Re-Invensi Batik Dan Identitas Indonesia Dalam Arena Pasar Global
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
ISSN 2337-6686 ISSN-L 2338-3321 RE-INVENSI BATIK DAN IDENTITAS INDONESIA DALAM ARENA PASAR GLOBAL Ananda Feria Moersid Fakultas Seni Rupa – Institut Kesenian Jakarta E-mail: [email protected] Abstrak: Re-Invensi Batik dan identitas Indonesia merupakan suatu fenomena yang penting untuk dapat mengangkat kualitas komoditas di arena pasar global. Re-invensi adalah sebuah upaya yang secara sadar mengkonstruksi identitas baru yang berangkat dari tradisi yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan sosial dan secara politis serta dibutuhkan sebagai bentuk legitimasi status dan otoritas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Bagaimana seni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harus diposisikan pada pasar global. (2) Bagaimana kualitas batik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampu bersaing dalam pasar global. Metoda yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Batik sebagai tradisi ‘otentik’ selalu dapat dikonstruksi atau dire-konstruksi, demi kepentingan politis ataupun pariwisata (2) Kapital ekonomi saja tidaklah cukup, berbagai upaya harus dilakukan untuk meraih kapital budaya dan secara terus menerus menambah pengetahuan budaya, kompetensi dan keunggulan. Hanya dengan kemampuan untuk berubah, mencari bentuk baru dan mengkondisikan batik sebagai sebuah produk budaya, maka re-invensi tradisi dapat menjadi sumber kreativitas dan penegasan identitas Indonesia pada pasar global. Kata Kunci: re-invensi, konstruksi sosial, identitas global Abstract: Batik re-invention and Indonesian identity is an important phenomenon in order to build the quality of the commodity, especially in global market. Re-invention is a conscious effort to construct a new identity based on tradition as a builder of social ties and politically legitimize status and authority. The objective of this study is to find out: (1) How the position of the traditional visual arts, in this case batik within the global market. (2) How to render the qualities of Indonesian Batik into marketable commodity, fit for competition on the global market? The method used library research with the descriptive and explorative approaches. It can be concluded that: (1) Batik as the so called ‘authentic’ tradition can also be constructed or re-reconstructed for the sake of political or tourism. (2) Economic capital is not enough; efforts must be made to attain cultural capital, a constant cultural knowledge, competence and superiority in one’s field. Only by the ability to change, to form new style and put the condition of batik as a cultural production, so that the re-invention of tradition becomes the source of creativity and to confirm Batik identity in the global market. Key words: re-invention, socially constructed, global identity PENDAHULUAN pendatang, petualang maupun penjajah ikut Latar belakang studi ini adalah bahwa produksi batik menyumbangkan jejak mereka pada tanah Jawa dan salah sebagai salah satu identitas budaya di tengah masyarakat, satu produk keseniannya yang utama yaitu batik. (McCabe khususnya di Indonesia sedang berubah secara dinamis. Elliott, 2004: 22). Produksi batik yang esensinya adalah menghias permukaan Saat ini orientasi budaya tidak hanya bersifat regional kain dengan tehnik wax-resist, rintang warna menggunakan dan nasional tetapi meluas ke global dengan serangkaian lilin malam, suatu tehnik warisan pre-moderen hingga nilai dan norma baru dan di saat lokalitas-lokalitas kini masih mampu mengatasi kondisi-kondisi yang berupaya me’redefinisi’ diri dan dalam upaya melihat menguntungkan maupun menyulitkan yang dipaksakan bagaimana identitas kebudayaan mereposisi diri. Sesuatu oleh modernitas, dan hadir sebagai sebuah tradisi yang disebut sebagai ‘tradisi’ ternyata selalu mengalami kontemporer. Desain pola batik dan keberagaman perubahan, baik disadari maupun tidak. Identitas dan penggunaannya menggambarkan keberagaman wajah Tradisi menurut pemikiran Eric Hobsbawm (1987) yang masyarakat di Jawa yang terus menerus berubah-ubah melihat re-invensi tradisi sebagai bentuk–bentuk upaya sepanjang masa. Jejak-jejak agama Hindu, Buddha dan yang secara sadar mengkonstruksikan identitas baru yang Islam dapat ditemui selain keberagaman etnis dan adat- berangkat dari tradisi itu. Fungsinya selain sebagai istiadat yang mewarnainya. Sepanjang sejarahnya, para pembentukan ikatan sosial, juga secara politis diperlukan Jurnal Ilmiah WIDYA 121 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global untuk pelegitimasian status dan otoritas. pemikiran Arjun Appadurai dalam “Modernity at Batik bukanlah sekedar warisan barang berharga Large”(2000) dan “ Disjuncture and Difference in The yang memiliki nilai jual tinggi, tetapi adalah juga simbol Global Cultureal Economy” dalam The Anthology of kultural, melaluinyalah Indonesia menunjukkan Globalization (2002) dan landasan pemikiran Eric identitasnya. Ditengah gempuran ’perebutan identitas’ Hobsbawm dalam “The Invention of Tradition” (1987) batik milik siapa, meskipun telah berhasil mendapat legitimasi menyusul wayang dan keris yang telah lebih PEMBAHASAN dahulu mendapat pengakuan sebagai Masterpieces of The Batik Oral and Intangible Heritages dari UNESCO pada tahun Kain batik adalah satu bentuk tekstil dengan tehnik 2009, masalah yang dihadapi adalah status tersebut dapat ragam hias permukaan yang permukaannya dihias dengan saja dicabut kembali bila Indonesia tidak mampu tehnik wax-resist yaitu rintang-warna menggunakan lilin merepresentasikannya ke dunia sebagai identitas yang dan paling luas penggunaannya di Asia Tenggara. Kain memang layak untuk diakui dan berhak untuk terus hidup, panjang batik dan sarung yang hingga kini masih recognized and revitalized, seperti tujuan dari proklamasi digunakan oleh wanita maupun pria terutama di pedesaan UNESCO yang antara lain mengutamakan warisan dan telah berabad-abad lamanya menjadi bagian penting budaya sebagai a living cultural expression, ekspresidalam khazanah busana Melayu (van Roojen, 2001:9). budaya yang hidup dan bukan seperti benda mati yang Di luar kegunaannya yang fungsional, kain-kain batik tak dipajang di museum. dapat lepas dari nilai simboliknya, baik dari ragam hiasnya Apabila apa yang disebut sebagai tradisi ‘otentik’itu maupun ekspresi warnanya, begitu pula pilihan selalu dapat dikonstruksi atau dire-konstruksi, demi materialnya. Kain dengan pola ragam hias tertentu dapat kepentingan politis ataupun pariwisata, maka bagaimana menunjukkan status dan kekuasaan seseorang atau harus memposisikan seni visual tradisional, dalam hal ini penggunanya, juga nilai-nilai temporal simbolik yaitu batik di pasar global. Rumusan permasalahan studi ini waktu misalnya waktu apa batik tersebut boleh digunakan. antara lain: (1) apa yang menjadi referensi pada Batik begitu berakar dalam kehidupan, terutama di Jawa, masyarakat yang yang sedang berubah kini, (2) bila dari sejak digunakan sebagai alas, selimut dan alat orientasi tak hanya bersifat regional atau nasional tapi penggendong bayi, sarung petani hingga kampuh, kain meluas ke global dengan serangkaian nilai-nilai baru, panjang seremonial seorang raja, dari kain pengantin bagaimana pengaruhnya pada proses penciptaan batik? hingga penutup jenazah (Hardjonagoro, 1999:65) (3) Di saat lokalitas-lokalitas saling berupaya untuk Teruo Sekimoto (2003:111) melihat batik tidak hanya me’redefinisi’kan dan menentukan bentuk-bentuk sebagai komoditi melainkan juga sebagai obyek kultural. kebudayaan baru, bagaimana bentuk reposisi batik sebagai Sebagai suatu komoditi, batik digunakan sehari-hari di bagian dari identitas kebudayaan? hampir seluruh negeri di Indonesia, namun batik juga Tujuan studi ini ingin mengetahui: (1) Bagaimana dapat dilihat sebagai sebuah simbol kultural, karena seni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harus melalui batik tak hanya orang Jawa, tapi bangsa Indonesia diposisikan pada pasar global. (2) Bagaimana kualitas juga mengekspresikan kebanggaan mereka. batik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampu McCabeElliott (2004:22) menegaskan bahwa tehnik bersaing dalam pasar global. rintang-warna menggunakan material-material alami Studi ini menggunakan kajian kepustakaan dengan seperti lilin, beras dan umbi-umbian yang dilumatkan, pendekatan deskriptif dan eksploratif. Termasuk kerangka bahkan lumpur yang dibubuhkan pada selembar kain Jurnal Ilmiah WIDYA 122 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 Ananda Feria Moersid, 121 - 128 Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global simultan di mana-mana, sejak sebelum Masehi di Mesir, panjang. pada masa dinasti Tang abad ke 8 di Cina, bahkan di Tradisi dan Identitas Afrika, India juga Jepang hingga saat ini; namun tak dapat Di samping masalah teknik pembuatan dan estetika dipungkiri bahwa hanya di Jawa dan Madura lah batik batik, terdapat pesan-pesan sosial yang dikandung di muncul sebagai satu bentuk seni menghias permukaan dalamnya, termasuk juga penegasan tentang identitas kain yang menonjol di Asia baik dari segi teknik maupun siapa penggarap dan penggunanya, lingkup kehidupan, perbendaharaan motif ragam hiasnya. dan yang terpenting world viewatau pandangan hidup yang mendasari proses kreatifnya. Franz Magnis-Soeseno (1984) menandai bahwa dalam pandangan dunia Jawa tersebut, realitas tak dibagi-bagi dalam bidang-bidang yang terpisah, tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan pengalaman. Budayawan