ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT

ROFIQ SUNARYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ”Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Rofiq Sunaryanto NIM. F361070142 ABSTRACT

ROFIQ SUNARYANTO. Isolation, Purification, Identification, and Fermentation Medium Optimization of Antibiotic Produced by Marine Actinomycetes. Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, LIESBETINI HARTOTO, BAMBANG MARWOTO.

Isolation and purification of active compounds produced by marine actinomycetes has been carried out. Marine sediment samples were obtained from 3 different places in Banten West Coast, Cirebon North Coast, and Yogyakarta South Coasts. A total of 40 actinomycetes isolates were obtained 4 isolates were active against Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolates were active against Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolates were active against Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolates were active against Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolates were active against Candida albican BIOMCC00122, and 4 isolates were active against Aspergillus niger BIOMCC00134. A11 isolate showed the most active to Gram-positive and Gram-negative . Species identification using 16S rRNA gene sequencing showed that A11 isolate is sp. Elucidation of its molecular formula and structure using LC-MS, 1H NMR, 13C NMR, and 13C DEPT NMR showed the antibiotic was cyclo(tyrosyl-prolyl), molecule formula was C14H16N2O3 which has a melting point of 140 °C. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the antibiotic was determined against 4 bacterial test strains, namely Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, Staphylococcus aureus ATCC 25923, and Bacillus subtilis ATCC 66923, which were inhibited at 27, 69, 80, and 74 µg mL-1, respectively. Fermentation profile of Streptomyces sp. A11 showed a lag phase which occurred until 8 hours, a log phase from 9 until 48 hours and a stationary phase from 48 until 144 hours. The growth phase showed maximum specific growth rate -1 (μmax) of 0.04 hour and the rate of substrate conversion into biomass (Yx/s) of 0.6 gram biomass per gram substrate. The optimum temperature and pH of cyclo(tyrosyl-prolyl) fermentation were 30 °C and 6.5-7.5, respectively. Optimum composition of fermentation medium was determined with three independent variables: dextrin as a carbon source, peptone as nitrogen source, and a mixture of mineral salts using Response Surface Methodology. The results showed that the three variables significantly affected the activity of cyclo(tyrosyl- prolyl). Peptone gave the strongest effect compared to dextrin and mineral salts. Interaction was found between dextrin and peptone. On the contrary, no interaction was observed between peptone and mineral salts, and between dextrin and mineral salts. Using a mathematical model, the most optimum composition of the medium were found to be dextrin (32.55 g L-1), peptone (11.22 g L-1), and mineral salt (8.65 mL), in which 51.54 g L-1 cyclo(tyrosyl-prolyl) was produced. Verification of the model in laboratory showed the cyclo(tyrosyl-prolyl) activity to be 50.04 mg L-1. Thus, the difference between the result of the experiment and the expected response value was 2.9%.

Keywords: marine actinomycetes, antibiotic, Streptomyces, cyclo(tyrosyl-prolyl). RINGKASAN

ROFIQ SUNARYANTO. Isolasi, Pemurnian, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut. Dibawah bimbingan TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, LIESBETINI HARTOTO, BAMBANG MARWOTO

Kebutuhan antibiotik, anti fungal, maupun anti kanker baru masih sangat diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri resisten, virus, protozoa, fungi atau kanker. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan berbagai cara seperti eksplorasi senyawa aktif dari mikroba, tumbuhan, maupun sintesis secara kimia. Salah satu mikroba yang banyak diteliti untuk diambil senyawa aktifnya adalah aktinomisetes. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki bentangan laut yang luas, kurang lebih 3,1 juta km2 atau hampir 2 kali lipat dibandingkan luas daratannya. Karakteristik laut yang bermacam-macam mengindikasikan biodiversitas hayati yang besar, khususnya biodiversitas mikroba laut. Namun demikian potensi ini belum banyak dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibiotik dan memproduksinya dalam skala laboratorium yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut melalui isolasi, penapisan, pemurnian, identifikasi dan optimasi medium fermentasi. Telah dilakukan isolasi dan penapisan aktinomisetes laut yang mampu menghasilkan senyawa antibakteri. Sampel sedimen laut diambil dari 3 tempat berbeda yaitu di Pantai Barat Banten, Pantai Utara Cirebon, dan Pantai Selatan Yogyakarta. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman sampel serta penambahan sikloheksimid 100 μg mL- 1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, dan rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan bakteri dan kapang kontaminan. Total hasil isolasi diperoleh dari sampel sedimen laut sebanyak 40 isolat aktinomisetes. Penapisan dengan menggunakan 6 macam mikroba uji diperoleh 4 isolat yang mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat menghambat Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat menghambat Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolat menghambat Candida albican BIOMCC00122, dan 4 isolat menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134. Isolat A11 menunjukkan isolat yang memiliki daya hambat paling kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif sehingga isolat tersebut dipilih untuk penelitian selanjutnya. Hasil identifikasi menggunakan 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat A11 adalah Streptomyces sp. (homology 100%) kelas , ordo Actinomycetales, famili , dan genus Streptomyces. Fermentasi isolat A11 dilakukan selama 144 jam dengan menggunakan medium khamir-pepton. Dari kaldu fermentasi diperoleh bobot kering sel, ekstrak sel dengan metanol, dan ekstrak supernatan dengan etil asetat berturut-turut sebanyak 4,73 g L-1, 2,72 g L-1, 0,33 g L-1. Hasil uji aktivitas antimikroba (bioassay) menunjukkan bahwa ekstrak aktif hanya terjadi pada ekstrak supernatannya saja, hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif dihasilkan secara ekstraselular. Ekstrak supernatan yang terbukti memiliki aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif, selanjutnya dilakukan elusidasi struktur molekulnya. Hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 -1 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol , rumus molekul C14H16N2O3. Hasil elusidasi struktur molekul menggunakan 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR diketahui senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 adalah siklo(tirosil-prolil). Senyawa aktif ini memiliki titik leleh sebesar 140 oC. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan menggunakan 4 mikroba uji dengan metode difusi agar kertas cakram. Hasil percobaan menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 memiliki MIC terhadap Escherichia coli ATCC 25922 sebesar 27 μg mL-1, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 sebesar 69 μg mL-1, Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 80 μg mL-1, and Bacillus subtilis ATCC 66923 sebesar 74 μg mL-1. Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. menunjukkan fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai dengan jam ke-48, dan fase stasioner terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai dengan jam ke-144. Pada fase pertumbuhan cepat -1 (fase logaritma) laju pertumbuhan maksimum (μmaks) sebesar 0,04 jam dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) sebesar 0,6 g biomassa per massa substrat. Senyawa aktif diproduksi setelah memasuki fase stasioner yaitu mulai jam ke-60 yang menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan tergolong dalam metabolit sekunder. Penentuan suhu optimum pada proses fermentasi untuk menghasilkan siklo(tirosil-prolil) dilakukan dalam rentang suhu 26 sampai dengan 34 °C. Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu 30 °C merupakan suhu terbaik untuk proses fermentasi siklo(tirosil-prolil). Penentuan pH optimum proses fermentasi siklo(tirosil-prolil) dilakukan pada rentang pH 4 sampai dengan pH 8. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kisaran pH 6,5 sampai dengan pH 7,5 adalah kisaran pH terbaik untuk proses fermentasi siklo(tirosil-prolil). Optimasi medium fermentasi dilakukan dengan menggunakan Response Surface Methodology. Variabel bebas yang digunakan adalah dekstrin sebagai sumber karbon, pepton sebagai sumber nitrogen, dan mineral. Respon yang ditentukan adalah konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas yang digunakan dalam proses optimasi medium fermentasi ini menunjukkan pengaruh nyata terhadap siklo(tirosil-prolil). Model matematik yang diperoleh dalam optimasi medium fermentasi ini menghasilkan variabel bebas optimum sebagai berikut; konsentrasi dekstrin, pepton, dan mineral berturut-turut sebesar 32,55 g L-1, 11,22 g L-1 dan 8,65 mL, dengan dugaan respon yang diperoleh sebesar 51,54 g L-1. Hasil validasi model yang dilakukan di laboratorium menunjukkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan pada proses fermentasi selama 144 jam sebesar 50,04 g L-1. Perbedaan respon dugaan yang diperoleh dari model dengan nilai hasil percobaan sebesar 2,9% menunjukkan bahwa model yang digunakan telah sesuai.

Kata kunci: aktinomisetes laut, antibiotik, Streptomyces, siklo(tirosil-prolil).

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. i ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT

ROFIQ SUNARYANTO

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

ii HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut Nama Mahasiswa : Rofiq Sunaryanto NIM : F361070142 Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS. Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA Ketua Anggota

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Dr. Bambang Marwoto., Apt, MEng Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

Tanggal Ujian: 28 Juli 2011 Tanggal Lulus : ………………………

Ujian tertutup pada : Hari/tanggal : Kamis, 9 Juni 2011 Penguji luar komisi pada ujian tertutup: : Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MS (Dosen Pengajar Departement Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor) : Dr. Ir. Dyah Iswanti Pradono. M.Agr (Dosen Pengajar Departement Kimia, Institut Pertanian Bogor)

Ujian terbuka pada : 28 Juli 2011 Hari/tanggal : Kamis, 28 Juli 2011 Penguji luar komisi pada ujian terbuka : : Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian) : Dr.Ir. Listyani Wijayanti (Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)

iii KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya karya ilmiah yang berjudul “Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, Dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik Yang Dihasilkan Oleh Aktinomisetes Laut” berhasil diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi program doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang telah dilakukan selama 3 (tiga) tahun bertujuan secara umum untuk mendapatkan senyawa aktif yang memiliki sifat antibakteri atau antifungi yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA, Bapak Dr. Bambang Marwoto, M.Eng dan Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Machfud, MS sebagai Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan saran pada proses penyelesaian penulisan disertasi ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Deputi Kepala Bidang Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, dan Kepala Seksi Bioteknologi Industri Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan studi S3 dan memberikan fasilitas penelitian untuk disertasi penulis. Demikian juga penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di Laboratorium Mikrobiologi, Teknologi Gen, Proses Hilir, dan Laboratorium Analitik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mercian Co.Jp dan segenap penelitinya yang telah membantu dalam proses analisis menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, dan DEPT 13C NMR. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Teknologi industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan peran serta dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua penulis Ibunda Hj. Sudarti dan Bapak Sutarto (Alm) yang selalu memberikan semangat dan dorongan kepada penulis, demikian juga istri tercinta dr.Eni Dwijayanti, MKM dan anak-anak penulis Aqila Luthfiana Sarastya dan Athala Farrastya Kamil yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dalam penyelesaian studi penulis. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih mempunyai keterbatasan. Kritik dan saran penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan, dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011

Rofiq Sunaryanto NIM. F361070142

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Kidul pada tanggal 25 September 1971 dari ayah Sutarto (Alm) dan Ibu Hj. Sudarti. Penulis merupakan anak ke-5 dari lima bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UMPTN di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. Pada bulan Januari 1997 penulis diterima sebagai pegawai negeri di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan ditempatkan di Pusat Pengkajian dan Penerapan Bioteknologi. Pada Tahun 2000 penulis mendapatkan beasiswa dari STAID untuk melanjutkan studi program S2. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan studi program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi S2 di Teknologi Industri Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan beasiswa dari Islamic Development Bank untuk melanjutkan studi S3, dan mengambil studi di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Semenjak mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Cabang Jakarta. Beberapa seminar nasional dan internasonal yang telah diikuti (sebagai pemakalah) selama studi di S3 antara lain; Bandung International Conference on Medicinal Chemistry yang diselenggarakan oleh Fakultas Farmasi Institut Teknologi Bandung pada tahun 2009, National Indonesia Congress 10th Society for Microbiology an International Symposia yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia di Surabaya pada tahun 2009, Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan I yang diselenggarakan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) pada tahun 2009, Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan II yang diselenggarakan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) pada tahun 2010, seminar internasional “Society for Microbiology an International Symposia” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia pada tahun 2010 di Bogor, seminar internasional “The 4 th International Seminar of Indonesian Society for Microbiology and IUMS-ISM Outreach Program on Food Safety” dengan tema“ Indonesian Microbial Resources: Diversity and Global Impact” yang diselenggarakan oleh Indonesian Microbiology Society (IMS) dan International Union of Microbiological Societies (IUMS), tanggal 22-24 Juni 2011 di Denpasar Bali. Seminar Internasional “5th Conference of AASP (Asian Association of Schools of Pharmacy), yang diselenggarakan oleh sekolah farmasi Institut Teknologi Bandung dan AASP tanggal 16-19 Juni 2011. Beberapa karya ilmiah telah dipublikasikan di jurnal terakreditasi. Penulis pernah mendapatkan The Best Author dalam Seminar Internasional Perhimpunan Mikrobiologi yang diselenggarakan oleh PERMI Indonesia pada tahun 2010 di Bogor dan The Best Poster dalam Seminar Internasional “5th Conference of AASP (Asian Association of Schools of Pharmacy)” pada tanggal 16-19 Juni 2011. Karya-karya ilmiah yang telah dipublikasikan dan dipresentasikan dalam seminar nasional dan internasional merupakan bagian dari program S3 penulis. KARYA ILMIAH YANG TELAH DIPUBLIKASI DI JURNAL TERAKREDITASI;

Isolasi Penapisan Aktinomisetes Laut Penghasil Antimikroba. Indonesia Journal of Marine Science (IJMS). Volume 14 No.2. Juni 2009, halaman 98-101. Diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro.

Isolation and Characterization of Antimicrobial Substance from Marine Streptomyces sp. Journal of Microbiology Indonesia. Volume 4. No.2. Agustus 2010, halaman 84-89. Diterbitkan oleh The Indonesian Society for Microbiology.

Antibiotic Compound from Marine Actinomycetes (Streptomyces sp. A11); Isolation and Structure Elucidation. Indonesia Journal of Chemistry, Volume 10. No. 2. July 2010, halaman 219-225. Diterbitkan oleh Department of Chemistry, Universitas Gadjah Mada.

Isolasi dan Elusidasi Struktur Kimia Antimikroba yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut (senyawa aktif Madumycin I oleh isolat A32), halaman 11-18. Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Volume 5 No. 1 Juni 2010.

Cyclo(tyrosyl-prolyl) Produced by Streptomyces sp.: Bioactivity and Molecular Structure Elucidation. Journal of Microbiology Indonesia. Accepted. Diterbitkan oleh The Indonesian Society for Microbiology.

iv DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL.……..………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN….…………………………………………… ii KATA PENGANTAR ……………………………………………………... iii DAFTAR ISI...... ……..……………………………..…………………… iv DAFTAR TABEL ...……..………………………………………………… v DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vi DAFTAR LAMPIRAN ….………………………………………………… vii

I PENDAHULUAN...……………………………………………...... 1 I.1. Latar Belakang Masalah………..……...... ………………………… 1 I.2. Tujuan Penelitian ……………...……...…………………………… 4 I.3. Hipotesis …………………………...... …………………………...... 5 I.4. Ruang Lingkup Penelitian...... …….……………………………… 6

II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..... 7 II.1. Aktinomisetes.………....…………………………………………... 7 II.2. Isolasi Aktinomisetes ...... 9 II.3. Antibiotik .…………………...... 13 II.4. Metabolit Mikroba ………………………………………...... 14 II.5. Pertumbuhan Mikrobial …………………………………………… 16 II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA ...... 21 II.7. Response Surface Methodology ...... 23

III METODOLOGI PENELITIAN .....……………………………………. 29 III.1. Kerangka Pemikiran…………………………………………...... 29 III.2.Tempat dan Waktu Penelitian ………………….……………...... 32 III.3. Bahan dan Peralatan Penelitian ...... 33 III.4.Tahapan Penelitian .……………………………………………….. 34 III.4.1. Pra-perlakuan Sampel dan Isolasi Aktinomisetes...... 36 III.4.2. Kultur Vegetatif dan Fermentatif pada Proses Penapisan dan Penggandaan Skala Untuk Preparasi Ekstrak Fermentasi ...... 37 III.4.3. Uji Aktivitas Antimikroba (Bioassay) ...... 38 III.4.4. Analisis Sekuen Gen 16S rRNA...... 39 III.4.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Aktif Kaldu Fermentasi ...... 39 III.4.7. Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif ...... 40 III.4.8. HPLC Preparatif...... 40 III.4.9. HPLC Analitik ...... 41 III.4.10. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)….. 41 III.4.11.Penentuan Kurva Pertumbuhan Mikroba pada Fase Vegetatif ....…………………...... 42 III.4.12.Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp.A11 ...... 42 III.4.13.Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi ...... 43 III.4.14.Proses Optimasi Medium Fermentasi ...... 44

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .....………………………...…………. 49 IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes ..……...... 49 IV.2. Isolasi Aktinomisetes ...... ……...... 52 IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba ...... 53 IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan Oleh Streptomyces sp.A11 ...... 59 IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa Aktif Siklo(tirosil-prolil) ...... 66 IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp A11 ...... 68 IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp.A11...... 69 IV.8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi ... 74 IV.9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi ...... 78 IV.10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi ... 85 IV.11. Penentuan Mineral Terbaik untuk Produksi Siklo(tirosil-prolil).. 90 IV.12. Optimasi Medium Fermentasi ...... 92 IV.13. Formulasi Medium dan Validasi Model ...... 105

V KESIMPULAN DAN SARAN ...... 107 V.1. Kesimpulan ...... 107 V.2. Saran ...... 108

DAFTAR PUSTAKA ….…………………………………………….. 111 LAMPIRAN …………………………………………………………. 121 v DAFTAR TABEL

Halaman

1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui...... 14

2 Komposisi mineral yang digunakan dalam medium fermentasi ...... 45

3 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium..... 46

4 Matrik Central Composite Design yang mengandung 20 percobaan dengan 3 faktor variabel percoban dalam kode unit...... 47

5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes……………. 50

6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba...... 55

7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11 ...... 58

8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menujukkan posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya ...... 66

9. Konsentrasi hambatan minimum (MIC) siklo(tirosil-prolil)...... 67

10. Aktivitas antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon...... 82

11. Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) 87

12. Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir.... 89

13 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium..... 93

14 Data hasil percobaan optimasi medium kultivasi Streptomyces sp.A11 menggunakan rancangan model komposit terpusat (CCD) ...... 93

15 Jumlah kuadrat beberapa model yang dicobakan untuk proses optimasi medium fermentasi ...... 94

16 Data hasil analisis beberapa model yang dicobakan dalam optimasi medium fermentasi...... 94

17 Model koefisien regresi pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil)...... 95

18 Analisiskeragaman pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil) ...... 96

vi DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi miselium Streptomyces ...... 9

2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner ………. 18

3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik ...... 19

4 Tahapan penelitian isolasi, skrining, identifikasi, dan karakterisasi aktinomisetes ...... 34

5 Aktivitas dan ruang lingkup penelitian ...... 35

6 Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 ...... 56

7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp...... 57

8 Daya hambat senyawa aktif terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 ...... 58

9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan dan biomassa yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ...... 59

10. Kromatogram analisis HPLC senyawa aktif murni hasil isolasi dan Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi...... 60

11. Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ...... 61

12 Spektrum 1HNMR dan spektrum 13CNMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11...... 62

13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 ...... 63

14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11...... 64

15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 ...... 65

16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 ...... 69

17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11 ...... 71

18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ...... 75

19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ...... 78

20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat ...... 80

21 Pengaruh beberapa sumber karbon terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) .. 81

22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ...... 86

23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) ...... 88 24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat ...... 89

25 Biosintesis tirosin melalui transaminase p-hydroxyphenylpyruvate...... 90

26 Pengaruh campuran mineral terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ...... 91

27 Plot probabilitas normal galat model produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11...... 97

28 Plot urutan percobaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil- prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ...... 98

29 Plot nilai dugaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil- prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ...... 98

30 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan pepton ...... 99

31 Pola pengaruh dekstrin dan pepton terhadap produksi siklo(tirosil-prolil).. 101

32 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan mineral ...... 102

33 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh pepton dan mineral ...... 104

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kurva standar analisis HPLC untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil- prolil) …………………………………………………………………… 121

2 Metode penentuan konsentrasi gula reduksi ...... 122

3 Metode penentuan konsentrasi nitrogen total ...... 123

4 Metode penentuan bobot kering sel ...... 124

5 Penentuan nitrogen total dan bobot bahan dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimalisasi medium fermentasi ...... 125

6 Urutan nukleotida fragmen gen isolat terpilih (Streptomyces sp.A11) dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya ...... 126

7 Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji ...... 128

7a. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Escherichia coli ATCC 25922 ...... 128

7b. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ...... 129

7c. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 ...... 130

7.d Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 ...... 131

7.e Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Escherichia coli ATCC 25922...... 132

7.f Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ...... 133

7.g Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 ...... 134

7.h Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 ...... 135

8 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, dan bobot kering sel kultur vegetatif menggunakan isolat Streptomyces sp.A11 ...... 136

9 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, nitrogen total, berat kering sel, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada proses fermentasi menggunakan isolat Streptomyces sp.A11...... 137

10 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) ...... 138

10a. Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) ...... 138

10b. Penentuan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) ...... 139

11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan suhu fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan ...... 140

12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan pH awal medum fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan 141

13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis gula total sebelum dan sesudah fermentasi...... 142

13a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) ...... 142

13b Hasil analisis gula total dari beberapa sumber karbon sebelum dan sesudah fermentasi……………………………………………… 143

14 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis nitrogen total sebelum dan sesudah fermentasi...... 144

14a. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)...... 144

14b. Hasil analisis nitrogen total dari beberapa sumber nitrogen sebelum dan sesudah fermentasi ...... 145

15 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan mineral terbaik pada proses fermentasi siklo(tirosil-prolil)…………………………………… 146

16 Respon hasil percobaan optimalisasi proses produksi siklo(tirosil-prolil) menggunakan isolat Streptomyces sp.A11...... 147

17 Keluaran hasil analisis data menggunakan Design Expert 7 pada proses optimasi produksi siklo(tirosil-prolil)...... 148

17a. Keluaran model yang digunakan dan respon yang diperoleh dari Design Expert 7 ...... 148

17b. Keluaran design summary dan respon yang diperoleh dari Design Expert 7 ...... 149

17c. Keluaran hasil analisis fit summary dari Design Expert 7 ………. 150

17d. Keluaran hasil analisis variansi (ANOVA) dari Design Expert 7 ... 151

17e . Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan DesignExpert 7 … 152

18 Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses validasi model percobaan di laboratorium...... 153

I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan antibiotik, anti fungal, maupun anti kanker baru masih sangat diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri, virus, protozoa, fungi atau kanker. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan berbagai cara seperti eksplorasi senyawa dari bahan alam seperti mikroba, tumbuhan, dan hewan laut. Disamping itu para peneliti juga melakukan biotransformasi senyawa-senyawa tertentu dengan bantuan mikroba atau membuat derivat antibiotik semisintetik secara kimiawi. Pada saat ini sebagian besar antibiotik yang diperkenalkan dan beredar di pasaran merupakan antibiotik semisintetik yaitu senyawa induknya adalah produk alami (natural product), misalnya derivat penisilin (ampisilin, amoksisilin), sefalosporin (sefotaksim), kanamisin (amikasin, dibekasin) dan sebagainya. Keberhasilan ini telah mendorong para peneliti untuk membuat derivat kelompok antibiotik yang lain seperti makrolid, poliena antifungi atau antrasiklin anti-tumor. Menurut Pelaez (2006), 70 dari 90 antibiotik yang berada di pasaran dari tahun 1982-2002 adalah turunan dari antibiotik alami (natural product). Walaupun derivatisasi atau biokonversi menjanjikan antibiotik baru yang berguna, namun senyawa antibiotik baru yang alami masih terus dicari dan sangat diharapkan. Keberhasilan mendapatkan antibiotik baru dari sumber alami seperti metabolit sekunder dari mikroba telah menimbulkan asumsi bahwa mikroba merupakan sumber senyawa baru yang tidak pernah habis. Bahkan selain aktivitas antibiotik, metabolit mikroba juga menjadi sumber senyawa aktif farmakologis atau fisiologis yang berguna dibidang medis atau digunakan dalam pertanian (Omura 1986). Pada saat ini antibiotik masih memiliki nilai yang tinggi dan masih sangat dibutuhkan oleh manusia. Menurut Strohl (1999) ada beberapa alasan pentingnya eksplorasi antibiotik baru. Pertama: seiring dengan perkembangan metode pengobatan yang menggunakan berbagai macam antibiotik, telah menimbulkan kasus munculnya mikroba patogen yang resisten terhadap beberapa antibiotik 2

yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik tersebut. Sebagai contoh timbulnya mikroba patogen yang tahan terhadap penisilin, kasus Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE) khususnya Enterococcus faecium dan Enterococcus faecalis, dan β-lactam- resistant Streptococcus pneumoniae. Kedua: munculnya mikroba atau virus baru yang belum diketahui penyebabnya seperti HIV AIDS, ebola, SARS, flu burung, flu babi dan lain-lain. Ketiga: dalam beberapa kasus antibiotik yang memiliki aktivitas biologi yang sangat tinggi tetap mampu dilawan dan dikalahkan oleh bakteri patogen. Sebagai contoh kasus infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa pada seseorang yang menderita cystic fibrosis pernah menjadi permasalahan serius pada dunia kedokteran. Keempat: antibiotik memiliki keterbatasan pada sistem organ tubuh, yaitu pada kasus tertentu beberapa antibiotik memiliki sifat toksik terhadap salah satu organ yang peka terhadap antibiotik tersebut. Sebagai contoh pada kasus penggunaan gentamisin dan aminoglikosida akan dibatasi efektivitasnya karena mereka berhubungan dengan nephrotoxicity dan ototoxicity. Indonesia mempunyai keragaman hayati khususnya perairan yang sangat besar, termasuk didalamnya mikroba, tumbuhan maupun hewan. Kondisi wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan, maritim, dan iklim tropis yang mendukung, menjadikannya Indonesia kaya akan sumber daya hayati yang beragam. Dua pertiga wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kelecom (2002) biodiversitas mikroba laut sangat besar dan menjanjikan, hal yang sama disampaikan oleh Das et al.(2006), bahwa populasi mikroba laut sangat bervariasi, karakteristik mikroba yang hidup dipermukaan air laut, di dasar laut dalam, batu karang dasar laut, dan sedimen atau batu karang juga sangat bervariasi. Namun demikian sampai saat ini pemanfaatan keragaman hayati khususnya mikroba belum secara optimal dilakukan (Desriani 2003). Meskipun penelitian mengenai eksplorasi senyawa aktif dari aktinomisetes laut belum intensif dilakukan sepertihalnya aktinomisetes tanah, namun demikian ada sejumlah senyawa aktif baru yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut seperti Caprolactones, Chandrananimycins, Chinikomycins, Chloro-dihydroquinones, Frigocyclinone, Gutingimycin, Marinomycins (Lam 3

2006). Abyssomycin C yang merupakan antibiotik polisiklik poliketida dihasilkan aktinomisetes laut strain Verrucosispora (Riegdlinger et al. 2004). Abyssomycin C memiliki aktivitas mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif. Diazepinomicin yang dihasilkan oleh strain Micromonospora laut yang memiliki aktivitas antibakteri, antiperadangan, dan antitumor (Charan et al. 2004). Salinosporamide A merupakan senyawa lakton-γ-laktam yang diisolasi dari aktinomistes laut Salinispora tropical (Feling et al. 2003). Industri farmasi di Indonesia adalah terbesar dibandingkan dengan negara- negara di Asia Tenggara. Namun demikian sampai saat ini Indonesia belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan bahan-baku obat untuk industri farmasinya. Kurang lebih 90% bahan baku antibiotik yang dibutuhkan oleh industri farmasi di Indonesia masih diimpor dari Cina, India, Jepang, dan Amerika. Ketergantungan bahan baku antibiotik dari luar negeri berpengaruh terhadap kestabilan harga obat. Ketergantungan bahan baku obat dapat dikurangi dengan mendorong kemandirian ketersediaan bahan baku obat lokal khususnya antibiotik. Berdasarkan data Pharma Materials Management Clubs (PMMC) dalam PT.Data Consult (2004) nilai impor bahan baku obat pada tahun 2001 mencapai Rp.2,4 triliun dan naik 8,9% pada tahun 2003 menjadi Rp. 2,69 triliun. Menurut Demain (2000) pasar antibiotik di seluruh dunia mencapai US$ 30 milyar. Kebutuhan antibiotik di dunia merupakan urutan tertinggi dibandingkan bahan baku obat lainnya. Aktinomisetes merupakan kelompok mikroba penghasil antibiotik terbanyak. Sekitar 70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh aktinomisetes terutama Streptomyces, sehingga sasaran penapisan mikroba penghasil antibiotik ditujukan pada kelompok aktinomisetes (Alcamo 1996). Selain Streptomyces, penapisan juga diarahkan untuk mendapatkan anggota aktinomisetes yang lain, terutama aktinomisetes langka seperti actinoplanes, micromonospora, saccharopolyspora, actinomodura, dactylosporangium, dan sebagainya. Mikroba tersebut telah menghasilkan metabolit yang berpotensi termasuk antibiotik dan antitumor (Bardy 2005). Proses isolasi dan penapisan mikroba penghasil senyawa aktif merupakan proses yang menjadi kunci keberhasilan ditemukannya senyawa aktif baru. Pada 4

prinsipnya penapisan mikroba penghasil antibiotik terbagi dalam beberapa tahap, dan masing-masing tahap bertujuan mengeliminasi mikroba yang tak dikehendaki dan meningkatkan pertumbuhan organisme yang diinginkan, misalnya aktinomisetes. Menurut Cross (1982), ada 5 kriteria utama yang harus diperhatikan dalam proses isolasi dan penapisan mikroba, antara lain: (1) pemilihan target sampel, (2) komposisi medium isolasi, (3) perlakuan pendahuluan sampel, (4) kondisi inkubasi, (5) pemilihan koloni. Pada penelitian ini, telah dilakukan isolasi aktinomisetes laut dari beberapa lokasi di Pantai Anyer Provinsi Banten, Pantai Selatan Gunung Kidul, dan Pantai Utara Cirebon. Pemilihan ketiga lokasi ini didasarkan pada karakteristik pantai yang berbeda-beda. Diharapkan dari karakteristik pantai yang berbeda akan diperoleh mikroba dengan karakteristik yang berbeda pula. Aktinomisetes yang diperoleh selanjutnya pilih dengan cara penapisan (screening) aktivitas antibakteri dan antifungi. Proses optimasi fermentasi diperlukan untuk mendapatkan produktivitas senyawa aktif yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan optimasi medium fermentasi dalam labu kocok menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Optimasi medium dilakukan tiga variabel bebas yaitu sumber karbon, sumber nitrogen dan mineral.

I.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan senyawa aktif dari aktinomisetes laut yang berpotensi sebagai antibiotik. Tujuan ini secara spesifik dijabarkan sebagai berikut; • Mendapatkan beberapa isolat aktinomisetes yang berasal dari sedimen laut. • Mendapatkan isolat aktinomisetes yang berpotensi sebagai penghasil antibiotik. • Mendapatkan informasi struktur kimia antibiotik yang dihasilkan oleh aktinomisetes terpilih. 5

• Mendapatkan komposisi medium fermentasi yang paling optimum dan profil fermentasi untuk produksi antibiotik.

I.3. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Aktinomisetes laut dapat diisolasi dengan menggunakan medium starch- casein agar yang dikombinasikan dengan antibiotik dan perlakuan sampel. Aktinomisetes memiliki kemampuan untuk tumbuh pada medium dengan kandungan gula reduksi rendah. Hal ini dikarenakan aktinomisetes memiliki kemampuan menghidrolisis beberapa sumber karbon seperti pati menjadi glukosa yang dapat digunakan untuk metabolisme. Disamping itu aktinomisetes mampu bertahan terhadap beberapa antibiotik dengan konsentrasi tertentu dan kondisi pemanasan pada rentang suhu 60 °C sampai dengan 70 °C, serta tahan terhadap kondisi medium dengan pH rendah. Pada kondisi seperti ini bakteri kontaminan maupun kapang dapat ditekan pertumbuhannya dengan baik. 2. Pada proses fermentasi antibiotik dengan menggunakan isolat Streptomyces sp. A11, sumber nitrogen kompleks pepton dan kasein diduga mampu menghasilkan antibiotik golongan peptida lebih tinggi dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya. Pepton dan kasein memiliki kandungan asam amino yang dapat berfungsi sebagai sumber nitrogen dalam medium fermentasi sekaligus sebagai prekursor pada proses pembentukan antibiotik golongan peptida. Beberapa antibiotik peptida disintesis melalui lintasan penggabungan beberapa asam amino secara langsung yang sebelumnya terjadi proses aktivasi asam amino menggunakan peptida sintetase.

6

I.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Penentuan pra-perlakuan sampel dari sedimen laut untuk isolasi aktinomisetes. 2. Isolasi aktinomisetes dengan menggunakan medium starch agar yang dikombinasikan dengan antibiotik dan pra-perlakuan sampel. 3. Identifikasi aktinomisetes terpilih yang memiliki potensi penghasil antibiotik menggunakan 16S rRNA. 4. Pemisahan dan pemurnian senyawa aktif dari kaldu fermentasi yang meliputi ekstraksi menggunakan pelarut organik, pemurnian dengan kromatografi kolom dan HPLC preparatif. 5. Identifikasi struktur molekul senyawa aktif dengan menggunakan H1 NMR, C13 NMR, DEPT, Infra Red Spectrofotometry, dan LCMS. 6. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan profil fermentasi isolat terpilih. 7. Penentuan kombinasi konsentrasi sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral terbaik untuk optimasi medium fermentasi.

II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Aktinomisetes

Pada awalnya aktinomisetes digolongkan dalam kelompok fungi, sebab penampakan morfologi dan perkembangannya yang mirip dengan fungi yang dilihat dari miseliumnya, sehingga aktinomisetes juga disebut ray fungi (Kuster 1958). Namun demikian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, morfologi aktinomisetes lebih dekat dengan bakteri. Dilihat dari ukuran sel, spora serta miselianya aktinomisetes dikategorikan sebagai bakteri yang memiliki nukleod yang sama dengan bakteri. Chitin dan selulosa sebagai penyusun dinding sel fungi tidak terdapat pada aktinomisetes. Penyusun dinding sel aktinomisetes adalah polimer gula, gula amino, dan beberapa asam amino seperti halnya bakteri gram positif. Sensitifitas terhadap beberapa antibiotik menempatkan aktinomisetes termasuk dalam golongan bakteri gram positif. Aktinomisetes biasanya dipandang sebagai kelompok bakteri Gram-positif yang memiliki kandungan Guanin (G) dan Citosin (C) yang tinggi di dalam DNA-nya (>55%) dengan kemampuan membentuk cabang-cabang hifa pada tahap-tahap pengembangannya (Locci et al. 1983). Aktinomisetes memiliki morfologi yang sangat bervariasi, dari bentuk sel bulat/coccus (Micrococcus) dan rod-coccus cycle (Arthrobacter), bentuk hifa berfragmen (Nocardia, Rothia), sampai dengan jenis dengan miselium bercabang yang berbeda-beda (Micromonospora dan Streptomyces). Actinnobacteria, Actinoplanetes, Nocardioforms, dan Streptomyces memiliki filogenik yang berbeda dan heterogen. Aktinomisetes ada yang bersifat saprofit namun ada yang bersifat parasit atau bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan dan hewan (Goodfellow 1983). Aktinomisetes khususnya Streptomyces dikarakterisasi dengan pertumbuhan koloni yang spesifik. Koloni aktinomisetes bukan akumulasi dari kumpulan sel-sel tunggal dan seragam seperti halnya bakteri, melainkan bentuk masa filamen bercabang (Locci et al. 1983). Koloni yang tumbuh pada medium padat tersusun secara vegetatif dan dengan miselia berantena atau bersungut. Pada 8

koloni yang belum tumbuh miselianya, permukaan koloni terlihat mengkilap. Pada genus Streptomyces, miselium tumbuh secara luas menempel pada medium padat dan keseluruhan unit mudah diambil dengan kawat Ose (Cross 1982). Dilain pihak koloni yang dibentuk oleh Nocardia cenderung mudah terpisah setiap hifanya dan cenderung mudah pecah seperti tepung. Apabila miselium berkembang, permukaannya cenderung seperti tepung dan halus. Struktur, bentuk, ukuran dan warna dari koloni sangat bervariasi dan dapat berubah sesuai dengan kondisi kulturnya. Kebanyakan Streptomyces mengeluarkan bau yang khas seperti tanah. Asam asetat, acetaldehida, etanol, isobutanol, dan isobutil asetat sekarang ini sudah diidentifikasi sebagai aroma senyawa utama yang dihasilkan oleh Streptomyces. Bahkan hidrogen sulfida dipercaya berperan dalam pembentukan aroma tanah yang dikeluarkannya (Goodfellow 1983). Miselium vegetatif aktinomisetes berbentuk hifa non-septat yang panjang. Beberapa hifa membentang dan panjangnya lebih dari 600 μm, bercabang, melengkung/meliuk-liuk, dan cabangnya berbentuk monopodial. Miselium vegetatif memiliki karakteristik berwarna, seperti kuning, oranye, merah, hijau, coklat, atau hitam. Apabila terlarut dalam air, pigmen akan dikeluarkan dalam medium (Cross 1982). Beberapa jenis aktinomisetes memiliki miselium aerial. Miselium aerial merupakan bentuk dan struktur dari miselium vegetatif. Miselium aerial muncul dari substrat miselium dan menutupi seluruh koloni, sehingga terlihat seperti kapas atau tepung. Miselium aerial ada yang bersifat steril dan ada yang fertil. Hifa steril umumnya tipis dan menunjukkan tidak adanya pertambahan diameter. Hifa sporogenous awalnya tipis tetapi pada tahap akhir perkembangannya menjadi lebih tebal. Fertil aerial micellium mengandung sporosphores yang berbentuk panjang, lurus atau bengkok. Hifa pendek memberikan permukaan koloni yang mirip tepung, sementara hifa panjang menunjukkan permukaan menyerupai kapas. Karakteristik aerial micellium lain dari Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, oranye, lavender, biru, dan hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel” (Locci et al.1983). Bentuk aerial micellium yang dibentuk oleh Streptomyces disajikan dalam Gambar 1. 9

http://www.microbiologyprocedure.com/

Gambar 1 Morfologi aerial micellium Streptomyces

Spora tumbuh berawal dari ujung hifa sporogenous dan terbentuk oleh proses fragmentasi atau segmentasi. Pada proses fragmentasi sitoplasma pecah dan membentuk bagian-bagian kecil yang seragam, yang pada akhirnya lepas dan memisah dari dinding sel. (Cross 1982).

II.2. Isolasi Aktinomisetes

Isolasi mikroba dari alam merupakan tahap awal dalam penapisan metabolit mikroba seperti antibiotik. Biasanya tidak diketahui jenis dan jumlah mikroba dalam sampel tersebut. Pada prinsipnya tujuan isolasi mikroba yaitu untuk mendapatkan mikroba yang dikehendaki sebanyak-banyaknya (Morrelo 2002). Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik medium diperkaya dan sistem pengenceran. Misalnya sampel tanah atau air diencerkan sedemikian rupa, sehingga diharapkan pertumbuhan koloni tidak lebih 200 koloni per cawan petri. Suspensi tersebut dengan metode taburan spread plate diinokulasikan pada cawan petri yang mengandung medium diperkaya. Setelah diinkubasi, akan terlihat koloni-koloni pada cawan tersebut dan siap untuk diisolasi (Hogg 2005). Namun dalam praktek cara tersebut kurang efisien karena harus mengisolasi banyak mikroba yang potensinya belum jelas, sehingga para peneliti sudah membatasi jenis mikroba yang akan diisolasi. Biasanya tidak diinginkan isolasi semua mikroba yang ada dalam sampel, karena akan menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengeliminasi mikroba yang tak diinginkan. Ada beberapa contoh yang sering dilakukan oleh para peneliti, misalnya sampel tanah dikeringkan di udara pada suhu kamar selama 3 - 10 hari 10

tergantung dari kandungan airnya untuk mengurangi populasi bakteri (Hayakawa dan Hideo 1987). Untuk memperbesar kemungkinan isolasi aktinomisetes dari sampel air, misalnya Rhodococcus dan Micromonospora dapat dilakukan pemanasan sampel 55 °C selama beberapa menit (Goodfellow et al. 1988). Untuk mendapatkan Streptomyces telah digunakan medium khusus yaitu Medium International Streptomyces Project (ISP) (Horan 1999). Fungi dapat dihilangkan dengan menambahkan antifungi seperti nistatin atau sikloheksimid ke dalam medium, dan bakteri dapat dieliminasi dengan menambahkan beberapa antibiotik ke dalam medium. Selain itu parameter kondisi lingkungan juga harus diperhatikan seperti pH, suhu dan sebagainya. Sebagian besar bakteri lebih peka terhadap pH asam, sedangkan fungi lebih tahan terhadap rentang pH yang lebih lebar. Suhu inkubasi dapat meningkatkan isolasi mikroba yang dikehendaki, misalnya isolasi Thermoactinomyces dapat ditingkatkan dengan inkubasi 50-55 °C, Nocardia pada 25 °C, Streptosporangium pada 40 °C dan sebagainya. Isolasi anggota aktinomisetes pada umumnya menggunakan suhu inkubasi 28 – 30 °C. Aktinomisetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, aktinomisetes memerlukan bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan hidupnya dan beberapa jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan chitin. Bahkan Nocardia sp mampu memecah molekul organik yang tak lazim di alam seperti parafin, fenol, steroid dan pirimidin. Micromonospora mampu mendekomposisi pati, chitin, selulosa, glukosida, pentosan dan mungkin lignin. Atas dasar kemampuannya yang jarang dijumpai pada mikroba lain, maka para ahli telah mengembangkan medium isolasi yang hanya menguntungkan pertumbuhan aktinomisetes daripada mikroba yang lain. Medium tersebut seperti Arginine-Glycerol salt, Benedict, Collodial Chitin, Starch-Casein dan sebagainya (Cross 1982). Menurut Pisano et al. (1989) medium campuran pati dengan kasein sangat cocok digunakan untuk isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes mudah tumbuh dalam medium campuran pati dan kasein, namun demikian mikroba lain tumbuh lebih lama dibandingkan dengan aktinomisetes. Beberapa teknik perlakuan pendahuluan sampel juga telah digunakan peneliti untuk mendapatkan isolat aktinomisetes yang diinginkan. Sebagai contoh 11

teknik rehidrasi diterapkan pada sampel pada habitat air tawar yang akan menghasilkan banyak actinoplanete dan genus baru Cupolomyces. Spora aktinomisetes biasanya tahan terhadap proses pengeringan baik proses pengeringan kering atau basah. Pemanasan sampel pada suhu hangat mampu menekan pertumbuhan bakteri gram negatif yang sering mengganggu proses isolasi aktinomisetes (Pisano 1986). Cara lain untuk menekan perumbuhan bakteri gram negatif adalah dengan mengurangi water activity pada medium isolasi. Kelembaban pada permukaan agar dapat mendorong tumbuh dan menyebarnya bakteri Gram-negatif yang secara signifikan dapat menekan proses germinasi dan pertumbuhan aktinomisetes. Oleh karena itu cawan isolasi dan permukaan agar harus dalam kondisi kering pada saat menyebarkan sampel isolasi (Seong 2001). Beberapa spesies aktinomisetes lebih menyukai permukaan medium kering untuk proses germinasi dan pertumbuhan. Proses pemanasan dan pengeringan dengan kombinasi medium selektif akan mampu menghasilkan koloni aktinomisetes yang relatif banyak. Sentrifugasi diferensial juga dapat digunakan dalam proses pra-perlakuan sampel (Araujo 2008). Spora aktinomisetes juga tahan terhadap pemanasan kering sampai suhu 120 °C, sifat ini dimanfaatkan untuk perlakuan pendahuluan yang dapat menghilangkan sejumlah bakteri kontaminan (Takashi 2003). Spora aktinomisetes lebih sentisitif terhadap pemanasan basah, yaitu sampel tersuspensi dalam pelarut yang dipanaskan. Pemanasan sampel pada suhu 45-50 °C dapat digunakan untuk isolasi Streptomyces, pada suhu pemanasan 55 °C dapat digunakan untuk mengisolasi Rhodococcus, dan spesies yang lebih tahan pada pemanasan yang lebih tinggi lagi adalah Micromonospora yang dapat bertahan pada pemanasan 60-70 °C selama 30 menit. Perlakuan pendahuluan sampel secara kimia juga banyak dilakukan untuk mengisolasi aktinomisetes, misalnya penggunaan fenol, klor atau amonium kuartener. Metode pra-perlakuan ini biasanya juga mengurangi sejumlah aktinomisetes yang akan diisolasi (Goodfellow et al. 1988). Seong et al. (2001) telah melakukan modifikasi pra-perlakuan sampel untuk isolasi aktinomisetes dari tanah. Isolasi dilakukan dengan medium HHVA (Hair Hydrolysate Vitamin Agar) dan pra-perlakuan sampel dengan menggunakan 4 metode, yaitu dengan penambahan antibiotik, pemanasan kering (1 jam pada 12

suhu 100 °C), pemanasan basah (70 °C) selama 15 menit, dan udara kering selama 24 jam. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa hasil isolasi aktinomisetes dengan beberapa metode pra-perlakuan sampel tersebut menunjukkan hasil yang sangat bervariatif. Penggunaan senyawa antibakteri dan antifungi juga menentukan hasil isolasi aktinomisetes. Penggunakan senyawa antibakteri dapat memberikan efek mengurangi jumlah aktinomisetes yang akan diisolasi. Namun demikian cara ini dipandang sangat membantu menekan sejumlah bakteri dan kapang kontaminan, sehingga mempermudah proses isolasi dan pemurnian aktinomisetes. Kombinasi benzyl penicillin (5-10 μg mL-1) dengan asam nalidiksat (15 μg mL-1) dapat digunakan untuk mendapatkan Saccharothrix, novobiocin (25 μg mL-1) dan streptomycin (15 μg mL-1) dapat digunakan untuk mendapatkan isolat dari genus Glycomyces, dan dengan menambahkan vancomycin dapat digunakan untuk mendapatkan Amylocolatopsis. Hanka (1985) dapat menaikkan perolehan koloni Streptoverticillium dengan menggunakan medium agar yang mengandung oxytetracycline dengan metode filter membran yang dapat menghilangkan koloni bakteri nonmiselia. Salah satu faktor yang penting dalam proses isolasi dan fermentasi aktinomisetes adalah suhu inkubasi. Secara umum aktinomisetes tumbuh baik pada suhu 25 sampai dengan 30 °C. Namun demikian ada beberapa aktinomisetes yang tumbuh baik pada suhu 45 °C (Goodfellow et al. 1988). Isolasi aktinomisetes termofilik akan lebih mudah diisolasi dan dimurnikan dari bakteri kontaminan dibandingkan jenis mesofilik. Namun pada proses produksinya aktinomisetes termofilik akan membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk tetap menjaga panas yang lebih tinggi. Waktu inkubasi proses isolasi aktinomisetes pada cawan agar sampai dapat dilihat koloninya dengan mata telanjang kurang lebih selama 7 sampai dengan 14 hari. Masa inkubasi yang semakin lama biasanya dihindari oleh peneliti. Hal ini disebabkan pertumbuhan aktinomisetes yang lambat akan meningkatkan biaya produksi pada saat masuk dalam proses fermentasi. Namun demikian pertumbuhan aktinomisetes dapat dimodifikasi melalui medium pertumbuhan dan kondisi lingkungan yang digunakan (Cross 1982). 13

II.3. Antibiotik

Sejarah perkembangan penemuan antibiotik berawal dari penemuan oleh Fleming yang terus berkembang sampai sekarang. Sekarang ini telah ditemukan lebih dari 10.000 senyawa bahan alam yang dihasilkan dari mikroba. Tahun 1940 sampai dengan awal tahun 1950 merupakan tahun keemasan yaitu banyak ditemukan senyawa alam antibiotik yang berasal dari mikroba. Hampir semua antibakteri penting seperti tetrasiklin, sefalosporin, amiloglikosid, dan makrolida telah ditemukan pada tahun-tahun tersebut. Menurut Berdy (2005) pada tahun 1940 sekitar 10-20 antibiotik telah ditemukan, pada tahun 1950-an telah ditemukan 300-400 antibiotik, sekitar tahun 1960 ditemukan 800-1000 antibiotik, tahun 1970 telah ditemukan 2500, tahun 1980 telah ditemukan 5000, tahun 1990 telah ditemukan sekitar 10.000, dan tahun 2000 telah ditemukan sekitar 20.000 antibiotik. Antibiotik merupakan substansi yang dihasilkan oleh mikroba, dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba lain (Cross 1982). Setiap antibiotik mempunyai aktivitas penghambatan pertumbuhan hanya terhadap mikroba patogen spesifik, yang disebut spektrum penghambat. Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri, aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kurang lebih 70% antibiotik dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% dihasilkan oleh fungi dan 10% dihasilkan oleh bakteri. Streptomyces merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jenisnya (Berdy 2005). Distribusi senyawa aktif yang telah diketemukan sampai saat ini disajikan pada Tabel 1. Pada siklus hidupnya yang normal, mikroba akan tumbuh dalam medium yang sesuai dan menghasilkan jumlah sel maksimum. Setelah itu pertumbuhannya berhenti dan memasuki fase stasioner, dan selanjutnya masuk pada fase kematian terjadi kematian sel vegetatif (lisis) atau pembentukan spora. Pada fase stasioner sel-sel berhenti membelah dan metabolit sekunder mulai diproduksi. Metabolit sekunder sering diproduksi dalam jumlah besar dan kebanyakan disekresikan ke dalam medium biakan (Cross 1982). Sebagian besar antibotik merupakan metabolit sekunder, akan tetapi ada antibiotik merupakan metabolit primer, yaitu 14

antibiotik yang terbentuk selama fase pertumbuhan eksponensial, misalnya antibiotik polipeptida nisin.

Tabel 1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui. Sumber Jenis Senyawa Total Penggunaan Senyawa tidak antibiotik aktif lainnya senyawa pada manusia aktif aktif Bakteri 2900 900 3800 10-12 3000-5000

Aktinomisetes 8700 1400 10100 100-120 5000-10000

Fungi 4900 3700 8600 30-35 2000-15000

Total 16500 6000 22500 140-160 20000-25000

(Berdy, 2005)

Antibiotik dan produk alami (natural product) yang sejenis merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh hampir semua tipe makhluk hidup, seperti mikroba prokariotik, eukariotik, beberapa tumbuhan dan hewan. Kemampuan menghasilkan metabolit sekunder sangat bervariasi pada setiap spesies. Total jenis senyawa aktif yang dihasilkan oleh kelompok bakteri adalah sebanyak 3.800 atau 17% dari total senyawa aktif yang telah ditemukan. Aktinomisetes menghasilkan lebih dari 10.000 senyawa aktif, 7.600 dihasilkan oleh Streptomyces dan 2.500 dihasilkan oleh aktinomisetes langka (Berdy 2005)

II.4. Metabolit Mikroba

Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi 2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme primer yang terjadi dalam semua sel hampir semuanya memiliki kemiripan baik prosesnya maupun produk yang terjadi maupun fungsi biologisnya. Sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Metabolit sekunder merupakan produk spesifik dari setiap spesies (atau hanya ditemukan dalam bagian kecil dari spesies dalam 15

grup filogenik). Tanpa senyawa ini maka organisme akan berakibat menderita karena kurang dapat mempertahankan diri namun demikian tidak menyebabkan kematian secara langsung, contohnya antifungi, antibakteri, antikolesterol, enziminhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan melawan predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot et al. 2002; Bennett et al.1989; Luckner 1990). Konsep metabolisme sekunder pertama kali dikenal oleh Kossel 1891 (Haslam 1986; Seigler 1998). Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang berlebih. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai (Dewick 1997). Metabolit sekunder dihasilkan melalui jalur biosintesis metabolit primer. Jalur biosintesis metabolit sekunder lebih spesifik untuk setiap famili atau genus mikroba dan berhubungan terhadap mekanisme evolusi suatu spesies (Torssell 1997). Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer merupakan metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup, diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Metabolisme primer telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs, asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya merupakan kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua mikroorganime (Luckner (1990). Semua mikroba yang memiliki sistem jalur metabolisme yang sama akan menghasilkan senyawa metabolit primer yang sama pula. Berbeda halnya dengan metabolit sekunder, metabolit ini bukan merupakan metabolit dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya tetapi mendukung kelangsungan hidup suatu spesies untuk tetap hidup (Torsell 1997). Metabolit sekunder tidak memiliki peran dalam proses kehidupan dasar. Metabolit sekunder disintesis dari substrat yang dihasilkan oleh metabolit primer melalui lintasan metabolisme primer. Metabolit sekunder dalam tumbuhan biasanya dapat divisualisasi dari warna, bau, dan rasa yang dihasilkan dari senyawa kimia. Metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan obat, insektisida, pewangi dan lain-lain. 16

Ada beberapa metabolit sekunder khususnya antibiotik yang dihasilkan dari jalur biosintesis ini seperti antibiotik β-laktam (misalnya penisilin dan sefalosporin), antibiotik aminoglikosid (streptomisin), steroid (gibberelin), makrolida (tetrasiklin), aktinomisin, dan anthramisin.

II.5. Pertumbuhan Mikrobial

Kurva pertumbuhan mikroba secara curah yang ditumbuhkan dalam medium kimiawi dapat dibuat dengan pengaluran data jumlah sel atau biomassa terhadap waktu pertumbuhannya. Kurva pertumbuhan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase lag, fase eksponensial atau fase log, dan fase stasioner. Fase lag atau sering disebut juga fase adaptif, berlangsung segera setelah inokulasi pada medium nutrien dan merupakan periode adaptasi. Pada fase ini mikroba mengalami penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan dan substrat yang tersedia. Jumlah sel pada fase ini bisa tetap namun demikian massa sel bisa bertambah. Dapat pula terjadi fase lag yang panjang bila inokulumnya kecil, mempunyai daya tumbuh rendah, atau bila komposisi media propagasi sangat berbeda dengan media fermentasi. Panjang pendeknya fase lag sangat tergantung dari kemampuan adaptasi mikroba tersebut terhadap kondisi yang baru dan medium yang ada (Judoamidjojo et al.1992). Pada periode ini tidak terjadi peningkatan jumlah sel, sehingga dengan persamaan matematis dapat dituliskan sebagai berikut;

X = Xo = tetap dan rx = dx/dt = 0 Demikian pula laju pertumbuhan spesifik, μ adalah nol dx/dt. 1/x = μ = 0 Keterangan : X = konsentrasi selular (g L-1) Xo = konsentrasi selular pada t = 0

rx = laju pertumbuhan μ = laju pertumbuhan spesifik (Jam-1) Setelah fasa lag selesai, maka mulai terjadi reproduksi sel. Konsentrasi selular atau biomassa meningkat, dengan demikian dx/dt dan laju pertumbuhan spesifik meningkat. Fase log ditandai oleh suatu garis lurus pada plot semilog 17

antara ln X versus waktu. Ini adalah periode pertumbuhan seimbang atau kondisi mantap dengan laju pertumbuhan spesifik konstan. Sel mikroba membelah dengan cepat dan konstan sehingga jumlah pertumbuhan selnya mengikuti kurva logaritmik. Pada saat laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimum, maka terjadi pertumbuhan secara logaritmik atau eksponensial. Pada fasa ini keadaan pertumbuhan adalah mantap. Dengan laju pertumbuhan spesifik, μ tetap, komposisi selular tetap, sedangkan komposisi kimiawi medium biakan berubah akibat terjadinya sintesis produk dan penggunaan substrat. Pada fase eksponensial, laju pertumbuhan, dx/dt meningkat berbanding lurus dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal. Laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut (Stanbury dan Whitaker, 1984);

dX/dt = μm X...... (1) Dari persamaan (1) apabila dilakukan integrasi akan diperoleh persamaan sebagai berikut;

ln X1 = lnXo + μ t ...... (2) dari persamaan (2) maka laju pertumbuhan spesifik (μ) merupakan kemiringan kurva hasil pengaluran (plotting) ln X1 (konsentrasi biomassa) terhadap waktu (t). Pertumbuhan berbanding lurus dengan kerapatan selular mikroba,

rx = dx/dt = μm X …………………..…..(3) pada fasa ini : logX2 – log X1 = μm (t2-t1) ….……...…(4) μm maka X2 = X1 e (t2-t1) ……………………..(5) apabila pada saat Tg adalah X2 = 2X1 maka

Tg =ln2/μm = 0,69/μm …………………..(6) Tg = waktu penggandaan (waktu yang diperlukan untuk mendapatkan konsentrasi biomassa (X) menjadi dua kali konsentrasi awal (Xo) pada fasa eksponensial).

Pada beberapa titik laju pertumbuhan mulai menurun karena nutrisi dasar telah menjadi berkurang dan hambatan oleh adanya produk metabolik yang terakumulasi. Sel-sel tersebut selanjutnya akan mengalami transisi, sehingga laju pertumbuhan menjadi nol dan memasuki ke fase stasioner. 18

Fase stasioner akan terjadi setelah semua sel berhenti membelah diri atau bila sel hidup dan sel mati mencapai keseimbangan, yaitu dengan laju kematian. Namun meskipun pertumbuhan telah berhenti, mungkin saja masih dapat berlangsung proses metabolisme dan akumulasi produk dalam sel atau dalam kaldu fermentasi. Pada awal fase stasioner, konsentrasi konsentrasi biomassa mengalami maksimal. Fasa penurunan ditandai dengan berkurangnya jumlah sel hidup dalam medium akibat kematian yang diikuti autolisis sel oleh enzim selular. Beberapa kemungkinan yang terjadi apabila inkubasi tetap dilakukan, pertama massa sel total mungkin konstan, kedua masa sel hidup cenderung menurun, ketiga terjadi lisis sel dan masa sel menurun drastis atau sel hidup meningkat kembali oleh pertumuhan kriptik. Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner disajikan dalam Gambar 2.

Fase Fase Fase eksponensial stasioner lag a

b c

Keterangan : a.massa sel tanpa terjadi lisis biomassa Konsentrasi b.massa sel terjadi lisis, diikuti pertumbuhan kriptik c.jumlah sel hidup dengan terjadi lisis

waktu

Gambar 2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner (Wang 1979)

Berdasarkan kajian pertumbuhan mikroba, dapat ditentukan parameter pertumbuhan seperti koefisien konversi atau rendemen produktivitas.

Yx/s = Xf - Xo ……………………………..(7) So - S Keterangan: So : konsentrasi awal substrat S : konsentrasi substrat tersisa yang umumnya mendekati nol dan dapat

diabaikan dibandingkan nilai So apabila jauh lebih besar. 19

Nilai Yx/s dinyatakan dalam bobot sel kering per bobot atau mol substrat yang dikonsumsi (rendemen molekuler). Produktivitas (bobot biomassa yang dihasilkan per volume medium per jam) merupakan kriteria untuk mengevaluasi proses fermentasi. Produktivitas maksimal dicapai pada waktu tm dan konsentrasi Xm, sehingga;

Pm = Xm / tm ………..…….……(8) Bila produktivitas total dinyatakan sebagai berikut;

Pt = Xt / tt ………………………(9) Hubungan laju pertumbuhan mikroba (μ) dengan konsentrasi substrat (S) telah digambarkan oleh Monod berdasarkan analogi model kinetik enzimatik Michaelis Menten. Persamaan matematik hubungan laju pertumbuhan dengan konsentrasi substrat adalah sebagai berikut; μ = μ m S ………………...………(10) Ks + S

Ks merupakan konstanta penggunaan substrat yang menunjukkan afinitas mikroba terhadap substrat. Ks merupakan konsentrasi substrat pada saat μ = μm/2. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap laju pertumbuhan spesifik digambarkan pada Gambar 3. Berdasarkan model Monod, laju pertumbuhan (rx) dapat dinyatakan sebagai berikut;

r x = μ X = μ m S X ………….(11) Ks + S

Keterangan :

) a. Pembatasan oleh substrat -1 b.Tidak ada pengaruh oleh substrat c. Penghambatan oleh substrat berlebih

(jam μ a b c

-1 Substrat (g L )

Gambar 3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik (Wang et al.1979).

20

Pada kinetika pertumbuhan mikroba dalam kondisi keseimbangan kimiawi, pertumbuhan sel, pembentukan produk berkaitan erat dengan penggunaan hara atau substrat. Pada fermentasi curah, laju penggunaan substrat persatuan volume, secara sederhana berbanding lurus dengan laju pertumbuhan.

rs = 1/Yx/s (rx) karena rx = μX maka rs = μX / Yx/s

µ = dx/dt. 1/x

Yx/s adalah rendemen biomassa yang terbentuk persatuan substrat yang dikonsumsi. Bila pertumbuhan mikroba mengikuti model Monod, maka laju penggunaan substrat (rs) dapat dinyatakan sebagai berikut;

rs = 1/Y x/s μ m S X …..………(12) Ks + S

Hubungan kinetik pertumbuhan dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk di dalam metabolisme sel. Ada tiga pola kinetika yang umum dalam hubungannya pada kinetika pertumbuhan dengan pembentukan produk, yaitu: pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan, pola pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan, dan pola campuran antara pembentukan produk berasosiasi dan tak berasosiasi dengan pertumbuhan. Produk yang terbentuk dengan pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan pembentukan produk merupakan hasil langsung suatu lintasan katabolik atau disebut metabolit primer. Pada pola ini laju pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan laju pertumbuhan;

dp/dt = α dx/dt atau rp = Yp/x rx dan rp = dp/dt dengan Yp/x adalah rendemen produk yang dihasilkan per biomassa yang dihasilkan (g/g). Pada berbagai fermentasi, terutama yang menghasilkan metabolit sekunder seperti antibiotik, pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan, pembentukan produk biasanya terjadi pada akhir fase pertumbuhan. Laju pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular dan tidak pada laju pertumbuhan, sehingga ; rp = β x 21

Pada pola campuran antara pembentukan produk dan pertumbuhan, laju pembentukan produk berbanding terbalik dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan yang dinyatakan sebagai berikut; dp/dt = α dx/dt + β x atau 1/x dp/dt = α 1/x dx/dt + β atau rp/x = α μ + β …….(13) p = Konsentrasi produk x = Konsentrasi biomassa t = Waktu µ = Laju pertumbuhan spesifik α = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase logaritmik. β = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase logaritmik. Model ini disebut model kinetika Leudeking dan Piret (Mangunwidjaja dan Suryani 1994).

II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA

Identifikasi mikroba menggunakan metode molekuler dengan mendeteksi elemen genom (DNA dan RNA) merupakan salah satu teknik identifikasi yang akurat. Identifikasi secara molekuler banyak digunakan untuk mempertegas hasil identifikasi secara fenotip seperti identifikasi morfologi, maupun identifikasi secara biokimia. Identifikasi molekuler memiliki keunggulan lebih akurat, pengerjaannya lebih cepat, dan dapat digunakan untuk identifikasi mikroba yang tidak dapat dikulturkan (unculture). Prinsip dasar identifikasi secara molekuler adalah mendeteksi secara spesifik sekuen nukleotida pada genom mikroba, dan dihibridisasi menggunakan sekuen label komplementer berdasarkan pendeteksian (Iwen dan Peter, 2004). Identifikasi berdasarkan sekuen memerlukan pengenalan target molekuler untuk memberikan perbedaan banyaknya varietas mikroba. Beberapa area target genom yang sudah dikenal yaitu bagian gen 16S rRNA. Daerah 16S rRNA merupakan daerah terkonservasi pada mikroba prokariot dan memberikan ciri spesifik dari 22

tiap mikroba prokariot. Sehingga daerah 16S rRNA digunakan untuk mengklarifikasi makhluk hidup ke dalam kelompok yaitu archaea, bakteri, dan prokarya. Ribosomal RNA (rRNA) merupakan salah satu jenis molekul RNA yang unik disamping duta RNA (mRNA) dan transfer RNA (tRNA). RNA berperan dalam pembentukan kerangka ribosom yang merupakan organel penting dalam proses translasi RNA menjadi asam amino (Gick dan Pasternack 2003). Saat ini RNA telah banyak dijadikan sebagai sumber analisis filogenik dan pengklasifikasian makluk hidup. Hal ini disebabkan molekul rRNA bersifat homologi baik secara fungsional maupun evolusinya pada organisme yang berbeda (Broun-Howland et al. 1992). Tahapan dasar untuk identifikasi molekuler dengan menggunakan analisis sekuen adalah sebagai berikut; 1. Isolasi DNA atau RNA. Deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA merupakan bahan penyusun gen, yaitu penurun sifat yang meneruskan informasi dari induknya (Campbell et al. 2002). DNA terdapat di dalam inti sel terutama pada kromosom. Molekul DNA juga ditemukan pada organel-organel sel seperti sel pada mitokondria dan kloroplas. Ada beberapa tahapan dalam melakukan isolasi DNA, pertama isolasi jaringan, pelisisan dinding sel ekstraksi DNA, dan presipitasi. Presipitasi dilakukan untuk mengendapkan protein sehingga terpisah dari ikatan DNA. 2. PCR (Polymerase Chain Reaction). Reaksi polimerasi berantai atau lebih dikenal dengan PCR merupakan suatu metode amplifikasi fragmen DNA secara cepat dan dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar. Secara prinsip PCR merupakan proses berulang, setiap siklusnya dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu pertama tahap denaturasi yaitu DNA terputus dan membentuk DNA rantai tunggal, kedua tahap penempelan (annealing), yaitu primer menempel pada bagian DNA template yang berkomplementer urutan basanya, ketiga tahap amplifikasi, yaitu tahap penggandaan. Setelah tahap ketiga selesai, maka akan terjadi lagi secara berulang secara terus menerus. Tahapan ini terus berulang 20 sampai dengan 30 kali (Yuwono dan Triwibowo 2006). 23

3. Elektroforesis Gel. Elektroforeses gel merupakan suatu teknik untuk memisahan makromolekul (DNA atau protein) berdasarkan ukuran dan muatan listrik(Cambell et al. 2002). Setiap bakteri memiliki 16S rRNA yang merupakan suatu sub unit dari RNA ribosom. Gen 16S rRNA memiliki nukleotida yang relatif pendek yaitu sekitar 1500 bp. Munculnya pita (band) tunggal pada daerah 1500 bp, maka dapat diketahui bahwa gen 16 S rRNA telah diamplifikasi. 4. Sekuensing. Metode sekuensing merupakan metode pengurutan basa nukleotida pada DNA dan mendapatkan data berupa ukuran nukleotida dari fragmen DNA. Sekuensing DNA akan menghasilkan sekuen yang digambarkan sebagai untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA, yaitu ”A” (nukleotida berbasa adenin), ”T”(nukleotida berbasa timin, ”G”(nukleotida berbasa guanin, dan ”C”(nukleotida berbasa sitosin. (Campbell et al. 2002). 5. BLAST (Basis Local Aligment and Search Tool). Basis data merupakan kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan program komputer untuk memperoleh informasi basis data tersebut. Salah satu basis data untuk BLAST adalah NCBI yang merupakan Gen Bank. Data ini dapat dibuka melalui website http://www.ncbi.nih.nlm.gov yang dapat digunakan untuk membandingkan hasil gen yang telah disekuen.

II.7. Response Surface Methodology

Response surface Methodology (RSM) merupakan teknik statistik empiris yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan menggunakan data kuantitatif yang didapatkan dari percobaan-percobaan yang telah didesain dengan baik untuk menyelesaikan persamaan multi peubah secara simultan. Menurut Montgomery (1997), RSM adalah metode statistik yang menggunakan data kuantitatif dari desain penelitian yang sesuai untuk menentukan dan 24

menyelesaikan persamaan multivariabel secara simultan. Persamaan persamaan ini dapat ditampilkan secara grafis sebagai respon permukaan yang dapat digunakan dalam tiga cara, yaitu 1) untuk menggambarkan bagaimana faktor dapat mempengaruhi respon; 2) untuk menentukan hubungan inter-relasi antar faktor; dan 3) untuk menggambarkan efek gabungan dari respon seluruh faktor. Box et al. (1978) menyatakan bahwa RSM memiliki beberapa sifat menarik, diantaranya: (a) RSM merupakan suatu pendekatan sequensial. Hasil dari setiap tahapan akan memandu percobaan yang perlu dilakukan pada tahap berikutnya. Setiap tahapan pengulangan (iterasi) hanya memerlukan sejumlah kecil percobaan, sehingga menjamin peneliti terhindar dari percobaan yang tidak produktif; (b) RSM mengantarkan fokus penelitian dalam bentuk geometri yang dapat segara dipahami dengan mudah. Hasil RSM berupa ringkasan grafik dan plot-plot kontur merupakan suatu bentuk penyajian yang paling efektif dan mudah dicerna dibandingkan dengan persamaan-persamaan matematis; (c) RSM dapat diaplikasikan pada berbagai peubah. Box dan Draper (1987) menambahkan bahwa RSM telah terbukti sangat berguna dalam penyelesaian sejumlah besar problem dan dapat diaplikasikan dalam : (a) pemetaan permukaan dalam wilayah yang terbatas; (b) pemilihan kondisi operasi untuk mendapatkan spesifikasi yang diinginkan; dan (c) pencarian kondisi-kondisi yang optimal. Tampilan persamaan-persamaan ini dalam bentuk grafik disebut sebagai permukaan respon. Permukaan respon adalah bentuk geometri yang didapatkan jika suatu peubah respon diproyeksikan sebagai fungsi dari satu atau beberapa peubah kuantitatif (Mason et al.1989). Plot kontur adalah suatu seri garis atau kurva yang mengidentifikasi nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan. Plot-plot kontur ini dapat dibuat dengan beberapa cara. Jika fungsi respon cukup rumit, maka penyelesaiannya secara langsung dapat dilakukan dengan menghitung nilai-nilai respon pada jaringan nilai-nilai dari dua peubah uji. Sebagai ganti memproyeksikan titik-titik, nilai nilai numerik respon dapat diproyeksikan pada suatu grafik sebagai fungsi dari dua peubah; yaitu kedua aksis yang mempresentasikan nilai peubah uji dan nilai numerik respon yang dihitung pada titik potong kedua nilai peubah yang digunakan. Selanjutnya kontur dapat diperkirakan dengan menginterpolasikan antar nilai-nilai peubah respon. 25

Suatu model permukaan respon menggambarkan bentuk funsional suatu permukaan respon. Model-model permukaan respon dapat didasarkan pada pertimbangan teoritis atau empiris. Jika suatu model teoritis tidak dapat dinyatakan secara spesifik dalam suatu percobaan, maka model-model polinomial sering digunakan untuk memperkirakan permukaan respon tersebut. Polinomial kuadratik dapat memberikan perkiraan yang berguna untuk berbagai aplikasi. Model-model permukaan respon dan model-model regresi pada umumnya dapat disesuaikan dengan dua tipe data yakni data pengamatan dan data yang diperoleh dari percobaan yang terancang baik. Penyesuaian data pengamatan dengan model permukaan respon memiliki beberapa kelemahan potensial, antara lain : (a) umumnya terdapat problem yang berkaitan dengan kolinearitas antar peubah uji, (b) pengaruh peubah uji yang penting mungkin tidak dijumpai karena bervariasi dalam kisaran yang sangat sempit, (c) meskipun pengaruh yang signifikan teridentifikasi, namun penyebabnya tidak dapat dikonfirmasi karena peubah uji yang nyata dapat menjadi pengganti bagi peubah-peubah yang tidak diamati atau dikendalikan, (d) perlu upaya yang berlebihan berkaitan dengan galat data kasar, nilai-nilai yang hilang, dan periode pengumpulan data yang tidak konsisten. Sebagian problem yang berkaitan dengan data pengamatan diuraikan di atas untuk menekankan pentingnya rancangan secara statistik untuk memenuhi kriteria tujuan, pengaruh faktor, ketepatan, efisiensi, dan keteracakan. Sementara itu data yang diperoleh dari percobaan yang dirancang menggunakan rancangan komposit pusat dapat digunakan secara efisien dan memenuhi model permukaan kuadratik penuh. RSM juga merupakan metode yang mengeksplorasi hubungan dari masing-masing unsur dalam penelitian misalnya hubungan suatu hasil penelitian dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik optimasi RSM bekerja didasarkan pada proses atau siklus: pengetahuan, gagasan, analisis desain dan percobaan berulang. Jadi RSM merupakan teknik optimasi yang sangat berguna untuk investigasi proses yang kompleks. Adapun kegunaan teknik optimasi RSM adalah: 26

1. Dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang akan menghasilkan respon (peubah tidak bebas) yang diinginkan dan dapat menggambarkan bahwa respon mendekati optimum. 2. Dapat menentukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan fakto-faktor pada level tertentu. 3. Dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan spesifikasi yang diinginkan secara simultan. Response surface methodology (RSM) adalah kumpulan teknik matematik dan statistik yang digunakan untuk membentuk model dan menganalisis masalah dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk mengoptimalisasi respon ini (Box et al. 1978). Dalam banyak masalah RSM, bentuk hubungan antara respon dan peubah bebas tidak diketahui. Jadi langkah pertama adalah mendapatkan suatu pendugaan yang cocok untuk fungsi yang sebenarnya antara y dan himpunan bebasnya. Untuk pendugaan ini biasanya digunakan suatu polinomial orde rendah. Jika respon telah dimodelkan dengan baik oleh fungsi linier dari peubah bebasnya, maka fungsi yang diduga adalah model ordo pertama.

Y = β0 + βiXi + β2X2 + …….+ βkXk + ε ……………..………(14) Jika ada lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan orde yang lebih tinggi harus digunakan, seperti pada model orde kedua.

Y = β0 + ∑βiXi + ∑β2X2 + …….+ ∑βkXk + ε …………………(15) i= 1 i= 1 i< 1 Hampir semua persoalan RSM menggunakan salahsatu dari kedua model ini. Memang model polinomial ini bukan satu-satunya model untuk menduga hubungan fungsi sebenarnya, tetapi untuk wilayah yang relatif kecil maka model ini dapat digunakan dengan baik. Metode kuadrat terkecil juga dapat digunakan untuk menduga parameter dalam pendugaan polinomial. Analisis permukaan respon kemudian dibentuk menggunakan pengepasan permukaan. Jika pengepasan permukaan merupakan suatu pendugaan yang memadai dari fungsi respon yang sebenarnya, maka analisis dari pengepasan permukaan kira-kira sama dengan analisis sistem yang sebenarnya (Mongomery 1997). 27

Analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis permukaan respon yang pada dasarnya mirip dengan analisis regresi yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least square method), hanya saja dalam analisis permukaan respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum. Penentuan kondisi operasi optimum diperlukan fungsi respon orde kedua dengan menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan. 28

III METODE PENELITIAN

III.1. Kerangka Pemikiran

Aktinomisetes merupakan mikroba penghasil senyawa aktif terbanyak dibandingkan dengan bakteri ataupun kapang, baik itu senyawa aktif sebagai antimikroba, antikanker, antivirus, maupun antikolesterol. Eksplorasi senyawa aktif dari yang berasal dari mikroba, selama ini diambil dari sampel tanah (teristorial) atau dari tumbuhan. Namun demikian eksplorasi senyawa aktif dari biota laut seperti hewan, tumbuhan, dan mikroba laut belum banyak dilakukan. Aktinomisetes tersebar di lingkungan yang berbeda-beda. Pada daerah kondisi panas, misalnya di daerah yang bersuhu lebih dari 60 °C maka kemungkinan ditemukannya aktinomisetes thermofil menjadi lebih besar. Di daerah yang berkadar garam tinggi, akan banyak diperoleh jenis aktinomisetes yang tahan terhadap kadar garam tinggi. Menurut Lam (2006) peluang untuk mendapatkan senyawa aktif baru aktinomisetes laut masih sangat besar. Seperti halnya pada populasi aktinomisetes tanah, kondisi ekosistem laut juga berpengaruh terhadap jenis populasi aktinomisetes laut. Biodiversitas ekosistem laut sangat besar, seperti diketahui tingkat kedalaman laut, kadar garam, dan pertemuan arus laut berpengaruh terhadap populasi biota laut. Iklim suatu wilayah juga berpengaruh terhadap populasi mikroba. Sebagai contoh aktinomisetes yang hidup di daerah subtropik menunjukkan jumlah populasi aktinomisetes yang berbeda dengan daerah tropis. Populasi mikroba pada daerah tropis biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah subtropis. Diversitas aktinomisetes berkaitan erat dengan jenis metabolit sekunder yang dihasilkan, demikian juga habitat mikroba berpengaruh terhadap jenis metabolit sekunder yang dihasilkan. Dalam spesies yang sama, metabolit sekunder yang dihasilkan bisa saja berbeda-beda. Ekskresi metabolit sekunder oleh mikroba merupakan fungsi dari lingkungan mikroba itu berada, dan bukan merupakan fungsi dari biomassa sel mikroba. Semakin besar keragaman ekologi dalam habitat tertentu maka tingkat keragaman metabolit sekunder semakin tinggi. 30

Dengan demikian masih banyak peluang untuk mendapatkan senyawa aktif baru atau spesies baru yang berasal dari aktinomisetes laut. Penapisan dan isolasi senyawa aktif ditentukan oleh metode isolasi dan bioassay yang digunakan. Metode isolasi berkaitan dengan medium isolasi dan metode preparasi sampel, termasuk didalamnya metode pra-perlakuan sampel. Beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mendapatkan senyawa aktif potensial adalah sebagai berikut; • Dilakukan kombinasi beberapa medium isolasi dengan metode pra- perlakuan sampel. • Pengambilan sampel dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan yang berbeda-beda. • Pemilihan mikroba uji pada proses penapisan. Pada penelitian ini digunakan medium starch–casein agar yang dikombinasikan dengan penambahan antibiotik (anti bakteri dan antifungi) serta pra-perlakuan pemanasan dan pengasaman. Menurut Pisano et al. (1989) medium starch-casein sangat cocok digunakan untuk isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes mampu menghidrolisis pati menjadi glukosa dengan mudah dan cepat untuk proses pertumbuhannya. Di sisi lain mikroba kontaminan tumbuh lambat dalam medium pati tanpa penambahan glukosa. Medium starch-casein agar memiliki keunggulan warna medium agar yang putih. Hal ini memudahkan untuk mengamati hifa horisontal dan adanya zat pewarna yang dihasilkan oleh aktinomisetes. Selektifitas medium terhadap aktinomisetes dapat ditingkatkan dengan penambahan antibiotik dan pra-perlakuan untuk menekan bakteri dan fungi kontaminan. Setelah diperoleh isolat yang potensial untuk menghasilkan senyawa aktif tertentu, maka perlu dilakukan identifikasi mikroba. Disamping untuk mengetahui spesies isolat yang diisolasi, identifikasi juga mempermudah untuk merunut dan mempelajari sifat-sifat mikroba terpilih dengan membandingkan mikroba lain yang memiliki hubungan genetika terdekat. Identifikasi mikroba dapat dilakukan melalui analisis genetika dengan 16S rRNA. Metode ini memiliki keunggulan hasil identifikasi yang lebih akurat dibanding metode konvensional dan juga mempermudah merunut hubungan terdekat dengan mikroba target. 31

Disamping proses isolasi dan penapisan mikroba penghasil antibiotik, rekayasa proses produksi antibiotika merupakan tahapan yang penting. Teknologi proses produksi antibiotika mencakup optimasi medium fermentasi, optimasi kondisi fermentasi, penentuan profil fermentasi, dan proses hilir antibiotik. Profil fermentasi perlu dilakukan untuk mengetahui karakter mikroba yang digunakan, khususnya fermentasi yang menggunakan isolat-isolat wild strain. Dalam optimasi medium fermentasi, penentuan komposisi medium fermentasi menjadi hal yang penting untuk dipelajari. Komposisi medium ditentukan oleh pemilihan sumber karbon, sumber nitrogen dan mineral. Sumber karbon merupakan penyusun konstituen organik sel dan sumber energi. Sumber karbon merupakan bahan dasar sintesis polisakarida, protein, lipida, dan asam lemak. Kurang lebih 50% bahan utama penyusun sel mikroba berasal dari sumber karbon. Selain sebagai sumber energi dan penyusun sel, sumber karbon juga digunakan sebagai bahan penyusun senyawa metabolit. Jenis sumber karbon berpengaruh terhadap senyawa metabolit yang dihasilkan. Sedangkan nitrogen merupakan konstituen pembentuk protein, asam nukleat, koenzim, DNA, dan RNA. Jenis nitrogen juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan produk Mineral seperti K, Mg, Ca, Fe banyak digunakan sebagai kofaktor dalam reaksi enzim yang berkaitan dengan proses metabolisme.

Sedangkan mineral fosfat dalam bentuk K2HPO4 dan KH2PO4 banyak digunakan dalam pembentukan asam nukleat, fosfolipida, ATP dan sebagai buffer. Penambahan Fe dan Zn dapat meningkatkan produksi aktinomisin, kloramfenikol, neomisin, penisilin, dan patulin, serta penambahan mineral Mn mampu meningkatkan produksi basitrasin dan protease (Stanbury dan Whitaker 1987). Terdapat 2 kategori sumber karbon dan sumber nitrogen, yaitu sumber karbon kompleks atau sumber nitrogen kompleks, dan sumber karbon sederhana atau sumber nitrogen sederhana. Sumber karbon dan sumber nitrogen kompleks biasanya lebih murah dibandingkan sumber karbon dan nitrogen sederhana. Dalam aplikasinya di industri lebih banyak digunakan sumber karbon dan nitrogen kompleks. Namun demikian dalam beberapa kasus masih digunakan sumber karbon dan nitrogen dasar. 32

Dalam proses fermentasi untuk mendapatkan hasil yang paling optimum, maka terlebih dahulu dipelajari sifat fisiologis dari mikroba tersebut. Sifat fisiologis mikroba dapat diketahui dengan menentukan kurva pertumbuhan mikroba, laju pertumbuhan spesifik, laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa, dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat. Tahapan proses hilir merupakan rangkaian pencarian senyawa aktif untuk mendapatkan senyawa aktif murni dan teridentifikasi. Dalam bioproses, tahapan proses hilir meliputi tahap pemisahan sel, ekstraksi, pemekatan, dan pemurnian senyawa target. Dalam industri bioproses tahapan proses hilir dapat mencakup sampai 60% dari total biaya produksi (Stanbury dan Whitaker 1987), sehingga pemilihan metode pemisahan, pemurnian, dan pemilihan pelarut organik yang tepat akan menjadi pertimbangan yang sangat penting. Dalam proses isolasi senyawa aktif yang dihasilkan oleh mikroba, besar kecilnya aktivitas biologi seperti antibakteri, antikanker, antifungi atau aktivitas lainnya seperti enzim inhibitor, imunosupresan menjadi hal yang penting untuk diketahui. Pengukuran daya hambat senyawa aktif terhadap pertumbuhan mikroba uji biasanya dilakukan dengan menggunakan metode MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Kekuatan daya hambat senyawa aktif juga dapat diketahui dengan cara membandingkan MIC antibiotik umum seperti tetrasiklin, penisilin, eritromisin dan lainnya. Identifikasi dan elusidasi senyawa aktif perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran struktur dan karakteristik senyawa aktif. Dengan mengetahui struktur senyawa aktif maka sebagian sifat-sifat kimia dapat diprediksi untuk aplikasi medis dan dapat ditentukan golongan atau kelompok senyawa tersebut.

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Analisa Kimia, dan Laboratorium Teknologi Gen Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dari Bulan September 2007 sampai dengan Bulan Desember 2010.

33

III.3. Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Pepton/Bacto Pentone (Difco), ekstrak khamir (Difco), ekstrak malt (Oxoid), glukosa (Merck) , Marine agar (Difco), Fe (III) sitrat hidrat (Merck), metanol p.a (JT Baker), etil asetat p.a (JT Baker), kloroform p.a (JT Baker), metanol HPLC (Merck), kloroform HPLC (Merck), maltosa (Merck), laktosa (Merck), sukrosa (Merck), molase, dekstrin (Oxoid), asam glutamat (Merck), amonium sulfat (Merck), kasein hidrolisat/Casamino acid (Difco), K2HPO4 (Merck), MgSO4.7 H2O

(Merck), ZnSO4 7 H2O (Merck), CaCl2.2 H2O (Merck), FeSO4 7 H2O (Merck),

Cu.SO4.5 H2O (Merck), MnCl2.4 H2O (Merck), CuSO4. H2O (Merck), CoCl2.6

H2O (Merck), NaCl, KH2PO4 (Merck), HCl (Merck), NaOH (Merck), DNS

(Sigma), H2SO4 95-97% (Merck), H3BO4 (Merck), silika gel 60 (0,063- 0,200mm) Merck. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan alat gelas, rotavapor Buchi 461, microcentrifuge (Tomy/MX-301), incubator shaker (Takasaki Scientific Instrument), freeze drying (HETO CD 2.5), centrifugal concentrator (TOMY CC-105), Kjeldahl (Velp Scientifica UDK 132), Spektrofotometer (Shimadzu UV-160A), HPLC (Waters 2695), 1H & 13C NMR (Bruker AV-500), FTIR Shimadzu 8300, LCMS (LCT Premier-XE Waters), ABI 300 genetic analyzer (Perkin Elmer), Gallen Kamp Melting Point, Sonicator Ultrasonic Processor XL 2020, Centrifuge Beckman J2-HS. 34

III. 4. Tahapan Penelitian

Garis besar tahapan penelitian digambarkan diagram alir di bawah ini.

Pra-perlakuan sampel dan Isolasi aktinomisetes menggunakan medium spesifik

y Penapisan & pemilihan isolat

potensial Bioassa Identifikasi mikroba dengan isolat terpilih DNA sekuen (16S rRNA) Produksi senyawa aktif menggunakan isolat terpilih (preparasi kaldu fermentasi untuk pemurnian senyawa aktif)

Pemanenan

Pemisahan sel dan cairan fermentasi

Ekstraksi

y Kromatografi kolom

Bioassa Prep. HPLC

Senyawa murni

Identifikasi / elusidasi & karakterisasi Optimasi fermentasi struktur kimia senyawa aktif

Gambar 4 Tahapan penelitian isolasi, penapisan, identifikasi, dan karakterisasi aktinomisetes 35

Dari tahapan yang disajikan dalam Gambar 4 dapat dikelompokkan menjadi 3 tahapan besar dengan beberapa ruang lingkup penelitian seperti yang disajikan dalam Gambar 5.

AKTIVITAS TAHAPAN KERJA LUARAN

Ruang lingkup penelitian : • Pengambilan sampel & pra perlakuan sampel Diperoleh isolat TAHAP I: • Penapisan aktinomisetes aktinomisetes Isolasi dan penghasil antibiotik. teridentifikasi yang penapisan • Identifikasi aktinomisetes terpilih. memiliki potensi aktinomisetes • Pemeliharaan isolat penghasil antibiotik

Ruang lingkup penelitian : • Fermentasi untuk preparasi ekstrak kaldu fermentasi • Purifikasi ekstrak kaldu fermentasi TAHAP II: Diperoleh • Elusidasi struktur molekul Fermentasi, antibiotik yang (menggunakan LCMS, 1H NMR, purifikasi, terelusidasi struktur 13 elusidasi struktur molekul dan MIC DEPT, FTIR dan C NMR) dan penentuan titik leleh senyawa molekul, MIC nya aktif. • Penentuan MIC terhadap mikroba uji

Ruang lingkup penelitian : Diperoleh • Penentuan suhu dan pH awal TAHAP III: komposisi medium proses fermentasi yang optimum Optimasi fermentasi yang • Optimasi medium fermentasi. medium optimum untuk (penentuan komposisi sumber fermentasi, produksi antibiotik karbon, nitrogen, dan mineral serta profil serta profil terbaik) menggunakan Surface fermentasi. fermentasi. Response Methodology • Penentuan kurva pertumbuhan, μmaks, dan Yx/s, profil fermentasi

Gambar 5 Aktivitas dan ruang lingkup penelitian 36

III.4.1. Pra-perlakuan Sampel dan Isolasi Aktinomisetes

Metode isolasi yang digunakan mengacu pada metode yang dilakukan oleh Mincer et al. (2005) yang dimodifikasi. Namun demikian sebelum dilakukan proses isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat, yang meliputi (1) tanpa pra-perlakuan (kontrol), (2) pra-perlakuan dengan metode heat shock yang dilakukan dengan memanaskan sampel selama 4 jam pada suhu 60 °C (Pisano et al. 1986), (3) pengasaman sampel yang dilakukan dengan cara mengasamkan sampel sampai dengan pH 2 menggunakan asam klorida, dan didiamkan selama 2 jam, selanjutnya dinetralkan kembali menggunakan NaOH. (4) Pemanasan sampel (metode ke-2) yang dikombinasikan dengan penambahan 100 μg mL-1 sikloheksimid dan 25 μg mL-1 nistatin, (5) Pengasaman sampel (metode ke-3) yang dikombinasikan dengan penambahan 100 μg mL-1 sikloheksimid dan 25 μg mL-1 nistatin, (6) Metode ke-4 yang dikombinasikan dengan penambahan 20 μg mL-1 asam nalidiksat dan 5 μg mL-1 rifampisin. (7) Metode ke-5 yang dikombinasikan dengan penambahan 20 μg mL-1 asam nalidiksat dan 5 μg mL-1 rifampisin. (8) Metode ke-4 yang dikombinasikan dengan penambahan 40 μg mL-1 asam nalidiksat dan 10 μg mL-1 rifampisin (9). Metode ke-5 yang dikombinasikan dengan penambahan 40 μg mL-1 asam nalidiksat dan 10 μg mL-1 rifampisin. Antibiotik ditambahkan setelah medium agar disterilisasi. Komposisi medium isolasi adalah sebagai berikut; 10 g soluble starch, 2 g pepton, 4 g ekstrak khamir, 16 g agar dalam 1000 mL air laut. Sampel yang digunakan untuk percobaan pendahuluan adalah sampel dari Pantai Anyer Banten. Setelah diperoleh metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat, selanjutnya digunakan untuk proses isolasi aktinomisetes pada tahap selanjutnya. Pengambilan sampel diambil dari tiga lokasi pantai, antara lain dari pantai utara Cirebon, Desa Gebang (koordinat 6°48'37"S 108°45'27"E), Pantai Anyer Banten (koordinat 6°3'19"S 105°54'29"E) dan Pantai Kukup Gunung Kidul Yogyakarta (koordinat 8°8'3"S 110°33'19"E ) dengan kedalaman rata-rata 0,5 sampai dengan 1 m. Sebanyak 5 g masing-masing sedimen sampel disimpan dalam falcon tube 14 mL dan diletakkan dalam dryice box selama pengambilan 37

sampel di lapangan. Selanjutnya sedimen sampel dicuci dengan menggunakan air demineral steril dan dilakukan pra-perlakuan dengan menggunakan metode yang telah dipilih dalam percobaan pendahuluan. Cairan sampel yang telah mengalami pra-perlakuan selanjutnya diencerkan secara seri dari 10-1 sampai dengan 10-5. Sebanyak 0,1 mL sampel yang telah diencerkan, disebarkan pada permukaan agar medium isolasi. Komposisi medium agar untuk isolasi adalah sebagai berikut; 10 g soluble starch, 2 g pepton, 4 g ekstrak khamir, 16 g agar dalam 1000 mL air laut (Pisano et al. 1989). Medium isolasi yang telah diinokulasikan diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 30 °C selama kurang lebih 25 hari. Koloni tunggal dipilih dan dimurnikan kembali dengan melakukan pemindahan koloni ke dalam medium baru yaitu dengan medium marine agar sampai diperoleh koloni tunggal. Masing-masing koloni diberi kode sesuai dengan asal lokasi sampling. Kode A digunakan untuk sampel dari Pantai Anyer Banten, kode YK berasal dari pantai Kukup Yogyakarta, Kode PCl berasal dari pantai utara Cirebon Desa Gebang. Isolat yang telah dimurnikan dari hasil isolasi disebarkan kembali dalam medium marine agar untuk proses peremajaan sebelum digunakan untuk proses fermentasi. Sebagian isolat murni yang telah diremajakan dipindahkan dalam gliserol 15% dan disimpan dalam suhu -40 °C untuk proses preservasi. Kultur stok yang akan digunakan diremajakan lagi sebelum digunakan untuk fermentasi.

III.4.2. Kultur Vegetatif dan Fermentatif pada Proses Penapisan dan Penggandaan Skala untuk Preparasi Ekstrak Fermentasi.

Sejumlah koloni yang telah dimurnikan dikulturkan (vegetatif) dengan menggunakan medium ekstrak khamir-ekstrak malt (YEME). Inkubasi kultur vegetatif dilakukan selama 48 jam pada suhu 30 °C dengan komposisi medium: pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 3 g L-1, ekstrak malt 3 g L-1, glukosa 10 g L-1, air demineral 250 mL, and air laut 750 mL. Sebelum sterilisasi, pH medium diatur pada 7,6 dengan menggunakan NaOH 0,1 N dan HCl 0,1 N. Sepuluh persen (v/v) medium vegetatif diinokulasikan ke dalam medium fermentatif. Komposisi medium fermentatif adalah sebagai berikut; pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L- 38

1, Fe (III) citrate hydrate 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, dan air laut 750 mL (Kanoh et al. 2005). Sebelum sterilisasi, pH medium diatur pada 7,6. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 ºC selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 200 rpm menggunakan incubator shaker. Volume kerja kultur vegetatif dan fermentatif pada tahap penapisan dilakukan pada volume 3 mL dalam BD falcon (around bottom) volume 14 mL. Preparasi ekstrak kaldu fermentasi untuk uji aktivitas aktinomisetes (bioassay) pada tahap penapisan, dilakukan dengan cara mengeringkan 3 mL kaldu fermentasi dengan metode kering beku, selanjutnya ditambahkan 3 mL metanol dan divorteks selama 15 menit. Biomassa dan supernatan dipisahkan menggunakan sentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Pada tahap penggandaan volume fermentasi untuk preparasi kaldu fermentasi, medium vegetatif dan fermentatif adalah sama dengan medium vegetatif dan fermentatif proses penapisan, namun volume kerja kultur vegetatif dilakukan pada volume masing-masing 100 mL dalam labu erlenmeyer 250 mL sebanyak 5 labu erlenmeyer dan fermentasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 30 °C dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm. Sedangkan tahap fermentatif volume kerja masing-masing 1 l dalam labu erlenmeyer 2 l sebanyak 5 labu erlenmeyer. Sebelum sterilisasi pH medium diatur pada 7,6. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 ºC selama 144 jam dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm.

III.4.3. Uji Aktivitas Antimikroba (Bioassay)

Penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba dan uji aktivitas antimikroba (bioassay) dilakukan dengan metode difusi agar dengan menggunakan kertas cakram diameter 6 mm. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, Bacillus subtilis ATCC 66923, Candida albicans BIOMCC00122 and Aspergillus niger BIOMCC00134. Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, dan Bacillus subtilis ATCC 66923 ditumbuhkan pada medium nutrient agar dan 39

Candida albicans BIOMCC00122 dan Aspergillus niger BIOMCC00134. ditumbuhkan pada Potato Dextrose Agar. Sebanyak 15 μL ekstrak sampel diteteskan dalam kertas cakram, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Selanjutnya diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasikan 15 μL (106 sel mL-1) mikroba uji per cawan petri. Inkubasi dilakukan pada suhu 30 °C selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk diukur diameter zonanya (Prescott et al. 2002)

III. 4.4. Analisis Sekuen Gen 16S rRNA

Isolat murni hasil preservasi dalam gliserol stok diremajakan kembali dan dilakukan identifikasi. Identifikasi didasarkan pada analisis 16S rRNA. DNA diisolasi dengan menggunakan FastPrep, kit khusus untuk isolasi DNA. Sampel dilisis menggunakan lysing matrix kit dan dihomogenasi menggunakan FastPrep selama 40 detik pada 4500 rpm. Amplifikasi DNA dikerjakan menggunakan PCR dengan primers 8 F dan 1492R. PCR yang mengandung primer 8F dan 1492R ditambahkan ke dalam larutan DNA, selanjutnya dipurifikasi menggunakan kit ekstraksi Gel/DNA. Gen 16S rRNA yang diperoleh selanjutnya dilakukan sekuen DNA menggunakan Dye® terminator V 3.1 cycle sequencing kit. Peralatan DNA sekuen yang digunakan adalah ABI 300 genetic analyzer. Selanjutnya sekuen yang diperoleh dibandingkan dengan database yang tersedia dalam NCBI menggunaan BLAST search engine http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. Pohon filogenik dibuat menggunakan program ClustalW (Mega 3.1) dengan membandingkan beberapa DNA sekuen dari spesies aktinomisetes yang diperoleh dari database gen di NCBI. Analisis digunakan metode neighbor-joining dengan bootstrap dataset 100 kali pengulangan yang telah tersedia dalam program Mega 3.1.

III.4.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Aktif Kaldu Fermentasi

Proses pemisahan dan pemurnian dilakukan dengan mengikuti metode Shindo et al. (1995) yang dimodifikasi. Kaldu fermentasi yang mengandung 40

campuran sisa medium, biomassa, dan senyawa aktif dipisahkan padatannya dengan sentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Fase padat (biomassa) dipisahkan dari cairannya dan dilakukan pemecahan sel dengan sonikator. Padatan sel diekstraksi menggunakan metanol dua kali. Fasa cair (supernatan) diekstraksi menggunakan etil asetat dengan perbandingan volume yang sama, dan ekstraksi dilakukan sebanyak 2 kali. Ekstrak supernatan dan biomassa dipekatkan dengan rotavapor sampai diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak yang sudah dipekatkan selanjutnya difraksinasi menggunakan kromatografi kolom (φ25 x 500 mm), dengan fasa diam yang digunakan adalah silika gel 60 (0,063-0,200mm) dan fasa gerak yang digunakan campuran metanol- kloroform, dengan elusi gradien bertahap dari kloroform:metanol (100%:0) berubah dengan berkurangnya 10% kloroform, sampai diperoleh elusi kloroform:metanol (0:100%). Sebanyak 30 fraksi dikumpulkan dan diuji (bioassay) aktivitas antimikrobanya. Fraksi aktif dimurnikan kembali menggunakan HPLC preparatif. Semua fraksi hasil pemurnian dengan HPLC preparatif dikumpulkan dan diuji (bioassay) aktivitas antimikrobanya. Fraksi aktif murni dikumpulkan dan ditentukan bobot dan struktur molekulnya.

III.4.6. Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif

Gugus fungsional senyawa aktif diidentifikasi menggunakan FTIR (Infra Red Spectrofotometry) (FTIR Shimadzu 8300), bobot molekul senyawa aktif ditentukan dengan LCMS (Liquid Chromatography Mass Spetrofotometry) (LCT Premier-XE Waters), hubungan tata letak atom karbon dan proton dideteksi dengan 13C NMR, DEPT, dan 1HNMR Bruker AV-500 (500 MHz). Titik leleh (melting point) ditentukan dengan menggunakan Gallen Kamp Melting Point Bicasa.

41

III. 4.7. HPLC Preparatif

HPLC preparatif dilakukan untuk memurnikan fraksi aktif hasil fraksinasi dari kromatografi kolom pada tahap pemurnian sebelumnya. Purifikasi menggunakan HPLC preparatif dilakukan dengan menggunakan Waters 2695 HPLC, dengan detektor Photo Diode Array (PDA), dan jenis kolom puresil 5μ C18 4,6x150 mm. Volume injeksi sebesar 100 uL per injeksi dibawah kondisi tekanan 1267 psi, dan kecepatan alir 1 mL menit-1 dengan fasa geraknya adalah 0-45% campuran metanol–air dan selama 25 menit (Kazakevich dan Lobrutto 2007).

III. 4.8. HPLC Analitik

Pada HPLC analitik digunakan kolom analitik Sunfire C18 column (4,6 x 250 mm, Shiseido Co. Ltd., Tokyo, Japan). Fasa gerak yang digunakan adalah campuran metanol-air (0-100%) dengan elusi linier gradien selama 25 menit dan selanjutnya elusi isokratik 100% metanol selama 10 menit, dengan kecepatan alir 1 mL menit-1, volume injeksi 10μL, dan diamati pada panjang gelombang λ 210 nm (Kazakevich dan Lobrutto 2007). Kurva standar senyawa aktif dibuat yang selanjutnya digunakan untuk menentukan konsentrasi senyawa aktif yang akan ditentukan konsentrasinya. Kurva standar senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) disajikan dalam Lampiran 1.

III. 4.9. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan dengan cara melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi dalam beberapa konsentrasi, yaitu dari konsentrasi 6500 μg mL-1, 3250 μg mL-1, 1625 μg mL-1, 812,5 μg mL-1, 406,3 μg mL-1, 203,1 μg mL-1, 101,6 μg mL-1, dan 50,5 μg mL-1. Masing-masing konsentrasi diuji aktivitasnya menggunakan metode disc diffusion agar. MIC ditentukan terhadap 4 macam bakteri uji yaitu Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Bacillus subtilis ATCC 66923, 42

Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Diameter kertas cakram yang digunakan adalah 6 mm. Zona bening yang terbentuk diukur diameternya. Selanjutnya dibuat kurva Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y terhadap X2 (diameter zona bening) sebagai sumbu X. Titik potong sumbu Y pada X=0 merupakan nilai Log MIC. Metode penentuan MIC ini mengikuti Bonev et al. (2008) dan Andrews (2001).

III.4.10. Penentuan Kurva Pertumbuhan Mikroba pada Fase Vegetatif

Kurva pertumbuhan ditentukan dengan melakukan pengamatan perubahan biomassa, pH medium,dan gula pereduksi per satuan waktu (jam). Sebanyak 2 Ose isolat terpilih diinokulasikan dalam 15 mL medium ekstrak khamir–ekstrak malt pada pH 7,6. Jumlah sel dihitung dan ditentukan, sehingga jumlah sel menjadi kurang lebih 106-108 sel mL-1. Sebanyak 3 % (v/v) kultur pre-vegetatif diinokulasikan kedalam 100 mL medium vegetatif dalam labu erlenmeyer 250 mL. Komposisi medium vegetatif yang digunakan meliputi; pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 3 g L-1, ekstrak malt 3 g L-1, glukosa 10 g L-1, air demineral 250 mL, and air laut 750 mL. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30 °C selama 64 jam dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm. Pengamatan dilakukan setiap 8 jam sekali dengan mencatat perubahan parameter yang diamati. Kurva pertumbuhan diperoleh dengan melakukan plot perubahan biomassa (bobot kering sel), pH, dan gula reduksi sebagai sumbu Y serta waktu pengamatan masing-masing parameter pada sumbu X. Waktu transfer fase vegetatif ke fase fermentatif ditentukan pada saat sebelum berakhirnya fase logaritmik.

III.4.11. Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11

Profil fermentasi dilakukan dengan mengamati perubahan beberapa parameter seperti pH, biomassa, gula pereduksi, nitrogen total, dan antibiotik yang dihasilkan selama proses fermentasi. Perubahan parameter tersebut digambarkan dalam bentuk kurva dengan parameter pH, biomassa, gula pereduksi, nitrogen total, dan antibiotik diplotkan dalam sumbu Y dan interval waktu pengamatan 43

masing-masing parameter pada sumbu X. Komposisi medium yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1, -1 Fe.citrate nH2O 0,3 g L , pH: 7,6, air demineral 250 mL, air laut 750 mL. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 °C selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Laju pertumbuhan spesifik maksimum

(μmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) juga ditentukan. Laju pertumbuhan spesifik maksimum (μmaks) diperoleh dari gradien koefisien arah kurva selama fase eksponensial dari ln X (biomassa) pada sumbu X terhadap waktu (jam) pada sumbu Y. Rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) diperoleh dari gradien yang dibentuk oleh kurva Xt–Xo pada sumbu Y versus So-S pada sumbu X (Mangunwidjaya et al. 1994). Pertumbuhan biomassa, perubahan pH, gula pereduksi, nitrogen total, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) diukur dalam setiap interval waktu 8 jam. Prosedur penentuan konsentrasi gula pereduksi, nitrogen total, dan bobot kering sel berturut-turut disajikan dalam Lampiran 2, 3, dan 4.

III. 4.12. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi

Suhu terbaik proses fermentasi ditentukan dalam rentang 26, 28, 30, 32, dan 34 °C. Inkubasi dilakukan dengan menggunakan shaker inkubator. Komposisi medium fermentasi yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, -1 -1 -1 pepton 5 g L , ekstrak khamir 1 g L , Fe.citrate nH2O 0,3 g L , air demineral 250 mL, dan air laut 750 mL, serta pH medium ditentukan sebelum proses sterilisasi pada pH 7,6. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi lakukan selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm, dan kriteria suhu terbaik dipilih pada suhu fermentasi yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi. Penetapan pH awal medium fermentasi terbaik ditentukan dalam beberapa titik yaitu pH 4,5 ; 5 ; 5,5 ; 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5 dan 8. Variasi pH awal medium fermentasi diatur sebelum sterilisasi dilakukan. Komposisi medium fermentasi 44

yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak -1 -1 khamir 1 g L , Fe.citrate nH2O 0,3 g L , air demineral 250 mL, dan air laut 750 mL. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm, dan kriteria pH terbaik dipilih pH fermentasi yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi.

III.4.13. Optimasi Medium Fermentasi

Optimasi medium fermentasi diawali dengan percobaan pendahuluan untuk mendapatkan jenis sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral terbaik. Pada penentuan sumber karbon terbaik, komposisi medium utamanya adalah komposisi menurut Kanoh et al. (2005); pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1, -1 Fe.citrate nH2O 0,3 g L , pH: 7,5, air demineral 250 mL, air laut 750 mL yang ditambahkan 10 g L-1 sumber karbon yang akan diuji. Dalam hal ini jenis sumber karbon yang diuji adalah glukosa, maltosa, laktosa, sukrosa, molase, dan dektrin. Penentuan sumber nitrogen terbaik dilakukan dengan komposisi medium adalah 10 g L-1 glukosa, Fe.citrate hydrate 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, air laut 750 mL, sumber nitrogen dengan bobot masing-masing disesuaikan dengan nitrogen total seperti yang disajikan dalam Lampiran 5. Sumber nitrogen yang digunakan antara lain asam glutamat, ekstrak khamir, pepton, amonium sulfat dan hidrolisat kasein. Konsentrasi masing-masing sumber nitrogen mengacu pada Kanoh et al. (2005), yaitu konsentrasi nitrogen ditentukan menjadi 0,76 g L-1. Penentuan komposisi mineral terbaik dilakukan dengan mengacu dari beberapa sumber literatur yang disajikan dalam Tabel 2. Kompisisi medium fermentasi untuk penentuan mineral terbaik adalah komposisi medium menurut Kanoh et al. (2005) yang dimodifikasi; glukosa 10 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1, Fe.citrate hydrate 0,3 g L-1, pH: 7,5, air demineral 250 mL, air laut 750 mL. Proses fermentasi penentuan sumber karbon, nitrogen, dan mineral terbaik dilakukan selama 144 jam dengan volume kerja 100 mL dalam labu erlenmeyer 250 mL, suhu 30 °C, dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Kriteria 45

yang digunakan untuk menentukan sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral terbaik adalah yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi.

Tabel 2 Komposisi mineral yang digunakan dalam medium fermentasi

No Mineral Komposisi -1 1 Komposisi mineral menurut K2HPO4 1 g L , MgSO4.7 -1 Sousa et al. (2001) H2O 0,025 g L , ZnSO4 7 -1 H2O 0,025 g L , CaCl2.2 -1 H2O 0,025 g L , FeSO4 7 -1 H2O 0,025 g L . -1 2 Komposisi mineral menurut KH2PO4 0,6 g L , -1 Furtado et al. (2005) Mg.SO4.7 H2O 5 g L , -1 Cu.SO4.5 H2O 0,001 g L , -1 FeSO4.7 H2O 0,003 g L -1 3 Komposisi mineral menurut K2HPO4 0,1 g L , -1 Dhananjeyan et al. (2010) Mg.SO4.7 H2O 0,5 g L , -1 CaCl2.2H2O 0,1 g L , -1 FeSO4.5H2O 0,05 g L -1 4 Komposisi mineral menurut CaCl2.2H2O 0,011 g L , -1 Voelker & Altaba (2001) FeSO4.5H2O 0,007 g L , -1 MnCl2.4 H2O 0,002 g L , -1 ZnSO4.7 H2O 0,002 g L , -1 CuSO4. H2O 0,0004 g L , -1 CoCl2.6 H2O 0,0004 g L -1 5 Komposisi mineral menurut NaCl 0,8 g L , NH4Cl 1 g -1 -1 Dharmaraj et al. (2010) L , KCl. 0,1 g L , KH2PO4 -1 -1 0,1 g L , 0,2 g L MgSO4. -1 7H2O, 0,04 g L CaCl22H2O.

Komposisi medium yang digunakan dalam optimasi medium fermentasi menggunakan Response Surface Methodology meliputi 3 variabel terpilih, yaitu sumber karbon, nitrogen, dan mineral, ditambah 2 g L-1 glukosa, air demineral 250 mL, air laut 750 mL. Keasaman medium fermentasi diatur pada pH 7,5 sebelum dilakukan sterilisasi. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Ketiga variabel terpilih digunakan sebagai variabel bebas. Sedangkan konsentrasi senyawa aktif yang dihasilkan akibat dari perlakuan 3 variabel bebas tersebut merupakan respon yang akan dicari dalam penelitian ini. Rancangan percobaan untuk mendapatkan data respon yang muncul akibat dari perlakuan digunakan metode Central Composite 46

Design. Selanjutnya untuk menentukan daerah optimum pada respon digunakan metode permukaan respon (Response Surface Methodology). Untuk membantu penyelesaian optimasi ini akan digunakan perangkat lunak Design Expert 7. Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium Variabel yang diuji Kisaran dan taraf -1,68 -1 0 1 1,68 Konsentrasi sumber karbon (g L-1) 21,6 25 30 35 38,4 Konsentrasi sumber nitrogen (g L-1) 6,64 8 10 12 13,36 Penambahan mineral (mL larutan 3,3 5 7,5 10 11,7 stok per liter kaldu fermentasi)

Dalam studi ini digunakan 8 titik faktorial fraksional 23-1, 6 titik bintang, dan 6 titik pusat, sehingga total percobaan adalah 20 percobaan. Nilai pusat perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi sumber karbon 30 g L-1, konsentrasi nitrogen 10 g L-1, dan konsentrasi mineral adalah 7,5 mL L-1. Tabel 4 menunjukkan matrik satuan-satuan percobaan pada optimasi medium fermentasi dalam kode dan nilai asli. Dengan 3 variabel yang diuji maka model kuadratiknya persamaan sebagai berikut (Mongomery 1997).

2 2 2 Y = bo + b1X1i + b2 X2i + b3 X3i + b11X1i + b22X2i + b33X3i + b12X1iX2i +

b12X1iX2i + b13X1iX3i + b23X2iX3i

Keterangan : Y = konsentrasi senyawa aktif (mg L-1) -1 X1 = konsentrasi sumber karbon (g L ) -1 X2 = konsentrsi sumber nitrogen (g L )

X3 = volume penambahan mineral (mL).

47

Tabel 4 Matrik Central Composite Design yang mengandung 20 percobaan dengan 3 variabel percoban dalam kode unit.

No. X1 X2 X3 Koefisien yang diuji Respon(Y) 1 1 1 1

2 1 -1 -1

3 -1 1 -1

4 1 1 -1 3-1 5 1 -1 1 Fraksional 2 Konsentrasi faktorial design siklo(tirosil-prolil) 6 -1 1 1 (mg L-1) 7 -1 -1 1 8 -1 -1 -1 9 -1,68 0 0 10 0 -1,68 0 11 0 0 -1,68 Titik bintang (6 titik) 12 1,68 0 0

13 0 1,68 0 14 0 0 1,68 15 0 0 0 16 0 0 0 17 0 0 0 18 0 0 0 Titik pusat (6 titik) 19 0 0 0 20 0 0 0

48

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes

Sebelum dilakukan isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki (mikroba kontaminan), sehingga proses isolasi aktinomisetes menjadi lebih mudah. Sampel yang digunakan untuk penentuan metode pra-perlakuan ini adalah sampel yang diambil dari Pantai Anyer Banten. Hasil pra-perlakuan sampel isolasi aktinomisetes disajikan dalam Tabel 5. Pra-perlakuan ke-1 sampai dengan ke-5 menunjukkan mikroba kontaminan menutup seluruh permukaan medium agar (Tabel 5). Hal ini akan menekan pertumbuhan aktinomisetes dan mempersulit proses pengambilan koloni aktinomisetes. Pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman diharapkan dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang banyak terdapat di air laut. Dibandingkan dengan metode 1 sebagai kontrol, metode pemanasan dan pengasaman mampu menekan bakteri kontaminan, terbukti kecepatan pertumbuhan bakteri kontaminan lebih lambat dibandingkan dengan kontrol (metode ke-1). Namun demikian metode pemanasan dan pengasaman belum efektif untuk digunakan dalam isolasi ini, karena pada hari ke-3 permukaan medium agar masih dipenuhi oleh bakteri kontaminan, koloni aktinomisetes akan muncul pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-21 (Hozzein et al. 2008; Dhanasekaran et al. 2009). Seperti halnya metode ke-2 dan ke-3, metode isolasi dengan penambahan sikoloheksimid dan nistatin pada medium isolasi, belum dapat menekan pertumbuhan bakteri kontaminan secara keseluruhan. Pada hari ke-3 pertumbuhan bakteri kontaminan masih menutup seluruh permukaan medium agar. Sikloheksimid dan nistatin hanya efektif menghambat pertumbuhan fungi dan khamir. Dengan demikian mikroba yang mampu tumbuh dan berkembang pada medium yang mengandung sikloheksimid dan nistatin diduga adalah kelompok bakteri.

50

Tabel 5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes. Metode Jenis pra-perlakuan Pengamatan Keterangan ke- pertumbuhan mikroba kontaminan 1 Tanpa adanya pra-perlakuan Sangat banyak Inkubasi hari ke-2, seluruh (kontrol) permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan 2 Pemanasan sampel pada 60 °C Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh selama 4 jam permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan 3 Pengasaman sampel pada pH 2 Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh selama 2 Jam permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan 4 Pemanasan sampel pada 60 °C Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh selama 4 jam dan penambahan permukaan medium dipenuhi sikloheksimid 100 μg mL-1 dan mikroba kontaminan nistatin 25 μg mL-1 5 Pengasaman pada pH 2 selama 2 Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh jam dan penambahan permukaan medium dipenuhi sikloheksimid 100 μg mL-1 dan mikroba kontaminan nistatin 25 μg mL-1 6 Pemanasan pada 60 °C selama 4 Sedang Pertumbuhan koloni terpisah jam dan penambahan dan tidak tertutup oleh sikloheksimid 100 μg mL-1, mikroba kontaminan nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 7 Pengasaman pada pH 2 selama 2 Sedang Pertumbuhan koloni terpisah jam dan penambahan dan tidak tertutup oleh sikloheksimid 100μg mL-1, mikroba kontaminan nystatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 8 Pemanasan pada 60 °C selama 4 Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni jam dan penambahan aktinomisetes juga tertekan sikloheksimid 100 μg mL-1, (tidak tumbuh) nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 40 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1 9 Pengasaman pada pH 2 selama 2 Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni jam dan penambahan aktinomisetes juga tertekan sikloheksimid 100 μg mL-1, (tidak tumbuh). nistatin 45 μg mL-1, asam nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1 Keterangan : Komposisi medium isolasi; soluble starch 10 g, pepton 2 g, ekstrak khamir 4 g, agar 16 g dalam 1000 mL air laut 51

Selanjutnya penambahan antibiotik rifampisin 5 μg mL-1 dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 terlihat mampu menekan pertumbuhan bakteri Gram-postif dan Gram-negatif. Kombinasi antara pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman dengan penambahan antibiotik sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan mikroba kontaminan, sehingga pada inkubasi sampai dengan hari ke-21 beberapa koloni aktinomisetes dapat tumbuh dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan, baik itu fungi maupun bakteri lainnya. Namun demikian beberapa koloni fungi dan bakteri tetap tumbuh dalam medium agar, dan tidak menutup koloni lainnya. Menurut Seong et al. 2001 pemanasan suspensi sampel pada suhu 70 °C selama 15 menit mampu menurunkan populasi bakteri Gram-negatif dan fungi kontaminan, serta dapat menaikkan rasio koloni aktinomisetes. Penambahan nistatin 50 μg mL-1 dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan fungi dalam medium isolasi. Menurut Pisano et al. (1989) rifampicin 2,5 μg mL-1 efektif menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif. Namun demikian komposisi dan konsentrasi antibiotik dalam medium isolasi yang digunakan akan berbeda tergantung dari biodiversitas mikrooganisme di dalam sampel. Pada penelitian ini penggunaan pra-perlakuan kombinasi pemanasan atau pengasaman sampel yang dikombinasikan dengan sikloheksimid dan nistatin belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi sejumlah bakteri kontaminan. Kombinasi metode pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman dengan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 dalam medium agar, lebih efektif menghambat mikroba kontaminan dan meningkatkan jumlah koloni aktinomisetes. Rifampisin diketahui efektif menghambat bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, serta mampu menghambat mikobakterium yang banyak terdapat di daerah perairan. Namun demikian pada penambahan konsentrasi rifampisin dan asam nalidiksat menjadi dua kalinya (pra-perlakuan ke-8 dan ke-9) ternyata berakibat menghambat pertumbuhan koloni aktinomisetes dan mikroba lainnya. Sampai dengan inkubasi 21 hari, belum ada koloni aktinomisetes yang mampu tumbuh pada medium isolasi tersebut. Dengan demikian pada tahap selanjutnya akan digunakan pra-perlakuan dengan metode ke-6 dan ke-7. 52

IV.2. Isolasi Aktinomisetes

Hasil isolasi aktinomisetes laut yang diambil dari tiga lokasi diperoleh 5 isolat dari pantai utara Cirebon, 29 isolat dari Pantai Anyer Banten, dan 6 isolat dari Pantai Kukup Gunung Kidul Yogyakarta. Jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi setiap bobot sampel sedimen laut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan isolasi aktinomisetes dari tanah. Namun demikian potensi untuk mendapatkan mikroba unggul dari aktinomisetes laut lebih besar karena kondisi lingkungan laut yang lebih bervariasi dibandingkan di tanah. Menurut Goodfellow (1983) bahwa walaupun jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi dari laut cenderung lebih sedikit dibandingkan dari tanah namun demikian karakteristik aktinomisetes laut lebih bervariasi dan lebih berpotensi. Pada komposisi medium isolasi dan sejumlah antibiotik yang ditambahkan sama, maka apabila dilihat dari kedua proses pra-perlakuan yaitu dengan menggunakan panas (heatshock treatment) dan menggunakan pengasaman (acid treatment) maka terlihat bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan lebih efektif dibandingkan pra-perlakuan dengan pengasaman. Praperlakuan pemanasan terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri kontaminan yang biasanya akan tumbuh pada awal inkubasi. Sebaliknya pra-perlakuan asam terbukti masih banyak bakteri kontaminan yang tumbuh dan menyebabkan sulitnya proses pemurnian koloni aktinomisetes. Menurut Hoskisson et al. (2000) perlakuan pemanasan sampel pada 60 °C mampu meningkatkan 5 kali jumlah spora Micromonospora echinospora yang dikulturkan dibandingkan tanpa pemanasan. Disamping mampu menekan bakteri kontaminan perlakuan pemanasan terbukti mampu meningkatkan aktivasi proses respirasi spora dan memacu penggunaan senyawa yang digunakan. Apabila pemanasan dinaikkan menjadi 70 °C, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses aktivasi menjadi lebih pendek, namun terjadi pengurangan jumlah spora yang dikulturkan. Pemanasan sampel pada suhu 50 °C selama 30 menit tidak berpengaruh tarhadap pertumbuhan spora yang dikulturkan dibandingkan kontrol. Hal yang sama disampaikan oleh Karwowski (1986) bahwa pemanasan pada suhu 70 °C dalam waktu lebih dari 30 menit berpotensi mengurangi jumlah spora yang dapat dikulturkan pada medium isolasi. Hal yang 53

sama dilakukan oleh Seong et al. (2001). Pemanasan suspensi sampel pada 70 °C dalam waktu lebih dari 30 menit dengan kombinasi penambahan Nistatin 50 μg mL-1dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan mikroba kontaminan seperti khamir dan fungi. Apabila dilihat dari jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi setiap lokasi pengambilan sampel, terlihat bahwa sampel dari Pantai Anyer Banten menunjukkan jumlah aktinomisetes terbanyak dibanding dengan sampel dari pantai Selatan Yogyakarta dan pantai Utara Cirebon. Perbedaan jumlah isolat yang diperoleh dalam setiap lokasi pengambilan sampel terlihat sangat besar. Salah satu penyebab sedikitnya isolat aktinomisetes yang mampu diisolasi dari Pantai Selatan Yogyakarta dan Pantai Utara Cirebon diduga adalah rentang waktu yang cukup lama antara pengambilan sampel dengan proses penyebaran sampel dalam medium agar (medium isolasi). Hal ini menyebabkan bakteri kontaminan tumbuh secara cepat dan bertambah banyak, sehingga mempersulit proses isolasi. Sebagian besar sampel dari pantai Utara Cirebon dan Pantai Selatan Yogyakarta menunjukkan pertumbuhan bakteri kontaminan yang cepat dan menutup seluruh permukaan medium isolasi dalam satu minggu inkubasi yang menyebabkan sulit tumbuhnya aktinomisetes.

IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba

Penapisan aktinomisetes dilakukan untuk menentukan dan memilih isolat- isolat yang memiliki aktivitas antimikroba. Penapisan aktinomisetes dilakukan dengan menggunakan uji hambatan terhadap beberapa mikroba uji dengan metode difusi agar. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 yang termasuk bakteri Gram- negatif, Staphylococcus aureus ATCC25923 dan Bacillus subtilis ATCC 66923 yang termasuk bakteri Gram-positif, Aspergillus niger BIOMCC00134 yang termasuk dalam golongan fungi, dan Candida albicans BIOMCC00122 yang termasuk dalam golongan khamir. Dari 40 isolat yang telah diisolasi diperoleh 4 isolat yang mampu menghambat Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat mampu menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat mampu menghambat 54

Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat mampu menghambat Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, 5 isolat mampu menghambat Candida albicans BIOMCC00122, dan 4 isolat mampu menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134. Hasil penapisan aktinomisetes selengkapnya disajikan dalam Tabel 6. Hasil penapisan memperlihatkan bahwa isolat A11 (isolat dari Pantai Barat Banten) memiliki daya anti bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif yang kuat. Isolat PCL11, A64, dan YK21 memiliki aktivitas antifungi dan tidak memiliki aktivitas terhadap bakteri. Isolat A64 menunjukkan hambatan yang paling kuat terhadap Aspergillus niger BIOMCC00134, dan isolat A44 menunjukkan hambatan paling kuat terhadap Candida albicans BIOMCC00122. Studi lebih lanjut dipilih isolat A11 yang menunjukkan aktivitas antibakteri paling kuat. Selanjutnya dilakukan identifikasi morfologi dan filogenik terhadap isolat A11. Dilihat dari morfologinya, isolat A11 terlihat memiliki hifa yang bercabang dengan arah horisontal maupun vertikal dan terdapat beberapa kantong spora pada ujung hifa seperti yang disajikan dalam Gambar 6a. Dengan mata telanjang, morfologi A11 terlihat warna putih terang, dengan permukaan yang berlipat-lipat, hifa yang panjang membentuk miselium dan terbentuk beberapa hifa antena (aerial hyphae) yang timbul secara vertikal (Gambar 6b), serta miselium substrat yang berwarna putih kecoklatan yang menembus ke dalam medium agar. Adanya aerial hyphae dan miselium substrat yang menembus ke medium agar merupakan salah satu ciri khas Streptomyces. (Goodfellow dan William 1988). Pada awal pertumbuhan terbentuk koloni tunggal berbentuk bulat, selanjutnya akan berkembang hifa yang memanjang. Koloni tunggal berbentuk bulat yang semakin lama diinkubasi diameter koloni akan semakin melebar. Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 disajikan dalam Gambar 6.

55

Tabel 6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba.

No Kode Jenis Lokasi Daya hambatan terhadap bakteri&fungi (diameter zona bening dalam mm) isolat perlakuan isolasi E.coli S.aureus B.subtilis P.aeruginosa C.albicans A.niger sampel 1 PCL11 HS PUC 7 2 PCL12 HS PUC 3 PCL13 HS PUC 7 7 7 7 4 PCL14 HS PUC 5 PCL15 HS PUC 6 A61 HS PA 7 A62 HS PA 8 A63 HS PA 9 A64 HS PA 15 10 A65 HS PA 11 A66 HS PA 12 A67 A PA 13 A68 A PA 14 A69 A PA 15 A610 A PA 12 16 A611 A PA 17 A11 HS PA 14 15 14 14 18 A12 HS PA 19 A21 HS PA 7 9 20 A23 A PA 21 A24 A PA 22 A31 HS PA 23 A32 HS PA 12 7 24 A33 HS PA 25 A41 HS PA 26 A42 HS PA 27 A43 A PA 10,16 8,67 9,51 28 A44 A PA 10,61 29 A45 A PA 30 A51 HS PA 31 A52 HS PA 32 A53 HS PA 33 A54 HS PA 8,56 8,67 34 A56 A PA 35 YK11 HS PSY 36 YK12 HS PSY 37 YK21 HS PSY 14 38 YK41 HS PSY 9,71 8,71 9,53 9,01 39 YK42 A PSY 40 YK43 A PSY 8,58 Keterangan : PUC : Pantai utara Cirebon PA : Pantai Anyer PSY : Pantai Selatan Yogyakarta HS : Heat shock treatment (perlakuan dengan pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam) A : Acid treatment (perlakuan sampel dengan pengasaman pada pH 2 selama 2 jam)

56

(a) (b)

Gambar 6 Morfologi isolat Streptomyces sp. A11. (a). Morfologi Streptomyces sp. A11dengan perbesaran 40x (b). Morfologi Streptomyces sp. A11 tanpa perbesaran.

Menurut Awad et al. (2009) morfologi Streptomyces sp. dapat dilihat dari hifa antena (aerial hyphae), miselium substrat, bentuk permukaan koloni, dan warna. Namun demikian identifikasi melalui morfologi saja tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga perlu dilakukan identifikasi secara genetik (Annaliesa et al. 2001). Menurut Srinivasan et al. (1991) morfologi Streptomyces, khususnya pada hifa antena (aerial hyphae) dan miselium substrat bersifat karakteristik namun demikian dapat berubah bentuknya tergantung dari komposisi substrat. Identifikasi secara genetik dilakukan dengan menggunakan 16S rRNA. Analisa partial sekuens 16S rRNA dari isolat A11 dibandingkan dengan sekuens seluruh bakteri yang ada didalam database Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST yang diakses dari website http://www.ncbi.nlm.nih. gov/. BLAST. Dengan menggunakan 16S rRNA diperoleh informasi bahwa isolat A11 memiliki kekerabatan terdekat dengan Streptomyces sp. (homology 100%) kelas Actinobacteria, ordo Actinomycetales, famili Streptomycetaceae, dan genus Streptomyces. Urutan nukleotida fragmen gen dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya disajikan dalam Lampiran 6. Analisis dengan pohon filogenik (Gambar 7) yang dikumpulkan dari beberapa data spesies genus Streptomyces diketahui bahwa isolat ini mempunyai kedekatan dengan S. tanashiensis subsp.cephalomyceticus yang dikenal banyak menghasilkan senyawa antimikroba. Isolat S. tanashiensis subsp. cephalomyceticus dikenal mampu mensintesis TAK-637 (tachykinin receptor antagonist) (Tarui et al. 2001). Jika dibandingkan dengan Streptomyces 57

indonesiaensis yang berasal dari Indonesia, isolat A11 justru lebih dekat dengan S. tanashiensis subsp. Cephalomyceticus, S. Microflavus, S. Africanus, Parastreptomyces abscessus, dan Streptoallomorpha polyantibiotica.

Gambar 7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp.

Setelah dilakukan identifikasi secara morfologi dan filogenik pada isolat Streptomyces sp. A11, tahap selanjutnya adalah mengetahui aktivitas antibakteri yang dimiliki oleh isolat tersebut. Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak supernatan maupun ekstrak biomassanya. Ekstrak aktif ditunjukkan pada ekstrak supernatan dan tidak ditunjukkan pada ekstrak biomassa (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang diproduksi oleh isolat A11 bersifat ekstraselular. Hasil uji aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa isolat A11 merupakan isolat yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat, baik bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif (Gambar 8). 58

A B

C D

Gambar 8 Daya hambat senyawa aktif terhadap (A) Bacillus subtilis ATCC 66923, (B) Escherichia coli ATCC 25922, (C) Staphylococcus aureus ATCC25923, (D) Pseudomonas aeruginosa ATCC27853

Tabel 7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil fermentasi isolat Streptomyces sp. A11 Diameter zona bening (mm) Staphilococcus Bacillus Pseudomonas Escherichia Candida Aspergillus Sampel Uji aureus ATCC subtilis aeruginosa coli ATCC albicans niger 25922 ATCC ATCC 27853 25922 BIOMCC0 BIOMCC00 66923 0122 134 Ekstrak ------biomasa Ekstrak 10,39 24,43 9,64 9,55 - - supernatan kontrol 21,27 44,57 10,08 10,12 - - (rifampisin 500 ppm) Diameter kertas cakram : 6 mm

Hal yang sama ditunjukkan pada kromatogram HPLC, yaitu kromatogram hasil analisis ekstrak biomassa tidak menunjukkan adanya puncak, sedangkan kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan menunjukkan beberapa puncak yang salah satu puncak tersebut adalah senyawa aktif. Kromatogram hasil analisis ekstrak biomassa dan supernatan disajikan dalam Gambar 9. Pada tahap selanjutnya ekstrak yang digunakan untuk proses pemurnian dan elusidasi struktur molekul hanya digunakan ekstrak supernatannya saja.

59

2.00

1.50

AU 1.00

0.50 12.104 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 Minutesmenit menit

a b

Gambar 9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan (a) dan biomassa (b) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11

Sebanyak 5 l kaldu fermentasi yang telah mengalami perlakuan sonifikasi untuk memecah sel, disentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Sel beserta supernatan dipisahkan, dan masing-masing diekstraksi dengan pelarut organik dan dikeringkan sampai diperoleh bobot konstan. Sebanyak 5 l kaldu fermentasi diperoleh bobot kering sel sisa ekstraksi sebanyak 4,73 g L-1, bobot kering ekstrak sel dengan metanol sebanyak 2,72 g L-1 dan bobot kering ekstrak supernatan dengan etil asetat sebanyak 0,33 g L-1. Ekstrak supernatan yang terbukti menunjukkan aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif. Fraksi-fraksi yang dihasilkan dalam proses purifikasi dengan kromatografi kolom dan HPLC prepratif ditampung dan masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk menentukan fraksi mana yang memiliki aktivitas. Selanjutnya untuk mengetahui profil kromatogram hasil pemurnian maka fraksi aktif dianalisis menggunakan HPLC analitik. Hasil HPLC analitik menggunakan kolom Water Column symmetry C18 (4,6 x 250 mm, Part No.WAT054275) menunjukkan bahwa senyawa aktif hasil pemurnian memiliki kemurnian yang relatif tinggi (Gambar 10a). Senyawa aktif ini dicirikan dengan waktu retensi 12,1 menit dan memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 210 dan 274,5 nm (Gambar 11b). 60

Menurut Kumar et al. 2009 sebagian besar antibiotik golongan peptida memiliki serapan panjang gelombang maksimum pada 210-230 dan 270-280 nm. Serapan pada panjang gelombang 220-230 nm berhubungan dengan karakteristik serapan ikatan peptida. Kromatogram HPLC analitik dan spektrum serapan UV vis antibiotik yang telah dimurnikan disajikan dalam Gambar 10a & 10b.

3.00 210.6

2.50 2.00 2.00 12.061

AU 1.50 AU 1.00 1.00 274.5 0.50 0.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 250.00 300.00 350.00 menit Minutes nm ((a)a) (b)

Gambar 10 (a) Kromatogram HPLC analitik senyawa aktif murni hasil isolasi. (b) Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi.

Senyawa aktif murni yang diperoleh selanjutnya ditentukan bobot molekul dan struktur molekulnya menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR. Dari hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1, pada LC-MS m/z (M+H)+ ditunjukkan sebesar 261 (Gambar 11). Dari database program LCT Premier-XE Waters menunjukkan bahwa senyawa ini memiliki 14 atom karbon, 16 atom hidrogen, 2 atom nitrogen, dan 3 atom oksigen. 61

Gambar 11 Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.

Selanjutnya hubungan tata letak atom karbon dan atom hidrogen ditentukan menggunakan 1HNMR, 13CNMR, DEPT 13CNMR. Spektrum 1HNMR yang diperoleh dari Bruker AV-500 (500 MHz) dengan tetramethylsilane (TMS) sebagai standar internal dalam pelarut metanol-D4 dan memberikan data sebagai berikut; δH: 4,4 (t, 1H), 4,0(1H, dd), 2,1 (2H, m), 1,8 (2H, m), 3,5 (2H, dd), 3,1

(2H, dd), 7,0 (2H, d), 6,7 (2H, d), dan δC : 170,8 (s), 58,0 (d), 167,0 (s), 60,1 (d), 29,4 (t), 22,5 (t), 45,9 (t), 37,7 (t), 127,7 (s), 132,1 (d), 116,3 (d), 157,7 (s). Spektrum 1HNMR dan 13CNMR ditunjukkan pada Gambar 12a dan 12b. 62

12. (a)

12.(b)

Gambar 12 Spektrum 1HNMR (a) dan spektrum 13CNMR (b) senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11. 63

Dari hasil interpretasi spektrum LC-MS, 1HNMR, dan 13C NMR, diduga struktur molekul senyawa tersebut adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 13.

Gambar 13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11

Dua singlet atom karbon yang merupakan atom karbon dari gugus keton pada δC 170,8 (s)(C1) dan δC 166,9 (s) (C4) (Gambar 12b). Analisis lebih lanjut 13 dari spektrum C, dua atom karbon yang tidak tersubstitusi ditunjukkan pada δC

127,7 (C1’) dan 157,7 (C4’). Enam karbon methine ditunjukkan pada δC 57,9 (C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’), dan empat karbon methylene ditunjukkan pada δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7 (C10). DEPT 135° dan 90° (Gambar 14) menunjukkan ada enam karbon methine

[δC 57,9 (C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’)] dan empat karbon methylene [δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7 (C10)]. Dari spektrum DEPT 13C NMR terlihat puncak (C6’) tumpang tindih dengan (C2’) dan (C3’) tumpang tindih dengan (C5’). Hal ini disebabkan posisi (C6’) simetri dengan (C2’) dan (C3’) simetri dengan (C5’) yang mendapatkan pengaruh atau gugus tetangga dan awan elektron yang sama besar. Apabila dilihat dari geseran kimianya, proton pada posisi C3’ dan C5’ lebih upfield dibandingkan dengan proton pada posisi C2’ and C6’, hal ini disebabkan karena efek lindungan (shielding effect) dari gugus hidroksi pada posisi C4’ dan membentuk posisi ortho dengan atom C3’ and C5’. Hal yang sama terjadi pada C1’ (posisi para dengan C4’) yang tergeser lebih upfield dibandingkan C2’ dan C6’. 64

Gambar 14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Hasil analisis menggunakan spektrum infra merah (Gambar 15), pita karakteristik senyawa ini ditunjukkan pada 3383 cm-1 (N-H), 3227 cm-1 (O-H), 2959 cm-1 (saturated C-H), 1660 cm-1 (C=O), 1515 cm-1 (cincin benzen), 1456 cm-1 (methine), 1344 cm-1 (methylene), 1232 cm-1 (fenol), 1116 cm-1 (C-O), 827 cm-1 (p-disubstituted benzene ring). Pola spektrum infra merah ini sangat mirip dengan senyawa siklo(tirosil-prolil) yang telah ditemukan sebelumnya oleh Milne et al. (1992). Informasi yang diperoleh dari spectrum infra merah menguatkan bahwa senyawa aktif yang diperoleh adalah siklo(tirosil-prolil). Identifikasi dilanjutkan pada uji titik leleh menggunakan Gallen Kamp Melting Point Bicasa. Hasil uji menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp A11 memiliki titik leleh sebesar 140 °C. 65

Gambar 15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Data spektrum infra merah yang menunjukkan gugus fungsional yang terdapat dalam senyawa tersebut memperkuat data 13C NMR dan 1H NMR. Data kombinasi spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan posisi atom C dan atom H pada gugus fungsional yang ditunjukkan oleh spektrum Infra Red disajikan dalam Tabel 8. Senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 termasuk dalam kelompok siklodipeptida dengan nama siklo(tirosil-prolil). Siklo(tirosil-prolil) juga dihasilkan oleh Alternaria alternate yang digunakan sebagai host-specific phytotoxin untuk tumbuhan spotted knapweed (Stierle et al.1988) dan dihasilkan juga oleh Pseudomonas fluorescens GcM5-1A yang diisolasi dari pine wood nematode (PWN), Bursaphelenchus xylophilus (Guo et al. 2007). Menurut Graz et al.(2000) disamping memiliki aktivitas antibakteri, siklo(tirosil-prolil) adalah senyawa yang dapat digunakan untuk mengiduksi pematangan dalam terapi sel kanker, disamping itu menurut Graz et al.(1999) siklo(tirosil-prolil) juga memiliki aktivitas dalam pematangan sel gastrointestinal. Apabila dibandingkan dengan sebelum diperoleh isolat A11 dari Pantai Anyer Banten, penelitian ini telah mampu memberikan nilai tambah terhadap 66

isolat-isolat mikroba laut yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dengan ditemukannya senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 maka ada nilai tambah yang diperoleh dari pemanfaatan isolat ini. Siklo(tirosil-prolil) memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dari daftar harga Chem-info di dalam (http://www.chem-info.com/trade/sell/Cyclo(-Pro- Tyr)-518590.html) menunjukkan bahwa harga siklo(tirosil-prolil) murni sebesar US$ 155 per gramnya. Dengan demikian senyawa ini memiliki potensi untuk dikembangkan dan diproduksi.

Tabel 8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya δ 13C (ppm) δ 1H (ppm) Gugus No (dalam MeOD) fungsional 1 170,8 (s) N C R O 2 3 57,9 (d) 4,4 (t) CH

4 166,9 (s) N C R O 5 6 60,1 (d) 4,0(dd) CH

7 29,4 (t) 2,1 (m) -CH2- 8 22,5 (t) 1,8 (m) -CH2- 9 45,9 (t) 3,5 (dd) CH2 N

10 37,7 (t) 3,1 (dd) -CH2- 1’ 127,7 (s) C R

2’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH- 3’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 4’ 157,7 (s) C OH

5’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 6’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH-

IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa Aktif Siklo(tirosil-prolil)

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) merupakan salah satu metode untuk menentukan daya hambat suatu senyawa tertentu terhadap mikroba uji. MIC banyak digunakan untuk menguji aktivitas secara in vitro suatu senyawa aktif 67

yang memiliki aktivitas antimikroba Andrews (2001). Pada penelitian ini MIC ditentukan mengikuti metode Bonev et al. (2008) dan Andrews (2001) yang dimodifikasi yaitu dengan cara melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi dalam beberapa konsentrasi yaitu dari konsentrasi 6500 μg mL-1 sampai dengan 50,5 μg mL-1. Masing-masing konsentrasi diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji menggunakan metode difusi agar. Titik potong sumbu Y pada X=0 dalam kurva yang dibentuk Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y melawan X2 (diameter zona bening) sebagai sumbu X merupakan nilai logaritma MIC, dengan demikian besarnya MIC dapat ditentukan. Hasil penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji disajikan dalam Tabel 9, sedangkan kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji disajikan dalam Lampiran 7.

Tabel 9 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil) Konsentrasi hambatan minimum (MIC) µg mL-1 Staphylococcus Bacillus Pseudomonas Sampel Escherichia coli aureus ATCC subtilis ATCC aeruginosa ATCC 25922 25923 66923 ATCC 27853 Senyawa hasil 27 80 74 69 pemurnian Tetrasiklin (senyawa pembanding) 64 256 128 13

Tabel 9 menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi memiliki daya hambat yang kuat melawan bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif. Terhadap Escherichia coli ATCC 25922 yang merupakan kelompok bakteri Gram-negatif, senyawa ini menunjukkan MIC sebesar 27 µg mL-1, demikian juga dengan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 menunjukkan MIC sebesar 69 µg mL-1. Apabila dibandingkan dengan tetrasiklin (kontrol), senyawa hasil isolasi memiliki daya hambat lebih tinggi terhadap Escherichia coli ATCC 25922, namun daya hambatnya lebih rendah terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 2785. Senyawa hasil isolasi juga memiliki hambatan yang kuat terhadap bakteri Gram- positif walaupun hambatannya tidak sekuat Escherichia coli ATCC 25922. Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang merupakan kelompok bakteri Gram-positif, senyawa hasil isolasi memiliki MIC sebesar 80 µg mL-1 dan 68

terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 memiliki MIC sebesar 74 µg mL-1. Dibandingkan dengan tetrasiklin, senyawa ini masih lebih tinggi daya hambatnya terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus subtilis ATCC 6692. Menurut Tanaka (2001) dan Rhee (2004) sebagian besar antibiotik golongan peptida dikenal memiliki daya hambat yang kuat terhadap bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Menurut Rhee (2004) cyclo(leu-pro) memiliki MIC sebesar 16 µg mL-1 terhadap Escherichia coli, MIC 32 µg mL-1 terhadap Bacillus subtilis, MIC 32 µg mL-1 terhadap Pseudomonas aeruginosa, 64 µg mL-1 terhadap Staphylococcus aureus. Selain memiliki aktivitas antibakteri, siklik dipeptida juga memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan antitumor. Campuran beberapa siklik dipeptida memiliki efek sinergi terhadap bakteri dan fungi (Rhee 2004).

IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp.A11

Sebelum dilakukan optimasi proses fermentasi, terlebih dahulu dilakukan penentuan kurva pertumbuhan vegetatif isolat Streptomyces sp.A11 yang digunakan sebagai inokulan dalam proses optimasi fermentasi. Kurva pertumbuhan vegetatif digunakan untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk transfer dari kultur vegetatif ke kultur fermentatif, yaitu pada saat mendekati akhir dari fase logaritma. Kultur vegetatif bertujuan untuk memperbanyak sel yang akan digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi. Medium yang digunakan biasanya didesain untuk perbanyakan sel. Pada penelitian ini medium yang digunakan untuk penentuan kurva vegetatif adalah medium khamir ekstrak malt ekstrak (YEME). Medium YEME banyak digunakan untuk perbanyakan sel dalam kultur cair Streptomyces (Daza et al.1989). Kurva dan data pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 berturut- turut disajikan dalam Gambar 16 dan Lampiran 8. 69

11

10

9

),pH 8 -1

7

6 ), gula (g L ), (g gula -1 5

4

3

Biomassa sel (g L (g sel Biomassa 2

1

0 0 10203040506070 Waktu (Jam)

biomassa gula pH

Gambar 16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 Gambar 16 menunjukkan bahwa fase penyesuaian atau fase lag terjadi selama kurang lebih 8 jam. Pada fase lag, mikroba mulai menyesuaikan kondisi dan medium fermentasi. Pada fase ini belum terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel sama dengan nol. Setelah fase lag selesai selanjutnya masuk pada fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan atau logaritma terjadi pada rentang waktu jam ke-8 sampai dengan jam ke-50. Pada fase ini terlihat juga konsumsi gula dan pertumbuhan sel yang cepat yang diikuti penurunan pH dalam cairan medium. Konsumsi gula oleh mikroba mengakibatkan terbentuknya asam-asam organik hasil hidrolisis gula yang dapat menurunkan derajat keasaman medium Sanchez et al. (2010). Apabila dilihat dari rentang waktu fase logaritma maka proses pemanenan sel vegetatif untuk inokulum pada proses fermentasi dilakukan pada jam ke-40 sampai dengan jam ke-50, yaitu rentang waktu akhir fase pertumbuhan.

IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11

Setiap mikroba memiliki profil fermentasi yang khas. Perubahan pH medium, konsumsi gula, nitrogen, biomass dapat menggambarkan kondisi fermentasi mikroba tersebut. Profil fermentasi diamati dari beberapa variabel fermentasi seperti perubahan konsentrasi gula, nitrogen total, pH, biomassa, dan 70

konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Kurva dan data profil fermentasi berturut-turut disajikan dalam Gambar 17 dan Lampiran 9. Gambar 17 menunjukkan bahwa fase penyesuaian (fase lag) terjadi selama kurang lebih 8 jam, yaitu dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-8. Pada fase ini tidak terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel adalah nol. Walaupun medium awal fermentasi sudah mengandung glukosa, namun pertumbuhan sel mikroba masih memerlukan tahap penyesuaian medium. Adanya perbedaan komposisi medium vegetatif dengan medium fermentatif menyebabkan sistem metabolisme mikroba menjadi berubah, sehingga dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan kondisi medium yang baru (Wang et al. 1979). Fase logaritmik terjadi pada jam ke 8 sampai dengan jam ke-40 dengan ditandai penurunan konsentrasi gula yang diiringi pertumbuhan massa sel yang cepat. Pada fase ini laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimum (Stanbury dan Whitaker 1984). Dari hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik maksimal

(µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) (Lampiran 10a & 10b) menunjukkan bahwa isolat Streptomyces sp.A11 memiliki -1 laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) sebesar 0,04 jam dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) sebesar 0,6 gram biomassa per gram substrat. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan spesifik dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat Streptomyces coelicolor dalam pembentukan antibiotik actinohordin (Ulgen dan Mavituna 1993), Streptomyces sp.A11 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat yang lebih besar. 71

15 35 14

13 30 -1 )

12 -1 )x10

-1 11 25 ),

-1 10 9 20 8 7 15 6

), nitrogen total (mg.mL 5 bobot kering sel (g.L -1 10 4 3 konsentrasi siklo(tirosil-prolil) (mg.L gula (g.L 2 5 1 0 0 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 waktu (jam)

bobot kering sel gula pH nitrogen total konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Gambar 17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11

Menipisnya konsentrasi substrat dalam medium fermentasi mengakibatkan pertumbuhan sel mulai menurun. Pada fase ini terjadi penumpukan produk-produk metabolisme yang dapat menghambat laju pertumbuhan, selanjutnya mikroba masuk fase pada tahap stasioner. Pada fase stasioner pertumbuhan selular berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel serta terjadi produksi metabolit sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani 1994). Pada fase ini merupakan tahapan penting dalam produksi metabolit sekunder. Mikroba mulai tertekan pada akhirnya akan terjadi perubahan sistem metabolisme sel untuk mempertahankan viabilitas sel. Mekanisme reaksi enzim dalam metabolisme yang pada awalnya lebih banyak mendukung pertumbuhan sel akan berubah menjadi metabolisme pertahanan diri (Wang et al, 1979). Gambar 17 terlihat bahwa fase stasioner dimulai jam ke-48, namun demikian produksi siklo(tirosil-prolil) terjadi mulai jam ke-60 sampai dengan jam ke-135. Terlambatnya fase produksi yang ditunjukkan dalam kurva pertumbuhan (Gambar 17) diduga karena masih 72

rendahnya konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dalam kaldu fermentasi yang tidak terdeteksi dalam proses analisis. Pengamatan nilai pH medium fermentasi dapat digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas pertumbuhan sel. Apabila dilihat dari profil perubahan pH, terlihat bahwa dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-45 terjadi penurunan pH seiring dengan penurunan konsentrasi gula. Hal ini disebabkan terjadinya hidrolisis gula yang diubah menjadi asam-asam organik yang menyebabkan suasana medium fermentasi menjadi asam. Dengan demikian secara tidak langsung bahwa penurunan pH menunjukkan adanya konversi substrat menjadi senyawa lain seperti asam organik, dan protein. Secara umum penurunan pH bersamaan dengan penurunan konsentrasi gula. Pengamatan pH setelah jam ke-45 terjadi kenaikan pH pada medium fermentasi, hal ini disebabkan oleh terjadinya deaminasi protein yang dapat menyebabkan kondisi kaldu fermentasi menjadi lebih basa. Menurut Wang et al. (1979) penggunaan sumber nitrogen organik cenderung memicu naiknya pH fermentasi yang disebabkan oleh terjadinya deaminasi asam amino. Lisis sel atau rusaknya sebagian sel dalam medium fermentasi juga dapat mempengaruhi kenaikan pH medium fermentasi. Sel disusun oleh beberapa protein organik, apabila terjadi kerusakan sel maka terjadi deaminasi asam amino yang mengakibatkan naiknya pH kaldu fermentasi. Kisaran pH selama proses fermentasi terlihat pada kisaran pH 5,8-7,6. Nilai pH ini masih pada batas toleransi aktinomisetes pada umumnya. Menurut Goodfellow et al. (1988) aktinomisetes mampu tumbuh baik pada kisaran pH 6-8. Actinohordin yang dihasilkan oleh Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki kisaran pH 7,2-8. Seperti halnya Streptomyces sp. A11, Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki profil pH yang mirip dengan Streptomyces sp. A11. Pada fase eksponensial terjadi penurunan pH sampai mendekati fase stasioner, selanjutnya terjadi kenaikan pH sampai dengan pH 8 sampai akhir fermentasi (Ulgen dan Mavituna 1993). Apabila dilihat dari profil perubahan konsentrasi nitrogen total menunjukkan bahwa kebutuhan nitrogen terjadi dari awal fermentasi sampai dengan akhir fermentasi. Pada awal fermentasi, konsumsi nitrogen digunakan untuk pertumbuhan sel, setelah pertumbuhan berhenti, kebutuhan sumber nitrogen digunakan untuk pembentukan senyawa-senyawa metabolit melalui 73

reaksi enzimatis dalam proses metabolisme, dan sebagian sumber nitrogen kompleks dihidrolisis dan digunakan sebagai sumber karbon untuk mempertahankan viabilitas selnya (Stanbury dan Whitaker 1987). Dalam sistem metabolisme sel mikroba, nitrogen digunakan sebagai sumber sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA yang berfungsi menurunkan faktor genetik (Vogel 1996). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase pertumbuhan, pembentukan metabolit primer dan sekunder (Aharonowitz 1980). Sumber nitrogen yang digunakan dalam penentuan profil fermentasi ini adalah ekstrak khamir dan pepton. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh beberapa jenis mikroba. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mengandung beberapa macam asam amino dan vitamin yang dibutuhkan untuk metabolisme sel (Crueger dan Crueger 1984). Asam amino yang terdapat dalam ekstrak khamir dan pepton antara lain asam glutamat, glutamin, arginin, asparagin, prolin, sistein, metionin, dan fenilalanin (Wang et al. 1978). Disamping mengandung asam amino, ekstrak khamir juga mengandung beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, potassium, sodium, klorida, fosfat, dan sulfat. Apabila dilihat dari produktivitas antibiotik, Streptomyces sp. A11 terdeteksi mulai memproduksi metabolit sekunder pada jam ke-60, yaitu rentang waktu yang telah masuk pada fase stasioner dan tidak terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel sama dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan termasuk dalam metabolit sekunder dan bukan metabolit primer. Seperti diketahui bahwa metabolit sekunder diproduksi tidak berasosiasi dengan pertumbuhan sel, dan disintesis pada fase stasioner (Mangunwijaya dan Suryani 1994). Demikian sebaliknya apabila terjadi pertumbuhan sel cepat maka pada saat itu terjadi represi antibiotik sintetase, sehingga mikroba tidak menghasilkan metabolit sekunder. Pada fase pertumbuhan, glikolisis lebih banyak terjadi untuk pembentukan metabolit primer seperti asam organik, asam amino atau protein, dan asam lemak (Martin dan Demain 1980). Dilihat durasi fase produksi, siklo(tirosil-prolil) diproduksi selama kurang lebih selama 75 jam. Setelah memasuki jam ke-135 produktivitas siklo(tirosil- 74

prolil) mulai mengalami penurunan. Durasi fase produksi setiap mikroba adalah berbeda-beda tergantung pada faktor genetik dan kondisi lingkungannya. Untuk aktinomisetes dan fungi, fase produksi biasanya lebih panjang dari bakteri. Apabila tidak ada inhhibitor atau represi lainnya, aktinomisetes dan fungi mampu memproduksi antibiotik sampai beberapa hari (Martin dan Demain 1980). Sebagai contoh fermentasi untuk produksi candicidin pada skala indutri, dapat dilakukan selama 200 jam. Menurut Martin dan Demain (1980) ada 3 hal yang mempengaruhi berhentinya biosintesis antibiotik, pertama: rusaknya beberapa enzim jalur biosintesis antibiotik secara ireversibel, kedua: efek umpan balik akibat akumulasi antibiotik yang dihasilkannya, dan ketiga: berkurangnya prekursor perantara pada biosintesis antibiotik.

IV. 8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi

Laju pertumbuhan mikroba dan pembentukan produk sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Setiap mikroba memiliki rentang kondisi optimum untuk pertumbuhan sel dan produksi metabolit sekunder yang berbeda-beda, walaupun dalam satu spesies. Suhu dan pH medium merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel maupun produktivitas antibiotik (Shuler & Kargi 1992). Hal ini disebabkan pH dan suhu dapat mempengaruhi kinerja membran sel mikroba, enzim dan komponen intraselular lainnya (Judoamidjojo et al. 1992). Ada tiga jenis pembagian mikroba didasarkan pada suhu optimum untuk pertumbuhan atau produksi. Pertama mikroba psychrophiles yaitu pertumbuhan optimum mikroba pada rentang waktu dibawah suhu 20°C. Kedua mikroba mesophiles yaitu mikroba yang memiliki pertumbuhan optimum pada rentang suhu 20-40°C, dan ketiga mikroba thermophile, yaitu mikroba dengan pertumbuhan optimum diatas suhu 40°C. Sebagian besar mikroba masuk dalam kelompok mesophile (Wang et al. 1979). Dalam penentuan suhu terbaik pada proses fermentasi, dipilih beberapa variabel suhu fermentasi. Pada penelitian ini digunakan lima variabel suhu fermentasi yaitu pada 26, 28, 30, 32, dan 34 °C. Dari rentang suhu fermentasi yang digunakan terlihat bahwa suhu terbaik proses 75

fermentasi ini berada pada suhu 30 °C (Gambar 18). Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan dengan perlakuan suhu 30 °C adalah yang terbaik dan berbeda nyata dengan variabel suhu lainnya. Terlihat pada suhu 30 °C, konsentrasi antibiotik yang dihasilkan sebesar 30 mg L-1, dan berturut-turut diikuti perlakuan suhu 32 °C dengan konsentrasi antibiotik 24,49 mg L-1, suhu 34 °C dengan konsentrasi antibiotik 20,97 mg L-1, suhu 28 °C dengan konsentrasi antibiotik 19,86 mg L-1, dan suhu 26 °C dengan konsentrasi antibiotik 11,29 mg L-1. Dilihat dari suhu optimum untuk produksi metabolit sekunder, Streptomyces sp. A11 tergolong dalam bakteri mesofilik, yaitu suhu optimum untuk pertumbuhan dan produksi metabolit sekunder berada pada kisaran 20 °C - 40 °C.

) -1 35 30 25 20 15 konsentrasi 10

siklo(tirosil-prolil) (mg.L 5 0 26 28 30 32 34 suhu fermentasi (oC)

Gambar 18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Hal yang sama disampaikan oleh Barun et al. (1998), suhu optimum proses fermentasi Streptomyces hygroscopicus D1.5 adalah 30 °C, dan menurut Kumar dan Kannabiran (2010) suhu optimum proses fermentasi Streptomyces VITSVK9 spp adalah 30 °C. Namun demikian berbeda halnya dengan James dan Edwards (1997) yang telah menemukan Streptomyces termotoleran yang memiliki suhu optimum fermentasi sebesar 45 °C pada produksi granaticin. Suhu 76

fermentasi berkaitan erat dengan proses metabolisme pembentukan metabolit primer dan sekunder. Pada proses metabolisme banyak reaksi enzim yang terlibat dan saling berkaitan. Enzim dapat bekerja secara maksimal pada suhu yang optimum. Setiap mikroba memiliki suhu optimum fermentasi yang berbeda-beda walaupun dalam spesies yang sama. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu optimumnya, peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan sel dengan cepat. Pada suhu dibawah optimum, proses metabolisme sel akan berjalan lebih lambat. Hubungan diantara perubahan suhu terhadap kecepatan pertumbuhan sel atau kematian sel dapat dijelaskan dengan persamaan Arrhenius (Wang et al.1979). Menurut Wang et al. (1979) energi aktivasi untuk pertumbuhan sel pada mikroba adalah berkisar antara 15-20 kkal/mol dan untuk kematian sel berkisar 60-70 kkal/mol. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan kematian sel lebih sensitif dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan sel. Kenaikan suhu fermentasi diatas titik kritisnya akan menyebabkan penurunan pertumbuhan sel yang cepat dibandingkan penurunan suhu dibawah titik kritisnya. Berdasarkan persamaan Arrhenius (Wang et al. 1979);

µ = A° e-Ea/ RT α = A° e-Ea/ RT

µ = kecepatan pertumbuhan sel spesifik α = kecepatan kematian sel spesifik A° = Konstanta Arrhenius Ea = Energi aktivasi R = Konstanta gas (1,98 kal/mol °K) T = Temperatur (°K)

Dalam beberapa hal penggunaan mikroba thermophile tidak dikehendaki oleh industri. Hal ini disebabkan oleh biaya energi yang dibutuhkan untuk proses produksi yang jauh lebih tinggi. 77

Selain suhu fermentasi, faktor lain yang berpengaruh pada kondisi fermentasi adalah pH awal medium fermentasi. pH medium merupakan salah satu parameter penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Sebagian besar bakteri memiliki kisaran optimum pada pH 5-8, kapang dan aktinomisetes pada kisaran pH 3-8, yeast pada kisaran pH 3-6, dan kelompok eukariotik tingkat tinggi pada kisaran pH 6,5-7,5 (Wang et al. 1979). Dalam penelitian ini ditentukan pH optimum fermentasi dari interval pH 4 sampai dengan pH 8. Rentang pH yang telah diuji menunjukkan pH 6,5; 7 ; 7,5 menghasilkan konsentrasi antibiotik paling optimum (Gambar 19). Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan pH awal medium fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan dengan perlakuan pH awal fermentasi 6,5; 7, dan 7,5 paling optimum. Dari ketiga variabel tersebut menunjukkan konsentrasi antibiotik tidak berbeda nyata. Dengan demikian rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5 menunjukkan pH optimum proses fermentasi Streptomyces sp. A11. Seperti halnya pengaruh suhu fermentasi, pH awal medium fermentasi memiliki pengaruh yang nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. pH awal medium fermentasi berkaitan dengan proses metabolisme sel, kinerja membran sel, dan tekanan osmotik sel. Enzim yang terlibat dalam proses metabolisme memerlukan kondisi pH yang optimum. Beberapa genus Streptomyces memiliki pH optimum pada rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5. (Barun et al.1998 ; James dan Edwards 1997).

78

35

) 30 -1

25

20

15 Konsentrasi 10

siklo(tirosil-prolil)(mg.L 5

0 44.555.566.577.58 pH

Gambar 19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

IV. 9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi

Pemilihan substrat yang akan dijadikan medium fermentasi sangat menentukan struktur metabolit primer dan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba. Oleh karena itu pemilihan sumber karbon sebagai penyusun utama dalam medium fermentasi harus disesuaikan dengan kebutuhan mikroba untuk pembentukan metabolit primer atau metabolit sekunder yang diharapkan (Crueger dan Crueger 1984). Menurut (Stanbury dan Whitaker 1984) laju metabolisme sumber karbon berpengaruh terhadap pembentukan biomassa dan produk metabolit yang dihasilkan. Dengan demikian pemilihan sumber karbon merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan metabolit yang diharapkan. Sebelum dilakukan optimasi medium fermentasi secara simultan menggunakan Response Surface Methodology (RSM), terlebih dahulu dilakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan variabel terbaik sumber karbon, sumber nitrogen dan mineral. Sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini meliputi glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dekstrin, dan molase. Pemilihan sumber karbon glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa didasarkan pada lintasan awal metabolisme diantara maltosa, sukrosa dan laktosa yang berbeda. Glukosa merupakan senyawa monosakarida yang umumnya bersifat paling mudah 79

dimetabolisme oleh mikroba dibanding gula lainnya, sehingga disebut sebagai substrat primer (Wang et al. 1978). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar mengikuti lintasan Embden-Meyerhof. Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6- fosfat yang selanjutnya dalam beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat. Senyawa ini merupakan sumber karbon dan energi utama bagi sebagian besar mikroba serta menjadi titik awal sebagian besar lintasan metabolisme mikroba. Penggunaan substrat maltosa membutuhkan enzim maltose-glukoamilase yang akan memecah maltosa menjadi glukosa, dan enzim maltose-fosforilase yang akan maltosa menjadi glukosa-1-fosfat. Selanjutnya glukosa-1-fosfat diisomerisasi menjadi glukosa-6-fosfat, sehingga lintasan menjadi sama dengan glukosa (Moat et al. 2002). Menurut Hoque et al (2003) beberapa isolat Streptomyces yang diisolasi dari tanah mampu menghasilkan enzim maltase. Selanjutnya lintasan metabolisme sukrosa diawali dengan konversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat oleh enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat. Lintasan metabolisme laktosa diawali dengan hidrolisis laktosa oleh enzim β-galaktosidase menjadi galaktosa dan glukosa. Glukosa hasil hidrolisis masuk dalam lintasan Embden-Meyerhof, sedangkan galaktosa dikonversi mejadi galaktosa-1-fosfat oleh galaktokinase dan berlanjut menjadi glukosa-1-fosfat oleh enzim fosfogalaktoseuridiltansferase (Moat et al. 2002). Menurut Dan dan Szabo (1973) Streptomyces griseus mampu menghasilkan enzim β-galaktosidase melalui induksi menggunakan substrat galaktosa. Dekstrin merupakan produk antara hasil hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa yang memiliki rantai 6-10 glukosa. Lintasan metabolisme dekstrin mirip dengan lintasan metabolisme maltosa dan glukosa yang diawali dengan hidrolisis dekstrin menjadi maltosa dan glukosa. Dekstrin memiliki keunggulan lebih mudah larut di dalam air dibandingkan dengan pati. Beberapa enzim α- amilase dan glukoamilase mampu menghidrolisis dekstrin menjadi glukosa atau maltosa. Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan dekstrin dapat digambarkan pada Gambar 20. Pada proses glikolisis, setiap molekul glukosa akan dikonversi menjadi 2 molekul asam piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa antara untuk pembentukan berbagai asam amino dan asam 80

lemak yang merupakan komponen pembentukan metabolit primer dan metabolit sekunder.

Laktosa

Galaktosa

Dektrin Maltosa Glukosa-1-P Galaktosa-1-P

D-Glukosa Glukosa-6-P

Sukrosa Fruktosa Fruktosa-6-P

Fruktosa-1,6-difosfat

1,6 difosfogliserat

3-fosfogliserat

2-fosfogliserat

fosfoenolpiruvat

Asam piruvat

Gambar 20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat (Moat et al. 2002).

Pemilihan molase (gula tebu) sebagai sumber karbon didasarkan pada komposisi molase yang komplek dan kaya akan sumber gula seperti sukrosa sekitar 33,4 %, gula invert 21,2 %, beberapa mineral seperti Cu, Fe, Mn, Zn,Co, Mg, K, Na, dan asam amino seperti riboflavin, tiamin, niasin, dan kolin (Crueger dan Crueger (1984). Namun demikian komposisi gula, kandungan mineral, dan asam amino di dalam molase bervariasi tergantung dari proses produksi gula yang digunakan. Molase yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri gula Madukismo yang berlokasi di Yogyakarta. 81

Hasil percobaan diperoleh informasi bahwa sumber karbon terbaik untuk produksi senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) dihasilkan oleh dekstrin dan maltosa (Gambar 21).

30 -1 25

20

15

10

5 konsentrasi siklo(tirosil-prolil) mg L mg siklo(tirosil-prolil) konsentrasi

0 laktosa glukosa molase sukrosa dekstrin maltosa sum be r ka rbon

Gambar 21 Pengaruh sumber karbon terhadap konsentrasi siklo(tirosil- prolil)

Hasil analisis ragam (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap beberapa sumber karbon berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Dari Gambar 21 terlihat bahwa sumber karbon dekstrin menghasilkan konsentrasi antibiotik sebesar 28,41 mg L-1 dan diikuti dengan maltosa dengan konsentrasi sebesat 25,29 mg L-1. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh kedua sumber karbon dekstrin dan maltosa tidak berbeda nyata. Apabila dilihat dari konsentrasi antibiotik dan rasio konsentrasi antibiotik terhadap konsumsi sumber karbon (Tabel 10) terlihat bahwa dektrin menunjukkan sumber karbon yang terbaik. Konsumsi dekstrin terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan glukosa maupun maltosa, namun demikian konsentrasi antibiotik yang dihasilkan lebih besar, artinya bahwa konversi sumber karbon menjadi metabolit sekunder adalah lebih besar (Tabel 10). Hal yang sama ditunjukkan pada rasio konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan terhadap total konsumsi sumber karbon, terlihat dekstrin menunjukkan rasio yang paling tinggi. Berbeda halnya dengan 82

glukosa, konsumsi glukosa cenderung besar, namun demikian konsentrasi antibiotik yang dihasilkan cenderung lebih kecil dibandingkan dekstrin. Menurut Wang (1979) sebagian besar mikroba lebih menyukai glukosa yang dapat dimetabolisme secara langsung dibandingkan sumber karbon lainnya. Konsumsi glukosa pada fase logaritma diiringi pertumbuhan sel yang cepat, sehingga jumlah sel cenderung meningkat lebih cepat. Data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 13b.

Tabel 10 Konsentrasi antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon (So-S)/So x Rasio konsentrasi siklo Konsentrasi Total konsumsi 100% (tirosil-prolil) terhadap Sumber siklo (tirosil- sumber karbon total konsumsi sumber karbon prolil) (mg L-1) Notasi (mg) karbon (Yp/s) Laktosa 12,84 a 4034 32,26 0,00318 Sukrosa 14,05 a 4401 47,87 0,00319 Molase 15,50 a 4933 83,47 0,00314 Glukosa 23,00 bc 9747 86,05 0,00224 Maltosa 25,29 cd 9409 79,45 0,00269 Dekstrin 28,41 d 8573 78,08 0,00331 Total konsumsi sumber karbon : konsentrasi sumber karbon awal (sebelum fermentasi) dikurangi konsentrasi sumber karbon setelah fermentasi

Tabel 10 menunjukkan konsumsi glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi maltosa dan dektrin. Pada awal fermentasi dan fase logaritma, konsumsi glukosa lebih banyak digunakan untuk pembentukan sel. Menurut Stanbury dan Whitaker (1984) adanya glukosa dalam medium fermentasi dapat menyebabkan terjadinya metabolisme cepat (fast metabolism) untuk pembentukan sel dan secara bersamaan akan merepresi reaksi enzim pembentukan metabolit sekunder. Namun demikian apabila konsentrasi glukosa mulai terbatas, pembentukan metabolit sekunder akan terjadi. Untuk dapat menggunakan substrat maltosa atau dektrin masuk kedalam sel, diperlukan pemecahan atau hidrolisis maltosa atau dekstrin menjadi glukosa terlebih dahulu. Gambar 20 menunjukkan lintasan metabolisme maltosa dapat melalui glukosa yang dilanjutkan dengan glikolisis menjadi glukosa-6-fosfat dan melalui lintasan melalui konversi maltosa menjadi glukosa-1-fosfat yang berlanjut menjadi glukosa-6-fosfat. Lintasan metabolisme dektrin menjadi lebih panjang, yaitu melalui pemecahan dektrin menjadi maltosa dan glukosa, dan tahap selanjutnya mengikuti lintasan metabolisme glukosa dan maltosa. Perbedaan 83

lintasan metabolisme menyebabkan laju penggunaan substrat antara glukosa, maltosa, dan dekstrin menjadi berbeda. Perbedaan lintasan metabolisme juga berpengaruh terhadap besarnya energi, dalam hal ini ATP yang diperlukan atau dibebaskan dalam proses anabolisme dan katabolisme. Konsumsi sumber karbon laktosa, sukrosa, dan molase terlihat jauh lebih kecil dibandingkan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dekstrin, demikian juga konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Streptomyces sp.A11 kurang mampu menghidrolisis dan mengkonsumsi sumber karbon tersebut. Untuk dapat digunakan dalam metabolisme sel, laktosa terlebih dahulu dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa. Enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis laktosa adalah enzim β-galaktosidase. Kurangnya kemampuan dalam mengasimilasi laktosa ditandai dengan pertumbuhan sel yang lambat. Hal yang sama terjadi pada konsumsi sukrosa. Sukrosa merupakan disakarida yang disusun dari glukosa dan fruktosa. Sebelum dapat diasimilasi oleh mikroba, sukrosa terlebih dahulu dihidrolisis menggunakan enzim invertase. Tidak semua mikroba memiliki kemampuan untuk menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Adapun reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa disajikan sebagai berikut:

invertase C22H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6 Glukosa Fruktosa Sukrosa Penggunaan molase sebagai sumber karbon pada percobaan ini diperoleh konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dektrin. Molase merupakan hasil samping dari proses produksi gula. Disamping kaya akan sukrosa, fruktosa, dan glukosa, molase juga mengandung bermacam-macam mineral. Namun demikian karena molase merupakan hasil samping yang sebelumnya dilakukan penambahan bahan kimia dalam proses produksi gula, sulit untuk memprediksi komposisi kimia sebenarnya yang terkandung di dalam molase. Banyak kemungkinan unsur-unsur logam yang terkandung didalamnya menghambat atau mempercepat pertumbuhan mikroba. Molase yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan pertumbuhan isolat Streptomyces sp. A11 yang lambat, demikian 84

juga dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya. Kompleksitas komposisi molase menjadi lebih sulit untuk memprediksi kemungkinan penyebab kecilnya laju pertumbuhan dan produktivitas siklo(tirosil-prolil). Dalam penggunaan sumber karbon komplek seperti halnya molase, maka perlu diperhatikan regulasi penggunaan sumber karbon dalam sel. Menurut Sanchez et al. (2010) salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi adalah regulasi sumber karbon dalam metabolisme sel. Regulasi sumber karbon ditentukan oleh kecepatan penggunaan sumber karbon yang paling disukai oleh mikroba tersebut. Salah satu faktor regulasi sumber karbon yang paling penting adalah represi katabolit sumber karbon. Mikroba akan menentukan sumber karbon yang paling disukai untuk dimetabolisme terlebih dahulu dibandingkan sumber karbon lainnya dengan melakukan represi reaksi enzim tertentu yang terjadi di dalam metabolisme tersebut (Martin dan Demain 1980). Dalam jalur metabolisme, dektrin dan maltosa dihidolisis menjadi glukosa, dan berlanjut sampai terjadinya glikolisis menjadi piruvat. Walaupun jalur metabolisme yang digunakan oleh dekstrin dan maltosa pada akhirnya mirip dengan lintasan glukosa, namun produktivitas siklo(tirosil-prolil) dengan sumber karbon dekstrin dan maltosa lebih tinggi dibandingkan dengan sumber karbon glukosa. Glukosa merupakan sumber karbon yang siap dimetabolisme secara langsung tanpa dilakukan hidrolisis seperti halnya dektrin atau polisakarida lainnya. Mikroba akan merasa nyaman dan terus tumbuh dengan adanya glukosa dalam jumlah yang cukup. Pada Tabel 10 terlihat bahwa konsumsi glukosa terlihat relatif lebih banyak dibandingkan maltosa dan dekstrin. Berbeda halnya dengan sumber karbon dekstrin dan maltosa, kedua sumber karbon ini akan mengalami hidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa untuk dapat digunakan dalam proses metabolisme sel. Dengan demikian jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dapat diatur dengan sendirinya oleh mikroba tersebut. Hal yang sama terjadi pada produksi aktinomisin D menggunakan isolat Streptomyces parvulus (Sausa et al. 2001). Penggunaan glukosa dalam medium fermentasi mengakibatkan pertumbuhan sel yang cepat dan produktivitas aktinomisin D menjadi berkurang. 85

Streptomyces merupakan salah satu bakteri Gram-positif non-motil yang memiliki kemampuan menghidrolisis berbagai sumber karbon polimer yang ada di lingkungan. Streptomyces memiliki jumlah protein & enzim yang paling lengkap yang dapat mendukung kemampuannya untuk dapat bertahan hidup di lingkungannya. Sebagai contoh Streptomyces coelicolor memiliki 614 protein untuk mendukung kelangsungan hidupnya (Sanchez et al. 2010). Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, maka sumber karbon dekstrin dipilih sebagai sumber karbon untuk penelitian selanjutnya. Dekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisis parsial pati yang memiliki unit rantai glukosa yang pendek (6 – 10 molekul glukosa) sehingga dektrin memiliki sifat lebih mudah larut di dalam air. Dektrin juga menjadi sumber karbon terbaik untuk produksi antibiotik spiramycin oleh Streptomyces ambofaciens (Benslimane et al.1995; Ashy dan Abou-Zeid 1982).

IV. 10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi

Salah satu komponen utama dalam medium fermentasi mikroba disamping sumber karbon adalah sumber nitrogen. Nitrogen digunakan sebagai sumber sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA (Vogel 1996). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase pertumbuhan, disamping itu sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan metabolit sekunder khususnya antibiotik golongan peptida (Umezawa et al. 1978). Disamping konsentrasi sumber nitrogen dalam medium fermentasi, jenis sumber nitrogen juga berpengaruh terhadap produktifitas metabolit primer atau sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Sumber nitrogen komplek organik banyak digunakan dalam produksi metabolit sekunder antibiotik dibandingkan dengan sumber nitrogen inorganik seperti nitrat, nitrit, dan ammonium sulfat (Aharonowitz 1980). Dengan demikian pemilihan jenis sumber nitrogen berperan penting dalam proses produksi metabolit primer atau sekunder. Sumber nitrogen yang digunakan dalam percobaan ini meliputi sumber nitrogen kompleks seperti pepton, ekstrak khamir, kasein hidrolisat dan sumber nitrogen non kompleks seperti asam glutamat dan ammonium sulfat. Hasil 86

percobaan pemilihan sumber nitrogen terbaik menunjukkan bahwa pepton terlihat menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi, yaitu sebesar 22,7 mg L-1, selanjutnya kasein sebesar 21,65 mg L-1, ekstrak khamir 12,88 mg L-1, dan asam glutamate 9,99 mg L-1. Sumber nitrogen ammonium sulfat terlihat tidak menghasilkan konsentrasi antibiotik. Hasil analisis ragam (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap beberapa sumber nitrogen berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. Namun demikian hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh sumber nitrogen pepton dan kasein adalah tidak berbeda nyata. Dilihat dari tingkat konsumsi nitrogen antara pepton dan kasein (Tabel 11), yaitu nitrogen total awal fermentasi dikurangi nitrogen total akhir fermentasi adalah hampir sama, hal ini menunjukkan bahwa penggunakan sumber nitrogen pepton dan kasein tidak berbeda nyata. Data selengkapnya disajikan dalam Gambar 22 dan Tabel 11.

25

20 ) -1

15

10 konsentrasi siklo(tirosil-prolil)(mg L siklo(tirosil-prolil)(mg 5

0 amonium sulfat ekstrak khamir asam glutamat kasein pepton sumber nitrogen

Gambar 22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Dari Tabel 11 terlihat bahwa tingkat konsumsi pepton dan kasein relatif tinggi dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya, hal ini diimbangi juga dengan produktivitas antibiotik yang tinggi. Berbeda halnya dengan konsumsi 87

sumber nitrogen ekstrak khamir, terlihat tingkat konsumsi ekstrak khamir tinggi namun produktivitas antibiotik relatif lebih kecil dibanding pepton dan kasein. Diduga tingginya konsumsi ekstrak khamir ini lebih banyak dikonversi menjadi biomassa dibandingkan dengan konversi menjadi siklo(tirosil-prolil).

Tabel 11 Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil- prolil) Nitrogen total Nitrogen total Jumlah awal akhir Konsentrasi konsumsi fermentasi fermentasi siklo(tirosil- nitrogen total Sumber nitrogen (mg.mL-1) (mg.mL-1) prolil) (mg.L-1) (mg.mL-1)

Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44

Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20

Pepton (Difco) merupakan produk hidrolisis dari protein hewani yang diambil dari albumin. Pepton mengandung bermacam-macam asam amino hasil hidrolisis protein hewani. Pepton banyak digunakan untuk medium sumber nitrogen kompleks dalam proses fermentasi. Sedangkan kasein (Difco) merupakan produk hidrolisis protein susu yang diperoleh dari kasein susu. Seperti halnya pepton, kasein juga kaya akan protein yang disusun dari beberapa macam asam amino. Kasein banyak digunakan dalam medium fermentasi atau campuran dalam medium agar. Menurut Aharonowitz (1980), keterlibatan nitrogen dalam regulasi metabolisme biosintesis antibiotik dapat dikategorikan dalam 2 jalur. Pertama, nitrogen dalam bentuk asam amino terlibat langsung dalam pembentukan antibiotik. Asam amino bertindak sebagai prekursor dalam proses pembentukan antibiotik. Proses ini banyak terjadi dalam pembentukan antibiotik golongan peptida. Sebagai contoh pada biosintesis antibiotik gramisidin oleh Bacillus sp dan Pseudomonas, dibutuhkan 5 asam amino yang terlibat langsung sebagai prekursor dalam pembentukan biosintesis gramisidin tersebut. Kedua, nitrogen dalam bentuk atom nitrogen terlibat dalam biosintesis metabolit primer dan berlanjut menjadi senyawa metabolit sekunder. Dilihat dari keterlibatan nitrogen dalam biosintesis antibiotik seperti yang dikemukaan oleh Aharonowitz (1980), diduga peran nitrogen dalam biosintesis 88

siklo(tirosil-prolil) mengikuti jalur yang pertama, yaitu asam amino terlibat langsung dalam biosintesis antibiotik. Hal ini dikuatkan dari penggunaan sumber nitrogen pepton dan kasein yang mengandung asam amino menghasilkan produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang lebih tinggi. Lautru et al. (2002) menjelaskan bahwa biosintesis siklo(phe-leu) disusun oleh asam amino phenil alanin dengan leusin secara langsung dari asam amino, masing-masing asam amino diaktifkan oleh siklodipeptida sintetase (CDPSs) melalui gen AlbC. Sampai saat ini belum ada literatur yang menjelaskan mengenai biosintesis pembentukan siklo(tirosil-prolil). Biosintesis pembentukan siklo(tirosil-prolil) diduga melalui jalur pengaktifan asam amino tirosin dan prolin dengan menggunakan siklodipeptida sintetase seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002). Kemungkinan reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) terjadi adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 23.

O H siklodipeptida sintetase(CDPSs) N - + + - HN H2 + HO H3 O siklo(tirosil-prolil) prolin tirosin

Gambar 23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil)

Apabila dilihat dari komposisi asam amino dari sumber nitrogen pepton, kasein, dan ekstrak khamir, terlihat bahwa ketiga sumber nitrogen ini mengandung asam amino prolin dan tirosin dalam bentuk bebas dan terikat dalam protein seperti yang disajikan dalam Tabel 12. Pepton mengandung total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih tinggi dibandingkan kasein dan ekstrak khamir. Kasein mengandung jumlah prolin bebas, total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak khamir. Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh pepton dan kasein lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak khamir. Hal ini mendukung dugaan bahwa biosintesis siklo(tirosil-prolil) 89

dipengaruhi oleh adanya asam amino prolin dan tirosin dalam medium fermentasi seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002).

Tabel 12 Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir. Sumber Nitrogen Prolin Bebas Total Prolin Tirosin Bebas Total Tirosin Komplek (%) (%) (%) (%)

Pepton (Difco) 0,3 8,8 0,5 0,6

Kasein (Difco) 0,5 8,0 0,4 0,4 Ekstrak khamir 0,3 2,3 0,1 0,2 (Difco) sumber: katalog Difco 2004.

Penggunaan sumber nitrogen asam glutamat terlihat mampu menghasilkan siklo(tirosil-prolil) walaupun lebih kecil dibandingkan dengan pepton, kasein, dan ekstrak khamir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asam glutamat merupakan lintasan dalam pembentukan asam amino prolin melalui L-glutamil-γ-phosphate, glutamic- γ-semialdehyde (GSA), dan pyroline-5-carboxylate seperti yang disajikan dalam Gambar 24. Dengan demikian glutamat berperan dalam preursor pembentukan prolin.

Gambar 24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat

(http://www.hort.purdue.edu/rhodcv/hort640c/proline/pr00003.htm)

90

Selain berperan sebagai prekursor pembentukan prolin, asam glutamat juga berperan dalam pembentukan tirosin. Sebagai sumber nitrogen, glutamat berperan dalam proses transaminase pembentukan tirosin melalui p- hydroxyphenylpyruvate seperti yang disajikan dalam Gambar 25.

Gambar 25 Biosintesis tirosin melalui transaminase p-hydroxyphenylpyruvate (http://en.wikibooks.org/wiki/Principles_of_Biochemistry/Synthesis_of_aminoacids).

Pepton juga menjadi sumber nitrogen terbaik pada produksi antibiotik oxytetracycline menggunakan isolat Streptomyces rimosus (Abou-Zeid et al. 1981) dan menjadi sumber nitrogen terbaik pada produksi antibiotik streptolydigin menggunakan isolat Streptomyces lydicus AS 4.2501. (Liangzhi et al. 2007).

IV.11. Penentuan Mineral Terbaik untuk Produksi Siklo(tirosil-prolil)

Mineral merupakan salah satu penyusun medium fermentasi yang memiliki pengaruh terhadap produksi antibiotik. Menurut Stanbury dan Whitaker (1987), mineral memiliki peran penting dalam reaksi enzim, yaitu sebagai kofaktor pada proses metabolisme. Kombinasi campuran mineral juga berperan penting dalam regulasi elektrolitik dan osmotik dalam sel. Menurut Vogel dan Todaro 1996, kebutuhan mineral pada fase pembentukan metabolit primer atau sekunder lebih tinggi dibandingkan pada fase pembentukan biomassa sel. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan mineral dalam metabolisme pembentukan metabolit primer dan sekunder. Reaksi enzim dalam proses metabolisme membutuhan beberapa macam campuran mineral. Sebagai contoh kebutuhan garam fosfat pada kisaran 0,3 sampai dengan 300 mM umumnya dibutuhkan untuk pertumbuhan sel, namum 91

demikian pada fase stasioner keberadaan garam fosfat akan merepresi pembentukan antibiotik (Martin dan Demain 1980). Reaksi biosintesis antibiotik banyak melibatkan reaksi enzim dalam metabolismenya. Dalam setiap reaksi enzim dibutuhkan mineral atau ion logam yang bervariasi. Beberapa ion logam bersifat menghambat reaksi namun ada yang mempercepat reaksi enzim. Penentuan awal kebutuhan jumlah dan jenis mineral didalam medium fermentasi memang sulit ditentukan. Selain bersifat sedikit jumlahnya dalam setiap volume medium juga terdapat jenis mineral yang bersifat toksik dan menghambat pertumbuhan mikroba. Penghambatan salah satu jenis mineral terhadap jenis mikroba tertentu tidak bersifat umum. Pada penelitian ini ditentukan komposisi mineral yang mengacu dari beberapa referensi seperti yang telah disampaikan dalam Bab III. Dari hasil -1 percobaan terlihat bahwa mineral I dengan komposisi K2HPO4 1 g L , MgSO4.7 -1 -1 -1 H2O 0,025 g L , ZnSO4 7 H2O 0,025 g L , CaCl2.2 H2O 0,025 g L , FeSO4 7 -1 H2O 0,025 g L (Sousa et al. 2001) menunjukkan konsentrasi yang paling tinggi (Gambar 26).

40

35

30

25

20

15

10

5 konsentrasi siklo(tirosil-prolil)(mg/L) 0 blanko mineral I mineral II mineral III mineral IV mineral V garam mineral

Gambar 26 Pengaruh campuran beberapa mineral terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Hasil analisis ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap beberapa campuran mineral berpengaruh nyata terhadap konsentrasi 92

antibiotik yang dihasilkan. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh mineral I adalah yang terbaik dan berbeda nyata dengan mineral lainnya. Dalam jumlah yang sedikit, mineral memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Menurut Stanbury dan Whitaker (1987) diantara logam dan mineral yang dibutuhkan oleh mikroba, mangan, besi, dan seng adalah jenis mineral yang paling banyak dibutuhkan. Dalam batas konsentrasi tertentu mineral mampu meningkatkan pertumbuhan sel dan pembentukan produk, namun pada konsentrasi berlebih akan menjadi toksik dan menyebabkan lisis sel. Menurut Hassan et al. (2001) penambahan magnesium sulfat dalam medium fermentasi menggunakan isolat Streptomyces violatus mampu menaikkan konsentrasi senyawa antimikroba sebesar 4 kali. Hal yang sama disampaikan oleh Paul dan Banerjee (1983) penambahan tembaga, seng, dan besi berpengaruh nyata terhadap produksi senyawa anti kapang menggunakan Streptomyces galbus. Sementara itu penambahan kalsium, seng, dan besi juga berpengaruh nyata terhadap produksi neomisin menggunakan Streptomyces fradiae (Haque dan Mondal 2010).

IV.12. Optimasi Medium Fermentasi

Komposisi medium fermentasi mikroba secara umum disusun oleh sumber karbon, sumber nitrogen, vitamin dan mineral (Stanbury dan Whitaker 1987). Jenis dan konsentrasi setiap sumber karbon, nitrogen dan mineral setiap mikroba adalah berbeda tergantung dari tujuan dan target produk fermentasi yang dikehendaki (Vogel dan Todaro1996). Medium fermentasi untuk produksi protein sel tunggal atau metabolit primer jauh berbeda dengan komposisi medium fermentasi untuk produksi metabolit sekunder. Pada penelitian ini optimasi medium fermentasi dilakukan dengan komposisi medium fermentasi terpilih yang telah dilakukan pada percobaan sebelumnya, yaitu sumber karbon dekstrin, sumber nitrogen pepton dan komposisi mineral menurut Sousa et al. (2001). Adapun kisaran dan taraf ketiga variabel terpilih disajikan dalam Tabel 13.

93

Tabel 13 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium Kisaran dan taraf Variabel yang diuji -1,68 -1 0 1 1,68 Konsentrasi dekstrin (g L-1) 21,60 25 30 35 38,40 Konsentrasi pepton (g L-1) 6,64 8 10 12 13,36 Penambahan mineral (mL larutan 3,30 5 7,50 10 11,70 stok per liter kaldu fermentasi)* -1 -1 *Komposisi mineral larutan stok adalah; K2HPO4 133,33 g L , MgSO4.7 H2O 3,3 g L , ZnSO4 7 -1 -1 -1 H2O 3,3 g L , CaCl2.2 H2O 3,3 g L , FeSO4 7 H2O 3,3 g L .

Dari percobaan diperoleh respon antibiotik yang disajikan dalam Tabel 14. Data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 16.

Tabel 14 Data hasil percobaan optimasi medium fermentasi Streptomyces sp. A11 menggunakan rancangan model komposit terpusat (CCD). Respon respon Total konsumsi berbanding total (antibiotik Nilai sumber karbon konsumsi No X1 X2 X3 mg L‐1) dugaan (g) sumber karbon 1 ‐1 ‐1 ‐1 19,13 17,19 19,12 1,00 2 1 ‐1 ‐1 19,96 20,15 20,59 0,97 3 ‐1 1 ‐1 23,19 24,64 21,07 1,10 4 1 1 ‐1 40,35 36,28 22,94 1,76 5 ‐1 ‐1 1 20,59 23,72 19,96 1,03 6 1 ‐1 1 30,99 28,61 23,57 1,31 7 ‐1 1 1 35,67 34,54 22,61 1,58 8 1 1 1 47,11 48,11 23,00 2,05 9 ‐1,68 0 0 26,00 24,65 17,69 1,47 10 1,68 0 0 35,88 38,56 25,88 1,39 11 0 ‐1,68 0 16,74 16,89 19,52 0,86 12 0 1,68 0 38,37 39,55 22,90 1,68 13 0 0 ‐1,68 20,90 23,05 22,78 0,92 14 0 0 1,68 39,31 38,49 23,86 1,65 15 0 0 0 47,56 47,40 23,45 2,03 16 0 0 0 47,71 47,40 23,19 2,06 17 0 0 0 47,88 47,40 23,10 2,07 18 0 0 0 46,94 47,40 23,07 2,03 19 0 0 0 47,19 47,40 23,28 2,03 20 0 0 0 47,36 47,40 23,36 2,03

Dari beberapa model yang diuji (Tabel 15 dan 16) ternyata model kuadratik merupakan model yang paling cocok untuk digunakan dalam percobaan ini. 94

Tabel 15 Jumlah kuadrat beberapa model yang dicobakan untuk proses optimasi medium fermentasi.

Jumlah Derajat Kuadrat Nilai p Source kuadrat bebas Tengah Nilai F (Prob > F) Mean vs total 24418,17 1 24418,17 Linier 1141,22 3 380,41 4,20 0,0227 2FI 45,26 3 15,09 0,14 0,9344 Kuadratik 1347,01 3 44,00 79,48 < 0,0001 Kubik 51,47 4 12,87 15,38 0,0026 Galat 5,02 6 0,84 Total 27008,15 20 1350,41

Tabel 16 Data hasil analisis beberapa model yang dicobakan dalam optimasi medium fermentasi.

Nilai Sumber Standar deviasi R2 Adj R2 dugaan R2 Linear 9,5157 0,4406 0,3357 0,2338 2FI 10,3905 0,4581 0,2080 ‐0,3512 Kuadratik 2,3769 0,9782 0,9586 0,8181 Kubik 0,9148 0,9981 0,9939 0,6233

Terlihat dari Tabel 15 model kuadratik memiliki nilai F (F-test) yang paling tinggi dan p-value(Prob>F) paling rendah. Semakin tinggi nilai F atau semakin kecil p-value(Prob>F) berarti semakin signifikan hubungannya dengan model yang digunakan (Montgomery 1997). Model kuadratik memiliki nilai koefisien determinasi R2 yang lebih dari 97% yang menunjukkan tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dengan nilai-nilai dugaan. Hanya 3% dari total variasi data yang tidak dapat diterangkan oleh model tersebut. Apabila dibandingkan dengan model kubik, nilai R2 model kubik masih lebih besar dibandingkan model kuadratik, akan tetapi nilai p-value (Prob>F) model kubik jauh lebih besar dari model kuadratik, sehingga model kuadratik masih lebih tepat digunakan dalam penelitian ini. Model kuadratik memiliki nilai adj R2 sebesar 0,96 yang berarti bahwa model tersebut mempunyai tingkat signifikasi yang tinggi, dengan variabel bebas

X1, X2, dan X3 memiliki pengaruh yang kuat terhadap respon yang dihasilkan. Mengacu dari data Tabel 13 & 14 maka model kuadratik digunakan sebagai model matematik untuk optimasi pada penelitian ini. Keluaran hasil analisis menggunakan Design Expert 7 disajikan dalam Lampiran 17. 95

Untuk mendapatkan model persamaan matematik maka ditentukan estimasi koefisien regresinya. Hasil tabulasi data percobaan Tabel 13 diperoleh estimasi koefisien regresi seperti yang disajikan dalam Tabel 17.

Tabel 17 Model koefisien regresi pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil). Koefisien Derajat Faktor Estimasi bebas Intercept 47,40 1 A‐dekstrin 4,13 1 B‐pepton 6,74 1 C‐ mineral 4,59 1 AB 2,17 1 AC 0,48 1 BC 0,84 1 A2 ‐5,59 1 B2 ‐6,78 1 C2 ‐5,88 1 CV: 6,8%

Persamaan matematik model kuadratik optimasi produksi antibiotik siklo(tirosil-prolil) adalah sebagai berikut; 2 2 Y= 47,40 + 4,13X1+ 6,74 X2 + 4,59 X3 + 2,17 X1X2 – 5,59 X1 - 6,78 X2 – 5.88 2 X3 . Y = produksi senyawa aktif (mg L-1) -1 X1 = konsentrasi dekstrin (g L ) -1 X2 = konsentrasi pepton (g L )

X3 = volume penambahan mineral (mL).

Untuk menentukan pengaruh masing-masing variabel dalam bentuk linier dan kuadratik atau interaksi antar variabel maka ditentukan nilai F p-value (Prob>F) dalam analisis keragaman seperti yang disajikan dalam Tabel 18. Nilai Fvalue dan p-value (Prob>F) menunjukkan signifikasi masing-masing variabel (dekstrin, pepton, dan mineral) dan model yang digunakan.

96

Tabel 18 Analisis keragaman pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil) Jumlah Derajat Kuadrat Nilai p Sumber kuadrat bebas Tengah Nilai F (Prob > F) Model 2533,49 9 281,50 49,83 < 0,0001 A‐dekstrin 233,30 1 233,30 41,30 < 0,0001 B‐pepton 620,13 1 620,13 109,77 < 0,0001 C‐ mineral 287,79 1 287,79 50,94 < 0,0001 AB 37,71 1 37,71 6,68 0,0272 AC 1,85 1 1,85 0,33 0,5795 BC 5,0 1 5,70 1,01 0,3390 A2 449,57 1 449,57 79,58 < 0,0001 B2 662,88 1 662,88 117,33 < 0,0001 C2 498,35 1 498,35 88,21 < 0,0001 Residual 56,50 10 5,65 Total 2589,98 19 R2 = 0,98; adj R2 = 0,96; CV= 6,8%

Dari Tabel 17 & 18 menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin memberikan pengaruh linear positif dan pengaruh kuadratik negatif terhadap produktivitas antibiotik, namun demikian pengaruh kuadratik negatif dektrin lebih besar dibandingkan dengan pengaruh linier positif, demikian juga dengan pengaruh pepton dan pengaruh mineral. Hal yang sama terjadi pada mineral, yaitu pengaruh kuadratik negatif lebih besar dibandingkan dengan pengaruh linier positif mineral. Pengaruh linier positif pepton memiliki nilai yang hampir sama dengan pengaruh kuadratik negatif. Apabila dilihat dari interaksi antar variabel, interaksi antara dektrin dengan pepton terlihat nyata dengan p-value(Prob>F) < 0,0272. Interaksi ini memiliki pengaruh positif terhadap kenaikan konsentrasi antibiotik. Dengan demikian perubahan konsentrasi masing-masing variabel ini akan saling mempengaruhi dan menentukan konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Berbeda halnya dengan interaksi antara dekstrin dengan mineral dan pepton dengan mineral yang terlihat tidak nyata. Hasil uji kesahihan model secara statistik seperti yang disajikan dalam Tabel 18 menunjukkan bahwa model dugaan yang dikembangkan telah sesuai dan sangat nyata. Hal ini tampak dari hasil uji p-value (Prob>F) menunjukkan nilai yang sangat kecil yaitu <0,0001. Sementara itu pengaruh linear dan kuadratik dari ketiga variabel yang digunakan bersifat sangat nyata (p-value (Prob>F) <0,0001, dan interaksi diantara ketiga variabel bersifat tidak nyata. Model 97

kuadratik yang dikembangkan memiliki nilai CV sebesar 6,8% yang menunjukkan bahwa derajat ketepatan (precision) dari perlakuan yang dibandingkan cukup tinggi, yaitu semakin kecil nilai CV maka derajat ketepatan dari perlakuan yang dibandingkan semakin tinggi (Montgomery 1997). Uji kenormalan galat model (Normality Test) menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling bebas dengan keragaman yang relatif homogen (Gambar 27). Hal yang sama ditunjukkan pada Gambar 28, plot antara galat dengan urutan percobaan dan Gambar 29 plot antara galat dengan nilai dugaan. Dari kedua gambar tersebut menunjukkan tidak ada pola tertentu yang mengindikasikan bahwa model regresi yang digunakan dapat menjelaskan data yang digunakan.

NormalPlot PlotNormal of Residuals Galat

99

95 90 80 70 50 30 20

Normal % Probability 10

Probabilitas normal (%) 5

1

-3.12906 -1.32966 0.469733 2.26913 4.06853

ResidualGalat

Gambar 27 Plot probabilitas normal galat model produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.

98

GalatResiduals vs urutan pvs.ercobaan Run

3.00

1.50

0.00

Galat model

-1.50

Internally StudentizedResiduals

-3.00

1 4 7 10 13 16 19 Urutan percobaan Run Numbe r

Gambar 28 Plot urutan percobaan versus galat model produktivitas siklo(tirosil- prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Nilai dugaan VS Galat Model Residuals vs. Predicted

3.00

1.50

0.00

Galat model

-1.50 Internally Studentized Residuals

-3.00

16.89 24.69 32.50 40.31 48.11 Nilai Dugaan Predicted

Gambar 29 Plot nilai dugaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil- prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

99

Hubungan antara variabel dapat digambarkan dengan menggunakan permukaan respon dan plot kontur.

51

k 38.25 0 25.5

12.75

0 Konsentrasi antibioti Konsentrasi

aktivitas antibiotik antibiotik aktivitas C : mineral = 0 1.68 1.68 0.84 0.84 0.00 0.00 B: peptoneB: pepton -0.84 -0.84 A:A: dekstrin dekstrin -1.68 -1.68

(a) Permukaan respon hubungan antara dekstrin dengan pepton produksi antibiotik

Konsentrasi antibiotik aktivitas antibiotik 1.68 41.9993

0.84

e

0.00 6 41.9993

pepton B:

33.6714

-0.84 25.3435

8.68771 8.68771 17.0156 -1.68 -1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

A: d e kstri n

(b) Plot kontur hubungan antara dektrin dan pepton produksi antibiotik

Gambar 30 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan pepton. 100

Hubungan antara variabel dekstrin dan pepton dapat digambarkan dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon seperti yang disajikan dalam Gambar 30. Gambar 30 menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi dektrin dan pepton berpengaruh nyata terhadap produksi siklo(tirosil-prolil), dan kenaikan konsentrasi pepton terlihat lebih berpengaruh pada produksi siklo(tirosil-prolil) dibandingkan dengan kenaikan konsentrasi dekstrin. Pada penambahan konsentrasi dekstrin di atas 30 g L-1 level (0) dan konsentrasi pepton di atas 10 g L-1 level (0), mengakibatkan penurunan konsentrasi antibiotik. Menurunnya konsentrasi antibiotik pada penambahan konsentrasi dekstrin dan pepton level (0) dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, pertama; terjadi hambatan oleh substrat atau disebut represi katabolit. Menurut Wang et al. (1979) beberapa sumber nitrogen dan sumber karbon berlebih dapat menyebabkan penghambatan oleh substrat. Penghambatan oleh substrat tidak hanya diakibatkan oleh glukosa saja, namun dapat disebabkan oleh senyawa lain seperti sumber karbon lain, sumber nitrogen maupun mineral (Wang et al. 1979). Penyebab yang kedua adalah berkurangnya transfer oksigen dalam medium karena viskositas medium meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dektrin dan pepton. Streptomyces sp. termasuk dalam golongan mikroba aerobik yang memerlukan oksigen untuk pertumbuhan selnya. Dengan berkurangnya transfer oksigen di dalam medium, pertumbuhan sel menjadi kurang optimal (Goodfellow et al. 1988). Apabila dihubungkan dengan model monod (Vogel dan Todaro 1996) dalam kondisi konsentrasi substrat rendah, penambahan konsentrasi substrat akan menambah laju pertumbuhan spesifik, namun pada batas tertentu konsentrasi substrat tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik, sehingga laju pertumbuhan sel konstan, dan dapat terjadi penghambatan oleh substrat itu sendiri. Pada konsentrasi dektrin dan pepton berturut-turut dibawah 30 g L-1 dan 10 g L-1 terjadi penurunan konsentrasi antibiotik, hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan produksi siklo(tirosil-prolil) yang sepenuhnya belum dipenuhi oleh kecukupan pasokan sumber karbon dan nitrogen. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan konsentrasi dektrin dan pepton dari titik (-1,68) naik sampai dengan titik (0) yang mengakibatkan kenaikan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) secara terus- 101

menerus. Namun setelah tercapai titik optimum, kenaikan konsetrasi dektrin dan pepton tidak mengakibatkan kenaikan konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Pola pengaruh interaksi antara dektrin dan pepton cenderung menguatkan produksi siklo(tirosil-prolil) (Gambar 31). Pada konsentrasi sumber karbon dekstrin 30 g L-1 atau titik pusat perlakuan (0) dan perlakuan titik pusat mineral adalah (0), perubahan konsentrasi pepton sampai dengan perlakuan titik pusat (0) terlihat berpengaruh nyata terhadap kenaikan produktivitas antibiotik. Namun demikian pada perlakuan titik pusat konsentrasi sumber karbon (0), perlakuan pepton pada (+1,68) terjadi penurunan produktivitas antibiotik. Hal berbeda pada konsentrasi sumber karbon 38,4 g L-1 atau titik pusat perlakuan (+1,68), penambahan konsentrasi sumber nitrogen sampai dengan perlakuan (+1,00) terlihat masih lebih tinggi konsentrasi antibiotiknya dibandingkan konsentrasi sumber nitrogen pada perlakuan titik pusat (0).

Design-Expert® Software Interaksi Interaction Konsentrasiaktiv itas antibiotik antibiotik B: peptone 51 B: pepton

Design Points 32 23 B(0) B- -1.000 B+ 1.000 41.0544

X1 = A: dekstrin k B(1,68) X2 = B: peptone B(0)

Actual Factor 31.1088 C: garam mineral = 0.00 B(0)

aktivitas antibioti

Konsentrasi antibiotik 21.1632

B(-1,68)

11.2176

-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

A: d e kstri n Gambar 31 Pola pengaruh dekstrin dan pepton terhadap produksi siklo(tirosil- prolil).

Hubungan antara variabel konsentrasi dekstrin dengan konsentrasi mineral dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon disajikan dalam Gambar 32.

102

50

37.75

25.5

13.25

1 aktivitas antibiotik Konsentrasi antibiotik

1.68 1.68 0.84 0.84 0.00 0.00 C: garamC: mineral -0.84 -0.84 A: A: dekstrin dekstrin -1.68 -1.68 B: pepton = 0

(a) Permukaan respon hubungan antara dekstrin dengan mineral produksi antibiotik

Konsenaktivitastrasi antibiotikAntibiotik 1.68

0.84

0.00 6

C: garam mineral 41.2308 33.3332 -0.84 25.4357

17.5382 9.64072 17.5382 -1.68 -1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

A: dekstrin (b) Plot kontur hubungan antara dekstrin dengan mineral produksi antibiotik

Gambar 32 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan mineral.

103

Gambar 32 terlihat bahwa penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral dari level (-1,68), terjadi kenaikan produktivitas antibiotik. Namun demikian penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral pada level (0) terjadi penurunan konsentrasi antibiotik. Pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap produktivitas antibiotik relatif sama dengan pengaruh konsentrasi mineral, tetapi interaksi antara dua variabel ini tidak nyata. Perubahan konsentrasi dekstrin terhadap produktivitas antibiotik tidak mempengaruhi perubahan konsentrasi mineral terhadap produktivitas antibiotik, demikian juga sebaliknya. Hal yang menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) akibat penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral pada level (0) sampai dengan level (-1,68) diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama; terjadinya penghambatan oleh substrat (dekstrin), kedua; naiknya viskositas kaldu fermentasi yang menyebabkan transfer oksigen menjadi turun, ketiga; terjadinya efek toksik oleh mineral akibat sensitifitas sel terhadap mineral pada konsentrasi tertentu. Menurut Stanbury dan Whitaker (1987) kebutuhan mineral terhadap pertumbuhan sel mikroba tidak berlaku hubungan linier atau berbanding lurus. Pada konsentrasi mineral yang melebihi batas toleransi sel, justru akan menghambat pertumbuhan sel. Menurut Abbas dan Edwards (1990) penambahan magnesium dan kalsium dalam batas konsentrasi tertentu berpengaruh nyata terhadap penurunan produktivitas antibiotik actinohordin oleh Streptomyces coelicolor. Hubungan antara variabel konsentrasi nitrogen dengan konsentrasi mineral dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon disajikan dalam Gambar 33. Gambar 33 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pepton dan mineral pada level (-1,68) sampai dengan (0) terjadi kenaikan produktivitas antibiotik. Namun penambahan konsentrasi pepton dan mineral pada level (0) sampai dengan level (1,68) terjadi penurunan produktivitas antibiotik. Penurunan produktivitas antibiotik pada konsentrasi pepton dan mineral tinggi dapat diakibatkan oleh hambatan oleh subtrat atau efek toksik dari mineral. Pengaruh kenaikan konsentrasi antibiotik lebih banyak dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen dibandingkan dengan konsentrasi mineral, dan interaksi antara dua variabel ini relatif tidak nyata, atau perubahan konsentrasi nitrogen terhadap konsentrasi 104

antibiotik tidak mempengaruhi perubahan konsentrasi mineral terhadap konsentrasi antibiotik, demikian juga sebaliknya.

51

37

23

9

Konsentrasi antibiotik -5

aktivitas antibiotik

1.68 1.68 0.84 0.84 0.00 0.00 -0.84 -0.84 C: garamC: mineral mineral B: BB: p e :peptone pPeptonton -1.68 -1.68 A: dekstrin = 0

(a) Permukaan respon hubungan antara pepton dengan mineral produksi antibiotik

Konsentrasiaktivitas antibiotik antibiotik 1.68

40.9559

0.84

0.00 6 22.5781 40.9559 C: garam mineral 31.767 -0.84

13.3893

4.20041 22.5781 -1.68 -1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

B: Pepton B: peptone

(b) Plot kontur hubungan antara pepton dengan mineral produksi antibiotik

Gambar 33 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh pepton dan mineral. 105

IV.13. Formulasi Medium dan Validasi Model

Melalui program Design Expert 7 dapat ditentukan nilai optimal variabel dekstrin, pepton, dan mineral. Hasil analisis diperoleh peubah-peubah dalam unit yang dikodekan, yaitu X1 = 0,51; X2 = 0,61; X3 = 0,46 dengan respon yang dihasilkan (nilai yang diduga) sebesar Y = 51,54. Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan Design Expert 7 disajikan dalam Lampiran 17e. Nilai asli peubah- peubah adalah konsentrasi dekstrin sebesar 32,55 g L-1, konsentrasi pepton sebesar 11,22 g L-1, dan penambahan mineral sebesar 8,65 mL. Hasil percobaan di laboratorium proses fermentasi selama 144 jam dengan komposisi medium konsentrasi dekstrin sebesar 32,55 g L-1, pepton 11,22 g L-1, mineral 8,65 mL, air demineral 250 mL, air laut 750 mL dengan pH awal 7,5 diperoleh konsentrasi siklo(tirosil-prolil) sebesar 50,04 mg L-1. Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses validasi model percobaan di laboratorium disajikan dalam Lampiran 18. Nilai konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan dari percobaan terlihat 2,9% lebih kecil dibandingkan dengan nilai dugaan respon dari model matematik yang digunakan. Perbedaan nilai dugaan (respon dari model) dengan nilai respon hasil percobaan di laboratorium sebesar 2,9% menunjukkan bahwa model yang digunakan telah sesuai dan mampu menjelaskan data percobaan yang digunakan. Dibandingkan dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan menggunakan medium standar sebelum dilakukan proses optimasi (sebesar 20 mg L-1), maka proses optimasi medium fermentasi ini terjadi penambahan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) sebesar 2,5 kalinya , yaitu sebesar 50 mg L-1.

106

V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Isolasi aktinomisetes laut dapat dilakukan dengan menggunakan medium starch-kasein-agar. Untuk menekan pertumbuhan bakteri dan kapang kontaminan dapat ditambahkan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 45 μg mL-1, asam nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1. Pra-perlakuan sampel dengan pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam atau pengasaman sampel pada pH 2 selama 2 jam mampu mengurangi pertumbuhan mikroba kontaminan. Sebanyak 40 isolat aktinomistes yang berhasil diisolasi dari Pantai Barat Banten, Pantai Selatan Yogyakarta, dan Pantai Utara Cirebon diketahui 4 isolat mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat menghambat Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat menghambat Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolat menghambat Candida albican BIOMCC00122, dan 4 isolat menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134. Isolat A11 sebagai isolat terpilih, memiliki aktivitas hambatan paling kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram- negatif. Hasil identifikasi menggunakan 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat A11 adalah Streptomyces sp. (homology 100%). Hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1 dan rumus 1 molekul C14H16N2O3. Hasil elusidasi struktur molekul menggunakan HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 adalah siklo(tirosil-prolil) yang memiliki titik leleh sebesar 140 °C. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 terhadap Escherichia coli ATCC 25922 adalah sebesar 27 μg mL-1, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 sebesar 69 μg mL-1, Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 80 μg mL-1, and Bacillus subtilis ATCC 66923 sebesar 74 μg mL-1. 108

Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. A11 dalam medium glukosa- khamir-pepton menunjukkan bahwa fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai dengan jam ke-48, dan fase stasioner terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai dengan jam ke-144. Pada fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) laju -1 pertumbuhan maksimum (μmaks) sebesar 0,04 jam dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) sebesar 0,6 gram biomassa per gram gula. Suhu 30 °C dan kisaran pH 6,5 sampai dengan pH 7,5 merupakan kondisi terbaik untuk proses produksi siklo(tirosil-prolil). Hasil optimasi medium fermentasi menggunakan variabel bebas dektrin, pepton, dan campuran mineral I (referensi menurut Sousa et al. 2001) menunjukkan pengaruh nyata terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Pepton memberikan pengaruh yang paling kuat dibandingkan dekstrin dan mineral. Terdapat interaksi nyata diantara pepton dengan dekstrin. Namun demikian tidak ada interaksi nyata diantara pepton dengan mineral dan dekstrin dengan mineral. Model matematik produksi siklo(tirosil-prolil) yang diperoleh dalam 2 optimasi adalah Y= 47,40 + 4,13X1+ 6,74 X2 + 4,59 X3 + 2,17 X1X2 – 5,59 X1 - 2 2 6,78 X2 – 5.88 X3 , dengan variabel yang menunjukkan respon paling optimum -1 adalah konsentrasi dekstrin (X1) sebesar 32,55 g L , konsentrasi pepton (X2) -1 sebesar 11,22 g L dan penambahan mineral (X3) sebesar 8,65 mL dan dugaan respon yang diperoleh adalah sebesar 51,54 mg L-1. Hasil validasi model yang dilakukan dilaboratorium diperoleh konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada fermentasi jam ke-144 adalah sebesar 50,04 mg L-1. Perbedaan nilai dugaan respon dengan percobaan dilaboratorium adalah sebesar 2,9%.

V.2. Saran

Pada proses produksi metabolit sekunder sangat ditentukan oleh mekanisme lintasan metabolisme (pathway) yang terjadi. Dari hasil penelusuran beberapa literatur, sampai saat ini belum ada literatur yang memberikan informasi mengenai lintasan metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil) ataupun enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil). Untuk penelitian 109

selanjutnya perlu dilakukan pengamatan enzim-enzim yang terlibat dalam proses metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil). Disamping itu perlu dilakukan pengamatan gen-gen yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan siklo(tirosil-prolil). Dengan demikian produktivitas antibiotik masih dapat ditingkatkan kembali. Selain variabel komposisi medium fermentasi, variabel proses fermentasi seperti aerasi dan agitasi juga berpengaruh terhadap produktivitas antibiotik. Variabel aerasi dan agitasi dapat dipelajari dengan menggunakan fermentor. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji pengaruh aerasi, agitasi, dan suhu fermentasi secara simultan terhadap peningkatan produktivitas antibiotik dengan menggunakan fermentor. 110

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AS, Edwards C. 1990. Effect of metals on Streptomyces coelicolor growth and actinohordin production. Appl Environ Microbiol. 56(3): 675-680. Abou-Zeid AA, El-Diwany AI, Shaker HM, Salem HM.1981. Role of nitrogen sources in fermentative production of oxytetracycline by Streptomyces rimosus 93060. Agr Wastes 3: 257-265. Aharonowitz Y.1980. Nitrogen metabolite regulation of antibiotic biosynthesis. Ann Rev Microbiol. 34:209-33. Aiba S, Humprey AE, Millis NF. 1973. Biochemical engineering (second edition). Tokyo: University of Tokyo Press. Alcamo E. 1996. Fundamental of microbiology. Ed ke-4. California: Addison Wesley Longman, Inc. Allen DG, Robinson C. 1990. Measurement of rheological properties of filamentous fermentation broths. Chem Eng Sci. 45:37-48. Andrews JM. 2001. Determination of minimum inhibitory concentration. J Antimicrob Chemother 48 (S1): 5-16. Annaliesa S, Anderson, Elizabeth MH, Wellington. 2001. The of Streptomyces and related genera. Int J Syst Evol Microbiol 51: 797–814. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: P.T. Penerbit IPB (IPB Press). Araujo JM, Adilson CD, Joao LA. 2008. Isolation of endophytic actinomycetes from roots and leaves of maize (Zea mays L). Brazil Electronic Journal. 23 Desember 2008.Diunduh 11 Agustus 2010. Ashy MA, Abou-ZeidAA. 1982. Fermentative production of spiramycins. Enzym Microb. Technol 4: 20-24. Awad HM, Shahed KYI, Nakkadi. EM. 2009. Isolation, screening and identification of newly isolated soil Streptomyces (Streptomyces sp. NRC- 35) for β-lactamase inhibitor production. World Appl Sc J 7(5):637-646. 112

Barun K, Bhattacharyya, Sushil CP, Sukanta K, Sen. 1998. Antibiotic production by Streptomyces hygroscopicus D1.5: Cult Effect. Rev. Microbiol 29: 314- 317. Bennett JW dan Bentley R. 1989. What's in a name? Microbial secondary metabolism. Adv Appl Microbiol 34: 1-28 Benslimane C, Lebrihi A, Lounes A, Lefebvr G, Germain P. 1995. Influence of dextrine on the assimilastion of yeast extract amino acids in culture of Streptomyces ambofaciens producer spiramycin. Enzyme Microbiol Technol 17:1003-1013. Berdy J. 2005. Bioactive microbial metabolites (review article). J Antibiot 58(1): 1-26.2005 Bonev B, James H, Judicael P. 2008. Principles of assessing bacterial susceptibility to antibiotics using the agar diffusion method. J Antimicrob Chemother 61:1295–1301 Box GEP dan Draper NR. 1987. Emperical model building and response surface. New York: John Wiley & Sons. Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for experimenters. an introduction to design, data analysis and model building. New York: John Wiley and Sons. Bround-Howland EB, Danielson SS, Niezwicki-Baue SA.1992. Development of rapid method for detecting bacterial cell insitu using 16S rRNA-targeted robe. Biotechniques 13:928-933. Bushell ME, Dunstan GL, Wilson GC. 1997. Effect of small scale culture vessel type on hyphal fragment size and erythromycin production in Saccharopolyspora erythraea Biotechnol Lett 9(9):849-852. Campbell, Neill A. 2002. Biologi. Edisi kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Charan RD, Schlingmann G, Janso J, Bernan V, Feng X, Carter GT. 2004 Diazepinomicin, a new antimicrobial alkaloid from marine Micromonospora sp. J Nat Prod 67:1431-1433 Cross T. 1982. Actinomycetes : A continuing source of new metabolites. Di dalam Lancini G, Rolando L. 1993. Biotechnology of antibiotic and other 113

bioactive microbial metabolites. New York: Kluwer Academic Publisher Group. Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial Microbiology, Madison: Science Tech. Inc Publishers. Dan A, Szabo G. 1973. Induction production of beta-galactosidase in Streptomyces griseus. Acta Biol Acad Sci Hung. 24(1):1-10. Das S, Lyla PS, Ajmal-Khan S. 2006. Marine microbial diversity and ecology: importance and future perspective. Curr Sci 90(10): 1325-1335. Daza A, Martin FJ, Dominguez A, Gil JA. 1989. Sporulation of several species of Streptomyces in submerged culture after nutritional downshift. J.Gen Microbiol 135: 2483-2491. Demain AL. 2000. Small bugs, big business: The economic power of the microbe. Biotechnol adv 18:499-514. Desriani. 2003. Penapisan isolat Streptomyces sp penghasil protein penghambat β- Laktamase (Thesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Dewick PM.1997. Medicinal natural products, a biosynthetic approach. Third avenue, New York, USA, 153-173. Dhanasekaran D, Selvamani S, Panneerselvam, Thajuddin. 2009. Isolation and characterization of actinomycetes in Vellar Estuary, Annagkoil, Tamil Nadu. Afr J Biotechnol 8(17):4159-4162. Dharmaraj S, Ashokkumar B, Dhevendaran K. 2010. Isolation of marine Streptomyces and the evaluation of its bioactive potential. Afr J Microbiol Res 4(4): 240-248. Dhananjeyan V, Selvan N, Dhanapal K. 2010. Isolation, characterization, screening and antibiotic sensitivity of actinomycetes from locally (Near MCAS) collected soil samples. J Biol Sci 10(6): 514-519. Dunstan GH, Avignone–Rossa C, Langley D, Bushell ME. 2000. The Vancomycin biosynthetic pathway is induced in oxygen-limited Amycolatopsis orientalis (ATCC 19795) cultures that do not produce antibiotic. Enzyme Microb Technol 27(7): 502-510. 114

Facciotti MCR, Schmidell W. 2004. The effect of dissolved oxygen concentration control on cell growth and antibiotic retamycin production in Streptomyces olindensis so20. Braz J Chem Eng 02(21) 185-192. Feling RH, Buchanan GO, Mincer T J, Kauffman CA, Jensen PR, Fenical W. 2003. Salinosporamide A: a highly cytotoxic proteasome inhibitor from a novel microbial source, a marine bacterium of the new genus Salinospora. Angew Chem Int Ed Engl 42:355-357. Furtado NAJC, Pupo MT, Carvalhho I, Campo VL, Duarte MCT, Bastos JK. 2005. Diketopiperazines produced by an Aspergillus fumigatus Brazillian strain. Braz Chem Soc 16(6B):1448-1453. Garcia-Ochoa F, Gomez E. 2009. Bioreactor scale-up and oxygen transfer rate in microbial processes: An overview. Biotechnol Adv. 27:153–176 Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Molecular biotechnology, principles and application of recombinant DNA. Washington: ASM Press. Goodfellow. M.,(1983). Ecology of Actinomycetes. Ann.Rev. Microbiol. 1983. 37:189-216. Goodfellow M, Haynes JA. 1984. Actinomycetes in marine sediment. Dalam Ortiz-ortiz L, Bojalil LF, Vakoleff V (ed). Biological, Biochemical, and Biomedical aspect of Actinomycetes. Acad. Press Inc, Orlando.Fla. Goodfellow M, William ST. Mordarski M.1988. Actinomycetes in Biotechnology. New York: Academic Press. Graz CJM, Hunt A, Jamie H, Grant G, Milne P. 1999. Antimicrobial activity of selected cyclic dipeptide. Pharmazie. 54(10): 772-5 Graz CJM, Grant GD, Brauns SCA, Hunt A, Jamie H, Milne PJ. 2000. CDPs in the induction of maturation for cancer therapy. J Pharm Pharmacol 52: 75- 82. Guo Q, Daosen G, Zhao B, Xu J, Li R. 2007. Two cyclic dipeptides from Pseudomonas fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro. J Nematol. 39(3): 243–247. Hanka LJ, Rueckert PW, Cross T. 1985. A method for isolating strains of the genus Streptoverticillium from soil. FEMS Microbiol Lett.30(3): 365-368. 115

Haque R, Mondal S. 2010. Study on the development of high yielding neomycin resistant strain of streptomyces fradiae for improved production of neomycin by using optimal levels of Minerals. Int.J.Drug Dev. & Res. 2(1):33-39. Hoque MM, Noor R, Nurun N, Khan MR, Khan ZUM. 2003. Maltase activity of Streptomyces roseolus isolated from Bangladesh soil. Bangladesh J Bot.20:31-35 Haslam E.1986. Secondary Metabolism, fact or fiction. Nat. Prod. Rep 3: 217– 249. Hassan MA, Moustafa Y, El-Naggar, Said WY. 2001. Physiological factors affecting the production of an antimicrobial substance by Streptomyces violatus in batch cultures. Egypt J Biol. 3: 1-10. Hayakawa M, Hideo N. 1987. Efficacy of artificial humic acid as a selective nutrient in HV agar used for the isolation of soil actinomycetes. J Ferment. Technol 65(6): 609-616. Hogg S. 2005. Essential microbiology. England: John Wiley and Son Inc. Horan AC. 1999. Secondary metabolite production, actinomycetes, other than Streptomyces. Di dalam: Flickinger MC, Drew SW, editors. Encyclopedia of bioprocess technology: fermentation, biocatalysis and bioseparation. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hozzein WN, Ali MI, RabieW. 2008. A new prefential medium for enumeration and isolation of desert actinomycetes. World J Microbiol Biotechnol 24: 1547-1552. Hoskisson PA, Hobbs G, Sharples GP. 2000. Response of Micromonospora echinospora (NCIMB 12744) spores to heat treatment with evidence of a heat activation phenomenon. Lett Appl Microbiol 30:14–117. Ibarz A, Castell-Perez E, Barbosa-Cánovas GV. 2005. Newtonian and Non- Newtonian Flow. Di dalam: Barbosa-Cánovas, G.V. 2005. Food Engineering: Encyclopedia of Life Support Systems. UNESCO. Iwen and Peter C. 2004. Identification of Microbial Pathogens Using Nucleic Acid Sequenceing. LA: New Orleans. 116

James PDA dan Edwards C. 1997. The effects of temperature on growth and production of the antibiotic granaticin by a thermotolerant Streptomycete. J Gen Microbiol135: 1997-2003. Judoamidjojo M, Abdul AD, Endang GS. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Rajawali Press. Kanoh K, Matsuo Y, Adachi K, Imagawa K, Nishizawa M, Shizuri Y. 2005. Mechercharmycins A and B, Cytotoxic Substances from Marine-derived Thermoactinomyces sp. YM3-251. J Antibiot 58(4): 289–292. Karwowski JP.1986. The selective isolation of Micromonospora from soil by cesium chloride density gradient ultracentrifugation. J Ind Microbiol1:186-181. Kazakevich Y, Lobrutto R. 2007. HPLC for pharmaceutical scientists. New Jersey: A John Wiley & Sons Inc. Kelekom A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Annals Brazil Acad Sci 74(1): 151–170. Kirk PL. 1950. Kjeldahl method for total nitrogen. Anal Chem 22 (2): 354–358. Kumar, Kannabiran K. 2010. Diversity and optimization of process parameters for the growth of Streptomyces VITSVK9 spp. isolated from Bay of Bengal, India. J Nat Env Sci 1(2):9-18. Kuster E. 1958 The actinomycetes. di dalam: Burger A, Raw F. 1967. Soil Biology. London: Acad Press. Lam KM. 2006. Discovery of novel metabolites from marine Actinomycetes. Curr Opin Microbiol 9:245–251. Lautru S, Gondry M, Genet R, Pernodet JL. 2002. Biosynthesis of diketopiperazine metabolites independent of nonribosomal peptide synthetases. Chem Biol 9:1355–1364. Liang JG, Chu XH, Chu J, Wang YH, Zhuang YP, Zhang SI. 2010. Oxygen uptake rate (OUR) control strategy for improving avermectin B1a production during fed-batch fermentation on industrial scale (150 m3). Afr J Biotechnol 9(42) 7186-7191. 117

Liangzhi.L.I., Bin. Q.I.A.O., Yingjin Y. 2007. Nitrogen Sources Affect Streptolydigin Production and Related Secondary Metabolites Distribution of Streptomyces lydicus AS 4.2501. Chin J Chem.Eng. 15(3):403-410. Locci R, Sharples GP. 1983 Morphology. di dalam: Goodfellow M., Mordarski M, Williams ST. 1984. The biology of the actinomycetes. London: Academic Press. Luckner M.1990. Secondary metabolism in plants and animals. Third edition. Berling: Springer Verlag. Mangunidjaja. D dan Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Jakarta: Penebar Swadaya. Martin JF, Demain AL. 1980. Control of antibiotic biosynthesis. 1980. Microbiol Rev. 230-251. Mason RL, Gunst RF, Hess JL. 1989. Statistical design and analysis of experiments with applications to engineering and sciences. New York: John Wiley & Sons. Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of reducing sugar. Anal Chem 31:426-428. Milne PJ, Oliver DW, Roos HM. 1992. Cyclodipeptides: Structure and conformation of cyclo(tyrosyl--prolyl). J Crystallog Spect Res. 22(6):643-9, doi 10.1007. Mincer TJ, William F, Paul RJ. 2005. Culture-dependent and culture-independent diversity within the obligate marine actinomycete genus Salinispora. Appl Environ Microbiol 71(11 P): 7019–7028. Montgomery DC. 1997. Design and analysis of experiments. 4th Edition. New York: John Wiley and Sons. Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial physiology 4th edition. New York: John Wiley & Sons inc Publication. Morello JA, Paul AG, Helen EM. 2002. Laboratory manual and workbook in microbiology applications to patient care. New York: The McGraw−Hill Companies. Nedialkova D and Mariana N. 2005. Screening the antimicrobial activity of actinomycetes strains isolated from Antartica. J Cult Collect. 4:29-35. 118

Okami Y, Hotta K. 1988. Search and discovery of new antibiotic, p.33-67. Di dalam: Goodfellow M, Williams ST, Mordarski M. Actinomycetes in Biotechnology. New York: Academic Press. Inc. Omura S.1986. Phylosophy of new drug discovery. Microbiol Rev 50(3) 259-279. Pelaez F. 2006. The historical delivery of antibiotics from microbial natural products-Can history repeat? Biochem Pharmacol 71: 981-990. Pisano MA, Michael JS, Madelyn ML. 1986. Application of pretreatments for the isolation of bioactive actinomycetes from marine sediments. Appl Microbiol Biotechnol 25:285-288. Pisano MA, Sommer MJ, Brancaccio L. 1989. Isolation of bioactive actinomycetes from marine sediments using rifampicin. Appl Microbiol Biotechnol. 31:609-612. Prescott, Harley, Klein. 2002. Microbiology. Fifth Edition. New York: The McGraw−Hill Companies. PT. Data Consult. 2004. The market for parmaceutical products and materials in Indonesia. Jakarta: PT.Data Consult. Rahayuningsihl M, Syamsu K, Darwis AA, Purnawati R. 2007. Penggandaan skala prouksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis var . israelensi untuk membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. J. Ilmu Pertanian Indonesia. 12(2):12-130. Rhee KH. 2004. Cyclic dipeptides exhibit synergistic, broad spectrum antimicrobial effects and have anti-mutagenic properties. Int J Antimicrob Agent. 24(5):423–427. Riegdlinger J, Reicke A, Zahner H, Krismer B, Bull AT, Maldanado LA, Ward AC, Goodfellow M, Bister B, Bischoff D. 2004. Abyssomicins, inhibitors of the para-aminobenzoic acid pathway produced by the marine Verrucosispora strain AB-18-032. J Antibiot 57:271-279. Ruohang W, Webb C. 1995. Effect of cell concentration on the rheology of glucoamylase fermentation broth. Biotechnol Tech.9:55-58. Sanchez S et al. 2010. Carbon source regulation of antibiotic production. J Antibiot 63: 442-459. 119

Seigler DS. 1998. Plant Secondary Metabolism. London: Kluwer Academic Publisher. Seong CN, Ji HC, Keun-shik B. 2001. Improve selective isolation of rare actinomycetes from forest soil. J Microbiol 39(1): 17-23. Shindo K, Michiko M, Hiroyuki K. 1995. Studies on cochleamycins, novel antitumor antibiotics. J Antibiot 49(3): 249-253. Shuler ML & Kargi F. 1992. Bioprocess engineering. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Sousa MFVQ, Lopes CE, Junior NP. 2001. A chemically defined medium production of Actinomycin D by Streptomyces parvulus. Brazilian arch biol technol 44(N3): 227-231. Srinivasan MC., Laxman RS, Deshpande MV. 1991. Physiology and nutritional aspects of actinomycetes : an overview. World J Microbol Biotechnol 7: 171-184. Stanbury PF, Whitaker A. 1987. Principles of Fermentation Technology. New York: Pergamon Press. Stierle A, Cardellina JH, Strobel GA. 1988. Maculosin, a host-specific phytotoxin for spotted knapweed from Alternaria alternata. Proc Nat Acad Sci. 85(21): 8008-8011. Strohl W.1999. Secondary metabolites, antibiotic. Di dalam: Flickinger M, Stephen WD. Encyclopedia: Bioprocess technology, fermentation, biocatalysis, and bioseparation. Volumes 1-5. New York: John wiley and sons Inc. Takahashi Y, Satoshi O.2003. Isolation of new actinomycete galurs for the screening of new bioactive compounds. J Gen Appl Microbiol 49:141-154. Tanaka K. 2001. P-I3 - kinase p85 is a target molecule of proline-rich antimicrobial peptide to suppress proliferation of ras - transformed cells. Jpn J Cancer Res. 92: 959-967. Tarui N, Ikeura Y, Natsugari H, Nakahama K. 2001. Microbial synthesis of three metabolites of a tachykinin receptor antagonist, TAK-637. J Biosci Bioeng. 92(3):285-287 120

Torssell KBG. 1997. Natural Product Chemistry; A mechanistic, biosynthetic and ecological approach. Swedish: Apotekarsocieteten-Swedish Pharmaceutical Press. Tuffile CM, Pinho F. 1970. Determination of oxygen transfer coefficients in viscous streptomycete fermentations. Di dalam: Stanbury PF, Whitaker A. 1987. Principles of Fermentation Technology. New York: Pergamon Press. Ulgas KO, Mavituna F. 1993. Actinohordin production by Streptomyces coelicolor A3(2): kinetic parameter related to growth, substrate uptake and production. Appl Microbiol Biotechnol 43:457-462. Umezawa H, Takita T, Shiba T. 1978. Bioactive peptides produced by microorganisms. New York: John Wiley & Sons. Voelker dan Altaba. 2001. Nitrogen source governs the pattern of growth and prostinamycein production in Streptomyces pristinaespiralis. Microbiol 147:2447-2459. Vogel HC dan Todaro CL. 1996. Fermentation and biochemical engineering handbook; principles, process design and equipment. New Jersey: Noyes Publications. Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunhill P, Humprey AE, Lily MM. 1979. Fermentation and Enzym Technology. London: Willey Interscience. Wirakartakusumah MA. 1989. Prinsip Teknik Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Yuwono dan Triwibowo. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Perbit ANDI. Yogyakarta.

Lampiran 1 Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Kurva Standar HPLC siklo(tirosil-prolil)

60000000.00 y = 16663x + 145389 R2 = 0.99 50000000.00

40000000.00

30000000.00

20000000.00

10000000.00

Luas area (kromatogramHPLC) 0.00 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Konsentrasi antibiotik (mg.L-1)

Konsentrasi Luas area siklo(tirosil-prolil) kromatogram (mg L-1) HPLC 3250 54297969 1625 27028277 812,5 14223325 406,3 6364325 203,1 4037020 101,6 2024768 50,8 893794 25,4 292393 12,7 244598

Jenis kolom : Sunfire C18 column (4,6 x 250 mm, Shiseido Co. Ltd., Tokyo, Japan) Kondisi operasi : Fasa gerak : metanol-air (0-100%) elusi linier gradien selama 25 menit, dilanjutkan elusi isokratik 100% metanol selama 10 menit. Kecepatan alir : 1 mL menit-1 Volume injeksi : 10μL Panjang gelombang detektor : λ 210 nm Suhu kolom : 30°C Tekanan kolom : 1267 psi Detektor : Photo Diode Array (PDA) 122

Lampiran 2 Metode penentuan konsentrasi gula reduksi (Miller 1959).

Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20 mL. Kemudian ditambahkan 1 mL HCl 4 N dan dipanaskan pada penganas air selama 30 menit. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan menambahkan 2 mL NaOH 2 N. Sampel diencerkan sesuai dengan perkiraan konsentrasi gula pereduksi yang terdapat di dalam sampel. Selanjutnya sampel yang telah diencerkan ini diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20 mL. Setelah itu ditambahkan 3 mL pereaksi DNS dan diinkubasi pada penangas air bersuhu ± 100 °C selama 5 menit. Selanjutnya didinginkan dan diukur konsentrasi gula pereduksinya dengan cara dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Sebagai blanko dibuat sama seperti prosedur tersebut kecuali sampel diganti dengan akuades. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar pada kisaran 100-350 mg L-1. Kurva standar glukosa standar dibuat dengan membuat larutan glukosa standar (Merck) pada beberapa konsentrasi antara lain dari konsentrasi 100 mg L-1 sampai dengan 300 mg L-1. Adapun kurva standar glukosa yang ditelah dibuat disajikan sebagai berikut; Konsentrasi Absorbansi glukosa (mg L-1) 0,159 100 0,348 150 0,552 200 0,748 250 0,916 300

350 y = 260.97x + 57.874 300 R2 = 0.99 250 200

150 100

(ppm) gula konsentrasi 50

0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 absorbansi

123

Lampiran 3 Metode penentuan konsentrasi nitrogen total (Kirk 1950)

Sebanyak 10 mL dari setiap pengambilan 30 mL sampel dianalisis untuk uji total nitrogen. Terlebih dahulu disentrifugasi dengan 8000 x g selama 15 menit untuk memisahkan biomassanya, fase air dipisahkan dari biomassanya. Fase air ditimbang sebanyak kurang lebih 1 g di dalam tabung destruksi ditambahkan 1 butir selenium tablet dan 10 mL H2SO4 pekat, kemudian didekstruksi dalam dekstruksi Kjeldahl sampai perubahan warna menjadi bening.

Larutan H3BO4 4% dipipetkan sebanyak 25 mL ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL. Setelah menjadi bening sampel kemudian didestilasi di destilasi Kjeldahl dengan NaOH 40% berlebih sampai selesai. Selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,05 N sampai titik akhir. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Nitrogen total dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

N total (% w/n) = (Vs-Vb) x N HCl x 14,01 x 100% Bobot contoh

Dengan Vs sebagai volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel, Vb sebagai volume HCl yang digunakan pada titrasi blanko, dan N HCl sebagai normalitas HCl.

124

Lampiran 4 Metode penentuan bobot kering sel. (Voelker dan Altaba, 2001)

Bobot kering sel ditentukan dengan mengikuti metode menurut Voelker dan Altaba (2001) yang dimodifikasi. Sebanyak 10 mL kaldu fermentasi dari sampel disentrifuse dengan kecepatan 8000 x g selama 10 menit. Selanjutnya sel dipisahkan dengan filtratnya menggunakan kertas saring 0,22 µm (Millipore) dan dicuci dengan menggunakan air demineral sebanyak dua kali. Sel dikeringkan pada suhu 110 °C selama selama 48 jam, selanjutnya dimasukkan dalam desikator sampai diperoleh bobot konstan. Sel ditimbang dan diperoleh bobot kering sel per satuan volume. 125

Lampiran 5 Penentuan nitrogen total dan bobot bahan dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimasi medium fermentasi

Penentuan nitrogen total dalam medium fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu dari medium fermentasi yang digunakan oleh Kanoh et al. 2005, dengan komposisi sumber nitrogen 5 g L-1 pepton dan 1 g L-1 ekstrak khamir. Hasil analisis kandungan nitrogen total beberapa sumber nitrogen yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh data sebagai berikut;

Kandungan No Sumber nitrogen nitrogen (%) Asam gutamat 1 (C5H9NO4) 8,00 2 Pepton 13,21 3 Kasein 11,39 4 Ekstrak Khamir 10,08 Amonium 5 Sulfat(NH4)2SO4 3,59

Mengacu dari hasil analisis nitrogen total pepton dan ekstrak khamir tersebut diatas maka dalam 5 g pepton dan 1 g ekstrak khamir dalam setiap 1 l medium diperoleh kandungan nitrogen total sebanyak 0,76 g. Dengan demikian bobot masing-masing sumber nitrogen yang digunakan dalam penyusunan medium fermentasi adalah sebagai berikut;

Bobot sumber nitrogen yang No Sumber nitrogen dibutuhkan (g L-1) 1 Asam gutamat 8,00

2 Pepton 5,76

3 Kasein 6,68

4 Ekstrak khamir 7,55

Amonium

5 sulfat(NH4)2SO4 3,59

126

Lampiran 6 Urutan nukleotida fragmen gen isolat terpilih (Streptomyces sp.A11) dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya

CACCTTCGACAGCTCCCTCCCACAAGGGGTTGGGCCACCGGCTTCGGGTGTTACCGAC TTTCGTGACGTGACGGGCGGTGTGTACAAGGCCCGGGAACGTATTCACCGCAGCAAT GCTGATCTGCGATTACTAGCAACTCCGACTTCATGGGGTCGAGTTGCAGACCCCAATC CGAACTGAGACCGGCTTTTTGAGATTCGCTCCGCCTCGCGGCATCGCAGCTCATTGTA CCGGCCATTGTAGCACGTGTGCAGCCCAAGACATAAGGGGCATGATGACTTGACGTC GTCCCCACCTTCCTCCGAGTTGACCCCGGCAGTCTCCTGTGAGTCCCCATCACCCCGA AGGGCATGCTGGCAACACAGAACAAGGGTTGCGCTCGTTGCGGGACTTAACCCAACA TCTCACGACACGAGCTGACGACAGCCATGCACCACCTGTATACCGACCACAAGGGGG GCACCATCTCTGATGCTTTCCGGTATATGTCAAGCCTTGGTAAGGTTCTTCGCGTTGCG TCGAATTAAGCCACATGCTCCGCTGCTTGTGCGGGCCCCCGTCAATTCCTTTGAGTTTT AGCCTTGCGGCCGTACTCCCCAGGCGGGGAACTTAATGCGTTAGCTGCGGCACCGAC GACGTGGAATGTCGCCAACACCTAGTTCCCAACGTTTACGGCGTGGACTACCAGGGTA TCTAATCCTGTTCGCTCCCCACGCTTTCGCTCCTCAGCGTCAGTAATGGCC

127

128

Lampiran 7 Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji Lampiran 7a Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Escherichia coli

Rata-rata Pengukuran Pengukuran diameter Konsentrasi zona bening zona bening zona (C) senyawa I II bening (x) x2 logC(konsentrasi) aktif (mg L-1) 12,21 12,11 12,16 147,8656 3,812913 6500 11,25 10,87 11,06 122,3236 3,511883 3250 9,89 9,95 9,92 98,4064 3,210853 1625 9,12 8,78 8,95 80,1025 2,909823 812,5 8,11 8,01 8,06 64,9636 2,608847 406,3 6,78 6,86 6,82 46,5124 2,30771 203,1 5,98 6,15 6,07 36,784225 2,006894 101,6 4,90 5,32 5,11 26,1121 1,703291 50,5

4.5 y = 0.017x + 1.4316 4 R2 = 0.98 3.5 3 2.5 2 Log (C) 1.5 1 0.5 0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 X2

pada x=0 maka y= log (C) log (C)= 1,4316 Log(C) = Log (MIC) -1 MIC =27,01 µg mL

129

Lampiran 7b Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Rata-rata Pengukuran Pengukuran diameter Konsentrasi zona bening zona bening zona (C) senyawa I II bening (x) x2 logC (konsentrasi) aktif (mg L-1) 7,95 8,21 8,08 65,2864 3,812913 6500 7,21 7,11 7,16 51,2656 3,511883 3250 6,14 5,96 6,05 36,6025 3,210853 1625 5,01 6,67 5,84 34,1056 2,909823 812,5 4,35 4,12 4,24 17,93523 2,608847 406,3 3,32 3,22 3,27 10,6929 2,30771 203,1 2,12 1,50 1,81 3,2761 2,006894 101,6 0,50 0,89 0,71 0,5041 1,703291 50,5

4.5 y = 0.0311x + 1.9042 4 R2 = 0.97 3.5 3 2.5 2 log(C) 1.5 1 0.5 0 0 10203040506070 x2

pada x=0 maka y= log(C) log (C) = 1,9042 Log (C) = Log (MIC)

MIC = 80,2 µg mL-1

130

Lampiran 7c Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923

Rata-rata Pengukuran Pengukuran diameter Konsentrasi I zona II zona zona (C) senyawa bening (mm) bening (mm) bening (x) x2 logC(konsentrasi) aktif (mg L-1) 9,51 8,91 9,21 84,82 3,812913357 6500 8,22 8,13 8,18 66,83 3,511883361 3250 7,12 6,89 7,01 49,07 3,210853365 1625 6,33 6,11 6,22 38,69 2,90982337 812,5 4,97 5,01 4,99 24,90 2,608846822 406,3 4,10 3,87 3,99 15,88 2,307709923 203,1 3,01 2,75 2,88 8,29 2,006893708 101,6 0,50 0,51 0,52 0,26 1,703291378 50,5

4.5 y = 0.0247x + 1.8675 4 R2 = 0.97 3.5 3 2.5 2 Log(C) 1.5 1 0.5 0 0 20406080100 X2

pada x=0 maka y= log(C) log C= 1,8675 log(C) = Log(MIC) MIC =73,71 µg mL-1

131

Lampiran 7d Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853

Rata-rata Pengukuran Pengukuran diameter Konsentrasi zona bening zona bening zona bening (C) senyawa I II (x) x2 logC(konsentrasi) aktif (mg L-1) 9,32 9,01 9,17 84 3,812913 6500 8,11 7,98 8,05 64,72 3,511883 3250 7,10 6,75 6,93 47,96 3,210853 1625 6,33 6,11 6,22 38,69 2,909823 812,5 5,14 5,10 5,12 26,21 2,608847 406,3 3,97 3,99 3,98 15,84 2,30771 203,1 3,12 3,32 3,22 10,37 2,006894 101,6 1,10 0,89 1,02 1,03 1,703291 50,5

4.5 y = 0.0256x + 1.8357 4 R2 = 0.97 3.5 3 2.5

logC 2 1.5 1 0.5 0 0 20406080100 x2

pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,837 log (C) = log (MIC) MIC = 68,71 µg mL-1

132

Lampiran 7e Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Escherichia coli ATCC 25922

Rata-rata diameter Pengukuran Pengukuran zona Konsentrasi zona zona bening (C) senyawa bening I bening II (x) x2 logC(konsentrasi) aktif (mg L-1) 9,08 9,23 9,16 83,8140 3,812913 6500 7,11 7,58 7,35 53,9490 3,511883 3250 7,01 7,15 7,08 50,1264 3,210853 1625 5,33 7,23 6,28 39,4384 2,909823 812,5 4,14 6,10 5,12 26,2144 2,608847 406,3 3,97 4,32 4,15 17,1810 2,30771 203,1 3,50 3,32 3,41 11,6281 2,006894 101,6 1,20 1,29 1,26 1,5876 1,703291 50,5

4.5 y = 0.0268x + 1.8064 2 4 R = 0.95 3.5 3 2.5 2 Log (C) 1.5 1 0.5 0 0 20406080100 X2

pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,8064 log (C) = log (MIC) MIC = 64 µg mL-1

133

Lampiran 7f Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Rata-rata Pengukuran Pengukuran diameter Konsentrasi zona bening zona bening zona (C) senyawa I II bening (x) x2 logC(konsentrasi) aktif (mg L-1) 5,39 5,01 5,20 27,0400 3,812913 6500 4,61 4,91 4,76 22,6576 3,511883 3250 3,81 3,96 3,89 15,0932 3,210853 1625 3,01 3,09 3,05 9,3025 2,909823 812,5 2,10 2,12 2,11 4,4521 2,608847 406,3

4.5 y = 0.0511x + 2.4082 R2 = 0.99 4 3.5 3 2.5 2 log(C) 1.5 1 0.5 0 0 5 10 15 20 25 30 x2

pada x=0 maka y= log (C) log C= 2,4082 log (C) = log (MIC) MIC = 256 µg mL-1

134

Lampiran 7g Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923

Pengukuran Rata-rata Konsentrasi (C) Pengukuran zona zona bening diameter zona senyawa aktif bening I II bening (x) x2 logC(konsentrasi) (mg L-1) 7,12 6,94 7,03 49,4209 3,812913357 6500 6,98 6,45 6,72 45,0912 3,511883361 3250 5,92 5,65 5,79 33,4662 3,210853365 1625 4,79 4,68 4,74 22,4202 2,90982337 812,5 3,52 3,72 3,62 13,1044 2,608846822 406,3 2,92 2,92 2,92 8,5264 2,307709923 203,1

4.5 y = 0.0332x + 2.1073 2 4 R = 0.98 3.5 3 2.5 2 Log(C) 1.5 1 0.5 0 0 102030405060 X2

pada x=0 maka y= log (C) log C= 2,1073 log (C) = log (MIC) MIC = 128 µg mL-1

135

Lampiran 7h Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853

Rata-rata Pengukuran Pengukuran diameter Konsentrasi (C) zona zona zona bening senyawa aktif bening I bening II (x) x2 logC(konsentrasi) (mg L-1) 14,32 14,26 14,29 204,2041 3,812913 6500 13,11 13,98 13,55 183,4670 3,511883 3250 12,10 12,75 12,43 154,3806 3,210853 1625 11,33 11,11 11,22 125,8884 2,909823 812,5 10,14 10,10 10,12 102,4144 2,608847 406,3 9,97 9,99 9,98 99,6004 2,30771 203,1 8,12 8,32 8,22 67,5684 2,006894 101,6 7,00 7,09 7,04 49,5616 1,703291 50,5

y = 0.0135x + 1.0968 4.5 R2 = 0.98 4 3.5 3 2.5

logC 2 1.5 1 0.5 0 0 50 100 150 200 250 x2

pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,0968 log (C) = log (MIC) MIC = 12,5 µg mL-1

136

Lampiran 8 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, dan bobot kering sel kultur vegetatif menggunakan isolat Streptomyces sp. A11.

Bobot Gula Jam kering sel reduksi ke- (g L-1) (g L-1) pH 0 0,22 10,22 7,65 8 0,62 9,57 7,56 16 2,06 8,15 6,90 24 3,29 6,51 6,65 32 4,45 4,52 6,51 40 5,35 3,21 6,12 48 6,35 2,37 5,94 56 6,86 1,79 5,85 64 6,85 1,51 5,80 137

Lampiran 9 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, nitrogen total, bobot kering sel, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada proses fermentasi menggunakan isolat Streptomyces sp.A11.

Gula Konsentrasi Jam Bobot kering reduksi siklo(tirosil- Nitrogen total ke- sel (g L-1) (g L-1) pH prolil) (mg L-1) (mg L-1) 0 0,29 13,12 7,65 0 0,75 8 0,53 12,57 7,57 0 0,74 16 2,01 11,15 6,90 0 0,74 24 3,03 9,51 6,65 0 0,73 32 4,13 7,52 6,51 0 0,70 40 5,17 5,12 5,86 0 0,68 48 6,22 4,37 6,34 0 0,63 56 6,75 3,79 6,65 0 0,59 64 6,65 3,51 7,03 12,35 0,54 72 6,72 3,33 7,32 15,43 0,51 80 6,18 3,21 7,35 16,34 0,46 88 6,51 3,11 7,51 18,43 0,45 96 6,34 2,89 7,54 20,32 0,44 104 6,21 2,68 7,59 23,32 0,41 112 5,88 2,43 7,76 26,32 0,40 120 5,89 2,35 7,65 28,43 0,39 128 5,65 2,32 7,68 29,59 0,38 136 5,76 2,11 7,61 30,43 0,37 144 5,83 2,00 7,65 30,21 0,35 138

Lampiran 10 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)

Lampiran 10a Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks)

Waktu Bobot kering sel Bobot kering sel Rata-rata (Jam) percobaan 1(g L-1) percobaan 2 (g L-1) (X) Ln (X) 16 1,87 2,15 2,01 0,70 24 2,78 3,28 3,03 1,11 32 3,70 4,56 4,13 1,42 40 4,94 5,40 5,17 1,64

1.8 y = 0.0393x + 0.1166 1.6 R2 = 0.98

1.4 1.2 1

0.8 Ln(X) 0.6 0.4

0.2 0 01020304050 waktu (jam)

µmaks yang merupakan gradien dari kurva waktu (jam) versus ln(X) menunjukkan nilai sebesar 0,04 Jam-1

139

Lampiran 10b Penentuan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)

Waktu Rata- Rata- (Jam) X1 X2 rata (X) S1 S2 rata (S) (X-Xo) (So-S) 16 1,87 2,15 2,01 10,94 11,36 11,15 1,72 1,97 24 2,78 3,28 3,03 9,03 9,99 9,51 2,74 3,61 32 3,70 4,56 4,13 7,05 7,99 7,52 3,84 5,6 40 4,94 5,40 5,17 4,78 5,46 5,12 4,88 8 X1 = bobot kering sel percobaan 1 (g L-1) X2 = bobot kering sel percobaan 2 (g L-1) S1 = konsentrasi gula reduksi percobaan 1 (g L-1) S2 = konsentrasi gula reduksi percobaan 2 (g L-1)

6

y = 0.6048x + 0.2973 5 R2 = 0.97

4

3 (X-Xo) 2

1

0 0123456789 (So-S)

(Yx/s) yang merupakan gradien dari kurva (X-Xo) versus (So-S) menunjukkan 0,60 gram biomassa per gram sumber karbon. 140

Lampiran 11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan.

Aktvitas antbiotik (mg L-1) Variabel suhu (oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah 26 12,35 10,23 11,29 22,58 28 19,98 21,96 20,97 41,94 30 29,76 30,89 30,33 60,65 32 25,21 23,76 24,49 48,97 34 19,37 20,34 19,86 39,71 total 213,85

FK 4573,18 JKP 387,91 JKT 394,28

ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel P(perlakuan) 4 387,91 96,98 76,15 3,02 G(galat) 5 6,37 1,27 T(total) 9 394,28

UJI DUNCAN (0,05) p=5 dbG=5 Ulangan=2 Pembanding(P-1) 2 3 4 5 6 JND(0,05) 3,35 3,47 3,54 3,58 3,6 JNT(JNDxSy) 2,67 2,77 2,82 2,86 2,87

Konsentrasi antibiotik Suhu (oC) (mg L-1) kode 26 11,29 a 34 19,86 b 28 20,97 c 32 24,49 d 30 30,33 e

141

Lampiran 12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan pH awal medum fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya

pH awal Konsentrasi antibiotik (mg L-1) fermentasi Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah 4 19,98 21,30 20,64 41,27 4,5 22,33 22,52 22,42 44,85 5 23,04 23,73 23,39 46,77 5,5 23,38 23,27 23,32 46,65 6 23,38 28,53 25,95 51,90 6,5 31,54 30,44 30,99 61,98 7 31,40 32,12 31,76 63,52 7,5 32,38 31,26 31,82 63,63 8 24,14 23,93 24,03 48,06 total 468,65

FK 12201,70 JKP 302,66 JKT 318,58

ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel P(perlakuan) 8,00 302,66 37,83 21,39 3,02 G(galat) 9,00 15,92 1,77 T(total) 17,00 318,58

UJI DUNCAN (0,05) p=9 dbG=9 Ulangan=2 Pembanding (P-1) 2 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 JND(0,05) 3,2 3,34 3,41 3,47 3,50 3,52 3,52 3,52 JNT(JNDxSy) 2,93 3,06 3,12 3,18 3,20 3,22 3,22 3,22

Konsentrasi pH antibiotik (mg L-1) pH4 20,64 a pH4,5 22,42 ab pH5,5 23,32 ab pH5 23,39 ab pH8 24,03 bc pH7,5 31,82 bc pH6 25,95 cd pH7 31,76 d pH6,5 30,99 d

142

Lampiran 13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis gula total sebelum dan sesudah fermentasi. Lampiran 13a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)

Sumber Konsentrasi antibiotik (mg L-1) karbon Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah glukosa 22,83 23,17 23,00 46,00 maltosa 25,34 25,25 25,29 50,59 laktosa 13,12 12,57 12,84 25,69 sukrosa 14,51 13,58 14,05 28,09 molase 18,67 12,33 15,50 30,99 dekstrin 27,14 29,68 28,41 56,82 total 238,19

FK 4727,84 JKP 429,15 JKT 453,10

ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel P(perlakuan) 5 429,15 85,83 21,50 3,02 G(galat) 6 23,96 3,99 T(total) 11 453,10

UJI DUNCAN (0,05) p=6 dbG=6 ulangan=2 Pembanding(P-1) 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 JND(0,05) 3,15 3,30 3,37 3,43 3,46 3,47 JNT(JNDxSy) 3,74 3,92 4,01 4,08 4,11 4,12

Konsentrasi antibiotik Sumber karbon (mg L-1) Kode Laktosa 12,84 a Sukrosa 14,05 a Molase 15,50 a Glukosa 23,00 bc Maltosa 25,29 cd Dekstrin 28,41 d

143

Lampiran 13b Hasil analisis gula total dari beberapa sumber karbon sebelum dan sesudah fermentasi.

(S0-S)/S0 x Rasio 100 Konsentrasi siklo (tirosil- Konsentrasi Konsentrasi prolil) Konsentrasi sumber karbon sumber karbon Jumlah terhadap total -1 -1 Sumber antibiotik awal (mg L ) akhir (mg L ) konsumsi konsumsi karbon (mg L-1) (S0) (S1) (mg) sumber karbon Laktosa 12,84a 12504 8470 4034 32,26 0,00318 Sukrosa 14,05a 9196 4794 4402 47,87 0,00319 Molase 15,50a 5909 976 4933 83,47 0,00314 Glukosa 23,00bc 10577 830 9747 86,05 0,00224 Maltosa 25,29bc 11842 2433 9409 79,45 0,00269 Dekstrin 28,41d 10979 2406 8573 78,08 0,00331 144

Lampiran 14 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis nitrogen total sebelum dan sesudah fermentasi. Lampiran 14a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)

Konsentrasi antibiotik (mg L-1) Sumber nitrogen 1 2 Rataan Jumlah Ekstrak khamir 13,10 12,65 12,88 25,75 Pepton 23,06 22,34 22,70 45,39 Amonium sulfat 0,00 0,00 0,00 0,00 Kasein 20,17 23,12 21,65 43,29 Asam glutamat 9,74 10,25 9,99 19,98

Total 134,42 FK 1806,98 JKP 691,76 JKT 696,61

ANOVA db JK KT F F(0.05)tabel P(perlakuan) 4,00 691,76 172,94 178,34 3,02 G(galat) 5,00 4,85 0,97 T(total) 9,00 696,61

UJI DUNCAN (0,05) p=5 dbG=5 ulangan=2 Pembanding(P-1) 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 JND(0,05) 3,35 3,47 3,54 3,58 3,60 JNT(JNDxSy) 2,80 2,90 2,95 2,99 3,00

Sumber Nitrogen Konsentrasi antibiotik (mg L-1) Amonium sulfat 0 a Asam glutamat 9,99 b Ekstrak khamir 12,88 b Kasein 21,65 c Pepton 22,70 c

145

Lampiran 14b Hasil analisis nitrogen total dari beberapa sumber nitrogen sebelum dan sesudah fermentasi

Nitrogen Nitrogen Jumlah total awal total akhir Konsentrasi konsumsi fermentasi fermentasi siklo(tirosil- nitrogen total (mg.mL-1) (mg.mL-1) prolil) (mg L-1) (mg.mL-1)

Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44

Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20 146

Lampiran 15 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan mineral terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil).

Konsentrasi antibiotik mg L-1 Jenis mineral Percobaan 1 Percobaan 2 rataan jumlah Mineral I 35,23 35,76 35,50 70,99 Mineral II 31,23 32,12 31,68 63,35 Mineral III 33,22 32,98 33,10 66,20 Mineral IV 31,75 31,76 31,76 63,51 Mineral V 26,54 25,43 25,99 51,97 Blanko 25,13 24,32 24,73 49,45 total 365,47

FK 11130,69 JKP 176,78 JKT 178,29

ANOVA db JK KT F F(0.05)tabel P(perlakuan) 5 176,78 35,36 140,54 3,22 G(galat) 6 1,51 0,25 T(total) 11 178,29

p=6 dbG=6 ulangan=2 Pembanding (P-1) 2 3 4 5 6 JND(0,05) 3,46 3,58 3,64 3,68 3,68 JNT(JNDxSy) 1,25 1,29 1,31 1,33 1,33

perlakuan Nilai tengah notasi Blanko 24,73 a Mineral V 25,99 b Mineral II 31,68 c Mineral IV 31,76 c Mineral III 33,10 d Mineral I 35,50 e

147

Lampiran 16 Respon hasil percobaan optimalisasi proses produksi siklo(tirosil-prolil) menggunakan isolat Streptomyces sp.A11 Dekstrin Pepton Mineral Gula (g L-1) (g L-1) (mL) Notasi Gula reduksi reduksi akhir Konsumsi gula Rasio respon Predicted fermentasi fermentasi (g L-1) (awal- terhadap -1 -1 X1 X2 X3 X1 X2 X3 Respon value Residual (g L ) (g L ) akhir) konsumsi gula 25 8 5 -1 -1 -1 19,13 17,19 1,94 27,99 8,87 19,12 1,00 35 8 5 1 -1 -1 19,96 20,15 -0,19 37,78 17,19 20,59 0,97 25 12 5 -1 1 -1 23,19 24,64 -1,45 28,22 7,15 21,07 1,10 35 12 5 1 1 -1 40,35 36,28 4,07 38,26 15,32 22,94 1,76 25 8 10 -1 -1 1 20,59 23,72 -3,13 27,94 7,98 19,96 1,03 35 8 10 1 -1 1 30,99 28,61 2,38 37,89 14,32 23,57 1,31 25 12 10 -1 1 1 35,67 34,54 1,13 28,17 5,56 22,61 1,58 35 12 10 1 1 1 47,11 48,11 -1,00 38,21 15,21 23,00 2,05 21,6 10 7,5 -1,68 0 0 26,00 24,65 1,35 23,12 5,43 17,69 1,47 38,4 10 7,5 1,68 0 0 35,88 38,56 -2,68 43,11 17,23 25,88 1,39 30 6,64 7,5 0 1,68 0 16,74 16,89 -0,15 31,98 12,46 19,52 0,86 30 13,36 7,5 0 1,68 0 38,37 39,55 -1,18 33,24 10,34 22,90 1,68 30 10 3,3 0 0 -1,68 2,90 23,05 -2,15 33,13 10,35 22,78 0,13 30 10 11,7 0 0 1,68 39,31 38,49 0,82 33,21 9,35 23,86 1,65 30 10 7,5 0 0 0 47,56 47,40 0,16 33,32 9,87 23,45 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,71 47,40 0,31 33,11 9,92 23,19 2,06 30 10 7,5 0 0 0 47,88 47,40 0,48 33,31 10,21 23,10 2,07 30 10 7,5 0 0 0 46,94 47,40 -0,46 33,21 10,14 23,07 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,19 47,40 -0,21 33,16 9,88 23,28 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,36 47,40 -0,04 33,14 9,78 23,36 2,03 148

Lampiran 17 Keluaran hasil analisis data menggunakan Design Expert 7 pada proses optimasi produksi siklo(tirosil-prolil).

Lampiran 17a Keluaran Design Expert 7 dan respon yang diperoleh

149

Lampiran 17b Keluaran design summary dan respon yang diperoleh

150

Lampiran 17 c Keluaran hasil analisis fit summary dari Design Expert 7

151

Lampiran 17d Keluaran hasil analisis variansi (ANOVA) dari DesignExpert 7

152

Lampiran 17e Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan DesignExpert 7

153

Lampiran 18 Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses verifikasi model percobaan di laboratorium.

Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) Konsumsi gula Percobaan (mgL-1) (gL-1) Ulangan 1 49,32 22,05 Ulangan 2 50,81 23,82 Ulangan 3 48,83 21,76 Ulangan 4 51,20 23,28 Rata-rata 50,04 22,73 Rasio pembentukan siklo(tirosil-prolil) terhadap konsumsi gula adalah sebesar 2,20 mg siklo(tirosil-prolil) per gram gula.