PENGANTAR EDITOR

“Hidup itu ibarat naik sepeda, agar tidak terjatuh dan dapat menjaga keseimbangan, kita harus terus bergerak, dan mengayuhkan kaki.”

Demikian bunyi salah satu kalimat bijak yang pernah saya dengar. Saya tidak tahu siapa penyusun kalimat bijak itu, namun bagi saya, kalimat bijak itu begitu berkesan. Coba dibayangkan apa yang akan terjadi bila seseorang menaiki sepeda, namun dia diam saja di atas sadel sepeda itu. Ya, pasti orang itu akan jatuh bersama sepedanya. Hidup pun demikian adanya. Bila seseorang ingin bisa bertahan hidup, tentu ia harus bergerak, terus berusaha, agar ia mampu menghidupi dirinya dan menjadi pribadi yang berhasil dalam hidupnya. Bahkan sejak lahir pun manusia telah ditakdirkan untuk berusaha bila ia ingin bertahan hidup. Konon kabarnya, bila ada seorang bayi yang baru lahir dan dia diam saja, tidak menangis atau kurang keras tangisnya, bidan atau dokter yang membantu kelahirannya pasti akan berusaha sekeras mungkin agar sang bayi bisa menangis. Kerasnya tangis sang bayi yang baru lahir konon menjadi indikator sehatnya paru-parunya, paru-parunya sudah siap memompa udara yang sangat dibutuhkan dalam kehidupannya. Hidup memang harus terus berjalan sepanjang paru-paru masih terus memompa udara dan Allah masih memberikan anugerah hidup itu kepada kita. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik, kita wajib berusaha menjadikan hidup selalu lebih baik dari hari ke hari. Untuk itu berbagai upaya terus dilakukan agar kualitas hidup meningkat. Dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan inilah buku kecil ini, Seuntai Asa untuk UNESA, ditulis oleh sebagian dosen Universitas Negeri Surabaya yang pada periode ini tergabung dalam Senat Universitas Negeri Surabaya. Berbagai pemikiran untuk meningkatkan kualitas kehidupan, khususnya melalui jalur pendidikan, disajikan sesuai dengan minat atau bidang keilmuan penulis kontributor buku ini.

Seuntai ASA untuk UNESA | iii

Hal yang unik dan menarik dari Matematika ditulis oleh Mega Teguh Budiarto dan Siti M Amin. Kedua penulis masing-masing mengungkap bagaimana sebenarnya Matematika telah dimanfaatkan dalam ragam hias beberapa rumah adat berbagai suku di Indonesia dan adanya keindahan Matematika di balik rumitnya menghitung angka-angka. Bagi mereka yang tertarik pada tren pembelajaran terkini bagaimana sebaiknya pendidikan konstruktivistik diterapkan dalam pembelajaran diungkapkan Mustaji lengkap dengan langkah- langkah penerapannya. Sedangkan Muslimin Ibrahim berbicara tentang berpikir tingkat tinggi dan pembudayaan nilai melalui ilmu kealaman yang pada abad ke 21 ini menjadi isu hangat di dunia pendidikan. Supari Muslim dan kawan-kawan menyumbangkan pemikirannya bagaimana membantu praktisi UMKM kerupuk dalam mengembangkan bisnis mereka melalui pemanfaatan teknologi sederhana tepat-guna. Terkait dengan kehidupan sosial dan kemanusiaan, Rindawati berbicara tentang kegigihan bakul Semanggi, kuliner khas Surabaya, dalam menjajakan dagangannya di kampung- kampung di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan Surabaya. Sementara, melalui ‘Seputih awan, sesejuk embun pagi,’ Muchlas Samani mengungkapkan kerinduannya kepada sosok (almarhum) sang bunda. Mengamati bagaimana masyarakat menuliskan pesan dalam surat elektronik dan WhatsApp, Kisyani-Laksono menawarkan tips bagaimana sebaiknya berkomunikasi melalui kedua sarana telekomunikasi tersebut. Agar berkembang menjadi lembaga pendidikan tinggi yang mapan dan disegani, sebuah universitas, termasuk UNESA, perlu melakukan pembenahan dalam mengelola sumber daya manusia, kurikulum dan pembelajaran, dan sarana dan prasarana. Dalam buku kecil ini Hariyati, Madlazim, dan Lies Amin Lestari secara berturut- turut memaparkan idenya tentang intelectual capital, menuju universitas kelas dunia berwawasan keindonesiaan, dan menjadikan kampus ramah lingkungan. Meskipun Seuntai Asa untuk UNESA ini buku yang sederhana, namun harapannya ia bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi iv | Seuntai ASA untuk UNESA kemajuan pendidikan di Indonesia. Buku ini sengaja diluncurkan tepat pada tanggal 2Mei 2016 bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional dengan harapan ide yang tercurah di dalamnya dapat menginspirasi pihak-pihak terkait yang peduli terhadap pendidikan di tanah air. Memang, proses untuk mewujudkan mimpi memiliki sistem pendidikan yang baik tidak semudah membalikkan tangan. Namun usaha tetap harus dilakukan demi mencapai tanah harapan. Ibarat berlayar menuju negeri impian, tentu ombak yang besar yang diakibatkan oleh tiupan angin laut tidak mungkin terhindarkan. Namun seorang pelaut ulung akan selalu punya cara untuk tetap mengendalikan layar agar kapal tetap berlayar ke arah tujuan. We cannot direct the wind, but we can always adjust the sail (Jimmy Dean, 1928).

Surabaya, 2 Mei 2016

Editor

Seuntai ASA untuk UNESA | v

vi | Seuntai ASA untuk UNESA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... vii 1 ETNO-MATEMATIKA SEBAGAI BATU PIJAKAN UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA DAN PENANAMAN KARAKTER Mega Teguh Budiarto ...... 1 2 KEINDAHAN MATEMATIKA Siti M. Amin ...... 22 3 BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER THINKING) Muslimin Ibrahim ...... 32 4 PEMBUDAYAAN NILAI (VALUE) MELALUI ILMU KEALAMAN (SAINS) Muslimin Ibrahim ...... 43 5 PENINGKATAN KINERJA UMKM PRODUSEN MELALUI DIVERSIFIKASI PRODUK DAN MESIN PENGERING Supari Muslim, dkk ...... 54 6 LEGENDA PERJUANGAN HIDUP BAKUL SEMANGGI DI KOTA SURABAYA: Sebuah Kisah Inspiratif Rindawati ...... 64 7 MENJADIDESAINER PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Mustaji ...... 70 8 PERGURUAN TINGGI DAN INTELECTUAL CAPITAL Haryati ...... 94 9 No Plastic Bags, Please. : MEWUJUDKAN MIMPI UNESA MENJADI KAMPUS RAMAH LINGKUNGAN Lies Amin Lestari ...... 97 10 MENUJU UNIVERSITAS KELAS DUNIA BERORIENTASI KE-INDONESIA-AN Madlazim ...... 110

Seuntai ASA untuk UNESA | vii

11 SUDUT PANDANG: Dari Surel Sampai WhatsApp Kisyani-Laksono ...... 120 12 SEPUTIH AWAN SESEJUK EMBUN PAGI Muchlas Samani ...... 126

viii | Seuntai ASA untuk UNESA

1

ETNO-MATEMATIKA SEBAGAI BATU PIJAKAN UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA DAN PENANAMAN KARAKTER

Mega Teguh Budiarto FMIPA Unesa, [email protected]

Kajian unsur-unsur budaya khususnya pembuatan ukiran-ukiran Toraja pada rumah adat Tongkonan, ornamen pada pemukiman Taneyan Lanjang Madura, pembuatan gerabah suku-suku Sasak Banyumulek Lombok Barat, lukisan pada kulit kayu suku Asmat, ukuran tidak baku mayarakat petani ikan dipesisir pan tai utara Jawa (pantura), satuan luas tidak baku di daerah pedalaman Jatim. Kajian- kajian ini di peroleh ukiran-ukiran, ornamen, bangun, model yang unik dan indah berbentuk geometri. Masyarakat Toraja, Madura, Sasak, Asmat membuat ukiran, lukisan ornamen ini berpedoman pada apa yang mereka lihat dan mereka alami dalam kehidupan sehari-sehari. Dalam ukiran-ukiran, ornamen, bangun, model ini ditemukan segala ekspresi alam, dituangkan dalam bentuk-bentuk geometri. Secara tidak sengaja masyarakat telah mempraktekkan matematika dalam budaya dan kehidupan mereka sehari-hari. Ahli lukisan mengembangkan seluruh rangkaian algoritma geometris untuk pembuatan desain monolinear dan simetris. Lukisan monolinear Toraja dan Asmat sesuai klas-klas yang sama dalam arti bahwa

Seuntai ASA untuk UNESA | 1 meskipun pola-pola dimensi yang mendasari berbeda, beberapa lukisan digambar dengan menerapkan algoritma geometris yang sama. Ahli lukisan dan ornamen, sudah mengenal sudut siku-siku, melukis lingkaran dan bangun datar segitiga, segiempat dan secara tidak langsung benda putar seperti gerabah Banyumulek, Satuan- satuan tidak baku digunakan pada masyarakat petani ikan maupun petani sawah seperti satu rean, satu boto dan sejinah. Pembiasaan dan pelestarian budaya lokal merupakan merupakan salah satu bentuk penanaman karakter. Budaya dan Etno-matematika Pada dasarnya sekolah merupakan tempat kebudayaan karena proses belajar merupakan proses pembudayaan yakni untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan sikap, karakter, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas budaya. Budaya menurut Taylor (1971) adalah pola utuh perilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahuannya kepada generasi berikutnya melalui beragam alat, bahasa dan pola nalar. Budaya merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh dari beragam perwujudan yang dihasilkan dan atau berlaku dalam suatu komunitas. Etno-matematika mengacu pada konsep-konsep matematika tertanam dalam praktek-praktek budaya dan mengakui bahwa semua budaya dan semua orang mengembangkan metode unik untuk memahami dan mengubah realitas komunitas budaya (Orey, 2000). Etno-matematika merupakan sebuah studi tentang perbedaan cara masyarakat memecahkan masalah matematika dan algoritma praktis berdasarkan perspektif matematika masyarakat sendiri. Etno- matematika mengacu pada bentuk-bentuk matematika yang bervariasi sebagai konsekuensi yang tertanam dalam kegiatan budaya. Dalam perspektif ini, Orey (2000) menegaskan, "mungkin Ethnomathematics ditandai sebagai alat untuk bertindak di dunia" dan

2 | Seuntai ASA untuk UNESA dengan demikian, memberikan wawasan peran sosial matematika dalam bidang akademik. Ethno-mathematika dapat dideskripsikan sebagai suatu cara di mana masyarakat dari budaya tertentu menggunakan ide dan konsep secara matematika melalui pertimbangan secara kuantitatif, relasional dan aspek-aspek keruangan hidup masyarakat (Borba, 1997). Cara pandang matematika memvalidasi dan menentukan seluruh pengalaman masyarakat akan matematika menunjukkan bahwa berpikir secara matematika sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pembuktian lebih lanjut dari penilaian tersebut diberikan oleh Orey (2000:48) yang menyatakan bahwa “paradigma bahwa budaya yang berbeda menggunakan atau bekerja dengan interaksi yang unik antara bahasa dengan budaya lingkungan mereka”. Dengan pandangan ini D’Ambrosio (2006) menganggap bahwa pada pandangan etno- mathematika, berpikir matematika dikembangkan pada budaya yang berbeda tergantung pada permasalahan yang ditentukan melalui konteks budaya. Ethno-mathematika merupakan bidang penyelidikan yang mempelajari ide-ide matematika dalam konteks kebudayaan- sejarah komunitas budaya. Matematika dalam jangka waktu yang lama dianggap sebagai cabang ilmu yang bersifat netral dengan suatu budaya yang tidak terikat, diangkat dari nilai-nilai sosial (Bishop, 1993; D’Ambrosio, 1990). Matematika selalu diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran yang tidak bergantung pada budaya yang melibatkan pembelajaran dengan tujuan secara umum disertai fakta, konsep, dan materi. Hal ini berarti bahwa negara- negara barat memandang matematika secara akademik terdiri atas bagian dari pengetahuan yaitu fakta, algoritma, aksioma, dan teorema. Hal ini diperkuat Rosa dan Orey (2006) mengatakan bahwa program matematika budaya dikembangkan “untuk menghadapi tabulasi di mana matematika merupakan suatu bidang studi yang bersifat universal dan agricultural”. Etno-matematika dan Geometri Sebuah contoh dari kajian historis-ethnomathematika menganalisis dan merekontruksi tradisi Sona. Tradisi ini dikembangkan antara Chokwe dari timur laut Angola dan masyarakat terkait. Budaya

Seuntai ASA untuk UNESA | 3

Chokwe terkenal karena seni dekoratif yang berkisar dari ornament pada anyaman tikar dan keranjang, hasil karya dari besi, keramik, seni pahat dan ukiran pada Calabash, lukisan di dinding rumah, dan gambar di pasir yang disebut “Sona” Gambar di bawah menunjukkan simetri dan ketunggalan garis lurus memainkan peran penting sebagai nilai-nilai budaya, sebagian besar Sona Chokwe adalah simetris dan monolinear. Monolinear berarti terdiri hanya satu garis; sebuah bagian dari garis yang mungkin dapat berseberangan dengan bagian lain dari garis itu, tetapi tidak pernah menjadi bagian dari garis yang tidak berpotongan bagian lain seperti tampak pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1: Geometri Sona (Sumber: http://iascud.univalle.edu.co/libro/libro_pdf/Ethnomathematics%20as%20a%20new%20research.pdf)

Bandingkan dengan lukisan suku Asmat yang juga monolinier (Gambar 2). Ternyata lukisan suku Asmat bagian dari garis yang mungkin dapat berseberangan dengan bagian lain dari garis itu, tetapi tidak pernah menjadi bagian dari garis yang tidak berpotongan dengan bagian lain (Gambar kiri), pasangan garis yang mempunyai satu titik potong (Gambar kanan) Demikian juga ornamen rumah Tana Toraja (Gambar 3) berbentuk persegi atau belah dengan gambar yang simetris. Di bagian lain ornamen berbentuk lingkaran dengan gambar yang juga simetris.

4 | Seuntai ASA untuk UNESA

Gambar 2: Lukisan Kayu Suku Asmat (koleksi pribadi)

Gambar 3: Ornamen Rumah Tanah Toraja, koleksi pribadi

Para ahli lukisan mengembangkan seluruh rangkaian algoritma geometris untuk pembuatan desain monolinear dan simetris. Gambar 4 di bawah ini menampilkan dua monolinear Sona sesuai klas-klas yang sama dalam arti bahwa meskipun pola-pola dimensi yang mendasari berbeda, kedua sona tersebut digambar dengan menerapkan algoritma geometris yang sama.

Gambar 4: Pola monolinear Sona

Seuntai ASA untuk UNESA | 5

Salah satu eksplorasi matematika dari budaya Afrika yang dikemukakan oleh Gerdes (1999) ini yaitu menemukan rumus Pythagoras dengan menggunakan simpul-simpul pada anyaman, hiasan-hiasan dekoratif dan lain sebagainya.

Gambar 5: Simpul pada anyaman Afrika

Dari anyaman simpul ini (sering kita lakukan saat membuat ketupat dari janur) dapat dilihat bahwa terdapat persegi lain yang dibentuk dari anyaman-anyaman yang dibentuk (Gambar 5). Lebih lanjut lagi, konsep lain yang mengantar kita pada teorema Phytagoras adalah konsep luas. Lipatan-lipatan ini menunjukkan hubungan seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini (Gambar 6).

Gambar 6: Konstruksi teorema Phytagoras pada simpul anyaman

6 | Seuntai ASA untuk UNESA

Etno-matematika Toraja Rumah tradisional Toraja atau biasa disebut Tongkonan merupakan rumah yang dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja. Tongkonan atau rumah untuk tempat tinggal terdiri atas lima ruangan utama yaitu tado-tado (teras depan), tado’ (ruang tamu), ba’ba (pintu), tambing (ruang tidur) dan lambun (dapur). Jenis unit yang lain adalah alang yang berfungsi sebagai lumbung. Bentuknya mirip tongkonan tetapi lebih kecil dan hanya terdiri atas satu ruangan yang berfungsi untuk menyimpan padi. Rumah ini kaya akan unsur budaya. Salah satu budaya yang paling banyak ditemui dalam rumah adat ini adalah ukiran-ukiran yang unik dan indah. Ukuran Toraja merupakan bentuk seni ukir yang dicetak menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela, atau pintu. Terdapat kurang lebih 74 ragam hias ukir Toraja yang hingga kini masih lestari dalam kehidupan orang Toraja. Di antaranya terdapat di dinding-dinding rumah adat Toraja atau peralatan rumah tangga. Ukiran-ukiran ini merupakan ekspresi dari agama aluk todolo dan cara hidupnya. Artinya, ukiran-ukiran ini menggambarkan jalan pikiran (kognitif), cara hidup dan cara pandang suku ini. Motif-motif/ornament pada bangunan Tongkonan ini mengambil bentuk-bentuk dasar seperti: hewan, tumbuhan dan benda langit. Setiap motif-motif ukiran ini memiliki maknanya masing- masing. Misalnya, Ayam jantan yang berkokok jam 5 pagi melambangkan kehidupan dan kepala kerbau menunjukan prinsip yang kokoh. Sedangkan motif tumbuhan melambangkan kemakmuran. Misalnya, Lumut menandakan sawah sebagai sumber kehidupan. Dan motif benda langit melambangkan kekuasaan Tuhan. Selain makna yang terkandung dalam ukiran-ukiran atau motif-motif tersebut, satu hal yang menarik dari ornamen-ornamen ini adalah warna dasar yang digunakan. Warna dasar (kasemba) terdiri dari 3 warna yaitu merah, kuning dan hitam. Merah mengandung makna berani berkorban, kuning berarti keagungan, dan hitam berarti berbuat baik.

Seuntai ASA untuk UNESA | 7

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa motif-motif pada umumnya berbentuk hewan, tumbuhan dan benda langit tetapi bila ditinjau secara seksama ditemui bahwa motif-motif tersebut kebanyakan menunjukkan beragam unsur-unsur bangun geometri dan konsep-konsep geometri (misalnya konsep simetris dan konsep kesejajaran). Hanya beberapa jenis ukiran yang berupa hewan seperti tedong (kerbau), darang (kuda), asu (anjing) dan kotteq (bebek). Sedangkan ukiran-ukiran yang lain hanya menggambarkan bagian- bagian tubuh hewan tertentu misalnya paqsisik bale (sisik ikan). Pada dasarnya suku Toraja membuat ukiran-ukiran ini berpedoman pada apa yang mereka lihat dan mereka alami dalam kehidupan sehari-sehari. Dalam ukiran-ukiran ini ditemukan segala ekspresi alam, dituangkan dalam bentuk-bentuk geometri. Misalnya, motif neq limbongan. Pada dasarnya, ukiran ini melambangkan air yang memutar dengan panah di keempat arah mata angin. Putaran- putaran air dilambangkan dengan lingkaran-lingkaran. Lingkaran- lingkaran ini saling sejajar dan terdiri dari ukuran-ukuran yang berbeda. Sedangkan untuk menunjukkan keempat arah mata angin, mereka menggunakan segitiga samakaki yang kongruen. Suku Toraja dan nenek moyang mereka menuangkan pikiran mereka, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penglihatan, cara pandang dan kepercayaan yang dituangkan dalam bangun-bangun geometri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa secara tidak sadar sejak dulu kala masyarakat Toraja sudah mengenal bangun- bangun geometri. Hanya saja dimungkinkan mereka tidak mengenal nama-nama bangun tersebut. Satu hal menarik yang dapat kita kaji di sini. Dari unsur-unsur budaya khususnya ukiran kita dapat meninjau pola pikir suku-suku tertentu dari sudut pandang matematika. Secara tidak sengaja suku Toraja telah mempraktekan matematika dalam budaya dan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan kata lain, suku ini menggunakan ide dan konsep-konsep matematika dalam membuat suatu ukiran. Salah satu konsep geometri yang paling banyak digunakan adalah konsep simetris. Kebudayaan Toraja yang mengandung konsep-konsep geometri adalah ukiran yang terdapat pada rumah adat Toraja (tongkonan). Cara membuat garis diagonal pada ukiran rumah adat Tongkonan

8 | Seuntai ASA untuk UNESA yaitu menarik garis dari sudut atas kesudut bawah yang berseberangan (dari sudut kanan atas ke sudut kiri bawah atau dari sudut kiri atas ke sudut kanan bawah). Lingkaran oleh suku Toraja menyebutnya sebagai bundaran atau barre. Cara membuatnya dengan menggunakan sebilah bambu, satu buah paku dan pensil untuk menggambar. Untuk membuat lingkaran langkah pertama yang dilakukan adalah menggambar persegi atau persegipanjang (suku Toraja menyebutnya segiempat). Langkah kedua adalah membagi segiempat tersebut menjadi empat bagian yang sama besar dan membuat garis diagonal. Titik potong garis diagoanal dan garis yang membagi segiempat menjadi empat bagian sama besar itulah yang merupakan titik pusat lingkaran. Selanjutnya ditancapkan sebilah bambu yang telah dilubangi pada kedua ujungnya ujung yang satu ditaruh paku dan ujung yang satunya lagi ditaruh pensil. Tancapkan paku pada titik pusat dan ujung sebilah bambu yang ditaruh pensil diputar untuk membuat lingkaran. Segitiga dalam bahasa Toraja adalah passora. Segitiga pada ukiran rumah adat tongkonan biasanya ditempatkan pada bagian sisi bingkai ukiran sehingga salah satu sisina merupakan bingkai ukiran tersebut, segitiga tersebut kebanyakan segitiga samakaki di mana kedua sisi segitiga yaitu sisi yang bukan bingkai ukiran sama panjang. Cara segitiga yaitu kaki segitiga yang menurut perkiraan mereka panjangnya sama sedangkan sisi yang satu merupakan sisi bingkai ukiran. Persegi, persegi panjang, belah-ketupat, layang-layang, trapesium dan jajar-jenjang yang terdapat pada ukiran rumah adat tongkonan oleh suku Toraja menyebutnya sebagai segiempat. Persegi dibuat dengan cara membuat empat buah garis yang sama panjang dan setiap ujung dari keempat garis tersebut bertemu. Cara membuat persegipanjang sama dengan cara membuat persegi hanya saja pada persegipanjang ukuran garis yang tegak dan garis yang mendatar berbeda. Cara membuat belaketupat adalah ukuran garisnya sama tetapi dalam menggambar sedikit serong. Sedangkan cara membuat jajargenjang adalah garis yang berhadapan yaitu garis yang memanjang ke samping atau garis yang mendatar sama panjang, garis yang tegak sama panjang namun dalam menggambarnya dibuat agak serong. Cara membuat sudut siku-siku pada ukiran rumah adat

Seuntai ASA untuk UNESA | 9 tongkonan adalah pertama membuat persegi atau persegipanjang, kemudian buat garis diagoanal pada persegi atau persegipanjang. Langkah selanjutnya adalah mereka memahat dari salah satu diagonal persegi kediagonal persegi yang lain yang berdekatan. Konsep-konsep geometri yang terdapat pada ukiran rumah adat Tongkonan adalah simetri, monolinier, sudut siki-siku, diagonal, garis sejajar, persegi, persegipanjang, lingkaran, segitiga, belaketupat, layang-layang, trapesium dan jajargenjang. Konsep geometri yang paling banyak dan hampir ditemukan pada semua ukiran Toraja adalah segitiga. Hal ini karena menurut ajaran aluk todolo sesuai ketentuan sukaran aluk maka manusia harus menyembah kepada tiga aturan yaitu (1) Puang Matua (Tuhan) merupakan dewa tertinggi yang menciptakan seluruh alam dan diyakini orang Toraja bersemayam di langit bagian utara, (2) deata- deata merupakan ciptaan Puang Matua yang diberikan kewenangan untuk pemelihara, penguasa, dan pengatur kehidupan diyakini orang Toraja bersemayam di langit bagian timur, dan (3) tomembali puang (arwah nenek moyang) diyakini orang Toraja bersemayam dilangit bagian barat. Etno-matematika Sasak Terdapat 31 jenis gerabah yang terbagi menjadi 25 jenis gerabah yang memiliki bentuk geometris dan sisanya memiliki bentuk non geometris. Konsep-konsep geometri yang terdapat pada bentuk gerabah adalah lingkaran, segitiga, persegi, persegipanjang, elips, polygon, tabung, bola, kerucut, limas segiempat, setengah bola, kerucut terpancung, dan limas segiempat terpancung. Dari 23 motif gerabah, 17 motif termasuk ke dalam motif geometris dan sisanya berupa motif non-geometris. Konsep-konsep geometri yang terdapat pada motif gerabah adalah garis, segitiga, persegi, belah ketupat, persegi panjang, trapesium, lingkaran, dan setengah lingkaran, serta penggunaan prinsip, rotasi, dan translasi. Selain itu, perajin gerabah memiliki konsep mengenai bagaimana cara membuat lingkaran dan menentukan titik pusatnya serta cara membuat persegi dan segitiga samasisi.

10 | Seuntai ASA untuk UNESA

Untuk menenamkan budaya membuat gerabah pihak sekolah di Banyumulek mengadakan ekstrakurikuler yang mengajarkan cara membuat gerabah kepada anak-anak SD. Gerabah yang diajarkan berupa gerabah yang memiliki sisi lengkung dengan teknik putar, lempeng, pijit, dan pilin. Anak-anak melihat secara langsung dan mengikuti instruksi-instruksi yang diberikan oleh perajin. Sedangkan untuk gerabah yang berbentuk polygon diajarkan dengan memakai cetakan. Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang alat serta membuat pola yang terdapat pada gerabah dan peralatan tradisional, di antaranya bentuk dasar irik, kalo serta ebor yang berbentuk setengah bola dengan tepian berpola lingkaran, layah (cobek) berbentuk lingkaran, entong berbentuk elips, capil berbentuk kerucut, ilir dan kelasa berbentuk persegipanjang, serta benda peninggalan budaya lainnya yang memiliki bentuk-bentuk geometri. Selain itu, Hopper (2000) juga menyebutkan bahwa gerabah merupakan geometri solid atau geometri tiga dimensi. Ini berarti bahwa bentuk- bentuk gerabah memiliki nilai-nilai geometri. Selain itu, diperoleh juga bahwa dari 21 jenis motif yang ada pada gerabah desa Banyumulek Lombok Barat, 17 jenis motif termasuk dalam motif geometris yaitu: (1) Pangan Jejer; (2) Cungklik; (3) Garis; (4) Spiral; (5) Mate Lengkeng; (6) Pucuk Rebong; (7) Penggale Bilaq; (8) Kipas; (9) Sulur; (10) Catur; (11) Matahari; (12) Yin Yang; (13) Kubah Mesjid; (14) Jelo Tiwok: (15) Pangan Kembar; (16) Longe; dan (17) Teker. Motif-motif tersebut memiliki unsur utama berupa garis, segitiga, persegi, belah ketupat, persegi panjang, trapesium, lingkaran, dan setengah lingkaran pada badan gerabah yang membentuk satu kaitan bentuk yang indah. Sedangkan motif yang termasuk non geometris sebanyak 6 motif yaitu: (1) Ladik Jejer; (2) Belincek; (3) Jangger Manuk; (4) Penyu; (5) Kembang Sepatu; dan (6) Jerapah. Motif-motif tersebut memiliki unsur utama berupa bunga, hewan, alat, dan sebagainya. Dengan kata lain, ragam hias dalam motif tersebut berupa simbol-simbol atau perlambangan tertentu. Oleh karena itu, tidak mengandung unsur utama yang berupa garis, segitiga, persegi, belah ketupat, persegi panjang, trapesium, lingkaran, dan setengah lingkaran

Seuntai ASA untuk UNESA | 11

Motif pada gerabah Banyumulek sejalan temuan Sabilirrosyad (2014) yang meneliti motif-motif pada kain tenun Sasak Sukarara Lombok Tengah. Hasil penelitiannya berupa 40 motif yang memiliki konsep geometri yaitu titik, garis, segitiga, persegi, persegipanjang, belahketupat, segilima, segienam, segidelapan, refleksi, translasi, rotasi, dan dilatasi. Hasi penelitian ini juga didukung oleh temuan Embong, dkk (2010) yakni dalam tenun terdapat konsep matematika berupa penerapan konsep transformasi, pengukuran, estimasi, akurasi dan kesetaraan. Konsep tranformasi berupa refleski, translasi, rotasi, dan dilatasi sering digunakan dalam membuat pola motif. Selain itu, kajian historis yang dilakukan oleh Ascher (1991) pada gerabah Suku Inca juga menunjukkan bahwa motif-motif pada gerabah Suku Inca tersebut memiliki konsep-konsep geometri seperti translasi, refleksi dan rotasiar (Gambar 7).

Gambar 7: Konsep geometri pada motif gerabah suku Inca

Pengrajin gerabah di desa Banyumulek memiliki konsep tersendiri mengenai beberapa bangun datar, yaitu lingkaran, persegi, dan segitiga samasisi. Mereka juga membuat bangun datar tersebut dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti benang, lidi, dan kotak bekas, serta menerapkan cara-cara yang belum ada pada pembelajaran matematika. Konsep geometri yang ada pada bentuk badan gerabah yaitu: lingkaran, segitiga, persegi, persegipanjang, ellips, polygon, tabung, bola, kerucut, limas segiempat, setengah bola, kerucut terpancung, dan limas segiempat terpancung. Sedangkan konsep geometri yang terdapat dalam motif gerabah yaitu: garis,

12 | Seuntai ASA untuk UNESA segitiga, persegi, belah ketupat, persegipanjang, trapesium, lingkaran, dan setengah lingkaran, serta penggunaan prinsip simetri, rotasi, translasi, dan refleksi. Selain itu, perajin menerapkan beberapa konsep geometri dalam membuat gerabah yaitu konsep lingkaran, persegim segitiga samakaki, dan juga prinsip simetri. Perajin gerabah di desa Banyumulek juga mengadakan kegiatan ekstrakurikuler untuk melatih anak-anak (generasi penerus) dalam membuat gerabah Etno-matematika Taneyan Lanjang Madura Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi tali kekerabatan. Simbol-simbol yang mendukung hal ini bisa dilihat dari bentuk pemukiman dan rumah adat yang sebagian besar masih terpelihara dengan rapi di berbagai pelosok Madura. Halaman panjang atau yang dikenal dengan sebutan Taneyan Lanjang adalah bukti kekerabatan masyarakat Madura. Pemukiman ini adalah suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara pemukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi tanaman hidup atau peninggian tanah, sehingga masing-masing kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapan. Satu taneyan lanjang biasanya terdiri atas dua sampai sepuluh rumah yang dihuni sejumlah keluarga batih. Keluarga batih atau keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari sepasang suami- istri beserta anak-anaknya yang belum kawin. Pada pemukiman taneyan lanjang, terdapat 3 (tiga) aspek yang saling mengikat satu dengan yang lain yaitu aspek pola atau tata letak bangunan yang terdapat di dalamnya, aspek rumah tempat tinggal (rumah adat Madura) dan aspek ukiran Madura yang terdapat pada bagian-bagian rumah atau perabot di dalamnya. Berdasarkan skema taneyan lanjang, tampak pembagian sebidang tanah menjadi taneyan lanjang benar-benar telah terukur dengan jumlah dan luas bangunan sesuai dengan luas tanah seluruhnya. Jumlah rumah pada taneyan lanjang yang cukup luas biasanya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rumah pada taneyan lanjang yang tidak terlalu luas. Demikian juga dengan luas bagunannya. Di bagian utara taneyan lanjang merupakan kelompok

Seuntai ASA untuk UNESA | 13 rumah yang tersusun sesuai hirarki keluarga. Susunan dari barat ke timur dimulai dari rumah orang tua, anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Di bagian selatan terdapat kandang hewan ternak (sapi atau kambing). Jika tanah di bagian utara sudah penuh dengan rumah, maka pembangunan rumah selanjutnya adalah di bagian selatan mulai dari barat ke timur lagi. Di ujung paling barat terdapat langgar yang berdekatan dengan sumur dan kamar mandi. Sedangkan akses masuk taneyan lanjang berada di sebelah timur. Dengan demikian, tata letak bangunan dalam kompleks taneyan lanjang adalah mengelilingi suatu halaman yang bentuknya memanjang. Rumah-rumah menghadap utara selatan, hal ini tidak terlepas dari arah orientasi rumah tradisional Madura. Penempatan bangunan dalam kompleks taneyan lanjang mempunyai tahapan- tahapan, yaitu: 1) Tahapan awal, dimana hanya terdapat rumah induk dan dapur di sebelah barat bagian utara, 2) Tahapan berkembang, dimana bangunan-bangunan baru (rumah keluarga anak, cucu, cicit, dan seterusnya) dibangun dengan urutan-urutan tata letak yang sangat jelas ke sebelah timur dari rumah induk. Kalau tanah di bagian utara sudah penuh baru dimulai lagi perkembangannya di bagian selatan dari barat ke timur. Selain itu, di ujung sebelah barat juga dibangun langgar. Untuk pembagian wilayah, tata letak dan jumlah bangunan pada taneyan lanjang, orang Madura kuno telah merancang sebelumnya disesuaikan dengan luas tanah yang mereka miliki. Dengan menggunakan langkah kaki orang Madura kuno dapat mengukur ukuran tanah mereka, sehingga mereka dapat menentukan jumlah dan luas rumah yang kelak dapat dibangun. Tentunya, cara pandang setiap orang Madura dalam menentukan jumlah dan luas rumah yang akan dibangun berbeda-beda. Hal ini menunjukkankan bahwa orang Madura kuno menuangkan pikiran-pikiran mereka, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara pandang dan kepercayaan mereka dalam membentuk sebidang tanah menjadi taneyan lanjang dengan melibatkan konsep-konsep matematika tertentu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa secara tidak sadar sejak dulu kala masyarakat Madura mengenal satuan ukuran. Hanya

14 | Seuntai ASA untuk UNESA saja dimungkinkan mereka tidak mengenal satuan ukuran berdasarkan Satuan Internasional (SI) seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sedangkan rumah-rumah adat Madura yang terdapat pada taneyan lanjang biasanya hanya memiliki satu pintu di depan. Hal ini dimaksudkan, agar pemilik rumah dapat mengontrol aktifitas keluar masuk keluarga. Pintu dan jendela dihiasi ukiran-ukiran asli Madura, dengan warna yang beragam. Ukiran-ukiran ini mempunyai keunikan tersendiri, karena menggambarkan karakter orang Madura, seperti bentuk ukirannya yang besar-besar dan tampak keras. Kekhasan lain dari ukiran Madura terletak pada motifnya yang dengan sengaja menghindari bentuk hewan atau manusia. Ornamen yang mendominasi ukiran Madura adalah daun, sulur, bunga, dan buah yang bentuknya didominasi seperti bentuk lengkungan, bentuk bulatan atau garis. Jika ditinjau lebih seksama terlihat bahwa motif- motif tersebut menunjukkan beragam konsep-konsep geometri. Dari hal tersebut di atas dapat disimak bahwa terdapat konsep- konsep matematika yang tertanam atau terkandung dalam pemukiman taneyan lanjang di Madura baik dari segi aspek pola pemukiman taneyan lanjang, aspek rumah adat Madura, dan aspek ukiran Madura. Hal ini menandakan bahwa konsep-konsep matematika secara tidak langsung telah mengakar pada masyarakat Madura. Konsep matematika yang diperoleh dari lingkungan sosial budaya dan tertanam secara turun temurun ini tentu menjadi salah satu modal awal dalam mempelajari matematika. Hanya saja pengetahuan awal tersebut masih perlu digali, dibangun dan dikembangkan kembali selama proses belajar matematika sehingga dapat menghasilkan pengetahuan matematika yang utuh dan lebih bermakna. Menurut Tulistyantoro (2005), dalam setiap hunian pada taneyan lanjang, terdapat prinsip struktur ruang mikrokosmosdualitis yang membagi ruang menjadi wilayah depan (amper) dan wilayah belakang (delem). Wilayah depan (amper) memiliki orientasi keluar dan berfungsi sebagai peneduh. Dengan menduduki wilayah depan, seseorang merasa menguasai dan mengorientasikan dirinya atas tempat ini sekaligus membuat batasan dengan lingkungan sekitarnya

Seuntai ASA untuk UNESA | 15 yang masih terlihat secara visual. Laki-laki berhak duduk di amper sebagai perwakilan dari keluarga inti dalam menghadapi orang lain. Dalam konteks ini, perempuan mungkin terpinggirkan dalam hubungan-hubungan sosial yang formal karena amper menjadi bagian dari milik laki-laki yang notabene tidak memiliki ruang tidur permanen. Menurut Fathony (2009), rumah adat suku Madura dibedakan berdasarkan banyaknya kamar dan bentuk atap rumah. Berdasarkan banyaknya kamar dikenal rumah adat : (1) Slodoran atau Malang Are, yaitu rumah dengan bentuk ruangan yang memanjang dan tidak memiliki kamar; dan (2) Sedanan, yaitu rumah yang berbentuk memanjang dan berkamar-kamar. Sedangkan berdasarkan bentuk atap dikenal rumah adat : (1) Trompesan, yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan yang diberi cukit atau teritis di kedua sisinya; (2) Bangsal, yaitu rumah yang atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe joglo yang sisi kiri dan kanannya dipotong dengan puncak dihiasi bentuk seperti kapal atau ular naga; (3) Pegun, yaitu rumah yang atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe limasan pacul-gowang; dan (4) Pacenan, yaitu rumah yang atapnya berbentuk limasan dan selalu memiliki teras depan yang terbuka. Untuk satuan luas, orang Madura kuno mengenal satuan lokke’. Untuk satu lokke’ sama dengan 400 meter persegi atau berukuran 20 x 20 meter. Untuk menyebut bangun persegi atau persegipanjang, orang Madura menyebutnya dengan istilah masagi empa’ yang dalam Bahasa Indonesia berarti persegi empat. Apapun bentuk suatu bangun yang memiliki sisi sebanyak empat, maka orang Madura menyebutnya masagi empa’. Untuk menyebut bangun lingkaran, orang Madura menyebutnya dengan istilah bunter yang dalam Bahasa Indonesia berarti bundar. Padahal pada lingkaran garis terluar harus berjarak sama dengan titik pusatnya, sedangkan bundaran belum tentu sama. Etno-Matematika dalam Budaya Jawa (Timur) Budaya Jawa (Timur) cenderung dibelah dua yaitu budaya pesisir yang membentang dari Tuban sampai Banyuwangi yang masyarakatnya adalah petani ikan (udang, bandeng, mujair), sedangkan budaya yang lain adalah budaya abangan seperti Ngawi.

16 | Seuntai ASA untuk UNESA

Madiun, Trenggalek, Pacitan yang sebagian besar masyarakatnya petani. Daerah-daerah tertentu pada musim kemarau merupakan sentra tembakau seperti Jember (khusus untuk cerutu), Bojonegoro (untuk sigaret). Setiap budaya di daerah tersebut menciptakan etmo- matematika sendiri. Satuan luas yang masih berlaku sampai sekarang didaerah penghasil tebu seperti Jombang, Kediri, Sidoarjo, Madiun dan Ngawi yaitu satuan yang berkaitan dengan jual beli sawah atau kebun. Satuan tersebut yaitu bata (baca boto) yang ekuivalen dengan ru. Hubungan bata, ru dan satuan baku adalah 1 ru = 1 bata = 14, 2 m2. Di samping itu satuan luas yang popular di Jawa Timur bagian selatan adalah bau, dengan 1 bau setara dengan 7000 m2. Didaerah yang sama juga berlaku satuan untuk jual beli sawah yautu kedok dan catu. Satu kedok setara dengan 5000 m2 dan satu catu setara dengan 2500 m2. Untuk daerah dengan pertanian ikan, beberapa daerah menggunakan satuan luas bumi untuk jual beli tambak, seperti 100 bumi atau 200 bumi. Sampai saat ini penulis belum dapat informan yang dapat menjelaskan kaitannya dengan satuan baku. Untuk daerah pesisir yang masyarakatnya banyak petani ikan, udang atau ikan lainnya, satuan yang digunakan untuk beli nener (anakan ikan/udang) adalah rean dimana 1 rean setara dengan 5000 nener dan khusus beberapa daerah di lamongan 1 rean setara dengan 5500 nener. Penulis menduga perbedaan ini disebabkan adanya budaya satuan welasan (beli 10 dapat bonus 1). Ada juga satuan rajut khusus untuk ikan sombro, dengan 1 rajut setara dengan 55 ekor ikan Sombro. Dipasar-pasar tradisional masih berlaku satuan “sak unting” untuk sayur mayur, “sak cengkeh dan sak tundun” untuk pisang, “sak peres, sak batok untuk beras. “sak kranjang” untuk mangga, sawo atau jambu. Dolanan empat segaris yang populer di kalangan anak-anak di Jawa Timur, pada tahun 1985 penulis kembangkan menjadi permainan rumah perkalian. Permainan ini digunakan untuk melatih keterampilan perkalian, pembagian dan faktorisasi. Dari ide yang sama juga dikembangkan rumah penjumlahan untuk melatihkan penjumlahan dan pengurangan

Seuntai ASA untuk UNESA | 17

Perlukah Etno-matematika masuk Kurikulum? Pembelajaran matematika berbasis budaya merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat menjadikan pembelajaran matematika bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya, di mana matematika dipelajari dan akan diterapkan nantinya selaras dengan komunitas budaya itu, serta pembelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya ini merupakan salah satu prinsip dasar dari teori konstruktivisme. Pendidik dan peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan matematika juga diperoleh di luar sistem terstruktur pembelajaran matematika seperti sekolah (Bandeira & Lucena, 2004; Duarte, 2004; Knijnik, 1993; Rosa & Orey, 2010). Dalam perspektif ini, ide-ide matematika diterapkan dalam konteks sosial budaya yang unik merujuk pada penggunaan konsep-konsep matematika dan prosedur yang diperoleh di luar sekolah serta perolehan keterampilan matematika lain selain dari sekolah. Jika hal ini dilakukan pembiasaan sejak usia dini akan membangun karakter peserta didik Penulis mengusulkan lima kemungkinan etno-matematika masuk kurikulum dan mempunyai peranan relatif sama terhadap matematika secara formal yaitu; (1) pengganti matematika sekolah,; (2) penyuplaian matematika sekolah; (3) batu loncatan ke matematika sekolah: atau (4) motivasi untuk matematika sekolah dan (5) sebagai muatan lokal matematika sekolah dan sarana menumbuhkembangkan karakter. Hasil penelitian etno-matematika di Indonesia, menunjukkan bahwa etno-matematika dapat mempromotori lebih banyak budaya dan sekaligus untuk pembelajaran matematika.

18 | Seuntai ASA untuk UNESA

Daftar Acuan Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and Mathematics. A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Mathematics Education, The University of Auckland. Ascher, M. (1991). Ethnomathematics: A multicultural view of mathematical ideas. Pacific Grove. California. Bales, J. (2009). Fractal Geometry in African American Quilt Tradition. Proceedings of the 4th Biennial Symposium of theInternational Quilt Study Center & Museum. Paper 4. Bandeira, F. A., & Lucena, I. C. R. (2004). Etnomatemática e práticas sociais [Ethnomathematics and social practices]. Coleção Introdução à Etnomatemática [Introduction to Ethnomathematics Collection]. Natal, RN, Brazil: UFRN. Budiarto, M.T, Alwan, L., (2015), Etno-matematika Sasak: Konsep Geometri Dalam Kehidupan Masyarakat Desa Banyumulek, makalah disajikan pada seminar international di Unnes. Budiarto, M.T., Kamarudin, M., (2015), Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Madura Pada Pemukiman Taneyan Lanjang, makalah disajikan pada seminar Nasional di Unesa. Budiarto, M.T., Tandililing, F., 2012, Etno-Matematika Toraja: Sebagai Batu Pijakan Untuk Pembelajaran Geometri, makalah disaikan pada konferensi matematika Indo-MS di Unpad. Chahine, I dan Kinuthia, W. (2013). Juxtaposing Form, Function, and Social Symbolism: An Ethnomathematical Analysis of Indigenous Technologies in the Zulu Culture. Journal Mathematics & Culture Vol. 7, No 1. D’Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its place in the history and pedagogy of mathematics. For the Learning of Mathematics, 5(1), 44-48.

Seuntai ASA untuk UNESA | 19

D’Ambrosio, U. (1993). Etnomatemática: Um programa [Ethnomathematics: A program]. A Educação Matemática em Revista, 1(1), 5-11. D’Ambrosio, U. (2006). Ethnomathematics: Link between traditions and modernity. ZDM, 40 (6), 1033-1034. D’Ambrosio, U. & Rosa, M. (2008). A Dialogue with Ubiration D’Ambrosio: A Brazillian Conversation About Ethnomatehmatics. Duarte, C. G. (2004). Implicações Curriculares a partir de um olhar sobre o mundo da construção civil [Curricular implications concerning the world of civil construction]. In G. Furuto, L.H.L. (2013). Bridging Policy and Practice with Ethnomathematics. Journal of Mathematics &Culture. September 2013 7(1) Knijnik, F. Wanderer, & C. J. Oliveira (Eds.), Etnomatemática: Currículo e Formação de Professores [Ethnomathematics: Curriculum and Teacher Education] (pp. 195-215). Santa Cruz do Sul, RS, Brazil: EDUNISC. Mukhopadhyay, S. & Greer, B. Can Ethnomathematics Enrich Mathematics Education? http//:nasgem.rpi.edu/p//Journal- mathematics-cultures.volume-6-number-1-focus-issue.icme4. Diakses tanggal 5 November 2014 Orey, D. C. (2000). The ethnomathematics of the Sioux tipi and cone. In H. Selin (Ed.), Mathematics across culture: the History of non-Western mathematics (pp.239-252). Dordrecht, Netherlands: Kulwer Academic Publishers. Palem, Krishna, dkk. _____. I-Slate, Ethnomathematics and Rural Education. USA : Departement of CS. Palem, Krishna. (2009). I-Slate, Ethnomathematics and Rural Education. Powell, Arthur B. dan Temple, Oshon L. (2002). Bridging Past and Present: Ethnomathematics, the Almose Mathematical Papyrus,

20 | Seuntai ASA untuk UNESA

and Urban Students. Makalah disampaikan pada Konggres Internasional dalam Etnomathematica: Ouro Preto, Minas Gerais- Brazil 5-7 Agustus 2002 Rosa, M. & Orey, D. C. (2011). Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54 Rosa, M.; & Orey, D. C. (2010). Ethnomodeling: A Pedagogical Action for Uncovering Ethnomathematical Practices. Journal of Mathematical Modelling and Application, 1(3), 58-67, 2010. Susanto, Herry A. (2011). Pemahaman mahasiswa dalam pemecahan masalah pembuktian pada konsep grup berdasarkan gaya kognigtif. Disertasi tidak diterbitkan, Universitas Negeri Surabaya. Yusuf, M. W. (2010). ETHNOMATHEMATICS (A Mathematical Game in Hausa Culture). Sutra: International Journal of Mathematical Science Education. Technomathematics Research Foundation Vol. 3, No. 1

Seuntai ASA untuk UNESA | 21

2 KEINDAHAN MATEMATIKA Siti M. Amin Jurusan Matematika FMIPA - UNESA [email protected]

Ada banyak keindahan dalam matematika. Berikut disajikan beberapa keindahan dalam matematika. Dalam kesempatan ini disajikan keindahan dalam bilangan dan geometri.

1. Keindahan dalam bilangan a. Penjumlahan dengan hasil 10 1 + 9 = 10 (satu ditambah sembilan sama dengan sepuluh) 2 + 8 = 10 (dua ditambah delapan sama dengan sepuluh) 3 + 7 = 10 (tiga ditambah tujuh sama dengan sepuluh) 4 + 6 = 10 (empat ditambah empat sama dengan sepuluh) 5 + 5 = 10 (lima ditambah lima sama dengan sepuluh)

Tulisan ini merupakan “daur ulang” dari tulisan sebelumnya yang berjudul: “SENI DALAM MATEMATIKA ATAU MATEMATIKA DALAM SENI?”, oleh Siti M. Amin, yang disajikan pada Seminar Nasional yang diadakan oleh Universitas Wijaya Kusuma pada tanggal 21 Mei 2015.

22 | Seuntai ASA untuk UNESA

Pada penjumlahan tersebut terlihat bahwa dua bilangan yang jumlahnya sepuluh diawali dengan huruf yang sama. b. Perkalian dengan 9 1 × 9 = 9 6 × 9 = 54 2 × 9 = 18 7 × 9 = 63 3 × 9 = 27 8 × 9 = 82 4 × 9 = 36 9 × 9 = 81 5 × 9 = 45 10 × 9 = 90 Dari perkalian tersebut dapat dilihat bahwa satuan pada hasil perkalian turun satu-satu, puluhannya naik satu-satu, dan jumlah bilangan pembentuk satuan dan puluhan selalu 9. c. Perkalian dengan kelipatan 9 12.345.679 × 9 = 111.111.111 (12.345.679 × 9 × 1 = 111.111.111) 12.345.679 × 18 = 222.222.222 (12.345.679 × 9 × 2 = 222.222.222) 12.345.679 × 27 = 333.333.333 (12.345.679 × 9 × 3 = 333.333.333) 12.345.679 × 36 = 444.444.444 (12.345.679 × 9 × 4 = 444.444.444) 12.345.679 × 45 = 555.555.555 (12.345.679 × 9 × 5 = 555.555.555) 12.345.679 × 54 = 666.666.666 (12.345.679 × 9 × 6 = 666.666.666) 12.345.679 × 63 = 777.777.777 (12.345.679 × 9 × 7 = 777.777.777) 12.345.679 × 72 = 888.888.888 (12.345.679 × 9 × 8 = 888.888.888) 12.345.679 × 81 = 999.999.999 (12.345.679 × 9 × 9 = 999.999.999)

Seuntai ASA untuk UNESA | 23

Ternyata kalau 12.345.679 dikalikan dengan kelipatan 9, hasilnya berdigit 9 dan semua digit sama dengan kelipatan tersebut. 123.456.789 × 9 = 1.111.111.101 (123.456.789 × 9 × 1 = 1.111.111.101) 123.456.789 ×18 = 2.222.222.202 (123.456.789 × 9 × 2 = 2.222.222.202) 123.456.789 ×27 = 3.333.333.303 (123.456.789 × 9 × 3 = 3.333.333.303) 123.456.789 ×36 = 4.444.444.404 (123.456.789 × 9 × 4 = 4.444.444.404) 123.456.789 ×45 = 5.555.555.505 (123.456.789 × 9 × 5 = 5.555.555.505) 123.456.789 ×54 = 6.666.666.606 (123.456.789 × 9 × 6 = 6.666.666.606) 123.456.789 ×63 = 7.777.777.707 (123.456.789 × 9 × 7 = 7.777.777.707) 123.456.789 ×72 = 8.888.888.808 (123.456.789 × 9 × 8 = 8.888.888.808) 123.456.789 ×81 = 9.999.999.909 (123.456.789 × 9 × 9 = 9.999.999.909)

Jika 123.456.789 dikalikan kelipatan 9, hasilnya terdiri atas 10 digit dengan semua digit kecuali digit ke-9 sama dengan kelipatan tersebut dan digit ke-9nya adalah 0. Sekarang bagaimana kalau 123.456.789 dibalik, ditulis dari belakang ke depan, dan dikalikan dengan kelipatan 9? Apakah masih tetap indah 987.654.321 × 9 = 08.888.888.889 987.654.321 × 18 = 17.777.777.778 987.654.321 × 27 = 26.666.666.667 987.654.321 × 36 = 35.555.555.556 987.654.321 × 45 = 44.444.444.445

24 | Seuntai ASA untuk UNESA

987.654.321 × 54 = 53.333.333.334 987.654.321 × 63 = 62.222.222.223 987.654.321 × 72 = 71.111.111.112 987.654.321 × 81 = 80.000.000.001 Ternyata perkalian itu tetap indah. Digit pertama pada hasilnya bertambah 1, sedangkan digit yang lain turun 1. d. Operasi hitung campuran 1 × 8 + 1 = 9 12 × 8 + 2 = 98 123 × 8 + 3 = 987 1234 × 8 + 4 = 9876 12345 × 8 + 5 = 98765 123456 × 8 + 6 = 987654 1234567 × 8 + 7 = 9876543 12345678 × 8 + 8 = 98765432 123456789 × 8 + 9 = 987654321 Perkalian bilangan yang digitnya berurutan, mulai 1, dengan 8, kemudian hasilnya ditambah dengan digit terakhir faktor yang bukan 8 ternyata membentuk pola yang sangat indah. Digit pada hasil selalu diawali dengan 9 dan ikuti oleh successornya (pengikutnya) dan banyak digit pada hasil sama dengan banyak digit pada faktor yang bukan 8. 1 × 9 + 2 = 11 12 × 9 + 3 = 111 123 × 9 + 4 = 1111 1234 × 9 + 5 = 11111 12345 × 9 + 6 = 111111 123456 × 9 + 7 = 1111111 1234567 × 9 + 8 = 11111111 12345678 × 9 + 9 = 111111111 123456789 × 9 + 10 = 1111111111

Seuntai ASA untuk UNESA | 25

Perkalian bilangan yang digitnya berurutan, mulai 1, dengan 9, kemudian hasilnya ditambah dengan digit terakhir faktor yang bukan 9 ditambah digit terakhir tambah 1 ternyata membentuk pola yang sangat indah. Semua digit pada hasil adalah 1 dan banyak digit pada hasil sebanyak digit pada faktor yang bukan 9 ditambah 1. 9 × 9 + 7 = 88 98 × 9 + 6 = 888 987 × 9 + 5 = 8888 9876 × 9 + 4 = 88888 98765 × 9 + 3 = 888888 987654 × 9 + 2 = 8888888 9876543 × 9 + 1 = 88888888 98765432 × 9 + 0 = 888888888 987654321 × 9 – 1 = 8888888888 9876543210 × 9 – 2 = 88888888888 Faktor pertama perkalian di atas adalah bilangan dengan digit pertama 9 kemudian diikuti dengan predecessor (pendahulu)nya dan faktor kedua 9. Kemudian hasilnya ditambah bilangan yang dinyatakan oleh digit terakhir dikurangi 2, maka hasilnya bilangan yang semua digitnya 8 dengan banyak digit sebanyak digit pada faktor pertama ditambah 1.

e. Perpangkatan 12 = 1 112 = 121 1112 = 12321 11112 = 1234321 111112 = 123454321

26 | Seuntai ASA untuk UNESA

Berdasarkan data di atas berapakah 1111111112? Apakah hasilnya 12345678987654321? Marilah kita uji dugaan tersebut. 1111111112 = 111111111 × 111111111 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Ternyata dugaan kita benar. Bagaimanakah pola untuk mendapatkan hasil 1111111112? Bagimana dengan penjumlahan bilangan berpangkat 3 berikut? 13 + 53 + 33 = 153 163 + 503 + 333 = 165033 1663 + 5003 + 3333 = 166500333 16663 + 50003 + 33333 = 166650003333 Berdasarkan data di atas isilah titik-titik berikut 1666663 + ... + ... = .... 16666663 + ... + ... = .... 166666663 + ... + ... = ....

Seuntai ASA untuk UNESA | 27

f. Segitiga Pascal 1 1 1 1 2 1 1 3 3 1 1 4 6 4 1 1 5 10 10 5 1 1 6 15 20 15 6 1 Perhatikan bilangan-bilangan pada segitiga Pascal tersebut. Adakah keteraturan yang terdapat di situ? g. Bilangan irasional Untuk merepresentasikan bilangan irasional dapat dilakukan dengan gambar berikut.

A 1 B 1 C O D

E

Segitiga OAB, OBC,, OCD,F ODE, ODF... adalah segitiga siku- siku dengan sudut A, B, C, D, E, F... sudut siku-siku, OA = AB = BC = CD = DE = EF = .... = 1 Dengan teorema Pythagoras diperoleh panjang OB, OC, OD, OE, OF, ...

28 | Seuntai ASA untuk UNESA

berturut turut adalah , , , , , .... Bilangan- bilangan , , , , ... adalah bilangan irasional.

h. Barisan Fibonacci Kalau banyak daun pada tanaman hias di samping diperhatikan, dari atas ke bawah, dengan seksama banyaknya adalah 1, 2, 3, 5, 8, ... yang membentuk barisan Fibonacci. Barisan Fibonacci adalah barisan yang suku berikutnya diperoleh dengan menjumlah dua suku sebelumnya. 2. Keindahan dalam geometri Keindahan dalam geometri yang disajikan kali ini adalah tangram. Asal kata tangram tidak jelas. Tangram dalam bahasa Cina: 七巧板(qī qiǎo bǎn), berarti “tujuh papan keterampilan

(Wikipedia,http://fetoys.net/educatio nal/15-permainan-tangram.html). Ketujuh papan tersebut merupakan potongan dari sebuah papan berbentuk persegi. Cara memotong papan persegi menjadi tujuh potongan papan dilakukan seperti pada gambar di samping. Ketujuh potongan tersebut terdiri atas: 5 segitiga siku-siku samakaki 1 persegi 1 jajargenjang

Seuntai ASA untuk UNESA | 29

Dari ketujuh potongan tersebut dapat dibuat beraneka bangun yang menarik. Di antara bangun-bangun tersebut disajikan pada gambar berikut.

(https://www.google.co.id/search?q=tangram&biw=852&bih=400&so urce=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiS7bXsiODLAhWIX5QKHfsL Do0Q_AUIBigB&dpr=1.58#imgrc=HfpUiLpZ9hAEOM%3A)

(https://www.google.co.id/search?q=tangram&biw=852&bih=400&tb m=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiS7bXsiODLAhWIX5 QKHfsLDo0Q7AkIJA&dpr=1.58#imgrc=lm4Y8sXElWTfPM%3A)

Tentunya masih banyak bangun lain yang dapat dibuat. Untuk mengasah kreativitas pembaca, silahkan pembaca mengkreasi bangun-bangun lain dari tangram.

30 | Seuntai ASA untuk UNESA

Daftar Acuan https://en.wikipedia.org/wiki/Tangram 27/03/2016 11.55 http://fetoys.net/educational/15-permainan-tangram.html diakses pada 27/03/2016 12.26 https://www.google.co.id/search?q=tangram&biw=852&bih=400&so urce=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiS7bXsiODLAhWI X5QKHfsLDo0Q_AUIBigB&dpr=1.58#imgrc=HfpUiLpZ9hAEO M%3A 27/03/2016 12.08 https://www.google.co.id/search?q=tangram&biw=852&bih=400&tb m=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiS7bXsiO DLAhWIX5QKHfsLDo0Q7AkIJA&dpr=1.58#imgrc=lm4Y8sXEl WTfPM%3A 27/03/2016 12.09

Seuntai ASA untuk UNESA | 31

3

BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER THINKING)

Muslimin Ibrahim Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam [email protected]

Tugas utama sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa agar berhasil hidup pada masanya. Pertanyaan yang selalu muncul adalah bekal apa yang harus diberikan kepada mereka agar tujuan itu tercapai? Perkembangan dunia yang cepat ditandai dengan kemajuan yang pesat di bidang teknologi informasi, menyebabkan terjadinya otomatisasi. Pekerjaan- pekerjaan rutin yang mengikuti alur perintah cenderung hilang karena diambil alih oleh komputer. Gambar 1 berikut ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama terjadi kecenderungan pergeseran kebutuhan tenaga kerja.

14 Complex Communication 12 10 8 Expert Thinking 6 4 2 0 -2 1969 1980 1990 1998 Routine Manual -4 Percentile Change in Distribution Percentile Change 1969 -6 -8 Routine Thinking -10 Gambar 1 Perubahan Kecenderungan Lapangan Kerja

32 | Seuntai ASA untuk UNESA

Komputer dapat mengikuti perintah rutin lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah dari pada manusia. Jumlah tugas-tugas yang dapat dilakukan komputer semakin bertambah setiap tahun. Pekerjaan-pekerjaan seperti mengikuti aturan rutin: misalnya beragam pekerjaan di mana informasi dapat didigitalkan dan tugas- tugas di uraikan menjadi seperangkat aturan yang dapat diprediksi hasilnya, dapat diambil alih oleh komputer. – Contoh: Reservasi pesawat udara, tiket, boarding pass. Sekarang Anda dapat melakukan semua proses tersebut tanpa pernah berbicara dengan seorangpun! – Penjualan: tiket, penjualan koran, makanan, dan minuman di pinggri jalan memberikan uang kembalian, menyerahkan barang, pemeriksaan tiket tanda masuk, sortir barang, dan sebagainya – Mesin Belajar: kalau yang dididik oleh guru adalah hal-hal “rutin” saja, maka peran guru bisa digantikan oleh komputer----pulpen bicara, buku bicara. Laptop membaca, dan seterusnya pada saat sekarang sudah tidak asing lagi. Kurikulum-kurikulum yang menekankan pada kerja “mengikuti perintah” untuk menemukan satu jawaban tunggal --- sama dengan mengarahkan siswa pada pekerjaan yang mungkin sudah tidak ada lagi saat mereka lulus. Mendidik siswa kita untuk berkompetisi dengan komputer, berarti mendidik mereka untuk berkompetisi yang tidak mampu dimenangkannya. Sebagai guru kita bertugas: 1. Menyiapkan siswa/mahasiswa untuk bisa bekerja pada suatu lapangan kerja, padahal boleh jadi pada saat sekarang pekerjaan itu belum ada atau belum ditemukan. 2. Menyiapkan siswa/mahasiswa untuk terampil menyelesaikan masalah yang boleh jadi masalahnya belum ada pada saat sekarang atau tidak sama dengan masalah yang dihadapi pada masa sekarang. 3. Menyiapkan siswa/mahasiswa untuk menggunakan teknologi yang boleh jadi pula, teknologi yang dimaksud belum ditemukan.

Seuntai ASA untuk UNESA | 33

Tak pernah terbayangkan perubahan teknologi informasi yang demikian pesat dan dinamis (Gambar 2), memengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk dunia pendidikan.

Gambar 2 Perkembangan Pada Hardware Teknologi Informasi

Pertanyaan mendasar adalah; Kalau bekal pengetahuan jadi akan “kadaluarsa” (out of date), kalau teknologi akan hilang dan muncul yang lebih baik, silih berganti dengan “sosok” teknologi yang tak terduga, kalau masalah yang dihadapi berbeda dengan kualitas dan kuantitas sekarang, bekal apa yang harus diberikan untuk mempersiapkan siswa berhasil hidup pada masanya? Bekal yang harus disiapkan kepada siswa, yaitu (a) cara berpikir: Kreatif, kritis, problem solving, pengambilan keputusan, pebelajar mandiri; (b) cara hidup: Kemampuan untuk bekerja di era digital seperti komunikasi & kolaborasi; (c) alat untuk bekerja: Penguasaan ICT dan Literasi Informasi; (d) kecakapan hidup: Bagaimana hidup sebagai warga negara dengan tanggungjawab pribadi & sosial serta kehidupan & karir. Makalah ini secara khusus akan mendiskusikan hal terkait dengan bekal yang dimaksud khususnya cara berpikir. Apa yang Dimaksud dengan Higher Order Thinking? Higher-order thinking, dikenal dengan higher order thinking skills (HOTS), adalah suatu konsep reformasi pendidikan berbasis

34 | Seuntai ASA untuk UNESA taksonomi hasil belajar (Taksonomi Bloom). Ide ini menyatakan bahwa beberapa tipe belajar memerlukan lebih banyak proses kognitif dari pada yang lainnya dan juga memberi keuntungan yang lebih banyak. Pada awal perkembangannya Taksonomi Bloom tahun 1956 memiliki enam level tingkat berpikir menggunakan kata benda, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi, yang terkenal dengan taksonomi hasil belajar dari Bloom. Anderson dan Krathwohl (2001), merasa perlu melakukan revisi terhadap taksonomi tersebut, karena menurut pendapat mereka proses berpikir itu dinamis, sehingga harus dinyatakan menggunakan kata kerja. Di samping itu terdapat kerancuan, sehingga sulit membedakan setiap levelnya. Proses berpikir juga memiliki dua dimensi yaitu dimensi pengetahuan dan dimensi proses. Mereka menyarankan perubahan dimensi proses menjadi: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Mereka juga memperkenal dimensi pengetahuannya, yaitu faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif untuk setiap level proses berpikir. Dalam perkembangan lebih lanjut proses mengingat, memahami, dan menerapkan dikategorikan dalam recalling dan menganalisis, mengevaluasi, mencipta dikategorikan dalam transferring atau processing. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001) belajar untuk transfer adalah belajar bermakna, yang menggunakan proses kognitif lebih rumit. Menganalisis dan mengevaluasi digolongkan ke dalam berpikir kritis (critical thinking), sementara menciptakan digolongkan ke dalam berpikir kreatif (Creative thinking). Higher-Order Thinking sebagai Critical Thinking, yaitu alur nalar (reasonable) yang difokuskan pada yang dipercayai atau dilakukan (Norris & Ennis, 1989, Ennis, 1993), merupakan kemampuan umum yang seringkali dideskripsikan sebagai tujuan pengajaran. Dalam kasus ini “menjadi mampu berpikir” diartikan sebagai kemampuan siswa untuk menerapkan keputusan yang bijaksana atau menghasilkan kritik dengan argumentasi kuat. Berpikir dikatakan masuk akal (reasonable) apabila pemikir berusaha menganalisis argumen secara hati-hati,

Seuntai ASA untuk UNESA | 35 mencari bukti yang valid dan mecapai kesimpulan yang logis (Marzano et al, 1988). Higher-Order Thinking juga didefinisikan sebagai keterampilan Problem Solving. Penyelesaian masalah adalah tujuan yang tidak dapat dicapai melalui penyelesaian dengan menghafal. Penyelesaian masalah adalah strategi non-automatik yang diperlukan untuk mencapai tujuan (Nitko &Brookhart, 2007) dan sekaligus juga sebagai tujuan pendidikan. Para ekonom, ahli matematika, ilmuan, sejarahwan, insinyur --- semua mereka mencari penyelesaian yang efektif dan efisien untuk masalah-masalah praktis maupun teoritis. Pendidik juga demikian. Guru mengajukan suatu strategi penyelesaian untuk sebuah masalah kompleks--- bagaimana mengajar secara efektif target belajar tertentu dalam rentang waktu yang tersedia dan dengan sumber-sumber yang ada---setiap waktu mereka mengembangkan RPP. Banyak masalah kehidupan bersifat ujung terbuka. Sebagai contoh merencanakan hidup dengan dengan anggaran yang tersedia Setiap orang menyelesaikan masalahnya melalui cara yang berbeda-beda tergantung pada nilai dan asumsi yang digunakannya. Berdasarkan pikiran di atas, berpikir tingkat tinggi adalah suatu proses internal yang terjadi di dalam diri seseorang yang ditandai oleh beberapa karakteristik sebagai berikut. (1) melibatkan lebih dari satu jawaban benar, (2) berbicara tentang tingkat pemahaman; (3) ditandai dengan tugas yang kompleks, dan (4) bebas konten dan sekaligus content-related. Konseptualisasi dan klasifikasi yang sedikit berbeda datang dari Marzano, deBono & Perkin serta Costa. Costa (1985) mengelompokkan keterampilan berpikir tingkat tinggi atas pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif. deBono (1999), terkenal dengan “six thinking hatsR”. Marzano (2000) mengusulkan taksonomi tujuan pendidikan baru berkait dengan keterampilan berpikir. Dia mengatakan ada 3 sistem dan pengetahuan. Sistem terdiri atas self system, metacognitive system, dan cognitive system. Sementara pengetahuan meliputi: informasi, prosedur mental, dan prosedur fisik.

36 | Seuntai ASA untuk UNESA

Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Salah satu definisi penyelesaian masalah adalah suatu proses yang terdiri banyak langkah untuk mengatasi suatu masalah. Seseorang akan mampu menyelesaikan masalah jika menemukan hubungan antara pengalamannya (skema) masa lalunya dengan masalah yang sekarang dihadapinya dan kemudian bertindak untuk menyelesaikannya. Gagne menyatakan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah adalah hasil belajar yang paling tinggi, karena ketika seseorang berhasil menyelesaikan masalah, seseorang telah mencapai dua hal sekaligus, yaitu: jawaban terhadap masalahnya (pengetahuan) dan cara masalah diselesaikan (proses). Hal yang terakhir ini, yaitu proses menyelesaikan masalah memiliki nilai transfer karena menjadi “alat” bagi sisa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di masa depan. Membuat keputusan, merupakan serangkaian proses meliputi: (1) melakukan asesmen resiko, yaitu menganalisis keuntungan dan resiko setiap keputusan yang dibuat; (2) mengidentifikasi pilihan- pilihan disesuaikan dengan tujuan keputusan itu dibuat; (3) menganalisis informasi untuk kemudian memilih informasi yang benar-benar diperlukan terkait keputusan yang akan dibuat; dan (4) menentukan pilihan, yang merupakan keputusan yang diambil. Berpikir kreatif: Mengacu kepada sistem yang dikembangkan oleh deBono dan Perkin, berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang asli, solusi ganda, estetika, mengambil resiko, berpikir lateral (berpikir out of the box). Contoh klasik dari berpikir lateral yang dimuat pada banyak referensi adalah sebagai berikut. Tugas: Terdapat enam buah gelas: 3 kosong dan 3 berisi orange jus (Gambar 2). Geserlah sebuah gelas, sehingga keenam gelas itu berderet selang seling antara yang berisi dan yang kosong

Gambar 2 Enam gelas, tiga kosong dan tiga lainnya terisi

Seuntai ASA untuk UNESA | 37

Tugas: Berapa banyak kemungkinan Anda membagi kertas berbentuk persegi menjadi empat bagian yang sama?

Apakah ada cara lain membaginya? Berapa banyak kemungkinannya?

Berpikir kritis: Pada dasarnya berpikir kritis merupakan suatu hal yang masuk akal (reasonable), berpikir reflektif yang terfokus pada keputusan untuk mempercayai dan melakukan sesuatu (Ennis, 1986; Ennis, 1993; King, 1994) Kemampuan berpikir kritis dapat diberdayakan dengan memahami aspek-aspek yang berkaitan dengan konsepsi berpikir kritis. Ketika seseorang menerapkan keterampilan berpikir kritis, dia akan mencoba membangun argumen atau alasan yang sesuai konteks, mendeduksi secara logis sekaligus menginduksi fakta-fakta untuk membuat generalisasi (kesimpulan) terkait dengan interpretasi terhadap pertanyaan dan terakhir memilih kemungkinan alternative penyelesaian masalah/pertanyaan (Ennis, 1986). Tugas berikut ini diyakini mampu mengukur keterampilan berpikir kritis seseorang.

Tugas: Seseorang sedang membangun rumah berbentuk kubus. Tiap sisinya berbentuk persegi dan menghadap ke selatan. Sekonyong-konyong seekor beruang besar lewat. Apa warna beruang tersebut?

Marzano (2000) mengemukan dimensi lain dari belajar, yaitu sistem dan pengetahuan. Sistem terdiri atas sistem diri, sistem metakognitif, dan sistem kognitif. Pengetahuan meliputi: informasi, proses mental, dan proses fisik. Sistem diri meliputi keyakinan tentang pentingnya pengetahuan, keyakinan tentang efikasi dan emosi yang terkait dengan pengetahuan. Sistem metakognitif. Sistem ini terkait

38 | Seuntai ASA untuk UNESA erat dengan tingkat pemahaman yang tinggi. Di dalam sistem ini seseorang berpikir tentang berpikir (Thinking about “thinking” (meta- cognition). Di dalam sistem yang demikian siswa mengambil peran aktif membangun makna dan pemahaman yang mendalam. Marzano merinci sistem metakognitif menjadi: spesifikasi tujuan belajar, memonitoring tindakan belajar, kejelasan, dan kecermatan. Sementara itu sistem kognitif meliputi: (1) Pemanggilan kembali pengetahuan (recall dan execution), Pemahaman (sintesis dan representasi, (3) analisis (memasangkan, menggelompokkan, analisis kesalahan, menggeneralisasi, menspesifikasi, (4) penggunaan pengetahuan seperti pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, melakukan inkuiri/eksperimen, penyelidikan. Pengetahuan mencakup informasi, prosedur mental, dan prosedur fisik. Costa mengajukan pengelompokkan pertanyaan atas 3 level, yaitu level 1, level 2 dan level 3. Pertanyaan Level 1 (Hanya Buku) adalah pertanyaan yang jawabannya dapat diperoleh dari teks baik langsung maupun tidak langsung. Teks dapat berupa buku, kuliah, atau sumber yang lain. Tipe pertanyaan ini sangat kongkrit dan berhubungan hanya dengan teks. Biasanya mempertanyakan tentang fakta yang telah didengar maupun dibaca. Informasi yang dituntut sama dengan yang didengar. Tipe pertanyaan ini termasuk ke dalam berpikir tingkat rendah.

Pertanyaan level 2 (Buku dan Otak), jawaban diinferensikan dari teks. Tipe pertanyaan ini meskipun lebih abstrak dari pada pertanyaan level 1, tetap mempertanyakan fakta. Karena pertanyaan ini menuntut penggunaan otak, maka jawaban merupakan kombinasi informasi dengan cara baru. Informasi dapat diklasifikasikan menjadi bagian-bagian: menguji detil, menganalisis sebab, menemukan informasi yang mendukung generalisasi dan pembuatan keputusan.

Pertanyaan level-3 hanya otak. Jawaban pertanyaan jenis ini adalah “beyond text”. Pertanyaan sangat abstrak dan tidak bertanya kaitan langsung dengan teks. Pertanyaan tipe ini menuntut siswa membuat keputusan berdasarkan informasi yang diberikan. Seringkali juga siswa diminta mengemukakan opini atau pendapat terkait

Seuntai ASA untuk UNESA | 39 dengan isu-isu yang diberikan, memutuskan tentang validitas suatu ide atau produk yang lain dan melalukukan penyesuaian ide dan pendapat. Berikut ini adalah rangkuman ide Costa.

Level- Mendefinisikan, Apa definisi fotosintesis? 1 mendeskripsikan, (Definisi) mengulang, Bagaimana menjelaskan proses Mengidentifikasi, pengendalian ekspresi gen mengamati, (membuat daftar) Mendaftar, Pada tahap apakah cacing memberi nama tambang bersifat infektif bagi manusia? (Identifikasi) Bagaimana bunyi postulat Koch? (mengulang) Level- Menganalisis, Jika bulan purnama pada tanggal 2 membandingkan, 17 Agustus, 18 Juli, dan 19 Juni. Mengelompokkan, Kapan bulan akan purnama pada membeda-kan, bulan April? (inferensi) menginferensi, mengu-rutkan, mensintesis Level- Mengevaluasi, Dengan menggunakan postulat 3 berhipotesis, Koch, bagaimana seseorang memprediksi, dapat menemukan mikroba menerapkan prinsip penyebab tape berasa manis?

Klasifikasi lain keterampilan berpikir dilakukan menggunakan SOLO Taxonomy. Taksonomi Structure of Observed Learning Outcome (SOLO) adalah sebuah kerangka pikir untuk mengklasifikasi tingkat berpikir berdasarkan respons siswa meliputi 5 tingkatan yaitu (1) prestruktural (prestructural), (2) unistruktural (unistructural), (3) multistruktural (multistructural), (4) relasional (relational), dan (5) abstrak yang diperluas (extended abstract). Taksonomi SOLO berperan menentukan kualitas respon siswa terhadap suatu masalah. Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai alat menentukan kualitas jawaban siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh dari hasil jawaban siswa, selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian proses kognitif yang ingin diukur.

40 | Seuntai ASA untuk UNESA

Ketika seorang siswa ditanya suatu permasalahan menggunakan tes essay sebagai berikut: Bagaimana hubungan penebangan hutan dengan banjir di kota? Respon siswa: 1. Tidak menjawab atau jawaban salah---prestruktural 2. Menjawab benar dengan mempertimbangkan satu aspek saja - --unistruktural 3. Menjawab benar dengan mempertimbangkan beberapa aspek secara terpisah-pisah---multistruktural 4. Menjawab benar dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang saling terkait satu sama lain---relasional 5. Jawaban benar dengan kualitas lebih baik dari jawaban yang diminta---extended abstract Cara ini sekaligus dapat digunakan untuk mengukur pemahaman konsep seseorang sekaligus keterampilan berpikirnya. Penutup Pembelajaran MIPA dan juga yang lainnya perlu mengembangkan HOTS karena memberikan beberapa keuntungan bagi siswa, sebagai misal: informasi yang dipelajari dan diproses melalui proses berpikir tingkat tinggi menguatkan ingatan terhadap informasi tersebut, dan lebih jelas dibandingkan dengan informasi yang diproses dengan LOTS (Lower order thingking skills), misalnya menghafal. Sekedar contoh menghafalkan rumus dengan menjelaskan penurunan rumus. Contoh lain perbedaan antara mengingat definisi suatu kata baru dengan menginternalisasi strategi Menurut banyak pakar pembelajaran keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam sains dapat dilakukan menggunakan inkuri. Inkuiri adalah cara terbaik mengajarkan sains---- mungkin itulah salah satu sebab mengapa Kurikulum 2013 menuntut penerapan pendekatan saintifik di dalam mengelola pembelajaran.

Seuntai ASA untuk UNESA | 41

Daftar Acuan

Anderson, L., and Krathwohl, D. (eds.) (2001) Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy . New YorK: Publishing Co.

Ibrahim, Muslimin. 2015. Berpikir Tingkat Tinggi. Makalah yang idsajikan sebagai Pembicara Utama Pada Seminar Pendidikan MIPA di Universitas Negeri Jakarta, tanggal 11 April 2015.

McAleer, F. F. 2006. Develop Critical and Creative Thinking Skills: Put on Six Thinking Hats® Pennsylvania Educational Leadership (a publication of the Pennsylvania Association for Supervision and Curriculum Development, PASCD). Fall, 2006.

DeBono, Edward. 1999. Six Thinking Hats®. First Back Bay: MICA Management Resources.

DeBono, Edward. 1992. “Serious Creativity”. Des Moines, Iowa: Advanced Practical Thinking Training, p. 31

42 | Seuntai ASA untuk UNESA

4

PEMBUDAYAAN NILAI (VALUE) MELALUI ILMU KEALAMAN (SAINS)

Muslimin Ibrahim Home based S3 Pendidikan Sains PPs Unesa [email protected]

Di dalam judul di atas, penulis sengaja menggunakan istilah ilmu kelaman sebagai ganti istilah ilmu pengetahuan alam untuk mengindari kerancuan penggunaan istilah ilmu dan pengetahuan yang seringkalitidak konsisten. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia sementara ilmu adalah ragam pengetahuan yang diperoleh lewat metode keilmuan (metode ilmiah). Ada banyak ragam pengetauan lain yang tidak dibangun lewat metode ilmiah pada awalnya. Bahasa dan matematika misalnya dibangun lewat kesepakatan, agama bersifat dogmatis yang bersumber dari wahyu dan sebagainya. Dengan demikian penggunaan istilah ilmu pengetahuan ataukah pengetahuan ilmu benar? Ilmu kealaman didefinisikan sebagai terdiri dari (a) produk ilmiah seperti fakta, konsep, teori, hukum, prosedur, dan informasi, (b) proses ilmiah yang meliputi semua keterampilan proses ilmiah baik dasar misalnya pengamatan maupun keterampilan proses terpadu seperti eksperimen, dan (c) sikap ilmiah/nilai (value) misalnya jujur, disiplin, peduli, beriman . Oleh karena itu pembelajaran sains

Seuntai ASA untuk UNESA | 43 diarahkan untuk memberdayakan siswa dan mahasiswa dengan produk ilmiah, proses, ilmiah, dan nilai. Produk ilmiah dan keterampilan proses ilmiah dibangun lewat pengajaran sedangkan nilai ditularkan melalui proses pendidikan. Kurikulum yang dirancang haruslah mampu menyediakan pengalaman yang relevan untuk pemberdayaan yang dimaksud, yaitu Kualifikasi mencakup nilai (sikap), pengetahuan, dan keterampilan (UUSPN Nomor 20/2003). Bahkan Sntadar Nasional pendidikan menekankan bahwa pendidikan haruslah mampu menjadikan warganegara untuk (a) memiliki dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut dan (b) memiliki kecakapan hidup mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional Pengalaman dengan demikian, harus dirancang secara eksplisit dan disengaja. Diperoleh petunjuk bahwa selama ini pengalaman yang dirancang oleh guru/dosen sebagai kurikulum riel di dalam kelas “kurang” memberi penekanan secara proporsional terhadap ketiga domain di atas. Penekanan lebih ditujukan kepada produk ilmiah, sedikit pada proses ilmiah, dan sangat kurang pada nilai baik ditingkat sekolah dasar (Nugroho, 2013, Umimah, 2013), di tingkat SMP (Irwansyah, 2014), di tingkat SMA pada pelajaran Biologi (Habibie, 2010; Bagio, 2014; Pertiwiningrum, 2014), fisika (Budiastuti, 2012), dan Kimia, (Endang, 2011), Kurangnya penekanan pembelajaran pada nilai (value) boleh jadi sebagai akibat dari (a) tidak dicantumkannya value sebagai tujuan atau kompetensi yang akan di capai di dalam suatu pembelajaran, (2) para guru dan/atau dosen “setuju” dengan pendapat bahwa value dibangun sebagai efek nurturans. Pendapat ini bertumpuh pada asumsi bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi akan memiliki sikap yang baik. Asumsi sudah waktunya untuk ditinggalkan. Banyak bukti yang meyakinkan bahwa terdapat banyak orang pandai dan terampil tetapi tidak memiliki nilai nilai-nilai yang baik.

44 | Seuntai ASA untuk UNESA

Pembelajaran pada hakikatnya adalah pemberdayaan siswa/mahasiswa akan ketiga domain di atas secara utuh (holistik). Hal ini selaras dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. bagian- bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Pentingnya pembelajaran yang memberi penekanan pada value dilandasi realitas bahwa value adalah alat kontrol. Value, sikap positip dan sejenisnya yang dimiliki akan mengarahkan penerapan pengetahuan dan keterampilan seseorang ke arah baik. Socrates (469- 399 SM) menyatakan: tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). Pentingnya pendidikan nilai tersirat di dalam pernyataan Nabi Besar Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “Aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan ahlak” dan pada kesempatan lain Beliau menyampaikan “Ajarkanlah anakmu memanah dan menunggang kuda”, “tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. Pernyataan-pernyataan tersebut merujuk pada pendidikan holistik (utuh). Membangun manusia utuh sebenarnya sudah dimodelkan oleh Allah SWT. Tuhan seru sekalian Alam. Mula-mula Tuhan membangun fisik (tubuh). Adam diciptakan (QS 2:30), kemudian diajarkan pengetahuan dan keterampilan (QS 2:31) sehingga lebih hebat dari Malaikat dan Jin (QS 2: 32-33). Sebagai calon pemimpin di Bumi (Khalifah) Adam dimagangkan oleh Tuhan di dalam surga agar dia dapat melihat realitas ideal untuk melengkapi pengetahuan yang telah dimilikinya (QS 2: 35). Fisik, pengetahuan, dan keterampilan tidak cukup untuk menyelamatkan Adam karena dia masih tergoda oleh Syetan (QS 2:36). Selanjutnya Adam menerima beberapa kalimah dari Tuhannya (nilai) (QS 2:37) untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilannya sebagai kontrol agar selamat. (QS 2:38). Uraian di atas sebenarnya merupakan model bagaimana pendidikan seharusnya dilakukan, yaitu memberdayakan siswa/

Seuntai ASA untuk UNESA | 45 mahasiswa agar menjadi manusia komprehensif sehingga mampu mengembangkan potensinya sendiri agar kompetitif. Apa yang Harus Dilakukan? Dengan diberlakukannya Kurikulum Nasional (2013) di tingkat sekolah dan Perpres Nomor 12/2008 tentang KKNI, nilai (value) telah tercantum secara eksplisit sebagai Kompetensi Inti (KI-1 dan KI-2) di dalam kurikulum sekolah dan Capaian Pembelajaran Sikap untuk kurikulum Pendidikan Tinggi. (Permenristekdikti nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-dikti). Konsekwensi logis dari pencantuman nilai (value) ini sebagai capaian pembelajaran di dalam written curriculum sekolah maupun dikti, adalah munculnya kewajiban guru/dosen untuk mengupayakan operasionalisasi nilai value ke dalam actual curriculum berupa rancangan dan pelaksanaan pembelajaran/perkuliahan di kelas pada setiap matapelajaran. Pendidikan nilai tidak lagi menjadi tanggungjawab mata pelajaran tertentu seperti PPKn dan Agama. Para ahli bersepakat bahwa pendidikan nilai lebih baik dilakukan melalui jalur pendidikan formal (Nuh, 2013). Pendidikan nilai dilakukan melalui modeling dan pembiasaan. Undang. Kongres Guru Besar yang pertama pada Tahun 2007 merekomendasikan bahwa pendidikan nilai harus dilakukan sedini mungkin dan menjadi kewajiban setiap mata pelajaran/ mata kuliah. Pertanyaan besarnya adalah Bagaimana melakukannya? Siapa modelnya? Fenomen Sains Sebagai Model untuk Pembudayaan Nilai Para saintis belajar sains melalui penyelidikan (pengamatan dan atau percobaan) yang dikenal dengan metode ilmiah untuk menyingkap realitas sehingga terbangun konsep, teori, hukum dsb. Yang membangun batang tubuh sains. Di dalam kelas, apa yang dilakukan oleh saintis dapat ditiru oleh siswa atau mahasiswa untuk belajar sains. Muncullah Pendekatan Saintifik. Di negara-negara yang memisahkan pendidikan nilai dengan pendidikan pengetahuan & keterampilan, pendekatan saintifik berhenti pada penemuan konsep, teori, atau hukum. Sementara di Indonesia melalui USPN dan Standar

46 | Seuntai ASA untuk UNESA

Nasional Pendidikan “mengisyaratkan” pendidikan nilai terintegrasi dengan pengajaran pengetahuan dan keterampilan. Melalui pembelajaran Sains, pendidikan nilai dapat dilakukan secara terintegrasi dengan pengajaran pengetahuan dan keterampilan. Ibrahim (2008, 2012, 2014) menawarkan model pemaknaan. Di dalam model ini pembelajaran dimulai dari fenomena sains yang dihadapkan kepada siswa atau mahasiswa untuk memotivasi, apersepsi dan sekaligus memunculkan pertanyaan/ masalah. Selanjutnya siswa/mahasiswa diorganisasikan melakukan penyelidikan autentik dalam rangka menemukan jawaban masalahnya (Pendekatan Saintifik). Temuan siswa/mahasiswa diinternalisasi dan dijadikan model nilai yang harus ditanamkan. Langkah pembelajaran nilai melalui sains tersebut di bagan sebagai ditunjukkan pada Gambar 1 berikut. Gambar 1 menunjukkan bahwa pembelajaran sains dilaksanakan mengikuti pendekatan saintifik yang membimbing siswa/mahasiswa belajar pengetahuan dan keterampilan dan sekaligus secara eksplisit belajar nilai seperti teliti, jujur dan sebagainya. Kemudian temuan dimaknai untuk dijadikan contoh nilai (pembelajaran nilai secara eksplisit/by design). Di dalam model tersebut juga tersurat adanya domain analog (sesuatu yang sudah dikenal siswa/mahasiswa0 yaitu berupa temuannya dan domain target yaitu nilai yang akan ditularkan.

Gambar 1: Alur Berpikir Model Pemaknaan (Ibrahim, 2014)

Seuntai ASA untuk UNESA | 47

Contoh Implementasi dalam Topik Ilmu Alam (Fisika) Melalui penyajian feneomen tertentu, guru/dosen dapat membimbing pebelajar untuk sampai kepada pertanyaan, misalnya Bagaimana cara menembak agar jarak jatuhnya peluru dengan tempat menembak mencapai titik paling jauh? Melalui diskusi guru dan siswa dapat menemukan cara melakukan eksperimen mislnya dengan mengatur sudut elevasi senjata yang digunakan, kemudian diuji baik secara riel maupun simulasi melalui program komputer. Dengan membimbing siswa mengumpulkan data tentang ukuran sudut elevasi dan jarak jatuhnya peluru, kemudian dianalisis, mereka akan menemukan sudut alpha (α) =45o sebagai sudut elevasi dengan jarak tembak terjauh (Gambar 2).

Gambar 2 Jarak tembak terejauh dicapai jika sudut (α) =45o

Selanjutnya pembelajaran tidak selesai pada pengajaran dengan ditemukannya besar ssudut alpha, tetapi perlu dilanjutkan dengan pendidikan melalui olah hati dan olah rasa. Temuan mereka dimaknai. Katakan kepada siswa bahwa Gambar 2 yang mereka temukan adalah cermin. Hidup yang dimulai dari titik 0 (Titik A pada Gambar 2), berangsur naik dan membentuk sebuah sudut elevasi tertentu (semakin menuju 45 derajat, semakin menuju pada sebuah keselarasan hidup, di mana relasi antara sesama manusia (sumbu X) dan sang pencipta (sumbu Y) seimbang) membentuk gerakan parabola. Pada gerak parabola, ada titik di mana kita naik dan ada pula titik di mana kita akan jatuh. Hiduplah pada sudut 45 derajat. Itu adalah kehidupan yang penuh dengan keseimbangan antara Hidupmu dan TuhanMu. Kebanyakan dari kita menggunakan gerak parabola ini dalam kehidupan.

48 | Seuntai ASA untuk UNESA

Contoh Implementasi dalam Topik Ilmu Hayati (Biologi) Siswa dan guru belajar tentang konsep perubahan bentuk pada kupu-kupu (metamorfosis) dengan pendekatan saintifik mereka memelihara telur kupu-kupu, diamati berapa lama waktu untuk berubah menjadi ulat pisang, diberi makan dan diamati. Berapa lama waktu berubah menjadi kepompong, berapa waktu untuk menetas, bagaimana proses keluarnya kupu-kupu dari kepompong dan seterusnya. Dari proses di atas siswa belajar konsep metamorfosis, pengertian, contoh, tahapan, dan lama waktunya (Produk ilmiah). Belajar melakukan pengamatan, menarik simpulan dst. (Proses Ilmiah). Selanjutnya pemodelan nilai: 1. Siswa diminta melakukan refleksi bagaimana perubahan ulat yang rakus dan menjijikan menjadi kupu-kupu yang indah? Mereka akan menemukan, yaitu melalui pembentukkan kepompong. Di dalam kepompon ulat “puasa” melakukan pengendalian diri. Di sini ditanamkan pentingnya sikap pengendalian diri agar manusia yang baik, santun, dan produktif. 2. Ajaklah siswa mengamati lebih teliti bagaimana cara keluarnya kupu-kupu dari kepompong, yaitu melalui lubang yang sempit. Mereka akan melihat proses yang sangat sulit dan memerlukan waktu lama, pengorbanan, dan kesulitan demi kesulitan. Cobalah ajak siswa “membantu kupu-kupu dengan memperbesar lubang sehingga kupu bisa keluar dengan mudah, misalnya dengan melakukan “operasi caesar”. Siswa akan menemukan bahwa kupu- kupu akan tidak bisa terbang seumur hidupnya, karena sayapnya lemah dan tidak kuat. Fakta ini dapat dijadikan model untuk menanamkan bahwa lubang kecil adalah skenario Tuhan untuk memeras tubuh kupu-kupu agar cairannya mengalir ke sayap untuk menguatkan sayapnya sehingga mampu terbang. Jadi benar forman Tuhan bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Dari contoh itu Tanamkan kepada siswa bahwa Allah SWT. menunjukkan kepada kita tentang pentingnya perjuangan. Perjuangan mutlak diperlukan dalam menjalani hidup ini. Apabila Allah

Seuntai ASA untuk UNESA | 49 membolehkan kita hidup tanpa hambatan, itu hanya akan membuat kita lemah. Kita tidak akan sekuat ini, tidak akan pernah bisa sesukses ini. Kita memohon diberikan kekuatan, Allah SWT. Memberikan kesulitan agar membuat kita kuat. Kita memohon agar menjadi bijaksana, Allah SWT. memberikan masalah untuk diselesaikan. Kita memohon kekayaan, Allah SWT. memberi kita bakat, waktu, kesehatan, dan peluang. Kita memohon keberanian, Allah SWT. memberikan kita hambatan untuk dilewati. Kita memohon rasa cinta, Allah SWT. Mengirim Orang-orang bermasalah untuk dibantu Kita memohon kelebihan, Allah SWT. memberikan kita jalan untuk menemukan. Boleh jadi Kita tidak menerima apapun yang kita minta, akan tetapi kita PASTI menerima semua yang kita butuhkan Contoh Implementasi dalam Ilmu Kimia Di dalam ilmu kimia melalui [pendekatan saintifik siswa/ mahasiswa dibimbing sehingga menemukan bahwa elektron yang terletak pada kulit terluar disebut dengan Elektron Valensi. Jika atom bertemu dengan atom lain, atom dengan elektro valensi lebih kecil akan melepaskan elektronnya, sedangkan atom dengan elektro valensi yang lebih besar akan menarik elektron. Fakta ini selanjutnya digunakan oleh guru dan dosen sebagai model sikap, milsanya saat bertemu yang muda mengucap salam kepada yang lebıh tua yang berjalan memberikan salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak dan seterus. Masih tersedia banyak contoh yang lain. Bahkan “semua” feneomen Sains adalah model nilai, sikap, perilaku pada diri manusia. Hal ini sejalan dengan format Tuhan: Bahwa sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang adalah tanda-tanda bagi orang yang berpikir (QS 3: 190). Penutup Contoh-contoh yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa fenomena sains adalah sumber inspirasi mengenai model nilai (value) yang dapat menjadi tauladan bagi pembudayaan nilai pada siswa. Nılai sudah tercantum di dalam kurikulum sebagai sesuatu yang harus dicapai tinggallah kemauan guru/dosen untuk merancang dan

50 | Seuntai ASA untuk UNESA melaksanakan pembudayaan nilai melalui pendidikan formal matakuliah/mata pelajarannya sendiri. Selamat mencoba.

Daftar Acuan Al Qur’an Al Karim Ibrahim, Muslimin dan Wahyu Sukartiningsih. (2014) Pembelajaran Inovatif Melalui Pemaknaan, Belajar Perilaku Positip dari Alam. Surabaya: University Press Nuh, Muhammad (2013). Paparan Pada Uji Publik Kurikulum 2013. Bahan Presentasi Mendikbud tanggal 16 Desember 2012 di . Permenristekdikti Nomor 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Perpres No 12/2008 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Rizki, Miftahur. Ibrahim, Muslimin. Muhari. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berorientasi Model Pemaknaan untuk Melatih Keterampilan Berpikir pada Siswa SD”. Pendidikan Dasar, Jurnal Kajian Teori dan Hasil Penelitian Volume 1 nomor 1 Juli 2013, ISSN 2301-9158 Nugroho, Rini. Ibrahim, Muslimin. Rahayu, Yuni, Sri. “Membangun Sensitivitas Moral, Penguasaan Konsep, dan Kemampuan Berpikir Siswa SD melalui Pembelajaran IPA berorientasi Model Pemaknaan” Pendidikan Dasar, Jurnal Kajian Teori dan Hasil Penelitian. Volume 1 nomor 1 Juli 2013, ISSN 2301-9158 Penelitian-penelitian tesis mahasiswa S2 Program Studi Pendidikan Sains dan Pendidikan Dasar yang menerapkan model pemaknaan di kelas: (Nugroho, 2013, Umimah, 2013), di tingkat SMP (Irwansyah, 2014), di tingkat SMA pada pelajaran Biologi (Habibie, 2010; Bagio, 2014; Pertiwiningrum, 2014), fisika (Budiastuti, 2012), dan Kimia, (Endang, 2011)

Seuntai ASA untuk UNESA | 51

Makalah yang disampaikan oleh Muslimin Ibrahim tentang Pembelajaran Sikap, Karakter serta Nilai: 1. Nara sumber pada Workshop Pengembangan Kurikulum Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, 15 Januari 2015 2. Pembicara Utama pada Seminar Nasional dengan Tema Peran Biologi dan Pendidikan Biologi dalam menjawab Tantangan Pendidikan Global, Universitas Muhammadiyah Malang, 21 Maret 2015. 3. Pembicara utama pada Seminar dalam rangka Ulang Tahun ke 25 Prodi Pendidikan Fisika Universitas Palangkaraya tanggal 26 Maret 2015 4. Pembicara Utama pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Jakarta, dengan Tema High Order Thinking dan Sikap, Jakarta, 11 April 2015. 5. Nara Sumber pada pelatihan Pekerti: Unesa Inovasi Pembelajaran. Surabaya 25-26 Mei 2015 6. Nara Sumber pada Workshop Pengembangan Bahan Ajar Berkualitas, yang diselenggarakan oleh Prodi PGSD Universitas Negeri Makassar, Makassar 13 Juni 2015 7. Pembicara Utama Seminar dilaksanakan oleh Konsorsium Pendidikan Indonesia dengan Tema: Pembelajaran Melalui Pemaknaan. Surabaya, 24 Juni 2015. 8. Nara sumber pada Workshop Pembelajaran Inovatif di SMP Petra 5 dan 9 Surabaya, 13 Juli 2015 9. Pembicara Utama pada Seminar Nasional di Universitas Mulawarman Samarinda, Kaltim, dengan tema: Peran Pembelajaran Biologi dalam mempersiapkan Generasi Cerdas Abad 21., Samarinda, 22 Agustus 2015 10. Nara sumber pada Workshop Pengembangan LKS terintegrasi Sikap Positip untuk Kota Bontang dan Padang, dilaksanakan oleh Konsorsium Pendidikan Indonesia, Surabaya, 26 Agustus 2015

52 | Seuntai ASA untuk UNESA

Pemakalah pada Pertemuan Pimpinan Program Pascasarjana LPTK se Indonesia di dengan Judul: Modeling Sikap Positip Melalui Pemaknaan Fenomena Ipa Suatu Alternatif Pemberdayaan Siswa, Bandung 2-4 September 2015

Seuntai ASA untuk UNESA | 53

5

PENINGKATAN KINERJA UMKM PRODUSEN KRUPUK MELALUI DIVERSIFIKASI PRODUK DAN MESIN PENGERING

Oleh:

Supari Muslim (Fakultas Teknik-Unesa), email: [email protected] Bambang Suprianto (Fakultas Teknik -Unesa), email: [email protected] Agus Suprijono (Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum-Unesa), email:

Krupuk Sebagai Komoditas dan Kebutuhan Pokok Masyarakat

“Krupuk” adalah salah satu produk olahan tradisional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Krupuk sangat dikenal, baik disegala usia maupun tingkat sosial masyarakat, yang sangat mudah diperoleh di segala tempat, baik di kedai pinggir jalan, maupun di restoran hotel berbintang. Produk krupuk merupakan salah satu dari sepuluh unggulan produk yang diekspor ke mancanegara. Komoditas krupuk adalah jenis makanan kering yang terbuat dari bahan yang mengandung pati yang cukup tinggi. Krupuk adalah nama lokal dari crackers yang dibuat dari gelatinisasi pati yang dikeringkan sampai kadar air mencapai (8%-5%), dan umumnya digoreng dalam minyak panas. Dilihat dari bahan bakunya, terdapat berbagai macam

54 | Seuntai ASA untuk UNESA aneka krupuk produk UMKM seperti tampak pada Gambar 1 untuk krupuk yang masih mentah, dan Gambar 2 untuk aneka macam krupuk yang sudah matang.

Gambar 1. Berbagai Jenis Krupuk Produk UMKM

Di Indonesia, komoditas krupuk sudah merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat, mulai dari krupuk yang dibuat dari kerang bernama ‘Krupuk Gonggong’ di Kepulauan Riau, krupuk ikan, krupuk udang, krupuk jengkol, dan krupuk kulit sapi dari Padang, sampai krupuk Palembang. Hampir semua jenis krupuk tersebut populer di daerahnya masing-masing. Sebagai makanan khas asli Indonesia, krupuk memiliki ciri khas yang menarik dan segmen pasarnya masih terbuka lebar, baik di dalam maupun luar negeri. PT Sekar Laut, sebagai produsen krupuk yang berada di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, mampu mengekspor ke luar negeri sebanyak 250–300 ton krupuk dari 700 ton produk krupuk setiap bulan, ke sejumlah negara di Asia dan Eropa.

Seuntai ASA untuk UNESA | 55

a) Kerupuk kampong b) Kerupuk c) Kerupuk kulit

d) Kerupuk ikan e) Kerupuk lekor –

Gambar 2. Aneka Macam Kerupuk (sudah matang)

Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai pengekspor krupuk terbesar dibanding dengan beberapa provinsi lainnya. Ekspor krupuk dari Jawa Timur mencapai angka 79% dari total krupuk udang di seluruh Indonesia, disusul oleh Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ternyata rasa krupuk yang renyah dan gurih tersebut sudah tersebar hingga mancanegara dan diterima oleh lingkungan masyarakat di Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat. Terbangnya krupuk ke mancanegara berdampak pada meningkatnya devisa dari ekspor krupuk, termasuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, khususnya di lingkungan UMKM produsen krupuk

56 | Seuntai ASA untuk UNESA

Beberapa Kelemahan UMKM Produsen Krupuk

Seperti juga UMKM di berbagai bidang yang lain, UMKM produsen krupuk juga menyandang berbagai keterbatasan dan kelemahan. Sebagai contoh, berdasarkan survai yang dilakukan oleh Supari Muslim (2012) di Kampung Krupuk Gununganyar Tambak, Kecamatan Gununganyar, Kota Surabaya, beberapa kelemahan tersebut di antaranya adalah: (1) merek dagang belum mendapatkan perhatian para pelaku UMKM pada umumnya; (2) alat-alat produksi masih tradisional; (3) keterampilan sumber daya manusia (SDM) yang tergolong rendah; (4) pengetahuan “diversifikasi produk” yang masih terbatas; (5) desain/model kemasan yang masih sederhana dan kurang informatif; (6) kemampuan menjalin kerjasama dagang yang masih rendah; dan (7) model pemasaran yang secara umum masih tradisional dan belum memanfaatkan teknologi informasi. Beberapa kelemahan internal UMKM tersebut, harus dibenahi, mengingat UMKM adalah tulung punggung perekonomian nasional. Kelemahan-kelemahan tersebut di atas, secara umum tidak disadari oleh para pelaku UMKM, meskipun resikonya bisa datang sewaktu-waktu. Sebagai contoh, merek dagang yang belum menjadi perhatian para pelaku UMKM, merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup UMKM itu sendiri, sebab produk yang belum memiliki Hak Cipta., sangat rentan atau mudah sekali ditiru/dijiplak oleh pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab. Kelemahan yang kedua, adalah rendahnya tingkat kesadaran atas pemanfaatan Teknologi Tepat Guna (TTG) di lingkungan UMKM pada umumnya. Pelaku UMKM Krupuk kurang menyadari bahwa dengan pemanfaatan TTG (Mesin Pengaduk, Mesin Pengiris dan Mesin Pengering), dapat meningkatkan produk krupuk, baik dalam segi kuantitas maupun mutu. Dengan Mesin Pengaduk, di samping adonan menjadi lebih rata, kapasitas pengadukan bahan baku krupuk dapat ditingkatkan. Dengan Mesin Pengiris, kapasitas pengirisan meningkat, dan hasil pengirisan menjadi lebih seragam dan rata. Dengan mesin pengering, proses pengeringan krupuk dapat dipercepat, kapasitas dapat ditingkatkan dan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Kesadaran atas pemanfaatan TTG bagi para pelaku UMKM pada

Seuntai ASA untuk UNESA | 57 umumnya, perlu ditingkatkan, dengan melatih mereka tentang pengoperasian TTG yang dibutuhkan di bidang usaha krupuk tersebut. Sedangkan kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan UMKM pada umumnya, termasuk di lingkungan UMKM Krupuk, disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan mereka yang rata-rata hanya pendidikan Sekolah dasar (SD) ke bawah. Karena itu pengetahuan mereka tentang ijin merek dagang, TTG, diversifikasi produk, desain/model kemasan maupun model pemasaran, amat terbatas. Mereka perlu dilatih tentang: (1) mengurus ijin merek dagang; (2) mengoperasikan TTG; (3) “diversifikasi produk” mengingat limbah ikan/udang yang ada selama ini belum dimanfaatkan; (4) bagaimana membuat “desain/model kemasan” yang menarik, mengingat model kemasan sangat berpengaruh kepada selera konsumen. Dengan model kemasan yang bagus dan bergaya modern, minat konsumen untuk membeli komoditas tersebut dapat ditingkatkan. Apalagi komoditas krupuk, yang menjadi komoditas internasional antar-negara seperti dipaparkan di atas. Masalah terakhir yang tidak kalah penting, adalah kemampuan menjalin kerjasama dagang, dan media pemasaran online (internet) melalui pembuatan website atau blog. Melalui internet akan terjadi proses pertukaran pesan/informasi secara global, yang akan menghasilkan komunikasi antar jutaan manusia di seluruh penjuru dunia. Dengan pemasaran melalui internet, akan terjadi interaksi dan transaksi antara manusia satu dengan lainnya, sehingga terbentuk suatu jaringan sosial yang sangat penting dalam melakukan sebuah pemasaran. Iversifikasi Produk Berwawasan Lingkungan Secara umum, produsen krupuk di lingkungan UKM, belum memanfaatkan limbah ikan/udang untuk produk yang bernilai (diversifikasi produk), dan selama ini limbah ikan/udang hanya dibuang begitu saja. Diversifikasi produk dilakukan dengan memanfaatkan limbah ikan/udang menjadi tepung ikan, kecap, terasi, dan pupuk organik. Karena itu, diperlukan kreativitas untuk mengolahnya

58 | Seuntai ASA untuk UNESA menjadi produk yang bernilai, dan memiliki peranan penting dalam kehidupan di masyarakat pada umumnya. Solusi yang paling tepat dan mudah adalah mengolah limbah ikan/udang seperti tampak pada Gambar 3 menjadi bahan baku kompos.

Gambar 3. Limbah Ikan/Udang (Bahan Baku Kompos/Pupuk Organik)

Pembuatan kompos sangat bermanfaat karena dapat mengubah limbah organik yang dianggap mencemari lingkungan, menjadi komoditas yang bernilai ekonomi. Kualitas kompos secara luas, tergantung pada penanganan yang dilakukan. Untuk memperoleh pupuk kompos yang berkualitas, beberapa tahapan pengolahan harus diperhatikan, dan diperlakukan dengan cermat, serta hati-hati. Pembuatan limbah ikan/udang menjadi kompos (pupuk organik) secara umum dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Tahap Persiapan: Agar diperoleh kualitas kompos yang bagus, maka bahan yang digunakan harus terdiri dari bahan yang mengandung karbon (limbah pertanian/tanaman) dan bahan yang mengandung nitrogen (limbah ikan/udang, kotoran, dan lain-lain). Ukuran bahan baku juga perlu mendapat perhatian (usahakan ukurannya hampir seragam. Semakin seragam dan kecil ukuran bahan, maka proses pengomposan makin cepat.

Seuntai ASA untuk UNESA | 59

Limbah ikan /udang jika perlu digiling (setelah dijemur, agar tidak terlalu basah), sedangkan limbah pertanian dirajang/ dipotong-potong secara manual atau dengan mesin. Proses Pencampuran: Bahan yang kurang lebih sudah seragam, selanjutnya dicampur dengan skop atau cangkul, sampai bahan kompos tersebut menjadi rata. Pada saat pengadukan, bisa ditambahkan air, jika bahan terlalu kering. Penambahan air tidak boleh terlalu banyak, karena akan menghambat proses pengomposan. Pemeraman (Pengomposan): Pengomposan merupakan proses utama yang menentukan kualitas kompos yang dihasilkan. Ruang pengomposan, sebaiknya terlindung dari hujan dan panas matahari secara langsung. Aerasi (suplai udara), pada bagian dalam tumpukan kompos harus diperhatikan, karena itu saluran udara jangan sampai tertutup. Pengadukan secara kontinu juga penting, agar proses pengomposan merata. Kelembaban bahan perlu dipertahankan, dengan cara disiram air secara kontinu pada tumpukan kompos yang terlalu kering. Proses pengomposan dianggap selesai, adalah ditandai dengan perubahan warna (warna kompos seragam kehitaman). Kompos yang baik, warnanya seragam, tidak lengket dan tidak berbau. Pengemasan: Kompos yang sudah jadi, selanjutnya dikemas dalam kantong plastik untuk dimanfaatkan sendiri atau dijual untuk menambah pendapatan usaha UMKM, sebagai hasil dari diversifikasi usaha. Bagi pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh tentang pengolahan limbah ikan/udang menjadi kompos atau pupuk organik, dapat membaca buku yang ditulis oleh Suryani, dkk. (2005) dengan judul: Aneka Produk Olahan Limbah Ikan dan Udang. Jika dilakukan secara sungguh-sungguh, pembuatan kompos berbahan baku limbah ikan/udang, akan menambah pendapatan para pelaku UMKM. Sebagai contoh, salah satu UMKM di Gununganyar Tambak, dapat membuat kompos/pupuk organik dari bahan baku limbah ikan/udang, rata-rata sebanyak 61.25 zak/bulan,

60 | Seuntai ASA untuk UNESA dan terjual rata-rata sebanyak 52.25 zak/bulan (85,30%), sementara sisanya rata-rata sebanyak 9 zak/bulan (14,70%) menjadi stok untuk bulan berikutnya. Dengan harga rata-rata Rp.10.000,- per zak, maka pendapatan rata-rata penjualan kompos adalah sebanyak Rp. 522.500,-/bulan. Kegiatan diversifikasi produk tersebut sangat mengembirakan, karena limbah ikan/udang di lingkungan UMKM Krupuk tersebut dapat dimanfaatkan secara ekonomi dalam rangka menambah pendapatan UMKM, sekaligus dalam rangka menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Kegiatan tersebut perlu terus didorong, agar seluruh pelaku UMKM krupuk pada umumnya, dan UMKM di wilayah Gununganyar Tambak I pada khususnya, untuk melakukan hal yang sama. Hal ini menjadi tanggungjawab bersama antara pelaku UMKM, Pengurus Koperasi, Pengurus RT dan RW setempat, serta Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka melaksanakan “Eco Green” di wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya. Mesin Pengering Krupuk Ada banyak macam Mesin Pengering Krupuk (MPK). Mesin pengering krupuk (MPK), yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dengan Skim MP3EI ini seperti tampak pada Gambar 4. MPK yang memiliki 10 rak ini, menggunakan pemanas LPG, dilengkapi dengan blower (motor listrik 150 watt), dan pengukur suhu. Blower digunakan untuk meratakan panas di dalam mesin pengering krupuk (MPK), agar kadar kering krupuk dapat merata pada seluruh rak/bagian MPK. Jika diperlukan, pada saat proses pengeringan, antara rak yang satu dan lainnya dapat saling dipertukarkan, dengan maksud agar krupuk memiliki tingkat kekeringan yang merata pada seluruh bagian MPK. Untuk memperoleh kinerja Mesin Pengering Krupuk (MPK) yang optimum, maka MPK perlu diuji secara teknis. Hasil pengujian kelayakan teknis MPK seperti tampak pada Tabel 1 di bawah ini.

Seuntai ASA untuk UNESA | 61

Tabel 1 Pengaturan Kapasitas Mesin Pengering Kripik (MPK) Hubungan antara temperature (t) dan waktu pengeringan (w) No. Temperatur (t) dalam Waktu Pengeringan (w) derajad Celcius dalam jam 1 30 3 2 35 2,5 3 40 2 4 45 1,5 5 50 1

Keterangan: Ketebalan krupuk rata-rata=2 mm Kapasitas MPK dapat diatur sesuai kebutuhan, dengan mengatur suhu pemanasan (t), akan diperoleh waktu (w) yang dibutuhkan untuk pengeringan krupuk. MPK yang berkapasitas 30 kg/jam, dapat mengeringkan krupuk dalam waktu rata-rata 1 (satu) jam, dengan temperature MPK rata-rata sebesar 60 derajad Celcius.

Blower

Pengukur Suhu

Rak

Pintu Gambar 4. Mesin Pengering Krupuk (MPK)

(a) Krupuk ikan wortel (b) Krupuk ikan strowbery (c) Krupuk ikan kentang

Gambar 5. Contoh Krupuk Ikan yang akan dikeringkan dengan Menggunakan MPK

62 | Seuntai ASA untuk UNESA

Gambar 6. Contoh Salah Satu Krupuk Ikan yang telah dikeringkan dengan MPK

Berdasarkan hasil pengujian kelayakan teknis seperti dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa Mesin Pengering Krupuk (MPK) yang dihasilkan melalui penelitian ini dapat dioperasikan secara penuh dalam rangka menjaga stabilitas dan bahkan peningkatan produksi, terutama di musim hujan. Dengan demikian, pasokan krupuk ikan kepada para pelanggan dapat terus berjalan dengan lancar, tanpa terganggu oleh cuaca, meskipun pada waktu musim penghujan sekalipun. Dengan pemanfaatan MPK, produktivitas krupuk meningkat menjadi 30 kg/jam dibanding 10 kg/jam melalui penjemuran/pengeringan secara tradisional, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan pendapatan UMKM krupuk yang bersangkutan. Demikian, bahwa peningkatan kinerja UMKM krupuk dapat ditingkatkan melalui diversifikasi produk, dan pemanfaatan Mesin Pengering Krupuk (MPK), sehingga pendapatan UMKM menjadi meningkat. Bagi para pelaku UMKM krupuk, Selamat mencobanya.

Seuntai ASA untuk UNESA | 63

6

LEGENDA PERJUANGAN HIDUP BAKUL SEMANGGI DI KOTA SURABAYA: SEBUAH KISAH INSPIRATIF Rindawati Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum

Sahabat, cukup lama saya mengenal makanan khas kota Surabaya yaitu semanggi. Namun saya belum pernah merasakan seperti apa makan semanggi itu. Diawali dari pernikahan saya dengan orang asli Surabaya, yaitu suami saya, disitulah awal perkenalan saya merasakan sedap dan nikmatnya semanggi Suroboyo. Usut punya usut ternyata suami saya dan keluarga besarnya adalah pecinta kuliner semanggi Suroboyo. Maklum mereka orang asli Surabaya, jadi pantas bangga akan kuliner asli kota Surabaya ini, bagus. Hari demi hari kesibukan saya sebagai seorang istri, ibu, sekaligus dosen di Universitas Negeri Surabaya sudah cukup menyita waktu, hingga di suatu hari saya menemukan sebuah inspirasi yang datang dari seorang bakul semanggi gendong yang sering lewat di depan rumah dan di kampus Universitas Airlangga, dimana tempat saya menempuh studi S2 dan S3. Dari bakul semanggi gendong tersebut saya banyak memperoleh pengalaman, pengetahuan, sekaligus perjuangan hidup tanpa kenal lelah demi mendapatkan rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dari semangat bakul semanggi gendong itu pula salah satu diantaranya hingga saya dapat menyelesaikan studi S3 dengan baik dan lancar, Alhamdulilah.

64 | Seuntai ASA untuk UNESA

Kisah inspirataif tersebut berawal ketika proposal penelitian saya yang menyoroti tentang sektor informal perkotaan dicibir oleh promotor. Dikatakan oleh beliau bahwa sektor informal perkotaan sudah banyak yang meneliti, dan coba cari yang lain. Dalam pikiran saya berarti promotor saya tidak setuju dengan obyek penelitian yang akan saya ambil. Saya masih kekeh bertahan untuk mengambil obyek tersebut, karena menurut saya kelompok marjinal di perkotaan itu sebagai bagian masyarakat yang lemah dan tertindas, dan terpinggirkan. Oleh karenanya perlu diangkat, diketahui, dipelajari, dan dimengerti serta dicarikan suatu solusi yang tepat agar mereka bisa tetap hidup dan bekerja dengan tenang. Hampir 3 semester saya berkutat dengan proposal yang masih belum selesai karena ketidaksetujuan promotor. Hingga di suatu kesempatan saya menemui dan berdiskusi dengan ko promotor untuk mencari sebuah solusi. Dari beliau (ko promotor) saya mendapatkan jawaban. Di situlah saya mulai mencari literatur, masukan dari beberapa teman, masyarakat asli Surabaya termasuk suami saya dan keluarga besarnya, hingga saya memantapkan diri untuk menentukan sebuah pilihan yaitu semanggi Surabaya. Mulailah saya mencari keberadaan bakul semanggi gendong, mengikuti bagaimana dia memasarkan semanggi, mencari dimana asalnya, dan seluk beluk yang lain yang ingin saya ketahui lebih dalam. Bakul semanggi gendong dan kuliner semanggi adalah salah satu pedagang dan kuliner khas Kota Surabaya. Keberadaannya pada jaman modern ini sudah jarang ditemui, namun masih ada yang tetap bertahan dengan tidak merubah sama sekali dari cara bakul semanggi gendong yang sudah dilakukan oleh generasi pendahulunya. Kata bakul (dalam bahasa Jawa) artinya pedagang, sedangkan semanggi adalah sekelompok paku air (Salviniales dari marga Marsilea), yang di Indonesia mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Secara morfologi bentuk tumbuhan ini sangat khas, karena bentuk daunnya menyerupai payung, tersusun dari empat kelopak anak daun yang berhadapan. Bicara tentang semanggi juga ada filosofinya menurut orang Jawa. Filosofi yang dimaksud semanggi adalah simbol persatuan,

Seuntai ASA untuk UNESA | 65 dalam bahasa Jawa biasa disebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah. Bakul semanggi gendong artinya pedagang atau penjaja semanggi yang memasarkan kuliner semanggi dengan cara menggendong. Istilah penjaja diartikan sebagai pedagang atau bakul (Bahasa Jawa). Bedanya dengan pedagang yang lain adalah, istilah penjaja bagi bakul semanggi gendong karena memasarkannya dengan cara berjalan kaki, berkeliling, menggendong semanggi yang ditempatkan pada wadah yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasa disebut besek (Bahasa Jawa). Dalam menjajakan juga sambil berteriak menyebut nama “semanggi”, “semanggi”, di setiap perjalanan kelilingnya. Oleh karena itulah masyarakat Kota Surabaya banyak menyebutnya sebagai penjaja semanggi, selain bakul semanggi gendong. Kuliner khas kota Surabaya ini disajikan di atas wadah yang terbuat dari daun pisang (pincuk), terdiri dari beberapa jenis sayuran seperti daun semanggi dan kecambah, ditaburi bumbu yang terbuat dari ubi jalar dan kacang tanah, serta yang terbuat dari gula jawa, terasi, petis udang, dan cabe. Ini merupakan cara kearifan lokal yang dikedepankan oleh bakul semanggi gendong dengan kuliner semangginya. Keberadaannya di Kota Surabaya yang metropolis, didukung dengan keunikan dan kelangkaannya itu menjadikan kuliner khas ini harus dilestarikan. Keunikan bakul semanggi gendong dapat dicirikan, antara lain:1). Semua bakul semanggi gendong adalah seorang perempuan yang rata-rata berusia paroh baya sampai tua. 2). Pakaian yang dikenakannya adalah dengan memakai kain batik bermotif pesisir, baju kebaya, selendang untuk menggendong semanggi dan setumpuk krupuk puli. 3). Cara menjajaknnya berjalan kaki, berkeliling dari kampung satu ke kampung yang lain dengan meneriakkan kata semanggi, semanggi. 4). Dijajakan hanya di Kota Surabaya dengan melakukan migrasi sirkuler. Melihat ciri-ciri bakul semanggi gendong tersebut, maka eksistensi bakul semanggi gendong merupakan fenomena sosial ekonomi yang langka dan belum terkontaminasi pengaruh kuliner lain.

66 | Seuntai ASA untuk UNESA

Walau jaman sekarang ini begitu beragam kuliner yang ada, baik modern maupun tradisional yang berusaha menampilkan kreativitas baru dan menarik, namun kuliner semanggi masih tetap sama seperti dulu sejak pertama kali dikenal (1950), tanpa ada perubahan apapun. Eksistensi bakul semanggi gendong juga didukung oleh hubungan baik yang terjalin antara bakul semanggi dengan pelanggan di kota Surabaya. Bakul semanggi gendong dan kuliner semanggi sebagai bagian dari romantisme masa lalu, sehingga masih ada keseimbangan antara bakul semanggi gendong sebagai supplyer dan pelanggan sebagai demand/pasar. Dilihat dari aspek sosial dan ekonomi, bakul semanggi gendong melakukan mobilitas keluar dari desa mereka yang berada di Kendung, Kecamatan Benowo, Kota Surabaya, yaitu suatu kampung yang terletak di wilayah Kecamatan Benowo, Surabaya Barat, dan berbatasan dengan Kabupaten Gersik. Mereka setiap hari menjajakan kuliner semanggi menuju ke kota Surabaya, yang berjarak antara 25-45 km, dengan cara sirkuler. Keberadaannya di tengah maraknya kuliner modern saat ini, tidak menyurutkan semangat bakul semanggi gendong yang notabene seorang perempuan tua atau paruh baya tetap menjajakan dagangannya ke Kota Surabaya. Semangat itulah yang patut saya contoh. Mereka rata-rata berpendidikan rendah, bahkan ada yang tidak pernah sekolah, namun mereka tetap tangguh dan kuat berjuang mengais rezeki dengan berjalan kaki, dari kampung satu ke kampung lainnya di kota metropolis yang panas ini. Saya tidak terbayang bila itu adalah saya, bisakah dan sanggupkah saya melakukannya? Seorang bakul semanggi gendong selalu melakukannya setiap hari, dari pagi hingga sore hari. Di tengah maraknya makanan cepat saji maupun kuliner yang menawarkan cita rasa tinggi dan berkelas, kuliner semanggi menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggemar atau komunitas pencinta makanan khas Kota Surabaya ini. Bagaimana tidak, kuliner semanggi hanya ada di Kota Surabaya dan belum pernah ditemukan di kota lain di Indonesia. Ini membuktikan bahwa kuliner semanggi menjadi daya tarik tersendiri, khususnya bagi penggemar kuliner tradisional, karena semanggi Suroboyo adalah ikon Kota Surabaya, sekaligus menjadi

Seuntai ASA untuk UNESA | 67 kuliner khas yang harus tetap dilestarikan, seiring syair yang saya goreskan berikut ini: Bakul semanggi gendong, Engkau berjasa bagi perkembangan kota Surabaya, Dari jaman dahulu kala, hingga kini tetap setia, Walau usiamu semakin tua, semangatmu tetap menyala. Berjalan tanpa kenal lelah, semoga hidupmu bahagia. Engkau pahlawan bagi pertumbuhan kota, Tapi caramu masih tetap tidak berubah Oh bakul semanggi gendong di Kota Surabaya Lestarilah, jayalah sampai akhir masa

Kuliner semanggi di Kota Surabaya bila ditelisik dari sisi sejarah keberadaannya telah dikenal oleh masyarakat Surabaya sejak jaman orde lama, tepatnya lima tahun setelah Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1950. Bukti ini penulis temukan pada syair lagu “Semanggi Suroboyo” yang diciptakan S. Padimin. Saking melegendanya kuliner semanggi ini hingga terciptalah lagu tersebut. Adapun syair lagu Semanggi Suroboyo, seperti berikut ini: Semanggi Suroboyo, balap Wonokromo Dimakan enak sekali, sayur semanggi krupuk puli, bung…beli… harganya sangat murah, sayur semanggi Suroboyo didukung serta dijual, masuk kampung, keluar kampong, bung..beli… sedap benar bumbunya dan enak rasanya kangkung turi cukulan dicampurnya dan tak lupa tempenya mari bung, mari beli, sepincuk hanya setali tentu memuaskan hati mari beli, sayur semanggi, bung… beli… Lagu ciptaan S Padimin yang populer di tahun 50-an ini sedikit memberi gambaran tentang makanan khas Surabaya yang satu ini. Satu hal yang pasti sajian kuliner ini cuma ada di Surabaya. Kalau pun dijual di luar Surabaya, saya berkeyakinan penjualnya berasal dari

68 | Seuntai ASA untuk UNESA

Surabaya. Uniknya, bakul semanggi ini biasanya datang dari wilayah Benowo dan sekitarnya (Kendung,,Sememi,,Pakal). karena di wilayah itu masih tersisa sawah dan tegalan tempat menanam semanggi. Namun, beberapa tahun terakhir ini banyak wilayah di Kendung dan Klakah Rejo, sawah-sawahnya sudah mulai terdesak pembangunan perumahan, sehingga bakul semanggi gendong semakin kesulitan untuk memperoleh bahan baku. Semoga selalu ada semanggi Suroboyo di kota ku tercinta ini, agar generasi muda dapat mewarisi, sekaligus memberi daya tarik bagi para wisatawan lokal maupun manca negara, Amin. Semoga celotehan ini dapat memberi inspirasi bagi kita semua, dengan melihat dan belajar dari bakul semanggi gendong yang tetap semangat. Semangat, ayo semangat! Kerja, ayo kerja! Semoga Allah senantiasa membimbing kita dan memberi kesuksesan kepada kita semua. Amin, Ya Robbal alamin. Terima kasih.

Seuntai ASA untuk UNESA | 69

7 MENJADI DESAINER PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

Mustaji Fakultas Ilmu Pendidikan

Situasi sosial kemasyarakatan yang terjadi saat ini, baik situasi negatif maupun positif, tidak bisa lepas dari peran kegiatan pembelajaran. Yang sekarang ini menjadi presiden, DPR, menteri, gubernur serta pejabat-pejabat lainnya hingga tukang sayur, “pak bon” kampus, tukang ojek, semuanya adalah mereka yang “pernah belajar” baik belajar dalam lingkup formal atau informal, ataukah mereka lulus atau putus sekolah. Intinya mereka dan kita semua yang “pernah belajar”. Ini berarti bahwa “kegiatan pembelajaran” memegang peran sentral dalam pembentukan karakter bangsa ini di saat sekarang dan masa depan. Kesalahan dan kegagalan dalam melakukan kegiatan pembelajaran berdampak pada tampilan karakter bangsa ini. Kegiatan pendidikan/pembelajaran yang terjadi di sekolah dan perguruan tinggi masih belum dilakukan secara optimal. Bukti paling sahih adalah kasus, berita, konflik yang sekarang ini terjadi di masyarakat. Bukti sahih lainnya adalah banyaknya pengangguran usia produktif. Apakah tidak ada lowongan kerja atau apakah peluang untuk berwirausaha? Lalu mengapa berbagai masalah sosial, hukum, ekonomi, politik dan sebagaimanya masih terjadi? Ya itu adalah salah satu bukti kegagalan pembelajaran, sebagai elemen sentral pembentuk karakter ke-Indonesiaan.

70 | Seuntai ASA untuk UNESA

Kelemahan-kelemahan itu, perlu diatasi dengan cara melakukan perbaikan pembelajaran. Pembelajaran yang optimal bukanlah dilihat dari sisi hasilnya saja, tanpa melihat masukannya. Ibarat proses produksi, masukan yang berkulitas rendah tentu menghasilkan produk yang berbeda dengan masukan yang berkualitas tinggi. Membelajarkan mereka yang bermovitasi tinggi untuk maju berbeda hasilnya dengan membelajarkan mereka yang pemalas. Intinya, kualitas pembelajaran yang baik, bukanlah semata-mata dilihat dari hasilnya, namun harus dilihat secara keseluruhan sejak masukan (peserta didik/learner) kemudian masuk proses produksi (kegiatan pembelajaran), dan sampai dihasilkan produk (hasil belajar). Fokus teknologi pendidikan- pembelajaran adalah “rekayasa kegiatan pembelajaran” menuju kepada hasil yang diharapkan. Melihat betapa peran sentral kegiatan pembelajaran dalam membentuk karakter masyarakat-bangsa, maka tidak berlebihan bila kegiatan pembelajaran lebih diarahkan kepada proses-proses berpikir peserta didik agar mampu “memperbaiki” karakter masyarakat bangsa ini menjadi lebih baik. Karakter masyarakat bangsa ini bisa “diperbaiki” dengan menyemai kemampuan pemecahan masalah dan keterampilan kolaborasi, bukan malah menyemai kemampuan dan keterampilan menyalahkan orang lain, mengedepankan egoisme diri dan kelompok, hedonisme, materalisme, kapitalisme, kompetisi dan jor-joran, keserakahan, dan hal-hal lainnya yang bersifat merusak karakter masyarakat bangsa ini. Kegiatan pembelajaran perlu didesain agar peserta didik secara optimal mampu memecahkan masalah kehidupan dan bekerja secara kolaboratif di tengah-tengah masyarakat, bukan sekedar di sekolah atau kampus. Pembelajaran harus memberi ruang bagi peserta didik agar mereka mampu mengolah informasi, memecahkan masalah, melakukan kolaborasi dan mandiri. Pengembangan kemandirian, kemampuan mengolah informasi, dan kemampuan untuk terus mengembangkan diri akan lebih optimal bila dilakukan secara kolaborasi (Barrows & Kelson, 2004).

Seuntai ASA untuk UNESA | 71

Perlu disadari bahwa desain pembelajaran tidak bisa dipakai dalam semua situasi. Desain pembelajaran disusun dengan asumsi dan kondisi yang dikaitkan dengan hasil yang ingin dicapai. Hal ini berarti bahwa desain pembelajaran tidak akan pernah berhenti dari waktu ke waktu. Situasi yang berubah dan semakin kompleks memerlukan desain pembelajaran yang sesuai. Pengertian desain pembelajaran Di kalangan pendidik, istilah "desain pembelajaran" (instructional design) sering dipertukarkan dengan "pengembangan pembelajaran" (instructional development). Desain pembelajaran adalah proses untuk menentukan metode pembelajaran apa yang paling tepat dilaksanakan agar peserta didik dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan yang dikehendaki (Seels dan Richey, 1994). Desain merupakan proses menspesifikasi kondisi untuk belajar. Tujuan desain adalah untuk menciptakan strategi dan produk pada level makro, seperti program kurikulum, dan level mikro seperti rencana pelaksanaaan pembelajaran dan bahan pembelajaran. Pengembangan pembelajaran adalah proses mewujudkan ”cetak biru” tadi menjadi seperangkat elemen pembelajaran yang lengkap dan siap dipakai. "Desain" diibaratkan cetak biru yang dirancang oleh arsitek, dan "pengembangan" diibaratkan kegiatan membangun gedung sesuai dengan cetak biru tersebut. Jadi desain pembelajaran dan pengembangan pembelajaran merupakan kegiatan yang setaraf, dengan desain yang harus dikerjakan lebih dahulu, kemudian baru pengembangannya. Seperti kita ketahui bersama, para ilmuwan pembelajaran telah mengembangkan berbagai model desain pembelajaran untuk memandu kegiatan pembelajaran sejak awal sampai akhir. Model- model pembelajaran itu disusun berdasarkan pandangan yang bermacam-macam, misalnya model pembelajaran yang dibangun atas pandangan behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Model pembelajaran IDI, ISD, ASSURE, Dick and Carey, PPSI, Banaty, Kemp, Gerlack and Ely merupakan contoh-contoh model pembelajaran behavioristik. Model pembelajaran Advanced Organizer dari Ausubel,

72 | Seuntai ASA untuk UNESA

Bruner, elaborasi, CDT merupakan contoh-contoh model pembelajaran kognitivistik. Model-model tersebut masih menekankan pada hasil belajar (berupa penguasaan isi maupun pemahaman yang bermakna) yang dapat diukur dan mengedepankan proses belajar berbasis kompetisi. Paradigma behavioristik dan kognitivistik masih dipakai di sekolah dan perguruan tinggi. Karena itu, dalam proses pembelajarannya, para peserta didik diberi pandangan bahwa keberhasilan lebih merujuk kepada kompetisi (competition) daripada kolaborasi (collaboration). Keberhasilan lebih merupakan hasil dari kerja individu daripada kerja tim. Padahal, di negara-negara maju konsep seperti ini sudah ditinggalkan. Menurut Stephen R. Covey (1989) dalam paradigma manajemen modern dan kehidupan modern justru yang paling tinggi adalah kerja tim. Pergeseran konsep seperti ini sangat bisa dipahami karena semakin terspesialisasikannya bidang- bidang ilmu sehingga untuk menghasilkan suatu produk, pihak manajemen harus mampu mengkolaborasikan secara serasi antarspesialisasi bidang ilmu yang ada. Hal ini, diperlukan kemampuan bekerja secara kolaboratif dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika dalam proses pembelajaran aspek kompetisi yang dikembangkan, maka ada kecenderungan “mengkondisikan” orang (peserta didik) kepada pikiran dan perasaan untuk terbiasa dan tidak segan menyerang orang lain, memiliki motivasi mengalahkan orang lain, mementingkan diri dan kelompok. ‘Aku menang, kamu kalah’ adalah inti dari kompetisi. Sementara itu, pengembangan kolaborasi justru dapat mengembangkan kemampuan menghadapi tantangan, kepemimpinan, dan merespon situasi secara adaptif yang sangat diperlukan untuk hidup di masyarakat bangsa maupun masyarakat industri. Aku menang, kamu menang adalah inti dari kolaborasi. Kompetisi pada banyak situasi, lebih sering memunculkan egoisme dan rasa mempunyai kekuatan atau kelebihan daripada kolaborasi yang lebih sering memunculkan saling kebergantungan dan membutuhkan. Keampuhan kerja kolaboratif, sudah dibuktikan Federal Express dan perusahaan penerbangan Boeing ketika melakukan restrukturisasi

Seuntai ASA untuk UNESA | 73 organisasi perusahaannya, yang sebelumnya tidak pernah tersentuh dalam restrukturisasi perusahaan tersebut (Alexander & Stone, 1997; Hart, 1997). Setelah menerapkan konsep kolaboratif ternyata Federal Express dapat meningkat 40% produktivitas perusahaannya. Demikian halnya, Boeing ketika dihadapkan pada penurunan produksi pesawat jet jenis 777 dan kemudian menerapkan model kolaboratif ini dapat mendongkrak peningkatan produksi sampai 50% dari sebelumnya (Lookatch, 1996). Bertolak dari uraian di atas, kehadiran model desain pembelajaran baru yang lebih menekankan kemampuan memecahkan masalah dan proses-proses kerja kolaboratif amat penting. Kehadiran model ini diyakini bisa membantu “merekayasa” kegiatan pembelajaran yang mampu “memperbaiki” masyarakat bangsa ini menjadi lebih berkarakter. Mari kita semaikan bibit-bibit kemampuan pemecahan masalah dan kerja kolaborasi. Ajakan menyemai ini berpijak pada tanggung jawab dan amanah bagi saya sebagai ilmuwan dan praktisi pendidikan-pembelajaran sekaligus sebagai warga negara. Model desain pembelajaran yang saya sampaikan berikut ini adalah model pembelajaran berbasis konstruktivistik. Karakteristik desan pembelajaran konstruktivistik Desain pembelajaran yang konstruktivistik (Constructivist Instructional Design atau C-ID) memiliki beberapa karakteristik sebagaimana terangkum dari berbagai pandangan ilmuwan pembelajaran (Mustaji, 2009). 1. Proses ID bersifat recursive, non-linier, dan kadang-kadang semrawut (chaos). Desain pembelajaran bersifat recursive, yakni berpijak pada masalah nyata dan masalah itu terus berkembang yang kini menjadi fokus perhatian para pendidik, peserta didik, dan para pengelola pembelajaran. Masalah itu bersifat konteks, artinya terjadi di kampus atau sekolah itu saja yang penyelesainya juga kontekstual. Proses desain-pengembangan tidak linier, tidak selalu berurutan, pemecahannya tidak cukup melibatkan satu keahlian saja, dan tidak beorientasi pada pencapaian tujuan tertentu dan tidak terlalu terikat dengan kurikulum.

74 | Seuntai ASA untuk UNESA

2. Proses desain-pengembangan terus berkembang, reflektif, dan kolaboratif. Kegiatan pengembangan dimulai dari desain yang kurang jelas, namun terus dilakukan kegiatan pengembangan sambil terus melakukan perbaikan. Pengembangan bersifat kolaboratif, artinya melibatkan beberapa pihak, termasuk pengguna produk hasil pengembangan. Pengembangan seperti itu, berbeda dengan pengembangan pembelajaran yang behavioristik. Dalam pengembangan pembelajaran yang behavioristik kegiatan desain dimulai dari perencanaan yang sistematik, rapi, dan jelas, termasuk tujuan pembelajarannya. 3. Tujuan pembelajaran muncul dari desain dan pengembangan kinerja. Tujuan pengembangan bukan pijakan dalam melakukan proses pengembangan. Selama proses pengembangan secara kolaboratif, tujuan muncul dan terkesan “kasar” atau kurang jelas, kemudian menjadi lebih jelas. Dalam desain pembelajaran dengan pijakan behavioristik, rumusan tujuan pembelajaran yang operasional sangat penting dan menjadi acuan dalam pengembangan produk pembelajaran. 4. Ahli ID umum tidak perlu ada. Pandangan konstruktivisme, generalis ahli ID yang dapat bekerja dengan bidang keahlian dari berbagai disiplin adalah mitos. Desainer-Pengembang perlu lebih dulu memahami “proses pengembangan” pembelajaran sebelum melakukan kegiatan desain pembelajaran. Pengembang perlu melibatkan tenaga ahli, diutamakan mereka yang memahami hal-hal berikut, yakni (a) menguasai isi bidang studi, (b) memahami kontek pengembangan, (c) memiliki keterampilan dalam mendesain-mengembangkan pembelajaran, dan (d) memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam bidang pembelajaran. Dalam pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, ahli yang memiliki pengetahuan khusus, sangat diperlukan untuk mendesain- mengembangkan pembelajaran. 5. Pembelajaran lebih ditekankan pada kontek dan pemahamam individu yang lebih bermakna (meaningful). Peserta didik dapat memahami isi lebih bermakna, disarankan menggunakan

Seuntai ASA untuk UNESA | 75

pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Peserta didik difasilitasi untuk dapat mengakses berbagai informasi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) dalam rangka menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah tersebut menggunakan berbagai sumber daya informasi, baik dalam bentuk media cetak, media audio, media audio visual, multimedia, internet, dan teknologi terpadu. Hal ini berbeda dengan desain pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, desain pembelajaran diarahkan pada penyelesaian tugas atau penguasaan pengetahuan secara sistematik (bagian demi bagian secara terpisah). Teori Behavioristik menekankan pada sub skill yang diajarkan. 6. Menekankan pada penilaian formatif. Dalam pembelajaran yang berpijak pada teori konstruktivistik, penilaian formatif dianggap penting. Penilaian itu untuk mengumpulkan sejumlah informasi dalam rangka perbaikan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Dalam pembelajaran yang behavioristik, yang dipandang penting adalah penilaian sumatif, karena kegiatan pembelajaran lebih diarahkan ke penguasaan pengetahuan yang telah diajarkan. 7. Data kualitatif mungkin lebih berharga. Penganut teori konstruktvistik meyakini bahwa sesuatu dapat ditunjukkan atau diamati, tetapi tidak selalu dapat diukur. Untuk itu disarankan menggunakan penilaian autentik, portofolio, kinerja, proyek, produk, dan etnografi. Selama proses pembelajaran, desainer disarankan menggunakan lembar observasi, melakukan wawancara, focus group, kritik ahli, dan sebagainya. Pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, lebih banyak menggunakan data kuantitatif, misalnya menggunakan instrumen penilaian melalui ujian pilihan ganda. Data kuantitatif digunakan untuk mengukur kebehasilan pembelajaran dengan mengacu pada rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ketercapaian tujuan itu diukur dengan menggunakan pretes dan postes. 8. Desain pembelajaran yang konstruktivis, menggunakan 5 prinsip yakni problem-centered, activation, demonstration, application,

76 | Seuntai ASA untuk UNESA

dan integration Merril (2002). Problem-centered, artinya pembelajaran dilaksanakan dalam rangka memecahkan permasalahan dunia nyata di sekitar peserta didik. Activation, artinya pembelajaran dikembangkan relevan dengan pengalaman dan mengaktifkan pengetahuan peserta didik yang telah dimiliki sebelumnya. Demonstration, artinya pembelajaran yang dikembangkan untuk mempertunjukkan apa yang akan dipelajari bukannya melulu menceritakan informasi tentang apa yang akan dipelajari. Application, artinya pembelajaran yang dikembangkan untuk menggunakan keterampilan atau pengetahuan yang baru mereka untuk memecahkan permasalahan. Integration, pembelajaran yang dikembangkan mengintegrasikan keterampilan atau pengetahuan yang baru ke dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Prinsip dan prosedur pembelajaran konstruktivistik Mencermati ciri-ciri desain pembelajaran konstruktivistik yang diuraikan di atas, desainer pembelajaran harus yakin bahwa dari sisi ilmu pembelajaran, pendekatan konstruktivistik lebih memungkinkan untuk membantu melakukan “memperbaiki” karakter masyarakat bangsa Indonesia. Desainer pembelajaran konstruktivis mengikuti prinsip dan prosedur pembelajaran JALAMASTIMAN (Perjalanan, Kolaborasi, Pemecahan Masalah, Kontinyu, dan Mandiri). Prinsip dan prosedur itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Perjalanan Kolaboratif Peserta Didik Pemecahan Kemandirian Masalah

Kontinyu

Seuntai ASA untuk UNESA | 77

Secara singkat prinsip dan prosedur pembelajaran konstruktivistik itu dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Peserta didik (leaner) adalah pusat dan subyek belajar. Peserta didik itu merupakan individu yang unik. Artinya, tidak ada di dunia ini 2 individu yang memiliki kesamaam 100%, bahkan sepasang anak kembar pun tidak bisa dikatakan 100% sama persis. Unik artinya berbeda. Berbeda artinya memiliki potensi dan memerlukan lingkungan belajar yang berbeda antara individu satu dengan lainnya. Sebuah diary yang ditulis oleh Amir Syarifuddin (2011) di blognya tentang “Kembar tapi Tak Sama” menguatkan keyakinan bahwa individu memang unik.

“Perbedaan mereka tidak terbatas pada fisik. Minat, kecerdasan, dan sifat mereka secara garis besar pun berbeda. Raito, misalnya, lebih suka duduk diam dan bermain mainan seperti mobil-mobilan, balok-balok, atau sejenisnya. Sementara Aidan lebih suka permainan yang melibatkan gerakan besar seperti sepakbola. Ada kalanya Aidan pun bermain mobil-mobilan atau balok-balok. Ada kalanya pun Raito ikut bermain bola. Akan tetapi, minat mereka terlihat jelas berbeda. Pertumbuhan mereka pun berbeda. Mungkin ini ada korelasinya dengan minat di atas. Perkembangan motorik kasar Aidan lebih menonjol daripada Raito. Sementara perkembangan motorik halus Raito lebih menonjol daripada Aidan. Aidan terlihat lebih luwes saat berlari, menendang bola, atau gerakan-gerakan besar lainnya. Sementara Raito terlihat lebih luwes saat menulis, memasang balok-balok, atau gerakan-gerakan kecil lainnya. Sifat Raito dan Aidan pun berbeda. Raito dan Aidan sama-sama berwatak keras, tapi cara mereka menunjukan “ngeyel” itu berbeda. Watak keras Raito sering keluar dalam bentuk marah seperti menangis dengan volume suara yang menusuk telinga. Sementara watak keras Aidan keluar dalam bentuk merajuk tanpa meraung-raung. Sama-sama keras kepala, tapi

78 | Seuntai ASA untuk UNESA

bentuk penyalurannya berbeda. Masih banyak perbedaan sifat yang dapat saya tunjukan di sini, tapi saya rasa inti tulisan ini sudah tersampaikan dengan contoh-contoh di atas” (http://asyafrudin.blogspot.com/2011/06/kembar- tapi-tak-sama.html) Individu adalah unik sehingga tidak heran bila dalam merekayasa kegiatan pembelajaran tidak bisa mengabaikan keberadaan peserta didik sebagai individu, bukan sebagai botol kosong yang perlu diisi. Implikasi keunikan individu ini terhadap kegiatan pembelajaran jelas nyata, yakni perbedaan potensi yang ada pada diri setiap individu dan kebutuhan lingkungan belajar yang sesuai dengan potensinya. Semakin tergali potensi peserta didik dan semakin mendukung lingkungan belajarnya, maka semakin tumbuh dan berkembanglah peserta didik ini. Implikasi lain adanya keunikan individu ini adalah tidak terhindarkannya adanya perbedaan-perbedaan yang bersifat tetap maupun tidak tetap; misalnya gaya kognitif, gaya belajar, motivasi, keterampilan prasyarat, nilai sosial, agama, dan budaya, dan tidak ketinggalan perbedaan tentang IQ (kecerdasan). Fakta itu menunjukkan bahwa rekayasa kegiatan pembelajaran wajib berfokus pada peserta didik. Pembelajaran tidak bisa hanya mengejar hasil belajar yang menguntungkan pemilik kecerdasan tertentu, apalagi keberhasilan belajar hanya diukur dengan sebagian alat ukur salah satu jenis kecerdasan. Hasil pengukuran ini kemudian dijadikan judgment bahwa si peserta didik ini begini, begitu, kurang ini, kurang itu, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah “apakah pembelajaran yang masih mengejar ranking kelas dan nilai UAN telah menjadikan peserta didik sebagai pusat dan subyek belajar atau dianggap sebagai botol kosong?” Pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai pusat dan subyek belajar pasti menjadikan potensi kecerdasan ini sebagai pijakan awal rekayasa kegiatan pembelajaran. Pemahaman menjadikan peserta didik sebagai pusat dan subyek belajar tidaklah berarti siswa bebas melakukan apapun sebebas- bebasnya dalam merekayasa kegiatan pembelajaran. Tidak ada di

Seuntai ASA untuk UNESA | 79

dunia ini kebebasan yang mutlak. Individu satu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya. Ketika ada seorang siswa memiliki kecerdasan bahasa, tidak serta ia bebas merekayasa kegiatan pembelajarannya sehingga ia bisa mengganggu kebebasan individu lain yang memiliki kecerdasan interpersonal. Ini artinya siswa tidak bisa mengikuti rekayasa kegiatan pembelajaran yang ekstrem, namun ia harus berusaha maksimal memenuhi keunikannya tanpa mengabaikan kesamaan-kesamaan yang ada. 2. Melakukan “perjalanan” dengan terjun langsung hidup menyatu dengan masyarakat menjadi cara efektif belajar

Desainer pembelajaran konstruktivis lebih suka melakukan kegiatan pembelajaran dengan lingkungan yang nyata, bukan buatan/palsu. Lingkungan sekolah dan kampus yang dibatasi oleh oleh tembok telah menjadi “simbol batas” antara apa yang dilakukan di sekolah dan kampus dengan realitas yang ada di masyarakat industri, informasi, dan bangsa. Desainer pembelajaran yang konstruktivis lebih suka mengajak peserta didik untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dan nyata. Desainer pembelajaran yang konstruktivis juga mengajak mereka untuk menuliskan pengalaman selama perjalanan di lingkungan nyata. Desainer pembelajaran yang konstruktivis juga mengajak mereka terus melakukan perjalanan ini sampai menemukan nilai-nilai, sikap, etos, kejiwaan, emosi, spriritual dan semua potensi yang ada pada mereka. Perjalanan ini juga menjadi media bagi peserta didik untuk menemukan “ladang yang cocok untuk bertanam.” Melalui perjalanan, desainer pembelajaran yang konstruktivis yakin bisa membantu mereka menemukan “bibit keunggulannya” dan menemukan “ladang yang cocok untuk ditanami”. Desainer pembelajaran yang konstruktivis tidak ingin sampai ajal menjemput mereka tidak bisa menemukan “bibit unggulnya”. Bibit unggul mati ketika ditanam di ladang yang tidak cocok, inilah yang disebut kebodohan. Bibit unggul tumbuh berkembang maksimal ketika ditanam di lahan yang cocok, inilah yang disebut

80 | Seuntai ASA untuk UNESA

kecerdasan. Dengan perjalanan ini, tidak ada peserta didik itu yang bodoh, yang ada adalah salah tanam, tidak menemukan bibit, atau tidak menemukan lahan yang sesuai. 3. Terjun ke masyarakat secara langsung yang dilakukan secara kolaborasi Vygotsky, dalam Wertsch, J.V. (1985), salah satu penggagas konstruktivisme sosial, yang terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development” (ZPD). ”Proximal” dalam bahasa sederhana bermakna “next“. Vygotsky mengamati, ketika siswa diberi tugas untuk dirinya sendiri, mereka akan bekerja sebaik- baiknya ketika mereka bekerja sama (berkolaborasi). Vygotsky menyatakan, setiap manusia mempunyai potensi, dan potensi tersebut dapat teraktualisasi dengan ketuntasan belajar, tetapi di antara potensi dan aktualisasi terdapat wilayah abu- abu. “Pendidik berkewajiban menjadikan wilayah abu-abu ini dapat teraktualisasi, caranya dengan belajar kolaborasi. Dalam bahasa yang lebih umum, terdapat tiga wilayah “cannot yet do”, “can do with help“, and “can do alone“. ZPD adalah wilayah “can do with help”, wilayah ini bukan wilayah yang permanen, kuncinya adalah menarik siswa menjadi dari zona tersebut, dengan cara kolaborasi. Desainer pembelajaran yang konstruktivistik memulai mendesain pembelajaran ini dengan membentuk tim pengembang, dengan prinsip bahwa kerja kolaborasi lebih baik daripada kompetisi atau kerja individu. Tim pengembang terdiri dari unsur yang mewakili peserta didik, pendidik, desainer, seniman grafis, dan sebagainya.

Seuntai ASA untuk UNESA | 81

Anggota tim terdiri 1-3 orang, yang memiliki sudut pandang yang beragam. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Benne and Seats dalam Neufeld & Haggerty (2001) bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan. Setiap tim memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau rapat, menjadi penghubung antara tim dengan pendidik, dan melaksanakan fungsi kepemimpinan lainnya. Ketua tim bekerjasama dengan pendidik untuk menangani setiap masalah yang muncul dan yang memerlukan bantuan. Bisa jadi suatu tim menghadapi suatu konflik atau masalah yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus melibatkan pendidik dalam memecahkannya. Banyak pola yang bisa dilakukan dalam proses pembelajaran kolaborasi. Umumnya, pola kerja kolaborasi bisa dibagi menjadi 3 jenis. Pertama, urutan pembahasan masalah dan pencarian informasi, apakah dengan urutan yang bolak-balik, atau sekali tuntas. Kedua, penugasan peserta didik dalam suatu tim, apakah penugasan berdasarkan minat, rotasi, atau spesialisasi. Ketiga, jumlah anggota yang terlibat dalam pencarian informasi, apakah jumlah anggota tersebut per individu, duet, atau lebih dari 2 orang. Sebaiknya, tim belajar (Mann, 2003), (1) terdiri antara 3-5 orang, (2) tim belajar memulai kerja dengan kegiatan penyamaan persepsi tentang proses belajar yang akan dilakukan, (3) tim beranggotakan mereka yang memiliki tingkat pengetahuan berbeda, latar belakang yang berbeda, dan pengalaman yang berbeda. Perbedaan itu akan membawa dampak yang positif dalam pembelajaran, misalnya (1) tiap individu membawa kekuatan bagi timnya, (2) tiap anggota tim bertanggung jawab pada kekuatan mereka, (3) anggota tim yang tidak nyaman dengan mayoritas harus didukung dan secara proaktif dikuasakan untuk memberikan masukan, dan (4) melakukan komitmen anggota untuk mencapai suatu tujuan. Setelah mengetahui tugasnya, setiap anggota tim secara mandiri dan atau kolaborasi mencari berbagai sumber yang dapat

82 | Seuntai ASA untuk UNESA memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud bisa dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan dalam perpustakaan, laman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Kegiatan investigasi memiliki dua tujuan, yakni agar peserta didik mencari informasi yang relevan dan mengembangkan pemahaman atas permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas. Di luar pertemuan dengan pendidik, siswa bebas mengadakan pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut siswa saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Siswa juga harus mengorganisasikan informasi yang didiskusikan sehingga anggota tim lain dapat memahami relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi. Pada tahap ini, proses pembelajaran dapat dimulai bila seleksi alternatif dan pembagian tugas sudah dilakukan. Setiap siswa dapat melakukan pendalaman materi sesuai dengan pembagian tugas dalam tim masing-masing. Pendalaman materi dapat dilakukan melalui referensi (buku, jurnal, majalah, browsing internet, dan informasi dari ahli). Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran mandiri dan atau kolaborasi, selanjutnya pada pertemuan berikutnya siswa berdiskusi dalam timnya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan tim. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara berkumpul sesuai dengan tim dan pendidik atau asistennya. Tiap tim menentukan ketua diskusi dan tiap anggota tim menyampaikan hasil kerja/belajarnya dengan cara mengintegrasikan hasil belajarnya untuk mendapatkan kesimpulan. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dukumentasi akhir.

Seuntai ASA untuk UNESA | 83

4. Terjun ke masyarakat secara langsung yang dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus. Ketika mengajak peserta didik untuk melakukan perjalanan, maka guru melakukannya secara terus menerus dengan mendokumentasikan segala informasi yang diperolehnya. Perjalanan yang dilakukan terus-menerus ini makin hari makin baik, artinya makin menumbuhkan kesadaran siswa. Upaya melakukan perjalanan yang terus-menerus dan makin baik ini menggunakan cara pengukuran portofolio, yaitu penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan siswa dari perjalanan satu ke perjalanan selanjutnya secara terus menerus dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik. Pada akhir suatu periode, hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru dan siswa sendiri. Hasil karya itu dapat berupa hal-hal berikut: a. Kinerja. Penilaian kinerja dilakukan dengan cara meminta siswa mendemonstrasikan tugas-tugas tertentu, seperti menulis laporan hasil investigasi, setelah mereka mencari dan menemukan solusi pemecahan masalah, melakukan suatu tindakan pemecahan masalah, menginterpretasikan hasil karya dalam bentuk gambar, powerpoint, video, chart, sajian multimedia atau lainnya b. Proyek. Penilaian ini dipergunakan untuk menilai tugas-tugas yang diselesaikan siswa selama kurun waktu tertentu. Tugas yang dimaksud adalah tugas investigasi sejak pengumpulan, pengorganisasian pengevaluasian, hingga penyajian data. Dengan demikian, instrumen itu digunakan untuk menilai proses dan produk pembelajaran. c. Sikap. Penilaian sikap memfokuskan pada banyak hal, di antaranya (a) sikap terhadap materi pembelajaran, (b) sikap terhadap pendidik, (c) sikap terhadap proses pembelajaran, dan (d) sikap terhadap norma yang berkaitan dengan materi pembelajaran.

84 | Seuntai ASA untuk UNESA

d. Kolaborasi. Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan siswa dalam melakukan investigasi masalah. Tiap siswa memiliki keterampilan yang berbeda dalam berkolaborasi. Dengan demikian, kemungkinan ada siswa yang sangat senang dengan kerja kolaborasi dan ada juga yang kurang senang. e. Suasana Pembelajaran. Selama proses pembelajaran berlangsung, guru perlu memantau suasana yang ada untuk menjawab sejumlah pertanyaan, seperti (a) apakah proses pembelajaran berlangsung secara interaktif?, (b) apakah konstruksi pengetahuan oleh peserta didik?, (c) apakah suasana pembelajaran menantang?, (d) apakah peserta didik aktif belajar?, (e) apakah peserta didik berpikir kritis dan kreatif?, (f) bagaimana performansi peserta didik? Dalam fase ini perlu juga ditampilkan Peran guru sebagai (a) fasilitator, (b) menata lingkungan belajar, (c) motivator, (d) evaluator, (e) mitra siswa, dan (f) memberikan otoritas belajar pada siswa. Tidak lupa juga ditampilkan peran siswa yang dinilai, yakni (a) memilih tujuan pembelajaran sendiri, (b) memilih rencana belajar sendiri, (c) mengolah hasil belajar, (d) kekompakan kerja tim, (e) berkolaborasi secara optimal, (f) mempresentasikan hasil belajar Pengukuran dalam bentuk ranking kelas, tes sumatif, tes semester atau UAN tidak dibutuhkan di sini. Model portofolio yang aku kerjakan bersama-sama dengan mereka itu menekankan proses, penemuan “bibit unggul serta ladang yang tepat”, serta menekankan kerja kolaborasi dan pemecahan masalah.

5. Terjun langsung ke masyarakat agar keterampilan pengenalan dan pemecahan masalah bisa ditingkatkan. Lebih banyak menerjunkan siswa ke masyarakat lebih bermanfaat daripada “mengurungnya” di tembok sekolah atau kampus. Kegagapan siswa yang sudah selesai sekolah atau kuliah formal pada masyarakat dan bangsa industri terjadi karena kesalahan model desain pembelajaran yang dipakai. Membangun gedung mewah, AC, laboratorium yang komplet, dan fasilitas lainnya yang

Seuntai ASA untuk UNESA | 85

“wah” justru bukan membumikan mereka, tetapi malah menjauhkan mereka dari bumi tempatnya berpijak karena tidak ada fasilitas dengan mewah yang tersedia secara alamiah. Semua fasilitas yang kini tersedia secara adalah hasil rekayasa atau manipulasi sistem. Menerjunkan siswa ke kubangan masalah akan “memaksa” mereka mengeluarkan seluruh potensi yang dimiliki untuk menaklukkan lingkungan tersebut. Namun demikian, guru tidak perlu terlalu antipati terhadap kegiatan pembelajaran di bangku sekolah atau kuliah. Hanya saja menerjunkan mereka sesering mungkin ke masyarakat akan lebih membantu mereka menghadapi masalah kehidupan yang nyata. Secara umum, hal- hal berikut ini dapat dilakukan untuk menyamai kemampuan pengenalan dan pemecahan masalah. a. Pendefinisian Masalah Pada tahap ini, guru menyampaikan permasalahan dalam tim (kelompok siswa) yang memungkinkan mereka melakukan berbagai aktivitas belajar. Ada 3 hal yang penting dilakukan pada tahap ini. Pertama, tim melakukan brainstorming. Brainstorming, setiap anggota tim belajar dapat mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap permasalahan secara bebas sehingga muncul berbagai macam alternative pendapat. Setiap anggota tim memiliki hak yang sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendukumentasikan secara tertulis pendapatnya dalam kertas kerja. Selain itu, setiap kelompok mencari istilah yang kurang dikenal dalam skenario/masalah tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada siswa yang mengetahui artinya, ia harus segera menjelaskan kepada teman-temannya. Bagian yang belum dapat dipecahkan dalam tim tersebut ditulis sebagai permasalahan tim. Kedua, melakukan seleksi alternatif untuk memilih pendapat yang lebih fokus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam tim untuk mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Guru

86 | Seuntai ASA untuk UNESA

menvalidasi pilihan-pilihan yang diambil siswa. Jika ada tujuan pembelajaran yang belum disinggung siswa, guru mengusulkannya dengan memberikan alasan-alasan yang cukup. Pada akhir tahap ini peserta didik diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk “menjembataninya”. b. Pengajuan masalah ke tim. Masalah diajukan sebelum dilakukan persiapan atau pengkajian apa pun. Dalam hal ini, beberapa masalah ditampilkan, dengan harapan siswa mampu memilih masalah yang akan dipecahkan dalam kurun waktu tertentu. Setiap masalah bisa mencakup apa saja dari satu sampai empat skenario pemecahan. Jika skenario yang disajikan banyak, jumlah tersebut bisa mencerminkan rangkaian perkembangan dari situasi masalah ke masalah lain yang terkait dalam satu permasalahan yang kompleks. Setiap masalah memuat data atau bagan terkait disertai dengan lembar kerja yang mencantumkan isu pembelajaran yang ingin dibahas. Bila siswa baru pertama kali mengikuti pembelajaran model ini, guru cukup menampilkan permasalahan yang sederhana. Skenario yang diajukan memuat diskripsi tertulis ringkas tentang situasi masalah yang mungkin ditemukan oleh praktisi. c. Pengkajian istilah dan konsep yang asing. Tim (kelompok siswa) memulai belajar dengan mengidentifikasi istilah dan konsep yang tidak bisa bagi beberapa atau semua anggota. Istilah yang tidak biasa bagi siswa tertentu, mungkin bisa diketahui oleh yang lain sehingga proses berbagi informasi dimulai pada tahap ini. Cara lainnya, siswa mungkin memiliki narasumber yang dapat mereka rujuk untuk mendapatkan penjelasan yang cepat. Jika fasilitator (guru) seorang ahli dalam bidang pengetahuan yang dibutuhkan, tim tersebut dapat meminta informasi. Jika fasilitator memberi informasi maka informasi tersebut harus berkaitan dengan item pengetahuan yang sempit karena

Seuntai ASA untuk UNESA | 87

peran fasilitator bukan untuk mengalihkan informasi tetapi sebagai fasilitator pembelajaran yang berpusat pada siswa. Jika tidak seorang pun di dalam tim yang mengenal istilah atau konsep yang disajikan, inilah isu pembelajaran yang perlu dikejar. d. Pengembangkan hipotesis berdasar pengetahuan awal atas masalah yang dipilih secara kolaborasi. Siswa bekerja sama untuk mengembangkan sejumlah hipotesis yang menjelaskan situasi masalah. Mereka menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki, ide, opini, dan akal sehat mereka untuk memberikan penjelasan yang memungkinkan. Kesenjangan dan area pengetahuan yang perlu digali menjadi jelas pada tahapan ini. Melalui diskusi ini, siswa mengidentifikasi isu pembelajaran, yaitu: apa yang perlu lebih dipahami individu dan atau kelompok supaya dapat mengatasi masalah yang diajukan.

e. Pemilihan/penentuan sumber informasi dan data masalah untuk mengecek hipotesisnya. Siswa dapat memperoleh informasi masalah dengan berbagai cara. Mereka mungkin mewawancarai seorang tokoh masyarakat untuk memperoleh informasi yang cukup. Cara lain, mungkin mengkaji data yang tersedia di perpustakaan, atau mengkaji serta merangkum data tersebut menjadi tujuan pertemuan selanjutnya. Pada beberapa kelompok, siswa mungkin lebih memilih bermain peran, yaitu dengan menjadikan salah satu dari mereka sebagai “aktor pembuat masalah” yang akan memberikan informasi yang akan dicatat dalam data bagan, sementara yang lain berperan sebagai pewawancara. Sumber pembelajaran yang mungkin digunakan sering juga didiskusikan pada tahap ini. Bergantung pada sifat masalah yang diajukan, siswa memutuskan untuk berkonsultasi dengan ahli bidang terkait, menggunakan sarana-prasarana perpustakaan, informasi dari internet, atau berkonsultasi dengan anggota masyarakat.

88 | Seuntai ASA untuk UNESA f. Pengumpulan dan investigasi data/informasi. Dalam pengumpulan informasi, tim bisa bertemu setiap minggu atau setiap dua minggu. Siswa memerlukan waktu "tidak terjadwal" antar pertemuan untuk mengumpulkan informasi dan melakukan studi independen. Anggota tim yang ditugasi mengumpulkan informasi bisa bekerja berdasarkan spesialisasi, rotasi, atau minat dengan jumlah perseorangan, duet, atau lebih dari 2. Misalnya, sebuah tim terdiri dari 5 anggota, dalam pengumpulan informasi tim dipecah berdasarkan sistem rotasi yang jumlah anggota tiap pecahan tim ini adalah 2 dan 3 siswa. Pada kesempatan ini, siswa mengumpulkan secara lengkap fenomena yang teridentifikasi dalam skenario masalah, atau mereka mengidentifikasi isu pembelajaran lain yang memerlukan periode waktu tambahan untuk studi individual. Namun, mengumpulkan informasi yang relevan saja tidak cukup karena dalam proses tersebut siswa harus menerapkan apa yang mereka pelajari pada masalah tersebut secara praktis g. Pembahasan dan analisis hasil investigasi. Ketika anggota tim bertemu lagi, setelah menyelesaikan riset/investigasi, pengetahuan yang diperoleh secara kritis didiskusikan dan diperdebatkan. Selama proses tersebut tim mungkin dapat mengidentifikasi kesenjangan lain dalam pengetahuan (misalnya isu pembelajaran lain yang perlu dikaji), atau mereka mungkin merasa siap menerapkan pengetahuannya dalam situasi yang nyata. Pada poin tersebut, siswa memer- lukan rincian yang lebih lengkap mengenai masalah dan situasinya. h. Penyajian hasil karya. Berdasarkan hasil kegiatan pembahasan dan analisis, siswa menyusun hasil kerjanya dalam berbagai bentuk. Pengembangan hasil karya ini berupa (a) laporan tertulis, (b) video yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan, (c) model dalam wujud fisik dari situasi masalah atau pemecahannya, atau (d) sajian multimedia. ”Kecanggihan” hasil karya

Seuntai ASA untuk UNESA | 89

bergantung pada kemampuan mereka. Penyajian hasil karya bisa melibatkan siswa, guru, dan masyarakat. Mereka melakukan penilaian terhadap hasil karya siswa lain atau melakukan pertukaran ide-ide dan pemberian umpan balik.

i. Refleksi, konstruksi, dan integrasi pengetahuan ke dalam struktur kognitif yang baru. Langkah terakhir pada proses tersebut adalah merefleksikan materi dan proses pembelajaran yang telah berlangsung sehingga dapat diintegrasikan ke dalam pengetahuan dan keterampilan siswa. Tahap ini dikatakan bersifat kritis untuk memastikan pengingatan kembali apa yang telah dipelajari jika siswa menghadapi situasi serupa di masa mendatang (Davis and Harden, 1999). Pada titik ini siswa juga mendiskusikan proses yang mereka gunakan dalam tim mereka, mengidentifikasi apa yang telah berlangsung dengan baik dan apa yang ingin diubah sebelum masuk ke masalah berikutnya. Kualitas dan kuantitas pembelajaran, serta fungsi setiap anggota maupun kelompok sebagai satu kesatuan, dikaji dengan cermat pada waktu ini melalui evaluasi formatif oleh individu atau tim dan guru. Proses ini juga menekankan bahwa tanggung jawab utama pembelajaran yang diperoleh tim dan anggotanya bergantung pada siswa dibawah arahan guru. 6. Latar yang sesuai kecerdasan bisa bertumbuhkembang secara maksimal menuju kemandirian. Dengan mengajak siswa untuk melihat sekitarnya selama perjalanan itu potensi “bibit unggul dan ladang yang sesuai” akan muncul. Selama melakukan perjalanan, mereka tidak hanya diajak untuk merasakan apa yang dirasakan oleh keluarga yang mereka tempati, namun lebih besar dari itu, mereka bisa menemukan kecerdasannya dan menemukan ladang yang cocok untuk berkembang. Mereka diajak untuk melakukan pemecahan masalah dalam skala yang lebih luas dengan membentuk beberapa proyek kemandirin di beberapa lokasi sesuai kecerdasan dan potensi yang ada di tempat itu sehingga

90 | Seuntai ASA untuk UNESA

membentuk suatu community product framework, yaitu jaringan proyek-proyek pemecahan masalah di suatu daerah yang menghasilkan produk khas yang membentuk pola hubungan saling menguntungkan. Kerja kolaboratif siswa memungkinkan hal ini telaksana karena siswa memiliki kecerdasan yang berbeda. Perbedaan kecerdasan ini bermanfaat untuk menciptakan proyek yang berbasis daerah tersebut dan dikerjakan siswa yang sesuai kecerdasannya. Melalui community product framework yang dilakukan secara terus-menerus sambil melakukan perbaikan dan bekerja secara kolaborasi yang menekankan pemecahan masalah dengan dasar kecerdasan masing-masing anggota tim di lokasi yang cocok dapat menjadi harapan untuk “memperbaiki” karakter masyarakat bangsa kita yang kurang mandiri dan mengajak menuju kemandirian. Hal ini karena pada hakikatnya, kegiatan pembelajaran adalah memecahkan masalah dan memberi perubahan menguntungkan, bukan menjadi sumber masalah dan beban masyarakat bangsa ini. Simpulan Menjadi desainer pembelajaran yang konstruktivistik, perlu mengikuti 5 prinsip pembelajaran, yakin (1) aspek metode, isi bahan, media, pengelolaan pembelajaran dan tujuan berpangkal pada diri peserta didik, (2) melakukan “perjalanan” dengan terjun langsung hidup menyatu dengan masyarakat menjadi cara efektif peserta didik belajar, (3) terjun ke masyarakat secara langsung dilakukan secara kolaboratif serta terus-menerus , (4) terjun langsung ke masyarakat, keterampilan pengenalan dan pemecahan masalah bisa ditingkatkan, dan (5) terjun langsung ke masyarakat dengan latar yang sesuai kecerdasan bisa bertumbuhkembang secara maksimal menuju kemandirian. Menerjunkan peserta didik ke masyarakat akan lebih membantu mereka menghadapi masalah kehidupan yang nyata. Hal-hal dapat dilakukan untuk menyamai kemampuan pemecahan masalah kehidupan dan mengembangkan keteramian kolaborasi dapat mengikuti prosedur sebagai berikut, yakni (1) Pendefinisian Masalah,

Seuntai ASA untuk UNESA | 91

(2) Pengajuan masalah ke tim, (3) Pengkajian istilah dan konsep yang asing, (4) Pengembangkan hipotesis berdasar pengetahuan awal atas masalah yang dipilih secara kolaborasi, (5) Pemilihan/penentuan sumber informasi dan data masalah untuk mengecek hipotesisnya, (6) Pengumpulan dan investigasi data/informasi, (7) Pembahasan dan analisis hasil investigasi, (8) Penyajian hasil karya, (9) Refleksi, konstruksi, dan integrasi pengetahuan ke dalam struktur kognitif yang baru.

DAFTAR ACUAN Arnseth, H.C dan Sten Ludvigsen. 2000. Collaboration and Problem Solving in Distributed Collaborative Learning.University of Oslo Barbara Wasson, Anders Mørch University of Bergen: http://www.ll.unimaas.nl/euro-cscl/Papers/8.doc. Diakses 8 Desember 2006 Asyafrudin. 2011. Kembar Tapi Tak Sama. http://asyafrudin.blogspot.com/ 2011/06/kembar-tapi-tak- sama.html. Diunduh tanggal 24 Desember 2012 Barrow, H.S and Tamblyn. 2004. Problem Based Learning: An Approach to Medical Education. New York: Springer Covey, S.R. 1989. The Seven Habits of Highly Effective People.” New York: A Fireside Book. Harts, S.A. 1997. “Interpersonal Dynamics Turn ‘Group’ Into ‘Team’.” Electronics News, 43, (21), 48-53. Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classrom: a guide co- operaative learning. Australia. Eleanor Curtain Publisshing. Howard, S.A. 1999. “Guiding Collaborative Teamwork In The Classroom”. Effective Teaching, 10, (5), 11-27. Jorn, L.A.& Duin, A.H. 1992. “Information Technology and The Collaborative Writing Process in The Classroom.” Bulletin of The Assosiation for Business Communication, 55, (4), 13-20.

92 | Seuntai ASA untuk UNESA

Lookatch, R.P. 1996. “Collaborative Learning and Multimedia: Are Two Heads Still Better, http://www.studygs.net/cooplearn.htm. diakses tanggal 29 Nopember 2006 Ludvigsen, A R & Morch A I. 2005. Situating Collaborative Learning: Educational Technology in the Wild. Journal Educational Technology/ September-Oktober 2005, 39-43 Mann, S.T, 2003. Study Guides and Strategies; Cooperative & Collaborative Learning. http://www.studygs.net/cooplearn.htm. diakses tanggal 29 Nopember 2006 Merril, M.D. 1983. Component Display Theory dalam Charles M. Reigeluth (Ed). Instructional Desiogn-Theories and Models An Overview of Their Curret Status. New York: Lawrence: Earlbaum Associate Merril, M.D. 2002. First Principles of Instruction. Journal ETR&D, Vol. 50, No. 3, 2002, pp. 43–59 ISSN 1042–1629 Mustaji. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Pola Kolaborasi Dalam Mata Kuliah Masalah Sosial. Disertasi. PPS Universitas Negeri Malang Neufeld, D., & Haggerty, N. (2001). Collaborative team learning in information systems: A pedagogy for developing team skills and high performance. Journal of Computer Information Systems, 42(1), 37 Panitz, T. (1996). A Definition of Collaborative vs Cooperative Learning: http://www.city.londonmet.ac.uk/deliberations/collab.learning/p anitz2.html. diakses 18 Nopember 2006 Seels B.B and Richev R.C. 1994. Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field. Washington DC: Association for Educational Communications and Technology. Wertsch, J.V. (1985). Cultural, Communication, and Cognition: Vygotskian Perspectives. Cambridge University Press

Seuntai ASA untuk UNESA | 93

8 PERGURUAN TINGGI DAN INTELECTUAL CAPITAL Haryati Fakultas Ekonomi

Intelektuaal Capital merupakan hal yang penting dalam menentukan aktivitas-aktivitas di perguruan tinggi. Ide atau gagasan tentang Inteleketual Capital dimulai pada pertengahan tahun 1980-an yang diindikasikan dengan munculnya pergeseran dari production based service ke knowledge-based economy. Melalui pemahaman makna aset intangible, Perguruan Tinggi dapat menyusun dan menetapkan strategi serta kebijakan-kebijakan untuk mengevaluasi dan memaksimalkan produktivitas dosen yang paling bernilai tersebut. Inteleketual Capital sebagai materi intelektual yaitu pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, pengalaman yang digunakan untuk menciptakan kesejahteraan. Pengetahuan telah menjadi faktor utama yang penting dan oleh karenanya aset intelektual harus dikelola oleh Perguruan Tinggi dengan baik. Mouritsen (1998) mendefinisikan Inteleketual Capital sebagai suatu proses pengelolaan teknologi yang mengkhususkan untuk menghitung prospek Perguruan Tinggi di masa yang akan datang. Inteleketual Capital merupakan kategori intangible asset yang merupakan sesuatu yang berhubungan dengan teknologi, pelanggan, kontrak, proses data, modal personal, pemasaran, lokasi, dan goodwill. Harrison dan Sullivan (2000) mengemukakan bahwa kesuksesan Perguruan Tinggi

94 | Seuntai ASA untuk UNESA sangat dipengaruhi oleh usaha-usaha rutin Perguruan Tinggi untuk memaksimumkan nilai-nilai dari Inteleketual Capital yang dimiliki Perguruan Tinggi. Inteleketual Capital memberikan diversitas nilai-nilai organisasi yang berbeda-beda seperti peningkatan keuntungan akuisisi inovasi dari Perguruan Tinggi lain, loyalitas konsumen, pengurangan biaya, dan perbaikan produktivitas. Definisi tentang Inteleketual Capital mencakup hampir semua dimensi aset intangible. Definisi intangible asset menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2015) yaitu bahwa aset tidak berwujud merupakan aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan penanganan substansi fisik untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang dan jasa, untuk dipinjamkan pada pihak lain atau untuk tujuan administratif. Sumber daya yang ada merupakan sumber daya yang berhubungan dengan konsumen seperti kompetensi, reputasi dan loyalitas. Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang ada pada tingkat individual dan organisasional. Pada tingkat individual, mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap, sedangkan pada tingkat organisasional mencakup database klien yang spesifik, teknologi, metode, prosedur, dan budaya organisasi. Inteleketual Capital meliputi human capital, customer capital dan structural capital (Bontis, 1996). Human capital merupakan pengetahuan, skill, dan pengalaman individu yang meliputi knowhow, pendidikan, vocational qualification, pekerjaan dihubungkan dengan pengetahuan, penilaian pekerjaan, penilaian psychometric, pekerjaan dihubungkan dengan kompetensi, semangat entrepreneurial, jiwa inovatif, kemampuan proaktif dan reaktif, dan kemauan serta kemampuan untuk berubah. Human capital di dalam organisasi memiliki potensi penuh untuk membangun orientasi pasar bagi konsumennya. Jika kompetensi pegawai di dalam suatu organisasi semakin baik, mereka akan memahami kebutuhan konsumen dan mengembangkan customer capital untuk menahan loyalitas konsumen. Disamping itu, human capital juga merupakan sumber inovasi dan pembaharuan bagi Perguruan Tinggi. Customer Capital merupakan sumber daya yang dikaitkan

Seuntai ASA untuk UNESA | 95 hubungan eksternal Perguruan Tinggi dengan pelanggan yang dalam hal ini mahasiswa, stakeholder atau partner dalam Research and Depelopment (R&D), meliputi brand, konsumen, loyalitas konsumen, nama Perguruan Tinggi, backlog orders, jaringan distribusi, kolaborasi bisnis, kesepakatan lisensi dan kontrak-kontrak yang mendukung (IFAC, 2012). Pengelolaan customer capital yang baik akan menyebabkan kompetensi dalam aktivitas organisasi atau respon terhadap perubahan pasar dapat dikembangkan. Jika sebuah organisasi menjadi fokus terhadap konsumen dan menjadi penentu pasar, maka organisasi tersebut akan menciptakan rutinitas dan proses organisasi yang efisien serta dapat melayani konsumen dengan baik. Structural capital merupakan pengetahuan yang akan tetap berada dalam Perguruan Tinggi yang terdiri dari dua elemen yaitu pertama, intellectual property yang terdiri dari paten, copyright, design right, trade secret,trademark, service mark, dan kedua, infrastucture assets, yang meliputi filosofi manajemen, budaya Perguruan Tinggi, proses manajemen, sistem informasi, sistem jaringan, dan hubungan keuangan. Structural capital muncul dari proses dan nilai organisasi yang mencerminkan fokus internal dan eksternal Perguruan Tinggi serta pengembangan dan pembaharuan untuk masa yang akan datang. Melihat paparan tersebut diatas dapat kita lihat betapa pentingnya peran intelektual capital dalam pengembangan Perguruan Tinggi. Sudah seharusnya Perguruan Tinggi menempatkan dan menomorsatukan peran dari intelektual capitalnya. Penghargaan terhadap hasil karya dosen, reputasi dosen, kepakaran dan kepangkatan dosen haruslah ditempatkan sebagaimana mestinya. Kondisi akademik yang kondusif harus diciptakan agar Perguruan Tinggi dapat mencapai peak performancenya. Reward yang merata dan adil juga merupakan hal yang penting atas penghargaan Intelektual Capital.

96 | Seuntai ASA untuk UNESA

9

No Plastic Bags, Please. : Mewujudkan Mimpi UNESA menjadi Kampus Ramah Lingkungan

Lies Amin Lestari Fakultas Bahasa dan Seni

Tahun 2015 merupakan saat yang membanggakan bagi Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Pada upacara peringatan HUT RI ke-70 itu Unesa menerima penghargaan karena memenangi lomba Eco-Campus yang diadakan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surabaya dan menjadi juara I dalam lomba eco-campus berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan BLH Kota Surabaya tertanggal 12 Juli 2015 (https://www.unesa.ac.id/.../dapat-skor-100-unesa-sabet...). Ini artinya, pada tahun 2015 itu UNESA dinobatkan sebagai kampus ramah lingkungan. (Gambar 1: PR2 Unesa menerima penghargaan Eco-Campus 2015). Sebagaimana lazimnya sebuah lomba, tentu BLH Kota Surabaya mempunyai kriteria penilaian untuk menetapkan suatu kampus layak mendapatkan penghargaan tersebut. Kriteria itu meliputi: (1) kebijakan dalam upaya menjadikan kampus sebagai institusi yang ramah lingkungan, (2) Pengelolaan tata ruang dalam gedung, dan (3) pengelolaan lingkungan kampus (www.slideshare.net/.../eco-campus- presentation-ri). Secara lebih rinci, kebijakan institusi yang dimaksud adalah: (a) Upaya penghematan energi ; air, listrik (b) Upaya

Seuntai ASA untuk UNESA | 97 penghematan pemakaian kertas (c) Upaya pengolahan sampah dan, (d) pembiasaan, kerjasama dan sikap peduli seluruh civitas kampus. Sedangkan pengelolaan tata ruang dalam gedung mencakup: (a) ventilasi sirkulasi udara dan pencahayaan, (b) upaya pemilahan sampah, dan (c) pemasangan slogan di tempat-tempat yang strategis. Adapun pengelolaan linkungan kampus meliputi (a) Luasan ruang terbuka hijau, (b) saluran pembuangan, pengolahan limbah cair dan sampah, (c) upaya penyimpanan cadangan air, dan (d) Team building. Melihat kriteria di atas, tentu kita memahami mengapa UNESA terpilih untuk mendapatkan penghargaan Eco-Campus itu. Bukankah dengan dibangunnya Ran-UNESA, Court Base-ball, Hutan Kampus UNESA, dan fasilitas lingkungan lain, serta penghijauan yang gencar dilakukan mulai tahun 2011 telah tiba saatnya bila pada tahun 2015 hasil yang maksimal bisa diperoleh? Namun tentu saja UNESA tidak boleh begitu saja berpuas diri dengan hasil yang dicapai itu. Isu ‘Plastik Berbayar’ Tahun 2016 ini, tepatnya mulai tanggal 21 Februari, pemerintah memberlakukan kebijakan ‘Plastik Berbayar’ di 23 kota di Indonesia (Media Indonesia, 30 Januari 2016). Kebijakan ini diberlakukan mengingat semakin tidak terkendalinya penggunaan plastik di negeri ini. Setiap kali kita berbelanja di pasar atau di toko atau bahkan di warung kecil sekalipun, hampir dapat dipastikan kita akan selalu pulang dengan menenteng tas kresek, kantong plastik gratis yang disediakan toko atau warung atau bahkan penjual makanan di pinggir jalan. Apabila dihitung berapa jumlah keluarga di sebuah kota dan setiap keluarga rata-rata sekali berbelanja kebutuhan sehari-hari, sudah dapat dihitung berapa tas kresek yang setiap kali digunakan masyarakat di kota tersebut. Itu belum terhitung kresek-kresek kecil yang biasanya digunakan membungkus cabe, tempe, tahu, sayur, atau makanan siap makan seperti gorengan, bakso, jajan-pasar, dan sebagainya. (Gambar 2 dan 5: Penggunaan tas plastik belanja dalam hitungan tahun). Cobalah kini kita tengok tempat-tempat pembuangan sampah di sekitar tempat tinggal atau di kampus kita. Mari kita perhatikan jenis sampah apa saja yang terlihat mencolok. Pasti sampah plastik!

98 | Seuntai ASA untuk UNESA

Tidakkah kita kemudian berpikir akan dibawa ke manakah sampah- sampah ini? Berapa lama kemudian sampah-sampah ini akan terdekomposi? Sebagai warga kampus yang sudah terlanjur menyandang status sebagai kaum terdidik tentu kita paham apa jawaban dari pertanyaan di atas. Melalui kebijakan plastik berbayar diharapkan penggunaan plastik, khususnya tas/kantong plastik untuk berbelanja dapat diminimalisasi, yang pada akhirnya akan mengurangi ‘beban’ alam/lingkungan dalam mendekomposi sampah plastik yang memakan waktu hingga puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Mungkinkah kita hidup tanpa tas plastik? Marilah kita cermati sekeliling kita. Mari kita identifikasi barang- barang kebutuhan kita yang terbuat dari bahan baku plastik. Apa yang kita temukan tentu akan membuat kita berpikir bahwa akan sulit bagi kita untuk hidup tanpa plastik saat ini. Begitu banyak benda-benda kita yang terbuat dari plastik, bukan saja tas plastik, tapi tempat makan(an), minum(an), alat dapur, perlengkapan sekolah dan kantor kita juga banyak yang terbuat dari plastik. Cobalah kita perhatikan ball-point, map, penggaris, tempat pensil, tempat sampah, sapu dan benda-benda lain yang sering kita temui di kampus. Hampir semuanya berbahan baku plastik atau mengandung bahan plastik. Lalu, mungkinkah kita bisa hidup tanpa plastik? Tentu saja jawabannya sangat tidak mungkin. Namun demikian, tentu kita bisa berusaha mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan kita. Marilah kita kini menengok Modbury, sebuah kota kecil di sebelah barat Inggris dekat pantai di wilayah Devon. Kota kecil yang dihuni sekitar 760 keluarga ini hanya memiliki tiga gereja, sebuah sekolah dasar, beberapa pub (semacam tempat nongkrong minum ), dua warung makan, sebuah fasilitas kesehatan untuk masyarakat (semacam puskesmas), sebuah supermarket, dan beberapa toko kelontong. Data di atas tentu menunjukkan bahwa kota kecil ini bukan kota yang istimewa. Kota ini memang hanya sebuah kota kecil biasa saja. (Gambar 3: Pusat kota Modbury).

Seuntai ASA untuk UNESA | 99

Tetapi ada hal yang membuat kota ini menjadi istimewa. Mulai Senin 30 April 2007 pukul 08.00 Modbury menjadi kota pertama di Eropa yang menyatakan ‘No plastic bags’ (theguardian.com 28 April 2007). Merasa prihatin dengan adanya fakta bahwa lebih dari seratus juta tas plastik telah mengotori dunia dan menumpuk di laut, 43 pemilik toko dan bisnis makanan dengan kompak mendeklarasikan bisnis mereka bebas dari tas plastik (kresek). Mereka tidak akan menjual, memberikan atau menyediakan tas plastik di toko mereka, paling tidak selama 6 bulan masa uji coba (www.theguardian.com › Environment › Waste). Sebagai gantinya, toko-toko ini akan menyediakan tas-tas kain atau kertas yang lebih ramah lingkungan untuk pelanggannya. Di Modbury hanya akan ada tas-tas belanja yang biodegradable, organik, tanpa pemutih (unbleached), dan bisa didaur- ulang. Lebih dari 2.000 tas-tas belanja telah disediakan saat itu oleh toko-toko retailer dan dijual dengan harga £3.95 per buah (+ Rp. 70.000,00). Ide menjadikan Modbury sebagai kota bebas kresek datang dari Rebecca Hoskins, gadis yang lahir dan dibesarkan di Modbury. Tahun 2006 gadis yang bekerja sebagai cameraperson di BBC ini ditugasi membuat film tentang kehidupan laut di Pasifik. Dalam tugasnya itu ia melihat polusi kantong plastik yang sangat mengerikan di Laut Pasifik. Pada dasarnya, Hoskins bukanlah gadis cengeng. Namun ketika ia melihat di bawah laut sana ada binatang-binatang yang terjebak di plastik--albatross sekarat terjebak di kantong plastik, ikan lumba- lumba menggeliat-geliat terjebak di kantong plastik, dan moncong- moncong anjing laut terikat tali-tali plastik pengikat dos hadiah-- tangisnya tidak dapat dibendung. Ia mengaku baru kali itulah ia menangis di belakang kamera saat bertugas. “Kini, lautan tampak seperti bak sampah raksasa, dan sampah plastik itu akan ada di laut untuk selamanya. Plastik-plastik itu tidak akan hilang hingga ratusan tahun ke depan. Dan semua itu adalah akibat kita membuang plastik- plastik itu,” kata dia. Ketika pulang ke Devon (Gambar 4: Posisi Devon dalam peta Inggris Raya), ia menyelam di laut dan menjumpai hal serupa di laut sekitar Devon. Ia kemudian menyewa galeri seni Modbury dan mengundang para pengusaha di kota itu untuk menonton film yang

100 | Seuntai ASA untuk UNESA dibuatnya di Pasifik. Meskipun pada awalnya ada pesimisme bahwa orang tidak akan peduli atas apa yang terjadi nun-jauh di Pasifik sana, pada akhir acara nonton bareng itu hadirin sepakat untuk meninggalkan kebiasaan memberikan kantong belanja plastik kepada para pelanggan. Sebuah kesadaran yang luar biasa dari para pengusaha di sebuah kota kecil. Apa yang dijumpai Hoskins di Laut Pasifik mengingatkan kita pada kejadian matinya seekor jerapah di Kebun Binatang Surabaya (KBS) pada Maret 2012 yang lalu. Saat itu KBS sedang menjadi sorotan media karena banyaknya satwa penghuninya yang mati mengenaskan. Terlepas dari berbagai isu yang beredar di balik matinya sejumlah satwa itu, yang jelas hasil diotopsi atas bangkai jerapah menunjukkan bahwa di dalam perut jerapah itu terdapat sejumlah kantong plastik (merdeka.com 3 Maret 2012). Pertanyaannya kini bagaimana bisa kantong-kantong plastik itu bisa sampai ke dalam lambung jerapah? Bukankah jerapah termasuk satwa herbivora yang hanya memakan tumbuh-tumbuhan? Ada kemungkinan kantong-kantong plastik itu termakan jerapah saat ia memakan rumput yang menjadi jatahnya. Karena banyaknya kantong plastik yang dibuang ke rerumputan, sampah-sampah itu ikut tersabit ketika petugas pencari rumput menyabit rumput untuk makanan hewan di KBS. Plastik tentu saja akan sulit dicerna dengan enzim yang ada dalam sistem pencernaan jerapah. Itulah sebabnya plastik-plastik itu tidak ikut tercerna dan menumpuk dalam lambung si jerapah. Peran strategis Unesa sebagai Eco-Campus dalam mengurangi sampah plastik Berita di harian Media Indonesia menyebutkan ada 9,85 miliar sampah kantong plastik yang dihasilkan setiap tahunnya dari toko- toko retail tersebut (Gambar 5). Dilaporkan pula di harian tersebut bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik ke laut terbanyak ke dua, setelah Tiongkok, dengan total 187,2 juta ton. Data yang tidak terlalu berbeda juga dapat dilihat pada Gambar 5 yang diunduh dari yahoo.com. Keadaan di atas menunjukkan bahwa bumi kita saat ini sudah berada dalam kondisi darurat sampah plastik. Sebagai peraih

Seuntai ASA untuk UNESA | 101 penghargaan Eco-Campus 2015 sudah selayaknya bila Unesa ikut berperan-serta dalam gerakan pengurangan penggunaan plastik. Kampus yang dihuni oleh lebih kurang 25.000 mahasiswa, dosen, dan karyawan ini tentu juga memroduksi sampah plastik setiap harinya. Cobalah kita tengok toko, kantin, warung, dan food court di dalam dan sekitar kampus. Pernahkah kita membayangkan berapa banyak kantong plastik yang digunakan tempat-tempat itu untuk membungkus produk yang dibeli pelanggan? Cobalah pula kita amati berapa kegiatan yang rata-rata diadakan di semua wilayah kampus Unesa (Ketintang, Wetan, Gedangan, dan Teratai). Lalu, marilah kita hitung berapa kira-kira jumlah sampah kantong plastik yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan itu dalam sehari, seminggu, sebulan, dan setahun. Belum lagi bila hal ini dikaitkan dengan botol, gelas, mangkok dan lembaran plastik bekas minum dan makan warga kampus. Memang, belum ada data pasti untuk yang satu ini. Namun pasti kita akan tercengang bila suatu saat ada penelitian terkait hal ini. Dalam sekali acara wisuda, misalnya, kita bisa menghitung kasar berapa jumlah kantong plastik bekas yang dihasilkan. Sering kali, permen yang telah terbungkus plastik itu masih dimasukkan lagi dalam kantong plastik yang lebih besar. Kue-kue atau roti yang dimasukkan kotak kue sebelumnya juga telah dibungkus dalam kantong plastik. Apabila setiap acara wisuda dihadiri oleh 500 wisudawan, dan setiap wisudawan membawa serta dua orang keluarganya (ayah dan ibunya), kemudian panitia wisuda dan tenaga parkir serta keamanan berjumlah 100 orang, dan setiap orang yang hadir dalam acara itu mendapatkan sekotak kue yang berisi permen, 2 roti atau kue, maka dapat dihitung berapa kantong plastik (yang sebenarnya tidak perlu dan-sia-sia) yang dibuang ke alam bebas? Penggunaan kantong plastik yang tidak perlu ini mestinya dapat dikurangi dengan cara hanya menggunaan plastik seperlunya. Melihat besarnya potensi sampah plastik yang mungkin dihasilkan warga Unesa, ada baiknya apabila kita mulai mengampanyekan ‘Diet Kantong Plastik’ di kampus. Caranya adalah dengan menolak secara halus setiap kali ada pedagang yang memberikan kantong plastik kepada kita. Misalnya, si A membeli ball-

102 | Seuntai ASA untuk UNESA point, penggaris, buku tulis, atau penghapus di Koperasi Mahasiswa. Dapat dipastikan pegawai koperasi akan memberikan kantong plastik untuk membungkus belanjaan itu. Tolaklah kantong plastik itu dengan mengatakan: ‘Maaf, biar saya masukkan saja benda-benda ini ke tas saya. Masih cukup, kok.” Demikian juga ketika kita memfotocopy tugas, catatan, buku, atau dokumen lain. Pegawai fotocopy akan otomatis memasukkan dokumen-dokumen hasil fotocopy ke dalam kantong plastik. Kita sebaiknya menolak kantong plastik itu karena setelah sampai di rumah atau kampus, pasti kantong plastik itu sudah akan masuk bak sampah. Mungkin akan ada orang berpikir mudah bagi kita untuk menolak kantong plastik pembungkus benda atau produk kering. Tetapi bagaimana dengan kantong plastik untuk membungkus produk makanan. Bukankah mahasiswa Unesa sebagian besar adalah anak- anak kos yang jarang memasak sendiri karena membeli makanan siap santap jauh lebih praktis? Bukankah akan rebyek apabila setiap kali akan membeli makanan harus membawa rantang atau wadah makan sendiri? Untuk masalah ini marilah kita mencoba memandangnya dari sisi kesehatan. Para ahli berpendapat bahwa plastik bukanlah wadah makanan yang baik untuk makanan yang panas atau hangat. Mengapa? Karena plastik yang terpapar panas menyebabkan kanker, salah satu penyakit yang hingga saat ini masih sulit diobati dan mahal pula pengobatannya. Bukankah ketika membeli makanan selalu ada kecenderungan pembeli menginginkan makanan yang hangat atau panas? Makanan yang popular dikonsumsi anak-anak kos pada umumnya adalah nasi dengan ikan/, bakso, mie, , rawon, nasi , dan sebagainya yang pada umumnya mikmat bila dinikmati panas atau hangat. Makanan-makanan itu bergizi dan baik bagi stamina anak muda. Namun bila kemudian diwadahi dalam kantong plastik, tentu keadaannya bisa menjadi lain. Bisa jadi makanan dan minuman itu menjadi tidak begitu menyehatkan lagi karena ketika makanan atau minuman hangat/panas itu dibungkus plastik. Bahaya yang lebih parah lagi akan mengintai bila tertanya kantong plastik itu merupakan produk plastik daur ulang yang tidak jelas bahan bakunya.

Seuntai ASA untuk UNESA | 103

Mungkin kita bisa meniru kebijakan sekolah dasar di Australia. Sejak masa sekolah, anak-anak di Australia telah dikenalkan dengan ‘nude food’ (email dari [email protected] untuk [email protected], Mon, 3 Feb 2014 17:12:16 Subject: [keluargaunesa] Belajar Cinta Lingkungan), maksudnya, anak- anak hanya boleh membawa bekal makanan yang tidak dibungkus dengan plastik atau kertas. Mereka membawa bekal berupa buah dan makanan lain dalam lunch box untuk dikonsumsi pada saat istirahat di sekolah. Mungkin kebiasaan semacam ini juga bisa kita terapkan di Unesa. Tentu, karena mahasiswa dan dosen Unesa adalah mereka yang telah dewasa, kebiasaan ini datangnya harus dari kesadaran individu. Setiap kali kita membawa makanan ke kampus, baik itu makanan yang dimasak sendiri maupun yang dibeli, sebaiknya kita jauhi bungkus kantong plastik. Kita bawa makanan itu dengan wadah makanan (food container) sehingga setelah makanan dihidangkan, kita tidak perlu membuang bungkus plastik. Tidak praktis? Ya, tentu. Tetapi bukankah dengan cara itu kita telah ikut menyelamatkan lingkungan kita dari gunungan sampah plastik? Hal yang sama juga bisa diterapkan ketika kita berencana membeli makanan. Kita bisa siapkan rantang susun atau wadah makanan lain dari rumah. Dengan cara ini kita telah membantu menyelamatkan lingkungan dari sampah plastik. Selain itu, dengan memanfaatkan rantang, kita bisa mengurangi kemungkinan dari terpaparnya diri kita dari zat karsinogenik yang membahayakan kesehatan. Seperti diketahui bahwa plastik yang terpapar panas akan membahayakan kesehatan kita. Penutup Ms Hoskins, pencetus ide pelarangan penggunaan kantong plastik di toko-toko di Modbury mengatakan: ‘… … Now it's just a question of seeing if people accept it. We are all trembling now. To be a pioneer is pretty scary," (theguardian.com 28 April 2007). Memang, harus diakui, mengubah perilaku, terutama bila perilaku itu merupakan kebiasaan yang membuat kita hidup nyaman, amatlah sulit. Namun, apabila kita ingin menjadikan hidup kita menjadi lebih

104 | Seuntai ASA untuk UNESA baik, tentu keputusan yang berani harus diambil. Isu kebersihan lingkungan merupakan hal yang sangat penting saat ini karena hanya di lingkungan yang bersihlah kita bisa menikmati indahnya kehidupan di alam semesta ini. Lingkungan yang bersih ini dapat diusahakan dengan sedapat mungkin mengurangi penggunaan hal yang tidak perlu, kantong plastik misalnya. Marilah kita belajar bijak dengan hanya menggunakan (kantong) plastik seperlunya saja. Beberapa negara telah berhasil memperbaiki kualitas kehidupan mereka karena program diet plastik, diantaranya (theguardian.com 12 may 2007): 1. Taiwan tidak hanya melarang penggunaan kantong plastik tetapi juga piring, gelas, dan alat makan plastic sekali pakai (disposable plastic plates, cups and cutlery) oleh pedagang makanan siap saji. Pelanggar aturan ini akan didenda hingga £152 atau kurang lebih Rp.2,5 juta. Kebijakan ini berhasil mengurangi penggunaan plastik hingga 70% dan menggurangi timbunan sampah sebesar 25%. 2. Irlandia menerapkan kebijakan ‘plastax’ atau plastik berbayar sebesar 15 pence atau sekitar Rp.2.600 dan kebijakan ini berhasil menguragi penggunaannya hingga 90%. 3. Di Perancis, kantong plastik yang dapat digunakan berulang (reusable) yang lebih kuat, lebih mudah didaur-ulang, dan lebih tidak mudah tertiup angin. Hasilnya kantong plastik jenis ini berhasil mengurangi setengah dari peredaran kantong plastik biasa. 4. Bangladesh menjadi Negara pertama yang melarang penggunaan kantong plastik pada tahun 2002 setelah pada tahun 1980an Dhaka, ibukota Bangladesh, tergenang banjir besar pada musim penghujan akibat saluran drainase tersumbat sampah kantong plastik. Data di atas menunjukkan betapa ‘perang’ terhadap penggunaan (kantong) plastik telah membawa dampak yang baik bagi lingkungan kehidupan kita. Oleh sebab itu ada baiknya bila kita ikut membantu menyukseskan program ‘Diet Kantong Plastik’ atau ‘Plastik

Seuntai ASA untuk UNESA | 105

Berbayar’ itu. Kita sukseskan program itu dengan niat untuk memperbaiki kualitas lingkungan yang pada akhirnya juga akan memperbaiki kualitas kehidupan semua makhluk di dunia, bukan hanya sekedar karena kita tidak mampu membayar harga kantong plastik. Mari kita sukseskan program ini dengan memulainya dari diri kira sendiri dan mulai saat ini seperti himbauan salah satu ulama beasar kita Aa Gym. Bisa dibayangkan, bila semua warga Unesa yang jumlahnya kurang lebih mencapai 25.000 orang ini melaksanakan diet kantong plastik, maka hasil yang akan dicapai akan sangat signifikan.

Gambar 3: Pusat kota Modbury, England (sumber Wikipedia.com)

106 | Seuntai ASA untuk UNESA

Gambar 4: Posisi County Devon di wilayah Kerajaan Inggris Raya (Sumber: Wikipedia.com)

Gambar 1: Pembantu Rektor II UNESA menerima Piala Penghargaan Eco-Campus 2015 dari Walikota Surabaya pada upacara Peringatan HUT RI 17 Agustus 2015 (Sumber: Humas Unesa)

Seuntai ASA untuk UNESA | 107

Gambar 2: Data pemakaian kantong plastik di Indonesia (Sumber: Media Indonesia 10 Feb 2016, hal. 12)

108 | Seuntai ASA untuk UNESA

Gambar 5: Poster Bahaya Kantong Plastik versi Yahoo.com diunduh tanggal 7 Maret 2016.

Seuntai ASA untuk UNESA | 109

10 Menuju Universitas Kelas Dunia Berorientasi Ke- Indonesia-an

Madlazim Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Belakangan ini, hampir semua PTN maupun PTS di Indonesia berlomba-lomba berusaha meraih predikat sebagai universitas kelas dunia. Perlombaan tersebut semakin bergairah setelah pemerintah mengalokasikan anggaran bagi PTN-PTS tertentu agar mereka dapat segera menjadi universitas kelas dunia. Dirjen Dikti menyatakan mendukung penuh PTN-PTS supaya dapat menjadi berkelas internasional. Tahun 2009 pemerintah telah mengumumkan bahwa 17 perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada; Universitas Indonesia; Institut Teknologi Bandung; Institut Pertanian Bogor; Universitas Airlangga; Universitas Diponegoro; Universitas Brawijaya; dan lainnya; akan sepenuhnya dibantu, terutama perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Pro dan kontra terkait dengan visi universitas kelas dunia bagi perguruan tinggi ini telah terjadi. Pihak yang pro terhadap universitas kelas dunia, baik dari kementerian yang membawahi pendidikan tinggi (sekarang Kemenristek-dikti), khususnya Direktorat Jenderal Dikti, maupun pihak perguruan tinggi. Alasan yang mengemuka sebagai tujuan dari perlunya PTN-PTS untuk menjadi berkelas dunia adalah: menjadi universitas kelas dunia yang dapat bersaing dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi kelas dunia dan sekaligus dapat menghasilkan lulusan yang dapat bersaing dengan lulusan dari negara- negara maju di dunia internasional. Sedangkan pihak yang kontra

110 | Seuntai ASA untuk UNESA terhadap ide universitas kelas dunia, berargumen bahwa bila perguruan tinggi fokus mengejar indikator-indikator universitas kelas dunia, dikhawatirkan mereka tidak memperhatikan kontribusinya terhadap masyarakat Indonesia. Pihak yang pro terhadap universitas kelas dunia dibayang- bayangi oleh kompetisi yang terjadi antar-perguruan tinggi, baik yang di dalam negeri maupun yang di luar negeri. Kompetisi itu bisa berwujud iming-iming beasiswa yang diberikan oleh perguruan tinggi asing pada putra-putra terbaik negeri ini, maupun pendirian lembaga pendidikan asing di Indonesia, dan kompetisi antar-lulusan perguruan tinggi-perguruan tinggi negara-negara maju dengan perguruan tinggi- perguruan tinggi dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, maka dapat dipahami mengapa pemerintah dan pihak perguruan tinggi tampak begitu pro dengan ide universitas kelas dunia yang dianggap sebagai keniscayaan satu-satunya cara untuk dapat bertahan dan berkompetisi di tengah globalisasi (Subkhan, 2010). Di sisi yang lain, mereka yang kurang setuju dengan ide universitas kelas dunia mengemukakan seharusnya visi perguruan tinggi berdasarkan pada konteks ideologi-kebangsaan di mana perguruan tinggi tersebut berada. Dengan memperhatikan uraian di atas perguruan tinggi sudah seharusnya memiliki orientasi keindonesiaan disamping orientasi internasional (universitas kelas dunia) karena masing-masing dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan peran perguruan tinggi. Oleh karena itu, diperlukan konstruksi universitas kelas dunia yang berorientasi ke-Indonesiaan. Perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia harus meningkatkan peran dan menggali keunggulan- keunggulan lokal Indonesia melalui kegiatan tridharma perguruan tinggi yang hasilnya untuk diperkenalkan di dunia internasional melalui publikasi-publukasi internasional bereputasi. Universitas Kelas Dunia Levin, Jeong dan Ou (2006) menyusun instrumen untuk mengukur indikator perguruan tinggi yang dapat dikategorikan sebagai universitas kelas dunia sebagai berikut: (1) Indikator

Seuntai ASA untuk UNESA | 111 keunggulan penelitian (excellence in research), yang bisa dinilai dari kualitas penelitian, yakni produktivitas dan kreativitas penelitian, publikasi hasil penelitian, banyaknya lembaga donor yang bersedia membantu penelitian, adanya hak patent, dan sejenisnya; (2) Indikator kebebasan akademik dan kondusifitas atmosfer intelektual; (3) Indikator pengelolaan diri yang kuat (self-management); (4) Indikator fasilitas dan pendanaan yang cukup memadai, termasuk berkolaborasi dengan lembaga internasional; (5) Indikator keanekaragaman (diversity), antara lain perguruan tinggi harus inklusif terhadap berbagai ranah sosial yang berbeda dari mahasiswa, termasuk keragaman ranah keilmuan; (6) Indikator internasionalisasi, misal internasionalisasi program dengan meningkatkan pertukaran mahasiswa, masuknya mahasiswa internasional atau asing, internasionalisasi kurikulum, koneksi internasional dengan lembaga lain (perguruan tinggi dan perusahaan di seluruh dunia) untuk mendirikan program berkelas dunia; (7) Indikator kepemimpinan yang demokratis, yaitu dengan kompetisi terbuka antar-fakultas dan mahasiswa, juga kolaborasi dengan konstituen eksternal; (8) Indikator mahasiswa yang berbakat; (9) Indikator penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK); (10) Indikator kualitas pembelajaran dalam perkuliahan; (11) Indikator koneksi dengan masyarakat atau kebutuhan komunitas; dan (12) Indikator kolaborasi internal perguruan tinggi (Margolis, 2001). Indikator-indikator instrumen universitas kelas dunia tersebut didasarkan pada berbagai pendapat para pengelola perguruan tinggi, peneliti dan penulis pendidikan yang telah direkam sebelumnya. Sampai akhir bahasan tentang indikator instrumen yang dikemukakan tersebut, terlihat betapa banyaknya perspektif yang digunakan dalam memahami universitas kelas dunia. Oleh karena itu indikator instrument yang dirangkum dari beberapa sumber tersebut pun menjadi subjektif dan relatif. Namun, secara umum, pengertian universitas kelas dunia dapat dipahami sebagai mekanisme pemeringkatan dalam skala internasional. Hal tersebut terlihat jelas ketika Levin, Jeong dan Ou (2006) membandingkan antara sistem pemeringkatan universitas kelas dunia dari Times Higher Education Supplement (THES) dan Shanghai Jiao Tong University (SJTU) yang

112 | Seuntai ASA untuk UNESA makin menjelaskan bahwa terdapat indikator yang berbeda dalam menilai apakah sebuah perguruan tinggi bisa menjadi universitas kelas dunia atau tidak. Berdasarkan indicator-indikator itulah kemudian kita mulai memahami apa yang dimaksud dengan perguruan tinggi berkelas internasional secara umum. Peringkat inilah yang agaknya juga dimaksud oleh pemerintah dan pihak perguruan tinggi serta mereka yang sepakat dengan gagasan universitas kelas dunia di Indonesia sekarang ini. Dapat kita lihat betapa gegap gempitanya ketika beberapa perguruan tinggi di Indonesia naik peringkat dalam pemeringkatan perguruan tinggi ala THES misalnya. Dengan kata lain, kalau perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia berorientasi menjadi unversitas berkelas dunia, maka sebenarnya segala daya dan upaya perguruan tinggi tersebut sedang diupayakan untuk naik kelas dalam pemeringkatan THES dan sejenisnya (Diamond, 2007; Subkhan, 2010). Ideologi Universitas Kelas Dunia Ada beberapa alasan ketidaksetujuan atau keberatan terhadap universitas kelas dunia yang bersifat mendasar dan ideologis. Keberatan-keberatan ini seharusnya dijadikan pijakan berpikir Kemenristek-dikti, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), dan perguruan tinggi untuk memikirkan ulang orientasi mereka menuju universitas kelas dunia. Beberapa indikator dan kriteria yang digunakan QS, THES, Webometric, SJTU dapat dikatakan sebagai berkecenderungan untuk apolitik. Dengan kata lain, mereka mendasarkan pada cara pandang bahwa ranah praktis pendidikan adalah netral dari kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Cara pandang tersebut sebenarnya didasarkan pada ideologi pendidikan liberal yang menganggap bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan permasalahan politik, hasrat ekonomi, indoktrinasi ideologis dan sejenisnya (Fakih et al., 2000). Oleh karena itu, indikator dan kriteria perguruan tinggi berkualitas yang mereka gunakan sama sekali tidak menunjukkan perlunya perguruan tinggi ikut berperan dalam transformasi sosial, kultural dan politik sebuah negara. Tiadanya indikator tersebut dapat diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan fakta hubungan kuasa modal dan politik atas pengetahuan dan praktisi pendidikan, di mana QS dan THES misalnya,

Seuntai ASA untuk UNESA | 113 adalah bagian dari pemainnya. Pada cara pandang tersebut, perguruan tinggi yang baik adalah yang berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang dapat mendukung pasar bebas neoliberal. Sivitas akademika yang baik bukanlah yang berani mengkritik penguasa, bukan pula yang berani berdemo menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan membela kaum miskin, melainkan yang tekun belajar dan berprestasi dalam kontes- kontes akademik. Berlawanan dengan itu, Giroux (2006) menggambarkan sivitas akademika yang baik sebagai seorang intelektual publik yang harus melawan pemahaman bahwa perguruan tinggi adalah netral dari ideologi dan politik. Konstruksi Universitas Kelas Dunia Berorientasi ke-Indonesia-an Sejak tahun 2015 Kemenristekdikti melakukan penilaian untuk menentukan peringkat perguruan tinggi di Indonesia yang didasarkan pada empat kriteria, yaitu kualitas sumber daya manusia, kualitas manajemen dan organisasi, kualitas kegiatan kemahasiswaan, serta kualitas penelitian dan publikasi ilmiah. Menurut Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek Dikti Kemristekdikti, data yang digunakan adalah data yang dilaporkan seluruh universitas di Indonesia di pangkalan data perguruan tinggi (PDPT) dan data eksternal seperti BAN PT dan Scopus per Desember 2014. Klasifikasi dan pemeringkatan itu disusun sebagai upaya mendorong perguruan tinggi untuk mengembangkan iklim akademik dan non-akademik. Universitas kelas dunia dan pemeringkatan oleh Kemenristekdikti telah menjadi arus utama dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagai insan akademik, kita sebaiknya arif dalam mengikuti arus tersebut, terutama yang terkait dengan peran perguruan tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat. Jangan sampai fokus untuk menuju universitas kelas dunia, menjadikan kita melupakan kepentingan lokal ke-Indonesia-an. Oleh karena itu diperlukan konstruksi universitas kelas dunia yang berorientasi ke- Indonesia-an. Kepentingan dan keunggulan lokal Indonesia ini kemudian dipublikasikan secara internasional agar dunia internasional mengenal keunggulan-keunggulan Indonesia, termasuk ilmiwan- ilmuwannya.

114 | Seuntai ASA untuk UNESA

Pertimbangan visi sebuah perguruan tinggi juga harus mendasarkan pada: (1) kepentingan dan keunggulan lokal, konteks di mana perguruan tinggi tersebut berada, dan (2) hakikat peran dan tugas universitas. Konteks perguruan tinggi meliputi konteks geografis perguruan tinggi, apakah secara geografis perguruan tinggi di daerah perkotaan atau pedesaan; potensi lingkungan sekitarnya; kebutuhan dasar daerah atau wilayah; kebutuhan dasar masyarakat di sekitaranya; dan masalah yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan hakikat peran dan tugas perguruan tinggi meliputi peran dan tugasnya terhadap segenap sivitas akademika yang ada di perguruan tinggi, yakni dalam mengolah potensi-potensi mereka; tugas terhadap pengembangan ilmu pengetahuan; dan tugas dalam menjaga nilai- nilai etis-kebaikan dan kebenaran-intelektual. Dengan merujuk pada konteks sosial dan hakikat serta posisi perguruan tinggi di atas, maka perguruan tinggi di Indonesia minimal merumuskan visi dan orientasi perguruan tingginya pada 4 (empat) hal sebagai berikut (Subkhan, 2010). (1) Visi Perguruan tinggi harus berpijak pada kesadaran kebangsaan, kerakyatan dan keindonesiaan, dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, visi perguruan tinggi tidak boleh lepas dari pijakan tersebut. Visi inilah yang kemudian harus dirujuk ketika suatu perguruan tinggi memformulasikan kebijakannya, seperti perumusan kurikulum; pendirian program studi; orientasi kerjasama dengan lembaga lain terutama yang berasal dari luar negeri; dan berbagai aktivitas lainnya. Perguruan tinggi jangan sampai larut dalam pusaran globalisasi yang bisa berakibat lunturnya kesadaran kontekstual berbangsa dan bernegara. Hendaknya, perguruan tinggi berupaya menjaga ‘tegangan’ antara globalisasi dengan lokalitas dan etnisitas untuk tetap mengambil sisi-sisi positif di antara dua kutub yang tampak saling beroposisi tersebut. Praksis pendidikan juga harus diformulasikan sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan menjadi pribadi yang memiliki kesadaran sebagai warga negara Indonesia (citizen) dan warga dunia. Perguruan tinggi juga harus mampu mendesain aktivitas akademik yang dapat menjaga

Seuntai ASA untuk UNESA | 115

integrasi bangsa dengan mengembangkan dialog multikultural antar-etnis, agama, dan suku, di Indonesia (Subkhan, 2010). Perguruan tinggi menjadi salah satu bagian dari gerakan sosial dan politik untuk tetap mengingatkan penguasa ketika mereka melenceng dari amanat konstitusi, baik melalui gerakan mahasiswa atau rekomendasi dan kritik yang elegan. Jadi, perguruan tinggi tidak dikerdilkan definisinya hanya sebagai tempat belajar, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pengabdian masyarakat saja. Perguruan tinggi juga tidak disetir menjadi korporasi kecil yang bekerja untuk korporasi besar dengan menyalurkan tenaga-tenaga siap pakai bagi dunia industri kapitalis. Kalaupun muaranya adalah dunia kerja dan kekuasaan, maka perguruan tinggi harus dapat mendistribusikan lulusannya pada dunia kerja yang pro-rakyat, bukan yang pro-pasar. Itulah sebabnya perguruan tinggi harus dapat menghasilkan negarawan yang bermoral dan memiliki komitmen kebangsaan, kerakyatan dan keindonesiaan yang kuat. (2) Visi perguruan tinggi harus disusun berdasarkan konteks sosial- masyarakat di mana perguruan tinggi tersebut berada. Pada konteks pendidikan yang lebih luas, Dewantara (2004) menyatakan: “Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubung dengan sifatnya masyarakat seperti apa yang kita kehendaki. Dalam hal ini perguruan tinggi harus melihat secara jeli potensi lingkungan dan masyarakat sekitar, termasuk melihat secara kritis peristiwa dan masalah yang terjadi di masyarakat—terutama dalam lingkup terdekatnya.” Dari pembacaan yang kritis, jelas, mendalam dan komprehensif, maka perguruan tinggi dapat merumuskan visinya dalam upaya mengembangkan potensi daerah tersebut, baik potensi alam maupun manusianya, termasuk menjaga, mendampingi, dan membelanya ketika kekuatan ekonomi global dalam bentuk multinational corporate (perusahaan multinasional), usaha waralaba (franchise) global, dan serbuan produk-produk impor

116 | Seuntai ASA untuk UNESA

masuk ke daerah tersebut untuk menghisap darah penghidupan rakyat. Di sinilah perguruan tinggi mesti berpihak pada kekuatan-kekuatan lokal dan nasional yang menjadi tanggung jawabnya, bukan sebaliknya membela kepentingan ekonomi global-kapitalis dengan menjadi konsultan korporasi kapitalis (Giroux, 2006). Perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading yang tercerabut dari akar masalah dan konteks sosial daerah dan negaranya. Perguruan tinggi tidak boleh masuk dalam jejaring neoliberal dalam rangka mengeksploitasi rakyat dan negaranya sendiri. Perguruan tinggi tidak boleh merunduk di bawah ketiak korporasi tanpa nurani. Perguruan tinggi hanya boleh dan bahkan wajib merunduk di bawah amanat penderitaan rakyat, untuk memformulasikan gagasan-gagasan perbaikan kondisi rakyat, untuk membela mereka dari gerusan kapitalisme global. Intinya, perguruan tinggi harus berdiri kokoh sebagai benteng intelektual penjaga rakyat, bangsa dan negara dari segela bentuk penjajahan baru.

(3) Visi perguruan tinggi harus disusun berdasarkan hakikat dan tujuan pengolahan manusia sebagai sivitas akademika perguruan tinggi. Di sini perguruan tinggi mesti memiliki mata pandang kebudayaan yang luas, peta filosofi dan ideologi yang lengkap, hingga dapat merumuskan visi dan orientasi pengolahan potensi mahasiswa. Dengan tetap berpijak pada realitas konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik, dan juga merujuk pada hakikat manusia, perguruan tinggi harus dapat merumuskan karakter mahasiswa seperti apa yang sekiranya akan dibentuk dalam kaitannya dengan konteks sosial negara, masyarakat dan ilmu pengetahuan, tanpa menghilangkan kekhasan karakter masing- masing mahasiswa. (4) Visi perguruan tinggi harus disusun berdasarkan hakikat dan tujuan dikembangkannya pengetahuan-intelektual. Harus sepenuhnya dipahami bahwa pengetahuan dibuat dan dikembangkan tidak dalam ruang hampa, ia menempati konteks ruang-ruang sosial tertentu. Oleh karena itu, visi pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi, dalam bentuk penelitian,

Seuntai ASA untuk UNESA | 117

diskusi-diskusi intelektual dan sejenisnya harus ditujukan pada upaya untuk memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, kedaulatan manusia, kedaulatan dan ketahanan pangan, konservasi biodiversitas, dan sejenisnya. Lagi-lagi, pengetahuan dikembangkan bukan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan dikembangkan juga tidak berdasarkan asumsi bebas nilai dengan basis paradigma positivisme. Penelitian yang ditulis juga bukan bertujuan agar hasilnya dimuat di jurnal internasional untuk kebanggaan semu, pengakuan kulit, dan popularitas semata (Subkhan, 2010). Penutup Universitas Kelas Dunia telah menjadi arus utama dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagai sivitas akademika, kita harus kritis dalam mengikuti arus tersebut, terutama yang terkait dengan peran perguruan tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat. Jangan sampai karena kita terlalu fokus untuk menuju universitas kelas dunia, sampai-sampai kita lupa kepentingan lokal, ke-Indonesia-an. Oleh karena itu diperlukan konstruksi universitas kelas dunia yang berorientasi ke-Indonesia-an. Kepentingan dan keunggulan lokal Indonesia ini kemudian kita publikasi secara internasional supaya dunia internasional mengenal keunggulan-keunggulan Indonesia, termasuk ilmiwan-ilmuwannya.

Konstruksi universitas kelas dunia berorientasi ke-Indonesia-an harus memformulasikan ulang visi dan orientasi perguruan tinggi tanpa memalingkan muka dari arus globalisasi sekarang. Globalisasi adalah keniscayaan, tapi yang belum pasti adalah penyikapan atas globalisasi itu sendiri. Cara pandang yang hanya melihat sisi baik akan cenderung selalu optimis dan terbuka menyambut globalisasi dan melupakan fakta akan adanya banyak nilai, kultur dan ideologi yang potensial terbawa arus globalisasi yang dapat merusak anatomi nilai- nilai kehidupan manusia dan bangsa Indonesia. Cara pandang yang mengambil konsepsi teori sosial-kritislah yang dapat membedah fakta hegemoni intelektual dan budaya, penjajahan gaya baru di ranah ekonomi dan lain sebagainya.

118 | Seuntai ASA untuk UNESA

Daftar Acuan

Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Pendidikan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Tamansiswa.

Diamond, Ian. (2007). “Social Sciences Lose 1”. Times Higher Education. Diunduh dari http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?sectioncode=26& storycode=311132. Pada tanggal 20 Oktober 2010.

Giroux, Henry. (2006). “Higher Education Under Siege: Implications for Public Intellectuals.” The NEA Higher Education Journal. Fall.

Levin, Henry M., Jeong, Dong Wook, & Ou, Dongsu. (2006). What is World Class University? Dipresentasikan pada Conference of the Comparative and International Education Society di Honolulu, Hawaii pada tanggal 16 Maret 2006.

Margolis, Eric (ed.). (2001). The Hidden Curriculum in Higher Education. New York: Routledge.

Subkhan, Edi. (2010). Sebuah Studi-Analisis: Mempertanyakan Orientasi World Class University. http://ardianumam.web.ugm.ac.id/?p=224

Seuntai ASA untuk UNESA | 119

11 SUDUT PANDANG: Dari Surel Sampai WhatsApp

Kisyani-Laksono

Malam itu saya membuka surel (surat elektronik) seperti yang biasa saya lakukan setiap hari. Beberapa surel harus segera dijawab dan saya jumpai ada juga beberapa surel dari mahasiswa yang mengirimkan tugas. Surel yang pertama dari mahasiswa hanya berisi alamat yang tidak jelas, kemudian dalam subjek tertulis “tugas linguistik”, dengan attachment atau lampiran. Surel yang kedua dan ketiga juga sama. Surel yang keempat lumayan ada kata-kata “Assalamualaikum, saya kirimkan tugas lingusitik”, tapi nama lengkap si pengirim tidak ada, alamatnya juga kombinasi huruf dan angka. Tugas linguistik yang saya terima ini memang baru tugas pertama mereka. Sejenak saya menghela nafas. Untuk mengetahui siapa pengirimnya, saya harus membuka lampiran itu terlebih dahulu. Setelah membuka lampiran dan mengetahui pengirimnya, saya membalas surel itu satu per satu. Saya tuliskan “Assalamualaikum, Saudara .... surat elektronik (surel) pada dasarnya merupakan sebuah surat. Oleh sebab itu, kali lain, minimal tulislah berita tentang apa yang Saudara lampirkan (isi attachment) . Selain itu, tulislah nama lengkap Saudara pada bagian akhir. Hal itu akan menjadi penanda karakter Saudara. Semoga sehat selalu, wassalam.” Bahkan saya pernah juga menerima revisi disertasi mahasiswa dari salah satu universitas terkemuka yang hanya berisi kata-kata “Dengan hormat

120 | Seuntai ASA untuk UNESA saya kirimkan revisi disertasi saya.”. Alamak, saya sempat tercenung sesaat sebelum mengetukkan jari membalas surel itu dengan kata- kata “Terima kasih, disertasi telah saya terima. Akan tetapi, lebih baik jika Saudara menuliskan daftar yang berisi bagian mana saja yang sudah Saudara revisi dan dan di halaman berapa. Saya akan mencocokkan dengan catatan saya. Semoga sehat selalu, wassalam.” Jika saya membaca lagi disertasi tersebut secara keseluruhan (sebelumnya sudah saya baca sebelum ujian tertutup), di samping memakan banyak tenaga dan waktu, ada kemungkinan saya akan menemukan lagi hal-hal yang dulu tidak pernah saya permasalahkan. Apakah mahasiswa tidak berpikir sejauh itu, ya? Dalam komponen literasi dikenal istilah literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam literasi teknologi (termasuk komunikasi lewat surel) diperlukan etika dan etiket dalam mengakses, memahami, dan memanfaatkan teknologi. Seseorang yang sudah dapat mengakses belum tentu memahami dan dapat menggunakan teknologi dengan baik. Yang sudah dapat mengakses dan memahami, belum tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan teknologi dengan baik. Yang paling bagus tentulah yang dapat mengakses, memahami, serta menggunakan dan memanfaatkan teknologi dengan baik. Saya jadi teringat beberapa pesan yang saya terima melalui media sosial lain: facebook (terus terang tidak terlalu aktif di sini), instagram, WhatsApp (WA), dll. Sebagai catatan, WA sering kita baca “we a”, bukan “wa”. Padahal WA termasuk akronim yang layak dibaca “wa” biarpun dengan nilai rasa geli karena belum terbiasa. Saat ini beberapa media sosial tersebut marak dengan berbagai grup. Kita pantas berterima kasih kepada pembuat aplikasinya karena media itu dapat menyatukan teman lama (alumni), menyatukan keluarga, bahkan berguna juga dalam urusan pekerjaan. Model meneruskan pesan (forward) atau berbagi (share) pesan marak dalam media sosial tersebut. Dalam media email dan facebook, misalnya, meneruskan pesan atau berbagi pesan dapat dilacak asalnya. Akan tetapi dalam media WA, hal tersebut tidak tampak sehingga seolah-olah pesan tersebut ditulis langsung oleh yang mengirimkan pesan tersebut. Gambar, foto, atau video dari seseorang

Seuntai ASA untuk UNESA | 121 bahkan dapat dimuat (di-upload) seolah-olah gambar tersebut dibuat oleh yang memuat, biarpun sebenarnya kita dapat juga menyebutkan sumbernya, yakni “anonim”, “dari teman”, atau “dari grup lain”. Dari sekian banyak media sosial, saya merasa paling akrab dengan WA karena cepat (akses ringan), biarpun agak rawan dalam hal penyimpanan. Dalam hal ini, WA dapat menjadi sarana dakwah, doa, diskusi, dan silaturahmi di dunia maya. Informasi mengenai produk tertentu, obat tertentu, nasihat, cerita mengharu biru, cerita menginspirasi, cerita lucu dst. hampir selalu menghiasai WA setiap hari. Hal itu sering dimuat dalam bentuk salin-tempel (satem) atau copy-paste (copas) tanpa penyebutan sumber. Tanggapan bahkan bisa juga dengan model satem dari penanggap lain, biarpun ada juga yang jujur menyampaikan “...nyontek si A” atau “... copas dari si B”. Saya sering geli membaca satem yang berjamaah, khususnya pada pagi hari saat seorang teman memuat doa, tanggapan pun menjadi satem berjamaah, mulai dari tanggapan paling singkat “aamiin” sampai pada tanggapan terpanjang. Hampir ragu apakah doa yang sangat panjang itu sempat dibaca semuanya dengan khusuk atau tidak. Memang pada dasarnya ada orang yang merasa puas dan bangga jika dianggap sebagai penyampai awal, banyak yang senang jika pesan ditanggapi, ada juga yang patah semangat karena diolok atau pesan tidak ditanggapi. Sebenarnya, mengirimkan pesan yang bukan hasil dari tulisan sendiri selayaknya menyebutkan sumber (mirip dengan karya ilmiah yang menyebutkan sumber dalam catatan pustaka). Hanya saja, dalam WA atau pesan sejenis, sumber tidak perlu terlalu formal disebutkan, cukup dengan “Berita dari grup lain” atau “Informasi dari teman”, dll. Paling tidak penyebutan sumber tersebut merupakan bentuk tanggung jawab penulisan dalam media sosial. Penerusan (forward) informasi atau berita dengan cara satem selayaknya juga diakui dan dituliskan secara eksplisit, misalnya “Satem dari grup ...” atau “Copas dari teman”. Pesan yang diteruskan sebaiknya juga pesan yang sudah teruji, bahkan jika ada tautan dalam pesan tersebut, tautan sudah dibuka dan dipelajari. Sering saya baca ada seseorang yang mengirimkan tautan tanpa sumber, kemudian ada yang berkomentar “Tautan kok tidak dapat dibuka, ya”. Tahu jawaban pengirim pesan? Jawabannya hanya “Maaf, itu tadi meneruskan dari

122 | Seuntai ASA untuk UNESA grup lain.” Loh... wk wk wk, saya garuk kepala-saya yang tidak gatal. Seseorang yang meneruskan pesan selayaknya bertanggung jawab terhadap pesan tersebut, Apakah isinya benar? Apakah tautan dapat dibuka?, dst. Pikiran saya mulai menerawang teringat saat ujian skripsi. Ada dosen yang khusus menanyakan istilah tertentu yang saya ambil dari sebuah referensi. Beliau meminta saya menceritakan isi satu bab tersebut secara utuh, padahal yang saya ambil hanya satu istilah saja. Saya baru dapat memahami hal tersebut setelah menjadi dosen. Saya menemukan buku yang dalam beberapa halaman menjelaskan metode tertentu secara panjang lebar, akan tetapi pada akhir sajian disebutkan satu kalimat dalam alinea penutup “Penamaan metode tersebut umum dilakukan biarpun pada dasarnya ada kesalahan konsep. Oleh sebab itu, dalam buku ini penamaan metode tersebut tidak akan digunakan.” Nah, jika pembaca melewatkan alinea terakhir dalam bab tersebut, bisa saja dia mengutip nama metode tersebut dengan catatan-pustaka berisi nama penulisnya (Menurut saya ini hal yang aneh karena mengutip nama-metode dari orang yang tidak menyetujui nama-metode tersebut). Kembali pada masalah penerusan pesan, selayaknya lah penerus pesan “setuju” dengan pesan yang diteruskan atau minimal pernah mencoba (jika isi pesan itu memang perlu untuk dicoba). Masih segar dalam ingatan saya saat ada bencana asap, bertebaran pesan di media sosial supaya kita meletakkan ember atau baskom di halaman rumah dan seterusnya. Tampaknya, yang meneruskan pesan belum tentu telah melaksanakan/mencoba hal itu. Bahkan pesan tersebut kemudian dibantah oleh badan yang berwenang mengatasi masalah tersebut. Pesan-pesan sampah (hoax) yang mendiskreditkan orang/benda juga sering muncul. Oleh sebab itu, kita perlu membaca pesan secara kritis, kreatif, dan mencoba untuk dapat memecahkan persoalan dari apa yang kita baca tersebut. Jika kita secara sadar meneruskan pesan tersebut tanpa sikap kritis, sebenarnya kita juga telah menanam benih penyebaran pesan-sampah yang mungkin dapat berakibat kurang baik pada para pembaca. Meneruskan pesan-pesan tersebut sama saja dengan menciderai sesuatu atau menciderai orang lain. Sebenarnya jika kita masih ragu terhadap kebenaran sebuah

Seuntai ASA untuk UNESA | 123 berita, padahal kita ingin menyampaikan hal tersebut kepada seseorang karena hal itu kita anggap penting, dapat saja dituliskan “Mohon informasi apakah berita ini benar, ya?”. Langkah lain adalah tidak meneruskan pesan-pesan tersebut, sebesar apa pun godaannya. Selanjutnya, WA yang saya angap sebagai generasi penerus BBM hanya punya satu “kamar” sehingga penulisan bersambung terus. Hal ini berbeda dengan BBM yang punya keunggulan dengan tersedianya banyak “ruang” yang dapat dibuat sendiri sehingga setiap “ruang” dapat diisi dengan topik tertentu. Penulisan dalam WA yang bersambung terus ini pada dasarnya sama dengan saat kita berdiskusi secara lisan. Jika akan pindah topik atau akan menyisipan topik biasanya kita dapat menyampaikan secara eksplisit dengan kata-kata. Dalam penulisan WA, seseorang yang tiba-tiba masuk dengan topik baru di tengah topik yang masih hangat dibicarakan akan terkesan mengganggu. Yang paling ekstrem dan pernah saya alami adalah pada saat topik ucapan duka sedang mengalir, tiba-tiba ada foto selfi ceria salah satu anggota di suatu tempat wisata. Tentu saja foto itu tidak ada yang menanggapi dan terasa ada yang salah dengan pemuatan foto itu. Seyogyanya seseorang yang akan memuat foto selfi ceria di suatu grup dapat membaca/mengecek dulu situasi dan kondisi saat itu. Jika situasi dan kondisi tidak tepat, sebaiknya keinginan untuk memuat foto itu ditunda dulu dan menanti waktu yang tepat. Saat penulisan topik ringan atau saat banyak canda, pemuatan foto-foto selfi dapat dilakukan. Foto-foto pemandangan cantik di tempat lain juga akan sangat berguna, menghibur, dan membawa suasana akrab ceria. Apalagi jika ada permintaan anggota untuk unggah foto, rasanya menjadi wajib untuk memuat foto yang ada. Adapun berita penting di tengah tulisan yang sedang membahas topik hangat dapat disisipkan dengan kata-kata “Mohon maaf menyela, ada informasi penting yang perlu diketahui...” atau dengan kata-kata lain. Dengan grup WA lebih dari 20 (sebagian besar aktif, bahkan sangat aktif), lima email, instagram, dan messenger membuat saya akrab dengan peranti elektonik (gadget). Akan tetapi, saya sadar bahwa saya belum mampu memberdayakan semua peranti elektronik tersebut secara maksimal. Saya hanya menggunakan sesuai keperluan saja, berupaya memberdayakan dengan prioritas takwa, keluarga, dan

124 | Seuntai ASA untuk UNESA kerja. Alhamdulillah anak-anak sudah berkeluarga sehingga rasa bersalah jika terlalu lama mengunakan peranti elektronik sedikit terkurangi. Biarpun demikian, jika sudah bertemu cucu atau keluarga, peranti elektronik menjadi prioritas yang ke sekian. Dalam tulisan ini, saya yakin bahwa apa yang saya yakini benar mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain yang menurut saya salah mungkin mengandung kebenaran. Bagaimana pendapat Anda?

Seuntai ASA untuk UNESA | 125

12 SEPUTIH AWAN SESEJUK EMBUN PAGI

Muchlas Samani Fakultas Teknik

Saya tidak tahu mengapa dalam beberapa hari ini rindu sekali kepada almarhumah Mbah Ti. Mbah Ti adalah panggilan keluarga kami kepada almarhumah ibu saya. Tradisi di kampung saya, setelah seseorang menikah dan punya anak, panggilan kepada ibu berubah menjadi Mbah Ti, panggilan kepada bapak berubah menjadi Mbah Kung. Memang beberapa waktu lalu, saya bermimpi bertemu Mbah Ti atau lebih tepatnya bermimpi ada kegiatan dan Mbah Ti ada di situ. Seperti biasanya, saya menafsirkan mimpi bertemu seseorang yang sudah wafat mungkin pertanda lupa tidak mendoakan, sehingga harus segera mengirimkan doa untuk almarhumah. Tetapi entah mengapa, walaupun sudah mengirim doa lebih banyak dari biasanya, kerinduan saya kepada almarhumah belum juga reda. Ketika ada waktu kosong, secara tidak sengaja wajah dan kebiasaan Mbah Ti muncul di benak saya. Wajah yang teduh, senyum yang selalu tersungging, ungkapan-ungkapan yang lugu, celetukan yang nrimo selalu terbayang. Walaupun di akhir hayatnya Mbah Ti

126 | Seuntai ASA untuk UNESA menggunakan kursi roda akibat terkena stroke, beliau tidak pernah mengeluh. Ungkapan yang selalu saya kenang adalah Yo ben nek ngangge wis suwe ‘Ya tidak apa-apa, kan sudah lama dipakai’. Ketika terkena katarak sehingga penglihatannya terganggu, Mbah Ti menerimanya dengan legowo dengan ungkapan seperti itu. Seakan- akan beliau mengatakan, ya sudahlah karena mata sudah lama digunakan sehingga tidak apa-apa kalau agak rusak. Ketulusan Mbah Ti juga tampak kalau ada pembagian apa-apa. Ketika kami (anak-anaknya) masih kecil, Mbah Ti selalu mengalah saat makan. Bapak dan anak-anak diambilkan lauk dulu dan Mbah Ti mengambil sisanya, itupun kalau ada. Saat keluarga beliau membagi warisan, Mbah Ti justru tidak mau menerima karena merasa sudah cukup. Ketika anak-anak beliau sudah berumah tangga dan beliau mengunjungi kami, beliau selalu ikut menyapu rumah. Kalau makan bersama dan diambilkan oleh isteri saya, Mbah Ti selalu mengatakan Wis Nduk, bocah-bocah disikno ‘Sudah nak, anak-anakmu dahulukan’. Setahu saya, Mbah Ti juga sangat jarang marah. Pernah marah, tetapi sangat jarang dan kalau marah tidak pernah meledak- ledak. Kalau melarang anak-anak untuk berbuat sesuatu, biasanya Mbah Ti menggunakan kalimat Ojok ngono, mengko ... ‘Jangan begitu nanti ..’. Kalimat yang digunakan selalu sejuk, tidak menyakiti orang dan diucapkan dengan pelan. Ketika melarang ini atau itu, yang sebenarnya agak marah pun Mbah Ti tetap tersenyum. Senyum yang tersungging di bibir Mbah Ti itulah yang selalu muncul di benak saya. Dalam bayangan saya, Mbah Ti itu seputih awan dan sesejuk embun pagi. Seputih awan karena ketulusan dan keikhlasannya, sesejuk embun pagi karena ungkapannya yang membuat orang lain bagaikan orang kepanasan disiram air pegunungan. Tentu saya subjektif, tetapi itulah kesan mendalam saya sebagai anak beliau. Kesan saya kepada ibunda, tempat saya datang dengan segala keluhan

Seuntai ASA untuk UNESA | 127 dan berharap memperoleh siraman air gunung yang ditumpahkan oleh danau yang sungguh sangat jernih. Pengetahuan Mbah Ti tentu terbatas karena sekolahnya hanya sampai kelas 2 atau 3 SD dan beliau tinggal di pedesaan yang tentu sangat kurang informasi. Hidupnya sangat sederhana karena keluarganya (Mbah Kung dan Mbah Ti) adalah keluarga petani kecil. Namun perilakunya dapat menjadi teladan, termasuk bagi kami yang merasa menjadi orang terdidik serta tinggal di kota besar. Sampai saat ini pun saya merasa belum mampu meniru perilaku Mbah Ti . Tampaknya perilaku itu sesuatu yang tidak selalu identik dengan kepandaian. Pada tahun 1971 beliau terkena tumor rahim dan harus dioperasi. Waktu itu rumah sakit daerah belum seperti sekarang, sehingga operasinya harus di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya. Dapat dibayangkan seorang ibu dari desa yang harus operasi di Surabaya. Dengan ekonomi terbatas diambillah kelas terendah yang tentu dapat dibayangkan seperti apa pelayanannya. Sepertinya Mbah Ti mengeluh, tetapi tidak diungkapkan dalam bentuk keluhan melainkan diwujudkan dengan ungkapan doa Mugo-mugo mbesuk anakku iso dadi dokter, ben nek operasi gak angel. ‘Moga-moga besuk anak saya bisa menjadi dokter, biar kalau mau operasi tidak sulit’. Apa karena itu atau sebab lain saya tidak tahu, tetapi kenyataannya adik bungsu saya yang waktu itu baru berumur 3 tahunan, sekarang menjadi dokter bedah. Walaupun lembut, tetapi Mbah Ti pekerja keras dan pantang menyerah. Untuk mencari tambahan penghasilan sebagai petani kecil, Mbah Ti nyambi berjualan macam-macam. Misalnya “eber-eber atau cegat-cegat”, yaitu membeli barang yang dijual orang di sekitar rumah terus dijual lagi ke pasar. Ketika menjadi pengrajin batik dan akhirnya bangkrut, Mbah Ti baru menyerah ketika sudah pontang-panting

128 | Seuntai ASA untuk UNESA mempertahankan. Bekerja mulai subuh dan baru istirahat beneran menjelang malam adalah hal yang biasa bagi beliau. Kalau sekarang kita mendiskusikan pendidikan karakter, pembentukan perilaku Mbah Ti menarik untuk dikaji. Terbentuknya karakter Mbah Ti tentu bukankah sim salabim, tetapi melalui proses panjang. Karena sekolahnya hanya sampai kelas 2 atau 3 SD dan praktis beliau tidak pergi kemana-mana, lahir dan tumbuh besar sampai wafat di kampung halaman, dapat diduga karakter tersebut terbentuk dari lingkungan tempat tinggal. Beliau lahir dari keluarga petani, tetapi merangkap sebagai perajin batik pedesaan. Pekerjaan sebagai perajin batik juga pernah dilakukan oleh Mbah Kung dan Mbah Ti, sebelum gulung tikar karena sesuatu yang saya tidak tahu. Seingat saya Mbah Ti juga pernah berjualan ini dan itu, tetapi lingkupnya lokal sehingga rasanya tidak banyak interaksi yang diperoleh Mbah Ti. Satu-satunya interaksi dengan orang luar desa adalah saat Mbah Ti menjual batik ke kota. Itupun rasanya juga tidak terlalu banyak karena hanya sekitar sepuluh hari sekali Mbah Ti ke kota dan pergi pagi dan sorenya pulang. Seperti apa karateristik di desa saya di masa lalu saat Mbah Ti tumbuh? Saya juga tidak tahu pasti karena tentu yang saya saksikan adalah situasi saat saya sudah lahir dan sangat mungkin karakter Mbah Ti sudah terbentuk. Namun dengan asumsi perubahan tidak banyak terjadi pada tradisi dan pola kehidupan di pedesaan, apa yang saya lihat dan alami semasa kecil di kampung dapat dijadikan referensi pembentukan karakter Mbah Ti. Masyarakat kampung kami merupakan masyarakat pedesaan tradisonal dengan pola kekerabatan yang sangat kuat. Antara tetangga selalu ada hubungan kekerabatan. Bahkan ketika saya kecil sudah lazim ada pernikahan antara anak sekampung, sehingga sering membuat sulit untuk mbasa’e (memanggil mereka sesudah terjadi

Seuntai ASA untuk UNESA | 129 pernikahan). Misalnya paman saya (adik Mbah Ti) menikah dengan cucu keponakan Mbah Kung. Jadi, kalau dirunut, saya memanggil Pak Lik (paman) kepada mempelai laki-laki, sementara mempelai perempuan memanggil saya Pak Lik. Dengan demikian, sebelum menikah mempelai perempuan memanggil Mbah ‘kakek’ kepada mempelai laki-laki. Saling membantu dan saling percaya juga sangat kuat. Tidak ada rumah di desa kami yang dikunci, sehingga semua orang dapat masuk rumah tetangga seenaknya. Karena yang sehari-hari di rumah adalah wanita dan biasanya beraktifitas di belakang rumah, maka yang punya keperlukan ya langsung masuk rumah terus ke belakang mencari si pemilik rumah. Tidak ada perasaan khawatir ada barang yang hilang. Meminta dan memberi bahan makanan sudah menjadi kebiasaan. Karena sayur selalu diambil dari apa yang ada di kebun, maka minta pepaya muda untuk disayur, minta kelapa untuk santan, minta lengkuas untuk bumbu merupakan hal biasa. Yang belum pernah saya dengar atau lihat adalah minta beras atau jagung atau gaplek. Sepertinya bahan utama untuk makan harus mencari sendiri, namun kalau untuk sayur bisa saling minta antar tetangga. Di kampung saya ada ungkapan-ungkapan berupa nasihat atau pedoman kehidupan, misalnya Urip kuwi mung mampir ngombe ‘Hidup itu sekedar singgah untuk minum’, Angger gelem gemregah yo oleh opah ‘Asal mau bekerja/usaha pastilah dapat uang’, Ojok sok njiwit liyan nek ora gelem dijiwit ‘Jangan mencubit orang lain jika kita sendiri tidak mau dicubit’, Mbok ojo rumongso biso, nanging biso rumongso ‘Jangan merasa bisa tetapi bisa merasa’, dan masih banyak lagi yang lain. Masyarakat di kampung saya, termasuk saya sendiri seperti terikat oleh petuah itu, sehingga terdorong untuk melaksanakan.

130 | Seuntai ASA untuk UNESA

Apakah tradisi dan budaya itu yang membentuk karakter Mbah Ti? Saya juga tidak tahu. Menurut teori Soemarno Soedarsono, karakter itu terbentuk dari interaksi jati diri dengan lingkungan. Jati diri yang dimaksudkan Pak Soemarno mirip dengan bakat dasar atau cetak biru dalam membangun rumah. Walaupun ada dalam cetak biru, tetapi kalau tidak dibangun ya tidak menjadi bangunan rumah. Sebaliknya, jika tidak ada di cetak biru tentu tidak mungkin menjadi bangunan. Jadi, yang akhirnya terwujud menjadi bangunan rumah adalah yang ada di cetak biru dan dibangun oleh tukang. Jadi yang terwujud menjadi karakter seseorang itu yang memang ada pada bakat dasar dan dirangsang tumbuh oleh lingkungan. Nah, apakah perilaku Mbah Ti yang seputih awan dan sesejuk embun pagi itu terbangun seperti teori Pak Soemarno? Wallahualambissawab.

Seuntai ASA untuk UNESA | 131