PERSEPSI SEBAGAI PENGETAHUAN INDERAWI MENURUT DAN IBN SÎNÂ

Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pengkajian Islam dalam Bidang Pemikiran Islam (Filsafat)

Oleh : Rizky Yazid NIM: 31181200000022

Pembimbing : Prof. Dr. H. Zainun Kamal Fakih, MA. Prof. Dr. H. Abdul Aziz Dahlan, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2021 M

Kata Pengantar

بسم هّللا ال هرحمن ال هرحيم

Puji syukur hanya kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang karena limpahan karunia dan nikmat-Nya, penulisan disertasi ini dapat selesai. Sholawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul tercinta Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan pengikut ajaran beliau, ammâ ba’du. Penelitian ini sebagai tugas akhir untuk meraih gelar Doktor (strata tiga) Program Studi Pengkajian Islam dengan konsentrasi Pemikiran Islam/Filsafat pada Sekolah Pascasarjana (Sps) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan ini juga penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu sehingga disertasi ini dapat selesai untuk mengikuti ujian pendahuluan: 1. Ucapan terimakasih yang teramat dalam untuk kedua orang tua terkasih, ayahanda Drs. H. Badruzzaman dan ibunda Dra. Hj. Titin Mulyanah atas segala bentuk dukungan baik materil dan immateril kepada anaknya untuk mengejar dan menggenggam segala impian. Semoga dukungan tersebut menjadi amal baik untuk ayahanda dan ibunda serta menjadi bekal berharga bagi anaknya untuk mengarungi hidup, baik kehidupan material, inteletual maupun spiritual kelak, amin. 2. Ucapan terimakasih selanjutnya kepada Prof. Dr. Amany Lubis, selaku Rektor Universitas UIN Syarif Hidaatullah Jakarta dan Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, selaku Diretur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, beserta wakil Direktur, Ketua dan Sekretaris Program Studi Doktor Sps UIN Jakarta. 3. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H. Zainun Kamal Fakih, MA. dan Prof. Dr. H. Abdul Aziz Dahlan, MA, selaku promotor yang senantiasa memberikan waktunya untuk diskusi serta memberikan motivasi berharga dan dukungannya untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih selanjutnya kepada Prof. Dr. Media Zainul Bahri yang menjadi sosok penting yang turut mendorong pengembangan karir intelektual peneliti. Selain itu juga, ucapan terimakasih kepada Jajang Jahroni Ph.D yang mengantarkan peneliti pada “pelataran” dunia akademisi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut menimbulkan minat lebih pada intelektualisme. Tidak lupa juga ucapan terimakasih kepada Dr. Fariz Pari selaku guru sekaligus rekan diskusi yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan sumbangsih pemikiran sehingga turut menghasilkan gagasan filosofis dan mind mapping yang sangat berharga bagi disertasi ini. 4. Ucapan terimakasih juga bagi segenap dosen Sekolah Pascasarjana yang tidak bisa disebutkan satu-persatu secara eksplisit, yang senantiasa memberikan sumbangsih pemikiran terhadap khazanah intelektual peneliti selama kuliah,

i

semoga terhitung sebagai amal-ibadah di sisi Allah SWT. Selain itu juga, ucapan terimakasih kepada seluruh staf sekertariat, khususnya Bang Adam dan Bang Burhan, serta staf perpustakaan yang turut membantu peneliti dalam melengkapi keperluan teknis-administratif, yaitu dengan memberikan pelayanan terbaik sehingga menimbulkan kenyamanan. Khususnya pada Mas Septian yang membantu dalam hal mengurus draft pengecekan plagiasi selama penelitian ini berlangsung. 5. Tidak kalah pentingnya, ucapkan terimakasih bagi teman-teman seperjuangan angkatan 2018 atas diskusi, sharing, canda-tawa serta untaian doa untuk keberhasilan kita bersama, semoga terhitung sebagai rajutan persaudaraan dan silaturahmi yang senantiasa panjang kelak. Terutama untuk Ust Dr. Amin MA. yang banyak membantu menguntaikan abstrak berbahasa Arab pada penelitian ini. Terlebih, bagi teman sejawat semenjak menempuh pendidikan magister sampai doktoral, Gus Dr. Ibnu Hajar MA. yang turut membantu meningkatkan spirit untuk penyelesaian tulisan ini. 6. Terakhir, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih banyak kepada istri terkasih, Dessy EprinisaUtami M. Hum beserta keluarga yang di Cimahi atas untaian doa, cinta dan dukungannya yang sedemikian banyak sehingga turut memberikan rasa tentram dan suasana yang mendamaikan jiwa yang sangat berpengaruh bagi peneliti untuk menyelesaian tulisan ini. Demikianlah kata pengantar dan ucapan terimakasih ini penulis sampaikan, atas kebaikan, perhatian dan bantuan dari semua pihak yang telah disebutkan baik secara eksplisit maupun tidak, semoga senantiasa dibalas dengan kebaikan yang setinggi-tingginya oleh Allah SWT, Amin yâ mujîba al sâilîn.

Jakarta, 25 Maret 2021 Penulis

Rizky Yazid

ii

Abstrak

Nama : Rizky Yazid Konsentrasi : Pemikiran Islam/Filsafat Judul : Persepsi Sebagai Pengetahuan Inderawi Menurut George Berkeley dan Ibn Sînâ.

Disertasi ini adalah penelitian untuk meninjau pandangan filosofis mengenai pengetahuan inderawi yang mengandalkan peran persepsi melalui dua tokoh filosof lintas tradisi yakni Berkeley dan Ibn Sînâ. Persoalannya yaitu terdapat kesenjangan antara klaim kebenaran pengetahuan berbasis keyakinan tanpa mengandalkan akurasi dan representasi dengan klaim kebenaran pengetahuan berbasis keyakinan yang mengandalkan akurasi dan representasi untuk mengkonstruksi realitas. Bagi yang tidak mengandalkan representasi dan akurasi, tidak memerlukan keahlian sebagai hubungan relasional antara pikiran dengan realitas sedangkan bagi yang mengandalkan akurasi dan representasi, memerlukan keahlian sebagai hubungan relasional antara pikiran dengan realitas. Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik filosofis Gadamer untuk menganalisis dan memahami konsep persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ serta konsekuensinya bagi diskursus mengenai filsafat pengetahuan kontemporer sebagai suatu ketegangan penafsiran antara horizon teks dengan horizon peneliti. Temuan penelitian ini adalah pengetahuan memerlukan akurasi dan representasi pikiran sebagai jaminan atas realitas (accurate representation of reality) serta kriteria dan deskripsi kebenaran maupun pengetahuan sistematis yang mengafirmasi keahlian untuk mengklaim kebenaran pengetahuan. Artinya, klaim kebenaran pengetahuan perlu berkorelasi pada kemampuan diri yang berkaitan dengan kognisi bukan hanya berkorelasi pada percakapan sosial yang berkaitan dengan afeksi.

Kata kunci: Persepsi, Pengetahuan inderawi, Realisme, Pengetahuan epistemik, Pengetahuan sebagai sistem.

vi

Abstract

Name : Rizky Yazid Concentration : Islamic Thought/Philosophy Title : Perception as Empirical Knowledge by George Berkeley and Ibn Sînâ

This dissertation is a study to review a philosophical view of empirical knowledge that relied on the role of perception through two philosophers cross tradition, is Berkeley dan Ibn Sînâ. The problem is the gap between a relying truth claim of knowledge based on belief without relying accuracy and representation and truth claim of knowledge base on belief relying accuracy and representation to construct reality. For those who do not rely on representation and accuracy, it does not require expertise as a relational between the mind and reality, whereas for those who rely on accuracy and representation, it requires expertise as a relational between the mind and reality. This study uses the methods of Gadamer’s philosophy- hermeneutics to analyze and understanding the concept of perception by Berkeley and Ibn Sînâ and it consequences for discourse of knowledge in contemporary philosophy as a tension of interpretation between the textual horizon and the researcher’s horizon. The finding of this study is knowledge requires accuracy and representation as a guarantee of reality (accurate representation of reality) with criterion of truth, description of truth and systematic knowledge that affirms an expertise for claims of truth knowledge. That is, the claim of truth of knowledge correlates to self- capability related to cognition not correlate to social conversations related to affection.

Key Words: Perception. Empirical knowledge, Realism, Epistemic knowledge, Knowledge as system.

vii

ملخص

اإلدراك كعلم حس ّي عند جورج بيركلي وابن سينا

هذه الرسالة تبحث عن النظر الفلسفي حول العلم الحسي الذي يعتمد على اإلدراك عند الفيلسوفين جورج بيركلي وابن سينا. المشكلة عدم التوافق بين زعم حقيّة العلم المعتمد على اليقين الذي ال يحتاج الى اإلحكام أوالدقة و زعم حقيّة العلم المعتمد على اليقين الذي يحتاج الى اإلحكام أوالدقة او الواقع الذي يؤكد الواقعية الباني ة للواقع. استخدم هذا البحث هرمنيوطيقا غادامير لتحليل مفهوم اإلدراك عند بيركلي وابن سينا ونتائجه للمباحثة عن العلم في الفلسفة المعاصرة إلجهاد المفهوم بين أفق الن ّص و أفق الباحث. نتائج هذا البحث أن العلم يحتاج إلى اإلحكام أوالدقة لتمثيل الفكري ضمانا للواقع ومعيار الحقيقة و صفا للحقيقة و أيضا إلى المعرفة المنهاجية ثم يؤكد األهلية لزعم حقيّة العلم، أو بعبارة أخرى زعم حقيّة العلم مرتبطة بقدرة النفس على القياس المنطقي وال يرتبط بالمباحثة أو المناقشة االجتماعية الشعورية.

الكلمات : المفتاحية اإلدراك، العلم الحسي، Knowledge as ،Epistemic knowledge system

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN

Pedoman Transliterasi Arab – Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai barikut;

A. KONSONAN ف = f ز = z ب = b

ق = q س = s ت = t

ك = k ش = sh ث = ṡ

ل = l ص = ṣ ج = j

م = m ض = ḍ ح = ḥ

ن = n ط = ṭ خ = kh

ه = h ظ = ẓ د = d

و = w ع = ‘ ذ = dh

ء = ‘ غ = gh ر = r ي = y

B. VOKAL 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A َ Kasrah I I َ Dhammah U U َ

ix

2. Vokal Rangkap Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

Fathah dan ya Ai a dan i ... َ ي Fathah dan wau Au a dan w ... َ و

Contoh : Ḥaul : ح ْول Ḥusain : ح س ْين

C. MADDAH Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan Alif  a dan topi di atas ــــ ــا Kasrah dan ya Î i dan topi di atas ــــ ي Dhommah dan wau Û u dan topi di atas ـــ ـو

(ة) D. TA’ MARBUTAH Transliterasi Ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata . (مدرسة) madrasah (مرأة) sesudahnya maupun tidak. Misal Mar’ah Contoh : al-Madînah al-Munawwarah :المدينة المنورة

E. SHADDAH Shaddah/Tashdîd ditransliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu. Contoh : nazzala : ن ـ َّز ل rabbanâ : ربَّـن ا

F. KATA SANDANG ,dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya “ ال “ Kata sandang jika diikuti huruf syamsiyah, maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan dan di ditulis lengkap baikال tulis “al“ jika diikuti dengan huruf qomariyah. Selanjutnya maupun al-Syamsiyah (ال ق م ر ) menghadapi al-Qamariyah seperti kata al-Qamaru . (ال َّر ج ل ) seperti kata ar-Rajulu Contoh:

x

al-Qalam : ال ق ل م ash-Shams :ال َّش ْم س

G. PENGECUALIAN TRANSLITERASI Pengecualian Transliterasi adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, seperti lafaz Allah, asmâ’ al-husnâ dan ibn, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan

DAFTAR ISI

xi

KATA PENGANTAR ...... i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... iii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iv ABSTRAK ...... v PEDOMAN TRANSLITERASI ...... viii DAFTAR ISI ...... xiv DAFTAR TABEL ...... xvi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1

A. Latar Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 9 1. Identifikasi Masalah ...... 9 2. Perumusan Masalah...... 9 3. Pembatasan Masalah ...... 10 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...... 10 1. Tujuan Penelitian ...... 10 2. Signifikansi Penelitian ...... 10 D. Pernyataan Tesis ...... 10 E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ...... 10 F. Metode Penelitian ...... 14 1. Jenis Penelitian...... 14 2. Sumber Data ...... 14 3. Analisis Data ...... 14 4. Pendekatan Penelitian...... 15 G. Sistematika Penulisan ...... 15

BAB II TEORI FILSAFAT PERSEPSI ...... 17 A. Definisi Persepsi Dalam Horizon Filsafat ...... 17 B. Seputar problematika dari teori-teori persepsi ...... 22 C. Sumber Pengetahuan Secara Kaleidoskopis Dari Pandangan Para Filosof Modern Mengenai Persepsi ...... 27 D. Hakikat Pengetahuan dan Paham Realisme: Antara Persepsi Langsung dan Perantara ...... 34 E. Simpulan Bab ...... 39

BAB III PERSEPSI DAN PENGETAHUAN INDERAWI ...... 40 A. Diskursus Kontemporer Mengenai Filsafat Pengetahuan ...... 40 B. Relevansi Antara Pengetahuan, Rasio dan Indera ...... 45 C. Pengetahuan Tanpa Rasio dan Indera ...... 51 D. Konsekuensi Dari Persepsi Sebagai Pengetahuan Inderawi ...... 55 E. Simpulan Bab ...... 61

BAB IV PENGETAHUAN INDERAWI SEBAGAI EPISTEMOLOGI BAGI GEORGE BERKELEY DAN IBN SÎNÂ ...... 63 A. Wirkungsgeschichte Dalam Pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ ... 63 1. Biografi Singkat Berkeley dan Ibn Sînâ...... 63

xii

2. Konteks Pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ ...... 67 3. Latar Teologis dan Pencerahan Filosofis...... 74 B. Horizont Berkeley dan Ibn Sînâ ...... 79 1. Jiwa Sebagai Daya Serta Relevansinya Dengan Pikiran Bagi Pengetahuan Inderawi ...... 79 2. Basis Pengetahuan Inderawi Bagi Berkeley dan Ibn Sînâ .. 86 3. Perbedaan Kualitas Primer-Sekunder Dengan ṣûrah dan nâ ...... 94׳ma C. Bildung Serta Konsekuensi Epistemologis Berkeley dan Ibn Sînâ 102 1. Kriteria Kebenaran Dalam Pengetahuan Inderawi Antara Polarisasi Subjektivisme dan Objektivisme...... 102 2. Proposisi Benar Salah Sebagai Deskripsi Kebenaran ...... 110 3. Pengetahuan Sistematis Bersifat Holistik dan Parsial ...... 119 D. Simpulan Bab ...... 128

BAB V PENGETAHUAN INDERAWI SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN SISTEM (SYSTEMIC) ATAS REALITAS BAGI BERKELEY DAN IBN SÎNÂ ...... 130 A. Relevansi Pengetahuan dengan Keahlian ...... 130 1. Antara Pandangan Ahli (expert) dan Pandangan Awam (laypeople) ...... 130 2. Persepsi Langsung Sebagai Suatu Pemahaman ...... 139 3. Persepsi Subjek dan Persepsi Objek Serta Relevansinya Dengan Keahlian ...... 149 B. Sistem dan Pengetahuan Inderawi ...... 156 1. Pengetahuaan Inderawi Sebagai Cermin Realitas ...... 156 2. Urgensitas Sistem Dalam Pengetahuan Inderawi ...... 163 3. Justifikasi Pengetahuan Inderawi ...... 170 C. Implikasi Terhadap Epistemologi Islam ...... 177 1. Mempertimbangkan Diskursus Turn ke Turn Linguistic Turn Sebagai Upaya Terobosan Dalam Epistemologi Islam ...... 177 2. Hermeneutik Sebagai Epistemologi Pada Keberagamaan ... 185 3. Era Post-truth dan Pemetaannya Dalam Diskursus Epistemologi Islam ...... 192 4. Meninjau Kembali Filsafat Pengetahuan (Epistemologi) Dalam Islam: Integrasi, Interkoneksi Atau Kritik? ...... 198 D. Simpulan Bab...... 207

BAB VI PENUTUP ...... 209 1. Kesimpulan ...... 209 2. Saran...... 210

DAFTAR PUSTAKA ...... 211 CV ...... 228

GLOSARIUM ...... 229

xiii

LAMPIRAN...... 231

CEK PLAGIARISME ...... 234

DAFTAR TABEL

xiv

Tabel Gambar 1. : Ilusi Ponzo ...... 22

Tabel Gambar 2. : WirkungsgeschichteBerkeley dan Ibn Sînâ ...... 73

Tabel Gambar 3. : Jiwa Menurut Berkeley ...... 83

Tabel Gambar 4. : Jiwa Menurut Ibn Sînâ ...... 86

Tabel Gambar 5. : Proses Persepsi Filosofis-Empiris Bagi Berkeley ..... 86

Tabel Gambar 6. : Dualisme Ontologis Pikiran-Objek Berkeley...... 87

Tabel Gambar 7. : Proses Persepsi Filosofis-Empiris Ibn Sînâ ...... 90

Tabel Gambar 8. : Dualisme Ontologis Pikiran-Objek Bagi Ibn Sînâ.... 90

Tabel Gambar 9. : Komparasi Isi Pengetahuan Dari Model Persepsi

Berkeley dan Ibn Sînâ ...... 101

Tabel Gambar 10. : Relasi Subjek-Objek Dalam Persepsi Berkeley dan

Ibn Sînâ ...... 110

Tabel Gambar 11. : Justifikasi Pengetahuan Inderawi Berkeley dan Ibn

Sînâ ...... 119

Tabel Gambar 12. : Model Kebenaran Pengetahuan Kontemplatif

Perspektif ...... 126

Tabel Gambar 13. : Model Kebenaran Pengetahuan Konsensus ...... 126

Tabel Gambar 14. : Perspektif Awam-Ahli dan Opini-Pengetahuan ...... 139

Tabel Gambar 15. : Relevansi Antara Subjek-Objek Dan Hasilnya ...... 149

Tabel Gambar 16. : Status Ontologis Objek Berkeley dan Ibn Sînâ ...... 177

Tabel Gambar 17. : Diskursus Epistemology Turn ke Linguistic Turn ...... 184

Tabel Gambar 18. : Relevansi Antara Hermeneutik Dan Epistemologi .... 191

Tabel Gambar 19. : Skema Era Postruth ...... 198

Tabel Gambar 20. : Tinjauan Kembali Filsafat Pengetahuan Dalam Islam: Integrasi, Interkoneksi Atau Kritik? ...... 207

xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Masalah Dalam pandangan mazhab filsafat yang mementingkan pengalaman sebagai sumber pengetahuan, kegiatan mempersepsi memainkan peranan penting untuk menghindari kekeliruan relasional terhadap objek inderawi. Dengan arti lain, kegiatan mempersepsi itu sendiri secara an sich berhadapan dengan konsekuensi inheren yaitu mispersepsi yang berpotensi membentuk suatu kontradiksi-kontradiksi secara interpersonal. Misalnya, persepsi medis dan non medis mengenai ekspresi penderita “masuk angin”. Dari persepsi medis yang diwakili oleh komunitas dokter, tidak mengenal adanya penyakit “masuk angin” sedangkan dari persepsi non medis yang diwakili oleh masyarakat luas, penyakit “masuk angin” dihayati dalam keseharian yang mengobatinya dengan cara atau metode kerokan.1 Kontradiksi tersebut menunjukan suatu petunjuk pentingnya bagi kegiatan persepsi untuk mengetahui secara tepat. Kontradiksi lainnya dari mispresepsi yaitu hilangnya perbedaan dan kualitas yang substansial antara seorang ahli dan awam.2 Kembali pada contoh kasus di atas, kontradiksi persepsi mengenai penyakit “masuk angin” justru memerlukan akurasi persepsi yang pada akhirnya menuntut keistimewaan untuk merepresentasikan “penyakit masuk angin” tersebut. Keistimewaan yang dimaksudkan yaitu mengikuti Russell, mengutip Rorty, merupakan suatu pencarian yang dilakukan oleh seseorang demi kesungguhan, kemurnian dan keketatan memformulasikan pengetahuan. Konteksnya yaitu memahami pengetahuan sebagai kegiatan representasi dan akurasi pikiran mengenai realitas, seperti halnya cermin alami yang fungsinya memantulkan objek pantulan

1Secara medis, persepsi untuk istilah “masuk angin” mencakup gejala perut kembung, hidung berair, pegal linu, nyeri kepala dan sebagainya. Adapun secara tradisional, persepsi untuk istilah “masuk angin” merupakan suatu penyakit yang secara objektif dan menjangkiti tubuh yang dapat diobatinya dengan cara kerokan. Istilah kerokan secara teknis berarti suatu cara untuk mengobati “masuk angin” dengan menekan dan menggeserkan benda tumpul secara berulang pada permukaan kulit, yang dibaluri cairan sebagai pelicin sampai terjadi perubahan warna. Hasil dari penelitian secara medis terkait persepsi mengenai penyakit “masuk angin” yaitu perubahan pada permukaan kulit yang dikerok bukanlah suatu kelainan perdarahan, melainkan suatu reaksi inflamasi yang justru merupakan proses penyembuhan itu sendiri. Singkatnya, pada kegiatan kerokan tidak merusak kulit dan pada kerokan terjadi reaksi inflamasi. Lihat, Didik Gunawan Tamtomo, “Gambaran Histopatologi Kulit Pada Pengobatan Tradisional Kerokan,” dalam CDK 160, 1 Januari 2008, h. 28-30. 2Seorang ahli yaitu dengan spesialisasi keilmuannya seperti, ahli medis, astronot, insinyur dan sebagainya yang hidup dan berada di tengah masyarakat dan mendapatkan tantangannya dari orang awam yang kurang paham ilmu pengetahuan namun begitu percaya akan pandangan pribadinya mengenai dunia. Alasannya karena kepakaran memberikan ancaman terhadap kebebasan dan kesejahteraan, terutama yang menyangkut bidang politik. Lihat, Terry L. Coper, dalam Public Administration Review Vol 78, iss no. 2, 2018, h. 320, review buku Tom Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Metters (New York: Oxford University Press, 2017), h. 320.

1

tertentu. Pengetahuan dalam hal tersebut berarti memerlukan pandangan yang akurat sebagai representasi pikiran.3 Bagi kalangan yang mengafirmasi persepsi sebagai bentuk akurasi dan representasi, mengandaikan kegiatan mengetahui sebagai suatu pengalaman yang melibatkan proses berpikir untuk menjamin realitas eksternal. Argumentasi pengafirmasiannya bahwa, persoalan pengetahuan berkaitan dengan klaim kebenaran dan justifikasi yang sejalan dengan kemampuan persepsi yang bersifat kognitif. Asumsinya, gagasan atau ide mengenai suatu objek berkaitan erat dengan proses manusia sebagai subjek mengalami objek tersebut yang turut mengandaikan hubungan relasional antara subjek dengan objek. Dengan kata lain, pandangan tersebut menyatakan bahwa tidak ada gagasan yang muncul di luar pengalaman manusia itu sendiri. Pengalaman perseptif dalam kegiatan mengetahui dengan demikian fokus pada subjek yang mengalami langsung objek pengetahuan tersebut. Menurut Locke, relasi subjek dengan objek bekerja berdasarkan kemampuan untuk memproduksi ide-ide di dalam pikiran sebagai kekuatan (power) dari suatu yang menghasilkan kualitas-kualitas tertentu.4 Sedangkan bagi kalangan yang menegasikan persepsi sebagai bentuk akurasi dan representasi pikiran atas realitas mengasumsikan bahwa kegiatan mengetahui sebagai pengalaman dengan ikut melibatkan konteks sosial tertentu. Argumentasi peegasiannya pertama, persoalan teori pengetahuan sebagai bagian dari kajian epistemologi tidak diperlukan karena pengetahuan tidak hanya berkaitan dengan pengalaman yang melibatkan persepsi melainkan berkaitan juga dengan persoalan justifikasi dari praktek sosial, yaitu kebenaran apa yang dipercayai pada suatu komunitas. Kedua, persoalan pengetahuan berkaitan dengan upaya untuk memperbaiki keadaan (edify) yang dilakukan dengan cara redekripsi terus menerus bukan hanya berkaitan dengan upaya untuk membangun sistem pengetahuan yang ketat (rigour) dengan cara deskripsi tunggal. upaya untuk mengkonstruksi realitas menjadi tidak memerlukan melihat pengetahuan sebagai representasi maupun akurasi yang mengarah pada suatu “fondasi pengetahuan” sebagai konsekuensi dari metafora cermin realitas.5 Baik yang mengafirmasi maupun menegasikan peran persepsi sebagai pengetahuan yang akuratif dan representatif atas objek eksternal, keduanya tetap menisbatkan klaim kebenarannya pada realitas meskipun secara kontradiktif.

3Richard Rorty dalam Philosophy and the Mirror of Nature (USA: Princeton University Press, 1979), h. 170. 4Ide-ide menurut Locke ialah apapun yang dipersepsikan oleh pikiran terhadap suatu benda atau persepsi terhadap objek secara langsung dengan pikiran ataupun memahaminya. Sedangkan kualitas subjek sendiri merupakan kekuatan untuk memproduksi berbagai gagasan di dalam pikiran dan dibagi menjadi dua, kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer berada pada materi yang tidak bisa dipisahkan dari kemateriannya, sedangkan kualitas sekunder berada pada dan tergantung pada kemampuan subjek. Lihat, John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (The Pennsylvania State University, 1999), h. 116-118. 5Cermin realitas (mirror of nature) yaitu mengenai pandangan bahwa konstitusi pengetahuan memiliki struktur sebagai fondasinya, lihat. William P. Alston, “Two Types of Foundationalism” dalam The Journal of Philosophy, Vol. 73, no. 7. April 8, 1976, h. 165.

2

Kontradiksi dalam arti, persoalan tersebut telah menjadi diskursus dalam filsafat kontemporer mengenai teori pengetahuan (epistemologi) yang harus memiliki fondasi yang terbagi menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang menerima sedangkan kedua, pendapat yang menolak fondasi sebagai suatu metafor bangunan pengetahuan.6 Bagi yang menolak, klaim kebenarannya berkaitan dengan praktek sosial bersifat pragmatis sedangkan bagi yang mengafirmasi, klaim kebenarannya sejauh berkesesuaian dengan realitas bersifat empiris.7 Menurut Russell, pengalaman perseptif melibatkan relasi antara manusia dengan lingkungannya sebagai bagian dari objek pengetahuan. Dalam pandangan tersebut, kegiatan mengetahui tidak lagi diartikan sebagai subjek yang berpengetahuan yang mampu menyelidiki melainkan upaya reaktif dari subjek terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, pengetahuan pada saat yang sama juga dapat dibentuk oleh lingkungannya.8 Persoalan yang kemudian muncul dari dua kesenjangan tersebut bahwa pengetahuan sebagai produk dari proses persepsi memiliki dua esensi yang berkontradiksi. Pertama, pengetahuan merupakan perkara relasional antara pikiran dengan realitas eksternal dan kedua, pengetahuan merupakan perkara seputar bahasa dan penggunaannya. Selain itu juga, pengetahuan sebagai produk mengandaikan justifikasi yang merupakan hubungan antara proposisi-proposisi dalam pernyataan dengan proposisi-prosposisi lainnya sehingga menghasilkan suatu simpulan. Pengetahuan dan justifikasi menjadi relasi “yang istimewa” mengenai suatu objek dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi,9 yang digunakan untuk mengafirmasi maupun menegasikan realitas. Dengan kata lain, proposisi dan fakta juga diafirmasi Wittgenstein berhubungan dengan penilaian dan konsep tertentu dari suatu objek. Konsekuensinya, fakta dan proposisi merupakan unit utama yang tidak terpisahkan yang disetujui ketika memikirkan objek dan nama sebagai entitas yang terpisah- pisah yang kombinatif untuk menghasilkan fakta dan proposisi sehingga perbedaan sifat keduanya menjadi penting.10 Titik singgung dari model pengetahuan yang menekankan peran persepsi sebagai akurasi dan representasi atas realitas yaitu mengandaikan suatu landasan kokoh (fondasi) yang menjamin pengetahuan itu terbentuk. Ada tiga distingsi yang diberikan oleh Haack untuk lebih memperjelasnya yaitu dengan memisahkan dan membedakan dengan ketat antara istilah foundationalism, “foundationalism” dan FOUNDATIONALISM.11 Terlepas dari distingsi tersebut, istilah fondasi sering

6Ernest Sosa, “The Foundations of Foundationalism,” dalam Noûs (Special Issue on Epistemology), Vol. 14, No. 4, November, 1980, h. 547. 7Robert Audi, Epistemologi A contemporary introduction to the theory of knowledge, 2th ed (Routledge: 2003), h. 245-248. 8Bertrand Russell, An Outline of Philosophy (USA: Meridian, 1960), h. 20-21. 9Rorty, Mirror of Nature..., h. 159. 10José L. Zalabardo, “ Propositions and Facts Representation and Reality in Wittgenstein’s” dalam Oxford Scholarship Online, August 2015, h. 2. DOI: 10.1093/ acprof:oso/9780198743941.001.0001. 11Foundationalism berkaitan dengan teori pembenaran yang memisahkan antara kepercayaan dasar sebagai pembenarannya yang terlepas dari kepercayaan selainnya, ataupun kepercayaan yang diperoleh dan dipegang teguh yang harus didukung dari kepercayaan dasar tersebut. Sedangkan “Foundationalisme” sebagai disiplin dari kajian

3

dipertentangkan dengan istilah fondasionalisme bahkan dapat diperselisihkan pemaknaannya berdasarkan konteksnya.12 Istilah fondasi yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengacu pada pendasaran bagi teori pengetahuan atau epistemologi. Aristoteles juga melakukan pendasaran terhadap filsafat pertama sebagai faktor utama tentang ada.13 Bagi seorang fondasionalis, berarti menegaskan sikap bahwa tidak dapat memasukkan argumen dari beberapa justifikasi yang dipercayai tanpa memiliki bukti bahwa sesuatu itu adalah benar.14 Terdapat pula pengertian berbeda mengenai foundasionalisme yaitu sebagai suatu “tesis” bahwa Tuhan merupakan sumber dari segala yang ada selain Tuhan sendiri.15 Dalam pandangan umum, mempersepsi objek berarti membiarkan objek terberi kepada subjek begitu saja dalam bentuk data inderawi. Istilah data inderawi atau sense datum menurut Gallagher, merujuk pada pengistilahan dari Moore dan Russell yang mengartikannya sebagai status dari kualitas data inderawi yang pada kenyataannya terberi begitu saja. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, dipahami secara berbeda baik dari realis maupun idealis.16 Asumsinya bagi kalangan idealis yang diwakili oleh Berkeley, data inderawi dari objek ada karena dipersepsi, sehingga kesadaran mengenai sesuatu merupakan pembedaan terhadap objeknya. Bisa juga dikatakan bahwa isi dari data inderawi didominasi dalam diri subjek. Sedangkan bagi kalangan realis yang diwakili oleh Ibn Sînâ justru sebaliknya yaitu bahwa pada objek tersebut mengandung kualitas-kualitas tertentu yang nyata, seperti dalam pandangan Locke.17 epistemologi mengenai penjelasan dari kriteria teori pembenaran sebagai suatu analisis yang lugas, yang mengesahan serta membutuhkan bukti apriori dari indikasinya. Adapun FOUNDATIONALISM merupakan pernyataan bahwa kriteria pembenaran tidak semata- mata persoalan konvensi semata melainkan membutuhkan pendasaran yang objektif, yang dapat terpuaskan bila memenuhi suatu indikator dari kebenaran. Lihat, Susan Haack, Evidence and Inquiry Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford UK & Cambridge US: Blackwell, 1993), h. 183, 186. 12Misalnya, the act of founding yang bergeser menjadi seorang atau para pendiri. Lainnya, the basis upon which something is founded yang meluas peruntukkan penggunaan dari kata yang diacu. Atau yang terakhir, funds given for the permanen support of an institution yang menjadi konteks pendanaan. Lihat, Tom Rockmore, Foundationalism A Strategy for Metaphysical Realism (USA: Rowman&Littlefield Publisher, 2004), h. 47. 13Rockmore, Metaphysical Realism..., h. 47. 14Steven Rappport, “A Mistake About Foundationalism,” dalam The Southeren Journal of Philosophy, Vol. xxx No. 4. 1992, h. 112. 15Pandangan demikian merupakan bentuk fondasionalisme teologis. Lihat, Einar Duenger Bohn, “Divine Foundationalism,” dalam Philosophy Journal of Philosophy, Vol. xxx No. 4. 1992, p. 112.Compass Wiley, 17 May, 2018, h. 1. 16Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge (New York: Fordham University Press, 1982), h. 88-89. 17Ide-ide menurut Locke ialah apapun yang dipersepsikan oleh pikiran terhadap suatu benda atau persepsi terhadap objek secara langsung dengan pikiran ataupun memahaminya. Sedangkan kualitas subjek sendiri merupakan kekuatan untuk memproduksi berbagai gagasan di dalam pikiran dan dibagi menjadi dua, kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer berada pada materi yang tidak bisa dipisahkan dari kemateriannya, sedangkan kualitas sekunder berada pada dan tergantung pada kemampuan subjek. Lihat,

4

Hakikat pengetahuan dan klaim kebenarannya berdasarkan paham realisme dan idealisme menjadi salah satu point entry untuk memahami justifikasi kebenaran pengetahuan. Realisme merupakan paham bahwa objek merupakan sesuatu yang eksis dan independen atas realitas sebagaimana adanya atau bersifat terpisah (respectively).18 Pertama, bagi paham realisme, klaim kebenaran pengetahuan bisa dipahami sebagai suatu bentuk kesesuaian pikiran terhadap realitas secara material. Misalnya, X dinyatakan sebagai sesuatu karena S berkoresponden dengan X. Selain itu juga, paham realisme masih dibedakan dari model kuasi-realisme sebagai bentuk reduksi realitas oleh pikiran. Misalnya, X dinyatakan sebagai sesuatu karena S memiliki preferensi tertentu terhadap X. Karenanya dalam pandangan kuasi- realisme, perlunya disediakan fitur yang menyediakan suatu jalan agar sikap ekspresi non-kognitif dapat dipahami dalam konteks “kebenaran yang nyata” meskipun tanpa realisme inheren.19 Sedangkan bagi paham idealisme, hakikat pengetahuan dan klaim kebenaran pengetahuan bisa dipahami sebagai bentuk pikiran secara formal (coherence) tanpa menyesuaikannya dengan realitas. Idealisme karenanya merupakan paham bahwa objek eksternal dependen pada pikiran subjek, yang dalam tradisi idealisme Jerman, terdapat term mengenai roh kosmik (cosmic spirit) yang menekankan pada aspek diri (self) dan rasional yang mengalami transposisi materialisme pada Marx.20 Misalnya, “moment” yang merepresentasikan aspek atau realitas secara meyeluruh pada idealisme absolut Hegel yang dapat sepenuhnya dipahami hanya dalam hubungannya dengan momen-momen atau aspek-aspek lain yang merupakan bagian dari keseluruhan pada sistem filsafat Hegel. Atau secara lebih teknis, suatu bagian yang dipisahkan dari keseluruhan hanya terdapat di dalam pikiran,21 dapat pula berarti bahwa pikiran yang menentukan realitas. Pada model lainnya, idealisme Berkeley mereduksi secara ekstrim dualitas antara kualitas objek dan subjek ke dalam pikiran. Konsekuensi logis dari idealisme Berkeley yaitu bahwa sesuatu ada karena dipersepsi yang mengisyaratkan benda-benda dan peristiwa dependen pada pikiran.22 Persepsi sebagai pengetahuan inderawi dalam penelitian ini berarti menekankan pentingnya representasi dan akurasi secara ketat sebagai formulasi

John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (The Pennsylvania State University, 1999), h. 116-118. 18Joel J. Kupperman, “ Realism vs Idealism”, Journal of American Philosophical Quarterely, Vol. 2, No. 3. July 1975, h. 202. 19Lihat, Fristian Hadinata, “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty”, (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2015), h. 118-119. 20Charles Taylor, Hegel and Modern Society,edited byAlan Montefiore, Balliol Colege, and Others (London-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1979), h. 158. 21Kamal Abdulkarim Shlbei, “Sadra and Hegel on The Relationship Between Essence/Existence and Subject/Object”, (A Dissertation Graduate School of Liberal Arts, Duquesne University, 2013), h. Xv. 22Lihat, Richard Brook, “Berkeley and The Primary Qualities: Idealization vs.Abstraction dalam Philosophia, USA Bloomsburg, 6 October 2016.

5

konstruktif terhadap realitas melalui perspektif pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ. Persepsi dalam pengertian filsafat merupakan penggunaan indera-indera untuk mendapatkan informasi mengenai dunia sekitar dan untuk mengenal objek, maupun peristiwa-peristiwa.23 Pemilihan kedua tokoh baik Berkeley maupun Ibn Sîna berdasarkan kompetensi dan figur mereka berdua yang vokal menekankan peranan persepsi namun dengan term yang berbeda. Bagi Berkeley, pengertian persepsi dan nomenklatur maupun pengertian yang digunakan tetap dengan istilah perceive.24 Sedangkan bagi Ibn Sînâ, istilah persepsi merupakan bagian dari fakultas jiwa binatang yang memiliki dua daya, menangkap dari luar dan menangkap dari dalam nâ tertentu.25 Meskipun di tempat yang lain׳yang berkaitan dengan bentuk dan ma Ibn Sînâ meyatakan bahwa daya persepsi juga berkaitan dengan fakultas manusia dan pikiran.26 Bentuk akurasi dan representasi subjek ketika mempersepsi objek menjadi kata kunci penting dalam persepsi sebagai pengetahuan inderawi menurut Berkeley dan Ibn Sînâ. Dalam pandangan Berkeley, bentuk akurasi terletak pada kemampuan subjek untuk mempersepsi realitas eksternal berdasarkan pengalaman dan pikiran yang menghasilkan ide-ide. Karenanya, persepsi berkaitan dengan proses-proses yang melibatkan indera-indera maupun memori dan imajinasi.27 Sedangkan dalam

23The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, edited by Edward Craig (USA and Canada, 2005), h. 775. 24Berkeley, Human Knowledge..., h. 25. 25Avicenna’s Psycology, edited by Fazlur Rahman (London: Oxford University Press, 1952), h. 26. 26Ibn Sînâ, Ahwâl an nafs..., h. 150 dan 73. Persepsi dapat diartikan dengan istilah yang mana penamaan yang demikian juga dilakukan أدرك – يدرك yang berasal dari kata إدراك oleh penerbit dan penerjemah buku Ibn Sînâ yang berjudul Ahwâl an Nafs dengan judul terjemahan Psikologi Ibn Sina, terbitan Pustaka Hidayah tahun 2009. Di tempat yang diterjemahkan oleh Fazlur Rahman dengan istilah perception sebagai إدراك berbeda, term padanannya dengan makna yang sama yaitu proses mengenali realitas eksternal. Nomenklatur yang berbeda mengenai persepsi dari Ibn Sînâ, tidak mempengaruhi konten dari pengertian persepsi itu sendiri. Lihat Ibn Sînâ dalam ahwâl al nafs (Paris: Dar Byblion, 2007), h. 59 dan dalam Psikologi Ibn Sina (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), h. 64. Lihat Fazlur, Avicenna’s ..., 1952. 27Misalnya, dengan penglihatan, dapat memperoleh/mempersepsi ide-ide mengenai apel berdasarkan kualitas bentuknya, (bulat, oval dan sebagainya) maupun warnanya (hijau, merah) yang menunjukkan tingkatan dan variasi-variasi dari objek. Melalui sentuhan mempersepsi lembek-keras, lembut-kasar permukaan dari apel yang dipegang. Dengan penciuman mempersepsi bau dari apel ataupun cita rasa kematangan dari aroma apel itu. Dengan pendengaran mempersepsi suara “renyah” dari gigitan apel yang dituju ke pikiran. Dari beberapa yang telah diamati dan dikumpulkan dari masing-masing persepsi indera- indera tadi, dapat ditandai dengan suatu nama dan yang terkenal sebagai satu hal. Dari aspek warna, rasa, bau, bentuk maupun konsistensinya dari apa yang diamati secara menyeluruh yang mana menjadi suatu perbedaan dari yang lainnya yang dinamai dengan apel malang. Fungsi dari proses ingatan maupun imajinasi membantu keinginan untuk mencetak kembali ide-ide mengenai apel malang yang enak dan lezat sebagai bagian dari cara kerja pikiran (untuk memunculkan ide-ide kembali dan menghubungkannya dengan hal lain). George Berkeley, Principles of Human Knowledge Three Dialogues (London: Oxford University Press, 1999), h. 24-25 dan 133.

6

pandangan Ibn Sînâ, bentuk representasi yaitu dengan mempersepsi realitas eksternal yang mengandalkan pengalaman dan pikiran sehingga menghasilkan إلدراك الخارج gambaran mental sebagai copy of reality. Daya persepsi eksternal atau berkaitan dengan lima panca indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, إلدراك الداخل pengecapan dan perabaan.28 Adapun daya persepsi internal atau berkaitan dengan: al hiss al musytarâk, al quwwah al khayâl, al quwwah al mutakhayyâl, al quwwah al wahmiyyah dan al quwwah ad dzâkirah.29 Konsekuensi dari bentuk akurasi yaitu dengan menyatukan kualitas objek dan subjek di dalam pikiran, sedangkan konsekuensi dari representasi, dengan memisahkan gambaran pada objek dan pikiran.30 Sedangkan mengenai pemilihan untuk mendahului subjek Berkeley atas Ibn Sînâ berdasarkan alasan dari susunan tematik dalam persoalan filsafat kontemporer bukan berdasarkan runtutan historis pemikiran seorang filosof. Persoalan filsafat kontemporer yang dimaksud yakni sejalan upaya untuk menggugat narasi-narasi besar yang sudah mapan dalam konteks modernisme.31 Dalam pandangan

28Misalnya, penglihatan mempersepsi bentuk dari segitiga eksternal yang kemudian tercetak pada bola mata. Pendengaran mempersepsi bentuk dari suara azan melalui gelombang dan tekanan udara sehingga menghasilkan bunyi. Penciuman mempersepsi bentuk dari aroma gosong yang dihantarkan oleh udara sehingga tercetak dan dapat dihirup. Pengecapan mempersepsi bentuk dari rasa manis pada gula yang bersentuhan dengan lidah yang bercampur dengan cairan. Dan perabaan mempersepsi bentuk dari sentuhan serat kasar kayu jati. Daya tersebut berasal dari seluruh kulit dan daging. 29Misalnya, al hiss al musytarâk menerima dari persepsi eksternal berupa bentuk batu yang telah dilihat ukurannya, didengar suara jatuhnya, dicium aroma fisiknya dan diraba permukaannya yang kasar yang kesemuanya bersifat parsial kemudian disimpan secara utuh sebagai batu kali. Al quwwah al khayâl menyimpan (bentuk) dari apa yang diterima sebagai batu kali meskipun batu kali tersebut telah rusak. Al quwwah al mutakhayyâl mengkombinasikan dan memisahkan dari apa yang disimpan sebagai batu kali dengan hal- hal lainnya yang berkaitan. Batu kali memerlukan pula palu untuk membuatnya kecil dan memerlukan pula perekat untuk membuatnya kokoh. Al quwwah al wahmiyyah mempersepsi ma’nâ batu kali sebagai sumber daya alam yang bersifat komersil yang tidak terdapat pada objek batu kali namun berkaitan dengannya. Dan al quwwah al dzâkirah menyimpan ma’nâ komersil dari batu kali sehingga dapat dijadikan sebagai komoditas bahan dasar bangunan. Untuk rinciannya fungsi dari daya persepsi Ibn Sînâ dapat dilihat dalam Psikologi Ibn Sînâ...,h. 64-67 dan Ahwâl an nafs...,h. 59-60. 30Model penggabungan Berkeley dapat diakatakan sebagai realisme formal karena menyatukan kualitas objek dan subjek menjadi ide di dalam pikiran. Samuel C. Rickless, “The Relation Between AntiAbstractionism and Idealism In Berkeley’s ” dalam British Journal for the History of Philosophy, Routledge, 2012, h. 723-724.Sedangkan model dari pemisahan Ibn Sina, sama seperti Locke, yaitu model realisme representatif karena ide – ide hanya mewakili kualitas tertentu dari realitas eksternal. Harold H. Titus, Living Issues in Philosophy An Introductory Textbook, 3th ed (Amerikan Book Company: 1959), h. 257, 261. 31Misalnya, dua versi utama narasi legitimasi yaitu pertama bersifat politis dan kedua bersifat filosofis yang penting dalam sejarah modern terutama mengenai sejarah pengetahuan dan pelembagaanya. Untuk subjek yang pertama yaitu manusia sebagai pahlawan kebebasan yang mana semua orang berhak atas pengetahuan yang sebelumnya pengetahuan dilarang otoritas gereja dan menjadi tirani. Pada subjek kedua, dapat berkaitan dengan penjangkaran pada prinsip-prinsip filosofis mengenai pemikiran humanis yaitu

7

modernisme, upaya membangun realitas sejalan dengan upaya untuk memberikan pendasaran pengetahuan sistemik-epistemologis yang akurat dan representatif atas realitas sebagai pikiran manusia.32 Berkaitan dengan pikiran manusia atau persoalan epistemologis dalam konteks pendasaran bagi pengetahuan, positioning Berkeley lebih tepat untuk didahulukan ketimbang Ibn Sînâ. Dalam konteks pendasaran tersebut, Descartes, Locke maupun Kant menjadi figur yang mendapatkan kritikan tajam dengan dalih ikut mengambil bagian dalam merumuskan filsafat terutama epistemologi sebagai jaminan untuk mengetahui realitas. Karenanya, pandangan filosofis mengenai persepsi sebagai pengetahuan inderawi menurut Berkeley dan Ibn Sînâ menjadi penting untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam penelitian ini. Pertimbangan pertama, dalam upaya manusia mengetahui dunianya secara inderawi melibatkan kontak dengan objek eksternal. Pada saat yang sama juga terhubung persepsi pikiran dan objeknya yang menimbulkan suatu gambaran mental.33 Gambaran mental itulah yang menjadi data inderawi pada diri subjek yang fungsinya menegaskan status suatu objek apakah ilusi atau halusinasi yang dikembalikan lagi pada data inderawi yang diperolehnya.34 Hal itu berarti bahwa, kegiatan mempersepsi rumit dan penting untuk dikaji karena berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan inderawi, dengan meninjau filsafat Berkeley dan Ibn Sînâ. Pertimbangan kedua, kegiatan mempersepsi melibatkan proses sekaligus hasil secara simultan yang turut mempengaruhi paham dari teori pengetahuan,35 yang memposisikan keduanya sebagai penganut paham realisme. Dari berbagai persoalan yang diuraikan dan dengan kedua pertimbangan tadi, penelitian terhadap persepsi menurut George Berkeley dan Ibn Sînâ sebagai pengetahuan inderawi menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut. bahwa kemanusiaan bangkit dalam martabat dan kebebasan melalui pengetahuan yang meninggalkan tradisi dan otoritas sebelumnya. Lihat, Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Translated by Geoff Bennington and Brian Massumi (USA: University of Minnesota, 1982). h. 31&34. 32Lihat Rorty, Philosophy Mirror Nature...,h. 49. 33Dalam konteks tersebut, bagi yang secara tidak jelas memahami gagasan melalui peristilahan yang membentuk proposisi mental yang kemudian dapat dijelaskan secara verbal, tidaklah memiliki suatu pengetahuan.George Berkeley, Alciphron in Focus (USA and Canada: Routledge, 1993), h. 118. 34Titus, Philosophy..., h. 263. 35Pada Berkeley, sensasi merupakan tindakan dari apa yang telah dipersepsi atau berkaitan dengan objek. Misalnya, terdapat warna merah dan kuning pada bunga tulip namun warna itu sendiri bagi Berkeley terletak pada subjek. Lihat, George Berkeley, Principles of Human Knowledge Three Dialogues (London: Oxford University Press, 1999), h. 133. Sedangkan bagi Ibn Sînâ, persepsi berbeda dari sensasi atau mengindera yang mana mengindera atau sensasi berkaitan dengan terdapatnya rujukan dari apa yang diindera. Terdapat distingsi antara objek penginderaan (mahsûsât) dan indera itu sendiri (al hiss). Misalnya, es yang berwarna putih, atau matahari yang bersinar.35 Sedangkan istilah persepsi merupakan bagian dari fakultas jiwa binatang yang memiliki dua daya, menangkap dari luar dan menangkap dari dalam yang berkaitan dengan bentuk dan ma’nâ tertentu. Lihat, Avicenna’s Psycology, edited by Fazlur Rahman (London: Oxford University Press, 1952), h. 26. Meskipun di tempat yang lain Ibn Sînâ meyatakan bahwa daya persepsi juga berkaitan dengan fakultas manusia dan pikiran. Lihat, Ibn Sînâ, Ahwâl an nafs..., h. 150 dan 73.

8

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Pemaparan dari latar belakang masalah yang berkenaan dengan persepsi sebagai pengetahuan inderawi menurut George Berkeley dan Ibn Sînâ, menimbulkan beberapa butir identifikasi masalah sebagai berikut : a. Dalam kegiatan persepsi, pengalaman inderawi menjadi penting sebagai proses mengetahui untuk mengkonstruki pengetahuan. b. Persepsi merupakan formula penting bagi proses mengetahui. c. Sedangkan bagi yang mengafirmasi formulasi pengetahuan secara akurat dan representatif yang mendasari kebenarannya sebagai bagian dari kemampuan pikiran subjek melalui persepsi untuk memproyeksikan objek. d. Bagi yang menegasikan formulasi pengetahuan secara akurat dan representatif mendasari kebenarannya sebagai bagian dari praktek sosial. e. Persepsi sebagai kegiatan mengetahui secara inderawi, berkaitan dengan relasi antara subjek dengan objek untuk menghasilkan pengetahuan. f. Persepsi sebagai pengetahuan inderawi dalam pandangan Berkeley dan Ibn Sînâ merupakan hal yang kompleks karena berkaitan dengan status objek yang nampak sebagai ilusi, atau gambaran mental pada subjek sebagai halusinasi yang keduanya bertolak dari objek dan data inderawi yang diperoleh. g. Peran persepsi bagi Berkeley maupun Ibn Sînâ menjadi penting guna memberikan kontribusi dalam memformulasikan pengetahuan inderawi sebagai diskursus epistemologi.

2. Perumusan Masalah Dari berbagai butir-butir masalah yang telah diidentifikasi, dapat ditarik perumusan masalahnya sebagai berikut: 1) Bagaimana Berkeley dan Ibn Sînâ memformulasikan konsepsi filosofis persepsi untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi? a. Apakah persamaan dan perbedaan konsep filosofis persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ memiliki konsekuensi terhadap paham pengetahuan mereka berdua? b. Benarkah model pengetahuan inderawi Berkeley dan Ibn Sînâ yang mengandalkan akurasi dan representasi bagi realitas masih relevan sebagai upaya membangun sistem (systemic) pengetahuan?

3. Pembatasan Masalah Dari rumusan masalah yang telah diuraikan di atas dan agar fokus serta terhindar dari digresitas pembahasan, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini fokus pada konsepsi Berkeley dan Ibn Sînâ mengenai persepsi sebagai pengetahuan inderawi. Pembatasan masalah dalam penelitian ini penting guna “memandu jalan” agar tetap on the track dan menuntun “hasrat” agar tidak “menghasrati” membahas hal-hal yang tidak relevan dengan penelitian.

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian

9

Tujuan dari penelitian ini memiliki tiga hal mendasar yaitu untuk: a. Menemukan konsepsi filosofis persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi b. Menemukan dan Menganalisis persamaan dan perbedaan konsepsi filosofis persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ serta konsekuensinya bagi paham pengetahuan mereka berdua c. Menemukan relevansi dari model pengetahuan inderawi Berkeley dan Ibn Sînâ yang berpihak pada model representasi dan akurasi untuk membangun sistem pengetahuan (systemic).

2. Signifikansi Penelitian Signifikansi penelitian ini adalah menemukan dan menguatkan model pengetahuan filosofis yang mendukung representasi dan akurasi yang bertumpu pada daya persepsi. Bentuk afirmasi tersebut juga didasari atas perbedaan dua perspektif yang diwakili oleh dua tradisi yang berbeda yaitu Barat oleh Berkeley dan Islam oleh Ibn Sînâ. Upaya untuk menemukan model pengetahuan filosofis yang berpihak pada representasi dan akurasi atas realitas didasari oleh kealpaan bahwa dalam memformulasi pengetahuan inderawi memang menghadapi kesulitan- kesulitan baik secara proses yang tidak bisa dipukul rata dan hanya mengandalkan justifikasi keyakinan yang dipercayai dalam praksis sosial. Sebaliknya, upaya untuk memformulasikan pengetahuan inderawi justru memerlukan akurasi dan representasi yang tepat atas realitas yang berbeda-beda tingkatan kemampuan tiap-tiap orang. Dengan mempertimbangkan keluputan tadi, atau ruang kosong (lacuna) itulah yang ingin menjadi sasaran penelitian ini untuk memberikan kontribusi akademik. Temuan yang ingin disasar bahwa formulasi atau konstruksi filosofis atas pengetahuan inderawi melalui persepsi memerlukan representasi dan akurasi yang dapat memberikan kontribusi dalam wacana pemikiran filsafat komparatif.

D. Pernyataan Tesis Bagi Berkeley dan Ibn Sînâ pengetahuan inderawi memerlukan akurasi dan representasi terhadap realitas sebagai bentuk justifikasi dengan mengandalkan kriteria dan deksripsi kebenaran serta sistem bagi pengetahuan. Pengetahuan inderawi sebagai sistem pengetahuan dikonstruksi berdasarkan persepsi ahli atau yang memiliki kompetensi atau previledge untuk merumuskannya.

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Kegiatan penelitian tidak lepas dari penelitian terdahulu yang relevan baik dalam bentuk disertasi maupun jurnal-jurnal ilmiah untuk perbandingan. Sebatas penelusuran dan pengetahuan saya, belum ada penelitian yang secara khusus sama dengan judul maupun permasalahan serta fokus dari penelitian ini. Namun penelitian yang sejenis yang tidak berkaitan dengan komparasi persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ atau yang terpisah pembahasannya, penulis temukan. Mengenai Berkeley: Pertama, jurnal penelitian oleh Georges Dicker pada tahun 2018 yang berjudul, “Berkeley’s Critique of Locke’s Theory of Perception”. Fokus pembahasan Dicker yaitu mengenai keberatannya terhadap gagalnya kritik Berkeley terhadap Locke mengenai persoalan eksistensi materi. Menurut Dicker, Locke membatasi diri

10

terhadap dualisme pengetahuan objek materi sedangkan yang dapat diketahui hanyalah idea atau representasi akibat relasi dengan materi. Sedangkan pada Berkeley, justru tidak semata hanya mengetahui idea atau gagasan atas objek materi melainkan materi itu sendiri yang menjadi acuan sehingga memperoleh pengetahuan darinya. Lalu yang kemudian muncul yaitu Berkeley terkesan melakukan simplifikasi terhadap pemikiran Locke meskipun pada hal lainnya, kritik Berkeley sangat kuat.36 Relevansinya dengan penelitian ini yaitu terletak pada porsi pembahasan mengenai peran persepsi yang banyak sehingga duduk persoalan mengenai proses maupun hasil dari mengetahui menjad jelas. Adapun perbedaannya yaitu konsekuensi atau karakter dari jenis teori pengetahuan Berkeley tidak eksplisit yang mana itu merupakan celah yang lebar bagi penelitian ini. Kedua, buku penelitian lainnya oleh Georges Dicker pada tahun 2011 yang berjudul Berkeley’s Idealism menjelaskan suatu konstruksi pemikiran George Berkeley yang bertolak dari pemikiran empirisme Locke. Dalam buku tersebut juga Dicker menyoroti titik berangkat Berkeley, titik singgung, rumusan filosofis dan argumentasinya yang semula berada pada bayang Locke namun kemudian mengambil jalan mandiri dalam empirisme.37 Relevansinya dengan penelitian ini yaitu, upaya sistematis dari Dicker mengenai pemikiran Berkeley serta porsi yang memadai terhadap proses terjadinya pengetahuan inderawi yang dalam hal ini, peranan persepsi menjadi penting. Adapun perbedaannya yaitu tidak menegasan posisi Berkeley terhadap paham kebenaran dan justifikasi pengetahuan sedangkan dalam penelitian ini, upaya tersebut yang menjadi predikasi dan kategorisasi penting. Ketiga, buku penelitian oleh David Berman pada tahun 2005 yang berjudul Berkeley and Irish Philosophy menjelaskan mengenai pemikiran filosofis Berkeley, konteks intelektual filsafat Irlandia maupun pengaruhnya terhadap pencerahan di Amerika. Filsafat Berkeley yang bersifat empiris didukung oleh semangat zaman pencerahan yang memusatkan sumber pengetahuan pada kemampuan diri. Artinya, konteks dan semangat zaman ikut mempengaruhi pemikiran filosofis Berkeley. 38 Relevansinya dengan penelitian ini, terletak pada penjelasan mengenai pemikiran filosofis Berkeley yang berarti berkaitan dengan formulasi Berkeley terhadap pengetahuan inderawi. Selain itu juga, penegasan posisi berkeley terhadap status realitas eksternal menjadi relevan dengan penelitian ini. Namun perbedaannya, Berman tidak menyatakan paham realisme Berkeley dan tidak menegaskan klaim justifikasi pengetahuan sebagai konsekuensi dari pemikiran filosofis Berkeley mengenai pengetahuan. Sedangkan mengenai Ibn Sînâ: Pertama, jurnal penelitian oleh Dimitri Gutas, pada tahun 2012 yang berjudul “The of Avicenna”. Dalam jurnal tersebut, Gutas memposisikan Ibn Sînâ sebagai seorang empiris yang memiliki metode saintifik yang pengaruhnya juga sampai pada Barat. Yang menarik adalah bahwa Gutas menggambarkan upaya formulasi Ibn Sînâ mengenai empirisme sebagai proyek mendahului Locke dalam

36Georges Dicker, “Berkeley’s Critique of Locke’s Theory of Perception” dalam Bloomsbury Collections, 22 October, 2018. 37Georges Dicker, Berkeley’s Idealism (Oxford University Press, 2011). 38David Berman, Berkeley and Irish Philosophy (New York: Continuum, 2005).

11

merumuskan hal yang serupa. Dengan arti kata, Ibn Sînâ telah memulai, atau memploporinya terlebih dahulu dalam tradisi Islam mengenai metode empirisme sebagai konstruksi dari pengetahuan inderawi bagi manusia. 39 Adapun kaitannya dengan penelitian ini adalah dari titik berangkat yang sama yang memposisikan Ibn Sînâ sebagai tokoh yang memberikan porsi penting terhadap persepsi. Sedangkan perbedaannya adalah sasaran penelitian Gutas yang memposisikan Ibn Sînâ sebagai peletak dasar bagi metode saintifik meskipun turut menyertakan pula peran persepsi. Dan hal tersebut masih relevan dengan membandingkannya dengan pemikiran empirisme Berkeley. Kedua, buku penelitian oleh Muhammad U’smân Najâtî pada tahun 1980 yang berjudul al Idrâk al Hissî I’nda Ibn Sînâ. Dalam buku tersebut, U’ṡmân Najâtî menekankan peran persepsi inderawi sebagai bagian dari aktivitas jiwa serta menjadi bagian dari kajian psikologi. Selain itu juga, kajian mengenai persepsi inderawi bukan sebagai kajian mengenai sejarah ilmu jiwa melainkan penelitian teoritis mengenai ilmu jiwa yang Islami dari Ibn Sînâ.40 Adapun relevansinya dengan penelitian ini yaitu memiliki fokus yang sama terhadap fungsi dan peran persepsi inderawi dari pemikiran Ibn Sînâ. Sedangkan perbedaannya yaitu tidak mengaitkan peranan persepsi bagi terbentuknya pengetahuan inderawi yang justru pembahasan tersebut menjadi sentral serta, mendapat porsi penelusuran lebih jauh dalam pemikiran Ibn Sînâ. Ketiga, buku penelitian oleh Muṣṭofâ Ghâlib pada tahun 1979 yang berjudul “Ibn Sînâ”. Di dalamnya menekankan penjelasan mengenai proses terbentuknya pengetahuan inderawi yang dalam hal ini berkaitan dengan munculnya gambaran (ṣûrah), melalui indera internal. Karenanya buku tersebut mengulas secara detail “proses” dalam kegiatan mengetahui yang berarti menekankan peranan persepsi yang relevan dengan penelitian ini.41 Adapun perbedaannya, buku tersebut tidak menegaskan posisi Ibn Sînâ mengenai objek ektsternal dan kaitannya dengan pengetahuan inderawi yang membawa pada konsekuensi dari paham kebenaran. Artinya, pengetahuan inderawi berupa gambaran mental (taṣawwur) merupakan representasi dari objek pengetahuan atau justru objek eksternal itu sendiri dan penegasannya terhadap putusan yang merupakan pengetahuan. Dalam penelitian ini, seputar persoalan tadi menjadi perhatian yang penting. Selain dari buku-buku atau jurnal yang mengulas mengenai Berkeley dan Ibn Sînâ secara spesifik, disertasi atau buku yang bertema persepsi atau teori pengetahuan antara lain: Pertama, Disertasi penelitian oleh Husain Heriyanto pada tahun 2013 yang berjudul, Menuju Realisme Eksistensial Ekologis Berdasarkan Teori Persepsi Mullâ Ṣadrâ. Dalam disertasi tersebut memfokuskan peranan penting bagi persepsi yang luput dari manusia modern yang berdampak besar bagi kerusakan ekologis. Atas dasar ketimpangan epsitemologis dan ontologis itulah, persepsi mendikotomi relasional antara subjek penahu dengan objek yang diketahuinya yang berakibat

39Lihat, Dimitri Gutas, “The Empiricism of Avicenna” dalam Oriens 40, Leiden, 2012. 40Muhammad U’smân Najâtî, al ‘Idrâk al Hissi I’nda Ibn Sînâ (Beirut: Dar al Shurûq, 1980). 41Muṣṭofâ Ghâlib, Ibn Sînâ (Dar wa Maktabah al hilâl, 1979).

12

pada eksploitasi besar-besaran terhadap objek. Alam sebagai objek, direduksi nilai- nilai hannya sebagai sumber daya semata yang menjadi hasrat bagi manusia untuk menundukkannya. Tawaran dari Husain Heryanto yaitu pandangan epistemologis kritis melalui pandangan Shadrâ yaitu dengan memulihkan hubungan permanen antara subjek penahu dengan objek yang diketahuinya sebagai bagian dari kesatuan integral.42 Adapun relevansinya dengan penelitian ini yaitu menyuguhkan pandangan dari filosof Muslim yang memiliki konsen mendalam terhadap peran persepsi. serta memberikan kontribusi lintas tradisi yaitu antara Islam dan Barat dalam hal teori fenomenologis dialogis antara Ṣadrâ dan Husserl. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini yaitu mengenai peran persepsi untuk mengkontruksi pengetahuan inderawi beserta kriteria-kriteria pengetahuan yang berpihak pada keketatan dan realisme. Disertasi Husain Heryanto memfokuskan peranan persepsi sebagai bagian dari cara berada. Kedua, buku penelitian karangan Tom Nichols pada tahun 2017 yang berjudul, The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Metters, New York: Oxford University Press, memiliki afirmasi yang berdekatan dengan penelitian ini. Dalam pendahuluan buku tersebut, Nichols meengafirmasi status keilmuan seoarang ahli yang mendapatkan perlawanan dari non ahli tanpa dasar argumentasi maupun pengetahuan yang memadai. Misalnya, penolakan atas persoalan tanpa mengetahui persoalan tersebut. Ekspresi tersebut menunjukan suatu siap arogansi yang tidak mendasar, kemarahan narsistik yang hanya mengejar kesetaraan dalam segala hal, yaitu antara yang memiliki keahlian dan tidak. Dalam keadaan masyarakan Amerika yang demikian, Nichols menekankan bahwa inti dari situasi yang demikian karena warga Amerika meyakini kesetaraan hak dalam sistem politi yang berarti bahwa pendapat setiap orang harus setara dengan pendapat orang lain. Buku tersebut setidaknya bertolak dari keadaan demikian.43 Adapun relevansinya dengan penelitian ini yaitu terletak pada titik tekan yang sama mengenai perlunya pengetahuan yang bersifat ketat dan peneliti yang merepresentatif. Kedua hal tersebut tersebut berpihak pada perumusan pengetahuan inderawi yang menyadari prosedur-prosedur yang rumit dalam relasi antara subjek dan objek. Karena itu, Berkeley maupun Ibn Sînâ mempunyai rumusan filosofis yang berpihak pada pengetahuan yang ketat (rigour) dan subjek yang representatif untuk merumuskan pengetahuan inderawi berdasarkan peranan persepsi. Kemudian, penelitian terdahulu tersebut dikelompokan menjadi dua, pandangan pertama, menjelaskan pandangan epistemologi persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ serta proses konfigurasi pengetahuan inderawi. Pandangan kedua, menjelaskan konsekuensi dari pengetahuan inderawi beserta karakteristik dari paham kebenaran dan justifikasinya yang luput yang menjadi ruang kosong (lacuna) dalam penelitian ini. Penelitian ini juga memiliki fokus terhadap keduanya guna menghadirkan pemahaman yang utuh dan mengkomparasikannya guna menegaskan persamaan maupun perbedaan dari persepsi George Berkeley dan Ibn Sînâ

42Lihat, Husain Heryanto, Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2013. 43Lihat, Tom Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Metters, (New York: Oxford University Press, 2017). 13

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan telaah literatur (literary research) yang menekankan pentingnya studi mendalam mengenai teks sebagai sumber datanya. Karenanya secara metodologi, penelitian ini dapat tergolong pada jenis penelitian hermeneutik (hermeneutic research).

2. Sumber Data Mengenai sumber datanya, penelitian ini menggunakan baik sumber primer maupun sumber sekunder. Data primer berdasarkan buku-buku utama data primer berdasarkan buku-buku utama mengenai Berkeley yang berkaitan dengan persoalan persepsi epistemologis seperti, A treatise Concerning The Principles Of Human Knowlede, An Essay Towards A New Theory Of Vision, Three Dialougues Between Hylas And Philonous. Sedangkan data primer dari buku-buku Ibn Sînâ yang berkaitan dengan persoalan persepsi epistemologis misalnya, penulis menggunakan buku-buku seperti, Kitab an Najât, Ahwâl al Nafs, Mantiq al Masyriqiyyîn, al Isyârât wa al Tanbîhât, al Hidâyah fi al Mantiq. Sedangkan Analisis Data

3. Analisis Data Adapun berdasarkan analisisnya, penelitian ini menggunakan metode analisa kritis-komparatif terhadap literatur dan konsep-konsep yang relevan untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini. Penelitian komparatif dimaksud dengan meninjau dua aspek penting data. Pertama secara material ditinjau dari perbandingan dua tokoh filosof berdasarkan tradisi yang berbeda. Kedua secara formal meninjau mengenai perbandingan pandangan-pandangan filosofis kedua tokoh atau aliran filsafat tersebut. Khususnya, penelitian ini ingin menelaah persamaan dan perbedaan pandangan dan argumentasi dari kedua tokoh atau filosof yang dimaksud44 untuk meminjam perspektif mereka berdua guna mengkritik pandangan kontemporer mengenai filsafat pengetahuan.

4. Pendekatan Penelitian Secara konkret, penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik filosofis Gadamer sebagai perspektif untuk menjelaskan dan menjawab asumsi penelitian dari data yang diperoleh. Secara umum, Hermeneutika filososfis Gadamer menawarkan suatu cara pembacaan teks yang produktif. Sasaran dari Hermeneutika Gadamer yaitu suatu penafsiran kesepahaman dengan cara tidak turut meleburkan horizon kekinian penafsir ke dalam horizon pengarang yang dapat menyebabkan keterasingan diri dari situasi si penafsir atau pembaca itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi apabila penafsir atau pembaca menyadari fakta atas “pengaruh sejarah” (effective history) yang terjadi pada situasi atau konteks si pengarang. Dengan menyadari “pengaruh sejarah” yang tersituasikan tersebut, dan menghindari dari fakta objektivisme historis, penafsir akan menghindari diri dari pengaruh klaim

44Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 83.

14

objektivistik penafsiran. Kecenderungan untuk mengejar objektivisme tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa si pengarang tidak bisa melepaskan diri dari situasi yang terjadi pada zamannya (historis). Secara teknis operasional, langkah pertama hermeneutika Gadamer yaitu dengan menekankan aspek penting “sejarah pengaruh” dari pengarang atau situasi zaman yang mempengaruhi pemikiran pengarang yang menekankan aspek historisitas suatu teks. Langkah kedua, mempertemukan horizon untuk kesepahaman yaitu bukan untuk meleburkan salah satu horizon ke yang lainnya ataupun sebaliknya, melainkan dengan tetap mempertahankan keseluruhan horizon untuk menghasilkan horizon yang baru dalam rangka sikap saling memahami. Langkah ketiga, mencapai bildung sebagai suatu sikap atau karakter diri. Upaya tersebut dapat diperjelas dengan pendasaran posisional antara saya sebagai penafsir dan teks sebagai yang saya tafsirkan yang mana keduanya saling berbeda dan dapat mencapai suatu kesepakatan bersama. Hubungan tersebut dikatakan bersifat hermeneutis karena tidak meleburkan dan mengobjektivasikan satu sama lainnya. Pengalaman hermeneutis karenanya merupakan suatu kesepahaman antara pengarang dan penafsir Penggunaan pendekatan hermeneutik filosofis Gadamer mendorong untuk menghasilkan kebaharuan dengan mempertimbangkan situasi ke kinian dari si penafsir. Dengan demikian, pembentukan diri terbentuk dari perjumpaan antar horizon yang memberi pemahaman dengan lebih luas lagi atau bildung.45

G. Sistematika Penulisan Penulisan dalam penelitian ini akan dibagi menjadi enam bab, yang digambarkan secara sistematis sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN Dalam bab satu memaparkan mengenai latar belakang masalah, identifikasi, rumusan serta pembatasan masalahnya, tujuan penelitian, signifikansinya, penelitian terdahulu, metode penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB II TEORI FILSAFAT PERSEPSI Pada bab dua membahas mengenai dasar-dasar teoritis dari persepsi terhadap kemampuan manusia mendapatkan pengetahuan inderawi. Selain itu juga dalam bab ini coba menekankan problem-problem mendasar dalam persepsi dan relevansinya terhadap realitas eksternal. Upaya tersebut dengan menelusuri pandangan dari aliran yang mengafirmasi pengetahuan inderawi.

BAB III PERSEPSI DAN PENGETAHUAN INDERAWI Bab ketiga membahasa mengenai diskurus kontemporer mengenai filsafat pengetahuan, relevansi antara pengetahuan, rasio dan indera, pengetahuan tanpa rasio dan indera dan konsekuensi yang muncul dari peran persepsi untuk membangun sistem pengetahuan inderawi. Butiran-butiran sub pembahasan tersebut bertujuan untuk menunjukkan kesinambungan dengan bab sebelumnya.

45F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015).

15

BAB IV PENGETAHUAN INDERAWI SEBAGAI SISTEM EPISTEMOLOGI BAGI GEORGE BERKELEY DAN IBN SÎNÂ Bab keempat mengulas mengenai cara tahu atau epistemologi Berkeley dan Ibn Sînâ yang meliputi daya jiwa dan korelasinya dengan roh (spirit), pikiran maupun persepsi itu sendiri, proses dari persepsi yang meliputi indera luar maupun indera dalam, konsekuensi dari proses persepsi sebagai bentuk dari hasil (ṣûrah, ma’nâ, ma’qûlât dan ideas, qualities), dan konsekuensi dari cara kerja persepsi sebagai sistem pengetahuan inderawi yang akurat dan representatif.

BAB V PENGETAHUAN INDERAWI SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN SISTEM (SYSTEMIC) ATAS REALITAS BAGI BERKELEY DAN IBN SÎNÂ Bab kelima membahas mengenai urgensitas dari peran persepsi dalam filsafat Berkeley Ibn Sînâ, yaitu hasil dari pengetahuan inderawi Berkeley dan Ibn Sînâ dan Berkeley sebagai sistem pengetahuan yang kokoh. Oleh karenanya menjadi penting relevansi antara pengetahuan dengan status keahlian (expertise) seseorang, yang juga berkaitan dengan upaya untuk membangun sistem pengetahuan. pada akhirnya, keahlian dan sistem pengetahuan menjadi amunisi penting sebagai diskursus epistemologis sebagai sasaran untuk kontribusi lebih lanjut pada persoalan epistemologi Islam.

BAB VI PENUTUP Pada bab terakhir berisi mengenai kesimpulan atas kajian komparatif-kritis beserta saran-saran akademi demi diskursus yang lebih jauh lagi.

16

BAB II TEORI FILSAFAT PERSEPSI

Pembahasan dalam bab dua ini secara umum ingin menegaskan hal-hal yang menunjang pandangan filsafat mengenai persepsi. Untuk memudahkan tujuan tersebut, upaya clarity atas definisi dari istilah persepsi dalam pandangan filsafat menjadi penting agar tidak terjadi bias dengan istilah-istilah lainnya di luar filsafat. Upaya pembedaan itu menjadi penting untuk menegaskan posisi persepsi dalam penelitian ini, namun hal tersebut hanya bersifat “sekilas”. Selain itu juga, dalam bab ini akan diurai teori-teori beserta persoalan-persoalan mendasar dari teori persepsi dalam perspektif filsafat yang bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi berbagai pandangan-pandangan teoritis persepsi. Aliran-aliran filsafat yang mengakomodir peran persepsi juga menjadi pembahasan penting lainnya yang akan diurai dalam bab ini guna mengikuti alur perdebatan teoritis dari tiap-tiap aliran mengenai konsepsi persepsi. Setelah membahas mengenai aliran-aliran filsafat yang mengafirmasi peran persepsi, selanjutnya akan mengeksplisitkan pandangan aliran empirisme yang “menggaungkan” peran persepsi secara vokal. Hal tersebut bertujuan memperjelas posisi dari Berkeley dan Ibn Sînâ sebagai kedua tokoh yang mengafirmasi peran persepsi dalam perspektif pengetahuan inderawi. Setelah empat fokus dari sub-sub pembahasan tadi, upaya peneliti selanjutnya yaitu upaya untuk menyimpulkannya dalam simpulan bab yang menjadi penting guna mempermudah pembacaan.

A. Definisi Persepsi Dalam Horizon Filsafat Kegiatan dari mempersepsi itu sendiri seakan merupakan kemampuan naluriah dari manusia. Manusia karenanya mempersepsi segala sesuatu dalam kesehariannya sebagai suatu pemberitahuan oleh indera-inderanya. Kegiatan mempersepsi itu juga mengfungsikan indera-indera sebagai keperluan kondisional. Misalnya, seseorang tidak bisa mempersepsi dengan penglihatannya tanpa adanya daya untuk melihat dengan matanya. Russell juga mendefinisikan persepsi sebagai spesies dari genus yang lebih luas yaitu sensitivity. Namun sensitivity yang tidak terbatas pada makhluk hidup semata melainkan sebagai suatu instrumen yang memberikan suatu stimulasi pada suatu perilaku tertentu yang memiliki dampak. Misalnya, lensa foto yang peka terhadap cahaya, alat ukur yang sensitif terhadap tekanan.1 Karenanya persepsi berkaitan erat dengan kepekaan akan fungsi dari indera-indera atau penginderaan yang dimiliki oleh seseorang untuk memahami dunia eksternal atau suatu objek. Secara filosofis, cara kerja otak manusia terdiri dari dua aspek, input dan output. Aspek input yaitu upaya penerimaan tanda-tanda yang diperoleh dari penglihatan, pendengaran maupun yang lainnya dari sistem syaraf. Otak karenanya menerima input-input tadi dan memprosesnya sebagai suatu informasi. Sementara itu, tanda-tanda output mengirimkan tanda-tanda ke berbagai bagian-bagian tubuh

1Bertrand Russell, An Outline of Philosophy, 8th ed (USA: World Publishing, 1972), h, 62.

17

dengan bergerak, bernafas dan aktivitas lainnya sebagai suatu hasil.2 Atau sebagai suatu unit dari pengalaman, peristiwa tersebut dapat dikatakan dengan istilah sensasi yang memiliki dua karakteristik yaitu langsung dan jelas yang berkaitan dengan pengalaman atas objek terkait.3 Secara alamiah, kegiatan “melihat suatu objek” itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang sederhana. Misalnya, dengan sekedar membuka kedua mata, objek tersebut terberi dan berada di depan mata yang dikatakan sebagai “pohon”. Padahal secara filosofis, relasi antara subjek dan objek yang dihadapannya mengandaikan suatu proses di luar dari peristiwa tersebut yang melibatkan peranan dari persepsi.4 Unsur-unsur dari pohon seperti daun, ranting dan batangnya menjadi objek pengalaman yang memiliki kualitas-kualitas yang bisa berkaitan ataupun tidak dengan pikiran maupun objek secara an sich.5 Baik secara psikologis maupun filosofis, memahami objek eksternal melibatkan dua proses yaitu proses pengenalan dengan objek itu sendiri dan proses memahaminya. Proses yang pertama dapat dikatakan sebagai sensasi sedangkan proses kedua disebut persepsi. Dalam kajian psikologi misalnya, memisahkan secara tegas antara sensasi dan persepsi yang fokus pada aspek proses. Sensasi adalah peneriman stimulus tertentu melalui alat-alat inderawi sedangkan persepsi yaitu upaya untuk menafsirkan stimulus-stimulus yang diterima otak. Secara instrumen, alat-alat inderawi sebagai penerimaan suatu stimulus tiap-tiap manusia serupa namun penafsirannya yang berbeda. Analogi dari persamaan dan perbedaan tersebut yaitu gunung sebagai suatu fenomena alam yang memberikan stimulus kepada indera-indera manusia sebagai suatu keindahan alam yang berbentuk besar. Adapun letak perbedaannya dalam hal menafsirkan keberadaan gunung tersebut yang berbeda-beda.6 Menurut peneliti, umumnya persepsi secara luas dipahami secara proses psikologis. Bagi seorang yang lama tinggal di gunung, opsi laut menjadi lebih diminati ketimbang gunung yang mana dipengaruhi oleh persepsinya terhadap gunung itu sendiri. Singkatnya, perbedaan persepsi dikarenakan perbedaan pada pengalaman dan sudut pandang. Sedangkan dalam kajian filsafat, istilah persepsi berkaitan erat dengan peranannya dalam mengkonstruksi pengetahuan. Dengan kata lain, dalam kajian filsafat peran persepsi lebih berpihak pada proses dan hasil yang berkorelasi juga dengan status dari objeknya. Terdapat dua persoalan utama yang saling beroposisi satu dengan lainnya mengenai konsep persepsi secara filosofis. Pertama, konsep

2James Rachels, Problems from Philosophy (New York: Mc Graw Hill, 2005), h. 133. 3Pemahaman mengenai objek melalui sensasi menjadi jalan yang mempengaruhi sekaligus menjadi pengalaman sebagai suatu kesatuan dalam diri. Lihat, Merleau Ponty, Phenomenology of Perception. Translated by Colin Smith (London and New York: Routledge, 1962), h. 3 4Pada konteks tersebut, proses di luar dari peristiwa atau pengalaman yaitu asumsi yang dibuat menjadi suatu penafsiran dari data-data melalui inderawi. Rachels, Philosophy, h. 49. 5Dalam hal ini, kualitas volum, berat, warna, maupun keras pada pohon sebagai objek menjadi problematis yaitu sebagai suatu gagasan terletak pada subjek atau objek. 6M. Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi Offset, 2018), h. 49.

18

persepsi berkaitan dengan kemungkinan untuk menjelaskan apa yang ditangkap apa adanya dengan mengacu pada suatu jenis yang cocok atau berkorespondensi antara isi dari pengalaman dan peristiwa yang mencakup subjek. Kedua, konsep persepsi merupakan persoalan mengenai hubungan antara tindakan pra-ilmiah mengenai suatu gagasan dan pemahaman ilmiah yang rinci mengenai persepsi yang nampak hanya sebagai hasil dari investigasi empiris yang teliti.7 Dari kedua persoalan yang saling beroposisi menyiratkan bahwa persepsi secara alamiah merupakan instrumen atau perangkat yang dimiliki setiap orang yang menekankan aspek penting proses dan hasil yang sebagai produk pengetahuan. Namun menurut peneliti, kegiatan dalam mempersepsi memerlukan akurasi untuk memilah-milah realitas dan memahaminya yang akan dieksplisitkan lagi pada pembahasan selanjutnya. Menelusuri istilah persepsi dalam ensiklopedia filsafat menjadi penting sebagai langkah awal untuk membuat batasan yang tegas (defnisi) dari istilah-istilah persepsi dalam bidang keilmuan lainnya. Dalam Encyclopedia Routledge, persepsi merupakan penggunaan panca indera untuk memperoleh suatu informasi mengenai dunia sekitar dan menjadi saling mengenal dengan berbagai objek, berbagai peristiwa beserta keutamaan-keutamaannya. Secara tradisional, persepsi memerlukan kelima panca indera seperti; penglihatan, perabaan, pendengaran, penciuman dan pengecapan.8 Sedangkah dalam Encyclopedia of istilah persepsi berkaitan dengan kemampuan spekulasi mental manusia dan penjelasan intelektualnya. Namun, istilah persepsi terkadang dipakai dalam konteks yang beragam. Misalnya, istilah persepsi untuk menjelaskan teori pengetahuan (إدراك) Dalam penelitian ini, istilah persepsi atau 9.(تص ّور) maupun teori logika (إدراك) dibatasi seputar persoalan yang berkaitan dengan upaya untuk mengkonstruksi pengetahuan (teori pengetahuan). Definisi dari persepsi dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan pandangan filsafat yang menyoroti persoalan peranan indera-indera untuk mendapatkan pengetahuan, bukan fokus pada cara kerja pikiran sebagai alur logis. Adapun penggunaan istilah persepsi sebagai ekspresi bahasa, berbeda-beda antara filosof Islam dan filosof Barat namun tanpa mengurangi makna konten dari istilah persepsi itu sendiri. Dalam kajian semiologi Barthesian, perluasan ekspresi bahasa tidak mempengaruhi konten dari makna atau yang disebut dengan metalanguage.10 untuk konten dari (إدراك) Misalnya Ibn Sînâ yang menggunakan ekspresi bahasa istilah persepsi sedangkan Berkeley menggunakan ekspresi bahasa perception untuk konten dari istilah persepsi.11 Secara semiologi Barthesian, perbedaan dari metalanguage yang digunakan tidak mempengaruhi dari konten istilah persepsi yang

7Paul Coates, The Metaphysics of Perception (New York and London: Routledge, 2007), h. 95. 8The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, edited by Edward Craig (London and New York: Routledge, 2005), h. 775. 9The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy, edited by Oliver Leaman (London: Bloomsbury Academic, 2006), h. 202. 10Roland Barthes, Elements of Semiology, Translation by Jonathan Cape (New York: Hill and Wang , 1964), h. 93. 11Lihat Ibn Sînâ, ahwâl al Nafs dan Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge.

19

digunakan oleh keduanya. Dengan kata lain, untuk merujuk pada makna konten dari istilah dan fungsi persepsi dari Ibn Sînâ maupun Berkeley dapat disamakan dengan satu ekspresi bahasa saja yaitu persepsi. Persoalan awal yang meliputi persepsi ditinjau dari pendefinisiannya yaitu terletak pada demarkasi antara penampakan dan kenyataan. Dalam kajian filsafat, kedua hal tersebut sangat kontradiktif meskipun bertolak dari realitas eksternal. Misalnya saja meja sebagai benda yang dapat dikenali dengan indera-indera berdasarkan warna, tekstur, bentuknya. Melalui warnanya, bagi sebagian orang melihat warna meja tanpa pantulan cahaya namun bagi sebagian ang lainnya, dari sisi yang berbeda, dapat melihat warna meja beserta pantulannya. Begitu juga dengan teksturnya, dengan mata dapat diketahui halus atau kasar permukaannya namun melalui mikroskop, dapat lebih diketahui alur dari serat-serat dan garis-garis pada permukaan meja tersebut. Memperhatikan bentuk meja dari berbagai sudut penglihatan juga akan tampak saling berbeda-beda. Meja persegi panjang apabila dilihat condong dari sisi sebelah kiri, akan tampak bahwa sisi yang sebelah itu memiiki panjang yang berlebih dari sisi yang satunya. Dari ketiga hal tadi menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara meja yang tampak oleh subjek dengan meja yang sebenarnya itu sendiri.12 Studi filosofis mengenai persepsi berpihak pada acuan, yaitu dunia eksternal sebagai objek yang dipersepsi yang berarti bahwa kegiatan mempersepsi mengafirmasi fungsi-fungsi dari alat penginderaan. Sedangkan secara filosofis juga diskursus mengenai persepsi di bagi menjadi dua bentuk afirmasi yaitu secara epistemologi dan fenomenologi. Secara epistemologi, penekanan pesepsi lebih pada suatu peran yang memberikan kepada subjek suatu informasi mengenai dunia eksternal. Adapun secara fenomenologi, penekanan persepsi lebih pada aspek kesadaran dari suatu pengalaman visual.13 Dari kedua tipologi mengenai diskursus persepsi secara filosofis, penelitian ini berada pada wilayah yang mengafirmasi secara epsitemologis yang berkaitan dengan proses yang memungkinkan terjadinya suatu pengetahuan. Mendudukan penekanan persepsi secara epistemologis menjadi penting guna menghindari pembahasan mengenai persepsi sebatas pengetahuan mengenai objek yang memungkinkan di dunia ini yaitu yang nampak dalam kesadaran.14 Persepsi dalam penelitian ini berarti merupakan pembahasan filosofis yang berkaitan dengan wilayah epistemologi. Mendefinisikan persepsi di awal pembahasan menjadi penting untuk melakukan positioning atau pijakan dari apa yang diteliti. Dengan menempatkan

12Dengan kata lain, persoalan yang kemudian muncul dari demarkasi antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality) yaitu mengenai relasi data-data inderawi yang diperoleh subjek dengan meja yang hakiki yang disebut sebagai objek fisik. Himpunan dari objek fisik kemudian disebut dengan materi yang dipertanyakan eksistensinya dan hakikatnya. Lihat, Bertrand Russell, The Problems of Philosophy, 2th ed (Oxford: University Press, 1998), h. 2-4. 13William Fish, Philosophy of Perception (New York and Londong: Routledge, 2010), h. 1 14Nini Praetorius, “The Problem of Consciousness and Conten in Theories of Perception” dalam Department of Psychology University of Copenhagen, 12 January, 2007, h. 354.

20

pijakan pada tempat tertentu yang dipilih juga menjadi suatu dasar yang perlu dipatuhi sebagai suatu konsekuensi dan prinsip-prinsip dari apa yang telah didefinisikan tersebut. Dengan melakukan pendefinisian juga berarti upaya melakukan penjernihan terhadap konsep yang digunakan dalam penelitian ini yang berarti bahwa memudahkan suatu analisis dalam pembahasan selanjutnya dan mempermudah untuk melakukan perinciannya juga. Istilah persepsi yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang telah diungkapkan di atas tadi, bertolak pada pengalaman-pengalaman inderawi yang mana menunjang suatu proses dari terbentuknya suatu pengetahuan atau epistemologi. Peranan dari persepsi itu sendiri dalam penelitian ini untuk mengkonstruk pengetahuan inderawi menempati posisi sentral yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Paragraf akhir mengenai definisi dari persepsi dalam penelitian ini diakhiri dengan menghubungkan antara persepsi dengan paham dari kenyataan atau realisme. Secara umum, realisme dapat berarti suatu paham mengenai kenyataan sebagai hal konkret maupun abstrak, tergantung pada aliran dari filsafat yang dianut. Kegiatan dari persepsi itu sendiri juga berkaitan dengan term pengalaman perseptual (perceptual experience) yang membicarakan seputar sensasi, kesan inderawi, maupun elemen-elemen dari penampakan. Misalnya: melihat pohon rambutan berbuat lebat, mendengarkan permainan suling, dan menyentuh jok berkulit sapi,15 yang menurut penulis, kesemuanya merupakan pengalaman perseptual karena berkaitan dengan sensasi dari objek dan kesan yang didapat darinya. Pengalaman perseptual juga berbeda-beda bagi tiap-tiap orang namun dengan acuan objek yang sama. Menjadi persoalan lanjutan bila konsisten dengan distingsi sebelumnya yaitu secara psikologis, dengan acuan objek yang sama namun dipersepsikan secara berbeda-beda. Namun secara filosofis, yang menjadi penekanan yaitu proses yang sama dari tiap-tiap orang dalam mempersepsi dan hasil yang didapatkanya. Perbedaan pandang dari tiap-tiap filosof menjadi hal yang lumrah, sama halnya dengan perbedaan pandang mengenai teori-teori persepsi. Namun sebelum tiba pada ragam dari perbedaan mengenai teori-teori persepsi pada sub bab selanjutnya, teori-teori tersebut memiliki karakteristik dua pertanyaan besar dalam filsafat persepsi. Kedua hal tersebut yaitu yang concern pada perkara persepsi secara langsung (direct) atau tidak (indirect) dalam konteks penerimaan antara subjek (perceiver) dengan objeknya (perceived).16 Asumsi dari mempersepsi secara langsung yaitu mengetahui suatu objek apa adanya dari objek yang bersangkutan. Konsekuensinya, terkadang objek yang nampak dan dipahami tidak sesuai dengan kenyataannya. Sedangkan asumsi dari mempersepsi secara tidak langsung yaitu megetahui suatu objek berdasarkan gambaran mental, kesan, ingatan, imajinasi yang mewakili dari objek yang bersangkutan. Konsekuensinya, seolah terisolasi dan berjarak dari objek serta tidak mengenali objek itu sendiri tanpa melalui pikiran. Dua perbedaan mendasar yang berkaitan dengan persepsi tadi yang akan banyak diulas pada sub selanjutnya.

15Barry Maund, Perception (Chesham East Street: Acumen, 2003), h. 51. 16Maund, Peception..., h. 6.

21

B. Seputar Problematika Dari Teori-teori Persepsi Setelah mengulas mengenai definisi persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini, hal penting selanjutnya yaitu mengurai mengenai macam-macam teori yang terdapat dalam persepsi. Setidaknya ada tiga macam teori dari persepsi yang pertama yaitu sense data, adverbial dan intentional. Istilah dari sense data merupakan istilah yang diberikan Russell untuk sesuatu yang diketahui secara seketika melalui proses sensasi.17 Dalam kajian filsafat, perlu dipertegas kembali perbedaaan antara sensasi dan persepsi. Mengikuti distingsi yang diberikan oleh Locke, sensasi merupakan pengenalan awal mengenai objek eksternal yang menghasilkan ide-ide sederhana. Adapun pengenalan lanjutan untuk menghasilkan ide-ide abstrak dapat dikatakan sebagai persepsi.18 Atau penulis tafsirkan dari gagasan Locke bahwa kontak langsung terhadap objek yang menghasilkan ide parsial mengenai objek tersebut merupakan sensasi. Adapun upaya mempertimbangkan, merefleksikan dan mengabstraksikan ide-ide parsial yang didapat dari objek merupakan persepsi.19 Pertama yaitu teori sense data yang memiliki karakteristik menawarkan untuk menganalisis pengalaman visual (visual experience),20 Visual experience yang dimaksud yaitu tempat, ingatan, yang murni sebagai kasus dari persepsi, halusinasi dan ilusi. Ilusi merupakan suatu kasus yang mana suatu objek terlihat namun tidaklah demikian sebenarnya. Sedangkan halusinasi merupakan suatu kasus yang mana suatu objek nampak oleh subjek namun sebenarnya tidak ada sesuatu objek yang terlihat.21 Contohnya yaitu pada karya seni Ponzo sebagai berikut:

Gambar 1. Ilusi Ponzo

17Lihat Sajahan Miah, Russell’s Theory of Perception: 1905-1919 (London&New York: Continum, 2006), h. 52. 18Lihat John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, (The Pennsylvania State University, 1999). 19Namun kedua istilah sensasi dan persepsi juga sering dipertukarkan karena kegagalan untuk membuat distingsi yang ketat dan cenderung menghubungkan keduanya begitu saja. Dalam bahasa Latin maupun Prancis, istilah sentire atau sentir diterjemahkan untuk mengindera, merasan dan memahami. Selain itu, persepsi cenderung dianggap aktivitas pasif sedangkan sensasi aktif padahal, sensasi tidak memberikan informasi melebihi dari yang disajikan oleh persepsi. Lihat, D.W. Hamlyn, Sensation and Perception A History of the Philosophy of Perception. London: Routledge & Kegan Paul), h. 186-187. 20Visual experience merupakan istilah William Fish yang merujuk pada kata umum mengenai persepsi, ilusi dan halusinasi serta mengabaikan tiga prinsip kunci (the representational, the common factor dan the phenomenal). Lihat, William Fish dalam Philosophy of Perception. 21William Fish, Philosophy of Perception (New York and London: Routledge, 2010), h. 3.

22

Contoh dari ilusi tersebut yaitu mengenai garis lurus horizontal di antara kedua garis miring yang sejajar dan berdekatan. Garis lurus horizontal tersebut yang secara sebanding panjangnya yang diletakan di sisi atas dan bawah. Dengan kata lain, terlihat bahwa seolah panjang garis horizontal saling berbeda panjangnya padahal sebenarnya tidak. Atau dapat dikatakan sebagai ilusi visual. Sedangkan contoh dari halusinasi yaitu bagi seorang anak yang sedang melihat ayahnya padahal ayahnya sedang di luar kota. Ilusi dan halusinasi merupakan dua hal dan keadaan yang sering meliputi dalam kegiatan mempersepsi. Baik ilusi maupun halusinasi merupakan argumentasi dari paham realisme yang memandang bahwa kenyataan merupakan sesuatu yang dapat dipersepsi apa adanya atau naїve realism. Paham yang demikian juga sebagai relasi perseptual “kuno” 22 yaitu suatu fakta-fakta konkret yang dapat dipersepsi dan terdiri dari benda-benda yang dianggap saling berkaitan dengan contoh dari kualitas- kualitas sensible yang mereka miliki bersama. Atau bisa juga diilustrasikan sebagai berikut: S (perceiver) O (perceived) = Q (kualitas-kualitas mental/perceiving). Dapat terjadi jika objek persepsi dan subjek pemersepsi berkoresponden dengan perantara gambaran-gambaran pikiran, idea dan tanpa pemisahan tegas antara penilaian yang benar (correct) dan salah (incorrect).23

Pada kasus ilusi dan halusinasi, isi dari pengalaman persepsi diambil seutuhnya dari objek eksternal tanpa menegaskan kualitas benar (correct) dan salah (incorrect) yang ada pada benda dan korelasinya dengan pikiran subjek. Isi dari pengalaman yang peneliti maksud yaitu konsep murni abstrak universal maupun konsep konkret parsial sebagai konsekuensi kegiatan dari persepsi. Karenanya, teori dari sense data dapat dimengerti sebagai suatu pertemuan (konfrontasi) sekaligus pemisahan (distingsi) antara data-data yang diperoleh dari objek dengan kenyataan yang sejati dari objek tersebut. Pertemuan yang dimaksud yaitu perjumpaan subjek (pemersepsi) dengan objek (objek persepsi), sedangkan pemisahannya yaitu batas perbedaan antara kesadaran terhadap objek dengan kenyataan dari objek itu sendiri yang berbeda.24 Singkatnya menurut peneliti, teori sense data ingin mengafirmasi perbedaan antara pengalaman mengenai objek dengan objek itu sendiri sebagai suatu kenyataan. Atau dengan cara yang lain, teori dari sense data berkaitan dengan kelompok critical realism yang menyatakan penolakan bahwa kesadaran atau persepsi mengenai objek bersifat langsung dan tanpa perantara. Adapun kelompok new realism berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui secara langsung melalui indera persepsinya yang kembali pada doktrin mengenai common sense soal kenyataan. Teori dari sense data karenanya

22M.G.F. Martin, “Shibboleth: Some Comments on William Fish’s Perception, Hallucination & Illusion,” in Springer Science+Business Media Dordrecht, 11 January 2013, h. 38. 23Formula dari bagan tersebut peneliti sadur dan kembangkan dari formula bagan William Fish dalam, Philosophy of Perception..., h. 16. 24Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge (New York: Fordham University Press, 1982), h. 88.

23

mengasumsikan bahwa benda-benda di luar diri sesungguhnya tidak hadir dalam kesadaran melainkan hanya sense data (gambaran mental, rasa ataupun data) yang hadir dalam kesadaran manusia.25 Kedua, yaitu teori adverbial yang memiliki karakteristik yang tidak memberikan porsi bagi objek-objek mental dalam pikiran. Atau lebih eksplisit lagi, teori adverbial mengafirmasi pengalaman visual (visual experience) bukanlah suatu perstiwa yang memiliki sense data namun lebih pada peristiwa dari objek itu sendiri yang dialami secara langsung sebagai cara yang khas. Misalnya, ketika melihat segitiga berwarna merah, dalam pandangan adverbialist, yang dilihat bukanlah warna merah secara entitas mental melainkan melihat entitas materialnya dengan cara yang khas yaitu “kemerahannya” (redly).26 Atau bisa diilustrasikan sebagai berikut:

S (perceiver) O (perceived) = Q (keterangan material/perceiving). Relasi itu dapat terjadi jika objek persepsi (O) dan subjek (S) pemersepsi saling berkoresponden secara langsung.

Bagi teori sense data mengandalkan representasi dengan alasan bahwa yang dapat diketahui dari suatu objek bukanlah objek itu sendiri melainkan gagasan-gagasan mengenainya. Atau dengan istilah lainnya yaitu terjadi relasi kausal ketika subjek (S) mempersepsi objek (O) sehingga menghasilkan sensum (S) mengenai objek (O).27 Teori dari adverbial bisa juga dikatakan sebagai pengalaman perseptual yang mengafirmasi paham realisme secara langsung (direct). Terdapat dua kategori dari para pendukung teori adverbial yaitu konseptual dan non-konseptual yang bersifat dilematis. Secara konseptual, pandangan mengenai teori adverbial dapat bersifat representatif dan pada saat yang berlainan secara secara non-konseptual juga bersifat kolektif dari data-data inderawi.28 Dari kedua kategori tersebut menurut peneliti, bukanlah paham dari realisme langsung (direct) karena prosesnya terjadi dengan perantara (mediately). Ketika mengalami objek dengan perantara, yang hadir pada subjek yaitu representasi mental atau data-data inderawi sebagai pengalaman perseptual. Kekurangan dari teori adverbial yaitu untuk mengidentifikasi dua objek pada satu waktu yang bersamaan. Asumsinya, terdapat perbedaan gambaran mental pada jumlah yang melebihi dari dua obek terkait. Contohnya, mempersepsi dua kertas persegi empat yang saling berdekatan yang berwarna merah dan hijau yang diletakkan di atas meja. Apakah persepsi itu terkait kemerahannya atau

25Singkatnya, bisa dikatakan bahwa sense data menyatakan sifat dari objek-objek eksternal sebagaimana sifat dari persepsi pikiran. Lihat, Titus, Living Issues in Philosophy, 3th ed (New York: American Book Company, 1959), h. 262-263. 26Fish. Perception..., p. 36. 27 Dengan istilah yang berbeda, teori sense data mengafirmasi teori kausal dari persepsi. Lihat, Valtteri Arstila dan Kalle Pihlainen dalam “The Causal Theory of Perception” in Springer: Science=Business Media, 2009), 1 June 2007, h. 397-398. 28Maund, Perception..., h. 197.

24

kehijauannya.29 Jangkauan dari teori adverbial juga terlalu sempit untuk mengidentifikasi ragam karakter seperti “kemerahan” dan “kesisian” pada satu objek segitiga.30 Perbedaan antara teori adverbial dengan sense data cukup berjarak yang mana teori adverbial menekankan pada entitas kebendaannya (objek) sedangkan teori sense data menekankan pada representasi mentalnya (subjek). Meskipun kedua dari teori tersebut beserta penekananya memiliki aspek persamaan yaitu sebagai peristiwa awal persepsi. Suatu peristiwa dapat pula dikatakan sebagai dunia yang terdiri dari aspek linguistik yang berarti bahwa teori adverbial menegaskan setiap peristiwa yang ada di dunia yang dapat dinyatakan dengan kalimat afirmasi keterangan mengenai keberadaan dunia. Artinya, keberadaan dunia dapat diekspresikan dengan mengatakan bahwa dunia itu ada di sini dan di sana, merujuk pada suatu keterangan tempat. Pandangan mengenai adverbial tersebut merupakan suatu pandangan ontologis dalam filsafat di mana dunia merupakan satu-satunya penghuni realitas.31 Teori adverbial juga lahir sebagai respon dari problem persepsi yang muncul ketika menganalisis pemahaman persepsi dunia dalam keseharian yang mengasumsikan kontak langsung ke objek-objek realitas eksternal.32 Menurut peneliti, teori adverbial dari persepsi pada perkembangannya masih relevan yang melingkupi berbagai bidang kajian seperti kajian ontologi, linguistik maupun fenomenologi. Ketiga, yaitu teori intentional yang memiliki karakteristik relasional dengan objek yang mengafirmasi dari aspek visualnya. Suatu pengalaman perseptual bersifat intensional yaitu ketika mempersepsi dengan membawa isi dari objek persepsi yang dimaksud, yaitu ketika isi tersebut merepresentasikan sesuatu sebagai objek dengan cara tertentu. Adapun pengalaman perseptual bersifat sensuous sensory yaitu ketika memiliki rangsangan dari indera. Perbedaan antara intensional dan sensuous sensory adalah yang satu mengabaikan aspek dari merasakan (tastes) sedangkan yang terakhir mengecilkan aspek dari melihat (looks). Artinya perbedaan keduanya terletak pada tendensi persepsi yang berbeda pula antara yang menekankan aspek penting fungsi penglihatan dan yang menekankan pada aspek penting fungsi merasakan.33 Dengan cara yang lain, ungkapan dari intentional

29Frank Jackson, “Symposium: The Adverbial Analysis of Visual Experience”, in Metaphilosophy, Vol. 6. No. 2, April 1975), h. 130. 30Untuk menyelesaikan problematika mengidentifikasi objek pada waktu yang bersamaan dari teori adverbial, perlu menyelesaikan dua hal krusial. Pertama, kriteria spesifik dari identitas sensai perlu disebutkan. Kedua, kondisi-kondisi dari identitas sensasi harus dipahami agar tidak mengikat teori adverbial pada keberadaan dari objek sensasi. Lihat, Albert Casullo, “Adverbial Theories of Sensing and The Many-Properti problem,” in Philosophical Studies: D. Reidel Publishing Company, 22 September 1982, h. 153. 31Andrea Borghini, “The Adverbial Theory of Properties,” (Springer: Science+Business Media, Ontology Metaphysics, 2012, h.108&122. 32Anja Berninger, “Thinking Sadly: In Favor of an Adverbial Theory of Emotions,” in Routledge: Philosophical Psychology, 2016, h. 7. 33Contohnya, munculnya gambaran mental mengenai cangkir di hadapan, pohon yang dilihat dari jendela kamar, mengenai suara sirene mobil dari kejauhan. Contohnya,

25

mendorong untuk melihat kepada subjek (perceiver) untuk mencari sumber dari tindakan (perceive) meskipun identifikasi mengenainya biasanya berdasarkan pada konsekuensi eksternal dari tindakan intensional yang relevan.34 Atau menurut peneliti, teori intentional mengafirmasi sikap dari subjek (perceiver ) beserta intensinya (keterarahan) pada objek (perceived). Poin dari teori intentional yaitu adanya suatu keterkaitan antara subjek (perceiver) dengan objeknya (perceived) dalam hal isi dari pengalaman sebagai bukti dari keberadaan objeknya. Keterkaitan antara subjek (perceiver) dengan objek (perceived) dapat dikatakan juga merupakan hubungan kausal yang berkenaan dengan persoalan objek rujukan (reference). Menghubungkan antara teori intentional dengan causal of reference atau rujukan kausal menjadi penting. Asumsi dari teori ini yaitu untuk menjembatani perbedaan antara pengguna bahasa dengan acuan yang mereka gunakan. Sedangkan penyesuaian keduanya, intentional dengan causal of reference, terletak pada persamaan mengenai penekanan konsep yang sama-sama mendukung kebebasan mengenai konsepsi rujukan.35 Singkatnya, teori intentional menerima representasi sebagai prinsip-prinsip mental yang mana subjek (perceiver) mengambil tindakan dalam proses mempersepsi (perceive) suatu objek (perceived) dengan isi (content) yang dimaksud (intentional). Dapat digambarkan sebagai berikut:

Perceiver (S) mengambil tindakan persepsi kepada objeknya (O) menghasilkan representasi mental (R) tanpa mengenai objek tersebut secara langsung. Isi dari persepsi adalah gambaran mental (representasi) bukan objek itu sendiri secara langsung.

Asumsinya yaitu, setiap fenomena dari pengalaman visual “selalu” dideterminasi oleh isinya (content).36 Dengan kata lain, objek beserta kualitasnya memiliki sesuatu yang membuat subjek mengacu padanya.

munculnya rasa manis saat mencicipi sirup, aroma tajam pada bawang, pemandangan langit sun set yang menakjubkan di pantai Kuta. Lihat, Maund, Perception..., h. 149. 34Tindakan intensional itu merupakan suatu keadaan yang mana subjek (perceiver) menyadari mengenai kemungkinan perselisihan yang menyiratkan kesadaran verbal atau kemampuan untuk mendeskripsikannya. Karena itu terdapat berbagai situasi yang mengeksplisitkan seseorang untuk mendeskripsikan peristiwa dengan penyesuaian untuk membuat apabila menghadapi pertentangan atau kegagalan.Philip N. Hineline, “When we Speak of Intentions,” dalam Springer Science+Business Media: Department of Psychology Philadelpia University, New York, 2009, h. 210. 35Misalnya, untuk rujukan dari kata “pisang”, menjadi suatu ketetapan dengan menggunakan istilah tersebut dengan alasan sebagai causal dari rujukan atas serangkaian peristiwa yang diamati. Penggunaan dari term yang merujuk secara sukses atas rujukan yang sama dari kata “pisang” berkaitan dengan aspek historis dari penggunaan awal kata tersebut. Melalui bahasa, subjek (perceiver) dapat memperoeh hubungan kausal atas entitas di dunia sebagai fenomena dan pemberian istilah alami atau juga penamaan dari sesuatu yang unobservable yang menghasilkan fenomena sebagai dari kondisi causal. John Michael dan Miles MacLeod, “Aplying The Causal Theory of Reference to Intentional Concepts” (Philosophy of Science Association: University of Chicago Press, 2016, h. 215. 36Lebih dari itu, para pendukung teori intensional berpandangan bahwa tindakan dari persepsi yang mengarah pada isinya sangat penting seperti tindakan mempercayai dalam

26

Baik teori sense data, adverbial maupun intentional ketiganya memiliki penekanan dan prinsip-prinsip yang berbeda satu sama lain. Penekanan dari teori sense data misalnya, berpihak pada persepsi tidak langsung (indirect) dengan menekankan aspek representasi mental, kesadaran pada fenomena objek yang terberi dan mengakomodasi ilusi maupun halusinasi sebagai prinsipnya dalam penampakan objek. Penekanan teori adverbial misalnya, berpihak pada persepsi langsung (direct) dengan menekankan aspek yang mengakomodir begitu saja ilusi dan halusinasi pada penampakan objek. Sedangkan penekanan dari teori intentional misalnya berpihak pada representasi mental dan mengakomodasi penampakan apa adanya, ilusi dan halusinasi. Selain itu juga, teori dari intentional tidak hanya berkaitan dengan persoalan persepsi dalam bidang filsafat melainkan berkaitan juga dengan tindakan berbahasa maupun ekspresi linguistik sebagai suatu makna. Atau bila digambarkan sebagai berikut:

S memiliki makna sesuatu dengan “mengucapkan” Y dapat terjadi jika S “memaksudkan” ungkapkan Y untuk menghasilkan efek tertentu bagi audiens sebagai ekspresi dari makna.37

Sebagai penutup, ketiga teori persepsi tadi menjadi potret gambaran penting untuk mengkaji persepsi dalam pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ.

C. Sumber Pengetahuan Secara Kaleidoskopis Dari Para Filosof Modern Mengenai Persepsi Diskursus mengenai pengetahuan dalam persoalan epistemologi, tidak bisa lepas dari upaya untuk mendudukan sumber pengetahuan sebagai upaya filosofis untuk menjelaskan proses mengetahui itu sendiri. Pada umumnya, kegiatan mengetahui berkaitan dengan upaya untuk menjustifikasi keyakinan yang dipegang sebagai suatu kebenaran, atau dapat dikatakan sebagai justified true belief. Kegiatan umum dalam mengetahui juga melibatkan tiga tingkatan (leveling) yang bertahap yang berkaitan dengan objeknya. Tahap pertama, berkaitan dengan objek-objek inderawi atau faktual (sense perception), tahap kedua, berkaitan dengan pemahaman (understanding) atas data yang diperoleh atas objek. Sedangkan tahap ketiga, berkaitan dengan aspek pertimbangan dan penegasan putusan (judgment) sebagai tahap puncak yang mengikat dua proses sebelumnya.38 Menurut peneliti, tahapan- tahapan yang demikian sebagai suatu proses untuk mengetahui mengarah pada diskursus mengenai sumber pengetahuan yang menekankan peran penting persepsi. Peranan persepsi dalam kajian filsafat untuk memperoleh pengetahuan telah menjadi diskursus yang cukup panjang yang merupakan bagian dari cabang filsafat

kegiatan mempersepsi bahwa tidak memerlukan kepercayan pada kontennya. Lihat, Fish, Perception..., h. 65-66. 37Misalnya, seseorang yang memberikan kedipan mata kepada temannya dalam forum pembicaraan dengan tiga orang, yang merupakan ekspresi makna pembicaraan yang membosankan dengan maksud (intention) untuk mengakhiri pembicaraan dan beranjak darinya. Lihat, Stephen Schiffer, “Intention and Convetion in The Theory of Meaning” (John Wiley & Sons: A Companion to The Philosophy of Language, 2017, h. 56. 38Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 64

27

yaitu epistemologi. Karenanya, pembatasan pembahasan persepsi dalam sub pembahasan ini hanya pada masa modern untuk efisiensi dan efektifitas pembahasan. Peran dari persepsi itu sendiri karenanya perlu dilihat sebagai upaya sistematis dan filosofis untuk membangun suatu sistem pemikiran filsafat yang rigour (ketat) dan accurate (tepat). Untuk membangun suatu sistem, terlebih dahulu perlu memposisikan filsafat sebagai disiplin yang memandang dirinya bertugas untuk menuliskan atau menghilangkan klaim atas pengetahuan yang dihasilkan oleh sains, moralitas, seni atau agama. Filsafat sebagai sistem pemikiran yang berpihak pada rigorous (keketatan) dan accuracy (ketepatan) karenanya berdasarkan pemahaman mengenai sifat dari pengetahuan dan pikiran. Sedangkan tokoh dari filosof modern yang dipilih yaitu Descartes, Locke dan Ponty. Pemilihan Descartes karena pandangannya mengenai pikiran sebagai suatu entitas yang terpisah di mana suatu proses terjadi. Pemilihan Locke karena pandangannya mengenai teori pengetahuan berdasarkan pemahaman atas proses mental.39 Sedangkan pemilihan Ponty karena pemikirannya yang concern mengenai persoalan persepsi dengan cara yang berbeda yaitu secara fenomenologis. Menurut peneliti, pemilihan ketiga tokoh filosof tadi secara kaleidoskopis sangat representatif untuk memposisikan peran dari persepsi. Pertama, Descartes sebagai filosof yang justru menegasikan peran dari persepsi namun penting untuk melihat perspektifnya mengenai persepsi. Persepsi dalam bahasa Latin: sentire sedangkan dalam bahasa Prancis: sentir, bagi Descartes merupakan kegiatan yang berkaitan dengan indera serta bersamaan dengan hadirnya tubuh untuk memperoleh pemikiran. Kontras dari persepsi, berpikir merupakan suatu hal yang berkaitan dengan keberadaan diri dan aku selama aku berpikir.40 Dengan kata lain menurut peneliti, tanpa hadirnya tubuh tidak ada kegiatan mempersepsi sedangkan tanpa hadirnya tubuh, kegiatan berpikir dapat terjadi. Berpikir karenanya tidak memerlukan atribut dari tubuh dan bagi Descartes, tubuh dan pikiran merupakan dua entitas yang berbeda. Atau dengan pembacaan lainnya, pikiran bersifat a historis karena tidak terkait dengan entitas material (tubuh dan objek-objek eksternal). Meskipun merupakan dua entitas yang berbeda, namun pikiran dan tubuh memiliki keterkaitan relasional.41 Misalnya dalam contoh kasus mempersepsi warna dan bentuk dari benda segitiga, gelombang-gelombang cahaya yang memantul dari objek segitiga tersebut mempengaruhi mata dan lalu otak. Konsekuensi dari dikotomi antara pikiran dengan tubuh sebagai entitas yang berbeda yaitu munculnya perbedaan antara ide pikiran (res cogitan) dengan ide keluasan (res extenta) sebagai perbedaan yang jelas (clearly) dan terpisah

39Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), h. 3-4. 40Rѐnѐ Descartes, Discourse on Methode and Meditations. Translated by Laurencee J. Lafleur (USA: The Liberal Art Press, 1960), h. 84. 41Hubungan resiprokal antara jiwa atau pikiran dengan tubuh membuat perubahan dalam otak yang dapat dikatakan seseorang memiliki penginderaan secara visual dalam pikiran atau jiwanya. Descartes menyebut lokasi di dalam otak yang menghubungkan syaraf otak dengan jiwa sebagai pineal gland (kelenjar pineal). Lihat, Husain Heriyanto, “Menuju Realisme Eksistensial Ekologis Berdasarkan Teori Persepsi Mullâ Shadrâ,” (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2013), h. 79-80.

28

(distinctly). Ketika pikiran mempersepsi suatu objek misalnya lilin, antara pikiran dan objeknya merupakan suatu keterpisahan (distinctly). Penilaian tersebut juga menunjukan bahwa lilin sebagai objek eksis karena dilihat yang juga membuktikan bahwa eksisnya diri karena melihat objek. Ketika berpikir melihat sesuatu, tentu pikiran itu bukanlah sesuatu yang dilihat tersebut. Lilin sebagai objek yang dilihat karenanya merupakan sesuatu di luar (external) diri.42 Menurut peneliti, hal tersebut dapat dielaborasi bahwa sesuatu yang berpikir (res cogitan) merupakan hal yang terbebas dari belenggu materi, sedangkan sesuatu yang berkeluasan (res extenta) merupakan hal yang terjerat dalam materi. Terbebas dari belenggu materi yaitu tidak tergantung pada adanya tubuh (unlimited) sedangkan terjerat dalam materi yaitu memiliki ukuran, berat dan keterbatasan tertentu (limited). Descartes tidak memberikan peranan penting bagi persepsi sebagai suatu cara memperoleh pengetahuan meskipun apa yang diterima oleh indera dapat dikatakan sepenuhnya benar, namun cenderung menipu. Mengeksplisitkan hal tersebut misalnya, indera mata dapat melihat gugusan bintang pada langit di malam hari. Penerimaan akan adanya bintang oleh indera mata dapat diterima sepenuhnya benar. Namun kualitas ukuran dari bintang seperti titik kecil di langit merupakan “tipuan” yang diberikan pula oleh indera pada saat yang bersamaan. Atau seperti yang tertulis dalam teks meditation sebagai berikut:

“Everything which i have thus far accepted as entirely true [and assured] has been acquired from the senses or by means of the senses. But i have learned by experience that these senses sometimes mislead me, and it is prudent never to trust wholly those things which have once deceived us.”

Karena itu bagi Descartes, peranan indera sebagai suatu pengalaman dapat pula dikatakan sebagai persepsi inderawi yang terkadang apa yang diberikan oleh indera (perceptible) juga bersifat menipu.43 Dengan demikian bagi peneliti, meskipun Descartes membicarakan peranan persepsi namun hanya sebatas pengenalan awal yang belum memberikan jaminan akan kepastian pengetahuan yang ia cari. Jaminan kepastian pengetahuan bagi Descartes yaitu rasio itu sendiri ketimbang persepsi atau perolehan informasi dari indera-indera. Jaminan kepastian dari rasio yaitu dengan cara berpikir untuk memahami, menegaskan, menyangkal, berkehendak, menolak berimajinasi dan juga mempersepsi. Namun di tempat yang berbeda, Descartes menegaskan bahwa persepsi yang dimaksud yaitu bukan penglihatan, sentuan atau imajinasi melainkan pemeriksaan dengan pikiran yang dapat sempurna ataupun membuat bingung. Atau bisa juga menjadi jelas (clearly) dan terpilah (distictly) dari yang terberi oleh persepsi sebagai sesuatu yang melayani pikiran atau sesuatu yang telah tersusun.44 Menurut peneliti, peran dari persepsi tidak diabaikan begitu saja oleh Descartes namun belum mencapai derajat kepastian dan meyakinkan pengetahuan yang ia cari sehingga belum dapat ia terima. Justru hakim akhir yang memberikan derajat kepastian dan keyakinan bagi Descartes yaitu peran dari rasio yang mana dengan memikirkan ada ide keluasan dan ide pikiran,

42Descartes, Meditation..., p. 90. 43Descartes, Meditations..., h. 76. 44Descartes, Meditations..., h. 88-89.

29

menunjukan ada Penjamin bagi kebenaran ide-ide tersebut yaitu Tuhan sebagai penjamin Kepastian dan Kebenaran pengetahuan.45 Paragraf akhir mengenai pandangan Descartes dapat ditutup dengan mengafirmasi keketatan (rigorous) dan keakuratan (accuracy) model filsafat Descartes yaitu dengan memposisikan cogito (pikiran) sebagai pijakan dari jaminan kepastian pengetahuan. Cogito dapat dipahami sebagai kebenaran kepastian pengetahuan yang tidak teragukan karena statusnya yang jelas (clearly) dan terpilah (distinctly) dan juga sebagai metode kesangsian atau cara berfilsafat yang dapat disebut sebagai bentuk keketatan metode filsafat. Adapun bentuk keakuratannya yaitu terletak pada pikiran sebagai hal yang dapat melukiskan kenyataan.46 Bagi peneliti, model filsafat Descartes karenanya mengafirmasi bentuk yang bertujuan membangun sistem dalam filsafatnya yang menjadi diskursus penting dan central pada cabang filsafat epistemologi. Model filsafat yang berorientasi untuk membangun sistem pemikiran filosofis karenanya juga berpihak pada sifat filsafat itu sendiri yang ketat (rigour) dan akurat (accurate). Karenanya, penelitian ini mengafirmasi bentuk filsafat untuk membangun sistem pemikiran. Kedua, yaitu John Locke sebagai salah seorang filosof asal Inggris (British Philosopher) yang memberikan peranan penting bagi persepsi sekaligus terpengaruh oleh sebagian pemikiran dari Descartes. Petunjuk mengenai keterpengaruhan Locke dari Descartes berangkat dari ulasan Locke secara concern pada awal pembahasan bukunya yang berjudul “An essay concerning human understanding” mengenai prinsip-prinsip dari ide-ide bawaan yang dikritiknya. Menurut peneliti, starting point dari filsafat Locke dapat dikatakan berangkat dari penolakannya terhadap doktrin dari ide-ide bawaan (innate ideas) sebagai suatu pengetahuan yang terjamin kepastiannya (apriori). Mengenai adanya ide-ide dalam pikiran tidak dinegasikan Locke, bahkan ide-ide merupakan yang membatasi pengetahuan itu sendiri. Namun yang menjadi persoalan bagi Locke yaitu mengenai cara mendapatkan ide-ide tersebut yang mana ide-ide tersebut bukan bersifat bawaan seperti pandangan kaum rasionalis melainkan, yang dihasilkan dari objek berdasarkan pengalaman atau persepsi inderawi.47 Konsekuensi dari keberpihakan Locke pada peranan persepsi atau pengalaman inderawi sebagai cara untuk mendapatkan ide-ide (knowledge) cukup serius yaitu menegasikan pengetahuan apriori dan mengafirmasi pengetahuan aposteriori. Karena alasan itu juga, tidak ada yang menolak posisi Locke sebagai pendiri dari mazhab empirisme yang memiliki doktrin bahwa segala pengetahuan berasal dari pengalaman. Menurut Russell, pandangan Locke mengenai ide-ide dalam pikiran berasal dari dua proses, sensasi dan persepsi yang bersifat operasional

45Menurut peneliti, ide mengenai keluasan (res extenta) dan pikiran (res cogitans) menunjukan pula bahwa diri yang berpikir berada pada kadar keterbatasan yang tentunya ada “hal lainnya” yang lebih sempurna dan tak terbatas yang dipikirkan, yaitu Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa, penjamin kebenaran pengetahuan bagi Descartes yaitu keberadaan Tuhan. 46Fristian Hadinata, “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty,” (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2015), h. 30. 47Samuel Enoch Stumpf and James Fieser, Socrates to Sartre And Beyond A History of Philosophy, 8th ed (New York: McGraw-Hill, 2008), h. 231.

30

dari pikiran dan disebut dengan istilah “indera dalam” (internal senses).48 Selain itu juga Locke membedakan istilah idea dengan kualitas. Idea merupakan apa saja yang dipersepsi oleh pikiran atau objek tidak langsung dari persepsi, pikiran atau pemahaman. Sedangkan kualitas merupakan kekuatan untuk menghasilkan berbagai ide-ide di dalam pikiran. Misalnya, bola salju memiliki kekuatan untuk menghasilkan ide-ide di dalam pikiran mengenai putih, dingin dan gerak. Karena itu bagi Locke, ide yang memungkinkan pemahaman mengenai objek sedangkan kualitas merupakan kemampuan untuk memproduksi berbagai ide-ide mengenai objek.49 Menurut peneliti, baik idea maupun kualitas (qualities) merupakan dua instrumen dari Locke yang mengafirmasi model pengetahuan aposteriori yang berpihak pada pengalaman inderawi. Locke memberikan peranan penting bagi persepsi dalam sistem filsafatnya. Persepsi bagi Locke merupakan salah satu prinsip dari cara kerja pikiran yang berfungsi untuk mempertimbangkan. Selain itu juga, persepsi merupakan fakultas pertama dalam pikiran untuk melatih ide-ide yang dapat disebut sebagai berpikir.50 Karena, perlu dibedakan antara kualitas-kualitas (qualities) dan ide-ide (ideas) dalam pikiran. Locke membedakan ide-ide menjadi dua kategori, ide sederhana (simple) dan ide rumit (complex). Ide sederhana merupakan sumber utama dari objek “mentah” di luar diri yang mana pengetahuan terbentuk olehnya. Beberapa ide diterima secara pasif melalui pikiran yang diterima dari indera yang mana ide-ide yang masuk dalam pikiran bersifat parsial. Sedangkan ide rumit tidak diterima secara pasif oleh pikiran namun mengambil secara bersamaan dari ide-ide sederhana yang parsial tersebut melalui pikiran sebagai gabungan dari ide-ide sederhana. Aktivitas dari pikiran karenanya mengambil tiga bentuk tindakan: pertama, menghubungkan beberapa ide-ide, kedua, mendatangkan ide-ide secara bersamaan namun mengikatnya secara terpisah, ketiga, dengan abstraksi. Selain ide-ide, Locke juga mengkategorikan kualitas-kualitas (qualities) dalam pikiran menjadi dua, kualitas primer (primary quality) dan sekunder (secondary quality). Kualitas primer merupakan sesuatu yang benar-benar eksis pada objek material itu sendiri sedangkan kualitas sekunder menghasilkan ide-ide dalam pikiran yang tidak menuntut salinan pada objek material. Contoh dari kualitas primer yaitu bentuk bulat dan berat, serta gerak pada bola salju. Sedangkan kualitas sekundernya yaitu rasa dingin ketika menyentuh bola salju dan warna putih ketika melihatnya. Pembedaan yang dibuat oleh Locke tersebut untuk menunjukan perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality).51Atau melalui pembacaan yang berbeda, umumnya pembedaan yang dilakukan oleh Locke bertujuan untuk menunjukan ada sesuatu hal yang bersifat objektif “independent” di luar diri dan ada yang bersifat subjektif “dependent” di dalam diri. Menutup akhir pembahasan mengenai Locke, meskipun ia menolak sebagian doktrin kaum rasional

48Bertrand Russell, History of Western Philsophy, 5 th ed (London: Routledge, 1994), h. 589 49John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (USA: Pennsylvania State University, 1999), h. 116-117. 50Locke, An Essay..., h. 110&126. 51Stumpf, History of Philosophy..., h. 232-234.

31

mengenai ide-ide bawaan, namun bukan berarti Locke menolak adanya ide abstrak. Ide abstrak yang dimaksud oleh kaum rasionalis, mengikuti tiga aktivitas dari pikiran di atas tadi, yaitu berasal dari proses abstraksi bukan “tertanam” begitu saja seperti pandangan kaum rasionalis. Bagi Locke, ide abstrak atau immaterial dapat diterima sebagai kemungkinan untuk dapat dipikirkan yang berarti bahwa ide abstrak tetap memiliki arti yang penting.52 Hal tersebut dapat berarti bahwa, ide abstrak bagi Locke, bertolak dari pengalaman yang dihasilkan menjadi ide sederhana (parsial) yang kemudian melalui proses abstraksi untuk menghasilkan ide rumit (universal). Adapun bentuk dari keketatan (rigorous) sistem filsafat Locke yaitu dengan menegaskan perbedaan-perbedaan kualitas-kualitas dan ide-ide dalam pikiran yang berarti membedakan dengan tegas antara penampakan dan kenyataan. Sedangkan bentuk dari keakuratan (accuracy) dari sistem filsafat Locke yaitu terletak pada relasi antara ide-ide dalam pikiran yang muncul sebagai akibat dari objek fisik eksternal yang menyebabkannya. Hubungan tersebut dapat dikatakan juga sebagai relasi representasi pikiran terhadap realitas atau representasional.53 Karena itu baik Descartes maupun Locke, keduanya sama-sama membicarakan mengenai persepsi namun dengan bobot atau kadar yang berbeda secara kontras. Ketiga, yaitu Merleau-Ponty seorang filosof asal Prancis yang memiliki minat dan ketertarikan pada studi fenomenologi, terlebih mengenai peran persepsi berdasarkan prinsip fenomenologi. Concern Ponty pada peranan persepsi dapat terlihat dari tulisan-tulisannya seperti: Phenomenology of Perception yang telah diterjemahkan oleh Colin Smith, serta The Primacy of Perception yang dieditori oleh John Wild. Persepsi secara fenomenologis perlu diposisikan sebagai suatu modalitas kesadaran yang orisinal yang bertolak-belakang dengan persepsi secara psikologis. Dalam pandangan psikologis, persepsi hanya mengungkapkan dunia bukanlah kumpulan dari objek-objek yang hubungan dengan dunia bukanlah bahwa pemikir adalah objek dari pemikiran. Pada akhirnya, bahwa kesatuan dari apa yang dipikirkan seperti persepsi dengan beberapa kesadaran tidak dapat dibandingkan dengan kesatuan dari proposisi (teoritis). Atau dengan kata lain, apa yang dimengerti oleh sebagian pemikir tidak seperti apa yang dipersepsi oleh yang lainnya.54 Sama halnya dengan mempersepsi eksistensi yang dibandingkan dengan eksistensi yang ideal. Bagi peneliti, mengafirmasi model persepsi fenomenologis, tidak memiliki tujuan untuk memposisikan persepsi sebatas pengenalan terhadap objek material dan proses mental, melainkan dari aspek kesadaran mengenai kesatuan eksistensial di dunia. Konsekuensi dari persepsi model fenomenologis yaitu keberpihakan pada aspek kesadaran (conciousness) dan hubungan resiprokalitas antara subjek dengan objek sebagai suatu kesatuan eksistensial. Pada analisis persepsi klasik, penekanannya yaitu mengurai semua pengalaman ke tingkatan tunggal dari apa yang

52Peter R. Anstey, “John Locke and the Philosophy of Mind,” dalam Journal of the History of Philosophy, Vol. 53, No. 2, April 2015, h. 228 53Lihat Rorty dalam Philosophy and the Mirror of Nature. 54Maurice Merleau-Ponty, The Primacy of Perception. Edited with an Introduction by John Wild (North Western University: 1964), h. 12.

32

memiliki alasan yang baik dan dapat dinilai benar. Namun secara fenomenologis, penekanannya terletak pada pertimbangan dari seluruh latar belakang dari persepsi yang dimiliki yang menunjukkan modalitas yang berbeda yang tidak ideal dan diperlukan peristiwa sensoris yang sederhana dari persepsi. Bisa dikatakan bahwa, model persepsi klasik bersifat parsial karena melihat objek hanya berdasarkan objek itu sendiri namun secara fenomenologis bersifat global karena melihat objek berdasarkan latar belakangnya yang membuat persepsi menjadi lebih baik. Persepsi secara fenomenologis memberikan informasi mengenai objek dengan memiliki kesadaran perseptif mengenainya dengan memerlukan waktu yang lama dan refleksi untuk sadar mengenai persepsi deformasi objek.55 Menurut peneliti, persepsi fenomenologis deformasi dapat dimengerti karena pengetahuan mengenai objek hadir dalam kesadaran subjek yang secara intuitif dan langsung bukan secara parsial mengenai objek tersebut. Ponty memberikan porsi besar mengenai peranan persepsi dalam filsafatnya yang bercorak fenomenologis yang mengafirmasi pengalaman dari indera-indera. Ponty membedakan dengan tegas antara pengalaman sensasi dengan kedirian (self). Sensasi merupakan kemampuan untuk memahami kehidupan dan tindakan pribadi yang mana kehidupan sadar yang dihasilkan dari sensasi yang muncul dan dialami. Dalam proses mengalami sensasi, hal itu berkaitan bukan hanya dengan pribadi (self). Misalnya, di satu pihak memberikan pertanggung jawaban dan membuat keputusan namun di pihak yang berbeda, diri (self) tersebut berkorelasi dengan dunia dan terbuka pada yang disinkronkan olehnya. Pengalaman akan sensasi karena itu merupakan modalitas dari eksistensi yang umum yang mana salah satunya bertujuan untuk dunia fisik dan yang lainnya yang berkorelasi dengan diri (self) tanpa menyadari penyebabnya.56 Menurut peneliti, corak dari pandangan fenomenologis Ponty mengenai persepsi membuat demarkasi yang sangat tegas antara pengalaman dengan objek (mental) dengan kesadaran diri mengenai objek (eksistensial). Dengan demikian, persepsi secara fenomenologis yang ditawarkan Ponty berfungsi sebagai instrumen untuk memahami realitas beyond pengalaman hanya mengenai objek melainkan bercirikan kesadaran mengenai keberadaan diri sebagai entitas dari dunia fisik. Persepsi dalam hal tersebut juga berarti sebagai gerbang pengenalan pengetahuan serta menyadari realitas eksternal. “Term” persepsi itu karenanya memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar hanya pengamatan inderawi, yaitu berkaitan dengan cara relasional dengan dunia eksternal atau relasi asli prakonsepsi manusia terhadap dunia.57 Mengenai pentingnya peranan persepsi itu sendiri bagi pengetahuan, mengutip Ponty:

55Persepsi deformasi yaitu persepsi tanpa penafsiran, tanpa perantara kesimpulan dari tanda ke petanda karena apa yang dinyatakan oleh tanda tidak memberikan secara terpisah dari apa yang menandainya. Lihat Ponty, The Primacy..., h. 14-15. 56Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception. 2 th ed, Translated by Colin Smith (Routledge: London and New York, 2002)..., h. 251. 57Heriyanto, Persepsi Mullâ Shadrâ..., h. 256.

33

All knowledge takes its place within the horizons opened up by perception58

Peranan persepsi menjadi penting bagi Ponty sebagai gerbang pengetahuan. Mengenai sistem pemikiran filosofis Ponty yang berpihak pada bentuk ketat (rigorous) menurut peneliti, yaitu terletak pada upaya Ponty mengkonstruksi persepsi tidak hanya sebagai pengenalan bahkan sebagai kesadaran diri dalam memahami keberadaannya di dunia. Adapun bentuk dari keakuratan (accuracy) yaitu terletak pada upaya Ponty untuk menghubungkan antara kesadaran diri (self) dengan dunia yang mana keduanya memiliki hubungan yang korelasional atau resiprokal dalam memberikan kesadaran eksistensial.

D. Hakikat Pengetahuan dan Paham Realisme: Antara Persepsi Langsung Dan Perantara Diskursus penting berikutnya mengenai pengetahuan selain sebagai sumber yang mengafirmasi cara tahu dan peran penting persepsi yaitu berkaitan dengan hakikat pengetahuan yang mengarah pada paham realisme. Pada umumnya, paham realisme dan idealisme sebagai hakikat dari pengetahuan saling dipertentangkan satu dengan yang lainnya. Dipertentangkan dengan alasan bahwa paham realisme mengafirmasi bentuk kenyataan yang bertolak dari realitas eksternal di luar diri sedangkan paham idealisme yang mengafirmasi realitas internai di dalam diri. Realitas eksternal seperti, objek-objek duniawi yang meliputi alam dan benda- benda, sedangkan realitas internal meliputi apa-apa yang dipikirkan dan pikiran itu sendiri. Oleh karenanya, bagi paham realisme, objek-objek eksternal, materi merupakan sesuatu yang nyata dan keberadaannya tidak “tergantung” pada pengalaman subjek atau pikiran. Adapun bagi paham idealisme, sesuatu yang nyata merupakan ide-ide, roh atau immateri di dalam pikiran sebagai hakikat dari pengetahuan.59 Dalam diskursus mengenai persepsi secara filosofis juga, tidak hanya yang berkaitan dengan penginderaan (sensing), namun ada juga yang berkaitan dengan penalaran (intellection), pengkhayalan (imagination), maupun pemaknaan (estimation). Dari beragam perbedaan macam persepsi tersebut, memiliki titik persamaannya yaitu bertolak dari objek eksternal atau inderawi. Sedangkan sifat dari persepsi itu sendiri secara filosofis, memiliki tiga paham yang mengikutinya. Pertama, secara langsung (direct realism), kedua, secara perwakilan (representative realism), ketiga, secara idealisme. Asumsi dasar dari persepsi langsung yaitu menerima dunia fisik. Sedangkan pengertiannya yaitu persepsi yang menerima dunia fisik menjadi sesuatu yang memiliki eksistensi yang secara logis bersifat independent dari pikiran manusia. Adapun asumsi dasar dari persepsi perwakilan yaitu menerima adanya dunia fisik namun menempatkan dunia di luar jangkauan secara langsung. Sedangkan pengertiannya adalah mempersepsi objek fisik selalu diperantarai dengan terjadinya sesuatu di dalam pikiran yang mewakili kehadirannya pada subjek (perceiver). Sedangkan asumsi dasar dari idealisme yaitu menolak keterbatasan kesadaran pada persepsi langsung yang tidak menjangkau hingga melampaui batas pikiran meskipun berhasil menggabungkan persepsi terhadap dunia

58Ponty, Perception..., h. 251. 59Sudarminta, Epistemologi ..., h. 80.

34

fisik.60 Untuk kategori yang terakhir yaitu idealisme61, penelitian tidak akan berikan porsi lebih karena dapat “meluas”. Hubungan antara persepsi dengan paham realisme dapat dijembatani sebagai suatu pemahaman akan “akses” baik ke pikiran secara independent. Akses persepsi ke pikiran independent yaitu ide yang diterima ketika mempersepsi objek merupakan objek pada diri mereka sendiri. Misalnya, ketika kemerahan merupakan karakteristik dari persepsi mengenai buah apel adalah kualitas gagasan (ide) daripada buah apel itu sendiri yang membuat terlihat seolah-olah meskipun secara alamiah melihat (pikiran independent) apel. Dalam hal tersebut, melihat atau mempersepsi adalah memiliki ide yang menyerupai apel.62 Salah satu yang menjadi pembeda antara persepsi sebagai paham realisme langsung dan tidak langsung yaitu dari komponen prosesnya yang terdiri dari subjek (perceiver), objek (perceived) dan kesimpulan yang disadari akibat interaksi tersebut.63 Dari teks itu tersirat adanya dua macam kesimpulan dari interaksi antara subjek (perceiver) dengan objek (perceived) yaitu kesimpulan yang disadari dan yang tidak disadari. Elaborasi dari peneliti misalnya, ketika mempersepsi diri pada cermin, mengetahui adanya sosok di depan cermin sebagai diri merupakan kesimpulan yang disadari. Sedangkan mengetahui adanya sesuatu di wajah atau pakaian yang digunakan yang sebelumnya tidak diketahui merupakan kesimpulan yang tidak disadari. Secara garis besarnya, paham realisme dari teori filsafat persepsi dalam penelitian ini, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu realisme langsung dan realisme tidak langsung. Asumsi dasar dari paham realisme langsung dalam persepsi yaitu segala yang dilihat dari objek-objek eksternal adalah secara langsung ketimbang melihatnya sebagai sesuatu yang lain. Sedangkan asumsi dasar dari paham realisme tidak langsung dalam persepsi yaitu segala yang dipersepsi merupakan data inderawi yang menghadirkan dunia luar untuk dimiliki.64 Bisa juga dikatakan realisme langsung merupakan proses pengalaman yang melibatkan atribut fenomena sebagai refleksi langsung dari karakter fisik nyata dari objek fisik yang sebenarnya. Refleksi langsung dalam arti bahwa, menjadikan sifat-sifat yang dimilki objek sebagai objek itu sendiri yang ditemukan dalam kesadaran sadar.65 Kontras dari itu, realisme tidak langsung menurut peneliti, merupakan proses pengalaman dengan membedakan

60John Foster, The Nature of Perception (Oxford: Brasenose College), h. 2. 61Pada pandangan yang berbeda, idealism bukanlah pertentangan dari paham realisme dan menyatakan bahwa idealisme merupakan anti-realisme atau non-realisme. Misalnya, idealisme Jerman yang digaungi oleh Kant, tidaklah beroposisi dengan realisme justru berpegang pada realisme empiris. Lihat, Tom Rockmore dalam, On Foundationalism A Strategy for Metaphysical Realism (USA: Rowman & Littlefield Publisher, 2004), h. 13. 62William Fish, “Direct Realism, Disjunctivism, and Screening off” in Philosophy Deparment, Massey University, New Zealand, 2018, h. 114. 63Harold I. Brown, “Direct Realism, Indirect Realism, and Epistemology,” in International Pheomenological Society, Vol. 52, No. 2, Jun 1992, h. 344. 64Robert Audi, Epistemologi a Contemporary Introduction to The Theory of Knowledge, 2th ed (New York and London: Routledge Taylor & Francis Group, 2003), h. 33 & 60. 65David McGraw, “Against the Combination of Materialism and Direct Realism,” in Wayne Country Community College, United States, 2018, h. 68.

35

secara tegas antara sifat-sifat inderawi mengenai objek dengan objek itu sendiri. Konsekuensi yang muncul yaitu dunia benda-benda yang objektif (dunia mengenai fisik) berada di luar jangkauan subjek yang tidak bisa diakses tanpa “selubung persepsi” yang kemudian dinyatakan oleh Bennett sebagai doktrin dari selubung persepsi.66 Realisme langsung (direct realism) dalam teori persepsi cenderung berpihak pada adanya mediasi atau perantara yang mengandalkan aspek pskologis yang mengklaim bahwa objek non-fisik yang dipersepsi terdiri dari kesatuan psikologis.67 Realisme langsung yang bermediasi juga dapat berarti bahwa dalam memberikan suatu penjelasan mengenai pengalaman inderawi, menerima adanya suatu rangkaian penyebab () baik fisik, psikologis maupun fisiologis dari sisi internal subjek. Hal tersebut kontras dari realisme langsung tanpa mediasi yang menganggap bahwa, objek fisik tidak hanya independent dari pengalaman subjek melainkan, keberadaannya sendiri sama dengan apa yang saya alami secara langsung.68 Atau sebagian ada yang berpendapat bahwa model realisme langsung tanpa mediasi dapat dikatakan sebagai realisme naif (naїve realism).69 Menurut peneliti, perbedaaan secara jelas dan tegas antara persepsi langsung, persepsi tidak langsung dan persepsi langsung bermediasi terlihat dari relasinya dengan objek beserta klaim yang mengikutinya. Persepsi langsung mengklaim bahwa salah bila menganggap ada “selubung pikiran” yang membatasi diri objek. Sebaliknya, persepsi tidak langsung mengklaim bahwa pemahaman mengenai objek berupa ide- ide mengenainya bukan berarti identik dengan objek itu sendiri. Sedangkan persepsi langsung yang bermediasi mengklaim bahwa subjek memiliki akses langsung dengan objeknya namun tidak serta merta menyadarinya, namun rangkaian peristiwa kausal maupun psikologis. Tingkatan dari realisme langsung yang bermediasi menunjukan kemajuan dari proses persepsi karena memberikan filter untuk objek (perceived). Dalam hal itu menurut peneliti, subjek (perceiver) tidak menerima begitu saja objek (perceived) yang menampakkan diri di hadapannya sebelum “mengolahnya” dengan pikiran terlebih dahulu. Realisme langsung yang bermediasi juga termasuk tergolong pada paham realisme kritis yang dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu realisme kritis formal (critical formal realism) dan realisme kritis vrtual (critical formal realism). Untuk yang pertama, golongan realisme kritis formal berpendapat bahwa kualitas penginderaan, primer maupun sekunder terdapat pada objek fisik itu sendiri yang dicirikan sebagai kualitasnya. Asumsinya, subjek (perceiver) tidak memberikan atribut tambahan dan menerima apa adanya.70 Misalnya, melihat awan yang berwarna putih dan kemudian melihatnya lagi berubah warna menjadi jingga

66Selubung persepsi yaitu dunia mental atau pikiran dari objek yang meliputi data- data inderawi maupun representasi pikiran (kualitas primer dan sekunder). Lihat, Jonathan Bennett, Locke, Berkeley Hume Central Themes (New York: Oxford University Press, 1971), h. 68-69. 67Fish, “Direct Realism”..., h. 116. 68J.Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, 5th ed (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 80. 69McGraw, “Direct Realism”..., h. 63. 70Sudarminta, Epistemologi..., h. 81.

36

pada sore hari, pada pandangan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa warna putih tetap ada pada awan, yang menjadi kemajuan dari realisme langsung (naїve realism). Kemunduran bagi penganut paham naїve realism misalnya, warna jingga pada awan di sore hari merupakan warna jingga pada awan itu sendiri. Sedangkan warna putih pada awan di siang hari, merupakan warna putih pada awan itu sendiri. Elaborasi dari peneliti, penganut paham naїve realism, belum membedakan dengan kritis mana atribut tambahan bagi objek dan mana yang objek pada dirinya. Untuk paham yang kedua, yaitu golongan paham realisme kritis virtual (critical virtual realism) sebagai perhatian selanjutnya pada sub-bab pembahasan ini. Peneliti fokus mendeksripsikan kontras antara paham realisme kritis formal (critical formal realism) dan realisme kritis virtual (critical formal realism). Kalau sebelumnya, realisme kritis formal masih mengafirmasi alternatif bahwa benda pada dirinya sendiri berpotensi memiliki ketidakcocokan dengan yang terberi oleh penglihatan, paham realisme virtual melangkah memiliki corak yang berbeda. Paham realisme virtual berpendapat bahwa kualitas-kualitas penginderaan adalah sepenuhnya objektif hanya bagi kesadaran dan hanya secara virtual objekti dan bersifat independen dari kesadaran. Hal itu kontras dari paham naїve realism dan realisme kritis formal yang berpegang bahwa kualitas-kualitas penginderaan adalah secara formal objektif dan independent dari semua pengalaman sadar. Misalnya, secara formal yang cermat dari warna, suara, rasa, keluasan, gerak dan sesuatu yang kesemuanya hadir teratur selama kesesadaran tidak berlangsung. Berbeda dengan penolakan realisme kritis virtual yang menganggap bahwa segala makna dari warna atau suara memerlukan rujukan ke subjek (perceiver), maka hal itu tidak dapat terealisasikan tanpa merujuk ke-subjek.71 Bagi peneliti, baik naїve realism, realisme kritis formal maupun realisme kritis virtual, ketiganya memiliki penekanan yang berbeda mengenai proses mempersepsi objek. Titik persamaan dari realisme kritis formal dan visual yaitu keduanya sama- sama berpegang bahwa terdapat kualitas-kualitas tertentu pada objek. Namun titik perbedaan dari keduanya yaitu terletak pada porsi yang besar dan dominan untuk memisahkan wilayah dari kualitas-kualitas tersebut. Bagi realisme formal, seluruh kualitas-kualitas penginderaan terletak sepenuhnya pada objek sedangkan bagi realisme virtual, terdapat pemisahan antara kualitas yang pada objek dan yang berkaitan dengan kemampuan subjek. Perbedaan antara keduanya, yakni antara realisme kritis formal dan realisme kritis virtual setidaknya menunjukkan bahwa paham yang terakhir , realisme kritis virtual, lebih maju ketimbang yang pertama, realisme kritis formal.72 Alasannya menurut peneliti, karena realisme kritis virtual mampu memilah dan membedakan dengan cermat letak dari kualitas-kualitas penginderaan. Namun bukan berarti hal itu tidak menimbulkan suatu problem seperti yang umumnya disanggah oleh kaum empirisme bahwa masih menyisakan suatu ruang atau celah yang bertentangan dengan doktrim empirisme untuk mengalami objek itu sendiri ketimbang melalui kualitas-kualitas yang dihasilkannya. Ambivalensi antara paham realisme kritis formal dan realisme kritis virtual sulit untuk dihindari namun, sanggahan yang paling keras justru tertuju untuk

71Gallagher, Philosophy..., h. 109. 72Sudarminta, Epistemologi..., h. 82.

37

realisme kritis virtual. Sanggahan bagi paham realisme kritis virtual salah satunya digaungkan dengan cukup vokal oleh uskup sekaligus filosof asal Irlandia, George Berkeley dalam karya tulisnya yang berjudul Three Dialogues Between Hylas and Philonous. Dalam perdebatan itu, terdapat dua tokoh sentral yakni antara Hylas yang mewakili seorang yang terdidik dan Philonous yang mewakili seorang biasa tanpa background intelektual. Menurut peneliti,keduanya sepakat bahwa kualitas-kualitas penginderaan dalam pikiran mengenai objek didapatkan melalui proses sensasi. Artinya, keduanya sepakat bahwa terdapat ide-ide mengenai kualitas yang muncul ketika mengalami atau mempersepsi objek. Namun keduanya berselisih paham mengenai hasil dari proses sensasi tersebut yang mana bagi Hylas, terdapat dua kualitas kualitas penginderaan yang saling berbeda, yaitu kualitas pada objek (primary qualities) yang independent dan tidak dideterminasi subjek dan kualitas pada subjek (secondary qualities) yang sepenuhnya dideterminasi oleh kesiapan indera-indera subjek. Sedangkan bagi Philonous, dua kualitas-kualitas beserta pembagiannya tadi sepenuhnya terletak pada subjek yang mana Phillonous mengajukan persamaan letak dari kualitas-kualitas penginderaan merupakan objek dari sensasi. Hal tersebut sepenuhnya terletak pada subjek yang tidak dapat eksis tanpa pikiran.73 Berkeley dapat dikatakan sebagai penganut paham realisme yang sepenuhnya menolak asumsi-asumsi dasar dari naїve realism, realisme kritis formal maupun realisme kritis visual. Asumsi dari Berkeley yaitu bahwa dalam proses penginderaan, subjek (perceiver) tidak mempersepsi benda material (perceived) melainkan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mental atau dalam pikiran. Berkeley menolak pandangan dari paham realisme kritis visual karena segala sesuatu dapat berkaitan dengan mental atau berkaitan dengan objek itu sendiri dan tidak ada memiliki dua sifat secara bersamaan. Dengan perkataan lain, ketika proses penginderaan dan mempersepsi objek, yang dilihat hanyalah sifat-sifat bukan benda itu sendiri. Menurut Russell, alasannya adalah sifat-sifat tersebut melekat pada setiap pikiran yang diasosiasikan sebagai “benda” yang melekat padanya sebagi suatu substansi yang sebagaian atau seluruhnya berbeda. Namun bagi Russell, ketika menyamakan seluruh kualitas-kualitas sebagai yang sekunder yang berada dalam diri subjek (perceiver), memiliki argumentasi dan tingkat validitas yang lemah. Itu terjadi inkonsistensi yang merancukan antara tuntutan logis dan tuntuan (doktrin) empiris yang lebih cenderung ke arah logis.74 Peneliti sepakat dengan pandangan Russell mengenai kerancuan dari sebagian argumentasi Berkeley karena terkadang berpihak pada logis sebagai penguat argumentasi yang kurang konsisten terhadap pamah yang dianutnya. Oleh karena itu, paham realisme apapun jenisnya (naїve realism, realisme kritis formal maupun realisme kritis visual) merupakan konsekuensi dari model persepsi apa yang dianut dengan berbagai karakternya dan klaim yang diusung masing-masing. Paragraf terakhir ini ingin mengafirmasi bahwa dengan memahami realisme sebagai bagian dari teori filsafat persepsi dapat mempermudah memberikan

73George Berkeley, Prinsiples of Human Knowledge Three Dialogues (New York: Oxford University Press, 1999), h. 133. 74Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat..., h. 852.

38

pemetaan dan karakteristik serta hasil dari pandangan seorang fiosof. Dengan menekankan pentingnya peranan persepsi dapat dikatakan juga sebagai bentuk keberpihakan pada model pengetahuan inderawi (aposteriori). Model pengetahuan inderawi dalam diskursus abad modern merupakan bagian dari mazhab epistemologi empirisme. Namun bukan berarti sebelum zaman modern, tidak ada filosof yang mengafirmasi peranan penting bagi persepsi, misalnya Ibn Sînâ maupun Mullâ Shadâ. Hanya saja diskursus mengenai epistemologi menurut penulis, belum begitu memuncak seperti yang telah terjadi pada zaman modern. Mendudukan persoalan itu menjadi penting guna menjernihkan konsepsi-konsepsi pada pembahasan- pembahasan selanjutnya.

E. Simpulan Bab Peran persepsi sebagai bagian dari proses untuk mengkonstruksi suatu pengetahuan inderawi menjadi penting dalam penelitian ini, terlebih sebagai perspektif filosofis. Term persepsi juga perlu dibedakan dari disiplin-disiplin ilmu lainnya selain dari disiplin kajian filsafat. Di dalam filsafat, persepsi merupakan bagian yang tidak terlepas dari aktivitas mental namun juga memiliki hasil yang khas yaitu sebagai suatu “bentuk” maupun “gagasan” yang terkait ataupun tidak dengan unsur-unsur materi dari realitas eksternal. Teori-teori dari persepsi setidaknya meliputi tiga macam antara lain: sense data, adverbial dan intentional. Sense data merupakan teori persepsi yang menjelaskan bahwa proses pengenalan terhadap realitas eksternal hanya memungkinkan lewat data-data inderawi yang terberi. Adverbial merupakan teori persepsi yang menjelaskan bahwa pengenalan dapat mungkin bukan karena mengenali objeknya secara langsung melainkan upaya menjelaskan pengalaman selalu melibatkan bahasa dengan menggunakan “kata kerja” yang seolah serupa dengan objek eksternal. Intentional merupakan teori persepsi yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara objek eksternal dengan subjek (perceiver) dalam proses mengetahui yang saling berkaitan dan menentukan satu sama lainnya. Term persepsi dalam konteks epistemologi atau yang berkaitan dengan proses mengetahui cukup sentral baik yang menegasikan maupun yang mengafirmasi, namun dalam konteks primer atau sekunder dalam peranan mendapatkan pengetahuan. Perbedaan pandang dari para filosof juga dpengaruhi oleh perbedaan mazhab dari tiap masing-masingnya. Misalnya bagi mazhab rasionalisme, persepsi merupakan peran sekunder bagi pengetahuan yang berbeda dengan mazhab empirisme yang menjadikannya sebagai hal yang primer. Namun baik rasionalisme maupun empirisme, bersepakat bahwa terdapat pengetahuan abstrak namun dengan proses yang berbeda, yaitu yang berangkat dari murni rasio dan yang berangkat dari pengalaman. Bagi yang mengafirmasi peran persepsi dapat dikatakan menganut paham realisme dalam pengetahuan yang menyakini bahwa terdapat realitas eksternal yang mandiri keberadaannya dari subjek. Terdapat berbagai macam aliran realisme antara lain, realisme naїve yang mengakui bahwa realitas yang dialami merupakan realitas yang sesungguhnya sedangkan realisme kritis memberikan filter yaitu tidak semua pengalaman mengenai realitas merupakan realitas yang sesunguhnya. Namun demikian, pemahaman terhadap realitas selalu “dimediasi” oleh sesuatu yang lain yaitu gagasan-gagasan ataupun konsep-konsep.

39

BAB III PERSEPSI DAN PENGETAHUAN INDERAWI

Pada bab ketiga ini, secara umum penelitian ini akan mengulas mengenai arti penting dari peran persepsi bagi konstruksi pengetahuan, atau lebih eksplisit lagi yaitu persepsi sebagai sistem pengetahuan inderawi. Bab tiga ini juga sebagai upaya untuk mengafirmasi dari teori filsafat persepsi yang telah diulas pada bab sebelumnya beserta konsekuensi-konsekuensi yang muncul sebagai akibat dari peranan persepsi. Yang menjadi perhatian dari pembahasan bab tiga ini yaitu pertama, pergeseran tren filsafat dari epistemologi ke linguistik sebagai titik-tolak untuk menyoroti persoalan diskursus filsafat kontemporer. Perhatian kedua, mengenai hubungan antara peran rasio, indera terhadap konstruksi pengetahuan itu sendiri yang ikut melibatkan pula objek-objek bagi rasio maupun indera. Perhatian ketiga, bersifat kontradiktif yaitu hubungan pengetahuan tanpa melibatkan antara rasio dengan indera yang juga berkaitan dengan klaim-klaim dari pengetahuan itu. Perhatian keempat bersifat sebagai puncak sekaligus penutup dari pembahasan pada bab ketiga ini yaitu berkaitan dengan persepsi sebagai sistem bagi pengetahuan inderawi. Persepsi sebagai sistem adalah model keberpihakan pada pengetahuan yang bercorak akurasi maupun representasi atas realitas. Dari keempat sub bab pambahasan tadi, masih berkaitan dengan pembahasan persepsi dari sisi teoritsnya namun juga mempermudah untuk pembahasan pada bab-bab selanjutnya mengenai peran persepsi bagi Ibn Sînâ maupun Berkeley.

A. Diskursus Kontemporer Mengenai Filsafat Pengetahuan Dalam filsafat, terdapat perbedaan tegas antara pengetahuan (knowledge) dengan ilmu (sains) yang mana pengetahuan berkaitan dengan relasi dengan objek tertentu sedangkan ilmu berkaitan dengan relasi antar objek-objek, dengan tujuan yang berbeda. Pengetahuan bertujuan untuk mengenali dan memahami suatu objek pengetahuan tertentu sebagai pendasaran bagi tahunya sedangkan ilmu bertujuan mencari penjelasan mengenai gejala-gejala yang terjadi untuk memanipulasi dan memprediksinya. Dalam kaitannya dengan pengetahuan, terdapat hukum-hukum pemikiran yang meliputi tiga hal:

1) Hukum identitas (the law of identity), yaitu mengenai apapun adalah seperti adanya. 2) Hukum kontradiksi (the law of contradiction), yaitu mengenai tidak ada yang dapat menjadi ini dan dan bukan ini. 3) Hukum perantara (the law of excluded middle), yaitu mengenai segalanya harus menjadi ini atau tidak ini.1

1Ketiga hukum-hukum pemikiran tersebut merupakan prinsip-prinsip logis yang terbukti dengan sendirinya namun tidak serta merta koherensi begitu saja. Atau penegasan Russell bahwa kesesatan dari hukum-hukum pemikiran terletak pada kenyataan bahwa seseoarang berpikir bukanlah berdasarkan hukum-hukum tersebut melainkan bahwa segala pemikiran mencakup dari ketiga hukum-hukum tersebut. Lihat, Bertrand Russell, The Problems of Philosophy, 2th ed (New York: Oxford University Press, 2001) h. 40.

40

Contoh dari hukum identitas seperti, suatu segitiga adalah segitiga. Contoh dari hukum kontradiksi seperti, suatu segitiga pada saat yang bersamaan bukan suatu lingkaran. Sedangkan contoh dari hukum perantara seperti, sesuatu tidak bisa antara segitiga dan lingkaran. Pengetahuan mengandaikan suatu proses sebagai bentuk pencerapan hal-hal dari eksternal ke internal dan mengandaikan suatu hasil sebagai bentuk penegasan dari apa yang telah diketahui. Pengetahuan juga berkerja berdasarkan prinsip logika yang mampu membuktikan suatu premis tertentu itu benar dan dari premis tertentu juga memiliki probabilitas bahwa sesuatu itu benar. Kedua hal yang terakhir tadi merupakan perbedaan antara deduksi dan induksi sebagai suatu proses dan hasil dari produk pengetahuan. Deduksi dapat dikatakan sebagai proposisi umum atau yang disebut dengan apriori dan induksi generalisasi empiris atau yang disebut dengan aposteriori. Untuk deduksi merupakan mode yang tepat untuk hal argumentasi sedangkan induksi merupakan hal yang disenangi untuk menjamin “kepercayaan” yang lebih besar dari kebenaran akan suatu kesimpulan.2 Menurut peneliti, landasan atas klaim pengetahuan yang dianut sangat penting sebagai standar epsitemik yang bertentangan dengan paham relativisme.3 Berdasarkan sumbernya, cara mendapatkan pengetahuan dalam tradisi filsafat modern terbagi menjadi tiga, rasionalisme, empirisme dan kritisisme. Rasionalisme mengafirmasi ide-ide bawaan dan kemampuan rasio, sedangkan empirisme memberikan porsi lebih pada pengalaman dan kritisisme yang mengevaluasi struktur-struktur pikiran sebagai syarat terjadinya pengetahuan. Rasionalisme yang digaungkan Descartes, secara umum sebagai bentuk kritik terhadap indera yang kemudian merumuskan prinsip yang dapat diandalkan dari bukti sensorik.4 Sedangkan empirisme yang dipromotori Locke menolak ide-ide bawaan dengan alasan bahwa apa yang dimaksud darinya berasal dari pengalaman. 5

2Russell, philosophy..., h. 44-45. 3Definisi kontemporer dari paham relativisme yaitu berkaitan dengan dua aspek yang dianggap relatif, antara lain menafikkan hubungan dari standar-standar tertentu dan menafikkan hadirnya “kenetralan” epsitemik. Bagi seorang relatifis, memiliki klaim bahwa bagi seseorang yang menganut standar-standar epistemik tidaklah beralasan, karena bagi seorang relatifis pengetahuan hanya bersandarkan pada pernyataan kepercayaan semata. Tepat pada alasan itulah yang menjadikan aasan seorang relatifis tidak beralasan juga. Lihat catatan Timothy Mosteller dalam, Relativism in Contemporary American Philosophy, (London: Continuum, 2006), h. 4&178. 4Konsekuensinya, masih terbuka ruang bagi akal sehat sebagai sumber daya di luar upaya penyelidikan Descartes setelah argumen mengenai mimpi sederhana dalam meditasi. Descartes tiba pada prosedur yang andal untuk menemukan kepastian mengenai eksistensi dari objek fisik yang gagal yang kemudian, beralih untuk mencari kepastian mengenai unsur- unsur yang dalam arti tertentu objek-objek fisik tersebut tersusun. Lihat, Harry G. Frankfurt, Demons, Dreamers&Madmen The Defense of Reason in Descartes’s meditations (UK: Princeton University Press, 2008), h. 60. 5Locke mengkritik ide-ide bawaan dengan mengedepankan argumen aturan dan pelanggaran yang mana bagi yang melanggar tidak memiliki prinsip-prinsip mengenai ide- ide bawaan tersebut. Lebih jauh lagi, dari pelanggaran tersebut, Tuhan menetapkan aturan dan hukumannya bagi yang melanggar. bukan berarti Locke menolak ide-ide melainkan cara memperolehnya yang dikritik Locke. Misalnya, ide mengenai Abstrak berasal dari

41

Adapun mengenai kritisisme, Kant memilih untuk terlebih dahulu memeriksa akal budi ketimbang bertolak pada objek atau yang terkenal dengan istilah “Revolusi Kopernikan” sebagai syarat yang memungkinkan pengetahuan terbentuk di dalam pikiran.6 Sedangkan berdasarkan hakikatnya, pengetahuan itu sendiri terbagi menjadi dua idealisme dan realisme. Sederhananya, bagi mazhab idealisme memahami kenyataan sejauh apa yang terdapat di dalam pikiran sedangkan bagi mazhab realisme, kenyataan merupakan sesuatu terleps dari apa yang dipikirkan. Untuk memahami keduanya, konsep mengenai nominalisme psikologis menjadi penting, yaitu suatu gerakan balasan terhadap para realis bahwa kenyataan berkaitan dengan pikiran dan tidak terlepas darinya.7 Pertautan mengenai real-ideal juga dalam konteks yang melebar, estetika alam, yang kemudian mendeterminasi pada seni lukis untuk memberikan porsi terhadap lanskap pengalaman. Konsekuensinya, pada akhirnya muncul sebagai yang lebih asli dari kenyataan itu sendiri walaupun tidak sepenuhnya diakui dan dihargai alam prosesnya sebagai karya seni.8 Dengan kata lain, dalam mempersoalkan mengenai status ontologis atau kenyataan, selalu terdapat pijakan filosofis yang berbeda dalam menafsirkan realitas tersebut. Baik pendukung paham idealisme maupun pendukung paham realisme, keduanya tidak menegasikan aspek subjek maupun objek melainkan yang keduanya gugat adalah pemahaman mengenai relasi keduanya. Diskursus kontemporer mengenai filsafat pengetahuan dalam penelitian ini akan dimulai dengan mengulas seputar “pergeseran” dari epistemologi ke linguistik. Persoalan seputar “pergeseran” dalam tradisi filsafat juga mengandaikan suatu penelitian untuk mengetahui karakteristik dari para filosof dan karakterisik dari pengetahuan manusia berdasarkan metode-metode yang dijalani oleh para filosof. Menurut Rorty, filsafat bahasa (linguistic) yaitu sebagai pandangan bahwa persoalan-persoalan filosofis dapat dipecahkan dengan meninjau kembali bahasa atau dengan pemahaman memadai mengenai bahasa yang sekarang digunakan.9 Istilah dari pergeseran bahasa (linguistic turn) juga menjadi perbincangan di kalangan para filosof yang digunakan sebagai gambaran umum mengenai pergantian

pengalaman atas ide sederhana menuju ide rumit. John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (U.S: The Pennsylvania State University, 1999), h. 55. 6 Konsep mengenai pemahaman yaitu tidak dapat memikirkan berbagai objek tanpa melibatkan kategori-kategori serta tidak dapat menghimpun berbagai objek yang dipikirkan tanpa melibatkan intuisi yang bertolak pada konsep-konsep tersebut. Seluruh intuisi-intuisi bersifat sensibel dan pemikiran mengenai itu sejauh sebagai objek-objek yang terberi adalah bersifat empiris. Pemikiran empiris karenanya adalah pengalaman. Konsekuensinya, tidak ada pemikiran apriori yang memungkinkan tanpa semata-mata dari objekdari pengalaman. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason. Translated and edited by Paul Guyer and Allen W. Wood (UK: Cambridge University Press, 1998), h. 264. 7Wilfrid Sellars, Idealism and Realism, Edited by Patrick J. Reider (New York: Blommsbury, 2017), h. 1. 8Barbara Novak, American Painting of the Nineteenth Century (New York: Oxford University Press, 1980), h. 60. 9The Linguistic Turn Essay in Philosophical Method, edited by Richard M. Rorty, (Chicago and London: The University of Chicago Press), h. 1-2.

42

filsafat abad kedua puluh. Adapun tujuan dari pergeseran bahasa (linguistic turn) yaitu untuk merumuskan ulang persoalan epistemologis mengenai hubungan antara pikiran dan kenyataan dalam kaitannya dengan bahasa dan kenyataan. Munculnya model filsafat bahasa juga menandai pergeseran pandangan tradisional.10 Menurut peneliti pararel dari itu, filsafat bahasa juga berkaitan dengan metafilosofi, yaitu mengenai persoalan konsep-konsep atau term-term seputar persoalan filsafat. Linguistic turn (pergeseran ke filsafat bahasa) merupakan gejala penting untuk membahas mengenai filsafat pengetahuan sebagai diskursus kontemporer. Linguistic turn juga mencakup aspek pragmatik yang memiliki titik aksioma sebagai suatu identifikasi mengenai pikiran dan bahasa. Hal itu seperti yan sudah dinyatakan sebelumnya, bertentangan dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa gagasan mengenai makna setelah atau terlepas dari bahasa, tidak berkaitan dengan abad kedua puluh melainkan dimulai dari Aristoteles. Dengan upaya memahami makna bahasa di luar bahasa, mempertimbangkan aspek dari konteksnya, apa yang terjadi di luar bahasa dan di dunia nyata, telah keluar dari lingkup filsafat dan masuk ke bidang penelitian ilmu sosial.11 Peneliti mengafirmasi pandangan bahwa “tren” berfilsafat pada abad kedua puluh telah beralih dari epistemologi ke bahasa. Namun demikian seperti pandangankelompok lainnya, peneliti menegasikan bahwa dengan itu bukan berarti persoalan bahasa terlepas begitu saja dari persoalan epistemologi. Atau secara eksplisit, kritik bahasa atas persoalan epistemologis juga berkaitan dengan ranah penyelidikan epistemologi itu sendiri. Linguistic turn dengan demikian, menjadi diskursus mutakhir dalam filsafat dengan berbagai polemik, baik yang mengafirmasi maupun yang menegasikannya. Yang menegasikan linguistic turn berargumentasi bahwa persoalan pengetahuan hanya berkaitan melalui hubungan antara gambaran konsepsi terhadap dunia dengan standar empiris. Sedangkan bagi yang mengafirmasi linguistic turn berargumentasi bahwa konsepsi mengenai dunia hanya melalui hubungan bahasa dan dunia dengan standar konteks sosial. Terlepas dari keduanya, linguistic turn sebagai filsafat analitik tidak bisa dibenarkan dan lebih baik dalam menjelaskan kerumitan dari konsep filsafat dan mengartikulasikan fenomena. Bahkan sebagai metode, filsafat analitik, dapat menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman alih-alih untuk meringankan persoalan konsepsi dan artikulasi dari realitas.12 Bagi peneliti, diskursus mengenai linguistic turn menolak bentuk korespondensi antara pikiran dan realitas sebagai representasi dan akurasi yang justru penting dalam epistemologi

10Pandangan tradisional mengenai bahasa antara lain yaitu sifatnya yang pasif, transparan untuk menyampaikan konten, mengatur, representasi maupun mengekspresikan kebenaran suatu realitas di luar dirinya sendiri atau sebagai tempat produksi realitas dunia dan realitas subjek. Lihat, John E Toews, “Linguistic Turn and Discourse Analysis in History” dalam International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, USA University of Washington Seattle, 2001, h. 202. 11Lihat, Cintia Rodrἱguez, “The Connection Between Language and the World: A Paradox of the Linguistic Turn?”, in Springer Science+Business Media, New York, 24 June 2014. 12Avner Baz, “Recent Attempts to Defend the Philosophical Method of Cases and the Linguistic (Re)turn” dalam Philsophy and Phenomenological Research, Tufts University, 2014, h. 12.

43

turn. Bagi pendukung linguistic turn dapat dikatakan bahwa persoalan pengetahuan berpihak pada bentuk koherensi bahasa sebagai praktek dalam keseharian. Yang menjadi persoalan baik bagi yang mendukung epistemology turn maupun linguistic turn yaitu berkaitan posisi keduanya sebagai suatu pengetahuan dan klaim kebenaran yang diusung oleh masing-masingnya. Kata “benar” atau “kebenaran” sebagai klaim pengetahuan umumnya diartikulasikan secara rasional yaitu jelas dengan sendirinya atau secara empiris yaitu bukti-bukti pengalaman. Bagi pandangan epistemologi, penggunaan kata “benar” terjustifikasi apabila terdapat suatu entitas A dari suatu proposisi yang menjamin kebenaran atas entitas A itu. Dapat dikatakan bahwa klaim “kebenaran” dalam epistemologi dikatakan sebagai bentuk realisme yang dapat diasumsikan dengan bentuk korespondensi terhadap realitas eksternal.13 Kata “benar” atau “salah” sebagai kondisi mental dan momen kepercayaan untuk memiliki proposisi suatu objek disebut sebagai ciri khas dari rujukan proposisi. Suatu kepercayaan adalah percaya bahwa sesuatu atau lainnya sebagai ini dan itu. Misalnya bahwa bumi itu datar, dan kepercayaan menjadi aspek dari proposisi itu sehingga menjadi, “bahwa bumi itu bulat.” Rujukan proposisi yaitu untuk menyatakan proposisi itu, yang terkadang juga kepercayaan memiliki aspek lain dari kekhasannya.14 Klaim kebenaran menjadi persoalan penting dari pengetahuan karena berkaitan dengan produk pengetahuan yang dinyatakan dalam bentuk proposisi. Namun klaim tersebut muncul jauh sebelum maraknya fenomena “post truth” yang meroket ke perhatian publik pada november 2016 ketika Kamus Oxford (Oxford Dictionaries) menamainya sebagai kosa kata.15 Menurut peneliti, diskursus mengenai klaim kebenaran pengetahuan dengan hilangnya klaim kebenaran itu, merupakan dua periode yang berbeda dan perlu pembatasan yang tegas di awal. Kembali lagi pada klaim kebenaran pengetahuan, dalam pandangan pendukung linguistic turn, proposisi bukan suatu pernyataan mengenai kebenaran melainkan komitmen untuk menerima cara pertentangan antar proposisi-proposisi. Pengetahuan dengan demikian merupakan masalah hubungan yang diadakan untuk mendapatkan seseorang dengan proposisi. Hal itu berarti mengetahui merupakan suatu keadaan

13Fristian Hadinata, “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty,” (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2015), h. 40. 14Misalnya, ketika dua orang memiliki kepercayaan yang sama mengenai satu proposisi, “bahwa bumi itu bulat” walaupun keduanya percaya pada saat yang berbeda untuk alasan yang berbeda, tingkat kesepakatan yang berbeda dan penggunaan bahasa yang berbeda atau perbedaan sistem imaji. The Nature of Truth Classic and Contemporary Perspectives. Edited by Michael P. Lynch (London: Cambridge Massachusetts Institute of Technology, 2001), h. 343. 15Kamus Oxford mendefinisikan “Post-Truth” sebagai upaya menghubungkan atau menyatakan keadaan yang mana fakta yang objektif sebagai keadaan yang kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang berdasarkan emosi dan kepercayaan pribadi. Lihat, Lee Mcintyre, Post-Truth (London: Cambridge Massachusetts Institute of Technology Press, 2018), h. 1&5.

44

atau kondisi yang mana seseorang memposiskan hubungan tertentu atas faktanya dengan format K(knowing)=x(knows) as p(proposition).16 Meskipun derajat benar dan salah melalui suatu proposisi, namun penilaian tersebut juga menimbulkan ambiguitas yang terletak pada dua hal pertama, sebagai kata yang mengacu pada kalimat sedangkan yang kedua, sebagai kata yang mengacu pada makna dari kalimat. Banyak kalimat dalam bahasa yang sama ataupun berbeda dianggap memiliki makna yang sama dan perbedaan di antaranya mengabaikan soal kebenaran. Bahasa yang satu mempersempit yang lain dengan menyatakan klaim mengenai kebenaran bukan miliknya. Proposisi juga dianggap sebagai arti dari suatu kalimat yaitu makna dari kalimat tertentu yang lebih kuat tanpa subjek yang goyah yang disebut sebagai kalimat pernyataan (eternal sentences). Linguistic turn menuntut kebenaran secara langsung yang berkaitan dengan perilaku, bukan pada kalimat sebagai bentuk linguistik yang dapat diulangi, melainkan tindakan tersendiri untuk mengucapkannya. Namun ucapan juga dapat memiliki derajat yang benar ataupun salah.17 Karenanya bagi peneliti, pergeseran ke bahasa bukan berarti tanpa melibatkan epistemologi sebagai cara untuk mengetahui bahasa secara intrinsik. Pembahasan mengenai filsafat pengetahuan dalam perspektif kontemporer dapat diakhiri dengan menegaskan bahwa bahasa dalam suatu diskursus tertentu juga dapat dijadikan sebagai alat propaganda pengetahuan. Propaganda tersebut juga mencakup aspek-aspek epistemik mengenai dua hal yaitu termarjinalkan dan tertindas di dalam masyarakat dan pada situasi yang didominasi. Misalnya, diskurus propaganda mengenai minoritas yang mengganggu stabilitas suatu negara, secara langsung memarjinalkan dan menindas kaum minoritas melalui bahasa. Penekanan penting yaitu dengan propaganda juga dapat mengarah pada kepercayaan palsu di pihak orang-orang yang disituasikan secara marjinal. Dampaknya, mereka dapat menganut kepercayaan mengenai idiologi yang keliru mengenai penindasan mereka. Menurut peneliti, kepercayaan palsu sebagai produk dari propaganda merupakan dampak lain dari persoalan linguistic turn yang mengafirmasi penggunaan bahasa sebagai klaim praktek sosial. Sedangkan dampak epistemik seputar subjek dan kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi apa yang diketahui dan seberapa mudah membentuk pengetahuan itu, yang cenderung berpihak pada “hak istimewa” (priviledge) dan “pencapaian” (achievement).18

B. Relevansi Antara Pengetahuan, Rasio dan Indera Dalam kajian filsafat, terdapat distingsi tegas antara indera, rasio dan intelek sebagai proses untuk mendapatkan pengetahuan. Sebelum mengurai ketiga hal tadi dan relevansinya terhadap pengetahuan, penting terlebih dahulu memisahkan dua hal mendasar antara mengenali (sensibility) dan memahami (understanding) dalam proses mengetahui. Karenanya pengetahuan muncul dari dua sumber mendasar di dalam pikiran, pertama dengan menerima representasi atau kesan-kesan inderawi,

16Nicholas rescher, Epistemology An Introduction to the Theory of Knowledge (USA Albany: State University of New York, 2003), h. 7-8. 17Nature of Truth, edited Lynch..., h. 473-474. 18Rachel Mckinnon, “The Epistemology of Propaganda” dalam Philosophy and Phenomenological Research, College of Charleston, Vol. XCVI, 2 March 2018, h.486-487.

45

kedua, melalui fakultas pemikiran yang mengolah representasi-representasi tersebut. Secara spontan fakultas pemikiran membentuk konsep dari bentuk suatu objek yang terberi, kemudian itu menjadi suatu pemikiran yang berkaitan dengan representasi tersebut. Fakultas pertama yang menerima kesan-kesan inderawi merupakan fakultas pengenalan (sensibility) pada manusia, sementara fakultas kedua yang membentuk konsep secara spontan serta yang mampu menampilkan representasi-representasi merupakan fakultas pemahaman (understanding).19 Hemat peneliti, kegiatan mengetahui yang demikian merupakan hal yang umum dan dapat dibahasan dengan cara lain, yaitu berhubungan dengan aspek eksternal dan internal sebagai bagian dari proses untuk mengetahui. Pengetahuan memerlukan “objek” sebagai orientasi penyelidikannya yang dalam filsafat dibedakan menjadi dua macam yaitu objek-objek pengetahuan inderawi (sensible) dan objek-objek pengetahuan rasio (intelligible). Untuk fakultas pengenalan, objek pengetahuannya merupakan wilayah inderawi (sensible) adapun untuk fakultas pemahaman, objek pengetahuanyna yaitu wilayah rasio (intelligible). Fakultas pengenalan (sensibility) maupun fakultas pemahaman (understanding), keduanya memiliki hubungan dengan intusi-intuisi maupun konsep, yang terkadang, intuisi merujuk pada objek inderawi (sensible) atau sesuatu yang lainnya. Misalnya, Tuhan memiliki akses ke intuisi-intuisi intelektual. Lebih jauh lagi, fakultas pengenalan dan fakultas pemahaman juga pada dasarnya berkaitan dengan aspek penerimaan atau menggunakan representasi-representasi. Pada umumnya, materi dari intuisi-intuisi adalah representasi tunggal atau individual dari suatu objek yang mana intuisi-intuisi tersebut bersifat langsung atau tanpa perantara untuk berkorelasi ke objeknya. Sedangkan konsep secara umum, berpijak secara tidak langsung atau dengan perantara untuk berkorelasi ke individu dan dapat berhubungan ke individu lainnya. Karena itu, konsep memiliki hubungan tidak langsung dengan objek karena merupakan representasi dari representasi.20 Secara historis, terjadinya suatu pengetahuan juga dapat terdorong oleh spirit of inquiry (semangat penyelidikan). Giambattista Vico21 berpendapat bahwa, suatu bidang studi harus dilihat sebagai sesuatu yang tersusun secara keseluruhan. Hal itu ia pertegas dengan cenderung terhadap pedagogi untuk menghubungkan pendidikan dengan pemenuhan sifat manusia, yang memerlukan suatu kesatuan agar memiliki korelasi ke agama melalui teologi, etika Kristen, Yurisprudensi Kristen sebagai tahap akhir dari studi. Argumentasi Vico adalah, pengetahuan mengenai kekurangan “sifat” manusia mendorong untuk mempelajari alam semesta seni liberal dan sains serta mengemukakan metode yang benar untuk mempelajarinya. Karenanya, seluruh pengetahuan terdiri dari aspek penting untuk mengetahui dengan pasti, bertindak dengan sepantasnya dan berbicara dengan bermartabat. Konsekuensi

19Kant and His German Contemporaries Volume I: Logic, Mind, Epistemology, Science and . Edited by Corey W. Dyck and Falk Wunderlich (UK: Cambridge University Press,2018), h. 96. 20German Contemporaries, Dyck and Wunderlich, h. 97. 21Giambattista Vico merupakan filosof pencerahan asal Italia yang memiliki concern dalam bidang kemajuan ilmu maupun pengetahuan dengan identitas dan spirit Kristiani yang menjadi karakteristik dari kebanyakan para filosof Modern.

46

yang muncul yaitu perbedaan mendasar antara bentuk esoterik dan eksoterik dari pengetahuan. Bentuk esoterik pengetahuan yaitu perlu didekati seorang guru sedangkan bentuk eksoteriknya adalah bahwa tiap-tiap dari individu mampu mempelajari untuk dirinya sendiri.22

Indera memiliki peranan penting untuk mendapatkan pengetahuan dengan memberikan porsi yang besar bagi pengalaman sebagai “gerbang” terbentuknya suatu gagasan (ideas). Asumsinya, tidak ada gagasan di luar dari pengalaman itu sendiri yang membentuknya. Intuisi empiris bagi Kant, turut membentuk suatu pengetahuan inderawi ketika imajinasi mengkonstruksi suatu imaji berdasarkan apa yang diberkan secara sensorik dengan mengikuti suatu konsep empiris. Misalnya pengetahuan mengenai “kucing” sebagai suatu konsep yang muncul dari suatu perbandingan atas intuisi-intuisi individual (antara kucing lokal, persia dan kucing- kucing individual lainnya). Sebagai hasilnya, setiap dari elemen-elemen dasar kognisi manusia empiris, intuisi empiris dan konsep empiris dapat hanya muncul ketika yang lain telah muncul: tiap-tiapnya harus muncul terlebih dahulu.23 Hemat peneliti, sebagai suatu proses mengetahui, atribut-atribut inderawi menjadi penting sebagai penunjang menuju terbentuknya pengetahuan. Dengan arti lain, pengetahuan tanpa adanya indera menjadi suatu ketimpangan serta batas-batas suatu pengetahuan inderawi yaitu bersamaan dengan hadirnya intuisi empiris. Ada berbagai macam pengetahuan yang mengkonfirmasi peran indera misalnya: pengetahuan ilmiah (scientific) atau seorang saintis serta pengetahuan teknik (engineering knowledge) atau seorang insinyur. Kecenderungan bagi seorang saintis memahami dunia apa adanya sementara seorang insinyur berkreasi dan “merubah” dunia menjadi lebih tertata. Adapula pengetahuan yang mengakomodir peranan indera sebagai batasan intsrumental seperti, seorang historian, antropolog maupun filosof.24 Ketiga golongan tadi juga mengkonfirmasi pengetahuan inderawi namun dengan tujuan yang berbeda dari seorang insinyur maupun saintis. Menurut peneliti, baik pengetahuan yang mengakomodir peranan indera secara maksimal maupun yang tidak, dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang melingkupinya berada pada wilayah komunitas-komunitas keilmuannya masing-masing. Dalam sub pembahasan ini, posisi pengetahuan merupakan merupakan produk dari konstruksi subjek yang handal dan dapat dipercaya yang melintasi dimensi ruang dan waktu

22Misalnya, seorang anak kecil secara alamiah dapat mempelajari bahasa, seorang remaja dengan pendidikan dapat mempelajari matematika, bagi yang memiliki tingkatan pikiran yang lebih dalam bidang fisika dapat mempelajari bidang metafisika yang dapat dipersiapkan sebagai dasar unruk mempelajari teologi. Dengan menguasai pembelajaran secara teoritis dapat membangun dasar untuk untuk memupuk penilaian yang bijaksana dalam urusan kemanusiaan. Lihat, Donald Phillip Verene, Knowledge of Things Human and Divine Vico’s New Science and Finnegans Wake (London: Yale University Press, 2003), h. 77-78. 23Hoke Robinson,”Empirical Intuitions, Schemata, and Concepts in Kant’s Critical Epistemology,” New York University, 2013, h.331. 24Vivek Kant and Eric Keer, “Taking Stock of Engineering Epistemology: Multidisciplnary Perspectives,” Springer Nature, Philosophy and Technology, 26 September 2018, h. 7.

47

(epistemik). Sebagai suatu produk pengetahuan, berkaitan dengan kapasitas subjek untuk memiliki pengetahuan tersebut mengkonfirmasi bahwa suatu kapasitas seseoarang untuk memproduksi suatu pengetahuan berarti menjamin kapasitas untuk memiliki pengetahuan.25 Indera dan kapasitas subjek dalam proses penginderaan untuk mengkonstruk pengetahuan menjadi suatu tahapan awal yang penting. Perangkat indera pada subjek juga berimplikasi untuk membentuk pada diri subjek fungsi mengenai apa yang dapat dilakukan olehnya. Asumsinya, bahwa seseorang yang terkondisikan, merupakan kondisi tindakan pada orang tersebut sebagai seseorang yang bertindak itu sendiri. Dengan kata lain, tanpa menggerakkan suatu kondisi untuk bertindak, tidak mungkin ada tindakan yang berarti bahwa, kondisi yang menggerakkan itu terus bertindak seperti seseorang bertindak. Hal itu mengarahkan pada formasi subjek memerlukan penggerakkan indera dan bahwa seseorang perlu terlebih dahulu ditindaki oleh “sesuatu” yang lain sebelum bertindak. Poinnya yaitu,bahwa tanpa kesan pertama mengenai pengaruh dan tidaknya mengenai kesan perubahan, tidak ada formasi subjek sehingga indera tidak berkembang.26 Peneliti sependapat bahwa dalam diri subjek, terdapat suatu “organisasi27” lainnya yang turut menyertai dalam proses penginderaan. Misalnya ketika proses penginderaan dengan cara meraba suatu bentuk permukaan berlangsung, formasi subjek (membentuk subjek) dengan menghasilkan gagasan tertentu berdasarkan kesan yang diperoleh dari proses itu. Sedangkan rasio memiliki peranan penting untuk mendapatkan pengetahuan dengan memberikan porsi lebih pada akal secara apriori untuk mendapatkan suatu gagasan (ideas). Asumsinya, gagasan terbentuk begitu saja dengan sendirinya tanpa didahului oleh suatu pengalaman. Peran dari rasio karenanya merupakan bagian dari daya berpikir (thinking). Menurut Russell, konsep berpikir pada Descartes memiliki pengertian yang luas. Misalnya, sesuatu yang berpikir adalah sesuatu yang meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, berimajinasi maupun merasakan. Berpikir sebagai suatu kegiatan tertentu bagi mausia dalam pandangan Descartes merupakan esensi dari pikiran yang mana pikiran senantiasa selalu berpikir, bahkan ketika sedang tertidur lelap sekalipun. Merasakan sebagai suatu kegiatan tertentu dalam mimpi dengan hasilnya sebagai suatu perasaan

25Pandangan ini merupakan lawan dari pandangan para pengusung belief and acceptance seperti seorang kritikus social science bernama Wray. Lihat, Vivek Kant and Eric Keer, “Taking Stock of Engineering Epistemology: Multidisciplnary Perspectives,” Springer Nature, Philosophy and Technology, 26 September 2018, h. 419. 26Lebih jauh lagi, formasi subjek dan penginderaan secara struktural mendapatkan informasi dari kesan pertama yang sepenuhnya tidak pernah melampaui kondisi yang membuat subjek dan kapasitasnya untuk memungkinkan mengindera dan bertindak. Kondisi tersebut terus bertindak sewaktu seseorang bertindak. Lihat, Judith Butler, “Précis of Sense of the Subject,” Philosophy and Phenomenological Research University of California, 1 January 2018, h. 214. 27Hemat peneliti, “organisasi” menunjukkan bahwa subjek tidak otonom dalam membentuk suatu pengetahuan tanpa melibatkan atribut-atribut lainnya seperti kesan inderawi, kualitas inderawi dan sebagainya yang membentuk suatu gagasan (formasi subjek).

48

merupakan suatu bentuk kegiatan berpikir.28 Menurut peneliti, karena berpikir adalah kegiatan dari rasio itu sendiri dengan mencakup berbagai asek, maka rasio dalam hal ini merupakan proses lanjutan dari peran indera. Hal itu karena, kegiatan berpikir masih berkaitan dengan unsur-unsur material pada objek yang belum sepenuhnya murni dari aspek materi. Berbagai pengetahuan yang mengakomodir peran rasio secara maksimal antara lain, pengetahuan matematika dan pengetahuan metafisika. Dikatakan secara maksimal karena tanpa melibatkan aspek pengalaman dan sifatnya (apriori). Objek dari pengetahuan rasional yaitu yang melampaui penampakan dari fisik, atau metafisik. Kembali pada Descartes, pada sisi lain tindakkan berpikir, ke fakultas kognitif (pikiran) atau daya-daya merupakan intelek murni. Misalnya, mengetahui Tuhan, benda segitiga tanpa didahului oleh gambaran mental (imaji). Namun pada Descartes juga, tindakan berpikir meliputi persepsi sensoris dan imajinasi yang mewakili secara instrinsik yang memberikan pemikiran yang berguna di wilayah yang terbatas.29 Peneliti tidak sependapat dengan dua kecenderung dari dari rasio seiring objek dan karakteristik yang mana peneliti lebih mengafirmasi bahwa objek intelek (intelligible) sepenuhnya pada wilayah dan kemampuan intelek, bukan rasio. Sedangkan karakteristik dari rasio yang berkaitan dengan unsur-unsur materi seperti mempertimbangkan, berimajinasi dan memutuskan, menjadi tepat memposisikan rasio sebagai tahap kelanjutan dari penginderaan. Rasio sebagai kapasitas subjek dalam proses berpikir untuk mengkonstruk pengetahuan menjadi tahap kedua yang penting dalam penelitian ini. Pada tahap pertama mengenai penginderaan objek-objek eksternal memiliki korelasi dengan proses berpikir. Misalnya, penginderaan pada malam hari yang gelap gulita sebelum dan setelah adanya penerangan yang memiliki dua karakter yang berbeda. Pada keadaan yang gelap; bentuk, keadaan, warna merupakan sifat malam, menjadi berbeda drastis ketika keadaannya tersinari oleh penerangan; bentuk, keadaan dan warnanya menjadi semakin jelas. Keadaan malamnya tidaklah berubah namun hanya sifat-sifatnya saja yang berubah menjadi lebih jelas sehingga yang tertangkap oleh indera bukanlah malam itu sendiri. karenanya, sesuatu yang dikatakan sebagai malam tidaklah ada dengan sendirinya karena terangkum oleh seluruh penampakkan yang ditangkan indera. Terkadang juga, terdapat dua ide yang berbeda mengenai satu objek eksternal yang sama, misalnya bulan sebagai yang ditangkap oleh indera individual dengan bulan yang dipercaya oleh ahli astronomi. Kedua ide ini tidak sama dengan bulan yang mana akal menunjukkan bahwa ide yang langsung berasal dari pengalaman merupakan sesuatu yang kurang menyerupai bulan menurut kedua ide tersebut.30 Dengan kata lain, proses penginderaan dan berpikir mesti dipahami dalam satu rangkaian yang serentak (simultaneously). Adapun intelek memiliki peran penting untuk mendapatkan pengetahuan dengan memberikan porsi lebih pada akal murni secara apriori untuk mendapatkan

28Bertrand Russell, History of Western Philosophy, 5th ed (Canada: Routledge, 1994), h. 548. 29Gary Hatfield, “Descartes: New Thoughts on The Senses,” Routledge, British Journal for the History of Philosophy, 6 December, 2016, h. 2. 30Russell, Philosophy..., h. 548-549.

49

suatu gagasan (ideas). Asumsinya, gagasan (ideas) terbentuk berdasarkan konstitusi- konstitusi pikiran tanpa didahului oleh suatu pengalaman namun saling berkorelasi satu dengan lainnya. Mengikuti Kant, intelek merupakan struktur-struktur (apriori) pikiran untuk mensintesisikan pengalaman inderawi sehingga terbentuk suatu pengetahuan. konsekuensinya, intelek merupakan sesuatu yang melekat dalam kepala tiap-tiap orang seperti sebuah “perangkat bawaan”. Tindakan sintesis merupakan kegiatan spontanitas pikiran yang mewajibkan bahwa dari yang bermacam-macam (representasi-benda-konsep) ini pertama kalinya diperiksa rinci, kemudian diambil dan dikombinasikan dalam berbagai cara pada yang lainnya agar pikiran dapat keluar melaluinya. Hasil dari sintesis bagi pikiran adalah untuk memahami tindakan yang diambil dari pengambilan representasi yang berbeda secara bersamaan dengan yang lainnyadan memahami keseringannya pada satu pikiran. Kegiatan sintesis itu juga terjadi pada sebagian banyak sumbangan yang diberikan dari indera-indera.31 Intelek dalam filsafat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu intelek praktis dan intelek teoritis. Intelek praktis berkaitan dengan kegiatan yang mencakup latihan praktis yang tidak tertuju hanya pada satu kegiatan tertentu saja melainkan segala kegiatan dengan segala cakupan latihan tertentu, kerajinan (craft). Perlu dibedakan antara kerajinan produktif dengan kerajinan praktis. Kerajinan produktif merupakan suatu hal yang diarahkan ke produksi mengenai hal-hal yang terpisah dari latihan itu sendiri, misalnya, bangunan rumah atau obat-obatan. Adapun kerajinan praktis merupakan suatu hal yang ditujukan hanya untuk penampilan luar biasa tersebut, misalnya, penampilan musikal.32 Sedangkan intelek teoritis, berkaitan dengan suatu kegiatan pikiran mensintesiskan data-data inderawi melalui struktur-struktur internal pikiran.33 Dalam hal tersebut objek pengetahuan dari daya intelek dalam pikiran subjek yaitu intelligible murni yang terbebas dari unsur-unsur materi, sebagai struktur-struktur pikiran itu sendiri. Pikiran (cognition) karena itu memerlukan objek yang diberikan di dalam intuisi dan pikiran melalui konsep yang merupakan persyaratan spesifik dari pikiran ketimbang ciri umum dari pengetahuan.34 Intelek sebagai kapasitas subjek dalam proses berpikir untuk mengkonstruk pengetahuan merupakan tahap ketiga yang penting dalam penelitian ini. Kecerdasan bukanlah secara langsung konseptual dan linguistik melainkan aktivitas mental di mana kecerdasan terdiri menyediakan realitas psikologis yang di mana realitas diskursif berkembang secara teoritis dan praktis. Dengan demikian, terdapat relasi antara kecerdasan dan kesadaran yang dalam kajian filsafat pengetahuan atau epistemologi terdapat batasan yang tegas dengan kajian psikologis. Pikiran menjadi suatu kecerdasan dengan menghubungkannya ke isi mental sebagai milik pikiran itu

31Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Translated by Paul Guyer and Allen W. Wood (UK: Cambridge University Press, 1998), h. 210. 32C.C.W. Taylor, Pleasure, Mind, and Soul Selected Papers in Ancient Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 2008), h. 204 33Mengikuti Kant, dalam hal tersebut, fungsi intelek yaitu sebagai sesuatu yang menghubungkan data- data pengalaman inderawi dengan struktur pikiran atau kategori- kategori pikiran seperti, kategori kuantitas, kategori kualitas, kategori relasi dan kategori modalitas. Lihat Kant, Pure Reason..., h. 212. 34Kant German Contemporaries, Dyck and Others, h. 186.

50

sendiri dan juga sebagai sesuatu yang objektif. Jiwa yang berkaitan dengan isi mentalnya hanya sebagai kenyataan pikiran sendiri sementara kesadaran terpisah dari jiwa yang beragam untuk menghadapi objektivitas.35 Pembahasan pada sub bab ini akan mengafirmasi bahwa baik indera, rasio dan intelek merupakan daya dalam diri subjek untuk mengaktualisasikan pengetahuan tertentu. Hemat peneliti, daya- daya tersebut telah “tertanam” pada tiap-tiap subjek namun dengan kadar pengaktualisasiannya yang berbeda seiring kesadaran maupun kemampuan subjek. Singkatnya, daya untuk menuju pengetahuan bersifat potensial sedangkan hasil dari yang diketahui bersifat aktual.

C. Pengetahuan Tanpa Rasio dan Indera Pembahasan pada sub bab ini bertujuan untuk menegasikan apa yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya yang tesis yang mengafirmasi bahwa untuk mengkonstruksi pengetahuan, memerlukan indera, rasio maupun intelek. Untuk menguatkan tujuan tersebut, mengikuti Rorty, perlu meninggalkan klaim mengenai filsafat pikiran (philosophy of mind) bahwa seseorang atau filosof memiliki pengetahuan yang tidak dapat diperbaiki dengan nilai dari hubungan khusus dengan jenis khusus objek yang disebut dengan “mental objek”. Asumsinya yaitu dengan memiliki “mental objek” mengafirmasi hubungan epistemik sebagai “pengetahuan langsung”, “pengetahuan yang tidak bisa dikoreksi”, atau “pengetahuan tertentu” yang dapat dipahami berdasarkan sebab-akibat, cara semi-mekanis. Pengetahuan model demikian adalah sebagai suatu hubungan khusus antara benda tertentu dan pikiran manusia yang memungkinkan pengetahuan berlangsung dengan lebih mudah, alami atau cepat.36 Dari perspektif Rorty, menurut peneliti menjadi masuk akal klaim penolakan mutlak suatu pengetahuan karena mengabaikan keterbatasan dan “materi” pengetahuan sebagai bagian dari suatu praktek sosial tertentu. Suatu pengetahuan memiliki tendensi pada nilai rasionalitas pada setiap bentuk dari argumentasi-argumentasi yang dinyatakan. Karakteristik dari subjek (agency) yang rasional yaitu sebagai suatu perilaku yang terarah yang melibatkan kapasitas representasional. Pengetahuan di satu sisi memerlukan suatu pernyataan namun di sisi lain tidak memerlukannya yang merupakan suatu komitmen yang menghasilkan dua karakteristik yang mungkin dari suatu gagasan mengenai keyakinan yang mana tidak selalu bersamaan. Yang memerlukan pernyataan ketika secara spesifik dengan keyakinan subjek dengan memperhitungkan keyakinan yang diakuinya serta apa yang dipikirkannya. Sedangkan yang tidak memerlukan pernyataan, menjadkan aspirasi dari keyakinan yang menjadi concern mengenai suatu komitmen dari apa yang subjek lakukan meskipun ketika subjek tidak menyatakannya.37 Peneliti sependapat bahwa mengenai suatu pengetahuan, terdapat dua kelompok yang secara tegas bertentangan satu sama lain. Kelompok pertama,

35Richard Dien Winfield, The Living Mind From Psyche to Consciousness (United Kingdom: Rowman & Littlefield Publisher, 2011), h. 228. 36Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of nature (United State of America: Princeton University Press, 1979), h. 95-96. 37Lihat, Javier Gonzalez de Prado Salas and Jesus Zamora-Bonilla, “Collective Actors Without Collective Minds: AN Inferentialist Approach, SAGE, Philosophy of the Social Sciences, 20 February 2014, 3&10.”

51

menekankan aspek penting dari pernyataan klaim hasil yang telah diketahui secara ketat (fondasi) yang berkaitan dengan bidang keahliannya. Sedangkan kelompok kedua justru mengabaikan atau menolak pernyataan klaim dari hasil yang telah diketahuinya secara longgar (menegasikan fondasi) tanpa melibatkan pada suatu bidang keahlian tertentu. Kedua perselisihan pandangan tersebut menjadi aspek penting pada pembahasan ini. Pernyataan dari suatu klaim filosofis mengandung unsur-unsur keyakinan intrinsik dari pernyataan tersebut karena upaya dari para filosof secara teguh untuk mempertahan namun bersifat dilematis. Hal tersebut bukan berarti menjadi klaim bahwa para filosof harus selalu mempertahankan pandangan mereka secara teguh melainkan, banyak dari filosof justru memegang komitmen dari pandangan yang mereka sukai dan mengambil jalan berfilsafat seperti itu. Berfilsafat dengan baik menjadi suatu preferensi pribadi dari filosof untuk komitmen mempertahankan pandangan yang dimilikinya. Adapun sifat dilematisnya terletak pada mempercayai atau tidak dari pandangan filosof yang kontroversial, jika mempercayai maka menjadi irasional dan jika tidak mempercayai maka pandangannya tidak sungguh- sungguh dianut. Karena itu, kepercayaan diperlukan untuk komitmen yang relevan juga. Lebih jauh lagi, pandangan maupun pernyataan sebagai klaim filosofis perlu diposisikap sebagai sikap spekulatif.38 Menurut peneliti, sikap spekulatif berarti bersifat terbuka untuk berbagai pandangan-pandangan lainnya yang mengkoreksi pandangan filosof sebelumnya. Pengetahuan juga berkaitan dengan “keyakinan” dari seorang subjek atau filosof mengenai objeknya. Keyakinan yang dimaksud bukan dalam ranah keimanan-teologis melainkan dalam ranah proses untuk mengetahui objek eksternal. Misalnya, bagi seseorang yang mengetahui bahwa (P) tidak ada kehidupan di Mars, maka ia meyakini dan bahkan sangat meyakininya (P). Artinya, bagi yang mengetahui sesuatu harus pula meyakininya. Lebih jauh lagi, ketika masalahnya adalah apakah seseorang dapat mengetahui sesuatu tanpa menjadi yakin atau percaya, hal itu justru membatasi subjek atau filosof untuk mengenal objeknya, meliputi seluruh bidang pengetahuan. Misalnya keterbatasan dari yang dinyatakan sebagai “mengetahui bahwa”, “mengetahui apa, kapan bagaimana”, dan sebagainya. Dengan kata lain, bagi yang mengetahui sesuatu, harus tahu bahwa ia mengetahuinya. Asumsi bahwa, seseorang yang mengetahui “sesuatu” harus meyakininya dan percaya “sesuatu” itu. Bagi seseorang yang tahu tanpa percaya atau yakin (bahwa subjek atau filosof tersebut tahu), maka siapa pun yang memegang itu berarti mengafirmasi bahwa untuk percaya “sesuatu,” tanpa harus mengakui seorang tersebut itu tahu.39 Artinya mengafirmasi suatu pandangan bahwa mengikuti pandangan seorang filosof perlu juga mengetahui pemikirannya secara jelas dan selektif. Singkatnya, pengetahuan merupakan suatu penjelasan relasional mengenai pengalaman subjek mengenai objeknya. Satu pengertian bersifat spesifik untuk

38Zach Barnett, “Philosophy Without Belief,”, Brown University Journal Mind, June, 2017, h. 4&6. 39Alan R. White, “Knowledge Without Conviction,” Jstore, Oxford Journals University Press, June, 28, 2014, h. 224-225.

52

filsafat pengetahuan yang bersifat reduktif yaitu ditandai dengan upaya untuk memberikan suatu laporan dari pikiran dalam suatu perilaku (behavioral) atau fungsi tanpa terkecuali. Dengan kata lain, model pengetahuan reduktif itu berasal dari filsafat ilmu (sains) dengan asumsi, hal tersebut bertolak dari hubungan dengan kemampuan memberikan laporan sistematis ilmu yang “lebih tinggi” dalam hal yang “lebih rendah” dan dalam hal fisika. Mengenai teori pikiran juga terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu antara teori materialisme dan kelompok fisika. Teori materialisme pikiran berpendapat bahwa pengetahuan merupakan bagaimana sesuatu yang merupakan benda fisik murni dapat memuaskan prediksi psikologis. Karakteristik dari teori materialisme yaitu menegasikan aspek kesadarn dan intensionalitas dalam pikiran yang terbebas dari model Cartesian agar kompatibel dengan materialisme. Sedangkan kelompok fisika berpendapat bahwa perlu untuk mengintegrasikan psikologi ke dalam kesatuan ilmu yang bersandar pada fisika. Karakteristik dari kelompok fisika pada tahap pertama ada hukum yang menghubungkan kesatuan psikologis dengan kesatuan syaraf.40 Pengetahuan tanpa rasio dan indera dalam sub bab pembahasan ini bukan berarti menanggalkan keduanya untuk mengkonstruk suatu pengetahuan melainkan, pengetahuan tidak serta merta melalui keduanya dan bersifat final. Lebih eksplisit lagi, pengetahuan tanpa rasio dan indera berpihak pada model dari epistemologi behaviorisme. Epistemologi behaviourisme menekankan aspek penting dari perilaku bukan proses-proses yang mengarah pada aturan-aturan dan upaya penyelidikan tertentu.41 Atau dalam terminologi yang berbeda, dikenal sebagai “information- behaviour,” yaitu yang berorentasi pada epistemologi yang berhubungan dengan interaksi dan pengalaman seseorang atau suatu kelompok dengan informasi. Adapun fokusnya antara lain pada beberapa aspek seperti; aspek sosial, psikologis, perilaku dan lingkungan masyarakat. Dari aspek historis, penggunaan istilah information- behaviour berawal pada tahun 1960an di mana istilah tersebut merespon konsep informasi yang diperlukan. Konkritnya, information behaviour sebagai aktivitas ketika seseorang mengidentifikasikan kebutuhannya sendiri akan informasi, dengan

40Lebih jauh lagi, ada hukum yang menjembatani yang berkaitan dengan sifat atau konsep ilmu apapun yang lebih tinggi dari fisika dengan ilmu pengetahuan di bawahnya, sampai hubungan nomologis dengan fisika itu sendiri dicapai. Antara teori materialisme dan kelompok fisika terdapat reduksionisme analitik. Dikatakan analitik karena terdapat penjelasan kondisi mental tertentu dalam hal perilaku tertentu yang memiliki asosiasi. Dikatakan reduktif karena memiliki maksud untuk menunjukkan bagaimana melalui hubungan perilaku, kondisi mental tidak perlu lebih dari kondisi fisik yang bertentangan dengan intuisi Cartesian, yang mana pikiran pada akhirnya merupakan kontribusi untuk perilaku dan tidak lebih. Definisi dari mental itu sendiri yaitu merupakan jenis dari proses fisik yang memiliki karakteristik non-mental sepenuhnya. Lihat, Howard Robinson, “From the Knowledge Argument to Mental Substance (Resurrecting the Mind) II Davidson Non- Reductive Physicalisme and Naturalism Without Physicalism,” Cambridge The University of Auckland, 18 September 2017, h. 93-96. 41Biao Xiang, “Beyond Methodological Nationalism and Epistemological Behaviorism: Drawing Illustrations from Migrations within and from China”, Journal Population UK University of Oxford Institute of Social and Cultural Anthropology, February 2015, h. 10.

53

cara apapun untuk mencari informasi tersebut dan menggunakan atau memindahkan informasi tersebut.42 Peneliti mengafirmasi bahwa, pengetahuan tanpa rasio dan indera merujuk pada kegiatan kolektif berdasarkan preferensi ekspresif semata. Yang menjadi catatan penting yaitu bahwa kegiatan mengetahui merupakan bagian dari aktivitas jiwa untuk menjelaskan serta melibatkan beberapa fakultas- fakultas jiwa yang dimiliki oleh manusia, yaitu fakultas jiwa lokomotif (jiwa nabati) dan instingtif (jiwa binatang) dari beberapa perilaku yang ditimbulkan. Filsafat karenanya berambisi untuk membuat determinisme dunia fisik lebih unggul atas tingkatan jiwa-jiwa pada diri manusia. Pandangan filsafat yang demikian berifat lebih kritis dan skeptis terhadap gagasan bahwa binatang hanyalah mesin yang tidak peka dengan perilaku yang deterministik.43 Hemat peneliti, pengetahuan tanpa rasio dan indera merupakan model dari epistemologi behaviour44 yang menekankan aspek penting tindakan yang berbeda dengan epistemologi modern yang mengandalkan peran penting rasio dan indera. Epistemologi modern, menekankan aspek penting nilai keilmiahan atau diskursif sebagai suatu pengetahuan sedangkan epistemologi behaviour menekankan aspek penting percakapan atau praktek sosial sebagai nilai dari ketentuan pengetahuan. Karenanya menurut peneliti, nilai dari klaim kebenaran pengetahuan dan standar kebenaran yang ditawarkan keduanya juga berbeda yaitu antara kebenaran yang bersifat epistemik-komunal dan ekspresif-sektarian.45 Epistemologi behaviour atau epistemological behaviourism memiliki kecenderungan pada model filsafat pragmatis. Corak dari filsafat pragmatis yaitu menekankan aspek penting dari guna atau manfaat suatu kebenaran sebagai

42Dalam konteks itu, information behaviour merupakan totalitas perilaku manusia dalam hubungannya dengan interaksi mereka dengan informasi, termasuk “tanpa ketersengajaan” atau perilaku pasif sama baiknya dengan tindakan yang memiliki tujuan yang tidak melibatkan pencarian seperti menghindari informasi secara aktif. Lihat, Mark Hepworth, Fatmah, Almehmadi and Sally Maynard dalam “A Reflection on the Relationship between the Study of People’s Information Behaviour and Information Lteracy: Changes in Epistemology and Focus,” Emerald Group Publishing Limited, Library and Information Science, Volume 9, 2014, h. 53-54. 43Quentin Hiernaux, “History and Epistemology of Plant Behaviour: a Pluralistic View?,” Springer, Journal Synthese Biobehaviour, 2 July 2019, h. 8-9. 44Istilah dari epistemologi behaviour atau Epistemological Behaviourism merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Rorty dalam karangan tulisnya yang monumental, Philosophy and The Mirror of Nature. 45Kembali lagi pada contoh yang telah dijelaskan pada bab pertama bahwa, untuk mengatasi penyakit tidak enak bada, bagi pengusung epistemologi behaviour menyatakan bahwa pengobatan kerokan menjadi alternatif pilihan sebagai usaha menyembuhkannya berdasarkan prangkat kebiasaan dari praktek sosial yang berlaku dengan mengasumsikan bahwa, garis merah sehabis dikerok sebagai tanda bahwa angin tersebut telah keluar tubuh (ekspresi sektarian) yang belum tentu kelompok sosial lainnya mempraktekkan hal yang sama. Bagi pengusung epistemologi modern menyatakan bahwa penyakit tersebut tidak termasuk ke dalam golongan medis yang mana efek merah setelah dikerok merupakan gejala inflamasi dan menandakan bahwa pembuluh darah kapiler menjadi elastis sehingga menimbulkan dampak rileksasi karena darah mengalir lebih lancar. Diagnosa tersebut berdasarkan prangkat ilmiah medis-kedokteran yang dapat berlaku secara umum karena hasil observasinya dapat diverifikasi oleh banyak orang.

54

kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran bukanlah merupakan tujuan dari semangat penyelidikan (spirit of inquiry) melainkan untuk mendapatkan suatu kesepakatan antar manusia dari apa yang semestinya dilakukan (konsensus). Aspek penting untuk mencapai suatu konsensus yaitu dengan menyadari “alat” yang digunakan untuk mencapainya, yaitu bahasa. Dalam hal tersebut, bahasa bukanlah alat untuk menggambarkan dan merepresentasikan dunia eksternal secara akurat melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama yang berguna. Hubungan antara pengetahuan den keyakinan karenanya tidak bersifat final yang bertujuan merepresentasikan dunia eksternal melainkan bersifat tentatif yang bertujuan untuk menunjukkan kebiasan tindakan mana yang terbaik agar memenuhi tujuan. Konsekuensinya tidak ada jarak antara berbagai disiplin keilmuan serta tidak ada perbedaan yang mencolok antara teori dan tindakan sejauh bertujuan untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik lagi. Dengan kata lain, upaya untuk mendeskripsikan objek apa adanya tidak relevan ketimbang menentukan deskripsi mana yang lebih bermanfaat dan berguna untuk mencapai tujuan bersama.46 Dengan demikian, pengetahuan yang menegasikan dominasi dari rasio dan indera memposisikan pengetahuan tanpa korespondesi dengan realitas yang bersifat pragmatis. Asumsi sederhananya yaitu paham pragmatis tidak mempercayai ada jalan untuk mencapai sesuatu yang sebenarnya. Lebih konkrit lagi, paham tersebut bersikap mengenai suatu pengetahuan yang masih “samar” sebagai sesuatu yang lebih baik dalam arti mengandung lebih banyak hal yang dianggap baik dan kurang dari apa yang dianggap buruk.47 Menurut peneliti, istilah “samar” dalam arti belum mengetahui aspek manfaat dan guna dari suatu pengetahuan terhadap dampak sosial atau masyarakat secara luas, bukan mengenai hasil prodak pengetahuannya. Karena pada dasarnya sebagai suatu produk, pengetahuan memiliki tujuan intrinsik yang menjadi pegangan dan bernilai sekurang-kurangnya bagi subjek yang menunjukkan kualitas dari apa yang telah diketahuinya (objek pengetahuan). Istilah “samar” karena itu merujuk pada kesepakatan sosial mengenai manfaat ataupun guna dari suatu pengetahuan.

D. Konsekuensi Dari Persepsi Sebagai Pengetahuan Inderawi Sub bab pembahasan akhir pada bab ketiga ini mengulas mengenai konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari sikap mengafirmasi peran persepsi sebagai pengetahuan inderawi yang terbagi menjadi tiga. Pertama, berpihak pada model pengetahun yang memiliki otoritas pada keahlian tertentu (expertise) tertentu. Kedua, berpihak pada model pengetahuan yang bersifat objektif atau memiliki korespondensi terhadap realitas. Ketiga, berpihak pada model pengetahuan yang bertujuan untuk membangun sistem yang ilmiah. Untuk yang pertama, kedua maupun ketiga, merupakan khas pengetahuan dalam paradigma modern dengan menekankan aspek penting pengetahuan untuk menggambarkan realitas apa adanya.

46Fristian Hadinata, “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty,” (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2015), h. 52-56. 47Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (London: Penguin Books, 1999), h. 27-28.

55

Selain itu juga, aspek penting lainnya yaitu mengandalkan kapasitasi subjek untuk melaporkan pengetahuan seakurat mungkin. Dari ketiga konsekuensi-konsekuensi itulah yang menjadi fokus pada sub pembahasan ini. Untuk yang pertama, pengetahuan inderawi yang memiliki otoritas pada predikasi keahlian (expertise) yaitu berkaitan dengan kegiatan keilmiahan aktivitas penyelidikan. Keahlian menjadi suatu kegiatan yang dilakukan dengan kategori yang tersusun secara baik dan penyelidikan mengenai sumber-sumber pembelajaran para ahli menurut tingkat yang harus dilakukan.48 Hal itu pararel dengan tujuan empiris dan teoritis dengan kemampuan menjelaskan secara luas serta untuk memahami suatu permasalahan yang menuntut suatu keahlian. Sifat yang muncul dari adanya keahlian dari berbagai bidang pengetahuan yaitu adanya spesialisasi beserta prakek- praktek keilmuan pada bidang tertentu. Asumsinya, pengalaman mengarahkan pada pemaksaan dari pengetahuan yang pada gilirannya mengarah pada keahlian. Namun, pengalaman juga menuntut kecakapan (qualification), yaitu kemampuan yang dikembangkan oleh seseorang sebagai hasil melalui pengalaman yang berbeda dan melakukan kegiatan yang berbeda pula.49 Misalnya seorang penemu dalam bidang industri, memiliki karakteristik sikap individual dengan menggunakan kapabilitas, kualifikasi dan keahliannya untuk mengamankan dan menjual penemuan mereka.50 Peneliti sepakat bahwa suatu pengetahuan merujuk pada predikasi keahlian tertentu yang tidak dimiliki oleh tiap-tiap orang karena perbedaan pengalaman dan penyelidikan terhadap objek sehingga membuat distingsi antara ahli dan awam. Konsekuensi dari persepsi sebagai pengetahuan yaitu antara lain berkaitan dengan hubungan relasional antara intuisi dengan seorang ahli. Keahlian maupun kemampuan intuitif dari para ahli atau filosof profesional tidak memiliki beberapa ciri yang menjadi keahlian dalam bidang yang lainnya. Hubungan antara intuisi pengetahuan dari seorang ahli atau filosof menghasilkan tiga aspek penting. Pertama untuk membandingkan intuisi ahli mengenai pengetahuan dengan intuisi awam, kedua, untuk mengukur kualitas kedua kelompok tadi atas konsensus epistemologi yang relevan, ketiga, untuk memeriksa apakah intuisi dari para ahli sejalan dengan konsensus keilmuan mereka sendiri.51 Istilah ahli juga berasal dari catatan Plato dalam Charmides yaitu bahwa terdapat perbedaan antara seorang dokter palsu dari salah seorang yang menantang seorang yang bijaksana sehingga memunculkan banyak ahli palsu. Kegiatan dari mengetahui sebagai pengetahuan yang nampak (knowing that) merupakan hal yang primer dari pengetahuan adapun pengetahuan yang tersembunyi (knowing how) merujuk dari yang primer tersebut yang mana

48Rodrigo Ribeiro, “Level of Immersion, Tacit Knowledge and Expertise,” Springer Science+Business Media, 3 April, 2012, h. 30-31. 49Ribeiro, “Knowledge and Expertise...,” h. 3. 50Stathis Arapostathis, “Meters, Patents and Expertise (s): Knowledge Networks in the Electricity Meters Industry, 1880-1914,” Journal Studies in History and Philosophy of Science, Department of Philosophy and History of Science University of Athens, 20 December, 2012, h. 365. 51Joachim Horvath and Alex Wiegmann, “Intuitive Expertise and Intuition About Knowledge,” Journal Philos Stud, Springer Science+Business Media Dordrecht, 21 January 2016, h. 3.

56

selalu bisa diterjemahkan ke dalam proposisi.52 Peneliti sependapat bahwa, ahli ataupun keahlian menjadi predikasi dan konsekuensi logis dari pengetahuan yang dimiliki seseorang melalui intuisinya yang tidak dapat dihindarkan. Terdapat hubungan yang penting antara persepsi dan keahlian yang mana relasi dari keduanya mengarah pada suatu pengetahuan tertentu. Keahlian bukan dalam arti berbicara mengenai dunia yang dimiliki oleh semua manusia namun dengan bidang spesialisasi dalam pekerjaan. Keahlian juga memiliki kinerja untuk mempertimbangkan suatu permasalahan terkadang dengan baik dan diskriminasi oleh sesama ahli. Namun kondisi yang demikian tidak terjadi apabila tidak belajar untuk beroperasi dalam dunia non-ahli sehari-hari yang mana menjadi tempat terjadinya tindakan-tindakan yang paling awal, yaitu konsep penilaian mengenai suatu tindakan adalah penting. Pada konteks tersebut, kegiatan mengetahui sebagai knowing how melalui persepsi menjadi poin yang merupakan manifestasi dalam tindakan yang bisa dinilai berdasarkan kualitas-kualitas tertentu dalam keseharian seperti; teknis, moral maupun estetika. Keahlian karenanya menimbulkan split antar kelompok ilmuan sebagai kemampuan untuk mempersepsi dan membuat penilaian mengenai tindakan lain pada bidang keahlian yang sama dengan suatu pertimbangan tertentu.53 Keahlian yang dimiliki oleh seorang ahli (expert) mengisolasi dirinya dari bidang keahlian lainnya atau kelompok dengan aturan dan konsensus yang berbeda- beda. Namun yang menjadi “jembatan” penghubung antar ahli yaitu membuat sistem yang dapat beroperasi secara bersama dengan pengetahuan lintas bidang untuk mengembangkan rekomendasi dan memecahkan masalah. Atau bisa disebut dengan istilah chess expertise yang secara historis, kata chess secara primer mendominasi kajian psikologi mengenai keahlian manusia. Tujuannya dalam bidang penelitian yaitu sebagai sistem peringkat internasional yang memungkinkan untuk membandingkan dengan tepat keterampilan seseorang. Karena pada pandangan konvensional, keahlian hanya sebatas fungsi dan kenangan, bukan bertujuan untuk menemukan solusi terbaik yang berhubungan dengan temuan yang sudah ada yang digunakan untuk mengidentifikasi pembentukan dengan interpretasi yang berhasil atas objek. Hal terebut berdasarkan fakta bahwa keahlian tidak hanya dapat dikaitkan hanya pada satu tingkat proses kognitif baik rendah maupun tinggi.54 Untuk yang kedua, pengetahuan inderawi bersifat objektif dan koresponden terhadap realitas. Pengetahuan inderawi sejalan dengan sifat sains yang memberikan gagasan bahwa pengetahuan sains terbebas dari berbagai sikap subjek dan semata-

52Fernand Gobet, “Three Views on Expertise: Philosophical Implications for Rationality, Knowledge, Intuition and Education,” Journal of Philosophy of Education, Vol. 51, No. 3, 2017, h. 1-2. 53Christopher Winch, “Professional Knowledge, Expertise and Perceptual Ability,” Journal of Philosophy of Education Vol. 51 No. 3, 2017, h. 675-676. 54Kognisi rendah (inferior) seperti persepsi, pengenalan pola, ingatan sedangkan kognisi tinggi (high) seperti berpikir, membentuk konsep, logika, pengambilan putusan, pemecahan masalah, kreativitas, inteleksi. Dari kesemuanya itu menunjukan kerumitan dari keahlian sebagai suatu proses atau mekanisme transfer (transfer mechanism). Lihat, Ekaterina E. Vasyukova, “The Nature of Chess Expertise: Knowledge or Search”Journal State of the Art Psychology, University Lomonosov Moscow Russia, 2012, h. 511-512.

57

mata berbasis observasi, eksperimen dan analisis logis mengenai konsep-konsep dan sebagainya yang memberikan fakta “telanjang” mengenai dunia nyata. Sifat dari sains juga tidak memberikan celah pada berbagai elemen-elemen subjektif yang berarti, pengetahuan sainstifik bersifat objektif murni yang mendeskripsikan struktur kenyataan mengenai dunia.55 Di sisi lain, eksperimen subjek memerlukan struktur yang berasal dari sifat realitas.56 Konkretnya, unsur-unsur dari objek yang dapat mempengaruhi pikiran maupun unsur-unsur pikiran untuk mengkonstruksi objek. Objektif dalam konteks tersebut berarti melepaskan berbagai unsur-unsur subjek yang melekat yang menyertai dalam proses penilaian mengenai suatu objek. Misalnya, unsur-unsur penilaian berdasarkan emosi, rasisme, kepentingan dan seterusnya. Penilaian subjektif pada akhirnya mempengaruhi penilaian yang apa adanya atau objektif sehingga menimbulkan penilaian yang bias dari kenyataan mengenai objeknya. Pengetahuan inderawi tidak hanya mendukung klaim objektivitas melainkan mendukung juga klaim wacana umum. Pada konteks itu, pengetahuan menawarkan suatu cara pandang yang dengannya pengetahuan didefinisikan sebagai esensi dari pengalaman setelah wacana umum mengenai maknanya. Secara implisit, baik aliran empirisme dan relativisme menjadi relevan sebagai pengetahuan priori dapat sama pentingnya dengan pengalaman pada “hubungan kemanusiaan” yang berbasis epistemologi dan bahwa gagasan mengenai kebenaran objektif tidak perlu ditinggalkan. Model dari pandangan tersebut yaitu mengusung “epistemologi deliberatif” yang dapat mengatasi cara untuk mengetahui sesuatu yang melibatkan rekonsiliasi dari berbagai aspek kelompok.57 Bagi peneliti, pengetahuan inderawi yang mengandalkan peran persepsi dengan demikian dapat meliputi dua aspek, pertama berdasarkan kemampuan objektif dan kedua berdasarkan konsensus. Artinya, klaim kebenaran pada pengetahuan tidak selalu seputar objeknya untuk merepresentasikannya melainkan bertolak dari intersubjektif untuk menyepakati atas suatu tujuan bersama. Pengetahuan juga dapat dikatakan bersifat objektif apabila memiliki suatu kesesuaian dengan realitasnya (correspondence), meskipun kesesuaian juga terletak pada pikiran (coherence). Korespondensi bisa juga dikatakan sebagai interpretasi ontologis yaitu hubungan term terhadap rujukannya (reference) sebagai bagian dari metode empiris yang kuat.58 Kesesuaian pengetahuan dengan realitas mengandaikan suatu klaim kebenaran pada maknanya dan pada makna konvensi serta konteks ucapan yaitu bahwa, korespondensi antara situasi yang ditentukan oleh kalimat dan situasi yang sebenarnya ada di lokasi yang tidak teramati. Misalnya, menganalisa

55MD. Abdul Mannan, “Science and Subjectivity: Understanding Objectivity of Scientifik Knowledge,” Journal Philosophy and Progress, Vols. LIX-LX, 2016, h. 44. 56Quassim Cassam, “Knowledge and its Objects” Revisiting the Bounds of Sense,” Journal of Europan Philosophy, John Wiley & Sons, 2017, h. 6. 57Leyla Tavernaro-Haidarian, “Deliberative Epistemology: Towards an ubuntu- Based Epistemology That Accounts for a Priori Knowledge and Objective Truth,” Journal of Philosophy South African, 11 June, 2018, h. 230. 58Gerhard Schurz, “When Empirical Success Implies Theoretical Reference: A Structural Correspondence Theorem,” The British Journal For The Philosophy of Science. Oxford University Press. Vol. 60, No. 1 Maret 2009, h. 120.

58

pernyataan “seorang dosen mengajar dikelas”, yang menjadi objek analisis bukanlah kenyataannya melainkan objek kalimat yang memiliki kesesuaian dengan kenyataan. Kesesuaian (correspondence) mengenai teori kebenaran menjelaskan bahwa suatu kalimat itu benar atau salah pada suatu kasus bukan mengenai kriteria kebenaran sebagai cara menyatakan suatu kalimat tertentu benar atau salah.59 Peneliti sepakat bahwa suatu pengetahuan terutama yang bersifat inderawi terkadang memerlukan klaim objektivitas yang berkorespondensi dengan objek atau realitasnya. Namun bukan berarti klaim tersebut bersifat mutlak dan tunggal karena sifat intrinsik dari pengetahuani itu sendiri yan terbuka untuk dibaca tafsir secara luas (polisemi). Untuk yang ketiga, pengetahuan inderawi bertujuan membangun sistem pengetahuan yang bersifat ilmiah Pada konteks tersebut, pengetahuan merupakan sesuatu yang berkaitan dengan klaim ilmiah dari berbagai komunitas-komunitas ilmu. Karenanya juga, klaim kebenaran suatu pengetahuan berada pada cakupan kelompok keilmuan tertentu. kelompok keilmuan dapat memberikan klaim “ilmiah” dan perubahannya apabila komunitas tersebut pun merubah pikirannya. Perubahan ilmiah juga bearati melawan suatu konsensus, yaitu konsensus lama ke konsensus baru. Bisa dikatakan, cara untuk mencapai suatu konsensus dalam komunitas ilmiah mempengaruhi pemahaman terhadap perubahan ilmiah. Asumsinya yaitu, memperlakukan konsensus sebagai kepercayaan kolektif dari suatu komunitas ilmiah. Sub bab selanjutnya.60 Adapun pengetahuan sebagai sistem asumsi dasarnya yaitu ketika berbicara mengenai pengetahuan dengan itu juga berbicara mengenai rancangan dari pengetahuan sebagai gambaran dari realitas. Menurut peneliti, merancang pengetahuan berarti memberikan suatu pendasaran bagi realitas sebagai bagian dari proses abstraksi pengetahuan. Pengetahuan inderawi sebagai sistem berarti upaya serius dari para ahli (expert) untuk membangun pengetahuan yang prosesnya bersifat ekslusif dengan hasil bersifat general. Upaya membangun sistem mengalami problematika dan tatangan seperti, pengetahuan sebagai proses terbatas dari para ahli namun hasilnya bersifat “mengikat”pemberlakuannya secara luas. Bahasa Rorty, mengkonstruksi pengetahuan merupakan keistimewaan para ahli (privilledge representation) yang kebenarannya tidak dapat dibantah (apodictic truth ).61 Karenanya, pengetahuan menunjukkan bentuk dari kompelsitasnya (complexity) sebagai suatu kerangka kerja untuk mempersatukan ilmu pengetahuan dan suatu revolusi dalam pemahaman mengenai sistem yang berhubungan dengan manusia. Sistem tersebut juga terbukti sulit untuk memprediksi dan mengontrol seperti otak manusia dan ekonomi dunia. Asumsi dari kompleksitas pengetahun sebagai sistem yaitu mengenai sifat intrinsik dari kerumitan bagi semua ilmu pengetahuan atau justru bersifat domain spesifik.62

59Lihat, Ullin T. Place, “Linguistic Behaviourism and the Correspondence Theory of Truth,” Behaviour and Philosophy, vol. 25, No. 2, Cambridge Center of Behavioural Studies, 1997. 60Hyundeuk Cheon, “In What Sense Is Scientific Knowledge Collective Knowledge,” Sage, Philosophy of Social Science, 26 May, 2014, h. 410. 61Lihat Richard Rorty dalam Philosophy and The Mirror of Nature. 62James Ladyman, James Lambert and Karoline Wisner, “What is a Comlex System?” Journal of Philosophy of Science, Springer Science+Business, 19 June, 2012. h. 34.

59

Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan memiliki tendensi pada formulasi dari para ahli yang memiliki konsekuensi predikat keistimewaan (privilledge) bagi keahlian (expertise) yang dimiliki para ahli (expert). Merumuskan pengetahuan berarti berupaya untuk membangun sistem yang pada dasarnya bersifat rumit apabila ditinjau dari hubungan dengan bidang keilmuan lainnya. Ide mengenai sistem rumit (complex system) pengetahuan setidaknya mempertimbangkan untuk meghindari dua ciri khas: Pertama, ketidaklinieran (nonlinearity) merupakan oposisi dari linear yang dapat menambahkan dua solusi apa saja pada persamaan yang menjelaskannya maupun yang lainnya ,serta menambahkan solusi apapun dengan faktor apapun untuk mendapatkan solusi lainnya. Sedangkan ketidaklinieran bersifat sebaliknya yang mana prinsip-prinsip sebelumnya tidak berlaku. Kedua, umpan balik (feedback) merupakan bagian dari suatu sistem yang mengakomodir ketika cara yang berbatasan saling berinteraksi, tergantung pada bagaimana cara berinteraksi pada waktu yang lebih awal. Adanya umpan balik pada suatu sistem tidak cukup untuk menjadi rumit arena setiap individu perlu menjadi bagian dari kelompok yang cukup besar untuk menunjukkan kompleksitas. Selain itu juga, upan balik perlu menghasilkan semacam hierarki yang lebih tinggi. Ketiga, kemunculan (emergence) yang merupakan gagasan dalam rentang sejarah panjang dalam filsafat ilmu. Pembicaraan mengenai ilmu yang kompleksitas juga ada hubungannya dengan keterbatasan dari reduksionisme. Ide mengenai kemunculan yaitu objek yang muncul, sifat atau prosesnya menunjukkan sesuatu yang disebut sebab-sebab (downwards causation).63 Pengetahuan yang berdasarkan pada sistem (knowledge based system) menjadi ciri khas dan konsekuensi dari peran persepsi. Namun sistem yang dimaksud bukan bagian dari masyarakat pekerja pengetahuan (society of knowledge workers) yang terlibat dalam berbagai bentuk pengetahuan dan proses informasi, seperti komputer yang merupakan alat pekerja pengetahuan.64 Membangun sistem filsafat maupun pengetahuan menjadi penting untuk keilmuan yang berdampak pada

63Kompleksitas ilmu yang berhubungan dengan sebab fisik atau fisikalisme yang asumsinya dapat dipahami sebagai term sebab-akibat atau hanya semacam superensi asimetris dari segala sesuatu yang fisik. Misalnya, lintas disiplin ilmu seperti biologi, kimia ekonomi dan sosial yang tidak tertutup hubungan dengan fisik yang mana dampak ekonomi mungkin disebabkan oleh sebab fisik. Karenanya kemunculan (emergence) merupakan murni epistemologi dalam hal dapat menjadi kuat atau lemah tergantung pada apakah kekurangan dari reduksi yaitu pada prinsipnya (ontologis) atau hanya dalam praktiknya. Layman, “Complex system?”...,h. 36-41. 64Knowledge based system dalam hal tersebut merupakan suatu pengetahuan yang berbasis computer sebagai mesin tanam yang menunjang kinerja petani dan mesin industri untuk para pekerja pabrik, yang dapat dikatakan sebagai era komputer kedua yang berarti transisi dari proses informasi yang memproses pengetahuan dari komputer yang menghitung angka dan menyimpan datake sistem yang memproses pengetahuan simbolik. (Artificial Intelligence). Karenanya, sistem dari pengetahuan simbolik mementingkan “sistem ahli” yang mengandalkan seorang ahli yang dapat mendukung dan memberikan simulasi pada knowledge based system. Lihat, Klaus Mainzer, “Knowledge-Based Systems Remarks on the Philosophy of Technology and Artificial Intelligence,” Journal of General Philosophy of Science, 1990, h. 47.

60

sosial. Dalam membangun sistem filsafat, asumsi dasarnya yaitu terdapat alasan empiris untuk mempertimbangkan bahwa terdapat suatu realitas yang teratur yang mendasari fenomena dunia yang dialami serta, terdapat kesatuan pengetahuan sebagai prinsip.65 Meskipun dengan membangun sistem fisafat, hanya sedikit yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam ilmu sosial dan kemanusiaan, namun berdampak untuk menantang metode ortodoks seperti, sifat kesadaran, hubungan antara pikiran dan sifat dari nilai-nilai.66 Karenanya, pengetahuan yang cenderung untuk membangun sistem cenderung untuk menggunakan instrumen-instrumen yang ketat yang menunjang bidang pengetahuan tertentu, atau pengetahuan ahli dalam bidang yang spesifik.67

Simpulan Bab Pembahasan mengenai filsafat pengetahuan atau epistemologi masih relevan dalam konteks yang berkaitan dengan isu-isu mengenai pengetahuan berdasarkan sistem (knowledge based system) atau yang tidak. Isu-isu kontemporer antara lain, pengetahuan yang menolak bentuk representasi dan akurasi terhadap realitas. Pengetahuan dalam arti tersebut yaitu pengetahuan yang bercorak modern yang dapat diverifikasi dan akurat. Pengetahuan yang akurat yaitu yang berlaku bagi siapa saja sedangan bersifat representatif yaitu yang dapat mewakili realitas apa adanya. Pengetahuan sebagai representasi dan akurasi merupakan diskursus filsafat yang bercorak epistemology turn yang mendapat bantahan dari para pengusung fisafat bahasa linguistic turn dengan menyatakan bahwa persoalan pengetahuan hanya berkaitan dengan aspek bahasa dalam praktek keseharian, berdasarkan konsensus. Pengetahuan atau filsafat sebagai epistemology turn mengandalkan peranan penting dari subjek yang berkaitan dengan rasio (apriori) maupun pengalaman (aposteriori) terhadap objeknya atau realitas eksternal. Dalam hal tersebut, mengandalkan rasio maupun pengalaman sebagai upaya mendekati realitas secara objektif. Realitas dalam konteks tersebut seiring dengan status dan kedudukannya sebagai objek dan cakupan pengetahuan, yakni sebagai objek sensible ataupun intelligible. Sedangkan pengetahuan atau filsafat sebagai linguistic turn tidak mengandalkan porsi yang optimal dari subjek dengan kapasitas rasio maupun pengalaman inderawi secara personal, melainkan melibatkan percakapan interpersonal (konsensus) sebagai solidarias. Perilaku sebagai percakapan sosial untuk mengatasi keadaan bersama menjadi ciri dari filsafat yang menekankan aspek penting dari behaviour, bukan

65Argumentasinya, dunia sebagai yang dialami terlihat seperti suatu kesatuan dalam dengan segala sesuatu yang saling tergantung dan perubahan dalam satu aspek dunia selalu berkaitan dengan perubahan proporsional di tempat lainnya. Meskipun pengetahuan mendominasi berbagai sektor akademi dengan berbagai “kelas” atau peristiwa, walaupun pada titik tertentu, pada kesatuan dunia yang dialami, pengetahuan menampilkan bentuk paradigma yang integral dan koheren. Lihat, David Rousseau, “Systems Philosophy and the Unity of Knowledge”, Journal of Systems Research and Behaviour Sciences, 18 March, 2013, h. 1. 66Rousseau, “Systems Philosophy”..., h. 7. 67Ramón Zatarain Cabada, Maria Lucἱa Barrón Estrada and Yasmἱn Hernández Pѐrez, “Knowledge-Based System in an Affective and Intelligent Tutoring System,” Journal of R.Z. Cabada, Springer International Publishing, 2017, h. 101.

61

aspek dari epistemologi untuk membangun sistem tertentu. Namun dalam penelitian ini, peranan persepsi sangat penting untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi yang memiliki konsekuensi pada keberpihakan pengetahuan pada status keistimewaan (privilledge) dari para pakar yang yang membedakannya dengan para awam. Konsekuensi selanjutnya yaitu pengetahuan inderawi berpihak pada model pengetahuan yang bercirikan akurasi dan representasi terhadap realitas sebagai objeknya. Konsekuensi yang terakhir yaitu pengetahuan inderawi sebagai sistem pemikiran atau bangunan pengetahuan yang dapat berlaku bagi siapa saja. Ketiga konsekuensi itulah yang muncul dari peran persepsi terhadap pengetahuan.

62

BAB IV PENGETAHUAN INDERAWI SEBAGAI EPISTEMOLOGI BAGI GEORGE BERKELEY DAN IBN SÎNÂ

Ulasan dalam bab keempat ini merupakan bagian dari penjelasan inti dari penelitian ini yang meliputi tiga sub-bab penting, yaitu pertama, mengenai wirkungsgeschichte dari pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ. Kedua, membahas mengenai horizon dari pemikiran Berkeley maupun Ibn Sînâ. Sedangkan yang ketiga, membahas mengenai horizon peneliti yang kemudian berkaitan dengan polarisasi hasil dari pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ. Tujuan dari sub pertama yaitu untuk mencari biografi dan konteks pemikiran dari dua filosof tersebut, sedangkan sub kedua yaitu untuk mencari prinsip-prinsip persamaan maupun perbedaan dari persepsi keduanya sebagai basis filosofis. Adapun sub ketiga, mengulas mengenai pembacaan kedua filosof tersebut dari horizon peneliti yang meliputi subjektivisme dan objektivisme peran persepsi terhadap objeknya. Sub ketiga juga mengulas mengenai horizon perkembangan epistemologi kontemporer yang berbeda dari perkembangan awal epistemologi pada horizon Berkeley maupun Ibn Sînâ. Kedua horizon tersebut masih menjadi satu bagian sebagai horizon teks atau pengarang.

A. Wirkungsgeschichte Dalam Horizont Pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ 1. Biografi Singkat Berkeley dan Ibn Sînâ Wirkungsgeschichtliches atau yang diterjemahkan menjadi historically effected merupakan konsep penting dari hermeneutik Gadammer yang dalam penelitian ini sebagai pendekatan. Langkah awal yang penting yaitu dengan mencari effect atau aktual historis dari pemikiran Berkeley maupun Ibn Sînâ.1 Untuk yang pertama yaitu George Berkeley yang merupakan seorang filosof yang lahir pada 12 Maret 1685 di County Kilkenny, Irlandia Tenggara. Ayahnya berasal dari Inggris sedangkan ibunya diperkirakan lahir di Irlandia. Berkeley menyelesaikan kuliah di Universitas Kilkenny yang kemudian berlanjut ke Universitas Trinity di Dublin pada Maret 1700 yang mana ia berhasil lulus pada tahun 1702 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1704. Tiga tahun kemudian pada tahun 1707, ia mengikuti ujian untuk keanggotaan Universitas, yang mana pada tahun yang sama juga ia mempublikasi karangan kecil mengenai matematika, aritmatika, dan aneka-ragam yang berkaitan dengan matematika.2 Berkeley merupakan filosof sekaligus Bishop yang terkenal

1Kata wirkung diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi effect yang secara keterangan kerja (adverbial) maupun keterangan benda (adjectival) biasanya diterjemahkan sebagai actual, real dan trully. Singkatnya, istilah Wirkungsgeschichtliches merujuk pada konsepsi Gadamer mengenai kesadaran ganda atas tradisi yang sekaligus terpengaruh oleh sejarah yang sekaligus juga menjadikan diri “dipengaruhi” oleh sejarah dan sadar memang demikian halnya. Lihat, kata pengatar dalam Truth and Method, translated by Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (Bloomsburry Academic: London&New York, 2013). 2Karangan tersebut kemungkinkan untuk persyaratan bagi kandidat lulusan Universitas yang didaftarkan pada 9 Juni 1707. Setelah itu, ia mendapatkan posisi di Universitas tersebut sebagai ahli pustaka, Dekan junior dan Lektor Yunani Junior. Pada tahun 1710, Berkeley telah ditahbiskan masuk Gereja Irlandia. Lihat David Berman, Berkeley and Irish Philosophy (Continuum: London&New York, 2005), h. 21.

63

yang mana informasi mengenainya juga termuat dalam London Magazine pada tahun 1752, halaman 512-514 dengan judul, “Some Extracts From The Bishop of Cloyne’s Tretise Upon Motion.”3 Sewaktu usia muda sekitar dua puluhan awal, Berkeley mengembangkan filsafat immaterinya yang ia publikasikan menjadi tiga karangan filsafat klasik. Karangan-karangan filsafat penting Berkeley tersebut antara lain: An Essay Toward a New Theory of Vision pada tahun 1709, The Prinsiples of Human Knowledge pada tahun 1710, dan Three Dialogues Between Hylas and Philonous pada tahun 1713. Banyak dari karangan filsafat Berkely yang kompleks yang dapat ditelusuri dalam dua catatan filsafatnya selama masa periode kreatifnya, yaitu antara tahun 1707- 1708 . Sedangkan catatan-catatan yang pertama kali dicetak pada tahun 1871, dan secara luas diketahui sebagai “Komentar-komentar Filosofis” yang juga dapat dilihat sebagai bentuk pengaruh dari pemikiran Berkeley. Mengenai kasus dari Berkeley sendiri, dapat dilihat sebagai suatu keterpengaruhan dari beberapa filosof penting, terutama John Locke.4 Untuk mulai memasuki filsafat Berkeley, dengan memasuki teknik argumentasi yang diberikannya secara ketat sebagai suatu proses persepsi.5 Berkeley merupakan seorang filosof yang berpegang pada dasar pijakan logika yang kuat dan jelas. Hal itu mengarahkan pada semangat berpikir scientists yang menekankan aspek pemikiran bebas yang terdapat pada pandangan bishop Berkeley.6 Namun demikian, Berkeley merupakan seorang filosof yang bijaksana untuk menahan diri dari potensi pertengkaran, yang biasanya muncul dari ungkapan selain orang Irlandia. Lebih jauh lagi, Berkeley lebih menekankan kebijakan yang

3David Berman, “A Bibliography of George Berkeley Bishop of Cloyne: His Works and His Critics In The Eighteenth Century,’” Journal Trinity College Dublin, Harmathena, No. 125, 1978, h. 72. 4Pada John Locke, gagasan-gagasan filosofisnya telah didiskusikan di Trinity College pada awal tahun 1692, tempat pendidikan Berkeley. Berkeley juga mempelajari pemikiran Locke secara hati-hati dan perhatian yang intens yaitu dengan memberikan referensi pada catatan-catatan yang dibuatnya. Keterpengaruhan dari Locke yaitu pada konsepsi mengenai primary dan secondary qualities yang kemudian dimodifikasi sehingga menjadi jalan baru bagi Berkeley. Selain itu juga, mengenai konsepsi gagasan-gagasan abstrak umum yang secara ekstrim menjadi kritik tajam atas Locke, sehingga Locke menjadi “rival pembeda” sekaligus “jalan” bagi kemandirian filsafat Berkeley. Selain Locke, Nicolas Malebranche juga mempengaruhi pemikiran Berkeley, terutama dalam hal “permainan ide- ide”sebagai pusat aturan dalam pemikiran filosofis Berkeley dalam karangannya, principles of Human Knowledge. Baik Locke maupun Maebranche, mendeskripsikan ide-ide sebagai objek langsung dari pikiran ketika mengalaminya atau berpikir. Tetapi Berkeley mengambil jalan lebih jauh dengan menjadikan karakteristik dari ide-ide sebagai sesuatu substansial dan independen dari realitas. Atau dengan kata lain, Locke taught him but Malebranche inspired him. Lihat, Berman, Berkeley Philosophy..., h. 22. 5R.,A.D, “The Works of George Berkeley, Bishop of Cloyne,” Journal NATURE , Vol. 163, June 1949, h. 869. DOI: 10.1038/163895DO. 6T. E. Jessop, “The Works of George Berkeley, Bishop of Cloyne Vol. III Alcipron or The Minute Philosopher,” Journal Chicago, The Quarterly Review of Biology, Vol. 27, No. 2, June 1952, h. 202. DOI: 10.2307/2811583.

64

masuk akal dan nasihat yang baik dalam bentuk tulisan.7 Filsafat Berkeley seolah mencerahi apa yang “tidak terlihat” dan “tidak terpersepsi” oleh indera kita, walaupun mungkin saja dapat dipersepsi melalui dampak-dampaknya. Misalnya, seperti panas ataupun nyalah api yang merupakan “media halus” yang meliputi “segala sesuatu” dan ada di mana saja, maupun partikel-partikel yang lebih kecil dan lebih cepat yang kesemuanya itu bagi Berkeley merupakan bagian dari kualitas sekunder (secondary qualities). Sejalan dengan itu, ajaran filsafatnya kemudian lebih dikenal sebagai immaterialisme, yaitu yang menekankan aspek mengenai “penyebab” dari roh (spirits/mind) sebagai agen nyata “penyebab” dan selain itu merupakan “penyebab instrumen inferior” (kualitas primer/primary qualities).8 Untuk yang kedua, yaitu Abû ‘Ali al-Husain ibn ‘Abd-Allah ibn Hasan ibn ‘Ali ibn Sina yang merupakan seorang filosof yang lahir pada bulan Safar tahun 370 Hijriah atau bulan Agustus tahun 980 Masehi di suatu desa besar dekat Bukhara yang disebut Kharmaithan. Ayahnya berasal dari Balkh, suatu kota yang dikenal oleh orang Yunani sebagai Baktra dengan julukan “yang berkilauan” atau the glittering di Persia Tengah. Kota tersebut merupakan tempat perdagangan dan metropolis politik yang penting pada waktu itu serta tempat intelektual dan ibu kota agama, yaitu pusat religius dan intelektual. Selain itu juga, sebagai tempat kekuasaan raja Gaeco-Bactrian, yang masuk dalam periode pusat budaya Helenik, namun kemudian kehilangan pentingnya untuk sementara waktu, untuk memulihkan kemuliaan kuno di bawah dinasti Samanid dan Ghaznavid. Di Persia kala itu juga Zoroastrianismne, Buddhisme, Kristen Nestorian dan Islam saling bertemu. Dari Balkh, ayah Ibn Sînâ lalu pindah ke Buhârâ, kota tua Iran yang dikenal oleh orang tionghoa sebagai Pu-ho, juga merupakan pusat agama Budha besar dan saat penaklukan Arab, menjadi pusat kajian Islam yang menghasilkan sejumlah teolog yang terkenal. Pada awal usia formatifnya, Ibn Sînâ sudah terlihat bakat yang sangat mengagumkan dalam membaca Al-Qur’an dan berbagai tulisan-tulisan. Suasana keagamaan di rumahnya tidak ortodoks yang merupakan poin penting yang cenderung disembunyikannya. Namun hal itu juga ikut menjelaskan beberapa kesulitan dalam kehidupannya. “Ayahku,” kata Ibn Sînâ, salah seorang dari orang- orang yang menyambut undangan orang-orang Mesir (the fatimid) dan termasuk dalam perayaan Isma’illis. Ibn Sînâ juga biasanya mendengarkan ayah dan saudara lelakinya membahas jiwa dan “kecerdasan” mengikuti cara orang Isma’ilis yang menjelaskannya itu, namun dengan “kritik” atas beberapa keberatan-keberatan dari argumen yang diutarakan mereka. Selain itu, mereka juga mengajak Ibn Sînâ untuk bergabung dalam diskusi mengenai filsafat, geometri dan aritmatika India namun Ibn Sînâ tidak mengatakan bahwa ia pernah menangapi ajakan tersebut. Ibn Sînâ juga mempelajari hukum Islam dan metode argumentasi religius yang tidak lama

7G. J. Warnock, “The Works of George Berkeley, Bishop of Cloyne; vols, V and VI Edited by T. E. Jessop,” Journal Philosophy of Cambridge University Press, Vol. 29, No. 110, July 1955, h. 272. 8George Botterill, “Particles and Ideas: Bishop Berkeley’s Corpuscularian Philosophy,” Journal Analytic Philosophy Vol. 31 1990, h. 76-77. DOI: 10.1111/j. 1468- 0149.1990.tb00272.x.

65

kemudian, Nâtelî seorang yang memiliki pengetahuan filsafat datang ke Bukhârâ. Sesegera mungkin, ayah Ibn Sînâ menyuruh dia untuk mengajarkan anaknya dan mengundangnya tinggal di rumah. Pelajaran pertama mengenai filsafat yang diterima Ibn Sînâ yaitu berkaitan dengan aspek logika, yang berkaitan dengan konsepsi genus yang ia nyatakan sendiri definisi mengenainya sedemikian rupa sehingga membuat Nâtelî terkesan. Nâtelî juga menasehati ayah Ibn Sînâ bahwa pekerjaan lainnya yang boleh dilakukan Ibn Sînâ hanyalah belajar. Ibn Sînâ juga mempelajari bidang logika dengan bantuan ulasan dari pengarang Hellenis yang diterjemahkan ke bahasa Arab yang ia baca sebagian bersama gurunya dan sisanya secara mandiri. Setelah Nâtelî meninggalkan Gurganj, Ibn Sînâ mempelajari ilmu-ilmu alam dan metafisika saja, membaca teks dan mencari bantuan melalui ulasan-ulasannya. Buku-buku tambahan tersebut harus membuktikan pengaruh penting atas karyanya sendiri yang mana Ibn Sînâ sering bertolak pada buku-buku tersebut untuk pemahamannya mengenai Platon dan Aristoteles. Banyak pemikiran Paripapetik dan Stoik yang ditemukan dalam tulisan- tulisannya berasal dari sumber-sumber tersebut.9 Ibn Sînâ merupakan seorang filosof Muslim yang pemikirannya dibaca oleh para filosof belakangan, terutama bagi para pengkaji abad pertengahan yang membaca bahwa Ibn Sînâ telah mengikuti kurikulum Aristoteles pada zamannya. Adapun kurikulum Aristoteles yaitu berangkat dari disiplin logika sebagai “alat” bagi penelitian teoritis, melalui berbagai disiplin filsafat teoritis termasuk payung “utama” metafisika. Namun, pelatihan Ibn Sînâ juga memiliki sisi praktis, seperti bidang administrasi, kedokteran dan astronomi yang mengarah pada pekerjaan. Dalam pengembangan wawasan filsafatnya, Ibn Sînâ melaluinya dengan jalan autodidak yang menjadi tidak biasa dalam masyarakat yang menekankan tradisi hubungan antar sesama untuk penganugerahan otoritas. Dengan demikian, Ibn Sînâ memiliki cara pembelajarannya tersendiri yang mana ia menulis daftar-daftar yang mendasar dari model logika Aristoteles dan menggunakannya untuk mengevaluasi keabsahan argumen yang diajukan dari para filosof dan teolog saat itu.10 Ibn Sînâ juga merupakan seorang filosof yang tekun belajar untuk mengkaji dan mendalami persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan. hal itu dapat terlihat dari ketekunannya selama delapan belas bulan yang ia gunakan untuk membahas mengenai logika dan berbagai persoalan filsafat. Selama periode tersebut, ia tidak tidur satu malam secara keseluruhan dan bekerja sepanjang hari untuk mengurangi setiap pernyataan dan usulan yang ia baca ke dalam premis-premis silogistis dan mencatatnya ke dalam arsip-arsipnya. Pada kasus yang lain, Ibn Sînâ mengambil metafisika Aristoteles dan membacanya sekitar empat puluh kali namun yang sangat mengecewakannya ia masih belum dapat memahaminya. Pada suatu hari di jalan ia bertemu seorang perantara penjual buku yang menawarkan buku murah dengan enggan dibelinya. Ternyata buku karangan Al Farabi mengenai objek metafisika yang kemudian ia bergegas pulang untuk membacanya, lalu seluruh maksud karya

9Soheil M. Afnan, Avicena His Life and Works (London: George Allen & Unwin Ltd, 1958), h. 57-59. 10Interpreting Avicenna Critical Essays, Edited by Peter Adamson (New York: Cambridge University Press, 2013), h. 8-9.

66

tulis Aristoteles tersampaikan dalam benaknya. Keesokan harinya, ia keluar untuk membagikan sedekah kepada kaum miskin sebagai rasa syukur.11 Dari uraian singkat mengenai biografi Berkeley dan Ibn Sînâ, terdapat beberapa catatan penting yang mempertemukan sekaligus membedakan keduanya. Pertama, baik Berkeley maupun Ibn Sînâ, keduanya memiliki concern dalam bidang filsafat. Kedua, Berkeley dan Ibn Sînâ juga saling mengafirmasi ”tradisi” filsafat sebelumnya sebagai “pembuka jalan” bagi kemandirian filsafat keduanya. Ketiga, pembelajaran Berkeley mengikuti “institusi” dan eksplisit berada dalam koridor teologi sedangkan Ibn Sînâ, pembelajarannya “informal” dan cenderung mandiri serta implisit berada dalam koridor teologi. Namun demikian, dari ketiga catatan- catatan penting mengenai Berkeley dan Ibn Sînâ, dapat ditarik pada satu simpul bahwa keuletan mereka belajar menjadi jalan menggapai posisi previlledge dalam bidang filsafat. Berkeley menjadi seorang filosof inggris (British Philosopher) klasik yang berpengaruh membuka jalan bagi alirang empirisme sedangkan Ibn Sînâ merupakan filosof Muslim (Moesliim Philosopher) yang mempengaruhi pemikiran Abad Pertengahan dan mendorong Pencerahannya.

2. Konteks Pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ Konteks pemikiran Berkeley dan Ibn Sînâ dipotret dalam bingkai otoritas, tradisi serta problem shared yang dihadapi mereka sebagai respons yang membentuk pemikiran mereka berdua. Hal tersebut agar sejalan dengan tahapan dari metode pendekatan yang digunakan yaitu hermeneutik Gadamer. Hal pertama yaitu dengan menguraikan pemikiran Berkeley yang berkaitan dengan tradisi, otoritas maupun respon masalah. Dalam hal tradisi, pemikiran Berkeley sebagai perlawanan dari tradisi pemikiran Locke yang mengakar kuat sebagai pijakannya untuk berfilsafat. Berkeley mengkritik Locke pada teori abstraksi yang berkaitan juga dengan ide-ide abstrak umum sekaligus memiliki konsekuensi pada paham realisme yang mereka berdua pegang. Hal tersebut menurut Berman, terdapat dalam uraian Berkeley pada tulisannya mengenai Essay of Vision pada seksi 122-125, misalnya mengenai ide bentuk yang berasal dari sentuhan dan penglihatan. Langkah itulah yang digunakan Berkeley untuk mengkritik teori yang dianggapnya absurd dari Locke. Upaya yang demikian bagi Berman sebagai langkah killing blow (pukulan mematikan) terhadap karya Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding. Berkeley dapat dilihat sebagai seorang filosof yang mengkritik pandangan Locke yang kemudian diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi jalan bagi filsafatnya sendiri. Misalnya saja, Berkeley mengkritik kesulitan dalam hal abstraksi yang mana Locke memandang tidak memerlukan usaha dan kemampuan untuk membentuk ide umum mengenai segitiga baik mengenai sama sisi maupun ketidaksamaannya antar segitiga lainnya namun, seluruhnya atau tidak pada saat yang sama. Dampaknya, menjadi sesuatu yang tidak sempurna bahwa segitiga itu tidak bisa eksis yaitu suatu ide di mana beberapa bagiannya atau keseluruhannya berbeda dan tidak konsisten mengenai ide-ide yang diambil secara bersama.12 Hal tersebut bisa dimengerti karena bagi Locke, pemahaman mengenai suatu objek tidak

11Soheil, Avicenna..., h. 60. 12Berman, Berkeley Philosophy..., h. 29.

67

langsung dapat dimengerti melainkan melalui representasi-representasi mental yang yang mewakili realitas eksternal (copy of reality). Hal tersebut berbeda dengan Berkeley yaitu pemahaman mengenai objek langsung dapat dimengerti sebagai ide- ide mengenai realitas eksternal itu sendiri yang sama (ideas of reality) dan tidak berkontradiksi, atau yang dikenal dengan teori kualitas primer dan sekunder.13 Perlu diafirmasi bahwa bagi Berkeley maupun Locke, ide-ide merupakan sesuatu yang tidak berkontradiksi dengan realitas hanya saja pemahaman sebagai suatu prosesnya yang berbeda. Sebagai suatu objek pemahaman, bagi Locke, ide-ide tersebut tidak langsung dapat dipahami karena pikiran dan objek merupakan dua hal berbeda namun bagi Berkeley, ide-ide tersebut dapat langsung dipahami oleh subjek yang berpikir alasannya, objek ada karena dipahami. Namun persamaanya, baik Locke maupun Berkeley, mengafirmasi bahwa suatu kata menjadi umum dan abstrak dengan bertolak dari yang partikular dan tertentu bukan dari gagasan yang umum dan abstrak itu sendiri. hal yang artikular dan tertentu itu tidak berbeda dan menunjukkan ke pikiran yang karenanya bagi Berkeley, merupakan sesuatu yang cukup untuk menyatakan dengan baik sebagai suatu demonstrasi. Konsekuensi dari perselisihan pemahaman antara Berkeley dan Locke yaitu bagi Berkeley, yang terpenting adalah subjek yang memahaminya yang karenanya berpaham realisme formal sedangkan bagi Locke, yang terpenting yaitu bertolak dari objek itu sendiri yang karenanya berpaham realisme representasional. Upaya dari Berkeley untuk mempertahankan argumentasinya yaitu dengan meragukan relasi antara kemunculan ide-ide dari objeknya.14 Tradisi dan otoritas pada Berkeley berada pada “semangat” pencerahan yang cenderung dalam paham empirisme, yang digaungi oleh John Locke. Secara umum, lahirnya paham empirisme sebagai bentuk penolakan terhadap paham sebelumnya, yaitu rasionalisme yang mengesampingkan aspek aposteriori terhadap pengetahuan. Secara historis, munculnya paham empirisme dimulai pada abad 17 dan 18 terutama di dataran Inggris (British Island) dan sekitarnya dengan beberapa kritik mendasar antara lain:

1) Kritik mengenai asumsi dasar dan justfikasi dalam pengetahuan yang berpihak pada aspek konkrit sehingga dapat disepakati sebagai suatu keyakinan bersama. Berbeda dengan seumsi dan justifikasi yang berpihak pada aspek metafisis yang sulit untuk mendapatkan kesepakatan dan keyakinan bersama.

13Secara intuif, terdapat perbedaan mendasar antara sifat alami mengenai objek dan pemahaman subjek, misalnya, pemahaman mengenai kualitas ukuran, bentuk dan kekokohan serta kualitas mengenai warna, rasa, suara dan bau dari objek fisik yang menjadikan kualitas yang pertama lebih mendasar dibandingkan yang kedua dan yang kedua lebih “subjektif” dari yang pertama. Lihat, Georges Dickers, “Primary and Secondary Qualities: A Proposed Modification of The Lockean Account,” The Southern Journal of Philosophy, 1977, Vol. 15. DOI: 10.1111/j.2041-6962.1977.tb 00197.x.. 14Berkeley menolak pandangan bahwa ide-ide dihasilkan karena relevansinya dengan objek materi atau dengan melihatnya secara positif. Bagi Berkeley, ide-ide dapat pula muncul secara spontan tanpa berelasi dengan objek konkrit. Misalnya, berkaitan dengan perasaan (emotions), sikap (attitude) dan tindakan (actions) yang mana ketiganya cenderung pontensial sebagai penolakan terhadap materi. Lihat, Berman, Berkeley Philosophy..., h. 29. 68

2) Kontradiksi ide-ide abstrak terhadap hal-ha praktis yang dengan kata lain, paham rasionalisme mereduksi bahkan menyangkan klaim yang didukungnya dari aspek pengalaman inderawi untuk mengkonstruksi pengetahuan. 3) Kegagalan dari paham rasionalisme dalam menjelaskan perubahan pada pengetahuan manusia karena ide yang nampaknya telah mapan pada suatu waktu, dapat berubah seiring perkembangan waktu.

Atas kritik-kritik itulah yang menjadikan kekurangan dari paham rasionalisme yang menyebabkan kecenderungan untuk bertolak kembali pada pengalaman yang tidak hanya berdasarkan pengetahuan bawaan “innate ideas.” Bagi penganut paham empirisme, pengetahuan yang paling terang adalahyang berasal dari cerapan indera, yaitu yang meliputi indera luar dan indera dalam. Posisi akal-budi dalam hal itu hanyalah untuk memadukan pengalaman-pengalaman inderawi.15 Mengenenai problem zaman yang dihadapi Berkeley yaitu merespon paham skeptisisme, ateisme dan materialisme yang “menggerogoti” keimanan, terutama agama Kristiani pada waktu itu. Dalam persoalan skeptisisme, hal tersebut terjadi karena keraguan atas pengalaman inderawi dengan objek eksternal. Dengan kata lain, terdapat distingsi tegas antara pengalaman subjek dengan objek yang dialami yang dijembatani oleh representasi-representasi pikira. Bagi Berkeley, keraguan semacam itu menggiring pada skeptisisme dan menegasikan pemahaman bagi akal sehat. Karena apa yang dipahami dari suatu objek eksternal, tidaklah perlu untuk diragukan lagi yang berarti, pikiran yang langsung memahami objek eksternal begitu saja berupa gagasan-gagasan (ideas) sejalan dengan akal sehat. Sedangkan paham ateisme dan materialisme yaitu dalam hal “mengesampingkan” peran Tuhan bagi pemahaman manusia mengenai dunia dan menjadikan materi sebagai satu-satunya realitas yang nyata (dasar ontologis) di dunia.16 Menurut peneliti, keberatan dari Berkeley terhadap skeptisisme yang merujuk pada teori pengetahuan (epistemologi) Locke yang mengafirmasi representasi-representasi pikiran atas objek. Persoalan persepsi dalam epistemologi Berkeley merupakan suatu reaksi inheren dalam persoalan pengetahuan dan pada saat yang sama berkaitan juga dengan persoalan ontologis yaitu mengenai substance/substratum yang “menantang” iman Kristen yang dianutnya. Dalam hal tersebut, materi ada dan identik dengan substansi material atau substratum yang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipersepsi (unperceivable) atau sesuatu “yang-aku-tahu” yang mendasari sesuatu. Sifat dari sesuatu itu mengikuti teori substansi, dapat dipersepsi dengan baik, namun dalam bagi Berkeley, terdapat alasan-alasan secara mandiri yang menunjukkan bahwa mereka juga tidak dapat dipersepsi (unperceivable). Artinya, yang dipersepsi hanya ide-ide yang muncul di dalam diri ketika hal-hal material mempengaruhi indera-indera. Hal itu berarti bahwa, materi berada di balik “selubung” persepsi yang tidak dapat dipahami tanpa subjek yang memahaminya.17 Prinsip-prinsip dari

15Lihat, Sativa, “Empirisisme, Sebuah Pendekatan Penelitian Arsitektural,” Jurnal INERSIA, Universitas Negeri Yogyakarta, Vol. VII, No. 2, Desember 2012. 16James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Penerjemah, CB. Mulyanto Pr. (Yogyakarta: Kanisius, 2014), h. 109. 17Georges Dickers, “Anti-Berkeley,” Routledge, British Journal for the History of Philosophy, 12 May 2008, h. 336. DOI: 10. 1080/09608780801969134. 69

filsafat Berkeley menurut Dickers, merupakan tantangan untuk membedakan adanya sesuatu mengenai kualitas sensible (inderawi) yang dapat dipersepsi. Singkatnya warna ada karena dilihat, suara ada karena didengar, dan aroma ada karena dicium.18 Menurut peneliti, persepsi memainkan peranan penting bagi epistemologi Berkeley untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dipahami sebagai suatu ide bagi subjek dan tergantung pada subjek pula yang memahaminya. Konsekuensinya, Berkeley menegasikan independensi materi yang tidak terpahami, karena materi tergantung pada subjek. Sedangkan yang ingin dicari dari pemikiran Ibn Sînâ yaitu relevansinya dengan tradisi, otoritas maupun respon masalah. Dalam hal tradisi, pemikiran Ibn Sînâ mengakar kuat pada filsafat Aristoteles di satu sisi dan filsafat Plotinus di sisi lainnya. Keselarasan dengan Aristoteles dikenal dengan istilah peripatetic atau terlihat dari kecenderungan Ibn Sînâ dalam membicarakan persoalan jiwa مشاءي هة beserta daya-dayanya, persoalan metafisik, logika. Sedangkan keselarasan (النفس) dengan Plotinus yaitu kecenderungan pada persoalan kosmologi dan angelologi dalam persoalan keragaman dan sumber dari Yang Satu, yaitu berkaitan dengan proses penciptaan dan signifikansi dari peran malaikat. (inteleksi dan pancaran hierarki malaikat).19 Menurut peneliti, tradisi intelektual (filsafat) Ibn Sînâ bersifat ambigu dengan mengakomodir dua kutub filsafat secara bersamaan yang dalam hal ini berkaitan dengan teori pengetahuan. Ambiguitasnya yaitu berkaitan dengan objek pengetahuan (intelligible dan sensible), proses serta hasil yang diperolehnya Dalam tradisi Aristotelian, konsepsi abstrak atau idea diperoleh .(معقوالت/idea) melalui sarana abstraksi dari hal-hal partikular sedangkan dalam tradisi neo- Platonian, konsepsi abstrak diperoleh melalui limpahan Ilahi yang dalam hal ini, melalui Akal Aktif atau Jibril as, yang mana posisi akal manusia sebagai akal aktual. Bagi peneliti, kedua proses tadi saling berjarak satu sama lain yang juga ikut mempengaruh konsistensi dalam mengkonstruksi pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa Ibn Sînâ merupakan filosof yang meniti jalan melalui pemikiran filsafat Aristoteles namun kemudian ia meniti jalan filsafatnya sendiri secara mandiri. Bagi para pembaca Abad Pertengahan, akan mempelajari fakta bahwa Ibn Sînâ telah mengikuti kurikulum dari Aristoteles yang berasal dari zamannya, yang bergerak dari logika sebagai “alat” dari penelitian teoritis yang melalui berbagai disiplin dari filsafat teoritis termasuk payung “utama” metafisika. Selain itu dari sisi praktis yaitu seperti bidang administrasi, kedokteran maupun astronomi menjadi satu bidang. Pendidkan Ibn Sînâ bisa dikatakan ditempuh secara tradisional, tanpa mengikuti suatu lembaga pendidikan formal tertentu. Meskipun demikian, Ibn Sînâ tetap memiliki otoritas pada lingkungan masyarakat yang saat itu menekankan aspek penting kelembangaan pendidikan yaitu hubungan antar murid.20

18Lihat, Georges Dicker, “Berkeley on the Impossibility of Abstracting Primary from Secondary Qualities: Lockean Rejoinders,” The Southern Journal of Philosophy, 2001 Vol. 39 19Sayyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (New York: Caravan Books, 1964), h. 28-30. 20Peter Adamson, Interpreting Avicenna Critical Essays (New York: Cambridge University Press, 2013), h. 8.

70

Menurut peneliti, meskipun jalur intelektualisme Ibn Sînâ tidak terlembagaan secara formal seperti Berkeley namun, otoritas Ibn Sînâ tidak bisa diabaikan begitu saja karena banyak mempengaruhi filosof yang datang setelahnya, seperti Mulla Shadrâ, Suhrawardi, Al-Ghazâlî dan lainnya. Bagi Ibn Sînâ yang mengikuti ajaran dari filsafat Aristoteles, konsep umum dan abstrak dihasilkan melalui proses abstraksi atau suatu proses di dalam diri. yang memiliki cara untuk (الق هوة) Proses di dalam diri tersebut sebagai suatu daya mengetahui sesuatu tanpa perlu mempelajari dan bantuan, yang mana bantuan itu yang ) قوى الحس الظاهر و الحس الباطن( melalui daya penginderaan luar dan dalam kedua daya tersebut terdapat pada hewan secara keseluruhnya atau kebanyakan. Indera luar dapat ditemukan pada seluruh hewan sedangkan indera dalam, yaitu daya mengingat yang ditunjuk oleh indera ke jiwa mungkin tidak ditemukan. Sedangkan kesempurnaan dari “jiwa” hewan yaitu memiliki apa yang ditangkap melalui indera dari materi dengan daya-daya pengkapan yang dua tadi, yaitu menangkap bentuk ”sebagai hasilnya. Misalnya, bentuk “bahaya (صورة المحسوسات) dari objek sensibel yang dihasilkan oleh serigala dan karakter “kebaikan” yang dimiliki oleh manusia.21 Menurut peneliti, pembagian daya-daya pada jiwa yang diuraikan oleh Ibn Sînâ, menjadi titik-temu dengan tradisi filsafat Aristotelian yang juga mempengaruhi pandangannya mengenai ilmu-ilmu alam (natural science).22 Tradisi dan otoritas Ibn Sînâ terletak pada perannya mengharmonikan dan “menghidupkan” kembali filsafat Yunani ke dunia Islam sehingga ia (توفيق) Namun demikian, pada persoalan metafisika .شيخ الرئيس mendapat julukan sebagai Ibn Sînâ bersifat ambigu yaitu dengan membaca metafisika Aristoteles ditambah dengan tulisan-tulisan Platon tanpa batasan yang jelas. Selain itu juga, terutama selama periode akhir ia membaca korpus Platonis sebagai pembacaan dari lensa penafsiran Platon yang kemudian diinterpretasikan sebagai Plotinus dan Proclus yang disediakan teks-teks intinya bagi siswa metafisika. Hal tersebut sebagian disebabkan oleh Platonis atau lebih tepatnya neoplatonik, pemahaman, metafisika, yang telah Aristoteles bayangkan sebagai ilmu mengenai “being qua being,” telah kembali dibayangkan sebagai teologi atau studi mengenai “ada” yang immaterial. Bahkan, sebagaimana yang akan menjadi jelas untuk mempertimbangkan kembali sistem metafisika dari Ibn Sînâ, setelah ia menemukan kembali bahwa metafisika Aristoteles bertujuan untuk memberikan ilmu mengenai “being qua being” yang membagi teologi menjadi salah satu subtopiknya. Setelah itu, barulah Ibn Sînâ mengerti dan menghargai sepenuhnya sumbangan Aristoteles pada sains tersebut.23

21Ibn Sînâ, al Syifâ-al Burhân, (Qum: Iran, Maktabah Samâhah Ayatullah al ‘Adzhomi), h. 330. 22Al Bîrûnî merupakan seorang ilmuan Muslim yang padanya Ibn Sînâ menyediakan suatu dasar bagi pertimbangan yang baik dan respon yang masuk akal yang mencerminkan pembelajaran Aristoteles yang terfokus sampai saat ini. Al Bîrûnî tetap bersikap kritis terhadap Ibn Sînâ meskipun reputasi Ibn Sînâ tidak bisa hilang begitu saja namun ia tidak begitu tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan justru menghina kebodohan dan ketaatan Ibn Sînâ kepada Aristoteles. Adamson, Interpreting Avicenna..., h. 11. 23Ironisnya, walaupun para neoplatonis seperti Plotinus dan Proclus memainkan pembentukan tradisi filsafat, namun Aristoteles paling sering dikutip dengan inovasi mereka

71

Mengenai problem zaman yang dihadapi oleh Ibn Sînâ, yaitu berada dalam dinamika pergolakan politik internal sehingga kecenderungannya untuk menemukan keadaan politik yang stabil dengan cara berpindah-pindah tempat menetap. Hal tersebut bertujuan agar pergolakan tersebut tidak ikut mempengaruhi perkembangan intelektualnya ketimbang merespon lawan dari aliran-aliran intelektual lainnya. Pergolakan politik dan penghargaan yang besar terhadap kemajuan pengetahuan salah satunya terjadi pada masa khalifah Al-Ma’mun pada dinasti Abbasiyah dengan bukti mendirikan bayt al Hikmah di Baghdad sebagai pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Adapun pergolakan politisnya terjadi dengan mempraktikkan mihnah atau pemaksaan paham tertentu dan penganiayaan bagi yang menolaknya. Korban dari mihnah tersebut salah satunya seorang intelektual Islam ternama, yaitu Ahman bin Hanbal yang mewakili kalangan dari kaum Hadist yang pada waktu itu bersengketa dengan paham Khalifah. Keadaaan yang demikian juga kembali terjadi dengan pola yang berbeda namun persoalan yang sama. Namun demikian, keadaan yang tersebut menunjukkan bahwa umat Islam Klasik biasa terlibat perdebatan berskala luas dan keras dalam dimensi intelektual yang lebih bebas dan terbuka dari masa-masa setelahnya.24 Menurut peneliti, Ibn Sînâ tumbuh pada situasi politik Islam yang tidak stabil namun Ibn Sînâ meresponnya dengan tetap menjaga iklim intelektualismenya tumbuh dan produktif. Persoalan persepsi dalam epistemologi Ibn Sînâ lebih sebagai suatu upaya pemikiran filosofis untuk merekonstruksi daya-daya internal manusia (faculties) untuk mendapatkan pengetahuan. Fakultas-fakultas internal tersebut meliputi empat bagian, yaitu fakultas thabî’ah, fakultas nabâtiyyah, fakultas hayawâniyyah dan fakultas malakiyyah. Fakultas thabî’ah merupakan daya aktif yang bekerja satu arah dengan keterpaksaan. Fakultas nabâtiyyah merupakan daya aktif yang bekerja secara kemajemukan arah dengan keterpaksaan. Fakultas hayawâniyyah bekerja dengan suatu tujuan dan pilihan yag berbeda untuk menunjukkan perbedaan tindakannya yang tertentu. Sedangkan fakultas malakiyyah adalah daya aktif yang bekerja dengan tujuan dan plihan dalam satu arah dan khusus. Bagi Ibn Sînâ, ketiga dari yang empat tadi disebut dengan jiwa, namun ketiganya juga tidak terbatas pada satu definisi jiwa dan satu aspek semata.25 Menurut peneliti, persoalan persepsi dalam pandangan Ibn Sînâ lebih cenderung untuk memperlihatkan kemampuan dari manusia, atau epistemologi yang membedakan satu sama lain dalam hal kualitas- kualitas serta menunjukkan argumentasi demonstratif mengenai kekekalan jiwa. Yang menjembati peranan persepsi bagi Berkeley dan Ibn Sînâ secara filosofis yaitu kedudukannya sebagai daya dari jiwa yang dimiliki oleh manusia untuk mengetahui sesuatu atau mendapatkan pengetahuan tertentu. Meskipun dalam aspek tradisi dan otoritas serta respon probelem ( problem shared) yang dihadapi berdua ketika berdiri dalam bayangan kiasan. Hal tersebut berdasarkan fakta bahwa di dunia berbahasa Arab Abad Pertengahan, kedua karya utama berisikan banyak metafisika neoplatonik yang dirancang secara keliru menganggap milik Aristoteles. Lihat, Jon McGinnis, Great Medieval Thinkers Avicenna (New York: Oxford University Press, 2010), h. 6-7. 24Nurcholish Madjid, Karya Lengkap Nurcholish Madjid Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan. Penyunting, Budhy munawarh-Rachman, h. 2628-2629. 25Ibn Sînâ, ahwâl al Nafs (Beirut: Dar Byblion, 2007), h. 49.

72

oleh mereka berdua berbeda konteks satu sama lain, namun penekanan yang sama terletak dari porsi yang diberikan pada peran dari persepsi itu sendiri. Artinya, kedua filosof tersebut tidak mengabaikan begitu saja peranan dari persepsi meski berbeda dalam hal tahapan-tahapan yang dilaluinya untuk mendapatkan idea. Perbedaan pandangan dari Berkeley dan Ibn Sînâ dapat dimengerti berdasarkan perbedaan dari wirkungsgeschichtliches sebagai suatu pembacaan metodologis. Selain itu juga, untuk menekankan aspek penting konteks historis di mana pemikiran filosof tumbuh dan mengabaikan aspek pemikiran filosof yang ahistoris. Artinya, pemikiran filosof tumbuh berdasarkan keadaan atau semangat zamannya, bukan tumbuh secara terbalik seolah terisolasi dari konteks sosialnya. Bagan dari wirkungsgeschichte atau effective history dari Berkeley dan Ibn Sînâ adalah sebagai berikut :

Gambar 2. Wirkungsgeschichte pemikiran Berkeley

Persepsi Berkeley Kesadaran sejarah Wirkungsgeschichte

 Melawan ateisme dan (Consciousness of History) (Effective history)

 Tradisi : Locke, Materialisme  Tatanan baru Abad 18 Malebranche  Tuhan sebagai pusat berdasarkan metode segala sesuatu Sains modern  Otoritas : Empirisme Inggris, Uskup

Gambar 2. Wirkungsgeschichte pemikiran Ibn Sînâ

Wirkungsgeschichte Kesadaran sejarah Persepsi Ibn Sînâ

(Effective history) (Consciousness of History)  Mengekplorasi

 Tradisi : Aristoteles,  Masa pencerahan Islam daya-daya jiwa

Plotinus bagi pengetahuan

 Otoritas : Peripatetik  Status ontologi jiwa dan Illuminasi atau immortality of the soul

73

3. Latar Teologis dan Pencerahan Filosofis Sub pembahasan ini memiliki fokus pada upaya penelusuran horizont Berkeley maupun Ibn Sînâ yang berkaitan aspek teologis sejauh memiliki relevansi terhadap pandangan filosofis mereka berdua. Atau konkretnya, sub pembahasan ini ingin menelusuri keterkaitan pandangan filosofis Berkeley maupun Ibn Sînâ dari latar teologis yang mungkin mempengaruhi cara pandang keduanya. Sebelum menguraikan tujuan tersebut, secara garis besar isu mengenai problem persepsi berkaita dengan dua hal, pertama berkaitan dengan dimensi epistemologis dan kedua, berkaitan dengan dimensi metafisis. Letak dimensi epistemologisnya yaitu pada perdebatan filosofis mengenai sikap afirmatif terhadap peran persepsi sebagai proses untuk merekonstruksi pengetahuan atau justru menegasikannya. Namun, titik temu dari persilangan perdebatan tersebut yaitu pandangan mekanistik, dikotomis antara subjek-objek dan meyakini gambaran-gambaran mental (pikiran) yang merepresentasikan realitas. adapun letak dimensi metafisisnya, yaitu berkaitan dengan isu persepsi mengenai problem relasi jiwa-badan, yang bermuatan problem metafisis.26 Untuk yang pertama Berkeley, sebagai filosof sekaligus uskup (bishop) yang unik yang tidak menanggalkan ajaran kekeristenannya ketika merumuskan berbagai pandangan filosofisnya. Namun menimbulkan suatu pertanyaan, apakah latar teologi tertentu ikut mempengaruhi cara pandang filosofis Bereley atau justru filsafat sebagai instrumen untuk melawan dari berbagai serangan yang melemahkan dimensi spiritual. Untuk menanggapi dua pertanyaan tadi, mengutip Berman, pandangan filosofis Berkeley dalam upaya untuk merespon pandangan materialisme Hobbes dan Pantheisme Spinoza yang membahayakan sistem teistik. Implikasinya, yang mana pandangannya mengenai immaterialisme menjadi senjata ampuh untuk menangkal kedua bahaya tersebut. Selain itu juga, Berkeley memiliki karya teologi dan filsafat juga pada vision dan mathematic. Misalnya dalam Alchipron pada dialog ketujuh merupakan tulisan penting yang berkaitan dengan tulisan teologis yang ditujukan pada apa yang dipandang Berkeley sebagai musuh prinsipil, kebebasan berpikir yang tidak religius. Sedangkan pada dialog keempat, mengulas mengenai bukti mengenai eksistensi Tuhan, yang mana pemikirannya sama dengan prinsip- prinsip yang tidak digambarkan pada pandangannya mengenai immaterialisme, yang justru dikembangkan dalam ulasan mengenai theory of vision.27 Meskipun memiliki latar sebagai seorang uskup (bishop), dorongan teologis tidak menentukan corak dan pandangan filosofis Berkeley melainan, pandangan filosofis Berkeley mengenai pengetahuan sebagai perangkat untuk mempertahankan keilamannya. Karena seperti yang telah disinggung sebelumnya, Berkeley banyak mengkritik pandangan para filosof sebelumnya dalam rangka menolak materialisme dan panteisme yang mengikis nilai-nilai keagamaannya. Seperti yang disponsori sendiri oleh Berkeley dalam Alchipron in Focus, bahwa rancangan penulisan buku

26Husain Heriyanto, “Menuju Realisme Eksistensial Ekologis Berdasarkan Teori Persepsi Mullâ Sharâ”, (Disertasi S3 Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2013), h. 103-104. 27David Berman, Berkeley and Irish Philosophy (London.New York: Continuum, 2005), h. 22&40.

74

tersebut yaitu untuk mempertimbngkan pemikiran bebas dalam berbagai nuansa, ateis, liberal, metafisikawan, fatalis maupun skeptis. Dengan kata lain, pandangan filosofis Berkeley dalam Alchipron in Focus merespon pemikiran yang menentang kekeristenan pada masanya dengan mengedepakan bukti demonstrasi (filosofis) untuk membuktikan eksistensi Tuhan.28 Untuk yang kedua, mengenai Ibn Sînâ sebagai filosof Muslim yang mashur dan terkemuka sehingga mendapatkan julukan al syaikh al Râis. Menurut Afnan, usia formatif Ibn Sînâ dimulai ketika keluarganya kembali ke Bukhara, yaitu dengan kepiawaiannya membaca Al-Qur’an yang mengagumkan sebagai suatu telenta anak berusia 10 tahun. Latar religius dari lingkungan Ibn Sînâ bukanlah orthodox, yang justru disembunyikan dan menimbulkan kesulitan untuk menjelaskan kehidupannya secara komprehensif. Masih menurut Afnan, Ibn Sînâ menjelaskan bahwa pada suatu hari, Ayahnya merespon pada salah seorang dari tamu undangan yang datang dari Mesir (golongan Fâtimis), dan termasuk golongan dari (Ismâilis). Lanjutnya, Ibn Sînâ mendengarkan percakapan antara ayahnya dan saudaranya mengenai jiwa dan intelek menurut cara yang golongan Ismâilis telah paparkan. Namun, Ibn Sînâ segera untuk menambahkannya dan segera menyadari bahwa ia sulit membantah argumentasi yang dibangun mereka, dan mengajak Ibn Sînâ untuk bergabung dan diskusi mengenai filsafat, geometri dan aritmatika India. Singkatnya, ayah Ibn Sînâ segera mengkondisikan agar kelompok Ismâilis tersebut berkenan untuk mengajar dan tinggal di rumah keluarga Ibn Sînâ. Lanjut Soheil, tidak ada sumber yang dapat menjelaskan secara akurat mengenai paham yang dianut Ibn Sînâ apakah Ismâilis juga atau tidak.29 Meskipun latar teologis Ibn Sînâ tidak diketahui secara jelas, namun sulit untuk menolak kedudukan Ibn Sînâ sebagai filosof terkemuka yang dimiliki kaum Muslimin. Menurut Gutas, jika proyek filosofis Ibn Sînâ melibatkan penyatuan dari seluruh apa yang diintegrasikan secara konsisten berdasarkan logika Aristoteles, yang mana seluruh bagian filsafat tradisional ditransmisikan dan yang akan mewakili seluruh pengetahuan dan hal untuk seluruh realitas, termasuk realitas agama, maka, cara-cara yang Ibn Sînâ susun dan gunakan untuk menyampaikan pengetahuan ini (filsafat) tidak mencakup ke dalam aspirasi orang banyak.30 Dalam risalah the Brethren Purity yang mana teologi Ismâili bersamaan dengan pandangan Aristotelian dan Neoplatonian seperti yang dipikirkan oleh Neopyhitagorean. Menurut McGinnis, Ibn Sînâ sendiri memberikan kesaksian bahwa ia mengetahui pandangan Neophytagorean, yang mungkin Aristoteles dan Plotinus juga, meskipun Ibn Sînâ menambahkan juga bahwa ia tidak meyakini argumentasi mereka. Bagi McGinnis, pada akhirnya mungkin sumber insipirasi bagi Ibn Sînâ akan menjadi penyelidikan lanjut yan menembus lingkungan di mana Ibn Sînâ menemukan dirinya yang mana pada waktu berusia muda, Ibn Sînâ berguru pada al Bîrûni dan dengan Ibn al Haytam yang dengannya ia berbagi teori optik yang sama.

28George Berkeley, Alciphron in Focus, Edited by David Berman (London and New York: Routledge, 1993), h. 17. 29Soheil M. Afnan, Avicenna His Life and Works (London:George Allen and Unwin Ltd, 1958 ), h. 58-59. 30Adamson, Avicenna ..., h. 43.

75

Adapun pada masa Ibn Sînâ, filsafat juga telah dikritik oleh para teolog al Syâirah dan al Bâqilâni, namun yang mengkritik para filosof secara langsung hanya dilakukan oleh teolog terkemuka al Syâirah, yaitu al Ghazâlî sekitar seratus tahun kemudian. Dalam konteks tersebut, sulit mensinyalir paham teologi apa yang dianut Ibn Sînâ dan apakah ikut mempengaruhi cara pandang filosofisnya. Namun yang terang bahwa, Ibn Sînâ hidup pada dua arus perdebatan lebar antara Mu’tazilah dan al Asyâirah31 Menurut peneliti, cara pandang filsafat tertentu (bidang filsafat) dengan corak filosofis dari Berkeley dan Ibn Sînâ tidak didorong oleh latar teologis dari keduanya (keuskupan dan tradisi Ismâiliyyah). Meskipun, cara pandang filosofis Berkeley misalnya, dalam rangka untuk melawan pandangan-pandangan filosofis yang membahayakan iman Kristen pada masyarakat Eropa dan cara pandang filosofis Ibn Sînâ mendapatkan kritik tajam dari aliran teologi, tidak lantas pandangan filosofis keduanya bertolak dari persoalan teologis. Atau sederhananya, paham teologi yang dianut bukan dijadikan sebagai basis filsafat melainkan pandangan filosofis menyentuh dimensi pembahasan teologis. Dengan demikian, latar teologis dan pencerahan filosofis merupakan dua hal yang berbeda yang tidak berkaitan secara esensial, melainkan hanya secara aksidental. Pencerahan filosofis Berkeley dapat dimengerti dengan suatu bentuk aktivitas refleksi pikiran yang mengkritisi pandangan-pandangan filosof terdahulu yang bergumul pada persoalan mengenai filsafat pengetahuan. Menurut fulan, pemikiran filosofis Berkeley dapat dipahami sebagai suatu pandangan transformatif yang melanjutkan persoalan filosofis terdahulu. Hal tersebut ditandai dengan kesadaran subjek mengenai batasan-batasan yang dapat diketahui yang kemudian meninjau bagaimana model perubahan kesadaran bertumpu padamodel baru yang diafirmasinya yaitu “spiritual”. Spiritual yang dimaksud yaitu upaya untuk bertumpu pada penerimaan pikiran yang hanya berkaitan dengan objek-objeknya (gagasan) melalui kesadaran. Pandangan Berkeley tersebut merupakan realasi antara subjek- objek ontologis mengenai konsepsi atas substansi suatu pengetahuan yang kontras dengan tradisi Aristotelian, Cartesian dan Lockean.32 Karenanya dalam suatu penyelidikan filosofis, bertolak dari pertanyaan- pertanyaan mendasar mengenai suatu hakikat atau realitas yang menggelisahkan sehingga patut untuk dipertanyakan. Hal tersebut berkaitan dengan tugas dari filsafat itu sendiri sehingga ada yang menafsirkannya sebagai suatu cita rasa bagi para filosof yang tiak sebatas mengajukan pertanyaan dan berupaya untuk menjawabnya melainkan, mencoba juga untuk melihat di balik tirai dari isu yang dipersoalkan tersebut. Filsafat karenanya dianggap sebagai salah satu upaya tertentu yang dilakukan manusia yang bertujuan untuk menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan besar yang dimilikinya.33 Pertanyaan-pertanyaan besar

31Jon McGinnis, Great Medieval Thinkers Avicenna (New York: Oxford University Press, 2010), h. 15-16. 32Talia Mae Bettcer, “Berkeley’s Theory of Mind: Some New Models”, Journal of Philosophy Compass, California State University, 2011, h. 692-693. 33Nicholas Rescher, Philosophical Inquiries An Introduction to Problems of Philosophy (USA: University of Pittsburgh Press, 2010), h. 1

76

tersebut berkaitan dengan rancangan dunia dan peran di dalamnya yang bertujuan sebagai penjelas terhadap jawaban mengenai fakta-fakta sehingga membuahkan suatu pemahaman mengapa segala sesuatu sebagaimana adanya. Karenanya, filsafat tidak memiliki sumber informasi yang khas yang justru ialah masalah itu sendiri namun masih merupakan sesuatu yang mentah. Misalnya, mempersoalkan mengenai substansi-substansi material sebagai suatu pertanyaan besar, karenanya berkaitan dengan pertanyaan dari para filosof sebelumnya untuk kemudian dikembangkan jawabannya.34 Sedangkan pencerahan filosofis bagi Ibn Sînâ merupakan bentuk ulasan yang mengacu pada suatu krangka teoritis yang terinspirasi secara luas oleh analisis- analisis Aristoteles mengenai logika, epistemologi dan metafisika. Bagi Strobino, dalam kitâb al-Burhân keterpengaruhan dari Aristoteles sangat jelas mewarnai berbagai bidang kajian seperti telah disebutkan. Dalam ulasan mengenai pembuktian demonstratif misalnya, Ibn Sînâ menegaskan bahwa suatu pernyataan berkaitan erat dengan pengetahuan dan kepastian yang terkandung di dalamnya. Pernyataan dalam hal ini adalah term baik yang relatif maupun tidak yang berperan sebagai alat yang memiliki keududukan penting. Sebagai alat, berperan sebagai sesuatu yang menjadi objek pemeriksaan bagi logika, epistemologi maupun metafisika sehingga mengarah pada perbedaan konseptual penting bagi pandangan filosofis Ibn Sînâ misalnya, konsep sebab dan bukan penyebab yang kuat.35 Meskipun terpengaruh oleh para filosof Yunani mengenai pandnagan filsafatnya, namun Ibn Sînâ tetap memiliki latar belakang sebagai seorang Muslim yang turut mempengaruhi corak filsafatnya. Menurut Nasr, segala upaya rumusan filosofis Ibn Sîna tercermin suatu usaha untuk menyesuaikan diri dan pandangan filsafatnya dengan inspirasi dari ajaran dan semangat Islam dalam banyak aspeknya. Kecenderungan khusus dalam filsafat agama Ibn Sînâ yaitu pada teori Kenabian yang berupaya untuk merumuskan pandangan filosofisnya itu ang sesuai dengan ajaran Al-Qur’ân dan konsisten pada saat yang sama dengan pandangan filosofis. Rumusan tersebut yaitu mengenai kesadaran Kenabian dan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW untuk empat kali lipatnya kecerdasan dan pancarannya oleh Akal Aktif yang diidentifikasi dengan Jibril Malaikat penyampai wahyu. Dengan demikian, pandangan filosofis mengenai kesadaran Kenabian adalah Kesempurnaan keadaan manusia yang terhimpun di dalamnya seluruh kecakapan manusia dalam kesempurnaannya.36 Menghubungkan kembali latar teologis dengan pencerahan filosofis, keduanya merupakan objek kajian dan concern yang berbeda seiring dorongan penyelidikan filosofis itu sendiri. Atau meminjam istilah dari Nasr Hamid, bahwa latar teologis tertentu yang mendorong dan membentuk pemahaman tertentu yang sehingga bercorak teologis sebagai suatu diskursus religius. Diskursus religius juga

34Rescher, Philosophical Inquiries, h. 2. 35Riccarrdo Strobino, “Avicenna on Knowledge (‘Ilm), Certainty (Yaqîn), Cause (‘Illa/Sabab) And The Relative (Muḍâf),” Journal of British for The History of Philosophy, 11 December 2015, h. 1-2 36Sayyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (New York: Caravan Book, 1964), h. 41-42.

77

cenderung pada suatu sikap penerimaan atau penolakan atas suatu klaim tindakan seseorang yang menjadi pegangannya jika itu dalam ranah terbuka untuk alasan dan pengalaman. Misalnya, melalui media buku, artikel, pidato, khutbah, wawancara televisi dan program-program radio. Diskursus religius karenanya mencoba untuk memperluas wewenang naskah-naskah keagamaan ke dalam segala bidang serta mengabaikan perbedaan yang dinyatakan dalam prinsip “anda paling tahu mengenai urusan duniawi anda sendiri”. Hal tersebut sekaligus merupakan persoalan pemahaman keagamaan dengan berangkat dari penggabungan teks-teks keagamaan serta pembacaannya.37 Penyelidikan filosofis karenanya berangkat dari problem-problem mendasar yang menyasar pada suatu jawaban secara mendalam dan selalu menggugat serta mempersoalkan realitas secara kontinyu. Sasarannya yaitu untuk mencari suatu pengetahuan dan kebenaran sebagai suatu jawaban yang memuaskan untuk sementara waktu sebagai kekhasan bagi yang serius dalam menempuh jalan filsafat. Karenanya, penting untuk menarik suatu distingsi antara pengetahuan dan kebenaran sebagai bagian penting dari pencerahan filosofis. Menurut Guessoum, demarkasi antara pengetahuan dan kebenaran menjadi penting terutama berhubungan dengan pendekatan ilmu-ilmu alam. Hal tersebut berkaitan dengan “rasionalisme agama” sejauh berkaitan dengan isu-isu rohani dan yang keluar dari konteks itu yang perlu diterima secara iman dan tidak bisa dikonfrontasi dengan berbagai pengetahuan atau kebenaran lainnya. Namun sejauh berhubungan dengan objekilmu-ilmu empiris, perlu menerima pada tataran ilmiah dan dalam banyak situasi menjadi subjek utama bagi interpretasi hermeneutika dan alegoris.38 Pada perkembangan selanjutnya, pencerahan filosofis memiliki bentuk lainnya berupa semangat intelektualisme dengan beragam objek formal yang berbeda-beda. Dalam konteks objek ilmu formal mendapati momentumnya pada model kuantitatif sebagai kriteria kebenaran. Padahal dengan menetapkan hanya pada satu kriteria saja, yakni seputar studi eksperimental dengan kriteria fisik sebagai aktivitas intelektual adalah suatu kemustahilan. Atau istilah Bergson disebut dengan energi intelektual yang mengarah pada intensif semata yang dalam aspek tertentu menjelma menjadi berbagai varian untuk masuk pada wilayah penghakiman filosofis di bawah sinar akal budi. Tujuannya untuk membongkar ancaman dari inkonsistensi argumen mencangkup persoalan-persoalan empiris dengan batasn sempit yang hanya menerima penghakiman berdasarkan pengalaman inderawi.39 Semangat pencerahan filosofis yang bertumpu pada akal budi berproses sedemikian rupa sehingga menjadi suatu diskursus tertentu upaya saling melengkapi dan merevisi yang menuju pada kualitas tertentu. Pandangan filosofis yang mengemuka oleh para filosof berangkat dari titik pertanyaan kritis mengenai realitas eksternal yang pada akhirnya bertumpu pada diri

37Nasr Hamid Abu Zayd, Critique of Religious Discourse. Translated by Jonathan Wright (New Haven and London: Yale University Press, 2018), h.49-50 38Nidhal Guessoum, “Science, Religion, and The Quest for Knowledge and Truth: an Islamic Perspective”, Journal of Cult Stud of Sci Educ, 28 May 2009, h. 61. 39Catherine Malabou, Morphing Intelligence From IQ Measurement to Artificial Brains. Translated by Carolyn Shread (New York: Columbia University Press, 2019 ), h. 42 78

sendiri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan tertentu. konsepsi klasik mengenai kemungkinan, yaitu merupakan suatu upaya untuk menafsirkan mengenai suatu gagasan yang memiliki hubungan antara kerangka bahasa. Misalnya, proposisi mengenai “p” yaitu ketika “p” adalah mungkin. Menjadi status relatif ketika jika dan hanya jika “p” tidak konsisten secara logis (secara sintaksis atau semantik) itu relatif. Oleh karenanya, suatu konsep (“p”) didefinisikan sesuai dengan kategori modal dari kemungkinan logisnya di dalam skema pengelompokan di mana modal kategori tersebut untuk kemungkinan empiris yang dapat terjadi.40 Upaya kritis karenanya memerlukan seperangkat pikiran tertentu yaitu logika yang menjadi basis penting bagi pencerahan filosofis. Karenanya bagi berkeley dan Ibn Sînâ, pencerahan filosofis berangkat dari bangunan logika atau kerangka berpikir logis sebagai titik berangkatnya. Misalnya, Berkeley mengulas cukup luas mengenai logika dalam Alciphron sedangkan Ibn Sînâ mengulas mengenai logika dalam buku Mantiq al Mashriqiyyîn. Dengan hal tersebut peneliti ingin mengafirmasi kembali bahwa terdapat batas demarkasi tegas antara latar teologi dan pencerahan filosofis pada Berkeley dan Ibn Sînâ. Lebih eksplisit lagi, pandangan-pandangan filosofis Berkeley maupun Ibn Sînâ berangkat dari bangunan logika untuk merespon persoalan-persoalan filosofis yang keduanya hadapi. Oleh karenanya, menjadi penting ulasan pada pembahasan selanjutnya mengenai horizont pemikiran dari kedua filosof tersebut yang mana penelusuran tersebut, lebih menegaskan latar dari pandangan filosofis keduanya yang menyasar pada peran dari persepsi inderawi.

B. Horizont Berkeley dan Ibn Sînâ 1. Jiwa Sebagai Daya Serta Relevansinya Dengan Pikiran Bagi Pengetahuan Inderawi Horizont atau cakrawala pemikiran menjadi penting untuk menafsirkan pandangan filosofis dari Berkeley dan Ibn Sînâ sebagai bagian dari tahapan pendekatan metodologis hermeneutik Gadamer dalam penelitian ini. Horizont mengenai persepsi menurut Berkeley dan Ibn Sînâ yaitu dapat dilacak dari konsepsi yang mereka berdua gunakan. Untuk yang pertama, yaitu (النفس/mengenai jiwa (soul horizont dari pemikiran filosofis Berkeley yang memposisikan jiwa (soul) sebagai sesuatu yang dengannya ide-ide tercetak melalui indera dengan mengikuti gairah dan cara kerja pikiran. Jiwa juga sebagai sarana untuk mengetahui atau mempersepsi objek-objek pengetahuan dan melatih berbagai tindakan sebagai suatu aktivitas keinginan, imajinasi, dan mengingat objek-objek. Ide-ide yang dipersepsi oleh jiwa

40Misalnya, anggaplah bahwa “N” merupakan serangkaian kalimat dalam suatu objek persoalan tertentu, yang mencakup setiap proposisi yang benar, maka untuk setiap kalimat yang menjadi acuannya (“S”). Oleh karenanya, (“S”) mendeskripsikan kemungkinan secara logis keadaan (realitas) jika dan hanya jika hal tersebut tidak terjadi. Untuk setiap kalimat yang mengacu pada (“S”) dan “N”, menggambarkan kemungkinan secara empiris keadaan (realitas) jika dan hanya jika tidak demikian halnya sehingga memerlukan bagian- bagian lainnya. Dengan demikian, apabila suatu konsep benar-benar objektif dalam arti bahwa konsep tersebut mengacu pada kemungkinan-kemungkinan logis dan empiris oleh karenannya bersifat spesifik. Lihat, James H. Fetzer, Scientific Knowledge Causation, Explanation, and Corroboration (London: D. Reidel Publishing Company, 1981), h. 4

79

tersebut bagi Berkeley, sepenuhnya berbeda satu sama lain, sedangkan mengenai keberadaannya sebagai suatu entitas yang sama, yang mana melalui jiwa mereka dipersepsi. Karena itu adanya suatu ide hanya karena dipersepsi.41 Menurut Peneliti, jiwa bagi Berkeley memainkan peranan penting sebagai suatu kemampuan untuk mengetahui suatu objek pengetahuan, baik objek inderawi (sensible) maupun objek rasio (intelligible). Adapun kemampuan jiwa untuk mengetahui objek-objek pengetahuan itulah yang disebut sebagai aktivitas mempersepsi (perceive). Berkeley memposiskan jiwa sebagai sesuatu yang penting ketika berbicara mengenai keberadaan ide-ide serta proses mempersepsi dan pikiran itu sendiri. Namun keberadaan dari ide-ide (exist) yang dipersepsi oleh pikiran menurut Dickers, memiliki argumen yang tidak jelas. Alasannya, keberadaan dari ide-ide yang bagi berkeley “tergantung dari persepsi pikiran” menjadi jelas begitu saja tanpa beberapa refleksi dari makna kata keberadaan itu sendiri (exist). Selain itu, tidak muncul dari Berkley suatu pertimbangan mengenai makna dari keberadaan (exist) yang diperlukan atau relevansi pada verifikasi atau justifikasi dari klaim Berkeley bahwa suatu gagasan tidak ada (exist) tanpa dipersepsi. Sedangkan Berkeley menekankan aspek penting bahwa keberadaan dari suatu gagasan (ideas) hanya ada jika dipersepsi. Bahkan, jika apa yang dimaksudkan oleh Berkeley dengan kata ada (exist) ketika diterapkan pada hal-hal yang sensibel, tidak ada kaitannya dengan persepsi, namun Berkeley masih berpegang bahwa semestinya tidak ada gagasan yang ada tanpa dpersepsi. Fungsi identifikasi lebih jauh dari argumentasi Berkeley mengenai keberadaan (exist) harus berbeda antara satu dengan yang lainnya yaitu keberadaaan yang berasal dari imajinasi, sensasi dan indera.42 Peneliti sependapat bahwa, Berkeley pada beberapa bagian kurang merinci mengenai perbedaan dari ide-ide yang dihasilkan melalui proses-proses pikiran seperti, imajinasi, ingatan, sensasi dan sebagainya, yang mengesankan simplifikasi dari Berkeley. Dalam konteks ontologi, jiwa atau spirit bagi berkeley merupakan suatu substansi yang karenanya kegiatan mempersepsi objek oleh jiwa berkaitan dengan status keberadaannya. Menjadikan jiwa atau spirit sebagai kegiaan mempersepsi objek sertidaknya berkaitan dengan dua hal. Pertama, menjadikan kegiatan persepsi jatuh pada status abstrak yaitu pemikiran yang diambil berbeda dari tindakan- tindakan konkret persepsi yang diyakini ada di dalamnya Hal itu berbeda dengan Berkeley yang menjadikan identitas pikiran ditentukan oleh kognisi-kognisi aktual karena yang hanya ada hanyalah kognisi itu sendiri. Kedua, dalam kegiatan mempersepsi berarti bahwa gagasan-gagasan berbeda dari kegiatan kognisi yang mana dalam model Cartesian, ide-ide hanyalah kognisi atau pikiran. Kegiatan kognisi yang dengannya gagasan-gagasan dibedakan bukanlah gagasan-gagasan pada dirinya sendiri. Karenanya, gagasan adalah objek kognisi berbeda dari

41George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge. Edited by Howard Robinson (New York: Oxford University Press), h. 24. 42Identifikasi yang jelas bagi Dicker misalnya, tidak ada objek-objek dari pengetahuan manusia yang dapat ada (exist) tanpa dipersepsi melalui pikiran, yang mana antara fungsi imajinasi dan sensasi menjadi satu bagian. Lihat, Georges Dicker, Berkeley’s Idealism A Critical Examination (New York: Oxford University Press, ) h. 70

80

kognisi.43 Misalnya, identitas pikiran Cartesian tidak ditentukan oleh pikiran yang aktual yang kebetulan dimiliki. Budi memiliki ide mengenai Kesempurnaan yang mungkin saja dimiliki oleh pikiran Joni meskipun Joni tidak memiliki gagasan mengenainya. Atau dengan kata lain, bagi Berkeley gagasan-gagasan (ideas) merupakan objek dari kognisi atau pikiran (mind) sedangkan bagi Descartes, gagasan-gagasan (ideas) merupakan sesuatu bawaan (innate) dalam pikiran. Mengenai konteks relasi antara epistemologi dan ontologi, peranan jiwa (soul) sangat penting untuk membedakan antara keberadaan (being) dan yang sedang dilihat (being seen). Selain Berkeley, filosof lainnya seperti Collier misalnya, memberikan perhatian yang cukup banyak mengenai eksistensi materi namun dengan rute dan kesimpulan akhir yang berbeda. Collier lebih memilih premis kunci bahwa suatu klaim epistemik dari apa yang dilihat merupakan segala yang diketahui mengenai objek-objek terlihat dan referensi tentang keberadaan tampak mewujud hanya satu aspek dari apa yang begitu dikenal. Adapun bagi Berkeley, mengenai eksistensi sebagai arti dari kata ada (exist) merupakan bagian dari aspek semantik (ordinary language), bukan dari posisi epistemik untuk mengafirmasi kekuatan filosfisnya.44 Peneliti tidak sependapat dengan Stonehem mengenai rute Berkeley sebatas persoalan semantik semata, karena perlu dipisahkan antara diktum dengan argumentasi yang merujuk pada kerangka epistemologi yang berarti menyangkut persoalan epistemik.45 Pandangan jiwa bagi Berkeley karenanya juga sebagai bentuk paradoksial atas dua hal, pertama mengafirmasi spirit dan kedua mengasikan substansi yang sifatnya parsial dengan memisahkan satu sama lain, bukan sebagai suatu kesatuan. Dalam pandangan Berkeley, mempersepsi suatu objek (sensible things) berarti tidak ada substansi selain jiwa (spirit) atau yang mempersepsi. Argumentasinya yaitu kualitas-kualitas inderawi (sensible qualities) tidak dapat eksis dalam sesuatu yang tidak dipersepsi karena, itu sesunguhnya adalah ‘gagasan yang dipersepsi melalui akal,’ dan mustahil bagi suatu gagasan eksis dalam sesuatu yang tidak mempersepsi. Poinnya adalah semua kualitas-kualitas yang seseorang persepsi karenanya adalah objek dari persepsi, mestilah gagasan dan karenanya hanya eksis dalam sejauh mana sifat-sifat tersebut dipersepsi.46 Dengan kata lain menurut peneliti, kegiatan dari mempersepsi merupakan suatu aktivitas jiwa (spiri) sedangkan objek dari pikiran ialah ide-ide yang mana kesemuanya menjadi suatu kualitas-kualitas mental semata

43Talia Mae Bettcher, “Berkeley’s Theory of Mind: Some New Models,” Journal of Philosophy Compass, California State University, Vol 6, 2011, h. 690. DOI: 10. 1111/J.1747-9991.2011.00427.x. 44Tom Stonehem, “Berkeley’s ‘Esse Is Percipi’ and Collier’s ‘Simple’ Argument,” Journal History of Philosophy Quarterly, Vol. 23, No. 3, July 2006, h. 212-213. DOI: 10. 2307/27745058. 45Misalnya, keberatan Berkeley mengenai kualitas primer yang dipisahkan atau diambil dari kualitas sekunder seperti pandangan Locke, merupakan suatu persoalan epistemik dan bukan persoalan semantik (bahasa). Selain itu juga, persoalan representasi- representasi yang membelenggu persepsi pikiran, ikut ditolak Berkeley yang merupakan peroslan epistemik karena berkaitan dengan bagaimana cara tahu dari subjek. 46Barry Stroud, “Berkeley v. Locke on Primary Qualities,” Journal of Philosophy, Vol. 55, April 1980, h. 151. DOI: 10. 1017/S003181910004897X.

81

yang bersifat absrtak (ideas). Hal itu karena, esensi jiwa (spirit) dapat dimengerti selama jiwa bersifat immaterial yang menjadi suatu pengetahuan tertentu mengenai keabadiaannya juga, meskipun jangkauan dari esensi jiwa (soul) masih bersifat debatable.47 Debatable dalam arti tidak menolak serta ide-ide abstrak mengenai jiwa melainkan cenderung menegaskan darimana id-ide mengenai yang abstrak itu berasal. Memahami pandangan Berkeley mengenai jiwa perlu melalui “rute” bahwa antara jiwa (soul) dan ide-ide (ideas) merupakan kedua entitas yang sama, yaitu immateril. Namun problemnya, memahami bahwa jiwa bersifat immaterial menjadi tidak mampu bersatu dengan hal-hal materi supaya mempersepsi mereka pada dirinya sendiri. namun semua itu menjadi mungkin karena kesatuan dengan substansi dari Tuhan, yang spiritual karenanya dapat dipahami (intelligible). Atau merupakan objek secara langsung dari pemikiran roh (jiwa). Selain itu, kesesuaian atau korespondensi yang sempurna yang mana untuk alasan tepat untuk menunjukan atau merepresentasikan benda-benda material ke pikiran.48 Dengan kata lain, yang dipahami dari entitas material bagi Berkeley merupakan gagasan atau ide-ide itu sendiri yang bersifat immateri. Namun bukan berarti yang material itu nihil, justru darinya jiwa yang mempersepsi bertolak akan tetapi, kualitas-kualitas dari entitas material itu hanya merupakan suatu gagasan yang sepenuhnya tergantung pada subjek. Menurut peneliti, pembedaan yang mendasar muncul yaitu ide mengenai sesuatu entitas material dan objek material itu sendiri yang mana, objek tersebut tidak dapat dipahami tanpa ide-ide dan pikiran yang memahaminya. Karenanya secara epistemologis, jiwa bagi Berkeley berkaitan dengan suatu kemampuan tertentu pada diri manusia untuk mempersepsi yang meliputi aspek- aspek penginderaan baik dari luar maupun dari dalam untuk menghasilkan ide-ide. Aspek-aspek penginderaan (sensing) tersebut antara lain; penglihatan, perabaan, penciuman, pendengaran, sensasi, imajinasi, memori dan abstraksi. Untuk penjelasan-penjelasan dari daya-daya tersebut, akan menjadi penjelasan rinci pada sub-bab selanjutnya. Singkatnya, aspek-aspek tadi alam pandangan Berkeley merupakan fakultas-fakultas pada diri manusia untuk memperoleh pengetahuan atau ide-ide (ideas). Selain itu juga, proses pengeinderaan menjadi prinsip mendasar bagi pengetahuan manusia, terutama pengetahuan empiris yang berarti bahwa dengan indera sebagai gerbang yang memungkinkan untuk mengkonstruksi pengetahuan, atau bila dibagankan sebagai berikut :

47Talia Mae Bettcher, “Berkeley and Hume on Self and Self-Consciousness,” Journal Springer Science and Business Media, 2009, h. 195. DOI: 10. 1007/978.-90-481- 2381-0_9. 48George Berkeley, Between Hylas and Philonous (New York: Oxford University Press, 1999), h. 154.

82

Gambar 3. Jiwa menurut Berkeley Jiwa (soul) bagi Berkeley Sasarannya

Daya Jiwa Mencetak ide-ide dari objek

Elemen-elemen subjek Indera luar dan indera dalam

Proses subjek Mempersepsi (menangkap) dengan satu aspek yaitu secara langsung Perolehan jiwa Kualitas-kualitas pada subjek (subject qualities) atau Ide-ide (ideas)

Untuk yang kedua yaitu horizont dari pemikiran filosofis Ibn Sînâ mengenai yang mencakup dari tiga fakultas yaitu (الق هوة) sebagai suatu kemampuan (النقس) jiwa dan jiwa manusia (النقس الحيوانية) jiwa binatang ,(النقس النباتية) fakultas jiwa tumbuhan Pembahasan mengenai jiwa bagi Ibn Sînâ dalam rangka untuk .(النقس الناطقة) membuktikan keberadaan jiwa dan keabadiannya (immortality) serta meliputi juga kemampuan-kemampuan untuk mempersepsi objek-objek pengetahuan. Pada sebagai sesuatu yang penting (النفس) konteks tersebut, Ibn Sînâ memposisikan jiwa seiring mengikuti pembagiannya dari Aristoteles. Dalam rangka membuktikan bertindak (القوة) keberadaan jiwa bagi Ibn Sînâ dapat diidentifikasi berdasarkan daya yang meliputi dua hal, pertama bertindak dengan suatu tujuan dan atas dasar pilihan sendiri, kedua, bertindak dengan paksaan dan tanpa tujuan serta pilihan sendiri. Kedua kategori tersebut dapat dipisahkan menjadi empat bagian: pertama, kemampuan bertindak dengan keterpaksaan dalam satu arah tertentu yang disebut al Kedua, kemampuan bertindak dengan keterpaksaan dalam .(الطبيعة) Ṭhabî’ah ,Ketiga .(النقس النبا تية) pluralitas arah dan spesies tertentu yang disebut jiwa nabati kemampuan bertindak dengan sengaja dan pilihan yang berbeda yang menyebabkan perbedaan tindakan yang terjadi padanya dari pekerjaan yang tertentu yang disebut Dan keempat, kemampuan bertindak dengan sengaja .(النفس الحيوانية) jiwa hewani dan pilihan satu arah dan dinisbatkan secara khusus yang disebut jiwa malaikat Dari keempatnya, terdapat tiga daya yang sama yang disebut dengan .(النقس الملكية) jiwa.49 Sedangkan dalam rangka untuk menunjukan kemampuan-kemampuan menangkap objek pengetahuan, Ibn Sînâ memposiskan jiwa hewani sebagai hal pelengkap yang penting ketika berbicara mengenai kemampuan untuk mendapatkan dan gerakan (قوة مدركة) pengetahuan inderawi melalui dua daya yaitu penangkapan (Sasaran dari daya penangkapan yaitu untuk menangkap ṣûrah (bentuk .(قوة محركة) dan ma’nâ (gambaran) sebagai hasil dari objek pengetahuan. Munculnya ṣûrah dan ma’nâ dari objek-objek inderawi yang dipersepsi berkaitan dengan pengetahuan

49Ilustrasi daya yang bertindak dengan dasar pilihan dan tujuan yang berbeda misalnya, gerak dan diam serta gerakan asap dari bawah ke atas dan gerakan embun dari bawah ke atas. Adapun ilustrasi daya yang bertindak dengan dasar paksaan tanpa tujuan dan pilihan sendiri misalnya, gerakan api ke atas dan gerakan anggota tubuh dan bagian-bagian pada tumbuhan ke berbagai arah Lihat, Ibn Sînâ, Ahwâl al Nafs..., h. 49.

83

inderawi bagi Ibn Sînâ melalui jiwa hewani.50 Daya penangkapan yang secara potensial membentuk ṣûrah dan ma’nâ yaitu dari berasal penangkapan eksternal yang meliputi lima panca indera sedangkan yang mengaktual berasal dari (الظاهر) الح هس المشترك، الح هس المص هورة، الح هس المتخيهلة، الح هس :meliputi (الباطن) penangkapan internal Menurut Ibn Sînâ, gerbang awal indera ‘yang wajib bagi jiwa .المتو همة، الح هس المتذ هكرة yaitu sentuhan, sebagai (الظاهر) hewan sebagai penginderaan dari hal-hal eksternal kemampuan dengan sengaja untuk membedakan objek fisik dari keadaan hangat, panas, dingin dan netral.51 bagi Ibn Sînâ merupakan suatu (النفس) Dalam konteks ontologi, jiwa atau yang bersifat (الجسم) yang memiliki korelasi dengan badan (الجوهر) substansi karena (جوهرى) Menurut Ibn Sînâ, jiwa bersifat substansial .(العرض) aksidental berdiri pada dirinya dan abadi yang tiap-tiap dari daya jiwa merupakan bagian dari bukan dari bagian yang lain dari materi pertama (هيولى) unsur materi pertama (هيولى) Sedangkan, jiwa yang berdiri di luar dari mater-materi pertama tadi .(موضوع) maka merupakan (مركب) yang bersamaan dengan itu bagian dari unsur-unsur materi Konsekuensi dari itu, terdapat jiwa yang substansi dan yang bukan .(عرض) aksiden (صورة) substansi yang menjadi suatu kesempurnaan seperti kesempurnaan bentuk (Jiwa dikatakan sempurna bukan berdasarkan namanya (person .(جسم) untuk materi melainkan berdasarkan hubungannya dengan kebutuhan badan (corporeal).52 Menurut peneliti, bukan berarti kesempurnaan jiwa menjadikannya terjebak dalam penjara tubuh justru sebaliknya dengan memisahkannya dari keinginan tubuh meskipun antara keduanya terdapat korelasi yang kuat satu sama lain. Di satu sisi, dan abadi sedangkan pada sisi lain, jiwa terbungkus (جوهرى) jiwa bersifat substansial .yang berbeda dari jiwa (موضوع) yang bersifat esensial (مادهة) dalam materi Ambivalensi dari pandangan mengenai jiwa Ibn Sînâ setidakya dapat dilihat dari dua hal, berakar pada Plotinus dan Aristoteles. Untuk yang pertama, rujukan Platonis mengenai jiwa yang bersifat pra-eksistensi, jatuh ke dalam perwujudan materi menjadi ingatan kepada dunia yang terpahami (intelligibel) dan menjadi “naungan” terakhirnya yang merupakan kekhasan dari wacana alegoris Ibn Sînâ. Kedua, penolakan terhadap pra-eksistensi jiwa secara individu yang merujuk pada pandangan jiwa Aristoteles.53 Secara umum, kesempurnaan jiwa bagi Platon dapat dipahami dengan dualisme yang ketat antara jiwa dan badan sedangkan bagi Aristoteles justru sebaliknya yaitu monisme. Secara dualisme, jiwa dan badan berbeda secara substansi yang konsekuensinya jiwa bersifat abadi sedangkan secara monisme, jiwa dan badan merupakan satu sbstansi yang sama yang konsekuensinya adalah ketidakekalan jiwa seiring hancurnya badan. Pada saat yang sama juga jiwa

50Menurut Ibn Sînâ, shûrah berasal dari daya estimasi mengenai unsur eksistensi yang tidak berasal dari adanya dengan aktivitas tunggalnya agar mendapatkan “sesuatu” dengan aktivitas tersebut, namun tetap dengan bantuan suatu daya. Ibn sînâ, kitâbu an Najâh fi al Hikmati al Manthiqiyyah wa al Thabii’yyah wa al Ilâhiyyah. Editor Dr. Mâjid Fakhrî (Beirut: Dar al Ifâq al Jadîdah, 1982), h. 347. 51Ibn Sînâ, U’yûnu al Hikmat (Beirut: Libanon Dar al Qolam, 1980), h. 36. 52Ibn Sînâ, kitᾱbu al Syifᾱ min al Thabῑᾱ’t (Paris: editions du patrimoine Arabe et Islamique, 1988), h.14. 53Lihat, Wilfred Madelung, “Avicenna’s Allegory on The Soul: an Ismaili Interpretation,” Journal of Der Islam, March 2018. DOI: 10. 1515/ Islam-2018-0015.

84

terdiri dari dua aspek, pertama batasan (cakupan terhadap materi) dan kedua sifatnya yang abstrak. Jiwa melalui perkembangan dari dua fakultas memiliki dua fungsi, pertama, fungsi spekulasi dan abstrak dan kedua, fungsi praktis dan pembatas.54 Memahami pandangan Ibn Sînâ mengenai jiwa dapat melalui “rute” bahwa terdapat hubungan yang mengarah pada (الجسم) dan badan (النفس) antara jiwa kesempurnaan namun tetap merupakan dua entitas yang berbeda. Titik tekan perbedaan antara Ibn Sînâ dan Aristoteles yakni dalam persoalan kesempurnaanya (صورة/Menurut Aristoteles, kesempurnaan dari jiwa yaitu pada bentuk (form .(الكمال) yang berarti dua hal, pertama, kesempurnaan bagi jiwa sebagai bentuk bagi materi dan prinsip perbuatan yang bersifat dinamis. Kedua, kesempurnaan jiwa yang berkaitan dengan sifat manusia seperti, pemahaman inderawi yang merupakan sifat bagi manusia atau sifat memotong pada pedang. Sedangkan bagi Ibn Sînâ, jiwa menjadi sempurna (الجنس) merupakan kesempurnaan awal karena dengannya spesies sehingga menjadi manusia yang hakiki. Yang menjadi perbedaan mendasar mengenai pandangan kesempurnaan jiwa antara Ibn Sînâ dan Aristoteles menurut Najᾱti yaitu pada Ibn Sînâ masih bersifat umum dibandingkan Aristoteles.55 Karenanya bagi Aristoteles, menekankan pentingnya aspek penyatuan jiwa dengan badan sebagai relasi bentuk (form) dan materi (matter) atau relasi antara yang potensial (badan dan aktual (menangkan bentuk objek). Sedangkan bagi Ibn Sina, yang karenanya saling (جسم) jiwa merupakan substansi yang berbeda dengan tubuh terpisah yang bersifat kekal (immortal) sedangkan bagi Aristoteles bersifat (mortal). Karena itu secara epistemologis, jiwa menurut Ibn Sînâ berkaitan dengan al pada diri manusia yang memiliki kemampuan tertentu untuk (الطبيعة) Ṭabî’ah (حسيهة خارجيهة) mempersepsi yang meliputi aspek-aspek penginderaan baik dari luar ,(form/essence/صورة) untuk menangkap bentuk (حسيهة داخليهة) maupun dari dalam (Aspek-aspek penginderaan (sensing .(معقوالت) ataupun ide-ide (معنى) informasi tersebut meliputi; penglihatan, perabaan, penciuman, pendengaran, sensasi, imajinasi, estimasi dan memori. Untuk penjelasan-penjelasan dari daya-daya tersebut, akan menjadi penjelasan rinci pada sub-bab selanjutnya. Singkatnya, aspek-aspek tadi dalam pandangan Ibn Sînâ merupakan kemampuan dari fakultas- fakultas pada diri manusia untuk mempersi objek pengetahuan inderawi . Ibn Sînâ

54Gol dari fungsi spekulatif adalah untuk mengukir pada jiwa bentuk dari eksistensi (reality) dan pada saat yang berbeda juga sebagai kesempurnaan dan kelengkapan setelah itu jiwa dapat mengetahui dan rasional serta menyesuaikan dengan dunia eksternal tidak dalam materi (matter) melainkan dalam bentuk-bentuk pengetahuan (forms), macam (variety), serta bentuk dari realitas (shape) dan materinya (figure), sebagai suatu kebijaksanaan (wisdom). Lihat, David B. Burrell, Existence Deriving from ‘the existent’: Mullᾱ Sadrᾱ with Ibn Sînâ and al-Suhrawardῑ dalam kumpulan Avicenna and His Legacy a Golden Age of Science and Philosophy. Editor, Y. Tzvi Langermann, h. 250. 55Bagi Ibn Sina, keberadaan jiwa merupakan suatu thabiat yang tidak semuanya alasannya, jiwa rasional terpisah dari badan dan (جسم) bagi badan (صورة) menjadi bentuk keberadaannya tidak terikat dengan materi badan. Sedangkan bagi Aristoteles sebaliknya yaitu menekankan aspek kesatuan antara jiwa (bentuk/form) dengan badan (matter) yang kosekuensinya, hancurnya badan akan menghancurkan pula jiwa. Lihat, Muhammad U’ṡmân Najâtî, Al Dirâsât al Nafsâniyyah I’nda al U’lamâ al Muslimîn (Beirut: Dar al Syurῦq, 1993), h. 117-118. 85

dan tanpa perbuatan (اإلدراك مع الفعل) membedakan antara persepsi dengan perbuatan Untuk yang pertama, merupakan kegiatan persepsi dengan .(اإلدراك ال مع الفعل) melibatkan baik indera luar maupun dalam untuk menyusun bentuk dan ma’nâ yang dipersepsi dan menghubungkannya satu sama lain. Dikatakan persepsi dengan perbuatan karena kegiatan mempersepsi baik dari indera luar maupun dalam terjadi dan ma’nâ (صورة) secara bersamaan. Sedangkan yang kedua, munculnya bentuk tercetak begitu saja tanpa melalui perbuatan dari indera luar.56 Atau apabila dibagankan, sebagai berikut :

Gambar 4. Jiwa Menurut Ibn Sînâ bagi Ibn Sînâ Sasarannya (النهفس) Komponen Jiwa

dan ma’nâ (صورة) Daya Jiwa Menangkap bentuk objek

Elemen-elemen subjek Indera luar dan indera dalam

Proses subjek mempersepsi (menangkap) dengan dua aspek: perbuatan dan tanpa perbuatan essence) partikular dan/صورة) Perolehan jiwa Bentuk ma’nâ (konsep immateri) dari objek57

2. Basis Pengetahuan Inderawi Bagi Berkeley dan Ibn Sȋnȃ Secara umum, pembahasan mengenai isu epistemologi dalam filsafat modern berkaitan dengan tiga hal; pertama, yang menjadikan rasio sebagai sumber pengetahuan (innate ideas), kedua, yang fokus pada indera sebagai sumber pengetahuan (experience) dan ketiga, yang mensintesiskan keduanya dengan menjadikan struktur-struktur pikiran sebagai syarat terjadinya pengetahuan.58 Dalam

dan (اإلدراك مع الفعل) 56Selain itu juga, perbedaan antara persepsi dengan perbuatan yaitu bahwa persepsi dengan perbuatan mendapatkan (اإلدراك ال مع الفعل) tanpa perbuatan atas cara dari apa yang didapatkan yang telah terjadi bagi (مادهة) dari materi (صورة) bentuk sesuatu pada dirinya. Adapun persepsi tanpa perbuatan yaitu mendapatkan bentuk dari apa yang dimilikinya dari sisi sesuatu yang lain yang mana kekuaan untuk membentuk gambaran bertolak ke persepsi. Ibn Sînâ, an Najah..., h. 201. 57Sebagai afirmasi, dalam horizont Berkeley, jiwa (soul) merupakan suatu kemampuan untuk menemukan pengetahuan yang andal yang sesuai semangat zaman dalam horizont Ibn Sînâ, merupakan suatu (النقس) pencerahan abad 18. Adapun jiwa kemampuan untuk privilledge tertentu yang membedakanya dengan yang lain berdasarkan aspek kualitas diri. Selain itu juga, bagi Berkeley tidak membagi jiwa ke dalam tiga komponen fakultas sedangkan Ibn Sînâ melakukan pembagian tersebut.

58Ide-ide bawaan seperti pada Descartes yaitu ide mengenai Tuhan, kesempurnaan yang mencakup ide mengenai pikiran (res cogitant) dan keluasan (res extenta). Pengalaman seperti pada Locke, Berkeley dan Hume yang mencakup sensasi (sensation) dan impresi

86

penelitian ini, model yang demikian merupkan tendensi untuk menjadikan filsafat atau pengetahuan sebagai sistem. Karenanya, penting sebagai langkah awal untuk menguraikan basis pengetahuan inderawi bagi George Berkeley maupun dari Ibn Sȋnȃ. Untuk yang pertama basis pengetahuan inderawi bagi Berkeley yang meliputi penggunaan indera-indera, imajinasi, memori maupun abstraksi sebagai struktur proses persepsi. Adapun hasil dari persepsi dalam pandangan Berkeley ialah munculnya ide-ide (imprinted/formed an ideas) baik dengan bantuan memori dan imajinasi atau murni persepsi. Gabungan dari beberapa ide-ide parsial (warna, rasa, bau, bentuk) yang berasal dari persepsi yang beragam yang kesemuanya dihitung sebagai satu koleksi dari konsep nama pembeda (asosiasi).59 Mengafirmasi Garvey,60 menurut peneliti, proses tangkapan atau persepsi dari Berkeley langsung pada saat yang sama menghasilkan ide-ide yang dipahami oleh pikiran yang karenanya menjadi pemahaman dari subjek. Dalam pandangan Berkeley terdapat pembedaan yang bersifat konsekuensial dari basis pengetahuan inderawi antara lain, ide-ide abstrak dan materi (corporeal substance). Dikatakan demikian karena keberatan Berkeley atas adanya ide-ide yang mandiri (independent) dari pikiran subjek atau persisnya, keberatan atas pandangan filsafat pengetahuan John Locke (scientific modus) mengenai kualitas primer yang terpisah dari subjek yang memikirkannya (luas, bentuk dan gerak). Argumentasi Berkeley dengan adanya pemisahan yang tegas antara kualitas-kualitas pada objek (sensible qualities) dengan subjek, justru membuatnya menjadi ambigu karena sulit membayangkan suatu benda yang terpisah dari warnanya sedangkan keduanya merupakan ide-ide yang subjek pahami dengan pikiran terlepas dari eksistensinya. Kualitas luas yang eksis tanpa pikiran keduanya kecil dan luas, gerakan keduanya menjadi kencang dan lambat, yang mana kesemuanya pada saat yang bersamaan menjadi tidak ada.61 Selain itu juga, konsekuensi dari independensi ide-ide terlepas

(impression). Sedangkan struktur-struktur pikiran, berkaitan dengan filsafat transendental Kant. 59Misalnya, melalui persepsi penglihatan muncul ide mengenai warna merah, melalui persepsi sentuhan muncul ide mengenai permukaan halus dan bulat dari objek, melalui persepsi penciuman muncul ide mengenai aroma segar atau busuk, melalui persepsi pendengaran muncul ide mengenai suara renyah dan garing ketika digigit, yang dari kesemua gabungan dari ide-ide partikular tersebut merujuk pada satu penamaan buah, yaitu apel. Lihat, George Berkeley, A Tretise Concernig The Principles of Human Knowledge, edited by, Gutenberg (Reprint ebook on 29 june 2009), h. 11. 60Berkeley menolak ide yang tidak langsung dipahami oleh pikiran dengan melibatkan representasi atau dikotomi antara kualitas objek dengan subjek, yang baginya tidak masuk akal. Terdapat perbedaan substansial antara objek-objek pada dirinya beserta karakteristik alamiahnya dengan apa yang direpresentasikan oleh pikiran, atau ilustrasinya, antara foto (representasi menta)l dengan yang difoto (objek natural) merupakan sesuatu yang sangat berbeda sedangkan memahami langsung melalui ide, merupakan bagian dari objek alamiah tersebut. Lihat James Garvey dalam 20 Karya Terbesar Filsafat atau Twenty Greates of Philosophy pada bagian pembahasan mengenai George Berkeley. Pada saat yang berbeda, rute argumentasi Berkeley cenderung mengikuti tuntutan dari logika. 61Berkeley, Principles Knowledge..., h. 13.

87

dari pikiran subjek memunculkan dikotomi antara ide mengenai objek dan sesuatu (thing) mengenai objek.62 Indera-indera eksternal, fakultas imajinasi maupun abstraksi, menjadi sarana untuk mendapatkan ide-ide (ideas) mengenai objek. Ide-ide itu sendiri merupakan objek dari pengetahuan manusia dan wacana subjek, sedangkan term dari ide tidaklah tepat untuk menandai segala sesuatu yang diketahui atau memiliki berbagai pengertian mengenainya. Menurut peneliti dalam pandangan Berkeley, pikiran (mind), indera dan ide-ide menjadi satu rangkaian untuk menjelaskan bahwa tidak ada substansi materi (sensible qualities) yang memiliki ide-ide mandiri terlepas dari subjek.63 Ide-ide itu sendiri pada Berkeley merupakan hasil dari persepsi yang bersifat partikular baik ide mengenai warna, permukaan, suara, rasa maupun aroma dari suatu objek fisik. Namun dengan fakultas abstraksi, ide-ide yang partikular tadi dikumpulkan dan dibentuk menjadi sesuatu kesatuan yang disebut sebagai ide-ide abstrak yang terpisah dari unsur-unsur partikular. Yang menjadi poin penting yaitu, dari proses-proses baik indera-indera eksternal, fakultas imajinasi maupun abstraksi, menghasilkan dua macam ide, yaitu ide partikular (yang bercampur unsur materi) dan ide abstrak (yang mengikat unsur-unsur materi dan melepaskannya). Sifat (nature) dari persepsi dengan indera bagi Berkeley, tidak tergantung pada kehendak diri yang berarti bahwa, ide-ide yang muncul melalui persepsi terberi secara langsung ke pikiran tanpa filter dari kehendak untuk menolaknya. Bagi Berkeley juga, ide-ide yang dihasilkan melalui persepsi indera lebih kuat, hidup dan berbeda dengan apa yang dihasilkan dari imajinasi yang bersifat tetap, tertib dan koherensi dan tidak secara acak sebagai dampak atas kehendak manusia. Namun kehendak tersebut juga merupakan hubungan yang mengagumkan yang cukup membuktikan kebijaksanaan dan kemurahan hari dari pemiliknya. Karenanya, hukum alamiah menjadi penting yaitu bahwa pikiran tergantung pada tarikan dalam ide-ide yang dapat mengikuti ide-ide lainnya dalam suatu pikiran yang lumrah.64 Atau dalam pandangan yang umum dari ilmu bahasa, ide-ide mengarah pada ide-ide yang lainnya dalam sistem asosiasi untuk mencari keserupaan dengan ide-ide yang memiliki makna yang berdekatan. Bagi Berkeley, menjadikan indera-indera eksternal, imajinasi dan abstraksi sebagai basis bagi pengetahuan inderawi bukan berarti menegasikan peran dari pikiran, hanya saja porsi dan kedudukannya yang berbeda dari yang menganut paham bahwa rasio memiliki ide-ide bawaan di luar pengalaman inderawi. Dalam sains, objek pengalaman langsung dan tanda-tanda merupakan sesuatu hal universal dan demonstratif bagi penalaran manusia yang merujuk pada sesuatu. Berkeley memfungsikan pikiran sebagai pengenalan yang lebih baik atas beberapa bagian dari

62Perbedaan antara ide dan sesuatu (thing) secara teoritis menguatkan pandangan Berkeley mengenai objek langsung indera serta bahwa tidak ada sesuatu apapun yang luput atau eksis tanpa dipersepsi atau pikiran yang memahaminya. Misalnya, menyetir atau memasak merupakan pengalaman yang berhubungan dengan objek langsung indera (the immediate objects of sense) yang dipahami secara langsung oleh subjek. Lihat, Robert J. Fogelin, Berkeley and the Principles of Human Knowledge (London and New York: Routledge, 2001), h. 61. 63Berkeley, Principles Dialogue..., h. 63-64. 64Berkeley, Principles Dialogue..., h. 36.

88

objek inderwi seperti yang menawarkan lebih dahulu ke penjelasan, menemukan alasan lebih banyak dari yang terindera, atau memudahkan komprehensi dengan yang lain. Hal tersebut secara alami menuntun untuk menggantikan beberapa objek- objek sebagai yang lebih halus, sekejap atau hal yang sulit seklipun untuk membayangkannya.65 Menurut peneliti, hal tersebut bukan berarti Berkeley menerima prinsip-prinsip bahwa ide mendahului pengalaman, karena isi pikiran berkaitan erat dengan sensasi maupun persepsi inderawi. Namun, Berkeley tidak menegasikan peran dari pikiran untuk mengolah apa yang telah didapat dari pengalaman inderawi, hanya saja, data inderawi menjadi penting bagi pikiran untuk mengolahnya. Basis pengetahuan inderawi bagi Berkeley perlu dilihat sebagai hal yang menyasar dua hal, pertama relasi antara dunia dan pikiran serta mengenai ide-ide abstrak. Untuk hal yang pertama, berkaitan dengan sistem filsafat pengetahuan yang menegaskan dikotomi kualitas antara kualitas pada objek (independen from mind) dan kualitas pada subjek (dependen in mind).66 Sedangkan untuk yang kedua, menurut Fogelin, pada prinsipnya “rute” Berkeley yaitu tidak menolak ide-ide abstrak melainkan keberatan dengan proses pencapaiannya. Ide abstrak berkaitan dengan gabungan dari hal-hal partikular.67 Karenanya menurut peneliti, sebagai seorang filosof inggris (British philosopher), Berkeley cukup mengenal dan dekat dengan tradisi yang menekankan aspek penting dari pikiran untuk memproduksi ide- ide sekaligus keterpisahannya dengan badan (materi). Kritik Berkeley mengenai konsepsi “materi” pada sisi lain, berasal dari deskripsi materialis kuno seperti,Schoolmen, Descartes, Hobbes, Spinoza, Malebranche dan Locke.68 Karenanya, mencetak ide-ide menjadi kata kunci penting baik dengan jalan persepsi, imajinasi maupun abstraksi. Perbedaan antara ketiganya tidak terdapat pada hasilnya, melainkan pada proses awal sebagai titik-tolak. Pada tataran hasil, ketiganya sama-sama menghasilkan ide-ide sedangkan pada tataran proses, imajinasi berada pada wilayah ketergantungan pada keinginan sedangkan persepsi dan abstraksi, berada pada wilayah spirit (jiwa). Adapun ide-ide yang dibentuk dengan imajinasi, bersifat lemah dan kabur sedangkan ide-ide dengan yang dipersepsi merupakan sesuatu yang hidup dan jelas. Konsekuensi yang kemudian muncul yaitu pembedaaan antara sesuatu yang nyata (real things) dan sesuatu yang angan-angan (chimeras).69 Atau bila dibagankan sebagai berikut:

65Misalnya, mengimajinasikan sebelum merefleksikan, dan mempersepsi dengan indera sebelum mengimajinasikannya, dan seluruh indera penglihatan lebih jelas, berbeda, bervariasi, disepkati dan komprehensif George Berkeley, Alciphron, edited by David Berman (Routledge: London and New York, 1993), h. 138. 66David Berman, Berkeley and Irish Philosophy (Continuum: London-New York, 2005), h. 73. 67Lihat, Fogelin, dalam Berkeley and Human Knowledge..., h. 12. 68Berman, Berkeley Philosophy..., h. 74. 69Berkeley, Principles Dialogues..., h. 178.

89

Gambar 5. MengenaiProses Persepsi Filosofis-Empiris Berkeley Modal Target Input Output

Penglihatan

Pendengaran

Peraba Persepsi Konkret Ide-ide parsial partikular Penciuman

Imajinasi

Memori

Abstraksi Ide-ide abstrak

Menurut peneliti, mengafirmasi kritik umum terhadap epistemologi Barat, khususnya filosof Inggis yang dalam hal ini Berkeley, bahwa muncul kesan simplifikasi atau memukul rata bahwa segala hasil adalah ide-ide meski dari berbagai proses yang berbeda. Namun demikian, penekanan dari titik-tolak (berasal dari keinginn atau jiwa) dan karakternya (terang-jelas dan redup-jelas) tetap dapat dibedakan.Sedangkan apabila melihat dari perspektif ontologis, objek dari pikiran terbagi menjadi dua, yaitu suatu kenyataan dan suatu angan-angan, seperti bagan berikut:

Bagan 6. Dualisme Ontologis objek pikiran atau realitas Dualisme ontologis Objek pikiran Berkeley mengenai kenyataan dan angan

Modal Sumber Konsekuensi

Imajinasi Will (keinginan) Redup dan samar

Persepsi indera Spirit (jiwa) Terang dan jelas70

Untuk yang kedua, basis pengetahuan inderawi bagi Ibn Sȋnȃ yang meliputi seperti mata, telinga, hidung, lidah dan kulit (خارجي) penggunaan indera-indera luar estimasi ,(متخيلة ) imajinasi ,(متصورة) representasi (داخلي) dan indera-indera dalam

70Lihat Berkeley dalam Principles Knowledge

90

,sebagai struktur (proses) persepsi.71 Secara sederhana (متذكرة) dan memori (متوهمة) (أزواج) dari indera peraba, memiliki empat pasangan (محسوسات) objek inderawi antara lain: panas-dingin, lembab-kering, kasar-halus serta keras-lembut. Indera penciuman memiliki satu pasang yaitu aroma harum-busuk, indera perasa memiliki satu pasang yaitu rasa pahit-manis, indera pendengaran memiliki satu pasang yaitu suara keras-pelan serta indera penglihatan memiliki satu pasang, yaitu putih-hitam. Sedangkan yang kompleks, yaitu keadaan moderat antara kedua hal yaitu keabu- abuan dari putih dan hitam dan suam kuku dari panas dan dingin. Mengenai indera dapat diketahui secara umum yaitu dengan mempersepsi ,(اإلحساس البتطن) internal (المعانى الجزئية) form sensible) dan ma’nȃ partikular/صورالمحسوسات ) bentuk inderawi yang terdapat di dalam indera batin.72 Konsekuensinya, dengan indera luar mempersepsi bentuk sedangkan dengan indera dalm mempersepsi ma’nȃ yang luput dari panca indera.73 Adapun hasil dari persepsi dalam pandangan Ibn Sȋnȃ ialah munculnya yang melibatkan peran dari indera luar serta memiliki unsur materi (صورة) bentuk yang tidak melibatkan indera luar serta terbebas dari unsur materi (معنى) dan ma’nȃ dengan bantuan imajinasi. Umumnya, pembaca Ibn Sȋnȃ secara tegas membedakan antara fakultas milik tumbuhan, hewan dan manusia yang konsekuensinya juga terhadap paham pengetahuan yang ia anut. Namun di sisi lain, ketiganya tidak bersifat parsial-terputus melainkan holistik-kesinambungan bahwa karakteristik dari Dari .(إلدراك) dan persepsi (التحريك) fakultas manusia tetap memerlukan peran gerakan itu ada karena bersama sebagai objek fisik sedangkan (اجسام) sisi persepsi, fisik-fisik Karena itu, kegiatan mempersepsi .(د هراكة) berpisah sebagai subjek yang mempersepsi tidak akan terpisah dari fisik pada dirinya melainkan dengan fakultas yang termuat di dalamnya. Dengan hal itu juga, Ibn Sȋnȃ ingin mengafirmasi keberadaan dari fakultas jiwa.74 Menurut peneliti dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa persepsi bagi Ibn Sȋnȃ merupakan basis bagi pengetahuan inderawi dengan meng-highlight jiwa sebagai promotornya. Bebeda dengan Berkeley, Ibn sînâ memisahkan antara objek sensible yang mana kedua hal tersebut bagi (معقوالت) dan objek intelligible (محسوسات) Berkeley merupakan ide-ide (ideas) dan ide-ide abstrak (abstract ideas). Yang membedakan antara Ibn Sȋnȃ dengan Berkeley yaitu pada Ibn Sȋnȃ, terdapat pemisahan fakultas yang tegas antara keduanya yaitu fakultas hewani dan insani sedangkan pada Berkeley, tidak memisahkan secara tegas antara keduanya. Perbedaan keduanya mengarahkan pada kompleksitas filsafat Ibn Sȋnȃ, terlebih, ia

71Ibn Sina, Ahwȃl al Nafs..., h. 159-160 72Mus tafȃ Ghȃlib, Ibn Sȋnȃ, (Maktabah al Hilȃl: 1979), h. 131-135. dengan persepsi ma’nȃ yaitu bahwa (صورة) 73Perbedaan antara persepsi bentuk mempersepsi bentuk melalui indera luar dan dalam secara bersamaan yaitu indera luar terlebih dahulu lalu kemudian mengarah ke indera dalam sedangkan mempersepsi ma’nȃ, melalui batin dari apa-apa yang diinderaoleh indera luar tanpa dipersepsi oleh indera luar itu sendiri. Misalnya, seekor domba mempersepsi bentuk dari warna, postur dan gerak serigala, sedangkan pada saat yang berlainan, ia dapat mempersepsi ma’na permusuhan dari srigala yang tidak nampak pada indera luarnya. Penjelasan mengenai perbedaan tersebut, lihat, Ghȃlib, Ibn Sina..., h. 119. 74Ibn Sȋnȃ, Ahwȃl..., h. 151.

91

juga mengakomodir pengetahuan diri (self-knowledge) sebagai representasi yang berkaitan dengan kesadaran diri. Seluruh kognisi adalah milik subjek yang secara implisit sadar diri, yaitu subjek yang dapat selalu secara aktif menyadari dirinya dengan merenungkan pada aktivitas yang sangat kognitif. Namun pada sisi lain, kesadaran diri (self-awareness) secara diam-diam (tacit) memberikan subjektivitas untuk pengalaman.75 Dalam pandangan Ibn Sȋnȃ, terdapat pembedaan yang bersifat substansial yang memiliki konsekuensi bagi pengetahuan, baik inderawi maupun rasional. Dalam pengetahuan inderawi, Ibn Sȋnȃ menekankan peranan penting dari persepsi essence) pengetahuan yang mewajibkan/صورة) inderawi untuk menangkap bentuk pula bagi objek yang dipersepsi dengan subjek yang mempersepsi untuk hadir secara bersamaan. Sedangkan pada pengetahuan rasional, Ibn Sȋnȃ juga menekankan peran (essence/معقوالت) penting dari persepsi akal untuk menangkap bentuk-bentuk pengetahuan yang tidak mengharuskan bagi objek yang dipersepsi untuk hadir secara bersamaan dengan kegiatan subjek yang mempersepsi. Selain itu juga, jiwa manusia yang rasional muncul ke dalam eksistensi saat tubuh manusia, cocok untuk penerimaannya dan menjadi instrumennya terbentuk. Selain itu juga, ia muncul ke dalam eksistensi sebagai emanasi yang dikehendaki oleh kecerdasan celestial. Dalam pandangan tersebut, komposisi dari tubuh dan waktu ketika jiwa diciptakan membuatnya menjadi satu, namun setelah itu, sifat dari jiwa semakin terpisah yang membentuk watak uniknya tersendiri. Dengan demikian, jiwa rasional individual berbeda dengan beberapa jiwa lainnya yang mirip yang dikreasikan jiwa manusia rasional individual.76 Sifat (nature) dari pengetahuan dan kesenangan bagi Ibn Sȋnȃ bukan hanya relasi antara subjek-materi melainkan takdir yang menanti jiwa manusia setelah berpisah dari tubuh. Kesenangan intelektual sejati bukan untuk dalam kehidupan ini melainkan milik dari dimensi surgawi yang pada kenyataannya, sangat sempurna dan kuat bahwa tidak bisa mengalaminya selama masih hidup di bumi. Alasannya, seseorang dapat yakin pada kenyataan tapi tidak bisa merasakannya, seperti orang tuli yang tidak bisa membayangkan kenikmatan musik tetapi dapat diyakinkan mengenai itu. Lebih jauh lagi, bagi Ibn Sȋnȃ, seseorang yang membayangkan atau

75Seseorang menyadari dirinya, bersama dengan setiap keenangan dan rasa sakit, pengetahuan, kognisi, persepsi dan pertimbangan yang keluar dari dirinya sendiri setiap kali orang itu mempertimbangkan “kesatuan” dan aktivitasnya. Jika tidak demikian maka orang tersebut tidak akan sadar meliputi kesenangan atau apapun yang melebihi kesenangan itu. Namun faktanya, bahwa yang seseorang sadari adalah sesuatu yang ia ketahui melalui kesenangannya dan menikmati di dalam keenangannya, begitu juga dengan rasa sakit dan penderitaan. Lihat, Peter Adamson, “The Simplicity of Self-Knowledge After Avicenna,” Journal of Arabic Science and Philosophy, USA: Cambridge University Press, 21 August 2018. DOI: 10.1017/S0957423918000048. 76Meskipun terkait dengan tubuh partikular, jiwa tidak tertanam di dalamnya yang bersiat immateri dan tidak rusak dengan tubuh yang rusak yang terus eksis di akhirat, dihargai atau ihukum sesuai dengan perbuatannya elama di dunia. Lihat, Michael E. Marmura, “Some Questions Regarding Avicenna’s Theory of theTemporal Origination of The Human Rational Soul,” Joural of Arabic Science and Philosophy Vol. 18, USA: Cambridge University Press, 2008, h. 122. 92

lebih tepatnya, menempatkan keberadan kenikmatan intelektual dari rasa kecil yang dialami dalam kehidupan.77 Menurut peneliti, terdapat paradoks ketika terburu-buru memposisikan Ibn Sȋnȋ ke dalam paham pengetahuan tertentu dan menginginkan konsistensi dari gagasan mengenai paham pengetahuan yang Ibn Sȋnȃ usung. menjadi basis (اإلدراك الداخل) dan persepsi dalam (اإلدراك الخارج) Persepsi luar penting bagi pengetahuan inderawi menurut Ibn sȋnȃ yang membedakannya dengan penginderaan yang hanya menekankan salah-satu aspek indera saja. Mengutip Najȃtȋ, bagi Ibn Sina, keberadaan dari indera-indera batin merupakan kesempurnaan hidup dan kesempurnaan pengetahuan. Namun, pengetahuan yang diberikan indera luar tidak cukup untuk indera dalam memberikan kebutuhan materi yang lazim untuk menjalankan fungsi persepsi. Hal itu karena, setiap indera mempersepsi objek yang tertentu dan tidak dapat membedakan dengan objek (محسوسات) inderawinya inderawi yang lainnya. Agar pengetahuan dan tujuan kesempurnaan tercapai, maka penting untuk mengumpulkan objek-objek inderawi lainnya pada satu daya bersama Selain itu, yang .(الحس المشترك) sehingga dapat membedakannya, yaitu daya bersama tidak kalah pentingnya yaitu persepsi semua gambaran inderawi dalam hilangnya 78.(مصورة/خيال) objek inderawi itu sendiri, yaitu daya imajinasi Menurut peneliti, apa yang diproses oleh indera-indera dalam merupakan sesuatu yang luput dari materi meskipun masih berkaitan dengannya yang mana pada Berkeley, merupakan ide-ide (ideas) sedangkan pada Ibn Sȋnȃ, merupakan wilayah pengetahuan yang belum paripurna. Pengetahuan yang paripurna menurut Ibn Sina yaitu bertolak dari fungsi akal yang mempersepsi objek-objek rasional yang hanya ada pada manusia.79 (الكلية المجردة) bersifat universal abstrak (معقوالت) Dengan demikian, perbedaan dari basis pengetahuan inderawi bagi Berkeley dan Ibn Sina, pada tataran proses dan hasilsama namun, pemberian porsi dari lokalitas daya (faculty) yang berbeda sehingga menyebabkan dikotomi. Atau lebih eksplisitnya, bagi Berkeley tidak memisahkan lokalitas daya (faculty) dan karakteristik dari peruntukannya (elitisme) sedangkan pada Ibn Sȋnȃ, memisahkannya dan cenderung mengafirmasi elitisme. Apabila dibagankan seperti berikut:

77Kenikmatan intelektual sebagai konsekuensi dari pengetahuan yang berasal dari aktivitas jiwa karenanya bukan kondisi yang tersedia bagi jiwa manusia, melainkan sebagai suatu prospek. Namun pada sisi lain, karena hasrat untuk memperoleh kenikmatan intelektual bergantung pada persepsi bahwa jiwa memiliki kenikmatan itu, menurut, Ibn Sȋnȃ secara implisit menetapkan sikap elitsme tertentu, yaitu keinginan untuk mengetahui bukanlah menjadi sifat alami jiwa manusia melainkan bergantung pada persepsi mengenai kesenangan pengetahuan yang dapat diperoleh jiwa selama kehidupan di bumi. Artinya, tidak semuanya manusia secara alamiah berhasrat untuk mengetahui. Lihat, Olga Lizzini, “Avicenna: The Pleasure of Knowledge and the Quietude of the Soul,” Journal of Quaestio, 2015, h. 265-266. 78Menurut Ibn Sȋnȃ, proses mengingat, imajinasi, mimpi, dan mempersepsi semua (ادراك المحسوسات الخارجية) ma’nȃ parsial yang bersumber dari persepsi objek inderawi luar yang bukan proses rasional (إلدراك الحسى) .merupakan proses-proses dari persepsi inderawi yang mana proses tersebut terjadi pada hewan dan manusia. 79Najȃtȋ, al Dirȃsȃh al Nafsȃniyyah..., h. 128-129.

93

Gambar 7. Proses-Hasil Persepsi Inderawi Ibn Sînâ Modal Target Input Output

البصر & السمع

اللمس & الذوق صورة صور المحسوسات إلدراك الخارج الشمع

الحس المشترك

المص هورة & المتخيهلة معنى معانى من المحسوسات إلدراك الباطن الوهم

الذاكرة

Sedangkan apabila melihat dari perspektif ontologis, objek dari persepsi terbagi معانى( ma’nȃ inderawi (صور المحسوسات) menjadi dua, yaitu bentuk bentuk inderawi : atau apabila dibagankan sebagai berikut (المحسوسات

Gambar 8. Dualisme Ontologis Ibn Sînâ mengenai persepsi Dualisme ontologis (معنى) dan ma’na (صورة) Objek persepsi Ibn Sȋnȃ mengenai bentuk

Modal Sumber Konsekuensi

تص هور/Unsur materi (الحس) Persepsi bentuk Indera إدراك الصورة

/Tanpa unsur materi (المص هورة) Persepsi ma’nȃ Imajinasi الوهميهةabstrak/ 80 إدراك المعنى

3. Perbedaan Kualitas Primer-Sekunder Dengan Ṣûrah dan Ma’nâ Sub pembahasan ini bertujuan untuk mengidentifikasi lebih lanjut mengenai perbedaan-perbedaan dari proses persepsi Berkeley dan Ibn Sȋnȃ sebagai basis bagi pengetahuan inderawi. Hal itu menjadi penting dan pararel dengan salah satu bagian dari metodologi penelitian ini yang berkaitan dengan teknik analisis dari penelitian komparatif untuk mencari titik persamaan dan perbedaan. Baik persamaan maupun perbedaan bukan semata untuk mencari titik singgungnya sebagai suatu horizon

80Pengembangan dari kutipan U’stmȃn Najȃtȋ, dalam al Dirȃsȃt al Nafsȃniyyah.

94

pengarang melainkan suatu langkah awal untuk menjawab persoalan kontekstual yang meliputi horizon peneliti dalam penelitian disertasi ini. Hal tersebut penting sebagai suatu metode pembacaan dan pemahaman teks secara hermeneutis produktif atau untuk mencari titik temu terhadap pembacaan kekinian dalam rangka membentuk suatu pemahaman yang membekas bagi pembentukan pemahaman diri (bildung/to forming). Untuk yang pertama, yaitu konsepsi-konsepsi filosofis dari Berkeley yang meliputi dua hal yaitu kualitas-kualitas primer dan sekunder (primary and secondary qualities) serta ide-ide (ideas). Untuk memahami formulasi mengenai kualitas primer dan sekunder (primary and secondary qualities) pada Berkeley, tidak bisa terlepas dari pandangan Locke yang merupakan pandangan khasnya sebagai titik- tolak krtitik Berkeley. Menurut Fogelin, Berkeley memodifikasi formulasi filosofis Locke mengenai kualitas primer dan sekunder yang sejalan dengan semangat sains ilmiah untuk menjadi formulasi filosofis miliknya dengan karakteristik yang jauh berbeda.81 Dalam pandangan Locke, kedua kualitas tersebut terpisah seiring dengan status keberadaannya sedangkan dalam pandangan Berkeley, kedua kualitas tersebut menyatu seiring dengan status keberadaannya. Keterpisahan antara kualitas primer dari yang sekunder berdasarkan paham bahwa terdapat dua realitas yang berbeda dan bersifat dikotomis antara jiwa yang berpikir dengan tubuh yang berkeluasan. Jiwa yang berpikir merupakan satu entitas sedangkan tubuh yang berkeluasan merupakan entitas yang lainnya sebagai konsekuensi dari kedua perbedaan tersebut yang terpisah dengan jelas dan berbeda. Atau pikiran dengan tubuh tidak memiliki relevansi satu sama lain karena pikiran (rasio) bersifat nyata (clear and distincly ) sedangkan tubuh (indera) bersifat menipu.82 Kualitas-kualitas primer dan sekunder merupakan dua hal yang terdapat pada objek dan juga pada subjek. Misalnya, kualitas luas, gerak maupun berat pada sekuntum mawar sedangkan kualitas warna, bau maupun rasa kecut pada sekuntum mawar yang mana keduanya dalam pandangan Locke, merupakan dua hal yang terpisah (antara subek dengan objek) dan saling berbeda (satu dengan lainnya).83 Kualitas-kualitas tersebut bertolak dari pengalaman (experience) namun bukan berarti mengabaikan peran penting dari pikiran dalam konteks, porsi yang berbeda yaitu bukan sebagai tahap awal pengenalan melainkan untuk mengolah data inderawi. Dalam filsafat, kedua perbedaan tersebut yaitu berkaitan dengan konsepsi atau istilah antara apriori (tanpa didahului pengalaman) dan aposteriori (didahului oleh pengalaman). Pada perkembangan selanjutnya, kalangan filosof yang berpihak pada pengetahuan apriori yaitu berasal dari pengusung aliran rasionalisme adapun

81Lihat Fogelin dalam, Berkeley Human Knowledge. 82Nyata dalam arti bahwa terdapat gagasan-gagasan bawaan dalam pikiran (innate ideas), antara lain ide mengenai keluasan, Kesempurnaan. Lihat Descartes dalam, Meditation. 83Lihat John Locke dalam, An Essay Concerning Human Understanding

95

yang berpihak pada pengetahuan aposteriori yaitu berasal dari pengusung aliran empirisme.84 Perbedaan mengenai kualitas primer (primary qualities) dengan kualitas sekunder (secondary qualities) dapat dipahami dengan jernih pada konteks perbedaan antara materi dan pikiran. Dalam hal tersebut, pikiran merujuk pada persoalan matematis, yaitu yang mengafirmasi proses idealisasi sedangkan materi merujuk pada persoalan mekanistik, yaitu yang menjelaskan proses keteraturan benda-benda fisik. Proses dari idealisasi seperti menemukan suatu term umum dari suatu segitiga sedangkan proses mekanistik seperti persoalan praktis terhadap pemikiran mengenai hal-hal fisik yang menuntut bukti dari proses idealisasi. Persoalan mekanistik dan idealisasi merupakan bagian dari horizon perkembangan fisika Newtonian, yang khas perkembangan zaman abad 18.85 Atau dengan kata lain, proses idealisasi dan mekanisme merupakan persoalan metode sains yang berpihak pada penegasan dan pemisahan antara objek independen dan subjek dependen yang saling berjarak satu sama lain. Selain itu juga, terdapat kesamaan proses antara idealisasi dengan abstraksi yang hasilnya untuk “menyingkap” term universal dari hal yang parsial. Pengertian dari ide-ide (ideas) pada Berkeley dapat dimengerti sebagai sesuatu yang tercetak pada pikiran yang berasal dari pengalaman inderawi atau persepsi melalui daya jiwa atau spirit, yang karenanya bersifat immateril atau spiritual. Karena itu menurut Fogelin, Berkeley membedakan dua entitas yaitu entitas pikiran dan entitas gagasan yang ada di dalam pikiran, yang berarti bahwa berbagai entitas lainnya (entitas yang bukan roh atau gagasan) merupakan sesuatu yang bertentangan dengan dirinya sendiri atau isinya kosong. Hal tersebut berarti bahwa Berkeley tidak menegasikan sesuatu yang lainnya di dunia, yaitu pertama, yang berkaitan dengan sesuatu yang nyata (real things) seperti gunung, pohon maupun air yang berbeda dengan gagasan mengenai hal-hal yang nyata seperti gagasan mengenai gunung, pohon maupun air. Sedangkan yang kedua, merupakan dunia yang berisikan pikiran atau roh selain diri sendiri seperti orang lainnya maupun Tuhan yang merupakan titik pijakan filosofis Berkeley yang radikal subjektif yang meliputi dua hal, yaitu sesuatu yang nyata (real things) dan roh lainnya (other spirits). Atau seperti penegasan dari Berkeley sendiri, mengutip Fogelin, menurut Berkeley, bukan berarti merubah pikiran (things) menjadi ide-ide (ideas) melainkan ide-ide menjadi pikiran:

“I am not for changing things into ideas, but rather ideas into things” (Dialogues Between Hylas And Philonous/3/p. 244). 86

84Meskipun pada perkembangan lebih anjut, term apriori dan aposteriori kerap digunakan dalam persoalan mengenai proses pengetahuan atau epistemologi maupun filsafat ilmu 85Richard Brook, `Berkeley and the Primary Qualities: Idealization vs Abstraction,` Journal of Philosophia, Springer Science+Business Media, 6 October 2016, h. 1-7. DOI 10.1007/S11406-9778-8. 86Pembedaan penting antara ide-ide dengan pikiran dapat diilustrasikan dengan sederhana bahwa pikiran (things) berkaitan dengan “wadah” sedangkan ide-ide (ideas)

96

Persoalan yang kemudian muncul ketika membicarakan dua dikotomi antara pikiran (things) dan ide-ide (ideas) yaitu mengenai “sebab” kemunculan ide di- dalam pikiran. Mengenai sebab kemunculan ide merupakan kekhasan dari formulasi Locke yaitu sensasi yang menimbulkan ide-ide dalam pikiran ataupun sebagai sumber dari ide-ide itu sendiri berasal87, baik ide-ide sederhana (simple ideas) ataupun ide-ide rumit (complex ideas).88 Namun bagi Berkeley, otak sebagai sesuatu yang inderawi (sensible things) hanya eksis di dalam pikiran. Atau secara eksplisit, tidak ada ide-ide yang dihasilkan dari luar diri dan berdiri sendiri dari pikiran. Selain itu juga mengutip Russell, dalam dialogues between hylas philonous, Berkeley yang mewakili Philonous menyanggah eksistensi selain gagasan di luar diri. Misalnya eksistensi pohon yang karena tidak mengetahui sebab kemunculan, mendengarkan warna dan mencium sebab kemunculan suaranya, maka hal-hal yang dikatakan tadi merupakan ide-ide mengenai objek yang dipikirkan dan menjadi mustahil keberadaannya di luar pikiran. Argumentasi tersebut menurut Russell kuat di satu sisi akan tetapi tidak bisa menghilangkan sisi absurditasnya yang cenderung mempertahankan argumentasi logis ketimbang empiris. Percampuran antara argumentasi logis dan empiris menunjukan suatu kelemahan89 atau dengan kata lain, terdapat celah lemah bagi Berkeley dalam mempertahankan sistem epistemologinya yang berbasis persepsi inderawi. Memahami kualitas primer dan sekunder (primary and secondary qualities) maupun ide-ide (ideas) bagi Berkeey tidak bisa lepas dari sumber pemahaman dari ide-ide yang dipersepsi (to be is to be perceived/esse est percipi) oleh subjek. Konsekuensinya, tidak ada ide-ide (ideas) atau gagasan yang terlepas dan berdiri di luar dari pemahaman subjek karena segala sesuatu yang dipahami merupakan entitas dari ide-ide atau gagasan itu sendiri. Misalnya, tidak ada ide mengenai keluasan (res extenta/body) bangunan monas yang terlepas dari pikiran (res cogitant) arsitektur perancangnya. Atau lebih radikal lagi, monas sebagai suatu bangunan yang berkeluasan hanyalah pengejawantahan (manifestasi) dari ide-ide arsitektur yang berkaitan dengan “isinya” yang mana keduanya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Atau untuk lebih jelasnya, lihat Fogelin, Principles Human Knowledge..., h. 48. 87Lihat Samuel Enoch Stumpf and James Fieser dalam Socrates to Sartre and Beyond (Americn and New York: Mc Graw Hill, 2008) h. 232 88Contoh dari ide-ide sederhana yaitu sensasi yang dihasilkan dari pengalaman memakan apel yang berwarna merah, berbentuk bulat, suarah renyah dan memiliki rasa manis. Ide-ide sederhana tersebut bersifat parsial dan konkrit. Sedangkan contoh dari ide-ide rumit yaitu sensasi yang dikombinasikan dengan abstraksi dari pengalaman-pengalaman memakan buah apel lainnya sehingga menghasilkan ide mengenai kelezatan, kandungan vitamin (komposisi) maupun kebermanfaatannya bagi tubuh yang dihasilkan dari memakan buah apel. 89Kelemahan dari kombinasi antara argumentasi logis dengan empiris karena jika argumen logisnya lebih kuat atau valid maka akan menjadikan argumentasi empiris bersifat berlebihan (superfluous). Misalnya, suatu argumentasi yang menyatakan bahwa tidak ada lapangan di kota Jakarta yang berbentuk bundar karena lapangan menuntut suatu bentuk yang proporsional namun argumentasi tersebut tanpa di dasari atas pengalaman atau fakta. Namun apabia menlak argumentasi logisnya, maka argumentasi empirisnya perlu dipertimbangkan berdasarkan aspek manfaatnya. Lihat, Bertrand Russell, History of Western Philosophy, (London: Routledge, 1994), h. 626-628.

97

merancangnya yang karenanya mengikuti perspektif Berkeley, monas dapat dipersepsi dan hanyalah ide-ide yang dipahami semata. Namun bukan berarti Berkeley mengingkari entitas materi, hanya saja apa yang dipersepsi dari bangunan monas misalnya, hanyalah sifat-sifat atau kualitas-kualitasnya semata dan bukan materinya. Lebih radikal lagi, sifat-sifat atau kualitas-kualitas yang merupakan suatu entitas immateri atau ide-ide (ideas) bukanlah materi itu sendiri, meskipun sensasi dari materi merupakan “sumber” atau “penyebab” dari munculnya ide-ide. Karenanya, sesuatu yang bersifat immateri tidaklah berdiri sendiri secara eksternal dan independen di luar diri, dari subjek yang memahaminya secara internal dan dependen.90 Pemahaman atau persepsi mengenai objek beserta proses serta konsekuensi hasil yang diperoleh merupakan salah satu cara untuk menelusuri pandangan filosofis Berkeley. Sebagai ilustrasi, terdapat suatu objek penanak nasi berwarna merah dan pantulannya pada lantai yang bening bersih sehingga dapat memantulkan bayangan objek dengan sangat maksimal. Bayangan objek yang terpantul pada lantai memantulkan bentuk dari penanak nasi yang berwarna merah tersebut namun lantai tersebut tidak serta merta dapat berubah menjadi penanak nasi yang berwarna merah pada saat yang sama. Ilustrasi tersebut menegaskan apa yang dinyatakan Aristoteles bahwa pada saat proses memperepsi, yang ditangkap indera hanyalah bentuk tanpa materinya.91 Pada perspektif Locke,bayangan dari penanak yang terpantul pada lantai merupakan contoh dari dua pembedaan antara kualitas-kualitas pada benda yang tidak tergantung pada subjek (independent) dan kualitas-kualitas pada subjek yang tergantung (dependent) pada persepsi subjek, yang saling terpisah. Sedangkan pada perspektif Berkeley, bayangan dari penanak yang terpantul pada lantai hanya dapat dipahami atau dipersepsi oleh subjek yang karenanya hanyalah kualitas- kualitas subjek semata secara integral. Dari ketiga varian antara Aristoteles, Locke maupun Berkeley, ketiganya memiliki titik persamaan yaitu pikiran (rasio/things) merupakan sesuatu yang pasif yang hanya menerima apa-apa yang terberi oleh indera. Hal itu mengafirmasi mengenai persepsi objek beserta konsekuensi yang dihasilkannya Sedangkan untuk yang kedua mengenai konsepsi-konsepsi filosofis dari Ibn yang (معنى) form) dan ma’nâ/صورة) Sȋnȃ yang meliputi dua hal yaitu aspek bentuk merupakan hal penting untuk memahami epistemologi Ibn Sînâ.92 Menurut Ibn Sînâ, segala tindakan persepsi mengambil bentuk dari apa yang dipersepsinya karena materi mengambil bentuknya yang dimurnikan dari materi dengan pemurnian yang muncul (الصورة المادية) tertentu yang berbeda-beda tingkatannya. Bentuk materi dan sesuatu tidak (أحوال) disebabkan oleh materi merupakan kondisi-kondisi yang (النزع) memiliki materi pada dirinya dari sisi bentuk. Terkadang pelepasan

90Penjelasan lebih lanjut, dapat dilihat pada Bertrand Russell dalam history of western philosophy. 91Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius), bab mengenai pembahasan pengetahuan inderawi menurut Aristoteles. terjemahan lainnya dari Farlur Rahman ,معنى dan صورة 92Mengenai kedua term معنى yaitu form melalui tindakan persepsi indera-indera luar sedangkan untuk صورة untuk yaitu intention melalui tindakan persepsi indera-indera dalam (inner soul). Lihat Fazlur Rahman dalam, Avicenna’s Psychology (Westport: Hyperion Press, 1981), h. 30.

98

demikian dengan cara seluruh atau sebagiannya atau menjadi pelepasan yang sempurna, yaitu dengan memurnikannya dari materi atau dari tambahan dari sisi yang dipersepsi indera-indera eksternal (الصورة) materi.93 Secara eksplisit, bentuk dalam pandangan Ibn Sînâ, bersifat immateril namun tetap memiliki unsur-unsur materil. Asumsinya, sesuatu yang berasal dari materi melibatkan pula unsur materi di dalamnya sebagai hasil. merupakan output dari proses persepsi Ibn (معنى) dan ma’nâ (صورة) Ṣûrah Sînâ untuk menjelaskan formulasi dari pengetahuan inderawi. Proses dari persepsi dalam pandangan Ibn Sînâ terbagi menjadi dua tahap, yaitu persepsi dengan alat ,(yang mana dengan alat (indera-indera (اإلدراك ال با الفعل) dan tanpa alat (اإلدراك با الفعل) .(معنى) sedangkan tanpa alat menangkap bentuk (صورة) menangkap bentuk yaitu keduanya menangkap bentuk (معنى) dan ma’nâ (صورة) Persamaan antara ṣûrah yang saling berhubungan satu dengan (العرض) bersama aksidennya (المادة) dari materi yang lainnya. Apabila hubungan keduanya hilang maka batal juga proses pengambilan bentuknya karena pengambilan bentuk dari materi menyertakan juga apabila (الصورة) seluruh aksidennya. Tidak mungkin untuk mempertahankan bentuk hilang yang justru menunjukan bahwa proses persepsi tersebut (المادة) materinya Karena itu, dalam proses mempersepsi subjek tetap .(ال محكما) tidak berjalan agar bentuk tersebut ada pada materi.94 (المادة) memerlukan kehadiran dari materi tetap bertolak dari materi dan (الصورة) Menurut peneliti, pengambilan bentuk berkaitan secara dekat dengan unsur-unsur yang menyertainya. Sedangkan adalah bahwa dalam proses mempersepsi, subjek (معنى) perbedaannya dengan ma’nâ mengambil bentuk tanpa memerlukan materinya.95 Yang menarik yaitu pembagian serta pembedaan proses dari persepsi itu sendiri yang melibatkan indera-indera eksternal maupun indera-indera internal yang ditafsirkan dengan cara berbeda menjadi persepsi primer dan persepsi sekunder (primary and secondary perception) oleh Fazlur Rahman. Hal tersebut sekilas “menyiratkan” keterhubungannya dengan pandangan dari Locke dan menjadi penting untuk mengelaborasinya secara proporsional. Sejalan dengan asumsi Gutas bahwa terdapat keterkaitan secara implisit antara Locke dengaan Ibn Sînâ dalam hal formulasi epistemologis.96 Asumsinya, muncul dikotomi ekstrim antara hal-hal yang

93Misalnya, bentuk kemanusiaan dn esensi dari manusia yang merupakan satu sifat yang mana di dalamnnya berserikat semua individu-individu dari spesies yang bersangkutan, yakni manusia pada saat yag sama namun dibatasi oleh sesuatu. Tono sebagai ilustrasi sebagai bagian dari spesies manusia dalam siklus reproduksi namun ia tidak memiliki sifat kemanusiaan karena jika ia memilikinya dalam siklus reproduksi, maka terdapat manusia mencakup tiap-tiap yang lainnya juga dalam sisi bilangan. Dengan kata lain, tesis dari Ibn yang juga terdapat (العرض) Sînâ tersebut mengafirmasi kemanusiaan Tono sebagai aksiden (المادة) dari sisi materi (الصورة النفساتية) pada Tini yang muncul dari bentuk kemanusiaannya yaitu banyak dan terbagi. Lihat, Ibn Sinâ dalam Ahwâl al Nafs..., h. 69. 94Ibn Sînâ, Ahwâl al Nafs..., h. 70 95Atau dengan kata lain,perbedaan tersebut berdasarkan kualitas yang dihasilkannya -bersifat imateril non (معنى) bersifat immateril inderawi sedangkan ma’nâ (صورة) yaitu ṣûrah inderawi. 96Lihat Dimitri Gutas, The Empiricism of Avicenna Journal of Oriens, Leiden, 2012, h. 394. 99

/dan yang internal (secondary qualities (اإلدراك الخارج /eksternal (primary qualities yang saling terpisah. Misalnya, kualitas-kualitas primer dan sekunder (اإلدراك الداخل yang terpisah antara diri dan objek bagi Locke dengan persepsi luar dan dalam yang terpisah juga antara diri (soul/internal) dan indera-indera (senses/eksternal) bagi Ibn Sînâ. Atau seperti penegasan dari Gutas, bagi Ibn Sînâ, indera yang nyata bagi untuk memproses dan الحس المشترك proses mempersepsi ialah indera bersama atau mengolah data mentah dari indera eksternal.97 dapat dipahami dengan (معنى) dan ma’nâ (صورة) Perbedaan mengenai ṣûrah jernih pada konteks perbedaan sebagai proses persepsi dengan penggunaan indera dan penggunaan indera tanpa menghadirkannya (جسم/serta menghadirkannya (materi Secara implisit, hal tersebut menjelaskan bahwa peranan pikiran hanya .(جسم/materi) bersifat pasif yakni menerima data-data indera yang diterima dari proses persepsi (receptor). Atau menurut Najâtî, Ibn Sînâ menyusun daya jiwa persepsi berdasarkan Karena indera mengambil bentuk .(تج ِّهرد عن المادة) tingkatan pemurniannya dari materi dan dengan terjadinya (اللواحق) dari materi bersamaan dengan keterkaitannya penisbatan antara bentuk dan materi. Pada konteks tersebut, daya dari jiwa persepsi merupakan bagian dari daya pesepsi inderawi dengan menjalankan fungsi penginderaan dan persepsi inderawi. Persepsi yaitu penerimaan subjek perceived) sedangkan penginderaan/المدرك) perceiver) bentuk yang dipersepsi/المدرك) 98.(المحسوس) bentuk dari yang diindera (الحاسة) adalah penerimaan daya inderawi Atau menurut peneliti secara epistemologis, penginderaan merupakan term lain dari sensasi karena berkaitan dengan proses menangkap bentuk inderawi berdasarkan indera eksternal semata. Adapun mengenai ma’nâ, dapat dipahami sebagai bagian (output) dari yang menangkap bentuk dan (/اإلدرا الداخل) operasionalisasi dari indera-indera dalam .(محضور) mengolahnya tanpa melibatkan materinya kembali untuk hadir Misalnya,bentuk-bentuk yang telah diterima dari indera-indera luar, yang kemudian disimpan oleh indera bersama tanpa perlu melibatkan kembali indera-indera luar tersebut. Setelah melepaskan keterikatan bentuk-bentuk dari materinya tanpa perlu melibatkan kembali peranan indera-indera, bentuk-bentuk tersebut dapat dipisah (disusun) atau disatukan satu sama lainnya meskipun tidak terdapat relevansinya Fakultas yang berperan (القوى المتخيِّهلة) pada realitas atau tingkatan dari daya imajinasi (معنى) penting untuk “menghadirkan” bentuk yang terlepas dari proses penginderaan yaitu daya yang melampaui tingkatan dari ,(القوى الوهمية) adalah fakultas estimasi abstraksi) karena fakultas/التجريد) daya sebelumnya dalam hal pemurniaannya yang sebenarnya bukanlah bersifat (المعانى) mendapatkan ma’nâ (الوهم) estimasi berasal dari materi (bentuk, warna, penetapan ,(عرض) materi meskipun aksidennya 99.(جسم) dan sebagainya merupakan hal yang berkaitan dengan fisik

97Gutas, Avicenna, h. 398. yang (المحسوس باالقوة) 98Karena itu, daya inderawi seperti objek inderawi potensial mana apabila daya inderawi terpengaruh olehnya, maka terjadi perubahan dari potensial ke aktual, atau serupa dengannya secara aktual. U’ṡmân najâtî, al Dirâsâh al Nafsâniyyah, h. 122-123. ,(الشر) kejahatan ,(الخير) mempersepsi kebaikan (الوهم) 99Misalnya, daya estimasi dan seterusnya sebagai hal-hal yang bersifat imateri (المخالف) pelanggaran-(الموافق) ketaatan .meskipun aksidennya (bertitik tolak dari kasus) berbentuk atau berasal dari materi (غير مادية)

100

(sebagai prodak hasil (output (المعنى) dan ma’nâ (الصورة) Karenanya, bentuk dapat dibedakan berdasarkan prosesnya sebagai bagian dari aktivitas persepsi yakni mempersepsi bentuk yang sama-sama bersifat imateril namun dengan titik-tolak Meskipun .(ال من الجسم) atau tidak (من الجسم) yang berbeda, yaitu bertolak dari materi akal sifatnya pasif dalam proses mempersepsi secara inderawi, namun bukan berarti akal tidak memainkan peranannya yaitu sebagai “sebagai wadah” konseptual dari objek-objek inderawi. Persyaratan “mutlak” untuk terjadinya persepsi inderawi yaitu kehadiran dari objek-objek inderawi tersebut misalnya, mempersepsi dengan mata menuntun kehadiran objek yang dapat dilihat. Begitu juga halnya dengan persepsi sentuhan yang menuntut hadirnya objek eksternal untuk disentu yang karenanya persepsi inderawi terjadi ketika objek ril dapat dipersepsi.100. Atau apabila dibaganan antara keduanya sebagai berikut :

Gambar 9. Komparasi Isi Pengetahuan Model Persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ Berkeley Kualitas primer Kualitas subjek Reduktif parsial & sekunder

Pemahaman mengenai Ide-ide yang dipikirkan

Persepsi (الصورة/Perception)

Pemahaman mengenai (محسوسات) objek inderawi

Ibn Sînâ Ṣûrah Tanpa alat dan dengan alat Reduktif holistik & ma’nâ

(الصورة/dengan bentuk (form (المادة/Sedangkan keterkaitan antara materi (matter merupakan doktrin yang khas dari Aristoteles mengenai hylomorphism, yaitu yang melihat bahwa setiap individu konkret adalah dalam arti tertentu merupakan “kombinasi” atau tersusun dari keduanya. Namun berdasarkan sains modern, mengafirmasi keberadaan hal-hal konkret individu yang tanpa materi (matterless)

mempersepsi hal-hal yang imateri yag bertolak dari (الوهم) Dengan kata lain, daya estimasi materi. Najâtî, al Dirâsâh al Nafsâniyyah, h. 140. 100Ruth Garrett Millikan, On Clear And Confused Idea An Essay About Substance Conceps (New York: Cambridge University Press, 2004), p. 110-111.

101

dalam pengertian bahwa tidak memiliki materi proksimal (proximate matter).101 Namun demikian hemat penulis, bukan berarti menegasikan “relasi-relasi” antar materi yang tidak teratur khususnya pada fisika kontemporer

C. Bildung Serta Konsekuensi Epistemologi Berkeley dan Ibn Sînâ 1. Kriteria Kebenaran Dalam Pengetahuan Inderawi Antara Polarisasi Subjektivisme dan Objektivisme Pada sub bab akhir ini, peneliti akan mengelaborasi aspek penting dari penafsiran hermeneutik Gadamer yaitu bildung dengan mempertimbangan horizon peneliti dalam hal perubahan paradigma102 dari fisika mekanistik (Newtownian) ke model fisika non-mekanistik (new science). Hal itu untuk melihat perubahan paradigma yang juga ikut mempengaruhi cara pandang filosofis tertentu dalam perkembangan filsafat. Dalam diskursus filsafat ilmu, upaya untuk mempertahankan rasionalitas sains tidak valid dari bentuk-bentuk penyelidikan lainnya, pada saat yang sama, sangat kritis pada praktek kontemporer dari beberapa atau semua sains dan cukup skeptis terhadap teori ilmiah tertentu. Beberapa orang yang memiliki laporan mengenai sains ketika sedang dikonstruksi secara benar, mampu untuk melakukan kritik tertentu terhadap komunitas ilmiah lainnya yang pada dasarnya berprinsip. Misalnya, menjadi masuk akal bahwa pertukaran gagasan dan informai secara cuma-cuma lintas kelompok ilmiah menjadi ciri utama dari sains yang baik. Karenanya, jika kepentingan komersial sponsor dari komunitas ilmiah mengganggu kebebasan para saintis untuk saling berkomunikasi, hal tersebut dapat dianggap sebagai ketidakilmiahan (unscientific).103 Menurut penulis, paradigma yang

101Dalam arti bahwa, individu-individu konkret sebagai partikel-partikel dasar dalam fisika modern yang dipahami tidak tersusun dari apapun (not composed of anything whatever). Namun demikian dalam konteks yang lebih luas, partikel-partikel tersebut sah juga dipahami sebagai bentuk substansial (substansial form) yang mana setiap partikel tersebut dapat konsisten dengan pemahaman bentuk substansial itu. Misalnya, suatu elektron tertentu dapat hanya diambil untuk menjadi contoh tertentu dari universal substansial (menjadi) elektron, atau terdapat relasi dengan partikel-partikel fundamental lainnya. Lihat, E.J, Lowe, The Possibility of Metaphysics Substance, Identity and Time (New York: Oxford Clarendon Press, 1998), p.199. 102Istilah perubahan atau pergeseran paradigma, merupakan istilah dalam diskursus filsafat ilmu yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn mengenai aturan yang dimainkan serta karakteristik secara sosiologis dari berbagai komunitas sains. Atau dengan kata lain, teori tersebut ingin melihat situasi historis dari sains.Gambaran Kuhn mengenai progresitas sains dapat diringkas secara skematik sebagai berikut :

“Pre-science – Normal science – Crisis – Revolution – New normal science – New crisis”

Pergantian ke paradigma baru (the new paradigm) menjanjikan sesuatu kesulitan yang tak teratasi yang mengarahkan ke tatanan sains baru (new normal science) sampai mengarah pada permasalahan serius dan krisis baru (a new crisis) diikuti dengan hasil revolusi baru (a new revolution). Lihat, Alan Chalmers dalam “What Is This Thing Called Science New and Extended” (Sydney: University of Sydney, 2012), h. 88-89. 103James Ladyman, Understanding Philosophy of Science (London and New York: Routledge, 2002), h. 118.

102

demikian dapat juga tergolong dari upaya dari para filosof yang berupaya untuk membangun sistem pengetahuan secara otonom dan terisolasi dari sistem pengetahuan lainnya. Terkait dengan bildung, baik horizon Berkeley dan Ibn Sînâ (teks) maupun horizon peneliti (pembaca), kedua-duanya dibaca dan berpihak kepada upaya untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi sebagai suatu sistem (knowledge as system). Karenanya upaya penafsiran teks yang demikian memposisikan pengetahuan sebagai sistem atau “produk” penting yang menghasilkan konsekuensi bagi objektivisme dan subjektivisme dalam kebenaran pengetahuan. Dalam konteks filsafat, pengetahuan tidak pernah terlepas seutuhnya dari bayang-bayang spekulasi namun, bukan berarti bahwa spekulasi itu pengetahuan melainkan pengganti yang “suram” untuk itu yang sedikit lebih baik daripada melempar koin. Justru pikiran yang serius adalah pengetahuan dan objek pengetahuan adalah kebenaran seputar apa ini (what is) bukannya apa yang mungkin (what may be), pernyataan yang sesuai dengan cara dari dunia ini (the way the world is).104 Namun dalam konteks filsafat menurut peneliti, tidak bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan spekulatif (hipotetis) untuk menuju suatu pengetahuan mendasar (melepaskan mitos). Selain itu juga, perlu dibedakan antara spekulasi dengan pertimbangan dan spekulasi tanpa pertimbangan yang mana untuk yang pertama, berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mengenai realitas sebagai titik-tolaknya sedangkan untuk yang kedua merupakan sikap yang berkaitan dengan peruntukan nasib semata. Untuk membangun suatu sistem pengetahuan inderawi yang ketat (rigour), memerlukan penetapan kriteria kebenaran yang mengarah pada polarisasi antara objektivitas dan subjektivitas. Objektivitas terbagi menjadi dua pandangan pertama, pandangan mengenai norma-norma epistemik adapun yang kedua, mengenai justifikasi epistemik. Objektif dalam hal norma-norma epistemik yaitu percaya bahwa beberapa norma memiliki kondisi penerapan yang objektif. Objektif dalam hal justifikasi epistemik yaitu percaya bahwa justifikasi tergantung pada kondisi tujuan tertentu diperoleh. Misalnya, objektif mengenai norma-norma epistemik mengharuskan seseorang menolong orang yang mengalami kecelakaan di jalan raya karena kewajiban/keharusan moral dari yang bersangkutan (imperatif). Adapun objektif mengenai justifikasi epistemik misalnya, menolong teman yang kesusahan dalam hal ekonomi secara objektif memang kenyataannya demikian namun tidak diharuskan dan tidak dibenarkan pula untuk percaya meskipun indikator kesusahannya terpenuhi.105 Dalam konteks objektif sebagai sistem pengetahuan, menurut peneliti tidak semata-mata berdasarkan objeknya karena norma dan justifikasi berkaitan erat dengan keyakinan tertentu dari subjek (atau dikotomi antara pengetahuan dan asumsi).

104Filsafat pada permulaannya, mencoba untuk mengatasi persoalan pengetahuan untuk membantu umat manusia untuk mengatasi takhayul dan berbagai jenis perkiraan yang meragukan, terkait dengan mitologi-mitologi Yunani kuno yang diperiksa secara rasional (rational scrutiny). Hal tersebut yang merangsang suatu duskursus lanjutan sebagai suatu penghargaan yang krusial. Lihat, Paul Fairfield dalam, Death: A Philosohic Inquiry (Londong and New York: Routledge, 2015), h. 118. 105Clayton Littlejohn, “Objectivism and Subjectivism in Epistemology,” Journal Durham University Library, 2018, h. 142. DOI: 10.1017/9781316818992.009. 103

Dalam konteks peristiwa konkrit (data empiris), persoalan objektivisme terkait dengan konsekuensi-konsekuensi objektif yang dipilih berdasarkan suatu peristiwa aktual. Konsekuensi-konsekuensi objektif tersebut dapat disebut dengan istilah objective consequentialism, yaitu suatu tindakan yang tepat adalah tindakan yang memiliki konsekuensi terbaik. Tindakan yang relevan karena itu hanyalah rangkaian dari tindakan yang mungkin dilakukan subjek (agen). Yang dikatakan sebagai objektivisme menjadi benar tergantung pada apa yang akan benar-benar terjadi (what will actually happen), yaitu mengandaikan kebenaran yang bertolak dari objek.106 Menurut peneliti, objektivisme pengetahuan inderawi mengafirmasi faktor relasi antara subjek dengan objek namun dengan mempertimbangkan atau berpihak pada objek itu sendiri (situasi objektif/fakta objektif dan sebagainya). Meskipun melibatkan subjek, namun penekananya tetap mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan objek. Sedangkan mengenai persoalan subjektivisme, lebih cenderung terhadap pertimbangan-pertimbangan subjektif yang dipilih berdasarkan peristiwa aktual. Atau asumsinya yaitu berdasarkan gagasan bahwa kebenaran berhubungan dengan sudut pandang subjek (agent) disebut dengan istilah “subjective consequentialism,” yaitu tindakan yang benar adalah salah satu yang subjek percaya yang diperlukan dengan konsekuensi-konsekuensi. Dengan kata lain, subjective consequentialism merupakan bentuk dari teori relatif subjektivisme, yaitu melakukan apa yang benar secara subjektif ketika melakukan apa yang dipercaya sebagai hal yang benar. Atau secara ekstrim, seseorang berpikir melakukan sesuatu berdasarkan apa yang pikirannya katakan namun bukanlah merupakan tindakan yang benar, betapapun tulusnya keyakinannya bahwa itu merupakan hal yang benar untuk dilakukan. 107 Atau dengan kata lain, ukuran kebenaran pengetahuan inderawi secara subjektif yaitu tindakan dari subjek itu sendiri. Pada persoalan yang lainnya polarisasi antara objektivisme dan subjektivitas pengetahuan berkaitan dengan kajian diskursus filosofis ilmu-ilmu sosial (social science). Konteksnya yaitu objektivisme dan subjektivime sebagai upaya mengkritisi metode sains sebagai dasarnya yang berkaitan dengan proses untuk menafsirkan realitas. Misalnya, objektivisme cenderung berkaitan dengan metode ilmu-ilmu alam sedangkan subjektivisme berkaitan dengan metode ilmu-ilmu sosial meskipun pada awal perkembangannya, terdapat kecenderungan metodologis untuk “memaksakan” menerapkan metode ilmu alam atas ilmu sosial.108 Persoalan atau klaim objektivisme terkait dengan metode yang digunakan dalam disiplin ilmu-ilmu

106Elinor Mason, “Objectivism, Subjectivism and Prospectivism,” Journal of Australian Catholic University, 2017, h. 178. DOI: 10.1017/CCO9781139096737.010. 107Mason, objektivism, subjectivism..., h. 180. 108Upaya untuk memaksakan metode ilmu alam (hard science) atas ilmu sosial (soft science) bisa dikatakan sebagai kekerasan metodologis yang berhasrat untuk menyeragamkan berbagai macam realitas ke dalam satu metode tertentu, yaitu positivisme. Seperti yang umumnya diketahui, hasrat yang demikian dimulai dalam bidang sosiologi yang dipelopori oleh August Comte yang diafirmasi oleh kelompok Wina dalam bidang bahasa (analitik) yang pada perkembangan selanjutnya menghadapi titik buntu dengan menyadari aspek permainan bahasa (language games) seperti halnya bidak catur yang memiliki aturan operasionalnya masing-masing, teori picture dari Ludwig Wittgeinstein.

104

alam yaitu eklären (explanation). Adapun persoalan atas klaim subjektivisme yaitu terkait dengan metode verstehen (understanidng) pada disiplin ilmu-ilmu sosial. Persoalan subjektivisme dalam konteks tersebut, masih bersifat samar-samar (vague) karena berdasarkan pilihan-pilihan yang dianggap benar oleh para ilmuan sosial, terutama yang concern pada introspeksi dan pendukung perilaku (behaviorism) yang dikritisi legitimasinya sebagai data. Titik singgungnya yaitu bahwa meneliti perilaku intersubjektif dianggap tidak menyingkap seluruh “kekayaan nuansanya” sebagai fenomena sosial.109 Sedangkan, polarisasi dari objektivisme dan subjektivisme lainnya yaitu berkenaan dengan persepsi sebagai pengetahuan inderawi, terutama dalam filsafat pengetahuan (epistemologi) Berkeley dan Ibn Sînâ. Berkaitan dengan objektivisme dan subjektivisme dalam persepsi, dapat dimengerti melalui perbedaan proses antara yang berifat internal dan eksternal yang juga merupakan persoalan epistemik. Internalisme epistemik adalah pandangan bahwa status epistemik seorang pemikir tergantung sepenuhnya pada hal-hal “yang internal” sedangkan eksternalisme epistemik yaitu bahwa seorang pemikir yang sepenuhnya pada sesuatu “yang eksternal” bagi si pemikir. Atau dengan kata lain, bagi internalisme sepenuhnya berada dalam diri (pikiran/mental) sedangkan bagi eksternalisme sepenuhnya mengandalkan di luar diri (objek konkret/lingkungan). Sedangkan hubungan antara keduanya bersifat saling menegasikan satu sama lainnya (negatif) karena perbedaan penekanannya masing-masing. Namun apabila mengingat kondisi kebenaran untuk pengetahuan nampaknya internalisme mengenai pengetahuan bukanlah posisi yang layak (viable position), dalam konteks mengenai justifikasi pengetahuan.110 Menurut peneliti, dalam persoalan epistemologis terutama persepsi, terdapat pertimbangan- pertimbangan dari para filosof yang cenderung “membela” ide-ide pikiran (mental) sebagai kenyataan atau yang justru mempertimbangkan objek eksternal serta relevansinya dengan pikiran sebagai kenyataan. Dalam penelitian ilmiah (research), persoalan mengenai eksternalisme dan internalisme juga berkaitan dengan realitas dan justifikasi terhadapnya. Misalnya, eksternalisme dan internalisme yang merupakan intuisi-intuisi mengenai teori asal- usul manusia (Darwinisme) sebagai temuan data serta keyakinan pada subjek untuk menguatkannya yang mana keduanya (eksternalisme dan internaisme) berasal dari satu fenomena yang sama namun bersifat resiprokal.111 Namun untuk menjembatani keduanya, diperlukan bahasa (linguistic) atau bahkan upaya untuk mengkritisi konsep-konsep (bahasa) pengetahuan itu sendiri (metalinguistic content) sebagai kategorisasi dari berbagai isi dari tingkatan objek. Yang menjadi isi dari tingkatan

109Misalnya, loyalitas, hasrat atas prestise dan sebagainya yang justru membentuk kepercayaan dan sikap yang membedakan objek sosial dan alam. Atau dengan kata lain, metode ilmu alam berkecenderungan untuk mereduksi objeknya dengan cara kuantifikasi sedangkan metode ilmu sosial cenderung mereduksi objeknya dengan cara menguraikan aspek-aspek atau kualitas-kualitas tertentu dari objek. Selanjutnya, dapat dilihat pada Alan Gewirth dalam, “Subjectivism and Objectivism in the Social Science,” journal Philosophy of Science, University of Chicago. Vol 21. No. 2 April 1954, h. 162. 110Internalism and Externalism in Semantics and Epistemology, edited by Sanford C. Goldberg (New York: Oxford University Press, 2007), h. 14. 111Joseph Mendola, Anti Externlism (New York: Oxford, 2008), h. 23.

105

objek yaitu bagian dari metalinguistic itu sendiri namun keduanya masih tetap bisa dibedakan. Secara intuitisi, pikiran mengenai objek bukan mengenai nama objeknya melainkan mengenai kalimat (sentences) mengenai semacam bayangan atau objek ideal yang merujuk pada bukti (thrown by the proofs). Atau setidaknya masuk akal bahwa anak-anak memiliki kemampuan internal untuk memanggil hal-hal dengan istilah tertentu.112 Masih mengenai objektivisme dan subjektivisme dalam epistemologi, lebih khusus lagi dalam konteks persepsi sebagai pengetahuan inderawi yang keduanya sama-sama bertolak pada realitas eksternal namun dengan hasil yang berbeda. Bagi Berkeley, persepsi inderawi bertolak pada realitas atau objek eskternal yang kemudian diproses di dalam diri subjek sehingga memiliki kualitas-kualitas yang sepenuhnya berada pada di dalam diri (internal). Di sisi lain bagi Ibn Sînâ, persepsi inderawi bertolak pada realitas eksternal yang kemudian diproses di dalam diri yang berkaitan (صورة) namun persepsi eksternal tersebut menghasilkan bentuk dari realitas eksternal tersebut. Sedangkan proses persepsi dari (المادة) dengan materi dalam menghasilkan sesuatu yang terlepas sepenuhnya dari materi namun dengan .(تعلهق باالجسم) yang masih berkaitan dengan materi (مج هرد) ”tingkatan “kemurnian Karena itu, menjadi penting dalam penelitian ini untuk membandingkan kedua filosof tersebut sebagai bagian dari persoalan epistemologis mengenai objektivisme dan subjektivisme bagi pengetahuan inderawi. Untuk yang pertama, mengenai persepsi subjektivisme epistemologis pengetahuan inderawi menurut Berkeley yang umumnya diistilahkan sebagai immaterialisme113. Apabila dizoom-out terlebih dahulu, permasalahan epistemik tidak melepaskan seutuhnya objek kajian yang menjadi sasarannya (ontologis), yang berarti bahwa persoalan tersebut bercerita mengenai proses yang dialami subjek terhadap objek. Atau kalau ditarik kepada persoalan semiotik, kognisi manusia bekerja merespon tanda sebagai suatu objek.114 Namun apabila ditarik ke persoalan epistemologis, akal manuia mempertanyakan asal-usul dari ide-ide yang ada di dalam pikiran, atau sikap untuk mengkritisi realitas. Sikap kritis tersebut sekurang- kurangnya terbagi menjadi dua dikotomi yaitu pertama, yang menyatakan bahwa realitas sebagai basis dari pengetahuan sedangkan yang kedua, mengafirmasi pikiran

112 Pikiran yang menjadi basis bagi eksternalisme dan sensasi inderawi bertolak dari objek ekstenal yang kemudian diformulasikan ke dalam pikiran menjadi suatu konseps tertentu. sedangkan bahasa yang menjadi basis bagi eksternalisme dan isi pikiran bertolak dari lingkungan dan konteks di mana bahasa tersebut digunakan (intersubjektif). Lihat lebih lanjut pada Mendola, Externalism, . 48-50. 113Immaterialisme merupakan doktrin bahwa tidak ada realitas material namun hanya jiwa (spirit) dan ide maupun sensasi . Namun hal tersebut menyiratkan bahwa Terdapat kejanggalan bahwa semua benda fisik (sensible thing) hanya ada di dalam pikiran meskipun doktrin tersebut memiliki kualitas yang bagus yang mengusik diri untuk menolaknya meskipun dengan sedikit kesulitan. Lihat, I.C. Tipton dalam Berkeley: The Philosophy of Immaterialism (Londong and New York, 1974), h. 8. 114Terkait dengan relasi antara subjek dengan objek, dapat juga dilihat sebagai bagian dari kompleksitas yang berkaitan dengan objek (corporeal complexity), atau menjadikan objek (matter) sebagai tanda (Saussure). Lihat pada, Vicki Kirby dalam, Telling Flesh The Substance of Corporeal (New York and London: Routledge, 1997), h. 7.

106

sebagai basis bagi pengetahuan. Dengan kata lain, diskursus tersebut mengenai ide- ide yang datang dari sesuatu (persepsi) mengenai objek eksternal atau ide-ide menjadi sumber pikiran bagi realitas eksternal (ide bawaan). Persepsi Berkeley meskipun bertolak dari objek-objek inderawi (sensible thing) namun berpihak pada subjektivisme yang seakan terlepas dari kaitannya dengan materi eksternal (corporeal). Persepsi juga bisa diartikan sebagai suatu cara pandang tertentu (perspektif) dari subjek mengenai objek di luar dirinya yang bersifat parsial. Karena itu, perspektif (point of view) selalu melihat objeknya dari satu bagian saja yang tidak menyentuh seluruh bagian dari objek (parsial) padahal objek tersebut secara substantif bersifat utuh. Atau dengan cara yang berbeda, seseorang yang melihat elemen-elemen yang disajikan (presented) dengan identitas tertentu (suara atau kualitas-kualitas inderawi) yang menyampaikan visi tersebut.115 Persepsi sebagai perspektif subjek dalam filsafat Berkeley, sepenuhnya kembali lagi secara utuh ke subjek (internalism) yang berarti bahwa terjadi “penolakan materi” atau lebih tepatnya, tidak mempertimbangkan aspek materi (corporeal aspect) di- dalamnya. Mengabaikan materi dan mereduksikannya ke dalam diri subjek (subject oriented atau idealism) pada saat yang sama yang menjadikan filsafat Berkeley terasa kurang radikal sebagai aliran empirisme.116 Menurut peneliti, hal tersebut karena Berkeley tidak mengembalikan filsafatnya pada objek inderawi (sensible thing) itu sendiri sedangkan titik-tolaknya dari materi (corporeal). Atau tidak menghubungkan kembali (reconnecting) dengan objek, yaitu korelasi ketat antara peristiwa dengan arsip pikiran (ide-ide). Masih mengenai persepsi sebagai perspektivisme subjektif dari Berkeley, hal tersebut secara epistemologis sejalan dengan doktrin Nietzsche dalam aspek anti objektivisme. Doktrin tersebut dalam pembacaan yang paling sederhana sama dengan klaim bahwa pandangan mengenai dunia dan akibatnya, pernyataan tersebut benar tergantung dengan situasi, yaitu pada “perspektif” terhadap dunia. Karenanya, pemahaman mengenai perspektivisme memunculkan tesis epistemologis yang mengklaim pengetahuan tidak pernah dapat benar dalam pengertian mutlak atau objektif. Sebagian karena perbedaan keberjarakan dan kesementaraan antara sudut pandang yang terikat pada setiap subjek penahu (knower) ketika berhubungan dengan objek, dan juga karena fakta bahwa seseorang tidak pernah bisa yakin bahwa apa yang nampak merupakan kasus sebenarnya adalah kasus itu. Dalam versi epistemologis, doktrin tersebut tidak asli atau menarik namun, hanya versi skeptis dan idealis sebagai klaim yang digunakan untuk terhubung dalam tulisan populer dengan Berkeley dan Kant.117

115David Darby, “Esse Percipi, Sein Ist Wahrgenommenwerden: Perception and Perspective In Berkeley and Canetti”, Journal of Neophilologus, 1991, h. 432. 116Kritik dari celah tersebut diformulasikan secara ketat oleh , Lihat pembahasan mengenai Hume dalam, Stumpf, Samuel and Fieser, James, Beyond A History of Philosophy. 117Bagaimanapun juga, perspektivisme membawa pada dimensi yang lebih luas mengenai masalah justifikasi atau setidaknya membuat penegasan yang masuk akal untuk mengintegrasikan elemen pribadi atau subjektif ke dalam ekspresi pandangan seseorang sebagai kondisi akal sehat mereka. Introductions to Nietzsche, edited by Robert Pippin (New York and London: Cambridge University Press, 2012), h. 191

107

Persepsi sebagai perspektif dari subjek dalam pandangan Berkeley, menjadi bagian dari upaya konstruksi pengetahuan inderawi dalam “bingkai” paham empirisme. Untuk mempermudah tujuan tersebut, peneliti mengusulkan penyebutan dari paham tersebut sebagai empirisme subjektif karena meskipun bertolak dari fakta-fakta empiris namun, mereduksinya menjadi ide-ide semata (subject qualities). Peneliti berargumen bahwa pembacaan tersebut relevan karena sejalan dengan semangat zamannya (horizon) dalam hal perkembangan dari paham empirisme yang dimulai pada dataran Inggris. Empirisme subjektif, immaterialisme ataupun idealisme, merupakan pambacaan atas Berkeley yang kemudian ditafsirkan dan disematkan (predikasi) kepadanya. Misalnya saja pelabelan idealisme atau idealisme subjektif atau terkadang idealisme Berkeleian dapat dikatakan sebagai pembeda dari pelabelan-pelabelan lainnya bagi paham Idealisme misalnya, idealisme transendental Kant atau idealisme absolut Hegel. George Dickers misalnya, melabelkan paham Berkeley sebagai idealisme karena berarti bahwa pandangan Berkeley mengafirmasi apa yang ada (exist) hanya merupakan ide-ide dan pikiran-pikiran.118 Untuk yang kedua, mengenai persepsi objektivisme epistemologis bagi pengetahuan inderawi menurut Ibn Sînâ yang terkadang diposisikan sebagai .pada saat yang sama (إشراقيهة) dan Plotinus (مشائي هة) penganut paham Aristotelian Posisi yang demikian tentunya menimbulkan kesulitan tersendiri ketika meneliti pada Ibn Sînâ. Namun dalam kepentingan analisis (النظاريهة) dasar pijakan teoritis (مشائيهة) komparatif, pembacaan terhadap Ibn Sînâ diposisikan sebagai Aristotelian ketimbang empirisme.119 Hal tersebut karena Ibn Sînâ dalam beberapa bagian memang terlihat mengikuti Aristoteles terutama mengenai pembagian jiwa dan potensi-potensinya. Studi Ibn Sînâ mengenai jiwa manusia dan khususnya bagian jiwa rasionalnya mengikuti divisi Aristoteles, yang menjadi landasan filosofisnya pada karya-karya Ibn Sînâ selanjutnya. Alasan dari upaya filosofis Ibn Sînâ yaitu bahwa studi mengenai jiwa rasional memberikan akses kepada semua ilmu filsafat

118Lihat pengantar Georges Dicker dalam, Berkeley’s Idealism. 119Upaya untuk menghindari labeling paham empirisme kepada Ibn Sînâ terlebih karena mempertimbangkan aspek horizon yang mana pada perkembangan intelektual Ibn Sînâ, belum muncul paham pengetahuan yang demikian. Namun pertimbangan dari Gutas dengan alasan bahwa metode saintifik telah digunakan oleh Ibn Sînâ yang berdasarkan pada prinsip prosedural bahwa bukti empiris harus dikontrol dengan teori, yaitu identitas atau definisi mengenai sesuatu tidak tergantung pada penampakan eksternal melainkan pada Bagaimanapun yang menyangkal kemungkinan .(الفصل المن ّو ) perbedaan spesifiknya transmutasi logam karena tidak tahu perbedaan spesifik mereka tidak juga menyangkal banyak tindakan lainnya yang ditunjukan dengan alchemists bahwa dapat dipersepsi dengan indera. Dalam konteks tersebut, Ibn Sînâ dibaca bukan sebagai penganut rasionalis melainkan empiris yang menggunakan teori hanya ketika kebutuhan untuk masalah yang tepat dan untuk masalah itu. Letak metode saintifik empirisnya terletak pada yang memungkinkan bagi Ibn Sînâ untuk memahami komposisi materi yang mendekati apa yang sekarang disebut sebagai struktur molekul dari unsur-unsur. Gutas menukil dari seksi kelima dari buku pertama tentang minerologi dan meterologi bagian dari Sifä. Lihat, Gutas dalam “Avicenna”..., h. 421-423.

108

yang diklasifikasikan dalam tradisi Aristoteles, yaitu epistemologi, yang enunjukan ke studi mengenai ontologi.120 dan (محسوسات) Persepsi Ibn Sînâ bertolak dari objek-objek inderawi dan pada (الخارج) berpihak pada objektivisme yang berkaitan dengan materi eksternal Persepsi sebagai perspektif objek .(الداخل) saat yang bersamaan dengan jiwa internal dalam filsafat Ibn Sînâ, tidak mengabaikan aspek materi meskipun proses-hasilnya tidak berkaitan secara langsung dengan materi (externalism) yang berarti tidak .(الجسم) menolak materi atau lebih tepatnya, mempertimbangkan aspek materi Menurut peneliti, mengafirmasi materi dan memproduksi ke dalam diri subjek pada saat yang sama menjadikan filsafat Ibn Sînâ lebih holistik dalam konteks justifikasi epistemik. Dikatakan objektivisme karena yang dipersepsi merupakan objek yang merupakan sesuatu yang material, meskipun ketika mempersepsi, terjadi abstraksi bentuk sampai batas tertentu dari materi.121 Bisa dikatakan, Ibn Sînâ mengembalikan filsafatnya pada objek inderawi (sensible thing) itu sendiri yang bertolak dari materi (corporeal) serta menghubungkan kembali (reconnecting) antara subjek dengan objek, yaitu korelasi ketat antara peristiwa dengan arsip pikiran (ide-ide). Persepsi sebagai perspektif dari objek dalam pandangan Ibn Sînâ, menjadi bagian dari upaya konstruksi teori pengetahuan (epistemology). Pembacaan tersebut mempertimbangkan aspek teori kedokteran dan fungsi dari indera-indera dalam (psychology) Ibn Sînâ. Atau bisa juga dikatakan bahwa, objektivisme pada Ibn Sînâ yang sering (تجريبة) berdasarkan peran utama dari pengalaman epistemologi ,(عقل الفعل) dianggap bertentangan dengan peran yang diberikan pada Akal Aktif yang tidak memerlukan pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan.122 Namun bukan objektivisme dalam hal ontologis melainkan dalam hal epistemologis yang bertolak dari persepsi namun tetap mempertimbangkan objek tanpa mereduksinya semata. Peneliti berargumen bahwa (محسوسات) menjadi objek pemahaman inderawi baik ṣûrah maupun ma’nâ menunjukkan bahwa Ibn Sînâ tidak mereduksi objek begitu saja namun justru melibatkannya. Yang karenanya menjadi petunjuk bahwa Ibn Sînâ berpihak pada model objektivisme (externalism) ketimbang subjektivisme (internalism). Dalam persoalan epistemologi, baik Berkeley maupun Ibn Sînâ menyoroti mengenai objek fisik (corporeal) sebagai sesuatu yang dipahami dengan cara persepsi. Karena, objek yang dipersepsi menimbulkan pengetahuan tertentu yang dipahami namun, keduanya juga berbeda dalam hal proses maupun hasil sehingga menimbulkan konsekuensi yang berbeda pula. Berkeley lebih cenderung memihak pada pemahaman utuh subjek sedangkan Ibn Sînâ masih memberikan porsi pada realitas objek yang berbeda dengan subjek yang memahaminya. Yang karenanya, konsekuensi bagi keduanya juga berbeda yaitu Berkeley sebagai persepsi subjek (if)

120Dimitri Gutas, Avicenna and Aristoteles tradition..., h. 84. 121M. Afnan, Avicenna..., h. 141. 122Pada konteks tersebut, subjektivisme berkaitan dengan pengalaman untuk (الفيض) mendapatkan pengetahuan sedangkan objektivisme berkaitan dengan pemberian untuk mendapakan pengetahuan. Atau, objektif berkaitan dengan aspek ontologis di luar diri .sebagai atribut dari yang universal yang merupakan objek dari kajian metafisika (وجود) Lihat, Interpreting Avicenna, edited by Peter Adamson (New York: Cambridge University Press, 2013), h. 153.

109

sedangkan Ibn Sînâ sebagai persepsi objek (if). Dikatakan persepsi subjek karena Berkeley kembali pada pemahaman realitas berdasarkan ide-ide semata sedangkan persepsi objek karena Ibn Sînâ melibatkan pemahaman realitas kepada objek dan subjek. Dengan kata lain, Berkeley mereduksi objek ke subjek sedangkan Ibn Sînâ melibatkan keduanya secara utuh yang mana bagi Berkeley, tidak ada pemahaman atau ide-ide di luar diri (mind ) sedangkan bagi Ibn Sînâ, terdapat pemisahan antara pemahaman mengenai objek di luar diri dan di dalam diri. Dalam hal tersebut, Berkeley coba memahami realitas berdasarkan pemahaman diri sedangkan Ibn Sînâ, tetap berusaha melibatkan objek dalam pemahaman,123 dengan bagan sebagai berikut:

Gambar 10. Relasi Subjek-Objek Dalam Persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ Epistemologi (empiris-fisik) Subjek-Objek

Berkeley Perspektif subjek Empirisme Subjektivisme/ subjektif internalisme Persepsi subjektif Immaterialisme Ideas (objek)

Ibn Sînâ

/Perspektif objek Empirisme Objektivisme خارج داخل Objektif eksternalisme Materialisme صورة معنى

(subjek)

2. Proposisi Benar-Salah Sebagai Deskripsi Kebenaran Hal yang terpenting bagi pengetahuan inderawi sebagai “prodak keilmuan” yaitu justifikasi dalam bentuk argumentasi untuk pembelaan dari apa yang diyakini. Dalam sub pembahasan ini, justifikasi pengetahuan inderawi hanya fokus pada dua hal, kebenaran empiris dan kebenaran pragmatis yang mana keduanya memiliki konsekuensi pada realisme maupun quasi realisme. Justifikasi itu sendiri berangkat dari suatu penilaian mengenai apa yang terjangkau dari eksistensi, urutan mengenai

123Misalnya, ketika mempersepsi suatu bola bundar, Berkeley dapat memahaminya sebagai bola bundar yang ukuran , gerak, berat, warnanya, dan baunya tidak ada di bola tersebut sedangkan Ibn Sînâ dapat memahaminya sebagai bola bundar yang memiliki ukuran, gerak, berat, warna dan baunya yang terdapat pada objek sekaligus dipahami di dalam diri. dengan (التصور) Hal itu bisa dipahami karena Ibn Sînâ memisahkan antara gambaran mental sebagai suatu ilmu, yaitu, qiyâs (analogi ) dan had (definisi). Lihat Ibn (التصديق) acuannya Sînâ dalam, Kitâb al Najâh, h. 97.

110

gagasan salah satunya berpindah dari eksistensi aktual.124 Bagi peneliti, pengetahuan memerlukan penilaian dan justifikasi mengenai klaim-klaim kebenaran (ilmiah) yang diformulasikannya. Penilaian (judgment) merujuk (refer) pada penegasan terhadap objek di luar diri (aspek ontologis), sedangkan pembenaran (justification) merujuk (refer) pernyataan di dalam diri (aspek epsitemologis). Baik penilaian (judgment) maupun pembenaran (justification) keduanya menunjukkan relasi antara pikiran (mind) dengan dunia (reality). Dalam pengetahuan inderawi terdapat relasi yang kuat antara justifikasi (justification) dan kebenaran (truth) untuk mempertahankan keyakinan (belief) dari apa yang diketahuinya. Pada dasarnya, terdapat kekeliruan dengan asumsi bahwa kepercayaan (belief) yang dibenarkan (justified) sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebenaran (truth). Menurut Audi, pembenaran (justification) mengenai kepercayaan (belief) merupakan hal-hal yang dilakukan ketika kebenaran ditantang (challenged), yang mana kebenaran dari keyakinan itu adalah apa yang proses pembenaran tunjukkan ketika berhasil. Misalnya seperti kasus persepsi bahwa jika kepercayaan yang dinyatakan sebagai a priori dibenarkan ternyata palsu. Setidaknya terdapat cacat dalam pembenaran yang dianggap benar. Ha tersebut bisa dikatakan sebagai kesalahpahaman (misunderstanding) atau kekeliruan dalam penalaran, sedangkan kepercayaan perseptual yang keliru dapat dibenarkan dengan kuat.125 Menurut peneliti pada level tertentu, kebenaran perseptual bertolak dari realitas eksternal (corporeal) meskipun dengan pemahaman-pemahaman yang berbeda namun kebenaran perseptual pada sisi yang lain hanya berkaitan dengan faktor lingkungan di mana kepercayaan tersebut tumbuh (behaviour/environment). Dalam beberapa hal, seorang ilmuan berambisi kepada kebenaran (truth) dari objek kajiannya sehingga cenderung menjauhi berbagai potensi dari kekeliruan yang mungkin timbul. Menurut Russell, ambisi tersebut bisa saja sebagai pembeda dan penerang sehingga cenderung untuk memilih salah satunya (truth-falsehood) sebagai landasan teoritis. Bisa juga karena keadaannya samar sebagai makna percaya (belief) atau penilaian (judgment) yang didorong bahwa dengan mengetahui keduanya menjadi objek agar dapat mempredikasi sebagai “benar dan salah.” Atau, tendensi untuk menggunakan kata “benar” dengan “B” besar dalam arti yang agung, sebagai sesuatu yang mulia, indah dan layak dipuja. Masih menurut Russell, kata “benar dan salah” digunakan dalam pernyataan baik dalam ucapan maupun tulisan

124Misalnya, gagasan mengenai “rumput’, atau “hijau” yang tidak melekatkan pikiran ke kesatuan keberadaan dari peristiwa-peristiwa, namun menampilkan cara yang bisa begitu melekat. Jadi ketika menilai “rumput hijau” yang terjadi adalah memasukkan makna- makna tersebut ke dalam keberadaan konteksnya. Penilaian karenanya menegaskan, “jadi itu/thus it is.” Sampai penegasan ini dibuat, pikiran belum mencapai keberadaannya dalam pengertian yang tepat. Lihat, Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge (New York, Fordham University Press, 1982), h. 168 . 125Pembenaran dari kepercayaan empiris juga tampaknya berhubungan dengan kebenaran. Jika melalui kesan visual yang jelas dalam percaya bahwa ada sebuah kebun di depan mata maka dapat dianggap benar bahwa terdapat suatu kebun. Sebaliknya, jika kepercayaan empiris didapati tertentu selalu salah, maka tidak dianggap kepercayaan semacam itu dapat dibenarkan. Lihat, Robert Audi, Epistemology A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (Routledge: New York and London, 1998), h. 245.

111

yang bertujuan untuk mengekspresikan keyakinan (belief) dalam pernyataan dan juga untuk membuat hipotesis yang keduanya (benar dan salah) menyuguhkan tanpa menjadi dipercaya atau tidak dipercaya. Namun bukan berarti bahwa “kata” tidak menimbulkan kesamaran dan ambiguitas yang membingungkan apabila merujuknya (refer) pada kenyataan (reality).126 Atau menurut Bertens, paham Russell merupakan pandangan mengenai atomisme yang mengandaikan penggunaan bahasa yang dapat positif, yaitu bahasa logis dan matematis.127 Menurut peneliti meskipun demikian, namun berdasarkan penilaian dari pengalaman perseptual, makna kata tidak hanya bersifat tunggal melainkan plural mengenai suatu kata. Kebenaran dalam pengetahuan inderawi berkesesuaian dengan realitas eksternal atau disebut sebagai paham realisme yang menjadi sifat dari paham mengenai kebenaran. Namun di sisi lainnya, terdapat paham kuasi realisme yang menjadi sebagian sifat dari paham kebenaran yang pada dasarnya, merupakan upaya untuk “menggerogoti” paham realisme itu sendiri. Hal itu karena, kebenaran realisme tidak hanya berkutat pada objek eksternal beserta kemampuan diri untuk merumuskannya, melainkan berkaitan dengan upaya diri untuk memilih dan mempertahankan preferensi tertentu. Atau lebih tepatnya, kuasi realisme merupakan persoalan moral yang menyatakan bahwa kepercayaan moral mewakili fakta moral dan bukan anjuran sikap dari berbagai macam. Pada perkembangan selanjutnya, kuasi realisme dianggap sebagai spesies anti realisme yang menyangkal pernyataan “prioritas deskriptif.” Sedangkan, anti realisme itu sendiri menyiratkan bahwa suatu kebenaran menegasikan realitas (menguji antara realisme dan anti realisme).128 Kebenaran dalam pengetahuan inderawi karenanya berada dalam cakupan bahasa (kata) sebagai sesuatu yang berkaitan bagi pernyataan diri (statement) atas objek eksternal (reality). Pada koteks tersebut, bahasa dapat diposisikan menjadi dua arah, pertama bahasa sebagai “representasi” dari realitas sedangkan yang kedua, bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan realitas. Bagi Rorty bahasa bukanlah merupakan pertukaran tanda dan bunyi yang dilakukan untuk mencapai tujuan

126Misalnya kata “benar” berdasarkan ingatan dan persepsi yang berhadapan dengan keadaan aktual sebagai suatu pernyataan “hujan turun di pagi hari,” mungkin ingatan itu bisa kembali mengingatnya tau justru tidak. Atau kata pagi dihubungkan dengan hujab sehingga menjad pernyataan yang benar. Atau mungkin, bagi yang tidak memiliki kemampuan untuk mempersepsi secara visual, justru hanya merasakan air yang membasahi badannya. Contoh yang lain, seseorang mengatakan ‘lampu telah padam’ ketika yang diajak bicara dapat melihat cahaya yang bersinar, dapat pula menilai sebagai ungkapan ‘cahaya bersinar’Kata “benar dan salah” karena itu berkaitan dengan konteks lingkungan di mana asosiasi mengenai kata-kata tersebut berada.Bertrand Russell, An Outline of Philosophy (New York: World New Publishing, 1972), h. 268. 127Kata dengan demikian, merupakan sesuatu yang sepadan dengan dunia (logical proper names) namun tetap dilihat sebagai bagian dari proposisi yang menyamar (proposition in disguise). Misalnya, kata jakarta merujuk pada suatu wilayah namun juga berkedok sebagai suatu prestis (ibu kota atau metropolita). Namun demikian, kata sebagai suatu fakta tidak bisa dianggap memiliki derajat benar dan salah, karena fakta merupakan realitas itu sendiri. Lihat Keerts Bertens dalam Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. 128Gideon Rosen, “Blackburn’s Essay in Quasi-Realism,” Journal of Noûs Princeton University, New York: Oxford University Press, 1998, h. 399. 112

spesifik yang tidak dapat gagal untuk menggambarkan realitas secara akurat. Lebih jauh lagi, bahasa sama sekali tidak pernah mewakili realitas yang diwakilinya. Hal tersebut bisa dimengerti dengan asumsi bahwa, bahasa merupakan akses langsung terhadap realitas yang diyakini. Sejalan dengan itu, Rorty tidak memperlakukan keyakinan (kata) sebagai representasi melainkan sebagai kebiasaan bertidak dan sebagai alat. Konsekuensi yang muncul yaitu bentuk penolakan Rorty terhadap penyelidikan (discovering), penemuan (finding) sebagai penyelidikan (inquiry).129 Atau dengan lain, mengutip Fristian, manusia melakukan kemungkinan diri untuk menikmati sebanyak mungkin kesenangan dan sedikit mungkin kesusahan yang mana penggunaan alat (tools) dalam hal ini juga bahasa, menjadi bagian dari interaksi manusia dengan lingkungannya.130 Justifikasi pengetahuan inderawi masih dapat dilihat sebagai hubungan antara subjek peneliti dengan objek yang diteliti dalam satu rangkaian (layer) dengan penekanan yang berbeda-beda. Artinya dalam proses justifikasi, subjek peneliti tetap memerlukan objek yang dikaji yang menuntun kepada hasil sebagai suatu pengetahuan (knowledge). Seperti pada dialog Platon bahwa S tahu bahwa p adalah benar jika dan hanya jika p itu benar, dan jika S keduanya percaya bahwa p dan adalah justifikasi dalam keyakinan bahwa p, tidak ada epistemologis untuk dikatakan kecuali seseorang dapat menemukan sesuatu yang umum dan menarik untuk mengatakan baik tentang justifikasi atau kebenaran. Kecenderungan yang demikian menurut Rorty, merupakan upaya para filosof untuk dapat menemukan sesuatu yang menarik dengan hubungan keduanya (subjek dengan objek). Misalnya, menghubungkan antara yang duniawi (temporal) dengan yang kekal (eternal), yang tetap (objek fisik) dan yang berubah (persepsi inderawi). Hal tersebut dapat terjadi apabila filsafat dapat memperlihatkan bahwa semakin baik suatu keyakinan dijustifikasi, semakin besar kemungkinan itu benar. Sebaliknya, justru justifikasi keyakinan menjadi upaya memperlihatkan bahwa lebih besar kemungkinannya untuk menemukan kebenaran melalui prosedur tertentu yaitu untuk membenarkan keyakinan (justified belief) ketimbang prosedur lainnya.131 Kebenaran pengetahuan menjadi suatu prosedur dan tujuan bagi justifikasi keyakinan yang mana dalam penelitian ini melibatkan dua model prosedural yaitu empirisme dan pragmatisme. Kebenaran empirisme berangkat dari asumsi bahwa pada relasi pikiran dan dunia serta tindakan, terdapat pengalaman perseptual sebagai alasan untuk memegang keyakinan empiris. Konsep dari pengalaman perseptual

129Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (New York: Pinguin Books, 1999), h. XXV dan 50. 130Lihat Fristian Hadinata, “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty,” (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2015), h. 52. Hemat peneliti, bahasa sebagai alat juga tergantung preferensi tertentu untuk mengatasi objeknya (anti absolut) sedangkan sebagai representasi, bahasa merupakan pertukaran (transaksional) yang sebanding terhadap realitas (absolut). Misalnya untuk menggambarkan keinginan memakan buah mangga, dapat menggunakan bambu, tangga sebagai alatnya yang ukurannya adalah efesiensi, yaitu kebiasaan bertindak sedangkan menjadikan tangga atau bambu sebagai satu-satunya cara untuk menangkap keinginan memakan buah mangga yang ukurannya adalah destinasi. 131Rorty, Social Hope..., h. 35.

113

karenanya tanpa semua elemen penerimaan atau keyakinan yang mana tidak dapat memberi alasan untuk memegang keyakinan apapun. Namun bukan berarti bahwa dapat menolak begitu saja secara epistemologis yang melibatkan peran pengalaman perseptual.132 Sedangkan kebenaran pragmatisme berangkat dari asumsi bahwa relasi antara pikiran, dunia dan tindakan yang melibatkan faktor lingkungan dan kebiasaannya untuk mempertimbangkan aspek guna. Atau bisa dikatakan, relasi ketiganya secara mendasar bersifat temporer yang merupakan modalitas epistemik di mana konsep-konsepnya melibatkan tentang masa lalu (past), masa kini (present) dan masa depan (future) yang sama-sama berlandaskan pada tingkat komitmen terhadap kebenaran proposisi.133 Karenanya, derajat kebenaran antara paham empirisme dan pragmatisme berbeda seiring perbedaan pemahaman atas porsi yang diberikan dari konsep pengalaman (experience) itu sendiri. Untuk yang pertama, teori kebenaran dari paham empirisme yang berpihak pada model kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran yang bertolak pada fakta- fakta objektif terlepas dari keberadaan subjek. Perlu dipertegas terlebih dahulu mengenai penyelidikan (enquiry) apa yang bernilai yang mengarah pada makna pengetahuan dalam derajat kebenaran (truth). Oleh karenanya, pembedaan dari Wittgentein menjadi penting mengenai nilai relatif dan nilai absolut, yang dituju untuk menolak segala bentuk dari pragmatisme. Penilaian yang relatif bernilai merujuk pada fakta-fakta semata yang mana hal tersebut dapat diuraikan dengan menggunakan proposisi bahasa. Nilai relatif dinyatakan sebagai relatif karena relatif terhadap yang telah ditetapkan sebelumnya sedangkan nilai absolut dinyatakan absolut karena berkorespondensi (corresponding) dengan keadaannya (itu sendiri) yang absolut. Sebaliknya, bagi Putnam tidak ada perbedaan antara fakta dan nilai karena penyelidikan ilmiah (the scientific inquiry) justru berkembang melalui kritik (criticism) dan penilaian (valuation).134 Menurut peneliti, kebenaran dalam arti

132 Daniel Enrique Kalpokas, “Experience and Justification: Revisting McDowell’s Empiricism.” Journal Springer Science+Business Media Dordrecht, 11 September 2016. DOI: 10. 1007/s10670-016-9840-8. 133Objek penyelidikan (object of inquiry) antara pikiran, dunia dan tindakan melibatkan konsep waktu entah secara internal (psikologis) maupun eksternal (fisika). Secara pragmatis, konsep mengenai relasi antara pikiran, dunia dan tindakan dapat direduksi sebatas persoalan linguistik. Misalnya, 1. Dendi pergi ke Jakarta musim pada musim hujan. 2. Dendi mungkin akan pergi ke Jakarta pada musim hujan. 3. Dendi pernah pergi ke Jakarta pada musim hujan. Dari ketiga proposisi tersebut, kebanyakan filosof cenderung lebih mmepertimbangkan aspek proposisi yang berkaitan dengan masa kini (present) dan mengabaikan dua proposisi lainnya sebagai bagian dari kebiasaan bertindak. Lihat, Time Language, Cognition & Reality. Edited by Kasia M. Jasczolt (Oxford University Press:UK, 2013), P. 194. Pada sisi yang berbeda, tantangan Bonjour mengenai empirisme yaitu pertama, justifikasi apriori dibutuhkan terhadap pengetahuanyang bersifat paradigmatik sebagai kebenaran. Kedua, justifikasi apriori dibutuhkan dibutuhkan karena bersifat pengalaman transenden sebagai kebenaran. Ketiga, justifikasi apriori dibutuhkan karena alasan itu sendiri. Lihat, Tamar Szabó Gendler, “Empiricism, and the Limits of Justification,” Journal of Philosophy and Phenomenological Research, Syracuse University, Vol. LXIII, No. 3, November 2001, h. 642. 134Tesisnya adalah, jika penilaian (valuation) tidak tersedia dalam pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) apapun maka tidak dapat dianggap sebagai

114

empiris karenanya masih meyakini adanya fakta objektif eksternal yang tidak terbatas hanya pada persoalan proposisi atau penilaian(judgment) semata. Kebenaran korespondensi cenderung dikaitkan dengan kemajuan pesat sains ilmiah yang mengedepankan metode saintifik, yang mencerminkan bahwa pada tingkat teoritis tertentu memiliki penafsiran realis yang dibenarkan. Metode saintifik fokus pada relasi-relasi struktur, dalam arti bahwa, menjelaskan suatu fenomena empiris berkaitan erat dengan hubungan struktur.135 Namun istilah “struktur” dalam konteks tersebut menurut peneliti, lebih tepat dimaknai sebagai “sistem kausal” karena mengedepankan relasi sebab akibat ketimbang relasi relasional. Meskipun demikian, kebenaran korespondensi juga bersandar kepada kata-kata yang dikatakan sebagai prinsip korespondensi juga memiliki karakteristik sebagai keyakinan (conviction) bahwa kata-kata dari suatu kalimat (sentences) lebih sesuai dengan hal- hal yang merupakan situasi yang digambarkan oleh kalimat itu.136 Situasi dalam konteks kalimat menurut peneliti, merupakan suatu acuan (reference) kata dari realitas yang berarti bahwa, korespondensi menggunakan kata sebagai justifikasi atas pengalaman inderawi yang merupakan fakta. Untuk yang kedua, teori kebenaran dari paham pragmatisme yang berpihak pada model kebenaran koherensi, yaitu kebenaran yang bertolak pada pengalaman- pengalaman subjektif dalam bertindak yang berkaitan dengan lingkungannya yang tidak berkaitan dengan kesadaran subjek yang ahistoris. Karakteristik dari kebenaran koherensi yaitu berkaitan dengan aspek hubungan, susunan atau paduan (formal) yang cenderung pada aspek “ekspresi” ketimbang “konten.” Misalnya, kebenaran koherensi yang berkaitan dengan analisis penerjemahan mengenai source text (ST) dan target text (TS) sebagai analisis tematik untuk memperkenalkan strategi penerjemahan di atas level kata.137 Pada konteks tersebut menurut peneliti, bukan pengetahuan.Rajakishore Nath, “Can Ethics Be Without Ontology? Wittgenstein and Putnam,” Journal of Philosophia, Springer Nature. Department of Humanities and Social Science Bombay, Mumbai India, 17 October 2018. 135Misalnya saja kasus mengenai teori phlogiston yang dikembangkan oleh J.J. Becher dan murdnya G.E. Stahl pada abad 17 akhir dan menjelang abad 18 awal yang menjelaskan bahwa setiap material yang mampu dibakar atau mengeras mengandung phlogiston (suatu substansi yang berbeda dari materi pada umumnya) yang dianggap sebagai pembawa combustibilit, saat terjadi pembakaran (combustion) yang mana zat yang terbakar atau mengerasmenyalurkan phlogiston, biasanya berupa api panas atau gas yang mudah terbakar, dan zat yang tidak dapat dijinakkan (sisa-sisa logam yang spesifik). Lihat, Gerhard Schurtz, “When Emperical Success Implies TheoreticalReference: A Structural Correspondence Theorem. ” Journal of The British Society for the Philosophy of Science, Vol. 60, No. 1, March 2009, Oxford University Press, h. 102-105. 136Misalnya, petani menanam padi, dan padi tumbuh subur. Dan klaim yang dihasilkannya yaitu justifikasi suatu jaminan bahwa kegiatan menanam padi memang telah berlangsung sekian lama yang juga menjadi objek pengamatan bagi para pengamat maupun non pengamat. Lebih jauh lagi lihat, Johannes Bronkhorst, “ The Correspondence Principles and Its Critics,” Journal of Indian Philos, Springer Science+Bussiness Media Dordrecht, Universitḕ de Lausanne, Switzerland, 10 August, 2013, h. 5. 137Contoh dari analisis koherensi mengenai strategi penerjemahan, seperti batas waktu (fronting of time) atau tempat yang lebih (place adjunct) batasan objek atau pelengkap, yang kesemuanya, merujuk pada susunan tertentu (koherensi) ketimbang pada

115

acuan yang menjadi prioritas melainkan aspek linguistik yang menitik beratkan pada metabahasa atau konsep kebahasaan. Lebih jauh lagi, bukan persoalan kemampuan untuk menangkap objek sebagai fakta objektif (korspondensi) melainkan persoalan penerimaan objek itu sendiri bagi subjek sebagai suatu pernyataan yang berfungsi bagi dirinya dalam kesehariaan (koherensi). Kebenaran koherensi cenderung dikaitkan sebagai suatu keterbatasan yang absolut bagi pengetahuan (knowledge) atau ilmu (science) yang tidak bisa lepas dari aspek bahasa. Atau lebih jauh lagi, kebenaran koherensi mengutip dari Fristian, disebut sebgai epistemologi holistik (jaring) dalam pandangan Quine yang berbanding terbalik dengan epistemologi fondasionalisme (bangunan). Kedua model epistemologi tersebut juga menghasilkan pengertian yang berbeda pula terkait dengan kebenaran dan justifikasinya. Dalam fondasionalisme, seluruh bangunan pengetahuan berdiri di atas fondasi keyakinan dan justifikasi yang merujuk pada fondasi tersebut. Adapun dalam holitisme, justifikasi pengetahuan berasal dari seluruh elemen pengetahuan itu sendiri (relasi antar beragam pernyataan mengenai pengetahuan saling berhubungan). Dengan kata lain, epistemologi holistik dari Quine mengandalkan koherensi internal dari berbagai jejaring pengetahuan itu sendiri.138 Meskipun demikian menurut peneliti, kebenaran korespondensi maupun kebenaran koherensi tidak bisa dipisahkan satu sama lain yang mana yang satu berambisi pada objektivisme ilmu (fakta) sedangkan yang lainnya berambisi pada subjektivisme ilmu (penilaian). Dalam pandangan Berkeley, justifikasi pengetahuan inderawi bertolak dari persepsi inderawi yang berpihak pada model korespondensi namun dalam konteks mengenai ide abstrak dari gerak (motion or extention). Pada konteks tersebut juga, ide-ide abstrak dihasilkan dari pikiran dan persepsi inderawi namun tanpa menolak dikotomi antara ide-ide di luar diri (extention) dan ide-ide di dalam pikiran (colour). Karena dikotomi tersebut merupakan keadaan yang sulit dipahami dengan memisahkan ide-ide yang dipahami pikiran dengan ide-ide yang tidak dipahami pikiran dan terletak pada objek (di luar diri). Dengan kata lain, korespondensi bagi Berkeley merupakan hubungan relasional antara ide-ide dengan deskripsi objek- objek di luar diri.139 Menurut peneliti, bentuk korespondensi dari Berkeley justru tidak menegasikan objek eksternal sebagai bagian dari objek yang dipersepsi (perceived) melainkan menolak ambiguitas diri atas jangkauan dari ide-ide yang tidak dipahami yang berada pada objek. Pada konteks tersebut juga Berkeley tidak menolak materi (anti-materi) melainkan kritis terhadap materi (immaterialism) yang luput dari pemahaman subjek dan memiliki ide-ide yang independen di luar jangkauan subjek (perceiver). fakta eksternal. Lihat, Daniel Dejica-Cartis and Michaela Cozma dalam “Using Theme- Rheme Analysis for Improving Coherence and Cohesion in Target-Text: a Methodological Approach,” Journal of Procedia Social and Behavioral Science, Department of Communication and Foreign Languages University of Timiṣoara, Rumania. h. 892. 138Konsekuensi yang kemudian muncul dari epistemologi holistis Quine yaitu semua keyakinan atau pengetahuan memiliki kedudukan epistemik yang sama sehingga pembedaan antara keyakinan dasar (basic believe) dengan keyakinan turunan (derivative believe) menjadi tidak relevan. Lihat Fristian, Teori Kebenaran Rorty..., h. 61. 139Berkeley, Principles..., h. 10&15.

116

Teori korespondensi dalam pandangan Berkeley dapat dipahami sebagai bentuk dari sikap kritis terhadap “arogansi” sains modern yang cenderung berpihak pada materi semata (materialism). Namun korespondensi dalam arti yang berbeda yaitu kesesuaian (correspond) objek ke dalam diri subjek dalam bentuk ide-ide (ideas), bukan kesesuaian pikiran terhadap objek. Adapun sikap penentangan atas arogansi sains dalam pandangan Berkeley harus berdiri untuk ide, terletak pada persoalan kata-kata dan realitas (words are signs). Asumsinya, kata-kata yang menunjukkan ide tidak signifikan tanpa ide yang jelas yang setiap kata tersebut berkaitan dengan penggunaan akal, yang jika tidak maka hanya omong kosong. Dengan kata lain, untuk mengetahui tutur kata seseorang tidak masuk akal dan tidak berarti, tidak perlu melakukan apapun selain mengesampingkan kata-kata dan mempertimbangkan gagasan-gagasan yang disarankan oleh kata-kata itu sendiri. Pikiran tertuju (proper) pada gagasan bukan pada kata yang mana kata tidak mirip dengan gagasan yang radikalnya, kata (yang bermakna atau tidak) menjauhi realitas itu sendiri sedangkan gagasan merupakan pemahaman langsung atas realitas.140 Dalam pandangan Ibn Sînâ, justifikasi pengetahuan inderawi bertolak dari persepsi inderawi yang berpihak pada model korespondensi namun dalam konteks اللفظ ) penegasan putusan mengenai logika. Ibn Sînâ membedakan antara kata tunggal yang keduanya penting untuk memahami ,(المعنى المفرد) dan makna tunggal (المفرد yaitu kata yang tidak (اللفظ المفرد) filsafat epistemologi Ibn Sînâ. Kata tunggal bertendensi merujuk pada maknanya maupun pada bagiannya sama sekali mengenai yaitu sesuatu yang spesifik atas apa (المعنى المفرد) sesuatu. Sedangkan makna tunggal yang dimaksud oleh pikiran mengenai sesuatu hal.141 Menurut penulis, pembedaan tersebut mengafirmasi bahwa kajian logika menitik-beratkan pada hal-hal empiris yang melibatkan peran penting dari persepsi inderawi. Dalam pandangan Ibn Sînâ, pada objek-objek inderawi (مطابق/mengacu (correspond (أجسام) hal-hal inderawi .(تص هور) yang tercetak pada pikiran dalam bentuk gambaran (محسوسات) Teori korespondensi dalam pandangan Ibn Sînâ dapat dipahami sebagai bentuk relasional dari realitas di luar diri dengan pikiran, meskipun istilah tersebut tidak mengacu secara langsung pada konteks pemikiran Ibn Sînâ. Namun demikian, dapat ditelusuri dalam pemikiran Ibn Sînâ dalam (مطابق/kesesuaian (corresponding

140Seseorang yang tidak dapat langsung mengomunikasikan gagasan mereka satu sama lain, wajib menggunakan tanda atau kata-kata yang masuk akal: yang digunakan adalah untuk memunculkan gagasan itu pada orang lain (the hearer) yang berada dalam pikiran pembicara (the speaker), dan jika gagal dalam tujuan ini menjadi tidak berguna. Oleh karena itu, memahami apa yang dibaca atau didengar harus memiliki serangkaian gagasan yang muncul dalam benaknya yang berkorespondensi (correspondent) dengan “rangkaian” kata yang dibacakan atau didengar. 141Contoh dari kata tunggal yaitu kata “manusia” sebagai kata tunggal yang dimaksudkan untuk menunjuk pada makna “hewan yang berpikir” yang belum menunjuk pada saat itu juga dengan sesuatu dari bagiannya, belum memperhatikan dari apa yang ditunjuk atas kata manusia pada saat yang berlainan. Sedangkan contoh dari makna tunggal yaitu makna syâhid di jalan Allah SWT bagi para syuhadâ perang Uhud. Dengan kata lain, kata tunggal merujuk pada makna yang plural pada realitas sedangkan makna tunggal hanya merujuk pada kata tunggal pada realitas. untuk lebih jauhnya, bisa lihat Ibn Sînâ dalam, Mantiq al Masyriqiyyîn (Beirut: Dar Al-Kotob Al- Ilmiyah, 1971), h. 24-25.

117

yang hadir pada dirinya (الحدث) konteks berbeda, yaitu pada persoalan middle term sendiri ke dalam pikiran secara tiba-tiba. Persoalan mengenai middle term berkaitan dengan wilayah epistemologi (knowledge) yang menyatakan bahwa “bentuk" segala sesuatu termuat ke dalam akal aktif (active intellect) yang tercetak pada intelek seseorang (in habitu), yang kemudian disebut sebagai “kecerdasan perolehan.”142 Fokus mengenai korespondensi dalam filsafat Ibn Sînâ berkaitan dengan konteks ,(المنطوق) dalam hal ucapan (داللةالمطابقة) logika, yaitu mengenai petunjuk kesesuaian yaitu petunjuk kata atas maknanya yang sempurna. Misalnya kata “rumah” yang makna dengan hal-hal yang berkaitan dengannya (mencakup (مطابق) berkesesuaian segala aspek dari kerumahannya).143 Menurut peneliti, dari penjelasan tersebut di- atas mengenai istilah korespondensi dalam filsafat Ibn Sînâ tetap berkaitan dengan (جسم) teori kebenaran karena mempertahankan kesesuaian antara objek material .(نطق) dengan pikiran Baik Berkeley maupun Ibn Sina, keduanya sama-sama meneankan aspek penting dari korespondensi namun dengan istilah yang berbeda, Berkeley fokus pada hubungan antara ide-ide (ideas) dengan realitas sedangkan Ibn Sînâ fokus pada Menurut peneliti, keduanya .(داللة) dengan acuannya (منطوق) hubungan antara kata bisa “setara” apabila memahami baik horizon Berkeley maupun horizon Ibn Sînâ keduanya sama-sama menghadapi zaman otoritas dogmatik dan berupaya untuk meresponnya. Mengenai justifikasi kebenaran inderawi, Berkeley maupun Ibn Sînâ sama-sama bertolak pada realitas konkrit sebagai objek pengamatannya yang kemudian bisa ditafsirkan bahwa, metode yan bertolak dari pengalaman dapat didefinisikan sebagai mazhab empiris yang juga berbasis (تجريبة/experiment) ,Namun demikian pada ssub pembahasan ini 144.(رؤية/pada pengamatan (observation peneliti tidak bertujuan untuk mengklaim bahwa kedua paham filosof itu sama melainkan, hanya menunjukkan titik-titik penekanan jeduanya yang sama begitu juga dengan semangat intelektual yang serupa. Atau apabila dibagankan sebagai berikut :

142Analoginya seperti cermin yang permukaannya memantulkan benda-benda di luar dirinya tanpa suatu kekeliruan (the forms of all things as they are in themselves). Hal tersebut satu ke satu” antara pengetahuan ini dan“ (مطابق) terjadi dengan keharusan korespondensi kebenaran ontologis. Objek pengetahuan tersebut adalah realitas ontologis pada dirinya sendiri, dan realitas ontologis disertakan secara sempurna dalam pengetahuan tersebut (emanasi). Lihat Gutas, Avicenna and Aristotelian..., h. 187&198. 143Ibn Sînâ, Mantiq..., h. 28. 144Bagi seorang empiris, kedua metode pengalaman dan pengamatan cukup untuk menjadikan dirinya mendapatkan label penganut empirisme. Lihat, Frank Bodman dalam “Empiricism, ” Journal of The British Homopathic, h. 26. 118

Gambar 11. Justifikasi pengetahuan inderawi Berkeley dan Ibn Sînâ Berkeley (realisme) Subjek ------Objek pengetahuan inderawi corporeal korespondensi Ide-ide ------reduksi ------

Ibn Sînâ (realisme) Subjek ------Objek داللة لفظ Pengetahuan Inderawi مطابق ------------resiprokal منطوق

3. Pengetahuan Sistematis Bersifat Holistik dan Parsial Horizon kontemporer salah satunya berada pada persoalan rasionalitas yang berupaya untuk mengakomodir berbagai diskursus-diskursus pengetahuan untuk mencari titik temu bersama (konsensus), sebagai perluasan dari era linguistic turn.145 Menurut Sherratt, landscape dari pemikiran Habermas ada tiga poin, yaitu pertama produksi (technical interest), kedua komunikasi (practical interest) dan ketiga refleksi personal (emansipatory interest) yang ketiganya merupakan bentuk dari kegiatan rasional. Namun pada sub pembahasan ini, lebih fokus pada poin yang kedua yaitu komunikasi sebagai bentuk dari rasionalitas diskursus sebagai interes praktis yang berada dalam interaksi sosial yang meliputi penggunaan bahasa dan kekuasaan (language and power). Lebih spesifik, persoalan rasionalitas komunikatif melibatkan bahasa dan interaksi manusia yang merupakan kemampuan hermeneutik historis. Argumentasi dari rasionalitas komunikatif Habermas yaitu bahwa segala bentuk pembicaraan bertujuan menuju konsensus.146

145Menurut peneliti, Horizon kontemporer tersebut bertolak belakang dari horizon modern, yaitu rasionalitas modern untuk mencari kebenaransebagai diskursus tunggal (disensus). Salah satu gagasan penting dalam horizon komtemporer yaitu mengenai rasionalitas diskursus dari Habermas yang kontras dengan rasionalitas modern yang mengendepankan kebenaran pengetahuan tunggal berdasarkan metode ilmiah yang ketat (rigour) akurat dan representatif. 146Habermas merujuk pada kondisi yang mana tujuan dikejar dengan sebebas- bebasnya, yaitu akibat dari paksaan dan pengaruhnya sebagai situasi yang ideal untuk berbicara. Dalam keadaan tersebut, situai konsensus yang ideal untuk dicapai adalah konsensus rasional. Namun untuk konsensus yang rasional diperlukan lebih dari sekedar untuk menghindari dampak yang nyata dari pemaksaan. Hal tersebut mencakup menghindari distorsi hubungan komunikasi yang membangkitkan, yaitu, semua bentuk idiologi yang sesuai. Transendensi dari sistem komunikasi terdistorsi itu adalah idiologi, yang terjadi melalui refleksi diri. Lihat, Yvonne Sherratt, Continental Philosophy of Social Science Hermeneutics, Genealogy, Critical Theory (New York: Cambridge University Press, 2006), h. 218. 119

Rasionalitas diskursus yang mengedepankan konsensus dapat dilihat sebagai upaya untuk merumuskan kebenaran pengetahuan berdasarkan konsensus bersama, yang berarti tidak melihat suatu realitas dari satu perspektif saja (diskursus tunggal) melainkan dari berbagai perspektif (diskursus plural.) Tujuannya adalah untuk memotret pergeseran hasrat terhadap kebenaran pengetahuan yang absolut (parsial) menjadi akomodatif (holistik). Namun demikian, bukan berarti kebenaran konsensus bisa lepas dari bahasa (language) sebagai suatu media untuk menyepakati kebenaran itu sendiri. Menurut Ziarek, Heidegger mengomentari mengenai perubahan hubungan dengan bahasa yang muncul dalam konteks kritik mengenai pengurangan bahasa ke dalam isinya secara informasional. Pemahaman akan bahasa secara informasi bekerja di antara penyanggah bahasa alami dan bahasa yang diformalisasi, sehingga formalisasi menjadi cara yang paling efisien untuk memahami bahasa yang tampaknya “penting” untuk memanipulasinya secara efisien. Apa yang disebut bahasa alami menandai penggunaan bahasa biasa, yang cukup formal atau yang dapat terhindar dari kesalahpahaman, namun konsisten.147 Menurut peneliti pada tingkatan tertentu dari kebenaran pengetahuan, status bahasa bersifat netral karena merupakan medium itu sendiri untuk membahasakan suatu kebenaran, yang mana suatu medium hanyalah cara mengungkapkan kebenaran. Mengakomodir berbagai diskurus ke dalam satu kesepakatan (konsensus) rasional, memberikan tantangan (challenge) filosofis terhadap esensi kebenaran, atau sikap anti-esensi. Tantangan tersebut mendorong pada keberatan untuk meninggalkan penyelidikan (inquiry) pada intisari filsafat, bahkan sebelum mulai berfilsafat. Keberatan tersebut menantang cara tertentu yang telah dipilih untuk mulai menggunakan konsep dasar Aristoteles sebagai cara untuk memberikan laporan penyelidikan filosofis.148 Menurut peneliti, tujuan filsafat untuk menyelidiki realitas sedalam dan seluas mungkin mengarahkan untuk menyingkap realitas itu sendiri dari yang sebelumnya terselubung oleh “tirai” pikiran (mitos) menuju kejernihan (logos). Penyelidikan yang demikian mengandaikan kebenaran tunggal yang independen dari subjek yang mana pada perkembangan filsafat kontemporer, kebenaran bersifat plural yang dependen antar subjek (intersubjectivity). Dengan kata lain, terjadi peralihan secara filosofis dari perspektivisme menuju holitisisme kebenaran pengetahuan. Rasionalitas tunggal mengarah pada asumsi dasar bahwa pengetahuan (episteme) bersifat universal, suatu pernyataan yang dianggap pasti dan tidak memenuhi syarat akan terjatuh ke dalam aporia yang membingungkan. Hal tersebut karena substansi paradigmatik akan berada di luar kognisi ilmiah bersama dengan semua yang eksis secara aktual. Dalam pandangan Aristoteles, perbedaan antara

147Konsekuensi dari penggunaan bahasa sebagai informasional adalah penekanan pada kritik penggunaan bahasa atau pemikiran puitik terhadap kecenderungan bahasa yang lebih dan lebih kuat ke dalam istilah informasi pengetahuan. Bahasa yang dikeluhkan Heidegger yaitu yang dipahami secara eksklusif sebagai instrumen informasi, yang tidak hanya mengarah pada tulisan mekanis melainkan juga pada gagasan terjemahan mekanis, sebagaimana dibuktikan oleh para penerjemah internet dewasa ini. Lihat, Krzysztof Ziarer dalam Language After Heidegger (Bloomington: Indiana University Press, 2013), h. 194. 148Russell Pannier and Thomas D. Sullivan (New York: Bloomsbury, 2014), h. 19.

120

perspektif logis dan perspektif fisik, bersama dengan penegasan individualitas bentuk fisik dan esensi dan juga mengenai kesatuan materi dan bentuk, mengarah pada sesuatu yang berbedailmu murni yang universal. Namun meskipun universal, Aristoteles berangkat dari persoalan individual yang membedakan maupun mengembangkan bagi ruang pengetahuan ilmiah individu yang menjaga sains dari fungsi-fungsi penting tertentu yang universal dan realismenya. Misalnya, dengan menetapkan keberadaan dua jenis pengetahuan, actual dan potential. Selain itu juga, mengenai hal-hal yang universal berkaitan erat dengan hal-hal yang partikular yang tidak terlepas begitu saja antara keduanya yang menyebabkan jurang pemisah. Hal itu membawa pengaruh pada metodologi sains mengenai hubungan (connection) dan dampak (implication).149 Atau menurut peneliti, bisa juga ditafsirkan sebagai upaya untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi yang merupakan produk intelektual independen dan ahistoris. Rasionalitas sebagai suatu metode dan produk modernisme pada prinsipnya menjaga martabat manusia (human dignity) yang menghormati bahwa hak setiap manusia sama (equally), yang dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan rasionya. Hal tersebut berarti bahwa, kesempatan untuk mengutarakan pendapat atau pikiran sebagai tindakan rasionalitas (logos) mendapatkan porsi yang besar, dibandingkan dengan penerimaan doktrin. Martabat manusia menyoroti hak-hak sipil untuk memenuhi sistem hukum yang berpengaruh secara luas melampaui hubungan vertikal antar warga negara dan antar negaraserta menembus hubungan horizontaldi antara individu dan kelompok. Hasilnya adalah peningkatan frekuensi benturan yang menuntun klaim keseimbangan yang bersaing berdasarkan hak-hak dasar. Putusan dalam kasus-kasus sulit sering dicapai dengan memanfaatkan pelanggaran martabat kemanusiaan yang dasar keabsahannya mutlak sebagai prioritas dalam diskursus peradilan.150 Menurut peneliti, pada iklim “masyarakat rasional,” penerapan kesetaraan hak untuk berpendapat dan merumuskan sendiri dasar-dasar kehidupan yang disepakati antar kelompok menjadi syarat yang penting keberlangsungan diskursus di Eropa. Etika diskursus memainkan peranan penting bagi masyarakat modern untuk merumuskan justifikasi norma-norma moral universal yang menolak bentuk skeptisisme dan mengafirmasi percakapan (konsensus). Dalam konteks tersebut, Habermas menekankan bahwa fenomena moral hanya dapat disangkal apabila mengambil perspektif orang ketiga mengenai kehidupan dan interaksi keseharian; setelah mengambil perspektif peserta pertama (dalam diskursus). Selain itu, mengafirmasi bentuk dari perspektif pengamat (observers), sekaligus menyangkal

149Lihat, Alfredo Marcos, Postmodern Aristotle (New York: Cambridge Scholars Publishing, 2012), h. 70-73. 150Memahami sifat diskursus yang bersifat terbuka dan rasional, dapat berangkat dari konsepsi mengenai martabat manusia (human dignity) sebagai fungsi seismograph yang mencatat apa yang merupakan dasar untuk suatu tatanan hukum demokratis, yaitu hak-hak yang harus diberikan oleh warga suatu komunitas politik kepada diri mereka sendiri agar mereka dapat saling menghormati sebagai anggota dari perkumpulan orang merdeka dan sederajat secara sukarela. Lihat, Jṻrgen Habermas, “The Concept of Human Dignity and the Realistic Utopia of Human Right,” Journal Compilation, Journal of Metaphilosophy, LLC and Blackwell Publishing, UK: Oxford, Vol. 41, No. 4, July 2010, h. 468-469. 121

penggunaan berlebih hermenuetik, yang terpusat pada pendekatan partisipan. Argumentasinya bahwa kognitivisme dapat berhasil dibela jika memberikan klaim normatif yang kuat sebagai kandidat kebenaran dan sebaliknya mengadopsi posisi yang lebih lemah sebagai sesuatu yang sama dengan klaim kebenaran. Konsekuensinya, terdapat dua pemisahan antara klaim kebenaran (truth claims), yaitu mengenai seperti apa dunia objektif itu dan klaim kebenaran normatif (normative rightness claims), yaitu mengenai bagaimana dunia intersujektif dapat diterima. Etika diskursus dalam kontek tersebut mengadopsi model kebenaran yang kedua, bahwa fakta sebagai klaim normatif harus secara sah berpihak pada hubungan interpersonal.151 Formulasi pengetahuan model diskursus mengakomodir perspektif holistik sedangkan pengetahuan model persepsi mengakomodir perspektif parsial. Konsepsi dari perspektif holistik merupakan keterkaitan pengalaman pribadi dan profesional serta penggunaan proses pemikiran secara sadar, rasional dan intuitif. Identitas mengenai kelompok diskursus menjadi penting yang secara filosofis, merupakan hasil dari abstraksi-abstrak yang tidak dapat diakses atau diamati secara langsung. Meskipun demikian, identitas seserang dapat dinyatakan dalam bentuk kepercayaan, asumsi, nilai dan tindakan, yang juga dalam berbagai cara orang memahami dan menafsirkan diri sendiri dan dunia. Dengan cara yang berbeda, sudut pandang dan persepsi diri sendiri mungkin adalah bentuk yang paling mengesankan dan bentuk untuk memanifestasikan dan mengekspresikan jati diri seseorang.152 Dalam konteks komunikasi menurut peneliti, identitas seseorang (peserta diskursus) secara personal maupun kelompok memiliki porsi yang sama untuk “menyuarakan” suatu kebenaran mengenai pengetahuan apa yang diyakininya. Artinya dalam perspektif yang holistik, kebenaran mengenai pengetahuan bersifat tentatif berdasarkan kurun waktu tertentu dan menggambarkan horizon yang tertentu pula. Dalam konteks kesejahteraan hidup (well-being) organisasi sosial atau civil society berfungsi lebih baik dengan keanggotaan yang sehat secara mental yang terlibat dalam setiap aspek kegiatan mereka yang menjadi matrix kunci dalam mengavaluasi keberhasilan secara masyarakat. Kesejahteraan hidup (well being) lebih dari sekedar tidak adanya penyakit mental dan melibatkan tingkat tinggi dari sejumlah aspek kesejahteraan psikologis, termasuk penerimaan diri (self- acceptance), tujuan hidup (purpose in life), hubungan yang positif dengan orang lain dan penguasaan lingkungan dan otonom. Dalam konteks tersebut, orang-orang kaya raya disebut makmur (flourishing) dalam kehidupan sedangkan gejala-gejala

151Karena itu, sama seperti menarik fakta sebagai alasan untuk menegaskan kebenaran, dengan mengajukan banding yang sah yaitu berpihak pada hubungan internasional sebagai alasan untuk penilaian norman sosial. Lihat, Amy Allen, “Discourse, Power, and Subjectivation: The Foucault/Habermas Debate Reconsidered,” Journal of The Philosophical Forum, 2009, h. 8-9. 152Emese Bukor, “Exploring Teacher Identity From a Holistic Perspective: Reconstructing and Reconnecting Personal and Professional Selves,” Journal of Teachers and Teaching: Theory and Practice, Department of Curriculum, Teaching and Learning, Ontario Institute for Studiesin Education, University of Toronto, Canada, h. 2.

122

kesehatan mental yang rendah disebut merana (languishing).153 Menurut peneliti dalam konteks tatanan sosial, kesejahteraan hidup (well-being) menjadi faktor pemicu terjadinya diskursus (mencakup aspek materil dan immateril) yang pemerataannya tidak terjadi secara proporsional. Hal tersebut merangsang terjadinya upaya untuk berdialog mencari dasar pijakan bersama sebagai suatu klaim yang menampung berbagai aspirasi kelompok diskursus. Meskipun rasionalitas diskursus mengakomodir formulasi pengetahuan yang kebenarannya diakui bersama atau holistik, namun mengesampingkan aspek lain secara ketat (rigour) berdasarkan keahlian (expertise), hak istimewa (priviledge) dan kompetensi epistemologis. Ketat dalam arti suatu pengetahuan berdasarkan disiplin ilmu tertentu, yang dikuasai berdasarkan kapabilitas diri serta hak istimewa (priviledge) yaitu otoritas untuk menjadi “hakim” bagi pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dalam hal tersebut, filsafat dan para filosof modern yang berkutat pada persoalan epistemologi, tidak terkecuali Berkeley, memandang subjek (perceiver) mampu untuk mengetahui realitas apa adanya dan mengkonstruksinya sebagai suatu pengetahuan inderawi. Menurut Berkeley, semua orang dapat mempersepsi secara langsung (immediate), membicarakan mengenai warna, suara dan sebagainya yang semua gagasan tersebut terdapat dalam pikiran tiap-tiap orang. Namun, kelemaham dari pandangan Berkeley justru bahwa tidak ada yang dapat mempersepsi secara langsung gagasan dalam pikiran orang lain (memahami hal yang sama secara serentak dan keseluruhan).154 Masih berkaitan dari sebelumnya, Berkeley berargumentasi bahwa esse is percipi bahwa satu langkah disajikan sebagai bukti keberadaan Kecerdasan Yang Maha Ada dan Maha Tahu.155 Bagi Berkeley, pengetahuan perlu didasarkan pada persepsi agar memahami realitas ontologis yang dipahami oleh akal sehat manusiawi. Karena Berkeley berpandangan bahwa filsafat tidak lain selain belajar kebijaksanaan dan kebenaran, yang memungkinkan untuk expected bahwa yang telah menghabiskan sebagian besar waktu dan rasa sakit akan menikmati ketenangan yang baik dan kejernihan pikiran serta bukti yang lebih besar mengenai pengetahuan yang kurang terganggu dengan keraguan dan kesulitan, lebih dari orang lain. Namun demikian, sebagian besar umat manusia yang buta huruf (illiterate) berjalan di jalanan yang biasa dengan praktis akal sehat (common sense) dan dikendalikan oleh aturan alam untuk sebagian besar mudah dan tidak terganggu. Konsekuensinya, bagi kebanyakan orang kurang sensitif terhadap ketidakpercayaan (unaccountable) atau sulit untuk berpikir menyeluruh.156Menurut peneliti, pandangan Berkeley tersebut mengkonfirmasi

153Anthony . Grant, “ROI is a Poor Measure of Coaching Success: Towards a More HolisticApproach Using a Well-Being and Engagement Framework,” Journal of Coaching: An International Journal of Theory, Research and Practice, Coaching Psychology Unit, School of Psychology, University of Sydney, Australia,18 May 2012, h. 78. 154Konsekuensinya yaitu bahwa terdapat cara berbicara yang dilakukan oleh tiap- tiap orang di dalam diri sehingga mereka mau tidak mau akan menemukan jalan mereka bahkan ke jalan miliknya sendiri. Lihat, George Pitcher, “Berkeley on the Perception of Objects,” Journal of the History of Philosophy, Vol, 24, No, 1, January 1986, h. 103 155Lihat David Darby, “esse percipi , Sein Ist Wahrgenommenwerden Perception and Perspective in Berkeley and Canetti,” Journal of Neophilologus, 1991, h. 430. 156Berkeley, principles three dialogues..., h. 51. 123

model epistemologi yang ketat (membedakan kualitas dan kognisi), representasi (kemampuan pikiran atau gambaran mental untuk menggambarkan dunia) dan privilledge (keistimewaan filosof memahami realitas yang lebih baik). Karenanya, Berkeley memahami epistemologi sebagai sistem pengetahuan (knowledge as system) untuk mengetahui realitas dan kebenaran yang merupakan bagian dari kemampuan pikiran yang bersifat otonom. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kognisi subjek (personal) dengan diskursus komunal (interpersonal). Misalnya mengenai perasaan moral (a moral sense) yang bersifat ketat (strictly), tepat (properly) dan benar-benar demikian (truly such) menjadi milik setiap orang walaupun semua mungkin tidak mengamatinya. Selain itu, diskursus dan opini dalam pandangan Berkeley bukan untuk mencari suatu kesepakatan atau landasan yang disepakati bersama (konsensus), melainkan tetap mengarah pada pandangan yang memiliki landasan filosofis yang kokoh. Karenanya, Berkeley meyakini bahwa seorang filosof memiliki pengetahuan yang sejati (high sense of virtue) atas realitas.157 Menurut peneliti, upaya Berkeley menjadikan pengetahuan sebagai sistem dengan pandangan bahwa terdapat kebenaran pengetahuan yang sejati yang mencerahkan (sight) yang mengatasi situasi zaman (bersifat ahistoris). Selain itu, Berkeley memberikan keistimewaan (privilledge) bagi para filosof untuk mengkonstruksi pengetahuan dibandingkan orang-orang kebanyakan, yang berarti bahwa mengutamakan pandangan filosofis ketimbang opini. Persoalan pengetahuan bagi Berkeley bukan persoalan mengenai formulasi kebenaran berdasarkan kesepakatan (discourse) melainkan formulasi kebenaran berdasarkan “ketergantungan” (dependence) pikiran atas realitas (sensible objects). Hal tersebut yang memungkinkan munculnya ide-ide atau konsep (abstrak) universal yang dihasilkan melalui proses abstraksi untuk menekankan bahwa penerimaan doktrin menuntun pada masalah filosofis dan praktis yang serius. Namun ketergantungan pikiran pada objek-objek inderawi mencakup bahwa keberadaan objek semacam itu tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karena dipersepsi. 158 Dengan kata lain, konsepsi-konsepsi penting merupakan bentuk pemahaman terhadap realitas yang dihasilkan melalui proses independensi pikiran, bukan merupakan produk diskurus semata. Salah satu pandangan Ibn Sînâ yaitu bahwa pengetahuan berkaitan dengan suatu objek eksternal yang dipahami melalui proses persepsi, yang ditegaskan melalui proposisi-proposisi. Menurut Adamson, fakta bahwa Ibn Sînâ harus menentukan variasi individu pada tingkat prinsip-prinsip pengetahuan (principles of knowledge) karena pengetahuan berkaitan dengan relativisme istilah-istilah (terms) yang membentuk pernyataan (propositions) sebagai bukti yang jelas. Namun terkadang variasi tersebut tidak berdasarkan observasi sehingga tidak memiliki jaminan atas kebenarannya. Namun demikian, lanjut Adamson, Ibn Sînâ tetap yakin bahwa proposisi memerlukan kepercayaan yang dapat diandalkan dan pasti (necessitates a belief that is reliable and certain).159 Menurut peneliti, upaya Ibn Sînâ untuk membangun sistem pengetahuan inderawi bertolak dari pemisahan yang

157Berkeley, Alchipron..., h. 64&73. 158Rickless, “Idealism in Berkeley”..., h. 737-739. 159Adamson, Avicenna..., h. 133

124

,(المدرك) dan objek yang dipersepsi (المدرك) tegas antara subjek yang mempersepsi Dengan pemisahan .(القضيهة) yang kemudian ditegaskan dalam bentuk putusan tersebut dapat pula diartikan sebagai ketergantungan pikiran (mind-dependence) atas objek eksternal (relity/corporel) untuk mendapatkan pengetahuan. Atau eksplisitnya, terdapat suatu realitas objektif di luar subjek yang dapat dikontruksi sebagai suatu pengetahuan inderawi subjek. (اإلدراك) Bagi Ibn Sînâ, pengetahuan inderawi berdasarkan pada persepsi yang melekat pada (محسوسات) berdasarkan objek inderawi (اآللة) sebagai instrumen Namun bukan .(النفس الحيوان) manusia maupun hewan milik fakultas hewan bertujuan untuk mempertegas kedua perbedaan tersebut melainkan, untuk Ibn .(اآللة) menyamakan bahwa keduanya memerlukan persepsi sebagai instrumen Sînâ menegaskan pemisahan antara fakultas hewani dan fakultas insani namun bukan berarti keuanya tidak saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Jiwa rasional milik manusia dalam pandangan Ibn Sînâ, memiliki kemampuan praktis dan teoritis yang kedunya agak sama dan disebut kecerdasan (intelligence). Praktis adalah prinsip pergerakan tubuh yang mendesak untuk bertindak (deliberate and purposive) yang memiliki korespondensi tertentu dengan kecakapan fakultas hewani yaitu daya imajinasi dan estimasi.160 Dalam konteks tersebut menurut peneliti, persepsi menjadi sarana penting untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi sensible things/corporeal).161/محسوسات) Dengan kata lain, kemampuan untuk mengetahui “tergantung” pada kemampuan diri untuk mempersepsinya, bukan semata-mata persoalan konsensus antar kelompok. Persoalan pengetahuan bagi Ibn Sînâ bukan persoalan mengenai formulasi kebenaran berdasarkan kesepakatan (konsensus) melainkan formulasi kebenaran berdasarkan “ketergantungan” (dependence) pikiran atas objek eksternal konkrit atau kemampuan subjek. Menurut Adamson, Ibn Sînâ membedakan antara (الجسم) pernyataan demonstratif maupun retoris yang mana sebagian besar keyakinan dari orang banyak berasal dari otoritas yang lain. Namun bukan berarti Ibn Sînâ mengklaim bahwa pernyataan yang diterima itu (retoris dan otoritatif) salah, dan memang ia menunjukkan bahwa beberapa bisa jadi memang salah. Hanya saja memiliki nilai epistemik yang lebih rendah jika orang yang memegang suatu pernyataan tidak berdasar pada pembuktian independen untuk menerimanya. Dalam kasus pendapat yang diterima (received premises), faktor utama tampaknya adalah yang banyak mewakili kebenaran yang hanya dapat diverifikasi dengan proses diskursif inferensial (yang mewakili kesimpulan potensial argumen, bukan pendapat perorangan). Jadi menerima pernyataan (premises) berdasarkan otoritas mewakili kasus paradigmadari apa yang filosof Arab dan Teolog katakan sebagai taqlîd, yaitu

160Soheil, Avicenna Work...,h. 138. 161Misalnya Dalam memformulasikan obat juga memerlukan metode pengalaman dan penalaran untuk menemukan seperangkat hal yang berkaitan dengan farmasi. Kedua hal tadi juga menjadi bagian dari metode Ibn Sînâ. Bagi Ibn Sînâ, pengalaman merupakan aturan dasar bagi metode penemuan dampak obat dalam farmasi yang menekankan efek dari obat sebagai petunjuk penting dan handal serta hal yang prinsipil. Lihat, Kamran I. Karimullah, “Avicenna and Galen, philosophy and medicine: Contextualising, Discussions of Medical Experience in Medieval Islamic Physicians and Philosophers” dalam Leiden Oriens Brill, 2017, h. 128.

125

kepatuhan partisan untuk keyakian berdasarkan otoritas saja.162 Menurut Peneliti, Ibn Sînâ tidak begitu saja menerima klaim kebenaran pengetahuan yang berdasarkan kesepakatan bersama maupun otoritas (authority) karena tidak memberikan porsi terhadap burhân untuk memeriksa validitasnya,163 atau apabila dibagankan, sebagai berikut:

Gambar 12. Model Kebenaran Pengetahuan kontemplatif Perspektif Subjek /perceiver Objek/perceived

Satu perspektif ------Kebenaran/truth Proposisi

Gambar 13. Model Kebenaran Pengetahuan Konsensus Subjek/perceiver Objek/perceived

Ragam perspektif ------Kebenaran/truth Diskursus

Upaya untuk mengambil sikap sebagai standing position antara Berkeley dan Ibn Sînâ menjadi penting bagi peneliti untuk menguraikannya secara singkat guna menunjukan keutamaan dan kelemahan dari keduanya. Yang mempertemukan

162Ibn Sînâ terkadang merujuk pada sub-kategori pemikiran yang diterima secara luas sebagai “konvensional” (praiseworthy) merupakan apa yang dianggap moral dalam kelompok sosial tertentu. Suatu terminologi yang mencerminkan fakta bahwa proposisi pada dasarnya bersifat etis dan politis. Meskipun banyak orang menerima pernyataan ini (taqlîd) seolah-olah sebagai kebenaran dasar, namun Ibn Sînâ bersikeras bahwa hal tersebut bukan namun tertanam dalam jiwa karena kebiasaan yang telah dilakukan dan ,(غير الفطريهة) bawaan berulang sejak masa kanak-kanak. Hal tersebut sebagai faktor sosial dan emosionalyang menghasilkan persetujuan tersebut, seperti, hasrat manusia akan keharmonisan dan perdamaian, perasaan bersalah dan persahabatan, suatu kebiasaan-kebiasaan lama yang tetap dan tidak dibatalkan dan sejumlah dorongan. Poin pentingnya yaitu bahwa sifat politik dan sosial yang pantas bagi manusia mendorong untuk menerima kebenaran praktis mengenai kebiasaan dan kepercayaan yang mempromosikan persatuan politik dan kepercayaan moral umum yang dibagikan oleh suatu masyarakat yang mewakilipraktek-praktek dan aturan- aturan untuk memenuhi tujuan tersebut (taqlîd). Keterbatasan epistemik yang Ibn Sînâ tempatkan pada keyakinan populer (taqlîd) merupakan sebagian fungsi dari fakta bahwa keyakinan tersebut merupakan praktek yang hanya bermakna dalam konteks perjanjian sosial dan lembaga (social conventions and institutions) Lihat, Adamson, Avicenna..., h. 134-135. 163Karenanya kebenaran pengetahuan bagi Ibn Sînâ berdasarkan pada porsi pikiran dengan kebenaran (مطا بق) dan mengujinya yang berkesesuaian (عرفه) untuk mengenalinya pada dirinya. 126

keduanya yaitu bahwa dalam kajian epistemologi, melibatkan “jiwa” sebagai suatu daya yang memungkinkan kegiatan mempersepsi itu sendiri. Karenanya, jiwa menjadi sesuatu yang krusial untuk mengenal proses yang terjadi di dalam diri yang berarti bahwa upaya mengenal diri menjadi bagian dari upaya mengenal Tuhan. Dalam redaksi yang berbeda, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi seseorang yang ingin mengenal Tuhan perlu menyimpulkan mengenai adanya kewajiban untuk mengetahui analogi rasional sebagai keutamaan untuk lebih mengenal Allah SWT, sebagai suatu perintah syariat.164 Atau bagi yang seolah melihat (العارف با هللا) pertentangan antara syariat dengan hikmah, hal tersebut karena belum ajeg atas kedua ilmu tersebut.165 Persoalan epistemologi bagian dari bidang kajian filsafat, merupakan bentuk “akulturasi” dengan kebudayaan Yunani yang bersifat intelektual. Bagi Al Ghazâlî, manfaat mempelajari mantiq Aristoteles tidak terbatas pada jalan masuk kepada yang tidak diketahui dari yang diketahui (demonstrasi) melainkan menetapkan pembeda antara orang berilmu dari orang bodoh atau kesempurnaan jiwa dan kebahagiaannya.166 Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ keduanya sama-sama mengafirmasi aspek -faculty) melalui proses persepsi atas objek/الق هوة) proses kemampuan pengenalan diri objek eksternal. Secara epistemologis, keduanya memiliki perangkat filosofis yang mengandalkan indera-indera untuk mengenali objek-objek korporeal. Dengan kata lain, kegiatan persepsi dapat pula diartikan sebagai mendapatkan sesuatu dari apa yang merupakan suatu hasil. Menurut 167,(حصول المدرك فى ذات المدرك) yang dipersepsi peneliti, antara realisme Berkeley dan Ibn Sînâ keduanya memiliki porsinya tersendiri yang bagi peneliti, dlam konteks pengetahuan inderawi lebih mumpuni realisme model Ibn Sînâ. Alasannya, Ibn Sînâ memisahkan secara tegas objek inderawi dengan subjek yang mempersepsi yang berkonsekuensi pada, mana kualitas yang bercampur dengan materi dan mana yang terlepas dari materi yang terjamin (proven). Bentuk keterjaminan pemikiran Ibn Sînâ terletak pada peluang ketersediaan bagi penyesuaian (correspond) gagasan di dalam pikiran terhadap realitas eksternal. Adapun Berkeley, cenderung berpotensi terhadap jebakan solipsisme mengenai klaim pengetahuan inderawi karena berkutat pada kebenaran di dalam pikiran semata. Kesiapan jiwa merupakan nilai berharga bagi pengalaman dan perbaikan diri sebagai jalan kebenaran yang berkaitan dengan ikhlas dan akal yang

164أبي الوليد مح ّمد ابن أحمد ابن رشد، كتاب فصل المقال و تقرير ما بين الشريعة والحكمة من االتصال )بيروت: دار المشرق، 1986(، 30. Atau dalam edisi terjemahannya, Ahmad Shodiq Noor, Kaitan Filsafat Dengan Syariat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 6. 165ابن رشد، الكشف عن المناهج األدلة في عقائد الملة )بيروت: مركز دراسات الوحدة العربية، 2001(، 153. 166علي سامي ال ّنشار، منا هج البحث عند مفكري اإلسالمي و ا كتشاف المنهج العلمي في العالم اإل سالم ّي )بيروت: دار النهضة العربية، 1983(، 167. 167 سيد مح ّمد انتظام، قوة خيال وادراك خيالى ازديدكاه ابن سينا و سهروردى )زمستان،١٣٩٢(، ص. .34

127

tidak diperuntukan bagi yang menderita penyakit jiwa.168 Konteksnya, bahwa klaim kebenaran pengetahuan inderawi yang tidak mengacu pada realitas eksternal, atau mereduksinya secara ekstrim, mengganggu akal sehat bagi sebagian orang yang kurang memahaminya (Samuel Jhonson).

D. Simpulan Bab Sistem epistemologi Berkeley dan Ibn Sînâ dalam penelitian ini dibaca- tafsir serta dipahami dalam bingkai hermeneutis Gademerian yang menekankan aspek penting wirkungsgeschichte, horizontvershmelzung dan bildung. Sasaran pembacaan yang demikian mengarah pada tujuan t anpa maksud untuk tercerabut ke dalam horizon keduanya. Baca-tafsir yang demikian memberikan pemahaman bahwa keduanya sama-sama memberikan porsi penting bagi persepsi untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi. Persepsi Berkeley berdasarkan asumsi bahwa persepsi mengenai objek atau isi pengetahuan bersifat internal yakni hasil dari pemahaman pikiran berupa ide-ide(ideas). Sedangkan Ibn Sînâ, berdasarkan asumsi bahwa persepsi mengenai objek atau isi pengetahuan bersifat eksternal dan Konsekuensinya, materi bagi Berkeley tidak lebih dari .(معني dan صورة) internal entitas gagasan semata sedangkan materi bagi Ibn Sînâ berkaitan dengan entitas di luar dan gagasan. Namun kesamaan keduanya yaitu dalam hal relasi atara subjek (pikiran) dengan objek (materi) bahwa untuk mengkonstruksi realitas, memerlukan pikiran yang akurat dan representatif. Karenanya, Ibn Sînâ berpihak pada model persepsi representasional, yang merepresentasikan objek tanpa تص هور mana gambaran-gambaran pikiran atau mereduksinya ke dalam subjek (holistik-objek). Sedangkan Berkeley berpihak pada model persepsi formal yang mana objek-objek langsung dipahami oleh pikiran, yang mereduksi objek ke dalam subjek (parsial-objek). Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ keduanya memiliki previlledge untuk megakses pengetahuan berdasarkan prinsip epistemologis masing-masing sebagai upaya untuk membangun sistem pengetahuan. Keduanya juga “menganut” paham realisme dalam menjustifikasi kebenaran yang sebagai objek (محسوسات/bertolak dari realitas eksternal inderawi (senisble pengetahuan inderawi. Konsekuensi dari model pengetahuan inderawi Berkeley dan Ibn Sînâ yang menekankan akurasi dan representasi pikiran yaitu keduanya menekankan pentingnya kriteria dan deskripsi kebenaran serta pengetahuan yang sistematis. Kembali lagi pada keterjaminan (proven) dari gagasan filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ mengenai pengetahuan inderawi, peneliti berpihak pada model realisme kritis representasional Ibn Sînâ. Alasannya, karena lebih akuntable atau dapat dipertanggung-jawabkan secara kuat, yaitu dengan melibatkan objek eksternal sehingga menegaskan kualitas-kualitas yang di objek maupun yang di subjek ketika membicarakan objek pengetahuan inderawi (corporeal). Selain itu juga, dari aspek proses mempersepsi, model Ibn Sînâ lebih jelas dengan memisahkan mana kegiatan mempersepsi yang melibatkan secara eksternal dan internal secara simultan dan

168عبد اللطيف القيد ، الط ّب ال ّروحانى ألبى بكر ال ّرازى )مكتبة النهضة المصرية، 1978(، 14.

128

mana yang hanya secara internal tanpa melibatkan eksternal. Meskipun demikian, secara epistemologis justru keduanya saling melengkapi satu-sama lain, yaitu Berkeley cukup meyakinkan ketika mendukung tesis bahwa segala sesuatu dipahami dengan persepsi sehingga menegasikan kualitas-kualitas yang bersifat dualistis. Namun demikian, Ibn Sînâ cukup lebih meyakinkan dengan konsekuensi kemandirian objek materi dari subjek yang mempersepsinya, bahwa keduanya merupakan entitas yang berbeda. Menurut Deborah, memperbincangkan prinsip pengetahuan Ibn Sînâ, terdapat berbagai unsur alami dalam epistemologinya, namun tetap mengarah pada model pengetahuan inderawi sebagai upaya mencari kapastian yang mencakup hal-hal subjektif yang terbuka bagi introspeksi. Secara eksplisit, lanjut Deborah, Ibn Sînâ membela bentuk moderat atas fondasi yang mengakui keberadaan beberapa keyakinan dasar yang tepat. Hal tersebut mengafirmasi bahwa pengetahuan memeiliki beberapa keterandalan, yaitu epistemologi yang berpihak pada psikologis mengenai kualitas intelektual, dan diri untuk mencapai tingkat justifikasi dari apa yang diyakini 169

169Peter Adamson, Interpreting Avicenna (New York: Cambridge University Press, 2013), h. 141.

129

BAB V PENGETAHUAN INDERAWI SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMBANGUN SISTEM (SYSTEMIC) ATAS REALITAS BAGI BERKELEY DAN IBN SÎNÂ

Bab terakhir ini merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya yang telah menganalisis mengenai persamaan dan perbedaan dalam hal komparasi pemikiran filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ. Titik tekan komparatifnya yaitu terletak pada persepsi untuk mengkonstruksi realitas sebagai pengetahuan inderawi. Adapun bab ini fokusnya berbeda yaitu untuk membawa hasil komparasi filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ pada relevansi berdasarkan penegasan pada situasi membangun sistem pengetahuan (systemic knowledge). Sistem pengetahuan yang dimaksud yaitu situasi dimana kognisi ukuran sebagai bentuk akurasi dan representasi atas realitas kebenaran universal bukan kebenaran yang dihayati berdasarkan ukuran konsensus sosial atau kebenaran komunal. Atau eksplisitnya, kebenaran kontemplatif atau filosofis yang epistemik dan ketat (rigour) bukanlah kebenaran yang dihayati itu sendiri dalam situasi sosial. Sebaliknya, sesuatu yang dihayati oleh kebanyakan orang tanpa dasar filosofis sekalipun merupakan yang dianggap sebagai kebenaran itu sendiri bagi kebanyak orang. Misalnya, kasus faktual mengenai obat dari virus corona yang mana bagi kebanyakan orang menghayati ramuan tradisional seperti jahe, empon-empon dan sebagainya tanpa didahului oleh pengujian secara klinis. Sedangkan bagi yang memiliki keahlian dalam bidang kesehatan, meyakini bahwa obat dari virus corona masih belum final karena melalui pengujian klinis yang bertahap. Kebenaran filosofis dalam konteks ini, yaitu formulasi Berkeley yang berpihak pada bentuk akurasi sedangkan Ibn Sînâ lebih pada bentuk representasi. Kembali lagi pada kasus corona sebagai perumpaan, persoalannya yaitu bagaimana kebenaran yang berdasarkan keahlian (expertise) atau formulasi filosofis untuk membangun sistem pengetahuan (systemic knowledge) masih relevan dengan kekinian. Seputar persoalan itulah fokus yang akan dibahas dalam bab terakhir ini.

A. Relevansi Pengetahuan Dengan Keahlian 1. Antara Pandangan Ahli1 (expert) dan Pandangan Awam (laypeople) Penting untuk terlebih dahulu menjernihkan perbedaan antara pandangan ahli dan pandangan awam dalam situasi kekinian karena klaim pengetahuan terkadang muncul melalui siapa saja. Seorang ahli (expertise) dalam konteks ini mewakili pandangan yang mengandalkan persepsi yang akurat dan representatif sebagai suatu pemahaman yang benar mengenai pengetahuan.2 Sub pembahasan ini peneliti

1Sistem hak istimewa (the privilege system) atau keahlian (expertise) pada prinsipnya berupaya untuk menyatukan berbagai kalangan baik intelektual ataupun kesenian dalam satu metode yang dapat digunakan bersama sehingga memungkinkan para aktor dari latar belakang sosial yang berbeda untuk mengembangkan mode baru pengetahuan bersama. Lihat, Marius Buning, “Inventing Scientific Method: the Previlege System as a Model For Scientific Knowledge-Production,” Journal of Intellectual History Review, The University of Manchester Library, 26 April 2014, h. 64. 2Misalnya, persepsi yang akurat mengenai penyebaran virus corona melalui hasil eksperimen, yaitu korelasi antara kenyataan (fakta) dan pikiran (putusan) serta disuarakan

130

elaborasi lebih lanjut dari penelitian Tom Nichols mengenai The Death of Expertise atau matinya kepakaran. Hal itu karena pokok-pokok persoalan dalam penelitian tersebut sejalan dengan pokok pembahasan atau hipotesa dalam penelitian ini dengan beberapa penekanan-penekanan yang mengarahkan pada tujuan dari penelitian ini. Secara garis besar, penelitian mengenai matinya kepakaran dapat dipahami dalam konsep yang lebih besar dari “postmodern society” di mana kebenaran dasarnya tidak ada lagi, bahkan standar modern pengetahuan ilmiah. Adapun secara garis besar, matinya kepakaran (The Death of Expertise) merupakan bentuk penolakan dari pengetahuan yang sudah mapan (the denial of established knowledge).3 Distingsi antara pandangan ahli dan awam dapat dimengerti dengan asumsi dasar bahwa terdapat privilledge tertentu dari pandangan seorang ahli (expert) untuk menggambarkan realitas lebih akuntabel dari pandangan awam. Menurut Nichols, pentingnya seorang ahli karena suatu kecenderungan di suatu wilayah atau negara tertentu yang mana sangat menghormati dan mengandalkan pandangan para pakar. Namun keadaan tersebut berubah karena ruang publik semakin didominasi oleh kurangnya informasi, dikarenakan sebagian besar belajar sendiri dan memandang rendah pendidikan formal serta meremehkan pengalaman. Asumsinya berdasarkan keterbukaan informasi yang seolah menyingkirkan pengetahuan dan diskusi dengan seorang pakar sama artinya dengan menyalin informasi dari satu drive ke drive lainnya.4 Menurut peneliti, kerancuan pertama dari pandangan bahwa pakar telah mati yaitu dengan menyamakan antara pengetahuan dengan informasi yang terprogram secara digital, yang mana keduanya sangat berbeda. Lebih eksplisit lagi, informasi yang diperoleh secara digital bukanlah pemahaman itu sendiri, terlebih pengetahuan.5 Teknologi sebagai suatu perkembangan dari sains merupakan sesuatu yang penting yang menunjukkan situasi atau keadaan peradaban kemanusiaan yang terus berproses. Fungsi klasik teknologi yang dilukiskan Freud, mengutip Haworth, yaitu sebagai “organ-organ tambahan” (auxiliary organs) yang dirancang berdasarkan model organ-organ yang dikembangkan. Seperti, teleskop atau lensa mikroskopis untuk memperluas persepsi visual atau tulisan dan fotografi sebagai “tubuh tiruan” untuk daya ingat (prostheses for memory). Sebaliknya, fungsi modern teknologi (media) pada abad kedua puluh satu tidak menggunakan kemampuan yang sudah oleh “pemangku” keahlian dalam organisasi kesehatan dunia (who) bahwa gagasan (ideas) mengenai penyebaran virus corona tidak melalui udara melainkan percikan liur yang tersentuh dan terbawa ke tubuh yang tertular. Sedangkan persepsi yang representatif bahwa penyebaran virus corona melibatkan persoalan kualitas virus (primary qualities) dan kualitas diri (secondary qualities) yang mana imun tubuh juga ikut berpengaruh terhadap penyebaran virus corona. 3Terry L. Cooper, dalam Public Administration Review Vol 78, iss no. 2, 2018, review buku Tom Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Metters (New York: Oxford University Press, 2017), h. 320. 4Tom Nichols, Matinya Kepakaran..., h. 16. 5Karena, sejatinya informasi digital merupakan data awal yang dapat dibaca, dimiliki, diduplikasi maupun disebarkan namun berarti orang tersebut memahaminya dengan cermat ke dalam kepalanya.

131

ada namun menghubungkan pengalaman manusia dengan ranah baru yang tidak memiliki akses langsung dan perseptif.6 Menurut peneliti, pengetahuan, keahlian dan sains merupakan ketiga elemen penting yang saling mempengaruhi satu dengan yang mana manusia adalah “majikannya”. Dengan kata lain menurut peneliti, teknologi seharusnya melayani manusia untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis operasional dalam keseharian. Hal yang penting untuk dipertegas yaitu mengenai status dan relevansi antara persepsi dan keahlian. Ketika berbicara mengenai keahlian, salah satunya berkaitan dengan belajar dalam bidang kegiatan spesialis kerja untuk beraktivitas dalam dunia sehari-hari, non-ahli. Namun pernyataan mengenai keahlian terkadang hanya sesuai bagi seorang peneliti serangga yang mengandalkan pengetahuan mengenai tingkat spesifikasi mengenai jenis. Ketika menghubungkan keahlian dengan seseorang, hal tersebut di bangun di atas kemampuan yang sudah ada untuk menilai tindakan (appraise action), yaitu kemampuan yang merupakan elemen integral dalam konsep mengenai pengetahuan. Hubungan kemampuan persepsi awal (early perceptual abilities) dengan pemahaman tentang apa yang diketahui merupakan dua pola yang relevan antara persepsi dan keahlian. Eksplisitnya, seorang musisi atau komposer dengan berbagai kemampuan persepsinya (expert) untuk mengenali nada berbeda dramatis dengan penikmat musik yang menikmati harmonisasi nada maupun suara (perception).7 Dengan kata lain menurut peneliti, terdapat distingsi tegas antara persepsi dan keahlian yang mana keahlian perlu melibatkan kemampuan dalam mempersepsi namun tidak setiap orang yang mempersepsi dapat dikatakan ahli. Selain persoalan mengenai persepsi dan keahlian, hal penting lainnya yaitu mengenai demarkasi antara informasi dan pengetahuan dalam era digital yang seolah menyamakan keduanya. Dalam pandangan Williamson’s, mengutip Lowe, persoalan pengetahuan bukan hanya mengenai sumber keabsahan kebenarannya melainkan persoalan situasi kebenaran dari kontrafakta (true counterfactual conditionals), yaitu suatu kapasitas yang menyebarkan kecukupan dalam keseharian. Asumsinya bahwa persoalan mengenai pengetahuan tidak semata mengenai landasan metafisis atau kemampuan imajinatif melainkan lebih khusus untuk mencapai penilaian yang dapat diandalkan atas kebenaran atau kepalsuan dari situasi kontrafaktual. Kebenaran situasi kontrafaktual menekankan aspek penting dari kekuatan imajinasi namun hal tersebut terjadi karena kontrafaktual sebagai sumber pengetahuan yang sejati.

6Misalnya, penelitian militer As terhadap “ilmu syaraf otak operasional” untuk meningkatkan persepsi manusia dengan memanfaatkan aktivitas otak para ahli yang terlatih untuk mengenali potensi bidang yang menarik dalam citra satelit. Lihat, Michael Haworth dalam, Neurotechnology and the end of Finitude (London: University of Minnesota Press, 2018), h.97. 7Bagi penikmat musik, tidak terlalu penting untuk mengenali nada-nada namun harmonisasi yang membuat enak didengar (persepsi) menjadi penting. Dalam konteks persepsi dan keahlian, kesinambungan dan aspek persepsi eksternal, melihat secara detil, melihat bagiannya, mengetahui apa yang dicari mengetahui di mana mencarinya dan mengetahui kapan mencarinya merupakan elmen-elemen penting yang membedakan antara persepsi tanpa keahlian dan persepsi dengan keahliah. Lihat, Christopher Winch, “Professional Knowledge,Expertise and Perceptual Ability,” Journal of Philosophy of Education Society of Great Britain, Vol. 51, No. 3, 2017, h. 675-682.

132

Sedangkan pemikiran yang faktualnya dapat disingkirkan dan perlu dikoreksi oleh proses pemikiran yang lebih lanjut mengenai hal yang sama.8 Dengan kata lain, kontrafaktual merupakan persoalan pengetahuan dari pengalaman keseharian untuk memecahkan permasalahan. Sedangkan informasi dalam era digital merupakan suatu “arus” baru yang begitu dinikmati dan mudah diakses bagi kalangan luas sehingga menjadi gaya hidup (life style) untuk mencari tahu sesuatu. Namun demikian, laju perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat gangguan (a disruptive) dalam persaingan industri. Keberhasilan suatu trend teknologi meliputi investasi dan inovasi dalam teknologi, peningkatan produk, proses dan kemampuan manufaktur merupakan atribut yang dapat menyebabkan kegagalan suatu perusahaan (informasi). Paradoks tersebut dinamai dilema penemu yang mana faktor-faktor keberhasilan hanya dicatat untuk pertumbuhan pada rezim normal yang dapat menyebabkan kehancuran. Inovasi yang mengganggu membuat pasar baru tapi dalam jangka panjang jutru mengganggu pasar yang sudah ada dan menggantikan perusahaan terkemuka saat ini.9 Menurut peneliti, meskipun perkembangan informasi digital mendapatkan momentum yang pas namun tidak menutup kemungkinan bahwa peran sentral manusia tetap dalam ranah instrumen produksi atau konsumsi semata. Tragisnya, alih-alih berhasil menguasai realitas dengan teknologi digital justru manusia mengorbankan daya nalarnya untuk mengimbangi informasi yang luas dalam kesimpang-siuran keabsahan informasi. Perbedaan yang signifikan antara ahli (expert) dan awam (laypeople) yaitu terletak pada pengambilan putusan dari suatu masalah yang melibatkan keyakinan (trust) dan kepercayaan (confidence). Dalam persoalan resiko persepsi, orang awam cenderung dipengaruhi oleh kemungkinan mengenai pangkal bahaya. Alasannya yaitu bahwa orang awam tidak selalu sepenuhnya memahami kemungkinan dan konsekuensi bahaya, dan orang awam juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tambahan, misalnya, mengenai keadilan (fairness) untuk memahami kepedulian terhadap beberapa bahaya namun bukan terhadap orang lain. Sedangkan seorang ahli lebih melihat persoalan resiko persepsi dalam jangka panjang atau konsekuensi terburuknya, yang membedakan antara pandangan ahli dan awam (differences in risk

8Analoginya bahwa bentuk kontrafaktual seperti sebuah batu yang diamati menggelinding menuruni lereng bukit hanya untuk menghalangi semak namun, jika semak tidak ada maka batu akan berakhir di danau. Tampaknya jelas bahwa berpikir kontrafaktual semacam itu dapat dijumpai dalam keseharian dan memerlukan proses untuk merencanakan tindakan di masa depan dan meramalkan hasil yang mungkin dari peristiwa yang aktual tersebut. Tegasnya dalam pandangan Williamson, kemampuan untuk membuat penilaian dari kemungkinan metafisik dan kebutuhan hanya produk sampingan dari cara berpikir alami tersebut, yang secara masuk akal telah menyimpulkan bahwa pengetahuan manusia sebagai adaptasi evolusi. Lihat, E.J. Lowe dalam “What is the Source of Our Knowledge of Modal Truth?” Journal of Mind, Vol. 0. 0. 2013 Durham University, h. 8. DOI: 10.1093 /mind / fzs122. 9Vijay K. Vemuri, dalam Journal of Information Technology Case and Application Research, 26 May 2017, review buku Nicholas D. Evans, Mastering Digital Business: How Powerful Combinations of Disruptive Technologies Are Enabling The Next Wave of Digital Transformation (London: Routledge Taylor & Francis Group, 2017), h.1.

133

perceptions).10 Menurut peneliti berdasarkan kualitas kognitif, sulit dipungkiri untuk menyamakan antara pandangan ahli dan awam meskipun secara kuantitas kecakapan dalam berbicara (retoris) bisa dimiliki oleh siapa saja. Atau lebih eksplisit lagi, kemampuan untuk beropini bisa dimiliki siapa saja namun untuk sampai pada taraf pengetahuan (episteme), diperlukan kompetensi lebih lanjut. Klaim pengetahuan yang dirumuskan oleh seorang ahli (expert) memerlukan penyampaian yang efisien agar mudah dimengerti oleh kalangan luas namun pada saat yang sama bersifat paradoks. Letak paradoksialnya yaitu dalam masyarakat memiliki tingkatan pemahaman yang beragam namun pada saat yang sama justru terdapat kecenderungan bertumpu pada penjelasan seorang ahli. Misalnya, pada suatu penelitian empiris memperlihatkan bahwa efek kemudahan dari populisasi sains terjadi ketika orang awam membaca gambar ilmiah yang dipopulerkan secara otentik. Namun setelah membacanya, justru bagi kalangan awam lebih setuju dengan pengakuan pengetahuan yang dimuat di dalamnya yang dipopulerkan dari kalangan awam itu sendiri dan lebih yakin dalam penilaian klaim mereka daripada setelah membaca artikel dan mendengarkan dari para ahli. Ketika orang awam berurusan dengan informasi yang berkaitan dengan sains, mereka seringkali dimotivasi oleh kebutuhan untuk membuat keputusan mengenai pokok tertentu. Misalnya, orang awam mungkin ingin tahu apa yang harus dimakan guna mencegah kondisi medis tertentu, atau apakah tepat untuk memilih partai politik yang mengembangkan tenaga nuklir.11 Baik ahli maupun awam memerlukan perangkat kata atau bahasa (leanguage) untuk membahasakan suatu fenomena yang juga merujuk pada konsepsi tertentu. Penelitian psikologi sosial mengenai diskursus yang jelas menunjukkan bahwa orang melakukan hal-hal dengan bahasa dengan memilih di antara varibel konstruksi dari hal yang sama, agar dapat menampilkan identitas sosial secara fleksibel dalam konteks yang berbeda dan beragam cara. Argumentasinya bahwa seorang ahli dan seorang awam mungkin perlu untuk menggunakan istilah payung yang berbeda (different umbrella term) dalam konteks yang berbeda. Lebih jauh lagi, perdebatan mengenai istilah payung mana yang paling deskriptif atau cocok mengaburkan poin mengenai kualitas kognitif antara ahli dan awam.12 Artinya menurut peneliti, upaya

10Lihat, Michael Siegrist, Philipp Hṻbner and Others, “Risk Prioritization in the Food Domain Using Deliberative and Survey Methods: Differences Between Experts and Laypeople,” Journal Society of Risk Analysis, 2017, h. 2-3. 11Dalam konteks tersebut, sains menawarkan pendekatan untuk membentuk opini mengenai isu-isu ilmiah karena pengetahuan menyediakan jaringan proposisi yang membantu memprediksi realitas (x menyebabkan y). Polarisasi antara awam dan ahli terjadi pada persoalan kebertumpuan orang awam pada pandangan ahli, pengetahuan saintifik yang berdampingan dengan orang awam, dan bukti empiris untuk dampak kemudahan. Lihat, Lisa Schsrrer, Yvonne Rupieper and Others, “When Science Becomes too Easy: Science Popularization Inclines Laypeople to Underrate Their Dependence on Experts,” Journal of Theoretical Research Paper University of Muenster, Germany, 2016, h. 1. 12Tove Lunberg, Peter Hegarty and Others, “Making Sense of ‘Intersex’ and ‘DSD’: How Laypeople Understand and Use Terminology,” Journal of Psychology and Sexuality, Department of Psychology University of Oslo Norway, Routledge Taylor and Francis Group, 20 Mar 2018, h. 3. DOI: 10. 1080/19419899. 2018. 1453862. 134

untuk mendorong orang awam mengunakan terminologi ilmiah merupakan upaya yang sia-sia karena terminologi yang berbeda terkadang digunakan untuk merujuk pada persoalan atau kenyataan yang sama. Polarisasi antara pandangan ahli dan pandangan awam dalam penelitian ini dalam konteks bahwa klaim kebenaran pengetahuan memerlukan landasan (fondasi) atau justru berdasarkan keabsahan yang dihayati dalam keseharian. Lebih spesifik lagi, klaim kebenaran sebagai suatu sistem pengetahuan (as system) atau justru kebenaran hanya sebagai suatu tindakan (as behaviour). Untuk mengelaborasi persoalan tersebut, peneliti akan melihatnya dari perspektif Berkeley dan Ibn Sînâ dari kasus Covid-19 biar lebih relevan lagi. Asumsi yang (التمثيل) serta contoh mendasarinya bahwa suatu persoalan berkaitan erat dengan upaya manusia untuk mengetahuinya yang menjadikan hubungan relasional antara subjek dengan objek. Tepat pada hubungan tersebut, pengetahuan ditegaskan dan dijustifikasi berdasarkan kemampuan subjek untuk mengkonstruksi objek sehingga menjadi suatu pengetahuan tertentu. Dikatakan tertentu karena pengetahuan hanya berkaitan dengan satu objek secara relasional misalnya, pengetahuan mengenai eskatologi, kriminologi dan sebagainya yang hanya meliputi satu realitas saja. Untuk yang pertama yaitu perspektif George Berkeley mengenai persoalan keabsahan atau justifikasi pengetahuan seputar pandangan ahli (expert) dan pandangan awam (laypeople). Justifikasi pengetahuan mengenai kualitas-kualitas inderawi (sensible qualities) yang eksis hanya dengan pikiran yang terbayangkan dengan jelas (conceivable) dengan akal sehat. Bagi Berkeley, indera-indera (senses) memainkan peranan penting untuk mendapatkan pengetahuan melalui sensasi, ide- ide, atau berpikir yang dipersepsi oleh indera secara langsung yang dapat dipanggil ketika menginginkannya. Konsekuensinya adalah baik sensasi maupun ide-ide tidak dapat memberi informasi bahwa berpikir tidak eksis tanpa pikiran atau tanpa dipersepsi (unperceived) seperti ketika dipersepsi (bersifat materil). Berkeley sendiri berpendapat bahwa tubuh atau materi sepenuhnya tergantung (dependence) dengan pikiran (immateril). Lebih jauh lagi, Berkeley berpendapat bahwa benda-benda luar (external bodies) tidak perlu untuk menghasilkan gagasan atau eksplisitnya, gagasan dihasilkan dari dalam diri (things).13 Menurut peneliti, kebenaran pengetahuan dalam pandangan Berkeley bersifat akuratif yaitu selama berkorespondensi dan dapat dipahami dengan akal sehat secara langsung oleh pikiran untuk menghasilkan ide-ide. Keberpihakan Berkeley pada kemampuan (capable) dan pandangan ahli terlebih mengenai justifikasi pengetahuan bertolak dari penolakan Berkeley terhadap pandangan skeptisisme intelektual dan ateisme beragama. Berkeley juga mengusung sains yang mengafirmasi kebenaran berdasarkan demonstrasi yang bertentangan dengan prasangka umat manusia kebanyakan yang cenderung langsung mengecam pendapat sebelum memahaminya. Berkeley sangat kritis terhadap kemampuan untuk memahami kualitas-kualitas asli yang tidak terpisahkan dan menyatu dengan kualitas-kualitas yang masuk akal lainnya di dalam pikiran. Kualitas-kualitas tidak mampu dipisahkan satu dengan lainnya dan hanya ada di dalam pikiran seseorang

13George Berkeley, a Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge. (Ebook Produced by Col Choat, HTML Version by Al Haines, 29 June 2009), h.15.

135

yang memahaminya dengan persepsi inderawi (meliputi perluasan-extention, gerak- motion maupun berat-figur.14 Pada kasus covid-19 misalnya, justifikasi pengetahuan inderawi meminjam perspektif Berkeley, merupakan suatu penyakit yang secara akurat dapat diterima oleh akal sehat keberadaannya sebagai virus yang berbahaya karena mempertimbangkan bukti dan dampaknya bagi kesehatan. Gagasan soal covid-19 juga secara akurat dapat diterima oleh akal sehat sebagai suatu penyakit dengan mempertimbangkan kualitas-kualitas penyebarannya. Pentingnya keahlian untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi juga ditegaskan oleh Berkeley yang juga membedakan antara filosof yang memiliki previlledge dan orang awam yang tidak memilikinya. Pada kasus keberadaan panas pada substansi material misalnya, Berkeley yang dalam hal ini mewakili pemikiran Philonous dalam three dialogues. Dalam konteks tersebut, Berkeley menegaskan bahwa keberadaan panas (pleasure) dengan suhu yang berubah-ubah pada setiap permukaan substansi materi hanya eksis di dalam pikiran yang tidak mungkin dapat eksis tanpa melaluinya (dalam setiap substansi atau tubuh yang tidak dapat dipersepsi ).15 Dalam persoalan keberadaan penyakit covid-19 dan penyebarannya, baik pandangan ahli yang menegaskan dan meyakini maupun pandangan awam yang menegasikan dan cenderung meremehkan16, rasa sakit yang muncul dari penyakit covid-19 dan virusnya itu sendiri mengikuti Berkeley, hanya merupakan serangkaian ide-ide mengenai rasa sakit (paint) yang tidak eksis tanpa pikiran yang memikirkan rasa sakit tersebut. Untuk yang kedua yaitu perspektif Ibn Sînâ mengenai persoalan keabsahan pengetahuan seputar pandangan ahli (expert) dan pandangan awam (laypeople) meliputi persoalan mengenai konsepsi (conception) dan persetujuannya (assent). Menurut Ibn Sînâ, konsepsi mengenai yang tidak diketahui sesuai dengan persetujuan dari yang diketahui, yang sama halnya dengan sesuatu yang mungkin dikenal sebagai suatu konsep yang murni. Misalnya, pengetahuan mengenai makna kata segitiga atau itu dapat dikenal sebagai suatu konsep yang disertai dengan

14Berkeley berargumen bahwa kualitas-kualitas warna, bau, suara, rasa dan kualitas- kualitas gerak, berat dan luas sangat tidak masuk akal untuk dipisahkan satu dengan lainnya di luar kemampuan diri, terlebih perlu ada kualitas kecerdasan dalam pikiran yang tidak berada di luar diri. Misalnya kualitas gerak yang tidak dipahami oleh pikiran yang hanya ada di objek eksternal, begitu juga dengan kualitas warna dan aroma yang terlepas dengan objeknya. Lihat Berkeley, Principles Human Knowledge, h. 2, 3& 13. 15Berkeley, Human Knowledge and Three Dialogues..., h. 114. 16Lihat, https://www.narasi. tv/mata-najwa| kita belum menang: mereka yang tidak takut coron. Dalam acara tersebut menampilkan pandangan yang mewakili ahli dan pandangan yang mewakili masyarakat umum yang mana pandangan ahli meyakini keganasan dari keberadaan virus corona beserta penyebarannya yang karenanya menghimbau untuk tetap mengikuti protokol kesehatan. Di sisi lain pandangan awam tidak meyakini keganasan yang justru cenderung meremehkan keberadaan dari virus corona beserta penyebarannya namun tetap mengikuti protokol kesehatan untuk sekedar menghormati orang lain, karena profesi dan menjaga hubungan yang baik di lingkungan sekitar. Atau berdasarkan program tersebut, asumsinya berasal dari kesimpangsiuran informasi dan ketidakpastian membuat sebagian masyarakat makin tidak takut akan virus corona. Diakses pada, 19 Juli 2020.

136

pemikiran seperti halnya pengetahuan bahwa sudut setiap segitiga sama dengan dua sudut yang tepat. Demikian juga dengan suatu hal yang mungkin tidak diketahui melalui konsep sehingga maknanya baru dipahami setelah seseorang mempelajari konsep-konsep lainnya (misalnya konsep pengikat-binomial, ketidakberhubungan- disconnected). Atau mungkin sesuatu yang tidak diketahui sebagai persetujuan sampai seseorang belajar (pendapat lain) seperti, bahwa bujur sangkar didiagonal sama dengan bujur sangkar dari 135 sisi sudut kanan yang berfungsi. Demikianlah jalan untuk menyelidiki mengenai sains dan studi terkait baik yang mengarah pada suatu konsep sebagai realisasi atau diarahkan ke arah suatu persetujuan yang mengupayakan untuk realisasi.17 Menurut peneliti, bentuk pengetahuan representatif Ibn Sînâ yaitu berangkat dari kebenarannya yang meliputi kemampuan seseorang membahasakan realitas dengan konsepsi sebagai persetujuan (assent) atas realitas. Keberpihakan Ibn Sînâ pada kemampuan (capable) dan pandangan ahli mengenai justifikasi pengetahuan bertolak dari penegasan bahwa perlu menetapkan proposisi serta perbedaan antara jenis (genus) dan spesies (species) di dalam struktur pikiran. Penjelasan bahwa jenis itu di tempatkan di tempat pertama dengan tujuan untuk menentukan esensi suatu hal, misalnya, bagi manusia yang merupakan hewan yang berjalan dengan kedua kaki dengan kuku yang lebar dan secara alami mampu tertawa. Selain itu juga, dengan menegaskan bahwa segitiga merupakan bentuk yang memiliki tiga sudut. Oleh karenanya, penjelasan harus jelas sifat dan aksiden dari sesuatu yang mengidentifikasi suatu objek dengan menyatakan bahwa objek tersebut merupakan bentuk yang sesuai dengan kenyataannya, tidak menjelaskan kecuali untuk keperluannya. Dengan kata lain, suatu proposisi merupakan medium untuk menegaskan suatu kebenaran sebagai absolut umum yang mampu untuk menerima kebutuhan.18 Pada kasus covid-19 misalnya, justifikasi pengetahuan inderawi meminjam perspektif Ibn Sînâ, merupakan suatu penyakit yang merepresentasikan di dalam pikiran keberadaannya sebagai virus dan penyakit konkret yang berbahaya karena mempertimbangkan bukti dan dampaknya bagi kesehatan. Gagasan soal covid-19 juga secara representatif dapat diterima oleh akal sehat bagi yang berkompeten di bidangnya untuk mengenali dengan baik sebagai suatu penyakit.

17Ibn Sînâ juga mengafirmasi bahwa sudah menjadi suatu kebiasaan untuk menyebut benda yang melaluinya konsep yang dicari tersebut sebagai “frasa penjelas”, yang mencakup definisi, uraian dan apa yang menyerupai mereka,yaitu untuk menyebut benda yang melaluinya orang-orang yang dicari telah memperoleh “bukti” mencakup silogisme, induksi dan sejenisnya. Lihat Ibn Sînâ, Remarks and Admonitions Part one: Logic Chapter 3 about concerning the purpose logic, Translated by Shams Constantine Inati (Canada: Pontifial Institute of Mediaeval Studies, 1984), h. 49. Atau lihat edisi Arabnya, Ibn Sînâ, al Isyârât wa al Tanbîhât h. 40-41. 18Affirmasi universal juga tidak boleh diubah ke proposisi universal, yaitu untuk predikat mungkin lebih umum dari subjek. Selain itu, tidak harus diubah menjadi proposisi mutlak yang murni tanpa kebutuhan mengingat predikat mungkin tidak diperlukan untuk subjek sedangkan subjek diperlukan untuk predikat. Misalnya, pernafasan untuk hewan yang memiliki paru-paru yang merupakan hal yang konkret dan concomitance yang tidak bertahan lama namun penting bagi pernafasan sebagai suatu keperluan bagi yang memiliki paru-paru. Lihat Ibn Sînâ..., Remarks, h. 73&115. 137

Pentingnya keahlian untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi juga ditegaskan oleh Ibn Sînâ untuk menegaskan previlledge para filosof terutama kemampuan intelektual mereka dalam bidang logika. Pandangan Ibn Sînâ dalam konteks tersebut yaitu bahwa analisis metafisika menunjukkan bahwa metode burhan akan memberikan kepastian yang terus menerus bagi subjek. Eksplisitnya, (ذات) mengenai bentuk dari berbagai eksistensi yang mana untuk satu esensi tunggal yang (لواحق) yang tidak sepenuhnya sederhana untuk memiliki banyak concomitants melekat pada menemani secara simultan tanpa berada sebelum satu sama lain. Selain itu juga dalam beberapa esensi sederhana ada yang menyerupai dalam komposisi di dalamnya, karena apa yang mutlak sederhana tidaklah (التركب المعنوى) gagasan yang secara (برهان) sederhana. Karena itu bagi Ibn Sînâ, metode demonstrasi “sempurna” (perfectly) mampu menghasilkan kepastian (certainty)19 hal apa yang memiliki sebab namun memberikan kepastian pada yang tidak memiliki sebab. Dalam persoalan keberadaan penyakit covid-19 dan penyebarannya, baik pandangan ahli yang menegaskan dan meyakini maupun pandangan awam yang menegasikan dan cenderung meremehkan20, rasa sakit yang muncul dari penyakit covid-19 dan virusnya itu sendiri mengikuti Ibn Sînâ, merupakan representasi pikiran yang berkaitan dengan kenyataan serangkaian mengenai rasa sakit (paint) yang eksis di luar pikiran yang merasakan sakit tersebut. Atau apabila dibagankan antara Berkeley dan Ibn Sînâ sebagai berikut : Singkatnya, pada satu sisi, berbicara merupakan hak bagi siapa saja namun tetap dalam batasan-batasan norma maupun koridor hukum. Sedangkan pada sisi yang berbeda, tidak setiap sesuatu bisa dibicarakan karena berkaitan dengan porsi dan kapasitas sehingga pernyataan berkaitan pula dengan “power” dari siapa yang berbicara. Pada konteks tersebut, pandangan tertentu mengenai suatu pengetahuan atau klaim pengetahuan berkaitan secara erat dengan kapasitas diri namun bukan berdasarkan keahlian melainkan berdasarkan “power”, seperti memiliki jumlah followers, public figure, influencer, tokoh masyarakat dan sebagainya. Konsekuensi yang muncul yaitu pembatasan yang tegas (demarkasi) antara opini dan knowledge yang cenderung untuk mereduksi knowledge ke opini dalam pandangan seorang yang bukan ahli. Atau apabila digambarkan, maka sebagai berikut:

19Ibn Sînâ membedakan antara kepastian kausal dan non-kausal dan menghubungkan setiap jenis demonstrasi kanonis yang sesuai seperti pertama, jika fakta yang mayor adalah hal minor yang tidak ada penyebabnya, karena mayor segera mengikuti dari yang minor (meskipun secara tidak jelas-dengan cara yang tidak jelas), maka itu sudah cukup untuk terus-menerus menghasilkan kepastian dari metode tersebut. Kedua, jika fakta bahwa mayor adalah minor yang memiliki penyebab, maka demonstrasi tersebut tidak cukup untuk terus- menerus menghasilkan kepastian mengenai metode tersebut, hal tersebut menunjukkan bahwa metode demonstrasi diperlukan. Lihat, Riccardo Strobino, “Avicenna on Knowledge (‘ILM), Certainty (YAQîN),Cause (‘ILLA/SABAB) and the Relative (MUDHâF),” Journal of British for the History of Philosophy University of South Australia, Routledge Taylor&Francis Group, 11 December 2015, h. 7. DOI: 10.1080/09608788.2015.1084267. 20Menurut peneliti, perbedaan antara pandangan ahli dan awam dalam perspektif Ibn Sînâ penting untuk membuktikan kebenaran pengetahuan serta membedakan kemampuan pikiran dalam proses mendapatkan pengetahuan berdasarkan perbedaan kualitas dari tingkatan pengetahuan itu sendiri (kepastian, kausal dan relatif). 138

Gambar 14. Perspektif awam ahli dan awam serta opini maupun knowledge

Justifikasi Pengetahuan

Ahli Awam Expert Laypeople

Akurasi dan Representasi

opini

knowledge

2. Persepsi Langsung Sebagai Suatu Pemahaman Salah satu kemampuan dari seorang ahli (expert) salah satunya yaitu mengandalkan persepsi inderawi untuk mengkonstruksi pengetahuan dan justifikasi terhadapnya. Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ, keduanya sama-sama mengandalkan kemampuan proses mempersepsi untuk memahami objek eksternal namun dengan hasil pengetahuan yang berbeda seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Karenanya pada sub-bab pembahasan ini, akan menganalisis lebih jauh lagi mengenai kemampuan untuk mempersepsi (perceive) dan relevansinya dengan keberpihakan Berkeley maupun Ibn Sînâ terhadap keahlian. Karena tantangan lebih jauhnya, datang dari kelompok skeptis yang menolak segala ide-ide tanpa ditarik pada pengalaman maupun kesan inderawi. Namun demikian, baik pengusung rasionalisme, empirisme maupun skeptisisme yang berpijak pada posisi keahlian, pemikiran yang lebih filosofis memang dipenuhi oleh banyak ketidakselarasan (inconsistensy) dan kekosongan (vacillation) dari upaya memelihara hati nurani intelektual yang baik selama terus mencampur ketidakcocokan (incompatibles) dari sisi yang berlawan.21 Menurut peneliti, posisi filsafat sebagai suatu pemikiran kritis menjadi jelas bahwa titik-tolaknya merupakan suatu konsistensi alur berpikir atau “celah” menggugat bukan semata-mata argumentasi logis. Untuk yang pertama yaitu Bekeley, dengan menekankan pentingnya proses mempersepsi untuk mendapatkan pengetahuan inderawi, namun secara konteks historis (wirkungsgeschichte) berada pada zaman di mana revolus digital belum berkembang. Hal tersebut penting karena dalam konteks sekarang atau pembacaan

21Michael S. Gazzaniga, The Consciousness Instinct Unraveling The Mystery of How The Brain Makes The Mind (New York: Farrar Straus and Giroux), h. 61. 139

secara bildung, kedua hal tersebut sangat berbeda secara kontras yaitu antara informasi yang bersifat stabil dan informasi yang bersifat tidak stabil (instability). Atau eksplisitnya, perbedaan antara semangat zaman Berkeley yang lebih mengejar kebenaran (truth)22 ketimbang melampaui kebenaran (post-truth), atau yang mengejar kenyataan23 ketimbang melampaui kenyataan (hyperreal). Oleh karenanya, kebenaran dan kenyataan merupakan dua hal penting dalam melihat peranan persepsi bagi Berkeley untuk mendapatkan pengetahuan. Menurut peneliti, pengetahuan inderawi dan kemampuan subjek dalam mempersepsi objek secara akurat, tidak bisa dilepaskan dari pemikiran filosofis Berkeley. Suatu pemahaman (understanding) sebagai objek pengetahuan langsung atas realitas menjadi syarat mutlak bagi Berkeley dalam konteks keberpihakan pada posisi ahli untuk mengafirmasi kebenaran pengetahuan inderawi. Pemahaman yang terpenting bagi Berkeley yaitu kontinuitas bagi objek-objek eksternal dan persepsi sebagai jaminan dari keberadaan objek tersebut. Karenanya menurut Darby, Berkeley menolak segala bentuk isolasi intelek abstrak (isollation of abstract intellect) yang mengabaikan peranan persepsi demi mengusung kreasi pikiran pada segala peristiwa:

“It is thought strangely absurd that upon closing my eyelids, all the visible objects round me should be reduced to nothing; and yet is not this what philosophers commonly ackowledge ... Again, it may to some perhaps seem very incredible, that things should be every moment creating, yet this very notion is commonly taught in the Schools.”

Oleh karenanya, Berkeley membedakan antara proses abstraksi dan persepsi untuk mendapatkan ide-ide, yang mana proses abstraksi merupakan kemampuan untuk membagi dan memahami dalam pikiran satu sama lain yang sebelumnya tidak dipersepsi secara terpisah. Sehingga dengan kemampuan abstraksi, pikiran dapat membayangkan suatu objek secara terpisah tanpa melibaatkan satu dengan yang lainnya, namun tetap tidak melampaui kemungkinan dari eksistensi ril dalam proses persepsi.24 Karenannya menurut peneliti, peran ahli dalam persepsi Berkeley menjadi penting untuk mengabstraksikan fenomena menjadi suatu konsepsi filosofis tertentu. Pemahaman seorang ahli dan kemampuan mempersepsi realitas eksternal atau fenomena empiris untuk menemukan konsep-konsep abstrak (abstract ideas)

22Mengejar kebenaran dalam konteks meskipun idealisme Berkeley menentang apa yang ia sebut materilisme, namun sebenarnya ia menerima dan tidak selalu merasa perlu untuk berdebat dengan doktrin lawan-lawannya. Dalam principles of Human Knowledge menurut Tipton misalnya, Berkeley menganggap bahwa kebenaran yang disepakati yaitu dalam pengalaman iinderawi secara langsung berkenalan hanya dengan ide-ide yang sebenarnya tercetak dalam indera. Lihat I.C. Tipton dalam, Berkeley: The Philosophy of Immaterialism Vol. 2 (Routledge: London and New York, 1974), h. 12 23Mengejar kenyataan dalam konteks pemilihan Berkeley pada kenyataan spirit ide- ide maupun sensasi pikiran yang ketimbang kenyataan materi yang menurut Tipton, tertuang dalam principles of Human Knowledge dan New Theory of Vision, Lihat Tipton dalam Immaterialism..., h. 2. 24David Darby, “Esse Percipi”, Sein Ist Wahrgenommenwerden: Peception and Perspective in Berkeley and Canetti, Journal of NeophilologusVol. 75, 1991, h. 427-428. 140

mengenai suatu pengetahuan menjadi penting bagi Berkeley. Standpoint pemikiran Berkeley mengenai pengetahuan dunia materi dan pemahamannya yaitu mengadopsi posisi idealis bahwa satu-satunya substansi yang eksis adalah bersifat rohani atau mental. Posisi pemikiran Berkeley bertentangan dengan Locke yang menunjukkan bahwa sudut pandang empiris menyediakan dasar yang cocok untuk pengetahuan mengenai dunia materi, mental dan rohani.25 Menurut peneliti, dalam konteks tersebut bukan berarti Berkeley menegasikan prinsip-prinsip dasar dari empirisme justru upaya untuk menggugat keabsahan fundamental bagi prinsip empirisme itu sendiri. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dasar empirisme adalah bahwa ide-ide abstrak berasal dari proses sensasi, imajinasi, memori dan persepsi inderawi namun posisi Berkeley masih bersifat moderat yang kemudian diradikalkan oleh Hume. Apa yang diradikalkan oleh Hume yaitu bahwa segala ide-ide berasal dari kesan- kesan inderawi yang ditarik dari pengalaman, tepat pada posisi tersebut, Berkeley masih bersifat moderat karena tidak semua ide-ide berasal dari kesan inderawi.26 Konsepsi abstrak (abstract ideas) penting bagi Berkeley karena merupakan bentuk dari pengetahuan inderawi. Menurut Dicker, Berkeley menganggap bahwa ada kesimpulan dan petunjuk dari dua fakultas pikiran yang berbeda: pertama bentuk alasan atau pemahaman dan kedua, imajinasi yang bagi Berkeley, merupakan hal yang paling mendasar dari persepsi inderawi. Dengan kata lain, mempersepsi adalah satu hal sedangkan menilai adalah hal lainnya, sama halnya dengan pernyataan adalah satu hal sedangkan menyimpulkan adalah hal lainnya. Berpikir merupakan pernyataan dan yang dipersepsi dengan indera yang mana membuat penilaian dan kesimpulan dengan pemahaman.27 Menurut peneliti, baik ahli maupun awam, keduanya sama-sama memiliki potensi untuk berpikir secara abstrak namun untuk mendapatkan konsepsi abstrak, merupakan hal yang berbeda yang tidak bisa dimiliki secara potensial, namun harus didapatkan secara aktual. Aktualitas dari pikiran untuk mendapatkan ide-ide abstrak bagi Berkeley antara lain dengan menekankan aspek penting dari perpaduan antar ide-ide abstrak tunggal (simple ideas) menjadi ide abstrak (complex ideas). Persepsi langsung berperan penting juga bagi pemahaman pengetahuan inderawi bagi Berkeley yang mana objek inderawi sensible dan objek akal intelligible tidak dipisahkan secara tegas oleh Berkeley yang merupakan ide-ide (ideas). Sensibilitas adalah penerimaan subjek dalam keutamaan yang darinya menjadi mungkin bagi keadaan perwakilan subjek sendiri untuk dipengaruhi dalam cara yang pasti dengan kehadiran suatu objek. Sedangkan intelegensi atau rasionalitas adalah kemampuan subjek dalam keutamaan yang memiliki kekuatan untuk mewakili hal-hal yang tidak dapat dengan kualitas mereka sendiri datang sebelum indera subjek berfungsi. Objek sensibilitas adalah sensible atau sesuatu

25Robert J. Fogelin, Berkeley and the Principles of Human Knowledge (Routledge: London and New York, 2001), h. 4. 26Lihat lebih jauh ulasan mengenai Berkeley dan Hume dalam, Samuel Enoch Stumpf and James Fieser, Socrates to Sartre And Beyond A History of Philosophy, 8th ed (New York: McGraw-Hill, 2008). 27Lihat Georges Dicker dalam, “Berkeley’s Critique of Locke’s Theory of Perception,” London: Bloomsbury New Castle University, 22 October 2018, h. 273-274. DOI: 10.5040/9781474217170.

141

yang dapat dijangkau indera sedangkan objek intelegensi adalah intelligible atau sesuatu yang dijangkau oleh rasio. Pada perkembangan selanjutnya, objek yang dijangkau oleh indera disebut phenomenon sedangkan objek yang dijangkau oleh rasio disebut noumenon.28 Dalam konteks tersebut, persoalan persepsi juga berkaitan dengan objek kajiannya, yaitu objek inderawi dan objek rasional. Misalnya pada objek inderawi, persepsi berkaitan dengan proses mengindera atau persepsi inderawi sedangkan pada objek rasional, persepsi berkaitan dengan proses berpikir atau persepsi rasio. Memahami fenomena tertentu melibatkan kemampuan seseorang untuk mempersepsi namun pemahamannya yang beragam, yaitu yang melibatkan tahunya dan yang tanpa melibatkannya. Misalnya fenomena suatu penyakit yang dipersepsi oleh kebanyakan orang menghasilkan pemahaman yang beragam pula baik yang memahaminya dengan melibatkan keahlian (episteme) atau keawaman (opini). Menurut Jane Austen, mengutip Neill, sehubungan dengan indera dan sensibilitasnya, berimplikasi untuk penyelidikan menjadi keinginan, identitas dan representasi serta penamaan bagian-bagiannya yang meliputi pengakuan bagian dari penamaannya.29 Dengan kata lain, persepsi langsung yang akurat mengenai fenomena penyakit melibatkan peran penting dari kemampuan diri untuk mengungkapkannya secara verbal atau konseptual berdasarkan penyelidikan. Tepat pada posisi tersebut, Berkeley memberikan solusi bahwa hanya dengan ide-ide yang dipahami secara langsung berdasarkan persepsi inderawi yang merupakan kenyataan itu sendiri. Misalnya, alat pengukur panas tubuh dengan hasil yang tertera di alat tersebut dalam bentuk angka dan derajatnya, merupakan pemahaman langsung mengenai apa yang terjadi pada tubuh. Berkeley kurang memperdulikan perbedaan kualitas primer pada seseorang maupun situasinya.30 Pemahaman (understanding) melalui persepsi langsung (immediately- perceive) merupakan kata kunci penting dalam pandangan filosofis Berkeley, yaitu persepsi formal yang orientasinya pada subjek bukan objek. Realitas batin manusia sebagai subjek sebagai ketidakseimbangan yang meliputi tiga bagian: jiwa rasional (rational soul) yang berada di kepala, jiwa pemarah (irascible soul) tempat duduk keberanian yang berada di dalam hati dan jiwa bersemangat (appetitive soul) yaitu keinginan yang berada di perut.31 Karena ketiga elemen tersebut bertempat di- dalam diri (inner reality of human beings) yang sepenuhnya terpengaruh oleh kemampuan

28Prinsipnya, kognisi sejauh sebagai subjek pada hukum sensibilitas, adalah sensitif dan sejauh sebagai subjek pada hukum inteligensiadalah intelektual atau rasional. Lihat, Kant, David and others dalam, “On the Distinction between sensible things and intelligible things in General,” Journal of Theoritical Philosophy, h. 384. 2002. DOI: 10.1017/CBO9780511840180.046. 29Lihat Edward Neill dalam “What Edward Promises he Will Perform: How to do Things with Words in Sense and Sensibility,” Journal of Textual Practice, 22 Feb 2007, h. 114. DOI: 10. 1080/09502360601156955. 30Dalam konteks alat pengukur suhu tubuh, dalam perspektif Berkeley bahwa Angka dan derajatnya merupakan pemahaman langsung bahwa seseorang mengalami gejala panas tertentu di tubuhnya. 31Paolo Santangelo, “Emotions and Perception of Inner Reality: Chinese and European,” Journal of Chinese Philosophy, 2007, h. 293. 142

subjek sebagai faktor yang menentukan isi pemahaman. Persepsi formal memandang objek semata-mata sebagai material yang tercerap dan hanya dipahami oleh pikiran namun dengan pemilahan yang cukup tegas bahwa hanya entitas pikiran yang nyata. Misalnya, ketika melihat warna gunung di sore hari yang berubah warna menjadi agak cerah karena bias cahaya matahari yang mana itu merupakan kenyataan di dalam pikiran yang tidak berkorelasi dengan fenomena tersebut pada dirinya. Secara formal, kegiatan mempersepsi tidak mementingkan penampakan secara eksplisit karena apa yang nampak bukan faktor penentu malainkan kenyataan pikiran yang menentukannya (ideas). Ilustrasi konkretnya yaitu fenomena pandemi Covid-19 yang merupakan persoalan persepsi yang melibatkan pemahaman dari dua kalangan, pertama kalangan ahli (expert) dan kedua kalangan awam (laypeople). Cara pandang (perspective) mereka juga “menentukan” isi pemahaman meskipun dari sisi proses keduanya sama yaitu menekankan peran penting dari persepsi inderawi. Misalnya, mengenai keberadaan dan cara kerja penyebaran virus corona baik seorang ahli maupun awam yang keduanya memandangnya sebagai suatu persoalan. Namun bagi seorang ahli, persoalan tersebut berdasarkan suatu observasi dan penyelidikan ilmiah untuk menegaskan putusan bahwa virus tersebut berbahaya. Sedangkan bagi seorang awam, persoalan tersebut berdasarkan “opini liar” tanpa observasi dan penyelidikan ilmiah untuk menegaskan bahwa virus tersebut bisa berbahaya ataupun tidak berbahaya. Persoalan mengenai penyakit yang juga melibatkan sensibilitas indera dalam proses mempersepsi yang dapat saja meliputi dua hal, pertama, sensibilitas lahir dari dalam kekosongan atau interval yng mengganggu gerakan auto-affective (berkaitan dengan perasaan) yang dapat diketahui melalui perubahan. Kedua, sensibilitas berkaitan dengan tindakan namun tidak banyak menyediakan norma etika.32 Memahami fenomena pandemi covid-19 dengan melibatkan persepsi langsung juga berarti memposisikan persoalan kesehatan tersebut sebagai suatu kenyataan (reality) yang sulit ditolak oleh akal sehat sebagai gagasan (ideas). Hal tersebut dengan mempertimbangan bukti-bukti (evidents) kematian sebagai akibat atau konsekuensi. Bukti-bukti mengenai covid-19 merujuk pada sumber dari apa yang pernah terjadi pada kasus SARS yang merupakan cluster dari coronavirus yang merupakan bagian dari ketiga penyakit zoonotic, yaitu MERS, SARS DAN Covid-19. Menurut suatu penelitian, kasus awal Covid-19 berkaitan dengan pasar makanan laut Huanan dan kemungkinan transmisi dari manusia ke manusia yang tidak dapat dihindarkan. Laporan WHO menyatakan bahwa SARS bisa jadi terdeteksi pada sampel lingkungan yang dikumpulkan dari pasar makanan laut, namun belum diketahui apakah spesies hewan tertentu membawa SARS. Karenanya, bukti yang ada sangat mendukung bahwa SARS itu berasal dari kelelawar meskipun kumpulan

32Lihat, Ann V. Murphy, “All Things Considered: Sensibility and Ethics in the Later Merleau-Ponty and Derrida, ” Journal of Cont Philos, 20 December 2009, Springer Science+Business Media, Fordham University, USA, h. 436.

143

orang dari SARS di kelas menengah masih belum dipastikan.33 Mempersepsi secara langsung karenanya mengandaikan suatu pemahaman bahwa suatu fenomena dapat dipahami pikiran dan sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Persepsi langsung untuk memperoleh pemahaman atas fenomena konkret menjadi penting sebagai karakteristik dari filsafat Berkeley. Kembali lagi pada contoh konkret fenomena pandemi covid-19, bahwa dengan persepsi langsung menimbulkan pemahaman bahwa fenomena tersebut berbahaya karena dipahami berdasarkan ide-ide mengenainya. Ada dua alasan pandemi covid-19 dipahami sebagai suatu ide ancaman, pertama, virus tersebut dapat membunuh orang dewasa yang sehat dari kalangan lansia yang memiliki problem kesehatan yang serius. Data menunjukkan bahwa virus tersebut memiliki resiko kematian sekitar 1% yang membuatnya lebih parah dari virus influenza tahun 1918 dan 1957. Kedua, virus tersebut mudah menyebarnya dan rentan terpapar bagi yang memiliki antibodi yang sedang menurun. Karenanya, covid-19 akan lebih sulit ditangani ketimbang SARS yang parah yang tersebar jauh lebih sedikit dan hanya dengan orang-orang yang memiliki gejala.34 Pandemi covid-19 sangat mencemaskan karena investasi pada infrastruktur perlindungan kesehatan (Health Protection Investment) prioritasnya rendah. Hal itu karena investasi perlindungan kesehatan diasosiasikan dengan suatu kebijakan asuransi pada saat yang baik ketika itu jarang dipanggil mungkin dianggap tidak perlu oleh para pembuat kebijakan yang merupakan kesalahpahaman (misperception) yang berbahaya.35 Untuk yang kedua tidak berbeda dengan Bekeley, Ibn Sînâ juga menekankan pentingnya proses mempersepsi untuk mendapatkan pengetahuan inderawi, namun dalam konteks Wirkungsgeschichte, berada pada zaman di mana revolus digital belum berkembang. Hal tersebut penting karena dalam konteks horizon peneliti dan pembacaan secara bildung, kebenaran dalam konteks Ibn Sînâ berkaitan dengan realitas bukan justru melampaui realitas itu sendiri. Atau eksplisitnya, semangat zaman Ibn Sînâ mengenai pengetahuan berkaitan dengan kebenaran yang dicari dan bersifat ontologis-metafisis, yakni merupakan suatu kenyataan otonom. Hal tersebut berbanding terbalik dengan model pengetahuan yang hanya berkaitan dengan kebenaran sejauh dikonstruksi oleh subjek melalui teknologi digital, atau

33Pengfei Sun, Xiaosheng Lu and others, “Understanding of COVID-19 Based On Current Evidence,” Journal of Medical Virology, February 2020, h. 4-5. DOI: 10. 1002/JMV. 25722 34Faktanya, kasus covid-19 telah menyebabkan sepuluh kali lebih banyak kasus dari SARS dalam seperempat waktu, Lihat Bill Gates, “Responding to Covid-19 A Once in a Century Pandemic?” Journal of the New England of Medicine, 28 February 2020. DOI: 10. 1056/NEJMp2003762. 35Namun dibandingkan dengan intervensi kesehatan masyarakat lainnya, intervensi perlindungan kesehatan sangat hemat biaya, pada konteks pandemi covid-19, kemungkinan besar beresiko terpapar karena tidak memiliki sarana dan sistem perlindungan kesehatan untuk melindungi masyarakat. Lihat, A. Lee dalam “Wuhan Novel Corona Virus (COVID- 19): Why Global Control is Challenging?” Journal of Public Health, Elsevier, University of Sheffield, England, 2020, h. A1. DOI: 10. 1016/j. Puhe. 2020. 02. 001.

144

simulations.36 Oleh karenanya, kebenaran dan kenyataan merupakan dua hal penting dalam melihat peranan persepsi bagi Ibn Sînâ untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan subjek dalam mempersepsi secara representatif yang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran filosofis Ibn Sînâ. Pemahaman sebagai objek pengetahuan atas realitas menjadi syarat mutlak bagi Ibn Sînâ dalam keberpihakannya pada posisi ahli untuk mengafirmasi kebenaran pengetahuan inderawi. Keahlian penting karena berkaitan dengan kemampuan untuk mendapatkan term tengah (middle terms) dalam konteks relasi kausal eksistensial yang mengarah pada eksistensi mutlak (necessary existence). Keberpihakan Ibn Sînâ pada kemampuan diri dalam hal penalaran metafisis dan epistemologis yang keduanya secara simultan sebagai pemahaman yang berkaitan dengan sifat-sifat logis dan metafisis yang menjadi gagasan kunci kausalitas.37 Selain itu juga, kemampuan untuk mem;ersepsi memainkan peranan penting bagi ataupun محسوسات Ibn Sînâ untuk mendapatkan pemahaman atas objek inderawi Intelek merupakan wilayah pemahaman yang memungkinkan .(معقوالت) objek intelek tidak seperti daya معنى seseorang untuk memiliki akses langsung ke objek melalui menggunakan (الجسم) yang menyajikan kembali benda-benda الذاكرة memori -maupun indera (العقل) beberapa isi (contents).38 Menurut peneliti, peranan pikiran sebagai suatu keahlian untuk mendapatkan pengetahuan merupakan (الح هس ) indera .(اإلدراك) hal yang penting yang melibatkan proses persepsi Pemahaman seorang ahli dan kemampuan untuk mempersepsi realitas konkret untuk menemukan bentuk dan ma’nâ mengenai suatu pengetahuan inderawi menjadi penting bagi Ibn Sînâ. Standpoint dari pemikiran Ibn Sînâ mengenai pengetahuan inderawi dan pemahamannya yaitu akses langsung ke objek konkret yang tidak lagi ada untuk indera yang memerlukan suatu abstraksi lengkap. Hal itu merupakan tindakan mental di mana pikiran tampak lebih pasif daripada aktif. Tepat pada posisi tersebut, intelek memiliki kapasitas untuk merujuk langsung ke benda- benda hanya melalui bahasa. Hal itu juga berada pada wilayah pikiran (mind), lebih tepatnya bagian teoritis terutama yang dimobilisasi dalam ilmu formal yang spesifik (logika, matematika murni) yang mana pikiran hanya harus berkaitan dengan dirinya sendiri. Titik berangkat dari pemahaman fenomenologis, yaitu mengenai realitas fisik berkaitan dengan pengulangan yaitu bahwa bentuk pengalaman terkait dengan dari pengetahuan (صورة) bantuan memori atau lebih luas lagi imajinasi.39 Bentuk

36Lihat konsepsi Boudrillard mengenai simulate yang mana duplikasi melampaui sesuatu yang origin. Lanjutnya, simulate adalah upaya untuk berpura-pura memiliki apa yang tidak dimiliki. Yang satu merupakan kehadiran dan yang satunya ketidakhadiran. Simulate atau simulasi oleh karenanya menjadi suatu keadaan yang berturut-turut pada yang diwakilinya. Lihat Jean Baudrillard, Simulations, translated by Paul Foss and others (New York: Semiotext, 1983), h. 5. 37Riccardo Strobino, “Avicenna on Knowledge (‘ILm), Certainty (YAQîN),Cause (‘ILLA/SABAB) and the Relative (MUDâF),” Journal of Britih for the History of Philosophy, Routledge Taylor & Francis Group, 11 December 2015, h. 15. 38Misalnya, tanda-tanda (signs), perbedaan tanda-tanda (distinctive marks), gambar- gambar (images) dan diagram-diagram (diagrams)Hassan Tahiri, Mathematics and the Mind An Introduction Into Ibn Sînâ’s Theory of Knowledge (London: Springer, 2016), h. 48-49. 39Tahiri, Mathematics and the Mind..., h. 56. 145

inderawi sekaligus ma’nâ merupakan hal-hal penting bagi Ibn Sînâ yang berkaitan dengan gambaran mental dan relevansinya dengan hal-hal konkret bagi seorang ahli. Persepsi langsung (immediately) penting bagi pemahaman pengetahuan (sensible/محسوسات) inderawi dalam perspektif Ibn Sînâ yang mana objek inderawi intelligible) dipisahkan secara tegas oleh Ibn Sînâ. Baik/معقوالت) dan objek akal objek inderawi maupun objek akal keduanya berkaitan dengan keberadaan subjek di dunia. Setiap dunia yang dideterminasi adalah dunia yang mewakili fisik, perluasan, terbatas atau tak terbatas dan itu merupakan objek kosmologis yang memiliki kualitas tertentu yang meliputi percepatan ekspansi, konstanta kosmologis, pembentukan struktur dan seterusnya. Dunia tersebut juga mewakili sebagai konsep universal yang dibangun secara mental yang menyatukan pengalaman dan itu sendiri memiliki kesatuan-kesatuan produk pemahaman atau fungsi mental, kondisi transendental atau hasil dari proses evolusi.40 Menurut peneliti, wilayah atau kajian epistemologi tidak bisa telepas begitu saja dari jangkauan ontologi yang mana keberadaan subjek (eksistensi) juga mempengaruhi cakupan dari pemahamannya, yang meliputi cakupan inderawi (sensible) maupun rasio (intelligible). Memahami suatu fenomena fisik melibatkan kemampuan persepsi sebagai gerbang pemahaman mengenai objek-objek konkret. Misalnya, fenomena penyakit dalam paradigma Modern yang dipersepsi oleh kebanyakan orang menghasilkan pemahaman yang beragam yang terbagi menjadi dua, yaitu pemahaman berdasarkan keahlian dan pemahaman berdasarkan keawaman. Menurut Groy, mengutip Fulan, bahwa menjadi Modern pada waktunya berarti memahami kehidupan dan seni seseorang seperti yang dialami dan dibuat dalam suatu proyek, seringkali memahami modernisme sebagai penghapusan masa lalu untuk memulai masa depan yang berbeda.41 Pada saat yang berbeda persepsi Ibn Sînâ berpihak pada model persepsi langsung representatif mengenai fenomena fisik yang membedakan antara objek eksternal dan objek internal. Pada posisi tersebut, Ibn Sînâ memberikan solusi bahwa perlu dipisahkan antara objek ril di luar diri dan di dalam diri yang turut (معنى) dan immateri (صورة) membedakan pula kualitas yang berkaitan dengan materi sebagai bentuk pemahaman dari pengetahuan inderawi. Misalnya, alat pengukur panas tubuh bentuk angka yang tertera di alat tersebut dengan pemahaman mengenai

40Tepat pada keadaan tersebut, “selalu sudah ada/always already there” dunia intuisi yang masuk akal bahwa hidup di horizon dan bahwa merupakan seperti itu yang merupakan dunia dengan satu atau lain cara dengan atribut determinasi tertentu dan diangap sebagai determinasi lainnya . pada lain sisi, justru dunia merupakan bukan sesuatu yaitu dunia tidak memiliki determinasi lain, bukan material maupun spiritual, bukan pula logis maupun simbolis, bukan pula metafisis maupun inderawi yang mana dunia bukanlah sesuatu. Lihat, Form and Object A Treatise on Things, translated by Mark Allan Ohm and John Cogburn, edited by Graham Harman (German:EDINBURGH University Press, 2014), h. 75- 76. 41Misalnya karya seni kontemporer Groy sebagai bentuk penyederhanaan atas proyek yang sama yang berhubungan dengan waktu dan kesementaraan, yaitu pengurangan pandangan yang sempit. Bisa pula dikatakan bahwa fenomena kontemporer sebagai bentuk belum menunjukkan perbedaan dengan fenomena modern dalam sisi kontennya, atau hanya perluasan pada sisi bentuk saja. Lihat lebih lanjut dalam C.B. Johnson, Modernity Without A Project (New York: Brooklyn Punctum Books, 2014), h. 19. 146

tinggi atau rendahnya derajat panas dari angka yang ditunjukkannya. Ibn Sînâ (داخل) dan internal (خارج) membedakan dengan tegas antara sesuatu yang eksternal yang tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Ilustrasi mengenai persepsi langsung atas fenomena konkret melibatkan kemampuan mempersepsi misalnya, pandemi Covid-19 yang merupakan persoalan persepsi yang melibatkan pemahaman. Persepsi memberikan pengetahuan mengenai dunia luar namun menurut Ibn Sînâ, manusia juga memiliki persepsi mengenai dunia batin yang tidak dicapai oleh indera eksternal maupun internal yang melibatkan kesadaran diri (self-awareness).42 Proses dari kesadaran diri (self-awareness) yaitu dengan menekankan peran penting dari daya (الق هوة اإلنسانيهة) melalui fakultas insani tanpa (اإلدراك العقل) atau persepsi pikiran (تعقهل) atau kemampuan berpikir (الق هوة) Namun untuk fenomena konkret .)المادهة( memerlukan keberadaan dari objek fisik karena (اإلدراك الحسيهة) dalam konteks ini, hanya melibatkan persepsi inderawi ,secara fisik. Dalam persoalan fisik (المدرك) bertolak dari fenomena yang dipersepsi bahasa pilihan yang digunakan Ibn Sînâ untuk persepsi sementara dan ruang terbatas serta menyiapkan eksperimen pemikiran yang pada prinsipnya tidak dapat dilakukan dan kognitifnya (cognates).43 Kembali pada (الوهم) adalah selalu dari estimasi keberadaan dan cara kerja penyebaran virus corona baik yang melibatkan kemampuan mempersepsi maupun yang tidak, keduanya memandangnya sebagai suatu persoalan.44 Memahami fenomena pandemi covid-19 dengan melibatkan persepsi langsung juga berarti memposisikan persoalan kesehatan tersebut sebagai kenyataan (reality) yang bersifat objektif. Dalam konteks tersebut, objektif yaitu tidak hanya berkaitan dengan penerimaan pikiran namun keberadaannya secara independen terlepas dari pikiran. Pertimbangan virus sebagai entitas yang mirip seperti mahkota (crown), bersifat eksternal maupun bukti-bukti (evidents) kematian sebagai akibat atau konsekuensi, bersifat internal menjadi ciri dari persepsi langsung Ibn Sînâ yang bersifat objektif dualistis. Misalnya saja dalam pandangan Foucault, mengutip Blagojević, apa yang diucapkan bukanlah bukti dari kebenaran melainkan kebenaran itu seturut dari apa yang dipikirkan (I Don’t Say the Things I Say Because They Are

42Gutas, “Avicenna”..., h. 402. 43Contohnya, membayangkan perbedaan yang tak terbatas dari rangkaian kesatuan/continuum. Oleh karenanya, peran dari indera estimasi dalam memahami rangkaian kesatuan (continuum) adalah secara harfiah membayangkan bagian-bagian dalam skala besar di mana bagian-bagian tersebut tidak hadir dalam cara apapun, kecuali sebagai hal seiring dengan aksiden dari tindakan indera estimasi dari penempatannya (positing). Lihat, John McGinnis, “A Small Discovery: Avicenna’s Theory of Minima Naturalia,” Journal of the History of Philosophy Johns Hopkins University Press, Vol. 53 No. 1 January 2015, h. 13. DOI: 10. 1353/HPH.2015.0002. 44Namun bagi yang melibatkan kemampuan persepsi, memandang persoalan melalui representasi ketat antara kualitas objek dan kualitas subjek sampai pada taraf mengerti virus berdasarkan bentuk dan ma’nâ sebagai sesuatu yang berbahaya. Sedangkan bagi yang tidak melibatkan kemampuan mempersepsi, memandang persoalan tersebut melalui bentuk dan ma’nâ tanpa mengerti proses yang ketat berdasarkan dikotomi kualitas objek dan subjek. 147

What I Think).45 Kebenaran semacam itu bersifat apriori dan tidak sintesis karena karena tidak bergantung pada cara dunia, atau bahkan pada apa yang secara jangka waktu dialami namun diperlukan untuk mengalaminya.46 Secara kontekstual, pandangan Foucault dikatakan tidak objektif karena persepsinya tanpa melibatkan entitas eksternal di luar diri yang direduksi begitu saja menjadi ide dalam pikiran subjek semata yang bersifat subjektif. Covid-19 yang memiliki kemiripan dengan SARS baik dari gejala maupun penyebarannya mengandaikan bahwa suatu pemahaman mengenai fenomena dapat dipahami pikiran (internal) dan sesuai dengan kenyataan itu sendiri (external). Sebagai ilustrasi, objek pemahaman dari persepsi langsung baik yang bertolak dari subjek (Berkeley) maupun dari objek (Ibn Sînâ), keduanya berkaitan dengan wilayah keahlian dan keawaman dalam konteks pengetahuan. Misalnya, fenomena viral pengenai temuan “ramuan” sebagai “obat” dari covid-19 oleh Hadi Pranoto yang bersifat polemik.47 Karena asumsinya yaitu menggugat kapasitas (competence) dan keahlian (expertise) yang dimiliki Pranoto dalam mengklaim mengenai antibodi atau “obat” covid-19. Dalam aspek kapasitas dan kepakaran Hadi Pronoto bukan merupakan seorang dokter dan Profesor dengan latar belakang keilmuan yang memumpuni, namun mengusik benak pikiran masyarakat luas.48 Sedangkan Pranoto mempersepsi hasil ramuannya itu bertolak dari objek (objektif) namun melupakan bahwa wilayah ilmu medis memiliki karakteristik positivistik dengan tolak ukur verifikatif.49 Persepsi pada sisi lain berkaitan dengan kesadaran

45Konteks ucapan Foucault yaitu dalam persoalan mengenai berpikir tanpa sesuatu (Thinkin Without) yang mana harus diasumsikan bahwa salah satu tujuan pemikiran adalah pencapaian dari jenis pemikiran yang terdiri dari komprehensif, holistik, stabil dan koheren yang memaksudkan objek pikiran atau pemikiran itu akan selalu mencakup orang yang berpikir yang mungkin selanjutnya menyebabkan vertigo spesifik di mana para pemikir dan objek pikiran saling berhubungan. Hal tersebut menyiratkan bahwa ketika berpikir, tidak pernah berpikir apa yang sebenarnya dipikirkan, namun sebaliknya terjebak dalam pikiran dan pergeseran yang memusingkan serta tak berujung, dan tanpa berpikir antara pemikir dan objek pikiran. Lihat, After “the Speculative Turn” Realism, Philosophy, and Feminism, Edited by Katerina Kolozova and Eileen A. Joy (Punctum Books, 2016), h. 100-101. 46John Fennell, A Critical Introduction to the Philosophy of Language Central Themes from Locke to Wittgenstein (New York and London: Routledge Taylor & Francis Group, 2019), h. 42. 47Polemik tersebut bermula pada saat obrolan yang diposting Anji pada kanal youtube miliknya “anji MANJI”yang telah dihapus postingannya namun, telah di reposting pada kanal youtube Buletin iNews. Lihat, Buletin iNews, “Kontroversi Youtuber Anji & Prof. Hadi Pranoto yang Mengklaim Temukan Antibodi COVID-19”, diakses pada 8 Agustus 2020 dari http://www.youtube.com, jam 14.48. 48Salah satu penegasannya berasal dari Dirjen Dikti Kemendikbud, Nizam, bahwa setelah melakukan cek di database, tidak menemukan nama Profesor Hadi Pranoto. Lihat, Kompas.com, “”Dirjen Dikti Kemendikbud: Data Kita Tidak Ada Profesor Hadi Pranoto”, diakses pada 8 Agustus 2020 dari http://www.kompas.com, jam 14.57. 49Dalam konteks ilmu medis, rumpun keilmuannya bersifat erklaren (explanation) yang secara metodologis bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala dari fenomena tertentu dengan melibatkan instrumen untuk uji coba a (aposteriori), yang tidak cukup mengandalkan klaim kebenaran semata (“opini”). Karenanya menjadi masuk akal bahwa pernyataan

148

yang bersifat langsung (immediate) namun dengan dua porsi, pra-reflektif mengenal objek (it self) dan untuk dirinya atau merefleksikan objek (for self). Sebagai struktur kesadaran, keduanya mempengaruhi cara bertindak seseorang, yakni berkaitan dengan kesadaran persepsi dan imajinasi,50 apabila dibagankan sebagai berikut :

Gambar 15. Relevansi Subjek-Objek dan Hasilnya SUBJEK OBJEK

Persepsi Berkeley Mempersepsi ide-ide dalam pikiran

& (spiritualism) dari realitas

Persepsi Ibn Sînâ Mempersepsi materi dan non materi (dualisme) dari realitas (immediately)

3. Persepsi Subjek dan Persepsi Objek Serta Relevansinya Dengan Pengetahuan Inderawi Penting untuk merefleksikan mengenai perspektif parsial dan holistik dari proses persepsi sebagai bentuk representasi dan akurasi pikiran serta kaitannya dengan kebenaran pengetahuan. Namun sebelum melangkah lebih jauh lagi, perlu mendudukkan terlebih dahulu bahwa bentuk representasi merupakan upaya untuk memisahkan secara tegas independensi objek atas pikiran atau integral. Misalnya mengenai kasus covid-19 bahwa kualitas-kulitas yang berkaitan dengan penyakit pada dirinya (it- self) perlu diobservasi lebih jauh untuk memahaminya yang mana antara pemahaman dan objek merupakan dua hal yang berbeda. Sedangkan bentuk akurasi merupakan upaya untuk menyatukan secara dependen antara pikiran atas objek atau integral. Misalnya pada kasus covid-19 bahwa kualitas-kualitas yang berkaitan dengan penyakit tersebut merupakan bentuk dari pemahaman pikiran yang tidak terpisahkan dengan objeknya.51 Namun dalam pengertian yang berbeda, representasi dapat pula dibedakan antara representasi akurat dan non-akurat yang

Pranoto menuai kritik keras dari berbagai kalangan, tidak terkecuali dari kalangan dokter, warga net maupun ketua cyber Indonesia karena cenderung memiliki konten menyebarkan berita tidak benar. 50Dalam kesadaran yang bersifat perspektif, kesadaran menempaatkan objeknya sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dialami. Sedangkan dalam kesadaran imajinatif, seseorang mengenali objek dengan menyentuh atau mengalami objek namun tidak menyeluruh termasuk memasukkan tindakan keyakinan di dalamnya, yakni dengan menempatkan objeknya dengan caranya sendiri. Sedangkan dalam kesadaran imajinatif, terdapat tiga pola antara lain, pertama kesadaran mengenai objek yang tidak eksis (membayangkan mengenai manusia super yang bisa terbang), kedua kesadaran mengenai objek yang tidak hadir (John yang pergi ketika doni mengajaknya bertemu) dan ketiga, kesadaran mengenai objek pada suatu tempat (keberadaan John di London). Lihat, Sayyidati Muniroh dalam Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre (Yogyakarta: Kanisius, 2011), h. 153-154. 51Mengenai kualitas-kualitas pada kasus covid-19 yang peneliti maksud yaitu yang berkaitan dengan penyakit sebagai entitas yang meliputi bentuk, gerak maupun berat yang terlepas dari kaitannya dengan kemampuan pada subjek.

149

mana representasi akurat bertolak dari pengalaman sedangkan non-akurat bertolak dari pikiran.52 Akurasi berkaitan dengan bentuk reduksional antara subjek dan objek karena sasarannya untuk mereduksi atau “mencaplok” realitas ke dalam pikiran semata. Pikiran dalam konteks tersebut merupakan “realitas” itu sendiri yang mana pikiran memahami realitas secara langsung, yang berarti bahwa apa yang dipahami pikiran adalah sesuai dengan realitas (correspond). Misalnya, pada kasus kekerasan, tidak ada satu pun revolusi yang terjadi dengan kekerasan semata, terdapat juga pencabutan kekerasan dari yang tertindas namun itu tidak pernah mengarah kemanapun jika aparat kekuasaan yang ada tidak dirusak. Selalu saja kekurangan kekuasaaan dan kemarahan buta dari yang tidak berdaya mengekspresikan diri dalam bentuk kekerasan.53 Artinya memahami suatu fenomena dengan pikiran berupa ide-ide (ideas) merupakan kenyataan dan bentuk pemahaman langsung tanpa dijembatani oleh representasi-representasi mental atau data-data inderawi. Sedangkan representasi berkaitan erat dengan bentuk integral antara subjek dan objek karena berupaya untuk menjembatani pikiran dan realitas serta konsekuensinya bagi klaim kebenaran pengetahuan. Pikiran dalam konteks itu dapat dikatakan sebagai “copy” realitas, yaitu seperti air bagi ikan. Jika ada dunia di luar melampaui cairan sebagai tanda, maka tidak bisa mengetahuinya yang menjadi tidak masuk akal untuk berpikir mampu melampaui kealamiahan itu. Poin pentingnya ialah pikiran terjebak dalam dirinya sendiri dan ruang lingkupnya dalam hal kesadaran yang menjadikan pikiran sebagai cermin (mirror).54 Merepresentasikan fenomena covid-19 misalnya, merepresentasi dua hal yaitu bentuk (form) yeng berkaitan dengan gejala dari yang teridentifikasi virus tersebut sedangkan ma’nâ (intention) berkaitan dengan resiko dan bahaya untuk menularkan virus tersebut. Hal tersebut pada prinsipnya bahwa, hal partikular seperti fenomena covid-19 merupakan sesuatu yang dapat dipersepsi melalui hal yang material (indera-indera luar) sedangkan covid-19 sebagai wabah atau pandemi merupakan sesuatu yang dapat dipersepsi melalui hal yang non-material (rasio).55

52Lihat, Fristian Hadinata, “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty,” (Disertasi S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2015), h. 46. 53Lihat, Hannah Arendt and Hans Jṻrgen Benedict, “Revolution, Violence and Power: A Correspondence,” Journal of Constellations, 2009, Vol. 16, h. 305. DOI: 10. 1111/j.1467-8675.2009.00543.x 54Kesadaran terhadap realitas menjadi bentuk realisme sebagai teori realistis mengenai makna yang menjadikan logika sebagai dasar bagi sistem pemikirannya. Logika semacam itu dalam konteks pragmatisme menjadikan pikiran sebagai semeiotic dalam struktur dan tanda-tanda. Jerold J. Abramss, “Philosophy After the Mirror of Nature: Rorty, Dewey and Peirce on Pragmatism and Metaphor,” Journal of Metaphor and Symbol, University of Guelph, 13 June 2012, h. 237. 55Mengenai persoalan tersebut bukan berarti bahwa persepsi melalui indera tidak berkontribusi kepada rasio untuk mendapatkan pengetahuan rasional. Lihat lebih jauh Fazlur Rahman dalam Avicenna’s Psychology (London: Oxford University Press, 1952), h. 30, 41 & 54. 150

Terlepas dari akurasi dan representasi, kesamaan keduanya yaitu merupakan perspektif yang bertolak dari subjek dan objek untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi. Bisa juga dikatakan bahwa konstruksi melibatkan data yang terjadinya bersamaan (co-occurrence), misalnya, interaksi antara pemersepsi (perceiver) dan objek yang dipersepsi (perceived) sehingga memunculkan suatu gambaran inderawi (concept) yang mewakili unit tata cara tahu (known). Yang terpenting, model teoritis cara tahu asumsinya bahwa mengetahui peroses terjadinya pengetahuan melibatkan mengetahui pola interaksi antara subjek dan objek secara bersamaan. Hal tersebut terjadi pada tingkat yang berbeda abstraksinya, yaitu baik secara konkret maupun secara skematik. Mengkonstruksi pengetahuan sebagai epistemologi mengafirmasi hal konkret yng spesifik dan merujuk pada pengetahuan mengenai proses-proses pikiran atau objek pikiran beserta hasil-hasinya atau bentuk pengetahuan. Dengan kata lain, proses maupun hasil merujuk pada interaksi antara objek dan kemampuan diri sebagai ciri dari kategori pengetahuan abstrak.56 Mengkonstruksi pengetahuan inderawi karenanya merupakan upaya dari abstraksi pikiran mengenai proses-proses terbentuknya pengetahuan yang melibatkan proses dari pikiran manusia. Perspektif subjek menjadi konsekuensi dari pengetahuan sebagai suatu pemahaman (understanding) yang dimunculkan dari proses persepsi yang melihat objek sejauh dari apa yag dapat dipersepsi. Artinya secara ontologis, status objek dipahami berdasarkan sudut pandangan (jangkauan, perspektif) tertentu saja yaitu pada posisi subjek. Perumusan neuroscientific terbaru menegaskan bahwa afeksi (affectivity) adalah bentuk primordial dari subjektivitas. Lebih khusus lagi bahwa mempengaruhi sensitivitas yang diperluas, difusi dan proses primer yang tidak memiliki konten spesifik atau perbedaan kognitif yang jelas antara dunia eksternal- objektif dan internal-subjektif. Pada sisi lain, kontras dengan sudut pandang antropormosentris yang dominan akumulasi bukti neuroscientific yang menguatkan bahwa suatu bentuk primordial subjektivitas sudah ada pada tingkat pertama dari hierarki otak.57 Karenanya persepsi berdasarkan perspektif subjek mengambil porsi

56Sandra C. Deshors, “Zooming in on Verbs in the Progressive: A Collostructional and Correspondence Analysis Approach, ” Journal of English Linguistics, Vol. 45, 2017, Michigan State University, Lansing, USA, h. 262. 57Singkatnya, paradigma neurokognitif yang dominan umumnya menempatkan kehidupan subjektif ke tingkat tertinggi organisasi otak, terutama sebagai konsekuensi mengumpulkan ingatan individu yang tersimpan dalam jalur otak depan, sejumlah besar bukti neuro-ethological menunjukkan bahwa hewan non-manusia juga memiliki bentuk subjektivitas yang muncul dari aktivitas subcortical otak yang evolusioner, diencephalic dan basal daerah otak depan. Temuan-temuan tersebut menjelaskan bahwa subjektivitas adalah kecenderungan warisan yang didasarkan pada aksi archaic dari fondasi otak, yang menguatkan pandangan Jung bahwa sebelum refleksi kesadaran diri dikembangkan oleh bayi, sudah ada suatu bentuk afeksi yang bersifat naluri yang menyatakan diri dalam bentuk afeksi-intensionalitas psikis yang dapat berinteraksi dengan efektif dengan cara evaluatif dengan material, dunia yang dideterminasi. Antonio Alcaro, Stefano Carta and others, “The Affective Core of the Self: A Neuro-Archetypical Perspective on the Foundations of Human (and Animal) Subjectivity,” Journal of Frontiers in Psychology, September 2017, Vol. 8. h. 8-10.

151

penuh pada kemampuan subjek (inner) atas realitas fisik (external world) sebagai basis bagi pengetahuan inderawi. Subjek mempersepsi fenomena atau realitas eksternal berdasarkan perspektif tertentu, baik yang bersifat dualisme yaitu dengan mempertahankan aspek objek maupun monisme yaitu yang hanya mengakui aspek subjek semata.58 Misalnya pada kasus penanggulangan penyebaran covid-19 dengan merumuskan sistem atau prosedur sebagai langkah-langkah konkret yang mencakup tiga langkah; pengecekan (testing), pelacakan (tracing) dan penanganan (treatment). Namun ketiga tahapan konkret tersebut, tetap mempertimbangkan peran ahli untuk menerapkan standar- standar tertentu. Pada langkah-langkah konkret tersebut juga sebagai suatu sistem pengetahuan, relevansinya dengan persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ yaitu bertolak dari data-data inderawi. Selain itu juga langkah-langkah konkret berasal dari hal konseptual yang bersifat abstrak yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk rumusan konkret. Dengan kata lain, tahapan konkret tersebut juga bertolak dari bentuk akurasi dan representasi pikiran sebagai bagian dari proses mempersepsi realitas eksternal.59 Sebaliknya, persepsi objek justru menjadi suatu pertentangan dari persepsi subjek karena mengandaikan pemisahan dari subjek dan terlepas dari kemampuan untuk menjangkaunya. Sesuatu yang objektif “seharusnya” dapat diterima kembali bergantung pada fakta-fakta dan makna yang tepat yang mana sesuatu yang subjektif “harus” dari rasionalitas yang bertumpu pada kepercayaan seorang agensi (agent). Bisa juga dikatakan bahwa persepsi objek adanya kesesuaian dengan keseimbangan dari alasan yang objektif yaitu fakta, sedangkan persepsi subjek adanya kesesuaian keseimbangan dari alasan yang subjektif yaitu keyakinan, atau berdasarkan apa yang dipercayai. Keduanya juga merupakan bagian dari evaluasi terhadap tindakan, dalam konteks ini, tindakan mempersepsi objek yaitu relasi antara subjek dan objek untuk mengkonstruksi pengetahuan. Karenanya, alasan objektif hanya alasan inti yang

58Perspektif yang bersifat monisme merupakan “sesuatu” yang berada di dalam diri subjek (pikiran), yaitu ide-ide atau kualitas subjek (ideas) yang merupakan realitas yang dipahami itu sendiri. Sedangkan persepsi yang bersifat dualisme merupakan “sesuatu” yang berada baik di dalam diri maupun di luar diri (representasi), yaitu konsep atau gambaran .yang berbeda dengan realitas karena merupakan aspek di dalam diri (تص هور) mental Perspektif monisme misalnya, memahami kuda di dalam pikiran sebagaimana kuda itu sendiri sebagai objek eksternal sedangkan perspektif dualisme misalnya, memahami kuda di dalam pikiran berdasarkan data-data indera yang terberi sebagai gambaran mental yang berbeda dengan kuda sebagai objek eksternal. Mudahnya, foto mengenai kuda dan kuda itu sendiri dalam perspektif monisme merupakan kuda itu sendiri baik dari segi kualitas maupun esensinya, sedangkan dalam perspektif dualisme antara foto dan kuda merupakan dua hal yang berbeda karena berbeda pula dari segi kualitas maupun esensinya. 59Pada kasus yang berbeda, pandangan Garcia mengenai bentuk (form) dan objek (object), digambarkan sebagai ontologi formal dari segala sesuatu, yaitu klaim bahwa perbedaan antaraobjek ril dan sensual tidak menghakimi realitas. Lebih jauh lagi, setiap hal sama soliter dalam hal apa yang bukan, yaitu dunia. Namun jika sesuatu adalah apapun yang eksis tanpa memperdulikan apapun yang lain, hal itu juga merupakan objek atau entitas sejauh mereka terdiri dari objek lain dan masuk ke dalam komposisi objek lebih lanjut yang dapat direfleksikan pada banyak bentuk konkret dari manusia dan eksistensi kosmik. Lihat, pendahuluan penerjemah dalam Garcia, Form and Object..., h. Xxiii&xxiv.

152

benar dan alasan subjektif hanya percaya terhadap alasan inti. Pandangan tersebut mengutamakan pandangan ini atau yang bersifat objektif.60 Menurut peneliti, tidak bisa dihindari bahwa terjadi dikotomi tajam bahwa yang satu lebih unggul dari yang lainnya. Namun dalam konteks penelitian ini, Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ dilihat sebagai suatu perbandingan tanpa membedakannya berdasarkan unggul atau tidaknya. Objek eksternal sebagai fenomena merupakan fakta empiris bahwa dunia terdiri dari materi-materi di samping spiritual, pikiran atau ide-ide yang bersifat non- empiris. Fakta empiris tersebut bersifat objektif atau memiliki objektivitas tertentu dalam arti dunia sebagai akses terhadap pemikiran rasional, yang mana bahasa dan dunia yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan pikiran manusia lainnya.61 Perspektif objek dapat juga berarti pemahaman yang berangkat dari objek sebagai pemaknaan (meaning) pikiran, misalnya dalam kajian semiotik pragmatis Pierce maupun Deleuze yang bersifat triadik.62 Dengan kata lain pada konteks tersebut, justru tidak menegasikan keberadaan objek yang memiliki kualitas-kualitas pada dirinya (it self) yang membentuk pemahaman subjek (signification). Artinya, subjek tidak serta merta memahami fenomena di luar dari keberadaan diri (existence) yang menyiratkan bahwa penolakan terhadap bentuk lain yaitu “isolasi pikiran” yang terlepas dari objeknya. Pada kasus covid-19 misalnya, gejala-gejala batuk, flu dan demam merupakan tanda yang terdapat pada seseorang sebagai objek, yang menunjukkan pada sesuatu yang lainnya sebagai makna (meaning), atau proses signifikansi tanda. Baik persepsi subjek maupun persepsi objek, keduanya merupakan bentuk Pengetahuan inderawi juga berkaitan .(معرفة/dari pengetahuan inderawi (knowledge dengan pengetahuan manusia yang merupakan hasil dari interaksi antara struktur biologis yang luar biasa bersama dengan segala sesuatu yang berkaitan dengannya di dalam tubuh. Karenanya, pengetahuan inderawi juga terdiri dari struktur dalam otak manusia namun sifat struktur dan cara mereka dikodekan masih sebagian besar tidak diketahui.63 Namun cara kerjanya yang melibatkan peranan persepsi sebagai proses yang merupakan struktur-struktur dari cara kerja pikiran menurut peneliti, merupakan persoalan yang berbeda yang dipisahkan dengan kajian neuroscience. Misalnya persepsi luar (external perception) maupun persepsi dalam (inner perception) merupakan struktur dari cara kerja pikiran untuk mengetahui sesuatu mengenai objek atau fenomena. Fakta bahwa keseluruhan pengetahuan manusia

60Mark Schroeder, “Getting Perspective On Objective Reasons,” Journal of Ethic, The University of Chicago, January 2018, h. 293-294. 61Peter Dear, Ian Hacking and Othersm “Objectivity in Historical Perspective,” Journal of Metascience, Springer Science+Business Media,24 January 2012, h. 16. 62Bagi Deleuze, seperti Peirce, perkenalan dengan objek yang terlepas dari tanda itu diperlukan bagi semiotik. Yang paling penting adalah untuk Peirce, berpikir dengan tanda- tanda perlu mencakup memodifikasi pengetahuan sebelumnya mengenai objek yang selanjutnya mengkreasikan dan menghapus objek baru. Lihat, Roger Dawkins, “From the Perspective of the Object in Semiotics: Deleuze and Peirce,” Journal of De Gruyter,Mouton Semiotica, University of Edinburgh, 2020. DOI: 10. 1515/sem-2017-0154. 63Kenneth E. Boulding, “Human Knowledge As A Special System,” Journal of Behavioral Science, Vol. 26, 1981, University of Colorado, Boulder, h. 93.

153

adalah sistem bertolak pada dua hal, pertama berkaitan dengan persoalan biologis dan kedua dan persoalan lingkungan.64 Pengetahuan juga terbagi menjadi dua, pertama yang bertujuan untuk membangun sistem (epistemic) dan kedua yang bertujuan sebagai upaya memperbaiki keadaan (edify). Untuk yang pertama bercirikan mencari kebenaran yang bersifat mapan yang mengesampingkan aspek kontingensi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan ciri yang kedua yaitu tidak mencari kebenaran yang bersifat mapan justru lebih memposisikan pengetahuan sebagai suatu percakapan dan lingkungan yang menekankan aspek penting dari kontingensi manusia.65 Dalam konteks persepsi sebagai pengetahuan, upaya untuk membangun suatu sistem bertolak dari kemampuan individu yang berkaitan dengan akurasi dan representasi. Sedangkan upaya untuk memperbaiki keadaan dengan menekankan peran penting dari percakapan, bertolak dari diskursus sosial yang berkaitan dengan dua atau lebih dari pernyataan individu tanpa keketatan dalam kemampuannya untuk menampilkan realitas secara akuran maupun representatif. Dengan kata lain, upaya untuk membangun sistem mengandalkan korelasi antara pikiran dengan realitas (reality). Sedangkan upaya untuk memperbaiki keadaan, mengandalkan peran dari bahasa dan penggunaannya (pragmatic) dalam konteks lingkungan (environment) dan perilaku sosial (behaviour). Persepsi subjek maupun objek sebagai upaya untuk membangun sistem pengetahuan mengasumsikan bahwa manusia memiliki kapasitas (competence) untuk menampilkan realitas secara tepat melalui rasio maupun indera. Namun dalam konteks penelitian ini, peranan persepsi yang menentukan dalam mendapatkan dan mengolah isi dari data indera yang diperoleh dari realitas eksternal. Sikap optimistik tentu bukan mengabaikan sifat dari kontingensi manusia66 terlebih terkukung pada sikap pesimistik atau ironis. Dalam pandangan rorty, ironis dapat diartikan suatu sikap atau cara berpikir bahwa upaya yang sia-sia untuk menjelaskan sesuatu secara final, karena terbentur oleh kesementaraan (temporer). Namun bukan berarti bahwa dengan kesementaraan tersebet, membatasi kemampuan diri untuk mengkonstruksi realitas sebagai pengetahuan inderawi. Hal itu karena kemampuan diri merupakan keutamaan (exellency) dari manusia itu sendiri terlepas dari keliru atau tidaknya pengetahuan tersebut namun dengan sufat kontingensinya justru ilmu tersebut mengalami upgrade terus menerus. Pada posisi tersebut menurut peneliti, kemampuan diri bukan berarti mengingkari kesementaraan dan kontingensi manusia itu sendiri.

64Pada persoalan biologis yaitu sistem informasi genetik dalam telur yang dibuahi 3 memiliki inti umum yang sangat besar yang mendasari perbedaan antar individu untuk mengetahui, sedangkan persoalan lingkungan, yaitu dunia nyata secara fundamental bersifat sama bagia siapa saja namun lingkungan yang menyebabkan perbedaan untuk mendapatkan pengetahuan. lihat, Boulding, “Human Knowledge”..., h. 94. 65Lihat lebih jauh dalam pemikiran Richard Rorty dalam Philosophy and the Mirror of Nature. 66Istilah kontingensi umumnya digunakan untuk menunjukkan sifat alamiah dari manusia dalam ruang lingkup kemungkinan yang berlawanan dengan keniscayaan, yang berarti bahwa produk dari akal budi, persepsi sebagai kemampuan diri atau keutamaan manusia sifatnya nisbi dan temporer dalam koteks persoalan eksistensial.

154

Karenanya perlu dipisahkan antara kemampuan diri dan ambisi dalam hal upaya mengkonstruksi pengetahuan. Semangat penyelidikan (inquiry) pada satu sisi mengandalkan kemampuan diri namun pada saat yang sama berambisi untuk menjelaskan realitas apa adanya. Dalam perspektif Rorty, keduanya merupakan dua hal yang berbeda yakni antara seorang metafisikus untuk “menangkap realitas” dan seorang ironis untuk “menggunakan representasi”.67 Semangat penyelidikan juga di sisi lain, berambisi untuk menjelaskan realitas secara “mutlak” sebagaimana penjelasan metafisis yang berambisi untuk menolak mitos secara “mutlak.”68 Namun yang perlu diafirmasi bahwa sifat dari pengetahuan tersebut sebagai yang bersifat kesementaraan (temporer) dan mengabaikan aspek historis dan kontingensi yang menjadi problem kemampuan diri dan ambisi untuk mengkonstruksi pengetahuan. Karenanya bagi seorang ironis, menyadari keterbatasan manusia untuk mengakses realitas, yaitu dengan bahasa sedangkan bagi seorang metafisikus, menekankan aspek dari kemampuan rasio (persepsi) untuk mengakses realitas. Dalam perspektif Berkeley misalnya, fenomena covid-19 merupakan suatu kenyataan yang dapat dipahami dengan cara dipersepsi secara langsung dan akurat untuk mendapatkan gagasan mengenainya (realisme formal). Artinya apa yang pikiran dipahami melalui persepsi inderawi mengenai gejala covid-19 merupakan entitas dari ide-ide semata baik demam, batuk, bersin-bersin dan sebagainya. Dengan kata lain, reaksi panas maupun suara merupakan ide-ide yang dipahami yang hanya ada di dalam pikiran. Alasannya, baik panas maupun suara tidak dapat dikenali konsepsi mengenainya selain dari pikiran yang memahaminya bahwa gejala adalah bagian dari covid-19. Artinya secara penampakan (appearance) baik panas atau suara yang dapat mengenalinya adalah pikiran yang berarti bahwa panas dan suara itu sendiri tidak ada secara kenyataan (reality). Sedangkan dalam perspektif Ibn Sînâ, fenomena covid-19 juga merupakan maupun internal (خارج) suatu kenyataan yang dapat dipersepsi baik secara eksternal yang bersifat langsung dan representasional untuk mendapatkan bentuk dan (داخل) ma’nâ mengenainya (realisme representasional). Artinya apa yang dipahami oleh pikiran melalui persepsi inderawi mengenai gejala covid-19 merupakan entitas materil dan immateril baik gejala demam, batuk bersin-bersin dan sebagainya. Dengan kata lain, reaksi panas dan suara merupakan entitas pada objek/penderita covid-19 yang bergejala tersebut yang kemudian dipahami oleh pikiran sebagai bentuk dan ma’nâ. Alasannya, panas dan suara berada pada objek eksternal dan dikenali oleh pikiran sebagai objek pikiran yang mana pasien tersebut memiliki

67Menurut Rorty, Eco dapat menikmati dinosaurus, simbol-simbol dan metafora tanpa harus memotong ke sisi halus untuk mencari kaslian tersembunyi yang pada akhirnya berakhir pada kode-kode. Lihat Rorty dalam Philosophy and Social Hope..., h. 132. 68Sama seperti dalam penelitian mengenai mitologi yunani atau romawi, tidak ada satu alasan pun yang menjelaskan mengapa suatu mitos berkembang. Tidak ada alasan juga untuk percaya bahwa penyelidik manapundengan sengaja mengemukakan sesuatu yang tidak benar. Dalam konteks tersebut, kemungkinan besar kebanyakan mitos muncul sebagai hasil dari generalisasi yang tidak beralasan (beberapa mitos muncul karena intuitif jelas dari “deduksi”). Pikiran optimis berarti membebaskan kedisiplinan dari mitologi. Lihat, John Lentini, “The Mythology of Arson Investigation,” Journal of Protocols in Forensic Science, 2012, h. 471&474.

155

gejala covid-19. Karenanya secara penampakan (appearance), baik panas maupun suara merupakan realitas eksternal yang dapat dikenali oleh pikiran yang berarti bahwa panas dan suara tersebut merupakan kenyataan.

B. Sistem dan Pengetahuan Inderawi 1. Pengetahuan Inderawi Sebagai Cermin Realitas Upaya membangun sistem menjadi kata kunci (core) penting dari penelitian ini untuk memahami konsepsi filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ mengenai peran penting persepsi serta kaitannya dengan pengetahuan inderawi. Persoalan mengenai diri (self) sebagai cermin realitas (mirror for the reality) menjadi titik-tolak bagi umumnya para filosof untuk membangun sistem pengetahuan yang diformulasikan. Misalnya, mengenai subjektivitas yang tidak menjadi bagian dari subjek karena tidak mengalaminya secara internal, seperti yang telah Hume tunjukkan yaitu pikiran, imaji maupun impresi semata-mata sebagai pengalaman dalam diri manusia. Namun, dari luar bahwa hal tersebut diselesaikan sebagai sesuatu yang integral dan merupakan entitas yang otonom. Hal tersebut adalah hal-hal eksternal (external things), “kesatuan imajinasi” (imaginary unity), yang dibutuhkan manusia secara objektif untuk memahami dirinya sendiri yang akan menjadi nama yang lain lagi untuk menunjukkan dirinya. Yang lain tersebut yaitu diintegrasikan ke dalam diri dari awal karena yang lain merupakan subjektivitas dari diri sendiri. Namun dalam konteks yang berbeda yaitu hubungan antara diri sebagai cermin bagi yang lain, tidak ada diri yang sebenarnya karena tindakan diri di luar subjek yang diadopsi begitu saja.69 Cermin dalam konteks penelitian ini yaitu bahwa pikiran melalui persepsi inderawi mampu merepresentasikan realitas dan menampilkannya secara akurat, yaitu semakin jernih rasio semakin jelas juga pengetahuan dan sistem yang dihasilkannya. Namun bukan berarti bahwa pengetahuan sebagai sistem bersifat final dan anti perubahan karena, persoalan filosofis berkaitan dengan pemahaman manusia dan nalar yang terus berkembang. Asumsinya yaitu bagi satu filosof persoalan tersebut bisa belum terselesaikan namun bukan berarti tidak ada celah bagi filosof lainnya untuk menyelesaikannya dan mengembangkan sistem yang lebih kuat.70 Yang menjadi penekanan penting yaitu bahwa kemampuan diri dalam hal ini pikiran terlebih persepsi inderawi penting untuk memformulasikan pengetahuan yang ketat (rigours). Asumsinya yaitu bahwa pengetahuan bersifat konstruktif atas realitas dan pararel dengan kemampuan diri (epistemic), bukan hanya persoalan tindakan (behaviour). Dengan kata lain, persoalan pengetahuan dan cermin realitas berkaitan dengan persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ yang bersifat individual beserta kemampuannya untuk membangun sistem, karena menekankan aspek penting dari representasi dan akurasi.

69Tindakan tersebut merupakan bentuk dari interiorisasi (interiorization) yang terjadi dari yang lain dan menjadi kondisi untuk subjektif “saya”, maka seorang manusia adalah diri sejauh dia juga yang lain. Lihat, Diana Gasparyan, “Mirror for the Other: Problem of the Self in Continental Philosophy (from Hegel to Lacan),” Journal of Integr Psych Behav, University Higher School of Economics, Moscow, 19 September 2013, h. 15. 70Richard Rorty, The Linguistic Turn Essays in Philosophical Method (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1992), h. 45. 156

Karenanya penting untuk mengafirmasi status keistimewaan (privilege) dari seorang ahli (expert), yang dalam hal ini kepiawaian dari para filosof yang memiliki seperangkat mengakses pemikiran filosofis atas realitas. keistimewaan (privilege) sebagai upaya untuk melakukan pembuktian (proof) baik yang bersifat koresponden maupun koheren. Pikiran dan peranan persepsi karenanya pararel dengan realitas itu sendiri sebagai upaya untuk menyingkapnya (Mirror of Nature). Hak-hak istimewa (privileges) telah menikmati sejarah yang lama dihormati, sebelum mulai digunakan pada masa awal zaman modern untukmendukung para penemu (inventors). Hal itu juga menjadi latar belakang legal bahwa inovasi pada masa awal modern mulai mengambil kontak baru, yaitu kewajiban untuk membuktikan dasar untuk hak istimewa. Prosedur standar mengenai hukum pembuktian juga mulai memainkan peran dalam penilaian atas kemajuan teknologi.71 Selain itu juga, asumsi-asumsi dasar maupun hipotesis berangkat dari korelasi antara diri dengan realitas meskipun pada taraf tertentu, kesimpulan yang dihasilkan bukanlah bersifat final. Keistimewaan (privilege) dari seorang filosof atau seorang ahli (expert) dalam konteks bahwa dengan pemahamannya mengenai proses terbentuknya pengetahuan, dengan begitu mmapu memahami realitas lebih baik dari pandangan bukan seorang filosof atau ahli (laypeople). Dalam konteks tersebut, yang peneliti afirmasi yaitu terdapat kuaitas pikiran yang berbeda dari tiap-tiap orang, yang tidak dapat dipukul rata. Namun yang peneliti negasikan yaitu klaim kebenaran filosofis itu sendiri yang bagi sebagian orang merupakan klaim yang bersifat terisolasi dan terpisah dari perkembangan disiplin ilmu lainnya dalam melihat suatu realitas. Namun sebagai dasar filosofis menjadi penting terlebih lagi dalam hal memberikan pendasaran atas realitas dan korelasinya dengan diri. Perlu adanya “bangunan” kokoh sebagai tempat memberikan pijakan yang mendasar serta kokoh bagi suatu pengetahuan dan klaim kebenarannya. Pada disiplin ilmu pendidikan atau pedagogi misalnya, kemampuan diri dalam mempersepsi objek eksternal dengan menggunakan teori persepsi dari Kelly, yaitu teori konstruksi personal.72 Dengan kata lain, klaim filosofis tertentu perlu diposisikan sebagai hal yang bersifat tentatif namun tetap memerlukan instrumen yang andal (pikiran dan persepsi) sebagai upaya untuk mengkonstruksi realitas. Meminjam perbedaan konseptual dari Rorty, terdapat dua dikotomi antara seorang ironis dan seorang metafisikus yang mana keduanya dipertentangkan secara tajam. Menurut peneliti, kedua hal yang dipertentangkan oleh Rorty berada pada wilayah yang berbeda yaitu seorang ironis lebih berdimensi etis sedangkan seorang metafisikus lebih fokus pada peroalan epistemologi. Argumentasinya, bagi seorang ironis, menekankan aspek penting dari kesadaran akan kontingensi, yaitu kesadaran

71Buning, “Privilege System”..., h. 62. 72Menurut Kelly, individu secara aktif terlibat dalam membuat rasa pengalaman berdasarkan sistem konstruksi mereka yang saling terhubung. selain itu juga, Kelly mengafirmasi bahwa kekuatan dan pengaruh persepsi dan keyakinan diri bahwa para peserta terlepas dari persepsi orang lain mengenai mereka. Membangun suatu sistem pengetahuan karenanya menghadapi dua problematika yaitu dikonfirmasi atau justru ditantang namun memiliki konsekuensi yaitu mempengaruhi “harapan” dan persepsi yang lebih segar lagi.

157

mengenai historisitas yang mana kehidupan merupakan rangkaian dari suatu interaksi sosial. Atau dengan kata lain, seorang ironis menyadari akan peluang untuk selalu mempunyai seperangkat kata yang digunakan untuk membenarkan atau menjustifikasi tindakan, keyakinan atau pilihan dalam hidup. Konsekuensinya, manusia ironis sanggup untuk merumuskan proposisi dan argumen pribadi yang muncul dari situasi konkret dengan fenomena sosial (redescription of familiar phenomen). Sedangkan bagi seorang metafisikus, menekankan aspek penting dari sesuatu yang “absolut”, yaitu sesuatu yang dideskripsikan dan diambil begitu saja sebagai suatu pernyataan yang dirumuskan dalam kosa kata final. Atau dengan kata lain, bagi seorang metafisikus, tidak menyadari bahwa segala sesuatu yang dideskripsikan atas realitas membuatnya terisolasi dari berbagai kemungkinan dan dari sifat alamiah dari manusia itu sendiri yaitu kontingensi. Konsekuensinya, manusia metafisikus tidak memperhatikan bahwa permainan bahasa dipengaruhi oleh konvensi dan kebiasaan yang berlaku pada tempat dan konteks tertentu (common sense). Karenanya dalam pandangan Rorty, konsep mengenai manusia ironis dan metafisikus dipertentangan secara dramatis namun dalam wilayah yang sama, yaitu epistemologi. Argumentasinya, karena baik manusia ironis maupun metafisikus keduanya berupaya untuk mengkritisi epistemologi modern sebagai paham fondasionalisme dan memberikan justifikasi atas pengetahuan.73 Karenanya untuk menjernihkan pandangan mengenai pengetahuan dan cermin realitas, perlu dipertegas pula bahwa bagi seorang ironis, kebenaran pengetahuan hanya berkaitan dengan bahasa sedangkan bagi seorang metafisikus, berkaitan dengan realitas. Mengenai realitas yang bersifat objektif yang berarti bersifat eksternal yang terlepas dari subjek, memiliki relevansi dengan sikap ironis yaitu seputar sikap sentimen. Sikap sentimen tersebut sebagai suatu sikap kritis dan analisis serta evaluatif untuk menentukan nilai kebenaran dari pernyataan tertentu (a certain statement). Pada sisi lain, sikap subjektivitas mengenai pemahaman atas data spesifik dapat digunakan untuk mendeteksi ironi pada tingkat teks tertentu yang meliputi tiga tingkatan konseptual; tanda, emosi dan hal yang tidak terduga.74 Pada konteks tersebut, fenomena tertentu dapat dipahami oleh subjek secara ironis, misalnya, mengenai pandemi covid-19 yang bisa saja tidak dipahami sebagai penyakit yang mematikan.75 Bagi seorang ironis, pandemi covid-19 merupakan fenomena yang tidak berkaitan dengan penyakit berbahaya melainkan sebagai penghambat usaha untuk “menyambung kehidupan”, upaya meredeskripsi realitas.

73Fristian, Richard Rorty..., h. 81-85. 74Antonio Reyes and Paolo Rossa, “On the Difficulty of Automatically Detecting Irony: Beyond a Simple Case of Negation,” Journal of Knowledge and Information Systems, Vol. 40, September 2014, h. 4&14. DOI: 10.1007/s101115-013-0652-8. 75Pada awal masuknya pandemi covid-19 dan mulai diberlakukannya psbb, aktivitas ekonomi mengalami pembatasan yang amat dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Misalnya pada kasus pedagang Ibu Yernis di Riau yang mengalami dilema dari dampak pandemi covid-19 antara memilih mati kena virus tersebut atau mati kelaparan di rumah, yang beritanya juga sempat viral di sosmed. Lihat, Riau Online, “Pedagang Bingung, Pilih Kena Covid-19 Atau Mati Kelaparan di Rumah”, diakses pada 23 Agustus 2020 dari http://www.riauonline.co.id, jam 21.31.

158

Seorang ironis dan metafisis merupakan persoalan yang berkaitan dengan paham yang mengakui bahwa kenyataan merupakan suatu kebenaran yang bersifat korespondensi atau realisme namun dengan penekanan yang berbeda. Bagi seorang ironis, memahami realitas untuk mendeskrisikan dan mendeskripsikanya kembali (description-redescription). Upaya semacam itu menjadi bagian dari strategi umum untuk menawarkan penjelasan yang bersifat pragmatis mengenai suatu konsep dan kebenaran untuk membantu membebaskan diri dari konsep pikiran yang membuat muatan realis menjadi mungkin.76 Sedangkan bagi seorang metafisis, memahami realitas sebagai untuk mengkonstruksinya secara akurat dan representatif yang berdiri di luar diri (objective realities). Menurut peneliti, upaya yang demikian mengafirmasi realitas yang bersifat empiris sebagai sesuatu yang objektif sebagai suatu kebenaran, yaitu relasi antara subjek dengan objek. Atau dengan kata lain, seorang ironis cenderung bertujuan melihat realitas untuk mendeskripsikannya ulang sebagai percakapan sedangkan bagi seorang metafisis, melihat realitas cenderung untuk mengkonstruksi sebagai suatu pengetahuan. Dalam kasus konkret seperti fenomena pandemi covid-19, baik seorang ironis maupun metafisis dapat dibedakan secara tegas keduanya. Ironis merupakan term yang bersifat polisemi yang mencakup sejumlah fenomena berbeda melampaui penggunaan bahasa seperti kiasan atau retoris baik eksplisit maupun implisit.77 Sedangkan metafisis menurut peneliti, lebih besifat monosemi yaitu berkaitan dengan fenomena sebagai realitas dan berkorelasi juga dengan pikiran baik secara eksplisit maupun implisit. Bagi seorang ironis, menyikapi pandemi bukan sebagai sesuatu yang serta merta berkaitan dengan kesehatan dan berpotensi pada kematian melainkan, sebagai ancaman kehidupan karena berkaitan dengan kesulitan ekonomi. Pada konteks itu, seorang ironis cenderung meredeskripsikan fenomena berdasarkan asas manfaat (pragmatis) secara personal sedangkan bagi seorang metafisis, lebih cenderung pada upaya untuk memahaminya sebagai fakta objektif serta upaya untuk merumuskannya secara sistematis, yaitu langkah konkret (empiris). Menurut peneliti, secara pragmatis berarti kebenaran sejauh berkaitan dengan bahasa dan praktek sosial atau lingkungan sedangkan secara empiris berarti kebenaran sejauh berkaitannya dengan realitas dan pikiran atau persepsi. Bagi seorang ironis, persoalan mengenai pengetahuan beserta klaim yang dimilikinya berkaitan erat dengan fungsi bahasa sebagai percakapan (figures of speech) antar individu. Sikap ironi juga berguna untuk memaksakan pada pendengar (hearer) untuk dua tahap penafsiran, pertama, dengan mengenali “keburukan kualitas” sebagai metaforis sedangkan yang kedua, dengan membandingkan makna sebagai kontradiksi.78 Menurut peneliti, sikap ironis bermakna sebagai bentuk tindakan penolakan terhadap klaim pengetahuan yang sudah mapan dengan bahasa, yaitu metafora dan kontradiksi. Atau dengan kata lain, bentuk penolakan tersebut

76A Companion to Rorty, edited by Alan Malachowski, h. 60. 77Lihat, Angeliki Athanasiadou, Herbert L. Colston and Others, Irony in Language Use and Communication, 2018, h. 1, Book Review John Benjamins, Figurative, Thought and Language (Amsterdam, 2017). 78Andreas Musolff, “Metaphor, Irony and Sarcasm in Public Discourse,” Journal of Pragmatic, University of East Anglia, 2017, h. 96. 159

tidak berkorelasi secara langsung dengan realitas atau fenomena melainkan berkorelasi dengan bahasa sebagai alat atau instrumen realitas dan kebiasaan individu dalam bertindak.79 Karenanya menurut peneliti, penolakan dengan bentuk metafora dan kontradiksi merupakan suatu realisme namun dengan kadar yang berbeda dengan bentuk representasi dan akurasi atas realitas. Sedangkan bagi seorang metafisis, persoalan mengenai pengetahuan dan klaim kebenaran berkaitan dengan persepsi dan realitas yang saling berkorelasi atau korespondensi. Sikap metafisis tersebut bersikeras bahwa kebenaran seperti realitas adalah satu dan serupa sehingga berupaya untuk mendamaikan semua keyakinan seseorang dengan semuakepercayaan lain. Konsekuensinya yaitu munculnya konflik antar kepercayaan dari tiap-tiap kelompok ilmuan yang berbeda sehingga tidak dapat bertemu pada satu tujuan (purposes).80 Menurut peneliti, sikap metafisis tetap penting untuk mengkonstruksi realitas karena klaim-klaim kebenaran yang bersifat empiris tetep memerlukan korelasi dengan realitas yang bersifat korespondensi. Hal tersebut agar terhindar dari opini yang justru sejatinya realitas tersebut merupakan wilayah atau koridor persepsi untuk berupaya menampilkan kembali secara akurat maupun representatif yang menjadi bagian dari kemampuan diri. Apabila klaim kebenaran realitas hanya berkorelasi dengan kesepakatan antar individu saja yang berbasiskan percakapan dalam praktek keseharian untuk perbaikan keadaan (edify), tidak berhubungan secara langsung dengan realitas tersebut kecuali hanya berkaitan dengan praktek sosial yang dihayati. Persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ dalam konteks pengetahuan inderawi berkaitan dengan metafora persepsi sebagai cermin realitas dengan memahaminya secara akurat dan representasi. Sebagai gambar cermin antara subjek dengan objek, dapat dianggap “teks” yang kemudian berhubungan secara korelatif antara konten empiris dan kondisi transendental sebagai hal yang saling mempengaruhi yaitu suatu pemahaman.81 Dalam konteks tersebut, realitas dapat dianggap sebagai suatu teks sebagai objek pemahaman diri karena dapat dibaca-tafsir sekaligus menjadi suatu petunjuk (sign) bagi pikiran. Menurut peneliti, realitas karenanya bersifat otonom terhadap subjek namun keberadaannya mempengaruhi subjek secara langsung dalam bentuk pemahaman. Sikap seorang metafisis maupun ironis juga beresonansi dengan interpretasi meskipun dengan signifikansi yang berbeda, sedangkan keduanya tetap menjadi norma atau aturan tertentu.82 Bagi seorang metafisis, menafsirkan realitas secara berdasarkan fungsi dari persepsi sedangkan seorang ironis, menafsirkannya dengan longgar berdasarkan fungsi bahasa dan praktet sosial yang berlaku.

79Dapat pula dibedakan antara ironi standar (irony default) dan tidak standar (irony non-default), yaitu bagi ironi standar masih berkaitan antara bahasa dan realitas sedangkan ironi non standar hanya berkaitan antara bahasa afeksi. Lebih jauh lihat Rachel Giora, “Lying, Irony and Default Interpretation,” Journal of Linguistic Pragmatic, November 2018, h. 15. DOI: 10.1093/oxfordhb//9780198736578.013.26. 80Rorty, Social Hope..., h. 270. 81Beatrice Han-Pile, “8Qphenomenology and Anthropology In Foucault’s Introduction to Binswanger’ Dream and Existence A Mirror Image of The Other of Things,” Journal of History and Theory, Wesleyan University December 2016, h. 9. DOI: 10.1111/hith.10825. 82Giora, “Irony”..., h. 6.

160

Dalam persepsi Berkeley, realitas inderawi pada satu aspek bersifat otonom namun pada aspek yang lainnya dideterminasi oleh pikiran dalam bentuk ide-ide (ideas). Pada konteks tersebut, Berkeley tidak menolak realitas namun bersifat kritis bahwa kualitas-kualitas tidak pada dirinya (it self) melainkan terletak pada pikiran subjek yang mempersepsinya. Artinya, realitas bagi Berkeley berarti sejauh sebagai sesuatu yang bukan objek material, melainkan hanya merupakan ide-ide semata. Analoginya, seperti ketika indera mempersepsi objek fisik yang mana indra tersebut tidak memiliki objek tersebut atau tidak menyisakan sesuatu yang bersifat materi, melainkan immateri.83 Menurut peneliti, persepsi Berkeley yang demikian bersifat akurat yang berarti memahami realitas dengan pikiran sebagaimana ide-ide di dalam pikiran itu sendiri. Pada kasus covid-19 misalnya, memahami fenomena tersebut sebagai suatu realitas dalam persepsi Berkeley berarti sesuai dengan isi pemahaman dari yang mempersepsinya. Apabila mempersepsinya sebagai problem ekonomi, hal tersebut berkaitan dengan gejala ekonomi yang dirasakan sebagai dampaknya, sedangkan jika memahaminya sebagai suatu konspirasi, maka berkaitan dengan gejala yang ganjil dan sistematis yang membuat sangsi pikiran.84 Menjadikan persepsi sebagai cermin realitas mengasumsikan bahwa terdapat suatu fondasi pengetahuan yang kokoh yang mengatasi realitas baik secara akurat maupun secara representatif. Pada Berkeley misalnya, menjadikan persepsi sebagai gerbang pemahaman atas realitas, begitu juga dengan Ibn Sînâ yang mengafirmasi peran penting dari persepsi untuk memahami realitas eksternal.85 Namun pengertian fondasi dalam konteks tersebut merupakan bentuk pendasaran persepsi atas realitas eksternal (corporeal). Hal tersebut bertentangan dengan pandangan Haack mengenai FONDASIONALISME yaitu berkaitan dengan persoalan kriteria pembenaran yang memerlukan pengesahan yang bukan berasal dari apriori maupun aposteriori atau bersifat korespondensi melainkan hanya berkaitan dengan koherensi atau bersifat penemuan (foundherentist).86 Dengan kata lain dalam penelitian ini, konstruksi

83Robert L. Phillips, “Austin and Berkeley on Perception,” Journal of Philosophy, Vol. 38 No. 148, April 1964, h.162. 84Baik yang memiliki gagasan mengenai problem ekonomi maupun konspirasi, sifat dari term-term tersebut bersifat immateril tanpa berkaitan secara konkret terhadap realitas. yang dengan kata lain, gagasan-gagasan tersebut tidak memiliki unsur materi atau bersifat immateril sebagai isi pemahaman yang bersifat akurat atas realitas. 85Pada Berkeley, memahami realitas berarti melalui jalan persepsi namun penyamaan antara dunia objek inderawi (sensible) dengan pemahaman, adapun pada Ibn Sînâ memahami realitas melalui jalan persepsi inderawi yang merupakan fakultas hewan dan intelek (persepsi akal) pada fakultas rasional, bahwa data dari fakultas hewan yaitu indera bersama, estimasi dan imajinasi merupakan elaborasi sekunder dari fakultas persepsi pada manusia. Lihat, Robert J. Foggelin, Berkeley and the Principles of Human Knowledge (Routledge: London and New York, 2001), h.34 dan Lihat, Dimitri Gutas, “The Empiricism of Avicenna,” Journal of Oriens Brill, 2012, h. 398. 86Haack juga memisahkan sekaligus membedakan secara tegas, namun berkaitan, yaitu foundationalism (experientalist), foundationalism dan FOUNDATIONALISM. Lihat, Susan Haack, Evidence and Inquiry Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford UK & Cambridge US: Blackwell, 1993), h. 186.

161

pengetahuan memerlukan fondasi persepsi yang bersifat akurat dan representatif untuk menghasilkan klaim validitas pembenaran. Fondasi tersebut adalah persepsi dan hubunganya dengan realitas (objek) laksana cermin yang memantulkan objek dihadapannya. Bentuk fondasionalisme Berkeley dalam konteks penelitian ini yaitu dengan menjadikan persepsi sebagai upaya untuk menyingkap kebenaran realitas secara akurat. Akurasi mengenai kebenaran pengetahuan berdasarkan persepsi Berkeley setidaknya meliputi tiga hal, pertama, kenyataan dan substansi yaitu hanya ada dalam pikiran murni (purely notional). Kedua, realitas terdiri dari dua dikotomi yaitu realitas tersebut dan ide mengenainya. Ketiga, realitas dalam hal ini pengalaman, merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide (ideas), tidak pada objek pengalaman itu.87 Menurut peneliti, dari ketiga hal tersebut tadi berkaitan dengan bentuk fondasionalisme Berkeley yang berpihak pada akurasi pikiran melalui persepsi sehingga konstruksi pengetahuan inderawi memerlukan landasan yang objektif. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan bagi Berkeley bukan hanya persoalan bahasa dan praktek dalam keseharian melainkan berkaitan dengan data- data indera yang bersifat empiris. Sedangkan bentuk fondasionalisme Ibn Sînâ yaitu dengan memberikan porsi lebih terhadap persepsi untuk menyingkap kebenaran realitas secara representatif Representasi .(داخلي) maupun persepsi dalam (خارجي) yaitu melalui persepsi luar kebenaran pengetahuan inderawi Ibn Sînâ dalam hal hakikat (essential) mengenai realitas. Realitas dalam pandangan Ibn Sînâ merupakan sesuatu yang terdiri dari esensi yang merupakan realisasi baik sebagai eksistensi pada individu-individu atau sebagai yang dikandung di dalam pikiran. Pada konteks tersebut, individu-individu yang bersifat partikular ada atau melekat pada eksistensi yang berarti suatu konsep yang ditambahkan pada realitas, baik yang bersamaan maupun yang tidak.88 Realitas yang (وجود) secara konkret itulah dalam persepsi Ibn Sînâ merupakan eksistensi lainnya. Dengan kata lain, suatu (عرض) dapat dipersekutui oleh aksiden-aksiden kebenaran realitas secara representatif yang melibatkan persepsi luar dan dalam berkaitan dengan upaya menghadirkan kembali realitas fisik di dalam pikiran, baik yang melibatkan aksiden-aksiden maupun eksistensi murni. Perbedaan bentuk fondasionalisme antara Berkeley dan Ibn Sînâ terletak pada korelasi antara pikiran dan hal yang bersifat materi (corporeal) itu sendiri baik baik sebagai tindakan afirmasi maupun negasi. Dalam konteks tersebut, Berkeley memilih untuk menegasikan dualisme tersebut sedangkan Ibn Sînâ memilih untuk mengafirmasi dualisme tersebut.89 Dualisme dalam hal bahwa terdapat dua unsur

87George Berkeley, A Treatise Concerning The Principles of Human Knowledge (Gutenberg eBook, 2002), h. 18-20. 88Misalnya mengenai konsep kemanusiaan yang merupakan realitas tertentu dan esensial serta keberadaannya pada individu atau dalam pikiran bukan bersifat konstitutif melainkan ditambahkan padanya. Apabila eksistensi konkret bersifat konstitutif tidak mungkin merepresentasikan konsep kemanusiaan di dalam jiwa yang bebas dari apa yang merupakan bagian yang bersift konstitutif. Lihat Ibn Sînâ, Remarks Logic..., h. 54-55. 89Berkeley menghubungkan antara jiwa dan otak yang bersifat halus tipis yang terletak di bagian bawah atau roh (spirits) yang menetap di otak. Berkeley mengakui bahwa substansi bersifat material yang berarti bahwa ia mengakui keberadaan jiwa. Berkeley,

162

dalam realitas konkret, yaitu unsur materi dan unsur yang terbebas dari materi. Bagi Berkeley yang menolak dualisme, konsekuensinya yaitu menegasikan materi karena pemisahan antara kualitas materi yang terlepas dari kualitas pikiran merupakan suatu kontradiksi. Sedangkan bagi Ibn Sînâ yang menerima dualisme tersebut memiliki konsekuensi yaitu mengafirmasi materi yang berarti bahwa terdapat pemisahan tegas sebagai relevansi antara (داخلى) dengan kualitas diri (خارجى) antara kualitas objek subjek dengan objek.90 Bentuk fondasi akurat dan representatif sebagai cermin realitas dapat diilustrasikan secara konkret dalam kasus covid-19 yang berkaitan dengan protokol upaya meminimalisir penyebaran virus tersebut. Seperti yang umumnya diketahui bersama bahwa kampanye antisipasi tersebut dengan tiga tahapan konkret yang berelevansi dengan fakta tersebut. Pertama, dengan kewajiban untuk mengunakan masker, kedua dengan menjaga jarak den ketiga dengan rajin mencuci tangan yang mana dari ketiganya tersebut, berupakan manifestasi dari korespondensi antara pikiran dengan realitas dalam konteks penyebaran virus tersebut. Potensi penyebaran melalui percikan air liur yang menetap pada benda-benda, atau yang terhirup secara langsung melalui kontak fisik maupun melalui jabatan tangan, merupakan transmisi potensial dari penyebaran virus tersebut. Menurut Haack, mengutip Fristian, upaya filsafat edifikasi sebagai penolakan atas pikiran dan cermin realitas merupakan bentuk sinisme yang mengarah pada epistemologi maupun filsafat sistematis serta semua bentuk pengetahuan-pengetahuan yang mungkin. Rorty sebagai salah seorang yang mengusung jenis filsafat edifikasi karenanya melakukan upaya bunuh diri di dalam gagasan yang diusungnya.91

2. Urgensitas Sistem Dalam Pengetahuan Inderawi Penting untuk menegaskan sasaran dari penelitian ini bahwa proyek dari filsafat Berkeley dan Ibn Sînâ yaitu keduanya sama dalam hal untuk membangun suatu sistem pengetahuan inderawi. Meskipun pada Ibn Sînâ terdapat proyek lanjutan mengenai sistem pengetahual rasional, namun studi komparasai ini, keduanya diperbandingkan dalam tingkatan yang sama untuk mengejar kesetaraan. Menurut peneliti, upaya keduanya untuk membangun sistem pengetahuan inderawi karena mengakui kemampuan diri, yaitu mempersepsi objek-objek eksternal yang bertujuan mengkonstruksi realitas tersebut dengan pikiran. Hasilnya, antara subjek dengan objek terjadi relasi penting yang mana subjek mendeskripsikan objek tersebut berdasarkan prinsip-prinsip pikiran, baik secara akurat maupun secara representatif. Prinsip-prinsip pikiran dalam arti bahwa terjadi relasi antara pengalaman perseptual dengan fenomena atau realitas eksternal, yaitu kesadaran

Alchipron in Focus, edited by David Berman, (Routledge: London and New York, 1993), h. 88. 90Relevansi antara subjek dan objek dapat dimengerti dengan memahami bahwa fakultas rasional berkorespondensi dengan fakultas hewan dalam hal indera bersama, imajinasi dan estimasi yang berarti bahwa terjadi hubungan ke fakultas hewan. Avicenna’s Psychology, Fazlur Rahman..., h. 32. Dalam konteks tersebut berarti bahwa pikiran yang berarti bahwa pikiran tidak menolak kualitas materi (صورة) menerima bentuk materi .(العقل) yang berbeda dengan kualitas immateri atau pikiran (الجسم) 91Fristian, “Richard Rorty”..., h. 102. 163

yang menyiratkan pemahaman yang memunculkan konsep. Karenanya fenomena selaras dengan konsep secara alami yang digunakan untuk merefleksikan keadaan pikiran ketika membandingkannya antara sensasi dengan pikiran. Pada proses yang demikian dapat diasumsikan terjadi di dalam diri keadaan sedang menggunakan akal sehat.92 Perlu menarik demarkasi tegas antara pengetahuan inderawi yang berbasis sistem dan yang tidak berbasis sistem yang mana keduanya merupakan konsekuensi logis sebagai hasil dari peran persepsi. Pengetahuan berbasis sistem asumsinya yaitu bahwa proses mempersepsi objek konkret merupakan bagian dari kecenderungan yang bersifat epistemik. Sedangkan pengetahuan yang tidak berbasis sistem yaitu asumsinya dalam proses mempersepsi objek konkret merupakan kecenderungan yang bersifat terapis.93 Dalam penelitian ini, persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ merupakan upaya konstruktif untuk membangun sistem filsafat pengetahuan inderawi yang bertolak dari realitas konkret. Karena baik persepsi Berkeley maupun Ibn Sînâ, tidak mengarah untuk mendekonstruksi suatu bangunan pengetahuan, dalam konteks itu epistemologi, namun justru menguatkannya dengan menjadikan indra atau akal sebagai instrumen penting bagi pengetahuan. Hal yang demikian bertentangan dengan filsafat analitik yang tidak lagi fokus pada persoalan mengenai konstruksi pengetahuan melainkan pada bahasa atau linguistik sebagai instrumen pengetahuan.94 Pada penelitian ini, sistem filsafat Berkeley dan Ibn Sînâ menekankan peran penting persepsi untuk mengkonstruksi pengetahuan yang berarti upaya untuk menjadikan pengetahuan sebagai sistem. Pengetahuan sebagai sistem dalam arti, upaya bagi seorang filosof untuk membangun sistem filsafatnya secara ketat dengan menekankan peran penting persepsi secara akurat maupun representatif. Dalam konteks tersebut pengetahuan sebagai sistem mewakili filsafat pengetahuan atau epistemologi Berkeley maupun Ibn Sînâ. Model dari sistem filsafat yang demikian merupakan bentuk realisme, yaitu paham yang mengakui materi sebagai realitas (corporeal) di samping realitas non-materi (idea). Bagi Ibn Sînâ, bentuk realisme juga berarti berkaitan mengenai sebab dan kepastian non sebab, yaitu dalam konteks sebab jenis kepastian tertinggi yang dapat dicapai jika penyebabnya dinyatakan dengan premis mayor (major term). Atau dengan kata lain, sebab merupakan bentuk yang sesuai dengan konsep Aristoteles (دليل) yang dapat diterima yang disebut tanda

92Paul Coates, The Metaphisics of Perception Wilfrid Sellears, Perceptual Consciousness and Critical Realism (Routledge: New York and London, 2007), h. 23&26. 93Istilah pengetahuan yang bersifat terapis (therapeutic) dibenturkan dengan istilah pengetahuan yang bersifat membangun (constructive), yang tersebut mengacu pada Rorty yang berarti upaya untuk mengkonstruksi pengetahuan tidak lebih dari upaya untuk menggugatnya dengan menunjukkan batasan-batasan dari pengetahuan itu sendiri (anti- absolutisme) sebagai pengakuan dari kontingensi manusia. Lihat lebih lanjut, lihat Rorty dalam Philosophy and the Mirror of Nature..., h.7. 94Dalam pandangan Rorty, filsafat analitik masih percaya bahwa terdapat sejumlah persoalan filosofis yang berbeda namun dapat diselesaikan sehingga menjadi hal yang luar biasa yaitu dengan mengolah alat-alat konseptual yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Lihat, Neil Gross dalam, Richard Rorty The Making of an American Philosopher (London: The University of Chicago Press, 2008), h. 3.

164

mengenai sèmeion. Namun hal tersebut bukan berarti sebab tidak kebal dari kemungkinan (possibility) keraguan dan karenanya tidak memproduksi kepastian kenyataan. Penemuan term tengah (middle term) karenanya menjadi kepastian sebab yang diperoleh melalui demonstrasi untuk membangun pengetahuan yang berpihak pada bentuk realisme.95 Sedangkan bagi Berkeley, bentuk realisme sebagai konsekuensi logis dari pengetahuan sebagai sistem yaitu terletak pada upaya untuk menggunakan kaidah empiris untuk menghasilkan ide-ide melalui sensasi atas objek inderawi. Pada lain sisi, Berkeley justru menyerang realisme namun dalam porsi pandangan Locke mengenai dualitas antara kualitas otonom (pada objek) dan non otonom (pada subjek). Selain itu juga, Berkeley menyerang bentuk realisme pengetahuan dalam konteks proses persepsi dan selubung persepsi (veil of perception), bahwa pikiran tidak dapat mengantisipasi kualitas-kualitas pada realitas.96 Dengan demikian, dalam pandangan Berkeley justru distingsi dua kualitas yang tidak bisa diantisipasi pikiran dan selubung persepsi merupakan dua hal absurditas. Alasannya karena berupaya menegasikan pikiran atas objek-objek inderawi (corporeal) namun pada saat yang sama mengafirmasinya. Meskipun demikian, bukan berarti Berkeley menegasikan hal-hal material justru sebaliknya, hal-hal material itu dapat diantisipasi oleh pikiran melalui proses persepsi. Setelah mengetahui bentuk realisme baik Berkeley maupun Ibn Sînâ , upaya selanjutnya yaitu menelusuri lebih lanjut bentuk argumentasi dari paham realisme (برهان) mereka berdua. Bagi Ibn Sînâ, bentuk argumentasinya yaitu demonstrasi yang pada porsi tertentu berkaitan erat (depends) pada wawasan (insights) yang merupakan inti dari pemikiran filosofis Ibn Sînâ mengenai persoalan metafisika dan epistemologi. Ibn Sînâ memulainya dengan gagasan kepastian sebab yang kemudian memperkenalkan dengan gagasan kepastian bukan sebab yang terkait pada klaim metafisis bahwa beberapa sifat mungkin mengikuti secara bersamaan dari satu dan esensi yang sama. Titik persoalannya terletak pada penolakan Ibn Sînâ bahwa hanya pada kasus mengenai sebab yang sepele (trivial) dan samar yang mana kekuatan demonstrasi terletak pada penjelasan sebab (causal).97 Menurut peneliti, upaya Ibn Sînâ mengafirmasi realitas konkret terletak pada bentuk argumentasinya, yaitu keberpihakan pada metode demonstrasi. Namun pada saat yang bersamaan juga, berdasarkan sifat “kepastian” (certainty), apa yang terlihat dari sebab tidak berkaitan dengannya. Misalnya, seseorang yang tertular covid selepas berpergian dari tempat perbelanjaan bukan semata-mata disebabkan keberadaannya di tempat tersebut melainkan, disebabkan dari kontak langsung dengan seseorang yang positif terpapar virus tersebut.98

95Sedangkan sesuatu ketidaklogisan justru menjadi kepastian bukan sebab karena tidak menjelaskan premis-premis yang digunakan untuk membangun pengetahuan tertentu lebih jauh lihat Riccardo Strobino, “Avicenna on Knowledge”..., h. 10-11. 96Georges Dicker, “Berkeley’s Critique of Locke’s Theory of Percetion,” Journal of The Bloomsbury Companion to Berkeley, Newcastle University, 22 October 2018, h. 272. 97Strobino, “Avicenna on Knowledge”..., p. 19. 98Pada perkembangan lebih lanjut, kepastian sebab dan kepastian bukan sebab seperti yang telah dijelaskan, berbeda dari sebab atau penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, yang lebih eksplisit pada pemikiran Al Ghazâlî mengenai hubungan kausalitas,

165

Sedangkan bagi Berkeley, bentuk argumentasi dari paham realisme adalah dengan menggunakan metode yang sama dengan Ibn Sînâ, yaitu demonstrasi (demonstrate). Untuk menangkis pandangan bahwa kualitas fisik (sensible qualities) terdapat pada objeknya, Berkeley menolaknya dengan metode demonstrasi, bahwa persoalan panas dan dingin yang diasumsikan berada pada objek, bagi Berkeley berada pada pikiran dengan mengacu pada contoh air panas dan dingin pada tingkat suam-suam kuku yang tidak bisa secara bersamaan pada satu kualitas. Berkeley menunjukkan dengan metode tersebut bahwa, rasa panas dan dingin apabila dipertukarkan bukan merupakan kualitas pada objeknya melainkan sensasi yang mengarah pada ide semata, yaitu pengalaman mengenai rasa panas maupun dingin sebagai kualitas pikiran semata.99 Dengan metode demonstrasi, Berkeley bertujuan untuk menguatkan pandangan bahwa kualitas yang hakiki hanya ide-ide di dalam pikiran melalui proses persepsi. Atau dengan kata lain, metode demonstrasi adalah upaya pembuktian dari para filosof dengan memberikan porsi yang besar terhadap akal atau rasio terhadap realitas baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ, keduanya memberikan porsi yang besar pada rasio mengenai argumentasi yang bertolak dari model paham realisme dengan menggunakan metode demonstrasi untuk mengkonstruksi realitas. Pada konteks itu, bisa juga dikatakan bahwa rasio sebagai cermin bagi realitas yang bersifat metaforis (mirorr of reality). Namun pada pengertian klasik, cermin merupakan suatu media yang berfungsi untuk memantulkan suatu objek yang ada di depannya (it was just reflection in mirorr).100 Begitu juga halnya dengan pikiran, melalui proses persepsi, pikiran mampu mengkonstruksi realitas atau upaya untuk menghadirkan kembali realitas di dalam pikiran. Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ melalui argumentasi demonstrasi, merupakan upaya mereka berdua untuk menghadirkan kembali realitas di dalam pikiran, baik secara akurat maupun representatif. Secara akurat berarti menjadikan fungsi pikiran sebagai realitas untuk memahaminya sedangkan secara representasi berarti menjadikan pikiran sebagai bagian dari realitas yang bertujuan untuk memahainya.101 Mengenai urgensitas sistem pengetahuan inderawi, baik Berkeley maupun Ibn Sînâ keduanya mengandalkan peran penting persepsi dan kehadiran objek konkret atau data-data inderawi untuk. Misalnya, pada kasus Covid-19 yang mana bahwa terdapat Peran tunggal yang menyebabkan relasi sebab menjadi mungkin terjadi, yaitu Allah SWT Tuhan Semesta Alam, yang merupakan Penyebab Langsung. Atau dengan kata lain menurut Al Ghazâlî, hukum kausalitas sebagaimana dipahami oleh para filosof kebanyakan, bukan merupakan hukum yang pasti namun hukum kemungkinan semata. Atau sesuatu yang terlihat teratur terjadi karena kebiasaan (berjalan berurutan) bukan kemestian. Lihat Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam Memahami Alur Perdebatan Al Ghazâlî dan Ibn Rusyd (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2004), h.77. 99Georges Dicker, “Berkeley in Immediate Perception: One More Unto Breach,” Journal of The Philosophical Quarterly, Vol. 56, October 2006, h. 525. 100Haruki Murkami, “The Mirror,” Review Book, 2016, h. 133. DOI: 10.1111/ j.1467-9736.2006.00221.x 101Pikiran sebagai realitas berarti menghadirkan kembali realitas di dalam pikiransecara utuh dan identik sama sedangkan pikiran sebagai perwakilan realitas berarti apa yang hadir di dalam pikiran secara parsial identik sama. 166

suhu tubuh dan upaya untuk memeriksanya menjadi penting sebagai indikator awal bagi keadaan tubuh yang kurang sehat yang dapat diasumsikan terkena suatu virus tertentu. Namun bukan alat untuk memeriksa suhu tubuhnya yang menjadi penekanan melainkan bagaimana perubahan suhu tubuh dapat terjadi sehingga alat tersebut mampu bekerja untuk memeriksanya. Kemampuan tubuh manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dapat dikatakan persoalan yang berkaitan dengan termoregulasi (thermoregulation). Singkatnya, suhu lingkungan mempengaruhi suhu dalam tubuh yang dapat dicapai melalui proses nonevaporatif, yaitu faktor internal atau subjek seperti fisiologis dan perilaku, jalur syaraf serta sinyal dari suhu tubuh yang menghubungkan penerimaan (receptors) dan dampaknya (effectors) ke dalam sistem termoregulasi.102 Masih mengenai urgensitas sistem pengetahuan inderawi, baik Berkeley dan Ibn Sînâ memberikan porsi dan berorientasi pada upaya membangun sistem pengetahuan inderawi dengan menekankan peran penting dari perepsi inderawi. Masih mengenai contoh kasus Covid-19 yang menekankan aspek penting dari pemeriksaan tubuh sebagai langkah awal mengantisipasi virus tersebut yang menjadikan pembahasan mengenai termoregulasi ikut menjadi signifikan. Alasannya, karena panas tubuh dapat dijadikan sebagai tanda kesehatan tubuh itu sendiri yang mana apabila panas tubuh tinggi atau demam, maknanya adalah tubuh sedang menghadapi sesuatu. Namun pada sisi lain, panas tubuh dapat terjadi karena faktor-faktor lainnya, baik yang berkaitan dengan lingkungan, cuaca, psikologis atau mental yang menjadi bagian dari upaya untuk membangun sistem pengetahuan berdasarkan konsep termoregulasi. Pada konteks tersebut, upaya untuk membangun sistem pengetahuan tetap melalui proses persepsi namun yang modelnya mengafirmasi representasi, yaitu dengan memisahkan kualitas pada objek (panas suhu tubuh) dan kualitas pada pikiran (maknanya). Dengan kata lain, panas tubuh sedangkan makna dari (خارجى) sebagai kualitas objek atau yang bersifat eksternal (داخلى) keadaan tubuh tersebut merupakan kualitas pikiran yang bersifat internal yaitu berupa gagasan (ideas). Upaya untuk membangun sistem pengetahuan juga berkaitan dengan tahapan-tahapan yang sistematis yang merujuk pada cara kerja tertentu. Misalnya pada kasus Covid-19, upaya untuk menemukan obat atau vaksin juga melibatkan upaya uji coba (experience) dari satu proses ke proses berikutnya secara sistematis untuk menghasilkan pengetahuan dan klaim kebenaran. Tahapan-tahapan sistematis dalam konteks penemuan obat setidaknya melibatkan tiga hal, pertama mengenai materinya, kedua, mengenai komponen atau kontennya sedangkan yang ketiga, mengenai produksi kemasan obat. Dari tahapan-tahapan tersebut merupakan bagian dari proses persepsi serta upaya untuk membangun sistem pengetahuan yang berkaitan dengan produksi dan pendistribusiannya.103 Dengan demikian menurut

102Andrej A. Romanovsky, “The Thermoregulation System and How it Works,” Journal of Handbook of Clinical Neurology, Vol. 153, 2018, USA, h. 3. 103Dennis Jenke, “How One Might Experimentally Determine if Container Closure Systems and Their Components and Materials of Construction Contribute Elemental Impurities to Package Pharmaceutical Drug Production,” Journal of Pharmaceutical Science and Technology, 2018, h. 4.

167

peneliti, upaya untuk membangun sistem pengetahuan melibatkan kemampuan diri dalam hal mempersepsi objek-objek sebagai realitas. Kemampuan diri berupa ketajaman rasio untuk mengolah data-data inderawi yang diperoleh melalui proses mempersepsi objek. Upaya untuk membangun sistem pengetahuan sama halnya juga dengan menelusuri sistem pemikiran filsafat atau pemikiran seorang filosof karena berkaitan dengan uraian konseptual secara sistematis. Pada kasus produksi massal misalnya, memerlukan pengorganisasian sistematis atau melibatkan tahapan-tahapan konkret seperti, pembagian tugas secara internal, menemukan problem secara eksternal maupun mengalokasikan kerja ke dalam sistem sehingga lebih efesien dan terbentuk sistem organisasi yang ramping (Lean organitation). Tingkatan-tingkatan praktis tadi juga didahului oleh tingkatan pra praktis yaitu tingkatan yang memerlukan pelatihan tertentu guna menunjang keterampilan sebagai bagian dari suatu sistem organisasi.104 Yang peneliti afirmasi yaitu, upaya untuk membangun suatu sistem pengetahuan, baik yang diimplementasikan dalam tindakan praktis maupun yang berada pada wilayah filosofis, keduanya memerlukan tahapan-tahapan logis yang bersifat epistemik. Bersifat epistemik dalam arti, dalam proses mengkonstruksi realitas, berpihak pada model keketatan (rigour) dalam merumuskan pengetahuan dengan mengandalkan kemampuan persepsi dan rasio. Atau bersifat epistemik dapat pula berarti di mana satu atau banyak orang memahami objek atau proposisi dengan cara tertentu.105 Menjadi penting upaya membangun sistem pengetahuan karena berkaitan dengan cara mengetahui realitas, yaitu bagaimana cara mengetahuinya dengan instrumen yang melekat pada diri ketimbang refleksi ontologis mengenai cara berada di dunia. Upaya untuk mengetahui beserta proses-prosesnya di dalam diri yang memungkinkan pengetahuan itu terjadi yang menjadi penekanan penting dari tujuan untuk membangun sistem pengetahuan pada sub pembahasan ini. Pada contoh kasus Covid-19 dan uji klinis mengenainya, secara sistem pengetahuan mengenai obat memerlukan tahapan-tahapan medis berdasarkan karakter empiris. Dalam konteks tersebut, vaksin menjadi salah satu alternatif medis berdasarkan cara kerja pengetahuan sebagai sistem, yaitu uji klinis. Misalnya, mengenai uji coba terkontrol acak yang umumnya dikembangkan dalam ekonometrik, menunjukkan bahwa kebijakan berdasarkan bukti dan praktek berdasarkan bukti sangat dihargai dalam “perawatan kesehatan” dan sosial. Pandangan dominan tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan kebijakan atau pembuat keputusan praktis, yaitu apakah keputusan tersebut “akan berguna.”106

104A. Chiarini, “Kaizen Workshops and to Run Them,” Journal of Perspective in Business Culture, Springer-Verlag Italia, 2013, h. 68. DOI:10,1007/978-88-470-2510-3_5. 105Tristan Garcia, Form and Object a Tretise on Things, translated by Mark Allan Ohm and John Cogburn (German: Edinburg University Press, 2003), h. Xi. 106Dalam “perawatan kesehatan” dan sosial yang menjadi struktur dasar sosial dan fisik yang mana menyusun intervensi, tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan aspek-aspek sebab. Dengan kata lain, perbedaan dalam faktor kelembagaan, psikologis dan fisik menghasilkan berbagai sebab dan probabilitas hubungan (sikap acuh tak acuh). Perlu banyak informasi untuk beralih dari “ini berguna di suatu tempat” menuju “itu akan berguna bagi kita.” Lihat, Nancy Cartwright and Eileen Munro, “The Limitations of Randomized

168

Bisa dikatakan bahwa upaya sistemik untuk menemukan obat Covid-19 diperlukan karena lebih akuntabel, yang mana objek dan cara mengatasinya pararel, yaitu objek konkret yang dikonstruksi dan diuji dengan cara empiris. Persoalan lainnya yaitu mendistribusikan hasil pengetahuan sistemik tersebut ke tingkatan manfaat, karena apa yang menjadi keketatan dalam memotret realitas secara sistematis belum tentu dapat diterima luas secara sosial. Karena, pengetahuan sebagai prodak berdasarkan sistem belum menjamin diterima manfaatnya secara luas berdasarkan perbedaan keadaan. Misalnya mengenai uji klinis obat tidak menjamin diterima secara luas karena tiap-tiap individu dalam masyarakat memiliki alternatif-alternatif berdasarkan kebiasaannya (environment). Pada kasus yang berbeda, tablet magnesium dengan takaran dosis tertentu dapat mengakibatkan menurunkan tingkat depresi atau menjadi obat anti depresan, berdasarkan uji coba klinis.107 Menurut peneliti sebagai bentuk afirmasi, tidak semua penderita depresi memerlukan obat berdasarkan uji klinis yang bersifat sistemik melainkan terdapat alternatif-alternatif lainnya seperti metode spiritual maupun hypnotherapy sebagai pilihan yang bermanfaat juga. Berkeley menjadikan sistem bagi pengetahuan dalam hal epistemologi, yang berkaitan dengan proses bagaimana terjadinya pengetahuan di dalam diri dengan menekankan peran penting dari persepsi. Atau dalam pengertian yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa metafisika juga sebagai epistemologi (bukan hanya wilayah ontologi), yaitu bertujuan untuk mencari hal objektif di luar diri sebagai realitas.108 Karena bagi Berkeley, untuk mengetahui realitas diperlukan kemampuan diri yang berkaitan dengan persepsi, atau realitas sejauh apa yang dipahami pikiran melalui persepsi. Menurut Russell Roberts, Berkeley menyatakan bahwa, “[t]heir esse is percipi” yang mana istilah their bersifat anaporik (anaphoric) pada hal-hal yang tidak terpikirkan, yaitu apa yang terkadang Berkeley katakan sebagai hal-hal yang terindera (sensible things) dan terkadang sebagai gagasan (ideas). Apa yang Berkeley pikirkan adalah bahwa keberadaan hal-hal yang terindera mencakup keberadaannya untuk dipersepsi yang memiliki konsekuensi logis bagi sistem pengetahuan dalam dua hal. Pertama, keberadaan yang nyata yaitu spirit yang tidak terkait dengan persepsi namun tidak dapat dipersepsi, dan yang kedua, Berkeley menganut paham monisme pikiran, yaitu basis ontologis fundamental hanyalah spirit.109 Sedangkan bagi Ibn Sînâ, sistem pengetahuan juga dalam hal epistemologi, yaitu proses di dalam diri yang memungkinkan bagi terbentuknya suatu pengetahuan yang berkaitan dengan peran persepsi, yang tidak hanya persepsi indera luar dan .(معقوالت) dalam, persepsi juga meliputi pikiran yang menangkap objek pengetahuan Perbedaan proses mempersepsi turut membedakan pula objek yang dipersepsi yang

Controlled Trials in Predicting Effectiveness,” Journal of Evaluation in Clinical Practice, Blackwell Publishing, 2010, h. 265. 107Emily K. Tarleton, Benjamin Littenberg and Others, “Role of Magnesium Supplementation in the Treatment of Depression: A Randomized Clinical Trial,” Journal of Plos One, 27 June 2017, h.12. 108Garcia, Things..., h. 150. 109A Metaphysics for the Mob the Philosophy of George Berkeley (New York: Oxford University Press, 2007), h. 5.

169

pada gilirannya mempengaruhi hasilnya sebagai pengetahuan yang bersifat materi ,Dalam konteks penelitian ini .(معقوالت) maupun yang bersifat non materi (محسوسات) fokus Ibn Sînâ pada pengetahuan yang bersifat materi yang menekankan peran penting persepsi luar maupun dalam. Hal tersebut menyiratkan bahwa Ibn Sînâ pada satu aspek, mengikuti Aristoteles dalam hal bahwa pengetahuan inderawi tersusun Pararel dengan itu menurut Gutas, Ibn .(مادهة) dan materi (صورة) dari dua hal, bentuk Sînâ memberikan porsi lebih atas bentuk-bentuk intelek (intelligible forms) seperti, pengetahuan teoritis yang diperoleh melalui jiwa rasional, yang menjadi term dari filsafat ilmu sebagai klasifikasi dari tradisi Aristoteles.110 Namun bukan berarti jiwa rasional tidak memerlukan data-data inderawi yang berasal dari indera eksternal maupun indera internal,111 yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Mengakhiri pembahasan pada sub ini, sistem pengetahuan inderawi mengandalkan kemampuan diri untuk mempersepsi realitas eksternal sebagai upaya mengkonstruksi realitas. Dengan kata lain, pengetahuan sebagai sistem cenderung berpihak pada model pengetahuan berbasis epistemik, berbeda dari pengetahuan sebagai perbaikan keadaan yang berpihak pada model pengetahuan berbasis percakapan atau konsensus. Yang perlu peneliti afirmasi yaitu baik pengetahuan berbasis perbaikan keadaan (edify) maupun epistemik, tetap memerlukan kriteria empiris yang berangkat dari hal konseptual yang kemudian diimplementasikan pada tahapan-tahapan konkret. Dengan kata lain, klaim empiris menjadi penting bagi sistem pengetahuan inderawi, yang mana dalam pemikiran filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ, klaim empiris tersebut sama halnya dengan upaya untuk bertolak pada realitas eksternal. Pada kasus covid-19 keberadaan dan penyebaran virus tersebut memerlukan observasi secara empiris atau kriteria empiris yang tidak hanya cukup mengandalkan kebiasaan dalam bertindak secara sosial untuk menyikapinya.

3. Justifikasi Pengetahuan Inderawi Pengetahuan berkaitan dengan dua hal bentuk afirmasi yaitu pernyataannya (proposition) dan klaim kebenaran (claim of truth) yang menguatkan pembenaran (justification) dari apa yang diketahui. Asumsinya, mengkonstruksi pengetahuan inderawi berdasarkan kemampuan diri untuk mempersepsi sama halnya dengan melihat objek tertentu berdasarkan perspektif. Alasannya, karena dalam proses mempersepsi selalu melibatkan indera baik luar, dalam maupun rasio itu sendiri yang mengarah pada satu objek berdasarkan kemampuan cakupan dari indera-indera tersebut. Pengetahuan dan justifikasi berkaitan erat dengan klaim dan dasar-dasar argumentasi sebagai bagian dari proposisi.112 Namun justifikasi pengetahuan pada

110Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden-Boston: Brill, 2014), h. 4. 111Menurut Nasr, mengenai kelima indera eksternal yang muncul dari keadaan tidak sempurna pada binatang yang lebih rendah dan berkembang hanya pada binatang yang lebih tinggi dan manusia. Lihat, Sayyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (New York: Caravan Books Delmar, 1976), h. 39. 112Misalnya pada kasus pendidikan Kristen, doktrin mengenai justifikasi sering ditafsirkan dalam konteks keselamatan (salvation) yang mana pembacaan tersebut bagi fulan merusak pendidikan Kristen yang berkaitan dengan pemahaman injil, masuk akal yang dapat ditanggapi oleh penginjil (pelajar). Karenanya, pandangan Kierkegaard mengenai kebenaran

170

sub pembahasan ini seputar proposisi sebagai argumentasi logis (koherensi) maupun empiris (korespondensi) dan relevansinya dengan Berkeley dan Ibn Sînâ. Tujuannya yaitu untuk melihat konsistensi dari pandangan filosofis tertentu sebagai bangun pengetahuan sebagai sistem. Karena, pengetahuan yang sistemik memerlukan dasar atau fondasi yang kuat dan ketat untuk mengokohkan bangunan pengetahuan tersebut yakni, berupa argumentasi maupun proposisi. Pengetahuan yang bersifat epistemik menunjukkan konstruksi pengetahuan yang ketata yang berkaitan dengan mengandalkan kapasitas diri, yaitu kemampuan untuk mempersepsi. Dalam konteks itu, pengetahuan yang bersifat epistemik atau sistemik berkaitan dengan dua hal, infallibilism dan fallibilism. Infallibilism yaitu upaya menetapkan suatu standar epistemis yang baginya suatu kepercayaan dapat dibenarkan hanya jika setiap kemungkinan kesalahan telah dicegah. Dengan kata lain, jika suatu kepercayaan dibenarkan maka adalah perlu bahwa kepercayaan itu benar. Sedangkan fallibilism merupakan upaya untuk menetapkan standar yang lebih lemah yang menurut keyakinan yang dapat dibenarkan, sekalipun tidak semua kemungkinan yang salah telah ditutup.113 Menurut peneliti, justifikasi dalam pengetahuan yang bersifat sistemik tetap memerlukan suatu fondasi berdasarkan kemampuan diri meskipun kemungkinan terdapat kesalahan namun tetap dapat diminimalisir. Dengan kata lain, justifikasi dari pengetahuan berkaitan dengan pertanggung jawaban (liability) dalam hal putusan (proposition) yang dibuat baik bersifat empiris maupun logis. Pengetahuan inderawi memerlukan justifikasi karena menjadi sifat alamiah yaitu berkaitan dengan kepercayaan (belief), yang mana pengetahuan sebagai prodak perlu diterima dalam bentuk kepercayaan. Dalam konteks tersebut, pembenaran adalah pengetahuan potensial yang konsisten dengan berbagai posisi epistemik, terutama dengan semua pendekatan pengetahuan. Oleh karena itu, hal tersebut harus dapat diterima oleh para epistemolog dengan beragam komitmen meskipun tidak menawarkan harapan untuk menganalisis pengetahuan dalam hal justifikasi.114 Justifikasi pengetahuan juga melibatkan teori pembenaran yang menyatakan satu atau lebih kondisi yang mempertahankan kepercayaan untuk dibenarkan. Teori justifikasi yang bersifat internalis terjadi apabila kondisi kepercayaan selalu ada pada kognisi subjek (epistemik). Sedangkan teori justifikasi yang bersifat eksternalis sebaliknya yaitu terjadi ketika di luar (belum tentu) dari pemahaman kognisi subjek.115 Menurut peneliti, kepercayaan (belief) dalam konteks pengetahuan merupakan klaim yang dilakukan oleh sekelompok tertentu untuk mempengaruhi sekelompok lainnya di luar dari kelompoknya yang bersifat justifikatif. Dengan kata belajar dalam fragmen-fragmen filsafatnya, mendukung pemahaman mengenai doktrin yang meneguhkan tindakan si pelajar (peserta didik). Lihat, Andrew W. Wright, “Kierkegaard, Justification and the integrity of Christian education,” Journal of Christianity & Education, London School of Theology, 2015 Vol. 19 (2), h. 119. 113Haas Gardian, “Minimal Verificationism (On the Limits of Knowledge) II 5 Fallibilist Theories of Justification,” 2015, h. 92. DOI: 10.1515/9781501501982-008 114Jonathan Jenkins Ichikawa, “Justification is Potential Knowledge,” Journal of Canadian Philosophy, Phiosophy Department University of British Columbia, Canada, 06 June 2014, h. 202. DOI: 10. 1080/00455091. 2014. 923240. 115Gardian, “Theories of Justification”..., h. 94.

171

lain, kepercayaan menjadi “sesuatu” yang menyertai klaim-klaim kebenaran dari suatu pengetahuan, yang mana kepercayaan tersebut terkadang mendahului dari fakta-fakta instrinsik.116 Pembenaran (justification) atas suatu klaim pengetahuan juga berangkat dari penafsiran subjek terhadap objek namun bukan bersifat tunggal melainkan plural. Bentuk pluralitas dari penafsiran sebagai pembenaran pengetahuan terletak pada penegasan bahwa terdapat lapangan permainan interpretatif berbagai tingkatan (level interpretative playing field). Dalam konteks itu menurut Campbell, mengutip Matlock, teori justifikasi cenderung tenggelam dalam sistem mereka sendiri, yang sering membuat asumsi paradigma yang tidak teliti, yaitu tidak menggunakan argumentasi dialogis yang justru merusak kesempatan diskusi yang bersifat konstruktif. Lebih jauh lagi, justru sikap tersebut (pembenaran klaim suatu pengetahuan) cenderung berupaya mempertahankan posisi untuk merobohkan hal yang bukan substantif. Konsekuensinya, terjebak pada sikap mengatasi persoalan internal (overreach themselves) dengan berteori bahwa upaya tersebut untuk memaksakan keseragaman dan pola universal atas realitas.117 Menurut Peneliti, persoalan mengenai justifikasi pengetahuan yang berkaitan dengan klaim kebenaran maupun proposisi tertentu merupakan suatu bentuk penafsiran subjek yang tidak bisa lepas dari kemampuan diri berdasarkan suatu perspektif tertentu, yang perlu menghindari penafsiran yang bersifat tunggal. Namun bukan berarti teori justifikasi mengambil sikap skeptisisme terhadap berbagai paradigma pengetahuan justru, mengafirmasi segala sikap epistemik untuk mempercayai kemampuan subjek untuk mengkonstruksi realitas. Bagi seorang yang menganut sikap skeptis, cenderung untuk membuktikan atau menolak segala jenis argumen dan mencap berbagai jenis filsafat.118 Secara eksplisit, pembenaran atas kepercayaan tidak menjamin kepercayaan tersebut benar, atau justru membenarkan kepercayaan semu. Alasannya yaitu jika semua kepercayaan yang dibenarkan adalah benar, dan semua kepercayaan yang tidak benar itu semu, maka tidak perlu berbicara mengenai pembenaran dalam analisis pengetahuan atau hanya perlu membicarakan mengenai kepercayaan yang benar saja. Selain itu, jika semua kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang benar, maka cenderung mengambil sikap skeptis, yaitu meninggikan standar pembenaran sehingga hanya beberapa kepercayaan saja yang tidak memuaskan yang dianggap benar. Karena itu, tampaknya pembenaran

116Dalam konteks pengetahuan empiris misalnya, hasil cek laboraturium tertentu menyiratkan bagi subjek pelakunya untuk mempercayai hasil tersebut, meskipun tanpa terlibat dalam proses di dalam laboraturium tersebut. Begitu juga dalam konteks pengetahuan non empiris, misalnya media-media yang digunakan dukun dalam praktek perdukunannya menyiratkan bagi subjek untuk percaya bahwa terdapat dampak korelasional antara media tersebut dengan objek yang bersangkutannya. 117R. Barry Matlock, “Zeal For Paul but Not According to Knowledge: Douglas Campbell’s War on ‘Justification Theory’,” Journal of The Study of The New Testament, Department of Philosophy and Religion, University of Tennessee, USA, 2011, h. 138. DOI: 10. 1177/0142064X11424851. 118Sthaneshwar Timalsina, “Śrîharsa on Knowledge and Justification,” Journal of J Indian Philos, Department of Religious Studies, San Diego State University Springer Science+Business Media Dordrecht, 26 December 2016, h. 314.

172

harus sempurna jika harus mengkondisikan sebagai anti-keberuntungan (anti-luck condition) yang memadai. Namun jika pembenaran adalah sempurna, maka berada di rute singkat menuju sikap skeptisisme.119 Menurut peneliti, menolak maupun menerima justifikasi pengetahuan bukan merupakan sikap skeptis justru merupakan sikap optimistik terhadap kebenaran pengetahuan itu sendiri. Selain sebagai suatu pembenaran, pengetahuan inderawi juga memerlukan tahapan-tahapan konkret sebagai konsekuensi dari sifat pengetahuan yang empiris dan bagi pemahaman itu sendiri. Justifikasi pengetahuan berarti faktor penentu (conceptually determinative) yang menurut Campbell meliputi tiga jenis yaitu, intrinsik (hal-hal dari koherensi atau konsistensi logis internal), sistematis (konsistensi dengan pemikiran secara keseluruhan) dan empiris (konsistensi dengan apa yang diketahui mengenai realitas seputar justifikasi). Ketiga jenis tersebut berhubungan satu sama lain dengan calon (prospective) karakter (contractual) justifikasi alamiah seperti yang digambarkan oleh Campbell.120 Atau bisa dikatakan, basis rangkaian dari justifikasi pengetahuan inderawi meliputi tahapan-tahapan konkret yang sistematis dan pemahaman baik itu yang bersifat koheren maupun koresponden. Atau singkatnya, justifikasi pengetahuan inderawi mensyaratkan argumentasi yang sifatnya empiris-logis ketimbang logis murni yang keduanya saling bertolak belakang.121 Argumentasi empiris merupakan justifikasi pengetahuan korespondensi yang mana kebenaran suatu pengetahuan yang memiliki kesinambungan terhadap realitas. Beberapa filosof akan berargumentasi bahwa tanpa hubungan empiris, justifikasi apriori kurang menarik, atau jika ada sumber non-pengalaman justifikasi maka tidak berkaitan dengan realitas konkret. Namun jika sumber justifikasi apriori secara empiris rusak maka kepercayaan apriori yang dibenarkan akhirnya memiliki kondisi justifikasi empiris karena keyakinan tersebut dipahami untuk mengakui kekalahan empiris. Dengan kata lain kondisi tersebut mengambil porsi yang memungkinkan untuk melakukan pengamatan empiris, yaitu untuk mengalahkan sumber justifikasi apriori merupakan bukti dari yang dibenarkan secara apriori.122

119Anthony Robert Booth, “The Theory of Epistemic Justification and the Theory of Knowledge: A Divorce,” Journal of Erkenn Department of Philosophy, Utrecht University Netherlands, 17 December 2010, h. 39. 120Matlock, ‘Justification Theory’..., h. 119. 121Misalnya pada kasus Covid-19, cara yang ampuh untuk meminimalisir penyebarannya yaitu dengan rajin mencuci tangan atau dengan menggunakan formula pencuci tangan (hand sanitizer) untuk membunuh virus yang menempel di telapak tangan. Dengan kata lain, argumentasi logis untuk membunuh virus tersebut yang menginfeksi seseorang bisa dengan menggunakan sabun pencuci tangan maupun formula pembersih tangan. Namun secara argumentasi empiris-logis, justru untuk membunuh virus yang menginfeksi seseorang dengan vaksinasi yang proper untuk memerangi virus tersebut di dalam tubuh. Karena vaksinasi berkaitan dengan sistem imun pada tubuh atau anti-bodi untuk menyerang virus ketimbang meminum sabun pencuci tangan atau formula pembersih tangan untuk membunuh virus di dalam tubuh. 122Lisa Warenski, “Deficiency Arguments Againts Empiricism and the Question of Empirical Indefeasibility,” Journal of Philos Stud, The City College of New York Springer Science+Business Media, 30 October 2015, h. 1682. DOI: 10.1007/S11098-015-0593-Z. 173

Dengan kata lain, argumentasi yang bersifat empiris atau kebenaran korespondensi terkadang mengabaikan aspek apriori (rasional) yang mengadopsinya dengan cara menggabungkan antara pengalaman dengan kelogisan. Namun apabila keduanya saling berbenturan, maka mengorbankan kelogisan dan berpihak pada fakta menjadi pilihan tepat untuk menunjang argumentasi empiris. Persoalan mengenai objek empiris merupakan pengetahuan yang cenderung ke arah sains (ilmu) karena sebagai fakta, dapat diobservasi dan dilakukan pengujian (experience) atas objek tersebut. Bagi sebagian orang yang melakukan pembedaan antara fantasi dan fakta menolak bahwa mitos adalah benar, sedang bagi yang memikirkan kembali kebenaran dari mitos mengklaim sebagai fakta. Dalam hal itu yang menjadi persoalan bukan mitos (myth) ataupun pengetahuan (knowledge) mengenai realitas, namun semangat penyelidikan (spirits of inquirt) sebagai upaya rasionalisasi lebih lanjut untuk mengungkap realitas.123 Artinya bagi pengetahuan inderawi mengafirmasi fakta empiris merupakan suatu sifat atau karakteristik dari klaim kebenarannya dengan berpihak pada argumentasi empiris. Namun bukan berarti sebagai fakta konkret serta dapat diobservasi dan diuji, dengan demikian pikiran dapat membentuk objek (forming) sesuai dengan pikiran dan mencerabut karakteristiknya melainkan cenderung lebih pada upaya memanipulasi fakta tersebut (matter). Misalnya pada kasus api sebagai fakta empiris yang memiliki karakteristik membakar, tidak begitu saja dapat dibentuk oleh pikiran sehingga memiliki sifat atau karakteristik membasahi. Namun hasil pergesekan permukaan dua benda padat sehingga menimbulkan api dapat dimanipulasi tanpa melakukan pergesekan, tetap menghasilkan api. Sedangkan argumentasi logis merupakan justifikasi pengetahuan koherensi yang mana kebenaran suatu pengetahuan memiliki kesinambungan terhadap susunan dari bahasa dan pikiran. Ketika berbicara mengenai pengetahuan rasional, terkadang merupakan suatu konsep sebagai jenis pemikiran yang ditandai oleh dua fitur penting, yaitu komitmen terhadap objektivitas dan pertimbangan aktif (active deliberation). Kebenaran pengetahuan yang bersifat koherensi cenderung berpihak pada argumentasi logis, yang berarti rasional, yang mana rasionalitasnya mencoba melihat dunia sebagaimana adanya yang bebas dari prasangka. Selain itu juga, rasionalitas memerlukan kerja aktif dan keterlibatan secara sistematis dengan informasi. Proses rasionalitas yang demikian secara sistematis umumnya diabaikan dan cenderung menuntut lebih dari sekedar serangkaian pilihan yang stabil tanpa upaya untuk melihat dunia secara objektif dan sadar sebelum bertindak, yang mana perilaku rasional menjadi mustahil.124 Rasionalitas berkaitan dengan objek abstrak yang cenderung mengafirmasi pengetahuan metafisika yang mana ketajaman rasio dan bersifat apriori menjadi karakteristiknya. Isi dari argumen rasional misalnya berkaitan dengan peran yang memungkinkan untuk berperilaku yang berpotensi merusak persepsi inderawi atas dasar rasio untuk maju ke arah pemahaman mengenai tingkah laku tersebut. Dalam

123Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key a Study in the Synbolism of Reason, Rite, and Art (The New American Library, 1954), h. 165. 124“Introduction: Three Theoretical Arguments, Four “Great Men” of History, Multiple Methods and Disciplines,” University od Sussex Library, 3 March 2019, h. 1.

174

konteks perilaku berdiskusi misalnya isi dari argumentasi rasional memperngaruhi untuk memberikan penilaian atas kualitas rasional dari argumentasi tersebut.125 Namun menurut peneliti, pada bentuk yang berbeda rasionalitas juga cenderung mengakomodir objektivisme, baik itu yang benar secara korespondensi atas realitas maupun yang benar secara koherensi dengan bahasa. Artinya, rasionalisme sama artinya dengan objektivisme karena mengandalkan rasio maupun bahasa untuk mengkonstruksi realitas secara akurat maupun representatif. Pada konteks justifikasi pengetahuan inderawi, klaim kebenaran dari rasionalitas cenderung mengafirmasi fakta empiris meskipun kemudian mereduksinya ke dalam pikiran berupa idea yang Karenanya, argumentasi logis mesti berkaitan dengan objek konkret. Pengetahuan tidak hanya berkaitan dengan realitas atau objek eksternal melainkan berkaitan erat dengan subjek atau kesadaran diri mengenai realitas atau objek. Proses terbentuknya pengetahuan bukan saja mengenai kesadaran linguistik terhadap struktur-strukur pikiran yang bersifat transendental yang memungkinkan pengetahuan itu terbentuk. Namun, pengetahuan juga dapat terbentuk melalui kesadaran emosional sebagai unsur-unsur dasar pengalaman dan menyadari bahwa seluruh pengalaman tidak memerlukan akses terhadap artikulasi bahasa (linguistik), yang justru menjadi deskripsi yang akurat mengenai sifat kesadaran. Dengan kata lain, terdapat kapasitas kesadaran non-linguistik dan afektif terhadap pengetahuan dan kebenarannya,126 yang juga ikut mempengaruhi klaim kebenaran dari suatu pengetahuan. Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa dalam proses terjadinya pengetahuan berkaitan dengan objek dan kesadaran diri baik kesadaran emosional maupun kesadaran linguistik untuk menyatakan dan mengartikulasikan apa yang diketahui.127 Justifikasi sebagai bentuk afirmasi langsung terhadap pengetahuan serta keyakinan mengenainya, menjadi sesuatu yang penting bagi klaim kebenaran yang diartikulasikan berdasarkan persepsi (perspektif) tertentu. Karenanya perlu untuk dibedakan antara justifikasi yang berkaitan dengan yang memiliki alasan untuk membentuk kepercayaan tertentu atau justifikasi proposisional (propositional justificatim), dengan justifiksi yang tidak beralasan untuk membentuk kepercayaan atau justifikasi opini (doxastic justification). Kepercayaan yang berpengetahuan adalah bersifat epistemik sedangkan kepercayaan tanpa bersifat berpengetahuan adalah buruk secara epistemik. Suatu kepercayaan yang bersifat epistemik adalah pengetahuan yang mana sebagai pembenaran merupakan kebaikan epistemik dari suatu kepercayaan. Sedangkan kepercayaan yang dibenarkan jika dan hanya jika itu adalah pengetahuan, misalnya kepercayaan terhadap suatu kebenaran adalah ketika kepercayaan itu dibenarkan sebagai objek (O) jika dan hanya jika subjek (S) tahu mengenai P.128

125R. Popan Jason, Coursey Lauren and Others, “Testing the Effects of Incivility During Internet Political Discussion on Perceptions of Rational Argument and Evaluations of a Political Outgroup,” Journal of Computers in Human Behaviour, 14 February 2019, h. 12. 126Blum, “Argument of Radical Empiricism”..., h. 170. 127Atau secara tuntutan logis, sebagaimana pragmatisme Peirce, bahwa reference merupakan tanda yang dikenali yang kemudian diolah oleh pikiran serta berkaitan dengan artikulasi melalui kata. 128Ichikawa, “Justification Knowledge”..., h. 188.

175

Bagi Berkeley, klaim kebenaran suatu pengetahuan dapat berkaitan erat dengan kemampuan pikiran (spirit) maupun persepsi yang menghasilkan gagasan (ideas). Sifat manusia yang memiliki jiwa yaitu selalu berpikir sebagai aktivitasnya yang pararel dengan kebenaran di dalam pikiran dan cenderung mempertanyakan keberadaannya.129 Dengan kata lain, kebenaran suatu pengetahuan bagi Berkeley murni subjektif, yaitu terletak di dalam pikiran dan bersifat abstrak, yaitu berupa gagasan (ideas). Dalam konteks tersebut, Berkeley mempertahankan konsistensi kebenaran dan mereduksinya di dalam pikiran namun tetap bertolak dari objek material yang dapat dipersepsi. Perlu dibedakan antara bertolak dari materi dan mereduksikannya kepada subjek berupa ide-ide dengan menyesuaikan representasi- representasi pikiran terhadap materi. Untuk yang pertama, merupakan model persepsi Berkeley yang bersifat akurat-logis (subjektivisme) sedangkan yang kedua, merupakan persepsi representasional dan bersifat korespondensi (objektivisme). Pada model persepsi Locke yang bersifat representasionalisme, Berkeley bersikeras menolak dualisme kualitas yang dipahami (di dalam pikiran) dan kualitas yang tidak dipahami (di luar pikiran) yang mana bentuk penolakan tersebut menjadi alasan yang masuk akal untuk memposisikan Berkeley sebagai penganut idealisme.130 Sedangkan bagi Ibn Sînâ, klaim kebenaran pengetahuan berkaitan dengan silogisme dan demonstrasi sebagai akurasi pikiran terhadap realitas, terlebih realitas konkret. Ibn Sînâ juga membagi tahapan-tahaan untuk kebenaran berdasarkan metode silogisme dan demonstrasi; tahapan logis yaitu konseptualisasi kebenaran logika, tahapan fisik yaitu verifikasi atas materi-materi yang bersifat fisik, kebenaran matematik yaitu konseptualisasi mengenai materi-materi yang bersifat matematis serta kebenaran metafisik, yaitu ilmu universal yang meliputi ada sebagai sesuatu dan filsafat pertama serta teologi yang meliputi sifat teologi dan metafisika dari jiwa rasional.131 Klaim mengenai metode demonstrasi yang baik untuk menjustifikasi pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan kausal antara lain, yang di dalamnya bukan tengah (middle) maupun utama (the major) sebagai penyebab satu sama lain. Kedua, demonstrasi tersebut tidak dapat dikurangi menjadi kasus non-kausal standar karena ada sebab-sebab keduanya saling berbagi. Ketiga, demonstrasi tersebut justru mampu memproduksi kepastian nyata.132 Paham kebenaran dari Ibn Sînâ dalam konteks penelitian ini bersifat representasional karena berupaya untuk menyesuaian antara realitas bahasa sebagai suatu penegasannya dalam bentuk silogisme maupun demonstrasi. Teori pengetahuan menjadi pokok-pokok filsafat Ibn Sînâ yang

129Berkaitan dengan aktivitas jiwa, waktu menjadi tidak berarti dan mengisyaratkan bahwa gagasan abstrak di dalam pikiran yaitu lamanya pikiran (spirit) yang terbatas seiring dengan jumlah gagasan atau tindakan yang saling menggantikan satu sama lain dalam pikiran yang sama. Berkeley, Principles..., h. 32. 130Dicker, Critique of Locke’s Theory, h. 272. 131Tahapan logis misalnya ; jenis, spesies, pembeda, kekhususan dan aksiden. Tahapan fisik misalnya, materi, bentuk, tempat, waktu, gerak dan ruang. Sedangkan tahapan matematik misalnya, aritmatika, geometri murni, geometri astronomi, geometri mengenai melodi-melodi musik dan geometri optik. Adapun yang terakhir, tahapan metafisika misalnya meliputi konseptualisasi materi pertama, first creator, dan mengenai alam semesta. Gutas, Avicenna Tradition..., h. 6-7. 132Strobino, “Avicenna on Knowledge”..., h. 11.

176

,(تصديق) dan penegasan mengenainya (تص هور) meliputi proses terbentuknya konsep yang menjadi prinsip penting bagi silogisme.133 Baik Berkeley maupun Ibn Sînâ memandang pentingnya justifikasi bagi pengetahuan berdasarkan kemampuan diri dalam bentuk argumentasi demonstrasi, baik yang bersifat subjektif (koherensi) atau yang bersifat objektif (korespondensi). Berkeley lebih cenderung mempertahankan argumentasi yang mereduksi objek ke dalam subjek sedangkan Ibn Sînâ lebih mempertahankan objek yang kemudian diproses ke dalam diri. Upaya untuk menjelaskan proses terjadinya pengetahuan di dalam diri berkaitan dengan pendekatan psikologis yang menolak objek yang tidak dapat dipersepsi (unperceived object) yang berarti bukan argumentasi mandiri yang mana tiap masing-masingnya memungkinkan untuk menunjukkan (demonstrate) kebenaran dari pertentangan utama (central) yaitu objek yang tidak dapat dipersepsi (unperceived object).134 Karenanya pengetahuan inderawi Berkeley dan Ibn Sînâ berangkat dari proses yang sama, yaitu persepsi dan penekanan yang sama, yaitu kemampuan diri bahwa dapat mengkonstruksi realitas namun dengan hasil akhir yang berbeda pengetahuan itu sendiri. Berkeley cenderung mereduksi objek konkret صورة menjadi gagasan sedangkan Ibn Sînâ mempertahankannya menjadi bentuk yang sedikit lebih abstrak, yang dapat معنى yang berkaitan dengan unsur materi dan dibagankan sebagai berikut135 :

Gambar 16. Status Ontologis Objek Bagi Berkeley dan Ibn Sînâ

Berkeley Ibn Sînâ

C. Implikasi Terhadap Epistemologi Islam 1. Mempertimbangkan epistemology turn ke linguistic turn sebagai upaya terobosan dalam epistemologi Islam Kajian komparatif filosofis dari persepsi Berkeley dan Ibn Sînâ dalam penelitian ini memiliki implikasi terhadap keberlanjutan (sustainability) dari kajian epistemologi Islam. Menurut Zainun Kamal, kajian mengenai epistemologi Islam setidaknya meliputi dua hal. Pertama, berkaitan dengan persoalan mengenai hakikat pengetahuan namun tidak banyak menjadi perdebatan dan kedua, mengenai cara atau jalan untuk mendapatkan pengetahuan yang menimbulkan banyak polemik. Alasannya, setelah masuknya filsafat Aristoteles ke Dunia Islam, memicu terjadinya perkembangan epistemologi ke arah itu karena terdapat suatu persoalan mengenai hubungan antara pengetahuan samawi (wahyu) dengan pengetahuan insani. Atau

133Yaitu kebenaran yang diakui dan disukai dan bagian dari silogisme serta definisi yang kebenarannya diakui tanpa meditasi yang menjadi dua perbedaan antara proposisi yang membentuk sesuatu yang tidak dikurangi dan proposisi yang bersifat aksiomatik yang menjadi poin awal dari silogisme dan definisi. Lihat, Gutas, “Empiricism Avicenna”..., h. 394. 134Tipton, Berkeley Immaterialism..., h. 13-14. 135Bagan tersebut peneliti formulasi ulang dari Tipton.

177

antara pengetahuan supernatural dengan pengetahuan rasional-natural, antara iman dengan akal. Yang menjadi persoalan yaitu manakah dari keduanya yang merupakan pengetahuan berbobot dan berkualitas, yaitu melalui jalan iman atau wahyu, dan kepercayaan atau pembuktian. Bagi yang berpihak pada model yang pertama, lebih cenderung mengafirmasi bahwa pengetahuan manusia yang dihasilkan oleh akal harus disempurnakan dengan pengetahuan Adikodrati (wahyu). Adapun bagi yang berpihak pada model yang kedua, cenderung lebih mengafirmasi bahwa iman, wahyu, hal-hal adikodrati dan samawi merupakan omong kosong kalau tidak dapat terbuktikan oleh akal yang karenanya, muncul persoalan mengenai wahyu dan akal dalam epistemologi Islam.136 Kajian epistemologi Islam juga berkaitan dengan kedudukan filsafat Islam beserta cakupannya, yaitu objek ilmu, status maupun sumber. Menurut Mulyadhi Kartanegara, status ontologis atau objek dari ilmu dalam Islam, atau khususnya filsafat Islam yaitu tidak sebatas pada yang fisik melainkan meliputi metafisik. Bagi para filosof Muslim, objek konkret maupun abstrak merupakan kenyataan (real) dalam arti memiliki status ontologis yang fundamental. Justru karena objek ilmu yang berbeda-beda secara esensi atau sifatnya maka perlu untuk menemukan beberapa metode ilmiah yang berbeda agar cocok dengan jenis dan esensi objeknya. Misalnya metode eksperimen-observasi yang berguna untuk meneliti objek-objek konkret namun untuk objek-objek abstrak, maka perlu menggunakan metode yang ,Karenanya 137.(عرفان) dan intuisi (برهان) berbeda, misalnya metode demonstrasi metode intuisi dirancang memungkinkan menerangi kontur suatu konsep, dengan memeriksa intuisi-intuisi mengenai kasus inajiner atau hipotetis yang harus sampai pada pemahaman mengenai konsep tersebut. Misalnya intuisi untuk mendapatkan konsep pengetahuan dan pembenaran yang mana tujuan epistemologi dalam pandangan tersebut yaitu langkah awal yang esensial yang untuk mengembangkan teori epistemologi yang menjadi pemahaman suatu konsep.138 Sebelum mempertimbangkan perubahan paradigma dari epistemology turn ke linguistic turn dalam kajian epistemologi Islam, peneliti mengajukan keberatan- keberatan atas posisi epistemologi Islam tersebut dari perspektif di atas. Pertama, uraian mengenai epistemologi Islam masih fokus dan cenderung berkutat pada persoalan kedudukan dan pertentangan epistemik antara akal dan wahyu yang mana “golnya” memerdekakan akal untuk memahami wahyu dan dari segala paham yang membelenggu akal untuk merdeka. Terlebih di awal masa kemunduran Islam dan tantangan dari cengkraman modernisme, imperialisme dan kolonialisme Barat yang membukakan mata bagi sebagian besar oara pembaharu Islam untuk memberikan porsi kembali pada akal. Hal tersebut menyiratkan bahwa terjadi demarkasi tegas antara pengetahuan insani dan samawi. Padahal menurut peneliti, dalam kajian

136Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 205. 137Mulyadhi Kartanegara, Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta, h. 9. Atau bisa juga lihat Mulyadhi Kartanegara dalam Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. 138Epistemology Futures, edited by Stephen Hetherington (Oxford: New York University Press, 2006), h. 11-12.

178

epistemologi, keduanya tidak perlu dipertentangkan dan seharusnya dapat saling melengkapi karena berkaitan dengan esensi manusia dengan cara tahunya, yaitu berproses. Kedua, antara pengetahuan samawi dan insani tidak perlu untuk saling memverifikasi satu sama lain demi suatu pilihan mengenai mana di antara keduanya yang paling berbobot. Karena upaya yang demikian mendorong pada kecenderungan mengunggulkan satu atas yang lainnya padahal keduanya sama-sama berlandaskan keyakinan (belief) yaitu yakin pada pengetahuan yang bersifat metafisis dan yakin pada pengetahuan empiris.139 Upaya mempertimbangkan pergeseran paradigma dari era epistemologi ke era linguistik menjadi penting untuk mengaktualkan epistemologi Islam ke dalam diskursus epistemologi kontemporer. Upaya tersebut dimulai dengan menelusuri akar epistemologi modern sebagai bagian dari proyek untuk memberikan fondasi yang kokoh bagi pengetahuan dan relevansinya dengan subjek sebagai konstruktor. Misalnya, pada pandangan epistemologi pengetahuan Locke yang berupaya untuk memisahkan secara tegas antara kualitas objek di luar diri dengan kualitas subjek di dalam diri. Atau antara yang berubah dan yang stabil yang kemudian memisahkan antara yang bersifat subjektif yaitu terpengaruh secara erat dengan subjek dan yang objektif yaitu terlepas sepenuhnya dari pengaruh subjek.140 Misalnya juga pada epistemologi transendental Kant yang mana struktur-struktur pikiran berdasarkan dua belas kategori ikut menentukan terjadinya pengetahuan, yaitu sintesa antara pengalaman inderawi (aposteriori) dengan pikiran (apriori) yang juga menentukan “kualitas” dari suatu pengetahuan atau objek.141 Pergeseran paradigma dari epistemology ke linguistic serta relevansinya dengan epistemologi Islam dalam konteks epistemologi kontemporer yang berarti bahwa perlu untuk mempertemukan kedua horizon tersebut dalam konteks kekinian. Pergeseran ke linguistik berdasarkan asumsi bahwa epistemologi “melahirkan” metafor diri sebagai cermin realitas “mirror of nature” yang mana pandangan mengenai akurasi dan representasi pikiran atas realitas perlu digugat yaitu tidak ada

139Selain dari kedua keberatan tadi mengenai epistemologi Islam, keberatan tambahan untuk mengafirmasi dari keberatan yang kedua yaitu pengetahuan samawi dan insani yang status ontologisnya berbeda, antara objek metafisik dan objek konkret, dalam kajian epistemologi Islam dipersatukan. Padahal dalam tradisi epistemologi, mengakomodir berbagai paham antara lain rasionalisme, empirisme, pragmatisme, positivisme, strukturalisme, gender maupun postruth. Artinya, dalam kajian epistemologi, seluruh macam mazhab tidak direduksi pada satu mazhab saja, positivisme, melainkan saling mengkritik datu sama lain. Selain itu, mengenai status ontologis, paham realisme menjadi beragam tidak hanya yang berkaitan dengan yang nyata, melainkan yang visual maupun yang hiper juga merupakan kenyataan juga. Atau bahkan imajinasipun merupakan quasiril karena beberapa unsur-unsurnya ditarik dari kenyataan namun penggabungannyaanya ada di dalam pikiran sebagai kenyataan pikiran. 140Lihat pembahasan mengenai ide-ide dan kualitas objek, John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (USA: The Pennsylvania State University, 1999), h. 116. 141mengenai korelasi antara pengalaman dan pikiran, yang mana pengalaman merupakan cermin dari objek-objek alamiah dari pengalaman, dan mengenaia persoalan gagasan dan bentuk-bentuk partikular atau fungsi dari putusan yang melibatkan kategori- kategori, lihat Quassim Cassam, “Knowledge and it’s Objects: Revisiting the Bounds of Sense,” Journal of Philosophy, 2017, h. 5&9.

179

kemungkinan “kebenaran tunggal atau absolut” karena banyaknya deskripsi dan redeskripsi atas realitas. Lebih jauh lagi, pandangan epistemologi mensyaratkan suatu jaminan kebenaran yang bersandarkan pada kekuatan rasio maupun persepsi inderawi. Sedangkan sebagai gantinya, pergeseran ke linguistik menjadi penting karena memposisikan kebenaran sebagai sesuatu yang beroperasi dan bersandarkan pada percakapan dalam suatu komunitas tertentu yang berkaitan dengan lokalitas dan temporalitas.142 Pikiran atau persepsi sebagai cermin realitas (mirror of nature) dapat dikatakan juga mengafirmasi pandangan bahwa diri dapat menangkap realitas secara utuh sebagaimana adanya, atau esensialisme. Dalam paham esensialisme, menitik beratkan pada kemampuan diri untuk menyingkap realitas secara utuh, atau upaya memproyeksikan objek, yang kemudian menmmbulkan persoalan mengenai relasi antara esensi dan eksistensi serta kemunculannya. Heidegger misalnya, memiliki pandangan bahwa dapat memiliki esensi suatu objek yaitu dengan investigasi dan dibawa ke ranah bahasa, yang simultan, Heidegger menulis Being and Time.143 Menurut peneliti, posisi Heidegger berada di simpang antara persoalan epistemologi ke persoalan bahasa sebagai alat untuk menyingkap “ada” sebagai eksistensi dalam konteks ontologis. Atau ekstrimnya dalam konteks bahasa, konsep-konsep dalam pikiran mengenai realitas tidak keluar dari bahasa itu sendiri sebagai cara untuk mengaktualkan realitas. Pandangan mengenai kemampuan diri yang bereksistensi untuk menyingkap realitas secara utuh (esensi) mendapatkan penolakan sebagai antitesa dari pandangan bahwa subjek tidak mampu menyingkap realitas secara utuh karena terbelenggu oleh struktur. Misalnya, mengenai esensi realitas yang dapat dipahami sebagai skema ketidaksadaran bahwa yang merupakan konstitusi diri, lalu muncul ke dalam kesadaran secara apriori. Konsekuensinya, secara otonomi menentukan diri yang diambil dari otologi kuno yang kemudian disebut dalam istilah psikologi sebagai archetype. Archetype yang asli adalah bentuk lain dari dirinya sendiri, yaitu bentuk primordial dari ketidakteraturan sebagai alienasi dari esensi atau sifat internalnya hanya untuk menemukan dirinya dalam proses sendiri menjadi sebagai tindakan perngembangan diri.144 Artinya, eksistensi diri memiliki dua kutub yaitu antara yang dominan pada wilayah sadar atau cenderung pada wilayah ketidaksaradannya untuk menangkap realitas. Bagi yang dominan pada wilayah sadarnya, lebih mengakui kemampuan diri untuk mengkonstruksi realitas melalui pikiran dan persepsi

142Fristian, Teori Kebenaran Richard Rorty..., h. 72. 143Mengenai persoalan mana yang terlebih dahulu eksistensi atau esensi, yang sejalan dengan pandangan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi, yaitu hanya melalui tindakan dan penafsiran diri yang membawa seseorang kepada esensinya yang menentukan diri. Karena itu, tidak ada yang mengatakan mengenai kepemilikan eksistensi yang sama setiap dari entitas atau individu. Lihat, Nate Zuckerman, “Heidegger and The Essence of Dasein,” Journal of the Southern Philosophy Vol. 53 No. 4, December 2015, h. 494. DOI: 10. 1111/sjp. 12151. 144Archetype terhubung kepada sesuatu di luar atau independen dari diri sendiri meskipun meskipun muncul dari emosi sebagai fenomena pengalaman serta dapat ditemui di dalam emosi itu sendiri. Lihat, Jon Mills, “The Essence of Archetypes,” Journal of Jungian Studies, 31 July 2018, h. 16-17. DOI: 10. 1080/19409052. 2018. 1503808.

180

sedangkan bagi yang dominan pada wilayah sadarnya, mengakui bahwa kemampuan diri berada di bawah instrumen kesadaran atas realitas. Misalnya dorongan-dorongan bawah sadar yang berkaitan dengan emosi, hasrat, seksualitas yang menstruktur cara untuk bertindak. Adapun tawaran bagi epistemologi Islam adalah dengan menekankan bahwa terdapat model kebenaran yang bersifat “tunggal-personal” yang menekankan pada kemampuan diri untuk menangkap realitas dan, model kebenaran yang bersifat “plural-komunal” yang menekankan pada perbincangan dan kebiasaan bertidak. Istilah kebenaran yang bersifat “tunggal-personal” dan “plural-komunal” merupakan elaborasi dari pandangan Rorty mengenai pikiran sebagai cermin realitas (mirrror of nature) yaitu berkaitan dengan kemampuan diri dan bahasa sebagai percakapan. Atau pandangan yang senada juga berasal dari Arkoun bahwa ia menyerang pandangan epistemologi modern dan menawarkan model epistemologi baru, terbuka dan pluralistik yang menggambarkan jalan menuju emansipasi manusia (post) modern dari reduksi dan alasan antusiasme positivistis. Model epistemologi yang demikian sebagai alasan pandangan ilmiah yang lebih luas (tele-techno-scientific reason). Dengan demikian, Arkoun juga memberikan ruang lebar atas penafsiran marjinal dan periferal dan juga mendukung relevansi transenden sebagai bagian dari epistemologi baru.145 Dalam kajian mengenai epistemologi Islam, memerlukan formulasi baru yang mempertimbangkan keragaman penafsiran mengenai realitas dan juga terhadap kecenderungannya atas kebenaran yang bersifat lebih terbuka atau bersifat dialogis. Misalnya, penafsiran Ibn Sînâ mengenai konsep Galen mengenai pengalaman untuk mengatasi problem dalam kisah Aristoteles mengenai peran dari pengalaman (experience) untuk mendapatkan prinsip-prinsip pertama untuk demonstrasi. Dengan kata lain, upaya demikian juga sebagai upaya untuk menghasilkan pemahaman yang baru mengenai teks Hipokrates yang sering tidak berkaitan dengan bagaimana Galen memahami teks yang sama.146 Tradisi penafsiran dalam kajian epistemologi Islam perlu mendapatkan porsi yang lebih yang tidak semata-mata bergumul dengan

145Menurut Arkoun, hanya epistemologi terbuka yang memungkinkan pemahaman mengenai universalitas dan keragaman Islam. Teori-teori yang ada mengenai yang universal dan beragam dalam Islam menurutnya, muncul sebagai hasil dari dialektika antara dua kecenderungan yang saling bertentangan, pertama yang bertendensi menyatukan dan mensakralkan Islam dan kedua, yang bertendensi untuk mengungkan Kesakralan Islam dan memperhatikan persoalan manusia. Dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman Islam yang lebih komprehensif, yaitu antara upaya untuk mempertahankan ketegangan antara suci dan manusia, ortodoks dan heterodoks yang perlu terbuka untuk memikirkan kembali semua tradisi interpretasi (yang disetujui dan yang tidak disetujui) dan untuk membuka ruang bagi interpretasi potensial lainnya yang mana mengarahkan pada bentuk epistemologi terbuka. Safet Bektovic, “(post) Modern Islamic Philosophy: challenges and perspectives,” Journal of Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 23 No. 3, July 2012, h. 242. DOI: 10. 1080/ 09596410.2012.676778. 146Kamran I. Karimullah, “Avicenna and Galen, Philosophy and Medicine: Contextualising Discussions of Medical Experience in Medieval Islamic Pysicians and Philosophers,” Journal of Oriens The University of Manchester, 2017, h. 144. DOI: 10.1163/18778372-04501002.

181

persoalan bagaimana cara tahu untuk mendapatkan kebenaran atas realitas namun, mengenai cara tahu untuk mendapatkan suatu kebenaran dialogis. Upaya untuk mendapatkan kebenaran yang bertujuan untuk mengkonstruksi realitas (epistemik) sedangkan upaya untuk berdialog dalam percakapan sosial bertujuan untuk suatu memperbaiki keadaan (edify). Formulasi untuk mempertimbangkan trend pergeseran dari epistemologi ke linguistik karenanya memiliki relevansi dengan status pengetahuan dan praktek keseharian di mana pengetahua tersebut terbentuk. Dalam praktek keseharian, ketika seseorang membuat penilaian mengenai penafsiran terhadap beberapa keadaan yang merujuk pada tindakan tersebut termasuk gagasan dan kepercayaannya. Bentuk- bentuk “bukti sosial” itulah yang dapat diandalkan ketika membuat suatu penilaian mengenai penafsiran dan pemahaman bagi orang lain.147 Mengafirmasi fungsi percakapan untuk mendapatkan ragam kebenaran bekerja atas asumsi kesepakatan (konsensus) yang merupakan peroalan bahasa yang dipilih untuk menggambarkan kebenaran berdasarkan lokalitas tertentu. Konsekuensinya yaitu mengafirmasi sifat dasar kontingensi manusia sedangkan upaya untuk mencari kebenaran “absolut” merupakan bentuk negasi atas kontingensi itu sendiri. Karenanya, kecenderungan epistemologi terletak pada sikap penolakan atas sifat kontingensi (objektivisme) sedangkan kecenderungan linguistik terletak pada penerimaan kontingensi manusia tersebut (relativisme). Persoalan mengenai peralihan dari trend epistemologi ke linguistik tidak lepas dari latar historis atau konteks pencerahan (enightement) di Eropa, yang mengedepankan kemampuan manusia (rasio) untuk mengkosntruksi realitas. Secara historis sejauh Pencerahan dan era kekuasaan Eropa (era of European power), dapat membingkai dengan istilah modernitas. Modernitas dapat dimengerti sebagai cara berhubungan dengan saat sekarang, sebagai bentuk komitmen ke masa sekarang untuk membawa dunia lain yang mungkin atau utopia. Semacam “proyek” bukannyatanpa hal-hal yang ekses (excesses) dan biadab, seperti yang terlihat, khususnya pada abad kedua puluh ketika modernitas merusak dan mengacaukan segalanya.148 Menurut peneliti, persoalan epistemologi yang demikian yang mana memberikan porsi cukup besar pada kemampuan manusia (rasionalitas maupun pengalaman inderawi) merupakan bagian dari jenis epistemologi modern. Lebih radikal lagi, jenis epistemologi yang memberikan porsi besar bagi praktek bahasa dan penggunaannya merupakan epistemologi postmodern.149

147Donna Tafreshi and Timothy P. Racine, “Childrens’s Interpretive theory of mind: the role of mother’s personal and mother-child talk about interpretation,” Journal of Cognitive Development, Canada Simon Fraser University, Department of Psychology, 2016, h. 58. DOI: 10.1016/j.cogdev.2016.04.003. 148Johnson, Modernity, p. 176. 149Epistemologi postmodern mengafirmasi kecenderungan perilaku berbahasa atau behaviour yang mana Wittgenstein memposisikannya sebagai kekayaan dan karakter dari beragam praktik sosial yang menentukan identifikasi keadaan sensasi dan kriteria ketepatan (correctness) meliputi istilah sensasi. Karenanya praktik sosial menentukan arti dari sensasi yang tidak hanya mengenai perilaku jasmani yang dapat diamati dari luar (externally) melainkan melibatkan serangkaian interkoneksi dari sebagian faktor alami dan sosial yang tidak hanya melibatkan perilaku jasmani saja namun juga mempertimbangkan faktor

182

Dalam penelitian ini, persoalan mengenai epistemologi Islam karenanya perlu mengakomodir diskursus peralihan dari epistemologi ke linguistik namun dengan memposisikan bahwa percakapan sosial sebagai bagian dari epistemologi. Langkah penting untuk mengaktualkannya yaitu dengan menjelaskan hubungan epistemologi dan hermeneutik sebagai satu bagian, yaitu dengan melibatkan tokoh hermeneutik seperti Gadamer. Gadamer juga seringkali menyajikan hubungan tersebut sebagai pendekatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya bahkan sebagai cara untuk mengatasi problem epistemologi. Menurut Tom Rockmore, argumentasinya bahwa memposisikan filsafat sebagai induk dari segala teori pengetahuan, selalu merupakan hermeneutik. Selain itu, jika menganggap hermeneutik sebagai penafsiran, jelas bahwa filsafat selalu peduli dengan interpretasi dan pengembangan pikiran sebelumnya mengenai konsep dan revisi sejarah dari masa lalunya sendiri yang mana sejarah filsafat merupakan isi dari proses filosofis.150 Memahami kajian hermeneutik sebagai trend peralihan ke linguistik merupakan upaya memposisikan epistemologi secara luas, yaitu sebagai studi kritis mengenai cara tahu yang meliputi berbagai objek atau persoalan. Objek dalam arti dipahami sebagai suatu kenyataan yang meliputi berbagai kemampuan bagi persepsi untuk mengkonstruksi menjadi pengetahuan yang menghasilkan paham realisme. Dengan kata lain, realisme juga merupakan bentuk dari epistemologi karena mencari esensi realitas dalam rangka untuk menafsirkannya sehingga menimbulkan atatus ganda. Pertama, interpretasi menjadi bagian dari suatu prosedur epistemik yaitu merupakan karakteristik dari ilmu humainora secara metodologi penafsiran. Kedua, pada keadaan pra kognisi interpretasi yaitu mengambil tempat bagi horizon yang transenden yaitu kemungkinan konteks yang dibatasi oleh latar belakang praktik, cara dan kepercayaan bersama.151 Dengan demikian, realisme hermeneutik berkaitan dengan pendekatan ontologis terhadap interpretasi yang mana pendekatan tersebut terhalang oleh kesalahpahaman mengenai peran konstitusional dari interpretasi yang terjadi di dunia yang terartikulasi,152 yang apabila dibagankan sebagai berikut :

penyebab lingkungan , kondisi fisiologis, protokol deteksi medis, teknik diagnostik, perasaan pribadi, kenangan mengenai perasaan pribadi, arahan, evaluasi, yang menjafi koreksi dalam bahasa komunal yang digunakan untuk berbicara mengenai perasaan tersebut. Kesemuanya itu juga yang membentuk praktek sosial atau bentuk kehidupan yang menentukan identitas suatu sensasi atau persepsi dan standar kebenaran untuk menggunakan bahasa sensasi. John Fennell, A Critical Introduction to thr Philodophy of Language Central Themes from Locke to Wittgenstein (New York and London: Routledge Taylor & Francis Group, 2019), h. 293. 150Tom Rockmore, “Epistemology as Hermeneutics,” Journal of The Monist, Vol. 73 No. 2, 1990, h. 116. 151Karena transendensi tersebut juga, kontekstualidasi dari eksistensi manusia selalu sudah terbuka atau transkontekstuakitas yang mana transendensi dari setiap kemungkinan konteks, terlepas dari seberapa kuatnya itu, penafsiran merupakan fenomena ontologis yang merupakan “equipromordial” yaitu fenomena merupakan proyeksi dari horizon potensialitas untuk menjadi (for being) dan terlempar ke dalam dunia praktis. Dimitri Gunev, “Universalizing Hermeneutics as Hermeneutic Realism,” Journal of Principia, University of Sofia, 2012, h. 224. 152Gunev, “Hermeneutic Realism”, h. 222.

183

Gambar 17. Diskursus Epistemology Turn ke Linguistic Turn Sebagai Terobosan ke Epistemologi Islam Upaya mempertimbangkan

Paradigma Epistemologi Paradigma Linguistik

Kemampuan diri Percakapan dan praktik keseharian

Hermeneutik

Interpretasi “teks”

Epistemologi

Bayani Burhani

Kepercayaan Pembuktian

Epistemologi Samawi Epistemologi Insani

Islam

184

Menurut peneliti, hermeneutik merupakan bagian dari kajian epistemologi yang merupakan cabang dari filsafat yang fokusnya pada penafsiran dan yang memungkinkan bisa untuk saling memahami. 153

2. Hermeneutik Sebagai Epistemologi Pada Keberagamaan Upaya untuk memposisikan kegiatan penafsiran sebagai kajian epistemologi berkaitan erat dengan proses memahami itu sendiri yang melibatkan juga cara mengetahui teks (hermeneutik). Atau dengan kata lain, upaya memposisikan hermeneutik sebagai epistemologi sama artinya dengan proses memahami realitas sebagai teks dengan cara penafsiran atau interpretasi (realisme). Doktrin mengenai hermeneutik realisme, merupakan upaya mempertimbangkan praktik representasi (teori objektifikasi) dan intervensi (khususnya eksperimen) karena dunia selalu diproyeksikan sebagai suatu cakrawala makna praktis.154 Sebagai cakrawala, penafsir memposisikan diri dan pengetahuan sebagai sesuatu yang sejajar dan saling mempengaruhi yang mana pengetahuan ikut menentukan diri, begitu juga sebaliknya. Sedangkan penafsir dan teks merupakan dua entitas berbeda yang memiliki cakrawala tersendiri serta menjadi persoalan hermeneutis untuk mempertemukan dan saling interaksi atau mengisi satu sama lain. Atau bisa juga dikatakan bahwa cakrawala memiliki batasannya yang melekat pada diri penafsir secara inheren yang dapat pula dikatakan sebagai perspektif internal dari si penafsir. Kritik atas epistemologi modern yang menekankan bentuk akurasi dan representasi pikiran sebagai cermin realitas menimbulkan persoalan yang direvisi untuk mendapatkan alternatif epistemologi baru sebagai hermeneutik. Menjadikan pikiran sebagai cermin realitas dengan demikian menerima bentuk fondasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan memerlukan dasar yang kuat dan meyakinkan bagi kebenaran. Tepat pada penekanan tersebut menjadi upaya untuk meruntuhkan fondasionalisme atau jenis epistemologi yang dijumpai pada pemikiran Descartes, Locke maupun Kant yang disebut sebagai epistemologi modern. Epistemologi karenanya juga bukan sebagai kutub yang berseberangan dengan hermeneutik atau penafsiran. Alasannya karena penafsiran hanya satu, khususnya mengenai penafsiran pengetahuan yang kuat dan kaku yang mana pendekatan hermeneutik juga dapat digunakan bagi pengetahuan yang lebih luas.155 Menurut peneliti sebagai kajian epistemologi, kegiatan interpretasi merupakan cara tahu untuk mendapatkan maksud atau intensi pengarang teks membuka peluang bagi pluralisme pembacaan. Titik temu untuk memposisikan kajian hermeneutik ke dalam wilayah epistemologi dapat dimengerti dengan masuk ke diskursus anti-fondasionalisme sebagai penolakan kebenaran ketat dengan cara pembacaan hermeneutis. Sejalan dengan itu, hubungan antara epistemologi dan hermeneutis bukanlah bersifat alternatif eklusif.156 Bersifat eklusif dalam arti sikap relativisme epistemologi modern dari pandangan fondasionalisme menjadi anti-fondasionalisme merupakan kritik yang bersifat hermeneutis yang membuka peluang luas bagi percakapan dan

153Formulasi bagan dari esensi sub pembahasan ini. 154Ginev, “Hermeneutic Realism”..., h. 214. 155Rockmore, “Epistemology as Hermeneutics”..., h. 127-128. 156Rockmore, “Epistemology as Hermeneutics”..., h. 117.

185

menemukan kebenaran-kebenaran plural. Konsekuensi bagi pemahaman yaitu lebih terbuka lebar sehingga saling mengisi satu sama lain. Dengan kata lain, hermeneutik mengafirmasi bentuk relativisme pengetahuan yang terbentuk dari objektivitas kebenaran yang cenderung mendorong pada sikap menjaga ketimbang, upaya mengevaluasinya untuk pertimbangan ke depan (future). Gagasan mengenai masyarakat liberal (liberal societies) yang terikat bersama namun masih terikat pula dengan jenis filsafat tersebut menjadi suatu ironi. Apa yang mengikat masyarakat adalah kosakata umum (common vocabularies) dan harapan umum (common hopes), yang mana kosakata merupakan parasit bagi harapan yang berarti bahwa fungsi utama dari kosakata yaitu untuk menceritakan hasil masa depan (future) yang mengimplikasikan pada pengorbanan saat ini.157 Karenanya Hermeneutik sebagai proses pembacaan teks, membuka peluang lebar bagi model interpretasi-interpretasi baru yang mengakodomodir berbagai “kanal” kebenaran lain. Adapun caranya dengan memberikan peluang bagi kondisi ironis dan harapan untuk merumuskan ulang mengenai kehidupan. Kondisi ironis merupakan keadaan seseorang yang tidak cukup mampu untuk menegaskan dirinya karena selalu sadar bahwa keadaan saat mendeskripsikan diri dapat berubah, dan juga sadar akan kontingensi serta kerapuhan dari kosakata akhir yang dipilihnya (tidak stabil). Sedangkan kondisi common sense merupakan keadaan seseorang yang tidak sadar mendeskripsikan segala sesuatu melalui kosakata final yang membelenggunya yang meliputi keyakinan, tindakan dan cenderung mengambil sikap absolutisme. Baik kondisi ironis maupun common sense, keduanya dalam konteks hermeneutik, merangkum aspek penting dari permainan bahasa berdasarkan suatu konvensi dan kebiasaan yang berlaku di tempat dan waktu tertentu.158 Pembacaan secara hermeneutis mengandaikan pemahaman (understand) terhadap suatu realitas yang dapat dipahami dan dibaca sebagai teks, yang mana pemahaman tersebut merupakan bentuk dari penafsiran. Memahami realitas sebagai teks merujuk pada penulis teks (author) yang berupaya untuk memahami seorang penulis. Konsekuensinya, perlu untuk mencoba memahami seorang penulis lebih baik dari penulis memahami dirinya sendiri karena argumentasinya bahwa tidak ada penulis yang memiliki wewenang dalam teks yang ia hasilkan. Prinsipnya, adalah dengan menelusuri sejarah disiplin hermeneutik dan memeriksanya dengan cara yang berbeda serta tidak selalu konsisten dari hal yang telah diterapkan.159 Berkaitan dengan pemahaman teks, merupakan suatu proses yang pada prinsipnya meliputi keadaan diri ketika berinteraksi dengan objek eksternal. Namun objek eksternalnya dalam bentuk teks yang meliputi pemahaman atau latar belakang dari penulisnya yang mana berbeda dengan latar belakang dari si penafsir teks tersebut. Pada studi hermeneutik, status ontologis teks sebagai objek konkret yang berjarak, dinamis dan

157Richard Rorty, “Contingency, Irony and Solidarity, Private Irony and Liberal Hope,” Journal of Main , 1989, h. 86. DOI: 10.1017/CBO9780511804397.006. 158Fristian, “Teori Kebenaran Rorty”..., h. 84-85. 159George Heffernan, “Mais Personne Ne Paraissait Comprendre (“but no one seemed to understand) Atheism, Nihilism, And Hermeneutics In Albert Camus’ L’Etranger/The Stranger, ” Journal of Springer Science+Business Media, Department of Philosophy, Merrimack College, North Andover, USA, 2011, h. 144.

186

organik sehingga memerlukan perlakuan yang lebih menyeluruh untuk mendapatkan suatu pemahaman (understanding). Relasi antara hermeneutik dengan agama (terlebih agama Kristen) yang saling berkelindan karena hermeneutik berfungsi memahami teks-teks agama sedangkan agama berfungsi sebagai sumber Ilahi yang dihayati oleh pemeluknya. Sejalan dengan itu, Craig Keener menamai spirit hermeneutik dalam tradisi Kristen sebagai bagian dari ritus dan memiliki kedekatan dengan tradisi gereja atau individu yang secara luas Evangelis, yaitu sebagai bagian dari penyediaan bimbingan rohani atau kepercayaan dan praktek keagamaan.160 Menurut peneliti hermeneutik awal, romantisme, erat dengan tradisi tersebut karena merupakan fungsi bagi pemahaman langsung terhadap teks yang melibatkan pemeluk agama atau jemaat berserta praktek ritusnya. Ritus pada Kristen pentakosta misalnya, berkaitan dengan hasil yaitu penyembuhan ilahi (healings) dan mukjizat (miracle) yang menggambarkan pelayanan sebagai suatu pembebasan. Hermeneutik dalam tradisi pentakosta sama halnya dengan praktek-praktek ritus yang berbeda dari tradisi evangelis dan protestan yang tidak terjangkau oleh tradisi hermeneutik karena tidak ditransmisikan oleh penganut pentakosta.161 Pada konteks keberagamaan dalam aliran pentakosta, hermeneutik berfungsi sebagai penghubung antara pemahaman diri atas teks-teks bible, yaitu tindakan penafsiran. Aliran pentakosta memposisikan pengalaman rohani glossolalia sebagai sesuatu yang penting karena berkaitan dengan karunia ilahi dan bukti dari bersemayamnya roh kudus. Karunia ilahi tersebut juga dalam tradisi pentakosta merupakan kharsimata bagi para penganut aliran pentakosta yang mana glossolalia adalah kemampuan berkata-kata dalam bahasa roh sedangkan upaya untuk menerjemahkan kata-kata tersebut memerlukan kemampuan lainnya yaitu xenolalia. Dengan kata lain, upaya untuk mengalami roh kudus menjadi penting bagi penganut aliran pentakosta sebagai bukti dari karunia roh kudus.162 Fungsi dari hermeneutik yaitu sebagai upaya untuk menafsirkan teks-teks keagamaan berdasarkan situasi atau konteks yang dialami oleh penganut aliran pentakosta. Upaya penafsiran secara hermeneutik tersebut yaitu dengan menghubungkan antara teks-teks yang berkaitan dengan roh kudus maupun pengalaman aktual itu sendiri. Penafsiran tersebut juga sebagai upaya mengafirmasi suatu sikap tertentu yang menjadi ciri khas dari paham aliran pentakosta. Sedangkan relasi hermeneutik dengan agama Islam juga saling berkelindan karena merupakan upaya penafsiran kontekstual terhadap situasi dan permasalahan dalam beragama. Dalam pandangan hermeneutik radikal Sayyid Qutb mengenai Al- Qur’an, setidaknya meliputi tiga pola: pertama, mencapai keterasingan eksistensial, kedua, membatasi pemahaman hanya pada Al-Qur’an, ketiga, pendekatan mengenai

160Robby Waddell, “Spirit Hermeneutics or Biblical Interpretation By Any Other Name,” Journal of Pentecostal Theology, Southeastern University, Lakeland, USA, Koninklijke Brill NV. Leiden, 2018, h. 199. 161R. Jerome Boone, “Pentecostal Worship and Hermeneutics: Engagement with the Spirit,” Journal of Pentecostal Theology, Koninklijke Brill Nv, Leiden, University of Cleveland, Tennessee, USA. 2017, h. 115&123. DOI: 10.1163/17455251-02601009. 162Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam Dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014) , h. 204.

187

Al-Qur’an dengan pandangan untuk mengamalkannya. Untuk yang pertama, adalah sesuatu ketidakmungkinan karena keterasingan diri dengan Al-Qur’an merupakan hal yang mustahil (karena merupakan petunjuk dan pedoman hidup) dan meskipun keterasingan diri dianggap mungkin namun hal tersebut tetap merupakan ide buruk karena bukan demi kemanfaatan bagi keterasingan diri. Singkatnya, menurut Qutub sebagai suatu metode penafsiran hermeneutik tidak dapat dipertahankan dan cenderung bahaya serta tidak bisa dijadikan “alternatif” pilihan sebagai upaya menafsirkan Al-Qur’an. Asumsinya, hermeneutik dalam pandangan Qutub yaitu bahwa Al-Qur’an perlu dibaca dengan tujuan untuk tindakan dan implementasi dan bukan hanya untuk penghargaan intelektual dan estetika semata. Upaya untuk menghubungkan antara kajian hermeneutik dengan Islam mengalami polemik yaitu antara yang mengafirmasinya sebagai metode penafsiran Al-Qur’an dan yang menolaknya karena merupakan metode yang berasal dari tradisi penafsiran Bible. Penerimaan hermeneutik juga karenanya melibatkan perjuangan untuk merelevansikan dan mengkontekstualitaskan dengan situasi kontemporer. Secara teologi, pada wilayah permukaan hermeneutik cenderung memprovokasi dari sikap keberagamaan ortodoks yaitu sejauh hermeneutik memiliki implikasi terhadap Al-Qur’an. Tradisi penafsiran Al-Qur’an pada dunia Muslim memerlukan sikap kehati-hatian karena tidak berdasarkan karangan (concoct) licik yang mana hal tersebut merupakan perilaku tidak bertanggung-jawab. Namun karena meluasnya membuat preseden teologis أصول الفقه dan علوم القرأن bidang keilmuan Islam seperti dan juristik untuk disambut oleh hermeneutik kontemporer. Keduanya tersebut juga sepenuhnya dieksplorasi sebagai salah satu upaya konkretisasi terkaya ilmu pengetahuan Islam untuk mencari makna.163 Secara metodologis, tentu menimbulkan suatu ambigu untuk menerapkan metode penafsiran secara hermeneutik dengan teks-teks keagamaan lainnya baik berkaitan dengan perbedaan tradisi intelektual maupun upaya menjaga ontentikasi dari metode asing. Namun apabila melihatnya secara filosofis, yaitu sebagai suatu proses epistemologis, hermeneutik mencerminkan peristiwa yang terjadi di dalam diri ketika bertemu dengan objek atau teks yang mana peristiwa tersebut merupakan pengalaman yang sama bagi tiap-tiap orang. Penjelasan mengenai hermeneutik filosofis yaitu yang berkaitan dengan proses yang terjadi di dalam diri, menjadi salah satu fokus dari Gadamer. Menurut Gadamer, semua penafsiran yang benar harus waspada terhadap khayalan yang dibuat-buat dan keterbatasan yang dikenakan oleh kebiasaan berpikir yang tidak terlihat dan harus mengarahkan pandangannya pada hal-hal itu sendiri (dalam kasus mengenai kritik sastra, merupakan teks-teks yang bermakna yang menunjukkan objek-objeknya). Agar penafsir dapat dibimbing oleh “hal-hal” itu sendiri (bukan khayalannya), bukanlah persoalan keputusan tunggal, melainkan menjadi tugas pertama, terakhir dan berkesinambungan. Oleh karenanya, seorang penafsir perlu untuk terus menatap objeknya di sepanjang gangguan konstan yang beradal dari si penafsir itu sendiri yang merupakan bagian

163“Qur’anic Hermeneutics: Problems and Prospects,” Journal of The Muslim World, Vol. Lxxxiii, No. Ii, April 1993, h. 136-137. 188

dari upaya untuk memahami teks dan selalu memproyeksikan arti teks secara keseluruhan segera setelah beberapa makna awal muncul dalam teks.164 Kegiatan menafsirkan karenanya berkaitan dengan proses internal diri seseorang untuk memahami realitas eksternal yang mana keadaan tersebut dominan berada pada wilayah ketidaksadaran (unconciousness). Aspek ketidaksadaran yang bersifat internal antara lain meliputi dorongan (impulses), watak (disposition) serta emosi (affective) dan kesengsaraan kognitif (cognitive afflictions) pada tingkatan terdalam jiwa. Keadaan ketidaksadaran menpengaruhi cara seseorang mengalami dunia yang menjadi “keuntungan” kognitif untuk merangsang merumuskan kategori dan konsep. Karenanya, ketidaksadaran merupakan suatu properti sekaligus objek refleksi yang berkaitan juga dengan penilaian moral dan keharusan sosial sebagai persoalan pribadi.165 Pada umumnya proses di dalam diri tidak disadari yang juga berimplikasi pada kekeliruan subjek untuk menafsirkan objek atau teks yang mana, kekeliruan-kekeliruan subjektif justru membantu untuk menafsirkan objek lebih baik lagi seperti prasangka maupun tradisi. Sebagai suatu proses di dalam diri juga menjadikan kegiatan penafsiran terhadap teks memiliki kaitan langsung dengan kognisi. Pada saat yang bersamaan juga, kognisi berhubungan keadaan psikis yang mengarah pada kerangka berpikir luas yang berkaitan dengan penampakan (embodiment) dan ingatan (memory). Konsekuensi yang kemudian muncul distingsi antara memori yang terbuka dan memori sadar misalnya, memori yang mudah diubah bentuk terhadap keterampilan motorik yang rumit, ketika memainkan rubik. Proses interaksi tersebut juga membuka wilayah alamiah antara “mengetahui” (knowing) dan “melakukan” (do- ing) atau berpikir dalam tindakan (thinking in action).166 Dengan kata lain, kegiatan menafsirkan suatu teks (objek) sebagai bagian dari studi hermeneutik memposisikan subjek secara otentik yakni memproyeksikan diri untuk memahami (understanding) realitas dengan dua proses dalam satu tindakan, mengetahui dan mengalaminya. Secara otentik dalam arti bahwa penafsiran melibatkan kemampuan diri dalam hal persepsi yang meliputi ingatan, kesadaran yang turut mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan.

164Terlepas dari proses tersebut menurut Gadamer, kegiatan memproyeksi terus menurus-menerus direvisi dalam hal apa-apa yang muncul ketika penafsir menembus ke dalam arti (meaning), adalah sebagai tindakan memahami (understanding) apa yang ada di sanaHans-Georg Gadaner, Truth and Method, Translated by Joel Weisheimer and Donald G. Marshall (London:Bloomsbury, 1975), h. 279. 165Langkah untuk merubah keadaan tidak sadar menjadi sadar merupakan bagian untuk menemukan model konseptual yang diperlukan untuk membantu mengenali dan pada akhirnya merubah baik pada tingkat individu maupun kolektif yang berkaitan dengan aspek objek, imaji, pikiran dan perasaan spesifik yang cenderung pada keadaan tertentu yang mengarah pada kesadaran yang tersirat pada teori dan praktek yang spesifik dan komprehensif. William S. Waldron and April Nishimura, “Mindfulness and Indian Budhist Conceptions of Unconcious Processes,” Journal of Current Opinion in Psychology, 2018, h.5. DOI:10.1016/j.copsyc.2018.09.012. 166John Sutton, “Memory and The Extended Mind: Embodiment, Cognition and Culture,” Journal of Cogn Process, Department of Philosophy Macquarie University Australia 11 October 2005, h. 225.

189

Kegiatan menafsirkan sebagai studi hermeneutik berkaitan erat dengan keberagamaan baik untuk meneliti perilaku beragama maupun sebagai metode memahami agama. Keduanya juga memiliki titik persamaan yakni sama-sama sebagai teks yang bisa ditafsirkan, namun dengan dua kecenderungan yang berbeda yakni pertama, kecenderungan mengadopsi hermeneutik dan menanggalkan tradisi penafsiran Islam serta mengabaikan dominasi Al-Qur’an kedua, kecenderungan mengadopsi hermeneutik tanpa menanggalkan penafsiran klasik dalam tradisi Islam dan memberikan porsi yang besar bagi Al-Qur’an sebagai sumber Kebenaran. Fazlur Rahman salah satu tokoh intelektual Islam yang memeliki kecenderungan kedua, yakni bersifat akomodatif terhadap penmuan Barat namun preventif terhadap ide-ide ulama Muslim klasik. Pemikiran hermeneutik fazlur Rahman meliputi tiga aspek penting, pertama mengusung epistemoogi Qurani kedua, metode penafsirannya bersifat sistematis dan ketiga, meekankan hermeneutik sebagai pendekatan sitesis dan logis. Sedangkan imlikasi dari hermeneutik Fazlur Rahman yaitu meliputi tiga aspek juga, pertama, menawarkan metodologi baru untuk mengembangkan keilmuan Islam, kedua, membuka ranah baru bagi paradigma etis-antropologis yang sebelum itu berkutat pada wilayah metafisis-teologis, ketiga, mengafirmasi etika sosial dalam kehidupan Islam modern.167 Upaya untuk menghubungkan antara hermeneutik dengan Islam dalam penelitian ini berarti upaya untuk memposisikan hermeneutik sebagai epistemologi yang berimplikasi pada ide mengenai “islamisasi pengetahuan”. Ide tersebut lebih mengarah pada peta dan grafik mengenai mengkonstruksi pengetahuan Islam (creating Islamic knowledge). Dengan mendudukannya demikian, berarti juga memposisikan pengeteahuan sebagai bagian dari suatu peradaban yang saling memberikan kontribusi satu sama lain, meskipun tetap memiliki karakteristik tersendiri sebagai identitasnya. Sejalan dengan upaya untuk saling berkontribusi, dalam pandangan Fazlur Rahman, pikiran merupakan posisi sentral dan penting karena pikiran manusia tidak melulu mengenai persoalan silogistik melainkan, pikiran manusia memiliki caranya tersendiri yang lebih kompleks. Misalnya, untuk menyatakan suatu kebenaran, status ontologis pengetahuan itu sendiri merupakan sesuatu yang misterius. Biasanya kebanyakan orang mengira bahwa pengetahuan sangat mudah diperoleh yaitu apa yang ingin diketahui dan demikian mencapai pengetahuan tersebut, kondisi kondisi tersebut belumlah mencapai esensinya. Setidaknya ada dua sudut pandang bagaimana pengetahuan itu terbentuk di dalam pikiran, pertama, hal tersebut diciptakan Allah SWT di dalam pikiran manusia dan kedua, berkaitan dengan pengajaran untuk mencapai pengetahuan yang kemudian berharap dari apa yang diusahakannya sesuatu yang terbaik.168 Sekali lagi, upaya menghubungkan antara metode hermeneutik dengan studi Islam bukanlah perkara mudah karena melibatkan berbagai respons baik pihak yang menerima maupun menolaknya. Karena metode hermeneutik berkaitan dengan teks,

167Lebih jauh lagi, lihat Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutera, 2007). 168Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response,” Journal of Islamic Studies, Vol. 50, No. ¾ (Autumn-Winter, 2011), h. 457.

190

baik yang verbal maupun non verbal, dengan demikian perlu menghubungkannya dengan tulisan (writing), yang apabila dibagankan sebagai berikut:

Gambar 17. Relevansi Antara Hermeneutik Dengan Epistemologi Hermeneutik Epistemologi

Penafsiran Cara mengetahui

Pemahaman (understanding)

Sebagai cara mengetahui Seni memahami dalam sesuatu (epistemologi) percakapan (tindakan)

Khazanah Islam Pemahaman Khazanah Barat

Menerima-menutup Teks dalam Kitab Suci Hermeneutik diri dengan Barat

Menerima-membuka diri Keberagamaan dengan Barat

Menurut Barthes, tulisan merupakan ruang yang bersifat netral dan merupakan hasil peleburan berbagai hal (apa yang disuarakan maupun ditampilkan oleh pengarang), sehingga subjek sebagai narasi teks menghilang dari narasi, yaitu bersifat negatif karena menyedot identitas teks tersebut sebingga yang tersisa adalah tulisan itu sendiri tanpa subjeknya. Keadaan yang demikian bagi beberapa kritikus sastra seperti Barthes, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang “asli” karena melepaskan teks dari acuan pengarangnya, atau istilah Barthes, pengarang menantikan kematiannya sendiri (the author enters into his own death/the death of the author. Tepat pada persoalan tulisan tersebut, menurut peneliti, menjadi salah satu bentuk penolakan studi Islam terutama yang fokus pada kajian tafsir Al-Qur’an, jika memposisikan tulisan seperti yang dimengerti Barthes,169 yaitu mencerap teks tulisan ke horizon pembaca. Sedangkan bagi Fazlur Rahman, mempertimbangkan tradisi dalam terang

169Alasannya, karena teks-teks suci Al-Qur’an bukanlah ruang kosong tanpa konteks atau berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat. Selain itu juga, kegiatan menafsirkan bukan aktivitas suka-suka, terlebih dengan konsepsi bahwa teks mencerap konteks atau realitas teks yang meliputi suatu peristiwa, cerita dan sebagainya.

191

Al-Qur’an yang tidak bisa melangkah lebih jauh dalam studi pemikiran Islam. Alasannya karena bagi seorang Muslim perlu memiliki kriteria yang jelas berdasarkan sinar Al-Qur’an, yang kemudian secara kritis mempelajari tubuh pengetahuan dari Barat.170

3. Era Post-Truth dan Pemetaannya Dalam Diskursus Epistemologi Islam Permasalahan ontologis mengenai hakekat dari kenyataan masih relevan dengan persoalan kontemporer terutama yang berkaitan dengan persepsi sekaligus sebagai akhir dan penutup dari penelitian ini. Konsep mengenai simulasi menjadi kunci penting untuk mulai memasuki persoalan mengenai fenomena postruth yang mana, simulasi merupakan upaya mengabstraksikan dan mereproduksi sesuatu yang asli (original). Proses abstraksi juga upaya mensintesiskan dan mengumpulkan indeks yang bertujuan untuk meringkas (mencakup) berbagai data atau yang terkait dengan fenomena sosial yang cenderung untuk mengandalkan reproduksi aspek- aspek operasional yang tersedia bagi produksi pengetahuan dan evaluasi kinerja. Simulasi karenanya merupakan penyimpangan realitas (the perversion of reality) karena mengaburkan realitas aslinya dengan realitas lain yang menjadikan realitas tiruannya itu sebagai pengganti yang mendeterminasi segala bentuk tindakan. Tepat pada keadaan demikian, realitas yang asli digantikan dengan realitas tiruannya (substitution) yang mana realitas tiruan seakan menjadi sesuatu yang justru dianggap sebagai realitas aslinya.171 Sebagai bagian dari persoalan ontologis, kenyataan juga terbagi dua yaitu kenyataan merupakan yang nyata (real) dan kenyataan merupakan yang palsu (hypereal). Yang menjadi fokus dari sub bab terakhir ini yaitu seputar kenyataan sebagai sesuatu yang palsu dalam bingkai postruth sebagai suatu tinjauan filosofis terhadap fenomena sosial-budaya. Sejalan dengan persoalan postruth, Baudrillard membedakan realitas menjadi tiga tatanan yang mana sebagai suatu penampakan sejalan untuk memindahkan atas hukum nilai tertentu (simulacra). Pertama, tatanan palsu (counterfeit) yaitu skema yang didominasi oleh periode klasik dari renaissance ke revolusi industri. Kedua, tatanan produksi (production) yaitu skema yang didominasi oleh era industri. Ketiga, tatanan simulasi (simulation) yaitu suatu skema yang mengafirmasi fase saat ini, yang dikontrol dengan kode. Pada tatanan pertama dari simulacrum berbasis pada hukum alamiah dari nilai, sedangkan pada tatanan kedua, berbasis pada hukum komersial dari nilai. Adapun tatanan ketiga, berbasis

170Fazlur Rahman memposisikan pengetahuan dalam Islam sebagai sesuatu yang memungkinkan bagi seorang Muslim untuk bertindak dan mengubah keadaan dunia yang mana Al-Qur’an sebagai kitab yang berorientasi pada tindakan yang menjadi keunggulannya. Sebagai suatu prosedur, pandangan Fazlur Rahman tersebut juga berarti mengkritisi tradisi intelektual secara internal, yaitu mengenai apa yang benar dan salah yang kemudian juga mengkritisi dan menilai teadisi Barat (islamisasi model Fazlur Rahman). Fazlur, Islamization..., h. 457. 171Fabio Cristiano, “From Simulation to Simulacra of War: Game Scenarios in Cyberwar Exercises, ” Journal of war & Culture Studies, Vol. 11 No. 1, 1 February 2018, Department of Political Science, Lund University, Sweden, h. 24.

192

pada struktur hukum dari nilai.172 Pada tatanan yang berbasis hukum alamiah dari nilai, cenderung pada persoalan rasionalitas untuk menyikapi realitas. Sedangkan pada tatanan kedua, terjadi kecenderung pada pengembangan rasionalitas ke arah produksi (fungsi) sebagai bagian dari status modernitas. Adapun pada tatanan ketiga, terjadi kecenderungan ke arah konsumsi sebagai tanda (lifestyle). Kenyataan sebagai objek serta sesuatu yang diketahui oleh subjek, memilliki keterkaitan dengan klaim-klaim kebenaran yang dihasilkannya untuk mengafirmasi atau menegasikan kenyataan tersebut. Pada kenyataan mengenai budaya pop sebagai ekspresi keberagamaan, berdampak pada pergeseran “wewenang dalam kerohanian” sehingga menuntut banyak sudut pandang (untuk diuji dan dimengerti). Sebagai suatu bentuk dari kenyataan semu, karena budaya populer merupakan gerakan- gerakan yang menjelma dalam suatu tradisi atau budaya yang digandrungi oleh kebanyakan orang. Karena begitu digandrungi, sasaran atau strategi budaya pop mengarah pada sesuatu yang mudah dicerna ketimbang makna terdalam yang sulit dipahami secara instan. Atau dengan kata lain, mengaburkan substansi (konten) dan lebih menekankan artifisial (ekspresi) yaitu menawarkan narasi keagamaan dengan kemasan yang menarik yang kemudian menuntu pada pengalaman-pengalaman keagamaan yang dihayati tersebut.173 Mengenai problem dari kenyataan pada abad ke dua puluh satu memasuki babak yang komplek karena berkembangnya evolusi teknologi digital yang begitu cepat sehingga menimbulkan suatu kekacauan (disruption) dalam berbagai aspek kehidupan. Komputer sebagai teknologi digital membantu dan menunjang berbagai aktivitas di dalam kehidupan, baik yang berkaitan dengan pekerjaan maupun hiburan yang juga membuka akses yang luas untuk saling terhubung satu sama lain. Dengan kata lain, di era digital yang ditandai dengan pergeseran dari fase pekerjaan organik ke pekerjaan mekanik (komputerisasi), yang menjadikan teknologi digital telah terserap ke berbagai bidang kehidupan yang menghasilkan realisme yang bersifat artifisial yang merupakan bentuk dari hiperealitas. Realisme digital memiliki dua konsekuensi penting yaitu menghambat kreativitas alamiah dan memberikan ilusi visual yang menipu penonton.174 Teknologi digital menggeser dari kenyataan yang bersifat alamiah ke jenis kenyataan lainnya yang bersifat artifisial, misalnya, realitas pegunungan yang asri dan alami ditangkap dengan teknologi kamera digital berbentuk gambar atau foto (artifisial) yang menyerupai kenyataan aslinya. Selain itu juga teknologi digital memiliki kemampuan tambahan lainnya untuk mengedit kualitas dari citra gambar yang ditangkapnya sehingga menjauhi dan “melampaui” dari kenyataan aslinya (esensial). Memahami fenomena post-truth sebagai pengetahuan (knowledge) berkaitan dengan kebenaran (fact) atau justru menolaknya sebagai suatu kebohongan (fake), di

172Baudrillard, simulation..., h. 83. 173Barbara S. Spies, “Fiction, Invention and Hyper-reality: From Popular Culture to Religion,” Journal of Religious & Theological Information, 15 Mar 2018, h. 2. Book Review by Carole M Cusack and Pavol Kosnᾲč, London: Routledge, 2017. 174Karl Kullmann, “Hyper-realism and loose-reality: the limitation of digital realism and alternative principles in landscape design visualization,” Journal of Landscape Architecture, University of California, Berkeley, USA, 30 September 2014, h. 29. DOI: 10.1080/18626033.2014.968412.

193

dalam realitas. Beberapa pihak berpendapat bahwa solusi atas fenomena post-truth adalah dengan merujuk pada para akademisi, yang telah memikirkan standar-standar mengenai bukti, pemikiran kritis, sikap skeptisisme, bias kognitif dan sebagainya. Karenanya menurut Lee Mcintyre, fenomena post-truth justru mengakar dan datang langsung dari perguruan tinggi dan universitas. Amunisi tersebut berasal dari para pemikir posmodernisme yang berupaya untuk mengkritisi keadaan sosial kultural, terlebih ikut mengkritisi ilmu-ilmu alam.175 Kembali lagi pada fenomena post-truth, yang karakteristiknya adalah hilangnya ketulusan (honesty) untuk mengungkapkan kebenaran yang kemudian muncul pembohong untuk menyuarakan kebenarannya. Era post-truth juga mengafirmasi model etika zona senja (an ethical twilight zone) yang memungkinkan bagi seseorang untuk menyamar tanpa menganggap dirinya tidak jujur. Sedangkan pada era yang mengkonfirmasi kebenaran (truth), keadaan ketika perilaku bertentangan dengan nilai-nilai yang kemungkinan akan dilakukan adalah menerima kembali nilai-nilai tersebut.176 Kebenaran dalam era post-truth cenderung mengafirmasi dimensi emosional (afeksi) ketimbang intelektual (kognisi), sebagai bentuk penerimaan informasi dan pengetahuan. Kebenaran pada kondisi tersebut sebagai kebangkitan dari sikap anti- keahlian (anti-expertism) dan tradisi anti intelektual (anti-intellectualism) secara global seiring kekacauan (disruption) tatanan sosio-kultural. Keadaan kacau tersebut bertambah parah dengan peran emosi dalam koognisi dan kemudian kesenjangan akses ke media dan penggunaan media sosial yang terhubung secara komunal, atau dikenal sebagai gelembung filter (the filter bubble).177 Dengan kata lain, kebenaran pada era post-truth tidak lagi berkutat pada persoalan objektivisme maupun realisme pengetahuan melainkan, berkaitan dengan tiruan realitas yang semu (simulacra) dan kebenaran yang juga semu atau quasi-realisme. Keduanya bersifat semu karena mengafirmasi kebenaran bukan pada hal yang substansial melainkan cenderung pada sikap afektif sebagai bagian dari argumentasi. Misalnya, mengenai isu-isu yang muncul pada saat pandemi covid-19 yang mana sulit untuk membedakan antara berita bohong (fake) dan fakta. Terlebih ketika sulit untuk membedakan keduanya justru cenderung menilai dan larut secara emosional bukan memeriksa terlebih dahulu kemudian merenungkannya (rasional). Upaya untuk menghadapi fenomena post-truth di mana kebohongan (fake) dianggap sebagai kenyataan (fact) dan kebenaran yaitu dengan selalu mengaktifkan nalar untuk berpikir kritis (critical thinking). Mengaktifkan nalar berpikir kritis berkaitan dengan kesadaran akan literasi, yaitu untuk membacanya secara cermat dan teliti sehingga kontradiksi dan inkonsistensi teks dapat terungkap. Terlebih, jika sikap kritis juga beriringan dengan upaya untuk membantah isu-isu bohong (hoax) dengan respons yang jernih, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan berdasarkan bukti-bukti secara kredibilitas. Makna harfiah (literal meaning) dari sikap kritis

175Lee Mcintyre, Post-Truth (Cambridge: Massacchussets Institute of Technology, 2018), h. 127. 176Ralph Keyes, The Post-Truth Era Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), h.15. 177David Block, Post-Truth and Political Discourse (Spain: Palgrave Macmillan, 2019), h. 21.

194

yaitu berkaitan dengan milik dari ekspresi linguistik yang mana berdasarkan urutan kata yang tidak jelas dipengaruhi oleh sifat gramatikal dan arti secara konvenional ditetapkan bagi kata-kata individu. Selain makna harfiah, bagian dari sikap kritis lainnya yaitu berkaitan dengan informasi sebagai dampak bagi percakapan yang secara implisit disampaikan oleh seorang pembicara dalam konteks tertentu, yang berbeda dari makna harfiah dari apa yang mungkin telah dikatakan.178 Sejalan dengan upaya kritis untuk menyikapi fenomena post-truth, menjadi penting menambah sensitivitas untuk memposisikannya sebagai tanda bahasa yang memiliki makna berlapis (layer of meannings), baik yang bersifat denotasi maupun konotasi. Sensitivitas tersebut sebagai bagian dari upaya untuk merawat nalar kritis di tengah arus informasi yang datang begitu cepat dengan penuh bias antara nyata dan semu yang keduanya seakan saling mengklaim memiliki kebenarannya tersendiri. Untuk menghadapi situasi post-truth yaitu dengan terlebih dahulu sadar bahwa kesimpangsiuran makna, kebenaran dan kebohongan saling berkelindan satu sama lain dalam realitas. Adapun upaya yang pertama adalah dengan berpihak pada situasi pro-truth untuk menangkap esensi kebenaran pada realitas. Atau menurut tsipursky, pro-truth merupakan keadaan yang mendorong warga untuk merayakan komitmen untuk mengatakan kebenaran dan menolak menyebarkan informasi yang tidak akurat, salah dan menyesatkan. Kesimpangsiuran makna pada ruang publik mengisaratkan bahwa narasari yang beredar dikondisikan sedemikian rupa sehingga berulang dan menjadi kebiasaan (behaviour). Atau persisnya, keadaaan tersebut menghasilkan suatu ilusi kebenaran yang berdampak pada kesalahan mental yang menyebabkan seseorang mengenali kenyataan sesuatu adalah benar ketika ia mendengarnya berulang kali dan terus-menerus (persistently).179 Masih mengenai keberpihakan pada pro-truth dalam situasi post-truth, hal tersebut menjadi bagian dari upaya memproteksi diri dalam menjaga kesehatan nalar untuk mencari “kebeningan” makna dan kebenaran dalam ruang publik. Dalam konteks tersebut, kebenaran dan kebohongan merupakan dua hal yang berbahaya yang mengarahkan pada bentuk investigasi atas perilaku tidak jujur (untruthfully). Untuk merumuskan hal tersebut secara berkriteria, terdapat rumusan mengenai ikrar pro-kebenaran (the Pro-Truth Pledge) yang telah dikembangkan dengan riset dan komponen untuk mengatasi setiap prasangka dan perubahan perilaku strategis. Secara garis besar, ikrar mengenai pro-kebenaran meliputi tiga hal yaitu berbagi kebenaran, menghormati kebenaran dan mendorong pada kebenaran. Sedangkan upaya untuk mempromosikannya kepada masyarakat (citizens) dalam tiga cara, pertama, dengan mempromosikannya lewat berbagai media publik sehingga semua yang berpartisipasi menandatanganinya (people signing). Kedua, dengan cara

178Atau bisa juga dikatakan bahwa makna literal sebagai makna lapis pertama pada sistem tanda bahasa, yaitu makna genuine dari kata atau denotasi yang memiliki sistem bahasa tersendiri yang berbeda dari sistem-sistem bahasa lainnya. Misalnya, makna literal dari kata bachelor yang dalam sistem bahasa Inggris merupakan seseorang yang tidak menikah yang mana kata itu sebagai yang menandai merefer langsung ke sesuatu yang ditandainya sebagai satu lapisan. Lihat, Joe Y.F. Lau, “An Introduction to Critical Thinking and Creativity: Think More, Think Better,” John Wiley & Sons, 2011, h.12. 179Gleb Tsipursky and Tim Ward, A Practical Plan For Putting Truth Back Into Politics (Changemakers Books:UK&US Winchester&Washington, 2020), h. 64. 195

mempromosikannya lewat media sosial dan ketiga, para sukarelawan melakukan pengumpulan suara dan berbicara di depan publik dengan tujuan yang sama.180 Adapun upaya yang kedua untuk menghadapi situasi post-truth adalah dengan membangun sikap kritis di tengah arus informasi menjadi suatu tuntutan untuk menyaring (filter) mana berita bohong dan mana yang fakta sebagai kenyataan yang dipegang. Pemikiran kritis juga merupakan inti dari pendidikan, terlebih pada jenjang perguruan tinggi yang merupakan kemampuan dasar bagi para mahasiswa untuk memilikinya. Terdapat tiga kerangka untuk memahami cara berpikir kritis yang mana ketiganya saling melengkapi satu sama lain, yaitu kemampuan persepsi untuk berpikir kritis, perspektif kritis, dan perspektif pedagogi kritis.181 Mengambil sikap kritis terhadap realitas, karenanya menyadari sifat dari realitas itu sendiri dan faktor-faktor apa yang mendominasi sehingga pemahaman terhadap realitas menjadi perlu dikritisi. Pada realitas artifisial misalnya, kata kunci penting yaitu simulasi sebagai kopian dari realitas aslinya (copy of reality) namun menjadi dasar kenyataan yang dihayati bersama sehingga seolah asli (genuine). Sedangkan pada realitas non- artifisial, yang menjadi kata kunci penting adalah “esensi alamiah” sebagai realitas yang dihayati dalam keseharian. Sebagai suatu ilustrasi, realitas artifisial menikmati pertandingan olah raga melalui teknologi digital yang mana ruang, cahaya dan suara tidak berkaitan secara langsung dengan kondisi faktual pertandingan tersebut dengan “esensi alamiah”. Selain itu, menghayati nilai-nilai moral melalui narasi visual animasi yang tidak berkaitan juga secara langsung dengan realitas nyata sebagai “esensi alamiah”. Tradisi berpikir kritis di dalam Islam yang mengisyaratkan penggunaan akal secara proporsional merupakan hal lumrah yang menjadi bagian dari intelektualisme Islam. Dalam pandangan al Jâbirî, dunia Arab tampak terbungkus pada dirinya dan sejarahnya yang berbalik ke arah kejayaan masa lalu dan ketika berada di puncak kegiatan filosofis dan intelektual, yaitu pada abad kedua belas yang didominasi oleh

180Gleb Tsipursky and Fabio Votta, “Fighting Fake News and Post-Truth Politics With Behavioral Science: The Pro-Truth Pledge”, Journal of Behaviour and Social Issues, h. 54- 56. DOI: 10.5210/bsi.v.2zi0.9127. 181Kemampuan untuk mempersepsi yaitu menyadari bahwa kenyataan bersifat terstruktur yang berkaitan dengan argumen dan analisis. Adapun perspektif kritis merupakan perubahan kritis untuk mengenali pengetahuan, keterampilan dan penalaran yang mendasar yang juga terdapat pada kurikulum bagi peserta didik untuk menemukan karakter kritis yang mengarah pada pemikiran inklusif terhadap ide-ide baru serta keinginan untuk mendapatkan informasi yang baik berdasarkan sumber yang berbasis observasi yang siap mendengar sehingga dapat menegaskan posisi yang kemudian memberikan berdasarkan bukti dan alasan. Sedangkan perspektif pedagogi kritis sebagai akumulasi dari perilaku responsif dan etis yang menyadari kekuatan sosial yang bekerja di dunia yang melayani untuk membungkam dan meminggirkan orang lain serta membatasi kebebasan manusia. Perspektif pedagogis juga mendukung keterlibatan aktivis dengan masyarakat sipil dan wacana politik, kritik terhadap propaganda dan hegemoni institusi, serta fokus pada penindasan dan struktur kekuasaan yang tersembunyi. Misalnya, idiologi-idiologi sosial yang meliputi kapitalisme, rasisme, dan neo liberalisme. Lihat, Kate Wilson, “Critical Reading, Critical Thinking: delicate scaffolding in English for Academy Purposes (EAP),” Journal of Thinking Skills and Creativity, University of Technology, Canberra, Australia, 3 October, 2016, h. 5-6. DOI: 10.1016/j.tsc.2016.10.002.

196

sosok Ibn Rusyd (Averroes). Al Jâbirî memulai pembicaraan mengenai kemuduran pemikiran di dalam dunia Islam dengan berangkat dari fakta tadi dan mencoba untuk mempengaruhi intelektual Arab untuk keluar dari jalan buntu. Memang benar ketika mengatakan bahwa praktik filosofis tidak berkembang dalam setiap konfigurasi sejarah. Model pemikiran Ibn Rusyd, bagi al Jâbirî, tidak bernilai karena praktik filsafat yang terdapat dalam wilayah Cordoba sebaliknya, bernilai karena mewakili “kerusakan epistemologis” dengan “praktik penghapusan” yang mendahului praktik berfilsafat. Misalnya, kecenderungan mistik dan gnostik dari ajaran Ibn Sînâ (Avicennian), yaitu pandangan teologis yang bertujuan untuk menyelaraskan iman dan nalar. Karena itu al Jâbirî mendorong bagi para intelektual Muslim untuk secara radikal membedakan antara ranah ilmiah dan agama yang merupakan karakteristik dari pemikiran Ibn Rusyd yang cemerlang.182 Adapun menghubungkan era post-truth dengan epistemologi Islam, terletak pada upaya untuk “peka” terhadap realitas yang berubah secara signifikan akibat perkembangan teknologi digital. Persoalannya yaitu realitas selalu berkaitan dengan kebenaran sebagai fakta sedangkan di era post-truth, kebenarannya justru sebagai kebohongan yang mana Eco cukup mengakomodir mekanisme yang demikian. Pada karya seni misalnya, bagi Eco, tidak ada yang memiliki kebenaran dengan makna tunggal (one singular meaning) begitu juga dengan pembaca yang tidak akan pernah memahami semua dimensi dan setiap aspek tunggal dari sebuah karya seni.183 Tanda karenanya diproduksi untuk menghasilkan kode, yakni pesan yang mengandung makna inheren. Upaya untuk memproduksi kode (coding) dan memahami kode itu (decoding) tidak hanya berada pada satu kapis makna saja, melainkan beberapa lapis makna sebagai sub-kode. Sedangkan kode yang ditangkap oleh penerima (receiver) sebagai ekspresi bisa terdapat kerancuan-kerancuan atau memang sengaja untuk ditafsirkan demikian184 Dalam kajian epistemologi Islam, persoalan kontemporer yang berkaitan dengan realitas atau fenomena sosial kutural sebagai teks menjadi penting untuk dipertimbangkan agar dielaborasi secara luas. Wilayah kajian tersebut yaitu seputar persoalan mengenai struktur dari fenomena sosial (strukturalisme, postrukturalisme) dan pemahaman mengenai percakapan mengenai kebenaran realitas (hermeneutik). Misalnya sebagai objek, realitas merupakan konstruksi yang bersifat dualisme, yaitu

182Meryem Sebti, “The Decline of Thought in the Arab World According to Muhammad ‘Abed al-Jâbirî”, Journal of Sage, Los Angeles, 2010, h. 97. DOI: 10.1117/0392192110393216. 183Christoph Prang, “The Creative Power of Semiotic: Umberto Eco’s The Name of the Rose,” Journal of Comparative Literature, Umiversity of Oregon, 2014, h. 435. DOI: 10.1215/00104124-2823864. 184Sebagai realitas palsu (fake), bagi Eco, tidak terlepas dari informasi sumber dan informasi pesan yang definisi keduanya sebagai suatu keadaan ketakberaturan yang berkaitan dengan rangkaian keteraturan dalam satu sistem komunikasi secara linear. Menyimpangnya interpretasi teks atau kode karena si penerima gagal mengisolasi kode-kode yang diterima dari si pengirim sehingga pesan yang diterima hanya sebagai kebisingan saja (noise) yang justru memproduksi kebudayaan baru. Lihat Umberto Eco, Teori Semiotika Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, Serta Teori Produsi-Tanda. Penerjemah, Inyiak Ridwan Muzir, 5th ed (Bantul: Kreasi Wacana, 2016), h. 115-117.

197

di satu sisi dapat diketahui dan di sisi lain tidak dapat diketahui sebagai suatu kebenaran. Berkaitan dengan persoalan realitas, menurut Eco, gagasan mengenai cognitive type yaitu semacam skema perseptual yang memungkinkan meditasi antara konsep dan intuisi sehingga dapat mengetahui realitas. Sedangkan doktrin Kantian mengenai penilaian reflektif yaitu berasal dari fakultas pikiran mengenai hal partikular sebagai bagian dari yang umum serta, penilaian yang dideterminasi sebagai konsekuensi dari konsepsi umum. Selain mengenai cognitive type, persoalan realitas bagi Eco juga berkaitan dengan nuclear content yaitu sebagai unterpretasi publik mengenai cognitive type dan menjadi kemungkinan dari melampauinya ekspresi substansial yang membuat persoalan isi (content) dapat dikomunikasikan.185 Dengan demikian isu-isu persoalan kontemporer yang berkaitan dengan sosial kultural (post-truth) terbuka lebar bagi wilayah epistemologi Islam untuk concern dan memasukkannya sebagai persoalan internal. Tujuannya agar meluaskan tema persoalan dalam epistemologi Islam sehingga terdapat relevansi dengan isu yang sedang berlangsung (happening). Kesinambungan yang demikian merupakan bentuk dialog antara tradisi yang juga turut mengaktifkan nalar dan membuka cakrawala sebagai bentuk pengayaan dalam tradisi Intelektual Islam. Dalam pandangan al-Jâbirî, pemikiran di dunia Arab dan masuknya pemikiran era modern, tidak berpartisipasi, yang hanya datang dari cara yang mana ia terhubung dengan dan berintegrasi, dengan tradisi-tradisinya sendiri. Pada saat ini, lanjut al-Jâbirî, intelektual tidak bisa dibayangkan sebagai kenyataan yang melampaui sejarah namun harus lebih ditangkap dalam relativitas dan sejarahnya, apabila dibagankan sebagai berikut:

Gambar 18. Skema Era Postruth Palsu (fake) Afektif Post-truth Realitas Realisme Disrupsi Fakta (fact) Kognitif

Realisme Artifisial Berpikir Kritis Kebenaran Realisme Esensial Pro-truth

Makna Berlapis (layer of meanings)

Tunggal

185Misalnya, pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun yang mengandalkan cara pengetahuan tertentu berdasarkan kisah-kisah yang diberikan oleh para penutur. Remo Gramigna and Silvi Salupere, “Umberto Eco and Juri M. Lotman on Communication and Cognituon,” Journal of Stockhoim University Library, University of Tartu, Estiniaof, h. 252-253. DOI: 10.1515/9781501507144-031

198

Peran yang perlu diambil yaitu untuk mengenali dalam tradisi internal yaitu arus pikir yang mampu bekerja dengan kealpaan terlebih dahulu dan untuk reaprosiasi sehingga dapat membebaskan diri dari beban masa lalu yang membelenggu yang mencegah untuk masuk ke era Modern. Karena itu, modernitas bukan berarti menolak tradisi atau menghancurkan masa lalu melainkan sebaliknya mempertegas hubungan dengan tradisi ke tingkat apa yang disebut “kontemporer”.186

4. Meninjau Kembali Filsafat Pengetahuan (Epistemologi) Dalam Islam: Integrasi, Interkoneksi Atau Kritik? (203 kebenaran faktual teologis) Dalam suatu kultur atau iklim akademis di suatu universitas, memiliki corak tersendiri sebagai ciri dan tanda yang membedakannya dari universitas-universitas lainnya. Dalam konteks Universitas yang bercorak Islam, perlu suatu identitas yang khas dengan berbasis-penelitian-penelitian yang bermuatan atau berkaitan dengan dimensi Keislaman tersebut. Pada penelitian ini, persoalan mengenai persepsi sebagai pengetahuan inderawi menurut Berkeley dan Ibn Sînâ merupakan bagian dari kajian epistemologi seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun sejalan dengan maksud dari sub bab pembahasan ini bahwa penting untuk mendudukan kembali relasi filsafat pengetahuan dengan Islam sebagai bentuk integrasi, interkoneksi atau kritik itu sendiri? Namun sebelum mengulas hal itu, perlu menegaskan bahwa klaim dari pengetahuan tidak mengakui kualifikai dari unsur keraguan, melainkan sesuatu yang meyakinkan dan tidak disangkal kebenarannya.187 Menyoalkan persepsi dalam lintas tradisi, Barat maupun Islam, dapat dibaca-tafsir sebagai upaya untuk mencari penegasan posisi atas dua kecenderungan tradisi yang beda tersebut. Tepat pada kecenderungan tersebutlah, upaya peneliti untuk meninjau kembali relasi filsafat pengetahuan dengan Islam, sebagai suatu hubungan relasional untuk menyingkap kebenarn yang memiliki kekhasan tersebut. Menurut Al-Attas, mengenai pengenalan terhadap kebenaran, tercapai semata-mata karena jelas dengan sendirinya ketika ditangkap oleh fakultas intuitif yang disebut dengan hati atau kalbu melalui hidayah (bimbingan Tuhan) dan bukan dengan upaya rasional dan pembuktian logis. Oleh karenanya dalam pandangan Al-Attas, sifat dari kebenarannya adalah objektif sekaligus subjektif seperti agama dan iman yang menjadi aspek-aspek yang tidak terpisahkan dari satu realitas. 188 Menurut peneliti, upaya pencaharian kebenaran dalam proses mengetahui tersebut yaitu upaya untuk mencari kebenaran teologis. Upaya untuk mencari kebenaran dalam merumuskan pandangan filosofis mengenai pengetahuan merupakan sasaran yang dikejar sekaligus mengarah pada bentuk justifikasi terhadap klaim kebenaran tersebut. Oleh karenanya dalam konteks Islam, kebenaran klaim filsafat pengetahuan perlu diadaptasi ke dalam nilai-nilai

186Keadaan tersebut mengandaikan suatu hal untuk bergabung dengan barisan yang mendukung kemajuan yang terjadi pada tingkatan tertentu. Sebti, al-Jâbirî,...h. 92. 187Dalam konteks tersebut, metode keraguan pada escartes dalam rangka mencari keyakinan bagi pengetahuan yang diyakininya sebagai suatu posisi yang sulit. Lihat, Nicholas Rescher, Philosophycal Inquiries An Introduction to Problems of Philosophy (USA: University of Pittsburgs Press, 2010), h. 20 188Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam&Filsafat Sains. Penerjemah, Saiful Muzani (Bandung:Mizan,1995), h. 19. 199

ajaran Islam (tawhîd) sebagai aspek yang sangat fundamental yang prinsipil. Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke Dunia Muslim, para Filosof Muslim, selalu mencocokkannya dengan pandangan fundamental tersebut sehingga terjadi “pengislaman” terhadap filsafat Yunani tersebut (disadari ataupun tidak).189 Misalnya, Ibn Sînâ mengkritik pandangan Aristoteles mengenai jiwa yang hancur seiring kehancuran badan dengan mengajukan pandangan mengenai keabadian jiwa dan tempat akhir yang ditujunya dalam pandangan mengenai fakultas-fakultas jiwa yang justru diambil dari Aristoteles.190 Mengenai hal tersebut, peneliti sependapat bahwa dalam upaya pengambilan “suatu tradisi”/horizon terdahulu, perlu mempertimbangkan keadaan horizon kekinian bagi pembaca sehingga pemahaman bersifat relasional antara aku (pembaca) dengan dia (tradisi yang aku ambil). Mengenai persoalan integrasi ilmu, mengacu pada asumsi dasar bahwa terjadi pemisahan secara diferensial antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non agama. Peneliti sepakat dengan pandangan Dilthey sejauh pemisahan tersebut sebagai upaya untuk memahami atau menafsirkan teks-teks kemanusiaan (historis) seiring metode penafsiran tersebut atas objek kajiannya. Konsekuensinya, terdapat dua metode yaitu menafsirkan objek-objek dengan cara menjelaskan (explanation) dan objek-objek dengan cara memahami (understanding). Untuk objek yang memerlukan metode penjelasan, tidak memberikan suatu kemiripan sifat dari hal-hal pada objek tersebut, yaitu tidak memahami proses-proses pada objek ilmu alam meskipun, dapat menyadari dampak dari objek fisik tersebut. Adapun bagi objek yang memerlukan metode pemahaman, bertolak pada manusia sebagai yang mengerti segala sesuatu yang mana ketika tidak memahami orang lain, tidak dapat memberikan kesadaran terhadap yang lain di dalam diri. Konsekuensinya, seluruh pemahaman melibatkan formulasi ulang (recreation) di dalam jiwa yang melibat kapasitas-kapasitas tertentu di dalam pikiran.191 Dalam konteks kajian filsafat pengetahuan dalam penelitian ini, perlu mengafirmasi ulang bahwa berdasarkan ruang lingkupnya, kajian filsafat memiliki cakupan yang cukup luas meliputi logika, fisika, matematika, metafisika maupun etika. Menurut Mulyadhi, seorang dikatakan filosof manakala menguasai berbagai bidang kajian filsafat tersebut yang kemudian ia mengambil prototipe figur Ibn Sînâ yang menulis secara lengkap dalam kitab al-Shifâ yang mencakup kajian mengenai metafisika, logika, fisika maupun matematika. Lanjut Mulyadhi, kompleksitas pemikiran filosofis Ibn Sînâ tersebut perlu untuk dikemukakan agar tidak terjadi kekeliruan sehingga memposisikan filsafat Islam secara sempit hanya seputar kajian metafisika semata. Konsekuensinya lanjut Mulyadhi, kebanyakan hanya mengetahui Ibn Sînâ sebagai seorang filosof sehingga hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sehingga, keahliannya dalam bidang kedokteran dan fisika menjadi uput dari perhatian.

189Mulyadhi, “Masa Depan Filsafat Islam”,...h. 2. 190Lihat, Ibn Sînâ dalam Ahwâl al Nafs pada bab pembahasan terakhir mengenai tempat kembali bagi jiwa 191Hermeneutics and The Study of History, Edited by Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (UK: Princeton University Press, 1996), 229-230.

200

Dari cakupan ruang lingkup dalam filsafat tersebut, yang menegaskan bahwa kajian filsafat memiliki objek kajian yang luas seiring ada-nya objek yang memungkinkan untuk merefleksikannya. Oleh karenanya, pandangan filsafat sejatinya menurut Mulyadhi, bersifat integral-holistik yang berarti bahwa integral berkaitan dengan konsep integrasi ilmu yang terjadi pada berbagai bidang. Terlebih, integrasi dalam wilayah sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Lebih jauh lagi, dalam filsafat Islam mengakui sumber ilmu tidak hanya berdasarkan pencerapan inderawi, melainkan juga rasio dan pengalaman rasa (dhauq). Dengan kata lain, dalam kajian filsafat Islam, menjadikan indera-indera, akal maupun hati sebagai sumber- pengetahuan dan ilmu secara sah. Konsekuensinya, terjadi integrasi di bidang klasifikasi ilmu seperti metafisika, fisika maupun matematikadengan berbagai macam pembagiannya.192 Konsekuensi dari cakupan filsafat pengetahuan yang bersifat holistik yaitu bertolak pada filsafat Islam yang mengakomodir sumber ilmu secara utuh dengan melibatkan dimensi indera, rasio dan hati dan juga wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu. Di tempat yang berbeda, Al Baghdâdî juga menggunakan pengalaman inderawi dengan metode ketidakpastian dan keraguan mengenai efek samping dari terapi pengobatan atas pasien yang diobatinya. Lebih jauh lagi, Al Baghdâdî menegaskan bahwa pengalaman inderawi adalah observasi berulang atas pengamatan mengenai suatu objek (tikrâr al I’hsâs fî shai’in). Sehingga, seseorang memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan bahwa karakter atau sifat yang diamati misalnya dalam tindakan pengobatan tersebut tepat secara esensial, bukan aksidental.193 Artinya, Al Baghdâdî sebagai seorang filosof sekaligus juga sebagai seorang dokter yang mengarah pada bentuk Integrasi antara filsafat dengan kedokteran. Bentuk dari integrasi ilmu juga berarti sebagai suatu sikap ganda, yaitu tidak menegasikan begitu saja antar sumber ilmu-ilmu lainnya dan mengafirmasi pengklasifikasian ilmu-ilmu lainnya yang berbeda-beda. Urgensitasnya terletak pada sikap ilmuan misalnya, untuk tidak menolak begitu saja bidang kajian ilmu lainnya filsafat dan tasawuf, sebagai suatu bidang keilmuan yang kurang bermakna. Atau sikap internal dari seorang filosof misalnya, yang menolak kajian mistik tasawuf yang dianggap sebagai irrasional. Pada pandangan yang holistik-integratif tersebut, lintas bidang keilmuan yang berbeda-beda tetap disikapi dan diakui validitasnya sehingga tidak perlu dipertentangkan dan ditolak. Karena, perbedaan antar lintas bidang keilmuan tersebut merupakan aspek dari satu kebenaran yang sama. Oleh karenanya, sangat memungkinkan dalampandangan tersebut seorang filosof juga merupakan seorang dokter sekaligus seorang sufi, yang secara epistemologis berbeda namun terintegrasi dalam satu pribadi. Lanjut Mulyadhi, meskipun

192Sejalan dengan itu juga, filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi empiris sebagai metode ilmiah dalam pandangan sains modern melainkan mengakomodir juga metode burhani untuk meneliti objek kajian abstrak dan metode irfani untuk meneliti objek kajian rohani yaitu pengalaman spiritual dengan penyaksian (mushâhadah). Yang terakhir, mengakui dan mengakomodir metode untuk memahami teks-teks suci Al-Qur’ân dan Hadîṡ yaitu metode bayâni. Lihat Mulyadhi, “Masa Depan Filsafat Islam”,...h. 3. 193Kamran I. Karimullah, “Avicenna and Galen, Philosophy and Medicine”,...h. 122. 201

seseorang tidak bisa sekaligus mengoptimalkan ketiga sumber epistemologis secara bersamaan, rasio, indera dan hati, sepatutnya perlu menolak keabsahan dari masing- masing bidang tersebut ketiga unsur tersebut sama rilnya.194 Integrasi-interkoneksi ilmu juga berarti bahwa memerlukan upaya untuk menyatukan kembali ilmu-ilmu sebagai objek formal yang mengalamai distansiasi dalam bentuk spesialisasi atau keahlian tertentu. Atau dapat dikatakan, perlu adanya suatu rekonstruksi ontologis yang mengandaikan asal dari realitas yang dikaji secara epistemologis. Secara ontologis, perumusan filsafat pengetahuan mengacu pada pemahaman mengenai realitas dan kebenaran serta hubungan keduanya dengan fakta. Menurut Al Attas, baik realitas maupun kebenaran, berimplikasi pada pemahaman mengenai makna ilmu serta proses epistemologis, nilai-nilai maupun hakikat dari manusia itu sendiri. Fakta itu sendiri penting untuk memahami kebenaran sebagai sifat dari dari hakikat realitas yang tidak hanya tereduksi sebagai suatu pernyataa, kepercayaan maupun nilai. Oleh karenanya, Al-Attas menggunakan konsep haqq yang mengacu pada suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, kepantasan (etika), ketepatan maupun realitas. Lebih jauh lagi, konsep haqq merupakan suatu keadaan mengenai sifat atau kualitas yang dapat dijumpai dalam realitas, keadilan, kebijakan, kebenaran, ketepatan.195 Mengenai persoalan sumber bagi pengetahuan, dalam tradisi filsafat Yunani telah menjadi diskursus sejak lama, baik yang mengafirmasi teori anamnesis, rasional, empiris maupun disposesi keduanya. Sedangkan mengacu pada nilainya, setidaknya mengafirmasi dua model penerimaan yaitu menerimanya secara relatif (relativisme) dan menerimanya secara skeptis (skeptisisme). Untuk meendudukan hal tersebut, Muhammad Baqîr Aṣ Ṣadr merumuskannya menjadi beberapa hal penting. Pertama, mengafirmasi bentuk pengetahuan persetujuan (assent) ketimbang bentuk pengetahuan konseptual karena lebih mengungkapkan realitas objektif. Kedua, dengan mengafirmasi pengetahuan persetujuan tersebut, mengacu pada penalaran rasio sebagai sesuatu yang bersifat prinsipil bagi pengetahuan (aksioma- aksioma). Pengetahuan persetujuan mengungkapkan objektivitas konsepsi dan eksistensi suatu realitas objektif konsep yang ada di dalam pikiran yang bersifat lebih meyakinkan karena bertumpu pada prinsip-prinsip yang bersifat niscaya.196 Keterputusan antara filsafat pengetahuan Barat Modern dengan Islam yaitu terletak pada upaya mendekati dan memposisikan Realitas sebagai bagian dari penyelidikan filosofis. Masih menurut Al-Attas, realitas eksistensi perlu dibedakan dari esensi yang mana realitas eksistensi memiliki acuan pada kenyataan sedangkan

194Mulyadhi, “Masa Depan Filsafat Islam”,...h. 4. 195Oleh karenanya, haqq merupakan suatu keadaan keniscayaan (realitas) dan sesuatu yang tidak terhindarkan sebagai keadaan eksistensial dan mencakup segalanya.Lihat, Al-Attas, Islam & Sains,...h. 47-48. 196Pandangan Baqîr Aṣ Ṣadr tersebut menegaskan suatu posisi bagi pandangan filsafat dalam Islam, yaitu dengan merumuskan kembali filsafat pengetahuan dengan Islam dengan cara menentukan perbedaan antara ide dan realitas yang merupakan suatu perbedaan antara hakikat dan eksistensi. Lihat, Falsafatuna Pandangan Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, Muhammad Baqîr Ṣadr. Penerjemah, Smith Alhadar (Bandung, Mizan, 2014), h. 186-190. Atau lihat versi aslinya, Our Philosophy. Translated by Shams C. Inati (Muhammadi Trust of Great Britain and Nothern Ireland), h. 109. 202

esensi hanya mengacu pada tataran konseptual. Realitas eksistensi tersebutlah yang dinyatakan sebagai Realitas atau Kebenaran (al-Haqq) yang mencakup segalanya, Tuhan, yang bersifat mutlak dalam segala bentuk perwujudanNya. Selain itu juga, filsafat pengetahuan Modern mengandaikan bahwa hakikat dasar dari fenomena yaitu proses atau dinamisme yang tercakup di alamnya gagasan dari proses itu sendiri. Konsekuensinya, mengafirmasi suatu pandangan dunia yang disibukkan oleh benda-benda yang memiliki esensi yang independen dan menghidupi dirinya sendiri sehingga, terkondisikan sebagai realitas tunggal pada dirinya (it self).197 Adapun pada tradisi Barat mengenai filsafat pengetahuan, terkait dengan persoalan metafisika yang meliputi dua aspek penting yaitu mengenai sifat objek (the nature of objects) dan sifat dari subjek (content of thought and perception). Menurut Peacocke, hubungan antara metafisika dengan cara untuk memikirkannya berimplikasi pada beragam bidang filsafat, yaitu dari masalah inheren metafisika itu sendiri melalui teori representasi mental, persepsi dan epistemologi untuk menentukan batasan-batasan makna yang sah (legitimate). Dengan kata lain, metafisika meliputi berbagai objek-objek dalam arti luas maupun mengenai hubungannya tersebut. Adapun yang menjadi cakupan dalam wilayah metafisika mengandaikan suatu penjelaskan mengenai fakta-fakta yang mengarah dan berhubungan dengan wilayah tersebut hanya jika cakupannya memiliki akses baik terletak pada pola pikir umum ataupun tidak.198 Masih dari tradisi Barat, mengenai filsafat pengetahuan juga tidak bisa mengabaikan begitu saja status ontologis dari suatu objek yang menjadi aspek penting untuk mempersoalkan mengenai realitas dan kebenaran. Mempersoalkan keduanya juga mengarah pada refleksi filosofis mengenai suatu pertanyaan eksistensial. Menurut Thomasson, pertanyaan eksistensial tidak selalu berkaitan dengan pertanyaan metafisis yang memerlukan pemahaman filosofis khusus atau perumusan yang diambil dari teori terbaik untuk menjawabnya. Namun, pertanyaan eksistensial justru sepenuhnya bermakna dan spesifik dapat dijawab dengan menggunakan kompetensi konseptual dan dengan pertanyaan penyelidikan inderawi.199 Menurut peneliti, mempersoalkan realitas dan kebenaran berkaitan erat dengan penegasan dan pengakuan terhadap konsep abstrak sebagai suatu hal yang universal. Alasannya, karena konsep abstrak merupakan sesuatu yang mencangkup hal-hal empiris dari apa yang menjadi acuannya.

197Karenanya, konsep mengenai Al-Haqq sebagai realitas terlebih sebagai kebenaran, merujuk pada yang ril sekaligus yang benar yang mencakup suatu aspek yang berkaitan dengan kenyataan (eksistensi ontologis) dan suatu aspek yang berkaitan dengan kebenaran (eksistensi logis). Lebih jauh lagi, Al-Haqq perlu dibedakan dari Al Haqîqah yang mana untuk yang pertama, mengacu pada sistem, kondisi atupun tatanan ontologis sedangkan yang diketahui melalui intuisi. Sedangkan untuk yang kedua, mengacu pada struktur ontologis mengenai hakikat atau eksistensi itu sendiri. Oleh karenanya, haqîqah atau realitas merupakan penyebab dari sesuatu itu yang menjadi ada sebagaimana adanya. Al-Attas, Islam&Sains,... h. 51-55. 198Christopher Peacocke, The Primacy of Metaphysics (UK: Oxford University Press, 2019), h. 3-4 199Amie L. Thomasson, Ontology Made Easy (New York: Oxford University Press, 2015) 203

Status ontologis dalam filsafat oleh karenanya menjadi penting sebagai basis (grounded) bagi para filosof untuk megarahkan analisis filosofisnya sekaligus menguatkan landasan epistemis yang dibelanya. Misalnya pada filsafat De Beauvoir, mengenai perbedan seksualitas, berangkat dari pendasaran ontologis dan kebebasan etik. Pada Sartre juga, berangkat dari kebebasan sebagai problem ontologis lalu bergerak ke diskusi mengenai kemungkinan dari tindakan bebas. Meskipun berangkat dari hal yang sama namun sasaran yang hendak dituju kedua filosof tersebut. Beauvoir lebih mengarah pada bagaimana komitmen-komitmen ontologis berdampak pada etika feminis dan politis sedangkan pada Sartre, pertanyaan mengenai kemungkinan dari tindakan bebas memuncak dalam refleksi pada sejarah kebebasan.200 Menurut peneliti, status ontologis dalam filsafat Barat merupakan sesuatu hal yang terlepas dari spirit teologis atau yang bersifat Ilâhiyyah karena kecenderungan tersebut kekhasan dari filsafat Abad Pertengahan yang telah beralih pada masa filsafat Modern yang bersifat antropormosentis. Bentuk dari antropormosentrime pada filsafat Barat Modern dimulai dari pemikiran epistemologi rasionalisme Descartes, empirisisme John Locke maupun kritisisme Kant. Pada Descartes,terletak pada pemusatan manusia dengan apa yang disebut sebagai cogito sebagai sesuatu yang andal dalam mencari suatu pengetahuan yang jelas dan terpilah (clear and distinctly). Meskipun di tempat yang berbeda, upaya pencaharian cogito oleh Descartes dianggap sebagai sesuatu yang “picisan” berdasarkan asumsi bahwa mungkin saja Descartes juga mengambi kesimpulan tersebut dari aktivitas lainnya selain aktivitas berpikir yaitu tindakan tertentu.201 Bentuk antropormofisme Locke terletak pada tumpuan pengalaman sebagai sumber bagi pengetahuan yang mana pikiran bagi Locke diasumsikan sebagai tabula rasa yang siap diisi oleh persepsi dan sensasi inderawi. Tabula rasa menurut Locke seperti jiwa yang berhubungan dengan evaluasi untuk mencerap lingkungan sehingga sampai pada suatu pemahaman.202 Adapun pada Kant, antropormofisme terletak pada pemaduan antara rasio dan pengalaman sebagai syarat-syarat yang memungkinkan terjadinya pengetahuan melalui keduabelas kategori. Atau bisa dikatakan sebagai doktrin metode transendental yang mana pikiran memiliki tugas- tugas tertentu.203 Oleh karenanya, persoalan filsafat pengetahuan di Barat tidak dapat lepas dari pergeseran dari pusat teologis (Abad Pertengahan) ke antropormofis (Modern) sebagai bagian dari gerak dampak sejarah (effective history) dari para filosof.

200Zeynep Dirk, Ontologies of Sex Philosophy in Sexual Politics (London-New York, Rowman & Littlefield, 2020), h. 1. 201Gassendi sebagai salah seorang yang mengemukakan pendapat karikatural tersebut yang mana menurut peneliti,cogito seperti yang diklaim Descartes tidak dihasilkan dari aktivitas pikiran (silogisme deduktif) melainkan melalui intuisi langsung yang disebut sebagai filsafat pertama. Untuk ulasan menganai Gassendi, lihat Demons, Dreamers & Madmen The Defense of Reason in Descartes’s Meditations, Harry G. Frankfurt (New Jersey: Princeton University Press, 2008), h. 129. 202John Locke The Cambridge Companion Locke’s To “Essay Concerning Human Understanding” (UK: Cambridge University Presr, 2007), h. 392. 203Lebih jauh lagi, lihat ulasan A. W. Moore dalam The Cambridge Companion To Kant’s Critique of Pure Reason (New York: Cambridge University Press, 2010), h. 310.

204

Menurut peneliti, pada Abad pertengahan cenderung untuk memusatkan segala sesuatu pada ajaran teologis sebagai sumber pengetahuan sedangkan pada situasi Modern, cenderung mencari sumber bagi kemungkinan untuk mengetahui dan mendapatkan pengetahuan. Oleh karenanya, terdapat relasi kuat antara pengetahuan, kebenaran dan logika sebagai konstruksi bagi pengetahuan pada situasi Modern. Asumsinya bahwa terdapat dasar dari situasi kognitif yaitu bahwa manusia memiliki kapasitas kognitif yang cukup besar namun memiliki juga keterbatasannya yang berusaha untuk mengenal dunia dengan berbagai kompleksitasnya. Konsekuensinya, terdapat kombinasi beragai model pemikiran yang tersedia bagi manusia yang memunculkan konsep atau standar kebenaran yang dianggap mutlak.204 Adapun filsafat pengetahuan dalam perspektif Islam, terkait juga dengan persoalan ontologis-metafisika yang mengkonfirmasi dan mengafirmasi ajaran- ajaran Islam. Misalnya, kenyataan suatu hal berkaitan dengan eksistensinya dan pengetahuan mengenai suatu objek adalah pada akhirnya bermuara ke pengetahuan mengenai status ontologisnya dalam ekema eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya. Segala sesuatu di alam semesta, secara fakta dan menjadi ada, bagi Tuhan atau Wujud Murni (wâjib al Wujûd), yang merupakan asal- usul dan pencipta segala sesuatu, bukanlah istilah pertama dalam mata rantai yang kesinambungan yang karenanya tidak memiliki kontinuitas “substansial” dan “horizontal” dengan mengada lain dunia. sebaliknya, Tuhan adalah lebih dahulu dari alam semesta dan transenden dalam hal itu. Lebih jauh lagi menurut Nasr, pandangan filosofis mengenai Tuhan sebagai Ada Murni (Pure Being/ wâjib al Wujûd) terdapat pada agama-agama Tradisi Ibrahim yang berbagi konsep umum mengenai kekuatan Adikodrati (Supreme) yang dirumuskan kembali oleh Ibn Sînâ dari prinsip filsafat Yunani dalam istilah monoteistik.205 Status ontologis dalam filsafat Islam juga mengandaikan penjelasan seputar persoalan metafisis sebagai sesuatu yang menimbulkan problematis baik yang mengafirmasinya maupun yang menegasikannya. Sebagian lain mengatakan bahwa metafisika merupakan intisari dari filsafat Islam yang pada kenyataannya, berkontribusi pada sejarah mengenai ide-ide. Namun terlepas dari problematika tersebut, terdapat dua faktor yang membantu untuk memposisikan keunggulan metafisika di antara disiplin-disiplin intelektual yang mencapai ke dunia Islam dari Yunani yaitu faktor Klasik dan Religius. Klasik dalam arti bahwa, metafisika merupakan keajaiban primitif dan bergerak menyingkap realitas dengan pemahaman atas dunia yang merupakan usaha kasatmata untuk mempertanyakan apa sebab dan prinsip dari realitas. Atau bisa juga dikatakan bahwa upaya tersebut merupakan pengetahuan mengenai kebijaksanaan, terutama mengenai penyebab utama dan universal. Sedangkan religius dalam arti fokus pembahasan mengenai Tuhan dalam

204Adapun standar-standar kebenaran sebagai prinsip dasarnya meliputi: imanensi (immanen pikiran), transendensi dan normatif. Lihat lebih jauh pada, Gila Sher, Epistemic Friction An Essay on Knowledge, Truth, and Logic (United Kingdom: Oxford University Press, 2016), h. 162-163. 205Sayyed Hosein Nasr, Three Muslim Sages(New York: Delmar Caravan Books, 1997), h. 25.

205

agama-agama dari tradisi Abraham yang kemudian Ibn Sînâ merumuskan kembali prinsip filsafat Yunani tersebut dalam istiah monoteistik.206 Persoalan filosofis dalam tradisi Filsafat Islam tidak bisa dilepaskan begitu saja dari metafisika yang bermuatan religius seiring dengan elaborasi epistemik yang elemen-elemen yang utuh. Menurut Bertolacci, ulasan Ibn Sînâ dalam Shifâ memberikan porsi pada metafisika sebagai pembahasan yang datang terakhir dalam filsafat teoritis dan sebagai kesimpulan dari penyelidikan filosofisnya. Filsafat teoritis dalam arti urutan pembahasan untuk mengatasi logika, yaitu sebagai urutan disiplin teoritis yang diberikan secara tradisional seperti matematika, filsafat alam, dan metafisika atau justru hanya filsafat alam dan metafisika tanpa matematika.207 Menurut peneliti, karakteristik dari filsafat Islam yaitu sebagai upaya refleksi filosofis yang tersinari oleh nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist, yang tidak semata- mata mengadopsi begitu saja pandangan filosofis dari tradisi Yunani. Atau upaya mengadopsi dengan mempertahankan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist, dapat juga dikatakan sebagai Islamisasi ajaran atau tradisi pemikiran tertentu pada suatu batas pengertian yang positif. Dengan demikian, upaya untuk memposisikan kembali filsafat pengetahuan dalam Islam merupakan suatu sikap kritis dari para filosof-filosof Muslim terdahulu sebagai bentuk penerimaan tradisi pemikiran filosofis dari Yunani. Alasanya karena para filosof Muslim tetap mempertahankan identitas kemusliman mereka sebagai suatu kekhasan corak dari berpikir filosofis asal Yunani tersebut. Namun bukan dalam arti integrasi pemikiran, alasannya karena kajian filsafat memang objek kajiannya cukup luas sejauh menyangkut realitas ang diselidiki tersebut. Peneliti lebih mengafirmasi bahwa cakupan wilayah penyelidikan filosofis seiring pula dengan tapal batas kemampuan epistemik tertentu yang kompatibel dengan objek penyelidikannya.. Atau dengan makna yang lebih modertnya, bahwa integrasi yang dimaksud sebagai upaya dialog antar ilmu yang terbuka dan mengarah pada bentuk sikap saling memahami dan melengkapi yang mana filsafat sebagai mediatornya. Walaupun faktanya, filsafat Barat terkesan mereduksi begitu saja objek menjadi hal-hal yang bersifat empiris sebagai objek kajiannya, namun bila dilihat lebih jernih lagi bahwa keadaan yang demikian merupakan bagian dari proses dan gerak filsafat Barat yang meluaskan problem-problem kajiannya sehingga turut berdampak pada tema-tema pembahasan yang dinamis. Sebaliknya, dalam tradisi filsafat Islam, melihat dan melibatkan objek kajiannya secara holistis sehingga tetap memberi ruang pada metafisika dan spiritualitas (jiwa). Namun dengan berat hati, kajian dalam filsafat Islam belum meluas seperti dalam kajian filsafat Barat. Entah itu dikatakan sebagai perbedaan identitas atau justru dimaknai sebagai pemantik untuk meningkatkan kajian yang lebih kontekstual lagi, peneliti optimis bahwa ruang lingkup kajian filsafat Islam dapat melebar tema-tema kajiannya seperti yang terjadi dalam filsafat Barat. Atau apabila dibagankan mengenai upaya meninjau

206Soheil M. Afnan, Avicenna His Life and Works(London: George Allen & Unwin Ltd, 1958), h. 106 207The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, Edited by Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (London: Oxford University Press,2017), h. 146.

206

kembali filsafat pengetahuan (epistemologi) dalam islam: integrasi, interkoneksi atau kritik, sebagai berikut :

Gambar. 20. Filsafat pengetahuan (epistemologi) dalam Islam

Relitas/ al Haqq (Ontologi)

Fisik Metafisik

Kebenaran

Epistemologi

Akal Indera Rasa

Knowledge

Objek ilmu alam Intergrasi Objek ilmu manusia

Metode penggabungan sistematis

Sains Saling terkoneksi

Kedokteran Fisika Sastra Sosiologi Filsafat

D. Simpulan Bab Membangun sistem pemikiran sebagai bagian dari produk pengetahuan merupakan konsekuensi dari filsafat atau epistemologi Berkeley dan Ibn Sînâ yang berhubungan dengan realitas. Sistem tersebut berkaitan dengan kemampuan diri dan keistemewaannya (privilledge) untuk menangkap realitas secara akurat maupun representasi, yang mengandaikan pemahaman langsung dan tidak langsung ketika proses mempersepsi. Konsekuensi yang muncul yaitu model persepsi objektif dan

207

persepsi subjektif berdasarkan pertimbangan dari kedua proses yang berbeda dari Berkeley dan Ibn Sînâ. Sedangkan pada sisi yang lain, pengetahuan sistemik mengafirmasi pandangan seorang ahli (expert) ketimbang pandangan dari non-ahli (laypeople) mengenai klaim-klaim kebenaran yang dinyatakannya (proposisi). Diskursus mengenai pandangan dan problem dalam epistemologi kontemporer memiliki banyak “nuansa segar” yang dapat dipertimbangkan ke dalam diskursus epistemologi Islam agar “kesegarannya” tetap terjaga. Misalnya, diskurus mengenai pergeseran kecenderung epistemologis dari problem pikiran ke problem bahasa yang menjadikan bahasa sebagai esensi dari pengetahuan. Selain itu, memposisikan kajian hermeneutik sebagai bagian dari kajian epistemologi juga meluaskan wilayah kajian mengenai objek pengetahuan sebagai teks. Adapun yang terakhir, mengenai situasi keadaan kontemporer mengenai realitas post-truth yang mengafirmasi bentuk realitas artifisal yang juga mempengaruhi status dari makna kebenaran yang bersifat berlapis (plural of layers) yang mendorong untuk berpikir kritis (critical thinking).

208

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, formulasi konsepsi filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ mengenai persepsi sebagai tindakan untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi memiliki .(مدرك/dan objek (perceived (مدرك/hubungan korelasional antara subjek (perceiver Menurut Berkeley, kegiatan mempersepsi meliputi satu lapis proses yaitu: sensasi, memori, imajinasi, penglihatan, perabaan, penciuman, pendengaran dan abstraksi. Sedangkan menurut Ibn Sînâ, kegiatan mempersepsi mencakup dua lapis proses yaitu: persepsi dari luar; melihat, mendengar, menghirup, mengecap dan meraba, serta persepsi dari dalam; indera bersama, imaji, imajinasi, estimasi dan memori. Implikasinya, menghasilkan pengetahuan yang bersifat epistemik yaitu yang mengafirmasi filsafat sebagai suatu sistem berdasarkan kemampuan subjek dan keistimewaannya (privilledge) yang meliputi rasio atau persepsi secara akurat dan representasi. Kedua, persamaan dan perbedaan konsepsi filosofis Berkeley dan Ibn Sînâ mengenai persepsi untuk mengkonstruksi pengetahuan inderawi dapat dimengerti berdasarkan hasilnya. Bagi Berkeley, bentuk dari akurasi persepsi dan pikiran terletak pada pemahaman langsung terhadap realitas yang menghasilkan ide-ide (ideas) di dalam diri (subject qualities) mengenai realitas tersebut. Sedangkan bagi Ibn Sînâ, bentuk dari representasi persepsi dan pikiran terletak pada pemahaman .(معنى) dan intensi (صورة) tidak langsung atas realitas yang menghasilkan bentuk Meskipun pandangan filosofis Ibn Sînâ secara utuh melibatkan pula sistem pengetahuan yang bercorak rasional.1 Konsekuensi perbedaan tersebut juga mempengaruhi corak atau paham persepsi mereka berdua yang mana Bekeley berpaham persepsi realisme kritis formal yang cenderung subjektif (monisme) sedangkan Ibn Sînâ berpaham persepsi realisme kritis representasional yang cenderung objektif (dualisme). Ketiga, pengetahuan inderawi atau epistemologi Berkeley dan Ibn Sînâ sebagai upaya untuk membangun sistem (systemic) masih relevan dengan konteks kekinian terlebih mengenai klaim-klaim kebenaran pengetahuan. Hal tersebut karena horizon penulis (teks) tidak mencerabut horizon peneliti (penafsir) dengan membiarkannya melebur (fusion) satu-sama lain. Konsekuensinya, relasi tersebut sebagai bentuk hubungan relasional antara penafsir dengan tradisi dan tetap mempertahankan horizon satu sama lain sehingga dapat dibaca pada konteks kekinian (relevan ). Oleh karenanya, muncul dua perbedaan penting dari bentuk justifikasi pengetahuan inderawi yaitu pertama, berkaitan dengan praktek dalam kesaharian dan kedua, berdasarkan kemampuan ketat persepsi dan pikiran untuk menangkap realitas. Baik Berkeley dan Ibn Sînâ mengafirmasi justifikasi yang kedua yang mana suatu pengetahuan memerlukan justifikasi empiris yang mencakup

1 Lihat, Dimitri Gutas, “Avicenna The Metaphysics of the Rational Soul” dalam The Muslim WORLD V, 102 , July/October 2012, h. 418-419.

209

langkah-langkah sistematis berkriteria maupun proposisi sebagai bagian dari klaim kebenarannya. Dengan kata lain, dari ketiga butir tadi mengarahkan pada pernyataan bahwa, akurasi dan representasi dalam pengetahuan inderawi menjadi niscaya.

B. Saran Penelitian ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan kekeliruan serta mengarah pada saran dan rekomendasi yang perlu diajukan yang berkaitan dengan diskursus akademik mengenai persoalan persepsi dalam kajian epistemologi. Pertama, penelitian mengenai persepsi sebagai persoalan epistemologi telah banyak diteliti baik dalam perspektif filsafat Barat maupun filsafat Islam, namun penelitian yang mengarah pada upaya komparasi dari dua perspektif yang berbeda masih cukup terbatas. Karena itu, penelitian filsafat komparatif mengenai persepsi dari dua tradisi keilmuan yang berbeda perlu lebih diperkaya untuk membuka dialog dan mempertemukan dua horizon yang berbeda tersebut. Kedua, penelitian filsafat komparatif dari dua tradisi keilmuan yang berbeda cenderung melihatnya berdasarkan horizon dan maksud dari teks yang ditulis oleh para filosof yang bersifat reproduktif, sehingga menutup kemungkinan bagi celah- celah pembacaan lainnya yang inovatif berdasarkan konteks kekinian (produktif). Karenanya, penelitian filsafat komparatif yang melihat teks-teks yang dikaji sebagai bagian dari diri penafsir namun berlainan, mengarah pada suatu proses untuk saling memahami yang menjadi penting dalam rangka kontekstualisasi filsafat. Ketiga, tradisi literasi mengenai filsafat di Indonesia meskipun kurang banyak diminati ketimbang ilmu-ilmu praktis yang berorientasi pada pekerjaan, namun apabila persoalan filosofis tidak melulu “dicerabut” dari persoalan yang dekat dengan praktek keseharian sebagai basisnya (abstrak), dapat menjadi strategi baru untuk mengakrabkan filsafat itu sendiri. Karenanya, perlu untuk memperkaya penelitian-penelitian filsafat untuk mencari celah baru terhadap konteks kehidupan kekinian.

210

Daftar Pustaka

Buku Primer: Berkeley, George, Principles of Human Knowledge Three Dialogues, (London: Oxford University Press, 1999). Berkeley, George, Alciphron in Focus (USA and Canada: Routledge, 1993). Berkeley, George, Between Hylas and Philonous, New York: Oxford University Press, 1999. سينا، ابن، كتاب النجاة في الحكمة المنطقي و إللهيّة )بيروت: دار إلفاق الجديدة،1982(. سينا ،اابن ، أحوال النفس )باريس: دار بيبليون، 2007(. سينا ،اابن، عيون الحكمة )بيروت: لبانون دار القلم، 1980(. سينا ،اابن، كتاب الشفاء من الطبيعات )فارس: editions du patrimoine Arabe et Islamique، 1988(. سينا، ابن، الشفاء البرهان )قوم: مكتبة سماحه اية هللا العظم( سينا، ابن، المنطق المشرقيين )بيروت: دار الخطب العلمية، 1971(. سينا، ابن، اإلشارات و التنبيهات )المكتبة اإلعالم اإلسالمي(.

Buku Sekunder: Abu Zayd, Nasr Hamid, Critique of Religious Discourse. Translated by Jonathan Wright (New Haven and London: Yale University Press, 2018. Adamson, Peter, Interpreting Avicenna Critical Essays, New York: Cambridge University Press, 2013. Afnan, Soheil M, Avicena His Life and Works London: George Allen & Unwin Ltd, 1958. Aritonang, Jan S, Berbagai Aliran di Dalam Dan Di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014. Athanasiadou, Angeliki, Colston, Herbert L and Others, Irony in Language Use and Communication, 2018, p. 1, Book Review John Benjamins, Figurative, Thought and Language, Amsterdam, 2017. Audi, Robert, Epistemologi A contemporary introduction to the theory of knowledge, 2th ed (Routledge: 2003). Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). Bakhtiar, Amsal Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam Memahami Alur Perdebatan Al Ghazâlî dan Ibn Rusyd, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2004. Barthes, Roland, Elements of Semiology, Translation by Jonathan Cape, New York: Hill and Wang , 1964. Baudrillard, Jean. Simulations, translated by Paul Foss and others, New York: Semiotext, 1983. Bennett, Jonathan, Locke, Berkeley Hume Central Themes (New York: Oxford University Press, 1971). Berman, David, Berkeley and Irish Philosophy, (New York: Continuum, 2005). Bertens, Keerts, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius

211

Bertens, Keerts dalam Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. Block, David, Post-Truth and Political Discourse, Spain: Palgrave Macmillan, 2019. Burrell, David B, Existence Deriving from ‘the existent’: Mullᾱ Sadrᾱ with Ibn Sînâ and al-Suhrawardῑ dalam kumpulan Avicenna and His Legacy a Golden Age of Science and Philosophy. Edited by, Y. Tzvi Langermann. Coates, Paul, The Metaphysics of Perception (New York and London: Routledge, 2007). Cooper, Terry L, Public Administration Review Vol 78, iss no. 2, 2018, review buku Tom Nichols, The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Metters (New York: Oxford University Press, 2017 Descartes, Rѐnѐ, Discourse on Methode and Meditations. Translated by Laurencee J. Lafleur, USA: The Liberal Art Press, 1960. Dicker, Georges, Berkeley’s Idealism, (Oxford University Press: 2011). Dirk, Zeynep. Ontologies of Sex Philosophy in Sexual Politics. London-New York, Rowman & Littlefield, 2020. Dyck, Corey W. and Wunderlich, Falk, Kant and His German Contemporaries Volume I: Logic, Mind, Epistemology, Science and Ethics. Edited by (UK: Cambridge University Press, 2018). Eco, Umberto, Teori Semiotika Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, Serta Teori Produsi-Tanda. Penerjemah, Inyiak Ridwan Muzir, 5th ed, Bantul: Kreasi Wacana, 2016. El-Rouayheb, Khaled and Schmidtke, Sabine. The Oxford Handbook of Islamic Philosophy. London: Oxford University Press,2017. Fennell, John , A Critical Introduction to the Philosophy of Language Central Themes from Locke to Wittgenstein, New York and London: Routledge Taylor & Francis Group, 2019. Fetzer, James H, Scientific Knowledge Causation, Explanation, and Corroboration (London: D. Reidel Publishing Company), 1981. Fairfield, Paul, Death: A Philosohic Inquiry, London and New York: Routledge, 2015. Fish, William, Philosophy of Perception (New York and Londong: Routledge, 2010). Fogelin, Robert J. Berkeley and the Principles of Human Knowledge, London and New York: Routledge, 2001. Foster, John, The Nature of Perception (Oxford: Brasenose College). Frankfurt, Harry G, Demons, Dreamers&Madmen The Defense of Reason in Descartes’s meditations (UK: Princeton University Press, 2008. Gadamer, Hans Georg Truth and Method, translated by Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, Bloomsburry Academic: London&New York, 2013. Gallagher, Kenneth T, The Philosophy of Knowledge, (New York: Fordham University Press, 1982). Garcia, Tristan, Form and Object a Tretise on Things, translated by Mark Allan Ohm and John Cogburn, German: Edinburg University Press, 2003. Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar, Penerjemah, CB. Mulyanto Pr. Yogyakarta: Kanisius, 2014

212

Gazzaniga, Michael S, The Consciousness Instinct Unraveling The Mystery of How The Brain Makes The Mind. New York: Farrar Straus and Giroux. Ghȃlib, Mus tafȃ, Ibn Sȋnȃ, Maktabah al Hilȃl: 1979. Goldberg, C. Sanford, Internalism and Externalism in Semantics and Epistemology, New York: Oxford University Press, 2007. Gross, Neil, Richard Rorty The Making of an American Philosopher, London: The University of Chicago Press, 2008. Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition, Leiden-Boston: Brill, 2014. Haack, Susan, Evidence and Inquiry Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford UK & Cambridge US: Blackwell, 1993 Hamlyn, D.W, Sensation and Perception A History of the Philosophy of Perception. (London: Routledge & Kegan Paul). Hardiman, F. Budi, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, (Yogyakarta: Kanisius, 2015). Harman Graham, Form and Object A Treatise on Things, translated by Mark Allan Ohm and John Cogburn, German:EDINBURGH University Press, 2014. Haworth, Michael, Neurotechnology and the end of Finitude (London: University of Minnesota Press, 2018. Hetherington, Stephen, Epistemology Futures, Oxford: New York University Press, 2006. Jasczolt, Kasia M. Time Language, Cognition & Reality, Oxford University Press:UK, 2013. J. Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, 5th ed, (Yogyakarta: Kanisius, 2006). Johnson, C.B, Modernity Without A Project, New York: Brooklyn Punctum Books, 2014. Kamal, Zainun, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason, Translated by Paul Guyer and Allen W. Wood (UK: Cambridge University Press, 1998) Kartanegara, Mulyadhi, Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta. Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Keyes, Ralph, The Post-Truth Era Dishonesty and Deception in Contemporary Life. New York: St. Martin’s Press, 2004. Kirby, Vicki, Telling Flesh The Substance of Corporeal, New York and London: Routledge, 1997. Kolozova, Katerina and Joy, Eileen A. After “the Speculative Turn” Realism, Philosophy, and Feminism, Punctum Books, 2016. Ladyman, James, Understanding Philosophy of Science, London and New York: Routledge, 2002. Langer, Susanne K, Philosophy in a New Key a Study in the Synbolism of Reason, Rite, and Art (The New American Library, 1954. Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding, (The Pennsylvania State University, 1999). Locke, John. The Cambridge Companion Locke’s To “Essay Concerning Human Understanding”. UK: Cambridge University Press 2007.

213

Lowe, E.J, The Possibility of Metaphysics Substance, Identity and Time (New York: Oxford Clarendon Press, 1998 Lyotard, Jean-François, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Translated by Geoff Bennington and Brian Massumi (USA: University of Minnesota, 1982. Michael P, Lynch, The Nature of Truth Classic and Contemporary Perspectives, London: Cambridge Massachusetts Institute of Technology, 2001. Madjid, Nurcholish , Karya Lengkap Nurcholish Madjid Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan. Penyunting, Budhy munawarh-Rachman. Mahmud, M. Dimyati, Psikologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi Offset, 2018). Makkreel Rudolf A. and Rodi Frithjof, Hermeneutics and The Study of History, UK: Princeton University Press, 1996. Malabou, Catherine, Morphing Intelligence From IQ Measurement to Artificial Brains. Translated by Carolyn Shread (New York: Columbia University Press, 2019 ). Marcos, Alfredo, Postmodern Aristotle, New York: Cambridge Scholars Publishing, 2012. McGinnis, Jon, Great Medieval Thinkers Avicenna, New York: Oxford University Press, 2010. Mcintyre, Lee, Post-Truth (London: Cambridge Massachusetts Institute of Technology Press, 2018). Mckinnon, Rachel, “The Epistemology of Propaganda” dalam Philosophy and Phenomenological Research, College of Charleston, Vol. XCVI, 2 March 2018 Mendola, Joseph, Anti Externlism, New York: Oxford, 2008. Miah, Sajahan, Russell’s Theory of Perception: 1905-1919 (London&New York: Continum, 2006). Millikan, Ruth Garrett, On Clear And Confused Idea An Essay About Substance Conceps, New York: Cambridge University Press, 2004. Moore, A. W. The Cambridge Companion To Kant’s Critique of Pure Reason. New York: Cambridge University Press, 2010. Mosteller, Timothy, Relativism in Contemporary American Philosophy, (London: Continuum, 2006). Muhammad Naquib Al-Attas, Syed, Islam&Filsafat Sains. Penerjemah, Saiful Muzani (Bandung:Mizan,1995. Muniroh, Sayyidati, Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, Yogyakarta: Kanisius, 2011. Najᾱtῑ, Muhammad U’stmᾱn, Al Dirᾱsᾱt al Nafsᾱniyyah I’nda al U’lamᾱ al Muslimῑn, Beirut: Dar al Syurῦq, 1993. Nasr, Sayyed Hossein, Three Muslim Sages, New York: Caravan Books, 1964. Nichols, Tom, The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Metters, (New York: Oxford University Press, 2017). Novak, Barbara, American Painting of the Nineteenth Century (New York: Oxford University Press, 1980). Pannier, Russell and Sullivan, Thomas D, New York: Bloomsbury, 2014.

214

Peacocke, Christopher, The Primacy of Metaphysics. UK: Oxford University Press, 2019. Ponty, Merleau, Phenomenology of Perception. Translated by Colin Smith (London and New York: Routledge, 1962). Ponty, Maurice Merleau The Primacy of Perception. Edited with an Introduction by John Wild (North Western University: 1964). Rockmore, Tom, On Foundationalism A Strategy for Metaphysical Realism (USA: Rowman & Littlefield Publisher, 2004). Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton University Press, 1979. Rorty, Richard, The Linguistic Turn Essays in Philosophical Method, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1992. Taylor, C.C.W, Pleasure, Mind, and Soul Selected Papers in Ancient Philosophy, Oxford: Clarendon Press, 2008. Titus, Harold H, Living Issues in Philosophy An Introductory Textbook, 3th ed, Amerikan Book Company: 1959. Tipton, I.C, Berkeley: The Philosophy of Immaterialism, London and New York, 1974. Rahman, Fazlur, Avicenna’s Psycology, (London: Oxford University Press, 1952). Rachels, James, Problems from Philosophy (New York: Mc Graw Hill, 2005). Reider, Patrick J, Wilfrid Sellars, Idealism and Realism, Edited by Patrick J. Reider (New York: Blommsbury, 2017). Rescher, Nicholas, Epistemology An Introduction to the Theory of Knowledge (USA Albany: State University of New York, 2003). Rescher, Nicholas, Philosophycal Inquiries An Introduction to Problems of Philosophy (USA: University of Pittsburgs Press, 2010) Rorty, Richard. Philosophy an the Mirror of Nature, (Princeton University Press: 1979). Rorty, Richard, Philosophy and Social Hope (London: Penguin Books, 1999). Rorty, Richard M. The Linguistic Turn Essay in Philosophical Method, (Chicago and London: The University of Chicago Press). Russell, Bertrand. An Outline of Philosophy, (USA: Meridian, 1960). Russell, Bertrand, History of Western Philsophy, 5 th ed (London: Routledge, 1994). Russell, Bertrand, The Problems of Philosophy, 2th ed (Oxford: University Press, 1998). Ṣadr, Muhammad Baqîr. Falsafatuna Pandangan Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, Penerjemah, Smith Alhadar. Bandung, Mizan, 20, Our Philosophy. Translated by Shams C. Inati (Muhammadi Trust of Great Britain and Nothern Ireland). Sher, Gila. Epistemic Friction An Essay on Knowledge, Truth, and Logic. United Kingdom: Oxford University Press, 2016. Sherratt, Yvonne, Continental Philosophy of Social Science Hermeneutics, Genealogy, Critical Theory, New York: Cambridge University Press, 2006. Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutera, 2007.

215

Sînâ, Ibn. Remarks and Admonitions Part one: Logic Chapter 3 about concerning the purpose logic, Translated by Shams Constantine Inati, Canada: Pontifial Institute of Mediaeval Studies, 1984. Stumpf, Samuel Enoch and Fieser, James, Socrates to Sartre And Beyond A History of Philosophy, 8th ed (New York: McGraw-Hill, 2008). Tahiri, Hassan, Mathematics and the Mind An Introduction Into Ibn Sînâ’s Theory of Knowledge, London: Springer, 2016. Tsipursky, Gleb and Ward, Tim, A Practical Plan For Putting Truth Back Into Politics (Changemakers Books:UK&US Winchester&Washington, 2020). Verene, Donald Phillip, Knowledge of Things Human and Divine Vico’s New Science and Finnegans Wake (London: Yale University Press, 2003). Waldron, William S. And Nishimura, April, “Mindfulness and Indian Budhist Conceptions of Unconcious Processes,” Journal of Current Opinion in Psychology, 2018. DOI:10.1016/j.copsyc.2018.09.012. Winfield, Richard Dien, The Living Mind From Psyche to Consciousness (United Kingdom: Rowman & Littlefield Publisher, 2011).

Wright, Andrew W, “Kierkegaard, Justification and the integrity of Christian education,” Journal of Christianity & Education, London School of Theology, Vol. 19 (2), 2015. Taylor, Charles, Hegel and Modern Society,edited byAlan Montefiore, Balliol Colege, and Others (London-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1979). Thomasson, Amie L. Ontology Made Easy. New York: Oxford University Press, 2015. Ziarer, Krzysztof, Language After Heidegger, Bloomington: Indiana University Press, 2013.

Referensi Arab: Abî al Walîd Muhammad ibn Ahmad ibn Rushḍ, Kitâb Faṣl al Maqâl wa taqrîr mâ ,ttiṣâl (Beirut: Dar al Mashriq׳baina al Sharîa’h wa al hikmah Min al I 1986). di al Milah (Beirut: Markaz׳dilah fî A’qâi׳Ibn Rushḍ, al Kashf A’n al Manâhij al A Dirâsât al Waḥdah al A’rbiyyah, 2001). zdîdkâh Ibn Sînâ׳drâk Khayâlî I׳ntiẓâm, Quwwah Khayâl wa I׳Sayyid Muhammad I wa Suhrawardî (Zamastân, 1392). bî Bakr ar Râzî (Maktabah al Nahḍah al׳A’bd al Laṭîf al Qoid, al Tibb ar Rûḥanî Lia Miṣriyyah, 1978). Ghâlib Muṣṭfâ, Ibn Sînâ (Dâr wa Maktabah alHilâl, 1979). ,drâk al Hissî I’nda Ibn Sînâ (Beirut: Dâr al Shurûq׳Muhammad U’ṣmân Najâtî, al I 1980). Ali Sâmî an Nashâr, Manâhij al Baḥṡ I’nda Mufakkirî al Islâmiyy wa Ktishâf al slâmiyy (Beirut: Dâr al Nahḍah al׳Manhaj al I’lmî fî al Ȃlim al I A’rabiyyah, 1983).

Jurnal:

216

Abramss, Jerold J, “Philosophy After the Mirror of Nature: Rorty, Dewey and Peirce on Pragmatism and Metaphor,” Journal of Metaphor and Symbol, University of Guelph, 13 June 2012 Adamson, Peter, “The Simplicity of Self-Knowledge After Avicenna,” Journal of Arabic Science and Philosophy, USA: Cambridge University Press, 21 August 2018. DOI: 10.1017/S0957423918000048. Alcaro, Antonio. Carta, Stefano and others, “The Affective Core of the Self: A Neuro-Archetypical Perspective on the Foundations of Human (and Animal) Subjectivity,” Journal of Frontiers in Psychology, September 2017, Vol. 8. Allen, Amy, “Discourse, Power, and Subjectivation: The Foucault/Habermas Debate Reconsidered,” Journal of The Philosophical Forum, 2009. Alston, William P. “Two Types of Foundationalism dalam The Journal of Philosophy, Vol. 73, no. 7, 1976. Retrieved from http://www.jstor.org/journals/jphil.html. Anstey, Peter R, “John Locke and the Philosophy of Mind,” dalam Journal of the History of Philosophy, Vol. 53, No. 2, April 2015 Arapostathis, Stathis. “Meters, Patents and Expertise (s): Knowledge Networks in the Electricity Meters Industry, 1880-1914,” Journal Studies in History and Philosophy of Science, Department of Philosophy and History of Science University of Athens, 20 December, 2012. Arendt, Hannah and Benedict, Hans Jṻrgen, “Revolution, Violence and Power: A Correspondence,” Journal of Constellations, 2009, Vol. 16. DOI: 10. 1111/j.1467- 8675.2009.00543.x. Arstila, Valtteri dan Pihlainen, Kalle, in “The Causal Theory of Perception” in Springer: Science=Business Media, 2009), 1 June 2007. Barnett, Zach. “Philosophy Without Belief,”, Brown University Journal Mind, June, 2017. Baz, Avner. “Recent Attempts to Defend the Philosophical Method of Cases and the Linguistic (Re)turn” dalam Philosophy and Phenomenological Research, Tufts University, 2014. Bettcher, Talia Mae, “Berkeley’s Theory of Mind: Some New Models,” Journal of Philosophy Compass, California State University, Vol 6, 2011, DOI: 10. 1111/J.1747-9991.2011.00427.x. Bettcher, Talia Mae, “Berkeley and Hume on Self and Self-Consciousness,” Journal Springer Science and Business Media, 2009, DOI: 10. 1007/978.-90-481- 2381-0_9. Boone, R. Jerome, “Pentecostal Worship and Hermeneutics: Engagement with the Spirit,” Journal of Pentecostal Theology, Koninklijke Brill Nv, Leiden, University of Cleveland, Tennessee, USA. 2017. DOI: 10.1163/17455251- 02601009. Booth, Anthony Robert, “The Theory of Epistemic Justification and the Theory of Knowledge: A Divorce,” Journal of Erkenn Department of Philosophy, Utrecht University Netherlands, 17 December 2010. Botterill, George, “Particles and Ideas: Bishop Berkeley’s Corpuscularian Philosophy,” Journal Analytic Philosophy Vol. 31 1990, p. 76-77. DOI: 10.1111/j. 1468-0149.1990.tb00272.x

217

Bektovic, Safet, “(post) Modern Islamic Philosophy: challenges and perspectives,” Journal of Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 23 No. 3, July 2012. DOI: 10. 1080/09596410.2012.676778. Berman, David, “A Bibliography of George Berkeley Bishop of Cloyne: His Works and His Critics In The Eighteenth Century,’” Journal Trinity College Dublin, Harmathena, No. 125, 1978. Berninger, Anja. “Thinking Sadly: In Favor of an Adverbial Theory of Emotions,” in Routledge: Philosophical Psychology, 2016 Bodman, Frank, “Empiricism, ” Journal of The British Homopathic. Bohn, Einar Duenger. “Divine Foundationalism,” in Philosophy Compass Wiley. doi: 101111/phc3. 12524.2018. 1-11. Borghini, Andrea. “The Adverbial Theory of Properties,” (Springer: Science+Business Media, Ontology Metaphysics, 2012. Boulding, Kenneth E, “Human Knowledge As A Special System,” Journal of Behavioral Science, Vol. 26, 1981, University of Colorado. Bronkhorst, Johannes, “ The Correspondence Principles and Its Critics,” Journal of Indian Philos, Springer Science+Bussiness Media Dordrecht, Universitḕ de Lausanne, Switzerland, 10 August, 2013. Brown, Harold I. “Direct Realism, Indirect Realism, and Epistemology,” in International Pheomenological Society, Vol. 52, No. 2, Jun 1992. Brook, Richard. “Berkeley and The Primary Qualities: Idealization vs.Abstraction in Philosophia USA Bloomsburg. doi: 10. 1007/s. 11406-016-9778-8. 2016. Bukor, Emese, “Exploring Teacher Identity From a Holistic Perspective: Reconstructing and Reconnecting Personal and Professional Selves,” Journal of Teachers and Teaching: Theory and Practice, Department of Curriculum, Teaching and Learning, Ontario Institute for Studiesin Education, University of Toronto, Canada. Buning, Marius, “Inventing Scientific Method: the Previlege System as a Model For Scientific Knowledge-Production,” Journal of Intellectual History Review, The University of Manchester Library, 26 April 2014. Butler, Judith. “Précis of Sense of the Subject,” Philosophy and Phenomenological Research University of California, 1 January 2018. Cabada, Ramón Zatarain. Estrada, Maria Lucἱa Barrón and Pѐrez, Yasmἱn Hernández. “Knowledge-Based System in an Affective and Intelligent Tutoring System,” Journal of R.Z. Cabada, Springer International Publishing, 2017. Cartis, Daniel Dejica and Cozma, Michaela, “Using Theme-Rheme Analysis for Improving Coherence and Cohesion in Target-Text: a Methodological Approach,” Journal of Procedia Social and Behavioral Science, Department of Communication and Foreign Languages University of Timiṣoara, Rumania. Cartwright, Nancy and Munro, Eileen, “The Limitations of Randomized Controlled Trials in Predicting Effectiveness,” Journal of Evaluation in Clinical Practice, Blackwell Publishing, 2010 Cassam, Quassim. “Knowledge and its Objects” Revisiting the Bounds of Sense,” Journal of Europan Philosophy, John Wiley & Sons, 2017.

218

Casullo, Albert. “Adverbial Theories of Sensing and The Many-Properti problem,” in Philosophical Studies: D. Reidel Publishing Company, 22 September 1982. Chalmers, Alan, “What Is This Thing Called Science New and Extended”, University of Sydney, 2012. Cheon, Hyundeuk. “In What Sense Is Scientific Knowledge Collective Knowledge,” Sage, Philosophy of Social Science, 26 May, 2014. Chiarini, A,“Kaizen Workshops and to Run Them,” Journal of Perspective in Business Culture, Springer-Verlag Italia, 2013. DOI:10,1007/978-88-470- 2510-3_5 Cristiano, Fabio, “From Simulation to Simulacra of War: Game Scenarios in Cyberwar Exercises, ” Journal of war & Culture Studies, Vol. 11 No. 1, 1 February 2018, Department of Political Science, Lund University, Sweden. Coper, Terry L. in Public Administration Review, Pp 318-320. doi: 10. 1111/puar. 12927. 2018. 318-320. Darby, David, “Esse Percipi, Sein Ist Wahrgenommenwerden: Perception and Perspective In Berkeley and Canetti”, Journal of Neophilologus, 1991. Dawkins, Roger, “From the Perspective of the Object in Semiotics: Deleuze and Peirce,” Journal of De Gruyter,Mouton Semiotica, University of Edinburgh, 2020. DOI: 10. 1515/sem-2017-0154. Dear, Peter. Hacking, Ian and Others, “Objectivity in Historical Perspective,” Journal of Metascience, Springer Science+Business Media,24 January 2012. Deshors, Sandra C, “Zooming in on Verbs in the Progressive: A Collostructional and Correspondence Analysis Approach, ” Journal of English Linguistics, Vol. 45, 2017, Michigan State University, Lansing, USA. Dickers, Georges, “Primary and Secondary Qualities: A Proposed Modification of The Lockean Account,” The Southern Journal of Philosophy, 1977, Vol. 15. Doi: 10.1111/j.2041-6962.1977.tb 00197.x Dickers, Georges, “Anti-Berkeley,” Routledge, British Journal for the History of Philosophy, 12 May 2008, DOI: 10. 1080/09608780801969134. Dicker, Georges, “Berkeley in Immediate Perception: One More Unto Breach,” Journal of The Philosophical Quarterly, Vol. 56, October 2006 Dicker, Georges, “Berkeley on the Impossibility of Abstracting Primary from Secondary Qualities: Lockean Rejoinders,” The Southern Journal of Philosophy, 2001 Vol. 39. Fish, William. “Direct Realism, Disjunctivism, and Screening off” in Philosophy Deparment, Massey University, New Zealand, 2018. Gardian, Haas, “Minimal Verificationism (On the Limits of Knowledge) II 5 Fallibilist Theories of Justification,” 2015. DOI: 10.1515/9781501501982- 008. Garrett. Aaron. in Philosophical Review, Pp xiv+310. doi: 10. 1215/00318108- 274974. 2014. 324. Gasparyan, Diana, “Mirror for the Other: Problem of the Self in Continental Philosophy (from Hegel to Lacan),” Journal of Integr Psych Behav, University Higher School of Economics, Moscow, 19 September 2013.

219

Gates, Bill, “Responding to Covid-19 A Once in a Century Pandemic?” Journal of the New England of Medicine, 28 February 2020. DOI: 10. 1056/NEJMp2003762. Gendler, Tamar Szabó, “Empiricism, Rationalism and the Limits of Justification,” Journal of Philosophy and Phenomenological Research, Syracuse University, Vol. LXIII, No. 3, November 2001. Gewirth, Alan, “Subjectivism and Objectivism in the Social Science,” journal Philosophy of Science, University of Chicago. Vol 21. No. 2 April 1954 Giora, Rachel, “Lying, Irony and Default Interpretation,” Journal of Linguistic Pragmatic, November 2018. DOI: 10.1093/oxfordhb//9780198736578.013. Gobet, Fernand. “Three Views on Expertise: Philosophical Implications for Rationality, Knowledge, Intuition and Education,” Journal of Philosophy of Education, Vol. 51, No. 3, 2017. Gonzalez de Prado Salas Javier and Zamora-Bonilla, Jesus. “Collective Actors Without Collective Minds: AN Inferentialist Approach, SAGE, Philosophy of the Social Sciences, 20 February 2014. Grant, Anthony, “ROI is a Poor Measure of Coaching Success: Towards a More HolisticApproach Using a Well-Being and Engagement Framework,” Journal of Coaching: An International Journal of Theory, Research and Practice, Coaching Psychology Unit, School of Psychology, University of Sydney, Australia,18 May 2012. Gramigna, Remo and Salupere, Silvi, “Umberto Eco and Juri M. Lotman on Communication and Cognituon,” Journal of Stockhoim University Library, University of Tartu, Estiniaof. DOI: 10.1515/9781501507144-031. Guessoum, Nidhal, “Science, Religion, and The Quest for Knowledge and Truth: an Islamic Perspective”, Journal of Cult Stud of Sci Educ, 28 May 2009. Gunev, Dimitri, “Universalizing Hermeneutics as Hermeneutic Realism,” Journal of Principia, University of Sofia, 2012. Gutas, Dimitri. “The Empiricism of Avicenna” in koninklijke brill. DOI: 10.1163/1878372-00402008. 391-436. Gutas, Dimitri. “Avicenna The Metaphysics of the Rational Soul” in The Muslim WORLD V. doi: 10. 1111/j. 1478-1913. 2012. 417- 425. Habermas, Jṻrgen, “The Concept of Human Dignity and the Realistic Utopia of Human Right,” Journal Compilation, Journal of Metaphilosophy, LLC and Blackwell Publishing, UK: Oxford, Vol. 41, No. 4, July 2010. Haidarian, Leyla Tavernaro. “Deliberative Epistemology: Towards an ubuntu- Based Epistemology That Accounts for a Priori Knowledge and Objective Truth,” Journal of Philosophy South African, 11 June, 2018. Han-Pile, Beatrice, “Phenomenology and Anthropology In Foucault’s Introduction to Binswanger’ Dream and Existence A Mirror Image of The Other of Things,” Journal of History and Theory, Wesleyan University December 2016. DOI: 10.1111/hith.10825. Hatfield, Gary. “Descartes: New Thoughts on The Senses,” Routledge, British Journal for the History of Philosophy, 6 December, 2016. Heffernan, George, “Mais Personne Ne Paraissait Comprendre (“but no one seemed to understand) Atheism, Nihilism, And Hermeneutics In Albert Camus’

220

L’Etranger/The Stranger, ” Journal of Springer Science+Business Media, Department of Philosophy, Merrimack College, North Andover, USA. Hepworth, Mark, Fatmah, Almehmadi and Maynard, Sally in “A Reflection on the Relationship between the Study of People’s Information Behaviour and Information Literacy: Changes in Epistemology and Focus,” Emerald Group Publishing Limited, Library and Information Science, Volume 9, 2014. Hiernaux, Quentin. “History and Epistemology of Plant Behaviour: a Pluralistic View?,” Springer, Journal Synthese Biobehaviour, 2 July 2019. Hineline, Philip N. “When we Speak of Intentions,” dalam Springer Science+Business Media: Department of Psychology Philadelpia University, New York, 2009. Horvath, Joachim and Wiegmann, Alex “Intuitive Expertise and Intuition About Knowledge,” Journal Philos Stud, Springer Science+Business Media Dordrecht, 21 January 2016. Ichikawa, Jonathan Jenkins, “Justification is Potential Knowledge,” Journal of Canadian Philosophy, Phiosophy Department University of British Columbia, Canada, 06 June 2014. DOI: 10. 1080/00455091. 2014. 923240. Jackson, Frank. “Symposium: The Adverbial Analysis of Visual Experience”, in Metaphilosophy, Vol. 6. No. 2, April 1975. Jason, R. Popan. Lauren, Coursey and Others, “Testing the Effects of Incivility During Internet Political Discussion on Perceptions of Rational Argument and Evaluations of a Political Outgroup,” Journal of Computers in Human Behaviour, 14 February 2019. Jenke, Dennis, “How One Might Experimentally Determine if Container Closure Systems and Their Components and Materials of Construction Contribute Elemental Impurities to Package Pharmaceutical Drug Production,” Hournal of Pharmaceutical Science and Technology, 2018. Jessop, T.E, “The Works of George Berkeley, Bishop of Cloyne Vol. III Alcipron or The Minute Philosopher,” Journal Chicago, The Quarterly Review of Biology, Vol. 27, No. 2, Jume 1952, p. 202 DOI: 10.2307/2811583 Kant, David and others dalam, “On the Distinction between sensible things and intelligible things in General,” Journal of Theoritical Philosophy, 2002. DOI: 10.1017/CBO9780511840180.046. Kullmann, Karl, “Hyper-realism and loose-reality: the limitation of digital realism and alternative principles in landscape design visualization,” Journal of Landscape Architecture, University of California, Berkeley, USA, 30 September 2014. DOI: 10.1080/18626033.2014.968412. Kupperman, Joel J, “ Realism vs Idealism”, Journal of American Philosophical Quarterely, Vol. 2, No. 3. July 1975. Ladyman, James. Lambert, James and Wisner, Karoline. “What is a Complex System?” Journal of Philosophy of Science, Springer Science+Business, 19 June, 2012. Lau, Joe Y.F, “An Introduction to Critical Thinking and Creativity: Think More, Think Better,” John Wiley & Sons, 2011.

221

Lee, A, “Wuhan Novel Corona Virus (COVID-19): Why Global Control is Challenging?” Journal of Public Health, Elsevier, University of Sheffield, England, 2020. DOI: 10. 1016/j. Puhe. 2020. 02. 001. Lentini, John “The Mythology of Arson Investigation,” Journal of Protocols in Forensic Science, 2012. Littlejohn, Clayton, “Objectivism and Subjectivism in Epistemology,” Journal Durham University Library, 2018, Doi: 10.1017/9781316818992.009. Lizzini, Olga, “Avicenna: The Pleasure of Knowledge and the Quietude of the Soul,” Journal of Quaestio, 2015. Lunberg, Tove. Hegarty, Peter. and Others, “Making Sense of ‘Intersex’ and ‘DSD’: How Laypeople Understand and Use Terminology,” Journal of Psychology and Sexuality, Department of Psychology University of Oslo Norway, Routledge Taylor and Francis Group, 20 Mar 2018. DOI: 10. 1080/19419899. 2018. 1453862. Lowe, E.J, “What is the Source of Our Knowledge of Modal Truth?” Journal of Mind, Vol. 0. 0. 2013 Durham University, p. 8. Doi:10.1093/mind/fzs122. Kalpokas, Daniel Enrique, “Experience and Justification: Revisting McDowell’s Empiricism.” Journal Springer Science+Business Media Dordrecht, 11 September 2016), DOI: 10. 1007/s10670-016-9840-8. Kant, Vivek and Keer, Eric, “Taking Stock of Engineering Epistemology: Multidisciplinary Perspectives,” Springer Nature, Philosophy and Technology, 26 September 2018. Karimullah, Kamran I. “Avicenna and Galen, philosophy and medicine: Contextualising, Discussions of Medical Experience in Medieval Islamic Physicians and Philosophers” in Leiden Oriens Brill. doi: 10. 1163/ 18778372-04501002. 2017. 105-149. Madelung, Wilfred, “Avicenna’s Allegory on The Soul: an Ismaili Interpretation,” Journal of Der Islam, March 2018, DOI: 10. 1515/ Islam-2018-0015. Mainzer, Klaus. “Knowledge-Based Systems Remarks on the Philosophy of Technology and Artificial Intelligence,” Journal of General Philosophy of Science, 1990. Mannan, MD. Abdul. “Science and Subjectivity: Understanding Objectivity of Scientifik Knowledge,” Journal Philosophy and Progress, Vols. LIX-LX, 2016. Marmura, Michael E, “Some Questions Regarding Avicenna’s Theory of theTemporal Origination of The Human Rational Soul,” Joural of Arabic Science and Philosophy Vol. 18, USA: Cambridge University Press, 2008. Martin, M.G.F. “Shibboleth: Some Comments on William Fish’s Perception, Hallucination & Illusion,” in Springer Science+Business Media Dordrecht, 11 January 2013. Mason, Elinor, “Objectivism, Subjectivism and Prospectivism,” Journal of Australian Catholic University, 2017, Doi: 10.1017/CCO9781139096737. Matlock, R. Barry, “Zeal For Paul but Not According to Knowledge: Douglas Campbell’s War on ‘Justification Theory’,” Journal of The Study of The New Testament, Department of Philosophy and Religion, University of Tennessee, USA, 2011. DOI: 10. 1177/0142064X11424851.

222

McGraw, David. “Against the Combination of Materialism and Direct Realism,” in Wayne Country Community College, United States, 2018, McGinnis, John, “A Small Discovery: Avicenna’s Theory of Minima Naturalia,” Journal of the History of Philosophy Johns Hopkins University Press, Vol. 53 No. 1 January 2015. DOI: 10. 1353/HPH.2015.0002. Michael, John and MacLeod, Miles. “Aplying The Causal Theory of Reference to Intentional Concepts” (Philosophy of Science Association: University of Chicago Press, 2016. Mills, Jon “The Essence of Archetypes,” Journal of Jungian Studies, 31 July 2018. DOI: 10. 1080/19409052. 2018. 1503808. Murphy, Ann V, “All Things Considered: Sensibility and Ethics in the Later Merleau-Ponty and Derrida, ” Journal of Cont Philos, 20 December 2009, Springer Science+Business Media, Fordham University, USA. Murkami, Haruki, “The Mirror,” Review Book, 2016. DOI: 10.1111/j.1467- 9736.2006.00221.x. Musolff, Andreas, “Metaphor, Irony and Sarcasm in Public Discourse,” Journal of Pragmatic, University of East Anglia, 2017. Nath, Rajakishore, “Can Ethics Be Without Ontology? Wittgenstein and Putnam,” Journal of Philosophia, Springer Nature. Department of Humanities and Social Science Bombay, Mumbai India, 17 October 2018. Neill, Edward, “What Edward Promises he Will Perform: How to do Things with Words in Sense and Sensibility,” Journal of Textual Practice, 22 Feb 2007, DOI: 10. 1080/09502360601156955. Phillips, Robert L, “Austin and Berkeley on Perception,” Journal of Philosophy, Vol. 38 No. 148, April 1964. Pippin, Robert, Introductions to Nietzsche, New York and London: Cambridge University Press, 2012. Pitcher, George, “Berkeley on the Perception of Objects,” Journal of the History of Philosophy, Vol, 24, No, 1, January 1986. Place, Ullin T. “Linguistic Behaviourism and the Correspondence Theory of Truth,” Behaviour and Philosophy, vol. 25, No. 2, Cambridge Center of Behavioural Studies, 1997. Praetorius, Nini. “The Problem of Consciousness and Conten in Theories of Perception” in Department of Psychology University of Copenhagen, 12 January, 2007. Prang, Christoph, “The Creative Power of Semiotic: Umberto Eco’s The Name of the Rose,” Journal of Comparative Literature, Umiversity of Oregon, 2014. DOI: 10.1215/00104124-2823864. R.,A.D, “The Works of George Berkeley, Bishop of Cloyne,” Journal NATURE , Vol. 163, June 1949, p. 869 (DOI: 10.1038/163895DO. Rahman, Fazlur, “Islamization of Knowledge: A Response,” Journal of Islamic Studies, Vol. 50, No. ¾, Autumn-Winter, 2011. Rappport, Steven. “A Mistake About Foundationalism,” dalam The Southeren Journal of Philosophy, Vol. xxx No. 4. 1992. Retrieved from http://www.booksc.com.html.

223

Reyes, Antonio and Rossa, Paolo, “On the Difficulty of Automatically Detecting Irony: Beyond a Simple Case of Negation,” Journal of Knowledge and Information Systems, Vol. 40, September 2014. DOI: 10.1007/s101115- 013-0652-8. Ribeiro, Rodrigo. “Level of Immersion, Tacit Knowledge and Expertise,” Springer Science+Business Media, 3 April, 2012 Rickless, Samuel C. “The Relation Between AntiAbstractionism and Idealism In Berkeley’s Metaphysics” in British Journal for the History of Philosophy, Routledge. doi: 10.1080/09608788. 2012, 723-724. Robinson, Hoke, ”Empirical Intuitions, Schemata, and Concepts in Kant’s Critical Epistemology,” New York University, 2013. Robinson, Howard. “From the Knowledge Argument to Mental Substance (Resurrecting the Mind) II Davidson Non-Reductive Physicalisme and Naturalism Without Physicalism,” Cambridge The University of Auckland, 18 September 2017. Rockmore, Tom, “Epistemology as Hermeneutics,” Journal of The Monist, Vol. 73 No. 2, 1990. Rodrἱguez, Cintia. “The Connection Between Language and the World: A Paradox of the Linguistic Turn?”, in Springer Science+Business Media, New York, 24 June 2014. Romanovsky, Andrej A, “The Thermoregulation System and How it Works,” Journal of Handbook of Clinical Neurology, Vol. 153, 2018. Rorty, Richard, “Contingency, Irony and Solidarity, Private Irony and Liberal Hope,” Journal of Main , 1989. DOI: 10.1017/CBO9780511804397.006. Rosen, Gideon, “Blackburn’s Essay in Quasi-Realism,” Journal of Noûs Princeton University, New York: Oxford University Press, 1998. Rousseau, David. “Systems Philosophy and the Unity of Knowledge”, Journal of Systems Research and Behaviour Sciences, 18 March, 2013 Santangelo, Paolo, “Emotions and Perception of Inner Reality: Chinese and European,” Journal of Chinese Philosophy, 2007. Sativa, “Empirisisme, Sebuah Pendekatan Penelitian Arsitektural,” Jurnal INERSIA, Universitas Nergeri Yogyakarta, Vol. VII, No. 2, Desember 2012. Schroeder, Mark, “Getting Perspective On Objective Reasons,” Journal of Ethic, The University of Chicago, January 2018. Schsrrer, Lisa. Rupieper, Yvonne and Others, “When Science Becomes too Easy: Science Popularization Inclines Laypeople to Underrate Their Dependence on Experts,” Journal of Theoretical Research Paper University of Muenster, Germany, 2016. Schurz, Gerhard. “When Empirical Success Implies Theoretical Reference: A Structural Correspondence Theorem,” The British Journal For The Philosophy of Science. Oxford University Press. Vol. 60, No. 1 Maret 2009 Schiffer, Stephen. “Intention and Convetion in The Theory of Meaning” (John Wiley & Sons: A Companion to The Philosophy of Language, 2017. Sebti, Meryem, “The Decline of Thought in the Arab World According to Muhammad ‘Abed al-Jâbirî”, Journal of Sage, Los Angeles, 2010. DOI: 10.1117/0392192110393216.

224

Siegrist, Michael. Hṻbner, Philipp and Others, “Risk Prioritization in the Food Domain Using Deliberative and Survey Methods: Differences Between Experts and Laypeople,” Journal Society of Risk Analysis, 2017. Sosa, Ernest. “The Foundations of Foundationalism,” dalam Noûs (Special Issue on Epistemology), Vol. 14, 1980. Retrieved from http://www.jstor.org/journals/black.html. Spies, Barbara S, “Fiction, Invention and Hyper-reality: From Popular Culture to Religion,” Journal of Religious & Theological Information, 15 Mar 2018. Book Review by Carole M Cusack and Pavol Kosnᾲč, London: Routledge. Strobino, Riccardo, “Avicenna on Knowledge (‘ILM), Certainty (YAQîN),Cause (‘ILLA/SABAB) and the Relative (MUDHâF),” Journal of British for the History of Philosophy University of South Australia, Routledge Taylor&Francis Group, 11 December 2015, p.7. DOI: 10.1080/09608788.2015.1084267. Stroud, Barry, “Berkeley v. Locke on Primary Qualities,” Journal of Philosophy, Vol. 55, April 1980, DOI: 10. 1017/S003181910004897X. Stonehem, Tom, “Berkeley’s ‘Esse Is Percipi’ and Collier’s ‘Simple’ Argument,” Journal History of Philosophy Quarterly, Vol. 23, No. 3, July 2006, DOI: 10. 2307/27745058. Sun, Pengfei. Lu, Xiaosheng and others, “Understanding of COVID-19 Based On Current Evidence,” Journal of Medical Virology, February 2020. DOI: 10. 1002/JMV. 25722. Sutton, John, “Memory and The Extended Mind: Embodiment, Cognition and Culture,” Journal of Cogn Process, Department of Philosophy Macquarie University Australia 11 October 2005. Tafreshi, Donna and Racine, Timothy P, “Childrens’s Interpretive theory of mind: the role of mother’s personal epistemologies and mother-child talk about interpretation,” Journal of Cognitive Development, Canada Simon Fraser University, Department of Psychology, 2016. DOI: 10.1016/j.cogdev.2016.04.003. Tamtomo, Didik Gunawan. “Gambaran Histopatologi Kulit Pada Pengobatan Tradisional Kerokan,” dalam CDK 160, 1 Januari 2008. Retrieved from http://eprints. Uns.ac.id. Tarleton, Emily K, Littenberg, Benjamin and Others, “Role of Magnesium Supplementation in the Treatment of Depression: A Randomized Clinical Trial,” Journal of Plos One, 27 June 2017. Timalsina, Sthaneshwar, “Śrîharsa on Knowledge and Justification,” Journal of J Indian Philos, Department of Religious Studies, San Diego State University Springer Science+Business Media Dordrecht, 26 December 2016. Toews, John E. “Linguistic Turn and Discourse Analysis in History” dalam International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, USA University of Washington Seattle, 2001. Tsipursky, Gleb and Votta, Fabio, “Fighting Fake News and Post-Truth Politics With Behavioral Science: The Pro-Truth Pledge”, Journal of Behaviour and Social Issues, h. 54-56. DOI: 10.5210/bsi.v.2zi0.9127.

225

Xiang, Biao. “Beyond Methodological Nationalism and Epistemological Behaviorism: Drawing Illustrations from Migrations within and from China”, Journal Population UK University of Oxford Institute of Social and Cultural Anthropology, February 2015. Vasyukova, Ekaterina E. “The Nature of Chess Expertise: Knowledge or Search” Journal State of the Art Psychology, University Lomonosov Moscow Russia, 2012. Vemuri, Vijay K, Journal of Information Technology Case and Application Research, 26 May 2017, review buku Nicholas D. Evans, Mastering Digital Business: How Powerful Combinations of Disruptive Technologies Are Enabling The Next Wave of Digital Transformation (London: Routledge Taylor & Francis Group, 2017) Waddell, Robby, “Spirit Hermeneutics or Biblical Interpretation By Any Other Name,” Journal of Pentecostal Theology, Southeastern University, Lakeland, USA, Koninklijke Brill NV. Leiden, 2018. Warenski, Lisa, “Deficiency Arguments Againts Empiricism and the Question of Empirical Indefeasibility,” Journal of Philos Stud, The City College of New York Springer Science+Business Media, 30 October 2015. DOI: 10.1007/S11098-015-0593-Z. Warnock, g.j, “The Works of George Berkeley, Bishop of Cloyne; vols, V and VI Edited by T. E. Jessop,” Journal Philosophy of Cambridge University Press, Vol. 29, No. 110, July 1955. White, Alan R. “Knowledge Without Conviction,” Jstore, Oxford Journals University Press, June, 28, 2014. Wilson, Kate, “Critical Reading, Critical Thinking: delicate scaffolding in English for Academy Purposes (EAP),” Journal of Thinking Skills and Creativity, University of Technology, Canberra, Australia, 3 October, 2016. DOI: 10.1016/j.tsc.2016.10.002. Winch, Christopher. “Professional Knowledge, Expertise and Perceptual Ability,” Journal of Philosophy of Education Vol. 51 No. 3, 2017. Zalabardo, José L, “ Propositions and Facts Representation and Reality in Wittgenstein’s” dalam Oxford Scholarship Online, August 2015, h. 2. DOI: 10.1093/ acprof:oso/9780198743941.001.0001. Zuckerman, Nate “Heidegger and The Essence of Dasein,” Journal of the Southern Philosophy Vol. 53 No. 4, December 2015. DOI: 10. 1111/sjp. 12151.

Disertasi: Hadinata, Fristian, Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran Dari Perspektif Richard Rorty, unpublished doktor’s disertation, 2015, Universitas Indonesia, Depok. Heriyanto, Husain., Menuju Realisme Eksistensial Ekologis Berdasarkan Teori Persepsi Mullâ Shadrâ, unpublished doktor’s disertation, 2013, Universitas Indonesia, Depok.

Encyclopedia

226

Craig, Edward. The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, edited by (USA and Canada, 2005). Leaman, Oliver. The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy, edited by (London: Bloomsbury Academic, 2006).

Situs Internet http://www.riauonline.co.id, “Pedagang Bingung, Pilih Kena Covid-19 Atau Mati Kelaparan di Rumah”. http://www.youtube.com, “Kontroversi Youtuber Anji & Prof. Hadi Pranoto yang Mengklaim Temukan Antibodi COVID-19”. http://www.kompas.com, “”Dirjen Dikti Kemendikbud: Data Kita Tidak Ada Profesor Hadi Pranoto”.

Nama: Rizky Yazid Tanggal Lahir: Jakarta, 21 Desember 1990

Email: [email protected] Curriculum Vitae

227

Pendidikan Pengalaman Kerja

 TK Darunnajah (1996-1997)  Mentoring Mata Kuliah Hermeneutik dan Semiotika di  SD Al-Azhar 4 (1997-2003) Fakultas Ushuluddin 2018  Pondok Modern Darussalam  Pengajar Pengganti Mata Kuliah Gontor (2003-2009) Metodologi Penelitian Ilmiah 1  UIN Syarif Hidayatullah Semester di Fakultas Ushuluddin Jakarta (2010-2015) Sarjana 2018 Theologi Islam  Asdos Mata Kuliah Etika Islam  UIN Syarif Hidayatullah di Fakultas Ushuluddin 2019 Jakarta (2015-2018) Magister  Asdos Mata Kuliah Hermeneutik Filsafat Agama dan Semiotik di Fakultas  UIN Syarif Hidayatullah Ushuluddin 2020 Jakarta (2018-2021) Doktor Pengkajian Islam/Filsafat  Asdos Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Penulisan Karya Ilmiah di Fakultas Ushuluddin Pendidikan 2021

Informal

 Peserta Extension Course Karya Ilmiah

2019 di STF Driyarkara, Tema Epistemologi Barat  Teologi Sukses Paul Yonggi Cho  Peserta Kelas Filsafat 2019 dan Niko Njotorahardjo, Skripsi di Salihara, Tema Filsafat tahun 2015 Ada: Kesadaran dan  Imaji Visual Studi Kenyataan Keberagamaan Muslim  Peserta Kelas Filsafat 2020 Kontrmporer Di Indonesia di Salihara, Tema Pergulatan (Kasus Hijab dan Salat Jumat), Untuk Kebenaran Tesis tahun 2018  Peserta Kelas Filsafat 2021  Persepsi Sebagai Pengetahuan di Salihara, Tema Kebenaran Inderawi Menurut George di Medan Tempur Pasca- Berkeley dan Ibn Sînâ, Disertasi Kebenaran tahun 2021

GLOSARIUM

228

Akurat: Proses mempersepsi realitas dengan melibatkan aspek pikiran untuk menampilkan realitas tersebut sepenuhnya di dalam pikiran sehingga terjadi kesesuaian antara keduanya (copy of reality).

Al idrâk al Khârij: penggunaan panca indera luar seperti, mata, telinga, hidung, mulut dan kulit sebagai suatu proses, yang kemudian menangkap bentuk dari objek yang dipersepsi.

Al idrak al Dâkhil: penggunaan indera-indera dalam seperti indera bersama, daya imajinasi, daya estimasi dan daya mengingat sebagai suatu proses untuk menangkap bentuk dan intensi objek yang dipersepsi.

Al Idrâk maa’ al Ậlat: Kegiatan mempersepsi dengan menggunakan indera-indera luar terlebih dahulu sebagai suatu proses.

Al Idrâk lâ maa’ al Ậlat: Kegiatan mempersepsi tidak menggunakan indera-indera luar terlebih dahulu namun dapat dengan langsung diproses oleh indera-indera dalam.

Idealisme: pandangan dalam aliran filsafat pengetahuan (epistemologi) yang menegaskan bahwahakikat pengetahuan hanya berkaitan dengan pikiran atau keberadaan diri.

Isi Pengetahuan: hasil dari apa yang telah dipersepsi.

Ma’nâ: Hasil dari proses persepsi indera-indera dalam yang berasal dari indera- indera luar dan tidak berkaitan dengan unsur objeknya dalam hal materinya

Objek Eksternal: sesuatu yang berada di luar diri sekaligus berbeda dengannya serta mandiri keberadaannya.

Persepsi: penggunaan panca indera baik luar maupun dalam untuk memperoleh suatu informasi dan pengetahuan inderawi.

Pengetahuan Inderawi: Konsekuensi atau dampak dari kegiatan mengetahui yang mengandalkan peran penting dari persepsi inderawi.

Pengetahuan Epistemik: model pengetahuan yang menekankan prinsip-prinsip epistemologi modern di dalamnya.

Pengetahuan Edify: model pengetahuan yang menekankan prinsip-prinsip hermeneutis, terutama berkaitan dengan pragmatisme dan bahasa yang diklaim bertujuan untuk memperbaiki keadaan.

Pengetahuan Sistemik: Karakteristik dari model pengetahuan epistemik yang bertujuan untuk membangun sistem pengetahuan.

229

Primary Qualities: Sesuatu yang berkaitan dengan wilayah objek dan terlepas dari pikiran. Lihat res extenta.

Representasi: Proses mempersepsi realitas dengan melibatkan aspek pikiran sehingga tersajikan gambaran-gambaran mental mengenai realitas tersebut dan yang diketahui hanyalah gambaran-gambaran mental tersebut (representation).

Realisme: pandangan dalam aliran filsafat pengetahuan (epistemologi) yang menegaskan bahwa hakikat pengetahuan berkaitan dengan keberadaan objek.

Realisme Formal: Pandangan dalam mazhab persepsi yang menegaskan bahwa apa yang dipersepsi memiliki kualitas-kualitasnya baik pada objek maupun pada subjek yang mempersepsi.

Realisme Virtual: Pandangan dalam mazhab persepsi yang menegaskan bahwa kualitas-kualitas yang dipersepsi subjek seutuhnya berada pada subjek yang mempersepsi.

Secondary Qualities: Sesuatu yang berkaitan dengan wilayah pikiran dan terlepas dari objek. Lihat, res cogitans.

Subject Qualities: Suatu penggabungan antara primary qualities dengan secondary qualities sehingga sepenuhnya bersifat secondary.

Ṣûrah: Hasil dari proses persepsi indera-indera luar yang berkaitan dengan unsur objeknya dalam hal materi.

.

Lampiran-lampiran

230