<<

i

Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/ Bidang Ilmu : 618/ Sejarah

LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

DINAMIKA HISTORIS DESA-DESA GLOBAL DI : TANTANGAN DAN PELUANGNYA

Oleh : Dra. Sulanjari, M. A. Prof. Dr. phil. I Ketut Ardhana, M. A. Dra. Anak Agung Rai Wahyuni, M. Si. Fransiska Dewi, SS, M. Si.

Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor: 1444/UN.14/LT/SPK/2016, Tanggal 27 Juni 206

PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 2016 ii

iii

iv

KATA PENGANTAR

Melalui studi kepustakaan dan wawancara kegiatan penelitian ini akhirnya bisa diwujudkan sebagai suatu diskripsi analitis tentang Desa-desa global di Bali ,dengan gerak dinamisnya dalam mengantisipasi ekses pariwisata terkait dengan tantangan dan peluangnya. Seiring dengan perkembangan waktu yang diwarnai oleh dimensi sosial budaya dan ekonomis, maka desa Ubud dan Kuta sebagai representasi destinasi utama wisata di Bali ternyata memperlihatkan “ wajah “ yang serupa tapi tak sama. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan strategi dari kedua desa itu dalam merespon arus globalisasi di wilayahnya.

Untuk itu disampaikan ungkapan terimakasih kepada Rektor dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat Universitas Udayana , atas kepercayaan dan kesempatan yang diberikan kepada tim penulis untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. Penghargaan dan ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya serta Ketua Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya atas segala bantuan dan penyediaan fasilitas , sehingga proses kegiatan penelitian ini bisa terlaksana dengan lancar dan selamat. Tak lupa juga disampaikan rasa terimakasih kepada para nara sumber dan beberapa pihak yang telah banyak membantu kepada tim peneliti, sehingga tugas penelitian dan penulisan ini bisa diselesaikan.

Akhirnya disampaikan permohonan maaf atas segala kelemahan dan kesalahan yang tidak disadari dalam hasil karya ini. Dengan segenap harapan disampaikan semoga karya ini bisa memberikan kontribusinya walau sekecil apapun, bagi perkembangan ilmu budaya dan pariwisata di Bali.

Denpasar, November 2016

Penulis

v

ABSTRAK

Munculnya desa-desa global (global villages) di Bali sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, menurut tinggalan arkeologi dan kesejarahan adanya pengaruh luar itu dibuktikan dengan adanya bukti-bukti yang ditemukannya di bangunan-bangunan suci di Bali. Ini menunjukkan bagaimana budaya Hindu yang masuk ke Bali itu, juga menyambut pengaruh budaya lainnya yang datang di kemudian. Perkembangan ini tidak berhenti, di situ, bahkan mengalami perkembangan yang lebih pesat kemudian dengan adanya pengaruh pariwisata yang terjadi di Kuta di Kabupaten Badung dan Ubud yang ada di Kabupaten Gianyar. Muncul pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pertama: bagaimana kedua desa yang sama-sama merupakan destinasi wisata itu menunjukkan perbedaan dalam menerima pengaruh luar itu. Kedua, bagaimana masyarakat mengantisipasi pengaruh terbentuknya desa-desa global itu, Ketiga, bagaimana strategi dan kebijakan dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi sebagai akibat dinamika terbentuknya desa-desa global baik di masa kini, maupun di masa yang akan datang.

Kata kunci: desa global (global villages), wisata sejarah, Ubud dan Kuta.

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iv

ABSTRAK ...... v

DAFTAR ISI ...... vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...... 1

1.2. Rumusan Masalah ...... 4

1.3. Kerangka pemikiran ...... 4

1.4. Tujuan Kegiatan ...... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 7

BAB III METODE PENELITIAN ...... 9

3.1. Metode Penelitian ...... 9

3.2. Pengumpulan Data ...... 9

3.2.1. Metode Obserpasi ...... 9

3.2.2. Metode Wawancara ...... 9

3.2.3. Cara Analisis ...... 10

BAB IV DINAMIKA HISTORIS DESA-DESA GLOBAL DI BALI: TANTANGAN DAN PELUANGNYA ...... 4.1. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat Kuta dan Ubud ...... 11

4.2. Dinamika Inklusifitas Desa Kuta dan Ubud ...... 17

4.3. Terbentuknya Desa-Desa Global Di Bali: Ubud Dan Kuta, Dua “Wajah” Yang Berbed ...... 23

vii

4.3.1. Pentingnya Membandingkan antara Ubud dan Kuta ...... 23

4.3.2. Peran Orang Asing dalam Introduksi Kuta dan Ubud ...... 25

4.3.3. Ubud dan Kuta Sebagai Destinasi Wisata ...... 29

4.3.4. Desa Ubud dan Kuta dalam Transformasi Perubahan ...... 33

4.4. Desa Global di Kuta dan Ubud : Tantangan dan Peluangnya ...... 36

BAB V PENUTUP ...... 42

5.1. Simpulan ...... 42

5.2. Saran dan Rekomendasi ...... 44

Daftar Pustaka

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akhir tahun 2015 kehadiran Masyarakat Ekonomi Asean telah mulai dilaksanakan. Perkembangan ini sudah semakin dirasakan dengan adanya dampak yang semakin intens sebagaimana derasnya kehadiran arus informasi, barang, dan jasa yang berlangsung tidak hanya di tingkat internasional, namun nasional, dan lokal. Pemahaman akan dampak ini dapat dilihat semakin berkembangnya tentang apa yang dinamakan desa global atau (global village) yang sudah menampakkan bentuknya di beberapa desa di Bali. Desa global erat dikaitkan dengan konsep yang diintroduksi oleh Canadian-born Marshall McLuhan dalam bukunya yang berjudul The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media (1964). Djelaskan bagaimana McLuhan menggambarkan, bahwa pertama dunia (the globe) telah dikontraksi ke dalam sebuah desa dengan teknologi listrik, kedua adanya gerakan (instantaneous movement) mengenai informasi (information from every quarter to every point at the same time). https://en.wikipedia.org/wiki/Global_village_(term). pada umumnya dan Bali pada khususnya mengalami penglobalan dalam bidang informasi, ketika munculnya media sosial seperti internet pada pertengahan tahun 1990-an. Perkembangan media ini mempengaruhi dinamika industri pariwisata di Indonesia dalam hal ini di Bali. Melalui media sosial ini, wisatawan yang akan berkunjung ke suatu tempat kawasan wisata dapat berhubungan dengan kelompok lain di dunia media sosial. Ini berarti bahwa melalui media sosial ini wisatawan tidak perlu langsung datang ke lokasi wisata sebelumnya dari daerahnya yang jauh itu, melainkan hanya melalui telepon, internet, dan teknologi komunikasi. Dalam konteks ini desa global tidak terjadi di kota-kota saja, melainkan berlaku di pedesaan. Internet masuk kota dan desa merupakan salah satu wujud desa global di Indonesia. Contohnya adalah desa Ubud dan Desa Kuta, walaupun desa tersebut relatif jauh dari pusat kota-kota besar seperti Jakarta, tetapi penduduknya tetap bisa merasakan jasa telekomunikasi menggunakan

2 telepon. Bertitik tolak dari pemahaman tentang munculnya desa global yaitu melalui media komunikasi yang intens, akan tetapi pemahaman tentang kapan berakhirnya Desa global tidak dapat dipastikan, karena dinamika yang terjadi itu terus berkembang, baik dari segi konseptual maupun aplikasi. Ahli tentang desa global seperti Mcluhan tidak secara jelas menyatakan tanda- tanda keberakhiran desa global. https://id.wikipedia.org/wiki/Desa_global. Untuk penelitian ini akan difokuskan pada dua desa di Bali yaitu Ubud dan Kuta. Ubud merupakan desa yang berkembang terutama setelah munculnya kekuasaan Sukawati sebelum abad ke-19. Di Ubud tampak kekuasaan istana atau puri memainkan peranan penting yang mempertahankan tradisi budaya Bali dari dahulu hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat pada dinamika desa pekraman yang cukup kuat dalam menghadapi era globalisasi yang sedang berlangsung. Sementara Kuta dahulu, misalnya sebuah masyarakat pedesaan, yang kemudian diperkenalkan oleh Mads Johansen Lange berkembang menjadi pusat pelabuhan di Kerajaan Badung pada abak ke-19. Namun sekarang, secara lambat laun sudah menampakkan pengaruhnya globalnya, sehingga menjadi sebuah desa global. Demikian juga dengan Ubud yang sekitar tahun 1930-an diperkenalkan oleh Covarrubias, Bonnet, Kempers dan sebagainya terutama dalam bidang kerajinan melukis, sekarang sudah menampakkan pengaruhnya sebagai desa global. Akan tetapi, dari dinamika kesejarahan yang terjadi itu, tampaknya kedua desa yang merupakan pusat-pusat destinasi wisata di Bali, bahkan terkenal ke seluruh mancanegara itu, menunjukkan dampak yang cukup berbeda. Inilah pentingnya untuk mengkaji mengapa kedua desa ini mengalami perkembangan yang berbeda dan strategi serta kebijakan apa yang diperlukan untuk mengantisipasi, sehingga dua desa yang terkenal itu dengan karakteristik inklusifitas yang tinggi dapat mempertahankan tradisi budaya lokalnya dalam konteks proses globalisasi yang berlangsung cepat dewasa ini. Dilihat dari dinamika historis dapat dikatakan, bahwa terbentuknya desa global itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Ini dapat dilihat dari adanya dinamika perkembangan Hinduisasi dan Indianisasi yang terjadi di masa lalu yang telah memberikan kontribusi pada pemahaman konsep tentang budaya Hindu hingga terbentuknya budaya Bali sekarang ini (Lansing, 1983). Dari pengaruh ini dapat dilihat adanya perkembangan tradisi kerajaan dimana konsep kerajaan (kingship), struktur atau hierarkhi kekuasaan, dan pandangan tentang dunia masyarakat Bali pada saat itu sudah menunjukkan pengaruhnya. Di samping itu, banyak nilai kearifan lokal yang sudah dikembangkan seperti adanya konsep Tri Hita Karana, konsep

3 kerajaan (central political figure) dari pengaruh budaya Hindu dari India ini yang berlandaskan nilai-nilai kearifan (leadership) yang berbasiskan ajaran Asta Brata (Asta Brata lessons). Konsep ini memfokus pada nilai-nilai ksatria, kecerdasan, pemberani, bertanggung jawab, dan komitmen pada tanah air dan budaya bangsa yang sangat diperlukan dalam perkembangan masyarakat global dalam hal ini dikaitkan dengan perkembangan desa-desa global di Bali. Paling tidak dengan pemahaman tentang desa global ini, akan membantu kita dalam upaya menjejaki kembali peninggalan-peninggalan Bali Kuna, situs-situs yang ada di Bali, khususnya di Ubud di Kabupaten Gianyar pada saat itu yang membentuk pemahaman konsep dinamika masyarakat dan budaya Bali saat itu yang kaya dengan keragamanan budaya yang mengandung nilai-nilai adiluhung dan masih eksis hingga kini Hal tersebut masih berlanjut di Bali, hingga memasuki masa modern dn postmodern sekarang ini. Peninggalan-peninggalan sejarah Bali Kuna ini telah memberikan kontribusi besar dalam memperkaya lokalitas yang ada yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pendukung kebudayaan itu hingga sekarang. Ini terlihat dari banyaknya situs-situs yang dijadikan destinasi wisata lokal dan internasional tanpa mengubah peruntukannya sebagai tempat suci yang masih aktif dipraktekkan masyarakat sekitarnya (living monuments), sehingga langsung atau tidak memberikan sumbangan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya pada khususnya dan di Bali pada umumnya. Tidak hanya kebudayaan fisik (tangible culture), tetapi nilai-nilai kebudayaan yang bukan fisik seperti menyangkut pemahaman pemikiran atau ide (intangible culture) tampaknya mengandung nilai karakter yang berbobot yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Demikianlah misalnya perkembangan di desa Ubud dapat dilihat dengan berbagai dinamika yang berkembang di bidang seni dan budaya. Namun demikian, perkembangan yang terjadi di Kuta misalnya tampak mengalami perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan perkembangan yang ada di Ubud. Namun demikian, kedua desa itu baik Ubud dan Gianyar telah menunjukkan inklusivitas yang tinggi terhadap pengaruh budaya global sebagaimana yang dapat dilihat di desa global (Global Villages) di Ubud dan Kuta. Kedua desa global ini mempresentasikan fenomena yang terjadi di Bali dalam konteks perkembangan desa-desa global di Bali.

4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dirinci permasalahannya, yaitu sebagai berikut:

1. Mengapa Ubud dan Kuta penting diteliti dalam dinamika kebudayaan dan masyarakat Bali masa kini, dan yang akan datang terutama dengan memusatkan kajian padapertimbangan- pertimbangan kedua tempat ini sebagai desa-desa global?

2. Bagaimana maqsyarakat di kedua lokasi baik di Ubud dan Ubud memiliki karakteristik yang berbeda dalam kaitannya dengan masalah nilai perekat dalam konteks pembangunan dalam pengkayaan nilai-nilai kearifan lokal Bali dan memperkuat relasi sejarah yang ada sebelumnya?

3. Bagaimana makna nilai-nilai kearifan dari kedua desa utu, baik lokal, nasional dan universal dalam mempertebal nilai-nilai kenusantaraan yang dibangun sejak dahulu, masa kini, dan masa yang akan datang?

1.3 Kerangka Pemikiran 1.3.1. Ruang Lingkup Kegiatan Ada tiga kegiatan yang akan dilakukan, yaitu: 1. Melakukan penelitian lapangan, analisis, dan kajian terhadap desa-desa global di Bali 2. Melakukan diskusi yang mendalam dengan para narasumber yang dianggap memahami tentang perkembangan desa-desa global melalui Focus Group Discussion (FGD) sekitar 20 orang. 3. Menyelenggarakan seminar hasil untuk membahas desa-desa global di Bali.

1.3.2. Kerangka Teori Hingga saat ini pemahaman desa global dikaitkan dengan kemajuan teknologi komunikasi. Dalam konteks ini makna desa global dikaitkan dengan pengertian sebuah desa yang sangat besar. Tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas dalam konteks pemahaman

5 desa global ini. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat cepat, dengan menggunakan teknologi internet. Ahli desa global seperti Marshall McLuhan mengintroduksi konsep ini pada awal tahun 60-an dalam karyanya yang berjudul, Understanding Media: Extension of A Man. Diawali bahwa suatu saat di masa depan, informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Saat itu pemikiran McLuhan dianggap aneh dan radikal. McLuhan meramalkan pada saatnya nanti, manusia akan sangat tergantung pada teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi.

Desa Global (Global Village) adalah sebuah terminologi yang diperkenalkan oleh Marshal McLuhan untuk menggambarkan adanya interkoneksitas dari perkembangan dunia. Dalam hal ini konteks pemahaman desa global dikaitkan dengan pemahaman tentang dinamika penduduk dalam sebuah masyarakat. Selain itu, dalam konteks ini pemahaman tentang desa global ini dikaitkan dengan terjadinya transformasi dari masyarakat global ke arah suatu masyarakat dunia yang baru. Fenomena ini mempunyai dampak signifikan pada perkembangan masyarakat, ekonomi, hukum, kebudayaan dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang serius terhadap perkembangan ini dan diperlukan adanya kesadaran penuh dan bentuk kesiapan dari semua elemen dari sebuah masyarakat. Untuk konsep ini dapat dilihat pada program yang dilakukan oleh LIPI tahun 2015, yang berjudul Global Village: Peran Ilmu Sosial dan Kemanusiaan dalam Mempersiapkan Masyarakat untuk Merespons Global Village (The Role of Social Sciences and Humanities to Prepare Society Responding the Global Village). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

1.4. Tujuan Kegiatan 1.41.Tujuan Mengiventarisasi dan mendokumentasikan bukti-bukti adanya desa global di Bali. Mengidentifikasi tempat-tempat yang berkaitan dengan desa-desa global. Memaknai tinggalan- tingggalan arkeologi, historis dan sosiologis, dan antropologis tentang konsep desa global dalam kehidupan kekinian di Bali bagi pengembangan wisata sejarah.

1.4.2. Manfaat: Tiga sasaran utama dapat disampaikan seperti berikut ini.

6

Terkelolanya seluruh kekayaan, keragaman dan keunikan Pusaka Budaya tangible dan intangible yang tersebar di Ubud dan Kuta. Terakselerasinya rencana strategis pengembangan kawasan, perencanaan fisik, dan infrastruktur heritage dan program aksi Ubud dan Kuta sebagai desa global di Bali. Tercapainya sasaran fisik, ekologi, edukasi, ekonomi, teknologi searah dengan amanat UUD No 11, 2010 tentang Cagar Budaya yang mengedepankan keseimbangan, kelestarian dan kesejahteraan.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Konsep tentang desa global (Global Village) ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Ini dapat dilihat pula karya yang dilakukan oleh Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati yang berjudul, Ubud Desa Global: Kajian Perubahan Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali yang memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan pada konsep arsitektur tanpa menghilangkan makna dan akar-akar budaya Bali. Karya ini dianggap penting dalam upaya memahami perubahan yang berlangsung di Ubud, sebagai pembanding dalam melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Kuta yang muncul sebagai akibat perkembangan pariwisata di Bali. Sementara untuk gambaran umum tentang Ubud dapat dibaca: Richard Mann dan Maestro Nyoman Gunarsa, Ubud and Beyond (2008). Meskipun kedua desa ini yaitu Ubud dan Kuta diambil sebagai kajian, namun tampak adanya kesamaan-kesamaan di antara kedua desa itu, di samping melihat perbedaan- perbedaannya. Kesamaannya adalah adanya dinamika masyarakat dan budaya penduduk yang mendiami Bali sejak masa prasejarah, hingga modern telah membentuk karakter nilai budaya dan masyarakat Bali dewasa ini. Namun perbedaannya dapat dilihat pada bagaimana kedua penduduk Ubud dan Kuta merespons perkembangan yang terjadi di kedua desa itu. Oleh karena itu, kajian yang dilakukan oleh penelisi asing perlu juga dipergunakan. Terutama perkembangannya yang intens dapat dilihat pada tahun 1960-an sebagaimana dikemukakan oleh Raechelle Rubinstein (Editor), Linda Connor (eds.) yang berjudul, Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth Century, 1999. Honolulu: University of Hawai’i Press. Setelah era itu tampak banyak pengaruh yang berasal dari luar Bali tampak mewarnai dinamika sosial, budaya, politik, hukum, bahasa yang berperan penting dalam membentuk identitas Bali modern. Hingga sekarang, nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya tetap dilaksanakan sebagai bagian kebudayaan nasional yang dipertahankan serta dikembangkan menjadi asset sosial, budaya, hukum, politik, bahasa yang memiliki makna signifikan dalam kehidupan masyarakat di era global. Ini sangat penting dipahami bahwa kebudayaan Indonesia yang dicirikan nilai-nilai keanekaragaman budaya baik yang bersifat agama, etnis, bahasa, dan budaya sehingga dikatakan bersifat Bhineka Tunggal Ika, memperlihatkan adanya dinamika dan perubahan.

8

(Geriya, 2000: 2), menyebutkan bahwa secara teoritik, kondisi tersebut mencakup empat format kebudayaan yaitu: (1) format kokohnya kebudayaan tradisional yang terintegrasi secara harmoni dengan unsur-unsur modern; (2) kokohnya kebudayaan tradisional, tanpa teradopsinya secara berarti unsur-unsur modern; (3) lemahnya kebudayaan tradisional yang disertai makin kokohnya adopsi dan penggantian oleh unsur-unsur modern; (4) lemahnya kebudayaan tradisional, karena telah ditinggalkan oleh masyarakat disertai dengan belum mantapnya adaptasi masyarakat terhadap unsur-unsur modern, sehingga kehidupan masyarakat bersifat anomi. Dalam hal ini masyarakat Ubud di Kabupaten Gianyar dan masyarakat Kuta di Kabupaten Badung. Lebih jauh tentang masalah ini dapat dilihat karya Raechelle Rubinstein (Editor), Linda Connor (eds.) yang berjudul, Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth Century, 1999. Honolulu: University of Hawai’i Press.

9

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini memusatkan kajiannya pada masalah dinamika sejarah desa-desa global di Bali. Penelitian ini dilakukan di Desa Ubud dan Kuta. Kedua tempat ini dijadikan lokasi penelitian karena perkembangan kepariwisataan yang mulai menjamah kawasan ini setelah berkembangnya wilayah Ubud dan Kuta yang berdampak luas terhadap wilayah sekitarnya. 2. Batasan Penelitian Penelitian ini mencakup dua wilayah yaitu di Desa Ubud dan Kuta terutama yang dipusatkan. Penentuan Informan/Sampel 3. Metode Kepustakaan Metode ini dipilih karena mempunyai manfaat yang besar, mengingat dengan penggunaan metode ini dapat memberikan informasi serta konsep-konsep teoritis yang dapat berperan dalam membantu meluaskan wawasan tentang materi yang diteliti. Dengan metode ini akan diperoleh data sekunder sebagai pelengkap maupun sebagai data pembanding.

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1. Metode Observasi Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang terwujud sebagai serangkaian gejala dan peristiwa yang dapat diamati langsung di lapangan.

3.2.2. Metode Wawancara Penggunaan metode ini adalah untuk menjaring data sebanyak-banyaknya dan selengkap- lengkapnya melalui suatu proses interaksi di antara peneliti dengan informan. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terpimpin dan wawancara mendalam.

10

3.2.3.Cara Analisis Analisis ini dilakukan berdasarkan data-data dari informan yang diperoleh dari lapangan yaitu di Desa Ubud dan Desa Kuta. Selain itu, juga dikomparasikan dengan sumber-sumber yang diperoleh melalui perpustakaan dan buku-buku serta jurnal yang membahas masalah desa-desa global pada era modern dan post modern ini di Bali.

3.2.4. Output Kegiatan 1. Rumusan yang berisi simpulan dan rekomendasi 2. Laporan hasil penelitian 3. Buku tentang desa-desa global di Bali

11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN DINAMIKA HISTORIS DESA-DESA GLOBAL DI BALI: TANTANGAN DAN PELUANGNYA

4.1. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat Kuta dan Ubud

Desa Kuta yang terkenal dengan sebutan Pariwisata Pantai Kuta termasuk wilayah Kecamatan Kuta , Kabupaten Badung Provinsi Bali. Secara geografis wilayah yang terletak di bagian Barat Daya Bali ini memiliki luas sekitar 723 ha .Di sebelah Utara dibatasi Kelurahan Legian, di sebelah Selatan dibatasi Kelurahan Tuban, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pemogan, dan di sebelah Barat dibatasi oleh Samudra Indonesia (http://infoprovbali.blogspot.co.id/2010/02/kuta-badung-primadona-w.. :1 ). Daratan Kuta merupakan dataran rendah dengan ketinggian sekitar 2,5 meter dari permukaan laut. Desa adat Kuta terdiri dari 14 banjar, yakni : (1). Br. Pelasa, (2). Br. Temacun, (3). Br. Pemamoran, (4). Br. Pengabetan, (5). Br. Pering, (6). Br. Pande Mas, (7). Br. Jaba Jero, (8). Br. Buni, (9). Br. Tegal, (10). Br. Teba Sari, (11). Br. Anyar, (12). Br. Merta Jati, (13). Br. Segara dan (14). Br. Abianbase ( https://id.wikipedia.org/wiki/Kuta_Kuta_Badung ). Secara historis ( abad 19 ), Kuta merupakan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang, baik lewat jalur Barat maupun Timur menyesuaikan diri dengan musim. Pada masa kerajaan Badung, pelabuhan ini menjadi pusat transaksi antara pedagang pribumi dengan pedagang asing ( Eropa ), Bugis melalui pedagang Cina. Kondisi ini telah menempatkan pelabuhan Kuta pada posisinya yang sangat penting bagi pedagang asing,pribumi maupun daerah, seperti Bugis, Jawa dan Madura ( Henk Schulte Nordholt, 1980 : 3 ). Mengingat desa Kuta memiliki panjang pantai yang memadai, dan letaknya di tepi Selat Bali yang potensial dengan kekayaan berbagai jenis ikan, maka dengan sendirinya cukup banyak pula penduduk Kuta yang berprofesi sebagai nelayan, dan juga petani di bagian pedalaman ( jauh dari pantai ). Kala itu Kuta baik sebagai kota pelabuhan, maupun nelayan berfungsi sebagai penyangga perekonomian kerajaan Badung yang ramai dikunjungi pedagang dari luar Bali , yang terdiri dari berbagai etnis. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa masyarakat Kuta bersifat multi etnis yang terstruktur secara ekonomis ( perdagangan ), yang memiliki kepercayaan dan adat yang berbeda,

12 tetapi hidup damai secara berdampingan ( Selo Soemardjan, 1988 : 1 ). Jelaslah bahwa secara historis masyarakat Kuta terdiri dari berbagai etnis dan agama. Hal ini bisa dimengerti karena Kuta pada masa kerajaan Badung memiliki hubungan yang cukup intens dengan dunia luar. Orang Islam kebanyakan tinggal di wilayah pantai di bagian Timur, yakni Pedungan, Suwung dan Pulau Serangan dan di bagian wilayah pantai lainnya. Keanekaragaman masyarakat Kuta sejak dulu juga dipengaruhi oleh fungsi Kuta sebagai kota pelabuhan penting yang sangat ramai dunia luar, sehingga hal ini sangat berpengaruh bagi terjadinya migrasi masyarakat di luar Bali ke Kuta. Secara garis besar, migrasi dimaksudkan sebagai perubahan tempat tinggal secara permanen, tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yakni apakah tindakan itu bersifat sukarela atau terpaksa, serta tidak ada pembedaan antara perpindahan dalam negeri atau keluar negeri ( Evert Lee, 1980 : 5 ). Intinya adalah bahwa migrsi disini diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah/negara ke daerah /negara lain. Para migran berasal dari Jawa, Bugis, Makasar,NTT, Madura. Beragamnya etnis, berarti bervarian pula agamanya, yakni Hindu, Kristen, Islam dan Budha. Mereka datang ke wilayah ini pada umumnya bermotifkan sosial ekonomi, seperti terjadinya kontak-kontak dagang antara orang Bugis dengan orang Bali ( Wirawan dan Arigalung, 1979 : 3 ). Pada masa pemerintahan Kolonial , potensi Kuta itu kemudian dikembangkan sebagai daerah wisata melalui antara lain pembangunan bandara Ngurah Rai dan hotel di tepi pantai pada tahun 1933, serta pengelolan keunikan adat budaya Bali yang bernafaskan Agama Hindu ( H.J.Hoekstra, tanpa tahun : 15-16 ). Potensi itu diharapkan akan menjadi aset untuk memperoleh keuntungan,sehingga pariwisata ditetapkan sebagai prioritas. Hal ini bisa dimengerti karena pulau Bali yang kecil tidak seproduktif Jawa atau Sumatra yang kaya akan bahan tambang. Rintisan lapangan udara itu memberi pengaruh terhdap perhubungan Bali dengan daerah lain. Pada gilirannya hal ini menjadi titik awal dari perkembangan kawasan Kuta sebagai daerah wisata Indonesia,apalagi dengan pembukaan bandara Ngurah Rai pada tahun 1969 sebagai bandara internasional. Kondisi ini telah memberikan pengaruhnya bagi terjadinya diversifikasi mata pencaharian atau pekerjaan bagi masyarakat Kuta. Hal ini terjadi karena orang asing mulai banyak mengunjungi Bali untuk menikmati keaslian dan keunikan budaya Bali. Kondisi itu telah mendorong seorang dari Amerika Ketut Tantri mendirikan hotel pada tahun 1933 di tepi pantai Kuta, ―Swara Segara‖ yang berarti suara ombak. Wisatawan yang datang ke Kuta dan menginap

13 di hotel itu , dapat menikmati deburan ombak dan indahnya sun set saat matahari tenggelam di pantai. Masyarakat Kuta yang jadi nelayan atau bertani,berangsur-angsur merespon kedatangan wisatawan semakin bertambah, seperti beralih pekerjaan sebagai pegawai hotel, wirausaha eabagai mebuka toko souvenir, membuka restauran, dan yang lain yang sifatnya menunjang lepentingan pengembangan fasilitas pariwisata. Dengan demikian Kuta berubah dari daerah tempat nelayan dan petani menjadi daerah tempat wisata dan pengusha industri pariwisata. Masyarakat yang dulu hidup dengan sederhana dengan tanahnya yang tidak bisa dikelola, dengan terjadinya pengembangan pariwisata lahan mereka bisa difungsikan sebagai lahan yang produktif, yakni dibangun sebagai homestay, villa dan sekaligus pemilik lahan juga berubah mata pencaharian sebagai pengusaha jenis rumah penginapan yang terkait erat dengan dunia pariwisata. Selain itu ada yang membuka kios untuk menjual barang-barang kerajinan atau souvenir. Ada pula yang bekerja di hotel atau kegiatan lain yang sifatnya melayani tamu atau wisatawan. Bali yang sejak tahun 1970 an dibanjiri oleh derasnya arus pariwisata menjadi daerah terbuka bagi pengaruh dari luar. Pariwisata mengkomoditaskan budaya,dan menjadikan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan darinya. Perkembangan industri pariwisata pada gilirannya mendorong pekerja migran masuk ke Bali, termasuk ke Kuta. Hal ini berpengaruh bagi intensitas kemajemukan masyarakat di Kuta.Nilai-nilai sosial politik dan ekonomis yang baru berhadapan dengan budaya Bali yang berintikan pada agama Hindu , dan bertopang pada desa adat. Masyarakat Kuta sama seperti masyarakat Bali pada umumnya yang menerima pengaruh luar yang dikemas dalam modernitas nilai, sambil berusaha melindungi tradisinya digambarkan oleh Henk Schulte Nordholt menjadi benteng terbuka ( Nordholt, 2010 ). Selain etnis Bali ( Hindu ), Bugis ( Islam ), dan Jawa ( Islam ), terdapat pula orang-orang Sumba dan Flores ( Kristen ) serta orang Cina. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa bentuk kehidupan masyarakat Kuta sebelum masuknya pariwisata adalah sebagai nelayan dan petani. Hal ini disebabkan oleh geografis daerahnya yang merupakan daerah pantai yang membentang di bagian Barat wilayah Kuta. Sementara di bagian Timur cukup banyak tanah sawah dan tegalan yang subur. Sistem pola tanamnya dilakukan pada bulan Desember/Januari dan Juni, dengan tanaman sela adalah palawija ( kedelai, kacang tanah dan jagung ). Untuk mengerjakan tanahnya petani membentuk seka, yakni seka nandur, jukutan dan nanyi. Dengan adanya perkembangan pariwisata, telah

14 mendesak keberadaan seka, karena masyarakatnya banyak mengalihkan usahanya di bidang industri pariwisata, seperti buka kios, pedagang acung, pegawai hotel, penjaga pantai, pelayanan olahraga pantai . Berbicara tentang salah atu aspek budaya yang dulu pernah santer terdengar tentang istilah kasepekan yang sempat ramai dibicarakan masyarakat Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sejak masuknya pariwisata sebagai nilai baru yang merepresentasikan ide-ide modern dari dunia yang mengglobal, telah menggeser nilai-nilai tradisional lokal yang sebelumnya merupakan sendi –sendi yang menopang pelaksanaan kehidupan sosial ekonomi di desa Kuta. Desa Ubud, sebelum terjadi sentuhan pariwisata sebagai ekses globalisasi dunia, merupakan desa tradisional yang menghidupi diri dengan hasil pertanian/ sawah, yang diselingi dengan tanaman jagung, kedelai dan singkong. Wajah desa Ubud menampilkan panorama indah nan alami, yakni hamparan sawah menghijau diapit jurang dan sungai. Disamping memiliki alam yang indah, wilayah ini juga merupakan sebuah desa yang kaya dengan warisan sejarah para seniman besar, terutama pelukis terkenal serta memiliki daya tarik kehidupan sosial masyarakat setempat ( http://hotel.balirevieuw.wordpress.com/2013/berburu-lukisan-di-desa-penestanan/). Secara geografis Desa Ubud terdiri dari dua karakteristik daerah, yakni:daerah yang topografinya relatif datar, dan daerah yang topografinya berupa tebing sungai . Sebagian wilayah Desa Ubud terletak di perlintasan jalan raya yang menghubungkan wilayah dari dan ke Desa Ubud, sedang sebagian lainnya terletak di jalan lingkungan yang menghubungkan wilayah banjar satu dengan yang lainnya. Ubud adalah sebuh desa kelurahan yang membawahi 13 banjar dinas yang terdiri dari 6 desa adat, termasuk kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Banjar-banjar dinas itu adalah: Banjar Bentuyung, Banjar Bentuyung, Banjar Tegallantang, Banjar Tamankaja, Banjar Taman Kelod, Banjar Padang Tegal Kaja, Banjar Padang Tegal Tengah, Banjar Padang Tegal Sari, Banjar Padang Tegal Kelod, Banjar Sambahan, Banjar Ubud Kaja, Banjar Ubud Tengah dan Banjar Ubud Kelod. Ketigabelas banjar tersebut berpeluang mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sektor usaha. Karena kondisi geografis masing-masing banjar berbeda, maka keterlibatan anggota banjar untuk pengembangan pariwisata juga tidak sama. Di daerah yang memiliki potensi alam yang indah, cenderung mengembangkan usaha rumah penginapan, sedang daerah yang berada di jalur atau berdekatan dengan jalur lalu lintas yang mudah dicapai cenderung mengembangkan usaha seperti toko barang-barang kerajinan, restauran, cuci cetak film ( Tjok

15

Oka Artha Ardhana Sukawati, 2014 : 29-30 ). Dengan jarak 20 km dari kota , Ubud dapatdicapai dalam waktu kurang lebih 30 menit dari kota Gianyar. Dengan ketinggian sekitar 300 mdi atas permukaan laut, Ubud memiliki udara lebih sejuk dari daerah lainnya yang letaknya berdekatan. Dengan lingkungan yang masih alami desa Ubud merupakan sumber inspirasi bagi para seniman termasuk seniman luar negeri ( Eropa ) baik yang tradisional maupun kontemporeryang terkenal, seperti: Antonio Blanco, Arie Smith, Bonet . Wilayah ini menjadi tempat yang cocok untuk belajar berbagai seni Bali seperti melukis,mengukir dan menari karena Ubud dikenal sebagai tempat dimana seni dan budaya Bali terjaga dengan baik. Kekayaan akan sejarah,seni dan budaya menjadikan wilayah ini banyak menghasilkan wujud karya budaya yang indah dan unik. Oleh karenanya di Ubud banyak terdapat galeri-galeri seni, lukisan dan pahatan patung yang eksotik sambil menyaksikan prosesi adat yang menampilkan para wanita dengan pakaian adat yang indah berjalan menuju pura sambil menyungsung banten buah-buahan di kepalanya. Sekitar tahun 1920, dua orang pelukis Eropa ( Rudolf Bonnet dan Walter Spies)telah memperkenalkan teknis aestetika Eropa di bidang pencahayaan, bayangan, perspektif dan anatomi. Sementara pelukis lokal tetap megambil tema tradisional sehingga mampu memberi identitas tersendiri dengan nama style ubud. Dengan demikian monumen sejarah dan budaya Ubud menjadi living heritage. Mengenai komposisi penduduk Ubud termasuk heterogen, yakni Bali sebagai mayoritas, Sulawesi, Madura dan Jawa dengan agama Hindu sebagai mayoritas, Budha, Islam dan Kristen . Sebagai wilayah yang penduduknya berbasis pada bidang pertanian, walaupun mata pencaharian penduduk terutama terpusat pada kegiatan yang menunjang kebutuhan wisatawan, khususnya perajin dan ketrampilan lainnya tetapi bidang pertanian tetap menjadi pusat kegiatan yang tidak pernah ditinggalkan. Bahkan kegiatan pertanian/ sawah dikombinasikan sedemikan rupa dengan kepentingan wisata, untuk memberi nuansa unik dan alami. Kegiatan pertanian tetap diutamakan dengan modifikasi teknik pengolahan dan produksi. Dalam sistem produksi menerapkan teknik yang bisa mempercepat waktu tunggu panen . Proses pengolahan tanah setelah panen tidak perlu menunggu lagi 1-2 bulan dan mencangkul ulang, melainkan hanya perlu waktu sekitar 2 minggu untuk bisa ditanami kembali. Di tengah-tengah persawahan yang hijau kemudian dibangun penginapan, rumah makan, art shop atau bangunan yang sifatnya mengundang wisataan untuk datang mengunjunginya. Ketika musim panen tiba yang bisa mencapai 3 kali dalam setahun, wisatawan yang menginap di sekitar area persawahan itu bisa menyaksikan cara atau proses

16 pemotongan padi atau panen di sawah. Untuk tetap melindungi kelestarian kawasan pertanian, pemerintah setempat menetapkan wilayah jalur hijau , agar areal tanah pertanian tidak habis difungsikan sebagai pemukiman atau bangunan tujuan wisata. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ketika pariwisata berkembang pesat pada sekitar tahun 1969, masyarakat desa Ubud tumbuh menjadi multi etnis yang setiap waktu dapat membawa pengaruh nilai dan budaya,karena wisatawan asing terus mengalir datang ke wilayah ini. Ubud dikenal sebagai desa budaya, karena masyarakat terlibat dalam memelihara aset dari upacara agama sampai pementasan tarian tradisional. Desa yang kaya akan budaya yang merupakan warisan para maestro, seperti I Gusti Nyoman Lemped ( 1862-1978), Anak Agung Gede Sobrat ( 1919-1992 ), I Gusti Made Deblog ( 1910-1968 ), lalu generasi berikutnya I Gusti Ketut Kobot , Ida Bagus Made, Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Rai. Kepiawaian mereka menjadi suber inspirasi bagi seniman Barat untuk datang dan tinggal di desa ini. Tahun 1920 duan orang pelukis dari Eropa memperkenalkan teknik aestetika Eropa yakni pencahayaan,bayangan,perspektif dan anatomi. Seniman lokal memakainya, tapi dengan selektif sesuai dengan nilai dan unsur tradisi Ubud. Dari uraian singkat di atas bisa dilihat bahwa sejarah desa Ubud adalah merupakan studi sejarah kota , yang menunjukkan perkembangan dari kota dengan masyarakatnya yang agraris, menuju ke kota industri ( pariwisata ). Selama kurun waktu tertentu terjadinya perubahan tata ruang kota, yang diakibatkan oleh pembangunan sarana dan prasarana yang bersifat komersial, jelas disebabkan oleh kepentingan industri pariwisata. Kepentingan itu untungnya tidak sampai mencabut kesetiaan masyarakat terhadap nilai dan tradisi Bali/ agama Hindu mereka, yang kemudaian menggantinya dengan nilai serta wajah budaya baru yang bersifat Barat modern dan serba bersifat materialistis. Masyarakat Ubud memiliki ide atau gagasan yang strategis dan kreatif dalam merespon nilai baru sebagai ekses globalisasi dunia. Antara nilai-nilai Hindu Bali yang menjadi kearifan lokal di daerah wisata Ubud, dikombinasikan dengan modernitas yang nampaknya menjanjikan sebuah harapan baru untuk meningkatkan taraf hidup dan sekaligus harkat hidup masyarakatnya. Hasilnya memang luar biasa,Ubud kemudian berproses menjadi sebuah representasi kawasan wisata yang berbingkai modernitas budaya global yang mendunia,tetapi tetap bernafaskan nilai-nilai luhur budaya Hindu Bali yang salah satu aspek pentingnya adalah menyatunya antara manusia dengan alamnya. Kondisi itu sangat bermakna filosofis dan metafisis. Pundi-pundi komerialisasi dari industri pariwisata yang menawarkan

17 bahkan merealisasikan peningkatan taraf hidup masyarakatnya , ternyata tidak serta merta merubah pola pikir masyarakat terhadap budaya agraris dengan segala eksesnya. Gaya hidup tradisional yang intrinsik dalam jiwa masyarakat Ubud, tidak bisa meninggalkan kebiasaan misalnya dalam memelihara ternak di halaman belakang rumah. Disaat kesibukannya sebagai masyrakat pengusaha ( pariwisata ), kegiatan-kegiatan ritual agama dan budaya tetap dilakanakan, bahkan lebih besar dan terkesan mewah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa ada keterkaitan antara usaha komersial dengan dengan kecil dan besarnya pelaksanaan kegiatan upacara agama. Peningkatan taraf dan kesejahteraan hidup desa Ubud berkat usaha indusri pariwisata, diyakini memiliki hubungan erat dengan melaksanakan kegiatan ritual agama. Keuntungan usaha komersial,akan digunakan untuk membiayai ritual kegiatan agama, sebagai ungkapan rasa terimakasih ( Wawancara dengan Dr. I Ketut Setiawan,M.Hum, dalam FGD di Warung Kadewatan, Ubud ). Disisi lain tawaran tentang komerialisasi industri pariwsata menjadi daya tarik tersendiri bagi derasnya arus urbanisasi dari daerah luar Bali. Pada gilirannya hal ini akan berpengaruh dalam kondisi struktur masyarakat desa Ubud.

4.2. Dinamika Inklusifitas Desa Kuta dan Ubud

Keterbukaan Kuta dan Ubud dalam menyongsong pariwisata sebagai ekses dari proses globalisasi dunia , telah membentuk wajah dan karakter kedua desa ini menjadi miniatur dunia internasional. Dengan kondisi dasar yang berbeda, kedua wilayah ini sama-sama merespon dan merekonstruksi ide dan aset pariwisata untuk kemajuan dan peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Potensi dan dinamika wisata, ditentukan dan diarahkan oleh lingkungan phisik dan peilaku manusia dalam membentuk corak budaya baru yang dapat dipandang sebagai identitas perilaku wisata dari suatu komunitas tertentu. Potensi alam yang menjadi pendukung sekaligus sebagai ciri khas dari pantai Kuta. Perkembangan industri pariwisata di Bali, tidak terlepas dari berkembangnya Kuta sebagai destinasi wisata dunia yang eksotik. Kuta sangat terkenal bersmaan dengan daerah wisata lainnya di Bali. Kuta mampu menyerap wisatawan luar maupun domestik.Kawasan ini terkenal sebagai trademark nya Bali bahkan Indonesia. Yang tidak kalah penting adalah potensi manusia yang menjadi motor penggerak dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi yang ada. Sesui dengan wisata pantai , maka sarana dan prasarana dipersiapkan, antara lain transportasi, penginapan, restaurant dan atraksi hiburan.

18

Untuk menuju lokasi, tamu yang turun di bandara sudah siap dijemput oleh mobil lengkap dengan sopirnya akan mengantar ke tujuan pantai atau penginapan. Selain hotel mewah berbintang, juga terdapat hotel bintang tiga atau yang sederhana, serta homestay atau rumah yang dijadikan penginapan. Masyarakat di Desa Kuta berperan aktif dalam industri pariwisata dan masyarakat dan masyarakat turut serta dalam pengembangan sektor pariwisata. Akan tetapi dari segi penataan ruang, perkembangannya kurang terarah, karena biasanya masyarakat akan fokus pada bidang pekerjaan tertentu,seperti menggunakan sebagian dari area dri tempat tinggal mereka , disewakan sebagai tempat penginapan tamu ( Wawancara dengan I Putu Gede Suwitha, 60 tahun pada tanggal 13 Agustus 2016 ). Perkembangan pariwisata di Kuta mengalamai fase krisis saat terjadi ledakan bom pada tahun 2002 dan 2005. Kejadian ini mengakbatkan perekonomian Bali, khususnya bidang pariwisata mundur. Namun kemudian masyarakat Kuta sadar dan bangkit dari keterkejutannya, dan segera memulai langkah awal untuk membangun pariwisata kembali. Langkah yang dilakukan merupakan promosi jangka panjang dan jangka pendek. Langkah jangka pendek direalisasi dengan mengadakan promosi pariwisata , sementara langkah jangka panjang , direalisir dengan cara menyampaikan informasi kepada dunia internasional tentang Bali, sehingga para wisatawan tidak khawatir lagi datang ke Kuta atau Bali. Perkembangan desa wisata Kuta hingga dewasa ini semakin meningkat, dan ini terjadi karena tempat, budaya dan pengalaman. Kuta memiliki lokasi yang strategis , indah dan nyaman bagi para wisatawan selain keramah tamahan masyarakatnya. Aspek yang tak kalah pentingnya dalam mengembangkan Kuta sebagai destinasi utama baik bagi wisatawan asing maupun domestik , adalah pengalaman yang dimiliki para wisatawan. Kedatangan mereka ke Kuta telah menimbulkan kesan, dan sekembalinya mereka ke daerah asalnya, kesan tersebut akan disampaikan kepada keluarga dan teman-temannya. Dengan demikian kondisi ini secara tidak langsung menjadi bentuk promosi tentang wisata ke pantai Kuta/ Bali. Layaknya fasilitas hiburan yang ditawarkan obyek wisata di pantai , yakni surfing , sunset dan tentu saja keindahan pantai yang berpasir putih memiliki keunikan tersendiri yang ternyat mampu menyedot perhatian para wisatawan, baik dalam dan luar negeri. Kegiatan wisata di wilayah ini lambat laun akan membawa nilai an kebiasaan baru dalam lingkungan phisik, maupun sosial budaya desa Kuta. Masuknya orang asing sekaligus modalnya yang pada gilirannya menetap di wilayah desa akan mendorong terjadinya penjualan lahan

19 pribadi untuk bangunan yang terkait dengan kegiatan pariwisata, seperti bangunan hotel, villa, restaurant dan kafe. Disamping itu muncul pasar-pasar modern, seperti Alfamart dan Indomaret yang bersaing dengan pasar-pasar tradisional bahkan mall atau pusat dan tempat perbelanjaan modern dan besar yang didalamnya terdiri dari swalayan besar, seperti Matahari, dan toko atau gerai yang menjual barang-barang impor tertentu. Mall Beachwalk, Gallerie dan Centro menjadi representasi bagi lambang modernitas yang menembus format budaya tradisional Bali melalui pariwisata. Pasar modern yang dirancang dengan desain sesuai dengan standar global ( internasional ), hotel berbintang dengan fasilitas fantastis, kafe malam dengan nuansa diskotik , wisatawan asing yang sedang berjemur di pantai terkadang nyaris tanpa busana. Semua itu merupakan lambang dan ekses modernitas yang hidup berdampingan dengan wanita-wanita setempat yang berprofesi sebagai tukang pijat dan penjual barang acung, serta pasar tradisional dan kios-kios penjaja baju pantai dan baju versi lokal. Bentangan Pantai Kuta yang berada di kawasan Desa Kuta termasuk paling tinggi tingkat kunjungan dan sekaligus tingkat huniannya.Pola tempat tinggal orang asing ini biasanya membaur di tengah permukiman warga. Kondisi ini memungkinkan interaksi yang cukup intens diantara mereka. Kelancarn berinteraksi akan memudahkan hubungan ke jenjang perkawinan. Terbukti bahwa cukup banyak terjadi perkawinan campur antara warga desa dengan orang asing. Di Kuta bentuk perkawinan campur lebih sering terjadi dibanding daerah wisata lain seperti Ubud. Jika dilihat dari sejarahnya sejak abad 19, masyarakat Kuta yang termasuk masyarakat pantai yang mata pencahariannya akan menyesuaikan dengan lingkungan fisiknya, yakni nelayan dan pedagang yang bersifat lebih terbuka dalam berinteraksi dengan dunia luar, sehingga dengan sedirinya juga lebih mudah menerima segala sesuatu yang berasal dari luar, termasuk pemikiran, budaya. Dengan demikian proses akulturasi antar dua budaya yang berbeda dapat disatukan dalam bentuk perkawinan. Apalagi tentang hal ini masyarakat Kuta sudah memiliki pengalaman yang panjang ( sejak masa kerajaan Badung ) dalam berinteraksi dengan orang asing. Kemajemukan masyarakat di Kuta juga merupakan bentuk representasi dari globalisasi yang menyentuh sendi kehidupan dalam struktur masyarakat. Di beberapa perumahan kemajemukan masyarakat, warga negara asing hidup berdampingan dangan masyarakat setempat ataupun masyarakat lokal. Masing-masing dapat menjalankan ibadahnya masing-masing dengan tertib dan aman ( Wawancara dengan Made Suardika 46 tahun , pada tanggal 5-8-2016). Terkait dengan pemenuhan peningkatan ekonomi, muncullah berbagai produk pariwisata sebagai bentuk

20 kreativitas masyarakat, seperti jasa sewa kendaraan wisata, ragam kuliner lokal,toko bahan bangunan karena banyak dibangun hotel atau tempat penginapan sebagai penunjang pariwisata. Sebagai bentuk antisipasi membanjirnya wisatawan manca negara, sarana akomodasi wisatawan dan fasilitas terkait ditingkatkan. Usaha ini telah menempatkan Kuta sebagai centre area of tourism di kabupaten Badung. Kreativitas perorangan atau kelompok merupakan acuan memberi service yang sesuai dengan selera wisatawan. Produk barang dan jasa yang berkualitas sangat dibutuhkan oleh wisatawan, dan ini bisa diantisipasi oleh masyarakat Kuta. Muncullah kemudian organisasi PHRI, ASITA atau Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Ini merupakan bentuk konkret kegiatan pariwisata. Sementara usaha –usaha kreatif mulai ditingkatkan. Dalam produk budaya material yang diproduksi secara massal biasanya akan bisa dijual dengan harga yang lebih terjangkau. Perusahaan pakaian ( garment ) khas Bali. Interaksi dan komunikasi antara wisatawan asing dengan masyarakat Kuta, menjadi unsur penting yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial masyarakat Kuta. Eksistensi sebagai orang Bali mengalami pergeseran, kondisi ekonomis,gaya hidup dan pola pikir mulai dihinggapi nilai yang serba praktis untuk memenuhi desakan kebutuhan hidup. Proses komerialisasi terjadi hampir di semua kegiatan terutama yang terkait dengan pariwisata. Komerialisasi keramah tamahan, tarian sakral yang dimodifikasi, upacara keagamaan dan upacara inisiasi manusia.. Disisi lain pembangunan hotel yang berkembang pesat , lingkungan pantai yang kurang terjaga kebersihannya karena pantai-pantai yan indah pada umumnya menjadi tourist resort , tebing- tebing disulap menjadi villa atau hotel, serta sungai-sungai yang tercemar limbah industri garmen. Keadaaan ini menyangkut pada masalah lingkungan yang bukan saja mengacu kepada laingkungan secara phisik, tetapi juga lingkungan sosial. Lingkungan phisik meliputi tata ruang yang terbentuk secara alami, dan yang diatur atau dibentuk oleh manusia dengan alasan tertentu ( Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2009 : 240 -241 }. Sementara lingkungan sosial diantaranya meliputi adat istiadat, budaya, norma atau nilai-nilai. Di Bali penghargaan mengenai lingkngan sebenarnya telah tercakup dalam konsep Tri Hita Karana. Masyarakat Bali sepenuhnya percaya bahwa alam dengan segala isinya adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia sebgai machluk ciptaan Tuhan memelihara serta menghaturkan terimakasih kepada Sang Pencipta ( Ida Bagus Rata, 1989 : 14 ). Sementara penghargaan pada lingkungan dilakukan dengan beragam yadnya . Sebagai realisasinya muncullah upacara-upacara keagamaan sebagai upacara ungkapan rasa syukur karena telah menciptakan tumbuh-tumbuhan, hewan, air, bumi dan angin yang semuanya

21 merupakan lingkungan tempat manusia hidup. Kegiatan upacara itu sendiri merupakan tradisi yang dilatar belakangi oleh nilai atau norma dalam lingkup budaya Bali. Dibandingkan dengan di Kuta, tujuan wisata lain di Bali yakni Desa Ubud, gaya atau cara dalam mengantisipasi dan mengelola pariwisata sebagai suatu ekses globalisasi yang menyentuh kehidupan masyarakat Ubud memperlihatkan nuansa yang berbeda. Model pariwisata di suatu tempat pada hakekatnya memiliki keterkaitan dengan karakteristik lingkungan wilayah dimana pariwisata dikembangkan. Pariwisata di desa Ubud yang dikatagorikan sebagai daerah persawahan memperlihatkan potret pariwisata yang berbasis pada budaya, dan pariwisata alam ( karena kondisi alamnya yang memperlihatkan kombinasi sawah, tebing,hutan dan sungai yang indah dan alami ). Keindahan dan keunikan panorama desa Ubud mencerminkan simbol nilai budaya puri yang berlatar belakang keindahan panorama alamnya yang alamai. Seakan merupakan lambang persatuan alam dengan wajah budaya puri yang bernafaskan Hindu Bali. Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1990, pariwsata adalah segala sesuatu yang yang berhubungan dengan wisata, yakni pengembangan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.Sumber pariwisata dikatagorikan kedalam potensi-potensi alam, kebudayaan dan manusia ( Purwani Wisantisari, tanpa halaman ). Model pariwisata yang dikembangkan di Desa Ubud, sesuai dengan potensi yang dimiliki adalah berbasis pada keunikan budaya yang direpresentasikan dalam seni lukis, seni tari dan bangunan-bangunan tradisional. Sebagian masyarakat Ubud , kehidupan sehari-hari mereka tidak lepas dari unsur seni dan budaya, karena bermata pencaharian sebagai seniman. Di tempat ini banyak galeri-galeri seni yang juga mementaskan seni musik dan seni tari setiap malam . Penghuni hotel atau penginapan yang ada di tengah persawahan, bisa menyaksikan secara langsung proses potong atau panen padi. Prosesi kegiatan di sawah ini menjadi atraksi yang sangat disukai oleh turis mancanegara ( Wawancara dalam FGD pada tanggal 13 Juli 2016 ) Dalam nafas kehidupan desa Ubud yang kental dengan kegiatan pariwisata , nampak jelas bahwa seni budaya lokal yang dominan berdampingan dan sering menyatu dengan sarana dan prasarana modern , seperti pasar modern/supermarket, apotik, restaurant yang didesign dan menyediakan menu masakan ala Barat. Nilai dan tradisi masyarakat Desa Ubud yang diwarnai oleh budaya puri tinggi menumbuhkan semangat kebanggaan diri sebagai orang Ubud.Akan tetapi keadaan ini tidak menjadikan mereka menutup diri terhadap derasnya pengaruh pariwisata. Mereka tidak melawan masuknya nilai dan tatanan baru bersamaan dengan waktu

22 mengglobalnya dunia yang semakin modern. Masyarakat justru bersikap terbuka dan adaptif terhadap nilai-nilai modernisasi, dan kemudian mengolahnya menjadi bentuk akulturasi atau kombinasi kebudayaan tanpa harus mengorbankan sendi-sendi nilai kebudayaan tradisional yang bernafaskan tradisi dan filosofis Hindu Bali. Kondisi ini kemudian dikemas dengan lingkungan alam yang masih menunjukkan nafas alam Bali yang indah dan eksotis. Manurut penelitian yang dilakukan oleh Organization of Economic Cooperation and Development yang dikutip oleh Daud Aris Tanudirjo menyatakan bahwa wisata budaya menjadi salah satu bentuk wisata yang terbesar dan paling pesat pertumbuhannya dalam pasr wisata dunia. Salah satu warisan budaya yang bernilai tinggi adalah Puri Ubud atau yang disebut sebagai Puri Saren yang terletak bersebelahan dengan Pasar Tradisional. Kedua peninggalan monument ini merupakan roh dan ciri khas Ubud. Puri yang indah dengan bangunan tradisioanal yang cantik dengan koleksi benda-benda bernilai tinggi. Ditambah dengan udara desa Ubud yang sejuk dan segar semakin menambah kenyamanan dan ketenangan pengunjung. Puri Ubud merupakan istana kerajaan Ubud dengan rumah-rumah tradisional Bali sebagai tempat tinggal kelurga raja. Bangunan ini terletak di jantung desa Ubud, yang hingga kini merupakan pusat budaya Bali yang dibangun oleh Ida Tjokorda Putu Kandel, yang memerintah pada tahun 1800- 1823 ( Pande Putu Darmayana, 2012 ). Citra pariwisata Ubud khususnya dan Bali pada umumnya menjadi terangkat dengan karya-karya beberapa seniman Eropa yang tinggal di Ubud, seperti R.Bonnet, Arie Smith, Antonio Blanco, Walter Spies dan Hans Snell . Dalam kehidupan pribadinya, Antonio Blanco menikahi gadis Bali. Perkawinan campur ini menandakan bahwa tingkat inklusifitas masyarakat desa Ubud bersifat sangat terbuka. Karya mereka pada umumnya bertemakan budaya dan alam Bali/ Ubud. Awal bagi adanya modernisasi wisata di desa Ubud adalah dibangunnya Hotel Tjampuhan pada tahun 1928. Pada tahun 1934 hotel ini dibuka sebagai tempat tinggal para tamu raja. Hotel ini termasuk sebagai hotel yang tertua di Bali dengan gaya tradisional. Sejak itu boleh dikatakan bahwa Ubud berkembang menjadi salah satu destinasi wisata Gianyar yang unik. Bentuk akulturasi lain dari dua budaya lokal tradisional dan budaya yang modern, teridentifikasikan dari adanya Pasar Tradisional Ubud. Pasar ini terletak bersebelahan dengan Puri Ubud. Bentuk bangunan ini membentang dari Barat ke Timur dalam dua bagian dengan beda fungsi. Bagian Barat untuk pasar seni tradisional , yang dibuka dari pukul 08.00-18.00 sore. Barang-barang yang dijual di tempat ini adalah patung kayu,lukisan, tas, pakaian dan sandal

23 yang semuanya bercorakkan seni lokal. Sedangkan di bagian Timur untuk menjual kebutuhan sehari-hari , yang dibuka sejak jam 06.00 pagi bahkan dari sejak subuh ( jam 4 pagi ). Dari kondisi ini bisa diketahui bahwa desa Ubud sudah siap dan membuka diri terhadap elemen pengaruh global dunia, tetapi dengan tidak merombak struktur dasar dari tradisi budaya Bali. Pasar seni merupakan bukti nyata dari asumsi itu. Selain pasar seni sebagai bentuk antisipasi terhadap masuknya pariwisata global adalah dibangunnya Museum Lukisan pada tahun 1956, yang terletak kurang lebih 200 m dari Puri Saren. Di tengah suasana yang tenang dan berhawa sejuk, pengunjung bisa menikmati indah dan eksotiknya gaya lukisan dari beberapa pelukis terkenal Eropa dan Bali, seperti Walter Spies, I Gusti Nyoman Lampad, Ida Bagus Nyana, Anak Agung Gede Sobrat dan I Gusti Made Deblog ( Ibid.,). Dari beberapa akses wisata tradisional yang dimiliki Ubud menjadikan keindahan wisata desa Ubud semakin nyata di Bali. Desa Ubud menjadi wilayah yang sering disebut sebagai desa bertaraf internasional, karena di sebagian besar jalan utama kawasan Ubud terdapat restaurant, hotel, galeri serta toko-toko yang menjual kerajinan lokal. Selain itu di obyek wisata Ubud terdapat juga terdapat hotel-hotel berbintang., untuk para wisatawan menginap. Selain hotel berbintang , di obyek wisata Ubud juga banyak terdapat penginapan dengan harga yang murah. Mengenai pengembangan pariwisata di desa Ubud, melibatkan masyarakat Ubud secara luas dan terdapat kerjasama yang baik antara masyarakat/ pihak swsta dengan pemerintah daerah. Dalam pengadaan fasilitas dan jasa pariwisata umumnya dilakukan oleh swasta. Terkait dengan pariwisata budaya di desa Ubud, maka jelas terlihat bahwa pariwisata budaya dikelola oleh masyarakat Ubud sendiri, atau lebih tepatnya pembangunan pariwisata ini dikembangkan dengan peran puri yang lebih besar.Dengan demikian terdapat pola hubungan antara budaya setempat dengan pariwisata, sehingga mekanisme pelaksanaannya dapat lebih mudah dikontrol.

4.3. Terbentuknya Desa-Desa Global Di Bali: Ubud Dan Kuta, Dua “Wajah” Yang Berbeda

4.3.1. Pentingnya Membandingkan antara Ubud dan Kuta Terbentuknya desa global di Bali dalam kajian ini akan dilihat pada perkembangan di dua desa yaitu desa Kuta dan desa Ubud. Perkembangan kedua desa ini perlu diungkapkan karena menampilkan karakteristik yang berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya. Kuta misalnya lebih menunjukkan bagaimana branding-branding Barat seperti Kectucky Fried

24

Chickens, Macdonald, Starbuck Coffee bermunculan dan tingkat kesiapan masyarakat di Kuta relatif lebih cepat dalam mengadopsi pengaruh budaya luar atau Barat. Sementara desa Ubud, menunjukkan karakteristik yang berbeda yang lebih mengedepankan karakteristik keaslian masyarakat dengan mempromosikan dengan dunia luar. Tampak tidak mudah di Ubud pada khususnya, dan Gianyar pada umumnya untuk dapat memasang baliho-baliho di sepanjang jalan di tempat-tempat terbuka atau public space. Meskipun demikian, tampak Ubud juga menerima pengaruh luar itu, walaupun tidak seekstrim dengan apa yang terjadi di Kuta yang dianggap sebagai kosmopolitan. Sementara di Desa Ubud yang tidak dianggap sebagai kosmopolitan, melainkan sebagai sebuah desa global (global village) tampak menampilkan warna karakteristik yang berbeda, jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di Kuta, yang sudah dinyatakan sebagai sebuah cosmopolitan. Ini berarti, bagaimana masyarakat dan pemerintah Gianyar umumnya mengedepankan kepentingan masyarakatnya untuk dapat eksis di tengah-tengah percaturan global. Tidak banyak yang dapat meniru kebijakan pemerintah Gianyar dalam hal ini Ubud untuk dapat mempertahankan nilai-nilai lokalitasnya secara berkelanjutan tidak hanya untuk kepentingan masa kini, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Perkembangan di desa-desa sekarang ini tidak terlepas dari bagaimana intensitas pengaruh globalisasi yang berlangsung tidak hanya menyentuh kehidupan perkotaan tetapi sudah menjamah ke desa-desa sampai ke dusun atau banjar. Bisa dibayangkan bagaimana jarak yang cukup depat sudah terdapat pasar-pasar modern yang menggeser kedudukan pasar-pasar tradisional. Misalnya menjamurnya pertumbuhan pasar-pasar modern seperti indomart, alfamart dan sebagainya yang dianggap telah terjadi pergeseran masayarakat dalam mengedepankan tempat-tempat keramaian itu yang menggeser kedudukan pasar-pasar tradisional. Semuanya ini terutama kehadiran pasar-pasar modern telah menuntut adanya ketrampilan baru yang dimiliki masyarakat yang menginginkan bekerja di tempat-tempat tersebut. Selain dengan munculnya pasar-pasar modern juga diakibatkan oleh semakin berkembangnya dunia telekomunikasi dan informasi yang berlangsung secara cepat seperti sekarang ini. Hal ini tampaknya tidak dapat dibendung pengaruhnya yang sudah mengarah ke dusun-dusun atau pelosok-pelosok. Mau atau tidak mau anggota atau warga masyarakatnya dituntut untuk tunduk menghadapi perubahan yang terjadi ini. Tidak hanya dalam pengertian ekonomi atau bisnis, tetapi juga dalam aspek sosial budaya, tampaknya juga mengalami

25 perkembangan yang pesat. Perkembangan sebagai akibat pengenalan media sosial seperti internet misalnya yang terjadi pada tahun 1990-an tidak dapat dilepaskan dari pengaruh yang dimainkan oleh pengaruh orang asing. Dinamika seperti ini bukannya berlangsung sekarang ini saja, tetapi tampaknya sudah berlangsung sejak lama, baik dilihat dari masa kekuasaan penjajahan ketika peran penguasa kolonial Belanda dulu (Cf. Bracken, 2015). maupun dengan kedatangan wisatawan asing yang berkunjung ke Bali pada masa-masa sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada peran yang dimainkan oleh Ubud yang masih ada kaitannya dengan dinasti penguasa kerajaan Bali pada abad pemerintahan di Gelgel dan kemudian berkembang di Klungkung yaitu dari dinasti Sukawati. Dari masa kekuasaan kerajaan ini dapat dipahami adanya hubungan yang kuat antara penguasa dan rakyatnya yang masih dipelihara hingga sekarang ini. Ini terutama jelas terlihat di era sekarang seperti adanya pelaksanaan upacara keagamaan dan ritual seperti yang disebut dengan pelebon ketika meninggalnya seorang warga kerajaan.

4.3.2. Peran Orang Asing dalam Introduksi Kuta dan Ubud

Wilayah Ubud tidak begitu luas, tetapi dengan panorama yang dimilikinya menjadikan kawasan Ubud ini menjadi menarik bagi kalangan wisatawan lokal dan mancanegara. Pada masa lalu, Ubud hanyalah sebuah kerajaan kecil yang dikitari lahan persawahan yang menghijau, air sungai mengalir jernih, pesona desa yang indah. Akan tetapi, masyarakat Ubud percaya bahwa Ubud telah ditakdirkan sebagai tempat yang penuh kegemilangan. Dilihat dari tinggalan- tinggalan arkeologi dan kesejarahan baik pada masa prasejarah dan sejarah klasik, tampak kawasan ini memiliki kekuatan gaib, serta memiliki benang merah terhadap perkembangan agama Hindu dam Budha di Bali. Ini dibuktikan dengan tinggalan-tinggalan yang ada, baik yang tangible dan intangible mengandung nilai-nilai filosofis adiluhung yang memungkinkan masyarakat ini berkembang, hingga sekarang. Nilai-nilai filosofi yang didasari atas pengaruh Hindu dan Budha tampaknya memainkan peran penting dan menjadikan kawasan ini memiliki karakteristik tersendiri bagi perkembangan masyarakat dan budaya. Adanya potensi sosial budaya yang kuat menjadikan kawasan ini berkembang dengan nilai-nilai yang sangat didukung oleh warga masyarakatnya, meskipun proses globalisasi yang deras berlangsung. Inilah yang

26 dikaji dalam kaitannya dengan bagaimana masyarakat dan budaya Ubud menuju terbentuknya sebagai sebuah desa global. Dari dinamika sejarahnya sampai terbentuknya sebagai sebuah desa global memang pengaruh terjadinya datangnya orang asing tidak bisa dihindari. Dimulai era kekuasaan kolonial Belanda dimana kehadiran orang-orang asing baik sebagai seniman tampaknya mulai berdatangan di Bali. Covarrubias dalam bukunya yang monumental tentang the Island of Bali menceritakan tentang proses ini berlangsung. Pengaruh orang asing sebagai akibat perkembangan pariwisata dapat dilihat dari pengaruh seniman atau pelukis Arie Smit yang merupakan kelahiran Belanda. Ia banyak memberikan pengaruh pada perkembangan seni lukis di Gianyar, khususnya di Ubud. Smit mempresentasikan karya-karya beragama gaya dan tema, sehingga ia dianggap juga sebagai seorang ―mpu‖ dalam penerapan warna dan komposisi. Dari karya-karya yang terdapat di Museum Suteja Neka dapat dilihat dengan jelas bagaimana Smit mampu menunjukkan keindahan dan irama kedalaman budaya Bali sebagaimana tampak pada karya-karyanya yang imajinatif (Garrett Kam, 1979: 36). Menurut informasi dari Seramasara yang diperoleh dari pengalaman orang tuanya dikisahkan, bahwa sebelum di Ubud, Arie Smit sudah melalang buana di Saba, Kabupaten Gianyar. Ia disebutkan sering berada di Saba ini dan bergaul dengan keluarga puri. Dikisahkan bagaimana pola hidup pelukis Smit dengan masyarakat desa pada saat itu yang mulai menarik perhatiannya. Diantaranya dengan pola tradisi kehidupan orang Bali di desa yang kemudian dituangkannya dalam bentuk karya-karya lukisannya.

27

Gambar 1: Wawancara mendalam di Kedewatan Ubud Gianyar

Tampaknya, Smit lebih berkesan tinggal di Ubud. Ia pun kemudian pindah ke Ubud dan mengembangkan karya-karya dengan pelukis-pelukis lainnya. Di Desa Ubud inilah ia berhasil mengembangkan kehidupannya dalam berkarya seni lukis. Dari karya-karya lukisannya itu, ada pesan yang tersirat bahwa bagaimana pentingnya mempertahankan budaya lokal masyarakat yang hendaknya harus tetap dijaga dan dipelihara. Bagaimana pun juga karya-karya Smit ini, memberikan inspirasi bagi kalangan pelukis-pelukis muda di Ubud dari dahulu hingga perkembangannya sekarang ini.

28

Gambar 2: Wawancara mendalam di Kedewatan Gianyar

Tidak jauh perbedaannya antara Ubud dan Kuta. Bahkan, untuk perkembangan di Kuta, sebagaimana catatan sejarah penjajahan Belanda di Bali dapat dilihat pengaruh yang sudah berlangsung seperti pada masa kerajaan Badung, dimana pada saat itu yaitu pada abad ke-19 telah mengangkat Mads Johansen Lange sebagai syahbandar atau subandar di Kuta. Pengangkatan orang asing sebagai subandar ini sebenarnya merupakan presentasi dari kelompok kelas menengah yang pada saat itu mewakili kelompok Arab, Cina dan India sehingga dinamika perkembangan perdagangan dapat dilaksanakan dengan lancar.

29

4.3.3. Ubud dan Kuta Sebagai Destinasi Wisata Tatanan budaya puri yang kuat tampaknya berpengaruh terhadap perkembangan dunia kepariwisataan di Ubud. Hal ini tampak jelas mulai sekitar tahun 1970-an, dimana masih memiliki sumber daya manusia yang potensial, demikian juga dengan sumber daya ekonomi seperti kepemilikian tanah yang luas. Hal ini memungkinkan puri-puri mengembangkan bisnis pariwisata yang luas sebagaimana dikatakan I Putu Gede Suwitha dari hasil penelitiannya. Menurutnya, puri-puri di Bali itu berhasil membangun citra baik dalam aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Ini dapat dilihat bagaimana puri-puri itu membantu masyarakat dalam masalah perbaikan pura, membantu desa adat, dan membantu pembiayaan upacara keagamaan lainnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Suwitha, bahwa puri-puri itu membangun kembali ―kerajaan baru‖, melalui pengaruh yang luas dari bidang adat, sejarah, agama, budaya dan ilmu pengetahuan (Suwitha, 2016: 493). Disebutkan pula, bahwa akar-akar tradisional masih dominan dalam sistem politik di Bali, dimana warisan itu tidak pernah mati. Tradisi paternalistic yang dikembangkan adalah warisan masa lampau yang dinamis. Apa yang dilakukan oleh pihak puri di Ubud misalnya oleh Tjokorda Nindya dari Peliatan Ubud, menjadi suatu hal yang dapat diteladani oleh warga masyarakat Gianyar dalam pengembangan masalah kepaiwisataan (Suwitha, 2016: 492). Lebih jauh dapat dilihat pula upaya-upaya mempertahankan tradisi yang berbasis kearifan lokal juga sangat kuat dikemukakan oleh Bupati Gianyar Anak Agung Gde Bharata dalam mengantisipasi ekses perkembangan dunia kepariwisataan di Gianyar (Bharata, 2015), supaya tidak terlalu kebablasan sebagaimana yang terjadi di Kuta. Strategi dan kebijakan yang diaplikasikan oleh Bupati Gianyar Anak Agung Gde Bharata tampaknya tetap ingin mempertahankan kearifan lokal masyarakat Ubud pada khususnya, dan Gianyar pada umumnya dari gelombang derasnya symbol-simbol modernitas yang secara cepat sedang berlangsung di Gianyar. Masih banyak dapat dilihat adanya kawasan yang asri di Ubud pada khususnya, dan di Gianyar pada umumnya. Namun demikian, meskipun sekarang ini ada upaya untuk mengembangkan kawasan wisata sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan tampaknya kawasan ini hendaknya terus dikawal dalam pengelolaannya, supaya tidak dikembangkan oleh investor yang justru membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat di Gianyar. Tidak banyak yang terlihat kawasan kumuh di Ubud, meskipun infrastruktur jalan tampaknya belum memadai, dan terjadi kemacetan di Ubud. Ini disebabkan begitu banyaknya wisatawan yang mendatangi wilayah Ubud ini, yang sebagian ketika ditanyakan ingin

30 memperoleh wisata spiritual dalam kaitannya dengan pola kehidupan masyarakat di bidang keagamaan dan masalah sipirtual lainnya. Diperkirakan, bahwa kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali pada bulan Mei 2016 mencapai 394.557 orang. Ini terdiri dari kedatangan wisman yang datang melalui bandara sebanyak 394.443 orang, dan yang melalui pelabuhan laut sebesar 114 orang. Data yang paling mutakhir menyebutkan bahwa jumlah wisman ke Bali pada bulan Mei 2016 naik sebesar 33,31 persen, dibandingkan dengan bulan Mei 2015 yang naik sebesar 3,62 persen, jika dibandingkan dengan bulan April 2016. Jika dilihat dari kategori kebangsaan, wisman yang paling banyak datang ke Bali pada bulan Mei 2016 adalah wisman dengan kebangsaan Australia, Tiongkok, Malaysia, India, dan Inggris dengan persentase masing-masing sebesar 23,90 persen, 17,67 persen, 4,91 persen, 4,80 persen, dan 4,40 persen. http://bali.bps.go.id/Brs/view/id/141. Desa Ubud, tergolong desa yang sangat modern, oleh karena itu sering disebut dengan metropolis. Walaupun demikian derasnya kedatangan wisatawan asing, tetapi masyarakatnya tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisi yang bersumberkan pada ajaran agama Hindu. Ubud tampaknya dapat dijadikan refleksi untuk melihat hubungan antara modernisasi dan tradisi di Bali. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa perkembangan Ubud merupakan dampak dari perbaikan ekonomi dan pengaruh kebudayaan global. Sebagian besar masyarakat Ubud sudah mengadakan alih fungsi dari ekonomi pertanian ke ekonomi moneter, yang berbasis pada sektor pariwisata, serta menekuni sektor kerajinan dan sektor tersier yang terkait dengan pariwisata. Tidak mengherankan, jika banyak wanita diharapkan untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Mereka pun kemudian derkomunikasi dengan warga kulit putih yang berasal dari berbagai negara di belahan dunia. http://travel.kompas.com/read/2014/04/16/1013071/Ubud.Desa.Seniman.yang.Mendunia. Hingga sekarang, tampak banyak masyarakat yang memanfaatkan perkembangan dunia kepariwisataan ini. Mereka mengelola vila-vila di rumahnya sendiri yang menawarkan suasana asri dimana di depan kamar-kamar villa dibuatkan tempat tanaman padi. Ini dimaksudkan agar wisatawan mengenal lebih dekat tentang konsep sawah padi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Perubahan yang terjadi akibar perkembangan wisata ini adalah mulainya bergeser cara pandang masyarakat tentang pola mencari nafkah. Tidak mengherankan, akibat perkembangan pariwisata ini, masyarakat petani mengalami pergeseran, dimana anak tidak banyak yang tertarik

31 lagi untuk memiliki impian sebagai petani, melainkan sudah mengarahkan perhatiannya pada sektor jasa. Artinya mereka menginginkan bekerja di sektor jasa pariwisata seperti hotel, villa, restaurant, tour guide, dan sebagainya. Akibat perkembangan ini mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma masyarakat yang tidak lagi mengolah tanah pertaniannya, tetapi bahkan banyak yang menjual tanahnya kepada investor. Apa yang sedang berlangsung baik di Ubud dan Kuta, sebenarnya memberikan indikasi tentang bagaimana proses globalisasi berlangsung di desa-desa. Ini adalah proses perubahan yang dahulu merupakan desa lokal kemudian berubah menjadi Desa Global (Lihat: Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, 2014). Ini dapat diamati dari adanya rapat banjar misalnya yang disebut dengan Sangkepan. Pada acara rapat ini yang dulunya dipimpin oleh Klian Banjar membahas rutinitas ayahan banjar, piodalan, dedosan, berubah suasana penyajiannya dengan sedikit sentuhan teknologi informasi yang berbasis internet, sehingga topiknya akan lebih mengembang ke arah pembahasan tentang politik, ketenagakerjaan, ekonomi dan sosial budaya secara global, tidak saja terfokus di satu wilayah yang tertutup dengan perkembangan informasi dan komunikasi yang sudah mengglobal. Demikian pula halnya dengan kehadiran pendatang di kedua desa ini mempermudah para pendatang untuk dapat menikmati daerah asal mereka dengan mempergunakan media sosial atau media online. Keberadaan warga banjar yang ada di luar desanya sekarang sudah dapat ikut dapat ikut dalam rapat banjar dengan media sosial ini. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, maka dappat dikatakan bahwa tidak ada alasan lagi untuk para warga banjar untuk tidak berbuat sesuatu untuk Banjar atau Desa mereka. Dalam hal ini, warga desa yang ada di luar sudah bisa secara aktif ikut melaksanakan sangkepan dengan media online atau teleconference. Ini adalah perubahan besar dimana dahulu hanya dinikmati dalam acara-acara pemerintah dan BUMN saja, tetapi sekarang sudah dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Semua informasi kegiatan di Desa atau di Banjarnya bisa diinformasikan dengan dibuatnya website atau situs yang bisa diakses dimana saja dan kapan saja. Menarik untuk diungkapkan tentang perubahan yang terjadi di Kuta. Putu Setia dalam artikelnya yang berjudul ―Pertemuan Kuta‖ dalam karya Adrian Vicker yang berjudul Bali Tempo Doeloe (2012: 91—96) mendeskripsikan pandangannya tentang Kuta. Putu Setia sebagaimana halnya dengan Nyoman S. Pendit adalah seorang jurnalis yang tinggal di Jakarta. Mereka berasal dari daerah yang sama yaitu Tabanan. Pandangan Putu Setia yang mulai tidak

32 menetap di Bali sejak tahun 1977 menyebabkan ia memiliki pandangan yang lebih obyektif dan terbuka. Dalam tulisan Putu Setia dapat disimak bahwa justru orang luar Kuta yang menuding telah terjadi pergeseran atau perubahan di Kuta, yang menurut Putu Setia hal itu adalah suatu yang berlebihan. Meskipun demikian inikah sebabnya mengapa Kuta disebut sebagai cosmopolitan (cosmopolitanism), sementara Ubud disebut sebagai desa global (global village). Menurut Putu Setia kehidupan masyarakat Kuta tetap seperti sedia kala. Bahkan, menurut catatan Putu Setia yang didapat dari tokoh adat Kuta menyebutkan, bahwa warga Kuta dalam menjalankan agamanya dan melestarikan adatnya semakin bergairah dan semarak. Tidak mengherankan jika hal ini disebabkan karena kehidupan yang sudah semakin membaik dan masyarakat Kuta dianggap sudah memiliki dana berlebihan untuk melaksanakan upacara keagamaannya. Ini banyak yang menyebabkan terjadinya perucbahan-perubahan dalam kaitannya dengan masalah pekerjaan mereka dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya saja, kalau dahulu seorang ibu di Bali sibuk mempersiapkan upakara dalam kaitanya dengan upacara keagamaan dari awal sampai akhir, namun sekarang ia menyerahkan pekerjaan itu secara spesifik kepada orang yang menjual alat-alat upacara. Jadi, ia tidak terbelenggu dengan acara persiapan secara keseluruhannya, tetapi lebih diberikan kepada yang lainnya. Selanjutnya, waktu yang ia habiskan untuk menyelesaikan upacara, sekarang dipergunakan untuk diversifikasi pekerjaan lainnya seperti massage di pinggir pantai di Kuta, sebagai pedagang asongan, menjaga restaurant, toko, pekerja di villa (cleaning services) dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan terjadinya diversifikasi pekerjaan di kalangan penduduk yang terjadi di Desa Kuta. Seorang informan di Kuta Selatan yang bernama Made Suartika yang diwawancara pada bulan Juli 2016 mendeskripsikan bagaimana perubahan-perubahan masyarakat Kuta yang dialaminya. Ia berasal dari Payangan, Gianyar yang mulai datang mengadu nasib ke Jimbaran ini sejak tahun 1998. Ini adalah setahun setelah mulai masa Reformasi yang dimulai tahun 1997, yaitu tonggak berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia. Dijelaskan bagaimana terjadinya peningkatan pembangunan di wilayah Jimbaran sejak saat itu sampai tahun 2000-an, dimana puncaknya terjadi tahun 2007. Kedatangan wisatawan ini dianggapnya sangat menguntungkan pihak-pihak pelaksanana industri pariwisata. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang menjual tanah dan membangun kawasan-kawasan wisata seperti hotel, villa dan restaurant.

33

Tanah-tanah dijual karena dianggap tidak menguntungkan lagi karena hanya dapat ditanami dengan sirikaya, dari produksi yang lama dan mendatangkan hasil yang tidak memadai. Inilah yang mendorong mengapa banyak tanah-tanah dijual di Kuta. Pada saat itu digambarkan, bahwa harga tanah pada saat itu berkisar Rp. 3 juta per arenya, yang kemudian dibelikan mobil. Akan tetapi, setelah tanah-tanah dijual, tidak banyak yang mampu menggunakan hasil dari penjual tanahnya itu untuk bisa mempertahankan kehidupan yang berkelanjutan (sustainable life). Banyak kemudian yang jatuh miskin, karena uang yang diperoleh dari penjualan tanah itu, tidak bisa dikelola dengan baik, yaitu dengan pergi ke tempat-tempat judian. Inilah proses yang sedang berlangsung di Kuta. Namun demikian, menurutnya sejak tahun 2010, tanah-tanah tidak banyak lagi yang berhasil dijual, karena merosotnya harga-harga tanah, dan tampaknya terjadi lagi ekonomi yang lesu. Kondisi ini menggambarkan bagaimana proses kemiskinan berlangsung. Berbeda dengan Ubud, dimana tanah-tanah tidak dijual, tetapi dikelola sendiri dengan menjual produk-produk kesenian yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (hasil wawancara dengan Made Suartika di Kuta Selatan, Jimbaran). Dapat dikatakan, bahwa melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Ubud dan Kuta tampaknya di Bali terjadi perubahan-perubahan yang secara drastis berlangsung. Proses menjadi desa lokal menjadi desa global masih terus berkembang dengan berbagai dinamikanya. Tidak banyak yang mengetahui bagaimana proses ini berlangsung dan kapan akan berakhirnya. Beberapa perkembangan informasi dewasa ini menunjukkan bagaimana situs jejaring sosial yang berkembang dengan pesat dan populer antara lain facebook, twitter, plurk merupakan indikator perkembangan desa global ini.

4.3.4. Desa Ubud dan Kuta dalam Transformasi Perubahan.3 Derasnya pengaruh globalisasi tidak hanya desa-desa itu disebut desa global, meskipun dalam beberapa tataran perkembangan masih di tingkat desa, tetapi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung menyebabkan perkembangannya sudah mengarah menuju kosmopolitan (Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana, 2016). Ubud dengan kuatnya tradisi dan kearifan lokal menyebabkan desa ini menjadi desa global, tetapi Kuta meskipun dalam perkembangannya sekarang ini dianggap sebagai desa global, tetapi sudah mengarah ke konsep kosmopolitan.

34

Dalam karya disertasi yang ditulis oleh Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana yang berjudul, ―Wacana Fesyen Global dan Pakaian di Kosmopolitan Kuta‖, bahkan menjelaskan adanya perkembangan yang cukup cepat tidak hanya sebagai desa global, tetapi bahkan menjurus ke arah terbentuknya sebuah cosmopolitan. Demikianlah hasil disertasi yang ditulis pada tahun 2016, menjelaskan bagaimana perkembangan Kuta sebagai sebuah desa yang berkembang tidak hanya sebagai sebuah desa (desa global), tetapi sudah menjadi sebuah kosmopolitan. Hasil yang dikemukakan ini didasari atas hasil penelitian yang dilakukan mengenai perkembangan fesyen yang banyak berkembang di Kuta akhir-akhir ini. Studi memberikan pemahaman kepada kita bagaimana masyarakat Kuta secara cepat sudah berkembang ke arah kosmopolitan yang didasari atas respon masyarakat atau antifesyen yang berkembang di Bali pada umumnya.

Gambar 3: Fesyen di Kuta Di Kuta misalnya sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjok Ratna Cora Sudharsana (2016: 218) mendeskripsikan bagaimana Kuta sebagai sebuah kosmopolitan seperti tampak pada perkembangan pakaian dan fesyen yang didasari atas wacana globalisasi. Tjok Ratna mencatat bahwa keberadaan wacana kapitalisme global dan wacana kosmopolitan berlangsung secara tumpang tindih di Kuta. Ia menambahkan bahwa wacana globalisasi dimaknai oleh ruang cair pergaulan produsen fesyen global dan pakaian dengan pelaku bisnis fesyen lokal, nasional dan internasional. Selain itu, di satu sisi disebutkan, bahwa globalisasi yang berlangsung di Kuta dimaknai sebagai hal yang mengandung nilai positif oleh sebagian masyarakat profesyen di Kuta. Hal ini disebabkan karena memenuhi wawasan tentang dunia fesyen global dan pakaian. Sementara di sisi yang lain, mereka mengeluh karena akibat nilai-

35 nilai lokalitas yang tercerabut akarnya yang tergantikan dengan produk impor murah. Inilah pandangan Tjok Ratna Cora Sudharsana tentang bagaimana dinamika masyarakat Kuta sebagai sebuah kosmopolitan (2016: 218, bandingkan dengan Ardhana dan Yekti 2015). Secara umum berdasarkan pendekatan persepsi tampak, bahwa Desa Kuta sudah tidak terkendali dalam mengembangkan kawasannya yang terbuka dengan pengaruh Barat. Hal ini dapat dilihat dari bangunan rumah, arsitektur, yang tampaknya tidak memperhatikan secara kuat adanya tradisi arsitektur bangunan Bali. Muncul pertanyaan, apakah masyarakat Kuta sudah berpikiran begitu praktis, karena tanpa pemikiran-pemikiran yang berdasarkan tradisi itu, dianggapnya Kuta sudah menarik bagi kalangan wisatawan luar. Hal ini tampak dari tidak banyaknya lahan yang tersedia, karena perkembangan wisatawan yang pesat menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang begitu cepat pula. Terutama sekali, setalah kawasan wisata Nusa Dua dibangun di tahun 1980-an telah berakibat semakin banyaknya kebutuhan lahan pemukiman yang diperlukan terutama dengan adanya bangunan-bangunan baru di daerah Denpasar Selatan seperti Sesetan, Benoa dan daerah sekitarnya. Ketika daerah ini secara padat sudah ditempati akhirnya akibat perkembangan Kuta juga mengarah pada perluasan wilayah pengembangan di kawasan Denpasar Barat yang mengarah pada perkembangan Legian, Seminyak sampai menjurus ke arah Sempidi di Kabupaten Badung. Tentu, Ubud di Kabupaten Gianyar ini tidak mengalami nasib yang sama seperti yang terjadi di Kuta. Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, dalam karyanya yang berjudul, Ubud Desa Global: Kajian Perubahan Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali (2014: 79) mencatat, bahwa masyarakat di Ubud masih kuat mempertahankan konsep Tri Hita Karana yang dianggap sebagao pedoman keseimbangan antara karma desa (warga Desa), pekraman (territorial desa) dan parahyangan desa (tempat pemujaan desa). Disadari, bahwa adanya globalisasi yang berlangsung cepat di Desa Ubud, dipertimbangkan masyarakat Ubud mampu menjawab globalisasi itu secara dinamis. Meskipun masyarakat Ubud telah mengadakan gerakan-gerakan ke arah ekonomis dan praktis, namun kehidupan masyarakat Desa Ubud yang kuat akan pedoman nilai-nilai kehidupan seni dan budaya yang menjadi pendukung kegiatan keagamaan sangat diperhatikan. Inilah yang membedakan antara Desa Ubud dan Desa Kuta dalam menghadapi perubahan desanya menjadi desa wisata (tentang Ubud lihat: Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, 2014: 112). Menurut Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati (2014: 114)

36 mencatat bahwa sikap adaptif dan selektif masyarakat Desa Ubud sangat dominan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang dihadapinya itu. Dalam hal ini, masyarakat desa Ubud diharapkan mampu memilih dan memilah mengenai hal-hal yang patut dikembangkan, dan hal- hal apa yang patut dipertahankan, sehingga dengan tradisi budaya yang ada diharapkan mampu mempertahankan tradisi budayanya meskipun kunjungan wisatawan meningkat ke Desa Ubud.

4.4. Desa Global di Kuta dan Ubud : Tantangan dan Peluangnya Budaya Adopsi Masyarakat. Pariwisata yang multi sektoral memerlukan banyak tenaga kerja. Padat karya itulah dari industri pariwisata. Pengembangan industri pariwisata diharapkan akan mendatangkan keuntungan, karena industri pariwisata memiliki ciri-ciri yang tidak ada pada industri lain, yakni konsumen datang ke produsen. Daerah yang menjadi pusat pariwisata akan dapat menikmati langsung perubahan ini, dibanding daerah yang tidak menjadi pusat industri pariwisata di Bali . Masyarakat Kuta dan Ubud menanggapi dinamika industri pariwisata di sekitarnya. Kompleksitas kebutuhan wisatawan dan industri pariwisata menstimulir terciptanya berbagai ragam kegiatan baru yang bertalian dengan lapangan kerja baru. Hal ini terjadi karena turisme akan menyebabkan pengalihan mata pencaharian menuju industri pariwisata. In berarti bahwa corak kehidupan yang agraris atau maritim akan mengalami pergeseran. Ciri-ciri kehidupan agraris akan diganti dengan model ekonomi yang rasional (I Gusti Ngurah Bagus, 1970 : 5 ). Produksi yang dulunya hanya untuk menutupi kebutuhan keluarga , dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang semakin banyak menunjungi desa Kuta dan Ubud. Petani, nelayan banyak yang terjun ke bidang pariwisata. Pengolahan lahan pertanian banyak diserahkan kepada orang lain secara upahan. Kondisi seperti ini lebih banyak terjadi di daerah Kuta yang cenderung lebih banyak mengelola wisata bahari / pantai. Di Ubud yang mengandalkan pada wisata budaya, elemen agraris justru ditonjolkan sebagai modal wisata budaya yang diwarnai oleh budaya puri dan alam. Budaya yang menjadi kearifan lokal menjadi modal kuat bagi masyarakat untuk mengantisipasi modernisasi sebagai ekses globalisasi dunia. Hal ini memungkinkan karena sejak dari sejarahnya terjalin hubungan yang sangat baik antara masyarakat dengan keluarga puri. Pola ikatan patron-client antara keluarga puri dengan masyarakat masih terasa hingga kini. Sementara di wilayah desa Kuta yang sejak jaman kerajaan sudah terbiasa tersentuh oleh budaya luar, lewat kontak-kontak dagang dengan pedagang dari luar Bali, bahkan dari Eropa dan Cina, masyarakatnya bersikap lebih

37 terbuka dan cepat mengantisipasi terhadap tuntutan perubahan akibat modernisasi dunia global. Hal ini masih ditambah dengan jauhnya masyarakat desa Kuta yang berada di kawasan dekat pantai atau pelabuhan dengan budaya puri. Keluarga puri biasanya lebih akrab berada di wilayah agraris , seperti desa Ubud. Secara ekonomis, budaya adopsi dalam menyesuaikan nilai ekonomis untuk kepentingan pariwisata, terlihat dari pergeseran mata pencaharian sesuai dengan kepentingan pengelolaan pariwisata. Distribusi modal yang dimiliki masyarakat dengan cepat dimaksudkan untuk mengantisipasi kedatangan wisatawan. Jenis pekerjaan yang banyak diminati adalah pengusaha hotel, rumah penginapan ( home stay ), restaurant, artshop, karyawan hotel, pramuwisata, rent car, sepeda motor, sewa papan selancar, garmen dan munculnya sekaha-sekaha tari, pelukis, pemahat dan lain-lainnya. Diversifikasi pekerjaan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang mengunjungi wilayahnya. Orientasi ekonomisnya bersifat bisnis secara profesionalisme, yakni untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya di bidang pariwisata. Di sini kreativitas perlu dipacu terus untuk memenuhi segala kepentingan yang diperlukan oleh para turis asing, maupun domestik. Di Ubud para pengrajin Bali perlu mendapat sosialisasi tentang hak cipta bagi kreasi mereka , karena biasanya mereka 9 ( pelukis, pemahat patung dari batu paras dan kayu ) merasa enggan untuk mendaftarkannya. Ini sangat disayangkan mengingat pemakaian hak cipta merupakan kesempatan global, agar mereka bisa menyebar luaskan karya dan kreasi mereka secara internasional ( Wawancara dalam FGD di Ubud, pada tanggal 13 Juli 2016 ). Budaya adopsi terhadap ekses modernitas diantara masyarakat Ubud nampaknya dianggap belum merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Lebih penting bagi mereka adalah mengekspresikan rasa dan nilai seni yang mengalir dalam jiwa mereka ke dalam karya seni yang mereka garap. Di sisi lain masyarakat Ubud terlihat sangat kreatif dalam mengantisipasi peluang ekonomis karena berkembangnya pariwisata di daerah mereka. Banyak rumah-rumah tinggal /pribadi terutama yang terletak di pinggir jalan utama yang ramai lalu lintasnya, dimodifikasi menjadi restaurant, penginapan yang didekorasi dengan suasana dan bercita rasa Barat tetapi bangunan memiliki style Bali / lokal. Bagi wisatawan domestik yang mengunjungi wisata Ubud, cita rasa kuliner terpuaskan dengan kuliner lokal / Bali, seperti ayam betutu, babi guling dan kuliner dari beberapa negara Eropa. Dalam konteks ini , nilai budaya dan tradisi Bali yang tercermin dari bangunan rumah yang bagian-bagian ruangannya semula merupakan ruangan

38 pribadi raja, disulap menjadi ruangan yang terbuka untuk kepentingan umum. Bale Raja dulu hanya khusus untuk raja, tetapi setelah ruangan ini dimodifikasi menjadi tempat makan pelanggan, tempat ini bisa ditempati oleh siapa saja, baik pelanggan asing maupun domestik. Tingkat budaya adopsi masyrakat Ubud memperlihatkan bahwa pengaruh budaya luar diterima, tetapi tradisi budaya lokal tetap dipertahankan sebagai nilai-nilai yang mengandung filosofi hidup yang memberikan tuntunan dalam mencapai hubungan yang ideal antara manusia dengan lingkungan, alam dan Tuhannya. Untuk menghormati Hari Raya Galungan seluruh restaurant di Ubud tutup. Demikian pula di wilayah Desa Ubud dibangun Bale Umum yang dipergunakan untuk tempat aktivitas adat. Jika saatnya datang upacara adat /agama yang penting, seperti piodalan, maka disini peran puri sangat terasa mengilhami dan memberikan semangat untuk melaksanakan apacara dengan tulus dan khidmat. Hingga sekarang pengaruh budaya puri tidak akan pernah tergerus oleh nilai baru yang lebih bersifat duniawi. Akan tetapi penyerapan tentang nilai global yang serba bhineka, berpengarh terhadap proses akulturasi budaya, yang dilakukan oleh keluarga puri . Antara lain terjadi kawin campur antara beberapa keluarga puri yang menikah dengan orang asing atau luar Bali. Di Banjar Yeh Kuning, dari sejumlah 100 kk, 5 orang diantaranya menikah dengan orang Jepang, procentasinya sekitar 5%. Meskipun demikian kondisi ini tidak berpengaruh dalam melanggengkan budaya dan tradisi Bali. Kalau anggota masyarakat ingin mengunjungi puri dulu wajib mengenakan baju adat , dan hingga sekarangpun hal ini masih selalu dipatuhi oleh masyarakat. Sementara itu dalam hubungan keluarga puri, masih sangat terasa nilai tradisi yang masih dipertahankan dalam aturan-aturan hukum keluarga. Jika terjadi perceraian maka tidak berlaku adanya harta gono gini ( hasil usaha suami isteri ), dan apabila anak sampai dibawa oleh ppihak isteri/perempuan, maka anak itu tidak diakui lagi oleh keluarga puri. ( Wawancara dalam FGD di desa Ubud pada tanggal 13 Juli 2016 ). Kentalnya tradisi puri yang masih diberlakukan hingga sekarang, berjalan seiring dengan semangat mengadopsi ekses budaya global. Keterbukaan terhadap wisatawan asing diperlihatkan dengan diijinkannya wisatawan bule menginap di rmhnya. Beberapa vila bahkan mengijinkan wisatawan asing menginap di tempat dia bekerja Di bidang sosial budaya , jelas terlihat terjadi perubahan dalam pola pikir dan perilaku yang sangat kreatif menyesuaikan diri dengan jenis wisata di daerahnya. Di Kuta misalnya, sering terlihat ibu-ibu setengah baya yang berpakaian cara Bali sambil mengenakan caping di kepala yang melindunginya dari sengatan matahari, berjalan sepanjang pantai sambil membawa

39 keranjang bambu. Profesinya adalah sebagai tukang pijat atau mengepang rambut wisatawan. Mereka cukup lancar berkomunikasi dengan bahasa asing ( Inggris ) dengan para wisatwan asing. Nampaknya mereka menyadari bahwa penguasaan bahasa asing sangat diperlukan, walau hanya dalam batas-batas tertentu, agar komunikasi dalam menawarkan jasanya kepada wisatawan asing bisa lancar. Jika komunikasi lancar, maka tawaran jasa pun akan dapat segera dicapai, dan ini berarti penghasilannya juga bertambah.Mobilitas vertikal pada gilirannya mampu membawa tingkat pendidikan juga mengalami perbaikan. Sementara itu mobilitas horisontal pada masyarakat di Kuta , banyak dipengaruhi oleh migrasi terutama kedatangan penduduk dari daerah lain di Bali, maupun dari luar Bali. Kedatangan mereka lebih dominan sebagai pencari kerja. Perkembangan industri pariwisata yang pesat telah membuka beragam lapangan kerja. Pada gilirannya mereka menetap di Kuta dan menjadi penduduk Kuta. Hal ini membawa kosekwensi pada tingkat kepadatan penduduk serta ragam etnis dengan latar belakang budaya dan tradisinya masing-masing. Kondisi ini yang kemudian membentuk struktur masyarakat Kuta yang lebih beragam, dan demikian kesediaan mengadopsi unsur budaya dari luar lebih terbuka. Hal ini disebabkan karena mereka sudah terbiasa bersentuhan dengan nilai budaya luar. Wisata di pantai juga memerlukan tenaga operasional pantai, dan hal ini telah mendorong pergeseran dalam perilaku. Untuk itu ada kelompok yang menamakan diri sebagai beach boy , yakni sekelompok pemuda yang berprofesi sebagai pemberi jasa pelayanan wisata pantai. Mereka orang Bali yang berpenampilan layaknya orang negro , dengan wajah hitam karena terbakar sinar matahari, dan rambut di cat antara merah dan kuning. Kelompok ini bukanlah merupakan organisasi yang terkoordinir. Kelompok ini menyangkal bahwa kebaliannya telah luntur, karena semua ini adalah merupakan tuntutan yang profesional , meskipun ada kecenderungan untuk meniru gaya dan penampilan wisatawan asing. Diantara mereka ada yang berprofesi antara lain sebagai tukang angkat ski board, guide. Mandi dan berjemur di pantai yang dilakukan berkaitan dengan mata pencahariannya, telah merubah warna kulit mereka ( Wawancara dengan Kadek Adhi, pada tanggal 5 Agustus 2016 ). Pendapatan mereka terkait dengan profesinya cukup menggembirakan, bahkan seakan merasa bangga dengan ciri fisiknya yang baru. Tidak bisa dipungkiri bahwa baik masyarakat Kuta maupun Ubud lebih intensif mengadakan komunikasi dengan orang asing. Dengan demikian mereka lbersifat labih terbuka terhadap masuknya unsur-unsur dari luar. Interaksi antara kebudayaan dan wisatawan

40 berlangsung intensif. Meskipun demikian budaya adopsi atau strategi antisipasi terhadap unsur baru dari luar diantara mereka berbeda warnanya. Kondisi sosial budaya, sejarah dan geografis menjadi latar belakang yang mempengaruhi perbedaan diantara dua wilayah itu. Daerah pedalaman yang agraris dan wilayah pantai dengan budaya maritim, telah menampilkan dua wajah yang serupa , tetapi tak sama. Kedua wilayah itu sama-sama berkembang menjadi desa global, tetapi dengan dimensi warna yang berbeda. Dalam upaya mengantisipasi elemen pariwisata sebagai unsur dunia global , kedua wilayah destinasi utama wisata ini memiliki peluang dan tantangannya masing-masing. Dari aspek ekonomis, perkembangan industri pariwisata yang mengakibatkan terjadinya migrasi pendatang dari luar Kuta dan luar Bali untuk bekerja di sektor usaha dan jasa perhotelan, garmen dan lain sebagainya memerlukan tempat tinggal baik tetap maupun sementara. Hal ini membuka kesempatan bagi masyarakat yang memiliki rumah atau lahan yang sebelumya tidak produktif karena kering dan kurang subur, bisa merubahnya ebagai lahan yang mendatangakan keuntungan, seperti membangun baik rumah kontrakan, maupun kamar kost-kostan. Sejak tahun 1988, wilayah Kuta mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Pembangunan hotel, memerlukan bahan bangunan yang diantisipasi oleh masyarakat dengan cara membuka toko bahan bangunan. Di sisi lain perkembangan industri pariwisata juga memerlukan transpotasi untuk pengangkutan wisatawan menuju obyek-obyek wisata lainnya. Kondisi ini juga menjadi peluang emas bagi masyarakat untuk segera mengusahakan jasa angkutan ( Wawancara dalam FGD di Kuta Jimbaran, pada tanggal 13 Agustus 2016 ). Armada angkutan yang dimiliki masyarakat telah membawa keuntungan dan sekaligus peningkatan ekonomi bagi masyarakat. Taun 1992/93 pertumbuhan ekonomi masih bagus. Hingga tahun 2010 kondisi ekonomi masyarakat Kuta secara umum masih sangat bagus. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, semangat konsumerismenya juga semakin tinggi. Di sisi lain karena nilai jual tanah semakin tinggi ,maka harga pajak tanah juga semakin naik. Kombinasi keduanya mendorong masyarakat menjual tanahnya. Pada gilirannya tanah luas menjadi milik para investor yang pada umumnya berasal dari luar Bali bahkan warga asing. Di bidang sosial budaya terjadi pergeseran nilai karena masyarakat lebih menghabiskan waktunya untuk terjun dalam bisnis terkait dengan pariwisata. Diantara masyarakat terjadi pergeseran hidup berkomunitas.Di banjar atau di desa adat misalnya, partisipasi warga atau sekeha terhadap banjar atau desanya cenderung bersifat ―sama-sama jalan‖. Ada gejala menurunnya nilai gotong

41 royong pada kegiatan yang sifatnya sosial untuk kepentingan banjar atau desa. Ini tercermin dari semakin meningkatnya prosentasi mengganti kewajiban dengan uang, yang disebut sebagai dosa . Anggota masyarakat yang terjun langsung dalam kegiatan industri pariwisata, menghadapi dilema antara memenuhi kewajiaban sosial, dan kewajiban utama. Sementara itu juga terjadi kecenderungan bagi masyarakat yang sibuk, untuk berhemat waktu. Pada waktu upacara adat, keluarga ang sibuk dengan pekerjaan , akan menambil jalan praktis dengan cara membeli banten. Problema antara upacara adat dengan rutinitas pekerjaan di kantor , seolah menyuarakan bahwa dinamika kehidupan manusia yang berbudaya, memang memerlukan ide yang kreatif untuk mengatasi peraturan antara tuntutan agama dan realitas( Wawancara dalam FGD di Kuta pada tanggal 13 Agustus 2016). Di desa Ubud, memiliki peluang yang besar untuk mengantisipasi kepentingan wisata yang sudah menjadi bagian hidup di desa itu. Anak-anak di Ubud dididik untuk melukis, terutama dengan aliran naturalis yang bergaya Ubud. Semantar itu industri pariwisata telah memberi peluang secara ekonomis, kaena setiap malam ada pementasan. Sekeha-sekaha yang lain dididik juga untuk menari. Dengan demikian di wilayah Ubud banyak sekehe tari yang potensial sebagai jasa seni untuk wisatawan yang pasti akan bernilai ekonomis tinggi. Beberapa kali dalam sebulan, dan setiap pentas hanya memerlukan waktu yang tidak lama dipandang sangat menguntungkan untuk menambah penghasilan, dan juga memberi peluang untuk menciptakan kreasi baru ( Wawancara dalam FGD di Ubud, pada tanggal 13 Juli 2016 ). Sama halnya dengan di Kuta bahwa daerah yang berkembang industri pariwisatanya, seperti Ubud telah mengundang para pendatang dari luar untuk mencari pekerjaan , baik yang bersift sementara atau menetap. Interaksi dengan anggota masyarakat pendatang yang berlatar beakang budaya yang berbeda , dikhawatirkan walau sedikit demi sedikit akan menggerus dasar- dasar tradisi lokal /puri. Hal ini ditambah dengan semakin banyaknya yerjadi perkawinan campur, yang pada gilirannya akan membawa pada proses akulturasi antara dua budaya. Barangkali kekhawatiran ini akan mereda, ketika disadari bahwa di kawasan desa Ubud mhubungan bathin antara masyarakat dengan keluarga puri masih terasa erat, sehingga budaya dann tradisi puri akan menjadi benteng tangguh menghadapi pengaruh unsur budaya asing yang semakin mengglobal. Daftar Pustaka

42

BAB V PENUTUP

5.1. SIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai berikut: Terjadinya pergeseran-pergeseran cara kehidupan masyarakat baik di Ubud dan Kuta, di Bali sebagai akibat berkembangnya industri pariwisata yang sangat intens (Rubeinstein, 1999). Pergeseran tersebut sebagai akibat terjadinya hegemonisasi pada aspek-aspek kehidupan masyarakat yang diakibatkan oleh berkembangnya globalisasi. Globalisasi itu sendiri secara dominan diwakili oleh hadirnya kapitalisme pariwisata yang mendorong kehidupan masyarakat ke arah lebih modern. Namun, aplikasi di lapangan telah memunculkan beberapa permasalahan yang merupakan dilemma bagi kehidupan masyarakat dalam hal ini munculnya akibat positif dan negatif bagi dinamika masyarakat. Perkembangan yang berlangsung cepat ini telah menimbulkan beberapa isu kemakmuran masyarakat dan isu kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan sebagai akibat tidak mampunya masyarakat dalam arena perubahan sebagai akibat adanya daya saing yang sangat rendah. Akibat-akibat seperti inilah yang dimunculkan dan dapat dilihat eksesnya di kedua masyarakat yang dipergunakan sebagai sampel dalam penelitian ini yaitu Desa Ubud dan Kuta. Kedua desa ini merupakan destinasi wisata yang memiliki nilai tambah bagi pengembangan dunia kepariwisataan di Bali. Dari hasil penelitian yang dilakukan tampak jelas bahwa di satu sisi Desa Ubud memberikan respon yang hati-hati terhadap dampai yang ditimbulkan oleh perkembangan dunia kepariwisataan. Ini sangat dimungkinkan karena, Desa Ubud yang dahulunya merupakan basis kerajaan tradisional dan kota kolonial memiliki kekayaan budaya seperti kearifan lokal. Dengan didasari atas kearifan lokal inilah masyarakat diarahkan untuk secara hati-hati mencermati dampak yang diakibatkan oleh perkembangan dunia pariwisata. Ubud yang memiliki karakteristik budaya yang sangat menonjol, kemudian diintroduksi kembali secara kuat oleh pengaruh kedatangan orang asing menyebabkan kawasan yang memiliki latar belakang kekayaan alam, seni dan budaya menyebabkan kawasan ini ―laku‖ dijual kepada wisatawan, meskipun upaya-upaya penguatan tradisi budaya dilakukan secara hati-hati. Misalkan

43 saja, bagaimana meskipun terjadi perkawinan campur misalnya antara anggota masyarakat dengan pihak luar, namun kekuatan sosial budaya, ekonomi dan hak-hak waris tetap dimiliki oleh orang pribumi. Ini berarti globalisasi yang terjadi di Desa Ubud diupayakan dikendalikan dengan sebaik-baiknya. Gambaran yang berbeda terjadi di Desa Kuta. Kuta memang dahulunya merupakan bandar yang termasuk wilayah kerajaan Badung, yang pada saat itu menjadi bagian dari wilayah dari Kerajaan Kasiman. Datangnya Mads Johansen Lange sampai dia berniaga dan akhirnya ketika wafatnya dikuburkan di Bali menjadikan wilayah ini dikenal bagi kalangan asing. Tentu sebagaimana dengan Desa Ubud yang memiliki kekayaan alam yang indah, dan juga Kuta tidak kalah karena memiliki pantai yang indah menjadi daerah ini menjadi kawasan menarik bagi wisatawan. Dampak yang muncul seperti pengaruh wisatawan asing di Ubud dapat dikendalikan berdasarkan kearifan lokal masyarakat, namun berbeda halnya dengan Desa Kuta. Kuta tidak mengalami perkembangan yang sama dibandingkan dengan Ubud. Ini disebabkan karena, Kuta mengalami perkembangan yang pesat, dan bahkan terjadi transformasi budaya yang cukup intens jika dibandingkan dengan Ubud. Banyak vila-vila, restaurant, hotel dan sebagainya yang dikembangkan menjadi lebih terbuka dibandingkan dengan Ubud. Perkembangan Kuta yang cepat dibandingkan dengan Ubud menyebabkan kawasan Kuta dijuluki sebagai kota kosmopolitan, dibandingkan dengan Ubud yang mempertahankan karakter desanya, sehingga disebut dengan desa global (global village). Dampak pengaruh yang luas di Kuta, menyebabkan Kuta memiliki karakternya sendiri tidak hanya sebagai sebuah desa global, tetapi karena keterbukaan yang luas menyebabkan kawasan ini lebih dijuluki sebagai sebuah kota kosmopolitan. Dari perkembangan ini dapat dilihat bagaimana masyarakat lokal telah berperan besar dalam menyikapi perkembangan globalisasi yang berasal dari luar. Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam konteks lokalisasi, penguatan budaya lokal dan glokalisasi dengan pengedepanan konsep lokal yang diakomodasikan dengan pengaruh global tampaknya memiliki tingkatan yang berbeda antara Desa Ubud dan Kuta. Di sinilah pentingnya dibahas, dengan temuan-temuan lapangan ini diharapkan kedepannya diupayakan strategi dan kebijakan pemerintah daerah yang lebih tajam, sehingga proses globalisasi itu tidak tanpa kendali terjadi di desa-desa, tetapi diharapkan tetap mempertahankan keutuhan budaya lokal yang mampu

44 dipromosikan dan ―dijual‖ kepada wisatawan, tanpa masyarakat lokal itu sendiri kehilangan identitas dan kearifan lokalnya. 5.2 Saran dan Rekomendasi 5.2.1. Saran: Adapun saran yang ingin dikedepankan adalah diperlukan upaya baik oleh pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat lokal untuk tetap mempertahankan tradisi budaya yang dimilikinya. Konsep pertahanan tradisi budaya ini menjadi penting di tengah-tengah upaya untuk memperkuat karakter masyarakat untuk dapat bersaing di tengah-tengah dinamika masyarakat global.

5.2.2. Rekomendasi: Diperlukan upaya nyata dalam bentuk pembuatan blueprint dan roadmap masing-masing desa sehingga masa kini dan masa depan akan tetap diberdayakan unggulan-unggulan budaya masyarakat setempat. Ini hendaknya didukung oleh pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat lokal sendiri baik di Ubud dan di Kuta yang diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan kawasan desa global yang tetap mempertahankan ciri identitas budaya masing- masing.

1. Perspektif Kekinian dan Masa Depan Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa di Bali dapat dilihat adanya dua contoh mengenai bagaimana perkembangan desa global yang terjadi sebagai akibat adanya dinamika pariwisata yang mewarnai karakteristik masyarakat. Dua desa yang dimaksud adalah Desa Ubud dan di Kuta. Ubud menunjukkan karakteristik yang masih kuat dalam mempertahankan tradisi budaya yang sudah berakar lama dalam masyarakat Bali, tanpa menghilangkan akar-akar budaya yang sudah berlangsung cukukp lama. Ini dapat dilihat dari dinamika kehidupan keseharian masyarakat Ubud, yang meskipun mereka terbuka dengan pengaruh asing, bahkan terjadi perkawinan campuran (mixed married) di kalangan penduduknya, namun masalah ini tidak menipiskan akar-akar budaya yang dimilikinya itu. Sementara itu, di Kuta yang sebenarnya dahulu merupakan pelabuhan penting dalam abad ke-19, ketika kekuasaan Kerajaan Badung

45 dalam hal ini Raja Kasiman, namun wilayah Kuta ini tidak sama dengan Ubud yang memiliki hubungan kerajaan yang mendalam dengan rakyatnya (kaula-gusti relationship). Memang Kuta juga dikenal seperti Ubud, dimana kalau di Ubud tradisi budaya masyarakat setempat sarat dijual kepada wisatawan, sehingga wisatawan asing merasa tertarik melihat budaya asli masyarakat Bali, namun berdasarkan pengamatan di lapangan di Kuta, tampak tidak sebanyak tradisi budaya masyarakat setempat seperti di Ubud dilakukan di Kuta. Di Kuta, hampir penjualan produk wisata berasal dari luar, sehingga kesannya proses dan pengaruh asing lebih tampak daripada pengedepanan tradisi budaya masyarakat setempat. Ini mengakibatkan adanya dua gambaran yang kontroversial dengan pandangan-pandangan yang berlangsung di Ubud. Sebagaimana dikatakan oleh McLuhan yang intens mengamati dinamika desa-desa global mencatat, bahwa pada masa desa global terjadi, informasi dan komunikasi akan sangat terbuka, begitu juga dengan peran media massa dalam mentransformasi pesan. Akibatnya tergantung dari bagaimana respons masyarakat setempat dalam menerima pengaruh itu. Di sinilah perbedaan yang mencolok yang dapat diamati antara perkembangan di Ubud dan di Kuta. Dampak bagi masyarakat adalah masyarakat akan cenderung mempunyai persepsi yang sama karena memperoleh kesamaan kesempatan untuk mengakses informasi, dan kemudian meresponnya berdasarkan kebutuhan mereka.

46

DAFTAR PUSTAKA

Oka Artha Ardhana Sukawati. Tjok. 2014. Ubud Desa Global: Kajian Perubahan Tata Ruang dan Bangunan Tradisional Bali. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa.

I Putu Gede Suwitha. 2014. ―Tokoh Puri ―Membangun Kerajaan Baru: Potret Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung‖, dalam Charlie Sullivan et al. Social, Politics, History, and Education: For Schools and Societies. Yogyakarta: State University Yogyakarta: History Education Program Faculty of Social Sciences.

Ardhana, I Ketut and Yekti Maunati. 2015. ―The Revitalization of Local Culture in Indonesia in Coping with Globalization Process‖, Paper presented in the 22nd IFSSO (International Federation of Social Sciences Organization) General Conference, ―Globalization: Social Scientific Approach towards Social Design for the Creation of a Multicultural Society‖, Seijo University, Tokyo-Japan, May 30-31.

Ardhana, I Ketut. 2004. ―Puri dan Politik: Reformasi Nasional dan Dinamika Politik Regional Bali‖, dalam Darma Putra (ed.). Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif. Denpasar: Bali Post.

Bharata, A. A. Gde Agung. 2015. Orasi Budaya: Revitalisasi Gianyar Kota Pusaka: Model Aplikasi Pengembangan Kota Pusaka Alam, Budaya dan Saujana Berkelanjutan. Bau-Bau: Rapat Kerja Nasional Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).

Bracken, Gregory. (ed.) (2015), ―Asian Cities: Colonial to Global‖, dalam New IIAS Publications, The Netweork 51, the Newsletter, no. 71, Amsterdam: Amsterdan University Press.

Garrett, Kam. 1979. Suteja Neka dan Museum Neka (Suteja Neka and Neka Art Museum.

47

Geriya, Wayan 2013. Cetak Biru Revitalisasi Menuju Kabupaten Unggulan dalam Bidang Seni dan Budaya (Blueprint Revitalization of Gianyar Toward Excellence in Arts and Culture. Denpasar: Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar and Pusat Kajian Bali (Center for Bali Studies) Udayana University.

Geriya, I Wayan. 2015. ―Gianyar Kabupaten Pusaka: Konsep, Filosofi, dan Manfaat Untuk Jagadhita‖, dalam Pusaka Budaya: Majalah Pelestarian Kota Pusaka Gianyar, Bali. Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar.

Giffinger, Rudolf. Christian Fertner, Hans Kramar, Roberk Kalasak, Natasa Pichler dan Evert Meijers. 2007. Smart Cities: Ranking of European Medium-Sized Cities. Wien: Centre of Regional Science (SRF) dan Vienna University of Technology (TU Wien).

Global Village. September 2015. Jakarta: LIPI, Volume 1, Nomor: 3.

LIPI. 2015. Global Village: Peran Ilmu Sosial dan Kemanusiaan dalam Mempersiapkan Masyarakat untuk Merespons Global Village (The Role of Social Sciences and Humanities to Prepare Society Responding the Global Village). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

McLuhan, Marshall. 1968. War and Peace in the Global Vilage. USA: Bantam Book Inc. 1964. Understanding Media: Extension of Man. USA: A Signet Book. Raechelle Rubinstein (Editor), Linda Connor (eds.) yang berjudul, Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth Century, 1999. Honolulu: Hawaii University Press.

Ratna Cora Sudharsana, Tjok Istri. 2016. ―Wacana Fesyen Global dan Pakaian di Kosmopolitan Kuta‖. Disertasi Belum Terbit. Denpasar: Program Pasca Sarjana.

Schulte Nordholt, Henk. 1991. ―Temple and Authority in South Bali)‖, dalam Hildred Geertz, (ed.). State and Society in Bali. Leiden: KITLV Press.

48

Situmorang, Syafrizal Helmi. 2008. Destination Brand: Membangun Keunggulan Bersaing Daerah. Medan: Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi USU [email protected] http://sps.usu.ac.id/files/files/Jurnal%20PWD/Wahana%20Hijau%20Vol_%204%20No_%202% 20Des_%202008.pdf#page=30

Staab, Christiane. 1997. Balinesische Dorforganisationen und ihre Bewertungen in der Literatur. Passau-Jerman: Lehrstuhl fur Sudostasienkunde-Universitat Passau.

Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati. 2014. Ubud Desa Global: Kajian Perubahan Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.

Internet: https://www.google.com/search?q=fesyen+di+Kuta&safe=active&rlz=1C1CHWL_en&espv=2& biw=1280&bih=685&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjIgaG1hvXOAhWMrY8 KHTFPAf8Q_AUIBigB#imgrc=ZGHjfswLUXIbZM%3A. http://www.cultureindevelopment.nl/Cultural_Heritage/What_is_Cultural_Heritage). http://www.sage-ereference.com/view/urbanstudies/n132.xml. http://press.anu.edu.au/aborig_history/axe/mobile_devices/ch14.html.

1968. The Medium is The Message: An Inventory of Effect. USA: Bantam Book Inc. http://id.wikipedia.org/wiki/Desa_global tanggal 6 Desember 2010 http://miftahul-ulum.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=19 tanggal 6 Desember 2010 http://www.theindonesianinstitute.org/gglob02.htm tanggal 6 Desember http://banjartegallinggah.blogspot.com/2008/11/mengangkat-potensi-lokal-menuju-desa.html tanggal 6 Desember 2010

49 http://www.profildesa.com/ tanggal 6 Desember 2010 http://bappeda.gianyarkab.go.id/index.php/baca-artikel/3/Gambaran-Umum-Kabupaten- Gianyar.html http://badung.polda-bali.com/berita-ratusan-penduduk-pendatang-tanpa-identitas-terjaring- dalam-sidak-.html. http://denpasar.polda-bali.com/berita-kegiatan-pelaksanan-penertiban-penduduk- pendatang.html#ixzz4ELMgaMJm http://denpasar.polda-bali.com/berita-kegiatan-pelaksanan-penertiban-penduduk- pendatang.html.

Wawancara dengan: I Gusti Ngurah Seramasara, Kedewatan, Gianyar Agustus 2016 Made Suartika, Kuta Selatan Badung Agustus 2016. I Ketut Setiawam Kedewatan, Gianyar, Agustus 2016 Ketut Muka Pendet, Agustus, 2016 Anak Agung Gde Raka, Gianyar, Agustus 2016

McLuhan, Marshall. 1968. War and Peace in the Global Vilage. USA: Bantam Book Inc. 1964. Understanding Media: Extension of Man. USA: A Signet Book. 1968. The Medium is The Message: An Inventory of Effect. USA: Bantam Book Inc.

Ardhana, I Ketut and YektiMaunati. 2015. ―The Revitalization of Local Culture in Indonesia in Coping with Globalization Process‖, Paper presented in the 22nd IFSSO (International Federation of Social Sciences Organization) General Conference, ―Globalization: Social Scientific Approach towards Social Design for the Creation of a Multicultural Society‖, Seijo University, Tokyo-Japan, May 30-31.

Ardhana, I Ketut and I KetutSetiawan (eds). 2014. Raja UdayanaWarmadewa: Nilai- nilaiKearifandalamKonteksReligi, Sejarah, SosialBudaya, Ekonomi, Lingkungan, HukumdanPertahanandalamPerspektifLokal, Nasionaldan Universal. Gianyar: PemerintahKabupatenGianyardanPusatKajian Bali UniversitasUdayana.

50

Ardhana, I Ketut 2012, ―Indian Influences on the Balinese Culture in the Context of Harmony and Human Securities‖, dalam International Seminar on ―Cultural Exchange between India and Southeast Asian World‖, held by Udayana University in cooperation with Global Association of Indo-Asean Studies and Hankuk University of Foreign Studies, Korea, Denpasar 8-9 February.

Astawa, AnakAgungGede Oka April 2014, ―Arcadan Relief Dhyani Buddha di KabupatenGianyar (Dhyani Buddha Statuette and Relief in )‖, in Forum Arkeologi.Vol. 27, No. 1.Denpasar, BalaiArkeologi-KementerianPendidikandanKebudayaan.

Bharata, A. A. GdeAgung. 2015. OrasiBudaya: RevitalisasiGianyar Kota Pusaka: Model AplikasiPengembangan Kota PusakaAlam, BudayadanSaujanaBerkelanjutan. Bau-Bau: RapatKerjaNasionalJaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).

Bosch, FDK 1974. MasalahPenyebaranKebudayaan Hindu di Bali Kepulauan Indonesia.Seri Terjemahan LIPI-KITLV.No. 40. Jakarta, Bhatara.

Bracken, Gregory. (ed.) (2015), ―Asian Cities: Colonial to Global‖, dalamNew IIAS Publications, The Netweork 51, the Newsletter, no. 71, Amsterdam: Amsterdan University Press.

Eiseman, Fred., Jr. 1990. Bali: Sekala&Niskala, Vol. I Essays on Religion, Ritual an Art. Periplus Editions.

Geriya, Wayan 2013.CetakBiruRevitalisasiMenujuKabupatenUnggulandalamBidangSenidanBudaya (Blueprint Revitalization of GianyarToward Regency Excellence in Arts and Culture. Denpasar: DinasKebudayaanKabupatenGianyar and PusatKajian Bali (Center for Bali Studies) Udayana University.

51

Geriya, I Wayan. 2015. ―GianyarKabupatenPusaka: Konsep, Filosofi, danManfaatUntukJagadhita‖, in PusakaBudaya: MajalahPelestarian Kota PusakaGianyar, Bali. Gianyar: PemerintahKabupatenGianyar.

Giffinger, Rudolf. Christian Fertner, Hans Kramar, RoberkKalasak, NatasaPichlerdan Evert Meijers. 2007. Smart Cities: Ranking of European Medium-Sized Cities. Wien: Centre of Regional Science (SRF) dan Vienna University of Technology (TU Wien).

Global Village. September 2015. Jakarta: LIPI, Volume 1, Nomor: 3.

Goris, R 1948, Sejarah Bali Kuno,Singaraja, not published.

Heine-Geldern, Robert. 1956. Conceptions of States and Kinship in Southeast Asia. Ithaca-New York: Southeast Asia Program Department of Asian Studies.International Urban Development Association-Smart City: Concept Note. 2014.

Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Boston: Harvard University Press.

Kempers, A. J. Bernet. 1977. Monumental Bali: Introdtion to Balinese Archaelogy and Guide to the Monuments. Den Haag: Van Goor.

Krom, N J 1956, Zaman Hindu, Jakarta, PT Pembangunan.

LukisanSutasoma. 2012, Denpasar, Udayana University Press and PusatKajian Bali (Center for Bali Studies) Udayana University.

Lansing, J. Stephen. 1983. ―The Indianization of Bali‖, dalamJournal of Asian Studies, XIV.

LIPI. 2015. Global Village: Peran Ilmu Sosial dan Kemanusiaan dalam Mempersiapkan Masyarakat untuk Merespons Global Village (The Role of Social Sciences and Humanities to Prepare Society Responding the Global Village). Jakarta: LembagaIlmuPengetahuan Indonesia.

52

Leushuis, Emile. 2014. PanduanJelajah Kota-kotaPusaka di Indonesia: Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Malang. Jakarta: BadanPelestarianPusaka Indonesia.

McLuhan, Marshall. 1968. War and Peace in the Global Vilage. USA: Bantam Book Inc. 1964. Understanding Media: Extension of Man. USA: A Signet Book. Miles, Ian. 1985. Social Indicators for Human Development. London: Frances Pinter (Publishers).

―Pelestarian: SubakKianTerhimpit‖, dalamBali Post, SelasaKliwon, 4 Agustus 2015. Robson, Stuart O. 1978. ―The Ancient Capital of Bali‖, dalamArchipel, Vol. 16, pp.75-89.

Raechelle Rubinstein (Editor), Linda Connor (eds.) yang berjudul,Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth Century, 1999. Honolulu: Hawaii University Press.

Ronkel. 1899. ―Dagverhaal van Eene Reis van den Resident van Bali en Lombok Vergezeld van den Countreleurvoor de PolitiekeAanrakingen in de Poenggawa’s Ida BagoesGelgel en GoestiKetoetDjlantiknaarTabanan en Badoeng, van 17 Juli t/m 5 Augustus 1899‖, in Tijdschrift van IndischeTaal-, Land-, en Volkenkunde.

Sardesai.D.R. 1997.Southeast Asia.Los Angeles, University of California.

Schaareman, Danker. 1986. Tatulingga: Tradition and Continuity: An Investigation in Ritual and Social Organization in Bali. Basel: Werpf and Co. AG Verlag.

Schrieke, B. J. O. 1975. SedikitUraiantentangPranataPerdikan. Djakarta: Bhratara.

Schulte Nordholt, Henk. 1991. ―Temple and Authority in South Bali)‖, dalamHildred Geertz, (ed.). State and Society in Bali. Leiden: KITLV Press.

53

Situmorang, SyafrizalHelmi. 2008. Destination Brand: MembangunKeunggulan Bersaing Daerah. Medan: DepartemenManajemenFakultasEkonomi USU [email protected] http://sps.usu.ac.id/files/files/Jurnal%20PWD/Wahana%20Hijau%20Vol_%204%20No_%202% 20Des_%202008.pdf#page=30

Sjoberg, Gideon. 1965. The Preindustrial City: Past and Present. New York: The Free Press.

Staab, Christiane. 1997. BalinesischeDorforganisationen und ihreBewertungen in der Literatur.Passau-Jerman: Lehrstuhl fur Sudostasienkunde-Universitat Passau.

Smart Cities: Ranking on European Medium-Sized Cities. 2007. Wien: Centre Regional Science (SRF).

Stutterheim, W.F. 1929. Oudheden van Bali. Vol I. Het Oude Rijk van Pedjeng. Singaradja-Bali: Uitgeven door de KirtyaLiefrinck-Van der Tuuk.

Tjok.Oka ArthaArdhanaSukawati. 2014. UbudDesa Global: KajianPerubahan Tata RuangBangunanTradisional Bali. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.

Villiers, John (ed.). 1993. Sudostasienvor de Kolonialzeit. (Fischer Weltgeschichte), 18. Paris: Fischer Bucherei, K.G.

Wolters, O. W. 1982. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. http://www.cultureindevelopment.nl/Cultural_Heritage/What_is_Cultural_Heritage). http://www.sage-ereference.com/view/urbanstudies/n132.xml. http://press.anu.edu.au/aborig_history/axe/mobile_devices/ch14.html.

54

1968. The Medium is The Message: An Inventory of Effect. USA: Bantam Book Inc. http://id.wikipedia.org/wiki/Desa_global tanggal 6 Desember 2010 http://miftahul-ulum.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=19 tanggal 6 Desember 2010 http://www.theindonesianinstitute.org/gglob02.htm tanggal 6 Desember http://banjartegallinggah.blogspot.com/2008/11/mengangkat-potensi-lokal-menuju-desa.html tanggal 6 Desember 2010 http://www.profildesa.com/ tanggal 6 Desember 2010 http://bappeda.gianyarkab.go.id/index.php/baca-artikel/3/Gambaran-Umum-Kabupaten- Gianyar.html http://badung.polda-bali.com/berita-ratusan-penduduk-pendatang-tanpa-identitas-terjaring- dalam-sidak-.html. http://denpasar.polda-bali.com/berita-kegiatan-pelaksanan-penertiban-penduduk- pendatang.html#ixzz4ELMgaMJm http://denpasar.polda-bali.com/berita-kegiatan-pelaksanan-penertiban-penduduk- pendatang.html. Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Udayana University Press

Hoekstra, H.J. Tanpa Tahun. Nota van Toelichtingen Betreffende Zelfs Bestuur in van de Landschap Badoeng http :// hotel. Balirevieuw.wordpress.com/2003/berburu-lukisan-di-desa-penestaan http://infoprovbali.blogspot.co.id/2010/02/kuta-badung-primadona https ://id.wikipedia.org/wiki/kuta Badung Soemardjan, Selo. 1974. Menyambut Dasa Warsa Yayasan Pembangunan Desa Kita. Denpasar: Yayasan Pembangunan Desa Kuta Sukawati, Tjok Oka Artha Ardhana. 2014. Ubud Desa Global,Kajian Perubahan Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali. Denpasar : C.V. Bali Media Adhikarsa

55

Daftar Wawancara Di Ubud

No Nama Umur Alamat Pekerjaan 1 Anak Agung Gede Raka 53th Puri Pejeng Gianyar Budayawan dan Seniman 2 Adi Komang Ananta 34th Br. Kuun, Krobokan Kuta Wirasuwasta 3 I Gusti Ngurah Seramasara 52th Puri Sabha Gianyar Budayawan 4 I Ketut Muka Pendet 50th Pengosekan Ubud Gianyar Seniman Patung Batu Cadas dan Pengusa 5 I Ketut Setiawan 53th Payangan Gianyar Pengusaha Vila 6 I Made Suwardika 42th Kori Nuansa Utama Jimbaran Pengerajin 7 I Putu Gede Suwitha 55th Bualu Kuta Penggusaha 8 Putu Tirtayasa 32th Jimbaran Pegawai Hotel