LAPORAN KEGIATAN HIBAH PENELITIAN JURUSAN ARSITEKTUR TAHUN 2014

SISTEM PERTAHANAN MASYARAKAT BALI AGA DITINJAU DARI KONSEP KERUANGAN DAN ARSITEKTUR

Tim Peneliti : 1. Ni Made Swanendri, ST., MT 197304212000032001 2. I Wayan Yuda Manik, ST., MT 198204192008121002

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA OKTOBER 2014

DIBIAYAI DARI DANA DIPA UNIVERSITAS UDAYANA NO. DIPA-023-04.2.415253/2014 TANGGAL 5 Desember 2013, sesuai dengan SK No. 797.1/UN14.1.31/PN/2014 Tanggal 08 September 2014 dan SPK No. 808/UN14.1.31/PN/2014 Tanggal 09 September 2014

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN JURUSAN ARSITEKTUR TAHUN 2014

Judul Penelitian : Sistem Pertahanan Masyarakat Bali Aga Ditinjau dari Konsep Keruangan dan Arsitektur Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Ni Made Swanendri, ST., MT b. NIDN / NIP : 0021047303 / 197304212000032001 c. Jabatan Fungsional : Lektor d. Nomor HP / email : 08123964025 / [email protected]

Anggota Peneliti (1) : a. Nama Lengkap : I Wayan Yuda Manik, ST., MT b. NIDN / NIP : 0019048203 / 198204192008121002 c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli d. Nomor HP / email : 081236441907 / [email protected]

Biaya Penelitian : - diusulkan ke Jurusan Rp. 20,000,000 - dana institusi lain Rp. - - inkind sebutkan -

Bukit Jimbaran, 28 Oktober 2014

Menyetujui, Ketua Jurusan Arsitektur FT-UNUD Ketua Tim Peneliti

Ir. I Made Suarya, ST., MT Ni Made Swanendri, ST., MT NIP. 195610151986011001 NIP. 197304212000032001

ii

D A F T A R I S I

halaman

Halaman Sampul ...... i Halaman Pengesahan ...... ii Daftar Isi ...... iii Daftar Tabel ...... iv Daftar Gambar ...... v Ringkasan ...... vi

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Latar Belakang Permasalahan ...... 1 1.2. Rumusan Permasalahn ...... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …...... 3 2.1. Pengertian Defensibles Space ...... 3 2.2. Pengertian Kriminal ...... 4 2.3. Teritori dan Teritorialitas ...... 5 2.4. Arsitektur Bali Aga ...... 5

BAB III. METODA PENELITIAN …...... 7 3.1. Metoda Hermeneutik ...... 8 3.2. Teknik Pengumpulan Data ...... 9

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 11 4.1. Kebudayaan dan Arsitektur Bali Aga ...... 11 4.2. Kondisi Geografis lokasi Penelitian ...... 12 4.3. Struktur Keruangan Arsitektur Bali Aga ...... 14 4.3.1. Konfigurasi Ruangan pada Permukiman dan Arsitektur Sidatapa ...... 15 4.3.2. Konfigurasi Ruangan pada Permukiman dan Rumah Adat Arsitektur Julah ...... 18 4.4. Konsep Pertahanan Masyarakat Bali Aga ...... 25

BAB V. KESIMPULAN ...... 30 5.1. Kesimpulan ...... 30 5.2. Saran - saran ...... 30

DAFTAR PUSTAKA ...... 31

LAMPIRAN - Lampiran 1 : Justifikasi Anggaran dan Jadwal Penelitian ...... a - Lampiran 2 : Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas ...... c - Lampiran 3 : Biodata Ketua dan Anggota ...... d

iii

D A F T A R T A B E L

Tabel 3.1. Informasi yang Dicari pada Pendekatan Oral Tradition...... 10 Tabel 3.2. Daftar Wawancara dan Informan ...... 10

iv

D A F T A R G A M B A R

Gambar 4.1. Peta Kabupaten Buleleng...... 13 Gambar 4.2. Peta Desa Sidatapa dan Konfigurasi Rumah Adat ...... 16 Gambar 4.3. Tata Letak Rumah di Desa Sidatapa...... 17 Gambar 4.4. Tipikal Rumah Adat ...... 18 Gambar 4.5. Peta Desa Julah...... 19 Gambar 4.6. Angkul-angkul lapis Kedua ...... 22 Gambar 4.7. Variasi Bentuk Bangunan...... 23 Gambar 4.8. Variasi Layout Rumah Adat Julah ...... 24 Gambar 4.9. Variasi Layout Rumah Adat Julah...... 24

v

R I N G K A S A N

Manusia adalah mahluk yang memiliki teritori dan mereka meletakkan tanda-tanda sebagai batas teritori mereka. Apabila seseorang memasuki wilayah teritori mereka,maka manuisa akan mempertahankan teritorinya dari kemungkinan yang membahayakan mereka. Rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga mereka dapat melakukan kegiatan dengan baik. Keamanan merupakan salah pertimbangan seseorang untuk memilih sebuah lokasi perumahan. Rasa aman dapat diciptakan dengan berbagai cara, dan salah satunya adalah melalui penataan ruangan di dalam rumah maupun permukiman. Oscar Newman mencetuskan konsep defensible space dan menyatakan bahwa lingkungan terbangun dapat memberi kesempatan pada pelaku kriminal untuk melakukan aktivitasnya, namun disisi lain lingkungan yang ditata dengan baik mampu mengurangi kesempatan seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan. Pola tata ruangan rumah tinggal dan lingkungan harus dibuat sehingga penghuni secara langsung maupun tidak langsung menjadi agen untuk mengurangi kesempatan terjadi tindakan kriminal. Arsitektur secara luas telah dipercaya sebagai salah satu media yang mampu mengatur perilaku manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan terbangun telah banyak dibahas terutama dikaitkan dengan bidang ilmu perilaku manusia/human behavior. Untuk menciptakan rasa aman dan mengurangi kesempatan terjadinya tindakan kriminal ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan seperti menghindarkan ruangan yang mati, memberi kesempatan penghuni untuk mengawasi orang luar yang beraktivitas di sekitar lingkungan mereka dan membuat barier yang jelas yang membedakan ruangan publik dan privat. Penelitian yang dilakukan oleh Brunson, dkk, 2001, menyatakan bahwa keberhasilan penerapan defensible space tergantung juga tingkat kohesivitas anggota masyarakat. Penerapan konsep keamanan pada lingkungan perumahan dicetuskan oleh Oscar Newman sekitar tahun 1980-an untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kriminalitas pada sebuah lingkungan. Masyarakat Bali khususnya masyarakat Bali Aga memiliki sistem keamanan yang diterapkan pada lingkungan desa mereka. Sistem keamanan yang diciptakan oleh masyarakat Bali Aga dibutuhkan untuk menjaga masyarakat dan lingkungan dari serangan yang dilakukan oleh desa lain, karena pada masa itu desa-desa di Bali memiliki teritori yang independen sehingga memiliki kemungkinan untuk diserang dan menyerang desa-desa lainnya. Untuk memberi rasa aman untuk masyarakat dan lingkungan mereka maka arsitektur Bali Aga memiliki konsep pertahanan yang dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Arsitektur Bali Aga adalah arsitektur yang berkembang pada perioda Bali kuno yaitu sekitar abad 9-12 AD. Sebutan Bali Aga digunakan hanya untuk membedakan arsitektur Bali yang berkembang setelah abad 13. Arsitektur Bali Aga tersebar dibeberapa daerah dan banyak yang lokasinya dipegunungan yang menjadi salah satu alasan disebut Bali Aga, walaupun tidak semua desa-desa Bali kuno berlokasi dipegunungan. Arsitektur Bali Aga dapat dilihat sebagai arsitektur vernakular yang dikembangkan oleh masyarakat Bali dan menjadi lapisan dasar pengembangan arsitektur di Bali. Keterbatasan bukti tertulis yang ada dan adanya jarak/gap yang cukup tinggi antara peneliti dan objek penelitian menjadi salah satu pertimbangan untuk menggunakan pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermeneutik melihat arsitektut sebagai teks dan memposisikan artefak yang masih tersisa sebagai teks sehingga dapat dibaca dan di analisis sistem pertahanan yang dikembangkan oleh masyarakat Bali Aga. Penelitian akan dilakukan di Desa Sidatapa Kecamatan Banjar dan Desa Julah di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, Bali. Penentuan dua desa sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa kedua desa ini masih memiliki arsitektur yang masih bertahan dan masih digunakan oleh masyarakatnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali konsep keruangan, khususnya sistem pertahanan yang dimiliki oleh masyarakat di kedua desa tersebut dan sistem pertahanan tersebut dilihat dengan teori defensible space yang dikembangkan oleh Newman yang memiliki konteks masa kini. Dari diskusi ini akan dapat dilihat bagaimana konsep pertahanan masyarakat Bali Aga dan apakah konsep pertahanan masyarakat Bali Aga dapat dikembangkan menjadi pengetahuan ke arsitekturan masyarakat Bali dan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif konsep keruangan yang dapat diterapkan pada masa kini. Hasil akhir penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan tentang arsitektur yang berkembang di Bali.

vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Masyarakat pada saat memilih tempat untuk tinggal atau menetap, salah satu pertimbangannya adalah lokasi tersebut dapat memberi rasa aman bagi penghuninya. Faktor keamanan menjadi salah sattu pertimbangan seseorang untuk menentukan tempat tinggalnya. Sejalan dengan perkembangan pembangunan juga seringkali diikuti dengan peningkatan kriminalitas, seperti perampokan yang menyasar lingkungan permukiman masyarakat. Peningkatan tindakan kriminalitas yang mendorong Newman (1996) seorang polisi untuk menulis buku “creating defensible space’ yang mengulas tentang faktor-faktor apa yang memicu terjadinya kriminalitas di dalam lingkungan urban dan bagaimana menciptakan tata ruangan yang mampu meminimalkan kesempatan terjadinya kriminalitas. Pada masyarakat modern yang memperhatikan faktor keamanan dalam menentukan pola keruangan sebuah perumahan atau permukiman. Kriminalitas telah terjadi sejak peradaban manusia dimulai dan dapat terjadi dimana saja, hanya saja sesuai dengan perkembangan jaman berbagai macam kriminalitas juga berkembang. Masyarakat Bali kuno atau sering disebutkan dengan masyarakat Bali Aga yang berkembang pada abad 9- 12 AD. Permukiman masyarakat bali Aga ditata berdasarkan beberapa pertimbangan dan menciptakan pola keruangan yang dapat mewadahi semua aktivitas masyarakatnya. Masyarakat Bali Kuno pada umumnya memilih lokasi permukimannya di atas pegunungan yang kemudian menjadi alasan mereka disebut sebagai masyarakat Bali Aga. Permukiman masyarakat Bali Aga pada umumnya ditata berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti berdasarkan hirarkhi nilai tempat yang disusun berdasarkan konsep luan teben. Posisi luan mengacu pada arah kaja/gunung/munduk atau tempat yang lebih tinggi. Posisi luan diberi nilai lebih tinggi dari posisi teben dan diperuntukkan untuk tempat pemujaan masyarakat pada tingkat desa. Organisasi ruangan pada permukiman Bali Aga disusun berdasarkan tingkatan kesakralan ruangan merupakan salah satu pertimbangan yang dipakai untuk menyusun organisasi ruangan baik di tingkat desa maupun rumah tinggal. Kebudayaan Bali kuno merupakan perkembangan kebudayaan masyarakat Bali setelah masa perundagian dan masyarakat Bali pada periode ini telah menetap dan kebudayaannya berkembang dengan pesat. Pada periode perkembangan kebudayaan Bali Kuno, pemerintahan dipegang oleh raja-raja dari Dinasti Warmadewa sampai dengan pertengahan abad 13. Sampai saat ini pusat kerajaan Dinasti Warmadewa belum diketahui dengan pasti, namun dari penelitian arkeologis kemungkinan kerajaan ini lokasinya di sekitar Gunung Batur. Walaupun pada periode iin telah terbentuk pemerintahan, namun pengaruh pemerintahan tidak mencapai semua desa atau permukiman masyarakat secara merata, sehingga setiap desa berkembang dan menyusun organisasi keruangan permukimannya sesuai dengan pemahaman mereka pada lingkungan. Salah satu pertimbangan untuk mengorganisasi keruangan permukiman masyarakat Bali Aga adalah mempertimbangkan sistem keamanan. Pada perioda ini desa-desa masih memiliki kebiasaan menyerang atau diserang oleh perampok atau oleh masyarakat desa lainnya, sehingga mereka mengembangkan sistem pertahanan untuk menanggulangi keadaan ini. Kemampuan masyarakat Bali aga untuk mengorganisasi tata ruang baik di tingkat desa maupun rumah tinggal merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Bali belum banyak dieksplorasi. Pengetahuan kearsitekturan ini masih banyak

1 tersimpan sebagai adat kebiasaan dan tradisi masyarakat dan belum banyak diungkap dan ditransformasikan menjadi kekayaan pengetahuan masyarakat Bali dan dapat dijadikan sebagai sumber untuk mengembangkan arsitektur di masa kini dan masa depan. Penelitian ini akan membahas tentang sistem keamanan yang dikembangkan oleh masyarakat Bali Aga khususnya yang terdapat di Desa Sidatapa dan Desa Julah Kabupaten Buleleng yang akan dilihat dalam konteks konsep keruangan di tingkat desa (meso) dan rumah tinggal (mikro). Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan konsep perumahaan modern masa kini dan menjadikan faktor keamanan sebagai salah satu pertimbangan dalam penataan ruangannya.

1.2.RumusanMasalah

Dari latar belakang permasalahan di atas maka penelitian ini ingin mengetahui bagaimana sistem pertahanan masyarakat Bali Aga apabila ditinjau dari konsep keruangan baik di tingkat permukiman maupun rumah tinggal. Dari analisis ini akan diketahui bahwa sistem keamanan tidak hanya menjadi pertimbangan masyarakat modern tetapi juga menjadi salah satu pertimbangan masyarakat Bali kuno. Penelitian ini dilakukan di dua Desa Bali kuno di Kabupaten Buleleng yaitu desa Julah dan Desa Sidatapa. Kedua desa ini dipilih karena walaupun kedua desa ini berkembang pada periode yang hampir bersamaan yaitu abad 10, tetapi kedua desa ini memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Pembahasan sistem keamanan di kedua desa ini akan memperkaya pembahasan dan sekaligus dapat digunakan sebagai verifikasi hasil analisis. Arsitektur Bali Aga berkembang pada perioda Bali kuno sekitar abad 9-12 AD. Karena peneliti dan objek yang diteliti memiliki jarak, seperti adanya jarak waktu, adanya perbedaan karakter budaya dan lokasi, maka analisis akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Arsitektur Bali Aga yang saat ini masih digunakan oleh masyarakatnya akan dilihat sebagai teks dan diinterpretasikan untuk mengetahui konsep pertahanan yang dimiliki oleh masyarakat. Untuk memvalidasi interpretasi yang dilakukan maka akan dilakukan tahap verifikasi dengan melakukan referensi silang dengan konsep pertahanan desa Bali Aga lainnya. Hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan tentang arsitektur Bali secara menyeluruh dan dapat digunakan sebagai referensi untuk mengembangkan pola keruangan perumahan di masa kini dan masa yang akan datang. Hasil akhir penelitian ini merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Bali dalam mengorganisasi ruangan di tingkat desa maupun rumah tinggal.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Defensible Space

Istilah defensible space digunakan untuk menyatakan bahwa sebuah lingkungan yang direncanakan dengan baik akan mampu mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan kriminal. Isitila ini pertama kali digunakan oleh Oscar Newman seorang arsitek yang juga seorang city planner. Newman menyatakan bahwa lingkungan memiliki peranan yang sangat besar untuk mengurangi terjadinnya tindak kejahatan dengan membuat perencanaan ruang-ruang dilingkungan permukiman yang dapat dilihat atau dikontrol oleh anggota msayarakat. Newman menyatakan bahwa dengan melakukan restrukturisasi pola tata ruang dalam permukiman yang memungkinkan masyarakat untuk mengontrol area di sekitar rumah mereka (Newman, 1996:9). Konsep defensible space lebih menekankan pada sistem keamanan yang dilakukan sendiri oleh masyarakatnya dan bukan tergantung pada pemerintah. Teori tentang defensble space dikembangkan berdasarkan pendekatan prilaku manusia atau masyarakat pada sebuah lingkungan, oleh karena itu harus dirancang ruang-ruang yang mampu meminimalkan kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan. Defensible space digunakan dalam terminologi untuk menjabarkan lingkungan permukiman dimana karakter fisikalnya seperti lay out bangunan dan site plan yang memungkinkan penghuninya berperan sebagai agen kunci yang dapat menjamin keamanan mereka. Konsep keruangannya dibuat dengan meminimalkan kehajatan dilakukan di lingkungan mereka dengan membuat konsep keruangan yang memungkinkan penghuninya dapat mengawasi secara langsung maupun tidak langsung ruang-ruang di sekitar mereka. Keberhasilan konsep defensible space juga sangat tergatung dari kohesivitas anggota masyarakat dan interaksi sosial yang terjadi. Newman mengembangkan teorinya dengan melakukan penelitian pada beberapa kawasan permukiman seperti di Pruit Igoe dan Car Square Village yang lokasinya berseberangan jalan. Apartement Pruit Igoe kemuidan dikenal sebagai permukiman dimana penghuninya banyak melakukan vandalisme sehingga akhirnya bangunan itu dirobohkan. Disisi lain permukiman Car Square Village memiliki kondisi yang berlawanan dimana penghuninya dapat hidup dan tinggal dengan aman. Dari penelitian ini kemudian diketahui bahwa pola tata ruang sebuah permukiman sangat mempengaruhi perilaku seseorang terutama orang yang ingin melakukan tindak kejahatan. Selanjutnya banyak pemerintah daerah di kota yang sudah maju seperti Singapore dan kota lainnya di Amerika mengembangkan teori tentang ruang pertahanan ini dengan lebih luas, bagaimana menciptakan lingkungan yang mampu meningkatkan keamanan masyarakat dan lingkungan, tidak hanya dari kemungkinan indak kejahatan, tetapi juga bahaya bahaya lainnya seperti kebakaran atau bencana lainnya. Teori tentang defensible space kemudian berkembang digunakan untuk mengangkal tidak kejahatan yang mungkin terjadi di komunitas. Negara-negara maju banyak mengambangkan CPTED yaitu crime prevention through enviromental design. Dengan prinsip ini masyarakat, pemerintah maupun arsitek dapat memiliki kepekaan dalam merancang lingkungan terutama ruang publik yang mampu meminimalkan kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. CPTED adalah prinsip-prinsip design yang dikembangkan untuk memecahkan masalah kriminal diperkotaan. Ada beberapa prinsip yang dapat dilakukan untuk mengurangi tindakan kejahatan seperti : (a) prinsip ini dikembangkan karena tindakan kriminal terjadi karena (a) pada umumnya terjadi dilingkungan yang dikenal dengan baik oleh penjahat, (b) lokasi terjadinya biasanya tempat yang tidak terlihat dan terjaga, (c)

3 sering berkaitan dengan jalur transportasi. CPTED berbeda dengan sistem keamanan yang berkaitan dengan penjagaan atau kepolisian, prinsip ini berkaitan bagaimana merancang ruang-ruang yang mampu mengurangi tindak kejahatan. Pemerintah Singapore mengembangkan CPTED yang memiliki empat prinsip yaitu : (a) natural survelliance yaitu dimana penghuni dapat mengawasi lingkungannya secara natural, (b) natural access control, (c) territorial reinforcement dan (d) management and maintenance (NCPC, 2003:3). Prinsip CPTED ini dkembangkan dengan melakukan penelitian pada tidak krimainalyang terjadi dan meneliti mengapa tindakan tersebut terjadi di tempat itu. Dengan melakukan penelitan proses SARA yaitu scanning, analysis, response, and assesment. Proses ini menganalisa tindakan kriminal yang terjadi pada sebuah lokasi dan memperbaiki kondisi lingkungan tersebut sehingga mengurangi terjadi kejahatan yang terjadi (Zahm, 2007:11)

2.2. Pengertian Kriminal

Pengertian kriminal dapat mengacu pada tindakan kejahatan yang dilakukan atau juga dapat memiliki pengertian kata benda yang berarti kejahatan itu sendiri (Colin English Dictionary, 2000). Kejahatan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, tetapi ada tiga aspek yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kejahatan yaitu kemampuan kesempatan, dan motivasi (Stollard,1991:11). Kejahatan kebanyakan dilakukan oleh anak muda pada usai dibawah 21 tahun (Stollard , 1991:2) dan pada umumnya kejahatan tidak diikuti oleh tindak kekerasan. Di negara maju pencurian dan perampokan banyak terjadi di lingkungan urban terutama di kawasan penduduk dengan pendapatan menengah kebawah. Pada umumnya kejahatan dapat terjadi di mana saja, namun kebanyakan terjadi diperkotaan yang padat. Wanita dan anak-anak merupakan salah satu target kejahatan dan lebih banyak dilakukan oleh orang yang dikenal dibandingkan dengan orang asing (Stollard, 1991:3). Namun bukan berarti di lingkungan sub urban dan desa kejahatan lebih kecil, ternyata penelitian menyimpulkan bahwa tindakan kejahatan sering juga terjadi di perkampungan. Masalah kejahatan bukan hanya berkaitan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan tetapi juga berkaitan dengan ketakutan akan terjadinya tindak kejahatan (fear of crime). Rasa ketakutan ini tidak dapat diabaikan begitu saja dan biasanya dialami oleh anggota masyarakat memiliki kelemahan secara fisikal seperti orang tua dan wanita dan kelompok etnik tertentu. Menurut penelitian Clarke menemukan ada tiga faktor yang mempengaruhi rasa takut pada kejahatan pada orang tua yaitu (a) persepsi mereka tentang tindak kejahatan, (b) tingkat isilasi sosial, dan (c) karakterisitik lingkungan mereka sendiri (Stollard, 1991:7). Ada yang beranggapan bahwa rasa takut pada kejahatan hanya sesuatu yang dibesar-besarkan karena tidak ada berhubungan langsung dengan tindak kejahatan itu sendiri. Masyarakat yang memiliki rasa takut pada kejahatan biasanya memiliki pengalaman atau pernah mendengar dari temannya tentang kejahatan. Benneth dan Wright (1984) mengindikasikan bahwa pencuri yang biasa akan memilih target secara fleksibel, dan apabila dirasakan tidak aman maka mereka akan memilih target yang lain. Faktor yang dipertimbangkan oleh pencuri bukan rumah yang mudah dimasuki atau reward yang besar tetapi mempertimbangkan resiko kemungkinan tertangkap (Stollard, 1991:7). Dan risiko yang paling penting diperhatikan oleh pencuri adalah kemungkinan terlihat atau teridentifikasi oleh anggota masyarakat. Pada masyarakat tradisional yang komunal kejahatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat di lingkungan mereka mungkin sangat kecil, karena masyarakat mengenal hampir semua anggotanya dengan baik dan cukup dekat. Pada masyarakat Bali selain

4 menggunakan aturan hukum nasional untuk tindak kejahatan, juga mengenal aturan lokal yang berupa awig-awig desa yang disapakati didalam masyarakat tersebut. Didalam awig- awig desa ini salah satunya diatur mengenai sangsi yang dberikan apabila salah satu anggota masyarakat melakukan pelanggaran. Pelanggaran ini lebih banyak berkaitan dengan masalah-masalah sosial bukan tindak kejahatan. Sanksi yang paling tinggi diberikan kepada salah satu anggota masyarakat adalah “ kesepekan” atau dikeluarkan dari keanggotaan banjar atau desa, yang artinya anggota banjar atau desa tersebut tidak memiliki hak untuk menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh masyarakat.

2.3. Teritori dan Teritorialitas

Teritori telah banyak dibahas oleh berbagai bidang ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Teritori banyak dikaitkan dengan perilaku manusia dalam sebuah lingkungan, dan arsitektur banyak berkaitan dengan penciptaan ruangan dalam lingkungan terbangun. Manusia merupakan mahluk yang memiliki teritori, karena manusia menciptakan ruangan dan memberi tanda atau batas baik yang nampak maupun yang abstrak untuk penggunaan tertentu. Manusia juga menciptakan konvensi budaya berkaitan untuk perilaku manusia dengan batas-batas tersebut. Manusia akan mempertahankan teritorinya apabila merasa terancam oleh sesuatu yang tidak diinginkan (Sanders, 1997:49). Teritorialitas digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia. Teritori telah banyak dibahas dan karakteristik teritorialitas telah didefinisikan dengan jelas, seperti dalam tulisan dari Altman, 1975; Edney,1974; dan Scheflen, 1976. Dimensi teritori dapat berubah atau berpindah sesuai dengan perjalanan waktu. Karena teritori berhubungan dengan konvesi atau kode-kode yang telah diterima dan disepakati oleh kelompok masyarakat tertentu, oleh karena itu teritori hanya dapat diterima oleh kelompok masyarakat dengan budaya tertentu. Ada beberapa tipe teritori yang spesifik yang memiliki aturan perilaku yang spesifik dan sistem tanda yang spesifik pula. Teritori dapat dilihat dari berbagai sudut pandang seperti dari respon perilaku masyarakat, dari signifikasinya, atau luas batas teritori. Teritori primer adalah ruangan personal yang digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat dilihat dan dikontrol dengan jelas.Teritori primer biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari dan cenderung permanen (Sanders, 1997:49). Tanda-tanda teritori memegang peranan penting untuk mengatur perilaku yang diinginkan. Oleh karena itu semakin publik sebuah ruangan, maka tanda-tanda teritori sangat berengaruh untuk mengatur perilaku seseorang sesuai dengan yang diinginkandan semakin privat ruangan maka biasanya hanya terdapat konvensi budaya untuk menentukan batas-batas teritori. Teritori dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan beberapa kategori teritori. Altman mengkategorikan teritori menjadi tiga yang diasosiasikan dengan kegiatan personal seseorang, keterlibatan hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari- hari, dan frekuensi penggunaan. Dari cara pandang ini kemudian teritori dibagi menjadi tiga yaitu teritori primer, teritori sekunder dan teritori publik (Altman, 1984 dalam Zubaidi, 2013:91).

2.4. Arsitektur Bali Aga

Arsitektur dapat dilihat dari berbagai sudut pandang seperti dapat dilihat sebagai karya seni, pencapaian teknologi atau sebagai dinding fasade dari wajah kota dan dapat juga dilihat sebagai fenomena budaya dan perilaku. (Lawson, 2001:12). Termiologi

5 arsitektur vernakular sering dikaitkan dengan bangunan atau lingkungan fisik yang dimiliki oleh masyarakat yang jauh dan menjadi bagian dari masa lalu. Karena letaknya jauh maka dimungkinkan untuk menciptakan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya (Anderson, 2005:151). Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang dikembangkan oleh masyarakat lokal yang merupakan eskpresi dari pemahaman masyarakat pada lingkungan. Arsitektur vernakular merupakan bentuk eskpresi arsitektur masyarakat lokal yang merupakan hasil kemampunan masyarakat untuk mengembangkan arsitekturnya berdasarkan beberapa pertimbangan seperti ketersediaan sumber daya alam. Bentuk arsitektur vernakular dipengaruhi oleh sistem kepercayaan masyarakat, kondisi geografis lingkungan dan struktur sosial masyarakatnya. Arsitektur Bali Aga sebagai awal perkembangan arsitektur di Bali merupakan hasil cipta karsa masyarakat Bali dan belum banyak mendapatkan pengaruh dari luar. Arsitektur Bali Aga merupakan arsitektur yang berkembang pada masa kebudayaan Bali Kuno. Pada perioda ini Bali diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Warmadewa, namun walaupun ada pemerintahan saat itu, desa-desa di Bali pada umumnya masih bersifat independen atau dengan kata lain tidak banyak peranan pemerintahan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya termasuk arsitekturnya. Namun bila dilihat bentuk- bentuk bangunan yang dikembangkan oleh masyarakat di beberapa desa kuno di Bali memiliki beberapa persamaan sehingga terbentuk beberapa tipe bangunan yang sama seperti bangunan-bangunan yang menggunakan struktur rangka kayu dapat ditemukan di banyak desa kuno di Bali. Kondisi ini menunjukkan bahwa walaupun masyarakat independen mereka memiliki kesamaan dalam mengembangkan arsitekturnya. Bangunan yang berkembang dalam arsitektur Bali Aga pada umumnya bangunan yang kecil, masih sederhana dan tidak bantak menggunakan ornamen. Bangunan ini menggunakan kolom kayu untuk menyangga atap dan penamaan bangunan dilakukan berdasarkan jumlah tiang kayu yang digunakan. Sistem penamaan ini masih digunakan sampai sekarang. Permukiman masyarakat Desa Sidatapa terdiri dari tempat pemujaan di tingkat desa disebut dengan Pura desa, perumahan masyarakat, balai desa dan kuburan. Rumah –rumah masyarakat merupakan bangunan satu masa dan semua aktivitas dilakukan di dalamnya seperti memasak, tidur, bekerja dan aktivitas lainnya. Rumah adat Desa Sidatapa disebut dengan Bale Tumpang Talu, Bale Gajah, Bale Tampul Roras yang memiliki arti bangunan dengan tiga tingkatan, bangunan yang besar dan bangunan dengan 12 tiang kayu. Penamaan ini merupakan ekspresi dari pemahaman masyarakat bahwa pada masa itu bangunan dengan tiang 12 merupakan bangunan terbesar (bale gajah), dan saat ini bangunan dengan tiang 12 di Bali dataran disebut dengan Bale Gede. Tipe bangunan dengan 12 tiang atau bangunan dengan 8 tiang dapat ditemukan di beberapa desa kuno di Bali seperti DDesa Pengotan, Bayung Gede dan Desa Julah, dan pada umumnya penggunaan struktur rangka kayu untuk bangunan di Bali dapat ditemukan hampir di semua tempat di Bali. Rumah adat di Desa Sidatapa dibangun di sisi kiri dan kanan jalan secara linear. Bangunan rumah adat pada umumnya dibangun membelakangi jalan dan dibangun sangat dekat dengan jalan. Untuk mencapai rumah harus turun melalui jalan melingkar atau turun dari jalan melalui tangga yang curam. Hal ini terjadi karena kondisi geografis lingkungan yang bertransis, maka bangunan rumah adat seperti berada di bawah jalan, seperti berlindung di balik tebing jalan (Gambar 2.1.). Rumah-rumah dibangun sangat dekat satu- sama lainya berkisar antara 60 cm-1.50 cm. Jarak diantara kedua bangunan rumah ini disebut dengan selepitan. Karena kondisi lahan yang berkontur maka bangunan rumah adat dapat menghadap ke segala arah.

6

BAB III METODA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk mengetahui sistem pertahanan masyarakat Bali Aga. Penelitian akan dilakukan di dua desa kuno di Kabupaten Buleleng yaitu Desa Sidatapa dan Desa Julah. Karena keterbatasan data tertulis yang tersedia maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hermeneutiks yaitu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis teks. Hermeneutiks digunakan untuk menganalisis teks karena peneliti memiliki jarak dengan objek penelitian seperti jarak budaya, jarak waktu atau peneliti tidak memiliki konteks budaya yang sama dengan setting teks yang dianalisis. Pendekatan hermeneutik yang digunakan untuk menganalisis arsitektur memiliki konsekuensi yaitu arsitektur harus dilihat sebagai teks. Hermeneutik pada umumnya digunakan untuk menginterpretasikan sebuah teks, namun penggunaan hermeneutik untuk memahami arsitektur dan karya seni sudah juga banyak dilakukan (Gomez, 1999). Penggunaan hermenutik pada arsitektur untuk menganalisa makna juga telah dilakukan oleh Catherine Dee dan Rivka Fine untuk menggali nilai feminine dalam landscape arsitektur (Dee dan Fine, 2005: 24). Pada penelitian ini Dee dan Fine menggunakan image sebagai alat penelitian untuk menggali nilai feminine dalam landscape. Hermeneutik dari Paul Ricoeur juga digunakan oleh Gusman untuk menginterpertasikan simbol pada rumah gadang Abai Sangir, Solok Selatan. Dalam tulisannya ini Gusman menginterpretasikan gambar dan simbol-simbol yang terdapat pada pintu, dinding dan bidang lainnya di dalam rumah gadang. Dalam abstrak tulisannya Gusman menyatakan menggunakan hermeneutik dari Ricoeur, namun tidak dengan jelas tergambarkan bagaimana mengaplikasikan metoda ini pada proses analisis, karena dalam proses analisis yang dilakukan hanya menjelaskan secara deskriptif makna simbol tersebut. (Gusman, 2011: 1-10) Dalam tulisan Hermeneutic for architect, Thompson menyatakan bahwa hermeneutik digunakan dalam menginterpretasikan makna dalam arsitektur dan arsitektur dikategorikan sebagai bahasa (Thompson, 2007). Menurut Thompson hermeneutik digunakan untuk mendapatkan autentisitas sebuah makna. Hermeneutik memiliki kelemahan pada teks yang bersifat ambivalen dan untuk menunjang pendekatan ini harus ditambahkan pendekatan dari Dewey, dimana menurutnya dibutuhkan hubungan transaksi antara yang tahu (knower) dengan pengetahuan (known). Walaupun penggunaan pendekatan hermeneutik telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun proses aplikasinya belum terjabarkan dengan jelas. Hermeneutik dari Ricoeur digunakan untuk menginterpretasikan teks, dan untuk dapat digunakan untuk menginterpretasikan arsitektur dibutuhkan proses adaptasi dari teks kepada arsitektur. Untuk itu pada penelitian ini interpretasi dilakukan dengan meminjam pola pikir Bandmann untuk memahami makna arsitektur. Menurut Bandman arsitektur tidak dilihat sebagai style tetapi dilihat sebagai objek apa adanya, dilihat sebagai things, concept of things, prototypes and copies (Bandmann,2005:21). Pola pikir ini digabungkan dengan interpretasi dari Ricoeur dimana interpretasi pada tahap pertama dilakukan secara individual, kemudian divalidasi dengan mencari referensi/konteks dari arsitektur Bali Aga melalui informasi yang dikumpulkan dengan oral tradition. Dengan demikian diharapkan dapat digali autentitas makna sinkronik Arsitektur Bali Aga. Interpretasi yang dilakukan oleh Bandmann juga melihat arsitektur secara fisikal seperti denah, tampak dan bentuk.

7

3.1. Metoda Hermeneutik Hemeneutik diambil dari kata Hermes, yaitu dewa pembawa pesan dari mitologi Yunani. Peranan dewa Hermes ini menjadi landasan dalam memahami hermeneutik. Secara umum hermeneutik diartikan sebagai metoda untuk membaca teks, namun dari beberapa tulisan tentang hermeneutic banyak terdapat penekanan dan pembedaan dalam memahami dan menggunakan hermeneutik. Kata hermeneutik diturunkan dari kata Yunani hermeios yang dalam mitologi Yunani berarti dewa pembawa pesan dewa Hermes. Hermes diasosiasikan dengan fungsinya untuk menyampaikan dan menterjemahkan apa yang ada didalam pengertian manusia menjadi bentuk dimana akal manusia dapat menerimanya, dari sesuatu yang tidak masuk akal menjadi sesuatu yang dipahami. Hermeneutik pada awal perkembangannya banyak digunakan pada bidang ilmu theology dan saat ini hermeneutik banyak digunakan pada ilmu bahasa, dan kemudian berkembang digunakan juga pada bidang seni dan arsitektur Hermeneutik menggabungkan dua bidang teori tentang pemahaman yaitu: memahami apa yang terkandung di dalam teks dan apa yang dimaksud dengan pemahaman itu sendiri. Interpretasi dan memahami memiliki arti yang berbeda, interpretasi bersifat lebih elusif dan lebih historikal dan lebih berhubungan dengan "pekerjaan" dari pada dengan objek (Palmer, 1969:7). Hermeneutik adalah pada proses interpretasi, dan hermeneutik memiliki arti tiga arahan yaitu: (a) menyampaikan dengan keras/to say, (b) menjelaskan atau to explain dan (c) dan menterjemahkan to translate. Dan ketiganya dalam bahasa Inggris diartikan dengan "menginterpretasi" (Palmer, 1969: 13). Sebuah teks mungkin terpisah dari pembaca, terpisah karena waktu, ruang, bahasa, atau batas-batas lainnya dan untuk memahami teks tersebutharus dilakukan interpretasi, dengan demikian proses ini harus membuat sesuatu yang asing, jauh, dan tidak jelas menjadi sesuatu yang real, dekat dan dapat dipahami /intelligible (Palmer, 1969:14). Pendekatan hermeneutik digunakan untuk menginterpeetasikan teks atau objek sehingga dapat memberi penjelasan dan membawa tingkat pemahaman. Dari asosiasi pada dewa Hermes, maka hermenutik memiliki tiga arahan makna yaitu to say, to explain dan to translate dan pengertian hermeneutic dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. To Say (menyatakan) Pengertian pertama dari hermeneutik adalah menyatakan, atau mengekspresikan atau to assert, semuanya memiliki pengertian yang menyatakan. Menyatakan disini memiliki pengertian menyampaikan secara oral dan seperti pertunjukkan langsung. Menyatakan dan membaca secara oral dalam konteks interpretasi sekarang mulai dilupakan. Kekuatan bahasa tutur adalah sebuah fenomena yang penting, karena bahasa tulis memiliki kelemahan pada kemampuannya dalam mengekspresikan, walaupun bahasa tulis memiliki durabilitas yang lebih tinggi. Pengertian pertama dari hermeneutik yaitu menyatakan mengarahkan kita pada prinsip dasar dari bahasa yaitu suara, bukan tanda (sound not sign). Pada pengertian pertama ini hermeneutik lebih mementingkan ekspresi, karena menyatakan tidak hanya menyatakan pesan tetapi di dalamnya mengandung ekspresi bagaimana pesan itu disampaikan. Ekspresi dari pernyataan juga memiliki makna visual image. Bahasa tulis kehilangan beberapa hal terutama dalam hal ekspresi, oleh karena itu bahasa tulis harus di transformasikan kembali pada percakapan, dan hal ini akan memberikan pemahamn yang lebih mendalam (Palmer 1969: 14-20). Interpretasi oral bukan aktivitas yang pasif tetapi sesuatu yang kreatif,seperti seorang pianist yang mendengarkan sebuah komposisi musik dan dapat menilai kulaitas musik tersebut. Teks juga harus diberlakukan sama dengan mendengarkan musik.

8

2. To explain (menjelaskan) Pengertian kedua dari hermeneutik adalah "to explain": menjelaskan, karena beragamnya pemahaman dan pada pengertian yang kedua ini lebih menekankan pada dimensi penjelasannya bukan pada aspek ekspresinya. Aristotle mengatakan pengertian dari hermenia adalah berkaitan dengan mental judgment terhadap sesuatu tentang benar atau salah. Aristotle dalam Peri Hermenias membuat definisi menjelaskan mengacu pada operasi pikiran dalam membuat sebuah pernyataan yang berkaitan dengan benar atau salah dari sesuatu. Interpretasi dalam hal ini adalah kemampuan pikir seseorang untuk memberikan penilaian yang benar terhadap sesuatu (Palmer, 1969:20). Penjelasan memiliki tingkatan pikiran yang lebih tinggi lebih dan lebih murni tentang kebenaran sebuah pernyataan. Penjelasan merupakan alat analisa yang objektif. Analisa sendiri merupakan interpretasi, jadi analisa bukan interpretasi utama tetapi merupakan bentuk turunan dari proses interpretasi (Palmer, 1969:20-26) 3. To translate (menterjemahkan) Pengertian yang ke 3 dari hermeneian adalah "to translate" yang artinya menterjemahkan. Menterjemahkan bukan hanya mencari sinonim kata, tetapi penterjemah menjadi mediator antara dua dunia yang berbeda, karena sesungguhnya bahasa terdiri dari kumpulan pengalaman budaya. Menterjemahkan dibutuhkan karena teks yang dibaca memiliki jarak dengan pembacanya, jarak waktu, kebudayaan, konteks dan sebagainya. Menterjemahan membuat kita menyadari perbedaan dunia pemahaman kita dan kapan pekerjaan/tulisan itu dibuat. Bahasa memisahkan kedua dunia ini. Interpretasi selalu pada saat sekarang walaupun terpisah jaman. Demitologi adalah salah satu contoh interpretasi bible yang dibawa ke jaman modern yang masyarakatnya sudah sekular. Bagaimana menginterpretasikan hasil karya masa lalu sehingga maknanya dapat tersampaikan pada masyarakat masa kini (Palmer 1969: 26-32).

3.2. Teknik Pengumpulan data Dari penjelajahan awal yang dilakukan, bukti tertulis tentang arsitektur Bali Aga sangat terbatas. Penelitian ini menggali makna pada arsitektur Bali Aga, untuk itu pengumpulan data dilakukan lebih banyak menggunakan data primer yang diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung. Data sekuder dikumpulkan adalah data tertulis yang mungkin sudah ada sebagai data awal untuk mendapatkan semua informasi mengenai objek penelitian. Data sekunder berupa monografi desa, lontar yang sudah diterjemahkan atau data sekunder lainnya. Ada kemungkinan data sekunder yang tersedia sangat terbatas karena belum banyak peneliti yang mengeskplorasi arsitektur Bali Aga sampai saat ini. Untuk mendapatkan data primer harus dilakukan dengan melakukan pengumpulan data lapangan. Data primer ini dikumpulkan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu : a. Data non fisik (tak benda) dikumpulkan dengan pendekatan oral tradition yaitu melakukan dialog dengan tokoh masyarakat, mendengarkan cerita rakyat, mengikuti upacara ritual yang dilakukan masyarakat (festival). Wawancara atau dialog yang dilakukan bersifat terbuka dan mengalir, karena informasi awal yang dimiliki sangat terbatas dan untuk mengurangi kemungkinan informasi yang dikumpulkan terkontaminasi dengan pengetahuan peneliti. Untuk mendapatkan data yang valid maka tokoh yang dipilih untuk didengarkan informasinya adalah orang yang mengetahui dan atau memiliki kewenangan di desa tersebut. Untuk mengetahui informasi yang didapat sudah sahih maka informasi yang diperoleh dilakukan analisa dengan pendekatan

9

triangulasi diantara data yang terkumpul melalui event yang lain. Tabel 1 dan 2 menampilkan informasiyang dicari pada pendekatan oral tradition dan wawancara. b. Mengumpulkan data fisik dilakukan dengan melakukan observasi langsung, pengukuran dan, mendokumentasikan rumah tinggal penduduk yang dipilih menjadi kasus penelitian. Data fisik yang dicari adalah semua informasi yang dapat dikumpulkan seperti pembagian ruang, ukuran, bahan yang digunakan, furniture, sistem struktur, ornamen, dan artibut rumah lainnya. Sebelum melakukan pengumpulan data fisik harus dibuatkan daftar informasi yang harus dicari sehingga semua kasus rumah memiliki informasi yang sama

Tabel 3.1. Informasi yang Dicari pada Pendekatan Oral Tradition

KEGIATAN INFORMASI YANG DICARI Mendengarkan nyanyian, kidung, kekawin Mencari sejarah desa, filosofi dan adat kebiasaan masyarakat. Harus menggunakan penterjemah Mengikuti upacara agama Penggunaan ruang sakral dan mencari simbol- simbol yang digunakan Mengikuti/menonton festival Menggali nilai filosofis masyarakat melalui ceritra pertunjukan Melakukan wawancara tidak terstruktur. Mendengarkan/menggali sejarah dan kepercayaan masyarakat Observasi dan Wawancara dengan ibu2 Mencari simbol yang digunakan dalam pembuatan sesajen/ banten

Tabel 3.2. Daftar Wawancara dan Informan

Informan Informasi yang dicari keterangan Perangkat desa adat Tugas dan wewenang Dicari pada semua anggota perangkat desa adat Kepala desa dinas Demografi desa Data pendukung Balian/pemangku Prosesi upacara, hak dan Mencari keterkaitan antara kewajiban status sosial dan arsitektur Kelian truna/truni Tugas dan wewenang Ruang khusus untuk pemuda Anggota keluarga rumah yang Aktivitas keseharian semua Aktivitas yang dilakukan dipilih sebagai sample anggota keluarga sehari-hari untuk semua anggota keluarga dan mengamati pola ruang, hirarkhi ruang, furniture dan equipment yang digunakan

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data lapangan ini adalah alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan observasi lapangan seperti alat ukur, alat perekam baik yang diam dan bergerak, dan sebagainya. Selain itu peneliti merupakan alat penelitian utama karena dalam pengumpulan data ini harus dilakukan dengan interpretasi yang benar. Apabila menggunakan bantuan tenaga surveyor lainnya, maka mereka ini harus diberikan pengarahan dan pemahaman mengenai data yang dikumpulkan sehingga mendapatkan persepsi yang sama untuk mengurangi terjadinya bias.

10

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kebudayaan dan Arsitektur Bali Aga Tonggak perkembangan sejarah Bali dimulai pada abad 8 dimana masyarakat Bali mulai menetap dan membangun permukiman. Dari penelitian arkeologis yang dilakukan diketahui bahwa masyarakat Bali mulai menetap pada masa perundagian yaitu pada abad 8 dan dilanjutkan pada perioda Bali Kuno (Ardika, dkk, 2013). Pada perkembangan kebudayaan Bali kuno masyarakat Bali banyak yang bermukim di pegunungan sehingga sering disebutkan sebagai Bali Aga, namun tidak semua permukiman masyarakat Bali terletak di pegunungan. Istilah Aga hanya digunakan untuk membedakan kebudayaan Bali yang berkembang sebelum dan sesudahnya. Peninggalan-peninggalan masa berburu dan mengumpulkan makanan dapat ditemukan di Desa Sembiran Buleleng dan pesisir timur dan tenggara danau Batur di Kabupaten Bangli. Pada masa neolitikum (masa perundagian) masyarakat Bali sudah menetap dan bercocok tanam dan perioda ini merupakan babakan terakhir masa pra sejarah di Bali. Peninggalan arkeologis pada masa ini ditemukan di beberapa desa di Bali seperti Tigawasa, Bajing, Ningan dan sebagainya. Setelah perioda perundagian babakan sejarah Bali memasuki masa yang disebut dengan masa Bali kuno yang dimulai pada abad 8 (web Depbud par.2009). Kebudayaan Bali Aga merupakan salah satu kebudayaan Bali kuno yang masih mampu bertahan sampai saat ini. Pada perioda ini masyarakat Bali telah melakukan hubungan dengan pedagang yang masuk ke Bali melalui pelabuhan-pelabuhan yang banyak terdapat di pesisir utara pulau Bali. Pengaruh China dan India banyak ditemukan pada penelitian arkeologis yang dilakukan di desa-desa pesisir utara pulau Bali seperti Pacung, Julah dan Sembiran. Pedagang dari luar menetap sementara di pesisir pantai pada musim angin barat dan memberi banyak pengaruh pada kebudayaan Bali. Perkembangan kebudayaan dan arsitektur Bali Kuno terjadi pada perioda abad 9-12 AD dan pada perioda tersebut Bali dipimpin oleh raja-raja dari Dinasti Warmadewa. Dari peninggalan prasasti perunggu yang ditemukan di Desa Sembiran menyatakan raja-raja yang berkuasa pada masa tersebut. Kebudayaan Bali Aga berkembang pada perioda Bali Kuno. Istilah Bali Aga sering dicampurkan, disamakan atau sering dibingungkan dengan istilah Bali Mula atau Bali awal/asli (mula= awal/asli), karena masyarakat Bali Aga menganggap dirinya masyarakat Bali asli (Covarrubias, 1937:14). Namun ada pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat Bali Mula adalah masyarakat Bali asli dan masyarakat Bali Aga adalah pendatang dari Jawa Timur atau dari Desa Aga. Namun tulisan yang membahas mengenai perbedaan atau persamaan kedua kebudayaan Bali kuno ini secara khusus belum dapat ditemukan. Kebudayaan Bali Aga dapat diketahui dengan ditemukan berbagai peninggalan arkeologis yang menggambarkan perkembangan kebudayaan Bali Aga. Salah satu peninggalan yang ditemukan di Desa Tigawasa, desa yang bersebelahan dengan Desa Sidatapa adalah sarkopagus. Sarkopagus merupakan sarana untuk penguburan yang digunakan pada tradisi megalitik. Sarkopagus sebagai sarana penguburan muncul bersama dengan tradisi megalitik di Indonesia dan di Bali (Web depbudpar, 2009). Kemampuan menciptakan benda-benda budaya tidak lepas dari perkembangan sosial ekonomi masyarakat, religi dan teknologi. Salah satu tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui karakteristik arsitektur Bali Aga dan atau Bali Mula apabila dilihat dari konteks makna arsitekturnya. Pemilihan lokasi penelitian di Desa Sidatapa dan Desa Julah dapat mewakili karakteristik arsitektur pada kedua arsitektur Bali yang berkembang pada perioda Bali Kuno yaitu arsitektur desa Sidatapa dan arsitektur desa Julah.

11

Sisa sisa peninggalan kebudayaan megalitik juga dapat ditemukan di Desa Julah. Jalan berbatu merupakan salah satu ciri kebudayaan megalitik (Ardana, 2012: 90). Jalan utama menuju Pura Bale Agung di Desa Julah pada awalnya merupakan jalan berbatu sebelum dilakukan pengaspalan. Selain itu di depan pura terdapat batu besar yang tertanam dan hanya nampak permukaannya saja. Batu ini digunakan pada acara “napak” kerbau yang akan dijadikan persembahan pada saat upacara ngusaba di pura. Kebudayaan batu besar pernah berkembang di Desa Julah dan sisa kebudayaan megalitik masih terdapat di dalam tradisi masyarakat setempat. Di Desa Sidatapa, walaupun memiliki perioda perkembangan yang hampir bersamaan, tidak memiliki bukti arkeologis yang menjadi bukti kesejarahan desa tersebut. Desa Julah termasuk desa yang penting pada pemerintahan Dinasti Warmadewa, karena pada bilah-bilah prasasti yang disakralkan oleh masyarakat Julah, terdapat enam raja dari Dinasti Darmadewa yang tertulis dalam prasasti tersebut. Jadi walaupun memiliki sisa peninggalan megalitik, kebudayaan yang berkembang di Desa Julah terus berkembang sampai dengan pertengahan abad 12. Sejarah perkembangan kebudayaan di Bali Utara memiliki perbedaan dengan Bali Selatan. Sejak lama daerah Bali utara telah melakukan kontak dengan pihak luar seperti China, Arab dan Bugis. Di kawasan ini banyak ditemukan peninggalan masa perunggu dan peninggalan pra Hindu dan nampaknya pada masa itu kekuasan politik dan ekonomi di titik beratkan di Bali utara (Pringle, 2004:6). Kawasan Bali utara terutama Julah, Pacung dan Sembiran menarik banyak peneliti etnografi karena dianggap sebagai bagian dari perkembangan kebudayaan pra Hindu yang asli, masih bertahan, masih menampilkan feature animistik dan belum bersentuhan dengan kebudayaan abad 16 dari Jawa timur (Schäublin, 2008 : 3). Ada beberapa desa yang dikategorikan sebagai desa kuno di Kabupaten Buleleng. Desa-desa kuno di wilayah Buleleng Barat terdapat di Kecamatan Banjar yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Sidatapa, Tigawasa, Pedawa, Cempaga dan Banyuasri. Sedangkan di bagian Buleleng timur di Kecamatan Tejakula ada Desa Pacung, Desa Bulian, Desa Julah, dan Desa Penuktukan. Desa Sidatapa terletak terletak di atas pengunungan, dan untuk mencapai Desa Sidatapa dapat melalui Kota Singaraja ke arah barat dan naik ke pegunungan atau dapat dicapai dari Bedugul melewati Gobleg menuruni bukit. Dari observasi dan wawancara yang dilakukan di Desa Sidatapa belum ditemukan peninggalan arkeologis yang dapat digunakan sebagai bukti sejarah awal perkembangan Desa Sidatapa. Menurut perangkat Desa Sidatapa, desa ini mulai berkembang sekitar tahun 785 tahun caka dan dilihat dari perioda waktu perkembangan desa ini memiliki kesamaan yaitu berkisar abad 9 -11 dan termasuk kedalam desa kuno yang ada di Kabupaten Buleleng (Rahayu, 2010 : 47). Peninggalan kebudayaan megalitik berupa sarkopagus batu dapat ditemukan di Desa Tigawasa yang merupakan desa yang bersebelahan dengan desa Sidatapa. Menurut informasi resmi pemerintah daerah Buleleng masyarakat desa Sidatapa merupakan pengikut Resi Markandya yang migrasi dari gunung Raung Jawa timur sebelum mendirikan Pura Besakih

4.2. Kondisi Geografis lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Bali, di Kabupaten Buleleng. Kabupaten Buleleng terletak di belahan utara Pulau Bali memanjang dari barat ke timur dan mempunyai pantai sepanjang 144 Km, dan secara geografis terletak pada posisi 8°03'40” - 8°23'00'' lintang selatan dan 114°25'55”-115°27'28''bujur timur. Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kabupaten Jembrana di bagian Barat, laut Jawa/Bali di bagian Utara, dengan Kabupaten

12

Karangasem di bagian Timur dan di sebelah Selatan berhadapan dengan 4 Kabupaten yaitu: Badung, Gianyar, Bangli, dan Kabupaten Tabanan. Kondisi geografis kabupaten Buleleng yang memiliki pantai sepanjang sisi utara pulau Bali dengan kondisi pantai yang berbatu dan berpasir hitam dan memiliki bibir pantai yang sempit. Desa Julah terletak di bagian Buleleng timur Kecamatan Tejakula dan Desa Sidatapa terletak bagian Buleleng barat di Kecamatan Banjar.

Lokasi desa kuno Gambar 4.1. Peta Kabupaten Buleleng (sumber : Bappeda Kab Buleleng)

Desa-desa Bali Aga pada umumnya terletak di pegunungan yang memiliki iklim dimana persawahan intensif tidak dapat dilakukan, keterbatasan ketersediaan air untuk pertanian maupun kegiatan keseharian merupakan salah satu kendala bagi masyarakat Bali Aga sehingga mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai pertani lahan kering dan perkebunan seperti kopi, cokelat dan cengkeh (Reuter, 2005:22). Dengan berkembangnya pembangunan dan pendidikan masyarakat Bali Aga banyak yang memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, pegawai negeri maupun swasta. Dilihat dari lokasi desa-desa kuno di Kabupaten Buleleng, maka beberapa desa terletak di Buleleng barat dan pada umumnya desa tersebut terletak dipegunungan. Untuk mencapai desa-desa ini dapat dicapai dari dua arah yaitu dari Denpasar menuju Bedugul dan dari Desa Gobleg menuruni perbukitan untuk mencapai desa-desa tua ini. Saat ini kondisi jalan menuruni bukit ini kondisinya masih rusak, sehingga diperlukan kehati- hatian menuruni jalanan di perbukitan ini. Pilihan yang lain adalah dari Kota Singaraja menuju ke arah barat sampai di Desa Temukus menaiki bukit untuk mencapai desa-desa tua ini. Kondisi jalan untuk mencapai desa-desa ini cukup baik, walaupun jalanan cukup menanjak. Kondisi geografis desa-desa di Buleleng barat, khusunya Desa Sidatapa terletak di atas perbukitan sekitar ± 450 meter di atas permukaan laut dan kondisi geografisnya adalah berbukit dan memiliki potensi tanaman perkebunan yang subur. Saat ini penduduk menanam cengkeh, kopi dan cokelat di kebun-kebun mereka. Keterbatasan air merupakan salah satu hambatan untuk mengembangkan persawahan basah di daerah ini. Salah satu potensi yang dimiliki oleh desa-desa ini adalah tanaman bambu yang terdapat di sekeliling desa. Tanaman bambu banyak diitemukan di sekeliling desa untuk menahan tanah-tanah di perbukitan sehingga tidak longsor. Jenis tanaman bambu yang banyak dijumpai di desa ini adalah bambu buluh yaitu bambu dengan diameter batang yang kecil, namun tebal. Potensi tanaman bambu ini memberi kesempatan masyarakat untuk mengembangkan kerajinan anyaman bambu seperti gedeg, keranjang dan keben. Di sekitar perbukitan juga banyak ditemukan pohon aren/jaka yang menjadi potensi lainnya di desa ini. Desa Cempaga, Pedawa dan lainnya terkenal dengan produsen gula aren karena memiliki kualitas yang baik. Sedangkan desa-desa tua yang terdapat di Buleleng Timur di Kecamatan Tejakula pada umumnya terletak di sepanjang jalan arteri yang menghubungkan Kota Singaraja dan

13

Karangasem. Desa-desa ini terletak di sisi selatan jalan utama dan menghadap ke pantai utara pulau Bali, kecuali Desa Sembiran yang terletak di atas perbukitan. Kondisi tanah di kecamatan ini pada umumnya kering dan berbatu. Desa-desa di Kecamatan Tejakula dahulu sangat terkenal sebagai desa penghasil Jeruk Bali, namun sejak serangan virus masyarakat tidak ada yang menaman jeruk sampai saat ini. Menurut informasi dari masyarakat, dahulu desa-desa tua ini terkenal dengan tanaman kapas dan merupakan desa- desa yang memiliki keterampilan menenun benang kapas. Keterampilan menenun ini didapatkan dari bangsa India karena Desa Julah dan Sembiran telah memiliki hubungan dagang dengan bangsa India dan China. Menurut catatan sejarah kain tenunan dari desa- desa Jawa dan Bali dan kemungkinan dari Desa Sembiran ditemukan pada jaman Dinasti Tang di China sekitar abad 7 (Kartaschoff, 2008:70). Setelah tanaman jeruk gagal, masyarakat banyak menaman tembakau, namun saat ini masyarakat lebih banyak menaman tanaman keras di kebun-kebun mereka seperti cokelat,kelapa, dan tanaman kacang-kacangan. Selain berkebun masyarakat desa-desa ini adalah memelihara ternak seperti sapi, kerbau dan babi. Walaupun letak desa pada umumnya di tepi pantai, namun jumlah masyarakat sebagai nelayan sangat sedikit. Di Desa Julah masyarakat nelayan hanya berkisar antara 20-25 orang dari ± 750 kk yang menetap disana (wawancara dengan kepala desa dinas, 2014).

4.3. Struktur Keruangan Arsitektur Bali Aga

Permukiman masyarakat tradisional adalah gagasan ideal masyarakat yang diwujudkan kedalam bentuk fisikal. Permukiman dan kreasi dari permukiman yang ideal diekspresikan melalui organisasi keruangan yang spesifik dan merupakan hal yang lebih fundamental dari bentuk arsitektur dan berhubungan dekat dengan konsep "domain etnik. Ini dapat di definisikan sebagai lingkungan yang ideal yang dibuat visibel karena pada dasarnya bukan tidak bersifat fisikal pada awalnya dan dimanifestasikan pada bentuk bangunan (Rapoport, 1969 :48). Bentuk dan ekspresi sebuah arsitektur merupakan ekspresi dari pemahaman masyarakat pada lingkungan. Proses pemahaman ini membutuhkan waktu yang lama dan melalui proses mencoba yang panjang, sehingga tradisi berasitektur sebuah masyarakat terjadi melalui proses yang lama dan panjang. Dan apabila sebuah tradisi arsitektur dapat diterima oleh masyarakat, kondisi ini tidak berhenti sampai disini, tetapi terus berproses, di modifikasi, diadaptasi, dire-interpertasi dan seterusnya. Dengan proses ini arsitektur tradisional selalu bersifat terbuka, fleksibel dan aditif (Bronner, 2006:25). Pemahaman masyarakat pada lingkungan diartikulasikan pada arsitekturnya karena arsitektur adalah budaya fisik. Pemahaman masyarakat pada lingkungan bukan merupakan kesepakatan tetapi memiliki kemungkinan yang terbuka. Kehidupan memiliki pengertian bahwa masyarakat memiliki pilihan diantara berbagai kualitas yang disediakan oleh alam dan lingkungan, oleh karena itu dibutuhkan titik temu untuk mengidentifikasi kemungkinan yang ada dari berbagai keragaman. Untuk menciptakan sebuah arsitektur manusia memiliki berbagai pilihan dan kemungkinan. Semua kemungkinan ini harus di disatukan sehingga dapat menampilkan/merepresentasikan identitas sebuah tempat (Schulz, 2000:36). Apabila sebuah kemungkinan dapat diterima oleh masyarakat, maka keadaan itu memiliki arti bahwa masyarakat membagi sebuah nilai yang disepakati bersama.

14

4.3.1.Konfigurasi Ruangan pada Permukiman dan Rumah Adat Arsitektur Sidatapa

Permukiman Desa Sidatapa terdapat di atas perbukitan di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Untuk mencapai desa ini dapat ditempuh dari dua arah yaitu arah barat dari Desa Temukus atau dari arah utara dari Desa Cempaga. Dan untuk mencapai desa ini harus ditempuh melalui jalan yang menanjak dan berkelok. Saat ini Desa Sidatapa dilintasi oleh jalan utama desa yang menghubungkan Desa Sidatapa dengan desa-desa di sekitarnya. Desa Sidatapa terdiri tiga dusun yaitu dusun/banjar Dajan pura, banjar Delod Pura dan banjar Lakah. Sebutan dajan dan delod menggambarkan bahwa posisi banjar itu ada di sebelah daja dan delod pura. Pemahaman masyarakat pada lingkungan diekspresikan melalui konsep kosmologi yang diterapkan pada lingkungan tersebut. Pada masyarakat Bali Aga pada umumnya mereka memiliki konsep kosmologi yang digunakan oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal. Arah orientasi masyarakat ditentukan berdasarkan keadaan topografi lingkungan dimana arah kaja mengacu ke titik tertinggi di kawasan tersebut dan arah kelod adalah ke arah laut. Di desa Sidatapa arah kaja/gunung/pengunungan adalah ke arah timur menurut arah mata angin universal, karena bukit tertinggi yaitu bukit Munduk Sari terdapat di sebelah timur desa dan arah kelod adalah ke arah laut/barat. Pura Desa dijadikan sebagai patokan/landmark untuk menentukan pemilahan wilayah banjar penamaan banjar , yaitu banjar Delod pura dan banjar Dajan Pura Konfigurasi permukiman Desa Sidatapa terdiri dari tiga zona yaitu area untuk permukiman, area untuk Pura Desa dan area untuk kuburan. Penempatan Pura Desa yang menjadi pura terbesar di desa ini saat ini nampak terletak di tengah-tengah desa, dahulu posisi Pura Desa adalah di area kaja desa dan karena perkembangan jumlah penduduk mereka juga membangun rumah di sebelah timur Pura Desa sehingga nampak posisi pura menjadi ditengah-tengah desa. Kuburan terletak daerah yang rendah di sebelah barat laut desa dan perumahan masyarakat dibangun di sepanjang jalan desa. Pura di Desa Sidatapa adalah pura terbesar yang ada di desa dan menjadi institusi yang penting di dalam masyarakat Sidatapa. Konsep Kahyangan tiga belum dikenal oleh masyarakat Desa Sidatapa. Selain Pura Desa di Desa Sidatapa memiliki pura yang lain seperti Pura Rambut Punggang, Pura Puseh Delod Pura dan Pura Munduk Sari. Pura-pura ini tidak memiliki fungsi seperti pura Kahyangan Tiga, tetapi merupakan pura yang memiliki fungsi khusus di dalam masyarakat Sidatapa. Posisi Pura Desa menjadi penanda penting di desa karena menjadi landmark/penanda di desa. Posisi Pura Desa ini menjadi titik yang memilah permukiman menjadi dua yaitu permukiman yang terletak di sebelah timur/dajan pura dan di sebelah barat/delod pura. Posisi ini kemudian menjadi nama banjar sesuai dengan posisi permukiman terhadap posisi pura desa. Konfigurasi bangunan rumah di permukiman masyarakat terletak di sepanjang jalan utama desa dan kalau dilihat pada peta nampak seperti sumbu/aksis yang membagi permukiman menjadi dua yaitu rumah-rumah di sisi kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah tinggal masyarakat disebut dengan rumah adat. Rumah adat ini dibangun berjejer secara linear disisi kiri dan kanan jalan. Dahulu rumah- rumah adat dibangun menghadap ke ladang/kebun dan membelakangi jalan utama. Konfigurasi permukiman desa Sidatapa dapat dilihat pada gambar 4.2.

15

kuburan Dusun Lakah

Dusun Delod Pura Dusun Dajan Pura

Pura Desa kaja

Gambar 4.2. Peta Desa Sidatapa dan Konfigurasi Rumah Adat (sumber : adaptasi dari Google earth, 2014)

Dari konfigurasi bangunan rumah adat nampak bahwa Desa Sidatapa berkembang secara alami dimana masyarakat membangun rumah-rumahnya mengikuti jalan yang ada. Posisi Pura Desa menjadi tempat masyarakat melakukan aktifitas bersama, karena hal ini nampak sampai saat ini dimana masyarakat banyak berkumpul di depan Pura Desa ini dan menjadi salah satu pangkalan ojek di desa tersebut. Ruangan di sekitar Pura nampak menjadi ruangan bersama/community space dimana masyarakat berkumpul dan bersosialisasi. Di dalam area ini juga terdapat beberapa toko dan warung untuk melayani kebutuhan masyarakat. Posisi Pura Desa yang berada di pusat desa menjadi indikasi bahwa pura dibangun pertama kali dan menjadi landmark untuk pengembangan permukiman selanjutnya. Pura Desa berorientasi ke arah kaja. Posisi pura ini agak tinggi bila dilihat dari jalan utama desa. Menurut prasasti yang ditemukan, pura ini dibangun tahun 785 caka atau tahun 863 masehi. Saat ini Pura Desa terletak di pinggir jalan utama yang menghubungkan Desa Sidatapa dengan Desa Cempaga dan desa lainnya Perumahan masyarakat Desa Sidatapa dibangun di sepanjang jalan utama dan dibangun di sisi kiri dan kanan jalan. Formasi tata letak bangunan rumah adat membentuk pola yang linear disepanjang jalan utama desa. Rumah tinggal di Desa Sidatapa disebut dengan rumah adat, dan rumah adat adalah bangunan satu masa dengan 12 buah tiang, dan semua aktivitas anggota keluarga dilakukan di dalammnya. Rumah adat Desa Sidatapa dibuat membelakangi jalan sehingga bangunan rumah adat menghadap kearah kebun/ladang/hutan. Ruang terbuka/natah terdapat di depan rumah adat dan natah menjadi ruangan penghubung antara ruangan dalam bangunan dan tempat bekerja mereka yaitu area perkebunan. Kondisi topografis Desa Sidatapa memiliki kondisi transis yang cukup tajam, karena lokasi desa berada di atas pegunungan, Untuk membangun rumah, masyarakat harus membuat lahan menjadi datar atau meratakan tanah yang digunakan untuk tapak rumah. Dengan meratakan lahan untuk digunakan untuk tapak rumah maka terjadi perbedaan ketinggian antara satu area dengan area rumah lainnya lainnya. Karena kondisi geografis yang berkontur cukup tajam, maka ketersediaan lahan datar untuk perumahan sangta terbatas. Kondisi ini yang menjadi salah satu alasan masyarakat memilih untuk membuat rumah adat berbentuk satu masa, selain karena alsan kondisi iklim pegunungan.

16

Bangunan satu masa akan lebih mudah untuk menghangatkan ruangan karena perapian diletakkan di dalam rumah. Dengan meratakan lahan, maka terbentuk tebing-tebing yang memiliki ketinggian berbeda. Rumah-rumah adat tampak dibangun pada lahan yang bertingkat. Rumah-rumah dibangun sangat dekat dengan tebing jalan, kondisi ini membuat rumah seperti berlindung di bawah tebing di sisi kiri-kanan jalan. Rumah adat dibangun berjejer secara serial antara satu sama lainnya tanpa tembok pembatas antara satu rumah dengan rumah lainnya dan jarak antar satu rumah dengan lainnya sangat sempit berkisar antara 60 cm s/d 1.50 cm. Jarak antara kedua rumah ini disebut selepitan. Rumah adat adalah sebutan bagi bangunan yang digunakan untuk hunian oleh masyarakat Sidatapa. Pada umumnya rumah adat merupakan satu unit bangunan yang kompak yang memiliki 12 buah tiang kayu/tampul. Apabila dilihat konfigurasi bangunan perumahan ada beberapa rumah yang memiliki dua bangunan dan mereka menyebutkan bangunan yang lain dengan sebutan bale. Menurut definisi masyarakat rumah adat adalah hunian yang memiliki tempat pemujaan/paga kedulu, dapur dan tempat untuk tidur dan walaupun bentuknya sama apabila tidak memiliki komponen yang lengkap, maka bangunan tersebut diberi nama bale. Bale biasanya dibangun untuk tempat tidur dan untuk ruangan-ruangan lainnya yang dibutuhkan seperti untuk menyimpan perlengkapan lainnya. Bangunan bale ini biasanya dibangun di depan rumah adat dan nampaknya bangunan bale merupakan perkembangan selanjutnya karena kebutuhan masyarakat yang berkembang Konfiguarasi rumah adat di Desa Sidatapa kalau dilihat dari tempat yang tinggi merupakan permukiman yang bertingkat. Karena kondisi lahan yang berkontur maka jalan lingkungan dibuat bertingkat, melingkar mengikuti garis kontur, sehingga apabila dilihat dari jalan utama yang memiliki level yang tertinggi maka akan dapat melihat atap-atap bangunan rumah adat di bawah. Perbedaan ketinggian antara jalan utama dan jalan lingkungan cukup curam berkisar antara 1-5 meter sehingga rumah adat yang dibangun sangat dekat jalan lingkungan seolah berlindung dibalik bayang-bayang tebing jalan. Jalan lingkungan dibuat bertingkat sehingga masyarakat dapat membuat lahan datar yang digunakan untuk membangun rumah adat. Jalan lingkungan juga berfugsi sebagai natah/ruang terbuka dan menjadi jalur sirkulasi dari satu rumah ke rumah lainnya

utara

Gambar 4.3. Tata Letak Rumah di Desa Sidatapa (tanpa skala; Sumber : Observasi, Agustus 2014)

17

Rumah adat dibangun berjejer di sisi kiri dan kanan jalan, dan pada umumnya rumah menghadap ke kebun atau ladang atau membelakangi jalan. Pada perkembangan selanjutnya karena kebutuhan aksesibilitas, beberapa rumah dibangun menghadap ke jalan. Orientasi rumah pada umumnya ke arah utara-selatan atau apabila dilihat dengan orientasi arah mata angin yang digunakan oleh masyarakat setempat, maka orientasi rumah adalah cenderung kangin-kauh. Pada masyarakat Sidatapa orientasi kaja-kelod tidak dikaitkan untuk menentukan letak tempat pemujaan yang oleh masyarakat disebut dengan paga kedulu (paga=para-para, kedulu dari kata ulu=kepala= luan=hulu). Paga kedulu di letakkan di dalam rumah di tempat yang terjauh/terdalam dari pintu masuk atau disebut dengan luan/ulu umah. Rumah-rumah adat di Desa Sidatapa karena dibangun mengikuti arah jalan dan pada umumnya posisi rumah hampir tegak lurus dengan jalan, sehingga orientasi rumah tidak dapat diketahui dengan jelas. Dari 18 rumah yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian Rahayu (Rahayu, 2010) dan pengamatan 6 rumah yang di observasi yang terletak di Dusun Lakah, dapat dilihat bahwa orientasi rumah pada umumnya adalah berorientasi kangin-kauh, namun kalau dilihat dengan lebih detail sesungguhnya ada rumah yang ber-orientasi ke tiga arah mata angin, karena dari 24 rumah yang diamati hanya satu rumah yang berorientasi kearah kaja, dan dari informasi pemilik rumahnya tidak berorientasi ke arah kaja tetapi kangin (menurut konsep kosmologi universal).

Ruangan paling sakral untuk tempat pemujaan Panembahan di tingkat rumah tinggal Ruangan lebih sakral bila dibandingkan dengan ruangan di sisi kiri

Gambar 4.4. Tipikal Rumah Adat (tanpa skala; Sumber : Observasi, Agustus 2014)

4.3.2.Konfigurasi Ruangan pada Permukiman dan Rumah Adat Arsitektur Julah

Sebuah lingkungan binaan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik pada masyarakat modern maupun tradisional. Dalam lingkungan vernakular pada umumnya terdiri dari rumah dan bangunan lainnya yang menjadi milik masyarakat setempat. Arsitektur vernakular berhubungan dengan konteks lingkungan dan ketersediaan sumber daya yang diberikan oleh lingkungan dan mereka biasanya pemilik atau dibangun oleh masyarakat itu sendiri yang menerapkan teknologi tradisional. Semua bangunan vernakular dibuat untuk memenuhi kebutuhan khusus, mengakomodasikan nilai/values, ekonomi dan cara hidup budaya yang menghasilkan arsitektur ini. (Oliver,

18

1997:xxiii, dalam Bronner, 2006:24). Kebiasaan yang diteruskan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya akan membentuk tradisi yang menjadi milik masyarakat tersebut. Tradisi dapat sekaligus menjadi subjek dan objek, dimana tradisi membentuk bangunan dan bangunan mengandung tradisi. Kata tradisional yang digunakan untuk menjelaskan bangunan merupakan struktur referensi dari sebuah objek. Dalam membuat bangunan, tradisi menjadi referensi yang tetap dan terkadang tradisi menerapkan kode tidak tertulis dan bahkan tidak disadari oleh masyarakatnya. Tradisi sebagai sebuah referensi pada masa lalu bersifat tidak tetap/fixed, tetapi sebagai sebuah struktur sosial sering dilakukan re- negosiasi pada setiap generasi dan pada setiap komunitas (Bronner,2006:25).

Gambar 4.5. Peta Desa Julah (sumber : Hauser-Schäublin, 2008)

Desa Julah sebagai salah satu desa kuno di Bali terletak di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng. Desa ini termasuk kedalam desa-desa kuno yang masih tetap bertahan sampai saat ini. Menurut masyarakat setempat desa ini termasuk kedalam desa Bali Mula karena mereka percaya bahwa masyarakat Julah adalah masyarakat Bali asli (mula=awal, asli) bukan masyarakat Bali Aga yang dipercaya berasal dari desa Aga Jawa Timur namun kedua kategori ini masih belum terdapat penjelasan yang pasti. Sampai saat ini belum ditemukan tulisan yang membahas tentang persamaan atau perbedaan antara kedua kebudayaan tersebut. Untuk tahapan penjabaran arsitektur di Desa Julah masih diletakkan sebagai salah satu dari desa kuno di Bali dan belum memasukkannya kedalam salah satu kategori desa Bali Aga atau desa Bali Mula. Desa Julah merupakan salah satu desa di Bali utara yang memiliki peranan sangat penting pada masa pemerintahan Dinasti Warmadewa, karena nama Desa Julah disebutkan pada beberapa prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja dinasti tersebut. Dari penelitian arkeologis yang dilakukan oleh arkelog dari Universitas Udayana dan Universitätsverlag Göttingendi menyebutkan bahwa kemungkinan Desa Julah dahulu memiliki wilayah yang mencakup Desa Pacung, Desa Bakah, Desa Sembiran dan Desa Julah sendiri dan saat ini desa-desa tersebut telah menjadi desa yang mandiri. Menurut hasil penelitian arkeologis Desa Julah merupakan salah satu kota pelabuhan yang penting untuk perdagangan rempah-rempah untuk wilayah timur Indonesia, namun sampai saat ini belum diketahui posisi pelabuhan yang pasti. Menurut penelitian kemungkinan pelabuhan

19 ada di dekat Pura Sang Hyang Marek dekat di bawah Desa Sembiran. Oleh karena itu Desa Julah dahulu banyak didatangi oleh pelaut dari luar Bali. Namun dari penemuan arkeologis tidak dapat dibuktikan apakah pelaut dari nusantara juga mampir di Julah, dan pada musim-musim angin barat para pelaut akan tinggal sementara di Desa Julah. Dari penemuan arkeologis diketahui bahwa Desa Julah telah lama memiliki kontak dengan bangsa-bangsa di luar Bali seperti Bangsa China dan India. Keberadaan Desa Julah pada abad 10-12 AD merupakan salah satu kota pelabuhan yang ramai dikunjungi pelaut dari berbagai tempat. Wilayah Desa Julah pada jaman dahulu meliputi wilayah yang cukup luas yaitu Desa Pacung, Desa Bangkah, Desa Sembiran dan Desa Julah itu sendiri. Desa-desa tersebut telah menjadi desa yang mandiri saat ini,namun dari informasi oral yang disampaikan oleh masyarakat desa-desa di sekitarnya memiliki fungsi tersendiri, seperti Desa Pacung adalah desa yang diperuntukkan bagi masyarakat Julah yang tidak memiliki anak laki-laki, maka mereka akan diungsikan sementara ke Desa Pacung dan apabila telah memiliki keturunan anak laki-laki, maka mereka boleh kembali ke Desa Julah. Desa Bangkah (bangkah =bangka=meninggal) adalah desa yang digunakan untuk pengungsian anggota masyarakat Julah yang mengidap penyakit lepra. Desa Sembiran merupakan lebih condong merupakan tempat pertapaan dan merupakan bagian dari Desa Julah (sembiran=sembir=bagian=serpihan) dan Desa Julah merupakan pusat desa dimana kegiatan perekonomian dilakukan (Hauser-Schäublin, 2008:18). Dari bukti arkelogis yang telah ditemukan Desa Julah merupakan desa yang makmur dan nampaknya masyarakat lebih banyak hidup dari perdagangan dan jasa untuk melayani para pelaut yang singgah dan bertransaksi di Julah. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa desa ini adalah desa yang makmur adalah desa ini memiliki tanah garapan yang luas dan hak tanah garapan diberikan pada krama tegak desa Julah. Menurut informasi setiap krama tegak akan memperoleh tanah garapan sekitar 50 are per keluarga. Dalam salah satu prasasti yang ditemukan menyebutkan bahwa Desa Julah sering diserang oleh perompak/bajak laut. Apabila dilihat dari potensi pertanian yang dimiliki lebih banyak menghasilkan palawija, maka tujuan perompak lebih condong untuk menguasai perdagangan dan jasa yang terjadi di desa ini, karena menurut prasasti masyarakat Julah diberi hak oleh raja untuk memungut pajak dari kapal-kapal yang berlabuh di sana (Setiawan, 2008:216). Dari indikasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Julah dahulu merupakan sebuah kota dimana aktivitas perdagangan dan jasa merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat dan aktivitas perdagangan dan jasa terjadi dengan baik dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi masyarakat lokal. Pada saat upacara ngusaba prasasti yang di simpan oleh masyarakat Julah dikeluarkan, dibersihkan disucikan oleh Jero Kubayan dan dilanjutkan dengan melakukan prosesi upacara. Selain bilah-bilah prasasti dari perunggu tersebut, di dalam pura ini terdapat mahkota dan cincin yang dihadiahkan oleh raja kepada masyarakat Julah. Kedua benda ini termasuk ke dalam benda-benda yang disakralkan yang disimpan di dalam Pura Bale Agung. Beberapa kali benda-benda sakral ini dicuri dan masyarakat Julah mengejar dan menemukan kembali prasasi yang dicuri. Mahkota dan cincin juga beberapa kali dicuri dan masyarakat membuat kembali mahkota dan cincin yang sama (Hauser- Schaublin, 2008:28). Di bagian kelod/utara desa dekat dengan permukiman masyarakat terdapat Pura Dalem, yang terdiri dari Pura Dalem Jawa, Pura Dalem Beneh dan Pura Dalem Kawitan. Pada saat upacara ngusaba di Pura Bale Agung masyarakat juga menghaturkan sesaji ke Pura Dalem. Menurut penemuan arkeologis permukiman di Julah dan Sembiran merupakan permukiman yang dibangun di dalam tembok yang mengelilingi desa (kuta). Sebuah kuta adalah desa/banwa/banua yang berada di dalam lingkungan yang dibatasi oleh tembok keliling. Dalam prasasti yang ditemukan juga menyebutkan tentang serikat pedagang yang

20 tinggal di dalam permukiman (Ardika, dkk,2008:150). Tembok yang mengelilingi permukiman bertujuan untuk keamanan, karena desa ini sering diserang oleh perompak dan untuk memasuki desa harus melalui pintu masuk yang tersedia. Di Desa Sembiran memiliki lima pintu untuk memasuki desa, dan saat ini pintu masuk ini berupa jalan-jalan masuk ke dalam desa yang masih digunakan pada saat upacara agama dilaksanakan. Di sekeliling desa dibatasai oleh hutan dan ditambahkan tanaman berduri (padang wayah) yang berfungsi sebagai pembatas untuk membentengi desa yang mengancam keamanan mereka. Antara Desa Julah dan Sembiran memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, dan untuk dapat saling berhubungan mereka memiliki jalan tembus yang menghubungkan kedua desa tersebut (Hauser-Schäublin, 2008:32). Sisa bentuk permukiman yang di kelilingi oleh tembok saat ini masih dapat dilihat karena bipa diamati dari foto udara permukiman masyarakat Julah terkonsentrasi dan kompak dan pada sisi utara desa yang berbatasan langsung dengan jalan arteri Denpasar - Karangasem, maka akan nampak tembok disepanjang jalan dan rumah-rumah adat dibangun di balik tembok tersebut. Desa Julah terkenal sebagai salah satu pelabuhan penting pada jaman dinasti Warmadewa dan merupakan kota pelabuhan yang di datangi oleh berbagai bangsa terutama bangsa China dan India. Pada musim angin barat para pedagang menetap sementara di Julah, dan mereka memiliki tempat khusus di tepi pantai. Di dalam petakan rumah tinggal terdapat beberapa unit rumah tinggal, dan jumlah rumah tinggal yang terdapat dalam sebuah petakan berkisar antara 3-6 KK/rumah tinggal. Sebuah unit rumah tinggal/rumah adat di Desa Julah minimal terdiri dari 3 masa bangunan. Bangunan-bangunan rumah tinggal terdiri dari bangunan dapur, tempat suci/sanggah dan menurut istilah yang digunakan masyarakatt Julah adalah sucian, dan bangunan untuk tempat tidur. Di beberapa keluarga ada yang memiliki bale sakanem yang berfungsi sebagai bangunan serbaguna dan ada beberapa rumah yang memiliki sanggah misi yaitu sanggah untuk pemujaan leluhur. Formasi bangunan rumah tinggal disusun berdasarkan sumbu kaja-kelod.. Bangunan tempat pemujaan/sucian/sanggah dan bangunan untuk tempat tidur ditempatkan di sisi kaja tapak rumah dan di sisi kelod merupakan tempat untuk dapur dan kandang babi. Posisi dapur dan sucian harus saling berhadapan sehingga membentuk axis/sumbu kaja- kelod yang kuat. Posisi bangunan untuk tempat tidur boleh disesuaikan dengan kondisi tapak, namun harus tetap berada di sisi kaja tapak. Posisi bangunan untuk tempat tidur dapat di sisi kiri, di sisi kanan atau di depan bangunan sucian, dan bagi unit rumah yag memiliki sanggah misi maka posisinya diletakkan di sebelah kiri atau kanan sanggah kemulan disesuaikan dengan kondisi tapak. Dan bagi unit rumah yang memiliki bale sakenem juga diletakan di sisi kaja namun agak ketengah dan posisi ini juga disesuaikan dengan kondisi luasan tapak. Bale sakenem berfungsi sebagai ruangan untuk melakukan prosesi upacara manusa yadnya dan menempatkan mayat anggota keluarga yang meninggal. Apabila keluarga tidak memiliki bale sakenem, maka untuk menempatkan mayat anggota keluarga yang meninggal maka masyarakat meminjam bale sakapat/bale petik yang bersifat moveable dan pada saat prosesi upacara ditempatkan di natah/ruang terbuka dan setelah selesai bale petik ini dikembalikan kepada pemiliknya. Pemilik rumah-rumah yang berada di dalam sebuah tapak pada umumnya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat seperti kakak, adik, sepupu dan sebagainya. Pada setiap kelompok rumah terdapat seorang yang menjadi balian yang memiliki kewenangan untuk me’muput’/mutus/menyelesaikan upacara di tingkat keluarga. Balian ini biasanya adalah anak laki-laki tertua (suami-istri) dari keluarga tersebut dan telah

21 memenuhi persyaratan untuk menjadi balian yaitu telah melakukan tiga tahapan upacara yaitu memarek, mepaum dan nyampi1. Formasi bangunan di dalam sebuah tapak rumah cukup padat karena dihuni oleh beberapa keluarga. Deretan bangunan untuk dapur di sisi kelod tapak dan bangunan hunian dan sanggah di sisi kaja membentuk ruang terbuka yang disebut natah. Natah ini berfungsi sebagai jalur sirkulasi, ruang kerja dan ruang untuk bersosialisasi dengan anggota keluarga lainnya. Natah dalam sebuah petakan merupakan ruangan yang fleksibel dengan fungsi yang beragam disesuaikan dengan kebutuhan. Pada saat saat upacara pemujaan di tingat keluarga, natah berfungsi sebagai ruangan sakral dan menjadi bagian dari ruangan pemujaan, namun pada kondisi keseharian, natah menjadi ruang terbuka yang menyatukan semua bangunan menjadi sebuah formasi tertentu. Ruangan natah bermuara di pintu masuk/angkul-angkul yaitu akses untuk masukdan keluar tapak. Ekspresi angkul-angkul yang terletak di jalan utama memiliki ekspresi cukup besar, megah dan cantik, sedangkan rumah-rumah yang terletak di lapis kedua atau selanjutnya hanya memiliki pintu masuk yang berbentuk sederhana hanya berupa bukaan di tempok penyengker. Apabila dilihat dari bentuk ekspresi angkul-angkul pada rumah yang terletak di jalan utama desa, maka kemungkinan bahwa rumah ini merupakan generasi awal masyarakat Julah sebelum berkembang menjadi lebih banyak. Bentuk ekspresi angkul-angkul ini tidak merupakan representasi status sosial pemiliknya, karena masyarakat Julah tidak memiliki strata/kelas/kasta dalam masyarakatnya. Sedangkan tampilan pintu masuk yang terletak di jalan lapis kedua dan selanjutnya memiliki bentuk yang sederhana, kecuali pemiliknya memiliki status yang berbeda atau memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi, maka bentuk pintu masuknya menyerupai pintu masuk rumah yang terletak di jalan utama.

Gambar 4.6. Angkul-angkul lapis Kedua (kiri) Angkul-angkul lapis kedua hanya berupa bukaan di tembok penyengker; (tengah dan kanan) Angkul-angkul di lapis kedua yang sama eskpresinya dengan angkul-angkul di jalan utama (sumber : Observasi, 2014)

Ruangan yang terdapat di dalam bangunan pada sebuah unit rumah tinggal pada umumnya terdiri dari satu ruangan dan pada umumnya bersifat multi fungsi atau digunakan sesuai dengan kebutuhan. Ruangan pada bangunan dapur terdiri dari sebuah ruangan dimana perapian diletakkan di bagian barat bangunan. Dan di bagaian timur bangunan terdapat sebuah balai-balai yang digunakan untuk tempat mempersiapkan memasak. Pada saat pasangan yang baru menikah dan hanya memiliki dapur maka balai- balai ini digunakan sebagai tempat tidur di malam hari. Di bagaian atas dapur terdapat

1 Tingkatan upacara ini merupakan tahapan upacara pasangan yang baru menikah. (a) Memarek adalah upacca dimana pasangan yang baru menikah melakukan persembahyangan di Pura Bale Agung; (b) mepaum adalah upacara pemberitahuan kepada seluruh anggota desa dimana pasangan memberikan semacam hadiah kepada semua anggota desa/krama desa, Hadiah itu berupa pisang, ketupat dan timus (kue yang terbuat dari ketela pohon); (c) nyampi adalah upacara dimana pasangan menyembelih seekor sapi/sampi yang dimasak dan disantap bersama oleh seluruh anggota desa/krama desa 22 langit-langit yang digunakan untuk menyimpan hasil panen berupa jagung dan hasil panen lainnya. Di atas perapian terdapat para-para yang digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan pada leluhur dan pada saat pasangan belum mampu membangun sanggah kemulan, kegiatan upacara dilakukan di dapur karena bangunan pertama yang dibuat oleh pasangan yang baru menikah adalah bangunan dapur sehingga semua kegiatan baik yang bersifat sakral dan profan dilakukan di dalam bangunan dapur. Bangunan untuk tempat tidur terdapat sebuah ruangan tertutup yang digunakan untuk tempat untuk tidur dan ruang setengah terbuka atau semacam teras yang terletak di depan ruangan untuk tidur. Ruangan ini biasanya digunakan untuk bekerja, bersantai atau ruangan untuk menerima tamu. Pada umumnya ruangan ini dibatasi oleh dinding dengan ketinggian ±1 meter. Bangunan ini pada umumnya menghadap ke natah, atau kalau dilihat dengan arah mata angin maka bangunan untuk tempat tidur ada yang menghadap ke utara atau ke barat. Sanggah kemulan/sucian atau tempat pemujaan merupakan sebuah bangunan untuk pemujaan kepada leluhur. Menurut kepercayaan masyarakat setempat pemujaan lebih condong diperuntukan pada leluhur atau nenek moyang. Sanggah kemulan digunakan sebagai tempat yang menghubungkan manusia dan spirit yang dipuja. Dari informasi yang dikumpulkan masyarakat tidak menyebutkan siapa yang dipuja di sanggah kemulan di tingkat keluarga dan mereka menyebutkan dengan spirit di dunai atas tanpa memberikan nama yang pasti. Hal ini memungkinkan karena sanggah kemulan hanya dipakai hanya oleh pasangan yang menikah, dan apabila pasangan ini meninggal sanggah kemulan akan dibiarkan tidak terpakai lagi atau tidak diwariskan kepada anak keturunannya. Pada beberapa unit rumah tinggal ada yang memiliki tempat pemujaan untuk leluhur /sanggah misi (sanggah=tempat pemujaan. misi=ada isinya). Sanggah misi ini dibangun apabila salah satu anggota keluarga mendapatkan tanda-tanda bahwa leluhur menginginkan untuk dibuatkan tempat pemujaan. Tanda-tanda itu dapat diperoleh melalui mimpi, atau ditemukan batu, atau tanda-tanda lainnya. Setelah melalui proses pertemuan anggota keluarga maka dibuatkan tempat pemujaan untuk leluhur. Tempat pemujaan ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga yang memiliki ikatan darah/klan. Sanggah misi ini tetap digunakan karena merupakan milik bersama beberapa keluarga. Varisi bangunan rumah adat Desa Julah dapat dilihat pada Gambar 4.7.,4.8.dan 4.9.

Gambar 4.7. Variasi Bentuk Bangunan (kiri) Sanggah kemulan/tempat pemujaan ditingkat rumah tinggal; (kanan) bale sakenem yang terbuka (sumber : Observasi, 2014)

23

Gambar 4.8. Variasi Layout Rumah Adat Julah (sumber : Observasi, 2014)

Gambar 4.9. Variasi Layout Rumah Adat Julah (sumber : Observasi, 2014)

Menurut prasasti yang ditemukan yang dikeluarkan oleh Raja Ugrasena tahun 922 AD menyebutkan bahwa hukum yang mengatur hak waris adalah dimana apabila pasangan yang menikah dan memiliki anak, makan 2/3 kekayaannya diwariskan kepada anak laki-lakinya dan 1/3 kepada anak perempuannya dan apabila pasangan ini sudah meninggal dunia keduanya maka semua kekayaannya harus diserahkan kembali pada desa setelah dipotong biaya pengabenan. Bagi pasangan yang baru menikah memiliki hak untuk mendapatkan tanah garapan dan tanah pekarangan. Dan apabila pasangan tersebut telah meninggal dunia, maka semua hak tersebut harus dikembalikan kepada desa untuk dibagikan kembali pada warganya. Tradisi ini saat ini sudah tidak diterapkan lagi secara utuh, karena tanah garapan telah dihibahkan menjadi tanah hak milik. Namun tradisi bahwa rumah tinggal tidak diwariskan kepada keturunannya masih tetap dilaksanakan. Masyarakat masih taat melaksanakan hukum yang diperintahkan oleh raja pada saat itu. Pada setiap prasasti memang diberikan sangsi kutukan apabila aturan tidak dilaksanakan oleh masyarakat. Dari sudut pandang modern adalah hal yang jamak bahwa setiap aturan memiliki sangsi apabila tidak dilaksanakan, sedangkan pada masa Bali kuno, sangsi yang diberi berupa kutukan dari raja, sehingga tidak ada masyarakat yang berani untuk melanggarnya.

24

4.4. Konsep Pertahanan Masyarakat Bali Aga Membaca konfigurasi permukiman Desa Sidatapa dan Desa Julah, dan bagaimana formasi rumah adat, maka akan dibahas bagaimana konfigurasi keruangan permukiman masyarakat Bali Aga dilihat dalam sudut pandang konsep pertahanan masyarakat. Desa Bali Aga adalah desa yang independen, artinya desa tidak banyak memiliki keterkaitan dengan pemerintahan saat itu. Masyarakat mengembangkan pola permukiman dan pola keruangan rumah adat sesuai dengan pemahaman mereka pada lingkungan. Gagasan keruangan dan bentuk arsitektur merupakan pilihan yang dilakukan masyarakat dari berbagai kemungkinan yang ditawarkan oleh lingkungan. Konfigurasi permukiman dan bentuk rumah adalah hasil dari pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada, semakin banyak kemungkinan, semakin banyak pilihan dan tidak ada sesuatu yang niscaya, karena manusia dapat hidup di berbagai macam struktur. Semakin banyak kemungkinan maka semakin banyak pilihan yang dimiliki masyarakat, tetapi masyarakat memiliki tradisi yang membatasi pilihan yang dimungkinkan (Rapoport, 1969:59). Manusia membangun karena ingin mengatur alam, tetapi sepanjang yang dimungkinkan oleh dirinya sendiri, kondisi sosial dan kepercayaan mereka sebagai sesuatu yang fisikal sehingga manusia dapat mengatur lingkungan yang ideal dalam terminologi kultural. Manusia melakukan apa yang diinginkan sepanjang dimungkinkan oleh iklim, manusia menggunakan alat, teknologi dan material untuk mendekatkan dirinya dengan model yang ideal menurut mereka (Rapoport, 1969: 59). Sebuah bentuk arsitektur diciptakan adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, namun kebutuhan masyarakat sangta tergantung dari beberapa faktor seperti sistem kepercayaan masyarakat, struktur sosial dan kondisi fisik lingkungan. Kebutuhan dasar manusia dikembangkan sesuai dengan cara pandang masyarakat pada lingkungan dan pengalaman yang dimiliki masyarakat. Pada masa ini walaupun ada kerajaan yang memerintah, namun masyarakat harus mengembangkan sistempertahannya sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya. Pada masyarakat pra industri sistem kepercayaan menjadi faktor yang mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, karena sistem kepercayaan menjadi faktor kunci yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk struktur keruangan permukiman masyarakat. Masyarakat Bali Aga memiliki sistem kepercayaan yang memuja leluhur dan nenek moyang, dan fasilitas sakral menjadi institusi yang terpenting dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu temat pemujaan mejadi institusi yang terpenting dalampermukiman masyarakat, sehinggadibutuhkan konsep keruangan yang mampu menjaga tempat pemujaan dari hal-hal yang dianggap membahayakan. Kondisi yang dianggap membahayakan pada masyarakat Bali Aga berbeda dengan sudut pandang masa kini. Pada masyarakat tradisional mereka memiliki kondisi yang dianggap membahayakan, dan sering dikaitkan dengan simbol-simbol keagamaan. Namun peilihan untuk menciptakan sistem pertahanan sangat dipenguhi oleh pengalaman masyarakat. Seperti masyarakat Julah memiliki pengalaman sering diserang perompak, dan mereka melarikan diri dan mengunsi ke pegunungan. Pengalaman ini membuat masyarakat Julah memilih membangun perumahan mereka di dalam tembok pembatas atau disebut dengan kuta. Kuta adalah perumahan yang dibangun di dalam tembok pembatas untuk memisahkan penduduk asli dan kaum pendatang yang tinggal sementara disana. Sedangkan masyarakat Desa Sidatapa terkenal memiliki pengalaman menyerang dan diserang oleh masyarakat desa lainnya, dan mereka memanfaatkan kondisi geografis lingkungan yang bertransis untuk bertahan. Masyarakat Desa Sidatapa membuat sistem pertahanan yang menyatu dengan alam dan membuat bangunan rumah tidak memiliki batas yang masif sehingga ruangan menjadi menyatu antara ruangan satu dengan yang lainnya dan memudahkan mereka untuk melarikan diri danmenghilang diantara pepohonan di dalam hutan.

25

Arrangement of space dari sebuah desa, selain menerapkna konsep luan teben juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Kebutuhan dasar manusia dan kebutuhan lainnya berkembang berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakatnya. Pada masyarakat Bali Aga pada umumnya merupakan masyarakat yang indenpenden, tidak memiliki afiliasi dengan kekuasaan atau kekuatan tertentu di luar desa atau kawasan mereka, kecuali mereka memiliki asal usul/mitos/sejarah yang menyatakan bahwa dahulu mereka pernah memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan lainnya. Walaupun pada masa perkembangan kebudayaan Bali kuno ada raja yang berkuasa yaitu Dinsasti Warmadewa, namun cakupan kekuasaan yang direpresentasikan dengan memberi keamanan pada desa-desa di Bali tidak terlalu nyata. Banyak desa-desa yang mengalami penyerangan atau saling serang dengan desa lainnya. Dengan pengalaman seperti itu maka setiap desa mengembangkan sistem pertahanannya sendiri disesuaikan dengan pengalaman dan kondisi geografis lingkungan yang dimiliki. Di Desa Sidatapa permukiman dibangun di sepanjang jalan utama dengan mengikuti garis kontur tanah dan dengan bentuk rumah satu masa dan kondisi topografi yang cukup curam, maka rumah dibangun menyebar di sepanjang jalan utama. Rumah dibangun sangat dekat dengan lingkungan dan tidak memiliki pembatas diantara satu rumah dengan rumah lainnya. Rumah-rumah dibangun menghadap ke kebun/ladang dan membelakangi jalan. Dengan kondisi seperti itu rumah nampak menyatu dengan alam dan hal itu sengaja diciptakan sehingga masyarakat terutama kaum perempuan dan anak-anak dapat dengan cepat dapat lari bersembunyi di dalam kebun/ladang apabila mereka merasa terancam. Dengan posisi rumah yang sangat berdekatan satu sama lainnya, maka informasi disampaikan dari satu rumah ke rumah lainnya melalui jendela kecil yang terdapat di sisi kiri dan kanan rumah yang disebut dengan jaro. Sistem pertahanan ini dibuat karena desa Sidatapa memiliki pengalaman berperang atau diserang. Bahkan pada masa perang kemerdekaan, salah satu pimpinan perang masyarakat Buleleng adalah seorang wanita dari Sidatapa (Rahayu, 2010). Desa Julah adalah permukiman masyarakat yang dibangun di dalam tembok/ kuta. Menurut temuan arkeologis Desa Julah memiliki tembok pembatas yang mengelilingi desa dan permukiman masyarakat dibangun di dalam area tembok. Tembok ini dibangun karena beberapa alasan antara lain Desa Julah adalah kota pelabuhan yang penting pada jaman dinasti Warmadewa, sehingga tembok pembatas dibuat untuk memilah penduduk asli dan pelaut yang berlabuh di Julah. Pada musim angin barat, pelaut yang datang akan tinggal sementara di wilayah ini, dan oleh karena itu Desa Julah memiliki tempat permandian umum yang dibangun di tepi Pantai Julah. Permandian umum ini merupakan mata air berbentuk sumur dan digunakan sebagai salah satu sumber air bersih untuk masyarakat Julah. Permandian umum ini terdiri dari empat titik/sumur yaitu sumur untuk sumber air bersih dan air suci, tempat permandian untuk laki-laki, tempat permandian untuk perempuan dan tempat minum untuk sapi dan kuda. Permandian umum ini masih ada sampai saat ini, hanya intensitas pemakaian sudah berkurang, hanya sumur untuk sumber air bersih dan air suci masih tetap digunakan. Keberadaan tembok dan tempat permandian umum merupakan salah satu indikasi pemilahan ruangan publik untuk semua masyarakat dan permukiman hanya untuk masyarakat Julah yang terdapat di dalam tembok pembatas. Alasan lain permukiman Julah dibangun di dalam tembok adalah pengalaman yang beberapa kali diserang oleh perompak. Dari prasasti yang ditemukan menyatakan bahwa masyarakat Julah diserang oleh perompak dan mereka melarikan diri ke perbukitan/Upit. Dari 300 keluarga saat itu hanya tersisa 50 orang dan melarikan diri ke atas perbukitan, dan karena alasan ini masyarakat Julah diberi keringanan membayar pajak (Hauser-Schäublin, 2008). Dari pengalaman ini kemungkinan berkembang gagasan untuk membangun permukiman di dalam tembok pembatas/kuta. Julah dahulu termasuk kota pelabuhan yang penting, dan masyarakat diberi mandat oleh raja yang berkuasa untuk

26 memungut pajak pada perahu yang berlabuh di Julah, oleh karena itu Julah mungkin merupakan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh pelaut dari berbagai negara seperti China, India dan pelaut dari Bugis. Karena peranannya sebagai kota pelabuhan yang penting, maka Desa Julah sering diserang perompak dan untuk mempertahankan diri mereka membangun rumah di dalam tembok, dan kalau diserang perompak mereka melarikan diri ke pengunungan melalui jalan-jalan rahasia. Untuk mempertahankan diri, mereka membangun barier di sekeliling desa yang ditanami dengan tumbuhan berduri (padang wayah = hutan yang tua). Sampai saat ini jalan-jalan rahasia tersebut masih digunakan khususnya di Desa Sembiran pada saat upacara keagamaan. Sikap menyatu dengan alam, membangun tembok artau barier sebagai simbol pertahanan diterapkan di desa Bali Aga, hal ini juga menjadi indikasi bahwa desa merupakan institusi yang independen pada masa Bali Kuno. Konsep-konsep ruangan pertahanan merupakan kebutuhan yang esensial bagi masyarakat pada masa Bali kuno atau masyarakat komunal, karena mereka harus memiliki sistem pertahanan yang baik apabila tidak mau diserang. Sistem pertahanan desa-desa bali aga dibangun berdasarkan kebutuhan dan kondisi geografis. Sistem pertahanan juga berkaitan dengan pemilihan site/tapak untuk permukiman. Ada yang memilih permukiman di tempat yang sulit dicapai sehingga mengurangi kemungkian untuk diserang seperti desa di Toraja, atau memilih tempat yang curam atau memilih tempat bermukim di tempat yang dikelilingi oleh pegunungan. Pemilihan site untuk permukiman lebih banyak ditentukan oleh mitos, sistem kepercayaan, way of life atau tanda-tanda supernatural yang diterima oleh masyarakat bila dibandingkan dengan pertimbangan utilitarian (Rapoport,1969: 68). Oleh karena itu banyak desa-desa kuno memilih tempat yang terpencil, jauh dari aksesibilitas dan memiliki kondisi topografis yang tidak menguntungkan kalau dilihat dari sudut pandang masa kini yang membutuhkan aksesibilitas yang lancar. Pemilihan lokasi untuk permukiman lebih menekankan pada kebutuhan lainnya seperti keamanan, tanda- tanda spiritual dan kesesuaian dengan cara hidup mereka. Kondisi ekstrim dari lingkungan mampu mendorong manusia untuk menciptakan bentuk arsitektur yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang dimiliki oleh desa diselesaikan secara mandiri dan organisasi desa tidak memiliki hubungan langsung dengan kekuasaan, sehingga Desa Tenganan disebutkan sebagai sebuah republik (Korn, in Wertheim 1960.). Desa Julah merupakan salah satu desa yang namanya muncul di beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Dinasti Warmadewa, namun organisasi yang mengatur organisasi desa tidak banyak berkaitan dengan kekuasaan saat itu. Pengaruh kekuasaan memiliki pada arsitektur, khusunya bangunan gereja pada masa Medieval dan tata ruang dan ekspresi gereja sangat dipengaruhi oleh pengauasa saat itu (Bandmann, 2005: 169). Arsitektur gereja mengacu pada bentuk yang digunakan oleh raja yang berkuasa, walaupun ada sebagian gereja yang menolak menggunakan simbol-simbol kekuasaan pada bangunannya. Pangaruh ini dimungkinkan karena kekuasaan memiliki wilayah yang pasti dan organisasi gereja mungkin berada di dalan kekuasaan tersebut. Namun desa-desa Bali Aga cenderung bersifat independen dan tidak berafiliasi dengan kekuasaan. Pengaruh kekuasaan tidak menyentuh desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan seperti Desa Sidatapa. Desa Julah sebagai salah satu desa yang dianggap penting pada masa dinasti Warmadewa, kekuasaan sedikit berpengaruh pada arsitektur tempat pemujaan. Tempat pemujaan di Desa Julah yaitu di Pura Bale Agung ditemukan ornamen cakra yang merupakan senjata Dewa Wisnu. Dalam salah satu prasasti yang ditemukan menyebutkan bahwa Raja Anak Wungsu merupakan inkarnasi Dewa Wisnu dan Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama (Ardika.dkk, 2013:121). Latar belakang ini mungkin yang menyebabkan masyarakat Julah menyebutkan mereka memeluk agama Hindu

27

Waisnawa/Wisnu dan ornamen cakra digunakan pada kori agung Pura Bale Agung dan di beberapa pintu masuk rumah penduduk. Ornamen cakra merupakan representasi dari dewa Wisnu dan menurut informasi dari Kelian Adat desa Julah,dalam prosesi upacara di pura Bale Agung banyak menggunakan artibut berwarna hitam, seperti kerbau, babi dan ayam yang berwarna hitam. Warna hitam merupakan warna dari Dewa Wisnu. Namun dari tata ruangan tempat pemujaan, pengaruh kekuasaan tidak dapat ditemukan, karena tata ruangan tempat pemujaan berdasarkan konsep kosmologi dan sumbu kaja-kelod. Tempat pemujaan merupakan merupakan institusi terpenting dalam masyarakat Bali Aga oleh karena itu masyarakat menciptakan struktur keruangan yang mampu menjaga keamanan dan kesucian pura. Pada area disekitar pura biasanya terdapat ruangan terbuka yang digunakan untuk bersosialisasi oleh masyarakat. Pada siang hari ruangan ini digunakan sebagai tempat untuk bersantai, beristirahat dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Ruangan bersama ini menjadi ruangan dimana masyarakat dapat mengawasi dan melakukan kontrol pada setiap orang yang akan memasuki areal pura. Konsep ini sangat sesuai dengan konsep defensible space dimana kemungkinan terjadinya tindak kriminal dapat dikurangi dengan menerapkan konsep CPTED yaitu crime prevention through environment design. Ruangan bersama ini sengaja diciptakan sehingga pengawasan dapat dilakukan oleh anggota masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Newman mengatakan bahwa konsep ini dapat diterapkan dengan baik apabila masyarakat adalah homogen atau memiliki ikatan yang kuat diantara mereka. Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang sepakat bersatu dan berbagi sebagai sebuah kelompok yang menjadi satu. Untuk mengikat anggota masyarakat menjadi sebuah komunitas, mereka sengaja menanggalkan semua artibut kelompok dan sepakat menjadi masyarakat yang memiliki kedudukan yang sama. Selain itu pada umumnya masyrakat Bali Aga memiliki mitos atau legenda terbentuknya desa yang memperkuat ikatan diantara anggota masyarakat. Dengan semua ikatan yang dimiliki, maka masyarakat Bali Aga memiliki ikatankekerapatan yang kuat sehingga pengawasan dapat dilakukan secara efektif. Defensible space dapat juga diciptakan dengan membuat batas yang jelas antara teritori lingkungan dan area yang berada di luar. Batas –batas dibutuhkan sebagai tanda batas teritori, atau sebagai batas perbedaan tingkat hirarkhi ruangan. Batas-batas yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan. Konsep pertahanan pada arsitektur Bali Aga dilakukan dengan beberapa cara. Pendekatan yang digunakan untuk menciptakan batas dalam arsitektur Bali Aga dilakukan dengan beberapa cara yaitu : (a) membuat ruangan transisi yang digunakan sebagai barier untuk memisahkan ruangan sakral dan ruangan tidak sakral. Ruangan transisi ini biasanya diterapkan pada ruangan tempat pemujaan dan mampu menjaga kesakralan dan kesucian pura. Selain berfungsi sebagai barier, ruangan transisi ini juga dibutuhkan sebagai ruangan yang digunakan dalam prosesi upacara/liturgi, seperti prosesi upacara yang dilakukan dengan mengelilingi area pura. Prosesi upacara pengelilingan area pura dilakukan sebagai simbol netralisasi kekuatan positif dan negatif, dan biasanya perputaran dilakukan dari kiri ke kanan/prasawiya. Cara kedua (b) yang dilakukan untuk membuat batas teritori yang jelas adalah dengan membangun tembok pembatas yang jelas. Tembok ini akan membatasi ruangan yang adadi dalam tembok dan ruangan di luar tembok, atau dengan kata lain tembok pembatas ini sebagai batas teritori ruangan yang lebih privat dan ruangan publik/ruangan bersama. Dengan pembatas ini masyarakat dengan jelas mengetahui batas-batas teritori sebuah fasilitas. Selain menggunakan ruangan transisi, tempat pemujaan juga menggunakan tembok sebagai batas properti pura. Cara ketiga (c) yang digunakan adalah dengan membatasi aksesibilitas ruangan atau tempat yang dianggap sakral. Ruangan yang paling sakral baik di tingkat desa maupun di tingkat rumah adat biasanya diletakkan di area terdalam, sehingga

28 masyarakat dapat mengontrol orang yang memasuki area tersebut. Gagasan bahwa arsitektur merupakan mekanisme kontrol dari budaya sangat kuat pada masyarakat tradisional. (Rapoport, 1969:49). Konsep keruangan dibuat sehingga sekaligus berfungsi sebagai media untuk mengatur perilaku masyarakat. Tempat pemujaan merupakan institusi terpenting dalam masyarakat Bali Aga sehingga menjaga keamanan dan kesucian tempat pemujaan menjadi prioritas utama. Pengertian menjaga keamanan tempat pemujaan bagi masyarakat Bali Aga adalah aman dari kondisi yang tidak suci/impure/sebel dan aman secara fisikal yaitu dari kemungkinan pencurian dan sebagainya. Tempat pemujaan biasanya memiliki artibut yang sangat berharga yang harus dijaga keamanannya.

29

BAB. V KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang dilakukan sistem pertahanan masyarakat Bali Aga dilihat dari konsep keruangan arsitektur Bali Aga dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu : 1. Konsep keruangan arsitektur Bali Aga menggunakan konsep luan-teben untuk mengorganisasi ruangan dan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam permukiman Bali Aga. Konsep keruangan luan-teben dibutuhkan untuk menciptakan hirarkhi ruangan yang ditata berdasarkan tingkat kesakralan ruangan. Pada masyarakat tradisional sistem kepercayaan masyarakat memegang perenan terpenting yang mengatur semua sendi kehidupan masyarakatnya. Gagasan penciptaan bentuk dan ruangan dalam arsitektur masyarakat bali Aga dibuat berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat Bali Aga yaitu membutuhkan naungan untuk berlindung dari iklim, membutuhkan ruangan dengan hirarkhi dan orientasi yang jelas untuk melakukan prosesi upacara dan persembahyangan, dan ruangan terbuka/ruangan bersama yang dibutuhkan untuk melakukan interaksi sosial. Kebutuhan dasar ini diturunkan dari faktor yang mempengaruhi bentuk dan organisasi keruangan arsitektur Bali Aga yaitu sistem kepercayaan masyarakat, struktur sosial masyarakat dan kondisi geografis lingkungan. 2. Organisasi keruangan arsitektur Bali Aga juga mempertimbangkan sistem pertahanan, karena padaperioda perkembangan arsitektur Bali Aga masyarakat harus memiliki konsep keruangan yang mempertimbangkan sistem pertahanan, karena pada masa itu kerajaan/pemerintah belum memiliki peranan yang signifikan untuk menjaga keamanan masyarakatnnya. Masyarakat menciptakan sistem pertahanan berdasarkan pengalaman yang dimiliki masyarakat dan pilihan yang disediakan alam/lingkungan. Sistem pertahanan dapat dilakukan dengan membuat tembok sebagai elemen pertahanan atau membuat pertahanan yang menyatu dengan alam 3. Sistem pertahanan pada masyarakat tradisional juga berkaitan dengan konsep keruangan yang menjaga keamanan tempat pemujaan, karena sistem kepercayaan memegang peranan terpenting. Konsep pertahanan masyarakat Bali Aga mempertimbangkan bagaimana menjaga kesucian dan kesakralan tempat pemujaan dengan menciptakan ruangan yang dapat mengontrol perilaku masyarakat. Untuk menjaga kesakralan dan kesucian tempat pemujaan dilakukan dengan membuar ruangan transisi sebagai barier, membuat tembok pembatas dan mengurangi aksesibitas ke ruangan yang paling sakral.

5.2. Saran-saran

Penelitian ini hanya dilakukan di dua desa Bali Aga di Kabupaten Buleleng yaitu Desa Sidatapa dan Desa Julah dan hasil penelitian ini dapat menjadi landasan untuk penelitian selanjutnya. Sistem pertahanan masyarakat Bali Aga dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan pengalaman dan pilihan yang dilakukan, namun setelah dilihat dengan teori defensible space yang dikembangkan oleh Newman dapat berterima dengan baik. Kondisi ini membuktikan bahwa kemampuan mengorganisasi keruangan di tingkat permukiman dan rumah adat merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga yang perlu dikembangkan dan dapat digunakan pada rancangan linglungan binaan masa kini. Untuk dapat mengaplikasikan konsep keruangan ini dibutuhkan penelitianyang lebih mendalam dan langkah-langkah untuk mentransformasikan pengetahuan masyarakat agar digunakan untuk masa kini.

30

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan, dkk,2013 Sejarah Bali, dari Pra Sejarah Hingga Modern, Udayana University Press, Denpasar Bandmann, 2005, Early Medieval Architectur as Bearer of Meaning, Columbia University Press Bourdieu, Pierre, 1990: The Logic of Practice, translated by Richard Nice, Stanford University Press Covarrubias, Miguel, 1937 Island of Bali,Periplus Editions, Singapore Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2011 Sejarah Bali Kuno, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Gelebet I Nyoman, 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali Gibbs JR, Raymond, W, 2004 Intention in the Experience of Meaning, Cambridge University Press Groat and Wang, 2002, Architectural Research Method, John Weiley and Son, Canada Lindsay Asquith and Marcel Vellinga, (editor) 2006, Vernacular Architecture in The Twenty-First Century Theory, Education and Practice, Taylor and Francis Group, London and New York National Crime Prevention Council, 2003, Crime Prevention Through Enviromental Design, Guide Book, Singapore Police Headquarters Newman, Oscar, 1996, Creating Defensible Space, U.S. Department of Housing and Urban Development Palmer. Richard E, 1969, Hermeneutics, Northwestern University press, Evanston Oliver, Paul (editor), 1997 Shelter, Sign and Symbol, The Overlook Press, Woodstock New York Oliver, Paul, 2003 Dwellings. The Vernacular House World Wide, Phaidon Press Limited, London Oliver, Paul, 2006 Built to Meet Need, Cultural Issues in Vernacular architecture, Elsevier Pringle, Robert, 2005 A Short History of Bali, Indonesia’s Hindu Realm, Allen & Unwin, NSW Architectural Press Rapoport, Amos, 1969 House Form and Culture, Prentice – Hall. Inc, Eaglewood Cliffs,NJ Reuter, Thomas, 2005. Custodians of Sacred Mountains, Budaya dan Masyarakat di Daerah Pengunungan Bali, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sanders Donald, 1990, Behavior Convention and Archeology: Method for the Anaysisi of Ancient Architecture dalam Susan Kent: Domestic Architecture and Used of Space, Cambridge University Press Schäublin Brigitta Hauser and Ardika, I Wayan (editor). 2008 Burial, Text and Ritual, Göttinger Beiträge zur Ethnologie Universitätsverlag Göttingen

31

Schulz, Christian Norberg. 2000. Architecture : Presence, Language, Place.Skira Editore, S.p.A, Milano, Italy Schulz, Christian Norberg. 1976 Genius Loci, Toward A Phenomenology of Architecture, Rizzoli, New York Schulz, Christian Norberg. 1971 Existence, Space and Architecture, Praeger Publisher, New York Setiawan, I Ketut.2008 Socio-Political Aspects of Ancient Julah, dalam Burial, Text and Ritual, Göttinger Beiträge zur Ethnologie Universitätsverlag Göttingen Simpen, AB, Wayan, 1986 Adat Kuna, Catur Desa Tigawsa, Sidatapa Pedawa dan Cempaga, tanpa penerbit. Sri Rahayu, Ni Nyoman , 2010, Konsep Hirarkhi Ruang pada Rumah Adat Di Desa Sidatapa, Kabupaten Buleleng, Thesis, Program Magister Arsitektur, Universitas Udayana Stollard, Paul, 1991, Crime Prevention Through Housing Design, E & F N SPON An imprint of Chapman & Hall London, New york Tokyo Thompson, John B, 1981/2003, Critical Hermeneutics, A study in The Thought of Paul Ricoeur and Jtirgen Habermas, Press Syndicate of the University of Cambridge. New York Waterson, Roxana, 1990 The Living House, An Anthropology of Architecture in South East Asia,Oxford University Press, New York Zahm, Diane, 2007, Using Crime Prevention Through Enviromental Design in Problem Solving, US Departement of Justice Zubaidi, Fuad, dkk 2013, Territoriality in The Traditional Settlement Context, Psychology and Behavior Science, Science Publishing Group

32

LAMPIRAN 1 : Justifikasi Anggaran Biaya dan Jadwal Penelitian

Tabel 1. Justifikasi Anggaran Biaya

A. HONOR Waktu Jumlah No. Honor Honor/Jam (Rp) Jumlah (Rp) (jam/minggu) Minggu/keg 1. Honor Peneliti 40,000.00 10 9 3,600,000 (Ketua) 2. Honor Peneliti 25,000.00 10 9 2,250,000 (Anggota) 3. Honor Tenaga 750,000.00 ls 2 1,500,000 Surveyor 4. Honor 750,000.00 ls 1 750,000 Drafter/pengolah data Sub Total A : 8,100,000 B. BAHAN HABIS PAKAI No. Material Justifikasi Pemakaian Volume Harga Satuan Jumlah (Rp) 1. Photocopy literatur lbr 8,500.00 300.00 2,550,000.00 2. Photocopy data lbr 750.00 300.00 225,000.00 3. ATK paket 1.00 200,000.00 200,000.00 4. Konsumsi kotak 40.00 50,000.00 2,000,000.00 5. Tinta Printer Hitam kotak 3.00 150,000.00 450,000.00 6. Tinta Printer Warna kotak 2.00 200,000.00 400,000.00 7. Kertas HVS A4 rim 5.00 40,000.00 200,000.00 8. Kertas HVS A 3 rim 2.00 75,000.00 150,000.00 9. Sketch book bh 2.00 50,000.00 100,000.00 10. Map bh 20.00 5,000.00 100,000.00 11. Binder bh 25.00 5,000.00 125,000.00 12. Sewa kamera hari 4.00 200,000.00 800,000.00 13. Memory Card 8GB bh 1.00 500,000.00 500,000.00 14. Spidol Ilustrator bh 14.00 50,000.00 700,000.00

Sub Total B : 8,500,000 C. PERJALANAN No. Nama Perjalanan Justifikasi Perjalanan Volume Harga Satuan Jumlah (Rp) 1. Sewa mobil kali 4.00 600,000.00 2,400,000.00

Sub Total C : 2,400,000 D. LAIN - LAIN No. Nama Kegiatan Justifikasi Volume Harga Satuan Jumlah (Rp) 1. Memperbanyak laporan eks 10.00 75,000.00 750,000.00 2. Print cover lb 10.00 25,000.00 250,000.00

Sub Total D : 1,000,000

TOTAL ANGGARAN : 20,000,000

a

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No. Jenis Kegiatan Agst September Oktober

IV I II III IV V I II III IV 1 Pembuatan Proposal 2 Survey Lapangan 3 Pembuatan gambar dan sketsa 4 Analisis 5 Penyusunan Laporan 6 Pengumpulan Laporan

b

LAMPIRAN 2 : Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas

Alokasi Waktu No Nama / NIDN Instansi Asal Bidang Ilmu Uraian Tugas (jam/minggu) 1. Ni Made Swanendri, Jurusan Arsitektur 5 Merencanakan ST., MT / Arsitektur, FT- penelitian, 0021047303 UNUD melaksanakan penelitian 2. I Wayan Yuda Manik, Jurusan Arsitektur 5 Melaksanakan ST., MT / Arsitektur, FT- penelitian 0019048203 UNUD

c

LAMPIRAN 3 : Biodata Ketua dan Anggota Peneliti

3.1. Biodata Ketua Peneliti

A. Identitas Diri Ketua 1 Nama Lengkap (dengan gelar) Ni Made Swanendri, ST., MT 2 Jenis Kelamin P 3 Jabatan Fungsional Lektor 4 NIP/NIK/Identitas lainnya 197304212000032001 5 NIDN 0021047303 6 Tempat dan Tanggal Lahir Amlapura, 21 April 1973 7 E-mail [email protected]; [email protected] 8 Nomor Telepon/Faks/HP 0361.229228/ - /08123964025 9 Alamat Kantor Jurusan Arsitektur, FT-UNUD, Kampus Bukit Jimbaran 10 Nomor Telepon/Faks 0361-703384 11 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1= orang, S-2= orang; S-3= orang 12 Mata Kuliah yang Diampu 1. Arsitektur Perilaku 2. Ekologi Arstektur 3. Studio Perancangan Arsitektur 1 4. Studio Perancangan Arsitektur 4 5. Bahasa Inggris 6. Seminar Tugas Akhir

B. Riwayat Pendidikan S-1 S-2 S-3 Institut Teknologi Universitas Gadjah Nama Perguruan Tinggi Sepuluh November Mada, Yogyakarta Surabaya Arsitektur/Permukiman Bidang Ilmu Arsitektur dan Lingkungan Tahun Masuk-Lulus 1991- 1996 1998 - 2000 Terminal Eksistensi Rumah Bali Penumpang sebagai Basis Ekonomi Angkutan Jalan Rumah Tangga, studi Raya di Denpasar, Judul kasus : Desa Belega Suatu Pendekatan Skripsi/Thesis/Disertasi dan Desa Bona, Fungsi Ganda Kecamatan Blahbatuh, dengan Penekanan Kabupaten Gianyar Pelayanan Bali Kepariwisataan Prof. Johan silas Nama Dr. Arya Ronald Dr. Happy Ratna Pembimbing/Promotor Santosa

d

C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan skripsi, tesis, maupun disertasi)

Pendanaan No. Tahun Judul Penelitian Sumber* Jml.(Juta Rp.) Hibah Densitas dan Pembatasan Penelitian 1. 2013 15,000,000 Ketinggian Bangunan di Bali Jurusan Tahun 2013 Turning a Blind Eye: Slum Housing Hibah: DIPA 2. 2012 125,000,000 and Sustainability in Bali Unud Rancangan Rumah Tumbuh Tipe 36 3. 2010 dan 45 di Kota Denpasar (Tahun ke- Hibah Bersaing 47,500,000 2) / Ketua Program Hibah Dokumentasi Arsitektur Tradisional Kompetisi Bali Tahun 2010; PHKI Universitas 4. 2010 berbasis Institusi 45,050,000 Udayana, Jurusan Arsitektur Tahun (PHK-I) Tahun 2010 / Anggota 2010 Hibah Pengajaran, Studio Tugas Program Hibah Akhir : Sistem Penilaian Berbasis Kompetisi 5. 2009 Proses, PHKI Universitas Udayana, berbasis Institusi 25,000,000 Jurusan Arsitektur Tahun 2009 / (PHK-I) Tahun Anggota 2009 Rancangan Rumah Tumbuh Tipe 36 6. 2009 dan 45 di Kota Denpasar (Tahun ke- Hibah Bersaing 49,815,000 1) / Anggota Program Hibah Dokumentasi Arsitektur Tradisional Kompetisi Bali Tahun 2009; PHKI Universitas 7. 2009 berbasis Institusi 52,000,000 Udayana, Jurusan Arsitektur Tahun (PHK-I) Tahun 2009 / Anggota 2009

*tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber dana lainnya.

D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 tahun Terakhir

Pendanaan Judul Pengabdian Kepada No. Tahun *Sumber Jml.(Juta Masyarakat Rp.) 1 2013 Pengabdian Masyarakat : DIPA UNUD 7,500,000 Bimbingan Teknis Pengembangan Rumah Sehat untuk Kegiiatan Pariwisata di Desa Jatiluwih, Tabanan 2 2013 Pengabdian/Kegitan Sosial : Bakti DIPA UNUD Keakraban Mahasiswa (BKM) Tahun 2013 di

Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar

e

3 2013 Pengabdian Masyarakat : Penataan Hibah pengabdian 7,500,000 Pura Telaga Jurusan Mas di Kompleks Pura Lempuyang, Kabupaten Karangasem 4 2013 Pengabdian Masyarakat : Hibah pengabdian 7,500,000 Perencanaan dan Jurusan Pengawasan Renovasi Gedung Perpustakaan dan Komputer SD 6 Bunutan di Dusun Gulinten, Desa Bunutan Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem 5 2012 Pengabdian Masyarakat dalam Arcasia rangka Student Jamboree :

Pembersihn Pantai dan Penenaman Mangrove / Sekretaris 6 2012 Bakti Ilmiah Teknik Ekstensi Fakultas Teknik (BILTEKS) Tun 2012 di Desa

Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan / Anggota 7 2012 Bakti Keakraban Mahasiswa Fakultas Teknik (BKM) Tahun 2012 di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung / Anggota 8 2012 Identifikasi Potensi dan DIPA UNUD 6,000,000 Permasalahan Desa Jatiluwih dalam rangka Pengembangan Desa Wisata Ekologi / Anggota 9 2011 Inventarisasi dan Dokumentasi DIPA UNUD 6,000,000 Arsitektur Desa Adat Pengotan Bangli / Anggota 10 2011 Penghijauan di Desa Buduk Fakultas Teknik Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung / Anggota 11 2011 Tim Perencanaan Pembangunan Mandiri & Masyarakat Senderan Pura Griya Sakti Bukit, Bangli / Anggota 12 2011 Tim Perencanaan Gedung Mandiri & Masyarakat dan Gedung Serba Guna Desa Pekraman Yeh Sumbu, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana / Anggota

13 2011 Penataan Ruang Publik pada DIPA UNUD 6,000,000 Kawasan Perumahan Padang Galeria, Denpasar / Anggota 14 2010 Pengabdian pada Masyarakat Mandiri & Masyarakat sebagai Tim Bantuan Teknis Pembangunan Pura Penataran Desa Adat Legian, Kelurahan Legian, Kecamatan Kuta / Anggota

f

15 2009 Penataan Kawasan Wisata Wenara Mandiri & Masyarakat Wana Desa Pakraman Padangtegal, Kelurahan Ubud, Kabupaten Gianyar / Anggota

*tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber dana lainnya.

E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir

Volume/Nomor/ No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Tahun 1 Pura Dalem Segara Madhu, Desa Vol. 9, No. 1, Jurnal Permukiman Pekraman Jagaraga - Buleleng Pebruari 2011 Natah 2 Implementasi Penilaian Berbasis Proses Vol. 8, No. 1, Jurnal Permukiman pada Mata Kuliah Studio Tugas Akhir Pebruari 2010 Natah

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir

No. Nama Pertemuan Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Ilmiah/Seminar Tempat 1 Seminar Nasional : Penelusuran Identitas 2013-Denpasar Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara melalui Arsitektur Nusantara, Sebuah Proses Universitas Udayana, Denpasar Berkarya 2 Joint International Seminar : Rancangan Rumah Tumbuh 2011 - Denpasar Alam Bina Serantau, antara Tipe 36 dan 45 di Kota Jurusan Arsitektur Fakultas Denpasar Teknik Universitas Udayana dengan Fakulti Kejuruteraan & Alam Bina, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) 3 Lokakarya Nasional : Kurikulum Brbasis 2011 - Bandung Kurikulum Berbasis Kompetensi Jurusan Arsitektur Kompetensi untuk Arsitektur; - UNUD Asosiasi Perguruan Tinggi Arsitektur Indonesia 4 Seminar Nasional FTSP ITN Arsitektur Bambu, Sebuah 2010 - Malang Malang : Teknologi Ramah Alternatif untuk Lingkungan dalam Menyelamatkan Lingkungan Pembangunan Berkelanjutan, Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang 5 Seminar Nasional : Metodologi Analisis Tipo-Morfologi 2010 - Denpasar Riset dalam Arsitektur, Menuju melalui Peta Digital, Kasus Pendidikan Arsitektur Indonesia Studi : Transformasi Kawasan Berbasis Riset, Universitas Koridor Jalan Cisitu-Bandung Udayana, Denpasar

g

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir

No Judul Buku Tahun Jumlah Penerbit Halaman 1 2 dst

H. Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir

No Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID 1 2 dst

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir

No Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya Tahun Tempat Respon yang Telah Diterapkan Penerapan Masyarakat 1. 2. dst.

J. Penghargaan yang Pernag Diraih dalam 10 Tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)

No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Tahun Penghargaan 1. 2. dst.

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam Hibah Penelitian Jurusan Arsitektur Tahun 2014

Bukit Jimbaran, 04 September 2014

Ni Made Swanendri, ST., MT NIP. 197304212000032001

h

3.2. Biodata Anggota Peneliti

A. Identitas Diri

1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Wayan Yuda Manik, S.T., M.T. 2 Jenis Kelamin L/P 3 Jabatan Fungsional Asisten Ahli 4 NIP/NIK/Identitas lainnya 19820419 200812 1 002 5 NIDN 0019048203 6 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 19 April 1982 7 E-mail [email protected]; [email protected] 9 Nomor Telepon/HP 0361-7416006, 081236441907 10 Alamat Kantor Jurusan Arsitektur, FT-UNUD, Kampus Bukit Jimbaran 11 Nomor Telepon/Faks 0361-703384 12 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 15 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 13. Mata Kuliah yg Diampu 1. .Komputer Arsitektur 2. Teknologi Bahan 3. Sains dan Utilitas Bangunan 1 4. Sains dan Utilitas Bangunan 2 5. Studio Estetika Bentuk 6. Studio Perancangan Arsitektur 5

B. Riwayat Pendidikan

S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana Institut Teknologi Bandung - Bidang Ilmu Arsitektur Arsitektur - Tahun Masuk-Lulus 2000-2004 2005-2007 - Judul Perumahan Graha Pesona Pengaruh Demografi dan Gaya - Skripsi/Tesis/Disertasi Panahan di Sanggulan- Hidup berdasarkan Aktifitas Tabanan Penghuni terhadap Transformasi Hunian Tradisional di Desa Bayung Gede-Bali Nama 1. Ir. I Made Adhika, MSP. 1. Ir. Wiwik Dwi Pratiwi, MES, - Pembimbing/Promotor 2. Ir. Ida Bagus Gede Ph.D. Wirawibawa Mantra, 2. Ir. Budi Rijanto, DEA. M.T.

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi) Pendanaan No. Tahun Judul Penelitian Sumber* Jml (Juta Rp) Transformasi Unit Hunian di Desa Hibah Dosen 1 2010 Rp 7.500.000,00 Penglipuran Muda Hibah Dosen 2 2011 Transformasi Unit Hunian di Desa Sekardadi Rp 7.500.000,00 Muda Merancang Guidelines Tata Ruang dan Bangunan Beridentitas Lokal yang Hibah 3 2011 Rp 50.000.000,00 Berwawasan Global: Rasionalisasi Aturan Bersaing Tradisional “Asta Kosala Kosali” * Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber lainnya.

i

D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir Pendanaan No. Tahun Judul Pengabdian kepada Masyarakat Sumber* Jml (Juta Rp) Jurusan Pengukuran Pura Agung Wira Loka Natha di 1 2013 Arsitektur - Cimahi-Bandung FT-UNUD Jurusan Rencana Pembangunan Gedung Kantor Jurusan 2 2013 Arsitektur - Arsitektur FT-UNUD di Kampus Bukit Jimbaran FT-UNUD Jurusan Rencana Pembangunan Selasar di Kampus Bukit 3 2013 Arsitektur - Jimbaran FT-UNUD Bimbingan Teknis Pengembangan Rumah Sehat Jurusan 4 2013 untuk Kegiatan Pariwisata di Desa Jatiluwih, Arsitektur - Tabanan FT-UNUD Bantuan Teknis Perencanaan dan Pengawasan Jurusan Renovasi Gedung Perpustakaan dan Lab 5 2013 Arsitektur - Komputer FT-UNUD SD 6 Bunutan, Abang, Karangasem * Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI maupun dari sumber lainnya.

E. Pengalaman Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/Nomor/Tahun

1 - - - -

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir Nama Pertemuan No. Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat Ilmiah/Seminar Isu Pembangunan Berkelanjutan di Seminar Nasional Green City Denpasar, 11 September 1 Kawasan Kota PT. Freeport Contribution 2009 Indonesia Papua Seminar International yang The Local Wisdom Evocation as an diselenggarakan oleh of Civil Effort of Disaster Mitigation through 2 Engineering and Planning, Jogjakarta, 27 Mei 2010 Structural Reliability of Jineng Islamic University of Traditional Building in Bali Indonesia Seminar Nasional Pariwisata Antisipasi Pembangunan Keruangan 3 dan Pembangunan Keruangan dan Pariwisata di Kawasan Badung Denpasar, 6 Oktober 2009 di Kabupaten Badung Utara Analisis Tipo-Morfologi melalui Peta Seminar Nasional Metode Digital, Kasus Studi: Transformasi 4 Denpasar, 3 Juni 2010 Riset dalam Arsitektur Kawasan Koridor Jalan Cisitu- Bandung Evaluasi dalam Skenario Penelitian Seminar Nasional Metode 5 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan Denpasar, 3 Juni 2010 Riset dalam Arsitektur Arsitektur International Conference of Is Vernacular 6 Denpasar, 7 Oktober 2010 Sustainability Development Enough? Seminar Nasional Penelusuran Identitas Arsitektur Denpasar, 10 Oktober 7 Reinterpretasi Identitas Nusantara melalui Sebuah Proses 2013 Arsitektur Nusantara Berkarya

j

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir Jumlah No. Judul Buku Tahun Penerbit Halaman 1 - - - -

H. Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir

No. Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID

1 - - - -

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya yang Tempat No. Tahun Respon Masyarakat telah Diterapkan Penerapan 1 - - - -

J. Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari Pemerintah, Asosiasi, atau Institusi Lainnya) Institusi Pemberi No. Jenis Penghargaan Tahun Penghargaan 1 - - -

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Penelitian Jurusan Arsitektur Tahun 2014.

Bukit Jimbaran, 04 September 2014

(I Wayan Yuda Manik, S.T., M.T.)

k