Quick viewing(Text Mode)

Artikulasi Identitas Wong Solo Di Eks Enklave Surakarta Sosial Budaya Yang Melibatkan Dua Hal

Artikulasi Identitas Wong Solo Di Eks Enklave Surakarta Sosial Budaya Yang Melibatkan Dua Hal

SulistHyoUwMatiA -N AIrOtikRuAlasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave

VOLUME 26 No. 2 Juni 2014 Halaman 149-163

ARTIKULASI IDENTITAS WONG SOLO1 DI EKS ENKLAVE SURAKARTA: KONSTRUKSI BAHASA DAN PEMERTAHANANNYA

Sulistyowati*

ABSTRACT Culturally and consist of the ex enclave regions of Surakarta which are called Kotagede SK and Imogiri SK. The community of the ex Surakarta enclave is also known as Wong Solo. This article describes the existence of Wong Solo in Surakarta ex enclave in maintaining its identities. The label of , courteous, alus, glamorous, and umuk attached to Wong Solo articulated through language practices and material culture. Historical and sociocultural perspective used to describe the verbal expression as identity markers and narratives elicited through etnographic work. It is assumed that the romanticism of the elite, class consciousness, and awareness of the preservation of tradition dominate retention Wong Solo. Cultural agencies, Surakarta and Palace in the historical affinity presented by abdi dalem juru kunci of the kings of cemetery become binding factor of Wong Solo identity in Surakarta ex enclave.

Keywords: ex Surakarta enclave, identity markers, verbal expression, retension of identity, Wong Solo

ABSTRAK Kotagede dan Imogiri secara kultural terdiri atas daerah-daerah eks enklave Surakarta yang disebut Kotagede SK dan Imogiri SK. Masyarakat eks enklave Surakarta tersebut dikenal pula sebagai Wong Solo. Artikel ini mendeskripsikan eksistensi Wong Solo di eks enklave Surakarta tersebut dalam mempertahankan identitasnya. Label priyayi, sopan, alus, glamor, dan umuk yang melekat pada Wong Solo diartikulasikan melalui aktivitas berbahasa dan budaya materi. Perspektif historis dan sosiokultural dimanfaatkan untuk menjelaskan ekspresi verbal yang menjadi pemarkah identitas dan narasi-narasi yang dijaring melalui kerja etnografis. Diasumsikan bahwa romantisme kelompok elite, kesadaran kelas, dan kesadaran pelestarian tradisi mendominasi pemertahanan identitas Wong Solo. Agensi kultural, Keraton Surakarta dan Yogyakarta dalam pertalian historis yang dipresentasikan abdi dalem juru kunci makam raja-raja Mataram menjadi faktor pengikat identitas Wong Solo di eks enklave Surakarta.

Kata Kunci: eks enklave Surakarta, ekspresi verbal, pemarkah identitas, pemertahanan identitas, Wong Solo

* Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

149 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

PENGANTAR mengaktualisasikan dirinya melalui simbol-simbol. Batas simbolis dapat ditampilkan melalui gaya Surakarta, yang dikenal pula dengan hidup, pakaian, tradisi, seni, dan bahasa. Simbol istilah Solo atau Sala, dan Yogyakarta, dua yang paling mudah diamati adalah pakaian. pusat kebudayaan Jawa yang masing-masing Pakaian tradisional pria gaya Surakarta dikenal menampilkan keunikan yang berbeda. Perbedaan dengan istilah beskap, sedangkan gaya Yogyakarta tersebut terlihat pada simbol-simbol yang dimiliki, disebut peranakan. Tutup kepala () bagian baik yang kasat mata (tangible) maupun tidak kasat belakang bawah (bagian tengkuk) gaya Surakarta mata (intangible). Bahasa yang digunakan oleh berbentuk pipih, sedangkan gaya Yogyakarta pendukung budaya tersebut dalam hal ini bahasa berbentuk mondholan (bulatan). Kain gaya Jawa merupakan salah satu simbol yang menandai Surakarta lebih dominan berwarna dasar coklat, perbedaan itu. Bahasa Jawa yang digunakan di Yogyakarta dominan dengan warna dasar putih. Surakarta dikenal dengan nama dialek Surakarta Dalam berkain, garis tepi atau warna putih pada (Solo), sedangkan yang digunakan di Yogyakarta tepi kain (sèrèdan) gaya Yogyakarta diperlihatkan, dinamakan dialek Yogyakarta. Kedua dialek sedangkan dalam gaya Surakarta garis tepi tersebut tersebut dianggap sebagai dialek bahasa Jawa dilipat ke dalam (disembunyikan). Perilaku tersebut standar karena menempati peringkat teratas dalam dapat dimaknai sebagai bentuk keterbukaan atau status hierarkis dan secara bertahap diterima sebagai kelugasan dan keterselubungan. varian yang paling halus, paling jlimet (canggih), paling berkembang dengan pesat, serta paling Istilah Wong Solo menjadi bermakna apabila 2 mampu mengekspresikan esensi budaya Jawa. disandingkan dengan Wong Yogja atau Wong Yoja . Wijana (2005:157) menjelaskan bahwa pemilihan Demikian juga sebaliknya, seperti dikemukakan bahasa Jawa dialek Solo-Yogya sebagai bahasa Ahimsa-Putra, (2004:5) bahwa Yogyakarta Jawa standar dipengaruhi oleh faktor status sosial, menjadi bermakna bilamana disandingkan dengan jumlah penutur, serta fungsi yang diperankan oleh “lawan”nya yang sekaligus juga pasangannya, bahasa tersebut. Diungkapkan pula bahwa pada yakni Surakarta karena nama Yogyakarta baru masa lampau, Solo (Surakarta) dan Yogyakarta mencuat setelah palihan nagari, ketika kerajaan adalah pusat kerajaan besar Kasunanan Surakarta Mataram yang semula satu kemudian pecah dan Kasultanan Ngayogyakarta. Persepsi ini sama menjadi dua, untuk menyelesaikan konflik yang sekali bersifat politis dan tidak mencerminkan berkepanjangan di pewaris tahta kerajaan. superioritas esensial yang melekat pada dialek. Hal Kontestasi kultural keduanya tampak dalam budaya ini dapat ditelusuri kembali pada dominasi bahasa material ataupun budaya perilaku. Wong Solo Jawa secara politis oleh Sultan Mataram dan diikuti terkenal umuk ‘suka pamer’, sedangkan Wong Sultan Yogyakarta dan Sunan Solo, serta raja di Yogja dikenal dengan glembuk-nya ‘suka merayu’ Pura dan (lih.Quinn, (Kartodirdjo, 1993:82-83; Hudayana, 2011:5). 2012:69; Soemarsono dan Partana, 2002:28). Dalam aktivitas berbahasa, ekspresi verbal inggih dan injih merupakan varian yang membedakan Dua kebudayaan besar tersebut saling identitas keduanya. Untuk mengungkapkan “ya”, berkontestasi dalam memperlihatkan identitas Wong Solo menggunakan nggih atau inggih, kelompoknya, termasuk pendukung kebudayaan sedangkan Wong Yogja memakai injih. Surakarta -lebih akrab disebut dengan Wong Solo- yang berada di wilayah eks enklave, yaitu Fenomena kultural ini membentuk Kotagede dan Imogiri. Secara historis kultural identitas kelompok tersebut bukan saja dalam Kotagede dan Imogiri memiliki pertalian dengan batas geografis, tetapi juga simbolis yang dua keraton, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan membedakannya dengan kelompok lain (Abdullah, Kasunanan Surakarta. Abdi dalem juru kunci 2006:13). Sekelompok orang yang berada dalam makam sebagai representasi dua keraton tersebut lingkungan budaya yang lain mengalami proses

150 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta sosial budaya yang melibatkan dua hal. Pertama, suatu kelompok atau etnis dapat mengidentifikasi pada tataran sosial terjadi proses dominasi dan kelompok lain melalui tuturan yang digunakan, subordinasi budaya yang dinamis. Kedua, pada sekalipun simbol yang digunakan terlihat sama. tataran individual terlihat proses resistensi di Gejala sosial dipandang dari kacamata orang- dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang yang terlibat di dalamnya dan dijelaskan orang di dalam konteks sosial budaya tertentu berdasarkan pandangan-pandangan mereka (Abdullah, 2006:41-42). Melalui aksen, bunyi, (Ahimsa-Putra, 1985:104). Menurut Bussman, kosa kata, dan pola-pola wacana penutur suatu etnolinguistik memadukan metode dan teori bahasa mengidentifikasi dirinya dan diidentifikasi etnologi dan linguistik yang mengkaji hubungan sebagai anggota suatu masyarakat tutur dan bahasa dan etnis berdasarkan aspek-aspek masyarakat wacana. Dalam keanggotaan kelompok sosiokultural dalam suatu masyarakat. Aspek- tersebut digambarkan kekuatan dan kebanggaan aspek etnolinguistik suatu bahasa yang digunakan personal dalam memaknai kepentingan sosial dan oleh masyarakat tutur dapat dilihat dari sudut keberlangsungan historis dalam penggunaan bahasa pandang komunikasi, identitas, dan realitas yang sama (Kramsch, 1998:65-66). sosial. Aspek-aspek tersebut di antaranya dapat Secara ideologis, Wong Solo dinilai diamati melalui sistem pengklasifikasian, pola- menjunjung tinggi sopan santun, tata tentrem, pola pikir, dan kearifan lokal suatu etnis yang tepa salira, tata krama, guyup rukun, dan gotong tercermin dalam konsep dan dituangkan melalui royong. Menggarisbawahi apa yang dikemukakan bahasa yang digunakan (Djawanai, 2008:1). Smith-Hefner (1983:52-53), tata tentrem berarti Melalui pemahaman ini diharapkan bahwa bahasa segala sesuatu yang berada pada tempat yang yang memiliki kelenturan atau fleksibilitas dapat tepat. Bertutur dengan benar, disertai kerendahan memberi peran dalam upaya mengukuhkan hati dan pengendalian diri, membantu dalam identitas masyarakat tuturnya. mencapai tata tentrem. Rukun atau harmoni Perangkat dialektologi yang berupa daftar tercapai ketika seseorang bertindak dalam tata cara kosa kata Swadesh dimanfaatkan sebagai piranti tertentu sesuai dengan status mereka. Aturan-aturan untuk membantu menjawab permasalahan di yang mengarahkan seseorang bersikap konsisten atas dengan pendekatan etnografis. Kode-kode terhadap posisinya dinamakan tata krama. Cara yang berupa ekspresi verbal (kata ataupun frasa) mencapai harmoni dan kesopanan dalam interaksi yang memiliki kekuatan makna sebagai pembeda personal yaitu tepa salira, yaitu menempatkan diri identitas disusun dalam daftar tanyaan untuk sendiri pada tempat orang lain. diobservasi ranah persebaran penggunaannya oleh Stereotipe yang melekat pada Wong Solo penutur di daerah-daerah eks enklave. Penjaringan adalah orangnya halus. Bahasanya pun dianggap data sebagaimana dikemukakan Geertz (1973:6) lebih halus. Untuk memotret identitas Wong Solo bahwa dalam penelitian etnografis harus dibuat yang berada di eks enklave Surakarta, yaitu di thick descriptions (pelukisan mendalam) yang daerah Kotagede dan Imogiri Yogyakarta, muncul menggambarkan kejamakan struktur-struktur beberapa pertanyaan mendasar, bagaimanakah konseptual yang kompleks, termasuk asumsi- eksistensi Wong Solo di wilayah eks enklave; asumsi yang tidak terucap dan taken-for-granted bagaimana identitas Wong Solo diartikulasikan (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai melalui bahasa, dan upaya pemertahanan identitas kehidupan. Melalui wawancara mendalam (indepth tersebut dipengaruhi oleh faktor apa saja. Tulisan interview) diperoleh wacana-wacana naratif yang ini akan mengungkap aspek-aspek kebahasaan berupa pengalaman-pengalaman individu pada dan non-kebahasaan terhadap Wong Solo yang saat hidup di masa enklave (Kotagede SK dan dianggap selalu berbeda dengan Wong Yogya. Imogiri SK), serta kondisi kekinian. Cerita-cerita Perspektif etnolinguistik memberi ruang bagaimana ini menjadi indeks bagaimana penutur bahasa

151 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

Jawa di eks enklave Surakarta mengonstruksi dan kalau di sana gendhuk, ndhuk... Kalau anak merefleksikan identitas sosial dan budayanya. kecil di sana laki-laki lik, kalau sini le. Kalau Benwell & Stokoe (2006:141) menyambungkan lik... lik..., kelik itu berarti anak cilik gitu. antara naratif dan identitas yang dieksplorasi dalam Penutur mengidentifikasi leksikon-leksikon teks-teks yang diderivasi dari materi-materi publik, pada tuturan (1) yang memarkahinya sebagai Wong seperti biografi atau otobiografi, majalah, program Solo, melalui konstruksi bentuk tegun no untuk televisi dan radio, mitos dan legenda, serta teks- mempertegas tuturan. Demikian pula bentuk sapaan teks dan informasi kultural. Bahasa yang digunakan kekerabatan gendhuk untuk anak perempuan dan oleh anggota-anggota kelompok sosial berhubungan kelik untuk anak laki-laki, yang sering disingkat erat dengan identitas kelompok tersebut. Bahasa ndhuk dan lik. berfungsi sebagai alat identifikasi diri masing- Penyebutan istilah Yogya, dengan Yogja atau masing kelompok. Yoja juga menjadi fitur pembeda. Seperti diakui oleh Pak Kandar (74 tahun), Wong Solo yang EKSPRESI VERBAL SEBAGAI PEMARKAH menjadi abdi dalem Yogyakarta, “Ingkeng mboten IDENTITAS ical menika nèk ngarani Yoja. Priyantun Sala nèk Variasi-variasi tutur dapat digunakan sebagai ngarani Yoja menika Yogja. Nanging nèk omong, pemarkah identitas. Variabel struktur suara seperti “Kula menika saking Yoja”, lha kuwi mesthi Yoja aksen, tekanan suara, volume, kecepatan, intonasi, asli.” (Yang tidak bisa hilang apabila menyebut membedakan penutur satu dengan penutur lain, Yogya. Orang Sala apabila menyebut Yogya adalah di samping perbedaan leksikon dan gramatikal. Yogja. Kalau mereka berbicara, “Saya dari Yoja”, Perbedaan-perbedaan tersebut mengekspresikan berarti Yogya asli). Penggunaan Yoja juga dapat perbedaan emosi, kekuasaan, otoritas, gender, dilihat pada tuturan (2). identitas sosial, atau kunci sebuah interpretasi dan Seperti telah disinggung di atas, varian inggih mengiringi perbedaan tindak tutur atau genre (van dan injih menjadi fitur pembeda wong Solo dan Dijk, 2008:160). wong Yogya. Seorang penjual , Hj. Sarjuni Bahasa Jawa Solo dilihat berdasarkan aspek (65 tahun), orang Imogiri YK di makam Pajimatan bunyi, memiliki varian bunyi [ε] dan [I] untuk (makam raja-raja di Imogiri) menceritakan vokal /i/, misalnya putih ‘putih’, dilafalkan [putIh] bagaimana pandangannya tentang injih dan inggih, atau [putεh]; getih ‘darah’, dilafalkan [gətIh] atau (2) ...Menawi Solo utawi bagongan rak inggih, [gətεh]; varian [ə] dan [a] untuk vokal /a/, misalnya menawi Yoja rak injih. Kula injih. Kaliyan ingkang ‘yang’ dilafalkan [iŋkəŋ] atau [iŋkaŋ]; Kanjeng Ratu Hemas menika kula rak asring pun timbali. Njih, sok komunikasi kaliyan Ibu pangèran ‘gelar bangsawan’, dilafalkan [pəŋεran] Ratu Hemas. atau [paŋεran]. Varian-varian bunyi tersebut 4 ditemukan pada penutur di eks enklave. Adapun ‘...Kalau Solo atau bagongan yaitu inggih, sedangkan Yogya itu injih. Saya pemarkah yang berbentuk leksikon, diungkapkan (menggunakan) injih. Kanjeng Ratu Hemas seorang penutur, Pak Kandar (74 tahun) sebagai (permaisuri Sultan HB X) sering memanggil berikut. saya. Ya, sering berkomunikasi dengan Ibu Ratu Hemas.’ (1) Sekarang bahasa logatnya, logatnya ya, dulu saya ya Wong Solo, ibu saya juga Solo ya, ibu Pengakuan atas pembedaan ini tidak hanya saya juga, logatnya itu kalau di sana itu kalau dilakukan oleh penutur bahasa Jawa di eks enklave. berbicara sok pakai no. Ya no! Ora no! Ha’a Sebuah blog yang ditulis oleh gadis Jawa Yogya no! Ha’a ya...rénéa! Dialog bahasa seperti ngundang, memanggil anak kecil, kalau di yang merasa kehilangan identitas ke-Jawa-annya sana3 lik, ndhuk, kalau di sini dhénok. Kalau karena tidak bisa menggunakan bahasa Jawa anak perempuan kecil nok. Nok... nok... nok... dengan baik, khususnya penggunaan inggih dan

152 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta injih. “dudu wong Jawa” atau bukan orang Jawa. Sikap yang selalu mengiyakan dan tidak pernah menolak (3) “Aku orang Jogja. Aseli. Bokap aseli dari Jogja, uda beberapa turunan tinggal di Jogja. tersebut dimaksudkan untuk menjaga harmoni […] Orang bapakku aja, sewaktu aku sma, dengan cara menyenangkan atau memuaskan menegur aku dengan tajam, hanya karena orang lain sekalipun mungkin tidak mudah untuk aku bilang “nggih, inggih” dengan orang tua. dilaksanakan. Oleh karena itu, kata inggih secara 5 Harusnya “njih, injih”... kultural menunjukkan sikap mengiyakan yang ‘Saya orang Jogja asli. Bapak asli dari Jogja, memuat konsep harmoni. “Hormat” (urmat atau aji) sudah beberapa turunan tinggal di Jogja. [...] yang direpresentasikan dalam bentuk penggunaan Bapak saya, sewaktu saya SMA, menegur bahasa alus dan menjaga “harmonisasi sosial” saya dengan tajam, hanya karena saya bilang “nggih, inggih” (ya) dengan orang tua. adalah dua nilai yang mengikat orang Jawa dalam Harusnya “njih, injih”...’ etika Jawa (Geertz, 1989:146). Tuturan-tuturan di atas mengukuhkan bentuk Dalam variasi sintaktik, sing dan olèhé juga inggih dan injih sebagai penanda identitas. Pada menjadi pemarkah yang dominan, sebagaimana tuturan (2) penutur menegaskan perbedaan Solo dinarasikan oleh Pak Kandar (74 tahun), dan Yogyakarta dengan ungkapan Menawi (4) Riki menika nggih wonten dhaérah lèr peken, Solo inggih, menawi Yoja injih ‘Kalau Solo nak ngarani sing, sing nggawa sapa? Malah inggih, kalau Yogyakarta injih. Diikuti dengan lé nggawa sapa? Mbok menawi nalurèkken penjelasan Kula injih ‘Saya [menggunakan] menapa dos pundi. Lé nggawa piyé? Sing nggawa piyé? Rumiyin kula nggih mboten injih’ yang menunjukkan identitas penutur nggatosaken, sareng kula gadhah simah, o lha sebagai orang Yogya, apalagi diperkuat dengan wong Karanganyar. informasi kedekatan hubungannya dengan ‘Di sini ada daerah di utara pasar, kalau Keraton Yogyakarta (Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menyebut sing ‘yang’, sing nggawa permaisuri Sultan Yogyakarta) sekalipun penutur sapa? Yang membawa siapa? Justru, lé bukan abdi dalem. Demikian juga pada tuturan nggawa sapa? Barangkali melestarikan (3), penggunaan nggih, inggih oleh orang Yogya atau bagaimana. Lé nggawa piyé? ‘Cara dianggap sebagai sebuah kesalahan berbahasa membawanya bagaimana?’, Sing nggawa piyé? Dulu saya tidak memperhatikan, setelah dengan penegasan korektif “harusnya njih, injih”. mempunyai istri, o karena orang Karanganyar.’ Kedua tuturan tersebut menunjukkan terjadinya polarisasi kelas dalam masyarakat bahwa Sing dalam bahasa Jawa standar berarti penggunaan inggih atau injih itu dilakukan (diikuti) ‘yang’ (agen/pelaku), sedangkan lé/olèhé berarti oleh orang kebanyakan. ‘cara’ seperti juga bahasa Jawa Yogya. Namun, Kedua bentuk inggih dan injih yang berarti ‘ya’ bahasa Jawa Solo menukar makna kedua menunjukkan sikap akomodatif dan merefleksikan bentuk, seperti pada tuturan (4), sing nggawa sikap hidup orang Jawa yang selalu menjaga piyé? ‘Cara membawanya bagaimana?’, lé harmoni dan prinsip rukun. Adat kebiasaan orang nggawa sapa? ‘Yang membawa siapa?’. Pada Jawa untuk cenderung mengatakan inggih ‘ya’ ini kalimat Mbok menawi nalurèkken ‘mungkin seperti diungkapkan oleh Houben (1994:219), […] melestarikan’ menandakan bahwa ada upaya the institution or wishes of Javanese. […] the chiefs untuk mempertahankan identitas Solo melalui and the ordinary people just say inggih (yes). Orang penggunaan bentuk sing dan olèhé. Jawa cenderung mengatakan “ya” atau ya (ngoko), Dalam konteks yang berbeda, Pak Atmosudiro inggih (krama). Berkata ya atau inggih seolah- (80 tahun) menceritakan pengalamannya terkait olah menjadi wajib bagi orang Jawa. Apabila aktivitas kultural di daerah eks enklave khususnya mengatakan ora atau mboten ‘tidak’ kepada aktivitas di makam raja-raja di Imogiri dan seseorang akan dianggap “ora njawani” atau bagaimana sing digunakan, terlihat pada tuturan (5)

153 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163 berikut. membutuhkan kebaikan darinya. Adapun gertak diekspresikan dengan cara memprovokasi lawannya (5) Nèk nguras bengi okèh pengunjung dha ngalap berkah. [...] Nèk nguras bengi, sing agar ketakutan, yaitu ditekan menggunakan ngisèni ésuk. Pasaréan sing ning Solo tengen kekuatan fisik ataupun nonfisik sehingga mengalah Sultan Agung, kulon dhéwé Sultan X wis (Hudayana, 2011:5). pantok, wis ora ana lapangan menèh. Wong Solo mengekspresikan dan menampilkan ‘Kalau menguras malam hari banyak dirinya dengan cara umuk, baik secara verbal pengunjung mencari berkah. [...] Kalau maupun nonverbal. Umuk dijadikan cara menguras malam hari, mengisinya pagi harinya. Makam Solo di sebelah kanan Sultan mengekspresikan diri untuk memperlihatkan Agung, paling barat adalah Sultan X sudah identitas individu ataupun kelompok. Hal ini sejalan habis, tidak ada lapangan lagi.’ dengan pernyataan Kim dan Co (2007:326) bahwa orang mengekspresikan identitas diri mereka Sing dalam bahasa Jawa Solo memiliki dua melalui kata-kata, pilihan-pilihan, ataupun tindakan. makna, yaitu ‘yang’ dan ‘cara’. Makna pertama Individu menampilkan benda yang dimiliki, terlihat pada Pasaréan sing ning Solo, sedangkan perilaku, dan nilai-nilai yang merefleksikan makna kedua terdapat pada Nèk nguras bengi sing identitas personal untuk membedakan dirinya ngisèni ésuk. Leksikon nèk atau nak ‘kalau’ sebagai dengan yang lain sehingga menampakkan keunikan penanda hubung yang produktif digunakan dalam atau keunggulannya. Melalui kata-kata yang tuturan ngoko juga menjadi pemarkah lingual digunakan, seperti juga diungkapkan oleh van Dijk bahasa Jawa Solo. (2008:172) bahwa penutur menunjukkan identitas sosial, relasi partisipan, adaptasi dengan pendengar, UMUK SOLO mood, emosi dan nilai, opini, sikap, pengetahuan, dan jenis situasi (in)formal ataupun institusional, Suatu masyarakat memiliki karakter atau ketika mereka bertutur atau berinteraksi. Bagi kepribadian yang menjadi identitasnya. Glembuk masyarakat Solo termasuk masyarakat eks Yogya atau bujuk Mataram, umuk Solo, dan gertak enklave di berbagai lapisan sosial, umuk memiliki merupakan labelisasi pada masyarakat kekuatan prestisius, ya iki aku ‘inilah saya’ untuk Jawa. Glembuk Yogya atau bujuk Mataram untuk menampakkan identitasnya secara material orang Yogya atau keturunan Mataram, umuk ataupun nonmaterial. Sebagai contoh, ekspresi Solo untuk orang di wilayah Solo atau Surakarta, yang dinarasikan oleh bupati juru kunci Surakarta, dan gertak Semarang untuk orang Semarang K.P.H. Suryo Negoro bahwa sebagai seorang (Kartodirdjo, 1993:82-83). Glembuk berarti bupati dirinya adalah pengayom warganya dalam ‘rerimuk supaya gelem, bujuk’ (membujuk supaya arti penguasa secara kultural bahkan terhadap mau) (Poerwadarminta, 1939:150). Umuk berarti bangsawan Yogyakarta. ‘ngajèni awaké (barang darbèkké) ngungkuli samesthiné’ (menghargai dirinya/barang miliknya (6) Ngaten, kula aturaken sareng kula mlebet melebihi yang semestinya) (Ibid.:439). Umuk mriki alhamdulillah rasanipun Yoja kaliyan dapat diartikan suka pamer, omong besar, atau Sala menika mboten wonten bédanipun, bèntenipun. Sebab Ngarsa Dalem, HB X menonjolkan diri sendiri. Adapun gertak berarti rawuh wonten ngajengan, monumen batik, ‘getak atau panyentak‘ (bentakan) (Ibid.:145). menika rak siti mriki, kok mboten kersa Glembuk ditampilkan dengan cara bersikap salaman. Lha sekretarisipun mundhut priksa, mengalah, rendah hati, sopan, menonjolkan “Kanjeng Pengèran Suryo Negoro, [...], niat baik, sedangkan umuk ditampilkan dengan menika leresipun Sala menapa Yoja?” “Lhoh, kok Penjenengan mundhut ngaten menika memamerkan kelebihan harta, pangkat, derajat, kersanipun menapa? Maknanya apa?” Kula kebaikan, guna memancing lawan mau mengalah aturaken menapa ingkang leres. Kula menika karena posisinya lemah, bergantung, dan mboten tèdhèng aling-aling, kula menika

154 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

Sala, ning.... [...]. Kula wonten ngriki menika yang memiliki kedudukan, bahkan peran yang mboten lepat, mboten lepat. Kula menika penting, yaitu kula menika terus terang kémawon ngimpi men mboten, kok pun dhawuhi wonten nggadhahi Yogja. Keunggulannya diekspresikan mriki kaliyan Sinuwun PB XII. Kula menika terus terang kémawon nggadhahi Yogja. dengan sampun, sampun aja nyembah. Sikap Sinten? Inggih Gusti Bendara Pengèran Harya nyembah ‘menyembah’ hanya dilakukan oleh Tepasana. Lha Eyang. Lajeng nyembah. kawula terhadap gusti yang memiliki kedudukan “Sampun, sampun, aja nyembah.” Waged tinggi, sebaliknya bentuk bahasa ngoko, aja kempal saé malih sareng kula wonten mriki, ‘jangan’ biasanya digunakan oleh raja kepada kulina sanget kaliyan bangsawan Jogja. kawulanya. Pengakuan secara tegas dan eksplisit ‘Begini, saya sampaikan, begitu saya masuk terhadap identitas Solo dan penyatuan kembali di sini, alhamdulillah, rasanya Yogya dan Solo atas peran yang dilakukan oleh bupati juru kunci, itu tidak ada bedanya. Sebab Ngarsa Dalem6, waged kempal saé malih sareng kula wonten mriki, HB X datang di depan, monumen batik, itu kan tanah sini, kok tidak mau salaman. Lalu merupakan salah satu bentuk umuk yang menjadi sekretarisnya bertanya, “Kanjeng Pangeran fitur penanda identitas Wong Solo. Suryo Negoro, [...], itu sebenarnya Solo Sikap umuk tokoh atau pemimpin juga atau Yogya?” “Anda bertanya seperti itu mempengaruhi kawulanya, seperti yang dituturkan maksudnya apa? Maknanya apa?” Saya sampaikan yang sebenarnya. Saya tidak oleh Pak Kandar (74 tahun), yang memberi menutup-nutupi, saya ini Solo, tetapi....[...]. penilaian terhadap abdi dalem Solo yang umuk. Saya di sini tidak salah, tidak salah. Saya (7) […] Piyayi7 Sala, abdi dalem Sala kok nggih bermimpi saja tidak, diminta di sini oleh umuk-umuk. Tapi kalau umuknya tidak hanya Sinuwun PB XII. Saya ini terus terang saja sekedar ming bebasan, tapi bener-bener masih memiliki Yogya. Siapa? Yaitu G.B.P.H. dilakukan. Mbokmenawi nggih pengaruh Tepasana. Lha Eyang. Lalu menyembah. saking kanjengipun, bupati juru kunci. “Jangan, jangan menyembah.” Bisa bersatu Menika rak ngetingal-ngetingaken salanipun, kembali setelah saya di sini, sangat sering ngetingalaken nggènipun tesih wayah dalem bergaul dengan bangsawan Yogya.’ kaping X. Kalimat-kalimat pada narasi di atas sarat ‘[…] Priayi (orang) Solo, abdi dalem Solo kok dengan ekspresi umuk. Ungkapan sareng kula ya umuk-umuk (suka pamer). Umuknya bukan mlebet mriki memerlihatkan bahwa situasi sekedar dalam perumpamaan, tetapi benar- (perseteruan/gap antara Yogyakarta dan Surakarta) benar masih dilakukan. Mungkin pengaruh dari menjadi baik, “sejak saya masuk sini”. Diikuti kanjengnya, (atasannya), bupati juru kunci. Ini menunjukkan Solonya, menunjukkan bahwa kalimat berikutnya, sebab Ngarsa Dalem, [...] masih cucu Sunan ke X.’ HB X rawuh wonten ngajengan, [...] menika rak siti mriki, kok mboten kersa salaman menyatakan Pada tuturan (7) digambarkan sikap umuk bahwa Sultan Yogyakarta enggan untuk bersalaman orang Solo yang bukan hanya diekspresikan dengan bupati juru kunci makam sewaktu datang secara verbal tetapi juga nonverbal, umuknya ke museum batik yang berada wilayah eks enklave tidak hanya sekedar ming bebasan, tapi bener- yang secara kultural di bawah kekuasaannya. bener masih dilakukan. Sikap ini juga dipengaruhi Ditambah dengan pertanyaan sekretaris yang oleh pimpinannya yang senantiasa menunjukkan mempertanyaan identitasnya seolah-olah orang identitas keSoloannya, ngetingal-ngetingaken tidak mengenal dirinya. Hal ini menyebabkannya salanipun, ngetingalaken nggènipun tesih wayah untuk menunjukkan identitasnya secara tegas dalem kaping X. Ekspresi tersebut memperkuat dengan kula menika mboten tèdhèng aling- deskripsi pada narasi (6), kula menika Sala. […] aling, kula menika Sala. Dengan repetisi kula nggadhahi Yogja. […] Inggih Gusti Bendara wonten ngriki menika mboten lepat, mboten Pengèran Harya Tepasana. lepat menunjukkan identitasnya sebagai orang Gambaran sikap umuk secara nonverbal

155 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163 terlihat pada narasi (8), yakni cara berpenampilan karena bersifat dinamis, ditempatkan secara kultural di depan umum, berpakaian bagus sekalipun tidak dan historis, serta dikonstruksikan dalam interaksi makan, nèng ngomah ra isa ngliwet, diundangi dengan orang lain dan struktur institusional, dibuat golèk pakaian nyéwa sing apik. Kebanggaan kembali secara berkelanjutan dan situasional diri diekspresikan melalui benda-benda prestise, (Benwell & Elizabeth Stokoe, 2008:138). Bahasa pakaian atau mobil. Benda-benda prestise oleh yang bersifat dinamis menjadi ciri pokok identitas Khalil (2000:39) dikatakan dapat menjadikan manusia, sebagaimana dikemukakan Spolsky seseorang suka pamer karena benda-benda tersebut (1999:181), ”language is a central feature of memberi nilai kesombongan dan kebangganan diri human identity. When we hear someone speak, we atas orang lain yang tidak memiliki kemampuan itu. immediately make guesses about gender, education level, age, profession, and place of origin. Beyond (8) Nèk Wong Solo kuwi istilahé sok umuk. Riyin lho kathah gebyar, membanggakan this individual matter, a language is a powerful diri. Nuwun sèwu lho nèng ngomah ra isa symbol of national and ethnic identity”. Pilihan- ngliwet, diundangi golèk pakaian nyéwa sing pilihan kode bahasa atau ragam-ragam bahasa apik. Dadiné ora nduwé mobil isa nyéwa. Di dapat menandai identitas sosial. Namun, baik antaranya, nèk Jogja sak ontenipun. Orang identitas maupun penggunaan bahasa bukan hal Solo kan umuk, kan senang diwah, nèk Jogja menunduk, merendahkan diri. Misal gadhah yang tetap. Keduanya bersifat dinamis tergantung mobil, tapi merendahkan diri. Nuwun sèwu pada waktu dan tempat (Gibson, 2004:3). Bahasa mboten tékna kula tiyang Jogja lho. dan komponen-komponennya berfungsi sebagai ‘Kalau orang Solo itu istilahnya suka pamer. pemarkah identitas dan pemarkah tutur yang Dahulu suka glamor, membanggakan diri. digunakan untuk mengidentifikasi diri masing- Maaf, di rumah tidak bisa menanak nasi, kalau masing kelompok, tidak hanya antara Wong Solo diundang, mencari pakaian dan menyewa yang dan Wong Yogja, melainkan juga wong ningrat bagus. Jadi, tidak punya mobil bisa menyewa. dengan orang kebanyakan. Dialog atau tuturan Di antaranya, kalau Jogja apa adanya. Orang Solo itu umuk, senang dipuji, kalau Jogja yang diucapkan oleh individu-individu dapat menunduk, merendahkan diri. Misalnya, punya memunculkan interpretasi tentang identitas mereka mobil tetapi merendahkan diri. Maaf, bukan yang dipengaruhi oleh suara, aksen, dan ciri karena saya orang Jogja.’ lain bagaimana mereka bertutur. Demikian juga Umuk secara konotatif dapat dimaknai Stockwell (2007:34) yang memberikan batasan positif dan negatif. Pada narasi (6), umuk yang bahwa identitas dikonstruksi melalui fitur-fitur dilakukan seorang pemimpin atas prestasi atau linguistik dan individual tampak melalui bahasa keberhasilan yang diraih merupakan sikap umuk secara sosial. yang bermakna positif. Namun, sikap umuk pada tuturan (8) seperti dinarasikan oleh Pak FAKTOR-FAKTOR PENGIKAT IDENTITAS Suyatno (65 tahun) lebih dimaknai negatif, yaitu kebanggaan diri yang cenderung mengarah pada Eksistensi Wong Solo di wilayah eks enklave sikap pompous ‘menyombongkan diri’. Deskripsi Surakarta dipengaruhi oleh beberapa faktor atau tersebut mendukung pendapat Khalil (2000:59) konteks sosiohistoris yang melekat pada kelompok bahwa orang yang sombong dan tidak berusaha sosial tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi meletakkan kedudukannya, dia mengejar rasa eksistensi makam raja-raja mataram, romantisme hormat yang terdistorsi dalam bentuk simbol- kelompok elite, kesadaran kelas, dan kesadaran simbol hormat, seperti cara berjalan, gerakan, dan pelestarian tradisi. harta yang dimiliki. Wilayah eks enklave dengan dikeluarkannya Melalui narasi-narasi tertentu, identitas Perda DIY No. 1 Tahun 1958, masuk ke dalam ditampakkan, diartikulasikan dan diperjuangkan wilayah Yogyakarta. Namun, di kedua wilayah

156 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta tersebut terdapat daerah yang tetap dikelola oleh mempersilakan tamu untuk duduk di depan Keraton Surakarta dan Yogyakarta, yaitu makam pintu seraya menyembah sebelum membuka raja-raja Mataram di Kotagede dan Imogiri. pintu dorong. Keberadaan makam raja-raja Mataram di Kotagede Tata aturan yang berlaku di lingkungan dan Imogiri merupakan faktor utama yang menjaga kanjengan Surakarta memberi gambaran sebuah keberlangsungan tradisi dan budaya Surakarta bentuk pemertahanan nilai kultural dalam dan Yogyakarta. Di kompleks makam raja-raja konteks perilaku yang masih kental. Sekalipun baik Hastarengga (Kotagede) maupun Pajimatan kelenturan dan dinamika terjadi karena pada saat (Imogiri) hidup para abdi dalem keraton Surakarta menghadap bupati, tamu tidak bersimpuh di lantai dan Yogyakarta. Kelompok abdi dalem adalah tetapi duduk di atas kursi sejajar dengan bupati. pendukung kebudayaan kedua keraton tersebut. Dinamika tersebut juga tercermin pada pernyataan Para abdi dalem juru kunci yang merupakan yang disampaikan oleh sang bupati, “sejarah pegawai keraton yang masing-masing di bawah harus kita ketahui, harus kita mengerti, harus kita pimpinan seorang bupati8 keraton, yaitu bupati sadari” pada saat mengawali cerita. Perbedaan juru kunci makam Surakarta dan bupati juru kunci yang dipertahankan menurutnya juga merupakan makam Yogyakarta. Tempat kediaman bupati juru bagian dari sejarah, sebagaimana diungkapkan, kunci berada di Imogiri yang dikenal dengan nama “Sik marakké ora isa dadi siji, Sala pancèn ya ndalem kanjengan wétan dan ndalem kanjengan Sala, durung ana Yoja wis ana Sala, Yoja iki kilèn9. Sehari-hari bupati juru kunci makam kangmase karo PB II,” (Yang menyebabkan tidak Surakarta berdiam di ndalem kanjengan kilèn, bisa menyatu, Sala memang ya Sala, sebelum ada sebaliknya bupati juru kunci makam Yogyakarta Yogya sudah ada Sala, Yogya adalah kakak PB II). tidak mendiami ndalem kanjengan wétan Perilaku keseharian para abdi dalem Surakarta tetapi rumah bangsawan di lingkungan keraton pada saat bertugas di makam mengikuti tata cara Yogyakarta (Sulistyowati dkk., 2009:20). keraton, misalnya dalam hal pakaian. Busana Situasi tersebut berdampak pada aktivitas menjadi simbol identitas yang senantiasa melekat kultural yang dilakukan para abdi dalem. Di ndalem pada para abdi dalem Surakarta (Wong Solo) kanjengan para abdi dalem juru kunci melakukan sekalipun para abdi dalem tersebut bukan berasal tugas caos (menghadap/berjaga) secara bergantian dari kelompok sosial yang tinggal di daerah eks layaknya di keraton. Berikut ilustrasi pada saat enklave. Bahkan terjadi juga pergantian identitas penulis mendatangi ndalem kanjengan untuk abdi dalem, dari abdi dalem Yogyakarta bertukar bertemu bupati juru kunci makam Surakarta. menjadi abdi dalem Surakarta ataupun sebaliknya. Memasuki ndalem kanjengan, seorang abdi Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalem dengan sikap ngapurancang memberi tertarik untuk menjadi abdi dalem Surakarta adalah hormat kepada tamu yang datang sembari “keglamoran” sebagai simbol Surakarta yang membukakan pagar. Kemudian dengan posisi kedua tangan mengepal dan ibu jari tercermin dari bebungah atau gaji yang diperoleh menunjuk, mempersilakan tamu duduk di dari keraton. pendapa. Setelah tamu duduk di kursi, abdi Burke dan Jan E. Stets (2009:3) dalem bersimpuh di lantai di hadapan tamu, mengemukakan bahwa identitas adalah seperangkat seraya berujar, “Punten dalem sèwu, ingkang pun kersakaken nandalem menapa?” (Mohon makna yang mengidentifikasi siapa dan kapan maaf, apa maksud kedatangan Anda?) Setelah seseorang yang mengisi peran tertentu dalam mendapat jawaban, abdi dalem lalu menghadap masyarakat atau anggota kelompok tertentu. bupati untuk melaporkan kehadiran tamu yang Orang dapat memiliki identitas ganda karena akan marak (menghadap). Setelah mendapat peran dan kedudukan yang dimainkan. Identitas izin dari bupati, abdi dalem mengantarkan menggolongkan individu-individu menurut tamu untuk menghadap bupati. Abdi dalem posisinya dalam masyarakat dan eksistensinya

157 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163 dalam konteks struktur sosial. Seseorang yang mboten wonten. Rumiyin wilayahipun memiliki status dan kedudukan tertentu dalam dhateng Surakarta, namung yen ngagem kelompok sosial akan memilih bahasa yang busana nyampingan, guru menika nggih tetep Surakarta, ngagem beskap panjang ngaten, digunakan untuk menunjukkan status yang beskap pethak lajeng udhengipun Ngayoja. dimilikinya. Bahasa secara jelas mengekspresikan Menika suwargi Pak Mantri Seda Asmara pesan sosial, karenanya variasi penggunaan bahasa sebatanipun Dèn Bèi Mantri. Lenggahipun dirasa sebagai indikasi variasi sosial yang lebih luas. nggih celak kecamatan. Menika pengaruh Sala Di antara elit tradisional Jawa, priyayi, yang tinggal saèstu. di pusat istana penggunaan tingkat tutur menjadi ‘[...] oleh karena itu bahasa itu ngoko, ngoko hal yang utama. Kemampuan untuk menggunakan alus, krama, krama madya, krama inggil. Ini bahasa alus atau tingkatan bahasa Jawa paling pelajaran dari sekolah. Sekolahnya ya sekolah di wilayah Surakarta. Materi pelajarannya gaya sopan sebagai pemarkah status priyayi. Seperti Surakarta. Distrik masuk wilayah Surakarta. halnya diungkapkan Errington (1981:54) mengenai Kecamatan Krasak sebelah barat adalah seorang priyayi, it is precisely among the traditional Surakarta yang termasuk wilayah kawedanan. elite, in fact, that presuppositions of use of the Sekarang yang Yogya tidak ada. Dahulu speech levels, are not readily isolable because wilayah Surakarta, tetapi kalau memakai busana kain, beskap putih, ikat kepalanya relations between holders of clearly-marked, Yogya. Itu almarhum Pak Mantri Seda socially defined status are so explicit. Asmara, sebutannya Den Bei Mantri. Tinggal Masyarakat tutur bahasa Jawa di eks enklave di dekat kecamatan. Ini betul-betul pengaruh Solo.’ dikelompokkan atas golongan priyayi dan nonpriyayi. Golongan priyayi adalah golongan Errington (1988:46) mengemukakan bahwa di elite yang meliputi pegawai pemerintah, abdi bawah pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) dalem, dan golongan saudagar (orang kaya), Surakarta mencapai kecemerlangan. Pada saat itu sedangkan golongan nonpriyayi adalah golongan perbedaan status dan korelasi interaksional sangat pekerja dan buruh seperti dikemukakan oleh tajam dalam masyarakat priyayi. Gaya tuturan dan van Mook (1972:20-21). Kelompok elite selalu etika berbahasa sangat berpengaruh dalam pola menjaga statusnya melalui bahasa yang digunakan. interaksi antara bangsawan dan kelompok elite. Diakuinya oleh tiga orang abdi dalem bahwa Romantisme kelompok elite tradisional Surakarta bahasa yang halus merepresentasikan tingkat sosial pada masa pemerintahan PB X memperkukuh penuturnya. “Solo itu yang lebih sepuh dibanding identitasnya sebagai wong Solo. Yogya sehingga dari segi bahasa maka bahasa Jawa (10) Nèk sing takkenal ki ping X kuwi, nggawa Solo yang lebih halus. Namun demikian, karena karangan bunga wé puluhan. Nèk udu Senèn mereka terbiasa bergaul bersama-sama maka dari utawa Jemuwah nèk arep nyekar ning saréan segi bahasa mereka mengatakan bahwa tidak ada ki kudu ijin bupati. Kono ki sing kuwasa bupati jurukunci. Kuwi duwé andhahan tingkat perbedaan, sama saja, hanya mungkin berbeda wedana nganti tekan jajar. Bupati juru kunci, sedikit dari segi dialeknya.” Dipertegas oleh Pak wedana, mantri, jajar kuwi Surakarta. Nèk Kandar (74 tahun) dalam hal penguasaan bahasa Yogja aku ra apal. Nèk Solo ki bupatine saka halus, Solo, putra dalem, Pangeran Harya Suryo Negoro putra ping X, ning wis seda. Sing saiki (9) [...] pramila basa menika ngoko, ngoko alus, putrané Suryo Negoro, jenengé ya nunggak krama, krama madya, krama inggil. Menika semi Pangeran Suryo Negoro. Nèk bukak wucalan saking sekolahan. Sekolahanipun pendhak Senèn Jemuwah. Nèk dha sowan nggih sekolahan wilayah Surakarta. Wucalan ngabektèn yèn mènèhi kas sing nampa ya juru menika cara Surakarta. Nggestrikan mlebet kunci sing dha caos, mbuh sakedharé. Nèk sing tlatah Surakarta. Kecamatan Krasak ingkeng dha tirakat isa kabul kuwi dha nganakké apa kilèn menika Surakarta ingkeng ketelah kuwi jenengé apa? Caos dhahar. kawedanan. Samenika ingkeng Ngayoja

158 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

‘Yang saya kenal itu PB X, membawa dalem Sala kok nggih umuk-umuk. karangan bunga saja puluhan. Kalau bukan ‘Keadaan saat ini, berhubung di sini ini Senin atau Jumat apabila akan berziarah harus Yogyakarta dan Solonya tetap hidup. Ini izin bupati. Di situ yang berkuasa bupati juru terlihat dari adanya makam keraton Yogya dan kunci. Itu punya bawahan tingkat wedana Solo, yang tidak bisa menyatukan rasa. Sebab sampai jajar. Bupati juru kunci, mantri, demikian, yang mudah saja, priyayi (orang) wedana, jajar itu Surakarta. Kalau Yogya saya Solo, abdi dalem Solo kok ya umuk-umuk tidak hafal. Kalau bupati Solo dari Solo putra (suka pamer).’ dalem, Pangeran Harya Suryo putra PB X, tetapi sudah meninggal. Yang sekarang putra Adanya makam keraton Yogya dan Surakarta Suryo Negoro, namanya juga sama, Pangeran menyebabkan budaya Surakarta dan Yogya dapat Suryo Negoro. Kalau buka tiap Senin Jumat. tetap hidup berdampingan, kawontenan samenika Pada waktu berziarah kalau memberi kas yang menerima para juru kunci yang sedang rèhné ngriki menika Ngayoja kaliyan Salanipun bertugas piket, sekedarnya. Kalau yang tetep gesang. Menika ketingal saking wontenipun berihtiar bisa terkabul menyelenggarakan apa pesaréan Yogja dan Sala […]. Pada tuturan itu namanya? Caos dhahar.’ (11), penutur Solo (abdi dalem Solo) yang beralih Narasi berbahasa Jawa ngoko di atas menjadi abdi dalem Yogyakarta, merasakan adanya diungkapkan oleh Pak Atmosudiro (80 tahun), perbedaan karakter yang sangat menonjol antara mantan lurah yang berkuasa selama 32 tahun Wong Solo dan Wong Yogja, yaitu sikap umuk di salah satu wilayah eks enklave Surakarta di yang dianggap tidak bisa menyatukan rasa di antara Imogiri. Sebagai bukti pengabdian dan ketaatannya keduanya. terhadap raja dan pemimpinnya, diungkapkan nèk “Each member of community must be placed sing takkenal ki ping X kuwi, bahwa yang dikenal (within the status hierarchy) and must make his adalah PB X. Diakui bahwa masa pemerintahan PB behavior conform to his position” (Wolff and X adalah masa keemasan bagi keraton Surakarta11. Poedjosoedarmo, 1982:18). Hofstede (2008:17) Dalam narasi tersebut dijumpai istilah-istilah mengemukakan bahwa kelas sosial dihubungkan tertentu, seperti sowan ngabektèn, caos, caos dengan kesempatan pendidikan dan pekerjaan dhahar sebagai bentuk-bentuk halus yang biasanya atau profesi seseorang. Pendidikan dan pekerjaan digunakan di lingkungan keraton. Penggunaan adalah sumber kekuatan dalam pembelajaran bentuk ngoko dalam penceritaan tersebut kultural. Kriteria untuk menempatkan seseorang dipengaruhi oleh partisipan tutur yang lebih junior ke dalam suatu kelas lebih bersifat kultural: simbol status dan usianya. Ketidaktahuan penutur terhadap memainkan peran yang penting, seperti aksen struktur pemerintahan keraton Yogyakarta, nèk dalam sebuah bahasa, penggunaan kata, serta cara Yogja aku ra apal menunjukkan bahwa identitas penyampaiannya. Dalam berbahasa tidak bisa keSoloannya sangat kuat. dilepaskan dari hubungan sosial antara pembicara dan pendengar dalam hubungan kedudukan Pemertahanan identitas Solo dan Yogya dan keakraban. Kedudukan (status) ditentukan di kalangan abdi dalem dirasakan cukup kental oleh banyak hal, seperti kekayaan, keturunan, hingga saat ini. Seperti dituturkan oleh Pak Kandar pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan, dan (74 tahun), Wong Solo yang menjadi abdi dalem kebangsaan, demikian halnya dengan gaya bicara Yogyakarta. dipengaruhi oleh tingkat keakraban partisipan. (11) Kawontenan samenika rèhné ngriki menika Geertz (1994:333) juga menegaskan bahwa Ngayoja kaliyan Salanipun tetep gesang. kalangan priyayi adalah golongan yang “tahu Menika ketingal saking wontenipun pesaréan aturan”, memaksudkannya dengan formalitas kraton Yogja dan Sala yang kita itu tidak bisa menyatukan rasa menika. Sebab ngaten membawakan diri, pengendalian ekspresi, dan menika, ingkeng gampil, piyayi Sala, abdi disiplin diri secara jasmani, yakni kesadaran yang konstan tentang diri sendiri sebagai obyek persepsi

159 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163 orang lain dan karenanya wajib menampilkan mengakui bahwa daerah Kotagede dan Imogiri gambaran yang menyenangkan dan alus. Anderson memiliki kedekatan dengan keraton Yogyakarta dan (2006:50-51) menjabarkan kehalusan priyayi, Surakarta. Kelompok abdi dalem ataupun nonabdi mencakup tiga hal, yakni kehalusan jiwa yang dalem memiliki kesadaran adanya tradisi yang perlu berarti control diri, kehalusan penampilan berarti dijaga kelestariannya. Peninggalan-peninggalan kecantikan dan keanggunan, kehalusan sikap keraton, baik materi maupun nonmateri seperti berarti kesopanan dan sensitivitas. Kualitas makam, pakaian, bangunan, ataupun kesenian dan priyayi ditentukan oleh tingkat kehalusannya. bahasa dipertahankan. Upaya ini terjadi di kedua Dalam pikiran orang Jawa tradisional, kehalusan wilayah, Kotagede dan Imogiri. Di Kotagede, adalah manifestasi kekuasaan. Sikap tersebut berdasarkan wawancara dengan informan, Lurah diaktualisasikan dalam bahasa yang sopan dan tidak Jagalan, dituturkan, langsung. (12) Ciri khas masyarakat enklave adalah rasa Wilayah Imogiri secara geografis dibatasi gotong royong dan kepemilikan terhadap wilayahnya itu lebih besar. Rasa materialistik sungai Opak yang membagi wilayah menjadi dua, ini berbeda. Kalau kita di sini rasané sanajan yang dikenal dengan istilah wetan kali (wilayah sangat nampak sekali sehingga kegiatan- di sebelah timur sungai Opak) dan kulon kali kegiatan sosial masyarakat kawasan (wilayah di sebelah barat sungai Opak). Pembatasan selalu di tempat kami. Begitu juga sistem wilayah geografis ini memberi batas kultural kelas pemerintahannya juga sangat berbeda. Mereka dengan lurah dan pamongnya PNS. Kami kan sosial. Kelompok sosial yang berada di wetan kali tidak. Kami kan mekanisme pamong desa kan memposisikan dan diposisikan memiliki kelas pilihan, coblosan sehingga orang-orang yang yang lebih tinggi daripada kulon kali. Wilayah di dipilih bukan pilihan masyarakat dan nggak sebelah timur sungai Opak adalah wilayah yang orang guyup penggerak masyarakat tidak bisa. dekat dengan makam Pajimatan atau makam Mereka akan tersisih sendiri. Kesenian asli raja. Ekspresi wetan kali dan kulon kali memberi enklave ya selawatan, kulit gagrag Ngayoja karena pada saat ditinggal kita masuk identifikasi sosial yang berbeda. Wetan kali enklave de jurenya, de faktonya seperti itu. mengacu kepada kelompok sosial yang berstatus Setiap saat kita di Ngayoja. Jadi pengaruh tinggi karena mayoritas didominasi oleh para abdi Ngayoja sangat kuat. Tradisinya nguri-urinya dalem yang merefleksikan kelompok bangsawan sangat kuat. Kita harus memancing mereka. atau priyayi yang selalu berinteraksi dengan raja Kami berada di tengah-tengah di situs itu. Di enklave yang masuk kotamadya ibarat rumah, atau keluarga raja. Penempatan kelas ini bersifat mereka emperan, kami yang di dalam, kami kolektif, dibuktikan sekalipun seorang individu setiap saat menitik perjalanan itu dari kosep bukan berstatus sosial tinggi namun menganggap toponim, nama-nama tempat keberadaan, kami bahwa kelasnya lebih tinggi daripada kelompok berada di dalam keraton. Sebelum ada Solo dan kulon kali. Ekspresi verbal ”O, lha karang wong Yogya, Kotagede sudah ada tahun 1574. Yang kulon kali” (O, memang orang barat sungai) di sini masuk Surakarta, saudagar, pedagang, bakul-bakul, kerajinan emas perak lebih dituturkan oleh kelompok wetan kali terhadap banyak ke sini. Kirab budaya yang diberi nama kelompok kulon kali apabila terdapat sikap atau Kirab Budaya Ambengan Ageng Gunungan perilaku yang kurang subasita (kurang beretika atau Nguras Jagang Mesjid Sendhang Selirang kurang bertata krama). Tata krama yang dimaksud menampilkan dua kadipaten, Surakarta dan adalah dalam hal bertutur, bersikap, dan juga dalam Yogyakarta. aspek-aspek lain yang dinilai lebih rendah, misalnya Pada narasi (12) dikemukakan bahwa di dalam hal selera makanan, pakaian, termasuk diksi Kotagede dilakukan upaya pelestarian budaya dan tuturan yang dianggap kasar. keraton baik Surakarta maupun Yogyakarta. Masyarakat di daerah eks enklave Surakarta Masyarakat di eks enklave memiliki semangat khususnya, Kotagede dan Imogiri pada umumnya kegotongroyongan (guyup) yang tinggi.

160 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

Kegiatan pelestarian tradisi juga dilakukan di enklave Surakarta masih eksis hingga saat ini. Imogiri melalui kegiatan Kirab budaya tahunan Sebagian besar dari mereka adalah generasi tua yang menampilkan kesenian-kesenian asli Imogiri, dan lebih didominasi oleh kelompok abdi dalem sebagaimana diungkapkan oleh K.P.H. Suryo yang notabene merepresentasikan masyarakat Negoro, bupati juru kunci Surakarta. keraton Surakarta. Indikator yang paling mudah (13) Dengan adanya kirab budaya kelihatan kalau membedakan Wong Solo dengan Wong Yogya pemerintah sini yang diwakili dikuasai oleh adalah pakaian atau ageman karena dapat dikenali Pak Camat sudah menunjukkan satu. Dados dan terlihat. Namun, bahasa sebagai sesuatu yang tiap malem Sabtu, menawi badhé priksa lembut, tidak terlihat tetapi dapat dirasakan oleh benjing malem Sabtu Sura (Jadi, setiap malam pemiliknya. Bahasa yang digunakan oleh Wong Sabtu, kalau ingin tahu besok malam Sabtu Sura) itu pawai budaya segala kesenian di Solo sering tidak disadari oleh penuturnya. Melalui Kecamatan Imogiri dipentaskan masuk sini narasi-narasi yang diujarkan oleh para penutur pintu wetan kulon semua tamu masuk sini dan atas interpretasi terhadap narasi tersebut termasuk Bu Bupati. Akhir-akhir ini semua dapat dikenali ciri-ciri kebahasaan yang menandai hamba pemerintah naik kuda tapi berhenti identitas Wong Solo yang halus namun suka umuk medhun turun di pintu wetan e pintu kulon naik di pintu wetan tidak berani masuk naik ‘omong besar atau suka pamer’. kuda. Saya mementaskan gejog lesung dan Tingkat kehalusan bahasa Wong Solo dapat ditarikan mudi-mudi sini, terus tarian kreasi dilihat melalui tingkat tutur atau undha usuk bahasa baru dari anak SMP 1 SMP 2. Ini lepas dari yang digunakan baik krama andhap maupun Sala, asli sini (dituturkan dengan intonasi sedikit meninggi, sewaktu ditanyakan apakah krama inggil, seperti bentuk takaturi, mundhut kesenian tersebut asli Solo) dikerjakan oleh priksa, sowan ngabekten. Variasi kebahasaan orang penduduk sini mboten Sala. Kothekan lain terlihat pula pada variasi bunyi, leksikal, dan kok Mbak, Sala mboten wonten kothèkan. Kéné sintaktik. Varian bunyi [ə] seperti pada kata ingkeng ora duwé. Nèk Yoja itu ambilnya (ingkang) ‘yang’, pengèran (pangeran), bentuk siwur pusaka itu untuk nguras kong-kong ringkas gusti pangeran ‘gelar kebangsawanan’. yang berada di sapit urang setiap 1 Sura mesthi dikuras dicuci, Jogja Sala sama. Variasi leksikal, misalnya gendhuk ‘sapaan anak perempuan’, injih ‘ya’, jiglok ‘tiba’, nèk ‘kalau’. Kegiatan kirab budaya sebagai upaya Pada tataran sintaktik terdapat penggunaan sing pemertahanan identitas Surakarta dan Yogyakarta yang memiliki kesepadanan makna dengan olèhé di eks enklave, Kotagede dan Imogiri lebih yang berarti ‘cara melakukan’. menonjolkan budaya materi dalam bentuk kesenian. Umuk sebagai label Wong Solo di eks enklave Di Kotagede lebih didominasi oleh kesenian Surakarta ditampilkan secara verbal dan nonverbal. Yogyakarta, sedangkan di Imogiri menampilkan Melalui ujaran-ujaran dan perilaku Wong Solo kesenian asli Imogiri dalam bentuk kreasi baru mengekspresikan keunggulan, kehalusan, dan perpaduan budaya Surakarta dan Yogyakarta. keglamorannya. Sikap pamer atau umuk ini dapat Pembedaan dua identitas lebih terlihat pada dimaknai positif dan negatif bagi masyarakat di luar busana tradisional yang digunakan. Narasi di atas kelompoknya. Umuk sebagai sebuah apresiasi atas menunjukkan kekuasaan keraton Surakarta dengan prestasi bermakna positif, sedangkan umuk sebagai ekspresi bahwa para tamu berkuda tidak berani sebuah kesombongan diri yang mengarah pada masuk naik kuda. Demikan juga halnya dengan alat arogansi berkonotasi negatif. musik kothekan, yang bukan alat musik asli Solo karena musik Solo adalah gamelan. Faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi Wong Solo di eks enklave antaranya lain, SIMPULAN keberadaan kompleks makam raja-raja Mataram Wong Solo atau priyayi/piyayi Solo di eks di Kotagede dan Imogiri; romantisme kelas elite;

161 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163 kesadaran kelas; dan upaya pelestarian tradisi. Abdi 8 Kepangkatan dalam struktur pemerintahan dalem juru kunci makam dan tokoh masyarakat keraton. menjadi agen pelestarian budaya dan pemertahanan 9 Ndalem kanjengan berarti rumah tempat identitas Wong Solo. Hal ini didorong oleh kuatnya tinggal kanjeng. Kanjeng adalah sapaan gelar pengabdian rakyat terhadap rajanya. untuk bupati juru kunci makam yang memiliki gelar lengkap Kan(g)jeng Pangèran Harya Catatan: (K.P.H.). Wétan ‘timur’ dan kulon ‘barat’ mensubstitusi Surakarta dan Yogyakarta. 1 Wong Solo dimaknai sebagai individu atau 10 Bupati yang dimaksud adalah bupati juru kelompok sosial yang tinggal di daerah kunci makam, pimpinan yang mengepalai eks enklave Surakarta sebagai pendukung abdi dalem juru kunci berpangkat bupati. kebudayaan Surakarta. 11 Simbol kecemerlangan pada masa PB X dapat 2 Wilayah eks enklave Surakarta lebih dikenal dilihat pada kompleks makam raja Surakarta dengan nama Imogiri SK atau Kotagede SK. khususnya makam PB X yang terlihat glamor. SK adalah singkatan dari kata Surakarta, berkebalikan dengan YK yang merupakan singkatan dari kata Yogyakarta. DAFTAR RUJUKAN 3 Di sana merujuk pada daerah Surakarta, Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan sedangkan di sini merujuk pada daerah Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Yogyakarta. Pelajar. 4 Bahasa Jawa yang digunakan di keraton Ahimsa-Putra, H.S. (1985). “Etnosains dan khususnya Keraton Yogyakarta, sedangkan di Etnometodologi: Sebuah Perbandingan”. Keraton Surakarta dikenal dengan nama basa Masyarakat . Tahun XII, No.2, 103- kedhaton. 133. 5 Blog ditulis oleh anak muda Jogja dengan ____. (2004). Budaya Yogyakarta, Budaya Jawa, bahasa gaul. Oleh karena itu, penulisannya Budaya Nasional, dan Budaya Global: Adakah pun tidak mengikuti kaidah bahasa Benang Merahnya? Makalah disampaikan Indonesia. http://restlessangel.wordpress. dalam Dialog Kebudayaan Nasional, com/2007/10/21/bahasa-jawa-bahasa-yang- “Kontinum Kebudayaan Jogja – Kebudayaan paling-gak-demokratis/. Diakses pada 12 Jawa – Kebudayaan Nasional: Perspektif Desember 2013, pukul 16:30. Global”, Universitas Negeri Yogyakarta, 6 Sebutan untuk Sultan Yogyakarta adalah Yogyakarta. Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem, sering Anderson, Benedict R. O’G. (2006). Language disingkat Ngarsa Dalem, sedangkan and Power: Exploring Political Cultures in sebutan Sunan Surakarta adalah Sahandhap Indonesia. : Equinox. Sampeyan Dalem, sering disingkat dengan Sinuwun Kaping... . Yang pertama berarti ‘di Benwell, Bethan & Elizabeth Stokoe. (2006). depan kaki’, sedangkan yang kedua berarti ‘di Discourse and Identity. Edinburgh: Edinburgh bawah kaki’. Dari ekspresi tersebut tampak University Press. bahwa Surakarta menduduki posisi yang Djawanai, Stephanus. (2008). An Ethnolinguistic lebih tinggi. Investigation of Classificatory System, Pattern 7 Kata piyayi yang merupakan varian dari of Thought, and Local Wisdom of Traditional priyayi dalam penggunaannya mengalami Peasants and Fisherman in the Provinces of perluasan makna, yaitu berarti orang secara Yogyakarta, and Central and East . Faculty umum bukan hanya golongan bangsawan. of Cultural Sciences, ,

162 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

Yogyakarta. Language and Literature dalam Foulcher, Errington, J. Joseph. (1981). Changing Speech et.al. (ed.), Words in Motion: Language and Level among a Traditional Javanese Elite Discourse in Post-New Order Indonesia. Group. University of Chicago. Singapore: NUS Press. ____. (1988). Structure and Style in Javanese: Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baoesastra Djawa. A Semiotic View of Linguistic Etiquette. Batavia: Wolters’ Uitgevers-Maatschappij Philadelphia: University of Pennsylvania Press. N.V. Geertz, C. (1973). The Interpretation of Culture. Smith-Hefner, Nancy Joan. (1983). Language and New York: Basic Book. Social Identity: Speaking Javanese in Tengger. Michigan: The University of Michigan. ____. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Spolsky, B. (1999). Second-language Learning. Jaya. Dalam J. Fishman (Ed.), Handbook of Language and Ethnic Identity (hlm. 181-192). Gibson, Karl. (2004). English Only Court Cases Oxford: Oxford University Press. Involving The U.S.j Workplace: The Myths Of Language Use And The Homogenization Of Stockwell. Peter. (2007). Sociolinguistics: A Bilingual Workers’ Identities. Dalam Second Resource Book for Students. London: Language Studies, 22 (2), Spring 2004, 1-60. Routledge Taylor & Francis Group. Hofstede, Geert. (1994). Cultures and Sulistyowati dkk. (2009). Redefinisi Ketenangan Organizations: Software of the Mind. London: Hidup Abdi Dalem di Tengah Dunia Modern: Harper Collins Publishers. Studi Keseharian Abdi Dalem Juru Kunci Makam Imogiri dalam Menyikapi Perubahan Hudayana, Bambang. (2011). Glembuk, Strategi Zaman. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra Politik dalam Rekrutmen Elite Penguasa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. di Desa Pulungsari Yogyakarta. Jurnal Sumarsono dan Partana. (2002). Sosiolinguistik. Humaniora, 23, 1-13. Yogyakarta: Sabda bekerja sama dengan Kartodirdjo, . (1993). Pembangunan Pustaka Pelajar. Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan van Dijk, Teun A. (2008). Discourse and Context: Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya A Sociocognitive Approach. Cambridge: Media. Cambridge University Press. Kim, Heejung S. dan Deeborah Ko. (2007). Culture van Mook, H.J. (1972). Kuta Gede. Djakarta: and Self-Expression. Dalam Sedikides, Bharata. Constantine and Spencer, Steven J. (eds.) Self. Wijana, I Dewa Putu. (2005). Pemertahanan Dialek New York: Psychology Press. Banyumas terhadap Dominasi Dialek Solo- Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Yogya. Jurnal Humaniora, 17, 125-224. Oxford: Oxford University Press. Wolff, John U., dan Poedjosoedarmo. Quinn, George. (2012). Emerging from Dire Straits: (1982). Communicative Codes in . Post-New Order Developments in Javanese Seri Linguistik VIII.

163