadi ronggeng untuk memperoleh ronggeng Pursilah harus melakukan materi dan kasih sayang karena dirinya berbagai ritual dan mematuhi aturan-aturan diperistri oleh Pambudi, lelaki tampan dan menjauhi pantangan-pantangan. yang bekerja sebagai sinder di perkebunan. Pursilah memiliki “guru” seorang Rasa iri Pursilah, mengantarkan Pursilah perempuan. Pursilah memanggilnya melakukan berbagai cara agar Pambudi dengan sebutan “Nyai”. Karakter Nyai jatuh ke dalam pelukannya. inilah yang kemudian memberi tahu atau Pada kisah selanjutnya, Pursilah mengatur gerak-gerik Pursilah agar dideskripsikan sebagai perempuan yang Pursilah berhasil menjadi seorang setia pada Pambudi dan akan ronggeng. Nyai mengetahui dengan persis meninggalkan profesinya sebagai ronggeng bahwa profesi yang dijalani Pursilah sangat jika diperistri oleh Pambudi. Deskripsi rentan terhadap terjadinya pembuahan. demikian menunjukkan adanya isu Oleh karena itu, Nyai telah mendadah mengenai kesetiaan yang diusung dalam kandungan Pursilah sehingga kemungkinan novel ini, terutama kesetiaan dalam menjaga pernikahan.

84 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

Pernikahan dipersepsi sebagai agar tidak hamil. Kehamilan akan sesuatu yang harus dijaga oleh suami dan menghambat ronggeng dalam memperoleh istri. Pambudi sebagai laki-laki yang materi yang melimpah. Deskripsi demikian dikisahkan melakukan perselingkuhan menunjukkan adanya perbedaan antara dengan sang ronggeng, dikisahkan ronggeng pada tataran ritual dan praktis mengalami kemunduran dalam melakukan (sebagai pemuas hasrat seksual). Selain itu, pekerjaan bahkan dideskripsikan hal ini pun menunjukkan bahwa telah ada mengalami kecelakaan yang merenggut pergeseran mengenai ronggeng yang nyawanya karena perselingkuhan tersebut. dahulu dipandang sebagai sesuatu yang Sementara itu, Pursilah sebagai ronggeng sakral, kini dipandang sebagai sesuatu yang dicap sebagai perempuan sundal yang yang profan yang dalam pertunjukannya mengganggu kehidupan pernikahan. lebih mengetengahkan sensualitas dan Pursilah mengalami nasib tragis karena aktivitas seksual semata yang kadarnya terpaksa bunuh diri karena mengetahui diukur dari materi. Pambudi akan membunuhnya. Dalam novel Karti Kledek Ngrajek Nasib tragis juga dialaminya ketika Karya S.W. Warsito Karti merupakan rahimnya dimanipulasi. Pursilah harus nama karakter perempuan dalam novel ini. menjalani ritual pemijatan untuk Ia sangat ingin menjadi “kledek”. Kledek menghindari kehamilan. Ritual pemijatan yaitu sebutan bagi ronggeng dalam dilakukan agar Pursilah leluasa masyarakat desa Ngrajek. Karti melaksanakan perannya sebagai ronggeng dideskripsikan sebagai perempuan yang tanpa adanya hambatan karena dirinya sangat cantik dan memiliki daya pikat yang hamil. Kehamilan dipandang sebagai luar biasa. Daya pikat tersebut merupakan sesuatu yang mengancam atau modal utama bagi kledek. menghambat karena akan melibatkan Dalam novel ini dikisahkan perasaan dan menguras energi ronggeng. kehidupan Karti yang kemudian mampu Selain itu, sang ronggeng tentu akan menjadi kledek. Perjalanan hidup Karti kebingungan menentukan siapa ayah dari tersebut merepresentasikan kehidupan bayi yang dikandungnya karena ronggeng ronggeng. Untuk menjadi seorang kledek, melakukan aktivitas seksual dengan Karti harus memiliki daya tarik dan banyak laki-laki. kelebihan tersendiri. Daya tarik tersebut Dalam novel dikisahkan bahwa terletak pada wajah, tubuh, dan seksualitas ronggeng sering kali ditanggap dalam yang dimiliki Karti. Dengan demikian, acara yang berkaitan dengan kesuburan: Karti memiliki kelebihan jika bersih desa, panen, pernikahan, dan dibandingkan dengan ibu-ibu rumah sebagainya. Ronggeng pun dikisahkan tangga secara umum atau perempuan desa merupakan simbol kesuburan karena pada umumnya. Pengarang berupaya memiliki daya magis yang sensual. menunjukkan perbedaan yang sangat jauh Ronggeng diibaratkan sebagai bumi antara Karti dengan perempuan desa pada sedangkan lelaki yang dikenai sampur umumnya. Hal itu terletak pada daya pikat diibaratkan sebagai langit. Perpaduan yang kuat. keduanya dianggap membawa kesuburan, Karti yang sejak kecil memang sebagaimana hujan yang merupakan memiliki kecantikan dan tubuh yang indah pembawa kesuburan. dianggap memiliki daya pikat yang kuat Simbol kesuburan yang dilakukan sehingga banyak yang meramalkan Karti dalam ritus tampaknya berbanding terbalik akan menjadi kledek yang laris. Meskipun dengan kehidupan ronggeng yang demikian, Karti harus mengasah daya pikat dikisahkan dalam novel. Ronggeng justru tersebut agar dirinya dapat menjadi kledek dibuat sedemikian rupa agar tidak subur, yang laris. Seorang kledek yang laris

85 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

memiliki materi yang berlimpah. Menjadi rupa agar sesuai dengan apa yang kledek berarti sama pula dengan diinginkan laki-laki. mendapatkan peluang memperoleh Karti kemudian menjelma menjadi kehidupan yang lebih baik dan memiliki kledek yang memiliki daya pikat kuat lebih banyak pilihan dalam hidupnya. dideskripsikan memiliki kekuasaan. Ia Kebebasan yang dimiliki Karti dalam berkuasa untuk menentukan lelaki mana menentukan hidupnya diberikan karena yang akan dimasuki kehidupannya. ada harga yang harus dibayar. Ia harus Kekuasaan Karti sebagai kledek sangat menjadi perempuan ideal dalam benak ditentukan oleh daya pikatnya yang luar laki-laki masyarakat desa tersebut. Agar biasa. Daya pikat seksual tersebut dapat cantik dan menjadi kledek terkenal, Karti dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki harus menghafal berbagai mantra dan perempuan. Dalam konteks cerita ini, Karti melakukan berbagai ritual. Ia pun harus dapat memanfaatkan tubuhnya untuk patuh pada apa yang harus dilakukan dan memperoleh apa yang diinginkannya. Oleh pantangan yang tidak boleh dilakukan. sebab itu, dalam novel ini karakter Karti Dalam menjalankan ritual tersebut, Karti digambarkan sebagai objek fetish, yaitu dibimbing oleh seorang guru. Guru objek yang dipuja sekaligus dilecehkan tersebut ialah laki-laki. Hal menarik dalam karena dianggap memiliki kekuatan, novel ini adalah keberadaan seorang guru rangsangan, dan hasrat tertentu. laki-laki. Guru tersebutlah yang mengajari Dengan kemampuannya sebagai Karti menari padahal guru tersebut kledek, Karti mampu bangkit dari profesinya adalah sebagai tukang kemiskinan. Meskipun kecukupan materi dalam pagelaran kledek. Berikut adalah telah membuat status sosial Karti kutipan hal-hal yang harus dilakukan Karti meningkat, ia mengalami kekosongan agar dapat menjadi kledek. dalam jiwanya. Kekosongan jiwanya tersebut disebabkan oleh perbuatan orang Lik Sugimin menjelaskan panjang lebar tuanya yang dianggapnya tega tentang semua yang harus dilakukan oleh menyerahkan keperawanannya pada Lik seorang kledek agar laris dan menjadi Sugimin. Karti diceritakan tidak pernah terkenal, termasuk berbagai mantra dan melakukan hubungan seksual atas dasar ritual yang harus ditempuh, serta hal-hal yang harus dilakukan dan pantangan yang cinta. Hubungan seksual itu dilakukan tidak boleh dilakukan. Ia menuruti semua semata-mata untuk mendapatkan materi yang dikatakan Lik Sugimin. (Warsito, karena Karti ‘mati rasa’. Berdasarkan 2009: 74) deskripsi tersebut, tampak bahwa pengarang ingin menunjukkan isu Pada kutipan di atas, tampak bahwa keperawanan merupakan hal yang penting. keberadaan Lik Sugimin berperan penting Rasa bersalah karena dirinya tidak dalam pengorbitan Karti sebagai kledek. perawan dan menjalani profesi sebagai Dalam konteks ini, pengarang tampak kledek yang telah berhubungan seksual menunjukkan bahwa kecantikan dengan sejumlah lelaki, membuat Karti perempuan atau persepsi laki-laki terhadap merasa bersyukur ada lelaki yang mau perempuan sangat menentukan apakah menikah dengannya. Karti menyebut perempuan tersebut mampu menjadi apa Pranowo sebagai lelaki yang yang diinginkannya. Hal tersebut “menyelamatkan dan mengentasnya dari menunjukkan bahwa kecantikan lembah hitam yang penuh lumpur” perempuan itu tidak pernah lepas dari (Warsito, 2009: 166). Pernyataan Karti konteks sosial dan budaya. Kecantikan tersebut memang bertolak belakang perempuan itu dikonstruksi sedemikian karakter Karti yang digambarkan sejak

86 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

kecil bermimpi dan bercita-cita menjadi kledek. Novel yang ditulis berdasarkan kehidupan Deskripsi demikian, menunjukkan nyata, melalui tulisan panjang yang rumit bahwa Karti mengalami inferioritas diri. dan tidak mudah memperoleh pengakuan Sebagai perempuan yang “tampak sejujurnya, akhirnya berhasil menguak superior” karena memiliki banyak harta di apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan seorang kledek, meskipun mata perempuan dan masyarakat ternyata nama para tokohnya hanya rekaan penulis ia memiliki persepsi negatif terhadap diri belaka. (Warsito, 2009: v) dan profesi yang dicita-citakannya tersebut. Ia pun mendambakan pernikahan Pengarang berusaha sedemikian untuk sebagai bentuk perlawanan dirinya rupa sehingga pembaca diharapkan terhadap profesi yang dijalaninya. “memercayai” kisah yang ditulis pengarang adalah fakta, kebenaran yang 2. Pandangan Pengarang Berkaitan mutlak mengenai kehidupan kledek. dengan Konteks Sosial, Budaya, dan Pengarang pun berusaha menggiring Tradisi Ronggeng pembaca agar mempercayai bahwa Karya sastra tidak lahir dari fiksionalitas dalam novel ini hanya terletak kekosongan budaya. Oleh sebab itu, karya pada sistem penamaan karakter. sastra dapat dilihat sebagai dokumen sosio- Selain itu, pada halaman 56 s.d. 65 budaya yang mencatat kenyataan suatu terdapat syair berbahasa Jawa (gending) masyarakat pada suatu masa tertentu. dan makna syair yang dibawakan oleh Dokumen sosio-budaya tersebut tentu tidak kledek. Deskripsi demikian menegaskan lepas dari pandangan pengarangnya pengarang berusaha menunjukkan bahwa mengenai kehidupan atau lingkungan di yang ditulisnya tersebut adalah fakta. mana ia melahirkan karya sastra. Dalam novel ini pun terdapat foto-foto Pandangan pengarang yang berkaitan yang merupakan dokumentasi Humas dengan konteks sosial, budaya, dan tradisi Pemda Nganjuk mengenai prosesi yang dapat dilihat dari bagaimana pengarang dijalani kledek. Foto-foto tersebut menggunakan sudut pandang dalam terpampang jelas dari halaman 210 s.d. mengungkapkan cerita. 212. Oleh sebab itu, penggunaan sudut Dalam novel Karti Kledek Ngrajek, pandang orang ketiga sangat efektif pengarang menggunakan sudut pandang mendukung usaha pengarang untuk orang ketiga untuk mengungkapkan cerita. meyakinkan pembaca bahwa kisah yang Penggunaan sudut pandang orang ketiga ditulisnya ini adalah kisah nyata. memberikan kesan objektif. Hal ini terjadi Sama halnya dengan novel Karti karena narator menciptakan jarak antara Kledek Ngrajek, pengarang novel dirinya dengan karakter yang Ronggeng pun menggunakan sudut dikisahkannya. Dengan menggunakan pandang orang ketiga sebagai pencerita. sudut pandang orang ketiga, narator Perbedaannya, pengarang novel Ronggeng membangun kesan bahwa dirinya hanya tidak mengungkapkan secara eksplisit melaporkan saja peristiwa-peristiwa yang bahwa kisah yang ditulisnya adalah kisah dialami karakter dalam ceritanya. nyata seperti yang dilakukan oleh Pengarang berusaha menunjukkan pada pengarang novel Karti Kledek Ngrajek. pembaca bahwa kisah yang ditulisnya Meskipun demikian, penggunakan sudut merupakan kisah ‘nyata’, kisah yang pandang orang ketiga sangat ampuh dalam ditulis secara objektif. Pembaca tentu menunjukkan objektivitas kisah yang mengetahui hal ini karena dalam kata ditulisnya. pengantar yang ditulis oleh pengarang, Berbeda dengan pengarang novel dicantumkan hal berikut: Karti Kledek Ngrajek dan Ronggeng,

87 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

pengarang Ronggeng Dukuh Paruk Pursilah tidak dikisahkan sempat menggunakan sudut pandang orang kedua mengenyam pendidikan atau tidak. dan ketiga. Orang kedua tersebut ialah Kemudian Srintil tidak dikisahkan Rasus. Penggunaan sudut pandang ini pun mengenyam pendidikan. Karena tidak sama efisiennya untuk menunjukkan kesan dapat mengakses pendidikan yang tinggi, objektivitas kisah pada pembaca. para perempuan tersebut tidak memiliki Selain memanfaatkan sudut nilai tawar lebih terhadap kemampuan pandang sebagai fokalisasi dalam cerita, yang dimilikinya. Keterbatasan tersebut pengarang pun tampak memanfaatkan alur berbanding terbalik dengan kecantikan untuk menunjukkan objektivitas kisah. yang mereka miliki. Oleh sebab itu, Alur yang digunakan dalam ketiga novel kecantikan dan kemolekan tubuh tersebut adalah alur linier. Di dalamnya merupakan modal mereka untuk disusun secara sistematis setiap peristiwa memperoleh kehidupan yang lebih baik. secara kronologis. Novel Karti Kledek Setelah menjadi ronggeng, ketiga Ngrajek dan Ronggeng Dukuh Paruk perempuan dalam masing-masing novel diawali dengan kisah sang ronggeng dikisahkan menjadi perempuan yang semasa kecil, cita-citanya menjadi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya ronggeng, prosesi dan ritual yang harus dalam hal materi. Mereka pun dikisahkan dijalani agar menjadi ronggeng yang laris memiliki kekuasaan yang sebelumnya kemudian menjadi ronggeng yang laris, tidak mereka miliki. Tampak bahwa dan seterusnya. Sementara itu, kisah dalam pengarang beranggapan seorang Ronggeng diawali dari pertemuan Pursilah perempuan yang berasal dari kelas bawah dan Pambudi dalam acara pernikahan mampu meningkatkan status sosialnya jika Pambudi dengan Sarinah. Pursilah jatuh menjadi ronggeng. Modal yang dimiliki cinta, kemudian menjadi selingkuhan oleh Karti dan Pursilah ialah kecantikan, Pambudi, dan seterusnya. Penggunaan alur kemolekan tubuh, dan daya pikat yang linier efektif untuk menunjukkan kuat, sedangkan Ahmad Tohari objektivitas cerita. menunjukkan bahwa modal yang dimiliki Melalui sudut pandang demikian, ronggeng adalah adanya kekuatan gaib pengarang menghadirkan pada pembaca yang memilihnya, yaitu harus dihinggapi mengenai pandangannya yang berkaitan roh indang. dengan konteks sosial kehidupan Selain itu, pengarang pun ronggeng. Dalam Karti Kledek Ngrajek, mendeskripsikan adanya proses inisiasi. Ronggeng, dan Ronggeng Dukuh Paruk, Dalam proses inisiasi inilah pengarang sosok ronggeng dihadirkan berasal dari memunculkan pandangannya bahwa masyarakat kelas bawah. Karti dikisahkan ronggeng berakar pada sesuatu yang sebagai perempuan miskin yang terpukau sakral. Pengarang menunjukkan bahwa pada kehidupan ronggeng yang gemerlap. ronggeng merupakan hal yang penting Pursilah dikisahkan sebagai perempuan dalam kehidupan masyarakat desa yang miskin yang kehidupan perekonomiannya digambarkannya karena mengandung berubah total setelah menjadi ronggeng. dokumentasi budaya dan tradisi Srintil yang kehidupannya sangat miskin masyarakatnya. Deskripsi demikian, berubah menjadi dapat memenuhi terlihat jelas dalam novel Ronggeng Dukuh kebutuhannya setelah menjadi ronggeng. Paruk dan Karti Kledek Ngrajek. Dalam Para ronggeng tersebut lahir dari novel Ronggeng Dukuh Paruk, dikisahkan masyarakat desa yang miskin. Kemiskinan bahwa ronggeng berkaitan erat dengan begitu mendera sehingga mereka pun tidak kiblat kehidupan kebatinan masyarakat dapat mengenyam pendidikan yang tinggi. Dukuh Paruk yang berkaitan dengan Ki Karti dinarasikan hanya lulusan SD. Secamenggala. Tari ronggeng merupakan

88 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

tarian persembahan pada upacara bedah Ronggeng atau tayub merupakan bumi atau bersih desa yang ritual untuk persembahan demi kesuburan dipersembahkan pada Ki Secamenggala yang diyakini memiliki kekuatan magi- sebagai sosok yang diyakini sebagai simpatetis. Melalui upacara bersih desa, pelindung desa. Dalam novel Karti Kledek aparat desa mengajak warganya untuk Ngrajek pun sosok kledek erat kaitannya melakukan tarian di sawah-sawah dengan dengan upacara bedah bumi. Sosok kledek harapan tanaman menjadi subur dan digambarkan sebagai simbol kesuburan. terhindar dari hama dan mara bahaya. Sementara itu, dalam novel Ronggeng, Mengenai upacara kesuburan Highwater dikisahkan bahwa konon sosok ronggeng (1992:34) dalam tulisannya yang berjudul dalam sebuah pertunjukan selalu Dance: Ritual of Experience diibaratkan sebagai ibu pertiwi, adapun mengungkapkan bahwa tarian dapat laki-laki yang kejatuhan sampur menjadikan adanya keajaiban. merupakan perlambang hamparan langit. Pendapat tersebut ditegaskan Pertemuan antara langit dan bumi sebagai kembali oleh Soedarsono (1991: 35) bahwa ibu pertiwi berakibat pada kesuburan yang dalam budaya masayarakat agraris menimbulkan kemungkinan untuk kesuburan tanah merupakan satu-satunya meneruskan keturunan bagi umat manusia. harapan yang selalu didambakan oleh para Hal itu menunjukkan bagaimana petani. Mereka beranggapan bahwa ronggeng merupakan figur kosmis, yang kesuburan tanah juga perkawinan tidak dihubungkan dengan alam transenden hanya cukup dicapai lewat peningkatan melalui roh indang, karena itu memiliki sistem penanaman baru, tetapi juga perlu fungsi ritual. Fungsi demikian tampak diupayakan lewat kekuatan yang tak kasat dalam wisuda Srintil sebagai ronggeng di mata. Lebih lanjut Surur (2003:12) tanah pekuburan di depan makam Ki menyatakan acara ronggeng menjadi pusat Secamenggala, yang dalam tatanan budaya kekuatan penduduk desa seperti halnya desa tani sebagai bedah bumi untuk slametan, hajatan, atau bahkan menghadirkan kemakmuran. Hubungan sembahayang tahajud bagi kaum santri. demikian pada tari ronggeng secara magis Oleh karena itu, upacara kesuburan masih simpatetis bisa mempengaruhi kesuburan banyak digunakan masyarakat tertentu tanah. Namun, akhirnya ronggeng yang hingga kini. Hal ini menandakan pemujaan berfungsi ritual mengarah ke pertunjukan terhadap dewi padi, Dewi Sri di tanah Jawa sekuler. Sebagaimana yang ditunjukkan (Lombard, 2000: 82). Ahmad Tohari tentang bagaimana syarat Karena berasal dari sesuatu yang terakhir untuk menjadi ronggeng, yakni sakral, maka pengarang pun membedakan harus melalui upacara bukak klambu dan antara ronggeng dengan perempuan pada setelahnya ronggeng menjadi milik umum. umumnya. Ronggeng dideskripsikan bukan Dalam masyarakat tani Jawa, saja indah secara fisik sebagai perempuan upacara budaya suci memang bersifat yang cantik, bertubuh indah, dan memiliki fungsional terhadap proses kehidupan. Saat daya pikat yang kuat, tetapi juga menarik panen pelbagai perayaan diselenggarakan secara kasat mata. Untuk menguatkan daya perayaan diselenggarakan dan ronggeng pikat tersebut, para ronggeng harus melayani permintaan masyarakat. Dalam melakukan ritual tertentu. Pengarang upacara demikian gerak tari, tokoh menyebutkan ritual-ritual tersebut untuk taledhek atau ronggeng, dan minuman menunjukkan bahwa tradisi ronggeng keras yang memabukkan oleh Gertz (1976: memang berakar pada tradisi daerah 299) dianggap sebagai bagian dari tradisi tersebut. budaya kaum abangan. Dalam kisah selanjutnya, pengarang menunjukkan bahwa hal sakral

89 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

yang berkaitan dengan ronggeng telah yang menyebabkan hancurnya rumah mengalami perubahan. Pengarang tangga Sarinah dan Pambudi. menunjukkan bahwa pergelaran ronggeng Dalam ketiga novel yang dikaji dalam ketiga novel ini tidak dilakukan di ronggeng juga direpresentasikan sebagai keraton sebagai bagian dari tradisi para perempuan yang tidak subur. Karti, priyayi. Para ronggeng dalam ketiga novel Pursilah, dan Srintil tidak dapat hamil tersebut justru lahir dari tradisi masyarakat meskipun berhubungan seks dengan desa yang jauh dari keraton. Ronggeng banyak lelaki. Hal tersebut terjadi karena dalam ketiga novel justru tumbuh sebagai rahim mereka telah didedah sehingga tidak hiburan tradisional rakyat di desa-desa dapat dibuahi. Isu mengenai kesuburan ini yang tidak terlalu dikaitkan lagi dengan bertolak belakang dengan citra ronggeng fungsi sakralnya. Ronggeng cenderung sebagai simbol kesuburan dalam tradisi dipandang negatif karena lebih banyak masyarakat agraris masa lampau. dikisahkan aktivitas seksual yang Pemutarbalikan ini menunjukkan bahwa dilakukan ronggeng. Hal tersebut senada sosok ronggeng kini sudah tidak dengan apa yang dikemukakan Raffles merepresentasikan kesuburan seperti pada (1965: 381) dalam bukunya The History of tradisi masa lampau. Kini, tradisi ronggeng Java bahwa ronggeng tidak ada bedanya telah berubah ke arah yang berkaitan dengan pelacur yang hanya memikirkan dengan pertukaran materi. Sang ronggeng uang dan imbalan yang besar serta perusak mendapatkan imbalan sementara lelaki rumah tangga orang. yang berhubungan dengannya harus Pengarang beranggapan bahwa mengeluarkan imbalan. Jadi, hal sakral tradisi ronggeng yang dahulu dianggap tersebut sudah berubah ke arah konsumsi sakral kini telah berubah menjadi profan dan transaksi seksual. bahkan cenderung dipandang negatif Pandangan pengarang terhadap karena berkaitan dengan prostitusi. Karti ronggeng dapat dilihat dari bagaimana dalam Karti Kledek Ngrajek dikisahkan pengarang memberikan kisah akhir bagi sebagai ronggeng yang laris karena sibuk karakter yang diciptakannya. Karti di akhir melakukan aktivitas seksual dengan cerita dikisahkan sangat sedih karena tidak banyak lelaki yang memberinya imbalan bisa memiliki anak. Ia dikisahkan “taubat” limpahan materi. Pursilah dalam Ronggeng dengan cara naik haji, dan membangun pun dikisahkan demikian, sama halnya mesjid. Oleh sebab itu, karakter Karti tidak dengan Srintil dalam Ronggeng Dukuh digambarkan terlalu menderita. Deskripsi Paruk. demikian menegaskan pada pembaca Selain dipandang negatif karena bahwa pengarang menganggap bahwa mengandung unsur prostitusi, profil profesi sebagai kledek sangat dekat dengan ronggeng pun disajikan negatif karena ada maksiat oleh sebab itu, ia menghukum kecenderungan ronggeng diposisikan Karti dengan menjadikannya tidak sebagai perusak rumah tangga. Ronggeng memiliki anak. Pengarang menegaskan dikisahkan mau melakukan hubungan bahwa meskipun dosa Karti sangat banyak, seksual dengan siapa saja tanpa pandang ia akan dimaafkan karena bertaubat. Oleh bulu apakah lelaki tersebut sudah berumah sebab itu, kisah Karti diakhiri pengarang tangga atau belum. Karti dikisahkan dengan menyebutkan “Selanjutnya nama bersedia menjadi istri simpanan bagi Karti sudah tenggelam, tidak pernah banyak lelaki. Sama halnya dengan Karti, dibicarakan lagi” (Warsito, 2009: 209). Pursilah dikisahkan berusaha menjerat dan Dalam novel Ronggeng, Pursilah merebut Pambudi dari Sarinah, istrinya. sebagai ronggeng yang menghancurkan Selain itu, di akhir kisah Pursilah rumah tangga orang lain dikisahkan mati ditampilkan sebagai sosok perempuan dengan tragis. Pursilah memilih bunuh diri

90 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

karena mengetahui lelaki yang begitu besar hingga menyebabkan ronggeng yang dicintainya, Pambudi berencana dahulunya sakral menjadi profan. membunuhnya. Dengan demikian, dapat Ronggeng tidak lagi dikaitkan dengan dilihat bahwa pengarang tidak menyukai keilahian tetapi dikaitkan dengan citra ronggeng sebagai orang yang kebirahian. Oleh sebab itu, sosok Karti, mengganggu kehidupan rumah tangga Pursilah, dan Srintil ditampilkan begitu orang lain. Pengarang “menghukum” banyak menuai pujian sekaligus pula Pursilah dengan kematian yang tragis. cacian. Pandangan demikian sangat Sementara dalam novel Ronggeng bertalian erat dengan adanya persepsi Dukuh Paruk, Srintil dikisahkan menjadi masyarakat yang memposisikan gila. Pengarang menunjukkan bahwa perempuan sesuai dengan apa yang menjadi ronggeng tidaklah mudah. diinginkan laki-laki. Sementara itu, laki- Dibutuhkan berbagai pengorbanan laki acapkali ditampilkan sebagai meskipun pengorbanan tersebut tidak serta pahlawan yang dapat “menggangkat” merta membawa kebahagiaan. Tekanan kehidupan ronggeng dari lembah dari berbagai pihak mengenai ronggeng berlumpur ke kehidupan “normal”. dapat membuat ronggeng tersebut menjadi Kebutuhan sosok ronggeng terhadap laki- gila. Selain itu, pengarang pun laki yang dicintainya menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa untuk memahami ronggeng tersebut mengamini anggapan ronggeng dibutuhkan “logika tersendiri”. masyarakat bahwa ronggeng ialah liyan. Berdasarkan paparan di atas, dapat Pengarang berusaha menunjukkan disimpulkan bahwa pengarang berusaha bahwa kisah yang ditulisnya merupakan menunjukkan bahwa kisah yang ditulisnya fakta. Hal-hal yang berkaitan dengan merupakan fakta. Hal-hal yang berkaitan tradisi ronggeng pada masa lalu diamini dengan tradisi ronggeng pada masa lalu sebagai sesuatu yang pernah ada akan diamini sebagai sesuatu yang pernah ada tetapi telah bergeser sedemikian rupa akan tetapi telah bergeser sedemikian rupa sehingga hal yang dahulu sakral tersebut sehingga hal yang dahulu sakral tersebut berubah menjadi profan bahkan sekuler. berubah menjadi profan bahkan sekuler. Pengarang mengamini keberadaan Pengarang mengamini keberadaan ronggeng sebagai tradisi masyarakat tetapi ronggeng sebagai tradisi masyarakat tetapi mereka memilih mengakhiri kisah para mereka memilih mengakhiri kisah para ronggeng dengan kejadian menyedihkan ronggeng dengan kejadian menyedihkan bahkan tragis untuk menunjukkan adanya bahkan tragis untuk menunjukkan adanya persepsi negatif tentang ronggeng yang persepsi negatif tentang ronggeng yang memang berkembang di masyarakat. memang berkembang di masyarakat. Representasi ronggeng dalam ketiga novel tersebut menggambarkan SIMPULAN perkembangan pemikiran masyarakat Berdasarkan uraian di atas, dapat tentang ronggeng. Ronggeng sebagai disimpulkan bahwa sosok ronggeng dalam artefak kebudayaan daerah merupakan ketiga novel secara fisik dikisahkan perwujudan dari kemampuan masyarakat sebagai perempuan yang memiliki setempat dalam menanggapi dan kelebihan dibandingkan perempuan pada menyesuaikan diri dengan lingkungan umumnya. Karti, Pursilah, dan Srintil secara aktif. Demikian pula apa yang memiliki kecantikan luar biasa, tubuh yang direpresentasikan dalam ketiga novel indah, dan daya pikat yang luar biasa kuat. tersebut tentang ronggeng merupakan Keberadaan ronggeng lahir dari cermin dari masyarakat yang sesuatu yang sakral. Meskipun demikian, melahirkannya. nyatanya terdapat pergeseran yang amat

91 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

UCAPAN TERIMA KASIH Lombard. Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya. Buku 3. Jakarta: Penulis mengucapkan terima kasih Gramedia. kepada para kolega di Jurusan Pendidikan Laurenson, Diana dan Alan Swingewood. Bahasa dan Sastra FPBS UPI yang telah 1972. The Sociology of Literature. membantu dalam penulisan artikel ini. London: Granada Publishing Ucapan terima kasih juga penulis Limited. sampaikan kepada Jurnal Bahasa & Sastra Narawati, Tati. 2003. Wajah Tari Sunda atas pemuatan artikel penelitian tersebut. dari Masa ke Masa. Bandung: Pusat Tulisan dan Pengembangan PUSTAKA RUJUKAN Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia. Bodgan, R. C., & Biklen, S. 1982. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Qualitative Research for Djawa. Batavia: J.B. Wolters. Educations: An Introductions to Raffles, Thomas Stamford. 1965. The Theory and Methods. Boston: History of Java. Vol 1. London and Allyn and Bacon. New York: Oxford Uniersity Press. Brunvand, Jan Harold. 1968. The Study of Soedarsono, R.M. 1991. “Tayub di Akhir American Folklore: An Abad ke-20” dalam Soedarso, Sp., Introduction. New York: W.W. ed. Beberapa Catatan Tentang Norton & Company Inc. Perkembangan Kesenian Kita. Caturwati, Endang. 2008. Sinden Penari di Yogyakarta: BP ISI. Atas dan di Luar Panggung. Surur, Miftahus. 2003. “Perempuan Tayub: Bandung: Sunan Ambu Press. Nasibmu di Sana, Nasibmu di Sini” Chamamah-Soeratno, Siti dkk. 2002. dalam Srintil No. 2. Metodologi Tulisan Sastra (Ed. Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Jabrohim) Yogyakarta: Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Hanindita. Utama. Eagleton Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Warsito, S.W. 2009. Karti Kledek Sastra, Penerbit Sumbu: Yogyakarta. Ngrajek. Yogyakarta: Jaring Pena. Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Java. Chicago and London: The Teori Kesusastrtaan, terjemahan University of Chicago Press. Melani Budianta. Jakarta: Highwater, Jamake. 1992. Dance: Ritual of Gramedia Experience. Ed 3. New York: The Yulianeta. 2013. “Ronggeng: Cultural Native Land Foundation. Artifact and Its Representation in Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Indonesian’s Fiction”. Leksika: Perkembangan Seni Pertunjukan di Journal of Language, Literature, Indonesia. Terj. R.M. Soedarsono. and Language Teaching. Vol. 7 No. Bandung: MSPI. 1 – Februari 2013. Hlm. 40-49. Linggasari, Dewi. 2007. Ronggeng. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1982. Yogyakarta: Kunci Ilmu. Old Javanese-English Dictionary. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

92 bahasa & sastra, Vol. 14, No.1, April 2014

93