Regenerasi Seniman Reog Ponorogo Untuk Mendukung Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Dan Menunjang Pembangunan Industri Kreatif

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Regenerasi Seniman Reog Ponorogo Untuk Mendukung Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Dan Menunjang Pembangunan Industri Kreatif REGENERASI SENIMAN REOG PONOROGO UNTUK MENDUKUNG REVITALISASI SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DAN MENUNJANG PEMBANGUNAN INDUSTRI KREATIF Supariadi, Warto Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata dan Budaya, LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model regenerasi seniman reyog Ponorogo guna mendukung revitalisasi seni pertunjukan tradisional dan menunjang pembangunan industri kreatif. Penelitian multi tahun ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pada tahun pertama pengumpulan data dilakukan melalui beberapa metode termasuk pengamatan lapangan (site observation), wawancara mendalam (in-depth interview), diskusi kelompok terarah (focus group discussion), dan metode simak (document study). Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dan snowball. Data dianalisis dengan menggunakan model analisis interaktif (Miles & Huberman, 1984) dan analisis tematik (Kvale, 1996 & Hayes, 1997). Lokasi penelitian adalah Kabupaten Ponorogo yang merupakan daerah asal seni pertunjukan Reog Ponorogo. Hasil penelitian tahun pertama dapat dijelaskan sebagai berikut. Regenerasi seniman reog Ponorogo dapat dikelompokkan menjadi regenerasi jalur formal (reog festival) dan non formal (reog obyog). Seniman Reog Ponorogo, baik reog festival maupun reog obyog, memiliki potensi dan kompetensi yang baik untuk menampilkan seni pertunjukan reog menjadi identitas khas daerah. Secara umum masyarakat Kabupaten Ponorogo memiliki apresiasi yang baik terhadap seni reog, khususnya reog festival. Dari fakta tersebut diketahui bahwa minat generasi muda untuk menjadi seniman juga cukup tinggi, khsuusnya untuk menjadi seniman reog festival. Dengan demikian hal tersebut juga merupakan dukungan positif kepada proses regenerasi seniman reog yang selama ini telah berlangsung dengan baik. Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah memiliki komitmen yang baik dalam mendukung regenerasi seniman reog melalui berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh instansi/dinas teknis terkait seperti penyelenggaraan festival reog nasional (FRN), festival reog mini (FRM), pentas reog bulan purnama, parade reog, dan pengintegrasian reog ke dalam muatan lokal pada kurikulum sekolah. Model Regenerasi Seniman Reog Ponorogo untuk Mendukung Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional dan Menunjang Pembangunan Industri Kreatif antara lain adalah menumbuhkan minat dan apresisasi generasi muda melalui jalur formal dan non-formal. Kata Kunci: Regenerasi Seniman, Reog Ponorogo, Industri Kreatif. 13 Cakra Wisata, Vol 16 Jilid 1 Tahun 2015 PENDAHULUAN peremajaan (rejuvenasi) seniman Reog menjadi hal yang amat penting untuk Reog Ponorogo merupakan salah satu diperhatikan oleh berbagai pihak demi karya seni pertunjukan tradisional yang menjaga keberlangsungan seni pertunjukan telah menjadi pusat perhatian masyarakat, tradisional tersebut. baik lokal, nasional maupun internasional Seni pertunjukan tradisional, dan merupakan salah satu karya seni termasuk Reog Ponorogo, merupakan salah budaya yang memiliki kekuatan menjadi satu unsur kesenian yang sudah lama identitas budaya nasional. Seni pertunjukan menjadi bagian hidup dari suatu ini merupakan teater rakyat yang biasa masyarakat. Kesenian menjadi bagian dipentaskan dalam acara-acara prosesi di hidup dari masyarakat tradisi, yang tempat atau arena terbuka. Seni pertunjukan merupakan simbol dan sekaligus ini sangat terkenal di daerah Ponorogo dan representasi dari aktivitas kehidupan memiliki pengaruh yang kuat bahkan mereka sehari-hari. Dalam rangka menjaga sampai ke luar daerah Jawa Timur. Oleh keseimbangan antara mikrokosmos dan karena itu, Reog Ponorogo yang memiliki makrokosmos, masyarakat tradisi nilai-nilai kultural yang khas dan telah memanfaatkan kesenian sebagai media diwariskan secara turun temurun perlu untuk menjaga keharmonisan hubungan dipelihara dan dilestarikan agar dapat tetap antara manusia dengan alam, antarmanusia, memiliki eksistensi sebagai identitas dan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks budaya lokal maupun nasional. seperti ini, seni tradisi tidak hanya berfungsi Reog Ponorogo merupakan seni sebagai hiburan/tontonan tetapi juga pertunjukan tradisional yang unik, di mana menjadi tuntunan atau orientasi nilai. terdapat salah satu bagian pementasan yang Dalam perkembangannya, beberapa menampilkan Dhadhak Merak, di mana jenis seni pertunjukan tradisional pemain atau senimannya harus mampu mengalami kemunduran atau bahkan memanggul Barongan yang sangat berat mengalami kepunahan. Ancaman dengan menggigit Barongan atau kepala terjadinya kepunahan akan berlangsung Singa. Hal tersebut merupakan sesuatu terus apabila masyarakat pemiliknya tidak yang tidak mudah dilakukan oleh setiap memiliki kemauan untuk menjaga orang dan oleh karena itu memerlukan keberlangsungan atau melestarikan seni pemikiran tersendiri untuk melakukan tersebut. Nasib seni tradisi yang ‘hidup regenerasi seniman/pemain reog secara segan mati tak mau’ antara lain dipicu oleh keseluruhan. adanya perkembangan teknologi yang amat Namun demikian yang menjadi pesat, arus globalisasi melalui berbagai permasalahan adalah semakin sedikitnya media informasi dan komunikasi yang minat warga masyarakat untuk menjadi cukup gencar, dan perubahan sosial yang seniman Reog. Seperti halnya jenis deras yang dapat membawa seni kesenian tradisional lainnya yang tersebar pertunjukan tradisional ke titik kepunahan. di wilayah Indonesia yang semakin Bila semula seni tradisi yang mempunyai ditinggalkan generasi muda, pada saat ini fungsi religius-magis merupakan unsur sebagian besar seniman yang mementaskan budaya tak terpisahkan dari masyarakat kesenian Reog adalah generasi tua. Dengan tradisi, sekarang fungsi itu berubah. demikian masalah regenerasi dan Bersamaan dengan berubahnya basis-basis 14 Supariadi, Warto : Regenerasi Seniman Reog Ponorogo … sosio kultural masyarakat pendukungnya, upaya-upaya yang dilakukan untuk seni tradisi juga berubah. Bahkan, seni menjaga keberlangsungann seni tersebut pertunjukan tradisional kadang “dipaksa” agar tidak mengalami kemandegan dan berubah mengikuti arus perubahan yang kepunahan. Seni pertunjukan tradisional dipaksakan sehingga sudah tidak sesuai lagi merupakan salah bentuk ekspresi komunal dengan fungsi dan karakteristik aslinya. yang penting dan berfungsi sebagai Dalam usaha mewujudkan jembatan dialog antara hamba dan Sang pembangunan nasional yang berkarakter Pencipta, antara masyarakat dan pemuka atau berlandaskan pada nilai-nilai budaya adat, dan antara sesama manusia. Reog, bangsa, pelestarian dan pengembangan seni misalnya, adalah salah satu kesenian tradisi tradisi sebagai kekayaan budaya mutlak yang sangat kental dengan hal-hal yang diperlukan. Seni tradisi merupakan modal berbau mistik dan ilmu kebatinan yang sosial budaya yang cukup penting dalam kuat, serta di dalamnya mengandung ajaran pembangunan bangsa ke depan. Oleh moral dan sekaligus kritik terhadap karena itu, agar seni pertunjukan tradisional kekuasaan yang korup. seperti Reog Ponorogo sebagai salah satu Akhir-akhir ini banyak seni produk dan identitas budaya bangsa dapat pertunjukan tradisional yang mulai punah bertahan dan lestari, maka harus dilakukan karena kurang mendapatkan perhatian serta regenerasi seniman dengan sebaik-baiknya. tidak adanya upaya revitalisasi dari pihak- Regenerasi seniman Reog Ponorogo pihak terkait, baik pemerintah, masyarakat merupakan persoalan krusial dan mendesak maupun lembaga terkait lainnya. Demikian dilakukan karena dua hal: Pertama, agar pula pengaruh nilai-nilai global yang supaya seni tradisi tidak kehilangan diserap oleh masyarakat modern, generasi penerus yang menjadi pemangku khususnya para kaum muda, dapat menjadi kebudayaan tersebut sehingga perlu salah satu faktor yang menciptakan jarak menumbuhkan apresiasi dan kecintaan yang terentang semakin jauh antara generasi muda terhadap warisan tradisi generasi muda bangsa dengan seni yang bernilai tinggi mutlak dilakukan. pertunjukan tardisional tersebut. Kedua, agar supaya kesenian Reog Oleh karena itu, antisipasi terhadap Ponorogo tetap diakui menjadi bagian dari kepunahan seni pertunjukan tradisional kekayaan budaya bangsa Indonesia harus dilakukan. Upaya yang perlu sehingga tidak mudah diklaim atau diakui dilakukan adalah bagaimana membuat seni kepemilikannya oleh pihak/bangsa lain. pertunjukan tradisional sebagai bagian dari Dalam konteks ini lah maka penelitian tradisi kesenian tidak kehilangan spirit mengenai “Regenerasi Seniman Reog hidupnya, sehingga tetap mampu Ponorogo untuk Mendukung Revitalisasi menyediakan iklim kebebasan untuk Seni Pertunjukan Tradisional dan berekspresi, berkreasi, dan beraspirasi Menunjang Pembangunan Industri Kreatif” kepada masyarakat seniman agar dapat penting dilakukan. dinikmati oleh masyarakat luas. Seni pertunjukan tradisional tidak Pengembangan seni pertunjukan tradisional hanya sekedar diciptakan dan dinikmati akan mendukung teguhnya jati diri, belaka melainkan lebih dari itu perlu kokohnya nilai budaya dan adat istiadat dilindungi dan dilestarikan. Perlindungan yang hidup dalam masyarakat. atas seni pertunjukan tradisional adalah Pengembangan seni pertunjukan tradisional 15 Cakra Wisata, Vol 16 Jilid 1 Tahun 2015 juga akan menjunjung harkat dan martabat beredar berbagai versi cerita asal-usul masyarakat yang sekaligus akan menerima kesenian tersebut. Begitu pula di sana juga manfaat pembangunan kesenian untuk terdapat sejumlah variasi bentuk mewujudkan kerukunan, persatuan, dan pertunjukan reog. Dengan demikian muncul
Recommended publications
  • Analysis on Symbolism of Malang Mask Dance in Javanese Culture
    ANALYSIS ON SYMBOLISM OF MALANG MASK DANCE IN JAVANESE CULTURE Dwi Malinda (Corresponing Author) Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 365 182 51 E-mail: [email protected] Sujito Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 817 965 77 89 E-mail: [email protected] Maria Cholifa English Educational Department, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 345 040 04 E-mail: [email protected] ABSTRACT Malang Mask dance is an example of traditions in Java specially in Malang. It is interesting even to participate. This study has two significances for readers and students of language and literature faculty. Theoretically, the result of the study will give description about the meaning of symbols used in Malang Mask dance and useful information about cultural understanding, especially in Javanese culture. Key Terms: Study, Symbol, Term, Javanese, Malang Mask 82 In our every day life, we make a contact with culture. According to Soekanto (1990:188), culture is complex which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Culture are formed based on the local society and become a custom and tradition in the future. Culture is always related to language. This research is conducted in order to answer the following questions: What are the symbols of Malang Mask dance? What are meannings of those symbolism of Malang Mask dance? What causes of those symbolism used? What functions of those symbolism? REVIEW OF RELATED LITERATURE Language Language is defined as a means of communication in social life.
    [Show full text]
  • KAJIAN STRUKTUR PERTUNJUKAN LUDRUK TOBONG DI PONOROGO Oleh Abdul Fatah Jaelani [email protected] Dr. Autar Abdillah, S.Sn
    KAJIAN STRUKTUR PERTUNJUKAN LUDRUK TOBONG DI PONOROGO Oleh Abdul Fatah Jaelani [email protected] Dr. Autar Abdillah, S.Sn., M.Si Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya [email protected] ABSTRAK Ludruk tobong adalah salah satu pertunjukan ludruk yang dipertunjukkan di panggung tertutup. Penonton membeli tiket untuk menyaksikan. Ludruk tobong merupakan kerja seni pertunjukan mandiri dengan penghasilan yang didapatkan dari penjualan tiket. Kelompok ludruk tobong di Jawa Timur sangat minim, di Ponorogo terdapat 3 kelompok Ludruk yang masih melaksanakan tobongan, yakni Ludruk Suromenggolo, Irama Muda, dan Wahyu Budaya. Ludruk tobong di Ponorogo menampilkan pertunjukan dengan mengurangi esensi dagelan dan meniadakan lakon pada struktur pertunjukannya. Sebagai acara utama dalam pertunjukan ludruk tobong ini adalah monosuko, lagu-lagu yang di pesan oleh penonton dan dinyanyikan oleh para tandhak ludruk. Penelitian ini menggunakan struktur pertunjukan ludruk oleh Peacock, Konvensi ludruk oleh Lisbianto, Teater Kitchs dan tandhak oleh Supriyanto. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data manusia dan non manusia. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi yang divalidasi dengan menggunakan triangulasi sumber dan teknik. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan cara reduksi data, interpretasi data, serta penarikan simpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketiga ludruk tobong di Ponorogo melaksanakan tobongan dengan struktur pertunjukan tari remo, bedhayan, lawak, monosuko. Struktur pertunjukan tersebut didasari atas tuntutan pasar hiburan. Dengan demikian Ludruk Suromenggolo, Wahyu Budaya dan Irama Muda dengan sadar bahwa apa yang dipertunjukan adalah Ludruk Campursari. Ketiga ludruk ini tergolong sebagai Teater Kitchs yang menanggapi permintaan sebagai komoditi komersial untuk khalayak penontonnya.
    [Show full text]
  • Applying E-Commerce in the Marketing Information System As a Tool to Increase Ludruk Art Income Case Study at Irama Budaya Group, Surabaya
    Applying E-Commerce in the Marketing Information System as a Tool to Increase Ludruk Art Income Case Study at Irama Budaya Group, Surabaya Debby Ratna Daniel, Ivana Laksmono, Eko Warsiyanto Nugrahadi Faculty of Economics and Business, Universitas Airlanggay, Surabaya, Indonesia [email protected], [email protected], [email protected] Keywords: Budgeting, Comparability, E-Commerce, Ethnography, Income, Marketing Information System, Regional Minimum Wage Standard (UMR), Timing. Abstract: Ludruk, which comes from East Java province, is one of the non-agrarian art forms in Indonesia that still exists. Irama budaya is known as a famous Ludruk group that is still actively performing several live shows and has an official website, which can be easily accessed by all people. The current income of this group is obtained from the number of shows produced. Based on this, the amount of income received between March 2016 and May 2016 had increased by 40.63%. This escalation rate was not comparable with the regional minimum wage standard (UMR) of Surabaya city. This research used a qualitative approach with ethnography method to analyze the current marketing information system.d As the result, there were some weaknesses in this system due to the low amount of marketing media and the lack of product mix. Therefore, Irama Budaya need to design an e-commerce facility in the marketing information system to increase its amount of income, such as by giving extracurricular activities in national junior high school in order to expand the range of audiences and players, producing education materials about Ludruk through YouTube programs, etc.
    [Show full text]
  • View / Download the Full Paper in a New Tab/Window
    Binary Opposition, Binary Pair, and the Aftermath Sri Herminingrum, Universitas Brawijaya, Indonesia The Asian Conference on Arts & Humanities 2018 Official Conference Proceedings Abstract This paper uncovers the study about the presence of gender system being at work in one of the Indonesian folk dances, namely Reog Ponorogo. According to historical notes, this traditional dance-drama art has been performed since the 13th century. Together with the changing era, however, this folk-dance experiences upturns and downturns, even dying. Only did it get reinvigorated after Indonesian independence. Subsequently, Reog is widely known as the icon of Ponorogo, its originating town in East Java province. For Reog dance is created based on the plot of the story whose characters are all men, it is perceived as a masculine artwork. As a result, over decades the binary opposition concept manifested in this folk dance nullified the presence of women. The women’s journey from absence to presence, which was studied based on the dimensions of form, space, and time; depicts a cyclic cultural phenomenon. Male-female dichotomy which was firstly viewed as polar opposites has shifted to be equal binary pair attributing woman dancers as man’s partners. The values of harmony and beauty, then, take predominant part in coloring the dynamic creativity process. Self-actualization consciousness which is ever-raising amongst the dancers signifies that today those of women and men can substitute each other; not only because of the embodiment of self-determination concept but also because of the orientation of art for mart. Keywords: gender system; folk dance; Reog Ponorogo; harmony and beauty; self- determination.
    [Show full text]
  • Pengembangan Potensi Pariwisata Situ Sanghyang Di Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya
    Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2017 ISBN: 978–602–361–072-3 PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH BERKELANJUTAN PENGEMBANGAN POTENSI PARIWISATA SITU SANGHYANG DI KECAMATAN TANJUNGJAYA KABUPATEN TASIKMALAYA Nandang Hendriawan Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Siliwangi; Kota Tasikmalaya E-mail: [email protected] ABSTRAK Kepariwisataan Kabupaten Tasikmalaya memiliki peranan yang penting dalam kepariwisataan Jawa Barat maupun dalam pembangunan wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Melalui perencanaan dan perancangan yang baik, Kawasan Situ Sanghyang diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik wisata andalan bagi Kabupaten Tasikmalaya untuk mewujudkan diversifikasi produk pariwisata di Kabupaten Tasikmalaya, sekaligus mendukung pengembangan Kawasan Wisata Unggulan Kria dan Budaya Priangan. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi yang dimiliki kawasan Situ Gede untuk Potensi Pariwisata di Kecamatan Tanjung Jaya Kabupaten Tasikmalaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif survey dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: Survey Lapangan, Wawancara, Studi Dokumentasi, Studi Literatur. Pengembangan SDM pariwisata pada Kawasan Situ Sanghyang harus diarahkan untuk mendukung terlaksananya kebijakan dan strategi pengembangan SDM pariwisata Kabupaten Tasikmlaya melalui Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, Pemberdayaan dan mengikutsertakan masyarakat lokal dalam kegiatan kepariwisataan di daerah, Peningkatan pemahaman, pengetahuan, kesadaran seluruh
    [Show full text]
  • Oideion 3 (2003)
    OIDEION The performing arts world-wide 3 edited by WIM V AN ZANTEN Nederlandse Vereniging voor Etnomusicologie "Arnold Bake" Department of Cultural Anthropology and Development Studies Leiden University, the Netherlands 2003 This volume was published by the Dutch Society for Ethnomusicology 'Arnold Bake' Editor: Wim van Zanten Editorial. Board: Ben Arps Saskia Kersenboom Emmie te Nijenhuis Rembrandt F. W olpert ISBN 90-808399-1-4 NUR: 664 Subject headings: ethnomusicology, performing arts, music, theatre Front cover design: Nelleke Oosten Printing: Copy- & Printshop F.S.W., Leiden University AH correspondence should be addressed to: Secretariat Nederlandse Vereniging voor Etnomusicologie "Arnold Bake", c/o Department of Cultural Anthropology and Development Studies, Faculty of Social Sciences, Leiden University, P.O. Box 9555, 2300 RB Leiden, the Netherlands http://www .abake.nl/ Copyright 2003 Nederlandse Vereniging voor Etnomusicologie "Arnold Bake", the Netherlands CONTENTS EDITOR'S PREFACE i.v KI MANTLE HOOD The musical river of change and innovation; The fourth John Blacking Memorial Lecture, ESEM, Rotterdam, 14 September 1995 1 EVERT BISSCHOP BOELE Teaching a multimusical soundscape; Non-Western music in Dutch basic education teaching materials 9 JEROEN DE K.LOET To seek beautiful dreams; Rock in China 29 JAN VAN BELLE Dafsaz in Tajik Badaxshan; Musical genre and rhythmic pattern 48 HANNEM. DEBRUIN What practice? Whose practice? 62 MA TTIIEW ISAAC COI-IEN Details, details: Methodological issues and practical considerations in a
    [Show full text]
  • Reog Ponorogo
    Reog Ponorogo Reog Ponorogo is a traditional dance of Java tribe that a one tribe in Indonesia. Reog is a dance art with a main character of the dancer is using a mask likes a Chinese Barongsay. The different is in the Reog mask used is a big tiger masking with a decoration of peacock feathers. There are some version of popular story in the society about the origin of Reog and Warlock. Below is one of the versions. Article Directory: http://www.articledashboard.com The first dance performing by six or eight man in the black dress, with the face make up by red color. The dancer illustrated as a brave Lion. The next is a dance performing by six or eight woman by riding a horse. On the traditional Reog, the dancers usually a man that using a woman dress. This dance called as Jaran Kepang dance, this dance is different with the other traditional dance called Kuda Lumping dance. The other opening dance, if any, is a dance performing by a kid as a funny dance. Normally in one group of Reog performance consists of one old Warok, several young Warok, the dancer with a mask or pembarong, Bujang Ganong dancer, and Prabu Kelono Suwandono. Totally about 20 to 30 dancers, and central of role is at the hand of Sarasota dui attorney Warok and the pembarong. The wording of Reog originally is Reyog, that every character representing the first character of words of song of Macapat Pocung; Rasa kidung/Engwang sukma adiluhung/Yang Widhi/Olah kridaning Gusti/Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa.
    [Show full text]
  • Implementation of the Indonesian Culture Diplomacy Toward Australia Through Indofest Period 2012-2016 (Case Study: Adelaide and Canberra)
    IMPLEMENTATION OF THE INDONESIAN CULTURE DIPLOMACY TOWARD AUSTRALIA THROUGH INDOFEST PERIOD 2012-2016 (CASE STUDY: ADELAIDE AND CANBERRA) Ulyantraja Kelamor International Relations, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta [email protected] Abstract This journal discusses IndoFest activities which are conducted by Indonesia to Australia in 2012 to 2016 in Adelaide and Canberra. IndoFest was born in 2008, aims to introduce Indonesian culture in the international world. With the presence of IndoFest, it is also seen that cultural diplomacy continues to be done by Indonesia not only for improving good relations in both countries but also to introduce Indonesian art, culture, and exceptional food for more to the Australian people, in order to visit Indonesia. This journal also discusses Indonesia's cultural diplomacy towards Australia through IndoFest, as well as various activities in IndoFest to attract Australian tourists to come to Indonesia. As the research method, the qualitative method is used in this journal by library study, which is collecting the data from the literature related to the issue discussed. The results of the study stated that Indonesia successfully carried out its cultural diplomacy to Australia through IndoFest. Keywords: Cultural Diplomacy, IndoFest, Indonesia, Australia, Culture DOI: 10.33541/sp.v19i1.1642 Sociae Polites : Majalah Ilmiah Sosial Politik Faculty of Social and Political Science, Universitas Kristen Indonesia ISSN 1410-3745 print/ ISSN 2620-4975 online Volume 19, Number 1 (January – June 2018) Pages 33-52 33 1. Introduction The existence of a country on the international stage is now pressing for it a bond of cooperative relations that support each other for the achievement of interdependent needs each country involved.
    [Show full text]
  • Then There Were Languages: Bahasa Indonesia Was One Among Many
    Then There were Languages 43 Downloaded from <arielheryanto.wordpress.com> A World with No Language Theorists of the incipience of nations have corrunonly g iven serious Chapter 2 attention to the role of language in the global construction of nations. Not many among them, however, perceive the relationship between natiolland Then There were Languages: Bahasa language as dialectical and mutually constitutive. Instead they see languages largely as a property of changing commwuties that facilitated Indonesia was One Among Many the transformation of these communities from older forms of aHinity into nations. In what follows we will examine how the historical construction of Bahasa Indonesia as a bahasa, 'language', was both similar and integral to ARIEL HERY ANTO the process of constructing Indonesia as a barlgsa, 'nation' - as well as her national Pembangunan, 'Development'. , Once a prevailing and highly ideo­ Having lost its naive objectivism, universalism has been unfashionable logical term in many parts of the world, Development has started to appear among many in the humanities. One consequence of this is illustrated in the obsolete. The logic that gave it its earlier power, however, and the material discourses on the concept of 'culture'. In the last 50 years or so, culture has interests of those who benefited from its past hegemony survive well under been severely deconstructed, demystified and pluralised. One culmination different names ('globalisation' is one of the most popular) with various of such awareness finds articulation in the work of Joel S. Kahn, who argues forms of adjustment to contemporary contexts. that, despite its inclusive claims and pretensions, 'universalism always has The word bahasa has a long history, wi th Sanskrit origin, that spread well its others and this is unavoidable ..
    [Show full text]
  • Revitalizing Reyog Kendang Tulungagung in the Globalization Age
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 327 2nd International Conference on Art and Arts Education (ICAAE 2018) Revitalizing Reyog Kendang Tulungagung in the Globalization Age Utari Anggita Shanti Zulfi Hendri Akbar Andrian Syah Graduate Student S2 Art Education Lecturer of FBS and Graduate School Graduate Student S2 Art Education Yogyakarta State University Yogyakarta State University Yogyakarta State University [email protected] [email protected] [email protected] Abstract—Reyog Kendang Tulungagung is a local performing art that becomes the icon of Tulungagung regency. II. LITERATURE REVIEW Despite its status as the icon of Tulungagung, the government and society continue the effort to preserve the existence of this A. The History and Art Tradition of Tulungagung Regency art. There are various attempts done to preserve Reyog According to the History and Chronicle of Tulungagung Kendang Tulungagung in this globalization era that influence (2007), Tulungagung is a regency in East Java of which most local arts such as registering the art to HAKI and breaking of its area are lowland at an altitude of 85 meters above sea MURI record. Using descriptive qualitative method and level while the highest point is Mount Wilis, 2,552 meters literature study, the researcher found several other new above sea level in the northwest of the city. On the south side attempts namely batik pattern, aerobic, miniature, and ilustration (mascot) all of which included the elements of Reyog stretches the limestone mountain rich in natural resource Kendang Tulungagung. These attempts were deeply which is marble. Thus, it is not surprising that Tulungagung appreciated by the public and government.
    [Show full text]
  • Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society
    Volume 13 Issue 6 Version 1.0 Year 2013 Type: Double Blind Peer Reviewed International Research Journal Publisher: Global Journals Inc. (USA) Online ISSN: & Print ISSN: Abstract- In rural communities, the communication between humans mostly done by using symbols such as sounds, gestures, visual and performing arts of the people. Heritage media is a communication tool used by people from outside in an attempt to convey some messages that contain various elements values, norms, rules, also include development message from the kingdom, therefore this heritage media purposes beside in addition to entertainment is also used as a tool to solve community problems in their own way, in this context local wisdom, especially issues related to community efforts to meet their needs for information. Keywords: heritage media, local wisdom, and indonesian society. GJHSS-A Classification : FOR Code: 200212, 750899 Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society Strictly as per the compliance and regulations of: © 2013. Muslimin Machmud. This is a research/review paper, distributed under the terms of the Creative Commons Attribution- Noncommercial 3.0 Unported License http://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/), permitting all non-commercial use, distribution, and reproduction inany medium, provided the original work is properly cited. Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society Muslimin Machmud Abstract- In rural communities, the communication between the existing culture. Basically, in heritage media have a humans mostly done by using
    [Show full text]
  • Seni Pertunjukan Wisata Di Candi Borobudur Kabupaten Magelang
    SENI PERTUNJUKAN WISATA DI CANDI BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Seni Tari oleh Ayu Nur Adilla 2501415152 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 SENI PERTUNJUKAN WISATA DI CANDI BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Seni Tari oleh Ayu Nur Adilla 2501415152 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 i ii iii iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO: “Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan bimbang. Teman yang paling setia hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh.” _Andrew Jackson_ PERSEMBAHAN : Skripsi ini saya persembahkan untuk : 1. Almamater Universitas Negeri Semarang 2. Ibu dan Kakak tercinta v PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat terselesaikan penyusunan skripsi dengan judul SENI PERTUNJUKAN WISATA DI CANDI BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG yang disusun dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari beberapa pihak, penulis skripsi ini tidak akan selesai. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada pihak- pihak sebagai berikut : 1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan fasilitas selama melaksanakan perkuliahan. 2. Dr. Sri Rejeki Urip, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian kepada peneliti. 3. Dr.
    [Show full text]