PROSIDING SEMINAR NASIONAL

Tema: Memperkuat Pilar Ekonomi Provinsi NTB Melalui Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Diselenggarakan: Mataram, 14 November 2018

Penerbit: Mataram University Press

Bekerjasama: Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB; Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mataram; Wildlife Conservation Society; dan Forum Ilmiah Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Provinsi NTB.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Judul: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB

Tema: Memperkuat Pilar Ekonomi Provinsi NTB Melalui Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Panitia Pelaksana: Ketua : Dr. Sitti Hilyana Sekretaris : Dr. Soraya Gigentika Bendahara : Hernawati, M.Si Kesekretariatan : Ayu Adhita Damayanti, M.Si Dewi Putri Lestari, M.Si Acara : Dr. Soraya Gigentika Dr. Nurliah Perlengkapan : Bagus Dwi Hari Setyono, S.Pi, M.Si Sukmaraharja Auliarahman Tarigan, S.Ik

Steering Committee: Ir. Lalu Hamdi, M.Si Dr. Irfan Yulianto, S.Pi, M.Si

Reviewer/Editor: Dr. Sitti Hilyana; Dr. Soraya Gigentika, S.Pi, M.Si; Tasrif Kartawijaya, S.Pi, M.Si dan Hernawati, S.Si, M.Si

Layout: Tim Mataram University Press

Penerbit: Mataram University Press Jln. Majapahit No. 62 Mataram-NTB Telp. (0370) 633035, Fax. (0370) 640189, Mobile Phone +6281917431789 e-mail: [email protected], website: www.uptpress.unram.ac.id. Cetakan Pertama, April 2019

ISBN: 978-602-6640-67-3

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak, sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, tanpa izin penulis dan penerbit.

ii Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terlaksananya Seminar Nasional Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB serta penyusunan Prosiding Seminar Nasional ini. Seminar Nasional tersebut dilakukan untuk merumuskan kegiatan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di Provinsi NTB. Prosiding ini berisi kumpulan tulisan mengenai hasil penelitian dan makalah tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan. Kegiatan Seminar Nasional dan penyusunan Prosiding ini dilaksanakan atas kerjasama Forum Ilmiah Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan (FIP2B) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB; Wildlife Conservation Society (WCS); serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat - Universitas Mataram (LPPM - UNRAM). Penyampaian makalah diawali dengan penyampaian materi dari keynote speaker, yaitu: 1. Yuni Tri Kumoro, S.Si, M.E (Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan - Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - Kementerian Kelautan dan Perikanan) 2. Mohamad Natsir, M.Si (Pusat Riset Perikanan - Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan) Kami memberikan apresiasi khusus kepada lima orang moderator yang telah membantu jalannya pemaparan makalah dan diskusi pada kegiatan seminar. Kelima moderator tersebut adalah Dr. Imam Bachtiar, Dr. Didik Santoso, Dr. Satrijo Saloko, dan Dr. Nurliah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pemakalah dan peserta yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikirannya melalui kegiatan seminar. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pihak-pihak akademisi, masyarakat, terutama bagi pengelola perikanan di Provinsi NTB. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam prosiding ini, serta dalam kegiatan seminar yang telah dilakukan. Oleh karena itu, setiap masukan dan saran bagi kemajuan dan kebaikan prosiding ini sangat kami hargai.

Mataram, Maret 2019 Ketua Panitia Pelaksana,

Dr. Sitti Hilyana

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. iii

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

SAMBUTAN KETUA FORUM ILMIAH PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN PROVINSI NTB

Bismillahirrahmanirrahim, Yang Terhormat: 1. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB 2. Perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 3. Pejabat Lingkup Universitas Mataram 4. Perwakilan Wildlife Conservation Society 5. Para Pemakalah, Peserta dan Undangan, serta hadirin yang berbahagia Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua Puji Syukur kehadirat Illahi, Tuhan YME, atas rahmat dan karunia-Nya kita dapat hadir pada acara Seminar Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB tahun 2018 di Mataram dalam keadaan sehat wal’afiat. Hadirin yang saya hormati, Acara Seminar Pengelolaan Perikanan Ber-kelanjutan di Provinsi NTB yang kita laksanakan pada hari ini merupakan pelaksanaan bagian tugas Forum Ilmiah Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan (FIP2B) Provinsi NTB, sebagaimana tercantum pada Anggaran Dasar FIP2B Provinsi NTB tahun 2018-2020. Perlu kami sampaikan bahwa dalam konteks mendukung terselenggranya Pembangunan Perikanan lebih baik kedepan, FIP2B Provinsi NTB bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi NTB telah me-netapkan berbagai Instrumen dan Regulasi sebagai Tindak Lanjut dari rancangan pengelolaan perikanan, antara lain: 1. UU No. 27 Tahun 2007 Jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 2. PP No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahaan Daerah; 3. Bersama sama mengawal secara sinergis implementasi regulasi pengelolaan perikanan terkait rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan Pesiisr dan Pulau-Pulau Kecil sesuai Perda no 12 tahun 2017; dan 4. Peraturan Gubernur terkait pengelolaan perikanan di Provinsi NTB; 5. Serta peraturan terkait lannya Semua instrumen regulasi tersebut merupakan instrumen yang dapat membantu daerah agar dapat lebih mudah dalam melaksanakan sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan perikanan dan kelautan di Provinsi NTB. Dalam konteks pengelolaan perikanan yang lebih berwawasan lingkungan dan berkelanjutan berarti harus memperhatikan keterkaitan, keseimbangan dan keadilan antar berbagai pilar pembangunan perikanan kelautan, sosial, ekonomi, lingkungan, hukum dan tata kelola, serta berkelanjutan berarti memperhatikan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa datang.

iv Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Seminar Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB yang dilaksanakan hari ini, momentumnya sangat bertepatan dengan pelaksanaan pemerintahan baru dengan RPJMD baru dan Perda pembangunan NTB yang baru, maka pertemuan hari ini dengan rekomendasi yang diusulkan menjadi sangat krusial untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan perikanan sekaligus membangun komitmen bersama antara Birokrasi, Akademisi, Organisasi Masyarakat, termasuk Pelaku Usaha yang bertujuan untuk dapat mendorong pembangunan perikanan kelautan yang lebih berkualitas. Hadirin yang saya muliakan, Pengelolaan perikanan merupakan analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif yang menjadi dasar untuk mengintegrasikan tujuan pembangunan perikanan sebagai lokomotif ekonomi regional dan nasional. Harapannya dengan melakukan Seminar Nasional walaupun pelaksanaannya sangat sederhana akan menghasilkan rekomendasi dan pertimbangan penting dalam merumuskan target-target tujuan pembangunan berkelanjutanperikanan kelautan sesuai amanah Undang- Undang No. 1 tahun 2014, sehingga terbangun keserasian pembangunan antar sektor, antar wilayah dan antar bidang ilmu dapat bersinergi. Pembangunan perikanan kelautan yang berbasis hasil riset akan dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya yang dimiliki, kebutuhan akan generasi akan datang, kepentingan multi-urusan selain mempertimbangkan tujuan pem-bangunan secara sektoral. Bapak, Ibu yang saya hormati, Seminar Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB ini merupakan contoh konkrit wujud aksi kolaboratif antara FIP2B NTB dengan pemerintah baik pusat dan daerah dan Perguruan Tinggi untuk pencapaian tujuan pembangunan perikanan kelautan dimana setiap pihak harus terlibat dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembangunan khususnya pembangunan kelautan dan perikanan di Provinsi NTB. Ucapan terimakasih secara khusus kami sampaikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan serta WCS yang telah mendukung acara Seminar Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB pada hari ini dan juga ucapan terimakasih kepada Para Hadirin dan Undangan yang telah hadir. Demikian yang dapat kami sampaikan. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ketua Forum Ilmiah Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Provinsi NTB

Dr. Sitti Hilyana.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. v

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN SAMPUL ------i KATA PENGANTAR ------iii SAMBUTAN KETUA FORUM ILMIAH PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN PROVINSI NTB ------iv DAFTAR ISI ------vi SOFT SYSTEM METHODOLOGY: SUATU PENDEKATAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS PADA PERUBAHAN PERILAKU PARA PEMANFAAT SUMBERDAYA (Soft System Methodology: a fisheries management approach based on behavior changes user resources) Oleh: Tri Wiji Nurani1*, Sugeng Hari Wisudo1, Prihatin Ika Wahyuningrum1, Soraya Gigentika2 ------1 RENCANA KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT (Policy Based Ecosystem Fisheries Management Plan in West Nusa Tenggara Province) Oleh: Asfin ------17 PERFORMA PERIKANAN PELAGIS KECIL BERPENDEKATAN ECOSYSTEM APPROACH TO FISHERIES MANAGEMENT (EAFM) DI KAWASAN TELUK JOR LOMBOK TIMUR Oleh: Sitti Hilyana*, Nurliah Buhari, Ayu Adhita Damayanti, Dewi Putri Lestari ------26 PEMETAAN DAN PENANGGULANGAN DESTRUCTIVE FISHING DI TELUK SALEH, KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT Oleh: Eko Suryo Saputro ------35 KONSEP PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN DESTRUCTIVE FISHING DI NUSA TENGGARA BARAT Oleh: Muh. Risnain ------45 IKAN GLODOK (GOBIIDAE: OXUDERCINAE): SUMBERDAYA IKAN YANG BELUM TERMANFAATKAN DI NUSA TENGGARA Oleh: Yuliadi Zamroni ------53 BIODIVERSITAS DAN POTENSI IKAN PADANG LAMUN PANTAI SIRE INDAH, LOMBOK UTARA (Biodiversity and Potency of Fishes in Seagrass Beds of Sire Indah Beach, Northern Lombok) Oleh: Novita Tri Artiningrum1* dan Yuliadi Zamroni2 ------59

vi Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PENDATAAN JENIS IKAN KARANG HASIL TANGKAP DI KAWASAN TWP GITA NADA SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT (Accounting of Reef Fishes in TWP Gita Nada Sekotong, West Lombok) ------66 Oleh: Selamet Kurniawan Riandinata1*, Aldhila Yulistianti2 dan Yuliadi Zamroni1 ------66 PROFIL PERIKANAN DAN PERDAGANGAN HIU DAN PARI DI ACEH BARAT (Profile of Sharks and Rays Fisheries and Trade in West Aceh) Oleh: Muhammad Ichsan*, Benaya Simeon, Efin Muttaqin ------76 PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN RUMAH TANGGA NELAYAN/MASYARAKAT SEKAROH DAN KETAPANG RAYA, LOMBOK TIMUR Oleh: Baiq Rien Handayani1*, Bambang Dipokusumo2, Wiharyani Werdiningsih1 ------82 POTENSI BUBUK ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BIOPRESERVATIF IKAN DAN PRODUK OLAHANNYA (The Potency of Coconut’s Shell Liquid Smoke Powder as Fish’s Biopreservative and Its Product) ------92 Oleh: Satrijo Saloko1*, Elya Herawati2, L. Ahmad Setiawan2, Burhanuddin Sangari Putra2 ------92 YIELD-PER-RECRUIT MODELING AS BIOLOGICAL REFERENCE POINTS TO PROVIDE FISHERIES MANAGEMENT OF LEOPARD CORAL GROUPER (PLECTROPOMUSLEOPARDUS) IN SALEH BAY, WEST NUSA TENGGARA Oleh: Siska Agustina1*, Anthony Sisco Panggabean2, Muhammad Natsir3, Heidi Retroningtyas1, Irfan Yulianto1,4 ------104 KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN IKAN KARANG DI KABUPATEN LOMBOK UTARA (The Diversity and Abundance of Coral Fish in North Lombok District) ------111 Oleh: Hilman Ahyadi1*, Selamet Kurniawan Riandinata1, Lalu Ahmad Tan Tilar W.S.K.2------111 KEANEKARAGAMAN JENIS LAMUN DI PERAIRAN GILI ASAHAN, KABUPATEN LOMBOK BARAT Oleh: Ibadur Rahman*, Muhammad Junaidi, Ayu Adhita Damayanti ------119 KOMUNITAS PADANG LAMUN BERDASARKAN HABITAT BERBEDA DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT (Communities of Seagrass Beds on Different Habitats in East Lombok Regency, West Nusa Tenggara) Oleh: Firman Ali Rahman1*, Dewi Putri Lestari2, Alfian Pujian Hadi3 ------126

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. vii

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

STRUKTUR KOMUNITAS PADANG LAMUN DI PANTAI SIRE KABUPATEN LOMBOK UTARA Oleh: Nurliah*, Ibadur Rahman, Saptono Waspodo, Ayu Adhita Damayanti ------145 STRUKTUR KOMUNITAS POLYCHAETA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN PANTAI SIRE, KABUPATEN LOMBOK UTARA Oleh: Ibadur Rahman*, Nurliah ------155 PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (decapterus spp) DI PERAIRAN UTARA ACEH (Determination of Fishing Ground Indian Scad (decapterus spp) in North Water of Aceh) Oleh: Suri Purnama Febri1*, Budhi Hascaryo Iskandar2, Domu Simbolon2 ------161 PENYEDIAAN INFORMASI PERIKANAN MENGGUNAKAN SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA (STUDI KASUS: TELUK SALEH) (Providing Fisheries Data and Information using Database Management System (Case study: Saleh Bay)) ------175 Oleh: Intan Destianis Hartati1, Siska Agustina1, Heidi Retnoningtyas1, Muhammad Iqbal 2, Irfan Yulianto1,2 ------175 RUMUSAN HASIL PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ------184 LAMPIRAN ------186

viii Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

SOFT SYSTEM METHODOLOGY: SUATU PENDEKATAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS PADA PERUBAHAN PERILAKU PARA PEMANFAAT SUMBERDAYA (Soft System Methodology: a fisheries management approach based on behavior changes user resources)

Oleh: Tri Wiji Nurani1*, Sugeng Hari Wisudo1, Prihatin Ika Wahyuningrum1, Soraya Gigentika2 1 Dosen pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB 2 Alumni Program Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB *Email: [email protected]

ABSTRAK Perikanan merupakan suatu sistem yang kompleks, mencakup berbagai aspek yaitu dari sumberdaya ikan, teknologi pemanfaatan sumberdaya, penanganan, pengolahan, hingga distribusi dan pemasaran. Selain itu juga melibatkan para pelaku pemanfaat sumberdaya, serta kelembagaan dan kebijakan untuk pe-ngelolaannya. Sampai saat ini, pengelolaan perikanan di Indonesia belum dapat dilakukan dengan baik. Berbagai program pembangunan telah dijalankan, namun sebagian besar program kurang melibatkan peran dari para pelaku pemanfaat sumberdaya, sehingga program tidak berjalan secara efektif. Soft system methodology (SSM) merupakan suatu metode pendekatan yang dapat dilakukan untuk membuat rencana pengelolaan perikanan, dengan melibatkan para pelaku pemanfaat sumberdaya. Dengan demikian program-program pem-bangunan diharapkan dapat berjalan dengan baik, karena upaya untuk mengelola sumberdaya perikanan pada dasarnya adalah mengelola sumberdaya manusia. Keterlibatan pelaku terlihat dari tahap-tahap yang harus dilakukan melalui pendekatan SSM ini yaitu 1) identifikasi permasalahan tidak terstruktur, 2) strukturisasi permasalahan, 3) perumusan root definitions, 4) perumusan model konseptual, 5) perbandingan model konseptual dengan fakta lapangan, 6) penentuan perubahan yang secara sistem diinginkan, dan 7) pelaksanaan langkah tindakan untuk perbaikan. Suatu kajian dengan pendekatan SSM telah dilakukan, yaitu “Desain model pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia (WPP 573) menggunakan pendekatan soft system methodology”.

Kata kunci: pelaku pemanfaat sumberdaya, pengelolaan perikanan, perubahan perilaku, soft system methodology (SSM)

ABSTRACT Fisheries is a complex system, covering various aspects, namely from fish resources, technology of resource utilization, handling, processing, to distribution and marketing. Besides that, it also involves the resource users, as well as institutions and policies for their management. Until now, fisheries management in Indonesia has not been done well. Various development programs have been carried out, but most programs do not involve the role of resource users, so the program does not work effectively. Soft system methodology (SSM) is a method of approach to could used to develop a fisheries management plan, by involving resource utilization actors. Thus development programs are expected to run well, because efforts to manage fisheries resources are basically managing human resources. The involvement of the actors can be seen from the steps that must be done through this SSM

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 1

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. approach, namely 1) identification of unstructured problems, 2) structuring problems, 3) formulation of root definitions, 4) formulation of conceptual models, 5) comparison of conceptual models with field facts, 6) determination of changes that are systemically desirable, and 7) implementation of action steps for improvement. A study with the SSM approach has been carried out, namely "The design model for tuna fisheries management in the Indian Ocean (WPP 573) uses a soft system methodology approach".

Keywords: behavior change, fisheries management, user resources, soft system methodology (SSM)

PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pengelolaan perikanan, diantaranya yaitu dengan menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Salah satu RPP yang sudah disusun adalah Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang Tongkol (RPP TCT), yang telah ditetapkan sebagai kebijakan melalui Kepmen KP No. 127/2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol (RPP TCT). Penyusunan RPP TCT menggunakan konsep pengelolaan perikanan yang berkembang saat ini di dunia, yaitu pengelolaan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach for Fisheries Management: EAFM). FAO (2003) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah konsep pengelolaan perikanan yang menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya dengan tetap mempertimbangkan kondisi biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan secara terpadu, komprehensif dan berkelanjutan. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi EAFM antara lain 1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem, 2) interaksi ekologis antara sumberdaya ikan dengan ekosistemnya harus dijaga, 3) perangkat pengelolaan sebaiknya kompatibel untuk semua distribusi sumberdaya ikan, 4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan, 5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO 2003). Kebijakan terkait RPP TCT ini belum efektif diimplementasikan. Salah satu wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan tuna yang potensial adalah perairan Samudera Hindia. Kondisi saat ini, kegiatan perikanan tuna di Samudera Hindia, khususnya yang tercakup dalam WPP 573 dilakukan dengan menggunakan berbagai alat penangkapan ikan, diantaranya yaitu longline, pancing tonda, pole and line dan purse seine. Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang saat ini banyak digunakan oleh pancing tonda, pole and line dan purse seine. Permasalahannya adalah banyak kasus penggunaan rumpon secara illegal terjadi, sehingga dikhawatirkan akan berdampak terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan tuna. Permasalahan lain, diantaranya adalah hasil tangkapan ikan tuna yang berukuran kecil, kualitas ikan tuna yang rendah, daerah penangkapan ikan yang sudah semakin jauh, dan belum efektifnya upaya pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan perikanan pada dasarnya adalah mengelola sumberdaya manusia. Untuk itu satu metode pendekatan digunakan dalam penelitian ini, yaitu soft system methodology (SSM). Franco (2009) menyatakan bahwa, SSM merupakan pendekatan partisipatory melalui intervensi terhadap situasi problematis organisasi, untuk meningkatkan kolaborasi, komunikasi serta sharing informasi. Pendekatan SSM dapat menyelesaikan masalah melalui dialog yang secara eksplisit mempertimbangkan aspek etika, keberlanjutan dan nilai-nilai manusia (Mingers 2011). Beberapa kajian dengan menggunakan SSM untuk pengelolaan perikanan di perairan Indonesia telah dilakukan (Rahma et al. 2013; Rahmawati et al. 2013; Ikhsan et al. 2017; Gigentika et al. 2017; Nurani et al. 2018).

2 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Penelitian ini sangat penting untuk dapat mengidentifikasi peran dan fungsi dari masing- masing pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya, sehingga dapat menghasilkan model pengelolan perikanan yang melibatkan peran serta para pemangku kepentingan dari mulai dari proses perencanaan pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Memaparkan tahap perencanaan pengelolaan perikanan dengan melibatkan peran dari para pemangku kepentingan; 2) Memberikan satu contoh hasil kajian dengan menggunakan soft system methodology (SSM).

METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pendekatan Masalah Perikanan merupakan sistem yang kompleks, untuk itu model pengembangan perikanan dibangun dengan menggunakan pendekatan soft system methodology. Soft System Metodology diperkenalkan oleh Peter Checkland pada tahun 1999. Martin et al. (2008) menyatakan bahwa, SSM dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik. Selanjutnya disebutkan bahwa SSM merupakan kerangka kerja (frame work) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan (Martin et al. 2008). Esensi SSM adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi (Williams 2005). Checkland dan Poulter (2006) menyatakan bahwa, soft system methodology dilaksanakan melalui tujuh tahap yaitu: 1) identifikasi permasalahan tidak terstruktur; 2) strukturisasi permasalahan; 3) perumusan root definitions; 4) perumusan model konseptual; 5) perbandingan model konseptual dengan fakta lapangan; 6) penentuan perubahan yang secara sistem diinginkan; dan 7) pelaksanaan langkah tindakan untuk perbaikan. Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya. SSM adalah pendekatan untuk pemodelan proses di dalam organisasi dan lingkungannya dan sering digunakan untuk pemodelan manajemen perubahan, dimana organisasi pembelajaran itu sendiri merupakan manajemen perubahan. SSM adalah proses penelitian sistemik yang menggunakan model-model sistem. Pengembangan model sistem dilakukan dengan penggalian masalah yang tidak terstruktur, mendiskusikan secara intensif dengan pihak terkait dan melakukan penyelesaian masalah secara bersama. Ketujuh tahap soft system methodology menurut Checkland dan Poulter (2006), yaitu: Tahap 1: Pemahaman terhadap situasi per-masalahan tidak terstruktur Tahap ini merupakan problem situation considered problematic, dimana permasalahan tidak terstruktur dengan jelas, masalah begitu kompleks, ada begitu banyakmessy di dalamnya, masalah memiliki banyak perspektif atau view. Tahap 2: Situasi masalah terekspresikan secara holistik Tahap ini merupakan problem situation expressed, yaitu pengungkapan masalah secara holistik dan terstruktur. Pengungkapan masalah dilakukan melalui tiga analisis, yaitu 1) analisis intervensi (intervention analysis), 2) analisis sistem sosial (social system analysis), dan 3) analisis sistem politik(polytical system analysis). Analisis intervensi yaitu menentukan pelaku sistem, yang terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, client yaitu orang atau kelompok orang yang menyebabkan intervensi terjadi. Kedua, problem solver/partitioners yaitu orang atau sekelompok orang yang akanmelakukan transformasi. Ketiga, problem owner yaitu orang atau sekelompok orang yang berkepentingan ataumendapat pengaruh dari masalah atau penyelesaian masalah. Analisis sistem sosial, dilakukan dengan menginvestigasi 3 hal penting dari pemilik masalah (problem owner), yaitu terkait dengan peran (rule), norma (norm) dan tata nilai yang dianut (value). Analisis sistem politik, dilakukan melalui pemahaman terhadap kekuasaan (power) dari pemilik masalah (problem owner).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 3

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Hasil dari Tahap 1 dan Tahap 2, akan diperoleh gagasan-gagasan mengenai situasi permasalahan yang terjadi. Gagasan tersebut diekspresikan dalam sebuah rich picture (gambaran yang detail dan kaya). Rich picture menunjukkan hubungan dan penilaian, pencarian simbol untuk menyampaikan ‘perasaan’ mengenai situasi, dan mengindikasikan hubungan yang relevan dengan solusi dari situasi permasalahan. Gambaran yang detail dan kaya dibuat melalui diagram, gambar atau model yang mampu menjelaskan hubungan struktur dan proses organisasi dikaitkan dengan kondisi lingkungan organisasi. Struktur mencakup denah fisik, hierarki, struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun non formal. Proses mencakup aktivitas dasar organisasi, seperti alokasi sumberdaya, pelaksanaan, monitoring dan control. Hubungan antara struktur dan proses diwujudkan dalam bentuk masalah, tugas-tugas, dan elemen-elemen serta lingkungan yang dapat dimengerti dengan mudah. Tahap 3: Perumusan root definitions (RDs) Tahap 3 merupakan tahap dimana peneliti merumuskan definisi akar permasalahan yang mencakup pandangan tertentu terhadap situasi masalah sesuai dengan perspektif yang relevan (root definitionsof relevant purposeful activity systems). Root definitions (RDs) dirumuskan melalui analisis PQR yaitu mengerjakan aktivitas (P) dengan metode (Q) untuk mewujudkan tujuan (R). Hal ini untuk dapat menjawab mengenai apa, bagaimana, dan mengapa dalam sistem yang dianalisis. Selanjutnya root definitions (RDs) digunakan untuk memperkaya pertanyaan mengenai situasi permasalahan. Definisi akar permasalahan yang telah teridentifikasi (RDs), merupakan dasar untuk pembuatan model konseptual. Root definitions ini perlu diuji dengan analisis CATWOE (customers, actors, transformation, weltanschauung, atau worldview, ownersdan environmental constraints) dan kriteria 3 E (efficacy, efficiency, dan effectiveness). Customers (C) yaitu penerima manfaat dari proses transformasi,actors(A) yaitu siapa yang melakukan transformasi,transformation(T) atau process yaitu konversi dari input menjadi output, welltanschaung (W) yaitu worldview yang membuat transformasi berarti dalam konteks, owners(O) yaitu orang yang bisa menghentikan transformasi, environment constrains (E) yaitu elemen di luar sistem yang mempengaruhi proses transformasi. Kriteria 3 E, yaitu efficacy,apakah langkah yang dilaksanakan (means) mendukung hasil akhir?;efficiency,apakah sumber daya yang penting dan minimum diperhatikan?; effectiveness, apakah proses transformasi dapat membantu mempertahankan tujuan untuk jangka panjang dan ada kaitannya dengan output?. Tahap 4: Perumusan model konseptual Tahap 4 membuat model berdasarkan panduan RDs. Model konseptual dibangun atas gagasan dari peneliti untuk memaparkan bekerjanya sistem sesuai dengan permasalahan yang dikaji (conceptual models of the system named in the root definitions). Sistem untuk keberlanjutan hidup sistem tersebut, meliputi input, proses atau transformasi dan output. Nee (2003), menyatakan bahwa model konseptual dibangun tanpa merujuk fakta lapangan, model dibangun dari ide/gagasan peneliti berdasarkan teori yangdigunakan dan aturan formal yang berlaku sehingga system thingking menjadi penting dalam tahap ini. Checkland (1981) menyatakan bahwa, berpikir sistem (systems thinking) didasari dua pasang gagasan yaitu emergent properties berpasangan dengan hierarchy (layer structure), communication berpasangan dengan control. Tahap 5: Membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan Model konseptual merupakan alat buatan yang didasarkan pada sebuah sudut pandang murni dari peneliti, sementara fakta lapangan diwarnai oleh beraneka ragam sudut pandang bahkan pada satu orang yang mengalami perubahan secara dinamis. Checkland dan Scholes (1990) menyatakan ada empat cara untuk membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan, yaitu melalui diskusi formal, mempertanyakan secara formal, menulis skenario berdasarkan pengoperasian model, dan mencoba untuk membuat model fakta lapangan dalam struktur yang sama dengan model konseptual.

4 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Tahap 6: Menentukan perubahan yang diinginkan Tahap 6 merupakan tahap dimana peneliti melakukan perubahan terhadap sistem untuk menjadi lebih baik (changes, systematically desirable, culturally feasible). Perubahan yang secara teknik dapat dilakukan, dan sesuai dengan kultur atau budaya. Checkland dan Poulter (2006) menyatakan, tiga aspek yang mesti dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, penyempurnaan, atau perubahan yaituperubahan yang berkaitan dengan struktur, perubahan yang berkaitan dengan prosesatau prosedur, dan perubahan yang berkaitan dengan sikap. Tahap 7: Langkah tindakan untuk perbaikan Tahap 7 merupakan aksi atau tindakan dalam melakukan perubahan atau perbaikan terhadap situasi masalah. Proses implementasi ini mencakup:siapa yang akan ber- tanggungjawab dalam aksi, 2) dimana dan kapan aksi itu akan dilaksanakan, 3) bagaimana dengan jadwal pelaksanaan kegiatan. Perubahan sikap dan perilaku dibutuhkan untuk menghasilkan pengaruh terhadap sistem. Tahap ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab untuk memformulasikan konsep menjadi aksi nyata. Tahap 1, 2, 5 merupakan tahap pencarian (finding), tahap 3, 4 berfikir serba sistem (systems thingking), tahap 6 dan 7 pengambilan keputusan atau tindakan (taking action). Siklus akan berulang, apabila ada yang masih perlu diperbaiki atau dilengkapi.

Tempat dan Waktu Penelitian Satu kajian dengan menggunakan soft system methodology telah dilakukan yaitu “Desain model pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia (WPP 573) menggunakan pendekatan soft system methodology” (Nurani et al. 2018). Pemahaman terhadap kondisi eksisting perikanan tuna telah dilakukan melalui penelitian yang panjang, yaitu dimulai dari tahun 2013 dan dilanjutkan tahun 2014 dengan judul kajian “Model Pengembangan Rumpon sebagai Alat Bantu dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna secara Berkelanjutan” (Nurani et al. 2014; Nurani et al. 2015a; Nurani et al. 2015b). Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan (Pacitan), PPP Pondokdadap (Malang), PPP Sadeng (DI Yogyakarta), PPP Tenau dan PPI Oeba (Nusa Tenggara Timur). Selanjutnya observasi lapang untuk pemahaman lebih jauh dan fokus identifikasi isu dan permasalahan perikanan tuna dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Penelitian lapang dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2016.

Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk identifikasi isu dan permasalahan perikanan tuna dilakukan melalui observasi lapang, pengumpulan data statistik perikanan dan kegiatan focus group discussion (FGD). Kegiatan ini dilakukan di PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. Pengumpulan data mencakup: 1. Sumberdaya ikan dan ekosistem: estimasi stok sumberdaya. 2. Teknologi penangkapan ikan: efektivitas dan selektivitas, tingkat upaya, perkembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan tuna; 3. Sosial masyarakat: manfaat pengelolaan perikanan bagi masyarakat sekitar; 4. Ekonomi pemanfaatan sumberdaya: nilai ekonomi, kelayakan usaha; 5. Kebijakan dan kelembagaan atau tata kelola.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 5

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

HASIL PENELITIAN Pengungkapan Situasi Masalah Pengungkapan situasi masalah dengan menggunakan SSM dimulai dengan menjelaskan obyek penelitian secara umum, dilanjutkan dengan memahami obyek penelitian secara mendalam dan menyeluruh dengan melihat beberapa aspek yang terkait (Williams 2005). Dalam hal ini ruang lingkup kajian adalah 1) aspek sumberdaya, habitat dan ekologi; 2) teknologi pemanfaatan sumberdaya; 3) sosial; 4) ekonomi; 5) kebijakan dan tata kelola atau kelembagaan. Pengungkapan situasi masalah mencakup dua tahap yaitu Tahap 1. Identifikasi permasalahan tidak terstruktur dan Tahap 2. Strukturisasi permasalahan. Tahap 1. Identifikasi permasalahan tidak terstruktur Desain model diawali dengan pengungkapan permasalahan secara terstruktur melalui 3 analisis, yaitu: 1) Analisis intervensi (intervention analysis) Berdasarkan pemahaman terhadap kondisi sistem saat ini, telah teridentifikasi pelaku yang terlibat dalam penyusunan model pengelolaan perikanan tuna di Perairan Samudera Hindia (WPP 573) yaitu: (a) Client: Tim Peneliti. (b) Problemsolver/partitioners: Tim Peneliti, Pemerintah Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Terkait, TNI-AL, POLRI), Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap), Instansi terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat. (c) Problem owner: Pemerintah Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Terkait, TNI-AL, POLRI), Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap, Instansi terkait), Nelayan, Pengusaha, Industri Pengolahan, Industri lainnya (penyedia perbekalan, penyedia umpan, transportasi). 2) Analisis sistem sosial (social system analysis) Analisis sistem sosialtelah dilakukan dengan menginvestigasi 3 hal penting dari pemilik masalah (problem owner), yaitu terkait dengan peran (rule), norma (norm) dan tata nilai yang dianut (value). (1) Pemerintah Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian dan Lembaga terkait, TNI AL-POLRI): a. Kementerian Kelautan dan Perikanan, • Membuat dan menetapkan peraturan terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan sumber daya perikanan tuna; • Melakukan upaya pengendalian terhadap pemanfaatan sumber daya ikan tuna; • Memfasilitasi dan menyediakan infrastuktur/sarana bagi nelayan dan industri perikanan tuna; • Menjadi mediator antara asosiasi, pelaku usaha dan nelayan. b. Kementerian dan lembaga terkait. • Memberikanan dukungan penyediaan infrastruktur; • Kemudahan perdagangan. c. TNI-AL dan Polri • Melakukan pengawasan dan penegakan hukum dibidang perikanan. (2) Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap, Instansi terkait)

6 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

• Membuat dan menetapkan peraturan terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan sumber daya perikanan sesuai kewenangannya; • Melakukan upaya pengendalian terhadap pemanfaatan sumber daya ikan sesuai kewenangannya; • Membantu dan menyediakan infrastuktur/sarana bagi nelayan dan industri perikanan tuna sesuai kewenangannya; • Menjadi mediator antara asosiasi, pelaku usaha dan nelayan sesuai kewenangannya. (3) Kelompok Ilmiah/Scientific Group (Perguruan Tinggi, Balai Penelitian dan Pengembangan) • Menyediakan data dan informasi yang akurat dan tepat waktu bagi pembuat kebijakan; • Menyediakan SDM unggul untuk pendidikan, dan industri; • Kontribusi inovasi dan teknologi baru; • Menyediakan layanan publikasi dan edukasi public. (4) Pelaku Usaha Nelayan • Nelayan merupakan pelaku utama kegiatan usaha penangkapan ikan; • Mata pencaharian sangat bergantung pada kegiatan penangkapan ikan; • Dituntut untuk mematuhi peraturan yang terkait dengan perikanan tuna; • Perlu peningkatan keterampilan/kompetensi SDM melalui pelatihan. Pengusaha Penangkapan Ikan • Menyediakan fasilitas penangkapan ikan; • Menyediakan permodalan usaha penangkapan ikan; • Menjual hasil tangkapan kepada industri pengolahan ikan; • Industri penangkapan harus mematuhi peraturan yang terkait dengan penangkapan. Pengusaha Pengolahan Ikan • Membutuhkan bahan baku ikan untuk diolah; • Membeli bahan baku ikan dari nelayan atau sumber lain untuk pengolahan; • Harus mematuhi persyaratan keamanan produk (lokal, internasional dan pembeli) atau persyaratan lain ketika melakukan pengolahan ikan; • Melakukan pengolahan untuk pengembangan produk/nilai tambah; • Menjual produk olahan ke pasar domestik atau pasar internasional. Perkumpulan Nakhoda Kapal • Berperan sebagai wadah organisasiNakhoda kapal longline di PPS Cilacap; • Nakhoda menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah melalui Perkumpulan Nakhoda Kapal; • Perkumpulan Nakhoda Kapal bisa bertindak sebagai perwakilan dari dari pada Nakhoda. (5) HNSI • Bekerja sebagai mitra pemerintah (Pusat dan daerah). • Bertindak sebagai jembatan antara pemerintah (pembuat kebijakan) dan masyarakat (pengguna). 3) Analisis sistem politik(polytical system analysis) Analisis ini dilakukan melalui pemahaman terhadap kekuasaan (power) dari pemilik masalah (problem owner). Berdasarkan hasil dari kegiatan focus group discussion yang telah dilakukan, maka dapat dijabarkan kekuasaan (power) dari pemilik masalah (problem owner), yaitu sebagai berikut: • Pemerintah daerah, dalam hal ini dipresentasikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten dan Pengelola Pelabuhan Perikanan, sebagai pemilik kekuasaan untuk

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 7

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

melakukan pengelolaan perikanan tuna telah menjalankan peran dan wewenangnya dengan baik. Berbagai kebijakan pemerintah pusat telah dijalankan dengan baik, meskipun ada beberapa kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan daerah. Sebagai pemilik kekuasaan yang berhubungan langsung dengan para pelaku usaha, pemerintah daerah terlihat lebih bijak dalam mengimplementasikan kebijakan dari pusat. • Kelompok ilmiah terlihat belum memiliki kontribusi yang besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tuna. Berbagai kajian terkait dengan perikanan tuna sudah dilakukan, namun hasilnya masih belum terlihat nyata digunakan dalam pengambilan keputusan pengelolaan perikanan. Kelompok ilmiah juga belum banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan perikanan yang dibuat oleh pemerintah pusat. • Kelompok pelaku usaha, khususnya nelayan merupakan kelompok yang paling lemah dan tidak memiliki bargaining position yang baik dalam kegiatan perikanan tuna. Nelayan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kegiatan perikanan tuna, karena tidak memiliki alternatif pekerjaan lain. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, menjadikan nelayan masih dalam posisi yang lemah. Keadaan yang berbeda terjadi di PPS Cilacap, dimana para Nakhoda kapal longline telah memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasinya yaitu melalui Perkumpulan Nakhoda Kapal.

Strukturisasi Permasalahan Secara Holistik Pemahaman terhadap kondisi sistem telah dilakukan melalui 1) survei lapang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan Pacitan dan PPP Pondokdadap Malang (2013), PPP Sadeng DI Yogyakarta dan Pangkalan Pendaratan Ikan Oeba serta PPP Tenau Kupang Nusa Tenggara Timur (2014); 2) analisis data statistik perikanan dari lokasi tersebut; 3) serta kajian mendalam melalui kegiatan focus group discussion (FGD) di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu (2016). Hasil dari pemahaman terhadap kondisi perikanan tuna di WPP 573, dapat diidentifikasi 3 permasalahan pada aspek sumberdaya, 6 permasalahan pada aspek teknologi, dan 5 permasalahan pada aspek sosial (Tabel 1).

Tabel 1. Identifikasi permasalahan perikanan tuna Domain Permasalahan 1. Sumberdaya, 1. Sudah terjadi gejala overfishing, terlihat dari trend CPUE Habitat dan yang menurun dan DPI yang semakin jauh (didukung oleh Ekosistem data penghitungan CPUE). 2. Di Palabuhanratu masih banyak ter-tangkap by catch (tangkapan utama: 30-40%). 3. Perlakuan terhadap spesies yang dilindungi belum baik. 2. Teknologi 1. Penggunaan rumpon yang tidak berizin . (Teknik 2. Ada modifikasi alat tangkap yang tidak dilaporkan, (berkaitan Penangkapan dengan fishing capacity). Ikan 3. Modifikasi alat tangkap dalam operasi penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. 4. Terdapat penyimpangan penggunaan teknologi penangkapan yang tidak dilaporkan. 5. Ada mark down ukuran kapal, dibutuhkan waktu yang lama untuk pengurusan perbaikan dokumen. 6. Peningkatan kualitas SDM, khususnya dalam hal sertifikasi masih terkendala dengan terbatasnya Tempat Uji Kompetensi

8 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Domain Permasalahan (TUK) dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi yang me- ngeluarkan sertifikat ABK Kapal (Jakarta, Tegal). 3. Sosial 1. Keterlibatan pemangku kepentingan di Palabuhanratu masih rendah. 2. Konflik dengan alat tangkap lain 3. Konflik penggunaan rumpon yang tidak berizin. 4. Konflik dengan jalur pelayaran. 5. Adanya potensi konflik dalam pengelolaan tuna. 4. Ekonomi 1. Nelayan tidak mendapatkan informasi pasar secara lengkap, terkait tujuan akhir dan harga. 2. Sebagian besar ABK merupakan nelayan penuh, yang tidak memiliki alternatif lain. 3. Nelayan memiliki ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi terhadap aktifitas penangkapan tuna, dan memiliki posisi tawar yang rendah. 4. Kelembagaan 1. Nelayan belum mengetahui tentang peraturan maupun kebijakan pengelolaan perikanan yang di-keluarkan pemerintah. 2. Keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM pengawas serta sarana dan prasarana pengawasan. 3. Pemerintah daerah belum memiliki kewenangan yang jelas terkait dengan pengelolaan perikanan tuna. 4. RPP Tuna belum dipahami dengan baik. 5. Belum ada kelembagaan pengelolaan perikanan tuna.

Permasalahan tersebut selanjutnya digambarkan dalam bentuk rich picture (gambaran yang kaya). Rich picture berguna untuk melihat pola hubungan tiap masalah pada aspek kajian berdasarkan aktor yang terlibat. Hal-hal yang dimasukkan dalam rich picture adalah pihak yang terlibat, konflik, struktur dan proses yang terjadi, serta persoalan diantara para pihak (William 2005).

Perumusan Root Definitions (RDs) Hasil pemahaman terhadap situasi permasalahan merupakan langkah Tahap 1 dari Soft System Methodology yaitu Identifikasi permasalahan tidak terstruktur, dan Tahap 2 yaitu Strukturisasi permasalahan. Langkah selanjutnya adalah Tahap 3, yaitu Perumusan root definitions (RD’s). Perumusan RDs atau tujuan pengelolan seperti terlihat pada Tabel 2. Checkland (2000) menyatakan bahwa root definition (RDs) dibangun sebagai suatu ekspresi dari aktivitas yang memiliki tujuan hasil dari suatu proses transformasi. Root definition dinyatakan dengan spesifikasi secara lebih luas, sehingga transformasi dapat dielaborasi dengan mendefinisikan elemen-elemen lain yaitu CATWOE (customers, actors, transformation process, weltanschauung, owners, and environmental constrains). Customers merupakan pihak yang menerima dampak proses transformasi; actors adalah orang yang melakukan aktivitas- aktivitas pada proses transformasi, transformation process merupakan proses yang mengubah input menjadi output. weltanschauung,adalah sudut pandang, kerangka kerja, atau image yang membuat proses transformasi bermakna, owners adalah orang yang memiliki kepentingan terbesar terhadap sistem dan dapat menghentikan proses transformasi. Environmental constrains adalah elemen-elemen di luar sistem yang dapat mempengaruhi tetapi tidak dapat mengendalikan sistem t atau dapat dikatakan sebagai apa adanya (given). RDs juga dapat

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 9

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. didefinisikan dalam bentuk PQR, yaitu melakukan P dengan menggunakan Q untuk dapat berkontribusi dalam menghasilkan R.

Tabel 2. Penetapan Root Definitions (RDs) pengelolaan perikanan tuna Domain Penetapan Tujuan Pengelolaan 1. Sumberdaya, Pihak KKP dan DKP perlu membuat regulasi yang dapat menciptakan Habitat dan atau membangun sistem usaha penangkapan ikan tuna yang Ekosistem berkeadilan, menguntungkan, dan berkelanjutan.

2. Teknologi Pihak KKP dan DKP perlu menata kembali terkait dengan penggunaan (Teknik rumpon. Selain itu juga, perlu membuat petunjuk teknis dan petunjuk Penangkapan pelaksanaannya, utamanya untuk rumpon laut dalam. Ikan Pihak KKP dan instansi terkait perlu membangun sistem yang dapat menjamin terlaksananyaSertifikasi Kompetensi secara nasional bagi Nakhoda dan ABK melalui pembuatan kebijakan dan pengalokasian anggaran. 3. Sosial Pihak KKP dan Kelembagaan lainnya perlu membangun sistem yang dapat menjamin terciptanya kerjasama, komunikasi dan koordinasi dalam perencanaan maupun pelaksanaan program pengembangan perikanan tuna. 4. Ekonomi Pihak KKP dan DKP memiliki keberpihakan yang kuat untuk meningkatkan kapabilitas nelayan/ABK tuna longline melalui peningkatan pengetahuan dan wawasan serta pemberian informasi yang transparan, khususnya terkait dengan pengetahuan tentang harga dan kualitas ikan tuna. 5. Kelembagaan Pihak KKP perlu membangun sistem yang dapat menjamin bahwa peraturan ataupun kebijakan dapat dipahami dan dipatuhi oleh nelayan dan stakeholders lainnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan tidak mengabaikan prinsip-prinstip pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Pihak KKP perlu membangun sistem untuk terciptanya manajemen yang baik dalam melakukan pengelolaan perikanan tuna melalui pembentukan lembaga pengelolaan yang berbasis di WPP untuk tercapainya keberlanjutan sumberdaya dan kepastian usaha.

Definisi akar permasalahan yang telah dirumuskan (RDs), merupakan dasar untuk pembuatan model konseptual. Root definitions ini perlu diuji dengan analisis CATWOE (customers, actors, transformation, weltanschauung, atau worldview, owners dan environmental constraints) dan kriteria 3 E (efficacy, efficiency,daneffectiveness). Contoh hasil analisis CATWOE yang sudah dilakukan seperti berikut: 1) Root definision 1: Pihak KKP dan DKP perlu membuat regulasi yang dapat menciptakan atau membangun sistem usaha penangkapan ikan tuna yang berkeadilan, menguntungkan, dan berkelanjutan.

Tabel 3. CATWOE dan 3E pada root definition 1 Customer (C) Pedagang/pengumpul ikan, perusahaan perikanan, koperasi, dan masyarakat Actors (A) Nelayan dan Paguyuban Nahkoda Kapal Transformation (T) • Pengumpulan data produktivitas/CPUE (logbook) dari setiap kapal penangkapan ikan tuna berubah dari yang bersifat

10 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

pasif (dipaksa) menjadi pro aktif (sukarela mengisi dan menyerahkan). • Pengaturan waktu dan jumlah upaya penangkapan ikan tuna dari yang tidak ada berubah menjadi ada dan mendekati nilai yang optimal. • Pelibatan secara intensif para pedagang ikan dalam perdagangan ikan tuna yang belum layak tangkap (baby tuna) dari yang belum terlibat berubah menjadi terlibat dan ikut bertanggungjawab penuh dalam mengurangi perdagangan baby tuna Worldview (W) • Memperoleh nilai produktivitas/CPUE yang optimal dan berkelanjutan • Hasil tangkapan ikan tuna yang bermutu baik dengan harga premium • Terciptanya industri perikanan tuna yang berdaya saing dan berkelanjutan Owners (O) KKP dan DKP Provinsi Environment (E) Sumber daya ikan tuna lestari Efficacy Penerapan sistem limited entry berbasis data produktivitas/ CPUE dan ukuran layak tangkap untuk usaha penangkapan ikan tuna Efficiency Meningkatnya keuntungan usaha penangkapan ikan tuna dan penurunan jumlah pendaratan baby tuna Effectiveness Meningkatnya produktivitas/CPUE usaha penangkapan ikan tuna dengan ukuran yang layak tangkap

2) Root definition 2: Pihak KKP dan DKP perlu menata kembalitentang penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan tuna. Selain itu juga, perlu membuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya yang lebih komprehensif, utamanya untuk rumpon laut.

Tabel 4. Elemen CATWOE dan pengujian 3E pada root definition 2 Customer (C) Pedagang/pengumpul ikan, perusahaan perikanan, koperasi, dan masyarakat Actors (A) Nelayan dan Paguyuban Nahkoda Kapal Transformation (T) • Pemasangan rumpon berubah dari yang tidak berizin dan tidak teratur menjadi berizin dan tertata baik • Paradigma kepemilikan rumpon berubah dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan komunitas atau kelompok. • Pengaturan jumlah rumpon yang dipasang berubah dari yang bebas menjadi jumlah rumpon optimum. Worldview (W) • Tidak terjadi konflik dalam memanfaatkan sumber daya ikan di suatu daerah penangkapan ikan. • Memperoleh nilai produktivitas/CPUE yang optimal dan berkelanjutan • Menghemat biaya produksi penangkapan ikan Owners (O) KKP dan DKP Provinsi Environment (E) Daerah Penangkapan Ikan (DPI) yang kondusif Efficacy Terbitnya regulasi mengenai penggunaan rumpon laut dalam

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 11

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Efficiency Teridentifikasinya tempat pemasangan dan alokasi jumlah rumpon laut dalam yang optimal Effectiveness Terdatanya semua lokasi rumpon laut dalam yang terpasang Perumusan Model Konseptual Model konseptual dibuat untuk dapat mengatasi permasalahan yang telah teridentifikasi pada kegiatan perikanan tuna di PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. Model dibangun berdasarkan pemahaman Tim Peneliti untuk dapat membangun sistem perikanan tuna yang ideal, yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi yang baik bagi pelaku pemanfaat sumberdaya dengan tetap menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan tuna. Deskripsi model konseptual yang dibangun dijabarkan dalam pemaparan berikut:

1. 2. Tertib pengumpulan Pengolahan data logbook penangkapan logbook ikan tuna (data CPUE) penangkapan ikan tuna (data CPUE)

3. 4. Alokasi effort optimum untuk unit Pemberian insentif penangkapan ikan tuna dan sanksi untuk pada setiap musim pedagang/pengumpu l ikan terkait dengan baby tuna tuna

5. 6. Koordinasi dan sosialisasi Penerapan sistem limited entry rencana penerapan sistem berbasis data produktivitas/ limited entry dan ukuran CPUE dan ukuran layak layak tangkap untuk usaha tangkap untuk usaha penangkapan ikan tuna penangkapan ikan tuna

Monitor Tindakan aksi Langkah 1 - 6 Pengendalian

Kriteria Penilaian: Efficacy, Effisiency, dan Effectiveness

Gambar 1. Model konseptual untuk menjamin sumberdaya ikan tuna lestari

Model konseptual untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan tuna dibuat berdasarkan rumusan RDs 1. Permasalahan pada aspek sumberdaya ikan tuna dapat diupayakan untuk diselesaikan oleh pemerintah melalui pengumpulan data produktivitas/CPUE (logbook) dari setiap kapal penangkapan ikan tuna, pengaturan waktu dan jumlah upaya penangkapan ikan tuna, serta pelibatan secara intensif para pedagang ikan dalam perdagangan ikan tuna yang belum layak tangkap (baby tuna). Model konseptual ini digunakan oleh pihak KKP dan DKP Provinsi/Kabupatenuntuk dapat menjamin sumberdaya ikan tuna tetap lestari. (Gambar 1).

12 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan oleh pihak KKP dan DKP Provinsi untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan tuna adalah: 1. Penertiban pengumpulan logbook penangkapan ikan tuna dari setiap kapal penangkap ikan yang telah melakukan kegiatan penangkapan. Logbook tersebut penting untuk ditertibkan karena data yang terdapat di logbook dapat digunakan untuk melakukan analisis CPUE yang lebih akurat secara real time. 2. Data yang diperoleh dari logbook selanjutnya diolah untuk menghasilkan informasi mengenai CPUE ikan tuna di setiap DPI dan waktu tertentu. Nilai CPUE tersebut digunakan untuk menganalisis musim penangkapan ikan tuna di setiap DPI dan waktu tertentu. 3. Penentuan alokasi effort optimum kemudian dilakukan untuk setiap unit penangkapan ikan tuna pada setiap musim atau waktu. Penentuan effort optimum tersebut dilakukan berdasarkan hasil analisis CPUE yang dilakukan pada tahap kedua. Kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan sepanjang tahun oleh nelayan tuna menyebabkan perlunya penentuan effort optimum tersebut, sehingga dapat dilakukan pembatasan pada kegiatan penangkapan ikan tuna di waktu-waktu tertentu yang terindikasi bukan musim untuk ikan tuna layak tangkap. 4. Seringkali, penangkapan dan pendaratan baby tuna dilakukan berulang kali oleh nelayan dikarenakan adanya transaksi menguntungkan bagi mereka, yaitu terdapat pedagang/pengumpul ikan tuna yang membeli baby tuna dari nelayan. Oleh sebab itu, pihak KKP dan DKP Provinsi perlu melakukan pemberian intensif kepada pihak pedagang/pengumpul ikan tuna yang tidak melakukan pembelian dan penjualan baby tuna dan memberikan pula sanksi tegas kepada pedagang/pengumpul ikan tuna yang melakukan transaksi jual-beli baby tuna. 5. Sebagai upaya untuk mencapai kelestarian sumberdaya ikan tuna, pihak KKP dan DKP Provinsi perlu melakukan koordinasi dan sosialisasi terhadap pihak terkait untuk merencanakan penerapan sistem limited entry untuk pembatasan effort pada setiap unit penangkapan ikan serta penetapan ukuran layak tangkap untuk usaha penangkapan ikan tuna. 6. Setelah koordinasi dan sosialisasi dilakukan, pihak KKP dan DKP Provinsi selanjutnya melakukan penerapan sistem limited entry berbasis data CPUE untuk setiap unit penangkapan ikan tuna yang akan melakukan kegiatan dan/atau mendaratkan ikan, serta penertiban terhadap ukuran ikan tuna yang diperbolehkan untuk ditangkap dan diperjualbelikan.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 13

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

1. 2. Kajian akademis secara Penyempurnaan holistik tentang penggunaan regulasi penggunaan rumpon laut dalam untuk rumpon laut dalam perikanan tuna

4. 3. Rancangan draft Konsultasi regulasi penggunaan publik rumpon laut dalam yang telah dilengkapi

5. Menyusun petunjuk 6. teknis dan petunjuk Penetapan regulasi pelaksanaan penggunaan mengenai penggunaan rumpon laut dalam rumpon laut dalam oleh Menteri KP

Monitor Tindakan aksi Langkah 1 - 6 Pengendalian

Kriteria Penilaian: Efficacy, Effisiency, dan Effectiveness

Gambar 2. Model konseptual untuk mencapai daerah penangkapan ikan yang kondusif

Permasalahan pada aspek teknologi penangkapan ikan terutama adalah pada penggunaan rumpon yang tidak berizin dan penggunaan teknologi penangkapan yang tidak sesuai dengan yang dilaporkan. Permasalahan tersebut dapat diupayakan untuk diminimalisir dengan melakukan penegakkan hukum yang tegas mengenai perizinan pemasangan rumpon, memberikan pemahaman pelaku usaha penangkapan ikan bahwa paradigma kepememilikan rumpon adalah milik komunitas atau kelompok, serta pengaturan jumlah rumpon yang optimum. Model konseptual dibangun berdasarkan rumusan RDs 2, yaitupenataan kembali penggunaan rumpon untuk dapat memberikan jaminan daerah penangkapan ikan yang kondusif bagi kegiatan perikanan tuna (Gambar 2). Adapun tahap-tahap yang perlu dilakukan oleh KKP dan DKP Provinsi adalah: 1) Pihak KKP dan DKP Provinsi melakukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian untuk melakukan kajian akademis secara holistik tentang penggunaan rumpon laut dalam untuk perikanan tuna. Kajian akademis tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi pemasangan rumpon, kemungkinan pengaturan jumlah rumpon secara optimum, serta kemungkinan perubahan paradigma kepemilikan rumpon. 2) Hasil kajian akademis pada tahap 2 selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam melakukan penyempurnaan regulasi penggunaan rumpon laut dalam. 3) Pihak KKP dan DKP Provinsi perlu melakukan konsultasi publik kepada pelaku usaha penangkapan ikan tuna mengenai regulasi penggunaan rumpon laut dalam yang telah disempurnakan dan hasil kajian akademis yang telah dilakukan. Konsultasi publik tersebut dilakukan untuk melakukan verifikasi terhadap hasil kajian akademis yang telah dilakukan serta penyempurnaan regulasi penggunaan rumpon laut dalam. 4) Apabila telah dilakukan konsultasi dan diperoleh verifikasi yang valid, selanjutnya pihak KKP dan DKP Provinsi membuat rancangan draft regulasi penggunaan rumpon laut dalam.

14 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

5) Pihak KKP dan DKP Provinsi menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan penggunaan rumpon laut dalam sehingga pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan regulasi tersebut di lapangan memiliki SOP (standart operating procedue) dalam menjalankan tugasnya. 6) Apabila seluruh rangkai tahap 1 hingga tahap 6 telah dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah penetapan regulasi mengenai penggunaan rumpon laut dalam oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

SIMPULAN 1) Metodologi pendekatan SSM dapat digunakan untuk menyusun konsep pengelolaan perikanan dengan melibatkan para pemangku kepentingan dari seluruh tahap penyusunan konsep sampai dengan langkah tindakan aksi. 2) Metodologi SSM membuat konsep pengelolaan dengan lebih mengedepankan pada perubahan tingkah laku para pemangku kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.

DAFTAR PUSTAKA Checkland P. 1981. Systems Thinking, System PracticeJohn Wiley. Chichester. UK. Checkland P. 1999. Systems Thinking, System Practice: Includes 30-year Retrospective. John Wiley. New York. Checkland P, Poulter J. 2006. Learning for Action: A Short Definitive Account of Soft System Methodology and its use for Practitioners, Teachers and Students. Chichester: John Wiley and Sons, Ltd. Checkland P, Scholes. 1990. Soft System Methodology in Action. England: John Wiley and Sons Ltd. FAO. 2013. Fisheries Management 2. Chichester: The Sons Ltd. 330p. Franco LA. 2009. Problem structuring methods as intervention tools: Reflections from their use with multival team. Omega. 37(1): 103-203. Gigentika S, Nurani TW, Wisudo SH, Haluan J. 2017. Model konseptual untuk pemecahan permasalahan pada kegiatan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 9(1): 1-10. Ikhsan SA, Solihin I, Nurani TW. 2017. Model konseptual pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus sebagai pusat pendaratan ikan tuna. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 8(1): 81-93. Minger J. 2000. An idea ahead of its time: The history and development of soft system methodology. System Practice anc Action Research. 13(16): 733-751. Mahregan MR, Hosseinzadeh M, Kazemi A. 2012. An application soft system methodology. Procedia-Social and Behavioral Science. 41: 426-433. Martin E, Winarno B, Purnomo H, Wijayanto N. 2008. Penatakelolaan hutan rawan konflik melalui pendekatan metodologi sistem lunak: Kasus Hutan Penelitian Benakat Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 5(3): 179-202. Nurani TW, Wisudo SH, Wahyuningrum PI, Arhatin RE. 2014. Model pengembangan rumpon sebagai alat bantu dalam pemanfaatan sumber daya ikan tuna secara berkelanjutan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 19(1): 57-65. Nurani TW, Wisudo SH, Wahyuningrum PI, Arhatin RE, Komarudin D. 2015a. Hasil tangkapan ikan tuna pada perikanan pancing tonda dengan menggunakan alat bantu rumpon di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. Dalam Simposium Nasional Pengelolaan Perikanan Tuna Berkelanjutan. Bali: WWF-Indonesia. hlm VI-197-205.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 15

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Nurani TW, Wisudo SH, Wahyuningrum PI, Arhatin RE, Komarudin D. 2015b. Catch of tuna fish on trolling fishing in Indian Ocean Waters, Southern Coast of East Java related to sea surface temperature variability. Malaysian Applied Biology Journal. 44(3): 25-28. Nurani TW, Wisudo SH, Wahyuningrum PI, Gigentika S, Arhatin RE. 2018. Model desains of Indonesian tuna fishery management in the Indian Ocean (FMA 573) using soft system methodology approach. Eqyptian Journal of Aquatic Research. 44: 139-144. Rahmah A, Nurani TW, Wisudo SH, Zulbainarni N. 2013. Pengelolaan perikanan tonda dengan rumpon melalui pendekatan soft system methodology (SSM) di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 4(1): 73-88 Rahmawati NT, Wisudo SH, Wiyono ES, Nurani TW. 2013. Dinamika perikanan tuna longline Indonesia: Studi kasus pada ikan tuna sirip biru selatan. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 4(2): 113-122. William B. 2005. Soft System Methodology. The Kellogg Foundation. Users. Actrix.co.nz/bobwill/ssm.

16 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

RENCANA KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT (Policy Based Ecosystem Fisheries Management Plan in West Nusa Tenggara Province)

Oleh: Asfin Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat Email: [email protected]

ABSTRAK Perikanan budidaya dan Perikanan tangkap dengan pemanfaatan potensi perairan laut merupakan kegiatan usaha penting dalam proses produksi untuk pertumbuhan ekomomi dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat setempat selain sektor pertanian dan peternakan. Maka perlu upaya untuk diterapkan model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM). Mengingat Provinsi NTB memiliki Potensi Sumberdaya Perikanan dengan berbagai kekayaaan keanekaragaman hayati dan lingkungan yang mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu dengan memperhatikan aspek pelestariannya.

Kata kunci: kebijakan publik, pengelolaan perikanan yang bekelanjutan, sumberdaya ikan

ABSTRACT Aquaculture and capture fisheries with the potential utilization of marine waters are important business activities in the production process for economic growth and improvement to welfare for the people ofWest Nusa Tenggara Province in addition to the agricultural and livestock sectors. So it needs an effort to implement an Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) model. Considering of West Nusa Tenggara Province has the potential of fisheries resources with various biodiversity and environmental wealth that have high economic and ecological value. In order to ensure the sustainability of its management, it must be carried out in a planned and integrated manner by taking into account its preservation aspects.

Keywords: sustainable of fisheries management, fish resources¸ public policy

PENDAHULUAN Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu Provinsi Kepulauan dengan memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap seluas 2.385.455,31 Ha yang terdapat pada 3 (tiga) zona yaitu subzona pelagis, subzona demersal, dan subzona pelagis dan demersal dan potensi perikanan budidaya dengan luas 72.862.833 Ha, dan panjang garis pantai 2.333 km dan mempunyai ekosistem perairan yang terbilang lengkap seperti perairan laut pelagis, laut demersal, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang kaya akan terumbu karang, padang lamun, mangrove hingga perairan umum yang berlimpah Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Berdasarkan potensi Sumberdaya tersebut diatas, maka sudah sewajarnya jika sektor Kelautan dan Perikanan dijadikan sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi terutama dalam rangka mewujudkan visi Presiden Republik Indonesia yang menyatakan bahwa laut adalah masa depan bangsa serta tiga pilar pembangunan Nasional yaitu: Kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability) dan Kesejahteraan (prosperity). Kondisi terumbu karang di Propinsi Nusa Tenggara Barat telah mengalami penurunan kualitas dibandingkan tahun 1997. Berdasarkan data yang diambil dari tahun 1996-2003,

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 17

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. kondisi terumbu karang dalam kategori baik sekitar 8,82%, kategori sedang 38,24% dan kategori jelek 52,94%. Kondisi yang sebenarnya bisa lebih jelek karena sebagian data yang digunakan dalam kajian ini diambil secara sengaja pada lokasi yang kondisinya paling baik. Penurunan kondisi terumbu karang tersebut diperkirakan sebagian besar disebabkan oleh pengeboman ikan, pemucatan karang akibat El Nino dan pembuangan jangkar (Bachtiar 2014). Menurut data statistik dan Informasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, bahwa kasus tindak pidana yang terjadi sepanjang tahun 2015-2017 sebanyak 19 kasus penggunaan bahan peledak. Kondisi ini disebabkan oleh karena terjadinya pengalihan pengawasan sumberdaya perairan laut dan kurangnya kesadaran masyarakat setempat sebagai pengguna dan pemanfaat terhadap pengelolaan sumberdaya Periknan yang bertanggung jawab. Kondisi hutan mangove dengan ekosistem mangrove yang memiliki tingkat kekritisan yang bervariasi yakni mulai dari tingkat rusak berat, rusak sedang sampai relatif masih baik. Secara keseluruhan sekitar 54% kawasan mangrove di Nusa Tenggara Barat tergolong kritis atau rusak dan 46% yang berada dalam kondisi cukup baik. Bila dilihat pada masing - masing pulau maka mangrove di Pulau Lombok yang berada dalam tingkat rusak berat (sangat kritis) seluas 1071,10 ha (32%), rusak sedang sekitar 590,87 ha (18%), dan yang masih baik sekitar 1642,67 ha (50%). Sedangkan di Pulau Sumbawa, mangrove yang berada dalam tingkat rusak berat (sangat kritis) seluas 685,76 ha (5%), (rusak sedang) sekitar 7537,21 (50%), dan yang masih baik sekitar 6829,29 ha (45%) (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi NTB 1999). Pengelolaan Sumberdaya Perikanan berbasis ekositem merupakan Model pendekatan pengelolaan Sumberdaya Perikanan dengan tujuan pengelolaan dan pemanfaatan dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu, yang dilakukan untuk melindungi Sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif, atau pertimbangan lain yang bertujuan untuk melindungi nelayan kecil/tradisional. Cara-cara penangkapan ikan yang dewasa ini sudah lazim dilarang adalah penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bahan peledak. Permasalahan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam waktu dasawarsa terakhir ini dengan isu: 1). Secara ekologi penurunan kualitas lingkungan dan ekosistem dan secara biologi rendahnya kelimpahan sumberdaya ikan karang serta produktivitas alat penangkap ikan (Catch per Unit Effort/CPUE) yang dioperasikan nelayan dan trend biomassa perikanan tangkap cenderung mengalami penurunan. 2). Pengalihan kewenangan pengelolaan perairan laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dari Kabupaten/Kota ke Provinsi, menimbulkan persoalan baru dalam hal pengawasan dan ancaman keamanan terhadap sumberdaya Perikanan yang berkelanjutan. 3).Secara Etik/legal masih lemahnya kesadaran hukum formal dan peraturan yang berlaku oleh masyarakat nelayan dan stekeholder terhadap pengelolaan sumberdaya Perikanan yang bertanggung jawab. 4). Terancam punahnya beberapa spesies endemik seperti Tiram Mutiara Pinctada Maxima Sea South Pearldan matatujuh (abalone) di Kawasan perairan NTB. Tujuan dari penyusuan artikel adalah Rencana Kebijakan untuk tata kelola Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB yang berkelanjutan. Adapun metode dalam penulisan ini merupakan Kajian Empiris yang bersumber dari dokumen dan FGD.

18 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PEMBAHASAN Pengelolaan Perikanan Definisi kegiatan proses terpadu yang menyangkut pengumpulan informasi, analisis perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan dan pengalokasian sumberdaya dan perumusan dan pelaksanaan. Penegakan aturan yang mengatur kegiatan perikanan untuk menjamin produktifitas dan tujuan lain dari sumberdaya Perikanan. Dalam tatalaksana tanggung jawab dan dasar utama untuk mengawasi proses pengelolaan perikanan diberikan tatanan perikanan dan organisasinya agar menjadi operasional dan memadai dan dipadukan dalam struktur dukungan kelembagaan secara bebas dikelompokan dalam dua kategori utama yaitu otoritas pengelolaan perikanan dan pihak yang berkepentingan.

Sumberdaya dan Kendala Biologi Lingkungan Sumberdaya yaitu populasi hayati atau stok mampu tumbuh dalam kelimpahan dan biomasa, akan tetapi hanya sampai suatu batas tertentu, dan batas-batas terhadap pertumbuhan ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan berhubungan dengan kelimpahan rata-ratanya dalam keadaan tidak diusahakan oleh lingkungan dimana stok itu berada. Produkrivitas potensi stok ikan sebaiknya dipahami melalui analisis ilmiah berdasarkan konsep yang disepakati untuk menggunakan metodelogi dan standar yang dapat memberikan ulasan hasil yang menjadi perbandingan. Perikanan yang bertanggung jawab tidak diperbolehkan untuk melakukan penangkapan ikan yang berlebihan (Over Fishing) melebihi dari sumberdaya yang ada, jikalau dibandingkan dengan pergantian pertumbuhan stoknya, dan hal ini tidak berarti bahwa setiap tahun dilakukan penangkan dengan kewajaran produksi tahunan. Jika tidak dilakukan langkah dan upaya memperpebaikinya, maka resiko kehancuran biologi dalam waktu yang tidak dapat ditentukan dan menimbulkan pemborosan secara ekonomi dan punahnya Sumberdaya Perikanan. Kendala lingkungan yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, reproduksi dan moralitas melalui tahapan kehidupan yang lebih dini istemewa dan rentan terhadap pengaruh semacam itu yang menjurus pada varibelitas tinggi dalam kelimpahan sumberdaya dan produksi berdasarkan skala waktu. Relevansi tertinggi pada pengelolaan Perikanan adalah fluktuasi dalam rekrutmen dari tahun ketahun dalam pergeseran sistem ekologi dan ciri fungsional dari ekositem termasuk komposisi, kelimpahan dan lokasi komunitas ikan yang bisa berubah secara drastis sepanjang periode dasawarsa yang digerakan oleh tekanan lingkungan. Keadaan variabel lingkungan dapat juga mempengaruhi ketersediaan ikan tersebut seperti memencarnya ikan lebih luas sehingga menurunnya ketersediaan ikan, dan kebanyakan ekosistem yang idak terganggu dengan stok ikan yang tidak ditangkap akan cenderung berfluktuasi sekitar tingkatan rata-rata maksimum yang sesuai dengan dayadukung habitat. Produksitifitas jangka panjang berhubungan dengan dayadukung lingkungan yang berubah sepanjang waktu yang disebabkan oleh variebal alami akan tetapi menurun karena kegiatan manusia seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potasium dan kerusakan kawasan pesisir. Dimensi sosial dan ekonomi yaitu suatu perspektif keterlibatan manusia dalam Perikanan dapat dipandang mempunyai dampak yang yang sangat besar dan kemungkinan terhadap tidak terpulihnya sumberdaya. Secara alternatif sumberdaya Perikanan dapat dipandang sebagai stok modal yang apabila dikelola secara bertanggung jawab yang dapat menghasilkan manfaat secara sosial dan ekonomi yang besar serta berkelanjutan. Peran Kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan Sumberdaya Perikanan yang bersumber dari hukum formal (hukum positif) yaitu dari Undang-Undang maupun peraturan lainnya telah ada. Namun untuk pendekatan pelibatan partisipasi masyarakat dan stakeholder dalam penegakan aturan yang berusumber dari kearifan lokal (awiq-awig) bersifat button up

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 19

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. dengan karakteristik di masingmasing kawasan sebagai payung hukum dalam mengatasi persoalan kerusakan sumberdaya Perikanan beserta ekosistemnya. Pemulihan dan perlindungan terhadap spesies endemik seperti induk siput mutiara (Pinctada Maxima South Sea Pearl) dan matatujuh (abalone) pada Kawasan Teluk ekas, Bumbang dan teluk Sape perlu didesain model Kebijakan yang mengatur rtentang spesies tersebut, oleh karena siput/induk mutiara (Pinctada Maxima South Sea Pearl) dan matatujuh (Abalone) dalam kurung waktu sepuh tahun terakhir menujukan kelangkan dan dikuatirkan akan punah.

Kebijakan Publik a. Kebijakan Kelautan dan Perikanan, Isu, Sintetis dan Gagasan. Pengelolaan Perikanan yang berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat pengguna sangat diharapakan oleh semua pihak. Kebijakan Pengelolaan Perikanan pun diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun tidak sedikit masalah dan kendala yang dihadapi, sehingga diperlukan langkah-langkah untuk menyikirkan kendala-kendala tersebut terlebih dahulu. Upaya membedah masalah dan kendala tersebut tidak mudah karena adanya kompleksitas pengelolaan Perikanan itu sendiri dan sering terjadinya perbedaan prespsi antara pelaku Perikanan, Pemerintah dan akademisi. Kendala-kendala dan masalah yang ada melalui pisau keilmuan yang berkelanjuta sekaligus mencari solusi kebijakannya berbagai isu Perikanan, seperti overfishing, overcapacity, kemiskinan lingkungan pesisir, desentralisasi, kebijakan fiskal, illegal fishing, serta terobosan-terobosan kebijakan yang ditawarkan (Fauzi 2005). b. Kebijakan Publik terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Kebijakan Pemerintah meliputi suatu program kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di rencanakan (pleaning) sebelumnya. Sehingga perumusan suatu kebijakan mempunyai nilai (value) perbedaan serta persamaan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian pembentukan kebijakan dapat dilakukan melalui pemilihan alternatif yang sifatnya berlangsung secara terus-menerus, (Tjokroamidjojo 1981). Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah tidak hanya ditetapkan untuk dilaksanakan masyarakat tanpa pengawasan lebih lanjut dari Pemerintahan. Pemerintah memiliki peran agar kebijakan tersebut diterapkan sebagimana mestinya oleh masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Daerah dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengkuan politis melalui transfer otoritas dari Pemerintah pusat kepada Daerah: 1) Meletakkan Daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup; 2) Memerlukan peranan lokal dalam mendesain Kebijakan; 3) Membangun hubungan interpedensi antar daerah; 4) Menetapkan pendekatan kewilayahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Bahwa konservasi sumberdaya ikan dalam upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keaneragaman sumberdaya ikan. Konservasi ekosistem merupakan upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan akan datang. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 bahwa kawasan konservasi diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri dan khas yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan secara berkelanjutan. c. Kebijakan penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi (KK) yang dikelola berdasarkan zonasi dilaksanakan dengan penetapan kategori pengelolaan dalam Suaka Perikanan (Fish Sanctuary) yaitu (1) Zona Inti, (2). Zona Perikanan berkelanjutan dan, (3).

20 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Zona Pemanfatan umum Kebijakan penetapan pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan atas dasar perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan ekosistemnya secara berkelanjutan.

Kewenangan Daerah di Bidang Kelautan Pemerintah Daerah Provinsi diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah : • Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut kecuali minyak dan gas bumi. • Pengaturan tata ruang. • Pengaturan administrasi (perizinan, kelayakan, keselamatan pelayaran) • Ikut memelihara kamla • Ikut mempertahankan kedaulatan negara Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota.

Tabel 1. Pembagian Kewenangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Kewenangan No. Provinsi Kabupaten/Kota 1 Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil. a. Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi. b. Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi. c. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. 2 Perikanan Tangkap a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai a. Pemberdayaan dengan 12 mil. nelayan kecil dalam b. Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal Kabupaten/Kota perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 b. Pengelolaan GT. penyelenggaraan c. Penetapanlokasi pembangunan serta pengelolaan Tempat Pelelangan Pelabuhan perikanan Provinsi. Ikan (TPI). d. Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT. e. Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT. 3 Perikanan Budidaya Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang a. Penerbitan IUP di usahanya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) bidang Daerah provinsi. pembudidayaan ikan yang usahanya dalam 1 (satu)

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 21

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Kewenangan No. Provinsi Kabupaten/Kota Daerah kabupaten/kota. b. Pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan. c. Pengelolaan pembudidayaan ikan. 4 Pengawasan Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12 mil. 5 Pengolahan dan Pemasaran. Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

Berdasarkan pembagian tersebut diatas Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan sebanyak 5 (lima) bidang dengan 11 (sebelas) urusan. Sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya mendapatkan 2(dua) bidang dengan 5 (lima) urusan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota merasa bukan kewenangannya terhadap pengelolaan peariran laut, dan beberapa tahun terakhir intensitas penangkapan ikan secara destruktif dan ancaman keamanan semakin tinggi oleh karena secara geografis perairan yang cukup luas. Juga pengguna dan pemanfaat kawasasan perairan sekitarnya merupakan masyarakat Kabupaten/Kota setempat. Maka perlu adanya kesamaan pemahaman pemanfaatan antara Pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga perlu disepakati terhadap penanganan masalah pengawasan serta dukungan pembiayaan yang berkaitan dengan pengawasan terhadap pengelolaan perairan dari wilayah Kabupaten/Kota setempat.

Dukungan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Provinsi NTB a. Pencanangan Kawasan Konservasi Adapun dukungan Daerah Provinsi NTB yang telah dilakukan terhadap pengelolaan Sumberdaya Perikanan melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi NTB Nomor 523-505 tahun 2016 tentang Pencanangan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau kecil di Provinsi NTB. Luas kawasan konseravasi yang dikelola Provinsi NTB seluas 229.555,36 Ha. Sedangkan perairan pesisir yang merupakan Kawasan Konservasi Nasional dan telah memperoleh penetapan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Kehutanan sebagai Kawasan Konservasi mencapai seluas 11.554,00 Ha.

22 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Tabel 2. Kawasan Konservasi Perairan Daerah Provinsi NTB Kawasan Konservasi No Legalitas Luas (Ha) Perairan 1 TWP Gita Nada Lombok SK. Gubernur NTB Nomor: 21.556,00 Barat 523-505 Tahun 2015 2 TWP Teluk Tentang Pencadangan 6.310,00 BumbangLombok Tengah Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau- 3 TWP Gili Lawang, Gili Sulat 10.000,00 pulau Kecil Provinsi Nusa Lombok Timur Tenggara Barat. 4 TP Penyu Tatar Sepang dan 6.728,36 TPK Gili Balu’ 5 TPK Pulau Kramat, Bedil 2.000,00 dan Temudong 6 TP Penyu Lunyuk 70.000,00 7 TWP Pulau Liang dan Pulau 33.461,00 Ngali 8 Suaka alam perairan Teluk 39.000,00 Cempi 9 Taman Wisata Perairan Gili 40.500,00 Banta 10 TWP Gili Meno, Air dan SK. MKP No. 2.954,00 Trawangan KLU (Pusat- KEP.67/MEN/2009 KKP) 11 TWA Laut Pulau Moyo SK. Menhut No. 6.000,00 Sumbawa (Pusat – BKSDA) 308/Kpts/II/1986 12 TWA Laut Pulau Satonda, SK Menhut No. 2.600,00 Kab. Dompu (Pusat- 22/Kpts/II/1998 BKSDA) Luas Kawasan Konservasi Dikelola pusat 11.554,00 Luas Pencadangan Kawasan Konservasi dikelola Provinsi NTB 229.555,36 Total Luas Kawasan Konservasi Perairan Provinsi NTB 241.109,36

Jadi jumlah Kawasan Konservasi perairan di Provinsi NTB sampai dengan tahun 2018 seluas 241.109,36 Ha ( 70,62 % ) dari rencana alokasi sampai dengan tahun 2020 seluas 341,641,44 Ha. Maka untuk pengembangan dan pencanangan kawasan konservasi sampai dengan tahun 2020 seluas 100.532,08 Ha. b. Rencana Zonasi Wilayah. Melalui Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Provinsi NTB. Merupakan penataan ruang Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan maksud sebagai instrumen/alat pengendali dan pengelolaan wialayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 jo. UU Nomor 1 tahun 2014. Adapun tujuannya adalah: (1). Menciptakan harmonisasi dan sinergi perencanaan dan pemanfaatan ruang laut antara Provinsi, Kabupaten/Kota dalam mewujudkan pengelolaan sumeberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. (2). Menciptakan harmonisasi

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 23

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. dan sinergi perencanaan dan pemanfaatan ruang laut dan ruang darat dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadapa lingkungan akibat pemanfaatan ruang. (3). Mewujudkan kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan. (4). Mewujudkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

SIMPULAN • Sumberdaya Perikanan memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan sumberdaya yang sangat rentan terhadap pengerusakan sumberdaya ikan dan lingkungannya. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. • Kebijakan Pengelolaan Perikanan berkelanjutan berfokus pada karakteristik ekositem pesisir dan perairan laut yang bersangkutan, yang dikelola dengan memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi, dan kualitas hidup masyarakat.

REKOMENDASI 1. Interpendensi dan keserasian kerjasama pengawasan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Provinsi NTB dengan Pemda Kabupaten/Kota Se -NTB. 2. Perlu adanya Kebijakan yang melindungi kelestarian Tiram Mutiara Pinctada Maxima South Sea Pearl dan Matatujuh (abalone) 3. Peningkatan Kerjasama pendampingan dengan berbagai Stakeholder dalam rangka alih teknologi dan peningkatan SDM masyarakat dalam rangka Pengelolaan Perikanan yang berbasis Ekosistem di Provinsi NTB.

DAFTAR PUSTAKA Ambari M. 2017. Seperti Apa Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem. [diunduh 2018 Nov 1]. Tersedia pada: https://www.mongabay.co.id/2017/05/16/ seperti-apa-budidaya- perikanan-berbasis-ekosistem/. Antylandu. 2012. Ekosistem Based Mangament (EBM) di Shiretoko Jepang. [diunduh 2018 Nov 1]. Tersedia pada: http://msp-antilandu.blogspot.com/2012/01/pengelolaan- perikanan berbasis_20.html. Bachtiar I. 2004. Status terumbu karang di Provinsi Nusa Tenggara Barat: Sebuah kajian. Jurnal Biologi Tropis. 5(1): 1-9. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Technical Guidelines For Responsible Fisheries: Fisheries Management. Rome: FAO. Fauzi A. 2005. Kebijakan Kelautan dan Perikanan: Isu, Sintentis dan Gagasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. [Kemenkunham] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Kemenkumham. [Kemenkunham] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kemenkumham.

24 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

[Pemda Provinsi NTB] Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2017 Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Mataram: Pemda Provinsi NTB. Wanasis A. 2003. Kebijakan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. [diunduh 2018 Nov 1]. Tersedia pada: http://agus93winasis.blogspot.com/ 2013/11/kebijakan-dan- pengelolaan-lingkungan.html.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 25

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

PERFORMA PERIKANAN PELAGIS KECIL BERPENDEKATAN ECOSYSTEM APPROACH TO FISHERIES MANAGEMENT (EAFM) DI KAWASAN TELUK JOR LOMBOK TIMUR

Oleh: Sitti Hilyana*, Nurliah Buhari, Ayu Adhita Damayanti, Dewi Putri Lestari Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram Jalan Pendidikan No. 37 Mataram, NTB *Telp: +6287878866954, Email : [email protected]

ABSTRAK Perikanan pelagis kecil merupakan komoditas perikanan yang menjadi target tangkapan para nelayan karena memiliki permintaan nilai ekonomis yang relatif tinggi. Permintaan terhadap ikan pelagis kecil di pasar lokal cukup besar namun ketersediaan dialam mulai menurun. Berdasarkan Kepmen 45, menginformasikan bahwa ikan pelagis kecil, ikan terbang, udang, ikan demersal, dan madidihang telah mengalami over eksploitasi, dan pelagis kecil mata besar berada dalam kondisi full exploited. Penelitian bertujuan untuk mengetahui status pengelolaan perikanan pelagis kecil di kawasan Teluk Jor dengan pendekatan ekosistem (EAFM). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung serta penelusuran pustaka terkait, dilakukan pada bulan Juli–Oktober 2017. Analisis penilaian perikanan menggunakan indikator EAFM dilakukan melalui tahapan mengumpulkan, mengidentifikasi dan mengkaji data primer dan sekunder serta informasi yang diperoleh. Pengumpulan data primer melalui wawancara dengan stakeholder antara lain nelayan, kelompok wanita pegolah hasil perikanan, tokoh masyarakat, aparat desa, pokmaswas dan DKP Kabupaten Lombok Timur. Data sekunder merupakan hasil pencatatan ikan pelagis kecil, dan laporan hasil penelitian terdahulu di lokasi kajian. Indikator EAFM diberi skor selanjutnya dianalisis menggunakan Teknik Flag Modelling menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA). Penilain indikator EAFM merupakan formula NWG on EAFM, 2014. Hasil analisis menunjukkan nilai komposit dua domain yaitu sumberdaya ikan dan ekonomi berada dalam status “buruk”, dua domain lain yaitu habitat dan ekosistem serta teknik penangkapan ikan, tergolong status “sedang”, sedangkan dua domain lainnya seperti social dan kelembagaan tergolong status “baik” Nilai aggregat menunjukkan status pengelolaan perikanan pelagis kecil di kawasan Teluk Jor tergolong “sedang”. Namun demikian, untuk menjamin keberlanjutan perikanan pelagis kecil diperlukan pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap untuk member kesempatan bagi ikan melakukan regenerasi karena diatas 60% ikan yang ditangkap belum matang gonad. Sedangkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat nelayan dibutuhkan pengembangan alternative laivelihood berupa budidaya laut seperti pengembangan KJA kerapu atau lobster, serta pengolahan hasil bagi isteri nelayan di kawasan pessir Teluk Jor.

Kata kunci: pelagis kecil, pendekatan ecosystem, Teluk Jor

26 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PENDAHULUAN Pengelolaan perikanan selain memberikan keuntungan secara ekonomi, juga telah menimbulkan masalah kelebihan penangkapan (overfishing) dan kerusakan habitat (habitat destruction) yang berdampak terhadap degradasi stok dan penurunan produksi perikanan. Ancaman terhadap kelestarian perikanan menjadi masalah dan beberapa spesies mulai langka dan terancam punah. Spesies-spesies yang berpotensi mengalami ancaman overeksploitasi dan kepunahan adalah spesies yang penyebarannya terbatas, pertumbuhan lambat, kematangan lambat, fekunditas tahunannya rendah, tidak menjaga turunannya, serta banyak diburu oleh masyarakat karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Status eksploitasi berlebih juga telah terjadi pada beberapa spesies sumberdaya perikanan karena alat tangkap tidak ramah lingkungan, kebijakan akses terbuka, overcapacity, kerusakan habitat ikan (terumbu karang, lamun, mangrove) dan pencemaran perairan. Kawasan Teluk Jor Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan khususnya pelagis kecil. Berdasarkan kondisi biogeofisik wilayah, terdapat beberapa ekosistem utama yang menunjang keberlanjutan hidup ikan pelagis kecil seperti lamun. Menurut informasi dari masyarakat, berbagai jenis pelagis kecil ditangkap menggunakan alat ramah lingkungan. Ukuran ikan pelagis kecil yang ditangkap tidak melalui pembatasan ukuran dan jumlah. Berdasarkan kondisi dan informasi tersebut, perlu dilakukan kajian tentang Performa perikanan pelagis kecil di kawasan Teluk Jor Lombok Timur. Hal tersebut menjadi penting untuk mendukung tata kelola perikanan secara berkelajutan dalam rangka menjaga dan mengatur stok sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat dimasa yang akan datang. Pengelolaan perikanan berpendekatan ekosistem atau ecosystem approach to fisheries management (EAFM) merupakan sebuah konsep dalam mencapai tujuan sosial ekonomi dengan tetap mempertimbangkan ekosistem dan interaksi manusia dengan ekosistem secara seimbang melalui pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan (NWG II EAFM, 2014). Dalam implementasi EAFM yang harus diperhatikan antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003). Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis performa atau status pengelolaan perikanan pelagis kecil berdasarkan pendekatan EAFM di kawasan Teluk Jor Lombok Timur.

METODOLOGI Waktu, Lokasi dan Jenis Data Kajian penilaian performa perikanan pelagis kecil dilakukan di kawasan Teluk Jor Lombok Timur pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2017. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan analisis data sekunder pada bulan Juli–Oktober 2017. Proses pengkajian dalam penilaian perikanan menggunakan indikator EAFM dilakukan melalui tahapan mengumpulkan, identifikasi dan mengkaji informasi data primer dan sekunder yang diperoleh. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan stakeholder terdiri dari nelayan, kelompok wanita pegolah hasil perikanan, tokoh masyarakat, aparat desa dan DKP Kabupaten Lombok Timur. Data sekunder yang digunakan berasal dari hasil pencatatan ikan pelagis kecil, dan laporan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di lokasi kajian.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 27

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Analisa Komposit Analisis Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) dilakukan melalui pendekatan multi atribut, dengan pendekatan kepada gejala atau performa indikasi kondisi ekosistem perairan secara umum (NWG II EAFM, 2013). Digunakan teknik Flag Modeling melalui pengembangan indeks komposit menurut Adrianto, et al (2005) dalam NWG II EAFM (2014). Pertama, ditentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (habitat, sumberdaya ikan, sosial ekonomi dan kelembagaan). Kedua, mengkaji keragaan setiap indikator yang diuji baik menggunakan data primer atau sekunder sesuai tingkat ketersediaan data yang terbaik (the best available data). Nilai yang digunakan adalah 1 – 3 (3, nilai terbaik).

Domain dan Indikator EAFM Domain dan indikator yang digunakan dalam kajian ini merujuk pada hasil diskusi NWG II EAFM (2013).Domain dan indikator serta sumber data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Domain, Indikator dan Sumber Data yang digunakan dalam penilaian pengelolaan pelagis kecil di Kawasan Teluk Jor Domain Indikator Sumber Data Sumberdaya CPUE DKP Lotim, WCS, PKSPL IPB Ikan Ukuran Ikan hasil wawancara Proporsi Yuwana tertangkap hasil wawancara Komposisi Spesies hasil wawancara Spesies ETP hasil wawancara "Range Collapse" Sumberdaya Ikan hasil wawancara Habitat dan Kualitas Perairan laporan hasil penelitian Ekosistem Status Ekosistem Lamun laporan hasil penelitian Status Ekositem Mangrove laporan hasil penelitian Status Ekosistem Terumbu Karang laporan hasil penelitian Habitat Unik hasil wawancara Status dan Produktivitas Estuari dan laporan hasil penelitian perairan sekitarnya Perubahan iklim terhadap kondisi laporan hasil penelitian perairan dan habitat Teknik Metode Penangkapan ikan hasil wawancara Penangkapan Modifikasi alat penangkapan ikan dan hasil wawancara Ikan alat bantu Kapasitas perikanan dan upaya Statistik Perikanan DKP Lotim penangkapan Selektivitas penangkapan hasil wawancara Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal hasil wawancara penangkapan ikan dengan dokumen Sertifikasi awak kapal hasil wawancara Sosial Partisipasi pemangku kepentingan hasil wawancara Konflik perikanan hasil wawancara Pemanfaatan pengetahuan lokal hasil wawancara Ekonomi Kepemilikan Aset hasil wawancara

28 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Domain Indikator Sumber Data Pendapatan Rumah Tangga laporan dan hasil wawancara Rasio Tabungan hasil wawancara Kelembagaan Tingkat Kepatuhan Terhadap Perikanan hasil wawancara Bertanggung Jawab Kelengkapan Aturan Main hasil wawancara Mekanisme Kelembagaan Pengelolaan hasil wawancara Perikanan Rencana Pengelolaan Perikanan hasil wawancara Tingkat Sinergitas Kelembagaan hasil wawancara Kapasitas Pemangku Kepentingan hasil wawancara

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perikanan Pelagis Kecil Gambaran perikanan pelagis kecil di kawasan Teluk Jor direfleksikan oleh indikator pada 6 domain Ecosystem Approach to Fisheries Manajemen (EAFM) sebagai berikut: 1. Status Sumberdaya Ikan Domain sumberdaya ikan menggambarkan kondisi stok ikan yang dikaji, dengan indikator CPUE baku, tren ukuran ikan, proporsi yuwana, komposisi spesies tangkapan dan spesies Endangered, Threatened, dan Protected (ETP). Berdasarkan Kepmen KP no. 47 tahun 2016 tingkat pemanfaatan ikan karang di WPPNRI 573 sebesar 0,34 (moderate). Kondisi perikanan pelagis kecil di kawasan Teluk Jor berdasarkan penilaian indikator EAFM secara agrerasi pada posisi kuning. Kondisi penangkapan ikan pelagis kecil di kawasan Teluk Jor lebih dari 60% termasuk kategori baby (0,1-0,2 kg). Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil berdasarkan data panjang (E) sebesar 0,34 (

Tabel 2. Data CPUE, ukuran ikan, komposisi spesies dan ukuran ikan yang tertangkap Tahun CPUE (Kg/hari)1 Ukuran ikan (cm)2 Proporsi 1 % Yuwana2 2012 32,48 15a 60% 20 2013 28,20 13b 60% 30 2014 25,80 10c 60% 40 2016 22,00 8d 60% 60 Sumber : 1statistik perikanan (2017), 2data diolah. a,b,c,d, memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan

Hasil analisa data sekunder (DKP, 2016), beberapa spesies ETP seperti hiu ikut tertangkap. Menurut keterangan nelayan, semua jenis ikan yang tertangkap, baik ikan target maupun non-target, tidak ada yang dilepaskan. Selain karena semua ikan laku dijual, karena ikan tersebut sulit dilepaskan dari alat tangkap dalam keadaan hidup. Berdasarkan gambaran tersebut, skor setiap indikator dalam domain sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan skor tersebut, indikator yang paling sensitif adalah spesies Endangered, Threatened, dan Protected (ETP). Empat indikator lainnya yaitu CPUE baku, tren ukuran ikan, proporsi yuwana dan “range collapse” sumberdaya tergolong skor buruk.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 29

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Skor setiap indikator domain sumberdaya ikan

2. Habitat dan Ekosistem Kondisi habitat dan ekosistem dapat mencerminkan bentuk pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga dapat menjadi acuan dalam penentuan keberhasilan program pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan (NWG II EAFM, 2013). Terdapat 6 indikator untuk menggambarkan kondisi habitat dan ekosistem yaitu Kualitas perairan, status ekosistem lamun, status ekosistem mangrove, status ekosistem terumbu karang, habitat unik dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan. Hasil kompilasi penelitian terdahulu menujukkan bahwa perairan di Nusa Tenggara Barat masih dibawah ambang baku mutu perairan (Tim peneliti unram, 2011 dalam Hilyana dkk, 2014). Hasil kajian BRKP (2004) dalam Hilyana dkk (2014) menemukan 7 spesies lamun di perairan Lombok dengan persentase tutupan 80 – 100% namun di areal tertentu kondisi lamun mengalami kerusakan akibat aktivitas perahu khususnya disekitar Labuhan Lombok. Hilyana (2014) menyebutkan bahwa kondisi tutupan karang di perairan Lombok Timur sangat bervariasi mulai dari 5% – 48% yang menunjukkan kondisi terumbu karang dari yang rusak berat sampai kondisi sedang.

Gambar 2. Skor setiap indikator domain habitat dan ekosistem

30 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

3. Teknik Penangkapan Ikan Untuk aspek teknis penangkapan ikan digunakan 6 (enam) indikator utama, yaitu metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, fishing capacity dan effort, selektivitas penangkapan, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Hasil wawancara dengan nelayan dan aparat pemerintah menjadi data dalam pemberian skor setiap indikator, kecuali modifikasi alat tangkap (Gambar 3).

Gambar 3. Skor setiap indikator domain habitat dan ekosistem

4. Sosial Terdapat 3 indikator yang digunakan untuk menggambarkan kodisi sosial yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi nelayan sebagian besar tergolong baik, pemanfaatan pengetahuan local (local wisdom) ditatai oleh masyarakat, karena masyarakat nelayan sangat terikat dengan sanksi social yang diberlakukan dalam komunitasnya. Konflik perikanan antara masyarakat local dengan masyarakat nelayan dari luar kawasan sangat jarang terjadi, namun apabila nelayan luar kawasan yang melakukan penangkapan tidak sesuai aturan yang disepakati dalam kawasan dilakukan dengan memberikan sanksi sesuai aturan yang tertuang dalam lembaga pengelola LAPTJ dan dapat diselesaikan secara musyawarah (Gambar 4).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 31

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 4. Skor setiap indikator domain sosial

5. Ekonomi Pada domain ekonomi terdapat 3 indikator kunci, yaitu kepemilikan aset, pendapatan rumah tangga perikanan (RTP), dan rasio tabungan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata- rata pendapatan rumah tangga perikanan per bulan adalah Rp 1.270.000 atau sedikit lebih tinggi dibanding UMP NTB yaitu Rp 1.210.000,-. Aset produktif yang dimiliki keluarga nelayan hanya berupa alat tangkap yang digunakan untuk melakukan aktivitas tangkapan sebagai mata pencaharian utama dan sebagian membeli asset dalam bentuk sepeda motor. Dengan jumlah trip melaut 18 - 20 hari yang hasilnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup satu bulan, menyebabkan alokasi pendapatan nelayan paling besar dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan primer yaitu pangan, sehingga untuk memperbesar aset baik yang bersifat produktif maupun non produktif menjadi sulit. Kurang dari 5% nelayan di kawasan Teluk Jor memiliki aset produktif maupun non produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar nelayan yang ada di kawasan Teluk Jor merupakan nelayan skala kecil (small scale fisheries) dan bersifat tradisional.

Gambar 5. Skor setiap indikator domain ekonomi

6. Kelembagaan Untuk menggambarkan kelembagaan digunakan enam indikator, yaitu kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal, kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, mekanisme pengambilan keputusan, Rencana Pengelolaan Perikanan,

32 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, dan kapasitas pemangku kepentingan. Nilai skor masing-masing indikator tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Skor setiap indikator domain kelembagaan

Status Pengelolaan Perikanan Pelagis Kecil Status pengelolaan perikanan pelagis kecil digambarkan berdasarkan hasil analisis menggunakan teknik flag modelling dengan nilai indikator setiap domain. Dari enam domain yang dinilai, dua domain termasuk satus “baik” yaitu Sosial dan Kelembagaan, dua domain tergolong satus “sedang” yaitu habitat dan ekosistem serta teknik penangkapan ikan, dan dua domain tergolong status “buruk” yaitu aspek sumberdaya ikan dan aspek ekonomi. Nilai aggregat menunjukkan status pengelolaan “ sedang” (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil analisis dengan teknik flag modelling setiap domain Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 40 buruk Habitat & ekosistem 50 sedang Teknik Penangkapan Ikan 50 sedang Sosial 55 baik Ekonomi 40 buruk Kelembagaan 55 baik Aggregat 48,3 sedang

Berdasarkan hasil analisis, untuk memperbaiki pengelolaan pelagis kecil dilakukan perbaikan pada aspek pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menetapkan jumlah dan ukuran yang boleh ditangkap serta mengembangkan alternative matapencaharian seperti pengembangan budidaya laut berupa KJA dan pengolahan hasil. Indikator sensitif lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan ekosistem melalui rehabilitaasi mangrove, pelestarian ekosistem lamun, penanggulangan pencemaran dan sedimentasi melalui pengelolaan sampah serta pengaturan alat tangkap yang selektif.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 33

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penilaian pengelolaan perikanan pelagis kecil di Kawasan Teluk Jor secara agregat tergolong sedang, ditunjukkan oleh modus nilai yang digambarkan dalam bentuk flag model yaitu dua domain tergolong baik (bendera hijau) yaitu Sosial dan kelembagaan, dua domain tergolong sedang (bendera kuning) yaitu aspek habitat dan ekosistem dan teknik penangkapan ikan. Sedangkan domain sumberdaya ikan dan ekonomi menunjukkan status buruk. Keenam domain saling berkaitan satu sama lain, status ekonomi tergolong buruk karena status sumberdaya ikan juga buruk sehingga berdampak pada pendapatan yang diterima nelayan rendah, akibatnya keluarga nelayan belum mampu mencukupi kebutuhan secara ideal, oleh karena itu perlu pengembangan matapencaharian alternative seperti budidaya laut. Sementara kondisi habitat dan ekosistem serta teknologi penangkapan tergolong sedang disebabkan sebagian ekosistem mengalami kerusakan oleh aktivitas masyarakat dimasa lalu serta keberadaan sampah dan sedimentasi yang ikut mempengaruhi kualitas air. Pada aspek aspek penangkapan tergolong sedang karena nelayan kurang selektif dalam menangkap ikan, masih banyak ikan ukuran kecil (juvenile) yang tertangkap. Begitu pula aspek social dan kelembagaan tergolong baik, karena aturan berupa awiq-awiq (disebut LAPTJ) berjalan cukup efektif, namun perlu disosialisasikan secara lebih luas terutama pada nelayan luar kawasan agar mengetahui aturan yang berlaku dikawasan Teluk Jor dalam pengelolaan perikanan dan perlindungan ekosistem. Saran tindak lanjut pengelolaan perikanan pelagis kecil dapat dilakukan dengan kebijakan antara lain penataan zona larang tangkap pada lokasi yang teridentifikasi sebagai spawning ground, Pengaturan ukuran tangkap pertama kali matang gonad, Melakukan sosialisasi ukuran ikan layak tangkap, Pemantauan dan pencatatan ikan yang tertangkap per upaya tangkap, Kemitraan penelitian terkait lokasi potensi SPAGS, nursery ground, dan habitat unik lainnya, Edukasi bagi masyarakat yang melakukan destruktif fishing, Monitoring dan evaluasi terpadu oleh pemerintah bersama masyarakat, Sosialisasi peraturan perikanan, Peningkatan pengawasan pemanfaatan perikanan melalui penguatan pokwasmas, Rehabilasi ekosistem mangrove dan perlindungan ekosistem lamun, Pengelolaan sampah dilahan daratan, Pengembangan matapencaharian alternative dan Insentif untuk pengembangan EAFM.

DAFTAR PUSTAKA Adrianto LY, Matsuda Y, Sakuma. 2005. Assessing sustainability of fishery systems in a small island region: Flag modeling approach. Proceeding of IIFET 2005. Tokyo, Jepang. Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. UK: Balckwell Science. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome: FAO. 41 p. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Ecosystem Approach to Fisheries. Rome: FAO Technical Paper. Gislason H, Sinclair M, Sainbury K, O’Boyle R. 2000. Symposium overview: incorporating ecosystem objectives within fisheries management. Journal of Marine Sciences. 57: 468- 475. Morse GK, Lester JN, Perry R. 1993. The Economic and Environmental Impact of Phosphorus Removal from Wastewater in the European Community. APHA, AWWA, WEF, (1995), Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 19th edition. Ed: Andrew D. Eaton, APHA, Washington DC. Musick JA, Barkeley SA, Caillet GM, Camhi M, Huntsman G, Nammack M, Warren Jr ML. 2000. Protection of marine fish stocks at risk of extinction. Fisheries. 25(3): 6-8. [NWG II EAFM] National Working Group on Ecosystem Approach to Fisheries Management. 2014. Modul Penilaian Indikator Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosistem Approach to Fisheries Management). Training EAFM. Bogor.

34 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PEMETAAN DAN PENANGGULANGAN DESTRUCTIVE FISHING DI TELUK SALEH, KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT (Mapping and Control of Destructive Fishing In Teluk Saleh, Sumbawa District, Nusa Tenggara Barat)

Oleh: Eko Suryo Saputro Wildlife Conservation Society-Indonesia Program

ABSTRAK Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Namun seiring waktu potensi sumberdaya perikanan Provinsi NTB semakin menurun dikarenakan banyaknya penangkapan ikan yang dapat merusak lingkungan (destructive fishing). Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah aktivitas destructive fishing salah satunya yaitu melalui kegiatan patroli. Untuk mendukung kegiatan patroli secara efektif perlu dilakukan pendataan dan pemetaan secara akurat terhadap pelaku destructive fishing, lokasi, jalur ditribusi bahan baku, dan modus operandi. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaku yang masih aktif menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan di perairan Teluk Saleh sebanyak 8 orang, sedangkan untuk pelaku yang masih aktif menangkap ikan dengan menggunakan racun ikan sebanyak 6 orang. Bahan utama pembuatan bom ikan yaitu pupuk jenis urea yang umum digunakan untuk kelapa sawit dan bahan pemicu ledakan atau misiu yang oleh nelayan disebut panggal. Jalur distribusi bahan pembuatan bom yaitu dari Malaysia atau Singapur ke Batam, kemudian disalurkan ke Pulau Sailus, Pulau Skoci dan Pulau Buton (Kepulauan di Sulawesi). Kemudian dari kepulauan itu, didistribusikan ke Pulau Medang (Sumbawa), dilanjutkan pendistribusiannya ke Pulau Kaung (Sumbawa) dan selanjutnya didistribusikan ke nelayan, salah satunya nelayan bom ikan yang berada di Desa Prajak.

Kata kunci: jalur distribusi bahan pembuat bom, modus operandi, pelaku destructive fishing

ABSTRACT One of the provinces in Indonesia which has considerable fisheries resource potential, namely the province of West Nusa Tenggara (NTB). But over time the potential of fisheries resources in NTB Province has declined due to the many fishing activities that can damage the environment (destructive fishing). Various ways have been done by the government to prevent destructive fishing activities, one of which is through patrol activities. To support effective patrol activities, accurate data collection and mapping of the perpetrators of destructive fishing, location, distribution of raw materials, and modus operandi are needed. The perpetrators who are still actively catching fish using fish bombs in the pious bay waters as many as 8 people, while for the perpetrators who are still actively catching fish using 6 poisons people. The main ingredients for making fish bombs are urea fertilizer which is commonly used for palm oil and explosive trigger materials or missions which are called by fishermen. The distribution channels for bomb-making materials are from Malaysia or Singapure to Batam, then distributed to Sailus Island, Skoci Island and Buton Island (Islands in Sulawesi) from the islands then distributed to Medang Island (Sumbawa), from Medang Island distributed to Kaung Island (Sumbawa) and then distributed to fishermen, one of whom is a fish bomb fisherman who is in the Prajak village.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 35

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Keyword: distribution channels for bomb-making materials, modus operandi, perpetrators of destructive fishing

PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang gari pantai 81.290 km. Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2, ini berarti luas wilayah laut Indonesia lebih dari dua setengah kali luas daratannya. Dengan kondisi tersebut, Indonesia menjadi salah satu produsen perikanan terbesar di dunia setelah Cina(FAO, 2014). Total produksi perikanan Indonesia pada tahun 2015 mencapai lebih dari 6 juta ton dengan pertumbuhan tahunan antara tahun 2005 hingga 2015 sebesar 3,5%. Salah satu provinsi di indnesia yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (KKP 2015). Sebagai provinsi kepulauan, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup besar. Dengan luas perairan laut sebesar 29.159,04 km2 (59,13 %) yang lebih luas dari wilayah daratannya yang sebesar 20.153,15 km2 (40,87 %), Provinsi NTB mempunyai ekosistem perairan yang terbilang lengkap seperti perairan laut pelagis, laut demersal, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang kaya akan terumbu karang, padang lamun, mangrove hingga perairan umum seperti waduk, danau, sungai dan embung yang berlimpah sumberdaya perikanan dan kelautan (DKP NTB 2014). Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi habitat bagi berbagai jenis sumber daya ikan sehingga memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, khususnya perikanan karang, lobster, dan tuna. Produksi perikanan kerapu dan kakap menempati urutan ketiga di Provinsi NTB dan merupakan salah satu dari sepuluh penyumbang utama produksi perikanan kerapu dan kakap nasional (KKP 2015). Perairan Provinsi NTB menjadi bagian dari dua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP); WPP 713 di wilayah utara dan WPP 573 wilayah selatan. Namun seiring waktu potensi sumberdaya perikanan Provinsi NTB semakin menurun dikarenakan banyaknya penangkapan ikan yang dapat merusak lingkungan (destructive fishing). Salah satu lokasi yang masih ditemukan praktek penangkapan ikan yang merusak lingkungan (destructif fishing) di NTB adalah perairan laut Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Besar. Di lokasi ini aktivitas destructive fishing yang masih dilakukan oleh masyarakat adalah penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom ikan) dan racun. Kedua aktivitas tersebut berdampak buruk bagi lingkungan karena dapat memusnahkan biota laut yang bukan merupakan target penangkapan dan merusak ekositem terumbu karang. Apabila aktivitas tersebut terus berlangsung dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan dampak buruk yang lebih luas. Pada akhirnya aktivitas ini akan merugikan masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil laut. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun ikan yang terjadi di wilayah perairan NTB, khususnya wilayah perairan Teluk Saleh, antara lain sosialisasi dan pemeberdayaan masyarakat. Namun kegiatan ini belum memberikan hasil yang signifikan, sehingga dinilai perlu dilakukan kegiatan pengamanan melalui patroli laut. Kegiatan patroli ini berfungsi untuk mencegah terjadinya aktivitas destructive fishing sekaligus melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelakunya. Untuk dapat melakukan pengamanan perairan Teluk Saleh secara efektif, perlu dilakukan pendataan dan pemetaan secara akurat terhadap pelaku destructive fishing, lokasi, jalur distribusi bahan baku, dan modus operandinya. Tujuan dilakukan pendataan dan pemetaan pelaku destructive fishing di wilayah Teluk Saleh, yaitu: a. Mengetahui identitas dan sebaran pelaku destructive fishing di wilayah perairan Teluk Saleh

36 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

b. Mengetahui lokasi-lokasi rawan aktivitas distructive fishing di wilayah perairan Teluk Saleh c. Mengetahui jalur distribusi bahan baku pembuatan bom dan racun ikan yang digunakan di wilayah perairan Teluk Saleh d. Mengetahui modus operandi aktivitas destructive fishing di wilayah perairan Teluk Saleh.

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Pengambilan Data Pengambilan data dilaksanakan pada bulan November – Desember 2017 di 7 desa- yang ada di sekitar wilayah Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa (NTB), antara lain : a. Desa Batu Bangka, Kecamatan Moyo Utara b. Desa Olat Rawa, Kecamatan Moyo Hilir c. Desa Sangoro, Kecamatan Maronge d. Desa Santong, Kecamatan Empang e. Desa Labuhan Aji, Kecamatan Tarano f. Desa Labuhan Jambu, Kecamatan Tarano g. Desa Pidang, Kecamatan Tarano

Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara tertutup (elisitasi), yang dilakukan terhadap masyarakat nelayan di desa-desa target, khususnya nelayan yang terindikasi sebagai pelaku pengebom ikan dan racun ikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Pelaku Destructive Fishing Pelaku destructive fishing di wilayah perairan Teluk Saleh, baik yang melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom ikan) maupun racun merupakan penduduk pendatang dari Sulawesi, yaitu suku Bajo dan Bugis yang menetap di desa-desa disekitar Teluk Saleh. Dari pengumpulan data dan informasi di 7 desa target, ditemukan 14 pelaku yang masih aktif melakukan kegiatan destructive fishing yang menggunakan bom ikan dan racun ikan. Para pelaku tersebut tersebar di 4 desa, yaitu Batu Bangka dan Olat Rawa , Kecamatan Moyo Hilir; Desa Teluk Santong, Kecamatan Plampang; dan Desa Labuhan Jambu, Kecamatan Tarano (Gambar 1). Pelaku yang masih aktif menangkap ikan dengan menggunakan bom di perairan Teluk Saleh sebanyak 8 orang, yang berasal dari Desa Batu Bangka (7 orang), dan Desa Rawa Olat (1 orang). Sedangkan untuk pelaku yang masih aktif mengangkap ikan dengan menggunakan racun sebanyak 6 orang, yang berasal dari Desa Teluk Santong (3 orang), dan Desa Labuhan Jambu (3 orang). Menurut salah satu nelayan Dusun Prajak, sebelum tahun 2012 diperkirakan 90% nelayan yang ada di dusun Prajak menggunakan bom untuk menangkap ikan. Namun saat ini jumlah nelayan yang menggunakan bom semakin berkurang karena beberapa kali pelaku pengeboman ikan ditangkap oleh aparat penegak hukum. Selain itu harga bahan baku untuk pembuatan bom ikan meningkat sangat signifikan juga menjadi salah satu penyebab berkurangnya nelayan pengebom ikan di Dusun Prajak. Nelayan yang berhenti melakukan praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom beralih mengunakan alat tangkap pancing dan panah. Selain itu mereka juga beralih menjadi petani dan peternak sapi.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 37

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Peta sebaran pelaku destructive fising di wilayah perairan Teluk Saleh.

Menurut beberapa nelayan yang berada di desa yang berada disekitar Teluk Saleh praktek penangkapan ikan dengan menggunakan racun tidak lepas dari penggunaan kompresor. Kompresor merupkan alat bantu pernafasan yang digunakan untuk menyelam. Saat nelayan kompresor yang ada di Teluk Saleh tersebar di beberapa desa diantaranya yaitu desa Labuhan Kuris berjumlah 21 nelayan, dusun Gili Tapan desa Labuhan Sangor berjumlah 35 nelayan, desa Labuhan Aji berjumlah 3 nelayan dan Desa Labuhan Jambu 3 nelayan. Namun belum cukup bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa semua nelayan yang menggunakan kompresor terlibat dalam praktek penangkapan ikan menggunakan racun, hanya beberapa nelayan saja yang sudah dipastikan terlibat dalam praktek penangkapan ikan menggunakan racun. Berdasarkan informasi yang berkembang saat ini nelayan racun ikan tidak lagi menggunakan potasium untuk meracun ikan, melaikan menggunakan pestisida racun hama bawang yaitu dupont, karena dupont mudah didapat ditoko-toko pertanian.

Wilayah Operasi Destructive Fishing Pengeboman dapat dilakukan di dasar peraiaran yaitu dengan mengatur panjang pendeknya sumbu sedemikian rupa sehingga bom meledak ketika sampai di dasar, peledakan juga sering dilakukan di permukaan. Pada Umumnya nelayan pengebom ikan tidak memiliki target jenis ikan tertentu. Namun biasanya mencari ikan yang hidupnya bergerombol agar mendapatkan hasil yang banyak, seperti ikan sulir, ikan bibir tebal, dan kerapu yang biasa hidup di bawah terumbu karang.

38 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 2. Peta lokasi praktek destruktive fishing di perairan Teluk Saleh

Menurut informasi dari mantan pelaku nelayan bom, lokasi pengeboman ikan di wilayah perairan Teluk Saleh, antara lain disekitar pulau Dangar Ode, pulau Dangar Rea, pulau Liang Ngali, Pulau Ketapang, pulau Rakit, dan di sekitar pulau-pulau kecil lain yang ada di wilayah perairan Teluk Saleh dengan kedalam 5-20 m. Sedangkan lokasi penangkapan ikan menggunakan racun dilakukan di wilayah perairan dengan kondisi terumbu karang yang masih baik dan masih banyak ditemukan ikan karang,antara lain disekitar pulau Rakit, Pulau Liang Ngali, Gili Tapan dan Gili Putri (Gambar 2).

Bahan dan Cara Pembuatan Bom Ikan Bahan baku utama untuk membuat bom ikan adalah pupuk jenis urea yang umum digunakan untuk kelapa sawit dan bahan pemicu ledakan atau misiu, yang oleh masyarakat nelayan disebut panggal. Pupuk urea tersebut kemudian dikemas menggunakan botol minuman alkohol (bir), kaleng minuman ringan (sprite), kaleng minuman energi (Kratingdaeng), dan botol air mineral. Bahkan dalam beberapa kesempatan para pelaku menggunakan jerigen berukuran 20 liter. Bahan baku pendukung lainnya yaitu minyak tanah, korek api kayu atau misiu yang digunakan untuk petasan, busa sandal jepit, dan sedotan plastik (untuk aqua gelas) (Tabel 1).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 39

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Tabel 1. Bahan pembuatan bom ikan No Jenis Alat dan Bahan Fungsi 1. Wajan Untuk menyangrai pupuk Urea 2. Sedotan platik (untuk aqua gelas) Untuk sumbu 3. Botol, jerigen Untuk kemasan/wadah bom 4. Pupuk urea Bahan baku bom ikan 5. Minyak tanah/solar/bensin Campuran ketika menyangrai pupuk urea 6. Panggal/Misiu Pemicu ledakan bom 7. Korek api kayu/Misiu Bahan pembuatan sumbu 8. Busa sandal jepit Sebagai penutup botol minuman yang digunakan sebagai bom ikan

Cara pembuatan bom ikan adalah sebagai berikut : pupuk urea sawit di sangrai bersama minyak tanah sampai pupuk benar-benar kering, dengan perbandingan 1 kg pupuk urea sawit, 50 ml minyak tanah. Setelah pupuk urea yang sudah disangrai kemudian dimasukan kedalam botol minuman (bir, kratigdaeng, sprite dan lain-lain tergantung kebutuhan). Slanjutnya ditutup dengan menggunakan busa sandal jepit yang sudah diberi lubang untuk sumbu, Sumbu terbuat dari kepala korek api kayu yang di tumbuk halus, kemudian dimasukkan kedalam sedotan plastik (untuk aqua gelas).Pada bagian bawah yang mehubungkan sumbu dan pupuk diletakkan misiu/panggal yang berfungsi sebagai pemicu ledakan. Untuk 1 kg pupuk urea bisa dijadikan 3 unit bom ikan dengan kemasan 2 botol sprite dan 1 botol kratingdaeng dengan modal sekitar Rp. 422.000 (Tabel 2).

Tabel 2. Rincian biaya pembuatan bom ikan No Bahan Jumlah Perkiraan Harga (Rp) 1. Pupuk Urea 1 kg 300.000 2. Korek api kayu 2 kotak 15.000 3. Panggal/Misiu 1 batang 100.000 4. Minyak tanah 50 ml 7.000 5. Busa sendal jepit, sedotan - 6. Botol minuman - Total harga 422.000

Jalur Distribusi Bahan Baku Bom Ikan Berikut alur distribusi pupuk pembuatan bom yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB) khusunya Teluk Saleh. Ada 2 jalur ditribusi pupuk pembuatan bom yaitu jalur legal (Pupuk Cantik) dan jalur illegal (pupuk prea untuk kelapa sawit merk matahari 3, 4). a. Jalur Pupuk Legal Salah satu jenis pupuk yang digunakan oleh nelayan bom yaitu pupuk urea merk cantik, pupuk cantik merupkan pupuk legal yang diperjual belikan di toko-toko pertanian di Indonesia. Pupuk ini di buat/pabrik dari negara Belgia yang di impor oleh PT. Santani Agro Mandiri di Surabaya yang kemudian didistribusikan di toko-toko pertanian di seluruh Indonesia salah satunya di kabupaten Sumbawa. Pupuk ini merupakan alternative ke 2 setelah pupuk matahari (pupuk urea untuk kelapa sawit),apabila pupuk matahari sulit didapatkan. Pupuk cantik memiliki kandungan Calcium Ammonium Nitrate yang cukup tinggi dibandingan dengan pupuk urea legal di Indonesia berikut komposisi pupuk cantik ,27 % Nitrogen ( N ) atau 13,5 %

40 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Ammonium ( NH4 ) dan 13,5 % Nitrate ( NO3 ) serta 12 % Calcium ( CaO ) dengan bentuk Butiran warna Putih. Menurut pak Agus salah satu mantan pengebom “ pupuk cantik digunakan apabila pupuk matahari sulit didapat walaupun daya ledaknya tidak sekuat pupuk merk matahari”.

Toko Obat Pertanian di Alas

Pulau Labuhan Prajak Pulau Kaung Bajo Bungin (utan)

Tanjung Beleh

Gambar 3. Jalur pupuk legal

b. Jalur Ilegal Negara Malaysia dan Singapura merupakan negara utama yang menyuplai bahan baku pupuk pembuatan bom ikan yang ada di Indonesia. Pupuk masuk secara illegal ke Indonesia yang diselundupkan melalui kapal barang pegangkut pakaian bekas ke Batam, dari Batam pupuk disalurkan ke Pulau Sailus, Skoci dan Pulau Buton yang merupakan kepulauan yang ada di Sulawesi. Pulau Sailus, Skoci dan Pulau Buton merupakan penyuplai utama bahan baku pembuatan bom ikan yang ada di Provinsi NTB. Dari kepualauan Sailus Skoci dan Buton (Sulawesi) bahan baku didistribusikan ke Pulau Medang (Sumbawa) melalui perahu nelayan, jarak pulau Sailus Skoci, Buton (Sulawesi) ke Pulau Medang (Sumbawa) dapat ditempuh dengan menggunakan perahu nelayan dengan kekuatan mesin 15 – 20 PK dengan waktu kurang lebih 2 jam. Jarak tersebut cukup dekat bagi nelayan yang ada di pulau Medang untuk melakukan transaksi jual beli atau memasok pupuk pembuatan bom ikan yang ada di pulau Sailus, Skoci dan Buton. Dari pulau Medang pupuk didistribusikan ke Pulau Kaung dan selanjutnya dari pulau Kaung di distribukan ke Desa-desa yang nelayannya melakukan penangkapan ikan menggunakan bom ikan diantaranya yaitu Dusun Prajak, Desa Batu Bangka, Kabupaten Sumbawa. Pupuk tersebut diperoleh nelayan dari pengepul atau juragan yang berperan sebagai pembeli ikan. Pemasok memiliki jaringan khusus dengan nelayan yang dipercaya untuk memasarkan pupuk pembuat bom ikan kepada nelayan bom yang lain. Menurut salah satu nelayan bom ikan yang ada di Dusun Prajak Desa Batu Bangka, saat ini untuk mendapatkan pupuk kelapa sawit semakin sulit dan harganya relatif mahal, yaitu mencapai Rp. 300.000/kg.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 41

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Malaysia dan Batam Sailus, Skoci Singapura dan Buton

Pulau Kaung Pulau Medang dan Labuhan Bajo

Lombok Prajak Pulau Bungin

Tanjung Beleh Gambar 4. Jalur ilegal

Pupuk urea untuk pembuatan bom ikan didistribusikan dari Pulau Kaung ke Prajak melalui darat dengan menggunakan mobil Pick UP L300 dan Mobil Bemo, mobil tersebut merupakan mobil yang digunakan untuk mengangkut ikan dari Dusun Prajak. Aktivitas pendistribusian bahan baku pembuatan bom biasaya dilakukan pada pagi hari pukul 5:00 WITA dan malam hari 07:00 WITA. Hal ini dilakukan agar tidak banyak orang yang tahu akan aktivitas tersebut. Pengepul ikan di Kabupaten Sumbawa yang sekaligus berperan sebagai penyalur pupuk untuk bahan baku pembuatan bom ikan yang sudah teridentifikasi berasal dari Pulau medang, Pulau Kaung, dan Dusun Prajak. Sedangkan untuk racun ikan, umumnya bahan baku yang digunakan adalah Dupon. Dupon merupakan pestisida yang digunakan untuk hama tanaman pertanian (bawang) yang dapat diperoleh dari toko pertanian yang ada di wilayah kabupaten Sumbawa. Dalam penggunaan dupont untuk racun ikan ada dua cara yang digunakan oleh nelayan, cara pertama dupont dicampur dengan air kemudian dimasukan kedalam botol air mineral yang berukuran sedang maupun yang berukuran tanggung. Cara menggunakannnya yaitu dengan cara menyemprotkan racun kesela-sela karang. Cara kedua, dupon dicampur dengan daging ikan yang telah dipotong kecil-kecil. Cara menggunakannya yaitu daging yang telah dicampur dengan dopon dibungkus dengan plastik kemudian diikat dengan tali dan diberi peberat, setelah itu bukusan ikan tadi di masukan kedalam air dengan menggunakan tali panjang, sesampainya didasar perairan tali tarik ke atas sehingga ikan yang dibungkus dengan plastik tersebar didasar perairan dan dimakan oleh ikan.

Modus Operandi Pengeboman ikan umumnya dilakukan di perairan laut dengan kedalaman 3-20 meter. Pengeboman dapat dilakukan pada dasar peraiaran yaitu dengan mengatur panjang pendeknya sumbu sedemikian rupa sehingga bom meledak ketika sampai di dasar. Dalam pengoperasian bom ada dua acara yang digunakan: pertama, melempar bom dari atas sampai dengan menggunakan bom bersumbu pendek; kedua, menyelam menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan dan meletakan bom bersumbu panjang didasar perairan (kedalaman 10-20 meter). Dalam melakukan aksinya, pengeboman ikan umumnya dilakukan oleh minimal 3

42 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

orang dalam satu perahu. Setiap ABK kapal nelayan pengebom ikan memiliki tugas masing- masing, mulai dari survei ikan, pelempar bom, dan satu orang yang bertugas mengawasi situasi sekitar untuk memastikan kondisi aman dari pantauan petugas. Menurut informasi salah satu nelayan pengebom ikan yang ada didusun prajak, saat ini nelayan bom dalam melakukan praktek pengeboman ikan menggunakan sampan kecil dengan ukuran panjang kurang lebih 7-10 m dengan jumlah ABK 1-3 orang saja. Hal ini dilakukan untuk kecurigaan petugas dan agar dapat dengan mudah melarikan diri jika ada pengejaran dari petugas yang sedang berpatroli. Selain itu, untuk mengelabui petugas pengeboman ikan juga membawa jaring, kompresor dan panah. Saat dilakukan pengejaran oleh petugas yang sedang patroli nelayan pengebom akan membuang barang bukti (bom ikan, pupuk dan sumbu) kedalam laut. Nelayan racun ikan melakukan penangkapan ikan meggunakan perahu berukuran panjang kurang lebih 7-10 meter. Ada dua cara yang digunakan oleh nelayan untuk mercun ikan, yaitu: pertama, menyelam kedasar laut dengan alat bantu kompresor, kemudian menyemprotkan racun ikan yang sudah dicampur dengan air didalam botol air mineral ke sela- sela karang; kedua, memberi makan ikan dengan cara mencampur racun ikan dengan daging ikan yang sudah dicincang menjadi ukuran kecil. Dalam praktek penangkapan ikan dengan menggunakan racun, racun ikan yang sudah dicamur dengan air disembunyika di bawah mesin kapal, ada juga yang digantung dibawah body kapal, hal ini dilakukan agar jika ada pemeriksaan, racun ikan tidak dapat ditemukan oleh pengawasan atau aparat penegak hukum. Untuk mengelabuhi petugas nelayan melengkapi perahu dengan jaring dan pancing.

Intensitas Aktivitas Destruktive Fishing Menurut informasi dari nelayan yang berada disekitar lokasi pengeboman ikan, intensitas pengeboman ikan terjadi 3-4 kali dalam 1 minggu. Pengeboman dilakukan pada pagi hari yaitu antara pukul 08:00 – 12:00 WITA dan sore hari pada pukul 16:00 – 18:00 WITA dimana kondisi perairan laut dalam kondisi tenang atau tidak ada gelombang. Pengeboman ikan dilakukan pada hari senin – jumat dimana nelayan pengebom ikan menganggap bahwa hari tersebut merupakan hari dimana petugas tidak melakukan patroli dikarenakan sibuk dengan urusan kantor. Sedangkan untuk itensitas praktek penggunaan racun ikan belum diketahui secara rinci. Waktu operasi nelayan Racun ikan yaitu pagi hari pukul 07:00 – 12:00 WITA. Terkadang penggunaan racun ikan juga dilakukan pada malam hari.

SIMPULAN Pelaku yang masih aktif menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan di perairan Teluk Saleh sebanyak 8 orang, sedangkan untuk pelaku yang masih aktif menangkap ikan dengan menggunakan racun ikan sebanyak 6 orang. Bahan utama pembuatan bom ikan yang digunakan yaitu pupuk jenis urea yang umum digunakan untuk kelapa sawit dan bahan pemicu ledakan atau misiu yang oleh nelayan disebut panggal. Jalur distribusi bahan pembuatan bom yaitu dari Malaysia atau Singapur ke Batam, kemudian disalurkan ke Pulau Sailus, Pulau Skoci dan Pulau Buton (Kepulauan di Sulawesi). Kemudian dari kepulauan itu, didistribusikan ke Pulau Medang (Sumbawa), dilanjutkan pendistribusiannya ke Pulau Kaung (Sumbawa) dan selanjutnya didistribusikan ke nelayan, salah satunya nelayan bom ikan yang berada di Desa Prajak.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 43

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

REKOMENDASI 1. Melakukan patroli laut secara rutin untuk mencegah terjadinya aktivitas destructive fishing di laokasi-lokasi rawan antara lain : pulau Dangar Ode, Pulau Dangar Rea, Pulau LianFg Ngali, Pulau Rakit, Gili Tapan dan Gili Putri. Patroli rutin idealnya dilakukan selama 10 hari dalam satu bulan. 2. Melakukan patroli pengawasan rutin di lokasi-lokasi rawan terjadinya destructive fishing dan akses keluar masuk yang dilewati oleh para pelaku. 3. Untuk jangka panjang, diperlukan kegiatan untuk mempersempit jalur distribusi suplai bahan baku bom ikan. pembuatan bom (pupuk) yang didistribusikan melalui jalur darat dari Pulau Kaung ke Prajak, dengan cara menyetop mobil yang membawa bahan baku.

DAFTAR PUSTAKA [DKP NTB] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB. 2014. Statistik Perikanan Nusa Tenggara Barat. Mataram: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat. [FAO] Food and Agriculture Organizatio. 2014. The state of world fisheries and acuacultur: Opportunities and challenges. Rome: Food and Agriculture Organization. 233 pp.

44 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

KONSEP PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN DESTRUCTIVE FISHING DI NUSA TENGGARA BARAT

Oleh: Muh. Risnain Fakultas Hukum Universitas Mataram Email: [email protected]

ABSTRAK Isu destructive fishing merupakan problem serius yang dihadapi pemerintah Provinsi NTB maupun pemerintah pusat. Destructive fishing berdampak pada kerusakan ekologis, ekonomis dan yuridis terhadap ekosistem perikanan. Kebijakan pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah pusat belum membuahkan hasil maksimal terhadap pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB. Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: pertama, Bagaimanakah problem destructive fishing di NTB?; kedua, Apakah problem hukum pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB?; ketiga, Bagaimanakah konsep pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB?. Hasil pembahasan menyimpulkan konsep pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB dapat dilakukan dengan mengkombinasikan konsep pencegahan dan pemberantasan. Pencegahan dilakukan sebagai upaya pendahuluan untuk menghindari terjadinya destructive fishing sedangkan pemberantasan dilakukan untuk menyelesaikan terjadinya destructive fishing. Pencegahan destructive fishing dilakukan dengan cara, membentuk Peraturan Daerah tentang pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB, dukungan anggaran opersional patroli kepada penegak hukum, serta mencetak nelayan profesional dan sadar lingkungan. Pemberantasan destructive fishing dilakukan dengan cara optimalisasi pelaksanaan tupoksi forum koordinasi untuk penanganan tindak pidana di bidang perikanan, pembentukan pengadilan perikanan di NTB, dan penerapan pertanggung jawaban korporasi. Untuk menjalankan konsep pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB maka hendaknya pemerintah Provinsi NTB khususnya DKP Provinsi NTB mengusulkan rancangan peraturan daerah tentang pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB sebagai landasan hukum kebijakan tersebut. Disamping itu, hendaknya DKP provinsi NTB melaksanakan rencana strategis dan rencana kerja yang telah ditetapkan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB.

Kata kunci: bom, kerusakan ekosistem perikanan, potasium, rancangan peraturan daerah

PENDAHULUAN Hasil penelitian yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB (DKP NTB) dan Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2017 berhasil memetakan persoalan perikanan dan kelautan di NTB dalam 8 masalah pokok yaitu: 1) Sumber daya ikan yang semakin terbatas; 2) Illegal Unregulated Unreported (IUU) Fishing; 3) Penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing); 4) Rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan; 5) Kurangnya tingkat kesadaran masyarakat tentang lingkungan; 6) Ketimpangan pemanfaatan yang menyebabkan konflik antarwilayah atau antarnelayan; 7) Dominasi usaha skala kecil dengan teknologi, produktivitas, dan efektiftas rendah; 8) Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pengelolaan belum memenuhi standar (Rafandai et al. 2017). Dua persoalan utama yang dihadapi dunia perikanan NTB dan dianggap serius adalah IUU fishing dan destructive fishing. Kegiatan perikanan yang bersifat illegal dilakukan dengan

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 45

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. cara melanggar peraturan perundang-undang perikanan yang berlaku di Indonesia. Kegiatan perikanan yang bersifat unreported dilakukan dengan tidak melaporkan hasil perikanan. Kegiatan perikanan yang bersifat unregulated dilakukan dengan ketiadaan kehadiran negara untuk mengatur kegiatan perikanan di wilayahnya. Kegiatan perikanan yang bersifat destructive adalah kegiatan perikanan yang bersifat merusak ekosistem perikanan. Kegiatan perikanan yang bersifat IUU fishing maupun destructive fishing pada kenyataanya berhadapan dengan capaian tiga misi pembangunan perikanan dan kelautan nasional yaitu misi pembangunan perikanan dan kelautan berkelanjutan (sustainability), peneguhan kedaulatan negara atas sumber daya perikanan dan kelauatan (sovergnty), dan kesejahteraan (prosperity). Perikanan yang merusak kemudian berdampak pada rusaknya ekosistem perikanan yang berimbas pada berkurangnya bahkan punahnya spesies ikan di laut. Destructive fishing berimbas menurunnya kedaulatan Negara yang lakukan oleh penegak hokum karena penegak hokum tidak mampu secara maksimal untuk mencegah dan memberantas destructive fishing. Pada bagian lain destructive fishing akan mengurangi dan menghilangkan capaian kesejahteraan bagi masyarakat nelayan maupun pendapatan Negara di sektor perikanan (Satria 2015). Pendekatan penyelesaia destructive fishing dengan menggunakan pemberantasan selama ini ternyata tidak mampu menghilangkan destructive fishing. Begitu juga di NTB, sebagai provinsi kepulauan yang kaya akan SDA kelautan perikanan masih memiliki persoalan dalam penyelesaia destructive fishing. Maraknya destructive fishing di NTB tidak saja berimbas pada kerusakan ekosistem perikanan tetapi juga berimbas pada kehadiran pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya perikanan,serta manfaat ekonomi bagi pemerintah daerah dan masyarakat di sector perikanan (Suhana 2011). Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yang memberikan kewenangn yang luas bagi pemerintah provinsi untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan. Namun peralihan urusan pemerintahan dalam mengelola perikanan dan kelautan berdampak luar biasa bagi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, termasuk peralihan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, rentang kendali pemerintahan yang pada tataran pelaksanaan justru mempersulit pelaksanaan urusan pemerintahan provinsi termasuk didalamnya persoalan pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB (Risnain 2017). Hingga kini destructive fishing adalah persoalan yang belum bias diselesaikan secara optimal walaupun telah ada usaha pemerintah provinsi, oleh karena itu perlu konsep ilmiah sebagai saah satu konsep untuk menyelesaikan persoalan destructive fishing di NTB.

HASIL DAN PEMBAHASAN Destructive Fishing di NTB: Modus dan Penyebab Dua isu hukum di bidang perikanan memiliki istilah yang berbeda tetapi hampir memiliki makna yang sama adalah, istilah illegal fishing dan destructive fishing. Berdasarkan batasan FAO illegal fishing adalah memiliki 3 aspek, pertama, kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal nasional maupun kapal asing dalam satu yurisdiksi sebuah negara tanpa izin dari negara atau bertentangan dengan hukum dan regulasi dari negara tersebut , kedua, kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum nasional atau kewajiban-kewajiban nasional, termasuk diambil oleh negara-negara yang megikatkan diri dengan organisasi pengelolaan perikanan regional terkait , dan ketiga kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum nasional atau kewajiban-kewajiban nasional , termasuk diambil oleh negara-negara yang megikatkan diri dengan organisasi pengelolaan perikanan regional terkait. Sedangkan destructive fishing adalah praktik penangkapan ikan yang merusak dan tidak ramah lingkungan berupa penggunaan bahn kimia, bahan biologis, bahan peledak, pengambilan karang (baik yang hidup ataupun mati), penggunaan mata jaring yang sangat kecil, penangkapan ikan sebelum

46 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

matang gonad, dan gleaning di daerah terumbu karang (Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2012). Persamaan kedua istilah tersebut adalah pada kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum. Praktek illegal fishing yang lebih banyak dipahami sebagai kegiatan penangkapan ikan bersifat internasional karena dilakukan oleh pelaku yang berbeda kewarganegaraan tetapi dampaknya kepada Negara lain pada tataran tertentu adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan nasional. Praktek destructive fishing kegiatan penangkapan ikan yang merusak ikan dan ekosistem perikanan yang melanggar undang-undang perikanan. Berdasarkan laporan riset yang disampaikan WCS dan DKP Provinsi NTB tahun 2017 praktek destructive fishing di NTB dilakukan dengan beberapa modus diantaranya sebgai berikut : 1) Penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan dan potassium. 2) Penangkapan ikan tanpa Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau Surat Izin Penangkapan Ikan (SIP). 3) Penangkapan ikan menggunakan alat penangkapan ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan seperti muroami ataupun pukat pantai. 4) Penangkapan, pengangkutan dan pengiriman sumberdaya ikan yang dilindungi tanpa izin seperti hiu paus, pari manta, terumbu karang dan benih lobster. Modus operandi destructive fishing di atas berkorelasi dengan meningkatnya kejadian destructive fishing sejak tahun 2006 hingga 2016 (Gambar 1). Peningkatan destructive fishing dipengaruhi oleh penggunaan alat dan bahan penangkapan ikan yang merusak ekosistem perikanan yaitu Bom dan potasium. Diperlukan upaya optimal untuk mencegah penggunaan Bom dan potassium yang sangat merusak ekosistem laut. Upaya pembatasan peredaran bahan baku bom dan potassium menjadi salah satu cara untuk mencegah terjadinya destructive fishing.

(Sumber: DKP dan WCS, 2017) Gambar 1. Jumlah kasus destructive fishing sejak tahun 2006 hingga 2016 di Provinsi NTB

Dari segi faktor yang melatarbelakangi terjadinya destructive fishing di NTB berdasarkan data WCS dan DKP Provinsi NTB disebabkan karena , pertama, faktor ekonomi. Dorongan untuk mendapatkan penghasilan dengan cara cepat dan banyak dengan menggunakan sumber daya perikanan walaupun dengan merusak ekosistem perikanan menjadi faktor dominan yang menyebabkan terjadinya destructive fishing di NTB. Masyarakat mengandalkan hasil perikanan sebagai penopang hidup menjadi pemicu terjadinya destructive fishing , oleh karena itu diperlukan juga pemikiran untuk memberikan bantuan peralatan tangkap yang lebih ramah lingkungan kepada masyarakat nelayan atau pada waktu tertentu untuk mengalihkan mata pencaharian nelayan, kedua, faktor pengetahuan, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap dampak destructive fishing terhadap ekosistem ikan maupun keberlanjutan sumber daya

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 47

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. perikanan yang minim juga mempengaruhi terjadinya destructive fishing. Solusinya memang membangun kesadaran nelayan untuk memahami ekosistem kelautan dan dampak destructive fishing baik terhadap ekosistem perikanan maupun keberlanjutan ekonomi nelayan, terutama pemahaman jika sumber daya ikan telah habis karena tidak ada lagi karang sebagai rumah ikan maka secara langsung akan merusak mata pencaharian masyarakat. Ketiga, faktor tingkat pendidikan, umumnya tingkat pendidikan nelayan hanya sampai sekolah dasar maksimal SLTP, rendahnya tingkat pendidikan berkorelasi dengan pemahaman dan kesadaran nelayan akan pentingnya menjaga eksosistem laut dalam menjaga keberlanjutan ekosistem perikanan yang berkelanjuatan. Oleh karenanya harus dibangun pemahaman dan kesadaran nelayan dan generasi nelayan akan pentingya pendidikan dalam rangka menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Disamping ketiga penyebab terjadinya destructive fishing di atas Berdasarkan riset WCS dan DKP juga terungkap bahwa faktor pendorong terjadinya destructive fishing di NTB didorong oleh hal-hal sebagai berikut: 1) Suplai bahan baku yang masih bebas. 2) Pengedaran bahan baku yang masih bebas. 3) Kurangnya penegakan hukum. 4) Kegiatan destructive fishing dianggap sebagai tradisi turun temurun. 5) Tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat nelayan yang relatif masih rendah. 6) Adanya pelaku destructive fishing yang berasal dari luar wilayah. 7) Adanya dukungan dari oknum-oknum tertentu yang menjamin kegiatan tersebut. 8) Masih adanya pengusaha atau pembeli yang berminat terhadap ikan hasil bom dan potasium Delapan faktor pendorong destructive fishing di atas seharusnya ditemukan solusinya guna mencegah terjadinya destructive fishing di NTB berlanjut. Menurut penulis untuk mengurai penyebab terjadinya destructive fishing maka perlu pendekatan pencegahan dan penegakan yang harus dilakukan. Pendekatan pencegahan dilakukan dengan mengintervensi dan memotong suplai bahan baku agar tidak dijual bebas di pasaran. Kedua, penegakkan hokum yang adil melalui melakukan penindakan terhadap oknum penegak hukum yang mendukung praktek destructive fishing dan memperkuat penegakkan hukum baik pada materi hukum maupun institusi hukum. Ketiga, memperbaiki budaya hokum masyarakat nelayan melalui membangun kesadaran bahwa kegiatan destructive fishing adalah tradisi penangkapan ikan yang tidak baik bagi keberlanjutan perikanan maupun ekonomi nelayan,peningkatan tingkat pndidikan nelayan agar menjadi nelayan yang memahami sehingga agar terbangun kesadaran akan pentingnya menjaga sumber daya perikanan. Keempat, penindakan terhadap masuknya nelayan destructive fishing dari luar NTB untuk ke NTB dan menindak pengusaha perikanan yang membeli hasil perikanan dari hasi destructive fishing. Walaupun menghadapi berbagai faktor yang mendorong terjadinya destructive fishing yang hingga kini belum dapat diselesaikan dengan maksimal, namun pelaksanaan penegakkan hukum tetap dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian WCS dan DKP Provinsi NTB proses penegakkan hukum di NTB dilakukan dengan berbagai tingkatan yaitu proses pembinaan (3 kasus), proses penyidikan (6 kasus), proses P21 (10 ksus) dan vonis pengadilan (23) kasus (Gambar 2).

48 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

(Sumber: DKP dan WCS, 2017) Gambar 2. Proses penegakkan hukum untuk kasus destructive fishing di NTB

Penegakan Hukum Destructive Fishing: Beberapa Problema Walaupun penegakkan hukum destructive fishing di NTB telah dilakukan, namun pada kenyataannya destructive fishing tetap terjadi hingga kini (Silalahi 2018). Berdasarkan analisis penulis faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum destructive fishing NTB setidaknya disebabkan oleh beberapa hal: 1) Disparitas hukuman bagi terpidana. Beberapa vonis pengadilan destructive fishing di NTB berkisar pada hukuman antara 1-2 tahun penjara. Fenomena hukuman ini tidak saja melukai rasa keadilan masyarakat, tetapi tidak menimbulkan efek jera (detterent effect) kepada pelaku dan kepada masyarakat lain. Hukuman yang ringan tidak sebanding dengan kerusakan ekosistem perikanan yang ditimbulkan. Oleh karena itu perlu satu persepsi antara penegak hokum tentang destructive fishing , polisi, jaksa dan hakim hendaknya memili satu persepsi yang sama akan bahaya destructive fishing bagi keberlanjutan ekosistem perikanan. 2) Belum maksimal penegakan hukum Disamping masih adanya penegak hukum yang “bermain mata” dengan pelaku, faktor yang mengganggu penegakkan hokum destructive fishing adalah belum maksimalnya anggaran untuk penindakan baik yang dimiliki DKP provinsi, Pol Air Polda NTB maupun TNI AL. Kebutuhan anggaran patrol yang begitu besar tidak mampu dipenuhi maksimal oleh ketiga instansi tersebut. Kecukupan anggaran menjadi faktor penting untuk mendukung tercapainya pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB. 3) Ketiadaan pengadilan perikanan Menurut analisis penulis salah satu problem belum maksimalnya penagakkan hokum destructive fishing di NTB adalah ketiaadaan pengadilan perikanan. Faktor triggernya adalah rendahnya putusan pengadilan perikanan yang menangani kasus destructive fishing. Menurut penulis salah satu jawaban untuk mewujudkan kesuksesan destructive fishing di NTB adalah membentuk pengadilan khusus perikanan di NTB. Pendirian pengadilan perikanan di NTB didasarkan pada pertimbangan banyaknya kasus perikanan di NTB,

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 49

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

luasnya wilayah kelautan dan perikanan di NTB, dan keberadaan NTB dalam WTP 713 dan d WTP 573. 4) Perubahan kewenangan provinsi-ketiadaan personil penyidik PNS Perubahan kewenangan urusan kelauatan dan perikanan setelah berlakunya undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dari kewenangan kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi membawa dampak bagi penagakkan hokum destructive fishing. Perubahan kewenangan itu berimplikasi pada jauhnya rentang kendali urusan pemerintahan di bidang perikanan dan kelautan yang harus dikelola oleh pemerintah provinsi sementara destructive fishing banyak terjadi di wilayah kabupaten dan kota yang jauh dari jangkauan provinsi. Perubahan ini berimplikasi pada kelembagaan, sumber daya manusia dan sarana dan prasarana penegakkan hokum. Petugas pengawas SDKP dan PPNS yang dimiliki Kab/kota selama tidak seara otomatis beralih ke provinsi karena status kepegawian mereka adalah ASN Kab/kota. Sehingga praktis di provinsi minim memiliki PPNS yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap pelaku destructive fishing.

Konsep Pencegahan dan Pemberantasan Destructive Fishing di NTB Berbagai problem dan tantangan pencegahan destructive fishing di atas memerlukan sebuah pemikiran ilmiah yang memberikan sumbangsih pemikiran dalam rangka memaksimalkan usaha pencegahan dan pembernatasan destructive fishing di NTB. Penulis menawarkan konsep sederhana tentang pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB yang dimulai dari upaya pencegahan kemudian dilakukan dengan pemberntasan. Memadukan dua langkah ini menjadikan konsep pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB diharapkan dapat diterapkan pada tataran pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB. 1. Konsep Pencegahan a. Membentuk Peraturan daerah tentang Pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB Pembentukan Peraturan Daerah tentang pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB dimaksudkan untuk memberikan landasan hokum bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan berskala provinsi. Dalam perda ini akan diatur tentang langkah-langkah kebijakan Pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB, dukungan anggaran, dukungan personil (PPNS), dan sarana dan prasarana bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan Tupoksi dalam rangka penegakkan hukum dibidang perikanan dan kelautan di NTB. b. Dukungan Anggaran Opersional Patroli Kepada Penegak Hukum Dalam berbagai diskusi disampaikan keluhan dari penegak hokum di bidang kelautan dan perikanan adalah minimnya dukungan anggaran operasional khususnya patroli. Persoalan ini kemudian berimbas pada minimnya patroli jumlah yang dapat dilakukan oleh penegak hokum dalam setahun. Oleh karena itu memang tidak ada jalan lain kecuali memasukkan anggaran patroli dalam APBD dengan jumlah yang proporsional sesuai kemampuan keuangan daerah. c. Mencetak nelayan professional dan sadar lingkungan Selama ini harus diakui bahwa tiga hal utama yang menyebabkan teradinya destructive fishing di NTB adalah pada motivasi ekonomi, tingkat pendidikan nelayan yang kurang, dan kesadaran nelayan akan pentingnya perikanan berkelanjutan minim. Maka memang diperlukan kebijaka afifmatif dari pemerintah untuk membuat nelayan menjadi professional, berpendidikan dan memiliki kesadaran yang tinggi. Caranya dengan memberikan bantuan modal usaha di bidang perikanan dengan dukungan sarana

50 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

dan prasarana yang memadai seperti kelompok nelayan diberikan bagang dan alat tangkap yang ramah lingkungan. Untuk meningkatkan pendidikan mereka bagi nelayan yang ada sekarang diusahakan untuk mengikuti pendidikan informal seperti pendidikan paket (A, B, C). untuk membangun kesadaran nelayan maka dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan membangun pemahaman tentang perikanan berkelanjutan pada akhirnya setelah mereka paham lalu menyadari yang berimbas pada perilaku nelayan yang ramah linkungan.

2. Konsep Pemberantasan a. Optimalisasi Pelaksanaan Tupoksi Forum Koordinasi Untuk Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan Pada tahun 2017 gubernur NTB telah membentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan dengan keputusan gubernur. Forum ini terdiri dari DKP NTB, TNI AL, POLDA NTB, dan Kejaksaan Tinggi NTB. Di antara penegak hokum ini juga telah dibuat memorandum of understanding (MoU), namun pada tataran pelaksanaan belum terlalu maksimal dimanfaatkan.oleh karena itu menjadi penting bagi penegak hokum ini untuk melaksanakan isi MoU ini dengan efektif. b. Pembentukan Pengadilan Perikanan di NTB Pembentukan pengadian perikanan di NTB diharapkan menjawab tantangan tentang disparitas hukuman yang dterapkan hakim yang menangani tindak pidana destructive fishing di NTB. Oleh karena itu penanganan perkara perikanan harus dilakukan oleh hakim yang memiliki keahlian khusus di bidang perikanan. Disamping itu mengingat banyaknya kasus perikanan di NTB seperti destructive fishing dan illegal fishing dan kasus penyelundupan lobster maka di NTB keberadaan pengadilan perikanan menjadi penting untuk segera dilaksanakan oleh \mahkamah agung dengan berkoordinasi dengan KKP RI. c. Penerapan Pertanggung jawaban korporasi Selama ini pertanggung jawaban pidana yang diterapkan dalam menghukum pelaku destructive fishing adalah melalui pertanggungjwaban individu pelaku, tidak mampu mengejar pertanggungjawaban korporasi yang membekingi nelayan atau perusahaan pembeli hasil tangkapan ikan hasil destructive fishing. Untuk memaksimalkan pemberantasan destructive fishing maka dapat dilakukan dengan meminta pertaanggungjawaban korporasi agar korporasi dapat dihukum dan memiliki detterent effect untuktidak mengulangi perbuatan.

SIMPULAN Konsep Pencegahan dan Pemberantasan destructive fishing di NTB dapat dilakukan dengan mengkombinasikan konsep pencegahan dan pemberantasan. Pencegahan dilakukan sebagai upaya pendahuluan untuk menghindari terjadinya destructive fishing sedangkan pemberantasan dilakukan untuk menyelesikan terjadinya destructive fishing. Pencegahan destructive fishing dilakukan dengan cara, membentuk Peraturan daerah tentang Pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB, Dukungan Anggaran Opersional Patroli Kepada Penegak Hukum, dan Mencetak nelayan professional dan sadar lingkungan. Pemberantasan destructive fishing dilakukan dengan cara, Optimalisasi Pelaksanaan Tupoksi Forum Koordinasi Untuk Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan, Pembentukan Pengadilan Perikanan di NTB, dan Penerapan Pertanggung jawaban korporasi.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 51

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

REKOMENDASI Untuk menjalankan konsep pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB maka hendaknya pemerintah provinsi NTB khususnya DKP mengusulkan rancangan peraturan daerah tentang pencegahan dan pemberantasan destructive fishing di NTB sebagai landasan hukum kebijakan tersebut. Disamping itu hendaknya DKP provinsi NTB melaksanakan rencana strategis dan rencana kerja yang telah ditetapkan dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan destructive fishing di NTB.

DAFTAR PUSTAKA Satria A. 2015. Politik Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Fakultas Ekologi manusia dan Yayasan Pusataka Obor Indonesia. Silalahi D. 2018. Lahirnya Hukum Lingkungan dan Perkembangannya Dalam Perspektif Internasional dan Regional. Bandung: Yayasan Lawencon. hlm 10. Risnain M. 2017. Rekonsepsi pencegahan dan pemberantasan illegal fishing di Indonesia. PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum. 4(2): 379-398. Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI. 2012. Penegakkan Hukum Pidana ”Illegal Fishing”: Penelitian Asas, Teori, Norma dan Penerapannya. [laporan penelitian]. Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI. Suhana. 2011. Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan di Indonesia: Gagasan-Gagasan Politik Pembangunan Negara Kepulauan dan Reformasi Kelembagaan Berbasis Lokal. Malang: In-trans Publisihing. Rafandi T, Mihardja AT, Hernawati, Aviandhika S, Aryawan IMDJ, Saputro ES, Muis A, Kartawijaya T. 2017. Kajian Pemetaan Kegiatan Destructive Fishing di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bogor: Wildlife Conservation Society.

52 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

IKAN GLODOK (GOBIIDAE: OXUDERCINAE): SUMBERDAYA IKAN YANG BELUM TERMANFAATKAN DI NUSA TENGGARA

Oleh: Yuliadi Zamroni Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram Email: [email protected]

ABSTRAK Ikan glodok merupakan salah satu kelompok ikan famili Gobiidae, subfamili Oxudercinae dan merupakan spesies yang dominan di ekosistem mangrove. Ikan ini tinggal dan menggali lubang di bagian dasar hutan mangrove atau daerah berlumpur. Total spesies ikan glodok yang telah dideskripsikan hingga saat ini sebanyak 42 spesies yang masuk dalam 10 genus. Ikan ini terdistrubusi luas di daerah tropis Indo-Pasifik, dengan satu species mendiami Atlantik bagian barat. Keanekaragaman jenis teringgi (31 spesies) dari kelompok ikan ini terdapat di wilayah Indonesia. Pada penelitian ini kami mengoleksi 10 spesies ikan glodok (Apocryptodon madurensis, Boleophthalmus boddarti, Periophthalmodon freycineti, Periophthalmus argentilineatus, Periophthalmus gracilis, Periophthalmus kalolo, Periophthalmus malaccensis, Periophthalmus minutus, Periophthalmus pusing, dan Scartelaos histophorus) dari wilayah kepulauan Nusa Tenggara. Dari 10 spesies ikan glodok yang dikoleksi, belum ada yang dimanfaatkan khususnya oleh masyarakat di Nusa Tenggara. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, ikan glodok sangat potensial sebagai bioindikator kesehatan ekosistem mangrove, bioakumulator polusi perairan, bahkan dibeberapa negara telah di konsumsi dan mulai dibudidayakan.

Kata kunci: ikan glodok, fungsi ekologi, Nusa Tenggara, budidaya

PENDAHULUAN Ikan glodok adalah sekelompok ikan pada subfamili Oxudercinae (Koumans 1931; Murdy 1989). Tidak seperti ikan pada umumnya, ikan glodok memiliki karakter morfologi, fisiologi dan tingkah laku yang khas sebagai adaptasi terhadap gaya hidup seperti amphibi. Ikan ini sering berada diluar perairan untuk mencari makan (Al-Behbehabi & Ebrahim 2010), ia mampu bergerak sangat efektif di darat sebagaimana efektifnya berenang di air (Harris 1961, Swanson & Gibb 2004), bernafas dengan mengambil oksigen bebas diudara melalui kulit, lapisan mukosa mulut dan faring serta dapat mengambil oksigen terlarut diair dengan menggunakan insang (Graham 1997). Ikan glodok menggali lubang di substrat berlumpur hutan mangrove untuk menghindari predator pada saat pasang naik, menyimpan telur dan mengatur suhu tubuh pada saat pasang surut (Tyler & Vaughan 1983). Ikan glodok terdiri dari 42 jenis yang masuk kedalam 10 genus. Ikan ini terdistribusi di wilayah Indo-Pasifik Barat mulai dari pantai barat Afrika kearah timur hingga Samoa dan kearah utara hingga Jepang. Keanekaragaman jenis tertinggi dari ikan glodok ditemukan diwilayah perairan Indonesia dengan jumlah 31 jenis (Murdy 2011; Polgar et al. 2013; Jaafar et al. 2016), keanekaragaman jenis menurun seiring dengan semakin jauhnya jarak dari wilayah Indonesia (Briggs 2005). Sebaliknya, dari 31 jenis ikan glodok yang dilaporkan di Indonesia, hanya 4 jenis yang dilaporkan diwilayah Nusa Tenggara yaitu Periophthalmodon freycineti, Periophthalmus argentilineatus, Periophthalmus kalolo dan Pseudapocryptes borneensis (Weber 1913; Koumans 1953; Murdy 1989). Data ikan glodok di wilayah Nusa Tenggara sudah

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 53

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. cukup lama dan belum ter-update serta belum mewakili semua pulau diwilayah tersebut. Minimnya informasi tentang ikan glodok di kawasan Nusa Tenggara menyebabkan kurangnya perhatian peneliti terhadap peranan ikan ini pada suatu ekosisitem. Disis lain, ekosisitem mangrove yang menjadi habitat dari ikan glodok terus menerus mengalami degradasi, kondisi tersebut tentu saja kan mengancam eksistensi dari ikan glodok itu sendiri. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis ikan gelodok di wilayah Nusa Tenggara dan menggali potensi yang dimilikinya.

METODE PENELITIAN Ikan glodok dikoleksi dari 10 ekosisitem mangrove di enam pulau utama di wilayah Nusa Tenggara: Lombok (Teluk Lembar, Teluk Sepi, dan Teluk Jor), Sumbawa (Labuan Alas dan Mbawi), Komodo (Loh Sebita), Flores (Teluk Terang), Sumba (Waingapu) dan Timor (Teluk Kupang dan Atapupu) (Gambar 1). Ikan glodok dikoleksi dengan hand nets dan/atau perangkap ikan di ekosistem mangrove. Sampling dilakukan mengikuti jadwal pasang surut, dimulai saat surut terendah didaerah berlumpur didepan hutan mangrove hingga terjadi pasang teringgi di daerah belakang hutan mangrove. Spesiemen yang tertangkap kemudian difiksasi dengan formalin 10% dan kemudian ditransfer kedalam alkohol 70% untuk penyimpanan jangka panjang. Spesimen yang dikoleksi kemudian disimpan di ruang koleksi Laboratorium Ekologi dan Biosistematika Hewan fakultas MIPA Universitas Mataram. Identifikasi ikan glodok mengacu pada Murdy (1989), Jaafar et al. (2009), Polgar et al. (2013) dan Jaafar et al. (2016).

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Ikan Glodok di Nusa Tenggara

HASIL DAN PEMBAHASAN Sepuluh spesies ikan glodok (Gobiidae: Oxudercinae) dikoleksi dari 10 ekosistem mangrove di enam pulau utama di kepulauan Nusa Tenggara. Dari sepuluh spesies tersebut, enam spesies merupakan catatan baru (new records) untuk wilayah Nusa Tenggara yaitu Apocryptodon madurensis, Boleophthalmus boddarti, Periophthalmus gracilis, Periophthalmus malaccensis, Periophthalmus minutus dan Scartelaos histophorus serta satu jenis merupakan deskripsi jenis baru yaitu Periophthalmus pusing (Koumans 1953; Murdy 1989; Jaafar et al. 2016).

54 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Tabel 1. Keragaman jenis ikan glodok di Kepulauan Nusa Tenggara

KEPULAUAN NUSA TENGGARA

Lombok Sumbawa Timor Sumba Flores Komodo

SPECIES

TelukSepi TelukLembar TelukJor LabuanAlas Mbawi TelukKupang Atapupu Waingapu TelukTerang LohSebita Apocryptodon madurensis + + + Boleophthalmus boddarti + + Periophthalmodon freycineti + + Periophthalmus argentilineatus + + + + + + + + + Periophthalmus gracilis + + + + + Periophthalmus kalolo + + Periophthalmus malaccensis + + + + + + Periophthalmus minutus + + + Periophthalmus pusing + + + Scartelaos histophorus + +

Keanekaragaman jenis ikan glodok di ekosistem mangrove di Indonesia belum terlalu banyak dieksplorasi. Beberapa penelitian melaporkan hanya ada satu jenis ikan glodok (Periophthalmus chrysospilos) dari 17 jenis ikan yang dikoleksi di ekosistem mangrove Banyuasin Sumatra Selatan (Indriani et al 2009); dua spesies ikan glodok (Periophthalmus argentilineatus dan Periophthalmus kalolo) dari 58 jenis ikan yang dikoleksi di ekosistem mangrove Taman Nasional Ujung Kulon Jawa Barat (Wahyudewantoro 2009); dua jenis ikan glodok (Boleophthalmus boddarti dan Periophthalmodon schlosseri) dari 32 jenis ikan yang dikoleksi di ekosistem mangrove Muara Angke Jakarta (Wahyudewantoro et al 2014); dan hanya satu jenis ikan glodok (Periophthalmus argentilineatus) yang berhasil dikoleksi dari 38 jenis ikan yang dikoleksi di ekosistem mangrove pulau Lombok (Wahyudewantoro 2018). Ikan glodok adalah ikan yang berassosiasi positif dengan ekosistem mangrove, kelimpahan ikan ini cukup tinggi lebih dari 4 individu/m2 (Polgar dan Bartolino 2010). Sebagai jenis yang cukup dominan di ekosistem mangrove, tentu gambaran data keanekaragaman jenis ikan glodok tersebut menunjukkan masih sangat kurang intensifnya sampling yang dilakukan. Sebagai pembanding, Zamroni et al (2011) melaporkan 5 jenis ikan glodok diekosistem mangrove Lombok Barat; Takita et al. (1999) melaporkan 12 jenis ikan glodok di ekosistem mangrove Tebing Tinggi dan Bengkalis, Sumatra; Polgar et al (2010) melaporkan 9 jenis ikan glodok di ekosistem mangrove sungai Fly Papua New Guinea dan penelitian ini melaporkan 10 jenis ikan glodok di ekosistem mangrove Nusa Tenggara. Hingga saat ini diketahui 31 jenis dari 42 jenis ikan glodok yang ada di dunia hidup diperairan Indonesia (Murdy 1989; Polgar et al 2013; Jaafar et al 2016). Disisi lain, terjadi kerusakan ekosisitem mangrove di seluruh wilayah Indonesia yang akan mempengaruhi kelestarian ikan glodok. Pada tahun 1993, tercatat luas hutan mangrove di Provinsi NTB sekitar 49.174 Ha, luas hutan mangrove terus mengalami degradasi menjadi

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 55

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

20.234,26 Ha pada tahun 1999 hingga menjadi 18.256,88 Ha pada tahun 2006 (Bapeda NTB 2006; BPDAS Dodokan Moyosari 2007). Pada tahun 2015, DKP Prov NTB mencatat luas hutan mangrove Provinsi NTB hanya tinggal 12.144,30 Ha (DKP Prov NTB 2015). Dari data dapat diketahui terjadi rasio penurunan luas hutan mangrove di Provinsi NTB sebesar 3.42%/tahun. Terjadinya penurunan luas hutan mangrove di Provinsi NTB sebagian besar diakibatkan oleh penebangan hutan dan konversi lahan menjadi area tambak, wilayah permukiman, dan pembangunan wilayah pesisir (Wiyanto dan Faiqoh 2015). Degradasi hutan mangrove diketahui sebagai penyebab menurunya populasi Boleophthalmus pectinirostris di Jepang (Nanami dan Takegaki 2005), penurunan populasi Periophthalmodon septemradiatus di Malaysia (Khaironizam dan Norma-Rashid 2003) dan punahnya Periophthalmus malaccensis di Singapura (Polgar 2012). Polgar (2008) menyatakan terdapat relasi antara jenis mangrove dengan jenis ikan glodok yang ditemukan di Semenanjung Malaysia. Dilaporkan bahwa Periophthalmus argentilineatus dan Periophthalmus chrysospilos umumnya tersebar diwilayah pasang terendah yang ditumbuhi oleh mangrove dari jenis Avicennia dan Sonneratia; Periophthalmus spilotus umumnya tersebar diwilayah pasang tertinggi yang ditumbuhi oleh mangrove dari jenis Rhizophora, Bruguiera, dan Nympha, sedangkan Periophthalmus novemradiatus, Periophthalmus gracilis, dan Periophthalmus walailakae umumnya ditemukan terdistribusi merata diseluruh areal hutan mangrove. Murdy (1989) melaporkan Periophthalmus kalolo yang ditemukan di Tonga umumnya berasosiasi dengan mangrove dari jenis Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza and Rhizophora mucronata. Adanya asosiasi ini menyebabkan ikan glodok memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yang sangat penting bagi ekosisitem mangrove. Genus Periophthalmus dapat digunakan sebagai bioindikator tingkat kesehatan ekosisitem mangrove (Kruitwagen et al 2006). Mukus dari genus Boleophthalmus dapat digunakan sebagai anti-bakteri untuk mengobati bakteri-bakteri pathogen penyebab penyakit (Ravi et al 2010). Dalam kajian ekotoksikologi, ikan glodok dapat digunakan sebagai bio-akumulasi polutan-polutan yang ada di habitat pantai. Dari segi ekonomi, banyak dari jenis-jenis ikan glodok yang dikonsumsi diberbagai negara seperi Nigeria, Jepang, Taiwan, China, Kuwait dan Thailand (Nanami dan Takegaki 2005; Kizhakudan dan Shoba 2005; Polgar dan Lim 2011; Akinrotimi et al 2013; Ansari et al 2014). Bahkan dibeberapa negara seperti Jepang dan China, ikan glodok sudah mulai dibudidayakan (Nanami dan Takegaki 2005). Ada beberapa alasan mengkonsumsi ikan glodok karena rasa yang lebih enak dibandingkan dengan ikan umumnya, nutrisi yang tinggi ataupun alasan untuk pengobatan (Akinrotimi et al 2013). Melihat potensi yang besar dari ikan ini baik itu dari segi ekologi maupun ekonomi, sangat disayangkan masih sangat sedikit sekali studi biologi dan fisiologi dari ikan ini untuk wilayah Indonesia dan terlebih diwilayah Nusa Tenggara.

SIMPULAN Terdapat 10 jenis ikan glodok di wilayah Nusa Tenggara dari 31 jenis yang hidup di perairan Indonesia. Berdasarkan kajian pustaka, jenis-jenis ikan glodok yang hidup di Nusa Tenggara berpotensi sebagai bioindikator, bioakumulator, bioprospekting maupun sebagi ikan konsumsi. Melihat masih minimnya kajian tentang ikan glodok, maka belum banyak pemanfaatan jenis-jenis dari ikan ini di Indonesia.

56 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

DAFTAR PUSTAKA Akinrotimi OA, Edun OM, Uka A, Owhonda KN. 2013. Public perception of mudskippers consumption in some fishing communities of rivers state, Nigeria. Journal of Fisheries and Aquatic Science. 8(1): 208-212. Al-Behbehani BE, Ebrahim HMA. 2010. Environmental studies on the mudskippers in the intertidal zone of Kuwait Bay. Nature and Science. 8(5): 79-89. Ansari AA, Trivedi S, Saggu S, Rehman H. 2014. Mudskippers: a biological indicator for enviromental monitoring and assessment of coastal waters. Jurnal of Entomology and Zoology Studies. 2(6): 22-33. [BAPEDA NTB] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTB. 2006. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2006-2020. Mataram. [BPDAS-Dodokan Moyosari] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai – Dodokan Moyosari. 2007. Kondisi dan Status Mangrove di Wilayah Kerja BPDAS Dodokan Moyosari, UPT Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Departemen Kehutanan. Propinsi Nusa Tenggara Barat. Briggs JC. 2005. The marine East Indies: diversity and speciation. Journal of Biogeography. 32: 1517–1522. [DKP Provinsi NTB] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB. 2015. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB. Mataram. Graham JB. 1997. Air-Breathing fishes: Evolution, Diversity and Adaptation. San Diego: Academic Press. Harris VA. 1961. On the locomotion of the mudskipper Periophthalmus koelreuteri (Pallas): (Gobiidae). Journal of Zoology. 134(1): 107-135. Indriani DP, Sagala EP, Legasari A. 2009. Keanekaragaman jenis ikan terkait dengan kondisi kawasan mangrove hutan nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di perairan Sungai Calik Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang Ilmu MIPA. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Jaafar Z, Perrige M, Chou LM. 2009. Periophthalmus variabilis (Teleostei: Gobiidae: Oxudercinae), a valid species of mudskipper, and re-diagnosis of Periopthalmus novemradiatus. Zoological Science. 26(4): 309-315. Jaafar Z, Polgar G, Zamroni Y. 2016. Description of a new species of Periophthalmus (Teleostei: Gobiidae) from the Lesser Sunda Islands. Raffles Bulletin of Zoology. 64: 278- 283. Khaironizam MZ, Norma-Rashid Y. 2003. First record of the mudskippers, Periophthalmodon septemradiatus (Hamilton) (Teleostei: Gobiidae) from Peninsular Malaysia. The Raffles Bulletin of Zoology. 51(1): 97-100. Kizhakudan JK, Shoba J. 2005. Role of fishermen in conservation and management of marine fishery resources in Gujarat, India - some case studies. Conference of the Centre for Maritime Research (MARE). Amsterdam. Koumans FP. 1931. A Preliminary Revision of The Genera of The Gobioid Fishes with United Ventral Fin. Lisse, Drukkerij. Inverator NV. Koumans FP. 1953. Subfamily Periophthalminae : Gobioidae. In M. Weber and LF Beufort. The fishes of the Indo-Australian Archipelago X. Leiden, E.J. Brill. Kruitwagen G, Hecht T, Pratap HB, Bonga SEW. 2006. Changes in morphology and growth of the mudskipper (Periophthalmus argentilineatus) associated with coastal pollution. Marine Biology. 149(2): 201-211.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 57

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Murdy EO. 1989. A taxonomic revision and cladistic analysis of the Oxudercine gobies (Gobiidae : Oxudercinae). Records of the Australian Museum Supplement. 11: 1-93. Murdy EO. 2011. Systematics of Oxudercinae. In: Patzner RA, Van Tassell JL, Kovacic M, Kapoor B G (Eds) Biology of Gobies. Science Publishers, Inc. pp. 99–106. Nanami A, Takegaki T. 2005. Age and growth of the mudskipper Boleophthalmus pectinirostris in Ariake Bay, Kyusu, Japan. Fisheries Research. 74: 24-34. http://dx.doi.org/10.1016/j.fishres.2005.04.005. Polgar G. 2008. Species-area relationship and potential role as a biomonitor of mangrove communities of Malayan mudskippers. Wetlands Ecology and Management. 17: 157-164. Polgar G, Bartolino V. 2010. Size variation of six species of oxudercine gobies along the intertidal zone in a Malayan coastal swamp. Marine Ecology Progress Series. 409: 199- 212. http://dx.doi.org/10.3354/meps08597. Polgar G, Sacchetti A, Galli P. 2010. Differentiation and adaptive radiation of amphibious gobies (Gobiidae: Oxudercinae) in semi-terrestrial habitats. Journal of Fish Biology. 77: 1645–1664. http://dx.doi.org/10.1111/j.1095-8649.2010.02807.x. Polgar G, Lim R. 2011. Mudskippers: human use, ecotoxicology and biomonitoring of mangrove and other soft bottom intertidal ecosystems. In: Metras JN (ed) Mangroves: ecology, biology and . Hauppauge: Nova Science Publishers. pp. 51-82. Polgar G. 2012. Ecology and evolution of mudskippers and oxudercine gobies (Gobiidae: Oxudercinae): Perspectives and possible research directions. In: Sasekumar A., Chong V. C. (eds) Mangrove and coastal environment of Selangor, Malaysia. Kuala Lumpur: University of Malaya. Polgar G, Jaafar Z, Konstantinidis P. 2013. A new species of mudskipper, Boleophthalmus poti (Teleostei: Gobiidae: Oxudercinae) from the Gulf of Papua, Papua New Guinea, and a key to the genus. The Raffles Bulletin of Zoology. 61(1): 311-321. Ravi V, Kesavan K, Sandhya S, Rajagopal S. 2010. Antibacterial activity of the mucus of mudskipper Boleophthalmus boddarti (Pallas, 1770) from Vellar Estuary. AES Bioflux. 2: 11-14. Swanson BO, Gibb AC. 2004. Kinematics of aquatic and terrestrial escape responses in mudskippers. Journal of Experimental Biology. 207: 4037-4044. Takita T, Agusnimar, Ali AB. 1999. Distribution and habitat requirements of oxudercine gobies (Gobiidae: Oxudercinae) along the Straits of Malacca. Ichthyological Research 46: 131- 138. Tytler P, Vaughan T. 1983. Thermal ecology of the mudskipper, Periophthalmus koelreuteri (Pallas) and Boleophthalmus boddarti (Pallas) of Kuwait Bay. Journal of Fish Biology. 23: 327-337. Wahyudewantoro G. 2009. Keanekaragaman fauna ikan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang-Jawa Barat. Berita Biologi. 9(4): 379-386. Wahyudewantoro G. 2018. The fish diversity of mangrove waters in Lombok Island, West Nusa Tenggara, Indonesia. Biodiversitas. 19(1): 71-76. http://dx.doi.org/10.13057/biodiv/d190112. Wahyudewantoro G, Kamal MM, Afandi R, Mulyadi. 2014. Jenis-jenis ikan diperairan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara. Zoo Indonesia. 23(2): 75-83. Weber M. 1913. Die fische der Siboga-Expedition. Buchhandlung und Druckerei, Leiden, 710 pp, 12 pls. Wiyanto BD, Faiqoh E. 2015. Analisis Vegetasi dan Struktur Komunitas Mangrove di Teluk Benoa Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences: 1(1): 1-7. Zamroni Y, Suryobroto B, Kamal MM. 2011. Mudskippers (Gobiidae: Oxudercinae) from Western Lombok, Indonesia. Dalam Proseding Seminar Nasional I Masyarakat Taksonomi Kelautan Indonesia. Jakarta, 20-22 September 2011.

58 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

BIODIVERSITAS DAN POTENSI IKAN PADANG LAMUN PANTAI SIRE INDAH, LOMBOK UTARA (Biodiversity and Potency of Fishes in Seagrass Beds of Sire Indah Beach, Northern Lombok)

Oleh: Novita Tri Artiningrum1* dan Yuliadi Zamroni2 1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas 45 Mataram 2 Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Mataram * Email: [email protected]

ABSTRAK Potensi sumberdaya pesisir dan laut Provinsi NTB cukup luas sekitar 29.159,04 km2 dengan panjang garis pantai 2.333 km berupa ekosistem padang lamun (seagrass beds), rumput laut (sea weeds), dan ekosistem mangrove. Perairan pantai Sire Indah merupakan salah satu kawasan perairan laut dengan potensi ekosistem padang lamun yang luas dan rimbun yang ada di Kabupaten Lombok Utara. Penelitian tentang biodiversitas dan potensi ikan dikawasan ini telah dilakukan pada bulan September - Oktober 2017. Koleksi ikan dilakukan dengan menggunakan jaring pantai (beach seine) dengan ukuran mata jaring 1 cm dan 4 cm. Penelitian ini berhasil mengoleksi 304 individu ikan yang masuk dalam 38 spesies dan 23 famili. Tingkat keanekaragaman jenis ikan di Pantai Sire Indah tergolong tinggi (H'= 3.08) dengan distribusi yang cukup merata (E= 0.85) dan tidak ada spesies yang mendominansi (D= 0.06). Ikan yang memiliki kelimpahan relatif tertinggi dari famili Labridae. Sebagian besar potensi ikan padang lamun pantai Sire Indah berupa ikan konsumsi dan ikan hias akuarium.

Kata kunci: keanekaragaman hayati, Nusa Tenggara Barat, sumberdaya alam

ABSTRACT West Nusa Tenggara Province has 29.159,04 km2 of coastal area with 2.333 km of beachlines, the ecosystems in this area comprised by seagrass bed, sea weed and mangrove ecosystems. Sire Indah beach located in northern Lombok with wide seagrass bed areas along the coastal. This beach has a high diversity of faunas such as fish, crabs, hermicrabs, and the others. The research about biodiversity and potency of fishes in this area was conducted during September to October 2017. The fishes were collected using beach seine with 1 cm and 4 cm mest sizes. A total During this research, we collected 304 specimens of fishes including to 38 species and 23 families. The diversity index score of fishes in this area is high (H’=3,08) with Eveness index is 0,85 and without dominant species (Dominancy index is 0,06). The highest abudance of fish family is Labridae. Based on this data, the potency of fishes in Sire Indah beach are as food and/or ornamental fish.

Keywords: diversity, natural resource, West Nusa Tenggara

PENDAHULUAN Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup tinggi dengan luas perairan laut sekitar 29.159,04 km2, panjang pantai 2.333 km dan perairan karang sekitar 3.601 km2. Dari luas perairan pantai tersebut, terdapat 93,79 km2 yang merupakan ekosistem padang lamun yang tersebar di 8 kabupaten di provinsi NTB kecuali

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 59

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Kota Mataram dan Kota Bima. NTB memiliki 11 dari 12 spesies tumbuhan lamun yang ada di Indonesia (DKP Prov NTB 2015). Selain itu potensi perikanan provinsi NTB tercatat sekitar 98.450 ton, terdiri dari 41.084 ton ikan-ikan pelagis dan 57.366 ton ikan demersal. Sebaliknya, pemanfatan sumberdaya ikan di perairan lepas pantai masih sangat rendah sekitar 1,2 % dari potensi lestari yang tersedia, sedangkan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) bahkan belum dimanfaatkan sama sekali (BAPPEDA Prov NTB, 2006). Pengelolaan wilayah pesisir dan pantai wilayah NTB secara umum dan Pulau Lombok secara khusus belum maksimal terutama bidang perikanan laut, hal ini disebabkan salah satunya karena belum tersedianya data yang lengkap tentang potensi perikanan terutama jenis-jenis ikan. Beberapa penelitian tentang ikan padang lamun telah dilakukan di perairan NTB, diantaranya di perairan Teluk Saleh Sumbawa (Langkosono dan Marasabessi 2003) dan di perairan Teluk Gerupuk dan Kuta Lombok Tengah (Hutomo dan Parino 1994). Perairan pantai Sire Indah merupakan salah satu daerah yang terletak di Kabupaten Lombok Utara, tepatnya di Desa Sigar Penjalin Kecamatan Tanjung, dengan batas-batas; sebelah timur Desa Medane, sebelah barat Dusun Pemenang Timur, sebelah utara Laut Bali dan sebelah selatan Hutan Tutuban. Daerah ini merupakan salah satu kawasan perairan laut dengan potensi ekosistem padang lamun yang luas dan rimbun. Data dan informasi tentang jenis-jenis ikan padang lamun di perairan Lombok Utara sangat terbatas khususnya di perairan ekosistem padang lamun Sire Indah. Oleh sebab itu diperlukan inventarisasi ikan padang lamun sebagai basisi data pengelolaan ekosistem pantai yang berkelanjutan.

METODE PENELITIAN Penelitian tentang biodiversitas dan potensi ikan padang lamun di Pantai Sire Indah telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2017 (Gambar 1.). Koleksi ikan menggunakan jaring tarik (Beach siene) dengan panjang sayap 25 m, panjang badan 5,5 m dan panjang kantong 2 m. Ukuran mata jaring pada sayap dan kantong masing-masing 4 cm dan 1 cm dan lebar mulut kantong 4 m (Gambar 2.). Jaring ditarik diaplikasikan tegak lurus garis pantai pada tiga tempat yaitu Tenggara, Tengah, dan Barat daya sejauh penutupan padang lamun (Gambar 3). Pengambilan sampel dilakukan pada saat pasang naik. Jaring ditarik kearah pinggir pantai beberapa kali hingga tidak ada lagi jenis baru yang tertangkap. Spesimen kemudian difiksasi dengan formalin 10% kemudian di transfer kedalam alkohol 70% untuk penyimpanan jangka panjang. Identifikasi spesimen dilakukan di laboratorium biologi FMIPA Unram dengan mengacu pada Allen (1999), Kimura dan Matsuura (2003), Matsuura et al. (2000). Analisis indeks keanekaragaman (H’), kemerataan (E) dan dominansi (D) dengan menggunakan program R 2.11 (Ihaka & Gentleman 1996, R Development Core Team 2010).

60 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 1. Peta Lokasi Sire Indah

Gambar 2. Sketsa jaring pantai (Beach seine)

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 61

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 3. Model transek jaring

HASIL DAN PEMBAHASAN Telah diperoleh 304 individu ikan selama penarikan jaring pantai di perairan Pantai Sire Indah yang terdiri dari 38 spesies, 28 genus dan 23 famili ikan padang lamun. Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan keragaman ikan di perairan Teluk Gerupuk dan Pantai Kuta, Lombok Tengah sebanyak 85 spesies yang masuk kedalam 47 famili (Hutomo dan Parino 1994) dan Teluk Saleh Sumbawa sebanyak 576 individu, 108 spesies dan 29 famili (Langkosono dan Marasabessi 2003). Adanya perbedaan jumlah keanekaragaman ikan di beberapa lokasi di NTB dikarenakan oleh perbedaan luas area sampling. Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat keanekaragaman jenis ikan di Pantai Sire Indah tergolong tinggi (H'= 3.08) dengan distribusi yang cukup merata (E= 0.85) dan tidak ada spesies yang mendominansi (D= 0.06). Data pada tabel 1 menunjukkan spesies Halichoeres argus memiliki nilai kelimpahan relatif (KR) tertinggi sebesar 11,51% (35 individu) diikuti H. papillionaceous dengan KR 10,86% (33 individu). Kedua spesies tersebut merupakan ikan dari famili Labridae. Dari 23 famili yang tertangkap selama penelitian, famili Labridae merupakan famili dengan jumlah spesies dan individu terbanyak yang tertangkap yaitu 103 individu yang masuk kedalam 8 spesies. Sedangkan famili Scorpaenidae, Ephippidae, Ostracidae, Plotosidae dan Tetraodontidae merupakan famili dengan jumlah terendah yang tertangkap, yaitu 1 individu setiap famili. Famili Labridae merupakan ikan yang umum ditemukan di perairan dangkal hingga kedalaman 100 meter. Habitat dari ikan ini bervariasi seperti terumbu karang, padang lamun, pantai dengan substart berbatu ataupun berpasir, namun sangat jarang ditemukan di pantai dengan substrat berlumpur. Terdapat 182 spesies ikan dari famili Labridae yang telah dideskripsikan di perairan Indonesia, 8 spesies diantaranya ditemukan di Pantai Sire Indah, Lombok Utara (Carpenter dan Niem 2001). Makatipu (1998) melaporkan ikan dari famili Labridae khususnya spesies H. papillionaceous merupakan jenis yang paling umum tertangkap di perairan pantai Selat Lembeh Bitung. Ikan-ikan dari famili Labridae sangat populer sebagai ikan hias akuarium, namun beberapa genus seperti Bodianus, Cheilinus, Choerodon, dan Hemigymnus merupakan genus yang bisa dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi (Carpenter dan Niem 2001). Ikan-ikan yang tertangkap di pantai Sire Indah, Kabupaten Lombok Utara umumnya berpotensi sebagai ikan konsumsi dan ikan hias akuarium (Tabel 1).

62 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Tabel 1. Kelimpahan Relatif (KR) dan potensi ikan padang lamun yang tertangkap dengan jaring pantai (beach seine) di Perairan Pantai Sire Indah, Lombok Utara. No. Taksa KR (%) Potensi I Famili Acanthuridae 1 Acanthurus xanthopterus 0,66 Ikan Hias 2 Naso hexacanthus 0,66 Ikan Hias II Famili Ephippidae 3 Platax teira 0,33 Ikan Hias III Famili Siganidae 4 Siganus canaliculatus 8,22 Ikan Konsumsi IV Famili Labridae 5 Stethojulis bandanensis 0,97 Ikan Hias 6 Stethojulis strigiventer 7,57 Ikan Hias 7 Stethojulis trilineata 0,97 Ikan Hias 8 Halichoeres argus 11,51 Ikan Hias 9 Halichoeres papillionaceous 10,86 Ikan Hias 10 Halichoeres scapularis 0,66 Ikan Hias 11 Halichoeres ornatissimus 0,66 Ikan Hias 12 Cheilio inermis 0,66 Ikan Hias/Konsumsi V Famili Scaridae 13 Leptoscarus vaigiensis 0,66 Ikan Konsumsi VI Famili Apogonidae 14 Foa brachygramma 0,66 Ikan Konsumsi VII Famili Carangidae 15 Scomberoides lysan 0,99 Ikan Konsumsi 16 Scomberoides tala 1,97 Ikan Konsumsi VIII Famili Leiognathidae 17 Leiognathus oblongus 1,32 Ikan Konsumsi 18 Leiognathus splendens 2,63 Ikan Konsumsi IX Famili Lutjanidae 19 Lutjanus fulviflamma 1,64 Ikan Konsumsi X Famili Lethtrinidae 20 Lethrinus letjan 1,32 Ikan Konsumsi 21 Lethrinus genivittatus 0,99 Ikan Konsumsi XI Famili Haemullidae 22 Pomadasys maculatus 0,66 Ikan Konsumsi XII Famili Sphyraenidae 23 Sphyraena jello 0,66 Ikan Konsumsi XIII Famili Belonidae 24 Tylosurus crocodilus 0,99 Ikan Konsumsi XIV Famili Hemiramphidae 25 Hyporhampus dussumierri 0,66 Ikan Konsumsi XV Famili Tetraodontidae 26 Arothron hispidus 0,33 Ikan Hias XVI Famili Ostracidae 27 Lactoria cornuta 0,33 Ikan Hias XVII Famili Syngnathidae 28 Syngnathoides biaculeatus 10,2 Ikan Hias

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 63

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

No. Taksa KR (%) Potensi XVII I Famili Centricidae 29 Aeoliscus strigatus 3,29 Ikan Hias XIX Famili Plotosidae 30 Plotosus lineatus 0,33 Ikan Konsumsi XX Famili Mugilidae 31 Chelon macrolepis 5,26 Ikan Konsumsi XXI Famili Atherinidae 32 Atherinomorus lacunosus 3,95 Ikan Konsumsi 33 Atherinomorus endrachtensis 4,61 Ikan Konsumsi 34 Atherinomorus duodecimalis 4,28 Ikan Konsumsi 35 Hypoarethrina temminkii 5,59 Ikan Konsumsi XXII Famili Scorpaenidae 36 Paracentropogon longispinis 0,33 Ikan Hias XXII I Famili Engraulidae 37 Thryssa baelama 1,32 Ikan Konsumsi 38 Stolephorus indicus 1,32 Ikan Konsumsi

Syngnathoides biaculineatus dari famili Syngnathidae dan Siganus canaliculatus dari famili Siganidae merupakan spesies yang terbanyak tertangkap berikutnya dengan KR masing- masing adalah 10,2% (31 individu) dan 8,22% (25 individu). Hutomo dan Parino (1994) melaporkan bahwa spesies Syngnathoides biaculineatus merupakan spesies yang paling umum tertangkap di Pantai Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Tengah. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa famili Labridae, Syngnathidae dan Siganidae merupakan komunitas padang lamun yang paling dominan. Syngnathoides biaculineatus merupakan ikan penghuni padang lamun mulai fase juvenil sampai dewasa, sementara Siganus canaliculatus menghuni padang lamun hanya pada fase juvenil, ikan ini merupakan ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi (Hutomo dan Martosewojo, 1977). Ikan dari famili Halichoeres dan Siganus bersifat herbivora dan umumnya mengkonsumsi daun lamun (Hutomo dan Azkab, 1987). Dari seluruh spesies ikan yang tertangkap di Pantai Sire Indah dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu ikan penghuni tetap padang lamun dan ikan penghuni padang lamun hanya pada fase tertentu saja. Ikan-ikan penghuni tatap padang lamun merupakan jenis ikan yang memijah dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di daerah padang lamun. Umumnya ikan ini ditemukan dalam jumlah melimpah dan dalam fase yang beragam mulai dari juvenil hingga dewasa seperti Syngnathoides biaculineatus. Sedangkan ikan-ikan yang memanfaatkan padang lamun hanya untuk pembesaran anak atau mencari mangsa umumnya ditemukan dalam jumlah yang tidak terlalu melimpah dan hanya pada fase tertentu saja. Sebagai contoh ikan Siganus canaliculatus dan Leptoscarus vaigiensis umumnya ditemukan dalam fase juvenil sehingga dapat dikatakan bahwa ikan ini memanfaatkan padang lamun sebagai tempat reproduksi dan pembesaran anak.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan tingkat keanekaragaman ikan padang lamun tergolong tinggi dengan distribusi yang cukup merata dan tidak ada spesies yang mendominasi. Ikan yang memiliki kelimpahan relatif tertinggi dari famili Labridae. Sebagian besar potensi ikan padang lamun pantai Sire Indah berupa ikan konsumsi dan ikan hias akuarium.

64 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

DAFTAR PUSTAKA Allen G. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. Western Australian Museum: Periplus. [BAPPEDA Prov NTB] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTB. 2006. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2006- 2020. Mataram: BAPPEDA Provinsi NTB. Carpenter KE, Niem VH. 2001. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Volume 6. Bony Fishes Part 4 (Labridae to Latimeriidae), Estuarine Crocodiles, sea turtles, sea snakes, and marine mammals. FAO Species Identifikastion Guide For Fisheries Purposes. Rome: FAO of The United Nations. 3511-4232 pp. [DKP Provinsi NTB] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB. 2015. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB. Mataram: DKP Provinsi NTB. Hutomo M., Azkab HM. 1987. Peranan lamun di lingkungan laut dangkal. Oseana. 12(1): 13- 23. Hutomo M, Martosewojo S. 1977. The Fishes of Seagrass Community on The West Side of Burung Island (Pari Island, Seribu Island) and Their Variation in Abundance. Marine Research Indonesia. 17: 147-172. Hutomo M, Parino. 1994. Asosiasi dan Interaksi di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk Lombok. Jakarta: Puslitbang LIPI. Ihaka R, Gentleman R. 1996. R: A language for data analysis and graphics. Journal of Computational and Graphical Statistics. 5(3): 299-314. Kimura S, Matsuura K. 2003. Fishes of Bitung Northem Tip of Sulawesi, Indonesia. Japan: Tokai University Press. Langkosono, Marasabessy MD. (2003). Struktur komunitas ikan di perairan pantai Kecamatan Katobo, Kabupaten Muna dan Teluk Saleh (NTB). Dalam Seminar Nasional Perikanan Indonesia. Jakarta: Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. hlm 94-108. Makatipu C. P. 1998. Studi Pendahuluan Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Selat Lembeh Bitung dalam Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan. Bogor: Pusat Studi Ilmu Hayati IPB dan Puslitbang Biologi LIPI. Matsuura K, Sumadhiharga OK, Tsukamoto K. 2000. Field guide to Lombok island: Identification guide to marine organisms in seagress beds of Lombok island, Indonesia. Tokyo: Ocean Research Institute, University of Tokyo. 449 pp. R Core Team. 2010. R: A language and environment for statistical computing. Austria: R Foundation for Statistical Computing.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 65

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

PENDATAAN JENIS IKAN KARANG HASIL TANGKAP DI KAWASAN TWP GITA NADA SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT (Accounting of Reef Fishes in TWP Gita Nada Sekotong, West Lombok)

Oleh: Selamet Kurniawan Riandinata1*, Aldhila Yulistianti2 dan Yuliadi Zamroni1 1Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Mataram 2Wildlife Conservation Society * Email: [email protected]

ABSTRAK Ketersediaan stok ikan di wilayah perairan Indonesia telah mengalami tangkap berlebihan (overfishing). Hal ini dapat dilihat dari produktivitas perairan yang menurun, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, dan daerah penangkapan ikan yang semakin jauh dari pantai. Apabila kondisi ini terus berlangsung akan mengganggu stok populasi ikan di perairan dan secara tidak langsung mengganggu perekonomian masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka perlu adanya pendataan dan penanganan secara terkontrol terhadap kegiatan perikanan di masyarakat untuk mencegah terjadinya overfishing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan nelayan yang ada di kawasan TWP Gita Nada dalam pengelolaan perikanan di kawasan konservasi dan mengetahui jenis ikan karang yang ditangkap oleh nelayan yang berasal dari TWP Gita Nada. Penelitian dilakukan di tiga lokasi yaitu TPI Tanjung Kelor, Pelangan, dan Siung. Metode yang digunakan adalah purposive sampling dan wawancara. Hasil penelitian diperoleh 14 famili dan 60 jenis ikan yang didaratkan oleh nelayan di kawasan TWP Gita Nada. Spesies ikan karang yang paling dominan atau sering didapatkan secara berurutan berasal dari famili Acanthuridae dengan 14 spesies, famili Lethrinidae dan Holocentridae dengan 8 spesies, famili Lutjanidae 6 spesies, famili Haemulidae dengan 5 spesies, famili Scaridae, Serranidae, dan Balistidae dengan 3 spesies, famili Caesionidae, Siganidae, Nemipteridae dan Mullidae dengan 2 spesies, serta famili Labridae dan Periacanthidae dengan 1 spesies. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan nelayan dalam pengelolaan perikanan di kawasan TWP Gita Nada sudah cukup baik.

Kata kunci: overfishing, ikan karang, perikanan, TWP Gita Nada

ABSTRACT The fishes stock of Indonesia waters has been overfishing, it can be measured by decreasing of Indonesian water productivity, smaller size of fish caughted and fishing areas become more far from the coast. If this condition are carried out continuously, the population tends to decrease because the life cycle can be disrupted. If the fish population in their habitat tends to decrease, it can be affected the economy of the fishing community. Therefore, we need to collected the data of fish diversity qnd controlled the fishing activities in the community to prevent overfishing. This study aims to determine the extent of compliance of fishermen in the Gita Nada TWP area in fisheries management in conservation areas and find out the types of reef fish caught by fishermen from the Gita Nada TWP. The study was conducted in three locations, namely TPI Tanjung Kelor, Pelangan, and Siung. The method used is purposive sampling and interview. The results of the study were 14 families and 60 species of fish landed by fishermen in the Gita Nada TWP area. Coral fish species that are most dominant or are often obtained sequentially from the family Acanthuridae with 14 species, family Lethrinidae and Holocentridae with 8 species, family Lutjanidae 6 species, family Haemulidae with 5 species,

66 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

family Scaridae, Serranidae, and Balistidae with 3 species, family Caesionidae, Siganidae, Nemipteridae and Mullidae with 2 species, and Labridae and Periacanthidae families with 1 species. Based on the results of the study concluded that the level of compliance of fishermen in fisheries management is good enough in the Gita Nada TWP area.

Keywords: overfishing, reef fish, fisheries, Gita Nada TWP

PENDAHULUAN Taman Wisata Perairan (TWP) Gita Nada Secara administrasi pemerintahan, terletak di Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini menjadi kawasan konservasi berdasarkan SK Bupati Lombok Barat No. 56 Tahun 2011 yang telah direvisi menjadi Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 23 Tahun 2014. Luas kawasan TWP Gita Nada yaitu 21.556 Ha yang meliputi wilayah darat dan laut. Jenis pekerjaan utama selain menangkap ikan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan konservasi Gita Nada adalah pertanian tanaman pangan (20,8%), menjual hasil laut (6,7%), dan pekerjaan lainnya (18,3%) seperti jasa transportasi, buruh tani, bengkel, berdagang, operator wisata, servis elektronik, dan penambang emas. Kegiatan pertanian hanya dilakukan pada musim hujan karena belum tersedianya sarana irigasi (Pemda Lombok Barat 2015). Perikanan merupakan suatu bidang ilmu yang terus berubah dan berkembang. Ilmu perikanan sangat membantu pembangunan nasional. Karena itu ilmu perikanan harus terus dikaji dan dikembangkan oleh dosen dan mahasiswa sebagai ujung tombak pengembangan dan penerapan teknologi perikanan (Fujaya 2004). Potensi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia diperkirakan 4,5 juta ton/tahun. Pemanfaatannya secara keseluruhan baru sekitar 21% hingga masih dapat dikembangkan (Nontji 1987). Ikan merupakan sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh manusia disamping udang dan daging. Tingginya nilai protein yang dimiliki ikan menyebabkan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri menggemari ikan untuk dikonsumsi sehari hari. Hal ini dibuktikan oleh tingginya minat para pedagang untuk mengekspor ikan ke luar negeri maupun sebagai ikan hias yang dipelihara oleh masyarakat baik usaha pertambakan tradisional maupun modern (Rosmatun et al. 1997). Untuk keperluan praktis, pengenalan secara cepat terhadap jenis-jenis ikan karang dapat dilakukan dengan mengetahui bentuk umum ikan karang berdasarkan familinya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada umumnya ikan-ikan yang memiliki karakter umum yang mirip biasanya dikelompokkan pada family yang sama. Ikan yang ditangkap nelayan umumnya berupa ikan-ikan konsumsi yang tersebar menjadi beberapa famili seperti famili Serranide, Lutjanidae, Acanthuridae Haemulidae, Lethrinidae, Mullidae, Siganidae, Labridae, Nemiteridae, Priacanthidae, dan Carangidae (Terangi 2004). Ketersediaan ikan atau Stok di berbagai wilayah perairan Indonesia telah mengalami tangkap berlebihan (overfishing). Produktivitas mengalami penurunan, ikan yang tertangkap semakin kecil, dan daerah penangkapan yang menjadi pusat operasi penangkapan memiliki jarak yang semakin jauh dari pantai (Zulbainarni 2012). Penurunan produktivitas sumberdaya dan terjadinya penangkapan secara berlebihan pada suatu wilayah perairan disebabkan oleh perubahan kapasitas tangkap yaitu penambahan jumlah serta ukuran alat tangkap dan kapal. Perubahan kapasitas tangkap ini mengakibatkan ketersediaan sumber-daya ikan pada suatu perairan akan habis ditangkap pada upaya penangkapan yang lebih sedikit (Cunningham et al. 1985). Bila penangkapan ikan ini dilakukan terus menerus dikuatir-kan populasinya cenderung berkurang karena siklus hidupnya dapat terganggu bila tanpa diikuti dengan pertumbuhan dan reproduksi; bahkan tidak ada lagi habitat yang kondusif untuk melepaskan telur. Apabila

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 67

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. populasi cenderung berkurang bahkan sampai tidak ada sama sekali, maka akan berdampak pula pada perekonomian masyarakat nelayan (Kawimbang et al. 2012). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pengelola perikanan tangkap sudah mengarahkan kegiatan perikanan demi mencapai perikanan yang berkelanjutan. Hal ini terlihat dari banyaknya regulasi yang mengatur kegiatan penangkapan ikan, seperti: pengaturan usaha perikanan tangkap (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012), penetapan jalur dan daerah penangkapan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2011 dan perubahannya), dan pelarangan alat yang berpotensi merusak perairan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015). Pemerintah juga me- nempatkan pengawas perikanan di berbagai daerah yang bertugas mengawasi tertib per-aturan perundang-undangan. Pada tahun 2015, terdapat 765 orang pengawas perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia (Keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 46/KEP-DJPSDKP/2015). Sehubungan dengan itu, maka perlu adanya penanganan secara terkontrol terhadap penangkapan yang berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan nelayan yang ada di kawasan TWP Gita Nada dalam pengelolaan perikanan dan mengetahui jenis ikan karang yang ditangkap oleh nelayan yang berasal dari TWP Gita Nada. Selain itu, data inventarisasi ikan karang hasil tangkapan nelayan yang berasal dari TPI kawasan TWP Gita Nada, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat belum memadai walaupun telah ada di Dinas Kelautan dan Perikanan namun dirasa belum lengkap karena kurang detail. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian bersifat deskriptif eksploratif dengan waktu pelaksanaan dimulai dari bulan Januari sampai Februai 2018. Tempat penelitian dilakukan di 3 lokasi yaitu Desa Sekotong Barat, Desa Pelangan, dan Desa Batu Putih, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

Pengambilan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode observasi langsung dengan teknik sensus jenis (spesies) ikan yang didaratkan di TPI dan wawancara. Wawancara ditujukan pada nelayan dan pengepul ikan untuk mendapatkan data tambahan mengenai pengelolaan perikanan di kawasan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel ikan terumbu karang pada tempat pelelangan ikan di lokasi yang ditentukan. Jenis ikan yang diambil pada penelitian ini adalah ikan yang memiliki ukuran morfologi lengkap atau jelas. Selanjutnya ikan sampel difoto sebagai dokumentasi dan diidentifikasi jenis-jenisnya. Untuk pemberian nama ilmiah ikan sampel yang diperoleh dilakukan dengan memperhatikan deskripsi morfologi tubuh ikan berdasarkan Allen (2000), Kimura & Matsuura (2003) dan Kuiter & Debelius (2006). Data yang telah didapatkan kemudian dihitung menggunakan tekhnik analisis data kemudian dideskripsikan dalam bentuk pembahasan.

Analisis dan Penyajian Data Analisis data dilakukan menggunakan software MS. Excel dan disajikan dalam bentuk gambar dan grafik yang di deskripsikan untuk memperjelas hasil penelitian dan menjadi lebih menarik.

68 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan Penangkapan Ikan Hasil penelitian mengenai kegiatan penangkapan ikan di tiga lokasi pendaratan ikan di Kawasan TWP Gita Nada yaitu jumlah nelayan paling banyak berurutan berasal dari pelabuhan Siung 8 nelayan, Tanjung Kelor 6 nelayan, dan Pelangan 1 nelayan. Jumlah ini termasuk sangat minimal dikarenakan faktor utamanya yaitu cuaca. Pada bulan Januari intensitas dan curah hujan sangat tinggi, selain itu gelombang juga cukup tinggi sampai sangat tinggi sehingga banyak nelayan yang tidak dapat melaut secara maksimal bahkan sama sekali tidak dapat melaut. Pendataan tingkat kepatuhan nelayan di Kawasan TWP Gita Nada oleh nelayan di sekitar Kawasan TWP Gita Nada disajikan dalam Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Kegiatan penangkapan ikan di kawasan TWP Gita Nada. No Pelabuhan Lokasi Zonasi Alat Kategori Biaya Asal Penangkapan Tangkap Mesin Operasional (Rp) 1. Siung Bangko- Zona Pancing Sampan 50.000,00- Bangko Perikanan dan 90.000,00 Berkelanjutan Ketinting (5,5-6 PK) 2. Tanjung Mekaki - Panah Ketinting 822.000,00 Kelor (Kompressor (40 PK) ) 3. Pelangan Gili Layar Zona Panah Ketinting 52.000,00 Perikanan (5,5 PK) Berkelanjutan

Berdasarkan Tabel 1 dapat dikatakatan tingkat kepatuhan nelayan terhadap peraturan dalam pengelolaan perikanan sudah sangat baik. Hal tersebut dilihat dari zonasi tempat penangkapan yang berasal dari luar Zona perikanan dan berkelanjutan dan Zona perikanan berkelanjutan. Lokasi penangkapan ikan dilakukan di Gili Layar, Bangko-bangko dan Mekaki. Alat tangkap yang digunakan diantaranya pancing dan panah. Kategori mesin yang digunakan adalah ketinting dan sampan dengan kekuatan mesin dari 5,5 PK, 6 PK, dan 40 PK.

Jenis Ikan Hasil Tangkap Hasil penelitian diperoleh 60 jenis ikan yang masuk kedalam 14 famili ikan yang didaratkan oleh nelayan di kawasan TWP Gita Nada. Spesies ikan karang yang paling dominan atau sering didapatkan secara berurutan berasal dari family Acanthuridae dengan 14 spesies, family Lethrinidae dan Holocentridae dengan 8 spesies, famili Scaridae, Serranidae, dan Balistidae dengan 3 spesies, famili Labridae dan Peracanthidae dengan 1 spesies (Gambar 1).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 69

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Persentase jenis ikan yang dikelompokkan berdasarkan Famili masing-masing.

Famili Acanthuridae menjadi family dengan jumlah jenis yang paling dominan (23%). Pada penelitian ini tidak semua jenis ikan dapat didaratkan di TPI kawasan TWP Gita Nada, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya cuaca yang tidak mendukung sehingga banyak nelayan yang tidak pergi ke laut dan memilih tinggal di rumah karena hasil tangkapan sering tidak sebanding dengan biaya operasional. Kalaupun ada yang melaut, biasanya hanya di kawasan pinggir pantai yang memang menjadi lokasi nelayan tradisional menangkap ikan. Jumlah dan frekuensi kehadiran jenis ikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan frekuensi kehadiran ikan No Famili Nama Ilmiah Nama Lokal Pengamata Perjumpaa % n n 1. Lutjanidae Lutjanus gibbus Kakap Merah 14 10 71 Lutjanus Kembang 14 10 71 fulviflamma waru, Tompel, Ikan Tanda Lutjanus Badur 14 10 71 rufolineatus Lutjanus Jarang Koto, 14 10 71 quinquelineatus Badur Lutjanus Badur 14 10 71 bengalensis Lutjanus bohar Kakap merah, 14 10 71 Jarang Gigi, Kantoan

70 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

No Famili Nama Ilmiah Nama Lokal Pengamata Perjumpaa % n n 2. Lethrinidae Lethrinus Jangki, Sikuda, 14 9 64 ornatus Lencam Lethrinus Bulan-bulan, 14 9 64 rubrioperculatus Merjung, Lencam Lethrinus harak Ketambak, 14 9 64 Lencam Lethrinus Ketambak, 14 9 64 nebulosus Lencam Lethrinus Tambak 14 9 64 microdon Moncong, Lencam Lethrinus Ketambak, 14 9 64 semicinctus Lencam Lethrinus Ketambak, 14 9 64 atkinsoni Lencam Monotaxis Ambangan 14 9 64 grandoculis 3. Scaridae Scarus Lembain, 14 7 50 rubroviolaceus Anglu Scarus ghobban Lembain, 14 7 50 Kakak Tua Biru, Anglu Chlorurus Lembain, 14 7 50 sordidus Anglu, Kea- kea 4. Serranidae Epinephelus Kerapu, Sunu 14 7 50 fasciatus Karet Epinephelus Kerapu 14 8 57 faveatus Variola Kerapu 14 7 50 albimarginata Gunting 5. Acanthurida Acanthurus Lodem, 14 7 50 e mata Buntana Acanthurus Lodem, Botana 14 8 57 lineatus Kasur Acanthurus Lodem, Botana 14 7 50 xanthopterus Lorek Naso Kumai, 14 8 57 brevirostris Kapasan Naso vlamingii Kumai, 14 7 50 Kapasan Naso Kumai, 14 8 57 brachycentron Kapasan Naso Kumai, 14 8 57 caeruleacauda Kapasan Naso lopezi Kumai, 14 7 50 Kapasan

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 71

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

No Famili Nama Ilmiah Nama Lokal Pengamata Perjumpaa % n n Naso Kumai, 14 8 57 hexacanthus Kapasan Naso lituratus Kumai, 14 7 50 Kapasan Naso reticulatus Kumai, 14 8 57 Kapasan Naso unicornis Kumai, 14 7 50 Kapasan Naso tuberosus Kumai, 14 8 57 Kapasan Prionurus Kapasan Ekor 14 7 50 chrysurus Kuning 6. Caesionidae Caesio cuning Sulir, Ekor 14 5 36 Kuning Caesio teres Pisang-pisang, 14 5 36 Ekor Kuning Pisang 7. Nemipterida Nemipterus Kurisi, 14 3 21 e hexodon Teribang, Kambayan Scolopsis Jangki Timun, 14 4 29 lineatus Pair-pasir 8. Holocentrid Sargocentron Rengginan, 14 3 21 ae melanospilos Ungang, Merek Batu Sargocentron Rengginan, 14 4 29 praslin Ungang, Merek Batu Sargocentron Rengginan, 14 4 29 rubrum Ungang, Merek Batu, Swangi Batu Sargocentron Rengginan, 14 3 21 caudimaculatum Ungang, Merek Batu Myripristis Rengginan, 14 6 43 chryseres Ungang, Merek Batu Myripristis Rengginan, 14 6 43 murdjan Ungang, Merek Batu Myripristis Rengginan, 14 5 36 violacea Ungang, Merek Batu Myripristis Rengginan, 14 7 50 melanostictus Ungang, Merek Batu

72 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

No Famili Nama Ilmiah Nama Lokal Pengamata Perjumpaa % n n 9. Haemulidae Plectorhinchus Kakap Batu 14 4 29 polytaenia Plectorhinchus Kerong-kerong 14 4 29 lessonii Plectorhinchus Ikan Kaci-kaci 14 4 29 vittatus Belang Plectorhinchus Tambak Bibir, 14 4 29 lineatus Kaci-kaci Diagramma Gajih 14 4 29 pictum 10. Labridae Iniistius sp Pelo 14 4 29 11. Siganidae Siganus Baronang, 14 5 36 canaliculatus Serpik, Beronang Lada Siganus sp Baronang 14 6 43 12. Mullidae Parupeneus Dayah Jenggot, 14 3 21 cyclostomus Ciko-ciko, Jenggotan Parupeneus Dayah Jenggot, 14 4 29 crassilabris Ciko-ciko, Jenggotan 13. Balistidae Odonus niger Ikan Kambing, 14 4 29 Pogot, Etong Sufflamen Ikan Kambing, 14 3 21 fraenatum Pogot, Etong Sufflamen sp Ikan Kambing, 14 4 29 Pogot, Etong 14. Priacanthid Priacanthus Mangla, 14 3 21 ae hamrur Cemaul Dasar

Menurut Nontji (2002) perubahan cuaca akan dapat mempengaruhi kondisi laut, misalnya angin yang sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus dipermukaan laut. Para nelayan umumnya sudah memahami terjadinya fluktuasi tahunan hasil tangkapan seiring datangnya musim pancaroba. Curah hujan di berbagai daerah akan mempengaruhi sebaran salinitas (kegaraman) dipermukaan laut sehingga mempengaruhi komposisi makanan bagi ikan-ikan di laut menjadi lebih rendah, hal ini membuat ikan-ikan banyak bermigrasi untuk mendapatkan asupan pangan yang lebih banyak. Selain itu penelitian ini dilakukan pada saat Musim Barat, hal ini menyebabkan hasil tangkapan nelayan lebih sedikit. Pada Musim Barat terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Auastralia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari Asia menuju Australia yang di Indonesia dikenal dengan angin Musim Barat, Musim Barat dilalui dengan cuaca buruk yang ditandai gelombang tinggi dan angina kencang (Nontji 2002). Musim tangkapan sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan dengan demikian sangat dimungkinkan masih banyak jenis-jenis ikan yang belum diinventarisasi. Selain itu, terdapat variasi waktu nelayan pergi melaut. Nelayan yang melaut siang hari akan pergi sekitar pukul 04.00-06.00 wita dan kembali pukul 11.00-16.00 wita, adapun nelayang yang melaut pada malam hari akan pergi sekitar pukul 17:00-21.00 wita dan kembali

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 73

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. pukul 07:00-10.00 wita. Perbedaan waktu tangkap ikan akan mempengaruhi jenis-jenis ikan yang tertangkap baik antara ikan nokturnal dan ikan diurnal.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis ikan karang hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di TPI kawasan TWP Gita Nada, dapat disimpulkan bahwa terdapat 14 famili dan 60 jenis ikan yang didaratkan di TPI kawasan TWP Gita Nada. Selain itu, tingkat kepatuhan nelayan dalam pengelolaan perikanan sudah cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah. 2014. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kuala Tuha Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya. Jurnal Biologi Edukasi. 32-35. Allen G. 2000. A Field Guide for Angelers and Divers Marine Fishes of South-East Asia. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Cunningham S, Dunn MR, Whitmarsh D. 1985. Fisheries Economics: An Introduction. New York: Mansell Publishing Limited Edition. St. Marthin’s Press. Direktorat Pelabuhan Perikanan. 2006. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan: Pemasaran dan Investasi, Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. [diunduh 2018 Apr 11]. Tersedia pada: http://www.pipp.dkp.go.id/pipp2/pemasaran_investasi_index.html. Dewi D. 2010. Analisa Bioekonomi Untuk Pengelolaan Sumberdaya Kerang Simping (Amusim plueronectes) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assement: A Manual of Basic Method. NewYork: John Wiley and Sons Inc. Kawimbang E, Paransa IJ, Kayadoe ME. 2012. Pendugaan stok dan musim penangkapan ikan julung-julung dengan soma roa di Perairan Tagulandang, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. 1(1): 10-17. Kimura S,Matsuura K. 2003. Fishes of Bitung Northem Tip of Sulawesi, Indonesia. Japan: Tokai University Press. Kuiter RH, Debelius H. 2006. World Atlas of Marine Fishes. Jerman: IKAN- Unterwasserarchiv. Lubis E. 2000. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bogor: Bagian Kepelabuhan Perikanan dan Kebijakan Pengelolaan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Lubis E, Solihin I, Nugroho T, Muninggar R. 2010. Diktat Pelabuhan Perikanan Bogor. Bogor: Bagian Kepelabuhan Perikanan dan Kebijakan Pengelolaan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Moyle PB, Cech JJ. 1988. Fisher and Introduction to Ichtiologi. New York: Prentice Hall. Nontji A. 1987. Laut Nusantra. Jakarta: Djambatan. [Pemda Lombok Barat] Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2015. Profil Desa Sekotong Barat. Gerung: PEMDA Lombok Barat. Primawati SN, Ismail E, Marnita. 2016. Identifikasi jenis ikan hasil tangkapan nelayan di Pantai Jeranjang. Jurnal Pendidikan Mandala. 1(1): 73-78.

74 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Rosmatun SM. 1997. Budidaya Udang Windu dan Ikan, Edisi ke 10. Jakarta: Penebar Swadaya. Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Volume I dan II. Jakarta: Binatjipta. Syakila S. 2009. Studi dinamika stok ikan tembang (Sardinella fimbriata) di perairan Teluk Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Terangi. 2004. Panduan Dasar untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. [diunduh 2018 Apr 14]. Tersedia pada: http//:www.Terangi.or.id/Indonesia.article/ terangiterumbu. Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor: IPB Press.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 75

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

PROFIL PERIKANAN DAN PERDAGANGAN HIU DAN PARI DI ACEH BARAT (Profile of Sharks and Rays Fisheries and Trade in West Aceh)

Oleh: Muhammad Ichsan*, Benaya Simeon, Efin Muttaqin Wildlife Conservation Society – Indonesia Program * Email: [email protected]

ABSTRAK Hiu dan Pari adalah predator puncak dalam rantai makanan yang menjaga kestabilan dan kelangsungan ekosistem di laut. Indonesia merupakan penghasil hiu dan pari terbesar di dunia dengan rata-rata produksi sekitar 100.000 ton per tahun. Provinsi Aceh merupakan penyumbang tangkapan terbesar di indonesia dengan 18% dari produksi nasional. Aceh barat merupakan salah satu daerah penghasil tangkapan hiu dan pari terbesar di provinsi Aceh dengan rata- rata 572 ton per tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola perikanan dan pemanfaatan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Barat. Metode yang digunakan adalah monitoring pendaratan hiu dan pari serta wawancara terstruktur kepada responden terpilih antara lain nelayan, penampung, dan pedagang hiu dan pari sepanjang tahun 2017. Hasil yang didapatkan adalah pola perikanan hiu dan pari mencakup armada dengan spesifikasi kapal <10 GT; alat tangkap rawai hiu, daerah penangkapan di Samudera Hindia bagian barat dan utara sumatera; serta komposisi spesies yang didaratkan dengan dominasi, hiu martil (Sphyrnidae), hiu lanjaman (Carcharhinidae), pari dasar (Dasyatidae) hiu minyak (Squalidae) dan pari kiukiu (Rhynchobatidae). Pola perdagangan antara lain produk yang di perdagangkan berupa sirip, daging, minyak hati, tulang, dan kulit. Produk dijual dengan tujuan pasar lokal, Banda Aceh dan Medan. Produk utama berupa sirip ikan hiu ditujukan untuk eksport ke Malaysia dan Singapura.

Kata Kunci: hiu, pari, perikanan, perdagangan

ABSTRACT Sharks and Rays are top predators in the food chain which maintain the stability and sustainability of marine ecosystems. Indonesia is the largest producer of sharks and rays in the world with an average production of around 100,000 tons per year. Aceh Province is the largest catch contributor in Indonesia with 18% of national production. West Aceh is one of the largest producer provinces who catch sharks and rays with an average of 572 tons per year (2002- 2016). The purpose of this study is to determine the sharks and rays fisheries and trade patterns in West Aceh Regency. The method used in this study is monitoring shark and ray landing sites and structured interviews to selected respondents, including the sharks and rays fishers, collectors, and traders throughout the year of 2017. The result is a pattern of shark and ray fisheries include fleets with specification vessels <10 GT; sharks longline fishing gears, fishing ground in the west and north part of Sumatera in the Indian Ocean; and landed species composition with a dominance of hammerhead sharks (Sphyrnidae), requiem sharks (Carcharhinidae), and stingrays (Dasyatidae) and dogfish sharks (Squalidae). The products of the trade patterns are in the form of fins, meat, liver oil, bones, and skin. Products sent to local market, Banda Aceh and Medan. The main products, which is the shark fins are exported to Malaysia and Singapore.

Keyword: fisheries, ray, shark, trade

76 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PENDAHULUAN Hiu dan pari merupakan predator puncak dalam rantai makanan yang memegang peranan penting dalam kestabilan ekosistem di laut. Namun dalam beberapa dekade terakhir, pemanfaatan hiu dan pari di dunia semakin meningkat seiring dengan permintaan global. Indonesia merupakan negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Berdasarkan data yang dirilis oleh FAO, rata- rata tangkapan ikan hiu dan pari di Indonesia pada tahun 2000 – 2011 mencapai 106.034 ton pertahun. Dari jumlah tersebut Indonesia, India, Spanyol, Taiwan dan Argentina menjadi lima negara penghasil produksi hiu terbesar di dunia (FAO, 2015). Salah satu penghasil tangkapan hiu dan pari terbesar di Indonesia adalah provinsi Aceh, pada rentang tahun 2000 – 2011, tercatat rata – rata 3.048 ton hiu dan pari dihasilkan didaratkan di 18 kabupaten/kota di Aceh (Statistik Perikanan Aceh 2012). Aceh Barat merupakan salah satu daerah penghasil tangkapan hiu dan pari terbesar di provinsi Aceh dengan rata- rata 572 ton per tahun (Statistik Perikanan Aceh 2016). Hiu dan pari yang ditangkap di kabupaten Aceh Barat dipisahkan menurut jenis produk antara lain sirip, daging, kulit, tulang dan sebagainya dengan tujuan pasar domestik, nasional maupun manca negara. Mengingat pentingnya komoditas hiu dan pari bagi masyarakat kabupaten Aceh Barat dan belum terkelolanya sumberdaya ini dengan baik, diperlukan adanya studi yang komprehensif mengenai perikanan dan pemanfaatannya.

METODE PENELITIAN Studi mengenai aspek perikanan dan pemanfaatan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Barat dilaksanakan pada bulan Maret-Desember 2017 di Kabupaten Aceh Barat. Metode yang digunakan adalah monitoring pendaratan hiu dan pari serta wawancara terstruktur kepada responden terpilih antara lain nelayan, penampung, dan pedagang hiu dan pari sepanjang tahun 2017. Untuk mengetahui status perikanan hiu dan pari informasi yang dikumpulkan antara lain, alat tangkap yang digunakan, jenis kapal, hasil tangkapan, lokasi penangkapan, waktu penangkapan, dan biaya operasional. Sedangkan untuk mengetahui status pemanfaatan hiu dan pari, informasi yang dikumpulkan antara lain, jenis hiu, jenis produk, volume, serta tujuan penjualan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Nelayan pencari ikan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Barat, umumnya mendaratkan hasil tangkapannya di TPI Ujong Baroh dan TPI Kuala Bubon. Setidaknya terdapat 15 armada khusus yang merupakan penangkap hiu dan di TPI Ujong Baroh, dengan jumlah total nelayan sekitar 45 orang yang merupakan nelayan dari 2 desa, yakni Desa Padang Seurahet dan Desa Panggong. Desa-desa nelayan pencari hiu di Aceh Barat terletak di Kecamatan Johan Pahlawan, yaitu Desa Panggong dan Padang Seurahet. Adapun karakteristik dari perikanan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Jaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik perikanan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Jaya Desa Karakteristik Panggong Padang Seurahet Daya Mesin (PK) PS 120 PS 120 Tipe Mesin Inboard Inboard Panjang Armada (m) 12 – 15 12 – 15 Jumlah ABK (orang) 3 – 4 3 – 4

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 77

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Desa Karakteristik Panggong Padang Seurahet Alat Tangkap Rawai Hiu Rawai Hiu Jumlah Boat (unit) 4 11 Biaya BBM (liter) 1000 - 3000 1000 - 3000

Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Aceh Barat pada dasarnya bervariasi, dimana alat tangkap rawai hiu hanya dipergunakan pada saat musim penangkapan hiu yang berlangsung pada saat musim pancaroba dari Angin Timur menuju ke Angin Barat. Pada saat musim jenis ikan lain, mereka beradaptasi dengan menggunakan alat tangkap lain sesuai jenis ikan target, seperti pukat cincin mini saat musim ikan tongkol, pancing rawai dasar saat musim ikan karang, sebagian nelayan beralih menjadi ABK pukat saat musim penangkapan Udang Kelong. Alat penangkapan yang dipakai untuk menangkap hiu di Aceh Barat adalah jenis rawai pertengahan dengan panjang tali utama 1000-1500 meter, dengan jumlah mata pancing sebanyak 300-500 mata pancing, dengan jarak antar mata pancing sejauh 3-5 meter, dengan kedalaman mata pancing 15 meter hingga 20 meter. Rawai tersebut di pasang pada sore hari sekitar pukul 4 dan di angkat di pukul 9 atau 10 pagi keesokan harinya. Pemasangan rawai tersebut biasanya dilakukan di lokasi-lokasi yang berarus kencang, akan tetapi tidak terlalu jauh dari pulau-pulau kecil yang ada di perairan Simeulue, Nias, dan Mentawai serta di perairan sebelah Barat Laut Kota Sabang dan sebelah timur Kepulauan Nicobar. Waktu tempuh nelayan di Meulaboh menuju daerah penangkapan hiu berkisar antara 12 jam menuju Simeulue, dan 1- 2 hari perjalanan menuju Nias dan Mentawai menggunakan kapal kayu berukuran sekitar 10 GT tipe penangkap hiu dengan panjang 12-14 meter, lebar 2,5-3 meter dengan mesin Mitsubishi PS 120, dengan modal satu trip pemancingan berkisar antara Rp.10.000.000,- sampai dengan Rp.12.000.000,-, dengan lama trip berkisar antara 10 sampai dengan 15 hari.

Gambar 1. Daerah penangkapan hiu dan pari nelayan Aceh

78 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Komposisi spesies yang didaratkan di Kabupaten Aceh Barat tercatat sebanyak 1.741 ekor dengan didominasi, hiu martil (Sphyrnidae) sebesar 45%, hiu lanjaman (Carcharhinidae) sebesar 33%, pari dasar (Dasyatidae) sebesar 8% hiu minyak (Squalidae) sebesar 6% dan pari kiukiu (Rhynchobatidae) sebesar 4%. Produk yang di perdagangkan antara lain berupa sirip, daging, minyak hati, tulang, dan kulit. Produk dijual dengan tujuan pasar lokal, Banda Aceh dan Medan. Produk utama berupa sirip ikan hiu ditujukan untuk eksport ke Malaysia dan Singapura. Gambar 2 menunjukan volume pendaratan hiu dan pari berdasarkan famili di TPI Ujong Baroh pada tahun 2017.

900

800

700

600

500

Individu 400

300

200

100

0 Sphyrnidae Carcharhinidae Dasyatidae Squalidae Rhynchobatidae Lainnya Famili

Gambar 2. Volume pendaratan hiu dan pari di TPI Ujong Baroh berdasarkan famili pada tahun 2017

Informasi yang diperoleh menunjukan bahwa hiu dan pari yang ditangkap oleh nelayan di Aceh memiliki pola pemanfaatan seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut diketahui bahwa seluruh bagian hiu dan pari diolah sehingga memiliki nilai tambah. Bagian sirip hiu diolah menjadi sup hisit untuk kemudian dipasarkan ke Medan serta Singapura dan Malaysia. Sementara itu, bagian dagingnya dioleh menjadi gulai hiu, bakso, dan cilok untuk dipasarkan secara lokal di sekitar Aceh. Bagian tulang dari hiu dimanfaatkan sebagai obat tradisional Cina yang dipasarkan ke Medan, Singapura dan Malaysia. Bagian kulit hiu diolah menjadi dompet, sepatu, dan tali pinggang untuk dipasarkan ke Medan. Kemudian minyak hiu diolah menjadi squalene untuk dipasarkan ke Medan dan Surabaya.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 79

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Tabel 2. Pola pemanfaatan bagian tubuh hiu dan pari di Aceh Produk Spesies Harga (kg) Pasar Pasar Luar Produk Domestik Akhir Sirip Semua Jenis Rp. 200.000 – Medan Singapura dan Sup Hisit hiu, terutama Rp. 1.250.000 Malaysia family /kg Rhincobatidae carcharinidae & Sphyrnaidae

Daging Hampir semua Rp. 18.000 – Lokal Tidak Gulai Hiu, jenis Rp. 30.000 tingkat Bakso dan /kg Kabupate Cilok n Kota

Tulang Semua Jenis Rp.50.000/kg Medan Singapura dan Obat Hiu Malaysia Tradisional Cina

Kulit Stegostoma Rp.10.000 – Medan Tidak Dompet, fasciatum, Rp.15.000 sepatu, tali Himantura /inch2 pinggang Fava, Himantura undulata

Minyak Centrophorus Rp.160.000 Medan, Tidak Squalene squamosus, /600 ml Surabaya Centrophorus isodon, Squalus sp1., Squalus sp3. (Sumber: WCS 2017)

SIMPULAN Perikanan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Barat merupakan kegiatan perikanan skala kecil yang memiliki peranan penting dalam aspek sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Pemanfaatan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Barat memberikan nilai tambah bagi masyarakat karena setiap bagian hiu dan pari diolah menjadi produk yang dipasarkan secara lokal hingga ke luar negeri. Namun, perlu adanya pengelolaan yang lebih baik lagi dalam kegiatan penangkapan hiu dan pari di Kabupaten Aceh Barat agar sumberdayanya tetap lestari.

DAFTAR PUSTAKA Dent, Clark. 2015. Global Market Status Shark Rays. Technical Paper. Rome: Food and Agricultural Organization. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Data Statistik Perikanan Nasional. Jakarta: KKP.

80 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

[DKP Provinsi Aceh] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh. 2012. Data Statistik Perikanan Aceh. Aceh: DKP Provinsi Aceh. [WCS Indonesia] Wordlife Conservation Society Indonesia. 2017. Profil Perikanan Hiu dan Pari Provinsi Aceh. Bogor: WCS Indonesia.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 81

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN RUMAH TANGGA NELAYAN/MASYARAKAT SEKAROH DAN KETAPANG RAYA, LOMBOK TIMUR

Oleh: Baiq Rien Handayani1*, Bambang Dipokusumo2, Wiharyani Werdiningsih1 1 Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri, Universitas Mataram, Indonesia 2 Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, Indonesia *Email : [email protected]

ABSTRAK Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru dan Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak termasuk wilayah pesisir Lombok Timur bagian Selatan. Berdasarkan survey tingkat kemiskinan, kedua desa tersebut merupakan sebagian kantong kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sekaroh memiliki lebih dari 150 KK miskin dengan pekerjaan hampir seluruh KK adalah nelayan. Dari aspek pengolahan, nelayan atau rumah tangga Sekaroh sangat minimal menerapkan proses pengolahan pada produk tangkapan karena kebutuhan hidup yang sangat mendesak dan level ekonomi rumah tangga yang sangat rendah, memaksa nelayan menjual segar produk olahannya. Sekaroh terutama dusun Sunut tidak memiliki sumber air bersih yang sangat dibutuhkan dalam proses pengolahan. Selain itu, belum pernah tersentuh aktifitas pelatihan atau transfer teknologi pengolahan dalam bentuk apapun. Hal yang berbeda terjadi di Desa Ketapang Raya dan beberapa desa di Keruak yang memiliki akses air bersih. UKM pengolahan sudah dapat menghasilkan beberapa produk olahan namun dengan mutu yang masih rendah, bekerja tanpa standar dan belum mampu mengoptimalkan produknya baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini akan menjadi pembatas dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga nelayan/masyarakat pesisir. Pengolahan produk perikanan dengan menggunakan prosedur pengolahan yang terstandar (SOP) yang baik dengan menerapkan teknik hurdle yang tepat dan berguna menjadi salah satu upaya untuk membantu mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk olahan perikanan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat nelayan/pesisir Sekaroh dan Ketapang Raya. Metode yang dilakukan melalui kegiatan penelitian laboratorium dan lapangan (kaji Tindak). Beberapa kegiatan penting yang dilakukan yaitu aktifitas FGD/interview, penelitian laboratorium untuk merumuskan Teknik hurdle dalam SOP yang tepat untuk kondisi tanpa dan dengan air tawar. Transfer teknologi pengolahan perikanan terintegrasi dengan Teknik pengemasan/labelling, promosi dan pemasaran, pengurusan perijinan dan koordinasi dengan dinas instansi terkait. Hasil penelitian memperlihatkan (1) rumusan hasil riset laboratorium dengan Teknik hurdle yang mudah digunakan masyarakat/kelompok nelayan/UKM, (2) beberapa produk olahan perikanan sudah dapat dihasilkan kelompok dengan pengemasan dan labeling yang lebih baik disertai dengan pengurusan perijinan perdagangan dan koordinasi dengan dinas instansi terkait. Teknik hurdle dalam pengolahan produk perikanan dapat diterapkan oleh nelayan/masyarakat pesisir wilayah lain di Indonesia.

Kata Kunci : ketahanan pangan, nelayan, pengolahan, pesisir, produk perikanan

82 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PENDAHULUAN Perkembangan industri perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat mengalami peningkatan dalam produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan data statistik NTB tahun 2012, hasil produksi ikan tangkap di laut yaitu 20.256 ton dan memiliki indeks kenaikan rata-rata per tahun sebesar 3,27% (Ruchimat 2012). Adapun beberapa jenis ikan tangkap yang diproduksi yaitu tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan pelagis kecil, ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani 2004). Salah satu wilayah dengan potensi tangkapan ikan cukup tinggi yaitu Sekaroh, salah satu wilayah pesisir Lombok Selatan, Nusa Tenggara Barat. Nelayan desa Sekaroh menjadi suplier berbagai jenis ikan tangkap segar bagi pedagang perantara di desa Tanjung Luar yang selanjutnya meneruskan penjualan berbagai jenis ikan baik segar maupun sudah diolah secara sederhana ke berbagai pasar tradisional di Selong, Apitaik, Tanjung Luar (Lombok Timur) maupun ke wilayah Ampenan dan Mataram serta memasuki pasar Bali. Hasil tangkapan yang paling potensial dari Sekaroh dan Pemongkong pada umumnya adalah cumi-cumi yang memiliki nilai ekonomi tinggi selain kakap dan tuna. Ibu-ibu nelayan Sekaroh juga berperan memanen langsung kepiting dan juga tiram yang memiliki nilai ekonomis rendah. Meskipun hasil tangkapan nelayan tinggi terutama pada musim panen akan tetapi kehidupan nelayan Sekaroh tetap dalam kondisi kemiskinan. Tingginya tingkat kemiskinan dan kebutuhan atas nilai uang tunai yang segera menyebabkan nelayan tetap menjual hasil tangkapan walaupun dengan harga yang jauh lebih rendah dibanding dengan harga jual pedagang perantara di Tanjung luar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat pesisir termasuk nelayan Pemongkong tergolong miskin atau prasejahtera. Penyebab utama kemiskinan karena persoalan ekonomi dan non ekonomi. Faktor yang paling dominan menyebabkan kemiskinan adalah hasil tangkapan dan pendapatan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup (Bahtiar et al. 2016). Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai jual tangkapan nelayan adalah dengan melakukan pengolahan produk perikanan (Handayani dan Werdiningsih 2018). Hasil tangkapan nelayan sebagian besar dijual langsung (86%) dan diproses (8%). Upaya penanganan dan pengolahan yang dilakukan meliputi penjemuran (dengan dan atau tanpa penggaraman), penggunaan es, pemindangan dan pengasapan. Hasil ikan atau olahan nelayan sebagian besar dijual dengan lingkungan terbatas (Muktazam et al. 2014) Selebihnya belum ada upaya pengolahan yang lebih baik agar nilai jual dapat ditingkatkan. Pada umumnya pengolahan dilakukan karena ikan yang tidak habis terjual atau produk tangkapan berlebih. Selain itu, karena pemahaman pengetahuan dan ketrampilan termasuk rendahnya pemahaman GMP nelayan sehingga menyebabkan rendahnya mutu dan daya simpan produk perikanan yang dihasilkan. Hasil olahan cumi-cumi pindang maupun kering umumnya dilakukan oleh pedagang perantara di desa Tanjung Luar. Pengolahan cumi-cumi menghasilkan nilai tambah bagi pedagang perantara yang sangat tinggi (sampai dengan 3 kali lipat) (Bahtiar et al. 2016). Produk cumi-cumi kering yang dihasilkan pedagang perantara Tanjung Luar maupun Sakra pada umumnya berjamur dengan daya simpan pendek. Produk ikan kering yang dihasilkan bergaram dengan konsentrasi berlebih. Selain itu belum ada produk olahan ikan yang dapat dibuat saat produksi melimpah seperti dendeng ikan, ikan asap, lemuru kering atau nugget ikan dan lainnya. Selain permasalahan pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, ketersediaan air tawar menjadi penentu keberhasilan proses pengolahan. Sebagian besar pesisir tidak memiliki sumber air tawar, sehingga menyulitkan dalam proses pengolahan, sehingga harus ada upaya memanfaatkan air laut dalam pengolahan.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 83

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Dengan menerapkan berbagai inovasi teknologi yang efisien dan efektif dimungkinkan akan berdampak positif bagi penurunan jumlah kemiskinan di suatu wilayah. Transfer inovasi beberapa teknik pengolahan termasuk penggunaan pengawet alami (asap cair) berhasil diterapkan pada 3 kelompok pengolah daging/dendeng yang ada di Seganteng (Cakranegara- Mataram), Aikmel dan Tanjung (Lombok Timur) dan diterapkan pada pengolahan dendeng PT. Gerbang NTB Emas (perusahaan Daerah milik Pemda NTB) (Handayani et al. 2015). Teknologi pengolahan yang baku dalam pengolahan dendeng tradisional dengan mudah dapat diterapkan pada pengolahan dendeng ikan yang diterapkan pada kelompok nelayan Batuputih Lombok Barat /CCD IFAD, 2015. Teknologi hurdle dengan menerapkan gabungan pengawet alami (garam-asap cair, garam-asam, asap cair- pengovenan, asap cair- pengovenan/pengeringan, suhu dan kondisi penyimpanan dan pengemasan) dan proses pemanasan dapat digunakan untuk meningkatkan mutu dan daya simpan berbagai produk perikanan. Kombinasi teknik Hurdle Technology yang sederhana dan mudah dilakukan akan menjadi pilihan yang tepat dan mudah diaplikasikan di tingkat industri kecil/skala rumah tangga termasuk di lingkungan nelayan. Dengan transfer teknologi inovasi yang tepat akan membuka peluang terbangunnya industri (UKM kelompok masyarakat nelayan) di Sekaroh dan Ketapang Raya. Selain itu akan terbentuk pemasaran produk perikanan yang akan memperkuat sektor pariwisata NTB dengan tersedianya alternatif produk olahan perikanan yang selama ini tersedia dalam jumlah sangat terbatas dan akan dapat meningkatkan ketahanan rumah tangga nelayan.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara penelitian di tingkat kelompok dan penelitian laboratorium. Dalam penelitian lapangan (1), akan dibentuk kelompok pengolah perikanan di Sekaroh dan Tanjung Luar. Kegiatan penelitian di tingkat kelompok akan dilakukan secara bertahap sebagai berikut: yaitu penelitian awal untuk menyusun baseline penelitian. Kegiatan ini akan dilakukan dengan teknik interview (in depth interview), dan Diskusi kelompok (FGD-Focus Group Discussion. FGD akan dilakukan di 2 lokasi yaitu lokasi Pengolahan ikan di Sekaroh dan lokasi pengolahan ikan di tanjung Luar - Lombok Timur. Data akan dikumpulkan dari 30 orang respondent dari lokasi (masing-masing 15 orang). Selain itu akan dikumpulkan data dari pemuka masyarakat. Penelitian experimental (2) dilakukan di laboratorium (Pengolahan Pangan, Mikrobiologi Pangan dan Kimia Biokimia Pangan-Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram) untuk mengidentifikasi jenis perlakuan/teknik hurdle yang paling tepat dan paling efisien untuk menghasilkan produk perikanan terpilih dengan kandungan mutu kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), organoleptik (warna, penampakan, bau dan rasa), mikrobiologis (total bakteri, total kapang, koliform) dengan mutu yang paling baik dan memenuhi selera konsumen lokal maupun turis domestik. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis keragaman (analysis of variance) pada taraf nyata 5% dengan menggunakan software Co-Stat. Apabila terdapat beda nyata, akan dilakukan uji lanjut dengan uji Polinomial Ortogonal untuk uji kimia dan mikrobiologi. Dan uji Beda Nyata Terkecil (DMRT) untuk parameter organoleptik pada taraf nyata yang sama (Hanafiah 2001). Transfer teknologi hurdle terbaik dilakukan dengan mengikuti Handayani (2018). Selain itu dilakukan pendampingan kelompok dan perijinan. Evaluasi pasar merupakan bagian penting. Evaluasi akhir bertujuan untuk mengevaluasi keseluruhan kegiatan penelitian untuk mengetahui pencapaian penelitian. Data di analisis dengan ANova dengan taraf nyata 5 persen.

84 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Sekaroh dan Tanjung Luar Desa Sekaroh dan Desa Ketapang Raya merupakan potret kehidupan keluarga miskin pesisir. Seluruh masyarakat (KK) di dusun Sunut desa Sekaroh bekerja sebagai nelayan. Hasil utama tangkapan nelayan adalah cumi-cumi yang diikuti oleh tangkapan lainnya seperti ikan teri, tongkol, kepiting, kakap, dan ikan bernilai ekonomis rendah. Dari aspek pengolahan, nelayan atau rumah tangga Sekaroh sangat minimal menerapkan proses pengolahan pada produk tangkapan karena kebutuhan hidup yang sangat mendesak dan level ekonomi rumah tangga yang sangat rendah, memaksa nelayan menjual segar produk olahannya. Di satu sisi, nelayan tahu bahwa pengolahan produk perikanan potensial seperti cumi-cumi dapat meningkatkan pendapatan hampir 3 kali lipat. Kelemahan dalam proses pengolahan produk perikanan disebabkan karena pemahaman ilmu dan ketrampilan prosessing yang sangat rendah. Begitu pula yang terjadi dengan desa Tanjung Luar termasuk Ketapang Raya. Sebagian produsen produk olahan memperoleh bahan baku ikan dari nelayan Sekaroh, dan sekelompok RT di Tanjung Luar mengolah hasil tangkap menjadi beberapa produk sederhana seperti pindang cumi, pindang kuning “rumbuk”, ikan bakar atau ikan panggang. Semua produk yang dihasilkan dijual dengan sentra perempatan Sakra, dengan kondisi sanitasi yang sangat memprihatinkan. Selain hal ini menyebabkan rendahnya keamanan pangan juga menyebabkan daya simpan olahan menjadi sangat singkat. Kondisi ini secara bersama-sama berkontribusi terhadap lemahnya ketahanan pangan rumah tangga nelayan Sekaroh dan rumah tangga produsen ikan olah di Tanjung Luar. Berdasarkan aspek pengolahan hasil perikanan, kondisi desa Sekaroh dan Ketapang Raya tertera pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Memperlihatkan bahwa seluruh tangkapan nelayan nelayan (Sunut) dijual tanpa pengolahan. Sedangkan masyarakat nelayan/pesisir Ketapang Raya (Desa Keruak) menjual sebagian besar hasil ikan tangkap dan melakukan pengolahan sebagian kecil menjadi beberapa produk sederhana dengan mutu yang belum terkontrol. Masyarakat Sekaroh belum pernah memperoleh pelatihan pengolahan. Hal yang berbeda terjadi pada sebagian anggota kelompok pengolah di Ketapang Raya yang mengenal pengolahan dari pelatihan yang diberikan Dinas Perikanan dan Kelautan. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa masyarakat Sekaroh mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih karena tidak memiliki sumber mata air sehingga menghalangi masyarakat dalam pengolahan produk perikanan.

Tabel 1. Kondisi awal (Pra transfer) teknologi pengolahan di Sekaroh dan Ketapang Raya No. Uraian Sekaroh Ketapang Raya 1 Jenis ikan tangkap (Bahasa Tongkol, Cumi,Parean, Tongkol, Cumi, Teri setempat) Gurita, Terijo, Pari, Serpik, layang Jumik tengah, Rume, Ikan Terijo, Teri, Ikan kiko, Ikan banyar, Cumik cakalang lamun, Ikan mariok, Teri layang, ketombong 2 Penggunaan ikan tangkap 100 % tangkapan dijual ke 83.3% tangkapan dijual, Tanjung Luar/tidak pernah diolah diolah 16.7% diolah menjadi: Terasi, kerupuk ikan, kerupuk rumput laut, bakso ikan, jajan ikan, abon, ikan kering (Mutu belum terkontrol)

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 85

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

3 Permasalahan Belum memahami cara Perdagangan ikan, pengolahan, kebutuhan pengeringan ikan, harga dalam bentuk cash segera ikan murah saat banyak ikan Tangkapan sedikit harga mahal Belum ada pelatihan cara olah Tidak adanya modal dan peralatan pengolahan 4 Pelatihan 100% tidak pernah 41,7% pernah mendapat mendapat pelatihan pelatihan dari dinas kelautan dan perikanan 8,3% pernah mendapat pelatihan penyuluhan swadaya masyarakat 5 Pelatihan yang diinginkan Abon tongkol dan ikan Cara pengemasan, parean pengawetan dan Pengerngan ikan mariok pemasaran Dendeng ikan tongkol Sistem pengolahan moderen Pengolahan abon ikan, bakso tongkol, keripik cumi dan berbagai makanan. 6 Ketersediaan sumber air Tidak ada Tersedia bersih/ Sumur/PDAM

Alternatif Teknik Hurdle dalam Pengolahan Perikanan Sekaroh dan Ketapang Raya Teknik hurdle diartikan sebagai gabungan teknik pengawetan “terkini’ dengan tujuan untuk menghasilkan sejumlah faktor penghalang untuk mencegah mikroorganisme hidup/tumbuh kembali. Beberapa teknik yang digunakan yaitu: suhu tinggi/rendah, Aw rendah, mikroorganisme kompetitif, pengasaman dan pengawet. Meskipun tidak mengenal istilah teknik hurdle, sebagian nelayan sudah lama melakukan pemanasan dan pengeringan/penggaraman untuk menurunkan Aw misalnya pada cumi kering yang memiliki masa simpan singkat dan mudah berjamur. Tabel 2 berikut memperlihatkan beberapa Teknik hurdle yang dapat diterapkan dengan cara sederhana dan tepat guna (Handayani et al. 2018).

Tabel 2. Teknik Hurdle pengolahan beberapa produk perikanan potensial di Sekaroh dan Ketapang Raya Produk Perikanan Lokasi No. Teknik Hurdle Potensial Penerapan Pindang kuning Kunyit 6 %, asam jawa 4 %, garam 1,93 %. Ketapang Raya “pindang rumbuk” Pemasakan 100 ºC, 10 menit. Pembotolan: exhausting 80 oC, 10 menit, 1 sterilisasi 121 ºC, 15 menit. Pengemasan Vacuum polypropylene.

86 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Produk Perikanan Lokasi No. Teknik Hurdle Potensial Penerapan Cumi Kering belah Asap cair tempurung kelapa Grade 1: 2,5 % Ketapang Raya, dengan marinasi 60 menit, penjemuran suhu Sekaroh 30-40 oC selama 1 jam. Cumi Utuh kering Pengeringan dengan pengering efek rumah 2 kaca selama 24 jam 3 hari. Cumi utuh Perendaman (sebelum penjemuran) dalam kering/belah air laut selama 90 menit.

Gulai Remis Pencampuran gonad remis dengan rempah- Ketapang raya rempah dan pemasakan 100 oC selama 20 menit, exhausting 80 oC, 10 menit dan 3 sterilisasi dalam botol kaca pada suhu 121 oC selama 20 menit.

Terasi siap pakai Penjemuran 9 jam dan pengovenan 100 oC Ketapang Raya, 4 selama 50 menit. Sekaroh

Ikan kakap kering Asap cair grade 1 7,5 %, garam 2,5 %, Ketapang Raya, 5 marinasi 24 jam, penjemuran hari. Sekaroh

Ikan lemuru kering Garam 1,5 % dan asam jawa 3,5 %, marinasi Ketapang Raya, 6 30 menit dan penjemuran 2 hari. Sekaroh Ikan petek kering Asam jawa 4,5 % dan garam 4 % Ketapang Raya, 7 Sekaroh Pindang Tongkol Pengukusan dengan air laut pada suhu 100 Sekaroh 8 oC selama 90 menit

(Sumber : Handayani et al. 2018a) a) Teknik hurdle pengolahan perikanan Sekaroh Berdasarkan kondisi wilayah dengan keterbatasan air tawar, teknologi pengolahan yang dapat diterapkan di Sekaroh (Tabel 2) adalah dengan memaksimalkan penggunaan air laut. Pemindangan tongkol tidak hanya dapat menggunakan air tawar, tetapi penggunaan air laut dapat menghasilkan kualitas terbaik dengan pengukusan menggunakan air laut selama 90 menit pada suhu 100oC menghasilkan pindang tongkol dengan mutu terbaik dan daya simpan mencapai 72 jam. Teknik penggunaan air laut dapat diterapkan oleh kelompok masyarakat/nelayan di Sekaroh yang tidak memiliki persediaan air bersih. Cumi-cumi kering dapat diperoleh dengan mutu dan daya simpan lebih lama dengan melakukan perendaman cumi segar dalam air laut selama 90 menit. Perendaman dapat dilakukan baik dengan cumi utuh maupun cumi belah dan mudah dilakukan oleh nelayan selama berlayar sebelum mengeringkan cumi-cuminya. Selain itu perbaikan mutu dan daya simpan cumi-cumi dapat dilakukan dengan menerapkan teknik hurdle pengeringan matahari dan efek rumah kaca. Penggunaan pengering sederhana dapat dibuat masyarakat dengan biaya terjangkau yang akan menghasilkan produk ikan/cumi kering dengan waktu pengeringan lebih singkat dan keamanan mutu produk (kontaminasi mikroba) lebih terjamin sehingga masa simpan akan jauh lebih lama. Gambar contoh alat pengering yang digunakan tertera pada Gambar 1. Konsentrasi asap cair 2.5 % dan lama perendaman 60 menit dapat dilakukan untuk menghasilkan cumi belah dengan mutu dan daya simpan yang lebih baik.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 87

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Alat penjemur sederhana dengan Efek Rumah Kaca untuk UKM Ketapang Raya b) Teknik hurdle pengolahan perikanan Ketapang Raya Teknik hurdle yang dapat diterapkan di Ketapang Raya lebih bervariasi dibandingkan dengan Sekaroh, antara lain dengan melakukan pengaturan konsentrasi kunyit dan asam jawa dapat digunakan untuk menghasilkan ikan pindang bumbu kuning “rumbuk” dengan mutu terbaik dengan daya simpan lebih lama dibanding penjualan tradisional selama ini. Pengaturan konsentrasi pengawet alami dari rempah-rempah yang digunakan menghasilkan mikroba patogen pada level yang aman sesuai standar SNI (Handayani,, Dipokusumo, Werdiningsih, Rahayu dan Sugita, 2018). Perbaikan teknik pengolahan pindang kuning dapat dilakukan dengan cara berikut: penggunaan 6 % kunyit dan 4 % asam jawa yang dapat menghasilkan ikan pindang bumbu kuning dengan mutu terbaik dan daya simpan 2 hari pada suhu kamar dengan mikroba patogen pada level yang aman sesuai standar SNI. Daya simpan pindang dapat diperpanjang sd 14 hari dengan menggunakan kemasan vacuum. Penerapan sterilisasi suhu 121oC selama 20 menit dapat memperpanjang masa simpan pada suhu ruang sampai dengan 60 hari dengan mutu sensory diterima oleh panelis dan tidak ditemukan bakteri patogen seperti Salmonella, Escherichia coli, Vibrio cholerae dan Staphylococcus aureus. Selain pemindangan, Teknik hurdle dengan mengatur suhu oven dapat dilakukan dalam pengovenan terasi siap pakai yang digunakan UKM Samudera, Telok Jor, Keruak dengan mengendalikan suhu 100oC selama 50 menit.

Transfer Teknologi ke Tingkat Kelompok Pengolah Perikanan Pengembangan pengolahan perikanan di tingkat kelompok dilakukan dengan transfer Teknik hurdle dengan menyesuaikan kondisi kelompok binaan. Selain kegiatan pelatihan teknologi pengolahan dengan menerapkan Teknik hurdle berdasarkan Handayani et al. (2018), dilakukan juga kegiatan pengemasan dan pelabelan, koordinasi dengan dinas instansi terkait

88 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

dan pengurusan perijinan. Upaya pengembangan pengolahan perikanan di dua lokasi target sangat mendapat dukungan dari aparat desa setempat. Antara lain, Desa Sekaroh memberikan fasilitas desa sebagai tempat promosi. Transfer teknologi ke UKM Sekaroh memiliki hambatan utama yaitu ketersediaan bahan baku. Bahan baku ikan segar sulit diperoleh di lokasi karena ikan segar sejak dipanen nelayan Sekaroh langsung dikeringkan selama dalam pelayaran bahkan di wilayah perairan NTT. Berbeda halnya dengan lokasi UKM Ketapang Raya, transfer teknologi pengolahan lebih mudah dilakukan karena sebagian anggota kelompok sudah pernah mendapat pelatihan sebelumnya. Sehingga transfer teknologi pengolahan berjalan lebih mudah. Kemampuan adopsi teknologi UKM Ketapang Raya sangat baik yang ditunjukkan dengan tingginya respon dalam Teknik hurdle yang diperkenalkan, disertai dengan kemampuan komunikasi dengan dinas Kesehatan Lombok Timur dalam pengurusan perijinan PiRT beberapa produk yang dimiliki dan yang diperoleh dari Teknik hurdle yang diperkenalkan. Dengan koordinasi yang baik dengan dinas instansi terkait diharapkan akan membangun kelompok pengolahan yang kuat, berkelanjutan dan memiliki peluang pasar yang baik. Gambar 2 hingga Gambar 5 berikut (Handayani et al. 2018b) memperlihatkan beberapa kegiatan dalam pengembangan pengolahan perikanan di Sekaroh dan Ketapang Raya.

(a) (b) Gambar 2. (a) Pengujian sederhana penerimaan sensori produk; (b) Sortasi dan pembersihan ikan sebagai bahan baku (UKM Ketapang Raya)

Gambar 3. Pengenalan cara penggunaan sealer dan pengolahan produk perikanan di UKM Sekaroh

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 89

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

(a) (b) Gambar 4. (a) Penggenalan produk kelompok ke Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lombok Timur; (b) Produk olahan dalam kemasan dan berlabel produk kelompok

Gambar 5. Penguatan dan dukungan keberlanjutan program melalui koordinasi dengan dinas instansi terkait

SIMPULAN Pengembangan produk perikanan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan rumah tangga nelayan. Teknik hurdle yang tepat perlu dilakukan dengan menyesuaikan kondisi masyarakat nelayan. Ketersediaan air tawar akan mempengaruhi teknik hurdle yang lebih mudah dilakukan. Teknik hurdle yang diterapkan di daerah dengan keterbatasan air tawar antara lain dengan memanfaatkan air laut dalam proses pengolahan dan mengutamakan produk-produk kering. Sedangkan pesisir nelayan dengan akses air tawar yang lebih mudah dapat menerapkan berbagai Teknik hurdle dalam pengolahan produk basah/produk dengan kadar air yang lebih tinggi. Transfer teknologi pengolahan perikanan terintegrasi dengan teknik pengemasan/labelling, promosi dan pemasaran, pengurusan perijinan dan koordinasi dengan dinas instansi terkait. Teknik hurdle dalam pengolahan produk perikanan dapat diterapkan oleh nelayan/masyarakat pesisir wilayah lain di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Ristek Dikti RI yang telah membantu pembiayaan dalam penelitian ini melalui Skim Penelitian MP3EI Koridor Perikanan tahun anggaran 2017 dan Penelitian Strategis Nasional Institusi 2018.

90 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

DAFTAR PUSTAKA Bacthiar I, Busilacchi S, Butler J, Syarif H. 2016. Socio economic of characterization of the fisheries in Sekaroh and Poto Tano. Report to EcoRegions Indonesia for the Millenium Challenge Account - Indonesia. Brisbane: CSIRO Ocean and Atmosphere. 41 pp. Barani HM. 2004. Pemikiran Percepatan Pembangunan Perikanan Tangkap Melalui Gerakan Nasional. [diunduh 2018 Nov 1]. Tersedia pada: www.rudyct.com/PPS702- ipb/07134/husni_mb.pdf. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. 2009. Informasi Perikanan Lombok Timur. Lombok Timur: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. Handayani BR, Dipokusumo B, Werdiningsih W. 2017. Pengembangan Usaha Kecil Produk Perikanan untuk Mendukung Sektor Pariwisata NTB dan Meningkatkan Ketahanan Pangan Masyarakat Nelayan Sekaroh dan Tanjung Luar. Laporan Penelitian Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)/Penprinas 2012- 2025, Koridor V Perikanan. Mataram. Handayani BR, Dipokusumo B, Werdiningsih W. 2018a. Inovasi Teknologi Pengolahan Produk Perikanan. Kumpulan Teknologi Tepat Guna. Mataram: Unram Press. Handayani BR, Dipokusumo B, Werdiningsih W. 2018b. Pengembangan Usaha Kecil Produk Perikanan untuk Mendukung Sektor Pariwisata NTB dan Meningkatkan Ketahanan Pangan Masyarakat Nelayan Sekaroh dan Tanjung Luar. Laporan Penelitian (Penelitian Strategis Nasional Institusi). Mataram. Handayani BR, Dipokusumo B, Werdiningsih W, Rahayu T, Sugita DL. 2018. Microbial quality of yellow seasoned “pindang” fish treated with turmeric and tamarind. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 102 012019. Doi:10.1088/1755- 1315/102/1/012019. Handayani BR, Werdiningsih W. 2018. Perbaikan Mutu Produk Perikanan: Studi Kasus Sekaroh dan Tanjung Luar. Dalam Pangan Indonesia Berkualitas (Kumpulan Artikel Pemikiran Anggota PATPI/Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia). Yogyakarta: Interlude. hlm 224-228. Ruchimat T. 2012. Buku Saku Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2012. Jakarta: Direktur Sumber Daya Ikan Indonesia.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 91

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

POTENSI BUBUK ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BIOPRESERVATIF IKAN DAN PRODUK OLAHANNYA (The Potency of Coconut’s Shell Liquid Smoke Powder as Fish’s Biopreservative and Its Product)

Oleh: Satrijo Saloko1*, Elya Herawati2, L. Ahmad Setiawan2, Burhanuddin Sangari Putra2 1 Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram, 2 Alumni Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram *E-mail : [email protected]

ABSTRAK Peran asap cair sebagai biopreservatif pengganti pengasapan tradsional telah diteliti lebih dari 40 tahun karena memiliki beberapa keunggulan antara lain relatif aman bagi kesehatan karena senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon dapat dipisahkan, konsentrasi asap cair yang digunakan dapat dikontrol sehingga kualitas produk akhir lebih seragam, biaya pengasapan menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan cara konvensional, dan spektrum pemanfaatannya cukup luas tidak hanya pada daging dan ikan, tetapi juga pada keju, kacang- kacangan dan produk makanan ringan. Asap cair mempunyai kemampuan sebagai pengawet pangan karena mengandung senyawa antioksidan dan antibakteri, namun asap cair mempunyai keterbatasan dalam handling dan asap cair mudah mengalami perubahan fisikokimia selama penyimpanan, sehingga perlu upaya merubah bentuk wujud cair menjadi bubuk asap (smoke powder). Penelitian ini bertujuan mengapilkasikan bubuk asap pada ikan tuna segar dan beberapa produk olahan ikan yaitu bandeng asap, dendeng belut dan bakso ikan tengiri terhadap masa simpan. Hasil penelitian pada penyimpanan suhu kamar menunjukkan penggunaan bubuk asap 7,5% menghasilkan daya simpan ikan tuna segar selama 48 jam (total mikrobia 5,56 log CFU/g). Pada produk olahan bandeng presto konsentrasi bubuk asap 5,0% memberikan masa simpan selama 2 hari, penggunaan konsentrasi bubuk asap 4,0% pada dendeng belut dan bakso ikan tenggiri masing-masing memberikan masa simpan selama 10 hari dan 3 hari dengan total mikrobia 4,00 log CFU/g.

Kata kunci: bubuk asap, biopreservatif, ikan, produk olahan

ABSTRACT The role of liquid smoke as a biopreservative that substituted the traditional fumigation has been investigated for more than 40 years. It has several advantages, including relatively safe for health because polycyclic aromatic hydrocarbon compounds can be separated, the concentration of liquid smoke used can be controlled so that the final product quality is more uniform, low cost when compared to conventional methods, and the spectrum of utilization is quite extensive not only in meat and fish, but also in cheese, beans and snack products. Liquid smoke has the ability as a food preservative because it contains antioxidant and antibacterial compounds. However, liquid smoke has limitations in handling and easily undergoes physicochemical changes during storage, so it is necessary to change liquid form into smoke powder. This study aims to apply smoke powder to fresh tuna and some processed fish products, namely milkfish smoke, eel jerky and mackerel fish meatballs to the shelf life. The results of the study on room temperature storage showed that the use of 7.5% smoke powder resulted in the storage of fresh tuna for 48 hours (total microbial 5.56 log CFU/g). In processed milkfish

92 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

products, the concentration of 5.0% smoke powder gives a shelf life of 2 days, the use of 4.0% smoke powder concentration in eel jerky and mackerel fish meatballs each provides a shelf life of 10 days and 3 days with a total microbial 4.00 log CFU/g.

Keywords: Smoke powder, biopreservative, fish, fish’s products

PENDAHULUAN Perkembangan penggunaan asap cair dari bahan kayu yang bervariasi telah berhasil digunakan sebagai alternatif metode pengawetan pangan. Menurut Maga (1987) dan Girard (1992), asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni. Asap cair mengandung senyawa fenol, karbonil, dan asam. Ketiga senyawa tersebut secara simultan dapat berperan sebagai antioksidan dan antibakteri serta memberikan pengaruh terhadap warna dan cita rasa khas asap pada produk pangan. Sesuai perkembangan zaman, penggunaan asap cair pada masa sekarang ini dianggap kurang praktis dan mengalami kesulitan dalam distribusi. Asap cair juga mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan, yaitu terjadinya perubahan warna, teroksidasinya senyawa fenol, dan menguapnya senyawa-senyawa volatil (Saloko et al. 2012). Penelitian mengenai asap cair yang bertujuan untuk memudahkan penggunaan dan distribusi serta aplikasinya telah oleh dilakukan Darmadji (2002) yaitu dengan membuat asap cair dari tempurung kelapa menjadi bentuk bubuk dengan menggunakan tepung beras sebagai bahan pembawa dan pengisi. Saloko et al. (2012) juga membuat bubuk asap dengan menggunakan maltodekstrin sebagai pengisi (filler). Selanjutnya bubuk asap tersebut diaplikasikan sebagai bumbu masakan. Pengembangan teknologi enkapsulasi mendorong untuk melakukan suatu inovasi teknologi yang dapat melindungi senyawa bioaktif asap cair dari kerusakan. Maltodekstrin dan kitosan digunakan sebagai enkapsulan, kemudian dilakukan pengeringan menggunakan teknik spray drying sehingga dihasilkan bubuk asap (Saloko et al. 2013). Bubuk asap cair dengan asap cair memiliki kesamaan fungsi dalam menghambat aktivitas mikroba pada produk pangan (Desniorita dan Maryam 2015). Produk asap cair berbentuk bubuk lebih dikenal dengan ”smoke powder” telah dipasarkan di Prancis sebagai perisa alami (bioflavour) yang dicampurkan dengan bumbu rempah-rempah lain dengan media pembawa gum arab pada konsentrasi 0,2 – 5,0%. Produk bubuk asap di Amerika Serikat asap dikenal dengan nama ”Natural Hickory Smoke & Maltodextrin”. Aplikasi asap cair ke produk pangan telah banyak dilakukan guna mempertahankan masa simpan dan menjamin kualitas mutu produk seperti bakso, sate, ayam bakar, dendeng dan lain sebagainya. Namun, aplikasi bubuk asap saat ini telah dikembangkan ke beberapa produk makanan antara lain pada saos (Desniorita dan Maryam 2015), Spongs Cake (Maryam 2015), daging sapi bali dan bakso daging kerbau (Abustam et al. 2015), sedangkan aplikasi penggunaan bubuk asap pada produk ikan dan daging masih belum banyak dilakukan. Selain dapat menghambat pertumbuhan bakteri, penggunaan bubuk asap cair juga dapat mempertahankan kualitas produk pangan. Mutu dan daya awet ikan asap ditentukan dari konsentrasi liquid smoke powder yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi, maka semakin banyak komponen asap yang melekat. Sehingga hal tersebut mengakibatkan bertambahnya daya awet ikan asap karena fungsi komponen asap akan meningkat (Swastawati et al. 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen senyawa bioaktif bubuk asap cair dan potensinya sebagai pengawet pangan alami pada ikan segar dan produk olahannya

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 93

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan adalah tempurung kelapa, ikan tuna segar, bandeng presto asap, belut sawah (Monopterusalbus), ikan tenggiri, air, es batu, bumbu-bumbu (meliputi: ketumbar, bawang putih, gula merah, kayu manis, jahe, merica, garam dan lengkuas), Maltodekstrin dengan dekstro ekuivalen (DE) 10,8% berasal dari Grain Processing Corp. (Iowa, USA), medium Plate Count Agar (PCA), Na2CO3, reagen folinciocalteau, CuSO4, K2SO4, batu didih H2SO4 pekat, aquades, alcohol 70%, NaOH 40%, H3B043%, H2SO40,1 N dan kemasan plastik Low Density Polyethylene (LDPE) dengan ketebalan 0,08 mm. Sedangkan alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: cabinet dryer, homogenizer (4000 rpm), GC-MS (Shimadzu QP2010S, Japan), inkubator (Sanyo MIR-262), mikropipet (Smart), colony counter (Stuart scientific), dan autoclave (Eyela MAC-5100), cool box plastik, es batu, gelas ukur, pipet volume, gelas piala, pisau anti karat, talenan, nampan, baskom, timbangan, pipet tetes, tabung reaksi, cawan petri, botol timbang, erlenmeyer, alat titrasi, timbangan analitik, labu kjedhal, kertas label, sarung tangan, sarung tangan, masker,desikator, alat tulis dan peralatan laboratorium lainnya.

Tahapan Penelitian Sortasi tempurung kelapa dilakukan sebelum pembuatan asap cair di Desa Pohgading Timur Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur, dan analisis tempurung kelapa dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan FATEPA UNRAM. Proses produksi asap cair melalui tahap pirolisis menggunakan suhu 400oC melalui proses kondensasi hingga tidak terdapat lagi asap cair yang menetes. Pemisahan asap cair dari tar dilakukan melalui pengendapan selama 24 jam. Crude asap cair yang diperoleh didestilasi menggunakan distilator pada suhu 98oC±2oC. Distilat asap cair yang dihasilkan dilakukan proses distilasi ulang pada suhu 98oC±2oC, sehingga diperoleh redistilat asap cair Grade 1 (untuk selanjutnya digunakan istilah “asap cair” saja). Pembuatan asap cair dibuat bentuk bubuk asap dilakukan dengan tahapan proses penimbangan, homogenisasi, penuangan keloyang, pengeringan menggunakan cabinet dryer, dan penghalusan. Bubuk asap yang diperoleh disimpan dalam botol gelap tertutup rapat untuk menghindari proses oksidasi hingga siap diaplikasikan ke produk ikan segar maupun produk olahan ikan seperti bandeng presto asap, dendeng belut dan bakso ikan tenggiri.

Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di laboratorium menggunakan Rancangan Diskriptif yaitu menganalisa kandungan tempurung kelapa meliputi kadar air dan kadar abu (AOAC 2008), selulosa, hemiselulosa dan lignin (Datta 1981), Analisa asap cair dan bubuk asap dilakukan terhadap kandungan terhadap kadar total fenol (Senter 1989), total asam, pH (titrasi, AOAC 2008), karbonil (Lappin dan Clark 1951), kadar benzo(a)pyrene (Tonogai et al. 1982), total padatan (hand refractometer, Atago N1), berat jenis (SNI 06-2388-1998), profil komponen volatil asap cair menggunakan GC-MS dan kromatogram diinterpretasi komponen volatilnya dengan menggabungkan hasil analisis spektrometer massa untuk setiap sampelnya dengan data base komputer Wiley7Nist05 (Guillen et al. 1995). Dibandingkan kandungan aktivitas antioksidan asap cair dan bubuk asap (Yen dan Chen 1995). Uji aktivitas antibakteri bubuk asap dilakukan pada konsentrasi 1% dengan terlebih dahulu menginokulasikan bakteri patogen dan bakteri pembusuk Eschericia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas

94 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

fluoroscens dan Bacillus subsilis sebanyak 106 CFU/ml (Denyer dan Hugo 1991; Garriga et al. 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Kimia Tempurung Kelapa Hasil analisis komposisi kimia tempurung kelapa varietas dalam yang digunakan untuk penelitian ini meliputi kandungan hemiselulosa, selulosa, lignin, kadar air dan kadar abu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tempurung kelapa Kandungan (%) Komponen Hasil Penelitian Kadir et al. (2012) Hemiselulosa 34,39 28,61 Selulosa 28,77 24,44 Lignin 12,25 36,50 Kadar air 12,75 8,84 Kadar abu 4,41 1,49

Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi kimia tempurung kelapa terdiri atas hemiselulosa 34,39%; selulosa 28,77%; lignin 12,25%; kadar air 12,75% dan kadar abu 4,41%. Komposisi tempurung kelapa sebagian besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Dekomposisi termal dari selulosa menghasilkan anhidroglukosa, karbonil dan furan. Dekomposisi hemiselulosa mirip selulosa tetapi menghasilkan asam asetat dan karbondioksida. Pirolisis lignin sebagian menghasilkan komponen fenol (Miler dan Sikorski 1990; Jangchud et al. 2007; Rodrigues dan Pinto 2007; Gratuito et al. 2008). Oleh karena itu degradasi termal akan menghasilkan campuran komponen yang kompleks yang secara keseluruhan memberikan karakteristik organoleptik, antioksidatif dan sifat antibakteri dari asap cair yang dihasilkan (Guillen dan Manzanos 1999; Milly et al. 2005; Wei et al. 2010). Sebagai pembanding komposisi kimia tempurung, digunakan penelitian Kadir et al. (2012) pada tempurung kelapa hibrida yang memberikan hasil berbeda terutama untuk kadar lignin.

Karakteristik Kimia Asap Cair Distilat asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis dilakukan distilasi sebanyak 2 kali untuk mengeliminasi sisa-sisa tar yang ada pada asap cair sehingga asap cair lebih murni, sehingga dihasilkan asap cair yang jernih berwarna putih kekuningan. Hasil analisis kandungan benzopyrene, fenol, karbonil, total asam, pH, total padatan terlarut dan berat jenis asap cair seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik asap cair tempurung kelapa Kandungan Komponen Hasil Penelitian Kadir et al. (2012) Benzo(a)pyrene (ppm) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Fenol (%) 2,08 4,71 Karbonil (%) 10,83 13,19 Total Asam (% asam asetat) 9,97 12,57 pH 2,54 2,61

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 95

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Kandungan Komponen Hasil Penelitian Kadir et al. (2012) Total Padatan Terlarut (%) 8,40 - Berat jenis (g/ml) 0,98 1,04

Tabel 2 menunjukkan bahwa asap cair yang digunakan sebagai bahan baku penelitian ini mempunyai berat jenis 0,98 g/ml yang mendekati dengan berat jenis air (1,0 g/ml). Namun pengamatan berat jenis asap cair penelitian ini lebih kecil dari penelitian Kadir et al. (2012) pada asap cair kelapa hibrida 1,04 g/ml dan standar wood vinegar Jepang yang bernilai 1,001 g/ml sampai 1,005 g/ml. Nurhayati (2000) menggunakan bahan kayu mengium dan tusam menghasilkan berat jenis asap cair antara 1,019 g/ml sampai 1,028 g/ml. Kadar komponen benzo(a)pyrene asap cair tidak terdeteksi dengan GC-MS yang menggunakan senyawa standar benzo(a)pyrene pada konsentrasi 40, 60 dan 80 ppm. Diduga keberadaan senyawa benzo(a)pyrene asap cair berada pada level part per billion (ppb) sedangkan kepekaan alat GC-MS hanya mampu mendeteksi pada kadar part per million (ppm). SNI 01-7152-2006 menetapkan batas maksimum kadar di dalam produk pangan tidak lebih dari 0,03 ppb (BSN, 2006). Penelitian Kadir et al. (2012) pada asap cair tempurung kelapa hibrida juga menghasilkan kadar benzo(a)pyrene tidak terdeteksi dengan menggunakan alat dan metode yang sama. Asap cair mengandung total fenol 2,08%; karbonil 10,83%; total asam 9,97% (sebagai asam asetat); pH 2,54 dan total padatan terlarut 8,45%. Montazeri et al. (2013) menyatakan bahwa beberapa asap cair komersial yang telah dimurnikan mempunyai karakteristik kimia yaitu fenol 0,2-2,9%; karbonil 2,6-4,6%; total asam 0,7-10,3% dan pH 2,3-5,7. Halim et al. (2007) meneliti pada redistilat asap cair cangkang sawit yaitu mengandung fenol 3,86%; karbonil 12,48% dan asam 12,41%. Achmadi et al. (2013) memberikan hasil fenol 2,6%; asam organik 9,14% dan pH 3,2. Menurut US Patent 5637339, 1997-2015 karakteristik refine asap cair meliputi fenol 1,4-3,0%; pH 2,3-2,5 dan total asam 3-18% (Moller, 1997).

Komponen Volatil Asap Cair Komponen volatil asap cair tempurung kelapa dianalisis menggunakan GC-MS disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kromatogram Asap Cair

Hasil analisis menunjukkan bahwa asap cair yang digunakan dalam proses nanoenkapsulasi terdapat 17 puncak dan teridentifikasi mulai menit ke-2,67 hingga menit ke- 21,93. Hasil interpretasi kromatogram diasumsikan terdapat 3 kelompok komponen yang

96 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

teridentifikasi (Data tidak ditampilkan). Kelompok pertama yaitu asam, alkohol dan derivatnya terdiri dari 6 senyawa dan merupakan kelompok terbesar yaitu dengan peak area 64,23%. Secara keseluruhan, kelompok ini didominasi oleh Acetic acid (57,70%); Propionic acid (3,14%) dan Methanol (2,14%). Kelompok kedua yaitu karbonil dan derivatnya dengan peak area 7,53%. Kelompok ini mempunyai peak area yang paling rendah dan mempunyai 6 senyawa yaitu 1,Hydroxy-2- propanone (2,34%); 1-Hydroxy-2-butanone (2,13%) dan 2-Furancarboxa-ldehyde (1,68%). Guillen dan Ibargoitia (1998) dan Guillen et al. (2000) menyatakan bahwa komponen- komponen tersebut merupakan hasil dari degradasi termal selulosa dan hemiselulosa. Komponen-komponen tersebut juga terdapat pada asap cair kayu Vitis vinivera L. (Guillen dan Ibargoitia 1996) dan terdapat juga pada asap komersial yang digunakan sebagai pemberi aroma (Guillen dan Manzanos 2002). Kelompok ketiga adalah fenol dan derivatnya dengan peak area sebesar 28,25% yang didominasi oleh Phenol (24,03%) dan 2-Methoxyphenol (2,68%); 4-Ethy-2-methoxyphenol (0,32%); 2-Ethylphenol (0,74%); 3-Methylphenol (0,48%). Teridentifika-sinya senyawa 2- Methoxyphenol mengindikasikan bahwa kayu keras digunakan sebagai bahan baku pemembuatan asap cair. Kayu keras termasuk juga tempurung kelapa banyak digunakan untuk memproduksi asap cair karena komposisi kayu keras terdiri dari lignin dan selulosa memberikan sifat organoleptik yang baik (Soldera et al. 2008). Budijanto et al. (2008) menganalisis asap cair tempurung kelapa menghasilkan 7 komponen utama yaitu keton, furan, fenol, guaiakol, siringol dan alkil aril eter. Achmadi et al. (2013) meneliti pada asap cair cangkang sawit mengandung 3 komponen utama yaitu asam asetat, fenol dan derivatnya. Komponen-komponen dalam kelompok fenol ini juga terdeteksi pada asap cair komersial (Guillen et al. 1995; Guillen dan Ibargoitia 1998) dan pada asap cair dari kayu Salvia lavandulifolia (Guillen dan Manzanos 2002).

Komponen Volatil Bubuk Asap Cair Jumlah senyawa volatil yang teridentifikasi pada bubuk asap cair lebih sedikit dibandingkan pada asap cair. Hal ini dikarenakan adanya panas selama proses pengeringan menyebabkan senyawa-senyawa volatil yang titik didihnya rendah akan ikut teruapkan bersama air. Gambar 2, merupakan hasil kromatogram senyawa volatil bubuk asap yang menunjukkan hasil pembacaan kromatogram dari profil GC-MS, untuk senyawa volatil nanokapsul asap cair yang terdeteksi diduga didominasi oleh Phenol (76,17%); 2-Metoxyphenol (8,43%) dan Acetic acid (7,70%). Secara keseluruhan, senyawa volatil bubuk asap cair mengalami peningkatan peak area dibandingkan dispersi asap cair kecuali asam asetat, dan ini menunjukkan bahwa senyawa- senyawa volatil bubuk asap cair lebih spesifik akibat panas selama proses pengeringan menggunakan cabinet dryer.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 97

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 2. Kromatogram Bubuk Asap Cair

Aktivitas Antioksidan Bubuk Asap Cair Aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai aktivitas penangkapan radikal dari formulasi perlakuan yang diukur menggunakan metode DPPH (2,2,-diphenyl-1-picrylhydrazyl). Gambar 3 menunjukkan aktivitas penangkapan yang semakin meningkat karena faktor peningkatan suhu selama pengeringan menggunakan cabinet dryer. Aktivitas penangkapan radikal tertinggi pada bubuk asap cair (F2) sebesar 48,12% dibandingkan asap cair (F1) sebesar 7,51%. Aktivitas penangkapan radikal tinggi pada F2 disebabkan adanya peran gugus hidoksil dari senyawa fenol asap cair. Aktivitas antioksidan bubuk asap berkaitan dengan kandungan senyawa fenol, dimana aktifitas antioksidan akan meningkat dengan meningkatnya total fenol (Deladino et al. 2008).

Gambar 3. Aktivitas antioksidan penangkap radikal DPPH Asap Cair (F1) dan Smoke Powder (F2)

98 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Aktivitas Antibakteri Tabel 3 menunjukkan hasil pengujian aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan P. fluoresence (mewakili bakteri Gram negative) dan B. subtilis dan S. aureus (mewakili bakteri Gram positive) dengan menggunakan metode difusi agar. Metode ini didasarkan pada pengukuran zona jernih yang disebabkan oleh penghabatan pertumbuhan bakteri pada media yang mengandung bubuk asap cair sebagai agen antibakteri bila kontak dengan kultur bakteri (Weerakkody et al. 2010).

Tabel 3. Aktivitas antibakteri bubuk asap (1%) yang ditunjukkan dengan zona penghambatan (mm) terhadap mikrobia (106 CFU/ml) Perlakuan B. subtilis E. coli P. fuorescens S. aureus Asam Asetat 0,00 ± 0,00 a 0,00 ± 0,00 a 0,00 ± 0,00 a 0,00 ± 0,00 a Bubuk Asap 12,00 ± 0,00 b 13,00 ± 0,01 b 17,00 ± 0,01 b 0,00 ± 0,00 a a,b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p < 0.05).

Sebagai pembanding digunakan asam asetat, hasilnya menunjukkan tidak terdapat aktivitas antibakteri untuk semua jenis bakteri yang diujikan, dan hasil ini dapat dilihat juga dari aktivitas antibakteri yang menunjukkan bahwa tidak terdapat zona jernih sebagai indikasi adanya aktivitas antibakteri (Gambar tidak ditampilkan). Perlakuan Bubuk asap terhadap S. aureus menunjukkan tidak terdapat aktivitas antibakteri, namun paling efektif untuk penghambatan bakteri Gram negatif dengan zona penghambatan untuk E. coli sebesar 13 mm dan untuk P. fluoresence sebesar 17 mm dibandingkan dengan bakteri Gram positif yaitu B. subtilis sebesar 12 mm. Achmadi et al. (2013) menyebutkan adanya aktivitas penghambatan asap cair cangkang sawit yang memberikan zona penghambatan 10–20 mm terhadap bakteri patogen. Halim et al. (2006) menggunakan asap cair cangkang sawit dapat menghambat bakteri patogen pada konsentrasi 0,6% - 0,8%. Adanya aktivitas antibakteri tersebut dikarenakan kandungan komponen fenol dan asam- asam organik yang terdapat dalam bubuk asap cair. Pellissari et el. (2009) menyebutkan bahwa fenol asap cari akan lebih efektif menghambat bakteri patogen khususnya bakteri Gram negatif dari pada bakteri Gram positif. Adanya ikatan terapeptida pada bakteri Gram positif yaitu mengandung L-alanil-D-isoglutaminil-L-lisil-D-alanin dan jembatan interpeptida dari glisin akan menghasilkan struktur dinding sel yang kuat dan tahan terhadap kerusakan.

Aplikasi Bubuk Asap Cair pada Ikan dan Produk Olahan : Total Plate Count (TPC) dan Masa Simpan Analisis Total Plate Count (TPC) dan masa simpan ikan tuna segar dan produk olahan yang diberi bubuk asap cair pada berbagai konsentrasi disajikan pada Tabel 4. Total mikrobia daging segar ikan tuna giling pada kontrol sebelum penyimpanan menunjukkan nilai 4,72 log CFU/g, yang mengindikasikan bahwa ikan tuna masih segar dan layak untuk dikonsumsi. Namun, setelah 12 jam penyimpanan, terjadi kenaikan total mikrobia yang cukup signifikan sebesar 2 log cycle yaitu 6,81 log CFU/g (Gambar tidak ditampilkan). Hal ini menunjukkan bahwa adanya aktivitas mikirobia pada daging ikan sudah mengarah pada kerusakan (spoilage) dan mengindikasikan sudah mulai ditolak konsumen. Secara mikrobiologis, ambang batas ikan yang siap dikonsumsi tidak melebihi 6,00 log CFU/g (ICMSF, 1986). Total mikrobia bakteri dari kontrol setelah 48 jam penyimpanan pada suhu kamar sangat tinggi yaitu 10,69 log CFU/g dan menunjukkan adanya kerusakan pada daging ikan dengan timbulnya bau busuk.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 99

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Tabel 4. Total Mikrobia dan Masa Simpan Produk Ikan Segar dan Olahannya Total Mikrobia Masa Simpan Produk (Konsentrasi) (Log CFU/g) (Hari) Ikan Tuna Segar (7,5%) 5,56 2 Bandeng presto (5%) 5,24 2 Dendeng Belut (4%) 4,00 10 Bakso Ikan Tengiri (4%) 4,00 3

Efek penghambatan pertumbuhan mikrobia pada konsentrasi 7,5% masih terlihat pada 24 jam penyimpanan untuk perlakuan bubuk asap memberikan total mikrobia sebesar 5,56 log CFU/g selama penyimpanan 48 jam yang mengindikasikan bahwa ikan masih layak untuk dikonsumsi. Komponen asam organik dan senyawa fenol yang terdapat dalam bubuk asap asap cair turut berperan dalam kesegaran ikan. Beberapa peneliti mengamati peran asap cair tempurung kelapa yang dapat menghambat mikrobia sehingga berpotensi sebagai pengawet pada ikan (Tamaela 2003; Yanti dan Rochima 2009; Zuraida et al. 2011). Davidson dan Branen (1981) menyatakan bahwa mekanisme aktivitas senyawa fenol terhadap aktivitas antimikrobia yaitu dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran dan mengakibatkan hilangnya isi sel, inaktivasi enzim-enzim esensial, dan perusakan atau inaktivasi fungsional material genetik. Bagian dari senyawa-senyawa fenol yang menyebabkan aktivitas antimikrobia adalah gugus hidroksil bebasnya (Faith et al. 1992; Sunen 1998; Kjallstrand dan Petersson 2001). Aplikasi bubuk asap pada produk olahan bandeng presto, dendeng belut dan bakso ikan tenggiri menunjukkan bahwa penambahan bubuk asap antara 4% - 5% masih memberian kisaran total mikrobia masing-masing berkisar 104 - 105 CFU/g selama penyimpanan berturut- turut 2, 10 dan 3 hari. Hal ini disebabkan karena penambahan konsentrasi bubuk asap 4% dapat mengurangi pertumbuhan total mikroba pada dendeng belut asap, terdapat senyawa fenol yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Silva dan Junior (2010), mekanisme kerja senyawa antibakteri memang bervariasi dan kompleks, selain rusaknya dinding sel bakteri, kemampuan senyawa fenol untuk mendenaturasi protein juga dapat menjadi penyebab matinya sel sehingga terjadi lisis. Sebagian struktur membran sitoplasma bakteri mengandung protein dan lemak. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel. Menyebabkan terjadinya denaturasi protein dan menghambat kerja enzim di dalam sel dan mengakibatkan sel mati. Dengan demikian kerusakan pangan disebabkan oleh mikroorganisme dapat dihambat sehingga meningkatkan umur simpan produk pangan.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka secara umum dapat disimpulkan bahwa bubuk asap cair tempurung kelapa dapat menghasilkan karakteristik yang dapat digunakan sebagai pengawet pangan alami. Bubuk asap cair yang dihasilkan berwujud bubuk berwarna putih sedikit kekuningan dan mengandung komponen senyawa-senyawa volatil lebih spesifik dibandingkan bentuk asap cair, serta mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Penggunaan bubuk asap cair untuk pengawetan pangan mampu menghambat aktivitas bakteri Gram negatif. Konsentrasi bubuk asap antara 4 - 7,5% menghasilkan kandungan total mikrobia di bawah 6,0 log CFU/g baik pada ikan segar maupun produk olahannya.

100 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

DAFTAR PUSTAKA Abustam E, Said MI, Yusuf M, Ali HM. 2015. The influence of the types of smoke powder and storage duration on sensory quality of Balinese beef and buffalo meatballs. World Academy of Science, Engineering and Technology. International Journal of Nutrition and Food Sciences. 2(12): 1-5. Achmadi SS, Mubarik NR, Nursyamsi R, Septiaji P. 2013. Characterization of redistilled liquid smoke of oil-palm shells and its application as fish preservatives. Journal of Applied Sciences. 13(3): 401-408. AOAC 2008. Official methods of analysis of AOAC International. 16th ed. AOAC International. Gaithersburg, Maryland. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia: Bahan Tambahan Pangan – Persyaratan Perisa dan Penggunaan Dalam Produk Pangan. SNI 01-7152-2006. Jakarta: BSN. Budijanto S, Hasbullah R, Prabawati S, Setyadjit, Sukarno, Zuraida I. 2008. Identification and safety test on liquid smoke made from coconut shell for food product. Indonesian Journal of Agricultural Postharvest Research. 5(1): 32-40. Cadwallader KR. 2007. Wood Smoke Flavor. In Handbook of meat, poultry and seafood quality. Nollet LML (Ed.). Ames, IA: Blackwell Publishing. pp. 201–210. Darmadji P. 2002. Optimation of liquid smoke purification by redistilation method. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13(3): 267-271. Datta R. 1981. Acidogenic fermentation of lignocellulosa-acid yield and commertion of component. Biotechnology and Bioengineering. 23(9): 2167-2170. Davidson PM, Branen AL. 1981. Antimicrobial activity of non halogenated phenolic compound. Journal of Food Science. 44(8): 623-632. Deladino L, Anbinder PS, Navarro AS, Martino MN. 2008. Encapsulation of natural antioxidants extracted from Ilex paraguariensis. Carbohydrate Polymers. 71(1):126–134. Denyer SP, Hugo WB. 1991. Mechanism of Action Chemical Biocides. Oxford: Black Well Scientific Publication. Desniorita, Maryam. 2015. Aplikasi bubuk asap cair pada masa simpan saos. International Jurnal On Advanced Science Engineering Information Technology. 5(6): 457-459. Faith NG, Yousef AE, Luchansky JB. 1992. Inhibition of Listeria monocytogenes by liquid smoke and isoeugenol, a phenolic component found in smoke. Journal of Food Safety. 12(4): 303-314. Garriga JB, Huger M, Aymerich MT, Monfort JM. 1993. Activity of Lactobacilli from fermented sausage. Journal of Applied Bacteriology. 75(2): 142-148. Girard JP. 1992. Technology Of Meat And Meat Products. New York: Ellis Horwood. Gratuito MKB, Panyathanmaporn T, Chumnanklang RA, Sirinuntawittaya N, Dutta A. 2008. Production of activated carbon from coconut shell: Optimization using response surface methodology. Bioresource Technology. 99(1): 4887-4895. Guillen MD, Manzanos MJ. 1999. Smoke and liquid smoke. Study of an aqueous smoke flavouring from the aromatic plant Thymus vulgaris L. Journal of Science and Food Agriculture. 79(10): 1267–1274. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1996. Volatile components of aqueous liquid smokes Vitis vinifera L shoots and Fagus sylvatica L. Wood. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 72(1): 104–110. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1998. New components with potential antioxidant and organoleptic properties, detected for the first time in liquid smoke flavoring preparations. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 46(4): 1276-1285.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 101

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Guillen MD, Ibargoitia ML. 1999. Influence of the moisture content on the composition of the liquid smoke produced in the pyrolysis process of Fagus sylvatica L. wood. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 47(10): 4126–4136. Guillen MD, Manzanos MJ. 2002. Study of the volatile composition of an aqueous oak smoke preparation. Food Chemistry. 79(3): 283-292. Guillen MD, Manzanos MJ, Zabala L. 1995. Study of a commercial liquid smoke flavoring by means of gas chromatography/mass spectrometry and Fourier transform infrared spectroscopy. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 43(2): 463–468. Guillen MD, Sopolena P, Partearroyo MA. 2000. Determination of polycyclic aromatic hydrocarbons in commercial liquid smoke flavorings of different compositions by gas chromatography-mass spectrometry. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 48(2): 126–131. Halim M, Darmadji P, Indarti R. 2006. Aktivitas biopreservatif asap cair cangkang sawit dalam menghambat bakteri patogen dan pembusuk. Agrosains. 19: 67-79. Halim M, Darmadji P, Indarti, R. 2007. Fraksinasi dan identifikasi senyawa volatil asap cair cangkang sawit. Agritech. 25(3): 117-123. ICMSF. 1986. Microorganisms In Foods 2 Sampling For Microbiological Analysis: Principles and Specific Applications, 2nd Ed. International Committee on Microbiological Specifications for Food. Toronto: University of Toronto Press. pp 181-196. Indiarto R, Darmadji P. 2010. Tepung asap cangkang kelapa : Kajian sifat kimia dan keamanan pangan. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VII. Manando. Jangchud K, Puchakawimol P, Jangchud A. 2007. Quality changes of burnt aromatic coconut during 28-days storage in different packages. LWT-Food Science and Technology. 40(7): 1232-1239. Kadir S, Darmadji P, Hidayat C, Supriyadi. 2012. Profil aroma asap cair tempurung kelapa dari beberapa suhu menggunakan distilasi bertingkat. Agritech. 32(1): 105-109. Kjällstrand J, Petersson G. 2001. Phenolic antioxidants in alder smoke during industrial meat curing. Food Chemistry. 74(1): 391-395. Maga J. 1987. Smoke and Food Processing. Florida: CRC Press Inc. Maryam, 2015. Applications of liquid smoke powder as flavor and food preservative (Case study: Sponge cake). International Jurnal on Advance Science Engineering Information Technology. 5(2): 79-82. Miler KBM, Sikorski ZE. 1990. Smoking In Seafood: Resources, Nutritional Composition, and Preservation. Sikorski ZE (Ed.). Boca Raton, FL: CRC Press. pp. 163–180. Milly PJ, Toledo RT, Ramakrishnan S. 2005. Determination of minimum inhibitory concentrations of liquid smoke fractions. Journal of Food Science. 70(1): 12-17. Moeller PW. 1997. Method of making a tar-depleted liquid smoke. US Patent 5637339 Description. Montazeri N, Oliveira ACM, Himelbloom BH, Leigh MB, Crapo CA. 2013. Chemical characterization of commercial liquid smoke products. Food Science and Nutrition. 1(1): 102-115. Nurhayati T. 2000. Produksi arang dan destilat kayu mangium dan tusam dari tungku kubah. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 18(3): 137-151. Pellissari F, Grossman MVE, Yamashita F, Pineda EA. 2009. Antimicrobial, mechanical and barrier properties of cassava starch-chitosan films incorporated with oregano essential oil. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 57(16): 7499–7504. Saloko S, Darmadji P, Setiaji B, Pranoto Y. 2012. Analysis structure of spray-dried coconut shell liquid smoke powder. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23(2): 173-179.

102 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Saloko S, Darmadji P, Setiaji B, Pranoto Y. Anal AK. 2013. Encapsulation of coconut shell liquid smoke in Chitosan-Maltodextrin based nanoparticles. International Food Research Journal. 20(3): 1269-1276. Senter SD, Robertson JA, Meredith FI. 1989. Phenolic compound of the mesocarp of cresthauen peaches during storage and ripening. Journal of Food Science. 54(5): 1259-1268. Silva NCC, Junior F. 2010. Biologycal properties of medicinal plants a review of their antimicrobial activity. Journal of Venomous and Toxins including Tropical Diseases. 16(3) 403-413. Sunen E. 1998. Minimum inhibitory concentration of smoke wood extracts against spoilage and pathogenic micro-organisms associated with foods. Letter of Applied Microbiology. 27(1):45-48. Swastawati F, Sumardianto, Indiarti R.. 2006. Perbandingan kualitas ikan mayung asap menggunakan liquid smoke kayu pinus dengan konsentrasi berbeda. Jurnal Saintek Perikanan. 2(1): 29-39. Tamaela P. 2003. The antioxidant effect of coconut shell liquid smoke to inhibit lipid oxidation on smoked skipjack (Katsuwonus pelamis) steak during storage. Ichthyos. 2: 59-62. Tonogai Y, Ogawa S, Toyoda M, Ito Y, Iwaida M. 1982. Rapid flourometric determination of Benzo(a)pyrene in food. Journal of Food Protection. 45(2): 139–142. Weerakkody NS, Caffin N, Turner MS, Dykes GA. 2010. In vitro anti microbial activity of less-utilized spice and herb extracts against selected food-bornebacteria. Food Control. 21(10): 1408–1414. Wei Q, Ma XH, Dong JE. 2010. Preparation, chemical constituents and antimicrobial activity of pyroligneous acids from walnut tree branches. Journal Analytic Applied Pyrolysis. 87(1): 24–28. Yanti AR, Rochima E. 2009. The effect of drying temperature on chemical characteristics of liquid smoked Clarias gariepinus fillet at room temperature. Jurnal Bionatura. 11: 1-36. Yen G, Chen H. 1995. Antioxidant activity of various tea extracts in relation to their antimut agenicity. Journal of Agriculture Food and Chemistry. 43(1): 27-32. Zuraida I, Sukarno, Budijanto S. 2011. Antibacterial activity of coconut shell liquid smoke (CS- LS) and its application on fish ball preservation. International Food Research Journal. 18(1): 405-410.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 103

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

YIELD-PER-RECRUIT MODELING AS BIOLOGICAL REFERENCE POINTS TO PROVIDE FISHERIES MANAGEMENT OF LEOPARD CORAL GROUPER (PLECTROPOMUSLEOPARDUS) IN SALEH BAY, WEST NUSA TENGGARA

Oleh: Siska Agustina1*, Anthony Sisco Panggabean2, Muhammad Natsir3, Heidi Retroningtyas1, Irfan Yulianto1,4 1 Wildlife Conservation Society – Indonesia Program. JalanTampomas No.35, Babakan, Bogor Tengah, Bantarjati, Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 2 Research Institute for Marine Fisheries, Indonesia Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Jl. Raya Bogor No.02, NanggewerMekar, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 3 Center for Fisheries Research, Indonesia Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Jl. PasirPutih II, AncolTimur, Jakarta, Indonesia. 4 Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia. * Email: [email protected]

ABSTRACT Leopard coral grouper (Plectropomusleopardus) is an important fisheries commodity in Saleh Bay, both ecologically and economically. Continuous exploitation of this species has caused population collapses in some waters due to high fishing pressure. Therefore, it is very important to estimate its population stock. Yield per recruit models are often used to evaluate population stock and estimate biological reference point. We estimated life-history parameters using length-based stock assessment, while stock size was estimated by virtual population analysis (VPA), and finally, prediction models was estimated using Beverton & Holt’s yield per recruit model. We used the following variables: growth parameters, fishing mortality, length at first capture, and age at 50% recruitment into the fishery. From these variables we found that the Fcurrent (0.26) is higher than the target reference point (FMSY= 0.24), which confirmed the indication of slight increased exploitation rate (E=0.62). It is shown that the Plectropomusleopardus was overexploited with spawner biomass-per-recruit at 20.6% of pristine levels. The regulation measures to correct the exploitation pattern and to reduce fishing mortality smaller than FMSY including limiting the catch size and control on fishing gear by limiting fishing effort.

Keywords: biological parameters, stock, virtual population analysis (VPA)

INTRODUCTION The leopard coral grouper, Plectropomusleopardus(Lacepède, 1802), is a member of the family Epinephelidae (grouper). This speciesis commonly found throughout its range and is an important component of the live reef food fish andoccurs in the western Pacific from southern Japan to northern Australia and eastwards to the Caroline Islands and Fiji (Craig et al. 2011). Grouper are generally long-lived with low natural mortality rates (Ferreira and Russ 1994; Grandcourt et al. 2005). Leopard coral grouper (locally known as kerapusunumerah) are a major component of fishing in Indonesia, and they have an extremely high market value. These fish is heavily fished throughout its range mainly by hook and line (hand line and trolling) and speargun, but also occasionally by fish trap and in some areas of Indonesia with cyanide. West Nusa Tenggara (NTB) as one of the most important site for groupers fisheries nationwide. The production of groupers ranks third from the total fisheries production in NTB

104 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Province and is one of the top ten contributors at the national level (KKP 2015). Considering that grouper and snapper are ecologically and economically important,undertaking sustainable fisheries for groupers and snappers is of paramount importance fortheir continuous supply for small-scale fishers. The rapid provision of management advice is a common requirement in developing countries, where the development of the fishery often proceeds stockassessments. However, the choice of suitable assessment methods is often constrained by the lack of directed catch and effort data, length- or age-based catchdata and other biological data pertinent to the application of age-based stock assessment models (Quinn and Deriso, 1999). Per-recruit analysis is an alternative method thatincludes biological realism within a data limited situation.

MATERIALS AND METHODOLOGY The leopard coral grouper samples used from fish landing monitoring were collected by monthly from Saleh Bay, West Nusa Tenggara. There are five landing site, i.e. Labuhan Kuris village, LabuhanJambu village, LabuhanSangoro village, Soro Village, and Labuhan Sumbawa village. The length data were recorded every day, while data sampling was carries out 7-15 days each month in April 2016 to March 2017. A total of 1159 fish representing a wide range of total lengths (19-67 cm) were collected. These data were previously used by Agustina et al. (2016) to estimate von Bertalanffy growth parameters, mortality rate, age at 50% recruitment into the fishery, length at 50% capture, and 75% capture (Table 1).

Table 1. Biological parameters of leopard coralgrouper in the water around Saleh Bay estimated by Agustina et al. (2016) Parameter value L∞ (asymptotic length) 71.94 cm TL K (brody growth coefficient) 0.12 year-1 to (age at zero length) -1.17 year α (length weight parameter) 0.0118 β (length weight parameter) 3.06 tr (age-at-50%-selection) 3.29 years M (natural mortality rate) 0.16 year-1 F (current fishing mortality rate) 0.26 year-1 max (maximum age of fish) 26 years

Yield per recruit analysis The Y/R as a function of fishing mortality and was calculated using The Beverton and Holt (1957) method in Sparre and Venema (1998):

S = exp {-K*tc – t0)}; W∞= asymptotic weight.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 105

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Biomass per recruit analysis The B/R as a function pf age calculated using the Sparre and Venema (1998) model:

The biological reference point

The biological reference point, F0.1 (the value of F at marginal increase in Y/R is 10% of its value at F = 0) was estimated according Gulland & Boerema (1973) in Cadima (2003):

V= Y – 0.1, dY is variable of Y/R, dF is variable of F and B0 is the B/R when F = 0. Therefore, value of F at dY/dF=0.1B0 represent the value of F0.1. F0.1 can be calculated by maximize the function of V=Y-0.1B0.1.

RESULT AND DISCUSSION Result

YPR as a function of F and the point estimates for the Fmsy, F0.1, and F0.5 are illustrated -1 -1 in Fig.1. Fmsy was attained at F=0.25 year and F0.1 was estimated at F=0.20 year . The current rate of fishing mortality (Fcur=0.26) was higher than that leading forF0.1 and Fmsy, which confirms the indication of the slightly increased exploitation rate (E=0.62). That showed that Emsycan be obtained at 0.60 whereas the present E is 0.62. It was estimated that Fcur depleted leopard coral grouperSBR to 20.6% of pristine levels.

Figure 1. Curves of yield and biomass per recruit. The yellow and red dashed lines represent fishing mortality for maximum sustainable yield (Fmsy) and fishing mortality to fish the stock at 50% of the virgin biomass (F0.5) of leopard coral grouper in Saleh Bay

The response of Y/R to different values of F and length at first capture (Lc), is presented in Fig.2. Y/R increased rapidly at low values of F. At Lc values 29.82 (current value),25.00

106 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

cm,27.00 cm, 29.00 cm, 31.00 cm, 33.00 cm, and 35.00 cm, the Y/R were 633.95 g.recruit-1, 581.02 g.recruit-1, 602.09 g.recruit-1, 624.52 g.recruit-1, 646.99 g.recruit-1, 669.85 g.recruit-1, -1 and 692.12 g.recruit , respectively, indicating that the B/R showed a slight decrease for Lc at a larger size. The prediction plot (Fig.2) shows that the yield could be increased when fishing mortality and mesh size is increased. Result of YPR from different Lc presented in Table 2.

Figure 2. Exploration of impact of different fishing mortality rates and Lc values on the relative yield per recruit of leopard coral grouper in Saleh Bay

Table 2. YPR estimated of different fishing mortality and Lc of leopard coral grouper in Saleh Bay Lc tc F01 Fmsy F05 E01 Emsy E05 29.82 3.29 0.20 0.25 0.10 0.56 0.61 0.38 25.00 2.39 0.15 0.20 0.10 0.48 0.56 0.38 27.00 2.75 0.20 0.20 0.10 0.56 0.56 0.38 29.00 3.13 0.20 0.25 0.10 0.56 0.61 0.38 31.00 3.53 0.20 0.25 0.10 0.56 0.61 0.38 33.00 3.95 0.25 0.30 0.10 0.61 0.65 0.38 35.00 4.38 0.25 0.35 0.10 0.61 0.69 0.38

Discussion Leopard coral grouper is a slow growing, late maturity, long lived, and has sex characterization of protogynoushermaphrodism (Chao and Lim 1991; Oh et al. 2013). Groupers are commercially important species in Southeast Asian countries including Indonesia. The Leopard Coral Grouper is declining on the Great Barrier Reef, Australia (Ayling et al. 2000), and thisproblem is further aggravated by the increasing harvest in that country. Other countries show declining. Due to the decliningtrend of populations in different countries, the fish may be classified as Near Threatened and with more data may need to be reclassified as Vulnerable (Cornish and Kiwi 2004). Overfishing is probably the main threat to the species.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 107

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

The maximization of harvests within safe sustainable yield levels, stressed by the Malawi fisheries policy (Government of Malawi 2001), implies that YPR should be maximized without the risk of spawning failure. Peak YPR is attained if an infinite fishing mortality is applied, when the biomass of a cohort is at its maximum (Pereiro, 1992). If this maximum is maintained after the age-at-50%-maturity, the risk of spawning failure is reduced. However, if the age-at- maturity is less than or equal to the age-at-recruitment there could be an overfishing situation where the SBR would rapidly reach levels were recruitment would fail. This in particularly relevant for leopard coral grouper where has low fecundity and implies some from dependence on spawner biomass level. Coral leopard grouper in Saleh Bay were caught dominantly by speargun (63%), hand line (19%), bottom longline (16%), and others (2%) with the proportion of immature catch was 60%. Its represented that more than 50% catches of leopard coral grouper were caught at young age and considered to have immature gonad and facing high risk of overfishing (Froese 2004), so the recruitment of the species would be fail. To prevent spawning failure of the species and maximization of harvests within safe sustainable yield levels, YPR model are often to evaluate population stock and estimate biological reference point such as F0.1 or Fmsy, which can be used to guide fisheries management decision.Fmsy was defined as being the value of F which produces the maximum yield in the long-term. Fmsy relates to the maximization of sustainable yield and it is a most useful reference point. F0.1and Fmsy more precisely and more conservatively, and thus is preferred from the conservation viewpoint in fisheries management. In other fisheries. Furthermore, these reference points can be used by fishery managers to evaluate and manage fish stocks in their various locations and systems, as has been reported by many authors (Hilden andLehtonen 1982; Clark 1991; Punt 1993; Mace 1994; Griffiths 1997; Booth & Buxton 1997; Kirchner 2001). Previous studies have used various reference points, and reference points differ according to the conditions of the stocks and the availability of application of the reference points that provide better management of these stocks. Based on Punt (1993) and Mace (1994), F0.1 is the most stable reference point, and could be adopted with the least risk of stock depletion. In this case, the reference point assign for Fmsyas target reference point and F0.1 as target reference point to controlling catches and fishing pressure. Our result indicates that the Fcurrent (0.26) is higher than thetarget andlimit reference point (F0.1=0.20 and Fmsy= 0.24), which confirmed the indication of slight increased exploitation rate (E=0.62). It is shown that the leopard coral grouper was overexploited with spawner biomass- per-recruit at 20.6% of pristine levels. Fig.1 represented that decreasing the value of current F to level of reference points (F0.1 or Fmasy) would increase of yield. Fig.2 shown that increasing Lc from Lc current (28 cmTL) to 31-35 cmTL would increase relative yield per recruit. Furthermore, from the length composition 60% catches of leopard coral grouper was immature which in turn indicates of overfishing. Leopard coral grouper were recruited into the fishery as juveniles and, ideally, an increase in mesh size, leading to a length at capture approximating the size at which maturity is attained (length at maturity), would need to be implemented in this fishery. The reproductive strategy of leopard coral grouper implies that initial targets should focus on maintaining spawner-biomass at relatively high levels. Booth (2004) suggested that spawner-biomass not be dropped to below 40%, and based on Punt (1993) and Mace (1994) the maintenance of spawner-biomass at levels of 35% and 50% of pristine biomass was taken as an initial management target for leopard coral grouper. Based on our result, we recommend reducing the present F of leopard coral grouper stock -1 in Saleh Bay to the level of target reference point (F0.1=0.2 year ). Such a reduction in F would likely result in a higher spawner-biomass per recruit than under current levels. It also appears that mortality of leopard coral grouper in Saleh Bay has a stronger effect on the spawner- biomassper recruit than Lc. The regulation measures to correct the exploitation pattern and to

108 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

reduce fishing mortality smaller than limit reference point including limiting the catch size and control on fishing gear by limiting fishing effort. The recommended catch size is increase length at first capture from 29.82 cm to 33 cm, and from Table 2 its can be increase limit reference -1 -1 point to (Fmsy) from 0.20 year to 0.30 year and also relative yield-per-recruit can be increase (Fig.2). Any fishing activities or resource utilization on these species can still becarried out by maintaining fishing efforts (duration of fishing trip or number of boat) at thesame or stable value, and it is not recommended to add fishing efforts. According to the proportion of fishing gear used, coral leopard grouper was caught by speargun (63%) as immature fish around 60% from total catches, so we suggested that control on spearguns by limitingthe catch size and fishing efforts will give positive impact to the fish stock recovery.

CONCLUSION

F0.1 was defined as target reference point to maximization of harvests within safe sustainable yield levels and Fmsy was defined as limit reference point. In conclusion, these result indicated that the current level of F (0.26) in leopard coral grouper fisheries in Saleh Bay should -1 -1 be reduce to F0.1=0.20 year or Fmsy= 0.24 year . To reduce fishing mortality smaller than limit reference point including limiting the catch size and control on control on speargunsby limiting fishing effort.

REFERENCES Agustina S, Panggabean AS, Natsir M, Jimmi, Retnoningtyas H, Yulianto I. 2018. Profile of Grouper and Snapper Fisheries Stock in Saleh Bay, West Nusa Tenggara Province. Bogor: Wildlife Conservation Society. Booth AJ, Buxton CD. 1997. Management of the pangaPterogymnuslaniarius (Pisces: Sparidae) on the Agulhas Bank, South Africa using per recruit models. Fisheries Research. 32: 1-11. Booth AJ. 2004. Determination of cichlid specific biological reference points. Fisheries Research. 57: 307-316. Cadima EL. 2003. Fish Stock Assessment Manual. Dalam FAO fisheries technical paper (393). Rome: DANIDA, 66. Clark WG. 1993. The effect of recruitment variability on the choice of a target level of spawning biomass per recruit. Kruse G, Eggers DM, Marasco RJ, Pautzke C, Quinn T J (editor.). Proceedings of the International Symposium on Management Strategies for Exploited Fish Population. Alaska Sea Grant College Program Report. pp 233-246. Craig MT, Sadovy de MYJ, Heemstra PC. 2011. Groupers of The World: A Field and Market Guide. South Africa: NISC. Ferreira BP, Russ GR. 1994. Age validation and estimation of growth rate of the coral trout, Plectropomusleopardus, (Lacepede 1802) from Lizard Island, Northern Great Barrier Reef. Fishery Bulletin. 92(1): 46-57. Froese R. 2004. Keep it simple: three indicators to deal with overfishing. Fish and Fisheries. 5:86-91. Grandcourt EM, Al Abdessalaam TZ, Francis F, Al Shamsi AT. 2005. Population biology and assessment of the orange-spotted grouper, Epinepheluscoioides (Hamilton, 1822), in the southern Arabian Gulf. Fisheries Research. 74: 55-68. Griffiths MH. 1997. The application of per recruit models to Argyrsomusindorus, an important South African sciaenid fish. Fisheries Research. (4): 46-61. Hilden M, Lehtonen H. 1982. Management of the bream, Abramisbrama (L.) stock in the Helsinki sea area. Finnish Fisheries Research. 4: 46-61.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 109

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Kirchner CH. 2001. Fisheries regulations based on yield–per-recruit analysis for the linefish silver kobArgyrosomusinodorus in Nambian waters. Fisheries Research. 52: 155-167. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Jakarta: KKP. 188 pp. Mace PM. 1994. Relationship between biological reference points used as thresholds and targets for fisheries management Common strategies. Canadian Journal Fisheries and Aquatic Sciences. 51: 110-122. Pereiro JA. 1992. Some conceptual remarks on yield per recruit. Fisheries Research. 13: 423- 428. Punt AE. 1993. The use of spawner biomass-per-recruit in the management of linefisheries. Beckley LE, Van der Elst RP (editor). Fish, fishers and fisheries. Proceedings of the Second South African Marine Linefish Symposium, Durban 23–24 October 1992, Oceanographic Research Institute, Special Publication, 2: 80–89. Quinn TJII, Deriso RB. 1999. Quantitative Fish Dynamics. Oxford: Oxford University Press. pp 542. Sparreand P, Venema SC. 1998. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1: Manual. FAO Fisheries Technical Paper. No. 306.1 Rev. 2. Rome: FAO. 407 pp.

110 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN IKAN KARANG DI KABUPATEN LOMBOK UTARA (The Diversity and Abundance of Coral Fish in North Lombok District)

Oleh: Hilman Ahyadi1*, Selamet Kurniawan Riandinata1, Lalu Ahmad Tan Tilar W.S.K.2 1 Fakultas MIPA, Universitas Mataram 2 Fakultas Perikanan, Universitas 45 Mataram * Email: [email protected]

ABSTRAK Ikan karang merupakan salah satu indikator biologi untuk mengetahui kondisi dan status ekosistem terumbu karang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan ikan karang yang ada di kabupaten Lombok Utara. Penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, pada bulan November 2017 di 10 desa, 5 kecamatan yang ada di Kabupaten Lombok Utara. Metode pengambilan data menggunakan Belt transect (transek sabuk). Jenis ikan yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu Abudefduf vaigiensis sebanyak 1.02 individu/m2 sedangkan jenis ikan dengan nilai kelimpahan yang paling sedikit yaitu Dendrochirus zebra dengan 0.01 individu/m2. Indeks keanekaragaman ikan karang yang didapatkan di setiap Lokasi pengambilan data berkisar 3,59 – 3.94. Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan di Kecamatan Bayan dimana indeks keanekaragamannya sebesar 3.94, sedangkan indeks keanekaragaman terendah terdapat di Kecamatan Pemenang sebesar 3.59. Keanekaragaman ikan karang di lokasi sampling cukup tinggi. Secara umum, kondisi keanekaragaman jenis ikan karang di kawasan terumbu karang wilayah pesisir KLU tergolong sangat tinggi dengan stabilitas komunitas cukup stabil.

Kata kunci: ikan karang, keanekaragaman, Lombok Utara, transek sabuk

ABSTRACT Coral fish is one of the biological indicators to determine the condition and status of coral reef ecosystems. This research aims to understand diversity and abundance of Coral reef fish in North Lombok regency by descriptive and explorative method. Sampling area is choosen by using purposive sampling method. This reaserch has been implementiert since Novemer 2017 in ten villages from five sub-district in North Lombok regency. Data were taken by using Belt Transect Method. Coral reef fish that has the higgest abundance in North Lombok area is Abudefduf vaigiensis with 1,02 individu/m2. Coral reef biodiversity index that has been analyxed for every sub-districts ranged between 3,59-3,94. The higgest Biodiversity index belongs to Bayan Sub-district with 3,94 and the lowest is Pemenang Sub-district with 3,59. Coral dan coral fish diversity in North Lombok regency is high enough with a stable ecosystem.

Keywords: belt transeck, biodiversity, coral fishes, North Lombok

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 111

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

PENDAHULUAN Ikan karang merupakan ikan yang dari masa juvenil hingga dewasa hidupnya di terumbu karang (Sale,1991). Keberadaan ikan karang di terumbu memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi fisik terumbu karang tersebut. Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan mempengaruhi kelimpahan ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Chabanet et al., 1997; Suharsono, 1996). Pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya (Setiapermana,1996). Ikan target adalah ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mullidae, Siganidae, Labridae (Cheilinus, Hemnigymnus, Choerodon), dan Haemulidae. Ikan indikator adalah sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari suku Chaetodontidae (kepe-kepe). Ikan lain (mayor famili) adalah ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut (, Caesionidae, Scaridae, Pomacentridae, Labridae, Apogonidae dan lain-lain). Menurut English et al. (1994), kelompok ikan target adalah jenis-jenis ikan konsumsi/pangan atau ikan ekonomis penting yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang. Pengambilan data kuantitatif terhadap ikan-ikan yang sifat hidupnya menyendiri (soliter) atau dalam kelompok kecil dapat dilakukan dengan cara pengamatan satu persatu di alam (actual account). Namun untuk jenis-jenis yang kelimpahannya tinggi dapat dihitung dengan taksiran (abundance category) misalnya untuk suku Caesionidae, Acanthuridae dan Siganidae. Perairan Kabupaten lombok Utara dengan luas 594,71 Km2 dengan panjang pantai 127 km yang berhadapan langsung dengan laut jawa. Sebagian besar perairan laut KLU memiliki kedalaman lebih dari 200 m, sedangkan perairan pesisir KLU sebagian besar memiliki kedalaman kurang dari 200 m. Variasi kondisi kedalaman tersebut akan mempengaruhi dan menentukan kehidupan atau biota yang ada disekitarnya. Secara teoritis semakin dangkal suatu perairan maka keanekaragaman hayati semakin tinggi. Sebagian besar ekosistem laut berada pada daerah dangkal, misalnya ekosistem mangrove, ekosistem pantai, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang umumnya berada pada kedalaman 0 s/d 25 meter dengan keanekaragaman tertinggi pada kedalaman 0 s/d 10 meter (Hutabarat dan Evans, 1984), seperti yang ada di pesisir KLU. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di Terumbu karang dengan kedalaman 5 meter di Kabupaten Lombok Utara. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar monitoring jangka panjang yang dapat memberikan informasi mengenai kecenderungan pertumbuhan populasi (meningkat atau menurun) dari kelompok kunci organisme di terumbu karang.

METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif di wilayah terumbu karang pisisir pantai Kabupaten Lombok Utara, dilakukan pada bulan November 2017 5 kecamatan yaitu Kecamatan Pemenang (Nipah dan Mentigi), Tanjung (Jambi Anom dan Kandang Kaoq), Gangga (Gondang dan Lekoq Pikoq), Kayangan (Gumantar dan Tampes), dan Bayan (Barang birak dan Sukadana) yang ada di Kabupaten Lombok Utara. Alat dan bahan yang digunakan dalam pemantauan kualitas terumbu karang di daerah Kabupaten Lombok utara meliputi peralatan sampling yakni alat tulis, kamera underwater, kamera, waterproof, GPS, tali transek 20 meter, roll meter 50 m, stopwatch, hand refractometer, thermometer, secchi disk, masker+snorkel, fin dan ikan terumbu karang. Metode pengambilan data menggunakan Belt transect (transek sabuk) menggunakan panjang transek 20 meter dan lebar 5 meter (2,5 m sisi kiri dan 2,5 kanan meteran transek).

112 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Analisi Data Data yang diperoleh dari lapangan yaitu data ikan karang hasil transek dengan metode Belt transect, kemudian disimpan kedalam komputer dengan program Ms Excel. Data dihitung sebagai berikut: 1. Kepadatan K = = Keterangan: K = kepadatan (individu/m2) N = jumlah jenis perindividu (individu)

2. Indeks Keanekaragaman (H’) H’ = -∑ Pi = = Keterangan: H’ = Keanekaragaman Pi =Jumlah individu suatu spesies/jumlah total seluruh spesies n = jumlah individu N = jumlah total individu Nilai H’ menurut Krebs (1978) Nilai Tolak Ukur Keterangan H’ < 1,0 Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil. 1,0 < H’ < 3,322 Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang. H’ > 3,322 Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kehadiran dan Keanekaragaman Jenis Ikan Karang Jumlah ikan karang yang ditemukan dan dicatat pada sensus visual di 5 kecamatan diwilayah pesisir Kabupaten Lombok Utara adalah 79 jenis. Terdapat 5 famili yang dapat ditemui di semua titik pengambilan data, diantaranya Famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Scaridae, Caesionidae, Chaetodontidae dan Balistidae. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa jenis ikan terbanyak terdapat di Kecamatan Bayan dengan jumlah 73 jenis dan yang terendah adalah di Kecamatan Pemenang dengan 51 jenis. Data kehadiran jenis ikan di setiap desa di Kabupaten Lombok Utara disajikan dalam grafik pada gambar 1 dan tabel 1.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 113

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Jumlah jenis ikan karang di lokasi sampling.

Tabel 1. Kehadiran jenis ikan/kecamatan Kecamatan Kepadatan No Nama Ilmiah Pemenang Tanjung Gangga Kayangan Bayan 1 Abudefduf vaigiensis + + + + + 1.02 2 cyanea + + + + + 0.9 3 Sp. 1 + + + + + 0.31 4 Pomacentrus littoralis + + + + + 0.72 5 Pomacentrus brachilis + + + + + 0.82 6 Ctenochaetus striatus + + + + + 0.87 7 Sp. 2 + + + + + 0.24 8 + + + + + Thalassoma Hardwicke 0.39 9 Chaetodon selene + + + + + 0.17 10 Pomacentrus + + + + + moluccensis 0.68 11 Sp. 3 + + + + + 0.16 12 Dendrochirus zebra + + + + + 0.01 13 Lutjanus vittatus + + + + + 0.05 14 Caesio lunaris + + + + + 0.45 15 Labroides dimidiatus + + + + + 0.38 16 Zebrasoma scopas + + + + + 0.38 17 Zanclus cornutus + + + + + 0.22 18 Amblyglyphidodon + + + + + curacao 0.32 19 Centropyge bicolor + - + - + 0.05 20 - - - - + Acanthurus leucocheilus 0.02 21 Caesio teres + + + + + 0.42 22 Acanthurus lineatus - - - + + 0.04 23 Chaetodon baronessa + + + + + 0.31 24 Sp. 4 + + + + + 0.14 25 Thalassoma jensenii + + + + + 0.24 26 + - + - + Chaaetodon melannotus 0.11 27 Chromis caudalis + + + + + 0.44 28 Chaetodon kleini + + + + + 0.18 29 - + + + + Dascyllus trimaculatus 0.11

114 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Kecamatan Kepadatan No Nama Ilmiah Pemenang Tanjung Gangga Kayangan Bayan 30 Neopomacentrus - + + + + violascens 0.17 31 Amphiprion ocellaris - - - - + 0.03 32 + + + + + Chaetodon vagabundus 0.19 33 Chromis amboiensis - - - + + 0.03 34 Scarus tricolor - - + + + 0.05 35 Scarus sp. + + + + + 0.55 36 - - + + + Chlororus capistratoides 0.04 37 Pomacentrus + + + + + lepidogenys 0.08 38 + + + + + Neopomacentrus azysron 0.49 39 Chrysiptera rollandi - + - + + 0.05 40 Myrichthys colubrinus - + - + + 0.44 41 Chrysiptera - + - + + caeruleolineata 0.08 42 Balistipus undulates + + + + + 0.1 43 + + + + + Rhinecanthus verrucosus 0.11 44 Chromis caudalis + + + + + 0.36 45 Chromis Margaritifer - + + + + 0.11 46 Chromis leucura - + + + + 0.09 47 Chaetodon rafflesi - + + + + 0.08 48 Picthihromis sp. - - - + + 0.04 49 Apogon sp. + + + + + 0.5 50 Gymnothorax - - - + + richardsoni 0.02 51 Chrysiptera springeri + + + + + 0.36 52 Chaetodon citrinellus + + + + + 0.03 53 Abudefduf sexfasciatus - - + + + 0.32 54 - - + + + Chaetodon ocellicaudus 0.15 55 Centropyge nox - - + - - 0.02 56 - - + + + Chrysiptera unimaculata 0.07 57 Labroides bicolor + + + + + 0.04 58 Dascyllus aruanus + + + + + 0.39 59 Chromis atripectoralis + + + + + 0.19 60 Pomacentrus milleri + + + + + 0.15 61 Chaetodon speculum + + + + + 0.14 62 Centriscidae + + - - - 0.12 63 Chaetodon trifasciatus + + + + + 0.11 64 Caesio caerulaureus + + + + + 0.28 65 Apogon sp. (2) + + + + + 0.25 66 Dischistodus + + + + + pseudochrysopoecilus 0.16 67 + + + + + Pomacentrus philippinus 0.5 68 + + + + + Plechtorhinchus lineatus 0.12

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 115

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Kecamatan Kepadatan No Nama Ilmiah Pemenang Tanjung Gangga Kayangan Bayan 69 + + + + + Diploprion bifasciatum 0.34 70 Acanthurus pyroferus + + + + + 0.07 71 Pomacentrus cuneatus + + + + + 0.13 72 Chaetodon trifascialis + + + + + 0.12 73 Plectorhinchus picus + - - + + 0.04 74 + + + + + Helichoeres hortulanus 0.07 75 Scolopsis bilineatus + + + + + 0.22 76 Labridae + + + + + 0.56 77 - + - + + Pomacentrus burroughi 0.05 78 Holocentridae - + - + + 0.05 79 Thalassoma sp + + - - - 0.06

Kelimpahan Ikan Karang dan Status Lingkungan Indeks keanekaragaman ikan karang merupakan parameter untuk mengukur besar kecilnya keanekaragaman jenis dalam satu lokasi. Indeks keanekaragaman ikan karang yang didapatkan di setiap Lokasi pengambilan data berkisar 3,59 – 3.94. Keanekaragaman spesies tinggi, mengindikasikan bahwa lingkungan di wilayah tersebut nyaman dan stabil, sedangkan nilai keanekaragaman yang rendah menandakan lingkungan yang menyesakkan dan berubah- ubah (Nyabakken, 1990). Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan di Kecamatan Bayan dimana indeks keanekaragamannya sebesar 3.94, sedangkan indeks keanekaragaman terendah terdapat di Kecamatan Pemenang sebesar 3.59. Kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang disajikan dalam gambar 2.

Gambar 2. Kelimpahan ikan pada masing-masing kecamatan di pesisir KLU

Rendahnya keanekaragaman di Kecamatan Pemenang, Tanjung dan Gangga disebabkan terdapat jenis ikan yang lebih mendominasi pada Stasiun tersebut. Odum (1994) menyatakan bahwa makin besar nilai Hˈ menunjukkan komunitas makin beragam. Hal ini menunjukkan adanya tekanan baik dari lingkungan tempat organisme hidup maupun dari aktivitas manusia.

116 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Indeks keanekaragaman tergantung pada variasi jumlah spesies yang terdapat dalam suatu habitat. Keberadaan ikan di terumbu karang sangat tergantung pada kondisi terumbu karang itu sendiri. Beberapa kelompok ikan menunjukkan kecenderungan kelimpahan yang meningkat untuk jangka waktu yang panjang pada kondisi terumbu karang dengan presentasi tutupan karang yang tinggi. Sementara pada kondisi terumbu karang dengan presentasi tutupan yabg rendahpun dijumpai peningkatan kelimpahan pada beberapa kelompok ikan. Hal demikian masih belum dapat diterangkan secara jelas (Suharti, 2000). Terdapat 2 kecamatan yang memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi yaitu Kecamatan Bayan dan Kecamatan Pemenang. Sedangkan Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Pemenang, Kecamatan Tanjung dan Kecamatan Gangga. Kecamatan Pemenang dan Kecamatan Tanjung memiliki tingkat dominansi yang tinggi karena merupakan daerah yang memiliki persentase tutupan yang cukup baik. Selain itu, daerah tersebut memang memiliki kondisi lingkungan yang sangat mendukung. Hal lainnya juga, adalah pada daerah tersebut terdapat pengawasan dalam pengelolaan terumbu karang sehingga dengan demikian secara tidak langsung menurunkan keanekaragaman dari spesies ikan karang di tempat tersebut. Meskipun demikian, terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan permasalahan. Dimana diketahui bahwa kecamatan Pemenang dan Kecamatan Tanjung merupakan daerah yang memiliki aktivitas pariwisata dan perikanan yang cukup tinggi namun dengan tingkat tekanan yang sedemikian rupa, kondisi terumbu karang dan keanekaragaman jenis ikan masih cukup baik. Adapun kecamatan yang lain, kecuali Kecamatan Kayangan yang memang memiliki tingkat aktivitas pariwisata dan penangkapan ikan yang cukup tinggi. Sedangkan kecamatan yang lainnya yaitu Gangga dan Bayan memiliki aktivitas yang lebih rendah. Namun, diduga kondisi lingkungan yang menyebabkan persentase lifeform dan keanekaragaman ikan yang cukup baik di wilayah tersebut ditambah dengan kurangnya aktivitas destruktif fishing dalam kegiatan penangkapan ikan serta penduduknya yang lebih dominan menjadi petani daripada nelayan.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat 79 jenis ikan terumbu karang yang ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Utara. Tingkat keanekaragaman jenis ikan karang tertinggi berada di Kecamatan Bayan dengan 73 jenis ikan. Indeks keanekaragaman ikan karang di Kabupaten Lombok Utara tergolong sangat tinggi dengan status ekosistem cukup stabil.

DAFTAR PUSTAKA Chabane P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Gaizin R.. 1997. Relationship between coral reef substrat and fish. Coral Reef. 16(2): 93-102. English S, Willkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsvile: Australian Institute of Marine Science. 368 pp. Hutabarat S, Evans SM. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia. Krebs CJ. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Herper & Row Publisher. 800 p. Nyabakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia: Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi (Edisi Ketiga). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Setiapermana D. 1996. Potensi Wisata Bahari Pulau Mapor. Jakarta: P30-LIPI.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 117

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Sale PF. 1991. The Ecology of Coral Reef Fishes. In: The Ecology of Fishes on Coral Reef. Ed. Sale PF. San Diego: Acad. Press, Inc. 754 pp. Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, LIPI. Suharti SR. 2000. Metodologi Penelitian Ikan Karang. Jakarta: LIPI.

118 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

KEANEKARAGAMAN JENIS LAMUN DI PERAIRAN GILI ASAHAN, KABUPATEN LOMBOK BARAT

Oleh: Ibadur Rahman*, Muhammad Junaidi, Ayu Adhita Damayanti Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram * Email: [email protected]

ABSTRAK Padang lamun merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki peran penting, baik secara fisik maupun biologi. Struktur tumbuhan lamun yang komplek dapat menstabilkan substrat, mengurangi laju arus, dan dapat menjadi habitat bagi beragam jenis biota.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keanekaragaman jenis tumbuhan lamun di perairan Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat. Pengamatan yang dilakukan meliputi; komposisi jenis lamun, persentase penutupan, frekuensi kehadiran, dan indeks nilai penting (INP).Metode pengamatan lamun dilakukan dengan mengacu pada standar monitoring lamun Seagrass Watch, menggunakan kuadran 50x50cm2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 5 (lima) jenis lamun, yaitu: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium Isoetifolium, Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Persentase penutupan lamun berkisar antara 13%-60%. Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang paling sering ditemukan di setiap stasiun pengamatan, dan merupakan jenis yang memiliki rerata indeks nilai penting (INP) paling tinggi, yaitu sebesar 99%.

Kata Kunci: frekuensi kehadiran, Gili Asahan, indeks nilai penting (INP), lamun, presentase penutupan

ABSTRACT Seagrass bed is one of marine ecosystems that play important roles, physically or biologically. Its complex structure can stabilize the substrate, decrees water current flow, and become habitat for many living organisms. This research aims to know the diversity of seagrass bed at Gili Asahan, West Lombok regency. The observation included seagrass percent cover, presence frequency, and the important value index (INP). The methods is based on Seagrass Watch monitoringstandard, using 50x50 cm2 PVC quadrant. The result shows that 5 seagrass species were found on the site, i.e; Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium Isoetifolium, Halophila ovalis dan Halodule uninervis. The percent cover of seagrass ranged between 13%- 60%. Thalassia hemprichii is the most frequent species found at Gili Asahan, and is the most important species with INP 99%.

Keywords: Gili Asahan, important value index (INP), percent cover, presence frequency, seagrass

PENDAHULUAN Ekosistem padang lamun memiliki peranan penting bagi berbagai biota asosiasi di sekitarnya, baik sebagai tempat mencari makan tempat pembesaran, maupun sebagai tempat pemijahan. Dewasa ini ekosistem padang lamun terus menerus mendapatkan tekanan yang mengancam kelestariannya (Bengen, 2004), baik karena fenomena alam maupun karena ulah

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 119

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. manusia, misalnya penangkapan ikan dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan, lalu lintas pelayaran, dan pencemaran perairan. Mengingat peran vital ekosistem padang lamun, maka diperlukan berbagai upaya untuk menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan pendataan ekosistem lamun, sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan apakah ekosistem lamun masih dalam kondisi yang baik sehingga perlu dijaga kelestariannya, atau sudah memprihatinkan sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi eksisting ekosistem padang lamun di perairan Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat. Hasil dari penelitian ini diharapakan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan terkait pengelolaan kawasan perairan Gili Asahan, khususnya yang berhubungan dengan ekosistem lamun.

MATERI DAN METODE Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Juli-November 2018 di kawasan ekosistem padang lamun Perairan Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat. Pengambilan data tutupan lamun dilakukan pada 2 stasiun (Gambar 1), dimana pada tiap stasiunnya dibuat 2 line transekyang masing-masing terdiri dari 3 kuadran. Pengamatan tutupan dan frekuensi kehadiran lamun dilakukan menggunakan frame/plot PVC berukuran 50cm x 50cm. Estimasi persentase penutupan lamun dilakukan berdasarkan pedoman monitoring lamun Seagrass Watch (Short et al. 2004).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Struktur komunitas lamun yang diamati meliputi;penutupan jenis lamun, penutupan relatif lamun, frekuensi kehadiran lamun, frekuensi kehadiran relatif lamun, dan indeks nilai penting. Sedangkan untuk melihat penyebaran jenis lamun di perairan Gili Asahan, digunakan indeks kenakeragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C).

HASIL DAN PEMBAHASAN Komunitas padang lamun di perairan Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat tersusun dari 5 (lima) jenis lamun, yaitu; Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium Isoetifolium, Halophila ovalisdanHalodule uninervis, dengan rerata penutupan bervariasi antara 13% - 60% (Gambar 2).

120 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

(%) Persentase Penutupan Penutupan Lamun Persentase

Stasiun Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Syringodium Isoetifolium Halophila ovalis Halodule uninervis

Gambar 2. Persentase tutupan lamun perairan Gili Asahan

Bervariasinya rerata penutupan lamun di perairan Gili Asahan diduga diakibatkan adanya perbedaan kondisi fisika, kimia, biologi perairan, maupun kondisi substrat pada setiap stasiun pengamatan, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter fisika-kimia perairan padang lamun Gili Asahan Stasiun 1 Stasiun 2 Parameter 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 DO (mg/l) 7.2 7.7 7.6 7.8 8.1 7.5 7.1 6.7 6.8 7.3 6.8 7.5 Suhu (0C) 27.8 27.4 27.6 27.9 27.8 27.9 27.8 28.8 28 27.8 28.2 28.3 pH 8.3 8.3 8.4 8.4 8.4 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.4 8.4 Salinitas 32 32 32 31 30 31 32 32 32 31 31 31 0 ( /00) Kedalaman 1 0.5 0.75 0.7 0.78 0.75 1.5 1.5 1.2 1 1.3 1.4 (m) Substrat LP LP LPR L LP LR PL P PL PL P PR dasar Keterangan: P = pasir | L = lumpur | R = rubble | LP = lumpur berpasir | PL = pasir berlumpur | LR = lumpur dan rubble | PR = pasir dan rubble | LPR = lumpur berpasir dan rubble

Di antara kelima jenis lamun yang ditemukan di perairan Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat, Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang ditemukan pada hampir seluruh stasiun pengamatan, dengan rerata nilai frekuensi sebesar 0,96 pada stasiun 1 dan 0,67 pada stasiun 2 (Gambar 3). Frekuensi kehadiran merupakan parameter seberapa seringnya suatu jenis lamun ditemukan dalam seluruh titik pengamatan yang dilakukan (English et al. 1994). Nilai frekuensi kehadiran yang semakin mendekati angka 1 menandakan bahwa jenis lamun tersebut hampir selalu ditemukan pada setiap kali pengamatan lamun, sedangkan nilai yang mendekati angka 0 menandakan bahwa jenis lamun tersebut sangat jarang ditemukan pada setiap kali pengamatan. Tingginya frekuensi kehadiran jenis lamun Thalassia hemprichii dalam komunitas padang lamun perairan Gili Asahan diduga dikarenakan jenis ini memiliki persebaran yang luas dan dapat hidup pada substrat yang bervariasi. Tomascik et al., (1997), bahwa T. hemprichii adalah jenis lamun yang paling umum dan tersebar luas di Indonesia. Jenis lamun ini umumnya tumbuh membentuk komunitas campuran di berbagai tipe habitat yang berbeda. Waycott et al.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 121

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

(2004) menambahkan bahwa T. hemprichii umumnya tumbuh dominan pada substrat pasir karbonat dan pecahan karang (rubble), membentuk komunitas campuran. Jenis lamunEnhalus acoroides merupakan satu-satunya jenis lamun yang tidak ditemukan pada stasiun 1. Hal ini diduga dikarenakan kondisi perairan pada stasiun 1 yang relatif dangkal, yaitu denganrerata kedalaman sebesar 0,75m.Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang memiliki helai daun yangpanjang, berkisar antara 30-150cm (Den Hartog, 1970; Phillips&Menez, 1988). Kondisi perairan pada stasiun 1 yang dangkal akan menyebabkan daun jenis Enhalus acoroides yang relatif panjang mendapat intensitas matahari yang cukup tinggi, sehingga akan mengganggu kelangsungan hidupnya.Short dan Coles (2003) menjelaskan bahwa paparan cahaya matahari yang berlebihan dapat menyebabkan kekeringan dan terbakarnya daun lamun. Rahman (2016) menambahkan bahwa rendahnya penutupan lamun pada suatu wilayah dapat dikarenakan terlalu tingginya intersitas cahaya matahari, yang berakibat pada menurunnya kadar nutrien terlarut dan meningkatnya metabolisme lamun. Sehingga, terjadi ketidakseimbangan antara proses di dalam jaringan tubuh lamun dengan lingkungan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada lamun.

Stasiun 1 Stasiun 2 Frekuensi kehadiran Frekuensikehadiran lamun

Jenis lamun

Gambar 3. Rerata frekuensi kehadiran jenis lamun di perairan Gili Asahan

Dalam menyusun sebuah komunitas lamun, terdapat satu atau beberapa jenis lamun yang memiliki peran lebih dibandingkan jenis yang lain. Besar-kecilnya peran suatu jenis lamun dalam suatu komunitas diukur dalam satuan indeks nilai penting (INP). Indeks nilai penting (INP) diperoleh dari hasil penjumlahan frekuensi relatif dan penutupan relatif dari masing- masing jenis lamun(Brower et al. 1990). Jenis lamun Thalassia hemprichii merupakan jenis dengan nilai rerata INP tertinggi (Gambar 4), yaitu sebesar 103% (stasiun 1) dan 96% (stasiun 2). Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa suatu spesies yang memiliki pengaruh atau peran yang besar dalam komunitas, umumnya memiliki nilai INP yang tinggi. Sebaliknya, spesies yang kurang menonjol dalam komunitas umumnya memiliki nilai INP yang rendah. Dengan demikian, jenis lamun Thalassia hemprichii menjadi jenis yang paling berpengaruh dalam menyusun komunitas padang lamun di perairan Gili Asahan. Hal ini dikarenakan jenis lamun Thalassia hemprichii merupakan jenis yang paling sering dijumpai hampir di semua stasiun pengamatan dengan luas tutupan yang cukup tinggi.

122 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Stasiun 1 Stasiun 2 Indeks nilai penting (%)penting Indeksnilai

Jenis lamun

Gambar 4. Rerata indeks nilai penting (INP) jenis lamun di perairan Gili Asahan

Pola sebaran dan tingkat kestabilan komunitas padang lamun di perairan Gili Asahan dapat dilihat dari indeks keanekaragam (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansinya (C). Indeks keanekaragaman lamun di perairan Gili Asahan termasuk dalam kategori sedang (Tabel 2). Hal ini menandakan bahwa komunitas lamun di perairan Gili Asahan tersusun daribeberapa jenis dengan jumlah masing-masing individu yang beragam. Hal ini diduga dikarenakan kondisi perairan Gili Asahan yang masih baik, sehingga dapat menjadi habitat yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan kelima jenis lamun yang ditemukan. Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa suatu komunitas tergolong memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika ditemukan banyak jenis dengan jumlah individu masing-masing jenis relatif merata. Sebaliknya, jika suatu komunitas hanya memiliki beberapa jenis dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Tabel 2. Indeks keanekaragam (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) komunitas padang lamun perairan Gili Asahan Keterangan Keterangan Keterangan H E C (Krebs, 1985) (Krebs, 1985) (Odum, 1993) Stasiun 1 1.22 sedang 0.88 tinggi 0.34 tidak ada dominansi Stasiun 2 1.33 sedang 0.83 tinggi 0.34 tidak ada dominansi

Indeks keseragaman lamun di perairan Gili Asahan termasuk dalam kategori tinggi. Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa nilai indeks keseragaman yang tinggi menandakan pada komunitas tersebut ditemukan beragam jenis dengan jumlah yang hampir seragam pada setiap jenisnya. Dengan demikian, komunitas lamun di perairan Gili Asahan terdiri dari 5 (lima) jenis dengan jumlah individu yang hampir merata pada setiap jenisnya. Indeks dominansi lamun di perairan Gili Asahan menunjukkan bahwa tidak ada dominansi jenis lamun tertentu dalam komunitas padang lamun secara keseluruhan. Priosambodo (2011) menjelaskan bahwa dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya dapat memberikan pengaruh terhadap kestabilan komunitas secara keseluruhan. Selain itu, dominansi suatu jenis juga mengindikasikan adanya gangguan terhadap lingkungan di sekitar komunitas karena hanya spesies tertentu saja yang mampu menyesuaikan diri dan bertahan hidup. Dengan

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 123

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. tidak adanya jenis lamun yang mendominasi, maka komunitas padang lamun perairan Gili Asahan berada dalam kondisi stabil.

SIMPULAN Komunitas padang lamun di perairan Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat tersusun dari 5 (lima) jenis lamun, yaitu; Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium Isoetifolium, Halophila ovalisdanHalodule uninervis, dengan rerata penutupan bervariasi antara 13%-60%. Thalassia hemprichiimerupakan jenis yang paling berperan penting dalam menyusun komunitas padang lamun di perairan Gili Asahan karena paling sering dijumpai hampir di semua stasiun pengamatan dengan luas tutupan yang cukup tinggi. Indeks keanekaragaman dan keseragaman lamun di perairan Gili Asahan termasuk dalam kategori sedang dan tinggi, sedangkan indeks dominansi menunjukkan bahwa tidak ada jenis lamun yang mendominasi, sehingga komunitas padang lamun Gili Asahan berada dalam kondisi yang stabil.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Mataram yang telah membiayai penelitian ini dari alokasi dana PNBP Tahun 2018. Penulis juga berterimakasih kepada Sdri. Riza Sofia Jalila, Sdr. Pandu Abdi Perdana, Sdr. Abdurrahman dan Sdr. Sultan Hamdi MT yang telah membantu dalam kegiatan pengambilan data. Juga kepada Mas Sapari yang telah banyak membantu penulis selama kegiatan sampling di Gili Asahan, Kabupaten Lombok Barat.

DAFTAR PUSTAKA Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 156 p. Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. 3rd edition. Indiana: WMV Brown Publishers. 237 p. Den Hartog C. 1977. Structure, function and classification in seagrass communities. McRoy CP, Helfferich C (Editor). Seagrass Ecosystems: A Scientific Perspective. New York: Marcel Dekker. pp 89-121. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. 368 p. Krebs CJ. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 3rd edition. New York: Harper and Row. 800 p. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 697 p. Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington D.C.: Smithsonian Institution Press. 34: 104 p. Priosambodo D. 2011. Struktur komunitas makrozoobentos di daerah padang lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 141 p. Rahman I. 2016. Suitability Analysis of polychaeta habitat in seagrass ecosystem, Parang Island, Karimunjawa, Central Java. Aquasains. 4 (2): 401-412. Short FT, Coles RG. 2003. Global Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier Science BV. 473 p.

124 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Short FT, Mc Kenzie LJ, Coles RG, Gaeckle JL. 2004. Seagrass Net Manual for Scientific Monitoring of Seagrass Habitat-Western Pacific Edition. USA. University of New Hampshire, QDPI, Northern Fisheries Center, Australia. 71 p. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesia Seas. Volume VII. Hong Kong: Periplus Editions. 1.388 p. Waycott M, Mahon KM, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to Tropical Seagrass of the Indo-West Pacific. Townsville-Queensland: James Cook University. 72 p.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 125

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

KOMUNITAS PADANG LAMUN BERDASARKAN HABITAT BERBEDA DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT (Communities of Seagrass Beds on Different Habitats in East Lombok Regency, West Nusa Tenggara)

Oleh: Firman Ali Rahman1*, Dewi Putri Lestari2, Alfian Pujian Hadi3 1 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, 16680, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 2 Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram, 83125, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. 3 Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Mataram, 83115, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. * Email: [email protected]

ABSTRAK Padang lamun merupakan salah satu vegetasi pesisir yang sangat penting sebagai jasa ekologi, adanya perbedaan karakteristik habitat perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan, komunitas dan zonasi tumbuh lamun. Penelitian dilaksanakan di perairan Gili Maringkik dan Poton Bako pada bulan September sampai Desember 2017. Kualitas perairan yang berbeda nyata di kedua lokasi adalah nilai pH dan jumlah padatan terlarut, sedangkan suhu, salinitas, dan oksigen terlarut tidak berbeda nyata. Komposisi jenis lamun Lombok Timur yang ditemukan berjumlah 10 jenis dari total 13 jenis lamun Indonesia, diantaranya: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila minor, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Thalassodendron ciliatum. Kepadatan jenis tertinggi di kedua lokasi adalah C. rotundata (214,67±110,47 individu m-2 di Poton Bako dan 506,40±187,81 individu m-2 di Gili Maringkik), sedangkan persentase tutupan jenis tertinggi adalah T. hemprichii (36,52±30,00 %), C. rotundata (33,47±26,75 %) dan E. acoroides (31,07±16,24 %). Pola persebaran zonasi tumbuh jenis C. rotundata memiliki kesamaan di kedua lokasi, sedangkan jenis T. hemprichii dan E. acoroides berbeda.

Kata kunci: distribusi spasial, kepadatan, kualitas perairan, padang lamun, tutupan jenis

ABSTRACT Seagrass beds are one of the coastal vegetation which is very important as an ecological service, the differences in the characteristics of aquatic habitats can affect the quality of the waters, communities, and zoning to grow seagrass. The study was carried out in the waters of Gili Maringkik and Poton Bako from September to December 2017. The quality of waters that were significantly different in both locations was the pH value and the number of dissolved solids, while the temperature, salinity, and dissolved oxygen were not significantly different. The composition of the types of East Lombok seagrass found is 10 species out of a total of 13 species of Indonesian seagrass, including: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila minor, Halodule pinifolia, Uninervis Halodule, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii and Thalassodendron ciliatum. The highest density in both locations was C. rotundata (214.67 ± 110.47 m-2 individuals in Poton Bako and 506.40 ± 187.81 m-2 individuals on Gili Maringkik), while the highest percentage cover type was T. hemprichii (36.52 ± 30.00%), C. rotundata (33.47 ± 26.75%) and E.

126 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

acoroides (31.07 ± 16.24%). The spatial pattern of C. rotundata species has similarities in both locations, while the types of T. hemprichii and E. acoroides are different.

Keywords: density, seagrass, seagrass coverage, spatial pattern, water quality

PENDAHULUAN Padang lamun merupakan habitat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup biota laut sebagai sumber makanan dan tempat pemijahan, selain itu padang lamun dapat berkontribusi sebagai salah satu fungsi regulasi karbon perairan dan carbon sink yang berperan penting terhadap dampak negatif dari asidifikasi air laut. Perbedaan karakteristik lokasi perairan yang merupakan tempat tumbuh padang lamun menjadi bagian penting yang dapat diamati dan menganalisis pengaruh perbedaan karakteristik lokasi terhadap kualitas perairan, komposisi dan struktur jenis lamun, dan zonasi yang terbentuk. Lokasi penelitian pertama terdapat di Poton Bako yang merupakan habitat terpengaruh oleh dua aliran sungai menuju ekosistem padang lamun, sedangkan lokasi kedua merupakan Gili Maringkik yang merupakan ekosistem padang lamun yang mempresentasikan wilayah pulau kecil tanpa adanya gangguan karbon antropogenik yang bersasal dari daratan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan, komposisi jenis lamun, kepadatan jenis, persentase tutupan jenis, dan zonasi atau distribusi spasial padang lamun pada karakteristik yang berbeda di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada saat musim kemarau bulan September – Desember 2017. Penelitian dilakukan di Poton Bako dan Gili Maringkik, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dengan titik koordinat 8°47’–8°49’ Lintang Selatan dan 116°30’–116°32’ Bujur Timur (Gambar 1). Luas petak pengamatan yang digunakan untuk menentukan jumlah individu jenis dan persentase penutupan lamun adalah 0.5 m x 0.5 m dengan jarak antar petak 25 m dan jarak antara jalur adalah 100 m di kedua lokasi penelitian. Jalur pengamatan di Poton Bako berjumlah enam jalur yang terdiri dari 36 petak pada luas 55.65 ha, sedangkan di Gili Maringkik berjumlah lima jalur yang terdiri dari 25 petak pada luas 31.82 ha.

Identifikasi Lamun Identifikasi jenis lamun yang ditemukan pada petak pengamatan dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologi dengan mengacu pada den Hartog (1970) dan Azkab (1999).

Kualitas Air Pengukuran data kualitas air dilakukan pada setiap petak pengamatan secara in situ yang meliputi: suhu (termometer digital), salinitas (hand refractometer), pH (pH meter), Oksigen terlarut (DO meter), total padatan terlarut (total dissolved solids).

Penutupan Lamun Persentase tutupan jenis lamun pada setiap petak dilakukan berdasarkan metode Seagrass Watch (McKenzie et al. 2003).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 127

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Lokasi penelitian padang lamun di Poton Bako dan Gili Maringkik, Kabupaten Lombok Timur

Kepadatan Lamun Penghitungan jumlah tegakan jenis lamun di Poton Bako dan Gili Maringkik dilakukan pada saat siang hari dan kondisi air laut surut untuk memudahkan perhitungan. Nilai kepadatan jenis lamun dihitung dengan rumus:

Keterangan : D = kepadatan lamun jenis ke–i (individu m-2) Ni = jumlah total tegakan jenis lamun ke–i A = luas total petak contoh (m2)

Pola Persebaran Lamun Pola persebaran lamun di kedua lokasi dilakukan dengan metode jelajah dan penggambaran distribusi spasial padang lamun di Poton Bako dan Gili Maringkik menggunakan software Terra Incognita dan software ArcGIS 10.5.

128 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Perairan Padang Lamun Padang lamun merupakan tumbuhan pesisir yang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan sebagai salah satu faktor pembatas dan pendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan hasil pengukuran, suhu perairan ekosistem padang lamun di Poton Bako antara 29–33 °C dengan rata-rata 30,51±0,81 °C, sedangkan suhu perairan ekosistem padang lamun di Gili Maringkik antara 30–32 °C dengan rata-rata 30,72±0,83 °C. Tingginya rata-rata suhu perairan di Gili Maringkik diduga dipengaruhi oleh tidak adanya muara sungai, selain itu sepanjang tahun Gili Maringkik memiliki curah hujan yang sangat rendah. Berdasarkan hasil analisis ragam, suhu perairan di Poton Bako dan Gili Maringkik tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan p = 0,122, hal ini karena pengukuran suhu perairan selalu dilakukan pada saat musim kemarau yaitu: siang sampai sore hari ketika air laut surut dan jarak padang lamun di Poton Bako dan Gili Maringkik secara geografis berdekatan. Hasil pengukuran salinitas perairan padang lamun di Poton Bako antara 29– 34 psu dengan rata-rata 30,89±1,17 psu, sedangkan salinitas perairan di Gili Maringkik antara 30–33 psu dengan rata-rata 31±0,84 psu. Salinitas perairan di Poton Bako dan Gili Maringkik masih sesuai baku mutu salinitas yang baik berdasarkan KepMenNeg LH No 51 tahun 2004 yaitu 33– 34 psu. Berdasarkan hasil analisis ragam, salinitas perairan di Poton Bako dan Gili Maringkik menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan nilai p = 0,223. Salinitas perairan pesisir selalu berfluktuasi akibat pengaruh sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan air sungai (Nybakken 1992). Hasil pengukuran pH perairan padang lamun di Poton Bako antara 8,2–8,5 dengan rata- rata 8,25±0,12, sedangkan perairan di Gili Maringkik antara 8,3–8,6 dengan rata-rata 8,42±0,10. Berdasarkan hasil analisis ragam, pH perairan di kedua lokasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) dengan nilai p = 0,000. Adanya perbedaan nyata pH perairan diduga karena ekosistem lamun di Poton Bako terpengaruh dua aliran sungai, sedangkan perairan padang lamun di Gili Maringkik tidak dipengaruhi oleh masukan air tawar dari daratan. Berdasarkan hasil pengukuran, oksigen terlarut ekosistem padang lamun di Poton Bako antara 4,4–6,8 mg/l dengan rata-rata 5,06±0,51 mg/l, sedangkan oksigen terlarut perairan padang lamun di Gili Maringkik antara 4,3–5,4 mg/l dengan rata-rata 5±0,22 mg/l. Berdasarkan hasil analisis ragam, oksigen terlarut perairan di Poton Bako dan Gili Maringkik menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan nilai p = 0,408. Fluktuasi kandungan oksigen terlarut dapat disebabkan oleh faktor arus perairan yang bergerak relatif cepat di wilayah pesisir dan dampak masukan air dari muara sungai yang mengandung banyak bahan organik. Selain itu, pencemaran air akibat masuknya limbah menuju laut dapat mengganggu perubahan kimiawi dan biologi perairan, hal ini dapat mengganggu aktivitas biota laut dalam proses metabolisme yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen terlarut perairan (Susana 2009). Jumlah total padatan terlarut perairan padang lamun di Poton Bako antara 7556–9094 ppm dengan rata-rata 8605,97±364,04 ppm, sedangkan perairan di Gili Maringkik antara 8843– 9204 ppm dengan rata-rata 8810,74±252,13 ppm. Berdasarkan analisis ragam, jumlah total padatan terlarut perairan di Poton Bako dan Gili Maringkik menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) dengan nilai p = 0,024. Perbedaan nyata jumlah total padatan terlarut di kedua lokasi dapat disebabkan karakteristik perairan pesisir di Poton Bako yang dipengaruhi dua aliran sungai dan vegetasi hutan mangrove dapat menjadi faktor yang berbeda dengan ekosistem lamun di Gili Maringkik dengan karakteristik pulau kecil tanpa adanya aliran sungai dan perairan yang jernih.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 129

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Komposisi Jenis Lamun Total jenis lamun yang ditemukan di perairan Poton Bako dan Gili Maringkik berjumlah 10 jenis dari total 13 jenis lamun yang ditemukan di Indonesia (Tabel 1).

Tabel 1. Komposisi jenis lamun di Kabupaten Lombok Timur Suku Jenis Poton Bako Gili Maringkik Cymodoceaceae Cymodocea rotundata + + Cymodocea serrulata - + Halodule pinifolia - + Halodule uninervis + - Syringodium isoetifolium - + Thalassodendron ciliatum + - Hydrocharitaceae Enhalus acoroides + + Halophila minor + + Halophila ovalis - - Halophila decipiens - - Halophila spinulosa - + Halophila sulawesii - - Thalassia hemprichii + +

Perbedaan jumlah komposisi jenis lamun di kedua lokasi dapat dibuktikan dari jumlah jenis yang ditemukan yaitu enam jenis lamun di Poton Bako dan delapan jenis di Gili Maringkik. Secara rinci terdapat dua jenis lamun yang ditemukan di Poton Bako tetapi tidak ditemukan di Gili Maringkik, yaitu: T. ciliatum dan H. uninervis, sedangkan jenis yang ditemukan di Gili Maringkik tetapi tidak ditemukan di Poton Bako berjumlah empat jenis, yaitu: C. serrulata, H. pinifolia, H. spinulosa dan S. isoetifolium. Perbedaan komposisi jenis ini disebabkan oleh karakteristik perairan di kedua lokasi yang berbeda. Faktor pertama, pesisir perairan di Poton Bako dipengaruhi oleh dua aliran sungai yang berdampak terhadap kekeruhan, sedangkan karakteristik perairan di Gili Maringkik yang jernih dapat mendukung penetrasi cahaya di dalam kolom air sehingga sangat bermanfaat dalam proses fotosintesis lamun. Faktor kedua, limbah buangan yang berasal dari daratan di Gili Maringkik relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan perairan di Poton Bako yang lebih tercemar, sehingga menjadikan habitat lamun di Gili Maringkik tetap terjaga. Komposisi jenis T. ciliatum dan H. spinulosa memiliki persebaran yang sangat rendah di perairan Indonesia. Bersadarkan Kiswara dan Utomo (1985) dan Nainggolan (2011) bahwa persebaran H. spinulosa tercatat hanya di empat lokasi di Indonesia, yaitu: Pulau Bintan Kepulauan Riau, Laut Anyer Jawa, Laut Baluran Utara dan Laut Irian, sedangkan T. ciliatum merupakan jenis dengan persebaran rendah di perairan Indonesia timur (Syukur et al. 2012). Hasil temuan ini dapat menjadi informasi baru persebaran jenis T. ciliatum dan H. spinulosa di perairan Kabupaten Lombok Timur.

130 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Kepadatan Jenis Lamun Kepadatan jenis merupakan struktur dan komposisi yang dapat digunakan mengestimasikan kemampuan produktivitas primer berdasarkan jumlah individu dengan mempertimbangkan luasan penelitian. Kepadatan jenis tertinggi di kedua lokasi adalah C. rotundata di antara jenis lain dengan nilai kepadatan 214,67±110,47 individu m-2 di Poton Bako dan 506,40±187,81 individu m-2 di Gili Maringkik. Kepadatan jenis C. rotundata di Gili Maringkik lebih tinggi jika dibandingkan dengan Poton Bako, tetapi pada umumnya C. rotundata tumbuh di habitat tepi pesisir dengan jumlah tegakan yang banyak dan ditemukan pada karakteristik pasir halus di kedua lokasi. Hal ini sesuai dengan laporan Feryatun et al. (2012) dan Hartati et al. (2012) bahwa pada wilayah pesisir yang mengarah menuju laut sering ditemukan jenis tunggal berasosiasi tinggi yang dapat mempengaruhi nilai kepadatan jenis. Kepadatan jenis kedua tertinggi di Poton Bako dan Gili Maringkik adalah T. hemprichii yang secara berurutan 85,11±41,47 individu m-2 dan 73,28±77,15 individu m-2 (Gambar 2). Tingginya nilai kepadatan T. hemprichii dapat disebabkan oleh kemampuan adaptasi yang baik di lingkungan perairan Indonesia, sehingga T. hemprichii menjadi penentu kualitas perairan laut Indonesia (Larkum et al. 1989).

8 0 0

6 0 0

)

2

- m

4 0 0

u

d

i

v i

d 2 0 0

n

I

(

n a

t 1 0

a d

a 8 p

e 6 K 4 2

0

i r s s a a ta i o e i m m ia s t h v u u l a a c in id r t i o lo l d i o e a l f u n r m r n i o i u r u p . i il if in n r t o n c t i e o m H c u e p p s r e a . o . s h . . T s . . . . i H C C E H . H T S

Gambar 2. Kepadatan jenis lamun di Kabupaten Lombok Timur

Kepadatan E. acoroides di Poton Bako lebih rendah dibandingkan dengan di Gili Maringkik, tetapi E. acoroides di Poton Bako memiliki persebaran yang lebih tinggi, salah satu faktor penentu nilai kepadatan E. acoroides rendah di Poton Bako karena jenis ini memiliki morfologi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan di Gili Maringkik, sehingga membutuhkan ruang yang lebih luas untuk tumbuh, hal ini sesuai dengan pendapat Kiswara (1992) bahwa morfologi lamun yang besar pada umumnya memiliki kepadatan yang rendah daripada morfologi lamun yang kecil. Kepadatan terendah di Poton Bako adalah H. uninervis dan T. ciliatum, sedangkan di Gili Maringkik adalah H. pinifolia, H. spinulosa, C. serrulata.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 131

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Secara umum, rendahnya nilai kepadatan jenis tersebut di kedua lokasi dipengaruhi oleh tingkat persebaran jenis yang terbatas dan rendahnya kemampuan adaptasi terhadap faktor lingkungan.

Penutupan jenis Lamun Persentase tutupan lamun memiliki korelasi positif terhadap kemampuan pengusaaan jenis lamun di setiap petak pengamatan. Berdasarkan hasil perhitungan, persentase tutupan lima jenis lamun di Poton Bako berkorelasi positif terhadap kepadatan, kecuali pada jenis E. acoroides yang memiliki kepadatan keempat tertinggi (20,44±12,22 individu m-2) dengan persentase tutupan jenis kedua tertinggi (31,07±16,24 %) di antara enam jenis lamun (Gambar 3). Kepadatan dan penutupan rata-rata E. acoroides tidak berkorelasi posistif karena persebaran E. acoroides yang tergolong tertinggi tetapi memiliki jumlah tegakan yang rendah pada setiap petak pengamatan, hal ini disebabkan ukuran morfologi E. acoroides yang besar dapat mempengaruhi tingkat penguasaan persentase tutupan. Hal ini sesuai dengan laporan Short dan Coles (2003) bahwa satu individu E. acoroides dan T. hemprichii akan memiliki nilai penutupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan satu individu H. minor karena ukuran morfologi daun E. acoroides yang jauh lebih besar, sedangkan individu lamun yang berukuran lebih kecil seperti H. minor akan memiliki nilai persentase tutupan yang lebih kecil.

8 0

6 0

) %

( 4 0

s

i

n

e j

2 0

n

a p

u 1 0

t u

T 8 6 4 2 0

s i r s ta e i i m m ta a ia h o v u s l a d c n r tu i a o d i i i e l l l fo n o r ia o u u i r p m in l f r n n u o . i ti r i i t c m n c e p p o e H u . e s s r a o . . . . h . T s . . H i C H C E T . H S Gambar 3. Penutupan jenis lamun di Kabupaten Lombok Timur

Secara keseluruhan, persentase tutupan jenis lamun di perairan Poton Bako dan Gili Maringkik berdasarkan kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup (KepMenNeg LH) No 200 Tahun 2004 bahwa tidak ditemukan jenis dengan kriteria tutupan kaya (sehat), karena secara keseluruhan persentase penutupan jenis lamun kurang dari 60 %. Terdapat beberapa jenis dengan kriteria jenis kurang kaya (kurang sehat) di kedua lokasi penelitian karena termasuk dalam kategori persentase tutupan jenis antara 30–59,9 % yaitu pada jenis C. rotundata (33,47±26,75 %) di Poton Bako dan C. rotundata (31,36±33,75 %) di Gili Maringkik, selajutnya E. acoroides (31,07±16,24 %) di Poton Bako dan T. hemprichii (36,52±30,00 %) di Gili Maringkik, sedangkan jenis lamun lainnya termasuk dalam kategori tutupan miskin dengan nilai rata-rata tutupan kurang dari 29.9 % di kedua lokasi.

132 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Distribusi Spasial Padang Lamun Padang lamun di Poton Bako secara umum dikuasai oleh jenis E. acoroides dan C. rotundata. Distribusi spasial C. rotundata tumbuh pada habitat pesisir yang berdekatan dengan persebaran jenis T. hemprichii dan H. uninervis, sedangkan E. acoroides yang terdapat di perairan Poton Bako memiliki persebaran tertinggi dan tumbuh sampai wilayah tubir hal ini diduga karena hanya E. acoroides yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap kedalaman dan kekeruhan perairan, hal ini sesuai dengan laporan La Nafie dan Arifin (2003) bahwa E. acoroides merupakan jenis lamun yang dapat tumbuh di habitat pesisir yang dipengaruhi oleh aliran sungai yang keruh. Persebaran T. hemprichii di Poton Bako tumbuh berdekatan dengan C. rotundata, sedangkan di Gili Maringkik secara luas berasosiasi dengan E. acoroides. Perbedaan asosiasi T. hemprichii di Poton Bako dan Gili Maringkik disebabkan adanya faktor pembatas kedalaman dan penetrasi cahaya. E. acoroides di Poton Bako berada pada daerah tubir dengan kedalaman sekitar 2–4 m dan selalu dalam keadaan keruh, sehingga T. hemprichii hanya dapat hidup pada wilayah pesisir yang dapat dengan baik menerima cahaya matahari ketika air surut, berbeda halnya di Gili Maringkik meskipun tumbuh pada kedalaman 2–4 m tetapi didukung oleh kualitas perairan jernih dan penetrasi cahaya yang baik, menjadikan T. hemprichii dapat tumbuh dan berasosiasi secara luas dengan E. acoroides. Berdasarkan laporan Kiswara (1997) bahwa faktor lingkungan yang dibutuhkan oleh E. acoroides dan T. hemprichii memiliki kesamaan dan dapat tumbuh pada substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur, pasir dan karang, hidup di perairan dengan penetrasi cahaya yang baik di kolom air. Berikut adalah distribusi spasial lamun di Poton Bako pada Gambar 4 dan di Gili Maringkik pada Gambar 5.

Gambar 4. Distribusi spasial lamun di Poton Bako, Kabupaten Lombok Timur

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 133

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 5. Distribusi spasial lamun di Gili Maringkik, Kabupaten Lombok Timur

SIMPULAN Padang lamun Lombok Timur terdiri dari 10 jenis dari total 13 jenis lamun yang terdapat di Indonesia. Kepadatan jenis tertinggi adalah C. rotundata, sedangkan persentase tutupan jenis tertinggi adalah T. hemprichii, C. rotundata, dan E. acoroides. Pola persebaran zonasi tumbuh jenis C. rotundata memiliki kesamaan di kedua lokasi, sedangkan jenis T. hemprichii dan E. acoroides berbeda.

DAFTAR PUSTAKA Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana. 24(1):1-16. den Hartog C. 1970. The Seagrasses of the World. Amsterdam (NL): North Holland Publ. 275 hlm. Feryatun F, Hendrarto B, Widyorini N. 2012. Kepadatan dan distribusi lamun (seagrass) berdasarkan zona kegiatan yang berbeda di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Management of Aquatic Resources. 1(1):1-7. Hartati R, Djunaedi A, Haryadi, Mujianto. 2012. Struktur komunitas padang lamun di perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Indonesian Journal of Marine Science. 17(4): 217-225. Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu Jakarta. Oseanologi Indonesia. 25:31-49. Kiswara W, Hutomo M. 1985. Habitat dan sebaran geografik lamun. Oseana. 10(1):21- 30. [KepMenNeg LH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. (ID) [KepMenNeg LH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. (ID) La Nafie YA, Arifin. 2003. Kondisi ekosistem padang lamun di Pulau Lae-Lae, Makassar. Torani. 13(4):209-216.

134 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Larkum AWD, Comb AJMc, Shepherd SA. 1989. Biology of seagrass: A treatise on the biology of seagrases with special reference to the Australian region. Di dalam: Larkum AWD, Kendrick GA, Ralph PJ, editor. Seagrasses of Australia: Structure, Ecology and Conservation. New York (US): Springer International Publishing. 797 hlm. McKenzie LJ, Campbell SJ, Roder CA. 2003. Seagrass Watch: Manual for Mapping & Monitoring Seagrass Resources by Community (Citizen) Volunteers. Ed ke-2. Cairns (AU): Seagrass-Watch HQ. 104 hlm. Nainggolan P. 2011. Distribusi spasial dan pengelolaan lamun (seagrass) di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. Short FT, R Coles. 2003. Global Seagrass Research Method. Amsterdam (NL): Elsevier Science. 473 hlm. Susana T. 2009. Tingkat keasaman (pH) dan oksigen terlarut sebagai indikator kualitas perairan sekitar muara sungai Cisadane. Jurnal Teknologi Lingkungan. 5(2):33-39 Syukur A, Wardiatno Y, Muchsin I, Kamal MM. 2012. Keragaman jenis lamun dan kondisinya di perairan Tanjung Luar Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis. 12(1):1-12.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 135

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

SEBARAN FITOPLANKTON DI TELUK JOR, KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT (Distribution of Phytoplankton in JOR Bay, East Lombok District, West Nusa Tenggara)

Oleh: Chandrika Eka Larasati*, Dewi Putri Lestari, Nurliah, Ayu Adhita Damayanti Universitas Mataram – Mataram * Email: [email protected]

ABSTRAK Teluk JOR merupakan kawasan perairan di Kabupaten Lombok Timur yang memiliki karakteristik perairan yang unik, dimana dicirikan oleh keberadaan komunitas mangrove, lamun dan terumbu karang. Kawasan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai area penangkapan ikan dan adanya kegiatan budidaya perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebaran fitoplankton yang berada si sekitar kawasan lamun guna mendukung dalam aktivitas perikanan di Teluk JOR. Penelitian ini menggunakan metode survei pada 6 stasiun yang berbeda-beda aktivitasnya pada Bulan September 2018. Sebaran fitoplankton diukur seukuran dengan pengukuran parameter fisika kimia perairan. Keterkaitan antara sebaran fitoplankton dengan parameter fisika kimia perairan, dilihat menggunakan analisis komponen utama (PCA). Hasil menunjukkan bahwa fitoplankton dari kelas Bacillariophyta khususnya jenis diatom memiliki kelimpahan yang banyak ditemukan di sekitar Teluk JOR. Tercatat 14 genus diatom yang ditemukan selama penelitian, yakni; Achnanthes, Amphora, Bacteriastrum, Biddulphia, Chaetoceros, Coscinodiscus, Cylindrotheca, Guinardia, Lyrella, Navicula, Nitzschia, Pleurosigma, dan Rhizosolenia. Kelimpahan jenis fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah jenis Chaetoceros yang hampir di setiap stasiun pengamatan ditemukan jenis tersebut. Chaetoceros merupakan jenis diatom yang banyak dimanfaatkan oleh ikan sebagai pakan alami dan mampu hidup pada kondisi lingkungan perairan yang tercemar. Oleh karena itu, kawasan Teluk JOR dapat dijadikan sebagai kawasan alternatif guna pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan.

Kata Kunci:Chaetoceros, fitoplankton, kelimpahan, Teluk JOR

ABSTRACT JOR Bay is an aquatic area in East Lombok Regency which has unique water characteristics, which are characterized by the presence of mangrove communities, seagrasses and coral reefs. This area is widely used by surrounding communities as fishing areas and the existence of aquaculture activities. This study aims to analyze the distribution of phytoplankton around the seagrass area to support fisheries activities in JOR Bay. This study used a survey method on 6 stations with different activities in September 2018. The distribution of phytoplankton was measured about the size of the measurements of physical chemical parameters of the waters. The relationship between the distribution of phytoplankton and the physical chemical parameters of the waters, was seen using principal component analysis (PCA). The results show that phytoplankton from the Bacillariophyta class, especially diatom species, have abundance found around JOR Bay. Recorded 14 diatom genera found during the study, namely; Achnanthes, Amphora, Bacteriastrum, Biddulphia, Chaetoceros, Coscinodiscus, Cylindrotheca, Guinardia, Lyrella, Navicula, Nitzschia, Pleurosigma, and Rhizosolenia. The most abundant type of phytoplankton found is the type of Chaetoceros, which is found in almost every observation station. Chaetoceros is a type of diatom often found in Indonesian waters.

136 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Chaetoceros is a type of diatom that is widely used by fish as natural food and is able to live in polluted environmental conditions. Therefore, the JOR Bay area can be used as an alternative area for sustainable use of fisheries.

Keywords: abundance, Chaetoceros, JOR Bay, phytoplankton

PENDAHULUAN Fitoplankton adalah tumbuhan tingkat rendah yang berukuran mikroskopis dan mampu melakukan aktifitas fotosintetik seperti halnya tumbuhan tingkat tinggi, hidup melayang dalam kolom perairan (Sutom 2013). Organisme ini memiliki kemampuan mengubah zat anorganik menjadi zat organik (Nurafni 2002). Fitoplankton merupakan produsen primer yang membentuk jejaring makanan di daerah estuari dan laut, sehingga dapat membantu dalam produksi ikan dan organisme lain yang hidup didalamnya (Castro and Huber, 2003). Selain berkontribusi dalam produktivitas primer, fitoplankton dapat dijadikan sebagai bioindikator perairan, dimana memiliki siklus hidup yang pendek dan tingkat kepekaan terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan (Sahu et al. 2012; Gudmundsdottir et al., 2013; Madhavi et al., 2014). Sebaran fitoplankton dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari alam (erosi, masukan dari air tawar, maupun adanya aktivitas manusia (aktivitas rumah tangga, pertanian, budidaya maupun industri) (Indra 2002). Aktivitas manusia akan mempengaruhi kualitas perairan di kawasan tertentu. Kualitas perairan akan menentukan tingkat kesuburan di suatu perairan seperti ketersediaan nutrien yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup bagi organisme perairan. Teluk JOR berada di perairan Kabupaten Lombok Timur. Kawasan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai area penangkapan ikan dan adanya kegiatan budidaya perikanan seperti Lobster. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya keramba jaring apung (KJA) yang berada di sepanjang antara Teluk JOR bagian dalam maupun bagian luar yang digunakan sebagai wadah budidaya. Selain itu, di sekitar kawasan Teluk JOR terdapat berbagai aktivitas rumah tangga yang akan mempengaruhi kondisi perairan tersebut. Sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton yang mana dijadikan sebagai pakan alami bagi ikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis parameter lingkungan perairan yang mendukung pertumbuhan fitoplankton di sekitar kawasan Teluk JOR.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September 2018. Analisis perhitungan fitoplankton dan parameter lingkungan perairan dilakukan di Laboratorium Bioekologi Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan karakteristik dan aktivitas manusia yang berbeda-beda.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 137

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Teluk JOR

Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode survei. Titik sampling dibagi menjadi 6 stasiun (Gambar 1), yaitu: Stasiun 1, 5, 6 (Kawasan Telong elong), Stasiun 2 (Kawasan Gili Belek), Stasiun 3 (Kawasan Gili Re), Stasiun 4 (Kawasan Poton Bako). Pengambilan sampel air dilakukan untuk mengukur perameter lingkungan perairan guna mendukung pertumbuhan fitoplankton dan mengukur kelimpahan fitoplankton. Parameter lingkungan perairan yang diukur seperti salinitas, suhu, pH, dan oksigen terlarut. Sedangkan pengambilan sampel fitoplankton dilakukan menggunakan jaring plankton net dengan mesh size 20 µm (Larasati et al. 2015). Sampel air disaring sebanyak 50 liter di permukaan perairan dan dimasukkan ke dalam botol sampel ukuran 100 ml. Kemudian sampel diawetkan dengan Larutan Lugol sebanyak 4 tetes (Sahu et al. 2012). Sampel diberi label untuk membedakan setiap stasiunnya, kemudian sampel dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Pencacahan sampel fitoplankton dilihat di bawah mikroskop dengan menggunakan metode Sedgwick rafter cell (APHA 2005). Identifikasi dilakukan berdasarkan buku Hasle et al. (1996) dan Omura et al. (2012). Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan rumus: N = n x (vt/vcg) x (ASRC/Aa) x (1/vd) ……...... (1) dimana : N = Kelimpahan fitoplankton (sel m-3) n = Jumlah sel yang teramati vt = Volume air tersaring (ml) vcg = Volume Sedwick Rafter Cell (ml), dan 3 vd = Volume air yang disaring (m ) Aa = Luas amatan dalam SRC (997.5 mm2) 2 ASRC = Luas SRC (1000 mm )

Data yang didapat selama penelitian, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dengan bantuan software excel. Hubungan sebaran fitoplankton dengan parameter lingkungan perairan

138 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

menggunakan analisis komponen utama (PCA). Selain itu, untuk mengetahui sebaran fitoplankton di setiap stasiun penelitian digunakan analisis koresponden (CA).

HASIL DAN PEMBAHASAN Fitoplankton yang didapat selama penelitian di Teluk JOR adalah dari kelas Bacillariophyta dengan jenis diatom sebanyak 14 jenis (Achnanthes, Amphora, Bacteriastrum, Biddulphia, Chaetoceros, Coscinodiscus, Cylindrotheca, Guinardia, Lyrella, Navicula, Nitzschia, dan Pleurosigma). Jenis tersebut menggambarkan adanya variasi yang didapat di setiap stasiun penelitian. Jenis fitoplankton yang paling banyak ditemukan yakni pada genus Chaetoceros yang hampir diseluruh stasiun ditemukan dengan kelimpahan tertinggi berada pada Stasiun 1 sebanyak 56.140 sel/L (Gambar 1). Sedangkan jenis fitoplankton yang sedikit ditemukan adalah pada genus Bacteriastrum yang hanya ditemukan pada Stasiun 6 sebesar 4.010 sel/L. Jenis diatom yang ditemukan selama penelitian merupakan makanan alami ikan, terutama genus Chaetoceros yang banyak dijadikan sebagai pakan alami bagi kerang-kerangan, tiram mutiara, ikan dan larva udang (Cokrowati et al. 2014). Diatom merupakan jenis fitoplankton yang termasuk dalam kelas Bacillariophyta. Jenis tersebut merupakan jenis yang bersifat kosmopolitan, yang mana dapat ditemukan di semua perairan, baik perairan tawar, payau, maupun laut. Oleh karena itu, jenis diatom yang ditemukan selama penelitian dapat dikatakan berguna bagi ekosistem perairan dalam proses jejaring makanan. Sehingga pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan baik pada lokasi penelitian ini.

Gambar 2. Kelimpahan jenis Fitoplankton di Kawasan Teluk JOR

Kelimpahan total fitoplankton yang didapat selama penelitian memiliki variasi jumlah kelimpahannya (Gambar 2). Kelimpahan total tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yakni di kawasan Telong telong sebesar 158.396 sel/L. Hal ini diduga oleh Stasiun 1 yang terletak dekat dengan muara sungai yang merupakan pertemuan antara sungai dengan laut. Muara sungai tersebut kaya akan nutrien dan bahan organik, sehingga kelimpahan yang didapat akan lebih banyak ditemukan.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 139

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

200000

180000 158396

160000

140000 104261 120000 88221 100000 KELIMPAHAN 80000 58145 50125 56140

60000 Kelimpahan (sel/Liter) totalKelimpahan 40000

20000

0 1 2 3 4 5 6 Stasiun

Gambar 3. Kelimpahan total fitoplankton yang ditemukan

Parameter Lingkungan Perairan Kualitas perairan yang diukur seperti salinitas, suhu, pH, dan oksigen terlarut (DO) memiliki nilai yang bervariasi namun tidak signifikan berbeda yang dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai salinitas yang diukur selama penelitian berkisar antara 30 – 31 ppt. Dimana konsentrasi tertinggi terdapat pada Stasiun 3, 4 dan 5 yakni sebesar 31 ppt. Perbedaan nilai salinitas yang didapat tak terlepas dari pasokan massa air tawar dari sungai saat surut dan pasokan air laut yang datang saat pasang (Larasati et al. 2015). Waktu dan kondisi pengambilan sampel airpun seperti adanya hujan juga dapat mempengaruhi penurunan nilai salinitas yang didapat. Kandungan oksigen terlarut yang didapat selama penelitian berkisar antara 4,2 – 5,7 mg/L. Perbedaan nilai oksigen terlarut disebabkan adanya aktivitas di perairan tersebut. Organisme di perairan memanfaatkan oksigen terlarut dalam sistem respirasi, sehingga akan mempengaruhi terhadap penurunan oksigen. Kandungan oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya proses turbulensi, dan biologi perairan (fotosintesis, dekomposisi) (Al-Hashmi et al. 2014). Nilai pH yang didapat tidak memiliki perubahan yang signifikan yakni berkisar 6,3 – 6,7. Begitu juga dengan nilai suhu selama penelitian yang berkisar antara 28 – 28,7 oC.

140 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 4. Parameter lingkungan perairan di Kawasan Teluk JOR

Keterkaitan Parameter Kualitas Perairan dan Sebaran Fitoplankton Hasil PCA menunjukkan adanya keterkaitan antara sebaran fitoplankton dengan parameter kualitas perairan yang dapat dilihat pada Gambar 5. Pada penelitian ini, Stasiun 1 dan 6 dicirikan oleh kelimpahan fitoplankton dan oksigen terlarut. Kelimpahan fitoplankton akan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut. Oksigen terlarut dihasilkan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis (Al-Hashmi et al. 2014). Stasiun 3 dan 5 dicirikan oleh suhu dan salinitas. Parameter tersebut memiliki konsentrasi yang tinggi khususnya pada Stasiun 3 dibandingkan dengan stasiun lainnya. Parameter ini memiliki korelasi yang negatif terhadap kelimpahan fitoplankton (De Jonge et al. 2008).

Gambar 5. Analisis komponen utama keterkaitan kelimpahan diatom dengan parameter lingkungan perairan Teluk JOR, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 141

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Sebaran Jenis Fitoplankton Hasil analisis koresponden (CA) menunjukkan adanya sebaran fitoplankton di setiap stasiun penelitian. Gambar 6 menunjukkan bahwa jenis Chaetoceros, Guinardia, Lyrella, Navicula, dan Skeletonema dicirikan oleh Stasiun 1. Jenis tersebut memiliki kelimpahan tertinggi pada Stasiun 1. Hal ini didukung oleh tingginya kadar oksigen terlarut pada Stasiun 1 yakni sebesar 5,7 mg/L. Selain itu, Stasiun 1 berada dekat dengan muara sungai yang mana memiliki kandungan organik dan nutrien yang tinggi dibandingkan pada perairan air tawar maupun air laut. Jenis Pleurosigma hanya dicirikan oleh Stasiun 2. Hal ini disebabkan oleh jenis tersebut memiliki kelimpahan tertinggi di Stasiun 2. Diduga jenis ini mampu bertoleransi terhadap salinitas yang rendah, sehingga jenis banyak ditemukan pada Stasiun 2, walaupun pada Stasiun 3 dan 6 juga terdapat jenis ini. Stasiun 3, 5, dan 6 memiliki gambaran fitoplankton dengan jenis Amphora, Bacteriastrum, Biddulphia, Coscinodiscus, dan Cylindrotheca. Pada stasiun tersebut memiliki suhu yang tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Tingginya suhu akan meningkatkan sistem metabolisme tubuh pada fitoplankton. Sehingga kelimpahan fitoplankton yang didapat lebih banyak ditemukan dibandingkan stasiun lain.

Gambar 6. Analisis koresponden (CA) pada sebaran fitoplankton

Jenis Achnanthes, Nitzschia dan Rhizosolenia dicirikan oleh Stasiun 4. Jenis tersebut diduga mampu beradaptasi pada kadar salinitas yang tinggi (Yamada et al. 2013). Khususnya pada genus Nitzschia yang merupakan jenis diatom yang berpotensi menyebabkan terjadinya

142 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

HAB yang mengakibatkan masalah ASP (Amnesia Shellfish Poisoning), dimana dapat menyebabkan kerusakan pada otak, ingatan, bahkan kematian (Hallegraeff 1993).

SIMPULAN Kelimpahan fitoplankton di Teluk JOR, Lombok Timur tersebar diberbagai stasiun penelitian yang terdiri atas 14 genus dari jenis diatom; Achnanthes, Amphora, Bacteriastrum, Biddulphia, Chaetoceros, Coscinodiscus, Cylindrotheca, Guinardia, Lyrella, Navicula, Nitzschia, dan Pleurosigma. Jenis Chaetoceros memiliki kelimpahan tertinggi dibandingkan stasiun lain. Jenis tersebut banyak dimanfaatkan sebagai pakan alami bagi ikan, larva udang, dan kerang-kerangan. Sehingga sebaran fitoplankton yang ditemukan dapat bermanfaat bagi perikanan yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA Al-Hashmi KA, Goes J, Claereboudt, Piontkovski, Al-Azri A, Smith SL. 2014. Variability of dinoflagellates and diatoms in the surface water of Muscat, Sea of Oman: Comparison between enclosed and open ecosystem. International Journal of Oceans and Oceanography. 8(2): 137-152. [APHA] American Public Health Administrations. 2005. Standard methods for the examination of water and waste water. 21th Edition. Part 10000. Washington (USA): Port City Press. 75 p. Cokrowati N, Amir S, Abidin Z, Setyono ABD, Damayanti AA. 2014. Kelimpahan dan komposisi fitoplankton di perairan Teluk Kodek Pemenang Lombok Utara. Depik. 3(01): hal. 21-26. De Jonge M, Van de Vijver B, Blust R, Bervoests L. 2008. Responses of aquatic organisms to metal pollution in a lowland river in Flanders: a comparison of diatoms and macroinvertebrates. Science of The Total Environment. 407(1): 615-629. Gudmundsdottir R, Palsson S, Hannesdottir ER, Olafsson JS, Gislason GM, Moss B. 2013. Diatoms as indicators: The influences of experimental nitrogen enrichment on diatom assemblages in sub-Arctic streams. Ecological Indicators. 32:74-81. Hallegraeff GM. 1993. A review of harmful algal blooms and their apparent global increase. Phycologia. 32(2):79-99. Hasle GR, Syvertsen EE, Steidinger KA, Tangen K. 1996. Identifying Marine Diatoms and Dinoflagellates. California (USA): Academic Press. 598 p. Indra J. 2002. Distribusi horizontal unsur hara/nutrien (N, P dan Si) pada bulan Juli, Oktober, dan Desember 2001 di Perairan Teluk Semangka, Lampung. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 29 hal. Larasati CE, Kawaroe M, Prartono T. 2015. Karakteristik diatom di Selat Rupat Riau. Jurnal Ilmu Kelautan. 20(4): 223-232 Madhavi K, Gowda G, Jayaraj E, Lakshmipathi M, Sree CS. 2014. Distribution of Diatoms in Riverine, Estuarine and Coastal Waters off Mangalore, Karnataka. Journal of Academia and Industrial Research. 3(3): 142-147. Omura T, Iwataki M, Borja VM, Takayama H, Fukuyo Y. 2012. Marine phytoplankton of the Western Pacific. Tokyo (JPN): Kouseishe Kouseikaku. 160 p. Sahu G, Satpathy K, Mohanty A, Sarkar S. 2012. Variations in community structure of phytoplankton in relation to physicochemical properties of coastal waters, southeast coast of India. Indian Journal of Geo-Marine Sciences. 41(3): 223-241.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 143

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Sutomo. 2013. Struktur komunitas fitoplankton di Perairan Teluk Sekotong dan Teluk Kodek, Kabupaten Lombok. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(1): 131-144. Yamada M, Otsubo M, Tsutsumi Y, Mizota C, Iida N, Okamura K, Kodama M, Umehara A. 2013. Species diversity of the marine diatom genus Skeletonema in Japanese brackish water areas. Fisheries Science. 79(6): 923-934.

144 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

STRUKTUR KOMUNITAS PADANG LAMUN DI PANTAI SIRE KABUPATEN LOMBOK UTARA

Oleh: Nurliah*, Ibadur Rahman, Saptono Waspodo, Ayu Adhita Damayanti Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, * Email: [email protected]

ABSTRAK Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang memiliki peranan penting secara ekologis, karena berfungsi sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat pemijahan (spawning ground) dan tempat asuhan (nursery ground) berbagai jenis biota. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas padang lamun di Pantai Sire Kab. Lombok Utara. Pengamatan yang dilakukan meliputi persentase penutupan lamun, komposisi jenis dan jumlah tegakan lamun, tinggi kanopi, frekuensi kehadiran lamun. Penelitian ini dilakukan menggunakan kuadran 1x1m, sebanyak 33 titik dengan luas area 100x100 m2, mengacu pada standar monitoring Seagrass Watch. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat 5 (lima) jenis lamun dengan rerata jumlah tegakan masing-masing, yaitu; Enhalus acoroides(16 ind/m2), Cymodocea rotundata(144 ind/m2), Thalassia hemprichii(33 ind/m2), Halodule uninervis (7 ind/m2) dan Syringodium isoetifolium(37 ind/m2). Rerata persentase penutupan adalah sebesar 70%, dengan rerata tinggi kanopi 31 cm. Cymodocea rotundatamerupakan jenis dengan nilai frekuensi kehadiran tertinggi yaitu sebesar 100%, sehingga jenis ini selalu ditemukan pada setiap titik pengamatan.

Kata kunci: padang lamun, Pantai Sire

PENDAHULUAN Ekosistem padang lamun disusun oleh tumbuhan lamun dan menjadi tempat yang cocok untuk keberlangsungan hidup berbagai biota karena fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat pemeliharaan anakan (nursery ground) dan sebagai tempat untuk melakukan pemijahan (spawning ground). Tegakan lamun dengan kerapatan yang tinggi di suatu perairan dapat meredam arus dan dapat menjadi tempat persebunyian yang baik dari hewan pemangsa, sehingga biota-biota asosisasi tersebut cenderung merasa aman. Di antara biota asosiasi yang hidup di padang lamun adalah makrozoobentos. Makrozoobentos yang hidup di padang lamun terbagi menjadi tiga jenis: 1) infauna yang hidup meliang di dalam substrat umumnya terdiri dari: cacing laut (Polychaeta), kerang (Bivalvia), keong (Gastropoda), udang atau kepiting (Malacostraca), bulu hati (Echinodermata) dan ikan gobi (); 2) Organisme epifauna meliputi jenis-jenis: kerang (Bivalvia), keong (Gastropoda), sponges (Porifera), bulu babi, bintang laut, bintang mengular (Echinodermata) dan anemon (Anthozoa); 3) jenis hewan epibentik diantaranya yaitu kelompok ikan (Actinopterygii). Struktur komunitas padang lamun di suatu perairan terdiri dari komposisi yang berbeda, dengan kerapatan (persentase penutupan) yang berbeda-beda pula. Ada padang lamun yang tersusun dari jenis tunggal, namun sebagian besar padang lamun merupakan komunitas campuran (mixed community). Adanya perbedaan komposisi dan kerapatan padang lamundi suatu perairan diduga akan mempengaruhi struktur dan komposisi biota asosiasi lamun pada perairan tersebut.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 145

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Penelitian mengenai struktur komunitas padang lamun dan biota asosiasinya masih sangat jarang dilakukan, khususnya di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Salah satu daerah padang lamun dengan komposisi dan kerapatan yang tinggi di wilayah Propinsi NTB terletak di Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi ekosistem lamun yang berfokus pada persentase tutupan laum dan struktur komunitasnya.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – November 2016 di Perairan Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara dan di Laboratorium Budidaya Perairan Universitas Mataram.

Pengambilan Sampel a. Penutupan Lamun Pengambilan data tutupan lamun dilakukan pada 3 line transek, dimana masing-masing transek terdiri dari 11 kuadran menggunakan frame/plot PVC berukuran 1m x 1m. Estimasi persentase penutupan lamun dilakukan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Seagrass Watch (2002) dalam Short et al. (2004). Untuk mengurangi bias, pengambilan data persentase penutupan lamun dilakukansaat kondisi perairan berada dalam keadaan surut rendah. Estimasi penutupanlamun saat kondisi pasang tinggi, relatif lebih sulit dilakukan, karena posisi daunlamun yang berdiri tegak. Selain itu, posisi pengamat menjadi lebih sulit karenaharus berada pada jarak yang cukup jauh dari frame yang diamati.

Gambar 1. Layout titik pengambilan data penutupan lamun b. Struktur Komunitas Lamun Struktur komunitas lamun yang diamati meliputi kepadatan/kerapatan lamun, kerapatan relatif jenis lamun, frekuensi kehadiran, frekuensi kehadiran relatif, penutupan relatif dan indeks nilai penting. Pengambilan data dilakukan pada 6 titik, mengacu pada pedoman penelitian oleh English et al., (1994), dengan layout sebagai berikut:

146 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 2. Layout titik pengambilan data lamun dan polychaeta

Analisis Data a. Komposisi Jenis Lamun Data komposisi jenis lamun diperoleh dari pengambilan data kerapatanlamun dari 6 replikat corer berdiameter 15,7 cm di lapangan. Nilai kerapatan darimasing-masing spesies lamun kemudian dijumlahkan dan dikelompokkanberdasarkan stasiun. Seluruh data kemudian disusun dalam bentuk tabel. b. Kerapatan Jenis Lamun Menurut Brower et al. (1998), kerapatan spesies lamun adalah jumlah totalindividu dalam suatu unit area atau : Ki = Ni / A dengan : Ki = Kerapatan mutlak spesies ke-i Ni = Jumlah total individu spesies ke-i A = Luas total area pengambilan contoh c. Kerapatan Relatif Jenis Lamun Nilai kerapatan relatif lamun diperoleh dari perbandingan kerapatan mutlakspesies ke-i dengan jumlah kerapatan seluruh spesies (Brower et al. 1998). KRi = (Ki / Σ K) dengan : KRi = Kerapatan relatif spesies ke-i Ki = Kerapatan mutlak spesies ke-i ΣK = Jumlah kerapatan mutlak seluruh spesies

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 147

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. d. Frekuensi Jenis Lamun Frekuensi spesies lamun adalah peluang ditemukannya jenis lamun ke-idalam suatu petak contoh dan dibandingkan dengan (Brower et al. 1998). Fi = Pi / Σ P dengan : Fi = Frekuensi spesies ke-i Pi = Jumlah petak contoh ditemukannya spesies ke-i ΣP = Jumlah total petak contoh yang diamati e. Frekuensi Relatif Jenis Lamun Frekuensi relatif spesies lamun dinyatakan sebagai perbandingan frekuensispesies ke-i dengan jumlah total frekuensi spesies lamun. FRi = (Fi / Σ F) dengan : Fi = Frekuensi relatif spesies ke-i Pi = Frekuensi spesies ke-i ΣF = Jumlah total frekuensi seluruh spesies f. Penutupan Jenis Lamun Penutupan spesies lamun diestimasi berdasarkan standar persentasepenutupan yang digunakan dalam monitoring lamun oleh Seagrass Watch (Shortet al. 2004). Penggunaan standar ini sangat penting untuk menghindari biaskarena estimasi didasarkan pada pengamatan visual yang bersifat kualitatif atausemi kuantitatif. Persentase penutupan lamun sangat dipengaruhi oleh berbagaifaktor seperti spesies lamun, kerapatan lamun dan sebaran lamun.

Gambar 3. Standar penutupan lamun Seagrass Watch (Short et al. 2004) g. Penutupan Relatif Jenis Lamun Penutupan relatif spesies lamun dinyatakan sebagai perbandingan penutupanspesies ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh spesies lamun. PRi = (Pi / Σ F) dengan : Fi = Penutupan relatif spesies ke-i Pi = Penutupan spesies ke-i ΣF = Jumlah total penutupan seluruh spesies h. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai penting (INP) diperoleh dari hasil penjumlahan kerapatanrelatif, frekuensi relatif dan penutupan relatif dari masing-masing spesies lamun.Indeks ini umumnya dinyatakan

148 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

sebagai nilai total hasil penjumlahan dalambentuk persen (%). Indeks Nilai Penting seringkali digunakan untuk mendugaperanan spesies ke-i dalam komunitas. Suatu spesies yang memiliki pengaruh atauperan yang besar dalam komunitas, umumnya memiliki nilai INP yang tinggi.Sebaliknya, spesies yang kurang menonjol dalam komunitas umumnya memilikinilai INP yang rendah (Brower et. al. 1998). INPi = Kri + Fri + Pri + Bri dengan : Kri = Kerapatan relatif spesies ke-i Fri = Frekuensi relatif spesies ke-i Pri = Penutupan relatif spesies ke-i Bri = Biomassa relatif spesies ke-i

HASIL DAN PEMBAHASAN Penutupan Lamun Penutupan lamun diamati di tiga transek (Transek A, B, dan C) dengan jarak tiap transek adalah 100 meter. Hasil pengamatan masing-masing transek dijelaskan sebagai berikut: a. Transek A Hasil pengamatan lamun pada transek A menunjukkan kisaran persentase penutupan lamun antara 60 – 90 %, dimana titik A2 memiliki persentase penutupan terendah (60%) dan titik sampling A6, A9 dan A10 memiliki persentase penutupan lamun tertinggi sebesar 90% (Tabel 1).

Tabel 1. Persentase penutupan lamun pada transek A Sedimen Lamun Kuadran (lumpur, pasir, cangkang- Tutupan Tinggi Kanopi (cm) cangkangan/ pecahan kerang) (%) 1 2 3 A0 Lumpur - 51,5 42 21 A1 Lumpur 80 48 21 68 A2 Lumpur 60 59 43 83 A3 Lumpur 80 20 25 30 A4 Lumpur 80 52 18 21 A5 Lumpur Berpasir 80 44 19 12 A6 Pasir 90 48 26 17 A7 Pasir 80 52 37 13 A8 Pasir 80 32 27 12 A9 Pasir 90 11 46 23 A10 Pasir 90 48 23 14

Tinggi kanopi lamun yang terdapat pada transek A bervariasi, mulai dari yang terendah yaitu dengan ketinggian 11 cm (titik A9), dan yang tertinggi dengan ketinggian 83 cm ditemukan pada titik A2. Adanya perbedaan tinggi kanopi lamun tiap transek disebabkan adanya perbedaan jenis lamun yang ditemukan pada masing-masing titik sampling. Jenis lamun Enhalus acoroides memiliki panjang daun yang lebih panjang dibandingkan jenis lamun yang lainnya seperti Thalassia, cymodocea, halodule dan halophila.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 149

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. b. Transek B Hasil pengamatan lamun pada transek B menunjukkan kisaran persentase penutupan lamun antara 45 – 85 %, dimana titik B10 memiliki persentase penutupan terendah (45%) dan titik sampling B2 memiliki persentase penutupan lamun tertinggi sebesar 85% (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase penutupan lamun pada transek B Sedimen Lamun Kuadran (lumpur, pasir, cangkang- Tutupan Tinggi Kanopi (cm) cangkangan/ pecahan kerang) (%) 1 2 3 B0 Lumpur - - - - B1 Lumpur 80 - - - B2 Pasir Berlumpur 85 17 10 15 B3 Pasir 75 23 12 17 B4 Pasir 70 41 14 12 B5 Pasir 50 60 13 26 B6 Pasir 80 30 14 24 B7 Pasir 75 37 11 22 B8 Pasir 70 56 27 12 B9 Pasir 50 59 32 27 B10 Pasir 45 33 22 51

Tinggi kanopi lamun yang terdapat pada transek B bervariasi, mulai dari yang terendah yaitu dengan ketinggian 10 cm (titik B2), dan yang tertinggi dengan ketinggian 60 cm ditemukan pada titik B5. c. Transek C Hasil pengamatan lamun pada transek C menunjukkan kisaran persentase penutupan lamun antara 45 – 100 %, dimana titik C7 memiliki persentase penutupan terendah (45%) dan titik sampling C1 memiliki persentase penutupan lamun tertinggi sebesar 100%.

Tabel 3. Persentase penutupan lamun pada transek C Lamun Sedimen (lumpur, pasir, cangkang- Kuadran Tinggi Kanopi (cm) cangkangan/ pecahan kerang) % Tutupan 1 2 3 C0 Lumpur 70 22 64 20 C1 Lumpur Berpasir 100 33 16 69 C2 Pasir Berlumpur 70 84 11 30 C3 Pasir 80 65 18 50 C4 Pasir 65 42 11 78 C5 Pasir 65 67 20 40 C6 Pasir 50 12 38 5 C7 Pasir 45 22 44 9 C8 Pasir 45 59 25 13 C9 Pasir 45 41 23 11 C10 Pasir 50 13 66 8

Tinggi kanopi lamun yang terdapat pada transek C bervariasi, mulai dari yang terendah yaitu dengan ketinggian 5 cm (titik C6), dan yang tertinggi dengan ketinggian 84 cm ditemukan pada titik C2.

150 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 3. memperlihatkan rata-rata penutupan lamun di tiga transek. Rata-rata penutupan lamun di seluruh transek berkisar 62 – 81 %. Angka tersebut menunjukkan bahwa persentase penutupan lamun cukup besar. Rata-rata Tinggi kanopi berkisar antara 26,6 – 34,7 cm.

Series1; Series1; Series1; C; 34,7 A; 33,5 A; 81 Series1; Series1; B; 68 Series1; B; 26,6

C; 62

Tinggi Kanopi (cm) Kanopi Tinggi Persentasetutupan (%)

Transek Transek

Gambar 4. Rata-rata penutupan lamun dan tinggi kanopi setiap transek di Pantai Sire, Lombok Utara

Struktur Komunitas Lamun Struktur komunitas lamun diketahui dari kerapatan setiap jenis lamun yang di temukan di tiap titik sampling. Pada penelitian ini, pada setiap transek dipilih dua sub transek/kuadran yaitu di 0 m dan 100m (di titik paling dekat dari dataran dan paling jauh dari dataran). Hasil analisis struktur komunitas lamun yang menunjukkan besarnya nilai kerapatan, frekuensi kehadiran dan indeks nilai penting dari padang lamun di Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara dapat dilihat pada Tabel 4. Kerapatan lamun merupakan banyaknya jumlah tegakan lamun pada setiap meter persegi, ditulis dalam satuan individu per meter persegi (individu/m2). Titik B10 meruapakan tempat dengan jumlah kepadatan lamun terendah yaitu sejumlah 113 individu/m2, sedangkan titik B0 merupakan titik dengan kepadatan lamun tertinggi yaitu sejumlah 375 individu/m2.

Tabel 4. Struktur komunitas lamun Stasiun/Titik Sampling No Nama Spesies Total A0 A10 B0 B10 C0 C10 A Kerapatan (ind/m²) 1 Thalassia hemprichii 0 67 18 28 0 85 2 Enhalus acoroides 14 27 0 34 4 17 3 Cymodocea rotundata 194 28 327 18 282 13 4 Halodule uninervis 0 0 30 0 0 14 5 Syringodium isoetifolium 0 92 0 33 0 97 Total 208 214 375 113 286 226

B Kerapatan Relatif (%) 1 Thalassia hemprichii 0% 31% 5% 25% 0% 38% 2 Enhalus acoroides 7% 13% 0% 30% 1% 8%

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 151

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Stasiun/Titik Sampling No Nama Spesies Total A0 A10 B0 B10 C0 C10 3 Cymodocea rotundata 93% 13% 87% 16% 99% 6% 4 Halodule uninervis 0% 0% 8% 0% 0% 6% 5 Syringodium isoetifolium 0% 43% 0% 29% 0% 43%

C Frekuensi 1 Thalassia hemprichii 0 1 1 1 0 1 2 Enhalus acoroides 1 1 0 1 1 1 3 Cymodocea rotundata 1 1 1 1 1 1 4 Halodule uninervis 0 0 1 0 0 1 5 Syringodium isoetifolium 0 1 0 1 0 1 Total 2 4 3 4 2 5

D Frekuensi Relatif (%) 1 Thalassia hemprichii 0% 25% 33% 25% 0% 20% 2 Enhalus acoroides 50% 25% 0% 25% 50% 20% 3 Cymodocea rotundata 50% 25% 33% 25% 50% 20% 4 Halodule uninervis 0% 0% 33% 0% 0% 20% 5 Syringodium isoetifolium 0% 25% 0% 25% 0% 20%

E Indeks Nilai Penting (%) 1 Thalassia hemprichii 0% 56% 38% 50% 0% 58% 202% 2 Enhalus acoroides 57% 38% 0% 55% 51% 28% 228% 3 Cymodocea rotundata 143% 38% 121% 41% 149% 26% 517% 4 Halodule uninervis 0% 0% 41% 0% 0% 26% 68% 5 Syringodium isoetifolium 0% 68% 0% 54% 0% 63% 185%

Kerapatan relatif merupakan persentase jumlah individu suatu jenis lamun tertentu dibandingkan dengan jumlah tegakan/individu lamun secara keseluruhan, dinyatakan dalam satuan persen (%). Jenis lamun Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun dengan kerapatan relatif tertinggi yaitu sebesar 99% (titik C0). Hal ini menandakan bahwa jenis lamun Cymodocea rotundatapaling banyak ditemukan (mendominasi) dalam satu titik kuadran tersebut. Frekuensi kehadiran lamun menyatakan ada tidaknya kehadiran suatu jenis lamun tertentu dalam sebuah titik sampling (kuadran). Jika ditemukan kehadirannya, maka diberi nilai 1 sedangkan jika tidak ditemukan diberi nilai 0. Titik sampling C10 merupakan titik dengan jumlah kehadiran terbanyak, yaitu sebanyak 5 jenis lamun. Artinya dalam titik sampling ini ditemukan semua jenis lamun yang terdapat di Padang Lamun Pantai Sire. Sedangkan titik A0 dan C0 memiliki jumlah kehadiran terendah yaitu sebanyak 2 jenis lamun, yaitu: Enhalus acoroides dan cymodocea rotundata. Indeks nilai penting menandakan seberapa penting peran suatu jenis lamun dalam sebuah ekosistem padang lamun. Semakin besar nilainya, maka semakin penting/vital peranan jenis lamun tersebut. Jenis lamun Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun dengan besaran indeks nilai penting tertinggi, yaitu sebesar 517%, sedangkan jenis lamun dengan besaran indeks nilai penting terendah yaitu Halodule uninervis dengan nilai sebesar 68%. Hal ini menandakan bahwa jenis Cymodocea rotundata memiliki peranan yang sangat vital pada ekosistem padang lamun pantai sire. Spesies Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundataditemukan pada keenam stasiun penelitian dengan kerapatan yang cukup tinggi. Banyaknya jumlah tegakan lamun jenis T.

152 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

hemprichii dan C. rotundatapada semua stasiun diduga dikarenakan spesies ini memiliki struktur perakaran yang kokoh dan dapat hidup pada berbagai jenis substrat, baik pasir, lumpur, kerikil ataupun pecahan karang. Reproduksi pada lamun lebih banyak terjadi secara vegetatif dengan menggunakan rhizoma, yaitu batang lamun yang berada di dalam sedimen. Spesies T. hemprichii dan C. rotundata memiliki strutktur perakaran yang kokoh dan dapat hidup pada berbagai macam substrat, maka jenis ini dapat bereproduksi dengan baik sehingga memiliki nilai kerapatan yang tinggi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Den Hartog (1977), bahwa secara morfologi spesies T. hemprichii memiliki rimpang yang tebal dan kokoh sehingga memungkinkan untuk tumbuh pada substrat yang bervariasi. Takaendengan dan Azkab (2010) menambahkan bahwa substrat pasir bertekstur halus, sedikit berlumpur, bercampur pecahan karang yang telah mati merupakan habitat yang sangat sesuai bagi jenis C. rotundata dan T. hemprichii, karenadapat membantu penancapan perakaran. Substrat padang lamun Gugus Pulau Parang, Karimunjawa terdiri dari lumpur, pasir dan kerikil. Karakteristik substrat tersebut sangat sesuai dengan habitat spesies T. hemprichii.dan C. rotundata yang adaptif terhadap berbagai jenis habitat.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem lamun di di Pantai Sire Kabupaten Lombok Utara relatif masih cukup baik dengan persentase penutupan berkisar 62 – 81 % dan tinggi kanopi berkisar 26 – 34 cm. Kerapatan tertinggi adalah spesies Cymodocea rotundata dengan indeks nilai penting sebesar 517%.

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai dari dana PNBP Universitas Mataram tahun 2016. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1998. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Mc Graw-Hill Company. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. 368 p. Fortes MD. 1990. Seagrasses: A Resource Unknown in The ASEAN Region. ICLARM Educational Series 5. Manila: International Center forLiving Aquatic Resources Management Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. London: Cambridge University Press. Gray JS, Elliot, Michael. 2009. Ecology of Marine Sediments. From Scienceto Management. Second Edition. Exford: Oxford University Press. Khouw AS. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Kiswara W. 1996. Inventory of Seagrass in Kuta and Gerupuk Bays, Lombok-Indonesia. Dalam: Seagrass Biology: Proceedings of an International Workshop. Rottness Island, Western Australia. 25-29 January 1996. pp 27-32. Krebs CJ. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution andAbudance. New York: Harper and Row Publishers.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 153

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurements. Princeton University Press. Odum EP. 1983. Basic Ecology. Florida: W.B. Saunders Company. Short FT, Coles RG (editor). 2003. Global Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier Science BV. Short FT, Mc Kenzie LJ, Coles, RG, Gaeckle JL. 2004. SeagrassNet Manual forScientific Monitoring of Seagrass Habitat-Western Pacific Edition. USA: University of New Hampshire; QDPI Australia: Northern Fisheries Center. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK, 1997. The Ecology of the IndonesiaSeas. Part One. The Ecology of Indonesian Series Vol. VII. Hong Kong: Periplus Edition (HK) Ltd. Waycott M, Mahon KM, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide toTropical Seagrass of The Indo-West Pacific. Townsville: James Cook University.

154 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

STRUKTUR KOMUNITAS POLYCHAETA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN PANTAI SIRE, KABUPATEN LOMBOK UTARA

Oleh: Ibadur Rahman*, Nurliah Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram * Email: [email protected]

ABSTRAK Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologis, yaitu sebagai tempat mencari makan, tempat memijah dan tempat pembesaran biota asosiasi lamun, dimana salah satunya adalah polychaeta (cacing laut). Polychaeta merupakan biota asosiasi yang memiliki peran penting di padang lamun, baik sebagai makanan hewan perairan dasar maupun sebagai indikator suatu perairan karena jenis dan cara hidupnya yang beragam.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas polychaeta di padang lamun Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara. Dari hasil penelitian didapatkan 15 jenis polychaeta dimana famili Capitellidae memiliki kepadatan tertinggi yaitu sejumlah 1.004 ind/m2, sedangkan jenis dengan kepadatan terendah yaitu famili Cossuridae yaitu sejumlah 4 ind/m2.

Kata Kunci: lamun, Pantai Sire, polychaeta, struktur komunitas.

ABSTRACT Seagrass has many ecological roles as feeding ground, spawning ground and nursery ground for its associates like polychaeta. Polychaeta plays some important roles on seagrass whether as prey for many marine living organisms or as a bio-indicator since it has many kinds of species and many kinds of living habit. This research is purposed to find out how is the community structure of polychaeta on seagrass ecosystem at Sire Beach, North Lombok regency. The result shows that there are 15 polychaeta families, in which Capitellidae is the most abundance (1.004 ind/m2),whereas the lowest is Cossuridae (4 ind/m2).

Keywords: community structure, polychaeta, seagrass, Sire Beach

PENDAHULUAN Ekosistem padang lamun memiliki peranan penting bagi kehidupan biota-biota ekonomis perairan seperti ikan, udang, kepiting, dan kerang. Ekosistem ini menyediakan tempat yang aman untuk berlindung, memijah, pembesaran anakan, dan sebagai tempat mencari makan bagi berbagai macam biota asosiasi lamun (Vonk et al. 2010), salah satunya adalah polychaeta (cacing laut). Polychaeta merupakan biota asosiasi yang memiliki peranan penting sebagai sumber makanan bagi biota ekonomis seperti ikan, udang, dan memiliki peranan sebagai penyubur substrat perairan karena kemampuannya untuk menguraikan bahan organik di dasar perairan. Kajian mengenai struktur komunitas polychaeta masing jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan nilai ekonomis polychaeta yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan biota lamun lainnya, seperti ikan, udang, kerang dan kepiting. Padahal secara ekologis, polychaeta memainkan peranan yang sangat vital pada ekosistem padang lamun.Maka dari itu, penelitian

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 155

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas polychaeta di padang lamun Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara.

MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – November 2016, di Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif, dengan objek penelitiannya adalah komunitas polychaeta pada ekosistem padang lamun. Pengambilan data lamun dilakukan dengan menggunakan transek kuadran 1x1m2, pada 6 stasiun pengamatan (Gambar 1). Pada masing-masing kuadran dihitung jumlah tegakan lamun, tinggi kanopi lamun, dan persentase penutupan lamun. Sedangkan pengambilan data polychaeta dilakukan menggunakan alat Ekman Grab pada ke-enam stasiun pengamatan lamun. Sedimen yang terperangkap pada alat Ekman Grab tersebut kemudian diayak menggunakan saringan makrozoobentos berukuran 0,25mm, sehingga sampel polychaeta akan tertahan pada saringan, sedangkan partikel sedimen yang berukuran lebih kecil (<0,25mm) akan jatuh melewati saringan dan larut dalam air.

Gambar 1. Layout stasiun pengambilan sampel lamun dan polychaeta

Proses identifikasi sampel polychaeta dilakukan di Laboratorium Bioekologi Perairan Universitas Mataram. Hasil identifikasi sampel lamun dan polychaeta kemudian diolah menggunakan software Microsoft Excel untuk dihitung struktur komunitasnya. Struktur komunitas lamun meliputi jumlah kerapatan lamun, persentase kerapatan relatif jenis lamun, frekuensi kehadiran lamun, dan indeks nilai penting. Sedangkan struktur komunitas polychaeta yang diteliti meliputi kelimpahan jenis polychaeta, indeks keseragaman (E), indeks keanekaragaman (H) dan indeks dominansi (C).

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Lamun Struktur komunitas padang lamun di Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara,menunjukkan bahwa tedapat 5 jenis lamun dengan jumlah kerapatan yang bervariasi. Kelima jenis lamun tersebut yaitu: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halodule uninervisdanSyringodium isoetifolium.Stasiun B0 memiliki jumlah tegakan lamun terbanyak yaitu sejumlah 375 ind/m2, sedangkan lokasi dengan jumlah tegakan lamun paling sedikit yaitu pada stasiunB10 sejumlah 113 ind/m2 (Gambar 2).

156 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Series1; B0; 375

) 2

Series1; C0; 286

Series1; C10; 226 Series1; A0; 208 Series1; A10; 214

Series1; B10; 113 Jumlah tegakan tegakan (individu/m Jumlah lamun

Stasiun

Gambar 2. KerapatanJenis Lamun (individu/m2)

Adanya perbedaan jumlah tegakan lamun pada tiap stasiun diduga diakibatkan adanya perbedaan kondisi habitat terutama jenis substrat. StasiunA0, B0, dan C0 cenderung memiliki kerapatan lamun yang tinggi dikarenakan substratnya yang berlumpur dan letaknya yang dekat dengan bibir pantai, sedangkan padaStasiunA10, B10, dan C10 terdapat substrat berpasir dan terletak sejauh 100m tegak lurus pantai dimana kondisi arus diduga lebih kuat dibandingkan pada daerah tepi pantai. Arus yang cenderung kuat tersebut diduga dapat mengakibatkan terkikisnya substrat lumpuryang mengandung zat hara, sehingga kesuburannya berkurang. Substrat berlumpur merupakan jenis substrat yang sesuai bagi pertumbuhan lamun. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rahman (2016), bahwa substrat lumpur dapat mengikat bahan organik yang merupakannutrisi bagi kehidupan lamun.

Struktur Komunitas Polychaeta Struktur komunitas polychaeta di padang lamun Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara (Gambar 3.) menunjukkan bahwa kelimpahan polychaeta tertinggi terdapat pada stasiun C0 (704 ind/m2), sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada stasiun A10 (52 ind/m2). Tingginya kelimpahan polychaeta pada stasiun C0 diduga dikarenakan stasiun tersebut memiliki substrat berlumpur. Polychaeta diketahui menyukai substrat berlumpur terutama pada jenis yang memiliki kebiasaan makan menyaring partikel tersuspensi dan penggali lubang. Hal ini sebagaimana pernyataan Rahman (2016) bahwa jenis polychaeta pembuat lubang lebih mudah menggali lubang pada substrat bertekstur halus seperti lumpur, dan sebagian besar polychaeta merupakan pemakan deposit yang menyaring partikel sedimen untuk mengambil bahan organik pada substrat untuk dicerna.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 157

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Series1; C0; 704

Series1; B0; 548 Series1; C10; 492

Series1; B10; 356 KelimpahanPolychaeta (individu/m²) Series1; A0; 168

Series1; A10; 52

Stasiun

Gambar 3. Kelimpahan Total Polychaeta (individu/m2)

Komunitas polychaeta di padang lamun Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara tersusun dari 15 jenis famili (Gambar 4.), dengan kelimpahan total masing-masing yaitu sebesar; Amphinomidae (24 ind/m2), Aphroditidae (8 ind/m2), Capitellidae (1.004 ind/m2), Cossuridae (4 ind/m2), Eunicidae (84 ind/m2), Glyceridae (64 ind/m2), Heterospidae (24 ind/m2), Iospilidae (12 ind/m2), Maldanidae(128 ind/m2), Nereidae (192 ind/m2), Ophelidae (140 ind/m2), Paraonidae (36 ind/m2), Sabellidae (36 ind/m2), Spionidae (84 ind/m2), dan Syllidae (336 ind/m2).

Gambar 4. KelimpahanJenisPolychaeta (individu/m2)

Famili Capitellidae merupakan jenis dengan kelimpahan total tertinggi, yaitu sebanyak 1.004 ind/m2. Hal ini diduga dikarenakan famili Capitellidae merupakan jenis polychaeta yang mampu beradaptasi dengan baik pada ekosistem padang lamun Pantai Sire yang bertekstur

158 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

lumpur. Rahman (2016) menyatakan bahwa famili Capitellidae merupakan pemakan deposit yang hidup pada substrat lunak dengan menggali lubang dan membuat sarang di dalam sedimen. Day (1967) dan Besleey et al. (2000) menambahkan bahwa famili Capitellidae menyukai substrat berlumpur, berpasir dan sering dijumpai berasosiasi dengan tumbuhan lamun. Famili Cossuridae merupakan jenis yang memiliki total kelimpahan individu terendah pada ekosistem padang lamun Pantai Sire, yaitu sebanyak 4 ind/m2. Hal ini diduga dikarenakan jenis ini tidak mampu beradaptasi dengan baik dengan kondisi perairan dan substrat dasar di perairan padang lamun Pantai Sire, sehingga akan kalah dalam persaingan makanan dan ruang dengan jenis polychaeta yang lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ewing (1984), bahwa famili Cossuridae merupakan polychaeta berukuran kecil yang tinggal di perairan dangkal dan dalam, namun sering ditemukan di dasar laut dalam dengan tingkat kelimpahan yang tinggi (Hilbig 1996). Berdasarkan analisis stuktur komunitas polychaeta (Tabel 1.), diketahui bahwa indeks keanekaragaman (H) polychaeta di padang lamun Pantai Sire berkisar antara 0,69-1,94. Menurut Krebs (1985), kisaran nilai tersebut termasuk dalam kategori keanekaragaman rendah. Hal ini diduga dikarenakan tidak meratanya sebaran jumlah individu pada setiap jenis polychaeta yang ditemukan.Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa suatu komunitas tergolong memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika ditemukan banyak jenis dengan jumlah individu masing-masing jenis relatif merata. Sebaliknya, jika suatu komunitas hanya memiliki beberapa jenis dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Tabel 1. Indeks Keanekaragaman (H), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi(C) Komunitas Polychaeta di Padang Lamun Pantai Sire Stasiun No. Indeks A0 A10 B0 B10 C0 C10 1. H 1,78 0,69 1,69 1,94 0,89 1,85 2. E 0,85 0,63 0,68 0,72 0,37 0,68 3. C 0,20 0,62 0,29 0,19 0,65 0,14

Nilai indeks keseragaman (E) polychaeta berkisar antara 0,37-0,85. Menurut Krebs (1985), nilai indeks keseragaman (E) sebesar 0,37 termasuk dalam kategori rendah, sedangkan nilai (E) sebesar 0,85 termasuk dalam kategori tinggi. Tinggi-rendahnya nilai indeks keseragaman mencerminkan merata atau tidak meratanya jumlah sebaran polychaeta pada setiap jenisnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Brower et al., (1990) bahwa nilai indeks keseragaman mencapai nilai yang tinggi jika kelimpahan polychaeta pada suatu lokasi hampir seragam dan merata antar setiap jenisnya. Dengan demikian, pada stasiun C0 (E=0,37) jumlah individu polychaeta cenderung tidak seragam pada setiap jenisnya, sedangkan pada stasiun A0 (E=0,85) jumlah individu polychaeta hampir seragam pada setiap jenisnya. Rendahnya nilai indeks keseragaman polychaeta pada stasiun C0 diduga disebabkan adanya jenis polychaeta yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik dibandingkan jenis yang lain. Jenis yang dapat beradaptasi tumbuh dan berkembang dengan optimal sehingga jumlahnya melimpah, sedangkan jenis yang tidak mampu beradaptasi akan kalah dalam perebutan makanan dan ruang sehingga jumlahnya sedikit. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Rahman (2016) bahwa dalam perebutan ruang, jenis polychaeta yang bersifat karnivora lebih diuntungkan dibandingkan jenis polychaeta herbivora atau pemakan deposit. Polychaeta karnivora umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dan dapat memakan polychaeta dari jenis lainnya. Nilai indeks dominansi (C) polychaeta berkisar antara 0,14-0,65. Menurut Odum (1993), nilai indeks dominansi (C) sebesar 0,14 (stasiun C10) menandakan tidak adanya jenis yang

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 159

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. mendominasi, sedangkan nilai (C) sebesar 0,65 (stasiun C0) menandakan adanya jenis yang mendominasi. Di antara 11 jenis polychaeta yang ditemukan pada stasiun C0, famili Capitellidae merupakan jenis dengan kelimpahan tertinggi yaitu sebanyak 564 ind/m2, jauh melebihi nilai kelimpahan10 jenis lainnya yang berkisar antara 4-44 ind/m2.Priosambodo (2011) menjelaskan bahwa dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya dapat memberikan pengaruh terhadap kestabilan komunitas secara keseluruhan. Selain itu, dominansi suatu jenis juga menandakan adanya gangguan terhadap lingkungan di sekitar komunitas karena hanya spesies tertentu saja yang mampu menyesuaikan diri dan bertahan hidup. Terjadinya dominansi jenis Capitellidae terhadap jenis polychaeta yang lain diduga dikarenakan famili Capitellidae merupakan jenis yang paling adaptif terhadap kondisi lingkungan pada stasiun C0, terutama dikarenakan substratnya yang berlumpur.

SIMPULAN Komunitas padang lamun di Pantai Sire, Kabupaten Lombok Utara tersusun dari 5 jenis lamun,yaitu;Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium. Sementara itu komunitas polychaeta tersusun dari 15 jenis famili yaitu; Amphinomidae, Aphroditidae, Capitellidae, Cossuridae, Eunicidae, Glyceridae, Heterospidae, Iospilidae, Maldanidae, Nereidae, Ophelidae, Paraonidae, Sabellidae, Spionidae, dan Syllidae. Famili Capitellidae merupakan jenis yang paling adaptif terhadap kondisi lingkungan padang lamun Pantai Sire, sehingga memiliki nilai kelimpahan total tertinggi dibandingkan jenis yang lain.

DAFTAR PUSTAKA Beesley PL, Ross GJB, Glasby CJ (Editor). 2000. Polychaeta & Allies. The Southern Synthesis, Fauna of Australia. Vol. 4A Polychaeta, Myzostomida, Pogonophora, Echiura, Sipunculata. Melbourne: CSIRO Publishing. 465 p. Brower JE, Zar JH, Von Ende CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. 3rd edition. Indiana: WMV Brown Publishers. 237 p. Day JH. 1967. A Monograph on the Polychaeta of Southern Africa. Part 1: Errantia. Part 2: Sedentaria. London: The British Museum (National History). 656: 1-878. Edwing RM. 1984. Family Cossuridae Day. Uebelacker JM, Johnson PG (Editor). Taxonomic Guide to the Polychaetes of the Northern Gulf of Mexico. AL, USA: Vittor. Mobile. 4.1- 4.6 pp. Hilbig B. 1996. Family Cossuridae Day, 1963. Blake JA, Hilbig B, Scott PH (Editor). Taxonomic Atlas of the Benthic Fauna of the Santa Maria Basin and Western Santa Barbara Channel. Vol.6, Part 3. CA, USA: Santa Barbara. 385-404 pp. Krebs CJ. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 3rd edition. New York: Harper and Row, 800 p. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 697 p. Priosambodo D. 2011. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 141 p. Rahman I. 2016. Suitability Analysis of Polychaeta Habitat in SeagrassEcosystem, Parang Island, Karimunjawa, Central Java. Aquasains. 4(2): 401-412. Vonk JA, Christianen MJA, Stapel J. 2010. Abundance, Edge Effect, and Seasonality of Fauna in Mixed-Species Seagrass Meadows in South-West Sulawesi, Indonesia. Marine Biology Research. 6(3): 282-291.

160 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (decapterus spp) DI PERAIRAN UTARA ACEH (Determination of Fishing Ground Indian Scad (decapterus spp) in North Water of Aceh)

Oleh: Suri Purnama Febri1*, Budhi Hascaryo Iskandar2, Domu Simbolon2 1 Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Samudra 2 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor * Email: [email protected]

ABSTRAK Penentuan daerah penangkapan ikan yang akurat dapat memberikan hasil yang melimpah dari penangkapan ikan. Namun demikian, nelayan di perairan Utara Aceh mengalami kesulitan dalam menentukan posisi tersebut dan berakibat pada minimnya hasil tangkapan. Penggunaan citra satelit MODIS menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut dengan (1) menentukan penyebaran dan variasi SPL dan klorofil-a di perairan Utara Aceh, (2) menentukan komposisi jumlah dan ukuran hasil tangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh, dan (3) memprediksi daerah penangkapan ikan layang potensial di perairan Utara Aceh. Penelitian ini menggunakan metodologi survei yang terdiri dari data lapangan (in-situ) dan data citra satelit (ex-situ). Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: (1) survei lapangan tempat lokasi penelitian, (2) mengumpulkan data lapangan, dan (3) dawnload dan melakukan pengolahan dan analisis citra SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS. Hasil pengamatan menemukan bahwa SPL dan klorofil-a bervariasi di setiap periode musim pada kisaran 27,53oC hingga 29,05oC dan dari 0,20 mg/m3 hingga 0,26 mg/m3. Ukuran ikan yang ditangkap menggunakan purse seine tidak sesuai dengan standar saat ini dan termasuk kedalam kategori tidak layak untuk ditangkap. Daerah penangkapan ikan layang (decapterus spp) di perairan Utara Aceh berada di Pulo Beras dan merupakan daerah potensial, sedangkan Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga, Laot Aceh dan Peukan Bada termasuk ke dalam daerah potensial sedang.

Kata kunci: decapterus spp., suhu permukaan laut, klorofil-a, pemetaan daerah penangkapan ikan, perairan Utara Aceh

ABSTRACT Accurate determination of fishing zone gives an abundance result of fish capturing. However, fishermen in the north water of Aceh have difficulties in deciding such position and are resulting to the minimum yields. This thesis uses MODIS satellite imaging to overcomes such problem by (1) determining the spreading and SPL variation, and a-chlorophyll in the north water of Aceh, (2) finding the composition quantity and size of fish (Decapterus spp.) from fishing zone, and (3) predicting fishing zone in the north water of Aceh. This study uses survey methodology consist of field data (in-situ) and satellite image data (ex-situ). It is performed by three steps, (1) field surveying in the study location, (2) collecting field data, and (3) downloading SPL image and a-chlorophyll from MODIS satellite. Results found that relationship between SPL and a-chlorophyll toward yields and sizes are non linear, with least square (R2) of about 0.012 and 0.002. Furthermore, SPL and chlorophyll are varied in each seasonal period at the range from 27.53oC to 29.05oC and from 0.20 mg/m3 to 0.26 mg/m3. Sizes of fish captured using purse seine are not complying with the current standard and are included under category of restricted to be captured. Fishing ground Indian Scad (decapterus spp) in North water of Aceh on Pulo

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 161

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Beras and is a potential area, while Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga, Laot Aceh dan Peukan Bada included to medium potential area.

Keywords: chlorophyl-a, decapterus spp., sea surface temperature, mapping fishing ground, North Aceh Waters

PENDAHULUAN Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi besar di bidang perikanan tangkap. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh tahun 2010, produksi perikanan di Aceh sebanyak 418.901,07 ton. Kemudian, jenis ikan pelagis kecil, khususnya ikan layang (Decapterus spp.), di Perairan Utara Aceh menunjukkan angka produksi yang meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu cara untuk lebih meningkatkan produksi hasil tangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh adalah dengan ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan bagi operasi penangkapan. Akan tetapi, hal tersebutlah yang menjadi permasalahan bagi para nelayan sehingga menyebabkan hasil tangkapan ikan tidak optimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu cara yang dapat dipakai adalah bantuan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh ini dapat membantu untuk menentukan dan mengukur parameter permukaan laut, seperti mengukur konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) sehingga dapat membantu dalam mendeteksi daerah penangkapan ikan. Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan penyebaran dan variasi SPL dan klorofil-a di Perairan Utara Aceh; (2) menentukan komposisi jumlah dan ukuran hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Utara Aceh; dan (3) memprediksi daerah penangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh dengan membuat peta daerah penangkapan ikan potensial. Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi awal bagi nelayan tentang daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) yang potensial di Perairan Utara Aceh, dan informasi tentang penyebaran dan keberadaan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Utara Aceh.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Utara Aceh. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. pertama, survei lapangan tempat lokasi penelitian; kedua, pengumpulan data lapangan; dan ketiga, download citra SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS, serta melakukan pengolahan dan analisis citra satelit MODIS. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yang meliputi data lapangan (in-situ) dan data citra satelit (eks-situ). Data in-situ berupa data daerah penangkapan ikan layang, jumlah hasil tangkapan ikan layang, dan ukuran panjang (size) hasil tangkapan ikan layang. diperoleh melalui observasi langsung dalam penangkapan ikan dan melalui wawancara dengan nelayan dengan menunjukkan peta perairan Utara Aceh. Nelayan yang dijadikan responden dipilih secara sengaja (purposive sampling) seperti pawang (juru mudi/tokoh kunci) dengan pertimbangan nelayan mampu berkomunikasi dan memiliki pengalaman yang cukup untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. Data eks-situ berupa data citra SPL dan klorofil-a dari satelit Modis level 3 rata-rata bulanan di perairan utara Aceh pada bulan Januari 2011 – Maret 2012. Data citra yang diolah adalah citra yang bebas awan dan mencakup lintang bujur sesuai dengan cakupan yang diteliti. Data-data tersebut dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hasilnya dan selanjutnya digunakan untuk memprediksi daerah penangkapan ikan layang potensial di Perairan Utara Aceh.

162 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

HASIL DAN PEMBAHASAN SPL Pengukuran Satelit Profil SPL perairan Utara Aceh bulan Januari 2011 sampai Maret 2012 disajikan pada Tabel 1. Secara umum Febri (2012), membagi musim menjadi empat yaitu musim Timur (Juni- Agustus), Barat (Desember-Februari), Peralihan Barat Timur (Maret-Mei) dan peralihan Timur-Barat (September-November).

Tabel 1 Sebaran SPL rata-rata bulanan di perairan Utara Aceh SPL (oC) Rata-rata Musim Bulan Kisaran Dominan Maks Min SPL (oC) Barat Januari 27,25-28,50 28,00-28,25 28,50 27,25 28,20 Februari 27,25-29.00 28,25-28,75 29,00 27,25 28,25 Rata-rata SPL Musim Barat 28,22 Peralihan Maret 26,25-29,50 28,50-29,00 29,50 26,25 28,59 B-T April 27,00-29,75 29,25-29,75 29,75 27,00 29,04 Mei 27,25-28,50 28,00-28,25 28,50 27,25 28,20 Rata-rata SPL Musim Peralihan B-T 28,61 Timur Juni 27,00-29,75 28,75-29,25 29,75 27,00 28,89 Juli 27,50-29,25 28,25-28,75 29,25 27,50 28,39 Agustus 27,75-30,00 28,75-29,75 30,00 27,75 29,22 Rata-rata SPL Musim Timur 28,83 Peralihan September 24,25-29,25 25,50-28,00 29,25 24,25 27,21 T-B Oktober 24,75-29,25 27,75-28,75 29,25 24,75 27,67 November 26,25-28,50 27,50-28,00 28,50 26,25 27,73 Rata-rata SPL Musim Peralihan T-B 27,53 Barat Desember 26,75-28,75 28,25-28,75 28,75 26,75 28,40 Januari 26,75-28,75 28,25-28,50 28,75 26,75 28,16 Februari 26,50-29,50 28,25-28,75 29,50 26,50 28,48 Rata-rata SPL Musim Barat 28,34 Peralihan Maret 27,00-29,50 29,25-29,50 29,50 27,00 29,05 B-T Rata-rata SPL Musim Peralihan B-T 29,05

Klorofil-a Pengukuran Satelit Rata-rata klorofil-a pada musim barat tahun 2011 yaitu 0,26 mg/m3 dan 0,20 mg/m3 untuk tahun 2012 dan musim peralihan barat-timur yaitu 0,21 mg/m3 dan 0,26 mg/m3. Rata-rata klorofil-a pada musim timur dan musim peralihan timur-barat tahun 2011 yaitu 0,22 mg/m3 dan 0,20 mg/m3 (Tabel 2).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 163

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Tabel 2. Sebaran Klorofil-a rata-rata bulanan di perairan Utara Aceh Klorofil-a (mg/m3) Rata-rata Musim Bulan Klorofil-a Kisaran Dominan Maks Min (mg/m3) Januari 0,10-0,90 0,10-0,15 0,90 0,10 0,17 Barat Februari 0,10-1,00 0,30-0,45 1,00 0,10 0,34 Rata-rata Klorofil-a Musim Barat 0,26 Maret 0,15-1,00 0,15-0,30 1,00 0,15 0,22 Peralihan April 0,10-1,00 0,20-0,40 1,00 0,10 0,24 B-T Mei 0,15-0,60 0,15-0,25 0,60 0,15 0,19 Rata-rata Klorofil-a Musim Peralihan B-T 0,21 Juni 0,10-1,00 0,25-0,35 1,00 0,10 0,24 Timur Juli 0,15-1,00 0,25-0,40 1,00 0,15 0,24 Agustus 0,15-0,60 0,15-0,25 0,60 0,15 0,18 Rata-rata Klorofil-a Musim Timur 0,22 September 0,15-1,00 0,20-0,40 1,00 0,15 0,23 Peralihan Oktober 0,20-0,40 0,20-0,25 0,40 0,20 0,22 T-B November 0,10-0,50 0,15-0,25 0,50 0,10 0,16

Rata-rata Klorofil-a Musim Peralihan T-B 0,20 Desember 0,10-0,55 0,15-0,25 0,55 0,10 0,16 Barat Januari 0,15-1,00 0,20-0,40 1,00 0,15 0,20 Februari 0,10-1,00 0,25-0,40 1,00 0,10 0,24 Rata-rata Klorofil-a Musim Barat 0,20 Peralihan Maret 0,15-1,75 0,20-0,35 1,75 0,15 0,26 B-T Rata-rata Klorofil-a Musim Peralihan B-T 0,26

Penyebaran DPI Layang menurut Nelayan Daerah penangkapan ikan layang menurut informasi nelayan diperoleh 6 lokasi yang berbeda yaitu Pulo Beras, Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga, Laot Aceh dan Peukan Bada. Umumnya daerah penangkapan berada dalam radius yang dapat ditempuh dalam 1 hari operasi penangkapan (one day fishing operation). pemilihan daerah penangkapan berdasarkan kondisi perairan dan musim serta kemungkinan keberadaan stok ikan yang menjadi tujuan penangkapan purse seine (Gambar 1).

CPUE Ikan Layang Rata-rata CPUE ikan layang setiap bulannya di perairan Utara Aceh berfluktuatif dari bulan ke bulan. Rata-rata CPUE tertinggi berada pada bulan November tahun 2011 sebesar 584,42 kg/trip, diikuti oleh bulan Desember 2011 dan Januari 2012 sebesar 561,09 kg/trip dan 499,64 kg/trip. Sedangkan rata-rata CPUE terendah berada pada bulan Januari 2011 sebesar 261,23 kg/trip, diikuti oleh bulan Juli dan Agustus tahun 2011 sebesar 239,00 kg/trip dan 216,55 kg/trip. (Gambar 2). Selanjutnya CPUE ikan layang berdasarkan periode musim juga bervariasi di setiap musimnya. CPUE tertinggi berada pada musim barat tahun 2012 sebesar 503,82 kg/trip dan CPUE terendah berada pada musim timur tahun 2011 sebesar 278,68 kg/trip (Gambar 3).

164 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 1. Peta daerah penangkapan ikan layang berdasarkan hasil wawancara nelayan purse seine

Gambar 2. CPUE ikan layang di perairan Utara Aceh pada bulan Januari 2011-Maret 2012

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 165

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 3. CPUE ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan periode musim

Rata-rata CPUE ikan layang berdasarkan daerah penangkapan ikan layang juga memiliki nilai yang bervariasi setiap bulannya selama bulan Januari hingga Maret tahun 2012 (Gambar 4).

CPUE (Kg/Trip) CPUE

Pulo Beras Sabang Pulo Nasi Lhok Nga Laot Aceh Peukan Bada Januari 174,26 53,65 82,37 92,63 35,12 61,61 Februari 104,76 172,99 62,72 23,96 44,64 41,67 Maret 164,14 119,49 98,66 38,84 57,07 12,65

Gambar 4. CPUE ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan daerah penangkapan

PEMBAHASAN Suhu Permukaan Laut Suhu permukaan laut terendah terjadi pada musim peralihan Timur-Barat dan tertinggi terjadi pada musim Timur. Rendahnya SPL diduga karena pada bulan ini merupakan terjadinya musim peralihan Timur-Barat sehingga masih berpengaruh terhadap musim muson Timur, serta pada musim peralihan timur-barat ini tingkat curah hujan yang dihasilkan semakin tinggi dan tutupan awan bertambah sehingga mengakibatkan suhu lebih dingin serta angin yang dihasilkan relatif kencang. Menurut Gordon (2005) dan Hendiarti (2005), angin yang bertiup di atas permukaan laut mempengaruhi interaksi antara udara dengan permukaan laut dan selanjutnya mempengaruhi suhu di lapisan permukaan. Sedangkan tingginya SPL pada musim Timur dipengaruhi oleh perbedaan intensitas penyinaran matahari yang turut berperan langsung terhadap perbedaan SPL. Menurut Simbolon (2013), bahwa suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Sebaran SPL pada musim Barat yakni dominan hangat pada sisi Barat Aceh Besar dan sisi selatan Pulo Nasi serta Pulo Beras. Hal ini disebabkan karena terjadinya penutupan awan

166 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

yang terjadi selama musim Barat sehingga SPL cenderung lebih dingin. Adanya penutupan awan yang tinggi pada musim Barat berkaitan dengan hembusan angin musim Barat yang banyak membawa uap air yang menyebabkan awan menjadi tebal dan menutupi atmosfir (Wyrtki 1961). Selanjutnya sebaran SPL pada musim peralihan Barat-Timur terjadi kenaikan suhu yang diduga ini terjadi karena pada bulan ini merupakan musim peralihan barat-timur dimana intensitas penyinaran pada permukaan perairan berlangsung kuat yang merupakan pertanda akan memasuki musim Timur. Seanjutnya pada musim Timur sebaran SPL dominan tinggi. Hal ini diduga karena matahari mulai bergeser kebelahan bumi Utara khusunya benua asia dimana temperature menjadi tinggi dan tekanan udara menjadi rendah. Pada musim Timur ini massa air hangat dan massa air dingin tidak terlihat lagi dan berganti dengan massa air yang hangat yang terjadi hampir di seluruh perairan Utara Aceh, dimana hal ini diduga karena terjadinya penangangkatan massa air lapisan dalam yang bersuhu rendah sampai dengan ke permukaan. Kondisi di atas didukung pendapat Muklis (2008), yang menyatakan bahwa temperatur terendah ditemuai antara bulan Juni sampai September. Suhu perairan yang diukur secara in-situ di lapangan untuk bulan Januari 2012 sebesar 28,32oC, bulan Februari 2012 sebesar 28,18oC dan pada Maret 2012 sebesar 28,26oC. Bila dibandingkan dengan SPL secara eks-situ, hasil pengukuran citra satelit untuk bulan Januari sebesar 28,15oC, bulan Februari 2012 sebesar 28,51oC dan bulan Maret sebesar 28,88oC. Hal ini terlihat jelas perbandingan data yang dihasilkan berebeda. Rentang nilai perbedaan SPL yang dihasil pengukuran lapangan (in-situ) dan hasil pengukuran citra satelit adalah lebih kecil dari 1oC. Hal ini didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan pengukuran SPL antara citra satelit dengan pengukuran in-situ lebih kecil dari 1oC Perbedaan ini umumnya disebabkan pengaruh atmosfir seperti uap air dan awan. Pengaruh awan dapat menurunkan suhu pengukuran SPL sampai 1,5oC dibanding suhu pengukuran in-situ (Putra dan Hadiwijaya, 2012). Sebaran suhu permukaan laut di perairan Utara Aceh secara lebih terperinci ditunjukkan pada Gambar 5.

Klorofil-a Sebaran rata-rata klorofil-a di perairan Utara Aceh konsentrasi tertinggi dijumpai pada musim peralihan Barat-Timur, sedangkan rata-rata konsentrasi terendah dijumpai pada musim peralihan Timur-Barat. Rendahnya klorofil-a terjadi karena adanya pengaruh arus pada musim peralihan timur-barat tidak menentu, arus muson timur yang mengalir ke barat mulai melemah dan arus muson barat yang mengalir ke timur mulai bergerak. Sedangkan tingginya konsentrasi klorofil-a diduga karena hasil produktivitas primer dari terumbu karang yang terdapat diperairan. Nyibakken (1992) menyatakan bahwa pada ekosistem terumbu karang terjadi suatu simbiosis yang sangat berarti bagi terciptanya produktifitas primer yang potensial.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 167

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Musim Barat Tahun 2011 (januari - Februari)

Musim Peralihan Barat-Timur Tahun 2011 (Maret - Mei)

Musim Timur Tahun 2011 (Juni - Agustus)

Musim Peralihan Timur-Barat Tahun 2011 (September – November)

Musim Barat Tahun 2012 (Desember – Februari)

Musim Peralihan Barat-Timur Tahun 2012 (Maret)

Gambar 5. Sebaran suhu permukaan laut di perairan Utara Aceh

168 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Sebaran klorofil-a pada musim Barat terlihat lebih tinggi berada pada pesisir Banda Aceh hingga ke pesisir Pulo Nasi, dan konsentrasi klorofil-a terendah berada pada daerah lepas pantai perairan Utara Aceh. Hal ini disebabkan karena pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan yang berarti intensitas penyinaran rendah dan permukaan laut yang lebih bergelombang mengurangi penetrasi panas ke adalam air laut. Akibatnya adalah suhu permukan mencapai minimum (Gordon 2005). Diperairan teluk Omura Jepang menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai korelasi yang positif terhadap konsentrasi klorofil, karena curah hujan akan membawa zat-zat hara dari daratan melalui sungai menuju teluk Omura yang akhirnya zat-zat hara tersebut akan dimanfaatkan fitoplankton untuk pertumbuhannya (Effendi, 2012.). Sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Utara Aceh secara lebih terperinci ditunjukkan pada Gambar 6.

CPUE Ikan Layang Rata-rata CPUE ikan layang bulanan periode Januari 2011-Maret 2012 di perairan Utara Aceh sangat bervariasi. CPUE ikan layang yang bervariasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya perbedaan upaya penangkapan yang dilakukan, keadaan cuaca yang berbeda setiap bulannya, ada tidaknya sumber makanan, serta faktor-faktor lainnya. Rata-rata CPUE ikan layang tertinggi terjadi pada musim Barat sebesar 503,82 kg/trip dan terendah pada musim Timur sebesar 278,68 kg/trip. Tingginya CPUE ikan layang pada musim Barat yaitu pada musim ini ikan layang beruaya untuk menemukan tempat atau kondisi lingkungan yang tepat untuk melakukan pemijahan, dimana ikan layang melakukan pemijahan pada bulan Agustus dan September yaitu pada masa musim Timur dan hendak memasuki musim peralihan Timur-Barat. Amri (2002) menyatakan bahwa ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret/April (musim peralihan Barat-Timur) dan Agustus/September (musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat). Penyebab lainnya kemungkinan disebabkan oleh besarnya schooling ikan layang yang terjadi pada musim Barat sehingga berpengaruh terhadap CPUE ikan layang. Besar kecilnya schooling diduga berkaitan dengan keadaan lingkungan, yaitu keadaan perairan dan ketersediaan makanan. Penyebab yang lain juga diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan bahwa pada musim Barat (Januari-Februari) merupakan merupakan musim puncak bagi penangkapan ikan layang.

Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Layang Potensial (a) Hasil tangkapan ikan layang Nilai CPUE ikan layang dari masing-masing daerah penangkapan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Penentuan DPI Layang potensial berdasarkan hasil tangkapan CPUE *) CPUE **) No DPI Rasio Indikator Skor (kg/trip) (kg/trip) 1 Pulo Beras 443,15 400,28 1,107 Tinggi 5 2 Sabang 346,13 400,28 0,865 Rendah 1 3 Pulo Nasi 243,75 400,28 0,609 Rendah 1 4 Lhok Nga 155,43 400,28 0,388 Rendah 1 5 Laot Aceh 136,83 400,28 0,342 Rendah 1 6 Peukan Bada 115,92 400,28 0,290 Rendah 1

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 169

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Musim Barat Tahun 2011 (Januari – Februari)

Musim Peralihan Barat-Timur Tahun 2011 (Maret – Mei)

Musim Timur Tahun 2011 (Juni – Agustus)

Musim Peralihan Timur-Barat Tahun 2011 (September – November)

Musim Barat Tahun 2012 (Desember – Februari)

Musim Peralihan Barat-Timur Tahun 2012 (Maret)

Gambar 6. Sebaran konsentasi klorofil-a di perairan Utara Aceh

170 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

(b) Ukuran panjang ikan layang Ukuran panjang ikan layang yang tertangkap dari masing-masing daerah penangkapan ikan layang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penentuan DPI Layang potensial berdasarkan ukuran panjang ikan No DPI Rata-rata TL (cm) Lm (cm) Indikator Skor 1 Pulo Beras 17,32 21,2 Tidak Layak 3 2 Sabang 17,39 21,2 Tidak Layak 3 3 Pulo Nasi 17,17 21,2 Tidak Layak 3 4 Lhok Nga 17,43 21,2 Tidak Layak 3 5 Laot Aceh 17,20 21,2 Tidak Layak 3 6 Peukan Bada 17,21 21,2 Tidak Layak 3

(c) SPL Rata-rata SPL pada masing-masing daerah penangkapan ikan layang ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Penentuan DPI layang potensial berdasarkan SPL No DPI Rata-rata SPL (oC) Indikator Skor 1 Pulo Beras 28,18 Optimum 5 2 Sabang 28,41 Optimum 5 3 Pulo Nasi 28,43 Optimum 5 4 Lhok Nga 28,77 Optimum 5 5 Laot Aceh 28,63 Optimum 5 6 Peukan Bada 28,69 Optimum 5

(d) Klorofil-a Konsentrasi klorofil-a pada masing-masing daerah penangkapan ikan layang ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Penentuan DPI layang potensial berdasarkan klorofil-a No DPI Rata-rata Klorofil-a (mg/m3) Indikator Skor 1 Pulo Beras 0,33 Sedang 3 2 Sabang 0,42 Sedang 3 3 Pulo Nasi 0,31 Sedang 3 4 Lhok Nga 0,22 Rendah 1 5 Laot Aceh 0,42 Sedang 3 6 Peukan Bada 0,30 Rendah 1

(e) Penentuan Nilai Bobot (Scoring) Penentuan nilai bobot dilakukan dengan menggabungkan nilai yang diperoleh dari ke empat indikator yaitu hasil tangkapan ikan layang, ukuran panjang ikan layang, SPL dan klorofil-a pada setiap daerah penangkapan. Selanjutnya akan diperoleh daerah penangkapan yang tergolong kedalam daerah tinggi potensial, sedang potensial dan rendah potensial (Tabel 7).

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 171

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Tabel 7. Nilai bobot (scoring) daerah penangkapan ikan layang Potensial Jumlah No DPI Kategori Indikator Bobot Keterangan Bobot Jumlah • Tinggi 5 Tangkapan Pulo Ukuran Panjang • Tidak layak 1 Tinggi 1 12 Beras Ikan tangkap Potensial SPL • Optimum 3 Klorofil-a • Sedang 3 Jumlah • Rendah 1 Tangkapan Ukuran Panjang • Tidak layak 1 Sedang 2 Sabang 8 Ikan tangkap Potensial SPL • Optimum 3 Klorofil-a • Sedang 3 Jumlah • Rendah 1 Tangkapan Ukuran Panjang • Tidak layak 1 Sedang 3 Pulo Nasi 8 Ikan tangkap Potensial SPL • Optimum 3 Klorofil-a • Sedang 3 Jumlah • Rendah 1 Tangkapan Ukuran Panjang • Tidak layak 1 Sedang 4 Lhok Nga 6 Ikan tangkap Potensial SPL • Optimum 3 Klorofil-a • Rendah 1 Jumlah • Rendah 1 Tangkapan Ukuran Panjang • Tidak layak 1 Sedang 5 Laot Aceh 8 Ikan tangkap Potensial SPL • Optimum 3 Klorofil-a • Sedang 3 Jumlah • Rendah 1 Tangkapan Peukan Ukuran Panjang • Tidak layak 1 Sedang 6 6 Bada Ikan tangkap Potensial SPL • Optimum 3 Klorofil-a • Rendah 1

Adapaun peta pendugaan daerah penangkapan ikan layang potensial pada periode Januari-Maret 2012 tertera pada Gambar 7.

172 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 7. Peta Daerah Penangkapan Ikan Layang Potensial

SIMPULAN 1. Suhu permukaan laut di perairan Utara Aceh tergolong kedalam kategori sedang dan merupakan suhu yang optimum bagi pertumbuhan ikan layang. Sedangkan konsentrasi klorofil-a di perairan Utara Aceh tergolong kedalam indikator sedang yaitu sesuai sebagai penghasil sumber makanan bagi kehidupan ikan layang. 2. Ukuran hasil tangkapan ikan layang yang diperoleh di perairan Utara Aceh yaitu masih tergolong kedalam indikator tidak layak tangkap. 3. DPI layang potensial di perairan Utara Aceh terdapat 6 lokasi yaitu Pulo Beras, Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga, Laot Aceh dan Peukan Bada. DPI Pulo Beras merupakan daerah yang paling potensial, sedangkan DPI yang lainnya termasuk pada kategori potensial sedang.

DAFTAR PUSTAKA Amri K. 2002. Hubungan kondisi oseanografi (SPL, klorofil-a dan arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Perairan Selat Sunda. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [DKP Provinsi Aceh] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh. 2010. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Aceh. Banda Aceh. Effendi R, Palloan P, Ihsan N. 2012. Analisis konsentrasi klorofil-a di Perairan sekitar Kota Makassar menggunakan data satelit Topex/Poseidon. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika. 8(3): 279-285. Febri SP. 2012. Evaluasi daerah penangkapan ikan layang (decapterus spp.) berdasarkan indikator komposisi hasil tangkapan, suhu permukaan laut dan klorofil-a. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their troughflow. Journal Oceanography. 18(4): 15-27. Hendiarti N, Suwarso, Aldrian E, Amri K, Andiastuti R, Sachoemar SI, Wahyono IB. 2005. Seasonal variation of pelagic fish catch around Java. Journal Oceanography. 18(4): 113- 123.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 173

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Muklis. 2008. Pemetaan daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia. Putra EI, Hadiwijaya E. 2012. Anomali sea surface (SST) Effect and rain fall on forest and land fire in Province Riau. Jurnal Silvikultur Tropika. 3(2): 121-124. Simbolon D, Silvia, Wahyuningrum PI. 2013. Pendugaan thermal front dan upwelling sebagai indikator daerah potensial penangkapan ikan di Perairan Mentawai. Jurnal Marine Fisheries. 4(1): 85-95. Wyrtki K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. La Jolla: The University of California.

174 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

PENYEDIAAN INFORMASI PERIKANAN MENGGUNAKAN SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA (STUDI KASUS: TELUK SALEH) (Providing Fisheries Data and Information using Database Management System (Case study: Saleh Bay))

Oleh: Intan Destianis Hartati1, Siska Agustina1, Heidi Retnoningtyas1, Muhammad Iqbal 2, Irfan Yulianto1,2 1 Wildlife Conservation Society – Indonesia Program. Jalan Tampomas No.35, Babakan, Bogor Tengah, Bantarjati, Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat 16151, Indonesia. 2 Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agrilcultural University, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia. * Email: [email protected]

ABSTRAK Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan dengan keanekaragaman spesies yang tinggi, sehingga perlu suatu pengelolaan perikanan agar potensi perikanan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Kurangnya informasi dasar perikanan merupakan suatu hambatan dalam sistem pengelolaan perikanan. Penyimpanan data dalam sistem manajemen basis data (Database Management System) dapat memudahkan pengelolaan data secara terstruktur. Tujuan penyimpanan data dalam sistem database adalah menginformasikan kondisi perikanan berdasarkan data perikanan yang dikumpulkan secara real time (Studi Kasus: Teluk Saleh). Sistem penyimpanan data yang digunakan adalah server database MySQL. Data yang dikumpulkan di lapangan akan diunggah ke dalam server database (server WCS). Data tersebut terdiri dari informasi hasil tangkapan dan operasi penangkapan nelayan. Data yang tersimpan di server database akan dilakukan verifikasi oleh data manager dan dianalisis secara otomatis oleh sistem. Hasil analisis tersebut ditampilkan di dalam website www.data-ikan.org. Analisis data yang dilakukan oleh sistem adalah total landing, CPUE, indikator panjang (length frequency), dan komposisi hasil tangkapan.

Kata kunci : database, data perikanan, DBMS, MySQL

ABSTRACT Indonesia has a considerable potential of fisheries resources with high species diversity, which makes it essential to have a sustainable management system so that the potential can be utilized optimally. The lack of basic information on fisheries is one of the obstacles in fisheries management system. Data storage in a Database Management System (DBMS) can facilitates a structured data management. The purpose of data storage into a database system is to provide information on fisheries condition based on fisheries data that are being collected in real time manner (Case Study: Saleh Bay). The data storage system used in this matter is MySQL database server. The data collected in the field, which consists of catch information and fishing operations, will be uploaded into a database server which is WCS server. Those data will be verified by data manager and automatically analysed by the system once it was stored into the server. The results of the analysis which includes total landing, catch per unit effort (CPUE), length frequency, and catch composition will then be displayed on www.data-ikan.org website.

Keywords: database, fishery data, DBMS, MySQL

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 175

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Berdasarkan data FAO (2018) pada tahun 2016 Indonesia menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap di dunia. Melihat potensi perikanan yang sangat besar tersebut maka diperlukan adanya upaya pegelolaan perikanan yang tepat dan bertanggung jawab agar potensi perikanannya dapat dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang- undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (UU Nomor 31 Tahun 2004 Jo Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan). Pengumpulan informasi dasar perikanan, termasuk analisisnya menjadi sangat penting dalam pengelolaan perikanan karena informasi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam pengelolaan perikanan. Informasi dasar perikanan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan, namun saat ini informasi data perikanan tersebut masih sangat minim. Kurangnya informasi data perikanan dapat menjadi hambatan dalam ketepatan pengambilan kebijakan suatu pengelolaan, sehingga dibutuhkan pengelolaan data secara sistematis. Sistem manajemen basis data (Database Management System) dapat digunakan untuk pengelolaan data secara terstruktur. Database Management System (DBMS) merupakan sistem atau perangkat lunak (software) yang dirancang untuk mengelola suatu basis data, mulai dari membuat basis data sampai dengan proses-proses yang berlaku didalamnya, baik berupa entry, edit, hapus query terhadap data, membuat laporan dan sebagainya secara efektif dan efisien.Saat ini banyak sekali berkembang perangkat lunak yang digunakan untuk DBMS, misalnya MySQL, Oracle, Sybase, dBase, MS. SQL, Microsoft Access (MS. Access) dan sebagainya (Arbie 2004). Sistem penyimpanan data menggunakan DBMS dapat membantu Wildlife Conservation Society (WCS) dalam mengelola data perikanan (studi kasus: Teluk Saleh). Perangkat lunak DBMS yang digunakan yaitu MySQL karena dapat berjalan stabil pada berbagai sistem operasi, open source, multi user, dan dapat diintegrasikan dengan berbagai bahasa pemograman(Schwartz 2008). Data yang dikumpulkan oleh enumerator dilapangan akan diunggahke server MySQL, kemudian data tersebut di analisis secara langsung oleh sistem dan hasilnya akan ditampilkan di website www.data-ikan.org. Sistem ini diharapkan dapat membantu dalam memberikan informasi kondisi perikanan di Teluk Saleh secara real time.

METODOLOGI Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan di lokasi pendaratan ikan wilayah Teluk Saleh, yaitu Labuhan Sumbawa, Labuhan Kuris, Labuhan Jambu, Soro, dan Labuhan Sangoro (Gambar 1). Waktu pengumpulan data dilakukan selama 7-15 hari setiap bulannya.

176 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Gambar 1. Lokasi pengambilan data

Metode Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Data Hasil Tangkapan Pengumpulan data hasil tangkapan dilakukan oleh satu dan/atau dua orang enumerator. Jenis data yang dikumpulkan berupa data Trip-ID dan NONTRIP-ID. Data trip adalah data yang dikumpulkan langsung dari nelayan di tempat pendaratan ikan. Data non trip adalah data yang dikumpulkan dari pengumpul dan pasar ikan. Data yang dikumpulkan terdiri dari informasi hasil tangkapan, operasi penangkapan, dan gambar hasil tangkapan. Struktur dan keterkaitan data disajikan pada Gambar 2.

2. Pengukuran Data Panjang Pengukuran data panjang dilakukan oleh data manager melalui gambar/foto dengan menggunakan perangkat lunak Image Tools yang dirancang untuk mengukur panjang ikan dengan mengkalibrasi papan skala yang terdapat dalam gambar. Panjang ikan yang diukur yaitu panjang total (TL) dan panjang cagak (FL) (Gambar 3). Akurasi pengukuran panjang dengan Image Tools sangat ditentukan oleh cara pengambilan gambar ikan di lapangan, sehingga pengambilan gambar harus sesuai prosedur agar pengukuran panjang ikan lebih akurat dan memiliki bias yang kecil.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 177

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Gambar 2. Struktur data

TL FL

Gambar 3. Pengukuran panjang ikan

178 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

3. Alur Penyimpanan dan Supervisi Data Alur penyimpanan dan supervisi data yang diunggah oleh enumerator ditampilkanpada Gambar 4. Data yang sudah dikumpulkan di lapangan maupun pengukuran panjang ikan disimpan dalam server database. Enumerator di lapangan akan mengunggah data tersebut menggunakan aplikasi berbasis android ke dalam server. Data yang sudah dikumpulkan akan diverifikasi melalui dua tahap yaitu oleh kordinator enumerator dan data manager. Data yang diverifikasi adalah data trip, biaya operasional, hasil tangkapan, dan ketepatan identifikasi. Kordinator melakukan pengecekan data pada saat enumerator akan mengunggah data ke server dan data manager melakukan pengecekan data melalui server. Jika data yang masuk ke server masih terdapat kesalahan, seperti kesalahan ketik (typo), identifikasi, atau data gagal upload (data yang masuk ke server masih kosong), maka data manager akan menginformasikan kesalahan tersebut kepada enumerator, dan enumerator akan mengunggah ulang berdasarkan ID datanya. Setelah data terverifikasi maka hasil analisis online secara real time tersedia (publish) dalam website.

Gambar 4. Alur supervisi data

HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang sudah tersimpan di server database MySQL akan dianalisis menggunakan perangkat lunak R Studio. Analisis dilakukan secara otomatis menggunakan R Studio yang sudah terkoneksi dengan MySQL, sehingga data yang tersimpan di database MySQL dapat diakses melalui perintah query. Database MySQL berisi data-data yang dikumpulkan dilapangan yang bersifat real time. Data dalam database tersebut kemudian dianalisis oleh system dengan bantuan perangkat lunak R Studio untuk memanggil data dan dilakukan analisis sederhana. Hasil analisis tersebut tersedia di website www.data-ikan.org dan dapat diakses secara terbuka. Hasil analisis berupa informasi umum, antara lain: ringkasan data, catch per unit effort (CPUE) dan total landing, analisis frekuensi panjang, dan komposisi hasil tangkapan akumulasi.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 179

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

Ringkasan Data Ringkasan data berisi informasi struktur data pemantauan hasil tangkapan ikan dan update data yang terkumpul meliputi jumlah trip, jumlah kapal terdata, jumlah ikan tertangkap (individu), berat total ikan tertangkap (kg), jumlah spesies ikan (kerapu dan kakap), jumlah pengukuran panjang, dan update data terakhir. Selain itu terdapat tampilan grafik hasil tangkapan berat total (kg) dan jumlah total (individu) untuk seluruh lokasi monitoring di NTB (Teluk Saleh, Sape, Teluk Cempi, dan Teluk Waworada). Hasil tangkapan ikan di perairan NTB berdasarkan data hasil monitoring pendaratan ikan pada Maret 2016 hingga Agustus 2018 dapat dilihat pada Gambar 5 untuk berat total tangkapan dan Gambar 6 untuk jumlah ikan yang terdata.

Gambar 5. Grafik berat total hasil tangkapan (kg) berdasarkan family

Gambar 6. Grafik jumlah hasil tangkapan (individu) berdasarkan family

180 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

Catch per Unit Effort dan Total Landing Catch per unit effort (CPUE) menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan satuan upaya nelayan. Informasi CPUE disajikan berdasarkan WPP, alat tangkap, family/spesies, dan tahun. Gambar 7 merupakan grafik yang menunjukkan nilai CPUE di wilayah Teluk Saleh untuk jenis Plectropomus leopardus yang tertangkap oleh pancing ulur pada tahun 2017.

Gambar 7. CPUE Plectropomus leopardus dengan alat tangkap pancing ulur (handline)

Total landing merupakan jumlah ikan hasil tangkapan yang terdata selama monitoring.Informasi total landing ikan disajikan berdasarkan WPP, kawasan penangkapan, family/spesies, dan tahun. Gambar 8 menunjukkan grafik total landing (kg) diwilayah Teluk Saleh (WPP-713) untuk family Epinephelidae pada tahun 2017.

Gambar 8. Total landing family Epinephelidae

Frekuensi Panjang Ikan Frekuensi data panjang ikan disajikan berdasarkan WPP untuk masing-masing spesies ikan. Dalam grafik ditampilkan juga nilai trade limit (ukuran perdagangan), panjang ikan pertama kali dewasa secara seksual (length first maturity, Lm), panjang optimum ikan (Lopt),

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 181

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. dan panjang asimptotik (L∞). Perhitungan nilai Lm, Lopt, dan L∞ didasarkan pada analisis frekuensi data panjang ikan dengan rumus empiris Froese & Binohlan (2000). Salah satu contohnya ditunjukan oleh Gambar 9 untuk jenis ikan kerapu sunu merahPlectropomus leopardus di Teluk Saleh.

Gambar 9. Frekuensi panjang ikan jenis Plectropomus leopardus

Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan merupakan komposisi spesies ikan yang tertangkap oleh masing-masing alat tangkap. Komposisi hasil tangkapan dihitung berdasarkan frekuensi masing-masing spesies yang diperloleh dari akumulasi hasil tangkapan. Informasi komposisi hasil tangkapanikan disajikan berdasarkan WPP dan alat tangkap. Gambar 10 menunjukkan komposisi hasil tangkapan di Teluk Saleh untuk alat tangkap pancing ulur (speargun).

Gambar 10. Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan alat tangkap pancing ulur (handline)

182 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

KESIMPULAN Data hasil monitoring di Teluk Saleh yang dikumpulkan secara time series dikelola menggunakan sebuah Sistem Manajemen Basis Data (DBMS). Penyimpanan data dalam server database MySQL dapat mempermudah pengelolaan data secara terstruktur. Selain itu, data yang tersimpan di server dapat dianalisis secara otomatis oleh perangkat lunak R Studio yang terkoneksi dengan MySQL dan hasilnya tersedia di website www.data-ikan.org. Hasil analisis tersebut dapat memberikan informasi umum perikanan Teluk Saleh secara real time. Analisis lanjutan seperti pengkajian stok ikan berbasis panjang (Length-based stock assessment) dilakukan secara manual oleh data manager sesuai dengan kebutuhan analisisnya.

DAFTAR PUSTAKA Arbie. 2004. Manajemen Database dengan MySQL. Yogyakarta: Andi. [FAO] . 2018. The State of World Fisheries and Aquaculture 2018. Meeting the sustainable development goals. Lisence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO. Rome: FAO. Froese R, Binohlan C. 2000. Empirical relationships to estimate asymptotic length, length at first maturity and length at maximum yield per recruit in fishes, with a simple method to evaluate length frequency data. Journal of Fish Biology. 56: 758-773. Schwartz B, Zaitsev P, Tkachenko V, Zawodny JD, Lentz A, Balling DJ. 2008. High Performance MySQL. Ed ke-2. USA: O’Reilly Media.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 183

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

RUMUSAN HASIL PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Dalam rangka pengelolaan perikanan berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, telah dilaksanakan kegiatan Seminar Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tangggal 14 November bertempat di Unit Pelaksanan Teknis Bahasa, Universitas Mataram, Mataram. Pertemuan ini dibuka oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan dihadiri oleh perwakilan pemerintah, akademisi, praktisi kelautan dan perikanan, mahasiswa serta anggota Forum Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Memperhatikan : 1. Sambutan dan arahan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat; 2. Paparan keynote speaker Yuni Tri Kumoro S.Si dari Direktorat Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia; 3. Paparan keynote speaker M. Natsir M.Si dari Pusat Riset Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang pengelolaan perikanan berbasis data ilmiah; 4. Paparan para pemakalah pada Seminar Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat; 5. Diskusi dan tanya jawab para pemakalah dan peserta seminar. Serta mempertimbangkan saran, masukan dan pertanyaan maka para peserta bersepakat merumuskan hasil pertemuan ini sebagai berikut: 1. Melakukan kegiatan penelitian dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach Fisheries Management) guna menyusun rekomendasi pengelolaan perikanan dengan memperhatikan aspek social-ekonomi nelayan, pengaturan jenis dan pengunaan alat tangkap, sumber daya ikan dan habitatnya, serta kelembagaan nelayan dan kelembagaan pengelolaan perikanan. 2. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dengan cara memperkuat kegiatan pengawasan (patroli) dan penegakan hukum yang melibatkan Polair, Polda dan Polres, aparat penegakan hukum, serta masyarakat kelompok pokmaswas (POKMASWAS). Kegiatan pemberantasan Destructive Fishing (DF) ini harus didukung dengan penyediaan alokasi penganggaran di setiap lembaga, memperkuat komitmen dan mekanisme koordinasi dan komunikasi antar lembaga di tingkat tapak, pembentukan peradilan perikanan, pemutusan bahan baku bom serta operasional forum dan satgas tindak pidana kelautan dan perikanan di Provinsi NTB. 3. Perlu dilakukan beberapa upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan, salah satunya adalah melakukan transfer teknologi pengolahan perikanan berbasis kepada karakteristik wilayah dan kondisi masyarakat serta perlu terintegrasi dengan instansi terkait untuk skala yang lebih besar sehingga dapat mensejahterakan masyarakat nelayan. 4. Perlu dilakukan penyadaran kepada nelayan bahwa kapal penangkapan ikan yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan harus memperhatikan kelaiak lautan, bukan hanya semata berdasarkan pada kebiasaan, agar dapat dilakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan. Selain itu, penyadaran kepada masyarakat juga perlu dilakukan terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. 5. Memperkuat kelembagaan nelayan dan pengusaha perikanan dengan cara mendorong peningkatan sistem pengelolaan dan kualitas produk perikanan. Bentuk insentif yang dapat diberikan oleh pemerintah dapat berupa kebijakan/peraturan pengelolaan maupun bantuan

184 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

fisik, seperti bantuan alat tangkap, penerapan aplikasi teknologi, fasilitas pengolahan, jenis armada tangkap, penurunan tarif pajak hasil perikanan, izin penangkapan, kualitas pengolahan, subsidi BBM, pengaturan harga pasar, dan pembinaan kelompok nelayan.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 185

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB.

LAMPIRAN

186 Prosiding Seminar Nasional.

Prosiding Seminar Nasional.

SUSUNAN ACARA SEMINAR PERIKANAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI NTB Mataram, 14 November 2018

WAKTU AGENDA PELAKSANA (WITA) 08.00-08.30 Registrasi peserta Panitia

08.30-08.40 Pembukaan Panitia

08.40-08.50 Sambutan Ketua FIP2B Provinsi NTB Dr. Sitti Hilyana

08.50-09.00 Pembukaan oleh Kepala DKP NTB Kadis KP NTB

09.00-09.05 Pembacaan doa Panitia

Keynote speaker Direktorat Sumber Daya 09.05-09.25 Ikan - KKP Moderator: 09.25-09.40 Keynote speaker Pusat Riset Perikanan - KKP Dr. Imam Bachtiar

09.40-10.00 Diskusi

10.00-11.00 Presentasi kelompok 1 Dr. Imam Bachtiar

11.00-12.00 Presentasi kelompok 2 Dr. Didik Santoso

12.00-13.00 ISHOMA Panitia

13.00-14.00 Presentasi kelompok 3 Dr. Satrijo Saloko

14.00-15.00 Presentasi kelompok 4 Dr. Didik Santoso

15.00-16.00 Presentasi kelompok 5 Dr. Nurliah • Pembacaan rekomendasi mengenai Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di 16.00-16.30 Dr. Nurliah Provinsi NTB • Penutupan

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi NTB. 187