Politik Dinasti Dan Krisis Lingkungan: Praktik Kekuasaan Di Provinsi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 15 No.2, 2018 : 107-128 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018 POLITIK DINASTI DAN KRISIS LINGKUNGAN: PRAKTIK KEKUASAAN DI PROVINSI BANTEN, INDONESIA (Politics of a Dynasty and The Crisis of Natural Resources: Power Practices in Banten Province, Indonesia) Handoyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia E-mail: [email protected] Diterima 25 April 2017, direvisi 28 Juni 2018, disetujui 4 Juli 2018 ABSTRACT Political power gained by political elite through "highfaluting" promises which are then converted into personal and class wealth as the cost of maintaining, affirming and abusing authority seems to be a common phenomenon in democratic country. This paper aims to reveal the practice of power in regional autonomy political system that has driven environmental crisis. Using phenomenology and discourse analysis approach, this study showed that in Banten Province, dynastic-patterned political system tends to cause natural resource crisis that trigger off some problems: 1) Excessive exploitation of nature resources with the "backing" of political elite; 2) Unintegrated inter- district development plans; 3) Environmental pollution by large industries; and 4) Inhibition of "scaling up" of environmental education projects by non governmental organizations (NGO'S). Problems that come up in Lebak regency: 1) Difficulty in reducing unauthorized gold mining activities; 2) Timber regulation that still benefits the entrepreneur; 3) Obstacles in reducing critical land; 4) Expansion process of Halimun Salak National Park is not completed yet; and 5) There is no compensation for Lebak Regency as upstream area. With the complexity of democratic political systems in the veil of capitalism and liberalism at various levels of government, this paper showed that people continue to find how difficult it is to have a good living space and justice. Keywords: Political power; dynastic politics; ecological crisis. ABSTRAK Kekuasaan politik yang diperoleh elit melalui janji-janji “muluk” yang kemudian dikonversi menjadi kekayaan pribadi dan kelompok sebagai biaya mempertahankan, mengukuhkan hingga menyalahgunakan wewenang seolah menjadi fenomena biasa di negara demokrasi tak terkecuali Indonesia. Tulisan ini bertujuan mengungkap praktik kekuasaan dalam sistem politik otonomi di level regional yang mendorong krisis lingkungan. Menggunakan pendekatan fenomenologi dan analisis diskursus, penelitian ini memperlihatkan di Provinsi Banten bahwa sistem politik bercorak dinasti cenderung menyebabkan krisis sumber daya alam yang memunculkan masalah: 1) Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dengan “backing” elit politik; 2) Tidak terintegrasinya rencana pembangunan antar kabupaten; 3) Pembiaran pencemaran lingkungan oleh industri besar; dan 4) Terhambatnya “scaling up” proyek-proyek edukasi lingkungan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di Kabupaten Lebak muncul permasalahan: 1) Sulitnya pengurangan penambangan emas tanpa izin (PETI); 2) Tata usaha kayu yang masih menguntungkan pengusaha; 3) Terhambatnya pengurangan lahan kritis; 4) Proses perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang tak kunjung selesai; dan 5) Tidak adanya kompensasi untuk Kabupaten Lebak sebagai daerah hulu. Dengan kompleksnya sistem politik demokratis dalam selubung kapitalisme dan liberalisme di pelbagai level pemerintahan, tulisan ini memperlihatkan bahwa masyarakat akan terus merasakan sulitnya mendapat ruang hidup yang baik dan keadilan. Kata kunci: Kekuasaan politik; politik dinasti; krisis ekologi. ©2018 JPSEK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jpsek.2018.15.2.107-128 107 Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 15 No.2, 2018 : 107-128 I. PENDAHULUAN aspek lainnya. Ada penemuan bahwa individu Salah satu aspek yang dikaji dalam sistem dan kelompok yang berbeda mampu untuk politik atau kehidupan bernegara adalah memberikan pengaruh pada isu kebijakan yang masyarakat (Latif, 2011). Masyarakat dibagi berbeda. Atas penemuan-penemuan tersebut, atas dua kelas yaitu kelas masyarakat elit dan Dahl menyimpulkan bahwa kelompok- kelas masyarakat non-elit atau masyarakat kelompok masyarakat yang berbeda, termasuk pada umumnya. Kelas masyarakat elit kelompok yang lemah, dapat “menekan” ke dibedakan atas kelas elit pertama yaitu yang dalam sistem politik dan menguasai para berkuasa (elit politik/elit penguasa) dan kelas pembuat keputusan sesuai dengan preferensi elit kedua yang tidak berkuasa (kelas yang (keinginan) mereka (Harrison & Startin, dikuasai) (Groeneveld & de Walle, 2010). 2013). Artinya masyarakat merupakan Kelas pertama jumlahnya selalu lebih kecil, kelompok yang dapat memengaruhi dalam menjalankan semua fungsi politik, monopoli mendukung atau menolak kebijakan elit kekuasaan dan menikmati keuntungan yang penguasa termasuk masyarakat yang tertindas diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan yang merupakan kelompok yang lemah yang kelas yang kedua jumlahnya lebih besar dan pada gilirannya dapat menekan penguasa. dikendalikan oleh kelas penguasa (Groeneveld Meski hanya sedikit orang yang berkuasa & de Walle, 2010). langsung atas keputusan-keputusan kunci, Politik berkaitan erat dengan kehidupan yang diartikan sebagai keberhasilan atau bermasyarakat atau kehidupan bernegara dan mem-veto usulan kebijakan, kebanyakan politik digunakan dalam penyelenggaraan orang memiliki kekuasaan tidak langsung masyarakat (negara) dengan tujuan melalui kekuatan suara (vote) (Dahl, 1961; mendapatkan dan mempertahankan tahta dan Harrison & Startin, 2013). membuat kebijakan publik. Menurut teori Indonesia yang menganut sistem politik politik klasik Aristoteles, untuk mewujudkan demokrasi mempunyai karakteristik yang kebaikan bersama, masyarakat membutuhkan khas di antaranya adalah adanya pembagian politik (Curren, 2010; Yack, 2006). kekuasaan yang jelas, pemerintahan Kekuasaan dalam pengambilan keputusan konstitusional atau berdasarkan hukum, menekankan pada tindakan individu atau pemilihan umum bebas dan demokratis, kelompok yang memengaruhi keputusan manajemen pemerintahan yang terbuka, kebijakan (Gaventa & Cornwall, 2008). peradilan bebas dan tidak memihak, Penelitian Rober Dahl, Who Governs? (Siapa penempatan pejabat pemerintahan dengan yang berkuasa?), melihat kepada siapa yang merit system konstitusi dan undang-undang membuat keputusan penting atas isu-isu dasar yang demokratis (Asshiddiqie, 2011). yang terjadi di New Haven, Connecticut, Bagaimana dengan penguasaan sumber daya Amerika (Harrison & Startin, 2013). Dahl alam (SDA) pada sistem demokratis seperti menyimpulkan tentang siapa yang berkuasa di Indonesia? Secara formal, kewenangan dengan mengkaji preferensi (keinginan) pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan kelompok-kelompok berkepentingan dan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat membandingkannya dengan hasil kebijakan. (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Dahl menemukan bahwa ada perbedaan yang menegaskan bahwa : “Bumi, air, dan sumber daya yang memberi kekuasaan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada warga masyarakat dan kelompok dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi berkepentingan dan sumber daya ini tidak sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebelum didistribusikan dengan merata: meski amandemen UUD 1945, pasal 33 ayat 3 tersebut sejumlah individu memiliki kekayaan sumber dijelaskan dalam penjelasan pasal 33 alinea 4 daya politik, mereka menjadi miskin dalam yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan 108 Politik Dinasti dan Krisis Lingkungan: Praktik Kekuasaan di Provinsi Banten, Indonesia..........(Handoyo ) alam yang terkandung di dalamnya adalah dibohongi. Kepercayaan yang diberikan pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu kepada para elite politik dengan harapan harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan memberikan perbaikan hidup ternyata hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. menjadi mimpi buruk. Hal-hal yang ideal Namun pada kenyataannya jauh panggang yang diperjuangkan sebelum elit menjadi dari api. Rezim pemerintahan yang berkuasa pemimpin, teralihkan menjadi sesuatu yang selalu menuai klaim karena praktik kekuasaan pragmatis dimana gejala tersebut di atas dalam pengelolaan sumber daya alam belum terjadi. Sumber daya alam sering menjadi sesuai dengan amanat UUD 1945. “mesin penghasil uang” yang cepat untuk Rezim Orde Baru yang dinilai sebagai menggantikan biaya politik yang tinggi rezim yang mempunyai praktik kekuasaan sehingga kelestarian sumber daya pun bukan yang khas di mana sumber daya alam dalam lagi menjadi prioritas pembangunan. Imajinasi pemanfaatannya dan pengelolaannya hanya keberhasilan pembangunan yang cenderung diberikan kepada orang-orang yang berada idealis tidak lagi mempunyai alat penerjemah di dekat pusaran kekuasaan (elit) menjadi ke tataran praktis ketika para penguasa di level rezim yang dianggap paling berpihak pada eksekutif berpindah perhatiannya kepada hal- elit layaknya seperti yang terjadi pada sistem hal yang pragmatis. otoriter (Amir, 2007; Aspinall, 2010; Cooke, Selain dimensi historis, pengelolaan sumber 2010). Orde baru mungkin bukan termasuk daya alam di Indonesia sangat dipengaruhi rezim totaliter yang absolut, tapi sebuah oleh pengaturan institusi dalam kerangka rezim otoriter karena masih membiarkan desentralisasi. Desentralisasi demokratis adanya partisipasi politik pada tingkat paling yang