KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN IPS Wahyu
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KEARIFAN LOKAL DAN PENDIDIKAN IPS Wahyu I. MAKNA KEARIFAN LOKAL Menurut Chamber (1987), kearifan lokal sering juga disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang terminologi kearifan lokal (local knowledge). Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti: pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system). Beberapa pengertian dari masing- masing terminologi ini antara lain (Muyungi and Tillya, 2003): 1. Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge sebagai suatu koleksi gagasan- gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu pengaturan yang spesifik berdasar pada sistem nilai (religi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis. 2. Brouwer (1998) menggambarkan traditional knowledge sebagai kemampuan-kemampuan kuno, adat-istiadat yang asli dan khusus, konvensi-konvensi dan rutinitas-rutinitas yang mewujudkan suatu pandangan statis dari kultur masyarakat. 3. Kajembe (1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan tentang perkakas dan teknik-teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran, perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi tertentu. Terkait dengan karakteristik kearifan lokal, Ellen and Bicker (2005) menyebutkan beberapa hal, diantaranya: 1. Merupakan sekumpulan pengalaman, dan berakar serta dihasilkan oleh orang-orang yang tinggal pada suatu tempat tertentu; 2. Ditransmisikan secara oral, melalui peniruan dan demonstrasi; 3. Merupakan konsekuensi dari praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari dan terus-menerus serta diperkuat melalui pengalaman dan trial and error; 4. Cenderung empiris daripada pengetahuan teoritis dalam arti sempit; 5. Pengulangan merupakan ciri khas dari tradisi, bahkan ketika pengetahuan baru ditambahkan; 6. Selalu berubah, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga hilang, sering direpresentasikan sebagai sesuatu yang statis; 7. Bersifat khas; 8. Terdistribusi tidak merata secara sosial; 9. Bersifat fungsional; 10. Holistik, integratif dan terdapat di dalam tradisi budaya yang lebih luas. Sistem kearifan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan fondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem kearifan lokal berupa keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui “tradisi-tradisi lisan” dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi. Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), kearifan lokal sebenarnya bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris (menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik (pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial). Kearifan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Kearifan lokal adalah bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang kearifan lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk memahami tentang kearifan lokal ini karena pengertian „benar‟ dan „salah‟ haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang „benar‟ dan apa yang disebut „salah‟ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal tersebut Warren dan Rajasekaran (1993), menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat. Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Dengan kata lain, merupakan pengetahuan lokal yang unik, berasal dari budaya masyarakat setempat serta menjadi dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa kearifan lokal meliputi tradisi-tradisi dan praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat lokal yang terwujud dalam kebijaksanaan, pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal kearifan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum. II. PERKEMBANGAN KEARIFAN LOKAL Sifat dinamis kearifan lokal yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya membuat kearifan lokal dapat berkembang dan eksis dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Sundar (2005), kearifan lokal bukan merupakan entitas abadi dan stagnan, tetapi mengalami perubahan sesuai dengan kondisi-kondisi material pengetahuan tersebut, perubahan lingkungan di mana mereka berada dan bagaimana mereka menempatkan penggunaannya. Oleh karena itulah Nababan (1995) menyatakan bahwa kearifan masyarakat tentang lingkungan lokalnya berkembang dari pengalaman sehari-hari. Berdasarkan sistem kearifan lokal ini, kebudayaan mereka beradaptasi dan berkembang dalam menjawab berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi. Kedalaman penghayatan masyarakat tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi alam tercermin dari sistem budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam sehingga menjadi bagian darinya. Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam serta nilai distribusi dan pengalokasian hasil alam yang menjamin kepuasan kepada semua pihak tanpa berlebihan. Melalui sifat dinamis dari kearifan lokal ini, masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam lingkungan mereka dan menyerap serta mengasimilasi gagasan-gagasan dari bermacam sumber yang berbeda. Kearifan lokal berkembang dari kemampuan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti pandangan teori koevolusi (coevolution) yang menyatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia. Teori koevolusi menunjukkan bagaimana sistem sosial (terutama sistem pengetahuan), dan ekosistem saling berhubungan, dan bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain (FAO 2004). Kearifan lokal yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena itu dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media massa. Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan dipraktikkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan di mana ia tinggal dan bercocok tanam, petani memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Mulyoutami, dkk, 2007). Kearifan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Mulyoutami, dkk, 2007). Banyak praktik sistem pertanian lokal yang dapat memberikan ide potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara lestari. Petani mengembangkan pengetahuan baru dari pengetahuan dasar yang sudah mereka miliki ditambah dengan masukan eksternal. Apabila ada inovasi baru yang diperkenalkan kepada petani, maka mereka akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru tersebut. Berdasarkan uji coba yang mereka lakukan, kemudian mereka membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak. Jika hasilnya seperti yang mereka harapkan, maka mereka akan mengadopsi pengetahuan tersebut. Untuk memantapkan keberlanjutan pengembangan pengetahuannya, masyarakat dapat menyerap pengetahuan luar, memahaminya, dan menginterpretasikannya serta menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan selanjutnya menghasilkan pengetahuan lokal yang bersesuaian dengan hal tersebut. Oleh karena itu menurut Hans-Dieter Evers dan Gerke (2003), dalam interaksi dengan pengetahuan luar, maka akan terjadi penyesuaian dengan persyaratan-persyaratan lokal sehingga menjadi suatu pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Proses ini menunjukkan