Tarian Saman Menjadi Sarana Masuknya Islam Ke Aceh

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Tarian Saman Menjadi Sarana Masuknya Islam Ke Aceh TARIAN SAMAN MENJADI SARANA MASUKNYA ISLAM KE ACEH Tari Saman adalah kesenian tradisional dari suku Gayo, yang berkembang di Aceh Tenggara, yaitu daerah Alam Gayo. Saman diciptakan dan dikembangkan oleh tokoh islam bernama Syekh Saman pada abad ke-14 Masehi, dan nama tari saman berdasarkan nama pembuatnya. Sebelumnya tari saman diciptakan karena terinspirasi dari tarian rakyat bernama pok-pok ane yang artinya bertepuk sambal bernyanyi.Karena dulu masyarakat Aceh saat senggang atau waktu luang memainkan tarian pok-pok ane. Dengan itu Syekh Saman menggunakan cara yang disukai oleh masyarakat untuk menyebarkan agama islam dan terciptalah tarian Saman, syair pada tarian diubah dengan ditambahkan unsur-unsur ketauhidan. Tarian Saman dibuat sebagai cara untuk menyebarkan agama islam. Tarian Saman dikenal sebagai tarian seribi tangan. Karena tarian ini ditarikan oleh orang banyak dengan jumlah penari ganjil. Syair pada tarian Saman berisi pantun nasihat dan tuntunan agar berbuat kebajikan. Gerakan pada tarian saman sekarang memilik banyak variasi selain tepuk tangan, paha dan tepukan dada. Pada syair di tarian saman terdapat Bahasa arab dan aceh. Tarian saman biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa penting dalam adat. Tarian saman berisikan Gerakan tepuk tangan dan juga pukulan ke paha disertai nyanyian syair. Tarian saman selalu dimulai dengan salam dan syair-syair yang berkaitan dengan agama islam. Pada zaman dulu tarian saman ditarikan oleh para pemuda disela-sela waktu istirahat dari menggirik padi dan saat mengisi waktu luang sebelum tidur. Tarian sama sajikan dengan lagu dan syair yang dinyanyikan oleh penari secara bersamaan. Tarian saman ditarikan oleh pria atau orang muda dengan menggunakan pakaian adat. Tari Saman dipentaskan dengan cara bertanding antar kelompok tamu dan kelompok sepangkalan. Kelompok sepihak harus dapat mengikuti gerak,lagu, tarian dan syair yang di tampilkan oleh tim lawan, ini dilakukan secata bergantian. Kelompok yang lebih banyak menguasai atau meniru tarian lawan dianggap menang dalam pertandingan. Pakaian adat yang digunakan saat menarikan saman, yaitu untuk dikepala menggunakan bulang teleng dam suntieng kepies. Kemudian dibadan menggunakan baju pokok atau kerrawang serta celana dan kain sarung. Pada tangan menggunakan topeng gelang dan sapu tangan. Saman biasanya dilakukan didalam rumah adat atau dilapangan. Ciri khas yang terdapat pada Tarian Saman terletak pada kekompakan Gerakan para penari saman. Para pemain saman bergerak serentak mengikuti irama musik yang harmonis. Gerakan-gerakan yang teratur membuat seolah digerakan oleh satu tubuh, terus menari dengan kompak dan mengikuti dendang lagu dengan dinamis. Ciri khas saman memiliki berbagai variasi ada saman jejunten yang dilakukan oleh para pemuda dengan cara berjuntai pada pohon kelapa yang sengaja ditebang. Kemudian Saman Njik dilakukan dengan menggirik kaki. Kemudian Saman Ngerje atau umah sara saman yang dilakukan oleh para pemuda untuk mengisi waktu luang dalam acara perkawinan dan dilaksanakan antara pihak penyelenggara dan tamu. Saman diatas merupakan saman yang tidak formal atau dilakukan secara suka- suka. Kemudian ada Bejamu Saman dilakukan dengan cara mengundang untuk sama-sama menampilkan tari saman secara bergantian namun dilakukan antar dua kampung untuk menunjukkan kehebatannya secara bergantian. Memangka sebutan untuk kampung yang mengundang dan jamu untuk sebutan kampung yang diundang. Saman bejamu selain untuk hiburan memiliki fungsi untuk menjalin silahturrahmi. Aspek kesenian Tarian Saman yang menarik untuk diangkat di film atau program televisi adalah bagaimana tarian saman sebagai media menyebarkan agama dan juga sebagai ajang silaturrahmi. Pada Tarian saman memiliki banyak varian tarian yang belum banyak orang ketahui dan ingin menampilkan berbagai varian dari tarian saman. Bahwa Tarian Saman memiliki banyak sekali hal yang dapat dipelajari dari syair-syair pada tarian saman yang memiliki nasihat dan tuntutan untuk berbuat kebajikan. Menampilkan Tarian Saman juga dapat menyebarkan kesenian yang ada di Indonesia. Dengan di angkat menjadi program televisi, membuat penyebaran kebudayaan menjadi lebih proaktif. Televisi sendiri tidak hanya mencari, tetapi juga ikut memperkenalkan kebudayaann.¹ Catatan Akhir ¹ N.R.A. Candra, "PERKEMBANGAN MEDIA PENYIARAN TELEVISI : Menjadikan Televisi Sebagai Kebudayaan Masyarakat", CAPTURE Vol.1, No.2, 2010, hal. 196. DAFTAR PUSTAKA Candra, N.R.A. 2010. PERKEMBANGAN MEDIA PENYIARAN TELEVISI : Menjadikan Televisi Sebagai Kebudayaan Masyarakat. CAPTURE, 1(2), 196. Annisa Mutiara Shabrina E-mail : [email protected] .
Recommended publications
  • Bab I Pendahuluan
    BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya, dari Sabang sampai Merauke terhampar ragam suku, bahasa dan budaya yang berbeda dari yang lainnya. Inilah yang membedakan Indonesia dari bangsa lain sehingga menjadikan Indonesia sangat kaya akan keragaman, dan secara tidak langsung ini menjadi daya tarik bagi pengunjung dari mancanegara untuk berlibur disini. Budaya menjadi salah satu kebanggaan Indonesia dalam memperlihatkan jati dirinya sebagai negara yang sangat kaya. Akan tetapi dengan banyaknya budaya yang ada dan masuknya budaya luar menjadi dampak buruk kepada generasi penerus, dikarenakan mereka tidak mengenali budayanya dan pengertian terhadap budaya itu sendiri. Budaya merupakan suatu hal yang bisa dijadikan identitas unik dan khas bagi suatu daerah. Budaya adalah suatu cara hidup yang terdapat pada sekelompok manusia, yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ada pula yang mengartikan bahwa budaya adalah suatu pola hidup yang tumbuh dan berkembang pada sekelompok manusia yang mengatur agar setiap individu mengerti apa yang harus dilakukan, dan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. 1 2 Secara bahasa, “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi dimana artinya adalah segala bentuk hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Bentuk lain dari kata “budaya” adalah kultur yang berasal dari bahasa Inggris yaitu culture dan bahasa Latin Cultura. Budaya dapat terbentuk dari banyak aspek yang kompleks dan sangat luas, yang termasuk di dalamnya antara lain agama, kepercayaan, hukum, moral, bahasa, adat istiadat, pakaian, bangunan, karya seni, kebiasaan, dan lain-lain. Kehadiran budaya diyakini akan mampu mempengaruhi pengetahuan dari seseorang, gagasan, ide dan lainnya.
    [Show full text]
  • Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten
    Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) Gabriel Facal Abstract: This article examines the religious specificities of Banten during the early Islamizing of the region. The main characteristics of this process reside in a link between commerce and Muslim networks, a strong cosmopolitism, a variety of the Islam practices, the large number of brotherhoods’ followers and the popularity of esoteric practices. These specificities implicate that the Islamizing of the region was very progressive within period of time and the processes of conversion also generated inter-influence with local religious practices and cosmologies. As a consequence, the widespread assertion that Banten is a bastion of religious orthodoxy and the image the region suffers today as hosting bases of rigorist movements may be nuanced by the variety of the forms that Islam took through history. The dominant media- centered perspective also eludes the fact that cohabitation between religion and ritual initiation still composes the authority structure. This article aims to contribute to the knowledge of this phenomenon. Keywords: Islam, Banten, sultanate, initiation, commerce, cosmopolitism, brotherhoods. 1 Banten is well-known by historians to have been, during the Dutch colonial period at the XIXth century, a region where the observance of religious duties, like charity (zakat) and the pilgrimage to Mecca (hajj), was stronger than elsewhere in Java1. In the Indonesian popular vision, it is also considered to have been a stronghold against the Dutch occupation, and the Bantenese have the reputation to be rougher than their neighbors, that is the Sundanese. This image is mainly linked to the extended practice of local martial arts (penca) and invulnerability (debus) which are widespread and still transmitted in a number of Islamic boarding schools (pesantren).
    [Show full text]
  • Illicit Arms in Indonesia
    Policy Briefing Asia Briefing N°109 Jakarta/Brussels, 6 September 2010 Illicit Arms in Indonesia activities. Recruitment by jihadis of ordinary criminals in I. OVERVIEW prisons may also strengthen the linkage between terror- ism and crime in the future. A bloody bank robbery in Medan in August 2010 and the discovery in Aceh in February 2010 of a terrorist training There are four main sources of illegal guns in Indonesia. camp using old police weapons have focused public at- They can be stolen or illegally purchased from security tention on the circulation of illegal arms in Indonesia. forces, taken from leftover stockpiles in former conflict These incidents raise questions about how firearms fall areas, manufactured by local gunsmiths or smuggled into criminal hands and what measures are in place to stop from abroad. Thousands of guns acquired legally but later them. The issue has become more urgent as the small groups rendered illicit through lapsed permits have become a of Indonesian jihadis, concerned about Muslim casualties growing concern because no one has kept track of them. in bomb attacks, are starting to discuss targeted killings as Throughout the country, corruption facilitates the circula- a preferred method of operation. tion of illegal arms in different ways and undermines what on paper is a tight system of regulation. The Indonesian government could begin to address the problem by reviewing and strengthening compliance with procedures for storage, inventory and disposal of fire- II. GUN CONTROL IN INDONESIA arms; improved vetting and monitoring of those guarding armouries; auditing of gun importers and gun shops, in- At the national level, Indonesia takes gun control seriously.
    [Show full text]
  • Trends in Southeast Asia
    ISSN 0219-3213 2016 no. 9 Trends in Southeast Asia THE EXTENSIVE SALAFIZATION OF MALAYSIAN ISLAM AHMAD FAUZI ABDUL HAMID TRS9/16s ISBN 978-981-4762-51-9 30 Heng Mui Keng Terrace Singapore 119614 http://bookshop.iseas.edu.sg 9 789814 762519 Trends in Southeast Asia 16-1461 01 Trends_2016-09.indd 1 29/6/16 4:52 PM The ISEAS – Yusof Ishak Institute (formerly Institute of Southeast Asian Studies) was established in 1968. It is an autonomous regional research centre for scholars and specialists concerned with modern Southeast Asia. The Institute’s research is structured under Regional Economic Studies (RES), Regional Social and Cultural Studies (RSCS) and Regional Strategic and Political Studies (RSPS), and through country- based programmes. It also houses the ASEAN Studies Centre (ASC), Singapore’s APEC Study Centre, as well as the Nalanda-Sriwijaya Centre (NSC) and its Archaeology Unit. 16-1461 01 Trends_2016-09.indd 2 29/6/16 4:52 PM 2016 no. 9 Trends in Southeast Asia THE EXTENSIVE SALAFIZATION OF MALAYSIAN ISLAM AHMAD FAUZI ABDUL HAMID 16-1461 01 Trends_2016-09.indd 3 29/6/16 4:52 PM Published by: ISEAS Publishing 30 Heng Mui Keng Terrace Singapore 119614 [email protected] http://bookshop.iseas.edu.sg © 2016 ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapore All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form, or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, without prior permission. The author is wholly responsible for the views expressed in this book which do not necessarily reflect those of the publisher.
    [Show full text]
  • Pemaknaan Inskripsi Pada Kompleks Makam Islam Kuno Katangka Di Kabupaten Gowa
    PEMAKNAAN INSKRIPSI PADA KOMPLEKS MAKAM ISLAM KUNO KATANGKA DI KABUPATEN GOWA The Meaning Inskription of Mausoleum Ancient in Katangka Complex Regency of Gowa ROSMAWATI P1900206007 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2008 T E S I S PEMAKNAAN INSKRIPSI PADA KOMPLEKS MAKAM ISLAM KUNO KATANGKA DI KABUPATEN GOWA ROSMAWATI P1900206007 KONSENTRASI ILMU SEJARAH PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN ii 2008 PENGESAHAN TESIS PEMAKNAAN INSKRIPSI PADA KOMPLEKS MAKAM ISLAM KUNO KATANGKA DI KABUPATEN GOWA Disusun dan Diajukan oleh ROSMAWATI P1900206007 Program Studi Antropologi Konsentrasi Ilmu Sejarah Menyetujui Komisi Pembimbing Dr. A. Rasyid Asba, MA. Dr. Anwar Thosibo, M.Hum Ketua Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Antroplogi Dr. H. Machmud Tang, MA. iii ABSTRACT ROSMAWATI. The Meaning Inscription of Moesleum Ancient of Katangka Complext in Regency of Gowa (guided by A. Rasyid Asba and Anwar Thosibo) This research aim to explain history growt of Islam in Makassar, specially meaning of inscription at ancient mausoleum in Katangka Complex. In that bearing, was explained about socialization of Islam in social and politic pranata. Explained also form and obstetrical style of inscription and also its meaning. All that aim to know on adaptation of pattern between local culture and Islam. Clarification for this research problem use the method of history research with approach of history-archaeology. Its procedure cover the step of source gathering (heuristic), source verification, interpretation and historiography. Result of this research show that Islam growth in Makassar show the existence of acculturation between Islam influence and local cultural. Found inscription of mausoleum that used letter of Arab with Arab Ianguage and Makassar Ianguage (Ukir Serang).
    [Show full text]
  • Peran Seni Tari Zikir Saman Di Pandeglang, Banten the Role of Dhikir Saman Dance Art in Pandeglang, Banten
    Peran Seni Tari Zikir Saman di Pandeglang, Banten The Role Of Dhikir Saman Dance Art In Pandeglang, Banten Ela Hikmah Hayati dan Rasikin Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syekh Manshur, Pandeglang-Banten [email protected]; [email protected] DOI: http://dx.doi.org/10.31291/jlk.v17i1.596 Received: Februari 2019; Accepted: Juni 2019; Published: Juni 2019 Abstract This study discusses one of the dance arts in Pandeglang Banten, namely the Dhikr Saman dance. This dance is one culture that is able to carry Islamic values. The emergence of the Dhikr Saman dance culture is from a tarekat called Samaniyah brought by Sheikh Muhammad bin Abd Karim al-Samman from Aceh in the 18th century, by modifying the teachings of the Khalwiyat, Qadiriyah, Naqsabandiyah and Syadziliyah orders. This study aims to reveal how the role of the Dhikr Saman dance uses the structural functional theory analysis tool proposed by Talcot Parsons. The results of this study reveal that the Dhikr Saman Dance art is able to give a role in spreading Islamic values in the Pandeglang community in the aspects of religion and culture, but after 2009 the Dhikr Saman Dance no longer has an important role in the Society due to more modern thought changes brought by Muhammadiyah, which suggests that Islamic values contained in the Dhikr Saman dance are impure teachings. Key Words: Influence, Islamic Culture, Dhikr Saman, Pandeglang Abstrak Studi ini membahas tentang salah satu seni budaya Tari di Pandeg- lang Banten yaitu tari Zikir Saman. Seni tari ini merupakan salah satu budaya yang mampu membawa nilai-nilai Islam.
    [Show full text]
  • The Role of the Military, the Bruneian Political Power and the Malay Realm (14Th – 19Th Century): from a Historical Perspective
    PSYCHOLOGY AND EDUCATION (2021) 58(4), ISSN 1553 - 6939 Article Received: 22th November, 2020; Article Revised: 26th March, 2021; Article Accepted: 26th April, 2021 The Role of The Military, The Bruneian Political Power and The Malay Realm (14th – 19th Century): From a Historical Perspective Asbol Mail Ampuan Haji Brahim Ampuan Haji Tengah Haji Tassim Haji Abu Bakar Academy of Bruneian Studies Universiti Brunei Darussalam ABSTRACT This paper attempts to discuss the role of the military, the Bruneian political power and the traditional Malay Realm. The period investigated is between the 14th and 19th Century1. Apart from Brunei, the other countries that is considered to have been a part of the Malay Realm includes Malaysia, Indonesia, Patani in Thailand, and the Philippines. It was in these nations where the Malay Realm sultanates once existed, each with its own military, not only Brunei, but also Malacca, Aceh, Demak and Patani. The military2, in general, is defined as a group of people who are authorised to defend a country from any enemy attacks, whether it is from within the country or from external forces. They are also often ordered by a government or leader to attack other countries or certain factions, who they see as the enemy. Ketenteraan (The Military) – Malay Language Wikipedia, The Free Encyclopedia (2020) means that it was successful in protecting the INTRODUCTION This paper attempts to discuss the role of the country’s current political powers. Thus, the military, the Bruneian political power and the defended country is regarded as sovereign and traditional Malay Realm. The period investigated is independent, free from foreign dominion.
    [Show full text]
  • Download (1MB)
    The Politics of National Integration in Indonesia: An Analy sis o f The Ro le of M ilit ary in t he P ro vince o f A ce h This page is intentionally left blank Dr. Muhammad bin Abubakar The Politics of National Integration in Indonesia: A n A n a l y s i s o f T h e R o l e o f M i l i t a r y i n t h e P r o v i n c e o f A c e h Muhammad bin Abubakar, 2015 THE POLITICS OF NATIONAL INTEGRATION IN INDONESIA: An Analysis of The Role of Military in the Province of Aceh Editor: Nanda Amalia, SH, M.Hum Unimal Press, Lhokseumawe, Aceh ISBN 978-602-1373-23-1- Hak Cipta © 2015, pada Dr. Muhammad bin Abubakar, All rights reserved. No parts of this book may be reproduced by any means, electronic or mechanical,including photocopy, recording, or information storage and retrieval system, without permission in writing from the publisher. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit THE POLITICS OF NATIONAL INTEGRATION IN INDONESIA: An Analysis of The Role of Military in the Province of Aceh Hak Penerbitan pada Unimal Press Layout: Eriyanto Darwin Cetakan Pertama, Juni 2015 Dicetak oleh: Unimal Press Alamat Penerbit: Universitas Malikussaleh Jl. Panglateh No. 10, Keude Aceh, Lhokseumawe 24351 Nanggroe Aceh Darussalam INDONESIA +62-0645-47512 PREFACE the socio-political and cultural beliefs of the early Buddhist Kingdom of Shrivijaya and the Hindu Kingdom of Majapahit completely failed to penetrate into Aceh.
    [Show full text]
  • Chapter 3 Colonialism and the Imagination of Pious Aceh, Ca
    VU Research Portal Becoming better Muslims Religious authority and ethical improvement in Aceh, Indonesia Kloos, D. 2013 document version Publisher's PDF, also known as Version of record Link to publication in VU Research Portal citation for published version (APA) Kloos, D. (2013). Becoming better Muslims Religious authority and ethical improvement in Aceh, Indonesia. General rights Copyright and moral rights for the publications made accessible in the public portal are retained by the authors and/or other copyright owners and it is a condition of accessing publications that users recognise and abide by the legal requirements associated with these rights. • Users may download and print one copy of any publication from the public portal for the purpose of private study or research. • You may not further distribute the material or use it for any profit-making activity or commercial gain • You may freely distribute the URL identifying the publication in the public portal ? Take down policy If you believe that this document breaches copyright please contact us providing details, and we will remove access to the work immediately and investigate your claim. E-mail address: [email protected] Download date: 29. Sep. 2021 CHAPTER 3 COLONIALISM AND THE IMAGINATION OF PIOUS ACEH, CA. 1890-1942 ‘Here, everything speaks of struggle, resistance, hatred. Everything, except for the people.’ – Dr. J. Thijssen (1933). In May 2010 I told some friends in Juroung that I was about to leave for the West coast to conduct some interviews. I received different reactions. ‘It is very good that you go there,’ one said. ‘It is a very beautiful part of Aceh, very interesting, and very different from here.
    [Show full text]
  • Penyelesaian Jarimah Ikhtilath Dalam Acara Saman
    PENYELESAIAN JARIMAH IKHTILATH DALAM ACARA SAMAN ROA LO ROA INGI (SAMAN DUA HARI DUA MALAM) DALAM HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Kampung Bener Kecamatan Kutapanjang Kabupaten Gayo Lues) SKRIPSI Diajukan Oleh: ASTUTI LENAWATI Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Pidana Islam NIM : 140104059 FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM – BANDA ACEH 2018 M / 1440 H ABSTRAK Nama : Astuti lenawati Nim : 140104059 Fakultas/Prodi : Syari’ah Dan Hukum / Hukum Pidana Islam Judul : Penyelesaian Jarimah Ikhtilat Dalam Acara Saman Roa Lo Roa Ingi (Saman Dua Hari Dua Malam) Dalam Hukum Adat dan Hukum Islam (Studi Kasus Kampung Bener Kecamatan Kutapanjang Kabupaten Gayo Lues) Tanggal Munaqasyah : 06 Agustus 2018 Tebal Skripsi : 63 Halaman Pembimbing I : Dr. Agustin Hanafi,.Lc. MA Pembimbing II : Dr. Jamhir, S.Ag,.M.Ag Kata Kunci : Ikhtilath dalam saman roa lo roa ingi Pada dasarnya Islam telah mewajibkan pemisahan antara laki-laki dan wanita. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya. Sebagaimana dalam acara saman roa lo roa ingi(dua hari dua malam) terdapat ikhtilat, yaitu bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. kriteria ikthtilat dalam acara tersebut yaitu terjadinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan ditempat yang sama yang bukan mahramnya, dan terjadinya interaksi antara laki-laki dan perempuan tersebut. Tujuan penelitian skripsi ini untuk mengetahui pandangan masyarakat dan tokoh Adat dalam acara saman roa lo roa ingi (saman dua hari dua malam) dan bentuk sanksi pidana adat bagi pelaku jarimah ikhtilath di kampung Bener Kecamatan Kutapanjang Kabupaten Gayo Lues.
    [Show full text]
  • Modul 7 Indonesiaku Unik
    MODUL TEMA 7 MODUL TEMA 7 Indonesiaku Unik i Hak Cipta © 2018 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dilindungi Undang-Undang Kata Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Paket A Setara SD/MI Kelas V Modul Tema 7 : Indonesiaku Unik endidikan kesetaraan sebagai pendidikan alternatif memberikan layanan kepada mayarakat yang Penulis: Maria Chatarina karena kondisi geografi s, sosial budaya, ekonomi dan psikologis tidak berkesempatan mengikuti pendidikan dasar dan menengah di jalur pendidikan formal. Kurikulum pendidikan kesetaraan Diterbitkan oleh: Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan- P dikembangkan mengacu pada kurikulum 2013 pendidikan dasar dan menengah hasil revisi berdasarkan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018 peraturan Mendikbud No.24 tahun 2016. Proses adaptasi kurikulum 2013 ke dalam kurikulum pendidikan kesetaraan adalah melalui proses kontekstualisasi dan fungsionalisasi dari masing-masing kompetensi iv+ 64 hlm + illustrasi + foto; 21 x 28,5 cm dasar, sehingga peserta didik memahami makna dari setiap kompetensi yang dipelajari. Pembelajaran pendidikan kesetaraan menggunakan prinsip fl exible learning sesuai dengan karakteristik peserta didik kesetaraan. Penerapan prinsip pembelajaran tersebut menggunakan sistem pembelajaran modular dimana peserta didik memiliki kebebasan dalam penyelesaian tiap modul yang di sajikan. Konsekuensi dari sistem tersebut adalah perlunya disusun modul pembelajaran pendidikan kesetaraan yang memungkinkan peserta didik untuk belajar dan melakukan evaluasi ketuntasan secara mandiri. Tahun 2017 Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat mengembangkan modul pembelajaran pendidikan kesetaraan dengan melibatkan pusat kurikulum dan perbukuan kemdikbud, para akademisi, pamong belajar, guru dan tutor pendidikan kesetaraan. Modul pendidikan kesetaraan disediakan mulai paket A tingkat kompetensi 2 (kelas 4 Paket A).
    [Show full text]
  • Narrating Ideas of Religion, Power, and Sexuality in Ayu Utami's Novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu a Thesis Presented To
    Narrating ideas of Religion, Power, and Sexuality in Ayu Utami’s novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Widyasari Listyowulan June 2010 © 2010 Widyasari Listyowulan. All Rights Reserved. 2 This thesis titled Narrating ideas of Religion, Power, and Sexuality in Ayu Utami’s novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu by WIDYASARI LISTYOWULAN has been approved for the Center for International Studies by Richard B. McGinn Associate Professor Emeritus of Linguistics Drew O. McDaniel Director, Southeast Asian Studies Daniel Weiner Executive Director, Center for International Studies 3 Abstract LISTYOWULAN WIDYASARI., M.A., June 2010, Southeast Asian Studies Narrating ideas of Religion, Power, and Sexuality in Ayu Utami’s novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu (160 pp.) Director of Thesis: Richard B. McGinn Since 1998, Ayu Utami has become prominent as one of the female authors who have successfully voiced their perspectives on social issues that were once considered taboo. Her three novels, Saman, Larung, and Bilangan Fu, Utami’s have praised both nationally and internationally. As a writer and social critic, she particularly focuses on three Indonesian social cancers, those related to power, sexuality, and religion. Utami’s characters personify the tragic flaw of modern people who are trapped between the need to struggle for their own personal beliefs and the different pressures placed on them by the nation, traditional concepts and modernism, patriarchal society and women’s desires for greater freedom. Through her male characters (namely Saman, Larung, Yuda, and Parang Jati), Utami portrays how modern men face the clash between their beliefs about religion and the government.
    [Show full text]