ISSN: 1412-033X THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 387, Fax.: +62-271-646655. E-mail: [email protected]. Online: www.biology.uns.ac.id.

TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000

ISSN: 1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: Sutarno

SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan, Purin Candra Purnama, Elisa Herawati

PENYUNTING PELAKSANA: Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan)

PENYUNTING AHLI: Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta) Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor) Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta) Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia) Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta) Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung) Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta) Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor) Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor) Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan Januari dan Juli.

Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta juga menerbitkan BioSMART, Journal of Biological Science untuk mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup biologi murni dan ilmu-ilmu serumpun. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan April dan Oktober. PEDOMAN UNTUK PENULIS

Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. naskah dan satu disket ukuran 3 ½”, kecuali naskah yang dikirim Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, pencetakan. maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Suranto et al., 1998; Baker mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf and Manwell, 1991; Smith 1982a, b). Pada sitasi bertingkat digunakan Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999). digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali Jurnal: menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020. dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Buku: Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk Bab dalam buku: nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI Science Publishers B.V. pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, -2 -1 -1 Abstrak: dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m , l , h ) disarankan Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali 97th Annual International Conference of the American Society for apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000. dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya Prosiding: dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae- “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele- rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000. menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau Skripsi, Tesis, Disertasi: sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah Indonesia. dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat Informasi dari Internet: berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// pelari (running title) sekitar 5 kata. Nama penulis atau para penulis www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor faksimili, alamat e-mail daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi- korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (Keywords) sekitar 5 kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, nomor penerbitan berikutnya. meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum 3 halaman, dapat memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis menyertakan file digital. Penulis dianjurkan menyertakan foto atau disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah jurnal ini. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 43-47

Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Pengoksidasi Amonia

Effect of pH and organic substrate on growth and activities of ammonia-oxidizing bacteria

DWI AGUSTIYANI1,♥, HARTATI IMAMUDDIN1, ERNI NUR FARIDAH2,OEDJIJONO2 1 Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16122. 2 Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 53122.

Diterima: 15 Januari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

The physiological character, especially the effect of pH and organic substrate on the growth and activity of some ammonia- oxidizing bacteria was carried out. The results show that eight out of twenty isolates have ability to reduce ammonium, two of them i.e. isolate AOB1 and AOB2 could reduce more than 90% of ammonium. The growth and activity to reduce ammonium to nitrite was attained optimum at pH 7-8. From the result also indicated that the growth and activity of both isolate AOB1 and AOB2 were higher on the organic carbon (acetate)-containing media. This finding indicated that both of isolate AOB1 and AOB2 were heterotrophic ammonia-oxidizing bacteria. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: organic substrate, acetate, ammonia-oxidizing bacteria, ammonium, nitrite.

PENDAHULUAN piruvat, dan oksaloasetat sebagai sumber karbon. Laju pertumbuhan bakteri yang bersifat autotrofik Bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat lebih lambat dibandingkan dengan bakteri autotrofik adalah kelompok bakteri yang terutama heterotrofik. Derajat keasaman (pH) merupakan salah berperan dalam proses oksidasi amonia menjadi nitrit satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pada siklus nitrogen, juga pada proses peruraian pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi nitrogen dalam sistem pengolahan limbah cair. amonia (Esoy et al., 1998). Derajat keasaman (pH) Bakteri autotrofik yang berperan dalam oksidasi optimum untuk pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas, amonia yang bersifat autotrofik berkisar dari 7,5 Nitrosococcus, Nitrosospira, Nitrosolobus, dan sampai 8,5 (Ratledge, 1994). Sedangkan bakteri Nitrosovibrio. Beberapa mikroorganisme yang bersifat yang bersifat heterotrofik lebih toleran pada heterotrofik juga dilaporkan mampu mengoksidasi lingkungan asam, dan tumbuh lebih cepat dengan amonia atau nitrogen organik menjadi nitrit atau nitrat hasil yang lebih tinggi pada kondisi dengan (Sylvia et al., 1990). Mikroorganisme yang termasuk konsentrasi DO rendah (Zhao et al., 1999). dalam golongan tersebut diatas antara lain adalah: Sampai saat ini ekologi populasi bakteri fungi (Aspergillus) dan bakteri (Alcaligenes, pengoksidasi amonia di alam masih belum diketahui Arthrobacter spp., dan Actinomycetes). Menurut dengan jelas. Hal ini disebabkan sulitnya mengisolasi Alexander (1977), Arthrobacter dan Aspergillus flavus dan mengkultivasi mikroorganisme pengoksidasi mampu menghasilkan nitrat dalam media yang amonia. Klasifikasi bakteri pengoksidasi amonia mengandung amonia sebagai sumber nitrogen. terutama didasarkan pada morfologi sel, ultrastruktur Bakteri autotrofik menggunakan CO2 sebagai membran dan karakter fisiologinya (Watson et al., sumber karbon, sedangkan bakteri heterotrofik 1989). Pada penelitian ini, sifat fisiologi beberapa menggunakan senyawa organik, seperti asetat, isolat bakteri pengoksidasi amonia dipelajari. Kajian fisiologis ditekankan pada upaya mengetahui pengaruh tingkat keasaman (pH) dan sumber organik ♥ Alamat korespondensi: (asetat) terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122. Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854 pengoksidasi amonium. e-mail: [email protected] 44 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 43-47

BAHAN DAN METODE ml media basal. Kultur tersebut diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang (shaker). Pertumbuhan Media bakteri pengoksidasi amonia ditentukan dengan meng- Media isolasi bakteri pengoksidasi amonia ukur perubahan amonia dan pembentukan nitrit secara (Krummel dan Harms, 1982 dalam Watson et al., kualitatif, menggunakan indikator penentu amonium 1989). Komposisi: NH Cl(535 mg), NaCl (584 mg), 4 dan indikator penentu nitrit (Gerhardt et al., 1994). MgSO4. 7H2O (49,3 mg), CaCl2. 2 H2O (147,0 mg), KH2PO4 (54,4 mg), KCl (74,4 mg), FeSO4. 7H2O Pengujian pertumbuhan isolat bakteri (pada media (973,1 μg), (NH4)6Mo7O24.4H2O (37,1 μg), MnSO4. tanpa senyawa organik dan media organik) 4H2O (44,6 μg), CuSO4.5H2O (25μg), ZnSO4. 7H2O Isolat terseleksi ditumbuhkan ke dalam erlenmeyer (43,1 μg), H3BO3 (49,1μg), Cresol red (0,05%,1ml), yang berisi 50 ml media basal tanpa bahan organik Akuades (1 l). Bahan-bahan tersebut dilarutkan ke (pH 7,7). Kultur tersebut diinkubasi pada temperatur dalam akuades sampai volume 1000 ml, pH media 28°C diatas penggoyang (shaker) dengan kecepatan 7,5-8 dengan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut 115 rpm. Pertumbuhan ditentukan dengan cara kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu mengukur kekeruhan (Optical density/OD) kultur 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit bakteri tersebut dengan menggunakan Media pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia spektrofotometer pada panjang gelombang 430 nm (media basal). Komposisi: KH2PO4 (725 mg), dan mengukur penurunan konsentrasi amonia yang Na2HPO4 (1136 mg), MgSO4. 7H2O (50 mg), CaCl2. terjadi. Pengujian dengan cara yang sama juga 2H2O (20 mg), Fe. EDTA (1 mg), Trace element (1 dilakukan dengan menggunakan media organik. ml), Akuades (1 l). Trace element: Na2MoO4. 2H2O (10 mg), MnCl2. 4H2O (20 mg), ZnSO4. 7H2O (10 mg), Pembuatan starter CoCl2. 6H2O (0,2 mg), CuSO4. 5H2O (2 mg), Akuades Isolat bakteri yang akan diuji diinokulasikan ke (100 ml). Bahan-bahan di atas dilarutkan ke dalam dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal. akuades sampai volume 1000 ml, pH media 7,7 de- Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang ngan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut kemu- diatas penggoyang (shaker). Starter yang digunakan dian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC untuk pengujian selanjutnya ialah yang telah dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebagai sum- mencapai pertumbuhan eksponensial dengan 7 8 ber nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2SO4 steril. kepadatan sel 10 -10 sel/ml. Media organik. Pembuatan media organik sama dengan media basal ditambah dengan sodium asetat Pengaruh pH terhadap pertumbuhan dan aktivitas (20 mM) sebagai sumber karbon. Sebagai sumber bakteri pengoksidasi amonia (pada media tanpa nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2 SO4 steril. senyawa organik dan media oganik) Starter sebanyak 10 % v/v ditumbuhkan ke dalam Cara kerja erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal dalam Kultivasi bakteri pengoksidasi amonia bufer fosfat pH 5, 6, 7, 8 dan 9. Kultur tersebut kemu- Sumber isolat bakteri adalah lumpur (sludge) dari dian diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang kolam aerasi pengolahan limbah industri minyak (shaker) selama 72 jam. Selama inkubasi dilakukan kelapa sawit, PT. Tania Selatan, Palembang. Lumpur pengamatan setiap 24 jam terhadap pertumbuhan sebanyak 1ml ditumbuhkan pada erlenmeyer (100 ml) dan kemampuannya dalam mengoksidasi amonia. yang berisi 50 ml media basal (pH 7,7) yang Pertumbuhan ditentukan dengan menghitung jumlah mengandung 200 mg/l (NH4)2SO4. Kultur tersebut sel bakteri menggunakan haemocytometer. Pengujian kemudian diinkubasi pada suhu ruang diatas dengan cara yang sama juga dilakukan dengan penggoyang (shaker). Selama inkubasi dilakukan menggunakan media organik. pengamatan pertumbuhan mikroba nitrifikasi, yaitu dengan cara mengukur perubahan amonia dan Parameter penelitian pembentukan nitrit secara kualitatif, menggunakan Parameter yang diukur adalah amonium (NH4-N), indikator penentuan amonia dan indikator penentuan nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Konsentrasi nitrit (Gerhardt et al., 1994). Pengamatan dilakukan amonium dan nitrit ditentukan dengan menggunakan secara berkala. Derajat keasaman (pH) di dalam metode yang tercantum dalam Standard Method kultur dipertahankan pada kisaran 7-8. (APHA, 1992) yang telah dimodifikasi. Konsentrasi nitrat (NO3-N) ditentukan dengan metode yang Isolasi dan seleksi bakteri pengoksidasi amonia tercantum dalam SNI, (Anonim, 1990) yang telah Kultur yang menunjukkan indikasi adanya dimodifikasi (Agustiyani dan Imamuddin, 2000). pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia diambil dan diisolasi secara tabur. Kultur tersebut kemudian Analisis data diinkubasi pada suhu ruang selama 3-5 hari. Isolat Data yang diperoleh dianalisis menggunakan yang tumbuh kemudian dimurnikan dan dipindahkan analisis varian (ANOVA) berdasarkan uji F dengan pada media agar miring. Isolat yang diperoleh tingkat kepercayaan 99% dan 95%. Jika ada beda diseleksi kemampuan tumbuhnya dengan cara nyata analisis dilanjutkan dengan uji BNT dengan menumbuhkannya dalam erlenmeyer yang berisi 50 taraf kesalahan 1% dan 5% (Steel dan Torrie, 1981). AGUSTIYANI dkk. – Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia 45

Tabel 1. Hasil isolasi bakteri pengoksidasi amonia dan pengujian pertumbuhan secara kualitatif.

Pengujian pertumbuhan No Isolat Karakteristik Morfologi secara kualitatif 1. AM I1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++ 2. AM I2 (AOB1) Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++ 3. AMDA3 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata + 4. AMDA4.1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++ 5. AMDA4.2 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++ 6. AmB I1 Koloni berbentuk bulat kecil, tebal, putih, tepi rata - 7. AmB I2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata - 8. AmB II1 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata + 9. AmB II2.1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata ++ 10. AmB II2.2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata - 11. AmB III Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata - 12. NC I Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++ 13. NC II1 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata ++ 14. NC II2 Koloni berbentuk bulat sedang, tipis, transparan, tepi rata ++ 15. NC II3 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata ++ 16. NL2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata ++ 17. EF4 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi tidak rata ++ 18. AmOB1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++ 19. AmOB2 (AOB2) Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi rata +++ 20. NE Koloni berbentuk bulat kecil, transparan, tepi rata +++ Keterangan: +++ = nitrit yang terbentuk banyak; ++ = nitrit yang terbentuk agak banyak; + = nitrit yang terbentuk sedikit; - = tidak terbentuk nitrit.

HASIL DAN PEMBAHASAN rata jumlah sel bakteri isolat AOB1 dan AOB2 ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Pada Tabel 4 Isolasi dan seleksi dan 5 ditunjukkan bahwa jumlah sel bakteri Hasil isolasi bakteri dari sludge kolam aerasi meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. Jumlah pengolahan limbah industri minyak kelapa sawit, sel isolat bakteri AOB1 mencapai nilai optimal pada diperoleh 20 isolat. Isolat-isolat tersebut kemudian pH 7-8, sedangkan isolat bakteri AOB2 mencapai diseleksi kemampuan tumbuhnya dalam media basal optimal pada kisaran pH 7-9. yang mengandung amonium. Dari hasil pengujian diperoleh 16 isolat yang mampu tumbuh pada media Tabel 2. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonium dan menunjukkan kemampuannya amonia dalam media tanpa senyawa organik. mengoksidasi amonium menjadi nitrit yang Konsentrasi Kekeruhan (OD) + ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah muda Isolat NH4 setelah penambahan indikator nitrit (Tabel 1.). 0 hari 3 hari 7 hari 0 hari 7 hari Dari 16 isolat, 8 isolat menunjukkan kemampuan NE 0,046 0,080 0,050 47,35 40,72 memproduksi nitrit lebih banyak daripada isolat NC1 0,014 0,100 0,102 47,35 36,64 lainnya (Tabel 1.). Delapan isolat tersebut kemudian AMDA 4-1 0,025 0,159 0,120 47,35 9,17 diuji kemampuan tumbuhnya pada dua macam media AMDA 4-2 0,037 0,154 0,100 47,35 8,27 basal amonium yaitu media basal tanpa senyawa AMI 1 0,034 0,133 0,090 47,35 4,77 AOB1 0,030 0,222 0,196 47,35 2,65 organik dan media basal dengan senyawa organik Am OB1 0,051 0,196 0,167 47,35 4,03 (asetat). Pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia AOB2 0,038 0,290 0,270 47,35 2,08 pada kedua media tersebut ditentukan berdasarkan tingkat kekeruhan (Optical Density; OD) dan Tabel 3. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi kemampuannya menurunkan konsentrasi substrat. amonia dalam media yang mengandung senyawa organik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat AOB1 dan Konsentrasi AOB2 mempunyai pertumbuhan paling baik, Kekeruhan (OD) + Isolat NH4 ditunjukkan dengan kekeruhan yang tinggi dan 0 hari 3 hari 4 hari 0 hari 4 hari kemampuannya mereduksi amonia juga cukup tinggi NE 0, 057 0,044 0,052 44,38 39,65 (Tabel 2. dan 3.). Berdasarkan hasil pengujian NC1 0,083 0,089 0,092 44,38 41,77 tersebut, maka isolat bakteri AOB1 dan AOB2 AMDA 4-1 0,023 0,838 0,830 44,38 4,11 dipergunakan untuk pengujian selanjutnya. AMDA 4-2 0,062 0,835 0,770 44,38 3,30 AMI 1 0,033 0,873 0,675 44,38 3,79 Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri AOB1 0,032 1,068 1,050 44,38 2,81 Hasil penghitungan jumlah sel bakteri pada Am OB1 0,058 0,670 0,575 44,38 3,30 perlakuan berbagai variasi pH dan uji BNT dari rata- AOB2 0,060 1,430 1,195 44,38 2,79 46 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 43-47

Jumlah sel rata-rata tertinggi dari kedua isolat adanya perbedaan aktivitas oksidasi amonium pada bakteri dicapai pada perlakuan pH 8 dengan media kedua media yang digunakan, pada media organik yang mengandung senyawa organik asetat (P9) yaitu aktivitas kedua isolat bakteri lebih tinggi. Namun 35,20 x 106 sel per ml untuk isolat AOB1 dan 59,20 x demikian nampak bahwa efisiensi penurunan 106 sel per ml untuk isolat AOB2. Jumlah sel bakteri amonium tidak linear dengan efisiensi pembentukan cenderung menurun sejalan dengan menurunnya pH. nitrit. Efisiensi penurunan amonium jauh lebih tinggi Dari data diatas, diketahui bahwa pH sangat dibandingkan dengan efisiensi pembentukan nitrit. berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri Isolat AOB1 mempunyai efisiensi penurunan AOB1 maupun AOB2. Pertumbuhan kedua isolat amonium berkisar antara 9,71-99,25% dan efisiensi bakteri ini lebih baik pada media yang mengandung pembentukan nitrit berkisar antara 0,06-15,71%. senyawa organik asetat. Sedangkan isolat AOB2 mempunyai efisiensi penurunan konsentrasi amonia berkisar antara 14,88- Tabel 4. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB1 pada 98,98% dan efisiensi pembentukan nitrit berkisar berbagai variasi pH. antara 0,15-28,22%. Efisiensi penurunan amonia tertinggi untuk isolat AOB1 sebesar 99,25% dan Rataan jumlah Kombinasi perlakuan 6 AOB2 sebesar 98,98%, akan tetapi efisiensi sel AOB1 (x 10 ) pembentukan nitritnya rendah yaitu 15,71% untuk P1 (pH 5, media tanpa organik) 4,16 b c isolat AOB1 dan 28,22% untuk isolat AOB2. Hal ini P2 (pH 6, media tanpa organik ) 4,53 P3 (pH 7, media tanpa organik ) 21,97 f menunjukkan rendahnya aktivitas oksidasi amonium P4 (pH 8, media tanpa organik ) 22,85 fg menjadi nitrit. P5 (pH 9, media tanpa organik ) 16,03 e P6 (pH 5, media dengan organik) 3,15 a Tabel 6. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan P7 (pH 6,media tanpa organik) 13,52 d pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB1 P8 (pH 7,media tanpa organik) 34,67 i (inkubasi 72 jam). P9 (pH 8,media tanpa organik) 35,20 ij Isolat Efisiensi Efisiensi P10 (pH 9, media tanpa organik ) 27,73 h dan Perlakuan penurunan pembentukan Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama media amonia (%) nitrit (%) berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. i a P1 (pH 5) 11,68 0,06 BNT 0,05 = 0,0369. AOB1 h abc P2 (pH 6) 48,56 0,25 Media P3 (pH 7) 87,61 d 1,12 ef tanpa P4 (pH 8) 89,82 c 1,30 efg Tabel 5. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB2 pada organik ef e P5 (pH 9) 81,61 0,93 berbagai variasi pH. Ij ab P6 (pH 5) 9,71 0,15 AOB1 P7 (pH 6) 59,84 g 1,41 abcd Rataan jumlah b hi Kombinasi perlakuan 6 Media P8 (pH 7) 95,88 8,49 sel AOB2 (x 10 ) a ij ab organik P9 (pH 8) 99,25 15,71 P1 (pH 5, media tanpa organik) 4,35 P10 (pH 9) 83,10 e 7,06 h P2 (pH 6, media tanpa organik ) 6,48 c ef Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama P3 (pH 7, media tanpa organik ) 39,20 berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. P4 (pH 8, media tanpa organik ) 41,60 efg e BNT 0,05 = 0,0369 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT P5 (pH 9, media tanpa organik ) 37,87 0,05 = 0,1050 (untuk konsentrasi nitrit). P6 (pH 5, media dengan organik) 4,32 a P7 (pH 6,media tanpa organik) 24,29 d hi P8 (pH 7,media tanpa organik) 58,40 Tabel 7. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan P9 (pH 8,media tanpa organik) 59,20 hij h pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB2 P10 (pH 9, media tanpa organik ) 54,93 (inkubasi 72 jam). Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Efisiensi Efisiensi BNT 0,05 = 0,0345. Isolat Perlakuan penurunan pembentukan amonia (%) nitrit (%) P1 (pH 5) 19,28 i 0,06 a AOB2 P2 (pH 6) 52,24 h 0,30 c Pengaruh pH terhadap aktivitas bakteri Media P3 (pH 7) 89,12 cd 2,62 f Aktivitas bakteri pengoksidasi amonium ditentukan tanpa P4 (pH 8) 90,14 c 3,05 g dengan cara mengukur penurunan amonium dan organik e de P5 (pH 9) 82,07 2,11 pembentukan nitrit. Hasil penghitungan efisiensi P6 (pH 5) 14,88 ij 0,15 ab penurunan amonium dan efisiensi pembentukan nitrit AOB2 P7 (pH 6) 62,18 g 7,00 d oleh aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 Media P8 (pH 7) 95,67 b 22,09 h ditampilkan pada Tabel 6 dan 7. Dari Tabel 6 dan 7 organik P9 (pH 8) 98,98 a 28,22 j diketahui bahwa aktivitas isolat bakteri AOB1 dan P10 (pH 9) 80,67 ef 22,55 hi AOB2 dalam mengoksidasi amonia menjadi nitrit Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama sangat dipengaruhi oleh pH. Efisiensi penurunan berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. konsentrasi amonia dan pembentukan nitrit mencapai BNT 0,05 = 0,2984 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT optimal pada pH 7-8. Dari Tabel 6 dan 7 juga terlihat 0,05 = 0,1155 (untuk konsentrasi nitrit). AGUSTIYANI dkk. – Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia 47

Dari hasil pengujian, diketahui bahwa aktivitas KESIMPULAN oksidasi amonia menjadi nitrit dari isolat bakteri AOB1 dan AOB2 lebih tinggi di media yang mengandung Dari penelitian ini diketahui bahwa derajat karbon organik asetat. Hal ini menunjukkan bahwa keasaman (pH) berpengaruh terhadap pertumbuhan kedua isolat tersebut bersifat heterotrofik, karena dan aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 dalam mampu memanfaatkan senyawa organik sebagai mengoksidasi amonia. Pertumbuhan dan aktivitas sumber karbonnya. Jenie dan Rahayu (1993) oksidasi amonia mencapai optimum pada kisaran pH menyatakan bahwa selain bakteri nitrifikasi autotrof, 7-8. Isolat bakteri AOB1 dan AOB2 memperlihatkan juga terdapat bakteri heterotrof yang selain mampu pertumbuhan dan aktivitas yang jauh lebih baik pada menggunakan senyawa organik, juga mampu media yang mengandung asetat. Fakta ini memanfaatkan nitrogen anorganik, misalnya amonia, menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut sebagai donor elektron dan sumber energi. Fakta merupakan bakteri pengoksidasi amonia yang kedua yang mendukung dugaan bahwa kedua isolat bersifat heterotrofik. Alur reaksi oksidasi amonium bakteri tersebut adalah bakteri pengoksidasi amonia secara lengkap belum diketahui. yang bersifat heterotrofik adalah rendahnya aktivitas oksidasi amonium menjadi nitrit. Seperti dikemukakan DAFTAR PUSTAKA Ambarsari (1999) bahwa bakteri nitrifikasi heterotrofik mempunyai aktivitas yang jauh lebih rendah Agustiyani, D dan H. Imamuddin. 2000. Pertumbuhan kultur mikro- ba campuran pada senyawa amonium. Proseding Seminar dibandingkan bakteri yang bersifat autotrofik. Nasional Biologi XVI dan Konggres Nasional Perhimpunan Berbeda dengan bakteri nitrifikasi yang bersifat Biologi Indonesia (PBI) XII, ITB Bandung, 25-27 Juli 2000. autotrofik, sebagian besar bakteri heterotrofik akan Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd edition. mengeluarkan nitrit atau nitrat jika fase Toronto: John Wiley and Sons. Ambarsari, H. 1999. Karakteristik dan peran bakteri penitrifikasi dalam pertumbuhannya telah aktif (Doxtader dan Alexander, usaha minimisasi amonia yang terakumulasi di dalam sistem 1966; Obaton et al., 1968; Verstraete dan Alexander, akuakultur. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 1 (2): 43-52. 1972). Dilaporkan juga bahwa beberapa bakteri Anonim. 1990. Kumpulan SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai heterotrofik, seperti P. pantotropha dan Alcaligenes Kualitas Air. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. American Public Health Association (APHA). 1992. Standard faecalis hanya mampu mengoksidasi amonium Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18th menjadi hydroxylamine (Otte et al., 1999). Reaksi edition. Washington DC.: APHA. biokimia peruraian amonium oleh bakteri nitrifikasi Doxtader, K.G., and M. Alexander. 1966. Nitrification by growing yang bersifat heterotrofik antara lain adalah sebagai and replacement cultures of Aspergillus. Canadian Journal of + - - Microbiology 12: 807-815. berikut: NH4 Æ NH2OH Æ NOH Æ NO2 Æ NO3 Esoy, A., H. Odegaard and G. Bentzen. 1998. The Effect of (Killham, 1986; Haynes, 1986). Dari reaksi diatas Sulphide and Organic Matter on The Nitrification Activity In diketahui bahwa hasil akhir dari reaksi oksidasi Biofilm Procces. Water Science Technology 37 (1): 115-122. amonium secara sempurna adalah nitrat (NO -). Gerhardt, P., R.G.E. Murray, W. A. Wood and N. R. Krieg. 1994. 3 Methods for General Molecular Bacteriology. Washington DC.: Dalam penelitian ini nitrat tidak terdeteksi, hanya American Society for Microbiology. terdeteksi nitrit. Selain itu dalam penelitian ini Haynes, R.J. 1986. Mineral Nitrogen In the Plan-Soil System. hydroxylamine juga tidak diukur, sehingga belum bisa London: Academic Press, Inc. disimpulkan pola reaksi yang lengkap dari proses Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.G. Gunawan, dan Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Bogor: PAU IPB. oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 dan Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Cair AOB2. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. perlu dilakukan. Killham, K. 1986. Heterotrophic nitrification. In Prosser, J.I. (ed). Pada pH 8, pertumbuhan sel isolat bakteri AOB1 Nitrification. Oxford: IRL Press. Obaton, M., N. Amarger, and M. Alexander. 1968. Heterotrofik dan AOB2 sangat baik. Seperti pada umumnya nitrification by Pseudomonas aeruginosa. Archipes of bakteri nitrifikasi, bakteri pengoksidasi amonia lebih Microbiology 63: 122-132. menyukai lingkungan yang basa dengan tingkat pH Otte S, J. Schalk, J.G. Kuenen, and M.S. Jetten. 1999. optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 7,5 Hydroxylamine oxidation and subsequent nitrous oxide production by the heterotrophic ammonia oxidizer Alcaligenes sampai 8,5 (Imas et al., 1989 dan Ambarsari, 1999). faecalis. Applied Microbiologi and Biotechnology 51: 255-261. Sedangkan pada pH 5, pertumbuhan maupun Ratledge, C. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation. aktivitas oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 Amsterdam: Kluwer Academic Publisher. dan AOB2 menurun, hal ini menunjukkan terjadinya Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1981. Prinsip dan Prosedur Statis- tika. Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT. Gramedia. penghambatan. Pada pH yang rendah, membran sel Sylvia, D. M., J. J. Furbrmann, P. G. Hartel and D. A. Zuberer. menjadi jenuh oleh ion hidrogen sehingga membatasi 1990. Principles and Application of Soil Microbiology. New transport membran. Keracunan yang terjadi pada pH Jersey: Prentice Hall, Inc. rendah adalah karena sebagian substansi asam yang Verstraete, W. and M. Alexander. 1972. Heterotrophic nitrification by Arthrobacter sp. Journal of Bacteriology 110: 955-961. tidak terurai meresap ke dalam sel, sehingga terjadi Watson, S.W. , E. Bock, H. Harms, H.P. Koops, and A.B. Kooper. ionisasi dan pH sel berubah. Perubahan ini 1989. Nitrifiying bacteria. In: Staley, J.T., M.P. Bryant, N. menyebabkan proses pengiriman asam-asam amino Hennig, and J.G. Holt (eds). Bergey Manual of Systematic dari RNA terhambat sehingga menghambat Bacteriology Vol. 3. Baltimore: Williams and Wilkins. Zhao, H.W., D.S. Mavinic, W.K. Oldham, and F.A. Koch. 1999. pertumbuhan dan bahkan dapat membunuh mikroba. Controlling factors for simultaneous nitrification and denitrification in a two-stage intermittent aeration process treating domestic sewage. Water Resources 33 (4): 961-970. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 48-51

Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit

Evaluate the effect of mutans Aspergillus niger to the nutritive value of fermentation at coconut meal and karnel palm meal

LAELA SARI1, TRESNAWATI PURWADARIA2 1Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong-Bogor 16911 2Balai Penelitian Ternak Ciawi PO Box 221 Bogor 16002

Diterima: 19 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT

Agricultural wastes, such as coconut meal and kernel palm meal can be used to fulfill the need of feed for ruminants or monogastrics. Fermentation technology using Aspergillus niger has been reported allow to increase their nutritive value. Isolation of the asporogenous strain which could spored at room temperature but could not spored at 37oC is expected to sole the fermentation of spores in the fermentation product. The spore formation of mutants at the fourth day incubation time (10%) was less than the wild type (100%). The variance analysis of protein content in vitro Dry Matter Digestibility (IVDMD) and in vitro Protein Digestibility (IVPD) showed that the kind of mutants were interacted with the incubation time (P<0,01). The highest protein content of coconut meal was obtained from E27 mutant (33.0%), kernel palm meal was obtained from E14 mutant (31.4%) at the fourth day of incubation time. The highest IVDMD of coconut meal (62.1%), kernel palms meal (61.8%) at the fourth day incubation time and from all E27 mutant. The highest IVPD of coconut meal was obtained from E27 mutant (20.49%) at the fourth day incubation time, kernel palm meal was obtained from E27 mutant (18.66%) at the fourth days incubation time. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: mutant Aspergillus niger, coconut meal, kernel palm meal, fermentation.

PENDAHULUAN diproduksi tinggi dengan biaya serendah-rendahnya. Bungkil kelapa merupakan hasil dari ikutan Pakan ternak sebagai sarana produksi ternak pembuatan minyak kelapa, bungkil inti sawit dirasakan petani cukup mahal, hal ini disebabkan merupakan hasil ikutan industri minyak sawit. Kedua ketersediaan bahan pakan yang berkualitas seperti bahan tersebut mempunyai faktor pembatas yaitu tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai belum kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan daya memadai dan sebagian besar masih diimpor. Sebagai cernanya rendah. Daya cernanya berkurang gambaran, pada tahun 1994 Indonesia mengimpor dikarenakan proses pelumatan serat kasar tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai masing- memerlukan banyak tenaga dan enzim (Lubis, 1963), masing sebanyak 227.213 ton, 1.109.253 ton dan sehingga perlu dilakukan perlakuan pada kedua 450.340 ton. Di lain pihak, berbagai limbah industri bahan tersebut agar kualitasnya lebih baik. yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan pakan Menurut Kompiang et al. (1994) dan Sinurat dkk. ternak seperti bungkil kelapa dan bungkil inti sawit (1998a,b), teknologi untuk meningkatkan mutu bahan cukup banyak diproduksi di Indonesia (Sinurat dkk., pakan adalah dengan fermentasi. Secara umum 1998a,b; Ketaren dkk., 1999). Oleh karena itu perlu semua produk akhir fermentasi biasanya diteliti penggunaan bahan lain seperti bungkil kelapa mengandung senyawa yang lebih sederhana dan dan bungkil inti sawit. Bahan tersebut merupakan mudah dicerna daripada bahan asalnya sehingga bahan pakan yang murah, bernilai gizi tinggi, tidak dapat meningkatkan nilai gizinya (Purwadaria et al., bersaing dengan kebutuhan manusia dan dapat 1995; Sinurat dkk., 1996; Supriyati dkk., 1998). Fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan ♥ Alamat korespondensi: cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat Jl Raya Bogor KM 46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588. racun yang dikandung suatu bahan. Berbagai jenis Email: [email protected] mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk meng- ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus 49 konversikan pati menjadi protein dengan penam- mutan yang dapat berspora pada suhu kamar namun bahan nitrogen anorganik ini melalui fermentasi. tidak berspora pada suhu 37oC. Mutan tersebut Kapang yang sering digunakan dalam teknologi ditumbuhkan pada cawan petri untuk dijadikan biakan fermentasi antara lain Aspergillus niger. A. niger inokulum. merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak Proses fermentasi substrat padat membahayakan (Gray, 1970). Proses fermentasi Substrat berupa bungkil kelapa dan bungkil inti menggunakan kapang, selain pembentukan miselium sawit masing-masing sebanyak 1 kg diberi larutan selalu diikuti oleh pembentukan spora yang berguna mineral (Modifikasi Ramos et al., 1993) dan dilarutkan untuk pembuatan inokulum pada proses fermentasi. dalam 800 ml air, campuran diaduk sampai homogen Inokulum yang berupa spora merupakan starter yang dan dikukus selama 30 menit. Setelah dingin, baik dalam fermentasi (Purwadaria et al., 1994). substrat diberi galur inokulum yang berbeda (E14, Keberadaan spora dapat membuat turunnya daya E27 dan tipe liar sebagai kontrol) dan diaduk sampai cerna produk fermentasi dibandingkan dengan sel homogen. Setelah itu diletakkan dalam baki plastik miselium dan merupakan bahan pencemar bagi dengan ketebalan 3cm secara aerob, lalu kesehatan manusia, sehingga untuk alasan ini mutan dinkubasikan pada suhu 37oC selama 4 hari. yang hilang kemampuan berspora pada suhu tertentu akan mempunyai keuntungan. Uji analisis kimia Mutan asporogenous A. niger telah dikembangkan Analisis kimia yang diuji menurut AOAC (1984) dengan teknik mutasi ultra violet (Glenn dan Roger, adalah kadar protein produk fermentasi dalam bentuk 1988). Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi kadar protein sejati. Kadar protein sejati merupakan pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan kadar protein kasar dengan kadar nitogen terlarut (X ekspresinya. Proses pembentukan mutan disebut 6,25). Selanjutnya diuji daya cerna bahan kering dan mutagenesis. Radiasi dengan penyinaran ultra violet daya cerna protein sejati secara in vitro dan protein sering digunakan dalam studi mutagenesis (Yusuf, tercerna. Nilai protein tercerna merupakan perkalian 1988; Iskandar dkk, 1995). daya cerna protein dengan kadar protein. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk mutan asporogenous A. niger dengan menggunakan sinar Rancangan penelitian ultra violet dan mengkaji nilai gizi produk fermentasi Rancangan penelitian yang digunakan adalah bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial (Suntoyo, 1993) dengan 3 ulangan menggunakan 2 faktor yaitu faktor inokulum (3 isolat) dan faktor waktu BAHAN DAN METODE inkubasi (0, 2, 3, dan 4 hari). Perlakuan yang diberikan meliputi masing-masing substrat percobaan Substrat dan mikroba yang difermentasikan dengan A. niger Balitnak tipe Substrat yang digunakan adalah bungkil kelapa liar, E14 dan E27 (hasil penelitian ini), serta dipanen dan bungkil inti sawit yang diperoleh dari toko setelah 0, 2, 3 dan 4 hari. makanan ternak di daerah Bogor. Sedangkan mikroba yang digunakan adalah A. niger koleksi Analisis data Balitnak Ciawi dan mikroba mutan E14 dan E27 (hasil Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam penelitian ini). dan BNJ (Suntoyo, 1993).

Teknik mutasi Spora galur A. niger tipe liar pada media PDA HASIL DAN PEMBAHASAN (Potato Dextose Agar) dilarutkan dengan larutan fisiologis dengan pengenceran 10-6. Setiap Hasil mutasi pengenceran dimasukkan ke dalam botol McCartney Hasil mutasi dengan sinar UV menunjukkan steril dan ditutup dengan rapat. Tempat untuk mutasi adanya pembentukkan mutan asporogenous A. niger. dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian disiapkan Koloni kapang yang berspora pada suhu 37oC lampu Ultra Violet (Clemco 9015, 227 nm, 15 watt) merupakan koloni tipe liar, sedangkan koloni yang dengan jarak 10 cm di atas cawan petri steril. Sampel tidak berspora merupakan koloni mutan (Tabel 1.). dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut dan Koloni kapang yang tidak berspora tersebut disinari selama 2’ (Glenn dan Roger, 1988) lalu dipisahkan dan dibiakkan pada suhu kamar dan suhu dimasukkan ke dalam botol McCaartney. Sebanyak 37oC. Kemudian kedua mutan tersebut diuji lebih 0,2 ml sampel ditumbuhkan pada cawan petri berisi lanjut dengan menanamnya pada suhu kamar dan media PDA lalu diinkubasikan selama 4 hari pada 37oC selama empat generasi. Setelah empat kali suhu 37oC. Setelah mutan yang tumbuh pada suhu dipindahkan ternyata mutan tersebut tetap stabil dan 37oC diperoleh, maka dilakukan isolasi, dan mempunyai karakteristik serta sifat yang sama seperti ditumbuhkan pada media PDA dan diinkubasikan pada generasi pertama (dilihat dari pengamatan pada suhu kamar dan suhu 37oC. Selanjutnya dipilih pembentukan spora secara visual Tabel 2.). 50 BioSMART Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 48-51

Tabel 1. Pembentukan spora isolat mutan dan tipe liar A. Tabel 3. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya niger pada suhu inkubasi 28oC dan 37oC. cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar, mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil kelapa. Proses Mutasi Waktu Analisis Waktu inkubasi (hari) Jenis Pengenceran Suhu Suhu Galur penyinaran (%) 0234 galur spora kamar 37oC (menit) Kadar Tipe liar 22,3a 29,5bc 28,4b 30,3bc TL - - +++ ++++ protein E14 21,9a 31,3c 32,2c 32,7c E14 2 10-6 +++ -,+ E27 20,7a 31,6c 32,2c 33,0c E27 2 10-6 +++ -,+ Daya Tipe liar 38,7a 44,1b 46,9c 40,0ab Keterangan: (-) = tidak berspora; (+) = berspora sedikit; cerna E14 41,0ab 46,1bc 52,6cd 56,3d (++) = Berspora sedang; (+++) = Berspora banyak; (++++) bahan E27 48,1bc 51,8c 58,2d 62,1e = Berspora sangat banyak/sangat rapat. kering Daya Tipe liar 70,2b 75,5c 71,7bc 60,5a cerna E14 63,0a 83,3d 81,3d 78,2c Tabel 2. Pertumbuhan A. niger TL, E14, dan E27 pada protein E27 84,6e 81,1d 75,1c 78,1c substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. sejati Protein Tipe liar 8.63 13.01 13.32 12.12 Hari ke tercerna E14 8.98 14.43 16.94 18.41 Substrat 123 4 E27 9.96 16.37 18.74 20.49 Bungkil kelapa Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda TL - -,+ ++ ### nyata (P<0,05). E14 - -,+ ++ ++# E27 - + ++ ++# Tabel 3 menunjukkan protein tertinggi pada bungkil kelapa diperoleh pada mutan E27 (33%) Bungkil inti sawit dengan waktu inkubasi 4 hari. Sedangkan protein TL - -,+ ++ ### tertinggi pada bungkil inti sawit diperoleh pada mutan E14 - -,+ ++ ++# E14 (31,4%) dengan waktu inkubasi 4 hari (Tabel 4). E27 - + ++ ++# Pada tipe liar terjadi penurunan kadar protein pada hari ke empat, karena pertumbuhannya berbeda pada Keterangan: (-) = Tidak tampak pertumbuhan; (-,+) = hifa jenis mutan maka yang terjadi disini adalah aktivitas tumbuh menutupi substrat ± 50%; (+) = hifa tumbuh kapang yang satu lebih rendah dari yang lainnya. menutupi substrat ± 70%; (++) = hifa tumbuh menutupi substrat 100%; (++#) = hifa tumbuh ± 90%, dipinggir baki Aktivitas kapang memecah protein substrat sehingga tumbuh spora ± 10%; (###) = tumbuh spora warna hitam. laju pertumbuhannya menurun. Metode yang digunakan untuk uji daya cerna Fermentasi substrat padat bahan kering secara in vitro merupakan pendekatan Dilakukan analisis pada 0 (kontrol), 2, 3 dan 4 hari, untuk mengetahui gambaran kecernaan bahan kering namun tidak dilakukan pada waktu fermentasi satu produk (Saunders et al., 1973). Analisis sidik ragam hari, karena masa tersebut merupakan waktu daya cerna bahan kering dan protein sejati in vitro adaptasi mikroba sehingga aktivitasnya belum menunjukkan interaksi antara jenis inokulum dan optimal. Menurut Fardiaz (1988), fase adaptasi waktu inkubasi (Tabel 3. dan Tabel 4.). Nilai daya diperlukan mikroorganisme untuk menyesuaikan diri cerna bahan kering in vitro bungkil kelapa tertinggi dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. diperoleh pada mutan E27 (62,1%) waktu inkubasi 4 Tabel 3. dan Tabel 4. menunukkan adanya hari (Tabel 3.). Sedangkan nilai daya cerna bahan interaksi antara jenis mutan dan waktu inkubasi kering in vitro bungkil inti sawit tertinggi diperoleh (P<0,01). Analisis ragam pengaruh jenis mutan pada mutan E27 (61,8%) waktu inkubasi 4 hari (Tabel terhadap kadar protein sejati berbeda nyata (P<0,01). 4.). Kecuali pada tipe liar waktu inkubasi 4 hari Dibandingkan dengan tipe liar, mutan E14 dan E27 menunjukkan nilai daya cerna bahan kering terendah tumbuh lebih baik karena pertumbuhan spora mutan karena selama proses fermentasi kapang tersebut lebih sedikit dari tipe liar. memproduksi enzim pengurai serat kasar. Pada tipe Pada substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit liar terjadi penurunan daya cerna bahan kering lamanya waktu fermentasi memperlihatkan adanya karena terbentuk spora lebih banyak daripada isolat perbedaan nyata (P<0,01) terhadap kandungan mutan. Dinding sel spora lebih banyak mengandung protein. Kenaikan kadar protein pada substrat serat daripada miselium sehingga lebih sukar dicerna fermentasi padat diakubatkan oleh penambahan dan menurunnya daya cerna bahan kering. protein yang diperoleh dari perubahan nitogen Pada tipe liar terjadi pada hari ke empat inorganik menjadi protein sel selama pertumbuhan penurunan daya cerna bahan kering, karena seratnya mikroba. Meningkatnya kadar protein ini ada terurai sehingga daya cerna proteinnya meningkat. hubungannya dengan pertumbuhan kapang A. niger. Pada tipe liar terjadi penurunan daya cerna terjadi Makin subur pertumbuhan kapang makin tinggi pula karena terdapat spora yang tumbuh lebat pada hari kadar proteinnya, karena sebagian besar sel kapang ke empat, hal ini tersebut diduga karena spora merupakan protein. meningkatkan kadar serat kasar bahan. Kadar serat ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus 51 kasar yang tinggi mengakibatkan enzim pencernaan Protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa sukar menembus dinding sel dan menyebabkan zat terdapat pada mutan E27 (20,49%) dengan waktu gizi yang terdapat pada bahan tidak dapat dimanfaat- inkubasi 4 hari. Protein tercerna tertinggi pada bungkil kan sebaik mungkin. Pada mutan E14 dan E27 mi- inti sawit terdapat pada mutan E27 (18,66%) dengan seliumnya tumbuh subur namun hanya sedikit spora waktu inkubasi 4 hari. yang tumbuh pada hari ke empat, sehingga bahan tersebut lebih mudah dicerna dan dimanfaatkan. UCAPAN TERIMA KASIH Tabel 4. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar, Karya ilmiah ini merupakan bagian dari thesis mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil inti sawit. sarjana penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balitnak, Ciawi untuk fasilitas yang diberikan Analisis Waktu inkubasi (hari) dalam penelitian ini, juga kepada Tuti Haryati, M.Sc. Galur (%) 0234 atas segala bantuan dalam pekerjaan. Kadar Tipe liar 19,9a 26,3bc 28,3c 27,1bc protein E14 18,2a 29,7cd 25,6b 31,4d E27 19,1a 26,7bc 27,5bc 30,2cd DAFTAR PUSTAKA Daya Tipe liar 33,0a 35,2ab 42,5c 32,4a cerna E14 37,2b 42,6c 45,5cd 48,7d AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of bahan E27 40,8bc 47,7d 54,5c 61,8f Official Analytical Chemists. Washingtong D.C.: AOAC. kering Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pasca Sarjana PAU- IPB & LSI IPB,. Daya Tipe liar 72,5b 77,1c 76,0bc 79,2cd Glenn, D.R. and R.E. Roger., 1988. A solid substrate fermentation cerna E14 65,7a 74,6bc 81,5d 77,3cd process for animal feed product, studies on funngal strain protein E27 69,2ab 81,6d 72,9bc 76,4bc improvement. Australian Journal of Biotechnology 2 (1): 50-54. sejati Gray, W.D., 1970. The Use of Fungi as Food and in Food Protein Tipe liar 6,57 9,26 12,03 8,78 Processing. Ohio: CRC Press. tercerna E14 6,77 12,65 11,65 15,29 Iskandar, Y.M., I.Z. Udin dan A.T. Karossi. 1995. Strain E27 7,79 12,74 14,99 18,66 Aspergillus oryzae untuk meningkatkan produksi alfa amilase. JKTI 5 (1): 29-33. Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda Ketaren, P.P., A.P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadaria, dan I.P. nyata (P<0,05). Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Nilai daya cerna protein sejati tertinggi pada Veteriner 4 (2): 107-112. bungkil kelapa dan bungkil inti sawit diperoleh pada Kompiang, I.P., A.P. Sinurat, S. Kompiang, T. Purwadaria, and J. Darma. 1994. Nutrition value of protein enriched cassava: mutan E27, walaupun demikian untuk nilai gizi produk Cassapro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7 (2): 22-25. fermentasi nilai daya cerna berhubungan dengan Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan. kadar protein produk atau nilai protein tercerna. Nilai Purwadaria, T., T. Haryati, A.P. Sinurat, J. Darma, and T. Pasaribu. protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa 1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation diperoleh pada mutan E27 (20,49%) waktu inkubasi 4 temperatures. 2nd Conference on Agricultural Biotechnology hari (Tabel 3). Sedangkan nilai protein tercerna Jakarta, 13-15 June 1995. tertinggi pada bungkil inti sawit pada E27 (18,66%) Ramos. A.V., M. de la Torre, and C. Casas-Campillo. 1993. Solid waktu inkubasi 4 hari atau kapang ini terbaik untuk Strate Fermentation of Cassava with Rhizopus oligosporus NRRL 2710. In Ferranti, M.P., and A. Fiechter (eds.). nilai gizi protein (Tabel 4). Isolat mutan menunjukkan Production and Feeding of Single Cell Protein. London: Applied nilai gizi protein lebih baik daripada nilai tipe lainnya Science Publisher. karena beberapa mutan hasil ultra violet menunjuk- Saunders, R.M, M.A. Corner, A.N. Booth, E.M. Bickoff, and G.O. kan adanya peningkatan aktivitas enzim hidrolisis. Kohler. 1973. Measurement of digestibility of alfaefa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. Journal of Nutrition 103: 530-535. Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, A.R. Setioko, dan J. KESIMPULAN DAN SARAN Darma. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 (3): 161-168. Mutan pada fermentasi bungkil kelapa dan bungkil Sinurat, A.P., T. Purwadaria, A. Habibie, T. Pasaribu, H. Hamid, J. inti sawit menunjukkan hifa tumbuh 90%, di tepi baki Rosida, T. Haryati, dan I. Sutikno. 1998. Nilai gizi bungkil tumbuh spora 10%, sedangkan tipe liar menunjukkan kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar hifa dan spora tumbuh subur pada substrat (100%). fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (1): 15-21. Waktu inkubasi mempengaruhi kadar protein. Kadar Sinurat, A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid, protein yang paling baik diperoleh pada substrat dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan bungkil kelapa pada mutan E27 (33%) dengan waktu kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur inkubasi 4 hari. sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229. Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998. Kenaikan daya cerna bahan kering terjadi pada Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan mutan E14 dan E27 sejalan dengan bertambahnya menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan hari fermentasi. Daya cerna bahan kering yang paling Veteriner 3 (3): 165-170. baik diperoleh pada substrat bungkil kelapa pada Suntoyo, Y. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan Interpretasinya. Jakarta: PT. Gramedia. mutan E27 (62,1%) dengan waktu inkubasi 4 hari. Yusuf, M. 1994. Mutasi. Bogor: Jurusan Biologi FMIPA IPB. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman 52-60

The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia

MUZAYYINAH1,♥, EDI GUHARDJA2, MIEN A. RIFAI3, JOHANIS P. MOGEA3, PETER VAN WALZEN4 1Program Study of Biological Education, Department of PMIPA FKIP Sebelas Maret University Surakarta 57126, Indonesia. 2Department of Biology, Faculty of Mathematic and Sciences, Bogor Agriculture University, Bogor Indonesia 3"Herbarium Bogoriense", Department of Botany, Research Center of Biology -LIPI, Bogor 16013, Indonesia 4Rijksherbarium Leiden, The Netherlands.

Received: 8th December 2003. Accepted: 17th May 2004.

ABSTRACT

The Malesian genus Koilodepas Hassk. has been revised based on the morphological and anatomical character using available herbarium collection in Herbarium Bogoriense and loan specimens from Kew Herbarium and Leiden Rijksherbarium. The present study is based on the observation of 176 specimens. Eight species has been recognized, namely K. bantamense, K. cordifolium, K. frutescns, K. homalifolium, K. laevigatum, K. longifolium, K. pectinatum, and two varieties within K. brevipes. The highest number of species is found in (5 species), three of them are found endemically in Borneo, K. cordisepalum endemically in Aceh, and K. homalifolium endemically in Papua New Guinea. A phylogenetic analysis of the genus, with Cephalomappa as outgroup, show that the species within the genus Koilodepas is in one group, starting with K. brevipes as a primitive one and K. bantamense occupies in an advance position. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keyword: Koilodepas Hassk., Malesia, outgroup, phylogenetic analysis, outgroup.

INTRODUCTION Methods The methods of research were morphological and The genus Koilodepas belongs to the tribe Epipri- leaf-anatomical description. The research had been neae of the subfamily Acalyphoideae. The charac- used a large of herbarium specimens (i.e. 176 speci- teristics of this tribe are flowers without a disk, pollen mens) from Herbarium Bogoriense, Kew Herbarium, grains coarsely reticulate or perfora-tectate, indumen- and Leiden Rijksherbarium. The material specimens tum stellate, inflexed in bud (except dorsifixed in were analyzed with Henning 86 programme. Koilodepas), monoecious, pistillate calyx often accrescent, and seeds ecarunculate. The Epiprineae have been divided into two sub tribes Epiprinae and RESULT AND DISCUSSION the monotypic Cephalomappinae (containing Cephalomappa). The characteristics of the sub tribe Morphology Epiprineae are: staminate calyx splitting into distinct Characters like stipule shape, leaf margin, number segments, the pollen sexine rather coarsely reticulate, of glands, hairs on the lower leaf surface, and flower and the pistillate sepals often persistent and morphology are used for the description of the accrescent (Webster, 1994). species and for a study of the relationships within the genus.

MATERIAL AND METHODS Stipules The genus has three forms of stipules, namely Material elliptical, deltoid, and angular. The margin of the Material specimen of Koilodepas was collected in stipules can either be pectinate, entire or serrate. The Malesia phytogeography area. The genus Koilodepas stipules of K. bantamense are triangular and the was presented based on 176 specimens from Kew margin is serrate. The stipules of K. brevipes, K. Herbarium (K), the Rijksherbarium Leiden (L) and the cordisepalum, and K. homalifolium are triangular and Herbarium Bogoriense (BO). the margin is entire. The shape of K. longifolium stipules is deltoid and the margins are entire or ♥ Alamat korespondensi: serrate. In K. laevigatum the stipules are deltoid and Jl. Ir. Sutami 31a, Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-274-387781. the margin is entire. The stipules of K. pectinatum are e-mail: [email protected] pectinate (Figure 1.). MUZAYYINAH et al – Koilodepas in Malesia 53

in K. bantamense, K. homalifolium, and K. frutescens. The texture of the lamina is chartaceous in K. laevigatum and K. homalifolium, subcoriaceous in K. bantamense, K. frutescens, K. brevipes, K. pectinatum, and K. cordisepalum, and coriaceous in K. longifolium. The tertiary venation is scalariform, except in K. cordisepalum, where it is reticulate (Figure 2.). Figure 1. Stipule’s and margin of Koilodepas. A. elliptical and pectinate, B. entire, C. serrate, D. entire, E. serrate. Inflorescences The inflorescences are axillary racemous or branched spikes. The staminate flowers are arranged in glomerate heads. The bracts are cuneate with an entire margin and acute apex. The lobes of the calyx are acute and densely set with stellate long hairs. The number of stamens varies from 3 to 10. The filaments are basally united into an androphore. The filaments are subulate in K. laevigatum and obspathulate n the other species (Figure 3). The anthers are subapically dorsifixed. The pistillate flowers are solitary. The shape of the sepal is somewhat different in each species. The sepals of K. pectinatum are free, foliolate, cordate, chartaceous, with 6-8 lobes, persistent, the margin serrate, but K. cordisepalum has smaller. The sepals of K. brevipes Figure 2. Leaf of Koilodepas Hassk. showing the margin. A. K. codisepalum are free, subulate or elliptical, (glabrous, serrate, caudate); B. K. pectinatum (hairy, serrate, caudate); B1. The apex acute, 6-9 lobes, persistent. density of stellate hairs on the lower surface; C. K. laevigatum (glabrous, entire, In K. longifolium are free, caudate); D. K. brevipes var. stenosepalum (hairy, serrate, caudate); D1. The elliptical, and the apex obtuse. In density of stellate hairs on the lower surface; E. K. brevipes var. brevipes; E1. The density of stellate hairs on the leaf surface; F. K. homalifolium (glabrous, K. bantamense, they are connate, crenate, caudate). 5-lobed, apex obtuse. The calyx of K. frutescens has 6 or 7 lobes. The styles are connate in K. bantamense, K. brevipes, K. longifolium, K. frutescens, K. homalifolium, and K. Leaves pectinatum, and free in K. cordisepalum and K. The Leaves are simple, alternate, and elliptical. K. laevigatum (Figure 4.). pectinatum and K. brevipes are hairy on the lower leaf The number of stigmas is generally 3, but K. surface, but K. laevigatum, K. homalifolium, K. bantamense and K. frutescens has 6. The shape of bantamense, K. cordisepalum, and K. frutescens are the stigma is somewhat difference species, K. glabrous. The leaf margin of K. homalifolium is pectinatum, K. laevigatum, K. Pectinatum, K. crenate, when young crenulate. The leaf margin of K. cordisepalum, and K. brevipes have antennate laevigatum is entire, whereas in the other species it is stigmas; K. homalifolium and K. longifolium have serrate or dentate. A pair of glands is usually found at multifid stigmas; K. frutescens and K. bantamense the lower surface, near the base of the leaves, but have coralliform. The stigma surface is stellately hairy there are 3-7 pairs of glands in K. brevipes. The apex (Figure 4.). of the leaves is caudate, but acuminate to cuspidate 54 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60

Koilodepas is found in the phytogeograpic area Malesia. K. pectinatum, K. brevipes, and K. laevigatum are endemic in Borneo. K. bantamense is found in Java and Sumatra. K. longifolium is widespread in West Malesia (Malay Peninsula, Sumatra and Borneo) K. homalifolium is endemic in Papua New Guinea. K. cordisepalum is found, so far, only in Aceh (Figure 5.).

Phylogenetic analysis of Koilodepas The phylogenetic analysis of Koilodepas was performed using 21 characters and the genus Figure 3. Variation of staminate flowers. A. Staminate inflorescences; B. K. bantamense; C. K. pectinatum; D. K. homalifolium; E. K. longifolium; F. K. Cephalomappa as an outgroup brevipes var. brevipes; G. K. brevipes var. stenosepalum; H. K. frutescens; I. K. (Table 3.). The letter was selected laevigatum; J. K. cordisepalum. because it is classified in the Cephalomappinae as the sister sub tribe of the Epiprineae. Tribe Cephalomappa seems to be the SE Asian genus which shares most primitive characters with Koilodepas, e.g. staminate flowers in racemes, styles free, pistillate calyx not accrescent or involucrate, and the filaments inflexed in bud (Webster, 1994). The analysis is performed using the Hennig 86 program with optional and all the characters unordered. Two cladogram (Figure 6.) were found 29 steps, consistency index = 0.93 and retention index = 0.89. This tree has short branch. K. brevipes as a Figure 4. Variation of pistillate flowers of Koilodepas Hassk. A. K. cordisepalum; primitive one and ending with the B. K. longifolium; C. K. bantamense; D. K. brevipes var. stenosepalum; E. K. K. bantamense. brevipes var. brevipes; F. K. homalifolium; G. K. pectinatum; H. K. frutescens; I. The outgroup is separated K. laevigatum. Types of sepals: free (A,D,E,G); connate (CFH); subconnate (B,I); from Koilodepas by a plesiomorph types of styles: free (A,I), connate (B,C,D,E,F,G,H); types of stigma: antennate (A,E,G,I); multifid (B,F) and coralliform (C, H). character of the outgroup namely staminate flowers is sessile (6), surface of staminate is not stellate but lepidote (7), stipulate absent (9), surface of fruit is echinate (17), surface of stigma is papillate (20), sepal of pistillate flowers aestivation is valvate (15), and the inflorescences is racemose (19). K. brevipes is separated from the other Koilodepas by the stigma shape (8), the type of marginal stipules (11) and the inflorescences (19). The varieties Figure 5. Distribution map of Koilodepas Hassk. ○ = K. bantamense;♦ = K. is allied by number of abaxial brevipes; ◊ = K. pectinatum; } = K. cordisepalum; ▲ = K. laevigatum; z = K. glands (3), hairs on leaves (4), longifolium; = K. homalifolium; = K. frutescens. Distribution MUZAYYINAH et al – Koilodepas in Malesia 55

Figure 6. Dendrogram of Koilodepas Hassk. bre: K. brevipes var. brevipes; brs: K. brevipes var. stenosepalum; pec: K. pectinatum; cor: K. cordisepalum; lae: K. laevigatum; lon: K. longifolium; hom: K. homalifolium; fru: K. frutescens; ban: K. bantamense. stigma shape (8), petiolate length (12), and sepal 128; Airy Shaw. Kew Bull. 36 (1981) 609. Type: shape of pistillate flowers (14). K. cordisepalum is Koilodepas bantamense Hassk. separated from the other five Koilodepas by sepal shape of pistillate flowers (14), sepals of pistillate Description flowers (15), leaf shape (1), and venation (13). K. Tree, monoecious. Indumentum of short and long laevigatum is separated from the other species by stellate hairs. Stipules: elliptical, subulate or cuneate, stigma shape (4). K. longifolium is separated from the margin entire or pectinate. Leaves: alternate, simple; other two species by stigma shape (8), number of petioles terete or ungulate, basally and apically stigma (10), and styles (18). The last branch, K. pulvinate; lamina elliptical, subcoriaceous to frutescens is separated from K. bantamense by coriaceous, rarely chartaceous, at the base flat caducous stigma (16). (elevated in K. brevipes), base round, with one pairs of glands on lower surface (K. brevipes with 3-7 pairs Taxonomy of glands); margin entire, crenate, dentate, or serrate, Koilodepas Hassk., Bot. Zeit. (1856) 802; Hassk., with glands on the lower surface; apex cuspidate or Flora 40 (1857) 531 (Coelodpas); Retzia 1 (1858) 44; caudate; upper surface smooth, glabrous; venation Miq., Fl. Ned. Ind I. (1859) 398; Hassk. Bull. Soc. Bot. pinnate, flat to raised above, raised below, Fr. 6 (1859) 713; Mull Arg. In DC. Prodr. 15. 2. (1866) submarginally looped, secondary and tertiary veins 759; Baill., Hist. Pl. 5 (1874) 220; Hook. F, Fl. Brit. scalariform, quartenery veins reticulate. Ind. 5 (1890) 419; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie. 3 (1) Inflorescences: axillary, spikes to simple panicles; (1900) 196; Bourd. For. Trees Travancore (1908) pistillate flowers 1-3 at the base and staminate 345; J.J. Sm, Meded. Depart. Landb. 12 (1910) 379; flowers at the apex of the rachis. Bracts subulate to Koord., Exkursionsfl. Java (1912) 489; Pax & K cuneate. Staminate flowers in glomerules, 7-10; calyx Hoofm. In Engl., Pflanzenr. Ed 4. 147. 7 (1914) 268; 3- or 4-merous, lobes rounded to acute, A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942) 50; Pax & K Hoffm. In membranaceous, densely covered with stellate hairs; Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2, 19C. (1931) petals absent; stamens (3) 4-7 (10), filaments basally 124; Airy Shaw, Kew Bull. 14 (1960) 283; Backer & united, or spathulate (K. laevigatum, subulate); anther Bakhuin. Fl. Java 1 (1963) 486; Whitemore, Tree Fl. sub-apically dorsifixed, latrorse, 2 locular, opening Malay 2 (1973) 103. Airy Shaw, Kew Bull. Add. Ser. 4 length-wise, smooth; pistillode 1, small. Pistillate (1975) 138; Airy Shaw. Kew Bull. Add. Ser. 8 (1980) flowers: the sepal free, 5-9 lobes cordate or elliptical; 56 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60 margin entire to serrate, apex acute to obtuse, The description of three species can be seen densely covered with stellate-tomentose; petals below, i.e. Koilodepas bantamense Hassk., absent; ovary superior, densely tomentose, 3-locular; Koilodepas brevipes Merr. var. brevipes, Koilodepas ovules 1 per locule; style short to long, terete, with brevipes Merr. var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy stellate hairs; stigmas 3 or 6, antennate , multifid or Shaw, and Koilodepas frutescens (Blume.) Airy Shaw. coralliform, persistent (coduceous in K. frutescens), apex bifid or bifurcate. Fruit: a rhegma, globular, 3- Koilodepas bantamense Hassk lobed, tomentose, wall thick, glabrous inside, woody. Koilodepas bantamense Hassk., Bot. Zeit. 14 Seeds: sub globular, surface smooth, glabrous, shining. (1856) 802; Retzia 1 (1858) 45; Mull.Aarg. in DC., Distribution. 8 species in the Malay Peninsula, Prodr. 15 (2) (1866) 759; Engl. & Prantl, Nat. Sumatra, Java, Borneo, and Papua New Guinea. Pflanzenfam. (1896) 51; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie. Note: Leaf anatomy: abaxial surface of leaf hairy 3 (1900) 286; J.J.Sm., Meded. Depart. Landb. 12 or glabrous; epidermis consisting of cells with sinuous (1910) 380; Koord., Exkursionfl. Java 2 (1912) 489; to deeply sinuous anticline and slightly wavy walls; Pax & K.Hoffm. in Engl., Pflanzenr. 4 (1914) 269; stomata elliptical. Planten. Bot. Gard. (1926) 291; Pax & K.Hoffm. in Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2. 19c (1931) Key to the species 125; A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942); Airy Shaw, Kew 1.a. Stipules elliptic, margin deeply and finely pectinate Bull. 14. (1960) 384; Backer & Bakh. Brink., Fl. Java. …………… …………..………………...... 1. K. pectinate 1 (1968) 486. Type: Hasskarl s.n. (L-holo). West b. Stipules deltoid or triangular, margin entire to serrate Java, Banten (Figure 7-8). …..…………………………….. 2 2.a. Stipules deltoid ….………..…. 3 b. Stipules triangular .……..…... 5 3.a. Calyx of pistillate flowers connate ………….……… 2. K. frutescens b. Calyx of pistillate flowers sub- connate ……………………….. 4 4.a. Filaments subulate, curveted; sepal of pistillate flowers with an aristate apex, stigma filamentose ……………….. 3. K. laevigatum b. Filaments spathulate, erected; sepal of pistillate flowers with an acute apex, stigma multifid …… ………………… 4. K. longifolium 5.a. Sepal of pistillate flowers free, persistent …………………… 6 b. Sepal of pistillate flowers connate, caduceus ………..… 8 6.a. Sepal of pistillate flowers cordate, apex of stigma antennate; indumentum of fruits with stellate hairs ………… 5. K. cordisepalum b. Sepal of pistillate flowers elliptical, apex of stigma bifid or antennate; indumentum of fruits tomentose …………………….. 7 7.a. Sepal of pistillate flowers with glands; stigma antennate; indumenta of leaf with stiff hairs in a rosette …………………… 6. K. brevipes var. stenosepalum b. Sepal of pistillate flowers no glands, stigma bifid; indumentum of leaf with stiff single stellate hairs …………………………… 7. K. brevipes var. brevipes 8.a. Sepal of pistillate flowers with 9 lobes, apex acute, stigma coralliform ….. 8. K. bantamense b. Sepal of pistillate flowers with 6 lobes, apex obtuse, stigma Figure 7. K. bantamense Hassk. A. twig with inflorescences; B. calyx of multifid …………………………. 9. staminate flower; C. staminate flower; D. pistillate flower; E. frit; F. opened fruit; K. homalifolium G. seed with brown dots (after Forbes 1532, BO). MUZAYYINAH et al – Koilodepas in Malesia 57

ovary, 2-2.25 by c. 2 mm, 9-lobed, with densely stellate hairs, apex acute, sometimes with glands between the lobes; ovary 2-3 by 2-2.5 mm, stigmas 6, 1.5-2 by c. 4 mm, coralliform; style absent; densely stellately to tomentosely hairy. Fruit; globose c. 1.4 by 1.5 cm, outside smooth; mesocarp, 2.5 mm thick. Seed sub globular, c.1 by 1 cm. Distribution. West Java: Banten, Pelabuhan Ratu; Sumatra: Lampung; North Sumatra: Sibolangit (Figure 9). Habitat: primary forest, alt: 350-500 m asl. Note: Specimens of Lorzing 5092, 5615, 16329 have abnormal form of flowers. Both the staminate and pistillate flowers have 7 or 9 interested calines on one axis. This phenomenon may be caused by insect damage, similar to Myrsine avenis (Sunarno in Sunarti, 1987).

Koilodepas brevipes Merr. Koilodepas brevipes Merr., Philipp. J. Sci. 30 (1926) 80; Airy Shaw, Kew Bull. 14 (3) (1960) Figure 8. K. bantamense Hassk. A. twig with abnormal inflorescence; B. 389. Kew Bull. Add. Ser 4 (1975) abnormal spike (after Lorzing 5615, BO). 138 Type: D.D. Wood 1291 (BO- holo, K-iso), Borneo (Figure 11.). Shrub to tree, up to 10 m; dbh Tree. Branches smooth, densely covered with up to 20 cm, bark rough. Leaves: stellate hairs. Leaves: stipules 4-5 by 0.5 mm, stipules subulate, 5-12 by c. 1 mm, margin entire, subulate, erect, outside with grooves, covered with apex aristate to acuminate; petioles 2-10 by 1.5-3 stellate hairs, margin serrate, apically aristate; mm, covered with dense short stellate hairs; lamina petioles 6-8 by 1.2 mm, sulcatus, densely with stellate elliptical to above; 10-33 by 3.5-9 cm; coriaceous; hairs. Lamina elliptical, recurved, 8-22.5 by 1.8-5 cm, basally attenuate, with 3-7 pairs of glands; margin subcoriaceous; base obtuse to acute, with two glands dentate to serrate; glands in every apex of nerves the on lower surface; margin dentate but basally entire; margin, apex caudate; upper surface glabrous, lower glands in every tooth; apex acuminate to cuspidate, surface scabrous, densely covered by long and short upper surface glabrous; lower surface scabrous, with minute stellate hairs; venation on both sides, especially basally, nerves 12-14 pairs, submarginally looped, veins scalariform. Inflorescences 5-8 cm long; with the two or three spikes together; bracts, subulate, 1-5 mm long, glabrous, margin entire, apex acuminate; staminate part, sub globular, c.2 by 2.5 mm, consisting of 7-25 flowers. Staminate flowers: bracts. ovate c. 1.4 by 0.3 mm, ovate, glabrous, margin entire; calyx 3-4 lobed, tube c. 0.4 by 1 mm; lobes c. 0.85 by 0.35 mm, smooth, apex acute; Stamens (3) 4 or 5 (6); filaments 0.9-1.5 mm long, androphore 0.3-0.6 mm long, spathulate, pistillode c. 0.1 mm long. Pistillate flowers: pedicles 0.4-0.6 mm longs, sometimes sessile, glabrous; bract ovate. c. 1.0 by 0.3 mm, glabrous, apex acute; calyx enclosing Figure 9. Distribution map of K. bantamense Hassk. 58 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60 stellate hairs; nerves 11-14 on either side, arching at apex, submarginally looped, veins scalariform. Inflorescences: spikes up to 10 cm long; at the base of rachis 1-3 pistillate flowers; bracts cuneate, 0.7-1 mm, densely covered with stellate hairs, apex acute; 2 glands at the base; staminate glomerulus, subglobose, c.2 by 2 mm, consisting of 6-10 flowers. Staminate flowers: bracts cuneate, apex acute, densely civered with stellate hairs; calyx tube 0.5-0.7 mm long, lobes 3, 0.2-0.5 mm long, apex acute; densely with stellate hairs; stamens 4-7; filament 1-2.25 mm long, basal connate, terete, androphore 0.1-1.75 mm long; pistillode 0.2-0.8 mm long. Pistillate flowers: bracts 1, cuneate, 0.5-1 by 1.5-2 mm long. Apex acute to acuminate, mostly glands at base; calyx 609 lobed, likes elliptical, 2-15 by 1-2 mm; covered with stellate hairs; glands at base. Ovary c. 2 by 2 mm; style 1-3 mm long, terete, covered with stellate hairs; stigmas 3, 0.5-8 mm long, antennate or multifid. Fruit, globular c. 2 by 5 mm, smooth, Figure 11. K. brevipes var brevipes; A. twig with inflorescences; B. staminate shining, brown dotted. flower; C. pistillate flower; E. fruit; F. seed with brown dots (after Wiriadinata 802, Distribution: Kalimantan L). (Borneo) (Figure 10). Habitat. Found in primary lowland forest on dry Key identification to the varieties of K. brevipes land, rolling hills and ridges. On sand stone, sand, 1.a. Sepals of pistillate flowers with glands at base; apex of (yellowish) black soil, yellow red soil. Altitude 30 to stigma antennate; indumentum of leaves with stellate 300 m asl. hairs in rosettes …………………..… var. stenosepalum Vernacular names: kayu gading (Kutai); ulas (Malay and Suluk). b. Sepals of pistillate flowers without at base apex of stigma bifid; indumentum of leaves with stiff single stellate hairs ……………….………………... var. brevipes

Koilodepas brevipes var. stenosepalum K. brevipes var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy Shaw, Kew. Bull. Add. Ser. 4 (1975) 138- K. stenosepalum Airy Shaw, Kew Bull. 14 (1960) 390; Kew Bull. 16 (1963) 356. Type: L.L. Forman 442 (BO- holo; L-iso) Borneo, Belayan River, Gunung Sahari (Figure 12.). Leaves: petioles ungulate, 3-6 by 1-3 mm; lamina elliptical, c 0-33 by 4-9 cm; base attenuate; margin dentate; apex caudate; surface basally covered with long stellate hairs. Inflorescences: spikes, 4-10 cm long, staminate flowers in glomerulus 3-4 by c. 4 mm, sessile; calyx 3-lobed; 1.5-2.5 by 0.9-1.5 mm; apex acute; tube 1-1.5 by c. 1 mm, lobes c. 1 by 1.5 mm, Figure 10. Distribution map of K. brevipes Merr. • = K. densely covered with stellate hairs; stamens 4-6; brevipes var. brevipes; ♦ = K. brevipes var. stenosepalum. androphore 0.5-1.75 mm long; filament 1.9-2.55 mm MUZAYYINAH et al – Koilodepas in Malesia 59

Pflanzenr. IV. 147. VII (1914) 255; XIV (1(19) 35; Merr., J. As. Soc. Str. Br. (1921) 343. Ptychopyxis frutescens (Blume) Croizat, J. Arnold Arb. 23 (1942) 49. Type: G. Pomathus s.n. (L-holo) Borneo, Banjarmasin (Figure 14.). Small tree up to 12 m high, dbh 20-50 cm; bark rough. Leaves: stipules cuneate to subulate, 3-5 by 0.5-1 mm, margin entire or serrate, apex aristate; petioles 5-13 by 1-2.5 mm; lamina: elliptical to ovate, 8-17.5 by 2.5-5.5 cm, subcoriaceous, base cuneate; margin entire to serrate, apex acute; both surface glabrous; nerves 9-15, submarginallly looped, secondary and tertiary veins scalariform. Inflorescences: spikes or simple panicles, with 3-5 rachises, 7-13 cm long. Staminate glomerulus sub globular, 2-2.5 by 1.5-3mm, with 10-20 flowers; bract cuneate, 1-2 by 1-1.5 mm, apex acute; staminate flowers; tube 1.7-2 by 1.7-1.8 mm, lobes 0.5-0.6 mm long, membranaceous, densely stellate hairy; stamens 4-5; androphore 0.1-0.5 mm long; filaments spathulate, 0.5- 2 mm long; pistillode 0.2-0.3 mm long. Pistillate flower: densely stellately to tomentosely hairy; bract 3 and 2 bracteoles, 1,2-4 by c. 2 mm, bracteoles very short, cuneate, margin entire, apex acute, densely tomentose; calyx 7-lobed, tube c. 4 by 3 mm; apex obtuse; ovary 3- 3.5 by 2.5-3 mm, densely Figure 12. K. brevipes var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy Shaw. A. twig with tomentose; styles absent; stigmas inflorescences; B. calyx of staminate flower; C. staminate flower; D. pistillate 6, coralliform, 4 by 3 mm, flower; E. fruit; F. opened fruit; G. seed (A,E,F,G: after L.L. Forman 442, BO; C,D: caduceus. Fruit: c. 1.5 by 1.9 cm; after Kostermans 13949, BO,L) peduncle 5-6 by 2.5-3 mm; long; pistillode 1-1.2 mm long, apex bifid. Pistillate flowers: sessile; calyx persistent; tube with the top distinctly segment, subulate; 6-9-lobed; 10-15 by 1- 1.5 mm, covered with stellate hairs, glands at base; ovary c. 2 by 2 mm; style terete, 1-4 mm long; stigmas 3, 1.8-8 mm long, antennate or multifid. Fruit: c. 1.5 by 1.5 cm. Seed sub globular, c. 1 by 1.2 cm.

Koilodepas frutescens (Blume.) Airy Shaw K. frutescens (Bl.) Airy Shaw, Kew Bull. 14 (3) (1960) 385; Airy Shaw, Kew Bull. Add. Ser. 4 (1975) 138. Airy Shaw, Calpigyne frutescens Blume, Mus. Bot. Lugd. Bot. 2 (1956) 193; Mull.Arg. in DC., Prodr. Figure 13. Distribution map of K. frutescens (Blume) Airy 15 (2) (1866) 1255; Pax & K. Hoffm. In Engl., Shaw. 60 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60 mesocarp 2.5-2.8 mm thick; inside smooth, densely tomentose. Seed sub globular, c. 1.6 by 8 mm. Distribution. N. Sumatra (Aceh) and N. & N.E; Borneo (Figure 13.). Habitat: Primary forest, hill top, blackish soil, dry land; rolling hill, yellow-red loamy soil. Alt: 80-600 m asl.

ACKNOWLEDGEMENTS

The first author (M) would like to express her gratitude to Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., for the use of research facilities in the Post Graduate Programme, the Bogor Agriculture University and Dr. Johanis P. Mogea, Director of the Herbarium of Kew (K), and Director of the Rijksherbarium/ Hortus Botanicus Leiden (L) for sending specimens on loan. She was under deep obligation to Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., Prof. Dr. Mien A. Rifai and Dr. Johanis Figure 14. K. frutescens (Blume) Airy Shaw A. twig with inflorescences; B. calyx P. Mogea under whose supervisor of staminate flowers; C. staminate flower; D. pistillate flower; E. fruit; F. opened this study has been carried out. fruit; G. seed (A,E,F,G: after de Wilde 20317. L; B, C, D: after Pomathus s.n. L). She was also very grateful to Dr. Peter van Walzen (Rijksherbarium, Leiden) for some constructive discussions and valuable assistance as Croizat, L. 1942. Euphorbiaceae from the far East. Journal of the Arnold Arboretum 23: 45-67. well as criticism freely given during the course of this Hasskarl, J.K. 1856. Bot. Zeit. 14:802. study and writing of the manuscript. Moreover, She Hasskarl, J.K. 1858. Hortus Bogoriensis Descriptus Amstelodami. had to thank Mintoro Priyadi, M.Si for preparing Sumptibus F. Gunst.44-50. media and picture setting, and Drs. Sukarna MA, Hasskarl, J.K. 1859. Revisio Euphorbiacearum, quas nuper in Retzia et Horto Bogoriensis Descriptio. Bull. Soc. Bot. Fr. 6: Director of the Education Science Institute in Medan 712-719. for continously, encouraging her in this study. Hooker, J.D. 1890. Flora of Britis India. East Indian Compagny. 5: 419. Merrill, E.D. 1916. Euphoebiaceae. The Philippines Journal of Science11: 66. REFERENCE Merrill, E.D. 1926. Euphoebiaceae. The Philippines Journal of Science30: 67-81. Airy Shaw, H.K. 1960. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew Pax and Hoffm, K. 1914. Das Pflanzenreich IV. 147. VII: 269 Bulletin 14 (3): 381-391. Rifai, M.A. 1976. Sendi-sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi Airy Shaw, H.K. 1963. Note on Malaysian and other Asiatic Nasional- LIPI. Euphorbiaceae. Kew Bulletin. 16: 352-370. Smith, J.J. 1910. Euphorbiaceae. In: S.H. Kooders & Th. Valeton Airy Shaw, H.K. 1969. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew (eds): Bijdrage 12 Tot de kennis der boomsoorten op Java. Bulletin. 23: 82-89. Meded. Dep. Landbouw 10: 379-383. Airy Shaw, H.K. 1975. The Euphorbiaceae of Borneo. Kew Bulletin. Sunarti, S. 1987. Anatomi daun dan Taksonomi duku, kokosan dan Additional Serie 4: 137-149. pisitas. Floribunda. 1 (4): 1-3. Airy Shaw, H.K. 1981. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew Whitmore, T.C. 1973. Tree Flora of Malaya. 2: 34-105 Bulletin. 36 (3): 609-615. Webster, G.L. 1994. Systematics of the Euphorbiaceae. Annals of Missouri Botanical Garden 81 (11): 79. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 61-65

Study of Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. Species Commercial Values and Possible Utilization

TITI KALIMA1,♥, JASNI2 1 Forest Botany and Ecology, Center for Forest and Nature Conservation and Research Development, Bogor 16610. 2 Wood Anatomy, Center for Forest Product Technology and Research Development, Bogor 16610.

Received: 12th December 2003. Accepted: 17th May 2004

ABSTRACT

The selection of appropriate rattan for a certain use must be based on adequate information about its potency, anatomical structure, and chemical properties. Standards methods of inventory development by Curtis method was used to obtain data on its density and frequency. To know the anatomical structure of preparation were made according to Schultze method and microtome preparation according to Staining Paraffin Section with Safranin. While to know the chemical component of rattan stem the analyzed by Standard Industry Indonesia procedures. Calamus occidentalis is one among other Java rattan species which its distribution is limited in the area of Ujung Kulon National Park, West Java. C. occidentalis may be utilized for various purposes based on the following characteristics: species density of 21 cane/ha; and anatomical structure: fiber length of 2204 μm, fiber-wall thickness of 4.26 μm, vascular bundle diameter of 812.5 μm, metaxylem diameter of 293.75 μm, proxylem diameter of 43.5 μm, and phloem diameter of 37.5 μm. Its chemical components are cellulose (49.95%), lignin (22.39%), and air-dry moisture (12.27%). Based on the above information, C. occidentalis rattan species possibly can be used as an alternative substitute of Calamus manan, an endangered rattan species, because several properties of C. occidentalis has similar with that of C. manan. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: commercial-value, possible utilization, Calamus occidentalis.

INTRODUCTION information on the anatomical aspect, large proportion of fibers are found to be concentrated in the outer The technology development on the utilization of portion of the cane with the inside portion composed rattan and on the other hand the increasing demand mostly of parenchyma; and chemical properties. The of “manau” rattan species as raw material caused the anatomical structure of C. occidentalis rattan cane attention directed to the utilization of the species has similarity to that of Calamus manan, so that it can which has sufficient potency and prospect in the be used as alternative substitute. The utilization of future. One of the rattan species which can be solitary rattan still needs further assessments, such categorized as a substitute and can be developed as as on: physical-mechanical properties, durability, and a potential commodity is Calamus occidentalis. its processing method. In line with those mentioned C. occidentalis is one among other Java rattan above, this paper present several important species which its distribution is limited in the area of information to develop the utilization of C. occidentalis Ujung Kulon National Park, West Java (Witono and a multipurpose species. Dransfield, 1998). Belong to Family of Arecaceae, The role of rattan as export commodity and and more recognized as solitary rattan (“rotan producer of foreign exchange are still important and tunggal”).This rattan species are grown in lowland up significant. The problem faced recently is how to to the elevation of 300 m asl (above sea level). If we maintain the raw material continuity of this look at its contribution on human need, almost all part commodity, in order remain as advantageous natural of this rattan species are very beneficial, such as: resources. So far C. occidentalis, become excellent canes, leaves, fruits and its palm- pith can be utilized. for people surrounding forest area, because this The properties of C. occidentalis stem in relation rattan considered as sacred rattan. Where the with the possible utilization has to be known through activities of people who lives far from the forest area, utilized the natural resources as their livelihood ♥ Alamat korespondensi: especially as the hunter of this rattan species. This Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia. activity has disturbed to Ujung Kulon National park Tel. +62-251-633378, Fax. +62-251-633417. e-mail: [email protected]. area, since long time ago, and the damage are increasing seriously. Resulting in disappearance of 62 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 61-65 the biotic in this ecosystem. The main problem in this RESULT AND DISCUSSION matter is the method how to maintain this solitary rattan not disappears. To obtain the information on the possible utilization of C. occidentalis stem, has to be supported by adequate either data or information. Following are MATERIAL AND METHOD data on:

Deciding sample plot Morphological characteristics To obtain the primary data from C. occidentalis Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. species, a thorough exploration and collection of all Local name: rotan tunggal, rotan keramat (Sundanese) rattan species material both fertile and sterile were Description: Solitary high climbing rattan with executed. Data collection was conducted during stems up to 100 m height, looping in lower part of period of August 1997. The forest condition in this stem. Stem without sheaths 2 - 3 cm in diameter, with area remains good. Continuous plot transect was sheaths up to 4 - 7 cm in diameter; internodes adopted, 2 transect within 1 km distance. A sample between 18-30 cm lengths. Leaf sheaths green when plot of 10m x 10m size was established in each fresh, drying brownish green, covered in caduceus transect and resulting in a total of 200 plots with total brown indumentums, and armed with short black areas of 2 ha. Rattan data consisting of species and irregularly arranged spines, to 14 mm length by 2 mm number of stem were recorded in tally sheet and width at the base. Knee conspicuous. Ocrea ill- analyzed using Curtis method (Mueller-Dumbois and defined. Leaves cirrate to 244 cm length including Ellenberg, 1974). Each of collected herbarium speci- cirrus; cirrus up to 150 cm length with brown claws; mens was processed using alcohol. The identification petiole about 2.7 cm length. Leaflets up to on each for scientific name had been conducted in Herbarium side rachis, regularly arranged, lanceolate, apex Botany of Forest and Nature Conservation Research acuminate, base acute, middle longest about 15-34 and Development Center, and Herbarium Bogoriense. All data recorded were tabulated and further analyzed to describe the rattan potency. The formula adopted for the calculation are: (i) Density: number of individual per area unit, (ii) Frequency: the percentage of existing plant in the experimental plots without considering the number of the individual.

Determining the microscopic properties To know the anatomical structure of C. occidentalis species two kinds of preparation were made to determine its microscopic properties. Maserasi preparation was made according to Schultze method and microtome preparation according to “Staining Paraffin Section with Safranin” (Mandang and Rulliyati, 1986). While to know the chemical component of rattan stem the analyzed by Standard Industry Indonesia (SII) procedures (Anon., 1981). Figure 2. Calamus occidentalis. a. leaf sheath, b. petiole, c. portion of rachis with leaflets, d. cirrus, e. first branched of inflorescence, f,g. young fruit (Dransfield 1437 & Kalima 37). KALIMA and JASNI – Study of Calamus occidentalis 63 cm length by 3-6 cm width, the surfaces concolours, green when fresh, drying yellowish green, mid and marginal veins on adaxial surface armed with black bristles, secondary parallel veins very thin. Inflorescence eflagellate, branched to 3 orders, partial inflorescence up to 17, the longest to 62 cm length; rachis branch tightly tubular, to 9 x 1.6 cm, rachillae to 22 mm length, sessile, basally enclosed by the branch, with ca 12-15 flowers on each side; rachilla bracts and bracteoles explanate, with dentate margins and bearing sparse brown scales. Fruit globose-ovoid, 17-19 x 12-15 mm, covered in 15 vertical rows of straw colored scale. Seed ca 10 mm diameter, irregularly pitted and warded; endosperm deeply ruminate, embryo basal. Habitat: lowland forest, primary and secondary forest, alluvium soil, volcanic soil, rocky, at the altitude of 200 m above sea level. Distribution: West Java and endemic at Ujung Kulon National Park (Cibandawaoh, Cibunar, Cidaon, and Mount Payung), (Figure 1a, b). The specimen observed: Ujung Kulon Nature Reserve: J. Dransfield 1437, 1438, 1485, N 1971; 2529, 15, VI (fertile). Ujung Kulon National Park: T. Kalima 37. 11 August 1997 (sterile) (Figure 2). Research results of Kalima (1999 and 2001) stated that solitary rattan has a good prospect, so it can be expected as structural material, handicraft, etc. Figure 1a. Young plant of C. occidentalis Potency of C. occidentalis rattan species The population density for each species are various while C. occidentalis has a relatively low density (20 stem/ha, and 23 stem/ha). This evidence showed that C occidentalis existence and distribution in the Park areas are very low or rare (Kalima, 2001). However, C. occidentalis population and its existence in this area are threatened due to human disturbance such as uncontrolled extraction by community. According to recent observation, the solitary rattan species in this Park has a relatively well and good potency among of other things, it is believed as a holy rattan and it has a high economic value. During research study there were a great number of people from far distance areas visiting this holy place, most of them coming by foot to Sanghiang Sirah, which is located near Mount Payung areas. They were not only visiting and praying but also seeking and collecting C. occidentalis which is believed as a holy one and has a magical power. This kind of manner is obviously resulted in a continuous and drastically decreases of the respected species due to its intensive extraction. In addition, this kind of rattan considered as a rare one and has limited distribution in this area or else called as an endemic species. Based on its strength and durability analysis, C. occidentalis are closed to C. manan. It has a relatively good bending strength properties and powerful as well. This species considered as a potential one and can play a significant role in ethno botanic field of study. Figure 1b. Mature plant of C. occidentalis 64 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 61-65

Anatomical structure of rattan Several results of investigation on anatomical structures of rattan are presented in Table 1. Metaxylem is a xylem with the biggest diameter, has a function as the duct for mineral nutrient from roots to leaves. Based on the observation results on one vascular bundle there is only one metaxylem. Protoxylem is a xylem which is form firstly in a newly grown internodes, its diameter generally are smaller than metaxylem (Figure 3 a, b). In the radial section one can see that cell wall of protoxylem are spiral form which rolled up densely, this is the factor why rattan generally easy to bend. Phloem are existed in vascular bundle has a similar parenchyma distribution pattern i.e. in one vascular bundle always Figure 3a. C. occidentalis. Vascular bundles with one two exist two phloem, in left side and right side of phloem fields (P), one mataxylem vessel (M), protoxylem metaxylem (Figure 3 a, b). Anatomical structure of (R), fiber sheaths (F), and ground parenchyma (G), cross rattan stem which is tightly related with the durability section. properties of rattan, the size of pores (metaxylem, phloem, and basic parenchyma, if the anatomical structure is big, rattan is less durable because it is easy to attack by insect and laid their eggs, and hatch there, rattan will be attacked by these insect. Research results of Jasni and Supriatna (1999), informing that manau rattan are resistant to the attack of destroying insect, so this rattan is categorized into Resistance Class/Susceptibility I (very resistant). Rattan destroying insect is called powder post beetle, the species is Dinoderus minutus Farb. Observation showed that the pores or the size of metaxylem, phloem of C. occidentalis rattan are almost similar to that of rotan manau; this is means that the resistance of C. occidentalis is also the same. The fiber length and fiber-wall thickness are the most important parameter in determining the strength Figure 3b. C. manan. Vascular bundles with one two of rattan. The longer the fiber and the thicker the phloem fields (P), one metaxylem vessel (M), protoxylem fiber-wall, the higher its strength and the heavier the (R), fiber sheaths (F), and ground parenchyma (G), cross rattan. Fiber length and fiber-wall thickness are section. supporting its mechanical properties (Bhat and Thulasidas, 1993; Rachman, 1996). Research results Based on the results mentioned above, where C. of Rachman (1966) stating that C. manan rattan, is occidentalis rattan has the fiber length of 2204 μm, the best rattan species and easy to bend, and this longer than that of C. manan (1586.7 μm) and fiber- species is the most salable in market. But, C. manan wall thickness of 4.26 μm almost the same as that of is rarely now. C. manan, so C. occidentalis rattan species probably can be utilized as an alternative to substitute C. manan rattan Table 1. Anatomical structure of two rattan species species which rarely found in natural forest (Figure 3a, b). Metoxylem Proxylem Phloem Fiber Scientific diameter diameter diameter Chemical composition of rattan Length Thickness name (μm) (μm) (μm) Other than anatomical (μm) (μm) structure of C. occidentalis rattan C. occidentalis 293.75 43.5 37.5 2204 4.26 stem, chemical composition of C. manan 228.2 37.5 40.2 1586.7 5.4 rattan is also important in determining the strength of rattan. Table 2. Cellulose, lignin and air-dry moisture content (%) of two rattan species. Chemical content of investigated rattan and chemical content of C. Air-dry moisture manan as comparison are Scientific name Cellulose (%) Lignin (%) content (%) presented in Table 2. Based on C. occidentalis 49.95 22.39 12.27 Table 2, the chemical component C. manan 39.05 22.22 13.92 content of C. occidentalis rattan KALIMA and JASNI – Study of Calamus occidentalis 65 are also almost the same as that of C. manan. of the species, to maintain the species and stabilizing Cellulose, a long chain, linear molecule of sugar is in controlling the rattan species. To maintain the belonging to holocellulose. Cellulose and lignin continuity of raw material without decreasing its content can correlate significantly with rattan strength. function and role as advantageous raw material, the In this regard, cellulose can contribute to the tensile enhancement of sustainability are required either in- strength of rattan due to presence of strong covalent situ or ex-situ and also the cultivation of C. bonds in the pyranose rings and between glucose occidentalis rattan species. Those efforts are units of the cellulose polymer chain. Consequently, involving the community even institution to decide the the higher the cellulose content the stronger the management system becomes a positive action which modulus of rupture of rattan. Almost similar to has to be enhanced. Not less important, research has cellulose content, lignin can also provide significant to be enhanced continuously from species inventory strength of the rattan. Likewise, the greater the lignin up to technology engineering on the processing content, the stronger the bonds between fibers in method in order to make easier in enhancing its rattan (Rachman, 1996). quality. Based on those mentioned above, cellulose and lignin content of C. occidentalis rattan species are a bit higher (49.95% and 22.39%) than that of C. CONCLUSION AND RECOMMENDATION manan rattan species, so this C. occidentalis rattan species can be utilized. From the anatomical and C. occidentalis rattan species as one of species chemical content point of view, C. occidentalis rattan which has a good potency to be developed as species, can also utilized as an alternative to substitute of manau rattan species. From data of substitute C. manan rattan. anatomical structure, and chemical contents, the stem of C. occidentalis can be used for various possible Problem solving alternative utilization. Fiber cell proportion, fiber length which is From the results mentioned before, it can be relatively long, high cellulose lignin content, it make showed that C. occidentalis rattan species can be possible and fulfill condition as an alternative material. utilized for various requirements if supported by basic In line with the development of the C. occidentalis properties of existing rattan species. If observed, the rattan species, the physical properties, mechanical problems and challenges are revolving on raw properties, etc. of known rattan species has material, and development plan of rattan species. reinvestigated as a substitute species. From the results mentioned before can be showed that C. occidentalis rattan species make possible to be utilized as an alternative to substitute C. manan. REFFERENCES In providing raw material, the required efforts to be done are how to select the substitute rattan species, Anonymous. 1981. Standard Industri Indonesia. Cara Uji Kadar so the quality tend to increase and relatively Lignin Kayu dan Pulp. Jakarta: Departemen Perindustrian Republik Indonesia. SII-0578-1981. guaranteed. In these matters, two methods have to Bhat, K.M.N. and P.K. Thulasidas, 1993. Anatomy and do. First, through the potency of existing substitute identification of South Indian rattan (Calamus sp.). IAWA rattan species. Second, through its several basic Journal 14 (1): 63-76. properties, it is that C. occidentalis rattan species is Jasni and N. Supriatna. 1999. The resistance of eight rattan species against the powder post beetle Dinoderus minutus made possible to be utilized as an alternative for Farb. Proceeding of the Fourth International Conference of substituting C. manan rattan. Third, through direction Wood Science, Wood Technology and Forestry, Missenden of the development. Abbey. 14th-16th July. Wycame-England: Forest Products According to first method, based on the research Research Centre, Buckinghamshire Chilters University College Hight Wycame. results on C. occidentalis rattan species from the Kalima, T., 1999. Kunci identifikasi 17 jenis rotan untuk kawasan discussion before has a good prospect as the Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian substitute. Therefore, in the effort to increase the Hutan 618: 31-64. potency of this rattan species, the development of Kalima, T., 2001 Taksonomi dan Potensi jenis rotan Endemik (Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransfield) di Taman cultivation on the plant species becomes a Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan determinant matter. 625: 43-48. In case of basic properties, the mentioned C. Mandang,Y.I dan S.Rulliyati. 1986. Anatomi Dolok. Diktat Kursus occidentalis rattan species has supported the main Pengujian Rotan. Angkatan I. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. function of as further mechanical technology Mueller-Dombois,D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of development. In relation with the development Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons. direction of C. occidentalis rattan species, become a Rachman, O. 1996. Peranan Sifat Dasar terhadap Perilaku good opportunity for researchers, related Elastoplastisitas Rotan. [Dissertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. entrepreneur or NGO (non government organization). Witono, J.R. and J. Dransfield. 1998. A new species of Calamus This has to be done in the effort to prevent extinction (Palmae) fom Java. Kew Bulletin 53 (3): 747-751. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 66-70

Deskripsi Jenis-jenis Anggota Suku Rhizophoraceae di Hutan Mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur

Species description of Rhizophoraceae family in mangrove forest at Baluran Nasional Park East Java

SUDARMADJI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember, Jember 68121

Diterima: 10 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

Research about species description of Rhizophoraceae family in mangrove forest at Baluran National Park was conducted from June to October 2003. The method were plot and survey. There were nine species of Rhizophoraceae. The species at mangrove were Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora apiculata, R. lamarckii, R. mucronata, and R. stylosa. In addition, the number species of Rhizophoraceae family in the mangrove forest at Baluran National Park were more completely than another places, because it was found more than 75 percent species of Rhizophoraceae. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: Rhizophoraceae, mangrove forest, Baluran National Park.

PENDAHULUAN saja; hutan mangrove ikutan (minor mangrove), yaitu mangrove yang terdiri atas jenis-jenis campuran; dan Di Taman Nasional Baluran, keberadaan hutan tumbuhan asosiasi (associated ), yaitu berbagai mangrove tersebar hampir di seluruh pesisir kawasan jenis tumbuhan yang berada di sekitar hutan tersebut. Hutan mangrove relatif mendominasi hutan mangrove yang kehidupannya sangat bergantung pantai taman nasional ini (Sudarmadji, 1998; 2000). pada kadar garam, dan kelompok tumbuhan ini Secara umum, hutan mangrove mempunyai fungsi biasanya hidup di daerah yang hanya digenangi air sebagai penghalang terjadinya erosi, ombak, dan laut pada saat pasang maksimum saja (Tomlinson, angin besar. Di samping itu, hutan mangrove 1986). Vegetasi penyusun hutan mangrove yang ada mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi fisik, fungsi di Indonesia ini tergabung dalam 37 suku tumbuhan, biologis, dan fungsi ekonomi. Jika ditinjau dari fungsi yang terdiri atas pohon (14 suku), perdu (4 suku), fisiknya, kehadiran hutan mangrove adalah berfungsi terna (5 suku), liana (3 suku), epifit (10 suku ), dan sebagai penghalang datangnya ombak dan angin, parasit (1 suku). Untuk suku Rhizophoraceae, yang karena letaknya yang ada di tepi pantai, sedangkan semua anggotanya terdiri atas pohon meliputi dari fungsi biologis kehadiran hutan mangrove Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B. berfungsi untuk membantu proses pemijahan dan sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Kandelia sebagai tempat asuhan bagi ikan dan hewan laut candel, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan R. lainnya, dan dari fungsi ekonomi hutan mangrove stylosa (Kartawinata dkk., 1978), dan ada 22 suku di banyak menghasilkan berbagai sumber ekonomi, antaranya terdapat di hutan mangrove Taman misalnya kayu, tanin, rayon, dan lain-lain (Tomlinson, Nasional Baluran, dengan suku Rhizophoraceae yang 1986). mempunyai jenis paling banyak jumlahnya Berdasarkan vegetasi penyusunnya, hutan (Sudarmadji, 2000). mangrove dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu Pertumbuhan setiap jenis tumbuhan akan hutan mangrove utama (major mangrove), yaitu hutan menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, mangrove yang tersusun atas satu jenis tumbuhan sehingga morfologi yang terjadi akan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain (Steenis, 1958 ♥ Alamat korespondensi: dalam Kartawinata dkk., 1978). Oleh sebab itu, Jl. Kalimantan III/25, Jember 68121. morfologi tumbuhan mangrove yang terdapat di Tel.: +62-331-334293. Fax.: +62-331-330225. Taman Nasional Baluran adalah khas untuk tempat e-mail: [email protected] tersebut, mengingat kondisi lingkungannya berbeda SUDARMADJI – Mangrove di TN Baluran 67 pula. Dengan demikian tumbuhan mangrove di BAHAN DAN METODE daerah tersebut mempunyai deskripsi morfologi yang berbeda pula (Sudarmadji, 1998). Lokasi dan waktu penelitian Telah banyak penelitian yang dilakukan di Penelitian ini dilakukan di seluruh kawasan hutan kawasan hutan mangrove Taman Nasional Baluran, mangrove yang ada di Taman Nasional Baluran, yang namun yang mencakup deskripsi (pertelaan) dari meliputi daerah Pantai Uyahan, Si Runtoh, masing-masing jenis dan khususnya seluruh jenis Popongan, Batu Sampan, Kelor, Bama, Kajang, Si yang tergabung dalam suku Rhizophoraceae belum Rondo, Si Macan, Bilik, dan Gatel (Gambar 1.). pernah dilakukan. Atas dasar hal itulah, maka tulisan Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu ini bertujuan untuk mengungkapkan deskripsi pada bulan Juni-Oktober 2003. (pertelaan) dari species tumbuhan penyusun suku Rhizophoracea yang terdapat di hutan mangrove Taman Nasional Baluran.

Gatel Bilik

Merak

Sirondo Simacan

Balanan

Bekol

Gunung Baluran

Gambar 1. Daerah penelitian di Taman Nasional Baluran. 68 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 66-70

Alat dan bahan Tabel 1. Jenis-jenis anggota suku Rhizophoraceae di Alat yang digunakan meliputi peta rupa bumi digi- Taman Nasional Baluran. tal (Bakosurtanal, 2001), kompas prismatik, GPS, rol meter, kantong plastik, gunting ranting, pres tumbuh- No. Jenis an, tali rafia, tali plastik, tiang pancang, blangko 1. Bruguiera cylindrica (L.) Lamk. pengumpul data, penggaris, loupe 10 x, alat tulis 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. menulis, dan buku identifikasi. Bahan yang digunakan 3. Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. dalam penelitian ini meliputi alkohol 70%, kertas 4. Ceriops decandra (Griff.) Ding-Hou label, kertas koran, karet gelang, dan isolasi plastik. 5. Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob. 6. Rhizophora apiculata Blume 7. Rhizophora lamarckii Montr. Teknik pengambilan spesimen 8. Rhizophora mucronata Lamarck Spesimen dikumpulkan menggunakan metode plot 9. Rhizophora stylosa Griff. dan metode jelajah. Metode jelajah ini dilakukan sebagai pelengkap untuk mendapatkan spesimen yang tidak ditemukan dengan metode plot. Kedua Deskripsi dari masing-masing jenis yang metode ini dapat dilakukan di masing-masing lokasi, ditemukan tersebut adalah sebagai berikut. yang hutan mangrovenya tidak terlalu luas, sehingga diharapkan spesimen yang dikumpulkan menjadi Bruguiera cylindrica (L.) Lamk. lebih lengkap (Sudarmadji, 1998). Perawakan: pohon kecil, tinggi dapat mencapai 4 Di setiap lokasi dibuat tiga buah transek yang m, batang silindris, kulit luar batang berwarna abu- masing-masing tegak lurus terhadap garis pantai, dan abu, relatif halus dengan sedikit lentisel. setiap transek dibuat plot dengan ukuran 10 x 10 m, Percabangan biasanya monopodial. Daun: tunggal, yang letaknya berselang-seling sepanjang transek letak berlawanan, permukaan atas hijau muda, yang telah dibuat. Jarak antara plot yang satu dengan bentuk bulat panjang, ukuran panjang 8-10 cm, plot lainnya adalah 25 m, sedangkan jarak antara tangkai daun 3-4,5 cm. Karangan bunga: terletak di transek yang satu dengan lainnya adalah 100 m. Tiap ketiak daun, tersusun atas 3 bunga, bunga kecil transek dibuat sejauh (setebal) hutan mangrove yang ukuran 8-10 mm, panjang tangkai 8 mm, mahkota ada, sehingga jumlah plot yang dapat dibuat pada berwarna putih, kelopak 8, hijau kekuningan. Buah: setiap transek sangat bergantung pada tebal tipisnya ukuran 5-10 mm, hipokotil silindris dengan sedikit hutan mangrove yang ada di setiap lokasi penelitian. bengkok pada bagian ujungnya, warna bagian (Cox, 1974; Mueller-Dombois dan Ellenberg. 1974). pangkal hijau dan bagian ujung sedikit ungu kecoklatan, panjang 10-15 cm, diameter 0,5 cm. Cara pengumpulan data Akar: papan yang pendek. Habitat: pada daerah Data dikumpulkan dengan mengidentifikasi setiap sedikit tanah liat, dan kadangkala pada daerah yang spesimen jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, sedikit berbatuan (Ashton, 1988; Backer dan karakteristik masing-masing spesimen diamati Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; Ding- dengan menggunakan loupe yang berukuran 10 x. Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et Semua data yang berupa ciri karakteristik tersebut, al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986). dimasukkan ke dalam blangko pengumpul data yang telah disiapkan (Cox, 1974). Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 20 m, Analisis data kulit kayu abu-abu kehitaman, kasar, berlenti sel dan Data yang telah terkumpul dari lapangan, bercelah. Daun: tunggal, permukaan hijau tua, kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari masing- permukaan bawah hijau kekuningan, tulang daun masing jenis tumbuhan dan herbarium yang telah kadangkala berwarna kemerah-merahan, tersusun teruji validitasnya. Buku rujukan utama yang diguna- berlawanan, ujung runcing, bentuk elip sampai bulat kan untuk mengidentifikasi spesimen dari lapangan panjang, ukuran panjang 8-15 cm, lebar 4-6 cm. adalah karya Ashton (1988); Backer dan Bakhuizen Bunga: soliter, terletak di ketiak daun, kelopak v.d. Brink, Jr. (1963); Chapman (1976); Ding-Hou berjumlah 10-14, bentuk genta, warna merah sampai (1958); Fernando dan Pancho (1980); Kitamura et al., merah muda, mahkota runcing dan sedikit pendek (1997); Noor dkk. (1999); dan Tomlinson (1986). dari kelopak, benangsari berpasang-pasangan dan melekat pada daun mahkota. Buah: bulat, diameter HASIL DAN PEMBAHASAN 1,5-2 cm, hipokotil halus, mirip cerutu, berwarna hijau tua sampai ungu kecoklatan, ujung tumpul, panjang Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan 7-15 cm, diameter 1,5-2 cm. Akar: akar papan yang dengan teknik plot dan teknik jelajah, serta identifikasi melebar, disertai akar lutut. Habitat: tanah basah, menggunakan berbagai referensi sebagaimana telah yang sedikit berpasir (Ashton, 1988; Backer dan disebutkan di atas; diketahui bahwa suku Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; Ding- Rhizophoraceae memiliki tiga marga dengan Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et sembilan jenis, sebagaimana pada Tabel 1. al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986). SUDARMADJI – Mangrove di TN Baluran 69

Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. Rhizophora apiculata Blume Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 10 m, Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 15 m, kulit kayu kasar, berwarna abu-abu gelap. Daun: batang berkayu, silindris, kulit luar batang berwarna tunggal, tersusun berlawanan, bentuk elip, ujung abu-abu kecoklatan dengan celah vertikal, muncul meruncing, ukuran panjang 6-12 cm, lebar 3-6 cm, akar udara dari percabangannya. Daun: permukaan warna hijau kekuningan. Bunga: soliter, terletak di halus mengkilap, ujung runcing dengan duri, bentuk ketiak, kelopak 10-14, berwarna hijau kekuningan, lonjong, ukuran panjang 3-13 cm, pangkal berbentuk mahkota 10-11, berwarna putih dan coklat setelah baji, permukaan bawah tulang daun berwarna tua. Buah: bulat, diameter 1,5-2 cm, berwarna hijau kemerahan, tangkai pendek. Karangan bunga: sampai ungu kecoklatan, hipokotil diamet 1-1,5 cm, terletak di ketiak daun, umumnya tersusun atas 2 panjang 6-10 cm. Akar: akar papan yang sedikit bunga, yang bertangkai pendek, kelopak 4, berwarna melebar pada bagian pangkal. Habitat: tanah basah, coklat kekuningan, mahkota 4, berwarna keputihan, yang sedikit berpasir (Ashton, 1988; Backer dan putik 1 berbelah 2, panjang 0,5–1 mm. Buah: warna Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; Ding- coklat, ukuran 2-3 cm, bentuk mirip buah jambu air, Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et hipokotil silindris berdiameter 1-2 cm, panjang dapat al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986). mencapai 20 cm, bagian ujung sedikit berbintik-bintik, warna hijau keunguan. Akar: tunjang. Habitat: tanah Ceriops decandra (Griff.) Ding-Hou basah, berlumpur, berpasir (Ashton, 1988; Backer Perawakan: perdu sampai pohon, tinggi dapat dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; mencapai 3 m, kulit batang relatif halus, warna abu- Ding-Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; abu kekuningan. Daun: tunggal, letak berlawanan, Kitamura et al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, permukaan atas licin, warna hijau muda sampai tua, 1986). ujung membulat, bentuk elip bulat memanjang, ukuran panjang 4-6 cm, lebar 2-3 cm. Karangan Rhizophora lamarckii Montr. bunga: bergerombol, berjumlah 5-10 bunga, dengan Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 8 m, tangkai bunga pendek, terletak di ketiak daun, kulit luar batang berwarna abu-abu kecoklatan, kelopak 5, warna hijau , daun mahkota 5, warna putih dengan sisik-sisik yang mudah dikupas, bercelah kecoklatan. Buah: bulat, warna merah kecoklatan, dangkal. Daun: bentuk bulat panjang, ujung runcing hipokotil mirip pensil, panjang 9-15 cm, halus, beralur, dengan duri, panjang 5-15 cm, permukaan bawah dan sedikit berbintil pada bagian ujungnya. Akar: berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak sedikit tampak adanya akar papan. Habitat: tanah merata, mirip dengan daun R. apiculata. Bunga: agak kering dan sedikit berpasir (Ashton, 1988; karangan bunga bertangkai, panjang 1,5–2 cm, tiap Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, tangkai terdiri atas 4 bunga (jarang 2 bunga) tunggal, 1976; Ding-Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; mahkota 4, kelopak 4, berwarna kehijauan dan sedikit Kitamura et al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, merah. Buah: steril dan dan tidak pernah 1986). menghasilkan buah dan biji. Akar: tunjang. Habitat: tanah lumpur berpasir (Chapman, 1976; Kitamura et Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob. al., 1997; Tomlinson, 1986). Perawakan: perdu sampai pohon, tinggi dapat mencapai 3 m, kulit batang bagian bawah sedikit Rhizophora mucronata Lamk. mengelupas, warna abu-abu kecoklatan. Daun: Perawakaan: pohon, tinggi dapat mencapai 20 m, tunggal, letak berlawanan, warna hijau muda sampai kulit batang kasar, berwarna abu-abu kehitaman. tua, bagian tepi daun seringkali melengkung ke Daun: bentuk elip sampai bulat panjang, ukuran 10- dalam, ujung membulat, bentuk bulat telur terbalik 16 cm, ujung meruncing dengan duri (mucronatus), sampai elip, ukuran panjang 4-8 cm, lebar 2-3 cm. permukaan bawah tulang daun berwarna kehijauan, Karangan bunga: bergerombol di ujung tandan, berbintik-bintik hitam tidak merata. Karangan bunga: berjumlah 5-10 bunga, dengan tangkai bunga tersusun atas 4-8 bunga tunggal, kelopak 4, warna panjang, terletak di ketiak daun, kelopak 5, berwarna kuning gading, mahkota 4, berambut pada bagian hijau, daun mahkota 5, berwarna putih kecoklatan, pinggir dan belakang, benang sari 8. tangkai putik tangkai benangsari lebih panjang dari kepala sarinya. panjang 1–2 mm dengan ujung berbelah dua. Buah: Buah: bulat, warna merah kecoklatan, hipokotil mirip bentuk mirip jambu air, ukuran 2-2,3 cm, warna hijau pensil, panjang 9-18 cm, diameter 8-12 mm, beralur, kekuningan, hipokotil silindris berdiameter 2-2,5 cm, dan sedikit berbintil pada permukaannya. Akar: panjang dapat mencapai 90 cm, dengan permukaan sedikit tampak adanya akar papan. Habitat: tanah liat berbintik-bintik, warna hijau kekuningan. Akar: agak kering dan sedikit berpasir. Biasanya tunjang. Habitat: tanah berlumpur dalam dan sedikit berdampingan dengan C. decandra (Ashton, 1988; berpasir (Ashton, 1988; Backer dan Bakhuizen v.d. Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, Brink, 1963; Chapman, 1976; Ding-Hou, 1958; 1976; Ding-Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et al., 1997; Kitamura et al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986). 1986). 70 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 66-70

Rhizophora stylosa Griff DAFTAR PUSTAKA Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 15 m, permukaan batang berwarna abu-abu kehitaman, Ashton, P.S. 1988. Manual of the Non-Dipterocarp Trees of bercelah halus. Daun: permukaan atas halus, Volume II. Kuala Lumpur: Dewan Bahsa dan Pustaka Sarawak Branch For Forest Department Sarawak. mengkilap, ujung meruncing, dengan duri, bentuk Backer, C.A. and R.C. Bakhuinzen van den Brink Jr. 1963. Flora of lonjong dengan lebar bagian tengah, ukuran panjang Java. Volume: 1. Groningen: N. V. P. Noordhoff. 8-12 cm, permukaan bawah tulang daun berwarna Bakosurtanal. 2001. Peta Rupabumi Digital Indonesia Lembar kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata. 1708-(121-124) 1: 25.000. Bogor: Bakosurtanal. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Vaduz: J. Cramer. Karangan bunga: terletak di ketiak daun, bercabang Cox, G.W. 1974. Laboratory Manual of General Ecology. Dubuque: 2-3 kali, masing-masing cabang 4-16 bunga tunggal, Wm. C. Brown Publishers. kelopak 4, berwarna kuning gading, mahkota 4, Ding-Hou, L. 1958. Rhizophoraceae. Dalam van Steenis, C. G. G. berwarna keputihan, benang sari 8, tangkai putik jelas J. (ed.) Flora Malesiana Series I Volume 5: 429-493. Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V. (stilus), panjang 0,4-0,6 cm. Buah: mirip bentuk Fernando, E.S. and J.V. Pancho. 1980. Mangrove trees of the jambu air, warna coklat, ukuran 1,5-2 cm, hipokotil Philippines. Sylvatropica, The Philippines Forest Research berdiameter 2-2,5 cm, permukaan halus, panjang Journal 5 (1): 33-51. dapat mencapai 30 cm. Akar: tunjang. Habitat: tanah Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.K. Tantra. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau Di Indonesia. basah, sedikit berlumpur, berpasir (Backer dan Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove di Jakarta: MAB Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; Ding- Indonesia dan Lembaga Oseanologi Nasional. Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986). Handbook of Mangroves in Indonesia (Bali & Lombok). Denpasar: ISME. Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons. KESIMPULAN Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang tergabung Sudarmadji. 1998. Species Composition of Mangrove Forest at dalam suku Rhizophoraceae yang ditemukan di Baluran National Park. Unpublished Special Problem. Los Taman Nasional Baluran dapat dikatakan relatif Baños: Department of Botany, UPLB. lengkap, karena ditemukan lebih dari 75 persen Sudarmadji. 2000. Vegetation Structure and Edaphic Factors of Mangrove Forest at Baluran National Park, East Java, jumlah jenis dari suku tersebut. Di samping itu Indonesia. [Ph.D. Dissertation]. Los Baños: University of the ditemukan pula satu jenis mangrove, yang jarang Philippines Los Baños. ditemukan di Pulau Jawa yaitu Rhizophora lamarckii Sudarmadji. 2003. Komposisi Jenis Mangrove di Pantai Si Runtoh di daerah penelitian tersebut. Taman Nasional Baluran. Berkala Penelitian Hayati 8 (2): 75-79. Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 71-76

Keanekaragaman Tumbuhan dan Populasinya di Gunung Kelud, Jawa Timur

Plant diversity and population in Mount Kelud, East Java

INGE LARASHATI♥ "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16002

Diterima: 15 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

Mount Kelud is an upper shed Brantas area which has high potential plant diversity. But the land in that upper shed had experienced much erosion. Beside erosion process, human disturbances in the resort added the burdens to the existence of the vegetation. That is why the existence and condition of the plants must be monitored and studied. Assessment of the plants was conducted through literature studies, field surveys and using quadrate plot methods Oosting (Kent & Paddy, 1992) 0.75 ha each at different altitudes (600 m, 800 m and 1000 m) above sea level. The results showed that a total number of 125 species belonging to 94 genera, and 49 families were recorded. All three plots were dominated by Dendrocalamus asper and Villebrunea rubescens. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: plants, diversity, population, Mount Kelud, East Java.

PENDAHULUAN panjang lereng cukup besar menjadikan rawan erosi. Laju erosi yang terjadi pada Hulu Brantas Gunung Kelud adalah salah satu dari gugusan menyebabkan terjadinya sedimentasi pada waduk gunung-gunung yang terdapat di Jawa Timur dengan Selorejo dan waduk Karangkates (Machfudh, 1984). tinggi sekitar 1731 m dpl (di atas permukaan laut). Kondisi tanah yang demikian sangat berpengaruh Hutan di kawasan cagar alam gunung Kelud terhadap keanekaragaman tumbuhan. dikelompokkan dalam tipe hutan hujan dataran Pemanfaatan sumberdaya hutan telah rendah dengan topografi berbukit sangat terjal. Di menunjukkan gangguan terhadap keseimbangan dalam kawasan ini terdapat sejumlah hulu anak ekosisitem hutan. Survei keanekaragaman tumbuhan sungai Brantas antara lain Kali Konto, Kali Ngobo, di wilayah ini belum banyak dilakukan, hanya ada Kali Jengglong yang membelah Kabupaten Kediri. laporan perjalanan singkat yang ditulis puluhan tahun Kali Putih, Kali Semut yang melewati Kabupaten yang lalu (van Steenis, 1972). Untuk menambah Blitar dan Pegunungan Gajah Mungkur. Keberadaan informasi mengenai keberadaan tumbuhan di sekitar kawasan ini sangat penting karena berfungsi sebagai gunung Kelud telah dilakukan analisis tumbuhan, hidroorologis mengingat bahwa Kali Brantas adalah sebagai salah satu upaya untuk mengetahui sungai terpanjang di Jawa Timur dengan total aliran keanekaragaman tumbuhan dan populasinya serta mencapai 320 km (Heddy, 1996). mempelajari dinamika hutan di kawasan tersebut. Hutan di kawasan gunung Kelud ini mengalami kerusakan sejak dua abad yang lalu (Smiet, 1990). Kerusakan terjadi sebagai akibat penebangan liar, BAHAN DAN METODE perencekan untuk kayu bakar dan pemangkasan sebagai pakan ternak (Hadipoernomo, 1980 dan Waktu dan tempat Abdulhadi, 1981). Selain akibat gangguan manusia, Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari- kawasan ini mempunyai kondisi kemiringan dan Maret 2000, di sekitar kaki gunung Kelud, Jawa Timur pada ketinggian antara 600-1000 m dpl, terletak ± 60 km sebelah selatan Malang. Menurut Oldeman (1980) ♥ Alamat korespondensi: hujan di daerah itu termasuk tipe agoklimat C yang Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16002. mempunyai 5-6 bulan curah hujan lebih dari 200 Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail: [email protected]. mm/bulan dan 2-4 bulan curah hujannya kurang dari 72 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76

100 mm/bulan. Pada umumnya musim kemarau di NP = Nilai Penting ; KR = Kerapatan Relatif ; FR = tipe agroklimat C mempunyai curah hujan berkisar Frekuensi Relatif dan DR = Dominansi Relatif 75-80 mm/bulan. Keanekaragaman jenis Teknik pengumpulan data Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung Sebelum berangkat ke lokasi, dilakukan dengan menggunakan rumus Shannon-Wienner pengumpulan data terlebih dahulu berupa studi (Kent dan Paddy, 1992), sebagai berikut: literatur. Kemudian dilakukan penjelajahan/ survei i=n untuk mengetahui gambaran umum dan menentukan lokasi yang akan diamati. Penelitian ini tidak H’ =-∑ pi log pi i=1 mencakup seluruh kawasan cagar alam yang terletak di puncak, dipilih lokasi yang dianggap mewakili, yaitu H’ = indeks keanekaragaman jenis pada ketinggian 600 m , 800 m dan 1000 m dpl. pi = proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah individu semua jenis metode kuadrat mengikuti cara Oosting (dalam Kent dan Paddy, 1992). Pada masing-masing ketinggian Indeks kesamaan jenis dibuat petak penelitian berukuran 50 m x 50 m. Dari Untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis dari setiap petak dibuat anak petak berukuran 10 m x 10 dua contoh yang dibedakan dihitung dengan rumus m untuk pencacahan pohon. Pada anak petak Jaccard (Kent dan Paddy, 1992) sebagai berikut: tersebut dibuat sub-sub petak berukuran 5 m x 5 m a untuk pencacahan anak pohon. Pencacahan SJ = tumbuhan bawah dilakukan dalam sub anak petak a + b + c ukuran 1 m x 1 m.

Identifikasi jenis Sj = koefisien kesamaan Jaccard Pengumpulan spesimen tumbuhan dilakukan a = jumlah jenis yang terdapat pada kedua contoh untuk keperluan identifikasi. Pengamatan secara yang dibandingkan morfologis dilakukan di lapangan, dan untuk b = jumlah jenis yang terdapat pada contoh 1 spesimen yang belum diketahui jenisnya dikumpulkan c = jumlah jenis yang terdapat pada contoh 2 dan diatur pada kertas koran bekas serta dimasukkan ke dalam kantung plastik. Selanjutnya spesimen tersebut diberi alkohol 70% hingga cukup basah HASIL DAN PEMBAHASAN supaya tidak membusuk yang kemudian dikeringkan di Herbarium Bogoriense, Bogor. Identifikasi Keanekaragaman jenis dilakukan dengan menggunakan buku Flora of Java Pada ketinggian 600-700 m dpl kondisi medan (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963, 1965, bergelombang dengan kemiringan lereng sangat 1968) dan membandingkan dengan spesimen yang curam. Jumlah pohon dan anak pohon yang berhasil ada di Herbarium Bogoriense, Bogor. dikoleksi di kawasan ini masing-masing tercatat 29 jenis. Dengan luas bidang dasar 24,27/ha untuk jenis Analisis data pohon, sedangkan kerapatan pohon di kawasan ini Analisis data menggunakan metode kuadrat untuk tergolong rendah (320 pohon/ha) dibandingkan menghitung kerapatan, frekuensi dan dominansi dengan pengamatan pada ketinggian 800 dan 1000 masing-masing jenis tumbuhan. Kerapatan adalah m dpl (708 pohon/ha). Hal tersebut diduga karena jumlah individu suatu jenis per hektar; frekuensi kawasan ini relatif masih dekat dengan aktivitas dihitung berdasarkan jumlah petak dimana suatu jenis penduduk. Tetapi untuk anak pohon, kerapatan yang didapati dibagi dengan jumlah total petak; tergolong tinggi yaitu 772 anak pohon/ha dominansi dinyatakan dengan luas bidang dasar dari dibandingkan dengan dua ketinggian yang berbeda setiap jenis per hektar untuk pohon dan anak pohon. lainnya yaitu hanya mencapai 464 anak pohon/ ha Untuk tumbuhan bawah digunakan persentase dan 576 anak pohon/ha. Dendrocalamus asper penutupan tajuk. Nilai relatif dari ketiga parameter mendominasi kawasan dengan nilai penting 50,78. tersebut dapat dihitung dengan cara berikut (Cox, (Tabel1.). Demikian pula untuk anak pohon, yang 1992). melimpah adalah Dendrocalamus asper dan Croton argyratus. Melimpahnya Dendrocalamus asper Nilai penting kemungkinan besar disebabkan oleh adanya Untuk mengetahui jenis tumbuhan yang mendomi- gangguan manusia. Whitmore (1984) menyatakan nasi di suatu petak penelitian dilakukan analisis de- bahwa bambu Dendrocalamus asper dapat ngan menghitung nilai penting setiap petak penelitian. berkembang baik di hutan yang terbakar atau hutan yang mengalami kerusakan yang parah, namun di NP = KR + FR + DR lokasi pengamatan bukan disebabkan oleh kebakaran hutan tetapi oleh kegiatan penebangan. LARASHATI – Vegetasi Gunung Kelud 73

Tabel 1. Nilai relatif jenis jenis pohon pada ketinggian 600-700 m sangat penting keberadaannya bagi dpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%) kelangsungan hidup hewan pemencar biji- bijian. No. Jenis LBD Fr Kr Dr NP Indeks keanekaragaman jenis (H’) pohon 1 Dendrocalamus asper 5541,91 17,90 23,75 9,13 50,78 tercatat 2,92 hasil perhitungan tersebut 2 Croton argyratus 8477,58 9,00 8,75 13,97 31,72 menggambarkan bahwa pohon-pohon pada 3 Ficus infectoria 11726,06 6,00 5,00 19,32 30,32 ketinggian ini memiliki tingkat 4 Ficus sp 10156,76 3,00 2,50 16,74 22,24 keanekaragaman tinggi dibandingkan dengan 5 Lithocarpus sundaicus 1813,12 6,00 7,50 2,98 16,48 keanekaragaman pohon-pohon di dua 6 Ficus variegata 708,21 1,50 1,25 11,68 14,43 7 Sterculia oblongata 91,98 6,00 6,25 1,50 13,75 ketinggian yang berbeda. Indeks 8 Elaeocarpus petiolatus 903,40 4,50 5,00 1,48 10,98 keanekaragaman yang tinggi tidak dapat 9 Lain-lain jenis 1486,05 46,10 60,00 3,30 109,4 dijadikan sebagai indikator untuk menentukan 10 Jumlah 60669,07 100,00 100,00 100 300 jumlah jenis yang melimpah. Karena jumlah Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm²); Fr = frekuensi (%); Kr jenis yang melimpah ditentukan oleh nilai = kerapatan pohon(/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting, penting suatu jenis. Pengamatan pada ketinggian 700-800 m dpl. Kawasan ini memiliki topografi medan mendatar sampai landai dengan sebagian Tabel 2. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 700-800 m kanopi terbuka. Di kawasan ini banyak jenis- dpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%) jenis dari suku Urticaceae dan Euphorbiaceae . Laportea stimulans adalah jenis yang sangat No. Jenis LBD Fr Kr Dr NP melimpah baik pohon maupun anak pohon 1 Laportea stimulans 20586,81 15,09 30,14 31,19 76,42 2 Villebrunea rubescens 14886,41 9,43 16,17 22,58 48,18 seluruhnya mencapai 76 individu, dengan nilai 3 Lithocarpus sundaicus 5023,26 5,66 6,61 7,62 19,89 penting 76,42 (Tabel 2.). 4 Bischoffia javanica 5457,93 5,66 3,67 5,70 17,61 Villebrunea rubescens merupakan jenis 5 Amoora aphanamixis 3428,46 3,77 5,82 5,27 14,85 yang melimpah setelah Laportea stimulans. 6 Croton argyratus 1724,34 5,66 5,14 2,62 13,42 Melimpahnya kedua jenis ini diduga karena 7 Evodia latifolia 2080,52 3,77 4,41 3,16 11,34 kerusakan hutan oleh aktivitas manusia. 8 Glochidion arborescens 3217,00 3,77 1,47 4,88 10,12 Karena apabila kerusakan diakibatkan letusan 9 Lain-lain jenis 9547,05 47,19 26,5 14,39 88,14 gunung berapi atau kebakaran, maka yang 10 Jumlah 65951,78 100 100 100 300 akan berkembang dengan baik adalah jenis- Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm²); Fr = frekuensi (%); Kr = kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi dan NP = nilai penting, jenis Casuarina sp atau Albizia sp (van Steenis, 1972). Laportea stimulans dan Villebrunea rubescens dikelompokkan sebagai jenis-jenis sekunder (van Steenis, Tabel 3. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 800-1000 m 1972 dan Riswan, 1982). Selain itu jenis-jenis dpl di kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%), yang banyak ditemukan adalah Lithocarpus sundaicus, Bischoffia javanica, Amoora No. Jenis LBD Fr Kr Dr NP aphanamixis, Croton argyratus, Evodia 1 Villebrune rubescens 27467,56 18 24,293 31,13 73,42 latifolia dan Glochidion arborescens. Indeks 2 Ostodes paniculata 27113,71 12 22,598 30,72 65,32 keanekaragaman jenis (H’) pohon tercatat 3 Mallotus paniculata 8123,18 10 19,209 9,20 38,41 2,61 sedikit lebih rendah dibandingkan 4 Laportea stimulans 5084,86 6 12,429 5,77 24,19 dengan pada ketinggian 600-700 m dpl, 5 Lain-lain jenis 78046,61 54 21,53 23,18 98,66 Jumlah 88237,94 100 100 100 300 namun untuk anak pohon tercatat paling tinggi Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm²); Fr = frekuensi (%); Kr dibandingkan dengan pada dua ketinggian = kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting. yang berbeda yaitu 2,36. Diduga hal ini terjadi karena pada ketinggian ini memiliki topografi medan yang agak mendatar hingga landai dan kanopi terbuka. Jumlah pohon yang berhasil dikoleksi dikawasan ini tercatat 31 jenis. Luas bidang Jenis pohon utama lain diantaranya adalah Ficus dasar (LBD) pohon tergolong paling rendah hanya infectoria, Lithocarpus sundaicus, Sterculia oblongata mencapai 6,6 per ha. Hal tersebut mencerminkan dan Elaeocarpus petiolatus. Ficus infectoria dan bahwa pohon kecil (berdiameter < 30 cm) cukup Artocarpus elasticus merupakan jenis pohon yang tinggi keadaan tersebut diduga karena banyaknya memiliki diameter mencapai 111-120 cm dengan intensitas cahaya yang masuk mengakibatkan tinggi tajuk 40-49 m. Perbedaan dua jenis pohon ini permudaan lebih banyak. Kartawinata (1989) sangat mencolok ditinjau dari tinggi pohon dan menyatakan bahwa topografi medan, sifat-sifat fisik ukuran batangnya dibandingkan dengan pohon dan kimia tanah sangat berpengaruh terhadap kondisi lainnya di kawasan ini. Jenis-jenis Ficus di hutan ini tersebut. 74 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76

Tabel 4. Daftar jenis dan suku tumbuhan di kawasan hutan 66 Glochidion rubrum Bl. Euphorbiaceae gunung Kelud. 67 Grewia acuminata Juss. Tiliaceae 68 Guioa diplopetala (Hassk.) Radlk. Sapindaceea No. Nama jenis Nama suku 69 Harpulia arborea (Blanco.) Radlk. Sapindaceae 70 Isoglossa sp Acanthaceae 1 Abelmoschus moschatus Medik. Malvaceae 71 Jaegeria sp Sapindaceae 2 Acronychia trifoliata Zoll. Rutaceae 72 Lansium domesticum Corr. Anacardiaceae 3 Actinodaphne glomerata Nees. Lauraceae 73 Laportea stimulans (L.f.) Gaud. ex Miq. Urticaceae 4 Actinodaphne procera Nees. Lauraceae 74 Leea indica (Burm.f) Merr. Vitaceae 5 Alternanthera sessilis (L.) D C. Amaranthaceae 75 Leucosyke alba Z & M Urticaceae 6 Amoora aphanamixis Roem. & Schult. Meliaceae 76 Lithocarpus pseudomoluccus (Bl.) Rehd. Fagaceea 7 Anthropyum sp Vitariaceae 77 Lithocarpus sundaicus (Bl.) Rehd. Fagaceea 8 Antidesma montanum Bl. Euphorbiaceae 78 Litsea robusta Bl. Lauraceae 9 Antidesma tetandrum Bl. Euphorbiaceae 79 Litsea tomentosa Bl. Lauraceae 10 Arcypteris sp Tectaria group 80 Macaranga rhizinoides (Bl.) M.A Euphorbiaceae 11 Ardisia crispa (Thunb.) D C. Myrsinaceae 81 Macaranga tanarius (L.) M.A Euphorbiaceae 12 Ardisia lanceolata Roxb. Myrsinaceae 82 Maesopsis emanii Engl. Rhamnaceae 13 Artocarpus elasticus Reinw. ex Bl. Moraceae 83 Malaisia scandens (Lour.) Planch. Moraceae 14 Artocarpus heterophyllus Lmk. Moraceae 84 Mallotus moluccanus Auct.non.(L) M.A Euphorbiaceae 15 Baccaurea racemosa (Reinw.) ex Bl. M.A. Euphorbiaceae 85 Mallotus paniculata (Lmk) M.A Euphorbiaceae 16 Bischoffia javanica Bl. Euphorbiaceae 86 Michelia montana Bl. Magnoliaceae 17 Blumea balsamifera (L.) D C. Compositae 87 Mycetia cauliflora Reinw. Rubiaceae 18 Borreria latifolia (Aubl.) K.Sch. Rubiaceae 88 Mycetia javanica (Bl) Reinw.ex Korth. Rubiaceae 19 Bridelia glauca Bl. Euphorbiaceae 89 Nauclea orientalis Auct.non. (L.) L. Apocynaceea 20 Butea monosperma (Lmk.) Taub. Papilionaceae 90 Neonauclea excelsa (Bl.) Merr. Rubiaceae 21 Caesalpinia crista Auct.non.L. Caesalpiniaceae 91 Ochrosia acuminata Valet. Apocynaceae 22 Calamus ciliaris Bl. Arecaceae 92 Oplismenus compositus (L.) Beauv. Poaceea 23 Callicarpa longifolia Auct. non. Lamk. Verbenaceae 93 Ostodes paniculatus Bl. Euphorbiaceae 24 Cassia occidentalis Linn. Leguminosae 94 Paspalum conjugatum Berg. Poaceae 25 Cassia siamea Lamk. Leguminosae 95 Pavetta indica L. Rubiaceae 26 Cayratia genisculata (Bl.) Gagn. Vitaceae 96 Piper betle L. Piperaceea 27 Cayratia trifolia (L.) Domin. Vitaceae 97 Planchonella nitida Dubard. Sapotaceae 28 Celtis cinamomea Lind.ex Planch. Ulmaceae 98 Poikilospermum suaveolens (Bl.) Merr. Moraceea 29 Chloranthus officinalis Bl. Chloranthaceae 99 Pollia secundiflora (Bl.) Bakh.f. Commelinaceae 30 Corypha elata Roxb. Palmae 100 Pometia pinnata J.R & G. Forst. Sapindaceae 31 Costus specious (Koen.) Zingiberaceae 101 Pouzolzia sanguinea (Bl) Merr. Moraceea 32 Croton argyratus Bl. Euphorbiaceae 102 Pseuduvaria reticulata Miq. Anonaceae 33 Cryptocarya nitens K. & V. Lauraceae 103 Psychotria fimbricalyx Miq. Rubiaceea 34 Curculigo latifolia Dryand.ex W.T. Ait. Hypoxidaceae 104 Psychotria viridiflora Reinw.ex Bl. Rubiaceae 35 Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer. ex Heyne. Poaceae 105 Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae 36 Desmodium gangeticum (L.) D C. Papilionaceea 106 Radermachera glandulosa (Bl.) Miq. Bignoniaceae 37 Desmodium trifoliastrum Miq. Papilionaceae 107 Sapindus rarak D C. Sapindaceea 38 Dillenia excelsa Gilg. Dilleniaceae 108 Saurauia bracteosa D C. Saurauiaceae 39 Dinochloa scandens (Blume.ex Nees.) O.K. Poaceae 109 Stachytarpheta indica (L.) Vahl. Verbenaceae 40 Diplazium esculentum Swartz. Poaceae 110 Sterculia foetida Linn. Sterculiaceae 41 Dracontomelum mangiferum Bl. Anacardiaceae 111 Sterculia javanica R. Br. Sterculiaceae 42 Dysoxylum amooroides Miq. Meliaceae 112 Sterculia oblongata Bl. Sterculiaceae 43 Elaeagnus latifolia L. Elaeagnaceea 113 Symplocos costata (Bl) Choisy. Symplocaceae 44 Elaeocarpus floribunda Bl. Elaeocarpaceae 114 Synedrella nodiflora Gaertn. Compositae 45 Elaeocarpus petiolatus (Jack) Wall. Elaeocarpaceae 115 Syzygium lineatum (D.C) Merr & Perry. Myrtaceae 46 Elatostema sesquifolium (Reinw.ex Bl.) Hassk. Urticaceae 117 Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Myrtaceae 47 Eugenia aquea Burm.f Myrtaceae 118 Syzygium pycnanthum Merr. & Perry. Myrtaceae 48 Eugenia polyantha Wight. Myrtaceae 119 Syzygium sexangulatum (Miq.) Amsh. Myrtaceae 49 Eupatorium inulifolium H.B.K Compositae 120 Tabernaemontana macrocarpa Jack. Apocynaceea 50 Eupatorium riparium Reg. Compositae 121 Turpinia sphaerocarpa Hassk. Staphyleaceae 51 Eupatorium triplinerve Vahl. Compositae 122 Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Urticaceae 52 Evodia glabra Bl. Rutaceae 123 Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae 53 Evodia latifolia D C. Rutaceea 124 Voacanga grandiflora (Miq.)Rolfe. Apocynaceea 54 Ficus callosa Willd. Moraceae 125 Xanthophyllum excelsum Miq. Polygalaceae 55 Ficus hispida L . F Moraceae 56 Ficus infectoria Roxb. Moraceae 57 Ficus recurva Bl. Moraceae 58 Ficus sp 1 Moraceae 59 Ficus sp2 Moraceae 60 Ficus variegata Bl. Moraceae Pengamatan pada ketinggian 800-1000 m dpl, 61 Firmiana malayana Kosterm. Sterculiaceae 62 Forrestia mollissima (Bl.) Kds. Commelinaceae terletak pada punggung gunung dengan topografi 63 Geophila repens (L) I.M. Johnston. Rubiaceae medan bergelombang sampai terjal dengan kanopi 64 Globba marantina L. Zingiberaceae hampir seluruhnya tertutup. Kondisi hutan ini masih 65 Glochidion arborescens Bl. Euphorbiaceae cukup baik diduga karena jauh dari aktivitas penduduk. Pohon yang dapat dikoleksi dari ketinggian ini tercatat hanya 28 jenis. Jenis-jenis yang LARASHATI – Vegetasi Gunung Kelud 75 melimpah di hutan ini adalah Villebrunea rubescens stimulans, Leea indica, Lithocarpus sundaicus, dengan nilai penting 73,42 dan Ostodes paniculata Syzygium polyanthum, Syzygium pycnanthum dan dengan nilai penting 65,32, baik pada tingkatan Villebrune arubescens. Indeks kesamaan terendah pohon maupun anak pohon(Tabel 3.). Dari tiga adalah antara lokasi pada ketinggian 600-700 m dpl ketinggian yang berbeda, kerapatan pohon tertinggi dan lokasi pada ketinggian 700-800 m dpl yaitu terdapat pada kawasan ini tercatat 708 per ha yang di sebesar 15,38%. Jenis-jenis pohon yang sama dominasi oleh jenis Villebrunea rubescens. terdapat kedua lokasi tersebut adalah Bischoffia Villebrunea rubescens merupakan satu komunitas javanica, Croton argyratus, Evodia glabra, Laportea dari enam komunitas yang pernah ditemukan di stimulans, Lithocarpus sundaicus dan Villebrunea gugusan gunung Kawi, gunung Anjasmoro dan rubescens. Tumbuhan bawah yang sama pada dua gunung Kelud (Smiet, 1992). Jenis ini biasa tumbuh lokasi tersebut adalah Laportea simulans, Leea indica sangat melimpah di lembah atau di jurang yang dan Michellia montana. Dari ketiga ketinggian dalam di sekitar gunung Kelud (Clason, 1935). Selain berbeda yang dibandingkan, nilai indeks kesamaan itu jenis yang banyak dijumpai adalah Mallotus tidak mencapai 50% (Tabel 5.), sehingga secara paniculata dan Laportea stimulans . kese-luruhan nilai indeks kesamaan jenis yang Indeks keanekaragaman jenis (H’) pohon pada dibanding-kan relatif rendah. Fenomena tersebut ketinggian 800-1000 m dpl ini tergolong paling rendah menggam-barkan semakin rendahnya nilai Indeks dibandingkan dengan dua ketinggian yang berbeda, Kesamaan, maka semakin rendah tingkat yaitu hanya mencapai 2,23. Demikian pula Indeks kemiripannya. Hal ini diduga karena adanya variasi keanekaragaman (H’) anak pohon hanya mencapai tanggap yang berbeda dari setiap jenis terhadap 2,22. Kent dan Paddy (1992) menyatakan bahwa kondisi lingkungannya. Nilai Indeks keanekaragaman (H’) berkisar antara 0- 7. Berdasarkan kisaran nilai tersebut, maka nilai Tabel 5. Indeks kesamaan (Sj) pohon, anak pohon dan indeks keanekaragaman pada ketinggian 800-1000 m tumbuhan bawah pada tiga ketinggian yang berbeda di dpl tergolong rendah. Rendahnya indeks kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur. keanekaragaman pohon dan anak pohon, diduga Anak Tumbuhan karena kawasan ini jauh dari aktivitas penduduk. Ketinggian Pohon pohon bawah Faktor lain yang menentukan keanekaragaman jenis tumbuhan tidak hanya pengaruh dari fisik dan kimia 600-700 m 15,38% 27,41% 32,43% saja, namun juga keberadaan hewan dan manusia 700-800 m 22,22% 28,07% 28,33% (Kartawinata, 1989). Luas bidang dasar (LBD) pohon tercatat paling tinggi terdapat di ketinggian ini yaitu 900-1000 m 21,73% 21,56% 27,92% 35,30 per ha yang di dominasi oleh suku Euphorbiaceae. Euphorbiaceae tercatat sebagai suku yang berperan pada awal proses pemulihan hutan setelah mendapat gangguan (Soemarno, KESIMPULAN 2001).Tumbuhan bawah yang berhasil dikoleksi dari hutan ini tercatat 38 jenis (Tabel 4.). Jenis yang Kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur me- melimpah adalah Cayratia trifolia, Chloranthus miliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup officinalis, Costus specious, Pollia secundiflora, tinggi, khususnya pada ketinggian antara 600-1000 m Psychotria fimbricalyx, dan Stachytarpetha indica. dpl ditemukan 125 jenis yang tergolong ke dalam 94 Pada tingkat tumbuhan bawah sebagian besar marga dan 49 suku, dari jumlah jenis tersebut tidak berupa gulma dan hanya satu dua jenis saja sebagai ditemukan jenis-jenis yang menjadi karakteristik tumbuhan asli hutan. tumbuhan sekunder. Dari tiga ketinggian yang diteliti, pada ketinggian 600-700 m dpl merupakan daerah Kesamaan jenis yang paling berat tingkat kerusakkannya. Hal tersebut Dari hasil analisis kesamaan jenis pada tiga terbukti dengan melimpahnya jenis Dendrocalamus ketinggian yang berbeda, ternyata nilai indeks asper. Komunitas Villebrunea rubescens yang banyak kesamaan jenis pohon sangat rendah. Ketiga lokasi ditemukan dan melimpah di ketinggian antara 700- kajian terdapat perbedaan komposisi yang nyata. 1000 m dpl, merupakan satu komunitas yang tersisa Indeks kesamaan paling tinggi hanya mencapai dari enam komunitas yang pernah ditemukan oleh 22,22% yaitu antara lokasi pada ketinggian 600-700 Smiet (1992) di sekitar gunung Kawi, gunung m dpl dan lokasi pada ketinggian 800-1000 m dpl. Anjasmoro, dan gunung Kelud. Euphorbiaceae Kedua ketinggian tersebut memiliki kesamaan kondisi adalah suku yang mendominasi di daerah medan, yaitu sangat terjal dengan kemiringan lereng pengamatan yang anggotanya banyak tumbuh di yang besar. Jenis-jenis pohon yang sama terdapat pinggir-pinggir hutan. Kesamaan jenis pada tiga pada kedua ketinggian tersebut adalah Laportea ketinggian yang berbeda tergolong rendah tercatat stimulans, Evodia glabra, Lithocarpus sundaicus dan tidak mencapai 50% sehingga tumbuhan di kawasan Villlebrunea rubescens; sedangkan untuk anak pohon hutan ini memiliki variasi yang cukup besar. yang sama adalah Callicarpa longifolia, Laportea Keanekaragaman vegetasi di kawasan hutan gunung Kelud cukup tinggi dan sangat berpotensi oleh karena 76 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76 itu faktor ekologi dan konservasi perlu diperhatikan Kartawinata, K. 1989. Keanekaragaman flora dalam hutan pamah. dengan serius serta dilakukan secara berkelanjutan. Dalam Seminar Regional Aspek Konservasi dalam Pembangunan Sumberdaya Hutan Tropika Humida di Masyarakat sekitar hutan perlu mendapat penyuluhan Kalimantan. Samarinda, 18-19 Oktober 1989. akan pentingnya hutan oleh stakeholder terkait. Kent, M. and C. Paddy. 1992. Vegetation Description and Analysis: a Practical Approach. London: BelhavenPress. Machfud. 1984. Watershed management strategy trough the control of erosion variable at Sumber Brantas sub watershed. DAFTAR PUSTAKA Duta Rimba 71-72: 19-28. Oldeman, L.R. 1980. An Agro-climatic Map of Java. Contribution Abdulhadi, R. 1981. Laporan Perjalanan ke Konto Pujon, Malang from the Central Research Institute for Agriculture no. 17. Jawa Timur. Bogor: LIPI. Bogor: CRIA. Riswan, S. 1982. Ecological Studies in Primary, Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1963. Flora of Secondary and Experimentally Cleared Mixed Forests Java. Vol. 1. Groningen: P.Noorhoof. Dipterocarp Forest and Kerangas Forest in East Kalimantan, Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1965. Flora of Indonesia. [Thesis]. Aberdeen: University of Aberdeen. Java. Vol. 2. Groningen: P.Noorhoof. Smiet, A.C. 1990. Forest ecology on Java: conversion and usage in Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of a historical perspective. Journal of Tropical Forest Science 2 Java. Vol. 3. Groningen: P.Noorhoof. (4): 286-302. Clason,1935. Botanical analysis recolonization. Bulletin Jardin Smiet, A.C. 1992. Forest ecology on Java: human impact and Botanique de Buitenzorg 3 (13): 509-518. vegetation of montane forest. Journal of Tropical Ecology 8 (2): Cox, G.W. 1992 Laboratory Manual of General Ecology. Second 129-152. Ed. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher. Soemarno, S. 2001. Struktur dan Komposisi Vegetasi pada Tapak Hadipoernomo. 1980. Effects of man’s behaviour on the Konto river Tebang dan Pola Pemulihan Tapak Prasarana Pasca basin: the problems and efforts to settle them. Duta Rimba 6 Pembalakan Mekanis di Sikundur Taman Nasional Gunung (38): 21-32. Leuser. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Heddy, S. 1996. Analisis keragaman vegetasi di daerah sebelum van Steenis, C.G.G.J. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden: dan sesudah bendungan Karangkates suatu pandangan E.J. Brill & Co. ekologi. Dalam: Suwarsono, H. dan M. Kurniati (eds.) Prinsip- Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest the Far East. Oxford: Prinsip Dasar Ekologi Bahasan tentang Kaidah Ekologi dan Oxford University Press. Penerapannya. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 77-80

Keanekaragaman Anggrek di Situ Gunung, Sukabumi

Orchids diversity of Situ Gunung, Sukabumi

NINA RATNA DJUITA♥, SRI SUDARMIYATI, HENDRIUS CANDRA, SARIFAH, SITI NURLAILI, RULLY FATHONY Jurusan Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor, Bogor 16144

Diterima: 13 Nopember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

Study on the orchids diversity was conducted in Situ Gunung, sub district of Kadudampit, district of Sukabumi, West Java. There were 41 collection numbers, consist of 18 terrestrial orchids, 22 epiphyte orchids, and one saprophyte orchid, belong to 26 genera and 41 species. There were eight species of flowering orchids and the rest were not at flowering stage. Agrostophyllum bicuspidatum J.J.Sm, Plocoglottis acuminata Bl dan Appendicula sp. were commonly found at Situ Gunung. Species orchid of Calanthe triplicata (Willemet) Ames and Plocoglottis acuminata Bl found in a clumped group. Tainia elongata J.J. Sm was the only endemic orchid in Java from this situ. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: orchids, Situ Gunung, Sukabumi.

PENDAHULUAN dipakai untuk pemukiman, perkebunan atau karena adanya kerusakan alam. Ditambah lagi dengan Anggrek merupakan salah satu suku tumbuhan adanya pengambilan anggrek alam tanpa yang memiliki banyak anggota. Terdapat sekitar mempertimbangkan kelestariannya. Di beberapa 25.000 jenis anggrek yang telah dideskripsikan tempat seperti di Ciapus Bogor dapat dijumpai (Schuttleworth et al., 1970). Sebagian besar anggrek-anggrek liar yang diperjualbelikan secara keanekaragamannya terpusat di kawasan tropis dan bebas seperti Macodes, Anoethochilus, dan subtropis. Di Indonesia terdapat sekitar 5000 jenis Schoenorchis. Pengambilan anggrek liar secara terus anggrek (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). menerus tanpa disertai usaha membudidayakannya Dari jumlah tersebut, kurang lebih 731 jenis terdapat tentu sangat merugikan keberadaan anggrek di Pulau Jawa, dan 642 jenis terdapat di Jawa Barat tersebut, karena dapat menyebabkan kepunahan. (Comber, 1990). Agar keberadaan jenis-jenis anggrek di suatu Keindahan bentuk bunga serta distribusi yang luas wilayah dapat diketahui dengan baik, diperlukan menyebabkan anggrek menjadi tanaman yang suatu penelitian berupa eksplorasi dan inventarisasi. populer (Cady dan Rotherham, 1981). Oleh sebab itu Eksplorasi bertujuan untuk mengambil contoh banyak pemulia tanaman yang melakukan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai pernyilangan anggrek untuk mendapatkan tanaman ilmu pengetahuan yang penting, sedangkan yang lebih unggul baik dalam keragaman bentuk, inventarisasi bertujuan untuk mendata keragaman warna bunga, maupun ornamentasi bunganya, jenis tanaman di suatu kawasan, sehingga apabila sehingga diperoleh kultivar yang lebih unik dan nantinya kawasan tersebut mengalami perubahan menarik. Puspitaningtyas dan Mursidawati (1999) ekosistem, sudah tersedia data keragaman floranya menyatakan bahwa anggrek alam atau anggrek liar (Mujahidin dkk., 2002). sering menjadi bahan utama untuk mendapatkan Penelitian tentang anggrek telah dilakukan di ber- jenis-jenis hibrida yang komersial, namun keberadaan bagai tempat. Mujahidin dkk. (2002) meneliti jenis angrek liar sering kali terancam kepunahan keanekaragaman anggrek di Kawasan Taman dengan semakin sempitnya lahan, karena banyak Nasional Gunung Halimun yang menghasilkan 31 marga dan 52 jenis. Mahyar dan Sadili (2003) yang melakukan penelitian ulang di tempat tersebut ♥ Alamat korespondensi: Jalan Pajajaran Baranangsiang Bogor 16144, Indonesia menemukan 74 marga dan 258 jenis anggrek. Di Tel. & Fax.: +62-251-345011. daerah lainnya seperti di Cagar Alam Gunung Sim- e-mail: [email protected] 78 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 77-80 pang Cianjur juga ditemukan anggrek yang meliputi Situ Gunung yang berada di ketinggian 950-1036 m 49 marga dan 114 jenis (Puspitaningtyas dkk., 2002). dpl dan suhu 16-28oC (Anonim, 2003), ternyata Semakin banyak informasi tentang anggrek yang merupakan tempat yang cocok bagi tumbuhnya didapatkan dari berbagai daerah tentunya akan anggrek-anggrek liar. Berbagai jenis anggrek semakin baik karena data yang diperoleh menjadi ditemukan mulai dari bawah bukit hingga ke atas semakin lengkap. Oleh karena itu penulis mencoba punggung bukit. Sebagian besar anggrek tersebut untuk meneliti keberadaan jenis anggrek di Situ tumbuh di cabang pohon bersama dengan tumbuhan Gunung. Daerah ini merupakan taman wisata alam lain, seperti paku sarang burung atau dengan yang termasuk dalam wilayah Desa Kadudampit, tumbuhan lumut. Sebagian lagi tumbuh pada ranting Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa yang telah jatuh, ada juga yang tumbuh di tanah atau Barat. Secara geografi, kawasan ini terbentang di pada tumpukan seresah dan dedaunan yang telah antara 106'54'37''-106'55'30'' BT dan 06'39'40''- menjadi humus. 06'41'12'' LS. Situ Gunung memiliki tipe iklim B, Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 41 nomor dengan curah hujan berkisar 1611-4311 mm per koleksi anggrek yang terdiri atas 18 anggrek tahun. Dengan iklim seperti ini, diduga Situ Gunung terestrial, 22 anggrek epifit dan 1 anggrek saprofit. merupakan tempat yang baik bagi tumbuhnya Jumlah marga yang berhasil ditemukan sebanyak 26 anggrek liar (Anonim, 2003). Penelitian ini bertujuan sedangkan jumlah jenisnya sebanyak 41. Anggrek untuk mengetahui keanekaragaman anggrek di Situ terestrial umumnya mempunyai daun yang lebar, Gunung, Sukabumi. helaiannya relatif tipis, tidak sukulen dan mempunyai banyak rambut akar. Anggrek epifit umumnya mempunyai daun tebal seperti kulit, mulut daun BAHAN DAN METODE tersembunyi, akarnya tidak berambut kecuali pada bagian yang menempel pada tumbuhan lain. Anggrek Tempat dan waktu saprofit tidak mempunyai daun karena telah tereduksi Pengambilan koleksi dilakukan di Situ Gunung menjadi sisik-sisik (Suryowinoto,1987). Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Jenis-jenis anggrek yang dijumpai di Situ Gunung Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 7-9 disajikan pada Tabel 1. Sebagian besar anggrek Juli 2003. Pengamatan spesimen dilakukan di tersebut dapat tumbuh di lingkungan baru, yakni di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA IPB Bogor, FMIPA Institut Pertanian Bogor. namun beberapa jenis di antaranya tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga mati. Cara kerja Salah satunya adalah Apostasia wallichii R.Br., Koleksi dilakukan dengan metode survei secara dimana pada lingkungan baru daunnya segera acak dengan cara menjelajahi jalan setapak mulai menjadi coklat, mengering dan akhirnya mati. dari bawah sampai ke atas bukit. Anggrek yang Anggrek tersebut diduga mempunyai adaptasi yang ditemukan di tanah dan di pohon diambil sampelnya, rendah terhadap lingkungan baru. Hal ini sesuai lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik. dengan pernyataan Comber (1990) yang Selanjutnya diberi kertas koran lembab. Bunga menyebutkan bahwa jenis ini memang sangat rentan anggrek yang rontok disimpan dalam botol berisi terhadap pemindahan, sehingga kalau ditanam di alkohol 70 %, sedangkan yang masih segar tetap tempat baru, biasanya akan mati. Anggrek lainnya dibiarkan pada tanamannya. Anggrek yang telah masih tetap bertahan hidup walaupun kondisinya dikumpulkan, ditanam sebagai koleksi hidup dengan tidak sebaik seperti di habitat semula. menggunakan media pakis untuk anggrek epifit dan Dari 6 anak suku anggrek yang ada di dunia media tanah untuk anggrek terrestrial. Koleksi (Comber, 1990), hanya 5 yang ditemukan di Situ disimpan di rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA IPB Gunung. Anggrek dari anak suku Cypripedioideae Bogor. Anggrek saprofit tidak dapat dipertahankan tidak ditemukan di kawasan ini. Apostasioideae keberadaannya karena cepat mati. Semua anggrek merupakan anak suku yang paling kecil jumlah yang terkoleksi diidentifikasi dengan cara anggotanya dibandingkan anggrek jenis lain, karena mencocokkan sampel koleksi dengan buku-buku flora hanya terdiri atas dua marga yaitu Apostasia dan anggrek, khususnya Orchids of Java (Comber, 1990) Neuwiedia (Hunt, 1978). Apostasioideae yang dan Orchids of Sumatra (Comber, 2001). Selain itu, ditemukan di Situ Gunung hanya marga Apostasia. dilakukan juga pencocokkan dengan koleksi hidup Anggrek yang termasuk ke dalam Apostasioideae yang ada di Rumah Anggrek Kebun Raya Bogor. mempunyai dua benangsari, sehingga ada juga yang mengklasifikasikanya ke dalam anak suku Diandroideae (Shukla dan Misra, 1979) Salah satu HASIL DAN PEMBAHASAN anggota Apostasioideae adalah A. wallichii. Berbeda halnya dengan anggrek lain, jenis ini tidak Keberadaan suatu jenis anggrek pada umumnya mempunyai bibir (labellum), karena mahkota ketiga berhubungan dengan lingkungan. Banyak anggrek tidak terdiferensiasi menjadi labellum (Comber, yang sensitif terhadap suhu dan ketinggian. Kawasan 1990). Pada anggrek lainnya, mahkota dengan jelas DJUITA dkk. – Anggrek di Situ Gunung 79

Tabel 1. Jenis-jenis anggrek yang ditemukan di Situ Gunung, Sukabumi.

No Anak Suku Marga Jenis Habitat 1 Apostasioideae Apostasia Apostasia wallichii R.Br T 2 Epidendroideae Agrostophyllum Agrostophyllum bicuspidatum J.J. Sm E A. laxum J.J. Sm E Appendicula Appendicula cornuta Bl E Appendicula sp. T Bulbophyllum Bulbophyllum angustifolium (Bl) Lindl E B. lobbii Lindl E B. obtusipetalum J.J. Sm E Bulbophyllum sp. E Calanthe Calanthe triplicata (Willemet) Ames T Coelogyne Coelogyne longifolia (Bl) Lindl E Dendrobium Dendrobium lamellatum (Bl) Lindl E D.mutabile (Bl) Lindl E D. reflexitepalum J.J.Sm E Dendrobium sp. E Dendrochilum Dendrochilum pallideflavens Bl E Eria Eria iridifolia Hook f. E E. monostachia Lindl E Eria sp. E Epigeneium Epigeneium sp. E Flickingeria Flickingeria grandiflora (Bl) A.D. Hawkes E Liparis Liparis rheedii (Bl) Lindl T L. viridiflora (Bl) Lindl T Malaxis Malaxis latifolia J.E.Sm T Nephelaphyllum Nephelaphyllum pulchrum Bl T N. tenuiflorum Bl T Plocoglottis Plocoglottis acuminata Bl T P. javanica Bl T Spatoglottis Spatoglothis aurea Lindl T Tainia Tainia elongata J.J.Sm T 3 Orchidoideae Aphyllorchis Aphyllorchis pallida Bl S 4 Spiranthoideae Goodyera Goodyera reticulata Bl T Lepidogyne Lepidogyne longifolia Bl T Macodes Macodes petola (Bl) Lindl T 5 Vandoideae Cleisostoma Cleisostoma javanicum (Bl) Garay. E Cymbidium Cymbidium ensifolium (L.) Sw T C. lancifoium Hook T Cymbidium sp. T Schoenorchis Scoenorchis juncifolia Bl. Ex. Reinw. E Thrixpermum Trixpermum acutilobum J.J. Sm. E Vanda Vanda sp. E

Keterangan: E = epifit, S = saprofit, T = terestrial.

terdiferensiasi menjadi labellum (Comber, 2001). triplicata, D. mutabile, L. longifolia, S. juncifolia T. Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa anggrek elongata, dan P. acuminata. Pada anggrek A. pallida dari Situ Gunung yang mempunyai keragaman jenis tidak dijumpai daun. Anggrek tersebut merupakan paling tinggi berasal dari anak suku Epidendroideae. anggrek saprofit yang telah kehilangan kemampuan- Anggotanya memiliki satu benang sari, sehingga nya dalam mengambil gas CO2 dan zat-zat anorganik beberapa penulis juga mengklasifikasikannya ke dari tanah (Suryowinoto, 1987). Karena tidak dapat dalam anak suku Monandroideae (Shukla dan Misra, berfotosinteis maka anggrek ini hidup sebagai 1979). Keempat anak suku lainnya juga digolongkan saprofit. Anggrek lainnya hanya ditemukan fase ke dalam Monandroideae. vegetatifnya saja. Pada saat eksplorasi terdapat beberapa jenis Anggrek mempunyai bermacam-macam bentuk. anggrek yang ditemukan sedang berbunga. Jenis- Tabel 1. menunjukkan beberapa jenis anggrek yang jenis tersebut adalah A. wallichii, A. pallida, C. menarik secara morfologi. Anggrek A. bicuspidatum 80 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 77-80 mirip tumbuhan paku, A. wallichii daunnya mirip atas 26 marga dan 41 jenis. Anggrek yang paling rumput, dan L. longifolia daunnya mirip pandan. sering ditemukan adalah A. bicuspidatum, Adanya kemiripan bentuk daun anggrek dengan Appendicula sp. dan P. acuminata. Jenis-jenis yang tumbuhan lain kadang-kadang menyulitkan tumbuh mengelompok adalah C. triplicata dan P. identifikasi bagi peneliti pemula, terutama apabila acuminata. Anggrek yang ditemukan di kawasan ini anggrek tersebut tidak berbunga. Namun hal ini dapat merupakan anggrek yang umum dijumpai kecuali diatasi dengan mencocokkan sampel pada koleksi satu jenis anggrek, yaitu T. elongata merupakan anggrek hidup, misalnya di Kebun Raya Bogor. anggrek endemik di Jawa. Beberapa anggrek mempunyai daun yang indah bahkan lebih menarik daripada bunganya. Contohnya adalah M. petola yang mempunyai corak daun DAFTAR PUSTAKA berurat kuning atau keperakan G. reticulata mempunyai urat daun menjala berwarna putih Anonim. 2003. Kabupaten Sukabumi dalam Angka Tahun 2003. keperakan, N. pulchrum dan N. tenuiflorum juga Sukabumi: BPS Cady, L and E.R. Rotherham.1981. Australian Native Orchids in mempunyai daun yang menarik. Keempatnya disebut Colour. Sydney: AH & AW Reed Pty Ltd. juga sebagai anggrek daun. G. reticulata bahkan Comber, J.B. 1990.Orchids of Java. London: The Bentham-Moxon disebut juga sebagai anggrek permata karena Trust Royal Botanic Gardens. keindahan daunnya (Schuttleworth et al., 1970). Comber, J.B. 2001. Orchids of Sumatra. Kinabalu: Natural History Publications (Borneo). Semua anggrek yang diidentifikasi merupakan Hunt, P.F. 1978. Orchidaceae. The Orchid Family. In: Dod, B (ed.). anggrek yang umum dijumpai, kecuali T. elongata Flowering Plants of the World. Oxford: Oxford University Press. yang bersifat endemik di pulau Jawa. Beberapa jenis Mahyar, U.W., dan A.Sadili. 2003. Jenis-Jenis Anggrek Taman yang paling sering ditemukan yaitu P. acuminata, A. Nasional Gunung Halimun. Bogor: Biodiversity Conservation Project LIPI-JICA- PHKA. bicuspidatum dan Appendicula sp. Anggrek yang Mujahidin, S.P., M. Marjuki, D. Supriadi, Rahmat, Atjim, dan T. disebut pertama umumnya tumbuh mengelompok Jodi. 2002. Eksplorasi Anggrek Jawa. Kawasan Taman pada tanah di lereng bukit, sedangkan anggrek yang Nasional Gunung Halimun Banten. Bogor: Pusat Konservasi kedua tumbuh dalam rumpun kecil pada batang Tanaman Kebun Raya Bogor -- LIPI. Puspitaningtyas, D.M. dan S. Mursidawati. 1999. Koleksi Anggrek pohon. Anggrek yang ketiga ada yang tumbuh Kebun Raya Bogor. Vol. 1, No. 2. Bogor: UPT Balai sendiri-sendiri, namun ada pula yang tumbuh Pengembangan Kebun Raya-LIPI. berumpun. Puspitaningtyas, D.M. Solehudin, M. Haris, Rukman, Oman, dan Acim. 2002. Eksplorasi Anggrek di Cagar Alam Gunung Simpang Cianjur, Jawa Barat. Bogor: Pusat Konservasi Tanaman Kebun Raya Bogor – LIPI. KESIMPULAN Schuttleworth, F.S., H.S. Zim, and G.W. Dillon. 1970. A Golden Guide Orchids. New York: Western Publishing Company, Inc. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 41 nomor Shukla, P and S.P. Misra. 1979. An Introduction to Taxonomy of Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House Pvt Ltd. koleksi terdiri dari 18 anggrek terrestrial, 22 anggrek Suryowinoto, M. 1987. Mengenal Anggrek Alam Indonesia. Jakarta: epifit dan satu anggrek saprofit. Semuanya terdiri PT. Penebar Swadaya. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 81-84

Potensi Hutan Bukit Tapak Sebagai Sarana Upacara Adat, Pendidikan, dan Konservasi Lingkungan

The potency of Bukit Tapak forest as means for traditional ceremony, environmental conservation, and education

I WAYAN SUMANTERA♥ UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI. Tabanan, Bali 82191.

Diterima: 15 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

Bukit Tapak (1903 m) the natural reserve of Batukau I (816.4 ha) is one of three natural reserve area of Batukau (1762.8 ha, 1974). Located at the tourism object of Bedugul, the eastern part boundaries to the Botanic Garden Eka Karya-LIPI (154.5 ha, 1959) and settlement of Candikuning area (1152 family, 4475 persons) and near the three lakes of the water resources of Bali; Beratan, Buyan and Tamblingan lake. The special plants; cemara geseng (Casuarina junghuhniana Miq.), cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), nyabah (Pinanga arinasaensis J.R. Witono), paku kidang (Dicksonia blumei Planch.), and purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benth.). The pioneer plant of the hill is cemara geseng and the endemic is cemara pandak. The plant of needle leaves that basically the existence of Bali Botanical Garden as the conservation ex situ flora of noodle leaves especially at the eastern Indonesian area. Nyabah, which is supposed to be the new kind of palm named Arinasa, driven from the staff name who is the pioneer of the conservation. Paku kidang is rare. There are ethnobotany plants of ritual ceremony such as: kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia sp.), penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.) Blume), etc. Balinese people believe that forest is holly and sacred. But because of the existence of Pura Teratai Bang (16 century) at the slope, moslem cemetery (found in 1938) at the peak, and other needs (climbing, food, medicine, etc.), it can not be avoided the entrances of people that caused the forest is damaged. The forest reservation needs the approach to the local people, so the solution are morally and integration. The use of the forest which is potential as the environment education facilities conservation and other alternatives such as: horticulture, the improvement of the people economy discussed here to be the input for the forest conservation wisely and continuously. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Bukit Tapak, traditional ceremony, environment, conservation, education.

PENDAHULUAN yang dikawatirkan berdampak negatif pada lingkung- an Bali (Anonim, 1988). Cagar Alam Batukau, Bali dikukuhkan pada tahun Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak (1903 m dpl), 1979 berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. di bagian timur berbatasan dengan Kebun Raya Eka 716/Kpts./Um.11/745 tanggal 29 Nopember 1974. Karya-LIPI (154,5ha, 15 Juli 1959) dan pemukiman Arealnya seluas 176,2 ha meliputi tiga kawasan hutan desa Candikuning (1152 KK, 4475 jiwa). Pada yakni Batukau I (Bukit Tapak) 810,4 ha, Batukau II puncak bukit tumbuh lebat cemara geseng sebagai (Bukit Pohen) 388,2 ha, dan Batukau III (Bukit tumbuhan pioner karena mampu tumbuh pada tanah Lesung) 564,2 ha. Hutannya yang lebat dengan tandus berkat dukungan akarnya yang mampu kepadatan 125 pohon/ha memiliki tumbuhan khas asli menambat nitrogen. Tumbuhan khas lain yang dite- alamiah cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus mukan antara lain cemara pandak, nyabah (Pinanga (Blume) de Laub.) dan cemara geseng (Casuarina arinasaenis J.R. Witono), paku kidang (Dicksonia junghuhniana Miq.) yang pada waktu Gubernur Bali blumei Planch.), purnajiwa (Euchresta horsfieldii Ida Bagus Mantra digunakan acuan sebagai upaya (Lesch.) Benth.), lempunah (Cyathea contaminans menolak adanya mega-proyek listrik panas bumi, (Hook.) Copel.), dan peji (Pinanga coronata (Blume ex Mart.) Blume). Jauh sebelum ditetapkan sebagai ♥ Alamat korespondensi: cagar alam, di kawasan Bukit Tapak sudah ada Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. bangunan masyarakat sekitarnya. Di puncak bukit Tel. & Fax.: +62-368-21273. terdapat kuburan Islam/keramat yang ditemukan oleh e-mail: [email protected]. Salim pencari rotan tahun 1938. Makam ini banyak 82 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 81-84 diziarahi umat, terutama pada hari lebaran (ketupat). hutan, terutama untuk mencari tumbuhan yang Di kaki bukit terdapat Pura Teratai Bang dari abad 16 secara tradisional digunakan secara turun-temurun yang berdampingan dengan sumber belerang. Pura seperti untuk upacara adat, obat, pakan, dan keramat ini dikelola warga dusun Bukit Catu, Candi- keperluan lain (kayu bakar, tali, dan peralatan). kuning dengan piodalan pada Tumpek Landep (Bali, Upaya konservasi untuk mengantisipasi permasa- odalan: senjata atau alat dari besi) (Anonim, 1988). lahan ini telah dilakukan dengan berbagai cara, Keanekaragaman tumbuhan Bukit Tapak berman- seperti adanya proyek kehutanan memanfaatkan faat banyak bagi lingkungan sekitarnya. Berfungsi tanaman berguna, pakan rumput gajah, maupun menjaga siklus hidrologi, sumber air minum, dan bambu sebagai tumbuhan penyangga agar dapat me- sumber air untuk ketiga danau di sekitarnya, yakni ngurangi masuknya penduduk ke hutan. Kemajuan danau Beratan, danau Buyan, dan danau Tamblingan pariwisata secara langsung mampu meningkatkan yang merupakan sumber air Bali. Di samping itu, taraf hidup masyarakat Candikuning, dengan menjadi berperan pula menahan erosi atau banjir pada tanah petani sayur, peternak sapi dan pedagang di pasar vulkanis yang mudah longsor. Adanya cemara wisata Candikuning yang secara tidak langsung akan pandak dan cemara geseng yang berdaun jarum mengurangi orang mengambil tumbuhan hutan. menjadi inspirasi pembangunan Kebun Raya Eka Dalam menjaga kelestarian hutan Bukit Tapak Karya Bali (154,5 ha, pada awalnya 50 ha), sebagai yang luas, tentunya tidak dapat mengandalkan pe- tempat konservasi ex situ tanaman berdaun jarum tugas, yang hanya tiga orang di KSDA Candikuning. khususnya dari kawasan timur Indonesia. Secara Sangat membutuhkan partisipasi semua pihak ter- tradisional penduduk lokal memanfaatkan keduanya utama masyarakat sekitar, di samping mencari solusi dalam upacara adat Hindu, bahan obat, pakan, alternatif yang dimulai dari pendidikan lingkungan. peralatan, dan tanaman hias (Anonim, 1988). Berbagai model paket pendidikan dapat dimanfaat- Dalam upaya pendidikan dan konservasi lingkung- kan, di antara model kebun raya meliputi: Repling = an, pemanfaatan potensi etnobotani hutan Bukit Rute Pendidikan Lingkungan; rute tanaman hias, rute Tapak terutama dalam upacara adat merupakan tanaman upacara adat, rute hutan tropis, dan rute media komunikasi budaya yang patut diberdayakan, tanaman purba (Hendarti dan Nugraha, 1997); Apik = selain potensi lain seperti kajian botani dan sosio- Aktifitas Pendidikan Interaktif, seperti mencari jejak, ekonomi. Kajian potensi hutan dalam tulisan ini ber- tanaman dan lingkungan, mengenal tumbuhan dan tujuan agar masyarakat atau pelajar yang ingin klasifikasi tumbuhan, jalur hutan hujan tropis, dan memasuki kawasan Bukit Tapak dapat meman- jalur tanaman berguna Bali (Meredith 1999); dan Elup faatkan kearifan lokal untuk berpartisipasi aktif dalam = Enam Jalur Perjalanan (Adjie, 1999), etnobotani, melestarikan tumbuhan secara bijak dan lestari. tanaman upacara adat, budaya, dan lain-lain. Semuanya ditujukan agar orang yang masuk hutan sadar etika pelestarian seperti dengan menghayati BAHAN DAN METODE makna slogan pencinta lingkungan, sehingga bila ke hutan “jangan mengambil sesuatu kecuali gambar/ Dengan metode eksploratif dikumpulkan potensi foto, jangan membunuh sesuatu kecuali waktu, tumbuhan Bukit Tapak berupa tumbuhan khas yang jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak”. digunakan dalam upacara adat. Pelaksanaannya Sebagai upaya menggali potensi hutan Bukit dengan penelusuran pustaka, dan inventarisasi Tapak untuk diberdayakan dalam program pelesta- tumbuhan hutan yang digunakanpada upacara adat rian tumbuhan, maka diadakan penelitian lapang dan Hindu di Pura Teratai Bang dan masyarakat penelusuran pustaka. Berdasarkan penelitian tum- sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli buhan hutan Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak pada 2003 untuk mendapatkan keragaman tum-uhan upacara adat di Pura Teratai Bang pada Tumpek etnobotani, yang berguna sebagai media komunikasi Landep 19 April 2003 setiap 210 hari (6 bulan Bali) budaya, pendidikan, dan konservasi lingkungan. dan masyarakat sekitarnya pada bulan April-Juli 2003, maka dapat diketahui 10 jenis tumbuhan khas dan 15 jenis digunakan dalam upacara adat Hindu. HASIL DAN PEMBAHASAN Tumbuhan khas adalah cemara pandak, cemara geseng, nyabah, paku kidang, lempunah, lemputu Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak yang ber- (Cyathea latebrosa (Wall) Copel.), purnajiwa, anggrek batasan dengan Kebun Raya Eka Karya, pemukiman macan (Vanda tricolor Lindl.), pradah (Garcinia penduduk Candikuning, serta adanya Pura Teratai cerlebica Linn), dan dadem (Ficus fistilosa Reinw. ex Bang dan Kuburan Islam di dalamnya, menjadikan Blume). Tumbuhan yang digunakan upacara adat masuknya warga ke kawasan yang dilindungi adalah cemara geseng, cemara pandak, biu lalung tersebut. Perbedaan kepentingan antara konservasi (Musa sp.), nyabah, peji, ambengan (Imperata cylin- hutan dan keperluan masyarakat menjadikan adanya drica Beauv.), dadap (Erythrina sp.), tiing (Bambusa benturan kepentingan tak terelakan yang patut sp.), kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia dicarikan solusinya secara bijak dan berkesinam- sp.), penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis bungan. Dalam era reformasi sekarang tentunya sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.) masyarakat tidak boleh dilarang begitu saja masuk SUMANTERA – Potensi adat, pendidkan, dan konservasi hutan Bukit Tapak 83

Blume), kepelan (Mangletia glauca Blume), dan Tumbuhan di Bukit Tapak yang digunakan dalam anggur bogor (Passiflora ligularis A. Juss.). upacara adat oleh masyarakat sekitarnya mencakup: Tumbuhan khas di Bukit Tapak meliputi: 1. Cemara geseng (C. junghuhniana), daunnya ber- 1. Cemara geseng (C. junghuhniana) merupakan guna sebagai simbul rambut pada upacara tanaman pioner karena akarnya mampu menam- pengabenan. bat nitrogen, tumbuh subur menghijau di puncak. 2. Cemara pandak (D. imbricatus), daunnya bergu- Getahnya untuk obat sakit perut, daunnya untuk na sebagai simbul rambut pada upacara penga- upacara adat ngaben, dan kayunya untuk tangkai benan dan komponen “daun” sesajen canang. peralatan (madik, kandik, dan dapak). 3. Biu lalung (Musa sp.), adalah pisang alami yang 2. Cemara pandak (D. imbricatus), merupakan tum- umumnya tumbuh kurang subur, sehingga hanya buhan endemik. Kayu yang berserat halus berbuah satu sisir pada tandannya. Bersama diminati sebagai bahan bangunan dan mebel. beringin (Ficus benyamina L.), ancak (Ficus 3. Palem nyabah (P. arinasaensis) diidentifikasi rumphii Bl.), uduh (Caryota mitis Lour), dan peji sebagai jenis baru dan diberikan nama honor staf dikenal sebagai lima tumbuhan surga (panca- Kebun Raya Bali Ida Bagus Ketut Arinasa yang vriksha), sehingga digunakan untuk personifikasi berperan besar dalam upaya pelestariannya. surga dengan memasangnya pada tempat pemu- Palem ini mulai jarang, karena anakannya sulit jaan utama, maupun bangunan darurat sanggah menjadi tumbuhan dewasa. Tawang dan sanggah Tutuan (Supartha, 2000). 4. Paku kidang (D. blumei), tumbuh terbatas di 4. Nyabah (P. arinasaensis), da-unnya sebagai sekitar Pura Teratai Bang, yang kini habitatnya pengganti daun kelapa dalam upacara adat telah terkubur oleh perluasan sarana pelayanan seperti untuk sengkui. Upihnya se-bagai klukuh pura. Paku tiang langka ini berbulu kecoklatan wadah tuak pada upacara perkawinan. pada pohon dan tulang daun, sehingga indah 5. Peji (P. coronata), bersama uduh dan biu lalung sebagai tanaman hias. digunakan sebagai sarana sanggah Surya/ 5. Paku lempunah (C. contaminans) adalah paku Tawang Sthana Sang Hyang Widiwasa/Tuhan tiang yang berbulu putih pada pangkal daunnya. Yang Maha Esa (Siregar dkk., 2002). Anyaman Sebagai tanaman hias, bentuknya bagaikan daunnya untuk sengkui, menggantikan daun payung di taman. Batang yang diserut menam- kelapa yang tidak terdapat di pegunungan. pakkan rupa yang artitistik untuk karya seni. 6. Ambengan (I. cylindrica) adalah rumput suci 6. Paku lemputu (C. latebrosa), paku tiang yang berkat mendapatkan percikan tirtha amertha (air batang dan tangkai daun berduri hitam-keras. kehidupan), sehingga daunnya dibutuhkan untuk Keberadaannya terancam, terutama akar dan upacara penyucian seperti untuk memercikan batang, karena dijadikan media anggrek. Batang- tirtha, serta sebagai karowista ikat kepala saat nya untuk tiang rumah tidak permanen seperti upacara penyumpahan, potong gigi, tiga bulanan kandang sapi, huma, dapur, dan pelinggih pura. anak, dan medwijati (Siregar dkk., 2002). 7. Purnajiwa (E. horsfieldii), tumbuh baik pada 7. Dadap (Erythrina sp.), dijuluki kayu sakti berkat humus di bawah pepohonan, namun sulit keampuhan seperti daunnya untuk upacara dibudidayakan. Pemburu berupaya mendapatkan penawar (tepung tawar). Pucuknya sebagai buahnya. Buah hitam ini sulit didapatkan, hingga sarana tetandingan banten agar sakti secara timbul kepercayaaan bahwa buahnya disenangi niskala. Batangnya sebagai tiang hidup sanggah macam. Buahnya yang pahit berguna untuk obat Turus Lumbung. Kayunya untuk bahan bakar api kecing manis, sakit perut, afrodisiak, dan lain-lain. suci Pala Asep (Sumantera, 1993). 8. Peji (P. coronata), palem alami yang di daerah 8. Tiing (Bambusa sp.), selalu dibutuhkan dalam pegunungan berguna sebagai pengganti kelapa setiap upacara adat, paling tidak sebagai semat dalam upacara adat, daunnya untuk anyaman untuk penjahit banten/sesajen. Manfaat lainnya sengkui. Bermanfaat sebagai tanaman hias atau adalah untuk penjor, sanggah cucuk, kelakat, penggarah pinggir jalan. wadah, sate, bumbung tirtha, tali, dan lain-lain. 9. Anggrek macan (V. tricolor), berbunga besar dan 9. Kayu tulak (Schefflera elliptica Harms), tumbuhan loreng menyerupai bulu macan, sehingga sangat liana yang dipercaya sebagai tanaman penolak menarik sebagai tanaman hias. Keberadaannya bala, sehingga digunakanuntuk banten dan dita- sudah jarang, serung diambil orang sebelum nam di samping pintu masuk pekarangan (Sura- sempat berbunga untuk meneruskan turunannya. yin, 1992). Mudah diperbanyak dengan stek ba- 10. Pradah (G. celebica), manggis hutan yang dapat tang, dan dibudidayakan sebagai tanaman hias. ditanam sebagai tanaman hias. Kayunya berguna 10. Kayu tulung (Brassaia sp.), daunnya diperlukan sebagai tongkat bertuah, sebagai penolak bala. untuk upacara pengabenan dan tanamannya di- 11. Dadem (F. fistilosa), mudah ditanam dengan stek percaya bertuah menolong mencapai kedamaian batang, petani memanfaatkan sebagai tanaman keluarga, sehingga baik ditanam di pekarangan pagar dan daunnya sebagai pakan sapi, terutama atau untuk pot di dalam ruangan. pada musim kemarau, saat persediaan rumput 11. Penjalin (Calamus sp.), batangnya untuk tali tidak mencukupi. dandan penuntun rombongan upacara adat agar 84 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 81-84

seiring sejalan mencapai kedamaian hidup pedagang, sehingga dapat mendorong peningkatan sebagai tujuan upacara, seperti dapat disaksikan pendapatan mayarakat. Pada saat ini, banyak pada upacara ngaben untuk “menarik” wadah anggota masyarakat yang telah mampu membeli saat menuju kuburan (setra). bahan bakar masak non kayu seperti gas elpiji dan 12. Paku pidpid (Nephrolepis sp.), merupakan paku hias minyak tanah, sehingga tidak perlu mencari lagi kayu yang daunnya dibutuhkan untuk hiasan ceniga bakar ke hutan. Tanaman koleksi dan program pada sanggah cucuk dan sebagai daun pelawa pendidikan lingkungan di kebun raya merupakan dari tumbuhan pegunungan (Supartha, 2000). upaya nyata agar masyarakat dapat lebih mengenal 13. Trijata (M. speciosa), dipercaya sebagai pohon manfaat tumbuhan dan menyadari perlunya upaya surga, sehingga digunakan pada banten Dewa pelestarian, sehingga sejalan dengan fungsi hutan Yadnya dan sanggah Surya sebagai personifikasi Bukit Tapak sebagai kawasan konservasi in situ. surga agar lebih mudah dihayati. 14. Anggur bogor (P. ligularis) merupakan tanaman introduksi yang didatangkan Kebun Raya Bali dari KESIMPULAN Bogor, sehingga dinamai demikian. Kini buah ini telah menyebar ke hutan setelah dimakan kera, Penelitian mendapatkan 10 jenis tumbuhan khas burung, dan lain-lain. Buahnya merupakan bahan dan 15 jenis tumbuhan yang berguna dalam upacara persembahan pada pajegan upacara adat, adat. Erosi genetis menyebabkan cemara pandak (D. sebagai rasa syukur ke hadapan-Nya yang telah imbricatus), anggrek macan (V. tricolor), trijata (M. melimpahkan buah. speciosa), dan kepelan (M. glauca) sudah sulit 15. Kepelan (M. glauca) termasuk kayu harum ditemukan. Nyabah (P. arinasaenis), paku kidang (D. (merik) yang disucikan, sehingga dibutuhkan blumei), dan purnajiwa (E. horsfildii) termasuk pura, terutama untuk panel ukiran. tumbuhan langka, sehingga perlu upaya melestarikan Keberadaan tumbuhan Bukit Tapak tidak lepas seperti telah dilakukan oleh Kebun Raya Bali dengan dari gangguan manusia yang memburunya, sehingga mengkoleksinya sebagai tanaman koleksi. terjadi erosi genetis pada beberapa jenis tumbuhan. Adanya kuburan Islam di puncak dan Pura Teratai Tumbuhan cemara pandak, anggrek macan, trijata, Bang di kaki timur Bukit Tapak yang menjadi tujuan dan kepelan mulai sulit ditemukan. Nyabah, paku berziarah, menyebabkan sulitnya membatasi orang kidang, dan purnajiwa termasuk tumbuhan langka, yang memasuki Cagar Alam Batukau I. Oleh karena sehingga perlu upaya pelestarian seperti yang itu, untuk meminimalkan gangguan kelestarian perlu dilakukan Kebun Raya Bali dengan mengkoleksinya. upaya pendidikan lingkungan, seperti pemanfaatan Pemanfaatan potensi tumbuhan Bukit Tapak perlu tanaman koleksi kebun raya untuk perbanyakan bibit dibatasi karena merupakan kawasan konservasi dan penelitian, serta peningkatan taraf hidup masya- Cagar Alam. Kalaupun ada pendakian sambil rakat, sehingga merubah pola hidup dari menggu- sembahyang ke kuburan di puncaknya, supaya nakan bahan bakar kayu ke bahan bakar lain yang kegiatan tersebut dilakukan seminimal mungkin dan akhirnya menggurangi kebiasaan merambah hutan. tidak merusak tumbuhan alaminya. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan Bukit Tapak dapat dilakukan tanpa harus langsung melakukan koleksi di DAFTAR PUSTAKA kawasan tersebut, yakni dengan memperlajari aneka tumbuhannya yang telah dikoleksi Kebun Raya Bali. Anonim. 1988. Buku Informasi Konservasi Sumber Daya Hutan Pendidikan tersebut dapat mendorong kepedulian Propinsi Bali. Bali: Kanwil Kehutanan Propinsi Bali. Adjie, B. 1999. Enam Jalur Perjalanan di Kebun Raya Bali. Bali: pada lingkungan dan upaya konservasi. Untuk Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI. menjaga keberadaan tumbuhan alami, perlu upaya Hendarti, l. dan E. Nugraha. 1997. Rute Pendidikan Lingkungan perbanyakan baik oleh lembaga konservasi maupun (Repling) di Kebun Raya Bali. Bali: RMI-Hanns Seidel masyarakat. Pembibitan diperlukan untuk memenuhi Foundation-Kebun Raya Bali. Meredith, S., I.B.K. Arinasa, B. Adjie, dan I.W. Sumantera. 1999. permintaan konsumen, sehingga tidak lagi terjadi Aktifitas Pendidikan Lingkungan (APIK) Kebun Raya Bali. Bali: pengambilan langsung ke hutan. Upaya budidaya Kebun Raya Adelaide-Eka Karya Bali. dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar Siregar, M., I.N. Lugrayasa, D. Mudiana, dan Hartutiningsih. 2002. selain dari bidang pariwisata, sehingga mengurangi Koleksi Tanaman Upacara Adat Kebun Raya Bali. Bali: UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka karya Bali-LIPI. kebiasaan buruk menganggu tumbuhan di hutan. Siregar, M. 2002. Laporan Tahunan 2002. Bali: UPT Balai Kebun Raya Raya Bali yang berbatasan di Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka karya Bali-LIPI. sebelah barat dengan Bukit Tapak, sangat besar Sumantera, I.W. 1993. Pemanfaatan dadap sebagai upaya maknanya sebagai zone penyangga untuk mendukung pelestariannya di Bali. Makalah Seminar Nasional Biologi XI. Perhimpunan Biologi Indonesia-Universitas mengurangi intensitas masuknya orang ke hutan, Hasanuddin, Ujung Pandang, 20-21 Juli 1993 sehingga kondisi hutan ini jauh lebih baik sejalan Supartha, N.O. 2000. Fungsi Tumbuhan dalam Upacara Agama dengan membaiknya penanganan Kebun Raya Bali Hindu. Proseding Seminar Nasional Etnobotani III, UNUD dalam 30 tahun terakhir. Pengunjung kebun raya Denpasar Bali 5-6 Mei 1988. Laboratorium Etnobotani, Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI. yang berlimpah setiap tahun, sekitar 265.773 orang Surayin, I.A.P. 1992. Melangkah ke Arah Persiapan Upacara- (Siregar, 2002), telah meningkatkan jumlah Upacara Yadnya. Denpasar: PT Upada Sastra. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 85-88

Pengujian Mikroba sebagai Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Tanaman Acacia mangium pada Pasir Steril di Rumah Kaca

Effect of microbe as fertilizer on the growth of Acacia mangium on the sand sterile in green house

SRI PURWANINGSIH♥ Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi-LIPI, Bogor 16122

Diterima: 13 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

An experiment on the effect of microbe as fertilizer on the growth of Acacia mangium on the sand sterile in greenhouse. The aim of the experiment the effect and potency of the microbe as fertilizer to increase the growth of A. mangium. The experiment was carried out in green house condition in Microbiology division, Research Center for Biology-LIPI with sterile sand medium. The Rhizobium strains used of: 1.Bio 199R, 2. Bio 203R, 3. Bio 205R, 4 Bio 238R, 5. Bio 251R, 6.Bio 7R, and 7. mixed strains (Bio 199R+Bio 203R+Bio 205R+Bio 238R+Bio 251R+Bio 7R) The controls were uninoculated with Rhizobium strain and without urea fertilizer (K1), uninoculated and with urea fertilizer equal 100 kg/ha (K2). The research design was Completely Randomized Design with three replications for each treatment. The plants were harvested after 70 days; the parameters of investigation were the dry weight of canopy, roots, nodules root, total plants, number of nodules and “symbiotic capacity”. The results showed that all of experiment plant able to from nodule. Strain number of mixed strains has given the best results on the growth of A. mangium plant. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Rhizobium strain, Acacia mangium.

PENDAHULUAN tanaman Leguminosae. Unsur nitrogen termasuk unsur utama dan merupakan faktor pembatas dalam Acacia mangium merupakan tanaman yang pertumbuhan, sehingga merupakan kunci keberha- termasuk dalam famili Leguminosae (polong- silan pertumbuhan tanaman. Bakteri penambat nitro- polongan) dan merupakan salah satu jenis tanaman gen (Rhizobium) mempunyai kemampuan menambat HTI (Hutan Tanaman Indrustri). Tanaman ini nitrogen bebas (N2) dari udara dan merubahnya merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan menjadi amonia (NH3) yang akan diubah menjadi cepat, perakarannya luas, mampu beradaptasi pada asam amino yang akan digunakan oleh tanaman tanah yang miskin unsur hara dan tahan terhadap untuk tumbuh dan berkembang (Alexander, 1977). kekeringan, serta mempunyai nilai ekonomi tinggi, Cadangan nitrogen di alam meliputi 78% volume kayunya mempunyai kualitas yang cukup baik atmosfer, tetapi tidak tersedia bagi tanaman (Allen khususnya sebagai bahan pulp/kertas maupun dan Allen, 1981). Namun secara alami unsur nitrogen mebel. Selain itu tanaman ini mampu bersimbiosis ini dapat tersedia apabila lingkungan kaya bakteri dengan bakteri penambat nitrogen (Rhizobium) dan penambat nitrogen yang biasanya bersimbiosis melaksanakan proses penambatan N bebas dari dengan kelompok tanaman dari famili Legumonosae. udara, sehingga tanaman dapat memenuhi Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakan kebutuhan unsur N melalui penambatan secara menyumbang lebih dari 170 juta ton nitrogen ke hayati sehingga mengurangi ketergantungan biosfer pertahun, 80% merupakan hasil dari simbiosis terhadap penggunaan pupuk N buatan. antara bakteri Rhizobium dengan tanaman Legumino- Keberadaan unsur hara nitrogen sangat penting sae (Peoples et al., 1997 dalam Prayitno, 2000). bagi setiap kehidupan, khususnya mikroba tanah dan Salah satu alternatif untuk memperbaiki kondisi tanah dan lingkungan serta meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan teknologi pemupukan secara hayati, ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122. yaitu dengan menginokulasi mikroba pemacu Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854 pertumbuhan (bakteri penambat nitrogen) pada e-mail: [email protected] benih/bibit atau tanah maupun keduanya pada 86 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 85-88 tanaman. Pengaruh inokulasi akan terlihat nyata Sebagai kontrol tanaman tanpa diinokulasi dan apabila digunakan pada lahan yang mengandung tanpa ditambah pupuk N (K1), dan tanaman tanpa unsur hara atau ketersediaan air rendah, sehingga diinokulasi dan ditambah pupuk N setara dengan 100 inokulasi dapat mempercepat pemulihan lahan kg/ha (K2). Rancangan yang digunakan adalah (Carpenter dan Allen, 1988), mampu bersaing dan Rancangan Acak Lengkap dengan masing-masing beradaptasi terhadap lingkungannya, serta cocok perlakuan 3 kali ulangan. Untuk mempertahankan dengan tanaman inangnya (Yutono, 1985). kelembaban (24%) dilakukan penyiraman setiap hari Kerjasama antara mikroba yang diinokulasikan dengan menggunakan larutan hara tanpa N terikat dan tanaman serta unsur-unsur hara dalam tanah seperti yang dilakukan oleh Saono dkk. (1976). sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman A. Komposisi larutan hara (10 liter larutan A + 10 ml mangium untuk mencapai hasil yang maximum, larutan B + 100 ml larutan C + 10 ml larutan D) karena tidak semua biakan Rhizobium mampu hidup disajikan pada Tabel 1a. bersimbiosis dan efektif melaksanakan proses Tanaman dipanen pada umur 70 hari, parameter penambatan nitrogen dari udara bebas. Dengan yang diamati adalah bobot kering tajuk, akar, bintil adanya biakan terpilih maka pemberian inokulum akar, tanaman total, dan jumlah bintil, komponen sebagai pupuk hayati dapat tercapai secara optimal. tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC Berdasar hal tersebut, dilakukan penelitian ini untuk selama 24 jam. Untuk mengetahui kemampuan mendapatkan inokulum yang cocok dan efektif serta bersimbiosis (Sc) biakan-biakan Rhizobium yang efisien dalam upaya meningkatkan pertumbuhan diinokulasikan dilakukan penetapan dengan menggu- tanaman. Biakan yang efektif diharapkan dapat nakan cara Brockwell et al (1965) sebagai berikut: dimanfaatkan sebagai pupuk hayati, terutama untuk tanaman A. mangium. I-U Sc = ------N-U BAHAN DAN METODE Sc = kemampuan bersimbiosis. Penelitian dilakukan di rumah kaca Bidang I = rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang Mikrobio-logi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, dengan diinokulasi. menggunakan pasir steril, dalam pot-pot plastik U = rata-rata bobot kering tanaman tanpa berukuran 0,5 galon. Sebanyak 1,8 kg pasir steril diinokulasi dan tanpa N (K1). digunakan sebagai media tumbuh, kemudian setelah N = rata-rata bobot kering tanaman tanpa biji ditanam di atasnya ditambah pasir yang telah diinokulasi dan ditambah N (K2). dicampur dengan parafin dan benzol (steril) setinggi 2 cm sebagai penutup biji yang ditanam. Nilai Sc dibagi dalam 4 katagori yaitu: E (sangat Biakan yang digunakan adalah (i) Bio 199R (isolat efektif) jika Sc>0,67, e (efektif) jika 0,33

Tabel 1a. Komposisi larutan hara (larutan A, B, C, dan D). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Larutan Jumlah unsur Hasil penelitian menunjukkan bahwa biakan- A. Standar larutan calcium CaSO42H2O 2,5 g biakan Rhizobium yang diinokulasikan terhadap sulfur MgSO47H2O 2,5 g akuades steril 10 liter tanaman A. mangium semuanya mampu membentuk B. Standar larutan ferric ferric citrate 30 g bintil akar, hal ini menunjukkan bahwa semua biakan citrate akuades steril 1 liter tersebut dapat bersimbiosis secara efektif dan efisien C. Standar larutan fosfat KH2PO4 34 g dengan tanaman tersebut, yang ditandai dengan KOH 1,96 g pertumbuhan vegetatif tanaman yang diinokulasi lebih akuades steril 1 liter bagus dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa D. Standar larutan trace MnSO H O 1 g 4 2 diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1). Seperti yang element ZnSO45H2O 0,25 g dilaporkan oleh Stowers dan Elkan (1980), bahwa CuSO45H2O 0,25 g kemampuan simbiosis yang efektif dan efisien NaMoO 2H O 0,06 g 2 2 diketahui bahwa biakan Rhizobium yang H3BO3 0,50 g diinokulasikan mampu membentuk bintil akar, yang CaCl26H2O) 0,05 g akuades steril 1 liter berarti pengikatan nitrogennya berjalan dengan baik. PURWANINGSIH – Mikroba pupuk hayati Acacia mangium 87

Parameter yang diamati menunjukkan bahwa Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa untuk untuk tinggi tanaman, nilai tertinggi diperoleh pada semua parameter pertumbuhan yang diamati terdapat tanaman yang diinokulasi dengan biakan campuran perbedaan yang nyata antar biakan, hal ini pada pengukuran umur 4, 6, dan 8 minggu, masing- menunjukkan bahwa biakan tersebut mempunyai masing mengalami peningkatan sebesar 85, 83%, kemampuan simbiosis yang efektif yang mana 69,93%, dan 76,9%, serta biakan Bio 7R dan biakan mampu menambat nitrogen dari udara secara campuran pada umur 10 minggu, keduanya maksimal, sehingga pertumbuhan tanaman lebih mengalami peningkatan sebesar 59,01% baik. Pasaribu (1983) mengemukakan bahwa dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan simbiosis yang efektif dan efisien akan menghasilkan tanpa dipupuk N (K1). Untuk jumlah daun, nilai N tertambat yang tinggi, dimana N dapat digunakan tertinggi diperoleh pada tanaman yang diinokulasi oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang, dengan biakan campuran pada pengamatan umur 4, sehingga pertumbuhannya akan menjadi lebih baik. 6 dan 8 minggu, masing-masing mengalami Dari keseluruhan parameter yang diamati peningkatan sebesar 128,75%, 46,18%, 53,2% diketahui bahwa dari tujuh biakan yang diinokulasikan dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan diperoleh hasil pertumbuhan yang sangat bervariasi, tanpa dipupuk N (K1). Pada umur 10 minggu jumlah tetapi apabila dibandingkan dengan tanaman yang daun tertinggi diperoleh pada tanaman yang tidak diinokulasi dan tidak dipupuk N (K1) terjadi diinokulasi dengan biakan Bio 7R dan biakan kenaikan pertumbuhan, hal ini berarti bahwa ada campuran, keduanya mengalami peningkatan kecocokan/keserasian antara biakan yang sebesar 50,09%. Untuk bobot kering tajuk, akar, bintil diinokulasikan dengan tanaman inang. Keberhasilan akar dan tanaman total nilai tertinggi pada tanaman inokulasi tergantung pada keefektifan dan efisiensi yang diinokulasi dengan biakan campuran, masing- dari biakan yang berperan, dan mempunyai masing mengalami peningkatan sebesar 70,37%, keserasian dengan tanaman inangnya (Sumarno dan 60%, 0%, 68,22% dibandingkan dengan tanaman Harnoto, 1983). Freire (1977) menambahkan bahwa tanpa diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1) (Tabel 1., teknik dan waktu inokulasi juga sangat berpengaruh 2., dan 3.). terhadap pertumbuhan dan hasil. Ke-7 biakan Rhizobium yang diinokulasikan Tabel 1. Nilai rata-rata tinggi tanaman pertumbuhan tana- terhadap tanaman A. mangium menunjukkan man A. mangium yang diinokulasi dengan mikroba (cm) kemampuan bersimbiosis. Biakan Bio 238R, Bio 251R, Bio 7R dan campuran menunjukkan nilai Sc Umur (minggu) Perlakuan yang sangat efektif dan biakan Bio 199R dan Bio 46810205R menunjukkan efektif, hal ini berarti bahwa Bio 199R 2,66 ab 3,66 a 4,66 ab 6,00 ab ab a ab ab simbiosis ke-6 biakan tersebut dengan tanaman A. Bio 203R 3,00 3,66 5,00 6,00 Bio 205R 2,66 ab 3,66 a 5,00 ab 3,33 ab mangium cukup efektif, sedangkan biakan Bio 203R Bio 238R 3,66 ab 5,33 bc 6,00 bc 7,66 ab menunjukkan hasil yang kurang efektif (Tabel 4). Hal Bio 251R 3,00 ab 4,00 ab 5,66 abc 7,66 ab ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya Bio 7R 3,33 abc 4,66 abc 7,00 cd 9,00 b faktor ketidakcocokan antara biakan dengan tanaman Campuran 4,33 c 5,66 c 7,66 d 9,00 b inang, misalnya tanaman yang diinokulasi dengan a a a a K1 (tanpa N) 2,33 3,33 4,33 5,66 biakan Bio 203R hasilnya tidak efektif karena biakan abc abc abc ab K2 (+N) 3,33 3,66 5,66 7,00 tersebut dari tanaman Acacia sinensis. BNT 5% 1,26 1,60 1,54 3,06 Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT. Tabel 3. Nilai rata-rata bobot kering tajuk (BKT), akar (BKA), bintil akar (BKB), dan tanaman total (BKTT) Tabel 2. Nilai rata-rata jumlah daun pertumbuhan tanaman terhadap pertumbuhan tanaman A. mangium yang A. mangium yang diinokulasi dengan mikroba. diinokulasi dengan mikroba (gram). Umur (minggu) Perlakuan 46810Perlakuan BKT BKA BKB BKTT a a a ab Bio 199R 2,66 4,00 4,66 6,00 c ab a bc a ab b bc Bio 199R 0,74 0,64 0,0157 1,3957 Bio 203R 2,66 4,33 5,66 7,66 ab cd ab b a ab b ab Bio 203R 0,59 0,76 0,0192 1,3789 Bio 205R 2,33 4,33 5,33 6,33 bc cd abc bcd a ab b ab Bio 205R 0,70 0,77 0,0213 1,4913 Bio 238R 3,00 4,33 5,33 6,00 cd de bcd def a a b bc Bio 238R 0,81 0,84 0,0297 1,6797 Bio 251R 2,66 4,00 5,33 7,66 d de cde ef b ab c c Bio 251R 0,86 0,83 0,0255 1,7155 Bio 7R 5,33 6,00 7,00 8,00 d cd de cde b b c c Bio 7R 0,88 0,76 0,0285 1,6685 Campuran 5,00 6,33 7,66 8,00 d e e f a ab a a Campuran 0,92 0,88 0,0337 1,8337 K1 (tanpa N) 2,33 4,33 5,00 5,33 a a a a ab b abc K1 (tanpa N) 0,54 0,55 0 1,0900 K2 (+N) 2,66 4,33 5,66 6,66 d bc cde K2 (+N) 0,87 0,72 0 1,5900 BNT 5% 1,15 2,1 0,91 1,71 BNT 5% 0,11 0,09 0,0073 0,0248 Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT. berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT. 88 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 85-88

Seperti dikemukakan oleh Bergensen (1982) yang KESIMPULAN menyatakan bahwa ketidakefektifan bintil akar, se- perti perkembangan bintil akar yang tidak sempurna Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa se- akibat ketidaksesuaian antar biakan Rhizobium de- mua biakan yang diinokulasikan mampu membentuk ngan tanaman inang maupun biakan yang diinoku- bintil akar, namun tidak semua biakan efektif untuk lasikan mempunyai hubungan yang serasi dengan tanaman A. mangium. Hasil terbaik diperlihatkan oleh tanaman A. mangium. Kenyataan ini sejalan dengan biakan campuran (yang terdiri dari biakan Bio199R+ hasil penelitian Yutono (1985) yang menyatakan Bio203R+Bio205R+Bio238R+Bio251R+Bio7R). Biakan bahwa simbiosis antara strain-strain Rhizobium de- tersebut dapat dikembangkan sebagai inokulum ngan jenis tanaman Leguminosae terdapat perbeda- pupuk hayati untuk tanaman A. mangium. an keserasian, bahkan perbedaan keserasian itu dapat pula terjadi antara strain Rhizobium dengan varietas Leguminosae. DAFTAR PUSTAKA

Tabel 4. Pembintilan, jumlah bintil, nilai “symbiotic capacity” Alexander, M. 1977. Soil Microbiology. 2nd edition. New York: John dan prosentase keefektifan mikroba yang diinokulasikan Wiley and Sons, Inc. terhadap tanaman A. mangium (umur 70 hari). Allen. O.N and E.K. Allen. 1981. The Leguminosae; A. Source Book of Characteristics Uses and Nodulation. Winconsin: The University of Winconsin Press. Pembin- Jumlah Symbio- Kapasitas Perlakuan Sc (%) Bergensen. F.J. 1982. Root Nodules of Legume. Chichester: tilan bintil tic riil nisbi Structure and Function Research Studies Press. a Bio 199R + 9,00 e 0,60 87,77 Brockwell. J.F.W. Hely, and C.A. Neal-Smith. 1965. Some Bio 203R + 9,33 a e- 0,15 86,72 Symbiotic as effective field nodulation of Lobus hipidus. Bio 205R + 10,66 a e 0,48 93,79 Australian Journal of Experimental Agriculture and Animal Bio 238R + 10,66 a E 0,81 105,64 Husbandry 6 (23): 365-370. Bio 251R + 11,33 ab E 0,96 107,89 Carpenter, A.T and F.F. Allen. 1988. Responses of Hedysanum ab boreale nutt to mycorrhizas and Rhizobium: plant and soil Bio 7R + 11,00 E 1,03 104,93 nutrient changes in a disturbed shrubsteppe. New Phytology Campuran + - E 1,15 115,33 109: 125-132. 14,00 b Freire, J.R.J. 1977. Inoculation of Soybean. In. J.M. Vincent. A.S K1 (tanpa N) -00 0 0 Whitney and J. Bose (eds). Exploiting the Legume Rhizobium K2 (+N) - 0 0 0 0 symbiosis in Tropical Agriculture. Coll. Trop. Agric. Misc. Publ. BNT 5% - 3,28 - - - 145. Hawaii: Department of Agronomy and Soil Science, University of Hawaii. Gibson. A.H. 1980. Host determinants in nodulation and nitrogen Dari hasil pengujian kemampuan bersimbiosis fixation. Advancea in Legume Science. England: University of dapat disimpulkan bahwa walaupun biakan-biakan Reading. Rhizobium yang diinokulasikan mampu menginfeksi Pasaribu, D., N. Sunarlim, M. Fathan, M. Sudjadi, Hartono, dan L. suatu tanaman, namun belum tentu biakan tersebut Sumarsono. 1988. Maksimalisasi Hasil Kedelai di Wonosari- Yogyakarta. Identifikasi Komponen dan Paket tehnologi efektif terhadap tanaman inangnya (A. mangium). Kacang-kacangan pada Lahan Tegalan. Bogor: Balai penelitian Seperti dikatakan Usman (1983), bahwa suatu bakteri tanaman Pangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan yang dapat menginfeksi tanaman inang tertentu tidak Tanaman Pangan. selalu efektif. Banyak jenis Rhizobium yang sangat Prayitno, J., J.J. Weinman, M.A. Djordjevic, and B.G. Rolfe. 2000. Pemanfaatan protein pendar hijau (green fluoresecent protein) atau cukup efektif pada suatu tanaman, namun sama untuk mempelajari kolonisasi bakteri Rhizobium. Prosiding sekali tidak efektif atau inefektif parsial pada tanaman Seminar Nasional Biologi XVI: 372-277. lain, dimana biakan tersebut dapat menambat N, Saono. S., H. Karsono, and D. Suseno. 1976. Studies on the effect namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan N of different rhizobial strains on Phaseolus lunatus in sand culture. Annales Bogoriense 6 (3): 143-154. tanaman inangnya. Stowers. M.D and G.H. Elkan. 1980. Criteria for selecting infektive Prosentase keefektifan biakan Rhizobium yang and efficient strains of Rhizobium for use in tropical tertinggi dijumpai pada tanaman yang diinokulasi agriculture. North Caroline Agriculture Service Technology dengan biakan campuran, diikuti tanaman yang Bulletin: 264. Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok diinokulasi dengan biakan Bio 251R, Bio 238R, Bio tanamnya. Bulletin Teknik. No 6: 67. Bogor: Pusat Penelitian 7R, Bio 205R, Bio 199R, dan terendah pada tanaman dan Pengembangan Tanaman Pangan. yang diinokulasi dengan biakan Bio 203R. Usman, R. 1983. Penelitian Mengenai Isolasi, Media Pembiakan Prosentase keefektifan ini sangat bervariasi serta Metode Pengelompokan Species Rhizobium. [Disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran,. tergantung dari jenis biakan yang diinokulasikan dan Vincent, J.M. 1982. Nitrogen Fixation in Legumes. New York: kecocokan terhadap tanaman inang, apabila cocok Academic Press. maka akan terjadi simbiosis yang efektif. Selain itu Yutono. 1985. Inokulasi Rhizobium pada kedelai. Dalam faktor lingkungan dan fisiologi juga sangat Somaatmadja., S., M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam., S.O. Manurung, dan Yuswadi (ed). Kedelai. Bogor: Badan Penelitian berpengaruh. Bergensen (dalam Gibson, 1980) dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangtan. mengemukakan bahwa pembentukan bintil akar yang baik dari hasil penambatan N pada akar tanaman legum merupakan suatu rangkaian yang kompleks dari proses fisiologi yang meliputi interaksi antara tanaman inang dengan biakan yang diinokulasikan. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 89-95

R E V I E W:

Sebaran Ekologi Jenis-jenis di Indonesia

Ecological distribution of Dipterocarpaceae species in Indonesia

PURWANINGSIH♥ Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor 16122

Diterima: 25 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT

Dipterocarpaceae is one of the biggest family with >500 species in the world, and most of dipterocarps population are grown in Indonesia which have high economical value of wood. One of the most important value from dipterocarps species is high on endemicities; there are up to 128 species (53.78%) from 238 dipterocarps species in Indonesia. Distribution of dipterocarps species would be affected by some factors especially edaphic, climate, and altitude. In Indonesia the dipterocarps species distribution could be shown from islands groups, number of species and forest types. Based on the observation of herbarium collection in Herbarium Bogoriense the distribution of the most dipterocarps species was in the altitude of 0-500 m and 500-1000 m on the dipterocarps forest type. Kalimantan and Sumatra were the two bigger islands with have the dipterocarps species distributed relatively high on population and species. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Dipterocarpaceae, ecological distribution, altitude, Indonesia.

PENDAHULUAN tahun (Whitmore, 1975). Jumlah marga dan jenis dipterocarp di Asia Indonesia termasuk dalam kawasan fitogeografi memiliki diversitas lebih tinggi dibanding Afrika dan Malesia yang memiliki kawasan hutan hujan tropis Amerika. Kekayaan dipterocarp di kawasan Malesia terbesar setelah Brazil, hal ini berkaitan dengan juga tertinggi di daerah yang lebih basah. keanekaragaman jenis tumbuhan yang sangat tinggi Dipterocarpaceae Asia menduduki habitat yang dan formasi hutan yang beragam (Tabel 1.). sangat bervariasi (Symington, 1943) dari pantai- Dipterocarpaceae (dipterocarp) merupakan salah daratan, sungai-gambut dan lahan kering, undulating- satu suku besar dengan jumlah jenis di seluruh dunia dataran, punggung, lereng, lembah, dan tanah yang mencapai 506 jenis, tergolong dalam 14 marga yang subur-miskin nutrient (hara). Di Semenanjung Malaya sebagian besar (76%) jenis tumbuh di kawasan terdapat beberapa zonasi tipe habitat berdasarkan Malesia, terutama di Indonesia. Secara geografis, ketinggian tempat (altitude), yakni: ketinggian 0-300 persebaran jenis dipterocarp tidak merata di wilayah m (low undulating dipterocarp forest), 300-750 m (hill Indonesia, berbeda dengan jenis dari suku lain dipterocarp forest), dan 750-1200 m (upper misalnya Myrtaceae, Euphorbiaceae, Lauracaeae, dipterocarp forest). Sedangkan untuk Kalimantan Moraceae, dan Annoceae yang umumnya zonasi ini akan berbeda. Hutan dipterocarp, mempunyai persebaran luas (pantropis) (Bawa, khususnya pada daerah basah di kawasan Malesia, 1998). Secara ekologi jenis dipterocarp mempunyai mempunyai kekayaan jenis flora dan fauna terbesar beberapa faktor pembatas untuk pertumbuhan dan di dunia. Hutan gambut air tawar (freshwater swamp), penyebarannya. Faktor yang paling menentukan khususnya di bagian yang lebih kering akan lebih adalah faktor tanah, iklim dan ketinggian tempat. kaya jenis dipterocarp dibandingkan dengan gambut Pada umumnya Dipterocarpaceae tumbuh pada jenis tebal yang akan miskin jenis (Corner, 1978, dalam tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian Jacobs, 1988). dibawah 1300 m dpl., dan curah hujan >1000mm per Jenis dipterocarp umumnya berupa pohon menjulang (emergent trees) yang pertumbuhannya ♥ Alamat korespondensi: lambat dan kayunya digunakan sebagai bahan Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. bangunan, apabila jenis-jenis ini dieksploitasi secara Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. terus menerus maka lama-kelamaan akan mengalami e-mail: [email protected] pengurangan jumlah populasi yang sangat drastis 90 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95

dan untuk memulihkannya menjadi hutan primer akan terdapat tiga lapisan pohon: lapisan atas (top layer) memakan waktu yang sangat lama. Kayu adalah pohon-pohon mencuat yang tingginya > 40 m, Dipterocarpaceae mempunyai nilai ekonomi yang umumnya adalah pohon dari jenis primer antara lain tinggi, sehingga menguasai perdagangan kayu Dipterocarpaceae; lapisan dibawahnya dengan tinggi internasional, khususnya di Asia Tenggara (Apannah, pohon 24-36 m biasanya lapisan ini jumlah jenisnya 1998). Selain kayunya juga terdapat beberapa produk lebih besar dan terdiri dari banyak suku; serta lapisan minor non kayu dari dipterocarp seperti minyak, bawah dengan tinggi 10-15 m yang biasanya damar, resin, dan kamper, akan tetapi hasil non kayu merupakan pohon kecil dan tahan terhadap naungan. ini sering diabaikan karena nilai ekonominya tidak sebesar kayu. Dipterocarp merupakan sumber penting untuk menghasilkan resin. Resin dipterocarp DIPTEROCARPACEAE DI INDONESIA terdapat dua macam yaitu (i) resin cair yang mengandung bahan-bahan resinous dan minyak Dipterocarpaceae di Indonesia tersebar tidak esensial yang sering disebut sebagai oleoresin dan merata di setiap pulau, menurut Ashton (1982) bahwa (ii) resin keras yang sering disebut sebagai damar. penyebaran dipterocarp ke arah timur keaneka- Kamper (kapur barus) dihasilkan oleh Dryobalanops ragamannya semakin kecil. Keanekareagaman jenis aromatica terutama di daerah Sumatera Utara dan dipterocarp secara lokal pada masing-masing marga Johor. Kamper ini didapatkan dari rongga atau alur- tidak merata, bahkan terdapat beberapa marga yang alur kulit batang dalam bentuk padat atau cairan tidak dijumpai di belahan Indonesia timur. Diptero- terang disebut sebagai minyak kamper. Minyak carpaceae di kawasan Indonesia mencapai 62% (238 (mentega) tengkawang (illipe nuts) dihasilkan dari biji jenis) dari jumlah jenis yang terdapat di kawasan dipterocarp yang buahnya besar. Biasanya mentega Malesia (386 jenis). Hal ini menunjukkan bahwa tengkawang ini digunakan untuk campuran coklat dan Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk kosmetika. Oleh karena itu buah tengkawang banyak pertumbuhan dipterocarp, terutama di Indonesia diekspor ke luar negeri yaitu Eropa dan Jepang. bagian barat (Tabel 2.). Terdapat 4 marga yang Dipterocarp yang menghasilkan biji tengkawang penyebarannya meluas di kawasan Malesia yaitu adalah Shorea sect. Pachycarpae, misalnya Shorea Anisoptera (11 jenis, 10 jenis terdapat di Malesia), pinanga, Sh. stenoptera, Sh. macroptera, dan Sh. Vatica (65 jenis, 55 jenis di Malesia), Hopea (102 mecistopterix (Tantra, 1979). Di Kalimantan jenis, 84 jenis di Malesia), dan Shorea (194 jenis, 163 masyarakat di sekitar hutan membuat minyak goreng jenis di Malesia) (Ashton, 1982). Kalimantan dan dari buah tengkawang (Anderson, 1975). Sumatera merupakan dua pulau besar yang memiliki Pada hutan hujan lahan pamah yang selalu hijau persebaran kelompok jenis dipterocarp cukup (evergreen lowland forest) terlihat pohon-pohon menonjol, baik dari populasi maupun jumlah jenisnya. menjulang tinggi mencapai 45 m atau lebih dan Bahkan sebagian besar hutan primer yang masih sejumlah besar pohon menjalin hidup bersama. Tidak tersisa di Kalimantan vegetasinya masih didominasi terdapat jenis yang benar-benar dominan dan oleh dipterocarp sehingga sering disebutnya sebagai 2 biasanya /3 atau lebih dari pohon mencuat (emergent hutan Dipterocarpaceae. Apannah (1998) trees) bersifat individual dan kontribusinya tidak lebih mengatakan bahwa Kalimantan dan Sumatera dari 1% dari total jumlah jenis. Dalam formasi ini merupakan pusat pertumbuhan Dipterocarpaceae di

Tabel 1. Formasi hutan hujan tropis.

Tipe hutan Iklim Tanah-air Lokasi Jenis tanah Elevasi Formasi hutan Hutan hujan Selalu Tidak berair Pedalaman 0-1000m Hutan hujan lahan pamah tropis tropis basah (dry-land) 1000-1500m Hutan hujan perbukitan tropis (everwet) 1500-3000m Hutan hujan pegunungan tropis >3000m Hutan sub-alpin tropis Pasir podsolik Lahan pamah Hutan kerangas Limestone Lahan pamah Hutan bukit kapur Pantai - - Vegetasi pantai Berair Air-asin - - Hutan mangrove (bakau) (kadang Air payau - - Hutan air-payau secara Air tawar Tanah gambut - Hutan gambut periodik) Tanah Selalu tergenang - Hutan rawa air-tawar eutropik Tergenang secara - Hutan rawa musiman periodik Kemarau Kering - - - Hutan hujan semi-evergreen musiman moderat tropis tahunan Hutan luruh Kering - - - Hutan luruh basah tropis (monsoon) tergantung - - - Formasi lain dengan musim meningkatnya musim kemarau PURWANINGSIH – Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia 91

Tabel 3. Sebaran jenis dipterocarp di Kepulauan Indonesia.

Marga K S J Sl NT M Irian Jaya Jumlah %-tase Dipterocarpus 28 (47,6%) 25 (42,4%) 4 (6,8%) 0 (0%) 2 (3,4%) 0 (0%) 0 (0%) 59 16,95 Vatica 26 (61,9%) 10 (23,8%) 2 (4,7%) 2 (4,7%) 0 (0%) 1 (2,4%) 1 (2,4%) 42 12,07 Hopea 30 (50%) 14 (23,3%) 1 (1,7%) 2(3,4%) 1 (1,7%) 2 (3,4%) 10 60 17,24 Shorea 95 (62,5%) 52 (%) 1 (0,7%) 2 (1,4%) 0 (0%) 2 (1,4%) 0 (0%) 152 43,68 Anisoptera 4 (33,3%) 4 (3,6%) 1 (8,3%) 1(8,3%) 0 (0%) 1(8,3%) 1(8,3%) 12 3,45 Dryobalanops 7 (77,8%) 2 (1,8%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 9 2,59 6 (66,7%) 3 (2,7%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 9 2,59 Cotylelobium 3 (75%) 1 (0,9%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 4 1,15 Upuna 1 (100%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 1 0,29 Total 200 (57,47%) 111 (31,9%) 9 (2,59%) 7 (2,01%) 3 (0,86%) 6 (1,72%) 12 (3,45%) 348 daerah lembab (humid). Di kawasan hutan dataran Tabel 5. Sebaran jenis dipterocarp di beberapa tipe hutan. rendah yang belum banyak terganggu, khususnya di pedalaman Kalimantan populasi jenis dipterocarp terlihat dominan, dari data spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense ternyata Kalimantan Tipe Hutan menyimpan paling banyak jenis dipterocarp yaitu ± 200 jenis (tidak termasuk Kalimantan Utara).

Penyebaran jenis dipterocarp di Asia meluas di Shorea Hopea Vatica Dipterocarpus Anisoptera Dryobalanops Parashorea Cotylelobium seluruh daratan yang terbagi dalam beberapa Gambut 11 1 1 1 1 1 0 0 mintakat secara geografis ataupun secara klimatis. Pantai 16 4 6 5 2 2 0 1 Jenis dipterocarp di Indonesia terbagi menjadi dua Kerangas 11 2 2 1 1 1 0 1 kelompok berdasarkan jumlah jenisnya, kelompok Bukit kapur 3 3 3 2 1 0 0 1 besar terdiri dari 4 marga yaitu Shorea, Vatica, Rawa air tawar 2 2 3 3 0 1 0 0 Dipterocarpus, dan Hopea, dalam kelompok ini Tepi sungai 6 7 9 4 0 2 2 0 jumlah jenisnya lebih dari 10 dan kelompok yang Lahan pamah 77 36 26 36 7 3 8 2 Bukit 243232021 kedua adalah marga kecil diantaranya Anisoptera, Peg. rendah 2 1 0 0 0 0 0 0 Dryobalanops, Parashorea, dan Cotylelobium. Jumlah 152 59 52 55 14 10 12 6

Tabel 2. Marga dipterocarp dengan jumlah jenisnya yang terdapat di Indonesia dan Malesia. Jumlah jenis di Keberadaan Marga Indonesia Malesia jenis Tabel 6. Jenis dipterocarp yang tumbuh di daerah gambut. Shorea 95 161 59% Vatica 35 55 64% Jenis gambut Dipterocarpus 38 54 70% 1. Anisoptera marginata Korth. Hopea 44 84 52% 2. Dipterocarpus coriaceus Sloot. Anisoptera 7 10 70% 3. Dipterocarpus elongatus Korth. Parashorea 8 10 80% 4. Dipterocarpus semivestitus Sloot. Dryobalanops 7 7 100% 5. Dipterocarpus tempehes Sloot. Upuna 1 1 100% 6. Dipterocarpus validus Bl. Neobalanocarpus 010%7. Dryobalanops oblongifolia Dyer ssp. occidentalis Ashton Cotylelobium 3 3 100% 8. Dryobalanops rappa Becc. Total 238 386 62% 9. Hopea pentanervis Sym 10. Shorea albida Sym (ex Thomas) 11. Shorea balangeran (Korth.) Burck Tabel 4. Sebaran jenis dipterocaps berdasarkan ketinggian 12. Shorea foraminifera Ashton tempat. 13. Shorea hemsleyana (King) King ex Foxw. ssp. hemsleyana 14. Shorea longiflora (Brandis) Sym. Ketinggian tempat (dpl.) Marga 15. Shorea macrantha Brandis 0-500 500-1000 1000-1500 >1500 16. Shorea pachyphylla Ridl. Dipterocarpus 24 17 1 - 17. Shorea palembanica Miq. Hopea 41 10 2 - 18. Shorea platycarpa Heim Shorea 64 52 13 - 19. Shorea scabrida Sym. Vatica 27 10 5 - 20. Shorea sumatrana (Sloot.ex Thorenaar) Sym. Anisoptera 34 1-21. Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis Parashorea 33 2-22. Shorea uliginosa Foxw. Dryobalanops 53 - -23. Vatica chartacea Ashton Cotylelobium 11 - -24. Vatica pauciflora (Korth.) Bl. Upuna 1- --25. Vatica teysmaniana Burck 92 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95

Tabel 7. Jenis dipterocarp yang tumbuh di daerah kerangas. Sebagian besar jenis dipterocarp tumbuh di daerah lereng dan punggung bukit, tumbuh sebagai pohon Jenis kerangas menjulang (emergent) dengan tinggi mencapai 50 m 1. Cotylelobium lanceolatum Craib. (strata A). Pohon-pohon tersebut biasanya 2. Dipterocarpus borneensis Sloot. mempunyai nilai komersial yang tinggi (Ashton, 3. Hopea kerangasensis Ashton 1982). Di Indonesia berdasarkan hasil pengamatan 4. Hopea micrantha Hook.f. koleksi herbarium di Herbarium Bogoriense, terlihat 5. Hopea pterygota Ashton bahwa penyebaran dipterocarp yang paling banyak 6. Shorea coriacea Burck pada ketinggian 0-500 m dan 500-1000 m (Tabel 4.). 7. Shorea induplicata Sloot. Dari hasil pemilahan data berdasarkan tipe hutan 8. Shorea materialis Ridl. (Tabel 5.) terlihat bahwa tipe hutan yang paling 9. Shorea multiflora (Burck) Sym. banyak diduduki jenis dipterocarp adalah hutan lahan 10. Shorea retusa Meijer 11. Shorea revoluta Ashton pamah, perbukitan, tepi sungai, dan hutan pantai, 12. Shorea richetia Sym. sedangkan pada tipe hutan yang kondisinya ekstrim 13. Vatica brunigii Ashton dimana tanahnya miskin hara dan drainasenya jelek 14. Vatica compressa Ashton akan mempengaruhi jumlah jenis yang mampu 15. Vatica parvifolia Ashton tumbuh pada kondisi tersebut. Pada beberapa tipe 16. Vatica rotata Ashton hutan ekstrim seperti hutan gambut, bukit kapur, dan hutan kerangas terlihat sedikit jenis yang mampu Berdasarkan Flora Malesiana, pulau Indonesia beradaptasi pada kondisi tersebut (Tabel 6. dan 7.). terbagi menjadi 7 bagian pulau besar (Ashton, 1982) Hal ini mungkin karena pemencaran bijinya kurang (Tabel 3.). Sebaran dipterocarp sebagian besar ber- baik, biji mudah rusak dan mudah terisolasi secara ada di Kalimantan (200 jenis; 57.5%) dan Sumatera alami seperti pada sungai kecil di lembah-lembah, (111 jenis; 31.9%), sedangkan ke arah timur tidak serta cepatnya perubahan faktor tanah (Ashton, lebih dari 4% pada setiap pulau dan yang paling 1972). Menurut Maury-Lechon dkk. (1998), miskin jenis dipterocarp adalah Nusa Tenggara. Dari endemisitas di Kalimantan lebih rendah (58-55%, 43 10 marga yang terdapat di Indonesia ternyata marga 158-155/267 jenis) dibandingkan Sri Lanka (98%, /44 11 Shorea yang paling beragam jenisnya dan sebagian jenis), India (85%, /13 jenis) dan New Guinea (73%, 11 besar tumbuh di Kalimantan, beberapa marga seperti /15 jenis). Terdapat tiga marga besar dipterocarp en- Dryobalanops, Dipterocarpus, dan Parashorea pe- demik di Malesia, yaitu marga Upuna di Kalimantan, nyebarannya tidak mencapai Indonesia bagian timur. Neobalanocarpus di Malaya, dan Dryobalanops di dataran Sunda (Sumatera, Kalimantan, dan Malaya). Dipterocarpaceae mempunyai nilai endemisitas yang SEBARAN EKOLOGI DIPTEROCARPACEAE tinggi yaitu 128 jenis (53,78%) dari 238 jenis dipterocarp yang terdapat di Indonesia. Kalimantan Persebaran jenis dipterocarp sangat tergantung mempunyai jenis endemik yang tinggi yaitu 103 jenis pada faktor alam yang mempengaruhi pertumbuhan- (80,47%), hal ini menunjukkan adanya hubungan nya, terdapat dua faktor pembatas yaitu iklim dan dengan pemencaran biji dan sifat biji yang recalcitrant ketinggian tempat. Pada umumnya dipterocarp yaitu tidak tahan lama (Tabel 8.). terdapat pada daerah tropis basah dengan curah hujan >1000 mm per tahun dan/atau musim kemarau Tabel 8. Jenis dipterocarp yang populasinya sedikit di alam. (kering) kurang dari 6 bulan, sehingga dipterocarp tumbuh subur di hutan lahan pamah hujan tropis Dipterocarpaceae “langka” (lowland rain forest) (Whitmore, 1988) dengan ketinggian tempat tidak lebih dari 1500 m dpl. Faktor 1. Dipterocarpus conformis Sloot.ssp. conformis iklim sangat mempengaruhi penyebaran dipterocarp, 2. Dipterocarpus fusiformis Ashton 3. Dipterocarpus gracilis Bl. berdasarkan data curah hujan (Schmidt dan 4. Hopea bancana (Boerl.) Sloot. Ferguson, 1951, dalam Whitmore, 1975) perbanding- 5. Hopea bullatifolia Ashton an bulan hujan dan bulan kering mempunyai nilai Q 6. Hopea depressinerva Ashton yang rendah, artinya kawasan Indonesia sebagian 7. Hopea latifolia Sym besar termasuk beriklim basah dan sebagian kecil 8. Hopea pedicellata (Brandis) Sym saja yang beriklim kering seperti Nusa Tenggara. 9. Parashorea globosa Sym. Di Indonesia, jenis dipterocarp tidak mampu 10. Shorea andulensis Ashton tumbuh pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. 11. Shorea blumutensis Foxw. Semakin tinggi altitudenya semakin sedikit 12. Shorea cordata Ashton 13. Shorea macrobalanos Ashton diketemukan jenis dipterocarp, bahkan pada 14. Shorea obovoidea Sloot. ketinggian >1500 m dpl di Indonesia tidak 15. Vatica bantamensis (Hassk.) B.H. ex Miq. diketemukan jenis Dipterocarp, sedangkan di wilayah 16. Vatica congesta Ashton lain seperti di Brunei, jenis Shorea ovata, Sh. 17. Vatica havilandii Brandis Longisperma, Hopea cernua, dan Hopea beccariana 18. Vatica parvifolia Ashton Burk mampu tumbuh pada ketinggian 1750 m. 19. Vatica ridleyana Brandis PURWANINGSIH – Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia 93

Upuna merupakan jenis tunggal di Kalimantan dan berada pada lapisan di bawahnya pembungaan akan juga merupakan jenis endemik di Indonesia. terjadi secara sporadis, yakni hanya pada cabang- Pemencaran biji berkaitan dengan pola pembungaan, cabang yang terkena matahari langsung. Umur pohon untuk jenis dipterocarp pola pembungaan di dalam untuk bisa berbunga juga bervariasi, pada pohon hutan tidak terjadi setiap tahun, tetapi mempunyai menjulang dapat bertahun-tahun untuk mencapai usia interval waktu yang tidak teratur dengan intensitas berbunga, tergantung pada kondisi lingkungan hutan. yang bervariasi, dimana kadang-kadang pembungaan Pohon dipterocarp yang ditanam memiliki usia melimpah (Krishnapillay dan Tompsett, 1998). pembungaan setelah 15-30 tahun. Jenis dipterocarp 2 Contoh, pada tahun 1955 di Sabah /3 dari 200 jenis mempunyai kecepatan tumbuh yang sangat dipterocarp berbunga. Pembungaan pada beberapa bervariasi, beberapa jenis yang tidak toleran terhadap jenis dipterocarp ada yang terjadi setiap 2 tahun dan intensitas cahaya rendah mempunyai kecepatan ada pula setiap 5 tahun. Pembungaan dipterocarp tumbuh yang tinggi. Usia dewasa dicapai setelah membutuhkan sinar matahari yang cukup, hal ini berumur sekitar 60 tahun, dan usia hidupnya diduga terlihat pada pohon menjulang, dimana kebutuhan dapat mencapai ± 250 tahun. Sedangkan jenis lain sinar matahari sangat banyak sehingga pada waktu yang toleran terhadap naungan akan mempunyai musim pembungaan hampir seluruh tajuknya kecepatan pertumbuhan yang lambat, tetapi usianya berbunga, sedangkan pohon-pohon dipterocarp yang bisa mencapai 1000 tahun (Ashton, 1982).

Tabel 9. Jenis endemik yang terdapat di Kepulauan Indonesia.

Jenis endemik K S J NT SL M I 1. Anisoptera grossivenia Sloot. + ------2. Anisoptera marginata Korth. +------3. Cotylelobium burkii (Heim) Heim + ------4. Dipterocarpus applanatus Sloot. + ------5. Dipterocarpus caudiferus Merr. + ------6. Dipterocarpus cinereus Sloot. - + - - - - - 7. Dipterocarpus confertus Sloot. + ------8. Dipterocarpus geniculatus Vesque ssp. geniculatus +------9. Dipterocarpus littoralis Bl. - - + - - - - 10. Dipterocarpus mundus Sloot. +------11. Dipterocarpus stellatus Vesque ssp. parvus Ashton + ------12. Dipterocarpus tempehes Sloot. + ------13. Dryobalanops beccarii Dyer +------14. Dryobalanops fusca Sloot. +------15. Dryobalanops keithii Sym. +------16. Dryobalanops lanceolata Burk +------17. Dryobalanops rappa Becc. +------18. Hopea altocollina Ashton + ------19. Hopea andersonii Ashton + ------20. Hopea aptera Ashton ------+ 21. Hopea bancana (Boerl.) Sloot. - + - - - - - 22. Hopea bullatifolia Ashton + ------23. Hopea celebica Burck ----+-- 24. Hopea celtidifolia Kosterm. ------+ 25. Hopea centipeda Ashton +------26. Hopea dasyrrachis Sloot. + ------27. Hopea enicosanthoides Ashton + ------28. Hopea fluvialis Ashton + ------29. Hopea inex pectata Ashton ------+ 30. Hopea iriana Sloot. ------+ 31. Hopea megacarpa Ashton +------32. Hopea micrantha Hook.f. +------33. Hopea nigra Burck -+----- 34. Hopea nodosa Sloot. ------+ 35. Hopea novoguineensis Sloot. ------+ 36. Hopea ovoidea Ashton +------37. Hopea papuana Diels ------+ 38. Hopea paucinervis Parijs -+----- 39. Hopea pterygota Ashton +------40. Hopea rudiformis Ashton +------94 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95

Tabel 9. Jenis endemik yang terdapat di Kepulauan Indonesia (lanjutan).

Jenis endemik K S J NT SL M I 41. Hopea scabra Ashton ------+ 42. Hopea similis Sloot. ------+ 43. Hopea sphaerocarpa (Heim) Ashton + ------44. Hopea tenuinervula Ashton +------45. Parashorea aptera Sloot. - + - - - - - 46. Parashorea macrophylla Wyatt-Smith ex Ashton + ------47. Parashorea parvifolia Wyatt-Smith ex Ashton + ------48. Parashorea smythiesii Wyatt-Smith ex Ashton + ------49. Parashorea tomentella (Sym.) Meijer + ------50. Shorea agamii Ashton +------51. Shorea albida Sym (ex Thomas) + ------52. Shorea amplex icaulis Ashton + ------53. Shorea andulensis Ashton + ------54. Shorea angustifolia Ashton +------55. Shorea argentifolia Sym. +------56. Shorea asahii Ashton +------57. Shorea beccariana Burck + ------58. Shorea brunescens Ashton + ------59. Shorea carapae Ashton + ------60. Shorea colaris Sloot. +------61. Shorea confusa Ashton + ------62. Shorea conica Sloot. -+----- 63. Shorea cordata Ashton + ------64. Shorea coriacea Burck + ------65. Shorea crassa Ashton +------66. Shorea domatiosa Ashton + ------67. Shorea elliptica Burck + ------68. Shorea faguetioides Ashton + ------69. Shorea fallax Meijer +------70. Shorea ferruginea Dyer ex Brandis + ------71. Shorea flaviflora Wood ex Ashton + ------72. Shorea foraminifera Ashton + ------73. Shorea furfuracea Miq. -+----- 74. Shorea hypoleuca Meijer + ------75. Shorea induplicata Sloot. + ------76. Shorea leptoderma Meijer +------77. Shorea longiflora (Brandis) Sym. +------78. Shorea macrobalanos Ashton + ------79. Shorea macrophylla (De Vriese) Ashton+------80. Shorea mecistopteryx Ridl. + ------81. Shorea montigena Sloot. ----+-- 82. Shorea myrionerva Sym.ex Ashton + ------83. Shorea obovoidea Sloot. + ------84. Shorea obscura Meijer +------85. Shorea ochracea Sym. +------86. Shorea ochrophloia (Sym.apud Desh) Strugnell - + - - - - - 87. Shorea pachyphylla Ridl. + ------88. Shorea parvistipulata Heim +------89. Shorea patoensis Ashton + ------90. Shorea pilosa Ashton +------91. Shorea pinanga Scheff. +------92. Shorea polyandra Ashton +------93. Shorea quadrinervis Sloot. +------94. Shorea retusa Meijer +------95. Shorea richetia Sym. +------96. Shorea rubella Ashton +------97. Shorea rubra Ashton +------98. Shorea rugosa Heim +------99. Shorea sagittata Ashton +------100. Shorea scaberrima Burck +------PURWANINGSIH – Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia 95

Tabel 9. Jenis endemik yang terdapat di Kepulauan Indonesia (lanjutan).

Jenis endemik K S J NT SL M I 101. Shorea selanica Bl. -----+- 102. Shorea slootenii Wood ex Ashton + ------103. Shorea smithiana Sym. +------104. Shorea splendida (De Vriese) Ashton + ------105. Shorea stenoptera Burck + ------106. Shorea superba Sym. +------107. Shorea xanthophylla Sym. +------108. Upuna borneensisSym. +------109. Vatica albiramis Sloot. +------110. Vatica badiifolia Ashton + ------111. Vatica bantamensis (Hassk.) B.H. ex Miq. - - + - - - - 112. Vatica cauliflora Ashton + ------113. Vatica chartacea Ashton +------114. Vatica congesta Ashton + ------115. Vatica dulitensis Sym. +------116. Vatica endertii Sloot. + ------117. Vatica flavovirens Sloot. - - - - + - - 118. Vatica globosa Ashton +------119. Vatica granulata Sloot. +------120. Vatica micrantha Sloot. + ------121. Vatica oblongifolia Hook.f. +------122. Vatica obovata Sloot. - + - - - - - 123. Vatica pentandra Ashton +------124. Vatica rotata Ashton +------125. Vatica rynchocarpa Ashton +------126. Vatica sarawakensis Heim +------127. Vatica soepadmoi Ashton - + - - - - - 128. Vatica teysmaniana Burck - + - - - - - 129. Vatica vinosa Ashton +------Keterangan: K: Kalimantan, S: Sumatera, J: Jawa, NT: Nusa Tenggara, Sl: Sulawesi, M: Maluku, I: Irian (Papua).

PENUTUP Ashton, P.S., 1988. Dipteocarp biology as window to the understanding of tropical forest structure. Annual Review of Ecology and Systematics 19: 347-370. Populasi jenis Dipterocarpaceae saat ini sedang Bawa, K.S (1998). Conservation of genetic Resources in the mengalami degradasi yang sangat cepat. Hal ini Dipterocarpaceae. Biogeography and evolutionary Systematics disebabkan proses pembalakan yang terjadi secara of Dipterocarpaceae. In: Apannah, S. and J.M. Turnbull (eds.). terus menerus dengan skala besar, sehingga dapat A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Sylviculture. Bogor: CIFOR. berakibat terhadap keberadaan jenis tersebut. Tabel Jacobs, M., 1988. The Dipterocarps. In: Earl of Cranbrook (ed.) 8. memperlihatkan beberapa jenis anggota famili Malaysia. Key Environments Series. Oxford: Pergamon Press. Dipterocarpaceae yang keberadaan/populasinya di Krishnapilly, B. and P.B. Tompsett, 1998. Seed Handling. Bio- alam sudah mulai menurun. Oleh karena itu, taksa geography and evolutionary systematics of Dipterocarpaceae. In: Apannah, S. and J.M. Turnbull (eds.). A Riview of bernilai ekonomi tinggi ini perlu perhatian serius agar Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Sylviculture. Bogor: terjaga kelestariannya. CIFOR. Maury-Lechon, G. and L. Curtet, 1998. Biogeography and evolutionary Systematics of Dipterocarpaceae. In: Apannah, S. and J.M. Turnbull (eds.). A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, DAFTAR PUSTAKA Ecology and Sylviculture. Bogor: CIFOR. Symington, C.F., 1943. Forester manual of dipterocarps. Malayan Anderson, J.A.R., 1975. The potential of illipe nuts (Shorea spp.) as Forest Record no. 16. Kuala Lumpur: Forest Department. an agricultural crop. In: Wiliams (ed.). Proceedings of Tantra, I.G.M., 1979. The establishment of tengkawang plantations Symposium on Southeast Asian Plant Genetic Resources, in Indonesia. In: Proceedings of the Symposium on Bogor-Indonesia. 20-22 March, 1975. Bogor: BIOTROP. Management of Forest Production in Southeast Asia, April, 19- Apannah, S., 1998. A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology 22, 1977. Bangkok-Thailand, Biotrop Special Publication No.4. and Sylviculture. CIFOR. Bogor-Indonesia. Bogor: BIOTROP. Ashton, P.S., 1972. Precursor to a taxonomic revision of Ceylon Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rainforest of the Far East. Oxford: Dipterocarpaceae. Blumea 20: 357-366. Clarendon Press. Ashton, P.S., 1982. Dipterocarpaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J Whitmore, T.C., 1988. Forest types and forest zonation. In: Earl of (ed.) Flora Malesiana (9): 237-552. Cranbrook (ed.) Malaysia. Key Environments Series. Oxford: Pergamon Press. B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 96-104

R E V I E W:

Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur

Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. and Problematical in Baluran National Park, East Java

D J U F R I 1,2, ♥ 1 Jurusan PMIPA FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 23111 2 Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 16144

Diterima: 10 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

Acacia nilotica (L.) Del. is a thorny wattle native in India, Pakistan and much of Africa. This acacia is widely distributed in tropical and subtropical Africa from Agypt and Mauritania to South Africa. In Africa and the Indian Subcontinent, Acacia nilotica is extensively used as browse, timber and fire-wood species. The bark and seeds are used as source of tannins. The species is olso used for medicinal purposes. Bark of Acacia nilotica has been used for treathing haemorrhages, colds, diarrhoea, tuberculosis and leprosy; while the roots have been used as an aphrodisiac and the flowers for treathing syphillis lessions. The invasion of Acacia nilotica has resulted in the reduction of savanna in Baluran National Park reaching about 50%. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: Acacia nilotica, biology, ecology, grassland, Baluran National Park.

PENDAHULUAN daerah yang sering mengalami banjir dan sangat toleran terhadap kondisi salin. Tumbuhan ini dapat Akasia (Acacia nilotica) diperkirakan berasal dari tumbuh pada area yang menerima curah hujan India, Pakistan, dan juga banyak ditemukan di Afrika. kurang dari 350-1500 mm per tahun. Spesies ini Sekarang ini telah dikenal beberapa spesiesnya dilaporkan sangat sensitif terhadap kebekuan/dingin, seperti A. nilotica sub spesies indica, A. leucoploea namun dapat tumbuh pada area dimana rata-rata Willd., A. farnesiana Willd., A. ferruginea DC., A. temperatur bulanan sangat dingin yaitu 160C (Gupta, catechu Willd., A. horrida (l.f) Willd., A. sinuata (Lour.) 1970). Menurut Duke (1983) A. nilotica berasal dari Merr., A. pennata Willd., dan A. senegal Willd. Mesir Selatan lalu tersebar ke Mozambique dan (Brenan, 1983). Akasia tersebar luas di Afrika tropis Natal, kemudian di introduksi ke Zanzibar, Pemba, dan subtropis dari Mesir dan Mauritania sampai Afrika India dan Arab. Saat ini A. nilotica merupakan gulma Selatan. Beberapa spesies tersebar luas di Asia yang menimbulkan masalah serius di Afrika Selatan. Timur seperti Birma. Acacia nilotica sub spesies Di Australia, sebagian besar area A. nilotica indica juga tumbuh di Ethiopia, Somalia, Yaman, dijumpai di Queensland dengan laju invasi dilaporkan Oman, Pakistan, India, dan Myanmar. Kemudian juga masih rendah terutama di bagian utara, New South berhasil ditanam di Iran, Vietnam (Ho Chi Min City), Wales, dan Australia Selatan. Data yang diberikan Australia (Sydney dan Queensland) dan di Karibia Bolton dan James (1985) menunjukkan invasi sekitar (Brenan, 1983). Sub spesies ini umum dijumpai pada 6,6 juta ha, atau 25% dari luas padang rumput tanah dengan kandungan liat yang tinggi, tetapi dapat Mitchell, dengan kepadatan sekitar 0,6 juta ha. Dis- juga tumbuh pada tanah lempung berpasir yang tribusi dan kepadatan spesies ini terus menunjukkan dalam dan di area dengan curah hujan yang tinggi. peningkatan (Reynold dan Carter, 1990). Umumnya tumbuh di dekat jalur air terutama di A. nilotica yang di introduksi ke Indonesia merupakan sub spesies indica. Introduksi dilakukan pada tahun 1850, melalui Kebun Botani di Kalkuta ♥ Alamat korespondensi: (India) dengan tujuan untuk menjadikan tumbuhan ini Jl. Ciremai Ujung 18 RT 04 RW 02 Bantarjati Atas Bogor 16153 Tel. +62-251-359860. Fax. +62-251-384242. sebagai salah satu tumbuhan yang memiliki nilai e-mail: [email protected] komersial yaitu sebagai penghasil getah (gum) yang

DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 97 berkualitas tinggi. Namun setelah tumbuhan ini yang panjangnya 1,5-4,5 cm. Diameter mahkota ditanam di Kebun Raya Bogor, ternyata produksi setiap anak bunga 6-15 mm. Bunga biseksual atau getahnya sangat rendah sehingga pohon-pohon jantan saja. Buah tunggal atau sepasang pada ujung tersebut ditebang 40 tahun kemudian. Introduksi tangkai yang kuat, coklat gelap hingga abu-abu, lurus tumbuhan ini ke Taman Nasional Baluran di hingga berlekuk-lekuk. Kulit buah seperti beludru, Banyuwangi Jawa Timur tidak diketahui secara pasti, panjang 5-20 cm x 1,2-2,2 cm. Jumlah polong yang diperkirakan terjadi pada tahun awal 1960-an atau dihasilkan adalah 2-3 polong per 1000 anak bunga sebelumnya. Tujuan introduksi ini adalah sebagai sehingga setiap pohon mampu menghasilkan 14- sekat bakar untuk menghindari menjalarnya api dari 3150 polong atau rata-rata 832 polong per pohon savana ke kawasan hutan jati (Anonim, 1999). (Anonim, 1999). Namun invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran telah menyebabkan terdesaknya berbagai jenis rumput sebagai komponen utama penyusun padang rumput Baluran. HABITAT Rumput merupakan sumber pakan utama satwa di daerah tersebut. Dengan adanya A. nilotica, Sejumlah fakta menunjukkan bahwa A. nilotica pertumbuhan rumput terdesak, sehingga satwa merupakan gulma di habitat asalnya yaitu Afrika mencari pakan lain, salah satunya adalah daun dan Selatan (Holm et al., 1979), namun di kawasan biji A. nilotica. Namun sebagai sumber pakan utama, lainnya ditanam untuk keperluan kehutanan atau rumput tetap tidak dapat tergantikan (Sabarno, 2002). untuk mereklamasi lahan yang mengalami degradasi Fenomena ini tentunya dapat mengakibatkan (Purl dan Khybri, 1975; Shetty, 1977). Di Asia dan terganggunya keseimbangan ekosistem Taman Afrika, polong dan biji tumbuhan ini dimakan oleh Nasional Baluran, misalnya berkurang dan hewan peliharaan seperti sapi, biri-biri, kambing dan menyusutnya pakan utama bagi herbivora. Kondisi ini unta (Gupta, 1970). Spesies hewan yang lainnya juga pada gilirannya dapat mengancam keberadaan satwa memakan polong dan bijinya, misalnya rusa herbivora di kawasan ini. Kondisi padang rumput Thompson, rusa Dorces, dikdik, gajah, jerapah, kuda, Baluran saat ini sedang mengalami proses dan kambing pegunungan (Lamprey et al., 1974). perubahan dari ekosistem terbuka yang didominasi Pemencaran biji sebagian besar dilakukan oleh suku Poaceae (rumput-rumputan) menjadi areal yang hewan-hewan yang memakan biji tersebut. Di ditumbuhi A. nilotica. Pada tempat-tempat tertentu Australia biji disebarkan oleh hewan peliharaan. Di pertumbuhan Acacia ini sangat rapat sehingga Afrika dan India, juga banyak insekta yang membentuk kanopi tertutup, akibatnya beberapa jenis menyerang biji dewasa. rumput tidak mampu hidup di bawahnya. Kejadian ini Menurut Duke (1981) A. nilotica tumbuh dengan kemungkinan disebabkan kompetisi kebutuhan subur di daerah yang kering, pada ketinggian 10- cahaya atau adanya faktor alelopati. Untuk 1340 m dpl. Jenis ini hidup pada kisaran kondisi yang memperoleh jawaban atas fenomena tersebut perlu luas, juga tumbuh dengan baik pada kisaran variasi dilakukan kajian mengenai A. nilotica ini. tanah yang luas, kelihatannya sangat berkembang pada tanah aluvial, tanah lapisan atas tipis berwarna hitam (black cooton soils), tanah liat, juga dapat tumbuh pada kondisi tanah yang miskin unsur hara DESKRIPSI (N.A.S, 1980). Kisaran hidupnya dari gurun subtropis ke subtropis kering sampai gurun tropis ke zona A. nilotica tergolong pohon kecil (treeless) dengan kehidupan kering hutan tropis. A. nilotica dilaporkan tinggi 2,5-20 m, namun ada yang mencapai 25 m. juga toleran terhadap presipitasi tahunan berkisar Memiliki satu batang utama (monopodial), 3,8-22,8 dm (rata-rata dari 12 kasus = 12,0 dm), rata- percabangan dapat terjadi dekat permukaan tanah rata temperatur tahunan 18,7-27,80C (rata-rata dari dan membentuk bagian puncak pohon yang bulat 12 kasus = 24,10C), dan pH berkisar 5-8 (rata-rata atau mendatar. Kulit kayu dari batang dan cabang dari 10 kasus = 6,9). utama berwarna kelabu hingga hitam atau kecoklatan dengan permukaan yang kasar oleh adanya celah- celah atau retakan-retakan longitudinal. Percabangan ke arah atas. Duri berpasangan berukuran 1-13 cm, SIKLUS HIDUP lurus hingga membentuk sudut 1100-1200, ujung duri runcing, berwarna putih hingga keperakan. Daun Model identifikasi enam tahapan A. nilotica adalah berwarna hijau terang, kadang sedikit kusam. Ibu kumpulan biji (seedbank), anakan (seedling), remaja tangkai daun memiliki 1-2 kelenjar. Anak daun (juvenile), dewasa (adult), bunga (flowers), dan biji di berpasangan berjumlah 7-36 pasang, panjang anak dalam polong (seeds-in-pods). Bunga dan biji di daun 1-7 x 0,5-1,5 mm. Bunga majemuk berwarna dalam polong merupakan fase endogen yaitu: fase kuning dengan bau menyengat, memiliki rambut- hidup dari anakan sampai dewasa. Pendekatan siklus rambut halus. Bunga ditopang oleh ibu tangkai bunga hidup tersebut termasuk di dalamnya pemilihan 98 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104 bunga yang mengalami aborsi dan polong yang hasil riset dari Stasiun Riset Toorak (Toorak Risearch mengalami kerusakan akibat kekeringan, misalnya Station) mengestimasi produksi biji pada tahun perbedaan laju perkembangbiakan polong yang 1986/1988 dan 1987/1988 adalah 18,6 dan 24 juta bergantung pada kemampuan spesifik kohor pada biji. Ada korelasi yang kuat antara basal area dengan kondisi lingkungan di tempat hidupnya. jumlah biji yang dihasilkan (Bolton et al., 1987). Model inkoperasi yang digunakan bergantung Umur biji yang diproduksi oleh pohon pada saluran pada ukuran kompetisi intraspesifik (Thomas dan air adalah antara 10 dan 12 bulan, tetapi dapat juga Weiner, 1989). Konsep mekanisme inkoperasi lebih panjang. Biji yang dihasilkan tergolong keras dipengaruhi oleh zona (Mitchell, 1969) dan teori bila tidak ada suplai air yang permanen. Bila polong lapangan ekologi (Walker dan Dowling, 1990). Pohon yang mengandung biji jatuh, akan segera dimakan dewasa yang menempati wilayah yang luas akan hewan dan akan disebarkan. Biji yang mati cepat menghasilkan kanopi, anakan, dan remaja dengan dikonsumsi, dan direduksi oleh predasi seperti densitas yang tinggi. Di asumsikan bahwa tumbuhan insekta. Misalnya insekta jenis Caryedon serratus berkompetisi secara eksklusif untuk memperebutkan (Coleoptera; Bruchidae) sebagai kumbang yang ruang di luar kanopinya selama terjadi musim kering, sering dijumpai di dalam biji dan Bruchidius sahbergi tetapi mereka juga toleran terhadap kepadatan yang Schilsky (Coleoptera: Bruchidae). Insekta masuk ke tinggi selama periode basah dan pada tempat-tempat dalam biji dengan cara melubangi. Ada pemikiran yang lembab (misalnya di sepanjang sungai atau menggunakan insekta dalam upaya pengendalian pantai). secara biologi. Namun, pengendalian secara biologi Dalam siklus tersebut juga termasuk mekanisme yang demikian sangat tidak efektif, karena hewan untuk perkecambahan, kerusakan biji, mekanisme akan segera makan buah saat sudah matang pengawetan tumbuhan, pertumbuhan, maturasi, (Lamprey et al., 1974). pengaruh kepadatan terhadap pertumbuhan dan Pemencaran biji A. nilotica terjadi dengan mortalitas, reproduksi (termasuk yang mengalami beberapa cara. Pemencaran dengan jarak yang aborsi), herbivora, kompetisi interspesifik dengan sangat jauh dilakukan oleh hewan dengan memakan spesies rumput dan perbedaan pemencaran biji biji, kemudian membawanya ke tempat yang berjarak dalam kaitannya dengan pola penyimpanan (stoking) sangat jauh, yang dapat mencapai 1000 km atau (Radford et al., 1999). lebih. Beberapa cara penyebaran biji lainnya dapat terjadi misalnya oleh angin dan air. Sapi sangat efektif sebagai agen dalam pemencaran biji mencapai FENOLOGI 81% biji yang ditelan dibawa oleh hewan masih dalam keadaan utuh. Hasil tes menunjukkan bahwa Di Queensland, A. nilotica berbunga dari Maret paling sedikit 41% dari biji tersebut dapat sampai Juni dengan warna biji hijau, muncul pada berkecambah secara cepat (Harvey, 1981). tahun-tahun kering Juli sampai Desember. Produksi Pemencaran biji oleh biri-biri melalui tiga mekanisme daun dan serasah ditentukan oleh kondisi berikut: (i). Biji dikeluarkan bersama air liurnya dan kelembaban tanah (Carter dan Cowan, 1988) dan buah polong mengalami kerusakan (35%), biasanya gugur mencapai di atas 75% pada musim kering. dijumpai di bawah pohon; (ii). Biji dikeluarkan Kenyataan bahwa di Sudan masa pembungaan tidak bersama air liur bersama material muntahan (14%). beraturan, tetapi yang umum dalam periode (iii). Biji yang tersisa di dalam pencernaan hewan September dan munculnya anakan Januari-Mei. (2%). Perjalanan biji di dalam saluran pencernaan Rontoknya daun secara intensif terjadi pada April-Mei kurang lebih 6 hari. Pemencaran biji oleh kambing dengan pembentukan daun kembali (refoliasi) Maret- dilakukan dengan cara yang sama dengan biri-biri April. Produksi daun dan serasah dipengaruhi oleh yaitu dengan cara mengeluarkan biji bersama air faktor yang sama yaitu curah hujan, sedangkan liurnya sekitar 24%, dibuang bersama kotoran sekitar temperatur berpengaruh terhadap pembungaan dan 2,3%. Biji yang dimuntahkan (passed) oleh biri-biri pembentukan buah. Di Australia buah yang matang dan kambing lebih dari 80% dapat berkecambah jatuh dari bulan Nopember-Pebruari (Khan, 1970). (viable). Pemencaran biji jarak pendek dalam bentuk tumpukan lumpur yang menempel pada kuku hewan selama periode hujan (basah) atau melalui angin PRODUKSI BIJI yang dapat menerbangkan polong dari pohon yang tinggi dengan jarak mencapai 25 m. Banjir dapat Produksi biji A. nilotica sangat tergantung pada membawa biji untuk jarak yang sangat signifikan. Di ketersedian air. Pohon-pohon yang ditanam di sepanjang sejumlah selokan di Barat Daya sepanjang saluran air (drainase), dam atau selokan, Queensland banyak tumbuh A. nilotica. Hal ini terjadi produksi biji setiap tahun tinggi. Di tempat dengan karena polong terakumulasi di dalam selokan sumber air yang tidak permanen, maka produksi biji tersebut. Sistem drainase ke teluk Carpentaria dan rendah (hanya sedikit buah per pohon) kecuali pada danau Eyre menyebabkan invasi A. nilotica di tempat musim dengan jumlah curah hujan yang signifikan. tersebut sangat signifikan mengingat terjadi Sepanjang 3 km dari saluran air (bore drain) menurut penyebaran secara inter dan intra (Harvey, 1981). DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 99

KANDUNGAN KIMIA Tabel 1. Kandungan nutrien daun dan buah A. nilotica (McMeniman et al., 1986b). A. nilotica dilaporkan mengandung L-arabinose, Buah (polong dan catechol, galactan, galactoaraban, galactose, N- Daun acetyldein kolic, N-acetyldein kolic acid, sulphoxides Parameter biji) Mean ± SD pentosan, saponin, dan tanin. Biji mengandung Sampel Mean ± SD Sampel protein kasar 18,6%, ekstrak eter 4,4%, serat 10,1%, Protein (%) 13,92 ± 2,53 29 12,30 ± 2,03 28 Fat (%) 6,63 3,41 13 1,93 1,14 23 ekstrak nitrogen bebas 61,2%, abu 5,7%, silika ± ± NFE (%) 60,99 ± 3,41 19 63,68 ± 7,35 22 0,44%, fosfor 0,29%, dan kalsium 0,9% (Duke, 1983). CF (%) 10,35 ± 2,85 13 13,92 ± 2,53 23 Menurut Pande et al. (1982) banteng jantan ADF (%) 20,38 ± 6,35 8 25,44 ± 4,16 2 memperoleh biji dan kulit biji (2:1) pada kondisi harian Ash (%) 9,29 ± 2,95 22 5,26 ± 1,29 23 padang rumput yang kering, bobot mencapai 1,82, Tanin (%) 7,62 ± 100 13 5,45 ± 1,48 2 0,91, dan 5,35 kg. Total bobot yang diterima/100 kg Lignin (%) 6,95 ± 2,17 6 – – berat badan adalah 1,40 kg. Hewan menyimpan 20,8 P (%) 0,23 ± 0,22 15 0,26 ± 0,21 18 Ca (%) 2,53 ± 1,13 15 0,64 ± 0,19 18 g N dan 7,4 g Ca per hari, tetapi keseimbangan P Mg (%) 0,18 ± 0,08 11 0,13 ± 0,02 70 adalah rendah. Walker (1980) mengemukakan Na* (%) < 0,32 5 < 0,01 4 kandungan C/P pada pohon A. nilotica (browse) K (%) 1,25 ± 0,79 9 1,28 ± 0,22 5 12,9%, dan serat kasar 15,2% (Duke, 1983; Si (%) 0,45 ± 0,47 4 0,24 ± 0,21 9 McMeniman et al., 1986a). S (%) 0,26 ± 0,03 4 0,59 ± 0,11 2 Daun A. nilotica sangat mudah dicerna dan Cl (%) 0,70 ± 0,26 3 0,36 ± 0,04 2 Cu (mg/kg) – 6 6,43 ± 0,90 4 mengandung protein yang tinggi (Tabel 1.), mikro Zn (mg/kg) 25,63 ± 9,20 4 28,50 ± 9,76 2 nutrien dengan pengecualian sodium cukup memadai Mn (mg/kg) 90,25 ± 19,00 4 26,50 ± 0,71 2 untuk kebutuhan hewan. Kandungan asam amino Fe (mg/kg) 428 ± 205 4 100 ± 86,27 2 sama dengan beberapa daun rumput yang ada di ME (mg/kg) 8,69 ± 1,09 9 10,19 ± 0,16 2 padang rumput Mitchell di Australia. Dalam buah OMD (%) 69,90 ± 5,20 3 67,20 1 mengandung asam glutamat dan aspartat yang tinggi tetapi kandungan asam aminonya rendah (Tabel 2.). Asam amino methionin yang merupakan asam amino esensial untuk pertumbuhan domba, tidak dijumpai Tabel 2. Komponen asam amino (%) A. nilotica pada buah yang berasal dari Australia, namun ada di (McMeniman et al., 1986b). dalam biji bahan yang diambil dari Afrika Komposisi asam amino (%) (McMeniman et al., 1986b). Asam Buah Buah Inti Kulit Kandungan tanin kental tinggi di dalam seluruh Amino Muda Tua Daun Biji Biji Biji komponen organ (browsed). Kandungan dalam polong 5,4%, daun 7,6%, kulit batang 13,5%, dan Lysin 4,98 4,08 6,17 6,38 11,92 7,69 Histidin 2,63 2,57 2,34 2,34 12,03 2,58 ranting 15,8%. Total polifenolik dalam buah berkisar Arginin 5,07 2,64 5,92 10,39 3,80 10,04 30-60% (Ehoche et al., 1983; Reed, 1986; Tanner et As. Aspartik 28,69 36,53 11,19 9,54 16,95 10,72 al., 1990). Level tanin yang tinggi pada bagian Threonin 3,20 2,74 4,92 3,16 3,65 3,10 tumbuhan terikat dengan protein pada level tinggi, Serin 4,58 4,27 5,03 4,91 8,99 5,59 yang dapat meningkatkan produksi hewan secara As. Glutamik 8,97 6,57 11,87 15,06 10,43 14,01 signifikan. Banteng memakan 45% minyak hasil Prolin 11,81 15,52 5,73 5,81 3,90 4,72 Glisin 4,05 3,17 5,71 0.00 0.00 0,00 ekstrak biji A. nilotica menunjukkan diet reduksi Alanin 4,59 3,71 6,62 4,33 3,81 3,87 tambahan berat (68 g/hari-16 g/hari) dan terjadi Valin 5,00 4,65 6,10 4,05 3,47 3,19 pengurangan sebanyak 5% (Pande et al., 1982). Methionin 0,00 0,00 1,86 6,89 0,78 5,22 Selain itu kandungan tanin A. nilotica yang dapat Isoleusin 3,06 2,51 4,92 3,62 2,81 2,97 dimanfaatkan untuk membuat kue biji katun (cake Tyrosin 2,34 2,12 4,00 3,11 2,47 2,99 seed) yang berperan dalam melindungi rumen dari Phenylalanin 3,23 2,47 5,52 4,23 2,93 3,33 Cystin 2,35 2,34 2,66 5,91 6,95 9,87 degradasi protein. Termasuk 5% tanin (kemungkinan Leusin 5,45 4,12 9,41 8,79 5,12 7,41 total polifenolik), tambahan berat basah dari anak biri- biri meningkat mencapai 36%; 10% di antaranya termasuk dari rata-rata penambahan per hari menurun mencapai 18% (Ehoche et al., 1983). Biri- KEGUNAAN biri yang memakan polong A. nilotica yang mengandung bahan kasar 204-347 g/hari mempunyai A. nilotica memiliki nilai tambah yang telah laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan dimanfaatkan di berbagai benua. Di Afrika dan anak perlakuan makanan yang dikontrol (Tanner et al., benua India, A. nilotica digunakan secara luas 1990). sebagai pakan ternak (browse) dan sebagai kayu

100 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104 bakar (Gupta, 1970; Mahgoub, 1979; New, 1984). dan dapat menurunkan berat badan. Dikatakan juga Batang dan biji digunakan sebagai sumber tanin dapat menyembuhkan kanker, pilek, kongesti, batuk, (New, 1984; Shetty, 1977). Spesies ini juga diare, disentri, demam, sakit empedu, pendarahan, digunakan untuk bahan obat. Batangnya dapat ambien, leucorrhea, opthalmia, sklerosis, cacar dan digunakan untuk mengobati penyakit ambien tuberkulosis. Kulit kayu, getah, daun, dan polong (haemorrhages), pilek, tuberkulosis, dan penyakit yang masih muda sangat baik untuk menurunkan kusta. Akarnya dapat digunakan sebagai perangsang kadar gula darah dan dapat digunakan sebagai birahi (aphrodisiac) dan bunganya untuk mengobati makanan kunyah. Di Senegal daun dan polongnya penyakit sipilis (New, 1984). Getah Acacia sinegal digunakan sebagai antiscorbutic, di Ethiopia kadang-kadang digunakan sebagai bahan tambahan digunakan sebagai lactogogue. Kulit kayunya dibuat dalam pembuatan getah arabik (arabic gum) sebagai minuman jamu untuk mengobati penyakit walaupun mutunya tergolong rendah (Gupta, 1970). usus dan diare. Sedian yang lainnya digunakan untuk Di Sudan A. nilotica digunakan untuk bahan baku mengobati batuk, obat kumur, obat sakit gigi, pembuatan kertas dan pembuatan pulp yang memiliki opthalmia, dan borok sipilis. Di Tonga, akarnya kualitas setara dengan kayu di daerah tropis digunakan untuk mengobati tuberkulosis. Di Lebanon (Nasroun, 1979). resin dan bunga A. nilotica dicampur digunakan Menurut Duke (1983) bagian kulit kayu A. nilotica sebagai bahan infus untuk memulihkan orang baru mengandung tanin, digunakan untuk penyamakan sakit tipus. Di Afrika, kayunya digunakan untuk dan celupan kulit berwarna hitam. Kulit kayu yang mengobati cacar. Masyarakat Nubians Mesir muda digunakan sebagai serat, rantingnya digunakan meyakini penderita diabetes dapat mengkonsumsi untuk bahan tusuk gigi (chwstickes). Pohonnya karbohidrat tidak terbatas sepanjang mereka secara menghasilkan getah arabik (arabic gum). Getah rutin mengkonsumsi bubuk polong A. nilotica. Ekstrak arabik digunakan untuk membuat lilin, tinta, korek api, dari spesies ini juga dapat menyembuhkan beberapa dan cat (N.A.S, 1980). Di Sudan polongnya yang macam penyakit yang disebabkan oleh jamur lunak, dan tunasnya digunakan untuk pakan ternak (Umalkar et al., 1976). seperti unta, biri-biri, dan kambing, diyakini dapat Di India digunakan secara ekstensif sebagai kayu meningkatkan produksi susu. Bijinya merupakan bakar dan arang kayu, spesies ini juga digunakan makanan penting bagi sapi. Kulit biji yang dibakar dalam industri lokomotif dan kapal api. Di Sudan, A. kadang-kadang digunakan sebagai penyedap dan nilotica sengaja ditanam sebagai bahan baku industri. kemudian dihaluskan sebagai bahan celupan untuk Nilai kalor getah dari kayunya mencapai 4.800 pakaian berwarna hitam oleh wanita Nankani. Di kcal/kg, bagian dalam kayu (heartwood) mencapai Sudan pohon digunakan untuk penghutanan kembali 4,950 kcal/kg. Spesies ini juga mempunyai nodul (reforestation) terutama di daerah yang sering sehingga dapat memfiksasi nitrogen bebas (Duke, mengalami banjir. Getahnya berwarna putih-kuning, 1983). bagian tengah kayu digunakan untuk bahan bangunan, pipa air, papan, alat membajak, lemari, stir mobil, gagang martil, dan untuk keperluan lainnya. PENGARUH A. NILOTICA TERHADAP PRODUKSI Hasil kayunya sangat berkualitas, tahan terhadap api RUMPUT dan sangat baik dijadikan kayu arang. Cairan ekstrak buahnya banyak mengandung tanin (18-23%) Di padang rumput Mitcheell (barat daya menunjukkan aktivitas melawan sejumlah Queensland) kehadiran A. nilotica menekan produksi mikroorganisme antara lain: Chrococcus, Clostridium, padang rumput sangat mengejutkan mencapai 50% Coelastrum, Cosmarium, Cycclotella, Euglena, pada penutupan kanopi pohon 25-30% atau 2 m2 Microcystis, Oscillatoria, Pediastrum, Rivularia, basal area per hektar (Gambar 1). Penutupan kanopi Spirogyra, dan Spirulina (Ayoub, 1983). maksimum dan basal area untuk A. nilotica di Barat Masyarakat Zulu menggunakan kulit kayu A. Daya Queensland sekitar 35% dan 3,5 m2/hektar. nilotica untuk obat batuk, masyarakat Chipi Nilai tersebut terkait dengan rata-rata tahunan adalah menggunakan akarnya untuk obat tuberkulosis sama dengan yang ditemukan pada komunitas (TBC). Masyarakat Masai kulit kayunya digunakan Euclayptus dan Mulga. Teknik perhitungannya untuk minuman yang memabukkan dan akarnya menggunakan persamaan berikut: digunakan sebagai jamu-jamuan, diyakini berfungsi untuk memberi rangsangan keberanian, sebagai y = A + B* e-kx aphrodisia, dan digunakan juga sebagai obat impotensi. Di Afrika Kulit kayu digunakan sebagai dimana: y = hasil spesies herba obat diare, disentri, dan penyakit kusta. Daunnya x = basal area pohon digunakan sebagai tapal untuk obat borok. Pada k = garis slope masyarakat Hatwell getah dan kulit kayunya digunakan untuk mengobati kanker dan tumor Berkaitan dengan hal tersebut di atas generalisasi- (telinga, mata, dan biji kemaluan) dan untuk nya dikembangkan oleh Scanland dan Burrows menyembuhkan penyakit hati dan limfa, condylomas, (1990) menunjukkan bahwa slope dari kurva (nilai k) DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 101 dapat berubah karena faktor kelembaban dan nutrien campuran kedua hewan tersebut. Terakhir dicoba (potensi lingkungan) setempat. Di bawah kondisi ideal menggunakan kambing untuk mengendalikan A. maka bentuk kurva cenderung datar (flat), dengan nilotica menunjukkan bahwa, pada saat musim kering terjadinya penekanan rumput secara linier dengan kambing mengurangi jumlah perkecambahan dan basal area pohon, oleh karenanya kondisi akan penutupan kanopi pohon (Carter et al., 1990). memburuk selama musim kering, sehingga pohon dapat meningkatkan produksi rumput secara BEBERAPA KELEBIHAN A. NILOTICA SEBAGAI mengejutkan. Produksi tahunan spesies tumbuhan SPESIES INVASIF berlangsung sebentar saja ternyata tidak menunjukkan pengaruh terhadap kepadatan pohon. Introduksi tumbuhan yang ditanam dengan sengaja maupun tidak dari pohon legum dapat menyebabkan bencana lingkungan misalnya A. nilotica. Sejumlah karakter A. nilotica yang menyebabkan spesies ini dapat tersebar dengan cepat karena: (i) Anakan dari pohon muda terlindung dari pengembalaan (grazing) karena berduri, (ii) Perkembangbiakan aktif oleh pengguna lahan di awal-awal tahun, (iii) Jarak pemencarannya yang jauh melalui mekanisme (hewan peliharaan, satwa liar dan banjir), sehingga penyebarannya tidak dapat dikontrol, (iv) Produksi biji sangat besar (di atas 175.000/pohon), (v) Biji dapat hidup untuk jangka waktu yang lama, (vi) Tumbuhan muda dapat tumbuh dengan cepat, (vii) Toleran terhadap pengembalaan, kekeringan, api, dan salinitas, (viii) Merupakan pohon kecil pada habitat yang sering terbakar akan menyerbu secara cepat, (ix) Pohon dapat hidup dalam jangka waktu yang panjang (30-60 tahun), (x) Kemungkinan dapat tumbuh pada kisaran iklim yang ekstrim (Carter et al., 1990). Pelajaran yang berharga yang dapat diambil dari invasi ini dan sejumlah saran yang perlu diperhatikan bahwa semua tumbuhan introduksi harus disaring dan diteliti secara cermat. Penyaringan tersebut termasuk observasi di lingkungan habitat asalnya dan di kawasan tempat diintroduksi meliputi: (i) Mengukur produksi biji dan lamanya hidup; (ii) Menentukan metode pemantauan pemencaran biji; (iii) Pengujian kerentanan perkecambahan dan pohon berukuran

kecil sebagai pakan ada atau tanpa duri; (iv) Analisis Gambar 1. Pengaruh invasi A. nilotica terhadap produksi bioiklim dan tanah untuk memprediksi potensinya di padang rumput (kg/ha) di Mitcheell Queensland (Carter et tempat yang baru; (v) Meneliti pengaruh insekta al., 1990). predator tumbuhan patogen dan pengendalian tumbuhan dengan api di lingkungan asalnya; (vi) Implikasi ekologi menggunakan A. nilotica sebagai Meneliti metode praktis untuk mengendalikan baik sumber pakan (browse) adalah kurang tepat karena secara kimia, mekanis dan biologi sebagai gulma mempercepat kerusakan lahan. Pohon A. nilotica yang bersifat sangat invasif (Carter et al., 1990). berkompetisi dengan rumput terhadap keterbatasan Beberapa kesulitan untuk melakukan pengen- kelembaban tanah, mengurangi suplai makanan, dan dalian terhadap spesies ini adalah: (i) Tidak dapat meningkatkan tekanan terhadap padang rumput yang diramal pola pertumbuhannya setelah dipindahkan ke tersisa terutama rumput perenial yang digemari oleh tempat lain, sehingga tidak ada patogen aslinya, herbivora. Sejumlah fakta dari monitoring lapangan insekta dan hewan pemakan browse; (ii) Tidak dapat menyarankan bahwa strategi pengembalaan dengan diramal keadaan di bawah kondisi iklim yang baru, menggunakan biri-biri dapat mengendalikan sebagian baik untuk dikelola maupun kaitannya dengan api, kecil perkecambahan A. nilotica. Sapi kurang selain itu potensi genful spesies tidak penting di berpengaruh terhadap perkecambahan A. nilotica. kawasan endemik; (iii) Penyimpangan genetik atau Survei yang dilakukan oleh Bolton dan James (1985) hibridasi dapat merubah karakter tumbuhan yang menunjukkan bahwa hanya biri-biri yang diintroduksi (Carter et al., 1990). memperlihatkan pengurangan secara cepat dan Sekali spesies di introduksi maka diperlukan signifikan terhadap A. nilotica dibandingkan sapi atau upaya yang dapat menjawab: (i) Monitoring jangka 102 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104 panjang (tidak hanya ditunjukkan untuk 50-100 kondisi air yang terbatas (curah hujan yang rendah) tahun), (ii) Aksinya sangat cepat jika dikaitkan dengan tumbuhan ini mampu melakukan regenerasi vegetatif. masalah gulma. Tidak dapat dipungkiri bahwa satu Hal ini dapat dilihat karena tumbuhnya kembali tunas- tumbuhan gulma biasanya tidak mungkin untuk tunas dorman yang terdapat di sisa-sisa tonggak dieliminasi dan tindakan biasanya menyangkut yang belum tercabut dan dibakar atau pada batang- pengendalaian penyebaran (sangat mahal dan sering batang pohon yang tertinggal. Pada musim hujan menjadi proses yang sia-sia). Dengan demikian pertumbuhan tunas-tunas dorman tersebut diperlukan perubahan strategi pengelolaan baru berlangsung cepat dan subur sehingga dengan untuk mengatasinya dan menguasai pengaruh dari segera membentuk kumpulan A. nilotica berupa gulma. Pengendalian secara biologi dapat secara semak berduri yang rapat dan sulit untuk ditembus, sempurna, namun tidak dapat diandalkan sebagai dengan mencapai tinggi 4,5 m dan lebar tajuk 1,5 m. upaya terakhir. Para ilmuwan berkeyakinan bahwa Pertumbuhan A. nilotica tahun 1998/1999 terjadi semua tumbuhan introduksi dianggap gulma sebelum sangat pesat sehingga tidak sesuai lagi dengan diperoleh bukti sebaliknya (Carter et al., 1990). rencana kerja pengendalian yang telah disusun pada tahun sebelumnya (Anonim, 1999). Savana Baluran sebagai salah satu ciri khas dan INVASI A. NILOTICA DI TAMAN NASIONAL identitas Taman Nasional Baluran mempunyai arti BALURAN sangat penting yang apabila kelestariannya terganggu, akan berpengaruh terhadap ekosistem- Saat ini A. nilotica telah tersebar di hampir seluruh ekosistem lainnya. Oleh karena itu setiap tekanan savana yang ada di Kawasan Taman Nasional atau gangguan terhadap kelestarian ekosistem ini Baluran Banyuwangi Jawa Timur antara lain Savana harus ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu Bekol, Kramat, Kajang, Balanan, Lempuyang, Dadap, gangguan yang cukup mengkhawatirkan dan Asam Sabuk, Curah Udang, Widuri, dan Merak. Pada merupakan ancaman terbesar bagi kelestararian savana Kramat, Kajang, dan Balanan, tumbuhan ini ekosistem ini adalah semakin luasnya invasi A. telah membentuk kanopi yang tertutup. Savana yang nilotica. Kecepatan tumbuh dan penyebaran tanaman belum terinvasi seluruhnya hanya savana Talpat. eksotik ini telah mengakibatkan penurunan kualitas Selain di daerah savana, tumbuhan ini juga dan kuantitas savana Baluran, serta merubah pola ditemukan di daerah hutan pantai misalnya Kelor dan prilaku satwa liar herbivora yang salah satu Popongan (Anonim, 1999). komponen habitatnya adalah padang rumput atau Kondisi iklim dan alam di Taman Nasional Baluran savana (Sabarno, 2002). merupakan faktor yang sangat mendukung cepatnya Kualitas suatu padang rumput dapat diketahui dari penyebaran serta suburnya pertumbuhan A. nilotica. beberapa parameter, antara lain produktivitas dan Intensitas cahaya matahari yang tinggi dan daya dukungnya. Pengamatan di lapangan kekeringan merupakan pendorong utama menunjukkan produktivitas dan daya dukung padang dimakannya biji-biji tumbuhan ini oleh herbivora rumput Taman Nasional Baluran terhadap kebutuhan seperti banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus pakan satwa menurun. Menurut Alikodra dalam timorensis), kijang (Mutiacus muntjak), kerbau liar Sabarno (2002) produktivitas suatu kawasan (Bubalus bubalis) dan babi hutan (Sus sp.). Akibatnya merupakan modal yang secara ekonomis biji-biji yang keluar bersama kotoran satwa tersebut menguntungkan untuk mengembangkan populasi tersebar di seluruh kawasan yang dilintasi oleh satwa suatu satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa tersebut. Intensitas cahaya yang tinggi ditambah faktor yang mempengaruhi kualitas produktivitas curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun 1998 padang rumput yaitu suksesi, persaingan, jenis dan 1999 telah merangsang pertumbuhan biji-biji rumput, pengaruh musim dan overgrazing. yang dorman. Akibatnya pada savana Bekol yang Sedangkan daya dukung yang optimal menunjukkan kondisinya terbuka setelah pembongkaran A. nilotica suatu keseimbangan antara produksi rumput pada dilakukan, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan periode tertentu dengan jumlah satwa yang segera ditumbuhi kembali oleh anakan A. nilotica. merumput. Oleh karena itu suatu kawasan Kecepatan pertumbuhan anakan di savana Bekol mempunyai daya dukung rendah apabila jumlah tergolong sangat pesat, dalam waktu yang singkat satwa yang merumput lebih tinggi dari pada nilai daya sudah dapat mencapai tinggi 100 cm. Hal ini terlihat dukung optimal. Menurut Utomo dalam Sabarno dari kondisi savana Bekol setelah kegiatan (2002) padang rumput Bekol yang luasnya seluas 75 pencabutan anakan A. nilotica yang dilakukan pada ha, memiliki produktivitas sebesar 13.700 gr/ha/hari. tahun 1998/1999 seluas 175 ha, telah ditumbuhi Menurut Syarif dalam Riyawati (1999) kebutuhan rusa kembali, dan kerapatannya sekarang sudah per hari adalah 10% berat tubuh, yaitu rata-rata 5,5 mencapai tingkat mengkhawatirkan. kg/hari/ekor, maka savana Bekol seluas 75 ha hanya A. nilotica tergolong ke dalam tumbuhan yang mampu mendukung kurang lebih 114 ekor rusa toleran terhadap kondisi kering (xerofit) yaitu dewasa. Dengan demikian padang pengembalaan tumbuhan yang dapat hidup dengan baik pada Bekol sudah tidak dapat mendukung kehidupan kelembaban udara yang rendah, sehingga dalam satwa secara optimal, mengingat dalam sensus DJUFRI – Acacia nilotica di TN Baluran 103 ditemukan kurang lebih 192 ekor rusa di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA Studi kasus di atas menunjukkan bahwa savana di Taman Nasional Baluran tidak lagi optimum dalam Anonim. 1999. Rancangan Pencabutan Seedling/Anakan Hasil mendukung kehidupan satwa liar yang ada, sehingga Pembongkaran secara Mekanis, 150 ha di Savana Bekol. Taman Nasional Baluran. Banyuwangi: Taman Nasional kelestariannya semakin terancam dan populasinya Baluran. akan semakin menurun. Ayoub, S.M.H. 1983. Algicidal properties of Acacia nilotica. Fitoterapia 53 (55-56): 175-178. Bolton, M.P., J.O. Carter, and W.J. Dorney. 1987. Seed production in Acacia nilotica subsp. indica (Berth.) Brenan. In: UPAYA PENANGGULANGAN Proceeding of Weeds Seed Biology Workshop, Orange, N.S.W. September 1987. Upaya penanggulangan invasi A. nilotica telah Bolton, M.P. and James P.A. (1985). A survey of prickly acacia banyak dilakukan, baik dengan cara mekanis maupun (Acacia nilotica) in five Western Queensland shires. Stock Routes and Rural Lands Protection Board, Brisbane. Internal kimia. Pertimbangan yang diambil dalam pembe- Report, Nopember 1985. rantasan A. nilotica selain aspek ekologi juga aspek Brenan, J.P.M. 1983. Manual on taxonomy of Acacia species: ekonomi, karena kegiatan yang dilakukan di suatu present taxonomy of four species of Acacia (A. albida, A. kawasan pelestarian (Taman Nasional) berbeda senegal, A. nilotica, A. tortilis). Rome: FAO. Carter, J.O. and Cowan, D.C. 1988. Phenology of Acacia nilotica dengan kegiatan lain di luar. Menurut hasil evaluasi, subsp. indica (Berth.) Brenan. In: Proceeding 5th Biennial kegiatan pemberantasan A. nilotica secara kimiawi Conference, Australian Rangelands Society. Longreach, kurang efektif dan efisien. Metode ini membutuhkan Queensland. pp. 9-12. biaya yang besar dalam pengadaan bahan kimia dan Carter, J.O., Newman, P. Tindale, P. Cowan, D. and Hodge, P.B. 1990. Complementary grazing of sheep and goats on Acacia tidak signifikan dengan luas areal serta kerapatan nilotica, In Proceedings 6th Biennial Conference. Australian tegakan yang harus dimusnahkan (Anonim, 1999). Rangelands Society. Carnovan, Western Australia, pp. 271- Pemberantasan secara mekanis dengan 272. penebangan/pemotongan belum berhasil optimal. Duke, J.A. 1981. Handbook of Legums of World Economic Importance. Plenum Press. New York. Bahkan memicu pertumbuhan biji-biji yang dorman Duke. 1983. Medicinal Plants of the Bible. Owerri, New York: dan regenerasi vegetatif dari tonggak yang tertinggal Trado-Medic Books. (trubusan), dimana satu tonggak dapat tumbuh 5-6 Ehoche, O.W., Y.M. Theresa, V. Buvanendran, and I.F. Adu. 1983. batang/cabang baru (Anonim 1999). Begitu juga The nutritive value of tannin treated cottonseed cake for growing lambs. Journal of Animal Production Research 3: 15- dengan cara pengkatrolan, karena membutuhkan 25. waktu yang lama sehingga tidak efisien. Sedangkan Gupta, R.K. 1970. Resource survey of gummiferous acacias in dengan cara pembongkaran dengan buldoser, Western Rajasthan. Tropical Ecology 11: 148-161. dianggap cukup efektif, akan tetapi dampak Harvey, G.J. 1981. Recovery and viability of prickly acacia (Acacia nilotica subsp. indica seed ingested by sheep and cattle. In: pembalakan/lahan bekas pembongkaran tonggak Proceedings, 6 th Australian Weeds Conference, I: pp. 197- berpengaruh terhadap perubahan struktur tanah. 201. Kegiatan yang dilakukan saat ini yaitu penebangan Holm, L.G., J.V. Poncho, J.P. Herberger, and D.L. Plucknett, 1979. dan pembakaran tonggak, diikuti dengan pencabutan A Geographical Atlas of World Weeds. New York: John Wiley and Sons. anakan (seedling). Kegiatan ini membutuhkan tenaga Khan, M.A.W. 1970. Phenology of Acacia nilotica and Eucalyptus kerja yang banyak, kontinuitas dan pengawasan yang microtheca at Wad Medani (Sudan). The Indian Forester 96: cermat. Pemberantasan A. nilotica pada saat ini baru 226-248. dapat dilaksanakan dengan kecepatan rata-rata Lamprey, H.F., G. Halevy, and S. Makacha, 1974. Interaction between Acacia, bruchid seeds (Acacia nilotica) for use as pembongkaran seluas 62,3 ha per tahun. Sehingga livestock feed. Animal Feed Science and Technology 11: 45- perkiraan waktu yang diperlukan untuk 48. membersihkan seluruh savana dari invasi tanaman Mahgoub, S. 1979. On the subspecies of Acacia nilotica in the eksotik ini adalah 73 tahun, dengan asumsi areal Sudan. Sudan Silva 4: 57-62. McMeniman, N.P., I.F. Beale, and G.M. Murphy, 1986a. The yang dibersihkan tidak terinvasi kembali oleh A. nutritional evaluation of south-west Queensland pasture. I. The nilotica (Anonim, 1999). botanical and nutrien content of diets selected by sheep grazing on mitchell grass and mulga/grassland association. Australian Journal of Agricultural Research 37: 289-302. McMeniman, N.P. 1986b. The nutritional evaluation of south-west PENUTUP Queensland pasture. II. The intake and digestion of organic matter and nitrogen by sheep grazing on mitchell grass and Meskipun manfaat Acacia nilotica sangat banyak, mulga/grassland association. Australian Journal of Agricultural namun di Indonesia belum dimanfaatkan secara Research 37: 303-314. Mitchell, K.J. 1969. Simulation of the growth of oven-aged stands of optimal. Kehadiran A. nilotica di Taman Nasional white spruce. Yale University School of Forestry Bulletin 75: 1- Baluran pada saat ini justru menjadi masalah karena 48. telah merubah struktur dan komposisi spesies N.A.S. 1980. Firewood Crops, Scrub and Tree Species for Energy penyusun padang rumput di tempat tersebut. Telah Production. Washington, DC.: National Academy of Sciences. Nasroun, T.H. 1979. Pulp and paper making properties of some dilakukan sejumlah upaya untuk mengendalikannya, tropical hardwood species grown in the Sudan. Sudan Silva 4: namun sampai saat ini belum berhasil ditemukan 22-32. suatu strategi yang jitu untuk mengendalikan invasi A. New, T.R. 1984. A Biology of Acacia. Melbourne: Oxford University nilotica tersebut. Press. 104 BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104

Pande, M.B., P.M. Talpada, Z.N. Patel, L.P. Purohit, and P.C. Scanland, J.C. and W.H. Burrows. 1990. Woogy overstory impact Shukla, 1982. Note on processed babul feeding to mature on herbaceus understorey in Eucalyptus spp. Communities in Kankrej bullocks. Indian Journal of Animal Science 52: 798- central Queensland. Australian Journal of Ecology 15: 191-197. 799. Shetty, K.A.B. 1977. Social forestry in Tamil Nadu. Indian Farming Purl, D.N. and M.L. Khybri. 1975. Economics of chambal ravine 26: 82. afforesttion. Indian Forester 101: 448-451. Tanner, J.C., J.D. Reed, and E. Owen. 1990. The nutritive value of Reed, J.D. 1986. Relationship among soluble phenolic, insoluble fruits (pods with seeds) from four Acacia spp. Copared with proanthocyanidins and fibre in East African Browse Species. extrated noug (Guizotia abyssinica) meal as supplements to Journal of Range Management 39: 5-7. maize stover for Ethiopian higtland sheep. Animal Production Radford, I.D., D.J. Kriticos, M. Nicholas, and J.R. Brown, 1999. 51: 127-133. Towords an integrated approach to management of Acacia Thomas, S.C. and J. Weiner. 1989. Including competitive nilotica in northern Austrlaia. Proceedings of the VI asymmetry in measure of local interference in plant International Rangland Congress, Jul. 17-23 1999. Townsville. populations. Oecologia 80: 349-355. Reynolds, J.A. and J.O. Carter. 1990. Woody weeds in central Umalkar, C.V., S. Begum, K.M.A. Nehimiah. 1976. Inhibitory effect western Queensland In: Proceedings 6 th Biennial Conference, of Acacia nilotica extracs on pectolytic enzyme production by Australian Rangelands Society, Carnarvon, Western Australia. some pathogenic fungi. Indian Phytopathology (publ. 1977) 29 pp. 304-306. (4): 469-470. Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor (Cervus Walker, B.H. 1980. A review of browse and its role in livestock timorensis) di Savana Bekol Balai Taman Nasional Baluran production in southern Africa. P. 7-24. In: LeHouerou, H.N. Banyuwangi Jawa Timur. [Skripsi]. Malang: Institut Pertanian (ed.). Browse in Africa. Addis Ababa, Ethiopia: International Malang. Livestock Centre for Africa. Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Walker, J. and T.I. Dowling. 1990. A non-stochastic, Biodiversitas 3: 207-212 physiologically-based model of plant invasion using ecological field theory. Plant Protection Quarterly 6 (1): 10-13.

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 5, Nomor 2 Juli 2004 Halaman: 105-118

R E V I E W:

Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi

Mangrove ecosystem in Java: 2. Restoration

AHMAD DWI SETYAWAN1,2, KUSUMO WINARNO1,2, PURIN CANDRA PURNAMA1 1Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 2Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Diterima 15 Desember 2002. Disetujui 15 Juli 2003.

ABSTRACT

The restoration of mangroves has received a lot of attentions world wide for several reasons. Mangrove ecosystem is very important in term of socio-economic and ecology functions. Because of its functions, wide range of people paid attention whenever mangrove restoration taken place. Mangrove restoration potentially increases mangrove resource value, protect the coastal area from destruction, conserve biodiversity, fish production and both of directly and indirectly support the life of surrounding people. This paper outlines the activities of mangrove restoration on Java island. The extensive research has been carried out on the ecology, structure and functioning of the mangrove ecosystem. However, the findings have not been interpreted in a management framework, thus mangrove forests around the world continue to be over-exploited, converted to aquaculture ponds, and polluted. We strongly argue that links between research and sustainable management of mangrove ecosystem should be established. © 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: mangrove, restoration, management, Java.

PENDAHULUAN untuk mengembalikan sesuatu ke kondisi semula; kreasi adalah tindakan untuk membuat, menemukan Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurun- atau menghasilkan sesuatu; sedangkan pengkayaan an sangat drastis, akibat tingginya tekanan penduduk adalah menambahkan atau menaikkan sesuatu yang berimplikasi pada besarnya kegiatan (Mish, 1989). Selanjutnya muncul istilah rehabilitasi pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sebagai payung yang mencakup istilah restorasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. kreasi (Streever, 1999). Menurut Whitten et al., Ekosistem mangrove memiliki fungsi sosial-ekonomi, (2000) restorasi adalah suatu taktik untuk sosial-budaya, dan peran ekologi yang sangat mengembalikan lahan yang terdegradasi ke kondisi penting, sehingga banyak pihak (stakeholders) yang asli atau mendekati kondisi asli, sedangkan memberi perhatian lebih untuk mengembalikan fungsi rehabilitasi adalah suatu strategi manajemen untuk ekosistem ini melalui restorasi. Restorasi mangrove mencegah degaradasi suatu lanskap dan dapat menaikkan nilai sumber daya ini, memberi menjadikannya bermanfaat. Di samping itu terdapat mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pula istilah reforestasi dan afforestasi. Menurut Lewis pantai, menjaga biodiversitas, menjaga hasil dan Streever (2000), reforestasi adalah penanaman tangkapan perikanan, serta mempengaruhi mangrove pada bekas area hutan mangrove, sedang kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara afforestasi adalah penanaman mangrove pada area langsung atau tidak langsung (Setyawan dkk., 2003). yang semula bukan hutan mangrove. Terdapat tiga kata kunci yang penting dalam Tulisan ini bermaksud menjelaskan aktivitas manajemen ekosistem mangrove, yaitu restorasi, restorasi ekosistem mangrove khususnya di Jawa, kreasi (pembentukan), dan pengkayaan spesies sehingga fungsinya dapat kembali seperti semula. (Lewis, 1990; Mish, 1989). Restorasi adalah tindakan Penelitian yang luas telah dilakukan untuk memahami ekologi, struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Namun, temuan-temuan tersebut belum diterapkan ♥ Alamat korespondensi: dalam kerangka kerja manajemen, terbukti hutan Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 mangrove di seluruh dunia terus mengalami Tel. & Fax.: +62-271-663375. penurunan terutama akibat eksploitasi berlebih, e-mail: [email protected] 106 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi konversi ke tambak ikan dan udang, serta 19 di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu (Teas, 1980; Teas et al., 1975). Kegiatan manajemen kiranya mengaitkan penelitian mangrove dengan meliputi penanaman, penjarangan, penyiangan manajemen lestari ekosistem tersebut. spesies yang tidak dikehendaki, dan persemaian propagul, khususnya Rhizophora. Informasi silvikultur mangrove untuk restorasi relatif masih sedikit. Pada SEJARAH RESTORASI MANGROVE saat ini telah diketahui spesies-spesies pohon yang dapat digunakan untuk restorasi, namun kegiatan Penanaman dan pengelolaan mangrove memiliki penciptaan ekosistem yang bernilai bagi perikanan sejarah panjang di Asia Tenggara (Watson, 1928), dan konservasi masih jarang (Kaly dan Jones, 1996). meskipun catatan tertua mengenai manajemen Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan mangrove sebagai penghasil kayu terdapat di konservasi mangrove dilakukan oleh Perhutani dan Sundarbans, suatu hutan mangrove seluas 6.000 km2 masyarakat di pantai utara Jawa dengan sistem di perbatasan India dan Banglades, yang dikelola “empang parit” (“tambak tumpangsari”). Sistem ini sejak 1769, dimana rencana kerja lengkap pengelola- merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia, annya telah disempurnakan pada tahun 1893-1894 dimana pada hutan mangrove dibuat lajur-lajur (Chowdhury dan Ahmed, 1994). Hutan mangrove tambak untuk memelihara ikan, atau sebaliknya di seluas 40.000 ha di Matang, Malaysia yang dikelola atas tambak dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove, sejak 1902 untuk menghasilkan kayu bakar (Watson, misalnya di Brebes, Pemalang, Cirebon, Indramayu, 1928), merupakan contoh tertua dan terbaik mana- Purwakarta, Karawang, dan Tanggerang (Anonim, jemen hutan mangrove (Khoon dan Eong, 1995). 1991, 1997; Fitzgerald dan Savitri, 2002; Fitzgerald, Pada saat ini mangrove dikelola secara terinte- 1997, 2002; Tessar dan Insan, 1993; Hartina, 1996; grasi untuk budidaya ikan dan udang (Primavera, Widiarti dan Effendi, 1989). 1995), ekoturisme (Bacon, 1987), mencegah erosi Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove (Teas, 1977), eksperimen biologi (Rabinowitz, 1978), tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan melindungi dari badai (Hamilton dan Snedaker, lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini 1984), dan merestorasi kerusakan ekosistem akibat terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif tumpahan minyak (Duke, 1996). Restorasi ekosistem terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove mangrove yang rusak antara lain dibahas oleh yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil Watson (1928), Noakes (1951), Chapman (1976), adalah penanaman Rhizophora spp. di sepanjang Lewis (1982), Hamilton dan Snedaker (1984), Lewis pantai utara Rembang, khususnya di kecamatan kota. (1990a, 1990b), Crewz dan Lewis (1991), Cintron- Pada tahun 1980-an, pemerintah setempat bersama Molero (1992), Saenger dan Siddiqi (1993), Siddiqi et para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove al. (1993), dan Field (1996). pada area dengan panjang sekitar 3000 m, dan lebar Penanaman kembali hutan-hutan daratan yang antara 100-300 m. Pada saat ini tegakan yang rusak (reboisasi) telah dilakukan selama ratusan terbentuk sudah dapat menjalankan fungsi utamanya tahun, namun reboisasi ekosistem mangrove baru sebagai penahan gelombang laut, angin dan akhir-akhir ini mendapatkan perhatian serius, seperti mencegah pantai dari abrasi. Untuk menjaga di Indonesia, Malaysia, Banglades, dan Cina. kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat Banglades mempelopori penghutanan mangrove diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang dengan sukses sejak 1966 di atas tanah seluas memiliki hak untuk memanen ekosistem yang ada, 113.000 ha (Choudhury, 2000). Malaysia sejak 1980 dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah menanam berbagai tumbuhan mangrove untuk satu kegiatan terkait konservasi yang cukup berhasil membatu regenerasi alami dan memantapkan adalah pembibitan Rhizophora spp. untuk memenuhi penutupan hutan (Hassan, 1981). Penghutanan kebutuhan bibit proyek-proyek rehabilitasi hutan mangrove di Cina dimulai pada akhir 1950-an dan bakau di Jawa. Kawasan ini merupakan salah satu diaktifkan lagi pada tahun 1980 (Baowen et al., 1997). pusat pembibitan Rhizophora spp. terbesar di Jawa. Di Indonesia, reboisasi mangrove diawali di Sinjai, Pantai utara Rembang merupakan tidal flat bagi Sulawesi pada tahun 1985 diprakarsai sekelompok sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok, nelayan. Kesuksesan upaya ini mendorong reboisasi Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga mangrove di seluruh Indonesia (Choudhury, 1996). Di memungkikan terus berlanjutnya perluasan ekosistem atas kertas, rehabilitasi mangrove mendapatkan mangrove ke arah laut. Suatu tindakan yang hingga perhatian cukup besar dalam Strategi Nasional saat ini masih terus dilakukan oleh pemerintah Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Anonim, 2003), setempat. Pada akhirnya lokasi ini bernilai konservasi namun implementasi di lapangan tampaknya masih karena menarik berbagai hidupan liar yang megah, jauh dari harapan. Kegagalan beberapa kegiatan khususnya spesies-spesies burung air. Di samping itu restorasi ditengarai karena pendekatan “proyek” yang terdapat pula nilai edukasi dan turisme, dimana menyebabkan lemahnya manajemen pelaksanaan. sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan Silvikultur mangrove (penanaman, pemeliharaan, menjadi lokasi praktikum dan penelitian mahasiswa dan pemanenan) telah dilaksanakan sejak abad ke- dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 107

Diponegoro Semarang, dan lain-lain (ADS, 2002- TUJUAN RESTORASI 2003, pengamatan pribadi). Upaya restorasi mangrove dengan pola serupa, yakni memberi peran aktif Tujuan utama restorasi mangrove adalah menge- kepada masyarakat juga dilakukan di Probolinggo, lola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada Jawa Timur (Sudarmadji, 2003, komunikasi pribadi). ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari Tampaknya pelibatan aktif masyarakat merupakan kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut salah satu unsur utama keberhasilan pengelolaan (Anonim, 2001). Restorasi diperlukan apabila kawasan pesisisir (Suara Pembaruan, 03/03/2002). ekosistem telah terdegradasi dan berubah jauh, tidak Salah satu contoh upaya restorasi mangrove yang dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali kurang berhasil terjadi di muara Sungai Bogowonto, ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan satu-satunya ekosistem mangrove di Propinsi Daerah fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan Istimewa Yogyakarta dan berbatasan dengan Pro- pengelolaan dan perlindungan (Stevenson et al., pinsi Jawa Tengah. Upaya ini telah dilakukan sejak 1999; Morrison, 1990). Pada kondisi ini, homeostasis tahun 1990-an, namun hasilnya tidak memuaskan. ekosistem secara permanen terhenti, sehingga Tidak adanya kesamaan persepsi antara para pihak menghambat proses suksesi sekunder secara normal yang berkepentingan tampaknya menjadi penyebab untuk menyembuhkan area yang rusak (Stevenson et utama kegagalan. Universitas, lembaga swadaya al., 1999). Konsep ini belum banyak dibahas, masyarakat, dan sebagian organ pemerintah setem- pembahasan baru dilakukan antara lain oleh pat merasa berkepentingan untuk menjaga keles- Detweiler et al. (1976), Ball (1980), dan Lewis (1982). tarian ekosistem mangrove. Pengusaha dan sebagain Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya organ pemerintah lainnya mencoba mengambil landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi keuntungan ekonomi dengan membuat tambak. sumberdaya alam (khususnya perikanan dan kayu), Adapun masyarakat setempat secara turun-temurun melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial memanfaatkan tepian lahan untuk bertani dan bagian budaya (Watson, 1928; Field, 1996; Morrison, 1990; tengah untuk padang penggembalaan kerbau (Bos Lewis, 1992, Aksornkoea, 1996; Stevenson et al., bubalis). Semua kepentingan tersebut tidak dikelola 1999). Tujuan restorasi perlu ditetapkan berdasarkan secara integratif, sehingga boleh jadi saling merugi- masukan dari para pihak dan merupakan konsensus kan. Upaya konservasi dengan mengembalikan lahan bersama, sehingga mendapat dukungan secara luas menjadi hutan mangrove dapat menafikan upaya (Fitzgerald, 1997), tanpa dukungan para pihak se- pengusaha untuk membuat tambak dan upaya petani tempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang untuk terus memanfaatkannya sebagai lahan bertani sangat kecil (Primavera dan Agbayani, 1996). dan menggembalakan ternak. Upaya pembuatan Keuntungan restorasi komunitas mangrove tambak dapat menggusur lahan bercocok tanam dan meliputi: konservasi dan pengembalian spesies yang penggembalaan ternak, serta berpotensi menghan- pernah ada, spesies yang memiliki daerah jelajah curkan lahan mangrove yang tersisa. Sedangkan luas, dan burung-burung migran; mendaur-ulang upaya petani mempertahankan lahan untuk bertanam nutrien dan menjaga keseimbangan nutrisi pada dan menggembala ternak dapat menghambat upaya muara sungai; melindungi jaring-jaring makanan pada perluasan tambak dan mematikan benih mangrove hutan mangrove, muara, dan laut; menjaga habitat yang diharapkan dapat menyebar dan menutupi fisik dan tempat pembesaran anakan berbagai seluruh laguna sebagaimana dahulu. Apabila tidak spesies laut komersial; melindungi lahan dari badai, dikelola dengan tepat, permasalahan ini akan meng- menjaga garis pantai, dan mengendapkan lumpur; habiskan energi, dana, dan sumber daya tanpa hasil meningkatkan kualitas dan kejernihan air dengan yang memadahi (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang Kegiatan restorasi lahan mangrove di Jawa dibawa air permukaan dari hulu sungai. Pada dengan ukuran yang signifikan, antara lain juga telah akhirnya, preservasi ekosistem mangrove membantu dilakukan di teluk Jakarta, Muara Angke, Bekasi, menjaga keseluruhan kondisi alami dan keindahan Indramayu, Pemalang, Tegal, dan Demak dengan panorama muara sungai dan nilai ekonomi kawasan dipelopori oleh Yayasan Mangrove Indonesia) pesisir (Anonim, 2001). (Anonim, 2003). Kegiatan restorasi juga dilakukan di Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya Segara Anakan oleh Badan Pengelola Kawasan fungsi tertentu saja yang ingin dikembalikan, karena Segara Anakan (BPKSA) (Suara Pembaruan, beberapa parameter seperti kondisi dan tipe tanah, 19/04/2003), muara sungai Porong oleh Pemerintah serta spesies tumbuhan dan hewan telah berubah Kabupaten Sidoarjo (Republika Online, 15/07/2002), (Lewis, 1990b, 1992). Restorasi yang bertujuan Telukawur-Semat, Jepara oleh Universitas mengembalikan suatu area sepenuhnya ke kondisi Diponegoro Semarang (Suara Merdeka, 09/04/2003), alami seperti sebelum dibangun, memiliki tingkat dan lain-lain. Dalam jumlah yang lebih kecil, kegiatan kegagalan jauh lebih tinggi dibandingkan restorasi ini diyakini banyak di lakukan di berbagai lokasi, karakter dan fungsi ekosistem tertentu saja (Lewis et termasuk pada muara-muara sungai di pantai selatan al., 1995). Restorasi ke tipe habitat asli kemungkinan Jawa, misalnya di Purworejo dan Kebumen (ADS, juga bukan pilihan terbaik untuk skala regional, 2002-2003, pengamatan pribadi). khususnya apabila ekosistem yang rusak hanya 108 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi bagian kecil dari suatu tipe ekosistem yang umum, tahun 1970 terjadi akselerasi pertambakan, khusus- namun apabila tipe ekosistem tersebut sangat langka nya dengan ditemukannya metode budidaya intensif maka restorasi ke kondisi asli barangkali diperlukan udang di tambak (Fitzgerald dan Savitri, 2002), (Cairns, 1988). Dalam tulisan ini, hanya disinggung sehingga sejumlah besar area mangrove di pantai praktek restorasi mangrove dengan tujuan melindungi utara Jawa diubah menjadi tambak. Namun tambak pantai, mengembalikan tambak yang rusak, serta udang intensif berkonsekuensi pada perubahan mengatasi kerusakan akibat tumpahan minyak. kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan, sehingga ratusan hektar tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak Pelindung pantai tidak terurus (Setyawan dkk., 2002). Dalam kondisi Di kawasan yang penuh aktivitas dan padat demikian, Stevenson et al. (1999) menyarankan agar penduduk, restorasi dapat ditujukan untuk melindungi dilakukan restorasi mangrove pada tambak udang pantai (Stevenson et al., 1999). Di pantai utara Jawa, yang rusak, diikuti pembukaan area mangrove baru abrasi merupakan fenomena yang sering terjadi, untuk tambak udang. seperti di Tangerang (Media Indonesia, 19/08/2002, Pengamatan di beberapa kawasan pantai utara 03/10/2003), Jakarta (Media Indonesia, 17/06/2002), Jawa menunjukkan, tingginya sedimentasi Indramayu (Pikiran Rakyat, 27/12/2002; Republika menyebabkan garis pantai cenderung terus menuju Online, 17/04/2002; Suara Pembaruan, 07/07/2002, ke arah laut, dengan segaris mangrove tepi sebagai 11/12/2002; Pikiran Rakyat, 14/03/2003), Cirebon batas antara laut dengan lahan budidaya masyarakat, (Media Indonesia, 08/04/2003), Brebes (Media umumnya berupa tambak bandeng, tambak udang Indonesia, 28/07/2003), Tegal (Kompas, 06/08/2002), atau tambak garam. Mangrove tepi ini sekaligus Pemalang, Pekalongan (Media Indonesia, berfungsi sebagai pelindung dari ombak, badai, dan 31/05/2002; Republika Online, 15/07/2003), Kendal, abrasi. Dalam periode tertentu, luasan dataran Semarang, Demak, Jepara, dan Pati (Kompas, lumpur yang ditumbuhi mangrove cukup untuk diubah 15/08/2002; Suara Merdeka, 26/01/2003). menjadi tambak dengan menyisakan segaris Pembabatan mangrove di beberapa kawasan mangrove tepi, biasanya berupa tegakan Avicennia terkait erat dengan kerusakan ekosistem ini, atau Rhizophora. Pembukaan kawasan mangrove ini meskipun dapat pula terjadi karena perubahan arus umumnya dimulai dengan proses pelelangan oleh laut akibat pengerukan pasir (Pikiran Rakyat, aparat desa setempat, sehingga area ini berubah dari 04/04/2002; Media Indonesia, 15/09/2003), reklamasi tanah publik menjadi tanah pribadi. Dalam hal ini, pantai (Kompas, 06/10/2003), gangguan/pemindahan tambak lama letaknya akan semakin jauh dari pantai, muara sungai (Kompas, 10/11/2002), dan kerusakan akumulasi perubahan kondisi hidrologi, edafit, terumbu karang (Whitten et al., 2000). Restorasi penyakit, dan pencemaran lingkungan menyebabkan ekosistem mangrove diharapkan dapat memulihkan tambak ini tidak lagi ekonomis untuk diusahakan. kondisi lingkungan seperti semula, meskipun harapan Upaya untuk mengembalikan area ini kembali ke ini tidak selalu berhasil mengingat pada kasus ekosistem mangrove merupakan tindakan mahal, tertentu kerusakan yang timbul bersifat permanen mengingat tanah tersebut merupakan milik pribadi, sehingga penanaman mangrove tidak dapat serta adanya perubahan pola hidrologi. Akibatnya mengatasi, tanpa perubahan kondisi-kondisi lain yang banyak bekas-bekas tambak yang dibiarkan tidak menyebabkan perubahan arus laut. Di samping itu terawat (Jawa: bera). Dalam jumlah cukup signifikan, kesembuhan ekosistem mangrove bersifat jangka kondisi demikian dapat dijumpai pada “cekungan” panjang, dimana pada kasus tertentu, kecepatan antara gunung Muria dan gunung Lasem, salah satu abrasi jauh melebihi kemampuan tumbuhnya produsen bandeng budidaya terbesar di Jawa, yang mangrove. Meskipun pada akhirnya abrasi akan meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. Pada kondisi terhenti dengan sendirinya apabila pola arus laut ketersediaan air tawar mencukupi, secara gradual kembali seimbang. Dalam hal ini pembangunan bekas tambak dapat diubah menjadi sawah, seperti di tanggul dan pemecah gelombang tampaknya lebih sepanjang pesisir Demak, meskipun untuk itu perlu sesuai (Pikiran Rakyat, 27/12/2002). dibangun tanggul dan bendungan untuk mencegah masuknya air laut di kala pasang (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Restorasi mangrove pada bekas tambak udang Di Indonesia, upaya restorasi mangrove pada Restorasi secara khusus dapat pula ditujukan untuk bekas tambak udang dalam luasan yang signifikan mengembalikan bekas tambak udang ke ekosistem dan cukup berhasil antara lain dilakukan di teluk mangrove. Hingga kini sangat sedikit laporan Benoa, Bali. Budidaya udang di kawasan ini dimulai berkenaan dengan restorasi tambak (Stevenson dkk., pada tahun 1991, dan program restorasi dimulai sejak 1999). Pembangunan tambak udang merupakan tahun 1995, dimana sekitar 350 ha tambak udang salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem rusak ditanami mangrove kembali. Penanaman mangrove di Jawa. Tambak ikan memiliki sejarah dimulai dari bekas tambak paling dekat daratan panjang di Jawa, dimana bandeng (Chanos chanos) menuju arah laut (Stevenson dkk., 1999). telah dibudidayakan sejak abad ke-15, namun pada BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 109

Restorasi akibat tumpahan minyak KERANGKA KERJA RESTORASI Mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat direstorasi untuk mengembalikan fungsi dan Secara umum dapat diformulasikan tiga langkah penampakannya. Langkah ini dapat mempercepat utama untuk meriset restorasi habitat mangrove, kesembuhan ekosistem. Biasanya restorasi hanya yaitu: (i) menggambarkan status ekosistem, serta ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci, menentukan tujuan dan kriteria keberhasilan restorasi restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara (Lewis, 1990; Kusler dan Kentula, 1990; Pratt, 1994), keseluruhan tergantung pada proses alami. (ii) pengembangan teknologi, meliputi pemilihan Regenerasi baik secara alami maupun buatan segera spesies, penentuan perlu tidaknya pekerjaan fisik dan setelah tumpahan minyak tidak mungkin dilakukan, restorasi buatan (Kaly dan Jones, 1996), (iii) menilai karena minyak yang tersisa akan mematikan atau keberhasilan restorasi, berdasarkan besarnya biaya menghambat pertumbuhan mangrove. Contoh toksi- dan kecepatan kesembuhan ekosistem (Henry dan sitas pasca tumpahan minyak ditunjukkan di Panama Amoros, 1995), yakni kembalinya aspek fungsional tahun 1986, dimana propagul Rhizophora yang ekosistem tersebut (Kaly dan Jones, 1996). ditanam 4 dan 6 bulan pasca kecelakaan semuanya Restorasi biasanya ditekankan pada penanaman mati, sedang propagul yang ditanam 9 bulan atau tumbuhan mangrove, namun sebelumnya perlu lebih setelah kecelakaan dapat hidup (IPIECA, 1993). diketahui penyebab kerusakan, menghilangkan Lama waktu degradasi racun minyak bumi tergan- penyebab tersebut, dan membiarkan proses tung tipe tanah, arus pasang surut, dan curah hujan. penyembuhan secara alami (Lewis dan Streever, Penanaman mangrove tidak harus menunggu racun 2000; Hamilton dan Snedaker, 1984). Keberhasilan tersebut sepenuhnya hilang. Regenerasi alamiah restorasi mangrove akan meningkat apabila kondisi mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat habitat telah diidentifikasi; memperhatikan hak milik terjadi, tetapi proses ini kemungkinan sangat lambat atas tanah dan rencana perlindungan habitat liar karena adanya sisa-sisa minyak yang beracun, secara menyeluruh; pengelolaan hidrologi dan kurangnya suplai propagul dari kawasan sekitarnya introduksi tumbuhan asing untuk memperkaya, atau hambatan propagul untuk mencapai lokasi, merestorasi, dan menjaga keanekaragaman spesies; akibat adanya sisa-sisa batang dan akar mangrove dan terdapat peraturan perundang-undangan yang mati yang menghalanginya (IPIECA, 1993). tegas (Anonim, 2001). Hutan mangrove dapat Regenerasi buatan atas ekosistem mangrove memulihkan diri sendiri tanpa upaya restorasi melalui yang rusak oleh tumpahan minyak dapat dipercepat suksesi sekunder pada periode 15-30 tahun, apabila dengan mengganti tanah tercemar pada lubang siklus hidrologi normal dan tersedia biji atau propagul penanaman dengan tanah dari daratan, baru ditanami dari ekosistem mangrove di sekitarnya (Watson, propagul. Dapat pula dengan menanam bibit pada 1928; Lewis, 1982; Cintron-Molero, 1992). wadah yang memisahkannya dari tanah tercemar, Regenerasi buatan hanya diperlukan untuk dengan berjalannya waktu wadah ini akan rusak dan mempercepat proses alami (McKee dan Faulkner, toksisitas tanah akan menurun, sehingga bibit dapat 2000) atau apabila kesembuhan alami tidak mungkin tumbuh normal. Dapat pula dilakukan pembibitan terjadi akibat perubahan homeostasis yang terlalu propagul, sehingga bibit akan siap ditanam pada saat jauh (Lewis dan Streever, 2000). Kegagalan melihat toksisitas tanah sudah menurun. Cara regenerasi di penyebab degradasi merupakan penyebab utama atas berhasil diterapkan di Panama, dimana area se- kegagalan restorasi mangrove. luas 75 ha ditanami lebih dari 86.000 bibit mangrove. Menurut Sanyal (1998) antara tahun 1989-1995 Dua tahun pasca tumpahan minyak, saat regenerasi area seluas 9,050 ha di Bengali Barat, India ditanam alami mulai terbentuk, bibit hasil penanaman telah mangrove, namun tingkat keberhasilannya hanya mencapai tinggi 1 meter dengan tingkat keberhasilan 1,52%. Sebaliknya Soemodihardjo et al. (1996) hidup lebih dari 90% (IPIECA, 1993). melaporkan bahwa hanya 10% area yang ditebangi di Di Jawa restorasi ekosistem mangrove yang rusak Tembilahan, Indonesia (715 ha) yang memerlukan akibat tumpahan minyak bumi tampaknya belum per- penanaman ulang, sebab kawasan tersebut masih nah dilakukan. Dalam skala Indonesia, hal ini pernah menyisakan lebih dari 2.500 seedling alami setiap ha. dilakukan di delta Mahakam, Kalimantan Timur Mangrove dapat juga dibentuk dengan dengan bibit Sonneratia caseolaris (Dutrieux et al., menghutankan kawasan intertidal yang tidak 1990). Di Jawa, dampak negatif tumpahan minyak bervegetasi atau area lain yang secara alami tidak bumi terhadap ekosistem mangrove dapat diamati di memungkinkan kedatangan propagul mangrove, sekitar sungai Donan, Segara Anakan, Cilacap misalnya tanah timbul, namun area ini sering juga dimana terdapat industri pengilangan minyak. melayani tujuan ekologis lain seperti menjadi tempat Kawasan ini secara periodik terpengaruh tumpahan mencari makan burung-burung air (Lewis dan minyak baik dari industri tersebut maupun kapal-kapal Streever, 2000). Penanaman ini juga dapat tangker yang melayaninya. Ukuran pohon mangrove mempengaruhi vegetasi akuatik lain seperti padang yang dekat dengan lokasi tersebut umumnya lebih lamun (Phillips dan McRoy, 1980). kecil, lebih pendek, dan lebih jarang dibandingkan Terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan lokasi yang jauh (Hardjosuwarno, 1989). restorasi mangrove (Lewis dan Marshall, 1997): 110 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

(i) Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, menyertakan masukan lokal akan lebih berhasil dan meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan mendapatkan dukungan politis lebih besar. Dua pemantapan seedling. pendekatan telah digunakan di restorasi area (ii) Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi mangrove yang terdegradasi, yaitu regenerasi buatan distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies dan alami (Kairo et al., 2001). mangrove yang diinginkan. Keberhasilan harus dapat diukur sebagai derajat (iii) Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat dimana fungsi ekosistem alami yang digantikan dapat mencegah suksesi sekunder secara alami. ditingkatkan. Hal ini tidak hanya ditentukan (iv) Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan berdasarkan spesies yang hadir dan fungsi yang penggunaan propagul alami. terkait denganya, tetapi juga sifat fisik, kimia dan (v) Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen biologi habitat. Ekosistem yang direstorasi juga harus alami tidak mencukupi untuk penyembuhan. dapat merespon cekaman dan perubahan lingkungan sepanjang waktu sebagaimana ekosistem alami. Beberapa faktor penting yang terkait dengan KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN RESTORASI keberhasilan restorasi wetland adalah kemampuan untuk mengakses dan membuat kembali hidrologi, Pada bagian pertama tulisan ini telah serta mengelola dan melindungi wetland baru dalam dikemukakan kondisi terkini ekosistem mangrove di jangka panjang (Kusler dan Kentula, 1990). Jawa, termasuk keterancaman dan kerusakan Secara ringkas, faktor-faktor yang perlu (Setyawan dkk., 2003). Keberhasilan restorasi diperhatikan dalam restorasi mangrove mencakup mangrove antar lokasi sulit digeneralisasikan, karena stabilitas tanah dan pola penggenangan (Pulver, tergantung kondisi lingkungan setempat dan spesies 1975), pasang surut dan ombak (Lewis, 1992, Field, yang ditanam, sehingga perlu diketahui pola yang 1996), elevasi (Hoffman et al., 1985), salinitas dan mendasari terbentuknya tegakan mangrove (Field, aliran air tawar permukaan (Jiminez, 1990), 1998a). Umumnya pola hidrologi dianggap sebagai ketersediaan propagul (Loyche, 1989, Kairo et al., faktor utama yang mempengaruhi daya tahan dan 2001), predasi propagul (Dahdouh-Guebas et al., pertumbuhan seedling mangrove (Field, 1996, 1997, 1998), jarak dan kerapatan (FAO, 1985, Kairo 1998b). Oleh karena itu, mangrove ditanam pada et al., 2001), eradikasi gulma (Saenger dan Siddique, lokasi dengan ombak kecil, dimana tingkat erosi 1993), teknik pembibitan (Siddique et al., 1993), pantai minimal. Pengetahuan zonasi spesies pemantauan (Lewis, 1990b), keikutsertaan mangrove diperlukan untuk menentukan area yang masyarakat (Kairo dkk., 2001) dan biaya yang sesuai untuk spesies yang berbeda (Kairo et al., dibutuhkan (Field, 1998a). Di Jawa, kegagalan 2001). Zonasi ini merupakan hasil toleransi restorasi mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan lingkungan dan pilihan fisiologis setiap spesies pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe (Rabinowitz, 1978). Setiap spesies mangrove tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan mempunyai suatu cakupan toleransi yang spesifik ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan terhadap parameter-parameter lingkungan, seperti ketiadaan partisipasi masyarakat (ADS, 2002-2003, kadar garam, genangan pasang surut, keteduhan, pengamatan pribadi). elevasi daratan dan lain-lain. Hal ini membatasi zona Kelemahan manajemen dan tidak adanya peran yang sesuai bagi keberadaannya. Sonneratia alba aktif masyarakat merupakan penyebab utama dan Rhizophora akan tumbuh pada perbatasan kegagalan restorasi di beberapa lokasi di Jawa, ekosistem mangrove dengan laut, sebab tidak selain akibat melanggar langkah-langkah penting lain. mampu menoleransi fluktuasi konsentrasi garam Kegagalan restorasi mangrove di muara Bogowonto yang besar, sedang Ceriops tagal dan Avicennia antara lain juga disebabkan kesalahan pemilihan marina dapat menoleransi kadar garam yang tinggi sumber propagul dan pemahaman pola genangan. sehingga ditemukan pada batas ekosistem mangrove Penanaman Sonneratia spp. dengan bibit dari Segara dengan daratan. Oleh karena itu, Sonneratia dapat Anakan Cilacap ke Sungai Bogowonto pada tahun ditanam pada dataran lumpur yang berbatasan 1997 menunjukkan kegagalan pertumbuhan akibat langsung dengan laut, sedangkan Ceriops dan adanya genangan. Secara alami, setiap tahun di Avicennia dapat ditanam pada lokasi kering yang musim kemarau muara Sungai Bogowonto berbatasan dengan daratan (Kairo et al., 2001). mengalami penggenangan sekitar 4-6 minggu. Hal ini Faktor penting lainnya yang menentukan terjadi karena terbentuknya gumuk pasir (sanddunes) keberhasilan proyek restorasi adalah tingkat yang membendung muara sungai. Bendungan ini kerjasama dari masyarakat dan para pemimpin lokal. akan jebol dengan sendirinya ketika volume air yang Tekanan populasi lokal akan mempengaruhi struktur terbendung melimpah. Bibit Sonneratia spp. dapat dan fungsi ekosistem mangrove di sekitarnya. bertahan hingga tahun 1999, karena pada tahun 1998 Pendidikan lingkungan dapat mendorong keterlibatan tidak terjadi genangan yang cukup berarti akibat aktif dan keikutsertaan publik yang lebih besar. curah hujan dan debit air sungai cukup tinggi Keduanya merupakan isu penting dalam manajemen sepanjang tahun sehingga mampu menembus gumuk dan konservasi mangrove. Keputusan manajemen pasir di muara sungai. Namun pada musim kemarau BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 111 tahun 1999, kembali terjadi genangan selama 6 bubalis), sehingga seedling alami hanya dapat berta- minggu, sehingga hampir semua populasi Sonneratia han di kawasan yang sulit dijangkau ternak, sedang- spp. dari Segara Anakan Cilacap mati terendam, kan penanaman sengaja hanya dapat dilakukan pada namun populasi lokal tetap bertahan (Tjut S. Djohan, area yang dipagari, yang biasanya telah rusak se- 2001, komunikasi pribadi). Pengamatan isozim oleh belum seedling cukup tinggi, sehingga akan dimakan penulis menunjukkan adanya perbedaan pola pita kerbau (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). isozim populasi Sonneratia spp dari kedua lokasi Di pantai utara Jawa, kegagalan restorasi juga tersebut. Menurut McPhaden (1999), badai El Nino dapat disebabkan perubahan arus laut. Hal ini terjadi South Oscillation (ENSO) pada tahun 1997-1998 pada pantai-pantai terabrasi, dimana penanaman merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, hingga mangrove akan sia-sia, selama penyebab utama mencurahkan cukup banyak air ke kawasan barat abrasi belum diatasi, karena seedling yang ditanam Pasifik, setelah sebelumnya menyebabkan ikut tergerus arus laut. Salah satu contoh kekeringan hebat. Di samping itu kegagalan juga keberhasilan penanaman mangrove untuk mencegah disebabkan perumputan oleh kerbau, sebagaimana abrasi ditemukan di kawasan Bulak-Semat, Jepara. terjadi pada populasi Rhizophora spp (ADS, 2002- Pada tahun 1980-an pantai di kawasan ini terabrasi 2003, pengamatan pribadi). akibat kerusakan terumbu karang dan pembabatan Di pantai selatan Jawa, kegagalan restorasi juga hutan mangrove. Pembuatan tanggul pemecah terjadi di muara sungai Cakrayasan, Purworejo dan gelombang dan penanaman mangrove terbukti dapat muara sungai Luk Ulo, Kebumen. Pada tahun 2000, mengurangi efek abrasi. Pada saat ini Rhizophora dilakukan restorasi ekosistem mangrove di kedua yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut, lokasi ini dengan spesies Rhizophora spp. Di muara dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih, sungai Cakrayasan, kegagalan restorasi menunjukkan garis pantai berhenti di bawah tegakan kemungkinan besar disebabkan akumulasi sampah komunitas ini (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). dari hulu sungai pada awal musim hujan. Sampah, seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain- lain menutupi area penanaman sehingga anakan TEKNIK RESTORASI mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan sebagian besar seedling yang perakarannya masih Kebanyakan restorasi hanya bertumpu pada lemah ikut terhanyut ke laut. Di pantai utara Jawa, di penanaman pohon mangrove, kurang memperhatikan sepanjang muara-muara sungai di Demak, Jepara, struktur komunitas dalam jangka panjang atau Pati, dan Rembang, kematian seedling akibat kaitannya dengan ekosistem di sekitarnya (Kusler “terjerat” sampah domestik merupakan kejadian dan Kentula, 1990; Simberloff, 1990). Kebanyakan umum. Secara unik “penjeratan” ini juga dilakukan proyek restorasi mangrove hanya bersangkutan oleh sejenis algae lembaran, Ulva spp. Spesies ini dengan introduksi pohon mangrove, dengan harapan hidup mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, hidupan lain seperti kepiting, meiofauna, algae, ikan, yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi dan fauna mangrove lain akan mengikuti dengan propagul alami, dan dipilih dalam program sendirinya ketika habitat yang dibuat telah mapan penghijauan mangrove. Pada saat air pasang, Ulva (Kaly dan Jones, 1996). Biasanya restorasi hanya akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci, tersangkut, melekat, dan mati pada seedling restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan keseluruhan tergantung pada proses alami berikutnya mematikan seedling tersebut. Kondisi ini (IPIECA, 1993). menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau program penghijauan bakau di tepi pantai Pasar propagul, anakan pohon, atau pohon yang lebih Banggi, Rembang. Di Segara Anakan, kegagalan besar. Penanaman biji atau propagul dapat dilakukan restorasi akibat sampah, kurang teramati mengingat secara langsung di area yang direstorasi, atau luasnya area mangrove tersebut (ADS, 2002-2003, disemaikan dahulu hingga setinggi 0,3-1,2 m pengamatan pribadi). Ancaman terbesar ekosistem (Thorhaug, 1990). Penyemaian biji atau propagul mangrove di kawasan ini adalah sedimentasi menjadi anakan pohon dapat meningkatkan (Winarno dan Setyawan, 2002). keberhasilan penanaman dibandingkan menanamnya Di muara sungai Luk Ulo, Kebumen selain secara langsung (Hannan, 1975; Thorhaug, 1990), sampah, pola genangan, dan jenis tanah berpasir meskipun demikian suatu eksperimen di kawasan yang cenderung kurang cocok bagi Rhizophora; tropis Australia menunjukkan bahwa keberhasilan tampaknya penggembalaan merupakan penyebab hidup dan pertumbuhan bibit mangrove tidak ada utama kegagalan restorasi. Lokasi mangrove yang perbedaan signifikan antara benih hasil semaian, direstorasi merupakan area penggembalaan ternak cangkokan, dan benih yang ditanam langsung (Kaly sapi (Bos sondaicus), sehingga seedling yang dita- dan Jones, 1996). nam tidak tersisa akibat perumputan. Hal sama terjadi Strategi menghilangkan makrofauna pada awal di muara sungai Bogowonto, dimana area mangrove restorasi dapat membantu pertumbuhan mangrove, merupakan kawasan penggembalaan kerbau (Bos karena menjadi pemangsa atau parasit propagul dan 112 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi tumbuhan muda. Smith (1987a,b,c) menemukan mengeruk tanah di permukaan tambak yang bahwa kepiting merupakan predator bibit mangrove dikeringkan setebal 15 cm dan ditambahkan kapur yang signifikan, dan dapat mempengaruhi distribusi untuk mencegah pelepasan asam. Cara lain adalah spesies di hutan mangrove. Kepiting dapat menggenangi tanah dengan air pasang dan memusnahkan sama sekali Avicennia marina dengan membiarkan waktu untuk mengoksidasi asam mengkonsumsi 100% propagul. Menurut Tampa dan sebelum ditanami kembali. Tanah dikembalikan ke Tampa (1988), Kumbang parasit Coccotrypes fallax kondisi anoksik sebagaimana area lumpur pasang (Scolytidae) dapat mengerumuni sampai 95% surut alami. Di ekosistem mangrove tropis, bakteri propagul dan seedling. Menurut Kitamura et al. tanah memainkan peranan penting dalam jejaring (1997), jenis hama dan penyakit utama seedling makanan benthos, seperti memineralisasikan detritus mangrove pada kebun bibit di Bali adalah kepiting, organik dan mendaur ulang nutrien penting (Kaly dan kumbang dan tikus. Jones, 1996). Oleh karena itu, proses biogeokimia alami perlu didorong untuk menumbuhkan bakteri (Alongi, 1994). RESTORASI FISIK HABITAT Polutan. Mangrove merupakan ekoton antara kawasan daratan dan laut, sehingga pencemaran Sebelum dilaksanakan penanaman tumbuhan yang terjadi di darat maupun di laut dapat menumpuk mangrove, perlu dilakukan restorasi fisik habitat di kawasan ini. Salaha satu jenis bahan pencemar sehingga memungkinkan tumbuhan mangrove yang yang menarik adalah tumpahan minyak bumi. Dalam ditanam dapat tumbuh sehat. Secara umum habitat suatu studi, Sonneratia caseolaris, digunakan fisik yang perlu diperhatikan mencakup pola hidrologi, sebagai tumbuhan pionir dan ditanam pada tanah kondisi tanah dan adanya bahan pencemar. yang terpolusi minyak di delta Mahakam, sebagian Hidrologi. Ekosistem mangrove sudah lama dari lokasi ini juga terpolusi pupuk nitrat dan sisa-sisa dikenal sebagai pelindung dan pemantap garis pantai dispersan minyak. Dalam hal ini restorasi diarahkan (Othman, 1994), sehingga selamat dari angin topan hanya untuk mengembalikan satu spesies mangrove dan gelombang laut, namun mangrove hanya dapat yang paling kuat sebagai starter. Minyak mempenga- mempengaruhi tingkat pengendapan sedimen atau ruhi kematian dan pertumbuhan seedling yang di- erosi, tetapi tidak mengendalikannya (Gill, 1971; tanam, tetapi dispersan berpengaruh lebih buruk lagi. Hannan, 1975). Oleh karena itu pada pantai yang Untuk itu area mangrove yang tertumpahi minyak se- terabrasi akibat perubahan arus laut, tetap baiknya tidak disemprot dispersan dan penanaman memerlukan tanggul pemecah ombak seperti batu, ditunda hingga beberapa bulan (Dutrieux et al., 1990). kuadrapot, tiang pancang, karung goni atau bekas ban (Teas et al., 1975; Hannan, 1975). Struktur tersebut dapat mempercepat kesembuhan ekosistem REGENERASI ALAMI mangrove (Lin dan Beal, 1995) dan mendorong terbentuknya mangrove baru pada kawasan Regenerasi mangrove secara alami menggunakan sekitarnya. Hidrologi yang mempengaruhi biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber keberhasilan restorasi mangrove, meliputi: pola bibit, sehingga komposisi spesies yang tumbuh pasang surut (frekuensi dan periode), ketinggian tergantung pada populasi mangrove tetangganya. sedimen dan drainase, serta masukan air tawar (Kaly Kemampuan mangrove menyebar dan tumbuh dan Jones, 1996). Kegagalan restorasi seringkali dengan sendirinya tergantung pada kondisi hutan, akibat sulitnya memperbaiki pola hidrologi (Kusler arus pasang surut, dan stabilitas tanah (Kairo et al., dan Kentula, 1990). Pada area dimana terjadi 2001). Pada famili Rhizophoraceae, propagul sedimentasi pasir, kemungkinan diperlukan dilengkapi dengan hipokotil runcing yang akan jatuh pengerukan untuk mencapai tanah mangrove yang dan menanam diri sendiri pada lumpur tidak jauh dari kaya bahan organik. Restorasi hidrologi termasuk induknya (La Rue dan Muzik, 1954), namun apabila menghubungkan kembali area dengan laut terbuka propagul tersebut jatuh pada saat air pasang atau sehingga terjadi arus pasang surut yang normal ombak tinggi, kadang-kadang tidak dapat menancap (Brockmeyer et al., 1997, Turner dan Lewis, 1997), di lumpur, bahkan tersapu dan terbawa arus laut, serta pembatasan pengaruh gelombang akibat lalu hingga tumbuh jauh dari induknya (Rabinowitz, 1978; lintas perahu (Knutson et al., 1981). van Speybroeck, 1992). Kondisi tanah. Tanah sulfat asam (acid soil), yang Penebangan hutan mangrove secara berlebihan umum ditemukan pada area mangrove di seluruh dapat menurunkan stabilitas tanah, sehingga dunia tropis serta diakibatkan oleh oksidasi dan propagul dan anak pohon mudah dihanyutkan ombak asidifikasi sedimen yang mengandung pirit ketika dan regenerasi alami sulit terbentuk (Kairo et al., penggalian dan pengeringan, merupakan tantangan 2001). Di Malaysia, direkomendasikan agar disisakan potensial dalam restorasi ekosistem mangrove sebanyak 12 pohon induk per ha, sebagai penyuplai (Brinkman dan Singh, 1982). Tanah ini dapat memiliki biji regenerasi alami (Tang, 1978, FAO, 1994), namun pH 2 (Kaly dan Jones, 1996). Brinkman dan Singh pada lokasi-lokasi dengan tingkat regenerasi rendah (1982) mengurangi kondisi sulfat asam dengan jumlah tersebut dapat dinaikkan. Di Thailand, BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 113 penggunaan pohon induk diganti lajur-lajur mangrove Pada spesies mangrove tertentu ketersediaan yang tidak ditebangi untuk menjaga regenerasi (FAO, propagul tergantung musim. Propagul mangrove yang 1985). Kelebihan dan kekurangan regenerasi alami telah masak dikoleksi dari pohon induk, dari bawah dan regenerasi buatan tersaji pada Tabel 1. pohon atau dari pantai. Pada Rhizophora dan Ceriops warna hipokotil dapat digunakan untuk membedakan Tabel 1. Kelebih dan kekurangan regenerasi secara alami propagul muda dari yang masak. Pada Avicennia, (Kairo et al., 2001). propagul masak dapat dipetik dengan mudah dari induknya dengan meninggalkan kelopak. Propagul Kelebihan hasil koleksi dapat disimpan dalam kantung plastik lembab selama tiga hari hingga beberapa minggu, di • Lebih murah. tempat teduh, untuk meningkatkan daya tahan • Tidak memerlukan tenaga kerja dan peralatan. terhadap serangan kepiting (Watson, 1928, Dahdouh- • Lebih sedikit disturbansi pada tanah. Guebas et al., 1997). Propagul juga dapat dilindungi • Pertumbuhan anakan pohon lebih subur. dengan mengecat hipokotil atau meletakkannya dalam buluh bambu (FAO, 1994). Sepanjang Kekurangan kelembaban dijaga, propagul mangrove dapat disimpan selama enam bulan (Kairo et al, 2001). • Spesies pengganti kemungkinan berbeda dengan Pada saat penanaman anak pohon baik dari spesies semula. kebun pembibitan atau hutan alam perlu dilakukan • Ketiadaan pohon induk menyebabkan bibit sedikit atau tidak ada. upaya melindungi akar, baik ketika dicabut atau • Pengkayaan genetika sulit terjadi. ditanam. Hal ini biasanya dilakukan dengan • Ombak laut dapat menyebabkan sulit mapan. menyekop anak pohon dengan diameter tanah • Terjadi predasi bibit oleh makrofauna (seperti kepiting separuh tinggi anak pohon. Daya tahan propagul atau dan siput). anak pohon lebih baik (80-100% dari 70.000 setelah • Jarak tanam, asal dan komposisi spesies bibit sulit 24 bulan) dibanding pohon kecil (< 5% setelah 12 dikontrol. bulan). Anak pohon dari kebun pembibitan memiliki daya tahan lebih tinggi (80-100% setelah 24 bulan) dibandingkan seedling alami (Kairo et al., 2001). REGENERASI BUATAN Bibit mangrove dapat pula diperoleh dengan mencangkok, misalnya pada Rhizophora mangle, Regenerasi mangrove secara alami dapat berlang- Avicennia germinans, dan Laguncularia racemosa sung lambat, karena perubahan kondisi tanah, pola (Calton dan Moffler, 1978). Keberhasilan teknik ini hidrologi, dan terhambatnya suplai bibit. Regenerasi tergantung spesies, terdapat perbedaan signifikan buatan pertama-tama harus memperbaiki pola hidro- (p<0,001) keberhasilan pertumbuhan akar antara logi dan penanaman hanya dilakukan jika rekrutmen Sonneratia alba (58,8%), Lumnitzera racemosa alami tidak mencukupi atau kondisi tanah mengha- (36,5%), dan Xylocarpus granatum (4,4%). langi pemantapan alami. Penanaman mangrove telah Regenerasi buatan memiliki beberapa keuntungan berhasil dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, India, antara lain: distribusi dan komposisi spesies dapat Filipina, Thailand, dan Vietnam. Kebanyakan spesies diatur, tumbuhan dapat diperkaya secara genetik, dan yang ditanam termasuk dalam famili Rhizophoraceae, serangan hama dapat dikendalikan (Field, 1998a). Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae (Kairo et al., 2001). Teknik regenerasi buatan umumnya menggunakan propagul, kadang-kadang anak pohon SPESIES YANG DITANAM (tinggi < 1,2 m), tetapi jarang menggunakan pohon kecil (tinggi > 6 m). Metode ini sudah digunakan sejak Informasi teknik pembibitan mangrove memusat Watson (1928) hingga kini (Kogo et al., 1987, pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar Qureshi, 1990, Siddique et al., 1993). 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan Propagul Rhizophora sering dipilih karena memiliki minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hipokotil panjang sehingga dapat ditancapkan hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk langsung di lapangan, namun teknik ini tidak dapat restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, digunakan pada anggota genus mangrove lain. Pada Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoe- umumnya, propagul ditanam dengan jarak 1 meter caria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. (10.000 per ha). Pada mangrove, angka kematian Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada bibit awal relatif rendah, tetapi tingkat daya hidup tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, yang diharapkan biasanya hanya sekitar 50%, serta iklim mikro lainnya (Choudhury, 1996; 2000). sehingga diperoleh kepadatan hutan mangrove Di kebanyakan negara, pada mulanya penanaman dewasa yang ideal, sekitar 1.000 pohon per hektar (1 mangrove dilakukan dengan propagul atau seedling pohon per 10 m2). Penanaman anak pohon sebaiknya yang dikumpulkan dari lantai hutan. Sekarang dilakukan pada awal musim hujan, meskipun dapat material yang digunakan adalah seedling alami, biji pula ditanam sepanjang tahun (Kairo et al., 2001). atau propagul, dan seedling pembibitan. Hutan BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 1 Tabel 2. Teknik penanaman beberapa spesies mangrove yang utama di Bali (Kitamura dkk., 1997).

Rhizophora Rhizophora apiculata Bruguiera Sonneratia alba Avicennia marina Ceriops tagal Xylocarpus mucronata gymnorrhiza granatum Musim buah September-Desember Desember-Pebruari Mei-Desember April-Juni dan Desember-Pebruari Agustus-Desember September-Desember September-Oktober Kriteria buah Kotiledon hijau muda Kotiledon merah, Kotiledon hijau tua Buah jatuh dari pohon, Berat buah tanpa Kotiledon kuning, Buah kuning hingga atau kuning, panjang > panjang > 20 cm, hingga merah, biji mengapung di air kelopak 1,5 g, panjang panjang > 20 cm, cokelat, permukaan 50 cm, dipilih propagul diameter > 1,4 cm, panjang > 20 cm. tawar. > 1,8 cm. Sebelum dipilih propagul yang biji cokelat kekuningan yang bebas penyakit. dipilih propagul yang ditanam direndam air bebas penyakit. dengan bintik-bintik bebas penyakit semalam untuk kelabu, tali ari tampak. membuang kulitnya. Media tanam Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. Tanah yang dicampur Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. Tanah tepi tambak. 30% pupuk kandang. Pembibitan Propagul ditancapkan Propagul ditancapkan Propagul ditancapkan Biji dipendam sedalam Biji dipendam sedalam Biji dipendam Biji diletakkan di atas sedalam 10 cm. sedalam 5 cm. sedalam 5 cm. separuh panjangnya, 1/3 panjangnya, sedalam 5 cm. tanah dengan posisi dua biji per pot. diletakkan bebas dari radikula di bawah. pasang surut hingga berakar. Naungan 50% 50%. 30%. 30%. 30%. 50%. 30%. Pengairan Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus Disiram dua kali Mengikuti arus pasang Mengikuti arus pasang pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut dan sehari pada saat tidak surut, dan disiram surut, dan disiram pengairan buatan ada pasang, dan pada saat air surut. pada saat air surut. setiap hari. sekali ketika ada pasang, saat air surut. Hama dan penyakit Kepiting, ulat, dan Tidak ada yang cukup Tidak ada yang cukup Tikus, kepiting, dan Tikus, kepiting, dan Tidak ada yang cukup Tidak ada yang cukup kumbang. berarti. berarti. ulat. ulat. berarti. berarti. Cara mengatasi Kepiting memakan Tikus memakan biji, Tikus memakan biji, , propagul baru, diatasi daun muda dan tunas diatasi dengan dengan meletakkan muda, diatasi dengan memasang jaring pangkal bibit setinggi memasang jaring keliling kebun. 20 cm di atas dasar. keliling kebun. Kepiting memakan Ulat dan kumbang Kepiting memakan tunas muda dan daun, memakan ujung tunas muda dan daun, diatasi dengan propagul, diatasi diatasi dengan memasang lembaran secara manual. memasang lembaran plastik keliling kebun. plastik keliling kebun. Ulat diatasi dengan Ulat diatasi dengan memasang jaring memasang jaring halus keliling kebun. halus keliling kebun. Lama pembibitan 4-5 bulan, tinggi 4-5 bulan, tinggi 3-4 bulan, tinggi 5-6 bulan, tinggi 3-4 bulan, tinggi 6-7 bulan, tinggi 3-4 bulan, tinggi seedling > 55 cm, seedling > 30 cm, seedling > 35 cm, seedling > 15 cm, seedling > 30 cm, seedling > 20 cm, seedling > 20 cm, jumlah daun 2 pasang. jumlah daun 2 pasang. jumlah daun > 3 jumlah daun > 3 jumlah daun > 3 jumlah daun > 2 jumlah daun > 2 pasang. pasang. pasang. pasang. pasang. Penanaman Polibag dibuang dan Polibag dibuang dan Polibag dibuang dan Polibag dibuang. Polibag dibuang. Polibag dibuang dan Polibag dibuang. 1/3 bagian propagul 1/3 bagian propagul 1/3 bagian propagul 1/3 bagian propagul dibenamkan. dibenamkan. dibenamkan, pada dibenamkan. penaman langsung kelopak tidak dibuang. BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 115 mangrove alami biasanya memiliki sejumlah besar Malaysia biasanya dipilih propagul dalam praktek seedling alami. Mereka sering kali sama tingginya penanaman, sehingga spesies yang ditanam umurnya bervariasi mulai dari 1-6 tahun. Seedling umumnya Rhizophora (Choudhury, 2000). alami yang bangsor, halus, dan sehat memiliki Penanaman mangrove memerlukan masa kemampuan tumbuh lebih baik (Choudhury, 1996). perawatan intensif sekitar 75 hari setelah tanam, Penggunaan biji dan propagul di penghutanan dimana diperlukan penggantian bibit yang tersapu mangrove biasa dilakukan, khususnya propagul ombak, tererosi, dimakan kepiting, bibit yang tidak vivipar. Beberapa spesies tumbuhan mangrove sehat dan mati serta menjaga drainase, membuang memerlukan kebun pembibitan. Di Bali, pembibitan sampah, dan menjaga dari erosi. Semak-semak dilakukan terhadap Rhizophora mucronata, mangrove yang tebal dapat terbentuk setelah 5 Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, tahun. Adapun pohon mangrove dewasa dengan Sonneratia alba, Avicennia marina, Ceriops tagal, dan tinggi lebih dari 5 m, akar penyangga kuat, rangkaian Xylocarpus granatum (Kitamura dkk., 1997). Di Jawa, akar nafas luas, dan kanopi rapat dapat terbentuk pembibitan umumnya dilakukan terhadap Rhizophora dalam waktu 15 tahun (Choudhury, 1996). Perbedaan spp. seperti dilakukan kelompok tani di pesisir signifikan komposisi dan keanekaragaman fauna Rembang, Probolinggo, dan Perhutani di Indramayu. mulai teramati 5 tahun setelah penanaman. Para petani membibitkan Rhizophora untuk Kepadatan makrofauna tanah pada ekosistem yang memenuhi kebutuhan proyek-proyek restorasi direstorasi lebih tinggi daripada ekosistem yang mangrove. Proyek-proyek ini sering kali identik dibiarkan terbuka, serta sama dengan ekosistem dengan penanaman bakau yang memiliki bentuk alami (Kairo et al., 2001). perakaran khas. Masyarakat di pantai utara Jawa juga biasa menggunakan seedling alami Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia untuk menguatkan tanggul- PEMANTAUAN AREA RESTORASI tanggul tambak, terutama yang berbatasan langsung dengan sungai atau laut (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Area restorasi mangrove perlu dipantau (Tabel 3). Tabel 3. Aktivitas pemantauan setelah penanaman mangrove (Field, 1998b). TEKNIK PEMBIBITAN DAN PENANAMAN Aktivitas Tindakan di lapangan Di Bali, pembibitan dilakukan di kebun persemaian Memantau Mengecek kebenaran asal usul yang letaknya di lokasi mangrove, sehingga bibit perkembangan spesies propagul dan biji dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan di area Memantau laju Mengamati kerapatan sapling penanaman. Seedling ditanam dalam polibag yang pertumbuhan sejalan dan pohon, diameter batang, diisi tanah, dimana penyiraman umumnya mengikuti dengan umur tinggi dan volume pohon. arus pasang laut. Penanaman langsung propagul Mengukur pertambahan tahunan. Rhizophora dimungkinkan pada lokasi yang dangkal Memantau Mengamati struktur batang, (Kitamura dkk., 1997). Di Rembang, pembibitan tidak pertumbuhan sifat-sifat nodus, fenologi, pembuahan, dilakukan pada area khusus, tetapi di bawah tegakan khusus serta resistensi terhadap hama dan penyakit. mangrove yang agak terbuka atau di tepian area Mencatat tingkat Menyiapkan penjelasan ilmiah mangrove, pada batas dengan daratan. Propagul kegagalan anak pohon mengenai kegagalan ini. ditanam pada polibag yang cukup tinggi untuk Mencatat tingkat Mencatat asal sampah dan mengurangi pemangsaan oleh kepiting (ADS, 2002- akumulasi sampah langkah yang diambil untuk 2003, pengamatan pribadi). Cara pembibitan mengatasinya. berbagai spesies mangrove antara lain dipublikasikan Mengatur kerapatan Mencatat tingkat kelebatan, oleh Choudhury (1994, 1996, 2000) berdasarkan seedling dan anak regenerasi buatan atau alami. penelitian di Banglades, namun dalam tulisan ini pohon pada tingkat Mencatat pertumbuhan pohon. hanya dikemukan cara pembibitan mangrove tujuh optimum Memperkirakan total Mencatat semua pengeluaran, spesies di Bali oleh Kitamura et al. (1997), mengingat biaya akhir proyek meliputi persiapan lokasi, koleksi kedekatan ekosistemnya dengan Jawa (Tabel 2.). restorasi propagul, pembibitan di kebun, Penanaman seedling umumnya dilakukan pada penanaman di lapangan dan bulan Desember s.d. Januari, pada awal musim lain-lain. hujan. Waktu penanaman juga memperhatikan kalen- Memantau dampak Hal ini merupakan catatan der hijriah, dimana penanaman dilakukan seminggu penebangan hutan restorasi jangka panjang setelah tanggal 14 atau 15 saat pasang sedang mangrove di sekitarnya rendah. Bibit yang digunakan biasanya berketinggian Memantau sifat-sifat Mengukuran secara terinci sekitar 60 cm, bibit yang lebih tinggi dapat ditanam ekosistem mangrove mengenai fauna, flora dan yang direstorasi parameter lingkungan dari pada area dengan tingkat penggenangan lebih ekosistem hasil restorasi dan dalam, tetapi bibit dengan ketinggian lebih dari 1,5 m membandingkannya dengan sebaiknya tidak digunakan. Di Indonesia dan ekosistem mangrove alami. 116 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah Baowen, L. 1997. The present situation and prospects of mangrove ditanam sangat diperlukan untuk menjamin afforestation in China. World Forestry Congress 1997. Brinkman, R., and V.P. Singh, 1982. Rapid reclamation of keberhasilan program restorasi. Parameter yang fishponds on acid sulphate soils. In Dost, H. & N. van Breemen perlu diperhatikan dalam proyek restorasi disajikan (ed.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid pada Tabel 3. Aktivitas ini serupa dengan aktivitas Sulphate Soils. ILRI. Wageningen, Nederlands, Publication 31: yang dilakukan pada proyek kehutanan pada 318-330. Brockmeyer, R.E. Jr., J.R. Rey, R.W. Virnstein, R.G. Gilmore, and umumnya (Field, 1998b). L. Ernest. 1997. Rehabilitation of impounded estuarine wetlands by hydrologic reconnection to the Indian River Lagoon, Florida (USA). Wetlands Ecology and Management 4 PENUTUP (2): 93-109. Cairns, J. 1988 Restoration ecology: the new frontier. In Restoration of Damaged Ecosystems, Volume 1. Boca Raton, Mangrove merupakan ekosistem yang Flo.: CRC Press. menghubungkan hidupan laut dan daratan, serta Calton, J.M. and M.D. Moffler. 1978. Propagation of mangroves by menjadi daerah penyangga dan ekoton antar kedua air-layering. Environmental Conservation 5: 147-150 Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: hidupan tersebut. Semua aktivitas yang dilakukan di J.Cramer Verlag. darat dan di laut dapat mempengaruhi eksistensi Choudhury, J.K. 1994. Mangrove re-afforestation in Bangladesh. ekosistem ini. Nilai penting ekosistem mangrove telah Proceedings on the Workshop on ITTO Project Development diketahui secara luas, namun hingga kini penurunan and Dissemination of Re-afforestation Techniques on Mangrove Forests: 18-20 April 1994. Bangkok Thailand. luasan mangrove di seluruh dunia yang terus Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove berlanjut. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: antara teori yang menyatakan perlunya pemanfaatan Asia Development Bank. ekosistem mangrove secara lestari dan praktek yang Choudhury, J.K. 2000. Sustainable management of coastal mangrove forest development and social needs. Mangroves menunjukkan dilaksanakannya pemanfaatan secara and Other Coastal Forests. www.fao.org/montes/ tidak lestari. Mangrove merupakan ekosistem yang foda/wforcong/ PUBLI/PDF/V6E_T386.PDF. sangat viabel. Ekosistem mangrove yang rusak dapat Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest memulihkan diri sepanjang faktor-faktor lingkungan management. In Hussain Z. and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland: seperti pola hidrologi, kondisi tanah, dan ketersediaan IUCN Wetlands Program. propagul mendukung, namun pada kondisi daya Cintron-Molero, G. 1992. Restoring mangrove systems. In Thayer, lenting terpatahkan perlu dilakukan campur tangan G.W. (ed.). Restoring the Nation’s Marine Environment. dengan melakukan regenerasi secara buatan. Teknik Maryland: Maryland Seagrant Program, College Park. Crewz, D.W. and R.R. Lewis. 1991. An evaluation of historical manajemen mangrove yang ada saat ini sering kali attempts to establish emergent vegetation in marine wetlands gagal untuk mempertahankan kelestarian sumber in Florida. Florida Sea Grant Technical Publication No. 60, daya ini. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan yang Gainesville, Flo:.Florida Sea Grant College. lebih luas dengan mengintegrasikan manajemen Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, and N. Koedam. 1997. Food preferences of Neosarmatium meinerti de Man kawasan pesisir, dengan memasukkan unsur-unsur (Decapoda: Sesarminae) and its possible effect on the penting seperti ekologi, sosial ekonomi, dan sosial regeneration of mangroves. Hydrobiologia 347: 83-89 budaya sehingga dapat memenuhi hajat hidup orang Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, D. Van Speybroeck, banyak, sekaligus memelihara biodiversitas secara and N. Koedam. 1998. Propagule predators in Kenyan mangroves and their possible effect on regeneration. Marine luas. and Freshwater Research 49: 345-350 Detweiler, T.E., F.M. Dunstan, R.R. Lewis, and W.K. Fehring. 1976. Patterns of secondary succession in a mangrove community. DAFTAR PUSTAKA Proceedings of the Second Annual Conference on Restoration of Coastal Plant Communities in Florida. Tampa, FL: Hillsborough Community College. Aksornkoae, S. 1996. Reforestation in mangrove forests in Duke, N. 1996. Mangrove reforestation in Panama: an evaluation of Thailand, A case study in Pattani Province. In Field, C.D. (ed.) planting areas deforested by a large oil spill. In: Field C. (ed.) Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Tropical Timber Organization and International Society for Alongi, D.M. 1994. The role of bacteria in nutrient recycling in Mangrove Ecosystems. tropical mangrove and other coastal benthic ecosystems. Dutrieux, E., F.Martin, and A. Debry. 1990. Growth and mortality of Hydrobiologia 285: 19-32. Sonneratia caseolaris planted on an experimentally oil- Anonim. 1991. Application social forestry strategy by using polluted soil. Marine Pollution Bulletin 21: 62-68. silvofishery system for supporting national food production. FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and Bandung: Perum Perhutani Unit III West Java. Indonesia. Rome: FAO Environment Paper. Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon, FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia Forestry Paper. 6: 31-34. Field, C. 1996. Restoration of mangrove Ecosystems. Okinawa: Anonim. 2001. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South International Tropical Timber Organization and International Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf. Society for Mangrove Ecosystems. Anonim. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Field, C. 1998a. Rationales and practices of mangrove Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. afforestation. Marine and Freshwater Research 49: 353-358 Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Field, C. 1998b. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104-117. overview. Marine Pollution Bulletin 37: 383-392 Ball, M. C. 1980. Patterns of secondary succession in a mangrove Fitzgerald, B. 2002. Case study 5: integrated mangrove forest and forest in south Florida. Oecologia (Berl.) 44: 226-235. aquaculture systems (silvofisheries) in Indonesia. In Macintosh D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118 117

Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Kompas, 15/08/2002. Parah Abrasi di Pantura Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared under the Kusler, J.A. and M.E. Kentula. 1990. Wetland Creation and World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Restoration: The Status of the Science. Washington: Island Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Press. Public Discussion. Published by the Consortium. La Rue, C.D. and T.J. Muzik. 1954. Does mangrove really plant its Fitzgerald, B. and L.A. Savitri. 2002. Case study 6: integration of seedling. Nature 114: 661-662 silvofisheries into coastal management and mangrove Lewis, R.R. 1982. Low marshes, peninsular Florida. In Lewis, R.R. rehabilitation in Java, Indonesia. In Macintosh D.J., M.J. (ed.). Creation and restoration of coastal plant communities Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the Thematic Boca Raton, FL.: CRC Press. Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Lewis, R.R. 1990a Creation and restoration of coastal wetlands in Case studies 1-6. Report prepared under the World Bank, Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E. NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Farming and the Environment. Work in Progress for Public Science. Washington: Island Press. Discussion. Published by the Consortium. Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/enhancement Fitzgerald, W.J. 1997. Silvofisheries-an environmentally sensitive terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and integrated mangrove forest and aquaculture system. M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Aquaculture Asia 2 (3): 9-17. Status of the Science. Island Press, Washington, D.C., USA. Gill, A. M. 1971. Mangroves-is the tide of public opinion turning? Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery Fairchild Tropical Garden Bulletin 26: 5-9. management tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Coastal Fish Habitat Loss; Proceedings of a Symposium on Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, Conservation of Coastal Fish Habitat, Baltimore, MD, USA, East-West Center. March 7-9 1991. National Coalition for Marine Conservation, Hannan, J. 1975. Aspects of red mangrove reforestation in Florida. Inc., Savannah, Georgia, USA. Proceedings of the Second Annual Conference on the Lewis, R.R. and M.J. Marshall. 1997. Principles of successful Restoration of Coastal Vegetation in Florida. restoration of shrimp aquaculture ponds back to mangrove Hardjosuwarno, S. 1989. The impact of oil refinery on the forests. Programa/resumes de Marcuba ‘97, September 15/20, mangrove vegetation. BIOTROP Special Publications 37: 187- Palacio de Convenciones de La Habana, Cuba. 192. Lewis, R.R., and B. Streever. 2000. Restoration of mangrove Hartina, 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH habitat. WRP Technical Notes Collection (ERDC TN-WRP-VN- Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis]. RS-3.2). Vicksburg, MS.: U.S. Army Engineer Research and Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Development Center. www.wes.army.mil/el/wrp. Hassan, H.H.A. 1981. A Working Plan for the Second 30-year Lewis, R.R., J.A. Kusler, and K.L. Erwin. 1995. Lessons learned Rotation of the Matang Mangrove Forest Reserve Perak 1980- from five decades of wetland restoration and creation in North 89. Perak, Malaysia: State Forestry Department Publication. America. pp. 107-122 In Montes, C., G. Oliver, F. Molina, and Hoffman, W.E., M.J. Durako, and R.R. Lewis. 1985. Habitat J. Cobos (eds.) Bases Ecologicas para la Restauracion de restoration in Tampa bay. In: Simon, S.A.F., R.R. Lewis, and Humedales en la Cuenca Mediterranea. Proceedings of a R.R. Whiman. (eds.) Treat, Proc. Tampa Bay Area Scientific meeting held at the University of La Rabida, Spain. 7-l 1 June Inf. Symp. Tampa: Florida Sea Grant College & Bellwether 1993. Junta de Andaluca, Spain. Press. Lin, J. And J.L. Beal. 1995. Effects of mangrove marsh IPIECA. 1993. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. management on fish and decapod communities. Bulletin of IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Marine Sciences 57: 193-201. Environmental Conservation Association. Loyche M. 1989. Mangrove of West Africa — the forest within the Jimenez, JjA. 1990. The structure and function of dry weather sea. Mangroves and Fish. IDAF Newsletter 9: 18-31 mangroves on the Pacific coast of Central America, with McKee, K.L., and P.L. Faulkner. 2000. Restoration of emphasis on Avicennia bicolor forests. Estuaries 13: 182-192 biogeochemical function in mangrove forests. Restoration Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Ecology 8: 274-259 Restoration and management of mangrove systems — a McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the 1997-1998 El-Nino. lesson for and from the East African region. South African Science 283: 950-954. Journal of Botany 67: 383-389. Media Indonesia, 03/10/2003. Abrasi Pantura Tangerang Makin Kaly, U.L. and G.P. Jones. 1996. Mangrove Restoration: a Mengkhawatirkan Potential Tool for Ecosystem Management of Coastal Media Indonesia, 08/04/2003. 20 Km Pantura Cirebon dan Fisheries. Queensland: Department of Marine Biology, James Indramayu Mengalami Abrasi Cook University, Queensland, Australia. Media Indonesia, 15/09/2003. Nelayan Keluhkan Pengerukan Pasir Khoon, G.W. and O.J. Eong. 1995. The use of demographic Laut studies in mangrove silviculture. Hydrobiologia 295: 255-261. Media Indonesia, 17/06/2002. 124 Pantai di Indonesia Mengalami Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Kerusakan Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Media Indonesia, 19/08/2002. Desa-desa di Pesisir Tangerang Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Makin Terancam Abrasi Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan Media Indonesia, 28/07/2003. Ribuan Hektare Tambak di Brebes, International Cooperation Agency. Cirebon, dan Indramayu Lenyap Terkena Abrasi Knutson, P.L., J.C. Ford, M.R. Inskeep, and J. Oyler. 1981. Media Indonesia, 31/05/2002. Pantai Slamaran di Pekalongan National survey of planted salt marshes (vegetative Alami Abrasi stabilization and wave stress), Journal of the Society of Mish, F.C. (ed.). 1989. Webster’s ninth new collegiate dictionary. Wetland Scientists 1, 129-156. Springfield, MS.: Merriam-Webster Inc. Kogo, M., D. Kamimura, and T. Miyagi. 1987. Research for Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous rehabilitation/reforestation of mangroves in Truk Island. In: disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity Mangroves of Asia and the Pacific: Status and Management. and Disturbance. New York: Springer-Verlag. Technical Report of the UNDP/UNESCO Research and Noakes, D.S.P. 1951. Notes on the silviculture of the mangrove Training Pilot Programme on Mangrove Ecosystems in Asia forest of Matang, Perak. Malaysian Forester 14: 183-196. and the Pacific (RAS/79/002). Quezon City, Phillipines: Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection. UNESCO. Hydrobiologia 285: 277-282. Kompas, 06/08/2002. 29 Hektar Pantai Muara Reja Terkena Abrasi Phillips, R.C. and C.P. McRoy (eds.). 1980. Handbook of Seagrass Kompas, 06/10/2003. Reklamasi Pantai Jakarta Memperparah Biology and Ecosystem Perspective. New York: Garland STPM Abrasi Press. Kompas, 10/11/2002. Pantai Dadap Direklamasi Untuk Tempat Pikiran Rakyat, 04/04/2002. Pantai Pakisjaya Dikeruk Warga Wisata Khawatirkan Abrasi. 118 SETYAWAN dkk. – Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

Pikiran Rakyat, 14/03/2003. Ribuan Hektare Pantai Habis Digerus Soemodihardjo, S., P. Wiroatmodjo, F. Mulia, and M.K. Harahap. Abrasi. 1996 Mangroves in Indonesia, a case study of Tembilahan, Pikiran Rakyat, 27/12/2002. 20 Kilometer Pantai Rusak Karena Sumatra. In Fields, C. (ed.) Restoration of Mangrove Abrasi. Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove Pratt, J.R. 1994. Artificial habitats and ecosystem restoration: Ecosystems. Managing for the future. Bulletin of Marine Sciences 55: 268- Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused 275. shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W. Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture (ed.). An International Perspective on Wetland Rehabilitation. in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Primavera, J.H. and R.F. Agbayani. 1996. Comparative strategies Streever, W. (ed.). 1999. An International Perspective on Wetland in community based mangrove rehabilitation programs in the Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Philippines. Proceedings of the ECOTONE V Regional Suara Merdeka, 09/04/2003. Kampanye Tanam Bakau di Seminar: Community Participation In Conservation, Telukawur. Sustainable Use and Rehabilitation of Mangroves In Southeast Suara Merdeka, 26/01/2003. Abrasi Pantai di Kendal dan Demak. Asia. Ho Chi Minh City, Vietnam, 8-12 January, 1996. Suara Pembaruan, 03/03/2002. Pengelolaan Pesisir Harus Mangrove Ecosystem Research Centre (MERC), and Vietnam Libatkan Warga Lokal National University. Suara Pembaruan, 07/07/2002. Abrasi Mengancam Desa Pulver, T.R. 1975. Suggested mangrove transplanting techniques. Limbangan Proceedings of the Second Annual Conference on the Suara Pembaruan, 11/12/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa Restoration of Coastal Vegetation in Florida. Mengkhawatirkan Qureshi MT. 1990. Experimental plantation for rehabilitation of Suara Pembaruan, 19/04/2003. 25.000 Batang Mangrove Ditanam mangrove forests in Pakistan. Mangrove Ecosystem di Segara Anakan Occasional Papers 4. UNESCO, COMAR, UNDP Suara Pembaruan, 30/06/2002. Dilema Lingkungan Akibat Tambak Rabinowitz, D. 1978. Early growth of mangrove seedlings in Udang Panama, and hypothesis concerning the relationship of Tampa, S. and P. Tampa. 1988. Establishment and growth of dispersal and zonation. Journal of Biogeography 5: 113-133. mangrove seedlings in mangrove forests of southern Thailand. Republika Online, 15/07/2002. Kawasan Pantai Sidoarjo Akan Ecological Research 3: 227-238. Ditanami 20.000 Pohon Mangrove. Tang, H.T. 1978. Regeneration stocking adequacy standards. Republika Online, 15/07/2003. Sejumlah Tambak Terkena Dampak Malaysian Forester 41: 176-182 Abrasi. Teas, H.J. 1977. Ecology and restoration of mangrove shorelines in Republika Online, 17/04/2002. Abrasi Laut Ancam Permukiman Florida. Environmental Conservation 4: 51-58 Ratusan Warga Indramayu. Teas, H.J. 1980. Saline silviculture. 2nd International Workshop on Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the Biosaline Research, La Paz, Baja, California sur, Mexico. mangrove afforestation proqramme of Bangladesh. Ocean and Teas, H.J., W. Jurgens, and M.C. Kimball. 1975. Planting of red Coastal Management 20: 23-29. mangroves (Rhizophora mangle L.). In: Lewis RR (ed.) Sanyal, P. 1998. Rehabilitation of degraded mangrove forests of Proceedings of the 2nd Annual Conference on the Restoration the Sunderbans of India. Program of the International of Coastal Vegetation, Florida; May 17, 1975, Hillsborough Workshop on the Rehabilitation of Degraded Coastal Systems. Community College, Tampa, Florida. Phuket Marine Biological Center, Phuket, Thailand. 19-24 Tessar, B. dan K.I. Insan. 1993. Melacak gubug akhir hutan bakau. January 1998. Warta Konservasi Lahan Basah 2 (2): 8-9. Setyawan, A.D., K. Winarno, P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Thorhaug, A. 1990. Restoration of mangroves and seagrasses- Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas economic benefits for fisheries and mariculture. In Berger, J.J. 4 (2): 133-145. (ed.) Environmental Restoration: Science and strategies for Siddique, N.A., M.R. Islam, M.A.S. Khan, and M. Shahidullah. restoring the earth ed. Washington, D.C.: Island Press. 1993. Mangrove nurseries in Bangladesh. International Society Turner, R.E. and R.R. Lewis. 1997. Hydrologic restoration of for Mangrove Ecosys stems Occasional Papers No.1. Okinawa: coastal wetlands. Wetlands Ecology and Management 4 (2): International Society for Mangrove Ecosystems. 65-72. Simberloff, D. 1990. Reconstructing the ambiguous: Can island van Speybroeck, D. 1992. Regeneration strategy of mangroves ecosystems be restored? In Towns, D.R., C.H. Daugherty, and along the Kenyan coast: A first approach. Hydrobiologia 247: I.A.E. Atkinson. Ecological Restoration of New Zealand Islands; 243-251 Conservation Sciences Publication No. 2. Wellington: Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Department of Conservation, New Zealand. Kulala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6 Smith, T.J. 1987a. Seed predation in relation to tree dominance Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology and distribution in mangrove forests. Ecology 68: 266-273. of Java and Bali. Singapore: Periplus. Smith, T.J. 1987b. Effects of seed predators and light level on the Widiarti, A. and R. Effendi. 1989. Socio-economic aspects of distribution of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in tropical, tidal brackishwater pond forest in mangrove forest complex. forests. Estuarine, Coastal and Shelf Science 25: 43-51. Symposium Mangrove Management in Indonesia. Biotrop Smith, T.J. 1987c. The influence of seed predators on structure and Special Publication No. 37: 275-279. succession in tropical tidal forests. Proceedings Ecological Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Society Australia 15: 203-211. Sungai Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72. THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK ISSN: 1412-033X

Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri 43-47 Pengoksidasi Amonia DWI AGUSTIYANI, HARTATI IMAMUDDIN, ERNI NUR FARIDAH, OEDJIJONO Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil 48-51 Kelapa dan Bungkil Inti Sawit LAELA SARI, TRESNAWATI PURWADARIA The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia 52-60 MUZAYYINAH, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, JOHANIS P. MOGEA, PETER VAN WALZEN Study of Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. Species Commercial Values 61-65 and Possible Utilization TITI KALIMA, JASNI Deskripsi Jenis-jenis Anggota Suku Rhizophoraceae di Hutan Mangrove Taman 66-70 Nasional Baluran Jawa Timur SUDARMADJI Keanekaragaman Tumbuhan dan Populasinya di Gunung Kelud, Jawa Timur 71-76 INGE LARASHATI Keanekaragaman Anggrek di Situ Gunung, Sukabumi 77-80 NINA RATNA DJUITA, SRI SUDARMIYATI, HENDRIUS CANDRA, SARIFAH, SITI NURLAILI, RULLY FATHONY Potensi Hutan Bukit Tapak Sebagai Sarana Upacara Adat, Pendidikan, dan Konservasi 81-84 Lingkungan I WAYAN SUMANTERA Pengujian Mikroba sebagai Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Tanaman Acacia 85-88 mangium pada Pasir Steril di Rumah Kaca SRI PURWANINGSIH REVIEW: Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia 89-95 PURWANINGSIH REVIEW: Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional 96-104 Baluran Jawa Timur D J U F R I REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi 105-118 AHMAD DWI SETYAWAN, KUSUMO WINARNO, PURIN CANDRA PURNAMA

Gambar sampul depan: Koilodepas frutescens (Blume) Airy Shaw

Terbit dua kali setahun