Laras Dan Rumpaka Dalam Garap Karawitan Jaipongan Jugala1

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Laras Dan Rumpaka Dalam Garap Karawitan Jaipongan Jugala1 Laras dan Rumpaka dalam 1 Garap Karawitan Jaipongan Jugala Ismet Ruchimat2, R. M. Soedarsono3, Timbul Haryono4, Tati Narawati.5 Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bulaksumur, Yogyakarta 55281 ABSTRACT This paper analyzes characteristic and musical identity of garap karawitan Jaipongan which is focused on the identity of laras and rumpaka. The identity of karawitan Jaipongan is a genre of today’s Sundanese karawitan which developes without any acculturation infl uence. Most verbal form of rumpaka on garap karawitan Jaipongan Jugala represents a dialogue or text that requires comprehension of the content. The characteristic of laras and rumpaka which are verbal and musical in garap karawitan Jaipongan show a multidimensional artistic expression. Keywords: characteristic, laras, rumpaka, Jaipongan, and jugala ABSTRAK Tulisan ini menguraikan ciri-ciri atau identitas musikal garap karawitan Jaipongan Ju- gala yang dititikberatkan pada identitas laras dan rumpaka. Identitas karawitan Jaipongan merupakan suatu genre karawitan Sunda kiwari yang berkembang tanpa pengaruh besar akulturasi. Bentuk verbal rumpaka pada garap karawitan Jaipongan Jugala sebagian besar merepresentasikan suatu pembicaraan atau teks yang menuntut pemahaman isi. Karakter- istik laras dan rumpaka yang bersifat verbal dan musikal dalam garap karawitan Jaipongan menunjukkan ekspresi artistik yang multidimensional. Kata kunci: karakteristik, laras, rumpaka, Jaipongan, dan jugala PENDAHULUAN substansi musikal yang menunjukkan iden- titas serta karakteristik garap masih belum Sebagaimana diketahui bahwa dari se- banyak dilakukan. kian banyak fenomena perkembangan aktiv- Dalam konvensi tradisi karawitan Sun- itas musikal dalam tradisi seni pertunjuk- da, biasanya para praktisi karawitan seba- an Jawa Barat, karawitan jaipongan Jugala gian besar mengidentifi kasi repertoar lagu merupakan salah satu genre seni pertunjukan didasarkan atas penampakan ciri-ciri musikal. yang hingga saat ini masih memberi peran Ciri-ciri tersebut dibentuk oleh konsensus sangat besar dalam perkembangan karawi- pada saat terjadi interaksi auditif termasuk tan Sunda, namun begitu kajian terhadap ciri-ciri musikal yang terdapat pada kara- Panggung Vol. 23 No. 4, Desember 2013 435 witan Jaipongan Jugala. Keser Bojong, Iring-iring Daun Puring, Seung- Sebagai salah satu identitas karya seni gah, Bulan Sapasi. yang berperan secara musikal (presentasi Laras dan surupan pada karawitan jai- estetis) (R.M. Soedarsono, 2002: 123), karawitan pongan Jugala juga membingkai suasana jaipongan mampu memberi ruh dalam meng- emosional tertentu, seperti pada bait ke- hidupkan tarian. Pada masyarakat karawitan 1 dan ke-2 dari lagu Sinden Beken terdapat tradisi Jawa, makna tersebut dikenal dengan ekspresi kegembiraan dan kebanggaan juru grupike joged (Rahayu Supanggah, 2002: 130). kawih yang ditampilkan dengan menggu- nakan laras dan surupan salendro. Kemudian Garap gending jaipongan Jugala pada awal- laras dan surupan (modulasi) berpindah pada nya mengacu pada konvensi karawitan tra- madenda pada saat rumpaka lagu menjelaskan disi kemudian bermetamorfosis menjadi sisi kekhawatiran yang disebabkan masih sebuah genre karawitan baru yang dibentuk terdapatnya pandangan stereotip terhadap oleh baton signal (Desmon Morris, 1977: 56- profesi juru kawih. Bait ke-3 dan ke-4 me- 63, periksa pula Tati Narawati, 2003: 117). nampilkan rumpaka sebagai berikut. Oleh karena itu selain berperan sebagai sa- rana dukung dan pemberi nafas pada tari Ngan sok sedih aduh seueur kapeurih sekaligus menyertakan sifat action. Lamun pareng aya anu leumpeuh yuni Mun direret sok seueur anu kapelet Tanpa kehadiran karawitan, tarian jaipong- Sok nuturkeun mahugi teu sieun rugi an sulit teridentifi kasi fungsi serta peran Sakapeung mah sinden jadi paneumbleuhan pertunjukannya. Hal ini disebabkan bahwa Heunteu kaop aya anu ngadeukeutan Pajarkeun teh kade bisi bebeakan ikon yang melekat pada genre pertunjukan Mun geus ledis osok menta pepegatan tersebut sangat ditentukan aspek musikal karawitan yang dua di antaranya terbentuk Contoh penggunaan laras dan surupan oleh laras dan rumpaka. madenda pada bait rumpaka tersebut dapat diidentikkan dengan makna ‘perlawanan’ serta penegas suasana emosional (hati) juru PEMBAHASAN kawih (pesinden). Dipertegas Rahayu Su- panggah menambahkan bahwa laras ber- Laras dan Surupan dalam Karawitan Jaipongan makna sesuatu yang (bersifat) ‘enak atau Laras dalam karawitan Jaipongan sebagai nikmat untuk dihayati’, bahkan dalam lan- parabot garap berperan penting dan besar jutan tulisannya Supanggah menjelaskan andilnya dalam memberikan karakter bah- hal sebagai berikut, kan identitas dan/atau gaya. Sebagian besar laras dan surupan yang digunakan pada ga- Sangat besar kemungkinannya bahwa kendablegan laras dalam karawitan Jawa rap gending jaipongan Jugala adalah salendro (pen. termasuk karawitan jaipongan) bu- dan madenda. Kedua istilah tersebut sebagian kan semata-mata karena laras hanya me- besar diaplikasikan pada perangkat gamelan miliki peran dan makna musikal saja, lebih dari itu, laras juga merupakan se- pengiring, rebab, serta vokal. Terdapat pula buah produk budaya yang terbentuk me- laras mataraman atau laras degung pada lagu lewati proses yang panjang serta dengan pertimbangan dan dilatarbelakangi oleh Waled, Sulanjana, Polostomo naek Tokecang, na- berbagai hal, termasuk pertimbangan mun jumlahnya sangat sedikit.6 maknawi, simbolis, dan fi losofi s dalam Praktik penggunaan laras dapat ditam- budaya masyarakat Jawa (2002:100) pilkan mandiri atau merupakan gabungan Identitas ‘laras ganda’ banyak dij umpai sekar gending. Penggunaan laras salendro le- pada lagu-lagu ciptaan Gugum Gumbira, bih banyak terdapat pada bentuk-bentuk in- yaitu lagu yang dinyanyikan dengan pirigan troduksi seperti intro pada lagu Daun Pulus gamelan salendro dengan melodi (vokal dan Ruchimat, dkk.: Laras dan Rumpaka 436 instrumen melodis, misalnya rebab) berlaras an jaipongan merupakan suatu kaidah teks madenda sehingga dua macam laras terde- yang selalu memberi ruang terbuka untuk ngar sekaligus. (Mariko Sasaki, 2007: 12). ditafsirkan pada beragam gending. Hasil analisis musikal dari contoh gen- Rumpaka lagu dalam jaipongan meskipun ding-gending jaipongan memperlihatkan bah- pada awal kemunculannya juga menampil- wa ‘laras ganda’ dalam garap gending jaipong- kan beragam penafsiran khalayak tentang an Jugala merupakan sebuah pengecualian ‘ekses seksual’ yang tersimbolkan8, namun dalam arti hanya berlaku pada saat sebuah sejalan dengan perkembangan musikal, lagu dipirig gamelan salendro. Kenyataan tafsir ‘kritis’ tersebut telah berkembang dicermati dari fenomena penggunaan laras dan dipahami lebih kreatif sejalan dengan dan surupan madenda yang didemonstrasi- perkembangan kreativitas karya Gugum kan pada waditra rebab pada sesi introduksi Gumbira. lagu Oray Welang. Rebab ataupun vokal meru- Andrew Weintraub menggunakan isti- pakan satu-satunya penanda laras dan surup- lah ‘tontonan ekses’ linguistik dan visual an karena sarana pirigan lagu hanya terdiri (2012: 129), untuk memberi patokan pe- dari tiga buah ketuk, satu buah kecrek, kempul, nilaiannya terhadap dangdut. Pada batasan goong, dan kendang. Umumnya kasus-kasus karawitan jaipongan, penulis berpendapat seperti ini banyak digunakan pada lagu ketuk bahwa yang terjadi pada karawitan jaipong- tilu, ronggeng gunung, serta topeng banjet. an merupakan suatu pertunjukan musikal Penggunaan laras dan surupan pada pi- yang menampilkan beragam aspek yang rigan jaipongan meskipun sering dipertun- terdiri dari aspek visual (action) pada saat jukkan malam hari, namun tidak pernah terjadi interaksi auditif, terutama pemain mengacu pada pembagian waktu sebagai kendang saat menafsirkan garap, aspek baha- tema untuk merepresentasikan tingkatan sa (rumpaka) yang menampilkan keragaman laras dan surupan. stratifi kasi sosial, serta aspek musikal yang secara keseluruhan memberikan ruang kon- sumtif pada khalayak dan para penari dalam Rumpaka dalam Karawitan Jaipongan Jugala ‘menentukan’ ekspresi mereka. Di samping menggambarkan beragam Rumpaka dalam karawitan jaipongan mem- makna yang merepresentasikan sebagian punyai tempat dan indentitas tersendiri saat ungkapan perjalanan kehidupan Gugum disertakan pada model pirigan. Berdasakan Gumbira, makna kesedihan, makna kegem- latar belakang historis, kemungkinan besar biraan, dan lain-lain, rumpaka-rumpaka lagu jenis-jenis rumpaka pada karawitan jaipongan jaipongan sekaligus mengingatkan pada juga merupakan jenis-jenis rumpaka kawih fi gur Undang Suwarna yang sangat produk- 7 igel-igelan. Meskipun rumpaka terkadang tif membantu ‘pencitraan’ lagu jaipongan Ju- tidak mempunyai hubungan tema dengan gala. Begitu pula keberadaan Euis Komariah pirigan gamelan. yang berperan ganda sebagai istri Gugum Karakteristik rumpaka pada karawitan Gumbira yang sekaligus berprofesi sebagai jaipongan lebih mencirikan sifat ekstrovert penembang/juru kawih. Euis Komariah pen- oleh karena pesan serta ungkapan dalam ting peranannya karena membantu ‘meme- rumpaka mencirikan sifat keterbukaan dan diasi komunikasi’ antara Gugum Gumbira cenderung tidak menampilkan kata-kata dengan para juru kawih pada saat proses yang bersifat metafor sebagai perlambang- penerapan rumpaka yang diciptakannya. an terhadap sesuatu yang bersifat luruh Hasil analisis rumpaka lagu-lagu jaipong- dan menunduk. Rumpaka dalam karawit- an Jugala menampilkan varian rumpaka Panggung Vol. 23 No. 4, Desember 2013 437 dengan ciri-ciri pembingkai lagu balarea oleh beberapa hal seperti berikut, (Iwan Natapraja, 2003:181),
Recommended publications
  • Analysis on Symbolism of Malang Mask Dance in Javanese Culture
    ANALYSIS ON SYMBOLISM OF MALANG MASK DANCE IN JAVANESE CULTURE Dwi Malinda (Corresponing Author) Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 365 182 51 E-mail: [email protected] Sujito Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 817 965 77 89 E-mail: [email protected] Maria Cholifa English Educational Department, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 345 040 04 E-mail: [email protected] ABSTRACT Malang Mask dance is an example of traditions in Java specially in Malang. It is interesting even to participate. This study has two significances for readers and students of language and literature faculty. Theoretically, the result of the study will give description about the meaning of symbols used in Malang Mask dance and useful information about cultural understanding, especially in Javanese culture. Key Terms: Study, Symbol, Term, Javanese, Malang Mask 82 In our every day life, we make a contact with culture. According to Soekanto (1990:188), culture is complex which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Culture are formed based on the local society and become a custom and tradition in the future. Culture is always related to language. This research is conducted in order to answer the following questions: What are the symbols of Malang Mask dance? What are meannings of those symbolism of Malang Mask dance? What causes of those symbolism used? What functions of those symbolism? REVIEW OF RELATED LITERATURE Language Language is defined as a means of communication in social life.
    [Show full text]
  • Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok
    Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok Madoka Fukuoka Graduate School of Human Sciences, Osaka University, Japan [email protected] ABSTRACT This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia. In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on his use of costumes and masks, and analysing two significant works: Dwimuka Jepindo as an example of comedic cross-gender expression and Dewi Sarak Jodag as an example of serious cross-gender expression. The findings indicate three overall approaches to crossing gender boundaries: (1) surpassing femininity naturally expressed by female dancers; (2) mastering and presenting female characters by female impersonators and cross-gender dancers; and (3) breaking down the framework of gender itself. Keywords: Didik Nini Thowok, cross-gender, dance, Java, Indonesia © Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2014 58 Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.13. 2014 INTRODUCTION This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia.1 In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on the human body's role and Didik's concept of cross-gender dance, which he has advocated since his intensive study of the subject in 2000. For the female impersonator dancer, the term "cross-gender" represents males who primarily perform female roles and explore the expression of stereotypical femininity. Through his artistic activity and unique approach, Didik has continued to express various types of femininity to deviate from stereotypical gender imagery.
    [Show full text]
  • Download Article
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 231 5th International Conference on Community Development (AMCA 2018) Ronggeng: Cultural Artifact and Its Representation in Indonesian Film Yulianeta Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Abstract. Ronggeng is a cultural artifact that is very in several regions of Central Java and East Java. The last, popular in the life of Indonesian people, especially in people in West Java call them sindhen or ronggeng. This Java. In a historical context, ronggeng which is on the art spreads almost in all regions of Java Island [3]. concept was originally viewed as a sacred culture in Ronggeng word comes from Javanese language, its development into a profane culture. The reception which means tandak or female dancers accompanied by of ronggeng is not only uttered orally, but also in gamelan (Javanese traditional orchestra). Referring to the literature and film. This study aims to describe definition, women become the key of the art. In the ronggeng as a cultural artifact and its representation Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-T, ronggeng is in the film Nyi Ronggeng (1969), Darah dan Mahkota classified into couple entertainment dances performed by Ronggeng (1983), and Sang Penari (2011). The a woman and a man. On its shows, a female ronggeng method used in this research is descriptive analysis dancer usually asks a male dancer by throwing her shawl method representation theory of Stuart Hall, to see to the man to go up to the stage and dance together with how the image of ronggeng is represented in three her [4]. Once the dance is finished, the male dancer films.
    [Show full text]
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • The Traditional Arts and Cultural Policy in Banyuwangi
    The Traditional Arts and Cultural Policy in Banyuwangi Novi Anoegrajekti1, Sudartomo Macaryus2, Ali Imron Al-Ma’ruf 3, Siti Gomo Attas4, Agustina Dewi Setyari5 , Zahratul Umniyyah6 {[email protected],[email protected],[email protected] om3,[email protected], [email protected], [email protected]} 1,5.6 Universitas Jember, Indonesia 2 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, Indonesia 3Universitas Muhammadiyah, Surakarta, Indonesia 4 Universitas Negeri Jakarta, Indonesia Abstract. Gandrung Traditional Art in Banyuwangi is placed as a cultural event. Nowadays, it is decreasing, because it is only a place for the State (bureaucracy), religion and markets to fight. For this reason, it is necessary to revitalize traditional arts through increasing the innovation of traditional arts based on locality. This paper discusses how the revitalization and dynamics of the Gandrung tradition of art in the midst of socio-cultural changes in Banyuwangi. Analysis with cultural studies approaches, this paper produces an in-depth description and understanding of various social and cultural forces in relation to the traditional arts of Gandrung in Banyuwangi. The model of locality-based innovation as a cultural policy produced is expected to support the development of Gandrung traditional art in Banyuwangi. Socialization, promotion, and marketing as well as utilizing cultural activities that take place in Banyuwangi, are packaged in the Banyuwangi Festival Calendar as a form of revitalizing traditional arts. Keywords: Beach Ball Investigation Group, Social Skill, Cooperative Learning, Model, Development, Speaking. 1. INTRODUCTION Speaking course Gandrung's art tradition rests and survives on the basis of the local values that it contains dealing with new demands that not only ensure modern rationality and propriety, but also involve survival in economic terms.
    [Show full text]
  • Glossary.Herbst.Bali.1928.Kebyar
    Bali 1928 – Volume I – Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu by Edward Herbst Glossary of Balinese Musical Terms Glossary angklung Four–tone gamelan most often associated with cremation rituals but also used for a wide range of ceremonies and to accompany dance. angsel Instrumental and dance phrasing break; climax, cadence. arja Dance opera dating from the turn of the 20th century and growing out of a combination of gambuh dance–drama and pupuh (sekar alit; tembang macapat) songs; accompanied by gamelan gaguntangan with suling ‘bamboo flute’, bamboo guntang in place of gong or kempur, and small kendang ‘drums’. babarongan Gamelan associated with barong dance–drama and Calonarang; close relative of palégongan. bapang Gong cycle or meter with 8 or 16 beats per gong (or kempur) phrased (G).P.t.P.G baris Martial dance performed by groups of men in ritual contexts; developed into a narrative dance–drama (baris melampahan) in the early 20th century and a solo tari lepas performed by boys or young men during the same period. barungan gdé Literally ‘large set of instruments’, but in fact referring to the expanded number of gangsa keys and réyong replacing trompong in gamelan gong kuna and kebyar. batél Cycle or meter with two ketukan beats (the most basic pulse) for each kempur or gong; the shortest of all phrase units. bilah Bronze, iron or bamboo key of a gamelan instrument. byar Root of ‘kebyar’; onomatopoetic term meaning krébék, both ‘thunderclap’ and ‘flash of lightning’ in Balinese, or kilat (Indonesian for ‘lightning’); also a sonority created by full gamelan sounding on the same scale tone (with secondary tones from the réyong); See p.
    [Show full text]
  • Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta
    Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta Sunday, November 11, 2018 7:00 P.M. Asia Society 725 Park Avenue at 70th Street New York City This program is approximately ninety minutes with no intermission In conjunction with a visit from Hamengkubuwono X, the Sultan of Yogyakarta in Indonesia, Asia Society hosts a performance by the court dancers and musicians of Yogyakarta. The Palace of Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat is the cultural heart of the city. From generation to generation, the Sultans of Yogyakarta are the traditional governors of the city and responsible for passing on art and culture heritage. The entire royal family is involved in preserving these art forms, and the troupe must perform with a member of the royal family present. The dances from Yogyakarta will be accompanied by gamelan music native to Java. Program Golek Menak Umarmaya Umarmadi Dance Masked Dance Fragment (Wayang Wong) “Klana Sewandana Gandrung” Bedhaya Sang Amurwabhumi About the forms: Golek Menak The golek menak is a contemporary example of the seminal influence exerted by the puppet theater on other Javanese performing arts. This dance was inspired by the stick–puppet theater (wayang golek), popular in the rural area of Yogyakarta. Using the three dimensional rod-puppets, it portrays episodes from a series of stories known as menak. Unlike the high-art wayang kulit (shadow puppets), it is a village entertainment, and it did not flourish at the court. As a dance drama, golek menak focuses on imitating this rod-puppet theater with amazing faithfulness. Human dancers realistically imitate the smallest details of puppet movement, right down to the stylized breathing of the puppets.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 01:14:48PM Via Free Access Wim Van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.Com09/26/2021 01:14:48PM Via Free Access
    PART FIVE THE ETHNIC MODERN Wim van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 01:14:48PM via free access Wim van Zanten - 9789004261778 Downloaded from Brill.com09/26/2021 01:14:48PM via free access <UN> <UN> CHAPTER ELEVEN MUSICAL ASPECTS OF POPULAR MUSIC AND POP SUNDA IN WEST JAVA Wim van Zanten Introduction: Sundanese Music and the Technology of Enchantment Research on popular music, particularly in the field of cultural studies, has tended to focus on political and sociological aspects, to the exclusion of musical structures and actual sounds. Whereas in most societies musi- cal genres are in the first place classified by social criteria, it is undeniable that also the technicalities of the music play a role: audiences hear the differences between, for instance, jaipongan and degung kawih perfor- mances. This is because these musics are produced in different ways, using different instruments, tone material, musical structure, etc. Alfred Gell made an important contribution to the anthropological study of art by pointing out that the production of art is a technological process. He mentions that there are ‘beautiful’ things, like beautiful women, beautiful horses and a beautiful sunset. However, art objects are made ‘beautiful’ by human beings and this requires technology. He criti- cizes sociologists like Pierre Bourdieu, who do not really look at an art object as a concrete product of human ingenuity, but only elaborately look at the represented symbolic meanings (Gell 1999:162). In contrast, Gell proposes that anthropologists should look at art as a ‘component of technology.’ We call something an object of art if it is the outcome of a technological process, the kind of processes in which artists are skilled.
    [Show full text]
  • Pementasan Tari Gandrung Dalam Tradisi Petik Laut Di Pantai Muncar, Desa Kedungrejo, Banyuwangi, Jawa Timur (Suatu Kajian Filosofis) Relin D.E
    MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017 p 41 - 55 P-ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407 Pementasan Tari Gandrung Dalam Tradisi Petik Laut Di Pantai Muncar, Desa Kedungrejo, Banyuwangi, Jawa Timur (Suatu Kajian Filosofis) Relin D.E Jurusan Teologi, Fakultas Brahma Widya, IHDN Denpasar E-mail: relin_denayu @yahoo.co.id Tari Gandrung merupakan kekayaan budaya lokal banyuwangi dan dijadikan maskot daerah Banyuwangi. Tari gandrung banyak dipentaskan diberbagai acara publik termasuk di dalam tradisi petik laut. Pementasan Tari Gandrung dalam tradisi petik laut memiliki makna tersendiri karena tradisi ini diyakini sebagai bentuk persembahan kepada Dewa Laut agar nelayan dianugrahkan ikan yang berlimpah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk Tari Gandrung dan makna filosofi Tari gandrung yang terkandung dalam tradisi Petik laut di pantai Muncar Banyuwangi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. dengan analisis deskriftip kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi (data-data sekunder). Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa Setiap peragaan Gandrung Banyuwangi selalu berpola jejer, paju dan seblang-seblang. Dalam pementasannya memasuki tiga babak yakni pertama jejer, gending terdiri dari lagu Padha Nonton yang terdiri dari delapan bait 32 baris setiap baitnya terbagi menjadi empat baris, baru kemudian dilanjutkan dengan gending Padha Nonton pada bait-bait berikutnya dengan gerak tari yang sesuai warna lagu yang dibawakan. Kemudian babak kedua disebut Paju gending yang dibawakan bebas sesuai permintaan yang akan ikut menari (maju gandrung) dan ketiga Seblang-seblang yang selalu diawali dengan gending atau lagu yang berjudul Seblang Lukito dan gending-gending lainnya. Pementasan tari gandrung dalam tradisi petik laut secara filosofis bila diamati dari lagu Padha nonton dengan syairnya berbentuk bebas dan pola yang berkembang ini merupakan gambaran filosofis hidup tentang manusia.
    [Show full text]
  • Webinar September 15, 2020
    Webinar September 15, 2020 Faculty of Arts and Design Education Universitas Pendidikan Indonesia The 3rd Strengthening Tolerance Through Arts and Design Education ATLANTIS the PRESS education university fpsd2020 Assalamua’alaikum Wr. Wb., Honorable Rector of Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dean of Faculty of Arts and Design Education, honorable speakers, participants, Ladies and Gentlemen, In this good opportunity, I‟m as a chief of the 3rd ICADE committees, would like to express my gratitude to Rector of UPI, Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A. and all vice Rectors; Dean of Faculty of Arts and Design Education, Dr. Zakarias S. Soeteja, M.Sn., and all vice deans and staffs; for all the assists, supports, participation and cooperation in carrying out this 3rd ICADE well. By the theme “Strengthening Tolerance through Arts and Design Education”, The 3rd ICADE aims to share and exchange knowledge and practices for academicians, educators, researchers, practitioners, graduate and post graduate students, and art entrepreneurs from different cultural backgrounds and nationality to worldwide present and exchange their recent knowledge, and latest research in fields of performing arts, arts education and the practices, as well as multidisciplinary arts field. This conference is also held as a media in establishing a partnership within art and design institutes, nationally and internationally. In this happy opportunity, the 3rd ICADE is attended by nearly 100 presenters, co-presenters and 200 participants from various countries such as Germany, Poland, Korea, USA, Mexico, Iran, and from different cities of Indonesia. The selected papers of this conference will then be published on Atlantis Press Publisher, and will be indexed by Web of Science, and Google Scholar.
    [Show full text]
  • Falidasi Data Lingkung Seni Se-Kecamatan Ujungberung Tahun 2014
    FALIDASI DATA LINGKUNG SENI SE-KECAMATAN UJUNGBERUNG TAHUN 2014 Tahun Tempat NO Nama Lingkung Seni Jenis Kesenian Pimpinan Alamat Perangkat Kesenian Anggota Legalisasi Berdiri Latihan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pasar Kaler RT.01 1 Pas Nada Elektone Ibu. Heny Organ, Kibord,Gitar, Kendang, Suling, 5 Orang Tidak Ada 2010 Rumah RW.01 Cigending RT.03 Gendang, Bedug, Goong, Terompet, Toa Ampli. 2 Sancang Pusaka Benjang Agus Sulaeman RW.03 Mixer, Badut, Kecrek, Kuda Lumping, Gendang, Goong, Bedug, Terompet, Kepang, 3 LS Benjang Kalimasada Benjang Gugun Gunawan Cipicung RT.04 RW.04 25 Orang Dalam Proses 2004 Rumah Lumping, Toa, Ampli,MixerBadut 4 Karinding Nukula Upit Supriatna Cipicung RT.01 RW.04 Karinding,Celempung,Toleot, Kecrex 15 Orang Tidak Ada 2011 Rumah Gendang, bedug, Goong, Terompet, Toa Ampli, Rumah ketua 5 Pusaka Gelar Putra Benjang Asep Dede Cinangka RT.02 RW.05 25 Orang Tidak Ada 2007 Barong, Badut, Kecrek RT Rumah ketua 6 Pusaka Wirahman Putra Penca Silat Enay Darso Cinangka RT.01 RW.05 Gendang Besar/Kecil, Golok (untuk atraksi) 25 Orang Tidak Ada 2010 RT Gendang, Rabab, Bonang, Goong, Kecrek, 7 Arum Gumelar Jaipongan I n d r a Cinangka RT.02 RW.05 30 Orang Tidak Ada 2006 Rumah Terompet 8 R e o g E m u l Cinangka RT.03 RW.05 Dog-dog, Goong, Gendang 9 Elektone Dangdut E m u l Cinangka RT.03 RW.05 Organ, Gendang Suling Gitar, Kecrex 7 Orang Tidak Ada 2010 Rumah Sakeburuy RT.01 RW 10 Dwi Shinta Rock Dangdut Dede Dadan Kibord, Gitar, Gendang, Suling, Kecrex 9 Orang Ada 1993 Gedung 06 Gendang, Goong, Bedug, Terompet, Toa, Ampli, 11 Pusaka Wargi Benjang Didi / Ono Ranca RT.01 RW.06 25 Orang Ada 1930 Hal.
    [Show full text]
  • Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana Dan Rias Srimpi Pandhelori Dalam
    Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 307 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo Program Studi Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Colombo No 1, Depok, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55281 Tlp. 087734147935, E-mail: [email protected] ABSTRACT This research was a descriptive qualitative research using a hermeneutic approach and was aimed at revealing the meaning of traditional symbols contained in Yogyakarta-style Srimpi Pandhelori dance costumes and makeup. The symbols in Srimpi Pandhelori costumes and makeup are the media that transform noble characters. It is closely related to the character building based on local genious. Therefore, this research is aimed at describing the symbols found in Srimpi Pandhelori dance as an absorption element of the noble character values. Every instrument in costumes and makeup represents local wisdom which is designed to be a medium of noble character education. The main data collection technique of the research was direct observation of Srimpi dance performances strengthened by records. The data were validated by using credibility techniques by doing 1). observation perseverance, 2). triangulation of methods and sources, 3). peer discussion, and 4). adequacy of references. The data analysis used in this research was a dialectical hermeneutics approach i.e. the approach where interpretation procedures to obtain meaning uses elements of analysis from Madisson called a normative method consisting of coherence, comprehensiveness, contextuality, penetration, and appropriateness. The results show that each instrument in costumes and make up of Srimpi Pandhelori dance pattern contains symbols.
    [Show full text]