KATA PENGANTAR

KOMHINDO merupakan suatu komunitas yang dibentuk oleh para Akademisi dan Praktisi bidang Kehutanan tahun 2015 untuk mendampingi kegiatan-kegiatan pembangunan bidang kehutanan khusus bidang management hutan terutama untuk pendampingan pengelolaan KPH dan memeberikan solusi dan rekomendasi tentang tata kelola sebagai jembatan antara pihak birokrat, praktisi lapangan dan pelaksana tugas di lapangan untuk mempunyai pemahaman yang sama dalam mengelola hutan yang berkelanjutan. Kalimantan Tengah dengan tipe sebaran gambut yang luas mempunyai beberapa bentuk KPH dengan tipe hutan gambut dengan pengelolaan yang spesifik. Tata kelola gambut mempunyai tata kelola yang khusus juga sehingga perlu diangkat pembahasan tentang Tata kelola/management KPH untuk gambut. Di Kalimantan Tengah ada satu KPHL Kapuas sebagai KPH Model yang mengelola gambut yang menjadi contoh pengelolaan gambut yang lestari yang bisa dijadikan contoh kelola untuk management gambut. Selain itu ada juga Perusahaan non provit yang mengelola gambut untuk keperluan restorasi ekosistem seperti PT Hutan Amanah lestari (HAL) yang bergerak dalam memperbaiki gambut terdegradasi dengan model tata kelola gambut berkelanjutan. Tentunya kegiatan ini akan didukung oleh lembaga Pemerintah untuk Gambut yaitu Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam mengawal segala kegiatan menyangkut restorasi gambut khususnya untuk KPH-KPH yang berlokasi di kawasan gambut. Paparan pengalaman, pengetahuan dan wewenang Pemerintah akan disatukan dalam rangkaian kegiatan pertemuan KOMHINDO 2017 ini untuk menyatukan visi dan misi bagaimana mengelola gambut lestari untuk KPH yang bertipe gambut yang akan diperoleh dari seluruh komponen kehutanan baik akademisi, praktisi maupun kaum birokrat dalam pertemuan yang akan diselenggarakan dii Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Diharapkan akan diperoleh rekomendasi dan masukan kepada pemerintah tentanghal-hal yang perlu menjadi perhatian saat mengelola KPH bertipe tanah gambut.

Palangka Raya, Januari 2018

KATA SAMBUTAN

Komunitas Manajemen Hutan Indonesua (Komhindo) yang menyelenggarakan Kongres III dan Seminar Nasional, pada tanggal 03 November 2017 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ini merupakan sumbangan pemikiran dari para anggota Komhindo untuk meningkatkan pengetahuan dan pengelolaan hutan di indonesia. Kongres III dan Seminar Nasional ini dilaksanakan oleh Program Studi Ilmu kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para anggota komhindo yang telah berpartisipasi pada Kongres III dan Seminar Nasional ini. Selanjutnya ucapan terimakasih disampikan kepada seluruh panitia dan para donatur sehingga kegiatan ini dapat dilaksanakan. Kemudian diharapkan publikasi ini dapat menyediakan informasi yang penting untuk pengelolaan hutan di Indonesia.

Palangka Raya, Januari 2018 Ketua Umum Komhindo,

Prof. Ir. Udiansyah, MS.Ph.D

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Pada Acara,

SEMINAR NASIONAL TAHUNAN DAN KONGRES KOMUNITAS MANAGEMENT HUTAN INDONESIA (KOMHINDO) III

TANGGAL, 3 November 2017 DI PALANGKA RAYA

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Selamat pagi, Salam Sejahtera untuk kita semua, - Yth. Rektor Institute Pertanian Yogyakarta; - Yth. Kepala Badan Restorasi Gambut; - Yth. Tim Ahli Gambut Wetland Indonesia; - YTh. Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi Kalimantan Tengah; - Yth. Sekretaris Daerah, Para Asisten, Staf Ahli Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah; - Yth. Seluruh Kepala Badan/Dinas/Biro/Instansi Vertikal Provinsi Kalimantan Tengah; - Yth. Rektor Universitas Muhammadiyah Palangka Raya; - Yth. Seluruh Anggota Komunitas Management Hutan Indonesia (KOMHINDO); - Yth. Para Asosiasi, Pelaku Usaha, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Insan Pers dan Hadirin Undangan yang Berbahagia.

Pertama-tama marilah kita persembahkan puji dan syukur Kehadirat Allah SWT/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan perkenan-Nya kita dapat hadir di tempat ini, untuk mengikuti acara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Seminar Nasional (SEMNAS) Komunitas Management Hutan Indonesia (KOMHINDO) III dengan tema “Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan”, dalam keadaan sehat wal”afiat.

Undangan dan hadirin yang berbahagia Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas wilayah 153.564 Km2 atau 1,5 kali luas pulau Jawa, dan saat ini menjadi provinsi terluas kedua setelah Papua. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki total lahan bergambut seluas 3.010.640 Ha. Lahan gambut ini merupakan daerah rawan kebakaran karena telah mengalami degredasi hutan sehingga sulit untuk dilakukan restorasi dan rehabilitasi, karenanya pemanfaatannya harus bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

Lahan gambut yang sangat luas ini merupakan salah satu kekayaan dan potensi sumber daya alam, apabila tidak dimanfaat dan dikelola dengan tepat secara optimal akan menimbulkan masalah bagi pembangunan Kalimantan Tengah, seperti kebakaran lahan dan bencana asap yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.

Arah pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan inklusif telah dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, yang akan dicapai melalui kegiatan manajemen

hutan, konservasi dan keanekaragaman hayati, agroforestry dan pengelolaan hutan oleh masyarakat, pemanfaatan hasil hutan serta pengolahan lahan tanpa bakar.

Hadirin Undangan yang berbahagia Guna mendukung arah pengelolaan lahan dan sumber daya alam secara lestari, perlu adanya masukan kebijakan dan strategi untuk meningkatkan pemanfaatan lahan gambut yang produktif dan berkelanjutan di Kalimantan Tengah, yang merupakan hasil pertemuan ilmiah ataupun seminar nasional dari para profesional yang peduli akan kelestarian lahan gambut.

Bapak/Ibu Hadirin Undangan yang berbahagia Dengan adanya penyelenggaraan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Seminar Nasional (SEMNAS) ini diharapkan memperoleh hasil yang maksimal sehingga dapat memberikan kontribusi saran kebijakan bagi pembangunan masyarakat Kalimantan Tengah khususnya pengelolaan lahan gambut.

Kami juga mengharapakan melalui kegiatan seminar ini dapat mendukung salah satu Visi-Misi Kami yaitu Pengelolaan Lingkungan Hidup dan SDA.

Undangan dan hadirin yang berbahagia Demikianlah beberapa hal yang dapat disampaikan, semoga seluruh upaya kita mendapat ridho dari Allah SWT guna mewujudkan Kalimantan Tengah BERKAH (Bermartabat, Elok, Religius, Kuat, Amanah dan Harmonis). Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim acara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Seminar Nasional (SEMNAS) Komunitas Management Hutan Indonesia (KOMHINDO) III dengan tema “Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan” dengan resmi saya nyatakan dibuka.

Sekian dan terima kasih. Wabillahittaufiq wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

H. SUGIANTO SABRAN

DAFTAR ISI

COVER ...... i KATA PENGANTAR ...... ii SAMBUTAN KETUA KOMHINDO ...... iii SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH ...... iv

Judul Halaman

1. DINAMIKA PENGELOLAAN KONFLIK KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK) MENGKENDEK, KABUPATEN TANA TORAJA, SELATAN ...... 1

2. MODEL PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM WILAYAH KPH ...... 13

3. STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI PULAU-PULAU KECIL (STUDI KASUS : DUSUN TAMAN JAYA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT MALUKU) ...... 27

4. POLA SEBARAN DAN KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN (PONGO PIGMAEUS WURMBII) DI STASIUN PENELITIAN ORANGUTAN TUANAN, KAPUAS, KALIMANTAN TENGAH...... 37

5. SKRINING FITOKIMIA PAKAN ORANGUTAN KALIMANTAN (PONGO PYGMAEUS WURMBII) DAN INDIKASI GANGGUAN KESEHATAN PADA ORANGUTAN ...... 57

6. SUKSESI TUMBUHAN LIANA PASKA KEBAKARAN DI STASIUN PENELITAN TUANAN ...... 73

7. PERILAKU HARIAN ANAK ORANGUTAN (PONGO PYGMAEUS WRUMBII, TIEDMANN 1808) DI PUSAT REHABILITASIPROTECT OUR BORNEO SEI GOHONG, PALANGKA RAYA ...... 82

8. PROGRAMA PENYULUHAN KEHUTANAN PADA PEMBANGUNAN KEBUN BIBIT RAKYAT (KBR) DI DESA PATTALLIKANGKECAMATAN MANUJUKABUPATEN GOWA ...... 89

9. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA HUTAN DESA CAMPAGA KECAMATAN TOMPOBULU KABUPATEN BANTAENG ...... 97

10. PENERIMAAN SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM KEMITRAAN KEHUTANAN DI PT. INHUTANI II KABUPATEN KOTABARU ...... 103

11. DINAMIKA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA SULAWESI TENGAH DI DESA NGATABARU ...... 118

12. PARTISIPASI DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KPH GEDONG WANI ...... 128

13. PENGETAHUAN LOKAL KEGIATAN PERLEBAHAN PADA HUTAN DESA DI DESA BONTO KARAENG KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN ...... 135

14. MODAL SOSIAL PADA PEMBANGUNAN HUTAN DESA DI DESA BONTO KARAENG KECAMATAN SINOA KABUPATEN BANTAENG ...... 140

15. EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN JABON (ANTHOCEPHALUS CADAMBA) DI KABUPATEN PULANG PISAU KALIMANTAN TENGAH ...... 148

16. PENGEMBANGAN TANAMAN NYAMPLUNG UNTUK BIOENERGI DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI ...... 156

17. PENETUAN KADAR STEROID TOTAL EKSTRAK ETANOL AKAR KALAKAI (STENOCHLAENA PALUSTRIS BEDD) ASAL TANAH GAMBUT KALIMANTAN TENGAH ...... 167

18. EVALUASI ANEKA POTENSI HUTAN PENDIDIKAN UNHAS UNTUK OPTIMALISASI NILAI MANFAAT DAN ANEKA JASA HUTAN PENDIDIKAN SEBAGAI MINIATUR MODEL PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN ...... 176

19. ETNOBOTANI TUMBUHAN OBAT MASYARAKAT DESA BENUA KENCANA KECAMATAN TEMPUNAK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT ...... 189

20. GROWTH AND YIELD OF DIPTEROCARPUS LOWII PLANTED UNDER ALBIZIA FALCATARIA PLANTS IN KAPUAS, CENTRAL KALIMANTAN ...... 197

21. PERSEPSI PEMUDA TERHADAP PERTANIAN DI DESA ANJIR MUARA LAMA, KECAMATAN ANJIR MUARA, KABUPATEN BARITO KUALA ...... 205

22. PERUBAHAN PEMANFAATAN LAHAN BASAH DI KOTA ...... 219

23. KAJIAN KIMIA TANAH DI HUTAN PENDIDIKAN (KHDTK) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA ...... 230

24. PENTINGNYA MODAL SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT ...... 236

25. INDEKS PENERIMAAN SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI KPH MODEL BANJAR ...... 248

Dinamika Pengelolaan Konflik Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan

Abd. Kadir Wakka1)dan Achmad Rizal H. Bisjoe1) 1) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar. 90243. [email protected]; [email protected]

Abstrak

Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Mengkendek adalah salah satu dari tiga KHDTK yang dikelola oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar (BP2LHK Makassar) yang diperuntukkan bagi kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan. Sebagian areal KHDTK Mengkendek telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi tersebut membuat fungsi pokok KHDTK sebagai hutan penelitian dan pengembangan kehutanan menjadi tidak optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika pengelolaan konflik di KHDTK Mengkendek dan upaya yang diperlukan untuk mengatasi konflik yang terjadi. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara dengan sejumlah informan kunci dan dianalisis secara deskriptif kualitatif sesuai tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi dalam pengelolaan KHDTK Mengkendek merupakan konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Selama ini, pendekatan yang ditempuh oleh BP2LHK Makassar selaku pengelola KHDTK Mengkendek untuk menyelesaikan konflik yang terjadi lebih menekankan pada proses penegakan hukum yang bersifat sporadis, sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal. Untuk itu, BP2LHK Makassar selaku pengelola KHDTK perlu mempertimbangkan pendekatan dialog dalam menyelesaikan konflik di KHDTK Mengkendek.

Kata Kunci : Pengelolaan konflik, KHDTK Mengkendek, penegakan hukum, pendekatan dialog

I. PENDAHULUAN Dharmawan, 2011) sehingga melahirkan suatu A. Latar Belakang tindakan yang berdampak negatif terhadap Sumberdaya alam termasuk hutan pihak lainnya (Tadjudin, 2000). Konflik dalam memiliki beragam manfaat yang nyata dan pengelolaan sumberdaya hutan umumnya penting bagi kehidupan manusia, baik manfaat melibatkan masyarakat setempat dengan ekologi, sosial budaya maupun ekonomi pemerintah dan pihak swasta (Awang, 2003; (Mawardi dan Sudaryono, 2006). Pentingnya Dharmawan, 2006; Ulfah, 2007; Wakka, Muin keberadaan sumberdaya hutan dapat dan Purwanti, 2013). Konflik kepentingan menimbulkan kompleksitas hubungan antara tersebut perlu dikelola dengan baik sehingga berbagai pihak yang memiliki kepentingan lebih bersifat positif dan tidakmerugikan dalam pengelolaannya (Budimanta, 2007). pihak-pihak yang berkonflik termasuk Kompleksitas hubungan antara berbagai pihak sumberdaya hutan yang menjadi objek konflik. dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak Balai Penelitian dan Pengembangan jarang melahirkan konflik yang dipicu oleh Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) perbedaan persepsi terhadap suatu kepentingan Makassar berdasarkan Surat Keputusan (Pruitt dan Rubin, 2009; Marina dan Menteri Kehutanan (SK Menhut)No.

1

367/Menhut-II/2004 diberikan amanah untuk Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) mengelola 3 Kawasan Hutan dengan Tujuan bulan mulai dari bulan Juni sampai dengan Khusus (KHDTK). Salah satu KHDTK Desember 2015. tersebut adalah KHDTK Mengkendek di B. Pengumpulan data Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Untuk mencapai tujuan penelitian, Selatandengan luas areal mencapai 100 ha maka pengumpulan data dilakukan melalui (BPKM, 2006). KHDTK Mengkendek sangat kegiatan: rentan terhadap konflik kepentingan karena 1. Observasi/Pengamatan lokasinya sangat strategis yaitu berbatasan Kegiatan observasi/pengamatan dilakukan langsung dengan pemukiman penduduk dan untuk mendapatkan gambaran terkait pusat pengembangan kota Ge’tengan, pola-pola penguasaan dan pemanfaatan Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana lahan yang terdapat di KHDTK Toraja (Wakka, 2010; Wakka dan Hapsari, Mengkendek. 2011; Wakka, 2014). Konflik yang terjadi 2. Wawancara informan kunci dalam KHDTK Mengkendek jikatidak dapat Kegiatan wawancara informan kunci dikelola dengan baik, dapat meyebabkan dilakukan dengan menggunakan panduan rusaknya ekosistem hutan dan tidak wawancara untuk mendapatkan gambaran optimalnya fungsi KHDTK sebagai hutan lebih rinci/detail terkait sejarah penelitian karena adanya gangguan dari pemanfaatan lahan, penyebab masyarakat sekitar dalam pelaksanaan kegiatan konflikmeliputi: hubungan masyarakat, penelitan di KHDTK Mengkendek. negosiasi prinsip, kebutuhan manusia, Penelitian ini bertujuan untuk identitas, dan transformasi konflik(Fisher mengetahui dinamika pengelolaan konflik et al., 2001), dandinamika penyelesaian kepentingan di KHDTK Mengkendek. konflik di KHDTK Mengkendek. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan Informan kunci penelitian ini terdiri dari pertimbangan bagi pengelola KHDTK masyarakat penggarap lahan di KHDTK, Mengkendek dalam merumuskan pendekatan aparat kelurahan, aparat kecamatan,aparat yang tepat dalam mengatasi konflik BP2LHK Makassar, aparat Badan kepentingan yang terjadi. Pengelola Keuangan dan Pendapatan

Daerah Tana Toraja, aparat Dishutbun II. METODE PENELITIAN Kabupaten Tana Toraja, aparat Badan A. Lokasi dan Waktu Penelitian Pertananah Nasional (BPN) Tana Toraja, Penelitian ini dilaksanakan di KHDTK Pengurus AMAN Tana Toraja, dan tokoh- Mengkendek yang secara administratif terletak tokoh masyarakat dengan menggunakan dalam wilayah Kelurahan Tampo dan teknik snowball sampling. Dalam teknik Kelurahan Rante Kalua, Kecamataan snowball sampling, jumlah informankunci Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. 2

bukan hal utama melainkan kedalaman KHDTK Mengkendek termasuk dalam informasi yang diberikan oleh setiap areal hutan Mapongka yang ditandai oleh informan kunci tersebut. adanya tanaman tristania dan berbatasan dengan kampung Tampo. Pada awalnya C. Analisis Data sebagian kawasan hutan Mapongka merupakan Data yang dikumpulkan dianalisis padang rumput dan menjadi tempat secara deskriptif kualitatif, sebagai penggembalaan ternak masyarakat. Selain berikut(Bungin, 2003; Sutopo, 2006; Subandi, menjadi tempat penggembalaan ternak, areal 2011): tersebut juga menjadi tempat penyelenggaraan 1. Mengumpulkan dan memilah-milah data pesta (upacara) adat bagi masyarakat Tampo. ke dalam suatu konsep, kategori atau tema Seiring berjalannya waktu, sebagian tertentusebagai dasar penyajian data. kawasan hutan Mapongka ditunjuk menjadi 2. Menyajikan data melalui penyusunan lokasi Stasiun Penelitian dan Ujicoba (SPUC) sekumpulan informasi menjadi pernyataan Mengkendek oleh Menteri Kehutanan pada yang memungkinkan penarikan tahun 1993. Pada Tahun 2003, SPUC kesimpulan. Mengkendek berubah status Kawasan Hutan 3. Penarikan kesimpulan disesuaikan dengan dengan Tujuan Khusus dimana BP2LHK pertanyaan dan tujuan penelitian. Makassar ditunjuk selaku pengelola KHDTK.

Aktivitas masyarakat sudah ada sebelum areal III. HASIL DAN PEMBAHASAN tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan A. Sejarah Pemanfaatan Lahan oleh Mapongka termasuk di KHDTK Mengkendek Masyarakat di KHDTK Mengkendek sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Sejarah Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat di KHDTK Mengkendek

No. Tahun Uraian Kejadian 1 Sebelum tahun  Sebagian kawasan (hutan) di Mapongka merupakan tempat 1950 penggembalaan kerbau dan tempat berlangsungnya upacara kematian oleh masyarakat setempat.  Kegiatan penanaman tanaman kayu oleh pemerintah setempat dengan tujuan untuk menghijaukan areal tersebut dan sebagai tempat berlindungnya ternak kerbau yang digembalakan oleh masyarakat. 2 Tahun 1950-an Masyarakat meninggalkan kampung Tampo seiring terjadinya pemberontakan DI/TII. 3 Tahun 1960-an Masyarakat kembali ke Kampung Tampo akan tetapi tidak diperkenankan memasuki kawasan hutan yang dijaga oleh pasukan siliwangi untuk menumpas pemberontakan DI/TII. 4 Tahun 1970-an  Pramuka bersama masyarakat setempat melakukan kegiatan penghijauan dengan tanaman pinus dan disertai penandaan pal batas kawasan hutan.  Pada saat AYK A. Lolo menjabat sebagai Bupati Tana Toraja,

3

No. Tahun Uraian Kejadian kawasan hutan Mapongka dibebaskan seluas 125 ha untuk pengembangan kota Ge`tengan. 5 Tahun 1980-an  Pemerintah melakukan pengukuran dan penataan batas areal kawasan hutan.  Masyarakat sekitar mulai masuk menggarap lahan di areal hutan Mapongka. 6 Tahun 1990-an  Sebagian kawasan hutan Mapongka dijadikan Stasiun Penelitian dan Ujicoba (SPUC) Mengkendek seluas 100 ha (1994).  Terjadi pengkavlingan lahan oleh masyarakat secara massal (sekitar 70 orang masyarakat mengkavling lahan hutan termasuk di areal SPUC/KHDTK Mengkendek).  Sebagian kawasan hutan Mapongka (± 70 ha) dibebaskan untuk perluasan kota Rante Kalua’. Lahan hutan yang dibebaskan lebih banyak dikuasai oleh “orang luar”. 7 Tahun 2000-an  Masyarakat mulai aktif berkebun dan mengkavling lahan hutan termasuk di KHDTK Mengkendek dengan alasan: a. Tanah adat. b. Mencegah masuknya “orang luar” yang ingin menguasai tanah- tanah dalam kawasan hutan Mapongka. c. Kebutuhanakan lahan garapan untuk berusahatani.  Pengambilan Hasil Hutan Kayu(HHK) oleh masyarakat secara illegal yang kemudian mendapatkan teguran dari petugas SPUC.  Terjadi perubahan status dari SPUC menjadi KHDTK Mengkendek.  Melalui kegiatan penelitian social forestry, terjadi dialog/diskusi antara tim peneliti BP2LHK Makassar dengan masyarakat penggarap lahan di KHDTK untuk mencari solusi atas permasalahan pemanfaatan lahan di KHDTK . 8 Tahun 2010-an  Pengambilan HHK oleh masyarakat secara illegalyang kemudian ditindaklanjuti dengan operasi penertiban oleh polisi kehutanan (Polhut) dibantu pasukan Brimob dari Polres .Beberapa pondok kerja masyarakat di KHDTK Mengkendek dirubuhkan.  Pemanggilan beberapa penggarap lahan oleh polhut Dishutbun Tana Toraja untuk dimintai keterangan sehubungan dengan aktivitas mereka dalam KHDTK Mengkendek yang terus berlangsung.  Tim peneliti BP2LHK Makassar mendapatkan gangguan dari masyarakat setempat saat membuat plot penelitian di KHDTK Mengkendek.

B. Penyebab Konflik di KHDTK dan Syani, 2013), juga dapat disebabkan oleh Mengkendek adanya ketidakadilan, posisi yang tidak selaras Konflik selain disebabkan oleh adanya antara pihak yang berkonflik, kebutuhan dasar perbedaan kepentingan (Sumanto dan manusia tidak terpenuhi,dan identitas yang Sujatmoko, 2008; Sumanto, 2009; Kurniawan terancam (Fisher et al., 2001). Konflik yang

4 terjadi di KHDTK Mengkendek pada dasarnya “Mengacu pada UU 41 pasal 8 dimana kita (BP2LHKMKS) adalah konflik penguasaan dan pemanfaatan diperkenankan mengelola sumberdayahutan. Konflik penguasaan KHDTK dengan tujuan pendidikan, penelitian, dan sumberdaya hutan ditandai dengan adanya religi” (Informan M dan A, lahan-lahan yang hanya sekedar dipagari Aparat BP2LHKMKS) menggunakan bambu atau kawat berduri tanpa “Status tanah yang ada di diolah. Bagi mereka, hasil tanaman bukan hal KHDTK Mengkendek adalah tanah adat dari 10 (sepuluh) utama akan tetapi eksistensi mereka terhadap tongkonan di Tampo karena lahan tersebut. Sementara konflik pemanfaatan merupakan wilayah dari Tampo.Dahulu ketika ada sumberdaya hutan ditandai dengan penanaman kayu (tanaman pemanfaatan KHDTK Mengkendek oleh kehutanan) hanya dikatakan untuk dihijaukan” (Informan Pt, masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan tokoh masyarakat/adat di Tampo) hidup. Hal ini terlihat dari kegiatan pengolahan “Wilayah adat di Toraja ada 32, lahan yang lebih intensif dengan salah satunya di Mengkendek. mengembangkan berbagai komoditas seperti Kalau berbicara mengenai 32 wilayah adat, maka di Toraja itu kakao, kopi, cengkeh, pisang, cabe dan lain- tidak ada sejengkal pun tanah lain. Bagi mereka status lahan (hutan negara yang bukan tanah adat.” (Informan RMS, Pengurus AMAN atau bukan) tidaklah penting selama mereka Toraya) dapat menggarap lahan yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup Pengertian tanah adat oleh masyarakat sehari-hari. Tana Toraja rupanya tidak seragam. Sebagian Konflik di KHDTK Mengkendek pihak menganggap bahwa KHDTK disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi Mengkendek bukan tanah adat, melainkan dan kepentingan dalam pemanfaatan KHDTK. tanah negara sebagaimana diungkapkan oleh Bagi pemerintah yang diwakili oleh BP2LHK infoman kunci berikut: Makassar, KHDTK Mengkendek merupakan “yang dimaksud tanah adat kawasan hutan negara yang diperuntukkan adalah tanah yang dikuasai oleh untuk kegiatan penelitian dan pengembangan Tongkonan,di dalamnya ada tanah kering (kebun/ladang) dan kehutanan sesuai amanat UU No. 41 tahun ada tanah basah (sawah). 1999 tentang Kehutanan. Sementara bagi KHDTK tidak masuk tanah Tongkonan kecuali gunung- masyarakat sekitar, KHDTK Mengkendek gunung yang ada adalah tanah adat bagi masyarakat Tampo. perkampungannya. Menurut saya kawasan hutan adalah tanah Perbedaan persepsi ini tercermin dari negara, jadi bukan tanah adat ungkapan sejumlah informankunci sebagai karena tidak ada penghuninya. Kalau wilayah adat itu luas, berikut: Toraja (termasuk Toraja Utara) itu terdiri dari 32 wilayah adat, berarti itu luas, sedangkan tanah

5 adat itu hanya di sekitar sebagaimana diatur dalam PermendagriNo. 52 tongkonan. Wilayah adat itu tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan adalah wilayah dimana berlakukan kebiasaan-kebiasaan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. yang dilakukan oleh masyarakat Kawasan hutan yang terdapat dalam wilayah adat tersebut. Wilayah adat itu sama dengan Lembang dan setiap hukum adat dapat diusulkan ke Menteri Lembang berbeda-beda adatnya. Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk Tidak semua wilayah lembang adalah tanah adat. Di Ge’tengan kemudian ditetapkan sebagai hutan adat. (wilayah sekitar KHDTK) itu Klaim masyarakat sekitar atas pada dasarnya kawasan hutan dan itu tanah negara” (Informan KHDTK Mengkendek sebagai tanah adat tidak HM, Tokoh masyarakat/adat di muncul secara tiba-tiba. Klaim tersebut dipicu Ge’tengan) oleh adanya rasa ketidakadilan dan trauma “Dahulu saat dibangun KHDTK akan kejadian masa lalu yang dilakukan oleh tidak ada yang keberatan tapi sekarang setelah tahu prospeknya pemerintah setempat.Hal ini tercermin dari baru (ramai-ramai) masuk. Tanah ungkapan beberapa informan kunci sebagai adat itu ada disekitar Tongkonan dan terdiri dari 2 jenis, tanah berikut: basah (sawah) dan kering

(kebun). Tanah kering tidak “Pemerintah (yang lalu) dibagi (diwariskan), hanya tanah mengambil paksa tanah-tanah basah (yang diwariskan). Klaim adat,contohnya di tanah adat sebenarnya adalah Ge’tengan.Penguasa-penguasa sepihak, tidak ada pengesahan dahulu mengambil paksa tanah, dari pemerintah” (Informan RB, kemudian dsertifikatkan(pada Aparat Dishutbun Tana Toraja) saat pasar dipindahkan dari

Mebali ke Ge'tengan)dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian diperjualbelikan, padahal mereka bukan penduduk asli daerah ini, Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada itu karena faktor penguasa. dasarnya menghormati hak-hak masyarakat Masyarakat sengaja mengkavling lahan karena masyarakat sudah adat dalam pengelolaan hutan. Hal ini tahu gaya pemerintah seperti tercermin dari Surat Edaran Menteri yang terjadi di pasar Ge’tengan dahulu. Biar tidak garap (lahan Kehutanan (SE Menhut) No. SE.1/Menhut- KHDTK) masyarakat tetap masuk II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi mengkavling (lahan).Ini (dilakukan) untuk berjaga-jaga No. 35/PUU-X/2012. Inti dari SE Menhut jika nanti ada pembebasan lahan tersebut adalah pemerintah dapat menetapkan (hutan) seperti yang terjadi di pasar Ge'tengan. Masyarakat suatu kawasan hutan sebagai hutan adat yang mengkapling lahan di sepanjang keberadaan masyarakat hukum adat KHDTK keluarga serumpun tidak ada orang lain (rumpun keluarga masih ada dan diakui keberadaannya. Jika Polio dan Tobo). Kami dari masyarakat sekitar KHDTK Mengkendek rumpun keluarga saat pelepasan kawasan tidak mendapatkan apa- menginginkan kawasan hutan yang ada sebagai apa”(Informan Pt, Tokoh adat hutan adat, maka mereka harus melalui proses Tampo) pengakuan masyarakat hukum adat 6 “Pada saat penghijauan (sekitar berlangsung). Balai tidak pernah tahun 1972) Pak Camat (Camat mengumpulkan masyarakat untuk Pertama/Cama’ Tua) mengatakan sosialisasi. Kita minta supaya ada pada orang tua kami (indo Lai’) kegiatan di KHDTK. Kalau ada bahwa tanaman kayu yang mau kegiatan, masyarakat akan ditanam itu untuk kamu,daripada melihat bahwa dia (BP2LHK kamu yang tanam biar Makassar) yang punya KHDTK pemerintah yang tanamkan, pada dan bisa saling ada pemahaman saat itu ada papan (dengan masyarakat)” (Informan penghijauan.Setelah kayu besar Pt, Tokoh masyarakat Tampo) dan sudah ditetapkan menjadi kawasan (hutan) kami sudah “Manfaat KHDTK tidak mulai dilarang masuk, dan dirasakan karena kita pernah kami ditangkap sekitar (masyarakat) dianggap sebagai tahun 1978” (Informan Pl, musuh bukan sebagai mitra” penggarap lahan di KHDTK) (Informan Y, Penggarap lahan di KHDTK)

Konflik di KHDTK Mengkendek “Saya pernah (berkunjung) dari selain disebabkan karena adanya klaim sebagai rumah ke rumah,pernah ada masyarakat yang berkata: ini tanah adat, juga disebabkan oleh kebutuhan lokasi penelitian tapi tidak ada akan lahan garapan masyarakat sekitar untuk kegiatan,mana penelitiannya?seperti tanah tak memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini bertuan, apa manfaatnya untuk ditandai dari adanya lahan-lahan yang digarap masyarakat, mereka minta kalau ada kegiatan mereka dilibatkan” secara intensif oleh masyarakat sekitar di (Informan B, Aparat KHDTK Mengkendek. Umumnya mereka BP2LHKMKS) mengembangkan tanaman tahunan seperti “Kalau memang (KHDTK) kopi, kakao, cengkeh,pisang dan hortikultura tempat penelitian seharusnya ada kegiatan-kegiatan yang bisa ditiru (cabe, tomat, jagung, dll). oleh masyarakat.Dahulu ada Faktor lain pemicu konflik di KHDTK penanaman bambu tapi sekarang sudah banyak yang mati” Mengkendek adalah kurangnya sosialisasi dan (Informan SB, Tokoh Masyarakat kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Tampo)

BP2LHK Makassar di KHDTK Mengkendek. Hal ini menyebabkan eksistensi pengelola C. DinamikaPengelolaan Konflik di KHDTK menjadi rendah dan dirasa kurang KHDTK Mengkendek memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Dalam upaya mengatasi konfik Masyarakat pada akhirnya mengganggap pengelolaan sumberdaya hutan, pemerintah KHDTK Mengkendek merupakan ”kawasan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan tak bertuan” sebagimana diungkapkan oleh Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan informan kunci berikut: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permenlhk) No. P.84/Menlhk- “Pertemuan dengan masyarakat Setjen/2015 tentang penanganan konflik hanya pada tahun 2008/2009(saat penelitian social forestry tenurial kawasan hutan. Dalam Permen LHK

7 tersebut disebutkan bahwa penyelesaian pada saat membuat demplot penelitian di konflik tenurial kawasan hutan dapat dilakukan KHDTK Mengkendek. melalui tiga cara yaitu mediasi, perhutanan Meskipun pendekatan penegakan sosial dan penegakan hukum. hukum (tindakan represif/operasi penertiban) Apabila mencermati sejarah dalam menyelesaikan konflik di KHDTK pemanfaatan lahan di KHDTK Mengkendek, Mengkendek dapat digunakan, sedapat maka diperoleh gambaran bahwa pendekatan mungkin pendekatan tersebut menjadi yang ditempuh oleh BP2LHK Makassar dalam alternatif terakhir yang yang digunakan. Hal menyelesaikan konflik di KHDTK ini disebabkan karena pendekatan penegakan Mengkendek lebih menekankan pada proses hukum memiliki kelemahan seperti besarnya penegakan hukum (tindakan represif). Hal ini biaya yang harus dikeluarkan(Harun dan tergambar dari kegiatan operasi penertiban Dwiprabowo, 2014) dan membuat pihak-pihak aktivitas masyarakat di KHDTK Mengkendek yang bersengketa tidak dapat bekerja yang dilakukan oleh polisi kehutanan (Polhut) samabahkan saling menjatuhkan satu sama lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) (Mitchell, Setiawan dan Rahmi, 2000). Upaya Tana Toraja maupun dari Balai Besar dialog melalui negosiasi atau mediasi perlu Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) didahulukan dalam menyelesaikan konflik di Sulselatas permintaan dari BP2LHK Makassar. KHDTK Mengkendek. Paradigma kehutanan Operasi penertiban tersebut terkadang saat ini sudah mengalami perubahan sejalan melibatkan pasukan Brimob dari Polres dengan arus reformasi yang lebih Parepare. Pendekatan penegakan hukum mengutamakan dialog (negosiasi dan mediasi) umumnya dilakukan oleh pihak para pihak yang berkepentingan dalam yangmerasamemiliki bukti-bukti hukum yang menyelesaikan konflik(Verbist dan Pasha, kuat dan akan menindak siapa saja yang 2004). Pentingnya dialog dalam menyelesaikan dianggap melanggar sesuai ketentuan hukum konflik di KHDTK Mengkendek diungkapkan yang berlaku (Rokhmad, 2013). pula oleh informan kunci berikut: Pendekatan penegakan hukum yang “Untuk menyelesaikan masalah di ditempuh BP2LHK Makassar selama ini belum KHDTK, saya cenderung ke dapat menyelesaikan konflik yang terjadi (bentuk) sosialisasi atau penyuluhan. Mereka kita undang secara tuntas karena upaya tersebut bersifat untuk membicarakan lahan yang sporadis. Konflik masih terus terjadi dan ada (KHDTK), kita bisa tahu siapa saja yang mengkavling bersifat laten yang sewaktu-waktu dapat lahan dan memetakannya. Buat muncul ke permukaan. Konflik kembali kesepakatan (yang isinya) masyarakat ikut menjaga muncul ke permukaan pada tahun 2014 dimana (KHDTK) dan mereka tim peneliti BP2LHK Makassar merasakan (masyarakat setempat) punya peluang untuk memiliki (misalkan adanya intimidasi dari masyarakat setempat ada pembebasan kawasan

8

hutan/KHDTK)” (Informan RB, penelitian tersebut telah memetakan lahan Aparat Dishutbun Tana Toraja) garapan masyarakat secara partisipatif dan

“Yang berkesan pada saat merumuskan hal-hal yang perlu disepakati pertemuan yang dilakukan di dengan masyarakat sekitar jika program social kantor KHDTK (2008/2009) yaitu (lahan) bisa digarap asalkan forestry akan diterapkan oleh pengelola jangan dimiliki dan semua KHDTK Mengkendek (BP2LHK Makassar). peserta (masyarakat setempat) setuju” (Informan JBP, Tokoh Namun demikian, pendekatan dialog tersebut agama di Mengkendek) tidak dilanjutkan karena belum tuntasnya

dialektika di internal BP2LHK Makassar Pendekatan dialog pernah dilakukan terkait perlu tidaknya social forestry pada tahun 2008 dan 2009 melalui kegiatan diterapkan di KHDTK Mengkendek.Dinamika penelitan yang bertujuan melihat peluang penyelesaian konflik di KHDTK Mengkendek pengembangan social forestry di KHDTK disajikanpada Gambar 1. Mengkendek. Melalui proses dialog/diskusi,

Gambar 1. Dinamika Penyelesaian Konflik di KHDTK Mengkendek

Tahun 2015, kebijakan penelitian di penegakan hukum belum dapat menyelesaikan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasli konflik yang terjadi. Penggunaan mediator (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan dalam penyelesaian konflik sangat diperlukan Kehutanan (KLHK) mengamanatkan bahwa agar masyarakat tidak merasa terintimidasi dan penelitian resolusi konflik kawasan hutan curiga terhadap proses penyelesaian konflik sedapat mungkin diarahkan pula untuk yang terjadi (Dassir, 2008; Gamin, 2014). menyelesaikan konflik yang terjadi di Pendekatan dialog/mediasi diharapkan KHDTK-KHDTK yang dikelola oleh BLI akan melahirkan pola komunikasi dan pola KLHK. Kebijakan ini menjadi pintu masuk interaksi yang baru antara pengelola dengan (entri point) bagi BP2LHK Makassar untuk masyarakat sekitar KHDTK Mengkendek. Pola mencoba pendekatan dialog/mediasidalam komunikasi dan interaksi yang baik diantara menyelesaikan konflik di KHDTK pihak yang berkonflik akan melahirkan Mengkendek setelah sebelumnya pendekatan perasaan saling memahami yang pada akhirnya

9 dapat melahirkan modal sosial (trust, norm dan sebagian kawasan hutan Mapongka, klaim network) (Sumanto, 2009). Modal sosialyang sebagai tanah adat dan kebutuhan akan lahan terbentuk sebagai akibat dari proses dialog garapan untuk memenuhi kebutuhan hidup. akan menjadi modal dasar terjalinnya Konflik di KHDTK Mengkendek melibatkan kemitraankehutanan antara BP2LHK Makassar BP2LHK Makassar selaku pengelola KHDTK dengan masyarakat setempat dalam dengan masyarakat sekitar serta pihak terkait pengelolaan KHDTK Mengkendek. Kemitraan lainnya seperti BBKSDA Sul-Sel, Dishutbun merupakan salah satu model resolusi konflik Tana Toraja, Polres Parepare. jika melibatkan pemerintah dan masyarakat Penanganan konflik selama ini lebih setempat serta berorientasi pada menekankan pada penegakan hukum (operasi pengembangan kelembagaan (Dharmawan, penertiban) namum tidak optimal 2006). Kemitraan kehutanan merupakan salah menyelesaikan konflik yang terjadi. Hal ini satu upaya untuk mengakomodasi kepentingan disebabkan karena operasi penertiban yang masyarakat setempatdan sebagai bentuk win- dilakukan bersifat sporadis dan tidak ada win solution dalam mengatasi konflik upaya tindak lanjut pasca dilakukannya operasi kepentingan dalam pengelolaan KHDTK penertiban tersebut.Pendekatan dialog/mediasi Mengkendek (Wakka, 2010). Landasan hukum menjadi salah satu alternatif yang patut dicoba untuk mengimplementasikan kemitraan oleh pengelola KHDTK Mengkendek dalam kehutanan di KHDTK Mengkendek adalah menyelesaikan konflik yang terjadi. Melalui Permenlhk No. pendekatan dialog diharapkan tercipta rasa P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang saling memahami dan munculnya modal sosial Perhutanan Sosial. (trust, norm dan network) yang menjadi modal dasar terjalinnya kemitraan diantara kedua IV. KESIMPULAN DAN SARAN belah pihak sebagai salah satu bentuk win-win solution penyelesaian konflik di KHDTK Konflik di KHDTK Mengkendek Mengkendek. sangat mungkin terjadi mengingat lokasinya yang strategis. Konflik yang terjadi di KHDTK UCAPAN TERIMA KASIH Mengkendek merupakan konflik penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan Penelitian ini terlaksana dengan baik (hutan).Konflik di KHDTK Mengkendek berkat dukungan dari berbagai pihak. Untuk mulai muncul kepermukaan pada saat itu, ucapan terima kasih dan apresiasi yang pembebasan sebagian kawasan hutan sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Mapongka untuk pengembangan kota Balai Penelitian Lingkungan Hidup dan Ge’tengan. Konflik yang terjadi disebabkan Kehutanan Makassar atas kesempatan yang oleh adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh diberikan untuk melaksanakan penelitian, masyarakat setempat pasca pembebasan anggota tim: Bugi K. Sumirat, Andarias

10 Ruru,Hamdan dan Supardi yang telah Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council. membantu dalam kegiatan pengumpulan data, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Gamin. (2014). Resolusi Konflik dalam Pengelolaan Hutan untuk Mendukung Toraja, Lurah Rante Kalua’, Lurah Tampo, Implementasi REDD+. Disertasi. tokoh adat dan tokoh masyarakat serta Sekolah Pasca Sarjana. Bogor: Institue Pertanian Bogor masyarakat sekitar KHDTK Mengkendek atas kerjasama yang baik dalam pelaksanaan Harun, M.K.dan Dwiprabowo, H. (2014). Model Resolusi Konflik Lahan di penelitian ini. Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar. JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,11(4), DAFTAR PUSTAKA 265 – 280.

KLHK. (2015). Peraturan Menteri Lingkungan Awang, S.A. (2003). Politik Kehutanan Hidup dan Kehutanan No. Masyarakat. Yogyakarta: Centre for P.84/Menlhk-Setjen/2015 tentang Critical Social Studies Kerjasama Penanganan Konflik Tenurial dengan Kreasi Wacana Yogyakarta. Kawasan Hutan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. BPPKS. (2006). Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan dengan Tujuan KLHK. (2016). Peraturan Menteri Lingkungan Khusus (KHDTK). Makassar: Balai Hidup dan Kehutanan No. Penelitian dan Pengembangan P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Kehutanan Sulawesi. tentang Perhutanan Sosial. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Budimanta, A. (2007). Kekuasaan dan Kehutanan. Penguasaan Sumber Daya Alam. Jakarta. ICSD. Kuniawan, D. Syani, A. (2013). Faktor Penyebab, Dampak dan Strategi Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Penyelesaian Konflik Antar Warga Di Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Kecamatan Way Panji Kabupaten Metodologis Ke Arah Penguasaan Lampung Selatan. Sosiologi: Jurnal Model Aplikasi. Jakarta: PT. Ilmiah Kajian Ilmu Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada. 15(1), 1 – 12.

Dassir, M. (2008). Resolusi Konflik Marina, I. dan Dharmawan, A.H. (2011). Pemanfaatan Lahan Masyarakat dalam Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Hutan di Kabupaten Luwu Kawasan Konservasi. Sodality: Jurnal Timur. Jurnal Hutan Dan Masyarakat, Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, 3(1), 1 – 10. dan Ekologi Manusia, 5(1),90 – 96.

Dharmawan, A.H. (2006). Konflik-Sosial dan Mawardi, I. dan Sudaryono. (2006). Resolusi Konflik: Analisis Sosio- Konservasi Hutan dan Lahan Melalui Budaya (Dengan Fokus Perhatian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kalimantan Barat). Makalah pada Hutan. J.Tek.Ling. 7(3). 317 – 324. Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Perkebunan Wilayah Mithchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.H. Perbatasan Kalimantan. Pontianak, 10 (2000). Pengelolaan Sumberdaya dan – 11 Januari 2006. Lingkungan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fisher, S., Ludin, J., William, S., Abdi, D.I., Smith, R., dan William, S. (2001). Mengelola Konflik, Keterampilan dan 11 Pruitt, D.G. dan Rubin, J.Z. (2009). Teori Negosiasi di Sumber Jaya, Lampung Konflik Sosial. Yogjakarta: Pustaka Barat, Provinsi Lampung, Pelajar. Agrivita,26(1), 20–28.

Rokhmad, A. (2013). Sengketa Tanah Wakka, A.K. (2010). Konsep Kemitraan dalam Kawasan Hutan dan Resolusinya Pengelolaan Kawasan Hutan dengan dalam Perspektif Fiqh. Walisongo, Tujuan Khusus (KHDTK) 21(1), 141 – 169. Mengkendek. Prosiding Ekspose Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Subandi. (2011). Deskripsi Kualititatif Sebagai Bogor: Pusat Penelitian dan Satu Metode Dalam Penelitian Pengembangan Konservasi dan Pertunjukan. Harmonia: Jurnal Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Pengembangan Kehutanan. 11(2), 173 – 179. Wakka, A.K. (2014). Analisis Stakeholders Sumanto, E.S. (2009). Kebijakan Pengelolaan Kawasaan Hutan Dengan Pengembangan Perhutanan Sosial dal Tujuan KHusus (KHDTK) Perspektif Resolusi Konflik. Jurnal Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Analisis Kebijakan Kehutanan. 6(1), Provinsi Sulsesi Selatan. Jurnal 13 – 25. Penelitian Kehutanan Wallaceae, 3(1), 47–56. Sumanto, S.E. dan Sujatmoko, S. (2008). Kajian Konflik Pengelolaan KHDTK Wakka, A.K. dan Hapsari, E. (2011). Kondisi Hutan Penelitian Hambala - Sumba Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Timur.Jurnal Analisis Kebijakan KHDTK Mengkendek Kabupaten Tana Kehutanan,5(3), 165 – 178. Toraja. Prosiding Ekspose Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Sutopo, H.B. (2006). Metode Penelitian Kual- Bogor: Pusat Penelitian dan itatif. Surakarta: UNS Press. Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pengembangan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin. Wakka, A.K., Muin, N. dan Purwanti, R. Ulfah, S.M. (2007). Identifikasi Konflik dalam (2013). Konflik pada Kawasan Taman Pengelolaan Wisata di Kawasan Nasional Bantimurung Bulusaraung Gunung Salak Endah, Kecamatan Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Pamijahan, Kabupaten Bogor. Bogor: Penyelesaiannya. JURNAL Penelitian Institute Pertanian Bogor (IPB). Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(3), 186 – 198. Verbist,B., Pasha, G.(2004). Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan

12

MODEL PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM WILAYAH KPH Oleh : Daud Malamasssam dan Yusuf Liling [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Program Pembangunan Hutan melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sangat diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif solusi yang cukup efektif dalam upaya penanggulangan degradasi sumberdaya hutan. Namun sampai sejauh ini, perkembangan pembangunan KPH di sebagian besar wilayah masih sangat jauh dari kondisi yang harapan. Sehubungan dengan itu, masyarakat perlu terus didorong untuk terlibat dalam upaya pembangunan KPH, termasuk melalui program pembangunan HutanTanaman Rakyat (HTR). Untuk itu diperlukan penggambaran tentang model pengembangan dan pengelolaan HTR yang dapat mendorong keterlibatan warga masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan pembangunan HTR khususnya di Sulawesi Selatan, sampai saat ini. Selanjutnya dicoba dirumuskan alternatif model pengembangan HTR, yang dapat mendorong keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan KPH melalui skema pembangunan HTR. Dengan demikian, pembangunan HTR diharapkan dapat mendukung keberhasilan pembangunan hutan berbasis KPH, selain mendukung peningkatan pendapatan masyarakat. Pengumpulan data dan informasi untuk mendasari tulisan ini dilaksanakan pada Juli sampai September 2017. Pengambilan data dilakukan melalui studi literatur, pengecekan lapangan dan pelaksanaan wawancara ataupun diskusi (Focus Group Discussion) dengan sejumlah pihak yang dinilai terlibat dan atau mengetahui permasalahan ataupun perkembangan pembangunan HTR selama ini pelaku HTR (pola mandiri, koperasi, kelompok tani) dan para pemangku kepentingan KPH lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan HTR, khususnya di Sulawesi Selatan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hasil pencadangan seluas 35.605 ha realisasi IUPHHK-HTR hanya seluas 6.274 ha (16,6%). Lebih lanjut Pembangunan HTR yang sudah dilaksanakan umumnya belum memperhatikan daur jenis tanaman pokok, yang juga sekaligus bermakna bahwa para pengelola HTR belum mempertimbangkan kelestarian hasil dan manfaat. Oleh karena itu penanaman jenis-jenis lain yang berjangka pendek, dari jenis-jenis tanaman pangan ataupun tanaman komersil dapat menjadi alternatif yang diharapkan menjadi sumber pendapatan yang dapat digunakan sebagai modal bagi pengelola (mandiri/KTH, koperasi) atau memampukan pengelola HTR untuk membayar/mengembalikan pinjaman tanpa harus menunggu hasil dari tanaman pokok (pohon). Namun harus dicatat bahwa pada akhirnya hasil utama HTR adalah kayu.

Kata kunci : Model Pengembangan KPH, Potensi, Hambatan

PENDAHULUAN manfaat ekonominya. Penurunan tersebut disebabkan oleh sejumlah aktivitas Potensi sumberdaya hutan dari manusia yang tidak memperhatikan daya tahun ke tahun terus menunjukkan dukung dan kelestarian sumberdaya hutan. penurunan yang cukup tajam, baik dalam Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah hal luasan dan kualitas, maupun dalam hal

13

telah mencanangkan pengelolaan hutan (Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi berbasis Kesatuan Pengelolaan Hutan Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 (KPH), melalui Peraturan Pemerintah Jo.Nomor P.06/VI-BPHT/2008), Nomor : 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 (2).Pedoman Budidaya Tanaman Hutan Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Tanaman Rakyat (Peraturan Direktur Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor serta Pemanfaatan Hutan pada sejumlah P.04/VI-BUHT/2012), (3) Tata Cara tempat, belum menampakkan hasil sesuai Seleksi dan Pendampingan Pembangunan dengan yang diharapkan, yang antara lain Hutan Tanaman Rakyat(Peraturan Direktur disebabkan oleh belum optimalnya Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor dukungan para pihak, termasuk P.05/VI-BUHT/2012). masyarakat. Sehubungan dengan itu Selain itu, terdapat pula peraturan diperlukan strategi, metode ataupun skema terkait dengan pelaksanaan pembangunan pelibatan masyarakat yang dapat Hutan Tanaman Rakyat, yang lebih mengoptimalkan keterlibatan masyarakat bersifat operasional, seperti : (1)Rencana dalam mendukung program pembangunan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan pengelolaan hutan. Salah satu metode Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan pelibatan masyarakat dalam pembangunan Tanaman Rakyat (Permen Nomor hutan adalah melalui skema Hutan P.62/Menhut-II/2008 Jo. P.14/Menhut- Tanaman Rakya (HTR). II/2009), (2) Tata cara Permohonan Ijin Pembangunan HTR atau lebih Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tepatnya pelibatan masyarakat melalui Ijin pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman (Permen Nomor P.55/Menhut- pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK- II/2011Jo. P.31/Menhut-II/2013),(3) HTR) telah dicanangkan sejak tahun 2007 Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil melalui Peraturan Menteri Kehutanan Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat tentang Tata cara Permohonan Ijin Usaha (Permen Nomor P.3/Menhut-II/2012). Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Meskipun Landasan Hukum untuk Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan mendasari pelaksanaan Pembangunan Tanaman (Permenhut Nomor HTR ini sudah cukup lengkap, namun P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut sampai sejauh ini, perkembangan Nomor P.5/ Menhut-II/2008).Permenhut pembangunannya belum berjalan sesuai ini diikuti oleh sejumlah pedoman ataupun dengan yang diharapkan, termasuk di petunjuk teknis seperti (1) Petunjuk Teknis Wilayah Sulawesi Selatan. Sejumlah areal Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat yang sudah dicanangkan untuk

14

pembangunan HTR belum ditindaklanjuti langsung dengan pelaksanaan dengan perizinan, sejumlah HTR yang pembangunan HTR di Sulawesi Selatan. sudah memiliki izin belum berjalan, dan Data yang dikumpulkan dianalisis beberapa HTR yang sudah berjalan belum secara deskriptif untuk menjelaskan optimal dalam mencapai tujuan perkembangan HTR dan upaya pembangunan HTR yang antara lain : pendampingan atau fasilitasi yang pernah penanggulangan lahan kritis, konservasi dilakukan atau diperoleh dalam lahan, perlindungan hutan dan upaya pembangunan HTR untuk mendasari pengentasan kemisikinan melalui perumusan rekomendasi tentang model pemberdayaan masyarakat yang ada di pembangunan HTR dalam wilayah KPH, dalam dan sekitar hutan dengan khususnya di Sulawesi Selatan pada masa memberikan akses pemanfaatan hutan mendatang. Selanjutnya, diharapkan yang lebih luas. bahwa HTR-HTR yang sudah terbangun Sehubungan dengan permasalahan dapat berkembang menjadi mandiri di atas inilah maka penelitian ini dilakukan sebagai bagian dalam pengelolaan hutan dengan tujuan : lestari, sesuai dengan tujuan awal dari 1. Menggambarkan perkembangan pencanangan pembangunan KPH. pembangunan HTR, khususnya di HASIL DAN PEMBAHASAN Sulawesi Selatan. 1. Perkembangan pembangunan HTR 2. Merumuskan strategi atau model di Sulawesi Selatan pengembangan yang dapat dilakukan Pencadangan HTR di Sulawesi untuk lebih memacu pembangunan Selatan dilakukan antara tahun 2008 HTR pada masa mendatang. sampai 2010 dengan total luas areal Hasil penelitian diharapkan dapat sebesar 365.305 ha yang tersebar pada 12 mendukung percepatan pembangunan dan wilayah kabupaten kota (perincian dapat di pengelolaan hutan berbasis Kesatuan lihat pada Lampiran 1). Luasan HTR pada Pengelolaan Hutan (KPH). setiap kabupaten sangat bervariasi mulai dari hanya seluas 80 ha sampai dengan METODE PELAKSANAAN 8.580 ha. Pencadangan HTR yang terluas Data dan informasi yang terdapat di Kabupaten Maros (8.580 ha), dituangkan dalam tulisan ini merupakan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh hasil penelusuran laporan-laporan yang Kabupaten Pinrang (8.100 ha), Barru relevan, selain melalui wawancara dengan (5.240 ha), Soppeng (3.736 ha), Sidrap pihak-pihak yang selama ini terkait (2.749 ha), dan Enrekang (2.575 ha).

15

Sementara luas pencadangan yang terkecil 2. Jenis yang diusahakan, pendanaan dan pola pertanaman terdapat di Kota (80 ha), dan secara Jenis tanaman yang diusahakan berturut-turut diikuti oleh Kabupaten Tana dalam kegiatan HTR dipilih dan ditetapkan Toraja (142 ha) dan Luwu Utara (473 ha). dengan mempertimbangkan : (1) tujuan Dari luas areal yang dicadangkan pengusahaan ataupun tujuan yang akan untuk HTR termaksud di atas, sampai dihasilkan, (2) kesesuaian jenis pohon dan dengan tahun 2012, hanya seluas 6.274 ha tapak dan (3) daur panen/kecepatan (17,62%) yang sudah memperoleh izin tumbuh. Adapun jenis tanaman yang untuk beroperasi (SK. IUPHK-HTR) yang dikembangkan meliputi : Gmelina perinciannya dapat dilihat pada Lampiran (Gmelina Arborea), Jabon (Anthocepalus 2. HTR-HTR tersebut menyebar pada cadamba), Mahoni (Swietenia mahagonia enam wilayah kabupaten, dan terdiri atas L. Jacq) dan Jati (Tectona grandis), seperti 41 unit HTR. Sebagian besar (74,74%) yang terlihat pada Tabel 1. Jenis-jenis ini dari luasan ini terdapat di dua kabupaten, merupakan jenis tanaman cepat tumbuh yaitu masing-masing Kabupaten Pinrang (fast growing) yang diharapkan dapat seluas 3.408 ha (12 unit) dan Kabupaten dipanen lebih cepat karena memiliki daur Barru seluas 1.281 ha (6 unit). Unit HTR kurang dari 10 tahun (kecuali Jati dengan yang telah memperoleh izin dikelola baik daur 40 – 60 tahun). oleh Kelompok Tani dan Koperasi maupun oleh perorangan sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 1. Jenis tanaman dan pola pengelolaan HTR

Pengelola (Koperasi, Luas No. Kabupaten KTH,Perorangan) (ha) Jenis Tanaman Pola Pengelolaan Gmelina, Jati, 1. Maros  KTH Pakareangan Indah 123 Jabon, Mahoni Swadaya 2. Pinrang  Koperasi Ragam Buana S. 288 Gmelina Swadaya  Koperasi Gunung Jati 298 Gmelina Swadaya  Koperasi Bulu Dewata 694 Gmelina Pinjaman

 Koperasi Hijau Lestari 300 Gmelina, Jabon Siporennu (**) Pinjaman (*) Keterangan : (*) Pinjaman dana bergulir dari BLU dari Kementerian LH &Kehutanan (**) Tanamannya tidak tumbuh dengan baik

16

Pola atau sistem pertanaman enam tahun terhitung mulai dari dalam kegiatan HTR dilakukan adalah penanaman pertama, dan itupun tidak pola murni dan juga pola campuran atau mungkin semuanya bisa dikembalikan. pola agroforestry. Pada pola agroforestry Patut pula dicatat bahwa dilakukan pencampuran sejumlah jenis berbagai upaya pendampingan telah tanaman untuk membentuk tegakan ditetapkan untuk mendukung kelancaran multistrata. Namun patut dicatat bahwa dan keberhasilan pembangnan HTR, pola penataan areal tanaman ataupun pola sebagaimana yang dapat dilhat pada pencampuran tanaman, umumnya belum Lampiran 4. Namun kondisi di lapangan memperhatikan daur tanaman pokok, dan menunjukkan bahwa pembangnan HTR belum memperlihatkan secara jelas adanya termaksud umumnya tidak berjalan/tidak penerapan prinsip kelestarian hasil dan berhasil dengan baik. Malahan tercatat prinsip optimalisasi hasil. Sebagai hasil, bahwa salah satu unit HTR yang pembangunan HTR yang sudah sempat menggunakan bantuan BLU justru dilakukan masih sebatas pembangunan tanamannya tidak tumbuh dengan baik, tanaman, tetapi belum secara jelas padahal pinjaman tersebut bersifat memperlihatkan hasil yang diharapkan, tanggung renteng, pinjaman yang harus terlebih untuk pembangunan HTR yang dikembalikan meskipun pembangunan menggunakan dana pinjaman yang juga tanaman mengalami kegagalan. memiliki kewajiban untuk membayar Uraian di atas menunjukkan kembali dana pinjaman tersebut. bahwa pembangunan tanaman dari jenis Dana pinjaman yang digunakan pohon-pohon pada HTR sangat perlu dalam mendukung pembangunan HTR, disertai dengan penanaman jenis-jenis lain bersumber dari Badan Layanan Umum yang berjangka pendek, dari jenis-jenis (BLU) Kementerian Kehutanan, yang tanaman pangan ataupun tanaman merupakan dana bergulir, yang harus komersil. Jenis-jenis inilah yang dapat diteruskan / digulirkan kepada orang lain diharapkan untuk menjadi sumber setelah berselang beberapa tahun. Dapat pendapatan yang dapat memampukan dibayangkan bahwa perguliran dana pengelola HTR untuk termaksud seharusnya dilakukan ketika membayar/mengembalikan pinjaman tanpa tanaman dari penerima terdahulu sudah harus menunggu hasil dari tanaman pokok memberikan hasil, dan tentu jika (pohon). Namun harus dicatat bahwa pada mengandalkan hasil tanaman kehutanan akhirnya hasil utama HTR adalah kayu. saja, maka hal tersebut hanya mungkin 3. Analisis dan Perumusan Model dilakukan paling cepat setelah lima sampai Pengembangan HTR

17

Pengaturan / Penataan Pertanaman logis dari kondisi areal hutan yang Di atas telah dikemukakan bahwa dicanangkan untuk HTR umunya sudah program pembangunan HTR sudah tidak produktif lagi, yang sekaligus dicanangkan sejak sekitar 10 tahun yang bermakna bahwa selain berjangka panjang, lalu dan dalam waktu yang hampir pengembalian modal yang ditanamankan bersamaan program pembangunan hutan dalam pembangunan HTR tergolong tidak berbasis KPH juga mulai dibicarakan pasti atau kurang terjamin. Berdasarkan secara intensif, khususnya di Sulawesi kondisi itu pula, para pengelola HTR Selatan. Namun kedua program tersebut, umumnya mengharapkan bantuan ataupun sampai sejauh ini, belum berjalan sesuai talangan dana dari pihak pemerintah dengan yang diharapan. Semua pihak tentu ataupun pihak lain untuk mendukung tidak berkeinginan untuk membiarkan kelancaran pembangunan HTR yang kondisi ini semakin berlarut-larut. mereka kelola.

Sehubungan dengan itu diperlukan adanya Hal lain yang juga patut dicatat langkah konkrit dan serius dalam rangka adalah bahwa pola pertanaman HTR memperlancar dan merealisasikan umumnya belum memperhatikan daur program-program tersebut. tanaman pokok sehingga prinsip Permasalahan utama yang pengelolaan hutan, yaitu kelestarian hasil dijumpai sekaitan dengan pembangunan akan sulit diwujudkan. Melalui pinjaman KPH dan HTR ini antara lain adalah jangka pendek dan menengah tersebut bahwa pelaksanaan program ataupun diharapkan dapat menjadi sumber kegiatan pembangunan KPH maupun pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan HTR, secara umum hidup sehari-hari para pengelola HTR, nampaknya sangat tergantung pada adanya sedangkan hasil dari tanaman kayu baru talangan atau atau bantuan dana dari pihak akan dapat menjadi sumber pendapatan luar, pemerintah ataupun swasta. Secara mulai saat pokok pada Petak 1 mencapai konsepsi, dikenal 3 pola pendanaan daur. kegiatan pembangunan HTR, yaitu pola Dalam rangka mendukung mandiri, pola kemitraan, dan pola pembangunan HTR, pembangunan develover. Namun kenyataan di lapaangan tanaman dapat dilakukan melalui beberapa menunjukkan bahwa pada dasarnya hampir model sebagai berikut : tidak ada pengelola HTR yang mampu dan a. Model Agroforestry, yaitu mau mendanai pembangunan HTR yang pencampuran antara jenis pohon dikelolanya dengan menggunakan moda (antara lain gmelina, sengon, jabon) sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dengan jenis-jenis berjangka produksi

18

pendek, maksimal 1 tahun, penghasil sampai semua petak tertanami dan pangan (jangung, kacang tanah, ubi penanaman pada petak yang terakhir jalar, dll) ataupun komoditas komersil akan segera diikuti dengan penebangan yang berjangka produksi menengah pada petak yang ditanami pertama kali, atau beberapa tahun seperti jahe, ubi dan disusul dengan penebangan pada kayu, kunyit, nilam, dll. Pertanaman petak-petak lainnya secara berurutan dapat dalam bentuk tumpang sari sesuai dengan umurnya, dan petak dengan pola jalur / lorong. yang ditebang harus ditanami pada Patut dicatat bahwa melalui pola tahun berikutnya. Penanamn jenis pertanaman ini hasil utama yang harus tanaman pangan ataupun jenis lainnya menjadi orientasi pengelolaan HTR dapat ditanam dan dipelihara bersama- adalah kayu, dan pada akhirnya akan sama dengan tanaman pokok, selama dijumpai jenis atau jenis-jenis pohon satu tahun atau lebih, yaitu selama tertentu dari semua kelas umur, yaitu jenis-jenis tersebut masih dapat mulai dari umur satu tahun sampai bertahan dan bertumbuh dengan baik, umur daur, meskipun areal HTR tidak disamping atau lebih tepatnya di ditata ke dalam petak-petak yang bawah tananaman pokok. jumlahnya sama dengan daur. Hanya Untuk HTR yang ditanami dengan kondisi demikian, kelestarian dengan jenis pohon yang berdaur hasil dari HTR tersebut akan dapat delapan tahun misalnya, pola dijamin. penataannya secara skematis b. Model Pertanaman yang ditata atas diperlihatkan pada Gambar 1, dan petak, dimana jumlah petaknya sama Struktur hutannya setelah tanaman dengan daur. Pada model ini setiap pertama mencapai daur diperlihatkan petak ditanami secara berturut-turut pada Gambar 2.

Petak8 Petak7 Petak6 Petak5

Petak 1 Petak 2 Petak 3 Petak 4

Gambar 1. Sketsa Pola Pertanaman HTR dengan daur 8 tahun 19

3 Pertumbuhan (m /ha) = Riap setahun

0 1 2 3 4 5 6 7 8 Tahun Umur Tanaman Pohon

Gambar 2. Pertumbuhan dan Nilai Tegakan

Bersamaan dengan penanaman tanaman pokok sebelumnya perlu diaktifkan kembali. di Petak 1, dan mungkin juga Penanaman Keberadaan pendamping ini merupakan Petak 2 dan Petak 3, dapat pula dilakukan ujung tombak berhasil tidaknya penanaman jenis-jenis tanaman pangan dengan pembangunan HTR. Oleh karena itu pola tumpangsari. Sejalan dengan itu, petak- dalam rangka keberlanjutan HTR yang petak dengan nomor yang lebih besar (Petak 4 sudah atau belum memiliki ijin sampai Petak 8) dapat ditanami dengan jenis- pengelolaan perlu dilakukan penyegaran jenis komersil yang dimaksudkan untuk dalam bentuk bimbingan teknis yang mempercepat dan meningkatkan perolehan memuat materi aspek teknis kehutanan dari usaha HTR, mempercepat pengembalian dan pengaturan hasil. Selanjutnya modal dan memungkinkan pengelola HTR mendesiminasikan bahwa program HTR membayar pinjaman yang digunakan dalam menjadi salah satu alternatif dalam pembangunan HTR mereka. pengelolaan dan pembangunan hutan pada masa kini dan ke depan harus diubah dari Pengembangan Kelembagaan orientasi kayu menjadi pengelolaan Pengembangan kelembagaan HTR dapat sumber daya hutan dengan menempatkan dilakukan melalui penguatan masyarakat sebagai pelaku utama. kelembagaan yang sudah pada saat proses Pendampingan HTR pembentukan HTR dimana keberadaan tenaga pendamping yang sudah ada

20

Dalam rangka menjaga keberlanjutan guna memperoleh IUPHHK-HTR. pembangunan HTR kegiatan Koperasi dalam hal ini dapat berupa pendampingan merupakan salah satu koperasi dalam skala kecil, menengah dan faktor penting yang terus-menerus di bangun oleh masyarakat setempat yang dilakukan. Melalui kegiatan tinggal di desa terdekat dari hutan dan pendampingan diharapkan dapat diutamakan penggarap lahan pada areal mempersiapkan dan meningkatkan pencadangan HTR. kemampuan masyarakat di tingkat tapak. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pendampingan terdiri atas: Berdasarkan uraian pada bagian aspek kelembagaan, aspek kelola kawasan terdahulu maka dapat disimpulkan dan aspek kelola usaha. Adapun jenis beberapa hal sebagai berikut : kegiatan aspek-aspek tersebut meliputi : 1. Perkembangan pembangunan Hutan tata hutan dan penyusunan rencana Tanaman Rakyat (HTR), khsusnya di pengelolaan, pemanfaatan hutan dan Sulawesi Selatan sampai sejauh ini penggunaan kawasan hutan serta belum berjalan sesuai dengan yang rehabilitasi dan reklamasi hutan. Khusus diharapkan. Berdasarkan luas dalam hal pendampingan HTR dapat pencadangan realisasi hanya 17,6% berupa peningkatan kapasitas melalui yang memperoleh IUPHHK-HTR kegiatan pelatihan dan pendampingan. (6.274 ha dari 35.605 ha).

2. Pembangunan HTR yang sudah dilaksanakan umumnya belum Pelibatan Stakeholder memperhatikan daur jenis tanaman Sesuai dengan persyaratan untuk dapat pokok, yang juga sekaligus bermakna memperoleh IUPHHK-HTR yaitu bahwa para pengelola HTR belum perorangan dan koperasi.Perorangan dalam mempertimbangkan kelestarian hasil hal ini merupakan masyarakat yang tinggal dan manfaat. di sekitar kawasan hutan. Selanjutnya 3. Khusus bagi para pengelola HTR yang disebutkan bahwa dalam hal seseorang menggunakan dana pinjaman untuk yang telah menyelesaikan pendidikan mendukung pelaksanaan kehutanan formal dan bidang ilmu lain pembangunan HTR mereka, umumnya yang pernah bekerja di bidang kehutanan belum memperhatikan dan belum dan pendamping, bersama-sama dengan merencanakan secara baik tentang masyarakat setempat yang tinggal di skenario pembayaran kembali dana sekitar hutan dapat mendirikan koperasi pinjaman mereka.

21

Untuk mendukung kelancaran melibatkan secara bersinergi semua pembangunan HTR pada masa mendatang pihak yang berkepentingan dengan dapat direkomendasikan beberapa hal pengelolaan dan pelestarian sebagai berikut : sumberdaya hutan. Patut 1. Pembangunan HTR perlu didahului dipertimbangkan untuk menjadikan dengan penataan areal dan penataan pembangunan HTR dalam wilayah pertanaman, yang selain dimaksudkan KPH sebagai suatu gerakan nasional untuk mendukung upaya perwujudan yang melibatkan para rimbawan dan kelestarian hasil utama berupa kayu. juga segenap lapisan masyarakat 2. Percepatan pembangunan HTR dapaat pemerhati lingkungan dan sumberdaya mendukung percepatan perwujudan hutan, baik selaku individu maupun pembangunan sumberdaya hutan selaku kelompok ataupun badan usaha. berbasis KPH. Sehubungan dengan itu,

diperlukan adanya kebijakan yang DAFTAR PUSTAKA memungkinkan sebanyak mungkin

pihak yang terlibat / melibatkan diri Anonim.2011. Laporan Kemajuan dalam pembangunan HTR. Pembangunan HTR.Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah 3. Perencanaan HTR perlu dilengkapi XV Makassar. dengan analisis terkait dengan Anonim. 2012. Data dan Informasi Kehutanan (Statistik 2012). Dinas Kehutanan skenario pengembalian modal, Provinsi Sulawesi Selatan,Makassar termasuk melalui penanaman jenis- Peraturan Pemerintah Nomor : 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang jenis tanaman pangan dan tanaman Tata Hutan dan Penyusunan Rencana komersil untuk jangka pendek, tetapi Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. dengan tetap berorientasi pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi perwujudan kelestarian dan Kehutanan Nomor : P.06/VI- BPHT/2007 Jo. Nomor : P.06/VI- optimasisasi hasil kayu sebagai hasil BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis utama untuk jangka panjang. Pada Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha pengusahaan usaha-usaha non Kehutanan Nomor : P.04/VI- kehutanan dalam areal HTR dan BUHT/2012 Tentang Pedoman Budidaya Tanaman Hutan Tanaman pengalokasian dana awal yang cukup Rakyat. untuk kegiatan tersebut. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.05/VI- 4. Untuk mewujudkan hal-hal yang BUHT/2012 Tentang Tata Cara dimaksudkan pada butir 1, 2 dan 3, Seleksi Dan Pendampingan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. dibutuhkan upaya-upaya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : pendampingan yang melembaga dan P.55/Menhut-II/2011Jo. P.31/Menhut- II/2013 tentang Tata cara Permohonan

22

Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan Lingkungan No. dalam Hutan Tanaman, P.16/PSKL/SET/PSL.0/12/2016 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kehutanan Nomor : Pengelolaan Hutan Desa, Rencana P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/ 10/2016 Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan tentang Perhutanan Sosial. Hutan Kemasyarakatan dan Rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman dan Kemitraan Lingkungan No. Rakyat P.13/PSKL/SET/PSL.0/11/2016 Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial tentang Pedoman Verifikasi dan Kemitraan Lingkungan No. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan P.17/PSKL/SET/PSL.0/12/2016 Hasil Hutan Kayu pada Hutan tentang Pedoman Pelaksanaan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR); Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat.

Lampiran 1. Perkembangan Pencadangan Areal HTR

Pencadangan HTR No. Kabupaten Nomor SK Tanggal Luas (ha) 1. Sidrap SK.277/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 2,749 2. Palopo SK.274/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 80

3. Takalar SK.269/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 1,900 4. Pangkep SK.275/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 960

5. Maros SK.273/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 8,580

6. Barru SK.271/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 5,240 7. Enrekang SK.270/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 2,575

8. Tana Toraja SK.276/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 142 9. Soppeng SK.272/Menhut-VI/2008 8 Agustus 2008 3,736

10. Luwu Utara SK.392/Menhut-II/2008 10 November 2008 473 11. Pinrang SK.279/Menhut-II/2009 13 Mei 2009 8,100

12. Wajo SK.523/Menhut-II/2010 27September 2010 1.070

Jumlah 35.605 Sumber. : BP2HP Wilayah XV Makassar, 2011

Lampiran 2. Progres Pembangunan HTR di Provinsi Sulawesi Selatan

Luas Pencadangan Luas SK. IUPHK-HTR Realisasi No. Kabupaten (ha) (ha) (%) 1. Sidrap 2749 0 0,00 2. Palopo 80 0 0,00 3. Takalar 1900 0 0,00 4. Pangkep 960 0 0,00 5. Maros 8580 123 1,43 23

6. Barru 5240 1281 24,45

7. Enrekang 2575 583 22,64 8. Tana Toraja 142 0 0,00

9. Soppeng 3736 478 12,79 10. Luwu Utara 473 401 84,78 11. Pinrang 8100 3408 42,07 12. Wajo 1070 0 0,00

Jumlah 35.605 6.274 17,62

Sumber. : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012

Lampiran 3.Luas Kepemilikan HTR per unit per Kabupaten

Luas SK. Nama Pengelola Luas per No. Kabupaten IUPHK- HTR (ha) (Koperasi.KTH,Perorangan) Unit (ha) 123 1. Maros (1 unit)  KTH Pakareangan Indah 123  KTH Padang Babbo 208  KTH Semangat 251 1.281  KTH Coppo Baramming 312 2. Barru (6unit)  KTH Samuddae 170  KTH Deae 66  KTH Bolong Ringgi 274  KTH Cendana 65  KTH Ketapi 40  KTH Bampu 15  KTH Sikamasean 40  KTH Mappadeceng 50 583  KTH Maccollilolo 44 3. Enrekang (12 unit)  KTH Toppo Dewata 50  KTH Sipatuju 64  KTH Siparappe 52  KTH Masagenae 38  KTH Abadi 50  KTH Masyarakat Batu Mila 75  KTH Gmelina 235 4. Soppeng 478  KTH Bukkere Indah 243  Koperasi Barokah 312  Darwis 11  Maslang 8  Wardina 12 401 5. Luwu Utara  Suardi 12 (9unit)  Suwardi 8  Jono 14  Tuwo 15  Rusdin 9  Koperasi Ragam Buana S. 288 3.408 6. Pinrang  Koperasi Gunung Jati 298 (12 unit)  KUD Hutbun Kassa Jaya 226

24

 KUD Hutbun Tanete Lampe 271  KUD Hutbun Sipakatau 208  KUD Hutbun Palita 265  KUD Hutbun Tumbuh Mekar 225  Koperasi Bulu Dewata 331  Koperasi Sido Muncul 313  Koperasi Makaritutu 413  Koperasi Hijau Lestari Siporennu 279  Kop. Mandiri 291 Jumlah 6.274 6.274 Sumber. : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012

Lampiran 4. Instansi pelaksana kegiatan pendampingan dan bentuk-bentuk kegiatan pendampingan dalam pembangunan HTR No. Instansi Pelaksana (UPT) Bentuk Pendampingan 1. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi  Proses verifikasi (BP2HP) Wilayah XV Makassar  Pertimbangan teknis  Dana Pendampingan  Pelatihan Fasilitator HTR 2. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan  Pelatihan Pendamping HTR  Sosialisasi HTR Se-Kab/Kota 3. Balai Diklat Kehutanan Makassar  Pelatihan Fasilitator HTR

4. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai  Fasilitasi pendampingan dan (BPDAS) Saddang Pembinaan KT HTR 5. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai  Dana Pendampingan Jeneberang Walanae 6. Balai Perhutanan Sosial &Kemitraan Lingkungan  Proses verifikasi Wilayah Sulawesi

Lampiran 5. Pembentukan KPH dan Pembentukan UPT Perhutanan Wilayah di Sulawesi Selatan a. Pembentukan KPH No. Nama KPH Wilayah Kerja Lokasi Kantor 1. Bulusaraung Maros, Pangkep Pangkep 2. Barru Barru 3. Bila Pangkep, Sidrap Sidrap 4. Sawitto Pinrang Pinrang 5. Mata Allo Enrekang Enrekang 6. Saddang I Tana Toraja Makale 7. Saddang II Toraja Utara Rantepao 8. Latimojong Luwu, Palopo Belopa 9. Rongkong Luwu Utara Masamba 10. Kalaena Luwu Utara,Luwu Timur Wotu 11. Larona Malili Luwu Timur Malili 12. Walanae Soppeng, Wajo Soppeng 13. Cenrana Bone Bone 14. Jeneberang I Gowa, Takalar, Jeneponto Sungguminasa 15. Jeneberang II Bantaeng, Bulukumba,Sinjai Bantaeng 16. Selayar Selayar Benteng

25

b. Pembentukan UPT Perhutanan Wilayah No. Nama KPH Wilayah Kerja Lokasi Kantor 1. Wilayah I Makassar, Maros, Pangkep Maros 2. Wilayah II Barru, Pare-Pare, Sidrap, Pinrang Pare-Pare 3. Wilayah III Enrekang , Tana Toraja, Toraja Utara Makale 4. Wilayah IV Luwu, Palopo, Lutra, Lutim Palopo 5. Wilayah V Bone, Soppeng, Wajo Bone 6. Wilayah VI Gowa, Takalar, Jeneponto Takalar 7. Wilayah VII Bantaeng, Bulukumba, Sinjai Bulukumba 8. Wilayah VIII Selayar Benteng

26

ABSTRAK

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SEBAGAI UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI PULAU-PULAU KECIL (Studi Kasus : Dusun Taman Jaya Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku)

Oleh : DEBBY V PATTIMAHU, A. KASTANYA DAN P. PAPILAYA*)

*) Program Pascasarjana Universitas Pattimura Ambon *) Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Email : [email protected]

Strategi pengembangan ekonomi padat karya dan berbasis bahan baku serta ekstraktif, menimbulkan kerusakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat kegiatan penambangan mineral, bahan baku konstruksi, reklamasi untuk infrastruktur baru, budidaya perikanan pesisir dan lain-lain. Kegiatan ini sangat mengancam kelestarian dan daya dukung hutan mangrove, terumbu karang, serta pulau pulau kecil yang merupakan sumber kehidupan masyarakat pesisir.Disamping itu kesadaran akan pentingnya keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove semakin berkurang, karena fungsi mangrove lebih diutamakan dari aspek ekonomi saja, sementara fungsi mangrove sangat kompleks karena dapat menjadi natural defense terhadap iklim ekstrim, bencana tsunami dan mencegah bencana pada masyarakat sekitar wilayah pesisir.Hutan mangrove memegang peranan yang sangat vital dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon/emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca. Hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk, sehingga berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon lainnya Karena itu hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Manfaat mangrove yang begitu besar,berperan serta dalam menunjang kehidupan manusia dan lingkungannya. Namun demikian kondisi mangrove terancam karena pemanfaatan mangrove yang tidak ramah lingkungan akibat kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap fungsi dan peran hutan mangrove. Adanya konversi lahan mangrove untuk peruntukan lainnyadan pemanfaatan mangrove yang tidak bertanggung jawab sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan arang memberi berkontribusi terhadap kerusakan hutan mangrove.Dengan demikian perlu dikembangkan konsep pengelolaan ekosistem mangrove yang integratif dan kolaboratif dalam rangka mempertahankan kelestarian ekosistemnya.Kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dikembangkan dengan mengintegrasi aspek ekologi, sosial ekonomi,kelembagaan dan regulasi. Koordinasi dalam keterpaduan pengelolaan yang kolaboratif sangat diperlukan dalam pembangunan ekosistem mangrove berkelanjutan.

Kata kunci : hutan mangrove, strategi mitigasi, pengelolaan kolaboratif

PENDAHULUAN SDA dan Lingkungan. Untuk menyelamatkan SDA dan lingkungan secara 1.1. Latar Belakang menyeluruh terhadap potensi, persebaran Dalam konteks perlindungan dan sifatnya dibandingkan dengan lingkungan ataupun ekosistem, setiap pertumbuhan kebutuhan manusia dan keputusan yang menyangkut kepentingan pembangunan yang terus meningkat, maka SDA dan lingkungan harus dikaji secara kebutuhan manusia harus diatur secara tepat, mendalam dari segi dampaknya terhadap sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga

27 dan dapat dipertahankan keberlanjutan aktivitas masyarakat maupu alih fungsi lahan produktivitas SDA dan lingkungannya mangrove untuk peruntukan lainnya. Hal ini (Alikodra, 1998). juga terjadi pada wilayah permukiman Mangrove sebagai salah satu pesisir di Maluku, khususnya di Kecamatan ekosistem hutan mempunyai manfaat yang Seram Bagian Barat. beragam dari aspek ekologi, sosial, ekonomi King (2000) menyatakan bahwa dan fungsi perlindungan, sehingga perlu komunitas mangrove tidak dapat bertahan dijaga dan dipertahankan ekosistemnya, hidup dengan baik atau cenderung mengingat fungsinya yang sangat mengalami penurunan jumlah dan menuju mendukung potensi perikanan perairan laut kepunahan. Hal ini juga akan lepas, karena banyak diantara ikan dan mempengaruhi keberadaan biota perairan udang yang memerlukan hutan mangrove khususnya ikan, udang dan kepiting yang sebagai tempat mencari makan dan sangat bergantung pada ekosistem tersebut. membesarkan diri (Farleyet al, 2009). Permasalahan yang ditemukan adalah Akibat dari berbagai aktivitas belum dikaji keadaan bioekologi mangrove pembangunan terjadi kerusakan hutan dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat mangrove karena melebihi kapasitas daya yang tinggal di sekitar hutan mangrove, dukungnya. Lebih dari lima puluh persen adanyapenebangan hutan mangrove secara hutan mangrove mengalami kerusakan semena-mena oleh sebagian masyarakat, bahkan hilang sama sekali akibat berbagai terutama pada perairan pantai yang terletak faktor berikut : konversi hutan mangrove dekat dengan daerah pemukiman serta alih untuk peruntukan lainnya, urbanisasi, fungsi lahan mangrove untuk peruntukan pencemaran pesisir oleh sampah, bahan lainnya. Hal ini mengakibatkan komunitas bakar minyak dari industri, pertumbuhan dan mangrove mengalami tekanan pertumbuhan perkembangan kota-kota pantai serta sehingga berdampak pada ketidakstabilan kurangnya kesadaran masyarakat akan keseimbangan ekosistem mangrove. pentingnya hutan mangrove sebagai Mengingat betapa pentingnya hutan penyangga kehidupan daratan dan laut mangrove bagi keberlangsungan sebuah (Murdiyanto,2003). ekosistem, maka perlu dirumuskan suatu Keberadaan ekosistem mangrove kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas berkelanjutan. kebijakan ini dipakai guna masyarakat khususnya masyarakat pesisir menjaga dan melestarikan fungsi dan yang ketergantungan hidupnya pada manfaat ekosistem mangrove serta ekosistem tersebut (Pattimahu dkk, 2010). meningkatkan kapasitas SDM dalam Kondisi ekosistem mangrove yang letaknya pengelolaanya. berdekatan dengan permukiman masyarakat terancam mengalami kerusakan akibat

28

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian III. HASIL PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN 1. Menentukan factor-faktor internal dan MANGROVE BERKELANJUTAN eksternal yang berpenaruh dalam Analisis SWOT pengelolaan mangrove di Dusun Analisis SWOT merupakan suatu Taman Jaya analisis kualitatif yang digunakan 2. Menentukan kebijakan strategis untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara pengelolaan ekosistem mangrove sistematis untuk memformulasikan strategi berkelanjutan sebagai upaya mitigasi suatu kegiatan.Analisis ini didasarkan pada perubahan iklim. logika yang dapatmemaksimalkan kekuatan dan peluang suatu kegiatan, yang secara Manfaat yang hendak dicapai dalam bersamaandapat meminimalkan kelemahan dan penelitian ini adalah sebagai berikut : ancaman (Rangkuti, 2006). 1. Meningkatkan pemahaman masyarakat Dampak kegiatan pengelolaan hutan pesisir terhadap pentingnya mangrove mangrove di Dusun Taman Jaya dapat dalam mempertahankan keberlanjutan dianalisa dengan analisis SWOT, dapat lingkungan pesisir. digolongkan kedalam faktor eksternal (peluang 2. Meningkatkan program-program dan ancaman) atau dapat dikatakan dampak konservasi ekosistem mangrove secara langsung. Sedangkan dampak secara sebagai upaya adaptasi dan mitigasi tidak langsung digolongkan kedalam faktor perubahan iklim internal (kekuatan dan kelemahan).Kedua

faktor tersebut memberikan dampak II. METODOLOGI PENELITIAN positif yang berasal dari peluang dan kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari ancaman Waktu dan Tempat dan kelemahan. Dengan menggunakan matrik Penelitian ini dilaksanakan di Dusun internal dan esternal,maka dapat diberikan Taman Jaya Kabupaten Seram Bagian Barat bobot dan rating pada parameter yang telah Maluku . Kegiatan penelitian dilakukan pada ditentukan, sehingga akan diperoleh nilai bulan Maret - Juli 2016 (skor). Nilai ini yang akan memberikan arahan

tentang prospek kedepan untuk pengelolaan Metode Analisis Data mangrove berkelanjutan.. Data yang diperoleh dianalisis dengan 1. Identifikasi Faktor-faktor Internal analisis SWOT dan dilanjutkan dengan analisis dan Eksternal QSPM untuk menentukan prioritas strategi Beberapa faktor internal dan pengelolaan mangrove di dusun tersebut. eksternal yang menjadi pertimbangan untuk

29 menentukan prioritas strategi pengelolaan dan 3. Potensi pendapatan dan keuntungan peluang pengelolaan hutan mangrove adalah masyarakat/desa sebagai berikut : Kekuatan (Strengths) 4. Kebijakan daerah untuk 1. Potensi diversifikasi (flora dan pengelolaan mangrove secara fauna) yang tinggi kolaboratif. 2. Pemanfaatan potensi perikanan 5. Ketersediaan mitra untuk promosi mangrove oleh masyarakat. dan pemasaran produk olahan 3. Partisipasi masyarakat yang cukup mangrove tinggi c. Ancaman (Threats) 4. Aksesibilitas mudah dijangkau 1. Adanya penebangan mangrove 5. Wisatawan dapat menikmati secara liar. kenyamanan lingkungan alami 2. Masih rendahnya tingkat 6. Adanya zonasi mangrove pendidikan masyarakati a. Kelemahan (Weaknesses) 3. Adanya produk olahan pangan 1. Potensi SDAH belum dimanfaatkan mangrove sejenis yang lebih secara optimal. unggul di daerah lain 2. Kesediaan data dan informasi yang 4. Adanya perubahan iklim .. belum memadai. 5. Kerusakan mangrove 3. Pengawasan kawasan mangrove 6. belum intensif. 2. Analisa Strategi dengan Pendekatan 4. Kurangnya pemeliharaan sarana dan SWOT prasarana. Untuk memperoleh formulasi strategi 5. Belum adanya promosi potensi dan yang tepat, maka digunakan analisis SWOT, keindahan hutan mangrove. yang diawali dengan mengidentifikasi faktor b. Peluang (Opportunities) internal dan eksternal. Berdasarkan hasil 1. Berpeluang diarahkan sebagai identifikasi faktor internal dan eksternal kawasan ekowisata mangrove. kemudian dilakukan pembobotan, rangking 2. Adanya Minat investor untuk dan skor dari masing-masing unsur, yang berusaha di bidang wisata secara lengkap dan dilanjutkan dengan mangrove penetapan strategi pengembangan dengan menggunakan Matrik SWOT.

30 Tabel 3. Faktor Strategis Internal

Faktor Dimensi Internal Bobot Rating Skor Kekuatan (S) 1. Potensi diversifikasi (flora dan fauna) yang tinggi 0,1233978 3,75 0,4627419 2. Pemanfaatan potensi perikanan mangrove oleh masyarakat 0,1194916 3,63 0,433157 3. Partisipasi masyarakat cukup tinggi 0,1232795 3,75 0,462298 4. Aksesibilitas mudah dijangkau 0,1068386 3,25 0,3472256 5. Wisatawan dapat menikmati kenyamanan lingkungan alami 0,1106265 3,38 0,3733645 6. Adanya zonasi mangrove 0,1228754 3,75 0,4607827 2,5395697 Kelemahan (W) 1. Potensi SDAH belum dimanfaatkan secara optimal 0,0409722 1,25 0,0512153 2. Kesediaan data dan informasi yang belum memadai 0,0571273 1,75 0,0999728 3. Pengawasan kawasan mangrove belum 0,0530951 1,63 insentif 0,0862795 4. Kurangnya pemeliharaan sarana dan prasarana 0,0448785 1,38 0,0617079 5. Belum adanya promosi potensi dan keindahan hutan mangrove 0,0485067 1,50 0,07276 TOTAL 0,3719355

Tabel 4 Faktor Strategis Eksternal

Faktor Dimensi Internal Bobot Rating Skor Peluang (O) 1. Berpeluang diarahkan sebagai kawasan ekowisata mangrove 0,1221625 3,88 0,4733797 2. Adanya minat investor untuk berusaha di bidang wisata mangrove 0,1103017 3,50 0,3860559 3. Potensi pendapatan dan keuntungan masyarakat/desa 0,0791088 2,50 0,1977720 4. Kebijakan daerah untuk pengelolaan mangrove secara kolaboratif 0,0787606 2,50 0,1969016 5. Ketersediaan mitra untuk promosi dan pemasaran produk olahan pangan mengrove 0,0825408 2,63 0,2163170 1.4704262 Tantangan (T) 1. Adanya penebnagan mangrove secara liar 0,0827706 2,63 0,2172730 2. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat 0,0709175 2,25 0,1595644 3. Adanya produk olahan pangan mangrove sejenis yang lebih unggul di daerah lain 0,0548984 1,75 0,0960722 4. Adanya perubahan iklim 0,0788790 2,50 0,1971975 5. Kerusakan mangrove 0,0826669 2,63 0,2170006 TOTAL 0.88710771

31

Berdasarkan hasil pengolahan data Total Kekuatan – Total Kelemahan pada matrik evaluasi faktor strategis 2,54 – 0,37 = 2.17 internal dan eksternal, didapatkan besaran . Nilai Matrik Evaluasi Faktor Strategis nilai dari masing-masing matrik, yang Eksternal : kemudian akan dimasukan kedalam Total Peluang – Total Ancaman analisa kuadran. 1,47– 0.88 = 0.59 . Nilai Matrik Evaluasi Faktor Strategis Internal :

Peluang (O) Kuadran III (WO) Kuadran I (SO)

Mendukung Mendukung Strategi Strategi Turn Around 2 Agresif

1 (2,17 ; 0,59)

Kelemahan (W) Kekuatan (S) - -1 1 2 2 1- 1 2 -2 Kuadran II (ST) Kuadran IV (WT) Mendukung Mendukung Strategi Strategi Defensif Ancaman (T) Diversifikasi

Gambar 1 . Hasil Analisa Kuadran

Berdasarkan Gambar 1, hasil analisis 3. Alternatif Strategi Pengelolaan Hutan kuadran menunjukan bahwa posisi Mangrove pengelolaan mangrove di Dusun Taman Jaya Dari hasil analisa SWOT yang Kabupaten Seram Bagian Baratberada pada dilakukan, pengelolaan mangrove di Dusun Kuadran I. Posisi ini menggambarkan Taman Jaya Kabupaten Seram Bagian Barat manajemen pengelolaan menghadapi berbagai masuk ke dalam Kuadran Pertama pada macam ancaman, namun masih memiliki diagram SWOT, adapun alternatif strategi kekuatan dari segi internal. Strategi yang perlu yang digunakan adalah SO (Strength and dikembangkan adalah dengan menggunakan Opportunities). Oleh karena itu dalam kekuatan untuk memanfaatkan peluang pengelolaannya harus menciptakan strategi sehingga dapat mengatasi kelemahan. dengan menggunakan kekuatan (strength)

32 untuk memanfaatkan peluang (opportunities). pengenalan ini dimulai dari nama Beberapa strategi SO (strength opportunities) jenis, ciri serta manfaat atau kekhasan yang menjadi alternatif meliputi : yang dimiliki mulai dari bentuk 1. Merumuskan kebijakan daerah bunga, buah, daun, ekologi dan tentang pengelolaan Hutan Mangrove penyebarannya. Pemerintah memiliki peran  Pengamatan jenis satwa yang berada strategis mengembangkan kebijakan di hutan mangrove. konservasi mangrove secara 3. Meningkatkan peran dan kinerja berkelanjutan. Kebijakan mencakup para stakeholdersdalam pengelolaan perangkat perundangan strategis seperti Hutan mangrove. penataan ruang konservasi hingga Kegiatan pembangunan pada instrumen teknil perihal layanan, yang hakekatnya melibatkan peran dari diperankan oleh pemerintah pusat hingga seluruh pemangku kepentingan yang daerah.Dalam posisi ini pemerintah ada. Pemangku kepentingan dimaksud menetapkan aturan pokok perihal meliputi 3 (tiga) pihak yaitu : batasan wilayah, potensi, perlindungan pemerintah, swasta dan masyarakat, dan penyelamatan, perencanaan dengan segenap peran dan fungsinya pengelolaan, infrastruktur partisipasi masing-masing. Oleh karena itu dalam sektor swasta, dan pemberdayaan kerangka kegiatan pembangunan, setiap penduduk lokal. upaya atau program pembangunan yang 2. Mempromosikan nilai potensi dilaksanakan harus memperhatikan mangrove dan peluang posisi, potensi dan peran masyarakat pengembangannya. sebagai subjek atau pelaku Nilai potensi mangrove dan pengembangan. peluang pengembangannya sebagai Untuk menjaga keberlanjutan kawasan pariwisata, dengan ekosistem mangrove maka harus mempertimbangkan keanekaragaman melibatkan semua pihak yang terkait flora dan fauna mangrove dan jasa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan lainnya, khususnya dalam lingkungan tersebut. Instansi terkait program mitigasi dan adaptasi perubahan yang memili peran sebagai pemangku iklim. Beragam jenis kegiatan wisata kepentingan antara lain yaitu Pemerintah yang dapat ditawarkan di kawasan hutan Kota, Dinas Kehutanan, Dinas mangrove salah satunya adalah wisata Kehutanan, lembaga Non Pemerintah pendidikan yaitu : (Perguruan Tinggi dan LSM). Selain  Pengenalan terhadap jenis-jenis daripada itu keikutsertaan para vegetasi mangrove yang terdapat stakeholders tersebut diharapkan dapat dalam kawasan, mendukung peningkatan kesejahteraan

33

dan mutu kehidupan masyarakat serta pendekatan Quantitative Strategies Planning mendorong kelestarian sumber daya Matrix (QSPM). Tahapan ini dilakukan dengan alam. tujuan untuk menentukan strategi mana yang 4. Meningkatkan ekonomi kerakyatan dianggap paling baik untuk dan pemberdayaan masyarakat diimplementasikan. Matriks QSPM akan pesisir. menentukan keterkaitan relatif (relative Keikutsertaan masyarakat untuk attractiveness) strategi terhadap faktor-faktor menjaga dan melestarikan hutan kunci (key factors) dari lingkungan internal mangrove sebagai langkah awal dan eksternal. Beberapa strategi SO (strength memberikan kesempatan kepada mereka opportunities) yang dipilih yaitu : untuk berperan dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan dengan 1. Merumuskan kebijakan daerah tentang memberikan pendidikan dan pelatihan pengelolaan hutan mangrove kepada masayarakat sekitar mengenai 2. Mempromosikan nilai potensi mangrove kegiatan usaha yang dapat membantu dan peluang pengembangannya.. meningkatkan kesejahteraan dan 3. Meningkatkan peran dan kinerja para mendukung pelestarian mangrove, stakeholders dalam pengelolaan Hutan misalnya : melalui pembentukan mangrove berkelanjutan kelompok konservasi mangrove serta 4. Meningkatkan ekonomi kerakyatan dan pembuatan dan penjualan produk olahan pemberdayaan masyarakat pesisir. pangan mangrove, berupa bakso ikan, Berdasarkan perhitungan QSPM dapat nugget ikan dan abon ikan. diketahui prioritas strategi yang ditentukan PRIORITAS STRATEGI PENGELOLAAN dengan melakukan ranking terhadap strategi- HUTAN LINDUNG GUNUNG SIRIMAU strategi yang didasarkan pada nilai Total Atractivenes Score (TAS) dari yang terbesar Untuk mengetahui prioritas strategi sampai terkecil. Urutan tersebut dapat dilihat yang akan diimplementasikan, maka dilakukan pada Tabel 5 berikut. evaluasi pilihan strategi alternatif dengan

Tabel 5. Hasil Pemeringkatan Matriks Quantitative Strategic Planning (QSPM)

No Alternatif Strategi TAS 1. Mempromosikan nilai potensi mangrove dan peluang pengembangannya. 3,75 2. Merumuskan kebijakan daerah tentang pengelolaan Hutan mangrove 4.10 4. Meningkatkan ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat pesisir 3,27 5. Meningkatkan peran dan kinerja para stakeholders dalam pengelolaan hutan 2,76 mangrove berkelanjutan

34

Berdasarkan tabel 5 di atas, strategi SARAN yang diprioritaskan untuk pengelolaan Hutan 1. Pengelolaan mangrove harus mangrove di Dusun Taman Jaya Kabupaten dilaksanakan secara terkoordinasi, terintegrasi Seram Bagian Barat adalah (1). Merumuskan dan berkelanjutan oleh semua pihak yang kebijakan daerah tentang pengelolaan hutan berkepentingan. mangrove (4,10); (2). Mempromosikan nilai 2. Diperlukan penelitian lanjutan tentang potensi mangrove dan peluang pengelolaan hutan mangrove pada daerah- pengembangannya (3,75); (3).Meningkatkan daerah lain dalam wilayah Kabupaten Seram ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan bagian Barat guna mendukung pengelolaan masyarakat pesisir (3,27) dan (4) mangrove dalam upaya mitigasi dan adaptasi Meningkatkan peran dan kinerja para perubahan iklim. stakeholders dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan (2,76). DAFTAR PUSTAKA

Alikodra.H.S., 1998. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove dilihat dari Lingkungan IV. KESIMPULAN DAN SARAN Hidup.Makalah Disampaikan pada Seminar VI Ekosistem Mangrove di KESIMPULAN Pekanbaru. 1. Prioritas strategi pengelolaan BAPEDALDA, 2010.Basic data sumberdaya hutan mangrove di Dusun Taman alam dan lingkungan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Jaya Kabupaten Seram Bagian Maluku. Barat adalah sebagai berikut : Merumuskan kebijakan daerah Farley,et al., 2009. Conserving Mangrove Ecosystems in the Philipines : tentang pengelolaan hutan Transxending Disciplinary and mangrove (4,10); Mempromosikan Institutional Bolders. Environmental nilai potensi mangrove dan Management, Volume 45, Number 1, January, 2010. DOI : 10.1007/s00267- peluang pengembangannya (3,75); 009-9379-4 Meningkatkan ekonomi Kusmana,C., Sri.W., Iwan.H.,H. Prijanto. P, kerakyatan dan pemberdayaan Cahyo, W.Tatang. T., Adi. T., Yunasfi., masyarakat pesisir (3,27) dan Hamzah., 2003. Teknik Rehabilitasi Meningkatkan peran dan kinerja Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor para stakeholders dalam pengelolaan hutan mangrove King R.C Turner, dkk. 2000. The Mangrove communities of Danjungan Island berkelanjutan (2,76). Cavayan Negros Occidental, Philipines Submission is Silirman Journal. Philipines.

Murdiyanto, B., 2003. Mengenal, Memelihara

dan Melestarikan Ekosistem Hutan

35

Bakau. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Pattimahu,D,V dkk. 2010. Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di

Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku.

Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.Disertasi.

36

Pola Sebaran dan Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pigmaeus wurmbii) di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kapuas, Kalimantan Tengah.

Fernandes OM1,2# ,Sosilawaty 1, SSU Atmoko 2,3,4, EE Vogel 2,4,5 1) Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah 2) Tuanan Orangutan Research Program, Kapuas, Kalimantan Tengah 3) Fakultas Biologi Universitas Nasional(UNAS), Jakarta 12520 4) Pusat Riset Primata UNAS, Jakarta 12520 5) Fakultas Antropologi,New Jersey, USA

ABSTRAK Indonesia adalah salah sat negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman species primata tertinggi di dunia. Data terbaru menunjukkan ada 58-59 jenis primata dapat ditemukan di negara kepulauan ini (Ross dkk,2014). Salah satu dari species primata tersebut adalah orangutan, satu satunya species kera besar yang dapat ditemukan di asia (Supriatna dan Wahyono, 2000). Seperti kera lainnya di Afrika, Orangutan juga membangun sarag Setiap hari untuk beristirahat terutama di malam hari. Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan merupakan hutan rawa gambut sekunder yang sebelumnya adalah kawasan konsesi HPH dan bagian dari proyek lahan gambut sejuta hektar kemudian berlanjut dengan penebangan hutan illegal yang memudahkan terjadinya kebakaran hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Karakteristik sarang Orangutan (Pongo pigmaeus wurmbii) dan hubungan pola sebaran orangutan Kalimantan (Pongo pigmaeus wurmbii) di tiga lokasi (Barat, Tengah, Timur) berdasarkan kelimpahan sarang baru dengan kelimpahan tumbuhan berbuah setiap bulannya di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan (Desember 2014-Maret 2015) dengan Metode Line transect dan Fruit Trail (van schaik dll, 1995). Hasil Penelitian menunjukkan bawah, hanya lokasi bagian barat yang memiliki kolerasi antara kelimpahan sarang baru dengan kelimpahan tumbuhan berbuah. Karakteristik sarang yang di jumpai, didominasi oleh kelas 3, posisi sarang 4, tinggi pohon 11-15 meter, diameter pohon sarang 10-19 cm dan preferensi jenis pohon mangkinang blawau (elaecarpus mastersi) family Elaeocarpaceae.

Kata Kunci : Sarang, Orangutan, Kelimpahan, Tuanan

I. PENDAHULUAN Setiap jenis hewan memiliki karateristik atau 1.1. Latar Belakang kriteria sarang yang berbeda-beda sehingga Indonesia adalah salah satu negara yang dibutuhkan ketelitian untuk membedakan memiliki kekayaan keanekaragaman spesies sarang kera besar dengan sarang yang primata, dimana 20% spesies primata dunia dibangun oleh hewan lain contohnya tupai dapat ditemukan di negara kepulauan ini. salah besar, jelarang, beruang madu atau beberapa satu dari spesies primata tersebut adalah jenis burung juga membuat sarang dan orangutan, satu-satunya spesies kera besar pengamat pemula bisa keliru mengetahui dan yang dapat ditemukan di Asia (Supriatna dan menyimpulkan sebagai sarang orangutan Wahyono, 2000). (Utami. S.S dan Rifqi, 2012). Sarang merupakan sebuah tempat yang dibangun oleh

37 satwa untuk berlindung, tempat melahirkan menggambarkan sebaran populasi kepadatan atau tempat untuk menyimpan telur dan orangutan dan juga karakteristik perilaku membesarkan bayi (Rikjsen, 1978 bersarang orangutan di tuanan sehingga bisa Karakteristik sarang juga sangat penting digunakan sebagai informasi pendukung upaya dalam upaya konservasi hutan, dengan pelestarian orangutan di kawasan tersebut. mengetahui jenis pohon sarang, pakan 1.2. Tujuan Penelitian orangutan serta habitat orangutan mendukung a. Mengetahui karateristik sarang orangutan : keberlangsungan dari orangutan. Penelitian ini posisi, kelas, tinggi sarang diameter pohon berkaitan dengan karateristik sarang orangutan sarang dan preferensi pohon sarang di di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan yang sekitar Stasiun Penelitian Orangutan pernah dilakukan oleh Carel P. Van Schaik Tuanan. dkk (2005). b. Mengetahui Hubungan Kelimpahan Kawasan Stasiun Penelitian Orangutan Tumbuhan Berbuah (Fruit Trail) dan Tuanan (SPOT) merupakan hutan rawa gambut Kelimpahan Sarang Baru Orangutan di yang dulunya memiliki potensi kayu yang Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan. besar tidak luput dari aksi penebangan liar, 1.3. Manfaat Penelitian kawasan Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan Dari hasil penelitian ini diharapkan ini dahulunya sudah pernah dilakukan aktivitas dapat memberikan informasi mengenai konsesi untuk mengambil sumber daya kayu di karakteristik sarang dan pola sebaran dalam hutan tersebut. tumbuhan berbuah di Stasiun Penelitian Tahun 2003 Borneo Orangutan Survival Orangutan Tuanan Kabupaten Kapuas, Foundation (BOSF) Mawas melakukan Kalimantan Tengah sehingga menjadi salah kegiatan konservasi pada kawasan tersebut satu tolak ukur dalam upaya pelestarian, yang menyebabkan berhentinya aktivitas perlindungan serta pengelolaan hutan. ekploitasi sumber daya kayu hingga saat ini.

Namun, pasca kegiatan penebangan jenis-jenis II. TINJAUAN PUSTAKA pohon yang bersifat strata atas dalam 2.1. Perilaku Bersarang Orangutan stratifikasi hutan membuat orangutan harus Perilaku bersarang mempunyai peran menerima dampak berkurangnya pohon buah penting bagi kehidupan orangutan meskipun dan ketersediaan buah pohon sebagai sumber perilaku bersarang merupakan aktivitas dengan makanan utama dan meningkatnya energi yang persentasi yang kecil, karena fungsi sarang di harus dikeluarkan karena terputusnya kanopi antaranya adalah sebagai tempat beristirahat hutan (Husson dkk, 2009). Seiring berjalannya dan tempat berlindung dari cuaca seperti panas kegiatan konservasi tersebut Tahun 2005 hasil dan hujan. Perilaku bersarang orangutan kepadatan populasi orangutan di kawasan bukanlah perilaku berdasarkan naluri tetapi tuanan sudah diketahui, tetapi untuk saat ini lebih kepada perilaku yang muncul setelah perlu melakukan riset lagi untuk

38 dipelajari, bayi orangutan akan mengikuti dan atas untuk melindungi kepala dari hujan. berlatih cara membuat sarang kepada induknya Karakteristik sarang meliputi posisi sarang, (Prasetyo dkk, 2009). kelas sarang, ketinggian sarang dari Secara umum bentuk sarang orangutan permukaan tanah, diameter sarang, dan jenis hampir menyerupai sarang burung elang, pohon sarang. sarang tupai besar, maupun sarang beruang 2.3. Posisi Sarang madu, yang membedakannya dengan sarang Secara umum bentuk sarang orangutan orangutan adalah bagian patahan dahan hampir menyerupai sarang burung elang, yang digunakan sebagai pondasi sarang, sarang tupai besar, maupun sarang beruang orangutan membangun paling tidak 1 sarang madu. Ciri-ciri yang membedakan dengan per hari untuk beristirahat dan tidur di malam sarang orangutan adalah bagian hari. Sarang dibentuk dari patahan batang, patahan/lekukan dahan yang digunakan ranting dan daun yang biasanya pada sebagai pondasi sarang(Utami S.S dan Rifqi, ketinggian 10 meter samapi 20 meter dari 2012) permukaan tanah. Sarang berbentuk bulat dan MenurutUtami S.S dan Rifqi dibuat sangat kuat dan rapi, lebih rapi dari (2012)posisi sarang orangutan memiliki empat sarang beruang. Sarang terletak pada posisi sarang yaitu posisi 1 dimana posisi percabangan atas tajuk dan dapat pula diatas sarang terletak di dekat batang utama, posisi pohon tingkat pancang maupun tingkat tiang sarang 2 merupakan sarang yang letaknya dengan beberapa penyanggah (penahan) yang berada di pertengahan cabang. Pembangunan berfungsi menahan berat dari orangutan sarang terletak di pinggir percabangan tanpa tersebut, biasanya sarang yang dibuat diatas menggunakan pohon atau percabangan pohon tanah itu merupakan sarang orangutan yang lainnya. Posisi sarang 3 letak sarang berada di sudah tua yang kurang mampu lagi memanjat puncak atau di ujung pohon dan posisi sarang maupun membuat sarang diatas pohon. 4 dibangun dari dua pohon atau lebih. Ada 2.2.Karakteristik Sarang Orangutan beberapa kasus orangutan jantan Sumatera Pada dasarnya satwa primata lebih membuat sarang di dasar hutan dengan posisi memilih vegetasi pohon untuk membangun sarang 0 umumnya dilakukan oleh orangutan sarang sebagai tempat untuk beristirahat jantan yang telah lanjut usia dan sudah tidak (Lowing dkk.2013). Pembuatan sarang secara mampu bergerak di pohon (Supriatna dan umum meliputi kegiatan pematahan, pelekukan Wahyono, 2000). Namun faktor umur tidak cabang atau ranting tumbuhan serta pembuatan berlaku di Kalimantan karena jantan dewasa struktur alas berbentuk seperti lingkaran atau juga membangun sarang di permukaan tanah mangkuk untuk menopang tubuh dan bagian walaupun belum lanjut usia.

39

1 2 3 4 0 Gambar. Posisi sarang orangutan Keterangan: 1. di pangkal cabang utama, 2. di bagian tengah atau ujung cabang, 3. di pucuk pohon, 4. dibentuk dari cabang dua pohon atau lebih yang berbeda, 0. di tanah(Atmoko dan Rifqi, 2012)

2.4. Kelas Sarang Menurut Utami S.S dan Rifqi (2012) Kelas sarang merupakan kelakerusakan/kehancuran sarang yang dibagi menjadi empat kelas dipakai untuk memprediksi kondisi sarang tersebut dengan kategori sebagai berikut:

Kelas 1. segar, sarang baru, semua daun masih hijau

Kelas 2. daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masihutuh, warna daun sudah coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yangterlihat dari bawah.

40 Kelas 3. sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang; sudah terlihat adanya lubang dari bawah.

@Fernandes O M @Fernandes O M Kelas 4. hampir semua daun sudah hilang; sudah terlihat struktur rantingnya. Pembuatan sarang untuk siang hari tidak kondisinya yang tidak terlindung dari terpaan intensif, sehingga kualitas sarang tidak sebaik angin.Kebanyakan disesuaikan dengan strategi sarang untuk malam hari. Komposisi vegetasi dan pohon makanan terakhir yang tidak banyak berpengaruh pada pembusukan dikunjunginya. sarang dibuat dari ranting dan sarang. Pulau Sumatera rata-rata umur sarang daunnya masih segar, biasanya pada 2,5 bulan dengan variasi antara 2 minggu ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari sampai lebih dari satu tahun (Rijksen 1978) permukaan tanah (Walkers, 1983). dan antara 3-6 bulan (Van Schaik et al. 1995) 2.6. Fenologi dan Habitat Orangutan namun angka ini tidak sama untuk semua Menurut Zulfah (2006) beberapa jenis habitat. buah yang disukai oleh orangutan pada area 2.5. Pohon Sarang Orangutan Stasiun Penelitian Tuanan antara lain, yaitu Karakteristik pohon sarang yang tutup kabali (Diospyros pseudomalabarica), berpengaruh terhadap perilaku orangutan hangkang (Palaqium lelocarpum), manggis dalam pemilihan tempat bersarang adalah hutan daun kecil (Garcinia bancana), akar diameter batang, luas penutupan tajuk, tinggi dangu (Willughbeia sp1), tantimun tajuk, dan bagian pohon sarang. sedangkan (Tetrameristra glabra), kambalitan (Mezzettia tinggi bebas cabang dan tinggi total, jarak umbellata), mahawai II (Polyalthia hypoleuca) tajuk pohon sarang ke tajuk pohon lainnya dan dan nyatu undus daun ujung (Payena leerii). tinggi sarang tidak mempengaruhi perilaku Ketersediaan pohon buah berdasarkan orangutan untuk memilih tempat bersarang. penelitian Putra, 2008 (dalam mardianto 2013) Menurut Rijksen (1978) orangutan di Stasiun Penelitian Tuanan tergolong rendah pada umumnya memiliki preferensi ketinggian ditiap bulannya dan fluktuasi yang tidak sarang sekitar 13-15 meter, namun hal ini terlalu berbeda. Ketersediaan daun muda yang tergantung pada struktur hutan tempat dihasilkan pohon menunjukkan fluktuasi yang orangutan tersebut hidup. Pohon yang tinggi dan menjadi alternatif sumber pakan tingginya lebih dari 25 meter, kurang disukai ketika ketersediaan buah rendah sepanjang orangutan untuk membuat sarang karena tahun.

41 Morrogh-Bernard dkk. (2009) dan III. METODE PENELITIAN Russon dkk. (2009), menyatakan bahwa 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Makanan orangutan terdiri dari 1.693 jenis Penelitian ini dilaksanakan di (1.666 jenis tanaman diantaranya kambalitan Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, secara (Mezzettia umbellata), tutup kabali (Diospyros administratif ada di kawasan Pasir Putih pseudomalabarica), tantimun (Tetramerista Tuanan, Desa Mangkutup, Kecamatan glabra), pantung (Dyera lowii), (16 jenis Mentangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi avertebrata, 4 jenisvertebrata, dan 7 dari Kalimantan Tengah.Waktu penelitian di sumber lainnya). Jenis tumbuhan sendiri terdiri perlukan selama ± 4 (empat) bulan, yaitu pada dari 453 marga bulan November 2014 sampai dengan Maret dan 131 suku. sedangkan makanan avertebrata 2015. terdiri dari semut (4 jenis), rayap (4jenis), ulat 3.2. Metode Pengumpulan Data. (2 jenis), lintah (1 jenis), larva lebah (1 jenis), Metode yang digunakan dalam tawon (1 jenis), belatung (1 pengumpulan data mengenai karateristik jenis), jangkrik (1 jenis), kutu (1 jenis) dan sarang adalah metode Line transect dan Fruit serangga (1 jenis). Orangutan memanfaatkan Trail (kelimpahan pohon berbuah) yang lebih dari 50% waktunya untuk makan, tetapi didasarkan atas survey sarang dengan jumlah adajuga di beberapa tempat yang aktivitas line transect 12 yang memanjang arah utara makannya kurang dari 50% dari dan selatan transek yang dimana panjang jalur aktivitashariannya, yaitu orangutan yang transek 1,6 km/transek.Pengambilan data mendiami habitat hutan heterogen sarang dilakukan bolak-balik ditiap transek Dipterocarpaceae yang selalu terjadi musim yang diamati alasan utama adalah pertama buah, sedangkan orangutan (di hutan rawa sinar matahari dari arah yang berbeda, kedua gambut dimanamusim buah jarang sekali menghindari sarang yang terlewatkan, ketiga terjadi) beraktivitas makan lebih dari 50% yang paling penting sarang yang diatas transek, (Morrogh-Bernard dkk, 2009). sarang diatas transek sering terlewatkan karena pengamat terlalu konsentrasi pada sarang di sisi jalan.

Peta Survey sarang dan Fruit Trail

42

Metode Fruit trail data kelimpahan o Kondisi/condition: M (matang/ripe),s pohon berbuah dilakukan dengan (setengahmatang/halfripe), u menggunakan metode jalur yang sama dengan (mentah/unripe). jalur survey sarang yang diamati (Van Schaik dkk, 1995; Buij dkk. 2002). Pengamatan ini IV. KEADAAN UMUM LOKASI akan dilakukan rutin setiap bulannya. Buah 4.1. Letak dan Luas yang ditemukan pada pada jalur transek Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan kemudian dihitung jumlah yang masih ada (SPOT) merupakan kawasan hutan gambut dipohonnya kemudian digolongkan yang secara geografis terletak pada koordinat berdasarkan tingkat kematangannya. 02º 09’ 06,1” LS dan 114º 26’ 26,3” BT 3.3. Analisis Data (Zulfa, 2006 dalam Fajar 2013) dengan luas Analisis hasil survei ini menggunakan 900 ha dan masuk ke dalam areal hutan Blok E Aplikasi SPSS 22 dan program Quamtum GIS Borneo Orangutan Survival Foundation 2.6.1 untuk peta penyebaran sarang orangutan (BOSF) Konservasi Mawas dengan luas total yang menggunakan semua waypoint sarang 2730 km2. Stasiun ini merupakan satu orangutan yang ditemukan di lokasi transek ekosistem hutan rawa gambut dengan kisaran yang di jadikan riset . kedalaman gambut 1,5 – 4,0 meter dan Metode Fruit Trail keadaan pH rata-rata 3,5 – 4,0 dan keasaman merupakanparameter ekologi lainnya untuk air (pH) hutan 4,8. (Meididit, 2006 dalam mengukur kualitas habitat orangutan adalah Mardianto, 2014). dengan menghitung kelimpahan pohon buah Pada areal stasiun Penelitian yang sedang berbuah per km sepanjang Orangutan Tuanan ini memiliki lebih dari 50 jalur(van Schaik dkk 1995; Buij dkk 2002). spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh Jika menjumpai buah di jalur transek, mencari orangutan yang diantaranyaTarantang pohon asal buah disisi jalur transek, kemudian (Campnosperma coriaceum),Kambalitan cek apakah pohon tersebut masih berbuah, jika (Mezzettiaumbellata), Mangkinang blawau ya, catat jenis buah tersebut, golongkan antara (Elaeocarpus mastersii), Tutup kabali buah berdaging/ berair dengan buah keras/ (Diospyros pseudomalabarica), Manggis hutan berkayu, parameter yang diambil. Pengambilan daun kecil(Garcinia bancana), Mahawai dua data fruit trails adalah, setiap menjumpai buah (Polyalthia hypoleuca),Tagula (Alseodaphne di jalur transek (trail), pohon asal buah tersebut sp.),Nyantoh puntik (Palaquium dicatat dan dihitung sebagai satu pohon pseudorostratum),Papung (Sandoricum sumber buah serta Parameter yang diambil borneense) dll. adalah : o Tipe buah/fruit type: D (berdaging/berair/fleshy), K (keras/berkayu/woody)

43

V. HASIL PENELITIAN timur. Penjelasan lokasi penelitian tersebut 5.1. Peta Penyebaran Sarang Orangutan untuk lokasi barat yaitu barat utara kawasan Berdasarkan peta penyebaran sarang adalah jalur transek WS-AI dan WS-HR dan Orangutan, pembuatan peta tersebut lokasi barat selatan kawasan adalah jalur menggunakan aplikasi quamtum GIS 2.6.1 transek WS-KS dan WS-BG, untuk lokasi dengan total waypoint sarang orangutan yang tengah dalam kawasan penelitian yaitu lokasi dijumpai dalam penelitian ini adalah 479 titik tengah utara adalah jalur transek WS-AM dan waypoint dalam 12 jalur transek dengan WS-MA sedangkan lokasi tengah selatan panjang jalur transek 1,6 km per transek dan adalah transek WS-EF dan W-HB dan juga luas 1120 ha. Dalam penelitian ini dari 12 jalur untuk lokasi timur dalam kawasan penelitian, transek utara ke selatan dalam kawasan bagian timur utara adalah jalur transek WS-RT penelitian dijadikan 3 lokasi yang dimana dan WS-FI sedangkan bagian timur selatan lokasi tersebut yaitu lokasi barat, tengah, dan adalah jalur transek WS-RT dan WS-LN.

Peta penyebaran sarang orangutan selama penelitian Peta penyebaran sarang orangutan merah menyatakan sarang orangutan ditemui dalam peta menunjukkan bahwa lokasi dalam 15,133075 sarang/km artinya sarang orangutan penelitian tersebut mempunyai kepadatan tersebut sangat jarang ditemui. sarang orangutan yang sangat rapat artinya 5.2. Kelas Sarang Orangutan dalam peta tersebut menyatakan bisa ditemui Berdasarkan hasil data survey sarang 60,532300 sarang/km, sedangkan warna dilapangan, sarang orangutan yang dijumpai orange dalam peta menyatakan kepadatan paling sering adalah kelas 3 dan kelas 4 yang sarang orangutan bisa ditemui 45,399225 dimana jalur transek dalam kawasan sudah di sarang/km artinya kepadatan sarang masih jadikan perlokasi. sarang yang paling sering rapat dan untuk warna putih artinya kepadatan dijumpai disemua lokasi adalah kelas 3 untuk sarang orangutan bisa ditemui 30,266150 lokasi barat (45,7%), lokasi tengah (45,2%) sarang/km artinya kepadatan sarang orangutan dan lokasi timur (46,8%).Sedangkan untuk tidak terlalu rapat dan juga warna biru kelas 4 lokasi barat (38,4%), lokasi tengah

44 (31,7%) dan lokasi timur (33,7%) artinya lebih sering di jumpai di lokasi timur (9,6%) dan mudah menemukan sarang orangutan kelas 3 sarang orangutan kelas 2 paling sering dan kelas 4 dibanding dengan sarang dijumpai di lokasi tengah (13,5%) dalam orangutan kelas 1 dan kelas 2. Sedangkan kawasan selama penelitian ini dilakukan. untuk survey sarang orangutan kelas 1 paling Sebagaimana tersaji gambar :

100

80

%

60

tase Kelas 1

sen 40 Kelas 2

Per 20 Kelas 3 0 Kelas 4 Lokasi Barat Lokasi Tengah Lokasi Timur Lokasi

Gambar . Persentase (%) kelas sarang orangutan di 3 lokasi (lokasi barat n = 164 lokasi tengah n=170, dan lokasi timur n =145) Prasetyo (2006), menjelaskan bahwa barat yang paling sering dijumpai adalah posisi sebaran sarang orangutan dipengaruhi oleh 4 (34.66%) dan lokasi tengah posisi yang sebaran pohon pakan di suatu kawasan. sering dijumpai adalah posisi 4 (49.33 %) serta perbedaan persentasi kelas sarang orangutan di untuk lokasi timur posisi yang sering dijumpai tiga lokasi kawasan penelitian ini diduga adalah posisi 2 (37.25%) sedangkan posisi sangat kuat dipengaruhi oleh sebaran pohon yang jarang dijumpai di lokasi barat adalah pakan yang sedang berbuah di masing-masing posisi 2 (27.45%0 dan untuk lokasi Tengah jalur transek yang sudah dijadikan per lokasi. adalah posisi 3 (31.48%) serta posisi 4 Sarang orangutan paling banyak ditemukan di (16.00%) dilokasi Timur sangat sedikit lokasi yang menyediakan banyak pohon dijumpai karena selama pengamatan penelitian pakan, sedangkan untuk sarang orangutan yang lokasi timur memiliki vegetasi yang tidak rapat baru atau kelas 1 cenderung banyak dijumpai dan tinggi serta diameter pohon yang cukup di lokasi yang menyediakan banyak pohon besar. Perjelasan tersebut posisi 4 sangat sering pakan yang sedang berbuah. dijumpai selama penelitian yaitu dilokasi barat 5.3. Posisi Sarang Orangutan dan lokasi tengah, seperti disajikan : Berdasarkan survey sarang orangutan dilapangan, posisi sarang orangutan di lokasi

45

100

80

%

60

tase Posisi 1

sen 40 Posisi 2

Per 20 Posisi 3 0 Posisi 4 Lokasi Barat Lokasi Tengah Lokasi Timur Lokasi

Gambar. Persentase (%) posisi sarang orangutan (lokasi barat n=149, lokasi tengah n=177, lokasi Timur n=143) Berdasarkan hasil survey sarang sebagian besar dari penjuru hutan atau mudah orangutan dalam penelitian lokasi barat mendapatkan sumber pakan. dijumpai 149 berbagai jenis posisi, lokasi 5.4. Ketinggian Sarang Orangutan Tengah 177 berbagai posisi sarang dan lokasi Berdasarkan hasil penelitian dilapangan Timur 143 berbagai jenis posisi. Keadaan ini seperti yang sudah disajikan di gambar 17 disebabkan karena orangutan yang terdapat ketinggian sarang orangutan lebih banyak dalam kawasan ini merupakan orangutan liar menggunakan tinggi 6-10 meter. Dilokasi barat dan memiliki ketergatungan yang masih tinggi orangutan menggunakan 53% untuk pemilihan terhadap pakan alaminya. pengamatan di ketinggian sarang 6-10 meter kemudian 39% lapangan, posisi 4 ini biasanya ditemukan pada menggunakan 11-15 meter dalam pemilihan beberapa cabang pohon yang disatukan yang tinggi sarang dan untuk lokasi Tengah dijadikan tempat bersarang orangutan. pemilihan pohon sebagai tempat bersarang Menurut (Mac Kinnon 1974 dalam Dali Muthe lebih banyak menggunakan 6-10 meter juga 2009), orangutan liar lebih sering membangun yaitu 58% dan ketinggian sarang 11-15 meter sarangnya di dekat batang utama daripada di lokasi Tengah adalah 40% sedangkan posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini dilokasi Timur tidak jauh berbeda dengan sepertinya juga ditentukan oleh banayk factor, lokasi barat dan tengah dimana orangutan seperti keuntungan dari tidak terhalangnya dalam pemilihan ketinggian sarang dominan pandangan mata yang dapat menjangkau dengan tinggi 6-10 meter yaitu 55% dan 11-15 meter yaitu 39%.

46 80 70 60

% < 10

50

tase 6 - 10 40

sen 30 11 - 15

Per 20 16-20 10 0 21-25 Lokasi Barat Lokasi Tengah Lokasi Timur >25 Lokasi

Gambar Persentase (%) Ketinggian Sarang Orangutan Perhitungan data penelitian orangutan ketika mencari makan orangutan tidak jauh juga terkadang menggunakan ketinggian bergerak untuk mencari pohon pakan. sarang 16-20 meter tetapi hanya sedikit saja Berkaitan dengan kondisi hutan, yang memilih ketinggian tersebut biasanya Rijksen (1978) dalam Yakin R.M, (2013) orangutan jantan dewasa memilih ketinggian menjelaskan bahwa orangutan dalam sarang tersebut, dimana dalam penelitian ini menentukan ketinggian tempat sarang juga lokasi barat 4% menggunakan 16-20 meter, menyesuaikan dengan struktur hutan yang lokasi tengah 2% menggunakan ketinggian dimana orangutan tersubut berada.untuk tersebut sedangkan lokasi timur 6% meminimalkan kemungkinan diserang oleh menggunakan ketinggian 16-20 meter. predator, orangutan rentan bahaya akan Keadaan seperti ini disebabakan karena membangun sarang lebih tinggi sesuai dengan kawasan penelitian Tuanan merupakan daerah struktur hutan. yang mempunyai vegetasi pohon tidak banyak 5.5. Ketinggian Pohon Sarang yang tinggi karena kawasan tersebut bekas Orangutan illegal logging dan bekas kebakaran hutan Berdasarkan pengamatan penelitian sehingga orangutan dalam membuat sarang dilapangan, sarang terletak lebih rendah tidak terlalu tinggi dan menyesuaikan dengan dibandingkan ketinggian pohon secara kondisi ketinggian vegetasi di areal tersebut. keseluruhan. meskipun sarang berada pada Dalam pembuatan sarang ketinggian sarang ujung batang pohon, tetapi selalu ada menjadi faktor yang sangat mempengaruhi di percabangan pohon yang menjulang ke atas kawasan riset tuanan dimana sumber pakan sehingga pada akhirnya ketinggian pohon atau pohon pakan dalam kawasan tersebut selalu melebihi ketinggian sarang. Ketinggian tidak banyak yang tinggi dan juga predator pohon sarang orangutan di sajikan : dalam kawasan ini tidak banyak sehingga

47

100 < 10

80 % 6 - 10 60 tase 11 - 15

sen 40 16-20 Per 20 21-25 0 >25 Lokasi Barat Lokasi Tengah Lokasi Timur Lokasi

Gambar . Persentase (%) Ketinggian pohon sarang orangutan Selama pengamatan penelitian digunakan adalah pohon pada strata C (4-20 dilapangan ditemukan sebanyak 438 pohon meter) sebagai tempat membangun sarangnya. dengan tinggi yangberbeda. Tinggi pohon Pemilihan ketinggian pohon sarang ini dapat sarang tersebut dibagi menjadi 6 kriteria tinggi namun tidak terlalu terbuka sehingga pohon denganpersentase setiap kriteria tinggi terlindung dari terpaan angin (Van Schaik, pohon dapat dilihat pada Gambar 18 dimana 2006). Pohon dengan ketinggian antara 4-20 ketinggian pohon sarang dominan pada meter (strata C) yang terlindung oleh tajuk- ketinggian 11-15 meter hal tersebut tidak tajuk pohon di sekitarnya yang lebih tinggi, berbeda jauh dengan tinggi sarang orangutan, sekaligus cukup lapang untuk mengamati dimana lokasi barat 56.63% untuk ketinggian kondisi di sekitar sarang (Pujiyani H, 2009). pohon dan lokasi tengah 73.05% untuk 5.6. Diameter Pohon Sarang Orangutan ketinggian pohon sedangkan lokasi timur Berdasar pengamatan penelitian 68.75% untuk ketinggian pohonnya sedangkan dilapangan sarang-sarang orangutan yang untuk criteria tinggi 6-10 meter lokasi barat ditemukan berada pada pohon dengan diameter 33.16%, lokasi tengah 20.20% dan lokasi timur batang yang cenderung bervariasi di setiap 18.75% untuk ketinggian pohon. lokasi. Sebagaimana yang disajikan pada Klasifikasi lapisan tajuk diatas pohon gambar, sarang Orangutan yang lebih banyak

100 % 80 <10

60 tase

40 10 - 19 sen 20 20 - 29 Per 0 30-49 Lokasi Barat Lokasi Tengah Lokasi timur >49 Lokasi

Gambar. Persentase (%) Diameter pohon sarang orangutan

48

Hasil pengamatan penelitian pengaruh yang kecil bagi Orangutan dilapangan ditemukan sebanyak 550 diameter Kalimantan dalam pemilihan pohon sarang, pohon yangberbeda. diameter pohon sarang peran faktor diameter lebih bersifat dukungan tersebut dibagi menjadi 5 kriteria kepada faktor jumlah jenis pakan dalam denganpersentase setiap kriteriadiameter mempengaruhi keberadaan sarang pada pohon pohon dapat dilihat pada gambar 19 dimana tertentu. diameter pohon sarang dominan pada 10- 19centimeter untuk lokasi barat 68.52%,lokasi 5.7. Species Pohon Sarang Orangutan tengah 67.35% serta lokasi timur 61.25% Berdasarkan pengamatan dilapangan untuk diameter pohon dan untuk criteria tinggi sarang orangutan di kawasan Stasiun 20-29 centimeter lokasi barat 12.18%, lokasi Penelitian Orangutan Tuanan paling sering tengah 20.20% dan lokasi timur 25.62% untuk ditemukan dibangunpada pohon Elaeocarpus diameter pohon sedang untuk criteria <10 lebih mastersii spp. (25%), Cryptocarya spp(13%), banyak di lokasi barat yaitu 13.19% dibanding dan Pouteria cf. malaccensis spp (10%) jenis lokasi tengah dan timur. pohon ini dilihat dari keseluruhan sarang yang Menurut Muin (2007) dalam Pujiyani ditemukan pada tigalokasi yang ada. H, (2009), diameter pohon mempunyai

Dactylocladus Santiria laevigata Gardenia spp 1% stenostachys 1% 1% Dysosylum spp Musaendopsis Lithocarpusspp conocarpa parvifolius spp 1% 1% 1% Licania splendens 1% 1% Stemonurus Dyera lowii scorpioides 1% 1% Diospyros spp 2% Koompassia malaccensis 2% Elaeocarpus mastersii spp Mezzettia spp 25% 5%

Neoscortechinia kingii spp 6%

Acronychia Pouteria cf. pedunculata malaccensis spp 4% 10% Cryptocarya spp 13%

Syzygium spp 9% Nephelium spp 1% Garcinia bancana spp Shorea spp 3% 6% Gambar. Persentase (%) Species pohon sarang orangutan

49

Seringnya penggunaan Elaeocarpus Berdasarkan pengamatan dilapangan mastersii spp. sebagai material sarang menunjukan adanyahubungan kelimpahan didugakarena jenis pohon ini mempunyai pohon berbuah dengan munculnya sarang baru ranting yang lentur, kuat dan daun ditiap bulanya selama penelitian dimana pada yangrimbun. Sebagaimana dalam penelitian saat pengamatan dilapangan di ketahui Prasetyo, 2006 distasiun penelitian Tuanan orangutan dalam membuat sarang tidak jauh dominan pohon jenis Elaeocarpus mastersii dari sumber pakan atau pohon pakan yang spppaling banyak digunakan orangutan sebagai sedang berbuah. Menurut Gibson (2006)dalam material tempat bersarang dan di tambah lagi Yakin (R.M 2013) penelitiannya di hutan Menurut Van Schaik (2006)dalam Yakin (R.M gambut Taman Nasional Sebangau 2013) menyebutkan bahwa orangutan mendeskripsikan bahwa orangutan dominan akanmemilih jenis pohon tertentu yang cenderung membuat sarang di dekat sumber baginya dirasa kuat dan nyaman, pakan karena mempunyai rencana untuk terutamadengan daun lebar dan banyak menjadikan sumber pakan tersebut sebagai percabangan serta tidak terlalu tinggi. sumber pakan pertama di esok harinyasetelah 5.8. Hubungan Kelimpahan Tumbuhan bangun tidur. Berbuah (Fruit Trail) dan Kelimpahan Sarang Baru Orangutan

Lokasi Barat Lokasi Tengah Lokasi Timur 50 50 41.01 39.43 50 38.01 40.55 34.92 40 40 35.95 33.42 40 34.69

28.57 m

m

m

k

k k / 25.65

/ 38.18

/ n

n 30 n

30 a a

a 30 h

h 33.58

31.91 30.70 h

a 31.73

a a

p

p 28.30

29.91 p m

m 20 20 m

li 20 li

li 23.50

e

e

e K

K K 10 10 10

0 0 0 Jan Feb Mar Jan Feb Mar Jan Feb Mar Bulan Bulan Bulan Kelimpahan Sarang Kelimpahan Sarang Kelimpahan Sarang Baru/km Baru/km Baru/km kelimpahan Tumbuhan kelimpahan Tumbuhan kelimpahan Tumbuhan Berbuah /km Berbuah /km Berbuah /km

Gambar 21. Hubungan kelimpahan pohon berbuah dengan sarang baru Data pengamatan penelitian tersebut januari kelimpahan tumbuhan berbuah per km lokasi barat kelimpahan tumbuhan berbuah 38.01% dan kelimpahan sarang baru per km memiliki korelasi yang sangat sesuai dengan 38.18% untuk dibulan februari kelimpahan munculnya sarang baru dimana untuk bulan tumbuhan berbuah per km 33.42% dan

50 kelimpahan sarang baru per km 31.91% serta kemungkinan kerana pada bulan januari dibulan maret kelimpahan tumbuhan berbuah tersebut orangutan masih di lokasi barat per km 28.57% dan kelimpahan sarang baru bergerak mencari makan dan daerah jelajah per km 29.91%. artinya pada bulan januari, orangutan juga sangat berpengaruh untuk februari, dan maret kelimpahan tumbuhan munculnya sarang, pada saat penelitian di berbuah di lokasi barat dalam kawasan riset bulan januari memang orangutan lebih banyak mempunyai korelasi yang sesuai dengan bergerak ke lokasi barat sesuai dengan munculnya sarang baru orangutan. pengamatan tim peneliti sedangkan di bulan Pertimbangan lain orangutan membuat februari orangutan sudah mulai begerak ke sarang pada suatu jenis pohon adalah jarak lokasi tengah untuk mencari makan sesuai lokasi bersarang dari pohon pakan sedang dengan kelimpahan tumbuhan berbuah di berbuah. Menurut Rijksen (1978) dalam lokasi tengah tersebut. Bulan februari dilokasi pujiyani (2009 ), Orangutan membangun tengah menunjukan adanya korelasi antara sarang selalu dekat dengan pohon yang kelimpahan tumbuhan berbuah dengan buahnya sedang masak. Beberapa jenis pohon kelimpahan sarang baru dan untuk bulan maret pakan yang diketahui menjadi sumber pakan korelasi antara kelimpahan tumbuhan berbuah bagi orangutan di kawaasan Stasiun Penelitian dengan kelimpahan sarang baru tidak sesuai Orangutan Tuanan sebelah barat selama kemungkin orangutan sudah begerak atau penelitian dominan musim buah jenis Akar berpindah ke lokasi timur untuk mencari kamunda (Leucomphalos callicarpus), pohon pakan yang sedang berbuah, Menurut Manggis hutan daun kecil (Garcinia bancana), Prasetyo, (2006)dalam Pujiyani Nyatoh puntik (Palaquium pseudorostratum), (2009)Orangutan sebelum membuat sarang Hangkang (Palaquium leiocarpum). akan terlebih dahulu mengamati pohon pohon Selama pengamatan penelitian lokasi dan kondisi lingkungan yang ada di tengah tidak memiliki korelasi yang sesuai sekelilingnya. antara kelimpahan tumbuhan berbuah dengan Pengamatan penelitian di lokasi timur munculnya sarang baru dimana untuk bulan juga melihat bahwa adanya korelasi yang januari kelimpahan tumbuhan berbuah per km sesuai antara kelimpahan tumbuhan berbuah 41.01% dan kelimpahan sarang baru per km dengan kelimpahan sarang baru pada bulan 25.65% untuk dibulan februari kelimpahan februari dimana kelimpahan tumbuhan tumbuhan berbuah per km 28.30% dan berbuah 35.55% dan kelimpahan sarang baru kelimpahan sarang baru per km 34.92% serta 33.58% sedangkan untuk bulan januari dibulan maret kelimpahan tumbuhan berbuah korelasinya tidak sesuai dimana kelimpahan per km 30.70% dan kelimpahan sarang baru tumbuhan berbuah 40.55% dan kelimpahan per km 34.93%. artinya pada bulan januari sarang baru 31.71%, pada bulan januari korelasi kelimpahan tumbuhan berbuah dengan tersebutpersentase kelimpahan tumbuhan munculnya sarang baru kurang sesuai berbuah terlihat lebih tinggi di banding

51 kelimpahan sarang baru, seperti hasil kawasan lokasi timur memang diketahui tidak pengamatan dilapangan memang lokasi tengah terlalu banyak sumber makanan karena tersebut memiliki banyak jenis pohon pakan vegetasi tumbuhan di lokasi tersebut yang atau tumbuhan berbuah seperti liana yang menjadi sumber pakan orangutan tidak dimakan orangutan dibanding di lokasi yang banyak. Seperti asumsi yang di ungkapkan lainnya dan pada bulan maret kelimpahan Prasetyo, (2006)dalam Pujiyani (2009) Kondisi tumbuhan berbuah 23.50% dan kelimpahan hutan yang beragam baik topografi, struktur sarang baru 34.69% artinya pada maret ini juga dan komposisi vegetasi maupun keberadaan di lokasi timur korelasi kelimpahan tumbuhan satwa lain akan memberikan banyak pilihan berbuah dengan kelimpahan sarang baru tidak bagi Orangutan saat menentukan lokasi sarang sesuai kemungkin pada pagi hari beberapa yang sesuai.Orangutan sebelum membuat individu orangutan sudah begerak mencari sarang akan terlebih dahulu mengamati pohon makan ke lokasi timur dan disore orangutan pohon dan kondisi lingkungan yang ada di kembali ke lokasi tengah untuk membuat sekelilingny sarang. selama penelitian diketahui orangutan tidak jauh membuat sarang dari pohon pakan V.I. PENUTUP terakhir yang dimakannya sesuai dengan 6.1. Kesimpulan daerah jelajah mereka setiap harinya. Hasil penelitian yang dilakukan Menurut Rijksen (1978) menyatakan tentang “Karakteristik sarang Orangutan dan bahwa orangutan tidak bersarang pada pohon pola sebaran buah di Stasiun Penelitian pakan yang sedang berbuah masak, namun Orangutan Tuanan Kalimantan Tengah” dapat akan lebih memilih untuk membuat sarang di simpulkan sebagai berikut : pada pohon lain yang berada dekat dengan 1. Karakteristik sarang orangutan adalah pohon pakan tersebut. Strategi ini selain dapat a) Kelas sarang yang sering dijumpai menghindarkan orangutan dari kontak adalah kelas 3 dimana di lokasi barat langsung dengan satwa lain juga diduga (45,7%), lokasi tengah (45,2%) dan sebagai bentuk efisiensi energi dalam lokasi timur (46,8%). memperoleh makanan yang dibutuhkan dalam b) Posisi sarang yang sering dijumpai di jumlah yang cukup.Pada bulan maret di lokasi lokasi barat adalah posisi 4 (34.66%), timur hubungan kelimpahan tumbuhan lokasi tengah posisi 4 (49.33 %) dan berbuah dengan kelimpahan sarang baru lokasi timur posisi 2 (37.25%). kurang sesuai. Kemungkinan pada bulan c) Ketinggian sarang dominan pada tersebut sumber pakan orangutan sudah ketinggian 6-10 meter dan 11-15 berkurang dan orangutan sudah mulai begerak meter, untuk lokasi barat 53% dan ke lokasi lain untuk mencari tumbuhan yang 39%, lokasi tengah 58% dan 40% mencari sumber makanan sedang berbuah, sedangkan lokasi timur 55% dan sesuai dengan pengamatan tim peneliti 39%.

52

d) Ketinggian pohon sarang dominan pada ketinggian 11-15 meter dilokasi Anshari,G.,Sugardjito,J., Rafiastanto,A., & barat 56.63%, lokasi tengah 73.05% Nuriman, M. (2010). Characterization of dan lokasi timur 68.75% sedangkan tropical peat based on dry bulk density, loss of diameter pohon dominan pada 10-19 ignition, total organic carbon, total nitrogen, centimeter untuk lokasi barat and molar C/N ratio. Paper presented on 68.52%, lokasi tengah 67.35% dan International Workshop on Plant Ecology and lokasi timur 61.25%. Species pohon Diversity Observation and Capacity Building sarang yang lebih sering dijumpai in Indonesia, 16-19 July 2010. Sanur Denpasar adalah jenis Elaeocarpus mastersii Asfi, Z. 2001. Kepadatan Orangutan Sumatera spp. (25%), Cryptocarya spp (13%), (Pongo pygmaeus abelii) Berdasarkan Jumlah dan Pouteria cf. malaccensis spp Sarang di Agusan Ekosistem Leuser. Banda (10%). Aceh: Universitas Syiah Kuala Fakultas Kehutanan. 6.2. Saran Azwar.,Gondanisam. dkk., 2004.. Laporan Saran yang disampaikan peneliti untuk Survei Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) untuk kawasan Stasiun Penelitian Orangutan Pada Hutan Rawa Gambut di Area Mawas, Tuanan adalah Propinsi Kalimantan Tengah, Kalteng 1. Perlu dilakukan survey ulang sarang Collinge, N.E.1993. Introduction to Primate orangutan kembali secara keseluruhan Behavior. Kendall-Hunt Publishing Company. pada semua lokasi atau transek di di Dubuque-Iowa. kawasan Stasiun Penelitian Orangutan Delagado, R., and van Schaik, C.P. 2000. The Tuanan untuk mendapatkan gambaran behavioral ecology and conservation of the terbaru mengenai Karakteristik sarang orangutan (Pongo pygmaeus): A tale of two orang utan dan pola sebaran tumbuhan islands. Evol. Anthrop. 9: 201-18. berbuah

2. Dukungan dan kerja sama serta tindakan EIA 1998. The politics Extinction. yang tepat dari pihak terkait juga dari Environmental International Agency Prasetyo masyarakat, mampu meminimalisasi Didik. 2006. Sarang Orangutan: inteligensi dan kerusakan yang sudah dibuat terhadap perilaku, forum studi primata,UNAS, Jakarta hutan dan juga mampu merehabilitasi Groves, C. P. 2001. Primate taxonomy. kerusakan hutan yang pada nantinya Smithsonian Institution Press. Washington, akan sangat menguntungkan baik bagi DC. kita manusia, hewan yang ada di dalam Orangutans: Geographic Variation in hutan, maupun terhadap hutan itu Behavioral Ecology and Conservation. OXford sendiri. University Press Inc., New York: 311-326. DAFTAR PUSTAKA

53 Hartati, S. 2006. Analisis Habitat dan rehabilitan di Hutan Lindung Pegunungan Preferensi Pakan Buah Orangutan (Pongo Meratus, Kalimantan Timur. Skripsi. Jurusan pygmaeus wurmbii TIEDMANN, 1808) di Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Hutan Rawa Gambut Stasiun Penelitian Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Bali. Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana Mardianto. 2014. Peran Liana di Stasiun Sains, Fakultas Biologi Universitas Nasional. Penelitian Tuanan,Universitas Palangka Raya. Jakarta. Palangka Raya. Kalimantan tengah Husson, S.J., S.A. Wich, A.J. Marshall, R.D. Mehlman, P. T., dan Doran, D. M. 2002. Dennis, M. Ancrenaz, R. Brassey, M. Gumal, Influencing Western Gorilla Nest Construction A.J. Hearn, E. Meijaard, T. Simorangkir dan I. at Mondika Research Center. International Singleton. 2009 Orangutan Distribution, Journal of Primatology,. Density, Abundance, and Impacts of Disturbance. Dalam: Wich, S.A., S.S.U. Meididit, A. 2006. Aktivitas harian, komposisi Atmoko dan T.M. Setia (eds.). 2009. pakan dan keberadaan keton dalam urin Orangutans: Geographic Variation in orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) di Behavioral Ecology and Conservation. OXford Stasiun Penelitian Tuanan, Kalimantan University Press Inc., New York: 311-326 Tengah. Skripsi Sarjana Fakultas Biologi Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Universitas Nasional. Aksara. Jakarta. Meijaard, B. dkk. 2001. Diambang kepunahan kondisi Orangutan liar diawal abad ke-21. Kabanganga, Y., Santosa, Y., dan Kartono, A. cetakan pertama. the gibbson foundation P. 2010. Laju Pembuatan Sarang Orangutan Indonesia; Jakarta. Pongo pygmaeus morio di Taman Nasional Morrogh-Bernard, HC., SJ. Husson, CD. Kutai Kalimantan Timur. Bogor : Institut Knott, SA. Wich, CP. van Schaik, MA. Van Pertanian Bogor. Noordwijk, IL. Ancrenaz, AJ. Marshall, T. Knott C. 1999. Orangutan Behavior and Kanamori, N. Kuze & R. Bin Sakong. Ecology. Dalam: Dolhinow, P. and A. Fuentes Orangutan activity budgets and diet. 2009. (eds). 1999. The Nonhuman Primates. MayG Dalam: Wich, SA., SSU. Atmoko, TM. Setia eld Publishing, Mountain View, CA. pp. 50–7. & CP. van Schaik (eds.). Orangutans: Koops, K., McGrew, W. C., Vries, H. d., dkk. Geographic variation in behavioral ecology 2012. Nest-Building by Chimpanzees (Pan and conservation. Oxford University Press troglodytes verus) at Seringbara, Nimba Inc., New York: 199-133. 2009. Mountains:Antipredation, Muin A. 2007. Tipologi Pohon Tempat Thermoregulation,and Antivector Hypotheses. Bersarang dan Karakteristik Sarang Orangutan Springer Science+Business Media, (Pongo pygmaeus wurumbii Groves, 2001) di Kuncoro, P. 2004. Aktivitas harian orangutan Taman Nasional Tanjung Puting. Tesis. Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760) Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor

54 Noordwijk, M. A., Sauren, S. E., Nuzuar, dkk. abeliiLesson, 1827). Ecology, Behaviour and 2009. Devolopment of independence Sumatran Concervation. Netherlans: Agricultural and Bornean orangutans compared. University, Wageningen. Orangutans Geographic Variation in Rodman, P. S. 1979. Individual Activity Behavioral Ecology and Conservation , Patterns and The Solitary Nature of 189203. Orangutans. The Great Apes. California: The Prasetyo D. 2006. Orangutan intelligence Benjamin/Gemming Publishing Company. based on nest building behaviour. MSc. Thesis. Universitas Indonesia. Santoso, S. 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Non Parametrik. PT. Elex Media Prasetyo, D., Ancrenaz, M., Morrogh-Bernard, Komputindo. Jakarta. H. C., dkk. 2009. Nest building in Schurmann, C. L. 1982. Courtship and Matting orangutagan.. dalam Orangutans Geographic Behavior of Wild Orangutan Sumatra; Variation in Behavior Ecology and Chiarelli A. B. dkk dalam primate behavior Conservation.(2009). Edited by and sosiobiology. Wich.S.A.,Atmoko S. Suci Atmoko.,Setia Sidiyasa Kade, 2012. Karakteristik Hutan Tatang Mitra., van Schaik,Carel P. Oxford Rawa Gambut Di Tuanan Dan Katunjung, Biology. Kalimantan Tengah (Characteristic of Peat Prasetyo, D..2006. Sarang Swamp Forest in Tuanan and Katunjung, Orangutan:intelegensi dan Perilaku, forum Central Kalimantan). Balai Penelitian study Primata, UNAS, Jakarta Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Pujiyani. H. 2009. Karakteristik Pohon Tempat Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Bersarangorangutan Sumatera (Pongo Abelii Vol. 9 No. 2 : 125-137, 2012 Lesson, 1827) Di Kawasan Hutan Batang Soehartono, T., Susilo, H.D., Andayani, N., Toru, Kabupaten Tapanuli Utara-Sumatera Utami Atmoko, S.S., Sihite, J., Saleh, C., Utara. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Sutrisno, A., 2007. Strategi dan Rencana Aksi Bogor.Jawa Barat Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Putra, A.P. 2008. Aktivitas Harian dan PHKA KEMENHUT RI. Jakarta. Perilaku Makan Anak Orangutan (Pongo Sugardjito, J. 1983. Selecting nest-sites of pygmaeus wurmbii, Tiendemann 1808) sumatran orang-utans, Pongo pygmaeus abelii, dengan Tingkat Umur Berbeda di Stasiun in the Gunung Leuser National Park, Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Indonesia. Primates Tengah. Skripsi. Program Studi Biologi Sugardjito, J. 1986. Ecological Constraints on Fakultas Sains dan Teknologi Universitas the Behaviour of Sumatran Orangutan (Pongo Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pygmaeus abelii) in the Gunung Leuser Rijksen, H. D. 1978. A Field Study on National Park, Indonesia. Universiteit Utrecht. Sumatran Orangutans (Pongo Pygmaeus Utrecht. Thesis Ph.D.

55

Supriatna, J dan Wahyono, E. H. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Utami, S.S., and van Hooff, J.A.R.A.M. 1997. Meateating by adult female Sumat an orangutans (Pongo pygmaeus abelii).Am.J. of Primatol. 43: 156-65. Utami, S.S., I. Singleton, M.A., van Noordwijk, C.P. van Schaik, T.M. Setia, 2009. Male-male Relationships in Orangutans. Dalam: Wich, S.A., S.S.U. Atmoko dan T.M. Setia (eds.). 2009. Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation. OXford University Press Inc., New York: 135-156. Utami-Atmoko , Rifqi. MA. 2012. Buku Panduan Sarang Orangutan, Universitas Nasional. Jakarta

56

SKRINING FITOKIMIA PAKAN ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus wurmbii) DAN INDIKASI GANGGUAN KESEHATAN PADA ORANGUTAN

Hesti Dwi Setianingarum1,2#, I.S Jalip1, S.S.U Atmoko1,2, E. R. Vogel3

1) Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jl. Sawo Manila, Jakarta 12520 2) Pusat Riset Primata, Universitas Nasional, Jl. Sawo Manila, Jakarta 12520 3) Fakultas Antropologi, Universitas Rutgers, New Jersey, USA

Email: [email protected]

Abstrak

Pakan orangutan diduga mempunyai potensi untuk menyembuhkan penyakit. Hal ini dapat terlihat dari beberapa pakan orangutan yang dimanfaatkan sebagai bahan obat. Salah satunya kulit batang tumbuhan Dracontomelon dao yang dimanfaatkan sebagai obat diare oleh Masyarakat Dayak Kalimantan Timur. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kandungan fitokimia pada pakan orangutan. Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Penelitian dilakukan dengan mengamati aktivitas harian orangutan kemudian mengambil data kesehatan dengan cara menguji urin menggunakan dipstik, selanjutnya memilih pakan orangutan yang berpotensi berdasarkan data kesehatan. Sampel yang telah dipilih diuji dengan uji fitokimia baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian sepuluh jenis sampel pakan orangutan yang dianalisa di Laboratorium Kimia UNAS positif terhadap uji tanin dan alkaloid. Tiga jenis tumbuhan tidak positif flavonoid sementara untuk uji saponin yang positif hanya tagula daun besar dan akar kuning. Daun Pinding Pandan (Diospyros siamang) berpotensi sebagai obat diare karena adanya senyawa flavonoid dan tanin. Senyawa flavonoid dapat digunakan sebagai antidiare dan didukung dengan kerja senyawa tanin yang dapat menyerap racun.

Kata Kunci : Orangutan Kalimantan, Fitokimia

BAB I Orangutan Kalimantan berada di Kalimantan PENDAHULUAN Tengah. Wilayah Kalimantan Tengah memiliki beberapa tempat yang menjadi habitat alami Persebaran orangutan di Indonesia berada di orangutan diantaranya Taman Nasional Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Secara Sebangau, Taman Nasional Tanjung Puting taksonomi orangutan dipisahkan menjadi dua dan Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan. jenis yaitu Pongo pygmaeus yang terdapat di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan Kalimantan dan Pongo abelii yang terdapat di merupakan hutan rawa gambut yang menjadi Sumatera. Salah satu wilayah persebaran salah satu tempat habitat alami orangutan.

57 Kawasan Hutan Tuanan dulunya merupakan Berdasarkan pernyataan di atas, diduga hutan sekunder yang mengalami kerusakan adanya potensi pakan orangutan sebagai karena penebangan kayu. Orangutan yang bahan obat alami. Hal ini memerlukan berada di Tuanan merupakan orangutan liar. pembuktian secara ilmiah karena setiap Orangutan liar adalah orangutan yang tidak tumbuhan obat mempunyai kandungan pernah keluar dari habitat sejatinya, dimana senyawa metabolit sekunder yang berbeda. orangutan hidup bebas dan mandiri seumur Senyawa metabolit sekunder adalah hidup. senyawa yang aktif secara biologis untuk Orangutan merupakan primata frugivorus membantu melindungi tanaman terhadap yaitu hewan yang makanan utamanya predator dan kerusakan lain yang tidak adalah buah. Meskipun demikian, orangutan bermanfaat secara langsung terhadap tetap membutuhkan makanan lain untuk pertumbuhan (Fellows, 1991). Kandungan memenuhi energinya. Jenis pakan lainnya senyawa tersebut penting diketahui untuk seperti bunga, daun, kulit kayu, umbut dan memperkirakan khasiatnya. Cara mengetahui serangga (Rayap). Jenis umbut yang dimakan senyawa metabolit sekunder dapat diuji Orangutan Kalimantan yaitu rotan (Calamus dengan uji skrining fitokimia. Skrining spp), Licuola spp dan Nibung (Oncosperma sp) fitokimia merupakan metode pendekatan yang (Prayogo et al, 2014). Pakan orangutan yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dimakan tidak hanya untuk memenuhi keberadaan senyawa-senyawa metabolit kebutuhan nutrisi saja namun ada dugaan sekunder dari tumbuh-tumbuhan (Nohong, digunakan sebagai obat untuk menjaga kondisi 2009). kesehatan. Beberapa jenis tumbuhan pakan orangutan Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan yang dimanfaatkan manusia sebagai obat dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui seperti, Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & kandungan fitokimia pada pakan orangutan. Rolfe (Annonaceae) (Heyne, 1987) dan Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn. adalah : (Lauraceae) (Dewi et al., 2007). Etnis Dayak A. Terdapat perbedaan pola aktivitas Kalimantan Timur menggunakan kulit batang harian orangutan jantan dan betina tumbuhan Dracontomelon dao sebagai obat terhadap kondisi kesehatan. diare (Hasanah, 2011). Tumbuhan B. Terdapat kandungan fitokimia pada Eusideroxylon zwageri dipakai masyarakat sampel pakan orangutan yang diuji sebagai obat sakit gigi (Ajizah, 2007) dan daun tumbuhan Eusideroxylon zwageri dipercaya BAB II dapat mengatasi gangguan ginjal (Noorcahyati, METODE PENELITIAN 2012). A. Tempat dan Waktu Penelitian

58

Observasi perilaku dan pengambilan Wilayah kerja Borneo Orangutan sampel pakan orangutan dilakukan Survival Foundation (BOSF Mawas) Maret–September 2015 di Stasiun dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Penelitian Tuanan. Stasiun Penelitian Lindung (KPHL) Kapuas (BOSF, Tuanan secara administratif berada di 2013). Uji skrining fitokimia Kawasan Pasir Putih, Dusun Tuanan, dilakukan pada Bulan Oktober - Desa Mangkutup, Kecamatan Desember 2015 di Laboratorium Mentangai, Kabupaten Kuala Kapuas, Kimia Universitas Nasional, Jl. Bambu Kalimantan Tengah. Stasiun Tuanan Kuning, Pasar Minggu Jakarta Selatan. adalah bagian areal hutan blok E,

Gambar 1. Lokasi Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (Rutgers, 2016)

B. Alat dan Bahan %, NaCl 5 %, FeCl3 5 %, FeCl3 1 %, Alat yang digunakan pada penelitian HCl 2 N, H2SO4 2 N, H2SO4 pekat, ini yaitu kamera, koran, label, Pereaksi Dragendroff, Pereaksi Mayer, gunting, plastik, cuter, golok, gunting n- Butanol, dietil eter, Metanol 20 % tanaman, oven, dipstik, plastik. gelas dan Metanol 80 %. Orangutan yang piala, pipet tetes, pipet volumetrik, diobservasi ada 12 individu yang tabung reaksi, erlemeyer, cawan petri, terdiri dari lima jantan dewasa, enam rak tabung, statif, biuret, penangas air, betina dewasa dan satu betina cawan porselin, gelas ukur, Kertas remaja. Kondisi kesehatan orangutan Saring Whatman no.42, corong pisah dilihat berdasarkan pemeriksaan urin dancorong. yang dilakukan selama orangutan Bahan-bahan yang digunakan pada diikuti. Berikut adalah orangutan yang penelitian ini yaitu sampel tumbuhan, diobservasi dan diketahui kondisi alkohol 70%, akuadestilata, NaCl 10 kesehatannya (Tabel 1). 59

A. Cara Kerja secara sistematis terdapat pada 1. Lapangan interval waktu pengamatan. a. Pengamatan Aktivitas Harian Perhitungan persentase Orangutan aktivitas harian dan makanan Pengamatan dilakukan dengan yang dimakan dilakukan metode focal animal sampling, dengan membagi lamanya yaitu mengamati satu individu waktu yang dimanfaatkan orangutan dalam satuan untuk melakukan suatu interval waktu (setiap 2 menit) aktivitas atau memakan suatu dan mencatat perilaku yang jenis makanan dengan seluruh terjadi. Penelitian ini juga waktu aktif. menggunakan metode ad b. Pengambilan Urin dan libitum sampling, yaitu Pemeriksaan Urin Orangutan. mengamati satu individu Pengambilan urin dilakukan di orangutan dan mencatat pagi hari ketika orangutan kejadian- kejadian yang tidak belum keluar dari sarangnya.

60

Pengambilan dilakukan 2. Ranting yang telah dipasang dengan menggunakan plastik kemudian diletakan ranting yang ujungnya diberi dibawah sarang plastik sebagai tempat 3. Setelah urin tertampung diplastik menampung urin. Tujuan selanjutnya urin diperiksa pengambilan urin sebagai menggunakan dipstik. Urin pemeriksaan awal untuk orangutan diteteskan pada dipstik mengetahui indikasi gangguan kemudian ditunggu selama 2 kesehatan yang dialami oleh menit, hasil uji urin dicocokan orangutan. pemeriksaan urin dengan daftar di label botol menggunakan dipstik. Dipstik (gambar lampiran8) lalu hasilnya yaitu strip reagen berupa dicatat. plastik tipis berlapis kertas seluloid yang mengandung c. Pengambilan Sampel Pakan Orangutan bahan kimia tertentu sesuai di Lapangan dan Pembuatan Simplisia jenis parameter yang akan Pengambilan sampel buah diambil saat diperiksa. Beberapa parameter mengikuti orangutan dengan memilih yang diuji yaitu berat jenis, sisa makanan yang tidak dikonsumsi pH, glukosa, protein, nitrit, tetapi masih dalam keadaan utuh dan bilirubin, leukosit, eritrosit, sampel buah juga diambil langsung di keton dan urobilinogen. pohonnya. Sampel daun, umbut dan Sepuluh parameter ini diuji kulit batang diambil secara langsung karena dianggap sudah dapat dari pohon. Sampel dibawa ke camp mewakili pemeriksaan awal. untuk dikeringkan dan dibuat Berdasarkan kesepuluh uji simplisia. yang dilakukan dapat diketahui indikasi adanya 2. Laboratorium gangguan kesehatan pada Senyawa fitokimia yang diuji orangutan. yaitu alkaloid, saponin, tanin, flavonoid. keempat senyawa ini Berikut cara pengambilan urin diuji karena salah satu fungsi : keempat senyawa ini yaitu dapat 1. Ranting yang akan digunakan bermanfaat sebagai obat. Uji untuk mengambil urin disiapkan fitokimia dilakukan dengan dua terlebih dahulu kemudian plastik cara yaitu : dipasang pada ujung ranting a. Uji Fitokimia secara Kualitatif (gambar lampiran 8).

61

Uji fitokimia yang akan dinginkan. Setelah dingin dilakukan secara kualitatif kocok kuat kuat selama 20 dengan mengacu pada Materia detik. Mengamati buih Medika Indonesia (1989) yang timbul. Apabila buih terhadap alkaloid, saponin dan tidak hilang ketika tanin. Berikut cara kerjanya ditambahkan 1 tetes HCl 2 1. Uji Alkaloid N maka sampel Sebanyak 500 mg serbuk mengandung saponin simplisia dimasukan ke (Materia Medika dalam gelas piala 100 mL Indonesia, 1989). dan ditambahkan 10 mL akuades dan dididihkan. 3. Uji Tanin Selanjutnya diambil Sebanyak 500 mg serbuk filtratnya. Dua tetes filtrat simplisia dimasukan ke dimasukan ke lempeng dalam gelas piala 100 mL tetes kemudian dan ditambahkan 10 mL ditambahkan dua tetes akuadestilata. Kemudian H2SO4 2 N dan dua tetes direbus sampai mendidih Pereaksi Mayer dan untuk lalu disaring. Filtrat memperkuat juga diambil beberapa tetes lalu dilakukan uji dengan ditambahkan 4 tetes NaCl Pereaksi Dragendroff 10 % dan 4 tetes FeCl3 yang caranya sama. 5%. Selanjutnya Sampel akan mengamati perubahan mengandung Alkaloid warna yang terjadi, bila apabila terdapat endapan terbentuk warna hijau, berwarna putih sampai biru atau hitam, maka kuning dengan Pereaksi sampel mengandung Mayer dan akan berwarna senyawa tanin (Materia jingga jika menggunakan Medika Indonesia, 1989). Pereaksi Dragendroff 4. Uji Flavonoid 2. Uji Saponin Sebanyak 500 mg serbuk Sebanyak 500 mg serbuk simplisia dimasukan ke simplisia dimasukkan ke dalam gelas piala 100 mL dalam tabung reaksi. dan ditambahkan 10 mL Selanjutnya ditambahkan akuades dan dididihkan 10 mL air panas dan lalu diambil fitratnya.

62

Filtrat diambil sebanyak Uji Statistik dengan menggunakan Uji tiga tetes kemudian T Test. Uji ini dilakukan untuk ditambahkan 1 tetes FeCl3 mengetahui rata-rata dan perbedaan 1%. Hasil positif dari aktivitas oarangutan. Analisis data penambahan pereaksi ini dengan menggunakan SPSS 22.0 for menghasilkan warna hijau, windows merah, ungu, hitam. biru. Selanjutnya untuk BAB III memperkuat juga HASIL DAN PEMBAHASAN dilakukan uji dengan cara yang sama dengan A. Aktivitas Harian Orangutan menggunakan larutan Aktivits harian orangutan terdiri dari H2SO4 pekat dan hasilnya bergerak, makan, istirahat, sosial dan akan positif apabila sarang. Aktivitas bergerak berlangsung terbentuk warna merah. apabila orangutan berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu b. Uji Fitokimia Secara Kuantatif pohon ke pohon lain (Napier dan Sampel yang positif pada uji Napier, 1985). Aktivitas makan fitokimia secara kualitatif selanjutnya merupakan waktu yang dipakai dilakukan uji fitokimia secara orangutan untuk menggapai, kuantitaif, berikut cara kerjanya : mengolah, mengunyah dan menelan 1. Uji Kadar Saponin makanan pada suatu sumber pakan Uji kadar Saponin dilakukan (Galdikas, 1986). Aktivitas istirahat dengan metode Obadoni dan berlangsung pada waktu orangutan Ochuko (2001) relatif tidak bergerak, misalnya 2. Uji Kadar Tanin duduk, berdiri, tidur pada cabang Uji kadar tanin dilakukan di pohon atau di dalam sarang pada siang Balitro (Balai Penelitian Tanaman hari (Galdikas, 1986). Menurut Rempah dan Obat) dengan metode Dunbar (1988), aktivitas sosial spektrofotometri. merupakan bagian integral dari usaha 3. Uji Kadar Flavonoid setiap individu untuk menjaga Uji kadar Flavonoid dilakukan kelangsungan hidup dan mencapai dengan menggunakan metode sukses dalam bereproduksi. Adapun Boham dan Kocipai- Abyazan bentuk sosial yang dilakukan antara (1994). lain menelisik, pemilihan pasangan, D. Analisis Data kopulasi, perawatan anak dan perilaku yang berhubungan dengan proses

63 reproduksi. Aktivitas bersarang terakhir adalah sosial. Hal ini sesuai meliputi pematahan dan pengambilan dengan hasil penelitian di Tuanan ranting-ranting pohon untuk sebelumnya (Meididit, 2006 ). menyusunnya membentuk sarang Aktivitas makan (feeding) jantan istirahat atau tidur serta perlindungan maupun betina memiliki persentase tubuh menahan hujan (Galdikas, yang lebih tinggi saat kondisi sehat 1986). dibandingkan dengan saat Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas mengalami gangguan kesehatan yang paling banyak dilakukan oleh (Gambar 2). Hal ini menunjukkan orangutan adalah makan dengan bahwa pada saat kondisi sakit nafsu persentase 55,9 - 59,13 %, selanjutnya makan orangutan mengalami istirahat dengan persentase 28,05 - penurunan sehingga persentase 31,63 % kemudian bergerak dengan aktivitas makan juga lebih kecil. persentase 10,80 - 11,20 % dan yang

Pola aktivitas orangutan jantan dan gangguan kesehatan (Gambar 2). Hal betina pada saat sehat dan ini terlihat pada saat sehat orangutan mengalami gangguan kesehatan betina akan lebih banyak bergerak memiliki perbedaan. Aktivitas dibandingkan pada saat mengalami bergerak (moving) pada saat orangutan gangguan kesehatan. jantan sehat 8,53 % sedangkan pada Aktivitas istirahat (resting) orangutan saat mengalami gangguan kesehatan jantan maupun betina saat mengalami 11,35 %. Lain halnya dengan gangguan kesehatan memiliki orangutan jantan, orangutan betina persentase yang lebih tinggi bila pada saat kondisi sehat aktivitas dibandingkan pada saat sehat bergeraknya (moving) memiliki (Gambar 2). Istirahat merupakan hal presentase yang lebih tinggi yang baik dilakukan untuk dibandingkan pada saat mengalami memulihkan keadaan kesehatan

64

sehingga terlihat bahwa orangutan (Simerville, et al, 2005). Berat jenis jantan maupun betina akan banyak urin orangutan yang diamati berkisar istirahat pada saat sakit antara 1,005 – 1.025 dan ini dibandingkan melakukan aktivitas menunjukkan bahwa berat jenis urin lainnya. Biasanya saat sakit orangutan orangutan yang diamati normal serta akan membuat sarang siang dan akan tidak ada masalah hidrasi. berisitirahat dalam sarang dengan Urin orangutan yang diamati hampir waktu yang lama semuanya pernah mengandung leukosit. Leukosit yang ada di dalam B. Kesehatan Orangutan urin orangutan meningkat karena Urin merupakan hasil metabolisme adanya luka yang dialami oleh tubuh yang dikeluarkan melalui orangutan. Dua orangutan yang ginjal. Secara umum dapat dikatakan urinnya positif eritrosit yaitu Jinak bahwa pemeriksaan urin selain dan Niko. Aktivitas Niko saat urinnya untuk mengetahui kelainan ginjal dan mengandung eritrosit cendrung lebih salurannya juga bertujuan untuk banyak istirahat dibandingkan makan mengetahui kelainan-kelainan pada dan keluar dari sarang. Adanya sel organ tubuh seperti hati, saluran darah merah (eritrosit) dalam air empedu, pankreas, korteks adrenal, kemih disebut hematuria. Hematuria uterus dan lain-lain. Berdasarkan hasil umumnya disebabkan oleh adanya uji urin orangutan yang diobservasi, luka di organ/saluran setelah ginjal kisaran pH urin yaitu 6-9. pH urin (ureter, kandung kemih, uretra) normal berkisar 4,5–8. Pemeriksaan (Wijaya, 2014). pH urin dapat memberikan petunjuk Orangutan yang urinnya positif kemungkinan adanya indikasi bilirubin yaitu Wodan. Adanya gangguan kesehatan yaitu infeksi bilirubin dalam urin menandakan saluran urin. Beberapa orangutan kemungkinan adanya gangguan pada terpantau memiliki pH urin 9. Hal ini hati atau sistem empedunya namun menandakan bahwa pH urin beberapa perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut orangutan bersifat basa. Penyebab urin (Wijaya, 2014). Urin Jinak pernah menjadi basa karena adanya infeksi mengandung protein sebesar 15 oleh Proteus mirabillis yang mg/dL. Sebagian protein berasal dari merombak ureum menjadi amoniak. albumin yang disaring di dalam Berat jenis urin normal yaitu berkisar glomerulus tetapi tidak diserap di antara 1,003-1,030. Berat jenis ini dalam tubula, sedangkan sisanya berkolerasi dengan osmolalitas urin adalah glikoprotein dari lapisan sel dan memberi informasi tentang hidrasi saluran urogenitalia. Normal jumlah

65 protein dalam urin kurang dari 10 ada atau tidaknya senyawa yang diuji, mg/dL (Wijaya, 2014). Urin yang sedangkan uji kuantitatif dilakukan mengandung protein disebut untuk mengetahui kadar fitokimia proteinuria. Proteinuria biasanya yang terdapat pada sampel. menjadi petunjuk adanya luka Alkaloid merupakan senyawa pada membraglomelurus sehingga metabolit yang terdapat pada banyak filtrasi atau lolosnya molekul protein jenis tumbuhan (Seniwaty, 2009). ke dalam air kemih (urin) (Wijaya, Berdasarkan tabel 2, semua sampel 2014). Urin Jinak dapat kembali positif mengandung senyawa alkaloid, normal sehingga gangguan kesehatan Tumbuhan pakan orangutan yang diuji yang dialami tidak bersifat patologis. memiliki kandungan alkaloid dalam jumlah yang berbeda. Akaloid C. Uji Kualitatif dan Kuantitatif memiliki manfaat sebagai memacu Fitokimia Pakan Orangutan sistem saraf, menaikkan atau Lima jenis pakan ini dipilih menurunkan tekanan darah dan berdasarkan pada tumbuhan yang melawan infeksi mikrobia dimakan orangutan saat mengalami (Carey,2006; Widi dan Indriati, 2007) gangguan kesehatan. Bagian Empat dari lima sampel yang diuji tumbuhan yang dijadikan sampel mengandung senyawa flavonoid dipilih sesuai dengan bagian tumbuhan (Tabel 2). Hasil dari tumbuhan ini juga yang dikonsumsi orangutan. Lima memiliki kandungan dalam jumlah jenis tumbuhan yang dikonsumsi saat yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil orangutan sedang mengalami uji kuantitatif didapatkan kadar yang gangguan kesehatan yaitu akar kecil paling tinggi yaitu tagula daun besar (Dischidia hirsuta), meruang (Alseodaphne elmeri) dengan kadar (Myristica lowiana), pinding pandan 4,97 % dan yang paling kecil yaitu (Diospyros siamang), suli (Etlingera pinding pandan (Diospyros siamang) triorgyalis), Tagula Daun Besar dengan kadar 2,69 % (tabel 2). Hasil (Alseodaphne elmeri). (Gambar penelitian yang didapat bagian daun Lampiran 4). dan kulit batang sampel Pengujian fitokimia lima jenis pakan mengandung flavonoid. Hal ini orangutan dilakukan untuk mengetahui dikarenakan flavonoid terdapat pada kandungan metabolit sekunder yang semua bagian tumbuhan termasuk ada pada sampel. Uji fitokimia yang buah, akar, daun dan kulit luar dilakukan ada dua uji yaitu uji batang (Worotikan, 2011). Senyawa kualitatif dan uji kuantitatif. Uji flavonoid tertentu mengandung kualitatif dilakukan untuk mengetahui komponen aktif untuk mengobati

66 gangguan fungsi hati dan jaringan kayu (Harbone, 1987). Hasil kemungkinan dapat dijadikan sebagai dari uji kuantitatif didapatkan, tidak anti mikroba dan anti virus (Robinson, semua jumlah senyawa tanin sama. 1995). Flavonoid juga dapat dijadikan Kadar tertinggi terdapat pada sebagai anti oksidan dan dapat tumbuhan tagula daun besar menurunkan resiko terkena penyakit (Alseodaphne elmeri) dengan kadar kardio vaskuler (Miura et al, 2000). 16,56 % dan kadar terendah terdapat Berdasarkan hasil uji fitokimia, semua pada akar kecil (Dischidia hirsuta) sampel yang diuji mengandung yaitu 0,77 %. Tanin dapat berfungsi senyawa tanin. Tanin terdapat luas sebagai anti bakteri, antioksidan dan dalam tumbuhan berpembuluh, dalam antidiare (Malangngi et al, 2012) angiospermae terdapat khusus dalam

Sampel pakan orangutan yang Semua tumbuhan yang memiliki mengandung senyawa saponin hanya kandungan senyawa fitokimia pada uji jenis tagula daun besar (Alseodaphne kualitatif dalam elmeri). Senyawa saponin pada tagula jumlah banyak menghasilkan warna daun besar (Alseodaphne elmeri) yang pekat atau endapan yang memiliki kadar terkecil yaitu 24,22 dihasilkan banyak dan %. Ekstrak tanaman yang sebaliknya warna yang tidak pekat mengandung saponin digunakan atau sedikit terdapat endapan berarti untuk menghasilkan efek tumbuhan ini memiliki kandungan penghambatan pada inflamasi (Just et senyawa fitokimia dalam jumlah al, 1998). sedikit.

67 alergi dan aktivitas anti inflamasi D. Pakan yang Perpotensi sebagai (Manokaran et al, 2008; Shirwaikar Bahan Obat Alami et al, 2004; Deshmukh et al, 2008; Tumbuhan pakan orangutan yang Appia Krishnan et al, 2009). dijadikan sampel yaitu liana dan Flavonoid mengandung senyawa fenol. pohon. Akar kecil (Dischidia hirsuta) Fenol memiliki kemampuan merupakan liana yang dimakan mendenaturasi protein dan merusak orangutan betina saat menyusui. dinding sel bakteri (Kurniawan dan Berdasarkan proporsi makan, akar Aryana, 2015). Hal ini berarti kecil (Dischidia hirsuta) lebih banyak tumbuhan ini kemungkinan dapat dimakan oleh orangutan betina djadikan obat luka namun untuk dibandingkan orangutan jantan. Hal ini pembuktian yang lebih lanjut perlu dikarenakan betina yang sedang dilakukan uji anti bakteri. menyusui dan hamil banyak memakan Bagian tumbuhan pinding pandan tumbuhan ini. Akar kecil (Dischidia (Diospyros siamang) yang biasanya hirsuta) mengandung alkaloid dan dimakan orangutan yaitu buah. Getah tanin. dari buah ini apabila terkena kulit Orangutan makan buah dan kulit manusia akan menyebabkan kulit batang meruang (Myristica lowiana). melepuh. Bagian tumbuhan pinding Tidak semua orangutan makan buah pandan (Diospyros siamang) lainnya meruang (Myristica lowiana). Kulit yang dimanfaatkan orangutan yaitu batang biasanya dimakan orangutan daun. Ketika orangutan sakit diare, pada saat buah tidak ada, namun kulit orangutan akan memakan daun tua batang meruang (Myristica lowiana) tumbuhan ini. Pada saat penelitian juga dimakan saat orangutan hanya orangutan betina yang bernama mengalami luka. Fugit makan Kondor yang makan daun tua tumbuhan ini saat dikepalanya ada pinding pandan (Diospyros siamang). luka dan Kerry memakan kulit Senyawa yang terdapat pada tumbuhan meruang (Myristica lowiana) setelah pinding pandan yaitu alkaloid, melahirkan Ketambe. Senyawa yang flavonoid dan tanin. Senyawa ada pada kulit batang meruang flavonoid dapat digunakan sebagai (Myristica lowiana) yaitu alkaloid, antidiare, namun kerjanya harus flavonoid dan tanin. Sejumlah didukung dengan senyawa tanin penelitian menunjukkan flavonoid (Hasan dan Moo, 2014). Senyawa memiliki berbagai sifat yang tanin bekerja melapisi mukosa usus, berguna seperti aktivitas anti khususnya usus besar, tanin juga mikroba, anti oksidan, aktivitas anti menyerap racun dan juga dapat

68 menggumpalkan protein (Wienarno, positif terhadap semua senyawa yang 1997; Sinaga, 2007). diujikan. Senyawa tersebut Orangutan makan tumbuhan suli diantaranya alkaloid, flavonoid, (Etlingera triorgyalis) bagian umbut saponin dan tanin. Tagula daun besar dan bunga. Sampel yang diambil dari (Alseodaphne elmeri) dimakan tumbuhan ini adalah bagian umbut. orangutan bagian bunga dan buah. Umbut suli (Etlingera triorgyalis) Hanya orangutan betina bernama Juni dimakan orangutan pada saat yang makan daun dari tumbuhan ini. menyusui, namun hanya Kondor yang Pada hari sebelumnya urin Juni memakannya lebih banyak. Suli mengandung leukosit dan hari (Etlingera triorgyalis) juga selanjutnya aktivitas Juni lebih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar banyak istirahat dan membuat sarang untuk obat penurun demam. siang sebanyak tiga kali. Juni juga Menurut Zulfa, 2006 tumbuhan ini tidak banyak bergerak dan banyak dapat bermanfaat untuk memperlancar makan pada satu jenis pohon pakan. asi. Kandungan nutrisi yang ada pada Keesokan harinya kesehatan Juni tumbuhan suli (Etlingera kembali pulih, hal ini daat terlihat triorgyalis) yaitu kadar abu 12,92 dari hasil urin yang menunjukkan %, kadar protein 13,31 %, kadar bahwa Juni dalam keadaan sehat lemak 1,01 % dan kadar kabrohidrat 61,73 % (Zulfa, 2006). Kadar abu suli BAB IV (Etlingera triorgyalis) lebih besar KESIMPULAN DAN SARAN dibandingkan dengan kadar abu pakan orangutan lainnya (Zulfa, 2006). Kadar abu berhubungan dengan A. Kesimpulan kandungan mineral yang terdapat pada Berdasarkan hasil penelitian ini dapat suatu bahan. peningkatan kadar abu diambil kesimpulan yaitu: dapat meningkatkan produksi susu 1. Pola aktivitas orangutan karena dalam abu tersebut dipengaruhi oleh kondisi mengandung salah satu unsur mineral kesehatan. penting untuk produksi susu 2. Pakan orangutan yang diuji (Anggorodi, 1984; Zulfa 2006 ). secara umum mengandung Senyawa yang terdapat pada suli alkaloid dan tanin, namun dari (Etlingera triorgyalis) yaitu alkaloid, sepuluh sampel yang diuji hanya flavonoid dan tanin. dua jenis tumbuhan positif saponin Tagula daun besar (Alseodaphne dan tujuh jenis tumbuhan positif elmeri) merupakan sampel yang flavonoid.

69 3. Hasil dari uji fitokimia Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Jurnal tumbuhan Akar Kecil Bioscientiae 4 (1). (Dischidia hirsuta), Meruang Atmoko T dan Amir M. 2009. Uji Toksisitas (Myristica lowiana), Pinding Dan Skrining Fitokimia Ekstrak Tumbuhan Sumber Pakan Orangutan Pandan (Diospyros siamang), Suli Terhadap Larva Artemia salina L. Jurnal (Etlingera triorgyalis), Tagula Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV (01) : 37-45. Daun Besar (Alseodaphne Azham, Zikri, Biantary MP. 2012. Inventarisasi elmeri) berpotensi sebagai bahan Jenis Tumbuhan Yang Berkhasiat obat alami. Sebagai Obat Pada Plot Konservasi Tumbuhan Obat Di KHDTK Samboja B. Saran Kabupaten Kutai Kertanegara. Laporan Penelitian. Penelitian yang berhubungan dengan fitokimia pakan satwa Boham BA, Kocipai-Abyazan R. 1974. Flavonoids and condensed tannis from leaves of (terutama orangutan) masih sedikit Hawallan vaccinium vaticultum and V. calycinium. Journal of pacific science, yang melakukannya. Maka disarankan 48: 458-463. sebagai berikut : BOSF. 2013. Stasiun Riset Orangutan Tuanan. 1. Melakukan penelitian lanjutan www.orangutan.or.id. 2016; 24 April. mengenai pemeriksaan anti Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1987). Materia Medika bakteri, toksisitas dan perlu Indonesia. Ditjen POM, Jakarta.

dilakukan pula penelitian yang Deshmukh T, Yadav BV, Badole SL, lebih mendalam sehingga sumber Bodhankar SL, Dhaneshwar SR. 2008. Antihyperglycaemic activity of alcoholic pakan ini benar diketahui extract of Aerva lanata (L.) A. L. Juss. Ex J. A. Schultes leaves in alloxan manfaatnya. induced diabetic mice. Journal Appl. 2. Perlu dilakukan uji fitokimia Biomed. 6 Pp. 81–87.

pada pakan orangutan lainnya Gandasoebrata, R. 1999. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta. Groves CP. sehingga dapat diketahui banyak 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian tumbuhan yang khasiat dan Institution Press.

hasilnya dapat dipergunakan Gugun AM. 2007. Faktor Leukosituria pada Wanita Usia Reproduksi. Mutiara Medika 7 (2). dalam pengobatan orangutan untuk penanganan penyakit Hasan H dan Dewi RM. 2014. Senyawa Kimia dan Uji Efektifitas Ekstrak Tanaman Kayu tertentu pada orangutan Kuning (Arcangelisia flava L.) dalam Upaya Pengembangan sebagai Bahan rehabilitasi dan mungkin dapat Obat Herbal. Universitas Negri diaplikasikan ke manusia. Gorontalo.

Hasanah N. 2011. Kajian Aktivitas Antibakteri Batang Dracontomelon dao Terhadap DAFTAR PUSTAKA Bakteri Escherichia coli Multiple Drug Resistance. www.Farmako.uns.ac.id. 2016 ; 22 April. Ajizah A, Thihana, Mirhanuddin. 2007. Potensi Ekstrak Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T et B) Dalam Menghambat

70

Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Ketersediaan Buah Di Stasiun Penelitian Maserasi Dan Sukletasi Terhadap Kadar Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis Sarjana Fakultas Biologi Universitas retrofracti fructus). UIN-Press: Jakarta Nasional.

Iwan HU, Evi MH, I Wayan PAL, I Gusti MKE, Meijaard E. 2001. Diambang Kepunahan! Kondisi Sri KW, Luh ES dan Ketut B. 2011. orangutan liar di awal abad ke-21. Urinalisis Menggunakan Dua Jenis Jakarta: The Gibbon Foundation Dipstick (Batang Celup) pada Sapi Bali. Indonesia. Jurnal Veterinel 12 (1) hal. 107-112. Noorcahyati. 2012. Tumbuhan Berkhasiat Obat Just MJ, Recio MC, Giner RM, Cueller MU, Etnis Asli Kalimantan. Balai Penelitian Manez S, Billia AR, Rios JL.1998. Teknologi Konservasi Sumber Daya Antiinflammatory activity of unusual Alam Samboja. lupine saponins from Bupleurum fruticescens. 64:404-407. Noocahyati dan Zainal A. 2010. Etnobotani Tumbuhan Obat Etnis Dayak Meratus Khristyna L, Endang A, Marsusi. 2005. Loksado Kalimantan Selatan dan Upaya Pertumbuhan, Kadar Saponin dan Konservasi Di KHDTK Samboja. Nitrogen Jaringan Tanaman Daun www.database.forda-mof.org. 2016; 12 Sendok (Plantago major L.) pada April. Pemberian Asam Giberelat (GA3). Jurnal Biofarmasi 3 (1). Obadoni BO, Ochuko PO. 2001. Phytochemcial Kurniawan B dan Aryana WF. 2015. Binahong studies and comparative efficacy of the (Cassia alata L.) As Inhibitor Of crude extracts of some homostatic plants Escherichia coli Growth. Jurnal Majority in Edo and Delta States of Nigeria. 4 (4). Global Journal of Pure Applied Science, 7(3): 455-459. Mahode AA. 2004. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan Ed. 2. Prayogo H, Thohari AM, Sholihin DD, Prasetyo Jakarta; Buku Kedokteran EGC. LB, Sugardjito. 2014. Karakter Kunci Pembeda Antara Orangutan Kalimantan Malangngi LP, Sangi MS dan Paendong JJE. (Pongo pygmaeus) Dengan Orangutan Penentuan Kandungan Tanin dan Uji Sumatera (Pongo abelii). Jurnal Ilmu Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Hayati dan Fisik 16 (1). Pp 52-58. Alpukat (Persea americana Mill.). Jurnal Mipa Unstrat Online 1 (1). Purwanto H. 2005. Skrining Aktivitas Anti Agresi http//ejornal.unstrat.ac.id/index.php/jmuo Trombosit Dari Beberapa Tanaman . 2016; 19 Juli. Berkhasiat Obat. UI-press: Depok.

Manokaran S, Jaswanth A, Sengottuvelu S, Putri AAS dan N Hidajati. 2015. Uji Aktivitas Nandhakumar J, Duraisamy R, Antioksidan Senyawa Fenolik Ekstrak Karthikeyan D, Mallegaswari R. 2008. Metanol Kulit Batang Tumbuhan Nyiri Hepatoprotective Activity of Aerva Batu (Xylocarpus moluccenensis). lanata Linn. Against Paracetamol Journal of Chemistry 4 (1). Induced Hepatotoxicity in Rats. Research J. Pharm. and Tech. 1(4) Pp. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan 398-400. Tingkat Tinggi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 152-196. Marliana SD, V Suryanti, Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Rubenstein D, Wayne D, dan Bradley J. 2007. Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Lecture Note: Kedokteran klinis (Edisi Labu Siam (Sechium edule Jacq. 6). Jakarta: Erlangga. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi, 3 (1). Pp. 26-31. Rutgers. 2016. Tuanan Orangutan Research Project, Central Kalimantan, Indonesia. Meididit A. 2006. Macam Pakan, Aktivitas http://www.rci.rutgers.edu. 2016; 21 Harian Orangutan (Pongo pygmaeus April 2016. wurmbii TIEDEMANN, 1808) Dan

71

Sahly S. 1995. Pengobatan Dengan Resep-Resep (Kleinhovia hospital L). Jurnal Sains Asli Solo. C.V Aneka. Dan Terapan 3 (2), pp : 112-123.

Sangi M, Runtuwene MRJ, Simbala HEI, Makang, Zulfa A. 2006. Aktivitas Harian, Komposisi VMA. 2008. Analisis Fitokimia Makanan Dan Kandungan Nutrien Dari Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Makanan Utama Orangutan (Pongo Utara. Chemistry Progress. 1:47-53. pygmaeus wurmbii) Betina Yang Memiliki Anak Dengan Umur Berbeda Septiana, Aisyah Tri dan Ari Asnani. 2012. Kajian Di Stasiun Penelitian Tuanan, Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana Coklat Sargassum duplicatum Fakultas Biologi Universitas Nasional Menggunakan Berbagai Pelarut Dan Metode Ekstraksi. Jurnal Agrointek 6 (1).

Shirwaikar A, Issac D, Malini S. 2004. Effect of Aerva lanata on cisplatin and gentamicin models of acute renal failure. Journal Of Ethnopharmacol. 90. Pp 81–86.

Simerville JA, Maxted, Wiliam CP, John J. 2005. Urinalysis: A Comprehensive Review. Jurnal American Family Physican 71 (6). Pp 1153-1162.

Sinaga S. 2007. Penggunaan Tepung Daun Jambu Batu Sebagai Anti Diare Pada Pertumbuhan Babi Periode Starter. Jurnal Ilmu Ternak 7 (2). Pp 161-164.

Sulastri T. 2009. Analisis Kadar Tanin Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol Pada Biji Pinang Sirih (Areca Catechu). Jurnal Chemica 10 (1) hal. 59-63. Syamsuhidayat SS dan JR Hutapea. 1991. Inventaris Tumbuhan Obat Indonesia. Departemen Kesehatan R.I ; Jakarta.

Tuanan Orangutan Research Project, Central Kalimantan. http://www.rci.rutgers.edu. 2016: 22 April.

Turlina L dan Wijayanti R. 2015. Pengaruh Pemberian Serbuk Daun Pepaya Terhadap Kelancaran Asi Pada Ibu Nifas Di BPM NY. Hanik Dasiyem, Amd.Keb Di Kesungpring Kabupaten Lamongan. Jurnal Surya 7 (1).

Wijaya, H. 2014. Metode Analisis Urin. www.element.esaunggul.ac.id. 2016: 06 April. Worotikan DE. 2011. Efek Buah Lemon Cui (Citrus microcarpo) Terhadap Kerusakan Lipida Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Dan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Mentah. Skripsi. UNSTRAT Press: Manado.

Yunita, Azidi I, Radna N. 2009. Skrining Fitokimia Daun Tumbuhan Katimaha

72

SUKSESI TUMBUHAN LIANA PASKA KEBAKARAN DI STASIUN PENELITAN TUANAN

Kristana Parinters Makur 1,2,3#, S.S.U Atmoko1,2,3, T.M. Setia 1,2,3, E. R. Vogel 2,4

1) Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jl. Sawo Manila, Jakarta 12520 2) Tuanan Orangutan Research Station, Kapuas, Kalimantan Tengah 3) Pusat Riset Primata, Universitas Nasional, Jl. Sawo Manila, Jakarta 12520 4) Fakultas Antropologi, Universitas Rutgers, New Jersey, USA Email : [email protected]

ABSTRAK

Area riset Tuanan merupakan kawasan hutan rawa gambut sekunder yang mengalami bencana kebakaran hutan berulang dan yang terbesar terjadi pada September-Oktober 2015.Mengakibatkan hilangnya 88 hektar hutan riset.Seiring berjalannya waktu, kawasan ini mengalami suksesi termasuk tumbuhan liana.Liana memiliki peran yang sangat penting sebagai makanan orangutan.Melihat pentingnya keberadaan liana, maka dilakukan penelitian suksesi liana setelah 17 bulan bencana kebakaran. Observasi dilakukan dengan menggunakan metode plot berukuran 30x30 meter sebanyak empat plot. Liana diidentifiasi jenis setelah diukur diameter batangnya. Hasil analisa sementara 51,85% jenis liana dalam tingkatan semai mampu hidup dari 24 jenis liana yang ada di riset Tuanan. Liana semai ini memiliki kerapatan sedang (0,54) dengan indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis rendah yaitu 1,43 (H’ < 1,5), sedangkan untukindeks dominansi jenis akar kamunda (Leucomphalos callicarpus) adalah jenis yang paling dominan dengan Indeks Nilai Penting sebesar 107,33%.Akar kamunda memiliki peran yang sangat penting dalam diet orangutan khususnya saat rendahnya pohon berbuah. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam upaya pengelolaan habitat orangutan pasca kebakaran, terutama terkait suksesi jenis-jenis liana pakan orangutan.

Kata kunci: Liana, orangutan, suksesi, gambut, kebakaran, Tuanan

BAB I memberikan tantangan dalam hal kebutuhan PENDAHULUAN sumber daya, sehingga perlu dilakukan pemodelan untuk mengetahui bagaimana Perubahan lingkungan akan menyebabkan individu beradaptasi dalam mencari pakan hewan beradaptasi dalam menanggapi variasi yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan temporal dan ketersediaan pakan di (Caraco, 1981; Charnov, 1976;Stephens & habitatnya. Variasi ketersediaan pakan Krebs, 1986). Primata memanfaatkan beragam

73

jenis pakansebagai strategi dalam memenuhi bergelantungan atau melilit untuk mencapai kebutuhan gizi sehari-hari (Lambert & suatu kanopi dengan ketinggian tertentu. Rothman, 2015; Lihoreau et al, 2015; Kemudian dedaunannya berkembang di atas Rothman,2015). Primata memenuhi kebutuhan kanopi pohon yang ditumpanginya (Mitra- nutrisinya melalui pemilihan jenis pakan yang Setia, 2009). berkualitas karena kuantitas nutrisi dari setiap Saat ini penelitian terhadap tumbuhan liana jenis pakan berbeda.Pada umumnya primata belum begitu banyak dilakukan, tetapi dari akan beralih dari pakan yang dominan ke hasil-hasil yang sudah diteliti, liana memiliki sumber pakan yang kurang disukai dan peranan yang penting terhadap aktivitas kualitasnya lebih rendah (Hemingway & orangutan seperti sarana lokomosi dan Bynum, 2005). sumber nutrisi sehingga perlu dilakukan Orangutan merupakan salah satu primata penelitan lebih lanjut terhadap keberadaan terancam punah di dunia yang dikelompokkan liana. ke dalam superfamili Hominoidea, anak suku Salah satu habitat orangutan yang terdapat Pongidae dan marga Pongo yang hanya liana di Borneo adalah Stasiun Penelitan terdapat di Borneo dan Sumatera (Grove, Tuanan, Kalimantan Tengah. Stasiun 2001).Salah satu faktor yang sangat Penelitian Tuanan berjarak sekitar 1,5 km dari menentukan pemanfaatan ruang dan sungai Kapuas dan berada di antara dua anak keberadaan orangutan adalah keberadaan sungai Kapuas yaitu sungai Daha dan sungai pakan.Keberadaan pakan dapat mempengaruhi Bengkirai. Di dalam area penelitian juga distribusi orangutan dan perilaku dalam terdapat kanal yang sebelumnya digunakan mekanisme adaptasi terhadap perubahan sebagai sarana mengeluarkan kayu pada masa kondisi ekologi (van Schaik & Brochman, perambahan.Keberadaan kanal tersebut dapat 2005). Orangutan merupakan hewan arboreal menyebabkan keluarnya air dari lahan gambut yang melakukan aktivitas hariannya seperti: dan memicu pengeringan gambut.Stasiun makan, lokomosi dan istirahat di pepohonan Penelitian Tuanan merupakan kawasan hutan hutan dengan struktur vertikal hutan yang rawa gambut sekunder yang mengalami terdiri antara lain dalam bentuk pohon dan bencana kebakaran hutan berulang dan yang liana dari pada di permukaan tanah (Mitra- terbesar terjadi pada September-Oktober Setia, 2009) 2015.Hal ini Mengakibatkan hilangnya 88 Liana merupakan tumbuhan pemanjat, banyak hektar hutan riset.Seiring berjalannya waktu, ditemukan di hutan hujan tropis dan kawasan ini mengalami suksesi termasuk keberadaannya menambah keanekaragaman tumbuhan liana.Liana memiliki peran yang jenis pada struktur vertikal hutan serta sangat penting sebagai makanan merupakan salah satu ciri dari hutan hujan orangutan.Melihat pentingnya keberadaan tropis. Tumbuhan liana memanjat dan liana, maka dilakukan penelitian suksesi liana menopang pada batang tumbuhan lain dengan setelah 17 bulan bencana kebakaran.

74

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan habitat orangutan pasca keanekaragaman liana yang area bekas kebakaran, terutama terkait suksesi jenis-jenis kebakaran di Stasiun Penelitian Tuanan dan liana pakan orangutan. diharapkan bermanfaat dalam upaya

BAB II METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan  GPS April sampai bulan Mei 2017 di C. Cara Kerja Stasiun Penelitian Tuanan, dalam Pengamatan ini dilakukan dengan penelitian ini lokasi plot terletak di menggunakan metode plot yang area kebakaran,perbatasan/ peralihan berukuran 30x30 meter sebanyak antara hutan dan area kebakaran, dan empat plot. Lokasi plot ditentukan daerah hutan. menggunakan rancangan acak B. Alat dan Bahan beraturan.Data yang diambil untuk Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam ekologi liana mencakup diameter dan penelitian ini adalah nama jenis liana. Data kemudian di  Jangka sorong analisis menggunakan program microsoft exel untuk mencari  Peta area pengamatan kerapatan, frekuensi, dominansi, dan  Tabulasi data Indeks Nilai Penting.  Kamera  Pita tagging BAB III  Tali raffia HASIL DAN PEMBAHASAN

75

A. Komposisi Liana yang jauh dari hutan. Berdasarkan Penelitian ini dilakukan dengan hasil penelitian total liana yang menempatkan plot di dua lokasi area ditemukan di area kebakaran adalah 14 kebakaran yang berbeda yaitu lokasi jenis. Dari 14 jenis liana yang yang terletak dekat dengan kawasan ditemukan terdapat tujuh jenis liana hutan dan lokasi yang terletak jauh yang ditemukan di semua plot yang dari hutan. Di masing-masing lokasi telah ditentukan. Adapun jenis-jenis terdapat dua plot untuk mewakili tersebut adalah akar dangu, akar masing-masing area. Plot di transek kalanis, akar kalawit, akar kamunda, KO dan HR mewakali kawasan yang akar kuning, akar laping manuk, dan dekat dengan hutan sedangkan plot di akar Uweinyaei. transek AI dan SG mewakili kawasan

Berdasarkan hasil penelitian dengan cahaya matahari agar bisa sebelumnya, total liana yang berada di bertahan hidup.Dampak dari sifat dalam kawasan hutan adalah 24 jenis intoleran ini menyebabkan jenis liana (Mardianto, 2014).Namun dalam ini tidak dapat bertahan hidup di dalam penelitian di area kebakaran kawasan hutan.Menurut Satia (2009) ditemukan beberapa jenis liana yang salah satu faktor yang diperebutkan hanya ada di daerah terbakar seperti oleh liana adalah cahaya jenis akar kelukun, akar kareinnyamei, matahari.Cahaya matahari tidak dapat dan akar uweinyaei.Hal ini disimpan, sehingga harus menunjukan bahwa ada jenis-jenis dimanfaatkan seefisien mungkin. liana yang berperan sebagai Akibat dari adanya kompetisi ini maka tumbuhan pionir yang intoleran ada adaptasi pada tumbuhan antara

76

lain ada tumbuhan yang bersifat masing- masing plot namun jenis liana heliofit (membutuhkan cahaya yang paling banyak di jumpai adalah matahari) dan sciofit (tumbuhan yang di plot HR dengan presentasi 32%, bisa hidup di bawah naungan sedangkan untuk plot KO dan AI tumbuhan lain).Dengan hilangnya memiliki presentasi 22%, dan untuk kanopi hutan menyebabkan liana-liana plot SG memiliki presentasi 24% tersebut dapat hidup di area kebakaran. (Gambar 2). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perjumpaan jenis liana hampir sama di

B. Keanekaragaman Lian adalah 0,54. Menurut Magurran, Berdasarkan pendapat Wilham dan (1988) nilai indeks kemeratan (E) Dorris (1968) dalam Masson berkisar antara 0–1, jika nilai E (1981) yang menyatakan bahwa H’ ≤ mendekati nol (0) menunjukkan 1 termasuk dalam kategori kemerataan yang rendah sebaliknya keanekaragaman rendah, nilai 1≤ H' ≤ jika nilai E mendekati satu (1) 3 masuk dalam kategori menunjukkan kemerataan yang tinggi. keanekaragaman sedang, dan nilai H’ Berdasarkan pendapat tersebut maka ≥ 3 menunjukkan keanekaragaman area terbakar di Stasiun Penelitan yang tinggi. Berdasarkan hasil Tuanan memiliki nilai kemerataan perhitungan menggunakan rumus rendah dengan kerapatan sedang Shannon-Wiener nilai (0,54). keanekaragaman (H’) dan kekayaan Menurut Odum (1996), bahwa jenis di area kebakaran masuk dalam semakin banyak jumlah jenis maka kategori rendah yaitu 1,43 (H’ < 1,5), semakin tinggi keanekaragamannya. sedangkan untuk hasil perhitungan Sebaliknya bila nilainya kecil maka indeks kemerataan (E) di area terbakar komunitas tersebut didominasi oleh

77

satu atau sedikit jenis. masing-masing kawasan. Rendahnya Keanekaragaman jenis dipengaruhi nilai kemerataan menunjukkan adanya oleh pembagian penyebaran individu jenis tumbuhan yang mendominansi di dalam tiap jenis, karena suatu kawasan hutan rawa gambut. komunitas walaupun banyak jenisnya, Berdasarkan hasil perhitungan indeks tetapi bila penyebaran individu tidak nilai penting semai liana yang paling merata maka keanekaragaman jenis dominan di area kebakaran adalah rendah. Perhitungan kemeratan di jenis kamunda (Leucomphalos suatu kawasan tentu saja terdapat callicarpus) dengan nilai 107,33% jenis yang akan mendominasi di (gambar 3).

Akar kamunda memiliki peran yang oleh Mardianto (2014) yang sangat penting dalam diet orangutan menunjukan bahwa akar kamunda khususnya saat rendahnya pohon adalah jenis liana yang paling sering berbuah karena jenis ini hampir semua dikonsumsi oleh orangutan di Stasiun bagian bisa dimakan oleh orangutan Penelitian Orangutan Tuanan (gambar (kecuali batang).Hal ini didasari pada 4). hasil penelitian yang telah dilakukan

78

Selain akar kamunda, ditemukan juga beberapa jenis liana penting yang dikonsumsi oleh jenis liana yang dikonsumsi oleh orangutan. orangutan. Keempat jenis itu adalah akar Jenis-jenis liana tersebut adalah akar dangu, kamunda (Luecomphalos callicarpus), akar akar kalanis, akar kambalitan, akar kuning, dangu (Willughbeia sp), akar kuning dan akar kukuelang. Dengan ditemukannya (Fibraurea tinctoria), dan akar kambalitan jenis-jenis liana yang bisa dikonsumsi oleh (Artobotrys suaveolens). Kategori penting orangutan maka kawasan tersebut bisa menjadi yang dimaksud adalah jenis liana yang area baru bagi aktivitas orangutan jika dikonsumsi oleh orangutan selama musim kawasan itu semakin membaik. Dari keenam berbuah (gambar 5). jenis tersebut empat diantaranya masuk dalam

BAB VI dominan dengan Indeks Nilai KESIMPULAN Penting sebesar 107,33%. 3. Jenis liana yang dimakan orangutan di 1. 51,85 % jenis liana dalam tingatan area kebakaran adalah akar kamunda, semai mampu hidup dari 24 jenis liana akar dangu, akar kambalitan, akar yang ada di riset Tuanan. kukuelang, akar kuning, dan akar 2. Liana semai ini memiliki kerapatan kalanis sedang (0,54) dengan indeks 4. Ditemukan empat jenis liana di area keanekaragaman dan kekayaan jenis kebakaran yang masuk dalam jenis rendah yaitu 1,43 (H’ < 1,5), Jenis liana penting di Stasiun Penelitian akar kamunda (Leucomphalos Orangutan Tuanan dan tiga jenis liana callicarpus) adalah jenis yang paling yang berbeda di area kebakaran

79

dengan jenis liana yang terdapat di availability and quality. Annual dalam kawasan hutan. Reviews of Anthropology, 44 DAFTAR PUSTAKA Lihoreau M, Buhl J, Charleston MA, et al. Azwar, Ahmat, Gondanisam, et al. 2007. 2015. a conceptual framework for Survey keanekaragaman Hayati integrating nutrition and social (mamalia,burung, amphibia, reptilia, interactions. Nutritional ecology ikan dan vegetasi) pada Areal Kerja beyond the individual: Program Konservasi Mawas. Borneo orangutan Survival Foundation: 32 Magurran A. 1988. Ecology Diversity And Its hlm. Measurements. Princeton University Press, Newjersy Caraco T 1981. Energy Budgets, Risk and Foraging Preferences in Dark-Eyed Meididit A. 2006. Aktivitas harian, Juncos (Junco hyemalis). Behavioral komposisi pakan dan keberadaan Ecology and Sociobiology , VIII, keton dalam urin orangutan (Pongo 213-218 pygmaeus wurmbii) di Stasiun Charnov EL 1976. Optimal Foraging. The Penelitian Tuanan, Kalimantan Marginal Value Theorem. Theor. Tengah. Skripsi Sarjana Fakultas Pop. Biol. , 9, 129-136 Biologi Universitas Nasional, Jakarta

Grove C. 2001. Primate Taxonomi. Mitra-Setia T 2009. Peranan liana dalam Smithsonian Institution Press, kehidupan orangutan. VIS VITALIS Washington and London Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta, 02, 55-61 Hemingway CA, Bynum N 2005. The Influence of seasonality on primate Rothman J 2015. Nutritional ecology provides diet and ranging. In Brockman, D. new insights into the interaction K., van Schaik, C. P. (Eds). between food quality and Seasonality in Primates; Studies of demography in endangered wildlife. Living and Extinct Human and Non- Functional Ecology, 29, 3-4 Human Primates. Cambridge University Press, 58-104 Simpson SJ, Raubenheimer D 2012. A Unifying Framework from Animal Lambert J, Rothman J 2015. Fallback foods, Adaptation to Human Obesity. The optimal diets and nutrient balancing: Nature of Nutrition primate responses to varying food 80

Soerianegara I, Indrawan. 1988. Ekologi di Stasiun Penelitian Tuanan, Hutan Indonesia. Departement Kalimantan Tengah.. Skripsi Sarjana Manajemen Hutan Fakultas Sains, Fakultas Biologi, Universitas Kehutanan, Bogor Nasional, Jakarta

Stephens DW, Krebs JR 1986. Foraging Theory, Princeton University Press, Princeton. Jurnal of Evolutionary Biology, 247 van Schaik CP, Brochman DK 2005. Seasonility in primate ecology, reproduction, and life history. an overview.Dalam van Schaik C.P. & D.K. Brochman (eds.). Seasonality in Primates : studies of Living Extinct Human and Non-human Primates, Cambridge University , Press:3--20

Vogel ER, Haag L, Mitra-Setia T, et al. 2009. Foraging and Ranging Behavior During a Fallback Episode: Hylobates albibarbis and Pongo pygmaeus wurmbii Compared. American Journal of Physical Antropology, 140 :716-726

Vogel ER, Harrison ME, Zulfa A, et al. 2015. Nutritional differences between two orangutan habitats: Implications for population density

Zulfa A. 2006. Aktivitas harian, komposisi makanan dan kandungan nutrien dari makanan utama orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) betina yang memiliki anak dengan umur berbeda 81

PERILAKU HARIAN ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wrumbii, TIEDMANN 1808) DI PUSAT REHABILITASIPROTECT OUR BORNEO SEI GOHONG, PALANGKA RAYA Nandang Hermawan 1, Teguh Pribadi 2, Yosefin Ari Silvianingsih 3. 1Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Jalan Yos Yudarso Nomor 3, Palangka Raya.Kode Pos 73113 2Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Palangka Raya, Jalan Hiu Putih- Tjilik Riwut km 7, Palangka Raya.Kode Pos 73111 3Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya. Jalan Hendrik Timang Kampus Unpar Tanjung Nyaho, Palangka Raya. Kode Pos 73113

ABSTRAK. Orangutan Kalimantan merupakan salah satu primata langka dan terancam punah di Indonesia. Upaya konservasi dilakukan dengan melakukan reintroduksi. Namun, keberhasilan proses reintroduksi tergantung pada proses perawatan di pusat rehabilitasi. Pengamatan perilaku harian anak orangutan dilakukan di pusat rehabilitasi Protect Our Borneo (POB) selama 15 hari. Teknik focal animal sampling diaplikasikan untuk pengamatan perilaku harian dua anak orangutan. Setiap aktivitas anak orangutan diamati selama empat jam per hari dari pukul 07.15-17.00 WIB. Aktivitas harian yang dominan dilakukan oleh kedua orangutan adalah bergerak, kemudian disusul dengan makan, dan bermain. Adapun aktivitas istirahat, agonistik, dan istirahat cenderung menunjukan sedikit perbedaan urutan. Aktivitas harian anak orangutan banyak dilakukan pada pagi hari. Siang hari banyak digunakan untuk istirahat. Aktivitas sore hari dilakukan untuk kembali bergerak dan makan pada sore hari dengan intensitas yang lebih rendah. Aktivitas harian anak orangutan dipengaruhi oleh umur, riwayat hidup, sertatipe dan cara pengasuhan. Indikasi keberhasilan proses perawatan anak orangutan di pusat rehabilitasi antara lain kemampuan beradaptasi dan perbaikan perilaku harian anak orangutan sesuai perilaku liarnya Kata kunci : focal animal sampling, konservasi, perilaku alami, reintroduksi. Penulis untuk korespondensi: [email protected]

yang tinggal di habitat alaminya. Populasi PENDAHULUAN terus mengalami penurunan secara drastis dan dalam kurun waktu 10 tahun terjadi penuruan Orangutan merupakan primata besar satu- populasi 30-50% akibat degradasi hutan dan satunya yang ada di Asia. Orangutan perburuan liar (Sujoko, 2015). Di Kalimantan berkerabat dekat dengan bonobo, simpase, dan Tengah diperkirakan hanya ada 34.000 gorila yang merupakan kera besar dengan ciri- individu subspecies Pongo pygmaeuswurmbii ciri miliki tubuh dan ukuran otak yang besar, dengan kepadatan 4-5 individu.km-1 (Sujoko, eklektik frugivora, dan membangun sarang. 2015). Orangutan memiliki keunikan antara lain, kera besar dengan rambut kemerahan, mamalia Keunikan, kelangkaan, dan endemisme, arborear terbesar, dan mamalia daratan dengan serta penurunan populasi orangutan yang pertumbuhan dan perkembangbiakan paling drastis menyebabkan orangutan dalam lambat. Keanehan lain yang dimiliki oleh perhatian penting dalam kajian konservasi orangutan antara lain: kemampuan biologi. Orangutan merupakan salah satu satwa menggunakan alat dengan kecerdasan yang langka yang dilindungi secara penuh dimiliki dalam sangkar tetapi tidak di alam berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan bebas, hidup soliter, dan bimaturasi pada nomor 522/kpts-II/1997 dan PP nomor 7/1999 jantan (Russon, 2009). (Atmojo, 2008; Kuncoro etal. 2008; Sujoko, 2015). Orangutan juga masuk daftar satwa Orangutan (Pongo Spp) merupakan anggota yang kritis menurut International Union for suku Pongidae. Saat ini orangutan hanya ada di Conservation and Nature (IUCN,2010) dan Sumatera (Pongo abelii) dan Kalimantan masuk apendiks 1 menurut Conservation on (Pongo pygmaeus). Diperkirakan hanya ada International Trade in Endangered of Wild 45.000-69.000 individu orangutan kalimantan Species of Flora & Fauna (CITES, 2008) 82

(Nikmaturrayan etal, 2013; Sujoko, 2015). METODE PENELITIAN Maka upaya konservasi dilakukan baik secara in-situ ataupun eks-situ.Salah satu bentuk Pengamatan perilaku harian anak orangutan konservasi eks-situ adalah rehabilitasi dan dilakukan pusat rehabilitasiProtect Our reintroduksi orangutan. Borneo (POB) - Palangka Raya Wildlife Conservation (PWLC), Sei Gohong, Bukit Informasi tentang perkembangan perilaku Batu, Palangka Raya. Data yang dilaporkan anak orangutan di pusat rehabilitasi dalam berasal dari pengamatan selama 146,25 jam rangka monitoring dan evaluasi merupakan (Pukul 07.15-17.00) yang dikumpulkan selama penilaian utama dalam keberhasilan 15 hari dari 1 Juli sampai 15 Juli 2016. Dua rehabilitasi orangutan (Sujoko, 2015). orang asisten lapangan terlatih mengamati Orangutan yang masuk pusat rehabilitasi perilaku harian anak orangutan yang dijadikan sebelum dintroduksi umumnya berasal dari individu focal. Setiap individu diamati selama serahan (captive), penyelamatan (rescue), atau empat jam per hari.Adapun individu-individu yang berasal dari kebun binatang. Interaksi focal dalam penelitian ini adalah dua anak dengan manusia dan kondisi terpisah orangutan yang berumur (± 1,5 tahun) yang menyebabkan perilaku orangutan tersebut masing-masing bernama Otong dan Oka mengalami perubahan. Kemampuan dengan jenis kelamin jantan. Kedua anak beradaptasi dan keterampilan hidup berkurang orangutan ini merupakan orangutan serahan sehingga perlu dikembalikan perilaku dari masyarakat pada 19 Januari 2015. alaminya melalui proses rehabilitasi. Namun, acapkali proses rehabilitasi tidak berjalan Ad libitumsamplingdigunakan untuk karena ketersedian informasi perilaku harian mengidentifikasi perilaku harian anak yang memadai disamping riwayat kesehatan orangutan pada pengamatan awal sebelum individu tersebut. penelitian dilakukan (Wirdateti etal. 2009).Ad libitium sampling digunakan untuk mencatat Di sisi lain, sering ditemukan anak seluruh aktivitas harian orangutan yang dapat orangutan yang ditemukan terpisah dengan diamati. Semua perilaku anak orangutan induknya. Anak orangutan tersebut diserahkan dicatat setelah melakukan setidaknya selama dan dirawat di pusat-pusat rehabilitasi 15 detik, kecuali aktivitas sosial, bermain di orangutan. Namun, berdasarkan hasil tanah, makan, dimana durasi waktu tidak penelitian yang dilakukan oleh Atmojo (2008) diperhatikan (Dellatore, 2007).Perilaku harian dilaporkan bawah perilaku anak orangutan dikelompokan dalam etogram anak orangutan tanpa induknyamengalami perkembangan yang yang mengadopsi definisi yang dikemukan kurang baik. Kemampuan beradaptasi terhadap oleh Atmojo (2008). Perilaku yang termasuk lingkungan dan kemandirian berkurang. dalam standard ini adalah bergerak, makan, Padahal anak orangutan sangat membutuhkan beristirahat, bermain, perilaku sosial, dan perawatan oleh induk dalam waktu yang lama agonistik (Atmojo 2008; Kuncoro etal. 2008) agar mampu beradaptasi dan mandiri (Atmojo, 2008: Santosa etal. 2012). Anak orangutan Focal animal samplingdengan onezero perlu waktu sampai usia tujuh tahun untuk samplingditerapkan pada individu focal dari mandiri tanpa pendampingan dari induknya pagi saat dikeluarkandari kandang sampaikan (Kaplan & Roger, 1994).Oleh karena itu, dengan sore saat dimasukkan kembali ke bagaimana perkembangan perilaku anak kandang (pukul 08.00-17.00). Focal animal orangutan yang berada di pusat rehabilitasi samplingcocok diterapkan untuk pengamatan tanpa perawatan induknya perlu dikaji. Hasil perilaku binatang yang bergerak lambat, monitoring dan evaluasi dapat dimanfaatkan seperti orangutan (Dellatore, 2008; Kuncoro dalam upaya peningkatan perawatan anak etal. 2008). Semua perilaku yang terjadi dalam orangutan sebelum dilepasliarkan. Sehingga kurun waktu tertentu (15 menit) dicatat upaya konservasi ek-situ orangutan dapat (Wirdateti etal. 2009). Pengamatan satu berjalan dengan baik. dengan pengamatan diberikutnya diselingi jeda waktu (Atmojo, 2008) selama 30 menit. Sedangkan perilaku yang tidak masuk dalam etogram akan dicatat sebagai keterangan pelengkap. Periode waktu untuk masing- masing pengamatan juga dicatat. Metode yang

83 digunakan untuk pengoleksian data disetujui analisis statistika deskriptif. Persentase oleh POB. perilaku dihitung dengan persamaan (Atmojo, 2008) : Masing-masing perilaku ditabulasi dan dihitung frekuensinya. Analisis data perilaku harian anak orangutan dilakukan dengan 퐹퐴 푃퐴 = 푥100% 퐹푡표푡푎푙

Keterangan: PA = perilaku A (%);FA = frekuenis perilaku A (%); dan Ftotal = total frekuensi perilaku (%). aktivitas tersebut memiliki persentase >10%. HASIL PENELITIAN Sedangkan perilaku berikutnya Otong dan Oka menunjukan pola yang berbeda. Otong Selama 15 hari pengamatan diperoleh 335 menunjukan perilaku agonistik yang lebih aktivitas yang dilakukan oleh Otong dan Oka. tinggi dibandingkan dengan oka, yaitu 12,87% Kedua anak orangutan tersebut menghabiskan dibandingkan 6,71%. Hampir sepersepuluh hampir separuh aktivitas hariannya untuk aktivitas Otong dan Oka digunakan untuk bergerak. Aktivitas dengan frekuensi tertinggi istirahat. Aktivitas yang paling sedikit adalah berikutnya adalah makan dan bermain. Kedua perilaku sosial (Tabel 1). Tabel 1. Sebaran Aktivitas Harian Anak Orangutan di Pusat Rehabilitasi POB

Perilaku Individu Otong Oka Bergerak 75 (43,86) 75 (45,73) Makan 35 (20,47) 35 (21,34) Perilaku sosial 0 (0,00) 4 (2,44) bermain 22 (12,87) 23 (14,02) Istirahat 17 (9,94) 16 (9,76) Agonistik 22 (12,87) 11 (6,71) 171 (100,00) 164 (100,00) Keterangan: angka dalam kurung menunjukan persentase.

Tabel 2. Sebaran Pola Aktivitas Harian Anak Orangutan di Pusat Rehabilitasi POBBerdasarkan Periode Waktu Pengamatan

Individu Perilaku Periode Pagi Siang Sore Otong Bergerak 31 (18,13) 22 (12,87) 22 (12,87) Makan 20 (11,70) 2 (1,17) 13 (7,60) Perilaku sosial 0 (0,00) 0 (0,00) 0 (0,00) Bermain 19 (11,11) 1 (0,58) 2 (1,17) Istirahat 6 (3,51) 11 (6,43) 0 (0,00) Agonistik 10 (5,85) 7 (4,09) 5 (2,92) 86 (50,29) 43 (25,15) 43 (24,56) Oka Bergerak 30 (18,29) 21 (12,80) 24 (14,63) Makan 24 (14,63) 1 (0,61) 10 (6,10) Perilaku sosial 4 (2,44) 0 (0,00) 0 (0,00) Bermain 19 (11,59) 2 (1,22) 2 (1,22) Istirahat 2 (1,22) 14 (8,54) 0 (0,00) Agonistik 7 (4,27) 2 (1,22) 2 (1,22) 86 (52,44) 40 (24,39) 38 (23,17)

84

Keterangan: angka dalam kurung menunjukan persentase. Pagi (08.00-11.45), siang (13.00-14.45), sore (15.00-17.00).

Kedua anak orangutan aktif pada pagi hari menyebabkan anak orangutan memerlukan selanjutnya menurun pada siang hari dan sore pendampingan. hari (Tabel 2). Aktivitas siang dan sore yang Perilaku anak orangutan usia dua tahun dilakukan oleh kedua anak orangutan memiliki yang dipelihara di pusat rehabilitasi didominasi intensitas identik dalam pengamatan ini. oleh perilaku bergerak (>25%). Aktivitas Separuh aktivitas anak orang utan dilakukan bergerak yang meningkat dikarena pada pagi hari. Bergerak merupakan aktivitas perkembangan otot tangan dan kaki yang dominan yang dilakukan oleh kedua anak makin baik sehingga anak orangutan dapat orang utan pada seluruh periode waktu. Pagi bebas bergerak (Atmojo, 2008). Hal ini sesuai hari digunakan untuk bermain dan makan oleh dengan penelitian-penelitian sebelumnya keduanya (>10%). Sedangkan, siang hari Atmojo (2008), Kuncoro etal. (2009), dihabiskan untuk beristirahat. Aktivitas sore Wirdateti etal. (2009), dan Nikmaturrayan etal. kedua orangutan tersebut adalah makan, (2013) disamping aktivitas bergerak dengan intensitas yang makin menurun. Aktivitas makan Lebih lanjut, semakin aktif bergerak makan menempati proporsi <10% dari total aktivitas anak orangutan memerlukan usapan energi yang dilakukan oleh anak orangutan. yang lebih banyak. Hal ini terbukti pada penelitian ini, aktivitas kedua tertinggi setelah Secara umum, Otong dan Oka menunjukan bergerak adalah makan. Adapun faktor-faktor perilaku harian dengan komposisi masing- yang mempengaruhi perilaku makan anak masing etogram yang sama. Namun, Otong orangutan di pusat rehabilitasi adalah intensitas menunjukan perilaku harian yang lebih aktif aktivitas, ragam dan preferensi makan, dan dibandingkan Oka. Otong cenderung lebih cara pemberian pakan (Atmojo, 2008; Kuncoro agresif dibandingkan dengan Oka (Tabel 1). etal. 2008) dan suhu lingkungan (Wirdateti Perilaku sosial adalah aktivitas yang jarang etal. 2009). Perlakukan pemberian pakan di dilakukan oleh kedua anak orangutan. POB telah ditentukan dan terjadwal. Setiap Aktivitas sosial keduanya dilakukan dengan pagi anak orangutan diberi makan buah dan melakukan interaksi dengan perawat. Selama makan lainnya.Di samping pemberian susu, masa perawatan di pusat rehabilitasi, kedua vitamin dan madu pada pagi hari. Anak anak orangutan dilatih untuk beradaptasi dan orangutan diberi makan tiga kali sehari. berperilaku seperti anak orangutan liar. Kondisi semialami juga memungkinkan anak orangutan untuk melakukan banyak aktivitas, baik bermain dan mencari/mencoba makanan PEMBAHASAN baru. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tiga Anak-anak orangutan yang berusia muda aktivitas utama anak orangutan adalah banyak melakukan aktivitas bermain. Namun, bergerak, makan, dan bermain. Lebih dari tiga kedua orangutan tersebut cenderung bermain perempat waktunya, orangutan digunakan sendiri karena tidak banyak anak orangutan untuk bergerak, makan dan istirahat (Kuncoro yang sebaya yang ada di POB (POB hanya etal. 2009; Siregar, 2015). Ketiga aktivitas memelihara dua anak orangutan). Otong dan tersebut adalah tiga aktivitas utama orangutan Oka bermain dengan menggunakan benda- (Siregar, 2015). Namun, dalam penelitian ini benda di sekitarnya. Hal ini didukung dengan ternyata aktivitas bermain menjadi bagian tiga perilaku sosial kedua anak orangutan yang aktivitas harian anak orangutan. Aktivitas rendah. Perilaku sosial dilakukan dengan bermain yang relatif tinggi pada penelitian ini perawat. disebabkan oleh tipe dan cara pengasuhan yang dilakukan. Menurut Siregar (2015), anak Secara umum, perilaku anak orangutan di orangutan yang dipelihara di pusat rehabilitasi POB mendekati perilaku anakorangutan yang yang diadaptasikan pada sekolah hutan akan dipelihara oleh induknya (Aktivitas bergerak banyak melakukan aktivitas bermain untuk dominan dibandingkan aktivitas yang lain belajar dan mendapat pelatihan dari teknisi. >30%). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kondisi kehilangan induk sejak usia muda yang dilakukan oleh Atmojo (2008), dimana 85 anak orangutan usia dua tahun yang dipelihara Kuncoro etal. (2008); Santosa etal. (2012); oleh perawat memiliki aktivitas bergerak dan Nikmaturrayanetal. (2013). Anak orangutan istirahat cenderung identik. Hal ini, diduga banyak melakukan aktivitas makan, bergerak oleh perbedaan pola pengasuhan dan kondisi dan bermain pada pagi hari. Siang hari banyak lingkungan. POB berada di kawasaan dimanfaatkan untuk istirahat dan kembali semialami yang mendekati dengan habitat asli beraktivitas pada sore hari tetapi dengan orangutan. Kondisi yang masih alami intensitas aktivitas yang rendah dibandingkan membentuk sekolah hutan bagi anak orangutan dengan pagi hari. Pola aktivitas kedua anak untuk segera beradaptasi dan meningkatan orangutan di POB sudah menunjukan perilaku keterampilan hidup. Lokasi yang relatif sepi, alami atau liar anak orangutan. terisolasi, dan minin kunjungan orang asing Pola aktivitas ini diduga dipengaruh oleh meningkatkan proses pembelajaran yang suhu dan kelembaban lingkungan (Atmojo, dilakukan oleh kedua anak orangutan tersebut. 2009; Wirdateti etal. 2009). Lutung, primata Kedua anak orangutan tersebut setelah keluar diurnal banyak beraktivitas pada pagi hari dari kandang akan dibiarkan bebas di sekolah dimana suhunya relatif rendah dan kelembaban hutan dengan sedikit pengawasan. Menurut yang tinggi, di mana pada lokasi penelitian Santosa etal. (2012) keberadaan sekolah hutan suhu dan kelembaban dari pagi, siang dan sore bagi orangutan dapat meningkatkan naluri berturut-turut 19,5 °C (94,1%); 31,9 °C alaminya sebagai primata arboreal. Kontak (56,1%), dan 30,3 °C (54,8%). Suhu yang dengan perawatan dilakukan saat keluar/masuk rendah mendorong primata untuk melakukan kandang, makan dan pemberian vitamin pergerakan dan makan. ataupun perawatan kesehatan. Upaya Konservasi di Pusat Rehabilitasi. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku harian anak orangutan Perawataan bayi orangutan di pusat di pusat rehabilitasi antara lain: usia (Atmojo, rehabilitasi harus mempertimbangkan hal-hal 2008; Santosa etal. 2012),perlakukan yang sebagai berikut: 1) kandang jauh dari tanah; 2) diberikan atau tipe dan cara pengasuhan mampu meraih dan menggapai tali/batang (Atmojo, 2008; Santosa etal. 2012), kondisi dengan cepat dalamn rangka meningkatan kandang dan pengayaannya, serta faktor kemampuan tungkai anak orangutan; 3) lingkungan (Atmojo, 2008; Sujoko, 2015). Di terdapat banyak daun segar untuk dikunyah samping itu, kondisi kandang atau habitat yang dan dimainkan di sekitar kandang; 4) berada di mendekati kondisi asli habitat orangutan luar ruangan; 5) berada di bawah sinar meningkatkan adaptasi anak orangutan dan matahari dan dalam kondisi hujan hampir berperilaku secara alamidan intensitas interaksi setiap hari; 6) diberi selimut saat malam hari; dengan manusia (Sujoko, 2015), riwayat hidup 7) memberikan pelukan; 8) tidak ada orang atau latar belakang yang memuat tentang asal- asing dan tidak ada orang yang memiliki usul dan lama tinggal dengan manusia penyakit flu/paru-paru di sekitar bayi (Santosa etal. 2012; Siregar, 2015). orangutan; dan 9) memilik waktu makan, mandi, dan tidur yang rutin dan teratur Otong memiliki kecenderungan lebih (Horrison, 1998 cit Atmojo, 2008) agresif dibandingan dengan Oka. Agresivitas Otong yang ditunjukan dengan frekuensi Proses rehabilitasi anak orangutan harus agnoistik yang lebih tinggi dibandingkan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dengan Oka kemungkinan disebabkan oleh adaptasi anak orangutan tersebut. Upaya-upaya kondisi Otong saat ini. Otong adalah anak yang dapat dilakukan antara lain: pemberian orangutan dengan kondisi katarak pada pengayaan lingkungan di kandang mendekati matanya. Kondisi ini menyebabkan dia lebih kondisi alami habitat orangutan (Noprianto, mudah mengalami stress.Sujoko (2015) 2004; Sujoko, 2015); penempatan orangutan menjelaskan bahwa perilaku agresif timbul secara sosial dan kondisi kandang yang lebih karena pengalaman masa lalu dan kondisi luas tetapi tetap memperhatikan tingkat lingkungan saat ini. kepadatan kandang (Siregar, 2015; Sujoko, 2015); proses rehabilitasi tidak boleh >5 tahun Anak orangutan banyak melakukan (Sujoko, 2015). aktivitas pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Atmojo (2008);

86 Adapun kriteria keberhasilan adaptasi Atmojo, I.R.W. 2008. Perilaku Anak orangutan ditandai dengan: 1) orangutan sudah Orangutan (Pongo pygmaeus mengenal banyak pakan hutan (minimal 25 jenis); 2) mampu membangun sarang; 3) pygmaeus) di Pusat Primata menghabiskan waktunya di pohon dan mampu Schmutzer, taman Margasatwa memanjat pohon dengan baik; 4) tidak menyukai kontak dengan manusia; 5) Ragunan dan Taman Safari menunjukan aktivitas makan yang tinggi; dan Indonesia. Tesis yang tidak 6) mampu berkembang biak (Santoso etal. 2012); 7) berinteraksi dengan individu dipublikasikan. Bogor: SPS IPB. orangutan lain; 8) memiliki naluri dalam Dellatore, D.F. 2007. Behavioural Health of kondisi berbahaya dan menghindarinya (Siregar, 2015) Reintroducted Orangutans (Pongo abelii) in Bukit Lawang, Sumatra- SIMPULAN DAN SARAN Indonesia. Unpublished Thesis.

Simpulan Oxford: Oxford Brookes University. Perilaku harian anak orangutan di POB menunjukan perkembangan perilaku anak Harrison, B. 1960. A Study of Orang-utan orangutan liar yang ditunjukan dengan tiga Behaviour in Semi-Wild State. The aktivitas dominan dan tingkat agresivitas. Anak orangutan banyak melakukan aktivitas Sarawak Museum Journal,9: 422- bergerak, makan, dan bermain Ketiga aktivitas 477. tersebut banyak dilakukan pada pagi hari dan menurun pada siang hari dan meningkat pada Kaplan, G.T., Rogers, L.J. 1994. Orang-utan sore harinya. Istirahat dominan dilakukan ada in Borneo. New England: siang hari. Umur, riwayat hidup, serta tipe dan cara pengasuhan merupakan faktor dominan University of New England Pr yang mempengaruhi perilaku harian anak Kuncoro, P., Sudaryanto, Yuni, L.P.E.K. 2008. orangutan. Pengadan sekolah hutan untuk anak orangutan dapat meningkatan keberhasilan Perilaku dan Jenis Pakan Orangutan proses rehabilitasi. Kalimantan (Pongo pygmaeus

Saran Linnaeus, 1760) di Kalimantan. Jurnal Biologi, 11(2): 64-69. Penelitian lebih lanjut tentang perilaku harian anak orangutan dengan metode yang Nikmaturrayan, Widyastuti, S.K., Soma, I.G. lebih komprehensif harus dilaksanakan 2013. Aktivitas Harian Orangutan (continaous/instantenous sampling) sehingga diperoleh data lama perilaku yang dilakukan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di individu focal. Bali Safari and Marine Park, Gianyar. Indonesia Medicus UCAPAN TERIMA KASIH Veterinus, 2(5): 496-503. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Noprianto, A. 2004. Kajian Pengelolaan Orang Eman Suparman (Direktur POB) yang telah Utan (Pongo pygmaeus pygmaeus, membantu dan memberikan fasilitas selama penelitian ini berlangsung. L) di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Skripsi yang tidak DAFTAR PUSTAKA dipublikasikan. Bogor: Fahutan IPB.

87 Russon, A. 2009. Orangutan. Current Biology, 19(20): R925-927. Santosa, Y., Siregar J.P., Rinaldi, D., Rahman, D.E. 2012. Faktor-faktor Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 17(3): 186-191. Siregar, J.P. 2015. Tingkat Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera Ex-captive di Pusat reintroduksi Orangutan Sumatera Provinsi Jambi. Tesis yang tidak dipublikasikan. Bogor: SPS IPB. Sujoko, H. 2015. Evaluasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) Jantan di Pusat Rehabilitasi dan Habitatnya. Disertasi yang tidak dipublikasikan. Bogor: SPS IPB. Wirdateti, Pratiwi, A.N., Diapari, D., Tjakradidjaja, A.S. 2009. Perilaku Harian Lutung (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di Pengakaran Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi-Bogor. Zoo Indonesia, 18(1): 33-40.

88 Programa Penyuluhan Kehutanan pada Pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Desa PattallikangKecamatan ManujuKabupaten Gowa

(ForestryExtension Program Development People's Garden Seeds (KBR)on Pattallikang village of Manuju District )

Nurhikmah1, Asar Said Mahbub2, Mas’ud Junus2

Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

1. Mahasiswa Fakultas KehutananUniversitas Hasanuddin, Makassar, [email protected] 2. Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

Gowa District is a district that has organized the construction of People's Garden Seeds (KBR) precise in Pattallikang village. KBR is a nursery run by community groups consisting of men and women through the production of seedlings of various forest plants and/or multipurpose tree species (MPTS) whose funding may come from government funds. One of the efforts being made to support the successful development of KBR is an activity of forestry extension, due to the presence of public forestry extension expected program forestry extension is performed based on the problems identified in the community empowerment program on the basis of criteria and indicators of autonomy is out, willing and able to manage forest resources.This research aims assess problems in strengthening the community forestry program composing extension based on the problems identified from community empowerment, and monitoring and forestry extension program based on the evaluation plan.This research was conducted in November -December 2015, the people Pattallikang Manuju District of Gowa the were collected and analyzed descriptively thus obtained a description of the problems experienced by members of farmers' groups in the community empowerment. Scoring results showedThe empowerment of communities in the village Pattallikang quite successful results skoring 1,84. However, there are still problems that face farmers' groups in strengthening the community, including:institutional, training, capacity building, partnership and monitoring, evaluation and development of community empowerment iswhy counseling program organized by stages: formulation of state, goal setting, problem determination, planning monitoring and evaluation (M & E) and Improvement (revised).

Keywords: KBR, Community development, Forestry extension.

I. Pendahuluan program pemberdayaan masyarakat dengan berpedoman pada kriteria dan indikator Kebun Bibit Rakyat (KBR) adalah pemberdayaan masyarakat, karena itu kebun bibit yang dikelola oleh kelompok penyuluhan kehutanan harus didukung oleh masyarakat yang beranggotakan baik laki-laki perencanaan penyuluhan yang mantap dan maupun perempuan melalui pembuatan bibit berkesinambungan. berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman Untuk menunjang keberhasilan serbaguna (MPTS) yang pembiayaannya pembangunan KBR di Kabupaten Gowa dan bersumber dari dana pemerintah (Departemen memudahkan pelaksanaan kegiatan Kehutanan, 2014). Salah satu upaya yang Penyuluhan Kehutanan, maka perlu disusun dilakukan untuk menunjang keberhasilan suatu model programa penyuluhan kehutanan pembangunan KBR adalah kegiatan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. penyuluhan kehutanan. Melalui Penyuluhan Sasaran utama dari programa tersebut adalah kehutanan diharapkan masyarakat akan tahu, kelompok tani pelaksana KBR. mau dan mampu untuk mengelola sumberdaya hutan. Penyuluhan kehutanan dibuat berdasarkan masalah yang ditemukan pada

89 II. Metode Penelitian IV. Hasil dan Pembahasan

A. Waktu dan Tempat Penelitian A. Keragaan Kebun Bibit Rakyat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Kabupaten Gowa merupakan salah satu November2015 sampai bulan Desember 2015 kabupaten di Sulawesi Selatan yang telah di lokasi pembangunan Kebun Bibit Rakyat melaksanakan pembangunan KBR sejak tahun (KBR) Desa Pattallikang KecamatanManuju 2013. Pembangunan KBR ini menyebar ke Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. beberapa desa dan kecamatan. Salah satu desa yang ditetapkan sebagai lokasi pengembangan B. Metode Pengumpulan Data KBR adalah Desa Pattallikang tepatnya di Pengumpulan data dilakukan dengan Dusun Kananga.Berdasarkan Surat Perjanjian melakukan wawancara secara Kerjasama Nomor : 013/SPKS/GW- terbuka,observasi serta kuisioner.Pengumpulan 3/2014tentang Pembuatan KBR maka data dilakukan melalui wawancara dan diskusi ditetapkan persemaian seluas 10 are menjadi dengan menanyakan hal-hal yang terkait 8 areal pembangunan KBR. Jenis tanaman yang kriteria dan indikator pemberdayaan ditanam ada dua yaitu gmelina dan mahoni masyarakat. Data pemberdayaan masyarakat dengan target minimal 25.000 batang, gmelina yang dikumpulkan didasarkan pada petunjuk berjumlah 20.000 batang dan mahoni pemberdayaan masyarakat yang dikeluarkan berjumlah 5.000 batang. oleh Departemen Kehutanan kemudian Jumlah anggota kelompok tani KBR dimodifikasi dan diadaptasikan sesuai dengan adalah 25 orang yang dibagi menjadi tiga tim, situasi dan kondisi yang ada dilapangan. Data yaitu tim perencana, tim pelaksana dan tim tersebut meliputi (Departemen Kehutanan, pengawas. 2007) : Salah satu potensi yang dimiliki oleh 1. Kesepakatan terbangun di masyarakat kelompok tani Tuni Sayang adalah umur 2. Upaya membangun/mengembangkan anggota kelompok tani Tuni Sayang yang kelembagaan tingkat desa berusia antara 29 tahun hingga 61 tahun. Rata- 3. Fasilitator/pendamping rata usia ini tergolong usia produktif jika 4. Pelatihan pada masyarakat pelaksana didasarkan pada angka usia produktif angkatan kegiatan kerja yang dikeluarkan oleh Badan Statistik 5. Pelaksanaan kegiatan KBR Nasional yaitu 15-65 tahun. Sedangkan jumlah 6. Peningkatan kapasitas Sumber Daya tanggungan mulai dari 2 sampai 7 orang Manusia (SDM) dengan rata-rata 4 orang. Jika merujuk kepada 7. Kemitraan konsep catur warga (jumlah keluarga 4 orang), 8. Monitoring,evaluasi dan pembinaan maka anggota kelompok tani merupakan catur pengembangan kegiatan pemberdayaan warga. masyarakat Penilaian berhasil dan tidaknya C. Keragaan Penyuluh Kehutanan kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat Penyuluh kehutanan di Kabupaten Gowa dilakukan dengan cara sederhana yaitu masih bergabungdengan Dinas Kehutanan menjumlahkan nilai dari setiap kriteria, sebagai instansi induk meskipun sebelumnya kemudian dibagi dengan jumlah seluruh pernah terpisah. kriteria yang ada. Kriteria yang digunakan Jumlah penyuluh kehutanan di meliputi tiga tingkatan yaitu : nilai <1 (kurang Kabupaten Gowa sebanyak 22 orang. Penyuluh berhasil), nilai 1 – 2 (cukup berhasil) dan nilai tersebut ditempatkan di beberapa kecamatan, > 2 (berhasil). yakni 9 kecamatan yang berada di dataran Selanjutnya hasil skoring yang tinggi dan 2 kecamatan di dataran rendah. menunjukkan kriteria kurang berhasil Semua penyuluh di Kabupaten Gowa adalah dibuatkan Programa Penyuluhan Kahutanan Pegawai Negeri Sipil dengan status fungsional. dengan langkah-langkah:perumusan keadaan, Untuk pembangunan KBR di Desa penetapan tujuan, penetapan masalah, Pattallikang, penyuluh yang ditugaskan hanya penyusunan rencana monitoring dan evaluasi satu orang karena keterbatasan jumlah (Monev) serta Penyempurnaan (Revisi). penyuluh kehutanan di Kabupaten Gowa. Hal ini merupakan masalah serius mengingat pentingnya keberadaan penyuluh kehutanan

90 yang merupakan ujung tombak dalam Sewilayah Kerja BPDAS Jeneberang Walanae. pembangunan kehutanan dilapangan.Selain Masyarakat dan pendamping telah menjadi fasilitator, penyuluh juga dituntut berkoordinasi dengan baik dan aktif bersama untuk mampu menjadi motivator yang masyarakat, hal ini dikarenakan intensitas senantiasa membuat petani tahu, mau dan kunjungan ke masyarakat/kelompok intensif mampu. sehingga anggota kelompok tani semuanya mengenal pendamping ataupun penyuluh. D. Problematika Pembangunan Hutan Meskipun kesepahaman dan Kemasyarakatan pendamping sudah jelas, namun ada beberapa Berdasarkan tabel kriteria dan indikator masalah lain yang dihadapi, yaitu tidak adanya pemberdayaan masyarakat serta hasil skoring pelatihan tentang PRA (pemahaman desa yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan dengan metode partisipatif) yang dilakukan bahwa pemberdayaan masyarakat pada untuk tokoh masyarakat sebagai pemandu dan pembangunan KBR di Desa Pattalikang cukup tidak ada kunjungan ke lokasi KBR lain yang berhasil dengan hasil skoring 1,81. telah berhasil sebagai pembanding. Selain itu, Kesepahaman mengenai fungsi dan tidak adanya pelaksanaan penyusunan manfaat KBR sudah terjalin, baik antara perencanaan oleh masyarakat. Rencana Umum masyarakat sebagai kelompok tani maupun Kelompok (RUK) merupakan salah satu dengan stakeholder terkait. Stakeholder aktif dokumen penting kelompok,saat ini kelompok mengikuti pertemuan dan telah berpartisipasi tani sudah memiliki yaitu dibuktikan dengan aktif dalam pengelolaan KBR. Begitu pula adanya RUKK, namun mereka belum terlibat dengan administrasi dan dokumentasi kegiatan dalam penyusunan. kelompok yang terlaksana dengan baik. Masalah lainnya adalah peningkatan Sementara itu, pelaksanaan sosialisai tentang kapasitas masyarakat yang belum baik karena fungsi dan manfaat KBR juga sudah berjalan tidak adanya pelatihan substansi meskipun sosialisasi ini masih minim pengembangan keterampilan sesuai dengan dilakukan, pelaksanaan sosialisasi itu sendiri kebutuhan masyarakat. Begitu pula dengan dihadiri oleh masyarakat, baik masyarakat pelatihan lain yang mendukung kegiatan yang bukan anggota dari kelompok tani yang pemberdayaan masyarakat juga belum ada. dibuktikan dengan adanya laporan dan Pada kriteria kemitraan, masyarakat belum dokumentasi. memiliki mitra untuk kepentingan kegiatan Selain kesepahaman yang sudah terjalin, pemberdayaan masyarakat. Hal ini kelembagaan masyarakat juga sudah terbentuk. dikarenakan KBR merupakan program yang Kelompok dibentuk oleh Kepala Desa tergolong masih baru sehingga masyarakat Pattalikang sebagai pengarah dalam setiap belum mampu untuk mencari mitra. pengambilan keputusan kelompok tani. Kegiatan terakhir dalam suatu Struktur dan uraian tugas kepengurusan juga pemberdayaan adalah monitoring dan evaluasi sudah jelas, mulai dari ketua kelompok, untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan sekretaris, bendahara, serta masing-masing program serta mengatasi masalah yang timbul tim, namun anggota kelompok belum dalam pelaksanaan jika ada. Namun dalam memahami tugasnya masing-masing. Menurut kegiatan KBR di Desa Pattallikang belum ada Bapak Jamaluddin yang merupakan anggota monitoring, evaluasi, dan pembinaan kelompok tani, tidak mengetahui seksi yang pengembangan kegiatan pemberdayaan ditempatinya. Masalah lain dari segi masyarakat kelembagaan adalah masyarakat belum memiliki AD/ART serta aturan lain sebagai E. Rancangan Programa Penyuluhan penunjang keberhasilan kelembagaan. 1. Perumusan Keadaan Pendamping kegiatan berasal dari Balai Perumusan keadaan adalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) penggambaran fakta berupa data dan informasi Jeneberang Walanae yang telah berkoordinasi yang disusun berdasarkan kriteria dan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan indikator pemberdayaan yang telah disusun. Kabupaten Gowa dan ada juga pendamping Berdasarkan hasil penelitian dilapangan lokal. Sebelum melakukan pendampingan, menunjukkan bahwa terdapat dua fakta pendamping telah mengikuti kegitan umumyang harus dibenahi pada kelompok tani pembekalan bagi Penyuluh Lapangan RHL yakni kelembagaan dan administrasi, serta

91 sumber daya manusia (SDM). Dari segi Masalah lain yang penting adalah belum kelembagaan, masyarakat belum memiliki adanya kegiatan pelatihan PRA (Participatory aturan dalam kelompok yaitu AD/ART, karena Rural Apprasial)atau pemahaman desa melalui itu kegiatan berjalan dengan mengikuti aturan metode partisipatif. Untuk melakukan PRA main yang disepakati untuk mencapai tujuan dibutuhkan keterampilan khusus, utamanya bersama demi keberhasilan pembangunan bagi pemandu masyarakat untuk melakukan KBR. Sedangkan dalam hal administrasi kegiatan ini. Pelatihan tersebut belum kelompok juga belum terlaksana dengan baik. terlaksana, karena itu masyarakat belum Salah satu bukti adalah tidak adanya daftar dilibatkan dalam penyusunan Rencana Umum nama-nama anggota yang telah mengambil Kelompok (RUK) yang biasanya menjadi bibit hasil KBR. dasar dalam penyusunan Rencana Defenitif Sementara itupelatihan pada masyarakat Kelompok (RDK) dan selanjutnya dijadikan pelaksana kegiatan, pelaksanaan kegiatan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok KBR, peningkatan kapasitas sumber daya (RDKK). Selain itu belum adanya profil manusia (SDM), membangun kemitraan, anggota kelompok tani dengan data yang monitoring dan evaluasi, serta pembinaan akurat dan jelas. pengembangan pemberdayaan masyarakat Berdasarkan masalah tersebut belum disusun rencananya. pemahaman melalui penyuluhan tentang arti Darisegipendamping kelompok sudah pentingnya PRA bagi pemandu perlu jelas dan jumlahnya cukup. Pendamping dilakukan. Sasaran utama yang hendak dicapai mampu menjadi fasiliator, motivator, dan adalah agar pemandu dapat tahu, mau, dan dinamisator bagi masyarakat. Secara umum mampu untuk melaksanakan kegiatan PRA, pelaksanaan kegiatan pemberdayaan terutama dalam menyusun dokumen masyarakat cukup berhasil, meskipun masih RUK.Selain itu masyarakat juga belum ada beberapa program yang harus dibenahi. memiliki mitra yang dapat menunjang kegiatan pemberdayaan masyarakat.Penyuluhan 2. Penetapan Tujuan dibutuhkan agar mereka mau dan mampu Penetapan tujuan adalah keadaan yang mengorganisasikan dirinya dan menjalin mitra. hendak dicapai dalam kegiatan penyuluhan Keberhasilan pelaksanaan suatu program dalam jangka waktu satu tahun. Tujuan utama dapat dilihat dengan adanya kegiatan yang hendak dicapai dalam hal ini adalah monitoring. Kegiatan monitoring dimaksudkan terjadinya perubahan pengetahuan, sikap dan untuk mengetahui masalah yang dihadapi keterampilan anggota kelompok tani dalam dalam pelaksanaan program mulai preparasi mengelola KBR. sampai realisasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan monitoring belum terlaksana. 3. Penetapan Masalah Karena itulah diperlukan penyuluhan untuk Berdasarkan hasil kajian yang memberi pemahaman kepada masyarakat arti terangkum disimpulkan bahwa dalam masalah pentingnya monitoring dan evaluasi sebagai kelembagaan, kelompok tani belum memiliki bahan pengembangan kegiatan pemberdayan AD/ART serta aturan lain yang berhubungan masyarakat pada program KBR selanjutnya. dengan kegiatan KBR. Anggota kelompok tani hanya mengikuti aturan main yang yang telah 4. Penyusunan Rencana Kegiatan disepakati. Begitu pula dengan peran mereka Penyuluhan dalam struktur organisasi KBR, mereka belum Rencana kegiatan penyuluhan memahami peran mereka masing-masing. menggambarkan berbagai kegiatan/metode Karena itu kegiatan KBR belum berjalan penyuluhan yang dipandang tepat untuk sebagaimana mestinya.Kegiatan penyuluhan mentransformasi terjadinya perubahan sangat diperlukan untuk mengubah pengetahuan, wawasan, sikap dan keterampilan pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota untuk mencapai tujuan yang kelompok tani dalam masalah kelembagaan. diharapkan.Rencana kegiatan disusun dalam bentuk tabel yang tersaji sebagai berikut:

92

Tabel 1. Matriks programa penyuluhan kehutanan untuk pembangunan KBR di Desa Pattallikang Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa Tahun 2016 Kegiatan Penyuluhan No Program Tujuan Masalah Sasaran Kegiatan/ Sumber Materi Vol Lokasi Waktu PJ Pelaksana Metode Biaya Agar Pentingnya masyarakat Masyarakat pengetahuan Ketua memiliki belum Rumah Anggota mengenai Ceramah, kelompo pengetahuan, memiliki anggota Penyuluh 1 Kelembagaan kelompok kelembagaan diskusi 3x 2016 Swadaya k tani sikap dan AD/ART kelompo Kehutanan tani dan terfokus Tuni keterampilan serta aturan k tani pemahaman Sayang dalam bidang lain peraturan kelembagaan Tidak Ceramah, Ketua Pemandu adanya Pemandu Penyuluh studi kelompo Pelatihan PRA memiliki pelatihan kegiatan Lokasi Kehutanan 2 Metode PRA lapangan, 3x 2016 Swadaya k tani Bagi Pemandu keterampilan tentang PRA pembangu KBR dan Instansi tindak Tuni PRA untuk nan KBR terkait langsung Sayang pemandu

Masyarakat Ketua Masyarakat mampu Ceramah kelompo Penyuluh Penyusunan belum Anggota Penyusunan menyusun dan Lokasi k tani Kehutanan Perencanaan terlibat kelompok RDK dan 3x 2016 Swadaya RDK dan tindak KBR Tuni dan Instansi 3 dalam tani RDKK RDKK langsung Sayang terkait penyusunan

RDK dan

RDKK Peningkatan Tidak Pemeliharaan Swadaya Ketua Diskusi Penyuluh Peningkatan kapasitas adanya Anggota bibit dan kelompo terfokus Lokasi Kehutanan 4 Kapasitas masyarakat pelatihan kelompok sertaPenangg 2x 2016 sumber k tani dan studi KBR dan Instansi Masyarakat dalam substansi tani ulangan lain yang Tuni lapangan terkait pengelolaan pengembang Hama dan tidak Sayang

93 Kegiatan Penyuluhan No Program Tujuan Masalah Sasaran Kegiatan/ Sumber Materi Vol Lokasi Waktu PJ Pelaksana Metode Biaya KBR an kapasitas Penyakit mengikat sesuai Tanaman dengan kebutuhan masyarakat Adanya Ketua Masyarakat Penyuluh jejaring kerja Anggota kelompo belum Membuat Lokasi Kehutanan 5 Kemitraan dan bantuan kelompok Ceramah 1x 2016 Swadaya k tani memiliki jejaring kerja KBR dan Instansi pengembanga tani Tuni mitra terkait n KBR Sayang Monitoring, Adanya Penyusunan Evaluasi serta monev yang Ketua Monev Penyusunan Penyuluh Pembinaan terprogram Anggota Ceramah, kelompo belum ada Monev dan Lokasi Kehutanan 6 Pengembanga serta solusi kelompok diskusi 2x 2016 Swadaya k tani yang problem KBR dan Instansi n bagi setiap tani terfokus Tuni terencana solving terkait Pemberdayaan masalah yang Sayang dengan baik Masyarakat ditemukan

Ragam metode penyuluhan yang digunakan dalam kajian ini didasarkan Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi pelaksanaan penyuluhan kehutanan pada pertimbangan:dapat mengembangkan kemandirian kelompok tani terhadap efektifitas, efisiensi dan produktifitas penyuluhan. Oleh karena itu KBR, dapat menjangkau sasaran (jumlah, waktu, dan mutu), mudah maka disusunlah rencana monitoring dan evaluasi terhadap programa diterima dan dimengerti, menggunakan fasilitas dan media secara efektif penyuluhan kehutanan di Desa Pattallikang Kecamatan Manuju sebagai serta efisien. berikut:

5. Penyusunan Rencana Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi merupakan bagian dari pengendalian penyuluhan kehutanan. Kegiatan yang dimonitor meliputi : pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan, dan realisasi. Kegiatan monitoring dilakukan secara rutin setiap bulan triwulan, per semester dan tahunan.

94 Tabel 2. Rencana Monitoring dan Evaluasi penyuluhan kehutanan pada kegiatan KBR di Desa Pattallikang Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa Tahun 2016 Hasil Yang Waktu Pelaksanaan (Bulan) Pencapaian No. Tujuan Realisasi Kendala Diharapkan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 (%) Agar masyarakat Masyarakat memiliki memiliki pengetahuan, pengetahuan 1 sikap dan mengenai √ √ √ √ keterampilan kelembagaan dalam bidang dan pemahaman kelembagaan peraturan Agar pemandu Pemandu memiliki memiliki 2 keterampilan keterampilan √ √ √ √ PRA PRA Masyarakat mampu Tersedianya 3 menyusun RKK RKK dan RDKK √ √ √ √ dan RDKK

Peningkatan Masyarakat keterampilan memiliki 4 masyarakat keterampilan √ √ √ dalam mengelola dalam mengelola KBR KBR Masyarakat memiliki mitra Adanya jejaring dan jejaring kerja (mitra) dan kerja serta 5 bantuan mendapatkan √ √ pengembangan bantuan KBR pengembangan KBR

95 Masyarakat dapat membuat Adanya Monev monev secara yang terprogram 6 terencana dan serta solusi jika √ √ √ √ memecahkan terdapat masalah masalah yang timbul

Monitoring dilakukan dengan melihat target pelaksanaan kegiatan penyuluhan berdasarkan alokasi waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya B. Saran-saran menghitung realisasi kegiatan yang sudah dilaksanakan, hasil pencapaian kemudian ditentukan dalam bentuk persen (%), selisih antara target dan 1. Administrasi kelompok tani perlu dibenahi dengan baik utamanya realisasi itulah yang kemudian ditentukan sebagai kendala yang AD/ART. Selain itu, untuk menunjang tertibnya pelaksanaan KBR selanjutnya dijadikan dasar untuk melaksanakan kegiatan evaluasi, apakah diperlukan adanya tata tertib kelompok, kemitraan, serta monitoring suatu program akan diteruskan, atau direvisi, atau bahkan diganti sama dan evaluasi yang dilakukan secara berkala. sekali. 2. Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kelompok tani seperti pelatihan PRA, pembuatan persemaian, serta pelatihan V. Kesimpulan dan Saran penunjang lainnya perlu ditingkatkan. Daftar Pustaka A. Kesimpulan Departemen Kehutanan. 2007. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan 1. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat kelompok tani KBR di dan Konservasi Alam tentang Pedoman Kriteria dan Indikator Desa Pattallikang dalam pemberdayaan masyarakat berkisar pada tata Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi. tertib administrasi kelompok, belum adanya mitra serta belum adanya .2014. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan pembuatan instrumen monitoring dan evaluasi. Kehutanan Republik Indonesia No.P.94/Menhut-II/2014 tentang 2. Programa penyuluhan kehutanan disusun untuk menjawab Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat. permasalahan dengan menggunakan metode ceramah, studi lapangan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 2014. Surat Perjanjian Kerjasama tindak langsung dan diskusi terfokus. No.013/SPK/GW-3/2014 tentang Pembuatan Kebun Bibit 3. Monitoring dan evaluasi disusun untuk memantau programa Rakyatantara Pejabat Pembuat Komitmen Pembuatan Kebun penyuluhan, mulai dari preparasi kegiatan, pelaksanaan hingga Bibit Rakyat Kabupaten Gowa dengan Ketua Kelompok Tani evaluasi untuk memastikan terlaksananya kegiatan penyuluhan Tuni Sayang Desa Pattallikang Kecamatan Manuju Kabupaten kehutanan sesuai rencana atau tidak. Gowa.

96 Rancangan Program Pemberdayaan Masyarakat pada Hutan Desa Campaga Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng (Design of Community Empowerment Program on Campaga VillageForest of Tompobulu District )

Kitabullah1, Supratman2, Asar Said Mahbub2

Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

1. Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar, [email protected]

2. Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

Campaga Forest as the main village forest as its width of 23.68 ha is a forest occupied by varying potencies such as pangi, honey, environmental services as a touring site and water source, and a group of animals such as Punggul Kuning, Cucuk Kutilang, Perut Kuning and hornbill. However, there has not been the design of community empowerment program arranged for the Campaga Village Forest therefore the research conducted on October - November 2016 was focused on arranging the community empowerment program planning which was initially processed through a set of stages of problems identification for each aspect of community empowerment such as policy, socio-economic, institutional, human resources, and forest resources, and the data obtained were analyzed descriptively using the principles that the society served not only as the object of the forest development activities but also as the subject of the program itself. Based on the purpose of this research, it was concluded that the condition existed in the fifth aspects of empowerment to have been identified was the lack of roles and synergies of the parties as well as the limited capitals to become the vital constraints in the process of potential development of Campaga Village Forest particularly on the ecotourism arrangement that caused low income society and increase of proverty, in which the design of empowerment needed in managing Campaga Village Forest was on improving the roles of society by the government or the stakeholders started from planning to controlling the policymaking process, establishing mentoring system to BUMas (Badan Usaha Masyarakat) on the improvement of innovation and working performances, and structuring the potentials of forest resources as ecotourism destinations of society based.

Keywords : Village Forest, Design, Society Empowerment, Aspect of Empowerment.

Pendahuluan setempat secara berkelanjutan (Supratman dan Alif, 2010). Program Hutan Desa merupakan salah Salah satu upaya yang dilakukan satu bentuk devolusi pengelolaan hutan yang pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dilakukan oleh pemerintah demi terwujudnya masyarakat adalah dilakukannya program pengelolaan hutan secara lestari dan pemberdayaan pada masyarakat yang ada di berkelanjutan. Hutan Desa pada prinsipnya sekitar Hutan Desa. Noor (2011) menyatakan adalah hutan negara yang dikelola oleh bahwa pemberdayaan masyarakat sengaja masyarakat dalam organisasi administratif dilakukan pemerintah untuk memfasilitasi pedesaan yang dimanfaatkan untuk masyarakat dalam merencanakan, memutuskan kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri. dan mengelola sumberdaya yang dimiliki Artinya, Hutan Desa itu bermaksud untuk sehingga pada akhirnya mereka memiliki memberikan akses kepada masyarakat setempat kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, melalui kelembagaan desa dalam memanfaatkan ekologi dan sosial secara berkelanjutan. Suharto sumberdaya hutan secara lestari dengan harapan (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat aspek dalam pemberdayaan masyarakat antara lain aspek aksesibilitas, sosial budaya, ekonomi

97 dan pilitik. Disisi lain Widjajanti (2011) masyarakat yang tergabung dalam kelompok menjelaskan bahwa modal sosial, modal tani Hutan Desa yang terdiri atas 2 kelompok manusia, modal fisik dan kemampuan pelaku tani hutan dengan jumlah keseluruhan 30 pemberdaya masyarakat merupakan faktor anggota. Menurut Sugiyono (2008) jumlah penting dalam proses pemberdayaan sampling purposive sebaiknya antara 10% masyarakat. hingga 30%, kalau populasi yang akan diambil Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu sampelnya memiliki keragaman yang rendah. kabupaten yang melaksanakan kegiatan Hutan Desa. Berdasarkan surat Keputusan Menteri C. Teknik Pengumpulan Data Kehutanan No.55/Menhut-II/2010 tanggal 21 Teknik pengumpulan data yang akan Januari tahun 2010, Hutan Desa di Kabupaten digunakan dalam penelitian ini meliputi: Bantaeng ditetapkan seluas 704 ha. Tahap awal 1. Data Primer program diimplementasikan pada tiga lokasi di Pengumpulan data dilakukan melalui Kecamatan Tompobulu yaitu Desa Labbo wawancara dan diskusi dengan kelompok tani seluas 342 ha, Desa Pattaneteang seluas 339 ha beserta lembaga formal maupun nonformal dan Kelurahan Campaga seluas 23,68 ha. menggunakan daftar pedoman wawancara yang Kawasan hutan yang dijadikan Hutan Desa telah disiapkan. Data yang dikumpulkan antara merupakan kawasan hutan dengan fungsi lain: lindung. Ketiga Hutan Desa tersebut memiliki a. Identitas responden, meliputi: nama, umur, karakteristik potensi dan sumberdaya yang jenis kelamin, agama dan pekerjaan. berbeda, khususnya Hutan Desa Campaga b. Variabel yang akan diteliti didasarkan (Supratman dan Alif, 2010). pada pedoman pemberdayaan masyarakat di Program pelatihan terkait peningkatan dalam dan disekitar hutan. Variabel tersebut kesejahteraan masyarakat dalam mengelola adalah kebijakan, sosial ekonomi, Hutan Desa sebenarnya telah dilakukan oleh kelembagaan, sumberdaya manusia dan beberapa pihak. Namun seiring dengan sumberdaya hutan. Pada tahap awal masing- berjalannya waktu, tidak ada tindak lanjut dari masing variabel akan dikaji sebagaimana situasi berbagai program pelatihan tersebut. Oleh dan kondisinya saat ini serta konsekuensi yang karena itu, dibutuhkan program pemberdayaan ditimbulkannya. Setelah itu dibuatkanlah masyarakat yang berkelanjutan yang skenario/rencana pemberdayaan masyarakat. diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. 2. Data Sekunder Metode Penelitian Data sekunder adalah data penunjang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait, A. Waktu dan Tempat Penelitian baik lembaga formal maupun nonformal yang Penelitian ini dilaksanakan pada bulan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Oktober hingga November 2016 di Kelurahan Data yang akan dikumpulkan adalah keadaan Campaga, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten umum lokasi penelitian dan dokumen-dokumen Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. perencanaan dan pelaksanaan yang berkaitan B. Populasi dan Sampel dengan kegiatan pengelolaan Hutan Desa. Adapun objek dalam penelitian ini terdiri atas lurah, tokoh masyarakat, masyarakat, D. Metode Analisis Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai Data yang telah diperoleh kemudian lembaga nonformal dan lembaga formal (Dinas ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis secara Kehutanan Kabupaten Bantaeng, Fasilitator deskriptif. Pendekatan yang dilakukan dalam Kecamatan). Pemilihan masyarakat kelurahan merancang pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara purposive sampling didasarkan pada prinsip: masyarakat tidak dengan kriteria masyarakat tersebut merupakan dijadikan obyek dari kegiatan pembangunan masyarakat yang tergabung dalam kelompok Hutan Desa tetapi merupakan subyek dari tani Hutan Desa, sedangkan instansi pemerintah pembangunannya sendiri. Karena itulah data- sebagai lembaga formal adalah yang terkait data yang dihasilkan nanti akan dijadikan langsung dengan kegiatan pemberdayaan sebagai acuan dasar dalam merancang program masyarakat desa hutan. Jumlah responden yang pemberdayaan masyarakat. Pada tahap akhir akan dikumpulkan adalah 30% dari jumlah total dibuat matriks perencanaan pemberdayaan

98 masyarakat, rencana monitoring dan rencana lingkungan. Disisi lain, aturan dalam mengelola evaluasinya. hutan desa belum diketahui sepenuhnya oleh masyarakat. Jika hal tersebut tidak segera Hasil dan Pembahasan diantisipasi, maka dapat menimbulkan kesalapahaman terhadap lembaga yang A. Identifikasi Aspek-aspek Pemberdayaan memfasilitasi dalam mengelola Hutan Desa. Masyarakat b. Tingginya Ketergantungan Masyarakat Masyarakat Kelurahan Campaga sejauh ini terhadap Program Pemerintah belum memanfaatkan komoditi-komoditi yang Masyarakat pada umumnya sangat terdapat di dalam Hutan Desa Campaga bergantung pada program-program pemerintah meskipun sudah ada BUMas (Badan Usaha dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Masyarakat) Babang Tangayya yang menaungi Masyarakat memang sepenuhnya tidak diikut kelompok tani hutan yang terdapat Kelurahan sertakan dalam proses awal penyusunan Campaga. Terdapat dua Kelompok Tani Hutan program. Masyarakat hanya menunggu (KTH)yang ada di Kelurahan Campaga yaitu program-program yang dilakukan oleh instansi KTH Cempaka indah yang beranggotakan 15 terkait. Kondisi tersebut menyebabkan orang dan KTH Pemungut Pangi yang masyarakat sekitar Hutan Desa Campaga beranggotakan 15 orang. Anggota kelompok menjadi pasif dan tidak mandiri. tani hutan sudah sering mengikuti pelatihan c. Insentif Daerah Hulu-Hilir yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kondisi masyarakat sekitar Hutan Desa maupun LSM yang memiliki peran yang sangat Campaga ditemukan adanya kesenjangan penting dalam proses pemberdayaan kesejateraan antara masyarakat di daerah hulu masyarakat dalam rangka untuk lebih dan hilir. Kesenjangan tersebut terjadi karena mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Disisi lain masyarakat belum sepenuhnya dapat wilayah Kecamatan Tompobulu selaku memanfaatkan potensi-potensi Hutan Desa pengusaha air mengambil air dari sumber mata yang tersedia. air Hutan Desa Campaga untuk kebutuhan Kendala lain dalam pengembangan masyarakat yang berada di daerah hilir seperti masyarakat adalah kurangnya modal yang Kecamatan Gantarangkeke dan Kecamatan dimiliki oleh masyarakat dalam Pajukukang namun tidak memberikan insentif mengembangkan potensi hasil hutan dan (imbal jasa) kepada masyarakat yang ada di kurangnya keterampilan dalam mengolah sekitar Hutan Desa Campaga dan pemerintah potensi sumberdaya hutan yang telah diperoleh. setempat selaku pihak yang berperan dalam Jika hal ini tidak cepat diatasi maka tujuan menjaga kelestarian air di Hutan Desa utama terbentuknya Hutan Desa tidak bisa Campaga. Kondisi ini pada akhirnya akan tercapai bahkan kedepannya akan berdampak memicu timbulnya kecemburuan sosial diantara pada kondisi masyarakat dan kondisi hutan. masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan 2. Sosial Ekonomi untuk mencegah hal tersebut salah satunya a. Rendahnya Pendapatan Masyarakat dan melalui program pemberdayaan masyarakat. Tingginya Penduduk Miskin serta Kurangnya Penelitian ini terlebih dahulu mengidentifikasi Lapangan Kerja yang Memadai permasalahan yang ada pada lima aspek Banyaknya penduduk miskin di Kelurahan pemberdayaan yaitu kebijakan, sosial dan Campaga dipengaruhi oleh penghasilan ekonomi, kelembagaan, dan sumberdaya masyarakat yang rendah. Perekonomian manusia serta sumberdaya hutan. masyarakat di Kelurahan Campaga masih 1. Kebijakan tergolong rendah dengan rata-rata penghasilan a. Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Rp.150.000 sampai dengan Rp.250.000 per Hutan bulan. Rendahnya pendapatan masyarakat Pemahaman petani terhadap aturan dalam disebabkan juga disebabkan karena ketidak pengelolaan Hutan Desa umunya sudah mampuan masyarakat mengembangkan potensi diketahui oleh masyarakat bahwa Hutan Desa diri sehingga masyarakat tidak produktif. Selain adalah hutan milik negara yang didalamnya itu, kurangnya lapangan kerja yang memadai terdapat fungsi lindung sehingga yang dan ketergantungan masyarakat yang sangat dimanfaatkan hanya sebatas hasil hutan bukan tinggi sejak dulu terhadap sumberdaya hutan kayu seperti pangi dan lebah madu serta jasa

99 memicu terjadinya degradasi sumberdaya pemberdayaan masyarakat tanpa memberikan hutan. inovasi-inovasi. b. Terbatasnya Modal dan Infrastruktur 5. Sumberdaya Hutan Ekonomi Masyarakat a. Masyarakat Kurang Mengetahui Potensi Terbatasnya modal yang dimiliki oleh Sumberdaya Hutan yang Dimiliki masyarakat untuk mengembangkan potensi Potensi sumberdaya Hutan Desa Campaga hasil hutan menjadi salah satu faktor redahnya yang sangat beragam masih kurang diketahui pendapatan masyarakat sekitar Hutan Desa oleh masyarakat. Kondisi tersebut Campaga. Pola pikir masyarakat yang menyebabkan pengembangan atau pemanfaatan cenderung selalu mengharapkan bantuan dari potensi sumberdaya hutan tidak optimal pemerintah juga menjadi faktor penghambat sehingga menghambat upaya pengembangan peningkatan ekonomi masyarakat. ekonomi masyarakat. 3. Kelembagaan b. Sumberdaya Hutan Kurang Memberikan a. Perbedaan Perspektif serta Kurangnya Peran Manfaat Sesuai dengan Harapan Masyarakat dan Sinergitas Para Pihak (stakeholder) Masyarakat sekitar Hutan Desa Campaga Perbedaan perspektif serta kurangnya menganggap bahwa sumberdaya Hutan Desa peran dan sinergitas diantara para pihak Campaga kurang memberikan manfaat sesuai (stakeholder), baik sinergitas antar sektor yang diharapkan. Kondisi tersebut maupun antar tingkat pemerintah menyebabkan menyebabkan pemanfaatan lebih lanjut potensi masyarakat tidak dapat mengembangkan sumberdaya hutan yang ada. potensi sumberdaya secara optimal sehingga c. Pengembangan Potensi Hutan sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat kurang Kawasan Ekowisata Belum Dikelola dengan optimal dan laju pemberdayaan masyarakat Baik menjadi lambat. Pengembangan potensi Hutan Desa b. Lemahnya Akses Masyarakat terhadap Modal Campaga sebagai kawasan ekowisata belum Sosial, Iptek, Pasar dan dalam Pengambilan dikelola dengan baik. Sehingga pengelolaan Kebijakan potensi pada kawasan hutan dan sekitar Hutan Lemahnya akses masyarakat sekitar Hutan Desa Campaga belum dimanfaatkan dan Desa Campaga terhadap pasar, modal, iptek, dikelola semaksimal mungkin dan mitra kerja dan dalam proses mengambil menyebabkan masyarakat semakin tidak kebijakan menyebabkan peluang masyarakat berdaya. untuk memperoleh pengembangan modal terbatas sehingga sulit tercipta pengembangan B. Rancangan Program Pemberdayaan unit-unit usaha yang mampu dijadikan sumber Masyarakat pendapatan yang kemudian berimplikasi pada Berdasarkan identifikasi isu-isu strategis kegiatan pemberdayaan masyarakat yang pemberdayaan yang meliputilima aspek antara berjalan lambat. lain kebijakan, sosial ekonomi, kelembagaan, 4. Sumberdaya Manusia sumberdaya manusia dan sumberdaya hutan a. Kurangnya Kemampuan dan Partisipasi dapat memunculkan berbagai dampak apabila Aparat Pemerintah dalam Memfasilitasi proses pemberdayaan tetap tidak dilaksanakan. Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Hutan Oleh karena itu, untuk meminimalisir berbagai Aparat pemerintah selaku fasilitator dalam dampak tersebut maka disusunlah skenario proses pemberdayaan masyarakat kurang pemberdayaan masyarakat. berpartisipasi dalam memfasilitasi masyarakat 1. Kebijakan dalam proses pencapaian pemberdayaan Strategi pemberdayaan yang efektif dalam masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan upaya memberdayakan masyarakat sekitar program pemberdayaan masyarakat tidak hutan dapat dilakukan melalui kegiatan terintegrasi dengan baik. kerjasama antar pihak pengelola kawasan b. Kemampuan Sumberdaya Manusia Rendah konservasi, perguruan tinggi, pengusaha, Termasuk dalam Mengemukakan Pendapat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran serta masyarakat di sekitar Hutan Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat Desa Campaga dalam mengemukakan pendapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi dan terbilang rendah. Masyarakat cenderung pada akhirnya kesejahteraan masyarakat juga menyerap semua informasi yang diberikan oleh meningkat. pemerintah atau pihak terkait dalam proses 2. Sosial Ekonomi

100

Perekonomian masyarakat di lokasi Hutan Campaga sebagai kawasan Hutan penelitian masih tergolong rendah dengan rata- Desa memang terbuka untuk dimanfaatkan rata penghasilan Rp.150.000 sampai dengan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka Rp.250.000 per bulan. Kegiatan usaha yang pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar dilakukan kelompok tani belum berkembang kawasan hutan/daerah penyangga dapat karena terkendala permodalan dan juga dilakukan melalui optimalisasi potensi pemasaran. Salah satu strategi yang dapat pemanfaatan jasa lingkungan, tumbuhan dan dilakukan untuk menanggulangi masalah satwa liar (Hasil Hutan Bukan Kayu). ekonomi adalah memberikan bantuan usaha Sebagai tanggapan atas rencana kepada masyarakat secara merata. Bantuan pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk usaha berupa modal usaha dirasakan sangat mengembangkan kawasan Hutan Desa penting dalam upaya peningkatan Campaga dan sekitarnya sebagai kawasan perekonomian anggota kelompok sehingga ekowisata maka betul-betul membutuhkan mereka dapat melakukan kegiatan usaha. perencanaan yang matang agar masyarakat 3. Kelembagaan dapat diuntungkan dan tidak merusak kondisi Keberadaan kelompok tani yang sudah ekologis Hutan Desa Campaga. Oleh karena itu, dibentuk merupakan sebuah aktualisasi diri dibutuhkan rancangan ekowisata berbasis anggota kelompok tani sebagai upaya mereka masyarakat. Ekowisata berbasis masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan Hutan tentunya dapat menciptakan nilai ekonomi Desa Campaga. Alternatif strategi untuk masyarakat yang berada di kawasan pemberdayaan kelompok tani atau masyarakat Hutan Desa Campaga. Wisatawan yang sekitar hutan yaitu penguatan kapasitas mengunjungi kawasan Hutan Desa Campaga kelembagaan melalui kelompok Badan Usaha dapat memahami, menghargai nilai-nilai Masyarakat (BUMas) oleh pemerintah dan masyarakat di sekitar Hutan Desa Campaga dan stakeholder. Peningkatan kapasitas (capacity mendapatkan keuntungan berupa pengetahuan building) dalam hal ini dilakukan agar dan pengalaman pribadi. kelompok masyarakat memiliki peningkatan kemampuan secara individual maupun C. Monitoring dan Evaluasi kelompok. Monitoring dan evaluasi merupakan 4. Sumberdaya Manusia bagian dari pengendalian implementasi Terdapat tiga tahap dalam proses program yang telah dilaksanakan. Kegiatan pemberdayaan sumberdaya manusia. Pertama monitoring dilakukan secara rutin setiap tri tahap penyadaran, target sasaran diberi wulan, per semester dan tahunan. Kegiatan “pencerahan” dalam bentuk pemberian monitoring dan evaluasi dianggap penting pemahaman secara utuh akan pentingnya untuk dilaksanakan karena menurut Nurhikmah melestarikan Hutan Desa Campaga. Tahap (2016), bahwa monitoring dan evaluasi berikutnya adalah pengkapasitasan atau digunakan untuk memantau jalannya program peningkatan kapasitas (capacity building) agar mulai dari penyusunan hingga pelaksanaan. mereka memiliki kemampuan. Dalam hal ini Kegiatan evaluasi dilaksankan setahun sekali dilakukan peningkatan kemampuan target pada akhir tahun. Metode yang digunakan sasaran baik secara individual maupun dalam kegiatan monitoring dan evaluasi adalah kelompok. Peningkatan kapasitas individual metode DLA (Development Ladder antara lain dilakukan melalui kegiatan pelatihan Assessment). Karena itu disusunlah rencana keterampilan dan manajemen usaha. Tahap monitoring dan evaluasi rancangan program terakhir adalah pemberian daya (empowerment) pengelolaan Hutan Desa Campaga antara lain dan pengembangan usaha sesuai dengan Pelatihan penguatan fungsi dan peran lembaga kepasitas, keterampilan dan peluang usaha yang BUMas, Pembentukan koperasi, Penyuluhan tersedia. Strategi pemberdayaan masyarakat potensi hasil hutan, Pendampingan dan Hutan Desa Campaga yaitu melalui pemberian pemberian bantuan kepada kelompok tani, kredit kepada kelompok tani dengan pengembangan ekowisata, dan adanya monev memperhatikan aspek-aspek pemberdayaan yang terprogram serta solusi jika terdapat berupa akses pasar, usaha dan pemasaran yang masalah. sudah dipelajari. 5. Sumberdaya Hutan

101 Kesimpulan

1. Kondisi pengelolaan Hutan Desa Campaga dari kelima aspek yang telah diidentifikasi menunjukkan bahwa kurangnya peran dan sinergitas para pihak serta terbatasnya modal menjadi kendala utama dalam proses pengembangan potensi hasil Hutan Desa Campaga yang menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat dan tingginya penduduk miskin. 2. Rancangan program pemberdayaan pada kelima aspek yang telah diidentifikasi antara lain peningkatan peran masyarakat mulai dari proses perencanaan sampai pengendalian dalam proses perumusan kebijakan, membangun sistem pendampingan kepada BUMas dalam hal peningkatan inovasi dan kerja, dan penataan potensi sumberdaya hutan sebagai tujuan ekowisata berbasis masyarakat.

Daftar Pustaka

Noor, M. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Volume 1(2). Nurhikmah. 2016. Programa Penyuluhan Kehutanan pada Pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR) Di Desa Pattallikkang Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. Suharto, E. dan Yuliani. 2005. Analisis Jaringan Sosial: Menerapkan Metode Asessmen Cepat dan Partisipatif (MACPA) Pada Lembaga Sosial Lokal di Subang, Jawa Barat. [Internet] http://www.policy.hu/ suharto/mak- Indo4.html. Diakses pada 28 November2016. Supratman dan Alif, K.S. 2010. Pembangunan Hutan Desa Di Kabupaten Bantaeng: Konsep, Proses dan Refleksi. Regional Community Forestry Training Center For Asia And The Pacific (Recoft). Widjajanti, K. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12(1)

102 PENERIMAAN SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM KEMITRAAN KEHUTANAN DI PT. INHUTANI II KABUPATEN KOTABARU (SOCIAL ACCEPTANCE OF THE FORESTRY PARTNERSHIP PROGRAM AT PT. INHUTANI II DISTRICT OF KOTABARU) Dr. Ir. H. Mahrus Aryadi, M. Sc, Eva Prihatinigtyas, S. Hut, M.P, Deny Fakhriza Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Email: [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan sosial masyarakat terhadap program kemitraan kehutanan serta faktor -faktor yang mempengaruhinya di area PT. Inhutani II. Penelitian ini dilaksanakan di dua desa dalam kawasan PT. Inhutani II yaitu Desa Tanjung Lalak Selatan dan Desa Terangkeh yang ikut dalam program kemitraan kehutanan. Masyarakat yang dijadikan sampel untuk wawancara yaitu sebesar 10 %, dari kepala keluarga Desa Tanjung Lalak Selatan sebanyak 350 KK dan Desa Terangkeh Sebanyak 240 KK yang berjumlah sebanyak 590 kepala keluarga (KK) yang kemudian diambil 59 orang responden, dimana pola pengumpulan data responden dengan cara ”purposive sampling”. Dari hasil kajian tingkat penerimaan sosial masyarakat (partisipasi, sikap, dan nilai) terhadap keberadaan dan program kemitraan kehutanan di area PT. Inhutani II Kotabaru tergolong pada klasifikasi tinggi dengan nilai Indeks Penerimaan Sosial Masyarakat sebesar 72,77. Hasil uji regresi linier berganda didapatkan ada tiga faktor yang mempengaruhi indeks penerimaan sosial masyarakat terhadap program kemitraan kehutanan yakni: Faktor Pendidikan sebesar 29,4%, Faktor Pekerjaan 19,5% dan Faktor Lama Bermukim sebesar 12,4%. Pendidikan merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap Indeks Penerimaan Sosial Masyarakat terhadap keberadaan dan program kemitraan kehutanan PT. Inhutani II Kotabaru. Kata Kunci : Penerimaan Sosial Masyarakat, Kemitraan Kehutanan I. PENDAHULUAN setiap golongan masyarakat terhadap komoditas yang ditawarkan. Misalnya untuk aspek ekonomi Hutan merupakan sumber daya alam komoditas yang ditawarkan oleh hutan berupa yang memiliki banyak fungsi dan manfaat bagi pakan ternak, pangan, daun, getah, buah, kayu kehidupan manusia. Fungsi hutan tersebut bakar, kayu pertukangan, air bersih, dan dikelompokkan dalam fungsi langsung dan tidak sebagainya. Sumber daya hutan (SDH) langsung. Fungsi langsung dari hutan adalah Indonesia menghasilkan berbagai manfaat yang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, seperti sumber bahan pangan, bahan konstruksi maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas rumah kayu, sumber protein, penghasil oksigen, manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa penghasil obat - obatan, dan tempat tinggal hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu seperti satwa, sedangkan manfaat tak langsungnya rotan, bambu, dammar, dan lain – lain, serta adalah pengatur sistem tata air, kontrol iklim, manfaat tidak terukur (intangible) berupa sumber plasma nutfah, ekowisata / pariwisata, manfaat perlindungan lingkungan, keragaman penghasil devisa negara melalui program genetik dan lain – lain. Saat ini berbagai manfaat Reducing Emissions from Deforestation and yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara Forest Degradation (REDD), dan lain-lain. rendah sehingga menimbulkan terjadinya Dengan fungsi sebanyak itu maka tidak ekspolitasi SDH yang berlebih. Hal tersebut mengherankan terjadi interaksi yang erat antara disebabkan karena masih banyak pihak yang manusia, satwa dan lingkungan hutan tesebut belum memahami nilai dari berbagai manfaat dan menciptakan suatu sistem ekologi dan SDH secara komperehensif. Untuk memahami ekosistem hutan yang dinamis dan saling manfaat dari SDH tersebut perlu dilakukan ketergantungan didalamnya. penilaian terhadap semua manfaat yang Fauzi (2012) menyatakan bahwa fungsi dihasilkan SDH ini. Penilaian sendiri merupakan hutan, baik untuk aspek ekonomi maupun aspek upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari perlindungan, akan dimanfaatkan oleh suatu barang atau jasa untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan nilai dan kebutuhan manusia.

103 Alih guna lahan hutan menjadi lahan tanaman pertanian seperti buah – buahan, fungsi lainnya disadari menyebabkan lahan singkong gajah, padi, hal ini karena adanya hutan semakin berkurang akibat dari peralihan permintaan pasar domestik untuk menggantikan fungsi hutan tersebut menimbulkan dampak kayu yang berasal dari hutan alam yang pada negatif seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, saat ini kenyataannya semakin sulit didapatkan kepunahan flora dan fauna, banjr, kekeringan, akibat cepatnya degradasi potensi hutan alam dan bahkan perubahan lingkungan global, oleh pengusahaan hutan dari kegiatan illegal ditambah dengan maraknya kasus konflik logging di daerah ini. Disamping itu juga adanya sengekta lahan antara instansi yang terkait permintaan kayu bakar maupun untuk pemanfaatan sumberdaya alam baik pemerintah pembuatan arang. Berdasarkan uraian tersebut, maupun swasta dengan masyarakat desa hutan. maka sangatlah perlu untuk melakukan Masalah ini bertambah berat dari waktu sejalan penelitian tentang penerimaan masyarakat dengan meningkatnya luas areal hutan yang terhadap keberadaan program kemitraan dialih gunakan menjadi lahan usaha lain. Konsep kehutanan di PT. Inhutani II di Kabupaten kemitraan kehutanan adalah salah satu Kotabaru yang nantinya akan menjadi bahan pengelolaan lahan yang mungkin dapat pembelajaran bagi semua dan dapat digunakan ditawarkan untuk mengatasi masalah yang sebagai bahan pertimbangan dalam tindak lanjut timbul akibat adanya alih guna lahan tersebut di keberadaan program kemitraan kehutanan atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah khususnya di Kabupaten Kotabaru. pangan. (Kementerian Kehutanan, 2013) Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian Sejalan dengan perkembangan zaman, ini adalah untuk mengetahui tingkat penerimaan kebijakan Kementerian Kehutanan Republik sosial masyarakat terhadap keberadaan program Indonesia dalam pengelolaan hutan masa kini Kemitraan Kehutanan di areal PT. Inhutani II ditekankan pada aspek kelestarian hasil Kabupaten Kotabaru, serta faktor – faktor yang (produksi) secara ekonomis, kelestarian mempengaruhinya.Manfaat dari penelitian ini ekologis, dan kelestarian sosial yang harus diharapkan dapat memberikan informasi bagi seimbang berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pemerintah dan instansi terkait tentang beberapa tentang Kehutanan. Terkait dengan gambaran kondisi, aspek terkait dengan program pemberdayaan masyarakat setempat dengan pola kemitraan kehutanan di PT. Inhutani II kemitraan kehutanan berdasarkan Kabupaten Kotabaru yang merupakan program No:P.39/Menhut-II/2013 untuk itulah dibeberapa harapan penghutanan kembali lahan – lahan wilayah di Indonesia diberikan kesempatan kritis. Data dan informasi tersebut baik berupa untuk mengajukan dan mendirikan konsep penerimaan masyarakat setempat terhadap pengelolaan hutan secara lestari bagi program kemitraan kehutanan, yang mana perusahaan-perusahaan tertentu yang diatur nantinya dapat dijadikan acuan dan bahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun pertimbangan bagi instansi terkait yang 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan berkepentingan dalam pengambilan kebijakan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan selanjutnya. Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Berpedoman pada latar belakang masalah Kemitraan kehutanan memegang yang diangkat, maka penelitian ini dibatasi pada peranan yang cukup penting dan strategis ruang lingkup kajian tentang penerimaan sosial sebagai salah satu alternatif pemanfaatan lahan, masyarakat terhadap Kemitraan Kehutanan dan ini berarti akan mengurangi beban yang akan faktor – faktor yang mempengaruhinya di dipikul oleh hutan negara di waktu yang akan wilayah PT. Inhutani II Kabupaten Kotabaru. datang. Dari segi ekonomi kemitraan kehutanan juga memiliki peranan penting untuk meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, dan II. METODE PENELITIAN untuk menunjang kehidupan sehari – hari. Penelitian ini dilaksanakan dengan Program kemitraan kehutanan di PT. alokasi waktu penelitian ± 4 bulan yang meliputi Inhutani II Kabupaten Kotabaru mulai tahap persiapan, observasi lapangan, berkembang dengan hasil utamanya adalah bio - pengambilan data di lapangan, pengolahan dan energy kayu dan juga hasil ikutannya berupa analisis data serta penyusunan laporan. Tempat

104 pelaksanaan berada di dua lokasi yang berada di Dimana : areal PT. Inhutani II Kabupaten Kotabaru n = Jumlah sampel provinsi Kalimantan Selatan yaitu Desa Tanjung N = Jumlah populasi Lalak Selatan yang secara geografis, terletak e = 10% Tingkat kesalahan (sampling error) antara 3050’– 4000’ LS dan 116010’-116,020’ BT, dan Desa Terangkeh yang secara geografis, Hasil perhitungan Slovin dengan pertimbangan jumlah populasi KK maka untuk terletak antara 3050’– 4000’ LS dan 116000’- Desa Tanjung Lalak Selatan dengan 350 KK, 116,010’ BT. Desa Terangkeh dengan 240 KK maka diambil Penelitian ini dilakukan untuk Sampel Sebanyak 59 KK, sedangkan dalam mengetahui bagaimana tingkat Penerimaan menetukan responden setiap desa menggunakan Sosial masyarakat (partisipasi, sikap dan nilai) Propotionate Stratified Random Sampling dengan rumus (Sudjana, 1992) Sebagai berikut : dan faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Sosial masyarakat terhadap 풏 풙풊 = 풊×푿 keberadaan yang memiliki manfaat yang sangat 푵 banyak baik dari segi ekologi maupun Dimana : ekonominya.Obyek penelitian dalam kegiatan ini 푥푖 = Jumlah sampel/responden pada adalah masyarakat yang berada di Desa areal PT. strata populasi ke i Inhutani II Kabupaten Kotabaru, Provinsi X = Jumlah sampel/responden yang Kalimantan Selatan. Peralatan yang digunakan diambil dalam kegiatan Penelitian ini adalah Peta lokasi 푛푖 = Jumlah populasi pada strata ke i desa, daftar kuisioner dan pertanyaan untuk data N = Jumlah populasi penelitian primer, kamera untuk dokumentasi, alat tulis menulis. Sehingga berdasarkan rumus di atas maka di peroleh sampel untuk Desa Tanjung Lalak Populasi adalah jumlah keseluruhan Selatan diambil sebanyak 35 KK, Desa dari obyek atau unit analisis yang Terangkeh diambil sebanyak 24 KK. Proses karakteristiknya akan diteliti. Sampel adalah pengambilan dilakukan memberi kesempatan sebagian dari populasi yang karakteristiknya yang sama pada setiap anggota populasi untuk dianggap mewakili populasi. Sasaran dalam menjadi anggota sampel. Jadi disini proses penelitian ini adalah masyarakat desa yang memilih sejumlah sampel n dari populasi N yang mengelola lahan di area PT. Inhutani II dengan dilakukan secara random. berbasis agroforestri. Lokasi pengambilan Data yang dikumpulkan pada penelitian sampel ditentukan secara purposive sampling, ini terdiri dari 2 macam yakni data primer dan artinya ditentukan dengan pertimbangan data sekunder. Pengumpulan data primer yang terhadap program-program kemitraan kehutanan mencakup aspek sosial ekonomi dan budaya yang menggambarkan tiga pola pengembangan dilakukan dengan teknik observasi langsung kemitraan kehutanan sehingga ditentukan dua dengan menggunakan data isian (kuisioner) dan desa yaitu Desa Tanjung Lalak Selatan yang wawancara dengan responden serta tokoh mengembangkan pola kemitraan dari pihak HTI, masyarakat yang terkait dengan permasalahan DesaTerangkeh dianggap mampu penelitian. menggambarkan pola pengembangan kemitraan Data sekunder diperoleh dari pencatatan di kehutanan di Kabupaten Kotabaru. berbagai instansi atau lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian ini. Dimana data Sampel responden diambil secara acak tersebut meliputi keadaan biofisik seperti letak dari jumlah kepala keluarga (KK) tiap desa dan luas wilayah, topografi dan keadaan tanah, objek penelitian dimana responden untuk iklim dan curah hujan, jumlah penduduk, tingkat mewakili populasi ditentukan dengan pendidikan, mata pencaharian penduduk, agama perhitungan menggunakan formulasi Slovin dan budaya masyarakat, serta sarana dan yang dikutipolehRidwan (2004) sebagai berikut : prasarana.

푵 풏 = Dalam penelitian ini untuk mendapatkan ퟏ+푵풆² data primer dilakukan wawancara dengan responden menggunakan daftar pertanyaan yang

105 telah disiapkan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati dalam obyek Analisis regresi berganda (Multiple penelitian. Kuesioner disusun terdiri atas 4 Linier Regression Analysis) digunakan untuk (empat) bagian yaitu: (1) Identitas responden (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapat Umum (3) Penerimaan Sosial Penerimaan Sosial masyarakat terhadap Masyarakat (Partisipasi, Sikap, Nilai) dan (4) keberadaan kegiatan kemitraan kehutanan. Saran/harapan masyarakat.Data yang Analisis Regresi Linier Berganda diolah melalui dikumpulkan terlebih dahulu diperlakukan program SPSS (Statistical Program for Social melalui prosedur, penyuntingan data, meliputi, Science), Analisis ini digunakan karena memeriksa kelengkapan pengisian daftar merupakan pengembangan dari analisis regresi pertanyaan, memeriksa kesesuaian jawaban satu sederhana. Kegunaannya, yaitu untuk dengan yang lainnya kemudian mengadakan meramalkan nilai variabel terkait (Y) apabila tabulasi data yang kemudian di pindahkan dalam variabel bebasnya (X) dua atau lebih. (Ali.S. Tabel kerja yang telah disediakan dan 2007) selanjutnya di analisis. Dalam penelitian ini, instrumen yang Analisis regresi berganda adalah alat untuk meramalkan nilai pengaruh dua variabel atau digunakan sebagai alat pengumpul data lebih terhadap satu variabel terkait untuk penelitian adalah kuesioner. Dalam kuesioner ini membuktikan ada tidaknya hubungan terdapat pernyataan-pernyataan penelitian fungsional atau hubungan kausal antara dua tentang partisipasi, sikap dan nilai. Pada masing- atau lebih variabel bebas terhadap suatu masing penyataan akan didapatkan sejumlah variabel terkait Y. alternatif jawaban. Alternatif - alternatif jawaban yang ada didalam kuesioner ini merujuk pada Y = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 +b4X4+ ei Dimana : Skala Linkert. Skala Linkert adalah skala yang Y =Penerimaan Sosial Masyarakat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan X = Pendidikan terakhir persepsi seseorang atau sekelompok orang 1 X = Profesi / pekerjaan tentang kejadian atau gejala sosial. Penentuan 2 X = Lama Bermukim jawaban dan skor berdasar pada (Udoyo, 2014) 3 X4= Informasi/ sosialisasi Jenis penelitian ini menggunakan bo=Merupakan intersep yang menggambarkan pendekatan deskriptif - kuantitatif yaitu pengaruh rata-rata semua variabel yang mengukur penerimaan sosial masyarakat tidak dimasukkan kedalam variabel model dengan menggunakan modifikasi pendekatan terhadap Y. skala Likert, berdasarkan rumus Indeks b1-4= Koefisien regresi Penerimaan Sosial (IPS). Rumus yang ei =Merupakan faktor pengganggu (error) digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada metodologi penelitian Agustin (1991), Untuk mendeteksi ketepatan variabel Alicante (1991), Asdi (1996) yang dikutip oleh bebas dalam menerangkan variabel tidak Wulandari (2005). bebasnya dapat diketahui dari besarnya koefisien determinasi berganda (R2). Uji ini dilakukan IPS = (TSP + TSS + TSN ) / (TSP + TSS dengan melihat besarnya nilai koefisien + TSN ) Tertinggi x 100 diterminasi. Koefisien determinasi adalah sebuah Di mana: kunci penting dalam analisis regresi. Nilai IPS = Indeks Penerimaan Sosial koefisien determinasi di interpretasikan sebagai TSP = Total Skor Partisipasi proporsi dari varian variabel dependen, bahwa TSS = Total Skor Sikap variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel TSN = Total Skor Nilai independen sebesar nilai koefisien determinasi tersebut. Indeks yang telah diperoleh secara Sifat-sifat koefisien determinasi adalah keseluruhan lalu diklasifikasikan sebagai berikut nilai koefisien determinasi antara 0 sampai 1, (Udoyo, 2014) : koefisien determinasi sama dengan 0 berarti Tinggi = Skor 67 – 100 bahwa variabel dependen tidak dapat ditafsirkan Sedang = Skor 34 – 66 oleh variabel independen, koefisien determinasi Rendah = Skor 0 - 33 sama dengan 1 atau 100% berarti bahwa variabel

106 dependen dapat ditafsirkan oleh variabel III. HASIL DAN PEMBAHASAN independen secara sempurna tanpa ada error, nilai koefisien determinasi bergerak antara 0 A. Karakteristik Responden sampai dengan 1 mengindikasikan bahwa variabel dependen dapat diprediksikan. Karakter merupakan latar belakang dari Koefisien determinasi dapat dihitung dengan seseorang. Karakter bisa dilihat dari berbagai formulasi sebagai berikut: sudut pandang yang terdiri dari umur, tingkat

ퟐ pendidikan, jenis pekerjaan dan lama bermukim 푹 orang tersebut. Karakter yang dimilki oleh 풃 풙 풚 + 풃 풙 풚 + 풃 풙 풚 + 풃 풙 풚 = ퟏ ퟏ ퟐ ퟐ ퟑ ퟑ ퟒ ퟒ seseorang bisa saja mempengaruhi segala bentuk 풚ퟐ penerimaan sosialnya seperti sikap, nilai dan Dimana : partisipasinya. 푅2= Koefisiendeterminasi 푦 = Variabel dependent Responden dalam penelitian ini sebanyak 59 kepala keluarga (KK) terbagi dalam dua desa 푥 = Variabel independent 1−4 pada dua kecamatan, masing-masing dengan 푏 = Koefisien regresi 1−4 jumlah 35 untuk Desa Tanjung Lalak Selatan Kecamatan Pulau Laut Kepulauan dan sebanyak Variabel yang digunakan dalam 24 orang responden untuk desa Terangkeh penelitian ini adalah pengukuran variabel Kecamatan Pulau Laut Barat. Dari hasil komponen Indeks Penerimaan Sosial masyarakat wawancara yang dilakukan ditemukan bahwa terhadap keberadaan kemitraan kehutanan. karakteristik dari masing-masing responden Adapun komponen variabel - variabel digunakan beragam. adala Partisipasi masyarakat diartikan sebagai Tabel 1. Tingkat umur responden di desa upaya peran serta masyarakat dalam suatu penelitian kegiatan baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan menurut Rahardjo, (1996).Sikap No Kelas Umur Jumlah Persentase (%) masyarakat adalah suatu cara bereaksi atau 1 <17 0 0 tanggapan terhadap suatu rangsangan yang 2 18-59 59 100 tinggi dari seseorang atau masyarakat terhadap suatu situasi Indrawijaya, (2003) di mana 3 >60 0 0 keberadaan kemitraan kehutanan yang Jumlah 59 100 mempunyai manfaat baik ekologis, maupun Sumber : Data Primer (2014) ekonomis, sikap ini dapat berupa positif atau negatif, bagus-tidak bagus, suka-tidak suka dan Data yang diperoleh dari hasil wawancara lainnya. menunjukkan bahwa umur para responden dalam penelitian berkisar antara 18-59 tahun. Hal ini Nilai merupakan tindakan atau sikap menunjukkan bahwa para responden sedang mana yang dianggap baik atau buruk dalam berada pada masa produktif dalam bekerja. UU menerima keberadaan kemitraan kehutanan, nilai No. 93/2004 tentang Penempatan dan di sini merupakan pencerminan dari partisipasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dan sikap yang terdiri atas tinggi, sedang dan dikutip oleh Udoyo (2014) menyatakan bahwa rendah. Umur adalah lamanya seseorang hidup batas minimal usia produktif adalah 18 tahun. semenjak dilahirkan yang dinyatakan dalam Selanjutanya Udoyo (2014) menyatakan bahwa satuan tahun. Lama bermukim adalah lamanya usia lanjut dikelompokkan atas orang-orang seseorang tinggal dalam suatu daerah. Pekerjaan yang berusia 60 tahun ke atas, dimana atau profesi adalah kegiatan ekonomis yang merupakan usia umum seseorang memasuki dilakukan responden. Pendidikan terakhir adalah masa pensiun bekerja dan menjalani hari-hari jenjang pendidikan sekolah (pendidikan formal) tuanya. Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa terakhir yang pernah ditempuh responden, baik warga yang dijadikan menjadi responde masih tingkat SD, SLTP, SLTA, Diploma dan Sarjana. tergolong pada umur produktif, terlihat bahwa kelas umur 18-59 tahun persentasenya 100%. Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Orang yang berpendidikan pola

107

pikirnya akan lebih maju jika dibandingkan 5 buruh 3 5,08 dengan orang yang memiliki pendidikan rendah 6 Swasta 17 28,81 atau tidak berpendidikan.Tabel2 berikut 7 PNS 2 3,39 memberikan penjelasan tentang tingkat pendidikan responden di desa penelitian. 8 Wiraswasta 4 6,78 9 Tukang Batu 1 1,69 Tabel 2. Tingkat pendidikan responden di desa 10 Guru 1 1,69 penelitian areal PT. Inhutani II 11 Karyawan 2 3,39 Kabupaten Kotabaru. 12 Petani 21 35,59 Tingkat Persentase No Jumlah Pendidikan (%) Jumlah 59 100 Sumber : Data Primer 2015 1 Tidak Sekolah 1 1,69 2 Tidak Tamat SD 3 5,08 Mata pencarian atau pekerjaan responden 3 Tamat SD 14 23,73 yang disajikan pada Tabel 3 diatas terlihat 4 Tamat SLTP 22 37,29 bahwa secara berurutan responden berprofesi sebagai petani sebanyak 21 orang (35,59%), 5 Tamat SMA 15 25,42 swasta sebanyak 17 orang (28,81%), Pedagang 6 Diploma/S-1 4 6,78 sebanyak 4 orang (6,78%), wiraswasta sebanyak Jumlah 59 1004 orang (6,78%), Buruh sebanyak 3 orang Sumber : Data Primer, 2015 (5,08%), PNS 2 orang (3,39%), Aparat Desa 2 orang (3,39%), Pensiunan 1 orang (1,69%), Tabel 2 diatas menjelaskan bahwa Tukang batu 1 orang (1,69%), Ibu rumah tangga kebanyakan responden pendidikan terakhirnya 1 orang (1,69%) dan Guru 1 orang (1,69%). adalah tamat sekolah lanjutan pertama baik itu di Profesi responden sebagian besar sebagai SMP atau MTs sebanyak 22 orang (37,29%), petani dan swasta. Hal ini sesuai dengan latar kemudian tamat SMA sebanyak 15 orang belakang responden yang sebagian besar tamat (25,42%), Tamat SD sebanyak 14 orang SLTP. Untuk meraih pekerjaan yang tinggi (23,73%), Diploma/S-1 sebanyak 4 orang semisal bekerja di perusahaan atau menjadi PNS (6,78%), tidak tamat SD 3 orang (5,08) dan tidak minimal seseorang harus berlatar pendidikan sekolah 1 orang (1,69%). Tingginya tingkat SMA/SLTA. Selain faktor pendidikan, pendidikan responden yang kebanyakan tamat pertanian menjadi pekerjaan yang banyak SLTP didukung oleh tersedianya fasilitas digeluti oleh para responden karena desa tempat pendidikan yang ada di desa penelitian tersebut. penelitian memiliki lahan pertanian yang luas Udoyo (2014) menjelaskan bahwa pendidikan untuk dikelola oleh para responden dan merupakan suatu proses belajar yang masyarakat desa penelitian. berkesinambungan, mulai usia anak-anak sampai dewasa untuk membuka wawasan yang lebih Tabel 4. Lama bermukim responden di desa tinggi, salah satunya ditentukan oleh tingkat penelitian areal PT. Inhutani II pendidikan. Pendidikan yang lebih tinggi dapat Kabupaten Kotabaru. lebih membuka wawasan seseorang untuk dapat menerima inovasi atau gagasan atau membuat Lama No Jumlah Persentase (%) suatu gagasan yang mungkin bermanfaat, Bermukim khususnya untuk kepentingan lingkungan sosial. 1 <5 tahun 0 0 Tabel 3. Jenis pekerjaan responden di desa 2 5-10 tahun 5 8,47 penelitian areal PT. Inhutani II 3 >10 54 91,53 Kabupaten Kotabaru. Jumlah 60 100 Sumber: Data Primer 2015 Persentase No Pekerjaan Jumlah (%) Data yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan lamanya para responden 1 Pedagang 4 6,78 bermukim di desa penelitian. Kebanyakan 2 Aparat Desa 2 3,39 responden disana merupakan penduduk tetap 3 Ibu Rumah Tangga 1 1,69 atau sudah lahir di desa penelitian, hal ini dapat 4 Pensiunan 1 1,69 dilihat dari lama mereka bermukim disana lebih

108 dari 10 tahun lamanya sebanyak 54 orang Indeks penerimaan sosial tersebut responden (91,53%), dan sisanya merupakan merupakan hasil dari perhitungan dari beberapa responden yang baru tinggal disana sebanyak 5 aspek seperti partisipasi, sikap dan nilai, yang orang (8,47%) yang merupakan pendatang di mana secara berurutan nilainya 1163, 1484, dan desa penelitian. 1217. Dalam penelitian ini diambil dua desa sebagai desa penelitian yang mana masing- B. Penerimaan Sosial Masyarakat masing desa memiliki indeks penerimaan sosial yang berbeda. Untuk indeks penerimaan sosial Hasil wawancara dengan melakukan di desa Tanjung Lalak Selatan bisa dilihat pada pengisian kuisioner didapatkan tiga aspek yang Tabel 6. dikaji yang terdiri atas aspek partisipasi, sikap dan nilai untuk memperoleh data tentang Tabel 6. Rekapitulasi indeks penerimaan sosial penerimaan sosial masyarakat terhadap program berdasarkan Sistem Klasifikasi kemitraan kehutanan. Ketiga aspek diatas Udoyo (2014) di Desa Tanjung Lalak kemudian diberikan penilaian dengan Selatan Kecamatan Pulau Laut memberikan skor atas setiap jawaban yang Kepulauan diberikan oleh para responden. Dari skor yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam sebuah Jumlah Partisip Sika Nil TSP+TSS+ rumus sehingga didapatkan tingkat/indeks Respond asi p ai TSN penerimaan sosial masyarakat terhadap program en kemitraan kehutanan yang terdapat pada Tabel 5. 35 749 892 735 2376 Tabel 5. Hasil jumlah rekapitulasi indeks Indeks Penerimaan Sosial (IPS) 75,43 penerimaan sosial di desa penelitian Sumber data: data primer 2015 areal PT. Inhutani II Kabupaten Kotabaru. Tabel6 diatas menunjukkan bahwa indeks penerimaan sosial di Desa Tanjung Lalak Jumlah Selatan termasuk dalam kategori tinggi karena Responden Partisipasi Sikap Nilai TSP+TSS+TSNmemilki jumlah IPS 75,43. Kategori ini sudah ditentukan sebelumnya oleh Udoyo (2014) yang 59 1163 1484 1217 3864 memberi kategori nilai IPS menjadi tiga bagian Indeks Penerimaan Sosial (IPS) 72,77yang terdiri dari: Sumber : Data Primer 2015 Tinggi = skor 67-100 Indeks penerimaan sosial tersebut diatas didapatkan dari perhitungan berikut: Sedang = skor 34-66 IPS = (TSP + TSS + TSN)/(TSP + TSS Rendah = 0-33. +TSN)Tertinggi x 100 Skor 75,43 tersebut merupakan hasil dari diketahui: penjumlah beberapa skor aspek yang terdiri dari aspek partisipasi dengan jumlah skor 749, skor TSP = 1163 sikap 892, dan skor nilai 735. Kemitraan yang dilaksanakan di Desa Tanjung Lalak berupa TSS = 1484 kemitraan yang dijalin oleh perusahaan PT. TSN = 1217 Inhutani II. Dalam kemitraan ini individu/kelompok tani bekerjasama dengan IPS = (1163 + 1484 + 1217) / 5310 x pihak perusahaan Inhutani II dalam melakukan 100 kemitraan. Kemitraan yang dijalin antara perusahaan dengan masyarakat adalah berupa = 72,77. penggunaan lahan milik perusahaan untuk Perhitungan indeks penerimaan sosial digunakan oleh masyarakat. Di lahan kemitraan diatas didapatkan nilai sebesar 72,77. ini masyarakat menanam Padi (Oriza sativa) dan Berdasarkan klasifikasi yang ditentukan indeks Karet (Hevea brasieliensis). Penggunaan jenis penerimaan sosial responden di desa penelitian tanaman padi dan karet di lahan kemitraan ini termasuk dalam klasifikasi tinggi (67-100). karena bisa memberikan penghasilan yang cepat bagi masyarakat.

109 Pemilihan jenis ini diharapkan masyarakat masing jumlah skornya untuk partisipasi 414, dapat memanfaatkan hasil dari tanaman tersebut sikap 592 dan nilai 482. dalam waktu jangka pendek. Masyarakat akan cepat memanen padi mereka ketika berumur Persentase klasifikasi IPS diatas masih kurang lebih tiga bulan, sedangkan untuk karet berdasar pada klasifikasi perdesa penelitian. akan bisa diambil lateksnya untuk dipantat Untuk mengetahui persentase dari setiap (sadap) karetnya ketika sudah berumur antara 5- individu maka akan diklasifikasikan kembali 6 tahun. berdasar sistem kategori Udoyo diatas yang bisa dilihat pada Tabel8. Setiap individu responden Pengembangan kemitraan di desa ini ditemukan yang memiliki skor IPS kategori masih sedikit mengalami kendala akibat adanya tinggi lebih besar dari kategori sedang, dan kekurangtahuan masyarakat terhadap jenis untuk kategori rendah tidak ada. tanaman yang boleh ditanam di areal hutan kemasyarakatan, hal ini terbukti dengan adanya masyarakat yang menanam komoditi kelapa Tabel 8. Klasifikasi persentase indeks sawit. Selain itu adanya sifat apatis dari tetuha penerimaan sosial berdasarkan Sistem kampung atau orang yang disegani di desa Klasifikasi Udoyo (2014) di desa tersebut mengakibatkan penerimaan masyarakat penelitian areal PT. Inhutani II terhadap kemitraan kehutanan menjadi Kabupaten Kotabaru. terhambat. Pengembangan kemitraan juga terkendala akibat adanya oknum yang Klasifikasi menghalang-halangi warga agar tidak ikut serta N Indeks Jumla Persentas dalam kemitraan kehutanan yang digalakkan, o Penerimaan h e (%) mungkin dikarenakan oknum ini merasa Sosial kepentingannya telah terganggu dengan adanya 1 67-100 38 64,41 program tersebut. Hal seperti ini pernah juga 2 34-66 21 35,59 diungkapkan oleh Fauzi (2010:154) menyatakan 3 0-33 0 0,00 bahwa adanya oknum tertentu yang menghalang- halangi suksesnya pembinaan, sebab oknum Jumlah 59 100,00 bersangkutan merasa kepentingannya terganggu. Sumber data: data primer 2015 Keterangan : Tabel 7. Rekapitulasi indeks penerimaan sosial 67-100 = tinggi berdasarkan Sistem Klasifikasi 34-66 = sedang Udoyo (2014) di Desa Terangkeh 0-33 = rendah. Kecamatan Pulau Laut Barat

Jumlah Persentase klasifikasi IPS diatas masih Responden Partisipasi Sikap Nilai TSP+TSS+TSNberdasar pada klasifikasi perdesa penelitian. 24 414 592 482 1488Untuk mengetahui persentase dari setiap individu maka akan diklasifikasikan kembali Indeks Penerimaan Sosial (IPS) 68,89berdasar sistem kategori Udoyo diatas yang bisa Sumber data: data primer 2015 dilihat pada Tabel 8. Setiap individu responden Tabel7 diatas dapat terlihat bahwa IPS di ditemukan yang memiliki skor IPS kategori Desa Terangkeh berjumlah 68,89 yang mana tinggi lebih besar dari kategori sedang, dan lebih rendah jika dibandingkan dengan Desa untuk kategori rendah tidak ada. Tanjung Lalak Selatan yang skor IPS-nya Pengklasifikasian IPS individu didasarkan berjumlah 75,43. Skor IPS 68,89 di Desa pada skor jawaban masing-masing individu Terangkeh jika dimasukkan dalam responden dalam penelitian yang berjumlah pengkategorian Udoyo (2014) masih termasuk sebanyak 59 orang responden yang diambil dari dalam kategori tinggi karena nilai skor IPS-nya dua desa penelitian yang terdiri dari Desa masih berada pada kisaran 67-100. Hasil dari Tanjung Lalak sebanyak 35 responden dan dari ketiga aspek di Desa Terangkeh juga rendah jika Desa Terangkeh sebanyak 24 orang. Dari hasil dibandingkan dengan desa Tanjung Lalak. Di pengklasifikasian terlihat bahwa IPS individu Desa Terangkeh untuk ketiga aspek masing- yang skornya berkisar antara 67-100 (tinggi) sebanyak 38 orang (64,41%), skor IPS 34-66

110 (sedang) sebanyak 21 orang responden (35,59%) masyarakat dengan pihak perusahaan dan dan untuk 0-33 (rendah) sebanyak 0 (0,00%). kerjasama masyarakat dengan pihak pemerintah terkait. Tingginya IPS setiap individu di kedua desa penelitian diakibatkan karena latar belakang Klasifikasi sedang dengan skor 34-66 pekerjaan masing-masing responden adalah sebanyak 23 orang (38,98%). Dalam hal para berprofesi sebagai petani (35,59%) yang lebih responden sebagian masih ragu untuk besar dari profesi lainnya. Dengan latar berkontribusi dalam kegiatan kemitraan yang belakang petani mereka akan mendukung digalakkan karena mereka karena kurangnya terhadap pola kemitraan yang dijalankan karena sosialisasi yang diberikan kepada mereka. dalam kemitraan ini jenis tanaman yang Selain itu juga disebabkan karena adanya digunakan merupakan komoditas pertanian individu atau oknum yang menghasut berupa padi dan karet yang bisa membantu masyarakat untuk tidak berpatisipasi dalam dalam peningkatan pendapatan mereka sehari- kegiatan kemitraan tersebut. Oknum ini hari. memberikan hasutan kepada masyarakat dikarenakan adanya keperluan dia yang Indeks penerimaan sosial merupakan hasil terganggu dengan adanya kemitraan ini (Fauzi, dari perhitungan dengan menggunakan hasil skor 2010). dari aspek partisipasi, sikap dan nilai. Untuk masing-masing individu setiap aspeknya juga Partisipasi yang rendah terhadap bisa diklasifikasikan berdasarkan kemitraan kehutanan sebanyak 8 orang (13,56%) pengklasifikasin IPS diatas. dari total 59 responden yang diwawancara. Rendahnya partisipasi dikarenakan para Tabel 9. Klasifikasi persentase partisipasi responden kurang mengetahui manfaat dari responden berdasarkan Klasifikasi kemitraan kehutanan yang dibangun. Selain itu Udoyo (2014) di desa penelitian mereka juga terpengaruh dengan pendapat areal PT. Inhutani II Kabupaten oknum masyarakat yang menghasut agar tidak Kotabaru terlibat dalam kemitraan kehutanan. Rendahnya partisipasi juga disebabkan oleh keseganan Klasifikasi Jumlah Persentase No mereka terhadap salah seorang sesepuh kampung Partisipasi (orang) (%) yang mereka segani, mereka terkadang 1 67-100 28 47,46 mengikuti apa yang diucapkan/disampaikan oleh 2 34-66 23 38,98 sesepuh tersebut. 3 0-33 8 13,56 Udoyo (2014) menyatakan bahwa tingkat Jumlah 59 100,00 partisipasi didefinisikan sebagai tingkat Sumber : Data Primer 2015 keterlibatan masyarakat dalam kegiatan, disini selain sebagai pelaku, yaitu masyarakat yang Tabel 9 diatas memberikan informasi mengelola dan melestarikan juga memberikan bahwa partisipasi para responden dalam informasi kepada masyarakat sekitar tentang kemitraan kehutanan tergolong tinggi. Hal ini keberadaannya yang memilki manfaat baik segi terbukti dengan persentase responden yang ekologi maupun ekonomi, dimana akan termasuk dalam klasifikasi partisipasi tinggi menunjang keberadaannya sebagai mata sebanyak 28 responden (47,46%). Tingginya pencaharian masyarakat yang harus partisipasi responden terhadap kemitraan ini dikembangkan. disebabkan karena responden ingin Partisipasi yang dimaksud dalam memanfaatkan lahan milik mereka, selain itu penelitian ini adalah keikutsertaan responden para responden juga ingin meningkatkan dalam program kemitraan kehutanan seperti penghasilan mereka dari hasil kemitraan yang kegiatan sosialisasi, pemeliharaan dan digalakkan. Tingginya partisipasi yang pelestarian, mensosialisasikan tentang diberikan oleh para responden dan masyarakat di kemitraan, penanaman dan pengayaan di areal desa penelitian telah membuktikan bahwa telah kemitraan kehutanan, pemeliharaan dan terjadi interaksi sosial oleh individu masyarakat pembersihan, dan pemilihan jenis tanaman. dalam pembangunan. Hal ini terbukti dengan Dalam hal keikutsertaan dalam program interaksi (hubungan) yang telah dilakukan antara kehutanan salah satu alasannya para responden individu dalam masyarakat, kerjasama individu

111 adalah karena ingin memanfaatkan lahan yang meningkatkan pengelolaan terhadap program ada, selain itu juga mereka ingin mendapatkan kemitraan kehutanan, sikap masyarakat terhadap penghasilan tambahan dari kegiatan kemitraan manfaat dari kemitraan kehutanan, sikap yang dilaksanakan. Dalam hal partisipasi responden terhadap kemitraan sebagai responden dalam pemilihan jenis tanaman yang komoditas masyarakat dalam membantu digunakan yang ikut serta memilki alasan jika pendapatan, sikap responden terhadap terlibat langsung dalam kegiatan pemilihan jenis pemasaran hasil kemitraan. tanaman akan memberikan kepuasan, sementara yang tidak terlibat merasa karena kurang tahu Sikap masyarakat terhadap keberadaan masalah penentuan jenis tanaman yang sesuai kemitraan sebagian besar setuju, hal ini dan kemungkinan tidak diajak dalam kegiatan disebabkan karena dengan melakukan kemitraan penentuan jenis tanaman yang sesuai. mereka akan mendapatkan modal dan juga akan mudah dalam melakukan hasil tanaman mereka. Tabel 10.Klasifikasi persentae sikap responden Selain itu responden yang terlibat dalam berdasarkan Klasifikasi Udoyo kemitraan kehutanan juga telah merasakan (2014) di desa penelitian areal PT. manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan dari Inhutani II Kabupaten Kotabaru. keterlibatan mereka di kegiatan kemitraan kehutanan sehingga memberikan suatu rasa Klasifikasi Jumla Persentase No kepada mereka untuk memberikan respon yang Sikap h (%) bagus terhadap kemitraan kehutanan. 1 67-100 45 76,27 Tabel 11. Klasifikasi persentase nilai responden 2 34-66 14 23,73 di desa penelitian areal PT. Inhutani II 3 0-33 0 0,00 Kabupaten Kotabaru. Jumlah 59 100,00 Klasifikasi Persentase Sumber : Data Primer 2015 No Jumlah Nilai (%) Data yang terlihat pada Tabel 10 1 67-100 12 20,34 menunjukkan bahwa responden memilki sikap yang tinggi terhadap kemitraan yang 2 34-66 47 79,66 dilaksanakan. Dalam klasifikasi sikap pada tabel 3 0-33 0 0,00 20 terlihat bahwa sikap yang tinggi dimililki Jumlah 59 100,00 oleh 45 responden (76,27%), sikap kategori Sumber : Data Primer 2015 sedang dimilki oleh 14 responden (23,73%) dan pada kategori rendah tidak ada (0%). Sikap Tabel 11 diatas memberikan suatu merupakan sesuatu yang dimiliki oleh individu penjelasan bahwa masyarakat di desa penelitian responden yang tidak bisa dilihat atau tidak memiliki persentase penilaian yang sedang tampak dan hanya bisa dirasakan pada gejala (79,66%) terhadap kemitraan yang digalakkan. yang dimiliki oleh individu tersebut. Udoyo Pengklasifikasian nilai yang diberikan oleh (2014) menyatakan bahwa mengukur sikap responden terhadap kehadiran kemitraan adalah hal yang tidak mudah, sebab sikap tidak kehutanan ditemukan bahwa klasifikasi tinggi tampak atau tidak terlihat, yang tampak hanya (67-100) sebanyak 12 orang (20,34%), sedang gejalanya saja. (34-66) sebanyak 47 orang (79,66%), sedangkan pada klasifikasi rendah sebanyak 0%. Penilaian Tingginya sikap yang diberikan oleh dari seorang responden dinilai dari segi peran, masyarakat terhadap program kemitraan karena kesadaran, dan pemahaman responden terhadap bisa menjanjikan penghidupan yang layak bagi kegiatan kemitraan. mereka setelah ikut dalam program kemitraan yang dilaksanakan. Sikap responden terhadap Kebanyakan responden (79,68%) kegiatan kemitraan yang digalakkan ini digali memberikan penilaian yang sedang terhadap dengan menggunakan sepuluh pertanyaan yang kegiatan kemitraan kehutanan yang telah disiapkan dalam kuisioner pengisian dilaksanakan. Penilaian yang tinggi dari para penelitian. Pertanyaan yang digunakan untuk responden terhadap keberadaan kemitraan menggali sikap masyarakat ini terdiri atas sikap kehutanan karena responden sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan kemitraan memiliki pendidikan yang tinggi sehingga kehutanan, sikap masyarakat dalam mereka akan sangat mudah dalam menerima

112 segala sosialisasi yang diberikan, dan variabel bebas (X) terhadap naik turunnya selanjutnya memberikan penilaian terhadap variabel terikat (Y), diperoleh nilai sebesar kegiatan kemitraan apakah mereka akan 0,613. Adapun besarnya kontribusi variabel X memahami, berperan, dan memiliki kesadaran (pendidikan, pekerjaan, dan lama bermukim) untuk menggalakkan dan berpartisipasi dalam terhadap variabel Y (penerimaan Sosial kegiatan kemitraan. masyarakat) secara simultan (bersama) adalah: R2 x 100% = 0,613 x 100% = 61,3%, C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi sisanya 9,5% dipengaruhi 28,7% dipengaruhi Penerimaan Sosial oleh variabel independen selain pendidikan, pekerjaan, dan lama bermukim. Setelah didapatkan nilai dari indeks penerimaan sosial dari beberapa responden Uji F ini digunakan untuk mengetahui selanjutnya dilakukan pengujian terhadap sejauh mana kontribusi dari variabel X yang beberapa variabel yang diperkirakan terdiri atas pendidikan, pekerjaan dan lama berpengaruh terhadap penerimaan sosial bermukim terhadap variabel Y yang merupakan tersebut. Untuk menguji pengaruh varibel atau nilai dari penerimaan sosial. Uji F ini untuk faktor-faktor tersebut menggunakan aplikasi mendapatkan hasilnya dilakukan dengan SPSS (Statistical Program for Social Science). menggunakan Analysis of Varian (Anova). Analisis yang digunakan untuk mengetahui Tabel 13. Hasil uji F (simultan) pengaruh faktor-faktor terhadap penerimaan sosial dengan adanya kemitraan adalah uji Sumber Jumlah Derajat Rata- F Signifikan regresi linier berganda. varian kuadrat bebas rata (df) kuadrat Analisis ini digunakan karena merupakan Regression 4913,708 3 1637,903 29,083 0,000a pengembangan dari analisis regresi sederhana. Residual 3097,470 55 56,318 Kegunaanya untuk meramalkan nilai variabel Total 8011,178 58 terkait (Y) apabila variabel bebasnya (X) lebih Keterangan : a. Predictors; (Constant), Lama dari satu. Dalam penelitian ini ada tiga variabel bermukim (X3), pendidikan (X1), X yang diuji pengaruhnya terhadap Y. Yang pekerjaan (X2)b. Dependent mana Y merupakan nilai dari penerimaan sosial, variabel; penerimaan sosial sedangkan tiga variabel X yang diuji masyarakat (Y). pengaruhnya terdiri atas pendidikan (X1), pekerjaan (X2) dan lama bermukim (X3). Dari Uji F (simultan) yang dilakukan pada persamaan regresi yang didapatkan dari analisis tabel 23 diatas terbukti bahwa variabel regresi linier berganda adalah sebagai berikut: pendidikan, pekerjaan, dan lama bermukim (X) mempunyai kontribusi (pengaruh) secara Y=34,923 + 7,868X1 + 5,474X2 + 3,508X3. bersama (simultan) yang signifikan terhadap variabel penerimaan sosial masyarakat (Y). Hal Tabel 12. Hasil uji koefisien determinasi (R2) ini terbukti pada Tabel 23 terlihat bahwa nilai F hitung 29,083 lebih besar dari (>) F tabel 5% Sumber Determ R Square Adjuste Stand (2,77) dan F tabel 1% (4,16) dengan signifikan Varian inasi (R2) d R ar 0,000. (Model) (R) Square Error (Koefise Uji t ini digunakan untuk mengetahui ien R2) besarnya pengaruh variabel independen yaitu a pengaruh dari masing-masing variabel X 1 0,783 0,613 0,592 7,5045 1 (pendidikan, pekerjaan, dan lama bermukim) Keterangan : a. predictor; (constan), lama terhadap varibel Y (penerimaan sosial bermukim (X3), pendidikan (X1), pekerjaan masyarakat. Hasil uji t menunjukkan bahwa (X2) masing- masing variabel X memiliki hubungan (korelasi) dan kontribusi (pengaruh) terhadap variabel Y. Koefisien determinasi (R ) yang square berfungsi sebagai pengukur besarnya kontribusi

113 hal ini berdasarkan pada nilai t hitung (4,044)

a lebih besar dari t tabel 5% (2,004) dan t tabel 1% Tabel 14. Hasil uji t (parsial) coefficients (2,668) dengan nilai signifikan 0,000. Pengaruh Dependent variable: Penerimaan X2 terhadap Y didapatkan dari perhitungan: Sosial Masyarakat (Y) R2y x β2 x 100% = 0,544 x 0,359 x 100% = Standar Unstandardize 19,5% Koefisie t Sig Sumber d Koefisien n dimana: variasi Stand. B Beta R2y = koefisien korelasi antara variabel X2 Error dengan Y Konstan 34,9 4,226 8,265 0,00 23 0 β2 = koefisien variabel X2 pada Pendidikan 7,86 1,461 0,473 5,385 0,00 standardized coeficients. (X1) 8 0 Lama bermukim (X3) mempunyai Pekerjaan 5,47 1,354 0,359 4,044 0,00 pengaruh secara parsial (individu) terhadap (X2) 4 0 penerimaan sosial (Y), hal ini dibuktikan dengan Lama 3,50 1,207 0,259 2,906 0,00 nilai t hitung (2,906) lebih besar dari t tabel 5% bermukim 8 5 (2,004) dan t tabel 1% (2,668) dengan nilai (X3) signifikan 0,005 (>0,005). Kontribusi lama

bermukim (X3) terhadap penerimaan sosial (Y) Keterangan :α Dependent Variable : Y B = didapatkan dengan cara sebagai berikut: Koefisien determinan, t = Test (Parsial), Sig =

Signifikansi R3y x β3 x 100% = 0,477 x 0,259 x 100% = 12,4%

dimana:

Tabel 14 diatas menjelaskan tentang R3y = koefisien korelasi antara variabel X2 pengaruh dari variabel X (Pendidikan, pekerjaan, dengan Y dan lama bermukim) terhadap variabel Y Β = koefisien variabel X2 pada (penerimaan sosial masyarakat). Data yang 3 standardized coeficients. tersaji di tabel 24 menjelaskan bahwa terjadi pengaruh (kontribusi) secara parsial (individu) Berdasarkan hasil uji statistik t dari masing-masing variabel X terhadap variabel menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang Y. dimasukkan dalam model regresi, variabel pendidikan terakhir (X1), Pekerjaan (X2), dan Pendidikan yang kedudukannya sebagai Lama bermukim (X3) yang signifikan variabel X1 memiliki pengaruh terhadap variabel mempengaruhi penerimaan sosial (Y). Hal ini Y. Hal ini berdasarkan nilai t hitungnya 5,385 dapat dilihat dari nilai probabilitas signifikasi yang lebih besar dari nilai t tabel 5% dengan untuk pendidikan terakhir (X1) sebesar 0,000 nilai 2,004 dan t tabel 1% dengan nilai 2,668 (p>0,005), Pekerjaan (X2) sebesar sebesar 0,000 dengan nilai signifikan sebesar 0,000. Pengaruh (p>0,005), dan dan Lama bermukim (X3) X1 terhadap Y didapatkan dari rumus: sebesar 0,005 (p>0,005). Jadi dapat disimpulkan

R1y x β1 x 100% = 0,621 x 0,473 x 100% = bahwa variabel penerimaan sosial masyarakat 29,4% dipengaruhi oleh variabel pendidikan terakhir, pekerjaan, dan lama bermukim. Hasil dimana: perhitungan jika dibandingkan dengan data hasil uji hipotesis parsial t (Udoyo, 2014) memiliki R1y = koefisien korelasi antara variabel X1 dengan Y persamaan dalam variabel yang berpengaruh dominan yaitu pendidikan dan perbedaan pada β1 = koefisien variabel X1 pada jumlah variabel serta adanya variabel yang tidak standardized coeficients. berpengaruh nyata terhadap penerimaan sosial masyarakat dapat dilihat pada tabel 15 berikut. Pekerjaan (X2) mempunyai pengaruh secara parsial terhadap penerimaan sosial (Y),

114 Tabel 15. Hasil uji t (parsial) coefficientsa Pendidikan menjadi sangat berpengaruh Dependent variable: Penerimaan terhadap penerimaan sosial masyarakatkarena Sosial Masyarakat (Y) berdasarkan variabel berpengaruh terhadap wawasan yang penelitian (Udoyo, 2014) dimiliki oleh seseorang sehingga berpengaruh terhadap penerimaan sosial yang diberikan. Dari Stan data hasil wawancara pada Tabel 16 terlihat Unstandardized dar sebagian besar responden memilki latar Sumber Koefisien Koef t Sig pendidikan terakhir tamat SMP/MTs. variasi isien Stand. Tabel 16. Persentase pendidikan responden B Beta Error Alternatif Jumlah Persentase No Konstan 29.83 17.362 1.71 0.089 Jawaban Responden (%) 9 9 Tidak Sekolah 1 Pendidikan 3.039 1.372 0.223 2.21 0.029 1 1,69 Tidak Tamat (X1) 4 3 Pekerjaan 13.67 5.476 0.241 2.49 0.014 2 SD 5,08 (X2) 7 6 3 Tamat SD 14 23,73 Lama - 2.264 - - 0.548 4 Tamat SLTP 22 37,29 Bermukim 1.365 0.058 0.60 (X3) 3 5 Tamat SMA 15 25,42 Informasi/s 3.429 1.386 0.251 2.47 0.015 6 Diploma/S-1 4 6,78 osialisasi 5 Jumlah 59 100 (X4) Sumber data: data primer 2015

α Dependent Variable : Y Sumber data : data sekunder (Udoyo,2014) Hasil pengolahan data menggunakan SPSS terlihat bahwa pendidikan merupakan Keterangan : B = Koefisien determinan, t = salah satu variabel yang signifikan terhadap Test (Parsial), Sig = Signifikansi variabel dependennya yaitu penerimaan sosial, Pada tabel 15 menerangkan bahwa hal ini dikarenakan dengan pendidikan persamaan hasil regresi variabel Pendidikan masyarakat yang hampir beragam dari tingkat (X1) sangat berpengaruh nyata terhadap SD sampai dengan Perguruan Tinggi penerimaan sosial masyarakat dikarenakan (Diploma/S1) sehingga memiliki tingkat dengan semakin tinggi tingkat pendidikan kesignifikan dikarenakan berdasarkan data hasil masyarakat semakin tinggi tingkat penerimaan kuisioner dan observasi yang diperoleh di sosial masyarakatnya. Sedangkan perbedaan lapangan masyarakat yang berpendidikan rendah terletak pada variabel lama bermukim (X3) maupun tinggi yang dimiliki masyarakat dapat dikarenakan pengaruh dari adanya variabel mempengaruhi penerimaan sosial masyarakat informasi/sosialisasi (X4) yang mempengaruhi terhadap program kemitraan kehutanan. Karena besarnya penerimaan sosial masyarakat. disini terlihat dari tingkatan pendidikan hampir Berdasarkan data kuisioner dan observasi di semua memiliki penerimaan sosial yang tinggi lapangan sangat sulit di dapatkan data mengenai terhadap program kemitraan kehutanan sesuai informasi/sosialisasi, dan informasi/sosialisasi dengan wawasan yang diperoleh dari tingkatan sudah sangat banyak di lakukan namun hasilnya pendidikan masing – masing. tidak begitu berpengaruh terhadap penerimaan Tabel 17. Presentase pekerjaan responden di sosial masyarakat di kawasan PT. Inhutnai II. desa penelitian areal PT. Inhutani II Variabel X yang paling berpengaruh Kabupaten Kotabaru. terhadap variabel Y adalah X1 (pendidikan). Persenta Hal ini terlihat dari uji kontribusi secara parsial Alternatif se (%) X1 memiliki koefisien regresi tertinggi dan No Jawaban Jumlah memberikan kontribusi terbesar dibanding X2 6,78 (pekerjaan) dan X3 (lama bermukim). Variabel 1 Pedagang 4 3,39 X1, X2, dan X3 secara berurutan nilai 2 Aparat Desa 2 koefisiennya adalah 29,4%, 19,5% dan 12,4%. Ibu Rumah 1,69 3 Tangga 1

115 1,69 Tabel 18. Presentase lama bermukim responden 4 Pensiunan 1 di desa penelitian areal PT. Inhutani II 5,08 5 buruh 3 Kabupaten Kotabaru. 28,81 Alternatif No Jumlah Persentase (%) 6 Swasta 17 Jawaban 3,39 7 PNS 2 1 <5 tahun 0 0 6,78 2 5-10 tahun 5 8,47 8 Wiraswasta 4 1,69 3 >10 tahun 54 91,53 9 Tukang Batu 1 Jumlah 60 100 1,69 10 Guru 1 Sumber Data : Data Primer 2015 3,39 11 Karyawan 2 Selanjutnya variabel terakhir merupakan 35,59 12 Petani 21 variabel yang memiliki tingkat paling rendah dalam memberikan pengaruh terhadap 100 Jumlah 59 penerimaan sosial masyarakat terhadap program Sumber : Data Primer 2015 kemitraan kehutanan adalah lama bermukim pada suatu daerah, dimana di sini digambarkan Faktor berikutnya yang berpengaruh sebelumnya, bahwa lama bermukim akan secara signifikan terhadap penerimaan sosial berpengaruh dominan terhadap penerimaan adalah pekerjaan. Pekerjaan di sini sosial masyarakat terhadap program kemitraan diklasifikasikan menjadi 12 bagian, yaitu terlihat kehutanan, semakin lama masyarakat itu bahwa secara berurutan responden berprofesi bermukim di desa tersebut maka akan semakin sebagai petani sebanyak 21 orang (35,59%), tinggi pula tingkat penerimaan sosialnya swasta sebanyak 17 orang (28,81%), Pedagang terhadap program kemitraan kehutanan. sebanyak 4 orang (6,78%), wiraswasta sebanyak 4 orang (6,78%), Buruh sebanyak 3 orang Lama bermukim di klasifikasikan (5,08%), PNS 2 orang (3,39%), Aparat Desa 2 menjadi 3 bagian dengan tingkat yang berbeda orang (3,39%), Pensiunan 1 orang (1,69%), pula yaitu dari responden yang bermukim <5 Tukang batu 1 orang (1,69%), Ibu rumah tangga tahun, 5-10 tahun, >10 tahun dan lebih banyak 1 orang (1,69%) dan Guru 1 orang (1,69%). masyarakat lama bermukim >10 tahun yaitu Secara teori pekerjaan pada dasarnya sekitar 91,53 %, dan diartikan bahwa masyarakat berpengaruh terhadap penerimaan sosial di mana yang bermukim lebih dari 10 tahun memiliki di sini pekerjaan sebagai petani digambarkan tingkat penerimaan sosial yang tinggi pula. Pada dalam bentuk skor, petani memiliki tingkat kenyataannya responden yang lama tinggal 5-10 penerimaan sosial yang sangat tinggi tahun ternyata memiliki tingkat penerimaan dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. sosial sebesar 8,47 %, hal ini dikarenakan pengaruh lingkungan yang masyarakatnya Petani memiliki penerimaan yang tinggi berpegang teguh pada pelesatarian dan betapa dikarenakan secara tidak langsung juga pentingnya manfaat yang diperoleh dari adanya merupakan mata pencaharian mereka yang mau program kemitraan kehutanan. Tetapi ada pula tidak mau akan mereka pertahankan walaupun responden yang lama tinggalnya di bawah 5 disamping itu ada pekerjaan petani yang tahun ternyata tidak memiliki penerimaan sosial utamanya. Hal ini di cocokkan variabel dikarenakan masyarakat mengaggap tidak terlalu pekerjaan, berdasarkan hasil pengolahan dan mengetahui lebih banyak akan daerah yang signifikan, karena dari 59 responden sekitar mereka tinggali dan belum menyadari tentang 35,59 % bekerja sebagai petani yang tergolong pentingnya manfaat yang diperoleh dari memiliki penerimaan masyarakat sosial yang kelestarian hutan. Sehingga pada akhirnya saat tinggi terhadap program Kemitraan Kehutanan memasukkan data hasil kuisioner yang diperoleh namun disini tidak menutup kemungkinan ada di lapangan maka lama bermukim dapat beberapa dari unsur pekerjaan yang lain dikatagorikan berpengaruh nyata terhadap sehingga dari hasil data yang dibuat melalui penerimaan sosial masyarakat namun kurang SPSS untuk pekerjaan dapat dikatakan signifikan dikarenakan memiliki tingkat signifikan. penerimaan sosial yang paling rendah dari faktor – faktor lainnya.

116 Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan . Jakarta. VI. PENUTUP A. Kesimpulan Raharjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

1. Penerimaan sosial masyarakat terhadap Ridwan, 2004. Pengantar Statistika. Untuk keberadaan dan program kemitraan penelitian Pendidikan, Sosial, kehutanan di area PT. Inhutani II Kotabaru tergolong pada klasifikasi tinggi dengan nilai Ekonomi, Komunikasi dan Bisnis. Indeks Penerimaan Sosial Masyarakat Bandung : Alfabeta sebesar 72,77 2. Hasil uji regresi linier berganda didapatkan Sudraja, 1992. Metode Statistika. Edisi Kelima, ada tiga faktor yang mempengaruhi indeks Tarsito, Bandung. penerimaan sosial masyarakat terhadap program kemitraan kehutanan di Area PT. Udoyo, 2014. Penerimaan Masyarakat Innhutani II Kotabaru yakni: Pendidikan Terhadap Keberadaan Hutan Rakyat sebesar 29,4%, Pekerjaan 19,5% dan Lama di Kabupaten Tanah Laut. Tesis. Bermukim sebesar 12,4%. Program Studi Magister Ilmu 3. Pendidikan merupakan faktor yang paling Kehutanan Program Pascasarjana dominan berpengaruh terhadap Indeks Universitas Lambung Mangkurat. Penerimaan Sosial Masyarakat terhadap Banjarbaru. Tidak dipublikasikan. keberadaan dan program kemitraan kehutanan PT. Inhutani II Kotabaru. Wulandari. 2005. Evolusi Mitokondria dan Pemanfaatannya Dalam Penelusuran B. Saran Kekerabatan dan Evolusi Organisme. Bogor

Bagi Pemerintah daerah dan perusahaan PT. Inhutani II diharapkan lebih memperhatikan kesejahteraan dan pendidikan bagi masyarakat sekitar hutan karena hal ini sangat berpengaruh sekali dengan tingkat penerimaan masyarakat terhadap pola kemitraan yang akan dilakukan demi mengatasi berbagai konflik sengketa lahan di sekitar areal PT. Inhutani II.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, S. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan

Jalur dalam Penelitian. Bandung : CV.

Pustaka Setia.

Fauzi, H. 2012. Pembangunan Hutan Berbasis

Kehutanan Sosial. CV. Karya Putra

Darwati. Bandung.

Indrawijaya, Ibrahim Adam. 2003. Perilaku

Organisasi. Cetakan Pertama. PT. Sinar Baru, Bandung.

Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No P.39/Menhut – II/2013 Tentang

117 Dinamika Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah di Desa Ngatabaru

(Community Dynamics in Management of Central Sulawesi Forest Park in Ngatabaru Village)

Abdul Rahman, Hasriani Muis, Hauris, Arman Maiwa, Rahmat Hidayat Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Kampus Bumi Tadulako Tondo, Jl. Soekarno Hatta km. 9, Palu Indonesia 94117 Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Kampus Bumi Tadulako Tondo, Jl. Soekarno Hatta km. 9, Palu Indonesia 94117

Abstrak

Konversi lahan hutan ke lahan pertanian oleh masyarakat sekitar Kawasan Taman Hutan di Sulawesi Tengah, menyebabkan perubahan fungsi hutan yang signifikan yang dapat mengancam kelestarian hutan dan lingkungan. Keberadaan masyarakat di sekitar maupun dalam taman hutan raya sulawesi tengah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan ekosistem hutan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan tutupan lahan hutan dan pemanfaatan sumber daya hutan di Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. Penentuan sampel desa dilakukan dengan menggunakan metode secara sengaja yakni masyarakat yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada hutan. Pendekatan yang digunakan yakni pemetaan partisipatif dan hasil pengolahan citra dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan data atribut untuk menentukan dampaknya terhadap perubahan tutupan lahan. Dinamika masyarakat diantaranya illegal logging dan adanya alih fungsi kawasan hutan, minimnya keterampilan masyarakat dalam mengelola usaha dan terjadinya kesenjangan produktivitas antar daerah (aspek lingkup ekonomi), konflik antara masyarakat dan pemerintah, minimnya pendapatan masyarakat, ketidakjelasan batas kawasan hutan dan minimnya pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan (aspek lingkup pengelolaan).

Kata kunci : Dinamika masyarakat, sumberdaya hutan, taman hutan raya

Abstract

Conversion of forest land to agricultural land by communities around the Forest Park Area at Central Sulawesi, causing significant changes in forest function that can threaten forest and environmental sustainability. The existence of communities around and within the Central Sulawesi forest park is an integral part of forest ecosystem management. The research aims were to analyze facing forest land cover changes and utilization of forest resources of Forest Park at Central Sulawesi. The village sample determination was conducted using a purposive sampling method is society having high level of dependence with on forest. This research uses a participatory mapping approach and the results of image processing are analyzed by qualitatively and quantitatively using the attribute data to determine its impact on land cover changes. Community dynamics is illegal logging and the conversion of forest area, the lack of community skill in managing the business and the happening of productivity gap between regions (the scope of economy), the conflict between the community and the government, lower incomes of community from management forests, unclear borders of forest areas and lack of community involvement in forest management activities (aspects of management scope).

Key Word: Community Dynamics, Forest Resources, Forest Park

I. PENDAHULUAN berada dalam kawasan hutan Tahura. Masyarakat Konversi lahan hutan ke lahan pertanian oleh setempat telah mengklaim keberadaan mereka masyarakat sekitar Kawasan Taman Hutan Raya lebih dahulu ada sebelum penetapan kawasan (Tahura) Sulawesi Tengah, menyebabkan hutan Tahura Sulteng. Saleh (2013) masyarakat perubahan fungsi hutan yang signifikan yang dapat nomaden (Suku Kaili) atau petani yang menetap mengancam kelestarian hutan dan lingkungan. didaerah pegunungan masih sering melakukan Lahandu (2007), keberadaan Dusun Tompu kegiatan illegal loging (pencurian kayu), merupakan penduduk asli dari suku Kaili yang pembabatan hutan dan pembakaran hutan, hal ini

118 cenderung berdampak kerusakan terhadap dan kecenderungan pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup. hutan di sekitar dan dalam kawasan hutan Tahura Kegiatan perambahan ini sesungguhnya tidak Sulteng. 2) mendapatkan dinamika masyarakat lebih adalah manifestasi dari praktek tenurial. dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Dalam konteks praktek tenurial maka penguasaan hutan di Tahura Sulteng. Melalui hasil kajian ini lahan menjadi menjadi faktor determinan karena akan memudah untuk mensintesa berbagai berkaitan dengan tanah sebagai basis utama dinamika pemanfaatan SDH, guna penyelesaian budidaya untuk dapat mewujudkan harapan permasalahan dalam pengelolaan hutan. pemanfaatan daripadanya (Diantoro, 2010). Hasil observasi penelitian menunjukan bahwa II. METODOLOGI PENELITIAN teradapat keberadaan masyarakat dusun tompu A. Waktu dan Lokasi yang berada dalam kawasan hutan menjadi Penelitian dilakukan di Desa Ngatabaru, penguasaan tenurial menjadi permasalahan berat yang merupakan salah satu desa yang dalam pengelolaan Tahura Sulteng. Menurut Riggs memiliki dusun berbatasan langsung dan et all (2016), bahwa ambiguitas hukum atas tanah memiliki dusun yang berada dalam dan sumber daya alam telah mengakibatkan kawasan hutan Tahura Sulteng. Lokasi ini ketidakamanan lahan, berdampak pada ditetapkan secara sengaja (purposive), penghidupan dan melanggengkan konflik. berdasarkan pertimbangan dan hasil Pemerintah daerah yakni pihak pengelola Tahura observasi bahwa sebagian besar telah memiliki upaya yang cukup baik. Pada tahun masyarakatnya masih memiliki tingkat 2015, pemerintah daerah telah menetapkan 1 ketergantungan pada hutan yakni adanya (satu) Peraturan Daerah dan 4 (empat) Peraturan pemanfaatan hasil dan lahan hutan Gubernur sebagai kejelasan impelementasi (perambahan hutan) di sekitar dan dalam kebijakan dan perbaikan pengelolaan hutan pada kawasan hutan Tahura. kawasan Tahura Sulteng. Namun kebijakan tersebut, masih dianggap belum optimal B. Data dan Pengumpulan Data dikarenakan belum tersosialisasi dengan baik dan Data diperoleh dari hasil observasi dan menyeluruh dengan para pihak (stakeholders) wawancara dengan masyarakat, pihak berkepentingan dalam pengelolaan Tahura Tahura. Data sekunder dikumpulkan Sulteng. Menurut Cochard dan Dar (2014), melalui penelusuran dokumen dari permasalahan pengelolaan hutan diantaranya tidak literatur dan dokumen dari berbagai pihak jelas informasi tentang aturan, peraturan dan hak- yang diamati sebagai data penunjang. hak masyarakat dan para para pihak (stakeholders) Pengumpulan data lapangan dilakukan di dalam pengelolaan hutan. dengan beberapa pendekatan yaitu, Tujuan yang akan dicapai pada pelaksanaan melalui pengamatan langsung dengan penelitian ini adalah 1) memetakan secara spasial membandingkan kondisi data dengan perambahan dan pola pemanfaatan sumber daya kondisi sebenarnya di lapangan. hutan yang dilakukan oleh masyarakat disekitar Wawancara kepada responden dan dalam kawasan hutan Tahura Sulteng. dilakukan secara mendalam, penentuan Pemetaan ini digunakan dalam menyusun tipologi responden berdasarkan pertimbangan-

119 pertimbangan tertentu berdasarkan tujuan penelitian.

Gambar 1. Lokasi Penelitian Desa Ngata Baru Kabupaten Sigi

C. Tahapan Penelitian melalui kemampuan interpretasi data dan Penelitian yang dilakukan bersifat informasi yang diperoleh dari data yang deskriptif kualitatif. Arah penelitian dikumpulkan dari lokasi peneltian dengan adalah penemuan fakta lapangan mengguanakan pemetaan partisipatif berdasarkan potensi maupun gejala dinamika masyarakat dalam pengelolaan faktual yang ada di lokasi penelitian. Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, Selanjutnya mendeskripsikan dan sebagaimana di gambarkan dalam mencari solusi penyelesaian masalah Gambar 2.

Melakukan perumusan perencanaan dan penelitian. Data dan informasi memuat studi dokumen serta mengumpulkan data keadaan lingkungan, pola aktivitas dan informasi untuk memetakan keadaan pemanfaatan SDH, pada kawasan hutan desa yang akan dijadikan lokasi Tahura.

120 Pola Pemanfaatan Sumber Daya sumberdaya hutan didefinisikan Hutan berdasarkan Ngakan dkk., (2006), yaitu: Pada tahap ini, analisis dilakukan dengan a. Persepsi dan kepentingan tinggi: cara mengolah data yang berhubungan apabila mereka memahami dengan dengan proses dalam pelaksanaan baik bahwa sumberdaya hayati hutan aktivitas masyarakat di Tahura Sulteng. sangat penting dalam menopang Data yang diolah meliputi karakteristik, kebutuhan hidup baik langsung jenis pemanfaatan hasil dan lahan hutan, maupun tidak langsung dan intensitas pemanfaatan, waktu mengharapkan agar sumberdaya pemanfaatan SDH dalam setahun dan tersebut dikelola secara selajutnya memetakan pola pemanfaatan berkelanjutan hutan kaitannya pemanfaatan lahan hutan b. Persepsi dan kepentingan sedang: dan hasil hutan di Tahura Sulteng. apabila responden menyadari Sumber data diperoleh dari hasil analisis sumberdaya hayati hutan penting pemetaan partisipatif bersama masyarakat untuk menopang kehidupan, namun dan analisis interpretasi Citra Spot tahun tidak memahami bagaimana cara 2016 yang dipadukan dengan citra mengelola sumberdaya tersebut agar landsat tahun 2016. tersedia secara berkelanjutan Presepsi dan Kepentingan Masyarakat c. Persepsi dan kepentingan rendah: Mengukur Presepsi masyarakat dengan apabila responden tidak mengetahui mengkaji pendapat masyarakat tentang peranan sumberdaya hutan serta keberadaan blok khusus di Tahura tidak bersedia terlibat dalam Sulteng. Pengukuran presepsi dan pelestarian hutan yang ada di kepentingan masyarakat diukur dengan sekitarnya pendekatan pembobotan dari pemetaan partisipatif dan selanjutnya melakukan III. HASIL DAN PEMBAHASAN analisis rating. Analisis rating yang ditujukan untuk mengetahui persepsi dan A. Pamanfaatan Kawasan Tahura Sulteng kepentingan yang dianggap strategis dan Hasil interpretasi liputan penutupan lahan prioritas dalam pengelolaan Tahura kawasan Tahura yang berada di Desa Sulteng. Ngatabaru dari analisis series dari tahun 2010 sampai tahun 2016 semak belukar D. Metode Analisis bertambah 20%. Peningkatan semak Metode yang diguanakan dalam belukar ini dikarenakan pengambilan mengukur persepsi masyarakat adalah hasil hutan berupa kayu, hasil hutan kayu skala likert, yaitu metode yang digunakan didominasi dengan tujuan penggunaan untuk mengukur sikap atau presepsi bahan baku arang. Semakin sedikitnya masyarakat terhadap keberadaan Tahura. ketersediaan kayu sebagai bahan baku Persepsi masyarakat terhadap arang membuat masyarakat setempat

121 semakin luas melakukan perambahan penelitian menunjukkan perkembangan dalam kawasan hutan. yang pesat pemukiman dari tahun 2010 Adanya permukiman di kawasan Tahura seluas 87,56 Ha pada tahun 2016 seluas Sulteng dijumpai di Dusun Tompu. 179,57 Ha atau dengan terjadi Permukiman penduduk di wilayah penambahan luas sebesar 10%. Tompu dihuni oleh penduduk asli Keberadaan pemanfaatan kawasan hutan pegunungan dari suku Tadeo. Pola dapat dilihat dari perubahan tutupan permukiman menyebar dan saling lahan yang disajikan pada Tabel 1 dan berjauhan yang diantara permukiman Gambar 3 berikut. dimanfaatkan sebagai lahan budidaya pertanian (lahan usahatani). Hasil

Masyarakat melakukan pemanfaatan sayuran. Selain itu, penduduk lahan di kawasan Tahura berupa mengembangkan pula tanaman tahunan pertanian lahan kering campur semak. seperti mangga, sukun, kelapa, kakao, Pemanfaatan lahan lebih banyak pisang, dan lain-lain. Perubahan luas dilakukan oleh masyarakat dusun 4 yakni pemanfaatan lahan dari tahun 2010 dusun Tompu. Jenis-jenis tanaman sampai dengan tahun 2013 mengalami budidaya yang diusahakan penduduk peningkatan luas dari 122,93 Ha menjadi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya 185,31 Ha, namun pada tahun 2016 seperti Jagung, Padi ladang, kacang- menurun seluas 82,95 Ha. Penurunan luas kacangan, umbi-umbin, dan sayur- lahan pertanian karena menurunnya

122 produktivitas hasil pertanian, hal ini 465,75 Ha atau 48,47%, lahan agak kritis membuat masyarakat meninggalkan seluas 177,97 Ha atau 18,52%, lahan lahan pertanian mereka. potensial kritis seluas 179,75 Ha atau Penurunan produktivitas hasil pertanian 18,71%. Kondisi ini menunjukan adanya disebabkan penurunan produktivitas aktivitas dan ketergantungan masyarakat lahan di Desa Ngatabaru. Hasil dalam pemanfaatan hasil dan lahan hutan interpretasi data lahan kritis di Desa memberikan dampak terhadap kawasan Ngatabaru terdapat lahan dengan kondisi hutan Tahura Sulteng. Hasil anaisis kelas sangat kritis seluas 137,38 Ha atau lahan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 14,30%, lahan kritis yang tinggi seluas 4.

Pemanfaatan kawasan Tahura Sulteng kemiskinan. Pada kondisi seperti ini, tersebut telah berlangsung cukup lama di fenomena kemiskinan yang terjadi pada Desa Ngatabaru, sehingga berdampak masyarakat di sekitar hutan mendorong terhadap kerusakan hutan, turunnya kerusakan hutan termasuk pada kawasan kualitas dan kuantitas air yang terjadi konservasi. pada Embung Ngia di Desa Ngatabaru. Keadaan ini menjadi kendala besar bagi B. Persepsi dan Kepentingan Masyarakat proses pelaksanaan pengelolaan hutan Karakteristik aktivitas sekelompok karena adanya kesenjangan antara masyarakat yang menghuni suatu wilayah masyarakat dengan pengelola UPTD. telah terbukti dapat mengantar mereka Tahura Sulteng. Hasil kajian Muis, untuk tetap hidup sampai saat ini. (2013), bahwa keterdesakan masyarakat Interaksinya dengan hutan dapat terhadap pemanfaatan hutan sebagai merugikan kepentingan pihak lain. sumber mata pencaharian dan kehidupan Masyarakat desa sekitar kawasan masyarakat mendorong lahirnya konservasi tidak luput dari permasalahan

123 ini, yaitu terjadinya benturan antara keberadaan dan pengelolaan Tahura kepentingan konservasi dengan Sulawesi Tengah. Persepsi dan kepentingan masyarakat dalam Kepentingan Lingkungan Hidup Persepsi memenuhi kebutuhan hidupnya terhadap aktivitas masyarakat dalam (ekonomi) (Ngakan dkk., 2006). hutan menimbulkan dampak perubahan Pemusatan persepsi dan kepentingan lingkungan. Perubahan yang dirasakan masyarakat dilakukan dengan oleh masyarakat adalah adanya tanah pendekatan pemetaan partisipatif isu-isu longsor yang berada pada kawasan tanah dalam penyelenggaraan pengelolaan terbuka, terjadinya kekeringan dan Tahura Sulawesi Tengah. Pemusatan isu kemerosotan sumber dan kualitas air, tersebut, dikaji dalam beberapa kategori dan menurunya produktivitas lahan yakni kajian lingkungan, ekonomi, sosial (lahan kritis). Hasil persepsi dan budaya dan pengelolaan Tahura Sulawesi kepentingan masyarakat pada lingkungan Tengah. Terdapat 25 (dua puluh lima) hidup di Desa Ngatabaru disajikan pada persepsi dan kepentingan terhadap Gambar 5.

Perubahan lingkungan yang telah terjadi keterampilan masayrakat dalam disebabkan adanya aktivitas pembalakan mengelola usaha dan pendapatan menjadi liar (illegal loging) dan alih fungsi peringkat tertinggi. Kondisi ini kawasan hutan menjadi lahan pertanian mempengaruhi tingkat ketergantungan dan perkebunan. Perubahan kondisi masyarakat dengan kawasan hutan, lingkungan ini membuat lahan pertanian karena untuk memenuhi pendapatan dan perkebuanan masyarakat tidak masyarakat mengambil hasil hutan dan produktif, sehingga membuat masyarakat memanfaatnkan lahan hutan. Semenatara membuka lahan baru dalam kawasan minimnya produktivitas lahan pertanian hutan yang dianggap masih produktif dan mininmnya diversifikasi usaha untuk melakukan aktivitas pertanian. yang dilakukan masyarakat menjadi isu strategis untuk ditangani oleh pemerintah. Persepsi dan Kepentingan Sosial Hasil persepsi dan kepentingan Ekonomi masyarakat pada lingkup sosial ekonomi Hasil pemusatan persepsi dan di Desa Ngatabaru disajikan pada kepentingan dinamika ekonomi Gambar 6. masyarakat adalah minimnya

124

Persepsi dan Kepentingan Pengelolaan keterampilan kerja masyarakat menjadi Tahura Sulteng isu strategis untuk ditangani oleh Hasil persepsi dan kepentingan pemerintah dan pengelola Tahura masyarakat dalam pengelolaan Tahura Sulteng. Apabila kondisi ini dilakukan Sulteng, bahwa ketidakjelasan batas pembiaran dalam waktu lama akan kawasan hutan dengan pemukiman atau menimbulkan kesenjangan dan konflik kebun masyarakat dan minimnya manfaat antar masyarakat dan pengelola Tahura yang dirasakat masyarakat dan Sulteng. Hasil persepsi dan pemerintah desa pengelolaan Tahura kepentingan masyarakat pada lingkup Sulteng. Selain itu Semenatara sosial ekonomi di Desa Ngatabaru minimnya pelibatan masyarakat dalam disajikan pada Gambar 7. pengeloalan hutan dan mininmnya

Dinamika masyarakat dalam pengelolaan konservasi di Taman Hutan Raya Taman Hutan Raya akan mengakibatkan Sulawesi Tengah. Menurut (Golar, 2015) konflik berkepanjangan dengan pengelola Kesepakatan kolektif yang dibangun Tahura dan pemerintah daerah. Kondisi seringkali akan berbenturan dengan ini perlu menjadi semua pemangku regulasi yang berlaku. Hal ini harus kepentingan guna keberlangsungan dan segera direspons oleh penentu kebijakan, kelestarian pengelolaan Tahura Sulteng sebagai upaya perbaikan tata- kedepan. Perlu menyusun sebuah arah kepemerintahan dan pengelolaan hutan kebijakan dalam mengharmonisasi kedepan. antara kepentinga masyarakat, pengelola IV. KESIMPULAN Tahura dan pengelolaan kawasan

125 1. Pola pemanfaatan lahan tahura oleh National Park, Pakistan- administered masyarakat Desa Ngatabaru adalah: Kashmir. Environmental pemanfaatan lahan pertanian yaitu Development 10, 84–103 penanaman tanaman kemiri, tanaman doi.org/10.1016/j.envdev.2014.01.004. kopi, sawah ladang, tanaman holtikulututra, dan permukiman (Dusun Diantoro D T, 2010. Perambahan Kawasan Hutan Tompu), pamanfaatan kayu untuk bahan Pada Konsernasi Taman Nasional bangunan dan bahan baku arang. (Studi Kasus Taman Nasional Tesso Kecenderungan pemanfaatan hasil dan Nilau,Riau). Fakultas Hukum lahan hutan, menimbulkan kerusakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. lingkungan dan penurunan mutu lingkungan hidup (degradasi lahan dan Golar, Muis Hasriani, dan Ali Nur Muhammad, hutan). 2015. Sustainable Forest Management 2. Persepsi dan kepentingan masyarakat of Local Communty Post yakni perubahan lingkungan hidup yakni Revitalization: Case Study on Toro’s lahan kritis dan kekeringan, minimnya Community Near Lore Lindu National keterampilan mengelola lahan dan usaha Park. Full paper Symposium pertanian ketidakjelasan batas kawasan International, 2015. Universitas hutan, minimnya manfaat pengelolaan Tadulako. Tahura untuk masyarakat dan pemerintah desa. Pengembangan dalam Lahandu Jamlis, 2007. Analisis Kebijakan pengelolaan Tahura Sulteng kedepan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam perlu melakukan kolaborasi antar oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan pemangku kepentingan dalam Raya (Tahura), Sulawesi Tengah, mengharmonisasi kepentingan antara [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana masyarakat, pengelola Tahura dan Institut Pertanian Bogor. pemerintah daerah. Muis Hasriani, Irianingsih Ida, Sustri, 2013. Ucapan Terima Kasih Desain Model Kolaborasi Sebagai Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan Resolusi Konflik Pengelolaan dan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu bantuan dana penelitian melalui skema produk (TNLL) (Kasus Di Desa Watumeata terapan tahun pelaksanaan 2017. Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso). Laporan Hasil Penelitian, DAFTAR PUSTAKA Universitas Tadulako, Palu.

Cochard R., dan Dar M.E.U.I., 2014. Mountain Ngakan Putu Oka, Komarudin Heru, Achmad farmers' livelihoods and perceptions of Amran, Wahyudi dan Tako Akhmad, forest resource degradation at Machiara

126 2006. Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center for International Forestry Research (CIFOR): Intriprima Karya, Jakarta.

Rings R., Sayer J., Margules, Boedhihartono, Langston, Susanto Hari, 2016. Forest tenure and Conflict in Indonesia: Contested Rights in Rempek Village, Lombok. Land Use Policy 57; 241–249, doi.org/10.1016/j.landusepol.2016.06.0 02.

Saleh Sukmawati, 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Kaili di Sulawe Tengah. JurnalAcademica, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 05 No. 02 Oktober 2013, Universitas Tadulako, Palu.

127 PARTISIPASI DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KPH GEDONG WANI Irwan Sukri Banuwa1), R. Safe’i2), I.G. Febryano3), D. Novayanti4) 1, 2, 3, 4 Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145 Email: [email protected]

ABSTRAK Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan program dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengurangi laju kerusakan hutan dan mengentaskan kemiskinan masyarakat. Program ini membutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk mengelola hutan produksi dan mengembalikan fungsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi dan persepsi masyarakat terhadap HTR. Metode analisis yang digunakan adalah analisis desktriptif. Data dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara terhadap 95 responden yang berasal dari lima desa penerima IUPHHK HTR di KPH Gedong Wani. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap HTR di KPH Gedong Wani termasuk kategori sedang, begitu pula dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap HTR di KPH Gedong Wani termasuk kategori sedang. Kata Kunci : partisipasi, persepsi, HTR, KPH Gedong Wani

A. PENDAHULUAN Hutan kemasyrakatan, hutan tanaman rakyat, Permasalahan yang menyebabkan kerusakan hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan hutan adalah konflik sosial adanya pengakuan kehutanan. hak dari masyarakat sekitar hutan terhadap Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya Kehutanan telah memberikan Izin Pemanfaatan hutan (Kartodiharjo, 2007). Oleh karena sebab Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman itu seharusnya masyarakat dilibatkan dalam Rakyat (IUPHHK-HTR) kepada 5 Desa yaitu pengelolaan hutan. Kartodiharjo (2007) Desa Budi Lestari, Desa Sinar Ogan, Desa Jati berpendapat bahwa kerusakan hutan tidak Baru, Desa Srikaton, dan Desa Jati Indah yang mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya terletak di Register 40 KPH XIV Gedong Wani kondisi yang memungkinkan tumbuhnya Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten kepedulian masyarakat terhadap hutan. Dengan Lampung Selatan, Provinsi Lampung. kata lain keterlibatan masyarakat sekitar hutan Kesiapan fisik (lahan, pasar, dan lain-lain) dalam pengelolaan hutan merupakan suatu bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keharusan. keberhasilan program HTR, kesiapan aspek Untuk mengurangi laju kerusakan hutan sosial (kesempatan, kemauan, dan kemampuan sekaligus meningkatkan keterlibatan masyarakat) juga harus diperhatikan (Ekawati masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan dkk, 2008) yang secara keseluruhan akan hutan, maka pemerintah melalui Kementerian mempengaruhi ketertarikan masyarakat. Lingkungan Hidup dan Kehutanan Persepsi seseorang terhadap sesuatu akan mencanangkan program Perhutanan Sosial. mempengaruhi perilakunya (behavior) salah Tujuan pengembangan perhutanan sosial satunya dalam wujud pengambilan keputusan. adalah meningkatkan peran serta masyarakat Sebagai langkah awal menuju suatu proses dalam mengelola hutan sehingga dapat kerjasama antar pelaku, perlu dilakukan studi meningkatkan taraf kehidupan masyarakat tentang persepsi petani penggarap terhadap sekitar (Sumanto, 2009). Dasar hukum program yang telah dilakukan sampai saat ini pelaksanaan program Perhutanan Sosial adalah (Desmiwati, 2016). Oleh karena itu tujuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan penelitian ini adalah mengetahui persepsi dan Kehutanan Nomor partisipasi masyarakat terhadap program P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 pembangunan HTR di KPH Gedong Wani. tentang Perhutanan Sosial. Di dalam peraturan tersebut terdapat skema-skema pengelolaan B. METODE hutan berbasis masyarakat seperti Hutan Desa, 128

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret menghambat kegiatan pembangunan HTR. sampai Juli 2017 di Desa Budi Lestari, Desa Persepsi yang sedang ini disebabkan karena Sinar Ogan, Desa Jati Baru, Desa Srikaton, dan responden hanya dapat merasakan sebagian Desa Jati Indah yang merupakan areal HTR di manfaat positif dengan adanya pembangunan Register 40 KPH XIV Gedong Wani, HTR. Sedangkan sebanyak 16,8 % responden Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten masuk dalam kategori persepsi rendah. Alasan Lampung Selatan, Provinsi Lampung. responden memiliki persepsi rendah adalah Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara mereka kurang setuju dengan ketentuan yang sengaja (purposive) dengan pertimbangan ada sudah ditentukan pada ketentuan HTR bahwa lokasi tersebut telah memiliki ijin yang tertuang dalam Peraturan Menteri pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor rakyat (IUPHHK-HTR) sejak tahun 2017 P.83/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/10/2016 sehingga program HTR dapat dilaksanakan. tentang Perhutanan Sosial. Seperti aturan Metode penelitian yang digunakan adalah bahwa lahan HTR yang sudah dimiliki oleh dengan menggunakan kuisioner. Teknik masyarakat, tidak dapat diwariskan kepada pengumpulan data meliputi pengamatan, siapapun ketika nanti nya orang tersebut wawancara, dan dokumentasi. Responden meninggal dunia, dan beberapa aturan lain terpilih sejumlah 95 orang dipilih secara acak yang mereka kurang setuju yang akan dibahas dari 1866 populasi dengan menggunakan dalam uraian berikut ini. rumus slovin. Pengolahan dan analisis data (1) Persepsi Masyarakat Terhadap yaitu dengan analisis deskriptif mengenai Manfaat HTR tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat Masyarakat mengaku dengan adanya ijin, terhadap pembangunan HTR mereka merasa nyaman dan aman dalam mengelola hutan. Berdasarkan data yang C. HASIL DAN PEMBAHASAN didapat dilapangan responden pada keempat 1. PERSEPSI MASYARAKAT Desa yaitu Budi Lestari, Sinar Ogan, Jati Baru TERHADAP PEMBANGUNAN HTR dan Srikaton memiliki tingkat persepsi sedang, Menurut Robbin (2006) persepsi merupakan sedangkan persepsi tinggi hanya di temui di penilaian atau tanggapan seseorang terhadap Desa Jati Indah. Persepsi terbentuk obyek atau kegiatan tertentu. Persepsi dikarenakan masyarakat masih berpendapat seseorang terhadap suatu obyek akan positif bahwa saat ini kegiatan HTR masih lebih apabila sesuai dengan kebutuhannya, menguntungkan pemerintah dibandingkan sebaliknya akan negatif apabila bertentangan dengan keuntungan yang diperoleh dengan kebutuhan orang tersebut. Selain itu masyarakat. mereka merasa tidak dirugikan dengan adanya pembangunan HTR sehingga persepsi mereka tinggi.

Gambar 2. Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat dari HTR

Gambar 1. Persepsi Responden terhadap Total keseluruhan terdapat 84,2 % responden Pembangunan HTR yang memiliki tingkat persepsi sedang dan

sebanyak 15,8% responden memiliki tingkat Persepsi responden yang tergolong sedang persepsi yang tinggi terhadap manfaat adanya sebanyak 83,2%. Pada kondisi seperti ini, HTR. Dengan adanya HTR ini, masyarakat responden yang memberikan persepsi sedang mendapatkan akses pengelolaan hutan secara dapat bersifat mendukung kegiatan legal. pembangunan HTR atau bahkan dapat 129

(2) Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Sedangkan masyarakat pada Desa Srikaton dan Tanaman Jati Indah memiliki persepsi yang sedang Di lokasi penelitian seperti di Desa Budi terhadap proses perizinan, hal tersebut Lestari, lahan di dominasi tanaman karet, dikarenakan terjadinya migrasi pendatang akasia, sawit, dan sengon yang diselang seling sehingga sebagian penduduk tidak mempunyai dengan acasia. Di Desa Sinar Ogan lahan surat keterangan ijin tinggal. Hal ini ditanami karet, acasia, sawit, palawija. Di Desa mengacaukan administrasi desa. Dengan Jati Baru lahan ditanami karet,acasia, sawit, demikian perlu dilakukan penguatan dan palawija. Desa Srikaton seluruh areal kelembagaan pemerintahan desa dan sudah dimanfaatkan dengan ditanami karet pengawasan dari institusi di atasnya. 80% sisanya ditanami sengon, acasia, singkong, jagung, dan padi. Sedangkan Desa Jati Indah lahan nya ditanami karet, jati, dan acasia.

Gambar 4. Persepsi Masyarakat terhadap Persyaratan Perijinan

Dalam gambar 4, sebanyak 24,2 % responden tergolong memiliki persepsi yang sedang terhadap persyaratan perijinan. Salah satu persyaratan perijinan adalah adanya peta areal, Gambar 3. Persepsi Masyarakat terhadap Jenis sedangkan sampai perijinan IPUHHK-HTR Tanaman keluar, masyarakat mengatakan bahwa mereka belum membuat peta areal. Dari hasil penelitian, sebanyak 100% (4) Persepsi Masyarakat Terhadap responden setuju dengan ketentuan terhadap Proses Perijinan jenis tanaman dengan memberikan penilaian Dalam gambar 5, sebanyak 93,7 % responden dengan kategori persepsi tinggi. Namun, bila memberikan persepsi yang sedang terhadap dilihat dari jenis tanaman yang masyarakat proses perijinan. Mereka berpendapat bahwa usahakan di lahan hutan tanaman rakyat, dalam walaupun persyaratan bagi masyarakat yang jangka waktu 5 tahun belum dapat memenuhi ingin mengajukan ijin pemanfaatan HTR kebutuhan industri kayu karena produksi yang (IUPHHK-HTR) mudah dipenuhi, waktu yang dihasilkan sebagian besar adalah getah karet, dibutuhkan agar ijin IUPHHK-HTR keluar dan untuk acasia serta sengon sebagian besar tergolong lama. Usulan pencadangan HTR masih berumur sekitar 2 sampai 3 tahun. telah dilakukan mulai tahun 2014. Kelima (3) Persepsi Masyarakat Terhadap Desa tersebut, baru akhirnya mendapatkan ijin Persyaratan Perijinan IUPHHK-HTR pada bulan Maret 2017 dan Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa diserahkan melalui Kepala Dinas Kehutanan sebanyak 75,8 % responden (gambar 4) Provinsi Lampung. memberikan persepsi yang tinggi terdap persyarakat perijinan. Berdasarkan data hasil penelitian masyarakata pada Desa Budi Lestari, Sinar Ogan dan Jati Baru memiliki persepsi yang tinggi terhadap persyaratan perizinan. Masyarakat pada desa tersebut berpendapat bahwa persyaratan yang harus dikumpulkan mudah untuk dipenuhi. Mereka hanya diminta untuk mengumpulkan KTP, yang selanjutnya kepala desa akan Gambar 5. Persepsi Masyarakat terhadap mengeluarkan surat keterangan domisili. Proses Perijinan

130

diwariskan kepada anak cucu mereka agar Untuk biaya pengurusan, responden hanya menjadi jaminan kehidupan ekonomi mereka. mengeluarkan sedikit biaya atau bahkan tidak (6) Persepsi Masyarakat Terhadap Hak sama sekali karena untuk pengumpulan kartu Dan Kewajiban identitas, pendamping yang ditunjuk oleh KPH Hak dan kewajiban pemegang ijin IUPHHK- Gedong Wani mendatangi rumah warga yang HTR telah diatur dalam akan mengajukan ijin. Sebanyak 6,3 % P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 dan responden memiliki persepsi yang tinggi juga telah tercantum di SK IUPHHL-HTR terhadap proses perijinan karena masyarakat yang telah diterima oleh masing-masing ketua tidak mengetahui bagaimana proses perijinan gapoktan. Dari hasil wawancara seperti pada tersebut. Masyarakat yang memiliki persepsi gambar 7, sebanyak 2,1 % responden tinggi ini mengatakan bahwa mereka tidak memberikan nilai sedang dan sisanya sebanyak mengikuti proses perijinan yang berjalan dan 97,9 memberikan nilai rendah. secara tiba-tiba perijinan langsung keluar. Pada saat dilakukan wawancara, beberapa responden mengaku belum pernah melihat SK (5) Persepsi Masyarakat Terhadap IUPHHK-HTR yang telah diterima oleh ketua Pewarisan gapoktan mereka. Namun demikian, ketika Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan diberi penjelasan bahwa salah satu kewajiban Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia mereka adalah menyusun RKU dan RKT Nomor mereka tidak merasa keberatan. Mereka P.83.MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 meminta untuk dibantu pihak seperti akademisi tentang perhutanan sosial, IUPHHK-HTR dan penyuluh untuk menyusun RKU dan RKT. berlaku untuk jangka 35 tahun dan tidak dapat diwariskan. Masyarakat berpendapat hal ini tidak adil untuk mereka, karena mereka merasa bahwa lahan tersebut telah turun temurun dikelola oleh mereka dan sebagian masih menganggap bahwa lahan tersebut sebagai hak milik. Dengan adanya ketentuan bahwa ijin IUPHHK HTR tidak dapat diwariskan, maka ketika pemegang ijin telah meninggal dunia, ijin harus dikembalikan kepada negara. Seseorang hanya dapat mengelola lahan Gambar 7. Persepsi Masyarakat terhadap Hak tersebut sampai orang tersebut meninggal dan Kewajiban dunia walaupun ijin tersebut setelah 35 tahun dapat diperpanjang lagi. Adanya persepsi masyarakat yang tergolong rendah dan sedang terhadap hak dan kewajiban dikarenakan adanya kewajiban membayar provisi sumber daya hutan. Selain itu, masalah hak yang diterima masyarakat seperti mendapatkan fasilitasi dalam hal pembiayaan dan akses pasar juga belum didapatkan. (7) Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan Hutan Kelompok tani dibuat dengan tujuan untuk Gambar 6. Persepsi Masyarakat terhadap memudahkan pengurusan administrasi dalam Pewarisan pengajuan ijin HTR, memudahkan transfer informasi mengenai HTR, dan memudahkan Dari gambar 6, secara keseluruhan sebanyak administrasi pengajuan pinjam dana bergulir 100% responden kurang setuju dengan untuk pembangunan HTR nantinya. Yang ketentuan tersebut. Alasannya karena mereka terjadi di lapangan adalah bahwa kelembagaan telah lama mengelola lahan dan menjadi HTR di daerah penelitian merupakan sumber penghasilan tetap bagi mereka. Mereka kelembagaan baru yang sengaja dibuat demi sangat berharap bahwa lahan tersebut dapat 131

kepentingan pelaksanaan HTR. sebanyak responden berpesepsi tinggi. Menurut 72,6% responden merasa peran KTH penting. responden dalam kategori ini, jumlah tenaga Dengan adanya kelompok tani hutan, proses pendamping HTR selama ini telah memadai. pengurusan ijin HTR menjadi lebih mudah dan Tenaga pendamping juga menguasai materi informasi tentang HTR juga mudah diperoleh. serta dalam penyampaian materi disesuaikan dengan latar belakang dan kemampuan masyarakat. Sedangkan sebanyak 17 % resonden termasuk golongan persepsi sedang, dan sebanyak 62% responden masuk ke dalam golongan persepsi rendah. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa bahwa jumlah tenaga pendamping dan materi yang diberikan masih kurang. Gambar 8. Persepsi Masyarakat terhadap Saat ini, pendampingan yang berjalan baru Kelembagaan Hutan bersifat teknis. Untuk pendampingan yang bersifat non teknis seperti penguatan Walaupun mereka setuju dengan peran KTH, kelembagaan masih sangat kurang. Padahal namun mereka merasa belum saling mengenal penguatan kelembagaan merupakan faktor antar satu anggota dengan anggota yang lain. penting dalam menyiapkan masyarakat untuk Hal ini wajar dikarenakan mengingat mengelola HTR (Hakim, 2009). Hal ini perlu kelembagaan KTH yang mereka bentuk baru. diperhatikan, karena pendampingan penguatan Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa kelembagaan dapat membangun masyarakat keaktifan setiap anggota kelompok dalam yang mandiri dalam mengelola hutan. kelompoknya sangat rendah. KTH selama ini 2. PARTISIPASI MASYARAKAT baru berperan dalam proses pengajuan ijin dan TERHADAP PEMBANGUNAN HTR dapat dibilang bahwa yang berperan hanya (1) Partisipasi Masyarakat dalam anggota tertentu saja dan ketua nya, sedangkan Perencanaan dalam kegiatan lainnya peran KTH belum Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada terilihat. Di Desa Sinar Ogan, Budi Lestari, Gambar 11, sebanyak 6,3% responden Srikaton, Jati Indah, dan Jati Baru, frekuensi memiliki partisipasi yang tinggi dalam pertemuan antar anggota kelompok maupun perencanaan, sebanyak 40 % responden antar kelompok sangat tinggi pada saat proses memiliki partisipasi yang sedang, dan sisanya pengajuan baru berjalan. Namun begitu ijin sebanyak 53,7% responden memiliki telah keluar, frekuensi pertemuan tersebut partisipasi yang rendah dalam perencanaan menurun dengan drastis bahkan hampir tidak pembangunan hutan tanaman rakyat. pernah dilakukan lagi. Perencanaan merupakan dasar kegiatan yang (8) Persepsi Masyarakat Terhadap mengarahkan dan menuntun orang untuk Tenaga Pendamping melakukan kegiatan sesuai dengan prosedur Pendampingan dibutuhkan untuk menunjang yang telah ditentukan guna mencapai tujuan kegiatan HTR. Pendampingan HTR dilakukan yang diinginkan. oleh penyuluh kehutanan dan pihak dari KPH Gedong Wani sendiri.

Gambar 10. Persepsi Masyarakat terhadap Tenaga Pendamping Gambar 11. Partisipasi Responden dalam Berdasarkan gambar 10, persepsi masyarakat Kegiatan Perencanaan terhadap tenaga pendamping sebanyak 16,8 %

132

Tahap awal yang merupakan bagian antar satu anggota dengan anggota yang lain. perencanaan antara lain pengukuran areal Hal ini wajar dikarenakan mengingat lokasi HTR, penentuan jenis tanaman, dan kelembagaan KTH yang mereka bentuk baru. penyusunan rencana dan program hutan Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa tanaman rakyat. Masyarakat tidak dilibatkan keaktifan setiap anggota kelompok dalam dalam penentuan jenis tanaman, akan tetapi kelompoknya sangat rendah. KTH selama ini aturan yang telah ada dalam baru berperan dalam proses pengajuan ijin dan P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 dapat dibilang bahwa yang berperan hanya tentang perhutanan sosial, sesuai dengan anggota tertentu saja dan ketua nya, sedangkan tanaman yang masyarakat tanam selama ini. dalam kegiatan lainnya peran KTH belum Untuk penyusunan rencana dan program hutan terilihat. Di Desa Sinar Ogan, Budi Lestari, tanaman rakyat, mereka sampai saat ini belum Srikaton, Jati Indah, dan Jati Baru, frekuensi menyusun rencana kerja tahunan dan rencana pertemuan antar anggota kelompok maupun kerja umum yang merupakan kewajiban dari antar kelompok sangat tinggi pada saat proses pemegang ijin HTR. pengajuan baru berjalan. Namun begitu ijin (2) Partisipasi Masyarakat dalam telah keluar, frekuensi pertemuan tersebut Aktivitas Kelompok Tani Hutan menurun dengan drastis bahkan hampir tidak Berdasarkan Gambar 12, sebanyak 76,8 % pernah dilakukan lagi. Meskipun demikian dari reponden memiliki partisipasi sedang dan 7,4 petani hutan rakyat yang menjadi responden, % responden memiliki partisipasi yang rendah apabila ada undangan pertemuan kelompoktani terhadap aktivitas kelompok tani hutan, dan dipastikan akan datang memenuhi undangan hanya 15, 8 % responden yang tergolong tersebut. memiliki partisipasi tinggi. Hal ini disebabkan (3) Partisipasi Masyarakat dalam banyak responden yang mengikuti program Pembibitan, Penanaman, HTR tetapi tidak terlibat dalam semua kegiatan Pemeliharaan perencanaan. Dari hasil penelitian partisipasi responden dalam pembibitan, penanaman, pemeliharaanseperti yang ditunjukkan Gambar 13, menunjukan sebanyak 68,4% repsonden memiliki partisipasi tinggi dan sebanyak 31,6 % responden memiliki partisipasi sedang.

Gambar 12. Partisipasi Responden dalam Aktivitas Kelompok Tani Hutan

Gambar 13. Partisipasi Responden dalam Berdasarkan hasil wawancara, bahwa dalam Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan pembentukan kelompok tani sistemnya berbeda-beda untuk masing-masing kelompok. Partisipasi dalam hal pembibitan, penanaman, Ada yang pembentukan kelompok taninya pemeliharaan tergolong tinggi dibandingkan melibatkan seluruh petani, ada yang dengan dengan partisipasi lainnya. Hal tersebut perwakilan dan ada pula yang hanya dikarenakan kegiatan tersebut telah melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Dalam dilaksanakan oleh masyarakat jauh sebelum wawancara, terdapat responden yang tidak IUPHHK-HTR keluar. mengetahui nama kelompok tani mereka (4) Partisipasi dalam Pengamanan, dikarenakan dalam pembuatan kelompok tani Pemecahan Masalah, dan Pemasaran hanya melibatkan perwakilan saja. Hasil Dari hasil wawancara, partisipasi responden Walaupun mereka setuju dengan peran KTH, dalam pengamanan, pemecahan masalah dan namun mereka merasa belum saling mengenal 133

pemasaran hasil ditunjukan dalam Gambar 14 DAFTAR PUSTAKA dibawah ini. Dari Gambar 14, menunjukkan Desmiwati, N. F. N. "Studi Tentang Persepsi sebanyak 3,2% responden memiliki partisipasi Dan Tingkat Partisipasi Petani yang tinggi, 35,8% responden memiliki Penggarap Di Hutan Penelitian partisipasi yang sedang, dan sebanyak 61,1% Parungpanjang." Jurnal Perbenihan responden memiliki partisipasi yang rendah. Tanaman Hutan 4.2 (2016): 109-124. Ekawati S, Daryono H, Zuraida. 2008. Kesiapan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah Seminar Hutan Tanaman Rakyat yang diselenggarakan oleh Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan Badan Litbang Kehutanan tanggal 14 Agustus 2008 Hakim I. 2009. Kajian Kelembagaan dan

Gambar 14. Partisipasi Responden dalam Kebijakan hutan Tanaman Rakyat. Pengamanan, Pemecahan Masalah, dan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Pemasaran Hasil Vol 6 No.1 : 27-41 Kartodihardjo H. 2007. Di Balik Kerusakan Partisipasi dalam pengamanan, pemecahan Hutan dan Bencana Alam: Masalah masalah, dan pemsaran hasil menunjukkan Transformasi Kebijakan Kehutanan. nilai yang terendah dibandingkan dengan nilai Yayasan Keanekaragaman Hayati partisipasi kegiatan lainnya. Sampai saat ini Indonesia. Jakarta belum terdapat aktivitas pemasaran hasil Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2006). Perilaku dikarenakan masyarakat belum melakukan organisasi. Edisi Bahasa Indonesia. pemanenan. Jakarta. PT. Indeks Kelompok Gramedia. D. KESIMPULAN Sumanto, Slamet Edi. "Kebijakan Tingkat persepsi masyarakat terhadap program pengembangan perhutanan sosial pembangunan HTR tergolong dalam kategori dalam perspektif resolusi sedang. Masyarakat merasa mendapatkan konflik." Jurnal Analisis Kebijakan manfaat dengan adanya program ini yaitu Kehutanan 6.1 (2009) jaminan keamanan. Aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah juga tidak memberatkan masyarakat, seperti dalam hal pengurusan ijin beserta persyaratan dan juga jenis tanaman yang telah ditetapkan. Partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan HTR tergolong dalam kategori sedang. Sebagian masyrakat telah berpatisipasi dalam seluruh kegiatan pembangunan HTR, dari mulai perencanaan, aktivitas kelompok tani, pelaksanaan, Pengamanan, Pemecahan Masalah, dan Pemasaran Hasil. Untuk kegiatan pemasaran hasil belum masyarakat lakukan karena mayarakat belum panen. Sedangkan dalam beberapa kegiatan, tidak semua masyarakat dilibatkan seperti dalam perencanaan dan pemecahan masalah. Dalam hal tersebut hanya masyarakat tertentu yang dilibatkan seperti ketua kelompok tani.

134

Pengetahuan Lokal Kegiatan Perlebahan Pada Hutan Desa di Desa Bonto Karaeng Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ( Local Knowledge in Beekeeping Activity at Village Forest, In Bonto Karaeng Village, Sinoa Subdistrcit, Bantaeng Regency)

M. Asar Said Mahbub1, Makkarennu1 , A. Ridha Y.W2, Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

1. Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin 2. Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

ABSTRAK

Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang sangat dasar, berasal dari pengalaman sehari - hari yang dikembangkan secara turun temurun dan dipercaya oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengetahuan lokal perlebahan yang diterapkan masyarakat di Desa Bonto Karaeng. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2016 di Desa Bonto Karaeng, Kecamatan Sinoa Kabupaten Bantaeng. Data diperoleh dengan wawancara mendalam dari responden terpilih yang menerapkan pengetahuan lokal dalam kegiatan perlebahan. Data dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan lokal yang diterapkan masyarakat dalam kegiatan perlebahan di Desa Bonto Karaeng antara lain Pengetahuan tentang manajemen perlebahan, pemanenan dan pasca panen, manfaat perlebahan terhadap kesehatan serta kepercayaan-keperayaan lokal dalam mengelola perlebahan.

Kata Kunci : Pengetahuan Lokal, Perlebahan, Manajemen.

Pendahuluan yang bersifat lisan dengan pewarisan transgenerasi.Hasil penelitian Nurlaelah (2016) Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang di Desa Labbo Kecamatan Tompobulu berasal dari tradisi atau pengalaman yang Kabupaten Bantaeng menunjukkan bahwa dikembangkan dan dilestarikan serta secara turun pengetahuan lokal masyarakat dalam perlebahan temurun dipercaya oleh masyarakat. Pengetahuan memberikan sumbangsih dalam memperkaya lokal telah ada didalam kehidupan masyarakat khasanah pengetahuan perlebahan,karena itulah sejak zaman dahulu sampai saat ini yang penting untuk mengkaji dan mengungkit terbangun secara alamiah dalam komunitas pengetahuan lokal ini di tempat lain. masyarakat kemudian berkembang menjadi suatu Penelitian mengenai pengetahuan lokal kebudayaan (Baharudin, 2012). perlebahan ini difokuskan di Desa Bonto Perlebahan merupakan salah satu kegiatan karaeng, karena hutan desa di Desa Bonto masyarakat yang banyak melahirkan Karaeng merupakan salah satu daerah potensial pengetahuan lokal, penanganan perlebahan sejak dalam pengembangan perlebahanyang persiapan awal hingga panen memerlukan cara- mengaplikasikan pengetahuan lokal dalam cara tersendiri, kegiatan inilah yang kemudian menangani perlebahan. Berdasarkan hasil studi banyak menghasilkan pengetahuan lokal melalui diagnostik, beberapa masyarakat sudah berbagai inovasi. Beberapa kajian menunjukkan mengusahakan kegiatan perlebahan mulai dari aneka bentuk pengetahuan lokal yang perburuan lebah hutan hingga budidaya lebah dikembangkan oleh masyarakat. Penelitian madu secara tradisionil. Nurlaelah (2016) menunjukkan bahwa terdapat pengetahuan lokal mulai dari penentuan iklim, Metode Penelitian penangkapan, manajemen koloni hingga ke pemanenan dan pemasaran. A. Waktu dan Tempat Penelitian Salah satu ciri pengetahuan lokal perlebahandi Penelitian ini dilakukan pada bulan kawasan hutan desa ini adalah penyampaiannya Oktober – November 2016. Penelitian

135 bertempat di Desa Bonto Karaeng, berperan dalam pengetahuan manajemen Kecamatan Sinoa, Kabupaten Bantaeng, perlebahan diuraikan sebagai berikut Provinsi Sulawesi Selatan. 1. Pengetahuan mengenai iklim dan gejala alam B. Metode Pengumpulan Data Iklim merupakan salah satu faktor yang Metode pengumpulan datadilakukan sangat penting bagi kehidupan lebah, karena dengan melakukan melakukan observasi kegiatan perlebahan dimulai dengan lapangan, melakukan wawancara (pedoman memperhatikan tanda-tanda alam wawancara dan pendekatan untukmenentukan musim.Salah satu triangulasi),studi literaturdan dokumentasi pengetahuan masyarakat yang digunakan sehingga menghasilkan 2 jenis data yaitu dalam menentukan penanda musim yaitu data primer yang meliputi pengetahuan tanaman kopi. Jika musim hujan datang masyarakat mengenai perlebahan baik itu bunga kopi melimpah dan merekah. mulai dari penangkapan koloni, Pengaruh iklim mulai nampak sejak managemen, sampai masa panen, yang cabang-cabang primer menjelang berbunga. informasinya diperoleh dari masyarakat Banyak atau lamanya penyinaran yang sudah turun temurun melakukan merupakan stimulan bagi besar kecilnya kegiatan perlebahan, serta data sekunder. persiapan pembungaan Musim kemarau Data yang telah diperoleh kemudian merupakan musim persiapan pembentukan dianalisis secara kualitatif yang meliputi 3 bunga pada tanaman kopi dan bunga akan tahap: reduksi data, penyajian data dan mekar ketika berada pada penghujung penarikan kesimpulan. musim kemarau menuju musim hujan (Aak, 1988). Hasil dan Pembahasan Selain tanda iklim, ketika memasuki musim perlebahan masyarakat juga Pengetahuan lokal perlebahan di Desa memperhatikan kalender Islam (Hijriah). Bonto Karaeng merupakan bentuk Pada kalender islam (hijriah) musim hujan pengetahuan yang melalui proses mulai saat bulan muda yaitu bulan memahami dan menginterpretasikan hasil muharram. Awal bulan yaitu tanggal 1-15 pengamatan maupun pengalaman yang biasanya hujan turun pada pagi hari digunakan dalam aktivitas perlebahan. sehingga lebah malas keluar mencari Pengetahuan lokal juga berdasarkan pada makan. Pada tanggal 15 keatas hujan turun proses pewarisan transgenerasi, masyarakat rata-rata pada sore hari sehingga lebah menganggap bahwa pengetahuan yang sempat mencari makan pada pagi hari. mereka miliki masih sesuai dengan kondisi 2. Pengetahuan mengenai cara menangkap yang ada dilingkungannya, kemudian apa koloni yang mereka pahami disampaikan atau Penangkapan koloni merupakan kegiatan dikomunikasikan sehingga pada akhirnya awal dalam berbudidaya lebah madu. pengetahuan lokal tentang perlebahan masih Biasanya masyarakat menangkap koloni bertahan sampai saat ini. yang bersarang di sekitar rumah mereka. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara Menentukan lokasi sarang lebah adalah umum pengetahuan lokal masyarakat pada keahlian tersendiri yang dimiliki kegiatan perlebahan terbagi atas 4 bagian masyarakat, mereka menentukan lokasi yakni: sarang dari beberapa indikator. Tanda-tanda yang dijadikan pedoman A. Pengetahuan tentang manajemen adalah: mengamati tempat lebah perlebahan beterbangan, jika ada kerumunan lebah Pengetahuan tentangmanajemen berarti tempat bersarangnya tidak jauh dari perlebahan merupakan rangkaian kegiatan tempat kerumunan. Setelah itu masyarakat yang memiliki beberapa unsur, mulai dari mengamati kotoran lebah pada permukaan penentuan masuknya kegiatan perlebahan, tanah. Jika kotoran lebah banyak bertebaran penangkapan koloni, pemilihan lokasi, di permukaan tanah berarti sarangnya perlindungan dari sengatan, serta berada disekitarnya. Kotoran lebah biasanya perlindungan koloni dari hama dan terdiri atas kotoran dengan ukuran besar dan penyakitDeskripsi pengetahuan lokal yang mempunyai ekor dengan ukuran kecil.

136 Kemana kotoran kecil ini mengarah, maka Areal lain yang biasa dipakai sebagai disitulah tempat lebah bersarang. tempat untuk membuat lebah bersarang Masyarakat beranggapan bahwa lebah yaitu Lappara. Lappara merupakan lahan keluar di pagi hari dengan membuang yang kotoran untuk meringankan beban supaya memiliki topografi datar.Areal lappara bisa terbang dengan cepat sambil memudahkan masyarakat untuk mengawasi meninggalkan sarangnya. Perilaku koloni karena lokasi yang datar dan terbuka. membuang kotoran dan bentuk kotoran Lebah lebih suka tempat yang datar, karena lebah mirip lokasi yang menanjak dari lokasi mencari dengan cecak, ada kotoran ukuran besar dan makan akan menyulitkan lebah karena ada yang kecil. Pengamatan selanjutnya terganggu gaya tarik bumi. adalah kecepatan terbang lebah di pagi hari. 4. Pengetahuan mengenai cara perlindungan Jika lebah terbang dengan kecepatan tinggi dari sengatan labah. menuju ke arah tertentu berarti lokasi sarang Sengatan lebah menimbulkan alergi adalah sebaliknya, demikian pula jika dengan gejala berupa rasa nyeri, bengkak, masyarakat mendapati lebah terbang dengan dan berwarna kemerahan disekitar tempat kecepatan rendah sambil meliuk-liuk berarti sengatan. Lebah menyengat jika merasa lebah menuju ke sarangnya diganggu dan berada dalam bahaya. Salah satu peralatan yang biasa Masyarakat memiliki cara-cara tersendiri digunakan masyarakat ketika berburu lebah untuk melindungi diri dari sengatan lebah. dihutan atau menangkap koloni yakni Daun kacang kapri merupakan jenis kurungan ratu. Membawa kurungan ratu tanaman yang dianggap baik oleh saat mencari koloni merupakan teknik ini masyarakat untuk menangani rasa sakit saat dianggap ampuh oleh masyarakat untuk disengat lebah. Menurut Purwaningsih mendapatkan koloni. Setelah koloni (2016) Kacang kapri mengandung senyawa berkumpul di dalam Bandala (stup), segera anti radang yang mampu menyembuhkan ditutup dan dibawa ke rumah. rasa nyeri, kacang juga baik untuk 3. Pengetahuan mengenai pemilihan lokasi dikonsumsi mampu menyembuhkan Lokasi yang tepat sangat menentukan penyakit asma dan radang pada sendi atau keberhasialan lebah yang akan bersarang. yang disebut asam urat. Selain itu Masyarakat di desa Bonto Karaeng pada masyarakat biasa menggunakan tanah yang umumnya memelihara lebah pada lokasi berada dibawah sarang bebatuan. bebatuan dan lappara (lahan yang memiliki 5. Pengetahuan tentang perlindungan koloni topografi datar). dari hama dan penyakit Sarang lebah yang disusun dari Hama pada lebah adalah semua bebatuan (biasa disebut sarang batu) organisme penggangu yang dapat banyak diaplikasikan oleh masyarakat. merugikan secara ekonomi. Sedangkan Mereka menempatkan sarang batu ini pada penyakit pada lebah adalah faktor-faktor tebing-tebing dipinggir pematang. Batu-batu penyebab gangguan pada lebah yang berasal ini disusun sedemikian rupa sehingga dari mikroorganisme seperti virus dan membentuk ruang setengah lingkaran pada bakteri. Hama dan penyakit dapat bagian dalam yang luasannya diperkirakan menyebabkan turunnya produktifitas lebah. mampu menampung luasan sarang yang Karena itu perlu ada tindakan untuk dibangun nanti oleh lebah. Penempatan mengendalikannya. Beberapa cara sarang batu ini diusahakan menghadap ke dilakukan oleh masyarakat untuk arah matahari terbit, alasannya jika pagi hari mengendalikan hama dan penyakit lebah. matahari dapat merangsang lebah untuk segera aktif mencari makan, tetapi pada Kehadiran semut, kecoa, cecak dan lain siang hari yang terik sarang batu ini akan laindianggap sangat mengganggu dan terlindungi oleh pematang sehingga tidak merugikan produksi karena serangga itu membuat suhu di dalam sarang batu terlalu memakan madu, lilin, dan serbuk sari bunga panas. Selain itu sarang batu ditempatkan (bee pollen). Gangguan dapat dikendalikan pada lokasi yang banyak vegetasi dengan menggunakan oli bekas. Sihombing berbunganya yang memudahkan lebah (2005) mengemukakan cara sederhana untuk mengumpulkan makanan. mengendalikan organisme pengganggu

137 adalah adalah menaruh kaki penopang peti ekstraksi madu tradisional yang baik yaitu sarang dalam kaleng yang berisi oli bekas. dengan cara ditiriskan. Sebagaimana Jika tindakan pengendalian tidak menurut Hadisoesilo dan kuntadi (2007) berhasil, masyarakat melakukan Lebih baik madu dibiarkan keluar pembasmian hama dengan cara menangkap sendirinya dari sarang. Untuk itu sarang hama dan membinasakannya atau madu harus disayat bagian tutup selnya memisahkan sarang yang terserang hama lebih dahulu, kemudian dilakukan dua atau penyakit kemudian membakarnya sayatan yang memotong kedua sisi sarang untuk mencegah serangan lebih lanjut. tepat dibagian dasar sel, karena sel sarang Pengendalian ini disebut pengendalian madu terbuka kedua ujungnya maka tekanan secara mekanis. udara akan menyebabkan madu mengalir B. Pengetahuan mengenai pemanenan dan keluar dari setiap sel penyimpanannya. ekstraksi dan pasca panen. Madu yang diperoleh lebih jernih dan lebih merupakan kegiatan pengambilan madu baik kualitasnya dibandingkan madu hasil dari sarangnya, diperlukan beberapa perasan. rangkaian dalam kegiatan pemanenan. Memanen madu biasanya dilakukan saat C. Pengetahuan mengenai manfaat musim kemarau sampai sebelum masuk perlebahan terhadap kesehatan musim hujan karena pada saat itu pakan Madu merupakan cairan manis yang madu melimpah. Masyarakat melihat berasal dari nektar tanaman yang diproses ketersediaan madu pada sarang sudah oleh lebah, sejak dahulu sampai saat ini banyak dan siap dipanen dengan cara madu dikenal sebagai bahan makanan atau melihat tanda-tanda pada sarang maupun minuman alami mempunyai peranan penting lingkungan sekitarnya. bagi kehidupan manusia. Selain manfaat di Proses pemanenan dengan cara atas terdapat manfaat lain yang diketahui pengasapan dilakukan untuk mengusir lebah oleh masyarakat diantaranya madu dapat dari sarangnya dengan mengunakan asap digunakan untuk menghilangkan rasa lelah buatan dari beberapa bilah bambu maupun dan letih dan membantu mempercepat menggunakan rak telur, selain itu alat-alat pengeringan dan menyembuhkan luka seperti pisau dan wadah penampung juga Selain itu beberapa penyakit infeksi perlu disiapkan. dapat disembuhkan dan dihambat dengan Asap dan kenaikan suhu udara dapat mengonsumsi madu secara teratur antara menggangu koloni lebah, sehingga koloni lainbatuk, demam, penyakit jantung, paru- akan meninggalkan sarangnya untuk hijrah paru, infeksi saluran pernafasan. ke tempat yang lebih aman. Menurut Hadisoesilo dan kuntadi (2007) Pengasapan D. Pengetahuan mengenai kepercayaan- merupakan cara yang aman bagi kepercayaan lokal. kelangsungan hidup koloni karena lebah dan Ada beberapa hal yang masih dipercaya sarangnya jauh dari kemungkinan terkena oleh masyarakat mengenai sesuatu yang bara api pengasapan tidak membuat lebah tidak boleh dilakukan. Jika hal tersebut menjadi agresif, melainkan hanya terbang dilakukan masyarakat mempercayai akan jauh dari sarang. Sarang yang telah menimbulkan akibat karena telah melanggar ditinggalkan penghuninya dapat segera pantangan yang sudah diyakini secara turun- dipotong untuk diambil madunya. temurun. Setelah memanen madu tahap Adapun kepercayaan-kepercayaan yaitu selanjutnya yaitu pasca panen. Ekstraksi Dilarang mengganggu dan mengambil madu merupakan hal yang dilakukan dalam sarang bukan milik, ketika ada yang pasca panen. Masyarakat mengekstrak madu mengambil sarang bukan milik maka akan dengan cara peras langsung yaitu memeras terkena penyakit seperti gatal-gatal atau setiap potongan sarang kemudian disaring alergi. untuk mengeluarkan madu dari sarangnya. Masyarakat mengekstrak madu dari sarang menggunakan tangan maupun kain, madu yang dihasilkan tidak terlalu jernih karena polen biasanya ikut terperas. Cara

138 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Bonto Karaeng terdapat beberapa pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat dalam kegiatan perlebahan, yakni manajemen perlebahan, penanganan panen dan pasca panen, manfaat terhadap kesehatan serta kepercayaan-keperayaan lokal. Agar tetap mempertahankan kualitas madu yang dihasilkan, perlu ada keterlibatan pemerintah untuk memberikan pemahaman dalam bentuk pelatihan baik tentang pengemasan madu lokal maupun tehnik pemasaran, sehingga madu lokal tetap dipertahankan dan nantinya akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang ada di desa Bonto Karaeng.

Saran Pengetahuan lokal dapat hilang dan punah oleh karena itu perlu adanya upaya pelestarian pengetahuan lokal dengan mengadakan dokumentasi seperti membuat pengetahuan lokal agar mudah diakses dalam bentuk laporan, buku, atau media lainnya.

Daftar Pustaka

Aak. 1988. Budidaya Tanaman Kopi. Kansinus. Yogyakarta Baharuddin, E. 2012. Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan. Universitas Esa Unggul Press. Jakarta. Hadisoesilo, S dan Kuntadi. 2007. Kearifan Tradisional dalam budidaya lebah hutan (Apis dorsata). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta Nurlaelah. 2016. Pengetahuan Lokal Perlebahan Pada Masyarakat Sekitar Hutan Desa Di Desa Labo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng. Universitas Hasanuddin press. Makassar. Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

139

Modal Sosial Pada Pembangunan Hutan Desa Di Desa Bonto Karaeng Kecamatan Sinoa Kabupaten Bantaeng (social capital in the development of forest villages in bontokaraeng village, sinoa Subdistrcit, Bantaeng Regency) Istiqamah Khalid1, Asar Said Mahbub2, Supratman2

Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

1. Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar, [email protected] 2. Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Social capital is about society ability in cooperate, to reaching same aim for together in one group. Implementation of forest village has purpose to increase local community prosperity in long period and guarantee sustainability of environment. In principal forest village is a forest state that organized by local community in village administrative organization for local community prosperity. This research has purpose to analyze role of social capital in village forest development at Bonto Karaeng village, Sinoa subdistrict. This research held in March 2016 until April 2016, locaated in Bonto Karaeng village, Sinoa subdistrict, Bantaeng District. Data in this research taken by observe method and interview which is all of data klassified based on suitability in research purpose using kualitative data analyzing. Result from this research shows if in forest organizing, involve of community and role of other actor will determining successfully plan development. Level of community prospirety in integration requiring formal and informal institution who can guarantee social capital works properly. Without social capital between community and goverment will make forest village development works unproperly.

Keywords : Social capital, community, village forest, Bonto Karaeng.

Pendahuluan prinsip ini tidak dipahami baik, maka yang akan terjadi adalah kerusakan hutan yang Penyelenggaraan hutan desa bertujuan untuk membawa akibat buruk pada seluruh aspek meningkatkan kesejahteraan masyarakat kehidupan manusia dan lingkungannya. setempat secara berkelanjutan dan menjamin Hutan desa pada prinsipnya adalah hutan kelestarian lingkungan. Selain Pengelolaan negara yang dikelola oleh masyarakat berorientasi ekonomi hutan desa perlu juga dalam organisasi administratif pedesaan yang mempertimbangkan aspek lainnya yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Jika desa itu sendiri. Artinya, hutan desa itu 140 bermaksud untuk memberikan akses kepada secara lestari. Sedangkan tujuannya adalah masyarakat setempat melalui lembaga desa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara setempat secara berkelanjutan. Jika prinsip lestari dengan harapan sebagai tujuannya ini tidak dipahami baik, maka yang akan adalah meningkatkan kesejahteraan terjadi adalah kerusakan hutan yang membawa masyarakat setempat secara berkelanjutan. akibat buruk pada seluruh aspek kehidupan Semua aturan atau kebijakan yang telah manusia dan lingkungannya. dikeluarkan pemerintah pusat terkait Pemerintah Kabupaten Bantaeng sudah pengelolaan sektor kehutanan tentu mengupayakan pembangunan sektor kehutanan berdasarkan pengalaman-pengalaman masa berbasis masyarakat, berkelanjutan dan lestari lampau. Oleh sebab itu, pelaku utama hutan melalui hutan desa. Menurut Alif dan desa adalah lembaga desa yang dalam hal ini Supratman (2010) pembangunan hutan desa lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dapat member kontribusi untuk pengembangan dengan peraturan desa (Perdes) secara keamanan mata pencaharian bagi masyarakat fungsional berada dalam organisasi desa dan yang memiliki ketergantungan terhadap bertanggung jawab kepada kepala desa dan sumberdaya hutan, melalui tanggung jawab diarahkan menjadi badan usaha milik desa dan akuntabilitas yang lebih besar terhadap (BUMDes). Pelaksanaan program hutan desa kebijakan dan institusi publik dalam pun diarahkan sesuai prinsip- prinsipnya penguasaan sumberdaya alam. bahwa: 1) tidak mengubah status dan fungsi Berdasarkan surat Keputusan Menteri kawasan hutan; dan 2) ada keterkaitan Kehutanan No.55/Menhut-II/2010 Tanggal masyarakat terhadap sumber daya hutan, 21 Januari Tahun 2010, hutan desa di karena hutan mempunyai fungsi sosial, Kabupaten Bantaeng ditetapkan seluas 704 ha. ekonomi, budaya dan ekologis. Pada tahap awal program diimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. pada tiga desa di Kecamatan Tompobulu yaitu P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa Desa Labbo seluas 342 ha, Desa merupakan salah satu kebijakan Pattaneteang seluas 339 ha dan Kelurahan Departemen Kehutanan yang mengatur sistem Campaga seluas 23,68 ha. Kawasan hutan tenure formal masyarakat mengelola yang dijadikan hutan desa merupakan kawasan sumberdaya hutan. Hutan desa sebagaimana hutan dengan fungsi lindung. Ketiga hutan disebutkan di dalam Permenhut tersebut desa tersebut memiliki karakteristik potensi adalah hutan negara yang dikelolah oleh dan sumberdaya yang berbeda. desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Memberikan akses kepada masyarakat desa. Penyelenggaraan hutan desa mengelola kawasan hutan lindung tidaklah dimaksudkan untuk memberikan akses kepada mudah, karena fungsinya yang sangat masyarakat setempat melalui lembaga vital dalam mengatur sistem kehidupan desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan utamanya sistem tata air. Pemerintah 141 memberikan kepercayaan kepada masyarakat pengumpulan data tehnik observasi untuk mengelola hutan desa berdasarkan dan wawancara yang dilakukan situasi dan kondisi yang menunjukkan dengan menggunakan kuisioner yaitu kecenderungan kelestarian. Selain itu, meliputi identitas responden, komoditi non kayu yang dikembangkan unsur-unsur dalam modal sosial, masyarakat juga merupakan kebutuhan utama seperti : trust, network dan resiprositas seperti kopi, madu dan produk-produk lainnya. dan dokumentasi. Data ini terdiri atas Tantangan yang kemudian muncul adalah data primer dan data skunder. Data bagaimana agar hutan desa ini Primer yang dikumpulkan adalah tetap berkelanjutan. Karena itulah variabel-variabel modal sosial dibutuhkan perencanaan matang yang masyarakat dalam pembangunan hutan berbasis kepada situasi dan kondisi terkini. desa dan data sekunder yang Kajian modal sosial merupakan salah satu dibutuhkan adalah keadaan umum upaya untuk mendapatkan gambaran tersebut lokasi penelitian, keadaan sosial agar dapat digunakan sebagai bahan masukan ekonomi serta informasi atau data dalam menyusun perencanaan pembangunan lainnya yang mendukung penelitian. hutan desa ke depan. Desa Bonto Karaeng Data yang telah diperoleh kemudian dipilih sebagai lokasi kajian karena merupakan diolah serta diklasifikasikan sesuai salah satu sentra pengembangan hutan desa dengan tujuan penelitian dan di Sulawesi Selatan dan di Kabupaten selanjutnya dianalisis dengan Bantaeng. Aksesibilitas dan kemudahan dalam menggunakan analisis data kualitatif. memperoleh data penelitian juga merupakan Analisis data kualitatif meliputi 3 pertimbangan dalam memilih lokasi ini sebagai tahap yaitu reduksi data, penyajian tempat penelitian. data dan penarikan kesimpulan.

Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan A. Modal Sosial Maret 2016 sampai dengan bulan 1. Mutual Trust (Rasa Saling Percaya) April 2016, pelaksanaan penelitian Trust atau rasa percaya adalah sikap ini dilakukan di Desa Bonto saling mempercayai di masyarakat Karaeng Kecamatan Sinoa yang memungkinkan mereka untuk Kabupaten Bantaeng. bersatu dengan yang lainnya. B. Metode Pengumpulan Data Mutual trust atau rasa saling percaya Metode pengumpulan data dilakukan adalah keadaan atau kondisi warga dengan melakukan pendekatan masyarakat yang saling percaya. partisipatif dengan tehnik 142 Kepercayaan (trust) merupakan hal individu melainkan melalui kelompok, penting yang mempengaruhi sementara kelompok hanya bisa kesejahteraan masyarakat ke arah berkembang dengan baik jika modal harmoni dan integrasi. Oleh karena itu, kepercayaan tetap terjaga di dalam perlu adanya institusi formal dan kelompok. Kepercayaan antar informal yang menjamin trust masyarakat menunjukkan angka yang berfungsi secara operasional. Pada cukup tinggi yakni 73,33%, artinya kelembagaan formal, trust akan sebagian besar masyarakat saling tumbuh bila fungsi-fungsi organisasi percaya dalam pengelolaan hutan desa, memberikan energi bagi tumbuh dan hal ini ditunjang oleh hubungan berkembangnya moralitas trust dalam antarpersonal yang sudah terjalin masyarakat. Lembaga formal yang dengan baik. banyak terlibat dalam pembangunan Hubungan antar masyarakat sangat Hutan Desa adalah Dinas Kehutanan erat karena sejak dahulu sudah terjadi Kabupaten Bantaeng dan Universitas pertukaran hasil kebun diantara Hasanuddin. Sedangkan pada masyarakat. Kebutuhan masyarakat kelembagaan-kelembagaan informal tidak bisa dipenuhi seluruhnya dari yang dapat menumbuhkan trust adalah hasil kebun, melainkan ada hasil : a) Hubungan interpersonal dalam kebun masyarakat yang tidak ada di masyarakat yang telah terbangun sejak kebunnya sendiri, tidak ada penetapan lama. b) Norma dan nilai yang telah harga hasil kebun itu, mereka percaya dikukuhkan bersama dalam saja bahwa masing-masing hasil kebun masyarakat bersama-sama untuk mempunyai nilai yang kira-kira diyakini dan ditaati. c) Sanksi sosial sama, karena itulah komunikasi dan yang mengikat orang atau kelompok pertukaran hasil kebun terjalin, dari agar tidak berbuat semaunya. Ada situlah kemudian masyarakat di desa tiga hal kepercayaan yang ini saling percaya. Pengelolaan hutan dibahas dalam penelitian ini, yaitu desa diserahkan kepada kelompok tani, kepercayaan antar masyarakat, dengan adanya rencana pengelolaan kepercayaan masyarakat terhadap tersebut masyarakatpun membentuk pengurus kelompok tani dan kelompok tani, tetapi hasil kepercayaan terhadap pemerintah. wawancara menunjukkan bahwa Pengelompokan ini didasarkan pada kepercayaan masyarakat terhadap asumsi bahwa pilar pengelolaan Hutan kelompok tani masih rendah Desa adalah ketiga kelompok ini. yakni 33,33%. Kondisi ini terjadi Mekanisme pengelolaan Hutan Desa karena kegiatan kelompok masih tidak ada yang diberikan kepada sangat kurang, dalam setahun hanya

143 terjadi 2 kali pertemuan. Pertemuan- perkebunan dan kehutanan. Berbagai pertemuan dalam jumlah yang terbatas transaksi komoditi dilakukan dalam ini sebenarnya mengurangi bentuk barter maupun dalam bentuk terjadinya pertukaran informasi dan jual beli. komunikasi diantara masyarakat. c. Aktivitas Kemasyarakatan Mutual trust kelompok tani terhadap Jaringan sosial dalam aktivitas pemerintah ditunjukkan oleh sebagian kemasyarakatan yang meliputi besar kelompok tani, yaitu 5 orang keterlibatan dalam kelompok tani dan (16,6%) mempunyai rasa percaya yang aktivitas lingkungan lainnya seperti rendah terhadap pemerintah. Kondisi kegiatan yang berhubungan dengan ini ditunjukkan oleh perilaku kerusakan lingkungan dan kelompok tani yang lebih banyak tidak hubungan sosial lainnya. Jaringan mengikuti pertemuan jika ada sosial yang berhubungan dengan undangan pertemuan oleh pihak terkait kelompok tani masih belum memadai, di kantor dinas. karena kurangnya pertemuan- pertemuan kelompok tani sebagaimana 2. Jaringan Sosial yang telah terbahas pada aspek Jaringan sosial dalam pengelolaan kepercayaan. Aktivitas pertemuan Hutan Desa meliputi berbagai aspek : kelompok harus dirintis dengan a. Aktivitas sosialisasi menyelenggarakan kegiatan Aktivitas sosialisasi terutama yang dapat menghimpun kelompok sosialisasi dalam proses penetapan tani. hutan desa. Sosialisasi untuk menyamakan pendapat para pemegang 3. Resiprositas kebijakan mengandalkan jaringan Bentuk kepedulian dan saling kekeluargaan dan pertetanggaan, membantu antara kedua belah kondisi ini ditunjang oleh tersedianya pihak yang melakukan interaksi alat komunikasi yang ditunjang serta terjadinya pertukaran dengan jaringan yang baik, sehingga sumberdaya merupakan bentuk dari penyebarluasan informasi menjadi resiprositas. Tersedianya sumberdaya lebih mudah. disertai penyediaan pelayanan b. Aktivitas Ekonomi terhadap orang lain di dalam Jaringan sosial dalam aktivitas komunitas maka terjalin suatu ekonomi terutama dalam hal interaksi timbal balik. Hubungan pemanfaatan hasil hutan. Aktivitas resiprositas di dalam penelitian ini ekonomi yang menonjol di desa ini tidak seperti terjadinya jual beli, adalah dalam transaksi hasil tetapi didasari oleh semangat saling

144 membantu dan berbagai manfaat masyarakat juga kurang. Hal ini di dengan orang lain yang biasa disebut sebabkan mereka memiliki tingkat Altruisme. Semangat ini nampak pada kepercayaan yang rendah. masyarakat di Desa Bonto Karaeng, Penyebabnya adalah belum mereka sadar bahwa hanya dengan terjadinya kesepahaman antara memberi manfaat kepada orang lain, masyarakat maupun dengan maka orang lain juga akan memberi pemerintah. manfaat kepada kita. Oleh sebab itulah Kawasan yang terbentuk dari kebun- jika ada pelatihan di desa ini kebun masyarakat sekitar pemukiman mereka akan sangat antusias yang digunakan sebagai hutan desa, membantu kelancaran kegiatan tetapi ada juga kelompok tani betul- tersebut, karena jika bantua mereka betul memahami batas-batas hutan maksimal, hasil dari pelatihan tersebut desa, mereka faham bahwa hutan desa juga akan maksimal mereka peroleh. itu 100% adalah kawasan hutan Resiprositas masyarakat mengenai negara, tidak ada kebun milik pembentukan hutan desa dapat terjalin masyarakat yang dijadikan hutan desa dengan baik, jika seandainya kecuali hutan rakyat yang memang masyarakat memiliki pemahaman yang lahan milik masyarakat yang baik tentang hutan desa. Kesulitan ditanami pohon, kemudian dipanen yang muncul dapat dilihat dari oleh masyarakat itu sendiri. Menanam program- program yang dijalankan di kawasan hutan desa harus ada izin oleh dinas untuk menjadikan kawasan atau persetujuan secara tertulis dari hutan ke dalam status hutan desa. pemerintah. Menurut Woolcock selama kurang lebih 3 tahun telah (2000) dalam Nyoman (2011), dikeluarkan surat keputusan untuk keterkaitan antara modal sosial dan pembentukan hutan desa, belum kinerja pemerintahan ditunjukkan oleh pernah ada program pembibitan keadaan sosial ekonomi masyarakat KBR dalam bidang kehutanan diwilayah tersebut. Kinerja pemerintah didalam lahan hutan desa. Jadi, setiap yang baik dan modal sosial yang ada pembibitan seperti KBR dibagikan terbangun dengan kuat, tidak saja dan di tanam pada kebun masyarakat mewujudkan kesejahteraan ekonomi masing-masing. Resiprositas namun juga kesejahteraan sosial. masyarakat dalam aktivitas Kinerja pemerintah yang baik jika pengelolaan hutan desa belum tidak disertai dengan modal sosial memadai karena rendahnya yang kuat akan berpeluang untuk pemahaman masyarakat terhadap terjadinya konflik-konflik dalam pengelolaan hutan, maka respon masyarakat, apalagi bila kinerja

145 pemerintahan buruk maka konflik Kesimpulan tersebut akan muncul pada awal dilaksanakannya kinerja tersebut. 1. Tingkat kepercayaan masyarakat Melihat dari berbagai perubahan pada terlihat dari hubungan antarpersonal hutan di desa bonto karaeng yang yang sudah terjalin dengan baik, sekarang sudah termasuk dalam kawan seperti pertukaran hasil kebun diantara hutan desa, telah mengalami berbagai masyarakat. Hal ini menunjukkan perubahan lingkungan sosial akibat kepercayaan antar masyarakat terjalin perubahan status kawasan hutan. dengan baik yaitu 73,33%. Pemerintah pada dasarnya, dengan Kepercayaan masyarakat terhadap membentuk hutan-hutan di Desa kelompok dalam pengelolaan hutan Bonto Karaeng bermaksud menambah desa diserahkan kepada kelompok mata pencaharian masyarakat yang tani menunjukkan hasil yang masih tinggal di sekitar hutan. Misalnya rendah yaitu 33,33%. Kondisi ini selain menjaga pohon-pohon dalam terjadi karena pertemuan-pertemuan hutan, masyarakat juga bisa menanam dalam jumlah yang terbatas sehingga tanaman jangka pendek di bawahnya pertukaran informasi dan komunikasi seperti menanam tanaman rempah- diantara masyarakat juga masih rempah keperluan dapur rumah tangga rendah. Sedangkan kepercayaan dan sebagainya. kelompok tani terhadap pemerintah Pertimbangan yang kemudian muncul menunjukkan 16,6%, kondisi ini adalah antara masyarakat dan terlihat dari banyaknya masyarakat pemerintah sebenarnya dengan adanya yang tidak mengikuti sosialisasi. hutan desa maka akan terjadi saling 2. Jaringan sosial didasari dengan menguntungkan. Pemerintah hanya terjalinnya hubungan yang terbangun menginginkan masyarakat ikut antar masyarakat yaitu dengan adanya berperan penting dalam memelihara hubungan kekeluargaan dan kawasan hutan sekaligus penghasilan pertetanggaan. Jaringan sosial dalam masyarakat di dapatkan dalam hutan. pengelolaan hutan desa meliputi Kemudian dengan adanya hutan desa, berbagai aspek, yaitu jaringan sosial dapat membantu masyarakat untuk dalam aktivitas sosial, jaringan sosial mendapatkan sumber penghasilan dalam aktivitas ekonomi dan jaringan tambahan dengan memanfatkan sosial dalam aktivitas kemasyarakatan. kawasan yang di percayakan untuk 3. Hubungan resiprositas yang terjalin menjaga dan memelihara semua yang dikalangan masyarakat ditunjukkan ada dalam hutan. dengan saling membantu dan berbagi manfaat dengan orang lain yang biasa

146 disebut altrusime. Resiprositas Woolcock M. 2000. Why should we care masyarakat dalam aktivitas about soscial capital?. Canberra Bulletin pengelolaan hutan desa belum of Public Administration, No. 98, pp. memadai karena rendahnya 17-19. pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan hutan sehingga respon masyarakatpun masih menunjukkan hasil yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Alif dan Supratman, 2010. Hutan Desa dan Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Kabupaten Bnataeng dalam Nurhaedah M dan Evita Hapsari. 2014. Hutan Desa Kabupaten Bantaeng dan Manfaatnya bagi Masyarakat. Balai Penelitian Kehutanan Masyarakat, Sulawesi Selatan.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Jakarta.

Hasbullah. 2004. Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia) dalam Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Nigaya Politeknik Press. Semarang.

Nyoman. 2011. Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah (Menkaji Succes Story Pembanguan di Bali). Universitas Brawijaya Press (UB Press). Malang.

147 Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba) di Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

Oleh :

*Siswadi *Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang Jl. Alfons Nisnoni No. 7B. Airnona, Kupang NTT Email : [email protected]

Jabon adalah jenis tanaman cepat tumbuh yang secara alami banyak tersebar di wilayah Indonesia. Salah satu jenis jabon yang bayak ditanam beberapa tahun terakhir adalah jenis Jabon putih (Anthocephalus cadamba). Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pertumbuhan jabon di Kabupaten Pulang Pisau. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan mengukur pertumbuhan tanaman jabon berusia 3 dan 5 tahun yang ditanam dengan jarak 4mx4m. Total luasan plot pengamatan adalah 3.840m2dan dibagi menjadi 5 plot sampel dengan luas masing-masing 768m2. Hasil penelitian menunjukkan tanaman jabon memiliki pertumbuhan yang bervariasi. Tinggi tanaman jabon pada tahun ke lima mencapai 14 – 20 m, dengan diameter rata-rata 19,1 cm (terbesar adalah 34,4 cm dan terkecil 8cm). Kemampuan tumbuh jabon cukup tinggi yakni 94,6%. Penanaman jabon bukan tanpa kendala, diantaramasalah yang terjadi adalah serangan hamaulat pada bagian pucuk batang dan bagian daun. Serangan hama terjadi pada tahun pertama dan ke dua, dimana serangan pada tahun pertama terjadi sangat masif. Adapun jenis ulat yang menyerang bagian pucuk jabon diduga adalah jenis Achaea sp. dan serangan pada daun diduga disebabkan oleh serangga pemakan daun (defoliator).

Kata kunci : Hutan tanaman rakyat, agroforestri, potensi, kesuburan tanah.

I. PENDAHULUAN mengancam kelestarian kawasan-kawasan yang di tebang. A. Latar Belakang Pada tanggal 20 Desember 2016 Salah satu masalah yang terjadi pada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan industri kayu saat ini adalah berkurangnya bersama Presiden indonesia telah memulai pasokan bahan baku dari hutan pembangunan pabrik industri kayu terpadu di alam.Pengaturan rotasi tebang diharapkan bisa Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah memenuhi kebutuhan kayu secara kontinu dengan nilai investasi 1 triliyun (Andika, akan tetapi hal tersebut sulit 2016). Investasi yang sangat besar itu pasti diaplikasikandilapangan. Demi memenuhi telah melalui kajian yang sangat serius, kekurangan bahan baku beberapa perusahaan sehingga dalam pengoperasianya tidak terutama perusahaan kayu lapis dan berbagai mengalami hambatan terutama bahan baku. perusahaaneksport harus mencari bahan baku Untuk menunjang ketersediaan bahan baku di luar dari areal yang semestinya mereka tentu semua masyarakat dapat berperan serta kelola. Tentu saja hal ini menjadi salah satu dalam penyediaan bahan baku melalui Hutan yang memicu terjadinya illegal logging dan

148 Tanaman Rakyat (HTR). Sebagian besar B. Tujuan masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah Tujuan dari penulisan makalah ini sudah sangat familiar dengan sengon, akan adalah untuk memberikan informasi mengenai tetapi beberapa kendala seperti hama yang pertumbuhan jabon di Kabupaten Pulang banyak menyerang tanaman sengon Pisau. menyebabkan berbagai kalangan mencari alternatif jenis baru. Adapun salah satu jenis II. METODOLOGI yang telah mulai dikenal oleh A. Waktu dan Tepat masyakatbeberapa tahun terakhir adalah Waktu pelaksanaan pengukuran jabon spesies Jabon Putih (Anthocephalus cadamba) dilakukan pada bulan September 2015 (umur 3 dari famili Rubiaceae. tahun) dan 2017 (umur 5 tahun). Lokasi Jabon merupakan jenis tumbuhan cepat penanaman Jabon terletak di Pangkoh 1C Desa tumbuh (fast growing). Riap pertumbuhan Talio Hulu, Kecamatan Pandih Batu, jabon dapat mencapai 10 cm per tahun Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah (Sarjono et al., 2017). Distribusi jabon meliputi dengan ketinggian lokasi 8 mdpl. hampir seluruh Indonesia (Sumatera, B. Metodologi Penelitian Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi, Papua) dan termasuk dalam kelas Benih Jabon putih yang ditanam kuatIII – IV (sedang) dan kelas awet V diperoleh dari penjual benih tanaman di Bogor, (Departemen Kehutanan, 1989).Beberapa buku Jawa Barat akan tetapi asal daerah ekplorasi dan artikel ditulis oleh berbagai kalangan benih tidak diketahui. Bibit kemudian ditanam sering kali berlebihan dalam menyampaikan di lapangan pada tahun 2012 dengan jarak riap dan perhitungan nilai ekonomi pohon tanam 4x4 meter. Pemberian pupuk NPK tersebut. Informasi yang tidak didahului hanya dilakukan pada tahun pertama. dengan kajian lapangan terkait besarnya riap Selanjutnya kegiatan pemeliharaan yang yang disampaikan, tentu akan menimbulkan dilakukan adalah pembersihan rutin. Pada kekecewaan bagi masyarakat yang menanam tahun pertama sela-sela tanaman jabon jabon. Kabupaten Pulang Pisau bagian muara ditanami dengan tanaman kedelai (Glycine merupakan daerah pasang surut dan dengan pH max). tanah yang rendah, jenis tanah lempung, Evaluasi pertumbuhandilakukan pada alluvial. Pada kondisi daerah seperti ini respon tahun 2015 dan 2017.Luas plot pengamatan pertumbuhan dan riap tanaman tentunya akan adalah 3.840 m2dan dibagi menjadi 5 plot berbeda dengan daerah di pulau jawa dan 2 sampel dengan luas masing-masing 768 m , daerah-daerah lain yang memiliki kesuburan sehinggasetiap plot berukuran 24x32 m2. Pada tanah yang lebih tinggi. setiap plot jumlah pohon yang diukur adalah 48 pohon sehingga total pohon yang diukur

149 berjumlah 240 pohon. Variabel yang diamati III. HASIL DAN PEMBAHASAN adalah persen hidup dan diameter pohon. A. Pertumbuhan Jabon Hasil pengukuran pohon jabon C. Analisis Data padaumur 3 tahun dan 5 tahun menunjukkan Pengujian sampel pengukuran riap diameter sebesar 1– 11 cm. Kayu jabon dilakukan dengan uji-t. Dengan persamaan merupakan salah satu jenis kayu yang sebagai berikut : mempunyai pertumbuhan sangat cepat yakni đ 10 cm/ tahun (Seo et al., 2015).Berikut adalah thitung = 푠푑/ 푛 data rata-rata pengukuran pohon jabon (Tabel Keterangan ; đ = diameter rata-rata 1). sd = standart deviasi n = jumlah sampel

Tabel 1. Pertumbuhan tanaman jabon Umur jabon Diameter (cm) Kisaran Persen hidup Tahun (tahun) Mean + SE Diameter (cm) (%) 2015 3 15,2+ 0,23a 7,96 – 26,43 95,4 2017 5 19,1+0,32b 8 – 34,4 94,6

Angka yang diikuti oleh huruf yang menyatakan bahwa jabon mencapai daur berbeda pada kolom yang sama menunjukkan biologis optimal pada umur 5 tahun, namun hasil uji berbeda nyata (P < 0,05). Data daur finansial optimal tercapai pada umur 6 pengukuran memperlihatkan pada tahun ke 3 tahun (Indrajaya & Siarudin, 2013). Pada umur diameter rata-rata pohon sebesar 15,2 cmdan 6 tahun diameter rata-rata jabon mencapai 30,3 pada tahun ke 5 sebesar 19,1 cm, dimana cm pada jarak tanam 4 x 2 m. Penelitian lain diameter terbesar pada tahun ke 5 adalah 34,4 di Kalimantan Utara menyatakan Jabon dapat cm dan terkecil 8 cm. Diameter jabon pada dipanen pada umur 8 tahun pada jarak tanam 3 umur 3 tahun berbeda nyata dengan diameter x 3 meter karena pada saat itu jabon mencapai pada umur 5 tahun (p< 0.05). Hal ini riap maksimal (Sarjono et al., 2017). Oleh menunjukkan bahwa pada umur 5 tahun riap karena itu, jabon yang baru berumur 5 tahun biologis jabon belum maksimal dan masih sebaiknya belum dipanen karen abelum akan bertambah.Pola pertumbuhan jabon pada mencapai riap maksimal. Riap diameter jabon umumnya lambat di awal, lalu cepat kemudian hingga umur 5 tahun cukup bervariasi, yaitu melambat lagi sehingga membentuk grafik antara 1,2–11,6 cm per tahun (Krisnawati et parabola terbalik (Wahyudi & Pamungkas, al., 2011).Distribusi diameter jabon 2013).Sebuah penelitian di Kabupaten Garut, berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar Jawa Barat tentang daur biologis optimal jabon 1.

150 Tahun 2015 Tahun2017 40.0

35.0 )

m 30.0

(c

n

o 25.0

h o

p 20.0

ter ter 15.0

10.0 Diame 5.0 0.0 0 50 100 150 200 250 Nomor pohon sampel

Gambar 1. Distribusi ukuran diameter pohon sampel umur 3 dan 5 tahun

Menurut Mansur dan Tuheteru (2010), diameter jabon di Jawa Barat yang memiliki umumnya diameter rata-rata jabon pada usia 5 rerata diameter hampir sama. Jabon yang tahun sebesar 30-40 cm. Di provinsi ditanam di Jawa Barat pada usia 3.5 tahun Kalimantan Selatan, jabon yang dipelihara memiliki diameter rata-rata 15.57 cm (Seo et secara intensif memiliki diameter 23,9cm dan al., 2015). Nilai ini diperoleh dari hasil yang tidak intensif berdiameter 6,0 cm- 16,4 pengukuran pohon jabon di 19 lokasi di Jawa cm (Jailani, 2012). Wahyudi (2012) Barat.Namun studi lain yang mengamati melaporkan diameter rata-rata jabon di pertumbuhan diameter jabon di Kalimantan Kabupaten Kapuas pada umur 4 tahun sebesar Utara memperoleh nilai rata-rata diameter 16,98 cm. Jenis tanah di kabupaten Pulang jabon pada umur 3 tahun berkisar antara 16.7- Pisau dan Kabupaten Kapuas diperkirakan 17.4 cm dan pada umur 5 tahun diameter relatif sama, sehingga pertumbuhan jabon di berkisar antara 22.7 – 24 cm (Sarjono et al., kedua wilayah ini tidak berbeda jauh. 2017). Berikut adalah gambar 2 dan 3 Demikian juga dengan hasil pengukuran merupakan kondisi jabon usia 3 dan 5 tahun

Gambar 2. Ketika jabon 3 tahun Gambar 3. Jabon 5 tahun 151 Perbedaan ukuran diameter jabon pada Pulang Pisau). Kondisi curah hujan di Kab. umur yang sama dapat disebabkan oleh Pulang Pisau relatif sesuai dengankarakteristik beberapa faktor. Faktor-faktor yang lokasi tumbuh jabon menurutMartawijaya mempengaruhi pertumbuhan tanaman terdiri (1989)dalam Sudrajat et al. (2014) yang dari adalah faktor genetik, kesuburan tanah, menyatakan jabon putih dapat tumbuh di lokasi ketinggian lokasi tempat tumbuh, ketersediaan dengan curah hujan berkisar antara 1.500 – air dan adanya hama penyakit. Jabon adalah 5.000 mm. Suhu udara di Kab. Pulang Pisau spesies tanaman yang memiliki daya adaptasi juga mendukung untuk pertumbuhan jabon yang baik sehingga dapat ditanam di areal yang dapat tumbuh pada kisaran suhu 24,4 – bekas tambang dan memiliki nilai ekonomi 29 oC (Sudrajat et al., 2014). yang cukup tinggi (Mansur & Tuheteru, 2010). C. Beberapa Perasalahan yang Dihadapi Khusus untuk jabon, faktor pembatas Kemampuan hidup jabon sangat tinggi pertumbuhan yang utama adalah ketinggian dimana pada periode pengukuran tahun ke lima lokasi dan ketersediaan air. Berdasarkan tercatat persentase hidup mencapai94,6%. pengamatan terhadap pertumbuhan jabon yang Penyebab jabon mati pada periode awal berasal dari 11 populasi, Sudrajat et al. (2014) pertumbuhan ditandai dengan leher batang menyimpulkan bahwa jabon dapat tumbuh pohon jabon yang membusuk pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah yangmenghentikan suplai unsur hara dari akar hingga tinggi, pH tanah berkisar 4,4 – 6,7 dan ke daun dan sebaliknya. Kematian jabon akibat ketinggian 23 - 628 m dpl. serangan jamur pada pucuk tanaman muda B. Pertumbuhan Jabon Ditinjau Dari diduga disebabkan jamur (Gloesporium Syarat Tumbunya anthocephali)dan kematian jabon yang disebabkan busuk akar dan leher batang Hasil penelitian tersebut sejalan disebabkan oleh serangan Armellaria dengan hasil penelitian Zuhaidi et al. (2012) mellea(Wahyudi, 2012). Jenis serangan hama yang menyatakan jabon sebaiknya ditanam di penyebab bebeapa jabon mati yang terjadi lokasi dengan elevasi yang tidak terlalu tinggi masif pada tahun pertama dan kedua dan mendapat suplai air yang mencukupi. menyerang pucuk diduga akibat serangan Selain itu, jabon juga membutuhkan sinar Achaea sp.Akan tetapi beberapa bulan matahari penuh agar dapat tumbuh dengan berikutnya banyak muncul tunas baru yang optimal (Mansur & Surahman, 2011). Curah akhirnya tunas inilah yang dipelihara menjadi hujandi Kab. Pulang Pisau pada tahun 2015 batang utama. adalah2.935 mm, sedangkan pada tahun 2016 Ketahanan tanaman terhadap hama curah hujan sebesar 3.236 mm. Suhu udara penyakit dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. rata-rata pada tahun 2015 berkisar antara 26,5 Faktor genetik sangat menentukan performa C – 27, 9 oC, sedangkan pada tahun 2016 tumbuh tanaman (Seo et al., 2015). Asal usul berkisar antara 27, 2 – 28, 6 oC (BPS Kab.

152 benih jabon yang ditanam tidak diketahui di Medan sampai Rp. 750.000 di Pontianak sehingga sulit untuk mengetahui seberapa (Kartika, 2017). besar pengaruh faktor genetik terhadap D. Dampak Positif dari Penelitian pertumbuhannya. Untuk mengatasi serangan Tanaman jabon ditinjau dari aspek jamur pada jabon dapat menggunakan konservasi dan lingkungan sangatlah baik, fungisida. Namun belum ada informasi karena tanaman jabon merupakan tumbuhan mengenai adanya penyakit serius yang dapat pionir yang mudah dikembangkan dan tidak menyerang jabon (Krisnawati et al., 2011). memerlukan persyaratan lokasi tumbuhan yang Jabon pada plot penelitian hanya khusus. Jabon yang ditanam di loaksi diberikan pemupukan pada tahun pertama, penelitian merupakan arel yang sebelumnya yakni pada saat pemupuk tanaman kedelai adalah areal tanaman padi tadah hujan, akan dengan cara menaburkan pupuk NPK. Untuk tetapi setelah banyaknya terjadi pengerukan meningkatkan pertumbuhan jabon dapat saluran-saluran skunder/parit-parit kemudian dilakukan pemupukan. Pemberian pupuk NPK lahan-lahan yang ada menjadi kering. Akibat dengan dosis 100 gram per tanaman pada dari kondisi ini kebanyakan masyarakat jabon yang berumur 13 bulan dapat secara disektar lokasi penelitian membiarkan lahan- signifikan meningkatkan pertumbuhan lahan yang ada menjadi lahan tidur karena diameter (Mansur & Surahman, 2011). sulitnya mencari jenis tanaman semusim Sedangkan pemberian pupuk daun organik (tanaman pangan dan hortikultura) yang cocok (Wulandari & Susanti, 2012) dan kompos untuk kondisi lahan yang terus berubah-ubah. batang pisang (Wulandari et al., 2011) dapat Maka dengan melihat fenomena perumbuhan meningkatkan pertumbuhan bibit jabon. jabon yang cukup baik ini diharapkan akan Selain pemupukan, penjarangan juga menjadi contoh bagi masyarakat sekitar untuk dapat dilakukan untuk memaksimalkan ikut membudidayakan jabon. Permasalahan pertumbuhan pohon. Kayu jabon memiliki yang dihadapi saat ini hanyalah jaminan pasar, nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dalam maka dengan dibangunnya pabrik pengolahan kondisi berdiri (stumpage value) harga kayu kayu terpadu di Pulang Pisau, diharapkan hal bulat jabon berkisar antara Rp.536.000 – ini dapat teratasi. Rp.584.000/m3 (Sarjono et al., 2017).Jabon adalah jenis tanaman yang sangat berpotensi IV. KESIMPULAN untuk dibudidayakan karena memiliki harga A. Kesipulan jual yang tinggi dan permintaan (demand) yang Jabon putih yang ditanam di juga cukup tinggi. Dari sebuah laman Kabupaten Pulang Pisau mempunyai diameter mengenaiinformasi harga kayu diperoleh rata-rata 15,2 cm pada umur 3 tahun dan 19,1 kisaran harga kayu jabon per m3bervariasi cm pada umur 5 tahun. Diameter jabon pada tergantung provinsi berkisar dari Rp. 620.000 umur 3 tahun berbeda signifikan dengan ukuran diameter pada umur 5 tahun. Oleh

153 karena itu, untuk mendapatkan data riap Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. (2017). Rata-rata Suhu Udara dan optimal sehingga diperoleh pertumbuhan yang Kelembaban Relatif Setiap Bulan di tidak signifikan lagi, maka penelitian ini harus Kota Palangkaraya dan Sekitarnya, 2015. tetap dilanjutkan hingg bebaerpa tahun ke depan. Pertumbuhan jabon putih di lokasi ini Departemen Kehutanan. (1989). Atlas Kayu Jilid II. Badan Penelitian dan tergolong cukup baik apabila dibandingkan Pengembangan. Bogor. dengan pertumbuhan jabon di beberapa lokasi Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2013). Daur lain. finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten B. Rekomendasi Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Banyaknya lahan tidur dan beberapa Hutan Tanaman, 10(4), 201-211. kawasan hutan yang tidak poduktif di Kartika, D. (2017). Daftar harga kayu jabon Kabupaten Pulang Pisau dan Kalimantan pada 2017. Diakses dari https://harga.web.id/informasi- umumnya, dapat dioptimalan dengan menanam terbaru-harga-sengon-dan-jabon- beberapa jenis tanaman keras, diantaranya 2017.info adalah dengan mengunakan tanaman jabon. Krisnawati, H., Kallio, M. dan Kanninen, M. C. Ucapan Terimakasih (2011).Anthocephalus cadamba Miq.: ekologi, silvikultur dan Ucapan terimaksih diucapkan kepada produktivitas.CIFOR, Bogor, semua masyarakat Desa Talio Hulu yang selam Indonesia. ini telah turut menjaga tanaman jabon yang ada Mansur, I. dan Surahman. (2011). Respon Tanaman Jabon (Anthocephalus di lokasi penelitian. Ucapan terimakasih juga cadamba) terhadap Pemupukan diucapkan kepada Bapak Tukijo, Ibu Silam, Lanjutan (NPK).Jurnal Silvikultur Tropika, Vol. 03 No. 01 Agustus Bapak Rosmanto, Bapak Juremi, Ibu Heny 2011, Hal. 71 – 77 Purwanti, sebagai pemilik lahan, mitra dan Mansur, I. dan Tuheteru, F.D. (2010). Pohon Penyuluh Pertanian. Jabon. Penebar Swadaya, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Sarjono, A., Lahjie, A. M., Kristiningrum, R., & Herdiyanto, H. (2017). Produksi Andika, R. (2016). Pabrik kayu senilai Rp1 kayu bulat dan nilai harapan lahan triliun dibangun di Kalteng. Diakses jabon (Anthocephalus cadamba) di dari PT Intraca Hutani Lestari. Jurnal https://www.antaranews.com/berita/60 Hutan Tropis, 5(1), 22-30. 2632/pabrik-kayu-senilai-rp1-triliun-

dibangun-di-kalteng. Sarjono, A., Lahjie, A. M., Simarangkir, B., Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. Kristiningrum, R., & Ruslim, Y. (2016). Jumlah Curah Hujan dan (2017). Carbon sequestration and Hari Hujan Setiap Bulan di growth of Anthocephalus cadamba Kabupaten Pulang Pisau, 2015. plantation in North Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas, 18(4), Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. 1385-1393. (2017). Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Setiap Bulan di Seo, J.W, Kim, H., Chun, J.H., Mansur, I., Lee, Kabupaten Pulang Pisau, 2016. C.B. (2015). Silvicultural practiceand growth of the jabon tree

154 (Anthocephalus cadamba Miq.) incommunity forests of West Java, Indonesia. Journal of Agriculture and Life Science , 49 (4): 81- 93.

Sudrajat, D. J., Bramasto, Y., & Siregar, I. Z. (2014). Karakteristik tapak, benih dan bibit 11 populasi Jabon putih (Anthocepalus cadamba Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 11(1), 31-44.

Wahyudi. (2012). Analisis pertumbuhan dan hasil tanaman jabon (Anthocephallus cadamba). Jurnal Perennial, 8 (1),19-24.

Wahyudi dan Pamungkas, P. (2013). Model pertumbuhan diameter tanaman jabon (Anthocephallus cadamba). Bionatura Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, Vol. 15, No. 1, Maret 2013 49 – 53.

Wulandari, A.S, Mansur, I., Sugiarti, H. (2011). Pengaruh pemberian kompos batangpisang terhadap pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Silvilkultur Tropika 3(1):78-81.

Wulandari, A. S., & Susanti, S. (2012). Aplikasi pupuk daun organik untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Jurnal Silvikultur Torpika, 3(02), 137-142.

155 PENGEMBANGAN TANAMAN NYAMPLUNG UNTUK BIOENERGI DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI

Oleh: Budi Leksono, S. Maimunah, E. Windyarini, T. Hasnah

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun. Pakem, Sleman, Yogyakarta email: [email protected]

ABSTRAK

Kebijakan Energi Nasional mengamanatkan target proporsi energi baru dan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Bentuk energi terbarukan yang dimaksud adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan, diantaranya dari sumber daya hutan seperti bioenergi dari biji tanaman hutan. Kebijakan pemerintah tersebut menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyediakan lahan tidak produkif dalam penyediaan bahan baku, termasuk di dalamnya lahan gambut terdegradasi yang sangat luas di Indonesia. Untuk memulihkannya tersebut diperlukan species yang sesuai dengan kondisi lahan gambut dan mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga menjadi lahan produktif dan lestari. Hasil uji adaptasi empat species tanaman hutan untuk bioenergi pada lahan gambut terdegradasi di Pulang Pisau (Kalteng), menunjukkan bahwa nyamplung (Calophyllum inophyllum) mempunyai kemampuan adaptasi terbaik dibandingkan kemiri sunan, kaliandra dan gamal. Nyamplung telah dikenal sebagai tanaman penghasil biodisel dengan rendemen minyak tinggi serta toleran pada berbagai kondisi lahan yang beragam, dari tepi pantai hingga pada lahan marginal, berbatu, berkapur, bahkan pada lahan tergenang periodik dan tanah asam. Sumber benih unggul nyamplung dari Tegakan Benih Provenan (TBP) di lahan mineral yang tergenang secara periodik di Wonogiri (Jawa Tengah) mempunyai potensi rendemen minyak (crude oil) sebesar 61,92 – 64,79%, meningkat 11–14% dibandingkan populasi asalnya. TBP nyamplung tersebut sudah berbuah pada umur 3 tahun, lebih cepat dibandingkan tanaman nyamplung yang pada umumnya berbuah pada umur 7-8 tahun. Keunggulan benih dari TBP nyamplung tersebut perlu dicoba pada lahan gambut terdegradasi yang telah menunjukkan kemampuan adaptasinya. Pemanfaatan biji dari pohon nyamplung selain untuk bioenergi sangat sesuai dengan tujuan konservasi pada lahan gambut, karena cukup memungut buahnya tanpa perlu menebang pohonnya. Pengembangan tanaman nyamplung di lahan gambut akan dilakukan di Etalase Bioenergi, Kalampangan, Palangkaraya (Kalteng) dengan membangun plot pertanaman nyamplung dari benih unggul asal TBP Wonogiri dengan pola agroforestry, dan plot uji provenan nyamplung dari 8 pulau di Indonesia.

Kata kunci : benih unggul, bioenergi, konservasi, lahan gambut terdegradasi, nyamplung (Calophyllum inophyllum),.

I. PENDAHULUAN sumber energinya ke energi baru yang lebih ramah lingkungan dan dapat diperbaharui Pada saat krisis energi melanda dunia (renewable). Bentuk energi alternatif yang 10 tahun yang lalu dan berdampak bagi banyak dikaji dan dikembangkan adalah perekonomian Indonesia, harga minyak bumi biofuel (Bahan Bakar Nabati/BBN) (Hayes et sangat melonjak dan mendorong penduduk al. 2007). Sebagai bahan bakar, biodisel yang dunia secara intensif untuk mengalihkan merupakan salah satu produk BBN mampu

156 mengurangi emisi hidrokarbon tak terbakar, bahan baku biji nyamplung sebagai bahan karbon monoksida, sulfat, hidrokarbon substitusi minyak solar/biodisel. polisiklik aromatik, nitrat hidrokarbon Untuk mengetahui pertumbuhan polisiklik aromatik dan partikel padatan, nyamplung pada lahan tidak produktif, telah sehingga biodiesel merupakan bahan bakar dibangun uji adaptasi empat species tanaman yang disukai disebabkan oleh sifatnya yang hutan untuk bioenergi pada lahan gambut ramah lingkungan (Utami, 2007). Untuk terdegradasi di Pulang Pisau (Kalimantan mendorong pengembangan BBN ini, Tengah) dan menunjukkan bahwa nyamplung pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mempunyai kemampuan adaptasi terbaik energi nasional dimulai dari tahun 2006 dan dibandingkan species lainya. Pemanfaatan biji terus berubah dan dikaji dari tahun ke tahun. dari pohon nyamplung selain untuk Hal ini karena konsumsi minyak yang semakin bioenergi/biodisel juga sangat sesuai dengan meningkat, sementara produksi minyak tujuan konservasi pada lahan gambut, karena nasional semakin menurun sehingga Indonesia cukup memungut buahnya tanpa perlu yang semula menjadi eksportir minyak menebang pohonnya. Berdasarkan kemampuan berubah menjadi pengimpor minyak (Gatra, adaptasi jenis nyamplung pada lahan gambut 2017). diatas, maka benih unggul nyamplung yang Kebijakan energi nasional terus telah dihasilkan dari Tegakan Benih Provenan bergulir dengan berbagai program (TBP) di lahan mineral yang tergenang secara pendukungnya. Inpres No.1/2006 memberikan periodik di Wonogiri (Jawa Tengah), perlu mandat kepada Kementerian Kehutanan (saat diketahui kemampuan adaptasi dan ini: Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk pertumbuhannya pada lahan gambut berperan dalam penyediaan bahan baku BBN terdegradasi. Terkait dengan hal tersebut, akan termasuk pemberian ijin pemanfaatan lahan dibangun plot pertanaman nyamplung dengan hutan terutama pada lahan yang tidak produktif menggunakan benih unggul dari TBP dan plot termasuk di dalamnya lahan gambut uji provenan untuk pengembangan nyamplung terdegradasi yang sangat luas di Indonesia. pada lahan gambut, khususnya di Kalimantan Lahan tidak produktif tersebut merupakan Tengah. kunci penting dalam pengembangan bioenergi di Indonesia agar tidak berkompetisi dengan II. KEBIJAKAN ENERGI BARU TERBARUKAN kepentingan pangan. Program Desa Mandiri

Energi (DME) yang bergulir pada tahun 2007 Kebijakan Energi Nasional bergulir juga mengembangkan DME berbasis BBN, saat terjadinya krisis energi dunia sepuluh salah satunya membangun unit pengolahan tahun lalu yang juga berdampak bagi biodisel berbasis tanaman nyamplung Indonesia. Hal ini juga dalam konteks karena (Calophyluum inophyllum) pada lahan mineral menurunnya produksi bahan bakar fosil di 5 lokasi. Industri tersebut menggunakan

157 domestik dan meningkatnya ketergantungan dimaksudkan untuk menjadikan kegiatan ekspor, dimana Indonesia merupakan penyediaan energi sebagai entry point dalam pengimpor bahan bakar minyak terbesar di pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan dunia. Sejak tahun 1990-an produksi minyak (ESDM, 2006; 2007), termasuk DME berbasis mentah Indonesia mengalami tren penurunan BBN dengan bahan baku biji nyamplung (C. yang berkelanjutan karena kurangnya inophyllum) sebagai bahan substitusi minyak eksplorasi dan investasi di sektor ini. Saat ini tanah (biokerosene) dan substitusi minyak produksi minyak Indonesia hanya sebesar solar (biodiesel). Target yang dicanangkan 815.000 barel per hari atau hanya 50% dari sampai tahun 2014 untuk program tersebut kebutuhan minyak nasional yang mencapai 1,6 dapat mencapai 3000 DME (ESDM, 2008), juta barel per hari. Dengan cadangan minyak namun program ini tidak berlangsung lama dan yang tersisa sebanyak 3,6 milyar barel, masih perlu dikaji kembali efektivitasnya. diperkirakan cadangan itu akan habis dalam 15 Impor Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun ke depan (Gatra, 2017). fosil hingga saat ini terus meningkat, dan pada Untuk mendorong pengembangan tahun 2013 sudah mencapai US$ 42,14 milyar. BBN ini, Pemerintah Indonesia telah Untuk mengurangi ketergantungan impor solar mengeluarkan kebijakan energi nasional dan dari negara lain yang mencapai 35 juta kilo diantaranya dengan menetapkan target liter pertahun, Permen ESDM No. 25/2013 produksi BBN pada tahun 2025 sebesar 5% menginstruksikan campuran biodisel 10% dari total kebutuhan energi nasional (PP No. dalam solar. Kebijakan tersebut dalam kurun 5/2006), dan penugasan kepada Kementerian waktu bulan September-Oktober 2013 dapat Kehutanan untuk memberikan izin menghemat devisa US$ 161,71 juta atau pemanfaatan lahan hutan yang tidak produktif Rp.1,84 triliyun. Dari berbagai liputan oleh bagi pengembangan bahan baku BBN sesuai media masa, menyebutkan bahwa dengan dengan ketentuan peraturan perundang- penggunaan biodisel dalam bahan bakar solar undangan (Inpres No.1/2006), termasuk di sebanyak 10% akan hemat devisa sampai dalamnya lahan gambut terdegradasi yang dengan US$ 2,8 miliar bahkan pada tahun sangat luas di Indonesia. Sejak saat itu 2014 dapat menghemat 4,4 juta kilo liter atau program hutan tanaman energi mulai menjadi setara hemat devisa US$ 4,096 miliar wacana untuk dikembangkan. (Kompas, 29 Agustus 2013). Salah satu program pemerintah yang Pada tahun 2014, pemerintah telah telah dicanangkan oleh Presiden Republik mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional baru Indonesia pada tahun 2007 di Grobogan, Jawa melalui PP No. 79/2014 yang meningkatkan Tengah adalah program Desa Mandiri Energi target energi baru dan terbarukan pada 2025 (DME). Program ini sebagai upaya Pemerintah menjadi 23% dan 31% pada tahun 2050. Pada dalam pengembangan energi terbarukan di saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, kawasan pedesaan di tanah air, sekaligus maka PP No. 5/ 2006 tentang Kebijakan

1 58

Energi Nasional dicabut dan dinyatakan tidak III. BENIH UNGGUL NYAMPLUNG UNTUK BIOFUEL berlaku. Terkait dengan peningkatan tersebut,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sebagaimana telah dilaporkan dalam Nasional (RPJM) 2015-2019, target produksi beberapa publikasi, tanaman nyamplung BBN nasional berupa biodiesel 2,35 - 4,12 juta berpotensi tinggi sebagai bahan baku biodisel kilo liter dan bioetanol 0,2 - 0,58 juta kilo liter karena mempunyai keunggulan beberapa pada akhir tahun 2019 (BAPPENAS, 2014). karekteristik, antara lain: berbuah sepanjang Bentuk energi terbarukan yang dimaksud tahun, mempunyai potensi produksi buah adalah sumber energi yang dihasilkan dari tinggi, rendemen minyak tinggi, daya bakar sumber daya energi yang berkelanjutan, tinggi, non pangan, tersebar di seluruh wilayah diantaranya dari sumber daya hutan seperti Indonesia, teknik budidaya dan pengolahan bioenergi dari biji tanaman hutan. minyak sudah dikuasai, pemanfaatan limbah Peran bioenergi semakin diharapkan sudah diketahui (Bustomi dkk., 2008; Leksono mengingat Indonesia memiliki sumber alam dkk., 2014a). besar, wilayah hutan dan lahan terdegradasi Satu liter minyak nyamplung (crude luas, serta kondisi yang sesuai untuk calophyllum oil/CCO) yang dihasilkan dari 2 – pengembangan tanaman energi. Terkait dengan 2,5 kg biji yang berasal dari 12 tegakan kebijakan tersebut, Kementerian Lingkungan nyamplung di Indonesia telah menghasilkan Hidup dan Kehutanan (LHK) terus mendorong rendemen minyak antara 37-58 % (Leksono et adanya energi alternatif untuk mencapai al., 2014b). Rendemen tersebut lebih efisien ketahanan energi. Salah satu langkah yang dan lebih tinggi dibandingkan jenis tanaman akan ditempuh adalah dengan pengembangan hutan lainya seperti biji jarak pagar (25 – hutan tanaman, yang tidak hanya sebagai 40%), kepuh (25 – 40%) dan Kesambi (27%) sumber bahan baku kayu industri kehutanan (Heyne, 1987; Sudrajad & Setyawan, 2005; yang berkelanjutan, namun juga sebagai pohon Sudrajad et al., 2010a; Sudrajad et al., 2010b; penghasil energi baik dari jenis penghasil Hasnam, 2011; Raja et al., 2011). Untuk minyak nabati seperti nyamplung, maupun pengolahan CCO menjadi biodisel nyamplung penghasil biomassa seperti kaliandra. Saat ini, dilakukan melalui proses degumming, Kementerian LHK telah menerbitkan izin esterifikasi, transesteriikasi, washing dan pengelolaan hutan tanaman industri seluas 10,3 drying (Leksono et al., 2014b). Hasil analisis juta hektar dan sudah menyiapkan 400.000 sifat fisiko-kimia biodisel nyamplung yang hektar untuk dikembangkan menjadi kluster dihasilkan dari 7 pulau di Indonesia telah hutan energi. memenuhi 18 karakteristik biodisel sebagai syarat mutu biodisel (SNI 04-7182-2006) (BSN, 2006; Leksono dkk., 2014a). Nilai ekonomi buah nyamplung selain untuk biofuel juga dapat menghasilkan produk lain dengan

159 pemanfaatan limbahnya sehingga dapat di Pulang Pisau (Kalteng) (Maimunah dkk., meningatkan nilai tambah, antara lain dari 2017). cangkang buah dapat menghasilkan briket arang untuk bahan bakar dan asap cair untuk IV. NYAMPLUNG DI LAHAN GAMBUT pupuk maupun pengawet kayu, bungkil TERDEGRADASI sebagai limbah padat dari pengepresan biji Luas area lahan gambut di Indonesia mempunyai kandungan protein kasar tinggi saat ini tercatat 18,9 juta hektar dan yang dapat digunakan untuk pakan ternak, menduduki urutan ke empat dalam katagori sedangkan getah (resin) sebagai limbah cairnya lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, mengandung resin kumarin tinggi sebagai Uni Soviet dan Amerika. Lahan gambut seluas bahan baku obat-obatan dan kosmetik 12,9 juta hektar diantaranya berada di tiga (Leksono, 2014; Leksono dkk., 2014a; pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) Leksono et al., 2014b; Leksono et al., 2014c; yang tersebar di tujuh provinsi (Riau, Jambi, Kompas, 15 Desember 2014; Gatra, 2015). Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sesuai dengan strategi pemuliaan Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan nyamplung untuk biofuel (Leksono & Papua). Provinsi Kalimantan Tengah memiliki Widyatmoko, 2010), hasi seleksi pada tingkat lahan gambut terluas di Kalimantan. Hingga populasi dari 6 provenan/ras lahan di Jawa kini, sekitar 50 persen lahan gambut di tujuh (Leksono & Putri, 2013) digunakan sebagai provinsi tersebut, telah dibuka dan dikeringkan dasar membangun sumber benih unggul (Kompas, 2017; Mubekti, 2011; Wahyunto & nyamplung pada level Tegakan Benih Dariah, 2011) Provenan (TBP) di lahan mineral yang Kawasan bergambut di Kalimantan tergenang secara periodik di Wonogiri (Jawa Tengah melingkupi hamparan areal yang Tengah) seluas 5 ha. TBP tersebut mempunyai cukup luas, yakni diperkirakan mencakup areal potensi rendemen minyak (crude oil) sebesar seluas 3,472 juta ha, atau sekitar 21,98 % dari 61,92 – 64,79% atau meningkat 11 – 14% total luas wilayah Propinsi Kalimantan Tengah dibandingkan populasi asalnya, yaitu dari yang mencapai 15,798 juta ha. Sebagian besar Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta areal tersebut merupakan kawasan bergambut (Leksono et al., 2016). TBP nyamplung yang belum digarap, kawasan eks Proyek tersebut sudah berbuah pada umur 3 tahun, pengembangan lahan gambut satu juta hektar lebih cepat dibandingkan tanaman nyamplung (PLG), kawasan bergambut terlantar dan yang pada umumnya berbuah pada umur 7-8 kawasan bergambut Taman Nasional Tanjung tahun. Keunggulan benih dari TBP nyamplung Puting (TNTP) yang ditinjau dari perspektif tersebut perlu dicoba pada lahan gambut pengelolaan berkelanjutan lahan gambut, terdegradasi yang telah menunjukkan merupakan kawasan bergambut yang perlu kemampuan adaptasinya pada lahan tersebut pada uji species di lahan gambut terdegradasi

160 mendapat prioritas penanganannya (BPS nyamplung telah dikenal sebagai tanaman Kalteng, 2017). penghasil biodisel dengan rendemen minyak Dalam program pemuliaan tanaman tinggi yang toleran pada berbagai kondisi hutan, salah satu tindakan awal yang dilakukan lahan yang beragam, terutama pada sepanjang untuk mendapatkan species yang memiliki pantai dan bersebelahan dengan hutan dataran kemampuan adaptasi dan potensi tumbuh yang rendah. Dilaporkan pula bahwa nyamplung besar pada suatu lokasi adalah dengan uji toleran pada temperatur udara yang tinggi dan species (Wright, 1976). Pada umumnya uji pada kondisi lahan yang basah, namun tidak species dilakukan dengan mendatangkan toleran pada dataran tinggi, daerah dingin dan species di luar sebaran alaminya sehingga areal yang sangat kering (Prabakaran & Britto, sering dikategorikan sebagai uji introduksi 2012). Secara alami, nyamplung tumbuh pada (Burley & Wood, 1996). Hal ini disebabkan lahan marginal sepanjang pantai sehingga beberapa species belum dikuasai teknik toleran terhadap salinitas, tanah liat dengan silvikulturnya sedangkan species eksotik lebih drainasi yang baik dengan pH 4 – 7,4, dapat mudah ditangani dan hasilnya sudah diketahui tumbuh baik pada ketinggian 0–200 m dpl., dengan baik serta telah memenuhi persyaratan pada tipe curah hujan A dan B (1000–3000 industri (Leksono, 2016). Uji species pada mm/tahun), 4–5 bulan kering, dan pada dasarnya bertujuan untuk mereduksi jumlah temperatur udara 18–33 oC. Nyamplung juga spesies yang telah teruji sesuai dengan tujuan toleran pada lahan dengan tanah liat, berkapur, yang diinginkan pada tempat tertentu. Namun berbatu dan bahkan pada lahan tergenang demikian, species yang paling sesuai tidak periodik dan tanah asam hingga pada lahan selalu yang tumbuh paling cepat dalam kondisi marginal (Bustomi, et al., 2008; Leksono dkk., tertentu, faktor lain yang dapat menentukan 2010; Atabani & César, 2014; Windyarini & adalah kemampuan untuk menyesuaikan pada Hasnah, 2017). kondisi lingkungan yang ekstrim, ketahanan Oleh karena mempunyai toleransi terhadap serangan hama dan penyakit atau yang tinggi pada kondisi lingkungan yang kemampuan untuk memproduksi benih (Zobel sangat keras tersebut, nyamplung telah & Talbert, 1984). ditanam lebih dari 50 tahun yang lalu untuk Hasil uji adaptasi empat species tujuan konservasi sepadan pantai, tanaman tanaman hutan untuk bioenergi pada lahan pemecah angin dan juga untuk rehabilitasi gambut terdegradasi telah dilakukan di Pulang lahan pada tanah berbatu, tanah kapur dan Pisau, Kalimantan Tengah, menunjukkan pada lahan yang tergenang secara periodik di bahwa nyamplung (C. inophyllum) mempunyai daerah pantai selatan pulau Jawa (Leksono kemampuan adaptasi dan pertumbuhan terbaik dkk., 2010; Leksono et al., 2017). dibandingkan kemiri sunan, kaliandra dan gamal (Cifor, 2016; Maimunah dkk., 2017). Keunggulan tersebut kemungkinan karena

161 V. RENCANA PENGEMBANGAN (padi, jagung, labu air dan cabe) dan kontrol NYAMPLUNG DI LAHAN GAMBUT (tanpa tanaman tumpang sari) masing-masing TERDEGRADASI seluas 1 ha. Persiapan lahan dilakukan dengan

tebas total dan membuat guludan untuk jalur Pengembangan nyamplung di lahan tanaman nyamplung. Bibit tanaman gambut akan dilakukan melalui 2 (dua) nyamplung akan ditanam di atas guludan tanah kegiatan utama, yaitu 1) Pembangunan plot gambut dan tanaman pangan akan ditanam pertanaman nyamplung menggunakan benih diantara jalur tanaman pokok. Benih yang unggul dari TBP Nyamplung dari Wonogiri, digunakan untuk pembangunan plot dan 2) Pembangunan plot uji provenan pertanaman nyamplung berasal dari TBP nyamplung dari 8 (delapan) pulau di Indonesia. nyamplung dari Wonogiri (Jateng). Kegiatan pembangunan kedua plot tersebut Pengukuran tanaman akan dilakukan pada 3 merupakan kerjasama penelitian antara Balai (tiga) plot ukuran permanen (PUP) di dalam Besar Penelitian dan Pengembangan setiap pola agroforestry untuk mengetahui Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan respon pertumbuhan tanaman nyamplung pada (BBPPBPTH), Yogyakarta dengan Fakultas lahan gambut dan produktivitas tanaman Pertanian dan Kehutanan Universitas pertanian untuk mengoptimalkan pemanfaatan Muhammadiyah (UMP), Palangkaraya yang lahan dengan pola agroforestry yang akan didanai oleh CIFOR (The Centre for diterapkan. Pembibitan dilakukan pada Internasional Forestry Research), Bogor. Persemaian Permanen Balai Pengelolaan Kegiatan akan dimulai pada tahun 2017 Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung dilanjutkan pada tahun berikutnya melalui (BPDASHL) Kahayan yang berlokasi di Desa tahapan kerjasama para pihak. Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Pembangunan plot pertanaman Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. nyamplung akan dilakukan di Etalase Plot pertanaman tersebut selain untuk menguji Bioenergi, Dinas Energi dan Sumber Daya kemampuan adaptasi tanaman nyamplung di Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Tengah, lahan gambut terdegradasi juga sebagai salah yang berlokasi di kelurahan Kalampangan, satu metode dalam program pemuliaan untuk kecamatan Sebangau, Kotamadya mengetahui stabilitas genetik benih unggul Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Lahan melalui uji multi lokasi (uji pada berbagai tersebut seluas 30 ha dengan vegetasi di lokasi/tapak dengan kondisi lingkungan yang atasnya berupa anakan jenis Acacia dan pernah berbeda). Dengan metode demikian akan terbakar pada tahun 2014 dan 2015, dengan diketahui peningkatan genetik (realized lapisan padas hitam (spodosol). Plot genetic gain) nyamplung asal TBP Wonogiri pertanaman nyamplung direncanakan seluas 5 pada lahan gambut terdegradasi (Zobel & ha dengan jarak tanam 5 x 5 m menggunakan Talbert, 1984; Wright, 1976). pola agroforestry dengan jenis tanaman pangan

162 Pembangunan plot uji provenan 25 pohon per plot (treeplot) dan 6 ulangan nyamplung akan dibangun dengan melibatkan (blok) seluas 3 ha dengan jarak tanam 5 x 5 m. 8 (delapan) provenan dari 8 pulau di Indonesia Persiapan lahan dan penanaman sebagaimana termasuk ras lahan sebagai kontrol. Uji ini pada plot pertanaman nyamplung, dilakukan dilakukan untuk pengembangan nyamplung dengan tebas total dan membuat guludan untuk dalam jangka panjang dalam meningkatkan jalur tanaman nyamplung. Pengukuran secara produktivitas buah dan rendemen minyak peiodik setiap tahun akan dilakukan untuk nyamplung di Kalimantan Tengah. Hasil mengevaluasi kemampuan adaptasi, eksplorasi buah nyamplung dan analisis pertumbuhan tanaman dan respon berbunga minyak serta analisis DNA dari 8 pulau serta berbuah dari masing-masing provenan tersebut menunjukkan adanya variasi yang dan ras lahan di lahan gambut terdegradasi. sangat tinggi terhadap ukuran buah dan biji, Informasi potensi pertumbuhan tanaman dan rendemen minyak dan sifat fisiko-kimia serta kandungan minyak dari populasi asalnya, akan jarak genetik antar provenan dan ras lahan menjadi bahan rekomendasi untuk (Leksono dkk., 2010; Leksono & Putri, 2013; pemngembangan nyamplung di lahan gambut Leksono et al., 2014b; Windyarini & Hasnah, khususnya di Kalimantan Tengah. 2017). Provenan atau ras geografik merupakan area geografi alami benih atau propagul UCAPAN TERIMA KASIH dikumpulkan (Zobel & Talbert). Adanya Terima kasih kam ucapkan kepada CIFOR provenan ini disebabkan oleh suatu species (The Centre for Internasional Forestry tanaman yang mempunyai sebaran alami di Research) atas dukungan dana pada kegiatan beberapa lokasi dan mempunyai kondisi ini dalam kerjasama penelitian dengan topik: lingkungan yang sangat spesifik, sehingga “Assessing Bioenergy Plantation Potential on memberikan penampilan yang berbeda di Degraded Land.” Terima kasih juga kami antara ras geografik tersebut. Sedangkan ras ucapkan kepada Dinas Energi dan Sumber lahan adalah suatu populasi yang menjadi Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan teradaptasi pada suatu lingkungan yang Tengah yang telah menyediakan lahan untuk spesifik pada tempat dia ditanam (Wright, kegiatan dimaksud, Balai Pengelolaan Daerah 1976). Uji provenan ini dilakukan dengan Aliran Sungai dan Hutan Lindung tujuan sebagaimana uji species, namun pada (BPDASHL) Kahayan yang telah level populasi (provenan dalam suatu species), menyediakan Persemaian Permanen dalam yaitu untuk mendapatkan provenan dari pembibitan nyamplung dan dukungan dari species target yang memiliki kemampuan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan adaptasi dan potensi tumbuh yang besar pada Tengah dalam kegiatan ini. suatu lokasi (Burley & Wood, 1996). Plot uji provenan akan dibangun dengan rancangan acak lengkap berblok (RCBD) dengan 8 plot,

163 DAFTAR PUSTAKA ESDM. 2008. Rencana strategis 2009-2014 program desa mandiri energi. Atabani, A.E., S. César. 2014. Calophyllum Direktorat Jenderal Listrik dan innophyllum L.- A prospective non- Pemanfaatan Energi. Jakarta. edible biodiesel feedstock. Study of Gatra. 2015. “Budi Leksono, Mengolah limbah biodiesel production, properties, fatty menjadi pakan ternak”. Majalah Berita acid, composition, blending and engine Mingguan Gatra edisi No. 16 Tahun performance. Renewable and XXI, 19-25 Mei 2015. Sustainable Energy Reviews 37: 644- 655 Gatra. 2017. Bangkit Energi Lestari. Majalah Berita Mingguan Gatra Edisi Khusus BAPPENAS. 2014. Rencana Pembangunan Energi Terbarukan, 18-24 Mei 2017 Jangka Menengah Nasional 2015- (hal. 20-21). 2019: Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019. Buku I Agenda Hasnam. 2011. Prospek perbaikan genetik Pembangunan Nasional. Kementerian jarak pagar (Jatropha curcas L.). Perencanaan Pembangunan Nasional/ Perspektif Vol. 10 No.2. Hal. 70-80. Badan Perencanaan Pembangunan Hayes, D.J., R. Ballentine, J. Mazurek. 2007. Nasional 2014. The promise of biofuels a home-grown BPS Kalteng. 2017. Provinsi Kalimantan approach to breaking. America's Oil Tengah dalam Angka 2017. Badan Addiction (Policy Report March Pusat Statistik Provinsi Kalimantan 2007). Progressive Policy Institute. Tengah. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna BSN. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Indonesia. Jilid III. Diterjemahkan Badan Standarisasi Nasional (BSN). oleh : Badan Litbang Jakarta. Kehutanan.Yayasan SaranaWanajaya. Jakarta Burley, J. and P.J. Wood. 1996. A Manual on Species and Provenance Research with Kompas. 2015. Budi Leksono, “Nyemplung” Particular Reference to The Tropics. di nyamplung demi kemandirian Trop. For. Pop. 10. Comm. For. Inst. energi. Kompas, 15 Desember 2014 Oxford. Kompas. 2017. Tahun ini, pemerintah restorasi Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. lahan gambut di 7 provinsi. Kompas, 4 Leksono, A.S. Kosasih, I. Anggraeni, September 2017. D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin, Mahfudz, E. Leksono, B., AYPBC Widyatmoko. 2010. Rahman.. 2008. Nyamplung Strategi pemuliaan nyamplung (Calophyllum inophyllum L) sumber (Calophyllum inophyllum) untuk bahan energi biofuel yang potensial. Badan baku biofuel. Prosiding Seminar Penelitian dan Pengembangan Nasional Sains dan Teknologi III: Kehutanan. Jakarta. Peran Strategis Sains dan Teknologi Cifor. 2016. A bioenergy trial in Central dalam Mencapai Kemandirian Bangsa. Kalimantan aims to restore land and Bandar Lampung 18-19 Oktober 2010. boost livelihoods. Forest News, 27 Universitas Lampung. Hal.125-137. October 2016, Growing New Energy. Leksono, B., Y. Lisnawati, E. Rahman, K.P. ESDM. 2006. Blueprint pengelolaan energi Putri. 2010. Potensi tegakan dan nasional 2006 – 2025: Sesuai karakteristik lahan enam populasi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun nyamplung (Calophyllum inophyllum) 2006. Jakarta. ras Jawa. Prosiding workshop sintesa hasil penelitian hutan tanaman 2010. ESDM. 2007. Pengembangan desa mandiri Pusat Litbang Peningkatan energi (DME). Direktorat Jenderal Produktivitas Hutan, Bogor. Hal.397- Listrik dan Pemanfaatan Energi. 408. Jakarta.

164 Leksono, B., K.P. Putri. 2013. Variasi ukuran International Conference of Indonesia buah - biji dan sifat fisiko - kimia Forestry Researchers (The 3rd minyak nyamplung (Calophyllum INAFOR). Forestry Research, Inophyllum L.) dari enam populasi di Development and Inovation Agency. Jawa. Prosiding Seminar Nasional Bogor, 21-22 October 2015. HHBK “Peranan Hasil Litbang Hasil Leksono B, E. Windyarini, T. Hasnah. 2017. Hutan Bukan Kayu dalam Mendukung Conservation and Zero Waste Concept Pembangunan Kehutanan”. Balai for Biodiesel Industry Based on Penelitian Teknologi Hasil Hutan Calophyllum inophyllum Plantation. Bukan Kayu. hal.321-334. IUFRO INAFOR Joint International Leksono, B. 2014. Buah nyamplung Conference. Forestry Research, (Calophyllum inophyllum) untuk Development and Inovation Agency. ketahanan energi, pakan dan obat- Yogyakarta, 24-27 July 2017 (printed). obatan: peluang dan tantangan. Maimunah, Y. Artati, Y. Samsudin. 2017. Uji Prosiding Seminar Nasional "Peranan tanaman sumber bioenergi di lahan dan Strategi Kebijakan Pemanfaatan gambut terdegradasi: Studi di Desa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Buntoi, Pulang Pisau, Kalimantan dalam Meningkatkan Daya Guna Tengah. Prosiding Seminar Nasional Kawasan (Hutan)". Fakultas Masyarakat Silvikultur Indonesia ke Kehutanan UGM-BPDASPS. V: “Silvikultur untuk Produksi Hutan Yogyakarta, 6-7 November 2014. Lestari dan Rakyat Sejahtera”. hal.302-314 Banjarbaru 23-24 Agustus 2017. Leksono, B., E. Windyarini, T. Hasnah. 2014a. Mubekti. 2011. Studi pewilayahan dalam Budidaya nyamplung (Calophyllum rangka pengelolaan lahan gambut inophyllum L) untuk bioenergi dan berkelanjutan di Provinsi Riau. Jurnal prospek pemanfaatan lainnya. IPB Sains dan Teknologi Indonesia Vol. Press. 55 hal. 13(2):88-94. Leksono, B., R.L. Hendrati, E. Windyarini, T. Prabakaran, K., S.J. Britto. 2012. Biology, Hasnah. 2014b. Variation of biofuel Agroforestry and Medicinal value of potential of 12 Calopyllum inophyllum Calophyllum inophyllum l. (clusiacea): populations in Indonesia. Indonesian A Review. International Journal of Journal of Forestry Research Vol.1 Natural Products Research 1(2): 24-33. (2):127-138. Raja, S.A., D.S.S. Robinson, C.L.L. Robert. Leksono, B., R.L. Hendrati, E. Windyarini, T. 2011. Biodiesel production from Hasnah. 2014c. Coumarins content of jatropha oil and its characterizations. seed and crude oil of nyamplung Res.J.Chem.Sci. Vol 1(1): 81-87. (Calopyllum inophyllum) from forest stands in Indonesia. Proceeding The Sudrajat, R., D. Setiawan. 2005. Biodiesel dari International Seminar on “Forests and tanaman jarak pagar sebagai energi Medicinal Plants for Better Human alternatif untuk pedesaan. Seminar Welfare”. CRDFPI-FORDA. Bogor, Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat 10 – 12 September 2013. Litbang Hasil Hutan. Bogor. Hal. 207- 219. Leksono B. 2016. Seleksi berulang pada spesies tanaman hutan tropis untuk Sudrajat, R., S. Yogie, D. Hendra, D. kemandirian benih unggul. Naskah Setiawan. 2010a. Pembuatan biodiesel Orasi Profesor Riset. Badan Penelitian, kepuh dengan proses transesterifikasi. Pengembangan dan Inovasi. Bogor. 78 Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.28 hal. No.2 (145-155). Leksono B, E. Windyarini, T. Hasnah. 2016. Sudrajat, R., E. Pawoko, D. Hendra, D. Growth, flowering, fruiting and biofuel Setiawan. 2010b. Pembuatan biodiesel content of Calophyllum inophyllum in dari biji kesambi (Schleichera oleosa provenance seed stand. The Third

165 L). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.28 No.4 (358-379). Utami, T.S., R. Arbianti, D. Nurhasman. 2007. Kinetika reaksi transesterifikasi CPO terhadap produk metil palmitat dalam reaktor tumpak. Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia, Surabaya, 15 November 2007. Hal. KR2-1-KR2-6. Wahyunto, A. Dariah. 2011. Pengelolaan lahan gambut terdegradasi dan terlantar untuk mendukung ketahanan pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Windyarini, E., T. Hasnah. 2017. Karakteristik sumber daya genetik nyamplung dari 7 pulau di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Lokal dalam Mendukung Keberhasilan Program Pemuliaan”. Yogyakarta, 2 Juni 2016. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Hal.491- 501.

Wright, J.W. 1976, Introduction to Forest Genetics, Academic Press Inc.,New York, San Fransisco, London. Zobel, B.J and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada.

166

Penetuan Kadar Steroid Total Ekstrak Etanol Akar Kalakai (Stenochlaena palustris Bedd) Asal Tanah Gambut Kalimantan Tengah

Rabiatul Adawiyah Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Farmasi, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Jl. RTA. Milono KM 1,5 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 73111, Hp 081352798226 Email : [email protected]/ rabiatul [email protected]

Abstrak

Penggunaan tumbuh–tumbuhan alami sebagai tanaman obat di Indonesia sedang populer. Salah satu tanaman khas Kalimantan yang banyak digunakan sebagai tanaman obat adalah kalakai atau sering juga disebut paku haruan (Stenochlaena palustris Bedd). Pada tumbuhan kalakai, akar dari kalakai tersebut belum banyak dimanfaatkan, dimana selamai ini yang dimanfaatkan hanya di bagian daunnya. Bagian Akar umumnya juga memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder yang memiliki potensi sebagai afrodisiak. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kadar senyawa steroid total ekstrak etanol akar kalakai (Stenochlaena palutris Bedd) yang berasal dari tanah gambut. Serbuk akar kalakai diekstraksi dengan etanol 70% secara maserasi. Ekstrak ditentukan kadar steroid total dengan menggunakan metode spektroskopi dengan menggunakan marker stigmasterol. Hasil Kadar steroid total pada ekstrak etanol 70% akar kalakai yang tumbuh ditanah gambut adalah 58,23+8,49 µg/mg. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kadar steroid total akar kalakai yang tumbuh di tanah gambut sebesar 58,23+8,49 µg/mg.

Kata kunci : Akar kalakai, Stenochlaena palustris Bedd, steroid, tanah gambut

PENDAHULUAN Penelitian sebelumnya telah menjelaskan bahwa daun dan batang kalakai Salah satu sumber daya alam yang mengandung zat besi yang sangat tinggi dimiliki Indonesia adalah tanaman berkhasiat sehingga baik digunakan pada penderitaanemia obat. Kekayaan flora tersebut berpotensi untuk (Maharani et al., 2013). Liu et al. (1999) dikembangkan menjadi produk herbal yang menyebutkan bahwa terdapat 5 (lima) kualitas, aktifitas farmakologi, dan glikosida flavonol baru dalam daun keamananya setara dengan obat modern Stenochlaena palustris, dimana satu sampai (Saifudin et al., 2011). Kalimantan sebagai empat dari kandungan tersebut secara daerah hujan trofis menyimpan sekurang- signifikan menunjukan aktivitas antibakteri kurangnya 4.000 spesies tumbuhan yang dapat gram negatif. Selain itu, kalakai juga menjadi sumber temuan obat baru mengandung beberapa senyawa bioaktif seperti (Kepmenkes, 2007). Salah satu tanaman khas fenolik, flavonoid, alkaloid dan keluarga Kalimantan yang banyak digunakan sebagai terpenoid (Ho et al., 2010) yang telah terbukti tanaman obat adalah kalakai atau sering juga sangat efektif sebagai antioksidan (Dai dan disebut paku haruan (Stenochlaena palustris Mumper, 2010). Kandungan mineral Mg, Ca, Bedd) yang termasuk kedalam jenis Zn, dan Mn yang terdapat pada pucuk daun pakis/paku-pakuan. kalakai yang tumbuh di tanah bergambut

167

cukup tinggi dan adanya pengaruh berdasarkan (skrining fitokimia) pada bagian akar kalakai. cara pemasakannya (Thursina, 2010). Penggunaan akar kalakai oleh masyarakat Afrodisiak berasal dari bahasa Yunani, sebagai afrodisiak telah banyak dilakukan, yaitu Aphrodite yang didefenisikan sebagai terutama afrodisiak yang diperoleh dengan makanan atau obat yang meningkatkan naluri cara merendam atau merebus bagian akar sexual terutama pada laki-laki dengan kemudian air rendaman atau rebusannya gangguan ereksi atau impoten (Yakubu et al., diminum. Golongan senyawa yang umumnya 2007). Bahan alam banyak telah digunakan bertanggungjawab terhadap efek afrodisiak, oleh masyarakat etnis Banjar di Kabupaten yaitu flavonoid, steroid, dan alkaloid. Balangan dan banyak etnis Dayak di Flavonoid dan steroid bekerja sentral dengan Kalimanatan Selatan dan di Kaliamantan meningkatkan produksi hormon androgen, Tengah memanfaatkan akar kalakai dan sehingga terjadi peningkatan produksi hormon diyakini berfungsi sebagai bahan afrodisiak testosteron yang bertanggungjawab terhadap dalam meningkatkan kualitas sperma dan efek afrodisiak. Alkaloid bekerja melalui potensi seksual (Noorcahyati,2012). Bahan aktivitas perifer dengan meningkatkan dilatasi alam tersebut diantaranya Eurycoma longifolia pembuluh darah menuju testis (Semwal et al., Jack, Tribulus terrestris, Paussinystalia 2013). yohimbe, Panax ginseng, dan Rebung Bambu. Produk bahan alam yang akan Senyawa aktif dari tanaman tersebut yang dijadikan sebagai bahan baku obat harus bersifat afrodisiak adalah β-sitosterol (steroid) memenuhi kriteria berkhasiat, aman, dan dari Eurycoma longifolia Jack yang bermutu (Raharjo, 2013). Mutu dari bahan merangsang pembentukan hormon androgen alam dapat dinilai dari konsistensi kadar pada testis (Ang dan Sim, 2000). Golongan golongan senyawa yang ditetapkan senyawa pada tanaman yang berpotensi menggunakan pembanding senyawa marker. sebagai bahan afrodisiak berupa steroid, Penetapan kadar golongan senyawa harus alkaloid dan flavonoid. Pada rebung bambu berdasarkan kajian ilmiah terkait satu atau dua terdapat senyawa fitosterol yang merupakan golongan senyawa yang paling prekursor hormon steroid pada tumbuhan, dan bertanggungjawab terhadap aktivitas dapat meningkatkan konsentrasi hormon farmakologis tanaman tersebut (Saifudin et al., testosteron pada laki-laki (Sukmaningsih et al., 2011). Penetapan kadar golongan senyawa 2012). diantaranya penetapan kadar steroid total. Akar kalakai (Stenochlaena palustris) Ekstrak terstandar akan memiliki kadar steroid belum banyak diteliti. Data ilmiah yang total yang konstan pada setiap pengulangan mendukung efektivitas akar kalakai sebagai dalam pembuatan, sehingga aktivitas yang afrodisiak belum banyak dilakukan sehingga diharapkan konstan (Bone dan Mills, 2013). minim informasi pada publikasi ilmiah yang Penetapan kadar steroid total juga dapat mengkaji kandungan metabolit sekunder memberikan informasi tempat tumbuh yang

168

optimum bagi tanaman tersebut. Tempat temurun dapat bersifat sebagai obat maupun tumbuh yang sesuai memungkinkan tanaman bahan obat. tumbuh secara optimal, sehingga dapat menghasilkan metabolit sekunder yang BAHAN DAN METODE optimum (Rohaeti et al., 2011). A. Bahan dan Alat Kalakai merupakan tumbuhan yang Bahan utama yang digunakan pada tumbuh subur di tanah gambut. Sifat fisik penelitian ini adalah akar kalakai. Bahan lain gambut yang paling utama adalah sifat kering yang digunakan Bahan lain yang digunakan tidak balik (irriversible drying), gambut yang untuk menunjang penelitian ini adalah pelarut telah mengering dengan kadar air < 100% kimia Etanol (C2H5OH) 70%, Aquades (H2O),

(berdasarkan berat), tidak dapat menyerap air Aluminium klorida (AlCl3)10% pa, Asam lagi jika dibasahi. Gambut yang mengering ini asetat (CH3COOH) 5% pa, Natrium hidroksida sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah (NaOH) pa, Asam klorida (HCl) 1% pa, hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar Kuersetin (C15H10O7) pa, Etanol (C2H5OH) pa, dalam keadaan kering (Widjaja, 1988). Klorofom (CHCl3) pa, Pb Asetat (CH3COO

Produktivitas lahan gambut yang rendah Pb), Asam asetat glasial (CH3COOH), Asam karena rendahnya kandungan unsur hara makro formiat (HCOOH), Etil metal keton maupun mikro yang tersedia untuk tanaman, (CH3COC2H5), Ammonia (NH3), Asam sulfat tingkat keasaman tinggi, dan kejenuhan basa (H2SO4), Reagen Dragendroff, Reagen Meyer, rendah. Tingkat marginalitas dan fragilitas Reagen Liebermann Burchat, dan kertas saring lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat whatman no.1. gambut yang inherent, baik sifat fisik, kimia Alat-alat yang digunakan dalam maupun biologisnya (Ratmini, 2012). penelitian adalah alat-alat gelas (Pyrex® Iwaki Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Glass), blender, cawan porselen, corong pisah, menetukan kadar metabolit sekunder dari neraca analitik (Ohaus®), pengayak No. 25, golongan steroid akar kalakai (Stenochlaena bejana maserasi, propipet, rak tabung reaksi, palustris Bedd) yang tumbuh di tanah gambut rotary vacuum evaporator (Hseidolph), sendok dan manfaat dari penelitian ini adalah untuk besi, sentrifugator (Clements®), menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam spektrofotometer UV-VIS (Spectronic bidang tanaman tradisional khas Kalimantan Genesys® 10uv) suhu ruang 20-25°C, yang banyak digunakan sebagai obat stopwatch, waterbath (SMIC®), dan vortex tradisional secara turun temurun, khususnya mixer. kalakai dan sebagai informasi yang berbasis B. Pengolahan Sampel bukti dari penelitian kepada masyarakat bahwa Bahan diambil dari seluruh bagian tumbuhan kalakai sebagai tumbuhan khas akar tumbuhan kalakai yang menempel pada Kalimantan yang biasa digunakan turun batang yang terdapat di tanah gambut. Tumbuhan kalakai diambil pada bagian akar

169

yang dikumpulkan selanjutnya dibersihkan dari Panjang gelombang maksimum benda-benda asing dari luar (disortasi basah) ditentukan dengan cara membuat larutan dan dicuci bersih di bawah air mengalir. Hasil stigmasterol dengan konsentrasi 500 ppm rajangan dikeringkan di tempat yang teduh dalam pelarut kloroform. Selanjutnya (kering-angin) selama 3 hari (kondisi cuaca dilakukan pembacaan pada rentang panjang panas pada saat proses pengeringan), setelah gelombang 200-300 nm. sampel kering dipisahkan dari benda-benda F. Penentuan Kurva Baku asing (disortasi kering). Dilakukan pengunahan Stigmasterol bentuk menjadi bentuk serbuk dengan cara Larutan seri kadar dibuat dengan dihaluskan, lalu diayak dengan pengayak menggunakan baku standar yaitu stigmasterol. nomor 14 (FHI, 2009). Serbuk halus yang Dibuat larutan seri kadar 500, 1000, 1500, diperoleh dikumpulkan dan disimpan dalam 2000, 2500, dan 3000 ppm. Dilakukan wadah bersih. pembacaan absorbansi dari larutan uji pada C. Pembuatan Ekstrak panjang gelombang maksimum menggunakan Ekstraksi akar kalakai dilakukan spektrofotometer UV-Vis. Persamaan kurva dengan cara perendaman serbuk dengan baku yang diperoleh adalah y=bx+a. Blanko perbandingan sampel pelarut : etanol 70% yang digunakan adalah campuran antara sama dengan 1:10. Simplisia direndam dalam pelarut dan pereaksi. pelarut selama 3 hari sambil sesekali diaduk. G. Penetuan Steroid Total Setiap 24 jam di saring, filtrat yang diperoleh Sebanyak 100 mg ekstrak ditimbang dikumpulkan dan pelarut yang diganti dengan secara seksama kemudian dilarutkan ke dalam yang baru dengan jumlah yang sama dengan 5 mL aquades, dipanaskan pada suhu 50ºC yang pertaa. Filtrat yang diperoleh dipisahkan selama 10 menit sambil diaduk. Kemudian dari residu dengan menggunakan kertas masukkan ke dalam labu ukur 10 mL, lalu Whatman nomor 1. Ekstrak cair yang ditambahkan kloroform hingga tanda batas. diperoleh dipekatkan dengn vacuum rotary Lakukan pengocokan larutan dalam labu ukur. evaporator dengan suhu 60°C. Kemudian Terbentuk dua lapisan yaitu lapisan aquades diuapkan di atas waterbath sampai diperoleh dan kloroform. Steroid akan terlarut dalam fase ekstrak kental. klorofom karena sama-sama bersifat non-polar. D. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Diambil sebanyak 1 mL fase kloroform Akar Kalakai kemudian dibaca pada panjang gelombang Uji skrining fitokimia meliputi :uji maksimal. Blanko yang digunakan adalah flavonoid, uji Alkaloid, uji tanin, uji saponin, campuran antara pelarut dan pereaksi. uji antrakuinon, uji steroid, uji terpenoid. Dilakukan sebanyak tiga kali replikasi. E. Penentuan Panjang Gelombang Absorbansi ekstrak yang mengandung steroid Maksimum Kadar Steroi Total dikalibrasikan dengan kurva standar dengan persamaan regresi linier y = bx+a. Dimana y

170

adalah nilai absorbansi dan x adalah kadar Sebelum akar kalakai diambil, tanah terukur. Nilai absorbansi sampel dimasukkan tempat tumbuh kalakai dianalisis. Analisis dalam y sehingga diperoleh x adalah jenis tanah berfungsi untuk lebih menyakinkan konsentrasi (ppm=mg/L). peneliti dalam pengambilan sampel akar kalakai yang digunakan, yaitu yang berasal HASIL DAN PEMBAHASAN dari tanah gambut. A. Hasil Analisis Tanah Tabel. Hasil analisis tanah Parameter yang Di Analisis pH N- P- K-dd KTK Tekstur (%) Tingkat Sampel H2O Total Bray I (me/100 (me/100 Pasir Debu Clay Dekomposisi No. (1:2,5) (%) (ppm) g) g) Gambut 1. 3,49 0,54 31,66 0,40 25,81 - - - Saprik MM Ket: - = tidak dianalisis Hasil analisis menunjukkan tanah menunjukkan tingkat kesuburan tanah.

gambut memiliki pH dengan tingkat keasaman Tingginya nilai K-dd berkorelasi dengan

yang relatif tinggi, yaitu 3,49. Hasil tersebut tingginya mineral dan unsur hara pada tanah

sesuai dengan literatur yang menyatakan (Sasli, 2011). Penelitian lain menunjukkan K-

tingkat keasaman tanah gambut berkisar pada dd pada tanah gambut di Kalimantan tergolong

pH 3-4(Hartatik et al., 2012). Ketersediaan N tinggi dibandingkan di Sumatera (Ratmini,

bagi tanaman pada tanah gambut umumnya 2012).

rendah (Hartatik et al., 2012). Unsur fosfor Pada parameter tekstur tanah, tanah

adalah unsur esensial kedua setelah N yang gambut menunjukkan tingkat dekomposisi

berperan penting dalam fotosintesis dan tergolong saprik (matang). Tanah gambut

perkembangan akar (Umaternate et al., 2014). saprik adalah tanah gambut yang sudah

Parameter Kapasistas Tukar Kation melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak

(KTK), Kapasitas tukar kation umumnya dikenali. Umumnya berwarna coklat tua

berbanding lurus dengan tingginya pH pada sampai hitam, dan apabila diremas kandungan

tanah, apabila pH naik maka terjadi kenaikan seratnya kurang dari 15% (Noor, 2001).

nilai KTK (Hartatik et al., 2012). Nilai kalium B. Hasil Skrinng Fitokimia

dapat ditukar (K-dd), Kalium dapat ditukar Skrining fitokimia dapat memberikan

memberikan gambaran kadar kalium yang informasi metabolit sekunder atau konstituen

171

yang terkandung di dalam ekstrak. Konstituen testosteron (Semwal et al., 2012). Flavonoid meliputi banyak pigmen yang banyak terdapat kimia yang terkandung bertanggungjawab di seluruh tumbuhan mulai dari fungus sampai terhadap aktivitas farmakologis (Yadav dan angiospermae. Flavonoid memiliki kelarutan Agarwala, 2011). Skrining fitokimia yang dalam pelarut polar dan semipolar. Golongan flavonoid dapat diektraksi dengan etanol 70% dilakukan pada ekstrak akar kalakai adalah uji (Yunita et al., 2009). Pada uji flavonoid yang flavonoid, tanin, alkaloid, saponin, dilakukan pada ekstrak akar kalakai diperoleh antrakuinon, triterpenoid dan steroid. Hasil hasil positif. Hal tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan warna larutan menjadi pengujian skrining fitokimia ekstrak akar kuning setelah ditambahkan larutan NaOH. kalakai ditunjukkan pada tabel berikut. Steroid merupakan salah satu golongan Tabel . Hasil Pengujian Skrining Fitokimia yang bertanggungjawab terhadap aktivitas afrodisiak. Golongan steroid bekerja secara Ekstrak Akar Kalakai sentral dengan meningkatkan Luteinizing No. Golongan Akar Kalakai Tanah Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Gambut 1. Alkaloid - Hormone (FSH), meningkatkan produksi 2. Saponin + hormon androgen, dan mempengaruhi enzim 3. Antrakuinon + yang memproduksi hormon androgen (Semwal 4. Tanin + et al., 2012). Identifikasi steroid dilakukan 5. Flavonoid + menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard 6. Terpenoid + yang terdiri atas asetat anhidrat. Hasil positif 7. Steroid + apabila terbentuk cincin coklat pada batas

Keterangan : (+) = positif, (-) = larutan saat ditambahkan dengan H2SO4. Tanin merupakan senyawa polifenol negatif yang memiliki berat molekul besar. Tanin Hasil skrining fitokimia akar kalakai dapat terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa yang tumbuh di tanah gambut menunjukkan gugus karboksil. Tanin memiliki sifat hasil positif mengandung senyawa golongan membentuk kompleks dengan protein dan saponin, antrakuinon, tanin, flavonoid, beberapa makromolekul. Identifikasi terpenoid, dan steroid. keberadaan tanin dengan menggunakan larutan Pada akar kalakai terkandung senyawa gelatin 1% yang mengandung natrium klorida golongan flavonoid yang berperan terhadap akan ditunjukkan dengan terbentuknya aktivitas afrodisiak. Flavonoid bekerja melalui endapan berwarna putih (Tiwari et al., 2011). aktivitas sentral yang menyebabkan Identifikasi saponin pada akar kalakai peningkatan hormon dehidroepiandrosteron, dilakukan dengan metode foam. Identifikasi sehingga terjadi peningkatan hormon yang dilakukan menunjukkan akar kalakai

172

mengandung saponin yang ditandai dengan Penetapan kadar steroid total pada penelitian timbulnya busa. Saponin terdiri atas gugus ini menggunakan metode spektroskopik. glikosil yang merupakan gugus polar, diikuti Senyawa marker yang digunakan sebagai gugus steroid atau triterpenoid yang memiliki standar yaitu stigmasterol yang termasuk sifat nonpolar. golongan steroid. Stigmasterol merupakan C. Hasil Kadar Steroid Total prekursor dalam sintesis progesteron dan Berdasarkan Farmakope Herbal terlibat pada biosintesis hormon androgen Indonesia, suatu ekstrak tumbuhan dapat (efek afrodisiak), estrogen, dan kortikoid (Kaur distandarisasi dengan menetapkan kadar salah et al., 2011). satu atau dua golongan metabolit sekunder Kadar steroid total dapat dihitung yang paling bertanggungjawab terhadap dengan menggunakan standar eksternal yaitu aktivitas yang dihasilkan (Saifudin et al., memasukkan nilai absorbansi (y) dari larutan 2011). ekstrak akar kalakai pada persamaan kurva Steroid merupakan salah satu golongan baku stigmasterol. Persamaan kurva baku yang bertanggungjawab terhadap aktivitas stigmasterol yaitu y = 0,0002X–0,2642. Hasil afrodisiak (Semwal et al., 2013). Steroid penentuan kadar steroid total pada akar kalakai terdeteksi secara kualitatif pada akar kalakai. ditunjukkan pada Tabel berikut. Tabel . Hasil kadar steroid total akar kalakai Sampel Abs X Preparasi Kadar Rata-rata RSD (µg/mL) Sampel (µg/mg) (µg/mg) + SD Akar 0,379 574 100 mg/10 mL 57,4 Kalakai 100 mg/10 mL Tanah 0,380 579 57,9 58,23+8,49 1,45% Gambut 0,383 594 100 mg/10 mL 59,4

Kadar steroid total menyatakan kadar Nilai RSD pada penetapan kadar steroid total senyawa seluruh golongan steroid yang pada akar kalakai tanah gambut berturut-turut terdapat pada ekstrak akar kalakai. Hasil sebesar 1,45%. RSD yang dapat diterima penetapan kadar pada akar kalakai yang dalam analisis yaitu maksimal 4% (Gonzales et berasal dari tanah gambut sebesar 58,23+8,49 al., 2012). Nilai RSD yang lebih dari 4% µg/mg. Senyawa golongan steroid dapat menunjukkan tidak memenuhi presisi meningkatkan level serum testosteron, FSH, (keterulangan). Nilai RSD pada penelitian ini dan LH. Selain itu, golongan steroid juga dapat memenuhi persyaratan yang menunjukkan menghambat enzim fosfodiesterase-5 (PDE-5) terdapat keseksamaan hasil pengujian yang yang bertanggungjawab terhadap gangguan dilakukan secara berulang (Harmita dan Radji, disfungsi seksual (Sharma et al., 2014). 2004). Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan pada penetapan kadar steroid total.

173

KESIMPULAN Comprehensive Review. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Kadar yang diperoleh dari metabolit sekunder Resarch. Vol. 2(9):2259-2265. golongan steroid akar kalakai yang tumbuh di Kepmenkes. 2007. Kebijakan Obat Tradisional tanah gambut adalah sebesar 58,23+8,49 Nasional Tahun 2007. Keputusan µg/mg. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81/Menkes/SK/III/2007.

Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Liu, H., J. Orjala, O. Sticher, dan T. Rali.

1999. Acylated flavonol glycosides from Bone, K., dan S. Mills. 2013. Principles and leaves of Stenochlaena palustri. Jurnal Practice of Phytotherapy. 2nded. Natural Product. 62: 70-75. Churchill Livingstone Elsevier, New York. Maharani, D.M., S.N. Haidah, dan Haiyinah. 2013. Studi Potensi Kalakai Dai, J. dan R.J. Mumper. 2010. Plant (Stenochlaena palustris (Burm.F) Phenolics: Extraction, analysis and their Bedd)), Sebagai Pangan Fungsional, antioxidant and anticancer properties. Jurusan Budidaya Pertanian. Universitas Molecules. 15: 7313-7352. Lambung Mangkurat. Banjarbaru. PKMP 1: 1-13. Farmakope Herbal Indonesia. 2009. Farmakope Herbal Indonesia, Edisi Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Pertama, Depkes RI, Jakarta. Potensial dan Kendala. Kanisius. Jakarta. Gonzales, A.G., M.A Herrador, dan A.G. Asuero. 2010. Intra-laboratory Noorcahyati. 2012.Tumbuhan Berkhasiat Obat Assesment of Method Accuracy Etnis Asli Kalimantan. Balai Penelitian (Trueness and Precision) by Using Teknologi Konservasi Sumber Daya Validation Standarts. Talanta. 82: 1995- Alam. Balikpapan. 1998. Ratmini, S. 2012. Karakteristik dan Harmita, M., dan Radji. 2008. Analisis Hayati. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Penerbit EGC, Jakarta. Pengembangan Pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal. 1(2) : 197-206. Hartatik, W., I. Subiksa, A. Dariah. 2012. Sifat Kimia dan Fisik Tanah Gambut. Balai Raharjo, T. J. 2013. Kimia Bahan Alam. Penelitian Tanah (Balittana), Litbang Penerbit: Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Kementrian Pertanian. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/i Rohaeti, E., R. Heryanto., M. Rafi., A. nd/dokumentasi/lainnya/wiwik%20harta Wahyuningrum, dan L. K. Darusman. tik.pdf 2011. Prediksi Kadar Flavonoid Total Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Ho, R., T. Teai, J.-P. Bianchini, R. Lafont, dan Menggunakan Kombinasi Spektroskopi P. Raharivelomanana. 2010. Ferns: IR dengan Regresi Kuadrat Terkecil From traditional uses to pharmaceutical Parsial. Jurnal Kimia. 5 (2): 101-108. development, chemical identification of Rohaeti, E., R. Heryanto., M. Rafi., A. active principles. p. 321-346. In H. Wahyuningrum, dan L. K. Darusman. Fernández, M.A. Revilla, and A. Kumar 2011. Prediksi Kadar Flavonoid Total (ed.). Working with ferns: Issues and Tempuyung (Sonchus arvensis L.) applications. Springer, New York. Menggunakan Kombinasi Spektroskopi IR dengan Regresi Kuadrat Terkecil Kaur, N., J. Chaudhary., A. Jain., dan L. Parsial. Jurnal Kimia. 5 (2): 101-108. Kishore. 2011. Stigmasterol: A

174

Saifudin, A., V. Rahayu., dan H. Teruna. 2011. Thursina, D. 2010. Kandungan Mineral Standardisasi Bahan Obat Alam. Graha Kalakai (Stenochlaena palutris) yang Ilmu. Yogyakarta. Tumbuh Pada Jenis Tanah Berbeda Serta Dimasak dengan Cara Berbeda. Sasli, I. 2011. Karakterisasi Gambut Dengan Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Berbagai Bahan Amelioran dan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Guna Mendukung Produktifitas Umaternate, G., J. Abidjulu, dan A. Wuntu. Lahan Gambut. Grovigor. 4(1):42-50. 2014. Uji Metode Olsen dan Bray dalam Menganalisis Kandungan Forfat Tersedi Sukmaningsih A.A.., I. W. Widia, N. S. Pada Tanah Sawah di Kecamatan Antara., P. D. Kencana., dan I. B. W. Dumoga Utara. Jurnal MIPA UNSRAT Gunam. 2012. Rebung Bambu Tabah Online. 3(1): 6-10. (Gigantochloa nigrociliata) Sebagai Bahan Afrodisiak pada Tikus Putih Yadav, R., dan M. Agarwala. 2011. (Rattus norvegicus) Jantan. Pusat Studi Phytochemical analysis of some Ketahanan Pangan, Lembaga Penelitian medicinal plants. Journal of Phytology. dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 3(12): 10-14. Universitas Udayana. Bali. Yakubu, M.T., M.A. Akanji, dan A.T. Oladiji. Semwal, A., R. Kumar., dan R. Singh. 2013. 2007. Evaluation of biochemical indices Nature’s Aphrodisiacs - A Review of of male rat refroductive function and Current Scientific Literature. testicular histology in Wistar rats International Journal of Recent following chronic administration of Advances in Pharmaceutical Research. aqueous extract of Fadogia agrestis 3(2) : 1-20. (Schweinf. Ex Heirn) stem. African Journal of Biochemistry Research. 1(7): Sharma, P., P. Bhardwaj., T. Arif., I. Khan., 156-163. dan R. Singh. 2014. Pharmacology, Phytochemistry and Safety of Yunita, A. I., dan R. Nurmasari. 2009. Aphrodisiac Medicinal Plants: A Skrining Fitokimia Daun Tumbuhan Review. RRJPTS. Volume 2(3):1- Katimaha (Kleinhovia hospital L.). 18.Tiwari, P., B. Kumar., M. Kaur., G. Sains dan Terapan Kimia. 3(2): 112 – Kaur., dan H. Kaur. 2011. 123. Phytochemical Screening and Extraction : A Review. International Pharmaceutica Scienca. 1(1) : 98-106.

175 EVALUASI ANEKA POTENSI HUTAN PENDIDIKAN UNHAS UNTUK OPTIMALISASI NILAI MANFAAT DAN ANEKA JASA HUTAN PENDIDIKAN SEBAGAI MINIATUR MODEL PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN

MODEL PENGELOLAAN MADU HUTAN DI HUTAN PENDIDIKAN UNHAS

Daud Malamassam, Beta Putranto, Usman Arsyad Yusuf Liling

ABSTRAK

Hutan pendidikan Universitas Hasanuddin (Unhas) merupakan salah satu asset yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pengelolaan sumberdaya hutan. Hutan pendidikan ini memiliki potensi yang dapat mendasari pengembangan konsep-konsep pengelolaan hutan pada cakupan wilayah yang lebih luas, termasuk konsep-konsep pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini didesain untuk memfokuskan diri pada potensi HHBK, yang dinilai akan dapat berkontribusi pada upaya-upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pendayagunaan Hutan Pendidikan, dengan tujuan untuk : (1) Merisalah Potensi Hasil HHBK, khususnya Lebah Madu di Hutan Pendidikan Unhas, (2) Merumuskan model pengelolaan Madu Hutan, (3) Merumuskan Rekomendasi Kebijakan yang dapat mendukung Optimalisasi Pengelolaan Madu Hutan di Hutan Pendidikan Unhas. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei lapangan dan analisis datanya menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan sejumlah pelaku usaha Madu Hutan di sekitar Hutan Pendidikan tergolong cukup besar dan dapat melampaui Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan, meskipun pengusahaannya masih bersifat tradsional. Melalui pelibatan sejumlah pihak (stakeholders), yang dikordinasikan oleh pihak Pengelola Hutan Pendidikaan, maka potensi madu hutan tersebut akan dapat lebih dikembangkan dan didayagunakan untuk mendukung upaya pengembangan dan pendayagunaan Hutan Pendidikan Unhas menjadi miniatur model pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Kata kunci :Hutan Pendidikan, Potensi, Madu Hutan, Model Pengelolaan jenis Pinus mercusii, Acasia auriculoformis PENDAHULUAN dan Swietenia mahogani. Potensi ini apabila Hutan pendidikan Unhas terletak di dikelola dengan baik maka manfaatnya dapat Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros, yang dirasakan secara langsung dan lestari oleh pengelolaannya dipercayakan kepada masyarakat khususnya yang bermukim di Universitas Hasanuddin sebagai tempat sekitar kawasan hutan pendidikan. penyelenggaraan pendidikan kehutanan dan Pendayagunaan aneka potensi yang dimiliki areal percontohan pengelolaan hutan. Potensi oleh Hutan Pendidikan Universitas hutan pendidikan Unhas pada saat ini cukup Hasanuddin (Unhas) dapat mendasari besar yaitu seluas 1.300 ha yang terdiri atas penyusunan model termasuk model hutan alam seluas 521 ha (40%) dan hutan pengelolaan hutan multifungsi. tanaman seluas 779 ha (60%) yang teridiri atas

176 Salah satu diantara aneka jenis potensi yaitu untuk mengkaji Potensi Hasil Hutan Hutan Pendidikan Unhas yang dapat Bukan Kayu, khususnya produk lebah madu didayagunakan untuk hal termaksud di atas dan merumuskan model pengelolaan lebah adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), madu di Hutan Pendidikan Universitas adalah madu hutan. Komoditas madu hutan Hasanuddin (Unhas). merupakan salah satu sumber daya hutan yang METODE PENELITIAN potensial untuk dikembangkan dalam Penelitian ini menggunakan metode pembudidayaannya. Hal ini disebabkan karena survei lapangan. Penelitian didahului dengan sumber pakan lebah yang melimpah (hampir pembatasan masalah penelitian, yaitu dengan semua tumbuhan yang menghasilkan bunga memfokuskan perhatian pada potensi Hasil dapat dijadikan sebagai sumber pakan) baik Hutan Bukan Kayu, khususnya Lebah Madu, yang berasal dari tanaman hutan, tanaman dengan pertimbangan, bahwa optimalisasi pertanian maupun tanaman perkebunan pengelolaan lebah madu di Hutan Pendidikan (Setiawan, dkk., 2016). akan dapat berkontribusi pada optimalisasi Komoditas Madu Lebah selain dapat pengelolaan dan kelestarian Hutan Pendidikan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi Unhas. Analisis data yang digunakan (Novandra dan Made, 2013) juga dapat menggunakan pendekatan analisis kualitatif mendukung peningkatan pendapatan dan yang didukung dengan penyajian informasi kesejahteraan masyarakat, khususnya yang secara kuantitatif khususnya untuk hal-hal berdomisili pada dan di sekitar kawasan Hutan yang terkait dengan potensi Lebah Madu yang Pendidikan Unhas. Dengan demikian dapat ada di Hutan Pendidikan Unhas. pula dikatakan bahwa pengembangan lebah madu hutan, dapat diharapkan untuk HASIL DAN PEMBAHASAN berkontribusi pada upaya optimalisasi Potensi Lebah Madu pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa petani yang mengusahakan madu hutan maka penelitian tentang Potensi dan Model di sekitar Hutan Pendidikan Unhas sebagai Pengelolaan Lebah Madu merupakan salah sumber pendapatan mereka tersebar pada tiga satu bagian penting dari suatu penelitian yang desa yang berada dalam wilayah adminitrasi bersifat komprehensip dalam rangka Kecamatan Cendrana. Ketiga desa tersebut penyusunan model aneka potensi Hutan adalah Desa Rompegading (Dusun Pendidikan Unhas untuk mendukung upaya Moncongjai, Desa Limampoccoe (Dusun pendayagunaan hutan pendidikan sebagai Jambua dan Watangbengo) dan Desa Labuaja miniatur model pengelolaan hutan secara (Dusun Pattiro). Wilayah administrasi ketiga berkelanjutan dengan manfaat optimal baik desa ini berbatasan langsung dengan kawasan secara ekologi, sosial, maupun ekonomi. Hutan Pendidikan Unhas, sehingga Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini

177 masyarakatnya sangat bergantung pada hutan madu dari lebah ini telah diperdagangkan dan menjadikan kawasan hutan sebagai tempat sebagai madu hutan. Jenis ini menggantungkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sarangnya pada cabang pohon, tebing batuan ekonomi mereka (BPS, 2017). ataupun pada celah-celah bangunan. Ukuran Jenis lebah madu yang diusahakan sarangnya bervariasi dengan ukuran terpanjang oleh masyarakat di ketiga desa adalah Apis dapat mencapai 2 meter. trigona dan Apis dorsata. Jenis A. Lahan yang dikelola sebagai habitat trigonaberukuran kecil, menyerupai semut lebah madu beserta jangkauan jelajahnya hitam dan hidup di bumbung bambu, lubang adalah seluas 124,70 ha. Sebaran frekuensi kayu, maupun di tanah. Sementaara A. dorsata kategori luas lahan yang dikelola dapat dilihat merupakan jenis tawon gung atau lebah liar, pada Tabel 1. Tabel 1. Luas lahan habitat dan wilayah jelajah lebah yang dikelola

Luas Jumlah responden (orang) per desa Jumlah responden No. Lahan(ha) Rompegading Labuaja Limampoccoe Orang % 1 <1 4 2 0 6 24 2 1,1 - 5 4 1 2 7 28 3 >5 3 5 4 12 48 Total 11 8 6 25 100

Angka-angka pada Tabel 1 Hasil hutan bukan kayu yang banyak menunjukkan bahwa hampir 50% (tepatnya di usahakan oleh petani di Indonesia salah 48%) responden menyatakan mengelola lahan satunya adalah lebah madu hutan, pemburu dengan luas > 5,0 ha sebagai habitat lebah lebah madu mencari sarang lebah di pohon, buruan mereka. Sementara itu, hanya 24% dari selain di gua, di lubang, dan di tempat lain reponden yang menyatakan bahwa luas lahan untuk mendapatkan madu (Siombo, dkk., yang mereka jadikan sebagai lokasi areal 2014). Hasil wawancara dengan responden perburuan lebah / pencarian madu hutan adalah menunjukan bahwa pemburu lebah madu kurang dari 1,0 ha. Angka-angka ini sekaligus (pelaku usaha madu hutan) di sekitar Hutan menunjukkan bahwa lahan tempat perburuan Pendidikan Unhas umumnya mencari lebah lebah untuk masing-masing pelaku usaha madu madu di pohon yang lazim disebut sebagai di sekitar Hutan Pendidikan Unhas tergolong pohon inang. Diketahui pula bahwa terdapat 11 cukup luas, dan potensi lahan termaksud akan jenis pohon inang lebah madu di sekitar lokasi dapat lebih ditingkatkan melalui peningkatan Hutan Pendidikan Hutan dengan sebaran yang potensi pohon inang dan potensi tumbuhan- dapat dibedakan atas kategori sedikit, kategori tumbuhan penghasil pakan lebah. sedang dan kategori banyak, seperti yang Potensi Pohon-pohon Inang dan Tumbuhan terdapat pada Tabel 2. Pakan Lebah Madu

178

Tabel 2. Jenis vegetasi pohon yang menjadi pohon inang (tempat sarang) lebah madu Sebaran No. Jenis Vegetasi Sedikit Sedang Banyak 1. Lento-lento (Arthrophyllum sp)  2. Mangga (Mangifera indica)  3. Pinus (Pinus mercusii)  4. Akasia (Acacia mangium)  5. Kemiri(Aleurites mollucana)  6. Dao (Dracontomelon dao)  7. Beringin (Ficussp)  8. Kumea(Manilkara Kauki)  9. Manggis Hutan(Garcinia bancana Miq.)  10. Lomassang (Artocarpus sp.)  11. Loncong-loncong  Jumlah jenis 3 2 6

Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat 3 jenis pohon inang yang memiliki sebaran kategori

Potensi madu hutan sangat ditentukan sedikit, 2 jenis dengan sebaran kategori oleh aktivitas lebah madu dalam mencari sedang dan 6 jenis dengan sebaran ketegori makan (nektar dan polen), yang dipengaruhi banyak. Potensi pohon inang dapat lebih oleh ketersediaan tanaman berbunga penghasil ditingkatkan melalui budidaya jenis-jenis pakan lebah, dan musim (Muflihat, 2014). pohon inang tersebut, khususnya pohon-pohon Ketika periode musim hujan berkepanjangan, dengan sebaran kategori sedang dan banyak, koloni lebah akan kesulitan mendapatkan dengan memberi prioritas pada jenis-jenis yang nektar dan tepung sari, lebah akan kekurangan sudah tumbuh secara alami di sekitar lokasi pakan sehingga populasi lebah akan berkurang Hutan Pendidikan Unhas. (Budiwijono, 2012). Tabel 3. Jenis vegetasi pohon berbunga sumber pakan lebah madu

Sebaran* Frekuensi berbunga**) No. Nama Jenis vegetasi sedikit sedang banyak jarang sering selalu 1. Lento-lento Arthrophyllum sp)   2. Mangga (Mangifera indica)   3. Pinus (Pinus mercusii)   4. Kemiri (Aleurites mollucana)   5. Dao (Dracontomelon dao)   6. Kumea (Manilkara Kauki)   7. Manggis Hutan (Garcinia bancana Miq.)   8. Aren (Arenga pinnata Merr)   9. Cendana (Santalum album L. )   10. Lobe-lobe (Flacourtia enermis)   11. Pulai (Alstonia scholaris)   12. Putri malu (Mimosa pudica)   13. Semangka (Citrullus lanatus)   14. Porang (Amorphopallus oncophillus)  

179 15. Puspa (Schima wallichii)   16. Sengon (Albizia falcataria)   17. Jambu biji (Psidium guajava)   18. Melostoma(Melostoma malabatricum)   19. Kopi (Coffea arabica)   20. Jarak pagar (Jatropha integerrima)   21. Pacar air (Impatiens balsamina)   22. Jati (Tectona grandis)   23. Sintrong (Crassocephalum   crepidiodes) 24. Jambu mete (Anaccadium odontinale)   25. Jambu air (Zyzygium aqueum)   Jumlah jenis 2 10 13 10 6 9 Keterangan : *) Sedikit = rata-rata hanya satu tumbuhan atau rumpun tumbuhan dalam setiap petak 25 x 40 m2 (0,1 ha) atau lebih Sedang = rata-rata satu tumbuhan atau rumpun tumbuhan dalam setiap petak 20 x 20 m2, dan tidak merata Banyak = dapat dijumpai rata-rata lebih dari satu tumbuhan atau rumpun tumbuhan dalam setiap petak 20 x 20 m2 , dan merata **) jarang ≤ 2 kali per tahun, sering = 3 sampai 6 kali per tahun, selalu = sepanjang tahun dalam upaya pengembaangan dan peningkatan Berdasarkan hasil wawancara potensi pakan lebah di sekitar Hutan diketahui bahwa terdapat 25 jenis vegetasi Pendidikan Unhas. pohon berbunga yang menjadi sumber pakan Potensi Hasil Produksi Madu Hutan lebah madu di sekitar Hutan Pendidikan Usaha madu hutan yang dilakukan Unhas, dengan kategori sebaran dan kategori oleh masyarakat pada dan di sekitar Hutan frekuensi seperti yang terlihat pada pada Tabel Pendidikan Unhas belum optimal karena masih 3. Sebanyak 13 jenis tergolong sebaran bersifat tradisional, masih lebih banyak kategori banyak dan 10 jenis dengan ketegori menggantungkan diri pada faktor-faktor alami sedang. Sementara 9 jenis tergolong selalu dan pengalaman sendiri ataupun pengalaman berbunga dan 6 jenis tergolong sering orang tua. Hasil produksi madu hutan di berbunga. Jenis yang tergolong selalu dan sekitar Hutan Pendidikan Unhas dapat dilihat sering berbunga perlu diberi skala prioritas pada Tabel 4. tinggi sebagai jenis yang akan digunakan Tabel 4. Potensi produksi madu hutan pada dan di sekitar Hutan Pendidikan Unhas

Jumlah rata-rata Rata-rata Produksi rata-rata Rata-rata hasil ikutan (ampas) periode Madu periode waktu Dusun waktuproduksi produksi kg / lt / lt / kg/bulan (bulan dalam (bulan dalam bulan setahun) bulan tahun setahun) Moncongjai 46 493 10,72 172 1.734 10,08 Jambua 9 78 8,67 51 418 8,20 Watangbengo 260 1.030 3,96 190 750 3,95

180 Pattiro 36 309 8,58 171 1.840 10,76 Jumlah 351 1.910 5,44 584 4.742 8,12 yang nampaknya disebabkan oleh ketersediaan Tabel 4 memperlihatkan dapat dilihat pakan yang juga lebih lama, dijumpai di Dusun bahwa produksi madu bulanan tertinggi Moncongjai Desa Rompegading (10,72 bulan). dicapai oleh petani di Dusun Watangbengo Hal yang diperlihatkan pada Tabel 4 Desa Limampoccoe yaitu sebanyak 190 liter, adalah bahwa terjadi inkonsistensi dalam sedang produksi madu bulanan terendah produksi madu dan hasil ikutannya diantara diperoleh petani di Dusun Jambua Desa dusun/desa, yaitu bahwa produksi madu yang Limampoccoe sebanyak 51 liter. Namun lebih besar tidak selalu berasosiasi produksi produksi madu tahunan yang tertinggi dicapai hasil ikutan yang juga lebih besar, dan hal ini oleh Dusun Pattiro Desa Labuaja, yaitu sebesar disebabkan oleh perbedaan rendemen dalam 1.840 liter, sedang produksi madu tahunan proses pengolahan (pemerasan) sarang menjadi terendah diperoleh petani di Dusun Jambua madu. Rendemen tertinggi dicapai di Dusun Desa Limampoccoe yaitu sebesar 418 liter. Pantiro, dimana perbandingan hasil madu Meskipun produksi bulanan madu di Dusun dengan hasil ikutannya , masing-masing dalam Pattiro lebih rendah dari produksi di Dusun satuannya,adalah 171 : 36 atau 4.75 : 1, Watangbengo, namun produksi tahunannya sementara rendemen terendah dijumpai di lebih besar dan lebih dari dua kali lipat. Hal ini Dusun Watangbengo dimana perbandingaan disebabkan oleh periode produksi yang lebih produksi dengan hasil ikutannya adalah setiap lama (10,76 bulan berbanding 3,95 bulan) koloni hanya menghasilkan 0,7 liter madu sebagai akibat dari periode waktu ketersediaan adalah 190 : 260 atau 1 : 1,36. Patut dicatat pakan yang lebih lama. bahwa Dusun Watangbengo merupakan

Selanjutnya pada Tabel 4 dapat dilihat penghasil hasil ikutan terbanyak namun bahwa Dusun Watangbengo Desa produksi madunya hanya berada pada urutan Limampoccoe, mendapatkan hasil ikutan lebah ketiga setelah Dusun Pattiro dan Moncongjai. bulanan yang tertinggi yaitu sebanyak 260 kg, Sejumlah faktor patut diduga mempengarui sedang hasil ikutan terendah diperoleh di rendemen ini, yakni antara lain seperti jenis Dusun Jambua Desa Limampoccoe, yaitu lebah dan ukuran sarang, jenis tumbuhan sebanyak 9 kg per bulan. Sementara itu jumlah penghasil pakan lebah dan teknik pengolahan hasil ikutan (ampas berupa sarang) tahunan yang digunakan. tertinggi dicapai di Dusun Watangbengo Desa Pengelolaan hasil produk perlebahan Limampoccoe yaitu sebanyak 1.030 kg dan di sekitar kawasan Hutan Pendidikan Unhas hasil panen terendah didapatkan di Dusun terdiri atas dua jenis yaitu produk madu hutan Jambua Desa Limampoccoe yaitu sebanyak 78 dan hasil ikutannya. Petani lebah mengelola kg. Periode perolehan hasil ikutan terlama sarang lebah menjadi produk madu hutan dengan cara memeras dan menyaring sarang 181 lebah hal ini bertujuan untuk memisahkan bekas sarang atau ampas madu menjadi bahan madu dengan hasil ikutan (berupa bekas sarang campuran bahan makanan (sayur), sebagai ataupun ampas), dan untuk menghindari bahan obat-obatan, khususnya obat sakit cacar penurunan kualitas madu dilakukan dan sebagai bahan baku pembuatan lilin pengemasan produk madu dengan (bantisi). Diagram pengelolaan (pemerasan dan menggunakan botol berukuran 600 ml. penyaringan) hasil produk madu hutan di Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sekitar Hutan Pendidikan Unhas dapat dilihat selain produk madu, masyarakat mengolah pada Gambar 1.

Pemerasan & Sarang Lebah Penyaringan

Produk Madu Hutan Hasil ikutan (bekas sarang, ampas)

Bahan makanan (Sayur), bahan obat, Pengemasan dalam botol 600 ml bahan pembuatan lilin (bantisi)

Gambar1. Diagram pengolahan (pemerasan dan penyaringan) produk madu hutan di sekitar Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin

Pemasaran Produk Lebah Madu yang berada dalam wilayah Kecamatan Camba Pemasaran produk madu hutan yang yang jaraknya sekitar 10 km dari lokasi dihasilkan oleh petani madu atau pelaku usaha kediaman mereka. Selain itu, ada juga permaduan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) konsumen yang melakukan pembelian produk skema, yaitu (1) pemasaran secara langsung madu secara langsung di rumah petani madu. dari produsen langsung ke konsumen, (2) Namun diperoleh pula informasi bahwa pemasaran dari produsen melalui pengumpul beberapa petani madu menjalin hubungan dan disalurkan ke konsumen, (3) pemasaran kerjasama dengan kerabat ataupun rekan dari produsen melalui pengumpul dan mereka yang berada di luar Kecamatan pengecer kemudian disalurkan ke konsumen. Cenrana dan pedagang pengumpul yang Pemasaran produk lebah madu di berkunjung ke rumah mereka untuk membeli sekitar Hutan Pendidikan Unhas umumnya produk madu. Dalam kondisi-kondisi tertentu, dilakukan secara langsung oleh petani madu sebagian dari petani madu juga memasarkan dengan cara memasarkan hasil produksi madu mereka ke Ibukota Kabupaten Maros, madunya langsung ke Pasar Bengo-bengo yang Kota Makassar dan khusus untuk petani di berada dalam wilayah Kecamatan Cenrana, Dusun Moncongjai terkadang memasarkan ataupun ke daerah terdekat yaitu Pasar Camba madu mereka ke Pulau Kalimantan melalui

182 hubungan kerjasama dengan pedagang kurangnya jenis pohon yang menghasilkan pengumpul. bunga sepanjang tahun sebagai pakan lebah Harga jual madu yang dihasilkan dari sehingga produksi lebah madu berkurang lebah jenis Apis Dorsata (madu hutan) dalam sedangkan permintaan pasar tinggi dan tidak kemasan botol 600 ml, berkisar antara Rp. adanya kegiatan penangkaran maupun 60.000,- sampai Rp. 90.000,- , sementara madu budidaya lebah madu. Hal tersebut membuat dari lebah jenis Apis Trigona harganya sedikit petani lebah tidak mampu menyediakan lebih tinggi yaitu berkisar antara Rp. 80.000,- produk madu . sampai Rp. 100.000,-. Petani juga menjual Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil ikutan (berupa ampas dan bekas sarang bahwa pendapatan pelaku usaha madu hutan di lebah) dengan harga Rp. 20.000,-/kg. Proses sekitar lokasi Hutan Pendidikan Unhas seperti pemasaran produk lebah madu terkadang pada Tabel 2. memiliki hambatan yang disebabkan oleh Tabel 2. Kisaran pendapatan pelaku usaha madu hutan di sekitar Hutan Pendidikan Unhas

Pendapatan per bulan (Rp) Pendapatan per tahun Desa Maksimum Minimum Maksimum Minimum Rompegading 2.097.083 1.265.000 25.165.000 18.380.000 Labuaja 4.250.000 3.400.000 51.000.000 40.800.000 Limampoccoe 3.500.000 2.870.000 42.000.000 34.440.000 Rata-rata 2.733.250 1.960.000 32.799.000 25.440.000

Catatan : Upah Minimum Regional Sulawesi Selatan adalah sebesar Rp.2.640.000,-

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa Uraian di atas menunjukkan bahwa Pendapatan rata-rata pelaku usaha (petani) usaha madu hutan, khususnya di sekitar lokasi madu hutan di sekitar lokasi Hutan Pendidikan Hutan Pendidikan Unhas, dapat menjadi Unhas dapat mencapai Rp.4.250.000,- per sumber pendapatan yang cukup potensil, dan bulan meskipun ada juga yang hanya sebesar memungkinkan masyarakat memperoleh Rp.1.265.000 per bulan. Diketahui bahwa pendapatan yang lebih besar dari Upah pendapatan sebesar Rp.4.250.000,- per bulan Minimum Provinsi, yang jumlahnya sebesar didapatkan oleh mereka yang relatif lebih Rp.2.640.000,- per bulan. Kontribusi usaha fokus pada usaha madu hutan, sementara madu hutan terhadap peningkatan pendapatan pendapatan sebesar Rp.1.265.000,- per bulan dan kesejahteraan masyarakat, diharapkan didapatkan oleh mereka yang berkebun, dapat lebih ditingkatkan pada masa memiliki sumber pendapatan lain misalnya mendatang, melalui upaya fasilitasi dan atau dari aktivitas mengolah sawah dan usaha pendampingan terhadap para petani madu atau lainnya, selain usaha madu hutan. para pelaku usaha madu hutan.

183 3. Analisis dan Model Pengelolaan Madu produksi madu. Melalui perbantuan Hutan termaksud, maka diharapkan bahwa produksi madu akan meningkat baik dalam Bertolak dari uraian di atas, maka hal madu mentahnya (sarang / koloni) dapat dikemukakan bahwa sejumlah upaya maupun hasil bersihnya yang diperoleh yang dapat dilakukan untuk menjaga melalui pemerasan dan penyaringan yang keberlanjutan usaha lebah madu yang dapat meningkatkan rendemen pengolahan dilakukan oleh masyarakat pada dan di sekitar madu. Hutan Pendidikan Unhas antara lain adalah sebagai berikut : 3. Perlu keterlibatan para pihak terkait dalam menjaga keberlanjutan lebah. Keterlibatan 1. Perlu dilakukan pelatihan dan para pihak termaksud harus terwadahi pendampingan bagi para petani lebah dan dalam suatu kelembagaan yang atau warga masyarakat lainnya, tentang berorientasi pada pemberdayaan budidaya lebah madu, budidaya pohon masyarakat dan optimalisasi fungsi dan inang lebah dan budidaya jenis pohon/ manfaat hutan secara berkelanjutan. tumbuhan berbunga yang secara bergantian (ataupun secara bersamaan) Dalam rangka mendukung dapat berbunga sepanjang tahun untuk keberlanjutan pengelolaan produksi madu menjadi pakan lebah, sehingga waktu hutan pada dan di sekitar Hutan Pendidikan panen dapat dilakukan secara teratur. Unhas, maka program pemberdayaan petani Melalui budidaya lebah dan juga jenis- merupakan hal yang terpenting untuk jenis penghasil pakan lebah, khususnya di diperhatikan. Sehubungan dengan itu sejumlah sekitar lokasi permukiman penduduk, pihak diharapkan dapat terlibat / melibatkan maka para pemburu lebah tidak perlu dirinya, mulai dari hal-hal yang terkait dengan mencari lebah terlalu jauh ke dalam hutan. budidaya, pemanenan dan pasca panen, sampai Dengan demikian, dapat dihindari resiko pada pengolahan dan pemasaran hasil. Pihak- kebakaran hutan sebagai dampak dari pihak yang dihadapkan terlibat antara lain : kegiatan pemanenan madu (yang didahului Pengelola Hutan Pendidikan Unhas, dengan pengusiran lebah melalui Pemerintah setempat (Camat dan Kepala pengasapan/pembakaran). Selain itu, Desa), Pemerintah Kabupaten beserta dinas kontinyutas dan kuantitas produksi madu teknis terkait seperti Dinas yang mengurusi hutan akan dapat lebih terjamin. Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas 2. Perlu adanya bantuan peralatan pemanenan Perindustrian dan Perdagangan, dan pihak lebah, baik peralatan yang berfungsi dalam Perbankan. Keterlibatan masing-masing pihak meningkatkan keamanan para petani lebah, dalam proses produksi madu hutan secara maupun peralatan yang berfungsi dalam diagramatik dapat dinyatakan melalui model meningkatkan efsiensi dan efektifitas seperti pada Gambar 2.

184

PENGELOLA HUTAN PENDIDIKAN

PETANI PEMERINTAH PERBANKAN (KLP TANI) LOKAL (CAMAT DAN KADES)

PEMERINTAH KABUPATEN, DINAS PERINDAG, DINAS LH-HUT

- Budidaya tanaman inang, tanaman pakan lebah - Efisiensi pemanenan - Pengolahan dan pemasaraan hasil - Pembentukan dan penguatan kelembagaan

Gambar 2. Model Pengembangan Usaha Madu Hutan, di Hutan Pendidikan Unhas

Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa Pengelola Hutan Pendidikan, meskipun untuk Pengelola Hutan Pendidikan Unhas memiliki hal-hal tertentu, hubungan langsung dengan peranan sentral (Koordinator Kelembagaan para petani madu atau para pelaku usaha madu Pendukung) dalam upaya-upaya pemberdayaan hutan tetap dimungkinkan, dengan catatan dan pendampingan para petani madu atau para bahwa hal-hal tertentu yang dimaksudkan pelaku usaha madu hutan (Kelembagaan Inti). harus berdasarkan kesepakan para pihak sejak Dalam memainkan peranannya masing- awal. Peran yang diharapkan dapat dimainkan masing, semua pihak terkait sebaiknya bahkan atau diemban oleh masing-masing pihak, dituntut untuk berkoordinasi dengan pihak secara lebih lengkap diuraikan pada Tabel 6.

185 Tabel 6. Instansi / Pihak terkait dengan pengembangan madu hutan dan peranannya masing-masing

No. Instansi / Peranan Pihak Terkait 1. Pengelola Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat melalui upaya-upaya Hutan pemberdayaan, pendampingan dan pelatihan tentang hal-hal yang terkait Pendidikan dengan teknik budidaya lebah madu, budidaya jenis tumbuhan inang dan jenis tumbuhan penghasil pakan, yang diikuti pula dengan pembentukan kelembagaan guna menggalang kebersamaan dalam mengelola dan memproduksi madu hutanbesrta hasil turunan dan hasl ikutannya 2. Pemerintah Memfasilitasi dan atau mendorong perbantuan dari pihak ketiga atapun para Kabupaten donatur pemerhati upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, dan jika memungkinkan menjadi penjamin bantuan permodalan dari pihak bank 3. Pemerintah Mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan usaha khususnya Lokal (Desa & dalam bentuk koperasi desa yang dapat membantu petani dalam rangka Kecamatan) penjualan produk madu dengan harga dan margin keuntungan yang pantas 4. Dinas yang Merencanakan dan melaksanakan kegiatan pelatihan dan penyuluhan, memberi mengurusi bantuan peralatan pemanenan, memberi bsntusn bibit pohon inang (tempat Kehutanan sarang) dan pohon penghasil sumber pakan lebah madu yang dapat di tanam &Lingkungan dan dibudidayakan oleh masyarakat Hidup 5. Dinas Perin- Memberi izin usaha, serta merencanakan dan melakukan kegiatan-kegiatan dustrian dan pelatihan bagi para petani madu atau pelaku usaha permaduan, dan melakukan Perdagangan upaya-upaya yang dapat menjamin stabilitas pasar dan kepantasan harga jual produk 6. Perbankan Memberi pendampingan dalam upaya pengembangan kelayakan dan skala usaha, memberi bantuan permodalan, khususnya untuk mendukung kegiatan budidaya lebah, pohon inang dan tumbuh-tumbuhan penghasil pakan lebah

Keterangan : Keterkaitan antara para pihak dalam tabel di atas terstuktur dalam sebuah Model Kelemgaan Pendukung Usaha Permaduan, sementara Petani yang diharapkan dapat terhimpun / menghimpunkan diri dalam sebuah struktur atau Model Kelembagaan Inti pengalaman orang tua, dan karena itu KESIMPULAN belum optimal. Periode waktu produksi Berdasarkan uraian pada bagian- dalam setiap tahunnya sangat bervariasi bagian terdahulu maka dapat dirumuskan dimana periode waktu produksi terpanjang beberapa kesimpulan sebagai berikut : dapat mencapai sekitar 11 bulan, 1. Usaha permaduan yang dilakukan oleh sementara di beberapa lokasi periode masyarakat di sekitar Hutan Pendidikan waktu produksi tergolong sangat pendek Unhas umumnya masih bersifat yaitu hanya sekitar 4 bulan. Terindikasi tradisional, yang masih lebih banyak pula bahwa rendemen hasil pengolahan menggantungkan diri pada faktor-faktor madu umumnya masih tergolong rendah. alami dan pengalaman sendiri ataupun

186 2. Pengembangan usaha permaduan pada pohon inang dalam jumlah dan kualitas dan di sekitar lokasi Hutan Pendidikan yang cukup dan terwujudnya kombinasi Unhas belum terdukung secara melembaga jenis-jenis penghasil pakan yang dan optimal oleh para pihak terkait, baik memungkinkan kontinyutas ketersediaan dalam hal pengembangan potensi-potensi dan kecukupan bunga untuk menjadi pendukung maupun dalam hal pakan lebah, melalui pembungaan jenis- pengembangan usahanya. jenis termaksud secara bergantian ataupun 3. Potensi produksi madu dan potensi alami secara bersamaan. faktor-faktor produksi usaha lebah madu di 2. Upaya-upaya pengembangan kemampuan sekitar Hutan Pendidikan Unhas, seperti petani terkait dengan usaha perlebahan, keanekaragaman jenis-jenis penghasil perlu terus dilakukan dan bahkan semakin pakan lebah, dan kebiasaan masyarakat ditingkatkan, yang meliputi pengembangan dalam mengelola madu hutan, pada kemampuan dalam memanen, mengolah dasarnya dapat dikembangkan untuk dan memasarkan madu yang dihasilkan, mendukung optimalisasi pendayagunaan dengan tujuan untuk mendukung hutan pendidikan pada masa mendatang. peningkatan efisiensi pada semua tahapan 4. Potensi produksi madu termaksud di atas, produksi dan mengoptimalkan hasil usaha selama ini telah berkontribusi secara cukup madu hutan. signifikan bagi pendapatan warga 3. Kelembagan usaha perlebahan / masyarakat setempat, khususnya bagi para permaduan pada dan di sekitar kawasan pelaku usaha madu hutan. Dengan Hutan Pendidikan Unhas, perlu demikian, pengelolaan dan pengembangan dikembangkan melalui pelibatan sejumlah potensi tersebut diharapkan dapat pihak, secara terkoordinasi dan mendorong peningkatan intensitas dan berkelanjutan. Kelembagaan ini terdiri atas kualitas peran serta warga masyarakat Kelembagaan Inti yaitu berupa Kelompok dalam mendukung upaya-upaya Tani Madu Hutan dan Kelembagaan pembangunan hutan pendidikan. Pendukung yang dikoordinir oleh Pengelola Hutan Pendidikan. SARAN-SARAN Kelembagaan pendukung ini diharapkan Dalam rangka lebih dapat berperan dalam mewadahi upaya- mengembangkan usaha permaduan / upaya pendampingan dan fasilitasi bagi perlebahan di sekitar Hutan Pendidikan Unhas usaha perlebahan / permaduan agar usaha pada masa mendatang maka : termaksud dapat terlaksana secara lebih 1. Upaya budidaya jenis-jenis pohon inang optimal melalui pendayagunaan semua dan jenis-jenis tumbuhan penghasil pakan potensi yang ada pada masa mendatang. lebah, perlu dilakukan secara terencana, yang berorientasi pada tersedianya jenis

187 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maros, 2017. Kecamanatan Cenrana dalam Angka 2017. Budiwijono, T., 2012. Identifikasi produktivitas koloni lebah Apis mellifera,melalui mortalitas dan luas eraman pupa di sarang pada daerah dengan ketinggian berbeda. Jurnal Gamma, Vol.7,No. 2,Hal: 111 – 123, Maret 2012, Issn: 2086-3071. Hermita, N., 2014. Inventarisasi tumbuhan pakan lebah madu hutan di Desa Ujung Jaya Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Agroekotek Vol. 6 No.2, Hal: 123 – 135. Muflihat, 2014. Identifikasi tanaman pakan lebah madu Trigona spp. (Stingless Bees) di Areal Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin Kabupaten Maros. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin,Makassar. Novandra, A. dan I. W. Made, 2013. Peluang pasar produk perlebahan Indonesia. Balai Penelitian. Jakarta. Setiawan, A., R. Sulaeman dan T. Arlita, 2016. Strategi pengembangan usaha lebah madu Kelompok Tani Setia Jaya di Desa Rambah Jaya Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu. Jom Faperta Vol. 3 No.1, Februari 2016. Siombo, A., E. Labiro dan Rahmawati, 2014. Keanekaragaman jenis pakan lebah madu hutan (Apis spp) di Kawasan Hutan Lindung Desa Ensa, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara. Warta Rimba Vol. 2, No.2 Hal:49-56 Desember 2014,ISSN: 2406-8373.

188 ETNOBOTANI TUMBUHAN OBAT MASYARAKAT DESA BENUA KENCANA KECAMATAN TEMPUNAK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

M. Syukur, S.Hut, M.P. dan Sri Sumarni, S.Hut, M.Si. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Jl. Y.C. Oevang Oeray Sintang. Email : [email protected]

ABSTRAKS

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etnobotani tumbuhan obat oleh masyarakat Desa Benua Kencana Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei eksplorasi dan wawancara. Wawancara dilakukan kepada masyarakat setempat yaitu tokoh masyarakat adat, ketua adat dan dukun kampung serta anggota masyarakat yang dianggap mengetahui hal-hal yang berkaitan erat dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Survei eksplorasi dilakukan pada kawasan hutan tempat masyarakat mengambil tumbuhan yang dijadikan obat dengan membawa seorang masyarakat yaitu dukun setempat. Setiap tumbuhan obat yang ditemukan pada jalur eksplorasi difoto dan diidentifikasi. Terdapat 16 jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat Desa Benua Kencana Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang Kalimantan Barat, untuk mengobati berbagai macam penyakit yaitu Akar Belungai, Daun Kupu-Kupu, Daun Remayan, Daun Petekang, Daun Panau Melompat, Daun Palau, Daun Merah, Daun Keladi Antu, Daun Sabang Merah, Daun Sambung Nyawa, Daun Penesilin, Daun Empangil, Daun Perekat, Daun Buai Angin, Daun Kemunting dan Sawi Layang Beberapa macam penyakit yang dapat diobati dengan tumbuhan obat yaitu sakit kepala, penambah darah, mengobati patah tulang, meningkatkan hormon agar mudah mendapatkan keturunan, mengobati buang air besar disertai darah, mengobati gejala kelumpuhan/stroke, mengobati muntah darah, mengobati salah urat, obat luka, obat malaria, asma, masuk angin/perut kembung dan sebagai penangkal segala ilmu hitam/roh jahat. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah biji, daun dan akar, dengan cara mengolah ditumbuk, direbus dan dikunyah. Tumbuhan yang digunakan mayoritas masih mengandalkan yang tersedia di alam, dan hanya sebagian kecil yang sudah ditanam di pekarangan rumah. Pengambilan setiap jenis tumbuhan dilakukan setelah jam 12 siang sampai menjelang malam dan ditaburi dengan beras kuning serta dengan bacaan tertentu (jampi-jampi). Hal ini dilakukan dengan kepercayaan bahwa, apabila matahari tenggelam maka sakitpun ikut tenggelam (tenggelamnya matahari penyakit pun diyakini akan hilang). Pengetahuaan tentang obat-obat tradisional dijaga kerahasiaannya dan hanya disampaikan secara turun-temurun, serta sulit disampaikan secara bebas. Biasanya seorang dukun kampung yang mempunyai pengetahuan tentang pengobatan tradisional sudah berumur diatas 50 tahun. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, maka dikhawatirkan suatu saat tidak ada generasi penerus yang memahami tentang pengobatan tradisional, dan akibatnya kesinambungan penggunaan obat tradisional akan terputus. Oleh karena itu perlu ada upaya dari pemerintah yang bekerjasama dengan kelembagaan masyarakat setempat untuk menjamin kelestarian kearifan lokal pengobatan secara tradisional.

Kata Kunci : Etnobotani, Tumbuhan Obat dan Masyarakat Desa Benua Kencana Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang Kalimantan Barat

LATAR BELAKANG dipengaruhi oleh hutan. Hal ini terjadi juga di Pulau Kalimantan dikenal sebagai Kalimantan Barat, yaitu di desa Benua wilayah yang dipenuhi hutan, sehingga Kencana kecamatan Tempunak Kabupaten masyarakat yang hidup didalamnya sangat Sintang. Desa Benua Kencana terletak di

189 tengah hutan, sehingga secara turun temurun diperlukan kajian untuk mengidentifikasi dan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya menginventarisirnya. masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh Identifikasi tumbuhan obat-obatan yang sumber daya hutan. Ketergantungan digunakan masyarakat berguna untuk masyarakat desa Benua Kencana terhadap memudahkan masyarakat sekitar dalam hutan masih sangat tinggi, seperti untuk pemanfaatan tumbuhan obat dan sebagai sumber bahan baku rumah, perabotan rumah sarana untuk mengikut sertakan masyarakat tangga bahkan untuk pengobatan berbagai dalam upaya pelestarian sumber daya alam, macam penyakit masih menggunakan menggali khazanah tumbuhan obat dan tumbuhan yang berasal dari alam. pengobatan tradisional. Inventarisasi jenis Sejarah adat yang panjang dan berbagai tumbuhan obat dalam rangka peningkatan kondisi geografis telah menciptakan berbagai sumber daya obat dan pengobatan tradisional budaya yang unik dan hanya beberapa yang merupakan usaha mendokumentasikan, telah mencatat pengobatan tradisional. mengembangkan, dan melestarikan Sebagian besar pengetahuan ini, tidak tercatat pengetahuan tentang tumbuhan berkhasiat obat dan secara lisan diwariskan dari generasi ke generasi, yang biasa terjadi pada masyarakat setempat. Melalui pengetahuan yang telah ada METODE PENELITIAN di masyarakat dan biasa digunakan secara Metode Penelitian turun-temurun, menyebabkan sebagian besar Penelitian dilaksanakan dengan penduduk masih mengandalkan tumbuhan menggunakan metode survei eksplorasi dan obat. Hal ini juga menyebabkan perbedaan wawancara. Wawancara dilakukan terutama penggunaan tumbuhan obat antara satu daerah dilakukan pada tokoh adat, tokoh masyarakat, dengan daerah yang lain. masyarakat dan dukun kampung. Survei Masyarakat Desa Benua Kencana eksplorasi dilakukan pada kawasan hutan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang tempat masyarakat mengambil tumbuhan yang Kalimantan Barat, sudah secara turun temurun dijadikan obat. Selama pelaksanaan eksplorasi memanfaatkan tumbuhan hutan yang tumbuhan obat pada kawasan hutan, membawa berkhasiat obat untuk mengobati berbagai seorang masyarakat yaitu dukun setempat. macam penyakit. Kemampuan mengobati Bahan Dan Alat Penelitian dengan tumbuhan hutan berkhasiat obat, Bahan dalam penelitian ini adalah biasanya didapatkan secara turun temurun semua jenis tumbuhan obat yang ditemukan (pewarisan) tanpa melalui pelatihan yang pada lokasi penelitian. Adapun alat yang terorganisir. Hal ini menimbulkan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai kekhawatiran, bahwa suatu saat tidak lagi ada berikut Peta, GPS, Kamera, Parang, Alat tulis masyarakat yang mempunyai keterampilan menulis, Buku panduan identifikasi jenis pengobatan dengan tumbuhan obat, sehingga tumbuhan obat dan Alat Perekam Suara.

190 Pelaksanaan Penelitian Survei eksplorasi dilakukan pada 1. Persiapan Penelitian lokasi/tempat tumbuhan obat yang digunakan Sebelum kegiatan penelitian dilakukan, oleh masyarakat untuk berbagai keperluan terlebih dahulu peneliti mempersiapkan alat- pengobatan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan alat dan bahan yang akan digunakan dalam ini membawa seorang masyarakat setempat penelitian. Alat-alat tersebut meliputi peta, (dukun pengobatan) yang mengetahui tempat buku panduan, kamera serta alat tulis menulis dan jenis-jenis tumbuhan obat yang digunakan. untuk mencatat semua jenis tumbuhan obat Setiap tumbuhan yang digunakan sebagai yang ditemukan dan informasi penting lainnya bahan obat difoto dan diidentifikasi. selama penelitian berlangsung. 5. Studi Literatur 2. Observasi Lapangan Kegiatan ini berupa pengkajian terhadap Setelah persiapan alat dan bahan selesai literatur-literatur pendukung yang berkenaan dilakukan, maka peneliti langsung melakukan dengan tumbuhan obat. Data dari hasil studi observasi lapangan untuk menentukan lokasi ini, selanjutnya dikonfirmasi dengan data hasil pengamatan tumbuhan obat. Observasi juga pengamatan dilapangan dilakukan terhadap masyarakat desa Benua HASIL DAN PEMBAHASAN Kencana untuk mengetahui karakteristik Hasil Penelitian masyarakat yang memanfaatkan tumbuhan Berdasarkan hasil wawancara dan obat. survei eksplorasi yang dilakukan pada 3. Wawancara lokasi/tempat penelitian diketahui bahwa Wawancara dilakukan kepada terdapat 16 jenis tumbuhan obat yang masyarakat setempat yaitu tokoh masyarakat digunakan oleh masyarakat untuk berbagai adat, ketua adat dan dukun kampung serta keperluan pengobatan. Hasil penelitian anggota masyarakat yang dianggap mengenai tumbuhan obat yang digunakan oleh mengetahui hal-hal yang berkaitan erat dengan masyarakat Desa Benua Kencana Kecamatan adat-istiadat dan kebudayaan dalam Tempunak Kabupaten Sintang, untuk berbagai pemanfaatan tumbuhan obat. keperluan pengobatan selengkapnya dapat . 4. Survei Eksplorasi dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Jenis Tumbuhan Obat Yang Digunakan Masyarakat Pada Lokasi Penelitian. No Nama Jenis Nama Latin Famili 1 Akar Belungai Glycyrrhiza sp Fabaceae 2 Daun Kupu-Kupu Piper sp Piperaceae 3 Daun Remayan Eugenia spp Myrtaceae 4 Daun Petekang Pterocarpus sp Fabaceae 5 Daun Panau Melompat Drymoglossum sp Polypodiaceae 6 Daun Palau Rubus sp Rosaceae 7 Daun Merah Hemigraphis colorata Hall.f. Acanthaceae 8 Daun Keladi Antu Typhonium sp Araceae

191 9 Daun Sabang Merah Cordyline fruticosa Linn Laxmanniaceae 10 Daun Sambung Nyawa Melanolepsis multiglandulosa R Euphorbiaceae 11 Daun Penesilin Jatropha multifida L Euphorbiaceae 12 Daun Empangil Erythrina sp Fabacae 13 Daun Perekat Physalis minima L. Solanaceae 14 Daun Buai Angin Peperomia pellucida Piperaceae 15 Daun Kemunting Melastoma malabathricum Moraceae 16 Sawi Layang Plantago mayor L. Plantaginaceae

Rekapitulasi jenis tumbuhan obat yang oleh masyarakat Desa Benua Kencana digunakan, kegunaan, cara pengambilan, cara Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang mengolah dan lamanya waktu penggunaan disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Dafar Jenis Tumbuhan Obat, Kegunaan, Bagian Yang Digunakan dan Cara Menggunakan Serta Lamanya Waktu Penggunaan

No Jenis Kegunaan Cara Pengambilan Bagian Cara Lama Yang Pengunaan/Mengola Waktu Digunakan h Pengunaan 1 Daun Sakit kepala Hanya oleh Dukun setelah daun Daun ditumbuk 3 hari 3 Kupu- jam 12 siang dan ditabur kompres dikepala malam Kupu dengan beras kuning 2 Daun Untuk tambah Hanya oleh Dukun setelah daun Daun direbus airnya 3 hari 3 Remaya darah jam 12 siang dan ditabur diminum malam n dengan beras kuning 3 Daun Untuk patah tulang Hanya oleh Dukun setelah daun Daun ditumbu di 3 hari 3 Petekan jam 12 siang dan ditabur param di luka/tempat malam g dengan beras kuning tulang yang patah 4 Daun Untuk panau yang Hanya oleh Dukun setelah daun Daun dipanaskan 2 hari 2 Panau dibawa dari lahir jam 12 siang dan ditabur diatas api lalu tempel malam Melomp dengan beras kuning ditempat panau at sambil dijampi-jampi 5 Akar untuk Hanya oleh Dukun setelah akar Akar dipotong Tidak Belunga meningkatkan jam 12 siang dan ditabur kurang lebih 5 cm terbatas i hormon agar dengan beras kuning direbus 3 potong mudah direbus 2 kali dengan mendapatkan air 2 sampai 3 gelas keturunan pagi dan sore air diminun 6 Daun Ridap palau(berak Hanya oleh Dukun setelah daun Daun ditumbuk 2 hari 2 Palau darah anak kecil) jam 12 siang dan ditabur tempel diperut malam dengan beras kuning sambil dijampi- jampi 7 Daun Untuk muntah Hanya oleh Dukun setelah daun Daun direbus air Tidak Merah darah jam 12 siang dan ditabur diminum terbatas dengan beras kuning 8 Daun Untuk urat Hanya oleh Dukun setelah daun Daun di panaskan Tidak Keladi kembang/salah urat jam 12 siang dan ditabur diatas api lalu tempel terbatas Antu dengan beras kuning ditempat yang kembang/bengkak 9 Daun Dipercaya sebagai Pengamblian sore hari daun Daun diusapkan pada Pada saat

192 Sabang perantara pengusir hanya oleh Dukun tubuh dari atas ritual Merah segala ilmu kepala turun pengobatan hitam/roh jahat kebawah,sambil saja dijampi-jampi 10 Daun Untuk gejala Waktu pengambilan daun Daun 3 tangkai Tidak Sambun kelumpuhan/stroke bebas tetapi harus Dukun direbus dengan air 2 terbatas g yang mengambilnya gelas sampai tersisa Nyawa 1 gelas diminun 11 Daun Untuk obat luka Waktu pengambilan daun Daun ditumbuk Tidak Penesili bebas tetapi harus Dukun tempel tempat yang terbatas n yang mengambilnya luka 12 Daun Untuk obat Waktu pengambilan biji Biji ditumbuk sampai Tidak Empang ngurak/malaria bebas tetapi harus dukun halus ditempel terbatas il yang mengambilnya diperut sebelah kiri 13 Sawi Untuk muntah Waktu pengambilan daun Daun diambil 3-7 Tidak Layang berak bebas tetapi harus Dukun helai terbatas yang mengambilnya ditumbuk,sarinya diminum 14 Daun Untuk asma Waktu pengambilan akar Akar direbus airnya Tidak Perekat bebas tetapi hanya oleh diminum terbatas Dukun 15 Daun Untuk masuk Waktu pengambilan daun Daun direbus air Tidak Buai angin/perut bebas dan oleh siapa saja diminum terbatas Angin kembung 16 Daun Untuk obat Waktu pengambilan daun Daun dikunyah Tidak Kemuntin luka/meng-hentikan bebas dan oleh siapa saja tempel ditempat luka terbatas g pendarahan

Pembahasan sembuh. Bagian tumbuhan yang digunakan Berdasarkan hasil penelitian diketahui adalah biji, daun dan akar, dengan cara bahwa terdapat 16 jenis tumbuhan berkhasiat mengolah ditumbuk, direbus dan dikunyah. obat, yang digunakan oleh masyarakat Desa Tumbuhan yang digunakan mayoritas masih Benua Kencana untuk mengobati berbagai mengandalkan yang tersedia di alam, dan macam penyakit. Beberapa penyakit yang hanya sebagian kecil yang sudah ditanam di dapat disembuhkan dengan tumbuhan obat pekarangan rumah. antara lain muntah disertai buang air besar Pengambilan setiap jenis tumbuhan (Muntaber), Sakit Kepala, Asma, Malaria, umumnya dilakukan setelah jam 12 siang Luka, Salah Urat, Patah Tulang, penambah sampai menjelang malam dan ditaburi dengan stamina serta untuk menangkal/mengusir setan beras kuning. Hal ini dilakukan dengan atau pun roh jahat. Dalam prakteknya, setiap kepercayaan bahwa, apabila matahari pengambilan tumbuhan obat hanya dilakukan tenggelam maka sakitpun ikut tenggelam oleh orang yang mengobati (dukun) dengan (tenggelamnya matahari penyakit pun diyakini syarat tertentu dan bacaan tertentu. Lamanya akan hilang). Pengambilan jenis tumbuhan waktu penggunaan obat antara 2-3 hari dan ada obat juga mengunakan bacaan tertentu (jampi- juga yang tidak terbatas sampai sakitnya jampian). Tumbuhan obat hampir semuanya

193 diambil dari alam kecuali Daun Penesilin, dalam pengobatan adalah bagian akar, batang, Daun Sabang dan Daun Sambung Nyawa, kulit kayu dan umbi, karena penggunaan yang sudah dibudidayakan oleh masyarakat di bagian - bagian tumbuhan ini dapat langsung pekarangan sekitar rumah. Pantangan selama mematikan tumbuhan. pengobatan biasanya tidak diperbolehkan Tumbuhan obat juga dapat ditemukan di memakan makanan yang dibakar. Lokasi halaman rumah masyarakat baik sebagai pengambilan tumbuhan obat selain pekarangan tumbuhan liar atau sengaja ditanam. Hal ini rumah adalah bekas ladang dan tembawang. menunjukkan bahwa masyarakat sudah Pengambilan tumbuhan obat hanya dilakukan mempraktekkan penanaman tumbuhan obat di pada saat pengobatan. area kultivasi seperti pekarangan rumah dan Berdasarkan hasil penelitian yang kebun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa diperoleh dari wawancara dengan inrforman masyarakat mulai menyadari arti penting kunci diketahui bahwa masyarakat dianggap tumbuhan obat bagi kesehatan keluarga. Selain masih mempunyai pengetahuan yang potensial itu, hal ini juga menunjukkan bahwa tentang tumbuhan obat dan pemanfaatannya. masyarakat tidak hanya menggantungkan Masyarakat Desa Benua Kencana memiliki ciri keperluan tumbuhan sepenuhnya dari apa yang khas dalam sistem pemanfaatan tumbuhan ada di alam. Upaya pembudidayaan tumbuhan obat. Hal ini dapat dilihat dari aspek waktu obat untuk keperluan sehari-hari ini pengambilan tumbuhan obat, bagian tumbuhan menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai yang digunakan sebagai obat, sumber kearifan lokal dalam upaya konservasi sumber lokasi/tempat didapatnya tumbuhan obat, cara keanekaragaman hayati setempat. mengolah/menggunakan tumbuhan obat, Dalam kehidupan masyarakat lamanya waktu pengobatan dan status tradisional, apabila seseorang memiliki budidaya tumbuhan obat. Sebagian besar pengetahuan tentang pengobatan tradisional, pengobatan tradisional dengan tumbuhan maka dengan sendirinya yang bersangkutan hanya menggunakan satu bagian dari suatu akan mendapatkan pengakuan status sosial tumbuhan, misalnya bagian daunnya saja atau yang lebih tinggi dengan istilah dukun bagian akarnya saja, sedangkan bagian-bagian kampung. Pengetahuan tentang obat-obat lain dari tumbuhan tersebut tidak digunakan. tradisional dijaga kerahasiaannya dan hanya Bagian tumbuhan obat yang paling banyak disampaikan secara turun-temurun, serta sulit digunakan adalah bagian daunnya. disampaikan secara bebas. Biasanya seorang Pemanfaatan bagian daun dari tumbuhan obat dukun kampung yang mempunyai pengetahuan ini merupakan salah satu upaya konservasi tentang pengobatan tradisional sudah berumur terhadap tumbuhan obat, karena penggunaan diatas 50 tahun. Hal ini dikhawatirkan suatu daun sebagai obat tidak berdampak buruk bagi saat tidak ada generasi penerus yang kelangsungan hidup tumbuhan. Bagian memahami tentang pengobatan tradisional, dan tumbuhan yang perlu dibatasi penggunaannya

194 akibatnya kesinambungan penggunaan obat dan hanya sebagian kecil yang sudah tradisional akan terputus. ditanam di pekarangan rumah. Pengambilan setiap jenis tumbuhan dilakukan setelah jam PENUTUP 12 siang sampai menjelang malam dan

ditaburi dengan beras kuning serta dengan Kesimpulan bacaan tertentu (jampi-jampi). Hal ini Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan kepercayaan bahwa, dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai apabila matahari tenggelam maka sakitpun berikut; ikut tenggelam (tenggelamnya matahari 1. Terdapat 16 jenis tumbuhan obat yang penyakit pun diyakini akan hilang). digunakan oleh masyarakat Desa Benua Saran Kencana Kecamatan Tempunak untuk Pengetahuaan tentang obat-obat mengobati berbagai macam penyakit yaitu tradisional dijaga kerahasiaannya dan hanya Akar Belungai, Daun Kupu-Kupu, Daun disampaikan secara turun-temurun, serta sulit Remayan, Daun Petekang, Daun Panau disampaikan secara bebas. Biasanya seorang Melompat, Daun Palau, Daun Merah, Daun dukun kampung yang mempunyai pengetahuan Keladi Antu, Daun Sabang Merah, Daun tentang pengobatan tradisional sudah berumur Sambung Nyawa, Daun Penesilin, Daun diatas 50 tahun. Apabila hal ini terjadi secara Empangil, Daun Perekat, Daun Buai Angin, terus menerus, maka dikhawatirkan suatu saat Daun Kemunting dan Sawi Layang tidak ada generasi penerus yang memahami 2. Beberapa macam penyakit yang dapat tentang pengobatan tradisional, dan akibatnya diobati dengan tumbuhan obat yaitu sakit kesinambungan penggunaan obat tradisional kepala, untuk penambah darah, untuk akan terputus. Oleh karena itu perlu ada upaya mengobati patah tulang, meningkatkan dari pemerintah yang bekerjasama dengan hormon agar mudah mendapatkan kelembagaan masyarakat setempat untuk keturunan, untuk mengobati buang air besar menjamin kelestarian kearifan lokal disertai darah, mengobati gejala pengobatan secara tradisional. kelumpuhan/stroke, untuk mengobati

muntah darah, mengobati salah urat, obat DAFTAR PUSTAKA luka, obat malaria, asma, masuk angin/perut

kembung dan sebagai penangkal segala Arbain, Tamin. 1995. Studi Etnobotani. ilmu hitam/roh jahat. Reporsitory.ung.ac.id/kajian 3. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah etnobotani.pdf. Diakses Pada biji, daun dan akar, dengan cara mengolah tanggal 26 Maret 2017. ditumbuk, direbus dan dikunyah. Darmono, 2007. Pemanfaatan Tumbuhan Tumbuhan yang digunakan mayoritas Obat Untuk Keperluan masih mengandalkan yang tersedia di alam,

195 Adat..portal garuda.org.pdf. Diakses Pada 30 Maret 2017. Herbie, T. 2015. Kitab Tanaman Berkhasiat Obat. Yogyakarta: OCTOPUS Publishing House. Martin, G.J., 1995., Ethnobotany : A ‘People and Plant’ Conservation Manual. Chapman and Hall, London. Noorhidayah dan Sidiyasa. 2006. Eksplorasi Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat. km.ristek.go.id./assets/file/427/pdf. Pada 26 Maret 2017. Suryadarma, IGP. 2008. Diktat Etnobotani. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Walujo dan Eko B. 2000. Penelitian Etnobotani Indonesia dan Peluangnya Dalam Mengungkap Keanekaragaman Hayati. Jakarta. Penebar Swadaya. Zuhud E. A. M, Siswoyo, Soekmadi R, Sandra E dan Adhiyanto E. 2013. Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid IX. Jakarta. Dian Rakyat.

196 Growth and Yield of Dipterocarpus lowii Planted under Albizia falcataria Plants in Kapuas, Central Kalimantan

Wahyudi Department of Foresty, University of Palangka Raya Jl. Yos. Sudarso Kampus Unpar, Palangka Raya, 70111 Central Kalimantan, Indonesia Mobile: +62 815 2156 0387, Email: [email protected] [email protected]

Abstract

Dipterocarpus lowii is the native species of Kalimantan and has a high commercial value. This research was aimed to analysis the growth and yield of meranti planted under Albizia falcataria stands, as enrichment planting on the TPTI silvicultural system. The research was conducted at Kapuas District, Central Kalimantan Province. Type of soil at the site is ultisol with 2,606 mm/year of precipitation average. Initially, Albizia falcataria planted with space namely 3 m x 3 m at 1995. After two years, seedlings of Dipterocarpus lowii were planted among akasia plants with 1,111 tress/ha of density. Thinning of akasia plants were conducted stage by stage, especially at the stunted plants or dead. The data were latest analyzed at 2014 or at the moment of 19 years old. Research result showed that at the 3, 7, 12, 17 and 21 years old, life percentage of Dipterocarpus lowii are 85%, 69%, 62%, 52%, and 51% respectively.Average diameter of Dipterocarpus lowii at the same times are 1.21 cm, 6.15 cm, 12.1 cm, 20.1 and 26.5 cm respectively, and their average total height are 1.3 m, 5.4 m, 10.9 m, 18.1 m, and 25.5m respectively.Volume growth of Dipterocarpus lowii at the same times namely 0.04 m3/ha , 4.1 m3/ha, 37.5 m3/ha, 146.1 m3/ha, and 301.4 m3/ha respectively

Keywords : growth and yield, CAI, MAI,Dipterocarpus lowii.

Introduction production forest management system in Indonesia. Deforestation and degraded forest in Indonesia Silvicultural systems that had been applied in tended to increase that caused by increasing of Indonesia since 1972 to present are Indonesia resident and wood requirement (Singhet al. Selective Cutting, Indonesia Selective Cutting 1995), illegal logging, shifting cultivation, and Planting, Indonesia Selective Cutting and illegal minning, illegal occupation of land, Strip Planting, Clear Cutting with Natural forest fire (Indrawan 2008), conversion of Regeneration, Clear Cutting with Artifial forest (Saharjo 2008), and poor forest Regeneration, and Gap Cutting are very management (Wahjono and Anwar 2008). In expected could give shave to sustainable forest line with that, logs production from natural management and increasing forest production forest tended decreasing, start from productivity. Selective Cutting and Strips 26 million m3 coming from 59,6 million ha of Planting (SCSP) silvicultural system with production forest in 90s become become just intensively silvicultural technique has done 9.1 million m3 from 27,8 million ha of limited to 29 of forest concessions since year production forest only in 2000 (APHI 2014). 2009, using species of Dipterocarp specially Deforestation and degraded forest won’t be Dipterocarpus spp. These species are stoped happened if there isn’t repair of recommended to plant in strips areas of SCSP

197 system and believed could to increase the 1995under Acacaia mangiumplantation that forest productivity. planted at 1995, located atthe dryland tropical This research was aimed to analyzegrowth forest, Kapuas District, Central Kalimantan and yield of Dipterocarpus spp that planted Province, Indonesia (Fig.1) Type of soil is under plantation of Albizia falcatariaat the ultisol with 2.606 mm/year of precipitation dryland tropical forest in Central Kalimantan average. Initially, Albizia falcataria planted Province, Indonesia.Albizia falcataria is fast with space namely 3 m x 3 m. After two years, growing species and light demanding seedlings of meranti were planted among (intolerant) species that suitable planted at the akasia plants with 1,111 tress/ha of density. degraded land (Mindawati, 2011). Wood of Thinning of Albizia falcataria plants were Albizia falcataria can be used to work conducted stage by stage, especially at the working, pulp and paper, etc. (Dephut, 1989; stunted plants or dead. Tuomela, 1996). Mix plantation between Measured variables were diameter breast high Albizia falcataria and Dipterocarpus spp is (dbh) and height of Dipterocarpus lowii that very ideal to maximise land use at the planted under Albizia falcataria stands. Collection of data were conducted at 3, 7, 12, degraded area on the forest region. 17, and 21 years old, then analyzed using life Method percentage, mean annual increment, and The research was executed at the researchplot current annual increment. of Dipterocarpus lowii that planted at

Research plots location

Fig. 1. Research plots location at the Central Kalimantan Province

198

Result and Discussion number for density of plants. Initially, plantation of Dipterocarpus lowiiwas used the Growth of Dipterocarpus lowii space namely 3 m x 3 m or 1.111 plants/ha in The data recapitulation of Dipterocarpus density. At the 21 years old, life percentage of lowiiat theresearch plot whict collected at this plants are 51%. The high forest canopy 1998, 2002,2007, 2012, and 2016or at the cause some plants are repressed by superior moment of 3, 7, 12, 17 and 21 years old were plants so that many stunted plants and death. showed in Table 1. Research result showed At the Table 1 also showed that diameter of that life percentage of sungkai at the 3, 7, 12, Dipterocarpus lowii at the 3, 7, 12, 17 and 21 17 and 21 years old are 85%,69%, 62%, 52%, years old are 1.21 cm, 6.15 cm, 12.1 cm, 20.1 and 51% respectively. Dipterocarpus lowii is and 26.5cm respectively, meanwhile total native species of Kalimantan that very suitable height of Dipterocarpus lowii are 1.3 m, 5.4 m, grow at the site. At the 21 years old, there are 10.9 m, 18.1 m, and 25.5 m respectively. 566 plants of Dipterocarpus lowii, a good

Table 1. Growth of Dipterocarpus lowii at the research plots Year Age Diameter Height of branch Total height Life Perc. (year) (cm) (m) (m) (%) 1998 3 1.21 0.4 1.3 85 2002 7 6.15 1.99 5.4 69 2007 12 12.1 5.1 10.9 62 2012 17 20.1 11.5 18.8 52 2016 21 28.2 13.5 25.5 51 Source: worked data

Several plants came down with pest of limited factor for plant to grow well at the insect (Alcides sp., Locusta migration) that forest (Soekotjo. 1995; Deptan. 1980). In cause some holes at the leaves of order to reduce the competition, it be done Dipterocarpus lowii although there are no with thinning periodically. death. Alcides sp can played possum if be Figure 2 show Dipterocarpus lowii captured (Pracaya. 1991). Many plants are plantation at the research plot at the moment of death that be caused by lost ability in the 7 years old. At the figure, plantation was competition to get soil nutrition, grow space, looked high in density that caused by there are and sunlight because with each passing day the mix plants between Dipterocarpus lowii and diameter of Dipterocarpus lowii become more initial plants of Albizia falcataria. The high bigger and its height become more higher. density like that is expected become a good Under the circumstances. some trees defeat the site for growt of Dipterocarpus leprosula and other trees. Iniatially (at the 1995) the density then stage by stage, Albizia falcataria was of Dipterocarpus lowii plantation is 1.111 tree harvested. per ha. however after 21 years later the density Plantation project using Dipterocarp get down to 566 trees per ha. Competition is species, especially Dipterocarpus app, is still

199 very limited because these species were plants. In order to rehabilitate degraded areas characteriscally semi-tolerant so they are very and to develop the plantation of Dipterocarpus difficult to be cultivated. They can not grow spp, so this method is very suitable applied in well at the close areas (as at the natural forest the large scale. floor) or at the open areas (as at the clear Competition to get nutrients from soil. cutting areas) (Mc Kinnon et al, 2000). light from above. and space to grow are Seedling of Dipterocarpusspp is grow well on happen on the forest (MacKinnon et al. 2000). the gap of forest with light intensity start from Furthermore. the growth of plantation at the 42.71% to 45.73% or 52.1 to 55 densiomener site is more caused by light factor from above scale (Stuckle et al. 2001; Wahyudi, 2011). (Mori 2001, Romell 2007). despitefully the Gap area as like that could be created at the other factor like soil fertility. temperature and time moment of conducted selective cutting or humidity. Kikuchi (1996) wrote that increased in the form of the strip line of SCSP system. temperature cause the decreasing the organic

The other method is planted under canopy of matter at the forest floor. Fig. 2. Dipterocarpus lowii plantation in the research plot at 7 years old

However. there are three factors that properties. soil water. slope. altitute. and influence the growth and yield of plantation. aspect of site. Climate factors are comprised i.e. environmental factor.silvicultural some sub factors like precipitation. technique. and genetics. Environmental factors temperature. light. humidity. winds. and (sites) are comprised two sub factors. i.e. soil geographical position. Silvicultural factor is factor and climate factor (Fisher & Binkley the effort and activity that conducted by human 2000, Kozlowski & Pallardy 1997, Soekotjo in order to increase the growth and yield of 1995). Soil factors are comprised some sub plantation. like intensively plantation. tending. factors like physical. chemical. and biologycal pruning. harvesting technique. reduce impact

200 logging and so on. Then. genetic factor is more nutrients and protect the roots from pest depended by species and innately internal and disease (Supriyanto, 2001). factor (Finkeldey 1989, Hani’in1999,Kumar & Matthias 2004, Na’iem& Pamuji 2006). Tree Yield of Dipterocarpus lowii improvement is the human effort to improve Volume growth of Dipterocarpus lowii at 3, 7, 3 the innately internal factor in order to 12, 17, and 21 years old namely 0.04 m /ha , 3 3 3 increasing growth and yield of plantation. 4.1 m /ha, 37.5 m /ha, 146.1 m /ha, and 301.4 3 Dipterocarpus spp is slow growing and m /ha respectively. Mean Annual volume intolerant species that suitable grow in the site Increment (MAvI) of Dipterocarpus lowii at 3 with wide range of soil fertility, in fact, even the same times namely 0.04 m /ha/year, 0.81 3 3 3 these species can grow well at the marginal m /ha/year, 3.88 m /ha/year, 9.9 m /ha/year, 3 soil of ultisol (Mc Kinnon et al, 2000). Much and 14.7 m /ha/year respectively, whereas of the species grow well at the dryland forest, Curren Annual volume Increment (CAvI) of except Dipterocarpus balangeran and small Dipterocarpus lowii at same times namely 0.04 3 3 3 part of Dipterocarpusspp which can grow at m /ha/year, 1.61 m /ha/year, 11.36 m /ha/year, 3 3 the wetland forest. In order to survive and to 15.81 m /ha/year, and 41.34 m /ha/year increase their growth, Dipterocarpus spp respectively (Table 2). These data can show conduct the symbiosis with mycorhizae to get the productivity of Dipterocarpus lowii that planted under Albizia falcatariastands.

Table 2. Annual growth of volume of Dipterocarpus lowii

Year Age Diameter Height of b Standing MAI Vol CAI Vol 3 (year) (cm) (m) stock (m /ha) (m3/ha/year) (m3/ha/year) 1998 3 1.21 0.4 0.04 0.04 0.04 2002 7 6.15 1.99 4.02 0.7 1.61 2007 12 12.1 5.1 37.7 3.81 11.44 2012 17 20,1 11.5 146.12 9.93 15.52 2016 21 28,2 13.5 302.5 14.6 41.76 Source: worked data MAvI can show the mean productivity of namely 41.76 m3/ha/year, it show that plants plants at the site at the certain year, meanwhile still in the range of high growth. At the CAvI volume can show the current moment, standing stock of Dipterocarpus lowii productivity of plants at the certain year stand attain 302.5 m3/ha. (Radonsa et al. 2003). At the 21 years old Dipterocarpus lowiihas mean productivity Conclusion namely 14.6 m3/ha/year whereas at the same Dipterocarpus lowii is the native species of time, current productivity of Dipterocarpus Kalimantan and it suitable grow at the site. lowii is highest than mean productivity,

201

Life percentage of Dipterocarpus lowii at the Forest Genetics and Forest Tree 3, 7, 12, 17, and 21 years old namely95%, Breeding, Goettingen, Germany. 69%, 62%, 52%, and 51% Fisher RF, Binkley. 2000. Ecology and respectively.Average diameter of Management of Forest Soil. Third Dipterocarpus lowii at the same timesnamely Edition. John Wiley & Sons, Inc., New 1.21 cm, 6.15 cm, 12.1 cm, 20.1, and 28.2 cm York. respectively, and their average total height are Gunawan HR, Wartomo. 2002. A wood 1.3 m, 5.4 m, 10.9 m, 18.1 m, and 25.5 m anatomical structure: A new approach to respectively.Volume growth of Dipterocarpus measure the trees growth. Book 3th. lowii at the same times namely 0.04 m3/ha, 4.1 Competitive Award Scheme-2. Berau m3/ha, 37.5 m3/ha, 146.11 m3/ha, and 301.4 Forest Management Profect, European m3/ha respectively. Union and Ministry of Forestry RI. Hatta. G.M. 1999. Sungkai (Peronema canescens). A Promising Pioneer Tree: Reference An Experimental Provenance Study in Indonesia. Wageningen Universiteit. APHI, 2003. Kumpulan Abstrak Hasil-hasil Netherland. Penelitian Meranti. Asosiasi Pengusaha Hani’in O. 1999. Pemuliaan pohon hutan Hutan Indonesia, Jakarta. Indonesia menghadapi tantangan abad APHI, 2014. Produktivitas Hutan Alam 21. Dalam Hardiyanto EB, editor. Produksi dan Tantangan Ke Depan. Prosiding Seminar Nasional Status Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Silvikultur 1999. Peluang dan Jakarta. Tantangan Menuju Produktifitas dan Dephut. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka dan II. Badan Penelitian dan Panjang. Wanagama I. Fakultas Pengembangan. Departemen Kehutanan Kehutanan UGM, Yogyakarta. RI. Bogor. Indrawan A. 2008. Sejarah perkembangan Dephutbun. 1998. Buku Panduan Kehutanan sistem silvikultur di Indonesia. Di Indonesia. Badan Penelitian dan dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Pengembangan Kehutanan dan Lokakarya Nasional Penerapan Perkebunan.Dephutbun. Jakarta. Multisistem Silvikultur Pada Deptan. 1980. Pedoman Pembuatan Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Tanaman. Direktorat Jenderal Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Kehutanan. Departemen Pertanian RI. Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja Jakarta. sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Finkeldey R. 1989. An Introduction to Produksi Kehutanan. Bogor. Tropical Forest Genetic. Institute of Kikuchi J. 1996. The growth and mycorhiza

202

formation on naturally regeneration Degraded Tropical Forest Ecosytems. dipterocarps seedling in the logged over CIFOR-Bogor. Pp. 17-26. forest in Jambi, Sumatra. In Sabarnurdin Na’iem M, Raharjo P. 2006. Petunjuk Teknis MS, Suhardi, Okimori Y, editors. Pemaparan Konservasi Ex-situ Ecological Approach for Productifity Dipterocarpus leprosula. ITTO PD and Sustainability of Dipterocarps 106/01 Rev.1 (F) Fahutan UGM, Forest. Prosiding. Fakultas Kehutanan Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada dan Kansai Pracaya. 1991. Hama dan Penyakit Tanaman. Environment Engineering Center Penebar Swadaya. Salatiga. (KEEC)-Kyoto. Pp:38-47. Radonsa PJ. Koprivica MJ. Lavadinovic VS. Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology 2003. Modelling current annual height of Woody Plants. Academic Press. increment of young Douglas-fir stands Kumar S, Matthias F. 2004. Molecular at different site. In Amaro A. Reed D. Genetic and Breeding of Forest Trees. Soares P. editors. Modelling Forest Food Product Press. An Imprint of The System. CABI Publishing. Haworth Press, Inc. New York, Singh P, Pathak PS, Roy MM. 1995. London, Oxford. Agroforestry Sistem for Sustainable Mac Kinnon. K.. Gt. M. Hatta. H. Halim dan Land Use. Science Publishers, Inc. A. Mangalik. 2000. Ecology of Soekotjo. 1995. Beberapa Faktor yang Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Mempengaruhi Riap Hutan Tanaman Malisau, F.B. 1997. Serangan Hama dan Industri. Direktorat Jenderal Patogen pada Dipterocarpus spp dari Pengusahaan Hutan. Dephut RI. Jakarta. Tempat Tumbuh dan Sistem Tanaman Stuckle IC, Siregar CA, Supriyanto, Kartana J. Yang Berbeda di Bukit Suharto. 2001. Forest Health Monitoring to Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. Monitor the Sustainability of Indonesian Mindawati. 2001. Produksi Seresah dan Tropical Rain Forest. ITTO and Tingkat Dekomposisi Albizia falcataria. Seameo Biotrop. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon Tuomela. 1996. Provenan dan Singling dan Vol.5 No.3. Balitbang Kehutanan Pemangkasan pada Pertumbuhan Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Albizia falcataria di Lahan Tanaman Hutan Purwobinangun. alang-alang. Forest Ecology and Yogyakarta. Management. Samarinda. Mori T. 2001. Rehabilitation of degraded Wahjono. D. dan Anwar. 2008. Prospek forest in lowland forest Kutai, East penerapan multisistem silvikultur pada Kalimantan-Indonesia. In Kobayasi S, unit pengelolaan hutan produksi. Trunbul JW, Toma T, Mori T, Madjid Puslitbang dan Konservasi Alam. MNNA, editors. Rehabilitation of Departemen Kehutanan. Bogor. 203 Wahyudi, 2012. Simulasi Pertumbuhan dan Hasil Menggunakan Siklus Tebang 25, 30, 35 Tahun pada Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.9, No.2, Juni 2012 Wahyudi dan Pamoengkas P. 2013. Model Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon (Anthocephallus cadamba). Jurnal Bionatura.Universitas PadjadjaranVol.15. No.1. Maret 2013. Bandung.

204 PERSEPSI PEMUDA TERHADAP PERTANIAN DI DESA ANJIR MUARA LAMA, KECAMATAN ANJIR MUARA, KABUPATEN BARITO KUALA SUPIAN ASHAURI1, ♥, ARIEF RAHMAN HAKIM1, ASRO’ LAELANI INDRAYANTI1, 3Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Palangka Raya, Jl. Hiu Putih-Tjilik Riwut km 7, Palangka Raya, Kalimantan Tengah 73113. email: [email protected].

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengevaluasi persepsi pemuda terhadap pertanian dan mengidentifikasi faktor faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi tersebut. Pendekatan deskriptif digunakan untuk mengevaluasi dan mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi persepsi pemuda terhadap pertanian. Responden dipilih secara purposif kemudian dilakukan wawancara terstruktur untuk mengevalusi dan mengidentifkasi persepsi pemuda. Data sekunder dipilih untuk mendukung dan melengkapi data dan memperkuat hasil yang diperoleh. Penelitin ini menunjukan bahwa persepsi pemuda cenderung kurang baik terhadap pertanian. Pertanian dipersepsikan sebagai pekerjaan yang melelahkan dan memerlukan waktu kerja yang lama. Namun demikian, hasil yang diperoleh rendah meskipun modal yang dikeluarkan besar. Pemudi cenderung memiliki persepsi yang kurang baik terhadap pertanian. Pemuda dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung memilih pekerjaan di luar pertanian. Lebih lanjut, pemuda yang berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lebih mapan cenderung memilih pekerjaan di luar pertanian. Secara umum, pertanian dipandang sebagai sektor yang kurang memberikan kesejahteraan bagi pelakonnya.

Kata kunci : Anjir Muara, kesejahteraan, pemuda, persepsi, pertanian.

PENDAHULUAN menyebutkan bahwa kawasan perdesaan Pertanian di Indonesia adalah bidang merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan pembangunan yang penting bagi perekonomian utama pertanian termasuk pengelolaan dan kehidupan sosial masyarakat. Hal ini sumberdaya alam. disebabkan potensi terbesar Indonesia pada Akan tetapi perubahan pekerjaan sektor dasarnya berbasis sumber daya pertanian pertanian ke sektor non-pertanian terlihat dalam (Rachmat 2010). Potensi sumberdaya pertanian arus migrasi desa ke kota. Mereka yang terjun ke di Indonesia dimanfaatkan oleh masyarakat dunia kerja, lebih senang mengadu nasib untuk sebagai sumber kehidupan khususnya bagi bekerja di kota, dengan harapan akan mendapat masyarakat petani di perdesaan sehingga sektor kehidupan yang lebih baik. Telah terjadi pertanian mendominasi kegiatan perekonomian fenomena penurunan jumlah tenaga kerja di pedesaan. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 sektor pertanian dari tahun ke tahun, berdasarkan Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan hasil Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 1 no 6 tangga usaha pertanian di Indonesia mengalami

205 penurunan sebanyak 5,04 juta rumah tangga dari juga terjadi di Kabupaten Barito Kuala 31,17 juta rumah tangga pada tahun 2003 berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013 di menjadi 26,13 juta rumah tangga pada tahun Kabupaten Barito Kuala, jumlah petani di 2013, yang berarti rata-rata penurunan per tahun Kabupaten Barito Kuala juga mengalami sebesar 1,75 persen (BPS 2013), Fenomena penurunan dari tahun ketahun sebagaimana penurunan jumlah tenaga kerja disektor pertanian terlihat pada tabel berikut. Tabel 1. Jumlah Petani Kabupaten Barito Kuala Mengalami Penurunan Tahun Jumlah Petani Kabupaten Barito Kuala 2010 89.795 Orang 2011 85.956 Orang 2012 83.299 Orang 2013 83.209 Orang Sumber: Sensus Pertanian Kabupaten Barito Kuala Tahun 2013 Penurunan jumlah tenaga kerja di sektor Selatan dengan sumbangan produksi padi pertanian termasuk juga dari generasi muda. terbesar di Kalimantan Selatan. Potensi bidang Penurunan jumlah petani usia muda tersebut pertanian yang dimiliki Kabupaten Barito Kuala disebabkan oleh keinginan pemuda desa yang sangat besar, Kabupaten Barito Kuala yang sudah memudar untuk bekerja di sektor memiliki jumlah penduduk sebanyak 289.995 pertanian, dan lebih cenderung memilih orang dengan 79.148 kepala keluarga pada tahun pekerjaan di sektor luar pertanian, baik di daerah 2013 yang mana sebanyak 71.697 atau 24,7 desa tempat tinggalnya maupun di daerah persen penduduknya masih berusia muda dengan perkotaan. Bahkan menurut (Hendri 2014) rentang usia 16 sampai 30 tahun (BPS Kabupaten Kebanyakan dari pemuda desa saat ini tidak tahu Barito Kuala 2014) dimana sebagian besar lagi bagaimana caranya bertani, hal ini terkait masyarakat Kabupaten Barito Kuala adalah dengan sudah sangat jarang orangtua yang masih petani atau bergerak di sektor pertanian. mengajarkan pertanian kepada anaknya. Kondisi Kebutuhan beras lokal di Kalimantan Selatan ini memunculkan kekhawatiran akan cukup tinggi karena sudah menjadi kebiasaan menurunnya generasi petani dimasa mendatang. warga Kalimantan Selatan lebih senang Desa Anjir Muara Lama merupakan mengonsumsi beras lokal, yang mana sebuah desa yang terletak dikecamatan Anjir berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2013 Muara Kabupaten Barito Kuala, Barito Kuala produksi padi di Kabupaten Barito Kuala pada merupakan sentra pertanian di Kalimantan tahun 2013 adalah sebagai berikut, Tabel 2. Jumlah Produsi Padi Kabupaten Barito Kuala Tahun 2013

Jenis Padi Luas Panen Produksi

Padi Unggul 15.612 Ha 54.642 Ton

Padi Lokal 83.105 Ha 290.867,5 Ton TOTAL 98.717 Ha 345.509,5 Ton

206

Sumber : Sensus Pertanian Kabupaten Barito Kuala Tahun 2013 Sedangkan untuk Desa Anjir Muara Lama survei adalah informasi dari responden dengan sendiri berdasarkan data dari monografi desa menggunakan kuesioner. Unit analisa yang pada tahun 2016 dari luas lahan 593,75 Ha digunakan pada penelitian ini adalah individu. memproduksi hasil pertanian padi berupa gabah Alat ukur yang digunakan dalam mengumpulkan kering sebesar 59.700 ton yang mana bisa data kuantitatif adalah kuesioner. Sementara dikatakan bahwa Desa Anjir Muara Lama untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan memberikan kontribusi sekitar 17% dari total melalui observasi, serta wawancara mendalam produksi padi di Kabupaten Barito Kuala. kepada beberapa informan. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti Data yang digunakan dalam penelitian ini ingin mengetahui bagaimana persepsi pemuda meliputi data primer dan data sekunder. Data desa anjir muara lama terhadap pertanian yang primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang ada didaerah tersebut. diperoleh dari wawancara kuesioner, wawancara mendalam, serta observasi langsung ke desa METODELOGI PENELITIAN tersebut. Sementara data sekunder sebagai data Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendukung diperoleh melalui literatur berupa dilakukan di Desa Anjir Muara Lama, Kecamatan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala. Pemilihan topik penelitian, profil dan data monografi Desa lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja Anjir Muara Lama, serta data dari Badan Pusat (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Statistik (BPS). daerah tersebut merupakan daerah pertanian dan Sampel Penelitian Sampel yang banyaknya jumlah pemuda di desa tersebut, digunakan pada penelitian ini ialah pemuda Desa Penelitian dilakukan dari Juni 2017 hingga Anjir Muara Lama yang berusia 16 sampai Agustus 2017 yang dimulai dari proses observasi dengan 30 tahun, dengan jumlah sampel awal, pendekatan dengan masyarakat setempat, sebanyak 40 orang dari jumlah populasi pemuda penentuan responden, pengumpulan data, Desa Anjir Muara Lama yang berjumlah 465 pengolahan data dan berakhir dengan penulisan orang. Sampel yang diambil dipilih secara acak hasil penelitian. terhadap pemuda Desa Anjir Muara Lama. Metode Penelitian Penelitian ini Penelitian ini juga menggunakan data menggunakan metode penelitian kuantitatif yang kualitatif yang diambil dari wawancara didukung oleh data kualitatif. Hal ini dilakukan mendalam kepada 4 orang terpilih yaitu: Kepala untuk memperkaya data dan lebih memahami Desa Anjir Muara Lama, 1 Orang Tokoh fenomena sosial yang diteliti (Singarimbun,1989 masyarakat, 1 Orang Petani golongan tua dengan yang dikutip oleh Meilina,2015). Pendekatan usia diatas 35 tahun dan 1 orang Petani golongan penelitian yang digunakan adalah penelitian muda dengan usia dibawah 35 tahun. kuantitatif dengan teknik penelitian survei. Analisis Data Data primer didapatkan Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian melalui wawancara mendalam dengan

207 menggunakan kuesioner kepada responden. Data 4. Petani yaitu seseorang yang menjadikan tersebut akan diedit terlebih dahulu. Proses pertanian sebagai pekerjaan utamanya untuk editing dilakukan untuk membaca dan memberi memenuhi kebutuhan ekonominya. koreksi pada setiap kuesioner yang telah diisi. Proses editing ini berguna untuk mengecek HASIL DAN PEMBAHASAN kelengkapan data dan logika urutan jawaban atas Gambaran Umum Lokasi Penelitian. setiap pertanyaan dalam kuesioner. Setelah itu Desa Anjir Muara Lama merupakan salah satu dilakukan pengkodean data dengan cara membuat desa di Kecamatan Anjir Muara Kabupaten buku kode pada Microsoft excel 2010, hal ini Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan, dilakukan dengan penyusunan secara sistematis memilik luas 7,5 km2. Secara geografis Desa data mentah kedalam bentuk yang mudah dibaca Anjir Muara Lama berbatasan dengan wilayah oleh komputer. Analisis data menggunakan sebagai berikut : Sebelah Utara, berbatasan beberapa alat analisis deskriptif berupa tabel dengan Kecamatan Belawang, Sebelah Timur, frekuensi, tabulasi silang, gambar, dan grafik berbatasan dengan Desa Beringin Jaya, Sebelah untuk melihat pengaruh faktor internal dan Selatan, berbatasan dengan Desa Anjir Serapat eksternal terhadap persepsi pemuda. Baru I, Sebelah Barat, Berbatasan dengan Definisi Operasional 1. Pertanian yaitu Kecamatan Anjir Pasar kegiatan dalam usaha tani mulai dari pembibitan Dimana jarak Desa Anjir Muara Lama ke pengolahan lahan sampai pada penjualan produk ibukota provinsi sejauh 25 Km dan jarak ke pertanian yang dimana pertanian disini lebih ibukota kabupaten sejauh 45 Km. Secara diarahkan kepada pertanian padi sawah. Administratif, wilayah Desa Anjir Muara Lama 2. Persepsi yaitu suatu penilaian atau interpretasi terdiri dari 6 Rukun Tetangga (RT). Secara seseorang terhadap sesuatu, yang dalam hal ini umum Tipologi Desa Anjir Muara Lama terdiri pekerjaan di sektor pertanian. Persepsi ini dari 63 Ha Tanah Pemukiman, 526 Ha Tanah dibedakan atas tiga kategori, yaitu baik, sedang Persawahan dan Sarana dan 36 Ha Prasarana dan kurang. Persepsi terhadap pekerjaan sektor umum lainnya. Topografis Desa Anjir Muara pertanian ini diukur dengan memberikan skor Lama secara umum termasuk daerah landai atau terhadap pertanyaan khusus persepsi pekerjaan dataran rendah dan berdasarkan ketinggian pertanian. Dimana skor dengan interval 1-6 wilayah Desa Anjir Muara Lama diklasifikasikan memilik persepsi kurang, 7-12 memilik persepsi kepada dataran rendah (0 – 100 m dpl) dengan sedang dan 13-18 memiliki persepsi baik. sumber daya alam utama berupa sawah yang 3. Pengalaman bertani yaitu pengalaman aktif mempu menghasilkan padi rata rata sebanyak responden dalam pekerjaan disektor pertanian 59.700 ton/tahun. Jumlah Penduduk Desa Anjir dimana pengalaman bertani ini dibagi menjadi 2 Muara Lama berdasarkan Profil Desa tahun 2016 kategori yaitu memiliki dan tidak memiliki. sebanyak 1.939 jiwa yang terdiri dari 983 laki laki dan 956 perempuan. Sumber penghasilan utama penduduk adalah bertani dan berdagang

208

Karakteristik Responden Karakteristik dengan jenis kelamin laki laki sebanyak 22 orang pribadi ini merupakan faktor yang berasal dari dan perempuan sebanyak 18 orang dengan keadaan spesifik individu yang berkaitan mayoritas pemuda Desa Anjir Muara Lama telah langsung dengan dirinya. Hal ini dapat dilihat bekerja dengan rata rata berpendidikan tamat dari umur, jenis kelamin, status pekerjaan, SMA, 32 orang responden pemuda Desa Anjir pendidikan dan status pernikahan. Muara Lama telah berkeluarga dimana 12 orang Berdasarkan data yg didapat pada responden mempunyai pengalaman dibidang kuesioner didapat data bahwa pemuda Desa Anjir pertanian sebagaimana terlihat pada tabel 6 Muara Lama rata rata berusia 21 tahun keatas berikut ini ; Tabel 6. karakteristik pribadi responden No Karakteristik Batasan Jumlah Persentase 1 Umur < 21 6 15% > 21 34 85% 2 Jenis kelamin L 22 55% P 18 45% 3 Status pekerjaan Bekerja 36 90% Belum bekerja 4 10% 4 Pendidikan Tamat SMA 34 85% Tidak tamat SMA 6 15% 5 Status Menikah 32 80% pernikahan Belum menikah 8 20% 6 Pengalaman Pernah 12 30% bertani Belum pernah 28 70% Sumber: Analisis data primer Persepsi Terhadap Pertanian Persepsi 1. Persepsi terhadap tenaga yang dihabiskan terhadap pekerjaan pertanian di sini untuk dibidang pertanian melihat pandangan pemuda dalam menilai Berdasarkan pertanyaan tentang tenaga pekerjaan di sektor pertanian. Hal ini dilihat dari yang dihabiskan untuk bekerja dibidang pertanian serangkaian pertanyaan yang diberikan pada lebih dari setengah responden memilih jawaban kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan untuk lebih melelahkan bekerja dibidang pertanian menjawab persepsi responden ini terdiri dari dibandingkan bekerja dibidang non pertanian pertanyaan yang melihat penilaian responden dimana mayoritas responden menyatakan lebih terhadap tenaga yang dihabiskan, jam kerja, melelahkan dan sama melelahkan dan beberapa pendapatan, modal, tingkat pendidikan dan umur responden yang menyatakan bekerja dibidang berapa saja yang cocok untuk bekerja di sektor pertanian lebih santai dibanding non pertanian pertanian ini. sebagai mana tersaji pada gambar 1 berikut;

209

Tenaga yang dihabiskan Waktu kerja 5% Lebih 5% melelahkan 40% Lebih lama 55% Sama melelahkan 95% Lebih singkat Lebih santai

Sumber: Analisis data primer Sumber: Analisis data primer Gambar 1. Persepsi terhadap tenaga yang Gambar 2. Persepsi terhadap waktu kerja dihabiskan disektor pertanian dibidang pertanian Hal ini karena menurut mereka ketika Mayoritas responden berpendapat bahwa bekerja di sektor pertanian tersebut mereka harus waktu kerja dibidang pertanian lebih lama bekerja di luar ruangan dengan bagaimanapun dikarenakan mereka harus menunggu masa panen kondisi cuaca, baik itu panas maupun hujan. Hal baru bisa mendapatkan hasil berbeda dengan inilah yang membuat penilaian mengapa bekerja bekerja dipabrik atau swalayan yg di pertanian itu lebih melelahkan dari pada diberpenghasilan setiap bulan, sedangkan sisanya bekerja di tempat lain. Akan tetapi masih ada sebanyak 5% yang berpendapat bahwa waktu yang memandang bekerja di sektor pertanian kerja dibidang pertanian lebih singkat karena tersebut sama saja melelahkan dengan pekerjaan tidak ada keharusan bagi mereka untuk bekerja 8 di sektor lain dan bahkan ada yang menilai lebih jam perhari seperti diperusahaan atau tempat santai ketika bekerja di sektor pertanian (5%). tempat lainnya. Penilaian seperti ini mereka berikan dengan 3. Persepsi terhadap modal dibidang pertanian alasan bekerja di pertanian tersebut tidak harus Untuk pertanyaan tentang modal untuk pergi pagi serta pulang malam seperti bekerja di bekerja dibidang pertanian dari 40 orang pabrik atau bekerja ditempat lain. responden, lebih dari separuh responden 2. Persepsi terhadap waktu kerja dibidang menyatakan bekerja dibidang pertanian pertanian memerlukan modal yang lebih besar dibandingkn Untuk pertanyaan tentang waktu yang sektor non pertanian dan sisanya menyatakan dihabiskan dibidang pertanian dibandingkan non pertanian memerlukan modal yang lebih kecil pertanian sebagaimana tersaji pada gambar 2 dan beberapa responden menyatakan modal yang mayoritas responden menyatakan bekerja sama dengan sektor non pertanian sebagaimana dibidang pertanian menyita lebih banyak waktu terlihat pada gambar 3 berikut; atau lebih lama sedangkan sisanya sebanyak responden menyatakan bekerja dibidang pertanian lebih singkat waktunya .

210

Modal Penghasilan yang didapat 5%

30% Lebih besar 30% Lebih besar 55% 15% Sama besar 65% Sama besar Lebih kecil Lebih kecil

Sumber: Analisis data primer Sumber: Analisis data primer Gambar 3. Persepsi terhadap modal disektor Gambar 4. Persepsi terhadap penghasilan pertanian disektor pertanian Sebagian besar responden berpendapat Persepsi yang menyatakan bahwa hasil bahwa modal dibidang pertanian lebih besar dibidang pertanian lebih kecil dibandingkan non dibanding modal non pertanian dikarenakan pertanian hal ini dikarenakan hasil dari pertanian untuk bekerja disektor peranian mereka harus hanya bisa dinikmati setiap masa panen yakni 1 mengeluarkan modal sendiri sedangkan diluar tahun sekali yang tentunya sulit untuk mencukupi sektor pertanian mereka tidak perlu kebutuhan mereka selama setahun berbeda mengeluarkan modal sendiri seperti diperusahaan dengan sektor non pertanian seperti diperusahaan atau swalayan, sebagian lain yang berpendapat yang berpenghasilan tiap bulan, sedangkan untuk bahwa modal sektor pertanian sama saja dengan responden yang menyatakan penghasilan disektor non pertanian dikarenakan sama sama harus pertanian sama besarnya ataupun sama dengan mengeluarkan modal kalau mau membuka usaha, non pertanian dikarenakan mereka bisa sedangkan sisanya yg berpendapat bahwa modal menyimpan hasil panen mereka untuk mencukupi sektor pertanian lebih kecil karena mereka cukup kebutuan selama satu tahun. modal fisik dan giat saja untuk bekerja 5. Persepsi terhadap tingkat pendidikan pekerja dipertanian. bidang pertanian 4. Persepsi terhadap penghasilan bidang Untuk pertanyaan tentang tingkat pertanian pendidikan yang cocok untuk bekerja dibidang Sedangkan pada pertanyaan tentang pertanian mayoritas responden menyatakan penghasilan dibidang pertanian terbanyak lulusan SD/sedarajat sudah cukup untuk bekerja responden menyatakan bahwa penghasilan dibidang pertanian sedangkan sisanya dibidang pertanian lebih kecil dibangkan sektor menyatakan minimal lulusan SMP/ sederajat dan non pertanian dan sebagian lain responden lulusan SMA/sederajat untuk bekerja dibidang menyatakan penghasilan yang sama dengan pertanian sebagaimana terlihat pada gambar 5 bidang non pertanian kemudian beberapa berikut; responden sisa nya menyatakan penghasilan dibidang pertanian lebih besar.

211

rendah terhadap pertanian salah satu Pendidikan kemungkinan yang mempengaruhi persepsi 15% SD/sederajat tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan 15% mereka terhadap pertanian itu sendiri sehingga SMP/sederaja 70% t mereka memiliki pendangan buruk terhadap SMA/sederaja pertanian. t

Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Sumber: Analisis data primer Persepsi Gambar 5. Persepsi terhadap tingkat 1. Faktor Internal pendidikan pekerja sektor pertanian Faktor internal yang merupakan kondisi

atau keadaan spesifik individu yang berkaitan Bagi mereka untuk bekerja disektor langsung dengan dirinya yang meliputi usia, jenis pertanian tidak memerlukan keahlian khusus kelamin, tingkat pendidikan dan pengelaman cukup bisa membaca dan menulis sudah bisa bertani. bekerja dipertanian sehingga pendidikan tidak a. Usia terlalu mempengaruhi pekerjan pertanian berbeda Berdasarkan hasil data yang didapat dari dengan sektor industri atau lainya yang kuesioner terdapat 6 orang responden yang masih mengharuskan pekerjannya memiliki tingkatan berumur dibawah 21 tahun atau dikategorikan pendidikan tertentu untuk dapat diterima bekerja. sebagai golongan remaja sedangkan sisanya Sedangkan sebagian sisanya menyatakan sebanyak 34 orang responden berusia diatas 21 pendidikan cukup penting karena memang saat tahun atau dikategorikan sebagai pemuda dewasa ini sudah jarang ditemui pekerja dengan sebagaimana terlihat pada gambar 6 berikut; pendidikan rendah disektor manapun. 6. Persepsi terhadap usia pekerja bidang Umur pertanian 15% Pada pertanyaan tentang usia pekerja yg < 21 cocok untuk bekerja dibidang pertanian apakah 85% > 21 golongan tua atau golongan muda mayoritas responden memiliki suara yang sama yaitu siapa saja bisa untuk bkerja dibidang pertanian tanpa Sumber: Analisis data primer adanya batasan umur asalkan punya tenaga maka Gambar 6. Persentasi umur responden bisa untuk bekerja dipertanian. Berdasarkan uraian tentang persepsi terhadap pertanian dari beberapa bidang b. Jenis kelamin pertanian diatas dapat disimpulkan bahwa Untuk jenis kelamin responden pemuda persepsi pemuda Desa Anjir Muara Lama masih desa anjir muara lama terdapat 18 orang

212 responden perempuan dan 22 orang responden Dalam hal pengalaman bertani responden laki laki sebagaimana terlihat pada gambar 7 pemuda desa anjir muara lama rata rata pernah berikut; mengikuti kegiatan bertani ketika membantu orang tua atau keluarga mereka saat bertani akan Jenis kelamin tetapi mayoritas responden tidak memiliki pengalaman dan aktif dibidang pertanian hanya 45% Laki laki terdapat senagian yang memiliki pegalaman aktif 55% Perempuan dalam bertani sebagaimana terlihat pada gambar 9 berikut;

Sumber: Analisis data primer Pegalaman bertani Gambar 7. Persentasi jenis kelamin responden c. Tingkat pendidikan 30% Memiliki Tingkat pendidikan pemuda desa anjir 70% Tidak memiliki muara lama berdasarkan data yg diperoleh dari kuesioner terdapat 32 orang responden pemuda dengan pendidikan tamat SMA dan hanya 6 Sumber: Analisis data primer orang responden pemuda yang tidak tamat SMA Gambar 9. Pengalaman responden sebagaimana terlihat pada gambar 8 berikut. dalam bertani Pendidikan Pada penjelasan diatas terlihat bahwa faktor internal pemuda Desa Anjir Muara Lama 15% yaitu sebagian besar merupakan pemuda dengan Tamat SMA usia diatas 21 tahun dengan jenis kelamin laki- 85% Tidak tamat laki dengan pendidikan tamatan SMA sederajat SMA dan tidak memiliki pengalaman di sektor

pertanian. Dalam hubungannya dengan persepsi Sumber: Analisis data primer terhadap pekerjaan pertanian, terlihat Gambar 8. Tingkat pendidikan responden kecenderungan terhadap persepsi yang kurang d. Pengalaman bertani sebagai mana terlihat pada tabel 7 berikut : Tabel 7. Hubungan faktor internal dengan persepsi terhadap pertanian Perspsi terhadap pertanian Faktor Internal Baik Sedang Kurang Diatas 21 tahun 5% 30% 50% Usia Dibawah 21 0% 0% 15% tahun Jenis kelamin Laki laki 0% 25% 25%

213

Perempuan 5% 5% 40% Tamat SMA 5% 25% 55% Pendidikan Tidak tamat SMS 0% 5% 10% Pengalaman Memiliki 0% 15% 15% bertani Tidak memiliki 5% 15% 50% Sumber: Analisis data primer Berdasarkan data yang tersaji pada tabel 5 (Herlina 2002 yang dikutip oleh Hendri diatas dapat dilihat bahwa kecendrungan persepsi 2014) menyatakan bahwa perempuan cenderung responden terhadap pertanian, dimana responden untuk mempersepsikan pekerjaan pertanian dengan persepsi kurang baik terhadap pertanian sebagai pekerjaan yang kurang baik dan kurang didominasi dari responden dengan latar belakang pantas untuknya karena pekerjaan pertanian berusia diatas 21 tahun dengan jenis kelamin identik dengan bekerja kasar dan berat. perempuan dengan pendidikan setingkat SMA 2. Faktor Eksternal sedarajat dimana mereka tidak memiliki a. Status sosial ekonomi pengalaman bertanihal ini senada dengan Status sosial ekonomi dalam hal ini dilihat penelitian Hendri pada tahun 2014 dimana pada dari pendidikan, pekerjaan, penghasilan kedua penelitiannya menyimpulkan bahwa orangtua dalam satu bulan dan kepemilikan kecendrungan persepsi kurang pada responden lahan. Kepemilikan lahan di sini dilihat dari ada perempuan yang berpendidikan setingkat SMA atau tidaknya lahan pertanian yang dimiliki oleh dan tidak memiliki pengalaman bertani. responden saat ini. Kepemilikan lahan dibagi atas Dengan usia mereka yang rata rata berusia 2 kelompok yaitu mereka yang mempunyai lahan diatas 21 tahun tentunya mereka sudah lebih > 3 Ha, memiliki lahan < 3 Ha. dewasa dan berfokus pada pemenuhan tuntutan Berdasarkan tingkat pendidikan orang tua hidup dan mencari pekerjaan yang mampu para responden didapat data bahwa rata rata memberikan mereka hasil yang cepat dan cukup orang tua dari para responden hanya untuk memnuhi kebutuhan hidup mereka. berpendidikan SD sederajat dan beberapa lainnya Meskipun tingkat pendidikan mereka lebih dari SD sederajat sebagaimana terlihat pada tergolong tinggi yaitu setingkat SMA sederajat gambar 10 berikut; akan tetapi tidak ada diantara mereka yang Tingkat pendidikan orang tua mempunyai latar belakang pendidikan dengan basik pertanian sehingga mereka kurang memahami pertanian itu sendiri. Itulah yang 30% SD Sederajat membuat persepsi mereka kurang terhadap 70% pertanian dimana mereka lebih memilih untuk > SD Sederajat bekerja diluar sektor pertanian dengan berbekal ijasah pendidikan yang mereka miliki. Sumber: Analisis data primer

214

Gambar 10. Tingkat pendidikan orang tua pertanian dimana dari 40 orang responden responden terdapat 10 orang responden yang orang tua Sedangkan untuk pekerjaan para orang tua mereka tidak mempunyai lahan pertanian responden sendiri memang didominasi oleh sebagaimana terlihat pada gambar 13 berikut; pekerjaan sebagai petani yakni sebesar 32 orang Kepemilikan lahan dan sisa nya non pertanian sebagaimana terlihat pada gambar 11 berikut; 25% Ya Pekerjaan orang tua 75% Tidak

20% Petani 80% Non Petani Sumber: Analisis data primer Gambar 13. Persentase kepemilikan lahan orang tua responden Sumber: Analisis data primer Dari 30 responden yang orang tua mereka Gambar 11. Pekerjaan utama orang tua mempunyai lahan pertanian dapat dilihat lagi responden luasan lahan pertanian yang mereka miliki hanya Penghasilan orang tua responden yang juga terdapat 1 responden yang orang tuanya memiliki merupakan bagian dari tingkat sosial ekonomi luasan lahan dibawah 3 Ha sebagaimana terlihat responden pemuda di desa anjir muara lama rata pada gambar 14 berikut;. rata berpenghasilan dibawah 2 juta rupiah Luas lahan perbulannya dengan persentase sebesar 23 orang 3% responden dan sisa nya 17 responden berpenghasilan diatas 2 juta rupiah perbulan < 3 Ha sebagaimana terlihat pada gambar 12 berikut; 97% > 3 Ha

Penghasilan orang tua

Sumber: Analisis data primer 43% < Rp 2 juta Gambar 14. Luas lahan yang dimiliki orang 57% > Rp 2 juta tua responden b. Sosialisasi Pekerjaan Pertanian Pekerjaan yang diperkenalkan kepada anak Sumber: Analisis data primer semenjak kecil serta harapan pekerjaan dari Gambar 12. Penghasilan orang tua responden orangtua tentunya akan mempengaruhi keputusan Kepemilikan lahan orang tua responden pemuda untuk memilih pekerjaan yang akan ia menjadi salah satu faktor yang bisa masuki, desa anjir muara lama merupakan mempengaruhi persepsi responden pada merupakan daerah petanian serta sebagian besar

215 penduduknya masih bekerja di bidang pertanian, Diharapkan bekerja dibidang untuk itu akan dilihat apakah orangtua masih pertanian mensosialisasikan pekerjaan pertanian kepada 30% responden. Ya 70% Dari hasil data yang didapat pada Tidak kuesioner terdapat 26 responden yang diperkenalkan dengan pertanian oleh orang tua Sumber: Analisis data primer mereka, sedangkan 14 lainnya tidak pernah Gambar 16. Persentase responden yang diperkenalkan pada pertanian oleh orang tua diharapkan bekerja dibidang mereka sebagaimana terlihat pada gambar 15 pertanian oleh orang tua mereka berikut;. Pada bagian diatas telah dijelaskan Diperkenalkan dengan pertanian mengenai faktor eksternal pemuda Desa Anjir Muara Lama sebagian besar pemuda Desa Anjir

35% Muara Lama memilik latar belakang keluarga Ya 65% dengan tingkat pendidikan orang tua yang rendah Tidak dengan penghasilan keluarga yg juga rendah dimana sebagian besar orang tua responden

Sumber: Analisis data primer berprofesi utama sebagai petani dan sebagian Gambar 15. Persentase responden yang tidak memiliki lahan pertanian sehinga persepsi diperkenalkan dengan pertanian oleh terhadap pertanian cendrung kurang baik. orang tua mereka Hubungan faktor eksternal dengan persepsi Sedangkan untuk kategori yang diharapkan terhadap pekerjaan pertanian dapat dilihat pada bekerja dibidang pertanian hanya terdapat 12 tabel 8 berikut : orang responden yang diharapkan bekerja dibidang pertanian oleh orang tua mereka sebagaimana terlihat pada gambar 16 berikut; Tabel 8. Hubungan faktor eksternal dengan persepsi terhadap pertanian Persepsi terhadap pertanian Faktor eksternal Baik Sedang Kurang Tingkat sosial ekonomi Pendidikan orang Tamat SD 0% 30% 40% tua Diatas SD 5% 0% 25% Petani 0% 30% 50% Pekerjaan Non petani 5% 0% 15% < Rp 2 juta/bln 0% 5% 52,5% Penghasilan > Rp 2 juta/bln 5% 25% 12,5%

216

Memiliki 5% 25% 45% Kepemilikan Tidak lahan 0% 5% 20% Memiliki < 3 Ha 0% 2,5% 0% Luas lahan > 3 Ha 5% 22,5% 45% Sosialisasi pekerjaan Diperkenalkan Ya 0% 20% 42,5% dengan pertanian Tidak 5% 10% 22,5% Diharapkan Ya 0% 15% 15%

bekerja dipertanian Tidak 5% 15% 50% Sumber: Analisi data primer Berdasarkan data yang tersaji pada tabel 6 Meskipun tingkat sosialisasi pekerjaan diatas terlihat bahwa kecendrungan persepsi cukup tinggi dimana 62,5% responden pernah terhadap pertanian dimana responden dengan diperkenalkan dengan pertanian oleh orang tua persepsi kurang memiliki latar belakang sosial mereka akan tetapi 42,5% responden yang ekonomi rendah dengan tingkat pendidikan orang memiliki persepsi kurang terhadap pertanian hal tua hanya tamatan SD dengan penghasilan rata ini tentunya juga dipengaruhi oleh kondisi sosial rata dibawah 2 juta rupiah perbulan dengan ekonomi keluarga mereka yang kurang sejahtera pekerjaan utama petani. ketika mereka hanya bergantung pada pertanian Tingkat pendidikan orang tua juga sebagai mata pencaharian utama mereka. tentunya memberikan dampak yang KESIMPULAN mempengaruhi persepsi mereka terhadap Pemuda Desa Anjir Muara Lama rata rata pertanian dimana ketika orang tua mereka merupakan pemuda berusia diatas 21 tahun memiliki tingkat pendidikan yang rendah mereka dengan tingkat pendidikan tamatan SMA terbiasa memotivasi anak anak mereka untuk giat sederajat dan sebagian besar pemuda desa dalam belajar dan mencapai pendidikan yang tersebut sudah bekerja dan berkeluarga dengan tinggi agar tidak menjadi petani seperti mereka. latar belakang berasal dari keluarga petani Penghasilan keluarga tentunya dengan tingkat sosial ekonomi rendah. memberikan pengaruh besar terhadap persepsi Persepsi pemuda Desa Anjir Muara Lama mereka dimana mereka cendrung menilai terhadap pertanian memiliki kecendrungan pertanian kurang baik dikarenakan apa yang kurang baik untuk dijadikan pekerjaan utama terjadi pada orang tua mereka yang menggeluti dimana mereka mempersepsikan pertanian pertanian sebagai pekerjaan utama mereka akan merupakan pekerjaan yang melelahkan dan tetapi belum bisa memberikan kesejahteraan bagi membutuhkan waktu kerja yang lama dengan kehidupan. modal yang lebih besar dan hasil yang lebih kecil dari pada penghasilan di sektor non pertanian.

217

Persepsi pemuda Desa Anjir Muara Lama terhadap pertanian banyak dipengaruhi oleh DAFTAR PUSTAKA faktor jenis kelamin dimana responden berjenis [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Barito kelamin perempuan cendrung memiliki persepsi Kuala. 2014. Batola Dalam Angka 2014. kurang baik terhadap pertanian, begitu juga [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten dengan tingkat pendidikan dimana lulusan SMA Barito Kuala, Barito Kuala. sederajat dengan pendidikan yang mereka miliki [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi mereka lebih memilih untuk bekerja diluar sektor Statistik. Hasil Sensus Pertanian 2013 pertanian, tingkat sosial ekonomi rendah dari (Angka Sementara). Badan Pusat Statistik keluarga mereka juga memberikan persepsi Indonesia, Jakarta. kurang baik terhadap pertanian dimana mereka Hendri M. 2014. Persepsi pemuda pencari kerja menganggap pertanian tidak mampu memberikan terhadap pekerjaan sektor pertanian dan mereka kesejahteraan yang lebih. pilihan pekerjaan Di Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. SARAN [skripsi]. FEM IPB, Bogor. Berdasarkan penelitian pada persepsi Meilina Y. 2015. Persepsi remaja terhadap pemuda DesaAnjir Muara Lama terhadap pekerjaan disektor pertanian padi sawah pertanian maka saran yang bisa diberikan ialah : di Desa Cileungsi Kecamatan Ciawi 1. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang Kabupaten Bogor. [skripsi]. FEM IPB, pengetahuan pemuda desa terhadap sektor Bogor pertanian dimana terlihat kecendrungan pemuda Rachmat M. 2010. Studi kebutuhan desa yang kurang mengetahui terhadap pertanian pengembangan produk olahan pertanian. itu sendiri. Pusat sosial ekonomi dan kebijakan 2. perlu dilakukan adanya sosialisasi tentang pertanian. Departemen Pertanian. pertanian modern dan pertanian secara luas Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode terhadap para petani agar mereka lebih mengenal Penelitian Survai. Pustaka LP3ES tentang sektor pertanian. Indonesia, Jakarta.

218 Perubahan Pemanfaatan Lahan Basah Di Kota Makassar

Usman Arsyad(1) dan Arief, T.R(2) 1. Dosen Fakukultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar, Makassar, [email protected] 2. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin ,Makassar.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan basah di Kota Makassar termasuk di DAS Tallo tahun 1996 – 2016 dan menentukan arahan pemanfaatan ruangpada lahan basah berdasarkan penutupan lahan tahun 2016. Penelitian ini menggunakan metode survey lapangan dan analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), dengan menggunakan peta penutupan lahan tahun 1996, 2000, 2006, 2011 dan 2016. Analisis dilakukan terhadap perubahan pemanfaatan lahan basah di Kota Makassar dengan masing-masing time series, selanjutnya dilakukan survey dilapangan. Kemudian, dilakukan overlay peta penggunaan lahan tahun 2016 dan peta RTRW sehingga diperoleh peta arahan pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pemanfaatan lahan basah di Kota Makassar juga di DAS Tallo dalam kurun waktu 20 Tahun dari pada tahun 1996, 2000, 2006, 2011 dan 2016 yang cukup signifikan. Perubahan lahan basah terkonversi menjadi kawasan terbangun sehingga lahan basah semakin menyempit dan keadaan ini berlangsung terus hingga saat ini.

Kata Kunci : perubahan, penggunaan lahan basah, Kota Makassar, Muara DAS Tallo

LATAR BELAKANG

Peningkatan pembangunan selalu diikuti dasar juga meningkat sehingga menimbulkan dengan terjadinya peningkatan kebutuhan kerugian terhadap sumberdaya alam dan terhadap lahan guna menampung aktivitas lingkungan (Hasnawir dan Nurhaedah, 2012). masyarakat. Peningkatan kebutuhan terhadap Kebutuhan akan lahan semakin meningkat lahan diantaranya untuk perdagangan, sehingga keterbatasan lahan diperkotaan juga permukiman dan jasa (Yusrani,2006). Perubahan menyebabkan kota berkembang secaran fisik penggunaan lahan, pada dasarnya tidak dapat kearah pinggiran kota (Eko dan Rahayu, 2012). dihindarkan dalam pelaksanaan pembangunan Hal ini banyak perubahan penggunaan lahan (Lisdiyono, 2004). Semakin meningkatnya pertanian berubah menjadi non pertanian. pertambahan penduduk serta perkembangan Perubahan perluasan lahan tersebut disuatu ekonomi dan perindustrian selalu sejalan dengan wilayah sangat perlu perhatian khusus karena alih fungsi lahan (Suprapto,2015). akan membawa dampak negatif. Tetapi, Perkembangan sebuah daerah perkotaan sangat kebutuhan lahan menjadi faktor terpenting dalam dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, bentuk pengembangan daerah atau kawasan perkotaan dan letak kota serta fungsi kota terhadap daerah dalam pemenuhan penduduknya dalam pinggiran. pemukiman (Maharani,2003). Terkait dengan kebutuhan lahan, Permasalahan yang terjadi akibat dari mengakibatkan tekanan terhadap kebutuhan konversi lahan di kawasan pantai/lahan basah

219

Kota Makassar dan di muara DAS Tallo karena penggunaan lahan pada rentang waktu 20 tahun adanya pembangunan tanpa memperhatikan (1996 – 2016). sempadan sungai dan pantai serta pola METODE PENELITIAN pembangunan yang membelakangi pantai dan sungai (Surni, 2014). Sungai Tallo adalah sungai Penelitian ini dilaksanakan selama 4 yang membelah kota Makassar. Sungai ini bulan yaitu mulai bulan Februari – Mei 2016 bermuara di 2 kabupaten/kota antara Kota melalui dua tahapan yaitu kegiatan lapangan dan Makassar dan Kabupaten Maros, dan bermuara analisis data.Lokasi penenlitian seluruhnya di Selat Makassar (Anonim,2015). Kawasan berada di wilayah administrative Kota Makassar DAS Tallo merupakan suatu kawasan DAS Kota yang didalamnya terdapar DAS Tallo seperti dimana wilayahnya sangat berkembang serta diperlihatkan pada Gambar 1. mengalami cukup banyak masalah lahan baik penggunaan maupun kualitas biofisik (Surni, 2014). DAS Tallo memiliki luas wilayah 43.664,99 ha khusus Kota Makassar seluas 17.118,97 ha. Lokasi studi Kota Makassar berada diantara dua Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Jeneberang seluas 727 km2 dan panjang sungai utama adalah 75 km dan DAS Tallo seluas 436,6499 km2 dengan panjang sungai utama adalah 70,5 km. Pola penggunaan lahan yang ada pada saat ini berupa bandara, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan Mangrove Sekunder, Hutan Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Tanaman, Permukiman, Pertanian Lahan Kering, Teknik Pengumpulan Data Pertanian Lahan Kering Campur Semak, Sawah,

Semak Belukar, Semak Belukar Rawa, Tambak 1. Pembuatan Peta Kerja dan Tanah Terbuka. Dari hasil analisis diketahui bahwa penggunaan lahan terbesar adalah sawah Peta kerja yang dimaksud adalah peta seluas 14.890,18 ha. Hasil pengecekan lapangan penutupan lahan pulau Sulawesi hasil terhadap pola penggunaan lahan tersebut interpretasi citra oleh Kementerian Lingkungan menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian Hidup dan Kehutanan Tahun 1996, 2000, 2006, penggunaan lahan dilapangan dengan Rencana 2011 dan 2016. Batas Daerah Aliran Sungai Tata Ruang Wilayah sehingga akan dilakukan Tallo didapatkan dari batas DAS Indonesia, yang arahan penggunaan lahan yang sesuai. dikeluarkan oleh Balai Pengelolaan Daerah Berdasarkan uraian diatas, maka perlu Aliran Sungai Jeneberang-Walanae. Tahapan dilakukan suatu kajian mengenai perubahan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

220

2. Survei dan Observasi Lapangan spasial tahun 2016 sedangkan data penutupan lahan tahun 2016 diperoleh dari kementerian Survei dan Observasi Lapangan lingkungan hidup. Selanjutnya, dilakukan dilakukan untuk mengumpulkan data/informasi overlay antara pola ruang Rencana Tata Ruang secara langsung di lapangan berdasarkan peta Wilayah Kota Makassar untuk memperoleh peta kerja. Survei dan observasi yaitu penetapan pola ruang Kota Makassar. Kemudian, peta lokasi pengamatan langsung lahan eksisting tersebut dioverlay dengan peta DAS Tallo untuk (Ground Truth) dan pengamatan serta deskripsi memperoleh peta arahan pola ruang DAS Tallo lokasi terkit bentuk wilayah dan tutupan lahan. berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah C. Teknik Pengolahan Data KotaMakassar.

1. Tutupan Lahan (Landcover) D. Analisis Data

Perubahan penutupan lahan yang di Data primer dan data sekunder yang analisis pada penelitian ini yaitu perubahan telah dikumpulkan selanjutnya dikompilasi penutupan lahan tahun 1996, 2000, 2006, 2011 menggunakan system komputerisasi. Hasil dan 2016. prosedur pengerjaannya yaitu dengan kompilasi data/informasi yang telah diperoleh mengoverlay (tumpang tindih) antara data sehingga akan memudahkan pelaksanaan spasial masing-masing time series dengan Peta tahapan selanjutnya yaitu tahap analisis. Data Kota Makassar yang termasuk didalamnya DAS spasial dianalisis dengan menggunakan metode Tallo dengan melihat perubahan penutupan lahan SIG. Informasi dari analisis spasial di tumpang tahun 1996, 2000, 2006, 2011 dan 2016. tindihkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Sebelum dilakukan overlay, terlebih dahulu untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dilakukan cropping (memotong) dengan tujuan eksisting dan arahan Rencana Tata Ruang untuk menyesuaikan batas wilayah penelitian, Wilayah. sehingga pengolahan data lebih efisien.

2. Analisis Kesesuaian antara Pola Ruang RTRW dengan Penutupan Lahan

Analisis kesesuaian dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak GIS. Pada tahap ini dilakukan overlay data spasial antara data spasial arahan rencana pola ruang RTRW Kabupaten/Kota dengan penutupan lahan di tahun 2016. Data spasial rencana pola ruang RTRW Kabupaten/Kota diperoleh dari Bappeda Pemerintah Kota Makassar bekerjasama dengan Gambar 2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian puslitbang wilayah tata ruang dan informasi

221 sekunder, hutan mangrove sekunder, hutan HASIL DAN PEMBAHASAN tanaman, permukiman, pertanian lahan kering A. Perubahan Penggunaan Lahan campur semak, sawah, semak belukar, tambah, Berdasarkan analisis spasial, tanah terbuka dan tubuh air. Penggunaan lahan penggunaan lahan di DAS Tallo Kota Makassar yang dominan yaitu sawah seluas 15.993,62 ha pada tahun 1996 dan 2000 terdiri atas awan, dan untuk perubahan penggunaan lahan tahun hutan lahan kering primer,hutan lahan kering 1996 – 2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1996 – 2000 Penggunaan lahan tahun Luas Luas Penggunaan lahan tahun Luas Luas No 1996 (ha) (%) 2000 (ha) (%) 1 Bandara 18.62 0.11 Bandara 18.62 0.11 2 Hutan Mangrove Sekunder 324.05 1.89 Hutan Mangrove Sekunder 324.05 1.89 3 Padang Rumput 20.40 0.12 Padang Rumput 20.40 0.12 4 Permukiman 7270.64 42.47 Permukiman 7270.64 42.47 5 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Campur Semak Campur Semak 6 Sawah 4502.76 26.30 Sawah 4502.76 26.30 7 Semak Belukar 180.65 1.06 Semak Belukar 180.65 1.06 8 Semak Belukar Rawa 439.08 2.56 Semak Belukar Rawa 41.33 0.24 Tubuh Air 397.75 2.32 9 Tambak 2144.64 12.53 Tambak 2144.64 12.53 10 Tubuh Air 264.40 1.54 Tubuh Air 264.40 1.54 GrandTotal 17118.97 100.00 GrandTotal 17118.97 100.00 Jenis penggunaan lahan pada Table 1 perubahan yang signifikan selama 5 tahun. pada tahun 1996 memperlihatkan sebaran Untuk kawasan terbangun dalam hal ini terluas pada permukiman dengan luasan permukiman dalam kurun waktu 5 tahun tidak 7.270,64 ha (42.47 %) menyusul Sawah mengalami penambahan ataupun pengurangan 4.502,76 ha (26.30 %). Bandara dan padang luasan. Selanjutnya, berdasarkan pada Tabel 2 rumput menempati urutan terakhir. Perubahan dapat dilihat perubahan penggunaan lahan jenis penggunaan lahan belum terjadi tahun 2000-2006.

Tabel 2. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 - 2006 No Penggunaan lahan tahun Luas Luas Penggunaan lahan tahun Luas Luas 2000 (ha) (%) 2006 (ha) (%) 1 Bandara 18.62 0.11 Bandara 18.62 0.11 2 Hutan Mangrove Sekunder 324.05 15.11 Hutan Mangrove Sekunder 305.26 1.78 Permukiman 18.79 0.11 3 Padang Rumput 20.40 7.71 Padang Rumput 20.40 0.12 4 Permukiman 7270.64 42.47 Permukiman 7270.64 42.47 5 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Campur Semak Campur Semak 6 Sawah 4502.76 26.30 Permukiman 15.20 0.09 Sawah 4487.56 26.21 7 Semak Belukar 180.65 1.06 Semak Belukar 180.65 1.06 8 Semak Belukar Rawa 41.33 0.24 Semak Belukar Rawa 41.33 0.24 9 Tubuh Air 397.75 2.32 Tubuh Air 397.75 2.32 10 Tambak 2144.64 12.53 Tambak 2144.64 12.53 11 Tubuh Air 264.40 1.54 Tubuh Air 264.40 1.54

222

GrandTotal 17118.97 100.00 GrandTotal 17118.97 100.00 Tabel 2 memperlihatkan bahwa dalam Dalam kurun 15 tahun luasan permukiman kurun waktu 7 tahun telah terjadi perubahan tidak bertambah dan tidak berkurang. Hal ini penggunaan lahan di Kota Makassar. Pada dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 bahwa hutan mangrove sekunder telah terkonversi di tahun 2006 barulah terlihat perubahan menjadi permukiman seluas 18.79 ha (0,11%) luasan permukiman bertambah. Sedangkan dan jenis penggunaan lahan sawah terkonversi Tabel 3 memperlihatkan perubahan menjadi permukiman seluas 15.20 ha (0,09 %). penggunaan lahan tahun 2006-2011.

Tabel 3. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2006-2011 No Penggunaan lahan tahun Luas Luas Penggunaan lahan tahun Luas Luas 2006 (ha) (%) 2011 (ha) (%) 1 Bandara 18.62 0.11 Bandara 18.62 0.11 2 Hutan Mangrove Sekunder 305.26 1.78 Hutan Mangrove Sekunder 268.80 1.57 Permukiman 14.13 0.08 Sawah 12.71 0.07 Tambak 9.62 0.06 3 Permukiman 18.79 0.11 Permukiman 18.79 0.11 4 Padang Rumput 20.40 0.12 Padang Rumput 20.40 0.12 5 Permukiman 7270.64 42.47 Permukiman 7270.64 42.47 6 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Campur Semak Campur Semak 7 Permukiman 15.20 0.09 Permukiman 15.20 0.09 8 Sawah 4487.56 26.21 Permukiman 35.91 0.21 Sawah 4451.65 26.00 9 Semak Belukar 180.65 1.06 Semak Belukar 180.65 1.06 10 Semak Belukar Rawa 41.33 0.24 Semak Belukar Rawa 41.33 0.24 11 Tubuh Air 397.75 2.32 Tubuh Air 397.75 2.32 12 Tambak 2144.64 12.53 Permukiman 11.37 0.07 Sawah 34.98 0.20 Tambak 2098.29 12.26 13 Tubuh Air 264.40 1.54 Tubuh Air 264.40 1.54 GrandTotal 17118.97 100.00 GrandTotal 17118.97 100.00 Berdasarkan Tabel 3 yaitu perubahan lahan sangat terlihat yang membuat lahan penggunaan lahan tahun 2006-2011selama 6 basah yang terdapat di Kota Makassar semakin tahun memperlihatkan pemanfaatan lahan menyempit. basah hutan mangrove sekunder seluas 305,26 Peningkatan luasan permukiman di ha (1,78%) terkonversi menjadi permukiman. Kota Makassar mengindikasikan bahwa Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kebutuhan hidup masyarakat Kota Makassar pemanfaatan lahan basah mengalami semakin meningkat. perubahan yang signifikan. Sedangkan kawasan terbangun tidak mengalami Selain itu, penambahan jumlah penduduk di pengurangan, bahkan semakin bertambah luas. Kota Makassar juga semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3 Peningkatan kawasan terbangun tersebut penambahan dan pengurangan pemanfaatan disebabkan pembangunan baik dari pihak

223 swasta maupun pemerintah setempat. Rustiadi Perbandingan Gambar et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan 3(a)(b),4(a)(b)dan 5(a) menunjukkan bahwa penggunaan lahan dalam pelaksanaan terjadi penambahan Pemanfataan lahan untuk pembangunan merupakan proses yang tidak kawasan terbangun. Selanjutnya dapat dilihat dapat dihindari. Hal tersebutlah yang terjadi Tabel 4 perubahan pemanfaatan lahan basah sehingga berdampak kepada kawasan lahan dari tahun 2011-2016. basah yang ada di Kota Makassar.

Tabel 4. Perubahan Pemanfaatan Lahan tahun 2011-2016 No Penggunaan lahan tahun Luas Luas Penggunaan lahan tahun 2016 Luas Luas 2011 (ha) (%) (ha) (%) 1 Bandara 18.62 0.11 Bandara 2.99 0.02 Permukiman 15.62 0.09 2 Hutan Mangrove Sekunder 268.80 1.57 Hutan Mangrove Sekunder 121.25 0.71 Permukiman 58.52 0.34 Sawah 14.41 0.08 Tambak 74.62 0.44 3 Permukiman 14.13 0.08 Hutan Mangrove Sekunder 4.91 0.03 Permukiman 8.95 0.05 Tambak 0.27 0.00 4 Sawah 12.71 0.07 Permukiman 1.27 0.01 Sawah 9.32 0.05 5 Tambak 9.62 0.06 Tambak 9.62 0.06 6 Permukiman 18.79 0.11 Permukiman 18.79 0.11 7 Padang Rumput 20.40 0.12 Padang Rumput 16.59 0.10 Permukiman 2.8 0.02 Sawah 0.25 0.00 Tambak 0.75 0.00 8 Permukiman 7270.64 42.47 Hutan Mangrove Sekunder 1.13 0.01 Permukiman 7125.2 41.63 Pertanian Lahan Kering 13.5 0.08 Campur Semak Sawah 81.52 0.48 Semak Belukar 15.29 0.09 Semak Belukar Rawa 0.96 0.01 Tambak 28.35 0.17 Tanah Terbuka 1.86 0.01 Tubuh Air 2.83 0.02 9 Pertanian Lahan Kering 1953.73 11.41 Padang Rumput 2.28 0.01 Campur Semak Permukiman 1284.17 7.50 Pertanian Lahan Kering 64.08 0.37 Pertanian Lahan Kering 509.35 2.98 Campur Semak Sawah 81.52 0.48 Tambak 4.73 0.03 Tubuh Air 7.6 0.04 10 Permukiman 15.20 0.09 Permukiman 10 0.06 Sawah 2.3 0.01

224 No Penggunaan lahan tahun Luas Luas Penggunaan lahan tahun 2016 Luas Luas 2011 (ha) (%) (ha) (%) Tanah Terbuka 2.9 0.02 11 Permukiman 35.91 0.21 Permukiman 35.91 0.21 12 Sawah 4451.65 26.00 Hutan Mangrove Sekunder 2.21 0.01 Padang Rumput 4.5 0.03 Permukiman 1508.02 8.81 Pertanian Lahan Kering 21.61 0.13 Campur Semak Sawah 2737.91 16.00 Semak Belukar 18.32 0.11 Semak Belukar Rawa 0.42 0.00 Tambak 73.75 0.43 Tanah Terbuka 79.9 0.47 Tubuh Air 5 0.03 13 Semak Belukar 180.65 1.06 Permukiman 56.74 0.33 Sawah 2.54 0.01 Semak Belukar 121.37 0.71 14 Semak Belukar Rawa 41.33 0.24 Permukiman 15.24 0.09 Sawah 0.01 0.00 Semak Belukar Rawa 23.88 0.14 Tubuh Air 2.21 0.01 15 Tubuh Air 397.75 2.32 Permukiman 2.28 0.01 Sawah 166.44 0.97 Semak Belukar 229.03 1.34 16 Permukiman 11.37 0.07 Permukiman 11.37 0.07 17 Sawah 34.98 0.20 Permukiman 8.24 0.05 Sawah 17.49 0.10 Tambak 5.44 0.03 Tanah Terbuka 3.8 0.02 18 Tambak 2098.29 12.26 Hutan Mangrove Sekunder 19.99 0.12 Padang Rumput 2.07 0.01 Permukiman 64.58 0.38 Pertanian Lahan Kering 13.79 0.08 Campur Semak Sawah 77.87 0.45 Tambak 1902.28 11.11 Tanah Terbuka 3.14 0.02 Tubuh Air 14.57 0.09 19 Tubuh Air 264.40 1.54 Permukiman 64.87 0.38 Pertanian Lahan Kering 5.78 0.03 Campur Semak Sawah 1.89 0.01 Semak Belukar Rawa 0.52 0.00 Tambak 64.09 0.37 Tubuh Air 127.25 0.74 GrandTotal 17118.97 100.00 17116.82 100.00 Tabel 4 memperlihatkan terjadinya memberikan dampak di tingkat kebutuhan perubahan pemanfaatan lahan basah yang masyarakat terhadap lahan sangat meningkat. sangat pesat. Perubahan-perubahan yang Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga terjadi di Kota Makassar tersebut saat ini. Oleh sebab itu, perubahan tersebut meningkatnya pertumbuhan penduduk yang

225 memberikan dampak yang negatif terhadap menyatakan bahwa penerimaan suhu yang lingkungan di Kota Makassar. paling optimum di kawasan tropika adalah Dampak yang terjadi seperti yang 20,8 – 22,8 (69 - 73°F). hal ini yang membuat masyarakat Kota Makassar rasakan yaitu kenyamanan masyarakat semakin berkurang peningkatan suhu permukaan hal ini sesuai dan membuat masyarakat menggunakan air dengan kajian yang telah dilakukan oleh Maru conditioner (AC). Justru penggunaan AC yang dan Baharuddin (2014) menunjukkan bahwa akan menambah laju peningkatan fenomena suhu Kota Makassar saat ini sudah sangat panas kota yang biasa disebut urban heat island tinggi yaitu 32°C pada saat siang hari. (UHI) di kawasan kota. Sedangkan menurut wycherly (1967)

Gambar 3. (a)Peta Penggunaan Lahan tahun 1996 dan (b) Peta Penggunaan lahan 2000

Gambar 4. (a)Peta Penggunaan Lahan tahun 2006 dan (b) Peta Penggunaan lahan 2011

226

Gambar 5. (a)Peta Penggunaan Lahan tahun 2016 dan (b) Peta Arahan Pola Ruang Kota tahun 2016

B. kesesuaian antara pola ruang dengan sebanyak 34 jenis peruntukan dengan penggunaan lahan tahun 2016 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 5(b). Berdasarkan hasil analisis evaluasi lahan diperoleh peruntukkan RTRW di Kota Makassar ini Tabel 5. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Luas No. RTRW Luas (ha) No. RTRW (ha) 1 Bandara 1.74 18 Perkantoran 198.15 2 Bisnis dan Olah Raga 335.95 19 Permukiman Kepadatan Rendah 2717.47 3 Danau 88.59 20 Permukiman Kepadatan Sedang 4212.14 4 Gudang 1307.52 21 Permukiman Kepadatan Tinggi 2209.58 5 Hutan Kota 44.52 22 Rencana Hutan Kota 159.68 6 Industri 1105.26 23 Rencana Jalur Hijau 187.88 7 Jalur Hijau 35.30 24 Rencana Kawasan Lindung 441.31 8 Kawasan Campuran 43.30 25 RTH 459.16 9 Kawasan Campuran Bisnis 72.23 26 RTNH 1.01 10 Kawasan Campuran Maritim 272.99 27 Sarana Ibadah 28.18 11 Kawasan Campuran Olaharaga 53.78 28 Sawah 998.72 12 Kesehatan 42.88 29 Sempadan Danau 88.90 13 Lapangan Olah Raga 37.23 30 Sempadan Sungai 132.47 14 Militer 125.12 31 Sungai 500.00 15 Pelabuhan 61.72 32 Terminal 11.23 16 Pendidikan 532.43 33 TPA 16.16 17 Perdangan dan Jasa 574.82 34 Wisata 49.23 Grand Total 17118.97

Menurut Irawan dan Friyatno (2002) dalam pemanfaatan lahan antara sektor Konversi lahan pertanian ke non pertanian pertanian dan sektor non pertanian. Persaingan pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul

227 akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan dikembangkan oleh masyarakat dan sosial yaitu 1) keterbatasan sumber daya lahan, pemerintah, dan 2) sistem non-kelembagaan 2) pertumbuhan penduduk dan 3) pertumbuhan yang berkembang secara alamiah dalam ekonomi. masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan Proses alih fungsi lahan secara pemerintah antara lain direpresentasikan dalam langsung atau tidak langsung ditentukan oleh bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai dua faktor, yaitu: 1) sistem kelembagaan yang konversi lahan (Nasoetion dan Winoto 1996). KESIMPULAN DiHulu DAS Kelara. Info Teknis Eboni Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh Vol.9 No.1, Oktober 2012:27-36. Balai maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : Penelitian Kehutanan. Makassar. 1. Pemanfaatan lahan basah di Kota Irawan B, Friyatno S. 2002.Dampak Konversi Makassar dalam kurun waktu 20 Tahun Lahan mengalami perubahan yang cukup Sawah di Jawa Terhadap Produksi Beras signifikan. Perubahan lahan basah Dan Kebijakan Pengendaliannya. terkonversi menjadi kawasan terbangun Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan sehingga lahan basah semakin Agribisnis menyempit. SOCA.:Vol.2:79-95. Fakultas Pertanian 2. Penggunaan lahan basah banyak yang Universitas Udayana.Denpasar. tidak sejalan dengan Pola ruang Lisdiyono. 2004. Penyimpangan Kebijakan Alih berdasarkan RTRW Kota Makassar Fungsi Lahan Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Edisi Oktober 2004. DAFTAR PUSTAKA Fakultas Hukum Untag. Semarang.

Anonim. 2015. Sungai Tallo. Maharani H. 2003. Identifikasi Faktor-Faktor www.wikipedia.com. Diakses pada Yang Mempengaruhi Perubahan tanggal 23 Maret 2016 pukul 22.05 Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi wita. Lahan Industri (Studi Kasus : Zona Industri Palur Kabupaten Karanganyar). Eko, Trigus dan Rahayu, S. 2012.Perubahan Skripsi. Jurusan Perencanaan Wilayah Penggunaan lahan dan kesesuaiannya dan Terhadap RDTR di wilayah Peri- Kota. Fakultas Teknik Universitas Urban Diponegoro. Semarang. Studi Kasus: Kecamatan Mlati. Jurnal Pembangunan wilayah dan kota. Maru R, Baharuddin II. 2014. Urban Heat Volume 8 Island Intensity (UHII) Kota Makassar (4): 330-340. Biro Penerbit Planologi Sulawesi Selatan. Laporan Penetian. Undip. Nasoetion, L, Winoto J. 1996. Masalah Alih Hasnawir dan Nurhaedah M. 2012.Opini Fungsi Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan

228 Lahan Pertanian dan dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Dalam Prosiding Lokakarya”Persaingan Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan Dan air”:dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras : 64-82 Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.

Suprapto.P,A. 2015. Dampak Pembangunan BYPASS IDA Bagus Mantra Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Provinsi Bali.Jurnal Komunikasi Hukum volume 1 Nomor 1, Februari 2015. ISSN : 2356- 4164. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Bali.

Wycherley PR. 1967. Indices of comport throughout Malaysia. Meteorological Magazine, Vol. 96: 73-77.

Yusrani A. 2006. Kajian Perubahan Tata Guna Lahan pada Pusat Kota Cilegon. Tesis. Program Magister Perencanaan Wilayah Kota. Universitas Diponegoro. Semarang.

229 KAJIAN KIMIA TANAH DI HUTAN PENDIDIKAN (KHDTK) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

CHEMICAL STUDYOF SOIL IN THE FOREST OF EDUCATION IN MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA UNIVERSITY

Nurul Hidayati1, Siti Maimunah2, dan Nanang Hanafi2 1Program Studi Agroteknologi ,2Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Email :[email protected], [email protected]

Abstract This study aims to determine the level of soil fertility in terms of chemical kriteria soil in forest areas with special purpose (KHDTK) UMP. From this study, information about the condition of the land, as consideration in the context of the assessment and soil conservation efforts to be undertaken in the future. The research was conducted in September 2015 to November 2105, in the forest area with special purpose (KHDTK) UMP Mungku Baru Village Rakumpit District of the city of Palangkaraya. Object of research, namely land under forest stands, by: (a) take samples of the soil in the topsoil at a depth of between 0-20 cm (above), 20-30 cm (the middle one), 30-60 cm (center 2), and 70-100 cm (in), land was taken in composites, soil samples were taken at each distance + 1 meter direction of the wind, then mixed and stirred evenly (composite), then taken of approximately 1 kg to be analyzed in laboratory, and (b) as many as four soil samples have been taken and then dinalisis in the laboratory for chemical soil properties known circumstances. The results of soil analysis compared with the assessment criteria of physical and chemical properties of land according to the Institute for Land Research Center, Bogor, the Status fertility of the soil at a depth of 0-30 cm is moderate to high, while the planting depth 30-60 cm of low fertility, although the contribution of organic materials from the vegetation on it high.

Keyword : chemistry of soil, the forest education Muhammadiyah Palangkaraya University

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah ditinjau dari kriteria kimia tanah di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) UMP. Dari penelitian ini didapatkaninformasi tentang kondisi tanahnya, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka upaya pengkajian dan konservasi tanah yang akan dilakukan dimasa yang akan datang. Penelitian ini dilaksanakan pada September 2015 sampai Nopember 2105, di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) UMP Kelurahan Mungku Baru Kecamatan Rakumpit Kota Palangka Raya.Obyek penelitian adalah tanah dibawah tegakan hutan, dengan metode : (a)mengambil sampel tanahnya pada lapisan olah pada kedalaman antara 0 – 20 cm (atas), 20 – 30 cm (tengah 1), 30 – 60 cm ( tengah 2), dan 70 – 100 cm (dalam), tanah diambil secara komposit, yakni contoh tanah diambil dengan jarak masing-masing + 1 meter searah mata angin, kemudian dicampur serta diaduk secara merata (dikompositkan), kemudian diambil sebanyak kurang lebih 1 kg untuk dianalisis di laboratorium, dan (b) sebanyak 4 sampel tanah yang telah diambil kemudian dinalisis di laboratorium untuk diketahui keadaan sifat kimia tanahnya. Dari hasil analisiskimia tanahdari laboratorium, dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Lembaga Pusat Penelitian Tanah, Bogor yaitu status kesuburan tanah di hutan pendidikan UMP pada kedalaman 0 - 30 cm sedang sampai tinggi, sedangkan kedalaman tanam 30 - 60 cm kesuburan rendah, meskipun sumbangan bahan organik dari vegetasi diatasnya cukup tinggi. Lahan terbuka rentan terjadi erosi karena jenis tanah adalah gambut tipis berpasir, juga tofografi lahan ada yang berbukit-bukit.

Kata Kunci: kimia tanah. Hutan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palngkaraya 230

PENDAHULUAN tanaman. Dengan menggunakan hara tanaman Hutan Pendidikan Universitas dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Fungsi Muhammadiyah Palangkaraya terletak di hara tidak dapat digantikan oleh unsur lain Kelurahan Mungku Baru Kecamatan Rakumpit dan apabila tidak terdapat suatu unsur hara Kota Palangka Raya. Letaknya dari Kota tanaman, maka kegiatan metabolisme akan Palngka Raya ±70 KM, ditempuh dengan terganggu atau berhent sama sekali. Unsur transportasi darat dan air. Status Hutan hara makro yang diperlukan tanaman adalah Pendidikan telah memiliki SK Menteri Karbon (C ), Hidrogen (H), Oksigen (O), Kehutanan Nomor 611/Menhut-II/2014 Nitrogen (N), Fospor (P), Kalium (K), Sulfur tanggal 08 juli 2014 tentang penetapan (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg). Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Kesuburan tanah juga menunjukkan sebagai Hutan Pendidikan pada kawasan potensi tanah untuk menyediakan unsur hara Hutan Produksi Tetap di Kota Palangka Raya , dalam jumlah yang cukup dalam bentuk yang dengan luas ± 4.910 Ha. tersedia dan seimbang untuk menjamin Kawasan Hutan Mungku Baru berada pertumbuhan tanaman yang maksimum. pada ketinggian sekitar 60 dpl dengan Namun demikian tidak dapat dianggap bahwa topografi perbukitan dan memiliki beberapa tanah yangsubur adalah juga produktif karena anak aliran sungai serta memiliki variasi tipe status kesuburan tanah tidak memberikan hutannya, yaitu hutan rawa gambut, hutan indikator kecukupan faktor pertumbuhan kerangas yang berada di sekitar daerah aliran lainnya (Anna dkk., 1985).Tanah yang benar sungai Rakumpit dan hutan dipterokarpa subur itu adalahapabila didukung oleh faktor- dataran rendah (Lowland dipterokarpa forest) faktorpertumbuhan, salah satu diantaranyasifat Kawasan KHDTK masih mempunyai fisik dan kimia tanahnya jugadalam kondisi keanekaragaman hayati yang besar, hanya yang baik, karena sifat fisik dan kimia tanah sebagian kecil mulai rusak oleh aktivitas itu salingmempengaruhi satu sama lain. masyarakat dengan penambangan dan Penelitian ini bertujuan untuk perladangan berpindah, serta pembukaan hutan mengetahui tingkat kesuburan tanah ditinjau untuk akses jalan oleh perusahaan pemegang dari kriteria kimia tanah di kawasan hutan ijin konsesi di perbatasan di kawasan Hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) UMP. Dari dengan Kabupaten Gunung Mas. penelitian ini didapatkaninformasi tentang Kesuburan tanah menunjukkan kondisi tanahnya, sebagai bahan pertimbangan ketersediaan hara tanaman pada waktu tsb. dalam rangka upaya pengkajian dan konservasi Makin tinggi ketersediaan hara, maka tanah tanah yang akan dilakukan dimasa yang akan tersebut makin subur dan sebaliknya. Status datang. hara dalam tanah selalu berubah-ubah, tergantung pada musim, pengelolaan dan jenis 231 METODE PENELITIAN rasio C/N pada kedalaman tanah 0 – 30 cm Penelitian dilaksanakan di kawasan sangat tinggi.Kandungan unsur hara P pada hutan Pendidikan (KHDTK) Universitas kedalaman 0 – 30 cm masih tinggi, sedangkan Muhammadiyah Palangkaraya selama kurang kandungan unsur K, Ca, Mg pada tanah lebih 3 (tiga).Obyek penelitian, yakni tanah kedalaman 0 – 30 cm rendah sampai sedang. dibawah tegakan hutan.Metode pelaksanaan Hal diduga karena proses perombakan bahan penelitian dengan cara: (a) menentukan titik organik berjalan lambat. Menurut Hakim et al pengambilan sampel tanah dilakukan dengan (1986), sejumlah besar nitrogen dalam tanah cara purposive sampling sebanyak 4 titik adalah berada dalam bentuk organik. Dengan pengamatan;(b) pada setiap titik pengamatan demikian dekomposisi nitrogen merupakan diambil sampel tanahnya pada lapisan olah sumber utama nitrogen tanah, disamping pada kedalaman antara 0 – 20 cm (atas), 20 – berasal dari air hujan. Demikian pula halnya 30 cm (tengah 1), 30 – 60 cm ( tengah-tengah), dengan unsur P, menurut Hardjowigeno dan 70 – 100 cm (dalam), tanah diambil (1995), sebab kekurangan P di dalam tanah secara komposit, yakni contoh tanah diambil adalah jumlah P di tanah relatif sedikit dan dengan jarak masing-masing ± 1 meter searah sebagian besar terdapat dalam bentuk yang mata angin, kemudian dicampur serta diaduk sukar diambil oleh tanaman. Pada tanah secara merata (dikompositkan), kemudian masam (pH tanah rendah) unsur P tidak dapat diambil sebanyak kurang lebih 1 kg untuk diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh dianalisis di laboratorium, dan (c) sebanyak 4 Al, sehingga ketersediaannya rendah. sampel tanah yang telah diambil kemudian Sedangkan unsur Na sangat rendah untuk dianalisis di laboratorium Universitas Palangka semua solum tanah (kedalaman tanah dari 0 – Raya untuk diketahui keadaansifat kimia 100 cm). tanahnya. Tekstur tanah di hutan KHDTK Dari data hasil analisis tanah dari termasuk dalam klasifikasi sedang (berdebu laboratorium, selanjutnya akandibandingkan halus sampai kasar), dimana fraksi debu relatif dengan kriteria penilaianstatuskesuburannya lebih dominan dibandingkan fraksi tanah menurut Lembaga PusatPenelitian Tanah lainnya. Sedangkan struktur tanahnya (LPPT), Bogor. tergolong remah, didukung tingginyakandungan bahan organik yang HASIL DAN PEMBAHASAN terdapat bagian top soil tanah. Kondisi tanah

seperti ini mudah untuk menyerap airdan Dari hasil analisa secara teknis di .mengingat keadaan topografi yang berbukit laboratorium dan pengamatan secara kualitatif dengan porositas tanah yang relatif besar di lapangan diperoleh data kimia tanah di danpermeabilitas tanahnya yang sangat cepat, hutan Pendidikan UM Palangkaraya dikhawatirkan rentan terhadap kehilangan air menunjukkan kandungan C, Norganik serta baik melalui air infiltrasi yang masuk kedalam 232 tanah maupun air permukaan (surface run off), hutan yang telah terbuka terjadi erosi, sampai sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah terlihat kikisan aliran air hujan.Jenis tanah karena terjadinya proses pencucian dan erosi. yang mendominasi areal yang terbuka adalah Dari hasil survey lapangan menunjukkan areal gambut berpasir dan tanah liat berpasir.

Tabel 1. Sifat kimia tanah di KHDTK No Kedalaman pH H2O N-total C-org C/N P-Bray I K- dd lapisan 1 ; 2,5 (%) (%) ppm me/100g 1 0- 20 cm 3.61 0.79 (ST) 42.37 53.43 99.62(T) 0.24 (R ) (SM) (ST) (ST) 2 20 – 30 cm 6.05 0.61 (T) 37.68 61.45 73.38 (T) 1.17 (ST) (AM) (ST) (ST) 3 30- 60 cm 4.41 0.21 (S) 6.5 (ST) 30.94 21.66 ( R) 0.06 (SR) (SM) (ST) 4 60- 100 cm 4.70 (M) 0.18 (R) 2.96 (S) 16.27 19.84 ( R) 0.10 (R ) (T)

Tabel 2. . Sifat kimia tanah di KHDTK

No Kedalaman Ca-dd me/100g Mg-dd Na-dd me/100g Fe lapisan me/100g ppm 1 0- 20 cm 5.69 (R) 1.49 (S) 0.03 (SR) 1.22 2 20 – 30 cm 13.08 (T) 1.98 (S) 0.03 (SR) 0.90 3 30- 60 cm 1.33 (SR) 0.10 (SR) 0.03 (SR) 1.15 4 60- 100 cm 0.99 (SR) 0.14 (SR) 0.03 (SR) 1.23 Keterangan : SM = sangat masam ST = sangat tinggi M = masam T= tinggi AM = agak masan S = sedang R = sangat rendah SR = sangat rendah

Kesuburan Tanah kimia tanah, dapat dilihat pada Tabel 1.

Kesuburan tanah di areal yang sudah terbuka Berdasarkan hasil analisis tanah diatas, berstatus sedang. Lokasi pengamatanlainnya maka bisa dikatakan bahwa tingkat kesuburan adalah areal terbuka bekas tambang, juga areal tanah di KHDTK secara kimia tergolong yang sudah mengalami gangguan dan beralih sedang sampai tinggi untuk kedalaman tanah 0 fungsi menjadi lahan kebun karet dan ladang. -30 cm, yang merupakan lapisan olah (top soil) Dari hasil penelitian ini menyatakan untuk tanah pertanian, yang menjadifaktor status kesuburan tanah ditinjau dari analisa pembatas pertumbuhan tanaman adalah pH kimia tanah pada hutan pendidikan UMP tanah yang rendah yaitu kisaran 3,61 – (KHDTK) umumnya adalah sedang.Hal ini 4,70(bersifat sangat masam). Tanah lapisan disebabkan pada kawasan hutan pendidikan ini kedua dengan pH 6,05 (agak masam) telah mengalami banyak gangguan dan merupakan kawasan bekas terbakar sehingga pengrusakan karena penambangan liar dan keasaman berkurang,berdasarkan analisa sifat buka lahan dengan cara membakar, sehingga 233 pada waktu musim penghujan sisa-sisa lainnya) pada daerah – daerah terbuka yang kebakaran berupa abu juga akan hilang mempunyai kelerengan agak curam. Dengan bersama aliran permukaan dimana unsur hara adanya tanaman berkayu seperti kemiri sunan, ikut terangkut bersama proses erosi yang maka kebiasaan persipan lahan dengan cara terjadi. Selain itu di dalam kawasan hutan membakar tidak dilakukan lagi, mereka dapat pendidikan ini telah terjadi konversi areal membuat kompos dari sisa-sisa panen tanaman hutan oleh masyarakat sekitar, tegakan semusim tersebut untuk meningkatkan hutannya ditebangi yang menyebabkan kesuburan tanah. hilangnya unsur hara dari ekosistem hutan. Jenis tanah pada areal yang terbuka selanjutnya lahan hutan dikonversi menjadi sebagian besar di Hutan KHDTK adalah lahan pertanian (berladang), ini juga salah satu gambut tipis berpasir. Hasil tanaman pangan yang menyebabkan kehilangan unsur hara atau tanaman semusim yang ditanam oleh yang terangkut keluar dari ekosistem hutan masyarakat sekitar hutan, pertumbuhannya pada waktu pemanenan hasil pertanian kurang maksimal, hal ini disebabkan teknik tersebut. budidaya tanaman masyarakat di daerah sekitar KHDTK masih konvensional dan tidak

mau menggunakan pupuk anorganik, pupuk Solusi dan Pemanfaatan yang mereka gunakan pupuk organik, tetapi Berdasarkan hasil analisis diatas bisa yang lebih sering masyarakat tidak dikatakan bahwa status kesuburan tanah pada menggunakan pupuk tetapi hanya KHDTK pada umumnya masih cukup tinggi menggunakan abu sisa pembakaran saat (sedang). Agar supaya tingkat kesuburan persiapan lahan. Hal ini dimungkinkan karena tanahnyatetap terjaga maka tindakan pupuk anorganik yang terlalu mahal harganya konservasi tanah sangat penting karena transportasi sampai ke daerah ini masih dilakukan,mengingat kondisi topografinya ada termasuk mahal. yang berbukit, sehingga apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi, sangat rentan KESIMPULAN DAN SARAN terjadinya erosi. Teknik konservasi tanah dapat dilakukan dengan sistem agroforestry yaitu A. Kesimpulan 1. Kesuburan tanah dilihat dari segi kimia menanam tanaman berkayu dan tanaman tanah pada KHDTKtergolongsedang – pangan semusin dalam satu areal/lahan. tinggi untuk lapisan olah (top soil ) Fakultas Pertanian dan Kehutanan.Universitas kedalaman 0 – 30 cm. Rendahnya pH Muhammadiyah Palangkaraya telah tanah menjadi faktor pembatas bagi melakukan demplot sistem agroforestry pada ketersediaan unsur hara tanah,meskipun lahan terbuka tersebut dengan menanam kandungan bahan organik dari vegetasi tanaman bioenergi yaitu kemiri sunan dengan diatasnya cukup tinggi. Lahan terbuka tanaman jagung dan terong (hortikultur 234 rentan terjadi erosi karena jenis tanah Soepraptohardjo, M et al, 1985. Survai kapabilitas Tanah. Pusat Penelitian adalah gambut berpasir, juga tofografi Tanah. Bogor. lahan ada yang berbukit-bukit.

2. Kegiatan konservasi tanah yang telah

dilakukan universitas Muhammadiyah

Palangkaraya dengan reboisasi dengan

system agroforestri, yaitu tanaman

biodiesel, Kemiri sunan dengan tanaman

pangan sehingga mencegah pembakaran

lahan lagi saat persiapan tanam pada

periode tanaman berikutnya.

B. Saran

Perlunya penelitian kesesuaian jenis tanaman pada lahan yang terbuka untuk mendapatkan kawasan hutan produktif dan aman dari pembakaran lahan

DAFTAR PUSTAKA

Annaet al..1985. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Bagian Timur. Ujung Pandang.

Buckman,H.O dan Brady,N.C. 1982. Ilmu Tanah (Terjemahan). Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.

Center for Soil Research (CSR) / Food and Agricultural Organization (FAO) Staff. 1983. Reconnaissance Land Resources, CSR FAO Staff. Bogor.

Hakim, et al, 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Jakarta.

Hardjowigeno, S, 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Bogor.

Nanang Hanafi. 2015. Sistem agroforestry di sekitar Hutan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Jurnal daun. Volume 2 No.2 Desember 2015

Rosmarkam, A. dan Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

235 “Pentingnya Modal Sosial Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat”

Christine Wulandari*) dan Pitojo Budiono**) *)Program Studi Magister Kehutanan, Universitas Lampung **)Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Tata Ruang, Universitas Lampung Jl. S. Brojonegoro 1 – Bandarlampung 35145 Email: [email protected] dan [email protected]

Abstrak Interaksi masyarakat di sekitar hutan akan menjadikan adanya interaksi sosial dan budaya komunitas yang unik. Kondisi ini akan membentuk modal sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat di sekitar hutan tersebut. Jaringan dalam modal sosial masyarakat pun kemudian terbentuk setelah adanya kepercayaan dan hubungan timbal-balik anggota masyarakatnya. Berdasarkan teori tersebut maka dapat diindikasikan bahwa modal sosial masyarakat sekitar hutan akan berpengaruh terhadap pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Modal sosial yang akan dibahas di paper ini dalam korelasinya dengan pengembangan ekowisata maka yang dimaksud modal sosial adalah sebagai pemersatu masyarakat dalam bentuk norma, jaringan dan organisasi yang memungkinkan anggotanya memiliki akses ke sumberdaya alam. Diketahui bahwa tiga pilar utama modal sosial yang juga relevan dalam pengembangan ekowisata yaitu kepercayaan, jaringan sosial dan norma sosial. Definisi ekowisata yang dipakai di paper ini yaitu suatu wisata yang dominan faktor kaidah alamnya, memiliki unsur pendidikan, dan mendukung pengembangan kelembagaan masyarakat pelaksananya.Alasan pemilihan definisi tersebut karena saat ini di Indonesia banyak berkembang ekowisata berbasis masyarakat terutama di sekitar hutan lindung dan hutan konservasi. Mengapa dan sampai seberapa jauhkah modal sosial masyarakat sekitar hutan berpengaruh terhadap pengembangan ekowisata tersebut? Paper ini akan membahas dan memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut melalui penelitian di Gunung Betung, Lampung. Kata kunci: modal sosial, ekowisata, masyarakat sekitar hutan

Pendahuluan masyarakat yang juga cukup tinggi. Kota Bandarlampung mempunyai laju Menurut BPS Lampung (2012), laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan pertumbuhan penduduk kota ini adalah diikuti adanya kegiatan informal 1,73. Pemasalahan tersebut ditemui di

236 sekitar Gunung Betung yang merupakan disebut sebagai salah satu bentuk nyata lokasi kawasan hutan Register 19. atas implementasi Perda Nomor 10 Tahun Diketahui bahwa Gunung Betung adalah 2011 dan Nomor 3 Tahun 2012. Perda sumber cadangan air bersih bagi adalah suatu kebijakan di tingkat daerah masyarakat Kota Bandarlampung yang yang disusun untuk dapat mendukung selama ini dialirkan melalu PDAM. program pembangunan di Kota Adanya ancaman kelestarian fungsi hutan Bandarlampung. akibat padatnya pemukiman dan kerusakan alamnya sehingga menjadikan Pemda Kota Pengembangan ekowisata harus didukung Bandarlampung harus segera melakukan penuh oleh masyarakat lokal, artinya harus program nyata yang dapat meminimalisasi ada dukungan dari sumberdaya sosial atau pemasalahan yang ada. Selain itu telah modal sosialnya, menurut Coleman (1988) terjadi kerusakan pada sekitar 60% terutama3 unsur utama modal sosial, yaitu kawasan hutan di Lampung. Dengan kepercayaan (trust), jaringan sosial (social demikian Pemda harus segera networking), dan norma sosial (social implementasikan strategi pembangunan norms).Modal sosial penting dalam atas RPJM yang telah disusun. Salah satu pengembangan ekowisata karena upaya relevan dalam menjawab keberhasilan pengembangan ekowisata di pemasalahan tersebut yaitu dengan suatu kawasan harus terdapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. keseimbangan antara aspek lingkungan, Upaya tersebut harus dapat meningkatkan ekonomi, sosial dan budaya (Goeldner et kapasitas dan pengembangan lembaga al., 2000 dan Milic et al., 2008). Dalam keuangan di tingkat masyarakat Deklarasi Quebec 2002, UNEP dan WTO berdasarkan potensi yang ada, yaitu (2002) menyatakan bahwa masyarakat pengembangan ekowisata berbasis sebagai salah satu komponen sosial masyarakat (Wulandari et al., 2016). memiliki peran dan tanggung jawab dalam tentukan keberhasilan pengembangan Di Gunung Betung terdapat Taman Hutan ekowisata melalui pembangunan modal Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR) sosial masyarakat di wilayah tersebut. yang merupakan salah satu lokasi strategis Khusus untuk wilayah Tahura Gunung untuk pengembangan ekowisata. Upaya Betung sudah banyak dibahas tentang pengembangan ekowisata melalui potensi agroforestry, hasil hutan bukan pemberdayaan masyarakat yang hidup di kayu (HHBK0 dan keanekaragaman sekitar Tahura WAR juga sekaligus dapat hayatinya namun masih minim data

237 tentang modal sosial masyarakatnya dalam bertambah maupun berkurang d. makin pengembangan ekowisata meskipun dibagi-bagi semakin bertambah, dan e. wilayah ini berpotensi untuk makin tidak dibagi-bagi semakin dikembangkan sebagai salah satu destinasi berkurang. Kasih (2007) menyatakan atau tujuan wisata di Kota Bandarlampung. bahwa modal sosial merupakan suatu Berdasarkan kondisi tersebut maka norma yang muncul secara informal dan penelitian ini dilaksanakan. Tujuan merupakan dasar suatu kerjasama antara penelitian ini adalah mengetahui hubungan dua inidvidu atau lebih. Modal sosial juga modal sosial masyarakat dengan memberikan manfaat lainnya (Kasih, pengembangan ekowisata di Gunung 2007), yaitu: a. Modal sosial Betung. memungkinkan masyarakat bisa pecahkan masalah secara bersama sehingga jadi Tinjuan Pustaka lebih mudah. b. Modal sosial akan dapat timbulkan rasa saling percaya dalam Modal Sosial mewujudkan kepentingan bersama. c. Adanya modal sosial adalah berdasarkan Modal sosial akan ciptakan jaringan kerja dari pengalaman bersama yang diulang- hingga akan lebih mudah dalam ulang hingga membentuk pola prilaku. Hal memperoleh informasi. Artinya, bagi ini kemudian dipertahankan lewat suatu masyarakat yang punya modal sosial akan aturan yang disepakati, hingga akhirnya lebih mudah dalam bekerjasama guna dapat menyatukan masyarakat dalam suatu mencapai kepentingan bersama termasuk struktur tertentu. Dengan demikian modal dalam pengembangan ekowisata, sosial yang ada merupakan suatu dibandingkan masyarakat yang tidak pengalaman bersama yang memuaskan dan memiliki modal sosial. Artinya, modal bisa muncul spontan atau pun lewat sosial adalah komponen penting yang rekayasa manajemen. harus dipertimbangkan dalam pengembangan ekowisata berbasis Modal sosial adalah saling percaya yang masyarakat. Berdasarkan kondisi di lapang mempersatukan masyarakat sebagai dan merujuk pada pendapat Coleman kesatuan hidup yang beradab (Poli, 2007). (1988), ada tiga komponen/parameter Lebih lanjut Poli menambahkan bahwa kapital sosial utama yang penting dalam ciri-ciri modal sosial, yaitu: a. Dimiliki pengembangan ekowisata, yaitu bersama, b. Dapat dipakai dalam kepercayaan (trust), norma-norma (norms), pencapaian tujuan bersama c. Dapat dan jaringan (networks). Berdasarkan hal

238 tersebut maka penelitian ini hanya akan pihak. 3. Interaksi sosial yang menganalisis 3 variable sosial budaya memungkinkan hubungan dan harapan itu tersebut. terwujud. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepercayaan adalah Kepercayaan variable penting dari modal sosial dalam Menurut Putnam (1995), modal sosial pengembangan ekowisata berbasis melahirkan suatu kehidupan sosial yang masyarakat. harmonis. Adanya kepercayaan dalam kehidupan sosial tersebut maka akan Norma Sosial muncul suatu harapan dalam masyarakat Pengembangan ekowisata hendaknya juga yang ditunjukkan dengan adanya perilaku mengacu pada norma sosial di suatu jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan wilayah. Norma sosial merupakannorma norma-norma yang dianut dan disepakati yang mengatur masyarakat dan bersifat secara bersama. Aturan-aturan sosial formal maupun non formal. Norma formal cenderung bersifat positif dalam bersumber dari lembaga masyarakat yang masyarakat yang memiliki tingkat formal atau resmi dan umumnya tertulis, kepercayaan tinggi, terutama dalam misalnya konstitusi, surat keputusan dan hubungan-hubungan atau jaringanyang ada peraturan daerah. Norma non formal bersifat kerjasama. Bila suatu wilayah biasanya tidak tertulis dan jumlahnya lebih memiliki lembaga-lembaga sosial yang banyak dibandingkan norma formal, misal kokoh maka umumnya mereka mempunyai kaidah dan aturan dalam keluarga juga modal sosialnya baik. dalam adat istiadat (Maryati dan Surjawati 2004). Lawang (2004) menyatakan bahwa kepercayaan adalah rasa percaya yang Norma diketahui terdiri dari pemahaman- terjadi antara dua orang atau lebih untuk pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan saling berhubungan. Ada tiga hal penting dan tujuan yang diyakini dan dijalankan dalam kepercayaan, yaitu: 1. Hubungan secara bersama oleh sekelompok orang. antara dua orang atau lebih. Dalam Norma-norma dapat bersumber dari hubungan ini termasuk institusi, yang agama, panduan moral, maupun standar kemudian diwakili oleh orang. 2. Harapan sekuler, misal kode etik profesional. yang akan terkandung dalam hubungan itu, Penelitian Oktadiyani (2010) di Kawasan yang kalau direalisasikan tidak akan Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) merugikan salah satu atau kedua belah membuktikan hal tersebut. Dalam

239 penelitiannya diketahui bahwa norma memunculkan norma keadilan, dan akan sosial masih tetap berlaku dalam melanggar prinsip keadilan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Dusun biasanyadikenakan sanksi. Kebo Jaya maupun Dusun G III, misal berpakain sopan, menjaga tidak melakukan Jaringan perselingkuhan, tamu lebih dari 24 jam Sebagaimana yang diungkapkan oleh wajib lapor ke pengurus kampung, Lawang (2004) bahwa norma tidak bisa menghormati orang yang lebih tua dan dipisahkan dari jaringan, artinya kedua lain-lain, Begitu juga dengan norma variabel ini penting untuk dipertimbangkan agama, mereka tetap memegang dan dalam pengembangan ekowisata. mengaplikasinya di kehidupan sehari-hari. Infrastruktur dinamis yang terjadi dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan Sementara Lawang (2004) mengatakan kerjasama antar manusia secara individu norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan maupun kelompok. Jaringan dan kepentingan kehidupan keseharian tersebutakanfasilitasi terjadinya masyaraka. Kalau struktur jaringan itu komunikasi dan interaksi, sehingga terbentuk karena pertukaran sosial yang memungkinkan tumbuhnya kepercayanan terjadi antara dua orang atau lebih, maka dan memperkuat kerjasama. Jaringan diperoleh sifat norma kurang lebih seperti sosial yang erat akan memperkuat perasaan beberapa hal ini: a) Norma akan ada ketika kerjasama para anggotanya serta manfaat- terjadi pertukaran yang saling manfaat dari partisipasinya (Putnam, menguntungkan, artinya kalau pertukaran 1995).Rogers dan Kincaid (1980) juga akan memberikan keuntungan yang hanya menyatakan bahwa jaringan sosial dapat dinikmati oleh salah satu pihak saja, maka mendeskripsikan jaringan hubungan antara biasanya pertukaran sosial selanjutnya sekumpulan orang yang saling terkait baik pasti tidak akan terjadi. b) Norma bersifat secara langsung maupun tidak langsung. resiprokal, artinya normayang terjadi di Jaringan sosial akan atau dapat terbangun masyarakat menyangkut hak dan dari komunikasi antar individu atau kewajiban kedua belah pihak yang dapat kelompok yang fokus pada proses dalam menjamin adanya keuntungan yang akan pertukaran informasi dalam melaksanakan diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. c) suatu tindakan bersama, kesepakatan Jaringan yang terbina lama umumnya akan bersama, dan juga perhatian bersama atas menjamin keuntungan kedua belah pihak suatu program. Perlu digarsibawahi bahwa secara merata, sehingga akan modal sosial tidak hanya dibangun oleh

240 satu individu, melainkan akan juga terletak kriteria dalam ekowisata, yaitu: (1) nilai pada kecenderungan yang tumbuh dalam konservasinya dapat dihitung; (2) skelompok untuk bersosialisasi sebagai melibatkan masyarakat dan (3) bagian penting dari implementasi atas menguntungkan dan dapat memelihara nilai-nilai yang telah ada. dirinya (inidvidu atau kelompok masyarakat) itu sendiri. Ketiga kriteria Ekowisata tersebut niscaya akan dapat dipenuhi jika Diketahui bahwa definisi terbaru mengenai pada setiap kegiatan ekowisata ekowisata, yaitu wisata yang berbasis pada memadukan empat komponen, yaitu: alam dengan menyertakan aspek (1)ekosistem, (2) masyarakat, (3) budaya, pendidikan dan interpretasi terhadap dan (4) ekonomi. lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan sistem pengelolaan yang berbasis Penjelasan ekowisata lainnya pun pernah pada kelestarian ekologis. Adapun dikemukakan oleh Ayuningtyas (2011) Damanik dan Weber (2006) bahwa ekowisata adalah wisata berbasis mendefinisikan ekowisata secara berbeda alam yang melibatkan pendidikan, karena memasukkan adanya tiga interpretasi dari lingkungan, dan dikelola perspektif, yaitu ekowisata sebagai produk, secara berkelanjutan. Dikatakannya, ekowisata sebagai pasar dan ekowisata beberapa dampak dari ekowisata pun dapat sebagai pendekatan pengembangan. berupa dampak positif atau pun negative. Sebagai produk, dapat diartikan bahwa Hal yang sama juga dikemukakan dalam ekowisata merupakan semua atraksi yang penelitian Adelia (2012) yang menuliskan berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai perkembangan ekowisata juga akan pasar, ekowisata merupakan sebuah memunculkan dampak, baik negatif perjalanan yang harus bisa diarahkan pada maupun positif. Dampak positif yang upaya-upaya pelestarian lingkungan. diharapkan yaitu terpeliharanya Sebagai pendekatan pengembangan, lingkungan hidup dan dimanfaatkannya ekowisata merupakan suatu metode lingkungan hidup tersebut secara lestari pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya sehingga menjadi jasa lingkungan yang pariwisata secara ramah lingkungan dan bisa memberdayakan ekonomi lokal. bermanfaat bagi masyarakat. Secara tidak langsung, dampaknya yaitu akan ada peningkatkan pendapatan Tuwo (2011) di Halifax Kanada dalam masyarakat dan kemajuan daerah tujuan penelitiannya menemukan bahwa ada tiga ekowisata tersebut. Perkembangan

241 ekowisata yang tidak terorganisir dengan ada 5 pertanyaan dan jika dijawab ya akan baik, tentunya hanya akan memberikan diberikan nilai 1, jika tidak maka diberikan dampak negatif baik terhadap lingkungan nilai 0. Tingkatan dari tiap variable maupun kehidupan sosial budaya dan dikatakan tinggi jika melebihi atau sama masyarakat lokal. dengan 2,5 dan rendah jika lebih rendah dari 2,5. Kemudian responden juga Metode diberikan pertanyaan terkait dengan upaya Responden penelitian adalah masyarakat pengembangan ekowisata berbasis sekitar Gunung Betung yang selama ini masyarakat. Jumlah pertanyaan pada setiap aktif mengikuti kegiatan kepariwisataan, topik adalah 5 sehingga penghitungan dari kampung Sumber Agung dan Batu tinggi rendahnya nilai yang diperoleh Putu. Ada yang merupakan anggota responden adalah sama dengan Pokdarwis, namun adapula yang bukan penghitungan 3 variabel modal sosial. anggota. Dalam penelitian ini diambil 20 orang responden yaitu 10 orang dari Hasil dan Pembahasan Sumber Agung dan 10 orang dari Hubungan antaratingkat pemahaman Kampung Batu Putu. Penelitian dilakukan terhadap norma dengan tingkat keterlibatan pada bulan Oktober 2016. Variabel modal dalam pengembangan ekowisata berbasis sosial yang diujikan adalah kepercayaan, masyarakat disajikan dalam Tabel 1. jaringan dan norma sosial. Setiap variable

Tabel 1. Hubungan tingkat pemahaman terhadap norma dengan tingkat keterlibatan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat.

Keterlibatan dalam Tingkat pemahaman pengembangan Jumlah terhadap norma ekowisata tinggi rendah tinggi 2 6 8 rendah 5 7 12 Jumlah 7 13 20

Diketahui bahwa tingkat pemahaman hanya 12 dari 20 respondenyangmemiliki masyarakat terhadap norma dengan tingkat tingkat keterlibatan dalam pengembangan keterlibatan dalam pengembangan ekowisata. Tingkat pemahaman terhadap ekowisata berbasis masyarakat tergolong norma yang tinggi ada 8 responden namun rendah. Hal ini terbukti dengan perolehan ternyata6 diantaranya memiliki tingkat

242 keterlibatan dalam pengembangan ditingkatkan pemahamannya tentang ekowisata berbasis masyarakat yang norma-norma yang relevan dengan rendah. Hal ini menyatakan bahwa pengembangan ekowisata. Jika mengacu pemahaman yang tinggi terhadap norma pada pendapat Lawang (2004), tidak berpengaruh dalam keterlibatannya pemahaman norma di Gunung Betung untuk mengembangkan ekowisata berbasis belum baik kemungkinan karena belum masyarakat di Gunung Betung.Menurut adanya atau belum banyak manfaat Hasbullah (2006), jika di dalam suatu ekowisata yang diperoleh oleh masyarakat. komunitas, asosiasi, kelompok atau group memilikinormayang baik, tumbuh, Hubungan kepercayaan terhadap dipertahankan, dan kuat akan memperkuat masyarakat dengan tingkat keterlibatannya masyarakat dalam modal sosial. Dalam dalam pengembangan ekowisata berbasis implementasi Hutan Kemasyarakatan di masyarakat disajikan pada Tabel 2. Hal ini Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten dilakukan untuk membandingkan antar Way Kanan, terbukti diperlukan pula kedua variabel yakni tingkat kepercayaan adanya pemahaman norma-norma secara terhadap masyarakat dengan tingkat baik agar mencapai tujuan program keterlibatan dalam pengembangan (Wulandari dan Budiono, 2015). Artinya, ekowisata berbasis masyarakat di Gunung masyarakat Gunung Betung masih perlu Betung.

Tabel 2. Hubungan tingkat kepercayaan terhadap masyarakat dengan tingkat keterlibatan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat

Keterlibatan dalam Tingkat kepercayaan pengembangan Jumlah dalam masyarakat ekowisata tinggi rendah tinggi 3 3 6 rendah 3 11 14 Jumlah 6 14 20

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dalam pengembangan ekowisata berbasis tingkat kepercayaan dalam masyarakat masyarakat yangrendah. Kurangnya dengan tingkat keterlibatan dalam kepercayaan dalam masyarakat maka akan pengembangan ekowisata berbasis turut mempengaruhi rendahnya masyarakat tergolong rendah.Ada 14 keterlibatan setiap individu masyarakat responden memiliki tingkat keterlibatan dalam mengembangkan ekowisatan

243 berbasis masyarakat.Kondisi di lapang memang membuktikan bahwa adanya Berdasarkan hasil analisis maka saling percaya antar tokoh-tokohnya dalam masyarakat harus lebih ditingkatkan aspek ekowisata. Putnam (1995) berpendapat jika kepercayaan antara individu maupun modal sosial mereka bagus tentu dalam kelompoknya. Kepercayaan (Trust) menimbulkan adanya KLHDP sosial yang menurut pandangan Fukuyama (2002) berkelanjutan dan harmonis. adalah sikap saling mempercayai dalam masyarakat yang memungkinkan mereka Rachmawati (2010) menyatakan bahwa untuk dapat saling bersatu dengan yang unsur-unsur dari sistem sosial terbukti lain dan memberikan kontribusi pada harus dipertimbangkan dalam peningkatan modal sosial. Berbagai pengembangan wisata alam misal terjadi di tindakan kolektif yang didasari atas rasa kawasan Gunung Salak Endah (GSE), saling mempercayai yang tinggi dalam yaitu kepercayaan antar individu, individu dan kelompok masyarakat akan kekuasaan dan kewenangan, status dan meningkatkan partisipasi dalam peran, serta norma dan sanksi sosial. implementasikan berbagai program di desa Dengan demikian dapat disimpulkan atau wilayah tinggal mereka, termasuk bahwa kepercayaan sebagai salah satu didalamnya adalah pengembangan variabel modal sosial yang dimiliki oleh ekowisata. masyarakat di suatu wilayah merupakan bagian integral dari pengembangan Hubungan jumlah jaringan yang dimiliki ekowisata. Adanya kepercayaan dari masyarakatdengan tingkat keterlibatan berbagai pihak akan mendorong dalam pengembangan ekowisata berbasis keberlajutan hubungan sosial (Coleman, masyarakatdi Gunung Betung disajikan 1998) dalam pada tabel berikut (Tabel 3.). Tabel 3. Hubungan jumlah jaringan dengan tingkat keterlibatan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat Keterlibatan dalam Tingkat jaringan yang pengembangan Jumlah dimiliki ekowisata tinggi rendah tinggi 4 1 5 rendah 1 14 15 Jumlah 5 15 20

244

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa interaksi yang negatif, baik primer maupun jumlah jaringan dengan tingkat sekunder, akan dapat menghambat keterlibatan pengembangan ekowisata terbangunnya jaringan sosial. Diketahui berbasis masyarakat tergolong rendah. Hal bahwa jaringan sosial sangat diperlukan ini terbukti dengan adanya 15 dari 20 untuk keberhasilan dan keberlanjutan responden memiliki tingkat keterlibatan pengembangan ekowisata di suatu dalam pengembangan ekowisata. kawasan. Kondisi serupa juga diperlukan Kontribusi terbesar berada pada jumlah dalam pengembangan program-program jaringan tergolong rendah dan memiliki perhutanan sosial di Indonesia (Wulandari tingkat keterlibatan dalam pengembangan dan Budiono, 2015). ekowisata berbasis masyarakat yangrendah juga. Lawang (2004) menyatakan bahwa Kesimpulan norma dan jasa adalah 2 variabel yang Berdasarkan hasil penelitian di Gunung tidak dapat dipindahkan. Dengan demikian Betung diketahui bahwa variable modal logis bila jaringan di wilayah ini rendah sosial kepercayaan, jaringan dan norma karena normanya pun rendah. Hal tersebut statusnya masih rendah sehingga perlu mengartikan bahwa jumlah jaringan yang segera ditingkatkan. Peningkatan 3 dimiliki oleh masyarakat Gunung Betung variabel modal sosial tersebut hendaknya harus ditingkatkan. dilakukan bagi individu masyarakat maupun kelompoknya. Menurut Jones (2005), jika interaksi atau jaringan yang terjalin antar individu dalam Daftar Pustaka satu kelompok memiliki status dan peran Adelia. 2012. Persepsi Masyarakat yang berbeda umumnya bersifat primer Terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islammi positif maka akanmengarah pada Curug Cigangsa (Kasus: kerjasama. Berbeda jika interaksi antar Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten individu dengan status dan peranan yang Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). samamaka akan cenderung bersifat Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. sekunder negative dan mengarah persaingan. Sifat interaksi atau jaringan Ayuningtyas. 2011. Dampak Ekowisata Terhadap Kondisi Sosio- yang positif, baik primer maupun sekunder Ekonomi dan Sosio-Ekologi sebenarnya bisa jadi modal dasar dalam Masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi membangun dan mendukung keberhasilan Citalahab Central dan Citalahab pengembangan ekowisata. Sedangkan Kampung, Desa Malasari,

245

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Social Capital. Annals of Tourism Bogor, Jawa Barat). Skripsi. research, Vol. 32, No. 2: 303-324. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kasih Y. 2007. Peranan Modal Sosial BPS Lampung. 2012. Lampung dalam (social capital) terhadap Angka. Biro Pusat Statistik efektivitas lembaga keuangan di Provinsi Lampung. Lampung. pedesaan (studi kasus di Provinsi, Sumatera Barat). dikutip tanggal Coleman, J.S. 1988. Social Capital in the 17 Juni 2017. Dapat diunduh Creation of Human Capital. dari: American Journal of Sociology, isjd.pdii.lipi.go.ig/admin/jurnal/12 Vol. 94, Supplement: 106118125pdf. Organizations and Institutions: Sociological and Economic Lawang MZ. 2004. Kapital sosial dalam Approaches to the Analysis of perspektif sosiologik. Depok. UI Social Structure (1988), pp. S95- Press. 279 hal. S120 Maryati K,Surjawati J. 2004. Sosiologi. Damanik J, dan Weber HF. 2006. Jakarta: Erlangga Perecanaan ekowisata: dari teori ke aplikasi. Yogyakarta [ID] Andi Milic, JV.; Jovanovic, S.; Krstic, B. 2008. Offset. Sustainability Performance Management System of Tourism Dharmawan, A. 2001. Farm Household Enterprises. Facta Universitatis. Livelihood Strategieas and Socio Series: Economis and Economics Changes in Rural Organization, Vol. 5, No. 2: 123 Indonesia.Wissenchaftsverlag – 131 Vauk Kiel KG. Oktadiyani P. 2010. Modal Sosial Fukuyama, F. 2002. Social Capital and Masyarakat Kawasan Penyangga Civil Society. The Isntitute of Taman Nasional Kutai (TNK) Public Policy, George Mason dalam pengembangan University. ekowisata.[tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Poli Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Glencoe, Illinois: The Free Press. Poli W.I.M. 2007. Modal Sosial Pembangunan: gambaran dan dua Goeldner, CR.; Ritchie, B.; McIntosh, RW. distrik di Kabupaten Jayapura. 2000. Tourism: Principle, Makasar: Hasanuddin University Practice, Philosophies. Ed ke 8. Press. 215 hal. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Putnam, R. 1995. Bowling Alone: Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju America’s Declining Social Keunggulan Budaya Manusia Capital. www.gnudung.com. Indonesia). Jakarta: MR-United Diakses 5 Oktober 2017. Press Jakarta. Rahmayulis, R. 2008. Modal Sosial dalam Jones, S. 2005. Community-Based Pengembangan Ekowisata pada Ecotourism: The Significance of Masyarakat Adat di Taman Nasional Betung Kerihun

246

(TNBK), Kalimantan Barat. Yandra Azhari. Modal Sosial Masyarakat Skripsi. Bogor: Departemen dalam Mengembangkan Konservasi Sumberdaya Hutan Ekowisata Bahari di Pulau dan Ekowisata, Fakultas Pramuka DKI Jakarta. 2013 Kehutanan, IPB.

Rogers EM, Kincaid DI.1980. Communication Network Toward A New Paradigm of Research New York. The Freen Press

Tuwo A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut:Pendekatan ekologis, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Siduarjo: Brilian Internasional. 412 halaman.

UNEP atau United Nations Environment Programme dan [WTO] World Tourism Organization. 2002. Quebec Declaration on Ecotourism. Quebec City, Canada: World Ecotourism Summit.

Wulandari, C., Afif Bintoro, Rusita dan Pitojo Budiono. 2016. Laporan Pengabdian Masyarakat Pemberdayaan Petani di Sekitar Taman Hutan Raya “Wan Abdurrahman” Kota Bandar Lampung dalam Pengembangan Agroekowisata. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Lampung.

Wulandari, C dan Pitojo Budiono. 2015. Social Capital Status on HKm Development in Lampung. Proseding International Conference of Indonesia Forestry Researchers III – 2015 (INAFOR III – 2015) yang dilaksanakan pada 21-22 Oktober 2015 di Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

247

INDEKS PENERIMAAN SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI KPH MODEL BANJAR

Oleh : Hafizianor1) Mokhamad Suriyadi2)

1) Fakultas Kehutanan ULM, Banjarbaru, Indonesia 2) BPKH V Banjarbaru *Corresponding author: Hafizianor Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan ULM, Banjarbaru,Indonesia ( [email protected] )

ABSTRAK Penataan batas kawasan hutan merupakan bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan, dimana dalam kegiatan ini langsung bersinggungan dengan masyarakat. Karena itu penting adanya kajian yang menggali indeks penerimaan sosial (pengetahuan, persepsi dan sikap) masyarakat terhadap penataan batas kawasan hutan dan mencari fakto- faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan sosial masyarakat, serta merumuskan pendekatan penataan batas kawasan hutan yang bisa diterima oleh masyarakat. Objek penelitian ini ialah masyarakat yang berada didalam atau disekitar kawasan hutan areal KPHP Model Banjar, yaitu masyarakat Desa Pakutik, Desa Rantau Bakula dan Desa Sumber Harapan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, kuisioner, wawancara dan observasi. Analisis data yang digunakan dalam peneliti ini yaitu: analisis kuantitatif dengan pendekatan indeks penerimaan sosial, uji regresi dan korelasi. Indeks Penerimaan Sosial (IPS) terhadap hasil penataan batas kawasan hutan pada areal KPHP Model Banjar, yaitu sebesar 50,20 yang berarti penerimaan sosial masyarakat masuk klasifikasi sedang dan harus ditingkatkan agar hasil tata batas kawasan hutan diterima dengan baik oleh masyarakat. Analisis regresi menunjukan tahapan penataan batas kawasan hutan secara bersama-sama berpengaruh kuat terhadap IPS dengan nilai Multiple R sebesar 0,8885.Penerimaan sosial masyarakat terhadap penataan batas kawasan hutan bisa ditingkatkan dengan cara mengawali kegiatan penataan batas kawasan hutan dengan sosialisasi kepada masyarakat dan perlu adanya penyempurnaan atau modifikasi agar partisipasi masyarakat dalam kegiatan penataan batas kawasan hutan meningkat dan hasil positif dari penataan batas kawasan hutan dirasakan oleh masyarakat, dengan begitu diharapkan sikap masyarakat menjadi positif dan hasil penataan batas kawasan hutan mendapat legitimasi dari masyarakat.

Kata kunci: Tata batas, hutan, indek penerimaan social

I. PENDAHULUAN Permasalahan terhadap kejelasan batas kawasan hutan dan Permasalahan kawasan hutan penyelesaian hak-hak masyarakat yang terjadi selama ini tidak jauh dari atau pihak ketiga yang berada di konflik pemanfaatan dan klaim lahan dalam kawasan hutan, diharapkan yang terjadi antara negara dan mampu diselesaikan melalui proses masyarakat, dimana kawasan hutan pengukuhan kawasan hutan. tersebut sebagian besar tidak jelas Selanjutnya KPH diharapkan mampu batasnya dilapangan dan tidak menjadi solusi terhadap masalah memiliki pengelola ditingkat tapak. pengelolaan kawasan hutan yang ada

248 selama ini. Namun untuk mewujudkan 2015. Lokasi Penelitian ini di wilayah pengelolaan hutan yang efisien dan KPHP Model Banjar dan terletak di lestari perlu dukungan dari semua Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten pihak termasuk masyarakat. Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk itulah kajian Wilayah KPHP Model Banjar dipilih pengetahuan, persepsi dan sikap menjadi lokasi penelitian karena masyarakat dalam formulasi Indeks kawasan hutan yang berada di Penerimaan Sosial (IPS) terhadap wilayah KPHP Model Banjar telah di penataan batas kawasan hutan di tata batas seluruhnya dan telah KPHP Model Banjar diperlukan, agar ditetapkan oleh Menteri Kehutanan kawasan hutan di Kabupaten banjar pada tahun 2014. yang juga merupakan areal kerja dari Peralatan yang digunakan KPHP Model Banjar, terutama batas- dalam kegiatan Penelitian ini antara batasnya mendapatkan legitimasi oleh lain daftar kuisioner dan pertanyaan masyarakat, serta pembangunan KPH untuk data primer, kamera untuk kedepannya mendapatkan dukungan dokumentasi, alat tulis menulis dan dari masyarakat, sehingga negara komputer untuk entri data, bersama masyarakat dapat pengolahan data dan analisis data. membangun hutan yang lestari dan Obek penelitian ini ialah mensejahterakan masyarakat. masyarakat dari masing-masing desa Adapun tujuan dari penelitian ini sampel yang berada didalam atau adalah menganalisisi penerimaan disekitar kawasan hutan areal KPHP sosial masyarakat berdasarkan Model Banjar. Desa sampel yang variabel pengetahuan, persepsi dan dipilih dalam penelitian ini yaitu Desa sikap masyarakat terhadap kegiatan Pakutik, Desa Rantau Bakula dan penataan batas kawasan hutan di Sumber Harapan. Desa Pakutik dan KPHP Model Banjar dan Desa Rantau Bakula dipilih untuk menganalisisis faktor-faktor apa saja mewakili desa yang berada dekat yang mempengaruhi penerimaan dengan batas kawasan hutan, sosial masyarakat terhadap kegiatan sedangakan Desa Sumber Harapan penataan batas kawasan hutan di dipilih untuk mewakili desa yang KPHP Model Banjar. berada jauh dari batas kawasan hutan. Proses pengumpulan data II. METODE PENELITIAN menggunakan koesioner. Penelitian dilaksanakan Masyarakat yang dijadikan selama 6 (enam) bulan yaitu mulai responden atau sampel penelitian bulan Maret sampai dengan Agustus dipilih dari berbagai latar belakang

249 yang berbeda, baik dari segi usia, untuk mewakili populasi ditentukan pendidikan maupun pekerjaan. dengan perhitungan menggunakan Responden diambil secara acak dari formulasi Slovin (Riduwan, 2004 jumlah kepala keluarga (KK) pada dalam Iswahyudi, 2011) sebagai desa sampel,di mana responden berikut :

푵 풏 = ퟏ + 푵풅² Dimana: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi (Jumlah KK Desa Pakutik, Desa Rantau Bakula dan Desa Sumber Harapan) 푑² = presisi yang ditetapkan 10% Analisis data digunakan untuk Dari hasil penelitian mencapai tujuan penelitian yaitu dilaksanakan didapat jawaban analisis deskriptif, indeks penerimaan responden yang menggambarkan sosial (IPS), uji regresi dan korelasi. pengetahuan, persepsi dan sikap Dalam penelitian ini, instrumen yang masyarakat terhadap hasil digunakan sebagai alat pengumpul penataan batas kawasan hutan data penelitian adalah kuesioner. pada areal KPHP Model Banjar. Dalam kuesioner ini terdapat Dari ketiga variabel tersebut pernyataan-pernyataan penelitian didapatlah IPS terhadap hasil tentang pengetahuan, persepsi dan penataan batas kawasan hutan sikap. Pada masing-masing pada areal KPHP Model Banjar, penyataan akan didapatkan sejumlah yaitu sebesar 50,20 yang berarti alternatif jawaban. Alternatif-alternatif penerimaan sosial masyarakat jawaban yang ada didalam kuesioner terhadap penataan batas ini merujuk pada Skala kawasan hutan di areal KPHP Linkert.Sedangkan untuk Model Banjar masuk klasifikasi menganalisis faktor-faktor yang Sedang. Jika perhitungan IPS mempengaruhi digunakan analisis dilakukan pada masing-masing regresi berganda. responden maka bisa diketahui bahwa 5 orang responden IPS nya masuk klasifikasi rendah III. HASIL DAN karena skornya dibawah 34 dan 4 PEMBAHASAN orang responden IPS nya masuk

A. Indeks Penerimaan Sosial (IPS) klasifikasi tinggi karena skornya

250 diatas 67 serta sisanya sebanyak dan sikap masyarakat terhadap 91 orang responden IPS nya hasil penataan batas kawasan masuk klasifikasi sedang. hutan pada areal KPHP Model Persentase hasil Banjar dapat dilihat pada Tabel 1. penilaian pengetahuan, persepsi

Tabel 1. Persentase Hasil Penilaian Pengetahuan, Persepsi dan Sikap. Jumlah Skor Persentase No. Variabel Skor Tertinggi (%) 1 Pengetahuan 1535 3300 46,52 2 Persepsi 1897 3300 57,48 3 Sikap 1736 3300 52,61

Persentase terendah ada hutan, dimana pengetahuan pada variabel pengetahuan yaitu mereka tentang proses penataan sebesar 46,52 %, kemudian batas kawasan hutan masih variabel sikap sebesar 52,61 % kurang. Pada saat menjawab dan yang tertinggi variabel pertanyaan tentang pengetahuan, persepsi sebesar 57,48 %. Pada responden lebih tegas menjawab umumnya persentase tidak tahu sehingga skor pengetahuan lebih besar dari jawabannya adalah 1, sementara persentase persepsi dan saat menjawab pertanyaan persentase persepsi lebih besar tentang persepsi dan sikap, dari persentase sikap, karena jawaban responden lebih banyak pengetahuan seseorang tentang yang ragu-ragu sehingga skor suatu hal akan mempengaruhi jawabannya lebih tinggi, yaitu 2. persepsi dan persepsi seseorang akan membentuk sikap orang B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi tersebut. Namun dalam penelitian IPS ini persentase persepsi lebih Uji regresi dan korelasi besar dari persentase merupakan metode analisis yang pengetahuan, hal ini digunakan untuk mencari faktor-faktor dimungkinkan karena responden apa saja yang mungkin cenderung memilih jawaban ragu- mempengaruhi IPS terhadap hasil ragu atau mengambang saat penataan batas kawasan hutan di menjawab pertanyaan tentang KPHP Model Banjar. Faktor-faktor proses penataan batas kawasan yang akan diuji pengaruhnya terhadap

251

IPS adalah latar belakang responden Dari hasil analisis data dan tahapan kegiatan penataan batas menggunakan MS Excel diketahui kawasan hutan. nilai Multiple R (R majemuk) sebesar 0,1756. Nilai Multiple R 1. Pengaruh latar belakang yang mendekati 0 menunjukan responden (umur, pendidikan, variabel bebas (umur, pendidikan, pekerjaan, lama bermukim dan pekerjaan, lama bermukim dan sosialisasi) terhadap IPS sosialisasi) secara bersama-sama Rumus regresi yang pengaruhnya sangat kecil coba digunakan dalam analisis ini terhadap variabel terikat (IPS), yaitu analisis regresi berganda bahkan dimungkinkan tidak (Multiple Linier Regression memiliki pengaruh. Untuk Analysis), dimana pada model mengetahui apakah variabel regresi ini variabel bebas (x) yang bebas mempengaruhi secara digunakan lebih dari satu, yaitu : nyata IPS kita bisa melihat nilai

umur, pendidikan, pekerjaan, Fhitung yang dibandingkan dengan

lama bermukim dan sosialisasi, Ftabel atau Significance F (P-value) variabel terikat (y) adalah IPS. dengan Taraf Nyata (α), pada Tabel 2.

Tabel 2. ANOVA IPS dan Latar Belakang Responden.

Significance df SS MS F F Regression 5 169,7189239 33,94378478 0,5984631 0,7011774 Residual 94 5331,515644 56,71825153 Total 99 5501,234568

Nilai Ftabel (95%, 5, 94) = value masing-masing variabel 2,3112701 jika dibandingakan bebas tidak ada satupun nilainya

dengan Fhitung = 0,5984631, yang berada dibawah taraf nyata

diketahui nilai Ftabel >Fhitung maka (α = 0,05), hal ini menunjukan dapat dinyatakan bahwa secara tidak ada satupun dari variabel simultan latar belakang bebas yang mempengaruhi IPS. responden (umur, pendidikan, Penerimaan sosial pekerjaan lama bermukim dan masyarakat terhadap penataan sosialisasi) tidak berpengaruh batas kawasan hutan cenderung signifikan terhadap IPS. Dari P- dipengaruhi oleh pengetahuan

252 masyrakat terhadap hal tersebut, statusnya kawasan hutan dan dimana pengetahuan ini akan belum ada kepastian status mempengaruhi persepsi dan mengenai lahan garapan yang sikap masyarakat terhadap selama ini menjadi tumpuan penataan batas kawasan hutan. hidup sebagian besar Seperti yang diketahui, informasi masyarakat. atau sosialisasi tentang kawasan Dewi (2010) hutan dan penataan batasnya menyebutkan faktor-faktor yang sangat jarang dilakukan kepada mempengaruhi pengetahuan masyarakat, sehingga antara lain : umur, intelegensia, pengetahuan masyarakat tentang pendidikan, pengalaman, kawasan hutan dan penataan informasi dan lingkungan. Jika batasnya sangat minim. Ditambah umur, pendidikan, pekerjaan, lagi keterlibatan masyarakat lama bermukim (pengalaman) dalam kegiatan penataan batas dan informasi/sosialisasi tidak kawasan hutan terbatas pada mempengaruhi IPS kemungkinan masyarakat yang berada disekitar besar yang mempengaruhi IPS trayek batas, sedangkan ialah intelegensia dan lingkungan. masyarakat yang jauh dari trayek batas tidak terlibat. Minimnya 2. Pengaruh tahapan penataan pengetahuan masyarakat batas kawasan hutan terhadap mengenai penataan batas IPS kawasan hutan menyebabkan Respon masyarakat apapun latar belakang responden terhadap tahapan penataan batas tidak akan berpengaruh terhadap kawasan hutan dari pembuatan IPS. Namun jika pengetahuan trayek batas kawasan hutan masyarakat mengenai penataan sampai rapat pembahasan hasil batas kawasan hutan tinggi, penataan batas definitif diperoleh besar kemungkinan latar dari item pertanyaan pada belakang responden akan variabel pengetahuan, persepsi mempengaruhi IPS. Selain itu dan sikap. Jawaban responden masyarakat beranggapan terhadap masing-masing penataan batas kawasan hutan pertanyaan tersebut dirata- tidak memiliki pengaruh apapun ratakan, kemudian hasilnya terhadap mereka, karena desa diregresikan dengan IPS. Adapun atau pemukiman yang berada item pertanyaan pada kuisioner didalam kawasan hutan tetap saja yang mewakili tahapan penataan

253 batas kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Daftar Item Pertanyaan Kuisioner yang Mewakili Tahapan Penataan Batas Kawasan Hutan.

No. Tahapan Penataan Batas Nomer Pertanyaan Pada Variabel Kawasan Hutan Pengetahuan Persepsi Sikap 1. Pembuatan trayek batas 2 - 2 2. Pemancangan batas sementara 3 5 3 3. Pengumuman hasil pemancangan 5 6 5 batas sementara

4. Identifikasi hak-hak pihak ketiga 4 5 4 5. Rapat pembahasan hasil 6 8 6 pemancangan batas sementara

6. Penataan batas definitif 7 7 7 7. Rapat pembahasan hasil 8 8 8 penataan batas definitif

Hasil analisis regresi yang lebih kecil dari Taraf Nyata menunjukan tahapan penataan (α = 0,05). Hasil analisis regresi batas kawasan hutan secara antara tahapan penataan batas bersama-sama berpengaruh kawasan hutan dengan IPS dapat terhadap IPS, hal ini dapat dilihat dilihat pada Tabel 4. dari nilai Significance F (P-value)

Tabel 4. ANOVA IPS dan Tahapan Penataan Batas Kawasan Hutan.

Significance Df SS MS F F Regression 7 4342,858676 620,4083823 49,2737906 2,0004 × 10-28 Residual 92 1158,375891 12,5910423

Total 99 5501,234567

Hasil analisis regresi kawasan hutan) secara bersama- menunjukan nilai Multiple R (R sama berpengaruh sangat kuat majemuk) sebesar 0,8885. Nilai terhadap variabel terikat (IPS). Multiple R yang diatas 0,8 Kurangnya pengetahuan menunjukan variabel bebas masyarakat terhadap penataan (tahapan penataan batas batas kawasan hutan akan

254 mempengaruhi penerimaan sosial IP4T hanya dilaksanakan pada masyarakat terhadap hal itu kawasan hutan yang sudah menjadi kurang baik, namun jika selesai ditata batas atau sudah pengetahuan masyarakat ditetapkan. Hasil analisis regresi terhadap penataan batas selengkapnya dari variabel bebas kawasan hutan ditingkatkan maka (tahapan penataan batas penerimaan sosial masyarakat kawasan hutan) dan variabel akan meningkat dan menjadi terikat (IPS) . lebih baik. Begitu juga dengan persepsi dan sikap masyarakat IV. KESIMPULAN DAN SARAN terhadap penataan batas kawasan hutan perlu ditingkatkan Indeks penerimaan sosial dengan cara meningkatkan (IPS) masyarakat terhadap partisipasi masyarakat dalam penataan batas kawasan hutan di kegiatan penataan batas areal KPHP Model Banjar kawasan hutan dari pembuatan menunjukan nilai 50,202 yang trayek batas hingga penataan berarti penerimaan sosial batas definitif. Selain masyarakat terhadap penataan meningkatkan partisipasi batas kawasan hutan di areal masyarakat dalam kegiatan KPHP Model Banjar masuk penataan batas kawasan hutan, klasifikasi Sedang. IPS terdiri dari dampak positif dari penataan tiga variabel yaitu pengetahuan, batas kawasan hutan harus persepsi dan sikap, dimana ketiga dirasakan juga oleh masyarakat variabel ini saling mempengaruhi. yang berada didalam kawasan Persepsi dipengaruhi oleh hutan. Dalam hal ini sebaiknya pengetahuan, sikap dipengaruhi pada saat proses penataan batas oleh pengetahuan dan kawasan hutan dilaksanakan, persepsi.IPS tersebut secara terhadap pemukiman dan hak- signifikan dipengaruhi oleh hak masyarakat yang berada jauh tahapan penataan batas kawasan dari trayek batas atau berada di hutan. dalam kawasan hutan turut di Disarankan agar kegiatan identifikasi dan diselesaikan pada penataan batas kawasan hutan saat penataan batas definitif atau perlu diawali dengan tahap tidak diselesaikan melalui sosialisasi untuk meningkatkan mekanisme tersendiri. pemahamanmasyarakat terhadap Mekanisme Enclave atau melaui kawasan hutan dan penataan

255 batas kawasan hutan, selain itu dengan Kecukupan Gizi Balita (Studi di Posyandu Delima Desa Tiron masyarakat dan pihak-pihak terkait Kabupaten Kediri). Tesis. Program lainnya perlu dilibatkan lebih pada Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tidak saat pelaksanaan dilapangan agar Dipublikasikan.

hasil tata batas kawasan hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2010. mendapat legitimasi dari Rancang Bangun KPHP Model Banjar. Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar, masyarakat. Martapura

Hidayat, Anwar. 2012. Uji Reliabilitas Instrumen dengan MS Excel. DAFTAR PUSTAKA Statistikian, www.statistikian.com.

Iswahyudi, Herry. 2011. Penerimaan Sosial Alvia, Iis., Mimi Salminah, Virni Budi Arifanti, Masyarakat Terhadap Keberadaan Retno Maryani dan Epi Syahadat. Kebun Buah (Dukuh) Dengan Sistem 2012. Persepsi Para Pemangku Agroforestri di Kabupaten Banjar. Kepentingan Terhadap Pengelolaan Tesis. Program Pascasarjana, Lanskap Hutan di Daerah Aliran Sungai Tulang Bawang. Jurnal Universitas Lambung Mangkurat, Penelitian Sosial dan Ekonomi Banjarbaru. Tidak Dipublikasikan. Kehutanan (Forestry Socio and Economic Research Journal) 9 (4) : Kementerian Kehutanan. 2010. Peraturan 171-184. Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.47/Menhut-II/2010 Tanggal 16 Nopember 2010 Tentang Panitia Ambarasti, Kinta. 2014. Pola Resolusi Konflik Tata Batas Kawasan Hutan (Berita Penggunaan Kawasan Hutan di Negara Republik Indonesia Tahun Wilayah KPHP Model Banjar (Studi 2010 Nomor 551). Kementerian Kasus di Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Provinsi Kehutanan, Jakarta. Kalimantan Selatan). Tesis. Program Studi Pascasarjana, Universitas Kementerian Kehutanan. 2012. Peraturan Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Menteri Kehutanan Republik Indonesia Tidak Dipublikasikan. Nomor P.44/Menhut-II/2012 Tanggal 11 Desember 2012 Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan (Berita Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Negara Republik Indonesia Tahun Sungai Pinang Dalam Angka Tahun 2012 Nomor 1242). Kementerian 2013. Badan Pusat Statistik, Kehutanan, Jakarta. Martapura.

Budiarti, Sukesti. 2011. Persepsi dan Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Partisipasi Masyarakat Desa Sekitar Menteri Kehutanan Republik Indonesia Hutan Terhadap Sistem PHBM di Nomor P.62/Menhut-II/2013 Tanggal Perum Perhutani (Kasus Di Kph 15 November 2013 Tentang Cianjur Perum Perhutani Unit III, Jawa Perubahan Atas Peraturan Menteri Barat). Skripsi. Fakultas Kehutanan, Kehutanan Nomor P.44/Menhut- Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tidak II/2012 Tentang Pengukuhan Kawasan Dipublikasikan. Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1364). Departemen Kehutanan. 1999. Undang- Kementerian Kehutanan, Jakarta. undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Kementerian Kehutanan. 2014. Peraturan (Lembaran Negara Republik Indonesia Menteri Kehutanan Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167). Departemen Nomor P.25/Menhut-II/2014 Tanggal 8 Kehutanan, Jakarta. Mei 2014 Tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan (Berita Negara Dewi, Intan Candra. 2010. Hubungan Republik Indonesia Tahun 2014 Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Ibu

256 Nomor 617). Kementerian Kehutanan, pada Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Jakarta Semarang). Skripsi. Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang. Kartodiharjo, Hariadi., Bramasto Nugroho dan Tidak Dipublikasikan. Haryanto R. Putro. 2011. Sianturi, Jhonny. 2007. Sikap dan Partisipasi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Masyarakat Lokal Terhadap Hutan - Konsep, Peraturan Pengembangan Wana Wisata Curug Perundangan dan Implementasi. Kembar Batu Layang, (Studi Kasus di Ringkasan Barbara Lang. Direktorat Desa Batu Layang, Kecamatan Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Penggunaan Kawasan Hutan, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kehutanan, Kementrian Kehutanan, Bogor. Tidak Dipublikasikan. Jakarta. Suprianto, Tugas. 2012. Kesatuan Matondang, Zulkifli. 2009. Validitas dan Pengelolaan Hutan : Menuju Reliabilitas Suatu Instrumen Pemanfaatan Hutan Lestari. Direktorat Penelitian. Journal Tabularasa PPS Jenderal Planologi, Kementerian Universitas Negeri Medan 6 (1) : 87- Kehutanan – UN-REDD Programme 97. Indonesia, Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Kesehatan - Surati. 2014. Analisis Sikap dan Prilaku Metodelogi Penelitian. Rieke Cipta, Masyarakat Terhadap Hutan Penelitian Jakarta. Parung Panjang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Pambudhi, Fadjar. 2004. Dasar-dasar Analisis (Forestry Socio and Economic Data. Fakultas Kehutanan, Universitas Research Journal) 11 (4) : 339-347. Mulawarman, Samarinda. Suryaningsih, Wakhidah Heny. Hartuti Permadi, Eddy Bambang. 2012. Persepsi dan Purnaweni dan Muniffatul Izzati. 2012, Strategi Pemantapan Kawasan KPHP Persepsi Masyarakat Dalam Banjar Secara Partisipatif (Studi Kasus Pelestarian Hutan Rakyat di Desa di Desa Kupang Rejo dan Pakutik Karangrejo Kecamatan Loano, Kabupaten Banjar). Tesis. Program Kabupaten Purworejo. Prosiding Pascasarjana, Universitas Lambung Seminar Nasional Pengelolaan Mangkurat, Banjarbaru. Tidak Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Dipublikasikan. Magister Ilmu Lingkungan Undip, Semarang. h. 93-97. Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. 2015. Pedoman Udoyo, Rahmat Prapto. 2014. Penerimaan Penulisan Karya Ilmiah (Tesis dan Sosial Masyarakat Terhadap Makalah). Program Studi Ilmu Keberadaan Hutan Rakyat di Kehutanan, Program Pascasarjana, Kabupaten Tanah Laut. Tesis. Universitas Lambung Mangkurat, Program Studi Pascasarjana, Banjarbaru. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Tidak Dipublikasikan. Risnita. 2012. Pengembangan Skala Model Likert. Edu-Bio 3 : 86-99. Wahyuni, Nurlita Indah dan Rinna Mamonto. 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Sekretaris Negara. 2004. Peraturan Taman Nasional dan Sumberdaya Pemerintah Republik Indonesia Nomor Hutan: Studi Kasus Blok A Ketawaje, 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Kehutanan (Lembaran Negara Abstrak Info BPK Manado Volume 2 Republik Indonesia Tahun 2004 No. 1. Balai Penelitian Kehutanan Nomor 146). Sekretaris Negara, Manado, Manado. h. 1-16. Jakarta. Wintry, Yasinta. 2011. Hubungan Pengetahuan Setiasih, Dani Panca. 2011. Analisis Persepsi, dan Sikap Ibu Hamil tentang Bayi Preferensi, Sikap dan Perilaku Dosen Makrosomia di Klinik Bersalin Niar Jl. Terhadap Perbankan Syariah (Study Kasus Balai Desa Kecamatan Medan

257 Patumbak. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Utara, Medan. Tidak Dipublikasikan. Keperawatan, Universitas Sumatera

258