<<

ETNOGRAFI KERANJANG DALAM MASYARAKAT TIONGHOA DI PASAR LAMA-TANGERANG

Nova Aryanti dan Drs. Hilarius S. Taryanto (Pembimbing)

Program Studi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

[email protected]

ABSTRAK

Skripsi ini mendeskripsikan Kue Keranjang dalam masyarakat Tionghoa di Pasar Lama. Kue Keranjang merupakan bagian dari kebudayaan Tionghoa yang berkaitan dengan teknologi pengolahan makanan. Kue Keranjang yang selalu dikaitkan dengan Perayaan Imlek, ikut berpindah bersamaan dengan perpindahan orang Tionghoa ke , khususnya Pasar Lama. Kue Keranjang di pertahanankan sebagai sebuah tradisi secara turun-temurun dan selalu dikaitkan dengan pelaksanaan perayaan Imlek. Kue Keranjang bagi Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama memiliki peranan penting sebagai sesaji, atribut penunjuk identitas, dan komoditas. Pembahasan Kue Keranjang menjadi sebuah perantara untuk mendapatkan gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tionghoa. Kue Keranjang juga memberikan gambaran tentang bagaimana agama leluhur Masyarakat Tionghoa menjadi bagian dalam kebudayaan mereka sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.

ABSTRACT

This undergraduate thesis describes Kue Keranjang in Chinese Society at Pasar Lama. Kue Keranjang is a part of which is related with food processing technology. Along with the movement of Chinese people to Indonesia. Kue Keranjang that is always associated with Chinese New Yaer, also moved to Indonesia, especially Pasar Lama. Kue Keranjang is maintained to be a tradition throughout generations. For Chinese Society at Pasar Lama, Kue Keranjang has important roles as offering, identity indicator attribute, and commodity.

1

Explanation about Kue Keranjang can be intermediary to get a description about the culture of Chinese Society. Kue Keranjang also gives description about how the religion of Chinese can be a part of their culture. Therefore, both of them cannot be separated.

Key Word : food; tradition; offered food; identity; commodity

1. Pendahuluan Masyarakat Indonesia secara umum mengenal Masyarakat Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu kelompok minoritas. Leluhur mereka berpindah ke wilayah nusantara (sebutan Indonesia sebelum merdeka) dan menetap sejak awal abad ke-9 dengan tujuan utama melakukan perdagangan. Sebagian besar orang Tionghoa yang memutuskan untuk merantau ke luar dari tanah airnya memiliki latar belakang kehidupan ekonomi yang sulit di negaranya. Perpindahan secara besar-besaran bangsa Tionghoa ke Nusantara terjadi pada abad ke-15(Usman 2009: 1—2). Masyarakat Tionghoa yang merantau ke negara-negara lain biasanya hidup secara berkelompok sehingga dapat ditemukan pemukiman orang Tionghoa yang seringkali disebut pecinan1atau Chinatown.

Kota Tangerang merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki banyak kantong-kantong pemukiman orang Tionghoa. Dari sejumlah wilayah di Tangerang yang dijadikan tempat bermukim oleh orang Tionghoa, terdapat kawasan Pasar Lama2 sebagai pecinan di Tangerang. Kawasan Pasar Lama berada di pinggiran sungai Cisadane, lebih tepatnya di wilayah RW 03 dan 04 Kelurahan Sukasari, Kecamatan

1 tempat pemukiman orang Cina, biasanya merupakan pusat perdagangan yang berdampingan dengan rumah-rumah pemukiman.

2 Pasar Lama sangat erat dengan kehidupan keagamaan penganut agama Budha, Konghucu, dan Tao dengan adanya Kelenteng Boen Tek Bio (yang juga merangkap Vihara Padumuttara) disana. Kantor Majelis Konghucu Indonesia cabang Tangerang juga berada disana yang sangat aktif menyelenggarakan kegiatan keagamaan bagi pemeluk agama Konghucu.. Pasar Lama juga dikenal sebagai pusat perdagangan Kue Keranjang di Kota Tangerang. Kue Keranjang selalu membanjiri toko-toko makanan yang ada di Pasar Lama mendekati Perayaan Imlek.

2

Tangerang, Kota Tangerang. Kawasan ini merupakan pusat pemukiman, perdagangan dan pelaksanaan sejumlah perayaan penting oleh masyarakat Tionghoa di Kota Tangerang. Kawasan ini dikenal sebagai tempat wisata keagamaan, budaya dan kuliner bagi masyarakat umum yang datang dari dalam dan luar wilayah kota Tangerang.

Masyarakat Tionghoa yang bermukim di Pasar Lama hingga saat ini masih menjalankan sejumlah tradisi3 yang telah diturunkan oleh leluhur mereka yang pertama kali datang dari Cina. Pelaksanaan tradisi tersebut menjadi bagian dari kebudayaan mereka, termasuk Perayaan Tahun Baru Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek yang juga disebut Festival Musim Semi adalah pesta rakyat yang paling utama dalam almanak Tionghoa, baik di Cina maupun di negara lain yang memiliki penduduk keturunan Tionghoa, seperti Indonesia. (Danandjaja 2007 :366). Pelaksanaan perayaan Imlek ini masih mengacu kepada apa yang dilakukan oleh leluhur atau orang tua mereka.

Ada banyak sekali makanan yang disediakan dalam perayaan ini dan yang paling dikenal dan khas dengan perayaan ini adalah Kue Keranjang atau cina. Kue Keranjang di Cina merupakan salah satu makanan simpanan di musim dingin dan juga menjadi bagian dari sajian yang diletakkan di meja abu atau altar di rumah dan Kelenteng atau Vihara untuk dipersembahkan kepada leluhur dan dewa. Kue Keranjang juga hadir dalam perayaan Imlek yang dilaksanakan oleh Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama. Secara visual, Kue Keranjang yang ada di Pasar Lama dan Cina memiliki bentuk yang sama, tetapi terdapat perbedaan peranan Kue Keranjang dalam perayaan Imlek terkait dengan perbedaan kondisi sosial-budaya yang dimiliki. Kue Keranjang bagi Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama bukan hanya sebuah tradisi yang dipertahankan untuk pemenuhan nutrisi tetapi juga memiliki beberapa peranan lain yang berkaitan dengan upacara keagamaan dan identitas mereka sebagai orang Tionghoa.

2. Metode Penelitian Penelitian mengenai Kue Keranjang ini secara keseluruhan dimulai sekitar bulan Desember 2013 hingga April 2014 yang menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif. Penulis menjadi instrumen penelitian, mengikuti asumsi- asumsi kultural

3 Tradisi berasal dari kata tradere dalam bahasa Latin yang berarti menyampaikan, meneruskan, dan yang digunakan dalam arti kandungan-kandungan masa lalu yang diteruskan ke asa kini dan masa depan (Simatupang 2013: 232) dalam (Tasma 2014: 9)

3 sekaligus mengikuti data. Penelitian ini menekankan pada pemahaman suatu masyarakat melalui sebuah objek yang dikenal dengan konsep Material Culture Studies (MNC) (Ian Woodward 2007 :4). Dalam hal ini pemahaman mengenai masyarakat Tionghoa melalui sebuah objek, yaitu Kue Keranjang.

Proses pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Ketiganya saling mendukung terhadap data yang dapat dikumpulkan. Penulis melakukan pengamatan terhadap proses pembuatan di Pabrik Kue Keranjang Ny. Pang di Kota Tangerang. Pengamatan dilakukan selama satu minggu dari dua minggu masa produksi yang dilakukan menjelang perayaan Imlek dan juga dilakukan terhadap malam perayaan Imlek di Pasar Lama yang terpusat di Kelenteng Boen Tek Bio. Penulis juga melakukan pengamatan selama wawancara mendalam berlangsung terkait dengan informan yang sedang diwawancara. Hasil pengamatan selama wawancara tersebut dapat melengkapi, menguatkan atau melemahkan informasi yang diberikan oleh informan dalam wawancara serta menjadi bahan pertimbangan dari penulis terhadap pengumpulan data selanjutnya.

Wawancara mendalam dengan informan dilakukan penulis untuk mendapatkan informasi yang tidak bisa didapatkan melalui pengamatan saja, seperti pandangan dan pikiran.. Penulis melakukan wawancara mendalam dengan pemilik pabrik kue keranjang, warga Tionghoa yang bermukim di Pasar Lama, pengurus Boen Tek Bio, dan kepala lab uji makanan. Informan-informan tersebut dipilih penulis atas rekomendasi tokoh-tokoh masyarakat di kawasan tersebut, seperti petugas kelurahan yang tinggal disana, ketua RW, ketua RT, dan pengurus Boen Tek Bio.

Penulis kemudian melakukan studi pustaka untuk melengkapi sejumlah data yang tidak bisa didapatkan atau ditemukan di lapangan. Bapak Oey Tjin Eng yang merupakan pengurus di Kelenteng Boen Tek Bio dan warga RW 04 kelurahan Sukasari, meminjamkan kepada penulis buku-buku yang pernah disusun dan diterbitkan oleh perkumpulan yang ada di Kelenteng Boen Tek Bio. Buku-buku tersebut memberikan informasi yang terperinci mengenai kegiatan peribadatan dan juga pelaksanaan perayaan Imlek di Kelenteng. Hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai Masyarakat Tionghoa baik berupa skripsi maupun jurnal juga dijadikan referensi untuk membangun penjelasan mengenai Perayaan Imlek, sejarah Masyarakat Tionghoa di

4

Pasar Lama dan melengkapi informasi-informasi mengenai istilah-istilah yang digunakan oleh mereka. Buku-buku dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai makanan juga menjadi acuan utama penulis dalam membangun kerangka pemikiran.

3. Kerangka Konsep Sebagaimana telah diungkapkan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar . Hampir seluruh yang tindakan yang dilakukan oleh manusia adalah kebudayaan karena, bahkan bagian yang ia bawa sejak lahir juga dirombak olehnya menjadi sebuah tindakan berkebudayaan (Kontjeraningrat, 2009:144-145) Tindakan makan menjadi salah satu kebutuhan dasar yang sudah ada sejak lahir dan tidak dapat diabaikan yang dirombak menjadi sebuah tindakan berkebudayaan. Manusia mengatur kapan mereka harus makan, apa yang harus dimakan, serta bagaimana mereka harus melakukannya dengan cara yang mereka anggap pantas dan hal itu didapatkan dengan belajar.

Makanan yang menjadi objek penting dalam kegiatan makan manusia ini juga menjadi bagian dari kebudayaan. Makanan masuk kedalam salah satu tujuh unsur yang mendukung sebuah kebudayaan, yaitu sistem teknologi (Koentjaraningrat, 2009:267). Sistem teknologi khususnya berhubungan dengan pengolahan makanan yang dimiliki manusia terus mengalami perkembangan. Pengolahan makanan merupakan sebuah pencapaian yang dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dengan lingkungan hidupnya. Teknologi pengolahan makanan memungkinkan manusia untuk menyimpan makanan dalam waktu yang lama saat dapat digunakan pada saat bahan makanan sulit didapatkan, salah satunya pada masa musim dingin atau ketika kekeringan melanda. Selain itu, pengolahan makanan juga dilakukan agar kandungan gizi dapat dicerna lebih mudah oleh tubuh dan memiliki rasa yang lebih bervariasi. (Gremillion,2011 :65—81).

Makanan juga memiliki peranan lain bagi manusia selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia akan nutrisi. Masyarakat Tionghoa secara umum memiliki pandangan bahwa makanan tidak selalu bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang dirasakan tubuh. Hal ini seperti apa yang diungkapkan Wang (2004:1) eating is not just meant to fill the stomach; having food at one’s disposal, being able to

5 consume a good amount of food, and knowing what and how to eat are all viewed as a good “fortune”. Makanan bagi mereka menjadi bagian penting dalam kebudayaan mereka. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Massimo Montanari bahwa makanan adalah bagian dari kebudayaan ketika (1)makanan tersebut di produksi atau mengalami proses pengolahan sebelum dapat dikonsumsi; (2)makanan tersebut dimakan ketika manusia yang mampu memakan beragam makanan memilih makanannya sendiri berdasarkan nilai-nilai yang ia miliki dan memiliki tujuan tertentu (Montanari 2004: xi- xii).

Makanan menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam kehidupan mereka, terutama ketika sedang menyelenggarakan sebuah acara atau perayaan. Salah satu perayaan yang paling penting bagi masyarakat Tionghoa adalah Tahun Baru Imlek. Pada saat perayaan Tahun Baru Imlek, masyarakat Tionghoa akan menyediakan beragam jenis makanan dan salah satu yang paling khas adalah Kue Keranjang. Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama yang merupakan keturunan dari para orang Tionghoa perantauan dari Cina (Chinese overseas) juga melaksanakan perayaan Tahun Baru Imlek dan menyediakan Kue Keranjang. Hal ini tetap mereka lakukan sebagai sebuah tradisi yang sudah dilakukan oleh leluhur mereka dan diajarkan secara turun- temurun. Tradisi mengacu kepada proses menyerahkan turun dari generasi ke generasi, dan beberapa hal, kebiasaan, atau proses berpikir yang diteruskan dari waktu ke waktu (Horner dalam Graburn,2001 : Hal 7).

Kue Keranjang bagi mereka merupakan salah satu makanan yang dijadikan sajian untuk meja abu dan altar dewa sebagai bentuk penghormatan serta pengucapan rasa terima kasih. Kegiatan “bersaji” maupun “berpantang” terhadap makanan merupakan cara simbolis dari semua masyarakat untuk menunjukkan ketaatan terhadap kekuatan lain dan menujukkan perbedaan status yang berbeda antara pemberi dan penerima sajian tersebut (Farb 1980: 152). Pemberian sajian kepada leluhur atau dewa juga oleh Mauss dikatakan sebagai kegiatan“tukar-menukar” yang harus dilakukan karena menjadi hal termudah dan teraman untuk dilakukan tetapi sangat berbahaya jika tidak dilakukan (Mauss 1992: 19).

Kue Keranjang dalam Perayaan Tahun Baru Imlek juga menjadi salah satu atribut penunjuk identitas mereka sebagai orang Tionghoa. Identitas menjadi sesuatu hal

6 yang dapat dibangun oleh individu itu sendiri dan didukung oleh orang-orang disekelilingnya. Identitas merupakan gagasan konseptual yang digunakan oleh para ahli ilmu sosial untuk mengacu kepada pengertian seseorang akan diri mereka sendiri sebagai perbedaan antara individu-individu dalam konteks masyarakat. Sederhananya, kita dapat katakan identitas mengacu kepada penentuan secara sosial seseorang tentang siapa dia seperti pernyataan sosial tentang identitas seseorang (Woodward, 2007:134). Identitas dapat dibangun melalui kepemilikan objek karena kepemilikan akan suatu benda akan berperan penting dalam memberikan batasan antara siapa yang memiliki benda tersebut dan siapa yang tidak (Woodward 2007, 133:135).

Kemudian, G.P. Murdock dalam buku Outline of Cultural Materials (1967:25) menyajikan dan menjelaskan dengan lengkap mengenai HRAF (Human Resource Area Files) berisikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah etnografi, termasuk mengenai makanan. Poin-poin penting yang perlu diperhatikan antara lain :

• Proses Pembuatan • Ritual dalam proses pembuatan • Cara Penyajian dan Konsumsi • Posisi Makanan dalam sebuah Perayaan o Pemberian Hadiah § Penghormatan § Gratifikasi § Status § Pertukaran

Poin-poin tersebut sudah disesuaikan dengan data lapangan yang ada dilapangan dan dijadikan sebuah kerangka penulisan etnografi mengenai Kue Keranjang.

4. Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama Selayang Pandang Masyarakat Tionghoa yang bermukim di Pasar Lama hampir seluruhnya merupakan Cina peranakan4, yang akrab disebut sebagai Cina Benteng5. Informasi asal-usul

4 Umumnya di Indonesia bangsa Tionghoa di Indonesia terpisah dalam dua bagian besar : golongan Tionghoa-Totok dan golongan Tionghoa-Peranakan. Yang dinamakan Tionghoa-Totok adalah orang Tionghoa yang baru datang dari Tiongkok atau disebut singkhe yang berarti tamu baru. Sedangkan Tionghoa-Peranakan dimaksudkan kepada orang Tionghoa kelahiran Indonesa (Joe Lan, 1961 : 15).

7 keberadaan orang Tionghoa di Pasar Lama Kota Tangerang ini masih sangat minim. Keberadaan Mesjid Kali Pasir6 dan Kelenteng Boen Tek Bio menjadi salah satu bukti bahwa keberadaan orang Tionghoa sudah lebih dari satu generasi. Masyarakat Tionghoa sudah bermukim secara berkelompok di wilayah Banten sejak abad ke-17 yaitu pada wilayah yang dikenal dengan nama Bambu Cina. Mereka sangat berperan dalam perdagangan dan pertanian. Mereka membantu penduduk asli untuk menjual hasil bumi kepada pihak asing (Inggris, Portugis, dan Belanda). Mereka juga mengajarkan penduduk Banten untuk bertani dan irigasi. Atas tawaran pihak Belanda yang sedang membangun Batavia, banyak diantara mereka yang kemudian berpindah ke Batavia pada tahun 1619 (Danandjaja, 2007:54-58). Mereka kemudian melakukan perpindahan kembali secara besar-besaran ke wilayah Tangerang atau pinggiran sungai Cisadane (kawasan Pasar Lama) setelah ada pembantaian orang Tionghoa di Batavia oleh Belanda pada tahun 1740. Kehidupan bertetangga di antara warga Pasar Lama baik Tionghoa maupun bukan Tionghoa terjalin dengan baik. Interaksi diantara mereka terjalin karena adanya hubungan bertetangga, pekerjaan, dan pertemanan di sekolah. Masyarakat Tionghoa bermukim di Pasar Lama secara berkelompok. Menurut keterangan petugas Kelurahan Sukasari yang bertugas mendata penduduk, umumnya penduduk Tionghoa tinggal berdekatan dengan Boen Tek Bio, yaitu di RW 03 dan sebagian dari RW 04. Pada RW 04 tempat Boen Tek Bio berada, penduduk Tionghoa berkelompok di RT 04 dan 03, sedangkan warga RT 01 dan 02 sebagian besar merupakan orang pribumi.

Dikatakan sebagai kelahiran Indonesia karena sudah lahir dan memiliki darah pribumi. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi.

5 Cina Benteng merupakan variasi sukubangsa Cina Peranakan yang tinggal di Indonesia. Secara fisik mereka sulit dibedakan dengan pribumi karena kulitnya yang gelap dan matanya yang tidak sipit seperti orang Cina umumnya. Sebagian besar pekerjaan mereka adalah petani dan peternak. Orang Cina Benteng tersebar di Jakarta Barat dan Tangerang. Nama Benteng sendiri merupakan nama lama dari Kota Tangerang karena dahulu terdapat benteng yang dibangun pada jaman kolonial Belanda. Sejak tahun 1700-an, orang Cina Benteng yang kurang mampu tinggal diluar benteng. Sekarang benteng yang letaknya di tepi Sungai Cisadane tersebut sudah rata dengan tanah. Mereka sekarang tinggal kebanyakan di daerah sebelah utara yaitu di Sewan dan Kampung Melayu (Sugihartati dalam Tasma, 2014)

6 Masjid Kali Pasir merupakan masjid yang diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke-15. Menurut keterangan yang didapat di museum Benteng Heritage, masjid Kali Pasir diduga merupakan masjid yang dibangun oleh para anak buah dari Laksamana Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho merupakan salah satu tokoh yang berasal dari Tiongkok dan terkenal di Nusantara

8

Rumah-rumah yang dimiliki oleh orang Tionghoa biasanya memiliki meja abu di ruangan depan rumah dan dapat terlihat dari luar. Sebagian besar rumah-rumah orang Tionghoa memiliki hio lo (tempat dupa) yang digantung di tembok depan rumah, kertas hu7 atau cermin cembung yang juga dipasang di bagian atas pintu rumah. Ada beberapa rumah juga memasang poster bergambar dewa dengan latar berwarna merah didepan pintu. Pada saat perayaan Imlek berlangsung, dekorasi rumah tersebut akan semakin semarak dan aroma hio yang semerbak. Rumah yang memiliki meja abu pun akan menghias meja abu dengan berbagai sajian yang semarak. Penulis menemukan rumah-rumah yang memiliki dekorasi ini di RT 03 dan 04 di RW 04 serta RW 03.

Masyarakat Tionghoa seringkali dikaitkan dengan kegiatan perdagangan. Pedagang atau wiraswasta menjadi profesi yang biasa dipilih oleh orang Tionghoa secara turun-temurun. Bahkan hal tersebut mampu membuat mereka memiliki jaringan perdagangan sendiri yang juga menciptakan hubungan persaudaraan yang sangat kuat di antara sesama mereka. Pada masa sebelum kemerdekaan, masyarakat Tionghoa berperan sebagai perantara perdagangan antara kolonial Belanda dengan masyarakat pribumi. (Leo, 2004:39). Umumnya barang yang diperjualbelikan oleh orang-orang Tionghoa ini adalah kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari ataupun hasil bumi. Hal ini juga yang sampai sekarang masih dilakukan oleh sebagian besar orang Tionghoa khususnya yang ada di Pasar Lama. Hampir seluruh toko yang ada di Pasar Lama merupakan milik orang Tionghoa dan banyak diantaranya adalah usaha turun-temurun keluarga. Saat ini, perdagangan pada perkembangannya sudah tidak lagi menjadi pilihan satu-satunya bagi orang Tionghoa di Pasar Lama sebagai sumber mata pencaharian. Bidang profesional, seperti guru, pengacara, dokter, atau bahkan bekerja di sejumlah perusahaan sebagai karyawan juga sudah banyak dilakukan. Fasilitas pendidikan yang memadai dan semakin mudah didapatkan membuat peluang mendapatkan beragam

7 Merupakan selembar kertas yang biasanya berwarna atau merah yang bertuliskan tulisan tertenu (dalam aksara cina). pada umumnya umat TAO meyakini sebuah Hu merupakan lambang yang berkhasiat kegaiban atau mempunyai kegunaan tertentu. (DR. I Djaja L Msc dalam .http://indonesia.siutao.com/pengenalan/jenis_dan_ragam_hu.php)

9 selain pedagang menjadi semakin besar. Fenomena ini juga dijelaskan Leo S. dalam bukunya yang berjudul Chinese Minority. Leo (2004:41) menjelaskan bahwa perdagangan bukan lagi menjadi pilihan utama sebagai mata pencaharian bagi Cina Peranakan sehingga banyak di antaranya lebih memilih menjadi tenaga profesional daripada wiraswasta. Hal itu bisa dilihat dari tabel komposisi penduduk berdasarkan profesi yang dimiliki. Pada RW 03 yang mayoritas warganya adalah orang Tionghoa, perkerjaan di sektor formal sudah mulai banyak diminati sama halnya dengan pekerjaan sebagai pedagang ataupun wiraswasta. Mengenai kehidupan beragama, ada lima agama resmi (Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Konghucu) dan satu ajaran agama yang belum diresmikan (Tao) oleh pemerintah Republik Indonesia yang dianut oleh warga di Pasar Lama. Masyarakat Tionghoa yang terpusat di RW 03 sebagian besar memeluk agama Budha. Warga yang beragama Konghucu dan Tao masuk ke kelompok agama Budha dalam pendataan resmi negara dan tertera dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka, sehingga jumlah penganut agama Budha yang besar dalam tabel tersebut dipecah lagi menjadi tiga yakni penganut agama Budha, Konghucu, dan Tao. Ketiganya disebut sebagai agama leluhur dan kegiatan peribadatan dari ketiganya dinaungi oleh organisasi keagamaan Budha serta dilaksanakan dalam Kelenteng. Hal ini masih berlangsung hingga saat ini walaupun Konghucu sudah diakui sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara dan sudah memiliki perkumpulan resmi (Majelis Konghucu Indonesia). Penggabungan kegiatan tiga agama ini di dalam organisasi yang sama terjadi terkait dengan kebijakan masa orde baru mengenai kegiatan keagamaan. Budha, Konghucu, dan Tao merupakan agama yang berkembang pesat di Cina, walaupun hanya Konghucu dan Tao yang lahir disana. Nilai-nilai diantara ketiganya menyatu dan menjadi dasar dalam kebudayaan masyarakat Cina. Nilai-nilai tersebut terwujud dalam perilaku mereka sehari-hari yang terus diturunkan sebagai bagian dari tradisi orang Tionghoa, tapi dalam pelaksanaan ibadah dari ketiga ajaran tersebut dilakukan secara terpisah oleh masing-masing penganutnya. Agama leluhur yang berasal dan berkembang pesat di Tiongkok memperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa menekankan kepada pemujaan leluhur yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan Nie Joe Lan (1961:91—93). Bentuk penghormatan kepada leluhur dilakukan dalam berbagai cara, salah satunya dengan mengadakan

10 perayaan. Sejumlah perayaan-perayaan besar dilakukan setiap tahunnya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur juga diadakan oleh masyarakat Tionghoa, termasuk perayaan Imlek.

Perayaan Imlek adalah perayaan yang paling penting dan meriah di Pasar Lama dari semua perayaan tradisi Tionghoa yang ada, serta menjadi satu-satunya perayaan orang Tionghoa yang dijadikan hari libur nasional Indonesia. Perayaan ini tidak hanya dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa di Cina tetapi juga oleh masyarakat Tionghoa yang merantau () di berbagai belahan dunia. Masyarakat Tionghoa perantauan membawa tradisi Perayaan Tahun Baru Imlek ke daerah yang ditempatinya (Permanasari, 2008:4). Tata cara pelaksanaan perayaan ini tetap dilakukan hingga saat ini dan merujuk kepada yang dilakukan oleh leluhur mereka yang berasal dari Cina walaupun terdapat sejumlah penyesuaian. Persiapan Perayaan Imlek harus dibedakan antara dua kelompok, yaitu yang masih memelihara meja abu8 dan yang sudah tidak memelihara meja abu. Bagi yang tidak lagi memelihara meja abu, Perayaan Imlek dilakukan dengan sederhana. Mereka hanya membersihkan rumah, menyediakan pakaian baru, dan mengatur kue-kue untuk tamu-tamu yang akan datang. Bagi masyarakat yang masih memelihara meja abu, kegiatan menghias meja abu menjadi hal yang paling utama. Mereka menghias meja tersebut dengan kain yang berwarna merah dan bersunggingkan bunga, binatang, dan pertapa. Di atas meja abu diletakkan sepasang alat untuk menancapkan lilin, berbagai macam kue, dan beberapa piring buah. Pada semua sajian tersebut ditancapkan bunga- bungaan yang terbuat dari kertas berwarna merah (Lan 1961:145—146). Kue Keranjang menjadi salah satu kue yang disajikan di meja abu.

8 Meja Abu Meja abu merupakan altar persembahan orang Tionghoa sebagai tempat untuk mengenang leluhur, orangtua, atau saudara-saudara mereka yang telah meninggal dunia. Guci yang diletakkan di atasnya berisi abu jenazah yang sudah dikremasikan. Pada waktu dan hari-hari tertentu, mereka akan mendoakan arwah leluhur mereka dengan cara membakar dupa dan mempersembahkan berbagai sajian makanan berupa kue maupun buah-buahan.(Tasma, 2014 : 26). Meja abu dimiliki secara turun-temurun dalam keluarga. Dalam suatu keluarga, anak yang menetap dan merawat rumah orang tuanya yang biasanya memelihara meja abu. Anak laki-laki yang biasanya memelihara meja abu, karena anak perempuan akan tinggal dirumah suaminya setelah menikah.

11

5. Kue Keranjang di Pasar Lama-Tangerang

5.1 Cara Membuat Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Pasar Lama mengetahui secara garis besar proses dan bahan baku dari Kue Keranjang—hal yang jarang diketahui oleh masyarakat umum. Kue Keranjang atau Gao lebih dikenal dengan nama Dodol cina atau kue cina oleh masyarakat umum di Indonesia. Panganan yang manis dan kenyal ini memiliki tekstur dan rasa yang tidak jauh berbeda dengan dodol sehingga masyarakat sering mengaitkannya dengan dodol. Kue Keranjang terbuat dari tepung beras dan gula pasir yang dicairkan dengan air. Tepung beras yang digunakan harus dihaluskan langsung sebelum digunakan baik menggunakan alat tumbuk maupun mesin penggiling. Tepung ketan dan air gula akan dicampurkan dan langsung disimpan dalam wadah tertutup selama dua minggu untuk menghasilkan warna merah dari Kue Keranjang. Setelah disimpan adonan biang dicairkan kembali dengan air gula pasir. Adonan kemudian dimasukkan kedalam Langko (cetakan) dari plastik atau bambu yang sudah dilapisi dengan daun pisang. Adonan Kue Keranjang yang sudah dituang kedalam langko langsung dikukus menggunakan langseng yang mampu menampung hingga lebih dari 400 buah. Pengukusan dilakukan selama 12 jam dan bisa bertambah tergantung kematangan Kue Keranjang.

5.2 Saran Penyajian Kue Keranjang yang berbahan baku tepung ketan dan gula tersebut akan mengeras dalam beberapa minggu dan dalam beberapa bulan permukaannya akan dihinggapi jamur berwarna putih yang sering dikatakan sebagai buluk oleh masyarakat Tionghoa di Pasar Lama. Pengerasan dan pertumbuhan jamur yang ada di Kue Keranjang tidak akan menghilangkan rasa dari Kue Keranjang dan tetap dapat dikonsumsi. Sebelum dikonsumsi, permukaan Kue Keranjang yang sudah berjamur harus dihilangkan dengan lap basah atau dipotong dengan pisau. Sejumlah variasi cara penyajian dilakukan untuk memperkaya rasa Kue Keranjang yang manis dan sudah mengeras. Ada dua cara penyajian yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di pasar lama, yaitu digoreng dan dikukus. Kue Keranjang goreng selalu disajikan di meja abu atau altar pada saat perayaan Cap Go Meh.

12

5.3 Rahasia Dapur Si Nyonya Dalam Masyarakat Tionghoa, khususnya yang ada di Pasar Lama, ada sejumlah kepercayaan yang dimiliki terkait dengan Kue Keranjang. Jika ada salah satu anggota keluarga dalam suatu rumah meninggal, rumah tersebut tidak boleh membuat ataupun membeli Kue Keranjang selama tiga tahun berturut-turut sehingga hanya mengharapkan pemberian kerabat atau tetangga terdekat. Selain itu, dalam pembuatan Kue Keranjang juga ada larangan untuk berbicara buruk dan dibantu oleh perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Keikutsertaan perempuan yang sedang menstruasi dalam proses pembuatan bisa berakibat Kue Keranjang yang dimasak tidak matang sempurna atau bantet. Dalam beberapa masyarakat baik sederhana maupun kompleks, darah menstruasi dianggap berbahaya bagi bahan makanan yang akan dikonsumsi. Hal ini membuat perempuan yang sedang menstruasi seringkali diberikan batasan untuk ikut serta dalam proses pengolahan makanan (Farb, 1980:99-100). Tiga batang Hio juga harus dibakar di samping langseng ketika mengukus Kue Keranjang, agar kue tersebut matang dengan baik. Kue Keranjang Ny. Pang yang banyak dikonsumsi dan beredar di Pasar Lama saat mendekati perayaan Imlek selalu melakukan produksi setiap tahunnya dan tidak pernah sepi pesanan dari para pelanggan. Semua pekerja yang bertugas mengerjakan Kue Keranjang sudah tidak muda lagi, baik perempuan maupun laki-laki. Pekerja yang masih muda sulit sekali didapatkan karena kurang terampil atau mereka lebih banyak memilih untuk bekerja di pabrik tekstil. Selain itu, banyak pekerja Bu Khoe Lip Nio yang memiliki penyakit latah9 sehingga kata-kata yang tidak senonoh dan lelucon antar pekerja yang bertema seksualitas dan menjadi hiburan bagi sesame pekerja. Proses pengukusan Kue Keranjang tidak melalui tata cara khusus dan tidak disertai tiga batang Hio yang dibakar. Pembeli maupun pengunjung juga diperbolehkan masuk kedalam ruang produksi Kue Keranjang, baik ditemani oleh pemilik atau pekerja maupun berkeliling sendiri. Ibu Khoe Lip Nio. mengungkapkan bahwa tidak

9 Latah, suatu reaksi hysteria yang bersifat meniru, hampir serupa dengan bentuk hysteria Kutub orang Siberia (Foster, 2008 : 115). Pada kasus tertentu penderita penyakit latah akan mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksualitas secara berulang-ulang tanpa bisa dikendalikan ketika mereka terkejut.

13 ada aturan khusus dalam pembuatan Kue Keranjang. Kebersihan dan kualitas bahan baku, serta keterampilan pekerja menjadi hal yang paling diperhatikan untuk menghasilkan Kue Keranjang yang berkualitas.

5.4 Bukan Sekedar Makanan Terkait dengan keberadaanya dalam perayaan Imlek dan kondisi sosial budaya yang dimiliki, Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama memiliki pandangan tersendiri mengenai Kue Keranjang. Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama memandang bahwa Kue Keranjang memiliki tiga peranan penting bagi mereka, yaitu :

5.4.1 Sesaji untuk Leluhur dan Dewa Dalam setiap Perayaan Imlek, keluarga Tionghoa di Pasar Lama yang masih merawat meja abu akan menyediakan sesaji di meja abu sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan terima kasih kepada leluhur. Hal itu juga merupakan cara untuk menjaga hubungan mereka dengan leluhur dan dewa. Kue Keranjang yang digunakan sebagai sajian merupakan Kue Keranjang susun dengan tingkatan yang diberikan harus berjumlah ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Jumlah tingkatan dalam susunan Kue Keranjang yang ada dirumah akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan dari keluarga yang menyediakan. Semakin makmur keluarga tersebut maka semakin banyak jumlah tingkatan Kue Keranjang yang diletakkan di meja abu rumah mereka. Keringanan juga diberikan kepada beberapa keluarga yang tidak mampu menyediakan Kue Keranjang dan biasanya mereka akan mendapat Kue Keranjang dari kerabat atau tetangga mereka. Kegiatan memberikan sesaji berupa makanan merupakan cara simbolis dari semua masyarakat untuk menunjukkan ketaatan terhadap kekuatan lain dan menujukkan perbedaan status yang berbeda antara pemberi dan penerima sajian tersebut (Farb 1980: 152). Ini merupakan suatu bentuk usaha menjalin kerja sama dengan sesuatu yang mereka percaya memiliki kekuatan di luar kemampuan mereka.

5.4.2 Atribut Penunjuk Identitas Ketersediaan Kue Keranjang di rumah juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa mereka masih menjalankan tradisi mereka sebagai orang Tionghoa. Dalam hal ini,

14 keinginan mereka menjaga tradisi tersebut memiliki keterkaitan dengan identitas mereka sebagai orang Tionghoa yang ingin mereka pertahankan. Kue Keranjang bagi mereka adalah sebuah atribut10 identitas ke-Tionghoaan. Kue Keranjang dalam Perayaan Imlek menjadi atribut identitas orang Tionghoa sehingga memiliki Kue Keranjang menjadi salah satu cara bagi seorang individu untuk mengakui dirinya sebagai bagian dari masyarakat Tionghoa. Pemberian Kue Keranjang sebagai sebuah hantaran kepada kerabat dan orang sekitar juga bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang identitas mereka sebagai orang Tionghoa. Identitas bukan hanya tentang apa yang dapat kita lihat dari luar seperti perbedaan fisik yang dimiliki. Identitas menjadi sesuatu hal yang dapat dibangun oleh individu itu sendiri dan didukung oleh orang-orang disekelilingnya. Identitas merupakan gagasan konseptual yang digunakan oleh para ahli ilmu sosial untuk mengacu kepada pengertian seseorang akan diri mereka sendiri sebagai perbedaan antara individu- individu dalam konteks masyarakat. Sederhanannya, kita dapat katakan identitas mengacu kepada penentuan secara sosial seseorang tentang siapa dia seperti pernyataan sosial tentang identitas seseorang (Woodward 2007:134).

5.4.3 Kue Keranjang Sebagai Komoditas Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama serta Kota Tangerang selalu membeli Kue Keranjang kepada para pedagang yang ada di Pasar Lama atau langsung kepada para pembuat Kue Keranjang di daerah Pintu Air (Sewan-Tangerang). Kue Keranjang, bagi para pedagang makanan atau keperluan sembahyang merupakan sebuah komoditas perdagangan yang menguntungkan bahkan sumber pendapatan utama. Sebagian besar dari mereka sudah menjalankan usaha tersebut secara turun-temurun. Para pedagang Kue Keranjang tersebut tidak membuat sendiri tetapi hanya menjadi perantara dari para pembuat Kue Keranjang. Ada dua pembuat Kue Keranjang yang terkenal di Tangerang, yaitu Ny Lauw dan Ny. Pang. Barang produksi kedua

10 Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi, baik sengaja maupun tidak, yang dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas atau jatidir seseorang atau sesuatu gejala. Atribut ini bisa berupa cirri-ciri yang mencolok dari benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan atau bahasa yang digunakan. (Suparlan, 2005:29)

15 produsen ini tiap tahunnya selalu membanjiri Pasar Lama saat Imlek. Para pembeli yang datang dari berbagai tempat baik dalam maupun luar kota Tangerang lebih memilih membeli Kue Keranjang di Pasar Lama. Kue Keranjang dari Tangerang menjadi salah satu yang dengan kualitas baik karena masih menggunakan daun pisang batu, beras ketan, dan gula pasir yang terbaik (Kusumawati, 2003:178). Peluang usaha yang lebih besar bagi para pembuat dan pedagang Kue Keranjang, terutama yang ada di Pasar Lama kemudian muncul ketika konsumen Kue Keranjang meluas hingga masyarakat umum. Banyak orang-orang Indonesia yang bukan orang Tionghoa menyukai Kue Keranjang sebagai makanan yang lezat dan menjadi pilihan saat melakukan wisata kuliner.

6. Kesimpulan Dalam penyusunan etnografi suatu benda budaya termasuk makanan sebagai salah satunya, HRAF (Human Resource Area Files) dapat dijadikan pedoman atau kerangka. HRAF memberikan penjelasan mengenai poin-poin penting yang harus diperhatikan dalam pengumpulan dan penyusunan data untuk etnografi. Namun, kerangka yang diberikan tidak dapat langsung diterapkan karena harus disesuaikan dengan ketersediaan data yang ada. Kerangka yang dipaparkan oleh G.P. Murdock tidak dapat diterapkan langsung pada semua objek yang akan dijadikan etnografi tanpa adanya penyesuaian dengan data lapangan yang tersedia. Kue Keranjang merupakan salah satu makanan yang menunjukkan pencapaian yang mengesankan dalam teknologi pengolahan makanan oleh Masyarakat Tionghoa. Pengolahan makanan ditujukan manusia untuk bisa bertahan hidup apa yang tersedia dan disesuaikan dengan kebutuhannya akan nutrisi. Manusia tidak mengkonsumsi semua zat yang bisa memenuhi kebutuhannya akan nutrisi, hanya yang dianggap oleh mereka sebagai makanan yang dikonsumsi dan sangat dipengaruhi oleh konsepsi mereka tentang makanan yang berbeda-beda bagi setiap masyarakat. Sejumlah Makanan termasuk Kue Keranjang juga tidak hanya bertujuan sebagai pemenuhan nutrisi, karena juga memiliki beberapa peranan lain. Makanan dalam beberapa upacara keagamaan dari sejumlah masyarakat memiliki peranan dalam tindakan bersaji. Kue Keranjang yang ikut berpindah bersamaan dengan perpindahan orang Tionghoa ke Pasar Lama sebagai sebuah tradisi

16 dijadikan bagian dari sajian untuk leluhur dan dewa saat perayaan Imlek karena memenuhi prinsip-prinsip dari sajian, baik bentuk, jumlah, maupun warna. Pemberian sesaji ini dilakukan sebagai bentuk ucapan terima kasih dan penghormatan, sekaligus menunjukkan ketaatan akan kekuatan yang tidak bisa dilampaui oleh mereka sebagai manusia. Makanan sebagai sebuah objek juga bisa berperan sebagai penguat dan penunjuk identitas. Kue Keranjang bagi Masyarakat Tionghoa di Pasar Lama juga merupakan sebuah atribut kebudayaan. Hal ini berkaitan dengan usaha mereka dalam mempertahankan identitas mereka sebagai orang Tionghoa melalui kepemilikan sebuah objek. Kue Keranjang dengan kata lain menjadi atribut penunjuk identitas ke- Tionghoaan. Identitas mereka sebagai orang Tionghoa diperkuat dengan kepemilikan mereka akan Kue Keranjang serta menjadikannya sebagai hantaran saat perayaan Imlek. Sebagian besar masyarakat Tionghoa di pasar lama tidak pernah membuat Kue Keranjang dan lebih memilih untuk membeli kepada para pedagang yang ada di Pasar Lama. Kue Keranjang yang dijual oleh hampir seluruh toko makanan di Pasar Lama menjadikan kawasan perdagangan itu menjadi pusat perdagangan Kue Keranjang di Tangerang. Permintaan Kue Keranjang oleh masyarakat Tionghoa di kota Tangerang termasuk pasar lama yang tidak pernah sepi mendatangkan keuntungan yang besar bagi para pembuat dan juga pedagang Kue Keranjang. Kue Keranjang menjadi sebuah komoditas yang memiliki nilai jual tinggi bagi mereka.

Masa setelah reformasi yang telah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan tradisi dan juga keleluasaaan menggunakan identitas oleh orang Tionghoa. Media cetak dan elektronik juga sudah bisa leluasa dalam memberitakan berbagai hal terutama mengenai Kebudayaan Tionghoa sehingga Kue Keranjang mulai dapat dikenal secara lebih luas. Hal itu juga mulai dimanfaatkan oleh para pedagang Kue Keranjang untuk memperkenalkan produknya.

Daftar Pustaka Brannen, Julia 1999 Memandu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Cetakan kedua). Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda dan Pustaka Pelajar. Brittin, Helen C.

17

2011 The Food and Culture Around The World Handbook. New Jersey: Pearson. Buanajaya. Xs 2007 MIAO (Kelenteng:Studi tentang Kultur Ibadah Tionghoa. Majelis Tinggi Agama Konghucu di Indonesia. Counihan, Carole dan Penny Van Esterik. Food and Culture. Routledge: New York and London. Crane, Julia and Michael V. Angrosino 1974 Field Projects in Anthropology. New Jersey: General Learning Press. Danandjaja, James. 2007 Folklor Tionghoa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press. Dice, Elizabeth A. 2009 Western and ’s celebrations / Elizabeth A. Dice. New York:Chelsea House. Emmerson, R. M., R. I. Fretz, dan L. L. Shaw 1995 Writing Ethnographic Fieldnotes. London: The University of Chicago. Farb, Peter and George Armelagos 1980 Consuming Passions : The Anthropology of Eating. Boston: Washington Square press. Foster, G.M & Barbara Gallatin Anderson 2006 Antropologi Kesehatan (Pent. Priyanti Pakan Suryadarma & Meutia F Hatta Swasono). Jakarta: UI Press. Gremillion, Kristen J 2011 Ancestral appetites:Food in Prehistory. New York: Cambridge University Press. Hodous, Lewis 1929 Folkways In . Arthur Probstain. Koentjaraningrat 2009 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

18

Koentjaraningrat 1987 Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Lan, Nio Joe 1961 Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Levi-Strauss, Claude 1969 The Raw and The Cooked : Introduction to a Science of Mythology, Translated from the French by John and Doreen Weightman. NewYork: Penguin Books. Mauss, Marcel 1992 Pemberian : Bentuk dan Fungsi Tukar-Menukar di Masyarakat Kuno/Marcel Mauss; pengantar dan Penerjemah, Parsudi Suparlan: ed 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Montanari, Massiomo 2004 Food Is Culture/Massimo Montanari ; translated from the Italian by Albert Sonnenfeld. New York: Columbia University Press Books. Murdock, George P 1967 Outline Of Cultural Material – 4th Revised Edition. New Haven. Suparlan, Parsudi 2005 Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: YPKIK. Suryadinata, Leo 1988 Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta : Gramedia. Suryadinata, Leo 2004 The Culture of Chinese Minority in Indonesia. Marshall Cavendish Academic. Usman, Rani A. 2009 Sukubangsa Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wang, William W.

19

2004 Chinese Foods. China Intercontinental Press. Woodward, Ian 2007 Understanding Material Culture. London: Sage Publications. Jurnal Graburn, Nelson H.H. 2001 What is Tradition : Museum Anthropology 24(2/3):6-11. American Anthropological Association. Mintz, Sidney W. 2002 The Anthropology of Food and Eating.Annu.Rev.Anthropol 2002.31 :99-119 Weichart, Gabriele 2004 Identitas Minahasa : Sebuah Praktik Kuliner.Antropologi Indonesia

Skripsi

Nayanggita, Ayuthia Nathayya, 2011 Makanan Kraton : Perbedaan Profan dan Sakral di dalam Kebudayaan KratonYogyakarta Ditinjau dari Segi Antropologi. Skripsi yang tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia. Kusumawati, Sri 2003 Makanan Sesaji dalam Upacara Pemujaan Leluhur Orang Tionghoa Penganut Agama Konghucu di Cimanggis. Tesis yang tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.

Permanasari, Yurika Arianti 2008 Makna dan Tradisi Perayaan Tahun Baru Imlek Dewasa Ini:Studi Kasus Pada Beberapa Warga Sukubangsa Cina di Kota Bogor. Skripsi yang tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia. Tasma, Stefany 2014 Etnografi Kehidupan Anak Wayang Shintanara di Kelurahan Mekarsari (Sewan) Tangerang. Skripsi yang tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia

20