Artikulasi Identitas Wong Solo Di Eks Enklave Surakarta Sosial Budaya Yang Melibatkan Dua Hal
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SulistHyoUwMatiA -N AIrOtikRuAlasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta VOLUME 26 No. 2 Juni 2014 Halaman 149-163 ARTIKULASI IDENTITAS WONG SOLO1 DI EKS ENKLAVE SURAKARTA: KONSTRUKSI BAHASA DAN PEMERTAHANANNYA Sulistyowati* ABSTRACT Culturally Kotagede and Imogiri consist of the ex enclave regions of Surakarta which are called Kotagede SK and Imogiri SK. The community of the ex Surakarta enclave is also known as Wong Solo. This article describes the existence of Wong Solo in Surakarta ex enclave in maintaining its identities. The label of priyayi, courteous, alus, glamorous, and umuk attached to Wong Solo articulated through language practices and material culture. Historical and sociocultural perspective used to describe the verbal expression as identity markers and narratives elicited through etnographic work. It is assumed that the romanticism of the elite, class consciousness, and awareness of the preservation of tradition dominate retention Wong Solo. Cultural agencies, Surakarta and Yogyakarta Palace in the historical affinity presented by abdi dalem juru kunci of the kings of Mataram cemetery become binding factor of Wong Solo identity in Surakarta ex enclave. Keywords: ex Surakarta enclave, identity markers, verbal expression, retension of identity, Wong Solo ABSTRAK Kotagede dan Imogiri secara kultural terdiri atas daerah-daerah eks enklave Surakarta yang disebut Kotagede SK dan Imogiri SK. Masyarakat eks enklave Surakarta tersebut dikenal pula sebagai Wong Solo. Artikel ini mendeskripsikan eksistensi Wong Solo di eks enklave Surakarta tersebut dalam mempertahankan identitasnya. Label priyayi, sopan, alus, glamor, dan umuk yang melekat pada Wong Solo diartikulasikan melalui aktivitas berbahasa dan budaya materi. Perspektif historis dan sosiokultural dimanfaatkan untuk menjelaskan ekspresi verbal yang menjadi pemarkah identitas dan narasi-narasi yang dijaring melalui kerja etnografis. Diasumsikan bahwa romantisme kelompok elite, kesadaran kelas, dan kesadaran pelestarian tradisi mendominasi pemertahanan identitas Wong Solo. Agensi kultural, Keraton Surakarta dan Yogyakarta dalam pertalian historis yang dipresentasikan abdi dalem juru kunci makam raja-raja Mataram menjadi faktor pengikat identitas Wong Solo di eks enklave Surakarta. Kata Kunci: eks enklave Surakarta, ekspresi verbal, pemarkah identitas, pemertahanan identitas, Wong Solo * Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 149 Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163 PENGANTAR mengaktualisasikan dirinya melalui simbol-simbol. Batas simbolis dapat ditampilkan melalui gaya Surakarta, yang dikenal pula dengan hidup, pakaian, tradisi, seni, dan bahasa. Simbol istilah Solo atau Sala, dan Yogyakarta, dua yang paling mudah diamati adalah pakaian. pusat kebudayaan Jawa yang masing-masing Pakaian tradisional pria gaya Surakarta dikenal menampilkan keunikan yang berbeda. Perbedaan dengan istilah beskap, sedangkan gaya Yogyakarta tersebut terlihat pada simbol-simbol yang dimiliki, disebut peranakan. Tutup kepala (blangkon) bagian baik yang kasat mata (tangible) maupun tidak kasat belakang bawah (bagian tengkuk) gaya Surakarta mata (intangible). Bahasa yang digunakan oleh berbentuk pipih, sedangkan gaya Yogyakarta pendukung budaya tersebut dalam hal ini bahasa berbentuk mondholan (bulatan). Kain gaya Jawa merupakan salah satu simbol yang menandai Surakarta lebih dominan berwarna dasar coklat, perbedaan itu. Bahasa Jawa yang digunakan di Yogyakarta dominan dengan warna dasar putih. Surakarta dikenal dengan nama dialek Surakarta Dalam berkain, garis tepi atau warna putih pada (Solo), sedangkan yang digunakan di Yogyakarta tepi kain (sèrèdan) gaya Yogyakarta diperlihatkan, dinamakan dialek Yogyakarta. Kedua dialek sedangkan dalam gaya Surakarta garis tepi tersebut tersebut dianggap sebagai dialek bahasa Jawa dilipat ke dalam (disembunyikan). Perilaku tersebut standar karena menempati peringkat teratas dalam dapat dimaknai sebagai bentuk keterbukaan atau status hierarkis dan secara bertahap diterima sebagai kelugasan dan keterselubungan. varian yang paling halus, paling jlimet (canggih), paling berkembang dengan pesat, serta paling Istilah Wong Solo menjadi bermakna apabila 2 mampu mengekspresikan esensi budaya Jawa. disandingkan dengan Wong Yogja atau Wong Yoja . Wijana (2005:157) menjelaskan bahwa pemilihan Demikian juga sebaliknya, seperti dikemukakan bahasa Jawa dialek Solo-Yogya sebagai bahasa Ahimsa-Putra, (2004:5) bahwa Yogyakarta Jawa standar dipengaruhi oleh faktor status sosial, menjadi bermakna bilamana disandingkan dengan jumlah penutur, serta fungsi yang diperankan oleh “lawan”nya yang sekaligus juga pasangannya, bahasa tersebut. Diungkapkan pula bahwa pada yakni Surakarta karena nama Yogyakarta baru masa lampau, Solo (Surakarta) dan Yogyakarta mencuat setelah palihan nagari, ketika kerajaan adalah pusat kerajaan besar Kasunanan Surakarta Mataram yang semula satu kemudian pecah dan Kasultanan Ngayogyakarta. Persepsi ini sama menjadi dua, untuk menyelesaikan konflik yang sekali bersifat politis dan tidak mencerminkan berkepanjangan di antara pewaris tahta kerajaan. superioritas esensial yang melekat pada dialek. Hal Kontestasi kultural keduanya tampak dalam budaya ini dapat ditelusuri kembali pada dominasi bahasa material ataupun budaya perilaku. Wong Solo Jawa secara politis oleh Sultan Mataram dan diikuti terkenal umuk ‘suka pamer’, sedangkan Wong Sultan Yogyakarta dan Sunan Solo, serta raja di Yogja dikenal dengan glembuk-nya ‘suka merayu’ Pura Mangkunegaran dan Pakualaman (lih.Quinn, (Kartodirdjo, 1993:82-83; Hudayana, 2011:5). 2012:69; Soemarsono dan Partana, 2002:28). Dalam aktivitas berbahasa, ekspresi verbal inggih dan injih merupakan varian yang membedakan Dua kebudayaan besar tersebut saling identitas keduanya. Untuk mengungkapkan “ya”, berkontestasi dalam memperlihatkan identitas Wong Solo menggunakan nggih atau inggih, kelompoknya, termasuk pendukung kebudayaan sedangkan Wong Yogja memakai injih. Surakarta -lebih akrab disebut dengan Wong Solo- yang berada di wilayah eks enklave, yaitu Fenomena kultural ini membentuk Kotagede dan Imogiri. Secara historis kultural identitas kelompok tersebut bukan saja dalam Kotagede dan Imogiri memiliki pertalian dengan batas geografis, tetapi juga simbolis yang dua keraton, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan membedakannya dengan kelompok lain (Abdullah, Kasunanan Surakarta. Abdi dalem juru kunci 2006:13). Sekelompok orang yang berada dalam makam sebagai representasi dua keraton tersebut lingkungan budaya yang lain mengalami proses 150 Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta sosial budaya yang melibatkan dua hal. Pertama, suatu kelompok atau etnis dapat mengidentifikasi pada tataran sosial terjadi proses dominasi dan kelompok lain melalui tuturan yang digunakan, subordinasi budaya yang dinamis. Kedua, pada sekalipun simbol yang digunakan terlihat sama. tataran individual terlihat proses resistensi di Gejala sosial dipandang dari kacamata orang- dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang yang terlibat di dalamnya dan dijelaskan orang di dalam konteks sosial budaya tertentu berdasarkan pandangan-pandangan mereka (Abdullah, 2006:41-42). Melalui aksen, bunyi, (Ahimsa-Putra, 1985:104). Menurut Bussman, kosa kata, dan pola-pola wacana penutur suatu etnolinguistik memadukan metode dan teori bahasa mengidentifikasi dirinya dan diidentifikasi etnologi dan linguistik yang mengkaji hubungan sebagai anggota suatu masyarakat tutur dan bahasa dan etnis berdasarkan aspek-aspek masyarakat wacana. Dalam keanggotaan kelompok sosiokultural dalam suatu masyarakat. Aspek- tersebut digambarkan kekuatan dan kebanggaan aspek etnolinguistik suatu bahasa yang digunakan personal dalam memaknai kepentingan sosial dan oleh masyarakat tutur dapat dilihat dari sudut keberlangsungan historis dalam penggunaan bahasa pandang komunikasi, identitas, dan realitas yang sama (Kramsch, 1998:65-66). sosial. Aspek-aspek tersebut di antaranya dapat Secara ideologis, Wong Solo dinilai diamati melalui sistem pengklasifikasian, pola- menjunjung tinggi sopan santun, tata tentrem, pola pikir, dan kearifan lokal suatu etnis yang tepa salira, tata krama, guyup rukun, dan gotong tercermin dalam konsep dan dituangkan melalui royong. Menggarisbawahi apa yang dikemukakan bahasa yang digunakan (Djawanai, 2008:1). Smith-Hefner (1983:52-53), tata tentrem berarti Melalui pemahaman ini diharapkan bahwa bahasa segala sesuatu yang berada pada tempat yang yang memiliki kelenturan atau fleksibilitas dapat tepat. Bertutur dengan benar, disertai kerendahan memberi peran dalam upaya mengukuhkan hati dan pengendalian diri, membantu dalam identitas masyarakat tuturnya. mencapai tata tentrem. Rukun atau harmoni Perangkat dialektologi yang berupa daftar tercapai ketika seseorang bertindak dalam tata cara kosa kata Swadesh dimanfaatkan sebagai piranti tertentu sesuai dengan status mereka. Aturan-aturan untuk membantu menjawab permasalahan di yang mengarahkan seseorang bersikap konsisten atas dengan pendekatan etnografis. Kode-kode terhadap posisinya dinamakan tata krama. Cara yang berupa ekspresi verbal (kata ataupun frasa) mencapai harmoni dan kesopanan dalam interaksi yang memiliki kekuatan makna sebagai pembeda personal yaitu tepa salira, yaitu menempatkan diri identitas disusun dalam daftar tanyaan untuk sendiri pada tempat orang lain. diobservasi ranah persebaran penggunaannya oleh Stereotipe yang melekat pada Wong Solo penutur di daerah-daerah eks enklave. Penjaringan adalah orangnya halus.