Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.

Copyright and reuse: This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.

Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP

LAMPIRAN

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 TRANSKRIP 1

Narasumber : Fahri Salam Jenis Wawancara : Wawancara Langsung Tempat : Ruang Redaksi Tirto.id Tanggal : 2 July 2018

Keterangan : P : Peneliti I : Informan

P : “Secara umum, apakah artikel-artikel mengenai konflik mendapatkan porsi yang besar? Misalnya apakah artikel-artikel konflik lebih besar porsinya dibanding artikel-artikel mengenai politik dalam negeri, gitu misalnya?”

I : “Seimbang lah kalau soal itu. Apalagi kalau soal konflik antar etnis kan jarang ya sekarang. Jadi ya kalau di Asia Tenggara ya paling yang di . Tapi ya kalau politik pasti gede banget soalnya, ekonomi juga ada. Porsiku sebenarnya meliput kejadian yang menyangkut kepentingan publik. Jadi ya apapun peristiwanya, kalau sepakbola ya sepakbola. Pokoknya yang menyangkut kepentingan publik.”

P : “Tapi sebenarnya aspek apa aja sih Mas yang membuat sebuah konflik itu menarik untuk dijadikan objek pemberitaan di Tirto.id?”

I : “Aspeknya ya.. hmm.. ini khusus konflik yang berujung kekerasan ya?”

P : “Iya Mas, khususnya konflik yang seperti itu.”

I : “Menurut saya sih karena, pertama sifatnya politis.. jadi ada kepentingan politik dalam kekerasan tersebut. Di Indonesia kan sebenarnya jarang ya kalau ada kekerasan antara militer dan sipil. Tapi kan juga ada yang dimaksud konflik agraria. Misalnya kasus di Jawa, di Sumatra. Pokoknya kalau melibatkan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 kepentingan publik, lalu di belakangnya ada pihak swasta dan militer. Nah itu menarik untuk diberitakan.”

P : “Sekarang kita masuk ke yang spesifiknya nih Mas. Kita ke konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar. Apa sih yang menarik dari konflik ini sehingga konflik menjadikan sebagai objek pemberitaan?”

I : “Pertama, Myanmar kan salah satu negara di asia tenggara yang masih tertutup ya. bahkan masih ada wartawan luar yang masih dipenjara, dan akses pun ke wilayah yang ada konflik antar etnis itu sulit.”

P : “Di Rakhine itu ya Mas?”

I : “ Iya, kedua isu Rohingya secara spesifik itu memag udah parah ya. bertahun- tahun mengalami diskriminasi. Apalagi yang tahun lalu ya, menurut saya gerakan yang paling besar.”

P : “Yang agustus itu ya?”

I : “Iya, itu yang operasi pembersihan itu ya.”

P : “Oke, jadi itu alasan-alasannya kenapa konflik itu jadi menarik ya. trus seberapa intersif sih Mas pemberitaannya?”

I : “Kalau dibilang intensif banget sih enggak ya, tapi kan tahun lalu itu meledaknya gede banget ya. hampir berapa ratus ribu dalam satu insiden yang jadi korban. Jadi memang kita juga tergantung sorotan berbagai media di dunia juga. Misalnya itu kan baru pertama juga kita muat di laporan utama. kalau ada hal di samping-sampingnya yang menarik juga banyak penulis Tirto.id yang mengangkat itu.”

P : “Oh gitu ya. Terus apa aja sih Mas teknik pengumpulan data yang dilakukan Tirto? Khususnya buat artikel-artikel tentang konflik Rohingya dan Myanmar ini?”

I : “Oke, yang sempet kami lakukan itu kami sempet minta, ada wartawan dari sana itu kami pernah bikin laporan soal Rohingya, itu bayar ya. jadi bayar

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 kontributor. Kedua yang kami sering itu, ya ini sumber-sumber dari organisasi nirlaba, organisasi kemanusiaan yang ada di sana untuk ngirim feeding ke tirto via email. Ngontak juga kalau kita memang sedang nulis isu itu.”

P : “Contohnya yang dr. Natasha Reyes itu ya?”

I : “Iya, dokter, itu yang tulisannya Restu ya? kalau literaturnya, ya kliping, googling, makalah-makalah yang relevan pasti.”

P : “Itu kan berarti ada kontributor lepas kan ya Mas di tempat. Itu gimana cara milih kontributor lepasnya sih Mas? Maksudnya, kenapa harus dia gitu?”

I : “Ya itu kenalan, kan kenalan wartawan di luar itu banyak ya. jadi kayak aku kenal kamu di sana, lalu kamu merekomendasikan wartawan ini.”

P : “Jadi rekomendasi antar wartawan gitu ya?”

I : “Iya, itu udah biasa banget praktek kayak gitu.”

P : “Terus dia di sana itu meliput apa yang menrut dia menarik atau ada permintaan dari Tirto sih Mas mau ngeliput apanya?

I : “Ya titipan sih biasanya. Misalnya waktu perisiwa operasi pembersihan itu kan kami butuh cerita tentang orang Rohingya yang terdampar di Bangladesh, di perbatasan. Jadi gelombang pengungsi yang baru itu. Kita mita cerita, jadi storytelling dari tangan pertama. Jadi gak cuma menghimpun update-update dari media asing aja.”

P : “Okedeh Mas, sekarang kita masuk ke konsep jurnalisme damainya. Dalam konsepnya kan, sebuah media diharapkan mampu membahas solusi di berita- beritanya. Nah itu dilakukan di Tirto.id gak sih Mas?”

I : “Kayaknya jarang deh kita pakai solusi. Tuntutan untuk menyampaikan solusi itu bukan prioritas sih. Pertama-tama kan kita meliput subjek yang bermasalah, kemudian unsur kenapanya dielaborasi, kalau dari situ solusinya apa. Kalau pun ada tuntutan itu, paling kami pakai wawancara ke sumber yang terkait dengan tulisan. Misalnya waktu tulisan tetang rohingya kan soal tuntutan warga indoensia

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 untuk segera menurunkan bantuan kan. Di lokasinya itu lamban aksesnya, jauh sekali, pokoknya mereka membayangkan Myanmar itu seperti Indonesia, mereka gak tau kalau di sana itu birokrasi militernya sulit ditembus. Dan negara bagian rakhine itu kan jauh banget. Jadi ya kami tanya dubes.”

P : “Oh yang tulisan yang Ito Sumardi itu ya?”

I : “Iya, nah itu kan kami tanya. Biasanya model gitu. Penulisnya jarang mengajukan suatu pertanyaan yang solutif. Biasanya kita pakai narasumber untuk solusi. Jadi jurnalis tirto gak mengeluarkan solusi, karena tugas utama kita kan mengetengahkan masalah. Untuk mencari solusi itu bukan prioritas kami, bukan tugas jurnalis juga.”

P : “Nah mas kalau di yang artikel ito sumardi itu kan disebutkan ada foto-foto penyerangan ARSA ke pos polisi Myanmar. Kenapa gak dipublikasikan di artikel ini?”

I : “Karena kami jarang sih ya, untuk memasukkan foto-foto banyak ke sebuah naskah itu. Tapi gini loh ya, kan khususnya di konflik ini data-data lapangan itu susah sekali, militer Myanmar juga susah sekali dimintai keterangan. Sedangkan tugas jurnalis untuk bersikap skeptis terhadap narasumber. Jadi biasanya dalih, klaim si narsum diikuti dengan sanggahan atau alternatif lain dari klaim narsum itu, jadi penyeimbang. Gitu.”

P : “Nah ini masuk ke kebijakan redaksi nih Mas. Jadi redaksi tirto itu mengharuskan jurnalisnya untuk memasukkan solusi ke artikelnya gak sih?”

I : “Enggak, gak ada keharusan untuk memasukkan itu.”

P : “Terus ini Mas, kebijakan redaksi Tirto itu memberikan larangan untuk memberikan julukan tertentu untuk pihak tertentu gak?”

I : “Tidak larangan, tapi hati-hati menggunakan istilah karena istilah itu harus akurat ya. aku kasih contoh yang tepat ya. ini reporter aku sedang bikin radikalisme di kampus. Asalahnya pemerintah ini memframing kata radikal untuk

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 kelompok kanan, islam garis keras. Sementara radikalisme kan pandangan yang hmm.. bisa dipakai oleh semua gerakan.”

P : “Jadi gak cuma Islam ya.”

I : “Iya, jadi aku bilang ke reporter aku, kamu harus hati-hati dengan framing pemerintah karena istilahnya sudah gak tepat. Beberapa liputan itu kan memakai istilah militan islamis, kalau pakai istilah itu tapi nanti ada orang yang pintar dikit dari FPI, mungkin bisa ke sini untuk klarifikasi. Jadi untuk menggunakan istilah yang correct itu juga kadang menyimpan bahaya. Tapi istilah yang keliru malah makin banyak banyak dipakai. Karena justru sudah sudah terlanjur keliru semua.”

P : “Nah, ngomong-ngomong soal istilah nih Mas. Ini di salah satu artikel ada istilah ‘operasi pembersihan’, itu dari mana istilahnya Mas?”

I : “Itu kita ambil dari media luar, mereka media otoritatif gitu, dan mereka ngutip dari sumber resmi pemerintah Myanmar.”

P : “Nah, kalau istilah genosida nih Mas, itu kenapa pakai istilah itu?”

I : “Nah itu aku cross-check. Setau aku kumparan bahas kenapa apa yang dilakukan Myanmar itu sudah masuk genosida, itu sudah ada ciri-cirinya, kriterianya.”

P : “Oh oke, nah tapi ini ada kata-kata ‘dibunuh, dibakar’ itu ada bukti visualnya gak sih Mas”

I : “Enggak, dia gak kirim. Cuman mereka kirim laporan saja. Tapi semua pemberitaan yang otoritatif memberitakan hal yang sama. Jadi meskipun aku gak bisa lihat sumber utama, tapi aku bisa crosscheck ke sumber yang otoritatif ya.”

P : “Sumber yang otoritatif itu contohnya apa sih Mas?”

I “Misalnya lembaga Human Right Watch ya, yang aku tau, Andreas Harsono, itu collage aku. Nah itu dia yang membahas mengenai ethnic cleansing itu. Jadi sebelum ada langkah kegiatan militer itu dan sebelumnya, ya ada laporan mengenai rumah dibakar dan sebagainya.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 P : “Nah terus ini Mas, ada istilah tatmadaw gitu di artikel “Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik etnis di Myanmar”. Itu ada alasan tertentu gak sih Mas pakai istilah itu buat menyebut militer Myanmar?”

I : “Enggak ada sih. Gini loh, tatmadaw itu kan istilah dalam bahasa Myanmar untuk militernya, kalau di kita sih ya tentara lah gitu. Tentara juga kan istilah lokal di sini kan, kalau di luar negeri kan gak ada tentara itu, karena kan yang internasional itu kan militer. Jadi ya kita sekedar pakai istilah lokal sana aja buat nyebut militernya Myanmar gitu. Gitu aja sih sebenernya, jadi enggak ada maksud apa gitu, enggak ada.”

P : “Oh oke Mas. Nah ini Mas, kebijakan redaksi Tirto itu mengharuskan jurnaisnya memastikan pembaca bisa membedakan antara fakta dan opini gak?”

I : “Divisinya dipisah sih ya. Jadi kalau mild report itu juga kadang-kadang opini campur, gaya penulisannya yang informal kan begitu ya, ada suara penulis itu bisa dipakai. Di divisiku yang indepth, aku jarang suruh mereka pakai opini, kalau reportase. Karena kalau opini itu kan bisa tendencius, bisa bias.”

P : “Okeh, lalu Mas apakah kebijakan redaksi tirto.id melarang jurnalisnya untuk menulis artikel hanya berdasarkan opini petinggi dari salah satu pihak yang berkonflik?”

I : “bukan larangan, tapi kriteria kami dalam membuat tulisan itu sumber harus lebih dari tiga. Karena Tirto sendiri mengedepankan data, setiap pendapat semestinya didukung data. Jadi kalau ada yang asal bikin propaganda, asal ngomong ya kami cek, bener gak sih mereka apa yang mereka bilang. Apalagi konflik, yang salah informasi itu dampaknya bisa besar.”

P : “Terus apakah redaksi tirto mengharuskan jurnalisnya untuk memberitakan kondisi korban yang terkena dampak konflik secara langsung?”

I : “Iya, seharusnya sampai ke sumber yang menjadi korban peristiwa besar itu ya. kita juga pernah nulis mengenai pengungsi, baik itu pengungsi afganistan, Rohingya, dan itu menjadi laporan utama.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 P : “Nah terus mengenai foto-foto yang dipakai di artikel Tirto mengenai konflik antara Rohingya dan Myanmar, itu ada kriteria tertentu gak sih mas buat yang dipublikasi?”

I : “hmm.. aku kalau pakai untuk liputan konflik foto itu selalu yang human, yang bisa mengambil empati orang untuk melihat, untuk membaca, biasanya sih perempuan, anak-anak, ibu dan anaknya.”

P : “Oh jadi kayak yang foto di bagian depan artikel ini ya, Mas? Yang artikel pembantaian sistematis ini?”

I : “Nah iya itu kan fotonya lebih ke human interest kan, gambar seorang ibu yang lagi menderita karena dampak konflik. Jadi yang bisa membuat pembaca berempati gitu, ya.”

P : “Oh gitu, oke Mas. Nah ini saya juga mau tanya, Mas mumpung lagi ngomongin artikel ini. Kenapa pakainya muslim Rohingya sih,Mas?”

I : “Ya karena memang orang-orang Rohingya yang di Myanmar itu orang-orang beragama Islam kan. Kalau muslim itu kan sebutan untuk orang yang beragama Islam. Jadi ya istilah ‘muslim’ itu bisa dipakai, gitu.”

P : “Oh gitu, oke-oke Mas. Enggak sih saya tadi tanya soalnya beda aja sama judul skripsi saya, kalau saya kan pakainya ‘etnis Rohingya’. Jadi saya penasaran aja kenapa pakainya itu.”

I : “Oh iya kalau kamu pakainya etnis ya. Ya enggak masalah sih, bisa-bisa aja.”

P : “Iya Mas, bisa juga ya. Nah ini balik ke soal foto nih Mas, pernah publikasi foto yang misalnya menampilkan tentara bawa senapan gitu gak sih Mas? Atau yang berdarah-darah?”

I : “Jarang banget, karena tergantung situasinya. Wartawanku pernah dateng ke filipina untuk ke marawi. Ya fotonya pasti ada tentara ISIS bawa senjata, tapi kalau foto lagi nembak korban gak ada. Ya ada mungkin alau peristiwanya gede banget. Kalau yang berdarah-darah si kita mengacu ke kode etik ya, konten yang

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 exceed graphic pasti bikin eneg, jadi kita gak mau mengumbar kekerasan. Supaya keluarga juga enggak terlalu sedih kalau melhat anggota keluarga mereka dibunuh. Kalau untuk yang etnis Rohingya itu paling ada foto-foto tentang pengungsi ya. karena kontributor kan gak bisa masuk ke wilayah Rohingya, jadi gak ada foto mayat.”

P : “Nah, terus mengenai The Feedback Loop nih Mas. Nah dalam menulis berita konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar, apakah Tirto.id juga memperhatikan the feedback loop?”

I : “Iya pasti, setiap media pasti memperhatikan itu. Isu yang melibatkan kepentingan publik itu kita biasanya mendorong untuk adanya perubahan. Hanya memang untuk Rohingya memang sepertinya tangan kita terlalu jauh ya, karena media-media internasional aja belum bisa mengubah pikiran pemerintah Myanmar mengenai tindakan mereka. Tapi tulisan kita juga mendorong agar Aung San Su Kyi untuk bertindak. Ada tulisannya juga di Tirto. Nah di situ juga penulisnya memasukkan opini.”

P : “Sempet kepikiran untuk ngirim jurnalis ke sana gak sih Mas?”

I : “Sempet kepikiran tapi sudah telat. Waktu itu sudah telat pemberitaannya, kami telat lima hari. Jadi mesin pemberitaannya ini sudah bergerak ke pengungsian, bukan ke wilayah Rakhine. Sumber-sumber dari media sosial itu kan banyak juga yang kasih prediksi seminggu atau dua minggu sebelum operasi pembersihan, ada prediksinya. Aku sempet bilang kalau bisa siap-siap kirim ke sana, tapi gak ada yang notif, jadi ya sudah, akhirnya terlambat. Kalau sudah nyampe ke sana pun ya sama aja tentang pengungsi aja karena sudah sangat susah untuk masuk ke Rakhine.”

P : “Nah, apakah the feedback loop ini bisa menyebabkan dampak buruk khususnya dalam konflik etnis rohingya dan militer myanmar?”

I : “Sejauh ini belum ada respon sih dari pemerintah Myanmar mengenai pemberitaan kami. Myanmar mah diem-diem bae, tidak peduli dia. Bahkan kemaren Reuter bikin investigasi operasi pembersihan ini dari sisi pelaku

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 bagaimana mesin pembunuh itu bekerja. Jadi ada 2 batalyon, mereka ke sana atas perintah jendral mereka, dari ibukota Myanmar. Dan mereka sudah ada itikad untuk pembersihan etnis, jadi bukan karena alasan Myanmar membalas. Tapi itu dipakai oleh mereka. Kan memang ARSA yang menyerang dulu, tapi kan itu korbannya sedikit, sekarang mereka bunuh sekian ribu orang, ya enggak sepadan dong. Dan menyasar ke etnis Rohingya, bukan ke ARSA nya. Bagus kok itu laporannya.”

P : “Judulnya apa itu Mas?”

I : “Ini judulnya The Tip of Spear, ujung tombak. Kenapa Reuter bisa melakukan itu, karena mereka punya sumber daya yang gede dan newsroomnya menuntut untuk ada pemberitaan mengenai Rohingya.”

P : “Oke Mas itu terakhir, makasih banyak Mas.”

I : “Oke Mas.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 TRANSKRIP 2

Narasumber : Restu Diantina Putri Jenis Wawancara : Wawancara Langsung Tempat : Ruang Rapat Tirto.id Tanggal : 8 Juni 2018

Keterangan : P : Peneliti I : Informan

P : “Oke, sudah siap Mbak. Jadi boleh diceritain enggak Mbak. Pertama kali membuat artikel tentang konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar itu gimana sih?”

I : “Jadi pertama-tama kita itu gak ke sana, jadi kita cuman dapet release dari MSF atau Dokter Lintas Batas, dan itu sumber yang dipakai oleh semua media karena terbuka sekali. Setelah mendapat release itu, kemudian natasha reyes bersedia untuk diwawancara, jadi kita wawancara via skype. Kalau data yang lain kita tetep kumpulin data dari berbagai sumber. Sedangkan kalau kontributor itu kan bukan karyawan sini ya, cuman kita memang punya kontributor dari sana.”

P : “Itu kontributornya apakah langsung cari dari sana atau memang sudah pernah ada kerja sama sebelumnya?”

I : “Nah untuk itu, aku kurang tau karena gak disebutkan juga.”

P : “Oke jadi mungkin langsung ke pertanyaan pertama aja ya. kalau tahapan- tahapan jurnalis tirto dalam menulis artikel mengenai konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar itu apa aja sih?”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 I : “tahapan ya itu, yang jelas kita harus tahu dulu sejarah konfliknya. Kita tarik mundur dulu beberapa puluh tahun yang lalu, kapan pertama kali etnis Rohingya diangkat oleh media sebagai etnis paling terdiskriminasi di dunia, jadi riset sejarah dan update juga kondisi yang sekarang. Awalnya sih kayak gitu. Tapi kalau untuk artikel yang aku tulis itu, di agustus itu kan ada operasi pembersihan, yang ada ARSA menyerang dan pasukan Myanmar menggunakan itu untuk alasan menyerang balik. Sampai saat itu, sebenarnya sudah ada release dari pemerintah Myanmar, tapi kan itu kan info yang datang dari pihak yang berkepentingan di konflik itu, mereka bilang 400 jiwa kok. Gak lama MSF, yang sudah lama di sana, mengeluarkan info juga dari survei mandiri, merilis laporan itu. Dan ternyata mau gak mau, sebagai pihak ketiga, terlihat lebih objektif karena kan mereka tidak punya kepentingan. Mereka mewawancarai langsung korban, karena jumlah korban nya jauh sekali dari 400 ke 6000 korban. Jadi gini hmm, dalam ranah jurnalistik ini harus diangkat karena ternyata ada dua fakta yang berbeda, berasal dari 2 sumber yang berbeda pula. Ini harus mendapat perhatian banyak orang, karena jumlahnya sangat signifikan. Ini temuan menarik, jadi jangan2 militer Myanmar berbohong dong. Kita kan tidak boleh ikut ikut mentutup-tutupi, dengan cara hanya menerima informasi dari pihak yang berkepentingan. Jadi kalau mengapa ini dibahas, pertama karena ini bukan dari pemerintah Myanmar, melainkan dari pihak ketiga. Kedua, ini temuan yang mengejutkan, dan ini termasuk pelanggaran HAM. Dan ketiga kita harus terupdate isu ini karena kan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya, jadi masyarakat harus selalu aware dengan konflik ini.”

P : “Oke, kalau di artikel yang di pemantaian sistematis kan ada dokter natasha reyes, itu proses menentukan narasumber sehingga dipilih dokter natasha reyes itu gimana ya?”

I : “Itu sebenarnya salah satu kenalan Aqwam, salah satu reporter Tirto juga, jadi dia sudah pernah kontak dengan natasha. Pertama, natasha juga sudah cukup lama di MSF dan di Bangladesh, di kamp pengungsian etnis Rohingya. Dan dia direktur operasional, jadi dia mengepalai operasi yang ke lapangannya, semacam staf

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 medisnya. Saat kita wawancara dia sangat deskriptif seklai, mereka depresi, mereka kekurangan air bersih, kekurangan sanitasi. Kita sangat terbantu dengan deskripsinya.”

P : “Tapi mengingat dokter natasha reyes di bangladesh. Tapi ada isu juga bahwa pengungsi rohingya di bangladesh justru menghabiskan sumber daya di bangladesh. Itu sempet dibahas dibahas gak sih Mbak dengan dokter Natasha?”

I : “Iya, kita sih sempet menyinggung, spesifik sih enggak tapi kita menyinggung konflik yang terjadi di bangladesh yang ditimpulkan karena pengungsi. Tapi natasha waktu itu bilang, sebagai staff medis dia tidak berkepentingan, jadi sebaiknya tanyakan ke pemerintah bangladesh. Nah, tapi dari pengakuan natasha, semua kebutuhan pengungsi rohingya di sana di bangladesh itu semua diprovide sama bantuan kemanusiaan yang masuk dari luar negeri, dari MSF, Red Cross, jadi bergantungnya dari situ. Jadi dari pengakuan natasha, bangladesh masih welcome.”

P : “Jadi belum ada permintaan dari bangladesh ke pengungsi rohingya untuk pulang ya?”

I : “Enggak-enggak. Dia kemudian ada perjanjian repatriasi, itu perjanjian antara bangladesh dan Myanmar, dan tidak ada paksaan dari bangladesh untuk Myanmar menandatangain itu. “

P : “Okeh Mbak, kita masuk ke kebijakan redaksi nih. Ada gak sih kewajiban dari redaksi untuk jurnalisnya memasukkan solusi ke berita-berita konflik, khususnya berita konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar?”

I : “Pastinya ada, sebenrnya gak hanya di artikel ini, tapi semua artikel yang konflik kita selalu menawarkan solusi, tapi tentunya lewat mulut narasumber. Jadi kita menjalankan fungsi kita harus menjawab pertanyaan masyarakat, jadi pertanyaannya kan ini konflik jadi penyelesaiannya gimana sih? Kan gitu. Nah itu yang kita berusaha jawab lewat artikel kita, gak jelas aja kita hanya menggambarkan polemik tapi gak menawarkan solusi. Tapi sekali lagi, solusi itu bukan dari redaksi, bukan subjektifitas redaksi, tapi dari narasumber. Pertama kita

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 analisis dulu, awalnya di mana, masalahnya apa, lalu kita punya hipotesis, lalu kita cari orang yang berkompeten mengenai konflik ini, jadi kita tanya solusinya. Kadang kita gabungkan beberapa solusi dari berbagai narsum. Jadi kita menawarkan opsi-opsi kepada pihak yang terkait, dalam hal ini pihak Myanmar yang berwenang kita memberikan solusi itu, yaudah dari pada bunuh-bunuhin orang tidak berdaya itu, kita kasih opsi dari beberapa narsum. Kalau dalam artikel ini, kita pinjem mulutnya natasha. Natasha bilang repatriasi, repatriasi itu banyak dikritisi, karena secara logika kalau orang sudah lari dari suatu tempat yang membuat dia terluka, mereka kan dibakar dibunuh, tapi lucunya disuruh balik. Kan itu aneh, itu cukup gak masuk akal, kan siapa yang mau balik. Tapi ternyata banyak juga yang mau balik ke rakhine, karena alasan historis lah. Tapi kalau mereka balik, akan ada jaminan keselamatan mereka gak? Jadi di artikel itu kita bilang, lu boleh melakukan repatriasi tapi harus ada jaminan keselamatan bagi etnis Rohingya, mereka dijamin martabatnya, dijamin hidup layak. Kalau sternyata gak ada, ya ngapain dibalikin. Dan kita kan dibaca banyak orang, dan orang indonesia kan cukup aware untuk koflik yang menindas kaum muslim, dan cukup ringan tangan juga. Kita tanyakan juga apa yang paling dibutuhkan ke natasha, agar masyarakat indonesia tau kalau mau bantu sebaiknya bantuan apa yang disalurkan.”

P : “Oh gitu, oke. Lalu sebenarnya dalam jurnalisme damai itu ada kritik mengenai memasukan solusi justru bisa mengganggu tugas jurnalis yang seharusnya hanya menyampaikan fakta. Tanggapanya Mbak Restu gimana?”

I : “Pertama kita menawarkan solusi itu bukan bilang ini solusi yang paling benar, kita biasanya menawarkan beberapa solusi, dan itu bukan dari kita. Jadi nantinya balik lagi ke masyarakat, kira2 yang mana yang paling pas menurut mereka. Dan nantinya mudah2an akan jadi bahan pertimbangan bagi pemerintah. Kalau soal masuk akal atau tidak, tugas jurnalis itu betul memberitakan fakta, tapi kita kan juga apa ya, punya fungsi untuk hmm.. gini, menurut ku dalam menulis laporan, kita harus punya perspektif, kita harus tau tujuan kita menulis itu apa. Orang mungkin selalu bilang, wah media pasti punya agenda tersendiri, tapi ya

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 sebenarnya agenda media itu untuk kepentingan publik juga. Tentunya dengan berbagai data dan riset yang sudah dilakukan, kita bisa menentukan mana yang penting dan tidak. Bahaya gak sih kalau kita hanya menyampaikan fakta tanpa punya perspektif sebelum menulis. Kalau kita hanya taro fakta2 aja, jadinya kita gak punya sistematika berpikir. Kalau hanya menyampaikan fakta aja, plok jadi satu gitu, tanpa dianalisis, tanpa dicari masalahnya di mana. Kalau pun kita puya output berupa solusi, itu kan hasil dari analisis kita. Kalau hanya sekedar fakta, itu bahaya. Misalnya kita dapat info dari pemerintah myanmar, trus kita langsung sampaikan aja ‘fakta’ itu, itu kan bahaya. Itu istilahnya hanya ‘mungutin kotoran hanyut’ aja gitu. Tujuan kita nuliskan supaya membantu menyelesaikan konflik ini, kalau terus ditutup-tutupi kan akan selalu terjadi.”

P : “Nah ini pertanyaan selanjutnya mengenai kebijakan redaksi lagi mbak, ada gak sih sebenernya larangan dari redaksi untuk pakai julukan-julukan terhadap salah satu pihak?”

I : “Kita tidak ada aturan baku tentang itu sih, lebih ke nasehat dari editor aja, misalnya kalau pakai istilah teroris, nanti mereka bilang jangan pakai teroris, tapi terduga teroris. Kita juga bisa meminjam istilah dari kepolisian, kalau kepolisian sudah tetapkan sebagai teroris, ya kita bilangnya teroris. Kalau ARSA misalnya kita enggak bilang kelompok ekstrimis, biasanya kita bilangnya militan. Karena itu terjemahan langsung dari media-media luar juga bilangnya milisi. Karena mereka kan tentara pembebasan rohingya jadi mereka menyebut diri mereka tentara, jadi ada hubungannya dengan militer, jadi kita menyebutnya militan. Tapi kalau untuk pemberian julukan-julukan lain di sini memang cukup ketat sih, biasanya kalau enggak ada konsensus. Kalau ada reporter yang salah pakai istilah, biasanya editor ingetin. Supaya enggak jadi masalah di kemudian harinya ya.

P : “Mungkin takut dianggap Tirto nih yang mulai menjuluki satu pihak dengan julukan tertentu ya?”

I : “He eh, kita berusaha adil dalam pikiran gitu, seobjektif mungkin memandang semua pihak. Engak dia bukan yang jahat2 banget, atau dia korban2 banget.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 P : “Nah terus kebijakan redaksi tirto ini mewajibkan jurnalisnya untuk memastikan kalau pembaca tirto itu bisa bedain mana yang fakta dan mana yang opini?”

I : “Gak Cuma di tirto, semua media juga harus seperti itu. Harus jelas ini fakta atau fakta opini? Nah kalau fakta kan sesuatu yang benar terjadi, kalau fakta opini ya memang sesuatu yang benar-benar terjadi juga tapi berupa pandangan subjektif suatu pihak. Nah kayak gitu. Biasanya kan akan dikasih apa namanya, disclaimer dulu di atasnya, bukan yang model data ini adalah.. bukan seperti itu. Tapi biasanya kan kalau fakta kita bilang ‘berdasarkan data yang terkumpul dari..’ nah gitu. Kalau mau nyambung ke fakta opini, ya sebelumnya akan ada bridgingnya dulu, saiap yang ngomong, itu harus clear.”

P : “Nah ini yang selanjutnya mungkin sebelumny sudah disinggung ya, jadi gak boleh menulis berita hanya dari opini suatu pihak. Itu kalau misalnya ada artikel yang dari dubes Ito sumardi, itu termasuk artikel yang ditulis hanya berdasarkan opini satu pihak gak? Atau gak masalah karena diambil dari petinggi pihak yang tidak berkepentingan?”

I : “Enggak, karena kita memang punya satu bentuk penulisan, namanya wawancara lepas, yang kita memprovide suatu wawancara eksklusif. Yang kita pertimbangkan adalah dia posisinya apa, lalu apakah dia punya perspektif yang cukup menarik untuk diangkat. Toh sebelumnya, kita punya artikel-artikel terkait yang memprovide opini dari tokoh lain kan. Dan kalau soal hanya mengambil narasumber hanya satu, itu sebenernya kita bisa follow artikel itu dengan opini tokoh lain di artikel selanjutnya. Apalagi kan sebenernya gak terus-terusan dia terus kan yang suaranya kita akomodir. Kalau dulu kan semua pihak harus ada di satu artikel untuk cover all side, kalau media digital itu kan ada teknologi hyperlink, jadi bisa langsung terhubung dengan berita konflik rohingya dan myanmar lainnya di tirto. Kalau melihat media digital yang diwajibkan untuk cepat, 1 narasumber itu dibenarkan karena masih bisa terhubung dengan artikel- artikel terkait. Kecuali kalau di indepth, ini harus komprehensif dan deadlinenya pun relatif lebih panjang jadi harus lebih banyak narasumbernya.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 P : “Oiya, tadi kan Mbak restu menyebut kalau dokter Reyes memberikan deskripsi yang detail mengenai kondisi di pengungsian. Nah dari redaksi, ada gak sih instruksi untuk menghighlight salah satu aspek aja? Misalnya fokus ke korban konflik yang ibu-ibu hamil ya atau anak-anaknya, gitu.”

I : “Kalau kita butuh story dari korban, kita kan asti akan cari yang menarik. Kalau dia hanya kabur dengan cara yang biasa mah yaudah. Tapi kalau ada cerita yang gak biasa, cerita ekstrim, itu menarik untuk menunjukkan bahwa sudah separah ini loh konfliknya. Mislanya aku nulis tentang sekelompok laki-laki yang dikubur di sebuah lubang terus dibakar, nah itu eksrim banget. Untuk menggambarkan segitunya loh genosida di myanmar. Tapi di satu sisi tetep ada batasan mengenai kengerian atau sadisme gitu ya, tetep ada sensornya. Reporter sih nulisnya secara lengkap dan keseluruhannya, nah editor mau cut di bagian mananya itu terserah editornya.”

P : “Oh gitu, oke, oke deh Mbak kalau begitu. Baik, sekian pertanyaan- pertanyaannya, Mbak. Makasih banyak ya Mbak atas kesediaannya menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.”

I : “Iya, sama-sama ya. Mudah-mudahan membantu ya.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 TRANSKRIP 3

Narasumber : Aqwam Hanifan Jenis Wawancara : Wawancara Langsung Tempat : Ruang Tamu Tirto.id Tanggal : 8 Juni 2018

Keterangan : P : Peneliti I : Informan

P : “Tahapan-tahapan jurnalis Tirto dalam menulis berita konflik antara etnis

Rohingya dan militer Myanmar itu apa aja Mas?”

I : “kalau tahapan-tahapan pasti ada verifikasi, ada konfirmasi, crosscheck. Tpi prolemnya kalau tentang konflik ini adalah kita kan gak terlibat langsung ya, kedua akses nya susah banget ke sana. Jadi ya mayoritas media di Indonesia sih nyadur.

Nah tapi kalau apa yang dilakukan tirto itu ya aku sempet kontak wartawan lokal bangladesh, wartawan lokal yang bisa ke pengungsian rohingya, jadi kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Mungin itu yang membedakan tirto dari media lain.”

P : “Iya sama kalo gak salah sempet wawancara direktur Global Humar Right?”

I : “Iya kalau itu GHR, kalau iu kebetulan dia yang datang ke Indonesia. Trus saya wawancara dia.”

P : “nah terus gimana sih Mas caranya milih kontributor lepas yang di sana?”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 I : “Ya, kalo ngontak narsum sih sebenernya, karena ini kan susah buat gumpulin data ke sana. Jauh juga. Jadi kalau menurutku sih ya semakin banyak narsumnya semakin bagus. Tapi selama ini sih aku belum sempet milah-milah, mana narsum yang mau diambil mana yang enggak gitu, karena yaa kita enggak punya akses. Jadi kan semakin banyak narsum, semakin banyak datanya, semakin luas point of viewnya, semakin oke sih buat kitanya juga.”

P : “Oh gitu, oke Mas. Nah ini selanjutnya ini mengenai kebijakan redaksi nih. Ada gak sih Mas kebijakan redaksi yang mengharuskan jurnalis Tirto memasukan solusi gitu di artikel-artikelnya?”

I : “Engggak semua artikel sih, karena artikel itu kan running ya. ada beberapa artikel yang pendek jadi kita gak mungkin masukin solusi kan. Tapi memang ada beberapa artikel panjang kita masukin, ini penyelesaiannya gimana sih. Tapi kadang juga di artikel terpisah karena kan ada keterbatasan space juga ya. isunya enggak masuk ke sana. Jadi gak semua artikel tentang Rohingya ini jadi ada solusi.

Tapi memang ada beberapa artikel yang ngebahas gimana sih kasus rohingya ini kedepannya.”

P : “Jadi enggak semua ya?”

I : “ Iya enggak semua, karena terbatas juga kan. Gak akan mungkin kita lagi ngebahas konflik ARSA misalkan, terus kita malah ngomongin konflik. itu kan lagi perang, masa ngomongin konflik. itu kan enggak nyambung. Mungkin di tulisan lainnya. Terus kita mungkin ngomongin soal ekonominya, terus ngomongin soal sejarah. Enggak mungkin kita ngomongin yang lalu terus ke depan.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 P : “Oke, kalau di Tirto ada larangan untuk ngasih julukan enggak sih Mas?

Misalnya barbar nih, atau teroris, terus ekstrimis, gitu. Ada enggak sih Mas?”

I : “Enggak, kayaknya engga sih. Tapi ya dalam kontek apa dulu. Kalau misalnya dalam konteks itu nya sudah ada bukti sah bahwa mereka memang begitu. Misalnya

Isis gitu, sudah ada bukti sah bahwa mereka menggal orang, dan mereka dibilang kelompok barbar, ya memang faktanya gitu. Tapi kalau misalnya konteksnya terduga teroris, ya enggak bisa kita bilang dia teroris. Tapi kalau yang diRohingya, itu kan laporannya Amnesty International itu udah jelas, bahwa pasukan Myanmar memang banyak buktinya gitu. Terus kita kalau bilang mereka keji, ya faktanya kan memang gitu. Toh kan ada riset-riset juga sebelum itu bahwa mereka memang keji.

P : “Jadi pelabelan itu juga harus didukung fakta-fakta ya?”

I : “Ya iya, harus ada fakta-faktanya, ya itu hasil riset, dari NGO atau dari mana.”

P : “Terus di Tirto ini ada gak sih Mas larangan untuk menulis artikel hanya berdasarkan wawancara satu pihak yang berkepentingan di konflik?”

I : “Ini memang agak sedikit trouble sih. Kalau kalau dalam kontek rohingya, kedua pihak yang berseteru itu memang susah dikontak juga. Jadi ya otomatis pembandingnya kalau salah satu pihak ada pemerintah Myanmar, ya paling pihak lainnya itu NGO luar yang menangani konflik ini. Susah untuk kita mengontak

ARSAnya.”

P : “Terus ada kebijakan redaksi yang mengharuskan meliput mengenai korban gak sih mas? Misalnya spesifik ke ibu-ibu hamil misalnya? Jadi meliput dampak tertentu dari konflik”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 I : “Apa contohnya? Cotohnya aja?”

P : “Ya contohnya misalkan ada pengungsi dari Rakhine ke Bangladesh tapi ditembakin dari belakang gitu?”

I : Jadi poin kekejiannya gitu? Ada sih itu, tapi kalau di Tirto itu kebanyakan untuk dampak itu kita dari yang umum dulu, baru yang detail-detailnya. Nah detail-detail itu bagian dari sesuatu yang umum itu, tetep kita jabarin karena kan itu faktanya.

Gitu sih.’

P : “Jadi kalau ada detail mengenai suatu kejadian gitu..”

I : “Iya tetep dimasukin, tetep dimasukin. Aku sempet hier wartawan sana untuk kasih detailnya. Kamu sempet baca enggak?”

P : “Oh iya sempet mas, yang cerita dari itu ya?”

I : “Iya, tapi kan itu detailnya aja dalam artian highlight gitu.”

P : Itu termasuk foto-fotonya juga Mas?”

I : “Iya itu termasuk foto-fotonya, tapi ya yang sadis-sadisnya enggak. Gak akan kita masukin lah, gak lolos proses sunting juga pasti sama editor.”

P : “Oh oke-oke, itu saya boleh liat foto-fotonya enggak Mas?’

I : “Hmm.. buat foto sih kayaknya gak bisa ya. karena itu kan eksklusif punyanya

Tirto gitu. Takutnya kesebar atau gimana. Jadi paling liat foto-foto yang dipublikasi di artikelnya aja sih.”

P : “Oh jadi gak bisa di minta gitu ya Mas? Buat perbandingan aja sih antara foto yang dipakai dan foto yang gak bisa dipakai di artikel Tirto.”

I : “Iya sorry kita gak bisa bantu kayaknya kalau soal itu ya. soalnya takut gimana- gimana juga, gitu.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 P : “Oh oke deh Mas. Kalau gitu sekian aja Mas pertanyaan-pertanyaannya.”

I : “Oke, moga-moga membantunya.”

P : “iya terima kasih Mas. Eh iya kalau seandainya nanti ada pertanyaan tambahan, saya masih boleh kontak Mas Aqwam lagi enggak?”

I : “Iya bisa, kalau saya ada waktu sih bisa. Janjian aja dulu nanti.”

P : “Oke deh kalau begitu, makasih banyak Mas.”

I : “Yo, sip.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 TRANSKRIP 4

Narasumber : Aqwam Hanifan Jenis Wawancara : Wawancara Tidak Langsung (via telepon) Tempat : - Tanggal : 9 Agustus 2018

Keterangan : P : Peneliti I : Informan

P : “Halo, selamat sore Mas Aqwam.”

I : “ Ya, Halo?”

P : “Iya, halo. Dengan Mas Aqwam ya? Ini Audy, Mas.”

I : “Ya, dengan siapa?”

P : “Dengan Audy, Mas. Mahasiswa Universitas Multimedia..”

I : “Oh ya, sorry ini agak kresek-kresek, kurang jelas ini. Ya, bagaimana, Audy?”

P : “Iya Mas, ini saya ada beberapa pertanyaan tambahan terkait skripsi saya.

Langsung aja kali ya, Mas?”

I : “Iya, iya.”

P : “Iya, ini mengenai artikel yang Mas Aqwam tulis nih. Yang “Cerita Memilukan

Pengungsi Rohingya dari Buthidaung”. Itu kan ada istilah baghi ya mas yang dipakai. Itu penggunaan istilah itu ada alasan tertentu gak sih, Mas?”

I : “Oh, ya baghi itu kan istilah lokal sana buat orang-orang Rohingya ya, khususnya yang angkat senjata begitu. Jadi semacam istilah lokal lah untuk anggota-anggota

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 organisasi pemberontak gitu ya, ARSA itu. Jadi ya saya pakai supaya pembaca tahu aja istilah lokal di sana gitu.”

P : “Jadi hanya untuk istilah lain aja gitu yaa Mas? Gak ada alasan atau maksud lain gitu?”

I : “Ya enggak sih, ya hanya menggunakan istilah lain aja ya, supaya pembaca tau juga istilah lokal dari sana gitu. Biasa aja sih ya kalau menurut saya.”

P : “Oh gitu, itu istilahnya memang dapet dari mana, Mas?”

I : “Dari Adil Sakhwat, kontributor yang ada di sana ya. Jadi kan dia memang wawancara langsung orang-orang Rohingya yang selamet. Jadi ya laporannya juga ada istilah-istilah lokalnya juga.”

P : “Oh gitu ya..”

I : “Iya, karena kita kan juga gak ada yang bisa bahasa sana ya, yang baku aja gak bisa apalagi istilah-istilah lokal. Jadi ya kita dapetnya jadi wartawan yang ada di sana sih.”

P : “Oh gitu, oke baik Mas. Kalau untuk ini Mas, di artikel itu kan banyak cerita, detail juga tentang korban serangan militer Myanmar nih. Nah itu memang sengaja atau gimana Mas?”

I : “Hmm.. ya iya memang waktu itu saya mau bikin tulisan yang cukup apa ya.. cukup, cukup.. cukup komprehensif lah tentang dampak operasi militer itu. Jadi ya sampe hire jurnalis sana gitu, supaya dapet info yang detail lah untuk itu ya. Jadi ya wajar kalau isinya cukup detail, cerita dari korban selamat itu ya. Ada yang liat anaknya dibunuh, dan sebagainya. Ya itu..”

P : “Oh gitu. Tapi ini kalau saya kaitkan dengan konsep jurnalisme damai nih, Mas.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 I : “He eh..”

P : “Itu kan seringkali jurnalis diharapkan mau apa ya istilahnya.. mau keep dulu lah informasi yang seperti itu, supaya enggak ada pihak yang terprovokasi, gitu. Itu enggak terjadi waktu nulis artikel itu ya, Mas?”

I : “Ya, enggak sih ya. Tapi menurut saya justru itu aneh ya. Kenapa kita justru harus menyimpan informasi, gitu. Kan tugasnya jurnalis memang untuk memberikan informasi ya. Kalau kita, ya katakanlah kita keep informasi, padahal dapetnya dari sumber kredibel, ya terus kita ngapain dong? Buat apa cari informasi kalau gitu, ya kan?”

P : “Jadi sumbernya kredibel itu sah-sah aja untuk menyampaikan apapun ya Mas?”

I : “Ya iya, kita kan juga liat dulu ya, sumbernya kredibel atau enggak gitu. Kalau kredibel ya, justru itu kan tugas kita sebagai jurnalis. Kecuali ya misalnya kasus perkosaan, terus kita publish tulisan yang detail banget dari awal sampe akhir perkosaannya, ya itu salah lah. Kita liat-liat juga lah.”

P : “Oh baik Mas. Nah kalau tentang dampak serangan ARSA nih. Sempet ada kepikiran buat artikel yang kurang lebih sama seperti artikel “Cerita Memilukan” ini gak sih, Mas?”

I : “Hmm, artikel yang kurang lebih sama tuh gimana maksudnya ya?”

P : “Ya jadi tentang korbannya, dan detail gitu.”

I : “Oh ya belum ada sih ya. Karena serangan yang masif itu kan serangannya

Myanmar ya, jadi ya yang dicover itu dampak serangan itu dulu. Tapi enggak cuma itu sih. Susah juga kan buat kirim wartawan ke wilayah yang kena serangan ARSA,

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 karena kan itu dijaga ketat sama militer ya. Sedangkan kalau korban serangan

Myanmar kan kita bisa temuin di Bangladesh, jadi relatif lebih gampang lah.”

P : “Oh, jadi itu mungkin sebabnya buat informasi korban serangan ARSA ini Tirto pakainya info dari NGO aja ya, Mas?”

I : “Iya, saya kira itu sih. Eh sorry ya, ini saya enggak bisa lama-lama nih. Masih banyak gak pertanyaannya?”

P : “Oh oke Mas, enggak kok Mas gak banyak. Nah itu, kalau artikel ini sempet dapet tanggapan gak sih Mas dari pihak-pihak yang berkonflik gitu?”

I : “Tanggapan gimana maksudnya?”

P : “Ya, misalnya ada yang email ke Tirto gitu. Enggak suka, dan minta diturunin artikelnya, gitu. Karena kan ini isinya menunjukkan perbuatan pemerintah

Myanmar gitu.”

I : “Oh belom sih, sampe sekarang sih belum ada ya. Karena kan kita ini jauh juga dari sana ya, jadi enggak terlalu gimana sih. Dan perlu diingat, ini kan artikelnya dalam bahasa indonesia, jadi ya susah juga kalau mau mengharapkan tanggapan dari mereka sih.”

P : “Oh gitu, oke deh Mas Aqwam kalau gitu. Sekian aja kok Mas, makasih banyak atas waktunya nya Mas.”

I : “Oke, sama-sama. Moga-moga membantu ya, sorry nih saya gak bisa lama.”

P : “Oke gak apa-apa, Mas. Selamat sore ya Mas.”

I : “Ya, mari, sore.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 CUPLIKAN LAYAR 1

Narasumber : Fahri Salam

Aplikasi : WhatsApp Messenger

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 CUPLIKAN LAYAR 2

Narasumber : Restu Diantina Putri

Aplikasi : WhatsApp Messenger dan Google Email

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 PANDUAN WAWANCARA

Komponen wawancara : Pemberitaan konflik di Tirto.id, konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar, jurnalisme damai dan media, kebijakan redaksi Tirto.id, The Feedback Loop.

Narasumber : 1. Editor Tirto.id, Fahri Salam.

2. Reporter Tirto.id, Restu Diantina Putri.

3. Reporter Tirto.id, Aqwam Hanifan.

No. Komponen / Sub Komponen Substansi Pertanyaan 1. Pemberitaan konflik di 1. Apakah artikel-artikel konflik Tirto.id secara umum mendapatkan porsi yang besar di lamanTirto.id? Sebagai contoh, apakah lebih besar dibandingkan artikel mengenai politik dalam negeri? 2. Aspek apa saja yang membuat sebuah konflik layak dijadikan objek pemberitaan oleh Tirto.id? 3. Apakah ada aspek tertentu yang dijadikan pokok pemberitaan oleh Tirto.id dalam memberitakan sebuah konflik? Contohnya kondisi korban, penyebab konflik? 2. Konflik etnis Rohingya dan 1. Apa yang membuat Tirto.id militer Myanmar tertarik untuk menjadikan konflik antara etnis Rohingya

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 dan militer Myanmar sebagai objek pemberitaan? 2. Seberapa intensif Tirto.id memberitakan konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 3. Apa saja teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh jurnalis Tirto.id dalam proses penulisan artikel mengenai konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 3. Jurnalisme damai dan media 1. Dalam konsep jurnalisme damai, sebuah media diharapkan mampu membahas mengenai solusi sebuah konflik dalam artikel yang dipublikasikan. Apakah Tirto.id melakukan hal tersebut? 2. Ada anggapan bahwa tugas media adalah memberitakan peristiwa (konflik) secara apa adanya, dan bukan berusaha memberikan solusi untuk menghentikan konflik. Apa tanggapan jurnalis Tirto.id terhadap anggapan tersebut? 4. Kebijakan redaksi Tirto.id 1. Apakah kebijakan Tirto.id mengharuskan jurnalisnya untuk memperlihatkan solusi yang

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 dapat ditembuh untuk menghentikan konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 2. Apakah kebijakan redaksi Tirto.id memberikan larangan bagi jurnalisnya untuk memberikan julukan tertentu kepada salah satu atau semua pihak yang berkonflik dalam konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 3. Apakah kebijakan redaksi Tirto.id mengharuskan jurnalisnya untuk memastikan bahwa pembaca Tirto.id dapat membedakan antara fakta dan opini mengenai konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 4. Apakah kebijakan redaksi Tirto.id melarang jurnalisnya untuk menulis sebuah artikel hanya berdasarkan opini petinggi/pejabat salah satu pihak yang berkonflik dalam konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 5. Apakah kebijakan redaksi Tirto.id mengharuskan jurnalisnya untuk memberitakan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 kondisi pihak yang merasakan dampak konflik secara langsung dalam konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar? 5. The Feedback Loop 1. The Feedback Loop merupakan perputaran informasi dari sumber berita kepada jurnalis, yang nantinya informasi tersebut akan diolah dan dipublikasi oleh media dalam bentuk artikel. Artikel tersebut akan dibaca oleh masyarakat, dan masyarakat akan memunculkan reaksi terhadap artikel tersebut. Reaksi dari masyarakat tersebut akan diterima dan dapat mempengaruhi sumber berita. Dalam menulis berita konflik, apakah Tirto.id juga memperhatikan adanya The Feedback Loop? 2. Sebagai media daring, apakah perputaran The Feedback Loop yang ada pada Tirto.id lebih cepat dibandingkan dengan media cetak? 3. Apakah The Feedback Loop yang disebabkan oleh berita- berita mengenai konflik antara etnis Rohingya dan militer Myanmar dapat berdampak

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 negatif terhadap konflik tersebut? 4. Jika jawaban pertanyaan no. 3 adalah ya, maka apa yang bisa dilakukan oleh seorang jurnalis, khususnya jurnalis Tirto.id, untuk mencegah timbulnya dampak negatif yang disebabkan oleh The Feedback Loop dari artikel yang ditulisnya?

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 TABEL OBSERVASI

Jenis observasi : Observasi non-partisipan Tempat : Ruang redaksi Tirto.id Tanggal : 10 September 2018 Waktu : 17.15 – 17.55 WIB

No. Kategori Hasil Observasi 1. Hal yang diobservasi Hal yang diobservasi adalah diskusi informal yang terjadi di antara jurnalis Tirto.id. Diskusi informal yang dimaksud adalah diskusi yang terjadi sehari-hari di antara jurnalis Tirto.id. 2. Tempat yang Observasi dilakukan di dalam ruang redaksi diobservasi Tirto.id. Ruang redaksi Tirto.id merupakan sebuah ruangan tersendiri di belakang bangunan utama kantor Tirto.id. Di dalam ruangan tersebut, terdapat lima meja panjang, yang masing-masing dapat menampung enam jurnalis di setiap sisinya. Di dekat pintu masuk ke ruang redaksi, terdapat ruangan kecil berdinding kaca. Ruangan ini merupakan ruang rapat yang biasanya digunakan oleh editor ketika melakukan briefing dengan reporter- reporternya. Observasi dilakukan pada meja kedua, sebelah kanan di mana subjek-subjek yang diobservasi duduk. 3. Subjek yang Tiga jurnalis Tirto.id : Restu Diantina Putri, diobservasi Arbi Sumandoyo, dan Reja Hidayat. 4. Durasi observasi 40 menit.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 5. Hal-hal yang relevan  Ide untuk menulis artikel di Tirto.id dengan penelitian tidak hanya berasal dari editor, melainkan bisa berasal dari reporter.  Judul sebuah artikel yang dibuat oleh reporter biasanya diubah oleh editor sebelum publikasi.  Penentuan narasumber merupakan hasil dari diskusi antara reporter dan editor, namun biasanya reporter lebih aktif mencari narasumber.  Foto-foto yang dipublikasi bersama artikel Tirto.id merupakan keputusan editor, meskipun reporter dapat memberikan pendapatnya juga.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 1

Kyaw Win: "Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer"

Executive Director of Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win. TIRTO/Andrey Gromico

- 25 November 2016 Dibaca Normal 4 menit Apa yang sebenarnya terjadi pada etnis Rohingya? Direktur Burma Human Rights Network (BHRN) Kyaw Win bercerita banyak soal itu, mulai dari apatisnya pegiat demokrasi dan kalangan terdidik di sana, para biksu yang jadi alat junta militer mengontrol massa sampai keterlibatan Cina yang memperkeruh konflik di negara bagian Rakhine. tirto.id - Nasib warga Rohingya kian tragis. Mereka yang memutuskan pergi mencari suaka masih terombang-ambing. Sementara mereka yang masih menetap di Myanmar terus mendapat kekerasan.

Sejak 9 Oktober 2016, pascapenyerangan pos polisi oleh sekelompok anak muda yang diduga warga Rohingya, militer Myanmar melakukan operasi militer di daerah , bagian utara negara bagian Rakhine. Operasi militer itu diikuti dengan pembunuhan tanpa peradilan, pembakaran pemukiman, pemerkosaan, penyiksaan dan pengusiran secara paksa.

Burma Human Rights Network (BHRN) telah melakukan beberapa wawancara dengan beberapa Rohingya yang berhasil melarikan diri dari Maungdaw dikarenakan tindakan kekerasan oleh pasukan Myanmar.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Direktur Eksekutif BHRN Kyaw Win berada di Indonesia sepanjang akhir November ini dan bercerita tentang banyak hal tentang Rohingya di Myanmar. Berikut kutipan wawancara reporter Tirto.ID Wan Ulfa Nur Zuhra dan Aqwam Fiazmi Hanifan dengan Kyaw Win, Kamis (24/11).

Apa yang sebenarnya terjadi pada 9 Oktober lalu?

Pada 9 Oktober, ada kelompok kecil remaja membawa alat-alat pertanian dan benda tajam, mereka menyerang kantor polisi di perbatasan Bangladesh. Selain membunuh polisi, mereka juga mencuri senjata dan lebih dari10 ribu peluru, lalu mereka lari. Anak-anak ini diduga dari kelompok Rohingya. Sejak itu, operasi militer dimulai.

Pemerintah menuduh mereka berafiliasi dengan Saudi, Pakistan dan negara-negara islam. Menurut kami, kalau memang mereka mendapat dukungan, kenapa mereka bahkan tak punya makanan? Kami punya banyak contoh kelompok yang didukung negara-negara ini secara keuangan, tetapi Rohingya berbeda. Mereka bahkan tak memiliki obat- obatan.

Apa yang membuat Anda yakin mereka tak didukung negara manapun?

Kami sudah memantau ini dari beberapa video. Kami melihat dari cara mereka bertindak, mereka jelas tidak terorganisasi. Mereka tak punya pengalaman, tak terlatih, dan mereka masih sangat muda, hanya 14-15 tahun. Mereka pun menyerang dengan alat-alat pertanian, bukan senjata api.

Poin lainnya adalah, Rohingya tersebar di beberapa negara saat ini, tentu saja mereka punya koneksi, tetapi bukan berarti mereka didukung. Mereka jelas tak terlatih dan nekad menyerang tentara yang terlatih.

Di setiap negara, ada aturan hukum. Jika warganya melakukan kesalahan, tentu akan dihukum. Setiap negara seperti itu. Tetapi tidak di Myanmar. Alih-alih fokus mencari pelaku penyerangan, para tentara melampiaskan kemarahan kepada warga lain. Mereka membunuh, membakar rumah, memperkosa, ini sangat menjijikkan.

Di Myanmar, praktik seperti ini sebenarnya berlaku bagi semua etnik, tentara bisa sesukanya. Tetapi bagi Rohingya, mereka akan bertindak lebih jauh, lebih parah.

Lalu apa yang terjadi dengan sekumpulan anak muda itu?

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Mereka masih di Myanmar, mereka lari dan bersembunyi. Mereka sama sekali tak terorganisasi. Aksi yang mereka lakukan hanyalah pelampiasan amarah. Siapa yang tak marah jika diperlakukan demikian?

Ada berapa populasi Rohingya di Myanmar saat ini?

Populasi Rohingya sekitar 800 ribu. Tapi itu pun tak pasti, tak ada angka pasti. Pemerintah punya datanya, tetapi mereka tak akan merilis data yang benar.

Apakah ada gerakan dari warga Myanmar untuk membela kaum minoritas seperti Rohingya?

Ada ideologi yang cukup popular dari Nazi Jerman, ketika negara dan agamamu diserang, kau kehilangan akal sehat. Begitu yang sedang terjadi di Myanmar, untuk menjadi warga Myanmar yang baik, kau harus membenci Muslim. Jika tidak, kau bukan bagian dari Burma. Ideologi ini yang mendorong Aung Sang Su Kyii untuk diam. Dia bisa bertindak jika dia mau, tetapi dia tidak melakukan apa-apa. Dia selalu bicara tentang aturan hukum, di mana aturan hukum itu bagi Rohingya?

Mengapa Orang Rohingya tidak bisa memperjuangkan hak mereka seperti bangsa Pattani di Thailand Selatan atau Moro di Mindanao, Filipina?

Pertama, mereka terlalu lemah. Mereka sadar konsekuensi yang akan mereka dapat jika melawan. Jika hal itu dilakukan maka ini akan jadi alasan militer untuk menyerang membabi-buta, dan korban yang berjatuhan akan lebih banyak. Dan kedua, tidak ada yang mau menolong mereka.

Apa karena Rohingya bukan bangsa melayu seperti Pattani dan Moro?

Ya bisa jadi. Bahkan Bangladesh pun menutup pintu bagi Rohingya. Bangladesh bahkan mengumumkan jika ada yang menampung Rohingya, maka akan dihukum. Jadi kemana lagi orang-orang ini akan pergi? Setelah operasi militer Oktober lalu, ada sekitar 30.000 warga Rohingya kehilangan rumah.

Tapi kenapa Bangladesh enggan menolong Rohingya, bukankah mereka memiliki kedekatan secara historis dan kultural?

Rohingya memang punya kedekatan sejarah dengan Chittagong (Bangladesh Selatan). Saya tidak tahu kenapa mereka tak mau. Tapi jika Bangladesh membuka perbatasan dan mengizinkan semua etnis

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Rohingya masuk negara mereka, ini akan dijadikan alasan bagi pemerintah Myanmar untuk menendang semua orang Rohingya keluar dari Myanmar. Inilah yang pemerintah Myanmar inginkan.

Bagaimana peran media di Myanmar?

Media-media ini yang menyebarkan propaganda. Sangat menjijikkan. Mereka tak menggunakan etika jurnalistik. Tidak ada kebebasan media di Myanmar.

Kaum terpelajar? Tidak adakah yang tergerak membela minoritas?

Kaum terpelajar juga banyak yang rasis. Ini seperti group psychology, ketika pandangan kita berbeda dari pandangan kelompok, maka kita akan dianggap musuh dan diperlakukan sama seperti musuh. Secara psikologi, manusia sulit menerima ini. Inilah yang terjadi di Myanmar. Agar dianggap benar dan diterima kelompok mayoritas, mereka harus membenci Rohingya.

Lagipula, tidak ada ancaman penjara dan hukuman dari menghina, dan menghancurkan Rohingya. Mereka bisa melakukan apapun terhadap kaum muslim Rohingya. Kalau ada hukuman, tentu mereka tak akan bertindak seenaknya. Di banyak tempat, terutama di Selatan Myanmar, kedai-kedai milik Muslim diboikot.

Apakah Biksu di Myanmar lebih tak berperikemanusiaan dari biksu di Thailand dan negara mayoritas Buddha lainnya?

Ini bukan originalitas tindakan para biksu. Sebab seperti agama lain, Buddha tak mengajarkan kebencian dan diskriminasi. Biksu-biksu yang ada di Myanmar saat ini kebanyakan adalah orang yang direkrut oleh tentara dan dijadikan biksu. Biksu-biksu ini kemudian menyebarkan ajaran kebencian akan Rohingya, akan Islam. Anda bisa lihat di beberapa video, biksu-biksu itu mengatakan jika membiarkan umat Islam ada di Myanmar, maka mereka akan merebut kekuasaan, seperti yang terjadi di Indonesia. Ini didesain oleh tentara, agar rakyat Myanmar bertengkar satu sama lain.

Untuk apa?

Untuk bisa mengontrol dan berkuasa penuh. Sebagai contoh, jika saya ingin mengontrol kalian, saya harus membuat kalian sibuk bertengkar satu sama lain. Karena jika tidak, kalian akan bersatu dan mengetahui kesalahan yang saya perbuat. Akan lebih sulit bagi saya mengontrol kalian. Begitu juga yang dilakukan tentara Myanmar. Ini strategi dari kolonial.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Mengapa biksu di Myanmar terlibat dalam persoalan politik?

Mereka hanya dijadikan alat politik. Dalam pidato-pidatonya, mereka akan cerita tentang kehancuran Buddha di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal itu dijadikan alasan mengapa Rohingya harus dienyahkan dari negeri mereka, jika tidak, mereka yang akan tersingkir. Ini yang didengar anak-anak hingga orang dewasa. Bayangan apa jadinya anak- anak ini sepuluh tahun mendatang, mereka akan sangat membenci Muslim.

Lalu apa yang dilakukan Burma Human Right Network terkait persoalan yang dihadapi Rohingya?

Kami memantau di lapangan. Kami mengamati dan mengumpulkan semua pidato kebencian, terutama dari para biksu. Kami juga memonitoring tindakan kekerasan. Kami mendokumentasikannya dan juga menuliskan laporan. Kami pun melakukan advokasi, seperti yang saya lakukan saat ini. Saya berkunjung ke beberapa negara, bicara dengan para jurnalis.

Menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan negara-negara di Asia dan khususnya ASEAN?

Lakukan diplomasi, tetapi juga terus berikan tekanan untuk menghentikan diskriminasi ini. Ada level ketika satu negara harus bicara. Apa yang terjadi di Myanmar adalah genosida, dan ini pelanggaran HAM berat.

Apakah Pemerintah Myanmar akan mendengarkan?

Tergantung. Kalau negara lain terus-menerus memberikan tekanan untuk menghentikan ini, terutama Indonesia, mungkin akan didengarkan. Ini bukan negara kecil, Indonesia cukup punya kekuatan di Asia. Ketika Indonesia dan Malaysia terus memberikan tekanan, saya bisa menjamin akan terjadi perubahan setidaknya 50 persen. Kalau negara-negara lain mau angkat bicara dan ikut memberi tekanan kepada Myanmar, maka perubahan sangat mungkin terjadi.

Tetapi jika tidak, tak akan ada perubahan apa-apa. Sebenarnya ada cara lain yang lebih damai. Pemerintah harusnya bisa membuka ruang untuk berdiskusi, berdebat tentang catatan sejarah keberadaan Rohingya di Myanmar. Mereka tak melakukan itu, karena mereka memang salah. Mereka tidak bisa membuktikan bahwa Rohingya adalah imigran ilegal.

Bukankah kekuatan militer berkurang setelah Partai Aung Sang Suu Kyi (NLD) menang dalam pemilu lalu?

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Sebelumnya kami punya persepsi berbeda kepada NLD. Tapi sekarang kami sepakat memandang persepsi buruk pada mereka. Kami nilai mereka sama saja. Militer tetap memegang kontrol. Militer begitu keras kepala dan sifat mereka amat bahaya. Militer tetap memegang kendali Army Law dan punya kekuatan besar. Bahkan mereka pun membentuk milisi untuk memusuhi kami. Selain itu di Myanmar memang telah terjadi penanaman pemahaman kepada anak-anak kecil di sana untuk membenci muslim Rohingya.

Bagaimana dengan posisi negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina dalam kasus ini?

Tentu saja mereka juga terlibat. Tapi ini berbeda, mereka bukan negara tetangga dan bukan regional ASEAN dan tidak akan membuat perubahan banyak. Tapi Cina selama ini mereka punya hubungan baik dengan militer Myanmar termasuk dengan milisi.

Milisi Budha?

Bukan milisi Budha yang didukung pemerintah, tapi milisi Rakhine (pasukan Arakan – milisi ini adalah milisi pemberontak yang tidak ada sangkut pautnya dengan Rohingya, pasukan Arakan menutut kemerdekaan di negara bagian Rakhine dan Kachin). Cina juga mendukung dan melatih mereka.

Apakah milisi ini membenci Rohingya?

Tidak semua. Mayoritas dari mereka adalah Budhis. Tetapi banyak dari mereka menghindari konfrontasi. Mereka tidak keras dan tidak ingin berperang dengan Rohingya. Sebenarnya pasukan Arakan menujukan rasa simpati pada kami, namun rasa simpatik itu tidak bisa dipercaya penuh.

Kenapa Cina membantu mereka?

Saya tidak tahu. Tapi asumsi saya, Cina tertarik dengan Rakhine.

Tapi apakah Tentara Myanmar tahu tentang bantuan ini?

Ya mereka tahu, tapi tidak bisa bertindak apa-apa.

Pertanyaan terakhir, apakah Anda sepakat bahwa Genosida adalah kata yang pantas untuk menggambarkan Rohingya saat ini?

Ya saya sepakat. Pantas disebut genosida karena selain pembunuhan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 yang dilakukan oleh militer, ada pula sistem kebijakan politik secara terstruktur untuk mengenyahkan etnis rohingya dari Myanmar.

Baca juga artikel terkait PENGUNGSI ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya (tirto.id - Wawancara)

Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Wan Ulfa Nur Zuhra Penulis: Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 2

Suu Kyi Yakin Tak Ada Pembersihan Etnis Rohingya di Myanmar

Penasehat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menemui warga Myanmar yang tinggal di Jepang di Tokyo, Jepang, Rabu (2/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato.

Oleh: Yuliana Ratnasari - 6 April 2017 Dibaca Normal 1 menit Aung San Suu Kyi setelah 15 tahun tahanan rumah sebagai tahanan politik kini secara efektif memerintah Myanmar sebagai konselor negara. Sejumlah kritik menyerukan agar Suu Kyi segera berbicara menentang aksi pemberangusan etnis di Rohingya. tirto.id - Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan istilah pembersihan etnis terlalu kuat untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi di Rakhine, wilayah dengan mayoritas penduduknya Muslim.

“Saya tidak berpikir ada pembersihan etnis yang terjadi,” kata Suu Kyi kepada BBC,Rabu (5/4/2017) waktu setempat. “Saya pikir pembersihan etnis terlalu kuat dipakai sebagai ekspresi untuk [menggambarkan] apa yang terjadi.”

Periah Nobel Perdamaian ini tengah menghadapi kritik internasional terkait penanganan pemerintahnya untuk krisis di wilayah Rakhine yang mayoritas penduduknya Muslim, di mana tentara telah memblokir akses bagi pekerja bantuan serta dituduh memperkosa dan membunuh warga sipil.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Aung San Suu Kyi, yang setelah 15 tahun tahanan rumah sebagai tahanan politik kini secara efektif memerintah Myanmar sebagai konselor negara, telah dikritik untuk segera berbicara menentang aksi pelanggaran tersebut.

Namun, kepada BBC ia mengatakan: “Apa yang Anda maksud dengan berbicara? ... Pertanyaan ini telah ditanyakan sejak 2013 saat putaran terakhir dari masalah ini pecah di Rakhine. Dan mereka memberikan pertanyaan dan saya menjawab mereka. [Tapi] orang-orang justru mengatakan aku tidak berkata apa-apa. Hanya karena saya tidak membuat semacam pernyataan yang mereka pikir saya harus buat, [yakni] yang mengutuk satu komunitas atau yang lainnya.

Dikutip dari The Guardian, Kamis (6/4/2017), pada Desember tahun lalu, lebih dari selusin peraih Nobel menulis sebuah surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB yang berisi peringatan atas tragedi "pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan” di Rakhine, sembari menyebutnya sebagai potensi aksi genosida.

Aung San Suu Kyi mengatakan ia tengah menuju rekonsiliasi di daerah bermasalah tersebut. Namun, dalam komentar yang mungkin dapat memancing kritik lebih lanjut, ia menolak untuk menerima fakta bahwa agresi sedang dilanggengkan oleh tentara Myanmar di sana.

“Saya pikir ada banyak permusuhan di sana,” kata Suu Kyi. “Ini Muslim membunuh Muslim juga, jika mereka berpikir bahwa mereka berkolaborasi dengan penguasa ... Ini masalah orang di sisi yang berbeda dari suatu kelompok.”

Myanmar telah meluncurkan penyelidikan lokal ke dalam kejahatan yang mungkin terjadi di Rakhine. Adapun mantan Sekjen PBB Kofi Annan ditunjuk sebagai kepala komisi yang bertugas menyelesaikan perpecahan antara umat Buddha dan Muslim di sana.

Lebih lanjut Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa tentara itu “tidak bebas untuk memperkosa, menjarah dan menyiksa.”

“Mereka bebas untuk masuk dan melawan. Dan tentu saja, yang ada di konstitusi ... hal-hal militer harus diserahkan kepada tentara,” kata Suu Kyi, menambahkan bahwa ia bertujuan untuk mengamandemen konstitusi.

Hampir 75.000 orang dari minoritas yang teraniaya telah melarikan diri ke Bangladesh setelah militer melancarkan operasi di utara negara bagian Rakhine untuk menemukan militan Rohingya yang menyerang pos perbatasan polisi pada bulan Oktober.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Kaum etnis Rohingya yang melarikan diri telah mengatakan kepada perlindunga HAM PBB bahwa tentara mengeksekusi bayi di depan ibu mereka, sebagai bagian dari upaya untuk meneror minoritas Muslim.

“Jika mereka kembali mereka akan aman,” kata Aung San Suu Kyi, menambahkan bahwa orang-orang yang melarikan diri dipersilakan untuk kembali.

Baca juga artikel terkait MUSLIM ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Yuliana Ratnasari (tirto.id - Sosial Budaya)

Reporter: Yuliana Ratnasari Penulis: Yuliana Ratnasari Editor: Yuliana Ratnasari

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

ARTIKEL 3

Paradoks Terbesar Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi. REUTERS/Soe Zeya Tun

Oleh: Ivan Aulia Ahsan - 5 September 2017 Dibaca Normal 3 menit Aung San Suu Kyi lama menjadi penganjur perdamaian, tapi giliran etnis Rohingnya dibantai ia bungkam. tirto.id - Dua puluh delapan tahun setelah meninggalkan tanah airnya, Aung San Suu Kyi kembali ke Myanmar. Orang ini telah melanglangbuana ke berbagai negeri mengikuti ibunya yang menjadi duta besar. Setelah meraih gelar master dalam ilmu politik dari Universitas Oxford, ia memilih menjadi akademisi dan menikah dengan Michael Aris, sejarawan Inggris yang menekuni Tibet. Dari perkawinan itu, ia melahirkan dua putra.

Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945 di sebuah desa kecil bernama Hmway Saung. Bapaknya, Aung San, bukan orang sembarangan: founding father negara Myanmar modern yang berjuang memerdekakan bangsanya dari kolonialisme Inggris. Sementara Khin Kyi, ibunya, juga berasal dari keluarga terpandang. Pada saat belum banyak perempuan Myanmar mengenyam pendidikan tinggi, Khin Kyi sudah merasakan sekolah keperawatan. Suu Kyi adalah anak ketiga dari empat bersaudara.

Kemuraman datang melanda keluarga kecil itu dua tahun setelah Suu Kyi lahir. Sang bapak terlibat konflik politik dengan lawannya yang

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 menyebabkan ia mati terbunuh. Selepas itu, Khin Kyi sendirian mengurus anak-anaknya (baca kisah kematian Aung San di sini).

Lahir dari keluarga terpandang memang mendatangkan keistimewaan tersendiri. Meski bapaknya tewas akibat pertarungan politik, ibunya mendapat jabatan yang bergengsi di negara Myanmar merdeka sebagai duta besar. Dari situlah kemudian Suu Kyi bisa bersekolah di luar negeri mengikuti ibunya sampai ia bisa lulus dari Oxford.

Tatkala pulang ke Myanmar pada 1988 itu, ia sejatinya datang untuk menjenguk sang ibu yang sedang sakit keras, bukan untuk tinggal lama di kampung halamannya. Apa boleh buat, takdir rupanya berkehendak lain. Krisis politik terjadi di Myanmar setelah Jenderal Ne Win, diktator yang berkuasa selama 26 tahun, mengundurkan diri. Tuntutan demokratisasi meruap di mana-mana, demonstrasi besar-besaran menentang kembalinya rezim militer melanda Myanmar.

Baca juga: Myanmar, Negara Para Jenderal

Suu Kyi kemudian didaulat para demonstran sebagai simbol perlawanan nasional. Mereka membangkitkan lagi memori kepahlawanan sang ayahanda, Aung San, ketika berjuang melawan penjajahan Inggris.

Dengan berbagai pertimbangan, Suu Kyi akhirnya memilih untuk mengiyakan permintaan para demonstran. Ia meninggalkan kenyamanannya sebagai bangsawan Myanmar yang hidup di luar negeri demi memimpin gerakan perubahan.

Maka di tengah puncak demonstrasi pada 26 Agustus 1988, Suu Kyi tampil berpidato di hadapan 500.000 orang yang berkumpul di halaman Pagoda Shwedagon menyerukan demokratisasi. Di hari itu, ia benar- benar muncul sebagai ikon. Tapi betapapun derasnya tuntutan, militer masih terlalu kuat secara politik. Awal September, Junta militer anyar penerus Ne Win berhasil mengambil alih kekuasaan.

Kepulangan Suu Kyi dan krisis politik itu adalah dua peristiwa yang kebetulan saja sebenarnya, tanpa ada kaitan politik apapun. Lewat “kecelakaan” politik, Suu Kyi muncul sebagai fenomena putri pendiri bangsa yang menjadi pemimpin di negaranya. Dalam konteks Asia Tenggara, kita juga mengenal Gloria Macapagal Aroyo (putri Diosdado Macapagal) di Filipina dan Megawati Sukarnoputri di Indonesia.

Baca juga: Ramai-Ramai Menolak First Lady

Akibat aktivitas politik yang membahayakan kedudukan junta militer, Suu

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Kyi mesti menanggung risiko paling berat. Satu tahun setelah kembali, Suu Kyi dikenakan tahanan rumah dalam waktu yang lama. Selama menjadi tahanan rumah, ia sebenarnya diizinkan pemerintah untuk bebas asalkan pergi meninggalkan tanah airnya dan tidak boleh kembali. Tapi ia memilih tetap tinggal, mengorbankan kebersamaan sebagai seorang ibu dengan suami dan dua putranya demi rakyat Myanmar.

“Sebagai seorang ibu, pengorbanan terbesar adalah melepaskan anak- anak saya, tapi saya selalu sadar dengan kenyataan bahwa orang lain telah berkorban lebih banyak dari saya,” kata Suu Kyi dalam The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements(2008).

Pada 1990-an itu, ia tak hanya populer di kalangan rakyat Myanmar. Lambat-laun, lantaran pemberitaan pers Barat soal heroisme Suu Kyi direproduksi terus menerus, ia menjelma jadi ikon kebebasan bagi orang- orang yang tertindas oleh militerisme dan rezim otoriter. Penghargaan Nobel Perdamaian yang ia dapat pada 1991 seperti meneguhkan ketokohannya.

Suu Kyi juga menjadi inspirasi bagi aktivis pro-demokrasi di Indonesia pada 1990-an. Situasi politik di Myanmar dan Indonesia saat itu hampir mirip: keduanya berada dalam cengkeraman diktator militer dan suara- suara oposisi direpresi.

Baca juga: Kongsi Dagang Antara Keluarga Cendana dan Junta Militer Myanmar

Goenawan Mohamad, misalnya, merekam sosok itu dalam dalam “Catatan Pinggir” yang khusus didedikasikan untuk Suu Kyi dengan penuh simpati. Ada pula satu sajak yang ia persembahkan khusus buat Suu Kyi dengan judul persis nama lengkap tokoh oposisi Myanmar itu. Menggambarkan betapa besar hasrat akan kebebasan meski harus ditempuh dengan jalan sunyi, salah satu lariknya berbunyi:

“Seseorang akan bebas dan akan lari atau letih Dan langit akan sedikit dan bintang beralih Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat pagoda Seseorang akan bebas dan sorga akan tak ada”

Tapi segala heroisme Suu Kyi berubah menjadi kedegilan justru ketika apa yang paling dinantikannya tiba: kebebasan.

Pada 2010, ia dibebaskan dan segera menjadi tokoh Myanmar nomor satu. Junta militer, sementara itu, makin melemah dan terpaksa memberi beberapa konsesi bagi lawan-lawan politiknya. Salah satu konsesi yang

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 diberikan adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.

Dua tahun setelah Suu Kyi bebas, partai yang dipimpinnya memenangi pemilihan umum. Tapi dia tidak bisa menjadi presiden lantaran konstitusi Myanmar tak memungkinkannya (suami dan anaknya adalah warga negara asing). Ia kemudian mendapat jabatan “hiburan” sebagai Konselor Negara.

Dalam suasana kebebasan itu, militer Myanmar yang masih memegang kekuasaan besar justru melancarkan persekusi dan pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingnya. Sejak 2012 sampai hari ini, ribuan orang Rohingnya mati terbunuh dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi.

Reaksi Suu Kyi sebagai pejuang kemanusiaan dan pemimpin negara?

Ia tetap diam dan membiarkan pembantaian itu terjadi. Tak pernah satu kata kutukan pun terucap dari mulutnya. Bahkan ia banyak dikecam karena rasis dan punya kecenderungan sinis terhadap orang Islam.

Baca bantahan-bantahan Suu Kyi yang mengecewakan:

Suu Kyi Menolak PBB Selidiki Myanmar Soal Rohingya Suu Kyi Yakin Tak Ada Pembersihan Etnis Rohingya di Myanmar

Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada 2012, Suu Kyi kehilangan kesabaran ketika didesak oleh presenter yang memintanya mengutuk sentimen anti-Islam di Burma. Presenter tersebut adalah Mishal Husain, wartawati Inggris keturunan Pakistan yang beragama Islam.

“Tak ada yang bilang pada saya jika akan diwawancarai oleh seorang Muslim,” begitu keluhnya dalam komentar off-air setelah wawancara berlangsung. Tak pelak, protes pun makin menggila. Tuntutan agar panitia Nobel mencabut penghargaan untuk Suu Kyi juga bergema di mana- mana.

Bila kita menyimak pidato Suu Kyi dalam Kuliah Nobel tahun 2012, akan terasa percuma saja ia pernah mengucapkan kalimat ini:

“Di mana pun penderitaan diabaikan, akan ada benih-benih konflik, karena penderitaan merendah-hinakan dan menyakitkan dan menciptakan amarah.”

Ya, hari ini ia telah mengabaikan penderitaan bangsa Rohingnya. Itulah paradoks terbesar dalam hidup Suu Kyi. Tuntutan pencabutan Nobel,

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 karena itu, bukan hal yang berlebihan.

Baca juga: Perlukah Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi Dicabut?

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Ivan Aulia Ahsan (tirto.id - Politik)

Reporter: Ivan Aulia Ahsan Penulis: Ivan Aulia Ahsan Editor: Zen RS

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

ARTIKEL 4

Myanmar: Negara Para Jenderal

Jenderal Ne Win. FOTO/Istimewa

Oleh: Petrik Matanasi - 5 September 2017 Dibaca Normal 3 menit Sejak 1962 hingga 2016, Burma adalah negara yang nyaris selalu dipimpin oleh jenderal. tirto.id - Tak ada yang curiga pada serdadu-serdadu bersenapan mesin ringan yang berkeliaran di sekitar ruangan tempat Jenderal Aung San berada. Di dalam ruangan, Aung San sedang asyik ngoceh soal demokrasi. Tiba-tiba, sebelum pembicaraan di ruangan itu bubar, serdadu-serdadu itu masuk dan memberondong orang yang di dalam ruangan dengan tembakan. Tak terkecuali Jenderal Aung San. Begitulah awal dari film The Lady (2011).

Serdadu-serdadu pembunuh itu adalah orang-orang Perdana Menteri U Saw, yang dituduh sebagai dalang pembunuhan. Ia akhirnya dieksekusi pada 8 Mei 1948 setelah Burma merdeka pada 4 Januari 1948. U Saw adalah politikus senior lawan politik Aung San yang sebelumnya dekat dengan Inggris. Menurut catatan Ian Harris dalam Buddhism and Politics in Twentieth Century Asia (1999), “motivasinya membunuh Aung San rupanya adalah kombinasi dari ambisi, frustrasi, kemarahan dan balas dendam.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Aung San yang mati muda pada 19 Juli 1947 itu, di awal-awal zaman pendudukan Jepang adalah pemuda dari kelompok pemuda yang dikenal dengan sebutan Thirty Comrades. Mereka, menurut catatan Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang(1989), mendapat pertolongan dari kelompok intel Jepang Minami Kikan pimpinan Suzuki Keiji, sehingga dibekali pelatihan militer oleh Jepang.

“Thirty Comrades dikirim dari Tokyo ke kamp latihan khusus di dekat Pusat Latihan Angkatan Laut di Samah, Pulau Hainan,” tulis Lebra.

Pemuda-pemuda inilah yang menjadi inti dari kelahiran Tentara Kemerdekaan Burma. Semula, pada Desember 1941, ada 200 orang Burma yang direkrut di Thailand. Tentara Kemerdekaan Burma itu lalu ganti nama menjadi Tentara Pertahanan Burma dan Tentara Nasional Burma. Dengan anggota ribuan orang, tentara didikan Jepang itu masuk dalam formasi Tentara Burma alias Tentara Myanmar alias Tatmadaw. Di dalamnya ada Ne Win, alumnus Thirty Comrades, sebagai salah satu petinggi di sana.

Tentara Nasional Burma mirip dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera yang sama-sama didikan Jepang dan alumninya banyak yang jadi jenderal di korps ketentaraan negara. Jika Burma punya bekas didikan Jepang macam Aung San atau Ne Win, Indonesia punya Soeharto, Sudirman, Gatot Subroto, Umar Wirahadikusumah.

Baca juga:

 Tentara PETA adalah Paramiliter Berbayar  Kongsi Dagang Keluarga Soeharto dan Junta Militer Myanmar

Setelah Aung San terbunuh, Burma dipimpin oleh orang-orang dari Anti Fascist People's Freedom League (AFPFL) alias liga rakyat merdeka anti- fasis. Sao Shwe Thaik (1948-1952), Ba U (1952-1957), dan Win Maung (1957-1962) pernah jadi presiden Burma. Di tahun 1962, Burma memasuki era baru dengan melalui sebuah kudeta—yang diotaki Jenderal Ne Win.

Seperti Aung San, Ne Win—yang beberapa tahun lebih tua dari Aung San—juga termasuk dari kelompok Thirty Comrades. Menurut Robert Taylor dalam The State in Burma (1987), Ne Win adalah “Ketua Dewan Revolusi sejak 1962 sampai 1974, Presiden sejak 1974 sampai 1981 dan sebagai Ketua Partai Program Sosialis Burma sejak kelahirannya. Ne Win menyandang status sebagai bapak bangsa Burma modern...”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Sejak 1981, posisi Presiden beralih San Yu—tapi di bawah pengaruh partai yang dipimpin Ne Win. San Yu juga jenderal dengan latar belakang Tentara Kemerdekaan Burma, tapi bukan bagian dari Thirty Comrades. Dia bergabung dalam militer sejak 1942. Jenderal yang pernah belajar kedokteran di Universitas Rangoon ini menjadi Presiden dari 9 November 1981 sampai 27 Juli 1988.

Setelah San Yu, Sein Lwin sempat menjadi presiden sebentar. Ia menjabat sejak 27 Juli 1988 hingga 12 Agustus 1988. Sein Lwin masuk militer sejak 1943, dan menjadi salah satu jenderal pengikut Ne Win. Menurut David Steinberg dalam Burma/Myanmar: What Everyone Needs to Know? (2009), ia menjadi bawahan Ne Win di Batalyon Burma Rifles ke-4 sejak 1944.

Sein Lwin digantikan sementara oleh Aye Ko selama lima hari, dari tanggal 12 hingga 19 Agustus 1988. Selama beberapa bulan berikutnya, dari 19 Agustus hingga 18 September 1988, kursi itu diduduki Dr. Maung Maung, seorang ahli hukum dan bukan militer karier. Dia menjadi presiden boneka Ne Win terakhir.

Pengaruh Ne Win dalam kepresidenan akhirnya dihabiskan ketika Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara alias State Law and Order Restoration Council (SLORC) berkuasa sejak 18 September 1988. Menurut David Steinberg, SLORC dipimpin oleh bekas sersan dalam Batalyon Burma Rifles ke-4 pimpinan Ne Win. Tentu ia sudah menjadi jenderal saat melakukan kudeta.

Ketika orang-orang Ne Win jadi Presiden, Saw Maung, sang bekas sersan, sudah jadi petinggi tentara. Ketika menjadi ketua SLORC, menurut Harris M. Lentz dalam Heads of States and Governments Since 1945 (2014), dia memenjarakan Aung San Suu Kyi. Saw Maung meninggal pada 23 April 1992 karena menderita gangguan fisik dan mental.

Di masa SLORC berjaya, nama Burma diubah menjadi Myanmar. Namun, para peneliti lebih suka memakai nama Burma ketimbang nama ciptaan junta militer itu. Termasuk buku Burma: The Challenge of Change in a Divided Society (1997) yang disunting Peter Carey.

“Meskipun nama negara tersebut secara resmi diubah dari Burma ke Myanmar (sering dieja Myanma atau Myanmar) oleh SLORC pada tanggal 18 Juni 1989, beberapa penulis di volume ini masih memakai nama lama, seperti sebelum Juni 1989,” demikian tertulis di pengantar buku tersebut.

Penganti Saw Maung adalah Than Shwe. Juga seorang jenderal dan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 sebelumnya petinggi SLORC. Dia berkuasa sejak 1992 hingga 2011. Menurut Benedict Rogers dalam Than Swhe: Unmasking Burma's Tyrant (2010), dia pernah menjadi tukang pos.

Baca juga: Htin Kyaw Dilantik Sebagai Presiden Myanmar

Setelah Than Swhe tak berkuasa lagi pada 2011, Thein Sein yang juga seorang jenderal sempat jadi presiden hingga 2016. Donald M. Seekins dalam Historical Dictionary of Burma (Myanmar) (2017), Thein Sein adalah perwira lulusan Akademi Pertahanan Maymyo kelas ke-9 tahun 1968. Thein Sein pernah menjadi asisten Than Swhe tahun 1992-1995. Setelahnya, dia menjadi panglima komando militer regional di Shan. Di tahun 2000an karir politiknya menanjak, sampai akhirnya berhasil menjadi presiden pada dekade berikutnya.

Baca juga artikel terkait MYANMAR atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi (tirto.id - Politik)

Reporter: Petrik Matanasi Penulis: Petrik Matanasi Editor: Maulida Sri Handayani

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 5

Pembantaian Sistematis terhadap Muslim Rohingya

Fatema, 35 tahun, seorang etnis Rohingya, mengatakan suaminya dibunuh militer Myanmar. Ia tengah menunggu izin dari otoritas perbatasan Bangladesh untuk bermukim di kamp pengungsi di Teknaf. Rabu (25/10/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay Oleh: R. Diantina Putri - 19 Desember 2017 Dibaca Normal 4 menit 6.700 pengungsi Rohingya tewas hanya dalam kurun sebulan sejak serangan pemerintah Myanmar sebagai “operasi pembersihan” pada Agustus 2017. tirto.id - Hassina Begum, 20 tahun, adalah satu dari segelintir korban selamat pembantaian sistematis oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya pada Agustus 2017. Beberapa hari setelah bentrokan mematikan antara kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) dan pasukan keamanan Myanmar, sejumlah tentara berseragam Myanmar dan penduduk lokal menyerang Desa Tula Toli atau Ming Gyi di Maungdauw, Negara Bagian Rakhine.

Ratusan muslim Rohingya di desa itu terjebak lantaran Tula Toli dikelilingi sungai besar di ketiga sisinya. Datang dengan teror, tentara Burma memasuki desa sembari membakar sejumlah warga Rohingya, sementara lainnya berusaha melarikan diri. Beberapa mencoba peruntungan dengan berenang menyeberangi sungai, beberapa yang lain berusaha bersembunyi di bukit-bukit. Yang tragis: mereka membawa serta anak- anak. Kemungkinan mereka dapat melarikan diri adalah nol.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Hassina dan sejumlah korban selamat lain menceritakan detail mengerikan itu kepada Human Rights Watch di kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh.

Dalam laporan berjudul "Pembantaian melalui Jalur Sungai", dirilis hari ini (19/12), organisasi hak asasi manusia berbasis di New York ini mengisahkan kaum laki-laki Rohingya yang gagal melarikan diri dipisahkan dari para istri dan anak-anaknya. Mereka dijejalkan ke dalam lubang yang sengaja digali tentara Myanmar di pinggir sungai dan menyiramnya dengan bensin, kemudian dibakar.

Usai membantai pria dewasa, para tentara melempar anak-anak ke dalam sungai, sementara para wanita disekap di dalam gubuk untuk diperkosa kemudian dibunuh.

Hassina mencoba menyembunyikan anak perempuannya, Sohaifa, yang baru berumur setahun di balik kerudungnya. Upayanya ketahuan oleh seorang tentara. Putrinya kemudian langsung direbut dan dilemparkan ke dalam api, hidup-hidup.

Lima tentara lain lantas membawa Hassina, Fatimah (mertua Hassina), Asma (adik ipar Hassina), dan tiga anak laki-laki Fatimah ke dalam sebuah gubuk. Tiga putra Fatimah langsung dibunuh oleh sekelompok etnis Rakhine. Sementara para wanita diperkosa. Fatimah melawan; tak lama nyawanya ikut melayang. Usai diperkosa, Asma dan Hassina dipukul dan ditusuk hingga pingsan.

Para tentara mengunci mereka bersama mayat lain dalam gubuk dan kemudian dibakar. Hassina dan Asma baru tersadar dari pingsan setelah pakaian mereka mulai dijilati api. Mereka kemudian berusaha melarikan diri dan menyeberang ke Bangladesh bersama sejumlah korban selamat lainnya.

Pembantaian Sistematis Otoritas Myanmar

Etnis Rohingya, minoritas muslim terbesar, telah mengalami diskriminasi, represi, dan kekerasan di Myanmar selama puluhan tahun. Status kependudukan mereka ditolak oleh pemerintah Myanmar meski etnis ini sudah menduduki wilayah Rakhine selama bergenerasi-generasi, jika bukan berabad-abad, dan menjadikan mereka sebagai salah satu penduduk tuna negara terbesar di dunia. Kendati sudah banyak korban berjatuhan, otoritas Myanmar masih terus menegasikan genosida yang dilakukan oleh pihaknya.

Penyerangan oleh tentara-tentara Myanmar pada Agustus 2017

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar yang dilakukan pemerintahan Burma terhadap etnis ini sejak 2012 dan 2016.

Diperkirakan, sedikitnya 6.700 pengungsi Rohingya tewas dalam kurun waktu sebulan setelah serangan yang disebut pemerintah Myanmar sebagai “operasi pembersihan” pada Agustus lalu. Hal ini diungkapkan dalam laporan survei Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas terhadap pengungsi Rohingya di sejumlah kamp di Bangladesh.

Jumlah yang dirilis oleh lembaga kemanusiaan berbasis di Perancis dan beroperasi di Bangladesh sejak 1985 ini jelas jauh berbeda dari angka resmi yang dirilis pemerintah Myanmar pada September lalu, yakni hanya 400 jiwa.

Dari rilis pengungsi muslim Rohingya yang tewas tersebut, 730 di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita). Survei ini menunjukkan, sedikitnya 71,1 persen kematian ini disebabkan oleh kekerasan. Sebanyak 69 persen tewas akibat luka tembak, kemudian tewas dibakar sampai tewas (9 persen), dan dipukuli hingga meninggal (5 persen).

“Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang melaporkan seorang anggota keluarga meninggal akibat kekerasan, dan cara mengerikan yang mereka ungkapkan mengenai penyebab mereka terbunuh atau dilukai secara brutal. Puncak jumlah kematian seiring "operasi pembersihan" terbaru oleh pasukan keamanan Myanmar pada minggu terakhir bulan Agustus," kata dokter Sidney Wong, Direktur Medis MSF, dalam laporan tersebut.

Namun, jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah. Menurut Wong, MSF belum mensurvei seluruh permukiman pengungsi di Bangladesh. Survei ini belum menaksir jumlah keluarga pengungsi yang gagal mengemasi nyawa mereka dari Myanmar.

Selain kematian, MSF mencatat ada 160 kasus kekerasan seksual dan berbasis gender pada perempuan dan anak-anak, 480 bayi dilahirkan di fasilitas MSF, 690 terluka akibat kekerasan, lebih dari 2 ribu pengungsi terjangkit pelbagai penyakit seperti campak dan diare, serta lebih dari seribu pasien dirawat lantaran menderita kelaparan akut.

“Kami harap data objektif ini dapat berguna bagi pemerintah Myanmar untuk membantu menyelesaikan krisis Rohingya,” ujar dr. Natasha Reyes, Direktur Operasional MSF, kepada reporter Tirto via sambungan Skype, Sabtu pekan lalu.

Ekses dari “operasi pembersihan” itu: 647 ribu pengungsi Rohingya

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 menyeberang dari Rakhine ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Dan, hingga saat ini, gelombang pengungsi Rohingya masih terus mengalir. Sebagian besar penyintas ini melaporkan mengalami kekerasan dalam beberapa minggu terakhir.

Pakta Repatriasi Rohingya Prematur

Organisasi Dokter Lintas Batas mengkhawatirkan nasib etnis Rohingya yang masih di Negara Bagian Rakhine. Terlebih bantuan dari pelbagai lembaga kemanusiaan independen dihalang-halangi ke distrik Maungdaw.

“Akses ke Rakhine sangat terbatas dalam beberapa bulan ke belakang. Dan bukan hanya kepada MSF, tapi juga semua lembaga kemanusiaan,” ujar Natasha Reyes.

Baca juga:

 Sangat Susah Menyalurkan Bantuan Kemanusiaan ke Rohingya  Cerita Memilukan Pengungsi Rohingya dari Buthidaung

Situasi itu membuat kesepakatan pemulangan kembali pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar, yang diteken kedua negara tersebut pada November 2017, dinilai prematur.

“Mereka harus mendapatkan jaminan keselamatan dari pemerintah Myanmar sebelum kita bicara pemulangan. Dan mereka harus kembali secara sukarela,” tegas Reyes.

Dalam pakta soal repatriasi tersebut, kedua pemerintah itu sepakat bahwa pemulangan pengungsi mulai dilakukan dalam waktu dua bulan setelah perjanjian diteken.

“Kami siap memulangkan mereka (para pengungsi Rohingya) secepatnya setelah Bangladesh mengirim kembali dokumen kepada kami,” ujar Myint Kyaing, sekretaris kementerian ketenagakerjaan, imigrasi, dan kependudukan Myanmar kepada The Guardian.

Dokumen yang dimaksud merupakan formulir yang sudah diisi oleh para pengungsi terkait nama keluarga, alamat sebelumnya, tanggal lahir, dan kesediaan sukarela untuk dibawa kembali ke Myanmar.

Nantinya, mereka dijamin akan mendapat tempat tinggal permanen serta status kependudukan sebagai warga negara Myanmar, selama mereka

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 tidak terlibat dalam kegiatan "kelompok teroris."

Kendati demikian, tak sedikit pengungsi Rohingya yang skeptis terhadap janji manis pemerintah Myanmar tersebut. Sejumlah pengungsi yang memilih kembali ke Myanmar masih ditempatkan di kamp pengungsian selama bertahun-tahun.

“Kami tidak bisa memercayai pemerintah dan militer sama sekali. Tidak ada yang harus kembali jika tetap ditempatkan di kamp pengungsian, bukan di desa asal mereka. Pemerintah Myanmar harus mengembalikan status kependudukan mereka segera setelah mereka dipulangkan,” ujar Nay Say Lwin, aktivis Rohingya yang tinggal di Eropa, kepada CNN.

Kesepakatan ini juga menyebutkan bahwa bukti kependudukan yang dimiliki etnis Rohingya jelas memberatkan lantaran banyak dokumen para penyintas ini disita oleh pemerintah atau terbakar saat penyerangan tentara-tentara Myanmar dan kelompok milisi Buddha.

“Saya tidak yakin setengah warga Rohingya dapat dipulangkan” tandas Lwin.

Sementara itu, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) melalui juru bicaranya, Vivian Tam, berkata pihaknya tak dimintai pendapat soal kesepakatan tersebut. Padahal kesepakatan ini seharusnya melibatkan pihak PBB sebagai organisasi yang mengurusi pengungsi.

Hingga saat ini, pengungsi Rohingya masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka menghadapi segudang persoalan, dari kelaparan, wabah penyakit, keterbatasan akses air bersih dan obat- obatan. Kematian mengintai para pengungsi setiap hari.

Dokter Natasha Reyes dari Dokter Lintas Batas berkata bahwa ratusan ribu muslim Rohingya, yang tinggal di kamp-kapm pengungsi di Bangladesh, kini bertahan hidup dengan bergantung pada bantuan dari pelbagai organisasi kemanusiaan.

“Harus diakui ini merupakan situasi yang membuat mereka depresi. Dan kondisi ini akan terus berlangsung dalam waktu lama,” ujar Reyes.

======

Baca juga sejumlah laporan kami mengenai Rohingya:

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018  Konflik Agama Jadi Dalih Kasus Perebutan Lahan di Myanmar  Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar  Tragedi Rohingya dan Mengapa PBB Gagal Hentikan Genosida

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya R. Diantina Putri (tirto.id - Politik)

Reporter: R. Diantina Putri Penulis: R. Diantina Putri Editor: Fahri Salam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 6

Dr. Natasha Reyes: "Selain Kesehatan Fisik, Pengungsi Rohingya Harus Melawan Depresi"

Dr. Natasha Reyes, direktur operasional Médecins Sans Frontières yang menangani pengungsi Rohingya di Bangladesh. tirto.id/ Teguh Sabit Purnomo Oleh: R. Diantina Putri - 21 Desember 2017 Dibaca Normal 4 menit "Kami dengar cerita ... orang-orang Rohingya di Rakhine dibunuh, ditembaki, dibakar rumah-rumahnya, dipukuli hingga tewas termasuk anak-anak." tirto.id - Sejak bentrokan mematikan atau yang disebut pemerintah Myanmar sebagai "operasi pembersihan" pada Agustus 2017 di Negara Bagian Rakhine, setidaknya 647 ribu etnis Rohingya telah menyeberang menuju Bangladesh. Mereka melarikan diri dari genosida yang dilakukan otoritas Myanmar selama puluhan tahun.

Kisah-kisah mengerikan terkait pembantaian itu dituturkan oleh para muslim Rohingya yang kini menghuni kamp-kamp pengungsian di kawasan perbatasan Bangladesh.

Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, organisasi kemanusiaan independen yang berbasis di Perancis, melakukan survei mengenai angka kematian pengungsi Rohingya di Bangladesh. Hasilnya mengerikan: setidaknya 6.700 pengungsi Rohingya dilaporkan tewas dalam kurun waktu hanya sebulan sejak penyerangan yang dilakukan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 junta militer Myanmar.

Organisasi kemanusiaan ini mulai beroperasi di Bangladesh, tepatnya di Kutupalong, sejak 1985. Pada 2009, MSF mulai membangun sejumlah klinik dan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pengungsi Rohingya.

Status kependudukan muslim Rohingya ditolak oleh pemerintah Myanmar meski etnis ini sudah menduduki wilayah Rakhine selama bergenerasi- generasi, jika bukan berabad-abad, dan menjadikan mereka sebagai salah satu penduduk tuna negara terbesar di dunia.

Penyerangan oleh tentara-tentara Myanmar pada Agustus 2017 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar terhadap etnis ini sejak 2012 dan 2016.

Seperti apa gambaran krisis pengungsi Rohingya, dan bagaimana upaya- upaya kemanusiaan yang dilakukan oleh pelbagai organisasi independen di tengah keterbatasan dan pengabaian otoritas Myanmar? Berikut wawancara khusus reporter Tirto, Restu Diantina Putri dan Aqwam Fiazmi Hanifan, bersama dr. Natasha Reyes, Direktur Operasional Médecins Sans Frontières, melalui sambungan Skype, Sabtu pekan lalu.

Seperti apa situasi terkini di Rakhine?

Sulit untuk menjawabnya karena saat ini akses MSF sangat terbatas untuk masuk ke Rakhine. Kami tidak memiliki aktivitas yang berarti di sana. Sehingga kami tidak bisa memberikan informasi dari tangan pertama. Tapi, jika kami lihat dari hasil survei yang kami lakukan terhadap pengungsi Rohingya di Bangladesh, kami dapat mengatakan situasi di sana benar-benar tidak baik. Kami dengar cerita bagaimana orang-orang di sana dibunuh, ditembaki, dibakar rumah-rumahnya, dipukuli hingga tewas termasuk anak-anak. Dan dari survei tersebut, kami mendapatkan bahwa 6.700 etnis Rohingya terbunuh pada bulan pertama setelah "operasi pembersihan" yang dilakukan pemerintah Myanmar di Rakhine.

Mengetahui kondisi Rakhine yang tak kunjung membaik, kami kemudian menjadi concern pada wacana pemulangan kembali (repatriasi) para pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh ke Myanmar. Menurut kami, kesepakatan yang diteken pemerintah Myanmar dan Bangladesh tersebut sangat prematur. Kami kira kita harus memastikan terlebih dahulu mereka aman untuk kembali. Selain itu, kami juga berharap mereka kembali secara sukarela.

Anda bilang akses MSF terbatas untuk masuk ke Rakhine, apakah ini karena hasil laporan MSF?

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Keterbatasan akses ini sudah sedemikian terbatas sejak beberapa bulan lalu dan ini tak hanya berlaku bagi MSF, melainkan hampir seluruh lembaga kemanusiaan independen yang ingin menembus Rakhine. Hasil survei yang kami dapatkan sebenarnya kami dapatkan dari pengungsi di Bangladesh. Seperti diketahui, sebanyak 600 ribu pengungsi Rohingya menyeberang ke Bangladesh sejak serangan mematikan pada Agustus 2017.

Dalam laporan, Anda menyebutkan pula angka kematian anak-anak. Apa saja penyebabnya?

Sebagian tewas karena mengalami kekerasan, sebagian lagi juga karena terkena wabah penyakit. Kami memiliki sejumlah klinik dan rumah sakit di beberapa kamp pengungsian dan dari sana kami mengetahui kebanyakan dari mereka meninggal karena terkena gangguan pernapasan dan diare. Yang kami juga perhatikan adalah penghidupan di sana sangat tidak layak dan begitu padat sehingga mereka tidak cukup mendapat akses air bersih dan sanitasi yang layak.

Bagaimana dengan kasus kekerasan seksual seperti perkosaan yang dialami perempuan dan anak-anak Rohingya?

Ya, kami juga mendapat laporan terkait hal itu. Tapi yang harus digarisbawahi adalah jumlah yang kami rilis dalam laporan diperkirakan berada di bawah angka yang sebenarnya. Jumlahnya kemungkinan justru jauh lebih besar. Ini terjadi lantaran biasanya penyintas kekerasan seksual malu untuk melaporkan apa yang mereka alami. Juga kesadaran untuk memeriksakan diri ke tenaga medis usai mengalami kekerasan seksual juga masih rendah di kalangan mereka.

Terkait kekerasan yang dialami warga Rohingya, siapa yang bertanggungjawab atas hal ini?

Dari keterangan yang kami dapatkan dari pengungsi Rohingya di Bangladesh, pembunuhan serta kekerasan tersebut dilakukan oleh sejumlah kelompok seperti militer Myanmar, polisi, dan milisi setempat.

Apa yang paling dibutuhkan para pengungsi saat ini?

Yang paling mereka butuhkan saat ini adalah kebutuhan dasar seperti akses air bersih dan sanitasi yang layak, juga obat-obatan. Dan sebelum kita bicara soal pemulangan, mereka harus kembali secara sukarela, mereka harus menyetujui untuk kembali ke Rakhine, juga mereka harus terjamin keselamatan dan martabatnya setelah mereka kembali. Sayangnya, kami belum melihat itu hingga sekarang.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Pemerintah dan masyarakat Myanmar tidak begitu senang dengan hasil laporan MSF. Apa tanggapan Anda?

Well, sebenarnya tujuan utama dilakukannya survei ini adalah untuk mengumpulkan informasi mengenai status kesehatan populasi para pengungsi. Survei kematian yang kami lakukan merupakan bagian dari survei kesehatan yang lebih besar. Kami juga mengumpulkan angka kasus malnutrisi. Hasil survei ini sangat bermanfaat bagi kami untuk mengetahui status kesehatan para pengungsi sebelum dan sesudah mereka mengungsi, sehingga kami bisa mengevaluasi apa yang bisa kami upayakan lebih baik untuk para pengungsi.

Kami juga berharap hasil survei ini dapat membuat situasi lebih baik di Rakhine karena survei ini menyediakan data objektif dan data ini dapat digunakan sebagai bahan diskusi bersama pemerintah.

Sudah terlihatkah dampaknya?

Menurut kami, terlalu dini untuk berbicara dampak karena kami baru merilisnya beberapa hari lalu.

Bagaimana respons Bangladesh terkait hal ini?

Kami mengapresiasi respons pemerintah Bangladesh soal krisis Rohingya. Seperti diketahui, lebih dari 600 ribu pengungsi menyeberang ke perbatasan dan mereka menyambutnya. Hingga saat ini gelombang pengungsi masih terus berdatangan. Tentunya kami berharap pemerintah Bangladesh tetap melanjutkan bantuan ini.

Bagaimana dengan PBB?

PBB masih aktif di kamp pengungsi Bangladesh. Mereka mendapatkan mandat khusus untuk membantu para pengungsi dan kami berkoordinasi penuh dengan mereka.

Apakah mereka juga aktif di Rakhine?

Saya tidak bisa jawab itu untuk PBB, karena, sekali lagi, akses kami terbatas dan kami tak mendapatkan informasi yang cukup dari dalam Rakhine secara langsung.

Bagaimana dengan peran ASEAN dalam mendorong penyelesaian krisis Rohingya?

MSF merupakan organisasi kemanusiaan. Kami tidak berafiliasi terhadap

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 pemerintah manapun, jadi bukan kapasitas kami untuk mendorong apa yang harus dilakukan pemerintah. Tapi, kami berharap, dengan hasil survei yang kami dapatkan, komunitas internasional semakin perhatian terhadap krisis ini. Khususnya terkait wacana pemulangan kembali.

Apa rencana MSF selanjutnya setelah merilis laporan ini?

Kami berharap dan mendorong dibukanya akses bagi lembaga kemanusiaan untuk dapat mencapai Rakhine, termasuk MSF. Kami juga mendorong adanya bantuan yang adil untuk warga Rohingya yang masih di Rakhine.

Seberapa sulit menembus Rakhine dari Bangladesh?

Ya, kami tidak dapat begitu saja melewati perbatasan tanpa izin resmi sebagai organisasi. Kami tetap memiliki tim di Myanmar di samping aktivitas kemanusiaan di Rakhine. Hanya saja kami sulit menembus Rakhine. Hanya sedikit organisasi kemanusiaan yang dibolehkan masuk, seperti Palang Merah Myanmar. Kami mendapatkan akses untuk ke daerah tengah Rakhine tapi tidak untuk Rakhine bagian utara. Semua sangat berbeda di Rakhine, akses sepenuhnya dikontrol ketat oleh pemerintah.

Adakah kekhawatiran MSF diusir dari Myanmar setelah merilis laporan tersebut?

Selalu ada risiko setelah merilis hasil survei tersebut. Tapi ini adalah tanggung jawab kami. Kami hanya berharap laporan ini dapat meningkatkan penghidupan di Rakhine dan tentunya akses yang lebih leluasa bagi MSF untuk menembus Rakhine sehingga kami dapat memberikan bantuan kepada mereka.

Bisakah dikatakan, saat ini Bangladesh menjadi satu-satunya pintu untuk memberikan bantuan kemanusiaan?

Bagi kami, MSF: ya. Gelombang pengungsi masih terus berdatangan dan tentunya ini pekerjaan besar buat kami. Harus diakui ini merupakan situasi yang benar-benar memprihatinkan.

Selain menghadapi masalah kesehatan fisik, para pengungsi juga harus melawan depresi. Selama ini mereka hidup bergantung pada bantuan dan nampaknya hal itu masih akan berlangsung lama.

======

Redaksi Tirto beberapa kali menurunkan laporan mengenai

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 krisis Rohingya dan politik Myanmar, sila baca:

 Pembantaian Sistematis terhadap Muslim Rohingya  Cerita Memilukan Pengungsi Rohingya dari Buthidaung  Konflik Agama Jadi Dalih Kasus Perebutan Lahan di Myanmar  Tragedi Rohingya dan Mengapa PBB Gagal Hentikan Genosida  Myanmar: Negara Para Jenderal  Kongsi Dagang Keluarga Soeharto dan Junta Militer Myanmar  Paradoks Terbesar Ang San Suu Kyi  Periksa Data: Berapa Banyak Jumlah Muslim di Myanmar?  Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya R. Diantina Putri (tirto.id - Wawancara)

Reporter: R. Diantina Putri & Aqwam Fiazmi Hanifan Penulis: R. Diantina Putri Editor: Fahri Salam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 7

Dubes Ito Sumardi: "Krisis Rohingya bukan Konflik Agama"

Oleh: Arbi Sumandoyo - 6 September 2017 Dibaca Normal 4 menit Dubes Ito Sumardi menilai Indonesia harus tetap menjaga hubungan diplomatik dengan Myanmar demi bisa efektif membantu Rohingya. tirto.id - Duta besar Indonesia untuk Myanmar, Komisaris Jenderal Purnawirawan Ito Sumardi Djunisanyoto, mengirim foto dan video dari krisis kemanusiaan terhadap muslim Rohingya.

Video pertama yang ia kirim berisi sekelompok orang yang berjalan seraya menenteng senjata laras panjang sambil berseru takbir. Video selanjutnya adalah provokasi dari sekelompok orang bersenjata tadi di pemukiman warga Rohingya.

“Ini kelompok ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) yang melakukan penyerangan tanggal 25 Agustus kemarin,” ujar Ito melalui pesan seluler, Selasa kemarin (5/9).

Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA)—yang disebut Ito— adalah kelompok militan yang menyerang sedikitnya dua lusin pos polisi dan pemeriksaan serta satu pangkalan militer di tiga kota kecil di utara Negara Bagian Rakhine, demikian Burma Human Rights Network (BHRN) dan Human Rights Watch (HRW).

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Militer Myanmar—yang mengecap ARSA sebagai “teroris”—lantas melakukan serangan balasan, yang diorkestrasi oleh Panglima Militer Min Aung Hlaing. Operasi militer ini tak cuma menyasar para milisi melainkan juga mendorong eskalasi kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Rohingya. Dampaknya, menurut taksiran Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 400.000 orang Rohingya menyeberang ke Bangladesh dan ribuan lain terkatung-katung di antara wilayah perbatasan.

Baca juga: ARSA dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar

Muslim Rohingya disebut-sebut sebagai minoritas paling tertindas di dunia, dan status etnisnya tidak diakui oleh pemerintah. Sejak 1970-an, hampir 1 juta muslim Rohingya mengungsi dari Myanmar—termasuk ke Indonesia—lantaran persekusi negara yang sistematis dan meluas.

Menurut laporan BHRN, pemerintahan junta militer Myanmar dan Aung San Suu Kyi telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya, di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan melancarkan operasi militer terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.

Krisis terbaru ini berselang ketika Komisi HAM Rakhine, yang dipimpin Kofi Annan, baru saja melansir penyelidikan dan rekomendasi atas situasi serupa tahun lalu, termasuk di antaranya menyoroti kewarganegaraan dan kebebasan bergerak Rohingya—yang juga jadi keluhan utama kelompok militan ARSA.

Di Indonesia, krisis Rohingya ditanggapi desakan ekstrem agar pemerintahan Jokowi memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar. Atas seruan ini, termasuk oleh para demonstran di depan Kedubes Myanmar di Jakarta, Ito Sumardi merespons bahwa hal macam itu akan bikin “kita tidak bisa masuk dan menolong Rohingya.”

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah berkomunikasi dengan otoritas Myanmar. Menlu Retno telah bertemu dengan petinggi militer dan Aung San Suu Kyi. Hasil dari langkah diplomasi ini, di antara hal lain, menyepakati agar pemerintah Myanmar menghentikan tindakan represif terhadap muslim Rohingya serta membuka pintu bagi bantuan kemanusiaan.

Berikut wawancara Ito Sumardi kepada Arbi Sumandoyo dari Tirto selama 26 menit melalui sambungan telepon mengenai krisis Rohingya terbaru serta upaya pemerintah Indonesia meredam pembantaian dan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 pembersihan etnis di Myanmar.

Ada tekanan agar Indonesia bertindak ekstrem, yakni memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar, bagaimana menurut Anda?

Jadi kita mesti melihat lebih dulu hubungan antar-negara. Kalau kita memutuskan hubungan diplomatik, apakah kita bisa masuk ke negara itu untuk memberikan saran, untuk memberikan masukan? Kalau memutus hubungan, mereka pasti sudah tertutup, dong? Jadi kadang-kadang ini pendapat yang emosional dan tidak berdasarkan norma.

Justru akan memperkeruh suasana?

Kita tidak akan bisa masuk menolong Rohingya. Apa yang dilakukan oleh Ibu Menteri (Retno Marsudi) ini luar biasa. Satu-satunya perwakilan negara yang bisa masuk. Nah, kalau kita memutuskan hubungan, mereka (muslim Rohingya) makin menderita. Selama empat tahun saya di sini, mereka itu hidup seadanya, makan seadanya.

Misalnya peristiwa tahun lalu, 9 Oktober. Terjadi penyerangan terhadap polisi. Polisinya mati semua dan senjatanya diambil oleh kelompok ARSA. Ibu Menlu dengan saya langsung action, memberi bantuan kemanusiaan dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi selama empat jam. Kami meyakinkan agar operasi militer dihentikan. Kemudian ada pemulihan situasi. Situasi sekarang hampir seperti tahun lalu itu.

Apa yang terbaru dari konflik Rohingya saat ini?

Jadi, pada 25 Agustus, pemerintah Myanmar mengklaim sebagai Black Friday. Ada penyerangan terhadap polisi. Mobil polisi habis semua, fotonya ada. Kemudian ada mayat-mayat polisi. Nah, terjadi pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan yang akhirnya penduduk itu mengungsi.

Saya bukan menilai, tapi menyampaikan fakta. Jadi yang nyerang itu siapa, yang memprovokasi di kampung Rohingya? Kemudian masyarakat terprovokasi.

Di Indonesia, bila terjadi seperti itu, tentu kita kirim polisi atau tentara. Pasti, kan, dampaknya ada. Hanya berbeda penanganan di Indonesia dengan di Myanmar. Mereka dari segi profesionalisme masih kurang. Terjadi eksodus besar-besaran.

Kalau kita emosional, kita tidak akan bisa masuk. Dengan formula diplomasi, kita tekankan salah satunya adalah hentikan kekerasan. Sekitar tiga hari lalu sudah tidak ada lagi kontak senjata. Mereka sudah lari ke gunung.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Sekarang pemerintah Myanmar ingin mencari pelaku-pelaku penyerangan itu.

Artinya sejauh ini peran Indonesia efektif?

Sangat efektif. Bahkan, salah poin kesepakatan adalah segera diberikan akses untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Di Indonesia, konflik Rohingya dianggap terutama terkait agama, tanggapan Anda?

Bukan agama sama sekali. Tentu kita juga harus melihat, bagaimana sulitnya seorang peraih Nobel Perdamaian menjadi pemimpin negara dan belum bisa mengendalikan sepenuhnya negara itu. Kan, pihak militer belum menyatu secara penuh dan beda dengan Indonesia.

Apa yang membuat Indonesia sebagai satu-satunya negara yang bisa masuk ke Myanmar?

Ada dua yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, Indonesia tidak melakukan diplomasi kasar, tidak teriak-teriak. Dan ini disampaikan langsung oleh Aung San Suu Kyi, “Kalau mau membantu Myanmar, jangan cuma teriak-teriak.” Mau bantu tapi tidak—ini termasuk Uni Eropa. Kalau Indonesia, kita tidak hanya berbicara, tetapi membantu.

Kedua, pendekatan inklusif. Saya melaporkan ke Ibu Menlu, “Ibu, yang miskin itu bukan hanya warga Rohingya, tetapi penduduk di sekitarnya." Sehingga kita memberikan bantuan kepada masyarakat di sana, tidak hanya Rohingya.

Pada Desember lalu, Anda menemani Menlu Retno bertemu Aung San Suu Kyi, apa yang isi pembicaraannya?

Pemerintahan Myanmar menghargai kepedulian Indonesia sebagai negara sahabat. Dan satu hal, pemerintah Myanmar menerima karena pemerintah Indonesia tulus membantu, tanpa ada apa-apa.

Kita sebagai negara berdaulat, tidak mau didikte, tidak mau ditekan, ya kan? Sekecil apa pun negara, pasti mereka tidak mau ditekan atau didikte. Nah, kita tidak pernah mendikte atau menekan, tetapi kita hanya menyarankan. Meskipun itu bahasa halus, tetapi sebetulnya subtansinya menekan. Waktu pertemuan itu, Ibu Menlu menyampaikan telah terjadi tragedi kemanusiaan, dan mereka bisa menerima.

Kenapa tragedi kemanusiaan? Karena tragedi ini bukan hanya Rohingya,

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 tetapi penduduk lokal mengalami hal sama. Kedua, Ibu Menlu membawa pesan seluruh bangsa dan pemerintah Indonesia serta mewakili dunia internasional. Ibu Menlu menekankan, ia datang bukan hanya membawa pemerintah Indonesia, tetapi mengatasnamakan dunia internasional.

Itulah gaya diplomasi Ibu Menlu. Dan mereka meminta tolong kepada kita untuk difasilitasi ke Bangladesh. Tadi pagi Ibu Menlu mengubah jadwal, yang harusnya ke Singapura menemani presiden, sekarang di Bangladesh untuk bertemu dengan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Bangladesh dalam rangka mengirim bantuan kemanusiaan. Karena pintu masuk bantuan kemanusiaan untuk Myanmar dari sana.

Itu atas permintaan Aung San Suu Kyi?

Iya. Bu Menlu berharap dan harus meminta izin, apakah diizinkan memberikan bantuan. Jadi kamu bisa sampaikan kepada pemerintahan Bangladesh supaya bisa sama-sama menangani masalah ini. Karena etnis Rohingya tidak bisa lepas dari Bangladesh. Pemerintah Bangladesh tidak bisa lepas tangan—apa pun.

Berapa jumlah bantuan yang masih tertahan?

Dari aliansi kemanusiaan Indonesia, sekitar dua juta dolar AS, tetapi kita menuangkan dalam bentuk obat-obatan dan bahan pangan. Cuma saat ini, untuk menyalurkan bantuan, tidak bisa menggunakan jalur darat karena ditanami ranjau oleh kelompok ARSA. Tadi pagi satu meledak. Jadi ada orang yang melintas di jalan itu, kakinya putus terkena ranjau. Pihak militer mencoba mengirim bantuan ke sana, tetapi helikopter mereka ditembaki.

Kemarin Menlu bertemu pihak milter Myanmar, apa hasilnya?

Sangat positif karena Ibu Menlu masuk ke pembicaraan lewat sisi kemanusiaan. Kita sudah membangun enam sekolah, rumah sakit, memberikan bantuan kemanusiaan dan memberikan generator.

Apa pernyataan resmi dari pertemuan dengan Aung San Suu Kyi?

Ibu Menlu menyampaikan: pertama, kembalikan ke stabilitas keamanan; kedua, menahan diri supaya jangan ada kekerasan; ketiga, memberikan perlindungan kepada semua warga tanpa melihat entis dan agama; dan keempat, memberikan akses bagi bantuan kemanusiaan. Satu lagi, bagaimana segera mengimplementasikan temuan dari mantan sekjen PBB Kofi Annan. Itu sudah disetujui semua.

Dalam pandangan Anda, bagaimana melihat milisi ARSA dari krisis

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Rohingya sekarang?

Ini kelompok militan yang tadinya meminta sesuatu, bergeser menjadi permintaan nasionalisasi, dan saat ini menginginkan negara demokrasi Rohingya. Ini pembeda masalahnya dari tahun lalu.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Arbi Sumandoyo (tirto.id - Wawancara)

Reporter: Arbi Sumandoyo Penulis: Arbi Sumandoyo Editor: Fahri Salam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 8

Konflik Agama Jadi Dalih Kasus Perebutan Lahan di Myanmar

berjalan di jalan berlumpur setelah menyebrangi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Bangladesh, Minggu (3/9/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 6 September 2017 Dibaca Normal 6 menit Konflik komunal antar-agama mengaburkan upaya pencaplokan lahan petani oleh pemerintah Myanmar dan perusahaan asing. tirto.id - Negara Bagian Rakhine di Myanmar yang menjadi tempat tinggal orang-orang etnis Rohingya kembali memanas.

Pemerintah Myanmar, melalui pasukan militernya, menyerang pemukiman warga Rohingya pada Kamis (31/8) malam atau Jumat (1/8) pekan lalu. Dilansir dari ABC, sudah ada 130 orang dikabarkan meninggal akibat penyerangan tersebut.

Berdasarkan Persatuan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip dari CNN, hampir 50.000 warga Rohingya melarikan diri dari konflik tersebut. Sekitar 27.000 orang melintasi Bangladesh, sementara 20.000 warga Rohingya masih tersesat di Asia Tenggara.

Penyerangan brutal ini menandai kekerasan level baru dibanding kasus serupa pada 2012 dan 2016. Baru-baru ini pasukan militer Myanmar memasuki salah satu areal warga Rohingya, menghancurkan setidaknya 1.500 bangunan (kebanyakan rumah) dan menembaki orang dewasa

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 yang tak memanggul senjata, perempuan, hingga anak-anak. Warga lain yang selamat tetap mendapat perlakuan keras yang merendahkan martabat manusia.

Dunia yang terkejut sekaligus geram kebanyakan diberi narasi konflik antar-agama dan antar-etnis oleh media massa arus utama.

John McKisick, kepala organisasi untuk pengungsi PBB, mengatakan pemerintah Myanmar sedang melaksanakan pembersihan etnis. Kesimpulan Human Right Watchjuga sama. Sementara publik di Indonesia banyak yang mereduksi apa yang terjadi di Rakhine sebagai genosida sistematis dengan korban warga muslim Rohingya sehingga memunculkan sentimen SARA bermodalkan hoax.

Baca juga: Membunuh Rohingya Secara Diam-Diam

Saskia Sassen, profesor Sosiologi di Columbia University dan penulis Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy (2014), menilai konflik antar-agama di Rakhine adalah puncak gunung es dari akar masalah yang lain, yakni konflik perebutan lahan dan sumber daya alam. Pelaku utamanya adalah pemerintah Myanmar dan rezim militernya yang masih kuat bercokol di tubuh pemerintahan hingga saat ini.

Myanmar, tulis Sassen di The Guardian, adalah salah satu negara di Asia yang mayoritas masyarakatnya masih menggantungkan pekerjaan di sektor agrikultur, pertambangan, dan ekstraksi air sederhana. Di sisi lain, Myanmar menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, salah satunya gas alam. Apalagi posisi Myanmar berada di antara dua raksasa Asia, Cina dan India, yang sedang lapar-laparnya terhadap pelbagai macam SDA untuk modal akselerasi pembangunannya.

2012: Masa Genting bagi Rohingya, Tahun Penting bagi Investor Asing

Tahun 2012 adalah tahun penting bagi awal mula makin panasnya konflik lahan di Myanmar. Undang-Undang Petani pernah disahkan pada 1963 atau di era Myanmar cenderung sosialis. Tujuannya untuk melindungi lahan dan penghidupan petani kecil di seluruh negeri. Sayangnya, pada 2012, UU ini dibatalkan oleh parlemen Myanmar (yang sejak tahun lalu didominasi oleh kalangan militer).

Pada 30 Maret 2012, parlemen Myanmar juga menerbitkan revisi atas dua undang-undang pertanahan, yakni UU Pertanian dan UU Lahan Kosong. Keduanya mengizinkan 100 persen modal asing dengan masa sewa lahan hingga 70 tahun.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Baca juga: Kongsi Dagang Keluarga Soeharto dan Junta Militer Myanmar

Dibandingkan pertambangan, sektor pertanian masih memiliki sejumlah batasan untuk investasi asing karena pemerintah mempromosikan usaha patungan dengan menggaet pengusaha lokal. Namun, UU ini memunculkan para pemodal asing nakal yang sering menggunakan perusahaan lokal sebagai proxy dalam upaya menanamkan investasi, demikian dalam laporan Forest Trend Report Series.

Sebagian besar penduduk Myanmar menggantungkan hidupnya di ranah agrikultur. Demikian pula etnis Rohingya, yang kebetulan mayoritas beragama Islam. Jika pun tak memiliki tanah, mereka tetap menggantungkan profesinya sebagai buruh tani dengan pendapatan tak seberapa.

Sejak UU pro-investor diterbitkan pada 2012, gelombang pebisnis multinasional membanjiri Myanmar. Mereka diuntungkan sebab didukung rezim militer saat akan mengambil alih lahan para petani. Sebuah praktik yang sebenarnya telah dimulai sejak era 1990-an. Praktik ini berlangsung kejam, sebab rata-rata petani tak mendapat ganti rugi dan, jika melawan, akan mendapat intimidasi hingga timah panas, tulis Sassen merujuk pada data COHRE Country Report.

Pada saat bersamaan, tahun 2012 juga tahun paling berdarah bagi orang- orang Rohingya. Konflik berdarah meletus yang membuat hampir 100 orang (sebagian besar muslim Rohingya, sisanya warga Buddha) meninggal dan 90.000 lain dipaksa meninggalkan rumahnya. Hampir 3.000 bangunan dibakar, dan 1.300-nya milik warga Rohingya dan sisanya milik warga Rakhine yang menganut agama Buddha.

Orang-orang Rohingya sudah terbiasa diintimidasi sejak lama. Namun, mereka mulai meninggalkan Myanmar dalam jumlah besar usai tragedi tersebut. PBB memperkirakan jumlah imigran Rohingya, yang dijuluki manusia perahu, kurang lebih 160.000 orang. Mereka meminta belas kasihan dari negara-negara tetangga seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan negara moyang mereka, Bangladesh.

Baca juga: Suara Indonesia untuk Rohingya

Mayoritas media massa saat itu membingkai peristiwa tersebut dengan pendekatan konflik antar-agama. Namun, Sassen menilai kasus ini juga berakar pada kebijakan alih fungsi lahan yang dijalankan pemerintah Myanmar melalui pasukan militer.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Sassen berkaca pada data COHRE Country Report yang menunjukkan alokasi luas lahan untuk proyek pemerintah meningkat 170 persen antara 2010-2013. Tragedi Rohingya pada 2012, menurut Sassen, bukanlah kejadian insidental tanpa ada campur tangan negara.

“Kita harus bertanya apakah penganiayaan yang kejam terhadap kelompok Rohingya (dan kelompok minoritas lain) juga disebabkan oleh kepentingan ekonomi-militer, bukan hanya karena isu agama atau etnis. Sampai batas tertentu, fokus dunia internasional pada isu agama menutupi kasus perampasan lahan yang luas dan telah memengaruhi jutaan orang, termasuk warga etnis Rohingya” tegas Sassen.

Sassen menilai, mengeluarkan warga Rohingya dari tanah airnya akan bagus untuk bisnis di masa depan.

Baru-baru ini, catat Sassen, pemerintah Myanmar telah mengalokasikan 1.268.077 hektare lahan di wilayah tempat tinggal warga Rohingya di Rakhine untuk pengembangan program pembangunan tempat tinggal perusahaan. Luasnya melonjak dibanding alokasi yang disebut pemerintah pada 2012, yakni 7.000 hektare.

Modal Asing Mengalir ke Rakhine, Suara Kritis Bermunculan

Selain mengusir pemilik lahan yang ditargetkan akan dipakai untuk investasi, pemerintah Myanmar aktif menarik minat pemodal asing. Sebagaimana diberitakan Bloomberg pada pertengahan Februari lalu, pemerintahan yang dipimpin Aung San Suu Kyi kembali menggiatkan promosi kerja sama ekonomi kepada pebisnis dunia, terutama negara- negara tetangga.

Suu Kyi dan jajaran birokrat Myanmar lain menilai langkah ini akan efektif menanggulangi konflik di Rakhine yang makin panas. Klaim ini dibantah mentah-mentah oleh pelbagai pihak yang kritis terhadap pemerintah, termasuk perwakilan PBB di Myanmar, Yanghee Lee.

Baca juga: Perlukah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dicabut?

Terlepas dari klaim-klaim itu, investasi asing memang benar-benar datang ke Myanmar dalam beberapa tahun terakhir. Perwakilan dari Thailand, misalnya, dua tahun lalu berkunjung ke Negara Bagian Rakhine untuk melihat potensi bisnis alam di daerah Ngapali, Thande, Kyaukpyu, , dan .

Cina adalah salah satu investor asing yang paling "lapar" dalam menanamkan investasinya di Myanmar. Tahun lalu, CITIC Group

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 memenangi kontrak untuk membangun pelabuhan di Kyaukpyu, Rakhine, daerah berbatasan langsung dengan Bangladesh di utara dan Teluk Benggala di barat.

Kyaupyu sangat diminati Cina karena hubungan darat dengan Myanmar dapat mengurangi ketergantungan Cina atas perjalanan lebih jauh melewati Selat Malaka. Dengan cukup melewati Kyaupyu, perjalanan membawa barang dagangan dari India ke Cina bisa dihemat hingga 5.000 kilometer. Upaya mendiversifikasi rute pengiriman barang sekaligus meningkatkan pengaruh ekonomi di negara-negara tetangga adalah salah satu dorongan utama dalam inisiatif “One Belt One Road” Cina.

Meski terkait misi “One Belt One Road”, pengaruh investasi Cina di Myanmar sesungguhnya telah terasa sejak 2009. Saat itu Kementerian Energi Myanmar menandatangani nota kesepahaman dengan China National Petroleum Corp. (CNPC) atas pembangunan pipa minyak yang menghubungkan Pulau Maday di Kyaukpyu dan Provinsi Yunan di Cina.

Pada tahun yang sama CITIC Group menandatangani Nota Kesepahaman yang terpisah dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Myanmar untuk membangun jaringan pelabuhan laut dan kereta api di Zona Ekonomi Khusus Kyaukpyu. Proyek ini dikabarkan tak pernah terealisasikan hingga MoU- nya kedaluwarsa pada 2014.

Salah satu penyebabnya ditengarai ada elemen rakyat Myanmar yang kritis terhadap Zona Ekonomi Khusus Kyaukpyu di Negara Bagian Rakhine, terutama mereka yang berkecimpung sebagai aktivis lingkungan. Pokok kritikannya lagi-lagi soal lahan. Sebagaimana dilaporkan The Diplomat, salah satu anggota legislatif Myanmar, Ba Shin, menyatakan kekhawatirannya pada Reuters:

“Tak ada kejelasan lahan siapa yang akan disita, di atas lahan siapa proyek tersebut akan dibangun, dan bagaimana mereka (pemilik lahan) akan diberi kompensasi... Tidak ada yang diketahui tentang potensi pengembang dan investor. Ada kekhawatiran dan keraguan yang berkembang di kalangan masyarakat karena kurangnya transparansi."

Selain minyak, Myanmar juga kaya gas alam. Menurut data yang dirilis Perusahaan Gas dan Minyak Myanmar (MOGE) dan disadur Marie Lall dalam ulasannya bertajuk “Indo-Myanmar Relations in the Era of Pipeline Diplomacy”, Myanmar punya cadangan 51 triliun kaki kubik (tfc) di ladang lepas pantai seberang Thailand dan Bangladesh—temasuk wilayah laut Negara Bagian Rakhine.

Menurut paparan Lall, ekstraksi dan ekspor gas alam Myanmar di kedua

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 lepas pantai telah dilakukan sejak era 1980-an. Ekspornya dulu masih di negara-negara tetangga seperti Thailand, sebelum akhirnya dilepas lebih jauh lagi.

Namun, dalam proses ini, ada campur tangan asing seperti Daewoo dan Perusahaan Gas Korea (Kogas), perusahaan pengeboran asal Korea Selatan, dan dua lain dari India, ONGC Videsh Limited (OVL) dan Otoritas Gas India (GAIL). Perusahaan-perusahaan inilah yang menanamkan pipa- pipa penyalur gas sepanjang Rakhine.

Investasi asing juga kerap jadi sumber derita dalam bentuk kerja paksa di Rakhine. Menurut sumber kredibel yang dikutip Lall, pada 2004, Konfederasi Internasional Serikat Pekerja Bebas (ICFTU) mengklaim ada praktik kerja paksa untuk pembangunan jalan dan barak militer, dan bukti dari kasus ini bisa dilihat secara faktual di Negara Bagian Rakhine dan Chin.

Aktivis Myanmar tak tinggal diam dalam situasi ini. Sebagaimana arsip Morningstar, akhir Februari kemarin, Ro Nay San Lwin, blogger dan salah satu pendiri gerakan online #WeAreAllRohingya, meminta agar perusahaan asing perlu berhenti berinvestasi di Myanmar. Investasi, dalam pandangannya, jadi salah satu faktor utama mengapa diskriminasi negara terhadap minoritas muslim Rohingya terus berlangsung.

"Kita tidak bisa memaksa pemerintah Barat untuk memberikan sanksi kepada Myanmar, tapi kita bisa berbicara dengan bisnis. Kami ingin perusahaan multinasional dengan kepentingan bisnis di Myanmar memberi tekanan pada pemerintah," katanya.

Cuci Tangan Pemerintah Myanmar Lewat Politik Devide et Impera

Orang-orang Rohingya tergolong miskin. Lebih dari 78 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, demikian menurut Bank Dunia.

Rakhine adalah salah satu negara bagian Myanmar yang paling tidak berkembang, dengan lahan luas dan menyimpan potensi alam berlimpah. Kemiskinan memungkinkan pengusiran orang-orang malang itu demi membuat ruang bisnis bagi proyek-proyek pembangunan negara maupun perusahaan asing.

Pada akhirnya, menurut Sassen, ada dua fungsi dari kebijakan pengusiran orang Rohingya.

Pertama, untuk mengambil alih lahan serta segala sumber daya yang terkandung di dalamnya. Agar penguasaan ini bersifat permanen,

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 pengusiran warga Rohingya juga harus permanen. Inilah mengapa tentara Myanmar tak hanya mempersekusi warga Rohingya, tetapi juga membakar rumah dan bangunan penting milik mereka. Tak ada yang namanya tanah air jika rumah sudah rata tanah dan berganti bangunan yang merepresentasikan proyek pemerintah dan swasta.

Kedua, pemerintah Myanmar tahu—dan keadaan di lapangan juga menunjukkan—bahwa korban dari perampasan lahan meliputi orang- orang Muslim, baik etnis Rohingya maupun bukan, juga umat Buddha yang jadi mayoritas di negara tersebut.

Agar perampasan lahan tidak menjadi isu utama yang berpotensi menggerakkan penduduk Rakhine dalam sebuah agenda ekonomi-politik yang padu, maka isunya dibelokkan menjadi menjadi konflik horizontal antar kelompok agama. Di banyak tempat, termasuk konflik Poso di Indonesia misalnya, framing konflik horizontal kerap dipakai untuk menjauhkan negara dan kebijakannya dari tanggung jawab meski ditengarai sebagai salah satu elemen yang memulai konflik.

Direktur Burma Human Rights Network (BHRN) Kyaw Win bersepakat dengan teori kedua. Dalam wawancara khusus bersama Tirto, ia berkata biksu-biksu di Myanmar yang sesungguhnya cinta damai dijadikan alat poltik oleh elite militer untuk mengusir orang-orang Rohingya dari tempat tinggalnya. Tujuannya adalah kontrol penuh, sehingga para biksu tersebut dibenturkan dengan umat Islam di Myanmar.

Baca juga: Kyaw Win: "Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer"

“Mereka hanya dijadikan alat politik. Dalam pidato-pidatonya, mereka akan cerita tentang kehancuran Buddha di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal itu dijadikan alasan mengapa Rohingya harus dienyahkan dari negeri mereka, jika tidak, mereka yang akan tersingkir," jelas Kyaw Win.

"Ini yang didengar anak-anak hingga orang dewasa. Bayangan apa jadinya anak-anak ini sepuluh tahun mendatang, mereka akan sangat membenci Muslim.”

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan (tirto.id - Indepth)

Reporter: Akhmad Muawal Hasan Penulis: Akhmad Muawal Hasan Editor: Zen RS

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 9

Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar

Mortaza Bibi, seorang pengungsi Rohingya yang sekarang berlindung dengan sebuah keluarga lokal Bangladesh, berpose untuk difoto di Teknaf dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Selasa (22/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain/cfo/16 Oleh: Petrik Matanasi - 24 November 2016 Dibaca Normal 3 menit Persoalan Rohingya berakar pada sejarah panjang. Islam di Myamnar sudah berusia seribu tahun. Muslim di Myanmar sesungguhnya bukan hanya etnis Rohingya saja. tirto.id - Orang-orang Rohingya memang berbeda dengan orang Myanmar. Sejak Myanmar masih berupa kerajaan, ketegangan memang sudah terasakan. Di kemudian hari, perbedaan fisik, bahasa, budaya lalu agama dijadikan dasar untuk mengecap Rohingya yang sudah ratusan tahun berada di Arakan itu sebagai pendatang ilegal.

Menurut Human Right Watch, antara 2012 hingga 2014, 300 ribu orang Rohingya terusir. Menurut pemerintah Myanmar, pengusiran orang-orang Rohingya yang terjadi pada 2012 itu karena adanya pembunuhan, perampokan dan perkosaan terhadap seorang perempuan Budha pada 25 Mei 2012 di Yanbye.

Setelah kejadian itu, menurut versi pemerintah, sepuluh orang Muslim Rohingya di sebuah bis di dibunuh pada 3 Juni 2012. Alasannya: balas dendam. Pemerintah Myanmar bukannya memberi pengamanan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 bagi mereka yang terancam, aparat keamanan Myanmar menurut Human Right Watch justru ikut serta menyerang orang-orang Rohingya.

Keterlibatan Biksu Ashin Wirathu dari kelompok Budha Arakan yang memiliki laskar bernama Gerakan 969, berperan aktif menebar teror dan kebencian. Mereka mulai menebarkan kebencian terutama setelah Taliban menghancurkan Patung Budha di Bamiyan (Afghanistan) pada 2001.

Menurut Siegfried O. Wolf, seperti dirilis dw.com (31/8/2015), Pemerintah Myanmar adalah biang kerok atas derita orang-orang Rohingnya di Myanmar. Orang-orang Rohingya itu dianggap saingan tambahan oleh pihak penguasa dalam kehidupan sosial politik di sana. Orang-orang Rohingnya dianggap bukan pendukung pemerintah yang berkuasa. Pemerintah pun juga mendukung fundamentalis Budha, untuk menjaga kepentingannya atas kekayaan yang ditinggali orang-orang Rohingya itu.

Junta militer Myanmar dianggap secara sengaja memelihara kebencian massa terhadap Rohingya untuk mengalihkan sorotan publik kepada mereka. Kehidupan sosial politik yang tertutup, pengelolaan pemerintahan yang otoriter, sampai pelanggaran HAM memang membuat junta militer Myanmar dikecam. Junta secara sengaja mengobarkan kebencian kepada Rohingya untuk menciptakan musuh bersama.

Menciptakan sosok musuh bersama adalah siasat lama untuk membangun persatuan dan kesatuan. Diharapkan, jika kebencian terhadap Rohingya bisa digerakkan dengan massif, maka rakyat Myanmar tidak akan terlalu peduli pada desakan demokratisasi yang datang baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Untuk itulah dikampanyekan tentang bahaya Rohingya di kawasan- kawasan tertentu. Rohingya dikesankan sebagai calon penguasa baru yang akan menguasai sumber-sumber ekonomi sehingga penduduk "asli" Myanmar akan banyak kehilangan sumber-sumber penghidupan.

Kampanye macam itu tidak sepenuhnya salah untuk kawasan-kawasan tertentu yang memang banyak diisi oleh orang-orang Rohingya. Misalnya di Arakan yang luasnya mencapai 20 ribu mil persegi. Beribukota di Akyab, kawasan tersebut memang didominasi orang Rohingya. Pada 2002, populasi di Arakan mencapai 4 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah Muslim.

Tapi secara keseluruhan, "politik ketakutan" semacam itu sama sekali tidak berdasar. Jumlah penduduk muslim di Myanmar sebenarnya tidak terlalu signifikan.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Islam masuk ke Myanmar sekitar 1055. Pedagang-pedagang Arab memperkenalkan Islam kepada mereka saat mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi, dan daerah Arakan yang yang terletak di sisi barat Myanmar. Gunung Arakan memisahkan wilayah daerah Arakan dengan daerah-daerah lain Myanmar yang mayoritas menganut Budha. Selain etnis Arakan, etnis Shan juga dikenal sebagai penganut Islam.

Orang-orang dari Persia sampai Myanmar saat menjelajahi kawasan selatan Cina. Orang-orang Islam yang merupakan penduduk asli Myanmar disebut Pathi, sedangkan orang-orang Islam yang berasal dari Cina disebut Panthay. Dari sana, Islam menyebar ke berbagai daerah, seperti Pegu, Tenasserim, dan Pathein.

Dulunya, menurut catatan Apiko Joko Mulyono di act.id (07/06/2016), Raja Arakan punya sejarah tak akur dengan Raja Myanmar pada 1406. Kebetulan Raja Myanmar dan pengikutnya adalah Budha. Kuatnya Raja Myanmar membuat Raja Arakan Naramakhbala tersingkir dari wilayahnya dan mengungsi ke Bengali. Penguasa Bengali, Sultan Nasiruddin dimintai bantuan oleh Naramakhbala. Naramakhbala lalu mengucapkan Syahadat dan ganti nama jadi Suleiman Shah.

Atas bantuan Penguasa Bengali Sultan Nasiruddin, Naramakhbala yang sudah ganti nama menjadi Suleiman Shah itu akhirnya berhasil merebut kembali wilayahnya dari kekuasaan dari Raja Myanmar. Pada 1420, Arakan memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam merdeka di bawah Raja Suleiman Shah.

Kekuasaan Arakan yang Islam itu bertahan hingga 350 tahun. Pada tahun yang naas, 1784, Arakan kembali dikuasai oleh Raja Myanmar. Pada 1824, Arakan menjadi koloni Inggris juga. Populasi Islam di kawasan itu pun perlahan-lahan berkurang.

Orang Rohingya bukan satu-satunya kelompok etnis yang beragama muslim di Myanmar. Selain Rohingya dan etnis Shan, orang-orang Myanmar sebenarnya banyak yang sudah menjadi muslim. Muslim Myanmar ini disebut Zerbadee, komunitas yang paling lama berdiri dan berakar di wilayah Shwebo. Mereka diduga merupakan keturunan para pendakwah Islam paling awal yang beranak pinak dengan etnis-etnis bumiputera di Myanmar.

Komunitas muslim lainnya berasal dari India. Mereka adalah keturunan India yang banyak bermigrasi ke Myanmar saat masih dijajah oleh Inggris. India sendiri memang dikuasai Inggris sehingga memungkinkan banyak orang India, terutama yang muslim, bermigrasi ke Myanmar.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Ketika Myanmar merdeka dari Inggris pada 4 Januari 1948, enam bulan setelah ayah Aung San Suu Kyi terbunuh oleh kolega militernya sendiri, Arakan pernah dijanjikan sebagai daerah otonomi khusus. Rupanya otonomi itu hanyalah janji kosong.

Setelah tumbangnya kolonialisme Inggris di Myanmar, orang-orang Islam di Arakan yang menjadi pedagang merasa kehidupan perekonomian mereka memburuk. Banyak dari mereka yang pergi dari Arakan. Jenderal Ne Win dan junta militernya bahkan menganggap mereka sebagai pendatang ilegal.

Menurut Uqbah Iqbal, dalam Isu Pelarian Rohingya (2016), orang-orang Rohingya secara fisik, bahasa dan budaya lebih mirip orang-orang Bengali dari Asia Selatan. Selain mirip orang Bengali, ada juga orang-orang Arab, Persi dan Pasthun yang datang ke Arakan semasa zaman kekaisaran Mughal berjaya di sekitar India. Perbedaan fisik itu tentu dikembangkan sebagai bagian kampanye rasisme untuk mengusir mereka dari Myanmar.

Isu rasis itu digoreng lagi dengan peraturan yang tak kalah rasisnya. Yakni Kewarganegaraan Myanmar 1982, ketika Jenderal Ne Win berkuasa, orang-orang Rohingya dianggap bukan warga negara Myanmar melainkan para pendatang. Hingga ada alasan bagi aparat Myanmar untuk tidak melindungi mereka.

Menurut Shofwan Al Banna Choiruzzad dalam ASEAN di Persimpangan Sejarah: Politik Global, Demokrasi, & Integrasi Ekonomi (2016), meski pemerintah Myanmar mengaku bersikap netral, namun aparat negara mereka juga masyarakat Myanmar di Arakan punya wacana orang-orang Rohingya adalah orang asing yang datang sejak lama untuk menguasai kekayaan orang-orang Myanmar. Stereotipe itulah yang menjadi bahan bakar kebencian.

Dan hal itu sudah berlangsung lama. Menurut Uqbah Iqbal, setidaknya 30 ribu orang Rohingya sudah terbunuh pada 26 Juli 1938. Saat itu, Myanmar masih menjadi koloni Inggris di Asia Tenggara. Pada 1942, terjadi pembantaian di Arakan antara orang-orang kebetulan beragama Budha dengan orang-orang Rohingya yang menjadi milisi dalam unit militer Inggris yang disebut V Force. Sudah pasti ada korban dikedua belah pihak.

Setelah tahun 1942, di tahun 1968 dan 1992, kini mereka terbantai lagi. Dan terusir. Dan didiamkan. Sampai Aung San Suu Kyi pun bungkam.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 (tirto.id - Politik)

Reporter: Petrik Matanasi Penulis: Petrik Matanasi Editor: Zen RS

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 10

Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar

Gadis kecil pengungsi Rohingya mengusap air matanya di Kamp Pengungsi Tak Terdaftar Leda di Teknaf, Bangladesh, Rabu (15/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain/djo/17 Oleh: M Faisal Reza Irfan - 6 September 2017 Dibaca Normal 2 menit Tentara Pembebasan Rohingya Arakan lahir dari rahim diskriminasi pemerintah junta militer Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya. tirto.id - Serangan ke pos-pos perbatasan di Rakhine pada 25 Agustus lalu telah menewaskan 77 muslim Rohingya dan 12 pasukan keamanan. Lewat keterangan resmi yang dikeluarkan sehari seusai ledakan, Aung San Suu Kyi, kepala pemerintahan de jure Myanmar, mengatakan kelompok pemberontak Rohingya bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

Kelompok milisi yang dimaksud Suu Kyi ialah Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army/ARSA). Menurut laporan International Crisis Group(ICG), lembaga pemantau konflik berbasis di Brussels, ARSA didirikan pada 2016 oleh eksil Rohingya yang tinggal di Arab Saudi. ARSA dipimpin Ata Ullah alias Abu Ammar Jununi, lelaki Rohingya-Pakistan yang besar di Mekkah. Semula ARSA bernama Harakah al-Yaqin dengan jumlah anggota 20 orang.

Aksi pertama ARSA dilakukan pada 9 Oktober 2016. Menggandeng ratusan pria Rohingya yang dipersenjatai pisau hingga senapan, ARSA

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 menyerang tiga pos polisi terpisah di Negara Bagian Rakhine dan menewaskan sembilan petugas.

Tak terima, Tatmadaw (militer Myanmar) lewat Panglima Militer Min Aung Hlaing membalasnya dengan membakar habis wilayah desa di Rakhine selain memperkosa perempuan dan membunuh anak-anak. Berdasarkan citra satelit, Human Rights Watch menyatakan daerah yang dibakar Tatmadaw lima kali lebih besar dibanding tahun 2016. Total korban kedua pihak sampai 28 Agustus mencapai 104 orang.

Bentrokan antara ARSA dan Tatmadaw menandai eskalasi baru di Rakhine sejak Oktober 2016 ketika peristiwa serupa mendorong operasi militer besar-besaran yang menyebabkan 87.000 muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Melalui pernyataan video yang dirilis 18 Agustus, Abu Ammar menjelaskan pendirian ARSA bertujuan merespons kekerasan militer Myanmar terhadap masyarakat muslim Rohingya. Abu Ammar juga menyatakan ARSA bergerak independen tanpa ada hubungan dengan organisasi teroris internasional manapun.

Milisi ARSA melegitimasi serangan dengan pemberlakuan fatwa. Bagi ARSA, aksi serangan dapat dibenarkan selama dalam rangka memperjuangkan hak sesama muslim.

Baca juga:

Myanmar: Negara Para Jenderal Membunuh Rohingya Secara Diam-Diam Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar Berapa Banyak Jumlah Muslim di Myanmar? "Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer" Paradoks Terbesar Ang San Suu Kyi

Tumbuh Bersama Generasi Konflik

Keputusasaan masyarakat Rohingya melahirkan benih-benih dukungan untuk ARSA. Generasi baru Rohingya terdiri dari anak-anak muda tanpa status kewarganegaraan yang dibesarkan di kamp-kamp pengungsian. Mereka tidak melihat harapan untuk solusi damai.

Berbeda dari kelompok usia tua yang cenderung menanti datangnya rekonsiliasi, kelompok usia muda Rohingya cenderung tidak sabar dan siap mati memperjuangkan hak-hak mereka. Walhasil, kelompok ini menjadi pendukung lokal milisi ARSA.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Berdasarkan laporan ICG, pelatihan untuk anggota ARSA dipimpin oleh para ulama atau hafiz di desa-desa yang berasal dari Rohingya, Pakistan, dan Afghanistan. Jumlah anggota ARSA hingga saat ini diprediksi mencapai ratusan orang.

Dalam aksi-aksinya, milisi ARSA tak ragu membayar banyak informan di Rakhine serta menyuap pasukan keamanan guna membebaskan anggota yang ditahan. Tentunya, untuk memuluskan rencana tersebut diperlukan pendanaan.

“[ARSA] tidak mungkin menghadapi kendala pendanaan. Kelompok ARSA tampaknya menerima dana dari diaspora Rohingya dan pendonor swasta utama di Arab Saudi dan Timur Tengah,” tulis ICG dalam laporan Myanmar: A New Muslim Insurgency in , yang dirilis Desember 2016.

Banyak pihak menyatakan milisi ARSA memiliki hubungan dengan Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO). RSO adalah kelompok milisi yang aktif di antara tahun 1980 hingga 1990-an sebelum akhirnya tak berfungsi lagi sejak 2001. Daerah operasi RSO di seberang perbatasan Bangladesh.

Serangan ARSA membuktikan sejauh mana kemampuan mereka dalam membalas aksi Tatmadaw. Menurut Anagha Neelakantan, Direktur Program ICG di Asia dalam laporannya, ARSA telah berkembang pesat sehingga mampu meningkatkan eskalasi konflik secara dramatis.

Zachary Abuza, profesor National War College Washington sekaligus penulis Forging Peace in Southeast Asia: Insurgencies, Peace Processes, and Reconciliation (2016) berpendapat bahwa kepentingan ARSA adalah melakukan serangan balasan terhadap Tatmadaw sekaligus membebaskan masyarakat Rohingya dari penindasan pemerintah Myanmar.

Sementara Gabrielle Aron, Direktur Program CDA Collaborative Project Learning di Myanmar, menyatakan keberadaan ARSA selama sembilan bulan terakhir merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas Rakhine mengingat intensitas serangan ARSA yang begitu masif.

Saat diwawancarai Asia Times pada 26 Agustus, perwakilan ARSA memberikan peringatan keras: Apabila Rohingya belum mendapatkan hak kewarganegaraan penuh dari pemerintah Myanmar, mereka akan terus melakukan perlawanan bersenjata.

Para analis menilai kebijakan pemerintah Myanmar yang menampik hak- hak dasar dan kewarganegaraan muslim Rohingya turut berperan dalam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 memicu lahirnya ARSA. Terutama tatkala Suu Kyi yang mulai berkuasa pada 2016 seolah tak mampu berbuat apa-apa guna mengakhiri konflik Rohingya.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya M Faisal Reza Irfan (tirto.id - Politik)

Reporter: M Faisal Reza Irfan Penulis: M Faisal Reza Irfan Editor: Fahri Salam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 11

Jejaring Teroris Bangladesh: dari Rakhine hingga Indonesia

Perempuan berjalan di atas reruntuhan kamp penampungan pengungsi Muslim Rohingya di Rakhine, Sittwe, Myanmar (3/5/2016). FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 28 Mei 2018 Dibaca Normal 4 menit Ekstremis Bangladesh menyokong teror kelompok milisi ARSA di Myanmar, ISIS di Filipina dan Indonesia, hingga membangun sel teroris di Malaysia dan Singapura. tirto.id - 2017 menjadi tahun yang berbahaya bagi warga lintas keyakinan di Myammar, terutama Negara Bagian Rakhine. Berbagai lembaga pegiat hak asasi manusia merekamnya, termasuk di antaranya Amnesty Internasional yang baru-baru ini mengungkap betapa berlumuran darahnya tangan kelompok milisi Rohingya, ARSA.

Merujuk rilis yang diterima Tirto, tahun lalu Amnesty International berhasil mengumpulkan bukti bahwa aksi kejam ARSA adalah nyata—bukan sekadar propaganda pemerintah Myanmar selaku musuh utama mereka.

Pada pagi hari tanggal 25 Agustus 2017 mereka menyerang komunitas Hindu di Desa Ah Nauk Kha Maung Seik, tempat tinggal komunitas Hindu. ARSA mengajak warga Rohingya untuk merampok warga, kemudian seluruh penduduk desa diikat, ditutup mata, dan diseret ke pinggiran desa.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Para pria dipisahkan dari perempuan dan anak-anak kecil. Beberapa jam kemudian 53 orang di antaranya dibantai dengan gaya eksekusi, dimulai dengan para pria. Delapan perempuan dan delapan anak-anak diculik gerombolan milisi ke Bangladesh, dan akhirnya diselamatkan setelah dipaksa masuk Islam.

Baca juga:

 Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar  ISIS di Mata Generasi Muda Indonesia

“[Para pria] memegang pisau dan batang besi panjang. Mereka mengikat tangan kami di belakang dan menutup mata kami. Saya bertanya apa yang mereka lakukan. Salah satunya menjawab, 'Kamu dan Rakhine adalah sama, kamu punya agama yang berbeda, kamu tak boleh tinggal di sini.' Dia bicara bahasa [Rohingya],” kata Bina Bala (22), salah seorang korban selamat.

Pada hari yang sama, sebanyak 46 pria, perempuan, dan anak-anak Hindu di desa tetangga Ye Bauk Kyar menghilang. Anggota komunitas Hindu di Rakhine utara menganggap mereka juga dibunuh oleh milisi ARSA. Ditambah korban dari Ah Nauk Kha Maung Seik, jumlah korban tewas diyakini menjadi 99 jiwa.

Keesokan harinya, 26 Agustus 2017, ARSA bergerak ke dekat desa Myo Thu Gyi di pinggiran Kota Maungdaw. Mereka membunuh enam orang, juga penganut Hindu. Dua di antaranya perempuan, satu orang pria, dan tiga anak-anak, sementara beberapa lainnya luka-luka.

Serangan tersebut makin mengorbankan warga Rohingya yang tak tahu apa-apa, yang selama ini kenyang didiskriminasi. Pasukan keamanan Myanmar membalas dendam dengan cara membakar desa, membunuhi penduduknya, juga memperkosa para perempuan. Jumlah korbannya jauh lebih besar, dan mengakibatkan krisis pengungsian yang begitu parah.

Yang Ekstrem dari Bangladesh

Laporan Institute for Policy Analysis Conflict (IPAC) yang dirilis bulan Mei tahun lalu menawarkan pendekatan menarik mengapa ARSA digdaya menyiksa warga: karena mereka disokong bantuan dari kelompok ekstremis Bangladesh—negara tempat warga Rohingya berbondong- bondong mengungsi.

Foreign Affairs, Conversation, Diplomat, dan portal analisis kawasan lain telah membeberkan fenomena meningkatnya ancaman kelompok

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ekstremis Islam di Bangladesh sejak 2013, atau tahun ketika ISIS mulai bangkit untuk mulai mengacau di Timur Tengah.

Satu kasus yang paling diingat publik terjadi pada 1 Juli 2016, ketika lima orang militan menyerang sebuah restoran bernama Holey Artisan Bakery di Gulshan, ibukota Dhaka. Para pelaku bermodal senjata tajam, senjata api, dan bom. Mereka menyandera beberapa pengunjung, dan berakhir dengan tewasnya 22 orang, termasuk banyak warga asing.

Berkaca dari kasus-kasus lain, target mereka merentang cukup luas. Mulai dari kaum sekuler, penulis ateis, blogger dan penerbit kritis, warga asing, dan kelompok minoritas seperti penganut Hindu, Buddha, Kristiani, atau Syiah.

Baca juga:

 "Kemampuan Kombatan ISIS Asal Indonesia itu Paling Bawah"  Lokasi-Lokasi Strategis ISIS untuk Perang Kota di Indonesia

Dalang di balik serangan-serangan itu mengarah pada Ansarullah Bangla Team (ABT), kelompok ekstremis yang menurut polisi punya hubungan dengan Al Qaeda. Pejabat setempat juga mengaitkannya dengan jaringan ISIS.

Kasus-kasus serupa turut diinisiasi oleh individu maupun grup ekstremis yang anggotanya berjumlah lebih kecil, tapi amat militan. Mereka berani menghabisi nyawa korban, meski hanya bermodal pisau, lalu dengan bangga mengungkap motif di media sosial, atau kepada media massa, atau kepada aparat kepolisian yang menangkapnya.

Kebangkitan ISIS di tahun 2013 juta menjadi momentum bagi kelompok- kelompok ekstremis di Bangladesh untuk mengekspor teror ke negara- negara di Asia Tenggara. ARSA, misalnya, rupanya adalah kelompok pemberontak yang beroperasi tidak hanya di Myanmar, tetapi juga di sepanjang perbatasan dengan Bangladesh.

Baca juga:

 Bangkitnya Jihadis Perempuan  Internal ISIS di Marawi: Selotip itu Tak Selamanya Lengket

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Sejarah jaringan ekstremis Asia Tenggara bermuara pada Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO) yang pada akhir 1980-an dan 1990-an beroperasi di Bangladesh bagian tenggara (plus perbatasan Pakistan- Afghanistan). RSO pincang pada tahun 2001 setelah pemerintah di beberapa negara mulai menghabisi Jemaah Islamiyah, sekutu utama RSO.

RSO bukan lagi dalang pemberontakan di Myanmar, tetapi para pemimpin ARSA mengandalkan beberapa kelompok ekstremis Asia Selatan demi bantuan pelatihan. ARSA mencoba untuk menjauhkan diri dari terorisme internasional atau gerakan jihad global. Mereka lebih mirip gerakan etno- nasionalis, serupa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau pemberontak di ujung selatan Thailand.

Keberadaan ARSA, menurut IPAC, dapat menginspirasi kelompok- kelompok pro-ISIS di Bangladesh, Indonesia dan Malaysia untuk merekrut para pengungsi Rohingya sebagai calon pelaku aksi teror yang nantinya akan menyasar aparat keamanan negara dan orang-orang yang dituduh kafir.

Menarget Pekerja-Mahasiswa di Malaysia & Singapura

Para pengungsi Rohingya adalah salah satu medium penyebaran teror lintas-negara oleh kelompok ekstremis Bangladesh. Mengutip IPAC, “penganiayaan terhadap Muslim di Myanmar menambah potensi radikalisasi di komunitas diaspora dan persepsi di kalangan ekstremis di Asia Tenggara bahwa para pengungsi Rohingya siap untuk direkrut”.

Jumlahnya memang besar. Pada bulan Oktober 2016 hingga Maret 2017 ada 70 ribu pengungsi Rohingya yang membanjiri Bangladesh. Mereka bergabung dengan ratusan ribu pengungsi lain, yang oleh beberapa lembaga independen diprediksi mencapai total 650-700 ribu jiwa. Ini belum termasuk mereka yang berlayar ke Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain, plus Australia.

Jalan kedua, mereka menarget ratusan ribu tenaga kerja asing asal Bangladeh untuk ikut kelompok pengajian ekstremis. Sasarannya meliputi lebih dari 285.00 pekerja Bangladesh yang berstatus legal maupaun ilegal di Malaysia (catatan tahun 2016). Ada juga 160.000 pekerja di Singapura, plus 60.000 yang tiap tahun datang dalam masa tinggal yang relatif singkat.

Baca juga:

 Propaganda Efektif ISIS di Jejaring Sosial

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018  Abu Walid, Algojo ISIS yang Brutal dan Imut dari Solo

Pemerintah kedua negara tidak tinggal diam. Pada 2015 kepolisian Singapura mengamankan puluhan pekerja asal Bangladeh yang ikut aktivitas pengajian berkonten Islam radikal serta terungkap punya niat untuk bergabung dengan ISIS. Beberapa di antaranya lagi-lagi terkait dengan Ansarullah Bangla Team.

Menanggapi penangkapan tersebut, pemerintah Malaysia turut mengamankan seorang warga pendatang asal Bangladesh bernama Peyar Ahmed Akash. Ia sudah lama diincar oleh Interpol sebab ikut kegiatan kelompok ekstremis, termasuk terlibat dalam penjualan senjata. Usai sempat ditahan, dideportasi pada awal September 2016.

Jalan ketiga, menargetkan beberapa ribu mahasiswa Bangladesh yang kuliah di universitas negeri maupun swasta di Malaysia (catatan tahun 2016). Mereka diajak untuk ikut kelompok pengajian ekstremis, untuk dicuci otaknya dan membangun sel tidur. Targetnya juga menyasar ratusan mahasiswa asal Indonesia, Malaysia dan Thailand yang belajar ke Bangladesh dengan memanfaatkan koneksi tablighi.

Baca juga:

 Apa Saja Tahap Radikalisasi Teroris?  Bagaimana Abu Bakar al-Baghdadi Mendirikan ISIS?

Jalan keempat, melalui organisasi dakwah. Salah satunya lewat Jamaah Tabligh, organisasi dakwah Islam yang tiap tahun menyelenggarakan Biswa Ijtema, pertemuan terbesar kedua setelah Haji di dekat Dhaka. Pesertanya berasal dari banyak negara, termasuk beberapa ratus di antaranya dari Indonesia.

Kembali ke kelompok Jamaah Tabligh asal Bangladesh, mereka juga berdakwah keliling Asia Tenggara. Meski konservatif, tetapi dakwah Jamaah Tabligh bersifat sepenuhnya damai. Fokus mereka adalah meningkatkan ketaatan anggotanya.

Sayangnya, aktivitas sebagian anggota Jamaah Tabligh kerap ditunggangi para ekstremis Bangladesh untuk melakukan perjalanan lintas negara, dan tentu untuk tujuan menjajaki aksi teror di negara tujuan, demikian catat IPAC.

IPAC juga menyoroti modus yang sama di dalam tubuh dan pergerakan Hizbut Tahrir, organisasi pro-khilafah berskala global. Meski metode

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 dakwahnya diklaim tanpa kekerasan, IPAC menyatakan mereka mendukung penggunaan kekerasan terhadap “musuh-musuh Islam”. Apalagi beberapa anggotanya ada yang meninggalkan organisasi dan bergabung ke kelompok-kelompok ekstremis.

Eksekusi “Jihad” di Filipina dan Indonesia

Laporan IPAC membongkar bagaimana ekstremis Bangladesh yang berniat meninggalkan ISIS Suriah memutuskan untuk mampir dulu ke Mindanao, Filipina, untuk membantu perjuangan Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Aksi ini, lagi-lagi, juga sembari mengajak imigran Rohingya maupun warga Bangladesh di Malaysia untuk ikut ke Mindanao.

Sedangkan dalam konteks Indonesia, ISIS Suriah berperan sebagai titik temu ekstremis asal Bangladesh dan Indonesia. Pejuang ISIS asal Indonesia melihat serangkaian serangan-serangan teror di Bangladesh, yang banyak di antaranya berdampak fatal, sebagai model atas apa yang mesti dilakukan para pendukungnya di Indonesia.

Visi ini terwujud dalam rangkaian teror yang mengacaukan rutan negara di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, hingga serangan bom bunuh diri di Surabaya. “Keinginan untuk meniru ekstremis Bangladesh dapat menjadi insentif tambahan bagi orang Indonesia untuk melakukan aksi kekerasan di rumah (negara) sendiri,” jelas IPAC.

Baca juga:

 Bom di Tiga Gereja Surabaya dan Pola Serangan Jelang Ramadan  ISIS dan Teror di Bulan Ramadan

Misalnya Bahrun Naim, salah satu propagandis ISIS asal Indonesia yang masih diperdebatkan kabar kematiannya, pernah memuji-muji serangan Dhaka tahun 2016. Ia terkesan iri, lalu mendorong kawan-kawannya di Indonesia melakukan hal yang sama. Propagandanya dilakukan dengan membandingkan catatan serangan yang diinisiasi milisi Bangladesh dengan yang dijajaki rekan-rekannya di Indonesia.

Komunikasi antara Bangladesh dan Asia Tenggara juga terjadi melalui praktik perkawinan, terutama antara pria Bangladesh dan janda pejuang Indonesia. Implikasinya, kolaborasi teror lanjutan dan dalam skala lebih besar bisa terwujud di masa depan.

“Perempuan Indonesia yang bergabung ke ISIS telah menikah dengan orang Afrika Utara, Perancis, Irak dan non-Indonesia lainnya di Suriah.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Konon banyak perempuan Indonesia yang menikahi buruh migran Bangladesh yang mereka temui di negara-negara Teluk atau Malaysia, sehingga potensi perkawinan ISIS lintas-daerah itu nyata.”

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan (tirto.id - Politik)

Reporter: Akhmad Muawal Hasan Penulis: Akhmad Muawal Hasan Editor: Windu Jusuf

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 12

Cerita Memilukan Pengungsi Rohingya dari Buthidaung

Gelombang pengungsi Rohingya dari Buthidaung di perbatasan Bangladesh (6/9/2017). Mereka berjalan kaki berhari-hari setelah kampung dan rumah dibakar serta diburu oleh pasukan militer Myanmar. FOTO/Adil Sakhawat Oleh: Aqwam Fiazmi Hanifan - 7 September 2017 Dibaca Normal 4 menit Setelah melintasi perbukitan terjal dan hutan rimbun selama 11 hari, penduduk Rohingya dari Buthidaung mulai memasuki Bangladesh. tirto.id - Kisah mengerikan tentang kekejaman militer Myanmar dituturkan oleh orang-orang Rohingya dari Buthidaung, sebuah kotapraja di Negara Bagian Rakhine. Mereka menggambarkan beberapa desa terbakar jadi puing abu, anggota keluarga mereka dibunuh, desa mereka menjadi wilayah yang bersih dari umat muslim.

Sejak 3 September lalu, pasukan penjaga perbatasan Bangladesh membawa semua pengungsi yang melintasi perbatasan ke sebuah kamp darurat baru di Teknaf usai menyeberangi Sungai Naf.

Permukiman darurat baru di daerah Putibunia sekarang menjadi tempat penampungan bagi 10.000 pengungsi Rohingya.

Di permukiman sementara Putibunia, sekitar 100 keluarga dari Buthidaung telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Riajul Karim dan Mohammad Nosim, keduanya tinggal di jalur desa Taung Bazar di Buthidaung, mengatakan desa mereka memiliki 10.000 penduduk etnis Rohingya. Mereka mengklaim 250 orang di antaranya dibunuh oleh militer Myanmar.

“Yang lainnya melarikan diri dari desa,” kata Karim dan Nosim.

Karim berkata, "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana militer merampok desa kami, membakar rumah-rumah, dan membunuh orang-orang."

Militer datang ke desa-desa muslim etnis Rohingya untuk mencari baghi— istilah setempat untuk menyebut “pemberontak” Rohingya.

Bahkan Karim masih ingat dan bisa mengidentifikasi beberapa tetangganya yang dibunuh oleh militer Myanmar: Jaber, Mojibullah Mouluvi, Amir er Din, Omar Faruk, Abdul Aziz...

Orang-orang Rohingya mengungsi setelah kampung mereka dibakar dan diburu oleh pasukan militer Myanmar.

Taktik Bumi Hangus oleh Militer Myanmar

Ketika ditanya jenis senjata apa yang digunakan Tatmadaw, nama resmi militer Myanmar, saat beroperasi di desanya, Karim menjawab, "Mereka menggunakan peluncur roket. Dan berdiri 200 meter dari rumah dan meluncurkan roket itu ke rumah kami dan membuat rumah kami terbakar."

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Melihat kampungnya luluh lantak dan nyawa terancam, Karim dan ribuan muslim Rohingya lain melarikan diri ke Bangladesh.

Mereka melintasi tiga gunung besar dan gunung kecil lain selama sebelas hari. Hingga akhirnya mereka bisa sampai ke perbatasan dan dibawa ke pemukiman pengungsi sementara oleh penjaga perbatasan Bangladesh.

Berdasarkan kesaksian orang-orang Rohingya yang kabur dari Buthidaung, orang-orang mogh—sebutan lokal untuk orang Buddha di Rakhine—ikut pula menyerang dengan parang sesaat setelah tentara menembakkan roket dan membakar rumah.

“Orang-orang mogh berteriak (kepada kami), 'Lari! Lari! Lari!” ujar Nosim.

Nosim mengatakan, setelah mendengar teriakan itu, orang-orang Rohingya lari kocar-kacir. Dan jika orang-orang mogh menemukan seorang Rohingya, ujarnya, mereka akan membacok si malang dengan parang. Itulah kenapa dari foto-foto korban di Rakhine, lazim ditemui mayat yang dipenuhi sayatan dan bacokan senjata tajam.

Serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA/ Tentara Pembebasan Rohingya Arakan) terhadap pos pasukan keamanan Myanmar terjadi di Buthidaung, Maungdaw, dan pada 25 Agustus. Dan diyakini bahwa ketiga kota kecil di Negara Bagian Rakhine ini terkena dampak paling parah akibat konflik terbaru ini.

"Kami harus sembunyi-sembunyi saat berjalan ratusan kilometer untuk sampai selamat ke Bangladesh," ujar pengungsi Rohingya.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Nasib Tak Tentu Orang Rohingya dari Rathedaung

Kontributor lepas Tirto di lapangan hingga kemarin, 6 September, hanya bisa berbicara dengan penduduk desa dari Buthidaung, yang telah menyeberang ke Bangladesh untuk mencari tempat berlindung. Mereka berkata bahwa orang-orang Rohingya dari Rathedaung diyakini membutuhkan dua hari lagi untuk sampai ke Bangladesh karena lokasinya sangat jauh untuk sampai ke perbatasan.

Orang-orang Rohingya dari Buthidaung yang selamat menyampaikan pesimismenya terhadap karavan manusia dari Rathedaung.

Agak sukar, kata mereka, orang Rohingya dari Rathedaung bisa menyeberang ke Bangladesh. Mereka harus melintasi daerah sungai dan perbukitan di bawah kendali militer Myanmar.

Rathedaung berjarak sekitar 54 km dari Buthidaung. Buthidaung berjarak sekitar 40 km dari Maungdaw. Dan Maungdaw berjarak kurang dari 10 km dari Bangladesh. Praktis pengungsi dari Rathedaung mesti menempuh sekitar 100 km perjalanan melalui hutan dan naik-turun perbukitan.

Kamp-kamp darurat baru seadanya di Teknaf dibuat untuk menampung ribuan pengungsi baru Rohingya.

Kisah Pilu Pengungsi dari Buthidaung

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Orang-orang Rohingya sesekali harus menyeberangi sungai. Tentara Myanmar memusatkan kekuatan di tepi sungai dan perbukitan. Kabar terbaru menyebutkan pasukan di areal ini meminta bantuan pasukan udara untuk menghentikan eksodus pengungsi Rohingya. Orang Rohingya harus kucing-kucingan demi menyeret nyawa.

Beruntung bagi mereka yang bisa kabur. Tetapi bernasib celaka bagi yang bersua militer di tengah perjalanan, sebagaimana disaksikan oleh Nur Ankish.

Wanita berusia 21 tahun ini kabur dari Desa Khanjarpara, Buthidaung, “Militer Myanmar membawa kekuatan besar ke desa kami dan setidaknya membakar 200 rumah.”

“Militer telah menahan begitu banyak anggota laki-laki dari desa kami dan pertama-tama menempatkan mereka di suatu tempat sembari mengikat tangan ke belakang dan membawa mereka pergi," kisah Nur Ankish.

Ia juga mengatakan, terkadang di tempat yang sama, militer melepaskan tembakan ke orang-orang Rohingya.

Nur berkata, ia kehilangan beberapa kerabatnya, “Adik suamiku, Abdul Aziz; tetanggaku Mohammad Amin dan Mohammad Rafiq ditembak mati oleh militer Myanmar.”

Kisah nahas dialami pula oleh Kulsuma Khatun. Ia tiba ke Bangladesh baru-baru ini dan, sama seperti Nur, berasal dari Buthidaung. Ia duduk di bawah langit terbuka karena masih belum mendapatkan tempat layak di kamp sementara.

Kulsuma masih shock berat. Beberapa hari sebelumnya, anaknya, Mohammad Rafiq, tewas diterjang peluru panas militer Myanmar.

Kulsuma menuturkan bagaimana ia menyaksikan kematian anaknya. Ia pilu dan hanya bisa pasrah saat anaknya meregang nyawa dan ia tak punya kuasa untuk memberontak.

Jangankan memberontak, katanya, membantah pun ia kelu. Ia memilih membisu agar selamat dari orang-orang bersenjata di dekatnya.

“Anak laki-lakiku berusia 26 tahun terbunuh oleh militer tepat di depan mata. Militer datang ke rumahku dan mencari pemuda. Anakku dibawa ke luar rumah dan ditembak mati. Mereka langsung mencurigainya sebagai baghi.”

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Krisis terbaru Rohingya membutuhkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin di perbatasan Bangladesh.

Trauma Parah bagi Anak-Anak

Menurut kesaksian pengungsi Rohingya, kekejian lain dari operasi militer Myanmar selama dua pekan terakhir juga menyebut bahwa Tatmadaw membawa anak-anak dari pelukan ibu untuk kemudian memisahkannya atau membunuhnya. Hal ini terjadi di empat desa di utara Maungdaw.

Informasi ini sejalan temuan UNICEF pada 4 September: setidaknya ada 26 anak tanpa pendamping dirawat oleh organisasi perlindungan anak PBB itu.

Anak-anak ini melewati perbatasan tanpa pendamping; sebagian dari orang tua dan keluarga mereka telah tewas. Pejabat UNICEF, Christophe Boulierac, berkata kemungkinan besar makin banyak temuan serupa di hari-hari mendatang.

Selain itu, ia mengatakan, banyak anak yang melarikan diri ke Bangladesh mengalami trauma psikososial yang parah.

Marium Begum, ibu dari seorang anak laki-laki berusia empat tahun, mengatakan anaknya mengalami trauma akut. Anaknya bergidik dan panik saat bertemu orang asing.

Ia mengatakan anaknya melihat rumahnya dibakar dan orang-orang yang menyayanginya disiksa dan dibunuh, termasuk ayahnya yang dibawa oleh militer Myanmar dan kini belum tahu apakah masih hidup atau sudah

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 mati.

Pengungsi anak mengalami trauma akut akibat kekejaman terbaru militer Myanmar.

Krisis Terburuk Sejak 2012

Krisis Rohingya kali ini adalah ledakan terburuk dari tahun-tahun sebelumnya. Ada arus masuk besar pengungsi pada 2012, 2015, dan 2016; tetapi kali ini berbeda. Saat ini amat sedikit pria dewasa dan anak muda lelaki.

Informasi dari mulut ke mulut pengungsi menyatakan bahwa militer Myanmar secara membabibuta membunuh kaum pria dengan menudingnya sebagai baghi.

Pelapor Khusus PBB untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Myanmar, Prof. Yanghee Lee kepada The Hindu berkata jumlah korban tewas bisa lebih dari 1.000 orang.

“Angka ini didapat dari seluruh wilayah utara Rakhine,” ujarnya, “tidak hanya dari beberapa desa.”

Ia juga mengonfirmasi rekaman citra satelit dari organisasi Human Rights Watchyang memperlihatkan kebakaran di kawasan utara Negara Bagian Rakhine.

"Saya bisa berkata bahwa video citra satelit Human Rights Watch baru- baru ini menunjukkan bahwa desa-desa dibakar di sepanjang perbatasan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 100 km di Negara Bagian Rakhine. Sulit untuk berkata bahwa hanya sedikit yang terbunuh,” ujarnya.

Muslim Rohingya disebut-sebut sebagai minoritas etnis paling tertindas di dunia, dan status etnisnya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar. Sejak 1970-an, hampir 1 juta muslim Rohingya mengungsi dari Myanmar— termasuk ke Indonesia—lantaran persekusi negara yang sistematis dan meluas.

Menurut laporan Burma Human Rights Network, pemerintah junta militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya, di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan melancarkan operasi militer di Negara Bagian Rakhine.

Menurut laporan terbaru International Crisis Group, berjudul Buddhism and State Power in Myanmar, kehadiran Arakan Rohingya Salvation Army dalam dua peristiwa konflik di Rakhine pada Oktober 2016 dan Agustus 2017 telah “memberi angin segar” bagi kelompok-kelompok radikal nasionalis Buddha untuk semakin gencar menyebarkan sentimen anti- Islam di Myanmar.

Perkembangan ini menaikkan tensi krisis di Negara Bagian Rakhine, dan semakin terjal saja langkah-langkah pemulihan serta upaya menjamin hak-hak asasi muslim Rohingya.

Baca laporan lain tentang krisis Rohingya:

Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar Konflik Sektarian dan Perebutan Lahan di Myanmar Tragedi Rohingya dan Mengapa PBB Kerap Gagal Hentikan Genosida

======

Sebagian besar naskah ini berbasis laporan langsung oleh Adil Sakhawat, wartawan setempat yang menulis dari perbatasan Bangladesh-Myanmar. Ia juga menyediakan foto-foto untuk laporan ini.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Aqwam Fiazmi Hanifan (tirto.id - Politik)

Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan Editor: Fahri Salam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 13

Sangat Susah Menyalurkan Bantuan Kemanusiaan ke Rohingya

Sejumlah warga Rohingya beraktivitas di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9/2017). ANTARA FOTO/Willy Kurniawan Oleh: Aqwam Fiazmi Hanifan - 6 September 2017 Dibaca Normal 4 menit Pemerintah junta militer Myanmar menghambat akses langsung bantuan kemanusiaan ke daerah pengungsi Rohingya. tirto.id - Selasa malam, 5 September, juru bicara lembaga Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Duniya Aslam Khan, mengatakan sekitar 123.000 pengungsi telah tiba di Bangladesh sejak kekerasan terjadi di utara negara bagian Rakhine sejak akhir Agustus lalu.

Ia berkata, rombongan muslim Rohingya berhasil ke Bangladesh dalam kondisi buruk. Sebagian besar telah berjalan berhari-hari dari desa mereka, bersembunyi di hutan dan menyeberangi pegunungan dan sungai.

“Mereka lapar, lemah, dan sakit,” tutur Duniya.

Gelombang pengungsi baru bertebaran di pelbagai lokasi di tenggara Bangladesh. Lebih dari 30.000 orang Rohingya diperkirakan telah mencari perlindungan di kamp pengungsi Kutupalong dan Nayapara.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 Sisanya tersebar di penampungan sementara di beberapa desa di kawasan perbatasan Bangladesh-Myanmar. Diperkirakan, masih banyak ribuan pengungsi lain yang masih tertahan dan tak bisa masuk Bangladesh.

“Kami terus melakukan advokasi dengan pihak berwenang Bangladesh untuk mengizinkan jalan yang aman bagi orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan," harap UNHCR.

Memblokir Bala bantuan

Anuwar adalah mahasiswa semester II jurusan Fisika, Univesitas Sittwe. Ia mesti segera pulang ke Tumbru, Maungdaw, sesudah kerusuhan. Desanya dibakar habis oleh milisi Buddha dan militer Myanmar; beberapa anggota keluarganya dibunuh dan nasibnya tak jelas entah kemana.

Lewat akun Facebook, ia sering mengabarkan kondisi terbaru apa yang terjadi di Maungdaw. Sejak sepekan lalu, Anuwar berhasil memasuki Bangladesh.

"Saya sudah masuk Bangladesh setelah empat hari tertahan di perbatasan, doakan saya," katanya lewat pesan pendek kepada saya.

Sittwe adalah ibu kota Provinsi Rakhine, letaknya 100 kilometer ke arah tenggara dari Maungdaw. Di Sittwe, Anuwar sering bekerja membantu beberapa LSM internasional untuk "menyelundupkan" bala bantuan ke daerah utara Rakhine. Selama ini, daerah-daerah seperti Maungdaw, Buthidaung, Zawmadar, dan Al le Than Kway, memang minim bala bantuan dari luar.

Kata Anuwar, daerah utara Rakhine berstatus wilayah pemukiman, berbeda dari kawasan Sittwe yang ditetapkan junta militer sebagai kawasan pengungsi.

Saat ini di Sittwe terdapat lebih dari 20.000 hingga 25.000 kepala keluarga atau 130.000 - 150.000 pengungsi yang ditampung di dalam 15 kamp terpisah.

Saat konflik Rohingya meletus pada 2012 dan 2016, kerusuhan terpusat di sekitar Sittwe, yang makin menyuburkan kamp-kamp pengungsi baru.

"Selama ini bantuan dari dunia luar memang terpusat di Sittwe. Pemerintah jarang membukakan akses bantuan ke daerah lain," katanya.

Sejak 2016, kawasan utara Rakhine mulai memanas lantaran milisi Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) semakin aktif

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 melawan. Operasi militer kecil-kecilan sering dilakukan pihak militer.

Baca juga: ARSA dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar

Laporan pelanggaran kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Maungdaw dan Buthidaung acap kali terjadi, tetapi pemerintah Myanmar menutupi isu itu dengan mengisolir kawasan utara Rakhine dari sorotan LSM internasional. Mereka yang sempat ditolak masuk ke areal ini adalah perwakilan PBB dan Amnesty International pada awal 2017.

Beberapa LSM internasional mencoba mengakalinya dengan menyelundupkan bantuan secara sembunyi-sembunyi.

Menurut Anuwar, barang yang dibawa dari Sittwe biasanya dikawal oleh oknum militer yang bisa disogok.

"Kami harus menyogok para biksu dan pejabat militer untuk mendapatkan akses itu," tambahnya.

Terkadang koordinasi dilakukan dengan pemerintah lokal setempat, dan tentu saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

"Mereka biasanya akan mengizinkan jika 60-70 persen bantuan diserahkan kepada biksu juga. Di sana memang daerah miskin, dan yang membutuhkan memang tidak hanya etnis Rohingya," kata Anuwar lagi.

Sejak konflik meletus pada 25 Agustus lalu, seorang pejabat PBB kepada The Guardian menyebut rezim junta militer Myanmar telah memblokir semua badan bantuan PBB untuk memberikan pasokan makanan, air, dan obat-obatan penting kepada ribuan warga sipil yang putus asa di kawasan utara Rakhine.

Pergerakan beberapa LSM internasional pun dibatasi. Ini adalah ekses tudingan pemerintah yang menyebut beberapa LSM terlibat menyalurkan bantuan kepada “milisi pemberontak. “

"Kami mendesak semua pemangku kepentingan menghentikan penyebaran keliru yang tidak hanya memperburuk ketegangan, tetapi juga mengancam keselamatan dan keamanan pekerja bantuan kemanusiaan dan menghambat menyediakan layanan kemanusiaan," ujar asosiasi LSM internasional dalam keterangan pers.

"Kami meminta pemerintah Myanmar membuka kembali akses terhadap daerah yang terpapar dampak konflik," harap mereka.

Perlu Menyogok agar Bantuan Tersalurkan

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Setelah tiba di Bangladesh, Anuwar berjumpa dengan LSM internasional yang mempekerjakannya di Sittwe. Akses tertutup ke utara Rakhine membikin banyak LSM internasional kini mengalihkan operasinya ke perbatasan Bangladesh di Cox's Bazar, khususnya Kamp Leda dan Nayapara.

Dua kamp ini terletak di pesisir sungai Naf. Sungai inilah yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh. Ribuan muslim Rohingya nekat menyeberangi sungai agar bisa keluar dari teritori Myanmar. Banyak di antara mereka tewas ketika menyeberangi sungai Naf.

Lebih ke utara kamp lain adalah Kutopalong, Ukhia. "Saya di Kutopalong, dari desa saya di Tumbru tidak perlu menyeberangi sungai untuk bisa melintasi Bangladesh. Hanya jalur darat. Tapi lebih berbahaya kami yang tidak bisa sembarang menyeberang karena tentara Myanmar berjaga di perbatasan dan terkadang menembaki kami," kata Anuwar.

Di Kutopalong, ia sempat diminta kembali ke perbatasan bersama seorang staf lokal dari Bangladesh. Tugasnya memberikan sedikit bantuan makanan kepada mereka yang masih tertahan.

"Jumlahnya sedikit, tidak banyak, hanya satu atau dua karung. Dan isinya hanya makanan," ungkapnya.

Untuk bisa masuk tentu tidak mudah, karena meski menyogok tentara perbatasan, baik tentara Myanmar maupun tentara Bangladesh. “Biaya sogok terkadang lebih besar ketimbang barang yang kami bawa,” ujar Anuwar.

Apakah Dibuka Akses Membuat Bantuan Jatuh ke Tangan yang Tepat?

Dalam konteks konflik di kawasan utara Rakhine yang terjadi baru-baru ini, alur bantuan memang lebih difokuskan di perbatasan Bangladesh ketimbang lewat jalur Myanmar. Opsi ini dinilai lebih realistis agar bantuan bisa tepat sesuai sasaran. Pilihan inilah yang diambil oleh lembaga bantuan asal Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Wakil presiden senior ACT, Syuhelmaidi Syukur, mengatakan sejak akses ke utara Rakhine tertutup pada 2016, pihaknya mulai mengalihkan bantuan ke Bangladesh.

"Bukan berarti kami masuk ilegal ke Myanmar, toh di Bangladesh juga banyak pengungsi Rohingya, jumlahnya ratusan ribu," katanya kepada

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 saya di Jakarta.

Upaya untuk menembus Maungdaw sempat dilakukan pada 2016. Dan akses itu terbuka setelah diplomasi politik Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan pusat pemerintahan Myanmar di Naypyidaw. Sebelum berdiplomasi, Menlu Retno Marsudi terlebih dulu mengoordinasikan beberapa LSM yang sering mengirim bantuan ke Myanmar.

Namun, kata Syuhelmaidi, aliansi ini tidak berjalan optimal. Sebab, meski bisa menembus Maungdaw dan Buthidaung, akses yang diberikan militer tetap saja terbatas. Militer tetap mengawasi dan mengontrol alur distribusi bantuan.

"Kami enggak bisa memberi ke siapa yang ingin kami bantu. Kami ingin bantuan kami jatuh ke tangan yang betul-betul membutuhkan. Karena enggak maksimal, kami tidak terlibat lagi dan mengalihkan ke Bangladesh," ucapnya.

Direktur Eksekutif Burma Human Right Network (BHRN), Kyaw Win, kepada saya mengatakan bahwa biasanya distribusi bantuan internasional yang disalurkan lewat pemerintah terlebih dulu disortir.

"Hampir 40 persen bantuan untuk etnis Rakhine dan 60 persen untuk Rohingya. Namun, di saat genting seperti ini, militer menutup semua akses bantuan kepada Rohingya di seluruh provinsi Rakhine, tidak semata di kawasan utara saja," katanya.

Hal senada dikatakan Joserizal Jurnalis dari lembaga Mer-C. "Militer biasanya menyarankan bantuan diberikan kepada kedua belah pihak. Ada juga memang pengungsi Buddha, tapi jumlahnya teramat kecil dibanding Rohingya," ujarnya.

Ia mengatakan, alur bantuan ke Myanmar akan lebih mudah jika dilakukan secara legal—artinya lapor terlebih dulu ke pemerintah lokal dan militer. Pada beberapa kasus, banyak juga LSM internasional yang diusir.

"Kalau kami terang-terangan. Tampak muka dan lobi. Awalnya militer memang kaku, tetapi mereka juga bisa bercanda. Intinya, bantuan harus diketahui," ujar Joserizal.

Meski begitu, ujar Joserizal, biasanya militer akan terlibat langsung mengawal bantuan. Dan terkadang meminta bantuan diberikan kepada non-Rohingya.

Aliansi Bantuan dari Indonesia lewat Kemenlu

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Kementerian Luar Negeri pekan lalu membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Aliansi ini terdiri 11 lembaga kemanusiaan. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terlibat bersama dengan ACT, Rumah Zakat, Dompet Duafa, dan PKPU yang pernah lebih dulu menyalurkan bantuan ke Rohingya.

Ketika ditanya soal program AKIM, Syuhalmaedi dari ACT mengatatan belum tahu detailnya seperti apa. "Kami hanya diundang saja oleh Kemenlu," katanya.

AKIM disebut menjadi "kepanjangan tangan" Kemenlu dan pemerintah Indonesia untuk menyalurkan bantuan di Rakhine. Hubungan ini membikin LSM Indonesia akan semakin intens dengan junta militer.

Ali Yusuf, Ketua AKIM yang juga perwakilan LPBI NU, menyebut AKIM akan memiliki kelebihan tersendiri saat mengurus izin.

"Adanya AKIM jadi bisa lebih cepat, sekali izin 11 lembaga ini bisa langsung jalan," tuturnya kepada saya, kemarin (5/9).

Ketika ditanya soal pengawasan distribusi bantuan agar tepat sasaran dan tidak terfokus di Sittwe, Ali menampik kekhawatiran itu. Menurutnya, pemerintah Myanmar sudah sepakat bahwa mereka akan membuka akses seluas-luasnya di Sittwe dan Maungdaw.

"Itulah pentingnya diplomasi pemerintah. Kita manfaatkan," tambah Ali.

Kyaw Win dari BHRN berkata baru mendengar soal rencana dibukanya akses ke utara Rakhine. Ia paham ini adalah imbas positif dari pertemuan antara Menlu Retno Marsudi dan Aung San Suu Kyi. Namun, ia menilai, hal ini hanyalah “basa-basi politik.”

"Saya tidak yakin mereka akan mengizinkan bantuan masuk," ucapnya.

'Keberhasilan' diplomasi politik Indonesia untuk meminta dibukakan akses bantuan dan penghentian kekerasan disikapi penuh optimisme dan pesimisme oleh beberapa LSM internasional di Myanmar.

Mereka yang optimis mengharapkan Indonesia jadi pendobrak awal blokade bantuan kemanusiaan. Bagi yang pesimis, penerimaan Menlu Indonesia oleh Aung San Suu Kyi tidak akan mengubah apa pun.

Toh, jika pun diterima, belum tentu didengar; dan bila didengar, belum tentu dilakukan. Dan jika dilakukan, belum tentu pemerintah Myanmar serius melakukannya.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan menarik lainnya Aqwam Fiazmi Hanifan (tirto.id - Sosial Budaya)

Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan Editor: Fahri Salam

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 14

Ricuh, Demonstran Lempar Batu saat Protes di Kedubes Myanmar Muhammad Andika Putra, CNN Indonesia | Rabu, 06/09/2017 17:02 WIB Bagikan :

Sejumlah Ormas berdemonstrasi di depan Gedung Kedutaan Besar Myanmar menyikapi krisis Rohingya di negara tersebut. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi demonstrasi di depan Kedutaan Besar Myanmar menuntut dihentikannya kekerasan terhadap warga etnis Rohingya di negara tersebut, diwarnai dengan kericuhan atau aksi lempar batu oleh demonstran.

Kericuhan itu terjadi sekitar pukul 16.25 WIB. Kejadian ini bermula dari aksi massa yang membakar bendera Myanmar. Dalam situasi panas itu, koordinator aksi mendatangkan seorang warga yang diduga etnis Rohingya untuk berorasi di depan massa.

Dengan bahasa Indonesia seadanya, ia berorasi menceritakan kejadian di negara bagian Rakhine, tempat etnis Rohingya berdiam.

Orasi itu lantas membuat massa aksi menjadi tak terkendali. Sebagian massa kemudian melemparkan batu ke Kedubes Myanmar. Pagar berduri di ring dua juga berhasil dirobohkan. Aparat bertindak cepat dengan menghalau massa untuk bergerak lebih dekat dengan pagar pembatas terakhir.

Keadaan dapat terkendali setelah koordinator aksi meminta massa untuk kembali tenang dan mengendalikan diri.

Belum diketahui korban akibat aksi lempar batu tersebut. Namun, polisi saat ini terlihat lebih siaga. Petugas berseragam anti huru hara berdiri berjejer menghadap massa. Mobil water cannon siaga tak jauh dari mereka.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Demo tersebut berlangsung sejak menjelang siang hari. Awalnya, aksi yang melibatkan sejumlah organisasi masyarakat itu meminta kepolisian untuk menurunkan bendera Myanmar diturunkan.

Mereka menilai bendera Myanmar tidak pantas berkibar di Indonesia setelah genosida yang dialami etnis Rohingya di negara tersebut.

"Kepada Pihak kepolisian kami minta turunkan bendera (Myanmar) itu. Turunkan bendera itu sekarang juga," kata salah seorang orator dari atas mobil komando, Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (6/9). Lihat juga: Fahri Hamzah Minta TNI dan PBB Turun Tangan Bantu Rohingya

Pernyataan orator itu disambut meriah peserta demo. Peserta demo ikut berteriak meminta bendera yang berada dalam kawasan Kedutaan Besar Myanmar itu diturunkan.

Beberapa kali orator juga sempat mengritik kepolisian lantaran pengamanan aksi yang dianggap berlebihan. Selain itu, demonstran menyanyikan yel-yel anti Myanmar. Bendera dari masing-masing organisasi kemasyarakatan dikibarkan sembari bernyanyi.

"Bantai bantai bantai Myanmar, bantai Myanmar sekarang juga"

"Usir usir usir Myanmar, usir Myanmar sekarang juga" Lihat juga: FPI Buka Pendaftaran Relawan saat Demo Kedubes Myanmar

Bertemu Pewakilan Kedubes Myanmar

Menjelang sore atau beberapa menit sebelum kericuhan, perwakilan demo bahkan berhasil bertemu dengan perwakilan Kedutaan Besar Myanmar.

Empat peserta aksi diterima oleh Wakil Duta Besar Myanmar untuk Indonesia Kyaw Soe Thien, di antaranya adalah Juru Bicara Front Pembela Islam Slamet Maarif dan Pembina Presidium Alumni 212 Kapitra Ampera.

"Kami minta, pertama Kedubes ini ditutup sementara. Kedua, bendera diturunkan. Ketiga, dia harus menghentikan segala bentuk kekerasan dan genosida yang dilakukan pemerintah," kata Kapitra usai pertemuan. Lihat juga: Pengungsi Berharap Jokowi Bantu Selesaikan Krisis Rohingya

Kapitra juga meminta pemerintah Indonesia bersikap tegas atas kekerasan yang terjadi pada etnis Rohingnya di Myanmar. Ia tak ingin kekerasan terus terjadi di Myanmar.

"Saya katakan mereka harus keluar dari sini karena kita tidak mau bersahabat dengan negara pemerintah yang punya hati serigala," kata Kapitra.

Perwakilan demonstran juga diterima oleh Kementerian Luar Negeri sekitar pukul

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 15.00 WIB. Pertemuan berlangsung sekitar 30 menit. Kapitra belum memberikan keterangan apapun terkait pembicaraan pihaknya dengan Kemenlu.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 ARTIKEL 15

FPI Klaim Ribuan Orang Mendaftar Siap Berangkat ke Myanmar Gloria Safira Taylor, CNN Indonesia | Selasa, 05/09/2017 10:50 WIB Bagikan :

FPI mengklaim ribuan orang telah mendaftar untuk diberangkatkan menjadi relawan di Myanmar. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) Jakarta, CNN Indonesia -- Front Pembela Islam (FPI) mengklaim ribuan orang di sejumlah daerah telah mendaftar sebagai relawan untuk dikirim ke Rakhine State, Myanmar. FPI akan memberangkatkan relawan untuk membantu dan meringankan beban etnis muslim Rohingya yang diburu militer Myanmar.

Kepada CNNIndonesia.com, Juru Bicara FPI Slamet Maarif merinci wilayah yang telah membuka pendaftaran relawan. Lihat juga: FPI Cari Relawan Siap Mati untuk Bantu Rohingya di Myanmar

Di Sumatera Utara, kata Slamet, ada sekitar 1.200 pendaftar, Pasuruan, Jawa Timur 600 orang, dan Jakarta 287 orang.

"Jadi teman-teman di daerah sudah ada tujuh wilayah membuka pos pendaftaran, tugas kami di DPP menyeleksi sekaligus memberangkatkan calon mujahid tersebut," ujarnya, Selasa (5/9). Lihat juga: Tutupi Pembantaian, Warga Sipil Myanmar Bakar Jasad Rohingya

FPI menentapkan empat syarat untuk pendaftaran relawan yakni mendapat izin orang tua, berusia di atas 20 tahun, memiliki kemampuan bela diri, dan terakhir menyatakan siap kemungkinan terburuk, meninggal di wilayah Rakhine, Myanmar.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

Slamet mengatakan, pendaftaran gelombang pertama akan ditutup pada Rabu (6/9). Setalah ditutup, FPI akan memberangkatkan relawan gelombang pertama.

"Untuk kapannya belum tahu karena harus koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan negara sebelah dan lainnya untuk koordinasi lebih dulu," ucapnya.

Slamet juga mengatakan, pembukaan pendaftaran relawan merupakan bentuk solidaritas umat muslim di Indonesia atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.

"Artinya, kalau tentara dunia internasional tidak bisa membantu saudara kami di sana, kami siap membantu apakah bentuk kemanusiaan, apakah negosiasi di sana atau angkat senjata sekalipun kami siap," tuturnya.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018 RIWAYAT HIDUP

CURRICULUM VITAE Audy Bernadus

[email protected]

PERSONAL INFORMATION

Currently Studying at : Universitas Multimedia Nusantara (UMN)

Student Number : 14140110111

Major Study : Communication Science

Specific Study : Journalism

Date and Birth Place : 7th September 1995 – Bandung, West Java, Indonesia

Contact : (mobile) 081809569696 – (Line ID) bernadusaudy

EDUCATION

 Elementary School : Sekolah Dasar Santa Angela, Jalan Merdeka Nomor 24, Bandung  Junior High School : Sekolah Menengah Pertama Santa Angela, Jalan Merdeka Nomor 24, Bandung

 Senior High School : Sekolah Menengah Atas Santa Angela, Jalan Merdeka Nomor 24, Bandung

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018

ORGANIZATION EXPERIENCE

 Served as Person In Charge (PIC) at Orientasi Mahasiswa Baru Konten Prodi FIKOM UMN 2015.  Committee of Miss UMN 2016, served in Security and Accommodation Division  Host of UMN TV’s programme “Enjoy Your Weekend Season 2” in 2016.  Committee of Jakarta World Forum 2016 which was held by Global Forum for Media Development (GFMD). Served in Informasion Desk Division.

ACHIEVEMENT

 Runner-up of Ulympic Futsal Competition, held by UMN Festival 2016.  Nominated for Best Piece Article at Ruang Indiependent for article “Sang Pendeta Pengusir Roh Jahat dari Bandung”, held by Compress UMN 2017.

Arnalisis Penerapan Jurnalisme..., Audy Bernadus, FIKOM UMN, 2018