SKRIPSI

Pola Komunikasi Organisasi Penanggulangan Bencana Forum Komunikasi Komunifas Relawan Sleman (FKKRS) sturli Deskriptif Kualitutif

di Kabupaten Sleman.

YOGYAKAITTA

Disusun oleh :

R. ARDLAN DWI ROY SfIBEKTI

NrM. 17530036

PROGRAM STUI}I ILil{TI KOMUI\II(ASI

SEKOLAH TII{GGT PEMBAITGU\AN MASYARAKAT DESA "APMD" YOG\-AIGRTA

2At9 SKRIPSI

Pola Komunikasi Organisasi Penanggulangan Bencana Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman (FKKRS) Studi Deskriptif Kualitatif di Kabupaten Sleman. Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Disusun oleh :

R. ARDIAN DWI ROY SUBEKTI

NIM. 17530036

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA ”APMD” YOGYAKARTA 2019

ii

ruL{\f{-\. PERI{YATAAN

Yang bertanda tangan di basah rni sa1'a.

Nama R .\RDL\\ D\\I ROY SUBEKTI NIM 1 75300i6 JUDUL SKRIPSI Pola Komunik-esi Organisasi Penanggulangan Bencana Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman

Dengan ini saya menvatakan bahsa skripsi sebagai syarat rnemeperoleh gelar sarjana, rnerupakan hasil kan'a rulis sara sendiri dan sepanjang pengetahuan sayaJuga tidak terdapat kana atau pendapai vans pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara ter{ulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Sava ment'atakan bahna bersedia menenma sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, apabila dikemudian han drtemukan adanya plagiat dalam skripsi ini.

Yogyakarta, 20 Oktober 2019

til

R. Ardian Drvi Roy Subekti NIM. 17530036

ilt tL{I T\f$ PE\GESAHAN

Skripsi iru telah dii.r-r dan drpertahanlian di hadapan Tim penguji untuk memenuhi persyaratan memF€rrrleh gelar Sarjana (S1) Jurusan Ilmu Komunikasi pada

Sekolah Tinggi Pembansunan \{a-sr ai'aiar Desa "STPMD APMD" Yogvakarta pada :

Pada hari : Kamis Tanggal : 17 Oktober 1019 Pukul : 09 00 WIB Ternpat : Ruangan Uiran Sknpsr STPIv{D "APMD" Yogyakarta

Tt\f PE\GUJ]

Nama t. Ade Chandra. S.Sos.. M.Si.

Ketua Tirn Penguj i, Pembunbing

2. Tri Agus Susanto, S.Pd., M.Si. Penguji Sarnping I

Drs. RY. Catot Raditya, M.Si. tu, Penguji Sarning II

Mengetahui i Ilmu Komunikasi '-i+-4, RA-7i, .\ -l r' ii_' uI \";

irhsin. S.Sos, M.Si.

iv KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan Rahmad, Taufik dan Hidayahnya, sehingga pada kesempatan ini penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah skripsi ini.

Melalui karya ini, penulis mencoba untuk membedah Pola Komunikasi Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulis bukanlah keberhasilan inndividu. Penyusunan dan penyelesaian ini tidak dapat dilepaskan dari banyak pihak yang telah memberikan dukungan dalam segala hal. Oleh karenanya ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada : 1. Ketua Program Studi STPMD “APMD” Yogyakarta bapak Habib Muhsin, S.Sos., M.Si., beserta seluruh staf akademik. 2. Ade Chandra, S.Sos., M.Si, penulis mengucapkan terimakasih atas kesabaran dan bimbingan hingga terselesaikannya tulisan ini. 3. Tri Agus Susanto, S.Pd., M.Si. dan Drs. RY. Gatot Raditya, M.Si., sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan demi sempurnanya tulisan ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi dimana penulis menimba ilmu dan pengalaman dari beliau.

Yogyakarta, 20 Oktober 2019

R. Ardian Dwi Roy Subekti

v

ABSTRAK R. Ardian Dwi Roy Subekti (17530036), Pola Komunikasi Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman.

Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta Tahun 2019.

Masyarakat yang berpartisipasi menjadi relawan merupakan komponen utama pemerintah dalam upaya membantu percepatan penanganan bencana. Di Sleman terdapat banyak komunitas relawan penanggulangan bencana yang berada di hampir tiap desa. Oleh sebab itu diperlukan pola komunikasi organisasi yang baik agar tidak terjadi kesemrawutan dalam penanganan bencana. Guna mempermudah akses komunikasi maka terbentuklah wadah berupa Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman sebagai penghubung pemangku kebijakan dengan para pelaku penanggulangan bencana.

Penelitian ini menggunakan penelitian deskripstif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek adalah relawan yang tergabung di Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman yang merupakan sumber adata yakni tokoh yang mewakili dari unsur komunitas relawan penanggulangan bencana di Sleman, terdiri dari pemerintahan (Bidang 1 Kesiapsiagaan dan Pencegahan) BPBD Kabupaten Sleman, Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops PB.) Kab. Sleman, pengurus forum komunikasi serta anggota komunitas relawan penanggulangan bencana Kab. Sleman.

Hasil penelitian ini adalah Pola Komunikasi Organisasi yang bersifat positif terhadap Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman dan Pola Komunikasi yang bersifat negatif terhadap Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu contoh teknik bagi mereka yang ingin belajar tentang pola komunikasi organisasi . Setelah penelitian ini diharapkan ada penelitian lanjutan berkenaan dengan Pola Komunikasi Organisasi yang lainnya.

Kata kunci : Pola Komunikasi Organisasi, Relawan, Sleman

vi

MOTTO

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju Surga” ( HR. Muslim )

“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ”

(QS Ar-Ra’d 11)

vii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini inginku persembahakan teruntuk;

1. Ayahku (R. Kendarto) dan Ibuku (Sumartini), terimakasih untuk kedua orangtua yang selalu mendoakan anaknya, dan membimbing hingga saat ini.

2. Kakakku (R. Hendrianto) dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan support dan doanya

3. Istriku tercinta Putri Rachmawati S.T., M.Eng., atas Dukungan , Motivasi, Kesabaran dan Pengorbanan selama ini

4. Bapak (Alm. Adhi ) dan Ibu (Almh. Sri Suciati) mertua yang selalu menjadi orangtua bagi kami, selalu membuat kami semangat menapaki kehidupan ini, doa Al -Fatihah semoga beliau mendapatkan surga

5. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT, peneliti hanya manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Begitu pula dalam penulisan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih sangat banyak kekurangannya. Untuk itu, peneliti mengharapkan suatu kritik dan saran yang membangun demi kebaikan di masa mendatang. Akhir kata, besar harapan peneliti agar karya yang tak seberapa ini dapat berguna bagi semua orang, serta dapat memberikan sedikit sumbangan ilmu dalam hasil penelitian ini. Amiin.

Yogyakarta. 20 Oktober 2019

R. Ardian Dwi Roy Subekti

viii

DAFTAR ISI

COVER ...... i

HALAMAN JUDUL ...... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PERNYATAAN ...... iii

HALAMAN PENGESAHAN...... iv

KATA PENGANTAR ...... v

ABSTRAK ...... vi

MOTTO ...... vii

DAFTAR ISI ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. LATAR BELAKANG ...... 1

B. RUMUSAN MASALAH ...... 6

C. TUJUAN PENELITIAN ...... 7

D. MANFAAT PENELITIAN...... 7

E. KAJIAN TEORI ...... 9

F. KERANGKA BERPIKIR ...... 22

G. METODOLOGI PENELITIAN ...... 22

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN ...... 29

A. Gambaran Umum Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Kabupaten Sleman...... 29

B. Tata Laksana Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman ...... 29

C. Peran Komunitas Relawan dalam Penanggulangan Bencana ...... 37

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 40

ix

BAB IV PENUTUP ...... 53

A. Kesimpulan ...... 53

B. Saran ...... 55

DAFTAR PUSTAKA ...... 56

LAMPIRAN...... 61

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Wilayah Negara Kesatuan Republik (NKRI) terbentuk dari pertemuan 3 lempeng tektonik dunia (di dunia ada 13 lempeng tektonik), yaitu dari selatan lempeng Indo-

Australia, dari barat lempeng Pasific (keduanya lempeng samudra) dan dari utara lempeng

Eurasia (lempeng benua). Hasil pertemuan tiga lempeng ini dihasilkan lempeng tektonik

(garis merah) yang merupakan gempabumi dan deretan gunungapi. Ada 129 gunungapi aktif yang ada di Indonesia, yang saat ini dimonitor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi

Bencana Geologi (ESDM). Untuk lempeng tektonik dimonitor oleh Badan Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang secepatnya akan memberikan informasi mengenai gempabumi dan tsunami. Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta adalah wilayah yang telah mencatatkan diri pada tahun 2006 sebagai daerah yang berdampak cukup parah dengan adanya gempa bumi dengan kekuatan 6,2 SR selama 57 detik, dan tercatat kurang lebih korban jiwa sebanyak 6.234 orang, dengan korban luka-luka tidak kurang dari 36.300 orang, rumah hancur 154.000 dengan total 260.000 rumah mengalami kerusakan (sumber

Departemen Sosial), dengan kerugian nilai US 3,1 Miliar.

Gambar 1.1 Peta Resiko Lempeng Potensi Gempa Indonesia 1

Dari sejarah terjadinya bencana alam mulai dari Gempa Bumi-Tsunami Aceh tahun

2004, Gempa Bumi Bantul tahun 2006, Erupsi Gunungapi Merapi Sleman tahun 2010,

Gempa Bumi Lombok NTB tahun 2018, dan yang terakhir Gempa Bumi-Tsunami diikuti dengan Liquifaksi Palu-Sigi-Donggala Sulawesi Tenggara tahun 2018, hal yang menjadi perhatian adalah saat fase tanggap darurat, hingga fase peralihan pada tahap recovery maupun rehabilitasi mulai tertata karena babak baru dimulainya perencanaan. Pada masa sesaat setelah terjadinya bencana alam hal klasik yang terjadi adalah situasi yang carut marut, kacau semua serba darurat. Beberapa hal contoh pada kasus bencana alam, semua akses mulai dari pemerintahan, akses komunikasi dan beberapa aspek lain mengalami gangguan fungsi sesaat.

Hal ini dimungkinkan karena fase ini adalah masa kritis dimana perubahan dari fase kehidupan normal menjadi fase mengalami bencana.

Gambar 1.2 Model Pengelolan Bencana

Sumber: Aditya, Barry, dkk (2009:20)

Paradigma tentang bencana setelah adanya lembaga kebencanaan di Indonesia mulai mengalami perubahan, dari pola awal bahwa bencana itu ditangani pada saat ketika bencana alam itu setelah terjadi, menjadi penanganan bencana dapat dilakukan pada saat sebelum adanya bencana itu terjadi atau bersifat preventif. Artinya bahwa dalam penanganan bencana itu juga memiliki fase yang dapat dibagi kedalam fase pra bencana, fase bencana serta fase setelah bencana. Menurut Kartasasmita, perencanaan disini tidak memberikan kesempatan

2 berkembangnya prakarsa individu dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat secara penuh, dimana partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam hal ini perlu terus difasilitasi dan diberdayakan sehingga diharapkan mereka memiliki kesadaran dan butuh akan pentingnya penanggulangan bencana (Ahdi, 2015:13) . Dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2007 Pasal 33 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana juga terbagi atas tiga tahap, yaitu prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 34 menyatakan bahwa prabencana meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 35 disebutkan bahwa dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi kegiatan perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 48 menyatakan bahwa saat tanggap darurat meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya, penentuan status keadaan darurat bencana, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindugan terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Dan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 57 menyatakan bahwa pada tahap pasca bencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi.

Pemerintah sebagai pengampu kebijakan penanggulangan bencana jelas tidak mampu bekerja sendiri tanpa adanya elemen-elemen yang ada didalamnya. Salah satu unsur potensi dalam

3 penanggulangan kebencanaan yakni masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini keikutsertaan masyarakat didalam upaya penanggulangan bencana merupakan siklus alamiah yang harus diperdayakan guna mempercepat pemulihan akibat bencana itu sendiri.

Keberadaan lembaga-lembaga diluar pemerintah inilah yang diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung, dan juga katalis dalam rangka percepatan penanganan bencana.Dalam rangka mengoptimalkan peranan masyarakat perlu proses pengembangan serta diadakan pembinaan, pelatihan secara berkesinambungan yang mengarah kepada peningkatan potensi dan sumberdaya manusia di seluruh aspek kehidupan manyarakat tersebut, sehingga sasaran terakhir output baik secara kuantitas maupun kualitas dapat ditonjolkan dan diberdayakan secara aktif, dengan harapan pengurangan resiko terhadap masyarakat mampu diminimalisir.

Gambar 1.3 Peta Jumlah Kejadian Bencana Di Indonesia Tahun 2010

Sumber : geospasial.bnpb.go.id

Wilayah Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, dilihat dalam sejarah kebencanaan juga merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana. Pemerintah daerah melalui Badan Penanggulan Bencana Daerah telah memetakan daerah-daerah yang berpontensi terhadap kondisi tersebut. Sebut saja daerah yang rawan terhadap bencana erupsi gunungapi maupun lahar hujan dilereng selatan Gunung Merapi. Belum lagi wilayah yang mengalami bencana kekeringan maupun kejadian lain seperti angin kencang dan sebagainya.

4

Fenomena bencana alam tersebut ternyata mampu mereduksi sebuah keinginan bersama bagi masyarakat Sleman dalam menangani kejadian, musibah, bahkan juga bencana dengan kesadaran serta kearifan masyarakat lokal guna membantu sesama dengan membentuk organisasi kemasyakatan yang berbasis penanggulangan bencana.

Motivasi membentuk organisasi komunitas relawan dengan mengambil peran dalam penanggulangan bencana diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Sleman khususnya, merupakan upaya dari masyarakat secara mandiri dan salah satu ciri dari kegotong-royongan budaya masyarakat Jawa. Motivasi inilah menjadi modal dasar bagi relawan untuk membentuk sebuah organisasi masyarakat yang berbasis kemanusiaan.

Motivasi adalah proses mengaktifkan kekuatan-kekuatan internal seseorang agar terdorong untuk bertindak ke arah tujuan yang diinginkan. Singkat kata, motivasi adalah mengenai bagaimana perilaku seseorang diawali, diaktifkan, ditopang, diarahkan dan dihentikan.

Andre Hardjana, (2019:210).

Apresiasi dari pemerintah melalui Menteri Sosial Kofifah Indra Parawansa pada 04

Desember 2016 dengan memberikan predikat Kota Relawan, merupakan sebuah penghargaan atas prestasi Yogyakarta dalam beberapa kejadian bencana, masyarakat Yogyakarta mampu segera kembali pulih dari keterpurukan. Menteri Sosial mengatakan bahwa masyarakat

Yogyakarta, memiliki sikap kebersamaan dan kegotongroyongan yang sudah tumbuh dengan baik. Hal inilah yang mebuat Yogyakarta cepat bangkit saat mengalami bencana gempa bumi

2006 dan Merapi tahun 2010 (detiknews.2016) Hal ini pula menjadikan kunci keberhasilan dan percepatan dalam penanganan bencana di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masyarakat yang tergabung didalam wadah-wadah komunitas relawan penanggulangan bencana yang bergerak secara swadaya dan mandiri, merupakan wujud partisipasi warga dengan tujuan ingin membantu sesama, meringankan beban bagi masyarakat yang tertimpa

5

musibah ataupun bencana, mereka tergerak oleh rasa kemanusiaan. Di wilayah Kabupaten

Sleman Komunitas Relawan Penanggulangan Bencana banyak tersebar ditingkat desa

maupun kecamatan, sampai dengan saat ini (tahun 2019), ada puluhan organisasi komunitas

relawan, yang tercatat dan telah mempeolehpembinaan oleh Pemerintah Kabupaten (BPBD

Kabupaten Sleman) saat ini sekitar 53 komunitas relawan, dan mereka sudah tergabung

dalam sebuah wadah yakni Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman atau yang

disingkat dengan nama FKKRS.

Forum ini mewadahi kepentingan organisasi komunitas relawan baik secara langsung

maupun tidak langsung, jembatan penghubung antara pemerintah, organisasi dan masyarakat.

Maksud dan tujuan diadakannya forum komunitas relawan ini antara lain adalah untuk

membina silaturahmi dan komunikasi antar komunitas relawan se-Kabupaten Sleman.

Organisasi adalah sebuah sistem sosial yang hidup dan terbuka. Sebagai sistem

terbuka, organisasi dapat dilihat sebagai sebuah model tranformasi - input – Tranformation –

Output Model (ITO Model), Andre Hardjana, (2019:122).

Sinergitas komunitas relawan penanggulangan bencana ini diharapkan akan mampu

membantu upaya percepatan penanganan bencana di Kabupaten Sleman pada saat adanya

musibah atau bencana yang terjadi. Dengan daya dukung pemerintah kabupaten dalam fungsi

kontol, monitoring dan evaluasi pada fase prabencana dapat dilakukan upaya-upaya

peningkatan kapasitas personal maupun organisasi komunitas relawan dengan melibatkan

komunitas relawan dalam bentuk pelatihan, pendidikan, serta kegiatan-kegiatan lain yang

terkait dengan kebencanaan.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah pola komunikasi organisasi penanggulangan bencana Forum

Komunikasi Komunitas Relawan Sleman (FKKRS) di Kabupaten Sleman ?

6

2. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat pola komunikasi organisasi dalam penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman?

C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi pola komunikasi organisasi penanggulangan bencana Forum

Komunikasi Komunitas Relawan Sleman (FKKRS) di Kabupaten Sleman.

2. Mendeskripsikan bentuk partisipasi komunitas relawan dalam penanggulangan

bencana di Kabupaten Sleman.

3. Mengetahui serta menjelaskan aktor-aktor yang terlibat dalam organisasi

penanggulangan bencana Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman.

4. Mengetahui serta menjelaskan faktor kontekstual yang mendukung dan menghambat

komunikasi organisasi dalam penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Bagi peneliti menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan peran organisasi penanggulangan bencana.

Menambah khasanah penelitian melalui bagaimana pola komunikasi organisasi penanggulangan bencana Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman (FKKRS) di

Kabupaten Sleman.Memberikan informasi bagi akademisi dan masyarakat luas mengenai peran organisasi penanggulangan bencana serta memberikan evaluasi terhadap pelayanan masyarakat terkait dengan penanggulangan bencana di Kabupaten Sleman.

2. Manfaat Praktis

Secara tidak langsung, informasi penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman, Forum Komunikasi Komunitas

Relawan Sleman, Komunitas Relawan Kabupaten Sleman dalam upaya penanggulangan

7 bencana diwilayah Sleman, terutama dalam melaksanakan pola komunikasi organisasi antar lembaga penanggulangan bencana. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah, para pemangku kebijakan maupun masyarakat umum dalam rangka mengurangi resiko bencana.

Organisasi menerima beragam masukan (inputs) dan melakukan transformasi atas segala masukan tersebut melalui sesuatu cara dan menyampaikan hasil transformasi

(outputs) kepada lingkungan. Melalui komunikasi organisasi menerima masukan seperti informasi, energi, materi teknologi, dan uang dari lungkungan; kemudian melakukan transformasi atas semua itu dengan metode pemrosesan tertentu sehingga menjadi hasil kerja atau produk dan akhirnya mengirim hasil kerja tersebut sebagai keluaran (output), dalam bentuk produk dan jasa, dan dampak sampingan berupa limbah kepada lingkungan. Organisasi yang efektif mampu bertahan hidup dan berjaya dengan menyimak potensi pasar, pemasok, pelanggan, komunitas sekitar, pemegang saham, pemerintah, media, dan tentu saja karyawan (Andre Hardjana, 2019:122).

Adopsi teknologi komunikasi membawa beragam dampak pada organisasi. Selain berdampak pada efisiensi komunikasi, aplikasi teknologi komunikasi juga punya dampak pada praktik organisasi-struktur hierarki organisasi, kebijakan, dan norma-norma sosial.

Pada umumnya, pimpinan organisasi berpandangan pragmatis (pragmatic perspective) dalam menghadapi berbagai persoalan tersebut (Andre Hardjana, 2019: 160-170).

8

E. KAJIAN TEORI Komunikasi

Menurut Carl Hovland, Janis dan Kelley (Riswandi: 2009:1) komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya

(khalayak), sedangkan menurut HovlandCs (Riswandi: 2009:2) memberikan penekanan bahwa tujuan komunikasi adalah mengubah atau membentuk perilaku. Ada juga komunikasi menurut Barnlund(Riswandi, 2009:2) komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego.

Dari berbagai definisi tentang ilmu komunikasi tersebut diatas, dapat diketahui bahwa para ahli memberikan definisi sesuai dengan sudut pandangnya, dalam melihat arti komunikasi. Masing-masing memberikan penekanan arti, ruang lingkup dan konteks yang berbeda. Sesuai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah usaha untuk menyampaikan pesan atau informasi, baik secara verbal atau nonverbal kepada satu atau lebih penerima pesan dengan tujuan untuk mempengaruhi penerima pesan.

Adapun fungsi dari komunikasi adalah potensi yang dapat digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu. Komunikasi sebagai ilmu, seni dan lapangan kerja sudah tentu memilki fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

(Cangara, 2005:55).

Menurut Robbins dan Judge (2008:5) mengatakan bahwa komunikasi memiliki 4 fungsi yakni :

9

1. Kontrol

Komunikasi dengan cara-cara tertentu bertindak untuk mengontrol perilaku anggota.

Organisasi memiliki heirarki otoritas dan garis panduan formal yang wajib ditaati

oleh karyawan.

2. Motivasi

Komunikasi menjaga motivasi dengan cara menjelaskan kepada para karyawan

mengenai apa yang harus dilakukan, seberapa baik pekerjaan mereka, dan apa yang

dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja sekiranya hasilnya kurang baik.

3. Ekspresi emosional

Bagi banyak karyawan , kelompok kerja mereka adalah sumber utama interaksi

sosial. Komunikasi yang terjadi dalam kelompok merupakan sebuah mekanisme

fundamental yang melaluinya para anggota menunjukan rasa frustasi dan rasa puas

mereka.

4. Informasi

Komunikasi memberikan informasi yang dibutuhkan oleh individu dan kelompok

untuk mengambil keputusan dengan cara menyampaikan data untuk

mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan-pilihan alternatif yang ada.

Dari beberapa unsur-unsur komunikasi yang ada menurut Pratiminingsih (2006:3) terdapat tujuh unnsur dalam komunikasi yakni :

1. Source (sumber informasi) adalah orang yang menyampaikan pesan.

Pada tahap ini sumber informasi melakukan proses yang kompleks terdiri dari

timbulnya suatu stimulus yang menciptakan pemikiran dan keinginan untuk

10

berkomunikasi, pemikiran ini dienconding menjadi pesan dan pesan tersebut

disampaikan melalui saluran atau media kepada penerima.

2. Enconding adalah suatu proses dimana sistem pusat syaraf sumber

informasimemerintahkan sumber informasi untuk memilih simbol-simbol yang

dapat dimengerti yang dapat menggambarkan pesan

3. Message (pesan) adalah segala sesuatu yang memiliki makna bagi penerima. Pesan

merupakan hasil akhir dari proseseencoding. Pesan ini dapat berupa kata-kata,

ekspresi wajah, tekanan suaradan penampilan.

4. Media adalah cara atau peralatan yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada

penerima. Media tersebut dapat berupa surat, telepon atau tatap muka langsung.

5. Decoding adalah proses dimana penerima pesan menginterpretasikan pesan yang

diterimanya sesuai dengan pengetahuan, minat dan kepentingannya

6. Feedback (Umpan balik) adalah respon yang diberikan oleh penerima pesan kepada

pengirim sebagai tanggapan atas informasi yang dikirim sumber pesan. Pesan ini

dapat berupa jawaban lisan bahwa si penerima setuju atau tidak setuju dengan

informasi yang diterima.

7. Noise (hambatan) adalah berbagai hal yang dapat membuat proses komunikasi tidak

berjalan efektif.

Model komunikasi menurut Lasswell (Arni 2009: 6) ada lima pertanyaan yang perlu ditanyakan dan dijawab dalam proses komunikasi yaitu :

1. Who adalah menunjuk kepada siapa orang yang mengambil inisiatif untuk memulai

komunikasi.

11

2. Says adalah berhubungan dengan isi komunikasi atau apa pesan yang disampaikan

dalam komunikasi tersebut.

3. Through what adalah melalui media apa. Yang dimaksudkan dengan media adalah

alat komunikasi seperti berbicara, gerakan badan, kontak mata, sentuhan, radio,

televisi, surat, buku dan gambar.

4. To whom adalah menanyakan siapa yang menjadi audience atau penerimadari

komunikasi. Dengan kata lain kepada siapa komunikator berbicara atau kepada siapa

pesan yang ingin disampaikan itu diberikan.

5. Whateffect adalah efeknya dari komunikasi tersebut. Pertanyaan mengenai efek

komunikasi ini dapat menanyakan dua hal yaitu apa yang ingin dicapai dengan hasil

komunikasi tersebut dan kedua apa yang dilakukan orang sebagai hasil dari

komunikasi.

Dari beberapa definisi komunikasi tersebut diatas, tujuan komunikasi tersebut menurut

Effendy (2003 :8) terdapat empat tujuan komunikasi yaitu :

1. Perubahan sikap (attitudechange)

Seorang komunikan setelah menerima pesan kemudian sikapnya berubah, baik

positif maupun negatif. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap

orang lain dan berusaha agar orang lain bersikap positif sesuai keinginan kita.

2. Perubahan pendapat (opinionchange)

Dalam komunikasi berusaha menciptakan pemahaman. Pemahaman adalah

kemampuan memahami pesan secara cermat sebagaimana dimaksudkan oleh

komunikator. Setelah memahami apa yang dimaksud komunikator maka akan

tercipta pendapat yang berbeda-beda bagi komunikan.

12

3. Perubahan perilaku (behaviorchange)

Komunikasi bertujuan untuk mengubah perilaku maupun tindakan seseorang.

4. Perubahan sosial (sosial change)

Membangun dan memelihara ikatan hubungan dengan orang lain sehingga menjadi

hubungan yang makin baik. Dalam proses komunikasi yang efektif secara tidak

sengaja meningkatkan kadar hubungan interpersonal.

Dalam berkomunikasi pasti ada hal yang menjadi hambatan didalam prosesnya, menurut Newstrom dan Davis (Kaswan, 2012: 263) terdapat tiga jenis hambatan dalam berkomunikasi, yakni :

1. Hambatan personal

Gangguan komunikasi yang berasal dari emosi seseorang, nilai, dan kebiasaan

menyimak buruk.

2. Hambatan fisik

Gangguan komunikasi yang terjadi pada lingkungan dimana komunikasi itu

berlangsung. Gangguan fisik yang khas adalah kebisingan yang mengganggu secara

tiba-tiba yang dapat mengaburkan pesan suara.

3. Hambatan semantik

Berasal dari keterbatasan simbol yang kita gunakan dalam berkomunikasi. Simbol

biasanya memiliki aneka makna, dan kita harus memilih satu makna dari sekian

banyak. Kadang-kadang kita memilih makna yang salah dan terjadilah

kesalahpahaman.

Organisasi secara harfiah berarti perpaduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Menurut Rogers dan Rogers organisasi sebagai suatu struktur

13 yang melangsungkan proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dimana operasi dan intreaksidiantara bagian yang satu dengan yang lainnya dan manusia yang satu dengan yang lainnya berjalan secara harmonis, dinamis, dan pasti, Effendy (2017: 115-130).

Manajemen komunikasi bencana merupakan upaya yang komprehensif untuk mencegah dan mengurangi resiko bencana dengan mengelola proses produksi pesan- pesan atau informasi tentang bencana, penyebaran pesan dan penerimaan pesan dari tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana.

Kajian tentang manajemen komunikasi bencana sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain; Lestari, Puji (2007); Badri, Muhammad (2008); Nugroho, Heru (2008);

Lestari, Puji, Susilastuti, Hendariningrum, Retno (2009); Ramli, Soehatman (2010),

Junaedi, Fajar (2011), Noviani, Ratna (2012), dan Hidayat, Rahmat (2012). Menurut hasil penelitian Lestari, Puji (2007) tentang Manajemen Komunikasi Bencana Gempa di

Kecamatan Gantiwarno, manajemen komunikasi bencana adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan pemerintah terkait pengelolaan bencana (dalam hal ini bencana gempa bumi tahun 2006)

Komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam penanggulangan bencana, terutama untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan program lembaga non pemerintah yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Sedangkan komunikasi dengan masyarakat terdampak bencana untuk mempercepat proses penanggulangan bencana dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat.

Pada tahap penilaian kondisi darurat dilakukan suatu proses mengumpulkan informasi atau data yang dilakukan secara sistematis atau yang disebut dengan assesment .

Selanjutnya petugas akan menganalisis situasi untuk menentukan dan menilai kondisi-

14 kondisi korban apakah rusak ringan, sedang, atau berat serta jumlah yang meninggal, sakit parah, ringan, dan sebagainya. Pada tahap ini dilakukan proses komunikasi antara petugas dengan masyarakat korban di lokasi bencana, komunikasi dengan aparat pemerintah setempat, dan pihak-pihak terkait

1. Teori Constructivisme

Constructivism adalah teori komunikasi yang berusaha menjelaskan perbedaan individu dalam kemampuan orang untuk berkomunikasi dengan terampil dalam situasi sosial. Jesse Delia percaya bahwa ada perbedaan mendasar diantara mata-mata yang efektif secara interpersonal. Teorinya tentang konstruktivism menawarkan penjelasan kognitif untuk kompetensi komunikasi. Seiring dengan jaringan periset konstructivism dia menggunakan RoleCategoryQuestionnaire (RCQ)untuk membantu masuk kedalam kepala kita (Griffin, 2011: 98). Delia dan rekan-rekannya mengungkapkan bahwa orang- orang yang secara kognitif kompleks dalam persepsi maereka terhadap orang lain yang memiliki keuntungan komunikasi dibandingkan mereka yang memiliki struktur mental kurang berkembang. Individu-individu ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan pesan yang berpusat pada orang yang memberi mereka kesempatan lebih baik untuk mencapai tujuan komunikasi mereka (Griffin, 2011:101).

Paradigma konstruktivsm berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teori aliran konstruktivis. Menurut Littlejhon dan Foss

(2009: 98) menyimpulkan teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide, bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikontruksi melalui proses interaksi dalam kelompok masyarakat, dan budaya.Konstruktivism adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan

15

(Wibowo, 2011:162). Sebuah realitas belum tentu menjadi jaminan dari kebenaran, menurut Littlejohn dan Foss (2011: 67) realitas tidak menunjukan dirinya dalam bentuknya yang kasar, namun harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara kita atau seseorang melihat sesuatu.

Konstruktivisme adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuannya sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri pula (Abimanyu, 2008: 22). Paradigma konstruktivisdipengarui oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif strukturan fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas didalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.

2. Partisipasi Masyarakat

Menurut Made Pidarta (Dwiningrum, 2009 : 31-32), partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalmmemnggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan tanggungjawab atas segala keterlibatan . Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi dari seseorang didalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk menyokong kepada pencapaian tujuan kelompok tersebut dan ikut bertanggungjawab terhadap kekelompoknya. Partisipasi menurut Huneryear dan Heoman

(Dwiningrum, 2009:32) adalah sebagai keterlibatan mental dan emosional dalam situasi

16 kelompok yang mendorongnya memberi sumbangan terhadap tujuan kelompok serta membagi tanggungjawab bersama mereka. Pengertian sederhana tentang partisipasi dikemukakan oleh Jalal dan Supriadi (2001: 201-202) dimana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlihat dalam bentuk penyampaian saran pendapat , barang, keterampilan, bahan dan jasa.

Partisipasi masyarakat didalam setiap proses pembuatan kebijakan publik merupakan hal penting sebagai cermin asas demokrasi. Hal ini menjadi tepat ketika partisipasi masyarakat kemudian diangkat menjadi salah satu prinsip yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan “goodgovernance” (Adisasmita, 2006:4)

Partisipasi masyarakat menurut Adi (2007:27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada dimasyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Partisipasi menjadi berkembang bukan hanya mengenai keterlibatan fisik, pikiran dan perasaan saja. Bentuk keterlibatan bisa menjadi lebih bervariasi seperti pikiran, tenaga, keahlian, barang dan uang. Partisipasi masyarakat menekankan pada “partisipasi” langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. GaventadanValderma (Dwiningrum, 2009: 34-35) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat telah mengalihkan konsep partisipasi menuju suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Pengembangan konsep dan asumsi dasar untuk meluangkan gagasan dan praktik tentang partisipasi masyarakat meliputi :

17 a) Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik

lainya. Hak itu tidak hilang ketika ia memberikan mandat pada orang lain untuk

duduk dalam lembaga pemerintahan. Sedangkan hak politik, sebagai hak asasi, tetap

melekat pada setiap individu yang bersangkutan. b) Partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik di

lembaga-lembaga formal dapat untuk menutupi kegagalan demokrasi perwakilan.

Demokrasi perwakilan masih menyisakan beberapa kelemahan yang ditandai dengan

keraguan sejauh mana orang yang dipilih dapat merepresentasikan kehendak

masyarakat. c) Partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik dapat

mendorong partisipasi lebih bermakna. d) Partisipasi dilakukan secara sistematik, bukan hal yang isidental. e) Berkaitan dengan diterimanya desentralisasi sebagai instrumen yang mendorong tata

pemerintahan yang baik (goodgovernance) .

Partisipasi masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan lembaga pemerintahan. Demokratisasi dan desentralisasi dinegara berkembang termasuk Indonesia terjadi dalam situasi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan lembaga pemerintahan, dengan melibatkan warga dalam proses pengambilan keputusan maka diharapkan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah dapat terus ditingkatkan dan meningkatnya kepercayaan warga dipercaya sebagai indikator penting bagi menguatnya dukungan dan keabsahan pemerintah yang berkuasa. Partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan anggota masyarakat dalam

18 pembangunan dan pelaksanaan (implementasi) program atau proyek pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat lokal.

Partisipasi masyarakat memiliki ciri-ciri proaktif dan bahkan reaktif artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak, ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua yang terlibat, ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut, ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara.

3. Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat.

Bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakaan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor dan lain sebagainya.

Didalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 juga disampaikan bahwa kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna, dan berdaya guna. Peringatan dini adalah serangkaian pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 juga disebutkan bahwa rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai

19 kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menghadapi dampak buruk bahaya tertentu. Yang dimaksud dengan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

Sedangkan Mitigasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Mitigasi yang efektif harus memiliki tiga unsur utama yaitu:

a). Penilaian bahaya (Hazard Assesment) : diperlukan untuk mengidentifikasi

populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilian ini memerlukan

pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana dan

data kejadian bencana dimasa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana

yang sangat penting dan diperlukan guna merancang kedua unsur mitigasi lainnya.

b). Peringatan (Warning) : diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat

tentang bencana yang akan mengancam. Sistem peringatan didasarkan pada data

bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran

komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun

masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat

dilakukan secara cepat, tepat, dan dipercaya.

20

c). Persiapan (Preparedness) : kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi

sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan

tentang daerah yang kemungkinan terkena dampak bencana dan pengetahuan tentang

sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi serta kapan

saatnya kembali ketika situasi telah aman kembali.

Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah sangat penting pada tahapan ini untuk menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintah , swasta, maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain :

a). Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung

usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun

dilokasi yang rawan bencana..

b). Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, dimana kegiatan dimulai

dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang

ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga

penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan.

c). Identifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya

menangani kebencanaan agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik.

d). Pelaksanaan program atau tindakan riil dari pemerintah yang merupakan

pelaksanaan dari kebijakan yang ada, dan bersifat preventif.

e). Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang

memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi resiko bencana menjadi

penting dilakukan, diantaranya dengan melakukan pelatihan penanggulangan bencana

21

atau dengan simulasi yang dilakukan yang dapat meningkatkan pemahaman

masyarakat dalam menanggulangi resiko bencana.

Menurut Djamarah (2004), pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

F. KERANGKA BERPIKIR Garis besar kerangka pemikiran penelitian ini telah tersusun dalam alur sistematika berikut :

Gambar 1.4 Alur Sistematika Penelitian

G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif. Dimana

penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan

kegunaan tertentu (Darmadi, 2013 : 153) Penelitian Kualitatif adalah

penelitian yang mendekatkan pada hal yang terpenting dari sifat sesuatu

22

berupa kejadian/fenomena/gejala sosial (Satori dan Komariah, 2011:22).

Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena sosial mengenai

mitigasi, serta penanganan tanggap darurat bencana yang dilakukan melalui

pemberdayaan dan konstruksi masyarakat mengenai hal tersebut. Dalam

pemahaman peneliti kualitatif, realitas dikonstruksi secara sosial, yakni

berdasarkan pemahaman bersama. Hasil konstruksi itu dipengaruhi sifat

hubungan antara peneliti dengan yang diteliti, serta kendala-kendala

situasional diantara keduanya (Mulyana dan Solatun, 2013 : 4). Jenis

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

kontruktivisme, yaitu memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas

yang natural, tetapi terbentuk dari hasil kontruksi.

Dalam ontologi paradigma konstruktivis realita merupakan konstruksi

sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian menurut Hidayat

(Bungin, 2011 :11) kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku

sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Oleh karena itu

konsentrasi analisis pada paradigma kontruktivis adalah menemukan

bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikontruksi, dengan cara apa

kontruksi itu dibentuk. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh

sosiolog interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam

konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara

teori fakta dan definisi sosial (Eriyanto, 2004 :13).

Dalam organisasi dibutuhkan peran aktif masing-masing unsur yang ada dalam komponen organisasi itu sendiri, baik pengurus organisasi maupun seluruh anggotanya.

23

1. Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini, penulis memilih penelitian pada komunitas relawan yang

berada di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan waktu bulan

Juli hingga Agustus 2019 (menyesuaikan).

2. Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.

Bogdan (Idrus, 2009 :57) mendefinisikan studi kasus sebagai kajian yang rinci

atas suatu latar atau peristiwa tertentu. Sedangkan menurut Ary (Idrus,

2009:57) menyatakan bahwa studi kasus juga dipergunakan untuk menyelidiki

unit sosial yang kecil.

Dalam pola komunikasi model komunikasi Stephen P. Robbins yang

dikemukakan dalam bukunya, Organization Behaviour: concepts,

controversies and applications. Second Edition, Prentice-Hall, inc.,

EnglewoodCliffs, New Jersey (1983). Adapun terdapat lima model pola

komunikasi dalam model komunikasi Robbins, yaitu model rantai (chain),

model roda (wheel), model lingkaran (circle), model bebas (allchannel), dan

model huruf “Y” (Rosady, 1998 : 94).

a. Model rantai (chain) merupakan mode yang menganut hubungan

komunikasi garis langsung (komando), baik ke atas maupun ke bawah

tanpa terjadi suatu persimpangan.

b. Model roda (wheel) adalah model pola komunikasi yang menjadikan semua

laporan, instruksi, perintah kerja dan kepengawasan terpusat pada satu

24

orang pemimpin dengan empat atau lebih bawahan dan tidak terjadi

interaksi (Rosady, 1998 : 94).

c. Model lingkaran (circle) adalah model dimana semua anggota dan stafnya

dapat terjadi interaksi pada setiap tiga tingkatan hirarki.

d. Model bebas (allchannel) adalah model pengembangan dari model

lingkaran (circle). Model huruf “Y” adalah model pola komunikasi yang

tidak jauh berbeda dengan model rantai (chain), dimana terdapat level

jenjang hirarki (Rosady, 1998 : 94).

3. Data dan Sumber data

Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer berupa hasil wawancara

kepada informan dilengkapi dengan hasil observasi dilapangan. Proses dalam

wawancara ini yang menjadi informan adalah; Pengurus FKKRS serta anggota

komunitas relawan Kabupaten Sleman. Data primer pada penelitian kualitatif

dapat diartikan sebagai fakta atau informasi yang diperoleh dari aktor (subyek

penelitian, informan, pelaku), aktifitas dan tempat yang menjadi subjek

penelitiannya.

Data sekunder pada penelitian ini berupa arsip-arsip mengenai keadaan wilayah,

dokumentasi foto, catatan lapangan, dan literatur yang berkaitan dengan fokus

penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

a). Wawancara

Penelitian kualitatif adalah meneliti informan sebagai subjek penelitian dalam

lingkungan hidup kesehariannya. Oleh karena itu pada penelitian ini dibutuhkan

wawancara, yaitu dengan wawancara mendalam sebagai salah satu teknik

25 pengumpulan data. Wawancara mendalam dilakukan dalam konteks observasi partisipasi, menurut Mc. Millanda Schumacher (Satori dan Komariah, 2011:130) menjelaskan bahwa, wawancara mendalam adalah tanya jawab terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati dan partisipan, bagaimana menggambarkan dunia mereka dan bagaimana mereka menjelaskan atau menyatakan perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam hidupnya.

Wawancara dilakukan secara mendalam dengan informan yang telah dipilih sesuai tujuan penelitian. Untuk itu para peneliti kualitatif sedapat mungkin berinteraksi secara dekat dengan informan, mengenal secara dekat dunia kehidupan mereka, mengamati dan mengikuti alur kehidupan informan secara apa adanya (Idrus, 2007:34). b). Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan aktifitas pencatatan fenomea yang dilakukan secara sistematis. Pengamatan dapat dilakukan secara terlibat

(partisipatif) ataupun nonpartisipatif (Idrus, 2009:101).

Menurut Bungin (2007:69) observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan.

Observasi digunakan dalam teknik kualitatif karena suatu objek hanya dapat diungkap datanya apabila peneliti menyaksikannya langsung (Satori dan

Komariah, 2011:104-105). Selain itu, dengan observasi juga ingin mengungkap gerak-gerik, sikap, susana dan kesan yang akan ditangkap setelah melakukan organisasi. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan mendatangi lokasi atau tempat-tempat yang rawan bencana di Kabupaten Sleman.

26

c). Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara dokumentasi merupakan suatu hal yang dilakukan

oleh peneliti guna mengumpulkan data dari berbagai hal media cetak membahas

mengenai informan yang akan diteliti. Menurut Hamidi (2004:72), metode

dokumentasi adalah informasi yang berasal dari catatan penting baik dari

lembaga atau organisasi maupun dari individu. Dokumentasi penelitian ini

merupakan pengambilan gambar oleh peneliti untuk memperkuat hasil penelitian.

5. Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu seleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat oleh

peneliti berdasarkan tujuan penelitian (Kriyantono, 2007:54). Purposive sampling

juga diartikan sebagai pengambilan sampel berdasarkan kapasitas dan kapabelitas

atau yang benar-benar paham dibidangnya diantara anggota populasi (Hikmat,

2011:64). Dalam teknik puporsive sampling ini, sampel ditentukan dengan

memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah yang dapat

dipercaya untuk menjadi sumber data yang tepat (Susanto, 2006:120). Jadi

intinya purposive sampling menentukan subjek/objek sesuai tujuan. Penelitian

kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, karena penelitian berangkat dari

kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu (Satori dan Komariah,

2011:47-48)

27

6. Analisa Data

Penelitian ini menggunakan analisis data interaktif menurut Miles dan Hubermen

(Sutopo, 2006:92). Teknik analisis data tersebut terdiri dari tiga komponen utama

yaitu, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.

Reduksi data meliputi proses seleksi, pemfokusan, penyederhaan, dan abstraksi

dari semua jenis informan yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan.

Berdasarkan pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data dan disajikan dengan

menggunakan kalimat dan bahasa penelitian yang merupakan rakitan kalimat

yang disusun secara logis dan sistematis, yang merupakan komponen sajian data.

Kemudian tahapan terakhir adalah penarikan simpulan dengan melakukan

generalisasi dari hasil reduksi data yang kemudian disajikan secara logis dan

sitematis. Gambaran model interaktif Mile dan Huberman sebagai berikut :

Gambar 1.5 Model Interaktif Mile

Berdasarkan gambaran model diatas, dalam model interaktif tiga jenis kegiatan

analisis dan kegiatan pengumpulan data merupakan siklus dan interakstif. Artinya

peneliti harus siap bergerak diantara empat “sumbu” kumparan itu. Analisis ini

merupakan sebuah proses yang berulang dan berlanjut secara terus menerus dan

saling menyusul.

28

BAB II

GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

A. Gambaran Umum Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Kabupaten Sleman.

Sejarah terbentuknya organisasi komunitas relawan Kabupaten Sleman.

Organisasi bernama Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman disingkat

FKKRS, mempunyai kegiatan di wilayah Kabupaten Sleman dan sekitarnya. Saat ini menempati sekretariat digedung utara lantai 1 Posko Utama BPBD Kabupaten Sleman, yang beralamat di Jalan Kaliurang KM. 17 Pakem Sleman, hingga kini anggotanya terdiri dari 53 komunitas relawan se- Kabupaten Sleman yang masuk dalam pendataan dan terdaftar pada awal tahun 2019. Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman didirikan pada tahun 2015 di Kabupaten Sleman.

Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman adalah organisasi komunitas relawan yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman sebagai satu-satunya forum resmi bagi komunitas relawan penanggulangan bencana yang berada di wilayah Kabupaten Sleman.

Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang didasari atas kesamaan misi untuk membantu masyarakat dalam menghadapi situasi bencana dan tidak memihak kepada kepentingan politik.

B. Tata Laksana Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman Tujuan dan fungsi dari Forum Komunikasi Komunitas Relawan ini yaitu

1. Terwujudnya relawan yang terampil, berdisiplin, dedikasi dan loyalitas tinggi yang

berjiwa Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

29

2. Membantu usaha pemerintah dalam menangani situasi bencana.

3. Membantu pemerintah dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Kabupaten Sleman diberbagai klaster penanganan bencana yang terjadi diwilayah

Kabupaten Sleman.

4. Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman dalam kegiatannya berfungsi sebagai wadah koordinasi dan peningkatan kapasitas para relawan ditiap komunitas di Kabupaten

Sleman.

Kegiatan Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman antara lain :

a. Membantu pemerintah dalam penanganan penanggulangan bencana

b. Membantu pemerintah dalam penyelenggaraan komunikasi gawat darurat

c. Melakukan upaya guna menunjang kelancaran program organisasi.

d. Membantu masyarakat dalam pengurangan resiko bencana.

e. Kegiatan Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman ada yang bersifat terbuka

untuk masyarakat maupun tertutup untuk relawan komunitas anggota forum.

Keanggotaan Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman.

Anggota Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman adalah Komunitas yang

terdaftar di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman, yang

secara langsung maupun tidak langsung bergerak dalam bidang penanggulangan bencana.

Relawan maupun anggota komunitas yang komunitasnya terdaftar di Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman, tidak secara otomatis terdaftar

dalam Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman. Secara eksplisit keanggotaan

30

Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman terbuka bagi komunitas relawan di

Kabupaten Sleman yang telah memenuhi persyaratan.

Anggota Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman dapat diberhentikan oleh pengurus apabila melanggara Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga, atau melanggar peraturan Perundang-undangan yang telah mempunyai ketetapan hukum.

Untuk tata cara pemberhentian keanggotaan diatur dalam peraturan organisasi.

Susunan Kepengurusan Organisasi

1. Pengurus Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman terdiri atas :

a. Dewan Pembina dan Penasehat , adalah dari unsur pemerintah

b. Presidium Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman terdiri atas ketua-ketua

komunitas relawan

c. Pengurus Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman bertugas menjalankan

program kerja dan kegiatan.

2. Pengurus Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman terdiri dari :

a. Dua orang Ketua

b. Dua orang Sekretaris

c. Satu orang Bendahara

d. Dua orang bagian hubungan Internal

e. Dua orang agian hubungan Eksternal

f. Satu orang bagian Pendidikan dan Kaderisasi.

g. Satu orang bagian Koordinator Lapangan

31

3. Pemilihan Ketua Forum KomuikasiKomunitas Relawan Slemandilakukan dalam

Musyawarah Forum dan Peyusunan Pengurus dilakukan oleh Formatur Forum

Komunikasi Komunitas Relawan Sleman.

Tatacara pemilihan Ketua Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman dan

penyusunan Pengurus FKKRS diatur dalam tata tertib sidang yang ditetapkan pada

sidang musyawarah Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman.

Bagan Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman

Gambar 2.1 Bagan Organisasi FKKRS

32

Susunan Pengurus Organisasi Forum Komunikasi Komunitas Relawan Sleman

Tahun 2019-2021

1. Dewan Pembina dan Penasehat : Bupati/Wakil Bupati Sleman

2. Presidium : Ketua-ketua Komunitas Relawan

3. Ketua 1 :Yoga Nugroho Utomo

4. Ketua 2 : Sahlan Hasari

5. Sekretaris 1 : Paulinus Sukadarma

6. Sekretaris 2 : Adris Rahji

7. Bendahara : Aris Hidayat

8. Bidang Hubungan Internal : Budi Kurniawan & Budi Rahmanto

9. Bidang Hubungan Eksternal : Handika & Eksan

10. Bidang Pendidikan dan Kaderisasi : Agus Subekti

11. Koordinator Lapangan : Musni Sururi

Anggota Komunitas Relawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Relawan

Sleman (FKKRS).

Tabel 2.1 Komunitas Relawan

No Nama Komunitas Sekretariat/Posko Jumlah Personil

1. Lowo Rescue Sumberan, Godean 14 orang

2. Jalin Komunitas Mandiri (JKM) Sumbersari, Minggir 28 orang

3. Karbolo Sedayu, Gamping, Sleman 29 orang

4. Parelgo Sidoagung, Godean 57 orang

5. Sayegan Rescue Sayegan, Sleman 21 orang

6. JME Tempel, Sleman 20 orang

33

No Nama Komunitas Sekretariat/Posko Jumlah Personil

7. Bagana Pangukan, Sleman 60 orang

8. Sarana Komunikasi Bersama Trimulyo, Sleman 30 orang

(SKB)

9. PRB Melati Melati, Sleman 45 orang

10. PalapaCommunity Pendowoharjo, Sleman 31 orang

11. Rescue 920 Trihanggo, Gamping 47 orang

12. Rescue 328 Melati, Sleman 43 orang

13. Rescue Tabah Sinduadi, Mlati Sleman 44 orang

14. Relado Donoharjo, Ngaglik 18 orang

Sleman

15. Rajawali Community Bakalan, 48 orang

DonoharjoNgaglik

16. SAR Hidayatullah Donoharjo, Ngaglik 17 0rang

Sleman

17. Lapba Purwobinangun 46 orang

18. Harjo Community Harjobinangun 10 orang

19. Frekom Kemirikebo, Girikerto Turi 29 orang

20. Ragil Community Wonokerto, Turi 43 orang

21. Bolotetulung Tlogoadi, Mlati 45 orang

22. Pasak Merapi Tunngularum, Turi 44 orang

23. Peduli Merapi Merdikorejo, Tempel 32 orang

24. Gemuk Lumbungrejo, Tempel 33 orang

34

No Nama Komunitas Sekretariat/Posko Jumlah Personil

25. Paksi Katon Sidoagung, Godean 37 orang

26. Cakra Pakem, Sleman 11 orang

27. Muncar Boyong, Sleman 41 orang

28. SAR Satlinmas wilayah 7 Kaliurang, Sleman 44 orang

29. Mercuri Pentingsari, Umbulharjo 17 orang

Sleman

30. Bagong Community Gandok, Sleman 49 orang

31. Korelasi Sinduharjo, Ngaglik, 46 orang

Sleman

32. RMC Minomartani, Sleman 48 orang

33. KPGW Gajah Wong 19 orang

34. Sembada Depok, Sleman 29 orang

35. TRC Infokom Turi, Sleman 29 orang

36. SKSB Cangkringan, Sleman 67 orang

37. KSM Glagaharjo, Sleman 36 orang

38. AMC Argomulyo, Sleman 50 orang

39. FPB Sindumartani, Sleman 55 orang

40. BKL Argomulyo, Cangkringan 45 orang

41. Widodo Sosial Community Widodomartani, Sleman 48 orang

(WSC)

42. Djipatsong Purwomartani, Sleman 19 orang

43. Relawan Jogja Timur (RJT) Selomartani, Sleman 75 orang

35

No Nama Komunitas Sekretariat/Posko Jumlah Personil

44. Rescue Taman Tamanmartani 27 orang

45. Prambanan Community Prambanan 25 orang

46. Bandung Bondowoso Gayamharjo Prambanan 30 orang

47. Relawan Berbah (Relaber) Berbah 35 orang

48. Lereng Merapi Community Jalan Kaliurang KM. 12 77 orang

49. Senkom Mitra Polri Sleman Sleman 89 orang

50. FKPPI Rescue Triharjo, Sleman 20 orang

51. Turgo Asri (Tuas) Ngaglik, Sleman 55 orang

52. MonjaliCommunity Sariharjo, Sleman 92 orang

53. SAR Sena Warak Lor, Sumberadi 27 orang

Sleman

Sumber : Pusdalops PB. BPBD Kab. Sleman

Sampai dengan tahun 2019 ini komunitas yang tergabung dalam forum sebanyak 53 komunitas relawan, dengan jumlah relawan sebanyak 2300 orang yang sudah tercatat serta mendapatkan Kartu Identitas Relawan (KIR) yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kabupaten Sleman, hal ini tentunya masih dalam proses pendataan karena di

Kabupaten Sleman memiliki sebanyak 17 kecamatan, dengan 86 desa serta 1212 dusun.

Organisasi harus diubah menjadi inovatif dan adaptif sesuai “teori kesisteman”. Organisasi harus memeriksa dan mengukur dampak perubahan lingkungan agar dapat menentukan pilihan antara perubahan radikal atau bertahap (Hardjana, 2019:401-435).

Sebagai program kerja pemerintah dalam pengupayaan penjaminan keselamatan kerja atas resiko, bagi anggota relawan yang telah terdata dalam database akan mendapatkan jaminan resiko yakni diikutkan dalam asuransi kecelakaan kerja (BPJS). Saat ini relawan yang yang

36 sudah mendapatkan sebanyak 500 orang, hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran pemerintah kabupaten.Harapannya nantinya anggota relawan ini akan mendapatkan penjaminan kecelakaan kerja seluruhnya, baik melalui anggaran kabupaten maupun dari pemerintah desa. Sedangkan untuk klasifikasi kemampuan ataupun kecakapan individu dapat dilihat seperti dalam tabel ;

Gambar 2.2 Klaster Relawan Kabupaten Sleman

C. Peran Komunitas Relawan dalam Penanggulangan Bencana Ketika pada saat tidak ada bencana alam forum berupaya bersama-sama baik dengan pemerintah maupun pihak lain untuk mendorong agar kemampuan komunitas maupun individu menjadi bertambah. Kesempatan dalam rangka upgrade kemampuan baik individu maupun kelompok menjadi target kerja forum mulai tahun 2017 hingga saat ini , dalam memberi kesempatan seluas-luasnya bagi komunitas relawan untuk selalu mengasah keterampilannya. Bentuk peran serta komunitas relawan ini difasilitasi melalui Bidang

Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana, serta pada Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman.

Salah satu bentuk peningkatan kapasitas yakni dengan diikutkannya komunitas relawan dalam pelatihan maupun pendidikan baik yang diadakan oleh Badan Penanggulangan

Bencana Daerah maupun dinas terkait. Keterlibatan komunitas relawan tersebut antara lain :

37

1. Pelatihan Psikososial yang diselenggarakan oleh BPBD Kab. Sleman

2. Pelatihan Pertukangan dalam perpesktif bencana yang bekerjasama dengan

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

3. Pelatihan Pengelolaan Hunian Sementara dan Hunian Tetap yang diselenggarakan

oleh BPBD Kab. Sleman

4. Pelatihan pemodelan rumah tahan gempayangbekerjasama dengan Sarwidi Center

5. Pelatihan Pertolongan Pertama dalam KegawatDaruratan yang diselenggarakan oleh

Dinas Kesehatan Kab. Sleman.

6. Pelatihan Water Rescue yang diselenggarakan oleh Basarnas Yogyakarta.

7. Pelatihan SearchAnd Rescue yang diselenggarakan oleh SARDA DIY.

8. Pelatihan MenejemanPosko yang diselenggarakan oleh BPBD Kab. Sleman.

Sedangkan dalam situasi terjadi bencana atau adanya kejadian maka pengampu kegiatan

Komunitas Relawan difasilitasi oleh Bidang 2 yaitu Kedaruratan Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kabupaten Sleman. Selama berdirinya Forum Komunikasi Relawan Sleman ini sudah banyak anggota komunitas relawan yang terlibat didalam penanganan kejadian maupun bencana alam diwilayah Kabupaten Sleman diantaranya :

a. Penanganan kejadian pohon tumbang akibat angin kencang.

b. Penanganan kejadian penanganan tanah longsor.

c. Penanganan kejadian banjir akibat cuaca ekstrim.

d. Penanganan kejadian bencana kekeringan diwilayah Kabupaten Sleman.

e. Penanganan kejadian erupsi freatik gunung Merapi.

f. Penanganan kejadian kebakaran diwilayah Kabupaten Sleman.

g. Penanganan kejadian kecelakaan lalu lintas.

h. Penanganan kejadian kecelakaan orang terjeburkedalam sumur.

38

i. Penanganan kejadian kecelakaan sungai.

j. Penanganan kejadian kecelakaan gantung diri.

Secara umum ketugasan forum adalah mitra pemerintah yang berperan sebagai penghubung multipihak, yakni antara pemerintah, komunitas relawan serta dengan pihak-pihak yang berkompenten dalam penanggulangan bencana termasuk dunia usaha, dan pihak-pihak yang bersifat tidak mengikat.

39

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Soli. Dkk 2008. Bahan Ajar Cetak Strategi Pembelajaran 3 sks”. :

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Akses 18

Februari 2019 dari http:/eprints.umm.ac.id/

Adi, IsbandiRukminto, 2007. “Perencanaan Partisipasi Berbasis Aset Komunitas ; dari

pemikiran menuju penerapan”. Depok : FISIP UI Press.

Adisasmita, Rahardjo. 2006. “Pembangunan Pedesaaan dan Perkotaan “. Yogyakarta : Graha

Ilmu.

Aditya, Barry, dkk., 2009, Kesiapan dan Ke-siagaan Bencana (Manual untuk Aktivis

Persyarikatan), Penerbit Risalah MDMC, Jakarta.

Andre Hardjana, 2019. Komunikasi Organisasi “Strategi Interaksi dan Kepemimpinan”.

Depok : Rajawali Press.

Arni, Muhammad. 2009. “Komunikasi Organisasi”. Jakarta : Bumi Aksara

Ahdi, Didi. 2015. “ Perencanaan Penanggulangan Bencana Melalui Pendekataan Manajemen

Risiko”. Jurnal Reformasi. 5, (1), 13-30.

Badri, M. 2008. “ Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana

Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul)”. Jurnal Komunikasi

Pembangunan. 6 (1), 55-71.

Bungin, M. Burhan.2011. “Konstruksi Sosial Media Massa” : Kekuatan Pengaruh Media

Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap Peter L.

Berger& Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana.

56

Budi, Setio. 2012. “Komunikasi Bencana : Aspek Sistem (Koordinasi, Informasi dan

Kerjasama)”. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 4, Januari 2012, Universitas

Atma Jaya Yogyakarta.

Brilliant Ayesha Nadine A Narra, 2018. “ Pola Komunikasi Badan Penanggulangan bencana

Daerah Kabupaten Sleman Dalam Penanggulangan Bencana di Gunung Merapi (Studi

Deskripsi Kualitatif Pada Hunian tetap dongkelsari).” Skripsi. UII. Yogyakarta

Cangara, Hafied.2005. “Pengantar Ilmu Komunikasi”.Jakarta: PT Raja Grafindo

Darmadi, Hamid. 2013. “Dimensi-dimensi Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial”.

Bandung: Alfabeta.

Djamarah, Bahri, Syaiful. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalamKeluarga.

Jakarta: PT Reneka Cipta.

Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2009. “Desentralisasi dan Partisipasi dalam Pendidikan”.

Yogyakarta: UNY.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”. Bandung:Citra

Aditya Bakti.

------. 2017. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya

Eriyanto, 2004. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS

Griffin, Emory A. 2011. A First LookatCommunicationTheory. EightEdition. New York:

McGraw-Hill.

Hamidi, 2004. Metode Penelitian Kualitatif , Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan

Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

57

Harun, Rochajat dan Elvinaro Ardianto. 2012. “ Komunikasi Pembangunan dan Perubahan

Sosial: Perspektif Dominan, Kaji Ulang, dan Teori Kritis”. Jakarta: Raja Grafindo

Hikmat, M. Mahi. 2011. “ Metode Penelitian: Dalam Perapektif Ilmu Komunikasi dan

Sastra”. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Idrus, Muhammad. 2007. “Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif)”. Yogyakarta: UII Press.

______.2009. “Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif)”. Yogyakarta:Erlangga

Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. 2001. “ Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi

Daerah”. Yogyakarta: Adicita.

Jurnal Kusumaratih, Arnidha, 2015, Manajemen Desa Tangguh Bencana di Desa Poncosari

Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal

Universitas Negeri Yogyakarta.

Kaswan,2012. “Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Keunggulan Bersaing Organisasi”.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kriyantono, Rachmat. 2007. ”Teknis Praktis Riset Komunikasi”. Jakarta: Kencana Prenada

Media Grup.

Keputusan Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sleman Nomor

121/Kep.Ka.Pelak.BPBD/2017 Tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala

Pelaksana BPBD Kabupaten Sleman Nomor 332 Tahun 2016 Tentang Rencana

Strategis BPBD Tahun 2016-2021

Lestari, Puji, 2012. “Manajemen Komunikasi Bencana Merapi 2010 pada saat Tanggap

Darurat” . Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10 Nomor 2, Agustus 2012, halaman

58

173-197, Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik UPN

Yogyakarta.

Mulyana, Dedy dan Solatun. 2013. “ Metode Penelitian Komunikasi”. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nurdin, Rudianto. “Komunikasi Dalam Penanggulangan Bencana”, JurnalSimbolika:

ResearchandLearning In Communication Study, Vol. 1 No. 1(April, 2015), hal. 51-

61.

Paripurno, Eko Teguh, 2008, Manajemen Resiko Bencana Berbasis Komunitas Alternatif

Dari Bawah, Jurnal Dialog Kebijakan Publik Edisi 1 Juni, Tahun II, 2008,

Departemen Komunikasi dan Informatika, Jakarta.

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Dan

Susunan Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman.

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan

Bencana.

Pratminingsih, Sri Astuti. 2006. “Komunikasi Bisnis (Edisi Pertama)”. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Oktari, Alia Risqi. 2017. “Tinjauan Yuridis atas Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Daerah di Banjarnegara”. Skrispsi. UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Rencana Aksi Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019.

Riswandi, 2009. “Ilmu Komunikasi”. Jakarta : Graha Ilmu.

Rosady, Ruslan. (1998). Manajemen Humas dan Komunikasi: Konsepsi dan

Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

59

Satori, Djami’an dan Aan Komariah. 2011. “ Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung:

Alfabeta

Susanto, 2006. “Metode Penelitian Sosial”. : UNS Press

Sutopo, HB. 2006. “Metodelogi Penelitian Sosial”. Surakarta: UNS Press.

Wibowo, 2011. “ Manajemen Kinerja”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Robbin, Stephen, P & Timothy, A. Judge, 2008. “Perilaku Organisasi “. Jakarta: Salemba

Empat.

Undang-undang Nomor 24 tahun 2007, Tentang “Penanggulangan Bencana” https://m.detik.com/news/berita/d-3362491/mensos-khofifah-deklarasikan-yogyakarta- sebagai-kotarelawan

60