2014

Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua

Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Manokwari, 29 November 2011

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari I S BN 9 7 8 - 9 7 9 - 1 2 8 0 - 0 3 - 7 PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TAHUN 2011

“OPTIMALISASI PERAN LITBANG KEHUTANAN DALAM MENDUKUNG PERCEPATAN PEMBANGUNAN KAWASAN HUTAN DAN LAHAN DI PAPUA”

Manokwari, 29 November 2011

Editor: Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari 2011

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - i ii - BPK Manokwari

PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BPK MANOKWARI TAHUN 2011 “OPTIMALISASI PERAN LITBANG KEHUTANAN DALAM MENDUKUNG PERCEPATAN PEMBANGUNAN KAWASAN HUTAN DAN LAHAN DI PAPUA” Manokwari, 29 November 2011

Terbit Tahun 2014

Penanggung Jawab: Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M.Sc (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari)

Editor: Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah

Sekretariat: Ir. Edwin Lodewiyk Yoroh (Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Prasarana Penelitian) Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut

Cover: Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng

Diterbitkan dan dicetak oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Inamberi Susweni Manokwari 98313-Provinsi Papua Barat Telepon : 0986-213437, 213440, Fax : 0986-213441 Website : http://www.balithutmanokwari.com

Dicetak dengan Pembiayaan DIPA BPK Manokwari Tahun 2014

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - iii

iv - BPK Manokwari

KATA PENGANTAR

Hutan dan kehutanan di pada tahun 1970 - 1980 merupakan salah satu pendorong perekonomian Indonesia secara umum, tapi kita lupa bahwa sumber daya hutan memiliki keterbatasan untuk memulihkan kondisi awal. Banyak kondisi hutan Indonesia yang menunjukkan kemerosotan potensinya, bahkan ada jenis-jenis lokal yang mulai langka dan hilang dipacu oleh proses alih fungsi hutan (deforestation) menjadi lahan perkebunan, transmigrasi dan tujuan lainnya. Disamping itu banyak investor hutan yang keuntungannya dari hasil hutan tidak dikembalikan lagi ke hutan, sehingga banyak lahan hutan yang terbuka dan menyebabkan hutan terfragmentasi sehingga memacu erosi genetik dan di perburuk lagi dengan iklim yang berubah drastis sehingga menimbulkan kebakaran hutan termasuk penjarahan hutan yang tidak terkendali, pada akhirnya kawasan hutan tersebut menjadi hutan sekunder yang tidak produktif dan padang alang-alang yang sangat luas. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari sebagai pemegang mandat ilmiah (scientific autority) mendapat tugas untuk melakukan penelitian pada kawasan hutan baik yang menyangkut flora, fauna, sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan maupun perubahan iklim Dengan Latar belakang tersebut Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di daerah melalui hasil-hasil penelitian yang aplikatif dan representatif. Sesuai undang-undang no. 18 tahun 2002, bahwa hasil-hasil penelitian wajib disampaikan ke masyarakat untuk dapat dimanfaatkan. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sebagai salah satu institusi litbang di daerah memiliki beberapa fungsi yang salah satunya adalah menyalurkan hasil-hasil penelitian, diantaranya melalui kegiatan seminar/ekspose hasil penelitian. Tujuan dari penyelenggaraan ekspose Hasil Penelitian adalah untuk dapat menjawab tantangan dan permasalahan yang timbul dari masayarakat sekitar hutan, perubahan iklim, dan permasalahan sosial lainnya yang dapat muncul sewaktu-waktu. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian berjumlah 18 judul materi yang terbahas, serta telah dirumuskan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan tyerima kasih kepada Tim Penyaji, Peyelanggara, Penyunting, dan pihak-pihak terkait yang telah membantu, mendukung sampai terselesaikannya kegiatan, semoga bermanfaat.

Manokwari, November 2011 KEPALA BALAI,

Dr.Ir. Arif Nirsatmanto, M.Sc NIP. 19681101 199303 1 003

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - i

ii - BPK Manokwari

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI iii LAPORAN KETUA PANITIA v SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT ix RUMUSAN xiii KEYNOTE SPEECH 1 Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih 3 Kepala Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Provinsi Papua Barat 9 Optimalisasi Peran Dan Fungsi Litbang Kehutanan : “Upaya Peningkatatan Pencapaian Outcome Hasil Litbang Dalam Pengelolaan Hutan Di Tanah Papua” 13

MAKALAH UTAMA 25 Kajian Aspek Biofisik Lahan Terdegradasi Gunung Botak di Papua Barat 27 Pendugaan Biomasa Atas Tanah Untuk Perbaikan Faktor Emisi Dan Serapan Gas Rumah Kaca Kehutanan Di Kawasan Hutan Alam Tanah Mineral Papua 35 Peranan Sektor Kehutanan Dalam Pembangunan Ekonomi Melalui Pemberdayaan Potensi Lokal di Provinsi Papua Barat 57 Pemilihan Jenis Tanaman Penghasil Kayu Dan Bukan Kayu di Papua 69 Pendekatan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Di Kawasan Hutan Konservasi Papua 83 Kelestarian Hutan Produksi Dalam Jebakan Kebijakan di Tanah Papua 97 Kerentanan Lahan Basah Terhadap Penyebaran Tumbuhan Invasif: Tinjauan Di Wilayah Taman Nasional Wasur, Merauke 109 Kajian Sosial Budaya Dan Adaptasi Masyarakat Papua Terhadap Dampak Perubahan Iklim 123

MAKALAH PENUNJANG 135 Bio Ethanol Dari Nipah (Nypa fruticans Wurmb) 137

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - iii

Pemanfaatan Nipah (Nypa fruticans Wurmb) Oleh Masyarakat Desa Borai Serui 145 Zat Ekstraktif Kayu Sebagai Alternatif Bahan Pengawet Kayu Terhadap Serangan Organisme Perusak Kayu 153 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan Keberadaan Pohon Inti Dan Kondisi Permudaan (Studi Kasus di IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua) 161 Pengaruh Pemupukan Terhadap Pertumbuhan Tiga Jenis Tumbuhan Berkayu di PT Mamberamo Alas Mandiri (PT. MAM), Mamberamo - Papua (The Influence of Fertilizing Toward Three Woody in PT Mamberamo Alas Mandiri (PT. MAM), Mamberamo – Papua) 173 Komposisi Dan Struktur Vegetasi Pada Hutan Bekas Tebangan di Wilayah Goras, Kokas, Fakfak - Papua Barat 181 Komposisi dan Struktur Vegetasi Pada Hutan Dataran Rendah Pulau Supiori Papua 195

LAMPIRAN 211 Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari 2011 213 Lampiran 2. Daftar Hadir Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 215

iv - BPK Manokwari

LAPORAN KETUA PANITIA

EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TAHUN 2011 “ Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua ” HOTEL ASTON NIU , MANOKWARI 29 NOVEMBER 2011

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua Yang Kami Hormati :

 Bapak Pejabat Gubernur Provinsi Papua Barat/Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat;  Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementrian Kehutanan atau Yang Mewakili;  Bapak Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat;  Koordinator Wilayah UPT Provinsi Papua Barat ;  Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Manokwari ;  Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sorong ;  Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wandama;  Kepala UPT Kementrian Kehutanan se Provinsi Papua,  Para Akademisi, Peneliti, Pemerhati, Lembaga Swadaya Masyarakat dan seluruh undangan peserta ekspose yang berbahagia.

A. DASAR PELAKSANAAN

1. DIPA Balai PenelitianKehutanan Manokwari tahun 2011 2. Surat Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari tentang pelaksanaan ekspose hasil-hasil penelitian.

B. TEMA

Tema yang diangkat pada ekspose hasil-hasil penelitian adalah “Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua”

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - v

C. TUJUAN

1. Kegiatan ekspose hasil penelitian BPK Manokwari tahun 2011 dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh BPK Manokwari kepada pihak- pihak pengguna. 2. Sedang tujuannya adalah untuk mempublikasikan berbagai rekomendasi dan teknologi yang telah dihasilkan BPK Manokwari, sehingga dapat terjalin komunikasi antara para pihak yang memerlukan teknologi dan informasi mengenai pengelolaan hutan di tanah Papua.

D. HASIL YANG DIHARAPKAN

1. Terlaksananya kegiatan ekspose hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh BPK Manokwari tahun 2011. 2. Tersedianya hasil-hasil penelitian yang merupakan rekomendasi dan teknologi yang dapat mendukung kebijakan pengelolaan hutan dan lahan, serta menjadi masukan yang strategis penentu kebijakan di masa yang akan datang.

E. MATERI EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN

Materi Ekspose Hasil-Hasil Penelitian yang dipresentasikan sebagai berikut : 1. Kesiapan Provinsi Papua Barat dalam Penerapan Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon 2. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Yang Berkaitan Dengan Perubahan Iklim di Tanah Papua 3. Kajian Aspek Biofisik Lahan Terdegradasi Gunung Botak di Papua Barat. 4. Pemilihan Jenis Tanaman Hutan untuk Persiapan Pembangunan Kebun Bibit di Tanah Papua 5. Peranan Sektor Kehutanan Dalam Pembangunan Melalui Pemberdayaan Potensi Sumber Daya Hutan Lokal di Papua. 6. Kelestarian Hutan Produksi Dalam Jebakan Kebijakan di Tanah Papua. 7. Pendekatan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan di Kawasan Hutan Konservasi papua . 8. Kerentanan Lahan Basah Terhadap Penyebaran Tumbuhan Invasif : Tinjauan di Wilayah Taman Nasional Wasur, Merauke .

Metode yang digunakan dalam Ekspose ini adalah presentasi yang dilanjutkan dengan diskusi panel.

F. PESERTA

Peserta Ekspose Hasil-Hasil Penelitian terdiri dari : 1. Kementrian Kehutanan Pusat

vi - BPK Manokwari

2. Pemda Provinsi Papua Barat 3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat 4. Perguruan Tinggi 5. UPT Kementrian Kehutanan Provinsi Papua Barat 6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Manokwari, Sorong, Wondama, Sorong Selatan. 7. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Kehutanan 8. Kelompok Tani Hutan 9. Pengusaha Kayu 10. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Manokwari, Sorong, Wondama, Sorong Selatan. 11. Lembaga Swadaya Masyarakat. 12. Guru SLTA Jurusan Biologi

Jumlah peserta yang diundang sebanyak 200 (dua ratus) orang dan menurut catatan daftar absensi sudah hadir 150 orang.

G. WAKTU DAN TEMPAT

Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dilaksanakan selama 1 (satu) hari pada tanggal 29 November 2011 di Hotel Aston Niu Manokwari .

H. FASILITAS

Fasilitas yang disediakan panitia bagi peserta kegiatan Seminar Bersama meliputi : konsumsi, alat tulis, materi (hand out), bantuan transport lokal sesuai anggaran yang tersedia.

I. BIAYA DAN SUMBER DANA

Seluruh biaya untuk pelaksanaaan kegiatan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian bersumber dari anggaran DIPA Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2011. Akhirnya kami sampaikan terima kasih pada seluruh panitia yang terlibat langsung maupun tidak langsung pada penyelenggaraan Ekspose Hasil Penelitian, dan bersama ini kami ucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat atas kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian ini serta penghargaan kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat dan jajarannya yang telah bekerjasama dengan kami sehingga ekspose hasil penelitian ini dapat terlaksana sesuai dengan harapan. Meskipun dalam suasana bulan penuh kegiatan, Bapak/Ibu dan hadirin masih berkenan hadir dalam acara ini, maka tak lupa kami haturkan terima kasih dengan harapan semoga Bapak/Ibu dan hadirin dapat mengikutinya hingga selesai dan atas nama panitia kami sampaikan mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian ini terdapat hal-hal yang kurang berkenan karena keterbatasan kami.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - vii

Pada kesempatan ini kami mohon kepada Bapak Pejabat Gubernur Provinsi Papua Barat / Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat berkenan pada saatnya nanti memberikan sambutan dan arahan sekaligus membuka secara resmi Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dengan tema “ Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua “ , demikian laporan kami atas perhatiannya diucapkan terima kasih .

Billahi Taufik wal Hidayah Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Manokwari, 29 November 2011 KETUA PANITIA

Ir. EDWIN L. YOROH

viii - BPK Manokwari

SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI “ Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua “ Manokwari, 29 November 2011

Salam Sejahtera Untuk Kita Semua Yang saya hormati :

 Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementrian Kehutanan, atau Yang Mewakili  Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prov. Papua Barat ;  Koordinator Wilayah UPT Kementrian Kehutanan Provinsi Papua Barat  Para Kepala UPT Kementrian Kehutanan Se Provinsi Papua Barat ;  Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten dan Kota Se Provinsi Papua Barat  Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi kemasyarakatan di Manokwari;  Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, guru SLTA, peserta seminar dan undangan serta hadirin yang berbahagia,

Pertama-tama, mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya kepada kita semua, sehingga hari ini kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal‟afiat. Saya sangat menghargai diadakannya Ekspose Hasil-Hasil Penelitian di Tanah Papua, yang diselenggarakan oleh BPK Manokwari bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat. Sebagaimana telah kita ketahui, pengelolaan hutan bukan sekedar masalah ekologis, akan tetapi juga berkaitan erat dengan masalah sosial, ekonomi, hukum, dan tata pemerintahan. Semuanya terkait secara dinamis, oleh karena itu membangun dan melestarikan hutan tidak dapat dilakukan hanya melalui satu sudut pandang, dan hanya oleh satu pihak saja, akan tetapi keterlibatan berbagai pihak menjadi keniscayaan. Dalam kaitan dengan hal tersebut pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari agenda besar sektor kehutanan ke depan. Untuk merealisasikan agenda besar tersebut, masih banyak sekali hal-hal yang perlu disempurnakan mulai dari aspek kebijakan sampai kepada teknis operasional. Selanjutnya saya sangat menaruh harapan yang tinggi dari Upaya menumbuhkan budaya menanam di masyarakat yang dilakukan Kementerian Kehutanan melalui berbagai program penanaman. Tercatat program yang telah dilaksanakan antara lain Aksi Penanaman Serentak Indonesia (tahun 2007 dan 2008), Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (tahun 2007), Pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional (tahun 2008), serta Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree - tahun 2009).

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - ix

Keberhasilan seluruh program tersebut memacu pemerintah untuk meluncurkan program Penanaman 1 Miliar Pohon tahun 2010 dengan motto "Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia" atau "One Billion Indonesian Trees for the World", semoga menjadi komitmen semua pihak dalam melestarikan hutan, dan bagian dari solusi berbagai permasalahan yang kita hadapi, baik yang aktual maupun potensial. Untuk itu, maka marilah sama-sama kita tindaklanjuti semua kegiatan program menanam tersebut dalam kegiatan-kegiatan yang konstruktif sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemangku kepentingan. Kalau kita perhatikan Papua sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia juga dikenal dengan luas tutupan hutan sebesar ; 40.546.360 ha ( SK Menhut No. 891/Kpts-II/99) . Namun luas hutan tersebut tidak menutup kemungkinan akan sirna secara bertahap jika kita semua tidak memperhatikan masalah kelestariannya, oleh karena itu program menanam yang telah dicanangkan tersebut harus menjadi perhatian yang serius dan menjadi komitmen bersama untuk melaksanakannya.

Saudara-saudara sekalian, Saya melihat bahwa antara kemiskinan dan degradasi hutan terdapat hubungan yang saling menguatkan. Kemiskinan adalah salah satu faktor pendorong keterlibatan masyarakat dalam pencurian kayu di Kawasan Hutan. Kemiskinan juga menjadi penghambat penerapan praktek pemanfaatan lahan sesuai dengan kaidah ekologi-konservasi. Sebaliknya, degradasi ekosistem yang berujung pada rendahnya produktifitas lahan akan mempersulit sebuah komunitas lepas dari kemiskinan. Oleh sebab itu, membebaskan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dari himpitan kemiskinan adalah salah satu prasyarat untuk mewujudkan hutan lestari. Ada kemungkinan, di masa lalu upaya membagi manfaat pengelolaan hutan dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dilakukan dalam bentuk charity yang dijalankan secara ala-kadarnya sebagai pemenuhan kewajiban. Kenyataan membuktikan bahwa hal ini tidak efektif untuk menyejahterakan masyarakat. Pendekatan yang kini harus ditempuh adalah menempatkan masyarakat sebagai bagian dari subyek (pelaku), bukan sebagai obyek pengelolaan hutan. Akses masyarakat terhadap manfaat hutan yang dulu dimarginalkan kini harus diberikan akses seluas-luasnya. Dengan demikian di kalangan masyarakat akan tumbuh rasa memiliki sehingga turut menjaga kelestarian hutan, dan di sisi lain masyarakat mendapat manfaat yang lebih tinggi dari pengelolaan sumberdaya hutan. Sejalan dengan itu, pengelolaan hutan lestari harus berbasis masyarakat, dalam upaya melestarikan jenis-jenis lokal yang saat ini dirasakan sudah mulai punah keberadaannya dari Bumi Cendrawasih. Peningkatan akses masyarakat seyogyanya tidak kita interpretasikan independen atau terlepas dari berbagai peraturan-peraturan yang mengatur. UU 41/1999 misalnya, telah mengatur mengenai keberadaan hak masyarakat. Akan

x - BPK Manokwari

tetapi, itu tidak serta-merta menjadikan setiap klaim masyarakat menjadi sah. Ada ketentuan-ketentuan lain yang mesti dipenuhi. Berkaitan dengan hal ini, kebijakan Kementrian Kehutanan dan jajarannya di daerah baik UPT maupun Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/Kota ialah tetap berpegang pada peraturan perundangan yang berlaku, sementara pada saat yang sama selalu mengupayakan komunikasi yang efektif dan transparan dengan masyarakat.

Saudara-saudara sekalian, Kaitannya dengan otonomi daerah, keberhasilan agenda sektor kehutanan sangat memerlukan dukungan dan kerjasama yang lebih sinergis. Ini adalah mutlak karena hutan adanya di daerah, dan di era otonomi ini, daerah memegang porsi yang besar dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Untuk itu, saya ingin menekankan pentingnya persamaan persepsi antara Kementrian Kehutanan dengan Pemerintah Daerah dalam menyikapi kondisi kehutanan dewasa ini. Di sini komunikasi yang efektif dan terbuka amat sangat diperlukan dalam mempercepat penyelesaian masalah. Kerjasama-kerjasama yang produktif antara Pusat dan Daerah perlu terus ditingkatkan dan dicarikan modus yang paling optimal sehingga akhirnya akan memberikan manfaat yang optimal bagi bangsa dan negara. Kita jangan pernah lupa, bahwa hutan secara alamiah adalah sumberdaya yang tidak mengenal batas-batas administratif. Bencana akibat kehancuran sumberdaya hutan tidak bisa diisolasi dengan batas-batas administratif. Sebaliknya manfaat dari keberadaan hutan juga tidak bisa dicegah untuk melewati batas-batas administratif. Disini kesepakatan-kesepakatan lintas daerah perlu dibangun, dan harapan kami Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota akan berperan sebagai koordinator atau mediator.

Saudara-saudara sekalian, Sebelum mengakhiri sambutan ini, saya ingin mengulangi, saya sangat mendukung penyelenggaraan ekspose hasil-hasil penelitian ini, yang dihadiri oleh para pengambil kebijakan baik dari pusat dan daerah, pelaku pembangunan, para penyuluh, pengusaha hutan, tokoh masyarakat, para guru, dan lembaga swadaya masyarakat yang akan aktif untuk mengikuti seminar ini sampai dengan selesai , sehingga dapat memberikan wawasan kedepan yang lebih baik untuk memajukan bahkan jadi pelopor penananaman pohon di Bumi Cenderawasih yang sama-sama kita cintai. Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan petunjuk dan kemudahan bagi kita semua, dan senantiasa membimbing setiap langkah yang akan kita ambil. Terimakasih atas perhatiannya.

Gubernur Papua Barat

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - xi

xii - BPK Manokwari

RUMUSAN

EKSPOSE HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI ” Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua ” Manokwari, 29 November 2011

Memperhatikan arahan Gubernur Provinsi Papua Barat dalam Pidato pembukaan acara ekspose hasil penelitian BPK Manokwari tahun 2011, Materi arahan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Koordinator Wilayah UPT Provinsi Papua Barat, dan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari tentang ”Dukungan Litbang Kehutanan Dalam Kebijakan Pemerintah Daerah, Kebijakan Kementerian Kehutanan, dan Optimalisasi Peran dan Fungsi Litbang Kehutanan Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua, serta hasil diskusi selama Ekspose hasil penelitian BPK Manokwari Tahun 2011 dirumuskan hasil sebagai berikut :

A. Arahan Kebijakan Dukungan Litbang Kehutanan 1. Pengelolaan sumberdaya hutan dewasa ini telah menjadi isu global, bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi ekonomi dan ekologis semata, tetapi juga fungsi sosial dan budaya yang berperan vital dalam sistem penyangga kehidupan. Model pengelolaan hutan yang harus diimplementasikan adalah pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat guna mewujudkan motto “ Hutan Lestari Rakyat Sejahtera” 2. Program gerakan menanam yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah sejak tahun 2008, harus mendapat perhatian yang serius dari semua kalangan, karena hal tersebut merupakan upaya yang wajib dilakukan untuk menekan efek pemanasan global dan perubahan iklim yang melanda wilayah Indonesia pada khususnya, dan dunia pada umumnya. Dukungan teknik silvikultur jenis dan petunjuk teknik rehabilitasi hutan dan lahan untuk jenis endemik Papua sangat dibutuhkan. 3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan hendaknya menjadi agenda utama di setiap program pembangunan sektor kehutanan sehingga terjadi proses kemandirian untuk mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari baik ekologis, ekonomis, maupun sosial budaya. 4. Optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan untuk mendorong tercapainya tujuan kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat, diupayakan melalui pengembangan pelaksana fungsi litbanghut, membangun forum Litbanghut, dan mendorong pembagian peran antara pemerintah dan swasta dalam melaksanakan Litbanghut. 5. Optimalisasi peran litbang kehutanan dalam mendukung percepatan pembangunan kawasan hutan dan lahan di Papua diarahkan pada

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - xiii

pencapaian hasil-hasil Litbanghut yang implementatif, akomodatif dan diseminatif – kolaboratif yang diwujudkan melalui penciptakan paket teknologi tepat guna, peranti dan warta kebijakan kehutanan yang sesuai dengan kebutuhan lokal Papua.

B. Arah Pengembangan Program Litbanghut 1. Konservasi dan Rehabilitasi

a. Pola pendekatan pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional pada umumnya telah dimiliki oleh masyarakat di Tanah Papua. Kesadaran tersebut merupakan kearifan lokal yang sangat diharapkan guna kelangsungan konservasi bagi kelestarian kawasan hutan di Tanah Papua. Oleh karena itu hasil kajian terhadap kearifan lokal perlu ditingkatkan menjadi teknologi tepatguna yang dapat diimplementasikan dalam pengelolaan di setiap fungsi kawasan. b. Invasi tumbuhan pada lahan basah berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi suatu ekosistem, invasi tersebut mencakup tahapan migrasi, eksistensi dan kompetisi, dan terkait dengan aspek ruang dan waktu, dan hal ini terus menggeser jenis-jenis endemik yang sudah mapan. Oleh karena itu perlu mencari metoda pencegahan untuk membatasi penyebaran jenis invasif terutama jenis-jenis alien yang bukan jenis asli. c. Kajian etno-zoologi perlu dilakukan antara lain dengan mengkaji perilaku sosial dan budaya masyarakat terkait dengan pemanfaatan satwa tertentu khususnya yang dilindungi. Dalam pemanfaatan satwa tersebut perlu teknik pengelolaan populasi berbeda untuk setiap habitat. d. Kajian biofisik kawasan terdegradasi perlu diikuti dengan analisis tipe vegetasi bawah yang berperan untuk proses rehabilitasi dan suksesi vegetasi, misalnya nilai vegetasi semak belukar terutama untuk penanaman dan daya tahan dari tanaman rehabilitasi. Pemilihan jenis yang sesuai kondisi lahan, merupakan keharusan untuk rehabilitasi kawasan terdegradasi.

2. Silvikultur dan Hasil Hutan

a. Kelestarian pengelolaan hutan dapat terwujud apabila adanya sinkronisasi antara pelaksanaan dan kebijakan/aturan yang telah ditetapkan. Dalam penetapan kebijakan sebaiknya berdasarkan hasil-hasil riset yang telah dilakukan baik oleh lembaga riset pemerintah maupun perguruan tinggi. Hal ini untuk menghindari kelestarian pengelolaan hutan yang tidak terwujud akibat dari kebijakan/aturan yang ada. b. Kajian HHBK di Papua perlu dikaji secara kuantitatif untuk mengungkapkan potensi dan keunggulan jenis HHBK yang sangat tinggi di setiap wilayah. Untuk itu kegiatan penelitian HHBK di Papua perlu mengacu kepada Roadmap Badan Litbang Kehutanan, yang mencakup

xiv - BPK Manokwari

antara lain potensi, budidaya, pemanenan, pengolahan (pasca panen), tata niaga dan regulasi khususnya ditingkat lokal. c. Dalam rangka mendukung salah satu program kebijakan Kementerian Kehutanan yaitu rehabilitasi hutan dan lahan dengan kegiatan utama yang dilaksanakan adalah penanaman dengan berbagai jenis tanaman hutan. Untuk memberikan jaminan keberhasilan pertumbuhan di lapangan yang baik, maka dibutuhkan bibit yang bermutu dan tehnik penanaman yang tepat.

C. Sosial Budaya dan Perubahan Iklim 1. Penelitian untuk pembentukan model persamaan allometrik pendugaan stok karbon di hutan perlu mempertimbangkan persyaratan-persyaratan metodologis yang tepat serta teknik analisis statistik yang sesuai dengan karakteristik populasi dan objek penelitian. Pengesahan model persamaan allometrik yang dihasilkan selain didasarkan pada keabsahan secara statistika, juga harus mempertimbangkan aspek kepraktisan penggunaan model bersangkutan. 2. Penelitian adaptasi masyarakat adat terhadap perubahan iklim perlu dilakukan dengan metode dan teknik analisis yang lebih tepat, terutama untuk menjawab bagaimana bentuk adaptasi oleh masyarakat terhadap perubahan iklim dan bagaimana intervensi yang perlu dilakukan guna meningkatkan daya adaptasi masyarakat dalam mengantisipasi perubahan iklim yang sedang terjadi. 3. Kajian sistem penguasaan dan pemanfaatan hutan dan lahan masyarakat adat serta kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat adat masih diperlukan dalam rangka melakukan rekayasa sosial untuk menangani konflik sektor kehutanan, baik untuk hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Hasil kajian tersebut dapat menjadi dasar untuk merancang model partisipasi dan model pemberdayaan masyarakat adat di dalam pengelolaan hutan.

Manokwari, 29 November 2011

TIM PERUMUS 1. Ir. Max J. Tokede, MS (Ketua) 2. Ir. Silvia Makabori, M.Si (Sekretaris) 3. Dr. Charlie Danny Heatubun, S.Hut, M.Si (Anggota) 4. Ir. Yunus Abdullah, MSi (Anggota) 5. Ir. Bambang Hariadi, MP (Anggota) 6. Ir. Relawan Kuswandi, M.Sc (Anggota) 7. Ir. M. St. E. Kilmaskossu, M.Sc (Anggota) 8. Ir. Hendra Gunawan, MP (anggota)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - xv

xvi - BPK Manokwari

KEYNOTE SPEECH

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 1

2 - BPK Manokwari

KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH PADA ACARA EKSPOSE HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN MANOKWARI Manokwari , 29 November 2011

Assallamu‟ alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh,

Yth. Gubernur Papua Barat; Yth. Anggota DPRD Provinsi Papua Barat; Yth. Kepala BAPPEDA Provinsi Papua Barat; Yth. Kepala BAPEDALDA Provinsi Papua Barat; Yth. Kepala Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua; Yth. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat; Yth. Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua; Yth. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten lingkup Provinsi Papua Barat; Yth. Kepala Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan lingkup Provinsi Papua Barat; Yth. Para Nara Sumber dan Akademisi Yth. Pimpinan Organisasi/ LSM serta hadirin sekalian.

Pertama-tama marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya yang tak terhingga, sehingga pagi ini kita masih diberi nikmat kesehatan sehingga dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka menghadiri Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari tahun 2011 dan tidak lupa kami atas nama Kepala Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan di Provinsi Papua Barat menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada jajaran Balai Penelitian Kehutanan Manokwari yang telah mempersiapkan pelaksanaan acara ini dengan baik.

Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian, Pembangunan kehutanan tahun 2011 secara umum dilatarbelakangi dengan kondisi bahwa perspektif optimalisasi pemanfaatan hutan perlu lebih dikembangkan tidak hanya bertumpu pada produk kayu tetapi juga hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan sebagai pengatur tata air, penyedia udara bersih, penyerap karbon, keanekaragaman hayati, penyedia air dan wisata alam perlu terus digali dan ditingkatkan optimalisasi pemanfaatannya sehingga bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Era pemanfaatan kayu, era logging diluar kemampuan hutan untuk memproduksinya sudah saatnya dibatasi dan selanjutnya dilakukan penggalian potensi selain kayu. Banyak ahli yang berpendapat bahwa kayu berkontribusi kayu hanya sebesar 1% dari seluruh Potensi hutan yang ada, dan ketika pohon di eksploitasi, 99% potensi lainnya ikut tercabut. Kita harus benar-benar bijak memanfaatkan sumber daya hutan yang tidak tak terbatas untuk kepentingan generasi saat ini dan yang akan datang.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 3

Tahun 2011 juga merupakan tahun yang sangat penting karena merupakan tahun kedua dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014, dan pada tahun inilah Pemerintah benar-benar mulai melaksanakan Pengganggaran Berbasis Kinerja (PBK) secara utuh. Berdasarkan prinsip keutuhan, keterpaduan dan keberlanjutan, maka penyelenggaraan pembangunan tahun 2011 masih melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan kehutanan tahun sebelumnya yang menyukseskan visi Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan” diimplementasikan ke dalam enam Kebijakan Prioritas Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 10/Menhut-II/2011, yaitu: 1) Pemantapan Kawasan Hutan; 2) Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung DAS; 3) Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan; 4) Konservasi Keanekaragaman Hayati; 5) Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan; dan 6) Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan.

Seluruh aparat instansi kehutanan, baik di tingkat pusat maupun di daerah wajib melaksanakan 6 (enam) Kebijakan Prioritas bidang kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II. Ke depan pembangunan kehutanan lebih mengutamakan perhatian pada kawasan konservasi, serta kesejahteraan bagi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan, meskipun tetap selaras dengan kebutuhan negara dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.

Dalam rangka menjaga kelestarian hutan, serta mensejahterakan masyarakat, kebijakan yang menyentuh kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), dan Hutan Rakyat Kemitraan terus ditingkatkan, baik luasan maupun pemerataannya. Sehingga masyarakat di dalam dan di sekitar hutan benar-benar merasakan manfaat pengelolaan hutan secara nyata, terutama dalam meningkatkan ekonominya. Sementara itu program penghijauan dan penanaman kembali hutan dan lahan kritis (RHL), akan ditingkatkan luasannya. Dalam konteks global upaya RHL merupakan komitmen Pemerintah untuk mengurangi emisi dari degradasi dan deforestasi hutan untuk mengatasi perubahan iklim. Oleh karena itu Gerakan Penanaman Satu Miliar Pohon dan program Kebun Bibit Rakyat harus menjadi program yang utama. Semoga program-program tersebut dapat berjalan dengan baik dan dilakukan evaluasi secara meyeluruh terhadap pelaksanaan di lapangan, baik keberhasilan tanaman, maupun kegiatan pendukungnya.

Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian, Isu di bidang kehutanan saat ini antara lain, perambahan kawasan,

4 - BPK Manokwari

penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sektor lain secara tidak prosedural, penyelundupan tumbuhan dan satwa liar, kebakaran hutan dan lahan, tersedianya kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin pemanfaatan, kawasan hutan produksi belum seluruhnya tertata dalam unit pengelolaan KPHP, belum seluruh unit KPHP terbentuk kelembagaannya, semakin menurunnya potensi kayu pada hutan produksi alam, masih banyaknya permasalahan kawasan hutan, Belum seluruhnya daerah membentuk dan menetapkan Panitia Tata Batas dalam Penataan Batas Kawasan Hutan dan belum seragamnya pemahaman Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Jika berbicara mengenai isu kehutanan, kita tidak hanya melihat dari satu sisi, karena sektor kehutanan merupakan isu lintas sektoral, seperti sektor pertanahan, kelautan dan perikanan, pertanian dan pertambangan dan lain-lain. Sehingga posisi kehutanan merupakan institusi kelembagaan yang memiliki peran penting dalam rancangan pembangunan nasional. Hal ini berarti pula bahwa pengambilan keputusan di bidang kehutanan sudah tidak bisa lagi ditentukan sendiri, namun harus mempertimbangkan dan melibatkan banyak pihak agar keputusan tersebut bisa berjalan dengan baik. Dengan demikian penetapan rencana pembangunan kehutanan selain perlu mempertimbangkan penentuan target dan sasaran Rencana Strategis 2010-2014, perlu juga mengakomodir pertimbangan kondisi lintas sektor yang ada serta pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat.

Terkait dengan Kebijakan Prioritas Nasional, setiap Eselon I Kementerian Kehutanan telah menetapkan target pembangunan kehutanan yang harus dicapai sebagai Target Indikator Kinerja Utama (IKU) selama 5 (lima) tahun mulai tahun 2010-2014, antara lain: 1. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan telah menetapkan : a) Tata batas kawasan hutan (batas luar dan fungsi) sepanjang 63.000 km; b) Pembangunan dan beroperasinya KPH sebanyak 120 lokasi; c) Penyusunan Rencana Macro Kehutanan; d) fasilitasi review tata ruang untuk 26 provinsi; e) Data dan Informasi Geospasial Dasar Kehutanan Nasional. 2. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan telah menetapkan : a) Terbentuknya KPHP pada 20% kawasan hutan produksi; b) Produksi Hasil Hutan Kayu/HHBK/Jasa Lingkungan sebesar 1%; c) Penerbitan IUPHHK- HA/RE pada areal bekas tebangan (LOA) seluas 450.000 ha; d) Penambahan luas tanaman (HTI dan HTR) sebesar 500.000 ha; e) PNBP dari Investasi Pemanfaatan Hutan Produksi meningkat sebesar 2%; f) Pemenuhan Bahan Baku dari hutan tanaman dan limbah meningkat 10%; g) Efisiensi penggunaan bahan baku industri meningkat sebesar 2%. 3. Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial telah menetapkan : a) Rehabilitasi hutan dan lahan seluas 2,5 juta ha; b) Fasilitasi penyediaan areal kerja HKm seluas 2 juta ha; c) Fasilitasi penyediaan areal kerja Hutan Desa seluas 500.000 ha; e)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 5

Fasilitasi pembangunan Hutan Rakyat Kemitraan seluas 250.000 ha; f) Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu pada 108 DAS Prioritas; g) Pengelolaan Areal Sumber Benih seluas 4.500 ha; dan h) Pembangunan Areal Sumber benih seluas 6.000 Ha. 4. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam telah menetapkan : a) Peningkatan populasi spesies prioritas utama yang terancam punah sebesar 3% sesuai kondisi biologis dan ketersediaan habitat; b) Penyelesaian kasus TIPIHUT (illegal logging, perambahan, perdagangan TSL ilegal, penambangan ilegal dan kebakaran) minimal 75%; c) Penurunan Hotspot di Pulau , Sumatera dan sebesra 20% dari rerata tahun 2005-2009; d) Penurunan Konflik dan tekanan terhadap kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya (CA, SM, TB) dan HL sebesar 5%; e) Peningkatan pengusahaan pariwisata alam sebesar 60% (15 unit) dari tahun 2009. 5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menetapkan : a) Iptek dasar dan terapan yang dimanfaatkan oleh pengguna di bidang konservasi dan rehabilitasi sebanyak 7 judul; b) Iptek dasar dan terapan yang dimanfaatkan oleh pengguna di bidang produktivitas hutan sebanyak 6 judul; c) Iptek dasar dan terapan yang dimanfaatkan oleh pengguna di keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan sebanyak 5 judul; d) Iptek dasar dan terapan yang dimanfaatkan oleh pengguna di bidang perubahan iklim dan kebijakan sebanyak 7 judul; Minimal 60% hasil penelitian dan pengembangan kehutanan dapat dimanfaatkan dalam pengambilan kebijakan, pengelolaan teknis kehutanan dan pengayaan ilmu pengetahuan, termasuk pengembangan kebijakan dan teknis yang berkaitan dengan isu-isu perubahan iklim 6. Badan Pengembangan Penyuluhan dan Sumber Daya Manusia Kehutanan telah menetapkan : a) Terbentuknya lembaga koordinasi penyuluhan di tingkat provinsi sebanyak 33 Provinsi; b) Peningkatan peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemberdayaan masyarakat sebanyak 500 kerjasama kemitraan; c) Pembentukan kelompok masyarakat produktif mandiri sebanyak 500 kelompok; d) Sertifikasi penyuluh kehutanan sebanyak 1.500 orang ; e) Kampanye Indonesia Menanam (KIM) di 33 provinsi; dan f) Pendidikan dan Pelatihan aparatur Kementerian Kehutanan dan SDM Kehutanan lainnya sebanyak 15.000 orang.

Untuk mencapai target Indikator Kinerja Utama yang telah ditetapkan tersebut di atas, masing-masing unit Eselon I merinci menjadi Indikator Kegiatan yang dilaksanakan oleh unit Eselon II pusat, maupun Unit Pelaksana Teknis Eselon I di Provinsi dan Dinas di tingkat provinsi yang menangani kehutanan sebagai kegiatan yang dekosentrasikan. Terkait dengan kegiatan Ekspose Hasil Penelitian Tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manokwari yang mengambil tema “Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua” , maka kegiatan ini merupakan salah satu sarana komunikasi antara Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan para pihak yang memerlukan data dan informasi mengenai hasil-hasil penelitian dan terakomodirnya saran dari berbagai

6 - BPK Manokwari

pihak tentang penelitian kehutanan di tanah papua. Disamping itu diharapkan hasil-hasil penelitian yang ada dapat merekomendasikan beberapa teknologi dan kebijakan pengelolaan hutan pada masa yang akan datang khususnya di tanah Papua.

Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian, Berdasarkan koordinasi kami dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan lingkup Provinsi Papua Barat, kami telah mengikuti mekanisme perencanaan yang ada sejak Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Daerah, Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Regional, Rapat Koordinasi Teknis masing-masing Eselon I Kementerian Kehutanan dan Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Nasional, telah mencoba untuk mensinkronkan kegiatan antar Unit Pelaksana teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di Provinsi, dan antara UPT Kementerian Kehutanan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat serta Dinas Kehutanan Kabupaten se Provinsi Papua Barat, agar hasil penelitian dan kegiatan satuan kerja dapat berjalan sinergi dan searah sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam pembanguan kehutanan di daerah, namun dirasakan hingga saat ini hasilnya belum optimal.

Pada tahun-tahun mendatang UPT Kementerian Kehutanan memerlukan penelitian yang mendukung pembangunan dan pengelolaan hutan dan lahan, antara lain : 1) Kajian terhadap rencana pemekaran wilayah terhadap keutuhan Kawasan Konservasi sebagai Provinsi Konservasi; 2) Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Kearifan Lokal (Budaya Sasi oleh masyarakat Pulau Rumberpoon); 3) Pengembangan Atraksi Hiu Paus dalam Pemanfaatan Jasling TNTC; 4) Studi Bioekologi Hiu Paus di Perairan Kwatisore Kawasan TNTC; 5) Kajian Sosial Ekonomi masyarakat sekitar perairan Kwatisore sebagai dampak Peningkatan jumlah Pengunjung kawasan TNTC; 6) Mengukur Ancaman Abrasi Pulau Wairundi (The Last Frontier of Turtels Breeding); 7) Studi tentang Provinsi Konservasi dalam Master Plan Pengelolaan Kawasan Lindung dan Konservasi di Provinsi Papua Barat; 8) Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) seperti anggrek dan tanaman obat dalam upaya pelestarian oleh masyarakat kawasan TNTC; 9) Pengukuran potensi karbon di padang lamun perairan sekitar Aisandami; 10) Kajian Kebijakan dalam Optimalisasi Pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan dengan Peraturan Daerah; 11) Kajian tentang Penatausahaan hasil hutan di Provinsi Papua Barat; 12) Demplot petak ukur permanen keanekaragaman hayati pada kawasan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam) dan 13) Dampak Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pembangunan Hutan Kemasyarakan (HKm), Pembangunan Hutan Rakyat terhadap fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS). Besar harapan kami, usulan rencana penelitian/ kajian kebijakan dapat dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, Perguruan Tinggi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik secara mandiri maupun secara bersama-sama dengan menggunakan tenaga ahli sesuai dengan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 7

profesinya dan dapat mendukung percepatan pembangunan kawasan hutan di Papua Barat.

Semoga hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dapat bermanfaat bagi kita semua dan Allah SWT, senantiasa melindungi kita sekalian.

Wassalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh

Kepala Balai Besar Taman Nasional teluk Cenderawasih,

Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si. NIP. 19610424 198603 1 003

8 - BPK Manokwari

KEPALA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA BARAT

PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI Manokwari, 29 November 2011

SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA Yang saya hormati :

 Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementrian Kehutanan, atau yang mewakili;  Koordinator Wilayah UPT Kementrian Kehutanan;  Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota se Provinsi Papua Barat;  Para Kepala UPT Kementrian Kehutanan di Provinsi Papua Barat atau Yang Mewakili ;  Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi kemasyarakatan di Sumsel;  Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, peserta ekspose dan hadirin yang berbahagia,

Pada kesempatan yang berbahagia ini marilah kita panjatkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat rahmat dan bimbingan- Nya kita semua masih dikaruniai kekuatan lahir dan batin, tuntunan dan perlindungan, utamanya kesehatan dan kesempatan sehingga kita dapat bersama-sama hadir dalam acara Espose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari . Saya menyambut baik dan gembira dilaksanakannya ekspose hasil-hasil penelitian yang diarahkan untuk percepatan pembangunan kawasann hutan dan lahan yang lestari di Papua Barat, dengan diiringi doa dan harapan, semoga acara ini mendapat karunia dan berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat diperoleh manfaat dan sumbangsihnya dalam pembangunan kehutanan di Provinsi Papua Barat. Hadirin yang saya hormati, Pemilihan tema ekspose sehari “ Optimalisasi Peran Litbang Kehutanan Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua“ sangat relevan dengan upaya pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatasi kondisi sumberdaya hutan yang semakin memprihatinkan akibat maraknya kerusakan hutan dimana-mana. Kelestarian sumberdaya hutan dewasa ini telah menjadi isu global. Umat manusia di seluruh dunia, bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi sosial ekonomi dan sosial budaya, tetapi juga fungsi ekologis yang peranannya sangat vital bagi sistem penyangga kehidupan. Terjadinya fenomena di muka bumi saat ini berupa pemanasan global dan perubahan iklim, merupakan suatu tantangan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 9

bagi kita semua untuk segera bertindak sesuai profesi dan proporsinya masing- masing. Terkait dengan fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan, sejatinya sudah diketahui dan disadari oleh semua pihak, akan tetapi selama ini peranan hutan dalam bidang ini seperti terabaikan oleh kepentingan lain. Seiring dengan kemajuan peradaban umat manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul berbagai implikasi buruk dari kemajuan yang dicapai tersebut. Kemajuan dalam teknologi yang menempatkan minyak bumi sebagai sumber energi utama penggerak roda kehidupan umat manusia telah mengakibatkan terjadinya emisi gas buang berlebihan yang mengotori lingkungan. Keadaan ini diperparah lagi dengan kerusakan sumber daya hutan yang terus terjadi sehingga emisi gas buang yang meningkat tidak dapat sepenuhnya terserap oleh tanaman hutan. Sebagai akibat dari keterkaitan tersebut di atas muncul berbagai perubahan terhadap iklim global, yang sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan di bumi, berupa kenaikan suhu muka bumi oleh pengaruh gas Karbon yang dikenal sebagai efek rumah kaca. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek pemanasan global dan perubahan iklim ditinjau dari kacamata kehutanan adalah dengan memperbanyak pohon dan tanam-tanaman. Oleh karena itu diperlukan upaya mempertahankan keutuhan ekosistem hutan, dan melakukan penanaman pohon secara besar-besaran. Berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dicanangkan melalui berbagai kegiatan, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM), Puncak Aksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Gerakan Penanaman Serentak 79 Juta Pohon, termasuk Gerakan Penanaman Serentak 100 Juta Pohon yang diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 28 November 2008. Dan pada tahun 2009 dicanangkan kembali oleh Presiden SBY Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree), dan terakhir tahun 2010 dicanangkan kembali program menanam 1 miliar pohon Indonesia untuk Dunia (One Billion Indonesian Trees for the World). Hadirin yang saya hormati, Saat ini, Departemen Kehutanan sedang mengupayakan tercapainya pelaksanaan tiga agenda pokok kebijakan revitalisasi sektor kehutanan. Agenda pertama, tercapainya pertumbuhan sektor kehutanan rata-rata 2-3% per tahun, sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi nasional, yang ditargetkan mencapai 5-6% pada tahun 2009. Kedua, bergeraknya sektor riil kehutanan yang berbasis usaha kecil menengah di perkotaan dalam sentra-sentra bisnis perkayuan khususnya di Indonesia Wilayah Timur. Ketiga, memberdayakan ekonomi masyarakat setempat, baik di sekitar maupun di dalam hutan. Dengan tercapainya keberhasilan penerapan kebijakan prioritas dan ketiga agenda tersebut di atas, maka kelestarian hutan akan terjaga, kelangsungan pasokan bahan baku industri terjamin, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Keberhasilan tersebut antara lain harus didukung dengan hasil-hasil penelitian yang berkualitas di bidang kehutanan. Untuk itu, Litbang Kehutanan baik di pusat maupun didaerah sebagai leading the way, dituntut untuk mampu melaksanakan tugas-tugas penelitian dan pengembangan yang inovatif dan integrative, sehingga dapat memberikan masukan-masukan yang akurat dan terpercaya

10 - BPK Manokwari

dalam pengambilan kebijakan di daerah. Ekspose hasil-hasil penelitian bertujuan untuk memperkenalkan, menyebarluaskan, dan mempromosikan hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan kepada pengguna; mendekatkan IPTEK hasil litbang kehutanan kepada para pengguna dengan harapan agar IPTEK yang dihasilkan dapat diketahui, diterapkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi para pemangku kepentingan; mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama kemitraan, baik antar komunitas iptek, maupun dengan pengambil kebijakan, kalangan dunia usaha, dan kelompok masyarakat, memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan IPTEK kehutanan dan dalam upaya penyelesaian masalah- masalah kehutanan yang ada, serta mendorong percepatan pencapaian tujuan pembangunan kehutanan daerah. Hadirin yang saya hormati, Berangkat dari permasalahan yang dihadapi saat ini, Kementrian Kehutanan telah menetapkan kebijakan dan langkah-langkah strategis yang berorientasi pada ,optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam kerangka otonomi daerah serta memperlihatkan kepentingan nasional, maka 5 (lima) kebijakan prioritas Kementrian Kehutanan 2004 – 2009 perlu mendapat dukungan yang kuat dalam pelaksanaan dilapangan, yaitu pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, melanjutkan program rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, pemberdayan ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan, serta memantapkan kawasan hutan. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk memotivasi minat masyarakat pada tanaman hutan adalah :  Mengembangkan jenis kayu tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berorientasi pasar baik berupa hasil kayu maupun bukan kayu.  Meningkatkan swadaya/partisipasi masyarakat dalam membangun hutan milik/hutan hak dalam bentuk kebun maupun perkarangan.  Memantapkan kebijakan mengembangkan tanaman kayu-kayuan dan tanaman serbaguna diluar kawasan hutan (lahan milik) berupa hutan rakyat untuk mengatasi luas kawasan hutan yang sedikit.  Menggali potensi jenis kayu langka dan tumbuh setempat (endemic) dan mempunyai prospek baik teknis maupun ekonomis untuk dijadikan jenis tanaman yang dapat dikembangkan .

Kami berharap agar ada tindak lanjut yang lebih operasional setelah selesainya kegiatan ekspose ini, sehingga terdapat dukungan yang kongkrit terhadap pelaksanaan program pembangunan sektor Kehutanan di Provinsi Papua Barat. Selanjutnya kami berharap agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam Ekspose hasil-hasil penelitian selama satu hari ini, baik dalam hal menyerap informasi hasil-hasil penelitian maupun dalam memberikan umpan balik.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 11

Hadirin yang berbahagia, Saya akhiri arahan saya ini, dengan satu harapan BPK Manokwari sebagai salah satu lembaga riset hutan di Papua Barat dapat menjadi pusat informasi IPTEK hutan khususnya penghasil kayu pertukangan dan non pertukangan serta aspek-aspek lainnya yang sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) serta pembangunan hutan berkelanjutan terutama di tanah Papua. Mengingat kondisi keuangan negara yang belum membaik, sedangkan tantangan tugas yang semakin berat maka lembaga riset Kehutanan di Manokwari (BPK Manokwari) perlu terus meningkatkan koordinasi program dengan Instansi teknis yang ada di Provinsi Papua Barat termasuk lembaga riset lainnya untuk sharing kegiatan, sehingga tidak terjadi adanya duplikasi risert. salah satunya adalah untuk mengoptimalkan peran IPTEK Kehutanan khususnya dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan dan lahan di Papua. Demikian arahan ini semoga bisa menjadi bahan pertimbangan pada diskusi hari ini. Sekian dan Terima Kasih

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat

12 - BPK Manokwari

OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI LITBANG KEHUTANAN : “UPAYA PENINGKATATAN PENCAPAIAN OUTCOME HASIL LITBANG DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI TANAH PAPUA”

Oleh :

Arif Nirsatmanto Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

PENDAHULUAN Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya telah menjadi icon salah satu negara mega- biodiversity di dunia. Hutan sebagai salah satu bagian dari sumber daya alam juga telah menjadi prioritas penting dalam pembangunan nasional. Dewasa ini peran dan fungsi sektor kehutanan menjadi sangat nyata dengan munculnya berbagai fenomena isu perubahan lingkungan, seperti climate change, bencana alam, penurunan daya dukung lingkungan dan ekosistem serta keanekaragaman hayati. Nampaknya memang peran sektor kehutanan sebagai salah satu pengendali ekosistem dan lingkungan tidak bisa tergantikan oleh sektor lainnya. Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari RPJPN 2005-20025 dan RPJMN 2010-2014 telah menetapkan 18 sasaran strategis Kemeterian Kehutanan (Kemenhut, 2010). Salah satu sasaran strategis tersebut menyangkut peran IPTEK, yaitu penyediaan teknnologi dasar dan terapan silvikultur, pengolahan hasil hutan, konservasi alam dan sosial ekonomi sebanyak 25 judul. Sasaran strategis ini merupakan salah satu mandat yang harus dilaksanakan dan dicapai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. Namun demikian sejatinya peran IPTEK inipun harus juga bisa memberikan kontribusi dan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian ke-17 sasaran strategis lainnya. Lebih lanjut Badan Litbang Kehutanan juga telah menetapkan target bahwa 60 % hasil penelitian kehutanan dimanfaatkan oleh pengguna (Balitbanghut, 2010). Keterlibatan penelitian dan pengembangan (Litbang) untuk mendukung pelaksanaan pembangunan Kementerian Kehutanan ini, disamping fungsinya untuk memberikan solusi-solusi teknis juga merupakan upaya untuk mendorong digunakannnya landasan ilmiah yang tepat dan akurat dalam merumuskan kebijakan yang akan diambil Kementerian Kehutanan. Peran dan fungsi litbang telah menjadi bagian integral yang mewarnai pembangunan bidang IPTEK nasional yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rill masyarakat dan peradaban dunia. Dalam bidang kehutanan, keberadaaan litbang baik yang pelaksanaanya berada di lingkup kementerian, perguruan tinggi, swasta dan NGO diharapkan akan mampu menjadi pendongkrak percepatan pembangunan sektor kehutanan untuk menuju pengelolaan hutan yang lestari atau Sustainable Forest management (SFM) dan kesejahteraan rakyat. Road Map Litbang Kehutanan 2010 -2025 yang

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 13

merupakan peta jalan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan kehutanan secara nasional telah ditetapkan melalui SK Menhut No. SK. 163/MENHUT-II/2009, tanggal 3 April 2009 (Balitbanghut, 2009). Disusunnnya Road Map diharapkan akan mampu mensinergikan secara subtansi pelaksanaan litbang kehutanan secara nasional. Dalam perjalanannya, sejauh ini secara nasional harus diakui bahwa pelaksanaan litbang kehutanan belum sepenuhnya bisa dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu untuk menjadi mesin pendorong pembangunan nasional, khususnya dalam interaksinya dengan program pembangunan kehutanan daerah. Dalam makalah ini Penulis mencoba untuk mengkaji keberadaan litbang kehutanan dengan harapan dapat menjadi masukan dalam upaya mengoptimalkan peran dan fungsi litbang kehutanan, khususnya dalam konteks peningkatan pencapaian outcome hasil litbang untuk pembangunan kehutanan di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONAL PEMBANGUNAN NASIONAL SEKTOR KEHUTANAN Memperhatikan berbagai dinamika dan problematika yang dihadapi oleh sektor kehutanan dewasa ini, nampak nyata bahwa telah terjadi perubahan paradigma dan cara pandang akan makna, peran dan fungsi hutan. Hutan saat ini semata-mata tidak hanya dipandang sebagai suatu kumpulan pohon atau tegakan dengan segenap ekosistem yang ada di dalamnya. Lebih jauh dari itu, makna hutan telah berubah menjadi suatu bentang alam yang merupakan wujud dari kompleksitas peran dan fungsinya baik secara ekologi, ekonomi, sosiologi, dan geologi, bahkan antropologi. Kompleksitas ini akhirnya menuntut perluasan wawasan dan IPTEK yang harus dilibatkan dalam menyelesaikan masalah- masalah teknis yang dihadapi sektor kehutanan. Akhirnya menjadi keniscayaan bahwa eksklusifitas peran „Rimbawan‟ terhadap hutan harus mulai bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu yang lainnya. Bergaungnnya era globalisasi yang dimulai dengan di‟buka‟nya batas-batas „eksklusif‟ negara terhadap sistem perdagangan dunia sebagai dampak dari kemajuan IPTEK telah merasuk pula dalam globalisasi peran dan fungsi hutan. Problem kelestarian sumber daya hutan (SDH) di suatu wilayah / negara bisa menjadi problem yang sangat serius bagi sistem kehidupan di wilayah / negara lainnya. Disini jelas bahwa masalah lokal / regional akan kelestarian SDH sudah menjadi masalah global yang dapat mempengaruhi keberlangsungan sistem kehidupan di dunia. Salah satu contoh konkret adalah munculnya fenome- fenome perubahan lingkungan yang mendorong terjadinya global warming. Di lain pihak, masalah kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin, juga menjadi fenomena lokal yang memerlukan keterlibatan masyarakat global dalam penyelesaiannya, apabila kelestarian SDH menjadi komitmen bersama. Disinilah letak tantangan pokok dalam pembangunan kehutanan yang harus dicarikan solusinya oleh litbang kehutanan, dimana litbang harus mampu menghasilkan produk IPTEK yang mampu mengkombinasikan antara tujuan kelestarian hutan dengan kesejahteraan rakyat sebagai dua tujuan yang harus bersifat mutualistik.

14 - BPK Manokwari

Munculnya berbagai konvensi internasional yang melibatkan dukungan berbagai negara di dunia untuk berkomitmen dalam penyelamatan hutan dan lingkungan menjadi indikasi yang membenarkan bahwa hutan dan lingkungan menjadi tumpuan dalam penyelamatan sistem kehidupan global. Beberapa konvensi internasional yang telah menjadi instrumen kehutanan global diantaranya adalah : 1. Konvensi Keanekaragaman Hayati / Convention on Biological Diversity (CBD) 2. Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim / United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 3. Konvensi tentang Mengatasi Degradasi Lahan / United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) 4. Konvensi Perdagangan Internasional untuk jenis tumbuhan dan satwa langka dan punah / Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora dna Fauna (CITES) 5. Pernyataan tentang pentingnya hutan bagi pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai sebagaimana tertuang dalam Forest Principles (Biro KLN, 2010). Dari berbagai isi substansi konvensi jelas nampak bahwa ke depan peran hutan sebagai gudang „TBC‟ (baca: timber-biodiversity-carbon) akan menjadi isu strategis yang akan merambah masuk ke dalam isu politis dalam percaturan diplomasi internasional, disamping minyak bumi. Menyimak perjalanan sejarahnya dalam 5 dasawarsa terakhir, secara garis besar periode pengelolaan kehutanan nasional telah mengalami tiga fase yang mencerminkan dominasi tuntutan dan tingkat kebutuhan yang ada. Ketiga fase tersebut adalah : 1. Eksploitatif. Fase ini mendominasi pengelolaan hutan pada 1960 - 1980- an dengan ciri pokok berupa pemberian ijin konsesi pengelolaan hutan alam dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dimana aspek pemanenan / logging menjadi orientasi utama. Dalam kurun waktu ini tercatat lebih dari 500 HPH telah diberikan ijin dalam eksploitasi hutan alam. 2. Konservatif. Fase ini mendominasi pengelolaan hutan pada 1980 – 2000-an dengan ciri pokok berupa munculnya tuntutan untuk mulai mengendalikan aspek logging melalui penerapan sistem silvikultur hutan alam,seperti Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang (TR) . Disamping itu, ciri pokok yang lain adalah adanya tuntutan untuk mengurangi ekploitasi hutan alam dengan melakukan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai sumber bahan baku kayu untuk industri.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 15

3. Partisipatif. Fase ini mendominasi pengelolaan hutan pada tahun 2000 sampai sekarang dengan ciri pokok berupa munculnya tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan, melalui keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara langsung, seperti program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Desa, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), dan Kebun Bibit Rakyat. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah hendaknya merupakan perwujudan dari langkah konkret untuk mendorong pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan sektor kehutanan. Kebijakan pemerintah juga merupakan tonggak pendorong dari sejarah perubahan peradaban. Sekuat apapun perubahan yang terjadi, manakala tidak didukung oleh kebijakan pemerintah, maka akan mengalami kesulitan dalam implementasinya. Kehutanan merupakan salah sektor yang memiliki potensi besar dalam merubah peradaban dunia karena peran dan fungsinya yang cukup komplek dan mencakup dimensi yang cukup luas. Walaupun pengelolaan hutan secara nasional ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun demikian gerakan untuk menuju pengelolaan hutan lestari tetap memerlukan dukungan kebijakan pemerintah sepenuhnya. Dan disinilah ke depan peran dan fungsi litbang kehutanan sebagai agen justifikasi ilmiah sangat diperlukan dalam mewujudkan kebijakan pemerintah yang kuat, tepat dan akurat.

TANTANGAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA Tanah Papua, yang meliputi 2 Provinsi yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan berbagai situasi dan kondisi serta peran budaya masyarakat adatnya telah menempatkan Papua menjadi salah satu wilayah dengan luas tutupan lahan hutan yang paling besar secara nasional. Dari luas wilayah 42,22 juta ha, kawasan hutan mencakup luasan 39,39 juta ha (SK Menhutbun 891/Kpts-II/1999). Bahkan pemerintah daerah telah menetapkan Papua dan Papua Barat masing-masing sebagai Provinsi Konservasi. Menyimak pola konservasi yang berkembang di tanah Papua, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, terlihat ada perbedaan dari segi inisiatif upaya konservasi yang dilakukan. Pada wilayah lain upaya konservasi sebagian besar berangkat dari adanya fenomena degradasi, over eksploitasi dan kepunahan. Tetapi di Papua upaya konservasi masih sangat terjaga justru karena kuatnya budaya adat dan local wisdom yang mewarnai sistem kehidupan masyarakatnya dalam memandang sebuah hutan sebagai „ibu‟. Walaupun Papua memiliki luasan tutupan lahan yang paling besar dan didukung dengan local wisdom yang terpelihara, namun disisi lain tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih tergolong relatif rendah. Disinilah letak tantangan pokok dalam pengelolaan hutan yang perlu dibuktikan dengan solusi bahwa apakah dengan hutan yang lestari akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat ?. Pola pengelolaan hutan seperti apa yang benar-benar

16 - BPK Manokwari

mampu membawa masyarakat yang lebih sejahtera ?. Kondisi pengelolaan hutan di Papua akan menjadi contoh kasus yang cukup menarik untuk bisa membuktikan motto „ Hutan Lestari - Rakyat Sejahtera‟ yang selama ini didengungkan. Sebagai bagian dari ekosistem dunia, dan sebagaimana tantangan global yang akan mewarnai perjalanan pengelolaan hutan di dunia serta dengan tetap berorientasi pada SFM dan kesejahteraan rakyat, maka tantangan pembangunan kehutanan ke depan di Papua juga tidak terlepas dari aspek „TBC‟, dimana ketiga aspek tersebut pada prinsipnya saling terkait / interconnected, yaitu: 1. Timber. Bagaimana pengelolaan hutan di Papua dapat memfasilitasi fungsinya sebagai sumber bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri sebagai pendorong dan penggerak pembangunan ekonomi. 2. Biodiversity. Bagaimana pengelolaan keanekaragaman hayati yang cukup besar di Papua bisa dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memenuhi kaidah-kaidah konservasi. 3. Carbon. Bagaimana memanfaatkan peluang ekonomis fungsi hutan di Papua sebagai pengendali perubahan iklim melalui perdagangan karbon.

OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI LITBANG KEHUTANAN Penelitian dan pengembangan sebagai media penciptaan IPTEK hanya akan memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan nasional apabila produk litbang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan. Untuk mencapai sasaran ini, prinsip kegiatan litbang perlu dirubah dari upaya hanya mengejar keingin tahuan dari peneliti / curiosity, menjadi berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pengguna / user demand oriented. Demikian halnya di dalam sektor kehutanan, optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan akan menunjukkan hasilnya manakala litbang telah mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam mendorong pengelolaan hutan yang lestari yang mampu menyeimbangkan kebutuhan akan pembangunan dan lingkungan serta kesejahteraan rakyat. Sedikitnya ada tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam upaya optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan, yaitu (1) Kelembagaan, (2) Sumber Daya Manusia, dan (3) Sarana dan Prasarana, dimana masing-masing bisa diuraikan sebagai berikut: Kelembagaan. Belajar dari kemajuan perkembangan teknologi di dunia industri informatika dan telekomunikasi serta elektronika, perlu ada 3 fase ruang agar litbang kehutanan dapat berdayaguna dan tercapai outcome yang diharapkan, yaitu : 1. Think-tank. Ruang yang menjadi mediasi yang mempertemukan antara stake-holders : peneliti, pengguna hasil litbang, pengambil kebijakan, pihak yang berwenang terhadap aspek legal produk, dan penyandang dana, untuk mendiskusikan dan merencanakan secara lebih detail, intensif dan konkret jenis produk litbang kehutanan yang perlu dan akan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 17

dihasilkan. Dengan ruang ini, maka diharapkan penelitian akan segera mampu dilaksanakan secara komprehensif, dan setiap produk litbang yang dihasilkan nantinya bisa dan layak dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. 2. Research implementation. Ruang yang menjadi tempat para peneliti untuk memulai pelaksanaan penelitian sesuai dengan harapan produk litbang kehutanan yang telah ditetapkan yang didukung dengan justifikasi dan metodologi ilmiah yang tepat dan benar. Ruang ini diharapkan juga mampu menghasilkan inovasi-inovasi baru yang mendukung produk litbang. 3. Development product. Ruang yang menjadi mediasi untuk para Pengembang produk hasil litbang kehutanan untuk di bawa pada skala operasional dan komersial berikut kewajiban-kewajiban legal formal yang perlu dipenuhi dalam pengembang produk yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Ruang ini juga sebagai jembatan untuk mengurangi kesenjangan dan jarak antara Peneliti dengan Pengguna serta Pengembang produk litbang.

Sumber Daya Manusia. Globalisasi telah mendorong perubahan peradaban manusia dari tumpuan natural resources menjadi knowledge resources, yaitu dimana sumber daya utama bukan semata-mata pada alam, tetapi juga pada ilmu pengetahuan. Sebesar apapun sumber daya alam yang dimiliki apabila tidak didukung dengan tingkat SDM yang memadai maka manfaatnya tidak akan bisa dirasakan secara optimal. Atau bahkan manfaatnya justru lebih banyak dirasakan oleh masyarakat lain yang tidak memiliki sumber daya alam tersebut namun memiliki SDM yang lebih baik. Disini jelas bahwa peningkatan SDM semua stake-holders litbang kehutanan (dari peneliti, pengambil kebijakan, sampai dengan masyarakat pengguna) menjadi komponen yang penting agar proses litbang dapat menghasilkan produk IPTEK yang tepat dan masyarakat pengguna juga dapat memanfaatkan hasilnya secara lebih optimal. Sarana dan prasarana (sarpras). Dalam era globalisasi pembangunan kehutanan yang berorientasi pada visi hutan lestari untuk kesejahteraa rakyat, disamping sarpras penunjang lainnya (peralatan, laboratorium dll), maka sarpras litbang kehutanan yang paling penting dan perlu mendapatkan banyak perhatian adalah keberadaan sumber daya hutan itu sendiri sebagai „laboratorium‟ yang besar. Dengan SDH tetap terjaga yang didukung dengan kemudahan litbang untuk mengakses dan menggunakannya, maka kegiatan litbang kehutanan akan mampu melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik untuk menghasilkan produk yang mampu mengkombinasikan antara tujuan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa adanya kemudahan dalam mengakses SDH tersebut, maka litbang kehutanan tidak akan mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

18 - BPK Manokwari

LANGKAH PENDEKATAN OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI LITBANG KEHUTANAN DI PAPUA Untuk menuju optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan dalam upaya peningkatan pencapaian outcome hasil litbang untuk pengelolaan hutan di Papua, maka pelaksanaan litbang kehutanan di Papua harus dilaksanakan secara terarah, terpadu dan komprehensif. Beberapa langkah awal yang bisa dilakukan antara lain: 1. Inventarisasi lembaga / institusi yang melaksanakan fungsi litbang kehutanan. Beberapa lembaga / intitusi yang memiliki dan berpotensi memiliki fungsi pelaksanaan litbang kehutanan di Papua antara lain : Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (Kementerian Kehutanan), Perguruan Tinggi (Universitas Papua, Universitas Cendrawasih), Badan Litbang Daerah (Pemerintah Daerah), Lembaga Swadaya Masyarakat. Inventarisasi ini penting untuk melihat status dan potensi ketersediaan SDM berikut keahlian dan kepakarannya serta Sarana Prasarana yang ada dalam mendukung pelaksanaan litbang untuk menjawab berbagai permasalahan kehutanan di Papua.

2. Pembentukan Forum Litbang Kehutanan. Forum Litbang Kehutanan Papua menjadi sarana mediasi antar stake-holder yang cukup penting, baik dalam fungsinya untuk menggali berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kehutanan Papua maupun sharing dan diskusi untuk mencari solusi dan pemecahannya. Pada tahap awal Forum Litbang Kehutanan perlu diprakarsai oleh beberapa lembaga/institusi yang sudah ada yang selama ini berkecimpung di dalam litbang kehutanan, seperti BPK Manokwari, UNIPA, UNCEN, Balitbangda dan Dinas Kehutanan dimana anggota forum bisa terdiri dari elemen Peneliti, Dosen, Pengambil Kebijakan, Praktisi Kehutanan, LSM, dan Perusahaan Kehutanan. Forum Litbang Kehutanan bisa berfungsi pula sebagai inisiasi „think-tank‟ dalam pelaksanaan litbang.

3. Menyusun grand design litbang kehutanan. Grand Design disusun sebagai upaya untuk menyiapkan rencana litbang kehutanan di wilayah Papua secara terarah, terpadu dan komprehensif, baik dari sisi substansi / obyek penelitian maupun keterlibatan dan pembagian mandat obyek / topik penelitian kepada masing-masing stake-holder. Pembagian mandat ini penting untuk lebih memberdayakan SDM yang ada serta menghindari terjadinya tumpang tindih atau menumpuknya pelaksanaan penelitian pada salah satu topik / obyek tertentu.

4. Peningkatan peran swasta dalam mendukung litbang kehutanan. Swasta yang dimaksudkan disini diutamakan adalah perusahan- perusahaan atau pihak-pihak lain yang telah banyak mendapatkan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 19

manfaat secara ekonomis dan komersial dari pemanfaatan SDH di Papua. Peran swasta ini bisa dalam bentuk dukungan pendanaan ataupun fasilitasi lainnya sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility / CSR yang mampu mendorong pelaksanaan litbang kehutanan. Kondisi ini akan menumbuhkan kemandirian litbang dimana dalam pelaksanaan penelitian tidak hanya selalu bergantung pada pendanaan pemerintah.

PROGRAM DAN KEGIATAN PENELITIAN DI BPK MANOKWARI Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (BPK Manokwari) sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Badan Litbang Kehutanan, Kementerian kehutanan mulai berdiri sejak tahun 1980 dan telah beberapa kali mengalami perubahan nama dan lingkup wilayah kerjanya. Terakhir berdasarkan SK Menhut No. P.34/Menhut-II/2011, tanggal 20 April 2011, BPK Manokwari memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melaksanakan kegiatan penelitian di bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan dengan wilayah kerja meliputi Propinsi Papua Barat dan Papua. Dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010 – 2014, yang merupakan dokumen perencanaan penelitian terpadu lintas seluruh UPT dan Puslitbang di bawah Badan Litbang Kehutanan, BPK Manokwari memiliki mandat utama untuk melaksanakan penelitian yang mencakup 8 Progra, 15 RPI dan 30 kegiatan penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 1 (Balitbanghut, 2010 dan BPKM, 2010).

Tabel 1. Program dan Kegiatan Penelitian BPK Manokwari tahun 2010 - 2014 No. Program *) RPI *) Kegiatan Penelitian 1. Hutan Alam Pengelolaan Hutan Alam Kajian Efektifitas Sistem-sistem Produksi Lahan Kering Silvikultur (TPTJ/TPTI/TR) Terhadap Kelestarian Produksi Di Hutan Alam Lahan Kering Kajian Penyusunan Model Dinamika dan Pendugaan Produktivitas Tegakan Bekas Tebangan di Papua Formulasi Dinamika Pertumbuhan Hutan Alam Lahan Kering di Papua Kajian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Lahan Kering di Papua Pengelolaan Hutan Mangrove Kajian Keragaman Satwa dan mikroorganisme hutan mangrove Pengelolaan hutan rawa Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan gambut rawa gambut berdasarkan kondisi biofisik hutan

2 Hutan Tanaman Pengelolaan Hutan Tanaman Teknik Silvikultur Jenis Unggulan dan Penghasil Kayu Pertukangan Alternatif Penghasil Kayu Pertukangan (Mastixyodendron sp., Gmelina moluccana, Dysoxyllum sp., Inocarpus sp., Palaquium sp.) Pemuliaan Tanaman Hutan Penyediaan benih unggul tanaman hutan

20 - BPK Manokwari

3 DAS Sistim Pengelolaan DAS Hulu, Sistem pengelolaan DAS lintas Lintas Kabupaten dan Lintas kabupaten Propinsi Pengelolaan Sumber Daya Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Gunung Lahan dan Air Pendukung Botak Di Papua Dengan Pendekatan Pengelolaan DAS Partisipatif 4 Biodiversitas Konservasi Flora, Fauna dan IdentifikasiBerbagaiJenis Flora Mikro Organisme Endemikdan Areal SumberdayaGenetik (ASDG) di Papua Teknologi Konservasi Jenis Labi-Labi Moncong Babi (Carettochelys Insclupta), Kura-kura Irian (Elseya Novaeguineae) dan Kura-kura dada merah (Emydura Subglobosa) di Papua Identifikasi Jenis Habitat, Dan Sebaran Burung Langka Di Papua Kajian Biodiversitas, Potensi Dan Sebaran Goura Sp Di Hutan Papua Kajian Biodiversitas, Potensi dan Sebaran (Cacatua galerita) di Hutan Papua Kajian Habitat dan Populasi Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus) di Hutan Dataran Rendah Papua Penelitian Keanekaragaman Jenis, Habitat dan Populasi Mamalia Terestrial Papua Model Pengelolaan Kawasan Valuasi Potensi dan Manfaat Taman Konservasi Berbasis Nasional di Papua Ekosistem Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Konservasi di Papua 5 HHBK HHBK FEM Identifikasi Potensi Sebaran dan Biofisik Jenis HHBK Masoi (Cryptocaria sp.) di Papua Inventarisasi Potensi Tegakan dan Eksplorasi Sebaran Jenis-Jenis Mitragina spp. (Kratom) Kuantifikasi Empulur Sagu Untuk Bioetanol Di Beberapa Wilayah Sebaran Silvikultur inetvsif sagu (PIU) (pengendalian hama penyakit dan gulma, pemupukan, pola tanam) Pembangunan Demplot Sagu (Metroxylon spp) di Papua Analisis Kelembagaan dan Tata Niaga Pemanfaatan dan Pemungutan Jenis Sagu 6 Perubahan Iklim Ekonomi dan Kebijakan Analisis Sosial Budaya REDD Pengurangan Emisi dari Kajian Tatakelola REDD dan REDD Plus Deforestasi dan Degradasi Pengembangan Perhitungan Perhitungan Karbon Untuk Perbaikan Emisi Gas Rumah Kaca Faktor Emisi Dan Serapan GRK Kehutanan (Inventory) Kehutanan Pada Hutan Alam Tanah Mineral Adaptasi Bioekologi dan Penaksiran Kerentanan Masyarakat di Sosial Ekonomi Budaya Dalam dan Sekitar Hutan Terhadap Terhadap Perubahan Iklim Sumberdaya Hutan dan Strategi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 21

Adaptasi Masyarakat terhadap Perubahan Musim dan Cuaca Ekstrim Pada Ekosistem Pegunungan

7 Pengolahan Hasil Sifat Dasar Kayu dan Bukan Data Sifat Beberapa Jenis Kayu Hutan Kayu Andalan Papua 8 Kebijakan Penguatan Tata Kelola Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Kehutanan Kehutanan KPH di Papua Keterangan *) Terdapat beberapa Program dan RPI yang saat ini sedang dalam proses penyempurnaan dan perbaikan.

Kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh BPK Manokwari merupakan salah satu perwujudan dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan kehutanan di tanah Papua. Dan selanjutnya sebagai bagian dalam kerangka Rencana Penelitian Integratif, maka hasil penelitian yang didapatkan akan menjadi bagian pula dari kerangka hasil penelitian kehutanan secara nasional. Penelitian yang terintegrasi sebagaimana tertuang dalam RPI, juga merupakan salah satu sarana menuju optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan dalam menghasilkan produk litbang yang lengkap, tuntas dan komprehensif yang mampu memadukan antara tujuan kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat. Namun demikian masih banyak tantangan, program dan kegiatan penelitian lainnya yang masih perlu dilaksanakan diluar yang telah ditetapkan dalam mandat tersebut di atas. Oleh karena itu keterlibatan lembaga penelitian lainnya tetap sangat diperlukan.

KESIMPULAN 1. Berkembangnya dinamika dan tantangan pembangunan sektor kehutanan baik secara lokal, nasional, regional maupun global, menuntut dilakukannya optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan untuk mendorong tercapainya tujuan kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat. 2. Dalam kerangka peningkatan pencapaian outcome hasil litbang dalam pembangunan kehutanan di wilayah Papua, optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan dapat dilakukan melalui pemberdayaan aspek kelembagaan, SDM dan sarana prasarana. 3. Beberapa langkah awal yang bisa dilakukan dalam optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan di Tanah Papua di antaranya adalah pembentukan forum litbang kehutanan Papua, penyusunan grand design litbang kehutanan Papua, peningkatan SDM baik peneliti maupun masyarakat sebagai pengguna hasil litbang kehutanan, kebijakan yang memberikan kemudahan akses SDH bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian serta peningkatan peran swasta.

22 - BPK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Kehutanan. 2009. Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010 – 2025. Jakarta ______, 2010. Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010 – 2014. Jakarta. ______, 2010. Rencana Penelitian Integtratif 2010 – 2014. Jakarta. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. 2010. Rencana Strategis (RENSTRA) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari 2010 – 2014. Manokwari. Biro Kerjasama Luar Negeri-Kementerian Kehutanan. 2010. Istrumen Kehutanan Global. Jakarta Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan 2010 – 2014. Jakarta

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 23

24 - BPK Manokwari

MAKALAH UTAMA

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 25

26 - BPK Manokwari

KAJIAN ASPEK BIOFISIK LAHAN TERDEGRADASI GUNUNG BOTAK DI PAPUA BARAT

Oleh : Ir. David Seran

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

ABSTRAK

Di tanah Papua terdapat lahan terdegradasi sekitar 8.138.176 ha meliputi provinsi Papua dan Papua Barat yang tersebar di dalam dan luar kawasan hutan. Sebagian besar lahan kritis ini berada di sekitar wilayah DAS. Disegi lain, akibat pembalakan dan kejadian alam seperti longsor dan lain-lain di wilayah Papua barat terdapat lahan yang sangat kritis secara hidro-orologis dan dikenal dengan ”Gunung Botak”. Untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan ini diperlukan teknik konservasi tanah dan air yang tepat. Penerapan teknik RLKT akan menjadi lebih baik jika kondisi biofisik daerah telah diketahui dengan baik. Dalam kaitan ini aspek-aspek biofisik yang perlu dilakukan pengkajian dan analisis adalah , tanah, topografi, geologi, infiltrasi, permiabilitas, bulk density dan kondisi topografi dengan metode deskriftip. Secara umum kondisi biofisik lahan terdegradasi gunung botak beragam. Hal-hal penting yang dapat disarikan dari kajian ini adalah Assosiasi jenis tanah tergolong Great Group Typic Halpudult, order jenis oxisol yang telah membentuk horizon timbunan tapi belum memenuhi syarat argilik. Lahan gunung botak tergolong tanah marginal, miskin hara, agak masam, tektur geluh pasiranbahan induk hematite dan limonite.Pola Infiltrasi mengikuti persamaan Y = 0,035 x2 – 0,607 x + 3,428 dengan R2= 0,875. , bulk densitytanah gunung Botak berkisar 1,04 sampai 1,18 g/cc tergolong sedang, permiabilitas bervariasi dari 0,0013-0,008 cm/sec atau sama dengan 4,68-28,8 cc/jam tergolong lambat sampai sedang Type curah hujan tergolong type B (schmid & fergusson), vegetasi didominir oleh family gramineae.awal musim hujan rata-rata jatuh pada bulan Desember - Januari.Topografi secara umum tergolong topografi berat Vegetasi pada lahan terdegradasi didominir Oleh famili Gramineaedengan jenis dominan Miscanthus floridulus Warb. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan cukup memberikan kontribusi penting dalam pelaksanaan kegiatan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan di lapangan. Lahan terdegradasi gunung botak perlu di rehabilitir (reforestasi) dengan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan tata air dengan jenis yang memiliki evapotranspirasi rendah, intersepsi rendah, dapat beradaptasi pada suhu tinggi.

Kata kunci : Kajian, Aspek-Biofisik, Lahan terdegradasi, Gunung botak, Papua Barat.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 27

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang. Masalah perubahan iklim, deforestrasi dan degradasi hutan adalah masalah serius yang dihadapi dunia saat ini. Dunia mengakui bahwa salah satu cara untuk keluar dari persoalan adalah dengan membangun hutan, memelihara hutan yang ada untuk keluar dari persoalan ini. Dalam kaitan ini FAO (2007) ; CIFOR (2010) melaporkan bahwa hilangnya luasan hutan di dunia diperkirakan mencapai 7,3 jt ha/th periode 2000-2005. Laju deforestrasi di dunia 8,9 jt ha/th. Laju deforestrasi terbesar terjadi di Amerika Selatan (4,3 jt ha/th ; diikuti Afrika 4 juta ha/th. LaJju deforestrasi di Indonesia bervariasi (1,7 jt. ha/th periode 1985- 1997); 2,8 jt. ha/th periode 1997-2000; 1,2 juta ha/th (2000-2005). Selanjutnya dilaporkan bahwa lebih dari satu milyar orang sangat tergantung pada hutan sebagai mata pencaharian. Lebih dari 2 milyar orang (1/3 dari populasi dunia) menggunakan bahan bakar biomas terutama kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan rumah mereka. Ratusan juta orang bergantung pada obat-obatan tradisional yang diperoleh dari hutan. Penduduk di 60 negara berkembang berburu satwa dan mengambil ikan di lahan berhutan dan ini memberikan sumbangan lebih dari 1/5 dari total kebutuhan protein masyarakat. Di Indonesia diperkirakan terdapat 48 juta orang hidup di dalam dan di sekitar hutan dengan penghidupan bergantung pada hutan. Oleh karena itu pembangunan hutan atau reforestrasi dan rehabilitasi terutama pada lahan terdegradasi atau lahan kritis harus dilakukan dengan sungguh-sungguh pada berbagai wilayah di negeri ini seperti halnya lahan kritis yang tersebar luas pada beberapa daerah di wilayah Papua. Di Papua terdapat lahan kritis atau lahan yang tidak berhutan yang cukup luas. Kapisa (2008) melaporkan bahwa luas lahan kritis di seluruh Papua baik yang ada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan seluas 8.136.718 ha. Luasan masing-masing provinsi adalah Papua seluas 5.985.878 ha. dan Papua Barat 2.150.840 ha. Lahan kritis ini sebagian besar berada di sekitar wilayah DAS. Apabila laju degradasi lahan di Papua rata-rata mencapai 1,2 juta ha/th maka pada tahun 2025 diperkirakan akan terdapat lahan kritis di Papua seluas 26.138.718 ha. apabila tidak dilakukan gerakan upaya rehabililitasi lahan dan pemeliharaan hutan yang masih ada sekarang ini. Sejalan dengan hal tersebut Badan Litbang Kehutanan telah menyusun rencana penelitian strategis yang dikenal dengan Rencana Penelitian Integratif secara nasional yang dapat memayungi kegiatan-kegiatan riset yang dilakukan pada masing-masing wilayah di tanah air seperti Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang menyangkut teknik rehabilitasi lahan kritis untuk memperoleh paket teknologi terapan yang dapat dikembangan pada berbagai kondisi biofisik dan kondisi sosial masyarakat pada masing-masing wilayah di tanah air. Dalam rangka pembangunan dan rehabilitali lahan terutama pada lahan- lahan terdegradasi diperlukan paket-paket teknologi untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan yang tepat pada masa yang akan datang. Penelitian ini dilakukan pada lahan terdegradasi pada beberapa daerah di

28 - BPK Manokwari

Papua dengan tujuan untuk memperoleh data dan informasi yang terbaru untuk penyusunan paket teknnologi rehabilitasi lahan di Papua. Salah satu kendala yang dihadapi dalam penanganan lahan kritis yang selama ini disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi biofisik yang cukup beragam pada masing-masing wilayah yang akan direhabilitir. Tanpa data dan informasi informasi yang lengkap dan valid mengenai kondisi biosisik suatu wilayah maka penerapan teknik rehabilitasi lahan, termasuk teknik silvikultur, teknik konservasi tanah dan air yang akan dikembangkan pada suatu daerah seperti halnya lahan kritis di Papua hanya akan merupakan angan-angan yang realitanya sulit diharapkan. Dalam kaitan itulah maka kajian yang lebih mendalam menyangkut teknik- teknik rehabilitasi lahan pada kondisi biofisik yang beragam perlu dilakuka terus menerus untuk memperoleh data dan informasi yang akurat dan terbaru untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di masa yang akan datang. Seperti halnya lahan terdegradasi di Gunung Botak , distrik Mumi Waren, Kab. Manokwari, Papua Barat. Efek penutup tanah dari vegetasi hutan dibagi meliputi : intersepsi terhadap curah hujan; mengurangi kecepatan run off; perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah; mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat meningkatkan porositas tanah.

B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi biofisik lahan terdegradasi Gunung Botak di Papua Barat dengan sasaran diperolehnya informasi penting mengenai kondisi tanah, topografi dan vegetasi daerah ini dalam mendukung kebijakan pengelolaan lahan lahan terdegradasi ini dalam peningkatan taraf hidup masyarat di daerah ini ke depan.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan Pebruari 2010 s/d Desember 2010. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan terdegradasi Gunung Botak yang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam distrik Mumi Waren, Kabupaten Manokwari.

B. Bahan dan Peralatan Penelitian Jenis bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: bibit tanaman, tali tambang, meteran, seng plat, paku, gunting seng, kantong plastik, cat, ember, timbangan, oven, ring sampel, jas hujan, sepatu lapangan, double ring infiltrometer, tally sheet dll.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 29

C. Prosedur Penelitian 1. Pada awal kegiatan dilakukan orientasi lapangan untuk mengetahui variasi tapak dan menentukan letak lokasi dan plot terpilih, selanjutnya dilakukan pengukuran areal sebelum kegiatan penanaman dilakukan. Sebelum itu dilakukan analisis biofisik, meliputi kondisi tanah, geologi, vegetasi, curah hujan, infiltrasi, bulk density, permiabilitas dan pengambilan contoh tanah untuk kepentingan analisis. 2. Kegiatan selanjutnya adalah penyiapan areal penanaman termasuk pengukuran jarak tanam, pemasangan ajir, penyiapan bahan tanaman, penggalian lobang, dan penanaman. 3. Setelah penanaman dilakukan pengukuran awal tanaman (tinggi dan diameter). Pengamatan dilakukan dengan interval waktu 3 bulan untuk monitoring pertumbuhan.

D. Pengumpulan Data dan Analisis Dalam tahun anggaran 2010, data yang dikumpulkan adalah kondisi biofisik wilayah meliputi ; topografi/kelerengan, kondisi tanah, vegetasi, geologi, aspek tata air meliputi bulk density, infiltrasi, curah hujan. Data yang diperoleh ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriftif.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi biofisik lahan di daerah Gunung Botak sangat bervariasi yang meliputi unsur topografi/kelerengan, tanah, vegetasi dan aspek-aspek tata air. Hal-hal penting yang dapat disarikan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Tanah Hasil penelitian menunjukkan bahwa assosiasi jenis tanah daerah ini tergolong dalam kelompok besar (great group) typic halpudult, order jenis oxisol yang telah membentuk horizon timbunan, tetapi belum memenuhi syarat argilik. Lahan ini telah tererosi berat dan yang tertinggal adalah bahan induk tanah dan batuan. Dari pengamatan singkapan batuan, jenis batuan yang ditemukan berupa batuan sedimen : batu pasir, batu lanau, dan batuan serpih. Bahan induk tanah berupa bahan induk sedimen berbahan hematite dan limonite. Bahan hematite dan limonite dapat dilihat pada Gambar.1. dan 2.

Gambar1. Hematite Gambar..2. Limonite

30 - BPK Manokwari

Warna tanah coklat kekuningan, tidak lekat, tektur geluh pasiran, struktur gumpal membulat. Drainase lambat, infiltrasi lambat. Gambaran mengenai profil tanah Gunung Botak dapat di lihat pada Gambar. 2.

Gambar2. Gambaran profil tanah gunung botak

Tektur tanah merupakan satu salah sifat fisik tanah yang menggambarkan proporsi fraksi pasir, debu dan lempung dalam tanah. Tektur tanah berkaitan erat dengan kondisi porositas tanah. Tanah pasiran didominasi oleh pori makro sehingga mudah meloloskan air, sebaliknya pada tanah lempungan daya lolos air dalam tanah sangat lambat. Hasil pengamatan dengan metode pemijatan, tanah Gunung Botak digolongkan dalam kelas tektur geluh pasiran, maka sebagian curah hujan akan menjadi bagian dari run off.

2. Bulk Density Bulk density atau kerapatan lindak atau berat volume tanah adalah massa tanah/satuan volume tanah. Tanah mineral rata-rata mempunyai kerapatan lindak 1,3 g/cc. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa kerapatan lindak tanah Gunung Botak antara 1,04 - 1,18 g/cc. Ini berarti mendekati kerapatan lindak tanah mineral pada umumnya 3. Topografi Topografi daerah penelitian bervariasi dari kategori bergelombang, berbukit sampai bergunung. Hampir 70 % wilayah Gunung Botak berada pada kelerengan 30-35 %. Tingkat kelerengan sebagian wilayah Gunung Botak disajikan pada gambar 3. dan 4.

Gambar3. Gambar4.

Gambar 3 dan 4. Kondisi topografi Daeah gunung botak (lokasi sekitar kampung Yekwandi)

4. Vegetasi Daerah ini hampir seluruhnya ditumbuhi oleh vegetasi dari famili Gramineae dan salah satu species vegetasi dari famili Gramineae yang mendominir daerah

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 31

ini adalah Miscanthus floridulus Warb. Dijumpai pula jenis Nephentes sp. (kantong semar) yang merupakan indikator tanah agak masam dan terdapat pula beberapa individu jenis Melastoma polyanthum.

5. Geologi Ditinjau dari aspek biogeofisik, Gunung Botak terbentuk oleh peristiwa tektonik lipatan (folding) yang menyebabkan terbentuknya formasi fisiografi pegunungan. Wilayah ini disebut Gunung Botak karena memang secara fisik sudah tampak gundul. Tanaman yang tumbuh hanya rumput-rumputan saja. Lapisan atas tanah (top soil) telah hilang dan yang tinggal hanya subsoil dan batuan induk yang miskin hara tanaman. Berdasarkan keterangan penduduk setempat, wilayah ini sering terbakar, sehingga diasumsikan bahwa kondisi seperti ini terbentuk karena lahan sering terbuka ditunjang dengan lereng yang curam antara 30-45%, menyebabkan tanah tererosi berat. Bentuk-bentuk erosi berupa erosi parit (Gully erosion) dengan lebar sekitar 4-5 meter dan kedalaman 1-2 meter. Erosi berat ini menyebabkan semua lapisan atas tanah hanyut dan yang tertinggal hanya bahan induk dan batuan. Selanjutnya kondisi Gunung Botak dan formasi lipatan berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 1. dan 2.

1 2

Gambar 1. Kondisi topografi gunung botak Gambar 2. Formasi lipatan (folding)

6. Curah Hujan Tipe curah hujan daerah sekitar Gunung Botak menurut kriteria Schmid and Fergusson, (1951) adalah tipe “B” dengan curah hujan rata-rata tahunan 1582 mm. Awal musim hujan rata-rata jatuh pada bulan Nopember sampai Januari dan berakhir pada bulan Juni. 7. Infiltrasi Kapasitas infiltasi adalah laju tertinggi dimana air dapat diserap oleh tanah. Air yang terinfiltrasi ke dalam tanah berperan penting dalam kontribusi air bumi dan sumber air yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. (Asdak, 2002) menyatakan bahwa informasi menyangkut infiltrasi sangat penting artinya dalam hubungannya dengan run off pada kondisi dimana terdapat vegetasi penutup tanah. Hasil pengamatan infiltrasi pada lahan terdegradasi di Gunung Botak rata- rata 0,038 mm/menit dengan persamaan Y = 0,035 x2 – 0,607 x + 3,428 dengan R2= 0,875.

32 - BPK Manokwari

Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa laju masuknya air ke dalam tanah tergolong sedang sampai lambat yakni yang terendah 0,0019 dan yang tertinggi 0,050 cm/detik atau 6,84 cm/jam dan 180 cm/jam. Dari beberapa kali pengukuran diperoleh pola infiltrasi seperti pada gambar berikut.

0.060 0.0100 0.0094 0.0090 0.050 0.050 0.0080 0.0070 0.040 0.038 0.0060 0.035 0.0055 0.0050 0.0052 0.030 0.030 0.0046 0.0043 0.026 0.025 0.025 0.0040

0.020 0.0034 Infiltrasi (cm/sec) Infiltrasi (cm/sec) Infiltrasi 0.0030 y = 0.0008x2 - 0.0107x + 0.0585 -0.3906 0.0020 y = 0.0078x R2 = 0.978 0.010 R2 = 0.532 0.0010

0.000 0.0000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 2 4 6 8 Waktu Pengukura Ke Pengukuran Ke

0.0035

0.0030 0.0030 0.0027 0.0025 0.0023 0.0020 0.0019 0.0015

cm/sec Infiltrasi 0.0010 y = 0.0031x-0.3216 R2 = 0.8907 0.0005 0.0000 0 1 2 3 4 5 Waktu Pengukuran Ke

Pada dasarnya tiga blok pengukuran menunjukkan pola yang sama dan mulai konstan pada pengukuran ke 4 dan ke 5 yang berarti pada saat itu tanah sudah mulai jenuh dengan air yaitu pada menit ke empat dan ke lima dan pada saat itu bila curah hujan melebih kapasitas infiltrasi maka sebagian curah hujan akan menjadi bagian dari run off. 8. Permiabilitas tanah Permiabilitas tanah adalah kemampuan tanah meloloskan air atau daya lolos air dalam tanah (Arsyad, 1989, Calder, 2004). Hasil pengukuran permiabilitas tanah Gunung Botak berkisisar antara 0,0013-0,008 cm/detik atau sama dengan 4,68-28,8 cc/jam, tergolong lambat sampai sedang. 9. Erosi Erosi yang terjadi di Gunung Botak sudah digolongkan berat, hampir semua top soil sudah hilang dan tinggal bahan induk dan batuan, yang banyak tersingkap di atas permukaan tanah. Bentuk-bentuk erosi yang teramati adalah erosi parit (gully erosion) dengan lebar sekitar 4-6 meter dengan kedalaman antara 1-3 meter.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 33

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Kondisi biofisik lahan terdegradasi Gunung Botak beragam. Lahan Gunung Botak tergolong tanah marginal, miskin hara, agak masam, jenis tanah ultisol, bahan induk hematite, dan limonite. 2. Infiltrasi rendah, bulk density sedang, permiabilitas tergolong lambat sampai sedang dengan tipe curah hujan tergolong tipe B (schmid & fergusson), awal musim hujan rata-rata jatuh pada bulan Desember- Januari. Topografi secara umum tergolong topografi berat. Vegetasi pada lahan terdegradasi didominir oleh famili Gramineae dengan jenis dominan Miscanthus floridulus Warb.

B. Saran 1. Lahan terdegradasi Gunung Botak perlu di rehabilitir (reforestasi) dengan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan tata air dengan jenis yang memiliki evapotranspirasi rendah, intersepsi rendah,dan dapat beradaptasi pada suhu tinggi. 2. Kajian dan riset berbagai aspek antara lain kesesuaian jenis-jenis vegetasi terutama jenis-jenis andalan Papua dan pola partisipatif yang lebih mendalam perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Asdak Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. CIFOR, 2010.Pedoman CIFOR Tentang hutan, perubahan iklim dan REDD.Bogor Calder, I.R. 2004. Forest and water closing the gap between public and science persertion. waterscience and technology 49 (7) : 39-53. FAO, 2007.State of the word,s forest. Rome Foth, H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science).Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta. Kapisa, N. 2008. Kondisi Lahan dan Hutan Papua Dalam era Otonomi Khusus. Paper Disampaikan dalam Forum Komunikasi Multipihak. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Papua Barat

34 - BPK Manokwari

PENDUGAAN BIOMASA ATAS TANAH UNTUK PERBAIKAN FAKTOR EMISI DAN SERAPAN GAS RUMAH KACA KEHUTANAN DI KAWASAN HUTAN ALAM TANAH MINERAL PAPUA

Oleh : Sandhi Imam Maulana

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

ABSTRACT

Allometric equations can be used to estimate the biomass and carbon stock of forests. However, so far the allometric equations for commercial species in Papua tropical forests have not been developed in sufficient detail. In this research, allometric equations are presented based on the genera of commercial species. Separate equations are developed for the Intsia, Pometia, Palaquium and Vatica genera, and an equation of a mix of these genera represents commercial species. The number of trees sampled in this research was 49, with diameters (1.30 m or above buttresses) ranging from 5 to 40 cm. Destructive sampling was used to collect the samples where diameter at breast height (DBH) and density (WD) were used as predictors for dry weight of total above- ground biomass (TAGB). Model comparison and selection were based on the values of F- statistics, R-sq, R-sq (adj), and average deviation. Based on these statistical indicators, the most suitable model is Log(TAGB) = c + Log(DBH). This research finding can be extrapolated for managing forests related to carbon balance. Additional explanatory variables such as commercial bole height (CBH) do not really increase the indicators‟ goodness of fit for the equation. An alternative model to incorporate wood density must be considered for estimating the above-ground biomass for mixed genera. Comparing the presented equations to previously published data shows that these local species- specific and generic equations differ substantially from previously published equations and that site specific equations must be considered to get a better estimation of biomass.

Key words: Allometric, Biomass, Papua

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 35

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendugaan biomassa yang akurat pada hutan tropis sangat berguna untuk berbagai aplikasi, mulai dari eksploitasi kayu komersial hingga siklus karbon global. Terutama pada konteks terbaru dimana pendugaan total biomassa atas tanah (TAGB) dengan tingkat akurasi yang cukup untuk menghadirkan dugaan kenaikan atau penurunan stok karbon yang tersimpan pada hutan dengan periode relatif singkat (2-10 tahun) menjadi penting. Di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), negara-negara harus melaporkan secara teratur kondisi sumberdaya hutannya melalui berbagai mekanisme yang muncul seperti Reducing Emissions from Deforestationin Developing Countries (REDD), dan negara-negara tersebut akan membutuhkan suatu hasil pendugaan stok karbon baik temporal maupun spasial yang dapat diandalkan (UNFCCC, 2008). Stok karbon pada umumnya diturunkan dari nilai biomassa atas tanah, dengan mengasumsikan bahwa 50% nilai biomassa tersebut tersusun atas karbon. Metode yang paling akurat untuk pendugaan biomassa adalah melalui pendekatan destruktif dengan penebangan pohon-pohon dan menimbang bobot keseluruhan bagian-bagiannya. Pendekatan destruktif tersebut sering digunakan untuk memvalidasi berbagai metode lainnya, yang cenderung kurang mengganggu dan tidak berbiaya tinggi, seperti pendugaan stok karbon dengan pengukuran nondestructive in-situ dan remote sensing (Clark et al.,2001; Wang et al., 2003). Berbagai persamaan allometrik yang dibangun berdasarkan pengukuran- pengukuran contoh secara destruktif memudahkan dalam pengumpulan komponen biofisik, seperti diameter setinggi dada (DBH) dan tinggi kayu komersial (CBH). Pendugaan stok karbon pada area yang luas menggunakan remote sensing memerlukan dukungan hubungan antara refleksi kanopi yang terekam pada sensor dengan stok karbon yang diukur secara langsung atau ditaksir secara tidak langsung di lapangan (Chiesi et al., 2005; Gibbs et al.,2007; Myeong et al., 2006; Tan et al., 2007). Pada penelitian ini, persamaan allometrik dibangun berdasarkan hubungan antara parameter pohon, seperti DBH, CBH, dan berat jenis kayu (WD) dengan biomassa atas tanah. Hingga saat ini, berbagai persamaan allometrik untuk multi-spesies pada hutan tropis di Indonesia telah dipublikasikan dalam Brown (1997), Hashimotio et al. (2000),Ketterings et al. (2001) and Yamakura et al. (1986), dimana berbagai persamaan allometrik tersebut juga dibangun berdasarkan hubungan antara DBH, tinggi pohon, dan berat jenis kayu terhadap nilai biomassa atas tanah. Brown (1997) telah membangun berbagai persamaan allometrik untuk hutan tropis berdasarkan data yang sebagian besar dikumpulkan dari Kalimantan. Suatu kurva hubungan berdasarkan umur pohon telah dibangun oleh Hashimotio et al. (2000) untuk hutan terdegradasi di Kalimantan Timur. Ketterings et al.

36 - BPK Manokwari

(2001) telah membangun persamaan allometrik pada hutan sekunder campuran di . Yamakura et al. (1986) telah membangun persamaan allometrik menggunakan data yang dikumpulkan dari hutan dipterokarpa di daerah Sebulu, Kalimantan Timur. Dalam rangka mengurangi ketidakpastian (uncertainty), diperlukan suatu metode perhitungan stok karbon yang akurat. Pembangunan suatu persamaan allometrik spesifik spesies dan site yang baru diperlukan untuk memperoleh tingkat ketelitian yang lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah Berbagai persamaan allometrik telah dibangun untuk pengukuran biomassa pada hutan hujan tropis (Arau´jo et al., 1999; Brown, 1997; Chambers et al., 2001; Chave et al., 2001, 2005; Keller et al., 2001; Nelson et al., 1999). Namun, belum ada persamaan allometrik yang dibangun khusus untuk pendugaan biomassa atas tanah pada genera jenis komersial hutan tropis Papua.

C. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan persamaan-persamaan allometrik spesifik genera dan lokasi untuk pendugaan biomassa atas tanah genera jenis komersil pada hutan tropis Papua.

D. Luaran Luaran dari penelitian ini adalah rumusan persamaan-persamaan allometrik spesifik terhadap genus dan lokasi (site) untuk menduga biomassa atas tanah pada genera jenis komersil hutan tropis Papua.

E. Ruang Lingkup Pada penelitian ini, persamaan-persamaan allometrik dibangun berdasarkan genera jenis kayu komersial, yakni Palaquium dan Vatica. Untuk masing-masing genera akan dibangun persamaan allometrik yang spesifik, serta suatu persamaan yang merupakan gabungan dari kedua genera tersebut yang menggambarkan persamaan allometrik untuk genera jenis komersial. Data yang dikumpulkan berupa diameter setinggi dada (DBH), tinggi kayu komersial (CBH), dan berat jenis kayu (WD) melalui pendekatan destruktif pada daerah hutan tropis di Papua Barat. Seperti yang disarankan oleh Basuki et al., (2009), model persamaan dasar yang dipilih adalah a.) ln(TAGB) = c + αln(DBH) b.) ln(TAGB) = c + αln(DBH) + βln(CBH) c.) ln(TAGB) = c + αln(DBH) + βln(WD)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 37

II. METODOLOGI

A. Study Area Lokasi penelitian dilaksanakan pada wilayah konsesi IUPHHK-HA yang ada di Kabupaten Teluk Bintunidan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pada lokasi tersebut pohon-pohon dengan selang diameter 5-40 cm ditebang sebagai dasar pengukuran parameter pohon yang dijadikan sebagai predictors dalam penyusunan persamaan. Selain itu, pada lokasi penelitian juga diharapkan dapat diperoleh data pendukung mengenai kondisi biofisik, seperti ketinggian, curah hujan rata-rata tahunan, selang temperatur, serta jenis tanah dominan.

B. Pengumpulan Data Pemilihan pohon yang ditebang dilaksanakan berdasarkan data inventarisasi yang dimiliki pemegang IUPHHK-HA serta hasil ground check. Dalam rangka memperoleh sampel pohon-pohon yang representatif, distribusi diameter dan pengelompokan genera dilaksanakan pada saat pemilihan pohon.

Set data yang dikumpulkan adalah berupa dua set data, yang terbagi atas genera Palaquium dan Vatica, dimana masing-masing set data tersebut terdiri atas data parameter pohon yang diukur dengan selang diameter 5-40 cm. Dua set data tersebut dihasilkan dari penarikan contoh destruktif pada pohon-pohon terpilih. Sebelum melaksanakan penebangan, DBH diukur terlebih dulu. Pada umumnya DBH diukur pada tinggi 1.3 m di atas permukaan tanah, tetapi untuk pohon berbanir, DBH diukur pada 30 cm diatas banir (FAO, 2004).

Setelah penebangan, tinggi pohon diukur. Diameter pohon diukur tiap interval 2 m untuk batang dan cabang utama. Sebagai tambahan, tinggi dan diameter tunggak juga diukur. Pengukuran tersebut digunakan untuk menaksir volume dan berat kering. Volume tiap seksi dihitung berdasarkan rumus Smalian seperti yang disarankan oleh De Gier (2003).

Total volume diperoleh dengan menjumlahkan seluruh volume seksi. Karena adanya perbedaan kadar air, bagian-bagian pohon dipisah-pisahkan atas dedaunan, ranting (diameter <3.2 cm), cabang kecil (diameter 3.2–6.4 cm), cabang besar (diameter >6.4 cm) dan batang utama (Ketterings et al., 2001). Berat basah dedaunan, ranting, cabang dan batang dengan diameter < 15 cm ditimbang di lapangan, menggunakan timbangan gantung kapasitas 25 dan 50 Kg dengan akurasi 1%.

Timbangan meja dengan kapasitas 2000 g digunakan untuk menimbang specimen yang lebih kecil. Sampel yang diambil, dikumpulkan dengan ulangan tiga kali dan disimpan dalam kantong plastik bersegel untuk dibawa ke laboratorium dalam rangka pengukuran kadar air. Berat kering didapatkan melalui pengeringan sampel pada temperature 105 °C hingga berat konstan diperoleh (Stewart et al., 1992; Ketterings et al., 2001).

38 - BPK Manokwari

Untuk menentukan berat jenis kayu, beberapa sampel diambil dari bagian terbawah, tengah dan teratas dari batang. Sampel-sampel tersebut diambil dalam bentuk silinder, sehingga bagian luar dan dalam batang tercakup hingga kulit kayu (Nelson et al., 1999). Berat jenis kayu dihitung berdasarkan metode water replacement. Dalam rangka menghindari penyusutan selama pengukuran volume, sampel-sampel yang diambil disaturasi terlebih dulu. Oleh karena itu, sampel-sampel tersebut direhidrasi selama 48 jam. Volume tiap sampel ditentukan oleh perbedaan ketinggian volume air saat sampel ditenggelamkan dalam gelas ukur. Berat jenis kayu merupakan berat kering oven dibagi volume saturasi. Berat kering ranting, cabang dan batang dengan diameter > 15 cm dihitung dengan mengalikan volume basah tiap seksi dengan berat jenis kayu. Untuk bagian-bagian pohon lainnya, berat kering dihitung dengan mengalikan berat basah terhadap rasio berat kering/berat basah dari sampel-sampel yang diambil. Berat kering total suatu pohon didapatkan dari penjumlahan berat kering batang, cabang, ranting dan dedaunan.

C. Analisis Data Langkah pertama yang dilaksanakan adalah penyusunan persamaan untuk masing-masing genera Palaquium dan Vatica. Kemudian kedua genera tersebut dicampurkan dengan data hasil penelitian tahun 2010 untuk genera Intsia dan Pometia dalam rangka penyusunan suatu persamaan allometrik untuk jenis komersial. Sebelum persamaan allometrik disusun, hubungan antara variebel independen dan dependen perlu diperiksa menggunakan scatter plot, apakah kedua variabel tersebut berhubungan secara linear. Variabel independen mencakup DBH, CBH dan berat jenis kayu, sedangkan variabel dependen adalah total biomassa atas tanah (TAGB). Perbandingan dan seleksi model dilaksanakan berdasarkan nilai standard error of coefficient, F hitung, R-sq, R-sq (adj) dengan software Minitab 14.0, sedangkan simpangan rata-ratanya yang dinyatakan dalam satuan persen (%) dan dihitung berdasarkan rumus seperti yang disarankan oleh Basuki et al. (2009), yaitu:

Dimana:

Ŝ = deviasi rata-rata; Ŷi = berat kering pengukuran lapangan; Yi = berat kering pendugaan; n = jumlah pengukuran.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan variabel-variabel independen yang dapat digunakan sebagai predictors pada persamaan penduga dilaksanakan berdasarkan pola hubungan masing-masing variable independen (Diameter at Breast Height/DBH, Commercial Bole Height/CBH, Wood Density/WD) terhadap variable dependennya (Total Above Ground Biomass/TAGB). Pola hubungan tersebut seperti yang terlihat pada scatterplot pada Gambar 1 yang dibangun berdasarkan data pengukuran aktual yang tersaji pada Tabel 1 .

Tabel 1. Parameter Dasar Penyusunan Persamaan Penduga Biomassa Atas Tanah DBH Wood Density TAGB Genera CBH (m) (cm) (gr/cm3) (kg/pohon) 5 6 0.33 4.60 7 6 0.36 5.21 10 10 0.38 20.28 13 12 0.41 106.52

15 12 0.43 147.95 16.8 12 0.44 130.21 20 12 0.46 197.97

Palaquium 22.5 18 0.47 239.22 24.8 12 0.48 383.91 28 19.4 0.50 587.46 33.5 19 0.53 1016.36 37 15.5 0.55 1406.06 40 18.5 0.56 1413.72 5.5 6 0.54 27.39 10 8.20 0.56 105.71

15 6.30 0.58 252.37

20 12.00 0.61 385.62

Vatica 24.5 12.70 0.63 468.71 30 16.55 0.64 924.96 35 14.60 0.66 1581.00 40 16.45 0.67 1855.93

Seperti yang tersaji pada Gambar 1, terlihat bahwa variable independen tinggi bebas cabang (CBH) membentuk pola acak terhadap variable dependen total biomassa atas tanah, sehingga variabel CBH tidak dapat digunakan sebagai predictor dalam model persamaan. Berdasarkan scatter plot tersebut juga terlihat bahwa variable independen diameter setinggi dada (DBH) dan berat jenis kayu (WD) membentuk hubungan exponential growth terhadap variable dependen total biomassa atas tanah (TAGB). Polahubungan exponential growth tersebut menunjukkan bahwa sampel pohon dengan selang diameter 5-40 cm masih berada pada masa pertumbuhan. Karena apabila sampel telah mencapai puncak pertumbuhan, maka hubungan yang terbentuk berupa pola sigmoid.

40 - BPK Manokwari

Palaquium Vatica

Scatterplot of TAGB vs DBH Scatterplot of TAGB vs DBH 1600 2000 1400 1200 1500

1000 B

B G 1000

G 800

A

A

T T 600 400 500 200 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 10 20 30 40 DBH DBH

Scatterplot of TAGB vs WD Scatterplot of TAGB vs WD 1600 2000 1400 1200 1500

1000

B B

G

G 800 1000

A

A

T T 600 400 500 200 0 0 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.55 0.550 0.575 0.600 0.625 0.650 0.675 WD WD

Scatterplot of TAGB vs CBH Scatterplot of TAGB vs CBH 1600 2000 1400 1200 1500

1000

B

B G

G 800 1000

A

A

T T 600 400 500 200 0 0 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 CBH CBH

Gambar 1. Scatter Plot Hubungan AntaraVariabel Independen TerhadapVariabel Dependennya

Berdasarkan pola hubungan eksponensial growth yang terlihat pada Gambar 1, terdapat dua pendekatan penyusunan model persamaan dalam rangka mencapai ketelitian yang tinggi, yaitu membangun model persamaan mengikuti pola logaritmik dan pola kuadratik berdasarkan model persamaan dasar yang disarankan oleh Basukiet al., (2009). Hubungan antar variabel yang membentuk pola eksponensial growth dapat digambarkan melalui model persamaan kuadratik, namun untuk meningkatkan akurasi hasil pendugaan maka model persamaan tersebut dapat diregresikan dengan mengikuti pola logaritmik (Grant et al., 1997; Stewart 1998). Hasil penyusunan persamaan berdasarkan kedua pola hubungan tersebut tersaji pada Tabel 2.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 41

42 - BPK Manokwari

Tabel 2. Hasil Penyusunan Persamaan Penduga Biomassa Atas Tanah

Koefisien Standard Species Average Errort [T R2 F Grouping N Persamaan Allometrik R2 Deviation Simbol Nilai of the -statistics] adjusted -statistics (Genera) (%) Coefficien c -0.762 0.1097 6.95 Log TAGB = c + α Log DBH 98.60% 98.50% 797.51 1.70 α 2.51 0.0889 28.24 c 3.86 0.1032 37.41 Intsia; Log TAGB = c + α Log WD 96.40% 96.00% 291.52 3.90 α 6.92 0.4051 17.07

c 128.3 167.1 0.77 Maulana dan 13 TAGB = c + α DBH + β DBH2 α -24.70 18.84 1.31 94.90% 93.90% 93.03 27.65 Asmoro β 1.678 0.4188 4.01 (2010) c 3090 741.8 4.17 TAGB = c + α WD + β WD2 α -12718 2463 5.16 97.60% 97.10% 204.60 46.06 β 13244 1948 6.80 c -0.8406 0.102 8.21 Log TAGB = c + α Log DBH 98.80% 98.70% 1090.5 1.56 α 2.572 0.078 33.02 c 4.267 0.066 64.43 Pometia; Log TAGB = c + α Log WD 98.50% 98.40% 839.64 1.92 α 7.214 0.249 28.98 Ekspose Hasil Ekspose c 232.5 123.5 1.88 (dalam 15 TAGB = c + α DBH + β DBH2 α -40.46 12.44 3.25 97.80% 97.40% 267.56 40.72 persiapan β 2.131 0.269 7.90 publikasi) c 4632 771.7 6.00 TAGB = c + α WD + β WD2 α -20620 2840 7.26 97.40% 97.00% 223.77 43.92

β 22886 2526 9.06 - hasil Penelitian 2011 Penelitian hasil c -1.52 0.1899 8.01 Log TAGB = c + α Log DBH 97.30% 97.10% 396.85 4.74 α 2.96 0.1482 19.92 c 6.217 0.2365 26.28 Log TAGB = c + α Log WD 96.50% 96.20% 302.46 7.97 α 11.59 0.6666 17.39 Palaquium 13 c 111.30 85.08 1.31 TAGB = c + α DBH + β DBH2 α 24.13 8.677 2.78 98.30% 97.90% 284.40 33.92 β 1.489 0.1887 7.89 c 6618 855.6 7.73 TAGB = c + α WD + β WD2 97.40% 97.00% 284.23 37.17

α 35000 3863 9.06

-

43

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 43

BPK Manokwari Manokwari BPK β 46043 4288 10.74 c -0.0975 0.1143 0.85 Log TAGB = c + α Log DBH 99.00% 98.80% 569.13 0.69 α 2.086 0.08742 23.86 c 6.368 0.3444 18.49 Log TAGB = c + α Log WD 95.40% 94.60% 124.31 0.86 α 17.67 1.585 11.15 c 130.90 161.1 0.81 Vatica 8 TAGB = c + α DBH + β DBH2 α 21.50 16.3 1.32 98.20% 97.40% 133.08 7.64 β 1.658 0.3507 4.73

c 51612 12972 3.98 -

2

4 TAGB = c + α WD + β WD α 182565 43019 4.24 96.40% 94.90% 66.07 28.20 4

β 161565 35504 4.55 c -0.881 0.1101 8.00 Log TAGB = c + α Log DBH 95.10% 94.90% 903.08 8.23 α 2.580 0.08584 30.05 c 4.065 0.155 26.23 Log TAGB = c + α Log WD 74.70% 74.20% 138.76 38.33 α 6.455 0.548 11.78 c 0.205 0.2047 0.95 LogTAGB = c + α LogDBH + β α 2.08 2.0840 18.59 97.00% 96.90% 750.67 3.50 Commercial LogWD 49 β 1.75 1.7491 5.53 Species c 152.49 80.71 1.89 TAGB = c + α DBH + β DBH2 α -28.764 8.426 3.41 95.20% 95.00% 454.86 51.79 β 1.7689 0.1843 9.60 c -7 1006 0.01 TAGB = c + α WD + β WD2 α -1928 3578 0.54 64.30% 62.80% 41.47 38.97 β 5070 3083 1.64

44 - BPK Manokwari

Untuk memperjelas hubungan antar variable dalam masing-masing persamaan pada kelompok spesies komersil yang telah disusun, maka dibangunlah fitted line plot seperti yang tersaji pada Gambar 2. Berdasarkan hasil yang termuat dalam Tabel 2, maka model persamaan yang dipilih berdasarkan ukuran kedekatan variable independen terhadap variable dependennya adalah persamaan ketiga, yakni Log TAGB = 0.205 + 2.08 Log DBH + 1.75 Log WD. Nilai F hitung persamaan ketiga sebesar 750.67, melebihi nilai F table pada selang kepercayaan 99% sebesar 124.77, yang berarti sisi penduga /predictor berpengaruh sangat nyata terhadap sisi response / hasil dugaan. Selain itu nilai R-sq (adj) persamaan ketiga tersebut menunjukkan bahwa hasil pendugaan berdasarkan variabel DBH dan WD mampu mendekati nilai nyata 96.90%. Nilai tersebut lebih besar daripada tiga persamaan lainnya yang berkisar antara 62.80%-95.00%. Nilai simpangan rata-rata yang hanya sebesar 3.50%, menunjukkan bahwa nilai biomassa hasil pendugaan persamaan pertama hanya menyimpang rata-rata sebesar 3.50% dari nilai actual hasil pengukuran untuk seluruh pohon pada selang 5-40 cm. Commercial Palaquium Vatica Spesies 20

Fitted Line Plot TAGB = 152.5 - 28.76 DBH + 1.770 DBH^2

2500 S 138.549 R-Sq 95.2% R-Sq(adj) 95.0% 2000

1500

B

G A T 1000 500

0 0 10 20 30 40 DBH

Fitted Line Plot TAGB = - 7 - 1928 WD + 5070 WD^2

2500 S 377.213 R-Sq 64.3% R-Sq(adj) 62.8% 2000

1500

B

G A T 1000 500 0

0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 WD Gambar 2. Fitted Line Plot Untuk Masing-masing Persamaan Penduga

Kemudahan dalam pengukuran variabel independen DBH juga menjadi dasar pertimbangan penentuan persamaan pertama sebagai persamaan yang terpilih. Pertimbangan pemilihan persamaan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Nelson et al., (1999) yang menyatakan bahwa pembangunan persamaan allometrik spesifik spesies berdasarkan variable independen DBH akan meminimalisir simpangan rata-rata dengan nilai maksimum 14.7% untuk pohon-pohon pada selang diameter 5.1-38.5 cm. Khusus untuk persamaan penduga commercial spesies yang tersusun atas empat genera, yakni Intsia, Pometia, Palaquium, danVatica; penambahan variabel WD sangat penting dalam rangka mengurangi resiko disproporsionalitas hasil pendugaan biomassa, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Basuki et al. (2009). Adapun hasil perbandingan nilai pendugaan total biomassa atas tanah untuk kelompok spesies komersial terhadap nilai aktualnya dapat dilihat dalam Tabel 3.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 45

46 - BPK Manokwari

Tabel 3. Perbandingan Tiap Hasil Pendugaan TAGB Terhadap Nilai Aktualnya Total Above Ground Biomass (Kg/tree) No. DBH (cm) WD (gr/cm3) Aktual Pers.1 Pers.2 Pers.3 Pers. 4 Pers. 5 1 5 0.37 12.74 8.36 20.34 8.16 52.89 -18.77 2 5 0.33 4.60 8.36 8.51 6.44 52.89 -95.60 3 5.5 0.43 12.42 10.69 51.41 12.79 47.80 105.91 4 5.5 0.54 27.39 10.69 212.48 18.79 47.80 423.29 5 6.8 0.44 19.05 18.49 56.48 20.40 38.69 121.66 6 7 0.36 5.21 19.92 15.25 15.19 37.82 -47.87 7 7.3 0.45 26.31 22.20 69.25 24.98 36.78 158.02 8 7.5 0.40 20.93 23.80 33.62 21.72 36.26 42.34 9 9 0.48 35.66 38.10 95.96 42.18 36.89 223.09 10 9.6 0.43 32.85 45.00 48.76 40.15 39.38 97.31 11 10 0.38 20.28 50.00 23.33 35.79 41.74 -3.48 12 10 0.56 105.71 50.00 260.17 68.82 41.74 485.27 13 11.2 0.50 100.76 66.99 139.07 73.51 52.22 308.60 Ekspose Hasil Ekspose 14 12 0.50 111.49 80.04 134.87 84.15 62.04 301.03 15 13 0.41 106.52 98.40 35.75 69.35 77.50 50.84 16 13.6 0.47 142.18 110.54 90.82 98.08 88.48 211.48 17 15 0.43 147.95 142.34 53.32 104.09 119.03 111.95 18 15 0.58 252.37 142.34 330.11 170.63 119.03 564.68 19 15.5 0.51 172.61 154.90 141.40 145.16 131.63 312.74

- 20 16.4 0.55 129.90 179.18 235.88 187.53 156.52 454.66 hasil Penelitian 2011 2011 Penelitian hasil 21 16.5 0.53 193.36 182.02 193.05 179.88 159.47 395.62 22 16.8 0.44 130.21 190.68 58.72 135.25 168.51 128.34 23 19.6 0.57 276.98 283.81 295.66 288.86 268.26 527.01 24 20 0.46 197.97 298.99 79.67 211.13 284.77 184.89 25 20 0.61 385.62 298.99 471.98 341.99 284.77 698.50 26 22 0.65 473.71 382.34 707.45 465.33 375.83 873.62 27 22 0.59 446.36 382.34 393.60 396.94 375.83 628.23 28 22.5 0.47 239.22 405.16 94.71 282.69 400.81 220.31 29 24.5 0.63 468.71 504.72 573.83 549.97 509.55 779.71

- 30 24.8 0.48 383.91 520.82 96.30 347.68 527.09 223.85

4

7 31 25 0.68 618.50 531.72 979.98 663.14 538.95 1035.24

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 47

BPK Manokwari Manokwari BPK 32 26 0.62 685.17 588.34 530.08 609.09 600.40 746.02 33 26.6 0.71 721.13 624.01 1276.45 810.52 638.97 1181.42 34 28 0.64 741.15 712.31 684.37 761.56 733.92 858.24 35 28 0.50 587.46 712.31 135.23 490.67 733.92 301.69 36 29.5 0.66 803.60 814.97 816.87 890.60 843.34 942.54 37 30 0.64 924.96 851.08 635.59 861.63 881.58 824.65 38 32.7 0.76 935.84 1063.00 1899.90 1387.06 1103.37 1429.83 39 33.5 0.68 1023.25 1131.40 941.20 1205.67 1174.04 1014.13

40 33.5 0.53 1016.36 1131.40 198.72 790.88 1174.04 403.87

-

4 41 35 0.70 1368.18 1266.76 1141.27 1391.52 1312.65 1117.77 8

42 35 0.66 1581.00 1266.76 799.22 1263.41 1312.65 931.83 43 37 0.55 1406.06 1462.04 248.86 1033.64 1509.85 471.24 44 37.5 0.72 1713.16 1513.56 1353.01 1682.10 1561.36 1215.59 45 37.8 0.81 1283.20 1545.00 3080.29 2137.54 1592.69 1783.91 46 40 0.86 2148.83 1787.78 4241.51 2622.29 1832.17 2054.31 47 40 0.75 2228.07 1787.78 1749.04 2062.43 1832.17 1375.15 48 40 0.56 1413.72 1787.78 280.62 1255.85 1832.17 509.72 49 40 0.67 1855.93 1787.78 875.15 1709.44 1832.17 976.89 Keterangan: Pers. 1 Log TAGB = -0.881 + 2.58 Log DBH; Pers. 2 Log TAGB = 4065 + 6455 Log WD; Pers. 3Log TAGB = 0.205 + 2.08 Log DBH + 1.75 Log WD; Pers. 4 TAGB =152.49 - 28.764DBH + 1.7689DBH2; Pers. 5TAGB = -7 - 1928WD + 5070WD2

Data pada Tabel 3 kemudian divisualkan dalam suatu grafik perbandingan untuk memperjelas hasil perbandingan, seperti yang tersaji pada Gambar 3.

48 - BPK Manokwari

Aktual Pers.1 Aktual Pers.2

Aktual Pers.3 Aktual Pers. 4

Aktual

No. Pohon

Gambar 3. Grafik Perban dingan Hasil Pendugaan Tiap Persamaan Allometrik Commercial Species Terhadap Nilai Aktualnya.

Keterangan: Pers. 1 Log TAGB = -0.881 + 2.58 Log DBH; Pers. 2 Log TAGB = 4065 + 6455 Log WD; Pers. 3Log TAGB = 0.205 + 2.08 Log DBH + 1.75 Log WD; Pers. 4 TAGB =152.49 - 28.764DBH + 1.7689DBH2; Pers. 5TAGB = -7 - 1928WD + 5070WD2

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 49

PERBANDINGAN DENGAN HASIL PENELITIAN YANG TELAH DIPUBLIKASIKAN SEBELUMNYA

Dari segi aplikasi model, persamaan allometrik bersifat spesifik terhadap spesies dan lokasi. Sehingga persamaan-persamaan allometrik tidak dapat dibandingkan untuk spesies dan lokasi yang berlainan. Akan tetapi dari segi susunan variable dan bentuk persamaan, berbagai persamaan allometrik dapat dibandingkan sebagai tolak ukur efisiensi pengukuran. Adapun dalam penelitian ini, hasil pemilihan model diujikan terhadap tiga model persamaan allometrik untuk hutan tropis multi spesies di Indonesia yang telah dipublikasikan sebelumnya, yaitu oleh Basuki et al. (2009), Brown (1997), dan Ketterings et al. (2001). Basuki et al. (2009) telah membangun persamaan allometrik untuk multi- spesies kayu komersial berdasarkan data yang dikumpulkan dari hutan tropis dipterocarp di daerah Kalimantan Timur. Brown(1997) telah membangun berbagai persamaan allometrik untuk hutan tropis berdasarkan data yang sebagian besar dikumpulkan dari Kalimantan. Ketterings et al. (2001)telah membangun persamaan allometrik pada hutan sekunder campuran di Sumatra. Perbandingan susunan variabel dan bentuk berbagai model persamaan allometrik tersebut tersaji pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Perbandingan Persamaan Terpilih Dengan Berbagai Persamaan Allometrik yang Telah Dipublikasikan Sebelumnya. Selang No. Persamaan R2adj Diameter Log(TAGB) = 0.205 + 2.08Log(DBH) + 1 1.75Log(WD) {persamaan terpilih penelitian ini} 5-40 cm 96.90% Ln(TAGB) = -2.266 + 2.030Ln(DBH) + 2 0.542Ln(WD) {Basuki et al. (2009)} 6-200 cm 98.50% 3 TAGB = 0.139 DBH2.32 {Brown (1997)} 5-40 cm 89.00% TAGB = 0.066 DBH2.59 {Ketterings et al. 4 (2001)} 8-48 cm 95.40% Keterangan: TAGB = Total Above Ground Biomass (Kg/Pohon); DBH=Diameter at Breast Height (cm); WD=Wood Density (gr/cm3).

Berdasarkan perbandingan pada Tabel 4 di atas terlihat bahwa persamaan terpilih pada penelitian ini memiliki bentuk persamaan dasar yang sama dengan tiga persamaan allometrik yang telah dipublikasikan sebelumnya, yaitu TAGB = a DBHb, yang dapat juga dinyatakan dalam bentuk logaritma (apabila kurva hubungan antara TAGB dan DBH membentuk pola pertumbuhan eksponensial) Log (TAGB) = Log (a) + b Log (DBH), atau dalam bentuk logaritma natural (apabila kurva hubungan antara TAGB dan DBH membentuk pola sigmoid) Ln (TAGB) = Ln (a) + b Ln (DBH). Untuk memperjelas hasil perbandingan nilai TAGB berdasarkan berbagai persamaan allometrik tersebut, data pada Tabel 5 divisualisasikan dalam sebuah grafik seperti yang tersaji pada Gambar 4. Berdasarkan grafik pada Gambar 4, jelas terlihat bahwa hasil pendugaan berdasarkan persamaan allometrik yang

50 - BPK Manokwari

disusun oleh Basuki et al. (2009), Brown (1997) dan Ketterings et al., (2001) cenderung underestimate terhadap hasil pengukuran aktual di lapangan. Kondisi tersebut dapat terjadi karena sifat spesifik dari persamaan allometrik yang terbatas penggunaannya pada spesies dan lokasi tertentu. Persamaan allometrik yang paling sesuai untuk menduga TAGB pada kawasan hutan tropis Papua, adalah persamaan yang disusun berdasarkan data yang dikumpulkan dari dalam kawasan hutan tropis Papua.

Gambar 4. Grafik Perbandingan Nilai Pendugaan TAGB Berbagai Persamaan Allometrik Terhadap Nilai Aktual

Menurut Ketterings et al. (2001), pemilihan variabel DBH akan meningkatkan efisiensi pengukuran dan mengurangi ketidakpastian pada hasil pengukuran berdasarkan persamaan yang telah dibentuk. Sedangkan pemilihan variabel tinggi pohon cenderung akan menurunkan efisiensi pengukuran karena variabel tinggi pohon lebih sulit diukur dari pada DBH. Perbandingan hasil pendugaan total biomasa pohon di atas permukaan tanah (TAGB) masing-masing persamaan allometrik terhadap hasil pengukuran aktual di lapangan tersaji pada Tabel 5.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 51

52 - BPK Manokwari

Tabel 5. Perbandingan Hasil Pendugaan Nilai TAGB Berdasarkan Persamaan Allometrik Yang Telah Dipublikasikan Sebelumnya

Aktual Pers. Terpilih Basukiet al. Brown (1997) Ketteringset al. (2009) (2001) 1 5 0.37 12.74 8.16 1.60 5.82 4.26 2 5 0.33 4.60 6.44 1.48 5.82 4.26 3 5.5 0.43 12.42 12.79 2.09 7.26 5.46 4 5.5 0.54 27.39 18.79 2.36 7.26 5.46 5 6.8 0.44 19.05 20.40 3.25 11.87 9.46 6 7 0.36 5.21 15.19 3.09 12.70 10.19 7 7.3 0.45 26.31 24.98 3.82 13.99 11.36 8 7.5 0.40 20.93 21.72 3.79 14.90 12.19 9 9 0.48 35.66 42.18 6.00 22.74 19.54 10 9.6 0.43 32.85 40.15 6.46 26.42 23.10 11 10 0.38 20.28 35.79 6.60 29.04 25.68

12 10 0.56 105.71 68.82 8.08 29.04 25.68 Ekspose Hasil Ekspose 13 11.2 0.50 100.76 73.51 9.65 37.77 34.44 14 12 0.50 111.49 84.15 11.07 44.33 41.17 15 13 0.41 106.52 69.35 11.65 53.38 50.66 16 13.6 0.47 142.18 98.08 13.81 59.27 56.94 17 15 0.43 147.95 104.09 16.11 74.40 73.39

18 15 0.58 252.37 170.63 18.77 74.40 73.39 - hasil Penelitian 2011 Penelitian hasil 19 15.5 0.51 172.61 145.16 18.69 80.28 79.89 20 16.4 0.55 129.90 187.53 21.87 91.51 92.47 21 16.5 0.53 193.36 179.88 21.78 92.81 93.93 22 16.8 0.44 130.21 135.25 20.44 96.77 98.42 23 19.6 0.57 276.98 288.86 32.01 138.37 146.72 24 20 0.46 197.97 211.13 29.87 145.01 154.60 25 20 0.61 385.62 341.99 34.69 145.01 154.60 26 22 0.65 473.71 465.33 43.55 180.90 197.89 27 22 0.59 446.36 396.94 41.46 180.90 197.89

28 22.5 0.47 239.22 282.69 38.50 190.58 209.75

-

29 24.5 0.63 468.71 549.97 53.24 232.21 261.51

53 30 24.8 0.48 383.91 347.68 46.97 238.86 269.88

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 53

BPK Manokwari Manokwari BPK 31 25 0.68 618.50 663.14 58.02 243.35 275.56 32 26 0.62 685.17 609.09 59.66 266.53 305.02 33 26.6 0.71 721.13 810.52 67.28 281.02 323.58 34 28 0.64 741.15 761.56 70.85 316.53 369.56 35 28 0.50 587.46 490.67 61.84 316.53 369.56 36 29.5 0.66 803.60 890.60 79.95 357.27 423.04 37 30 0.64 924.96 861.63 81.00 371.48 441.86 38 32.7 0.76 935.84 1387.06 105.78 453.70 552.36

- 39 33.5 0.68 1023.25 1205.67 104.74 479.86 588.04

54 40 33.5 0.53 1016.36 790.88 91.91 479.86 588.04

41 35 0.70 1368.18 1391.52 116.34 531.19 658.69 42 35 0.66 1581.00 1263.41 112.91 531.19 658.69 43 37 0.55 1406.06 1033.64 114.60 604.29 760.65 44 37.5 0.72 1713.16 1682.10 135.76 623.40 787.56 45 37.8 0.81 1283.20 2137.54 147.84 635.03 803.98 46 40 0.86 2148.83 2622.29 170.35 724.09 930.85 47 40 0.75 2228.07 2062.43 158.14 724.09 930.85 48 40 0.56 1413.72 1255.85 135.62 724.09 930.85 49 40 0.67 1855.93 1709.44 149.21 724.09 930.85

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan data, persamaan Log(TAGB) = c + αLog(DBH) merupakan model yang paling sesuai dalam pendugaan total biomassa atas tanah pada tingkat genera. Namun, khusus untuk pendugaan pada tingkat kelompok jenis komersial, model persamaan yang paling sesuai adalah Log(TAGB) = c + αLog(DBH) +βLog(WD). Penambahan variabel WD (wood density; gr/cm3) untuk pendugaan biomassa pada tingkat kelompok jenis komersial sangat penting dalam rangka meminimalisir disproporsionalitas hasil pendugaan.

54 - BPK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, T.M., Van Laake, P.E., Skidmore, A.K., Hussin, Y.A. 2009. Allometric equations for estimating the above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp forests. Forest Ecology and Management 257, 1684-1694 Brown S and Masera O. 2003. Supplementary methods and good practice guidance arising from the Kyoto Protocol, section 4.3 LULUCF projects Good Practice Guidance For Land Use, Land-Use Change and Forestry, Intergovernmental Panel on Climate Change National Greenhouse Gas Inventories Programmeed J Penman, M Gytartsky, T Hiraishi, T Krug,D Kruger, R Pipatti, L Buendia, K Miwa, T Ngara, K Tanabe and F Wagner (Kanagawa: Institute for Global Environmental Strategies (IGES)) pp 4.89–4.120 Brown, S., 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: a primer. FAO. Forestry Paper 134, Rome, 87 pp. Clark, D.A., Brown, S., Kicklighter, D.W., Chambers, J.Q., Thomlinson, J.R., Ni, J., Holland, E.A., 2001. Net primary production in tropical forests: an evaluation and synthesis of existing field data. Ecological Application 11 (2), 371–384. De Gier, A., 2003. In: Roy, P. (Ed.), A New Approach to Woody Biomass Assessment in Woodlands and Shrublands. Geoinformatics for Tropical Ecosystems, India pp. 161–198. Grant, William E., Pedersen, Ellen K., Marin, Sandra L., 1997. Ecology and Natural Resource Management (System Analysis and Simulation). John Willey and Sons, Inc., New York. Hairiah, K., danRahayu, S., 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. ICRAF. Bogor [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programmeed H S Eggleston, L Buendia, K Miwa, T Ngara and K Tanabe (Japan: Institute For Global Environmental Strategies). Ketterings, Q.M., Coe, R., van Noordwijk, M., Ambagau, Y., Palm, C.A., 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting aboveground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146, 199–209. Lu, D.S., 2006. The potential and challenge of remote sensing-based biomass estimation. International Journal of Remote Sensing, 27(7): 1297-1328. Maulana, S.I.,dan Asmoro, J.P.P., 2010. Penyusunan Persamaan Allometrik Genera Intsia sp. Untuk Pendugaan Biomasa Atas Tanah Pada Hutan Tropis Papua Barat. Jurnal penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Volume 7 No. 4, Edisi Khusus 2010

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 55

Nelson, B.W., Mesquita, R., Pereira, J.L.G., de Souza, S.G.A., Batista, G.T., Couta, L.B., 1999. Allometric regressions for improved estimate of secondary forest biomass in the Central Amazon. Forest Ecology and Management 117, 149–167. Pearson T, Walker S and Brown S. 2005. Sourcebook for land use, land-use change and forestry projects Winrock International and the BioCarbon Fund of the World Bank p 57. Post W M, Izaurralde R C, Mann L K and Bliss N.,1999. Monitoring and verification of soil organic carbon sequestration Proc.Symp. Carbon Sequestration in Soils Science, Monitoring and Beyond (December) ed N J Rosenberg, R C Izaurralde and E L Malone (Columbus, OH: Batelle Press) p 41. Samalca, Irvin K., 2007. Estimation of Forest Biomass and Its Error, A Case in Kalimantan-Indonesia [Thesis]. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Enschede, The Netherlands. Stewart, J. 1998. Kalkulus. EdisiKeempat. Susila I. N., H. Gunawan, penerjemah; Mahanani N., W. Hardani, editor. Penerbit Erlangga. Jakarta. Terjemahan dari: Calculus, Fourth Edition. Stewart, J.L., Dunsdon, A.J., Hellin, J.J., Hughes, C.E., 1992. Wood biomass estimation of Central American dry zone species. Tropical Forestry Papers 26. Oxford Forestry Institute, Department of Plant Sciences, University of Oxford. Wang, H., Hall, C.A.S., Scatena, F.N., Fetcher, N., Wu, W., 2003. Modeling the Spatial and temporal variability in climate and primary productivity across the Luquillo mountains, Puerto Rico. Forest Ecology and Management 179, 69–94.

56 - BPK Manokwari

PERANAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI MELALUI PEMBERDAYAAN POTENSI LOKAL DI PROVINSI PAPUA BARAT

Oleh : Baharinawati Wilhan Hastanti

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Sektor Kehutanan memainkan peranan yang menonjol dalam perekonomian nasional melalui penyediaan perumahan dan bahan baku industri, pembukaan wilayah, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan pengembangan wilayah. Provinsi Papua yang merupakan provinsi di Indonesia dengan luas wilayah hutan terluas yaitu 40.546.360 ha sangat potensial bagi pembangunan ekonomi, sehingga diharapkan sektor kehutanan dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah maupun nasional. Potensi-potensi lokal pada sektor kehutanan di Papua yang diharapkan dapat berperan dalam pembangunan ekonomi daerah maupun nasional terdiri dari : kayu, hasil hutan kayu (rotan, buah merah, tanaman obat) dan jasa lingkungan (ekowisata).

Kata kunci : sektor kehutanan, pembangunan ekonomi, pemberdayaan, potensi, lokal

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 57

A. Latar Belakang Sektor kehutanan telah memainkan peranan yang menonjol dalam perekonomian nasional melalui perolehan devisa, penyediaan perumahan dan bahan baku industri, pembukaan wilayah, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan pengembangan wilayah. Pendapatan negara yang disumbangkan sektor kehutanan sekitar 7 – 8 milyar dolar per tahun berupa penerimaan pajak dan non pajak, penyerapan tenaga kerja langsung sekitar 4 juta (dengan efek penggandanya/multiplier effect sekitar 10 – 20 juta orang), pengembangan ekonomi wilayah propinsi berupa PDRB berkisar antara 20% sampai 45%, pembukaan wilayah melalui pembangunan jalan tercatat sepanjang 46 km di seluruh wilayah Indonesia serta fasilitas umum lainnya seperti sekolah, rumah ibadah serta infrastruktur lainnya (Dephut, 2009). Papua adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah seperti pertambangan, potensi kelautan maupun kehutanan. Namun demikian kondisi kehidupan masyarakat dan perekonomian daerah Papua masih jauh dari kondisi yang diharapkan. Struktur ekonomi daerah di Papua masih didominasi oleh sektor pertambangan dan pertanian, walaupun keduanya tidak saling menunjang untuk memperkuat basis perekonomian di Provinsi Papua. Proses transformasi yang diharapkan bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder (industri) maupun ke sektor tersier ( jasa), sampai saat ini belum nampak secara signifikan, akibatnya Provinsi Papua termasuk dalam kategori wilayah non industri. Perekonomian Provinsi Papua masih bertumpu pada sektor primer yang mengandalkan pada resource based activities yaitu pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan dan perikanan/kelautan. Di sektor kehutanan, Provinsi Papua merupakan provinsi di Indonesia dengan luas wilayah hutan terluas yaitu 40.546.360 ha sangat potensial bagi pembangunan ekonomi daerah, sehingga diharapkan sektor kehutanan dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah. Pengaruh sektor kehutanan berdampak pada struktur perekonomian daerah yang meliputi kontribusinya terhadap PDRB, impor dan penyerapan tenaga kerja, namun kurang berdampak pada penerimaan pajak dan kegiatan ekspor. Berdasarkan nilai multiplier, sektor kehutanan memberikan efek multiplier yang besar terhadap penciptaan produk domestik, peningkatan pendapatan faktor-faktor produksi dan keunikan produksi sektor-sektor lainnya serta peningkatan pendapatan masyarakat dan ekonomi rumah tangga di Papua. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana peranan sektor kehutanan terhadap pembangunan di Provinsi Papua melalui pemberdayaan potensi lokal yang ada.

B. Kondisi Makro Ekonomi dan Sektor Kehutanan Nasional Perkembangan sektor kehutanan di Indonesia masa kini dan masa mendatang tidak lepas dari kondisi makro ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 – 1998 telah mengubah ekonomi Indonesia menjadi yang terburuk sepanjang 30 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Indonesia

58 - BPK Manokwari

sempat begitu jatuh pada tahun 1998 kemudian berangsur-angsur pulih pada tahun 1999 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2007 gejolak makro ekonomi mulai terjadi sejalan dengan fluktuasi harga energi dan komoditas. Fluktuasi tersebut disusul dengan krisis keuangan yang menimpa lembaga-lembaga keuangan skala internasional. Implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2002 sampai dengan 2007 dapat dilihat dari PDB lintas sektoral sesuai perkembangan PDB menurut komponen usaha yang bersumber dari laporan Lembaga Manajemen FE UI. Dengan PDB sekitar Rp. 3.957 trilyun pada tahun 2007 sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yaitu Rp. 1.069 trilyun atau sekitar 25%. Kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 14% dan sektor pertanian (termasuk kehutanan, peternakan dan perikanan) berkontribusi 13%. Khusus sektor Pertanian (termasuk di dalamnya sektor kehutanan) dinamika lapangan usaha sektoral terlihat paling stabil pada segala kondisi ekonomi (LM, FEUI, 2008). Kontribusi subsektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Kontribusi Sektor Kehutanan pada Pertumbuhan PDB 2007-2009 2007 2008 2009 Lapangan Triwulan Triwulan Usaha Jumlah Jumlah I II III IV I II Sektor 0,1 0,71 0,81 0,83 0,87 0,81 0,71 0,85 Kehutanan Pertanian, Perternakan, 13,71 14,46 14,53 15,57 12,99 14,40 15,63 15,63 Kehutanan, Perikanan Produk Domestik 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Bruto PDB Non 89,45 88,98 88,45 89,17 90,73 89,35 92,75 92,54 Migas Sumber : Badan Pusat Statistik 2009

Dari Tabel 1 terlihat sektor kehutanan mengalami pertumbuhan yang relatif stabil dan memberikan kontribusi yang relatif kuat terhadap pertumbuhan ekonomi pada lapangan usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan terutama PDB Non Migas. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan relatif kuat dari pengaruh-pengaruh yang menimbulkan krisis ekonomi dunia. Kondisi kehutanan yang terbukti cukup tangguh bertahan pada masa krisis ekonomi menunjukkan rendahnya ketergantungan pada bahan impor pada wood based industries. Maka industri perkayuan di Indonesia apabila dikelola dengan baik diharapkan akan menjadi tulang punggung perbaikan perekonomian nasional. Namun demikian perlu juga diperhatikan pengambilan kebijakan yang dapat menyulut permasalahan sosial terkait dengan kondisi ekonomi masyarakat sekitar hutan khususnya, karena hal itu berpengaruh pada industri kehutanan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 59

C. Kondisi Sumber Daya Hutan Nasional Menurut data statistik 2009, pola alokasi atau pemanfaatan lahan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan menunjukkan luas hutan tetap adalah 110.046.500 hektar yang meliputi 58% luas daratan Indonesia. Hasil hutan berupa kayu terutama dihasilkan dari Hutan Produksi Tebatas (HPT) dan Hutan Produksi Tetap (HP) seluas kurang lebih 60 juta hektar. Dari luasan hutan produksi seluas 60 juta hektar ini, 1 – 1,5 juta hektar merupakan hutan produksi tetap yang ada di Jawa dan merupakan hutan tanaman. Selebihnya adalah hutan alam yang ada di luar Pulau Jawa. Selain berupa hutan produksi, bentuk hutan lain yang berfungsi produksi dan ada di luar hutan tetap yaitu hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dengan luas areal ± 23 juta ha (Departemen Kehutanan, 2009) Dari segi kondisi penutupan lahan, hutan alam yang ada di luar Jawa ini telah banyak mengalami perubahan dari hutan belum ditebang (hutan primer) menjadi hutan sudah ditebang (hutan sekunder), ataupun bahkan tidak berhutan lagi karena digunakan untuk lahan pertanian maupun pemukiman atau transmigrasi. Perubahan fisik hutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas, kurang lebih mencapai 55 juta hektar sampai dengan tahun 2005 . Di era euforia reformasi dewasa ini, dimana penegakan hukum mencapai titik terlemah, laju perusakan hutan 2,83 juta hektar per tahun atau di atas 3% per tahun dari total hutan produksi yang ada. Berdasarkan data hasil Inventarisasi Hutan Nasional dalam Statistik Sumberdaya Hutan Indonesia sampai tahun 2009 hutan dengan fungsi produksi adalah seluas ± 59,4 juta ha, yang terdiri atas areal tidak berhutan seluas ± 18,4 juta ha (25%), dan yang berhutan seluas ± 40,8 juta ha (75%). Areal tidak berhutan ini sebagian besar berada di Kalimantan (39%) dan di Sumatera (34%). Dalam rangka upaya rehabilitasi hutan tidak produktif dan peningkatan potensi produksi kayu guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri perkayuan, sejak awal tahun 1990-an telah dicanangkan program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembangunan HTI ditargetkan ± 4,6 juta ha yang akan dibangun di luar Jawa, sedangkan hutan tanaman yang sudah ada di Jawa ± 1,8 juta ha, sehingga luas total hutan tanaman/HTI mencapai 6,4 juta ha. Realisasi pembangunan HTI selama periode tahun 1990 – 2008 yang dibangun di luar Jawa seluas 4.274.853,67 ha. Dari segi macam HTI yang dibangun adalah HTI pulp 1.875.804,80 ha, HTI Petukangan 1.301.491,67 ha dan HTI Tanaman Andalan 439.518,49 ha. HPHTC seluas 2.557 ha dan HTI swakelola. Berdasarkan realisasi pembangunan tanaman dari HTI tersebut, luas rata-rata pembangunan HTI 213.742 ha/th. Dengan asumsi laju pembangunan HTI relatif tetap yaitu 213.742 ha/th, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai target pembangunan HTI seluas 4,6 juta ha lebih kurang 20 tahun yaitu sampai tahun 2010. Sehingga pada tahun 2010 target pembangunan 4,6 juta hektar dapat dipenuhi, mengingat sampai tahun 2009 luas HTI yang sudah ditanam telah mencapai 9.208.506 hektar (Ditjen Bina Produksi Kehutanan, 2009)

60 - BPK Manokwari

D. Potensi Sektor Kehutanan di Papua Untuk mengetahui potensi sektor kehutanan di Provinsi Papua, terlebih dahulu perlu dikaji adalah kondisi sumber daya hutan dan peruntukannya. Dibawah ini adalah tabel kondisi sumber daya hutan di Provinsi Papua berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang disusun oleh BPKH Wilayah X Jayapura. Tabel 2. Luas Kawasan Hutan Berdasar RTRW Provinsi Papua Tahun 2008 HL Hutan PPA/KSA HPT HT HPK (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 7.475.822 6.436.923 1.816.320 8.173.607 6.354.727 24,71% 21,27% 6,00% 27,01% 21% Sumber : Statistik Kehutanan Papua, 2008 Tabel 3. Luas Kawasan Hutan Berdasar RTRW Provinsi Papua Tahun 2009 HL Hutan PPA/KSA HPT HT HPK (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 7.524.300 6.415.000 1.808.900 8.143.500 6.330.400 24,90% 21,23% 5,99% 26,95% 20,95% Sumber : Statistik Kehutanan Papua, 2009 Berdasar data luas kawasan hutan di Provinsi Papua diatas, terlihat terjadi pergeseran areal untuk masing-masing kategori hutan selama kurun waktu 2008- 2009. Hanya Areal Hutan Lindung saja yang mengalami peningkatan sekitar 0,19%, sedangkan areal Hutan PPA/KSA mengalami penurunan 0,04%, HPT berkurang sekitar 0,01%, HT menyusut sekitar 0,05% dan HPK mengalami pengurangan sekitar 0,05%. Secara keseluruhan kondisi hutan di Papua selama tahun 2008 sampai tahun 2009 mengalami pengurangan sekitar 0,09%. Penyusutan kawasan hutan akan berpengaruh terhadap potensi sumber daya hutan yang ada. Tabel 4. Kontribusi Produksi Kayu di Papua terhadap Produksi Kayu Nasional Kayu Bulat (m3) Kayu Gergajian (m3) Kayu Lapis (m3) Nasional Papua Nasional Papua Nasional Papua 36.387.335 529.942,85 530.688 3.079,18 3.353.479 133.953,62 1,46% 0,58% 3,99% Sumber : Statistik Kehutanan Provinsi Papua, 2009 Produktivitas hutan di Provinsi Papua relatif tinggi karena memberikan kontribusi yang nyata terhadap produksi kayu nasional. Tabel diatas menunjukkan sumbangan produksi kayu di Provinsi Papua terhadap produksi kayu nasional. Hal ini ditunjang dengan luasan areal hutan produksi di Provinsi Papua yang demikian luas. Luas areal hutan produksi di Provinsi Papua mencapai 9.952.400 Ha atau 2,31% dari luas areal hutan produksi Indonesia yang luasnya 466.559.500 Ha dengan hasil kayu bulat 1,46% dari produksi kayu bulat nasional. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor areal hutan yang demikian luas, Papua juga didukung oleh kesuburan tanah dan iklim yang mendukung tumbuhnya jenis-jenis pohon tertentu. Mengingat kondisi hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sampai sekarang Papua masih cocok dengan sistem silvikultur TPTI.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 61

Selain faktor teknis kehutanan yang perlu diperhatikan adalah kondusifnya keamanan di Papua sehingga dapat mendorong investasi yang masuk. Selain itu tingginya kasus illegal logging di Papua menyebabkan jumlah produksi kayu bulat yang tercatat menjadi semu. Dengan kata lain angka produksi kayu bulat yang tercatat adalah produk yang legal, padahal produk kayu illegal bisa jadi melebihi produksi kayu yang ada. E. Beberapa Alternatif Pengembangan Sektor Kehutanan di Papua Dengan data yang sangat terbatas, sebenarnya sulit diperoleh informasi tentang produk unggulan Provinsi Papua untuk sektor kehutanan. Namun dengan sepenuhnya menyadari keterbatasan informasi yang dimiliki, maka makalah ini mencoba menyajikan produk-produk kehutanan yang sekiranya cocok untuk dikembangkan di Provinsi Papua, berdasarkan sumber bahan baku yang tersedia. Tabel 5. Beberapa Alternatif Pengembangan Usaha Kehutanan di Provinsi Papua Industri Differensial Jenis Usaha Sumber Bahan Baku Strategis Advantages Hasil Hutan 1. Hutan Alam Kayu Medium quality Kayu 2. Hutan Rakyat Furniture Hasil Hutan 1. Hutan Alam Sagu, Rotan, Bahan Baku industri Bukan Kayu 2. Usaha Kehutanan Tanaman obat Masyarakat Jasa Rekreasi Taman Nasional, Suaka Alam, Ekowisata Integrated ecotourism Hutan Wisata, Flora dan Fauna

1. Hasil Hutan Kayu Produk kayu Papua ditujukan untuk memenuhi kebutuhan di Papua, kebutuhan kayu nasional maupun kebutuhan untuk perdagangan internasional. Seiring dengan pengembangan wilayah akibat pemekaran daerah dan peningkatan jumlah penduduk di Papua, terjadi peningkatan kebutuhan kayu baik untuk bahan bangunan maupun kayu petukangan. Tingginya kebutuhan kayu akan meningkatkan harga kayu di pasaran dengan asumsi illegal logging yang marak terjadi di Papua bisa ditekan. Untuk produk perkayuan selain memenuhi produk perkayuan nasional, produk kayu di Papua yang ditujukan untuk furniture di Papua harus mampu meningkatkan nilai jual dengan meningkatkan daya saing dengan produk mebelair knockdown dari luar. Produk furniture di Provinsi Papua pada umumnya hanya dapat memenuhi kebutuhan wilayah Papua, karena kualitasnya masih pada tingkat medium quality. Dengan tersedianya bahan baku kayu yang melimpah diharapkan ke depannya dapat meningkatkan kualitasnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun internasional. Peningkatan produksi hasil hutan kayu baik untuk kayu maupun furniture akibat meningkatnya permintaan baik di Papua, pasar domestik maupun pasar internasional, diharapkan dapat memperluas lapangan usaha di Papua. Oleh karena itu hasil hutan kayu ikut berperan serta dalam pembangunan ekonomi dengan memperluas lapangan kerja untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan perbaikan ekonomi.

62 - BPK Manokwari

2. Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Papua amat kaya dengan HHBK andalan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan ekonomi melalui pendekatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan iklim usaha. HHBK di Papua yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk andalan Papua yaitu : rotan, sagu, buah merah dan tanaman obat. a. Rotan Berdasarkan hasil inventarisasi BPKH V Jayapura diketahui potensi rotan yang ada di Provinsi Papua terdiri dari beberapa jenis yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Papua, data tentang potensi rotan yang ada di Papua disajikan pada tabel dibawah ini : Tabel 6. Potensi Rotan Berdasarkan Jenis dan Daerah Persebarannya No. Jenis Rotan Potensi (kg/ha) Daerah Persebaran 1. Calamus sp 1.451,97 Nabire, Waropen, , Jayapura, Merauke 2. Ceratolobus sp 328,09 Nabire, Jayapura, Keerom, Biak, Merauke 3. Khorthalsia sp 1807,50 Nabire, Waropen, Jayapura, Biak, Merauke 4. Myrialepsis sp 28,76 Nabire, Keerom 5 Plectocomia sp 608,39 Nabire, Waropen, Jayapura, Keerom, Merauke 6. Daemonorops sp 1342,68 Nabire, Waropen, Jayapura, Keerom, Biak, Merauke Sumber : BPKH Wilayah X Jayapura, 2009

Potensi rotan di Provinsi Papua cukup dapat memberikan sumbangan produk rotan nasional, walaupun belum ada data yang akurat tentang sumbangan produk rotan Papua untuk produk rotan nasional. Selama ini produk rotan di Papua hanya memasok kebutuhan usaha kerajinan lokal di Papua, terutama di wilayah Jayapura. Salah satu kendala dalam tataniaga rotan adalah sulitnya pemasaran keluar Papua, selain mahalnya biaya transportasi juga perizinan yang rumit dari pihak-pihak terkait. b. Sagu Salah satu HHBK andalan Papua yang terkenal adalah sagu (Metroxylon spp). Sagu tumbuh menyebar hampir merata di seluruh wilayah Papua. Selain sebagai makanan pokok yang mulai bergeser digantikan oleh beras, sagu juga merupakan bahan pokok pembuatan kue-kue kering. Adapun potensi sagu yang ada di Provinsi Papua dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 7. Potensi Sagu Berdasarkan Jenis dan Penyebarannya No. Jenis Potensi Daerah Penyebaran (btg/ha) Nabire, Waropen, Jayapura, 1. Metroxylon rumpii var Sylvester 251,41 Sarmi,Asmat, Mimika, Mappi, Merauke Nabire, Waropen, Jayapura, 2. Metroxylon rumpii var Marth 153,24 Sarmi,Asmat, Mimika, Mappi, Merauke Metroxylon rumpii var Waropen, Jayapura, Yapen, Sarmi 3. 55,90 Longispinum Metroxylon rumpii var Waropen 4. 0,07 Acrocantum Metroxylon rumpii var Waropen 5. 0,05 Microcantum

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 63

6. Metroxylon sago Robb 120,04 Nabire, Waropen, Sarmi 7. Metroxylon spp 31,73 Waropen, Asmat, Mappi, Merauke Sumber : BPKH X Papua, 2009

Sebagian besar produk sagu nasional berasal dari Papua, sehingga selain memasok produk nasional, sagu juga memasok kebutuhan lokal di Papua. Selain sebagai makanan pokok, sagu juga merupakan bahan baku kue (industri rumah tangga). Potensi sagu yang melimpah akan memberi nilai jual yang tinggi apabila pengolahannya juga dilakukan di Papua. Untuk itu motivasi dan fasilitasi pada industri rumah tangga di Papua untuk mengembangkan variasi jenis makanan berbahan baku sagu. Hal ini akan menambah nilai jual sagu dan mendorong bermunculannya industri rumah tangga, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan memperluas lapangan kerja untuk masyarakat. c. Buah Merah Buah merah merupakan jenis HHBK yang terkenal dari Papua sebagai salah satu tanaman obat yang berfungsi sebagai suplemen dan diyakini mampu mengatasi segala jenis penyakit. Produk minyak buah merah sampai saat ini banyak diminati masyarakat baik didalam maupun luar negeri, sehingga semakin menjamur usaha-usaha yang memproduksi minyak buah merah. Adapun potensi buah merah di Papua tersaji pada tabel di bawah ini : Tabel 8. Potensi Buah Merah di Provinsi Papua No. Lokasi Pohon (btg/ha) Buah (buah/ha) 1. Jayawijaya 96 360 2. Tolikara 150 1100 Sumber : BPKH Wilayah X Jayapura, 2009

Semakin meningkatnya permintaan buah merah di pasaran, akan mendorong meningkatkan budidaya buah merah di Papua, sehingga dapat terjaga kontinyuitas pasokan produksinya. Peningkatan produksi buah merah akan menyumbang perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. d. Tanaman Obat Selain buah merah sebagai tanaman obat unggulan di Papua, hutan Papua menyimpan potensi berbagai jenis tanaman obat lainnya yang belum terekspos dan belum dikomersialkan. Tanaman obat tersebut sebagian besar dimanfaatkan masyarakat setempat karena sudah terbukti kasiatnya, walaupun kandungan kimianya belum diketahui secara pasti. Salah satu tumbuhan obat di Papua yang sudah mulai dikenal secara luas, selain buah merah adalah sarang semut. Permintaan produksi sarang semut sekarang ini mulai meningkat baik untuk pasar domestik maupun internasional. Namun belum terdapat data potensi yang akurat, walaupun penyebarannya hampir merata di hutan Papua. Di bawah ini disajikan tabel potensi tanaman obat di Provinsi Papua berdasar jumlah jenisnya yang dimanfaatkan masyarakat setempat.

64 - BPK Manokwari

Tabel 9. Potensi Tanaman Obat Berdasarkan Jumlah Jenis di Papua No. Lokasi Penyebaran Jumlah Jenis 1. Bolakme – Jayawijaya 23 2. Okaba – Merauke 38 3. Napan – Nabire 42 4. Mambor – Nabire 26 5. Fanbai – Yapen Waropen 52 6. Nonomi – Yapen Waropen 46 7 Pantai Timur – Sarmi 23 8 Distrik Sarmi – Sarmi 25 9. Kuala Kencana – Mimika 18 Sumber : BPKH Wilayah X Jayapura

Penyebaran jenis-jenis tanaman obat yang dimanfaatkan masyarakat demikian merata di hampir di setiap daerah di Provinsi Papua. Apabila jenis-jenis tersebut dapat terekspose layaknya buah merah dan sarang semut, maka dipastikan dapat memberikan sumbangan pendapatan daerah yang relatif besar. Sehingga perlu upaya untuk meneliti kandungan kimia dan mengekspos jenis- jenis tanaman obat di Papua beserta khasiatnya pada publik baik di tingkat domestik maupun kancah internasional.

3. Jasa Lingkungan Hutan alam Papua, selain menyimpan potensi hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu yang besar, juga memberikan sumbangan jasa lingkungan yang tidak kalah besar seperti udara yang sejuk dan bersih, sumber air dan sebagai penyerap emisi karbon/ . Salah satu jasa lingkungan yang bisa diandalkan sekarang ini adalah jasa rekreasi. Keberadaan kawasan Taman Nasional, Cagar Alam maupun Suaka Alam yang tersebar di wilayah Provinsi Papua menjadikan andalan pada jasa ekowisata. Walaupun frekuensi kunjungan wisata ke tempat- tempat tersebut masih terbilang rendah, diharapkan dengan upaya-upaya peningkatan pelayanan dan jasa wisata alam dapat meningkat dari tahun ke tahun. Di bawah ini tersaji tabel tingkat kunjungan wisatawan pada Kawasan Konservasi di Provinsi Papua. Tabel 10. Tingkat Kunjungan Wisatawan pada Kawasan Konservasi di Provinsi Papua Jumlah Kunjungan (orang) No. Kawasan Konservasi Tahun 2008 Tahun 2009 1. C.A Peg. Cycloops 517 6 2. TWA Teluk Yotefa 983 4 3. SM Bupul 58 11 4. TWA Nabire 9 Sumber : BKSDA Papua Jayapura, 2009

Berdasarkan tabel diatas, terjadi penurunan kunjungan wisatawan pada kawasan konservasi (ekowisata). Untuk itu perlu diadakan evaluasi dan pencermatan masalah penyebab turunnya angka wisatawan yang berkunjung di

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 65

kawasan konservasi di Provinsi Papua. Selain itu juga perlu diintensifkan peranan sektor pariwisata terutama jasa ekowisata untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan pelayanan yang menarik kunjungan wisatawan, misalnya dengan mempermudah akses transportasi ke lokasi wisata, penawaran paket-paket wisata yang menarik dan ekonomis serta pembenahan fasilitas-fasilitas wisata. Dengan banyaknya potensi-potensi lokal sektor kehutanan yang ada di Papua maka diharapkan dapat berperan dalam pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menumbuhkan pemerataan kemakmuran untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di Provinsi Papua.

F. Kesimpulan 1. Potensi sektor kehutanan di Papua didukung oleh kondisi sumber daya hutan berdasarkan luas kawasan. Luas wilayah hutan di Papua mencapai 40.546.360 ha yang terdiri hutan lindung, kawasan konservasi, hutan produksi dan areal penggunaan lainnya. 2. Kawasan hutan di Papua yang demikian luas menyimpan berbagai potensi lokal yang bisa dikembangkan untuk mendukung pembangunan nasional melalui pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional. Potensi lokal Papua terdiri dari Hasil Hutan Kayu, Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa lingkungan. 3. Produksi Kayu Papua memasok produksi kayu nasional, baik berupa kayu bulat, kayu gergajian maupun kayu olahan. Selain memenuhi kebutuhan kayu nasional maupun internasional, produksi kayu di Papua juga memenuhi kebutuhan kayu lokal sebagai bahan bangunan dan bahan baku furniture lokal. Untuk meningkatkan produksinya furniture lokal harus mampu meningkatkan kualitasnya sehingga mampu bersaing dengan produk-produk furniture knock-down berbahan kayu olahan dari luar yang harganya jauh lebih murah. 4. Selain produk kayu, hutan Papua juga kaya akan HHBK yang sampai saat ini produksinya belum optimal dan termanfaatkan dengan baik. Produk-produk unggulan HHBK Papua yang perlu dtingkatkan produksinya yaitu : rotan, sagu, buah merah dan tanaman obat. 5. Perlu pembenahan untuk peningkatan jasa ekowisata di kawasan hutan agar menarik kunjungan wisata baik wisata domestik maupun wisatawan asing untuk menggerakkan roda ekowisata di Papua. 6. Kekayaan hutan Papua dengan potensi kayu, HHBK dan jasa lingkungan perlu penanganan dan pembenahan yang lebih intensif agar dapat meningkatkan kontribusi bagi pembangunan ekonomi daerah maupun nasional, terutama melalui pertumbuhan ekonomi, pemerataan penghasilan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

66 - BPK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

BPKH Wilayah X Jayapura, 2009. Statistik Kehutanan Papua 2009. Jayapura. BBKSDA Papua I, 2009. Laporan Tahunan 2009. Jayapura 2009. Badan Pusat Statistik, 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta. Departemen Kehutanan, 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009. Jakarta. Departemen Kehutanan, 2009. Statistik 2009 Triwulan II. Jakarta. Dirjen Bina Produksi Kehutanan, 2009. Laporan Perkembangan Pemanfaatan Hutan Produksi 2009. Jakarta Lembaga Manajemen FEUI, 2008. Laporan Perkembangan PDB Lintas Sektoral 2002-2007. Jakarta

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 67

68 - BPK Manokwari

PEMILIHAN JENIS TANAMAN PENGHASIL KAYU DAN BUKAN KAYU DI PAPUA

Oleh : Oleh Batseba A. Suripatty

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Dalam pembangunan hutan tanaman, benih memainkan peranan yang sangat penting, dimana benih yang digunakan untuk pertanaman saat ini akan menentukan mutu tegakan yang akan dihasilkan dimasa mendatang. Dengan menggunakan benih yang mempunyai kualitas fisik fisiologis dan genetic yang baik merupakan cara yang strategis untuk menghasilkan tegakan yang berkualitas pula Pemilihan jenis untuk kegiatan penanaman yang ada kaitannya dengan program Kementerian kehutanan adalah Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Salah satu tujuannya adalah untuk mencegah, menanggulangi bencana, penyedia Oksigen (O2), penyerap racun udara terkontaminasi, dan secara tidak langsung akan mempengeruhi terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Kegiatan KBR ini sendiri adalah untuk memfasilitasi kelompok masyarakat atau petani yang ingin mengembangkan pembibitan, terutama diwilayah desanya. Pemilihan jenis tanaman penghasil kayu dan bukan kayu dapat menggunakan bibit secara generative dan vegetatif. Untuk mendapatkan hasil tanaman yang baik melalui seleksi bibit dari lapangan yaitu dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu perlu adanya penunjukan lokasih kebun benih, perlu adanya peningkatan areal pengumpulan benih teridentifikasi dan perlu seleksi benih/bibit yang benar sebelum dilakukan penanaman di lapangan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 69

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam pembangunan hutan tanaman, benih memainkan peranan yang sangat penting. Benih yang digunakan untuk pertanaman saat ini akan menentukan mutu tegakan yang akan dihasilkan dimasa mendatang. Dengan menggunakan benih yang mempunyai kualitas fisik fisiologis dan genetic yang baik merupakan cara yang strategis untuk menghasilkan tegakan yang berkualitas pula. Mendapatkan benih bermutu bukanlah pekerjaan yang mudah. Apa yang diuraikan pada tulisan ini hanyalah memberikan panduan umum yang diharapkan dapat memberikaninformasi yang berguna dalam penanganan benih. Ada beberapa hal yang dapat diuraikan disini yaitu untuk memperoleh benih yang bermutu dan bagaimana teknik perkecambahannya. Kegiatan pemungutan benih tidak kalah pentingnya dengan pemilihan sumber benih, karena bila pemungutan benih dilakukan dengan tidak benar maka akan diperoleh benih dengan mutu yang jelek. Semua usaha yang dilakukan untuk mencari sumber benih yang baik akan percuma bila pengumpulan benih tidak dilakukan dengan cara yang benar. Untuk itu perlu juga adanya suatu regu khusus untuk pengambilan benih karena pekerja kontrak biasanya kurang memperhatikan mutu benih mereka hanya melihat jumlahnya saja. Berikut ini diterangkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam kegiatan pengumpulan benih.

B. Pemilihan Jenis Pemilihan jenis untuk kegiatan penanaman yang ada kaitannya dengan program Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.24/Menhut-II/2010 adalah Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat (KBR), Semangat pemberdayaan itu tak lepas dari fenomena mulai tumbuhnya keinginan masyarakat untuk menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna yang bisa memberi hasil, seperti kayu, getah, buah, pakan ternak dan hasil lainnya. Namun, keinginan itu selama ini terkendala oleh ketidakmampuan memperoleh bibit berkualitas. “Dari pengalaman tersebut, maka perlu didorong penyediaan bibit berkualitas berbasis pemberdayaan masyarakat. KBR adalah sarana untuk mengurangi risiko berupa kemiskinan akibat degradasi hutan dan lahan. KBR, juga menjadi tempat pemberian pengetahuan dan keterampilan mengenai pembuatan persemaian dan penanaman dengan menggunakan bibit berkualitas.

1. Yang perlu dilakukan sebelum benih dikumpulkan

• Tentukan waktu pengumpulan benih. Setiap jenis pohon memiliki masa berbuah tertentu untuk itu mengetahui masa berbunga atau berbuah perlu dilakukan sehingga waktu panen yang tepat dapat ditentukan dengan tepat pula. Tanda-tanda buah masak perlu diketahui sehingga buah yang dipetik cukup

70 - BPK Manokwari

masak (masak fisiologis). • Siapkan alat yang dibutuhkan untuk pengumpulan benih

2. Cara pengumpulan benih a. Benih yang dikumpulkan dipermukaan tanah Benih yang dikumpulkan dipermukaan tanah seringkali mutunya tidak sebaik yang dikumpulkan langsung dari pohon, benih akan hilang daya kecambahnya jika terkena sinar matahari (benih yang rekalsitran), benih akan terserang hama/penyakit dan benih yang berkecambah.

b. Benih yang dikumpulkan langsung dari pohon. Pengambilan dengan cara ini yaitu, benih yang sudah masak dipetik langsung dengan bantuan galah/tangga, cabang yang jauh dapat ditarik dengan tali/kait kayu. Pengambilan juga dapat dilakukan dengan cara diguncang. Pengambilan dengan cara ini dapat menggunakan terpal/plastik untuk menampung benih yang jatuh. Mutu benih yang dikumpulkan dengan cara ini sangat baik, karena dapat memilih buah yang betul-betul matang. Setelah benih dikumpulkan dimasukkan kedalam wadah untuk dibawah ketempat pengolahan.

3. Pemberian label identitas Setiap wadah berisi buah / polong harus diberi label agar identitas benih tetap diketahui. 4. Penyimpanan sementara Bila tidak mungkin untuk untuk langsung mengekstrasi biji, simpanlah wadah yang berisi buah/polong ditempat yang kering dan dingin dengan ventilasi udara yang baik. Jangan meletakkan wadah langsung dilantai, tetapi beri alas kayu sehingga memungkinkan peredaran udara dibawah wadahya, dengan demikian bagian bawahnya tidak lembab.

5. Penanganan Benih Setelah Dikumpulkan Penanganan benih harus dilakukan dengan baik, agar mutu benih dapat dipertahankan. Kegiatan penanganan benih meliputi : Sortasi buah/polong, ekstrasi benih, pembersihan benih, sortasi benih, pengeringan benih. Sumber benih menurut Hardiyanto (2003) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Zona Koleksi Benih Zona benih (seed zone) atau disebut juga wilayah provenans untuk suatu spesies area atau kelompok area yang memiliki kondisi ekologis yang relatif

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 71

seragam di tempat mana ditemukan tegakan yang memperlihatkan karakter fenotipik atau genetik yang serupa. Zona koleksi dalam hal ini berupa zona koleksi benih. Pada daerah pegunungan dengan variasi ketinggian atau arah kemiringan, Zona koleksi benih mungkin dibagi dalam beberapa subzone, misalnya beberapa elevasi. Misalnya pada pinis merkusii di Aceh, zona koleksi benih dapat dibagai zona elevasi rendah (< 500 m dpl), sedang (500-1000 m dpl) dan zona tinggi (> 1000 m dpl). Koleksi benih dapat dilakukan pada semua tegakan di setiap zona atau subzona. Benih dikumpulkan tidak hanya pada tegakan yang superioir, tetapi lebih didasrkan pada aksesibilitas dan kelimpahan prpduksinya. Benih biasanya dikumpulkan secara tercampur dari sejumlah pohon. Sistim zona benih umumnya diperuntukan untuk hutan alam. Sistim ini harus dipergunakan secara hati-hati untuk hutan tanaman yang berasal dari beberapa provenans. Adaptasi dari tegakan tanaman masih harus dilihat melalui survival, pertumbuhan dan reproduksinya. Lokasi setiap unit koleksi perlu dicatat berupa : zona dan elevasi. Catatan genetic untuk zona benih tidak diperlukan. Uji provenans tidak boleh dilakukan dengan benih yang dikumpulkan dari zona koleksi, untuk tujuan uji ini benih harus dikumpulkan dari sampel yang benar dari tegakan yang baik di dalam zona. Dokumentasi benih berupa : zona beni, elevasi, jenis hutan (alam atau bukan), waktu koleksi benih dan sebagainya.

b. Tegakan Teridentifikasi Tegakan teridentifikasi (identified stand) adalah sesuatu tegakan dengan kualitas rata-rata yang kadang-kadang dipergunakan untuk koleksi benih dan lokasinya dengan tepat dapat diidentifikasi. Unit koleksi adalah setiap tegakan teridentifikasi. Tegakan mungkin dapat berupa tegakan alam atau tanaman . Bila dalam satu zona benih terdapat beberapa tegakan teridentifikasi, benih dari tegakan-tegakan ini mungkin dicampur, tetapi akan lebih baik bila dikumpulkan secara terpisah. Tegakan teridentifikasi pada awalnya umumnya dibuat untuk tujuan lain, bukan untuk produksi benih. Tegakan harus cukup tua sehingga mampu memproduksi benih yang cukup. Lokasi dari sumber benih harus dicatat dan batas-batasnya harus diidentifikasi.

c. Tegakan Terseleksi Tegakan terseleksi (selected stand) merupakan tegakan dengan pohon- pohon fenotipe yang superior untuk sifat-sifat yang penting pada kondisi lingkungan yang ada. Tegakan terseleksi ini mungkin sebelumnya dibuat untuk tujuan-tujuan lain dan bukan untuk produksi benih. Bila tegakan telah ditetapkan untuk produksi benih, penjarangan selektif mungkin dilakukan, tetapi bukan keharusan kecuali untuk penebangan pohon-pohon yang sangat interior. Bila memungkinkan tegakan tetap dipergunakan sebagai penghasil benih sampai di atas umur rotasinya.

72 - BPK Manokwari

Batas-batas tegakan harus dapat diidentifikasi dilapangan dengan mudah dan bila perlu batas-batas ini diperjelas dilapangan. Sejauh mungkin dihindarkan kemungkinan adanya kontaminasi tepungsari yang tidak diinginkan. Bila isolasi ini sulit dilakukan, maka direkomendasikan luas tegakan minimal lima hektar dan benih tidak diperkenankan untuk dikumpulkan dari pohon-pohon paling tepi pada tegakan.

d. Area Produksi Benih (Tegakan Benih) Area produksi benih (seed production area) atau tegakan benih (seed stand) merupakan tegakan terseleksi yang kemudian “diupgrade” dan dibuka melalui penebangan pohon-pohon yang tidak diinginkan serta dipelihara agar cepat berbunga dan berbuah secara berlimpah. Tegakan yang telah menunjukan kinerja yang sangat baik kemudian dikonversi menjadi area produksi beni (APB) dan semat-mata hanya untuk produksi benih. Semua pohon yang terserang hama atau penyakit harus ditebang. Pohon-pohon dengan vigor yang lemah serta pohon-pohon dengan karakteristik yang tidak sehat mungkin dapat dilakukan penjarangan untuk memperoleh jarak tanam yang baik dan mendapatkan produksi benih yang maksimal. Area produksi benih bila dipilih dan dijarangi dengan baik akan memiliki pohon-pohon dengan fenotipe lebih bagus disbanding tegakan terseleksi. Jalur isolasi harus dibuat paling tidak 200 m dari tepi area produksi benih untuk spesies penyerbukannya dengan bantuan penyerbukan angin. Sementara itu untuk spesies yang penyerbukannya dengan bantuan serangga lebar jalur isolasi ini belum banyak diketahui. Untuk beberapa spesies seperti Eucalyptus dan acasia kisaran penyerbukan efektif sekitar 40 m. Pada beberapa spesies dari pohon yang jaraknya beberapa kilometer karena dibawa oleh polinatur dengan jelajah yang jauh seperti kelelawar. Semua spesies pada jalur isolasi yang berkawin silang dengan pohon dari area produksi benih harus dihilangkan.

e. Tegakan Provenans Tegakan provenans (Provenans stand) atau juga disebut provenans resource stand merupakan tegakan dari provenans (Provenans adalah tempat tumbuh alami suatu jenis tumbuhan) baru diuji atau telah diuji dan diketahui superioritasnya. Tegakan provenans dibangun untuk produksi benih, tetapi mungkin juga dipergunakan untuk seleksi pohon plus dan konservasi provenans ex-situ. Terdapat perbedaan antara tegakan terseleksi, area produksi benih dan tegakan provenans, dalam memproduksi benih. Dengan demikian tegakan dapat ditempatkan pada lokasi yang memenuhi persyaratan yang baik dari segi : aksesibilitas, isolasi dari kontaminasi tepungsari, serta kondisi yang baik untuk produksi biji. Hal ini mungkin tidak dapat dilakukan pada tegakan terseleksi dan area produksi benih karena penunjukannya setelah diketahui bahwa tegakan tersebut memenuhi syarat sebagai tegakan terseleksi area produksi benih. Manajemen untuk tegakan provenans juga sejak awal sudah diarahkan untuk tujuan produksi benih seperti penjarangan awal, pemupukan dan sebagainya. Sejak awak tegakan provenans harus ditanam pada tapak yang kondusif bagi produksi benih, tegakan harus diperlakukan untuk menstimulasi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 73

produksi biji, serta pohon-pohon yang inferior ditebang melalui penjarangan selektif. Pada akhirnya tegakan provenans akan seperti area produksi benih. Lokasi tegakan provenans harus dicatat dan batas-batasnya di lapangan harus dapat dengan mudah diidentifikasi. Tegakan provenans juga harus diisolasi dari kantaminasi tepungsari seperti pada area produksi benih.

f. Kebun benih Kebun benih (seed orchard) merupakan pertanaman dari klon-klon atau keturunan terpilih yang dikelola dan diisolasi untuk menghindarkan atau mengurangi penyerbukan dari tepung sari yang tidak diinginkan, serta dikelola untuk memproduksi benih yang secara genetic bermutu secara berlimpah.. Oleh karena kebun benih dibangun dengan tujuan untuk produksi benih, maka kebun benih pada dasarnya menyerupai tegakan provenans. Tetapi intensitas dari pohon induk umumnya jauh lebih tinggi pada kebun benih. Di samping itu kebun benih dijarangi berdasarkan kinerja klon-klon atau keturunan pada uji keturunan. Pada kebun benih setiap klon atau famili harus dapat diidentifikasi, sedangkan pada benih untuk pembuatan tegakan provenans, identitas poihon-pohon penyusunnya tidak dapat diketahui lagi. Kebun benih harus dibangun pada tapak yang kondusif bagi produksi biji. Klon atau family harus ditanam sedemikian rupa sehingga setiap klon atau family harus dapat diidentifikasi di lapangan. Uji keturunan seringkali dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun benih. Penjarangan dilakukan berdasarkan informasi yang dihasilkan dari uji keturunan, yaitu dengam membuang klon-klon atau family-famili dengan ranking yang paling rendah dalam uji keturunan.

II. TANAMAN PENGHASIL KAYU

I. Merbau (Instia spp.) Teknik perbanyakan bibit dapat dilakukan dengan cara generatif melalui benih (buah) dan secara vegetative yaitu stek pucuk dan stek batang. Pembiakan generatif melalui perkecambahan dapat dilakukan dengan mengikir benih terlebih dahulu atau pemotongan pelukaan benih satu arah dan dua arah akan memberikan persentase kecambah 100 %. (Suripatty dkk. 1990). Suripatty dkk (2001) melaporkan bahwa stump anakan alam Merbau yang disimpan dalam wadah karung goni yang disimpan sampai 4 minggu memberikan persentase tumbuh sebesar 81,67 %. Apabila stump ini disimpan dalam wadah pelepah pisang pada waktu 4 minggu masih memberikan persentase tumbuh sebesar 80 %. Sedangkan penyimpanan dalam wadah daun tumbuhan hutan hanya mampu disimpan 3 minggu (90 %) dan periode 4 minggu persentase tumbuhnya tinggal 41,13 %. Untuk pengadaan cabutan anakan alam Intsia palembanica yang disimpan di dalam plastik transparan dengan media tanah pada penyimpanan selama 9 hari masih memberikan persentase tumbuh sebesar 100 %. Untuk pengadaan cabutan anakan alam Instia palembanica yang

74 - BPK Manokwari

disimpan di dalam plastik transparan dengan media tanah pada penyimpanan selama 9 hari masih memberikan persentase tumbuh sebesar 100 %. Persentase hidup stek merbau (Intsia spp) untuk hormone Rotoone-F, IBA dan NAA dengan dosis 1 ppm, 10 ppm dan 1000 ppm, persentase hidup yang dihasilkan adalah 93,33 – 100 %. Persentase berakar yang dihasilkan adalah 26,66 % - 73,33 %, jumlah akar yang dihasilkan adalah 1 – 2 sampai 1 – 6 dan rata-rata akar adalah 1,2 – 2,3.. Suripatty B. A, D. Leppe dan R.R.Maai, (1996). Bibit yang ditanam di dalam koker dapat dipelihara sampai umur 6 – 9 bulan dan mempunyai perakaran yang kompak sehingga dapat dipindahkan kelapangan. Penanaman dilakukan pada lokasi terbuka atau juga secara jalur, persentase hidup yang dihasilkan rata-rata adalah 98 %. Persentase hidup melalui uji provenans asal bibit dari Bintuni, Babo, Pulau Gak (Raja Ampat), Sorong, Arso (Jayapura), Awaso (Waropen), Bombarai (Fak-fak), Ransiki (Manokwari) dan Sidei (Manokwari) rata-rata diatas 95 %, pertumbuhan tinggi adalah 77,23 – 83,61 cm, pertumbuhan diameter 0,46 – 0,49 mm, jumlah percabangan 2 - 2,5 (Suripatty B. A. 2010). Penanaman dilakukan pada waktu musim hujan pada lahan yang terbuka dan pemeliharaan harus dilakukan setiap tahun.

II. Matoa () Teknik perbanyakan bibit dapat dilakukan dengan cara generatif melalui benih (buah) dan dan melalui pembiakan vegetatif yaitu cabutan anakan alam. Pembiakan generatif melalui perkecambahan dapat dilakukan dengan langsung penanaman memberikan persentase kecambah 100 %. (Suripatty dkk. 1990 ). Suripatty dkk (2001) melaporkan bahwa stump anakan alam Pometia sp yang disimpan dalam wadah karung goni yang disimpan sampai 4 minggu memberikan persentase tumbuh sebesar 81,67 %. Apabila stump ini disimpan dalam wadah pelepah pisang pada waktu 4 minggu masih memberikan persentase tumbuh sebesar 80 %. Sedangkan penyimpanan dalam wadah daun tumbuhan hutan hanya mampu disimpan 3 minggu (90 %) dan periode 4 minggu persentase tumbuhnya tinggal 41,13 %. Untuk pengadaan cabutan anakan alam Instia palembanica yang disimpan di dalam plastik transparan dengan media tanah pada penyimpanan selama 9 hari masih memberikan persentase tumbuh sebesar 100 %. Stek pucuk matoa menggunakan hormone Rotoone-F , dengan dosis 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm menghasilkan persentase hidup 46,66 % - 96,66 %, persen berakar 13,33 -30 %, rata-rata akar 1,2 - 2,5, jumlah akar 1-2 sampai 1 – 6. Dengan menggunakan hormone IBA dengan dosis 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm menghasilkan persentase hidup 50 % - 96,66 %, persen berakar 6,6 - 63,33 %, rata-rata akar 1,3 - 2, jumlah akar 1-2 sampai 1 – 4. Dengan menggunakan hormon NAA dengan dosis 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm menghasilkan, persentase hidup 33,33 – 93,33, persen berakar 6.6 – 53,33 %, rata-rata akar 1,4 - 2,5, jumlah akar 1- 2 sampai 1 – 5. (Suripatty B. A, D. Leppe

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 75

dan R.R.Maai, 1996). Dengan menggunakan hormone Rootonr- F dalam dalam bentuk pasta dihasilkan persentase hidup adalah 16 %, persentase berakar 38,89 %, rata-rata akar 2,58 dan jumlah akar 2- 6 (Suripatty B. A, D. Leppe dan R.R.Maai, 1996).

III. Pometia coreaceae Jenis ini menggunakan menggunakan hormone rootone –F dalam bentuk pasta memberikan hasil perasentase hidup adalah 26 %, persentase berakar adalah 37,15 %, rata-rata akar adalah 2,7 dan jumlah akar 2 – 3, ( Suripatty B. A, D. Leppe dan R.R.Maai, 1996). Bibit yang ditanam di dalam koker dapat dipelihara sampai umur 6 – 9 bulan dan mempunyai perakaran yang kompak sehingga dapat dipindahkan kelapangan. Penanaman dilakukan pada musim penghujan pada areal yang terbuka dan secara jalur.

IV. Agathis labillardieri Teknik pengadaan bibit dapat dilakukan dengan benih atau cabutan anakan. Perlakuan biji Agathis baik pada penyimpanan maupun sebelum dikecambahkan perlu dilakukan sebagaimana yang dilaporkan oleh Rahman E. (1996) dan Suripatty dkk (1996) seperti diuraikan berikut ini. Biji/benih yang disimpan dengan kertas alluminium foil dengan lama penyimpanan 15 hari memberikan persentase kecabah sekitar 65 %, sedangpan penyimpnan enih dengan serbuk gergaji dan bubuk arang pada periode yang sama memberikan persentase kecambah masing-masing 21 % dan 19 %. Teknik pengadan bibit Agathis labillardieri melalui cabutan anakan alam dengan menggunakan pelepah pisang untuk pengangkutan dapat digunakan dengan lama penyimpanan bibit 16 hari masih memberikan persentase tumbuh sebesar 87,03 % (Maai dkk. 2000). Sedangkan untuk pengadaan bibit melalui teknologi stek pucuk masih belum memberikan hasil yang optimum. Hasil percobaan yang dilakukan Leppe dkk (2000) memberikan indikasi bahwa tanpa hormone stek pucuk Agathis dapat berakar (6,66%), sedangkan yang diberikan IBA 1 , 10, dan 100 ppm persentase berakar sampai 10 minggu masing-masing 10%, 6,66 %, dan 16,66 % ; sedangkan NAA 100 ppm sebesar 16,66 %. Walaupun persen berakar stek pucuk jenis ini masih rendah (< 20 %) namun adanya stek yang berakar tanpa pemberian hormone memberikan indikasi kuat untuk dikembangkan. Penanaman Agathis labillardieri dapat dilakukan secara terbuka dan jalur.

V. Nyatoh (Palaquium amboinensis) Benih/biji yang disimpan selama 1 minggu dan 2 minggu dalam karton basah memberihan nilai perkecambahan masing-masing sebesar 96 % dan 85,33% (Suripatty. B.A dan Y. Noya, 2005).

76 - BPK Manokwari

Teknik pengadaan bibit melalui cabutan anakan alam dapat dilakukan dengan menggunakan media sapih dari campuran tanah subur dengan pasir (2 : 1) memberikan persentase hidup sebesar 100 %. Untuk aplikasi teknologi stek pucuk pada jenis Nyatoh (Palaquium amboinensis) belum meberikan hasil yang optimum. Hasil sementara dari percobaan yang dilakukan Leppe D (2001) menunjukkan bahwa persentase berakar stek pucuk yang diambil dari tunas hasil kebun pangkas umur 1 tahun rata-rata di bawah 20 %. Teknik pengadaan bibit lainnya yang dicoba adalah dengan menggunakan puteran anakan alam yang memberikan persentase hidup di atas 90 % di persemaian (Suripatty dkk., 1998). Teknik penanaman jenis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bibit dipersemaian dan untuk memudahkan pengangkutan bibit dapat dilakukan dengan menggunakan cabutan bibit di persemaian (bibit sapihan dibuat seperti cabutan anakan alam) selain menggunakan sapihan biasa (dengan puteran) kemudian di tanam di lapangan memberikan persetase tumbuh msing-masing sebesar 93,33% dan 94,44%.

VI. Dracontomellum edule Jenis ini merupakan jenis kayu asli Papua yang tumbuh pada tanah liat sampai berpasir, dipinggir sungai pada ketinggian 2 – 1000 meter dpl. Ukuran pohonnya sedang sampai besar dengan diameter dapat mencapai 100 cm. dan dapat mencapai tinggi 35 meter lebih dan berbanir (tinggi banir ± 4 meter). Bata lurus dan umumnya percabanganjarang, tajuk bulat dan rapat. Kulit luar batang berwarna abu-abu sampai kemerah-merahan, mengelupas dalam dengan lempeng-lempeng kecil. Kekuatan kayu sedang dan tergolong lunak dan cukup ringan sampai berat, (Anonimous, 1976). Musim berbunga dan berbuah Dracontomellum edule yaitu sekitar bulan Oktober. Buah berbentu bulat dan apabila buah matang warnanya kuning berbintik-bintik. Benih jenis ini tidak dapat disimpan lama dimana waktu penyimpanan 2 minggu persentase kecambahnya hanya mencapai 35 % untuk buah hijau dan 48,33% untuk buah kuning (Maai, dkk. 2000). Pengadaan bibit baik dari hasil perkecambahan maupun cabutan anakan alam dapat disapih dengan menggunakan media tanah campur pasir dengan perbandingan 2: 1 dengan persentase hidup 100 %.

VII. Araucaria (Araucaria cuninghamii) Musim berbuah Araucaria pada umumnya sepanjang tahun, tetapi tingkat kematangan buah pada satu pohon tidak merata dan tidak sama. Buah yang matang berwarna coklat tua dan bersisik tajam dengan bentuk cone. Perlakuan benih setelah dipanen sangat dibutuhkan untuk mempertahankan viabilitas benih tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih Araucaria tidak dapat disimpan lama. Benih yang dipanen dan disimpan pada kertas alluminium dan ditempatkan pada suhu kamar pada hari ke 15 persentase kecambahnya tinggal 40,33% (Suripatty. B. A, J. Noya, 2004)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 77

Teknik pengadaan bibit baik melalui hasil perkecambahan maupun dengan cabutan anakan alam dengan media sapihan tanah dicampur pasir (2 : 1) dan media tanah humus memberikan persentase tumbuh masing-masing sebesar 90% dan 85%. Pertumbuhan bibit selama 1 bulan dengan perlakuan tersebut di atas rata-rata pertambahan tinggi masing-masing 5,66 cm dan 4,33 cm. Sedangkan pertambhan diameter rata-rata sebesar 0,9 mm dan 0,42 mm (Suripatty B. A, E. Panus, O. Tabibiati dan N H. Bennu, 2004). Penanaman Araucaria cuninghamii telah lama dilakukan seperti di daerah Kebar yang di tanam pada tahun 1961 pada luasan sekitar 21 ha. Pertumbuhan tanaman tersebut yang diukur secara sampling dari 30 pohon pada tahun 2001 menunjukkan rataan tinggi sebesar 20,74 m dan diameter sebesar 60,62 cm pad umur sekitar 40 Tahun (Suripatty B. A, E. Panus, O. Tabibiati dan N H. Bennu, 2004).

VIII. Resak (Vatica papuana) Perlakuan terhadap benih Resak (Vatica papuana) yaitu dengan memotong bagian pangkal dengan mengeluarkan sayap kemudian dikecambahkan akan memberikan persentase kecambah sebesar 100 % (Suripatty dan Maai, 1993 ). Teknik pengadaan bibit selain bersal dari hasil perkecambahan benih/biji, juga dapat dilakukan dengan sistem cabutan anakan alam yang disapih dengan media tanah gembur dan subur, kemudian pemeliharaannya ditempatkan di dalam sungkup plastik. Hal ini dilaporkan oleh Mai dkk. (2000) bahwa sapihan cabutan anakan alam yang dipelihara di dalam sungkup plastik memberikan persentase tumbuh sebesar 95%, sedangkan sapihan cabutan anakan alam yang tanpa sungkup persentase tumbuhnya sebesar 45%. Selanjutnya, penanaman Resak di Plot Permanen Anggresi dengan jarak tanam 3 X 3 m pada umur 6 bulan mempunyai persentase hidup 73,5% dan pertambahan tinggi sebesar 3,20 cm .

IX. Kayu Suang Putih (Xanthophylum cf. papuana) Kayu suang sebagai salah satu jenis yang menjadi perhatian khusus untuk dikembangkan karena jenis ini mempunyai nilai spesifik. Kekhususan jenis ini antara lain terletak pada nilai ekonomis yamg digunakan untuk bahan bangunan pada daerah berair dan dapat tumbuh pada tanah yang marjinal dan tergolong sangat kritis dimana jenis-jenis lain sulit untuk tumbuh. Demikian juga nilai sosial jenis tersebut dimana sebagian kelompok masyarakat Papua seperti di daerah Sentani yang memperlaukan pohon suang berkaitan dengan nilai religius. Teknik pengadaan bibit dapat dilakukan melalui hasil perkecambahan benih, juga melalui cabutan anakan alam. Demikian juga pengadaan bibit melalui teknologi stek pucuk dapat dilakukan dengan mengacu kepada hasil percobaan stek batang yang dilakukan memberikan hasil persentase hidup stek batang dengan ukuran 1,6 – 2,5 cm mempunyai persentase hidup sebesar 50,97% (Suripatty B. A dan Y. Noya, 2001).

78 - BPK Manokwari

III. JENIS PENGHASIL BUKAN KAYU

A. Massoi (Massoi aromatica) Teknik pengadaan bibit sampai saat ini masih menggunakan cabutan anakan alam sebab benih / biji sampai saat ini tidak pernah dijumpai di lapangan. Hal ini dilaporkan oleh Maai dan Suripatty ( 1997 ). Massoi yang disimpan dalam wadah karung goni, pelepah pisang dan daun hutan dengan media sapih tanah mempunyai persentase hidup masing-masing adalah 99,67 %, 90%, 93,33 %, untuk media tanah : pasir (1 : 1 ) masing-masing adalah 96,67 %, 93,33 %,93,33 %, dan media tanah : pasir ( 2 : 1 ) mempunyai persentase hidup masing-masing 93,33 %,90%, 86,67 % (Suripatty B. A, D. Leppe dan R.R.Maai, 1996). Perlakuan perendaman massoi dalam hormon Rootone F 0 gr, 500 gr, 750 gr pada media tanah : pasir ( 2 : 1 ) dalam bentuk cabutan adalah76,6 % 53,3 %,50 %, 30 % dan 60 %, serbuk gergaji : tanah ( 2 : 1 ) dalam bentuk cabutan dan stump mempunyai persentase hidup masing-masing adalah 3,3 %; 56,6 % ; 40 % ; dan 60 % .

B. Kulilawang (Cinnamomum cullilawang Bl.) Teknik pengadaan bibit sampai saat ini masih menggunakan cabutan anakan alam karena tidak pernah dijumpai benih / biji . Hasil penelitian kulilawang yang disimpan dlam wadah karung goni basah dan pelepah pisang sampai lama penyimpanan 15 hari mempunyai persentase hidup masing-masing 61,67 % dan 66 % (Suripatty. B. A dan R.R. Maii, 1996). Perlakuan perendaman kulilawang dalam hormon Rootone F dengan dosis 500 gr menggunakan media tanah : pasir ( 2 : 1 ) dalam bentuk cabutan adalah 83 %,70 %, 90% dan 96,7 %, sedangkan untuk dosis 750 gr menggunakan serbuk gergaji : tanah ( 2 : 1 ) dalam bentuk stump adalah mempunyai persentase hidup hampir seragam masing-masing adalah dan 60 %; 60 %; dan 86,6 %; dan 93,4 % (Suripatty. B. A dan R.R. Maii, 1996).

C. Inang Gaharu (Wiekstroemia polyantha Merr) Teknik pengadaan bibit sampai saat ini masih menggunakan cabutan anakan alam karena tidak pernah dijumpai benih / biji . Inang gaharu sirsak atau buaya ( Wiiekstroemia polyantha ) yang disimpan dalam wadah pelepah pisang dan karung goni basah dengan ukuran stump 1 – 2 cm mempunyai persentase hidup 100 %. Hasil penelitian Ifhenry (2000) cabutan anakan inang gaharu sirsak atau buaya (Wiiekstroemia polyantha ) dengan diameter < 2 cm mempunyai persentase hidup adalah 83,33 % , D. Sagu (Metroxyllon sp) Bibit sagu dapat diperoleh dengan cara generatif dan vegetatif. Secara generatif biji sagu diambil dan disemaikan di persemaian sampai cukup umur langsung dipindahkan ke lapangan. Pembibitan sagu (Metroxyllon sp) secara

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 79

vegetative dapat dilakukan dengan mengambil anakan di pohon induk, dengan posisi atau bentuk anakan menyerupai huruf L dan ditanam dalam kolam yang terisi air mengalir sampai tumbuh tunas baru, dan muncul perakaran maka bibit sagu dapat dipindahkan ke lapangan. Penanaman dilakukan pada tanah yang berair dan lahan yang terbuka persentase hidup jenis sagu antar 81,87 %, Yeriran 75,82 %, Huwor 72,54 %, Noiin 78,48 %, Hawar 80,02 % dan Makbon 77,02 % (Suripatty. B. A, O. Tabibiati dan N. H. Benu, 2010)

IV. KESIMPULAN a. Perlu adanya penunjukan lokasi kebun benih. b. Perlu adanya peningkatan areal pengumpulan benih teridentifikasi. c. Perlu seleksi benih/bibit yang benar sebelum dilakukan penanaman di lapangan.

80 - BPK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous 1976. Mengenal Jenis Kayu Irian Jaya Byrd Harold w. 1983. Pedoman Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. PT. Pembimbing Masa. Departemen kehutanan. 2003. Budidaya Gaharu (Aquiularia malacensis lamk) Badan penelitian dan pengembangan kehutanan. Departemen Kehutanan. 2003. Budidaya Cendana (Santalum album. Link). Badan Penelitian dan Pengembangan kehutanan. Departemen Kehutanan. 2003. Budidaya Sukun (Arthocarpus altillis). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan . Departemen Kehutanan. Teknik Persemaian dan Informasi Benih Gelam. Badan penelitian dan pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2004. Direktorat jendral Rehabilitasi lahan dan perhutanan social. Direktorat perbenihan Tanaman Hutan. Danarto .Sri. 2001. Seleksi Pohon Plus. Training Course on Basik Forest genetics. Hardiyanto. Eko. 2001. Bhakti. Pengembangan Sumber Benih. Training Course on BasikForest Genetics.henhenry Ifhendry, B. A. Suripatty dan R. R. Maai. 2000. Pengaruh Ukuran Diameter Stump Terhadap Inang gaharu sirsak atau buaya (Wiiekstroemia polyantha). Buletin Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Kamil J . 1979. Teknologi Benih. Angkasa Raya. Kartasapoetra A.G. 1986. Teknologi Benih. Pengolahn Benih Dan Tuntunan Pratikum. PT Bina Aksara. Jakarta. Rukmana H. Rahmat. 1997. Teknik Perbanyakan Tanaman Hias. Kanisius. Rahman W . 1986. Ilmu Benih Tanaman Hutan. Universitas Hasanudin. Sutopo L. 1984. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Unibraw. PT. raja Grafindo Persada Jakarta. Suripatty B. A dan Regina R. Maai. 1996. Pengaruh Wadah dan Lama Penyimpanan Terhadap Persentase Hidup Anakan Cinamomum culilawanne. Buletin Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 81

Suripatty B. A, D. Leppe dan R.R.Maai, 1996. Pengaruh Jenis Dan Konsentrasi Hormon Pada Stek Pucuk 4 Jenis Tanaman Unggulan Di Papua. Proseeding. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Suripatty B. A dan Y. Noya, 2002. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Suripatty B. A, E. Panus, O. Tabibiati dan N H. Bennu, 2004. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Suripatty B. A dan Y. Noya, 2006. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Suripatty B. A, D. Leppe dan R.R.Maai, 1996. Pengaruh Jenis Dan Konsentrasi Hormon Pada Stek Pucuk 4 Jenis Tanaman Unggulan Di Papua. Proseeding. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Suripatty B. A. 2010. Evaluasi Awal Uji Provenans O. Ktze Umur 1 Tahun Di Koyani Satuan Pemukiman (SP) 6 Prafi Manokwari, Papua Barat. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

82 - BPK Manokwari

PENDEKATAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI PAPUA

Oleh: Hadi Warsito

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Papua memiliki kawasan hutan yang luas dan memiliki kondisi iklim serta adat istiadat yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Keragaman jenis sumberdaya hutan dan masyarakatnya merupakan aset yang tidak ternilai. Sumberdaya hutan dapat memberikan manfaat bukan hanya dalam bentuk hasil kayu tapi juga non kayu, seperti rotan, madu, obat-obatan dan berbagai jenis satwa liar yang merupakan bagian dari sumberdaya hutan yang dapat memberikan manfaat yang sangat tinggi baik manfaat ekologis maupun ekonomisnya. Adanya kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat perlu didukung dan dilestarikan, masyarakat sekitar hutan mempunyai kepentingan dan hak dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Namun disisi lain pemanfaatan yang berlebihan dapat menjadi kendala dalam pelestarian sumberdaya hutan, khususnya di sekitar kawasan hutan konservasi. Upaya pendekatan perlu dilakukan guna perlindungan dan mengurangi kerusakan kawasan konservasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan beberapa pendekatan pemanfaatan sumberdaya hutan di kawasan hutan konservasi yang dilakukan, diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pencegahan dan perusakan sumberdaya hutan di kawasan konservasi.

Kata kunci: pendekatan, pemanfaatan, sumberdaya hutan dan Papua

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 83

I. PENDAHULAN

A. Latar Belakang Sebagai salah satu negara mega biodiversitas, bersama Brazil di benua Amerika dan Zaire di benua Afrika maka Indonesia di benua Asia memiliki kekayaan keragaman hayati yang sangat tinggi dan tersebar di seluruh wilayah daratan pulau dan perairannya (Salim, 2007). Tingginya kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dipengaruhi dari empat faktor utama, yaitu :  Wilayah yang luas. Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dengan luas keseluruhan sekitar 8 juta km2 dan daratan seluas 1,9 juta km2.  Keadaan geografis. Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisah berjauhan sehingga mendorong terjadinya proses spesiasi (terbentuknya spesies baru).  Letak. Terletak di antara dua wilayah biogeografi utama, yaitu Indo- Malaya di sebelah Barat dan Australasia di sebelah Timur, sehingga susunan flora dan faunanya merupakan gabungan dari flora dan fauna di kedua wilayah tersebut.  Ekosistem. Memiliki beragam tipe ekosistem dari pantai hingga pegunungan yang diperkirakan mencapai 47 tipe ekosistem. Keragaman hayati spesies di Indonesia memiliki tingkat endemisitas yang tinggi, baik dari mulai taksa herpetofauna, avifauna hingga terumbu karang yang ada dilaut. Perkiraan keanekaragaman hayati spesies yang terdapat di Indonesia ditampilkan Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Keanekaragaman hayati spesies Indonesia Mamalia  515 spesies (12 %) Reptilia dan amphibi  1.000 spesies (16 %) Burung  1.539 spesies (17 %) Ikan  8.500 spesies (25 %) Serangga  250.000 spesies (33 %) Kerang-kerangan  20.000 spesies (40 %) Tumbuhan berbunga  27.500 spesies (10 %) (Sumber: BAPENAS 2003)

Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut telah hidup dan berkembang pada kawasan perairan dan daratan dengan tipe ekosistem yang berbeda. Selain itu, secara langsung mupun tidak langsung, telah terjadi interaksi antara manusia dengan keragaman hayati tersebut yang menghasilkan suatu budaya dan tradisi lokal serta bersifat turuntemurun. Interaksi ini menambah khasanah kekayaan alam dan memperkaya keunikannya sehingga berbeda dengan kawasan lain di dunia. Namun demikian, potensi biodiversitas tersebut belum semuanya dikenal dan diketahui informasi biologis dan penyebarannya. Demikian pula pemanfaatan dalam rangka

84 - BPK Manokwari

peningkatan kesejahteraan manusia kebanyakan masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Oleh sebab itu, sebelum terjadi kepunahan atau kerusakan habitat dan ekosistemnya, dilakukan upaya perlindungan dan pelestarian melalui penetapan kawasan-kawasan konservasi. Kawasan konservasi adalah suatu daerah biogeografi tertentu yang ditetapkan atau diatur dan dikelola untuk mencapai tujuan pelestarian tertentu. Menurut UU No. 41 Tahun, hutan konservasi (atau dikenal juga dengan sebutan kawasan konservasi) adalah suatu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan alam dan satwa liar serta ekosistemnya, disamping menghasilkan jasa lingkungan dan obyek wisata alam (Departemen Kehutanan, 2006). Kawasan konservasi yang ada, mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dan demikian juga dalam peruntukan kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 menyebutkan beberapa kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang dalam kawasan konservasi tersebut. Kegiatan yang diperkenankan dan dilarang ditampilkan pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Kegiatan yang diperkenankan dan dilarang pada kawasan konservasi No. Jenis Kegiatan yang dapat dilakukan Kegiatan yang dilarang kawasan 1. Cagar Alam Penelitian dan pengembangan, Yang dapat mengakibatkan ilmu pengetahuan, pendidikan perubahan terhadap keutuhan dan kegiatan lainnnya yang cagar alam menunjang budidaya 2. Suaka Penelitian dan pengembangan, Yang dapat mengakibatkan Margasatwa ilmu pengetahuan, pendidikan perubahan terhadap suaka dan kegiatan lainnnya yang margasatwa; larangan tersebut menunjang budidaya tidak termasuk didalamnya kegiatan pembinaan untuk kepentingan satwa dalam suaka margasatwa 3. Taman Penelitian, ilmu pengetahuan, Yang dapat mengakibatkan Nasional pendidikan, menunjang perubahan terhadap zona inti budidaya dan wisata alam taman nasional; yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya dalam taman nasional 4. Taman Penelitian, ilmu pengetahuan, Yang dapat mengakibatkan Hutan Raya pendidikan, menunjang perubahan terhadap suaka budidaya dan wisata alam margasatwa; larangan tersebut tidak termasuk didalamnya kegiatan pembinaan untuk kepentingan tumbuhan dalam taman hutan raya 5. Taman Penelitian, ilmu pengetahuan, Yang dapat mengakibatkan Wisata pendidikan, menunjang perubahan terhadap suaka

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 85

Alam budidaya dan wisata alam margasatwa; larangan tersebut tidak termasuk didalamnya kegiatan pembinaan untuk kepentingan satwa dan tumbuhandalam taman wisata alam

Data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DitJen PHKA et al. 2003), kawasan konservasi di Indonesia mencakup areal seluas 23,05 juta hektar terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) yang berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seperti Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya THR), dan kawasan lainnya seperti Taman Buru (TB). Namun dengan seiring adanya penambahan wilayah pemekaran yang terjadi, pemerintah telah menetapkan 535 unit lokasi kawasan konservasi, yang terdiri dari fungsi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru dengan luas total sekitar 28,26 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2006). Papua (termasuk Papua Barat) adalah salah satu yang memiliki kawasan konservasi terbesar dan terluas yaitu sekitar 11.041.251,74 ha terbentuk dalam 52 unit penetapan kawasan (Departemen Kehutanan, 2006), jumlah penetapan kawasan tersebut sama dengan di Propinsi Jawa Barat, namun luas areal terdapat sekitar 176.664,74 ha. Luasnya kawasan konservasi di Papua, merupakan hal yang tidak mudah dalam pengawasannya. Dimana tentunya banyak kendala dan hambatan yang terjadi dalam pengelolaanya. Beberapa diantaranya yang menjadi masalah kronis adalah penebangan liar (illegal logging), perburuan flora dan fauna liar, dan perubahan habitat karena peruntukan lainnya (seperti jalan, lahan perkebunan, pertanian dan pemukiman). Pendekatan konservasi dapat dilakukan, sebagai upaya meminimalisir kerusakan kawasan hutan dan tentunya keberadaan flora dan fauna yang ada didalamnya. Melalui pelatihan, pembekalan, bantuan bidang teknis dan penyadaran akan pentingnya konservasi, atau memberi kompensasi/bantuan secara langsung diharapkan dapat menekan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat disekitar atau diluar kawasan hutan. Upaya lain yang dapat dilakukan melalui pendekatan pengembangan pemanfaatan oleh masyarakat sekitar hutan, dimana sebagian masyarakat lokal telah memiliki etika konservasi atau dapat disebut Kearifan Lokal yang kuat. Masyarakat lokal seringkali menerapkan pengetahuan ekologi tradisional sekalipun samar atau kurang jelas (Folke and Colding 2001), untuk menciptakan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat, serta di dukung aturan baik berasal dari kesepakatan komunitas maupun tokoh masyarakat setempat. Di Papua, kearifan lokal yang ditunjukkan oleh masyarakat adat umumnya dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan dalam hubungan kekerabatan. Seperti pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat dan satwa sebagai bagian dari hubungan kerabat (turunan/moyang) mereka, masih dapat ditemukan. Pendekatan-pendekatan tersebut yang kemungkinan diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam menjaga kelestarian kawasan konservasi di Papua. Indrawan et al. (2007), melaporkan bahwa di Papua dan Irian Jaya Barat terdapat tidak kurang dari 250

86 - BPK Manokwari

kelompok etnik masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup harmonis dengan alam, termasuk masyarakat Asmat di pesisir Teluk Bintuni, Papasena di DAS Mamberamo, Ekari di danau-danau Paniai, Dani di Pegunungan Lembah Baliem, Papua yang mampu hidup berdampingan dengan alam.

II. ISI

A. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) mengindikasikan jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta orang. CIFOR (2004) dan BPS menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta diantaranya tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang diantaranya tergolong dalam kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang diantaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian dengan memanfaatkan produk-produk hutan, baik kayu maupun bukan kayu (antara lain rotan, damar, gaharu, lebah madu). Nandika (2005), bahwa 30 juta penduduk Indonesia mengandalkan secara langsung dari hutan dengan pola perladangan berpindah, berburu, menebang pohon serta mengumpulkan hasil-hasil hutan non kayu seperti rotan, madu dan resin untuk digunakan ataupun dijual. Hingga tahun 1997, diperkirakan seluas 900.000 ha-1.300.000 ha hutan dibuka setiap tahunnya di Indonesia untuk bermacam keperluan. Diperkirakan sisanya hanya 61% dari habitat alami asli. Di Jawa dan Bali, kehilangan habitat 91%, Sumatera 70%, sementara di Irian Jaya/Papua sekitar 7% (Indrawan et al. 2007). Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan hutan di Papua merupakan masyarakat peramu. Mereka memanfaatkan secara langsung sumberdaya hutan yang digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari, baik itu dalam kebutuhan keluarga (masak-memasak) atau mencukupi kebutuhan perekonomian (dijual) mereka. Sumitro & Alhamid (1997), melaporkan bahwa sebagian besar masyarakat Papua tinggal di daerah pedesaan dan daerah terpencil lainnya dan masih sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya alam sekelilingnya. Lebih lanjut dikatakan, keterkaitan masyarakat Papua dengan hutan sangat erat interaksinya, karena hutan bagi mereka sebagai tempat penghasil pangan (sagu, sayuran dan satwa buru) juga penghasil keperluan hidup lainnya seperti: kayu kontruksi, kayu sebagai perkakas, tanaman obat dan manfaat sosial ekonomi lainnya. Sebagai masyarakat peramu, mereka menggunakan berbagai jenis tumbuhan sebagai media pengobatan alternatif (Yeni & Noya, 2006). Namun Alhamid (1998), mengatakan pada kondisi penyakit yang tidak kunjung sembuh dan yang memerlukan penangaan serius, pada umumnya masyarakat mengunjungi layanan kesehatan seperti Puskesmas atau Puskesmas pembantu (Pustu) yang ada. Sementara Tuharea & Yeni (2006), melaporkan berdasarkan hasil penelitian bahwa pemanfaatan tumbuhan obat secara tradisional biasanya dilakukan pada daerah-daerah yang jauh dari tempat/sarana pengobatan modern

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 87

(Puskesmas) ataupun dipakai saat keadaan darurat atau sebagai langkah pertama sebelum dibawa ke puskesmas. Sementara Dimomomau (2006), Kuskus (Phalanger sp.) adalah salah satu jenis fauna Papua yang bernilai ekonomis dan telah umum dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat lokal sebagai penyedia protein hewani. Selain itu, satwa ini dari segi artistik dapat dibuat berbagai karya kerajinan/hiasan dalam bentuk kering (offseat) dan ada pula pada sebagian masyarakat memanfaatkan dalam acara ritual/upacara adat dan bahkan sebagai hewan peliharaan karena umumnya hewan ini mudah untuk didomestikasikan sebagai hewan peliharaan. Demikian pula pada jenis satwa burung seperti Mambruk (Gaoura sp), Kasuari (Casuarius sp,) dan beberapa jenis paruh bengkok (Parrots) lainnya. Dimana pada umumnya satwa tersebut selain diburu guna pemenuhan protein hewani, bulu atau anggota tubuh lainnya pada jenis burung tersebut dijadikan aksesoris kelengkapan pakain adat ataupun upacara/ritual adat suku tertentu (Warsito et al, 2006). Tak sedikit juga satwa tersebut dijadikan hewan peliharaan karena memiliki nilai artistik, namun ada pula yang dijual untuk menambah perekonomian mereka, meskipun hasil yang diperoleh dalam penjualan belum tentu dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu pula pada jenis Walabi (Macropus agilis) yang dapat dijumpai di Taman Nasional Wasur, dimana oleh sebagian masyarakatnya memanfaatkan daging hewan tersebut untuk dikonsumsi atau dijual (Winara et al.,. 2008).

B. Permasalahan Konservasi Pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak terkontrol atau terencana dapat mengakibatkan kerusakan yang dapat menghilangkan keragaman hayati suatu kawasan hutan. Sejauh ini permasalahan konservasi masih pada tataran pengambilan sumberdaya hutan yang ditimbulkan oleh masyarakat setempat. Namun dampak yang ditimbulkan oleh pihak ketiga atau penadah/pengepul belum sepenuhnya dipermasalahkan. Dimana, pihak ini kemungkinan turut andil dalam perusakan keberadaan sumberdaya hutan baik flora maupun faunanya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat setempat sebagai akibat dari perburuan liar, kemungkinan hanya salah satu kecil permasalahan konservasi di Papua, namun adanya permintaan pasar yang kemungkinan makin meningkat, sehingga tingkat perburuan seiring sejalan yang semakin meningkat. Indrawan et al,. (2007), suatu sumber daya ditemukan, pasar komersil kemudian dikembangkan untuk sumber daya itu. Selanjutnya penduduk lokal dikerahkan untuk mendapatkan dan menjual sumber daya tersebut. Perburuan liar secara ilegal yang tidak terkendali menunjukan lemahnya kendali pengawasan pemerintah (Nandika, 2005). Selain perburuan, adanya ancaman lain seperti: penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian dan perladangan, penggembalaan, kebakaran lahan yang tidak terkendali, okupasi tanaman pengganggu yang menghambatan pergerakan fauna dan pengurangan luasan lahan pakan fauna. Beberapa ancaman tersebut sering terjadi dan menimbulkan permasalahan baru di kawasan konservasi tersebut. Manusia mengkonversi banyak habitat

88 - BPK Manokwari

alami menjadi tanah pertanian atau tempat tinggal. Pemanfaatan sumber daya tak terelakkan, sehingga penambahan populasi manusia berperan besar bagi kepunahan keanekaragaman hayati (Cincota and Engelman 2000; Mckee et al., 2003). Sementara Setio et al ,(2001); melaporkan bahwa kawasan TN Wasur, khususnya pada daerah yang masuk zona inti (seperti Maar, Ukra dan Kankania) telah terokupasi tanaman pengganggu (yang membatasi ruang gerak fauna atau mengurangi luasan lahan pakannya). Pada padang rumput Maar telah terokupasi ringan berupa jenis rumput Praghmites karka dan Melaleuca sp. Padang rumput Ukra sebagian besar sudah terokupasi jenis rumput ekor tikus (Stachitarpheta sp) dan Melaleuca sp. Sementara padang rumput Kankania terokupasi berat oleh Melaleuca sp dan pada kawasan ini sulit ditemukan tempat terbuka yang masih baik pertumbuhan rumputnya. Okupasi tanaman pengganggu ini sangat berpengaruh sekali terhadap gerakan fauna utama seperti Walabi (Macropus agilis) untuk mencari makan dan gerakan aktif menghindari pemangsa (anjing liar) dan pemburu. Hal ini diperparah bila terjadi musim hujan yang dapat terjadi luapan air dan menggenangi hampir sebagian besar kawasan dalam waktu lama (bahkan hingga enam bulan). Walabi dan binatang lainnya akan berusaha mencari tempat yang lebih tinggi (dek) untuk menyelamatkan diri. Bila okupasi ini sudah sangat rapat, maka Walabi akan kesulitan mencari tempat dan akhirnya mati tenggelam.

C. Pendekatan Konservasi Suatu pendekatan yang kadang diterapkan dalam membuat prioritas konservasi adalah melindungi spesies tertentu. Kawasan konservasi seringkali didirikan untuk melindungi spesies langka, spesies terancam, Spesies kunci dan spesies yang berguna dalam budaya. Noss et al., (2002), spesies yang mendorong terbentuknya kawasan yang dilindungi dikenal sebagai spesies fokal. Salah satu tipe spesies fokal adalah spesies indikator, yaitu spesies yang berkaitan erat dengan komunitas hayati yang rentan maupun proses ekosistem yang unik. Schwartz (1999); Lawton & Galston (2001), penggelolaan kawasan bagi spesies fokal adalah untuk melindungi sebanyak mungkin spesies, komunitas dan ekosistem dengan wilayah sebaran yang sama. Banyak kawasan konservasi yang didirikan untuk melindungi spesies kebanggaan yang menarik perhatian massa, serta memiliki daya tarik tersendiri bagi ekowisata. Di Indonesia sebagai contoh di Taman Nasional Ujung Kulon yang melindungi Badak Jawa. Taman Nasional Wasur dengan Walabi lincahnya dan Komodo di Nusa Tenggara Timur yang akan dijadikan bagian dari 7 (tujuh) keajaiban dunia. Spesies maupun ekosistem yang unik dan menjadi kebanggaan perlu mendapat perhatian guna melindunginya, pendekatan konservasi sangat diperlukan sebagai upaya perlindungan terhadapnya. Pendekatan konservasi secara tradisional merupakan upaya penanggulangan kerusakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal, baik disekitar maupun dalam kawasan konservasi yang memanfaatkan kawasan tersebut. Pola pendekatan pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional pada umumnya telah dimiliki oleh masyarakat di Papua. Kesadaran tersebut merupakan kearifan lokal yang sangat diharapkan guna kelangsungan konservasi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 89

jenis di Papua. Di beberapa wilayah Papua, kearifan lokal telah ditunjukkan dengan kesadaran akan pentingnya konservasi bagi kelangsungan kelestarian kawasan hutan. Tuharea & Yeni (2006), pengambilan tumbuhan obat oleh masyarakat Lembah Baliem sebagai bahan baku obat tidak mengalami ancaman yang berarti, hal ini disebabkan kearifan lokal dalam memanfaatkan suatu jenis tumbuhan sebagai bahan baku cukup mengambil bagian tumbuhan yang dijadikan obat saja tanpa menebangnya. Pada masyarakat Bariat dan Konda (komunikasi pribadi), kearifan lokal yang ditunjukkan dengan aturan pengambilan sumberdaya hutan baik tumbuhan ataupun satwa dituntut untuk seperlunya saja. Bila menebang pohon, diwajibkan mengganti anakan tanaman untuk ditanam kembali, sedangkan pengambilan/perburuan satwa agar secukupnya dan tidak diperbolehkan mengambil satwa yang sedang reproduksi/berkembangbiak. Rumbiak (2006) melaporkan, seperti pada masyarakat Aifat di Kampung Kamat yang dengan pengetahuan lokal melakukan pemungutan gaharu (Aquilaria sp.) dengan penentuan pohon inang. Pemungutan tersebut yang telah mempertimbangkan aspek kelestarian dibandingkan cara spekulan yang banyak dilakukan oleh masyarakat lainnya. Pola pemanfaatan sumberdaya hutan yang telah dimiliki oleh masyarakat di Papua, diharapkan harus selalu terjaga dengan baik. Sehingga diharapkan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dapat terlindungi oleh masyarakat sekitar kawasan hutan itu sendiri. Secara sederhana, dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dapat dikelompokkan dalam beberapa pendekatan konservasi, yang kemungkinan dapat dilakukan oleh masyarakat guna pelestarian sumberdaya hutan di kawasan konservasi Papua. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan tersebut antara lain: 1. Pendekatan secara agama Pendekatan yang dilakukan oleh tokoh agama setempat atau para guru- guru jemaat bertujuan untuk menyadarkan masyarakat sekitar atau dalam kawasan untuk tetap menjaga spesies yang dilindungi dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk tidak berlebih. 2. Pendekatan historis/budaya Pendekatan secara historis masih dapat ditemukan dibeberapa daerah di Papua, dimana ada sebagian dari mereka masih mempercayai sebagai turunan dari satwa tertentu (Kasuari, Elang atau Kuskus). Sebagai contoh masyarakat suku tertentu yang berada sepanjang pesisir Teluk Pattipi (Pattipi, Sum, Rumbati, Tawar dan lain-lain) di Kabupaten Fakfak, terdapat pada sebagian dari masyarakatnya masih mempercayai sebagai keturunan dari Kasuari (komunikasi pribadi). Sedangkan pada sebagian masyarakat di Kaimana dari suku tertentu yang masih mempercayai sebagai keturunan dari burung elang. Pada pendekatan secara budaya/adat dapat ditemukan pada masyarakat Minyambow di Manokwari. Dimanan aturan-aturan adat yang mengatur dan mengikat aktivitas dalam pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat sebagai berikut:

90 - BPK Manokwari

a. Jika berburu atau mengambil hasil hutan tidak boleh melewati batas wilayah yang sudah ditentukan sebagai hak ulayatnya. b. Dalam wilayah Bahamti dan Nimahamti tidak boleh membuka lahan untuk berkebun atau membuat rumah, tetapi boleh membuat pondok untuk berteduh sementara. c. Untuk wilayah Nimahamti masyarakat boleh mengambil kayu untuk membuat rumah atau berkebun, kayu bakar, rotan, kulit kayu, dedaunan, dan lain-lain untuk keperluan pengobatan, pembuatan perkakas serta benda seni dan sebagainya. Namun disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak boleh dalam jumlah yang berlebihan. Apabila hendak menebang pohon, terlebih dahulu harus meminta ijin kepala suku. Selain itu, dalam kegiatan berburu hewan yang diburu haruslah yang jantan dan dewasa sedangkan yang betina dan anak dilarang untuk diburu. Karena menurut masyarakat bila yang diburu adalah hewan betina dan anak maka hewan lambat laun punah. Dalam wilayah Bahamti, masyarakat tidak diperbolehkan mengambil hasil hutan. Terkecuali bila hasil-hasil yang dibutuhkan tersebut tidak terdapat di wilayah Nimahamti dan Susti maka dapat mengambil di Bahamti, namun dalam jumlah yang sangat terbatas.

Aturan–aturan adat yang sudah ditetapkan dan yang telah disepakati tidak boleh dilanggar. Adanya pelanggaran yang dilakukan bagi masyarakat ataupun pihak luar akan dikenakan sangsi berupa denda (umumnya dalam bentuk barang) seperti; kain timor, senjata, babi (Sus scrofa), manik-manik, ataupun sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh kepala suku. a. Sanksi yang diberikan kepada pelanggar ditentukan oleh kepala suku/andigpoy dengan terlebih dahulu mengadakan musyawarah dengan masyarakat dan mendengar keterangan baik dari masyarakat maupun dari pelanggar. b. Sanksi pembayaran denda dilakukan apabila sebelumnya tidak mengindahkan teguran secara lisan baik dari Andigpoy maupun tokoh adat yang lain. Apabila setelah pembayaran denda pelanggaran terulang lagi maka orang tersebut diusir dari komunitas.

Selain hukum adat yang mengatur pengelolaan hutan, terdapat pula tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh masyarakat dalam komunitas Moile untuk menjaga kelestarian pemanfaatan tumbuh-tumbuhan (khususnya pada jenis yang dapat digunakan sebagai tanaman obat dan bahan baku benda seni budaya) sebagai berikut: a. Adanya upaya budidaya atau penanaman jenis-jenis tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan dan bahan baku benda seni oleh masyarakat baik di kebun maupun di sekitar pekarangan rumah. Contoh jenis-jenis tumbuhan yang di tanam yaitu Laportea sp., Kalanchoea pinnata, Coleus sp., Gleichenia linearis, Ricinus communis dan jenis-jenis dari famili Poaceae. b. Dalam kegiatan pembukaan lahan kebun, jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk obat dan benda seni budaya tidak ditebang

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 91

seluruhnya dan dalam pembersihan kebun, masyarakat sangat berhati- hati agar anakan jenis-jenis tumbuhan tersebut tidak ikut tercabut seluruhnya karena adanya pembagian kepemilikan wilayah hutan maka masyarakat sangat menjaga kelestarian setiap jenis tumbuhan di dalam wilayahnya.

3. Pendekatan kolaboratif Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada di sekitar habitat adalah unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Di masa yang lalu, pengelolaan konservasi sering sangat eksklusif dimana hanya Pemerintah yang bergerak melakukan ini. Masyarakat justru sering dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat konservasi. Paradigma konservasi ke depan harus dirubah untuk memasukkan masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan konservasi. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar. Pola pendekatan atau konsep pengelolaan kolaboratif (Colaborative Management), perlu diimplementasikan dan mewarnai kebijakan konservasi spesies. Misalnya,. pendekatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam menjaga dan melindungi kawasan konservasi. 4. Pendekatan sosial ekonomi Pendekatan yang dapat dilakukan secara berkelanjutan, misalnya adanya pemberian bantuan ternak (ayam, kambing, babi dan lain-lain) bagi masyarakat lokal sekitar atau didalam kawasan konservasi sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap satwa liar dalam pemenuhan protein hewani. Selain itu, adanya pelatihan atau bimbingan pengetahuan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, seperti: bimbingan masyarakat dalam penanaman tanaman obat atau empon-empon (sebagai bahan dasar pembuatan jamu), budidaya jamur dan lain-lain. Sehingga masyarakat diajak lebih banyak melakukan kegiatan pemeliharaan dan perlindungan selain memanfaat sumberdaya hutan yang ada disekitarnya.

92 - BPK Manokwari

III. KESIMPULAN

1. Luas kawasan konservasi yang ada di Papua menempati urutan pertama di Indonesia dan memiliki keragaman hayati yang cukup tinggi. 2. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan alam dan satwa liar serta ekosistemnya, disamping menghasilkan jasa lingkungan dan obyek wisata alam. 3. Ancaman kerusakan yang ditimbulkan penebangan liar seperti illegal logging, perburuan flora dan fauna liar, dan perubahan habitat karena peruntukan lainnya (seperti jalan, lahan perkebunan dan pertanian, dan pemukiman) sumberdaya hutan di kawasan hutan. 4. Pendekatan konservasi secara tradisional merupakan upaya penanggulangan kerusakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal, baik disekitar maupun dalam kawasan konservasi yang memanfaatkan kawasan. 5. Pendekatan konservasi dapat dilakukan, sebagai upaya meminimalisir kerusakan kawasan hutan dan tentunya keberadaan flora dan fauna yang ada didalamnya. Melalui pelatihan, pembekalan, bantuan bidang teknis dan penyadaran akan pentingnya konservasi, atau memberi kompensasi/bantuan secara langsung diharapkan dapat menekan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat disekitar atau diluar kawasan hutan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 93

DAFTAR PUSTAKA

Alhamid, H. 1998. Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat dan Cara Pemanfaatannya oleh Masyarakat Irian Jaya. Buletin Matoa. Nomor 8. Tahun 1998. Manokwari.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, IBSAP, Dokumen Nasional. Jakarta..

Centre for Forestry Research. 2004. Governance brief “Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia”. Desember 2004..

Cincota, R.P & R. Engelman.2000. Nature‟s Place: Human Populations and The Future of Biological Diversity. Population Action International, Washington, D.C.

Dimomonmau, P.A, 2006. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pameran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan . Manokwari

Ditjen PHKA, UNESCO dan CIFOR. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan RI, UNESCO dan CIFOR. Jakarta-Bogor. 166 p.

Departemen Kehutanan 2006. Kawasan Konservasi Indonesia. 2006.

Folke, C. & J. Colding. 2001. Tradisional conservation practices. In S.A Levin (ed.) Encyclopedia of Biodiversity. Vol 5. hlm.. 681-694.

Lawton, J.H. & K. Galston. 2001. Indicatoe species. In S.A. Levin (ed.) Encyclopydia of Biodiversity, vol 3.hlm. 437-450.

McKee J.K., P.W, Sciulli, C.D. Fooce & T.A. Waite, 2003. Forecasting global biodiversity threats associated whit human population grwoth. Biology Conservation 115: 161-164.

Indrawan, M., R.B. Primack. & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007.

Nandika D. 2005. Hutan Bagi Ketahanan Nasional. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Noss, R.F., C. Carroll, K. Vance Borland, & G. Wuerthner. 2002. A multicriteria assessment of the irreplacebility and vulneraebility of sites in the Greater Yellowstone ecosystem. Conservation Biology 8; 175-908.

94 - BPK Manokwari

Rumbiak, W. 2006. Kajian Penggelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Jenis Andalan (Gaharu, Masoi dan Kulilawang). Penguatan Kapasitas Teknologi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pameran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari.

Salim, E .2007. Dari Eksploitasi ke Konservasi Alam. Kata pengantar Biologi Konservasi 2007. Yayasan Obor Indonesia.

Setio, P. dkk. 2001. Pengelolaan dan Pengembangan Potensi Beberapa Fauna Langka Yang Bernilai ekonomis di Papua. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2001. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. p 66-76.

Schwartz, M.N 1999. Choosing the appropriate scala of reserves for conservation. Annual Riview of Ecology and Systematics 30; 83-108.

Sumitro dan H. Alhamid. 1997. Hasil Hutan Bukan Kayu dan Peranannya Terhadap Pendapatan Penduduk Lokal; Studi Kasus Desa Manimeri Kecamatan Bintuni. Buletin Penelitian Kehutanan No. 1 Tahun 1997; 1-9. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari

Tuharea, A. dan I Yeni. 2006. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pameran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari.

Winara, A., K. Lekitoo & H. Warsito. 2008. Kajian Potensi Biofisik Taman Nasional Di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari.

Warsito, H., Y. Komendi & L. Mandibodibo. 2010. Kajian Biodiversitas, Potensi dan Sebaran Cacatua galerita di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari.

Yeni, I. dan Y. Noya. 2006. Kekayaan Tumbuhan Penghasil Obat di Papua. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pameran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 95

96 - BPK Manokwari

KELESTARIAN HUTAN PRODUKSI DALAM JEBAKAN KEBIJAKAN DI TANAH PAPUA

Oleh : R. Kuswandi dan Jonni M

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Pengelolaan hutan di Papua telah berlangsung selama lebih dari dua dekade, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari kaidah atau aturan sistem silvikultur yang digunakan dalam pengelolalan hutan sehingga kelestarian hutan yang dikelolanya diragukan hasilnya. Kelestarian pengelolaan hutan akan dapat terwujud apabila memenuhi tiga prasyarat yaitu kepastian kawasan, sistem pengelolaan dan pemanenan (AAC) yang sesuai dengan riap. Kelestarian pengelolaan hutan dapat terwujud apabila ada sinkroniasi antara pelaksanaan dan aturan/kebijakan yang telah ditetapkan. Aturan/kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah cq Kementerian Kehutanan sebaiknya berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan baik oleh lembaga riset pemerintah maupun perguruan tinggi. Jangan sampai terjadi kelestarian pengelolaan hutan tidak terwujud sebagai akibat tidak hanya dalam pelaksanaannya saja tetapi juga akibat dari aturan/kebijakan yang ada.

Kata kunci : Kelesatarian hutan, kebijakan, kepastian kawasan, sistem pengelolaan, pemanenan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 97

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Usaha pemanfaatan hasil hutan di Indonesia khususnya di Papua sudah berlangsung sejak tahun 1978 dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dikenal juga dengan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam jangka waktu konsesi 20 tahun kepada perusahaan atau badan usaha. Jumlah pemegang HPH/IUPHHK tercatat 66 unit dengan luas konsesi 12.153.929 Ha. (Dinas Kehutanan Propinsi Papua, 2005). Akan tetapi sampai saat ini telah terjadi penurunan jumlah IUPHHK yang masih aktif secara signifikan. Di Propinsi Papua dari 25 IUPHHK yang memiliki ijin hanya 15 IUPHHK yang masih aktif (BP2HP XVII, 2010), sedang di Papua Barat IUPHHK yang masih aktif sebanyak 20 dari 26 IUPHHK yang memiliki ijin. Pengelolaan hutan di Papua diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonominya. Oleh karena itu pengusahaan hutan di daerah ini perlu dikaji, dan diarahkan sehingga memberi sumbangan yang nyata bagi pembangunan daerah, tentunya dengan memperhatikan peningkatan efisiensi pemanfaatan hasil hutan dan kelestarian produksinya. Namun dalam praktek masih jauh dari kaidah atau aturan sistem silvikultur sehingga kelestarian hutan yang dikelolanya diragukan hasilnya. Hal ini nampak dari hasil penilaian LPI, belum ada satu IUPHHK yang mendapatkan Sertifikat Mandatory Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHPL) dengan kriteria baik (BP2HP XVII, 2010). Akibat eksploitasi yang demikian, menyebabkan terjadinya areal-areal bekas tebangan (log over area) tanpa adanya kegiatan pembinaan hutan. Hampir seluruh areal bekas tebangan yang ada seolah-olah menjadi areal hutan tanpa peruntukan, sehingga areal-areal tersebut dianggap sebagai suatu hutan yang tidak produktif. Hal ini yang mendorong terjadinya perubahan luasan hutan dan kecenderungan dikonversi untuk penggunaan-penggunaan lain. Dalam pengelolaan hutan, kelestarian hasil akan dapat dicapai apabila memenuhi tiga syarat yaitu (1) Ada kepastian batas kawasan hutan yang diakui oleh semua pihak; (2) Ada sistem permudaan yang menjamin bahwa upaya pembangunan hutan selalu berhasil dengan baik; dan (3) Jumlah penebangan tidak melampaui kemampuan riap kayu dari seluruh kawasan hutan atau over cutting (Simon, 1995). Kalau salah satu saja dari tiga persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka asas kelestarian hasil tidak akan tercapai. Terwujudnya asas kelestarian hasil hanya dapat dicapai bila hutan dan potensinya juga lestari. Oleh karena itu kelestarian hasil kayu juga bermakna kelestarian sumber daya hutan yang menjadi hal utama dalam setiap perusahaan pengelolaan hutan. Makalah ini meninjau kelestarian pengelolaan hutan dari aspek kebijakan dan hasil-hasil penelitian dengan memfokuskan bahasan pada aspek kepastian unit pengelolaan, sistem pengelolaan hutan dan penentuan AAC di tanah Papua.

98 - BPK Manokwari

II. KEPASTIAN UNIT PENGELOLAAN

A. Kepastian Kawasan Papua selain memiliki potensi sumberdaya hutan yang cukup besar baik dipandang dari aspek luas maupun tipe hutannya, juga memiliki keragaman sosial budaya yang sangat besar walaupun jumlah penduduknya sangat kecil bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Masyarakat adat Papua memandang bahwa hutan dan segala isinya dalam wilayah hukum adatnya dimiliki dan dikuasai secara turun temurun baik perorangan maupun kelompok. Berdasarkan pandangan ini, maka seluruh kawasan hutan alam yang berada di Papua terbebani oleh hak masyarakat. Sebagian masyarakat terutama suku-suku di pegunungan Arfak, menganggap hutan sebagai ibu yang senantiasa dengan tulus menyediakan makan bagi kehidupan anak-anaknya. Sebagian suku ada yang mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari pohon jenis tertentu, sehingga keterikatan mereka terhadap hutan sangat erat sekali. Awang (2006) mengemukakan bahwa keterkaitan komunitas masyarakat pada sumberdaya hutan sangat erat dan bahkan di banyak etnik di belahan bumi ini kehidupan mereka sangat bergantung pada potensi yang ada dalam hutan. Sehubungan dengan kepemilikan hak ulayat dan dengan adanya Perdasus tentang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Papua akan menimbulkan konflik dalam pengelolaan hutan oleh IUPHHK karena tumpang tindihnya kepentingan kepemilikan. Kondisi ini mengakibatkan kendala dalam pengelolaannya karena adanya ambiguen (dualisme) dalam hal kepastian hukum. Di pihak Pemerintah, bahwa areal konsesi sah secara hukum setelah SK IUPHHK diterbitkan. Di pihak masyarakat, bahwa areal konsesi belum sah menurut hukum adat, karena belum ada pelepasan adat. Hal ini akan mengakibatkan perencanaan pengelolaan yang tidak baku dan selalu berubah- ubah. Sukaryanto (2005) mengemukakan bahwa kepastian kawasan unit pengelolaan sulit dilaksanakan karena adanya tumpang tindih ijin pengelolaan dan klaim dari masyarakat yang meyakini kawasan tersebut merupakan kawasan adat atau hak ulayat milik masyarakat. Untuk itu perlu ada kepastian kawasan unit pengelolaan baik kepastian kawasan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat adat. Kuswandi, et al. (2007) dan Kuswandi (2009) mengemukakan bahwa perlu ditambahkan indikator kepemilikan hak ulayat dalam kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL). Simon (1995) mengemukakan bahwa salah satu prasayat kelestarian pengelolaan hutan adalah adanya kepastian batas kawasan hutan yang diakui oleh semua pihak. Tanpa adanya kepastian kawasan yang diakui oleh semua pihak akan menyebabkan terjadinya dualisme kepemilikan yang dapat berakibat pada penurunan potensi tegakan. Fakta menunjukkan bahwa telah terjadi pemanenan berulang pada beberapa areal IUPHHK di Papua yaitu pemanenan oleh IUPHHK sebagai pengelola areal yang diakui oleh pemerintah dan pemanenan oleh masyarakat pemilik hak ulayat. Kondisi ini nampak pada areal IUPHHK yang dekat dengan akses perkotaan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kelestarian hutan baik kelestarian fungsi ekologi dan ekonomi tidak akan terwujud.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 99

B. Kepastian Usaha Pemberian hak pengelolaan hutan (IPHHK) merupakan pelimpahan wewenang pengelolaan hutan kepada pemegang IUPHHK. Pemindahan hak ada yang bersifat sementara atau yang bersifat permanen (dualisme). Areal/lahan hutan mengikuti kaidah pemindahan hak sementara, mengingat (a) masa konsesi HPH (20 tahun) yang diberikan lebih singkat dibanding rotasi tebang yang ditetapkan (35 tahun), dan (b) hutan bukan merupakan asset perusahaan, melainkan tetap milik negara, dan harus kembali kepada negara setelah masa konsesi berakhir. Namun berbeda dengan areal/lahan hutan, tegakan/pohon yang berdiri di atas lahan tersebut dipindahkan haknya secara permanen. Begitu ijin produksi diberikan dan pohon ditebang, maka pemerintah tidak akan mendapatkan kembali pohon tersebut, sebagai kompensasinya pemerintah mengenakan pungutan-pungutan. Dengan demikian, secara faktual tegakan/pohon telah “dijual” kepada pemegang HPH yaitu seharga pungutan- pungutan (IHPH, PSDH, DR dan nilai tegakan untuk IPK) yang dikenakan (Bramasto, 2001). Implikasi lain dari pengalihan hak sementara atas lahan hutan menyebabkan pemegang IUPHHK hanya dapat menegakkan hak kepemilikannya sebagai seolah-olah hak milik (quasi private property right) tanpa dapat membuatnya sebagai hak kepemilikan yang tegas (strictly private property right). Ketiadaan hak kepemilikan yang tegas tersebut akan menghilangkan insentif bagi pemegang IUPHHK untuk melakukan investasi jangka panjang. Terutama untuk investasi jangka panjang yang bersifat endogenous, dimana pengamanan hutan, dan pembinaan hutan bekas tebangan menjadi begitu penting. Seperti diketahui bahwa pengusahaan dibidang kehutanan merupakan usaha jangka panjang, yang dihubungkan dengan waktu (time preference) sehingga sudah barang tentu akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu resiko finansial cukup tinggi dalam usaha dibidang kehutanan. Untuk itu diperlukan kepastian usaha dalam waktu jangka panjang. Dalam pengelolaan hutan alam, kepastian usaha dapat dihubungkan dengan rotasi atau daur. Berdasarkan Permenhut No. 11 tahun 2009 disebutkan bahwa daur atau siklus tebang untuk hutan alam tanah kering adalah 30 tahun untuk diameter tebang ≥ 40 cm pada hutan produksi tetap (HP) dan ≥ 50 cm pada hutan produksi terbatas (HPT). Ijin kelola ini dapat diperpanjang dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah cq Kementerian Kehutanan. Selain itu dalam setiap SK IUPHHK disebutkan jangka waktu konsesi selama 20 tahun untuk rotasi/daur 35 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada kepastian usaha untuk jangka panjang. Dengan keterbatasan jangka waktu pengelolaan mengakibatkan kegiatan pembinaan tegakan hutan alam sebagai salah satu upaya peningkatan produktivitas tegakan seringkali diabaikan. Pengelolaan hutan lebih banyak mengarah pada timber extraction di bandingkan dengan timber management atau sustainable forest management. Simon (2005) menyebutkan ada 5 kegiatan dalam timber management yang sudah mengarah pada pengelolaan hutan secara lestari yaitu (1) Pembangunan atau penanaman hutan (forest establishment); (2) Pemeliharaan, penjagaan dan peningkatan kualitas tanaman

100 - BPK Manokwari

hutan (forest culture); (3) Pemanenan (harvesting); (4) Pengolahan hasil hutan (processing) dan (5) Pemasaran hasil hutan (marketing). Dalam prakteknya kegiatan 1 dan 2 jarang dilakukan oleh setiap unit pengelolaan dan apabila dilaksanakanpun hanya sekedar memenuhi ketentuan yang ada yang sudah barang tentu kelestarian hutan tidak akan terwujud. Penanaman hutan membutuhkan waktu yang lama sampai ke masa pemanenan. Untuk pengelolaan hutan alam umumnya bertujuan memenuhi kebutuhan akan kayu pertukangan. Untuk menanam sampai memanen umumnya dibutuhkan waktu antara 20 – 60 tahun. Ironisnya, jangka waktu konsesi hutan alam (IUPHHK-HA) hanya terbatas (20 tahun) dibandingkan dengan jangka waktu konsesi untuk hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) yang notabene daur tanaman sangat singkat antara 5 – 8 tahun. Kondisi ini mengakibatkan pengelolaan hutan lebih banyak kearah timber extraction di bandingkan dengan timber management atau sustainable forest management. Oleh sebab itu diharapkan ada perubahan jangka waktu konsesi untuk IUPHHK-HA minimal 2 kali umur/daur tanaman jenis kayu pertukangan sehingga kepastian usaha dapat terjamin.

III. SISTEM PENGELOLAAN HUTAN

A. Sistem silvikultur Dalam pengelolaan hutan, agar dapat tercapai tujuan pengelolaannya maka diperlukan suatu sistem pengelolaan yang dikenal dengan sistem silvikultur. Sistem Silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edaphis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen (Dephut, 2009) Dewasa ini sistem silvikultur yang dikenal dalam pengelolaan hutan di Indonesia sesuai dengan Permenhut No. 11 tahun 2009 adalah sistem silvikultur berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan (Dephut, 2009). Dalam penerapannya, sebagian besar IUPHHK menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dimana salah satu ketentuan utama dalam sistem ini adalah limit diameter pohon yang dapat ditebang. Ditentukan bahwa untuk tipe hutan tanah kering, limit diameter pohon yang boleh ditebang adalah 40 cm pada hutan produksi (HP) dan 50 cm pada hutan produksi terbatas (HPT). Dengan adanya potensi dan struktur tegakan yang bersifat site-spesific, maka pemberlakuan ketentuan-ketentuan tersebut secara seragam untuk semua kondisi hutan akan menimbulkan permasalahan di lapangan. Pada kondisi hutan produksi yang potensinya sangat besar, penerapan ketentuan tersebut akan memberikan peluang terjadinya pengurasan sumberdaya hutan secara besar- besaran. Sedang pada kondisi hutan produksi yang potensinya sangat kecil dimana diameter pohonnya relatif kecil-kecil akan mengakibatkan permasalahan terhadap kesehatan perusahaan secara finansial yang diakibatkan oleh jumlah pohon yang ditebang sedikit. Oleh sebab itu, penerapan limit diameter pohon

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 101

yang boleh ditebang tidak ditentukan secara seragam untuk semua tempat, melainkan perlu disesuaikan dengan potensi dan struktur tegakan setempat Implementasi penerapan sistem silvikultur sesuai Permenhut tersebut diatas masih mengalami banyak kendala dan perlu ada kajian yang lebih komprehensif. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi terdapat beberapa hal yang kotradiktif dengan hasil diatas. Pada pasal 8 disebutkan bahwa limit diameter tebang diturunkan menjadi ≥ 40 cm pada hutan produksi tetap dengan daur atau rotasi diperpendek menjadi 30 tahun. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan pengelolaan hutan lestari akan semakin sulit terwujud karena penentuan tebangan tidak berdasarkan kemampuan riap kayu dari seluruh kawasan hutan atau over cutting. Disisi lain pada pasal 11 disebutkan bahwa perubahan daur dan atau siklus tebang dan atau diameter tebang dapat dimohon kepada Menteri, dan Menteri menugaskan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan untuk melakukan kajian. Hal ini dapat menyebabkan ambiguen dan kesulitan dalam penerapan di lapangan baik oleh pihak pengelola (IUPHHK) maupun instansi teknis sebagai pembina dan pengawas.

B. Peningkatan Produktivitas Hutan Pengelolaan hutan yang lestari (dalam satu unit pengusahaan hutan) adalah merupakan satu paket kegiatan untuk mengelola kawasan/areal hutan yang telah menjadi tanggungjawabnya. Tidak hanya areal-areal hutan yang produktif saja (hutan primer) yang dikelola agar lestari, tetapi seharusnya juga areal-areal lain yang tidak produktif (hutan bekas tebangan, belukar, alang-alang dan tanah kosong) agar menjadi produktif dan lestari. Pengelolaan hutan secara lestari tidak akan pernah terwujud apabila tidak ada kegiatan permudaan hutan yang dikelola dengan baik. Salah satu persyaratan terwujudnya kelestarian hasil adalah adanya sistem permudaan yang menjamin bahwa upaya pembangunan hutan selalu berhasil dengan baik (Simon, 1995). Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa potensi permudaan pada areal bekas tebangan di Papua masih cukup banyak. Akibatnya terjadi kecenderungan untuk tidak melaksanakan kegiatan rehabilitasi atau pengayaan sesuai dengan aturan TPTI yang digunakan dalam pengelolaan hutan. Pada kenyataannya tingkat produktivitas hutan alam kayu komersial di Indonesia pada saat ini sangat rendah yaitu berkisar antara 0,5 – 1,5 m3/ha/th (Dephut, 2005). Kondisi ini mengakibatkan pengelolaan hutan tropis tidak kompetitif, karena selain tingkat produktivitas rendah juga biaya pengelolaannya yang cukup tinggi. Dalam pengelolaalan hutan dengan sistem TPTI, peningkatan produktivitas hutan merupakan salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan. Kegiatan tersebut adalah pengayaan atau enrichment planting, dan pemeliharaan tegakan tinggal melalui kegiatan pembebasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pengayaan dan pembebasan dapat meningkatkan produktivitas tegakan. Suripatty, et.al. (2006) mengemukakan bahwa kegiatan pembebasan

102 - BPK Manokwari

vertikal di areal IUPHHK PT. Yotefa Sarana Timber dapat meningkatkan pertambahan riap sebesar 1,01 cm/tahun. Teknik pengkayaan yang intensif dengan pemilihan jenis yang tepat (di jalan sarad, bekas Tpn, dan bekas jalan cabang), penyiapan lahan yang tepat, penggunaan pupuk dan pemeliharaan yang baik akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa lokasi dengan jenis dan teknik pengayaan yang intensif. Rata-rata pertambahan tinggi umur tanaman 2 tahun di areal IUPHHK PT. Yotefa Sarana Timber, Bintuni berkisar antara 57 – 209 cm dengan pertambahan diameter antara 0,5 – 2,6 cm untuk jenis Gmelina arborea, Intsia bijuga dan Antiaris sp. Sedangkan di areal IUPHHK PT. Tunas Sawaerma, Boven Digul pertambahan tinggi tanaman umur 1 tahun berkisar antara 81,3 – 86,8 cm dengan diameter berkisar antara 0,4 – 0,7 cm untuk jenis Zysigium sp. (Kuswandi, 2009). Pada uji coba sistem silvikultur intensif (SILIN) di areal IUPHHK PT. Tunas Sawaerma juga menunjukan pertumbuhan yang cukup baik. Dengan sistem permudaan yang intensif akan meningkatkan produktivitas hutan bekas tebangan sehingga kelestarian produksi dapat tercapai. Upaya peningkatan produktivitas hutan seringkali tidak tercapai oleh karena adanya penyeragaman perlakuan, walaupun secara teknis pada kondisi lahan tertentu perlakuan tersebut kurang tepat. Oleh sebab itu perlu dilakukannya kajian dalam rangka peningkatan produktivitas hutan alam sesuai dengan sitenya. Selain itu beberapa sistem silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan alam seperti TPI yang kemudian disempurnakan menjadi TPTI dan TPTJ belum selesai diikuti hingga satu siklus secara lengkap. Hal ini menyebabkan sulitnya memberikan rekomendasi yang tepat terhadap strategi yang harus diterapkan agar pengelolaan hutan dapat berlangsung secara optimal.

IV. PENENTUAN AAC

Tegakan hutan produksi merupakan pabrik untuk menghasilkan produksinya yakni kayu yang diantara keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan (Gregory, 1972). Kelestarian produksi kayu hanya dapat terjadi apabila pabriknya yakni tegakan hutan, juga lestari atau sebaliknya. Namun, kelestarian tegakan hutan sulit dipantau dengan meyakinkan, artinya sampai periode waktu berapa tahun realisasi produksi disebut lestari. Berbagai contoh antaralain adalah perusahaan-perusahaan pemegang konsesi (IUPHHK), yang setiap tahun diberikan AAC oleh pemerintah dan diawasi secara ketat pelaksanaannya. Namun kemudian misalnya mulai tahun ke-10 dari haknya yang 20 tahun mendadak diketahui bahwa perusahaan tidak mampu lagi menebang kayu dikarenakan kehabisan stock tegakan hutanya (yang kemudian dicabut haknya oleh pemerintah). Dalam pengelolaan hutan, besarnya pemungutan atau pemanenan kayu oleh suatu unit pengelola/IUPHHK harus memperhatikan kemampuan reproduksi hutan yang dalam pelaksanaannya sudah ditentukan berdasarkan AAC (Annual

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 103

Allowable Cutting) dari setiap kawasan hutan. Kelestarian produksi akan dapat terwujud apabila jumlah AAC tidak melebihi kemampuan reproduksi hutan. Penentuan AAC bisa didasarkan pada riap diameter maupun riap volume tegakan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan perguruan tinggi maupun Badan Litbang Kehutanan, terutama sejak dikeluarkannya SK Menhut No.237/Kpts-II/1995, setiap unit pengelolan hutan produksi (HPH) wajib membuat Petak Ukur Permanen (PUP) untuk pemantauan pertumbuhan dan riap tegakan. Pada saat ini telah diketahui dengan cukup seksama besarnya riap diameter mapun riap volume tegakan di hutan alam produksi. Hasil perhitungan saat ini menunjukkan bahwa besarnya riap diameter di Papua berkisar antara 0,60 - 0,88 cm/th. Mengingat pada saat ini pengelolaan hutan Papua telah memasuki fase pengelolaan hutan-hutan bekas tebangan, maka diperlukan penghitungan kembali (rekalkulasi) potensi sumberdaya hutan. Untuk melakukan rekalkulasi potensi hutan bekas tebangan memunculkan pertanyaan apakah cukup hanya dengan mengandalkan parameter potensi kayu (luas dan volume)? Adakah parameter lain yang perlu diperhatikan dan dimasukan untuk diamati secara hati-hati dalam rekalkulasi hutan bekas tebangan ? Penurunan potensi kayu bukan hanya disebabkan oleh pengaruh eksploitasi hutan tetapi juga karena adanya penebangan atas ijin lainnya pada areal yang sama seperti IPKMA, perburuan kayu dengan 1-3 pohon per hektar atau sekitar 15 meter3//ha (Marwa et al, 2010) dan penebangan liar sehingga terjadilah “double AAC” atau panen ganda. Disisi lain, hutan tersebut telah mengalami kematian (mortality) secara alami dan kematian akibat efek kegiatan logging yang menurut penelitian Kuswandi (2000 dan 2001) menyebabkan kerusakan tinggal sebesar 25,5 – 38,5%. Oleh karena itu “Double AAC” dan kematian pohon dalam tegakan secara alami maupun efek logging memiliki peran penting dalam upaya menjadi kelestarian hutan di Papua. Sebagai contoh digambarkan bahwa riap volume tahunan (Vrt) adalah merupakan fungsi dari standing stock tegakan hutan (Vss) yang bersangkutan : Vrt = f (Vss). ……….(1). Dari fungsi tersebut apabila volume standing stock menurun maka volume riap tahunan pun akan menurun. Oleh sebab itu volume tegakan yang akan ditebang (AAC) juga akan mengalami penurunan, demikian pula sebaliknya karena hubungan linear diantara parameternya. Demikian juga dapat ditulis bahwa apabila volume yang ditebang (jumlah tebang rutin, kematian alami dan efek logging, serta double AAC) menaik akan mengakibatkan volume standing stock menurun, sehingga akan menurunkan trend kelestariannya terutama bila volume yang ditebang tersebut melebihi riap tegakan yang dihasilkan. Berikut ini disajikan pendekatan kelestarian tegakan, dengan dimodifikasi dari Warsito, 2010) sebagai berikut :

Vst0 = total volume stock tegakan hutan pada awal tahun (periode waktu) tertentu Vst+1 = total volume stock tegakan pada akhir tahun (periode waktu) ybs Vrt = total riap volume tegakan dalam tahun (periode waktu)ybs Vtt = total volume tegakan yang ditebang reguler (resmi) dalam tahun (periode waktu)ybs Vtm = total volume kematian alami dalam tahun (periode waktu)ybs Vtlog = total volume kematian akibat efek logging (periode waktu) ybs Vtaac = total volume tebang double aac dalam tahun (periode waktu)ybs

104 - BPK Manokwari

Maka : Vst+1 = Vst0 + (Vrt – Vtt – (Vtm + Vtlog)- Vtaac) ………………….(2) Apabila (Vrt – Vtt –(Vtm+Vtlog) – Vtaac) = D yaitu Riap Netto (efektif) Tegakan (RTN)

Maka : Vst+1 = Vst 0 + D……………………...... (3) Tegakan akan menunjukan kecenderungan lestari, apabila : D = 0 atau Vst+1 = Vst0 yang terjadi apabila Vtt –Vtm-Vtlog – Vtaac = Vrt

Kelestarian hutan dapat ditunjukan oleh volume penebangan tahunan yang tidak melebihi riap tahunan dari tegakan hutan yang bersangkutan,. Namun timbul pertanyaan apakah volume tebang rutin (Vtt) yang ditetapkan sudah memperhatikan volume tebang akibat kematian alami (Vtm), volume efek logging (Vtlog) dan volume double AAC (Vtaac) sebagai parameter pengurang terhadap stock tegakan? Dapat saja AAC pengelola ditetapkan sama dengan riap tegakan hutan, tetapi apabila parameter pengurang tidak diperhatikan dalam realisasi volume penebangan rutin dapat overcutting terhadap semestinya (lestari). Hal ini memberikan konsekuensi penetapan AAC harus terus ditinjau ulang secara periodik sesuai dengan kondisi tegakan hutan. AAC tegakan harus diturunkan apabila kondisi stock tegakan terakhir juga menurun dari kondisi awal periode. Oleh karena itu kondisi stok tegakan dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini dalam pemantauan kelestarian unit manajemen. Apalagi pemerintah telah menetapkan bahwa Penetapan Tebangan Tahunan /AAC adalah hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHBM) yang intensitas samplingnya hanya 5% (Permenhut No 50/2010). Kekawatiran akan terjadinya overestimate atau underestimate dapat saja terjadi dalam penetapan AAC bila parameter “double ACC‟ tidak diperhitungkan secara benar dan tepat.

V. PENUTUP

Dalam pengelolaan hutan ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar kelestariannya dapat terwujud. Terwujudnya asas kelestarian hasil hanya dapat dicapai bila hutan dan potensinya juga lestari. Oleh karena itu kelestarian hasil kayu juga bermakna kelestarian sumber daya hutan yang menjadi hal utama dalam setiap perusahaan pengelolaan hutan. Kelestarian pengelolaan hutan dapat terwujud apabila ada sinkroniasi antara pelaksanaan dan aturan/kebijakan yang telah ditetapkan. Aturan/kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah cq Kementerian Kehutanan sebaiknya berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan baik oleh lembaga riset pemerintah maupun perguruan tinggi. Jangan sampai terjadi kelestarian pengelolaan hutan tidak terwujud akibat bukan hanya dalam pelaksanaannya saja tetapi juga akibat dari aturan/kebijakan yang ada.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 105

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi. Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Penerbit Debut Press. Yogyakarta. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVII. 2010. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura. Bramasto N, 2001. Dualisme Pengalihan Hak Pada Pengusahaan Hutan Produksi : Tinjaun Kritis Hubungan Kontraktual Pemerintah dan Pemegang HPH Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPII (Silvikultur Intensif). Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur Dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dinas Kehutanan Propinsi Papua, 2005. Statistik Kehutanan Propinsi Papua. Dinas Kehutanan Propinsi Papua, Jayapura. (Tidak diterbitkan) Gregory, G. R. 1972. Forest Resources Economics. John Willey and Sons. New York. Kuswandi, R. 2000. Kajian Penurunan Limit Diameter Tebang Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal pada Hutan Produksi Terbatas di Areal HPH PT. Tunas Sawaerma, Merauke, Irian Jaya. Informasi Teknis Matoa No. 7 Tahun 2000. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari Kuswandi, R. 2001. Dampak Eksploitasi Hutan Terhadap Kerusakan Tegakan pada pengelolaan Hutan dengan Sistem TPTI di Areal HPH PT. Kaltim Hutama, Nabire. Informasi Teknis Matoa No. 10 Tahun 2001. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari. Kuswandi, R. 2009. Kajian Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari di Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (Tidak diterbitkan). Kuswandi R, M.J. Tokede, dan T.T. Siriwa, 2007. Kajian Awal Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Dua Areal IUPHHK di Papua Barat. Info Hutan Vol. IV No. 6. Puslit Hutan dan Konservasi Alam Marwa J. Purnomo H, Nurochmat D.R. 2010. Managing The Last Frontier of Indonesiaan Forest in Papua. Faculty of Forestry Bogor Agricultur University and Asean –Korea Enviromenal Cooperation. Bogor Simon, H. 1995. Pembangunan Hutan Berwawasan Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

106 - BPK Manokwari

Simon, H. 2007. Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan. Jilid I. Timber Manajement. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suripatty, B.A., E. Batorinding, A. Kehek, O. Tabibiati dan N.H. Bennu. 2006. Kajian Pengayaan Dan Pembebasan Tegakan Tinggal Di Hutan Alam Bekas Tebangan Di Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (Tidak diterbitkan). Sukaryanto, 2005. Insentif bagi Pengusaha HPH Berekolabel. Label Hijau. Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman Sertifikasi ekolabel di Indonesia. Lembaga ekolabel Indonesia. Jakarta. Warsito S, 2010. Riview Konsep Kelestarian Tegakan Hutan (Forest resources Sustainability). Paper diskusi dalam Pertemuan Forum Pimpinan Pendidikan Kehutanan,Pekan baru 8-10 Juni 2010.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 107

108 - BPK Manokwari

KERENTANAN LAHAN BASAH TERHADAP PENYEBARAN TUMBUHAN INVASIF: TINJAUAN DI WILAYAH TAMAN NASIONAL WASUR, MERAUKE1

Oleh: Sarah Yuliana2 & Aji Winara3

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Salah satu tipe ekosistem di dalam kawasan Taman Nasional Wasur (TN Wasur) adalah lahan basah yang bernilai ekologis dan ekonomis tinggi saat ini sedang menghadapi masalah penurunan fungsi dan manfaat kawasan akibat masalah invasi tumbuhan pengganggu. Tulisan ini disusun untuk mengkaji kerentanan lahan basah dalam kawasan TN Wasur terhadap penyebaran tumbuhan invasif. Metode yang digunakan dalam penulisan ini merupakan perpaduan antara wawancara dengan pengelola kawasan, pengamatan di lapangan dan tinjauan dari sumber-sumber pustaka terkait. Dari beberapa penelitian terdahulu diketahui bahwa kawasan TN Wasur memiliki potensi biofisik beragam dan unik, dengan pengelolaan melibatkan banyak pihak mencakup pemerintah, masyarakat dan lembaga non-pemerintah, serta mempunyai potensi dan manfaat yang tinggi dari fungsi hidrologis kawasan, sumber hasil hutan dan keunikan ekologis lainnya. Tinjauan terhadap masalah invasi tumbuhan dalam kawasan menunjukkan hasil awal jenis-jenis tumbuhan invasif utama yaitu Melaleuca spp., Mimosa pigra, Stachytarpheta spp., Pragmites karka, Carex sp. dan Hanguana malayana, yang bukan saja termasuk jenis-jenis asing tapi ada juga yang merupakan jenis asli. Proses invasi jenis-jenis tersebut diperkirakan merupakan perpaduan beberapa karakter proses invasi itu sendiri yaitu akibat tiadanya musuh alami, toleransi jenis invasif yang luas, kemampuan jenis tersebut untuk memanfaatkan sumberdaya dan adanya sifat alelopatik pada jenis-jenis tertentu, selain didukung dengan kondisi lahan basah dalam kawasan yang secara alami menjadi penampung segala material yang masuk di dalamnya. Dampak yang dapat terjadi akibat proses invasi di kawasan ini menjadi beragam, mencakup struktur habitat secara fisik dan biologis, menurunnya keanekaragaman hayati, serta mempengaruhi produktifitas, siklus hara, dan kondisi mikroorganisme tanah, yang pada akhirnya mengurangi fungsi kawasan secara ekonomis.

Kata kunci: lahan basah, tumbuhan invasif, TN Wasur Merauke

1 Dipresentasikan dalam Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari, di Manokwari, 29 November 2011 2 Peneliti Pertama pada BPK Manokwari 3 Peneliti Pertama pada BPK Ciamis

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 109

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Taman Nasional Wasur (TN Wasur) merupakan salah satu kawasan konservasi penting yang berada di Papua, yang memiliki keunikan dan nilai penting baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Sejak tahun 1978 kawasan hutan Wasur telah ditunjuk sebagai kawasan suaka alam, terdiri dari Suaka Margasatwa (SM) Wasur dengan luas 206.000 hektar dan Cagar Alam (CA) Rawa Biru dengan luas 4.000 hektar. Pada tahun 1982, luasan SM Wasur ditambah sebanyak 98.000 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 15/Kpts/Um/1/82, sehingga menjadi 304.000 hektar. Pada tahun 1990 kedua kawasan tersebut (SM Wasur dan CA Rawa Biru) dideklarasikan sebagai TN Wasur berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448/Kpts-II/1990 tanggal 24 Maret 1990 dengan luas keseluruhan 308.000 hektar. Selanjutnya pada tahun 1997, TN Wasur ditetapkan lagi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-IV/1997 tanggal 23 Mei 1997 dengan luas 413.810 hektar. Keunikan kawasan TN Wasur terletak pada kondisi fisiknya yang berupa kawasan lahan basah dengan sedikitnya 6 tipe ekosistem dan hutan. Kawasan TN Wasur memiliki daerah potensi air permukaan yang cukup besar yaitu Danau Rawa Biru dengan luas 12.570 ha. dan beberapa sungai antara lain Sungai Maro, Yauram, Maar dan Torasi (Balai TN Wasur, 1999). Rawa Biru merupakan salah satu sumber air yang pokok bagi kebutuhan air bersih kota Merauke, yang dimanfaatkan sejak jaman Belanda sampai saat ini (Purba, 1999). Kawasan ini juga didiami oleh beberapa fauna khas seperti Kanguru Pohon (Dendrolagus spadix), Walabi (Macropus agilis), Rusa Timor (Cervus timorensis), Buaya Air Tawar (Crocodylus novaeguineae), Buaya Muara (C. porosus), Kasuari (Casuarius casuarius sclateri), Mambruk (Goura sp.), Cenderawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda novaeguineae), Cenderawasih Raja (Cicinnurus regius rex), dan beberapa jenis kura-kura air tawar. Selain itu, kawasan ini juga ditetapkan menjadi kawasan konservasi milik dunia sebagai salah satu habitat burung migran dari Australia (Balai TN Wasur, 1999; Prasetyo dan Hartana, 2011). Sebagai kawasan lahan basah terluas di Papua yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, TN Wasur juga menghadapi permasalahan yang berpotensi menurunkan keanekaragaman hayati baik flora, fauna maupun ekosistem kawasan secara keseluruhan. Permasalahan tersebut meliputi tingginya aktivitas masyarakat di dalam kawasan yang berupa perburuan liar, penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian dan perladangan, penjualan tanah di dalam kawasan, penggembalaan dan kebakaran lahan yang tidak terkendali, serta yang saat ini terlihat sangat mendesak fungsi ekosistem yaitu berupa invasi jenis tumbuhan dan satwa eksotik sehingga mengganggu keberadaan jenis-jenis asli beserta habitatnya. Sebagai akibatnya, kota Merauke saat ini menghadapi masalah terancamnya ketersediaan sumber air bersih akibat terinvasinya daerah Rawa Biru oleh tumbuhan air (Hartono dkk, 2006; Prasetyo, 2011). Masalah invasi tumbuhan ini menjadi penting untuk dikaji, terutama berkaitan dengan karakteristik lahan basah dan jenis-jenis yang menginvasi,

110 - BPK Manokwari

sebagai bahan informasi awal untuk langkah penanganan selanjutnya.

B. Tujuan dan Metode Tulisan ini disusun untuk mengkaji kerentanan lahan basah dalam kawasan TN Wasur terhadap penyebaran tumbuhan invasif. Metode yang digunakan dalam penulisan ini merupakan perpaduan antara wawancara dengan pengelola kawasan, pengamatan di lapangan dan tinjauan dari sumber-sumber pustaka terkait.

II. POTENSI BIOFISIK KAWASAN TN WASUR

A. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya TN Wasur telah menjadi lokasi penelitian BPK Manokwari sejak beberapa tahun belakangan ini, terutama yang berkaitan dengan fungsi dan manfaat kawasan. Penelitian menyangkut peran dan fungsi kawasan diawali pada tahun 2006, yang saat itu secara khusus mengkaji perihal sistem kelembagaan yang berlaku di dalam pengelolaan TN Wasur. Aspek lain yang dikaji pada tahun tersebut adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam kawasan. Pada tahun selanjutnya tidak ada penelitian yang berlokasi di TN Wasur, karena yang menjadi fokus adalah kawasan konservasi lainnya yaitu TN Teluk Cenderawasih. Setelah menimbang kegiatan pada tahun 2006 tersebut, pihak Kementerian Kehutanan kembali menjadikan TN Wasur lokus penelitian sejak tahun 2008. Kegiatan pada tahun 2008 dan 2009 dilakukan untuk mengumpulkan informasi biofisik kawasan dengan pertimbangan masih diperlukannya informasi terkini menyangkut kondisi dan situasi kawasan, terutama di daerah-daerah yang disurvei. Selanjutnya, pada dua tahun belakangan ini kegiatan penelitian di lokasi TN Wasur dititikberatkan pada kegiatan penilaian atau valuasi potensi dan manfaat kawasan. Gambaran lokasi TN Wasur ditampilkan dalam peta pada Lampiran 1, sementara uraian penelitian-penelitian sebelumnya disajikan pada Lampiran 2.

B. Permasalahan dan Kebutuhan Penelitian-penelitian yang dilakukan dalam TN Wasur secara garis besar menunjukkan adanya keanekaragaman baik dalam hal kondisi biofisik, kelembagaan dan pengelolaan maupun dari kerumitan permasalahan yang dihadapi. Luasnya wilayah pengelolaan serta beragamnya tipe ekosistem dan bentang alam juga berpengaruh terhadap beragamnya satwa dan tumbuhan serta tipe habitat yang harus dikelola. Sementara tidak dapat dipungkiri juga, bentang lahan dan tipe ekosistem dalam kawasan juga mengalami perubahan akibat keberadaan penduduk di dalam dan sekitar kawasan, disamping perubahan-perubahan yang muncul secara alami.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 111

Salah satu perubahan yang dialami kawasan yang ikut teramati selama rangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan adalah menyebarnya jenis-jenis tumbuhan tertentu, yang mengubah kondisi lahan dalam kawasan, sekaligus mempengaruhi fungsi dan manfaat kawasan tersebut. Penyebaran jenis-jenis tumbuhan ini diketahui telah mengganggu fungsi kawasan sebagai penampung dan penyedia air permukaan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi masyarakat. Pengendalian jenis-jenis tumbuhan invasif ini menjadi mendesak untuk dilakukan. Beberapa langkah awal yang diperlukan untuk kegiatan ini adalah pengumpulan informasi menyangkut jenis-jenis tumbuhan pengganggu ini, yang berkaitan dengan karakter biologis, penyebarannya dikaitkan dengan ekosistem lahan basah yang dirugikannya, sekaligus memperkirakan kemungkinan menghambat dan membatasi penyebarannya.

III. INVASI TUMBUHAN PADA LAHAN BASAH

A. Jenis-jenis Invasif di Lahan Basah Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam tulisan ini. Istilah-istilah tersebut adalah invasi tumbuhan, lahan basah, dan jenis invasif. Invasi tumbuhan adalah pergerakan satu atau lebih jenis tumbuhan dari satu daerah ke daerah lainnya sehingga akhirnya jenis-jenis itu menetap di daerah tersebut. Proses ini merupakan suatu rangkaian dari proses-proses migrasi, eksistensi, dan kompetisi, yang seluruhnya terkait dengan aspek waktu dan ruang. Proses invasi seringkali terjadi di daerah yang gundul, namun dapat juga terjadi di kawasan dengan tumbuhan. Dalam dunia ekologi, invasi merupakan bentuk permulaan suksesi yang pada akhirnya secara terus menerus akan menghasilkan tahapan suksesi hingga terbentuk klimaks (Wittenberg & Cock, 2001; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Lahan basah dalam tulisan ini dibatasi pada daerah rawa-rawa air tawar yang berada dalam kawasan TN Wasur. Selain rawa, pada dasarnya setiap tipe lahan basah seperti danau, sungai, dan rawa air asin juga mempunyai potensi untuk terkena invasi oleh tumbuhan pengganggu. Tumbuhan invasif adalah jenis-jenis tumbuhan yang mampu berkembang sangat cepat pada suatu lingkungan sehingga dapat merugikan secara ekonomis maupun ekologis (Wittenberg & Cock, 2001; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Ciri-ciri tumbuhan invasif antara lain mampu tumbuh dengan cepat, reproduksinya cepat seringkali mampu bereproduksi secara vegetatif, memiliki kemampuan menyebar tinggi, toleransi yang besar terhadap kondisi lingkungan, dan umumnya berasosiasi dengan manusia. Tumbuhan invasif dapat merupakan jenis asli dan juga jenis asing (eksotik). Penyebaran jenis asli yang menyebar secara meluas di habitatnya seringkali dianggap tidak terlalu membahayakan dibanding dengan keberadaan jenis asing

112 - BPK Manokwari

yang invasif. Jenis asing dapat masuk secara sengaja, misalnya melalui introduksi untuk keperluan tertentu, atau secara tidak sengaja akibat terbawa oleh manusia ke dalam suatu kawasan. Jenis asing selanjutnya dapat menjadi invasif apabila mampu menyingkirkan jenis asli dari kompetisi memperebutkan sumber daya seperti zat hara, cahaya, air dan ruang tumbuh. Jenis invasif asing mungkin saja mampu mengandalkan sumber daya yang sebelumnya tidak mampu dijangkau jenis asli dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hidupnya yang baru.

B. Jenis-jenis Tumbuhan Invasif di TN Wasur Berdasarkan informasi yang sempat didokumentasi selama penelitian sebelumnya ditambah dengan keterangan dari pihak pengelola kawasan menunjukkan sedikitnya ada 6 (enam) jenis tumbuhan invasif utama di dalam kawasan (Gambar 1). 1. Melaleuca spp. Jenis-jenis Melaleuca yang masih berkerabat dengan kayu putih ini digolongkan dalam jenis asli, yang menjadi invasif karena penyebarannya meluas dan mulai menggeser jenis-jenis lainnya yang ada di kawasan, terutama di sekitar Kali Maro. Secara biologis jenis ini mampu mencapai ukuran sampai setinggi 25 m dan dapat menghasilkan biji berukuran sangat kecil dan banyak. Jenis-jenis Melaleuca juga diketahui termasuk tumbuhan yang tahan terhadap kebakaran. Seringkali adanya api malah membantu melepas dormansi bijinya, yang lantas diikuti dengan pertumbuhan sangat pesat sesudah habitatnya tergenang air akibat banjir musiman. Di beberapa tempat di dunia seperti Australia dan Amerika, jenis-jenis Melaleuca yang invasif diketahui cukup sulit dikendalikan, namun ujicoba pengendalian integratif yang memadukan herbisida dan metode-metode lainnya terus dilakukan untuk memperoleh metode penanggulangan terbaik sebagai alternatif dari metode tradisional.

2. Mimosa pigra Jenis lainnya yang ikut menginvasi daerah Kali Maro adalah Mimosa pigra, masih berkerabat dengan tumbuhan putri malu (M. pudica) hanya saja berukuran lebih besar sehingga sering disebut putri malu raksasa. Jenis ini diketahui termasuk dalam daftar 100 jenis organisme invasif terparah di dunia, merupakan tumbuhan invasif di daerah Asia Tenggara dan Australia yang seringkali berada di suatu daerah akibat terbawa dalam pakan ternak yang dibawa dari luar atau terbawa oleh manusia tanpa sengaja. M. pigra bereproduksi dengan biji yang berada dalam kantung buah yang bisa mengapung dan menyebar pada saat habitat awalnya tergenang air. Jenis ini sangat berpotensi mengubah tipe ekosistem menjadi tidak produktif serta mampu menurunkan tingkat keanekaragaman di ekosistem itu. Di TN Wasur, jenis ini juga dijumpai di lokasi lain selain sekitar Kali Maro.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 113

3. Stachytarpheta spp. Jenis-jenis yang juga dikenal dengan nama jarong atau tumbuhan semak ekor tikus ini terutama menginvasi zona inti kawasan di daerah Ukra, Kankania dan Maar. Jenis ini diketahui merupakan jenis asing yang sangat mudah menempati daerah-daerah terbuka dan terganggu. Tumbuhan ini cukup sulit diawasi penyebarannya karena biji yang dihasilkannya mampu bertahan terhadap kebakaran, dan sangat mudah tumbuh kembali setelah tergenang air pada musim penghujan.

4. Phragmites karka Jenis dalam kawasan TN Wasur jenis ini terutama menginvasi daerah Rawa Biru. Jenis ini merupakan jenis alang-alang yang besar, yang seringkali dianggap sebagai jenis introduksi dari Eropa dan Amerika untuk tujuan pakan ternak. Tumbuhan ini dapat menyebar dengan biji yang dibantu oleh angin dan air pada saat banjir serta secara vegetatif menggunakan rhizoma yang dapat bertahan pada saat kebakaran. Alang-alang ini juga mampu menghasilkan cairan yang bersifat alelopatik.

(1) (2) (3)

(4) (5) (6) Gambar 2. Jenis-jenis tumbuhan invasif utama di kawasan TN Wasur: 1. Melaleuca spp. 2. M.pigra, 3. S. urticaefolia, 4. P.karka, 5. Carex spp., 6. Hanguana malayana

5. Carex spp. Jenis-jenis Carex spp. sering dikenal dengan nama rumput pisau, termasuk dalam famili teki-tekian (Cyperaceae) dengan pembeda ciri dengan rumput umumnya (famili Poaceae) terletak pada bagian batangnya yang solid, menyudut dan membentuk segitiga. Seperti jenis-jenis rumput lainnya, Carex sangat mudah untuk menyebar di suatu lokasi dengan bantuan rhizom dan bijinya. Jenis ini diperkirakan merupakan jenis asli yang menyebar dengan pesat sehingga bersifat invasif terhadap kawasan Rawa Biru.

6. Hanguana malayana Jenis ini bersama-sama dengan kedua jenis sebelumnya (P. karka dan

114 - BPK Manokwari

Carex sp.) dijumpai menginvasi daerah rawa biru. Meski dikenal dengan nama tebu rawa, jenis H. malayana sebenarnya tidak tergolong dalam kelompok tebu-tebuan (famili rumput-rumputan, Poaceae), melainkan termasuk dalam famili Hanguanaceae yang diketahui merupakan tanaman hias yang berasal dari Semenanjung Malaya. Jenis ini tumbuh dan menyebar dengan mudah pada daerah yang tergenang air.

C. Kerentanan Lahan Basah terhadap Invasi Tumbuhan Penyebaran jenis invasif dalam suatu ekosistem dapat terjadi karena berbagai sebab. Beberapa kasus dan pustaka menyebutkan sedikitnya ada 4 (empat) dugaan atau hipotesis penyebab terjadinya invasi tumbuhan pada suatu daerah. Keempat hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis ketiadaan musuh alami (the enemy release hypothesis) Suatu jenis tumbuhan dapat berkembang menjadi tumbuhan invasif di suatu ekosistem disebabkan oleh tidak adanya musuh alami berupa pemangsa alami dan patogen atau penyakit yang bisa menghambat pertumbuhan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut di ekosistem yang bersangkutan (Fine, 2002; Zedler & Kercher, 2004, 2. Hipotesis toleransi yang luas (the broader tolerance hypothesis) Hipotesis ini memperkirakan bahwa pada dasarnya jenis tumbuhan invasif secara alami memiliki toleransi yang luas terhadap batas-batas kondisi lingkungan yang lebih luas dan beragam (Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Tumbuhan invasif diduga lebih mampu mentoleransi kondisi-kondisi lingkungan yang lebih ekstrim jika dibanding dengan jenis- jenis non invasif. 3. Hipotesis efisiensi pemanfaatan sumberdaya (the efficient use hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa jenis-jenis tumbuhan invasif umumnya merupakan jenis-jenis yang mampu memanfaatkan sumberdaya di habitatnya secara lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis non invasif (Westcott & Dennis, 2003; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Sumberdaya yang dimaksud dapat meliputi cahaya, zat hara, dan air. Tumbuhan invasif bisa saja berasal dari jenis yang memiliki musim tumbuh yang lebih panjang, tingkat fotosintesis yang lebih tinggi, ciri morfologis yang lebih efektif dalam pemanfaatan sumberdaya, dan lain- lain. 4. Hipotesis alelopati (the allelophaty hypothesis) Tumbuhan invasif seringkali merupakan jenis-jenis yang mampu mengeluarkan zat-zat kimia yang bersifat alelopatik. Zat-zat alelopatik ini dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan anakan, atau mematikan jenis tumbuhan lainnya tanpa mempengaruhi pertumbuhan semai jenis tumbuhan invasif itu sendiri (Putnam, 1994; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Zat alelophatik ini dapat berasal dari bagian- bagian yang hidup, misalnya zat yang bisa menguap dari daun, pencucian dari daun dan eksudat akar, atau dari bagian tumbuhan yang membusuk.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 115

Keberadaan zat alelopatik inilah yang diperkirakan menjadi salah satu pendukung penyebaran tumbuhan invasif secara meluas.

D. Invasi Tumbuhan di TN Wasur Tinjauan terhadap jenis-jenis invasif utama yang menyebar di dalam kawasan TN Wasur menunjukkan bahwa proses invasi yang terjadi di dalam kawasan merupakan akibat dari keempat hal di atas. Diantara jenis-jenis yang dijumpai terdapat jenis-jenis asing yang tidak memiliki musuh atau predator alami. Keberadaan mamalia herbivora dalam kawasan, seperti kangguru, walabi dan rusa ternyata tidak banyak membatasi dan mengurangi penyebaran jenis- jenis tumbuhan tersebut. Berdasarkan pengamatan pihak pengelola, adanya jenis-jenis Melaleuca spp. yang masih berupa semak-semak justru dimanfaatkan oleh walabi sebagai tempat persembunyian dari pemburu di beberapa lokasi. Jenis-jenis tumbuhan invasif tersebut juga memanfaatkan karakter toleransinya yang luas terhadap perubahan ekstrim yang terjadi di kawasan setiap tahunnya. Jenis-jenis tersebut secara biologis mampu menghasilkan biji yang banyak, yang mudah disebarkan oleh angin, atau dilepaskan dan disebarkan pada musim penghujan saat hampir seluruh kawasan tergenang air. Sistem perakaran jenis-jenis tersebut ikut beradaptasi pula terhadap kondisi kebakaran yang lazim terjadi saat musim kemarau, sehingga mampu bertahan sampai musim penghujan berikutnya. Pemanfaatan terhadap sumberdaya yang optimal juga ditunjukkan oleh jenis-jenis invasif tersebut. Setelah berhasil mendiami suatu daerah, jenis-jenis tersebut mulai mengembangkan sistem perakarannya untuk menguasai seluas mungkin ruang dalam tanah sekaligus memanfaatkan sumberdaya berupa air dan hara yang tersedia. Sistem pertajukan atau habitus jenis-jenis tersebut juga tampak cukup menguasai ruang di atas tanah sehingga mampu menerima sebanyak mungkin cahaya. Pada saat yang sama kondisi tersebut berakibat membatasi pertumbuhan tajuk tumbuhan lain di sekitarnya. Keberadaan zat alelopatik dari tumbuhan invasif yang mendukung kemampuan menyebar secara luas tampak pada beberapa jenis invasif yang dijumpai. Jenis-jenis Carex spp. dan P. karka termasuk jenis-jenis yang mampu menghasilkan zat alelopatik yang mampu menghambat pertumbuhan semai dan tumbuhan dewasa dari jenis-jenis lain yang ada di sekitarnya, sehingga mampu menginvasi daerah yang cukup luas. Secara alami, kondisi TN Wasur sebagai lahan basah yang seringkali tergenang secara tetap dan musiman serta memiliki peluang untuk terbakar saat musim kering diperkirakan turut mendukung penyebaran jenis-jenis invasi. Tumbuhan invasif yang semula terbatas penyebarannya dan belum mencapai tingkat invasif memanfaatkan air dan angin untuk menyebarkan bijinya, sementara jenis lainnya beradaptasi dan bertahan melalui bahaya kebakaran dan kekeringan. Pada saat banjir dan sebagian besar kawasan tergenang air, jenis- jenis tersebut menyebar dan menduduki habitat yang lebih luas. Kondisi rawa- rawa TN Wasur yang mengendapkan segala material yang menggenanginya dari sungai-sungai dan pada saat banjir akibat musim penghujan, membuka kesempatan penyebaran tumbuhan invasif yang lebih luas lagi.

116 - BPK Manokwari

E. Dampak Invasi di Lahan Basah Invasi tumbuhan pada lahan basah membawa pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi suatu ekosistem. Secara langsung, adanya invasi tumbuhan akan mengubah struktur dan komposisi suatu ekosistem, terutama pada karakter arsitektur, perubahan pada kandungan zat hara tanah, dan mungkin saja mempengaruhi sumber bahan yang mempermudah kebakaran lahan. Secara tidak langsung, adanya perubahan struktur dan komposisi ekosistem akibat invasi tumbuhan menyebabkan perubahan pada mikroorganisme tanah, yang selanjutnya akan mempengaruhi organisme pada tingkat di atasnya. Dampak-dampak ini juga teramati dan diperkirakan terjadi di dalam kawasan TN Wasur.

1. Dampak pada Struktur Habitat dan Keanekaragaman Hayati Perubahan struktur habitat yang terjadi akibat invasi tumbuhan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Pada lahan basah, perubahan fisik yang tampak umumnya diawali dengan mendangkalnya rawa, diikuti dengan pengeringan akibat proses sedimentasi. Sedimen yang menumpuk berasal dari material yang terbawa pada saat rawa tergenang, yang kemudian tertahan oleh perakaran tumbuhan invasif. Struktur tumbuhan yang semula merupakan tumbuhan air yang mengapung di atas air digeser oleh tetumbuhan yang menjangkarkan akarnya di tanah di bawah permukaan air, sampai pada akhirnya menjadi tumbuhan yang bisa tumbuh di tempat yang lebih kering. Akibat langsung dari menyebarnya tumbuhan invasif dalam suatu kawasan adalah menurunkan keanekaragaman hayati terutama jenis-jenis tumbuhan dalam kawasan tersebut. Jenis invasif cenderung menjadi dominan karena berhasil menempati ruang yang jauh lebih luas daripada jenis-jenis yang sebelumnya mendiami habitat tersebut (Gambar 2). Kondisi ini pada akhirnya juga berpengaruh pada jenis-jenis fauna yang ada di kawasan tersebut. Penurunan jumlah jenis serangga dan hewan tingkat tinggi lainnya dapat terjadi seiring dengan penurunan jumlah jenis tumbuhan setelah diinvasi oleh jenis tumbuhan tertentu.

Gambar 2. Bentuk invasi oleh berbagai jenis tumbuhan pada lahan di sekitar daerah pintu masuk kawasan TN Wasur

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 117

2. Dampak pada Kondisi Tanah Meski tidak selalu teramati secara langsung, proses invasi dapat mempengaruhi kondisi tanah di daerah yang terinvasi. Berkurangnya keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada pada daerah yang terinvasi menyebabkan keragaman serasah yang jatuh, yang pada akhirnya mempengaruhi komposisi hara tanah. Mikroorganisme yang hidup dalam tanah yang menjadi substrat tumbuhan juga akan berubah komposisinya dan jumlahnya, sehingga tingkat produktifitas lahan ikut mengalami perubahan.

IV. PENUTUP

Invasi tumbuhan pada lahan basah merupakan suatu proses yang mencakup tahapan-tahapan migrasi, eksistensi dan kompetisi, yang terkait aspek ruang dan waktu. Invasi ini melibatkan jenis-jenis invasif yang mampu menggeser posisi jenis-jenis lainnya dan menduduki suatu daerah dengan luas. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh invasi ini menyebabkan perubahan pada struktur dan komposisi habitat dari segi fisik dan biologis, sampai pada kondisi dalam tanah sebagai substrat tumbuhan. Proses invasi yang terjadi di dalam TN Wasur menunjukkan bahwa kerentanan lahan basah terhadap perubahan akibat invasi tumbuhan tidak hanya disebabkan oleh keberadaan jenis-jenis invasif yang merupakan jenis asli dan jenis asing dengan ciri invasifnya masing-masing, tetapi juga dari tipe habitatnya sendiri yang secara alami memang berkarakter sebagai penampung segala material yang masuk di dalamnya melalui proses penggenangan air musiman. Selanjutnya perlu dikaji kembali tindakan pengelolaan yang melibatkan metode- metode pembasmian dan atau pembatasan menyebarnya jenis-jenis invasif tersebut, secara efisien dan ramah lingkungan.

118 - BPK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Balai Taman Nasional Wasur. 1993. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur. Balai Taman Nasional Wasur – WWF. Merauke.tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Wasur. 1999. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur. Buku II. Balai Taman Nasional Wasur – WWF. Merauke. Tidak dipublikasikan. Djufri. 2004. Review: Invasi Spesies Eksotik Akasia Berduri (Acacia nilotica (L.) Willd ex Del). di Taman Nasional Baluran Jawa Timur: Ancaman Terhadap Eksistensi Savana. ENVIRO 4 (2): 88-99, September 2004. PPLH-LPPM UNS Surakarta. Fine P. V. A. (2002) The invasibility of tropical forests by exotic . Journal of Tropical Ecology 18, 687-705. Hartono, Meteray, T. B. S., Farda, N. M. dan Kamal, M. 2006. Kajian ekosistem air permukaan Rawa Biru – Torasi Merauke Papua menggunakan Citra Penginderaan Jauh dan SIG. Forum Geografi, Vol. 20, No. 1, Juli 2006: 1- 12. Prasetyo, E.E. 2011. Air Bersih Merauke Terancam. Artikel. Harian Kompas- online Senin, 8 Agustus 2011. Diunduh dari http://www1.kompas.com/read/xml/2011/08/08/21451346/ Sumber.Air.Bersih.Merauke.Terancam. ------& T. Hartana. 2011. TN Wasur, Plasma Nutfah Lintas Benua. Artikel.Harian Kompas-online Selasa, 26 Juli 2011. Diunduh dari http://www1.kompas.com/read/ xml/2011/07/26/03503692/ TN.Wasur.Plasma.Nutfah.Lintas.Benua. Putnam, A. R. 1994. Phytotoxicity of plant residues. In Managing agricultural residues (ed. Unger, P. W). pp 285-314. Lewis Pubs. (CSC Press). Boca Raton. Winara, A. & K. Lekitoo 2006. Kajian Kelembagaan Taman Nasional di Papua: Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. BPPKPM Manokwari. Tidak diterbitkan. ------, K. Lekitoo & H. Warsito. 2008. Kajian Biofisik Taman Nasional di Papua (I): Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. BPK Manokwari. Tidak diterbitkan. ------, K. Lekitoo, R. G. N. Triantoro & L. Mandibodibo 2009. Kajian Kelembagaan Taman Nasional di Papua (II): Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. BPK Manokwari. Tidak diterbitkan. ------. 2010. Kajian Kelembagaan Taman Nasional Wasur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. BPK Manokwari. Tidak diterbitkan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 119

Westcott D. A. & Dennis A. J. 2003. The ecology of seed dispersal in rainforests: implications for weed spread and a framework for weed management. In: Weeds of Rainforests and Associated Ecosystems (eds A. C. Grice and M. J. Setter) pp. 19-23. CRC for Tropical Rainforest Ecology and Management, Cairns, Australia. Wittenberg, R., dan Cock, M.J.W. (Eds.). 2001. Invasive Alien Species: A Toolkit of Best Prevention and Management Practices. CAB International, Wallingford, Oxon, UK Zedler, J. B. & S. Kercher. 2004. Causes and Consequences of Invasive Plants in Wetlands: Opportunities, Opportunists, and Outcomes. Critical Review in Plant Sciences, 23(5): 431-452. Taylor & Francis Inc. Zimdahl R. L. 2007. Fundamentals of Weed Science. Academic Press Elsevier, London.

120 - BPK Manokwari

Lampiran 1. Ringkasan Penelitian BPK Manokwari yang berlokasi di TN Wasur Tahun Judul Ringkasan Hasil 2006 Kajian Kelembagaan Pengelolaan TN Wasur Kelembagaan * Pengelolaan TN Wasur menuju sistem kolaborasi dengan Pengelolaan terbentuknya Forum Kolaborasi Pengelolaan TN Wasur. TN Wasur * Forum kolaborasi secara kelembagaan belum kuat karena belum didukung perangkat payung hukum, pembagian kerja dan program serta pembagian beban dana. * Para pihak yang terlibat merupakan perwakilan lembaga dan perorangan antara lain Pemda Kab. Merauke, TNI/POLRI, LSM, LMA dan Tokoh masyarakat. * Kelembagaan UPT Balai TNW telah didukung oleh payung hukum, Sarpras, dan dana (single funding)

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat * Kondisi perekonomian masyarakat di kawasan TNW masih tergolong prasejahtera walaupun terdapat potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan pemanfaatannya. * Tingkat ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap kawasan TNW sangat tinggi karena hubungan ekonomi dan budaya. * Terdapat kearifan budaya masyarakat Suku Kanum dalam pengeolaan kawasan TNW seperti pemberian nama marga, sistem sashi kawasan dan penggunaan api. * Kelembagaan masyarakat yang kuat adalah lembaga kampung dan lembaga adat yang mendukung untuk dilibatkan dalam pengelolaan. 2008 Potensi Biofisik * Potensi fisik kawasan TN Wasur terletak pada berbagai macam tipe TN Wasur I ekosistem yang terdapat dalam satu bentang alam yang relatif datar. Berdasarkan tipe curah hujan, kawasan TN Wasur termasuk tipe savana lembab. Ditemukan jenis tanah vertisol pada tipe hutan Meulaleuca dan jenis entisol pada hutan monsoon. Potensi kerusakan fisik kawasan disebabkan oleh abrasi pantai dan penggalian tanah untuk penimbunan jalan. * Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa sekitar 250 jenis flora baik eksotik maupun endemik terdapat di SKW III Ndalir pada TN Wasur Kabupaten Merauke. Komposisi flora pada hutan mangrove terdiri atas 30 jenis (13 famili), hutan pantai 19 jenis (14 famili), hutan jarang 14 jenis (10 famili), hutan dominan Melaleuca 7 jenis (4 famili) dan hutan monsoon/dek 52 jenis (23 famili). Telah diketahui dua tipe vegetasi baru yang belum masuk dalam data base TN Wasur yaitu vegetasi Exocaria agllaocha dan Padang Pandanus spiralis. * Keanekaragaman jenis burung di SKW III Ndalir adalah sebanyak 112 jenis burung; 23 jenis di hutan pantai, 21 jenis di Hutan kodominan meulaleuca/peralihan, 14 jenis di Hutan Rawa dan 26 jenis di Hutan Monsoon (Deck) serta 28 jenis berdasarkan informasi dari masyarakat yang merupakan responden kunci. 2009 Potensi Biofisik * Berdasarkan tipe curah hujan maka kawasan TN Wasur termasuk TN Wasur II tipe savana lembab. Ditemukan jenis tanah vertisol pada tipe hutan savana dan jenis entisol pada hutan monsoon dengan keasaman tanah agak asam. Pemanfaatan potensi fisik yang paling menonjol adalah pemanfaatan air rawa biru oleh PDAM serta pemanfaatan jasa lingkungan untuk ekowisata.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 121

* Survei flora menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis flora tertinggi terdapat di SPTN Wilayah III Wasur pada Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke terdapat pada hutan monsoon. Komposisi flora/vegetasi berkayu pada kawasan hutan kodominan Melaleuca - Eucalyptus terdapat 29 jenis (11 famili), hutan dominan Eucalyptus terdapat 17 jenis (5 famili), hutan riparian terdapat 10 jenis (8 famili), hutan savanna terdapat 16 jenis (6 famili) dan pada hutan monsoon terdapat 50 jenis (23 famili). Diketahui juga dua tipe vegetasi baru yang belum masuk dalam data base TN Wasur yaitu vegetasi dominan Eucalyptus dan hutan dataran rendah di SPTN I Agrindo. * Pemanfaatan potensi flora oleh masyarakat meliputi pemanfaatan untuk tujuan sosial, ekonomi dan budaya. Pemanfaatan tumbuhan untuk tujuan sosial sebanyak 152 jenis, untuk tujuan ekonomi atau yang dapat menghasilkan uang kontan sebanyak 16 jenis serta untuk tujuan budaya sebanyak 14 jenis. 2010 Valuasi Potensi * Potensi burung merandai di kawasan Rawa Donggamit dan Pantai dan Manfaat Ndalir pada TN Wasur dijumpai 50 jenis (15 famili). Jenis yang Taman dominan di kawasan Rawa adalah Anas superciliosa dan di Nasional di kawasan Pantai adalah Charadrius mongolus. Indeks Papua I Keanekaragaman jenis burung di kawasan rawa lebih tinggi dibandingkan jenis di pantai meskipun termasuk kategori sedang melimpah dengan nilai indeks masing-masing 2,8 dan 1,74. Kondisi habitat burung di Rawa terancam oleh invasi beberapa jenis rumput air dan mangrove, sementara habitat Pantai hanya dijumpai gangguan aktivitas manusia. * Manfaat langsung kawasan TN.Wasur yang menopang ekonomi masyarakat berasal dari 17 sumber mata pencaharian yang didominasi oleh perburuan satwa liar yang menyumbang 42% daya topang ekonomi rumah tangga. Nilai manfaat bersih yang diperoleh masyarakat secara langsung dari alam adalah sebesar Rp. 729.700/KK/bulan. 2011 Valuasi Potensi * Sedang dalam proses penyusunan. dan Manfaat Taman Nasional di Papua II

Lampiran 1. Peta Kawasan TN Wasur

122 - BPK Manokwari

KAJIAN SOSIAL BUDAYA DAN ADAPTASI MASYARAKAT PAPUA TERHADAP DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Oleh : Susan T. Salosa

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstract

A knowledge of Social and cultural aspects of community is considerely important to succeed governmental programs, particularly programs of climate change and emission deminishing. Local community has a custom right on land and forest. They are also the subject of forest conservation. Without them, government will work alone and program will not be well-implemented. Research was conducted by field study, interviewing and literature study. The research was located on upland of Arfak and Wamena which were representing mountain communities on west Papua province and Papua province since May 2010 until 2011. The research showed that local people on land of Papua were mainly doing agriculture to fullfil their life and ownership of the land or forest was significantly needed to be addressed in the policy regionally or nationally in order to avoid conflicts.Moreover, local people have their own traditional knowledge to maintain natural resources and to sustain the forest.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 123

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perubahan iklim global (global climate change) menjadi sesuatu fenomena yang terasa secara menyeluruh di dunia. Perubahan iklim terjadi sebagai akibat dari proses yang berlangsung dalam waktu yang lama dan dipengaruhi oleh banyak hal seperti penebangan hutan secara besar-besar, kebakaran hutan yang mempengaruhi jumlah emisi yang dilepaskan ke udara, polusi udara dan penyebab lainnya. Fenomena perubahan iklim menjadi perdebatan antara masyarakat dan para pemangku kepentingan. Fenomena perubahan iklim memang secara jelas tidak tampak akan tetapi pemberitaan media dan forum-forum terkait yang menamakan diri sebagai pemerhati lingkungan menjadikan hal ini bahan diskusi di kalangan eksekutif dan kaum elit lingkungan namun belum sampai kepada masyarakat. Di masyarakat Papua yang berada di daerah hutan dan sekitar hutan, fenomena perubahan iklim didengung-dengungkan, akan tetapi sesungguhnya tidak ada perubahan yang secara jelas tampak selain perubahan cuaca secara mikro. Tanah Papua yang terdiri dari dua propinsi yaitu propinsi Papua dengan luas 31,406 juta Ha dan propinsi Papua Barat dengan luas 10,818 juta Ha dalam prosesnya terus mengalami degradasi dan deforestasi diperkirakan mencapai 143.680 Ha/tahun atau 0,14 juta Ha/tahun (Kapissa, 2008). Perubahan cuaca di Papua telah ditunjukkan dengan hilangnya salju abadi di puncak gunung Jaya Wijaya (Alidia 2008). Tanah Papua yang didiami sebanyak lebih kurang 250 suku, masyarakatnya beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sejalan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai aspek sosial budaya masyarakat yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim yang lekat dengan adat-istiadat masyarakat Papua. Perubahan iklim merupakan suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat dari berbagai hal yang kompleks sehingga untuk mengatasinya pun perlu upaya dari berbagai sektor yang saling bergantung satu sama lain. Dari COP 13 di Bali tahun 2007, yang dikenal dengan Bali action plan telah dikemukakan suatu mekanisme penurunan emisi yakni REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) yang kemudian ditingkatkan menjadi REDD plus. Komitmen presiden RI, Soesilo Bambang Yudoyono untuk menurunkan emisi sebesar 26 % hingga 2020 tentu saja memerlukan kerjasama dari berbagai sektor seperti Kehutanan, Pertanian, Pertambangan dan energi, transportasi dan lingkungan hidup. Pemerintah juga telah mencanangkan pembangunan green ekonomi (socialy equitable, economicaly viable and environmentally sustainable). Perubahan iklim pun perlu juga dimasukkan di dalam peraturan perundangan daerah guna mendukung perencanaan pembangunan daerah di masa yang akan datang. Berhubungan dengan kerentanan terhadap perubahan iklim, Kementrian Lingkungan Hidup telah melakukan pemetaan terhadap

124 - BPK Manokwari

beberapa daerah yang dipandang berpotensi rentan dengan mengadakan Kajian Kerentanan dan Resiko Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI). Perubahan iklim menjadi fenomena yang sedang terjadi dan dialami secara luas. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang memahami dan menyadari fenomena alam yang sedang terjadi ini. Masyarakat di daerah yang terpencil, tidak memahami fenomena perubahan iklim ini. Program-program yang telah diluncurkan pemerintah di tengah masyarakat maupun yang sedang direncanakan untuk dilaksanakan guna menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan tentu saja memerlukan partisipasi masyarakat sebagai pemilik ulayat. Guna mendukung berhasilnya program dimaksud terutama di Papua maka dipandang perlu mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan sosial dan budaya masyarakat Papua serta tingkat kerentanannya terhadap dampak perubahan iklim.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di daerah pegunungan Papua baik di propinsi Papua Barat maupun di propinsi Papua. Penelitian dilaksanakan di daerah Pegunungan Arfak, Kampung Apui dan Memangker, Distrik Minyambouw dan di daerah Kabupaten Jayawijaya. Penelitian berlangsung dari Mei-Oktober 2010 dan Mei-Oktober 2011.

B. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah kuisioner, bahan kontak, alat tulis menulis, alat perekam (tape), dan alat dokumentasi (kamera) serta bahan penunjang penelitian lainnya.

C. Proses Penelitian Pengumpulan data akan dilakukan dengan wawancara semi struktural dan pengumpulan data sekunder di pihak-pihak terkait. Penelitian akan dilakukan dengan metode survei dengan teknik wawancara. Wawancara akan terdiri dari pertanyaan terbuka (open-ended question) dan wawancara semi struktural dengan warga masyarakat. Pengumpulan data primer dan sekunder dengan pengamatan langsung di lapangan. Pengamatan dimulai dengan wawancara terhadap informan kunci yakni kepala suku, tokoh adat dan tokoh masyarakat yang ada. Kemudian dilanjutkan dengan wawancara kepada responden yakni kepala keluarga. Wawancara dengan informan kunci (key informant) dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan umum masyarakat, pola interaksi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 125

masyarakat dengan hutan termasuk introduksi dan pemikiran dari luar yang telah masuk dan mempengaruhi kehidupan. Sedangkan wawancara dengan para kepala keluarga meliputi aspek-aspek di bawah ini : A. Aspek sosio ekonomi: pendapatan rumah tangga, jejaring sosia dan akses ke informasi. B. Biofisik: kondisi topografi wilayah, kondisi lingkungan dan tutupan lahan.

Dari wawancara akan tampak tingkat kerentanan yang terjadi diantara masyarakat, bila ada beberapa faktor kerentanan yang menonjol, maka akan dilanjutkan dengan fokus diskusi untuk mendapatkan faktor kerentanan yang paling utama.

D. Analisis Data Tingkat kerentanan (vulnerability) dinilai menurut fungsi sebagai berikut: V=f(E,S,AC) V= Vulnerability E= Exposure S= Sensitivity AC=Adaptive Capacity Data yang dikumpulkan kemudian akan dianalisis secara tabulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat Papua tidak dapat hidup terpisah dari hutan. Aspek sosial budaya masyarakat sangat lekat dengan hutan. Hutan merupakan dapur hidup bagi masyarakat (ayamfos) dan juga merupakan ibu yang berkewajiban memberi makan anaknya. Ketika masyarakat mulai mengembangkan pola hidup bertani terutama di daerah pegunungan, masyarakat mengembangkan pertanian sesungguhnya dan hutan tetap menjadi tempat cadangan pangan buat mereka. Secara turun temurun mereka mengetahui tempat-tempat yang ditumbuhi jenis pangan tertentu sehingga ketika tiba musimnya mereka langsung memanen di tempat yang dimaksud. Sejalan dengan dampak perubahan iklim, maka dipandang perlu untuk mengetahui tentang sosial budaya masyarakat Papua, aturan-aturan adat yang dimiliki masyarakat yang dapat disandingkan dengan aturan-aturan pemerintah.

1. Mata Pencaharian Masyarakat Masyarakat Papua memiliki mata pencaharian umumnya adalah bertani. Jenis tanaman yang ditanam di kebun masyarakat Papua terdiri dari sayur- sayuran, buah-buahan dan rempah-rempah. Sejumlah masyarakat juga mengusahakan jenis tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, coklat, kopi, cengkeh dan jenis tanaman perkebunan lainnya.

126 - BPK Manokwari

Jenis tanaman yang umumnya ditanam oleh masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Jenis tanaman yang umumnya diusahakan oleh masyarakat

Bahasa Indonesia Bahasa Latin Bete, talas Colocasia esculenta Kasbi Manihot utilisima Pisang Musa sp. Petatas Ipomoea batata Gedi Hibiscus manihot Bayam Amaranthus sp. Rica Capsicum annuum Labu Cucurbita moschata Pepaya Carica papaya Jahe Zingiber sp. Kacang tanah Arachis hypogea Daun suji Dracaena angustifolia Jagung Zea mays Kemangi Ocimum sanctum Kunyit Curcuma domestica Buah merah Pandanus conoideus Durian Durio sp. Kacang panjang merah Vigna unguiculata Mayana (merah & kuning) Coleus sp. Sawi Brassica sp. Ti Cordyline fruticosa Kangkung Ipomoea sp. Kecipir Phosopocarpus tetraganologus Keladi isi banyak Xanthosoma sagitifolia Nenas Ananas comosus Sayur lilin Saccharum spontaneum Buah tali Vigna sp. Jahe merah Zingiber officinale. Jambu Syzygium sp. Kelapa Cocos nucifera Kencur Kaempferia galangal Kol Brassica oleracea Langsat Lansium domesticum Rambutan Nephelium lappaceum Sukun Artocarpus altilis Tembakau Brugmansia suaveolens Sumber: Salosa, 2009 Sejalan dengan perubahan iklim, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup rentan terhadap perubahan iklim karena periode perhitungan waktu penanaman yang berdasarkan bulan hujan dan bulan kering mulai berubah.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 127

Sumber-sumber pangan potensial dapat mengalami perubahan dalam proses perkembangbiakan yang kemudian mempengaruhi produksi karena adanya perubahan cuaca (Handok et al, 2008). Waktu yang sebelumnya kering untuk memulai pembukaan kebun dan membakar kebun sekarang mulai tidak menentu sehingga mempengaruhi waktu pembuatan suatu kebun. Peristiwa kekeringan ataupun banjir yang dialami oleh masyarakat tidak dapat diprediksi kapan datangnya, sehingga ketika terjadi masyakat kemudian bergantung pada kemampuan yang dimilikinya. Di Wamena, pada saat tertentu ketika curah hujan tinggi, masyarakat yang berada di lembah mengalami banjir dan kegagalan panen sehingga mereka hanya bergantung apa yang dimilikinya untuk kelangsungan hidup. Banyak pula dari mereka yang berjualan di pasar dengan membeli buah atau sayur dari daerah lain untuk dijual sehingga nilai keuntungan menjadi rendah.

2. Kepemilikan Atas Tanah Masalah penjaminan hak-hak dasar masyarakat papua atas tanah merupakan hal yang sangat penting mengingat tanah dan hutan identik dengan kehidupan masyarakat Papua. Kepemilikan atas tanah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a. UU No. 5, Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini menjamin hak masyarat adat atas tanah selama hak itu masih ada dan diakui serta tidak bertentangan dengan kepentingan negara. Undang-undang inilah yang pertama kali menyebutkan mengenai “ hak ulayat “. Dalam kenyataannya hal ini sulit untuk diwujudkan karena konsep hutan negara yang membuat adanya konflik kepentingan antara negara dan masyarakat. b. UU No. 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi). c. UU No. 23, Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). d. UU No. 41, Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) e. UU No. 21, Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus). f. UU No. 26, Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang). g. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. h. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. i. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008. j. Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. k. Perdasus No. 21 Thn 2008 ttg Pengelolaan Hutan Berkelanjutan.

128 - BPK Manokwari

l. Perdasus No. 23 Thn 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah. m. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. n. Kepmenhut No: P. 30/Menhut-II/2009 ttg Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). (Mansai, 2009). o. Perencanaan spasial pembangunan kehutanan dan pengelolaan sumber daya hutan Papua (Irian Jaya) pertama kali dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan Peta TGHK Provinsi Irian Jaya Tahun 1982 seluas 41.006.000 Ha (SK Mentan No 820/Kpts/Um/II/ 1982) yang kemudian tahun 1999 ditinjau kembali dan dipaduserasikan dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Irian Jaya tahun 1999 dan keluarlah Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Irian Jaya seluas 42.224.840 Ha (SK Menhutbun No 891/Kpts-II/ 1999), dimana kawasan hutan Irian Jaya/Papua menurut peruntukan dan fungsinya terdiri dari Hutan Konservasi seluas 9.704.300 Ha, Hutan Lindung seluas 10.619.090 Ha, Hutan Produksi seluas 10.582.210 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 2.054.110 Ha, dan Hutan Produksi yang dapat di Konversi seluas 9.262.130 Ha (Kapisa, 2010). Peta kawasan hutan dan perairan yang telah dilepaskan di Propinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:

Sumber : Kapisa, 2010 Gambar 1. Peta pelepasan kawasan hutan dan perairan di Propinsi Papua dan Papua Barat

Kepemilikan atas tanah sangat potensial dalam menyebabkan konflik karena dalam kawasan-kawasan yang ada telah dimiliki secara adat oleh kelompok masyarakat adat. Sebanyak 250 suku yang ada di Papua telah tersebar di dalam kawasan-kawasan yang ada dimiliki secara adat. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 129

Sumber: Kapisa, 2010 Gambar 2. Peta tentang pemukiman yang berada di dalam kawasan hutan

3. Dukungan Adat-istiadat Masyarakat Papua secara turun-temurun hidup di dalam dan di sekitar hutan. Kearifan lokal yang timbul sebagai upaya masyarakat untuk hidup berdampingan dengan hutan dan memanfaatkan hutan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dengan tetap menjaga agar kelestariannya tetap terjaga. Dalam masyarakat pegunungan Arfak dikenal semboyan Igya ser hanjop yang berarti hutan kita jaga. Hutan dibagi fungsinya menurut ciri dan manfaatnya yakni Bahamti, Nimahamti dan Susti. Bahamti dicirikan dengan pohon-pohon yang berukuran besar dan berlumut. Kawasan ini merupakan hutan primer yang tidak boleh ditebang oleh manusia. Dengan demikian aktifitas berkebun tidak boleh ada di kawasan ini. Akan tetapi untuk alasan tertentu seperti kekurangan bahan dinding rumah yang sudah tidak ditemui di kawasan lain, dapat diambil di tempat ini dengan ijin dari andigpoy. Nimahamti adalah kawasan penyangga karena terdapat pada areal yang sangat berat topografinya. Masyarakat diperbolehkan untuk berburu dan meramu di tempat ini juga mereka dapat mengumpulkan rotan (Calamus sp) dan kulit kayu, akan tetapi tidak bisa untuk berkebun mengingat kondisi yang terjal serta suhunya yang sangat dingin. Kawasan ini sangat lembab dan lumutnya pun sangat tebal. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan masih sangat terbatas dan tergantung ijin dari Andigpoy. Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut memperoleh sanksi yang diputuskan oleh nekei melalui sidang adat. Susti merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan secara bebas baik untuk berkebun, berburu dan meramu. Kawasan ini umumnya adalah kawasan kebun berpindah (gilir balik) yang dibiarkan menjadi hutan kembali (hutan

130 - BPK Manokwari

sekunder). Semua anggota masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini termasuk perempuan dan anak-anak. Sementara itu dalam masyarakat Wamena juga dikenal pembagian fungsi hutan menurut jenis pangan yang terdapat di dalamnya. Pembagian ini sangat menguntungkan bila saat pemanenan tiba, masyarakat tidak membuang banyak waktu di perjalanan namun langsung menuju ke tempat sumber pangan. Adapun pembagian wilayah sumber pangan adalah sebagai berikut: 1. Tomoba yang merupakan kawasan yang terdiri atas bukit-bukit dan gunung-gunung. 2. Wiramokama; tempat kelapa hutan yakni kelapa hutan yang berukuran kecil (wiramo). 3. Sakalimo; tidak ada kayu namun tumbuhan yang tumbuh adalah jenis rumput yang berukuran kecil. 4. Dimekama; berasal dari kata dim yang artinya kelapa hutan yang berukuran besar. 5. Pilikhila; Tempat yang paling sudut yang merupakan tempat/lokasi untuk berburu babi hutan. 6. Hawisekama; belum lewat weremokama di mana terdapat pohon-pohon besar, yang dapat diambil sebagai kayu produksi dan kayu pertukangan. 7. Ikewa/bidiba (puncak trikora); yang berupa vegetasi Alpin. 8. Hasuba; tempat dimana tidak ada manusia maupun babi hutan

4. Adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim

Sumber: Mujiyanto, 2010

Adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim lebih didasarkan pada pengetahuan lokal dan kebiasaan yang telah lama ada. Hal ini berjalan sesuai dengan perubahan yang terjadi sehingga tidak dapat dipastikan menurut waktu yang jelas. Skema di atas menunjukkan bahwa masyarakat adat memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam kehidupannya yang dipengaruhi oleh berbagai hal seperti lingkungan hidup, sosial budaya, mata pencaharian, sumberdaya alam dan hal-hal lain yang berkaitan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 131

Perubahan iklim yang terjadi merupakan proses yang telah terjadi selama waktu yang panjang akibat adanya peningkatan suhu bumi (global warming) sebagai peningkatan jumlah emisi karbon di udara. Pemerintah menghimbau pelaksanaan pembangunan yang rendah karbon dan ekonomi yang berwawasan lingkungan (green economy). Salah satu penyebab peningkatan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah deforestasi dan degradasi hutan. Pada kedua propinsi di Papua yakni Propinsi Papua dan Papua Barat, luas daerah yang telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan sejak tahun 2000-2005serta emisi CO2 dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 berikut ini: Tabel 2. Luas daerah terdampak deforestasi dan degradasi hutan 2000-2005 Dry Land Forest (ha) Wilayah Non- Konservasi Konversi APL Hutan Produksi Perlindungan Total Papua Barat 1,846 11,012 43 1,588 10,626 1,224 26,339 Papua Barat Kepulauan 43 623 - - 386 236 1,288 Peatswampi (ha) Wilayah Non- Konservasi Konversi APL Hutan Produksi Perlindungan Total Papua Barat 902 2,125 - 193 2,576 43 5,839 Papua Barat Kepulauan - 773 - - 43 - 816 Sumber: IFCA (2008) dalam Taskforce Papua Barat (2010)

Tabel 3. Rataan dan standar deviasi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan pada 2000-2005 (x 1000 ton) Konservasi Konversi APL wilayah total Mean Stdev* Mean Stdev* Mean Stdev* Papua Barat 2,134 244 10,264 1,350 34 5 14,031 Papua

Barat 33 6 1,151 117 - - 1,307 Kepulauan Non-Hutan Produksi Perlindungan Wilayah Total Mean Stdev* Mean Stdev* Mean Stdev* Papua Barat 1,332 187 10,592 1,278 945 143 14,477 Papua

Barat - - 307 49 117 30 503 Kepulauan APL: Areal Penggunaan Lain Sumber: IFCA (2008) dalam Taskforce Papua Barat (2010)

Di Papua perubahan cuaca secara mikro telah dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan jumlah hujan yang relatif sama sepanjang tahun. Keterbatasan dalam data curah hujan dalam jangka waktu yang panjang serta minimnya stasiun meteorologi yang dapat menjangkau daerah penelitian menyebabkan kurangnya data yang diperoleh secara lengkap.

132 - BPK Manokwari

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Masyarakat Papua merupakan masyarakat yang umumnya hidup bergantung pada hutan. Hutan merupakan pemberi kehidupan bagi masyarakat. 2. Kepemilikan atas tanah dan hutan merupakan hak dasar masyarakat adat Papua. Perundang-undangan baik dalam skala nasional maupun daerah belum menyebutkan secara jelas mengakui hak ulayat selain tanah milik negara yang dikenai hak adat. 3. Masyarakat Papua secara turun-temurun memiliki nilai-nilai adat yang bernilai konservasi sehingga hutan dan alam dapat terjaga kelestariannya. 4. Dengan nilai-nilai tradisional yang dimiliki, masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi. Faktor-faktor yang rentan terhadap dampak perubahan iklim meliputi faktor biofisik areal desa, lahan pertanian dan lingkungan karena posisi wilayah yang berada pada topografi yang berat dan rawan erosi.

B. Saran 1. Perlu ada penjelasan yang memadai mengenai program-program yang menyangkut perubahan iklim secara jelas kepada masyarakat. 2. Perlu ada keikutsertaan masyarakat dalam implementasi program pemerintah. 3. Sinkronisasi antara pengetahuan adat yang telah dimiliki masyarakat dengan program konservasi yang akan dilakukan pemerintah sehingga konflik dapat dihindarkan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 133

DAFTAR PUSTAKA

Handoko, I., Sugiarto, Y., & Syaukat, Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. Seameo Biotrop for Kemitraan (Partnership). Bogor. Kapissa, N. 2008. Balai Pementapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua: Integrasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan berkelanjutan di Papua. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Belhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Kapisa, N. 2010. Intergrasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua (Integration of the Forest Management Unit within Sustainable Forest Management Policy in Papua. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua. Mansai, A. 2009. Kebijakan Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat di Kawasan Hutan. Mujiyanto. 2010. Adaptasi Masyarakat Adat Terhadap Perubahan Iklim. Direktur Eksekutif PERDU. Bahan Sharing Dalam Kegiatan Forum Multi Pihak dan Gelar Teknologi-Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Hotel Aston Niu- Manokwari, 25-26 Agustus 2010. Salosa, S. 2008. Changing Pattern of Plant Use in South Sorong, West Irian Jaya (Papua). Master Thesis. University of Hawaii at Manoa. Manoa. (tidak dipublikasikan) Taskforce Papua Barat. 2010. Rencana Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Propinsi Papua Barat: Proposal disampaikan kepada Tim Satuan Tugas REDD Plus Republik Indonesia. Manokwari.

134 - BPK Manokwari

MAKALAH PENUNJANG

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 135

136 - BPK Manokwari

BIO ETHANOL DARI NIPAH (Nypa fruticans Wurmb)

Oleh: Freddy Jontara Hutapea

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni , Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu tanaman potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi alternatif pengganti energi fosil. Keberadaan tanaman ini sebagai tanaman penghasil energi alternatif memiliki prospek pengembangan yang sangat cerah, disamping karena potensinya yang sangat besar (diperkirakan 1.150.000 ha), prospek pengembangan nipah sebagai tanaman penghasil energi alternatif juga tidak menyebabkan konflik kepentingan seperti penggunaan tanaman pangan sebagai sumber energi alternatif pada umumnya. Bio ethanol merupakan salah satu energi alternatif yang dihasilkan dari bahan baku alami seperti tumbuhan berpati, bergula, dan berselulosa. Proses penyulingan bio ethanol dari nipah terdiri dari persiapan bahan baku, proses fermentasi nipah, dan proses pemurnian ethanol (destilasi).

Kata kunci: energi fosil, energi alternatif, bio ethanol, nipah.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 137

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang Ketersediaan cadangan bahan bakar fosil sebagai sumber bahan bakar utama yang digunakan saat ini semakin menipis. Disamping itu, polusi yang diakibatkan oleh pemakaian bahan bakar fosil memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Dampak langsung diakibatkan oleh polusi gas-gas berbahaya seperti Nox, dan Pb, sementara dampak tidak langsung disebabkan oleh gas CO2 yang mengakibatkan pemanasan global. Kondisi ini menyebabkan banyak pihak berupaya untuk mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti sumber energi fosil. Salah satu sumber energi alternatif yang sedang dikaji adalah bio ethanol. Bio ethanol merupakan salah satu alternatif energi terbarukan yang dapat diproduksi dari bahan baku yang mengandung pati seperti ubi kayu, jagung, sagu, dan lain-lain. Bio ethanol merupakan sumber energi alternatif yang sangat baik untuk digunakan karena mudah terdegradasi (bio degradable), memiliki nilai toksisitas yang rendah, dan tingkat polusi yang diakibatkan sangat rendah. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang surut dekat tepi laut. Daun nipah dapat digunakan sebagai bahan untuk atap rumah, dinding rumah, topi, tikar, tas, dan aneka macam keranjang anyaman. Tangkai daun dan pelepah nipah dapat digunakan sebagai bahan bakar kayu. Pelepah nipah mengandung selulosa yang dapat digunakan untuk membuat pulp dan kertas. Lidinya dapat digunakan untuk sapu. Dari nipah kita dapat menyadap sarinya yang disebut nira. Malaysia memanfaatkan nira sebagai bahan baku ethanol yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar nabati pengganti bahan bakar minyak bumi. Etanol yang dapat dihasilkan adalah sekitar 11.000 l/ha/thn, jauh lebih unggul dibandingkan kelapa sawit 5.000 l/ha/thn (Wikipedia, 2011a).

B. Tujuan Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan informasi mengenai teknik penyulingan bio ethanol dari nipah (N. fruticans).

C. Manfaat 1. Memberikan informasi mengenai teknik penyulingan bio ethanol dari nipah. 2. Memberikan informasi mengenai prospek pengembangan bio ethanol dari nipah.

138 - BPK Manokwari

II. METODOLOGI

A. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dalam penulisan karya tulis ini dilakukan melalui studi literatur (literature view) seperti jurnal, dan artikel-artikel di intenet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. B. Metode analisis data Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif, dimana metode analisis deskriptif kualitatif adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data kedalam bentuk penyajian yang sesuai.

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nipah Nipah adalah salah satu pohon anggota famili arecaceae (palem) yang umumnya tumbuh di daerah rawa yang berarir payau atau daerah pasang surut di daerah pantai. Batang nipah banyak menjalar di tanah, membentuk rimpang yang terendam oleh lumpur, hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah, sehingga nipah terlihat seolah-olah tidak memiliki batang. Nipah memiliki akar serabut yang dapat memiliki panjang hingga 13 m. Daun-daun majemuk menyirip khas palma muncul dari rimpang nipah, tegak atau hampir tegak, menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya berkisar antara 1-1,5 m, dengan kulit yang mengkilap dan keras. Tangkai nipah berwarna hijau pada yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya. Bagian dalam nipah lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Panjang anak daun dapat mencapai 100 cm dan lebar daun berkisar antara 4-7 cm. Daun nipah yang sudah tua memiliki daun berwarna hijau, sedangkan yang masih muda berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. Tiap ental anak daun mencapai 25-100 helai. (Wikipedia, 2011a). Nipah banyak dikenal dengan nama lain seperti: daon, daonan, nipah, bhunjok, lipa, buyuk (Sunda, Jawa, Bali), bhunyok (Madura), bobo (Manado, Ternate, ), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon, dan sekitarnya) (Wikipedia, 2011a). Selanjutnya Wikipedia (2011a) menyatakan bahwa daun nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat atap rumah, membuat dinding rumah yang disebut kajang, kerajinan tangan (tikar, tas, topi, dan aneka keranjang anyaman). Tangkai nipah dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 139

yang baik. Lidi nipah dapat dimanfaatkan sebagai sapu, bahan anyaman, dan tali. Sari nipah dapat disadap sebagai bahan untuk membuat gula nira (palm sugar). Nira nipah dapat digunakan sebagai bahan untuk menghasilkan ethanol dengan jumlah sekitar 11.000 l/ha/thn.

B. Bio Ethanol Ethanol merupakan senyawa hidrokarbon dengan gugus hydroxyl (-OH) dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum ethanol lebih dikenal sebagai etil alkohol. Pekei (2010) menyatakan bahwa ethanol adalah salah satu alkohol primer yang memiliki sifat antara lain:  Merupakan cairan tidak berwarna seperti air  Mudah larut dalam air  Berbau khas  Mudah menguap (volatile)  Massa molekul relatif 46 g/mol  Massa jenis 0,7905 g/mL (200C)  Viskositas 0,0122 poise (200C)  Titik didih 780C (1 atm) Susilo (2007) menyatakan bahwa keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh bio ethanol adalah:  Bisa diurai secara biologis  Sulfur free, smoke number rendah  Non toxic, mengurangi emisi udara sekitar 50%  Proses produksi sederhana. Bio etanol adalah bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan, yang memiliki keunggulan mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %. Bio ethanol sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena bahan bakunya merupakan jenis tanaman yang banyak tumbuh dan sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bio etanol adalah tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu (Zero, 2008). Anonim (2007) menyatakan bahwa bio ethanol dapat diperoleh dari tanaman dengan kriteria: 1. Bahan yang mengandung pati, seperti: ubi kayu, ubi jalar, gandum, kentang, dan lain-lain. 2. Bahan yang mengandung gula, seperti: tetes tebu (molases), nira tebu, nira kelapa, nira nipah, dan lain-lain. 3. Bahan yang mengandung selulosa, seperti: batang pisang, ampas tebu, jerami padi, dan lain-lain.

140 - BPK Manokwari

IV. PEMBAHASAN

A. Pembuatan bio ethanol dari nipah Proses pembuatan bio ethanol dari nipah dimulai dengan penyiapan bahan baku, fermentasi dan penyulingan. 1. Persiapan bahan baku Persiapan bahan baku adalah seluruh kegiatan yang mencakup pengumpulan bahan dari lapangan. Nira nipah yang dikumpulkan dari lapangan disaring terlebih dahulu dengan tujuan untuk membersihkan dari kotoran- kotoran, seperti serangga, daun-daun, dan lain-lain. Baharuddin dan Taskirawati (2009) mengatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan nira adalah usaha menghindari fermentasi oleh mikroba dan enzim-enzim yang dapat mengurangi kemurnian nipah.

2. Fermentasi nira nipah Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/ bio ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari hasil fermentasi ini biasanya alkohol dengan kadar 8 – 10 % volume. Winarno (1984) dalam Pekei (2010) menyatakan bahwa fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi reduksi dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan akseptor adalah karbohidrat dalam bentuk monosakarida dan disakarida. Soesono (1992) dalam Baharuddin dan Taskirawati (2009) menyatakan bahwa nira mempunyai sifat mudah menjadi asam karena adanya fermentasi oleh bakteri Saccharomyces sp, dimana bakteri ini mengubah gula menjadi alkohol, selanjutnya menjadi asam asetat, oleh karena itu nira harus segera diolah setelah diambil dari pohonnya. Nira yang tidak segera diolah akan menjadi rusak, yang ditandai dengan warna nirah yang menjadi keruh atau putih berbuih karena telah mengalami fermentasi. Wikipedia (2011b) menyatakan bahwa fermentasi ethanol adalah suatu proses biologis dimana gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa diubah menjadi energi seluler yang menghasilkan ethanol dan karbon dioksida sebagai limbah metabolik. Proses kimia dari fermentasi glukosa adalah sebagai berikut:

C12H22O11 +H2O + invertase →2 C6H12O6 C6H12O6 + Zymase → 2C2H5OH + 2CO2 *) C2H5OH adalah rumus kimia untuk ethanol. Pekei (2010) menyatakan bahwa alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi masih mengandung gas CO2 yang ditimbulkan proses perubahan glukosa menjadi ethanol/bio ethanol dan aldehida. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35% volume, sehingga untuk mendapatkan ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik maka ethanol/bio-ethanol tersebut perlu dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) dapat

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 141

dilakukan dengan menyaring ethanol/bio ethanol yang terikat CO2 sehingga diperoleh ethanol/bio ethanol yang bersih dari CO2. 3. Penyulingan bio ethanol dari nipah Ethanol yang dihasilkan oleh proses fermentasi ethanol diatas masih terdiri dari air dalam jumlah yang sangat besar, sehingga perlu dilakukan proses penyulingan untuk memisahkan ethanol dengan air. Ethanol memiliki titik didih 780C (setara dengan titik didih alkohol), sehingga pada saat proses destilasi (penyulingan) ethanol akan menguap terlebih dahulu daripada air yang memiliki titik didih yang lebih tinggi (1000C). Penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilasi) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap. Uap ini kemudian didinginkan kembali dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih rendah akan menguap lebih dulu (Wikipedia, 2011c). Pekei (2010) menyatakan bahwa ethanol/bio ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya hanya 8 – 10% saja, sehingga untuk menghasilkan ethanol/bio ethanol dengan kadar alkohol 95% perlu dilakukan proses distilasi. Proses distilasi dilakukan dengan dua tingkat yaitu: distilasi dengan beer column dan distilasi dengan rectifying column. Pratiwi (2009) menyatakan bahwa pada prinsipnya unit destilasi harus memiliki 3 jenis kolom yaitu: kolom beer (beer still), kolom rektifikasi (rectifying column), dan kolom pemurnian (purifying column).

B. Prospek pengembangan bio ethanol dari nipah Pengembangan bio ethanol dari nipah memiliki prospek yang sangat cerah seiring dengan maraknya upaya untuk mencari energi alternatif pengganti energi fosil. Junaidi (2009) menyatakan bahwa luas hutan yang ditumbuhi nipah diperkirakan 1. 150.000 ha. Pemanfaatan nipah untuk skala besar/ industri masih terbuka lebar karena pemanfaatan oleh masyarakat lokal masih sebatas pemanfaatan buah dan daun. P3GI (1995) dalam Agushoe (2009) menyatakan bahwa cairan manis yang dikandung nipah memiliki kadar gula (sukrosa) 15-17%. Hal ini menyebabkan nira nipah berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku bio ethanol. Hal yang paling utama yang menyebabkan tanaman ini potensial untuk dikembangkan adalah tanaman ini (nipah) tidak menyebabkan konflik kepentingan seperti tanaman pangan pada umumnya. Nipah merupakan salah satu spesies utama penyusun hutan mangrove dengan komposisi (30%). Luas hutan mangrove Indonesia saat ini sekitar 2,5 hingga 4,5 juta ha, sehingga diperkirakan luas hutan nipah di Indonesia sekitar 0,75 – 1,35 juta ha (Agushoe, 2009).

142 - BPK Manokwari

V. KESIMPULAN

Nipah merupakan tanaman potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi alternatif pengganti energi fosil. Proses penyulingan bio ethanol dari nipah terdiri dari persiapan bahan baku, proses fermentasi, dan penyulingan.

DAFTAR PUSTAKA

Agushoe. 2009. Indonesia: 3 Juta Kilo Liter Bioetanol Potensial Dari Tanaman Nipah. http://agushoe.wordpress.com/2009/12/22/indonesia-3-juta-liter- bioetanol-potensial-dari-tanaman-nipah/. Diakses 12 Mei 2011. Anonim. 2007. Bioetanol. http://teknologietanol.blogspot.com/2007/12/bioetanol.html. Diakses 12 Mei 2011. Baharuddin, I. Taskirawati. 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Pekei. 2010. Pembuatan Etanol Secara Fermentasi Dari Limbah Kulit Pisang. Universitas Hasanuddin. Pratiwi. 2009. Alat-alat industri Pusri. Tugas Peralatan Industri Proses 2. Politeknik Negeri Sriwijaya. Susilo. 2007. Produksi Bioethanol dari Nira Aren Skala Mikro-Kecil. http://arenindonesia.wordpress.com/makalah-aren/johan-susilo/. Diakses 12 Mei 2011. Wikipedia. 2011a. Nipah. http://id.wikipedia.org/wiki/Nipah. Diakses tanggal 12 Mei 2011. ------.2011b. Ethanol fermentation. http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol_fermentation. Diakses tanggal 12 Mei 2011. ------.2011c. Distilasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Distilasi. Diakses tanggal 12 Mei 2011. Zero. 2008. Investor dan Bioethanol Production. http://energibio.blogspot.com/. Diakses 12 Mei 2011.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 143

144 - BPK Manokwari

PEMANFAATAN NIPAH (Nypa fruticans WURMB) OLEH MASYARAKAT DESA BORAI SERUI

Oleh: Freddy Jontara Hutapea, Batseba Suripatty, Relawan Kuswandi, Rifky El Halim

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu tanaman sejenis palem yang keberadaannya di Provinsi Papua masih sangat melimpah. Di Desa Borai, Distrik Angkaisera, Kabupaten Yapen, Provinsi Papua, keberadaan nipah memberikan dampak yang sangat baik bagi kehidupan masyarakat. Bagian nipah yang memberikan manfaat secara finansial bagi masyarakat adalah bagian nira. Pemanfaatan nira oleh masyrakat masih sampai dalam tahap pembuatan minuman lokal yang biasa disebut “Bobo”. Bagian daun nipah dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pembuatan atap, dinding rumah, dan ketupat untuk sagu. Bagian kulit pelepah nipah digunakan sebagai bahan penjepit atap.

Kata kunci: Manfaat, nipah, masyarakat, Desa Borai

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 145

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Nipah (Nypa fruticans Wurmb) merupakan tanaman sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang surut dekat tepi laut. Pemanfaatan nipah telah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu. Daun nipah dapat digunakan sebagai bahan untuk atap rumah, dinding rumah, kerajinan topi, tas, tikar, dan berbagai aneka kerajinan lainnya, sementara tangkai dan pelepah daun dapat digunakan sebagai bahan bakar. Nira yang dihasilkan oleh nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gula nira, bahan minuman lokal, dan pembuatan bio ethanol yang sedang dikaji sebagai bahan pengganti bahan bakar fosil yang keberadaannya semakin memprihatinkan. Desa Borai merupakan salah satu desa yang berada di Distrik Angkaisera, Kabupaten Yapen Provinsi Papua yang memiliki hutan nipah. Sebagai sebuah elemen yang tidak terpisahkan daripada hutan, masyarakat memanfaatkan dan mengelola hutan nipah yang terdapat di daerah ini. Pengelolaan hutan nipah disini menyangkut permudaan hutan nipah. Keberadaan hutan nipah di daerah ini memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat, terutama manfaat ekonomi.

B. Tujuan Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pemanfaatan nipah oleh masyakat Desa Borai Distrik Angkaisera Kabupaten Yapen, Provinsi Papua.

C. Manfaat 1. Memberikan informasi mengenai pemanfaatan nipah oleh masyarakat Desa Borai, Distrik Angkaisera, Kabupaten Yapen, Provinsi Papua. 2. Memberikan informasi mengenai pengolahan nira nipah oleh masyarakat Desa Borai, Kabupaten Angkaisera, Kabupaten Yapen, Provinsi Papua. 3. Memberikan informasi mengenai peluang pengembangan wawasan masyarakat terhadap pemanfaatan nipah ke hal-hal yang memiliki prospek meningkatkan kesejahteraan yang lebih tinggi.

146 - BPK Manokwari

II. METODOLOGI

A. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam karya tulis ini adalah observasi lapang yang meliputi wawancara terhadap penduduk setempat, dan studi literatur (literature view) di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

B. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, dimana metode analisis deskriptif kualitatif adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data kedalam bentuk penyajian yang sesuai.

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nipah Nipah adalah salah satu pohon anggota famili arecaceae (palem) yang umumnya tumbuh di daerah rawa yang berair payau atau daerah pasang surut di daerah pantai. Batang nipah banyak menjalar di tanah, membentuk rimpang yang terendam oleh lumpur, hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah, sehingga nipah terlihat seolah-olah tidak memiliki batang. Nipah memiliki akar serabut yang dapat memiliki panjang hingga 13 m. Daun-daun majemuk menyirip khas palma muncul dari rimpang nipah, tegak atau hampir tegak, menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya berkisar antara 1-1,5 m, dengan kulit yang mengkilap dan keras. Tangkai nipah berwarna hijau pada tanaman yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya. Bagian dalam nipah lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Panjang anak daun dapat mencapai 100 cm dan lebar daun berkisar antara 4-7 cm. Daun nipah yang sudah tua memiliki daun berwarna hijau, sedangkan yang masih muda berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. Tiap ental anak daun mencapai 25-100 helai. (Wikipedia, 2011). Baharuddin dan Taskirawati (2009) mengatakan bahwa nipah tergolong tanaman dataran rendah yang menyukai iklim pantai dan tumbuh liar pada ketinggian 0 – 10 m dari permukaan laut, oleh sebab itu nipah hanya tumbuh subur di sepanjang daerah pasang surut dekat dengan pantai dan ditepi muara sungai atau rawa-rawa yang berair payau. Derajat keasaman (pH) yang sesuai untuk pertumbuhan nipah berkisar antara 6 – 6,5, dengan kadar salinitas berkisar antara 50 – 100 mmosh/cm3. Kadar salinitas yang tinggi akan menyebabkan tanaman kerdil, serta produksi malai dan buahnya menjadi sangat

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 147

rendah. Kondisi lingkungan yang cocok berkisar antara 20 – 250C. Suhu rendah sangat mempengaruhi pertumbuhan nipah karena nipah sangat toleran terhadap suhu lingkungan. Nipah banyak dikenal dengan nama lain seperti: daon, daonan, nipah, bhunjok, lipa, buyuk (Sunda, Jawa, Bali), bhunyok (Madura), bobo (Manado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon, dan sekitarnya) (Wikipedia, 2011).

B. Pemanfaatan Nipah Wikipedia (2011) menyatakan bahwa daun nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat atap rumah, membuat dinding rumah yang disebut kajang, kerajinan tangan (tikar, tas, topi, dan aneka keranjang anyaman). Tangkai nipah dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar yang baik. Lidi nipah dapat dimanfaatkan sebagai sapu, bahan anyaman, dan tali. Sari nipah dapat disadap sebagai bahan untuk membuat gula nira (palm sugar). Nira nipah dapat digunakan sebagai bahan untuk menghasilkan ethanol dengan jumlah sekitar 11.000 l/ha/thn. Baharuddin dan Taskirawati (2009) mengatakan bahwa daun nipah yang tua banyak digunakan untuk pembuatan atap rumah yang daya tahannya dapat mencapai 3 -5 tahun. Daun yang masih muda dapat dianyam untuk membuat dinding rumah yang disebut “kajang”, tikar, tas, dan klobot untuk pembungkus rokok. Bagian lidinya dapat digunakan untuk pembuatan sapu, bahan anyam- anyaman, dan tali. Pelepah daun nipah dapat digunakan sebagai bahan baku particle board yang berkualitas baik karena warnanya sangat khas dan menarik. Buah nipah yang masih muda yang disebut tembatuk, dapat dijadikan kolang- kaling, sedangkan buah nipah yang sudah tua dapat ditumbuk dan dijadikan tepung roti. Di kalimantan arang dari akar nipah digunakan untuk obat sakit gigi, dan sakit kepala.

IV. PEMBAHASAN

A. Hubungan Masyarakat Desa Borai dengan Nipah Masyarakat Desa Borai merupakan sekelompok masyarakat di Distrik Angkaisera Kabupaten Yapen Provinsi Papua, yang juga merupakan sekumpulan masyarakat yang dihuni oleh beberapa marga adat. Marga-marga yang terdapat dalam desa tersebut adalah: Wondiwoy, Merani, Tobuawen, Kaui, Waroi, Imbiri, Kandipi, Wona, dan Bonai. Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Borai pada umumnya adalah dari tokok sagu dan berkebun. Hubungan antara masyarakat Desa Borai dengan nipah telah terbina sejak dahulu. Hubungan itu tetap terpelihara sampai sekarang. Masyarakat Desa Borai memanfaatkan nipah sebagai sumber mata pencaharian sampingan. Dari taksiran sekitar 70 kepala keluarga (KK) yang mendiami desa ini, 40 KK diantaranya

148 - BPK Manokwari

adalah masyarakat pengelola nipah. Masyarakat Desa Borai merupakan masyarakat yang menyadari pentingnya keberadaan hutan nipah bagi keberlangsungan hidup mereka. Hal ini terlihat dari kepedulian masyarakat dalam mengelola hutan nipah milik mereka. Mereka melakukan penanaman nipah pada kawasan milik mereka dengan cara mengumpulkan bibit yang tumbuh secara alami dari bawah tegakan nipah.

B. Pemanfaatan dan Pengolahan Nipah Umumnya nipah dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Borai untuk berbagai keperluan. Daun nipah digunakan sebagai bahan pembuatan atap rumah dan bahan pembuatan dinding rumah, serta pembuatan ketupat untuk sagu. Kulit luar dari pelepah dimanfaatkan sebagai penjepit atap yang terbuat dari daun. Bagian buah nipah belum dimanfaatkan oleh masyarakat, sementara nira nipah disadap oleh masyarakat. Bagian yang paling dimanfaatkan oleh masyrakat Desa Borai adalah air nira nipah. Pemanfaatan nira nipah oleh masyarakat Desa Borai masih sampai dalam tahap pembuatan minuman lokal yang biasa disebut “Bobo”. Nira nipah yang telah mereka kumpulkan tidak dimanfaatkan untuk membuat produk lain misalnya gula nira, dan penyulingan bio etanol, karena permintaan pasar masih hanya untuk “Bobo” saja. Tahapan pengolahan “Bobo” dimulai dengan tahapan persiapan dilapangan yang dimulai dengan perlakuan pendahuluan terhadap tandan nipah, pengumpulan nira nipah dan pencampuran nira nipah dengan ramuan lain sebelum dipasarkan.

1. Perlakuan Pendahuluan terhadap Tandan Nipah Sebelum melakukan pemanenan terhadap nira nipah, masyarakat melakukan perlakuan pendahuluan terhadap tandan nipah yang telah layak untuk dipanen air niranya. Tandan nipah yang telah layak untuk dipanen dibersihkan dari pelepah-pelepah penutupnya, diurut – urut, digoyang-goyang kemudian tandan tersebut diganjal dengan kayu selama seminggu. Setelah seminggu tandan dilepas selama 1 – 2 minggu, kemudian digoyang-goyang lagi. Masyarakat meyakini bahwa dengan melakukan perlakuan pendahuluan ini maka air nira yang dihasilkan akan lebih banyak. Perlakuan ini terus dilakukan sampai tandan terasa lentur, dan setelah disayat pada jarak sekitar 10 – 15 cm dari buah, ada air yang keluar . 2. Penyadapan Nira Nipah Setelah disayat pada jarak 10 – 15 cm dari buah, dan terdapat air, maka buah langsung dipotong, dan pada ujung tandan dipasang lidah penyalur nira nipah yang mengalirkan nira keluar ke penampung nipah. Lidah penyalur air nira nipah ini dibuat dari kaleng minuman kaleng, sementara penampung nipah sebaiknya digunakan dari bambu, namun penggunaan dari bahan lain seperti botol air minum juga dapat dilakukan, namun menurut masyarakat air nira yang dihasilkan dari bambu lebih baik daripada penggunaan penampung berbahan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 149

plastik seperti botol air minum mineral. Hasil sadapan pada hari pertama biasanya tidak terlalu banyak, hanya berkisar ½ gelas. Setelah 2-3 hari, hasil sadapan yang diperoleh berkisar antara 1 – 2 gelas per hari. Setelah melakukan pengumpulan hasil sadapan dari nipah, masyarakat melakukan pengirisan pada ujung tandan. Pengirisan dilakukan dengan mengiris tipis ujung tandan dengan jumlah maksimal irisan sebanyak 6 irisan, kemudian memasang kembali penampung nira nipah. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai nira yang dihasilkan benar-benar sudah habis, yang ditandai dengan nira tidak mengalir lagi dari tandan. Proses penyadapan nira nipah per pohon dapat berlangsung sampai 6 bulan. Banyaknya nira yang dapat disadap setiap hari dipengaruhi oleh musim. Pada saat musim hujan, nira yang dapat dihasilkan bisa mencapai 2 gelas per hari, sementara bila musim kemarau, nira yang dapat dihasilkan setiap hari hanya berkisar 1 gelas per hari. 3. Pencampuran Nira Nipah dengan Ramuan Lain Sebelum dipasarkan, nira nipah yang telah dikumpulkan dicampur terlebih dahulu dengan menggunakan campuran akar, buah, atau pucuk bakau. Menurut informasi dari masyarakat, pencampuran ramuan ini kedalam air nira nipah akan membuat nira nipah terasa sepat, mengawetkan nira nipah (kurang lebih selama 3 hari), dan membuat nira memabukkan. Umumnya kombinasi yang digunakan oleh masyarakat adalah untuk 1 ember nira nipah dicampurkan dengan kombinasi 3 buah bakau dengan 2 pucuk bakau. Setengah jam setelah pencampuran ini, nira nipah “Bobo” sudah dapat diminum dan dijual ke masyarakat. Jika tiga hari nira nipah “Bobo” belum terjual, pencampuran harus dilakukan kembali agar nira nipah awet kembali (tidak menjadi asam). Menurut masyarakat jika pencampuran ini semakin sering dilakukan maka minuman itu terasa semakin keras (semakin memabukkan). Diduga bila semakin sering dilakukan pencampuran antara akar/buah bakau dengan nira tersebut maka kandungan alkohol yang terdapat dalam minuman tersebut akan semakin tinggi. 4. Pemasaran “Bobo” Seperti dijelaskan diatas, pemasaran nipah di Kabupaten Yapen ini masih hanya sampai pada tingkatan minuman lokal yang biasa disebut “Bobo”. Pemasaran minuman lokal ini tidak menyalahi aturan di daerah tersebut sebab tidak terdapat peraturan daerah (perda) yang melarang penjualan minuman keras. “Bobo” ini dipasarkan dengan harga Rp. 20.000/l. Dalam melakukan pemasaran, masyarakat Desa Borai hanya memajang minuman tersebut didepan rumah, dan masyarakat dari daerah lain datang ke Desa Borai ini untuk mencari minuman ini.

C. Manfaat Ekonomi Nipah Bagi Masyarakat Manfaat yang paling nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat dengan

150 - BPK Manokwari

kehadiran nipah ditengah-tengah peradaban mereka adalah manfaat ekonomi. Dengan pengolahan nira nipah menjadi “Bobo”, keuntungan finansial yang dapat diperoleh oleh masyarakat sekitar Rp. 100.000/ hari. Manfaat nira nipah ini semakin besar bagi masyarakat karena pengolahan nira nipah menjadi minuman “Bobo” sangat mudah (tidak sulit). Proses yang diperlukan merupakan proses yang sangat sederhana dan membutuhkan waktu yang sangat singkat. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan minuman “Bobo” yakni akar, pucuk, dan buah bakau masih berlimpah disekitar wilayah mereka tinggal, sehingga tidak memerlukan biaya lain untuk membeli bahan penunjang dalam mengolah nira nipah menjadi “Bobo”.

D. Prospek Pemanfaatan Nira Nipah Menjadi Produk Lain Peluang pengembangan dan pemanfaatan nipah di Desa Borai, Distrik Angkaisera, Kabupaten Yapen, Provinsi Papua masih sangat terbuka. Masyarakat masih belum memanfaatkan bagian-bagian nipah yang lain secara optimal. Sebagai contoh, bagian buah nipah sama sekali belum dimanfaatkan, sementara menurut Baharuddin dan Taskirawati (2009), buah nipah yang masih muda yang disebut tembatuk, dapat dijadikan kolang-kaling, sedangkan buah nipah yang sudah tua dapat ditumbuk dan dijadikan tepung roti. Prospek pengembangan nira nipah dari “Bobo” menjadi produk lain seperti gula nipah dan bio etanol masih sangat terbuka. Khusus untuk bio etanol, masyarakat setempat belum memahami tentang peluang pemanfaatan nira nipah menjadi bio etanol dan cara mengolah nira nipah menjadi bio etanol, sehingga untuk membuka wawasan masyarakat, diperlukan peran dari Dinas Kehutanan setempat untuk melakukan sosialisasi seputar bio etanol dan proses menghasilkan bio etanol. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah setempat jika ingin mengubah paradigma masyarakat dalam mengolah nira nipah dari “Bobo” menjadi produk lain seperti bio etanol, adalah sebagai berikut: 1. Manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat bila mengolah nira nipah menjadi produk lain harus lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat bila mengolah nira nipah menjadi “Bobo”. 2. Proses pemasaran produk tersebut harus lancar. 3. Ketersediaan bahan penunjang untuk mengolah nira nipah menjadi produk selain “Bobo” harus mudah didapat.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 151

V. KESIMPULAN

Nipah merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Desa Borai. Bagian-bagian nipah yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah bagian daun nipah yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan atap rumah, dinding rumah, dan pembuatan ketupat untuk sagu, sementara bagian kulit pelepah nipah digunakan sebagai penjepit atap yang terbuat dari daun. Pemanfaatan nira nipah oleh masyarakat Desa Borai, Distrik Angkaisera Kabupaten Yapen masih sampai dalam tahapan menghasilkan produk minuman lokal yang biasa disebut “Bobo”.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, I. Taskirawati. 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Wikipedia. 2011. Nipah. http://id.wikipedia.org/wiki/Nipah. Diakses tanggal 12 Mei 2011.

152 - BPK Manokwari

ZAT EKSTRAKTIF KAYU SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PENGAWET KAYU TERHADAP SERANGAN ORGANISME PERUSAK KAYU

Oleh: Freddy Jontara Hutapea

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Sebagian besar kayu-kayu Indonesia memiliki keawetan yang rendah, sehingga untuk memperpanjang masa pakainya, maka kayu tersebut perlu diawetkan terlebih dahulu. Permasalahan yang terjadi adalah bahwa bahan pengawet yang digunakan dalam kegiatan tersebut tidak ramah terhadap tingkungan dan susah untuk diperbaharui kembali, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencari bahan alternatif alami yang dapat menggantikan bahan kimia sintetis tersebut, salah satunya adalah dari zat ekstraktif yang terdapat dari kayu. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa zat ekstraktif dari beberapa jenis kayu dapat menghambat serangan jamur dan rayap.

Kata kunci: kayu, zat ekstraktif, jamur, rayap.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 153

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Tingkat pencurian yang tinggi terhadap kayu-kayu primadona seperti: merbau, ulin, dan sebagainya menyebabkan keberadaannya semakin langka, sementara kebutuhan manusia terhadap kayu yang masih sangat tinggi sehingga pemanfaatan kayu diarahkan kepada kayu-kayu kurang dikenal (lesser known species). Syafii (2000) mengatakan bahwa sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia (80-85%) memiliki keawetan alami yang rendah sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu seperti jamur dan rayap, yang secara ekonomis sangat merugikan. Oleh karena itu untuk meningkatkan masa pakainya maka kayu perlu diawetkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengawetan kayu merupakan suatu kegiatan untuk memperpanjang masa pakai kayu dengan memasukkan bahan kimia beracun kedalam kayu. Permasalahan yang diakibatkan kegiatan tersebut adalah bahwa bahan pengawet yang digunakan pada umumnya merupakan bahan kimia sintetis yang bersifat tidak ramah terhadap lingkungan. Sari et al. (2004) mengatakan bahwa selain bersifat tidak terurai di alam (non-biodegradable) bahan pengawet yang digunakan juga merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mencari dan mengembangkan bahan pengawet alternatif yang ramah terhadap lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan sumberdaya alam hayati yang memiliki aktifitas insektisida sebagai bahan baku pengawet kayu. Salah satu sumberdaya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami adalah zat ekstraktif kayu, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keawetan alami kayu karena bersifat racun.

B. Tujuan Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pemanfaatan zat ekstraktif sebagai solusi pengganti bahan pengawet sintetis yang selama ini digunakan.

II. METODOLOGI

A. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

154 - BPK Manokwari

B. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah analisis deskriptif.

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Zat Ekstraktif Hilis (1987) dalam Yanti (2008) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit kayu dengan pelarut polar dan non polar. Zat ekstraktif ini bukan merupakan bagian struktural dinding sel kayu tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Komponen ini memiliki nilai yang penting karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa, dan warna pada kayu. Dumanauw (1990) dalam Hutapea (2008) mengatakan bahwa umumnya zat ekstraktif adalah zat yang mudah larut dalam pelarut seperti: eter, alkohol, benzene, dan air. Banyaknya didalam kayu adalah 3-8% dari berat kayu kering tanur. Termasuk didalamnya adalah minyak-minyakan, resin, lilin, lemak, tanin, gula, pati, dan zat warna. Zat ekstraktif memiliki arti penting dalam kayu karena:  Dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau, dan rasa sesuatu jenis kayu.  Dapat digunakan untuk mengenal suatu jenis kayu.  Dapat digunakan sebagai bahan industri.  Dapat menyulitkan dalam pengerjaan dan mengakibatkan kerusakan pada alat-alat pertukangan. Adanya zat ekstraktif yang bersifat racun yaitu sebagai insektisida dan atau fungisida dapat menambah keawetan kayu. Akan tetapi adanya kandungan zat ekstraktif tertentu dalam kayu dapat menarik datangnya organisme perusak kayu. Zat ekstraktif yang bersifat racun terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kayu teras (Sumarni, 2004 dalam Hutapea, 2008). Sjostrom (1993) dalam Yanti (2008) mengatakan bahwa kandungan dan komposisi zat ekstraktif sangat bervariasi antar jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada suatu jenis kayu pun dapat berbeda.

B. Penggolongan Zat Ekstraktif Dalam ekstraktif terdapat beberapa senyawa organik seperti: terpena, lignan, stilbena, flavonoid, aromatik lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid, dan hidrokarbon tinggi (Fengel dan Wegener, 1995 dalam Yanti, 2008). Sjostrom (1993) dalam Yanti (2008) mengatakan bahwa secara kimiawi zat ekstraktif kayu dapat digolongkan kedalam tiga bagian yaitu:

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 155

1. Komponen-komponen alifatik Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n- alkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun daun lebar. Ester dan alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin.

2. Terpena dan Terpenoid Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena

(C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8), dan polyterpena (n>8).

3. Senyawaan Fenolat Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas yaitu: a. Tanin terhidrolisis: produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama. b. Tanin terkondensasi (flavanoid): polifenol yang mempunyai rantai karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin.

c. Lignan: Dimer dari dua unit fenil propana (C6C3), contoh konidendrin, pinoresinol, dan asam plikatat. d. Stilbena (1,2-difeniletilena): mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin. e. Tropolon: mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh yang tidak jenuh, contoh α, β dan τ-tujaplisin yang diisolasi dari Thuja plicata.

IV. PEMBAHASAN

Adanya zat yang bersifat racun dalam kayu akan mempengaruhi sifat keawetan kayu tersebut. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif yang terdapat dalam setiap jenis kayu berbeda-beda, sehingga memungkinkan untuk meneliti senyawa-senyawa yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, dan membuat senyawa sintetis yang dapat menggantikan bahan kimia sintetis yang digunakan selama ini.

156 - BPK Manokwari

A. Sifat Anti Jamur Zat Ekstraktif Jamur merupakan salah satu organisme perusak kayu. Beberapa jenis jamur yang menyerang kayu adalah jamur pelapuk kayu, jamur pelunak kayu, dan jamur pewarna kayu. Barly dan Supriana (1983) dalam Suprapti et al. (2004) mengatakan bahwa kerusakan kayu bangunan oleh jamur pelapuk di beberapa proyek perumahan rakyat dapat mencapai 67,10 %.

1. Jamur Pelapuk Kayu Aini (2005) mengatakan bahwa jamur pelapuk kayu berasal dari kelas basidiomycetes, yang mempunyai kemampuan untuk merombak selulosa dan lignin, sehingga kekuatan utama kayu berkurang. Beberapa jenis jamur hanya merombak selulosa sehingga kayu berubah menjadi berwarna coklat dan disebut brown rot. Jenis jamur lainnya merombak selulosa dan lignin sehingga warna kayu menjadi putih pucat, dan disebut white rot. Sifat mekanis kayu seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur, keteguhan tekan, kekerasan dan elastisitas akan berkurang bila terserang jamur pelapuk kayu. Pada umumnya jamur brown rot lebih cepat menurunkan kekuatan kayu daripada white rot. Contoh jenis jamur ini adalah: Schizophylum commune Fr, Pycnoporus sanguineus (Fr).Karst dan Dacryopinax spatularia (Schw) Mart. (Aini, 2005).

2. Jamur Pelunak Kayu Golongan jamur ini berasal dari kelas Ascomycetes dan terutama menyerang kayu yang berhubungan dengan tanah atau air. Jamur pelunak kayu hanya menyerang lapisan tengahnya saja (middle lamela). Salah satu jenis yang terkenal dan terdapat dimana-mana adalah Chaetomium globosum Kunze. (Aini, 2005)

3. Jamur Pewarna Kayu Jamur pewarna kayu berasal dari kelas Ascomycetes yang dapat menimbulkan pewarna pada kayu yang masih basah. Jamur ini tidak merombak dinding sel dan hidup dari zat pengisi sel, sehingga tidak menurunkan kekuatan kayu, namun dapat merugikan karena pewarnaan pada kayu menyebabkan penurunan kualitas kayu. Jamur pewarna kayu yang terdapat di daerah tropis antara lain jamur dari jenis Cerotocystis dan Diplodia (Aini, 2005). Uraian di atas menjelaskan bahwa dampak yang diakibatkan oleh jamur sangat besar karena dapat mempengaruhi kekuatan kayu dan pewarnaan pada kayu yang dapat menurunkan kualitas kayu tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat sifat zat ekstraktif terhadap serangan jamur. Alfenas (1982) dalam Syafii (2000) mengatakan bahwa komponen fenol dari kayu eukaliptus seperti asam kumarat, asam ferulat, dan asam gentistat terbukti dapat menghambat pertumbuhan jamur Cryphonectria cubensis Fr. Eusiderin, sejenis neolignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii et al. 1985 dalam Yanti, 2008) dan Angolensin yang diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus (Pilotti et al., 1995 dalam Yanti, 2008) bersifat racun

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 157

terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces palustris. Ohasi et al. (1994) dalam Syafii (2000) mengatakan bahwa tiga jenis komponen bio aktif yaitu: 8 acetoxyelemol, 8-hidroxyelemol dan hinociic acid yang diisolasi dari kayu Juniperus chinensis L. Var. Pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur.

B. Rayap Rayap merupakan salah satu organisme perusak kayu yang menyebabkan kerugian ekonomis yang besar. Nandika (2003) dalam Aini (2005) mengatakan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh rayap lebih besar dibandingkan organisme perusak kayu lainnya. Persentase serangan rayap pada bangunan perumahan di kota-kota besar seperti: Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Batam mencapai 70%. Jenis-jenis rayap yang menyerang kayu adalah rayap kayu kering dan rayap tanah. Rayap kayu kering merupakan rayap yang berasal dari famili Kalotermitidae, dan biasanya menyerang kayu-kayu yang sudah kering, seperti: kusen pintu dan jendela, rangka atap, mebel, dan alat rumah tangga. Serangan rayap ini mudah kelihatan dari luar, dimana kayu yang diserang masih kelihatan utuh dari luar meskipun bagian dalamnya sudah berlubang-lubang atau sudah rusak. Jenis rayap ini yang banyak terdapat di Indonesia adalah: Cryptotermes cynocephalus Light. dan Cryptotermes dudleyi Banks. (Aini, 2005). Rayap tanah yang terdapat di Indonesia terdiri dari dua jenis famili yaitu: Rhinotermitidae dan Termitidae. Golongan rayap ini terutama merusak kayu yang berhubungan dengan tanah, tetapi kayu-kayu yang tidak langsung berhubungan dengan tanah pun dapat diserang melalui terowongan yang dibuat dari tanah. Salah satu jenis rayap yang termasuk dalam famili Rhinotermitidae adalah Coptotermes yang banyak merusak kayu seperti: pagar, tiang listrik, dan kayu perumahan. Jenis rayap yang termasuk dalam famili Termitidae adalah Odontotermes, Microtermes dan Macrotermes. Penelitian mengenai pemanfaatan zat ekstraktif sebagai bahan pengawet alternatif pengganti bahan kimia sintetis yang selama ini digunakan telah banyak dilakukan. Syafii (2000) dalam Yanti (2008) mengatakan bahwa zat ekstraktif dari kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) memiliki sifat anti rayap. Steller dan Labosky (1984) dalam Syafii (2000) mengatakan bahwa ekstrak kulit beberapa jenis kayu mempunyai sifat anti rayap yang sangat tinggi dan oleh karena itu sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami. Chen et al. (2004) dalam Yanti (2008) mengatakan bahwa zat ekstraktif dari kayu Japanese Larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolakan yang tinggi terhadap aktivitas makan rayap tanah Coptotermes formosanus. Hal ini dikarenakan di dalam kayu teras kayu tersebut terdapat flavanoid dalam jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktifitas makan rayap. Latifolin dan neoflavanoid yang diisolasi dari kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia) juga dilaporkan memiliki sifat bio aktif terhadap perkembangan

158 - BPK Manokwari

Coptotermes curvignathus (Syafii, 2000 dalam Hutapea 2008). Penelitian sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati (Tectona grandis L. F.) juga telah dilakukan oleh Sari dan Syafii (2001) dalam Hutapea (2008). Zat Ekstraktif yang terdapat dalam kulit kayu Jati terutama pada fraksi n heksana mempunyai sifat anti rayap yang relatif tinggi terhadap rayap tanah C. curvignathus. Hasil penelitian Syafii (2000) mengatakan bahwa fraksi n heksana dari kayu Sonokembang (Pterocarpus indicus Wild), fraksi n heksana dari kayu Eboni (Diospyros polisanthera Blanco.), dan fraksi tak terlarut dari kayu Torem (Manilkara kanosiensis Lam.) memiliki aktivitas anti rayap yang tinggi terhadap C. curvignathus Holmgren. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu dapat menghambat aktivitas serangan rayap. Syafii (2000) dalam Hutapea (2008) mengatakan bahwa senyawa bio aktif yang terdapat dalam kayu dapat mematikan protozoa yang merupakan simbion rayap dalam mendekomposisi selulosa di dalam perut rayap. Rayap memperoleh energi dari mendekomposisi kayu secara bio kimia dengan bantuan protozoa. Apabila protozoa mati, aktivitas enzim selulase yang dikeluarkan protozoa tersebut terganggu. Hal ini mengakibatkan rayap tidak memperoleh makanan dan energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati. Senyawa bio aktif juga dapat menghambat sintetis protein (zat ekstraktif dari kelompok tanin, stilben, quinon, alkaloid, dan resin), sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel (integritas membran sel) rayap yang pada akhirnya menghambat proses ganti kulit rayap (Sastrodihardjo, 1999 dalam Sari, 2002).

V. KESIMPULAN

Zat ekstraktif yang mempengaruhi keawetan alami kayu, berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan terbukti dapat menghambat pertumbuhan jamur dan rayap, oleh karena itu pengembangan zat ekstraktif sebagai bahan alternatif untuk mengganti bahan kimia sintetis yang selama ini dugunakan sebagai bahan pengawet kayu perlu dilakukan sehingga diperoleh bahan pengawet yang ramah lingkungan dan mudah diperbaharui kembali.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 159

DAFTAR PUSTAKA

Aini. N. 2005. Perlindungan Investasi Konstruksi Terhadap Serangan Organisme Perusak. Kolokium dan Open House di Bandung 8-9 Desember 2005.Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Hutapea. F. J. 2008. Sifat Anti Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. dari Zat Ekstraktif Kayu Akasia (Acacia auriculiformis Cunn. Ex Benth.). Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan). Sari. R. K. 2002. Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif dari Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. Et. V). Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. 2002. (Tidak diterbitkan). Sari. R. K., Syafii. W., Sofyan. K.& Hanafi. M. 2004. Sifat Antirayap Resin Damar Mata Kucing dari Shorea javanica K et V. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 2 (1):8 -15. Suprapti, S., Djarwanto & Hudiansyah. 2004. Ketahanan Lima Jenis Kayu terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(4):239-246. Syafii, W. 2000. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis. Buletin Kehutanan 42:2-13. Yanti, H. 2008. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan).

160 - BPK Manokwari

IMPLEMENTASI SISTEM SILVIKULTUR TPTI : TINJAUAN KEBERADAAN POHON INTI DAN KONDISI PERMUDAAN (Studi Kasus di IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua)

Oleh : Baharinawati W. Hastanti

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Kelestarian produksi hutan di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini terus mengalami penyusutan secara kuantitatif maupun kualitatif. Salah satu penyebabnya adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan. Kondisi ini dapat dapat dikaitkan dengan keberadaan perusahaan pemegang konsesi IUPHHK di tanah Papua. Untuk menjamin kelestarian produksi, diperlukan sistem silvikultur yang efektif dalam pengelolaan hutan. Sistem silvikultur yang diterapkan untuk hutan tropis (tegakan tidak seumur) menurut aturan Kementerian Kehutanan RI adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia), TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) dan TR (Tebang Rumpang). Selama ini Pengelolaan hutan alam di Papua yang dilakukan perusahaan IUPHHK menerapkan sistem TPTI. Degradasi dan deforestasi hutan alam di Papua, akan mengancam kelestarian produksi akibat tidak tersedianya jumlah jenis komersial tebang yang layak untuk siklus tebang selanjutnya. Hal ini menunjukkan kemungkinan tidak efektifnya sistem silvikultur yang diterapkan selama ini. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian terhadap efektivitas sistem silvikultur TPTI yang diterapkan oleh perusahaan pemegang IUPHHK dalam mengelola hutan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lestari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi TPTI di lokasi penelitian yakni areal kerja PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digul, dari perspektif ekologis masih layak dilakukan karena ketersediaan permudaan yang melimpah baik jenis komersial ditebang, komersial tidak ditebang maupun jenis lain di tingkat semai, pancang, tiang maupun pohon inti. Sehingga kelestarian produksi untuk siklus tebang berikutnya masih dapat dipertahankan.

Kata kunci : efektivitas, sistem silvikultur, TPTI, kelestarian produksi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 161

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kelestarian produksi hutan alam di Indonesia dewasa ini semakin mengalami penurunan akibat penyusutan kuantitas maupun kualitas produksi. Hal ini disebabkan oleh penjarahan atau eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi lahan maupun kebakaran hutan. Kelestarian hutan ditentukan oleh pengelolaan hutan yang didasarkan atas perencanaan yang benar. Selama dasawarsa terakhir telah terjadi salah kelola hutan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan. Untuk menjamin kelestarian hutan harus ditentukan sistem silvikultur yang tepat untuk setiap areal hutan dengan pertimbangan aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Berdasarkan aspek ekologis diharapkan terjadinya perubahan ekosistem yang sealami mungkin. Sedangkan pertimbangan aspek ekonomis lebih berorientasi pada keuntungan dari produksi. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009, sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu melalui proses edafis dan klimatologis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari. Sistem silvikultur yang diterapkan menurut aturan Kementerian Kehutanan pada hutan tropis Indonesia atau hutan dengan tegakan tidak seumur adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Rumpang (TR). Tebang Pilih Tanam Indonesia menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan tegakan tidak seumur melalui tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Pemanenan tebang pilih adalah penebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati setempat. Pembinaan tegakan tinggal berarti kegiatan yang dikerjakan setelah tebang pilih perapihan, pembebasan, pengayaan dan pemeliharaan. Kegiatan TPTI terdiri atas : 1) Penataan Areal Kerja (PAK), 2) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), 3) Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), 4) Pemanenan, 5) Penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan, 6) Pembebasan pohon binaan, dan 7) Perlindungan dan pengamanan hutan. Dasar-dasar pemilihan sistem silvikultur menurut PP No 6 Tahun 2007 didasarkan pada pendekatan : 1) keanekaragaman hayati, berdasarkan tipe hutan sesuai formasi klimatis (hutan hujan tropis, hutan monsoon dan hutan gambut), 2) topografi, geografi, geologi dan tanah, 3) konservasi tanah dan air, 4) teknologi, dan 5) tujuan pengelolaan hutan. Sementara itu, Papua sebagai benteng terakhir bagi keberlangsungan hutan alam tropika di Indonesia juga mengalami kerusakan pada satu dasawarsa terakhir ini. Laju kerusakan hutan di Papua sejak tahun 2005 sampai 2009 mengalami peningkatan sampai seluas 1.017.841 hektar atau sekitar 254.460

162 - BPK Manokwari

hektar setiap tahunnya. Kerusakan hutan di Papua dipicu berbagai macam sebab, seperti eksploitasi hutan yang berlebihan dan alih fungsi lahan. Namun demikian, kerusakan hutan di Papua juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan konsesi hutan melalui IUPHHK yang mencapai 20 perusahaan. Selama ini perusahaan IUPHHK di Papua, sesuai dengan tipe hutannya dalam formasi klimatis (hutan hujan tropis), sistem silvikultur yang diterapkan adalah TPTI dengan permudaan alam karena hutan yang dikelola merupakan hutan alam. Bila dihubungkan dengan keberadaan hutan Papua yang terus mengalami degradasi dan deforestasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini dan dikawatirkan akan mengancam kelestarian produksi, akibat kurangnya ketersediaan jenis komersial tebang untuk siklus tebang berikutnya. Hal ini kemungkinan karena penerapan sistem silvikultur yang tidak efektif atau tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Penerapan sistem silvikultur yang menyimpang dari kebijakan yang ada menyebabkan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang IUPHHK jauh dari tujuan pengelolaan hutan lestari. Hal ini akan mengakibatkan semakin menyusutnya produktivitas hutan sehingga mengganggu siklus tebang berikutnya dan kelestarian ekosistem hutan. Oleh sebab itu perlu adanya peninjauan terhadap implementasi sistem silvikultur TPTI dalam pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang konsesi IUPHHK di Tanah Papua untuk mengetahui sejauh mana efektivitasnya dalam menjamin kelestarian hutan, terutama menyangkut keberadaan areal bekas tebangan (Logged over Area) beserta pemeliharaan permudaan dan tegakan tinggal yang tersedia untuk siklus tebang berikutnya demi kelestarian produksi maupun ekosistem hutan. Untuk menjamin kelestarian hutan diperlukan penerapan sistem silvikultur yang sesuai untuk setiap areal hutan baik pada hutan primer maupun areal bekas tebangan, terutama menyangkut keberadaan pohon inti untuk jenis komersial tebang maupun jenis lain. Menyusutnya kuantitas maupun kualitas produksi hutan menunjukkan kemungkinan adanya penyimpangan dalam penerapan sistem silvikultur atau kemungkinan tidak efektifnya sistem silvikultur TPTI yang diterapkan oleh pengelola hutan dalam hal ini adalah perusahaan pemegang konsesi IUPHHK di Tanah Papua. Permasalahannya adalah bagaimana implementasi TPTI oleh IUPHHK terhadap kelestarian hutan alam Papua terutama menyangkut keberadaan areal bekas tebangan (LoA) untuk kelestarian produksi hutan ?Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah pohon inti jenis komersial ditebang dan keadaan permudaan alam di hutan primer serta mengetahui jumlah pohon inti jenis komersial ditebang dan keadaan permudaan di areal bekas tebangan.

II. METODE PENELITIAN

A. Prosedur Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif . Penelitian dilakukan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 163

melalui pengumpulan data lapangan baik data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pembuatan plot dengan sistem jalur pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk mengetahui jumlah pohon inti jenis komersial tebang dan keadaan sistem permudaan untuk menentukan tindakan silvikultur yang sesuai dan wawancara terhadap narasumber yang terlibat dalam kegiatan teknis kehutanan sesuai tugas pokoknya pada struktur organisasi perusahaan IUPHHK yang diteliti. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berupa RKT, RKL yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Secara garis besar metodologi penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Melakukan pengamatan dengan pembuatan plot dengan sistem jalur (line plot sampling) pada areal bekas tebangan dan hutan primer untuk mengetahui keadaan permudaan dan pemeliharaannya sehingga terjamin kelestarian hasil pada siklus penebangan mendatang. Penelitian dilakukan terhadap semua tingkat permudaan, yaitu tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk semua jenis, baik jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang maupun jenis lain. Pada areal kerja PT. Tunas Timber Lestari (TTL) di Kabupaten Boven Digul, Petak contoh dibuat pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 (satu tahun) dan areal bekas tebangan umur 5 (lima) tahun . Luas areal kerja yang digunakan masing-masing tempat adalah 15 ha (500 m x 300 m). Pada petak contoh tersebut dibuat 2 jalur. Peletakan jalur pertama adalah sejauh 500 meter dari tepi petak contoh dengan jarak antar jalur 200 m. Pada tiap-tiap jalur dibuat plot-plot pengamatan untuk risalah pohon secara garis berpetak dengan ukuran 20 m x 50 m dan jarak antar plot 50 m. Dalam plot-plot pengamatan yang berukuran 20 m x 50 m dibuat petak-petak pengamatan untuk tingkat tiang, pancang dan semai secara nested sampling, sehingga intensitas penarikan contoh untuk tingkat pohon dan permudaannya 5% untuk tingkat pohon, 2,5% untuk tingkat tiang, 1,25% untuk tingkat pancang dan 0,5% untuk tingkat semai. Berdasarkan luas plot yang digunakan dalam penelitian ini maka kriteria yang digunakan dalam penelitian ini cukup tidaknya permudaan dan pohon adalah sebagai berikut (Wyatt dan Smith dalam Indrawan, 2002 ) : 1. Untuk tingkat semai terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan dari jenis-jenis komersial atau 1000 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 semai jenis komersial ditebang. 2. Untuk tingkat pancang terdapat paling sedikit 60% stocking permudaan atau 240 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 pancang dari jenis-jenis komersial ditebang. 3. Untuk tingkat tiang terdapat paling sedikit 75% stocking permudaan atau 60 petak ukur per hektar yang berisi minimal satu tiang dari jenis-jenis komersial yang ditebang.

164 - BPK Manokwari

4. Untuk tingkat pohon terdapat 100% stocking permudaan atau 25 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 pohon dari jenis-jenis komersial yang ditebang.

B. Gambaran Lokasi Penelitian Kondisi Umum Areal Kerja PT. Tunas Timber Lestari a. Letak dan Luas Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari (TTL) yang tergabung dalam Korindo Group. Areal kerja PT. TSE termasuk dalam kelompok hutan Sungai Uwim Merah dan Sungai Fly. Secara geografis terletak diantara 140021‟00” – 140059‟00” Bujur Timur dan 05050‟50” - 06042‟00” Lintang Selatan, merupakan wilayah kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Boven Digul, Propinsi Papua. Berdasarkan kondisi penutupan lahan dari hasil citra landsat liputan tahun 2009, kondisi penutupan lahan terdiri dari hutan primer 41.774 Ha, hutan bekas tebangan seluas 115.271 Ha, areal non hutan seluas 44.606 Ha, tubuh air seluas 11.697 Ha dan areal tertutup awan seluas 1.587 Ha. Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propvinsi Papua, areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari seluruhnya merupakan Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 214.935 Ha.

b. Topografi Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indoensia skala 1:250.000 dari Bakosurtanal, areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari terletak pada ketinggian 30 – 300 m diatas permukaan laut. Sebagian besar areal, yakni seluas ± 182.114 (84,73%) bertopografi landai (8 – 15%), sedangkan areal yang berada di kanan – kiri Sungai Uwim Merah dan Sungai Fly serta di bagian Utara seluas ± 32.821 Ha (15,27%) mempunyai topografi datar (0 – 8%).

c. Jenis Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia skala 1:250.000, formasi geologi areal penelitian di dominasi oleh formasi Endapan Sungai Tua (Qs2) yang meliputi areal seluas ± 186.992 Ha (87%), sedangkan sisanya merupakan formasi Endapan Sungai Muda (Qr1) seluas ± 27.943 Ha (13%). Berdasarkan telaah pada Peta Tanah skala 1:2.500.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor (Tunas Timber Lestari, 2009), jenis tanah yang terdapat di kelompok hutan S. Uwim Merah – S. Muyu – S. Fly sebagian besar merupakan jenis tanah kompleks (6 jenis). Tanah di daerah ini terbentuk dari batuan sedimen undak terumbu koral. Karena curah hujan dan suhu yang cukup tinggi, batuan sedimen sebagai bahan induk tanah telah mengalami proses pelapukan yang sangat intensif sehingga berbentuk tanah yang sudah sangat berkembang. Nama jenis tanah yang umum digunakan adalah Podsolik Merah Kuning (PMK) dengan kedalaman solum antara 100 – 500 m. Sebagian kecil lainnya yaitu di bagian Barat Daya terdiri dari jenis

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 165

tanah Aluvial, yaitu di tepian sepanjang sungai Uwim Merah.

d. Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim di areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari termasuk dalam tipe iklim A. Curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 3.000 – 4.000 mm per tahun. Kondisi curah hujan bulanan tergolong tinggi berkisar antara 221 – 426 mm per bulan. Hari hujan bulanan rata-rata antara 13 – 23 hari dan kelembaban udara cukup tinggi, dengan tingkat kelembaban rata-rata antara 75 – 85%. Sedangkan suhu udara maksimum adalah sebesar 320 C.

e. Vegetasi Hutan alam yang terdapat pada areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari termasuk tipe hutan hujan tropis. Berdasarkan risalah pada PUP, areal tersebut didominasi oleh jenis resak () dan kenari (Canarium aspermum) dari kelompok meranti, jambu (Syzigium sp), medang (Litsea timoriana) dan putat (Planchonella urophylla) dari kelompok rimba campuran. Sedangkan dari kelompok non komersial didominasi oleh jenis Actinodapne nitida, Beiscmedia sp, Blumeodendron amboinicum, Linociera macrophylla, Meduchantera sp dan Pimeliodendron amboinicum.

III. PEMBAHASAN

A. Komposisi Jenis 1. Hutan Primer Komposisi jenis pada hutan primer di lokasi penelitian PT. Tunas Timber Lestari di areal hutan primer pada tingkat semai adalah 21 jenis, tingkat pancang 10 jenis, tiang sebanyak 25 jenis dan pohon sebanyak 34 jenis. Canarium sp dan Vatica sp mendominasi tingkat semai dengan INP 35% dan 16%. Jenis Sizygium sp dan Myristica sp, mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 51% dan 22%. Sedangkan pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Sizygium sp dan Myristica sp dengan INP 43% dan 19%. Pada tingkat pohon jenis yang dominan adalah Sizygium sp dan Vatica sp dengan INP masing-masing 42% dan 12%.

2. Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Pada petak pengamatan di areal bekas tebangan tahun 2010, ditemukan jumlah jenis pada tingkat semai adalah 17 jenis, tingkat pancang 9 jenis, tiang sebanyak 21 jenis dan pohon sebanyak 33 jenis. Hopea sp dan Vatica sp mendominasi tingkat semai dengan INP 20% dan 18%. Jenis Canarium sp dan Sizygium sp mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 21% dan

166 - BPK Manokwari

18%. Sedangkan pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Myristica sp dan Sizygium sp dengan INP 31% dan 29%. Pada tingkat pohon jenis yang dominan adalah Vatica sp dan Sizygium sp dengan INP masing-masing 22% dan 21%.

3. Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun Pada petak pengamatan di areal bekas tebangan tahun 2006, ditemukan jumlah jenis di tingkat semai sebanyak 19 jenis, tingkat pancang 11 jenis, tingkat tiang sejumlah 23 jenis dan pohon 34 jenis. Pada tingkat semai didominasi jenis Hopea sp dan Vatica sp dengan INP masing-masing 21% dan 18%. Jenis Sizygium sp dan Myristica sp mendominasi tingkat pancang dengan INP masing- masing 51% dan 16%. Sedang pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Sizygium sp dan Myristica sp dengan INP masing-masing 52% dan 24%. Tingkat pohon didominasi oleh jenis Sizygium sp dan Vatica sp dengan INP 41% dan 18%.

B. Jumlah Pohon Inti Jumlah pohon inti untuk masing-masing kelas diameter pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 tahun dan areal bekas tebangan umur 3 tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Jumlah Pohon Inti per hektar pada Hutan Primer dan Areal Bekas Tebangan di PT. TTL Blok Klas Diameter KD KTD K JL (cm) Hutan Primer 20 – 35 37 14 51 11 36 – 65 32 12 44 9 ≥ 65 40 13 53 9 Jumlah 109 37 146 29 Areal Bekas 20 – 35 17 8 25 9 Tebangan Umur 36 – 65 21 12 33 7 1 Tahun ≥ 65 44 6 50 2 Jumlah 81 26 107 18 Areal Bekas 20 – 35 27 11 38 12 Tebangan Umur 36 – 65 24 10 34 4 3 Tahun ≥ 65 26 8 34 2 Jumlah 87 29 116 21 Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah pohon inti jenis komersial yang ditebang (Intsia sp, Hopea sp, Pometia sp, Vatica sp dan lain-lain) berdiameter antara 20 cm ke atas berjumlah 109 pohon/hektar. Sedangkan pada areal bekas tebangan umur 1 tahun jenis komersial yang ditebang dengan diameter 20 cm ke atas sejumlah 81 pohon/hektar. Pada areal bekas tebangan umur 5 tahun jumlah pohon inti jenis komersial yang ditebang 87 pohon/hektar. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan tidak boleh ditebang adalah 25 pohon/hektar dengan diameter 20 – 49 cm.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 167

Bila jenis komersial ditebang (KD) jumlah pohon inti berdiameter 20 – 49 cm yang tersedia kurang dari 25 pohon/hektar dapat diambilkan dari jenis komersial yang tidak ditebang yang berdiameter 50 cm ke atas (Dirjen Pengusahaan, 1989). Berdasarkan persyaratan TPTI diatas, maka baik hutan primer maupun areal bekas tebangan memenuhi persyaratan seperti yang digariskan pada TPTI. Gambaran jumlah pohon inti jenis-jenis komersial ditebang, jenis-jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Grafik1. Jumlah Pohon Inti di PT. TTL

KD

KTD

K JL

Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain

Grafik diatas menggambarkan perubahan dari jumlah pohon inti pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 tahun dan areal bekas tebangan umur 3 tahun. Perubahan di atas menunjukkan bahwa perkembangan jumlah pohon inti pada areal bekas tebangan umur 1 tahun akan mengalami perkembangan yang sama dengan areal bekas tebangan umur 3 tahun nantinya apabila umur tebangan mencapai 3 tahun mengikuti suatu siklus.

C. Keadaan Permudaan 1. Hutan Primer Kondisi permudaan pada hutan primer di petak pengamatan dapat dilihat dengan melihat kerapatan dan penyebaran jenis-jenis pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Hutan Primer di PT. TTL

168 - BPK Manokwari

Tingkat Permudaan Kelompok Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KD K 9546 1756 213 109 F 0,93 0,89 0,85 0,81 KTD K 4352 1123 145 37 F 0,91 0,87 0,84 0,78 K K 13898 2879 358 146 F 0,92 0,88 0,84 0,84 JL K 6743 1105 113 29 F 0,91 0,86 0,85 0,81 Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain, K : Kerapatan, F : Frekuensi (Penyebaran) Pada tabel diatas ditunjukkan bahwa pada jenis komersial ditebang kerapatannya mencapai 9546 individu/hektar dengan penyebarannya mencapai 93% pada tingkat semai, pada tingkat pancang jumlah individu per hektar adalah 1756 dengan frekuensi atau penyebaran mencapai 0,89 atau 89%, penyebaran pada tingkat tiang mencapai 85% dengan kerapatan 213 individu/hektar, sedangkan pada tingkat pohon kerapatannya mencapai 109 pohon/hektar dengan frekuensi penyebaran 94%. Berdasarkan kriteria Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat memenuhi kriteria persyaratan tersebut baik pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.

2. Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Kondisi permudaan pada areal bekas tebangan tahun 2010 pada petak pengamatan dapat dilihat pada kerapatan individu per hektar dan penyebarannya pada tingkat semai, pancang, tiang sampai pohon pada jenis-jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain. Tabel di bawah ini menunjukkan keadaan permudaan di petak pengamatan PT. TTL : Tabel 3. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun di PT. TTL Tingkat Permudaan Kelompok Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KD K 9986 1786 186 81 F 0,95 0,89 0,75 0,78 KTD K 7856 1112 95 26 F 0,97 0,78 0,67 0,88 K K 17842 2898 271 107 F 0,96 0,75 0,74 0,82 JL K 8865 1056 67 18 F 0,95 0,81 0,75 0,84 Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain, K : Kerapatan, F : Frekuensi (Penyebaran) Tabel diatas menunjukkan kerapatan individu untuk jenis komersial ditebang pada tingkat semai sejumlah 9986 individu/hektar dengan penyebaran

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 169

95%, pada tingkat pancang kerapatannya 1786 individu/hektar dengan penyebaran mencapai 89 %, pada tingkat tiang kerapannya 186 individu/hektar dengan penyebaran 75% dan pohon kerapatannya 81 pohon/hektar dengan penyebaran 78%. Berdasarkan kriteria yang disyaratkan oleh Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain pada tingkat semai, pancang tiang dan pohon dapat memenuhi persyaratan yang dtetapkan.

3. Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun Kondisi permudaan pada areal bekas tebangan tahun 2006 di lokasi petak pengamatan PT. Tunas Timber Lestari pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk jenis-jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun di PT. TTL Tingkat Permudaan Kelompok Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KD K 9997 1643 223 87 F 0,93 0,88 0,85 0,89 KTD K 5875 1332 111 29 F 0,95 0,87 0,88 0,91 K K 15872 2975 334 116 F 0,94 0,87 0,86 0,90 JL K 4987 1013 129 21 F 0,93 0,86 0,85 0,91 Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain, K : Kerapatan, F : Frekuensi (Penyebaran) Tabel diatas menunjukkan kerapatan individu untuk jenis komersial ditebang pada tingkat semai sejumlah 9997 individu/hektar dengan penyebaran 93%, pada tingkat pancang kerapatannya 1643 individu/hektar dengan penyebaran mencapai 88 %, pada tingkat tiang kerapatannya 223 individu/hektar dengan penyebaran 85% dan pohon kerapatannya 87 pohon/hektar dengan penyebaran 89%. Berdasarkan kriteria yang disyaratkan oleh Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain pada tingkat semai, pancang tiang dan pohon dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

170 - BPK Manokwari

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, jumlah pohon inti dan kondisi permudaan alam di petak-petak pengamatan pada lokasi penelitian PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua menunjukkan keadaan yang layak dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Tebang Tanam Pilih Indonesia (TPTI) Jumlah pohon inti yang cukup dan kondisi permudaan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dari kelompok jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain di petak-petak pengamatan pada areal bekas tebangan menunjukkan kondisi yang memenuhi dan baik secara ekologis.

B. Saran Penerapan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan pembebasan permudaan alam dari tumbuhan pengganggu baik, baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal akan dapat menghasilkan tegakan lestari di hutan produksi baik jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang maupun jenis lain.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.11/Menhut-II/2009, Departemen Kehutanan. Jakarta Indrawan, Andri. 2002. Penerapan Sistem Silvikultur TPTI pada Hutan Dipterocarpace di HPH PT Hugurya Aceh. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol VIII No 2 75-78 (2002). Wyatt-Smith, J. 1963. Manual of Malayan Silvicultur Part I-II. Malayan Forest Record No 23. Forest Research Institute of Malay. Kepong, Malaysia.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 171

172 - BPK Manokwari

PENGARUH PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA JENIS TUMBUHAN BERKAYU DI PT MAMBERAMO ALAS MANDIRI (PT. MAM), MAMBERAMO - PAPUA

(THE INFLUENCE OF FERTILIZING TOWARD THREE WOODY PLANT IN PT MAMBERAMO ALAS MANDIRI (PT. MAM), MAMBERAMO – PAPUA)

Oleh : Rifki Masawa Aulia El Halim dan Relawan Kuswandi

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

ABSTRAK Pemupukan dilakukan untuk membandingkan efektivitas pupuk menggunakan dua macam perlakuan (UREA dan seresah) telah dilakukan terhadap 3 macam tanaman berkayu yang ditanam di jalan sarad (Skidding) dan diamati selama 3 tahun. Penelitian ini melakukan pengukuran persen hidup untuk mengetahui respon awal tanaman terhadap pemupukan dan pengukuran tinggi tanaman untuk mengetahui pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan tanaman. Variabel yang diukur dianalisis dengan menggunakan analisis tren dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil pemupukan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan pemupukan UREA dan bahan seresah. Hasil ini menunjukkan adanya kesalahan prosedur dalam proses pemupukan menggunakan UREA.

Kata kunci: Pemupukan, UREA, Seresah.

ABSTRACT Fertilizing has been done to analyze two kind fertilizer effectivity (UREA and Litter) toward three kind species of woody plants which planted on skidding road and be observed for 3 years. In this research had been measured life percentage to analyze plants first respond on fertilizing method and height growth to analyze the effect of fertilizing on its height growth. Measured variable had been analyze using trend analysis with 95 % confident interval. The result had been shown that there is no differences which happen between fertilizing using UREA and litter, the result showed that there were some error of procedure which occur on UREA fertilizing method.

Keywords: Fertilizing, UREA, Litter.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 173

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pupuk adalah zat organik atau anorganik yang ditambahkan ke dalam tanah untuk mencukupi satu atau lebih nutrisi yang dibutuhkan tanaman (Whiter, 2006). Berdasarkan jenisnya pupuk dapat dibagi menjadi 2 yaitu pupuk organik dan anorganik (Wikipedia, 2011). Salah satu pupuk anorganik yang banyak digunakan adalah UREA, yaitu suatu pupuk nitrogen dengan rumus kimia

(NH2)2CO dengan kandungan 46%. Meskipun banyak digunakan, tidak berarti pemakaian pupuk membebaskan pengguna dari masalah produktivitas tanaman. Menurut Foth (1990) kesalahan pemakaian pupuk ini dapat berakibat fatal bagi tanaman yaitu terhambatnya pertumbuhan, matinya akar muda dan terbakarnya daun. Kerusakan ini biasanya terjadi akibat kesalahan prosedur dimana UREA ditanam bersama dengan bibit. Berbeda dengan UREA, seresah yang digunakan tidak memiliki banyak efek samping. Dalam penggunaannya, selain bersifat organik, seresah yang nantinya terfermentasi secara alami akan berubah menjadi humus sehingga meningkatkan kesuburan tanah. Pengujian dua macam pupuk di atas dilakukan terhadap tiga macam tanaman berkayu yaitu Nyatoh, Matoa dan Merbau. Nyatoh atau Palaquium spp adalah jenis kayu komersial yang banyak dijumpai di Papua. Jenis ini biasanya banyak dijumpai tumbuh di daerah tergenang air tawar hingga dataran rendah pinggir pantai. Habitat alaminya dapat dijumpai pada ketinggian 0-160 m di atas permukaan laut. Secara Morfologis jenis ini dikategorikan pohon besar dengan ciri khas kulit bantangnya yang berwarna kecoklatan dengan pengelupasan besar serta getah putih yang dihasilkannya (Suripatty et al, 2004). Matoa (Pometia spp) adalah tanaman berkayu yang menghasilkan buah yang lazim dikonsumsi oleh masyarakat. Jenis ini dapat dikenali dari morfologi daunnya yang besar dan asimetris serta buahnya yang berwarna hijau kemerahan. Jenis terakhir adalah Merbau atau Intsia bijuga yang merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh secara alami di Papua dan menjadi jenis komersil unggulan karena nilai ekonomisnya yang sangat tinggi. Secara fisik, pohon ini dapat dibedakan dengan jenis lainnya berdasar warna daunnya yang hijau tua dengan jumlah anak daun 2 sampai 6. Pada tahun 1992 jenis ini dimasukkan kedalam Appendix II CITES sebagai salah satu jenis yang terancam punah karena over eksploitasi (Thompson&Thaman,2006). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemupukan terhadap tiga jenis tanaman berkayu (Nyatoh, Matoa dan Merbau) di Jalan Sarad(Skidding road).

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada areal Izin Usaha Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT Mamberamo Alas Mandiri (PT. MAM), Mamberamo, Papua. PT. MAM

174 - BPK Manokwari

adalah perusahaan eksploitasi kayu yg lokasinya berada pada ketinggian 50 - 250 m dari permukaan laut dengan topografi datar sampai berbukit. Jenis tanah yang dijumpai pada areal hutan ini adalah alluvial, organosol dan podsolik coklat kelabu. Struktur tanah daerah ini terdiri dari batuan sedimen dari batuan neogen, alluvial undac dan terumbu koral. Menurut klasifikasi schmidt dan Ferguson iklim daerah ini terrmasuk tipe A. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.010,2 mm, dengan jumlah hari hujan 148,1 hari. Curah hujan rataan bulanan maksimum sebesar 374,9 mm terjadi pada bulan September dengan 11,7 hari hujan dan curah hujan minimum sebesar 175,1 mm pada bulan Oktober dengan hari hujan 8,7 hari (Kuswandi,2010).

III. PROSEDUR PENELITIAN

Pembangunan demplot dilakukan pada areal bekas jalan sarad seluas ±2,5 hektar yang pengamatannya dimulai dari bulan Desember 2008 hingga Januari 2011. Pada penelitian ini digunakan 3 species tanaman berkayu yaitu Nyatoh, Matoa dan Merbau sejumlah 830 individu yang telah dipapankan di persemaian selama 8 bulan. Pada saat penanaman di lapangan, tiap species dari tiga species tersebut dibagi menjadi dua dan diberikan perlakuan pemupukan yang berbeda dengan menggunakan seresah ±500 gr dan UREA berbentuk granular 100 gr. Pengamatan penelitian ini dilakukan selama 3 tahun, dengan jarak waktu pengamatan tiga bulan (pengamatan pertama), satu tahun (pengamatan kedua) dan sepuluh bulan (pengamatan ketiga). Untuk mengetahui pengaruh pemupukan, pada penelitian ini diukur persen hidup dan laju pertumbuhan tinggi tiap jenis tumbuhan berkayu yang ditanam di jalan sarad. Dalam proses analisis variabel pengamatan, penelitian ini menggunakan analisis tren dengan tingkat kepercayaan 95%.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persen Tumbuh, Stagnant dan Mati Hasil penelitian dengan melihat persentase tumbuh (Gambar 1), berdasar tabel diketahui bahwa pemupukan seresah (90,36%) memiliki persentase tumbuh lebih tinggi dari persen tumbuh UREA (65,73%), sedangkan pada perlakuan lainnya, pemupukan UREA memiliki persentase yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase pemupukan seresah. Meskipun demikian, jika dianalisis lebih teliti menggunakan analisis tren tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pada taraf uji 95%.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 175

150.00%

100.00%

50.00% Litter Urea Persentase 0.00% Tumbuh Stagnant Mati -50.00% Kondisi

Gambar 1. Perbandingan Persen Tumbuh Berdasarkan Cara Pemupukan. Pada Gambar 2, berdasarkan jenisnya, jika diamati lebih teliti diketahui bahwa persentase pertumbuhan paling tinggi dihasilkan oleh Nyatoh (81,18%) diikuti oleh Merbau (86,94%) dan Matoa (64,15%), sedangkan persentase stagnant dan mati persentase paling tinggi dimiliki oleh jenis Matoa (stagnant = 12,08%; mati = 23,77%) diikuti oleh jenis Nyatoh (stagnant = 10,45%; mati = 8,36%) dan Merbau (stagnant = 5,6%; mati = 7,46%). Jika dianalisis lebih lanjut menggunakan analisis tren 95%, perbedaan tinggi persentase tersebut tidak menyebabkan variasi yang berarti pada populasi yang diamati.

150.00%

100.00% Nyatoh 50.00% Matoa

Persentase 0.00% Merbau Tumbuh Stagnant Mati -50.00% Kondisi

Gambar 2. Perbandingan Persen Tumbuh Berdasarkan Jenis Tanaman. Berbeda dengan perbandingan pemupukan dan jenis, perbandingan interaksi pada Gambar 3, perlakuan Matoa*UREA (45,29%) menunjukkan perbedaan persen tumbuh yang lebih rendah pada taraf uji 95% antara dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Nyatoh*UREA = 72,96%; Merbau*UREA = 90,52%; Nyatoh*seresah = 91,41%; Matoa*seresah = 88,10%; Merbau*seresah = 89,74%). Sedangkan interaksi yang terjadi pada present stagnant (Nyatoh*UREA = 18,87%; Matoa*UREA = 23,02%; Merbau*UREA = 18,87%; Nyatoh*seresah = 0%; Matoa*seresah = 0%; Merbau*seresah = 6,84%) ataupun persen mati (Nyatoh*UREA = 8,18%; Matoa*UREA = 34,53%; Merbau*UREA = 3,45%; Nyatoh*seresah = 8,59%; Matoa*seresah = 11,90%; Merbau*seresah = 3,42%) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

176 - BPK Manokwari

150.00% Nyatoh*UREA

100.00% Matoa*UREA

50.00% Merbau*UREA

Nyatoh*Seresah Persentase 0.00% Tumbuh Stagnant Mati Matoa*Seresah -50.00% Kondisi Merbau*Seresah

Gambar 3. Perbandingan Persen Tumbuh Berdasarkan Interaksi Antara Jenis Tanaman dengan Cara Pemupukan. Perbedaan pada interakasi perlakuan yang diamati ini diduga terjadi akibat adanya kesalahan prosedur atau dosis pada saat pemupukan. Selain itu untuk jenis matoa, diduga memerlukan pemupukan yang berbeda dengan jenis lain mengingat jenis lain menunjukkan persentase hidup yang lebih tinggi dengan metode pemupukan yang sudah dilakukan.

B. Pertumbuhan Tanaman Hasil pengamatan pertumbuhan tinggi (Gambar 4) berdasarkan pemupukan pada pengamatan pertama (seresah = 2,43; UREA = 13,91), kedua (seresah = 101,85; UREA = 71,20) dan ketiga (seresah = 52,95%; UREA = 64,07%) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada taraf uji 95%. Demikian pula yang terjadi pada perbandingan pengaruh interaksi jenis dengan cara pemupukan terhadap pertumbuhan (Gambar 5), tidak ada pengaruh nyata yang terjadi antara pada pemupukan dengan jenis tanaman secara keseluruhan (Merbau*seresah = 182,18; Merbau*UREA = 199,16; Matoa*seresah = 165,36; Matoa*UREA = 128,08%; Nyatoh*seresah = 102,44; Nyatoh*UREA = 49,44).

150.00

100.00

50.00 Seresah

UREA 0.00

DH1 DH2 DH3 PertumbuhanTinggi -50.00 Pengamatan

Gambar 4. Perbandingan Pertambahan Tinggi Tanaman Berdasarkan Cara Pemupukan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 177

250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00

PertumbuhanTinggi Perlakuan

Gambar 5. Perbandingan Pertambahan Tinggi Tanaman Berdasarkan Interaksi Antara Jenis Tanaman dengan Cara Pemupukan di Akhir Pengamatan. Hal yang sama terjadi pada perbandingan jenis tanaman (Gambar 6) dimana tidak ada perbedaan kemampuan pertumbuhan yang nyata di pengamatan pertama (Merbau = 9,45; Matoa = 7,02; Nyatoh = 7,51) dan ketiga (Merbau = 59,46%; Matoa = 52,85%; Nyatoh = 63,06%) pada taraf uji 95%. Pada pengamatan kedua, pertumbuhan nyatoh (42,03) lebih rendah jika dibandingkan pertumbuhan jenis lain (Merbau = 120,75; Matoa = 87,89) pada taraf uji 95%. Perbedaan ini diduga muncul akibat adanya variasi tempat tumbuh dimana cahaya yang didapatkan Nyatoh untuk tumbuh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis lain.

200.00 150.00

100.00 Merbau

50.00 Matoa 0.00 Nyatoh

PertumbuhanTinggi -50.00 DH1 DH2 DH3 Pengamatan

Gambar 6. Perbandingan Pertambahan Tinggi Tanaman Berdasarkan Jenis Tumbuhan. Analisis lebih lanjut berdasarkan interaksinya (Gambar 7) diketahui bahwa pengamatan pertama (Merbau*seresah = 2,12; Merbau*UREA = 18,36; Matoa*seresah = 3,14; Matoa*UREA = 11,76; Nyatoh*seresah = 2,13; Nyatoh*UREA = 11,83) dan pengamatan ketiga (Merbau*seresah = 55,47; Merbau*UREA = 64,47; Matoa*seresah = 47,52; Matoa*UREA = 59,97; Nyatoh*seresah = 56,77; Nyatoh*UREA = 66,36) pemberian UREA memberikan hasil pertumbuhan tinggi yang lebih baik jika dibandingkan dengan seresah. Hasil yang berbeda ditunjukan pada pengamatan kedua dimana pemupukan UREA dan seresah tidak berbeda nyata pada taraf uji 95%. Perbedaan ini dihasilkan akibat adanya kesalahan prosedur pemupukan dimana pupuk UREA yang seharusnya ditanam melingkar disekeliling tanaman justru ditanam langsung di dekat akar sehingga mengakibatkan rusaknya akar tanaman dan menghambat pertumbuhan.

178 - BPK Manokwari

150.00 100.00 50.00 DH1 0.00 DH2 -50.00 DH3

PertumbuhanTinggi Perlakuan

Gambar 7. Perbandingan Pertambahan Tinggi Tanaman Berdasarkan Interaksi Antara Jenis Tanaman dengan Cara Pemupukan Per Pengamatan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa pemupukan dengan seresah dan UREA memberikan performa yang sama pada pertumbuhan Merbau, Matoa dan Nyatoh di lapangan. Performa yang sama ini diperkirakan muncul akibat adanya kesalahan prosedur yang terjadi pada proses pemupukan UREA.

DAFTAR PUSTAKA 1Whiter, R. E. 2006. Principles and Practice of Soil Science, The Soil as a Natural Resources (4th ed.). Australia: Blackwell Publishing. 2Fertilizer.2011. (http:/en.wikipedia.org/wiki/fertilizer#forms, diakses 28 September 2011). 3Foth, H. D. 1990. Fundamentals of Forest Soil Science (8th ed.). Canada: John Wiley and Sons 4Suripatty, B. A, P Mardi dan E. Pannus. 2004. Ekspose Hasil Penelitian BPPKPM dan Promosi Jenis Unggul Tanaman Hutan. Teknik Pengadaan Bibit Jenis- Jenis Araucaria cuninghanii, Instia bijuga, Palaquium amboinensis dan Agathis billardieri. Manokwari, September 2004: BPK Manokwari 5Thompson dan RR Thaman. 2006. Pometia pinnata (tava).(www.traditionaltree.org. Diakses tanggal 15-5-2011) 6Soerianegara, I dan R. H. M. J. Lemmens. 2004. Plant Resources of South East Asia, Timber Trees: Major Commercial Timber 5 (1). Bogor, Indonesia: Prosea project 7Kuswandi, R. 2010. Kajian Penggunaan Model Dinamika dan Pendugaan Produktivitas Tegakan Bekas Tebangan di Papua. Laporan Penelitian, Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari: Kementerian Kehutanan.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 179

180 - BPK Manokwari

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI PADA HUTAN BEKAS TEBANGAN DI WILAYAH GORAS, KOKAS, FAKFAK - PAPUA BARAT

Oleh: Sarah Yuliana dan Yohannes Wibisono

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Perubahan ekosistem hutan dalam bentuk perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan merupakan kondisi umum yang terjadi di daerah bekas tebangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi komposisi jenis dan struktur vegetasi yang tersisa di hutan bekas tebangan di Goras, Kokas, Fakfak Papua Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak, untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman Hayati (H‟), pengelompokan ukuran diameter dan tinggi pohon serta analisis secara deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya 136 jenis tumbuhan (44 famili), dengan jumlah terbanyak pada tingkat pertumbuhan tiang. Nilai H‟ mencapai 2,069 atau termasuk kategori tingkat keanekaragaman hayati sedang. Sebaran kelas diameter menunjukkan kelompok kelas diameter I (dbh 10-19 cm) memiliki jumlah individu yang terbanyak dan sebagian besar tumbuhan termasuk dalam lower canopy (tinggi tajuk < 20 m). Secara keseluruhan tegakan bekas tebangan di daerah Kokas tidak berada dalam kondisi normal, diperkirakan akibat kurangnya permudaan, komposisi jenis yang relatif seragam, adanya dominasi oleh kelompok tumbuhan berdiameter kecil dengan tinggi tajuk umumnya kurang dari 20 m. Perbaikan kondisi tegakan menjadi tegakan yang lebih baik dari segi komposisi dan struktur masih sangat terbuka, mengingat tegakan ini berada dalam wilayah hutan produksi yang memungkinkan dilaksanakannya proses penanaman, permudaan dan pengayaan kembali.

Kata kunci : komposisi hutan, struktur vegetasi, hutan bekas tebangan, Goras, Fakfak

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 181

COMPOSITION AND STRUCTURE OF VEGETATION ON LOG-OVER FOREST AT GORAS KOKAS, FAKFAK - WEST PAPUA

By: Sarah Yuliana and Yohannes Wibisono

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstract

Changes in vegetation composition and structure have become ordinary impacts of ecosystem changes on log-over forests. This research was conducted to represent the composition and structure of remain vegetation in log-over forest at Goras, Kokas, Fakfak, West Papua. Vegetation analysis based on line-plot sampling was used to calculate Important Value Index (IVI), Diversity Index (H‟), followed by categorizing trees in class of height and diameter, along with descriptive analysis. The results showed the total of 136 species (44 families)of woody plants, mostly from the level of poles. The sample‟s H‟-value was 2.069, signified the middle level of species diversity. Distribution of diameter class (DC) showed the DC I (dbh of 10-19) was dominant and most of the vegetation was also distributed within lower canopy class (crown height below 20 m). In the whole, vegetation of log-over forest in Kokas was not under normal condition approximately due to the lack of rejuvenating, relatively unvariable of vegetation composition, domination of small diameter and lower canopy trees. More rehabilitation actions in order to improve the vegetation condition can be considered further, particularly because the area lies in the production forest that can be implied by the efforts of replanting, rejuvinating and species enrichment.

Key words : forest composition, vegetation structure, log-over forest, Goras, Fakfak, West Papua

182 - BPK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hasil hutan adalah pengumpulan kayu serta hasil hutan lainnya langsung dari hutan. Proses ini melibatkan banyak proses-proses lainnya seperti penebangan, penyaradan, pengangkutan, dan pembukaan lahan hutan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi hutan. Sebelum dilakukan proses pemanenan kayu dari hutan, kondisi vegetasi dan tegakan hutan merupakan suatu lingkungan dan ekosistem yang utuh dan khas. Kondisi ini meliputi antara lain kondisi komposisi jenis dan struktur vegetasi yang berbeda-beda sesuai lokasi tumbuhnya (Brearly, 2004; Ewusie, 1980; Whitmore, 1998). Perubahan yang terjadi setelah penebangan selanjutnya dapat menjadi dasar perkiraan sejauh mana proses permudaan secara alami berlangsung, sekaligus mempertimbangkan tingkat perlunya kegiatan permudaan atau penanaman kembali. Penelitian menyangkut ekologi tumbuhan secara kuantitatif di Indonesia umumnya lebih banyak dilakukan di wilayah barat daripada wilayah timur. Hutan-hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan telah lebih dahulu mengalami penebangan untuk tujuan hasil hutan, atau untuk berubah fungsi menjadi peruntukan lainnya (Samsoedin, 2006; Samsoedin & Heriyanto, 2010; Samsoedin dkk, 2010). Hal ini sangat disayangkan, karena kegiatan penebangan hutan dan pemanfaatan hasil hutan lain yang berpotensi mengubah kondisi awal hutan juga terjadi di wilayah lainnya di Indonesia. Pengumpulan data dan informasi menyangkut kondisi komposisi jenis dan keadaan struktur tegakan yang ada dalam hutan yang mengalami penebangan, baik sebelum maupun sesudah kegiatan itu berlangsung dapat menjadi dasar untuk perbaikan atau restorasi kawasan tersebut di masa mendatang. Kegiatan rehabilitasi dan restorasi ekosistem terutama di wilayah hutan produksi sesungguhnya telah diatur oleh Kementerian Kehutanan RI melalui SK Menteri Kehutanan No. 159/Menhut- II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi. Pelaksanaan aturan ini terutama dilakukan sesuai gagasan pentingnya membangun kembali fungsi hutan berdasarkan tingginya keanekaragaman hayati dan populasi spesies kunci di kawasan yang telah direstorasi. Pemulihan dampak kerusakan akibat penebangan juga dapat diarahkan untuk memperbaiki kondisi tegakan guna pemanfaatan lebih lanjut di masa depan (Samsoedin, 2006; Samsoedin & Heriyanto, 2010; Samsoedin dkk, 2010). Pembukaan wilayah hutan di Indonesia saat ini sudah mulai bergeser menuju wilayah Papua. Wilayah hutan di Papua telah mengalami berbagai perubahan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan daerah, pertanian, perkebunan, serta wilayah hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Pada daerah-daerah yang mengalami perubahan fungsi hutan menjadi peruntukan lain, tidak akan ada lagi wilayah hutan yang akan tersisa. Sementara pada daerah yang masih berfungsi sebagai hutan produksi, perubahan yang beragam tersebut akan menyebabkan kondisi komposisi jenis, struktur sebaran diameter dan tinggi tumbuhan tersisa yang berbeda dan perlu diperhatikan untuk tujuan perbaikan ekosistem di masa mendatang. Dalam rangka mendukung

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 183

perbaikan ekosistem tegakan hutan yang mengalami perubahan tersebut diperlukan data dan informasi sebanyak mungkin menyangkut kondisi tegakan terkait penebangan tersebut. Salah satu bentuk pengumpulan informasi tersebut adalah melalui penelitian yang dilakukan di wilayah pengusahaan kayu. Penelitian ini selanjutnya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi hutan pamah pada daerah bekas tebangan di daerah Goras, Kokas, Fakfak.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Juni 2011 di areal bekas tebangan RKT 2007, dalam Hutan Produksi Terbatas (HPT) wilayah kerja PT Arfak Indra II, wilayah Goras, Kokas, Fakfak, Papua Barat. Wilayah ini secara astronomis terletak pada koordinat 131°57‟-133°54‟ BT dan 02°39‟-03°12‟ LS. Pada dasarnya areal kerja HPT ini mencakup areal rawa air tawar, namun kegiatan pengamatan jenis yang dilakukan hanya dilakukan di areal hutan dataran rendah perbukitan. Secara umum lokasi pengamatan di Kampung Goras, Kokas, Fakfak adalah hutan dataran rendah dengan kondisi topografi berbukit- bukit, di beberapa tempat mencapai kemiringan sampai 45°. Tipe hutan secara umum merupakan hutan dataran rendah perbukitan dengan tipe tanah karang dan berkapur. Kawasan hutan ini secara administratif berada dalam wilayah Kampung Goras, Distrik Kokas.

B. Peralatan Penelitian Peralatan yang diperlukan dalam pengumpulan data meliputi peralatan survei dan dokumentasi.

C. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui analisis vegetasi dalam petak-petak dengan metode jalur berpetak. Petak-petak pengamatan yang dibentuk terdiri dari 4 (empat) ukuran untuk pengumpulan data jenis tumbuhan berkayu berdasarkan tingkat pertumbuhannya masing-masing (Soerianegara & Indrawan, 1998, Gambar 1.). Petak-petak berukuran 20 m x 20 m dibuat untuk pengamatan dan pengukuran tingkat pohon, yaitu pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm; 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, yaitu pohon muda berdiameter ≥ 7 cm - < 20 cm; 5m x 5m untuk tingkat pancang, yaitu anakan pohon dengan tinggi ≥ 1,5 m dan ukuran diameter <7 cm, dan 2m x 2m untuk tingkat semai, yaitu anakan pohon hingga mencapai tinggi 1,5 m.

184 - BPK Manokwari

d) c)

b) a) a) b) Arah jalur c) d) Gambar (Figure) 1. Desain unit contoh dalam analisis vegetasi (Design of sample units for vegetation analysis) Data yang diambil untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah data jenis, ukuran diameter (dbh), tinggi bebas cabang dan tinggi total, sementara untuk tingkat pancang dan semai hanya dilakukan pencatatan jenis dan penghitungan jumlah yang dijumpai dalam tiap petak.

D. Metode Analisis Data 1. Komposisi Vegetasi Data yang diperoleh dalam pengukuran selanjutnya dianalisis menggunakan nilai kerapatan (ind/ha), frekuensi, dominansi (m2/ha) dan Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis yang dijumpai. Data jenis dan jumlah jenis yang dijumpai selanjutnya digunakan untuk menghitung Indeks Keanekaragaman Jenis dengan Indeks Shannon-Wiener (Ludwig & Reynolds, 1988) : 푛 푛 퐻′ = − ∑ 푝 ln 푝 = ∑ 푖 ln 푖 푖 푖 푁 푁 Keterangan: H‟ = Indeks Shannon-Wiener

pi = proporsi jenis ke-i ni = jumlah jenis ke-i N = jumlah total individu Berdasarkan Brower & Zar (1990) indeks keanekaragaman Shannon-Wiener bertoleransi antara 0 - ~ (tak terhingga) dengan kriteria sebagai berikut : Jika H‟ < 2 = keanekaragaman individu rendah, kestabilan habitat rendah. Jika 2 < H‟< 3 = keanekaragaman individu sedang, kestabilan habitat sedang. Jika H‟ > 3 = keanekaragaman individu tinggi, penyebaran jumlah individu tinggi dan kestabilan habitat tinggi.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 185

2. Struktur Vegetasi - Data tinggi total seluruh tiang dan pohon yang diamati selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas tajuk (Samsoedin, 2006)  Kelas Emergent = tinggi > 50 m  Kelas Upper Canopy = tinggi antara 30 – 50 m  Kelas Middle Canopy = tinggi antara 20 – 30 m  Kelas Lower Canopy = tinggi < 20 m - Data diameter setinggi dada (dbh) seluruh tiang dan pohon yang diamati selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas diameter (Samsoedin & Heriyanto, 2010)  Kelas Diameter I = diameter 10 – 19 cm  Kelas Diameter II = diameter 20 – 29 cm  Kelas Diameter III = diameter 30 – 39 cm  Kelas Diameter IV = diameter 40 – 49 cm  Kelas Diameter V = diameter 50 – 59 cm  Kelas Diameter VI = diameter > 60 cm

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Vegetasi

Jumlah tumbuhan berkayu dari seluruh tingkat pertumbuhan yang dijumpai selama penelitian mencapai 136 jenis berasal dari 44 famili, dengan anggota jenis terbanyak berasal dari famili Meliaceae (34 jenis, 4 genus) disusul (30 jenis, 9 genus) dan Moraceae (18 jenis, 4 genus). Komposisi jenis untuk masing-masing tingkat pertumbuhan menunjukkan perbedaan yang cukup beragam, sementara jumlah famili berkisar pada jumlah 29-34 famili (Gambar 2). Komposisi jenis yang ada menunjukkan bahwa jumlah jenis semai sebanding dengan jumlah jenis pohon, namun jauh lebih sedikit daripada jumlah jenis pada tingkat pancang dan tiang. Kondisi ini menggambarkan kondisi tegakan yang cenderung mengarah ke bentuk piramida terbalik atau bersifat tidak normal, dimana jumlah permudaan lebih sedikit dibanding tingkat dewasanya (Hadi dkk, 2009; Kabelen & Warpur, 2009; Mansur, 2003; Whitmore, 1998; Samsoedin dkk, 2010; Shoukavong et al, 2013; Sujarwo & Darma, 2011).

186 - BPK Manokwari

100 90 90 83 Jenis (species) Famili (family) 80

70

59 59 60

Number ) Number 50

38 40 Jumlah ( Jumlah 34 30 29 30

20

10

0 Semai (Seedling) Pancang (Sapling) Tiang (Pole) Pohon (Tree) Tingkat Pertumbuhan (Growth Class) Gambar (Figure) 2. Komposisi jenis vegetasi hutan dataran rendah wilayah Goras, Kokas (Composition of vegetation species on lowland forest in Goras, Kokas) Regenerasi merupakan fenomena alam dimana pohon yang muda akan menggantikan pohon dewasa oleh berbagai sebab, misalnya akibat penebangan, terbakar, tumbang akibat bencana alam atau mati secara fisiologis. Penyebaran dan pertumbuhan pohon dalam proses regenerasi hutan antara lain sangat dipengaruhi oleh daya tumbuh biji, topografi, keadaan tanah, dan faktor lingkungan lainnya (Ewusie, 1980, Samsoedin & Heriyanto, 2010; Sujarwo & Darma, 2011; Whitmore, 1998). Nilai indeks Shannon-Wienner (H‟) untuk tegakan yang diukur di hutan Kokas ini mencapai nilai 2,609. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi keanekaragaman jenis tumbuhan tergolong sedang, dengan kondisi kestabilan habitat yang sedang pula (Brower & Zar, 1990). Rendahnya keanekaragaman jenis tumbuhan pada tegakan hutan yang telah mengalami tegakan seringkali menunjukkan adanya tingkat eksploitasi yang tinggi terhadap jenis-jenis tertentu (Htun dkk, 2011; Simorangkir et al, 2009; Whitmore, 1998). Kondisi ini seringkali disertai adanya dominansi atau penguasaan tegakan oleh jenis-jenis lainnya yang lebih toleran terhadap gangguan akibat penebangan. Di lokasi hutan Goras, jenis-jenis yang dipanen telah dikeluarkan dari hutan namun belum diimbangi dengan kegiatan penanaman dan perbaikan tegakan yang memadai. Keterbukaan lantai hutan merupakan salah satu kondisi yang jelas tampak dalam tegakan hutan selama pengamatan. Kondisi ini pada dasarnya dapat mempengaruhi berkembangnya permudaan dari berbagai jenis tumbuhan didukung beberapa hal lain yang ikut menentukan, yaitu: 1) Aktivitas penebangan. Adanya penebangan akan menyebabkan kondisi tanah menjadi terbuka dan lebih padat, sekaligus

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 187

menjarangkan tutupan tajuk; 2). Kondisi lapisan tanah yang tidak terlalu tebal. Tipisnya lapisan tanah mengurangi kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan benih pohon-pohon yang telah jatuh ke tanah; 3). Adanya aktivitas fauna dalam kawasan. Beberapa fauna hutan misalnya rusa, babi hutan dan burung-burung pemakan buah yang teramati selama kegiatan pengamatan dan pengukuran di lapangan dapat berpengaruh terhadap kondisi tegakan. Fauna-fauna ini sesungguhnya merupakan penyebar biji pepohonan hutan untuk memudahkan permudaan, namun di lain pihak juga memakan biji dan permudaan tersebut (Ansell et al, 2011; Ingle, 2003; Whitmore, 1998). Berdasarkan keseluruhan jenis yang didata selama penelitian, tegakan hutan di daerah Kokas didominasi oleh jenis-jenis yang relatif berbeda di setiap tingkat pertumbuhannya (Tabel 1). Susunan jenis-jenis dominan yang tampak dalam Tabel 1 menunjukkan adanya jenis-jenis yang sama, yaitu jenis Nyatoh (Palaquium amboinensis), Marendom (), dan Kayu Badengan ( javensis). Jenis-jenis kayu rimba ini merupakan jenis- jenis yang umum terdapat dalam hutan dataran rendah. Perbedaan komposisi jenis pohon setelah penebangan pada dasarnya merupakan akibat yang umum karena terganggunya proses permudaan alami (Htun dkk, 2011; Samsoedin dkk, 2011; Simorangkir et al, 2009). Sementara, keberadaan jenis makaranga (Macaranga mappa) menunjukkan bahwa tegakan ini juga merupakan hutan sekunder yang telah terkena pengaruh manusia (Edwar et al, 2011; Kabelen & Warpur, 2009; Simorangkir et al, 2009; Whitmore, 1998). Tabel (Table) 1. Indeks Nilai Penting (INP) dari sepuluh jenis dominan tumbuhan berkayu pada tiap tingkat pertumbuhan (Importance Value Index (IVI) of the ten most-dominant species for all growth stage)

Jenis Famili INP (IVI)

(Species) (Family)

Semai

Palaquium amboinensis Burck. Sapotaceae 94.07 Spathiostemon javensis Blume Euphorbiaceae 17.73 Actinodaphne nitida Jesch. Lauraceae 8.06 Diospyros papuana Valeton ex Bakh. Ebenaceae 7.61 Maniltoa brownoides Linn. Fabaceae 5.90 Diospyros hebecarpa Benth. Ebenaceae 5.55 Syzygium anomalia Lauterb. Myrtaceae 5.37 Drypetes globosa (Merr.) Pax. & K. Hoffm. Euphorbiaceae 4.98 Pometia coreacea Radlk. Sapindaceae 4.88 Calophyllum inophyllum Hook F. & Th. Calophyllaceae 4.67

Pancang

Spathiostemon javensis Blume Euphorbiaceae 37.26 Palaquium amboinensis Burck. Sapotaceae 22.96 Syzygium anomalia Lauterb. Myrtaceae 10.34 Aglaia spectabilis (Miq.) Jain & Bennet Meliaceae 9.76 Pometia coreacea Radlk. Sapindaceae 9.45

188 - BPK Manokwari

Timonius timon (Spreng) Merr. Rubiaceae 5.66 Myristica fatua Hout. Myristicaceae 5.33 Planconela anteridifera H.J.L. Sapotaceae 5.23 Diospyros hebecarpa Benth. Ebenaceae 5.07 Pimelodendron amboinicum Hassk. Euphorbiaceae 3.85

Tiang

Pometia coreacea Radlk. Sapindaceae 43.46 Spathiostemon javensis Blume Euphorbiaceae 25.45 Pimelodendron amboinicum Hassk. Euphorbiaceae 23.18 Palaquium amboinensis Burck. Sapotaceae 18.74 Macaranga mappa M. A. Euphorbiaceae 8.85 Planconella anteridifera H. J. L. Sapotaceae 7.80 Myristica fatua Hout. Myristicaceae 5.97 Syzygium verstegii Lauterb. Myrtaceae 5.81 Myristica tubiflora Bl. Myristicaceae 5.77 Drypetes globosa (Merr.) Pax. & K. Hoffm. Euphorbiaceae 4.96

Pohon

Pometia coreacea Radlk. Sapindaceae 73.07 Palaquium amboinensis Burck. Sapotaceae 53.56 Intsia bijuga O. K. Fabaceae 29.58 Anisoptera polyandra Bl. Dipterocarpaceae 13.35 Manilkara fasciculata H. J. L. Sapotaceae 13.26 Pimelodendron amboinicum Hassk. Euphorbiaceae 14.66 Planchonella anteridifera H. J. L. Sapotaceae 12.31 Cryptocarya palmerensis Allen Lauraceae 7.76 Koordersiodendron pinnatum Merr. Anacardiaceae 6.24 Spondias cytherea Sonn. Anacardiaceae 5.74 Gangguan hutan yang ditimbulkan oleh manusia dapat membawa beragam pengaruh terhadap ekosistem hutan. Dampak gangguan terhadap karakteristik hutan dapat bersifat spesifik lokasi, demikian juga intensitas dan frekuensi gangguan yang terjadi dapat berbeda-beda. Beberapa kajian telah menunjukkan bahwa gangguan hutan oleh manusia dapat berakibat pada penurunan kerapatan hutan, rendahnya nilai basal area dan berkurangnya tingkat keanekaragaman hayati (Hilwan, 2012; Htun et al, 2011, Samsoedin, 2006, Samsoedin & Heriyanto, 2010). Sementara kajian-kajian lainnya menunjukkan kemungkinan terjadinya kondisi yang berlawanan, dimana gangguan yang tidak berat justru mampu mempertahankan dan menaikkan tingkat keanekaragaman hayati (Guariguata & Ostertag, 2001; Brearley dkk, 2004). Terbentuknya rumpang-rumpang dan daerah terbuka di tepi dan bagian dalam hutan akibat adanya penebangan atau robohnya kayu oleh sebab alami memungkinkan penambahan jenis baru, atau tumbuhnya jenis-jenis yang sudah ada di hutan tersebut. Proses tumbuhnya semai pohon hutan dari cadangan benih di bawah tegakan yang terbuka dan perkembangan jenis-jenis baru yang datang dan mendiami tempat terbuka tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi keanekaragaman jenis di lokasi tersebut.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 189

B. Struktur Vegetasi

Pengelompokan seluruh individu tiang dan pohon dalam sebaran kelas diameter menunjukkan adanya jumlah terbesar pada Kelas Diameter I (Gambar 3). Kelas Diameter I ini didominasi oleh pohon-pohon dari famili Euphorbiaceae dan Sapindaceae. Kelas diameter V menunjukkan jumlah individu paling sedikit. Kondisi ini secara langsung dapat menyebabkan ukuran basal area tegakan yang relatif kecil.

400

352

) 350

300

250

200 182

Number of individuals Number 150 98 100 82 75 54 50

Jumlah individu ( individu Jumlah 0 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 >60 Kelas Diameter (Dbh Class - cm) Gambar (Figure) 3. Struktur tegakan tumbuhan berkayu berdasarkan kelas diameter (Vegetation structure based on diameter class) Secara keseluruhan kondisi ini menggambarkan jumlah sebaran kelas diameter yang bervariasi. Kondisi ini menunjukkan adanya kondisi tegakan yang masih cukup aman untuk regenerasi bagi sebuah tegakan bekas tebangan. Meskipun kondisi terbaik untuk tegakan yang baik umumnya berbentuk J terbalik pada susunan kelas diameternya (Ewusie, 1980; Hilwan, 2012; Htun dkk, 2011; Irawan, 2011; Mirmanto, 2009; Samsoedin & Heriyanto, 2010; Shoukavong et al, 2013; Sidiyasa, 2009; Whitmore, 1998). Struktur tegakan hutan bekas tebangan tidak selalu seragam meski tumbuh di tempat yang sama. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan pohon dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara dan mineral, air serta adanya kompetisi. Hal-hal tersebut selanjutnya akan memunculkan variasi kelas diameter dalam tegakan pohon hutan (Ewusie, 1980; Irawan, 2011; Lu et al, 2010; Samsoedin & Heriyanto, 2010; Sujarwo & Darma, 2011). Struktur tegakan yang tidak normal akibat perbedaan kondisi tempat tumbuh dapat menjelaskan kondisi hutan lokasi penelitian yang merupakan hutan produksi yang telah mengalami pemanenan. Jumlah pohon atau kayu yang berukuran lebih besar tersisa sedikit, sementara permudaan juga tidak berjalan dengan baik. Kondisi umum lainnya yang terjadi pada tegakan sisa penebangan adalah adanya kerusakan pada tegakan tinggal. Tumbuhan-tumbuhan muda tingkat semai yang berukuran kecil umumnya lebih mudah bertahan hidup daripada tingkat

190 - BPK Manokwari

pertumbuhan berikutnya yang berukuran lebih besar (Lu et al, 2010; Whitmore, 1998). Jumlah individu berdiameter kecil yang melebihi kelompok ukuran lainnya berpotensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi kelas diameter berikutnya selama beberapa periode berikutnya. Sementara itu, adanya pohon-pohon berdiameter di atas 50 cm diharapkan mampu menjadi pohon-pohon sumber benih bagi hutan bekas tebangan ini, sejauh tidak dilakukan penebangan dalam waktu dekat lagi. Sedikit berbeda dengan sebaran kelas diameter, sebaran tinggi kelompok tiang dan pohon menunjukkan adanya dominasi tegakan oleh kelompok lower canopy (Gambar 4). Jenis-jenis dari famili Euphorbiaceae dan Sapindaceae dijumpai mendominasi kelompok ini. Kelompok individu yang memiliki tinggi total kurang dari 20 m lebih banyak dijumpai pada tegakan bekas tebangan di Goras, sedangkan kelompok emergent tree sama sekali tidak dijumpai selama pengamatan. Sedikitnya terdapat dua kemungkinan penyebab kondisi tegakan seperti ini, yaitu 1) kondisi tempat tumbuh tidak cukup subur untuk mendukung pertumbuhan dan 2) tegakan tersebut telah mengalami gangguan akibat penebangan. Kedua penyebab ini memungkinkan terjadinya struktur tegakan yang kurang normal (Ewusie, 1980; Whitmore, 1998; Hilwan, 2012; Htun dkk, 2011; Kusmana et al, 2009; Simorangkir et al, 2009).

600

) 500 478

400

300

Number of individuals Number 199 177 200

100

Jumlah individu ( individu Jumlah 0 0 Emergent Upper canopy Middle canopy Lower canopy Kategori Tinggi Tajuk (Height Class ) Gambar (Figure) 4. Struktur tegakan tumbuhan berkayu berdasarkan tinggi tajuk (Vegetation structure based on height class) Secara umum berdasarkan sebaran diameter dan tinggi tegakan, hutan bekas tebangan di Goras ini memiliki karakteristik hutan sekunder (Brearly dkk, 2004; Brown & Lugo, 1990; Hilwan, 2012; Kusmana et al, 2009; Mirmanto, 2009; Muhdin et al, 2008; Whitmore, 1998). Pohon-pohon dalam hutan sekunder umumnya tidak terlalu tinggi, tergolong dalam kelompok lower canopy, dengan kondisi luas basal area yang rendah. Sesuai dengan fungsi tegakan yang berada di areal hutan produksi ini, kondisi ini dapat dijadikan dasar untuk kegiatan penanaman dan pengayaan kembali.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 191

IV. KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tegakan bekas tebangan di daerah Kokas tidak dalam kondisi normal diperkirakan sebagai akibat kurangnya permudaan, komposisi jenis yang relatif rendah, didominasi oleh kelompok tumbuhan berdiameter kecil dan sedang, dengan kondisi tajuk umumnya memiliki tinggi kurang dari 20 m. Kemungkinan perbaikan kondisi tegakan guna menjadi tegakan yang lebih baik dari segi komposisi dan struktur masih sangat terbuka, mengingat tegakan ini berada dalam wilayah hutan produksi yang memungkinkan dilaksanakannya proses penanaman, permudaan dan pengayaan kembali.

V. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih pada seluruh pihak yang telah membantu pengumpulan data di lapangan, terutama Bapak Zeth L. Rumawak, Bapak Marinus Rumawak dan Junus Tambing, dan staf Dishutbun Kabupaten Fakfak, Bapak Max Kapitarauw, Piter Bahamba, dan Nixon Nauw dari SKSDA Fakfak, serta seluruh tenaga pemandu dari dari Kampung Goras, Kokas.

DAFTAR PUSTAKA

Ansell, F. A., Edwards, D. P. & K. C. Hamer. (2011) Rehabilitation of logged rain forests: avifaunal composition, habitat structure, and implications for biodiversity-friendly REDD+. Biotropica 43(4): 504–511 2011 Brown, S. & Lugo, A. E. (1990). Tropical secondary forest. Journal of Tropical Ecology. 6:1-32. Brower, J. E. & Zar, J. H. (1990). Field Laboratory Methods for General Ecology. Wm. C. Brown Company Publishers. Dubuque. Iowa. Brearly, F. Q., Pradjadinata S., Kidd, P. S., Proctor, J. & Suriantata. (2004). Structure and floristics of an old secondary rain forest in Central Kalimantan, Indonesia, and a comparison with adjacent primary forest. Forest Ecology and Management 195. 3 (2004): 385-397. Edwar, E., Hamidy, R., & Siregar, S. H. (2011). Komposisi dan struktur permudaan pohon pionir berdasarkan jenis tanah di Kabupaten Siak. Jurnal Ilmu Lingkungan 5(2):149-167 Ewusie, J. Y. 1980. Pengantar Ekologi Tropika (Terjemahan). ITB-Press. Bandung.

192 - BPK Manokwari

Guariguata, M. R. & Ostertag, R. (2001). Neotropical secondary forest succession: changes in structural and functional characteristics. Forest Ecology and Management 148 (2001): 185-206 Hadi, S. Ziegler, T., Waltert, M. & Hodges, J. K. (2009). Tree diversity and forest structure in northern Siberut, Mentawai. Tropical Ecology 50 (2): 315-327. Hilwan, I. (2012). Komposisi jenis dan struktur tegakan pada areal bekas tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Silvikultur tropika. Vol 03 no. 03 Desember 2012: 155-160. Htun, N. Z., Mizoue, N. & Yoshida, S. (2011). Tree species composition and diversity at different levels of disturbance in Popa Mountain Park, Myanmar. Biotropica 43(5): 597-603. Ingle, N. R. (2003). Seed dispersal by wind, birds, and bats between Philippine montane rainforest and successional vegetation. Oecologia (2003) 134:251–261 DOI 10.1007/s00442-002-1081-7. Irawan, A. (2011). Keterkaitan struktur dan komposisi vegetasi terhadap keberadaan anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara. Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011: 51-70. Kabelen, F. & M. Warpur. (2009). Struktur, komposisi jenis pohon dan nilai ekonomi vegetasi kawasan hutan di Kampung Sewan Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi. Jurnal Biologi Papua Vol. 1, No. 2.: 72-80. Kusmana, C. , B. H. Saharjo, B. Sumawinata, Onrizal, T. Kato. (2009). Komposisi jenis dan struktur hutan hujan tropika dataran rendah di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Desember 2009. Volume 14(3): 149-156. Lu, X. T., J. X. Yin, & Tang, J. W. (2010). Structure, tree species diversity and composition of tropical seasonal rainforests in Xishuangbanna, South-West China. Journal of Tropical Forest Science 22(3): 260–270 (2010) Ludwig, J. A. & Reynolds, J. F. (1988). Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons. New York-Chichester-Brisbane- Toronto-Singapore. Mansur, M. (2003). Analisis vegetasi hutan di Desa Salua dan Kaduwaa Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT 4(1): 1-7. Mirmanto, E. (2009). Analisis vegetasi hutan pamah di Pulau Batanta, Raja Ampat, Papua. Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 79-96 (2009) Muhdin, E. Suhendang, D. Wahyono, H. Purnomo, Istomo, B. C.H. Simorangkir. (2008). Keragaman dan struktur tegakan hutan alam sekunder. JMHT Agustus 2008 Vol. XIV (2):81-87. Samsoedin, I. (2006). Kondisi strata tajuk pada hutan produksi bekas tebangan di areal kerja PT Inhutani I dan II Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III(4): 379-388.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 193

------& Heriyanto, N. M. (2010). Struktur dan komposisi hutan pamah bekas tebangan illegal di Kelompok Hutan Sei Lepan, Sei Serdang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VII(3): 289-298. ------, Heriyanto, N.M. & Subiandono, E. S. (2010). Struktur dan komposisi jenis tumbuhan hutan pamah di KHDTK Carita Provinsi Banten. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VII(2):139-148. Soukhavong, S., Yong, L., Nanthavong, K. &, J. (2013). Investigation on Species Composition of Plant Community at Tad Xai at Phou Khao Khouay National Park, Lao PDR. Our Nature (2013), 11(1): 1-10. Sidiyasa, K. 2009. Struktur dan komposisi tegakan serta keanekaragamannya di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VI (1): 79-93. Simorangkir, R. H., Mansjoer, S. S., Bismark, M. (2009). Struktur dan Komposisi Pohon di Habitat Orangutan Liar (Pongo abelii), Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6 No. 2 Desember 2009:10-20. Sujarwo, W. & Darma, I D. P. (2011). Analisa vegetasi dan pendugaan karbon tersimpan pada pohon di kawasan sekitar Gunung dan Danau Batur Kintamani Bali. Jurnal Bumi Lestari 11 (1), Pebruari 2011: 85-92. Whitmore, T. C. (1998). An Introduction to Tropical Rain Forests. Second Edition. Oxford University Press. Oxford.

194 - BPK Manokwari

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI PADA HUTAN DATARAN RENDAH PULAU SUPIORI PAPUA

Oleh : Sarah Yuliana dan/and Freddy Jontara Hutapea

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437 Email: [email protected], [email protected]

Abstrak

Perubahan ekosistem hutan berupa perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan merupakan kondisi umum yang di wilayah hutan alam yang mengalami penebangan dan perubahan fungsi lahan. Pengetahuan awal atas potensi tumbuhan tersebut dapat menjadi informasi awal guna pengelolaan selanjutnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi komposisi jenis, struktur vegetasi dan potensi jenis yang tumbuh di daerah hutan dataran rendah Pulau Supiori, Papua. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak, dilanjutkan dengan perhitungan Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman Hayati Shannon-Wiener (H‟), pengelompokan ukuran diameter dan tinggi pohon, analisis secara deskriptif termasuk penilaian potensi jenis.

Penelitian ini menunjukkan komposisi jenis tumbuhan dalam tegakan hutan di hutan Pulau Supiori tersusun oleh 132 jenis tumbuhan (dari 42 famili), dengan rata-rata jumlah terbanyak pada tingkat pertumbuhan pancang. Nilai Indeks Shannon-Wiener dari jenis-jenis tersebut menunjukkan nilai 3.961 atau termasuk kategori tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Struktur kelas diameter dalam vegetasi tersebut umumnya tersebar pada Kelas Diameter I dengan ukuran diameter 10-19 cm, sedangkan Kelas Diameter V yang berukuran diameter 50-59 cm memiliki jumlah paling sedikit. Sebaran tinggi tajuk menunjukkan bagian terbesar tumbuhan di hutan ini berada dalam posisi lower canopy (tinggi tajuk < 20 m). Penilaian terhadap jenis-jenis pohon dari segi ekonomis menunjukkan adanya 60 jenis pohon yang termasuk kategori kayu komersial dan kayu indah.

Secara keseluruhan, tegakan hutan di hutan alam Pulau Supiori masih berada dalam keadaan cukup baik, meskipun sudah mengalami pergeseran menuju vegetasi sekunder, akibat komposisi jenis yang relatif rendah, didominasi oleh kelompok tumbuhan berdiameter kecil dan sedang, dengan kondisi tajuk umumnya memiliki tinggi kurang dari 20 m. Proses penebangan dan pembukaan hutan untuk fungsi penggunaan lain dapat menjadi ancaman terhadap potensi vegetasi dan hutan yang bernilai secara ekologis dan ekonomis.

Kata kunci : komposisi hutan, struktur vegetasi, potensi jenis kayu, hutan dataran rendah, Pulau Supiori, Papua

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 195

COMPOSITION AND STRUCTURE OF VEGETATION ON LOWLAND FOREST AT SUPIORI ISLAND PAPUA

Abstract

Changes in vegetation composition and structure have become ordinary impacts of ecosystem changes on opened-primary forest for other purposes. The preliminary information about potency of species on the forest can also be useful for its future management. This research was conducted to represent the composition, structure and species potency of vegetation in lowland forest at Supiori Island, Papua. This research used vegetation analysis with method of line-plot sampling, followed by calculated Important Value Index (IVI), Diversity Index of Shannon-Wiener (H‟), categorizing samples in the class of height and diameter, along with descriptive analysis including for the species potency analysis.

The results showed the total of 132 species (42 family), distributed mostly on the growth level of saplings. The value of H‟ from the sample was 3.961, signified the high level of species diversity. Distribution of diameter class (DC) showed the DC I (dbh of 10-19) had the largest amount, while trees of DC V (dbh of 50-59) had the least number. Distribution of height class pointed out that most of the vegetation in the observation forest was within lower canopy class (crown height below 20 m). There were 60 species of valuable , stated as coomercial woods and fancy woods for carpentry. In the whole, vegetation of lowland forest in Supiori Island, Papua has a quite normal condition though the forest has been shifting to the secondary forest due to the relatively unvariable of vegetation composition, domination of small diameter and lower canopy trees. Tree felling and forest opening for other purposes could threaten the potency of vegetation and forest condition ecologically and economically.

Key words : forest composition, vegetation structure, species potency, lowland forest, Supiori Island, Papua

196 - BPK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian menyangkut ekologi tumbuhan secara kuantitatif di Indonesia umumnya lebih banyak dilakukan di wilayah barat daripada wilayah timur. Hutan-hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan telah lebih dahulu mengalami penebangan untuk tujuan hasil hutan, atau untuk berubah fungsi menjadi peruntukan lainnya (Samsoedin, 2006; Samsoedin & Heriyanto, 2010; Samsoedin dkk, 2010). Hal ini sangat disayangkan, karena kegiatan penebangan hutan dan pemanfaatan hasil hutan lain yang berpotensi mengubah kondisi awal hutan juga terjadi di wilayah lainnya di Indonesia. Sebelum dilakukan proses pemanenan kayu dari hutan, kondisi vegetasi dan tegakan hutan merupakan suatu lingkungan dan ekosistem yang utuh dan khas. Kondisi ini meliputi antara lain kondisi komposisi jenis dan struktur vegetasi yang berbeda-beda sesuai lokasi tumbuhnya (Brearly, 2004; Ewusie, 1980; Whitmore, 1998). Pengumpulan data dan informasi menyangkut kondisi komposisi jenis dan keadaan struktur tegakan yang ada dalam hutan yang mengalami penebangan, baik sebelum maupun sesudah kegiatan itu berlangsung dapat menjadi dasar untuk perbaikan atau restorasi kawasan tersebut di masa mendatang. Pembukaan wilayah hutan di Indonesia saat ini sudah mulai bergeser menuju wilayah Papua. Wilayah hutan di Papua telah mengalami berbagai perubahan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan daerah, pertanian, perkebunan, serta wilayah hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Pada daerah-daerah yang mengalami perubahan fungsi hutan menjadi peruntukan lain, tidak akan ada lagi wilayah hutan yang akan tersisa. Salah satu wilayah hutan alam yang berada di daerah dengan rencana perubahan fungsi lahan di Papua adalah hutan dalam Kabupaten Supiori. Kabupaten Supiori merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Biak Numfor, dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2003 dengan luas wilayah daratan dengan mencapai 704,24 Km2 dan wilayah perairan seluas 5.993 Km2. Wilayah Kabupaten Supiori sebagian besar terletak di Pulau Supiori dan sebagian lainnya di Pulau Biak. Menurut Peta Kawasan Hutan dan Wilayah Perairan Provinsi Papua, sebagian besar wilayah ini merupakan kawasan hutan suaka alam. Daerah ini memiliki kawasan hutan seluas 45.384 ha atau sekitar 65% dari luas wilayah Kabupaten Supiori. Kawasan hutan di daerah ini menjadi 4 fungsi kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, kawasan suaka alam (cagar alam) dan kawasan lainnya. Potensi sumberdaya hutan yang didasarkan pada SK. Menthutbun No.891/KPTS-II/1999, kawasan hutan lindung mempunyai luas yang paling besar yaitu sebesar 123.436,89 Ha (42,33 dari luas wilayah hutan) dan menempati urutan berikutnya adalah kawasan hutan produksi terbatas seluas 54.648,83 Ha (18,74% dari luas wilayah hutan), kawasan hutan konservasi seluas 45,148,96 Ha (15,46% dari luas wilayah hutan) areal penggunaan lain seluas 34.500,23 Ha (11,83%) dan hutan produksi seluas 33.860.83 Ha (11,61% dari luas wilayah hutan). Hutan konservasi terdiri dari Cagar Alam Kabupaten Supiori terletak di Supiori Selatan dan Supiori Utara dan

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 197

berdasarkan hasil tata batas panjang 159,14 km, luas 41,990 Ha dengan SK Penetapan No.026/Kpts-II/1988 tanggal 11 Januari 1988. Atas dasar tersebut di atas, maka diperlukan adanya informasi pendukung terhadap upaya perlindungan terhadap kawasan hutan lindung, hutan konservasi serta pengawasan terhadap pengelolaan kawasan hutan produksi supaya produktifitas kayu stabil atau mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun dengan tujuan untuk menopang kesejahteraan masyarakat dan tetap terjaganya kelestarian alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi serta potensi jenis yang dijumpai di hutan dataran rendah Pulau Supiori, Papua.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada pada wilayah hutan dalam areal kerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Supiori, berada di wilayah Kampung Kobarijaya, Distrik Supiori Utara, Distrik Supiori Utara. Titik pengamatan berada pada sekitar koordinat 00°44‟24,5”LS dan 135°44‟49,5”BT. Secara umum lokasi pengmatan adalah hutan dataran rendah dengan kondisi topografi berbukit-bukit, di beberapa tempat berada di dataran dekat aliran sungai-sungai kecil dan mencapai kemiringan sampai 45°. Tipe hutan secara umum merupakan hutan dataran rendah perbukitan dengan tipe tanah berpasir dan berbatu. Pada dasarnya areal hutan ini juga mencakup areal hutan rawa bakau, dan rawa air tawar, namun kegiatan pengamatan jenis yang dilakukan hanya dilakukan di areal hutan dataran rendah perbukitan. Sebagian besar lokasi pengamatan terletak sangat dekat dengan areal kebun dan ladang penduduk yang didapati tidak memiliki batas-batas yang jelas.

B. Peralatan Penelitian Peralatan yang diperlukan dalam pengumpulan data adalah peralatan survei mencakup pita ukur, tali rafia, tali tambang, parang, tally-sheet, alat tulis, kamera.

C. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui analisis vegetasi dalam 56 petak pengamatan dengan metode jalur berpetak. Petak-petak pengamatan yang dibentuk terdiri dari 4 (empat) ukuran untuk pengumpulan data jenis tumbuhan berkayu berdasarkan tingkat pertumbuhannya masing-masing (Gambar 1. Soerianegara & Indrawan, 1992). Petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan dan pengukuran tingkat pohon, yaitu pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm; 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, yaitu pohon muda berdiameter ≥ 7 cm -

198 - BPK Manokwari

< 20 cm; 5m x 5m untuk tingkat pancang, yaitu anakan pohon dengan tinggi ≥ 1,5 m dan ukuran diameter <7 cm, dan 2m x 2m untuk tingkat semai, yaitu anakan pohon hingga mencapai tinggi 1, 5 m.

d) d)

c) c)

b) a) b) a) a) a) b) b) Arah jalur c) c) d) d) Gambar (Figure)1. Desain unit contoh dalam analisis vegetasi (Design of smaple units for vegetation analysis) Data-data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah spesies tumbuhan, ukuran diameter setinggi dada (dbh), tinggi bebas cabang dan tinggi total. Sementara untuk tingkat pancang dan semai hanya dilakukan pencatatan jenis dan penghitungan jumlah yang dijumpai dalam tiap petak.

D. Metode Analisis Data 1. Komposisi Vegetasi Data-data yang diperoleh dalam pengukuran di lapangan selanjutnya digunakan untuk menentukan spesies-spesies penting dalam komunitas dari seluruh tegakan sampel. Penentuan spesies-spesies penting tersebut dilakukan berdasarkan nilai Indeks Nilai Penting (INP) menurut Curtis (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974 dalam Sidiyasa, 2009), berdasarkan nilai kerapatan (ind/ha), frekuensi, dominansi (m2/ha) dari masing-masing jenis yang dijumpai.

2. Struktur Vegetasi - Data tinggi total seluruh tiang dan pohon yang diamati selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas tajuk (Samsoedin, 2006)  Kelas Emergent = tinggi > 50 m  Kelas Upper Canopy = tinggi antara 30 – 50 m  Kelas Middle Canopy = tinggi antara 20 – 30 m  Kelas Lower Canopy = tinggi < 20 m

- Data diameter setinggi dada (dbh) seluruh tiang dan pohon yang diamati selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas diameter (Samsoedin & Heriyanto, 2010)  Kelas Diameter I = diameter 10 – 19 cm  Kelas Diameter II = diameter 20 – 29 cm  Kelas Diameter III = diameter 30 – 39 cm  Kelas Diameter IV = diameter 40 – 49 cm

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 199

 Kelas Diameter V = diameter 50 – 59 cm  Kelas Diameter VI = diameter > 60 cm

3. Indeks Keanekaragaman Jenis Data spesies dan jumlah spesies yang dijumpai selama pengukuran selanjutnya digunakan untuk menghitung Indeks Keanekaragaman Jenis dengan Indeks Shannon-Wiener (Ludwig & Reynolds, 1988) : 푛 푛 퐻′ = − ∑ 푝 ln 푝 = ∑ 푖 ln 푖 푖 푖 푁 푁 Dimana: H‟ = Indeks Shannon-Wiener pi = proporsi jenis ke-i ni = jumlah jenis ke-i N = jumlah total individu Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener dianalisa berdasarkan Brower & Zar (1990) dengan toleransi nilai antara 0 - ~ serta kriteria sebagai berikut : Jika H‟ < 2 : keanekaragaman individu rendah, tingkat kestabilan habitat rendah. Jika 2 < H‟ < 3 : keanekaragaman individu sedang, tingkat kestabilan habitat sedang. Jika H‟ > 3 : keanekaragaman individu tinggi, penyebaran jumlah individu tinggi dan kestabilan habitat tinggi.

4. Nilai potensi spesies dan tegakan Nilai potensi ini dianalisis secara deskripsi berdasarkan keberadaan spesies- spesies komersial yang dijumpai dari hasil pengamatan dan pengukuran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Vegetasi Jumlah spesies yang dijumpai selama pengukuran secara keseluruhan mencapai 132 spesies dari 42 famili. Spesies yang terbanyak dijumpai berasal dari famili Meliaceae (10 spesies, 5 genus), disusul Euphorbiaceae (9 spesies, 7 genus), dan Myristicaceae (8 spesies, 4 genus). Komposisi spesies untuk masing-masing tingkat pertumbuhan menunjukkan perbedaan yang cukup beragam, sementara jumlah famili berkisar pada jumlah 32-35 famili (Gambar 2).

200 - BPK Manokwari

100 92 Spesies (Species) Famili (Family) 90 83 80 76 72

70 ) 60

Number 50 40 35 33 33 32 Jumlah Jumlah ( 30

20 10 0 Semai Pancang Tiang Pohon Tingkat Pertumbuhan (Growth Level) Gambar (Figure) 2. Komposisi jenis vegetasi hutan dataran rendah Pulau Supiori (Composition of vegetation species on lowland forest of Supiori Island) Komposisi jenis yang ada menunjukkan bahwa jumlah jenis pada tingkat pancang mencapai tingkat tertinggi melebihi jumlah jenis pada tingkat pertumbuhan lainnya. Kondisi ini dapat terjadi akibat kurang berhasilnya proses penyebaran atau proses permudaan dari pohon-pohon dewasa di lokasi pengamatan. Adanya gangguan atau kerusakan pada tegakan di lokasi memungkinkan jumlah jenis yang bisa menyisakan permudaannya untuk melakukan regenerasi menjadi lebih sedikit jenisnya (Sidiyasa, 2009; Hadi dkk, 2009; Mansur, 2003; Whitmore, 1998; Samsoedin dkk,2010; Sujarwo & Darma, 2011).

1000 945 900 800

700 635

) 600 500 345 Numbers 400 300 235

200 Jumlah Jumlah ( 100 0 Semai Pancang Tiang Pohon Tingkat Pertumbuhan (Growth Level) Gambar (Figure) 3. Jumlah individu yang diukur selama pengamatan (Number of observed plants) Kondisi yang agak berbeda dengan komposisi jenis dan famili adalah komposisi jumlah individu yang dijumpai berdasarkan perbedaan tingkat pertumbuhan (Gambar 3). Vegetasi yang diamati menunjukkan gambaran jumlah individu untuk tingkat semai melebihi jumlah individu dari tingkat pertumbuhan lainnya, dengan jumlah individu paling sedikit terletak pada tingkat tiang. Secara umum, gambaran ini menunjukkan bahwa tegakan yang diukur

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 201

masih berada dalam kondisi cukup aman untuk regenerasi. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah permudaan berupa semai dan pancang yang memiliki peluang untuk berkembang menjadi tingkatan tiang dan pohon di masa mendatang. Proses regenerasi dalam hutan merupakan suatu fenomena alam yang terjadi akibat pergantian pohon dewasa yang tumbang akibat berbagai sebab dengan pohon-pohon muda. Penyebab proses regenerasi dapat mencakup tumbangnya pohon akibat proses penebangan, adanya bencana alam, mati akibat proses fisiologis atau karena terbakar. Sementara proses penyebaran, pertumbuhan dan permudaan pohon dalam proses regenerasi hutan ini sendiri selanjutnya sangat dipengaruhi oleh daya tumbuh biji, kondisi topografi dan keadaan tanah, serta faktor lingkungan lainnya (Ewusie, 1980; Samsoedin & Haryanto, 2010; Sujarwo & Darma, 2011; Whitmore, 1998). Nilai Indeks Shannon-Wiener (H‟) untuk vegetasi yang diukur di hutan Supiori ini mencapai nilai 3,918. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi keanekaragaman jenis tumbuhan tergolong tinggi dengan penyebaran jumlah individu dan prediksi tingkat kestabilan habitat yang tinggi pula (Brower & Zar, 1990). Keanekaragaman hayati pada dasarnya merupakan kombinasi dari 3 (tiga) penentu utama komposisi jenis, yaitu (1) kekayaan atau jumlah jenis, (2) evenness atau kelimpahan relatif suatu jenis, dan (3) homogenitas (Ludwig & Reynolds, 1988). Ketiga hal tersebut berkaitan dengan kestabilan habitat yang diamati. Meskipun jumlah petak pengukuran di wilayah Supiori ini tidak mencapai ratusan petak, namun nilai H‟ dari hasil pengukuran dapat dijadikan dasar untuk memperkirakan bahwa kondisi kekayaan jenis di Pulau Supiori cukup tinggi, dengan kelimpahan relatif jenis-jenis yang ada di dalamnya yang relatif seragam serta kondisi lokasi memiliki tingkat homogenitas cukup tinggi. Berdasarkan keseluruhan jenis yang didata selama penelitian, tegakan hutan di daerah Supiori didominasi oleh jenis-jenis yang relatif berbeda di setiap tingkat pertumbuhannya (Tabel 1). Tabel (Table) 1. Indeks Nilai Penting (INP) sepuluh jenis dominan tumbuhan berkayu pada tiap tingkat pertumbuhan (Importance Value Index (IVI) of the tent most-dominant species for all growth stage) Jenis Famili INP Jenis Famili INP (Species) (Family) (IVI) (Species) (Family) (IVI)

Semai Tiang Celtis latifolia Cannabaceae 22.89 Spathiostemon javensis Euphorbiaceae 36.99 Palaquium lobianum Sapotaceae 22.05 Octomeles sumatrana Datiscaceae 29.05 Maniltoa brownoides Fabaceae 12.94 Heritiera littoralis Sterculiaceae 18.91 Maniltoa sp. Fabaceae 12.38 Celtis latifolia Ulmaceae 15.61 Lepiniopsis ternatensis Apocynaceae 8.29 Pterygota horsfieldia Sterculiaceae 12.05 Palaquium amboinensis Sapotaceae 6.67 Blumeodendron Euphorbiaceae 10.49 biscolor Pterygota horsfieldia Sterculiaceae 6.58 Macaranga mappa Euphorbiaceae 9.43

Calophyllum Calophyllaceae 6.38 Lepiniopsis ternatensis Apocynaceae 9.22 inophyllum Heritiera littoralis Sterculiaceae 5.55 Litsea tuberculata Lauraceae 8.19

202 - BPK Manokwari

Myristica fatua Myristicaceae 5.53 Calophyllum Calophyllaceae 7.75 inophyllum

Pancang Pohon Spathiostemon javensis Euphorbiaceae 17.11 Pometia acuminata Sapindaceae 27.02

Canarium indicum Burseraceae 12.53 Celtis latifolia Cannabaceae 22.54 Myristica fatua Myristicaceae 10.98 Intsia bijuga Fabaceae 16.80 Celtis latifolia Ulmaceae 6.47 Pometia pinnata Sapindaceae 12.20 Pterygota horsfieldia Sterculiaceae 6.18 Manilkara fasciculata Sapotaceae 11.39 Pimelodendron Euphorbiaceae 5.85 Pometia coreaceae Sapindaceae 10.07 amboinicum Heritiera sp. Sterculiaceae 5.10 Intsia palembanica Fabaceae 9.46 Palaquium amboinensis Sapotaceae 4.97 Litsea tuberculata Lauraceae 7.85 Heritiera littoralis Sterculiaceae 4.92 Heritiera sp. Sterculiaceae 7.40 Drypetes globosa Euphorbiaceae 4.79 Campnosperma Anacardiaceae 6.92 auriculata Sumber (Source): Data hasil penelitian (Research data) Susunan jenis-jenis dominan dalam Tabel 1 menunjukkan beberapa jenis yang sama dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Jenis-jenis tersebut misalnya Nyatoh (Palaquium amboinicum) dan kayu celtis (Celtis latifolia). Jenis-jenis kayu rimba ini tergolong jenis-jenis yang biasa tumbuh di hutan dataran rendah. Sementara jenis Heritiera sp dan Heritiera littoralis yang dijumpai pada dasarnya merupakan jenis umum dari vegetasi hutan pantai. Keberadaannya dalam hutan di daerah perbukitan meskipun sudah berada cukup jauh dari wilayah pantai, diduga karena karakter tanah daerah ini masih terpengaruh kondisi pantai yang melingkupi seluruh pulau. Keberadaan jenis makaranga (Macaranga mappa) sebagai salah satu jenis perintis yang umum di daerah terbuka menandakan daerah hutan primer ini telah mengalami gangguan atau keterbukaan lahan (Kabelen & Warpur, 2009; Whitmore, 1998).

B. Struktur Vegetasi Pengelompokan sesuai ukuran diameter, yang hanya diperhitungkan untuk tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Individu-individu dalam Kelas Diameter (KD) I menunjukkan jumlah yang sangat banyak, jauh melebihi kelas-kelas diameter lainnya. Sementara KD V menunjukkan jumlah individu yang paling sedikit. KD I didominasi oleh species-species dari famili Myristicaceae dan Euphorbiaceae yang masing-masing berjumlah 6 spesies. Dijumpai pula beberapa pohon dari KD VI dengan ukuran diameter batang melebihi 100 cm, antara lain dari spesies Campnosperma auriculata, Intsia bijuga, Manilkara fasiculata, Palaquium lobianum, Pterygota horsfieldia, dan Paraserianthes falcataria.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 203

250 235

200

150

(Number of individuals) 98 87 100 79 58 50 23

Jumlah Jumlah individu 0 KD I KD II KD III KD IV KD V KD VI Kelas Diameter (Dbh-Class) Gambar (Figure) 4. Struktur tegakan tumbuhan berkayu berdasarkan kelas diameter (Vegetation structure based on diameter class) Struktur tegakan dalam hutan tidak selalu berada dalam kondisi seragam meskipun berada dan tersebar pada tempat yang sama. Adanya perbedaan dalam kemampuan masing-masing jenis dan masing-masing individu dalam memanfaatkan energi matahari yang diterimanya, unsur hara dan mineral serta adanya persaingan dengan jenis dan individu lain turut menentukan kondisi struktur tegakan, termasuk ukuran diameter (Kabelen & Warpur, 2011; Ewusie, 1980, Samsoedin & Heriyanto, 2010; Sujarwo & Darma, 2011). Sebaran tinggi kelompok tiang dan pohon menunjukkan adanya dominasi tegakan oleh kelompok lower canopy (Gambar 5). Pada saat pengukuran sama sekali tidak dijumpai pohon-pohon yang mencapai tingkat emergent atau memiliki ketinggian di atas 50 m dari permukaan tanah. Kondisi tegakan seperti ini seringkali disebabkan oleh sedikitnya dua hal berikut, yaitu 1) kondisi tempat tumbuh yang tidak cukup subur untuk mendukung proses pertumbuhan, 2) kemampuan tumbuhan masing-masing dalam menghadapi kondisi tempat tumbuh yang berbeda-beda (seperti pada kondisi vegetasi sesuai kelas diameter sebelumnya) serta 3) tegakan tersebut telah mengalami gangguan, misalnya akibat penebangan (Sidiyasa, 2009; Ewusie, 1980; Whitmore, 1998; Htun dkk, 2011. 400

344

) 350 300

250

200

Number of individuals 150 134 102 100 50 0

0 Jumlah Jumlah individu ( Lower Canopy Medium Canopy Upper Canopy Emergent Kategori Tinggi Tajuk (Height Class) Gambar (Figure) 5. Struktur tegakan tumbuhan berkayu berdasarkan tinggi tajuk (Vegetation structure based on height class)

204 - BPK Manokwari

Secara umum berdasarkan sebaran kelas diameter dan tinggi tegakan, hutan di Pulau Supiori ini telah mulai menunjukkan karakteristik hutan sekunder (Brearly dkk, 2004; Brown & Lugo, 1990; Kabelen & Warpur, 2009; Whitmore, 1998). Pohon-pohon dalam hutan sekunder umumnya berukuran tidak terlalu tinggi atau hanya termasuk kelompok lower canopy, dengan luas basal area yang rendah. Meskipun hutan Supiori merupakan hutan yang masih asli, semakin maraknya penebangan dan pembukaan hutan untuk fungsi lainnya di sekitar wilayah hutan yang diukur, ditambah dengan semakin tingginya akses ke kawasan dengan banyaknya jalan-jalan kecil di dalam dan sekitar hutan telah menyebabkan kondisi hutan alami ini bergeser menjadi hutan sekunder.

C. Potensi Spesies dan Tegakan Komposisi dan struktur tegakan vegetasi dalam hutan di Pulau Supiori selain menunjukkan kondisi ekologis kawasan berupa kawasan hutan dataran rendah kepulauan, juga dapat menggambarkan potensi ekonomis. Kawasan ini berada di sekitar bagian hutan yang baru saja mengalami pembukaan untuk kepentingan lain seperti daerah perkebunan penduduk dan areal perkantoran. Sayangnya, pada saat pembukaan hutan tersebut, pertimbangan akan jenis-jenis kayu bernilai ekonomis dan ukuran diameter yang aman untuk keberlangsungan tegakan beserta fungsi ekologisnya belum menjadi hal penting. Beberapa jenis pohon yang dijumpai selama pengukuran sesungguhnya bernilai cukup tinggi secara ekonomis (Tabel 2). Penilaian terhadap jenis-jenis ini dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 tanggal 26 Mei 2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan dengan Beberapa Penyesuaian. Tabel (Table) 2. Daftar jenis kayu komersial dan kayu indah yang dijumpai selama pengamatan (Species list of commercial woods and fancy woods based on species list from observed vegetation)

No Spesies Kategori Keterangan 1. Adenanthera KI 2/FW 2 Berlaku untuk Adenanthera spp. pavonina 2. Adina multifolia KI 2/FW 2 A. fagifolia = KI 1/FW 1, A. minutiflora = KK 2/CW 2 3. Buchanania KK 2/CW 2 Berlaku untuk Buchanania spp. arborescens 4. Buchanania KK 2/CW 2 macrocarpa 5. Calophyllum costatum KK 2/CW 2 Berlaku juga untuk C. papuanum, C. 6. Calophyllum KK 2/CW 2 pulcherrimum, C. soulatri inophyllum 7. Campnosperma KK 2/CW 2 Berlaku untuk Campnosperma spp. (juga C. auriculata brevipetiolatum) 8. Cananga odorata KK 2/CW 2 Berlaku untuk Cananga sp. 9. Canarium asperum KK 1/CW 1 Berlaku untuk Canarium spp. 10. Canarium indicum KK 1/CW 1 11. Celtis latifolia KK 1/CW 1 Berlaku untuk Celtis spp. 12. Celtis phillipinensis KK 1/CW 1 13. Dillenia alata KK 2/CW 2 Berlaku untuk Dillenia spp., juga untuk D. 14. Dillenia excelsa KK 2/CW 2 grandiflora, D. obovata, D. pentagyna

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 205

15. Dillenia papuana KK 2/CW 2 16. Dillenia sp. KK 2/CW 2 17. Diospyros discolor KI 1/FW 1 Termasuk kategori Kayu Indah 1/Kayu Eboni, 18. Diospyros papuana KI 1/FW 1 berlaku untuk Diospyros spp. D. celebica, D. rumphii, D. creolata, D. cauliflora, D. ebenum, D. ferrea, D. lolin, D. macrophylla 19. Dracontomelon edule KI 2/FW 2 Berlaku untuk Dracontomelon spp., terutama D. dao dan D. mangiferum 20. Endospermum KK 2/CW 2 mollucanum 21. Fagraea sp. KK 2/CW 2 Berlaku untuk Fagraea spp. 22. Gluta renghas KI 2/FW 2 Berlaku untuk Gluta spp., Melanorrhea spp. Jenis Gluta aptera termasuk dalam kategori KK2/CW2 23. Heritiera littoralis KK 1/CW 1 Berlaku untuk Heritiera spp., seperti H. littoralis, 24. Heritiera sp. KK 1/CW 1 H. javanica 25. Intsia bijuga KK 1/CW 1 26. Intsia palembanica KK 1/CW 1 27. Litsea ampela KK 2/CW 2 Berlaku juga untuk Litsea firma 28. Litsea ladermanii KK 2/CW 2 29. Litsea latifolia KK 2/CW 2 No Spesies Kategori Keterangan 30. Litsea tuberculata KK 2/CW 2 31. Macaranga auritoides KK 2/CW 2 Berlaku untuk Macaranga spp. 32. Macaranga mappa KK 2/CW 2 33. Mangifera sp. KI 2/FW 2 Berlaku untuk Mangifera spp. 34. Manilkara fasiculata KI 2/FW 2 Berlaku untuk Manilkara spp., seperti M. kauki, M. fascicularis, M. kanosiensis 35. Mastixiodendron KK 2/CW 2 Berlaku untuk Mastixiodendron spp. angustifolium 36. Mastixiodendron KK 2/CW 2 pachyclados 37. Melia excelsa KI 2/FW 2 Berlaku untuk Melia spp., terutama M. azedarach 38. Myristica fatua KK 2/CW 2 Berlaku untuk Myristica spp. 39. Myristica globosa KK 2/CW 2 40. Myristica tubiflora KK 2/CW 2 41. Octomeles sumatrana KK 2/CW 2 42. Palaquium KK 1/CW 1 Berlaku untuk Palaquium spp. amboinensis 43. Palaquium lobianum KK 1/CW 1 44. Paraserianthes KK 2/CW 2 falcataria 45. Podocarpus amara KI 2/FW 2 Berlaku untuk Podocarpus spp. 46. Podocarpus blumei KI 2/FW 2 47. Polyalthia glauca KK 2/CW 2 Berlaku terutama untuk P. glauca 48. Polyalthia sp. KK 2/CW 2 49. Pometia acuminata KK 1/CW 1 Berlaku untuk Pometia spp., terutama untuk P. 50. Pometia coreacea KK 1/CW 1 pinnata dan P. forster 51. Pometia pinnata KK 1/CW 1 52. Pterygota horsfieldia KK 2/CW 2 Berlaku untuk Pterygota spp. 53. Sterculia parkinsonii KK 2/CW 2 Berlaku untuk Sterculia spp. 54. Sterculia shillinglawii KK 2/CW 2 55. Syzygium anomalia KK 2/CW 2 Berlaku untuk Syzygium spp. 56. Syzygium sp. KK 2/CW 2 57. Syzygium verstegii KK 2/CW 2 58. Terminalia KK 2/CW 2 Berlaku untuk Terminalia spp. complanata 59. Terminalia copelandi KK 2/CW 2 60. Toona sureni KK 2/CW 2

206 - BPK Manokwari

Catatan (Notes) : KK I/CW I = Kayu Komersil I/Commercial Wood I, Kelompok jenis meranti KK II/CWII = Kayu Komersil II/Commercial Wood II, Kelompok jenis kayu rimba campuran KI I/FW I = Kayu Indah I/Fancy Wood I, Kelompok jenis kayu indah I, kelompok jenis kayu Eboni KI II/FW II = Kayu Indah II/Fancy Wood II, Kelompok jenis kayu indah II

Tabel 2 menunjukkan adanya 60 jenis kayu bernilai ekonomis tinggi sebagai kayu komersial dan kayu indah. Bila dikelompokkan lagi, daftar jenis tersebut memiliki 13 jenis Kayu Komersil I, 36 jenis Kayu Komersil II, 2 jenis Kayu Indah I dan 9 jenis Kayu Indah II. Informasi menyangkut jenis-jenis kayu komersial dan kayu indah tersebut dapat menggambarkan bahwa tegakan hutan di Pulau Supiori dapat bermanfaat secara ekonomis. Manfaat ekonomis tersebut selanjutnya dapat diarahkan pada kedua hal berikut: 1) penghasil kayu dari jenis- jenis yang bernilai untuk kayu pertukangan, 2) sumber benih alami dari jenis- jenis kayu pertukangan tadi.

IV. KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan komposisi jenis tumbuhan dalam tegakan hutan di hutan Pulau Supiori tersusun oleh 132 jenis tumbuhan (dari 42 famili), dengan rata-rata jumlah terbanyak pada tingkat pertumbuhan pancang. Nilai Indeks Shannon-Wiener dari jenis-jenis tersebut menunjukkan nilai 3.961 atau termasuk kategori tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Struktur kelas diameter tingkat tiang dan pohon dalam vegetasi tersebut umumnya tersebar pada Kelas Diameter I dengan ukuran diameter 10-19 cm, sedangkan Kelas Diameter V yang berukuran diameter 50-59 cm memiliki jumlah paling sedikit. Sebaran tinggi tajuk menunjukkan bagian terbesar tumbuhan di hutan ini berada pada posisi lower canopy (tinggi tajuk < 20 m). Penilaian terhadap jenis-jenis pohon dari segi ekonomis menunjukkan adanya 60 jenis pohon yang termasuk kategori kayu komersial dan kayu indah. Secara keseluruhan, tegakan hutan di hutan alam Pulau Supiori masih berada dalam keadaan cukup baik, meskipun sudah mengalami pergeseran menuju vegetasi sekunder akibat komposisi jenis yang relatif rendah, didominasi oleh kelompok tumbuhan berdiameter kecil dan sedang, dengan kondisi tajuk umumnya memiliki tinggi kurang dari 20 m. Proses penebangan dan pembukaan hutan untuk fungsi penggunaan lain dapat menjadi ancaman terhadap potensi vegetasi dan hutan yang bernilai secara ekologis dan ekonomis.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 207

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih pada seluruh pihak yang telah membantu pengumpulan data di lapangan, terutama Bapak Zeth L. Rumawak, Bapak Marinus Rumawak, Bapak Yusuf Komendi, Bapak Timotius Siriwa, dan staf Dishutbun Kabupaten Supiori, Bpk Hendrison Ondi, Ibu Chika dan Bapak Lukas Mandowen, Keluarga Bapak Martinus Baab, Bapak Jack dan Julius, seluruh tenaga pemandu dari dari Kampung Kobari Jaya, serta Bapak Sambo dari Fakultas Kehutanan Unipa Manokwari.

208 - BPK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Brearly, F. Q., S. Pradjadinata, P. S. Kidd., J. Proctor & Suriantata. 2004. Structure and floristics of an old secondary rain forest in Central Kalimantan, Indonesia, and a comparison with adjacent primary forest. Forest Ecology and Management 195. 3 (2004): 385-397. Brower, J. E. & J. H. Zar. 1990. Field Laboratory Methods for General Ecology. Wm. C. Brown Company Publishers. Dubuque. Iowa. Brown, S. & A. E. Lugo. 1990. Tropical secondary forest. Journal of Tropical Ecology. 6:1-32. Ewusie, J. Y. 1980. Pengantar Ekologi Tropika (Terjemahan). ITB-Press. Bandung. Hadi, S. T. Ziegler, M. Waltert & J. K. Hodges. 2009. Tree diversity and forest structure in northern Siberut, Mentawai. Tropical Ecology 50 (2): 315- 327. Kabelen, F. & M. Warpur. 2009. Struktur, komposisi jenis pohon dan nilai ekonomi vegetasi kawasan hutan di Kampung Sewan Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi. Jurnal Biologi Papua Vol. 1, No. 2.: 72-80. Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons. New York-Chichester-Brisbane- Toronto-Singapore. Mansur, M. 2003. Analisis vegetasi hutan di Desa Salua dan Kaduwaa Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT 4(1): 1-7. Samsoedin, I. dan N. M. Heriyanto. 2010. Struktur dan komposisi hutan pamah bekas tebangan illegal di Kelompok Hutan Sei Lepan, Sei Serdang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII. No. 3. Hal 289-298. ------, N.M. Heriyanto & E. Subiandono. 2010. Struktur dan komposisi jenis tumbuhan hutan pamah di KHDTK Carita Provinsi Banten. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VII(2):139-148. Sidiyasa, K. 2009. Struktur dan komposisi tegakan serta keanekaragamannya di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VI. No. 1. 79-93, 2009. Sujarwo, W. & I D. P. Darma. 2011. Analisa vegetasi dan pendugaan karbon tersimpan pada pohon di kawasan sekitar Gunung dan Danau Batur Kintamani Bali. Jurnal Bumi Lestari 11 (1), Pebruari 2011: 85-92. Whitmore, T. C. 1998. An Introduction to Tropical Rain Forests. Second Edition. Oxford University Press. Oxford.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 209

210 - BPK Manokwari

LAMPIRAN

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 211

212 - BPK Manokwari

Lampiran 1

Jadwal Kegiatan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari 2011

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 213

214 - BPK Manokwari

Lampiran 2.

Daftar Hadir Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011

NO NAMA INSTANSI

1 A. Ardi BBTNTC 2 Abdul Solichin PERDU Manokwari 3 Ahmad Syihabi SMK Kehutanan 4 Apner Marar BPK Manokwari 5 Ayati BKSDA 6 B. A. Hallatu Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong 7 Baharinawati Wilhan BPK Manokwari Hastanti 8 Batseba A. Suripatty BPK Manokwari 9 BE. Susanto BP2HP Wilayah XVIII 10 Christian Moai BP2HP Wilayah XVIII 11 Daud Bano Dinas Kehutanan 12 Demianus Aska Masyarakat GM 13 Ditha Aryanti UNIPA 14 Dody Rahmansyah BPK Manokwari 15 Donatus Awujani BBTNTC 16 Donatus Marani UNIPA 17 Dwi Korani BPK Manokwari 18 Edwin Lodewiyk Yoroh BPK Manokwari 19 Eko Suwarno BP2HP Wilayah XVIII 20 Elim Kalua BLK Manokwari 21 Esie Mega Wangi BBTNTC 22 Estiko Tri Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat 23 Ezrom Batorinding BPK Manokwari 24 Ferry Manufandi Yalhimo Manokwari 25 Fitryanti Pakiding UNIPA 26 Frank Lambori BBTNTC 27 Freddy J. Hutapea BPK Manokwari 28 Fredikus Sutaji BPK Manokwari 29 Garsetiasih Puskonser Bogor 30 Gidzon Mandacan BPK Manokwari 31 Harisetijono BPK Manokwari 32 Hendrik Runaweri Kadishut 33 Hendy K. BP2HP Wilayah XVIII 34 Hermadi BBTNTC

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 215

NO NAMA INSTANSI

35 Indah Maria Ratna N. UNIPA 36 Indun Isyunanjo BP2HP Wilayah XVIII 37 Inseren D. Marisan Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat 38 Isak H. Ainusi Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat 39 Ishak Silamba UNIPA 40 J. BakArbessy Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat 41 J.J. Kesaulija Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat 42 Johan A. Rumawak BPK Manokwari 43 Jufri Thaib BPK Manokwari 44 Julanda Noya BPK Manokwari 45 Junus Tambing BPK Manokwari 46 Ketut Arta KASDIM 1703 Manokwari 47 L. Rumawak BPK Manokwari 48 Laban Mandibodibo BPK Manokwari 49 Lidia Tesa BBTNTC 50 M. Ronsumbre Polsek Bandara 51 M. Siregar BBTNTC 52 Mamat R. BPKH 53 Marga T. SMK Kehutanan 54 Maria I. Arim, SP, M.Sc UNIPA 55 Mariana T. Puskonser Bogor 56 Marie Elen Tohitoe, S.Hut SMK Kehutanan 57 Markones Karubaba Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat 58 Max J. Tokede UNIPA 59 Meidy Utomo BKSDA 60 Melky B. Panie BPK Manokwari 61 Moh. Tabakore BPK Manokwari 62 Mohamad Saleh, S.Hut, BPDAS Remu Ransiki M.Si 63 Naris Arifin BPK Manokwari 64 Nithaniel M.H Benu BPK Manokwari 65 Obed Degopia BPK Manokwari 66 Oto Djuari BPKH XVII 67 Pdt. Edy Kirihio Masyarakat GM

216 - BPK Manokwari

NO NAMA INSTANSI

68 Pieter Wamaer Zekbet CII-TNC-WME 69 Pudja Mardi Utomo BPK Manokwari 70 Regina Rusmina Maai BPK Manokwari 71 Relawan Kuswandi BPK Manokwari 72 Richard Gatot Nugroho BPK Manokwari 73 Rika Razali BP2HP Wilayah XVIII 74 Rini Purwanti BBTNTC 75 Sahrul BPDAS Remu Ransiki 76 Salmon Kasi BPKH 77 Samsul Rahman BBTNTC 78 Sarah Yuliana BPK Manokwari 79 Sarina Maai BPK Manokwari 80 Simon Patollong BPK Manokwari 81 Son Diamar UP4B Deputi V 82 Sulastri BPK Manokwari 83 Sumule UNIPA 84 Sunardi BPK Manokwari 85 Supanto BPK Manokwari 86 Supatmini BPK Manokwari 87 Susan T. Salosa BPK Manokwari 88 Triadi Gumilar BPKH XVII 89 Trijoko Mulyono Setbadan Litbang 90 Wilson Palelingan UNIPA 91 Yacob Wamaer BPK Manokwari 92 Yafet Ayok Dinas Kehutanan 93 Yahya Sayori Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari 94 Yakob Lutlutur BPK Manokwari 95 Yenni Salosa UNIPA 96 Yermias Mandacan Kampung Ayambori 97 Yoel Tandirerung BPK Manokwari 98 Yoslianto BBTNTC 99 Yusup H. Hashari BPKH 100 Yusup Komendi BPK Manokwari

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2011 - 217