ISSN 2337-6686 ISSN-L 2338-3321

RE-INVENSI DAN IDENTITAS DALAM ARENA PASAR GLOBAL

Ananda Feria Moersid Fakultas Seni Rupa – Institut Kesenian Jakarta E-mail: [email protected]

Abstrak: Re-Invensi Batik dan identitas Indonesia merupakan suatu fenomena yang penting untuk dapat mengangkat kualitas komoditas di arena pasar global. Re-invensi adalah sebuah upaya yang secara sadar mengkonstruksi identitas baru yang berangkat dari tradisi yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan sosial dan secara politis serta dibutuhkan sebagai bentuk legitimasi status dan otoritas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Bagaimana seni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harus diposisikan pada pasar global. (2) Bagaimana kualitas batik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampu bersaing dalam pasar global. Metoda yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Batik sebagai tradisi ‘otentik’ selalu dapat dikonstruksi atau dire-konstruksi, demi kepentingan politis ataupun pariwisata (2) Kapital ekonomi saja tidaklah cukup, berbagai upaya harus dilakukan untuk meraih kapital budaya dan secara terus menerus menambah pengetahuan budaya, kompetensi dan keunggulan. Hanya dengan kemampuan untuk berubah, mencari bentuk baru dan mengkondisikan batik sebagai sebuah produk budaya, maka re-invensi tradisi dapat menjadi sumber kreativitas dan penegasan identitas Indonesia pada pasar global.

Kata Kunci: re-invensi, konstruksi sosial, identitas global

Abstract: Batik re-invention and Indonesian identity is an important phenomenon in order to build the quality of the commodity, especially in global market. Re-invention is a conscious effort to construct a new identity based on tradition as a builder of social ties and politically legitimize status and authority. The objective of this study is to find out: (1) How the position of the traditional visual arts, in this case batik within the global market. (2) How to render the qualities of Indonesian Batik into marketable commodity, fit for competition on the global market? The method used library research with the descriptive and explorative approaches. It can be concluded that: (1) Batik as the so called ‘authentic’ tradition can also be constructed or re-reconstructed for the sake of political or tourism. (2) Economic capital is not enough; efforts must be made to attain cultural capital, a constant cultural knowledge, competence and superiority in one’s field. Only by the ability to change, to form new style and put the condition of batik as a cultural production, so that the re-invention of tradition becomes the source of creativity and to confirm Batik identity in the global market.

Key words: re-invention, socially constructed, global identity

PENDAHULUAN pendatang, petualang maupun penjajah ikut Latar belakang studi ini adalah bahwa produksi batik menyumbangkan jejak mereka pada tanah Jawa dan salah sebagai salah satu identitas budaya di tengah masyarakat, satu produk keseniannya yang utama yaitu batik. (McCabe khususnya di Indonesia sedang berubah secara dinamis. Elliott, 2004: 22). Produksi batik yang esensinya adalah menghias permukaan Saat ini orientasi budaya tidak hanya bersifat regional kain dengan tehnik wax-resist, rintang warna menggunakan dan nasional tetapi meluas ke global dengan serangkaian lilin malam, suatu tehnik warisan pre-moderen hingga nilai dan norma baru dan di saat lokalitas-lokalitas kini masih mampu mengatasi kondisi-kondisi yang berupaya me’redefinisi’ diri dan dalam upaya melihat menguntungkan maupun menyulitkan yang dipaksakan bagaimana identitas kebudayaan mereposisi diri. Sesuatu oleh modernitas, dan hadir sebagai sebuah tradisi yang disebut sebagai ‘tradisi’ ternyata selalu mengalami kontemporer. Desain pola batik dan keberagaman perubahan, baik disadari maupun tidak. Identitas dan penggunaannya menggambarkan keberagaman wajah Tradisi menurut pemikiran Eric Hobsbawm (1987) yang masyarakat di Jawa yang terus menerus berubah-ubah melihat re-invensi tradisi sebagai bentuk–bentuk upaya sepanjang masa. Jejak-jejak agama Hindu, Buddha dan yang secara sadar mengkonstruksikan identitas baru yang Islam dapat ditemui selain keberagaman etnis dan adat- berangkat dari tradisi itu. Fungsinya selain sebagai istiadat yang mewarnainya. Sepanjang sejarahnya, para pembentukan ikatan sosial, juga secara politis diperlukan

Jurnal Ilmiah WIDYA 121 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global untuk pelegitimasian status dan otoritas. pemikiran Arjun Appadurai dalam “Modernity at Batik bukanlah sekedar warisan barang berharga Large”(2000) dan “ Disjuncture and Difference in The yang memiliki nilai jual tinggi, tetapi adalah juga simbol Global Cultureal Economy” dalam The Anthology of kultural, melaluinyalah Indonesia menunjukkan Globalization (2002) dan landasan pemikiran Eric identitasnya. Ditengah gempuran ’perebutan identitas’ Hobsbawm dalam “The Invention of Tradition” (1987) batik milik siapa, meskipun telah berhasil mendapat legitimasi menyusul wayang dan keris yang telah lebih PEMBAHASAN dahulu mendapat pengakuan sebagai Masterpieces of The Batik Oral and Intangible Heritages dari UNESCO pada tahun Kain batik adalah satu bentuk tekstil dengan tehnik 2009, masalah yang dihadapi adalah status tersebut dapat ragam hias permukaan yang permukaannya dihias dengan saja dicabut kembali bila Indonesia tidak mampu tehnik wax-resist yaitu rintang-warna menggunakan lilin merepresentasikannya ke dunia sebagai identitas yang dan paling luas penggunaannya di Asia Tenggara. Kain memang layak untuk diakui dan berhak untuk terus hidup, panjang batik dan sarung yang hingga kini masih recognized and revitalized, seperti tujuan dari proklamasi digunakan oleh wanita maupun pria terutama di pedesaan UNESCO yang lain mengutamakan warisan dan telah berabad-abad lamanya menjadi bagian penting budaya sebagai a living cultural expression, ekspresidalam khazanah busana Melayu (van Roojen, 2001:9). budaya yang hidup dan bukan seperti benda mati yang Di luar kegunaannya yang fungsional, kain-kain batik tak dipajang di museum. dapat lepas dari nilai simboliknya, baik dari ragam hiasnya Apabila apa yang disebut sebagai tradisi ‘otentik’itu maupun ekspresi warnanya, begitu pula pilihan selalu dapat dikonstruksi atau dire-konstruksi, demi materialnya. Kain dengan pola ragam hias tertentu dapat kepentingan politis ataupun pariwisata, maka bagaimana menunjukkan status dan kekuasaan seseorang atau harus memposisikan seni visual tradisional, dalam hal ini penggunanya, juga nilai-nilai temporal simbolik yaitu batik di pasar global. Rumusan permasalahan studi ini waktu misalnya waktu apa batik tersebut boleh digunakan. antara lain: (1) apa yang menjadi referensi pada Batik begitu berakar dalam kehidupan, terutama di Jawa, masyarakat yang yang sedang berubah kini, (2) bila dari sejak digunakan sebagai alas, selimut dan alat orientasi tak hanya bersifat regional atau nasional tapi penggendong bayi, sarung petani hingga kampuh, kain meluas ke global dengan serangkaian nilai-nilai baru, panjang seremonial seorang raja, dari kain pengantin bagaimana pengaruhnya pada proses penciptaan batik? hingga penutup jenazah (Hardjonagoro, 1999:65) (3) Di saat lokalitas-lokalitas saling berupaya untuk Teruo Sekimoto (2003:111) melihat batik tidak hanya me’redefinisi’kan dan menentukan bentuk-bentuk sebagai komoditi melainkan juga sebagai obyek kultural. kebudayaan baru, bagaimana bentuk reposisi batik sebagai Sebagai suatu komoditi, batik digunakan sehari-hari di bagian dari identitas kebudayaan? hampir seluruh negeri di Indonesia, namun batik juga Tujuan studi ini ingin mengetahui: (1) Bagaimana dapat dilihat sebagai sebuah simbol kultural, karena seni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harus melalui batik tak hanya orang Jawa, tapi bangsa Indonesia diposisikan pada pasar global. (2) Bagaimana kualitas juga mengekspresikan kebanggaan mereka. batik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampu McCabeElliott (2004:22) menegaskan bahwa tehnik bersaing dalam pasar global. rintang-warna menggunakan material-material alami Studi ini menggunakan kajian kepustakaan dengan seperti lilin, beras dan umbi-umbian yang dilumatkan, pendekatan deskriptif dan eksploratif. Termasuk kerangka bahkan lumpur yang dibubuhkan pada selembar kain

Jurnal Ilmiah WIDYA 122 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global simultan di mana-mana, sejak sebelum Masehi di Mesir, panjang. pada masa dinasti Tang abad ke 8 di Cina, bahkan di Tradisi dan Identitas Afrika, India juga Jepang hingga saat ini; namun tak dapat Di samping masalah teknik pembuatan dan estetika dipungkiri bahwa hanya di Jawa dan Madura lah batik batik, terdapat pesan-pesan sosial yang dikandung di muncul sebagai satu bentuk seni menghias permukaan dalamnya, termasuk juga penegasan tentang identitas kain yang menonjol di Asia baik dari segi teknik maupun siapa penggarap dan penggunanya, lingkup kehidupan, perbendaharaan motif ragam hiasnya. dan yang terpenting world viewatau pandangan hidup yang mendasari proses kreatifnya. Franz Magnis-Soeseno (1984) menandai bahwa dalam pandangan dunia Jawa tersebut, realitas tak dibagi-bagi dalam bidang-bidang yang terpisah, tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan pengalaman. Budayawan Umar Kayam (1990) melihat bahwa konsep tentang keindahan yang dianut oleh penguasa Gambar 1: Proses Batik Klasik Tradisional. Jawa adalah refinement, penghalusan untuk mempertegas Dok :McCabe Elliott identitas aristokrasi. Kebudayaan feodal-aristokratis Jawa Gaya Batik Klasik menganggap konsep ‘alus’ sebagai soko-guru penting Pepin van Roojen (2001) mencatat bahwa apa yang dalam menjaga peradaban, maka di rumah-rumah para disebut sebagai gaya batik ‘klasik’ bersumber pada arus bangsawan, para priyayi birokrat elit Jawa, unsur seni- budaya yang mendasarinya, yaitu kerajaan Mataram II tari, bahasa serta pemahaman kesusateraan, termasuk juga (1575-1755) di Jawa. Istilah klasik merujuk pada ragam seni membatik merupakan dasar-dasar pendidikan yang hias yang berasal dari masa pra-Hindu, masa Hindu-Jawa penting. Membatik di rumah bukanlah sebagai pengisi Majapahit dan pengaruh Islam pada masa kesultanan Demak dan Pajang. Batik dengan gaya klasik tersebut masa senggang namun juga penghalusan budi. meski mengalami perubahan-perubahan namun masih Sebenarnya, apa yang dapat dianggap dan disebut selalu dalam ‘pakem’, konvensi yang mengikat dansebagai tradisi itu yang tampil atau dinyatakan sebagai diwariskan turun-temurun di bawah patronase para ‘tua’ seringkali memiliki asal atau awal yang baru, bahkan penguasa di keraton Surakarta dan , sebagai merupakan re-invensi baru. Pada tahun-tahun pertama pewaris dari kebudayaan Mataram. Hingga kini batik- setelah kemerdekaan dan pemulihan kedaulatan bangsa batik tradisional tersebut masih dibuat dengan standar Indonesia, ada upaya dari presiden Soekarno untuk ketrampilan yang tinggi, hingga dianggap sebagai batik memiliki suatu gaya ‘nasional’ dengan mengangkat kebaya yang paling ‘murni’ (Roojen, 2001:41) dan kain batik sebagai busana bagi perempuan yang Pada catatan-catatan tertulis tentang kehadiran batik diangankan sebagai suatu semangat ‘pan-Indonesian’ sebagai karya berharga yang diekspor dari pulau Jawa yaitu berlaku untuk seluruh Negara. Semangat pencarian ditemui di Malabar, pada tahun 1516, disusul dengan identitas kemudian semakin dipertegas saat Gubernur catatan tahun 1518, tentang kain-kain diwarna indah Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1972 mencanangkan yang disebut sebagai tulis, yang bermakna sama dalam kebaya batik sebagai busana untuk acara-acara resmi bahasa Indonesia, istilah yang hingga kini masih pengganti jas. Batik sejak itu memang bukan hanya obyek digunakan untuk kain batik halus buatan tangan, batik komoditi, tetapi juga secara resmi menjadi simbol budaya sebenarnya sudah merupakan tradisi yang berumur dalam pencarian identitas bangsa.

Jurnal Ilmiah WIDYA 123 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

diterima masyarakat, dan sebagai identitas nasional. Kini diproduksi pola-pola baru batik dengan corak Papua, Toraja dan seterusnya hingga dapat dikatakan bahwa terjadi ‘nasionalisasi’ penggunaan batik yang semula hanya busana bagi beberapa local tertentu di Jawa saja. Pada Asia Pacific Economic Conference (APEC) di istana tahun 1994, batik sebagai identitas nasional mendapat perhatian dunia saat 18 pemimpin dunia seperti presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Perdana Menteri Gambar 2: Identitas ‘Betawi’ Baru. Jepang, Canada dan lainnya berfoto bersama mengenakan Dok : Dinas Kebudayaan DKI kemeja batik sutera yang didesain oleh Iwan Tirta dengan Proses perubahan dari apa yang diyakini sebagai pola batik tradisional yang digabung dengan lambang ‘tradisi’ pun sebenarnya masih relatif muda usianya seperti kenegaraan yang terpampang di bendera masing-masing pada saat Ali Sadikin sebagai gubernur DKI mencanangkan negara. Dapat dikatakan bahwa selain ‘nasionalisasi’ juga identitas ‘Betawi’, dibutuhkan figur-figur pendamping terjadi ‘internasionalisasi’ batik, mendunia sekaligus gubernur dalam melakukan tugas-tugas seremonialnya. mempertahankan ciri lokalnya. Maka diadakan ajang kontes Abang dan None Jakarta sebagai penampilan identitas Betawi yang Islami selain yang banyak mendapat pengaruh Cina hingga lahirlah kebaya yang tak hanya turunan dari kebaya encim tapi juga panjang dan berkerudung bagi None dan baju demang bersongkok kepala selain baju koko dan celana komprang batik bagi Abang Jakarta ( Shahab, 2004). Sementara Benedict Anderson (1993) melihat bahwa konsep tradisi dapat selalu berubah-ubah tergantung pada kepentingan politis dan karenanya merupakan sebuah konstruksi sosial, khususnya demi identitas tertentu yang ingin dibangun, Gambar 3: Internasionalisasi Identitas Batik. baik oleh kolonialisme penjajahan atau negara-negara Dok : Iwan Tirta yang baru merdeka. Pada perkembangan pencarian identitas nasional Analisis Dialektik Kehidupan Praksis di era Suharto, ada semangat ‘penyeragaman’seperti yang Habitus , Kapital, Arena , Praksis terjadi pada anjuran penggunaan seragam Korpri bagi Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan dan agen (individu), Bourdieu pegawai negeri sipil dan seragam batik untuk siswa-siswa memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik SD,SLTP dan SLTA Negeri pada setiap tanggal 17, tanggal kehidupan praksis. Dua alat konseptual yang digunakan 20 Mei dan anjuran tidak formal untuk mengenakan baju oleh Bourdieu adalah habitus dan ranah atau arena yang batik lengan panjang setiap hari Jum’at. Melalui seragam ditopang oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategi bermotif batik penguasa menegaskan kekuasaan birokratis dan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik dan dan politis hingga dapat disebut sebagai ritual penegasan material, berikut beragam kapital yaitu ekonomi, kultural kekuasaan birokratis. Konvensi penggunaan kemeja batik dan simbolik. Sebuah formula yang menurut Bourdieu sebagai busana untuk acara-acara resmi pengganti jas . ‘non-linier’ menggantikan relasi yang sederhana antara Pada perkembangannya kini sudah menjadi dress code - individu dan struktur dengan relasi-relasi yang protokol busana yang tercantum pada undangan yang dikonstruksikan antara habitus dan arena hingga tercapai:

Jurnal Ilmiah WIDYA 124 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

(Habitus X Kapital) + Arena = Praksis Bourdieu mengembangkan konsep arena yang merupakan Habitus terdiri dari selain pengetahuan individual metafora untuk menggambarkan ‘field of forces’ yaitu juga bagaimana ia memahami dunianya, menyumbang arena kekuatan-kekuatan yang dinamis tempat beragam pada realita dunianya. Habitus adalah mindset seseorang potensi dimungkinkan hadir di dalamnya. yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu yang Dalam perspektif Bourdieu, potensi dihadapinya. Pengetahuan individual memiliki kekuatan ‘interplay’, saling jalin-menjalin hubungan timbal-balik konstitutif (membangun yang esensial) dan bukan sekedar antara agen, si pelaku dan ‘struktur objektif’ atau refleksi dari dunia nyata. Oleh karenanya habitus tak ‘kebudayaan’ sangat dinamis dan tidak sederhana. Peranan pernah ‘fixed’ atau statis, baik menurut waktu bagihabitus sebagai kognisi yang memandu seseorang untuk individual maupun dari satu generasi ke generasi melakukan sesuatu tidaklah linier, bergantung pada kapital berikutnya. Bila posisi dalam arena berubah, begitu pula yang dimiliki atau dikejar dan arena tempat dia berada disposisi yang membentuk habitus. (Bourdieu, 1984: 467) atau yang dituju. Di sinilah strategi lapangan atau praksis Kapital dapat memiliki cakupan yang luas, dari berfungsi. yang material dan memiliki nilai simbolik, hingga yang Bourdieu (1984) mengajak orang melihat sebuah ‘tak tersentuh’ namun secara budaya dianggap memiliki dunia kebudayaan yang selalu lahir akibat dari transisi atribut-atribut signifikan seperti prestise, status dan dan sirkulasi pemikiran-pemikiran baru yang semula otoritas dapat dianggap sebagai kapital simbolik, sedang hanya beredar di kalangan terbatas pada kaum intelektual, kapital budaya didefinisikan sebagai pola-pola yangdi bidang seni dan para akademisi yang disebutnya sebagai dilandasi selera dan konsumsi budaya. Oleh karena itu, produsen simbol-simbol, kepada para produsen di tahap kapital merupakan relasi atau hubungan sosial dalam satu ke dua yaitu media yang menghasilkan budaya konsumen sistem pertukaran, dan ini berlaku untuk semua benda, dan kebudayaan popular. Melalui para agen perubahan material maupun simbolik, tanpa perbedaan, yang itulah batas-batas area kebudayaan yang semula tertutup merepresentasikan diri sebagai sesuatu yang ‘langka’ dan dapat diakses dan menjadi milik publik. layak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasi Analisis Re-invensi Batik sosial tertentu, antara lain kehormatan dan distingsi atau Bila pada masa lalu batik seakan tak dapat lepas keberbedaan yang menonjol (Bourdieu, 1977:178) dari identitasnya sebagai produk budaya tanah Jawa, maka Untuk memasuki arena dan mampu ‘bermain’ dalam kini pada saat batas-batas fisik dan geografis yang semula pertarungan kekuatan di dalamnya, seseorang harus tegas membingkai identitas tersebut kini menjadi kabur memiliki habitus yang mengarahkannya untuk dapat seiring dengan penyebaran dan mobilitas orang Jawa berjaga-jaga atau beradaptasi sebelum memasuki arena yang semakin meluas dan intensif. Apa yang dulu dengan tersebut dan bukan yang lainnya. Berarti ia harus berupaya mudah diberi bingkai ’kebudayaan agraris Jawa’ pun menggunakan seluruh pengetahuan, ketrampilan dan mulai dipertanyakan oleh kekuatan yang berada di luar talentanya dengan cara yang se’menguntung’kan mungkin. dirinya. Ciri-ciri lokal pun mulai bergeser dengan mulai Untuk berhasil, ia harus menginvestasikan seluruh kapital melebarnya batas-batas interaksi. Masuknya kekuatan yang dimilikinya agar bisa memperoleh manfaat yang pasarpun memperluas jaringan dan orientasi masyarakat paling besar atau ‘keuntungan’ dari upayanya berpartisipasi hingga masyarakat Jawa yang semula merupakan suatu dalam arena (Bourdieu, 1977:179-183). Kapital karenanya bounded system dengan batas-batas yang jelas, kini karena harus berada di dalam arena untuk memaknainya dan para mekanisme pasar, integrasi dan ekspansi pasar beralih agen tidak bergerak dalam kehampaan, namun dalam menjadi suatu borderless society. Orientasi kini tak hanya situasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai oleh regional tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai relasi-relasi sosial obyektif. Untuk menjelaskannya, dan norma baru (Abdullah,1999: 13).

Jurnal Ilmiah WIDYA 125 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

Saat ini, kecenderungannya adalah hanya produk di Indonesia yang terlihat tidak hanya pada contoh masa budaya yang mampu menterjemahkan kualitas miliknya kini seperti dalam musik dangdut yang merupakan hibrida menjadi komoditas dan acara budaya yang hanya dapat musik Melayu, India dan pop Barat, tapi juga dapat dilihat dipasarkan yang akan mampu bersaing, bertahan dan jauh ke belakang misalnya pada desain ragam hias batik, terglobalisasi dengan baik (Picard dan Wood,1997). seperti ragam hias batik dari Cirebon yaitu Paksi Naga Sekarang, Indonesia harus berupaya memposisikan produk Liman yang mengggabungkan pengaruh dari Hindu, Cina, seni rupa tradisional, dalam hal ini batik di dalam pasar dan Islam. Demikian pula motif Megamendung yang kuat global, sehingga kualitas batik Indonesia dapat menjadi pengaruh bentuk maupun warna dari Cina namun hanya komoditas yang mampu bersaing dalam pasar global. dapat ditemui di Cirebon dan bukan di negeri asal pengaruh Global-Lokal dan ‘Glokalisasi’ itu datang. Shinji Yamashita (2003:4)) membahas proses Saat ini topik dalam masyarakt tentang bagaimana kebudayaan yang sedang berlangsung dan relasinya dengan ‘mempertahankan’ atau meningkatkan ‘daya juang dan globalisasi ekonomi maupun politik. Pada kasus-kasus di daya tahan’ tradisional atau lokal dalam menghadapi Asia Tenggara, komunitas nasional, etnik atau sub-regional serbuan kapitalisme global. Namun menurut Primadi menyumbang banyak sebagai agen-agen produksi budaya. Tabrani, (2003:18) bahwa sesungguhnya Indonesia sudah Namun mereka bukanlah entitas-entitas yang sama seperti memiliki ketahanan tersebut, bahkan sejak pra-sejarah, sebelumnya, pada saat batasan wilayah dari komunitas- di negeri ini sebagai kawasan lintasan antar benua, apapun komunitas menjadi semakin ‘cair’ dalam proses globalisasi, bentuk seni yang datang dari luar selalu diolah hingga maka homogenitas kebudayaan dalam setiap komunitas tinggi muatan lokalnya, dan identitas lokal selalu bertahan. kini dipertanyakan. Identitas kebudayaan saat ini terus Oleh karena itu, globalisasi bukanlah suatu hal yang menerus terkontestasi, tertantang pada saat usaha-usaha menakutkan dan harus dihindari, karena masalah dari internasional, negara dan pemerintah, kelas-kelas sosial interaksi global adalah akan selalu terjadi adaptasi dari berbeda, dan kelompok-kelompok berbasis gender, etnisitas cara pandang global ke dalam kondisi lokal dan lokalitas saling berupaya untuk me’redefinisi’kan Re-Invensi Tradisi dan Peran Agen Perubahan dan menentukan bentuk-bentuk kebudayaan baru. Saat ini seperti dikatakan oleh Picard dan Wood Hasilnya, suara-suara yang kita dengar kini menjadi (1997:33) bahwa :kecenderungan saat ini adalah hanya semakin beragam. kebudayaan-kebudayaan baik itu etnik, nasional, regional Penggunaan istilah‘glokalisasi’, pertamakali oleh dan lainnya yang mampu menterjemahkan kualitas Roland Robertson (1995) sebagai perkawinan dari miliknya menjadi komoditas yang dapat di’pasarkan’ globalisasi dan lokalisasi yang diambil dari konsep secara global. Hanya yang memiliki pasar yang akan dochakuka, prinsip agrikultural Jepang yaitu adaptasimampu bersaing, bertahan dan terglobalisasi dengan baik. teknik petanian untuk kebutuhan lokal yang diadopsi oleh Untuk berhasil dalam satu arena produksi budaya, dunia bisnis Jepang yang bermakna ‘ adaptasi cara pandang yaitu tempat produksi dan reproduksi, antara lain juga global ke dalam kondisi lokal’. Oleh karenanya seni tradisi, seseorang harus berupaya menggunakan ‘glokalisasi’ bukanlah pertentangan antara globalisasi dan seluruh pengetahuan, ketrampilan dan talentanya dengan lokalisasi, tapi keduanya berjalan bersama-sama. Dalam cara yang se’menguntung’kan mungkin. Untuk berhasil, perspektif ini, globalisasi bukanlah proses homogenisasi seorang pengrajin, perancang, dan tak hanya pengusaha yang tak terarah, namun proses hibridisasi dualistik di harus menginvestasikan seluruh kapital yang dimilikinya mana lokalisasi adalah sebuah proses yang dihasilkan agar bisa memperoleh manfaat yang paling besar atau oleh globalisasi (Yamashita, 2003: 6) ‘keuntungan’ dari upayanya berpartisipasi dalam arena Proses ‘glokalisasi’ telah berlangsung cukup lama produksi (Bourdieu 1993).

Jurnal Ilmiah WIDYA 126 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

Sebagai contoh dalam studi ini, sumbangan besar dapat angkat dan digunakan kembali menjadi baru, atau dari Maestro Batik, Iwan Tirta (alm) pada industri batik sama sekali baru, dan hasilnya adalah sebuah rekonstruksi modern di Indonesia dalam mengemas dan rekacipta tanpa batas. Penguasaan pakem batik yang didukung oleh teknologi baru tersebut menjadi dasar ‘penyeberangan’ tradisi. Dengan menguasai pakem tradisi yang diperoleh Iwan Tirta ke medium-medium baru seperti penggunaan melalui riset dan dokumentasi yang mendalam, ia mampu ragam hias batik untuk perangkat makan perak dan melakukan pembaharuan material, dimensi, dan desain keramik porselen, misalnya. Maka dapat dikatakan bahwa batik keratonan maupun batik pesisiran hingga produk bagi seorang agen perubahan harus selalu mampu kreatif yang semula milik lokalitas-lokalitas terbatas dapat dalam pasar yang berubah-ubah dinamis dituntut juga di’angkat’ meluas ke nasional, regional bahkan global. praksis strategi yang dinamis baik di bidang desain maupun teknologi. Melalui re-invensi yaitu ‘penemuan baru’ dan re- kreasi yang diambil dari tradisi dan dengan mengendalikan promosi dan pengkondisian selera, maka kekayaan budaya yang semula adalah kapital sosial-budaya bagi lokalitas terbatas kini dapat menjadi kapital sosial-ekonomi, dan diproduksi secara luas, atau dalam bahasa dagang disebut “layak jual”. Regenerasi agen-agen perubahan amat dibutuhkan Gambar 4: Teknologi Komputer sebagai Strategi Re-invensi Tradisi setelah kepergian sang Maestro Batik Iwan Tirta yang Desain Batik berjasa membuka habitus batik yang semula merupakan Dok : Ananda Moersid, Iwan Tirta identitas ‘the ruling class’ yaitu para penguasa di dalam Banyak temuan Iwan Tirta selama hampir empat lingkup keraton-keraton di Jawa dengan dikemas lagi dekade dari tahun 1970 an hingga awal 2000 an di bidang dengan dikendalikan lewat promosi dan pengkondisian batik, namun sumbangan terbesarnya adalah selera hingga nilainya naik masih terus dibutuhkan agar mentransformasikan kain batik tradisional yang semula batikyang semula merupakan Kapital Sosial-Budaya hanya dikenakan sebagai jarik, kain panjang tradisional bagi lokalitas terbatas, pada ujungnya menjadi Kapital Jawa ukuran tertentu yang dililitkan di tubuh, menjadi Material-Ekonomi dalam arena yang lebih luas yaitu busana gaya Barat yang mampu mengikuti selera zaman. arena negara (nation-state) Indonesia bahkan mendunia Dengan mem ’blow out’ (memperbesar) ragam hias batik dalam diplomasi “Batik is Indonesia”. dan menyesuaikan posisi pola letak batik dari semula Bila diihat bahwa proses glokalisasi adalah sebuah hanya terbatas vertikal pada jarik menjadi horizontal negosiasi antara budaya lokal dalam menghadapi budaya sesuai dengan pola busana Barat, maka sekaligus tercipta global maka Re-Invensi Tradisiyang dilakukan para agen dimensi baru batik yang dapat direproduksi dalam dimensi perubahan pada hakekatnya adalah sebuah dialog dan dan volume yang tak terbatas jumlahnya. negosiasi yang terus menerus. Dialog dan Negosiasi itu Perluasan material batik dicapai Iwan Tirta dengan diharapkan bisa menjadi sumber kreativitas kita sekaligus memproduksi teknik batik di atas material-material baru strategi bagi para pelaku atau agen produksi budaya dalam dan mewah seperti sutera, organza, rayon juga wol dan menghadapi kapitalisme dan pasar global. Pada saat melakukan eksperimen pola maupun pewarnaan yang bersamaan terjadi perluasan arena produksi budaya, dari sesuai dengan material-material baru tersebut. Melalui arena lokal ke arena regional, bahkan mendunia, dengan riset dan pendokumentasian pola batik dengan sekaligus tetap menegaskan identitas lokal, yaitu Batik menggunakan teknologi komputer, maka pola-pola lama Indonesia.

Jurnal Ilmiah WIDYA 127 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

PENUTUP Anderson, Benedict R. O’G. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (Revised Edition), London: Kesimpulan Verso.1993. 1. Konstruksi teori estetika yang selama ini terbatas pada Appadurai, Arjun. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization, Minneapolis: University of Minnesota Press.2000 penjelasan tentang konsep seni dan berkesenian atau “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”, bagaimana mengapresiasi seni kini dapat diperluas dengan The Anthropology of Globalization, A Reader, Jonathan Xavier Inda and Renato Rosaldo, eds.2002 memasukan unsur para agen perubahan sebagai penentu Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice, translated by dalam perubahan struktur obyektif yaitu kebudayaan. Richard Nice, Cambridge: University Press.1977 Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, translated by 2. Dalam kaitannya antara Identitas dan Tradisi maka Richard Nice, Cambridge: Harvard University Press.1984 The Re-invensi Tradisi adalah bentuk–bentuk upaya yang Logic of Practice, Stanford: Stanford University Press.1990 The Field of Cultural Production, Essays on Art and Literature, secara sadar mengkonstruksikan Identitas baru yang edited and translated by Randall Johnson, Cambridge: Polity berawal dari Tradisi itu berfungsi selain sebagai Press.1993 Hardjonagoro, KRTH. “Motifs and Meanings” in Batik: Spirit of pembentukan ikatan sosial, juga secara politis diperlukan Indonesia, Judi Achjadi, ed, Jawa Barat: Yayasan Batik untuk pelegitimasian status dan otoritas pendukung budaya Indonesia.1999. Hobsbawm, Eric. “Inventing Traditions” inThe Invention of Tradition, tertentu. Eric Hobsbawm; Terence Ranger, eds. Cambridge: Cambridge University Press.1987. 3. Konsep estetika batik saat ini tidak lagi sekedar Kayam, Umar. “Ngayogyakarta” dalam Sekaring Jagad identifikasinya saja namun dengan memberi tekanan pada Ngayogyakarta Hadiningrat, Mary J. Edleson, Soedarmadji J.H. Damais,eds. Jakarta: Himpunan Wastraprema.1990. identitas batik, terjadi perluasan orientasi yang tak lagi Kearney, M. “The Local and The Global: The Anthropology of hanya regional atau nasional tapi sudah meluas ke global Globalization and Transnationalism” in Annual Review of Anthropology, vol. 24 .1995 dengan me’redefinisi’ dan me’reposisi’ diri. Di satu sisi Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.1994. teknik, media dan desain tradisional dipertahankan, di Magnis-Suseno SJ, Franz. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.1984. sisi lain inovasi, promosi dan perluasan pasar dilakukan McCabe Elliott, Inger. Batik, Fabled Cloth of . Singapore: hingga arena produksi budaya diperluas dengan terus Periplus Editions.2004. Moersid, Ananda. Agen Perubahan Dalam Arena Produksi Budaya menerus melakukan praksis negosiasi dan dialog global- Batik Keratonan Yogyakarta Disertasi Doktoral. Jakarta: Program lokal sebagai sumber kreativitas. Studi Pasca Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.2007. Saran-saran Picard, Michel and Robert E. Wood. Tourism, Ethnicity, and the 1. Studi lebih lanjut tentang re-invensi dan re-kreasi batik State in Asian and Pacific Societies. Honolulu: Hawaii University Press.1997. dari seni tradisi menjadi seni kontemporer akan Sekimoto, Teruo. “Batik as a Commodity and a Cultural Object” in Globalization in Southeast Asia: Local, National and menghasilkan tentang proses penciptaan dan transformasi Transnational Perspectives, Shinji Yamashita; J. S. Eades, eds. identitas juga bagaimana mengkonstruksikan identitas New York: Berghan Books .2003. Shahab, Yasmin Zaki. The Creation of Ethnic Tradition: Betawi of baru yang berangkat dari tradisi. Jakarta, Dissertation. School of Oriental and African Studies, 2. Studi lebih lanjut tentang fenomena produk batik sebagai University of London.1994. Tabrani, Primadi. “Indonesian Visual Art: A Never Ending Process bagian dari identitas lokal yang baru di luar pulau Jawa of Interpellation”, Curatorial Introduction in CP Open Biennale seperti Batik Papua, Batik Kalimantan dan seterusnya 2003. Jakarta: CP Foundation.2003. Tirta, Iwan. Batik: A Play of Light and Shades. Jakarta: Gaya Favorit akan memperkaya khazanah Batik (Baru) di Indonesia. Press .1996. Dibutuhkan studi perlindungan hukum berupa hak cipta “Batik in ” in Batik, Spirit of Indonesia. Cibudur: Yayasan Batik Indonesia.1999. intelektual Batik Indonesia dari teknik hingga disain Roojen van, Pepin. Batik Design. Singapore: The Pepin Press. 2001. ragam hias dan pola. Yamashita, Shinji; J.S. Eades. (eds). Globalization in Southeast Asia: Local, National and Transnational. 2003. DAFTAR PUSTAKA http://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Tirta/22 Oktober 2012 jam 23.15 Abdullah, Irwan. “Dari Bounded System ke Borderless Society”: WIB Krisis Metode Antropologi dalam Memahami Masyarakat Masa http://dannyreviews.com/h/Batik.html/Rabu, 18Desember 2012 1:59:32 Kini”, Antropologi Indonesia, (XXIII) 60:11-18. 1999. AM

Jurnal Ilmiah WIDYA 128 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013