1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Siput mata bulan ( chrysostomus) merupakan salah satu organisme invertebrata yang cukup potensial untuk dikembangkan karena bernilai ekonomis tinggi dan memiliki daya tahan tubuh yang cukup baik terhadap perubahan lingkungan (Setyono et al. 2013). Terdapat beberapa jenis dari genus Turbo di Dunia antara lain T. agyrostomus, T. brunneus, T. cinereus, T. cornutus, T. intercostalis, T. marmoratus, T. petholatus, T. radiatus, T. sarmaticus, T. setosus, T. smaragdus, T. torquatus dan beberapa jenis lainnya (Ruf 2007; Ubaidillah et al. 2013) namun yang lebih potensial dikembangkan di Indonesia adalah jenis T. marmoratus dan T. chrysostomus (Dwiono et al. 2001). Seperti jenis grastopoda lainnya, siput mata bulan dilengkapi dengan sekeping cangkang yang berfungsi untuk melindungi organ lunaknya dari incaran predator. Siput ini dikenal dengan nama internasional yellow-mouth turban atau gold-mouth turban dan di Indonesia dikenal sebagai siput bulan (Ambon), siput mata lembu (Pelabuhan Ratu dan Pangandaran, Jawa Barat) (Arifin 1994) dan sisok matan terata (Lombok). Siput mata bulan dapat ditemukan di wilayah perairan Indo-Pasifik termasuk perairan pesisir Samudra Hindia (Kenya, Eychelles, Chagos, Andaman dan Pulau Nicobar), Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Thailand dan Filipina) dan Kepulauan Fiji Selatan. Jenis siput ini juga ditemukan di perairan pesisir Kepulauan Ryukyu Jepang, dan di perairan Melanesia Utara hingga Kaledonia Baru Selatan (Soekendarsi 2018). Siput mata bulan ditangkapi masyarakat setempat, dikarenakan rasanya yang gurih dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Setyono (2006) mengemukakan bahwa kerang dan siput memiliki kandungan protein yang sangat tinggi yaitu lebih dari 50%. Siput T. setosus memiliki kandungan protein 63,37%, karbohidrat 27,01%, mineral (K, Mg, Fe, Zn), asam amino (arginin, asam glutamat), dan lemak 0,08% (berdasarkan berat kering) (Merdekawati 2013). Siput mata bulan juga menjadi salah satu organisme akuarium yang cukup diminati karena selain memiliki bentuk cangkang yang khas, siput mata bulan juga dapat berfungsi sebagai pembersih alga yang menempel di akuarium (Venkatesan 2010) sehingga dari hal tersebut siput mata bulan memiliki harga jual per individu sekitar Rp1000,00 sampai Rp9.000,00 di Indonesia dan pasar Internasional mencapai Rp29.900,00 (2,09 US$). Selain itu, karena memiliki bentuk dan warna cangkang yang indah, masyarakat juga sering memanfaatkannya untuk pembuatan kerajinan tangan seperti kancing, hiasan dan bahkan dijadikan souvenir. Harga cangkang siput mata bulan di pasaran Maluku bervariasi antara Rp250.000,00 hingga Rp400.000,00 per kg (LIPI 2009), sedangkan untuk di pasaran Filipina dapat mencapai Rp22.600,00 (1,58 US$) ukuran 44,7 mm dan di Australia yaitu Rp28.200,00 (1,97 US$) ukuran 34–36 mm per individunya (Anonim 2018). Dewasa ini siput mata bulan sudah mulai jarang ditemukan dan menjadi salah satu biota laut yang mulai terancam punah di Perairan Indonesia (Ubaidillah et al. 2013). Ruf (2007) menduga bahwa harga cangkang yang tinggi yaitu sekitar Rp258.000,00 (18 US$) untuk ukiran, menjadi penyebab penurunan drastis organisme tersebut di perairan Sabah. Budidaya menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketersediaan komoditas tersebut namun hingga saat ini budidaya siput mata bulan di Indonesia masih belum dilakukan secara komersil. Hal ini disebabkan kurangnya informasi mengenai 2 metode budidaya pada khususnya budidaya pembenihan. Pembenihan siput mata bulan di Indonesia masih dalam tahapan awal pengembangan seperti yang dilakukan oleh BBIL LIPI Mataram. Pembenihan siput mata bulan masih mengalami kegagalan pada tahap pemijahan hingga perawatan larva. Pada tahap pemijahan sering dijumpai telur yang mengalami perkembangan yang tidak normal seperti sel telur yang belum matang, cangkang telur yang pecah dan sel telur yang rusak (Setyono et al. 2013). Pada fase larva sering ditemukan kematian yang cukup tinggi baik pada awal perkembangan (veliger) hingga akhir perkembangan larva. Hal ini dilaporkan oleh Kimani (1996) yang mengemukakan bahwa 58% dari 200 larva veliger T. agyrostomus yang dipelihara pada media tanpa substrat mengalami kematian pada 2 hari dan 6 hari setelah pembuahan serta tidak ditemukan individu yang mengalami metamorfosis sampai 7 hari. Beberapa larva veliger bermetamorfosis atau mengalami kematian antara 6–10 hari setelah pembuahan. Menurut Sugama et al. (2007) bahwa masalah yang sering dihadapi pada pembenihan abalon (Haliotis sp.) yaitu kematian yang sangat tinggi terjadi pada stadia post larva mulai menempel dan pada saat juvenil dipindahkan dari substrat ke tempat pembesaran. Fase larva merupakan masa transisi yang dimana penanganan yang keliru dan perubahan kondisi lingkungan perairan dapat memicu kematian larva yang berdampak langsung terhadap kuantitas serta kualitas benih yang dihasilkan. Zupo dan Patti (2009) mengemukakan bahwa konsentrasi pakan yang lebih tinggi memicu pertumbuhan larva siput Nassarius reticulatus yang lebih cepat sedangkan penurunan kualitas air dapat memicu mortalitas yang tinggi. Suhu dan salinitas merupakan parameter kualitas air yang berperan penting terhadap proses fisiologis siput mata bulan sehingga berdampak terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Suhu berperan dalam mendukung metabolisme larva, pada suhu yang optimum dapat meningkatkan nafsu makan larva sehingga berimplikasi terhadap performa larva. Grubert dan Ritar (2004) mengemukakan bahwa perkembangan larva abalon H. rubra dan H. Zaevigata juga tergantung pada perbedaan kumulatif antara suhu dan BZP (biological zero point). Pada fase anakan, siput mata bulan juga dipengaruhi oleh suhu sehingga cenderung lebih cepat tumbuh pada suhu 26±0,5 °C dan diduga berhubungan dengan daya konsumsi pakan harian yang tinggi (Hamzah 2015). Sedangkan pada larva kerang mutiara (Pinctada maxima), suhu 28±0,5 oC memberikan pengaruh terbaik terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva (Hamzah et al. 2016a). Selain suhu, salinitas juga berperan langsung terhadap proses osmoregulasi larva siput mata bulan. Perubahan salinitas dapat mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi khususnya dalam menyeimbangkan tekanan osmosis tubuh dan lingkungan sehingga berdampak terhadap pembagian energi. Semakin tinggi jumlah energi yang digunakan untuk menyeimbangkan tekanan osmosis maka semakin sedikit pula cadangan energi yang dapat dimanfaatkan larva untuk bergerak mencari substrat yang cocok untuk menempel maupun untuk kebutuhan biologis lainnya (Amin et al. 2016). Lakshmi dan Rao (2000) mengemukakan bahwa salinitas tinggi mengakibatkan lebih banyak senyawa beracun pada siput T. intercostalis yang diduga disebabkan oleh perubahan osmoregulasi, metabolisme atau karena stres pada hewan. Interaksi suhu 28±0,5 ºC dan salinitas 32±1 ppt memberikan persentase kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva kerang mutiara tertinggi dengan menunjukkan peningkatan aktifitas enzim protease dan kandungan CaCO3 yang lebih tinggi dibandingkan 3 perlakuan lainnya (Hamzah et al. 2016b). Freije dan Awadh (2010) juga melaporkan bahwa T. coronotus telah diidentifikasi memiliki kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh pada jaringan tubuhnya serta faktor lingkungan khususnya pakan, salinitas dan suhu dapat mempengaruhi komposisi asam lemak organisme tersebut. Kajian serupa yang telah terpublikasi mengenai perkembangan larva siput mata bulan sudah sering dilakukan antara lain pengaruh faktor nutrisi pada T. cornutus (Hayakawa et al. 2008; Hayakawa et al. 2010), perkembangan larva dan pertumbuhan juvenil T. argyrostomus (Kimani 1996), pemijahan dan perkembangan embriogenisis T. chrysostomus (Setyono et al. 2013) dan lain sebagainya. Namun kajian menyangkut pengaruh kualitas air pada khususnya suhu dan salinitas terhadap larva siput mata bulan (T. chrysostomus) belum dilakukan, sehingga penelitian ini perlu untuk dilaksanakan.

1.2 Perumusan Masalah Budidaya pembenihan siput mata bulan sering mengalami kegagalan akibat perubahan kualitas air pada khususnya suhu dan salinitas yang menyebabkan abnormalitas pada telur dan larva, perkembangan larva yang terhambat dan mortalitas. Mortalitas yang tinggi terjadi pada saat metamorfosis sehingga fluktuasi suhu dan salinitas pada media pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap produksi siput mata bulan. Suhu yang optimum dapat meningkatkan nafsu makan larva sehingga berimplikasi terhadap performa pertumbuhan. Pada fase anakan, siput mata bulan menunjukkan daya konsumsi pakan dan laju pertumbuhan cangkang tertinggi pada suhu 26±0,5°C. Selain suhu, salinitas juga berperan penting terhadap proses fisiologi larva. Perubahan salinitas dapat mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi khususnya dalam proses osmoregulasi sehingga berdampak terhadap pembagian energi. Semakin tinggi jumlah energi yang digunakan untuk menyeimbangkan tekanan osmosis maka semakin sedikit pula sisa energi yang dapat dimanfaatkan untuk metamorfosis maupun untuk kebutuhan biologis lainnya. Salinitas tinggi mengakibatkan lebih banyak senyawa beracun yang disebabkan oleh perubahan fisiologis dan stres pada hewan. Pada larva kerang mutiara, suhu 28±0,5ºC dan salinitas 32±1 ppt memberikan persentase kelangsungan hidup dan pertumbuhan tertinggi dengan menunjukkan peningkatan aktifitas enzim protease dan kandungan CaCO3. Suhu dan salinitas merupakan parameter kualitas air yang berperan penting terhadap produksi siput mata bulan, sehingga dari hal tersebut perlu untuk mengevaluasi suhu dan salinitas optimum dalam mendukung pembenihan siput mata bulan.

1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi suhu dan salinitas optimum bagi pemeliharaan larva siput mata bulan.

1.4 Manfaat Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi suhu dan salinitas optimum dalam pemeliharaan larva siput mata bulan serta diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam mendukung pembenihan siput mata bulan. 4

1.5 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: a Suhu dan salinitas pada media pemeliharaan larva memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup larva siput mata bulan. b Suhu dan salinitas pada media pemeliharaan larva memberikan pengaruh yang berbeda terhadap performa pembesaran juvenil siput mata bulan.

5

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Siput mata bulan dikenal dengan nama internasional yellow-mouth turban atau gold-mouth turban dan di Indonesia dikenal sebagai siput bulan (Ambon) dan siput mata lembu (Pelabuhan Ratu dan Pangandaran, Jawa Barat) (Arifin 1994). Siput ini masuk dalam filum moluska dari famili (Setyono 2013). Famili Turbinidae memiliki karakteristik yaitu bentuk cangkang bicarinate, pseudo- proboscis yang sangat berkembang dan karakter radular. Selain itu, habitat juga dapat menjadi karakter diagnostik, misalnya yang hidup pada perairan dangkal (Turbo, Astralium, Tegula, Prisogaster) dan perairan dalam (mis. Guildfordia) serta genera yang menyebar di daerah beriklim sedang atau kutub (misalnya Margarit) dan daerah tropis (mis. Turbo dan Astralium) (Williams et al. 2008). Menurut Setyono et al. (2013); Fukuda (2017) klasifikasi siput mata bulan antara lain: Dunia : Animalia Filum : Moluska Kelas : Ordo : Archaeogastropoda Famili : Turbinidae Genus : Turbo Spesies : Turbo chrysostomus

2.2 Morfologi dan Anatomi Cangkang siput mata bulan memiliki ukuran panjang anterio-posterior (tinggi) yang lebih besar dari pada lebar serta berwarna coklat muda diselingi jalur berwarna coklat dan hijau dengan spiral yang berduri sedangkan bagian dalam cangkang berwarna perak keemasan (Setyono et al. 2013). Bagian luar cangkang berwarna kecoklatan atau berwarna krem, sering ditemukan berwarna marmer dengan garis-garis aksial berwarna coklat gelap atau hijau. Bukaan cangkang berwarna oranye terang keemasan dengan garis putih. Panjang cangkang siput dewasa bervariasi antara 3,5–8 cm (Santhanam 2018). Kimani (1996) menambahkan bahwa cangkang juvenil T. argyrostomus yang dipelihara dengan ganggang hijau, berwarna hijau muda sementara siput yang dipelihara dengan alga merah dan gabungan diet alga hijau dan merah menunjukkan cangkang yang berwarna hijau muda dengan bercak kemerahan. Sedangkan juvenil yang dikumpulkan dari karang memiliki bercak merah dengan bercak kehijauan pada cangkang. Ukuran cangkang dapat mencapai 6 cm dan dilengkapi operkulum yang berwarna coklat-oranye atau hijau tua (Arifin 1994; Setyono et al. 2013). Warna cangkang tergantung pada diet alga namun tetap bervariasi tergantung pada spesies gastropoda tersebut. Warna cangkang siput yang dipelihara pada alga merah atau kombinasi merah dan hijau adalah sama, sedangkan siput yang dipelihara pada alga hijau saja memiliki warna cangkang yang berbeda. Juvenil T. marmoratus yang dipelihara dengan alga hijau, Ulva pertusa menghasilkan cangkang yang berwarna hijau, dan siput yang dipelihara dengan pakan diatom menghasilkan cangkang yang berwarna putih (Kimani 1996). Operkulum pada beberapa kelompok organisme hanya terdiri dari materi keras sedangkan yang lain mengandung kalsium karbonat. Turbo menyimpan bahan kapur ke dalam operkulum, yang sebagian diselimuti dan 6 disematkan oleh jaringan kaki. Ketika kaki ditarik, operkulum menutup pintu cangkang seperti menyumbat dengan bahan kapur yang keras (Heller 2015). Arifin (1994) menambahkan bahwa operkulum berfungsi untuk melindungi siput mata bulan dari serangan predator.

Gambar 1 Morfologi dan anatomi siput mata bulan (dimodifikasi dari Lee et al. (2014) Invertebr. Reprod. Dev. 58(1):23-33).

Tubuh siput mata bulan terdiri dari badan atau kaki sebagai alat gerak, kepala yang dilengkapi tentakel dan sepasang mata (Arifin 1994). Siput mata bulan memiliki organ pencernaan yang melingkar-lingkar dan dapat diidentifikasi dengan mudah, umumnya organ pencernaan berwarna coklat dan menempati sepertiga tubuhnya. Siput jantan dapat dibedakan dengan betina. Siput jantan memilik gonad berwarna putih hingga putih susu, sedangkan betina memiliki gonad berwarna hijau sampai hijau tua (Merdekawati 2013). Mantel merupakan kulit yang berfungsi untuk memproduksi cangkang dan terdiri atas dua bagian yaitu mantel sebenarnya dan mantel pinggir yang juga mampu mengeluarkan materi berkapur. Pada bagian rongga mantel terdapat insang (pada siput primitif, terdapat sepasang). Selain itu, beberapa spesies memiliki papila dorsal eksternal yang mungkin membantu pertukaran gas ketika hewan terendam, sehingga berfungsi sebagai insang. Insang berfungsi sebagai alat respirasi dengan ukuran yang panjang dan terdiri atas selaput daun yang dilapisi silia dibagian atasnya, sehingga dapat menciptakan arus yang agak kuat (Heller 2015). Hewan bertubuh lunak ini menggunakan tekanan darah dan otot mereka untuk menggerakkan organ yang berbeda. Hewan ini bergerak menggunakan kaki yang berupa otot yang lebar dan rata serta berperan dalam melakukan penempelan pada batu dan substrat (Santhanam 2018). Gonad jantan berbentuk seperti pipa dengan panjang sekitar 3–5 mm dan berwarna jingga muda sedangkan pada betina berbentuk lebar dengan ukuran 15–20 mm (Arifin 1994).

2.3 Makanan dan Kebiasaan Makan Siput mata bulan selama masa hidupnya merupakan herbivora sejati. Pada fase veliger dan juvenil makanan yang biasa dimakan yaitu diatom jenis Nitzschia, Navicula, dan Oscillatoria (Soekendarsi 2018). Pada fase juvenil hingga dewasa siput mata bulan termasuk hewan herbivora yang memakan mikroalga (rumput laut renik) yang tumbuh pada batuan dan karang mati. Pada akuarium, siput mata bulan dapat mencerna makroalga terutama dari jenis alga hijau (Enteromorpha, Monastroma) dan alga merah (Gracilaria, Hypnea dan Eucheuma). Jenis makroalga yang paling disukai adalah jenis alga Gelidium (Arifin 1994). Ridwanudin et al. (2016) menyatakan bahwa rumput laut Gracilaria sp. sebagai 7 sumber pakan lebih efisien untuk abalon daripada siput mata bulan. Namun, berat tubuh siput mata bulan yang diberi pakan Gracilaria sp. lebih tinggi dibandingkan dengan pakan Ulva spp. dan Kappaphycus alvarezii. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kandungan protein Gracilaria sp. telah dilaporkan pada kisaran 11,27–21,54% bahan kering. Selama pemeliharaan intensif, pemberian pakan makroalga pada juvenil T. marmoratus menghasilkan peningkatan pertumbuhan hingga 4 kali lipat dibandingkan dengan pemberian pakan diatom sesil (Kimani 1996). Lebih lanjut Hayakawa et al. (2010) menyatakan bahwa alga jenis Cocconeis spp. merupakan sumber makanan penting untuk juvenil awal siput turban karena mengandung lebih dari 50% dari total diatom Gelidium elegans, dengan dinding sel diatom yang rusak ditemukan pada feses juvenil awal. Hayakawa et al. (2018) melaporkan bahwa pertumbuhan juvenil siput turban yang diberi pakan alga G. elegans menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan juvenil yang diberikan alga Ecklonia cava. Perubahan makan dari diatom ke makroalga pada siput turban diperkirakan saat memasuki ukuran 1,25–2,90 mm. Pada siput T. cornutus, G. elegans terbukti berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber pakan yang cocok untuk juvenil (Hayakawa et al. 2010; Hayakawa et al. 2012). Kebiasaan makan gastropoda sangat bervariasi seperti grazing, memakan suspensi, scavengers, detritivora, dan karnivora. Gastropoda herbivora terutama pemakan alga, dilengkapi radula yang kuat (Santhanam 2018). Siput biasanya aktif makan pada malam hari (gelap) dengan cara keluar dari persembunyiannya dan memotong makanan (grazing) dengan gigi parutnya (Setyono 2006). Perilaku makan T. smaragdus tergantung pada tipe habitat dan ketersediaan alga. Mereka lebih memilih memakan sumber makanan yang tersedia, daripada hanya terbatas pada jenis makanan tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa T. smaragdus mencari makan dengan cara memotong (grazing) di permukaan bongkahan karang yang ditumbuhi mikroalga sebagai daerah habitatnya (Alfaro et al. 2007). Hayakawa et al. (2013) menyatakan bahwa sifat hidup siput mata bulan lebih condong berkelompok pada dasar wadah maupun tempat berlindung (shelter) dan mencari makan dengan cara memotong (grazing), kemudian menyebar hingga ke permukaan wadah uji.

2.4 Habitat dan Penyebaran Siput mata bulan menempati habitat pantai berbatu dan memiliki terumbu karang dengan topografi yang beragam serta kaya akan mikroalga yang tumbuh pada substrat batu kapur; kemiringan pantai tidak terlalu curam dengan kedalaman kurang dari 20 m dan arus yang kuat tanpa adanya aliran sungai besar dan polusi (Arifin 1994). Ettinger-Epstein dan Kingsford (2008) melaporkan bahwa Turbo umumnya jarang atau tidak ditemukan pada kedalaman lebih dari 10 m dan sedikit yang pernah ditemukan di habitat tandus tanpa celah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat perbedaan besar antara ukuran yaitu siput paling kecil (<50 mm) ditemukan di perairan dangkal (2–4 m). Hal ini disebabkan habitat di perairan dangkal memiliki ketersediaan makanan dan tempat berlindung yang berlimpah. Siput besar (>50 mm) ditemukan di semua habitat dan bergerak hingga jarak 30 m dalam waktu 1 bulan sedangkan yang berukuran kecil jarang keluar dari habitat alga dan bergerak hingga jarak maksimum 40 m dalam waktu 1 bulan. Siput hijau (T. marmoratus) mendiami habitat yang sama dengan gastropoda besar lainnya seperti trochiids, Trochus niloticus dan Tectus pyramis, dan turbinids seperti T. 8 argyrostomus. Meskipun tingkat tumpang tindih antara habitat yang ditempati oleh gastropoda ini belum terdefinisi dengan jelas, mereka lebih menyukai lingkungan terumbu karang yang sehat serta perairan bersih dan berarus. Siput dewasa ditemukan pada pucuk karang dari kedalaman 1–5 m, meskipun mereka juga ditemukan di perairan yang lebih dalam. Mereka biasanya beristirahat di siang hari dengan berlindung di bawah terumbu karang atau pada celah maupun cekungan karang (Yamaguchi 1997). Siput mata bulan (T. chrysostomus) ditemukan hidup berdampingan dengan beberapa spesies lain yaitu kelas Nematoda, Oligochaeta, Polichaeta, Diptera, Crustacea, dan spesies gastropoda lainnya seperti T. argyrostomus yang hidup atau tumpang tindih di area yang sama dengan siput mata bulan. Diduga, beberapa jenis krustasea adalah predator, sedangkan hewan-hewan dari kelas Polichaeta dan Diptera, dianggap sebagai salah satu makanan siput mata bulan yang dicerna saat merumput pada waktu makan (Soekendarsi 2018). Wernberg et al. (2010) melaporkan bahwa T. torquatus ditemukan sebagai inang epiflora yang kaya dan terdiri atas 13 spesies makroalga foliosa yang berbeda pada setiap individu. Secara umum, T. undulatus yang berukuran kecil lebih banyak ditemukan pada habitat terstruktur biogenik intertidal daripada siput besar sedangkan daerah habitat yang tidak terstruktur hanya memiliki sedikit individu yang berukuran lebih kecil dari 8 mm (Smoothey 2013). T. brunneus ditemukan hidup dengan makroalga jenis Rhodophyta seperti Hypnea sp. Ceramiton miniatum dan Gracilaria sp. Selain itu, mereka juga ditemukan hidup dengan alga jenis Chlorophyta seperti Ulva lactuca dan Chaetomorpha torta (Ramesh dan Ravichandran 2008). Komunitas ganggang gelidiacean juga merupakan habitat penting bagi juvenil dengan tinggi cangkang >10 mm (Fujita et al. 1990 dalam Hayakawa et al. 2008). Alfaro et al. (2007) menyatakan bahwa T. smaragdus memiliki pola penyebaran yang luas pada habitat yang berbeda (substrat keras dan lunak), dan merupakan hewan herbivora. Siput hijau remaja dengan tinggi cangkang kurang dari 75 mm hanya ditemukan di dalam celah kecil pada zona pasang surut dari dataran-dataran karang terbuka yang menghadap ke lautan. Siput muda dan dewasa dengan tinggi cangkang lebih dari 100 mm hanya ditemukan pada lereng terumbu pada zona subtidal (Kikutani et al. 2002). Siput mata bulan memiliki penyebaran yang luas, dari lautan India bagian Barat sampai ke Kenya dan Kepulauan Seychelles sampai ke Pantai Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Pasifik Barat meliputi Vanuatu, Kepulauan Solomon, Papua New Guinea, Indonesia, Malaysia, dan Filipina serta ke bagian utara Kepulauan Ryukyu, Jepang. Di Indonesia banyak terdapat di Perairan Kawasan Timur seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian jaya (Arifin 1994; Ubaidillah et al. 2013). Menurut Yamaguchi (1997) Siput hijau (T. marmoratus) umumnya tersebar pada seluruh wilayah Indo-Pasifik di Samudra Hindia Barat (Seychelles, Chagos, Andaman dan Pulau Nicobar), di seluruh Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Thailand dan Filipina) ke Pasifik Selatan, sampai bagian timur Fiji.

2.5 Reproduksi Siput hijau (T. marmoratus) bersifat dioecious (jenis kelamin terpisah antara jantan dan betina). Secara alami, proporsi individu jantan dan betina adalah sama (Komatsu et al. 1995). Gonad berwarna keputihan pada jantan dan hijau gelap pada betina terletak di ujung posterior bagian tubuh lunak, dekat dengan kelenjar 9 pencernaan. Pemijahan alami siput hijau di daerah subtropis terjadi selamat musim panas dari Juni hingga September di belahan bumi utara (Kimani 1996), tetapi di perairan tropis, pemijahan dapat terjadi beberapa kali sepanjang tahun (Dwiono et al. 2001). Pada T. cornutus di Chikura, diameter telur yang matang berkisar antara 160–240 μm dengan rata-rata 200 μm, dan proporsi terbesar memuncak pada bulan Juli kemudian menurun dari September hingga Oktober. Pemijahan terjadi pada bulan Agustus dan September, meskipun puncak pemijahan dapat bervariasi dari tahun ke tahun (Lee et al. 2014). Foster et al. (1999) menyatakan bahwa T. sarmaticus yang hidup di sepanjang Pantai Tenggara Afrika Selatan, memiliki siklus reproduksi yang berbeda yaitu dengan gametogenesis yang terjadi sejak Maret/April hingga Agustus/September, sementara kematangan (indeks gonad = 15%) dipertahankan hingga Desember, setelah pemijahan terjadi hingga Maret. Pada T. marmoratus, kematangan gonad kemungkinan tidak dapat disinkronkan pada seluruh ovarium. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih tepat pada proses pematangan (misalnya Vitellogenesis) untuk menjelaskan kemungkinan perbedaan berat jenis oosit di antara bagian dalam ovarium (Komatsu et al. 1995). T. sarmaticus dengan ukuran panjang cangkang kurang dari 50 mm tidak pernah ditemukan mengalami matang gonad, sehingga di bawah ukuran tersebut dianggap sebagai juvenil. Siklus reproduksi T. sarmaticus kemungkinan berkaitan dengan kecenderungan suhu permukaan laut, karena suhu dianggap sebagai faktor perangsang pemijahan pada banyak invertebrata (Foster 1997). Selain itu, peluang keberhasilan reproduksi tergantung pada kepadatan dan kedekatan antar siput dewasa maupun pergerakan air yang terjadi pada saat pemijahan (Ramesh et al. 2010). Ward dan Davis (2002) melaporkan bahwa di Wales Selatan Baru bagian selatan, T. torquatus dapat memijah secara tidak lengkap dan mengalami lebih dari satu kali fase pemijahan per tahun. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada organisme tersebut suhu tampaknya tidak memainkan peranan penting dalam merangsang pemijahan. Kerang maupun siput laut biasanya melepaskan sperma dan telur pada malam hari dengan pembuahan terjadi di luar tubuh atau di kolom air. Pada T. marmoratus, pemijahan terjadi menjelang senja dengan jantan memijah pertama, kemudian diikuti oleh betina (Dwiono et al. 2001). Kebiasaan memijah pada malam hari dan pada saat air laut pasang, diduga berkaitan dengan naluri mempertahankan diri, yaitu untuk menghindari telur dari ancaman predator, dan upaya penyebaran zigot secara luas melalui arus pasang (Setyono 2006).

2.6 Perkembangan Larva Telur dan sperma keluar berulang-ulang, dengan ditandai kontraksi tubuh siput ke dalam cangkang. Tahapan ini dapat berlangsung selama setengah jam. Telur yang keluar lebih berat daripada air laut, sehingga jika air tenang telur terlihat mengendap di bagian bawah wadah sementara di alam liar biasanya, telur-telur tersebut mudah sekali terdispersi (Yamaguchi 1997). Lee et al. (2014) menambahkan bahwa pada telur dengan ukuran besar yaitu diatas 140 μm mencapai puncaknya pada bulan Juli. Kemudian pada bulan Agustus terjadi penurunan ukuran dan setelah bulan September telur yang berukuran besar tidak ditemukan. Telur yang telah dibuahi akan mengalami proses embriogenesis yaitu dimulai dari pembelahan sel tahap satu (2 sel) yang terjadi 45 menit setelah pembuahan. Pembelahan 4 sel terjadi 15 menit kemudian dan pembelahan 8 sel terjadi setelah 30 menit berikutnya. Stadia gastrula dicapai pada 1 jam setelah stadia multi sel 10

(Setyono et al. 2013). Telur yang telah dibuahi menetas menuju ke fase trokofor sekitar 22 jam setelah pemijahan atau sekitar 5 jam setelah gastrula dengan suhu air antara 21 dan 23°C. Pada suhu 25°C fase tersebut berkurang hingga 12 jam.

Gambar 2 Perkembangan larva siput mata bulan (T. chrysostomus). (A) Siput dewasa; (B) sel telur dan sel sperma; telur yang telah terbuahi (C), pembelahan 2 sel (D), pembelahan 4 sel (E), morula (F), trokofor awal (G), trokofor akhir (H), veliger pratorsi (I), veliger pascatorsi awal (J), veliger pascatorsi akhir (K), dan juvenil yang telah bermetamorfosis (L) (Kimani (1996) The Graduate School of The University of The Ryukyus. 55pp).

Larva veliger dicapai sekitar 48 jam setelah pembuahan dengan ditandai larva yang terlihat berkerumun di dekat permukaan air. Larva veliger berwarna hijau seragam dengan sedikit tonjolan propodium (Kimani 1996). Perkembangan larva abalon (H. tuberculata coccinea) dari stadia tokofor ke torsi menunjukkan perbedaan dengan spesies abalon lainnya, karena pada stadia tersebut otot retraktor, dan gumpalan kaki sudah terbentuk. Selain itu penampakan bintik mata dapat diamati lebih awal yaitu sebelum fase torsi (De Vicose et al. 2007). Larva pediveliger dicapai pada hari ketiga dan sebagian besar mulai menempel di substrat pada hari keempat. Beberapa minggu kemudian, juvenil terlihat memakan mikroalga yang menempel pada batu karang dan substrat batu lainnya dan pada umur 6 bulan, juvenil dapat memakan potongan-potongan makroalga seperti Gelidium dan Monostroma (Arifin 1994; Yamaguchi 1997; Setyono et al. 2013). Larva Pediveliger membutuhkan substrat yang cocok untuk penyelesaian, yaitu substrat padat yang ditutupi dengan diatom sesil yang berlimpah (Dwiono et al. 2001). Metamorfosis terjadi pada 3–4 hari setelah pembuahan dengan adanya puing-puing karang yang menyebar pada ganggang merah. Juvenil yang telah bermetamorfosis kehilangan vela dan mengembangkan tentakel serta eyestalk (Kimani 1996).

2.7 Kualitas Air Suhu merupakan salah satu faktor kualitas air yang berperan penting terhadap proses metabolisme dan enzimatis. Umumnya suhu di perairan dipengaruhi oleh 11 radiasi matahari dan suhu udara serta dapat diprediksi berdasarkan musim dan lokasi (Boyd 2015). Anakan siput mata bulan memiliki variasi yang cukup tinggi terhadap suhu. Pertumbuhan anakan siput mata bulan cenderung lebih cepat dipelihara pada media yang bersuhu 26 ± 0,5°C dan diduga berkaitan dengan tingginya daya konsumsi pakan harian. Kisaran suhu antara 25,5–28,5°C adalah sesuai dengan kehidupan jenis siput mata bulan (T. chrysostomus) (Hamzah 2015). Pada penelitian Ridwanudin et al. (2016) kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa suhu air dalam tangki percobaan bervariasi dari 23 hingga 26oC. Lah et al. (2017) menjelaskan bahwa preferensi suhu pada T. militaris dan L. undulata menunjukkan perbedaan secara substansial antara siklus siang dan malam. Dalam kisaran gradien suhu, kedua spesies dapat menunjukkan preferensi yang jelas untuk kisaran suhu yang sempit pada siang hari (T. militaris, rata-rata pada 22°C dan L. undulata, 24°C) sedangkan pada malam hari (T. militaris, 24°C dan L. undulata, 26°C). Hal ini menunjukkan bahwa kedua siput turban memiliki preferensi suhu yang lebih tinggi selama siklus malam. Suhu adalah salah satu faktor kualitas air yang berperan dalam mendukung kehidupan T. niloticus, terutama dalam konsumsi oksigen. Siput tersebut dapat bertahan pada suhu 28– 34oC dan suhu 31oC merupakan suhu optimum bagi aktivitas dan pertumbuhan. Perbedaan suhu juga mempengaruhi pertumbuhan, terutama berkaitan dengan kelimpahan dan kualitas pakan alami (Yi dan Lee 1997). Salinitas merupakan salah satu faktor kualitas air yang berperan dalam proses osmoregulasi dan enzimatis siput mata bulan. Salinitas mengacu pada konsentrasi total semua ion dalam air. Konsentrasi salinitas dalam miligram per liter biasanya adalah 95% atau lebih dari total padatan terlarut dalam sampel air (Boyd 2015). Siput mata bulan ditemukan hidup pada salinitas 32–33 ppt di Perairan Pelabuhan Ratu (Soekendarsi 2018). Pada abalon hybrid (persilangan H. squamata jantan dan H. asinina betina), salinitas 30–36 ppt merupakan salinitas optimum untuk mendukung perkembangan stadia, metamorfosis dan pertumbuhan larva sampai juvenil (umur 35 hari). Penurunan salinitas berdampak terhadap penurunan osmoregulasi hemolim, hemolim klorida (Cl-), hemolim sodium (Na+) dan potasium (K+) serta memerlukan waktu untuk menstabilkan maupun menyeimbangkan tekanan osmotik (Amin et al. 2016). Dolorosa et al. (2013) melaporkan bahwa salinitas 30–35 ppt berada dalam kisaran optimal untuk kebutuhan Trochus dan karena itu tidak mungkin mengalami penurunan pertumbuhan. Kandungan oksigen dan suhu air, tidak menjadi faktor pembatas yang penting untuk aktivitas siput Prosobranchia. Siput ini membutuhkan DO minimal 5 mg L-1 atau lebih, dan hanya beberapa jenis yang masih bertahan pada kadar DO lebih rendah dari 2 mg L-1. pH umumnya berkisar antara 6,7–9,0. Namun, siput sangat menyukai perairan yang memiliki pH berkisar antara 7,0–8,4. Ketika pH lebih rendah dari kisaran ini, pertumbuhan cangkang dapat terganggu dan bahkan mengalami kerusakan. Alkalinitas akan baik bila kandungan kalsium karbonat dalam air berada dalam kisaran 200–600 mg L-1. Sedangkan kalsium karbonat yang lebih rendah dari 200 mg L-1dapat menyebabkan stres pada siput (Soekendarsi 2018). Lebih lanjut Onitsuka et al. (2014) mengemukakan bahwa perkembangan embrio dan larva yang lambat pada air laut yang diasamkan dapat meningkatkan resiko pemangsaan, kegagalan migrasi dan menyebabkan perubahan drastis kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas, atau turbulensi air. 12

III METODE

1.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada 30 Agustus hingga 30 November 2019 bertempat di Laboratorium Balai Bio Industri Laut (BBIL), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mataram.

1.2 Materi Uji Materi uji yang digunakan pada penelitian ini yaitu larva siput mata bulan (T. chrysostomus) yang telah mencapai stadia veliger pratorsi awal. Larva diperoleh dari hasil pemijahan induk siput mata bulan (T. chrysostomus) yang diperoleh di Perairan Lombok Utara.

1.3 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan penelitian ini yaitu menggunakan Rancangan Faktorial (Two Way Anova) untuk menganalisis interaksi suhu dan salinitas terhadap performa organisme uji. Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini yang meliputi faktor suhu dan salinitas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perlakuan dan ulangan pada penelitian

Suhu (oC) Ulangan Salinitas (ppt) B1 (29±0,5) B2 (32±0,5) B3 (35±0,5) A1 (27±0,5) 1 A1B1.1 A1B2.1 A1B3.1 2 A1B1.2 A1B2.2 A1B3.2 3 A1B1.3 A1B2.3 A1B3.3 A2 (30±0,5) 1 A2B1.1 A2B2.1 A2B3.1 2 A2B1.2 A2B2.2 A2B3.2 3 A2B1.3 A2B2.3 A2B3.3

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan interaksi 2 perlakuan suhu dan 3 perlakuan salinitas serta diulang sebanyak 3 kali ulangan. Selanjutnya media percobaan yang terdiri atas 18 unit tersebut diacak.

1.4 Prosedur Kerja Prosedur kerja terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap persiapan; seterilisasi; penumbuhan pakan; pemijahan dan penebaran larva; dan perlakuan yang diberikan.

3.4.1 Persiapan Tahap persiapan dimulai dengan mengamplas wadah penelitian dan plat (media penempelan larva) hingga agak kasar. Hal ini bertujuan untuk memudahkan penempelan Navicula sp. yang digunakan sebagai pakan alami. Plat yang digunakan berupa media fiber berwarna putih dengan ukuran 25 x 20 cm (panjang x lebar). Setelah melakukan pengamplasan, wadah penelitian dan 13 plat tersebut dibersihkan hingga steril dan dibiarkan hingga kering. Setelah itu, 3 unit plat digantung pada masing-masing wadah penelitian dan kemudian melakukan pengisian air laut yang telah disterilkan.

3.4.2 Sterilisasi Air Laut Media Percobaan Air laut yang dijadikan sebagai media percobaan disterilisasi mulai dari penampungan air (tower) hingga dialirkan masuk ke dalam wadah penelitian melalui UV dan pada ujung selang dipasang kantung saringan (filter bag). Dengan perlakuan ini, media air yang digunakan bersih dan terhindar dari kotoran atau partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan larva.

3.4.3 Penumbuhan Pakan Penumbuhan pakan dilakukan sekitar 2 minggu sebelum penebaran larva dengan mengkultur pakan alami jenis Navicula sp. pada wadah penelitian. Pakan yang ditumbuhkan pada media dikultur dengan menambahkan 1 mL L-1 pupuk cair jenis KW21 dan ditambahkan lampu LED 15 W untuk merangsang pertumbuhan diatom tersebut. Pupuk KW21 merupakan pupuk komersil dengan kandungan 49 g L-1 nitrogen (N), 4 g L-1 asam fosforik (P), boron, mangan, besi, zink, kobal, EDTA, asam amino kompleks, campuran vitamin (B1, B12, biotin, dan lain-lain) (Mukhlis et al. 2017). Untuk menjaga ketersediaan pakan pada media percobaan maka pakan diberikan sebanyak 200.000 sel setelah pergantian air.

3.4.4 Pemijahan dan Penebaran Larva Teknik pemijahan dimodifikasi dari metode yang digunakan oleh Setyono et al. (2013) yaitu induk yang telah dibersihkan cangkangnya ditempatkan ke dalam wadah plastik kapasitas 20 L dan dilengkapi dengan aerasi kuat selama 30 menit. Kemudian induk dirangsang dengan perlakuan desikasi yaitu induk dibiarkan tanpa air selama 15 menit sebagai rekayasa kondisi surut terendah yang terjadi di alam. Setelah itu melakukan pengisian bak pemijahan dengan air laut yang steril dan menempatkan induk ke dalam bak pemijahan tersebut. Induk yang terdiri dari 16 individu betina dan 22 individu jantan ditempatkan ke dalam wadah pemeliharaan dengan diberi aerasi kecil dan tanpa diberi pakan. Pemijahan terjadi sekitar pukul 19.30 WITA dengan induk jantan terlebih dahulu mengeluarkan sperma berwarna bening dan kemudian disusul induk betina yang mengeluarkan telur berwarna hijau. Setelah induk memijah, selanjutnya telur dan sperma diaduk pelan-pelan serta dibiarkan selama ±30 menit. Telur yang telah terbuahi kemudian disaring menggunakan saringan bertingkat, yaitu saringan yang disusun bertumpuk mulai dari bawah ke atas dengan ukuran lubang saringan masing-masing 45 µm, 60 µm, dan 280 µm. Telur dihitung dengan mengambil 3 sampel menggunakan pipet tetes dengan volume masing-masing 1 mL. Estimasi jumlah telur dalam wadah ditentukan dengan menghitung volume air berisi telur (mL) dikalikan jumlah rata-rata telur per mL. Selanjutnya melakukan pengamatan perkembangan embriogenesis yaitu dari tahap pembuahan hingga mencapai tahap veliger pratorsi awal. Setelah mencapai stadia veliger pratorsi awal kemudian 14

melakukan pendederan ke dalam wadah penelitian yang telah diberikan perlakuan suhu dan salinitas dengan padat penebaran 10.000 individu/60 L air.

3.4.5 Perlakuan yang Diberikan Penelitian ini mencakup 3 stadia pengamatan antara lain stadia I (larva veliger pratorsi hingga juvenil 20 hari), stadia II (juvenil 20 hari hingga juvenil 40 hari) dan stadia III (juvenil 40 hari hingga juvenil 60 hari). Pada stadia I, media percobaan diberikan perlakuan interaksi suhu dan salinitas selama 20 hari. Wadah penelitian yang diberikan perlakuan suhu 27 ± 0,5oC dan 30 ± 0,5oC diatur menggunakan heater. Salinitas air laut yang diperoleh selama stadia I yaitu 35 ppt sehingga untuk mengatur salinitas pada perlakuan 32 ± 0,5 ppt dan 29 ± 0,5 ppt yaitu dengan melakukan pengenceran menggunakan penambahan air tawar. Adapun metode pengenceran mengacu pada Winanto et al. (2009) yaitu: ( 1 1) + ( 2 2) = 1 + 2 𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑉𝑉 𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑉𝑉 Keterangan: 𝑆𝑆 S : salinitas yang diinginkan (ppt)𝑉𝑉 𝑉𝑉 S1 : salinitas air laut (ppt) S2 : salinitas air tawar (0 ppt) V1 : volume air laut (L) V2 : volume air tawar (L)

Pada stadia II dan III, juvenil dipelihara pada wadah pemeliharaan yang sama seperti pada stadia I namun air laut yang digunakan tidak diberikan perlakuan suhu dan salinitas yang berbeda yaitu sesuai dengan kondisi asli perairan. Kisaran suhu dan salinitas pada stadia II yaitu 25,17–27,83oC dan 34,00–36,00 ppt, dan stadia III yaitu 25,83–29,00oC dan 34,00–36,00 ppt.

3.5 Parameter Uji Parameter uji pada penelitian ini meliputi karakteristik induk; pola pertumbuhan; daya tetas telur; perkembangan larva; laju pertumbuhan harian; tingkat kelangsungan hidup; dan kualitas air.

3.5.1 Karakteristik Induk Karakteristik induk meliputi bobot basah, panjang cangkang dan lebar cangkang. Pengukuran bobot basah dilakukan dengan menimbang induk menggunakan timbangan analitik. Pengukuran panjang dan lebar cangkang induk siput mata bulan menggunakan caliper digital. Metode pengukuran panjang dan lebar cangkang induk siput mata bulan disajikan pada Gambar 3. 15

A B

Gambar 3 Pengukuran lebar dan panjang cangkang induk siput mata bulan (T. chrysostomus). Lebar cangkang (A) dan panjang cangkang (B). (Dimodifikasi dari Hamzah (2015) JITKT. 7(1):299-308).

3.5.2 Pola Pertumbuhan Pola pertumbuhan siput mata bulan meliputi pertumbuhan panjang, lebar dan bobot dianalisis menggunakan persamaan regresi linear (Hamzah 2015).

Y = a + bX Keterangan: Y : variabel respons (dependent) A : Konstanta B : koefisien regresi X : variabel faktor penyebab (independent)

3.5.3 Daya Tetas Telur Daya tetas telur merupakan persentase perbandingan antara jumlah telur yang menetas dengan jumlah total telur yang telah terbuahi. Adapun rumus untuk menghitung daya tetas telur mengacu pada Sudarmawan et al. (2013) yaitu: T1 DT = 100 T0 Keterangan: 𝑥𝑥 DT : daya tetas telur (%) T0 : jumlah telur yang telah terbuahi (individu) T1 : jumlah larva yang telah menetas (individu)

3.5.4 Perkembangan Larva Perkembangan larva meliputi waktu pencapaian stadia, pertumbuhan panjang cangkang dan silia, serta daya penempelan larva. a) Waktu Pencapaian Stadia Waktu pencapaian stadia dapat diartikan sebagai lama waktu yang dibutuhkan larva dalam mencapai stadia perkembangan. Analisis waktu pencapaian stadia larva dimodifikasi dari Mccormick et al. (2016) yaitu dengan melakukan identifikasi dan kemudian menghitung jumlah larva pada stadia 16

tersebut. Larva telah memasuki suatu stadia perkembangan apabila >50% dari jumlah total. Setelah larva memasuki suatu stadia maka kemudian mengidentifikasi dan menghitung waktu perkembangan organ pada stadia tersebut (De Vicose et al. 2007). Pengamatan waktu pencapaian stadia dilakukan pada masing-masing perlakuan suhu dan salinitas.

b) Pertumbuhan Cangkang dan Silia Pertumbuhan mutlak larva veliger meliputi pertumbuhan panjang cangkang dan panjang silia. Metode pengukuran panjang cangkang dan silia disajikan pada Gambar 4. B

A A

B

Gambar 4 Pengukuran panjang cangkang dan silia larva siput mata bulan. Panjang cangkang (A), panjang silia (B). (Dimodifikasi dari Cubillos et al. (2007) Mar. Freshwater Res. 58:1152–1161).

Pertumbuhan mutlak larva veliger siput mata bulan dihitung dengan menggunakan rumus yang digunakan oleh Amin et al. (2016) yaitu:

PM = L1 L0

Keterangan: − PM : pertumbuhan mutlak (µm) L1 : panjang rerata pada akhir pengamatan (µm) L0 : panjang rerata pada awal pengamatan (µm)

c) Daya Penempelan Larva Daya penempelan larva dihitung pada hari ke 2 (48 jam) dan hari ke 3 (72 jam) setelah pembuahan. Daya penempelan larva siput mata bulan dihitung dengan menggunakan rumus yang digunakan oleh Hayakawa et al. (2008) yaitu: Np DP = × 100 Nt Keterangan: DP : daya penempelan (%) Np : jumlah larva yang menempel di plat (individu) Nt. : jumlah larva total pada plat dan kolom air (individu)

3.5.5 Laju Pertumbuhan Harian Laju pertumbuhan harian larva siput mata bulan dihitung dengan menggunakan rumus yang digunakan oleh Noble et al. (2015) yaitu: 17

(Ln L1 Ln L0) LPH = x 100 T − Keterangan: LPH : laju pertumbuhan harian (%) L1 : panjang rerata pada akhir pengamatan (µm) L0 : panjang rerata pada awal pengamatan (µm) T : waktu pengamatan (hari) Ln : logaritma natural

3.5.6 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup larva siput mata bulan hingga juvenil 60 hari dihitung dengan menggunakan rumus yang digunakan oleh Hamzah et al. (2016a) yaitu: N1 SR = × 100 N0 Keterangan: TKH : kelangsungan hidup (%) N1 : jumlah larva atau juvenil akhir pengamatan (individu) N0 : jumlah larva atau juvenil awal pengamatan (individu)

3.5.7 Kualitas Air Pengukuran parameter kualitas air yaitu salinitas, suhu, pH dan DO dilakukan sebelum dan sesudah pergantian air sedangkan fosfat, nitrat dan nitrit dilakukan pada akhir penelitian (stadia I).

3.6 Analisis Data Data hasil penelitian dengan interaksi perlakuan suhu dan salinitas yang berbeda dianalisis menggunakan rancangan faktorial (Hanafiah 2014). Selanjutnya bila perlakuan suhu dan salinitas menunjukkan respon yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Data pertumbuhan, daya penempelan larva dan kelangsungan hidup dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) sedangkan data karakteristik induk, daya tetas telur, perkembangan stadia, dan kualitas air dianalisis secara deskriptif. Analisis data penelitian dibantu dengan program IBM SPSS Statistics Version 23.

18

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil 4.1.1 Karakteristik Induk dan Daya Tetas Telur Induk yang memijah berjumlah 38 individu dengan 16 betina dan 22 jantan dipelihara pada bak kontainer kapasitas 45 L. Pemijahan terjadi pada 30 September 2019 pukul 19.30 WITA dengan induk jantan terlebih dahulu mengeluarkan sperma berwarna bening dan kemudian disusul oleh induk betina yang mengeluarkan telur berwarna hijau. Telur yang terbuahi berjumlah 1.946.000 butir ditebarkan pada bak kontainer kapasitas 45 L air. Telur yang menetas berjumlah 656.000 dengan daya tetas telur yaitu 33,71%. Kisaran kualitas air media inkubasi telur antara lain: salinitas 34–35 ppt, suhu 26–28oC, dan pH 8. Adapun karakteristik induk yang diamati mencakup bobot, panjang cangkang dan lebar cangkang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik induk siput mata bulan

No Parameter Rata-Rata Min Max SB 1 Bobot (g) 46,69 32,00 72,74 10,25 2 Panjang (mm) 52,06 37,34 62,65 4,64 3 Lebar (mm) 32,26 20,82 38,36 3,11 Keteangan: Min (nilai minimum); Max (nilai maksimum); dan SB (simpangan baku).

Hubungan panjang bobot dan panjang lebar induk siput mata bulan disajikan pada Gambar 5.

PB: y = 1,9221x + 53,375 R2 = 0,7574

Bobot (gr)

PL: y = 0,3251x + 15,336 ● -- : panjang-bobot (PB) R2 = 0,2353 ● -- : panjang-lebar (PL)

Panjang cangkang (mm)

Gambar 5 Hubungan panjang bobot (PB) dan panjang lebar (PL) induk siput mata bulan. Hasil analisis hubungan panjang bobot menunjukkan bahwa pola pertumbuhan siput mata bulan bersifat allometri minor (b<3) dengan nilai determinasi (R2) yaitu 0,7574 yang berarti bahwa penambahan panjang 19 cangkang (X) berpengaruh terhadap bobot (Y) sebesar 75,74% sedangkan sisanya 24,26% dipengaruhi oleh variabel lain diluar persamaan. Hasil analisis hubungan panjang lebar cangkang menunjukkan bahwa pola pertumbuhan siput mata bulan bersifat allometri minor (b<3) dengan nilai determinasi (R2) yaitu 0,2353 yang berarti bahwa penambahan panjang cangkang (X) berpengaruh terhadap lebar cangkang (Y) sebesar 23,53% sedangkan sisanya 76,47% dipengaruhi oleh variabel lain diluar persamaan.

4.1.2 Perkembangan Embriogenesis dan Larva Hasil pengamatan perkembangan embriogenesis siput mata bulan hingga mencapai stadia trokofor disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perkembangan embriogenesis siput mata bulan

No Stadia Keterangan 1 Telur yang terbuahi Berbentuk bulat dan dilapisi dengan lapisan jeli dengan diamer 230,09 ± 17,47 µm 2 Pembelahan 2 sel Membelah membentuk 2 bagian 3 Pembelahan 4 sel Membelah membentuk 4 bagian 4 Pembelahan 8 sel Membelah membentuk 8 bagian 5 Multisel Telur membelah membentuk 16 bagian atau lebih 6 Morula Menghasilkan blastomer yang berukuran kecil 7 Gastrula Silia sudah mulai terbentuk 8 Trokofor Silia sudah jelas terlihat, dan cangkang protoconch I sudah mulai terbentuk

Hasil pengamatan ukuran panjang cangkang larva siput mata bulan pada kondisi suhu dan salinitas yang berbeda disajikan pada Gambar 6. 600 550 500 450 : A1B1 400 : A1B2 : A1B3 350 : A2B1 Panjang cangkang (µm) 300 : A2B2 : A2B3 250 V1 V2 V3 PV J -- Stadia perkembangan

Gambar 6 Perkembangan ukuran panjang cangkang larva siput mata bulan hingga stadia juvenil. Veliger pratorsi (V1), veliger pascatorsi awal (V2), veliger pascatorsi akhir (V3), pediveliger (PV), juvenil umur 20 hari (J), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A1B1), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A1B2), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A1B3), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 20

0,5 ppt (A2B1), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A2B2), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A2B3).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan suhu dan salinitas berkontribusi terhadap variasi ukuran panjang cangkang larva siput mata bulan. Perkembangan larva dimulai dari stadia veliger pratorsi dengan ukuran rata-rata panjang cangkang yaitu 250,24 ± 28,52 µm (rata-rata ± SB). Pada stadia veliger pascatorsi awal, panjang cangkang tertinggi yaitu 269,11 ± 34,81 µm (A1B3) dan terendah 256,52 ± 30,21 µm (A2B1). Pada stadia veliger pascatorsi akhir, panjang cangkang tertinggi yaitu 280,87 ± 33,16 µm (A1B3) dan terendah 261,96 ± 26,46 µm (A2B1). Pada stadia pediveliger, panjang cangkang tertinggi yaitu 328,44 ± 32,92 µm (A1B3) dan terendah 300,30 ± 29,94 µm (A2B1). Pada stadia juvenil umur 20 hari, panjang cangkang tertinggi yaitu 537,63 ± 99,75 µm (A1B3) dan terendah 461,36 ± 92,19 µm (A1B1). Hasil pengamatan waktu pencapaian stadia larva siput mata bulan berdasarkan pengaruh suhu dan salinitas yang berbeda disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Waktu pencapaian stadia larva siput mata bulan

Waktu (jam.menit) Perkembangan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 Veliger pratorsi 11.36 11.36 11.36 11.36 11.36 11.36 Silia yang sudah terlihat jelas 11.36 11.36 11.36 11.36 11.36 11.36 Cangkang yang sudah melapisi 14.46 14.35 14.23 14.40 14.36 14.30 Gumpalan kaki yang berkembang 14.46 14.35 14.23 14.40 14.36 14.30 Otot retraktor yang sudah terlihat 14.46 14.35 14.23 14.40 14.36 14.30 Eyespot 16.46 16.36 16.23 16.40 16.36 16.30 Veliger pascatorsi awal 20.30 19.49 19.36 20.28 19.50 19.40 Cangkang yang sudah terbentuk sempurna 20.30 19.49 19.36 20.28 19.50 19.40 Veliger pascatorsi akhir 23.25 22.48 22.36 23.20 22.54 22.50 Operkulum 26.56 26.19 26.07 26.51 26.25 26.21 Kaki yang sudah terbentuk 28.25 27.48 27.36 28.20 27.54 27.50 Propodium yang sudah terlihat 36.55 36.18 36.06 36.50 36.24 36.20 Keterangan: suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A1B1), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A1B2), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A1B3), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A2B1), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A2B2), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A2B3).

Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p>0,05) sedangkan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan (p<0,05) terhadap pertumbuhan mutlak panjang cangkang dan silia larva veliger siput mata bulan sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan untuk 21 mengevaluasi pengaruh salinitas terbaik pada masing-masing suhu pemeliharaan (Gambar 7).

40 b b b 30 b 20 a a PC 10 : B1 0 : B2 : B3 -10

-20 PS Pertumbuhan mutlak (µm) Pertumbuhan b b -30 a a a a -40 A1 A2 Perlakuan

Gambar 7 Pertumbuhan mutlak panjang cangkang (PC) dan panjang silia (PS). Suhu 27 ± 0,5°C (A1), suhu 30 ± 0,5°C (A2), salinitas 29 ± 0,5 ppt (B1), salinitas 32 ± 0,5 ppt (B2), salinitas 35 ± 0,5 ppt (B3). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada suhu A1 dan A2, salinitas B3 dan B2 memberikan respon terbaik dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan B1. Berbeda dengan pertumbuhan cangkang, pertumbuhan silia menunjukkan pola pertumbuhan negatif. Pada suhu A1 dan B3, salinitas B3 dan B2 memberikan respon pertumbuhan negatif tertinggi dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan salinitas B1.

Gambar 8 Hubungan panjang cangkang (PC), panjang silia (PS), daya penempelan larva pada 48 jam (DP 48), 72 jam (DP 72), laju pertumbuhan harian (LPH), dan tingkat kelangsungan hidup (TKH). 22

Analisis korelasi menunjukkan bahwa panjang cangkang (PC) berkorelasi positif dengan daya penempelan larva pada 48 jam (DP 48), 72 jam (DP 72), laju pertumbuhan harian (LPH), dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) namun berkorelasi negatif dengan PS. Panjang silia (PS) berkorelasi negatif dengan DP 48, DP 72, LPH, dan TKH. Daya penempelan larva pada 48 jam (DP 48) dan 72 jam (DP 72) masing-masing menunjukkan korelasi positif dengan LPH dan TKH. Laju pertumbuhan harian (LPH) menunjukkan korelasi positif dengan TKH. Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan (p<0,05) terhadap daya penempelan larva siput mata bulan sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengevaluasi pengaruh suhu dan salinitas terbaik (Gambar 9).

80 d d c c b

60 a c c b 40 b b : A1B1 : A1B2 a : A1B3 20 : A2B1 Daya penempelan larva penempelan (%) Daya : A2B2 : A2B3 0 DP 48 DP 72 Waktu (jam)

Gambar 9 Daya penempelan larva pada 48 jam (DP 48), dan 72 jam (DP 72). Suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A1B1), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A1B2), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A1B3), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A2B1), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A2B2), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A2B3). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada waktu 48 dan 72 jam, perlakuan A1B3 dan A1B2 memberikan respon terbaik terhadap daya penempelan larva siput mata bulan dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan A2B1 memberikan respon terburuk dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Analisis korelasi hubungan daya penempelan larva (DP) dengan laju pertumbuhan harian (LPH), dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) pada masing-masing stadia pemeliharaan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hubungan DP dengan LPH dan TKH

Korelasi Stadia I Stadia II Stadia III DP x LPH 0,610* 0,549* 0,834** DP x TKH 0,896** 0,880** 0,834** Keterangan: korelasi cukup kuat (*), dan kuat (**) (Asuero et al. 2006).

23

4.1.3 Laju Pertumbuhan Harian Laju pertumbuhan harian dianalisis berdasarkan 3 stadia pengamatan dengan masa pemeliharaan masing-masing 20 hari. Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p>0,05) sedangkan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan (p<0,05) terhadap laju pertumbuhan harian siput mata bulan pada semua stadia pengamatan. Sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengevaluasi salinitas terbaik (Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12).

5 b 4 ab b a a a 3

2 : B1 : B2 1 : B3

Laju pertumbuhan harianLaju pertumbuhan (%) 0 A1 A2 Perlakuan

Gambar 10 Hasil uji Duncan pertumbuhan harian (LPH) larva siput mata bulan (stadia I). Suhu 27 ± 0,5°C (A1), suhu 30 ± 0,5°C (A2), salinitas 29 ± 0,5 ppt (B1), salinitas 32 ± 0,5 ppt (B2), salinitas 35 ± 0,5 ppt (B3).

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada suhu A1, perlakuan B3 memberikan respon terbaik terhadap laju pertumbuhan harian dan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2. Namun perlakuan B2 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B1. Pada suhu A2, perlakuan B3 juga memberikan respon terbaik terhadap laju pertumbuhan harian dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

5

4 b 3 b ab a b a 2 : B1 : B2 1 : B3

Laju pertumbuhan harianLaju pertumbuhan (%) 0 A1 A2 Perlakuan

Gambar 11 Hasil uji Duncan laju pertumbuhan harian (LPH) juvenil siput mata bulan (stadia II). Suhu 27 ± 0,5°C (A1), suhu 30 ± 0,5°C (A2), 24

salinitas 29 ± 0,5 ppt (B1), salinitas 32 ± 0,5 ppt (B2), salinitas 35 ± 0,5 ppt (B3).

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada suhu A1, perlakuan B3 memberikan respon terbaik terhadap laju pertumbuhan harian dan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2. Namun perlakuan B2 juga menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B1. Pada suhu A2, perlakuan B3 dan B2 memberikan respon terbaik terhadap laju pertumbuhan harian dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan B1.

5

4

3 b b b b 2 a a : B1 : B2 1 : B3

Laju pertumbuhan harianLaju pertumbuhan (%) 0 A1 A2 Perlakuan

Gambar 12 Hasil uji Duncan laju pertumbuhan harian (LPH) juvenil siput mata bulan (stadia III). Suhu 27 ± 0,5°C (A1), suhu 30 ± 0,5°C (A2), salinitas 29 ± 0,5 ppt (B1), salinitas 32 ± 0,5 ppt (B2), salinitas 35 ± 0,5 ppt (B3).

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada suhu A1 dan A2, perlakuan B3 dan B2 memberikan respon terbaik terhadap laju pertumbuhan harian dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan B1.

4.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup dianalisis berdasarkan 3 stadia dengan masa pemeliharaan masing-masing 20 hari. Analisis ragam pada ke 3 stadia menunjukkan bahwa suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan (p<0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup larva dan juvenil siput mata bulan. Sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengevaluasi suhu dan salinitas terbaik (Gambar 13). 25

c 80 c bc bc b ab 60 b a ab a a 40 a : A1B1 : A1B2 20 : A1B3 : A2B1 b c c a b b

Tingkat kelangsungan hidup (%) : A2B2 0 : A2B3

Stadia I Stadia II Stadia III

Gambar 13 Tingkat kelangsungan hidup siput mata bulan pada stadia umur. 20 hari pemeliharaan (Stadia I), 40 hari pemeliharaan (Stadia II), 60 hari pemeliharaan (Stadia III). Suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A1B1), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A1B2), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A1B3), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A2B1), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A2B2), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A2B3). Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa pada stadia I, perlakuan A1B3 dan A1B2 memberikan respon terbaik dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada stadia II, perlakuan A1B3 menunjukkan respon terbaik dan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan A1B2. Pada stadia III, perlakuan A1B3 menunjukkan respon terbaik dan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan A1B2.

4.1.5 Kualitas Air Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan salinitas tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p>0,05) terhadap pH, namun memberikan pengaruh 3- - - yang signifikan (p<0,05) terhadap fosfat (PO4 ), nitrat (NO3 ), nitrit (NO2 ), dan DO sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil uji Duncan rata-rata fosfat, nitrat, nitrit, pH dan DO pada stadia I

3- -1 - -1 - -1 Perlakuan PO4 (mg L ) NO3 (mg L ) NO2 (mg L ) pH DO (mg L-1) A1B1 0,46±0,04b 0,524±0,016a 0,027±0,001a 7,94±0,10a 4.75±0,02c A1B2 0,43±0,01a 0,615±0,006c 0,034±0,001c 7,91±0,08a 4.72±0,06c A1B3 0,48±0,02b 0,634±0,001c 0,034±0,002c 7,90±0,08a 4.74±0,05c A2B1 0,47±0,01b 0,574±0,020b 0,025±0,001a 7,94±0,09a 4.49±0,07b A2B2 0,41±0,01a 0,619±0,005c 0,030±0,003b 7,90±0,07a 4.35±0,08a A2B3 0,48±0,03b 0,625±0,006c 0,034±0,001c 7,93±0,08a 4.43±0,04b Keterangan: notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

26

Kondisi kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, pH dan DO pada masing-masing stadia pemeliharaan disajikan pada Gambar 14.

31 38 30 36 29 34 C) ° 28 32 27 30

Suhu ( 26 28 Salinitas (ppt)Salinitas 25 26 24 24 I II III 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 1 3 I5 7 9 11II13 15 17 19III21 23 Stadia A Stadia B

ǀ ▬ : A1B1 ǀ ▬ : A1B2 ǀ ▬ : A2B3 ǀ ▬ : A2B1 ǀ ▬ : A2B2 ǀ ▬ : A2B3 ǀ

8.1 5 8.05 4.9 8 4.8 4.7 7.95 4.6 7.9 4.5 pH 7.85 4.4 4.3 7.8 DO (mg/L) 4.2 7.75 4.1 7.7 4 I II III 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 1 3 I5 7 9 11II13 15 17 19III21 23 C D Stadia Stadia Gambar 14 Variasi suhu (A), salinitas (B), pH (C), dan DO (D) pada masing- masing stadia pemeliharaan. Suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A1B1), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A1B2), suhu 27 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A1B3), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 29 ± 0,5 ppt (A2B1), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 32 ± 0,5 ppt (A2B2), suhu 30 ± 0,5°C dan salinitas 35 ± 0,5 ppt (A2B3). Hasil analisis korelasi kanonik hubungan kualitas air terhadap performa larva siput mata bulan pada stadia I disajikan pada Gambar 15.

4 DP 48

3 Salinitas Nitrit TKH Nitrat 2 DP 72

1 LPH DO 1 PC J Fosfat PC PV -4 -3 -2 -1PC V2 PC V3 1 2 3 4 Axis -1 Suhu pH -2 PS V2 -3 PS V3 -4 Axis 1

Gambar 15 Hasil analisis korelasi kanonik hubungan kualitas air terhadap performa larva siput mata bulan (Stadia I). 27

Analisis korelasi kanonik menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara suhu dan pH air terhadap panjang silia. Suhu dan pH menunjukkan hubungan negatif terhadap LPH, TKH, daya penempelan dan panjang cangkang larva siput mata bulan. Sedangkan salinitas, nitrat, nitrit dan DO menunjukkan hubungan positif dengan LPH, TKH, daya penempelan dan panjang cangkang larva siput mata bulan serta menunjukkan hubungan negatif terhadap ukuran panjang silia. Analisis korelasi hubungan suhu, salinitas, pH, DO, laju pertumbuhan harian (LPH), dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) pada tahap pembesaran disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis korelasi hubungan parameter kualitas air, LPH dan TKH pada stadia pembesaran

Stadia II LPH TKH Suhu Salinitas pH TKH 0,635c Suhu 0,153a 0,048a Salinitas 0,008a -0,175a 0,104a pH -0,230a -0,342b 0,458b 0,067a DO -0.282a -0,375b 0,201a 0,449b -0,040a Stadia III LPH TKH Suhu Salinitas pH TKH 0,597c Suhu -0,026a -0,035a Salinitas -0,357b -0,334b 0,130a pH -0,382b -0,372b 0,480b 0,403b DO -0,323b -0,367b 0,134a 0,409b 0,127a Keterangan: korelasi sangat lemah (a), lemah (b), dan cukup kuat (c) (Asuero et al. 2006). LPH = laju pertumbuhan harian, TKH = tingkat kelangsungan hidup.

4.2 Pembahasan Induk siput mata bulan diperoleh di perairan Lombok Utara pada kedalaman sekitar 3–5 m. Siput dewasa dapat ditemukan pada pucuk karang dari kedalaman 1–5 m, meskipun dapat juga ditemukan di perairan yang lebih dalam (Yamaguchi 1997). Ettinger-Epstein dan Kingsford (2008) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara ukuran cangkang dan penyebaran, siput yang berukuran paling kecil (<50 mm) umumnya ditemukan di perairan yang lebih dangkal (2–4 m). Siput mata bulan mendiami habitat terumbu karang dan aktif mencari makan pada malam hari. Siput ini ditemukan pada celah batu karang dan hidup berdampingan dengan beberapa spesies lain dari Kelas Nematoda; Oligochaeta; Polichaeta; Diptera; Crustacea; dan Gastropoda lainnya seperti T. argyrostoma (Soekendarsi 2018). Siput mata bulan yang diperoleh memiliki karakteristik antara lain: berat 46,69 ± 10,25 g, panjang cangkang 52,06 ± 4,64 mm dan lebar cangkang 32,26 ± 3,11 mm. Ukuran rata-rata panjang cangkang yang diperoleh dapat dikategorikan sebagai ukuran induk dengan nilai yang hampir mendekati ukuran panjang cangkang maksimum yaitu 60 mm (Dwiono dan Makatipu 1997). Hasil analisis hubungan panjang bobot menunjukkan bahwa pola pertumbuhan siput mata bulan bersifat allometri minor (b<3) dengan panjang cangkang berpengaruh terhadap bobot total sebesar 76,47%. Hal ini didukung oleh 28

Hamzah (2016) yang memperoleh kondisi serupa pada siput mata bulan yang dipelihara pada padat penebaran yang berbeda dan Hamzah (2015) pada kondisi suhu yang berbeda. Pola pertumbuhan allometri minor mengindikasikan bahwa pertumbuhan panjang cangkang lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. Pola pertumbuhan serupa juga ditemukan pada siput gonggong (Strombus turturella) (Supratman et al. 2019). Hubungan panjang lebar cangkang siput mata bulan juga menunjukkan pertumbuhan allometri minor dengan panjang cangkang berpengaruh terhadap lebar cangkang sebesar 23,53%. Pola pertumbuhan allometri minor mengindikasikan bahwa pertumbuhan panjang cangkang lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan lebar cangkang. Secara keseluruhan, pertumbuhan siput mata bulan menunjukkan pertumbuhan panjang cangkang, bobot, dan kemudian lebar cangkang, maka dapat diasumsikan bahwa secara morfologi cangkang siput mata bulan memiliki bentuk yang cenderung memanjang dan agak ramping. Pola serupa juga ditemukan pada siput N. albicilla dan Patella nigra di Teluk Kota Zamboanga, Filipina yang juga menunjukkan hubungan panjang cangkang, lebar cangkang dan berat yang saling berkorelasi (Echem 2017). Walaupun demikian, lebar cangkang tidak selalu dipengaruhi oleh panjang cangkang (Eddiwan et al. 2017). Induk siput mata bulan yang memijah berjumlah 38 individu dengan 16 betina dan 22 jantan menghasilkan 1.946.000 butir telur dengan nilai daya tetas telur mencapai 33,71%. Presentase daya tetas telur yang diperoleh lebih tinggi dari Dwiono dan Makatipu (1997) yaitu 16,80%. Daya tetas telur diduga berkaitan dengan pemberian aerasi serta kondisi wadah inkubasi yang berupa bak kontainer sehingga telur banyak ditemukan mengendap di dasar dan akhirnya mengalami kerusakan. Rusaknya telur dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang mengerogoti telur dengan mengakibatkan habisnya kuning telur (Banne et al. 2017). Selain itu, kapasitas wadah inkubasi dan kepadatan telur juga dapat mempengaruhi daya tetas telur. Pada T. marmoratus yang diinkubasi pada tangki fiberglass persegi panjang kapasitas 2,25 ton dan dua tangki silinder kapasitas 2 ton menghasilkan rata-rata daya tetas telur mencapai 66,7% (Dwiono et al. 2001). Kondisi kualitas air media inkubasi telur masih mendukung dengan kisaran salinitas 34–35 ppt, suhu 26–28oC, dan pH 8. Hal ini didukung oleh Nasution dan Machrizal (2009) yang memperoleh daya tetas telur abalon yang tinggi pada salinitas 34–35 ppt dan suhu 26oC. Kisaran suhu 24–27oC masih mendukung inkubasi telur dan perkembangan larva T. argyrostomus (Kimani 1996). Nilai pH pada media inkubasi telur sama dengan yang diperoleh Banne et al. (2017) yaitu pH 8 dan kondisi tersebut masih mendukung pemeliharaan telur abalon. Siput mata bulan memijah pada 30 September 2019 pukul 19.30 WITA dengan induk jantan terlebih dahulu mengeluarkan sperma berwarna putih krem dan kemudian disusul oleh induk betina yang mengeluarkan telur berwarna hijau. Dwiono et al. (2001) menjelaskan bahwa sperma dikeluarkan sesekali setiap 5–10 menit. Sedangkan pemijahan pada betina terjadi secara intens dengan waktu yang sangat singkat (~30 menit). Pada abalon H. tuberculata, pemijahan terjadi selama 2 jam untuk betina sedangkan jantan membutuhkan waktu 1 jam 30 menit (De Vicose et al. 2007). Telur yang dihasilkan berbentuk bulat dan memiliki selaput bening yang berfungsi untuk menjaga telur agar tidak saling lengket satu sama lain. Selanjutnya, telur yang telah terbuahi akan mengalami proses pembelahan, sedangkan telur yang tidak terbuahi akan mengalami kerusakan (Banne et al. 2017). 29

Pemijahan yang terjadi 100% diduga berkaitan dengan musim pemijahan siput mata bulan. Kimani (1996) mengemukakan bahwa pemijahan alami siput hijau di daerah subtropis terjadi selama musim panas dari Juni–September di belahan bumi utara, sedangkan di perairan tropis, pemijahan dapat terjadi beberapa kali sepanjang tahun (Dwiono et al. 2001). Pada T. cornutus di Chikura, pemijahan terjadi pada bulan Agustus dan September, meskipun puncak pemijahan dapat bervariasi dari tahun ke tahun (Lee et al. 2014). Ward dan Davis (2002) menjelaskan bahwa T. torquatus memijah dua kali dalam se-tahun, dengan pemijahan tidak sama antara daerah bahkan dalam jarak puluhan kilometer. Telur siput mata bulan yang telah terbuahi berbentuk bulat dengan diameter telur yaitu 230,09 ± 17,47 µm (n=30). Diameter telur yang diperoleh hampir sama dengan yang diperoleh Dwiono dan Makatipu (1997) yaitu 0,22 mm. Sedangkan pada T. marmoratus diameter telur sedikit lebih besar yaitu 0,24 mm (Dwiono et al. 2001). Freeman (2001) mengemukakan bahwa telur yang layak dibuahi dari Greenlip dan Blacklip abalon biasanya berdiameter sekitar 250 μm. Sebagai perbandingan, telur dari abalon Roe adalah sekitar 220–250 μm, sedangkan abalon Donkey-ear sekitar 190 μm. Lebih lanjut dijelaskan bahwa telur yang berkualitas baik berwarna hijau, tenggelam di dasar dan tidak mengumpul. Banne et al. (2017) menjelaskan bahwa perbedaan diameter telur dapat dipengaruhi oleh jenis pakan induk dengan nutrisi yang paling berperan penting yaitu lemak dan protein. Lebih lanjut dijelaskan bahwa induk abalon yang diberi pakan G. verrucosa menghasilkan diameter telur tertinggi yaitu 166,66 μm. Pada H. coccinea tuberculata diameter telur dapat mencapai 205 ± 8 µm (De Vicose et al. 2007). Pada saat menjelang pemijahan, gonad mengalami kenaikan bobot yang disebabkan oleh bertambahnya ukuran oosit akibat akumulasi nutrien dalam proses pematangan. Komposisi “karkas” terutama lemak disimpan sebagai sumber nutrisi yang akan digunakan untuk perkembangan embrio (Litaay 2005). Proses gametogenesis bersifat kontinu dan lebih cepat daripada produksi oosit dengan kematangan gamet tergantung pada ketersediaan nutrisi (Ramesh et al. 2010). Pembelahan 2 sel dicapai sekitar 45 menit setelah pembuahan dan 27 menit kemudian terjadi pembelahan 4 sel. Hal ini sedikit berbeda dari Setyono et al. (2013) yang memperoleh pembelahan 2 sel terjadi pada 45 menit setelah pembuahan dan 15 menit kemudian memasuki pembelahan 4 sel. Setelah 24 menit dari pembelahan 4 sel, telur memasuki pembelahan 8 sel dan 1 jam kemudian masuk ke stadia multisel. Waktu pencapaian stadia embriogenesis yang diperoleh jauh lebih lambat dari T. marmoratus, dengan telur mengalami pembelahan sel pertama dalam waktu 5 menit setelah pembuahan. Tahap 4 sel, 8 sel dan 16 sel dicapai masing-masing 10 menit, 20 menit dan 45 menit setelah pembuahan (Dwiono et al. 2001). Perkembangan embriogenesis yang terhambat diduga berkaitan dengan rendahnya suhu Laboratorium pada saat pengamatan berlangsung yaitu sekitar 24oC. Hal ini didukung oleh Nasution dan Machrizal (2009) bahwa suhu dingin (20oC) dapat menyebabkan lambatnya masa inkubasi telur akibat proses metabolisme telur yang terhambat. Embrio mampu bertahan pada suhu tinggi sampai batas tertentu namun pada suhu yang rendah perkembangan embrio menjadi terhambat maupun terhenti (Przeslawski 2004). Selain suhu, perbedaan spesies juga sangat mempengaruhi waktu perkembangan embrio dan larva. Perkembangan embrio dan larva H. mariae lebih cepat daripada H. rufescens, H. midae, dan H. varia, namun lebih lambat dari H. asinina (Balkhair et al. 2016). 30

Setelah melewati tahap pembelahan sel, telur memasuki stadia grastula 1 jam kemudian dan 5 jam berikutnya memasuki stadia trokofor. Berbeda dengan jenis T. chrysostomus, T. argyrostomus menunjukkan waktu yang lebih lama yaitu stadia gastrula dicapai pada 5–6 jam dan trokofor pada 9–12 jam setelah pembuahan (Kimani 1996). Pada stadia tersebut, larva aktif bergerak menggunakan silia dengan cangkang yang sudah terbentuk. Cangkang tersusun dari lapisan organik yang tipis dan kemudian mengalami mineralisasi pada tahap veliger pratorsi akhir (Jardillier et al. 2008). Proses mineralisasi terus meningkat seiring perkembangan larva dengan ditandai peningkatan CaCO3 pada cangkang. Ion kalsium dan karbonat merupakan komponen penyusun cangkang yang paling penting. Ion kalsium dapat diserap dari air laut dan makanan (Furuhashi et al. 2009; Gaume et al. 2011). Marin et al. (2012) menjelaskan bahwa cangkang protoconch I merupakan cangkang awal yang dikembangkan pada tahap trokofor akhir; protoconch II dikembangkan selama tahap veliger, dan teleoconch dikembangkan setelah metamorfosis. Perkembangan cangkang teleoconch transparan dapat diamati pada 5 hari setelah metamorfosis, atau 8 hari setelah pemijahan (Kimani 1996). Perkembangan larva siput mata bulan diamati dari stadia veliger pratorsi hingga mencapai juvenil umur 20 hari berdasarkan kondisi suhu dan salinitas yang berbeda. Larva memiliki kebutuhan suhu dan salinitas yang berbeda pada setiap stadia perkembangan. Sehingga informasi mengenai suhu dan salinitas optimum pada tiap stadia perkembangan sangat dibutuhkan dalam rekayasa pembenihan (Dove dan O’Connor 2007). Stadia veliger pratorsi dicapai sekitar 11 jam 36 menit setelah pembuahan atau sekitar 3 jam setelah trokofor. Hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan Setyono et al. (2013) yang memperoleh stadia veliger awal pada 11 jam 45 menit setelah pembuahan atau sekitar 3 jam setelah trokofor. Pada stadia veliger pratorsi, cangkang sudah menutupi organ lunak dan kaki sudah mulai dikembangkan dengan otot retraktor yang sudah terlihat. Otot retraktor tersebut berfungsi untuk menggerakkan dan menarik kaki. Selain itu, pada stadia tersebut eyespot sudah terlihat dengan menyerupai bintik hitam kecil. Pada larva kerang mutiara (P. maxima), kemunculan eyespot mengindikasikan bahwa larva akan segera menuju stadia pediveliger dan siap untuk menempel (Hamzah et al. 2016a). Larva terlihat berwarna hijau seragam dengan tonjolan kecil dari propodium (Kimani 1996). Beberapa jenis abalon juga tidak menunjukkan perbedaan perkembangan larva dari tahap trokofor ke torsi yaitu pada stadia tersebut terjadi pembentukan otot retraktor yang diikuti oleh pembentukan kaki (De Vicose et al. 2007). Pada Polinices pulchellus, larva veliger yang baru menetas memiliki velum dua lobus, sepasang bintik mata, tentakel, dan statolit yang dapat dilihat melalui cangkangnya (Kingsley-Smith et al. 2005). Larva veliger pratorsi sudah membentuk cangkang dengan panjang 250,24 ± 28,52 µm dan terlihat aktif berenang menggunakan silia. Ukuran panjang cangkang larva veliger pratorsi hampir sama dengan larva Tegula funebralis yaitu 200 ± 10 µm (Guzman del Proo et al. 2006). Ukuran panjang cangkang larva veliger siput mata bulan lebih kecil dari T. cornotus (270 ± 6 µm) dan T. stenogyrus (328 ± 7 µm) (Kono dan Yamakawa 2002). Namun lebih besar dari T. argyrostomus yaitu 170–180 µm (Kimani 1996). Pada stadia veliger pascatorsi awal, larva sudah memiliki bentuk cangkang yang sempurna. Larva masih bersifat lechitropic yaitu tidak memerlukan makanan dari luar dan secara pasif mengikuti pergerakan air (Banne et al. 2017). Moran dan 31

Manahan (2003) menjelaskan bahwa, dari komponen endogen yang digunakan sebagai sumber energi pada perkembangan larva invertebrata laut, lipid umumnya dianggap lebih penting daripada protein dan karbohidrat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran panjang cangkang tertinggi 269,11 ± 34,81 µm (A1B3) dan terendah 256,52 ± 30,21 µm (A2B1). Hal ini mengindikasikan bahwa suhu 26,5–27,5oC dan salinitas 34,5–35,5 ppt merupakan kisaran suhu dan salinitas optimum dalam mendukung performa panjang cangkang larva veliger pascatorsi awal. Kondisi ini hampir sama dengan larva D-veliger P. imbricate yang juga menunjukkan ukuran panjang cangkang tertinggi pada suhu 26oC dengan salinitas 35 ppt dan terendah pada suhu 26oC dengan salinitas 29 ppt (O'Connor dan Lawler 2004). Variasi ukuran panjang cangkang disebabkan oleh laju metabolisme larva yang terus mengalami peningkatan seiring meningkatnya suhu hingga mencapai batas optimum (28oC) dan selanjutnya mengalami penurunan pada suhu di atasnya (Winanto et al. 2009). Pada stadia veliger pascatorsi akhir, larva sudah mengembangkan operkulum, kaki, propodium, dan sepasang tentakel kepala. Pada N. reticulatus, kaki terlihat membesar selama masa hidup larva dan propodium berpigmen muncul di permukaan ventral proksimal kaki serta menjadi semakin jelas pada tahap metamorfosis (Zupo dan Patti 2009). Larva veliger masih mengkonsumsi kuning telur sehingga pakan yang telah diberikan, akan dimanfaatkan ketika larva bermetamorfosis. Kebiasaan makan tersebut serupa dengan siput abalon, siput turban dan beberapa jenis gastropoda lainnya (Freeman 2001; Salaz-Garza et al. 2009). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ukuran panjang cangkang larva veliger pascatorsi akhir tertinggi 280,87 ± 33,16 µm (A1B3) dan terendah 261,96 ± 26,46 µm (A2B1). Hal ini mengindikasikan bahwa pada stadia tersebut, cangkang larva siput mata bulan tumbuh dengan baik pada suhu yang cenderung rendah (26,5–27,5oC) dengan salinitas tinggi (34,5–35,5 ppt). Kondisi serupa terjadi pada larva P. maxima yang juga menunjukkan pertumbuhan panjang cangkang terbaik pada suhu 28oC dengan salinitas 32–34 ppt (Winanto et al. 2009). Nowland et al. (2019) mengemukakan bahwa peningkatan ukuran panjang cangkang larva D- veliger disebabkan oleh peningkatan suhu dan salinitas yang mencapai nilai optimum yaitu 32°C dan 32 ppt. Waktu pencapaian stadia merupakan lama waktu yang dibutuhkan larva untuk mencapai suatu stadia perkembangan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan A1B3 memberikan waktu pencapaian stadia veliger pascatorsi awal dan akhir tercepat yaitu masing-masing 19 jam 36 menit dan 22 jam 36 menit setelah pembuahan. Sedangkan perlakuan A1B1 memberikan waktu pencapaian stadia veliger pascatorsi awal dan akhir terlama yaitu masing-masing 20 jam 30 menit dan 23 jam 25 menit setelah pembuahan. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran suhu 26,5–27,5oC dan salinitas 34,5–35,5 ppt merupakan kondisi terbaik dalam mendukung waktu pencapaian stadia larva siput mata bulan. Kondisi serupa juga terjadi pada larva kerang mutiara (P. maxima) yang menunjukkan waktu pencapaian stadia tercepat pada suhu 28oC dengan salinitas 32–34 ppt (Winanto et al. 2009). Tidak hanya pada stadia larva, suhu dan salinitas juga berpengaruh terhadap perkembangan embrio S. plicata. Suhu rendah (18oC) dan salinitas tinggi (34 ppt) menghasilkan waktu penetasan yang lebih lama (13 jam). Sedangkan pada suhu tinggi (22oC) dan salinitas tinggi (34 ppt), perkembangan embrio menjadi lebih singkat (10–11 jam) (Thiyagarajan dan Qian 2003). Lebih lanjut Nowland et 32 al. (2019) mengemukakan bahwa kisaran suhu ekstrim (<20°C) dan salinitas ekstrim (<14 dan >36 ppt) mengakibatkan larva mengalami stres dan mati dengan menunjukkan kerusakan pigmen pada sistem pencernaan. Pertumbuhan panjang cangkang dan silia larva siput mata bulan merupakan perubahan ukuran panjang cangkang dan silia larva pada stadia veliger pratorsi hingga mencapai veliger pascatorsi akhir. Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh sedangkan salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan mutlak panjang cangkang dan silia larva veliger siput mata bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran suhu 26,5–30,5oC masih mendukung pertumbuhan panjang cangkang dan silia larva veliger. Kondisi serupa juga terjadi pada larva C. gigas yang menunjukkan laju pertumbuhan optimum pada kisaran suhu 27–32°C (Rico-Villa et al. 2009). Terlepas dari faktor suhu, perbedaan salinitas 3 ppt memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan cangkang dan silia. Analisis Duncan menunjukkan bahwa pada semua suhu percobaan, salinitas B3 dan B2 memberikan respon terbaik dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan terendah (B1). Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran salinitas 31,5–35,5 ppt merupakan kisaran salinitas optimum dalam mendukung pertumbuhan panjang cangkang larva veliger siput mata bulan. Dove dan O'Connor (2007) juga melaporkan bahwa salinitas 34 ppt dan suhu 28oC merupakan kondisi optimum dalam mendukung pertumbuhan larva D-veliger Saccostrea glomerate. Berbeda dengan pertumbuhan panjang cangkang, pertumbuhan silia mengalami penurunan tertinggi pada salinitas B3 dan B2. Pertumbuhan panjang cangkang berkorelasi negatif dengan pertumbuhan silia. Semakin bertambah ukuran panjang cangkang maka panjang silia akan semakin berkurang. Ukuran panjang cangkang dan silia mempengaruhi aktivitas berenang larva veliger, sehingga berimplikasi langsung terhadap daya penempelan larva. Walaupun demikian, ukuran larva atau frekuensi getaran silia dan kecepatan pada stadia tertentu tidak menunjukkan korelasi yang kuat (Chan et al. 2013). Ukuran panjang cangkang menunjukkan korelasi positif dengan laju pertumbuhan harian (LPH) dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) larva siput mata bulan. Sedangkan panjang silia menunjukkan korelasi negatif dengan LPH dan TKH. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar ukuran panjang cangkang larva awal maka semakin tinggi respon pertumbuhan dan daya tahan tubuhnya sehingga berimplikasi terhadap respon pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Pachenik dan Levine (2007) melaporkan bawah ukuran panjang cangkang larva Crepidula fornicata mempengaruhi laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup. Larva yang berukuran lebih besar cenderung menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding larva yang berukuran kecil. Larva yang tumbuh lebih lambat akan mengalami kematian yang tinggi dibanding larva yang tumbuh lebih cepat. Lambatnya pertumbuhan mengakibatkan terhambatnya proses metamorfosis sehingga berimplikasi terhadap mortalitas (Bergenius et al. 2002). Daya penempelan larva merupakan persentase perbandingan antara jumlah larva yang menempel dengan jumlah larva keseluruhan. García-Lavandeiraetal et al. (2005) mengemukakan bahwa permasalahan dalam budidaya moluska sangat berkaitan dengan penyelesaian larva dan metamorfosis. Sehingga persentase penyelesaian dan metamorfosis larva dianggap sangat penting dalam kajian akuakultur (Cann-Moisan et al. 2002). Suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap daya penempelan larva siput mata bulan. Hal ini serupa 33 dengan Dove dan O'Connor (2007) yang juga melaporkan bahwa suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap daya penempelan larva S. glomerate. Analisis Duncan menunjukkan bahwa pada waktu 48 dan 72 jam, perlakuan A1B3 dan A1B2 memberikan respon terbaik terhadap daya penempelan larva siput mata bulan. Sedangkan perlakuan A2B1 memberikan respon terburuk dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran salinitas 31,5–35,5 ppt dan suhu 26,5–27,5oC merupakan kisaran salinitas dan suhu optimum dalam mendukung daya penempelan larva siput mata bulan. Hasil yang diperoleh hampir sama dengan larva kerang T. gigas yang juga menunjukkan laju penempelan tercepat pada salinitas yang lebih tinggi yaitu 34 ppt (50 ± 6,5%) dan terendah pada salinitas 18 ppt (24,1 ± 6,4%) (Sayco et al. 2019). Montory et al. (2014) juga melaporkan bahwa pada perairan yang lebih dalam, larva veliger C. peruviana melakukan migrasi ke kolom air untuk mencari salinitas yang lebih tinggi (30–32 ppt). Selain salinitas, suhu juga berperan penting terhadap daya penempelan larva siput mata bulan. Kisaran suhu 26,5–27,5oC menghasilkan persentase daya penempelan tertinggi. Hasil yang diperoleh serupa dengan larva C. gigas yang mengalami penempelan tertinggi pada suhu 27oC (Rico-Villa et al. 2009). Ketersediaan dan jenis pakan alami juga mempengaruhi laju penempelan larva. Daya penempelan larva T. cornotus sangat dipengaruhi oleh dua spesies alga merah yaitu jenis M. crassissima dan G. elegans. Tingginya daya penempelan diduga disebabkan oleh kandungan dan jenis bahan kimia pada permukaan alga merah (Hayakawa et al. 2007). Kandungan unsur biokimia seperti biofilm yang terdapat pada lingkungan, memainkan peran penting dalam merangsang laju penempelan dan metamorfosis larva P. fucata (Yu et al. 2010). Daya penempelan larva menunjukkan korelasi positif dengan LPH dan TKH. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi daya penempelan larva maka semakin tinggi pula laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup juvenil. Larva yang lebih cepat bermatamorfosis akan lebih cepat makan dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dibanding larva yang lebih lambat dalam bermetamorfosis, sehingga berimplikasi terhadap meningkatnya laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup juvenil. Daume et al. (2000) menjelaskan bahwa polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan oleh Navicula sp. memberikan pengaruh terhadap daya penempelan larva H. rubra. Larva yang lebih cepat dalam menempel menghasilkan ukuran cangkang post-larva yang lebih besar dengan kelangsungan hidup tertinggi. Lebih lanjut Gallardo dan Buen (2003) melaporkan bahwa larva H. asinina yang diberi pakan Navicula sp. menghasilkan daya penempelan, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil yang lebih tinggi dibanding juvenil yang diberi pakan jenis lainnya. Stadia pediveliger dicapai pada 2–4 hari setelah pemijahan yang ditandai dengan perubahan kebiasaan hidup larva dari fase plantonik yang masih melayang menuju ke fase bentik yang sudah mendiami substrat. Selain itu, larva pediveliger juga menunjukkan perubahan kebiasaan makan, dari endogenous feeding (memakan kuning telur) menuju ke eksogenous feeding (memakan diatom). Metamorfosis biasanya terjadi dengan cepat, namun pada saat itu larva sangat rentan terhadap pemangsaan dan membutuhkan banyak asupan nutrisi (Kingsley- Smith et al. 2005). Sehingga dalam pembenihan siput mata bulan, perlu menyediakan plat yang telah ditumbuhi Naviculla sp, sebagai tempat menempel 34 dan makan larva. Hal tersebut merupakan bentuk rekayasa dari kehidupan alami mereka. Pada habitatnya, larva abalon akan mengendap di permukaan biofilm (Freeman 2001). Terlepas dari jenis substrat atau plat yang digunakan, penambahan diatom memberikan respons positif terhadap proses metamorfosis (Gapasin dan Polohan 2005; Salaz-Garza et al. 2009). Pada tahap tersebut juga, cangkang dan kaki sudah mulai terbentuk sempurna serta larva juga sudah dilengkapi dengan sepasang tentakel kepala yang telah berkembang. Tentakel kepala berfungsi sebagai organ sensorik terhadap kondisi lingkungan (Wanichanon et al. 2004). Seperti halnya siput mata bulan, tentakel kepala awal pada H. gigantea juga dapat diamati setelah tahap metamorfosis (De Vicose 2011). Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan A1B3 memberikan dampak terbaik terhadap ukuran panjang cangkang stadia pediveliger yaitu 328,37 ± 36,18 µm sedangkan yang terendah pada perlakuan A2B1 yaitu 300,17 ± 21.22 µm. Kondisi ini serupa dengan larva Crepipatella fecunda yang juga menunjukkan ukuran panjang cangkang larva pediveliger tertinggi pada salinitas 32 ppt. Sedangkan larva yang diberi perlakuan hiposalin ekstrim (salinitas 15 ppt) menunjukkan tingkat konsumsi pakan terendah dan berimplikasi terhadap pertumbuhan yang lebih rendah (Montory et al. 2014). Amin et al. (2016) juga melaporkan bahwa salinitas 30 ppt dan 36 ppt memberikan hasil terbaik dalam mendukung pertumbuhan panjang dan lebar cangkang larva abalon hybrid. Selain mendukung konsumsi pakan, suhu dan salinitas juga berperan penting dalam mendukung proses pembentukan cangkang. Kandungan unsur anorganik pada cangkang larva sangat dipengaruhi oleh peningkatan salinitas, tetapi tidak oleh peningkatan suhu. Suhu dan salinitas yang rendah dapat mengurangi sekitar 27% unsur anorganik cangkang (Bashevkin dan Pechenik 2015). Strasser et al. (2008) menjelaskan bahwa, suhu dan salinitas berperan penting dalam proses penyerapan ion sehingga berimplikasi terhadap proses pembentukan cangkang. Suhu mempengaruhi penyerapan unsur Ba sedangkan Mn dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Stadia juvenil diamati pada 20 hari setelah pemijahan, pada stadia tersebut organisme sudah mulai menyerupai induk dengan tentakel dan goresan cangkang yang sudah terlihat jelas. Cangkang terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan nakre tipikal yang tersusun dari periostrakum anorganik, lapisan prismatik yaitu lapisan luar yang dikalsifikasi, dan lapisan nakre yaitu lapisan dalam yang terkalsifikasi. Lapisan cangkang yang dikalsifikasi terdiri dari kalsit atau aragonit dan memiliki struktur mikro khusus yang dapat diidentifikasi (Furuhashi et al. 2009). Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan A1B3 memberikan dampak terbaik terhadap ukuran panjang cangkang stadia juvenil yaitu 537,63 ± 99,75 µm sedangkan yang terendah pada perlakuan A1B1 yaitu 461,36 ± 92,19 µm. Kondisi ini hampir sama dengan juvenil abalon hybrid yang juga menunjukkan panjang cangkang tertinggi pada salinitas 36 dan 33 ppt (Amin et al. 2016). Soria et al. (2007) mengemukakan bahwa panjang cangkang juvenil kerang Argopecten purpuratus menunjukkan peningkatan pada salinitas 34–38 ppt dan mengalami penurunan pada salinitas 42 ppt. Laju pertumbuhan harian dibagi atas 3 stadia umur dengan stadia I yaitu larva veliger hingga juvenil umur 20 hari yang diberi perlakuan suhu dan salinitas yang berbeda. Stadia II dan III merupakan uji pembesaran dalam kondisi lingkungan yang homogen. Pada stadia I, analisis ragam menunjukkan bahwa suhu tidak berpengaruh sedangkan salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju 35 pertumbuhan harian. Hal ini diduga bahwa kisaran suhu 26,5–30,5oC masih mendukung pertumbuhan larva siput mata bulan sehingga perbandingan antar keduanya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kondisi ini hampir sama dengan siput Babylonia areolate yang juga menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan larva yang optimum pada suhu 25–30oC (Xue et al. 2010). Bashevkin dan Pechenik (2015) melaporkan bahwa larva dan juvenil siput C. fornicate juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi meskipun tingkat pertumbuhan larva mulai menurun pada suhu 29°C. Berbeda dengan stadia larva, suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan anakan siput mata bulan dengan suhu optimum yaitu 25,5–26,5°C (Hamzah 2015). Laju pertumbuhan harian stadia I tertinggi pada suhu 27 ± 0,5oC (A1) tercatat pada salinitas B3 dan B2. Kondisi ini menunjukkan bahwa kisaran salinitas 31,5– 35,5 ppt memberikan pengaruh terbaik dalam mendukung pertumbuhan harian larva hingga juvenil umur 20 hari. Sedangkan pada suhu 30 ± 0,5oC (A2), salinitas B3 juga memberikan pengaruh terbaik namun menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini hampir sama dengan larva abalon hybrid yang juga menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan optimum pada salinitas 30–36 ppt dan T. niloticus pada salinitas 30–35 ppt (Gimin dan Lee 1997; Amin et al. 2016). Laju pertumbuhan harian terendah pada suhu 27 ± 0,5oC (A1) tercatat pada salinitas B1 dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan larva hingga juvenil umur 20 hari cenderung optimum pada kondisi salinitas tinggi dan salinitas rendah (28,5– 29,5 ppt) dapat menghambat laju pertumbuhan harian larva hingga juvenil umur 20 hari. Pada suhu 30 ± 0,5oC (A2), salinitas B1 juga menunjukkan performa terendah dan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2. Pertumbuhan harian larva yang rendah pada salinitas rendah diduga berkaitan dengan proses pembagian energi (Amin et al. 2016) dan proses biomineralisasi yang berimplikasi terhadap pembentukan cangkang. Seperti yang dilaporkan Bashevkin dan Pechenik (2015) bahwa interaksi salinitas dan suhu rendah dapat menyebabkan penurunan persentase kandungan anorganik pada larva siput C. fornicata. Perbedaan suhu dan salinitas juga telah dilaporkan dapat berimplikasi terhadap komposisi unsur kimia cangkang larva dan juvenil M. arenaria (Strasser et al. 2008). Salinitas rendah menunjukkan tingkat konsumsi pakan terendah dan berimplikasi terhadap pertumbuhan cangkang yang lambat (Montory et al. 2014). Laju pertumbuhan harian pada stadia II dan III merupakan tahap pembesaran juvenil pada kondisi lingkungan yang seragam dan bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh suhu dan salinitas pada masa pemeliharaan larva terhadap performa pembesaran. Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh sedangkan salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan harian juvenil siput mata bulan. Hasil yang diperoleh didukung oleh Ban et al. (2014) bahwa suhu dan salinitas selama periode inkubasi memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan larva, bahkan ketika larva dikultur dalam kondisi lingkungan yang sama. Analisis Duncan menunjukkan bahwa pada semua suhu percobaan, salinitas B3 dan B2 memberikan respon terbaik terhadap laju pertumbuhan harian juvenil siput mata bulan stadia II dan III. Hal ini mengindikasikan bahwa salinitas optimum pada masa pemeliharaan larva (31,5– 35,5 ppt) memberikan performa terbaik dalam mendukung pembesaran juvenil siput mata bulan. Hamzah (2016b) mengemukakan bahwa interaksi suhu 28 ± 0,5ºC 36 dan salinitas 32 ± 1 ppt pada masa pemeliharaan larva memberikan performa pertumbuhan terbaik pada tahap pembesaran spat kerang mutiara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kecepatan pertumbuhan spat tersebut dipengaruhi oleh reaksi enzim protease dan kalsium karbonat (CaCO3) yang cukup tinggi yaitu masing- masing sebesar 0,061 µmol/mL-menit-1 (Unit) dan 98,41 ± 0,02%. Selain faktor suhu dan salinitas pada media pemeliharaan larva, variasi suhu dan salinitas pada tahap pembesaran (stadia II dan III) juga mendukung pertumbuhan juvenil. Kisaran suhu dan salinitas yang diperoleh pada stadia II yaitu suhu 25,17–27,83oC dan salinitas 34,00–36,00 ppt, dan stadia III yaitu suhu 25,83–29,00oC dan salinitas 34,00–36,00 ppt. Kondisi tersebut mendekati kisaran optimum dalam mendukung pertumbuhan siput mata bulan (Hamzah 2015). Kombinasi suhu dan salinitas optimum untuk juvenil H. discus yaitu 23–25°C dan 30–36 ppt (Ning et al. 2017). Tingkat kelangsungan hidup merupakan persentase perbandingan antara jumlah individu akhir pengamatan dengan jumlah individu awal pengamatan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap TKH larva siput mata bulan hingga juvenil umur 20 hari. Kondisi serupa juga telah dilaporkan oleh Winanto et al. (2009) bahwa suhu dan salinitas juga berpengaruh terhadap TKH larva P. maxima dari stadia veliger sampai plantigrade. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A1B3 dan A1B2 memberikan performa terbaik dalam mendukung TKH. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran suhu 26,5–27,5oC dan salinitas 31,5–35,5 ppt merupakan kondisi optimum dalam mendukung TKH stadia I. Kondisi ini hampir sama dengan larva kerang mutiara (P. maxima) yang juga menunjukkan TKH tertinggi pada suhu 28oC dengan salinitas 32 ppt dan 34 ppt (Winanto et al. 2009). Hamzah (2015) melaporkan bahwa anakan siput mata bulan memiliki variasi kondisi suhu yang cukup tinggi yaitu antara 25,5–28,5°C. Persentase sintasan terendah yaitu pada perlakuan A2B1 dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kombinasi antara suhu yang cenderung tinggi (29,5–30,5oC) dengan salinitas yang cenderung rendah (28,5–29,5 ppt) menghasilkan mortalitas yang cukup tinggi bagi larva siput mata bulan. Kondisi serupa telah dilaporkan Xue et al. (2010) bahwa interaksi antara suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penambahan bobot tubuh harian dan penambahan panjang cangkang B. areolata, meskipun kelangsungan hidup relatif rendah pada suhu tertinggi. Rendahnya TKH yang terjadi pada suhu dan salinitas ekstrim tersebut diduga menyebabkan proses metabolisme dan osmoregulasi fluida ekstraseluler yang tidak dapat berjalan efektif (Winanto et al. 2009). Yi dan Lee (1997) melaporkan bahwa salinitas berdampak terhadap kelangsungan hidup T. niloticus, namun suhu yang cenderung lebih dingin dapat meningkatkan toleransi akan salinitas. Sebaliknya, suhu yang cenderung tinggi dapat menyebabkan larva menghabiskan lebih banyak energi dan menurunkan resistensi terhadap penyakit sehingga berimplikasi terhadap penyebaran massal bakteri patogen (Lu et al. 2016). Pada stadia II dan III, perlakuan A1B3 dan A1B2 juga menunjukkan pengaruh terbaik dalam mendukung TKH. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran suhu dan salinitas optimum pada masa pemeliharaan larva masih memberikan performa terbaik dalam mendukung kelangsungan hidup juvenil siput mata bulan. Hamzah (2016b) mengemukakan bahwa interaksi suhu 28ᴼC dengan salinitas 32 ppt pada masa pemeliharaan larva memberikan performa terbaik terhadap 37 pembesaran kerang mutiara. Perlakuan A2B1 dan A1B1 menghasilkan TKH terendah pada stadia II dan III. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua suhu percobaan, salinitas terendah pada masa pemeliharaan larva juga memberikan dampak negatif terhadap performa pembesaran. Hasil yang diperoleh sesuai dengan Montory et al. (2016) bahwa perlakuan salinitas rendah hanya sekitar 6 jam pada larva veliger C. peruviana mengakibatkan rendahnya kelangsungan hidup pada tahap juvenil akibat kematian yang tinggi. Selain faktor suhu dan salinitas pada media pemeliharaan larva, fluktuasi suhu dan salinitas pada tahap pembesaran (stadia II dan III) juga memberikan pengaruh dalam mendukung tingkat kelangsungan hidup juvenil. Kisaran suhu dan salinitas yang diperoleh pada stadia II yaitu 25,17–27,83oC dan 34,00–36,00 ppt, dan stadia III yaitu 25,83–29,00oC dan 34,00–36,00 ppt. Kondisi tersebut mendekati kisaran optimum dalam pemeliharaan siput mata bulan (Hamzah 2015). Chen dan Chen (2000) menjelaskan bahwa kombinasi suhu dan salinitas optimum dapat meningkatkan daya tahan tubuh juvenil pada fluktuasi kualitas air. Juvenil yang dipelihara selama 7 hari pada salinitas 25 ppt dan suhu 30oC dapat bertahan hidup pada salinitas 14–33 ppt, sedangkan juvenil yang dipelihara pada salinitas 35 ppt dan suhu 20oC dapat bertahan pada salinitas 20–45 ppt, atau pada kondisi salinitas yang menurun atau meningkat secara bertahap. Suhu dan salinitas merupakan parameter kualitas air yang berperan penting dalam mendukung reaksi kimia di perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsentrasi fosfat, nitrat, nitrit, dan DO pada stadia I namun tidak pada pH. Konsentrasi fosfat terlihat tidak konsisten jika dibanding parameter kualitas air lainnya. Hal ini diduga bahwa suhu dan salinitas memberikan efek yang berbeda terhadap konsentrasi fosfat sehingga interaksi keduanya tidak menunjukkan perbedaan. Percobaan Zhang dan Huang (2011) menunjukkan bahwa perubahan salinitas dan suhu air laut memberikan efek terpisah terhadap penyerapan fosfat pada sedimen. Berbeda dengan fosfat, konsentrasi nitrat dan nitrit lebih dipengaruhi oleh salinitas dibanding suhu. Salinitas tinggi dalam percobaan (31,5–35,5 ppt) memberikan dampak terbaik terhadap peningkatan konsentrasi nitrat dan nitrit. Pengaruh salinitas terhadap konsentrasi nitrat dan nitrit juga serupa dengan percobaan sebelumnya yang dilakukan pada sistem bioflok (Souza et al. 2016; Ray dan Lotz 2017; Mendoza-López et al. 2017; Ponce-Palafox et al. 2019). Konsentrasi DO lebih dipengaruhi oleh suhu dibanding salinitas. Suhu yang lebih rendah dalam percobaan (27oC) menghasilkan konsentrasi DO yang lebih tinggi dibandingkan percobaan suhu tinggi (30oC). Hal ini diduga bahwa peningkatan suhu menyebabkan penguapan sehingga konsentrasi DO di perairan semakin menurun. Peningkatan suhu air dari 15 menjadi 33°C mengakibatkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara signifikan (Souza et al. 2014; Hosting et al. 2015; Souza et al. 2016). Berbeda dengan parameter kualitas air lainnya, konsentrasi pH dalam percobaan tidak dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Hal ini diduga bahwa suhu dan salinitas bukan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi pH di perairan. Walaupun demikian, Ponce-Palafox et al. (2019) melaporkan bahwa suhu dan salinitas memberikan pengaruh terhadap konsentrasi pH. Percobaan suhu tinggi terkhusus 32oC menyebabkan penurunan DO secara signifikan. Pada kondisi alami, semakin meningkatnya suhu maka salinitas semakin meningkat, sedangkan pH dan DO semakin menurun. Peningkatan suhu mengakibatkan penguapan sehingga 38 konsentrasi kadar garam semakin meningkat (Islami 2013). Hal ini terjadi karena pergerakan molekul air dan gas yang semakin meningkat. Selain itu molekul air juga bergerak lebih cepat dan sering bertabrakan sehingga menghalangi masuknya molekul gas ke dalam air (Boyd 2000). Gemilang et al. (2017) menjelaskan bahwa kadar oksigen terlarut di permukaan umumnya lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air dan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Suhu dan pH air sama-sama menunjukkan hubungan positif terhadap ukuran panjang silia. Semakin tinggi suhu dan pH air maka ukuran silia cenderung lebih panjang. Hal ini diduga bahwa pada suhu dan pH air yang terlalu tinggi dapat menghambat laju metamorfosis sehingga berdampak terhadap rendahnya daya penempelan. Rendahnya daya penempelan yang terjadi diduga disebabkan oleh tingginya mortalitas pada suhu tinggi sehingga berdampak pada TKH yang rendah. Hubungan daya penempelan dan tingkat kelangsungan hidup pada suhu tinggi telah dijelaskan oleh Nozawa dan Harrison (2007) pada larva karang (Acropora solitaryensis). Larva yang dipelihara pada suhu tinggi (29oC) mulanya menunjukkan daya penempelan tertinggi, namun pada hari ke-5 daya penempelan larva tertinggi terjadi pada suhu yang lebih rendah (26oC). Rendahnya daya penempelan pada suhu tinggi disebabkan oleh tingginya mortalitas pada hari ke-5 yang mencapai 90%. Larva yang dipelihara pada suhu tinggi mengalami kematian atau tumbuh lebih lambat dibanding pada suhu yang lebih rendah dengan menghasilkan ukuran panjang cangkang yang lebih kecil. Pada beberapa jenis gastropoda, peningkatan suhu umumnya berkaitan dengan peningkatan laju metabolisme dengan waktu perkembangan yang lebih cepat, namun untuk beberapa kelompok larva gastropoda planktotrofik dan lecitrophic seperti halnya siput mata bulan, peningkatan suhu berkorelasi dengan penurunan daya tahan tubuh (Padilla et al. 2018). Berbeda dengan suhu dan pH, peningkatan salinitas, nitrat, nitrit dan DO menunjukkan hubungan positif terhadap LPH, TKH, daya penempelan dan panjang cangkang larva siput mata bulan serta menunjukkan hubungan negatif terhadap ukuran panjang silia. Pada kondisi salinitas rendah, larva dan juvenil C. fornicata mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dengan ukuran cangkang yang lebih kecil dibanding pada salinitas tinggi. Stres salinitas menyebabkan peningkatan risiko predasi sehingga larva lebih rentan dan membutuhkan waktu lebih lama untuk tumbuh (Bashevkin dan Pechenik 2015). Parameter kualitas air pada Stadia II dan III menunjukkan korelasi lemah terhadap LPH dan TKH siput mata bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa fluktuasi kualitas air pada khususnya parameter suhu dan salinitas pada tahap pembesaran masih tergolong kecil sehingga tidak berdampak besar dalam mempengaruhi kualitas air lainnya maupun biota uji. Parameter kualitas air yang diperoleh masih mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup larva siput mata bulan hingga mencapai stadia juvenil. Kisaran parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian hampir sesuai dengan kondisi habitat siput mata bulan di Perairan Pelabuhan Ratu yaitu pH 7–8, DO 3–5 ppm, Nitrat 0,092–0,656 mg L-1, dan Nitrit 0,001–0,029 mg L-1 (Soekendarsi 2018). Selain berpengaruh terhadap biota, parameter kualitas air juga sangat berperan penting dalam mendukung pertumbuhan pakan alami (Naviculla sp.). Amalah et al. (2018) mengemukakan bahwa, kepadatan Navicula sp. sangat dipengaruhi oleh ketersediaan N dan P yang terkandung dalam media kultur. Nitrogen dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk sintesis protein, pembentukan klorofil, sintesis asam nukleat (DNA dan RNA), dan 39 sintesis lemak jenuh. Sedangkan tumbuhan hanya bisa menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3), yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi protein sebagai sumber energi mereka. Fosfat menjadi salah satu senyawa anorganik penting yang dibutuhkan dalam jumlah besar untuk mendukung pertumbuhan mikroalga. Fosfat berperan penting untuk membentuk komponen struktur sel dan mendukung kepadatan selnya. Mikroalga membutuhkan fosfat dalam konsentrasi 0,018–0,09 ppm dengan tingkat maksimum 8,90–17,80 ppm. Sedangkan konsentrasi fosfat terbaik untuk pertumbuhan mikroalga adalah lebih dari 0,20 ppm (Surogi dan - 3- Iwnosky 2002). Konsentrasi optimum NO3 dan PO4 untuk pertumbuhan Navicula sp. masing-masing yaitu 3,6 mmol L-1 dan 0,18 mmol L-1 (Xiaobo et al. 2014). Lebih lanjut Yang et al. (2014) menyatakan bahwa kisaran N dan P yang optimum bagi pertumbuhan diatom yaitu 12,36–74,16 mg L-1 untuk nitrogen, dan 1,70–3,98 mg L-1 untuk fosfor.

40

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan Suhu dan salinitas sangat berperan penting dalam mendukung kelangsungan hidup larva siput mata bulan (suhu optimum 26,5–27,5oC dan salinitas optimum 31,5–35,5 ppt).

5.2 Saran Penelitian lebih lanjut menyangkut larva siput mata bulan perlu untuk dilaksanakan dengan mengevaluasi faktor suhu dan salinitas terhadap pembentukan cangkang siput mata bulan.

41

DAFTAR PUSTAKA

Alfaro AC, Dewas SE, Thomas F. 2007. Food and habitat partitioning in grazing snails (Turbo smaragdus), Northern New Zealand. Estuaries and Coasts. 30(3):431-440. doi:10.1007/BF02819389. Amalah N, Widyartini DS, Christiani, Hidayah HP. 2018. The effect of dilution level of liquid tapioca waste culture medium and concentration of phosphate on the growth of microalgae Navicula sp. Nusantara Biosci. 10(1):65- 69.doi:10.13057/nusbiosci/n100110. Amin A, Yusnaini, Effendy IJ. 2016. Pengaruh salinitas terhadap perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid sampai juvenil muda umur 35 hari. Media Akuatika. 1(4):197-206. Anonim. 2018. 3100 different species/subspecies in stocks. in: https://www.simons-specimen-shells.co.uk (Diakses: 14 Juni 2019). Arifin Z. 1994. Siput mata bulan (Turbo marmoratus) habitat dan siklus hidup. Lonawarta. 17(1): 1-8. Asuero AG, Sayago A, Gonzales AG. 2006. The correlation coefficient: an overview. Crit. Rev. Anal. Chem. 36:41–59. doi:10.1080/10408340500526766. Balkhair M, Al-Mushikhi A, Rivera R. 2016. Embryogenesis and larval development of the omani abalone (Haliotis mariae Wood, 1828). J. Shellfish. Res. 35(3):625-631. doi: 10.2983/035.035.0308. Ban S, Zhang T, Pan H, Pan Y, Wang P, Xue D. 2014. Effects of temperature and salinity on the development of embryos and larvae of the veined rapa whelk Rapana venosa (Valenciennes, 1846). Chin. J. Oceanol. Limn. 32(4): 773-782. doi: 0.1007/s00343-014-3264-6. Banne TSP, Yusnaini, Effendy IJ. 2017. Kualitas telur induk abalon Haliotis asinina yang diberi pakan berbeda. Media Akuatika. 2(3): 446-457. Bashevkin SM, Pechenik JA. 2015. The interactive influence of temperature and salinity on larval and juvenile growth in the gastropod Crepidula fornicata (L.). J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 470:78–91. doi:10.1016/j.jembe.2015.05.004. Bergenius MAJ, Meekan MG, Robertson DR, McCormick MI. 2002. Larval growth predicts the recruitment success of a coral reef fish. Oecologia. 131:521–525. doi:10.1007/s00442-002-0918-4. Boyd CE. 2000. Water Quality: An Introduction. Kluwer Academic Publishers. New York, 329pp. doi:10.1007/978-1-4615-4485-2. Boyd CE. 2015. Water Quality: An Introduction. Second Edition. School of Fisheries, Aquaculture and Aquatic Sciences Auburn University. USA. 374p. doi:10.1007/978-3-319-17446-4. Cann-Moisan C, Nicolas L, Robert R. 2002. Ontogenic changes in the contents of dopamine, norepinephrine and serotonin in larvae and postlarvae of the bivalve Pecten maximus. Aquat. Living Resour. 15:313–318.doi:10.1016/S0990- 7440(02)01185-3. Chan KYK, Jiang H, Padilla DK. 2013. Swimming speed of larval snail does not correlate with size and ciliary beat frequency. PloS. One. 8(12):e82764. doi:10.1371/journal.pone.0082764. Chen JC, Chen WC. 2000. Salinity tolerance of Haliotis diÍersicolor supertexta at different salinity and temperature levels. Aquaculture. 181:191-203. doi:10.1016/S0044-8486(99)00226-4. 42

Cubillos VM, Chapparro OR, Montiel YA, Veliz D. 2007. Unusual source of food: impact of dead siblings on encapsulated embryo development of Crepipatella fecunda (Gastropoda: Calyptraeidae). Mar. Freshwater Res. 58:1152–1161. doi:10.1071/MF07094. Daume S, Krsinich A, Farrell S, Gervis M. 2000. Settlement, early growth and survival of Haliotis rubra in response to different algal species. J. Appl. Phycol. 12:479–488. doi:10.1023/A:1008110828581. De Vicose GC, Viera MP, Bilbao A, Izquierdo MS. 2007. Embryonic and larval development of Haliotis tuberculata coccinea Reeve: an indexed micro- photographic sequence. J. Shellfish. Res. 26(3):847–854. doi:10.2983/0730- 8000. De Vicose GC. 2011. Early life of the abalone Haliotis tuberculata coccínea: development, settlement and growth. [thesis]. Las Palmas De Gran Canaria, 237pp. Dolorosa RG, Grant A, Gill JA, Avillanosa AL, Gonzales BJ. 2013. Indoor and deep sub-tidal intermediate culture of Trochus niloticus for restocking. Rev. Fish. Sci. 21:414-423. doi:10.1080/10641262.2013.800775. Dove MC, O'Connor WA. 2007. Salinity and temperature tolerance of sydney rock oysters Saccostrea glomerata during early ontogeny. J. Shellfish. Res. 26(4):939–947.doi:10.2983/0730-8000. Dwiono SAP, Makatipu PC. 1997. Percobaan pembenihan Turbo chrysostomus L. (Moluska: Gastropoda). Prosiding Seminar Kelautan LIPI-UNHAS, Ambon 4-6 Juli 1997. Hal:116-121. Dwiono SAP, Pradina, Makatipu PC. 2001. Spawning and seed production of the green snail (Turbo marmoratus L.) in Indonesia. SPC Trochus Information Bulletin. 7:9-13. Echem RT. 2017. Morphometric relations of gastropod species: Nerita albicilla and Patella nigra. WNOFNS. 7:30-36. Eddiwan KI, Adriman, Sihotang C. 2017. Morfometric variations and long weight relationships red eye snail (Cerithidea obtusa). J. Coast. Zone. Manag. 20(4):1- 7. doi:10.4172/2473-3350.1000450. Ettinger-Epstein P, Kingsford MJ. 2008. Effects of the El Niño southern oscillation on Turbo torquatus (Gastropoda) and their kelp habitat. Austral Ecol. 33:594– 606. doi:10.1111/j.1442-9993.2007.01824.x. Foster GG, Hodgson AN, Balarin M. 1999. Effect of diet on growth rate and reproductive fitness of Turbo sarmaticus (: : Turbinidae). Mar. Biol. 134:307-315. doi:10.1007/s002270050548. Foster GG. 1997. Growth, reproduction and feeding biology of Turbo sarmaticus (mollusca: vetigastropoda) along the coast of the eastern cape province of South Africa. [thesis]. Doctor of Philosophy of Rhodes University. 264p. Freeman KA. 2001. Aquaculture and related biological attributes of abalone species in Australia – a review. Fisheries Research Report, Department of Fisheries Perth. Western Australia, 55pp. Freije AM, Awadh MN. 2010. Fatty acid compositions of Turbo coronatus Gmelin 1791. Brit. Food. J. 112(10):1049-1062. doi:10.1108/00070701011080195. Fukuda H. 2017. Nomenclature of the horned turbans previously known as Turbo cornutus [Lightfoot], 1786 and Turbo chinensis Ozawa & Tomida, 1995 43

(Vetigastropoda: : Turbinidae) from China, Japan and Korea. Molluscan Res. 37:1-14. doi:10.1080/13235818.2017.1314741. Furuhashi T, Schwarzinger C, Miksik I, Smrz M, Beran A. 2009. Molluscan shell evolution with review ofhell calcification hypothesis. Comp. Biochem. Phys. A. Part B(154):351–371. doi:10.1016/j.cbpb.2009.07.011. Gallardo WG, Buen SMA. 2003. Evaluation of mucus, Navicula, and mixed diatoms as larval settlement inducers for the tropical abalone Haliotis asinina. Aquaculture. 221:357-364. doi:10.1016/S0044-8486(03)00121-2. Gapasin RSJ, Polohan BB. 2005. Response of the tropical abalone, Haliotis asinina, larvae on combinations of attachment cues. Hydrobiologia. 548:301–306. doi:10.1007/s10750-005-0754-8. Garcı´a-Lavandeira M, Silva A, Abad M, Pazos AJ, Sanchez JL, Perez-Paralle L. 2005. Effects of GABA and epinephrine on the settlement and metamorphosis of the larvae of four species of bivalve molluscs. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 316(2):149-156. doi:10.1016/j.jembe.2004.10.011. Garcıa-Lavandeira M, Silva A, Abad M, Pazos AJ, Sanchez JL, Perez-Paralle ML. 2005. Effects of GABA and epinephrine on the settlement and metamorphosis of the larvae of four species of bivalve molluscs. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 316:149–156.doi:10.1016/j.jembe.2004.10.011. Gaume B, Fouchereau-Peron M, Badou A, Helleouet MN, Huchette S, Auzoux- Bordenave S. 2011. Biomineralization markers during early shell formation in the European abalone Haliotis tuberculata, Linnaeus. Mar. Biol. 158:341–353. doi:10.1007/s00227-010-1562-x. Gemilang WA, Rahmawan GA, Wisha UJ. 2017. Kualitas perairan Teluk Ambon Dalam berdasarkan parameter fisika dan kimia pada musim peralihan. EnviroScienteae. 12(1): 79-90. Gimin R, Lee CL. 1997. Early development and growth of juvenile Trochus nilolicus reared under different salinities. SPC Trochus Information Bulletin. 7:64-68. Grubert MA, Ritar AJ. 2004. The effect of temperature on the embryonic and larval development of blacklip (Haliotis rubra) and greenlip (H. laevigata) abalone. Invertebr. Reprod. Dev. 45(3):197-203. doi:10.1080/07924259.2004.9652591. Guzman del Proo SA, Reynoso-Granados T, Monsalvo-Spencer P, Serviere- Zaragoza E. 2006. Larval and early juvenile development in Tegula funebralis (Adams, 1855) (Gastropoda: Trochidae) in Baja California Sur, Mexico. The Veliger. 48(2):116–120. Hamzah AS, Hamzah M, Hamzah MS. 2016a. Perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada maxima) pada kondisi suhu yang berbeda. Media Akuatika. 1(3):152-160. Hamzah MS, Endang YH, Marsoedi, Fadjar M. 2016b. Protease enzyme reactability effect of pearl oyster (Pinctada maxima) flesh shell growth at different water temperature and salinity. Int. J. Biosci. 9(1):124-137. doi:10.12692/ijb/9.1.124-137. Hamzah MS. 2015. Sintasan dan pertumbuhan anakan siput mata bulan (Turbo chrysostomus L.) pada kondisi suhu yang berbeda. JITKT. 7(1):299-308. doi:10.5072/FK2/WQFGS6. 44

Hamzah MS. 2016a. Pengaruh padat tebar siput mata bulan (Turbo chysostomus, L.) terhadap sintasan dan pertumbuhan dengan sistem air water lift. JITKT. 8(1):289-297. Hamzah MS. 2016b. Dinamika suhu dan salinitas media pemeliharaan larva untuk produksi kualitas benih kerang mutiara (Pinctada maxima). [disertasi]. Program Doktor Ilmu Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang: 131hal. Hanafiah KA. 2014. Rancangan percobaan teori dan aplikasi edisi ketiga. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 260hal. Hayakawa J, Kawamura T, Horii T, Watanabe Y. 2007. Settlement of larval top shell Turbo (Batillus) cornutus in response to several marine algae. Fisheries Sci. 73:371–377.doi:10.1111/j.1444-2906.2007.01344.x. Hayakawa J, Kawamura T, Kurogi H, Watanabe Y. 2012. Shelter effects of coralline algal turfs: protection for Turbo cornutus juveniles from predation by a predatory gastropod and wrasse. Fish Sci. 79:15–20. doi:10.1007/s12562-012- 0569-2. Hayakawa J, Kawamura T, Ohashi S, Horii T, Watanabe Y. 2008. Habitat selection of Japanese top shell (Turbo cornutus) on articulated coralline algae; combination of preferences in settlement and post-settlement stage. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 363:118–123. doi:10.1016/j.jembe.2008.06.033. Hayakawa J, Kawamura T, Ohashi S, Horii T, Watanabe Y. 2010. Importance of epiphytic diatoms and fronds of two species of red algae as diets for juvenile Japanese turban snail Turbo cornutus. J. Shellfish. Res. 29(1):233–240. doi:10.2983/035.029.0120. Hayakawa J, Ohtsuchi N, Kawamura T, Kurogi H. 2018. Ontogenetic habitat and dietary shifts in Japanese turban snail Turbo cornutus at Nagai, Sagami Bay, Japan. Fish. Res. 84:201–209. doi:10.1007/s12562-017-1170-5. Heller J. 2015. Sea snails: a natural history. Evolution, Systematics and Ecology The Hebrew University of Jerusalem Jerusalem, Israel. Springer. 355p. doi:10.1007/978-3-319-15452-7. Hostins B, Braga A, Lopes DLA, Wasielesky W, Poersch LH. 2015. Effect of temperature on nursery and compensatory growth of pink shrimp Farfantepenaeus brasiliensis reared in a super-intensive biofloc system. Aquacult. Eng. 66:62–67. doi:10.1016/j.aquaeng.2015.03.002. Islami MM. 2013. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap bivalvia. Oseana. 38(2):1- 10. Jardillier E, Rousseau M, Gendron-Badou A, Fröhlich F, Smith DC, Martin M, Helléouet MN, Huchette S, Doumene D, Auzoux-Bordenave S. 2008. A morphological and structural study of the larval shell from the abalone Haliotis tuberculata. Mar. Biol. 154:735–744. doi:10.1007/s00227-008-0966-3. Kartika S, Mu Y. 2014. A study on Indonesian mollusk fishery and its prospect for economy. Int. J. Mar. Sci. 4(5):61-66. doi:10.5376/ijms.2014.04.0005. Kikutani K, Ohba H, Yamakawa H. 2002. Distribution and gut contents of the green snail Turbo marmoratus in Tokunoshima Island, Ryukyus (Southern Japan). J. Tokyo Univ. Fish. 88:47-52. Kimani EN. 1996. The larval development and juvenile growth of the silver mouth turban, Turbo argyrostomus. [thesis]. The Graduate School of The University of The Ryukyus. 55pp. 45

Kingsley-Smith PR, Richardson CA, Seed R. 2005. Growth and development of the veliger larvae and juveniles of Polinices pulchellus (Gastropoda: Naticidae). J. Mar. Biol. Ass. U.K. 85:171-174. doi:10.1017/S0025315405011008h. Komatsu TM, Murakoshi, Nakamura R. 1995. A study on the reproduction of the green snail, Turbo marmoratus, in the Ryukyu Islands, southern Japan. Suisanzoshoku. 43(3):297–304. Kono N, Yamakawa H. 2002. Comparison of larval shell morphology of two coastal turbinid snails, Turbo (Batillus) cornutus and Turbo (Marmarostoma) stenogyrus (Vetigastropoda: Turbinidae). Bull. Fish. Res. Agency. 4:19-24. Lah RA, Benkendorff K, Bucher D. 2017. Thermal tolerance and preference of exploited turbinid snails near their range limit in a global warming hotspot. J. Therm. Biol. 64:100–108. doi:10.1016/j.jtherbio.2017.01.008. Lakshmi PS, Rao P. 2000. Effect of temperature, salinity and size on cadmium toxicity in an intertidal gastropod, Turbo intercostalis (Gastropoda-Turbinidae) from Visakhapatnam, east coast of India. Indian J. Mar. Sci. 29:324-328. Lee JY, Yang HS, Kang DH, Jeung HD, Hong HK, Lee HJ, Kang HS, Choi KS. 2014. Spatial variation in the annual reproductive cycle of Turbo (Batillus) cornutus (Gastropoda: Trochidae) at Jeju Island, Korea. Invertebr. Reprod. Dev. 58(1):23-33. doi:10.1080/07924259.2013.797934. LIPI. 2009. Cangkang siput langka mata bulan, seharga Rp 450.000. Dalam: http://lipi.go.id (Diakses: 15 Juni 2019). Litaay M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalon. Oseana.30(3):1-7. Lu W, Shen M, Fu J, Li W, You W, Ke C. 2016. Combined effects of temperature, salinity and rearing density on growth and survival of juvenile ivory shell, Babylonia areolata (Link 1807) population in Thailand. Aquac. Res. 48(4):1-8. doi:10.1111/are.13000. Marin F, Roy NL, Marie B. 2012. The formation and mineralization of mollusk shell. Bioscience. S4:1099-1125. Mccormick TB, Navas G, Buckley LM, Biggs C. 2016. Effect of temperature, diet, light, and cultivation density on growth and survival of larval and juvenile white abalone Haliotis sorenseni (Bartsch, 1940). J. Shellfish. Res. 35(4):981–992. doi:10.2983/035.035.0421. Mendoza-López DG, Castañeda-Chávez MR, Lango-Reynoso F, Galaviz-Villa I, Montoya-Mendoza J, Ponce-Palafox JT, Esparza-Leal HM, Arenas-Fuentes V. 2017. The effect of biofloc technology (BFT) on water quality in white shrimp Litopenaeus vannamei culture: a review. Revista. Bio. Ciencias. 4(4):15p. doi:10.15741/revbio.04.04.01 Merdekawati D. 2013. Kandungan gizi dan senyawa antioksidan keong mata lembu (Turbo setosus Gmelin 1791). [tesis]. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, 111 hal. Montory JA, Chaparro OR, Navarro JM, Pechenik JA, Cubillos VM. 2016. Post‑metamorphic impact of brief hyposaline stress on recently hatched veligers of the gastropod Crepipatella peruviana (Calyptraeidae). Mar. Biol. 163:1-7. doi:10.1007/s00227-015-2791-9. Montory JA, Chaparro OR, Pechenik JA, Diederich CM, Cubillos VM. 2014. Impact of short-term salinity stress on larval development of the marine gastropod Crepipatella fecunda (Calyptraeidae). J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 458:39–45. doi:10.1016/j.jembe.2014.05.004. 46

Moran AL, Manahan DT. 2003. Energy metabolism during larval development of green and white abalone, Haliotis fulgens and H. sorenseni. Biol. Bull. 204(3):270-277. doi:10.2307/1543598. Mukhlis A, Abidin Z, Rahman I. 2017. Pengaruh konsentrasi pupuk ammonium sulfat terhadap pertumbuhan populasi sel Nannochloropsis sp. BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi. 3(3):149-155. Nasution S, Machrizal R. 2009. Pengaruh kejutan suhu terhadap masa inkubasi dan derajat penetasan telur abalone (Haliotis asinina). Berkala Perikanan Terubuk. 37(1):1–17. Ning K, Xiao L, Junyuan L, Wendan M, Jianwu L, Yanjie X, Qi L. 2017. Effects of temperature and salinity on survival, growth and DNA methylation of juvenile Pacific abalone, Haliotis discus hannai Ino. Chin. J. Oceanol. Limnol. 35:1248– 1258. doi:10.1007/s00343-016-5185-z. Noble WJ, Benkendorff K, Harris JO. 2015. Growth, settlement and survival of Dicathais orbita (Neogastropoda, Mollusca) larvae in response to temperature, diet and settlement cues. Aquac. Res. 46:1455–1468. doi:10.1111/are.12298. Nowland SJ, O'Connor WA, Penny SS, Osborne MWJ, Southgate PC. 2019. Water temperature and salinity synergistically affect embryonic and larval development of the tropical black-lip rock oyster Saccostrea echinata. Aquac. Int. 27:1239–1250.doi:10.1007/s10499-019-00381-7. Nozawa Y, Harrison PL. 2007. Effects of elevated temperature on larval settlement and post-settlement survival in scleractinian corals, Acropora solitaryensis and Favites chinensis. Mar Biol. 152:1181–1185.doi:10.1007/s00227-007-0765-2. O'Connor WA, Lawler NF. 2004. Salinity and temperature tolerance of embryos and juveniles of the pearl oyster, Pinctada imbricata Roding. Aquaculture. 229:493–506.doi:10.1016/S0044-8486(03)00400-9. Onitsuka T, Kimura R, Ono T, Takami H, Nojiri Y. 2014. Effects of ocean acidification on the early developmental stages of the horned turban, Turbo cornutus. Mar. Biol. 161(5):1127-1138. doi:10.1007/s00227-014-2405-y. Pachenik JA, Levine SH. 2007. Estimates of planktonic larval mortality using the marine gastropods Crepidula fornicata and C. plana. Mar Ecol Prog Ser. 344:107–118.doi:10.3354/meps06887. Padilla DK, Charifson D, Liguori A, McCarty-Glenn M, Rosa M, Rugila A. 2018. Factors affecting gastropod larval development and performance: a systematic review. J. Shellfish Res. 37(4):851–867.doi:10.2983/035.037.0414. Ponce-Palafox JT, Pavia AA, Lopez DGM, Arredondo-Figueroa JL, Lango- Reynosoc F, Castañeda-Chávezc MR, Esparza-Leald H, Ruiz-Lunae A, Páez- Ozunaf F, Castillo-Vargasmachucaa SG, Peraza-Gómeza V. 2019. Response surface analysis of temperature-salinity interaction effects on water quality, growth and survival of shrimp Penaeus vannamei postlarvae raised in Biofloc intensive nursery production. Aquaculture. 503:312–321. doi:10.1016/j.aquaculture.2019.01.020. Przeslawski R. 2004. A review of the effect of environmental stress on embryonic development within intertidal gastropod egg masses. Molluscan Res. 24:43-63. doi:10.1071/MR04001. Ramesh R, Ravichandran S, Kumaravel K. 2010. Annual cycle of reproduction in Turbo brunneus, from Tuticorin South East Coast of India. WJFMS. 2(1):14-20. 47

Ramesh R, Ravichandran S. 2008. Feeding biology with reference to algal preferance and scanning electron microscopy studies on the radula of Turbo brunneus. Trends. Appl. Sci. Res. 3(2):189-195. Rico-Villa B, Pouvreau S, Robert R. 2009. Influence of food density and temperature on ingestion, growth and settlement of Pacific oyster larvae, Crassostrea gigas. Aquaculture. 287:395–401. doi:10.1016/j.aquaculture.2008.10.054. Ridwanidin A, Firdaus M, Pratama IS, Dwiono SAP. 2016. Effect of various dietary seaweeds on the growth of gold-mouth turban (Turbo chrysostomus L., 1758) at Lombok, Indonesia. Mar. Res. Indonesia. 41(1):21−26. doi:10.14203/mri.v41i1.91. Ruf M. 2007. Gastropod biodiversity in the waters of Sabah (Malaysian Borneo). Tentacle. 15:23-25. Salas-Garza A, Parez-Sierra G, Gomez-Rigalt R, Carpizo-Ituarte E. 2009. The larval development, metamorphosis and juvenile growth of the turban snail Lithopoma (Astraea) undosa (Wood, 1828) (Gastropoda: Turbinidae). J. World Aquacult. Soc. 40(4):460-471. doi:10.1111/j.1749-7345.2009.00268.x. Santhanam R. 2018. Biology and Ecology of Edible Marine Gastropod Molluscs. CRC Press. 475. Sayco SLG, Conaco C, Neo ML, Cabaitan PC. 2019. Reduced salinities negatively impact fertilization success and early larval development of the giant clam Tridacna gigas (Cardiidae: Tridacninae). J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 516:35– 43.doi:10.1016/j.jembe.2019.04.004. Setyono DED, Kusuma HA, Badi BF. 2013. Pemijahan siput mata bulan (Turbo chrysostomus Linnaeus, 1758). Oseana. 38(3):1-8. Setyono DED. 2006. Karakteristik biologi dan produk kekerangan laut. Oseana, 31(1):1-7. Smoothey AF. 2013. Habitat-associations of turban snails on intertidal and subtidal rocky reefs. PloS One. 8(5):e61257. doi:10.1371/journal.pone.0061257. Soekendarsi E. 2018. The habitat of yellow mouth turban Turbo chrysostomus, Linnaeus, 1758. J. Phys.: Conf. Ser. 979 012040. doi:10.1088/1742- 6596/979/1/012040. Soria G, Merino G, Von Brand E. 2007. Effect of increasing salinity on physiological response in juvenile scallops Argopecten purpuratus at two rearing temperatures. Aquaculture. 270:451–463. doi:10.1016/j.aquaculture.2007.05.018. Souza DM, Borges VD, Furtado P, Romano LA, Wasielesky Jr. W, Monserrat JM, Garcia DO. 2016. Antioxidant enzyme activities and immunological system analysis of Litopenaeus vannamei reared in Biofloc Technology (BFT) at different water temperatures. Aquaculture. 451:436–443. doi:10.1016/j.aquaculture.2015.10.006. Souza DM, Martins AC, Jensena L, Wasielesky Jr W, Monserratb JM, Garcia LO. 2014. Effect of temperature on antioxidant enzymatic activity in the Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei in a BFT (Biofloc technology) system. Mar. Freshw. Behav. Physiol. 47(1):1–10. doi:10.1080/10236244.2013.857476. Strasser CA, Mullineaux LS, Thorrold SR. 2008. Temperature and salinity effects on elemental uptake in the shells of larval and juvenile softshell clams Mya arenaria. Mar. Ecol. Prog. Ser. 370: 155-169. doi:10.3354/meps07658. 48

Sudarmawan RA, Hilyana S, Cokrowati N. 2013. Pengaruh seks rasio terhadap tingkat keberhasilan pemijahan pada kawin silang Haliotis asinina dengan Haliotis squamata. J. Kelaut. 6(1):57-66. Sugama K, Susanto B, Giri NAA. 2007. Riset pembenihan abalone. Prosiding Seminar Nasional Moluska dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi. 457hal. Supratman O, Auliana I, Hudatwi M, Utami E. 2019. Pola pertumbuhan siput gonggong Strombus turturella, Röding, 1798 (Gastropoda: Strombidae) di Pulau Bangka, Bangka Belitung. Jurnal Kelautan Tropis. 22(2):118-126. Surogi and Iwnosky. 2002. Biological research of algae. Helgolander Meresunter 43:66-70. Thiyagarajan V, Qian PY. 2003. Effect of temperature, salinity and delayed attachment on development of the solitary ascidian Styela plicata (Lesueur). J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 290:133–146.doi:10.1016/S0022-0981(03)00071-6. Ubaidillah R, Marworo RM, Kadiaty RK, Fahmi, Wowor D, Mumpuni, Pratiwi R, Tjakrawidjaja AH, Mudjiono, Hartati ST, Heryanto, Riyanto A, Mujiono N. 2013. Biota perairan terancam punah di Indonesia (prioritas perlindungan). Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau – Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 257hal. Venkatesan V. 2010. Marine ornamental molluscs. National Training Programme on Marine Ornamental Fish Culture. 6 pp. Wanichanon C, Laimek P, Chitchulanon N, Suphamungmee W, Apisawetakan S, Linthong V. 2004. Sensory receptors on cephalic and epipodial tentacles of Haliotis asinina Linnaeus. J. Shellfish Res. 23(4):1097-1106. Ward DW, Davis AR. 2002. Reproduction of the turban shell Turbo torquatus Gmelin 1791 (Mollusca : Gastropoda), in New South Wales, Australia. Mar. Freshwater Res. 53:85–91. doi:10.1071/MF00066. Wernberg T, Tuya F, Thomsen MS, Kendrick GA. 2010. Turban snails as habitat for foliose algae: contrasting geographical patterns in species richness. Mar. Freshwater Res. 61:1237–1242. doi:10.1071/MF09184. Williams ST, Karube S, Ozawa T. 2008. Molecular systematics of Vetigastropoda: Trochidae, Turbinidae and Trochoidea redefined. Zool. Scr. 37(5):483–506. doi:10.1111/j.1463-6409.2008.00341.x. Winanto T, Soedharma D, Affandi R, Sanusi HS. 2009. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap respon fisiologi larva tiram mutiara Pinctada maxima (Jameson). J. Biologi Indones. 6(1):51-69. Xi AJ, Lotz JM. 2017. Comparing salinities of 10, 20, and 30‰ in intensive, commercial-scale biofloc shrimp (Litopenaeus vannamei) production systems. Aquaculture. 476:29–36. doi:10.1016/j.aquaculture.2017.03.047. Xiaobo Z, Shaojun P, Feng L, Tifeng S, Jing L. 2014. Biological identification and determination of optimum growth conditions for four species of Navicula. Acta Oceanol. Sin. 33(8):111–118. doi:10.1007/s13131-014-0465-y. Xue CA, Mullineaux LS, Thorrold SR. 2008. Temperature and salinity effects on elemental uptake in the shells of larval and juvenile softshell clams Mya arenaria. Mar. Ecol. Prog. Ser. 370:155–169. doi:10.3354/meps07658. Xue M, Ke C, Wang D, Wei Y, Xu Y. 2010. The combined effects of temperature and salinity on growth and survival of hatchery-reared juvenile spotted babylon, 49

Babylonia areolata (Link 1807). J. World Aquacult. Soc. 41(S1):116-122. doi:10.1111/j.1749-7345.2009.00340.x. Yamaguchi M. 1997. A synopsis of the biology of green snail (Turbo marmoratus). In: Workshop on Trochus Resource Assessment, Management and Development. Report and Selected Papers Prepared. South Pacific Commission Noumea, New Caledonia: 127-133. Yang M, Zhao W, Xie X. 2014. Effects of nitrogen, phosphorus, iron and silicon on growth of five species of marine benthic diatoms. Acta Ecologica Sinica. 34:311-319. doi:10.1016/j.chnaes.2014.10.003. Yi SK, Lee CJ. 1997. Effect of temperature and salinity on the oxygen consumption and survival of hathcery-reared juvenile top shell Trochus niloticus (Mollucs: Gastropoda). ACIAR Proceedings. 79: 69–75. Yu X, He W, Li H, Yan Y, Lin C. 2010. Larval settlement and metamorphosis of the pearl oyster Pinctada fucata in response to biofilms. Aquaculture. 306:334– 337.doi:10.1016/j.aquaculture.2010.06.003. Zhang JZ, Huang XL. 2011. Effect of temperature and salinity on phosphate sorption on marine sediments. Environ. Sci. Technol. 45:6831–6837. doi:10.1021/es200867p. Zupo V, Patti FP. 2009. Laboratory spawning, larval development and metamorphosis of the marine snail Nassarius reticulatus (L.) (Caenogastropoda, Nassariidae). Invertebr. Reprod. Dev. 53(1):23–31. doi:10.1080/07924259.2009.9652286.

56

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Aris Sando Hamzah, merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Dr. Ir. Mat Sardi Hamzah, M.Si., dan Ibu Marlia Napirah, S.Pd. Penulis lahir di Ambon pada 16 Januari 1994. Penulis mengeyam Pendidikan di SMAN 2 Kendari pada tahun 2009 dan lulus pada 2011. Setelah lulus, penulis melanjutkan studi di Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo Kendari hingga lulus pada 2016. Pada 2018, penulis melanjutkan studi magister di Jurusan Ilmu Akuakultur Institut Pertanian Bogor (IPB) University. Penulis aktif di beberapa organisasi baik internal maupun eksternal kampus. Beberapa organisasi internal kampus di IPB University antara lain, Forum Wacana IPB, dan Bogor Science Club. Sedangkan di eksternal kampus, penulis aktif dan menduduki posisi ketua di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor periode 2019-2020. Selain dalam struktural cabang, penulis juga aktif sebagai sekretaris umum Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Bogor. Selain itu, penulis juga terlibat dalam organisasi kedaerahan (paguyuban) yaitu menjadi anggota Forum Wacana Sultra dan dewan pembina Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Lasaritapo Wabula Kendari. Penulis juga aktif dalam mengembangkan situs website salah satunya yaitu www.hantulaut.web.id, sebuah media informasi kelautan dan perikanan. Penulis sering menulis artikel dan opini, sekedar untuk mengembangkan hobi dan berbagi informasi. Pada tahun 2020 penulis menjadi juara lomba essai tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga.