TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJUDIAN (Kajian Perbandingan Qanun Maisir di dan Perda Perjudian di Kota Bekasi)

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

RENIATI SUMANTA NIM: 1110045100004

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah dicantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Sya’ban 1435 H 9 Juni 2014 M

Reniati Sumanta ABSTRAK

Reniati Sumanta. NIM 1110045100004. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJUDIAN (KAJIAN PERBANDINGAN QANUN MAISIR DI ACEH DAN PERDA PERJUDIAN DI KOTA BEKASI). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. vi + 81 halaman + 16 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota Bekasi serta untuk mengetahui kedua peraturan tersebut sudah sesuai atau belum dengan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. Sumber data yang dipergunakan penulis adalah sumber data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dan bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa Al-Qur’an, Al-Hadist, buku-buku fiqih. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (Research Library). Teknik analisis data menggunakan analisis perbandingan yang dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum yang ada di satu daerah dan daerah lainnya dalam kasus perjudian. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah bahwa pengaturan perjudian dari aspek definisi/pengertian, perbuatan yang dilarang, pelaku/subyek hukum, sanksi pidana dan pelaksanaan hukuman di Aceh dan Kota Bekasi tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak atau hak manusia.

Kata kunci: Maisir, Perjudian, Qanun Aceh, Perda Bekasi, Ta’zir, Hukum Islam. Pembimbing : Dr. Khamami Zada, MA dan Qosim Arsyadani, MA Daftar Pustaka : Tahun 1987 sampai Tahun 2013 KATA PENGANTAR

ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮّﺣﻤﻦ اﻟﺮّﺣﯿﻢ

Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT yang telah senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis, sehingga skripsi ”TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PERJUDIAN (KAJIAN PERBANDINGAN QANUN MAISIR DI ACEH DAN

PERDA PERJUDIAN DI KOTA BEKASI)” dapat terselesaikan. Shalawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir zaman, SAW, berikut keluarga, sahabat, dan umatnya.

Penulisan skripsi ini bukan hal mudah, namun dengan iringan doa dan semangat yang tinggi serta juga dengan bantuan dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan Faizin,

MA Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah.

3. Dr. Khamami Zada, MA dan Qosim Arsyadani, MA Pembimbing Skripsi

penulis, yang telah tulus ikhlas dalam mengorbankan waktu, tenaga dan

pikiran serta petunjuk dan pengarahannya untuk membimbing penulis.

i 4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum serta Staff Karyawan

Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang

telah membantu penulis dalam mencari buku-buku referensi guna mendukung

penulisan skripsi ini.

5. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua yang penulis

banggakan dan paling penulis cintai Ayahanda dan Ibunda (Sumanta dan

Sunarti) dengan jerih payah, tetes keringat dan air mata membesarkan,

mendidik dan memotivasi serta memberikan kasih sayang dan pengorbanan

baik berupa dukungan moril dan finansial serta doa restunya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adikku tersayang Rian yang

telah mewarnai hari-hari penulis dengan canda tawanya.

6. Keluarga besar Pidana Islam Angkatan 2010 yang menjadi teman

seperjuangan penulis: Imas, Amanah, Khodijah, Lulu, Siska, Azizah, Ayu,

Ika, Ello, Sahuri, Jajat, Ilham, Ade, Edo, Gerardin, Asmui, Rizal, Farid F,

Awal, Rodhi dan seluruh teman-teman penulis yang tidak bisa penulis sebut

satu persatu. Terima kasih atas kesetiaan dalam pencarian ilmu di Jurusan

kebanggan kita.

7. Komunitas Musik Mahasiswa Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (KMM

RIAK), UKM yang tak pernah absen masuk Tabloid Institut. Penulis ucapkan

terima kasih terutama kepada Muhammad Saddam Husein ZA. Juga kepada

Ipang, Ka Sa’du, Ka Umam, Ka Iqy, Ka Minda, Gustia, dan Ka Dewi.

Mereka mempunyai jiwa sosial, solidaritas, dan tanggung jawab yang sangat

tinggi, mereka rela mengesampingkan hak-haknya demi tanggung jawab yang

ii diembannya, tanggung jawab yang bisa saja mereka tinggalkan. Sungguh,

penulis banyak belajar dari kalian. Terima kasih support, motivasi, saran serta

nasihatnya. Penulis doakan kalian menjadi orang yang sukses dan tetap

rendah hati.

Di balik sedikit kekurangan bahkan mungkin kesalahan di sana sini, insya

Allah skripsi ini bisa bermanfaat. Ganbarema dekiru yo~ Kalau kita berusaha, kita pasti mampu.

Jakarta, 11 Sya’ban 1435 H 9 Juni 2014 M

Penulis

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR...... i DAFTAR ISI...... iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 7

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu...... 8

E. Metode Penelitian...... 9

F. Sistimatika Pembahasan...... 11

BAB II PERJUDIAN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A. Posisi Perjudian dalam Jarimah Ta’zir...... 13

B. Macam-Macam Hukuman Ta’zir...... 18

1. Hukuman Mati...... 18

2. Hukuman Cambuk...... 19

3. Hukuman Penjara...... 23

4. Hukuman Pengasingan...... 24

5. Hukuman Denda (Al-gharamah)...... 25

iv C. Pengertian, Pelaku, Unsur-unsur Perjudian dalam Hukum

Islam…………………………………………………….... 25

1. Pengertian Perjudian...... 25

2. Pelaku Perjudian...... 28

3. Unsur-unsur Perjudian...... 29

BAB III PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA BEKASI

A. Pengaturan Perjudian di Aceh...... 33

1. Kondisi Sosial Politik Aceh...... 33

2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh...... 36

a. Pengertian...... 36

b. Perbuatan yang Dilarang...... 37

c. Pelaku Tindak Pidana...... 38

d. Sanksi Pidana...... 39

e. Pelaksanaan Hukuman...... 40

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi...... 41

1. Kondisi Sosial Politik Kota Bekasi…...... 41

2. Materi Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi...... 45

a. Pengertian...... 45

b. Perbuatan yang Dilarang...... 45

c. Pelaku Tindak Pidana……………………….….… 47

d. Sanksi Pidana...... 48

v BAB IV PERBANDINGAN PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN

KOTA BEKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengaturan Perjudian di Aceh dalam Perspektif Hukum

Islam………………………………………………………. 50

1. Pengertian...... 50

2. Perbuatan yang Dilarang...... 51

3. Sanksi Pidana...... 53

4. Pelaksanaan Hukuman...... 55

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi dalam Perspektif Hukum

Islam……………………..………………………..…….… 62

1. Pengertian...... 62

2. Perbuatan yang Dilarang...... 63

3. Sanksi Pidana...... 67

C. Perbandingan Pengaturan Qanun Aceh dan Perda Bekasi.. 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...... 77

B. Saran...... 79

DAFTAR PUSTAKA...... 80

LAMPIRAN

vi BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, perjudian sudah dalam tahap yang menghawatirkan.

Perkembangan perjudian semakin cepat dan bervariasi sejalan dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Meskipun tindak pidana perjudian merupakan

kegiatan terlarang dan dapat dikenakan sanksi, namun kenyataanya tindak

pidana ini sangat sulit untuk diberantas. Hal ini berkaitan dengan mental

masyarakat untuk mengejar materi dengan cara cepat dan mudah. Sampai

saat ini, sebagian orang masih tidak bisa lepas dari permainan judi. Mereka

masih menggemari perjudian sebagai permainan yang dipilih.1

Jika Islam memperbolehkan bermacam-macam hiburan dan

permainan bagi orang Muslim, namun ia mengharamkan setiap permainan

yang dibarengi dengan judi. Seorang Muslim tidak menjadikan permainan

judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi waktu senggang,

sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari

uang, dengan alasan apapun.2 Para ulama fikih mendefinisikan judi atau

maisir sebagai “suatu permainan yang menjanjikan keuntungan tanpa

melalui cara yang wajar sebagaimana yang dituntunkan syara’ (hukum

1 Umi Sarah Dhiba, “Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Terlibat Kasus Perjudian”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, hal. 1, t.d.

2 Yusuf Qardhawi, dan Haram, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. 9, h. 350-351.

1 2

Islam)”. Judi merupakan praktek untung-untungan, yang membuat orang

yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah.3

Perbuatan judi dilarang oleh Allah karena tidak sesuai dengan

ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi

yang positif dalam menunjang kehidupannya. Salah satu bentuk permainan

yang menjurus kepada judi atau maisir adalah undian yang berlaku di

beberapa Negara, seperti Porkas dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah

(SDSB) di Indonesia pada era tahun 1980-an pemerintah dalam hal ini

Departemen Sosial mengadakan Porkas dan Sumbangan Dana Sosial

Berhadiah (SDSB).4 Porkas dan SDSB pada hakikatnya mengandung

unsur-unsur maisir, oleh sebab itu mayoritas ulama di Indonesia

menganggap porkas dan SDSB sebagai permainan judi yang merugikan

umat Islam.5 Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja tidak

boleh malas, oleh karena itu Islam menyuruh untuk menjauhi judi, karena

dengan adanya permainan judi itu akan membuat seseorang berangan-

angan, apabila ia menang maka akan menjadi kaya-raya tanpa usaha dan

kerja keras. Sedangkan apabila ia kalah, maka kerugiannya mendorong

pihak yang kalah untuk mengulangi lagi dengan ulangan yang kedua,

sehingga dapat menutup kerugiannya yang pertama. Sedangkan yang

3Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 297.

4 Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), (Jakarta: PT Gunung Agung, 1996), Cet. 9, h. 146.

5 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 288-289. 3

menang karena didorong lezatnya menang, maka ia tertarik untuk

mengulangi lagi kemenangannya yang sedikit itu mengajak untuk dapat

lebih banyak.6

Sama sekali dia tidak ada keinginan untuk berhenti dan makin

berkurang pendapatannya, makin dimabuk oleh kemenangan sehingga dia

beralih dari kemegahan kepada suatu kesusahan yang mendebarkan.

Begitulah berkaitnya putaran dalam permainan judi, hampir kedua putaran

ini tidak pernah berpisah. Inilah rahasia terjadinya pertumpahan darah

antara pemain-pemain judi, padahal belum pernah tercatat dalam sejarah

ada orang kaya karena judi dan perjudian itu sendiri dapat mengakibatkan

roda kehidupan menjadi terbengkalai, karena selamanya pemain judi sibuk

dengan sesamanya.7

Seorang pejudi selamanya sibuk dengan permainannya sehingga

lupa terhadap kewajibannya kepada Tuhannya, kewajibannya terhadap

dirinya, kewajibannya kepada keluarganya, dan kewajibannya kepada

bangsanya.8 Dilihat dari bahaya perjudian maka dapat dikatakan bahwa

salah satu tindakan kriminal yang membawa dampak negatif, di antaranya,

yaitu 1) merusak ekonomi keluarga, 2) mengganggu keamanan

masyarakat, 3) melumpuhkan semangat berkreasi, 4) menghabiskan

6Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (Studi Analisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 2-3, t.d.

7Ibid., h. 2-3.

8 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, h. 352. 4

waktu, dan lain-lain.9 Tidak mustahil orang yang asyik dengan “hidangan

hijau” (sebagaimana mereka istilahkan) akan menjual agama, kehormatan,

dan tanah airnya. Kecintaannya terhadap “hidangan” ini akan mencabut

kecintaannya kepada apa saja atau kepada nilai mana pun.10

Judi juga dapat menjadikan orang yang bersangkutan

mengorbankan segala sesuatu, hingga terhadap kehormatan, keyakinan,

dan bangsanya demi terlaksananya pekerjaan yang sia-sia ini.11 dan

maisir/judi diharamkan sebagai tindak preventif agar tidak terjadi

“’Adawah/permusuhan dan Baghdla’/saling membenci, Washaddun ‘an

zikrillah/lalai kepada Allah dan Anisshalah/meninggalkan shalat”. Itulah

yang menjadi tujuan inti larangan tersebut.12

Walaupun pelaku tindak pidana perjudian telah ditangkap dan

dihukum, tetapi perjudian masih tetap ada. Hal ini merupakan persoalan

yang rumit dan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk

dicarikan solusi terbaik. Perkembangan perjudian tidak terlepas dari peran

institusi penegak hukum yang saat ini semakin banyak dipertanyakan,

mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.13

9 Zainuddin , Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, h. 93.

10 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, h. 352.

11 Ibid., h. 352.

12 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al- Qur’an (IIQ), 1987), h. 24.

13 Umi Sarah Dhiba, “Penjatuhan Pidana Terhadap Anak...”, h. 1-2. 5

Tidak hanya terbatas pada institusi hukum, tetapi perundang-

undangan itu sendiri juga tidak kalah penting. Di setiap daerah hampir

semua mempunyai peraturan perjudian salah satunya yaitu Qanun Aceh

No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11

Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi. Tindak pidana

maisir/judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang

melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak

ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir.14 Sanksi di dalam Perda

Bekasi itu pidana kurungan,15 sedang di dalam Qanun Aceh sanksinya

pidana cambuk,16 dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia

pidana cambuk memang merupakan jenis pidana baru, dan masyarakat

hanya memiliki pemahaman bahwa pidana cambuk merupakan pidana

yang telah ditetapkan di dalam hukum Islam.

Sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun

dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda

Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai produk baru pada

sistem hukum pidana Indonesia.17 Berangkat dari permasalahan di atas,

penulis memandang perlu memperhatikan serta membahas lebih jauh

mengenai permasalahan tersebut, serta dapat dijadikan sebagai skripsi

14Wahbah Zuhaili, Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), h. 359.

15 Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.

16 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).

17 Ferdiansyah, “Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2008, t.d. 6

dengan judul: ”TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PERJUDIAN (Kajian Perbandingan Qanun Maisir di Aceh dan Perda

Perjudian di Kota Bekasi)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Penulis hanya membatasi Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003

tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005

tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.

Pokok masalah dalam penelitian ini adalah perbandingan

pengaturan perjudian di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003

tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005

tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dalam hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang penulis sajikan, tertuang

dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana perjudian diatur di dalam hukum Islam ?

b. Bagaimana maisir/perjudian diatur di dalam Qanun Aceh dan

Perda Bekasi ?

c. Bagaimana perbandingan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota

Bekasi ? 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

persamaan dan perbedaan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota

Bekasi.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Untuk mendeskripsikan perjudian dalam hukum Islam.

b. Untuk mendeskripsikan perjudian dalam Qanun Aceh No. 13

Tahun 2003 dan Perda Kota Bekasi No. 11 Tahun 2005.

c. Menganalisis pengaturan Qanun Maisir di Aceh dan Perda

Perjudian di Kota Bekasi dalam tinjauan hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

a. Menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai

hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah, serta

melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-

masalah yang berkembang dilingkungan sekitarnya.

b. Memberikan sumbangan wacana pemikiran dan motivasi kepada

Pemda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kota Bekasi

dalam menerapkan atau menjalankan peraturan daerah atau qanun

tersebut, serta memberikan informasi kepada masyarakat luas

mengenai perjudian dalam konsep hukum Islam. 8

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian yang membahas tentang perjudian. Di

antaranya adalah:

Pertama, buku karangan Ahmad yang berjudul “Asas-asas

Hukum Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Bulan Bintang tahun 2005 di

Jakarta. Dalam buku ini menjelaskan tentang macam-macam jarimah yang

ada di dalam hukum Islam, baik itu jarimah , qishash/diat, maupun

ta’zir, akan tetapi untuk permasalahan “Tindak Pidana Perjudian” tidak

ditemukan pembahasannya.

Kedua, buku karangan Zaenuddin Ali yang berjudul “Hukum

Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Sinar Grafika tahun 2009 di Jakarta.

Di dalam buku ini masih menjelaskan masalah hukum dalam koridor

hukum Islam, yang mana pembidangannya dari pidana Islam (jinayah)

membahas tentang jarimah-jarimah hudud, qishash diat, dan ta’zir.

Ketiga, karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010 yang ditulis oleh

Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan KUHP

(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”. Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa dalam hukum Islam tindak pidana

perjudian dikenakan hukuman ta’zir. Dalam perspektif hukum positif,

tindak pidana perjudian dihukum penjara sesuai dalam Pasal 303 KUHP 9

dan Pasal 303 bis KUHP jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang

penertiban perjudian.

Keempat, karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007 yang ditulis

oleh Mailiani yang berjudul “Pengaruh Pelaksanaan Hukuman Cambuk

Terhadap Moral Generasi Muda Aceh (Studi di Kecamatan Johan

Pahlawan, Meulaboh-Aceh Barat)”. Penelitian ini menemukan bahwa

pemberlakuan hukuman cambuk di NAD, sangat berpengaruh terhadap

moral generasi muda dan masyarakat di sana terutama di Kec. Johan

Pahlawan-Meulaboh. Perubahan mereka lebih ke arah yang positif, baik

dari segi berpakaiannya maupun pergaulan mereka sehari-hari, walau

masih ada pelanggaran-pelanggaran moral yang dilakukan oleh remaja

maupun masyarakat tetapi angka pelanggarannya sudah bisa diminalisir.

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis

normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai

pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang.

Pendekatan normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan

sebagai sumber data penelitiannya. Meskipun tidak empiris, akan tetapi

kegiatan-kegiatannya tetap merupakan penelitian ilmiah, karena mencakup 10

kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan dengan

mempergunakan metodologi serta teknik-teknik tertentu.18

Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah sumber

data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa Qanun Aceh

No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11

Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dan bahan

hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan primer, berupa Al-Qur’an, Al-Hadist, buku-buku fiqih

serta sumber-sumber yang ada korelasinya dengan pembahasan ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan (Research Library). Artinya pengumpulan data-

data diperoleh dengan merujuk pada karya-karya mendukung

(komplementer) yang memiliki relevansi dengan pembahasan skripsi ini.

Teknik analisis data dalam penelitian penulis menggunakan

analisis perbandingan yang dilakukan dengan mengadakan studi

perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan

untuk membandingkan hukum yang ada di satu daerah dan daerah lainnya

dalam kasus perjudian.19 Dalam kasus ini, penulis membandingkan Qanun

Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No.

11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.

18 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) h. 166-167.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 132- 133. 11

Teknik penulisan dalam skripsi ini penulis menggunakan buku

pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2012.

F. Sistimatika Pembahasan

Dalam pembahasan skripsi ini penulis membagi uraian

pembahasan menjadi lima bab yang terdiri dari:

BAB I : Menampilkan Bab Pendahuluan, yang di dalamnya membahas

tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka/penelitian terdahulu, metode penelitian, dan

sistimatika pembahasan.

BAB II : Menjelaskan secara deskriptif mengenai posisi perjudian dalam

jarimah ta’zir, macam-macam hukuman ta’zir, serta

pengertian, pelaku, unsur-unsur perjudian dalam hukum Islam.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan

bagaimana posisi perjudian di dalam hukum Islam.

BAB III : Mengkaji materi Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di

Kota Bekasi, di mulai dengan menjelaskan kondisi sosial

politiknya dan menjelaskan materi pengaturan perjudian, di

antaranya pengertian perjudian, perbuatan yang dilarang,

pelaku tindak pidana, sanksi pidana, dan pelaksanaan hukuman 12

di dalam Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota

Bekasi.

BAB IV : Bagian paling subtantif ada di dalam Bab IV, di dalam Bab IV

ini penulis menganalisis secara tajam perbandingan pengaturan

perjudian di Aceh dan Kota Bekasi dalam perspektif hukum

Islam, dimulai dengan pengaturan perjudian di Aceh dalam

perspektif hukum Islam, pengaturan perjudian di Kota Bekasi

dalam perspektif hukum Islam, dan perbandingan pengaturan

Qanun Aceh dan Perda Bekasi.

BAB V : Bab ini merupakan bab penutup atau terakhir yang mencangkup

kesimpulan yang merupakan pemadatan dari seluruh uraian

yang lebih bersifat luas dan abstrak kemudian dilanjutkan

saran-saran. BAB II

PERJUDIAN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A. Posisi Perjudian dalam Jarimah Ta’zir

Di dalam kajian fiqh jinayah ada tiga jarimah, yaitu sebagai

berikut: Pertama, jarimah qishash yang terdiri atas jarimah pembunuhan

dan jarimah penganiayaan. Kedua, jarimah hudud yang terdiri atas jarimah

; jarimah qadzf; jarimah syurb al-khamr; jarimah al-baghyu; jarimah

al-riddah; jarimah al-sariqah; dan jarimah al-hirabah. Ketiga, jarimah

ta’zir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh

Al-Qur’an atau Hadist. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya

ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan

tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan

dalam diri manusia.1 Tindak pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah

ta’zir.

Alangkah tepat dan indahnya Al-Qur’an ketika mengumpulkan

antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, karena

sama bahayanya terhadap pribadi, keluarga, tanah air, dan akhlak. Tidak

ada bedanya orang yang mabuk karena judi dengan orang mabuk karena

khamr, bahkan jarang dijumpai salah satunya saja tanpa yang satunya lagi.

1 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 3-4.

13 14

Sungguh tepat Al-Qur’an ketika memberitahukan bahwa khamr dan judi

termasuk perbuatan syetan.2

Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr

diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status

hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.

Surah Al-Baqarah ayat 219

           

              ( اﻟﺒﻘﺮة/ ٢: 219 )    

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Q.S. Al- Baqarah [2]: 219).

Surah Al-Maa’idah ayat 90-91

  .        

            

               ( اﻟﻤﺎ ى دة/ ٥ :٩١- ٩٠)

2 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. 9, h. 352. 15

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al-Maa’idah [5]: 90-91).

Kata maisir dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 3 kali, yaitu

dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat 90 dan 91.

Dari kandungan surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat

90 dan 91 diketahui bahwa judi merupakan perbuatan keji yang

diharamkan Islam. Keharaman judi dalam surah Al-Baqarah ayat 219 tidak

begitu jelas. Allah SWT secara tegas menyatakan dalam surah Al-

Maa’idah ayat 90 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman,

sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,

mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk

perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keuntungan.” Penyebab diharamkannya perbuatan judi

dijelaskan Allah SWT dalam ayat 91 yang artinya, “Sesungguhnya setan

itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara

kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu

dari mengingati Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari

mengerjakan pekerjaan itu).”3

3 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 297-298. 16

Dari ketiga ayat tersebut, para mufasir/ulama ahli

menyimpulkan beberapa hal. 1) Judi merupakan dosa besar. 2) Judi

merupakan perbuatan setan. 3) Judi sejajar dengan syirik. 5) Judi

menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia.

6) Judi membuat orang malas berusaha. 7) Judi juga akan menjauhkan

orang dari Allah SWT. Selain lebih banyak mudharat daripada

manfaatnya, perbuatan judi dilarang oleh Allah SWT karena tidak sesuai

dengan ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk

melakukan kreasi yang positif dalam menunjang kehidupannya di dunia

dan akhirat.4

Imam Ghazali menjelaskan seluruh permainan yang di dalamnya

terdapat unsur perjudian, maka permainan itu hukumnya haram,5 di mana

pemain tidak lepas dari untung atau rugi. Sebagaimana yang dijelaskan

oleh Yusuf Qardlawy dalam buku “Halal dan Haram”, dia mengutip

sebuah hadist Rasulullah SAW mengenai hal itu yang artinya:

“barangsiapa berkata kepada kawannya: ‘Marilah berjudi’, maka

hendaklah ia bersedekah.” Dengan demikian, seorang Muslim tidak

menjadikan permainan judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi

4 Ibid.,, h. 298-299.

5Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. 1, h. 70. 17

waktu senggang, sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari uang, dengan alasan apapun.6

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia.7

Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa ta’zir.

Tindak pidana ini terdiri atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Tindak pidana ta’zir yang asli (pokok), yakni setiap tindak pidana yang

tidak termasuk dalam kategori tindak pidana hudud, qishash, dan diat.

2. Tindak pidana hudud yang tidak dijatuhi dengan hukuman yang

ditentukan, yakni tindak pidana hudud yang tidak sempurna dan yang

hukuman hadnya terhindar dan dihapuskan.

6 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, h. 350-351.

7 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), h. 359-360. 18

3. Tindak pidana qishash dan diat yang tidak diancamkan hukuman yang

ditentukan, yakni tindak pidana-tindak pidana yang tidak dikenai

hukuman qishash dan diat.8

Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang

sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku.

Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana ta’zir tidak mempunyai

batasan-batasan tertentu. Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi

wewenang kepada penguasa atau hakim untuk menentukan tindak pidana

setengah hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan

masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan)

serta prinsip umum hukum Islam. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa

tidak ada satu kejahatanpun yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman.9

Para ulama sepakat bahwa bentuk dan kualitas hukuman ta’zir tidak boleh

menyamai hukuman diat atau hudud.10

B. Macam-Macam Hukuman Ta’zir

Adapun bentuk-bentuk hukuman ta’zir yaitu:

1. Hukuman Mati

8 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007), Jilid III, h. 24.

9 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007), Jilid I, h. 100.

10 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 465. 19

Pada dasarnya menurut syari’at Islam hukum ta’zir adalah untuk

memberikan pengajaran (Al-ta’dib) dan tidak sampai membinasakan, oleh

karena itu dalam hukuman ta’zir tidak boleh pemotongan anggota badan

atau penghilangan nyawa, akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat suatu

pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya

hukuman tersebut jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau

jika pemberantasan kejahatan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan

membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang

berbahaya.11 Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman

mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan

boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat

yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang

sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak

menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih

cepat.12

2. Hukuman Cambuk

Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku jarimah

ta’zir. Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi

pelaku jarimah zina ghairu muhsan dan jarimah qadzf. Namun dalam

jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah

11 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 6, h. 299.

12 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), Cet. 2, h. 260. 20

cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.13 Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu

Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.14

Adapun mengenai jumlah maksimal cambuk dalam jarimah ta’zir, ulama berbeda pendapat:

Menurut Mazhab Hanafi tidak boleh melampaui batas hukuman had. Menurut Abu Hanifah tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi peminum khamr adalah dicambuk 40 kali. Menurut Abu Yusuf tidak boleh lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali.

Menurut Ulama Malikiyah sanksi ta’zir boleh melebihi had selama mengandung maslahat. Mereka berpedoman kepada keputusan Umar bin

Al-Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal. Ali pernah mencambuk peminum khamr pada siang hari di bulan Ramadhan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali sebagai ta’zir.

Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

13 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 149.

14 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260. 21

Menurut Ulama Hanafiyah batas terendah ta’zir harus mampu memberi dampak preventif dan represif. Batas terendah satu kali cambukan. Menurut Ibnu Qudamah batas terendah tidak dapat ditentukan, diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan pelaksanaannya. Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan ulil amri sebagai pegangan semua hakim. Apabila telah ada ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.15

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada cambuk dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam ta’zir dengan sifat cambuk dalam hudud.16 Ta’zir untuk tindak kejahatan seksual adalah dicambuk kurang dari 100 kali, untuk tindak kejahatan fitnah adalah dicambuk kurang dari 80 kali, atau hukuman lain yang setara dengan itu.

Ta’zir untuk tindak pencurian dalam jumlah kecil dikenai hukuman yang setara dengan tahanan. Ta’zir untuk peminum minuman khamr adalah di bawah 40 kali cambuk atau yang setara.17

15 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 150-151.

16 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.

17 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, h. 466. 22

Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang

menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi,

apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh

dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya. Pukulan atau

cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan

diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak

boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian

tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.18

Apabila pelaku adalah seorang wanita dalam keadaan hamil maka

pelaksanaan hukuman cambuk ditunda sampai dia melahirkan anak dan

anak itu telah berhenti menyusui (disapih) serta telah memakan makanan

lain misalnya roti. Hal ini untuk menjaga agar anak dalam kandungan atau

yang sedang menyusu pada ibunya itu tidak turut meninggal atau tidak

turut mengalami penderitaan karena ibunya dikenai hukuman. Apabila si

pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan

rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai

dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan. Jika si terhukum sakit

yang tidak membahayakan jiwanya maka hukuman cambuk tetap

dilaksanakan.19

18 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.

19 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta, Bulan Bintang, 2003), h. 154-155. 23

3. Hukuman Penjara

Hukuman penjara dalam syari’at Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu: a. Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjualan khamr, pemakan , melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang pengadilan, dan saksi palsu. Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Syafi’iyah batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun. Adapun pendapat yang dinukil dari Abdullah Az-Zaubairi adalah ditetapkannya masa hukuman penjara dengan satu bulan, atau enam bulan.20 b. Penjara Tidak Terbatas

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum meninggal dunia atau sampai ia bertaubat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini dalam hukum pidana

20 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 262-263. 24

Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya. Misalnya, seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga.

Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua (sampai ia bertaubat) dikenakan antara lain untuk orang yang dituduh membunuh dan mencuri, melakukan homoseksual, atau penyihir, mencuri untuk yang ketiga kalinya menurut Imam Abu Hanifah, atau mencuri untuk kedua kalinya menurut imam yang lain.21

4. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan). Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun di dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berprilaku mukhannats (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar dari Madinah. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.22

Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa

21Ibid., h. 263.

22Ibid., h. 264. 25

pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun. Menurut Imam Abu

Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan

di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had.23

5. Hukuman Denda (Al-gharamah)

Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri

sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya.

Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain

bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili

perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam

masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan berbagai

aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun

kondisi tempat dan waktunya.24

C. Pengertian, Pelaku dan Unsur-unsur Perjudian dalam Hukum Islam

1. Pengertian Perjudian

Maisir dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian di

antaranya ialah: lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya,

membagi-bagi, dll. Ada yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari yang artinya keharusan. Keharusan bagi siapa yang ( ﯾَﺴَﺮَ ) kata yasara

kalah dalam bermain maisir/judi untuk menyerahkan sesuatu yang

23 Ibid., h. 265.

24 Ibid., h. 267. 26

dipertaruhkan kepada pihak yang menang. Ada yang mengatakan bahwa yang artinya mudah, dengan ( ﯾُﺴْﺮٌ ) kata maisir berasal dari kata yusrun

analisa bahasa karena maisir/judi merupakan upaya dan cara untuk

mendapatkan rezeki dengan mudah, tanpa susah payah.25

Ada lagi yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari kata yang artinya kaya, dengan analisa bahasa karena dengan ( ﯾَﺴَﺎرٌ ) yasaar

permainan itu akan menyebabkan pemenangnya menjadi kaya. Adapula yang ( ﯾَﺴْﺮٌ ) yang berpendapat bahwa kata maisir berasal dari kata yusrun

artinya membagi-bagi daging onta. Hal ini sejalan dengan sifat maisir/judi

yang ada pada masa Jahiliyyah yang karenanya ayat Al-Qur’an itu

diturunkan; di mana mereka membagi-bagi daging onta menjadi dua puluh

delapan bagian. Dalam bahasa Arab maisir sering juga disebut qimar, jadi

qimar dan maisir artinya sama. Qimar sendiri asal artinya taruhan atau

perlombaan.26

Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk

permainan yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah

memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan

kepada pihak yang menang. Syekh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan

bahwa maisir itu suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa harus

25 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al- Qur’an (IIQ), 1987), h. 24-25.

26 Ibid.,, h. 25. 27

berpikir dan bekerja keras. Menurut at-Tabarsi, ahli tafsir Syiah Imamiah abad ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang pemenangnya mendapatkan sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang wajar dan dapat membuat orang jatuh ke lembah kemiskinan. Permainan anak-anak pun jika ada unsur taruhannya, termasuk dalam kategori ini.27

Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram

Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.

Definisi maisir/judi menurut pengarang Al-Munjid, maisir/judi ialah setiap permainan yang disyaratkan padanya bahwa yang menang akan mendapatkan/mengambil sesuatu dari yang kalah baik berupa uang atau yang lainnya.28

Menurut Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Iqna’ juz II hal 286, apabila kedua orang yang berlomba pacuan kuda itu mengeluarkan taruhannya secara bersama-sama (artinya, siapa yang kalah harus memberi kepada yang menang) maka dalam kondisi semacam itu tidak boleh.

Kecuali apabila keduanya tadi memasukkan muhallil, maka hal itu diperbolehkan apabila kuda yang dipakai oleh muhallil itu sepadan dengan kuda kedua orang yang berpacu tersebut. Pihak ketiga menjadi penengah

27Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298.

28 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, h. 28-34. 28

tadi dinamakan muhallil karena ia berfungsi untuk menghalalkan aqad, dan mengeluarkannya dari bentuk judi yang diharamkan.29

Berdasarkan definisi-definisi yang diutarakan para ulama tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa judi ialah segala macam bentuk permainan yang di dalamnya terdapat taruhan dan ada praktek untung-untungan, yang membuat orang yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa bekerja keras.

2. Pelaku Perjudian

Ta’zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan.

Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan-alasan yang tidak dibenarkan, baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat. Perlu diberi sanksi ta’zir agar tidak mengulangi perbuatannya.30

Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa anak di bawah umur, orang gila, dan orang mabuk yang kehilangan akalnya tidak dikenai hukuman hudud dan qishash. Meskipun anak di bawah umur, orang gila, dan orang mabuk tidak dikenai hukuman hudud dan qishash, mereka harus dihukum ta’zir. Jika salah satu dari mereka melakukan tindak pidana, ia harus diberi

29 Ibid., h. 35.

30 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143. 29

pelajaran agar berhenti merugikan orang lain; orang yang mabuk sampai ia

bertobat, yang gila sampai ia sadar, dan anak di bawah umur sampai ia

dewasa. Mendidik mereka berarti saling menolong dalam kebaikan dan

takwa, sedangkan membiarkan mereka berarti membantu dalam dosa dan

pelanggaran.31 Allah SWT berfirman:

… … ( اﻟﻤﺎ ى دة/ ٥: ٢)            

“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Q.S. Al-Maa’idah [5]: 2). 3. Unsur-unsur Perjudian

Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu

pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam

jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan

tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada

dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus. 32 Unsur umum tersebut

adalah:

a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur

formiil).

31 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 227.

32 Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (Studi Analisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 34, t.d. 30

b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan

nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil). c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).33

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan jarimah perjudian, ialah: a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau

lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor

yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan

rumusan tertentu. b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang

berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari

para petaruh.34

Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi, dilarang syara’.35

33 Ibid., h. 34.

34 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 148.

35 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298. 31

Berdasarkan rumusan judi di atas, maka jika ada dua kesebelasan sepak bola yang bertanding yang oleh sponsor akan diberikan hadiah kepada yang menang, ini bukan judi, karena tidak ada dua pihak yang bertaruh. Contoh lain: dua pemain catur yang mengadakan perjanjian, siapa yang kalah membayar kepada yang menang suatu jumlah uang, juga tidak dapat dinamakan berjudi, sebab pertandingan itu merupakan adu kekuatan/keterampilan/kepandaian.36

Pada prinsipnya lomba berhadiah seperti bergulat, lomba lari, badminton, sepak bola, atau catur diperbolehkan oleh agama, asal tidak membahayakan keselamatan badan dan jiwa. Dan mengenai uang hadiah yang diperoleh dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama, jika dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a. Jika uang/hadiah itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor

nonpemerintah untuk para pemenang. b. Jika uang/hadiah lomba itu merupakan janji salah satu dari dua orang

yang berlomba kepada lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh

lawannya itu. c. Jika uang/hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka

disertai muhallil, yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian

lomba dengan uang sebagai pihak ketiga, yang akan mengambil uang

36 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 150. 32

hadiah itu, jika jagonya menang; tetapi ia tidak harus membayar, jika

jagonya kalah.37

Para ulama membolehkan balapan kuda, sapi, dan sebagainya, dengan syarat uang/hadiah yang diterimanya itu berasal dari pihak ketiga

(sponsor lomba) atau dari sebagian peserta lomba. Islam membolehkan balapan kuda dan sebagainya itu adalah untuk mendorong umat Islam mempunyai keterampilan dan keberanian menunggang kuda yang sangat diperlukan untuk peperangan dahulu. Tetapi sekarang orang melatih diri agar menjadi joki yang hebat. Apabila uang/hadiah itu berasal dari semua peserta lomba, untuk bertaruh: siapa yang kalah, membayar Rp.

100.000,00 dan peserta yang diajak mau bertanding, maka lomba ini haram, karena masing-masing menghadapi untung rugi.38

37 Ibid., h. 150.

38 Ibid., h. 151. BAB III

PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA BEKASI

A. Pengaturan Perjudian di Aceh

1. Kondisi Sosial Politik Aceh

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah Daerah

yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di

Indonesia, Ibukota Provinsi NAD adalah Banda Aceh. Secara geografis

dan keluasan, kawasan ini terbentang di ujung pulau Sumatera yang

berbatasan sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan

Lautan Hindia serta sebelah barat dengan Lautan Hindia dan Teluk

Benggala (India), sayang tidak disebutkan perbatasan sebelah timur.

Sangat strategis baik dari sudut ekonomi, politik, maupun geografis.

sehingga menjadi jalur perniagaan internasional yang paling sibuk di

kawasan Asia Tenggara.1 Berdasarkan data sensus penduduk 2012 Badan

Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Provinsi Aceh sebanyak

4.726.001 jiwa dan tersebar diseluruh kabupaten/kota. Selama periode

Maret 2012-September 2012, persentase penduduk miskin di daerah

perkotaan menurun 0,60 persen (dari 13,07 persen menjadi 12,47 persen),

1 Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 21.

33 34

sementara di daerah perdesaan menurun 1,00 persen (dari 21,97 persen

menjadi 20,97 persen).2

Secara geografis terletak pada 2°-6° LU dan 95°-98° BT. Provinsi

NAD merupakan Provinsi yang berbatasan (laut) dengan India, Myanmar,

Thailand dan Malaysia. Di sebelah timur, Provinsi NAD berbatasan laut

dan darat dengan Provinsi Sumatera Utara. Provinsi NAD memiliki

wilayah seluas 57.736,557 km², didalamnya terdapat kawasan hutan seluas

3.335.613 Ha atau 62 % dari luas daratan terdiri dari hutan lindung dan

konservasi 2.697.113 Ha dan kawasan budidaya hutan 638.580 Ha.

Puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut, wilayah laut yang

merupakan Zona Ekonomi Exclusif (ZEE) seluas 534.520 km². Provinsi

NAD memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar, 35 gunung dan 2

buah danau.3 Kabupaten dan kota di provinsi Aceh yaitu Kabupaten Aceh

Barat, Kabupaten Aceh Barat daya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten

Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten

Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara,

Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Bener

Meriah, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan

Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Simeulue, Kota

2 “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.

3 “Gambaran Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”, artikel diakses pada 7 Maret 2014 dari http://www.profilkabupaten.com/gambaran-umum-provinsi-nanggroe-aceh- darussalam-nad/. 35

Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, dan Kota

Subulussalam.4

Bangsa Aceh seluruhnya beragama Islam, bangsa Aceh telah

identik dengan agama Islam. Sejak permulaan masuknya Islam ke Asia

Tenggara, Aceh adalah tempat pertama berlabuhnya agama Islam dan

sejak saat itulah bangsa Aceh telah memeluk agama ini tepatnya pada awal

abad lahirnya agama Islam. Bersatunya agama Islam dengan penduduk

Aceh telah menjadikan bangsa ini sebagai yang mempelopori agama Islam

ke wilayah-wilayah di sekitar Asia Tenggara, seperti semenanjung

Malaya, wilayah Sumatera lainnya, Pulau Jawa dan lain-lain. Bumi Aceh

yang telah menyatu dengan agama Islam yang dianut oleh penduduknya,

sehingga sesuailah Aceh dijuluki dengan ‘Serambi Mekkah’.5 Agama lain

yang di anut oleh penduduk di Aceh adalah Agama Kristen yang dianut

oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang

kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut

agama Khonghucu.6

Provinsi Aceh memiliki 13 buah asli yaitu Bahasa Aceh, Bahasa

Gayo, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Singkil, Bahasa Alas, Bahasa

4 “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.

5 Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam..., h. 22-23.

6 “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf. 36

Tamiang, Bahasa Kluet, Bahasa Devayan, Bahasa Sigulai, Bahasa Pakpak,

Bahasa Haloban, Bahasa Lekon dan Bahasa Nias. Rumah Adat di Provinsi

Aceh di sebut Rumoh Aceh.7

Provinsi Aceh dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah administratif dan saat ini terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota. Untuk pemerintah di bawah kabupaten/kota, selain memiliki

Kecamatan dan Gampong (wilayah setingkat Desa) berdasarkan Qanun

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk

Mukim yang berkedudukan langsung dibawah Camat dan wilayahnya terdiri atas beberapa gampong. Hingga saat ini Provinsi Aceh memiliki

284 Kecamatan, 755 Mukim dan 6.450 Gampong.8

2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh

a. Pengertian

Definisi maisir (perjudian) menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun

2003 diatur dalam Pasal 1 ayat (20) yang berbunyi:

“Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapat bayaran.” Jadi yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini adalah setiap kegiatan atau perbuatan yang di dalamnya terdapat unsur

7 Ibid.

8 Ibid. 37

taruhan antara dua pihak atau lebih dan pihak yang menang akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.

b. Perbuatan yang Dilarang

Adapun perbuatan yang dilarang menurut Qanun Aceh No. 13

Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:

Pertama, melakukan perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir; Kedua, menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir.

Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Dengan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan dikenakan hukuman bagi pelakunya; Ketiga, menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi terhadap perbuatan maisir. Melindungi di sini maksudnya antara lain menutup- nutupi dari usaha penyidik melakukan penggrebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi; Keempat, 38

memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir. Maksudnya instansi pemerintah dilarang memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir.

c. Pelaku Tindak Pidana

Yang termasuk pelaku menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:

Pertama, setiap orang yang melakukan perbuatan maisir (pemain).

Kedua, setiap orang, badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Kedua kategori pelaku tersebut adalah orang yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di bidang maisir

(perjudian) di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam. Pidana cambuk hanya diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum. Tujuan penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk adalah untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan berjiwa Islam yang berakhlak mulia. 39

d. Sanksi Pidana

Sanksi pidana menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 23, 26 dan 27, antara lain:

Pertama, setiap pemain judi yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

Kedua, pemberian fasilitas atau menyelenggarakan perjudian yang dilakukan baik oleh perorangan, badan usaha atau badan hukum yang berdomisili atau beralamatkan di wilayah hukum Nanggroe Aceh

Darussalam, hanya dikenakan pidana dengan pidana denda sebesar paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit

Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Dan jika berkaitan dengan kegiatan usaha maka akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.

Dalam qanun maisir ini juga mengatur tentang pengulangan

(residivist), yaitu terdapat dalam Pasal 26 yang menyebutkan, bahwa pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan qanun tersebut, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Sedangkan perbuatan dapat disebut pelanggaran apabila: (1) Dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab. (2) Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain 40

sanksi ‘uqubat dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.

e. Pelaksanaan Hukuman

Pelaksanaan hukuman menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 29, 30 dan 31, antara lain:

‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum, Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur di dalam Qanun Maisir.

‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara

0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan maka posisinya duduk dan ditutup kain di atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60

(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum, yang dapat 41

membahayakan nyawanya berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk,

maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi

1. Kondisi Sosial Politik di Kota Bekasi

Kota Bekasi secara administratif termasuk dalam Provinsi Jawa

Barat dengan batas-batas: sebelah utara dengan Kabupaten Bekasi; sebelah

selatan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok; sebelah barat dengan

Provinsi DKI Jakarta; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Bekasi. Kota yang luas wilayahnya sekitar 210,49 Km² dengan titik

koordinat 106°48'281"-107°27'29" Bujur Timur dan 6°10'6"-6°30'6"

Lintang Selatan.9 Pada perkembangannya kini sesuai dengan Perda No. 4

tahun 2004, Kota Bekasi mempunyai 12 kecamatan, yang terdiri dari 56

kelurahan, yaitu : Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan,

Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Pondok

Gede, Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Bantar Gebang, kecamatan

Jatisampurna, Kecamatan Medan Satria, kecamatan Rawalumbu,

kecamatan Mustika Jaya dan kecamatan Pondok Melati.10

Topografi Kota Bekasi bervariasi, namun sebagian besar berada

pada dataran rendah dengan kemiringan antara 0-2% dan ketinggian antara

9“Kondisi Geografis Wilayah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/5456/kondisi-geografis-wilayah-kota-bekasi.

10 “Profil Daerah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062. 42

11-81 meter di atas permukaan air laut. Dataran rendah yang ketinggannya

kurang dari 25 meter dari permukaan air laut sebagian besar berada di

Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur,

dan Pondok Gede. Sedangkan, daerah berketinggan antara 25-100 meter

dari permukaan air laut sebagian besar berada di Kecamatan

Bantargebang, Pondok Melati, dan Jatiasih (Pemkot Bekasi, 2009).11

Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi tahun 2014 sebanyak 2. 811. 000

jiwa.12

Salah satu hal yang membuat Kota Bekasi berkembang dengan

pesat adalah karena adanya perkembangan dalam bidang industri, terutama

industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran. Hal ini membuat

mata pencaharian penduduknya pun semakin beragam dan tidak hanya

bertumpu pada sektor pertanian. Menurut data dari BPS Kota Bekasi tahun

2012, dari luas secara keseluruhan yang mencapai 21.049 ha, hanya

sebagian kecil saja yang saat ini masih digunakan sebagai lahan pertanian

yaitu sekitar 505 ha atau 3,15%. Selebihnya, merupakan lahan kering yang

digunakan untuk bangunan dan halaman (15.072 ha), kebun (4.285 ha),

dan kolam atau empang seluas (69 ha).13

11 “Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun- halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.

12 “Puluhan Ribu E-KTP Baru Turun Lagi”, artikel yang diakses pada tanggal 7 Maret 2014 dari http://poskotanews.com/2014/03/05/puluhan-ribu-e-ktp-baru-turun-lagi/.

13 “Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun- halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html. 43

Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang

diunggulkan, ini sesuai dengan Visi Kota Bekasi, yaitu unggul dalam jasa

dan perdagangan, kini berkembang sangat pesat. Selain itu, banyak juga

industri kecil yang berkembang dan telah dapat membuka pasar

internasional. Perdagangan ikan hias yang ada di Kota Bekasi saat ini

merupakan komoditi terbesar di Asia Tenggara. Dieksport ke berbagai

negara Australia, Belanda dan Selandia Baru. Sektor industri besar juga

telah menetapkan Kota Bekasi sebagai kawasan perindustrian yang dapat

memberikan keuntungan bagi pengusaha lokal maupun internasional.14

Dengan lahan yang relatif kecil tersebut, tanaman pangan, buah-

buahan dan hasil kebun lain yang dihasilkan hanyalah berupa padi, jagung,

ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, sawi, kacang panjang, bayam, mentimun,

cabe, terong, kangkung, rambutan, jambu biji, duku, sawo, pisang, pepaya,

jahe, pandan, dan kencur. Pada tahun 2012, produksi tanaman padi

menghasilkan sekitar 5.950,79 ton, kangkung 4.348 ton, sawi 3.614,4 ton,

bayam 3.556,65 ton, rambutan 2.006,87 ton, jambu biji 987,74 ton, jahe

366,47 kwintal per ha, dan selebihnya berupa sawo, pisang, dan pepaya

sekitar 600 ton. Selain pertanian dan perkebunan, Kota Bekasi juga

menghasilkan tambahan dari sektor perikanan dan peternakan. Pada tahun

2011 hasil perikanan Kota Bekasi mencapai 1.310,05 ton dengan jenis

ikan lele yang paling banyak diproduksi yaitu sekitar 531,85 ton.

14 “Profil Daerah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062. 44

Sedangkan dari sektor peternakan menghasilkan 1.104.525 ekor ayam ras

pedaging, 172.358 ekor ayam buras, 118.500 ekor ayam petelur, dan 7.294

ekor itik.15

Agama yang dianut oleh Masyarakat Kota Bekasi sangat beragam,

yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan aliran Kepercayaan. Ada

korelasi positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana

peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang

berkaitan dengan agama Islam (masjid, musholla dan langar). Berdasarkan

data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, jumlah masjid

yang ada di sana mencapai 1.032 buah, musholla 695 buah, dan langgar

mencapai 957 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut

agama Kristen dan Katolik mencapai 97 buah, agama Budha mencapai 11

buah (10 buah vihara dan 1 buah kelenteng), dan agama Hindu hanya ada

satu buah pura. Sementara data yang berkaitan dengan sarana peribadatan

atau gedung pertemuan bagi penganut aliran kepercayaan belum ada.16

Dan Walikota Bekasi tahun 2014 adalah Dr. H. Rahmat Effendi.17

15 “Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun- halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.

16 Ibid.

17 “Walikota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/53/walikota-bekasi. 45

2. Materi Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi

a. Pengertian

Definisi judi menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 diatur dalam Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi:

“Judi adalah tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.” Jadi yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini adalah setiap permainan yang mengandalkan untung-untungan dalam kemenangannya dan bertambah besar kemungkinan menangnya karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi juga mengandung segala pertaruhan keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang berlomba atau bermain itu, dan juga segala pertaruhan lain.

b. Perbuatan yang Dilarang

Adapun perbuatan yang dilarang menurut Perda Bekasi No. 11

Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain:

Pertama, memberikan izin perjudian. Maksudnya instansi pemerintah dilarang memberikan izin usaha perjudian; Kedua, 46

menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat perjudian.

Maksudnya setiap orang atau sekelompok orang dilarang tempat usaha atau tempat tinggal digunakan sebagai tempat perjudian.

Ketiga, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian. Maksudnya setiap orang maupun sekelompok orang dilarang membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian yang mengakibatkan terjadinya perbuatan perjudian. Dengan membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana kepada orang yang akan melakukan perbuatan perjudian maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan dikenakan hukuman bagi pelakunya.

Keempat, menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian maupun memberikan kesempatan untuk perjudian. Maksudnya setiap orang atau sekelompok orang dilarang menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian, maupun memberikan kesempatan untuk perjudian. Melindungi di sini maksudnya antara lain menutup-nutupi dari usaha penyidik melakukan penggrebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi; Kelima, membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian. Maksudnya setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan 47

dilarang memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian.

Keenam, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan. Maksudnya pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan diwajibkan mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, sehingga pihak pemakainya tidak menggunakan sebagai tempat perjudian; Ketujuh, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana. Maksudnya pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian.

c. Pelaku Tindak Pidana

Yang termasuk pelaku menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain:

Pelaku dalam Perda Bekasi adalah setiap orang atau sekelompok orang, penanggung jawab atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta, pemerintahan, instansi, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan baik sebagai penyedia sarana/fasilitas perjudian adalah seluruh masyarakat yang melakukan tindak pidana di bidang perjudian di wilayah hukum Kota Bekasi. Pidana kurungan hanya diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian. 48

d. Sanksi Pidana

Sanksi pidana menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 14 dan 13, antara lain:

Pertama, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana, menjadi pelindung dalam bentuk apapun. Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan menyalahgunakan rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian. Yang berdomisili atau beralamatkan di wilayah hukum Kota Bekasi, hanya dikenakan pidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi- tingginya Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Kedua, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana. Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan menyalahgunakan rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan 49

untuk perjudian maka akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.

Di dalam Perda Bekasi ini belum secara spesifik melarang seseorang melakukan perbuatan perjudian, tidak jelasnya pelaku perjudian di Perda Bekasi karena sudah diatur di dalam KUHP Pasal 303 dan Pasal

303 bis. BAB IV

PERBANDINGAN PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA

BEKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengaturan Perjudian di Aceh dalam Perspektif Hukum Islam

1. Pengertian

Definisi maisir (perjudian) menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun

2003 diatur dalam Pasal 1 ayat (20) yang berbunyi: “Maisir (perjudian)

adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua

pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapat bayaran.”

Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram

Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.1

Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk permainan

yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah memberikan

sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan kepada pihak

yang menang.2

Pada dasarnya pengertian maisir (perjudian) di atas sama dengan

persetujuannya dengan hukum Islam. Jadi, pengertian maisir (perjudian)

menurut Qanun Aceh tidak bertentangan dengan pengertian perjudian

1 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al- Qur’an (IIQ), 1987), h. 28.

2 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 297.

50 51

menurut hukum Islam karena sesuai dengan pendapat Yusuf Qardlawy dan

Hasbi as-Shiddieqy.

2. Perbuatan yang Dilarang

Adapun perbuatan yang dilarang menurut Qanun Aceh No. 13

Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:

Pertama, melakukan perbuatan maisir. Kedua, menyelenggarakan

dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan

memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir.

Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu

pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam

jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan

tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada

dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus.3 Unsur umum tersebut

adalah:

a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur

formiil).

b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan

nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil).

3 Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (Studi Analisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 34, t.d. 52

c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).4

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah

memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang

merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan

jarimah perjudian, yaitu:

a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau

lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor

yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan

rumusan tertentu.

b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang

berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari

para petaruh.5

Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala

bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam

pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy

permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi,

dilarang syara’.6

4 Ibid., h. 34.

5 Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), (Jakarta: PT Gunung Agung, 1996), Cet. 9, h. 148.

6 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298. 53

Perbuatan maisir yang dilarang dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun

2003. Ketentuan pelarangan ini sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama yang melarang melakukan perbuatan maisir.

Menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas yang dilarang dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur dalam hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun melakukan ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.

Pelindung terhadap perbuatan maisir yang dilarang dalam Qanun

Aceh No. 13 Tahun 2003. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur dalam hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun melakukan ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.

Memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir yang dilarang dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur dalam hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun melakukan ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.

3. Sanksi Pidana

Adapun sanksi pidana menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 dan 26, antara lain: Pertama, setiap pemain judi yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali. Kedua, pemberian fasilitas atau menyelenggarakan perjudian yang dilakukan baik oleh perorangan, badan 54

usaha atau badan hukum yang berdomisili atau beralamatkan di wilayah

hukum Nanggroe Aceh Darussalam, hanya dikenakan pidana dengan

pidana denda sebesar paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta

rupiah) dan paling sedikit Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Dan

jika berkaitan dengan kegiatan usaha maka akan dikenakan sanksi

administratif berupa pencabutan izin usaha.

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam

adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah

ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak

memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus

dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau

hak manusia.7

Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah

hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk

dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa

ta’zir.8 Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang

sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku.9

7 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), h. 359-360.

8Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007), Jilid III, h. 24.

9 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian sFiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 465. 55

Dengan demikian, kehadiran Qanun Aceh sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena tindak pidana maisir

(perjudian) bukan merupakan tindak pidana had atau qishash/diat tetapi tindak pidana ta’zir, yang ukuran sanksinya diserahkan pada ijtihad ulil amri atau hakim.

4. Pelaksanaan Hukuman

Adapun pelaksanaan hukuman menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun

2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 29, 30 dan 31, antara lain:

Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa

Penuntut Umum.

‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara

0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan, maka posisinya duduk dan ditutup kain di atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60

(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama 56

pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.10

Dalam jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.11 Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu

Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.12

Adapun mengenai jumlah maksimal cambuk dalam jarimah ta’zir, ulama berbeda pendapat:

Menurut Mazhab Hanafi tidak boleh melampaui batas hukuman had. Menurut Abu Hanifah tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi peminum khamr adalah dicambuk 40 kali. Menurut Abu Yusuf tidak boleh lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali.

Menurut Ulama Malikiyah sanksi ta’zir boleh melebihi had selama mengandung maslahat. Mereka berpedoman kepada keputusan Umar bin

Al-Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena

10 Ibid., Pasal 31.

11 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 149.

12 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), Cet. 2, h. 260. 57

memalsukan stempel baitul mal. Ali pernah mencambuk peminum khamr pada siang hari di bulan Ramadhan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali sebagai ta’zir.

Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

Menurut Ulama Hanafiyah batas terendah ta’zir harus mampu memberi dampak preventif dan represif. Batas terendah satu kali cambukan. Menurut Ibnu Qudamah batas terendah tidak dapat ditentukan, diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan pelaksanaannya. Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan ulil amri sebagai pegangan semua hakim. Apabila telah ada ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.13

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada cambuk dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam ta’zir dengan sifat cambuk dalam hudud.14 Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-

13 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 150-151.

14 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260. 58

laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus

dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka

bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah

auratnya. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji,

dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf

menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena

pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang

terhukum.15

Apabila pelaku adalah seorang wanita dalam keadaan hamil maka

pelaksanaan hukuman cambuk ditunda sampai dia melahirkan anak dan

anak itu telah berhenti menyusui (disapih) serta telah memakan makanan

lain misalnya roti. Hal ini untuk menjaga agar anak dalam kandungan atau

yang sedang menyusu pada ibunya itu tidak turut meninggal atau tidak

turut mengalami penderitaan karena ibunya dikenai hukuman. Apabila si

pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan

rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai

dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan. Jika si terhukum sakit

yang tidak membahayakan jiwanya maka hukuman cambuk tetap

dilaksanakan.16

15 Ibid., h. 260.

16 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta, Bulan Bintang, 2003), h. 154-155. 59

Di dalam hukum Islam dan Qanun Aceh ada yang berbeda, yaitu pelaksanaan hukuman di dalam hukum Islam pelaku tidak dihadiri oleh

Jaksa Penuntut Umum dan dokter tetapi di dalam Qanun Aceh pelaksanaan hukuman dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dan dokter.

Alat yang digunakan untuk mencambuk di dalam hukum Islam ialah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat tetapi di dalam Qanun Aceh alat cambuknya yang berdiameter antara 0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter. Pencambukan terhadap wanita hamil di dalam hukum Islam ditunda sampai dia melahirkan anak dan anak itu telah berhenti menyusui (disapih) serta telah memakan makanan lain misalnya roti tetapi di dalam Qanun

Aceh pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Di dalam hukum Islam apabila si pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan sedangkan di dalam

Qanun Aceh apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.

Peraturan pelaksanaan hukuman yang ada di dalam Qanun Aceh ada yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, yaitu pencambukan dilakukan dengan Rotan. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau 60

cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan, maka posisinya duduk dan ditutup kain di atasnya.

Matrik 1

Perbandingan Perjudian di Aceh dan Fiqih

Pengaturn Aceh Fiqih Perjudian

Pengertian Kegiatan dan/atau Sesuai dengan pendapat Yusuf perbuatan yang bersifat Qardlawy dan Hasbi as- taruhan antara dua pihak Shiddieqy. atau lebih di mana pihak yang menang mendapat bayaran.

Perbuatan Melakukan perbuatan Perbuatan maisir yang dilarang yang maisir (perjudian). dalam Qanun Aceh sesuai dengan Dilarang pendapat Jumhur Ulama yang melarang melakukan perbuatan maisir. Menyelenggarakan atau memberikan fasilitas Menyelenggarakan dan/atau kepada orang yang akan memberikan fasilitas, pelindung melakukan perjudian, terhadap perbuatan maisir, menjadi pelindung memberikan izin usaha perbuatan perjudian, penyelenggaraan maisir yang memberi izin usaha dilarang dalam Qanun. Ketentuan penyelenggaraan perjudian. pelarangan ini tidak diatur dalam hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun melakukan ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.

Sanksi Ta’zir bagi pemain: Qanun Aceh sama sekali tidak Pidana Cambuk maksimal 12 kali, bertentangan dengan hukum minimal 6 kali. Islam. Karena tindak pidana 61

maisir (perjudian) bukan Ta’zir bagi penyelenggara merupakan tindak pidana had dan/atau memberi fasilitas: atau qishash/diat tetapi tindak Denda maksimal Rp. pidana ta’zir, yang ukuran 35.000.000,- minimal sanksinya diserahkan pada ijtihad 15.000.000,- ulil amri atau hakim.

Pelaksanaan ‘Uqubat cambuk dilakukan Di dalam hukum Islam dan Hukuman di suatu tempat yang dapat Qanun Aceh ada yang berbeda, disaksikan orang banyak yaitu pelaksanaan hukuman di dengan dihadiri Jaksa dalam hukum Islam pelaku tidak Penuntut Umum dan dokter dihadiri oleh Jaksa Penuntut yang ditunjuk. Umum dan dokter tetapi di dalam Pencambukan dilakukan Qanun Aceh pelaksanaan dengan Rotan yang hukuman dihadiri oleh Jaksa berdiameter antara 0, 75 cm Penuntut Umum dan dokter. Alat sampai 1 (satu) senti meter, yang digunakan untuk panjang 1 (satu) meter dan mencambuk di dalam hukum tidak mempunyai ujung Islam ialah cambuk yang ganda atau dibelah. pertengahan (sedang, tidak terlalu Pencambukan dilakukan besar dan tidak terlalu kecil) atau pada bagian tubuh kecuali tongkat tetapi di dalam Qanun kepala, muka, leher, dada Aceh alat cambuknya yang dan kemaluan. Kadar berdiameter antara 0, 75 cm pukulan atau cambukannya sampai 1 (satu) senti meter, tidak sampai melukai si panjang 1 (satu) meter. terhukum. Terhukum laki- Pencambukan terhadap wanita laki dicambuk dalam posisi hamil di dalam hukum Islam berdiri tanpa penyangga, ditunda sampai dia melahirkan tanpa diikat, dan memakai anak dan anak itu telah berhenti baju tipis yang menutup menyusui (disapih) serta telah aurat. Sedangkan, jika memakan makanan lain misalnya terhukumnya adalah roti tetapi di dalam Qanun Aceh seorang perempuan, maka pencambukan terhadap posisinya duduk dan perempuan hamil dilakukan ditutup kain di atasnya. setelah 60 (enam puluh) hari yang Pencambukan terhadap bersangkutan melahirkan. Di perempuan hamil dilakukan dalam hukum Islam apabila si setelah 60 (enam puluh) pelaku dalam keadaan sakit yang hari yang bersangkutan dipandang tidak kuat untuk melahirkan. Apabila selama menahan rasa sakit maka pencambukan timbul hal- pelaksanaan hukuman cambuk hal membahayakan diundurkan sampai dipandang terhukum berdasarkan kesehatan si terhukum pendapat dokter yang memungkinkan sedangkan di ditunjuk, maka sisa dalam Qanun Aceh apabila cambukan ditunda sampai selama pencambukan timbul hal- dengan waktu yang hal membahayakan terhukum memungkinkan. berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa 62

cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.

Peraturan pelaksanaan hukaman yang ada di dalam Qanun Aceh ada yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, yaitu pencambukan dilakukan dengan Rotan. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan, maka posisinya duduk dan ditutup kain di atasnya.

B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi dalam Perspektif Hukum Islam

1. Pengertian

Definisi judi menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 diatur

dalam Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi: “Judi adalah tiap-tiap permainan,

yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada

untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar

karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga

segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain,

yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu,

demikian juga segala pertaruhan lain.” 63

Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram

Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.17

Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk permainan yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan kepada pihak yang menang.18

Pada dasarnya pengertian perjudian di atas sama dengan persetujuannya dengan hukum Islam. Jadi, pengertian perjudian menurut

Perda Bekasi tidak bertentangan dengan pengertian perjudian menurut hukum Islam karena sesuai dengan pendapat Yusuf Qardlawy dan Hasbi as-Shiddieqy.

2. Perbuatan yang Dilarang

Adapun perbuatan yang dilarang menurut Perda Bekasi No. 11

Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain: Pertama, memberikan izin perjudian. Kedua, menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat perjudian. Ketiga, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian.

Keempat, menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian maupun memberikan kesempatan untuk perjudian. Kelima, membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian.

17 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, h. 28-34.

18 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297. 64

Keenam, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan. Ketujuh, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana.

Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus.19 Unsur umum tersebut adalah: a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur

formiil). b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan

nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil). c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).20

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan jarimah perjudian, ialah: a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau

lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor

19 Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana…”, h. 34.

20 Ibid., h. 34. 65

yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan

rumusan tertentu. b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang

berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari

para petaruh.21

Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi, dilarang syara’.22

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang pemberian izin judi, tetapi

Perda Bekasi yang melarang pemberi izin judi. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat judi, tetapi Perda Bekasi yang melarang menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat judi.

Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk judi, tetapi Perda Bekasi

21 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 148.

22 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298. 66

yang melarang membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk judi. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang menjadi pelindung terhadap judi, tetapi Perda Bekasi yang melarang menjadi pelindung terhadap judi.

Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian, tetapi Perda Bekasi yang melarang membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan sebagai tempat perjudian, tetapi Perda Bekasi yang melarang mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan sebagai tempat perjudian.

Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berpendapat tentang pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana judi, tetapi Perda

Bekasi yang melarang pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana judi. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam. 67

3. Sanksi Pidana

Adapun sanksi pidana menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 14 dan 13, antara lain: Pertama, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana, menjadi pelindung dalam bentuk apapun. Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan menyalahgunakan rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian. Yang berdomisili atau beralamatkan di wilayah hukum kota Bekasi, hanya dikenakan pidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya

Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Kedua, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana. Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan menyalahgunakan rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian maka akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. 68

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam

adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah

ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak

memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus

dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau

hak manusia.23

Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah

hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk

dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa

ta’zir.24 Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang

sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku.25

Dengan demikian, kehadiran Perda Bekasi sama sekali tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Karena tindak pidana perjudian bukan

merupakan tindak pidana had atau qishash/diat tetapi tindak pidana ta’zir,

yang ukuran sanksinya diserahkan pada ijtihad ulil amri atau hakim.

23 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, h. 359-360.

24 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy), h. 24.

25 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 465. 69

Matrik 2

Perbandingan Perjudian di Kota Bekasi dengan Fiqih

Pengaturn Kota Bekasi Fiqih Perjudian

Pengertian Tiap-tiap permainan, yang Sesuai dengan pendapat Yusuf kemungkinannya akan Qardlawy dan Hasbi as- menang pada umumnya Shiddieqy . tergantung pada untung- untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.

Perbuatan Memberikan izin perjudian, Ulama fiqh tidak berpendapat yang menggunakan tempat tentang pemberian izin perjudian, Dilarang usaha/tempat tinggal menggunakan tempat usaha atau sebagai tempat perjudian, tempat tinggal sebagai tempat membiarkan tempat perjudian, membiarkan tempat usahanya dan/atau usahanya dan/atau menyediakan menyediakan sarana untuk sarana untuk perbuatan perjudian, perbuatan perjudian, menjadi pelindung terhadap pelindung dalam bentuk perjudian, membiarkan di apapun terhadap kegiatan lingkungannya terjadi perjudian, perjudian, maupun mencegah penyalahgunaan memberikan kesempatan rumah/bangunan, pemilik untuk perjudian, rumah/bangunan atau pihak yang membiarkan di dikuasakan dilarang menyediakan lingkungannya terjadi sarana tetapi Perda Bekasi yang perbuatan perjudian, melarang pemberi izin perjudian, mencegah penyalahgunaan menggunakan tempat usaha atau rumah/bangunan, pemilik tempat tinggal tempat perjudian, rumah/bangunan atau pihak membiarkan tempat usahanya yang dikuasakan dilarang dan/atau menyediakan sarana menyediakan sarana. untuk perbuatan perjudian, menjadi pelindung terhadap perjudian, membiarkan di 70

lingkungannya terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Sanksi Hukuman kurungan paling Perda Bekasi sama sekali tidak Pidana lama 6 (enam) bulan bertentangan dengan hukum dan/atau denda setinggi- Islam. Karena tindak pidana tingginya Rp.50.000.000.- perjudian bukan merupakan (lima puluh juta rupiah). tindak pidana had atau qishash/diat tetapi tindak pidana ta’zir, yang ukuran sanksinya diserahkan pada ijtihad ulil amri.atau hakim.

Pelaksanaan Di dalam Perda Kota Alat yang digunakan untuk Hukuman Bekasi tata cara mencambuk adalah cambuk yang pelaksanaan hukuman pertengahan (sedang, tidak terlalu mengikuti KUHAP. besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan. Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada cambuk dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam ta’zir dengan sifat cambuk dalam hudud. Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi 71

sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.

C. Perbandingan Pengaturan Qanun Aceh dan Perda Bekasi

Dari aspek definisi, perjudian yang diatur di dalam Qanun Aceh

No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11

Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi sesuai dengan

pendapat Yusuf Qardlawy dan Hasbi as-Shiddieqy.

Perjudian yang diatur di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003

Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang

Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi sama-sama dilarang. Hal ini sesuai

dengan pendapat Jumhur Ulama yang mengatur bahwa perjudian adalah

perbuatan haram.

Di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir

(Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan

Perjudian di Kota Bekasi seseorang dilarang melakukan perbuatan

perjudian. Hal ini sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama. 72

Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha di dalam Qanun

Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dilarang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir, menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir, memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir. Aturan ini tidak dibahas oleh ulama fiqih namun bukan berarti bertentangan dengan hukum

Islam karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.

Memberikan izin perjudian, menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat perjudian, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian, menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian maupun memberikan kesempatan untuk perjudian, membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana di dalam Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di

Kota Bekasi. Aturan ini tidak dibahas oleh ulama fiqih namun bukan berarti bertentangan dengan hukum Islam karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.

Dari aspek perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh No. 13

Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun

2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi ada yang sama, yaitu:

Pertama, perbuatan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan judi. Kedua, menjadi pelindung 73

terhadap bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian. Ketiga, memberikan izin usaha penyelenggaraan perjudian. Pengaturan ini juga tidak dibahas oleh ulama fiqih namun bukan berarti bertentangan dengan hukum Islam karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.

Perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003

Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang

Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi juga ada yang berbeda, yaitu: di dalam Qanun Aceh aspek yang dilarang adalah melakukan perbuatan maisir berbeda dengan aspek yang dilarang di dalam Perda Bekasi yaitu menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat perjudian, membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana.

Dari aspek subyek hukum di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun

2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005

Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam

Qanun Aceh subyek hukumnya adalah orang yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di bidang maisir di wilayah hukum Nanggroe

Aceh Darussalam sedangkan di dalam Perda Bekasi subyek hukumnya adalah semua orang yang melakukan tindak pidana di bidang judi di wilayah hukum Bekasi. 74

Dari aspek sanksi pidana di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003

Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang

Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam Qanun Aceh sanksinya berupa cambuk dan denda sedangkan di dalam Perda Bekasi sanksinya berupa pidana kurungan dan/atau denda.

Dari aspek pelaksanaan hukuman di dalam Qanun Aceh No. 13

Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun

2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam Qanun Aceh diatur masalah pelaksanaan hukuman bagi pelaku judi, sedangkan di dalam Perda Bekasi pelaksanaan hukuman mengikuti

KUHAP.

Penerimaan uang denda dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003

Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang

Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam Qanun Aceh diserahkan kepada baitul mal sedangkan di dalam Perda Bekasi diserahkan kepada pemerintah.

Di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir

(Perjudian) diatur pengulangan pelanggaran maka hukumannya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari hukuman maksimal sedangkan di Perda

Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi tidak tiatur masalah pengulangan pelanggaran. 75

Matrik 3

Perbandingan Perjudian di Aceh dengan Kota Bekasi

Pengaturn Aceh Kota Bekasi Perjudian

Pengertian Kegiatan dan/atau Tiap-tiap permainan, yang perbuatan yang bersifat kemungkinannya akan menang taruhan antara dua pihak pada umumnya tergantung pada atau lebih di mana pihak untung-untungan saja, juga kalau yang menang mendapat kemungkinan itu bertambah besar bayaran. karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.

Perbuatan Melakukan perbuatan Memberikan izin perjudian, yang maisir (perjudian). menggunakan tempat Dilarang usaha/tempat tinggal sebagai tempat perjudian, membiarkan tempat usahanya dan/atau Menyelenggarakan atau menyediakan sarana untuk memberikan fasilitas perbuatan perjudian, kepada orang yang akan pelindung dalam bentuk apapun melakukan perjudian, terhadap kegiatan perjudian, menjadi pelindung maupun memberikan kesempatan perbuatan perjudian, untuk perjudian, memberi izin usaha membiarkan di lingkungannya penyelenggaraan perjudian. terjadi perbuatan perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana.

Sanksi Ta’zir bagi pemain: Hukuman kurungan paling lama 6 Pidana Cambuk maksimal 12 kali, (enam) bulan dan/atau denda minimal 6 kali. setinggi-tingginya Rp.50.000.000,- (lima puluh juta Ta’zir bagi penyelenggara rupiah). dan/atau memberi fasilitas: Denda maksimal Rp. 76

35.000.000,- minimal 15.000.000,-

Pelaksanaan ‘Uqubat cambuk dilakukan Di dalam Perda Kota Bekasi tata Hukuman di suatu tempat yang dapat cara pelaksanaan hukuman disaksikan orang banyak mengikuti KUHAP. dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara 0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki- laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya adalah seorang perempuan, maka posisinya duduk dan ditutup kain di atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama pencambukan timbul hal- hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perbedaan dan persamaan pengaturan perjudian di dalam Qanun

Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi

No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dapat

dilihat dari aspek-aspek perjudian, di antaranya definisi/pengertian,

perbuatan yang dilarang, pelaku/subyek hukum, sanksi pidana,

pelaksanaan hukuman:

1. Dari aspek definisi, perjudian yang diatur di dalam Qanun Aceh dan

Perda Bekasi sesuai dengan pendapat Yusuf Qardlawy dan Hasbi as-

Shiddieqy.

2. Dari aspek perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh dan Perda

Bekasi ada yang sama, yaitu: Pertama, perbuatan menyelenggarakan

dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan

perbuatan judi. Kedua, menjadi pelindung terhadap bentuk apapun

terhadap kegiatan perjudian. Ketiga, memberikan izin usaha

penyelenggaraan perjudian. Pengaturan ini juga tidak dibahas oleh

ulama fiqh namun bukan berarti bertentangan dengan hukum Islam

karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.

Perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh dan Perda Bekasi juga

ada yang berbeda, yaitu: di dalam Qanun Aceh aspek yang dilarang

77 78

adalah melakukan perbuatan maisir berbeda dengan aspek yang

dilarang di dalam Perda Bekasi yaitu menggunakan tempat usaha atau

tempat tinggal sebagai tempat perjudian, membiarkan di lingkungannya

terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik

rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan

sarana.

3. Dari aspek subyek hukum, di dalam Qanun Aceh subyek hukumnya

adalah orang yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di

bidang maisir di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam

sedangkan di dalam Perda Bekasi subyek hukumnya adalah semua

orang yang melakukan tindak pidana di bidang judi di wilayah hukum

Bekasi.

4. Dari aspek sanksi pidana, di dalam Qanun Aceh sanksinya berupa

cambuk dan denda sedangkan di dalam Perda Bekasi sanksinya berupa

pidana kurungan dan/atau denda.

5. Dari aspek pelaksanaan hukuman, di dalam Qanun Aceh diatur

masalah pelaksanaan hukuman bagi pelaku judi, sedangkan di dalam

Perda Bekasi pelaksanaan hukuman mengikuti KUHAP.

6. Pengaturan perjudian dari aspek definisi/pengertian, perbuatan yang

dilarang, pelaku/subyek hukum, sanksi pidana dan pelaksanaan

hukuman tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena ketentuan-

ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk

jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir 79

sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak

memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus

dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah

atau hak manusia.

B. Saran-saran

1. Kepada aparat Pemerintah

Agar bertindak lebih tegas terhadap warga yang terlibat perjudian dan

bekerjasama dengan aparat kepolisian untuk menindak oknum-oknum

yang berjudi agar diberi hukuman. Peranan tokoh masyarakat

sangatlah mendukung untuk memberikan pendekatan pada masyarakat

persuasif.

2. Kepada masyarakat Aceh dan Kota Bekasi

Ingatlah bahwa perjudian sangat berakibat buruk, tidak hanya pada diri

sendiri tetapi juga terhadap orang lain dan belum pernah tercatat dalam

sejarah ada orang kaya karena judi dan perjudian itu sendiri dapat

mengakibatkan roda kehidupan menjadi terbengkalai. 80

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Tarmidzi, Ed. Hukum Pidana Islam. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ambary, Hasan Muarif, Abdul Aziz Dahlan, Ed. Suplemen Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al- Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy). Jilid I. Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor. Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007.

______Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy). Jilid III. Penerjemah: Tim Tsalisah- Bogor. Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007.

Bakry, Nazar. Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam. Cet. 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994. Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Cet. 6. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Hosen, Ibrahim. Apakah Judi Itu ?. Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al- (IIQ), 1987. Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013. Malik, Muhammad Abduh. Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP. Jakarta, Bulan Bintang, 2003. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Kencana, 2007. Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram. Cet. 9. Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 2010. Saleh, H.E. Hassan. Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Usman, Abdullah Sani. Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i. Penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Jakarta: Almahira, 2010. 81

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam) Cet. 9. Jakarta: Toko Gunung Agung, 1996.

REFERENSI DARI UNDANG-UNDANG Peraturan Daerah Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi. Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).

REFERENSI DARI INTERNET

“Gambaran Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”, artikel diakses pada 7 Maret 2014 dari http://www.profilkabupaten.com/gambaran- umum-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam-nad/.

“Kondisi Geografis Wilayah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/5456/kondisi- geografis-wilayah-kota-bekasi.

“Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun- halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.

“Profil Daerah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062.

“Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee 1058.pdf.

“Puluhan Ribu E-KTP Baru Turun Lagi”, artikel yang diakses pada tanggal 7 Maret 2014 dari http://poskotanews.com/2014/03/05/puluhan-ribu-e- ktp-baru-turun-lagi/.

“Walikota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/53/walikota-bekasi. QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG

MAISR (PERJUDIAN)

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Menimbang : a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2001, arlara lain di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah; b. bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perhuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun tentang Maisir; Mengingat : 1. Al - Qur’an; 2. Al-hadist 3. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103) 5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040); 6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); 7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintanan Daerah (Lembaran Negara republic Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 8. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893). 9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah lstimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Tahun 1983Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) 11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3953); 14. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70); 15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1966 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah; 16. Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); 17. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2000 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4); 18. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang , dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH MEMUTUSKAN

Menetapkan : QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG MAISR (PERJUDIAN)

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal I

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah GUBERNUR beserta perangkat lain Pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4. GUBERNUR adalah GUBERNUR Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan. 7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. 8. Keuchik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. 9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 11. Wilayatui Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. 12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam. 13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau penyidik Pegawai Negeri Sipil, 14. Penyidik pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh GUBERNUR yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam, 15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus dibidang Syari’at Islam; 16. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah; 17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi Nanggroe Aceh Darussalam dari/atau pejabat lain di lingkungan yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 18. Jarimah adalah perbuatan yang diancam dengan Uqubah qishasil-diat, hudud, dan ta’zir. 19. Uqubat adalah ancaman ‘uqubat terhadap pelanggaran jarimah. 20. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.

BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 2

Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak- pihak yang bertaruh dan orangorang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.

Pasal 3

Tujuan larangan maisir (perjudian) adalah untuk: (1) Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan; (2) Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir; (3) Melindungi masyarakat dan pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir; (4) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir. BAB III LARANGAN DAN PENCEGAHAN Pasal 4

Maisir hukumnya haram. Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir.

Pasal 6

(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/atau memberikan fasititas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. (2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.

Pasal 7

Instansi Pemerintah, dilarang memberi izin penyelenggaraan maisir.

Pasal 8

Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir.

BAB IV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 9

(1) Setiap anggota masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir (2) Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya perbuatan maisir.

Pasal 10

Dalam hal pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang

Pasal 11

Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Pasal 12 Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan/jaminan keamanan kepada pelapor dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.

Pasal 13

Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah.

BAB V PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 14

a. Gubernur, Bupati/Walikota, camat, imum Mukim dan keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, dan 7. b. Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, dan Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. c. Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

Pasal 15

(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) yang menemukan pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, dan 7, menyerahkan persoalan itu kepada Penyidik. (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah maisir dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahuu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada Penyidik.

Pasal 16

Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada Mahkamah apabila Iaporannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.

BAB VI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN Pasal 17

Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran maisir dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.

Pasal 18

Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan bidang Syari’at lslam

Pasal 19 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang adanya janimah Maisir; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambii sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa, sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluanganya dan Wilayatul Hisbah j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah koordinasi penyidik umum.

Pasal 20

Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan maisir wajib segera melakukan penyidikan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21

Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 22

Penuntut umum mempunyai wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan penyidik; b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dan penyidik; c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. menumpahkan perkara ke Mahkamah; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku; i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.

BAB VII KETENTUAN ‘UQUBAT Pasal 23

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali. (2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dan 7 diancam dengan ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000.(tiga puluh Lima juta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000. (Lima belas juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah ta’zir.

Pasal 24

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) merupakan penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.

Pasal 25

Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dan jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.

Pasal 26

Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal

Pasal 27

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan;

BAB VII PELAKSANAAN ‘UQUBAT Pasal 28

(1) ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.

Pasal 29

(1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dan Kepala Kejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah rnendapat keterangan dokter yang berwenang. Pasal 30

(1) ‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. (2) Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara 0.75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/dibelah. (3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. (4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai. (5) Terhukum laki-Iaki dicmbuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan terhukum perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. (6) Pencambukan terhadap perempuan hamil setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.

Pasal 31

Apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32

Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam Qanun tersendiri, maka Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981), dan Peraturan Perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam Qanun ini.

BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 33

Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 34

Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memeririntahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Disahkan di Banda Aceh Pada tanggal, l5 Juli 2003 M 7 Jumadil Awal 1424 H

GUBERNUR PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

ABDULLAH PUTEH

Diundangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 M 16 Jumadil Awal 1424 H

SEKRETARIS DAERAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

THANTAWI ISHAK

LEMBARAN DAERAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 26 SERI D NOMOR 13 PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERJUDIAN DI KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI

Menimbang : a. bahwa Kota Bekasi daerah bernuansa ihsan yang membutuhkan keamanan, ketertiban dan ketentraman.

b. bahwa untuk mendukung terwujudnya keamanan, ketertiban dan ketentraman perlu dibangun kehidupan sosial masyarakat yang bersih dari perjudian dan berbagai bentuk kemaksiatan.

c. bahwa untuk membangun kehidupan sosial masyarakat yang bersih dari perjudian dan berbagai bentuk kemaksiatan perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang- undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah KUHP (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040);

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3663);

5. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);

6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

7. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168);

8. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358);

9. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

10. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401); 11. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3866);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

17. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 37 Tahun 1998 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi (Lembaran Daerah Tahun 1998 Nomor 39 Seri D);

18. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2003 tentang Rencana Strategik Pemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2003-2008 (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 6 Seri E). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BEKASI dan WALIKOTA BEKASI MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN PERJUDIAN DI KOTA BEKASI

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Bekasi; 2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah; 3. Walikota adalah Walikota Bekasi; 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi; 5. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi; 6. Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat POLRI adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah kerja Daerah; 7. Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang; 8. Pengadilan Negeri adalah pengadilan negeri di dalam wilayah Daerah; 9. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah; 10. Pencegahan adalah tindakan awal merintangi, antisipasi, menolak atau melarang agar tidak terjadi suatu perbuatan yang berkaitan dengan tindakan perjudian; 11. Satuan Polisi Pamong Praja adalah Perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Walikota ; 12. Judi adalah tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain; 13. Instansi vertikal adalah perangkat dari Departemen atau Lembaga Pemerintah non Departemen yang mempunyai lingkungan kerja di wilayah yang bersangkutan; 14. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh Walikota guna mencapai keselarasan, keserasian, dan keterpaduan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua Instansi Vertikal, dan antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah agar tercapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya; 15. Pihak yang berwajib adalah Kepolisian Metro Bekasi. BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Ruang lingkup pencegahan perjudian dalam Peraturan Daerah ini adalah segala bentuk kegiatan pencegahan dan/atau perbuatan yang berhubungan dan/atau mengarah pencegahan pada perjudian.

(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud ayat (1) berisikan ketentuan–ketentuan yang mengatur kewenangan dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melaksanakan pencegahan perjudian.

(3) Dalam hal ketentuan-ketentuan yang mengatur kewenangan dan kewajiban Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka segala bentuk akibat hukum yang ditimbulkan termasuk ancaman hukumannya tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 3 Pencegahan perjudian ini bertujuan : a. melindungi masyarakat terhadap adanya berbagai bentuk kegiatan perjudian; b. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan perjudian; c. mendukung penegakan hukum yang optimal terhadap ketentuan peraturan dan perundang- undangan yang berhubungan dengan kegiatan dan/atau perbuatan judi. BAB III JENIS PERJUDIAN Pasal 4 Jenis perjudian yang harus dicegah adalah (setiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain) antara lain terdiri atas : 1. Perjudian yang biasa dilakukan di kasino, seperti : a. Roulette; b. Blackjack; c. Baccarat; d. Creps; e. Keno; f. Tombola; g. Super Ping-pong; h. Lotto Fair; i. Satan; j. Paykyu; k. Slot machine (jackpot) l. Ji Si Kie; m. Big Six Wheel; n. Chuc a luck; o. Lempar panser/bulu ayam pada sasaran atau apapun yang berputar (Paseran) p. Pachinko; q. Poker; r. Twenty one; s. Hwa-Hwe; t. Kiu-kiu.

2. Perjudian di tempat-tempat keramaian yang harus dicegah, antara lain terdiri dari perjudian dengan : a. Lempar panser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; b. Lempar gelang; c. Lempar uang (coin); d. Kim; e. Pancingan; f. Menembak sasaran yang tidak berputar; g. Lempar bola; h. Adu ayam; i. Adu kerbau; j. Adu domba/kambing; k. Pacu Kuda; l. Karapan sapi; m. Pacu anjing; n. Hailai; o. Mayong/macak; p. Erek-erek; q. Toto gelap (Togel).

3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang berkaitan dengan kebiasaan : a. Adu ayam/Sabung ayam; b. Adu sapi; c. Adu kerbau; d. Pacu kuda; e. Karapan sapi; f. Adu domba/kambing.

4. Dan jenis-jenis kegiatan yang diindikasikan sebagai judi. BAB IV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 5 Peran serta masyarakat dalam pencegahan perjudian merupakan kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut mewujudkan kehidupan yang aman dan tenteram bebas dari perjudian, yang meliputi: a. memberi peringatan agar setiap orang tidak melakukan perjudian dan tindakan yang mengarah pada perjudian; b. membantu mengawasi lingkungan agar tidak terjadi perbuatan yang mengarah pada perjudian; c. mencegah dibukanya lokasi-lokasi atau tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan perjudian; d. melaporkan kepada Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan Perangkat Pemerintahan Daerah, apabila terjadi perbuatan perjudian atau mengarah pada perbuatan perjudian; e. melaporkan atau mengadukan kepada pihak berwajib apabila mengetahui diduga adanya perbuatan perjudian. Pasal 6 Pihak berwajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf e. BAB V PENCEGAHAN PERJUDIAN Pasal 7 (1) Pemerintah Daerah dilarang memberikan izin perjudian dalam bentuk apapun.

(2) Setiap orang dan/atau sekelompok orang dilarang menggunakan tempat usaha/tempat tinggal sebagai tempat perjudian.

(3) Setiap orang maupun sekelompok orang dilarang membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian yang mengakibatkan terjadinya perbuatan perjudian.

(4) Setiap orang dan/atau sekelompok orang dilarang menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian, maupun memberikan kesempatan untuk perjudian.

(5) Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan dilarang memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian.

(6) Setiap penanggung jawab dan/atau pemimpin lembaga pendidikan, lembaga swasta, pemerintahan serta instansi wajib mencegah terjadinya perbuatan perjudian di lingkungannya.

(7) a. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan diwajibkan mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, sehingga pihak pemakainya tidak menggunakan sebagai tempat perjudian; b. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 8 Pemerintah Daerah bersama masyarakat melakukan pembinaan yang diarahkan untuk : a. mencegah terjadinya dan meluasnya perbuatan perjudian; b. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas meluasnya perbuatan perjudian; c. mencegah seluruh lapisan masyarakat terlibat dalam kegiatan perbuatan perjudian; d. mendidik, mensosialisasikan, penyuluhan nilai-nilai moral, agama dan hukum kepada seluruh lapisan masyarakat.

Pasal 9 (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pencegahan perjudian ini dilakukan oleh Walikota dan pejabat lain yang berwenang dalam penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pengawasan terhadap kegiatan yang potensial mengarah pada perbuatan perjudian, dapat dilakukan oleh : a. Pemerintah Daerah dan DPRD; b. Penegak Hukum; c. Warga masyarakat. (3) Penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pasal ini, meliputi : a. Kepolisian; b. Polisi Militer; c. Kejaksaan; d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil; e. Satuan Polisi Pamong Praja. (4) Pemerintah Daerah dan/atau Instansi Vertikal wajib mengawasi perjudian di perbatasan dan pintu-pintu masuk Kota Bekasi. BAB VII KOORDINASI KEGIATAN DENGAN INTANSI VERTIKAL Pasal 10 Walikota wajib menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan pencegahan dan pemberantasan perjudian dengan Instansi Vertikal. Pasal 11 (1) Dalam melaksanakan koordinasi, Walikota melakukan : a. perencanaan dan pengorganisasian kegiatan bersama instansi vertikal terhadap masalah sosial yg terkait dengan masalah pencegahan dan pemberantasan perjudian; b. Evaluasi bersama dengan instansi vertikal dalam 6 (enam) bulan sekali terhadap masalah sosial yg terkait dengan masalah pencegahan dan pemberantasan perjudian. (2) Dalam melaksanakan koordinasi Walikota memperhatikan prinsip fungsionalisasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII PENYIDIKAN Pasal 12 (1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik Pegawai Negari Sipil (PPNS) diberikan kewenangan penyidikan sesuai peraturan yang berlaku pada instansinya.

(3) Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, penyidik berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang, kelompok atau lembaga tentang adanya perbuatan perjudian; b. melakukan tindakan pertama pada saat ini ditempat kejadian serta melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan setelah terjadi perbuatan perjudian; c. menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dari kegiatan perjudian dan memeriksa tanda pengenalnya; d. melakukan penggeledahan, penyitaan benda dan/atau surat yang diduga berkaitan dengan perbuatan perjudian; e. mengambil sidik jari dan photo yang diduga sebagai tersangka; f. memanggil seseorang atau beberapa orang untuk didengar dan diperiksa yang diduga sebagai tersangka atau saksi; g. menghentikan penyidikan setelah tidak terdapat cukup bukti atau setelah diketahui peristiwa yang disidik bukan merupakan perbuatan perjudian; h. mengadakan tindakan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

(4) Penyidik dimaksud ayat (2) pasal ini membuat Berita Acara untuk setiap tindakan : a. pemeriksaan yang diduga tersangka; b. penggeledahan; c. penyitiaan barang; d. pemeriksaan surat; e. pemeriksaan saksi; f. pemeriksaan tempat kejadian; g. penyimpanan dan penyisihan barang bukti. BAB IX SANKSI ADMINISTRASI Pasal 13 (1) Barang siapa yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2), (3), (5), (6) dan (7) Peraturan Daerah ini diancam dengan sanksi administratif. (2) Sanksi sebagaimana ayat (1) pasal ini berupa pencabutan izin. (3) Ketentuan pencabutan izin sebagaimana ayat (2) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 14 (1) Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) sampai dengan (7) Peraturan Daerah ini diancam dengan hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud ayat 2 pasal ini adalah pelanggaran. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Daerah ini akan diatur dengan Peraturan dan/atau Keputusan Walikota. Pasal 16 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bekasi. Ditetapkan di Bekasi pada tanggal 22 Nopember 2005 WALIKOTA BEKASI Ttd/Cap AKHMAD ZURFAIH Diundangkan di Bekasi pada tanggal 22 Nopember 2005 SEKRETARIS DAERAH KOTA BEKASI Ttd/Cap TJANDRA UTAMA EFFENDI Pembina Utama Muda NIP. 010 081 186 LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2005 NOMOR 13 SERI E