RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KEBIJAKAN LUAR NEGERI PERANCIS TERKAIT INTERVENSI MILITER DALAM KONFLIK MALI PERIODE 2013–2015

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Muhammad Rizki 11141130000030

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

ABSTRAK

Muhammad Rizki (11141130000030), Skripsi: Respon Amerika Serikat Terhadap Kebijakan Luar Negeri Perancis Terkait Intervensi Militer Perancis Dalam Konflik Mali Periode 2013–2015, 2018, Hubungan Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini menganalisis respon Amerika Serikat terhadap kebijakan luar negeri Perancis terkait intervensi militer dalam konflik Mali periode 2013-2015. Konflik Mali sesungguhnya sudah dimulai sejak Januari 2012, tetapi Perancis baru dapat memutuskan kebijakan untuk melakukan intervensi militer pada tahun 2013. Intervensi militer Perancis dilakukan dengan melibatkan banyak negara, khususnya yang berasal dari kawasan Afrika Barat. Terkait hal ini, Amerika Serikat sebagai salah satu sekutu Perancis memberikan respon yang cukup positif. Meskipun begitu, respon positif tersebut ternyata terbatas dan cenderung pasif. Amerika Serikat memutuskan tidak terlibat aktif dalam mendukung intervensi militer Perancis dengan berkomitmen untuk tidak mengirimkan pasukan tempur dan hanya membantu urusan logistik dan intelijen. Respon tersebut merupakan suatu hal yang tidak biasa apabila dilihat dari riwayat keterlibatan militer Amerika Serikat dalam upaya penyelesaian konflik suatu negara. Terlebih lagi dalam Konflik Mali terdapat beberapa kelompok teroris yang menjadi perhatian Amerika Serikat. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi respon Amerika Serikat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data penelitian yang didapat melalui studi kepustakaan dan berupa data sekunder. Kerangka teoretis yang digunakan untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini adalah teori konflik, konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Berdasarkan metode, data, dan kerangka teoretis yang digunakan, hasil penelitian menunjukan bahwa respon positif Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dilatarbelakangi oleh kepentingan melawan terorisme di Afrika Barat. Terkait dengan keterbatasan respon Amerika Serikat dalam mendukung Perancis, ditemukan beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, diantaranya adalah Doktrin Obama dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, Peran dari Kongres Amerika Serikat, opini publik, dan kebijakan NATO terhadap intervensi militer Perancis.

Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri, Intervensi Militer, Konflik, Amerika Serikat, Perancis, Mali

V

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil 'alamin, segala puji dan syukur terhadap Allah SWT yang telah memberikan karunia nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan pujian juga dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Program Studi Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Perlu disadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa hambatan yang muncul dari diri penulis dan lingkungan sekitar. Namun, dukungan, motivasi, dan saran dari orang-orang terdekat telah membantu mengatasi hambatan- hambatan tersebut. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi besar sebagai berikut: 1. Keluarga penulis yang terdiri dari kedua orang tua dan seorang kakak, yang telah menjadi sumber motivasi dan dukungan moral dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Adian Firnas, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulisan skripsi. 3. Segenap jajaran Kepala dan Sekretaris Program Studi Hubungan Internasional UIN Jakarta, Bapak Ahmad Alfajri, MA dan Ibu Eva Mushoffa, MA 4. Segenap jajaran dosen, staf, dan pegawai FISIP UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pelajaran. 5. Teman-teman kelas HI A yang telah menemani masa studi selama kurang lebih empat tahun. Terima kasih atas pertemanan dan pengalaman yang berharga.

VI

6. Teman-teman HI angkatan 2014 yang ikut berkontribusi dalam bertukar informasi penting dalam hal perkuliahan HI. 7. Teman-teman Kelompok KKN 006 yang berkontribusi dalam memenuhi salah satu syarat kelulusan kuliah melalui Kuliah Kerja Nyata di Kelurahan Bunder pada Juli hingga Agustus 2017. 8. Jajaran staf dan personel Divhubinter Polri yang telah memberikan kesempatan dan pengalaman berharga untuk menjalani program magang selama kurang lebih satu bulan sebagai salah satu mata kuliah wajib. 9. Teman-Teman “Inhutani” yang tidak dapat disebutkan semua, yang sering berdiskusi bersama dan Secara tidak langsung menjadi wadah tersendiri untuk mendapatkan informasi tentang segala hal, termasuk perkuliahan dan kehidupan kampus. 10. Teman-Teman “Join” Alumni SMAN 46 Jakarta tahun 2014 yang tidak bisa disebutkan semua, yang memberikan hiburan tersendiri ketika mengalami hambatan ide dalam proses penulisan skripsi. 11. Senior dan Alumni HI UIN Jakarta yang secara tidak langsung telah menginspirasi penulisan skripsi ini melalui saran dan skripsi terdahulu. 12. Semua pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini, yang mungkin tidak diketahui atau disadari kontribusinya. Terma kasih.

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangsih bagi penelitian program studi hubungan internasional. Meskipun begitu, perlu disadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai bahan pertimbangan perbaikan untuk skripsi ini.

Jakarta, 11 Mei 2018

Muhammad Rizki

VII

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... I LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... II LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... III LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ...... IV ABSTRAK ...... V KATA PENGANTAR ...... VI DAFTAR ISI ...... VII DAFTAR TABEL ...... X DAFTAR GAMBAR ...... XI DAFTAR SINGKATAN ...... XII

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ...... 1 B. Pertanyaan Penelitian ...... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 10 D. Tinjauan Pustaka ...... 11 E. Kerangka Teoretis ...... 14 1. Konflik ...... 14 2. Kebijakan Luar Negeri ...... 16 3. Kepentingan Nasional ...... 19 F. Metode Penelitian...... 22 G. Sistematika Penulisan ...... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK MALI A. Profil Negara Mali...... 26 B. Sejarah Konflik di Mali Pasca Era Kolonialisme ...... 31 C. Konflik Mali 2012 ...... 38

VIII

BAB III KETERLIBATAN PERANCIS DALAM UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MALI A. Kebijakan Intervensi Militer Perancis Dalam Konflik Mali 2012 47 B. Respon Internasional Terhadap Kebijakan Intervensi Militer Perancis ...... 57

BAB IV ANALISIS RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP INTERVENSI MILITER PERANCIS DALAM KONFLIK MALI A. Kepentingan Nasional Dalam Respon Amerika Serikat Terhadap Intervensi Militer Perancis ...... 68 B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Amerika Terhadap Intervensi Militer Perancis ...... 75 1. Faktor Internal ...... 76 2. Faktor Eksternal ...... 91

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 98 B. Saran ...... 102

DAFTAR PUSTAKA ...... CIII

IX

DAFTAR TABEL

Tabel IV.B.1. Hasil Survei Terkait Keterlibatan Amerika Serikat dalam Konflik

Libya Tahun 2011 ...... 86

Tabel IV.B.2. Hasil Survei Terkait Penarikan Pasukan

Amerika Serikat Dari Irak ...... 87

X

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.A.1. Peta Negara Mali ...... 25

Gambar I.C.2. Peta Persebaran Konflik Mali 2012 ...... 37

XI

DAFTAR SINGKATAN

ACOTA Africa Contingency Operations Training & Assistance

ADC Alliance Démocratique pour le Changement du 23 mai

ADEMA Alliance pour la Démocratie au Mali

AFISMA African-led International Support Mission to Mali

AFRICOM Africa Command

AQIM Al-Qaida in the Islamic Maghreb

ATNMC Alliance Touaregue -Mali pour le Changement

ATT Amadou Toumani Touré

CIA Central Intelligence Agency

CJTF-HOA Combined Joint Task Force–Horn of Africa

CNID Congrès National d’Initiative Démocratique

CNRDRE Comité National pour le Redressement de la Démocratie et la

Restauration de l’État

CMA Coordination of Movements for Azawad

ECOWAS Economic Community of West African States

EIJ Egyptian Islamic Jihad

EUTM European Union led Training mission in Mali

FBI Federal Bureau of Investigation

XII

FIAA Front Islamique Arabe de l’Azawad

FJP Freedom and Justice Party

FLT Front de libération du Tamoust

FLAA Front de Libération de l’Aïr et de l’Azawad

FULA Front Uni de Libération de l’Azawad

FY2013 Fiscal Year 2013

FY2014 Fiscal Year 2014

GDP Gross Domestic Product

GSPC Groupe Salafiste pour la Prédication et le Combat

HCUA Haut Conseil pour l'Unité de l'Azawad

IPU Inter-Parliamentary Union

MAA Mouvement Arabe de l’Azawad

MFUA Mouvements et Fronts unifiés de l’Azawad

MINUSMA Mission multidimensionnelle Intégrée des Nations Unies pour la

Stabilisation au Mali

MNA Mouvement national de l’Azawad

MNLA Mouvement National de Libération de l'Azawad

MPLA Mouvement Populaire de Libération de l’Azawad

MTNM Mouvement Touareg du Nord Mali

MUJWA Movement for Unity and Jihad in West Africa

NATO North Atlantic Treaty Organizations

OCO Overseas Contingency Operations

XIII

OEF-A Operation Enduring Freedom Afghanistan

OIF Organisation Internationale de la Francophonie

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PSI Pan-Sahel Initiative

SFOP State, Foreign Operations, and Related Programs

TSCTP Trans-Saharan Counterterrorism Partnership

UFM Union for the Mediterranean

USAID United States Agency for International Development

US-DRA Union Soudanaise-Rassemblement Démocratique Africain

XIV

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Isu dalam hubungan internasional dewasa ini menunjukkan bahwa banyak persoalan yang terjadi mulai dari isu kejahatan transnasional, liberalisasi ekonomi, pemanasan global, dan konflik. Konflik sendiri dapat terjadi antara dua atau lebih negara dan konflik yang terjadi di internal suatu negara. Terkait dengan konflik internal, pada umumnya konflik tersebut terjadi di negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang yang memiliki tingkat pendapatan nasional yang rendah atau memiliki tingkat kesenjangan sosial yang tinggi. Salah satu wilayah yang masih dalam situasi dan kondisi tersebut adalah Benua Afrika.1 Negara-negara di

Afrika sering kali mengalami konflik internal, salah satunya adalah yang terjadi di kawasan Afrika Barat tepatnya di Mali.

Konflik Mali bermula pada tahun 1961 ketika etnis Tuareg yang berada di bagian Utara Mali merasa terabaikan oleh pemerintahan Mali. Mereka menentang kebijakan pemerintah pusat terkait reformasi lahan di seluruh wilayah Mali yang dapat mengancam hak wilayah tradisional mereka. Pertentangan ini meluas hingga puncaknya pada tahun 1963 terjadi konflik dalam intensitas yang cukup besar antara kelompok etnis Tuareg dengan pemerintah Mali. Peristiwa tersebut dikenal

1 Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 99.

1

dengan Alfellaga atau The First Tuareg Rebellion. Konflik ini berkahir pada tahun

1964 dengan kekalahan di pihak Pemberontak Tuareg.2

Konflik Mali kemudian kembali terjadi pada tahun 1990 di Utara Mali dan sebagian wilayah Niger. Konflik ini dikenal dengan Al-Jebha atau The Second

Tuareg Rebellion dan melibatkan pihak pemberontak etnis Tuareg yang ada di Mali dan Niger dengan tuntutan pemberian otonomi daerah. Konflik ini berakhir dengan perjanjian damai pada tahun 1995 antara pemerintah Mali dan Niger dengan pihak pemberontak Tuareg.3

Namun, perjanjian damai tersebut pada akhirnya tidak berlangsung lama.

Pada tahun 2007, di wilayah Utara Mali dan Niger, konflik kembali terjadi dengan pihak yang sama melawan pemerintah Mali dan Niger. Konflik ini terjadi karena pihak pemberontak Tuareg menganggap perjanjian damai dengan pemerintah Mali dan Niger sudah tidak relevan dan perlu pembaruan, tetapi aspirasi mereka tidak direspon dengan baik. Konflik tidak berlangsung lama dan berakhir pada tahun

2009 dengan perjanjian gencatan senjata dan perekrutan para pemberontak untuk menjadi tentara nasional Negara Mali dan Niger. Hingga saat ini status konflik tersebut masih dalam keadaan Stalemate.4

Setelah serangkaian konflik yang terjadi, konflik terbaru terjadi pada

Januari tahun 2012 ketika kelompok pemberontak Tuareg kembali melakukan

2 Baz Lecocq. Disputed Desert: Decolonisation, Competing Nationalisms and Tuareg Rebellions in Northern Mali (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2010), 153-154 3 Lecocq, Disputed Desert: Decolonisation, Competing Nationalisms and Tuareg Rebellions in Northern Mali, 249. 4 Oumar Ba. Tuareg Nationalism and Cyclical Pattern of Rebellions: How the past and present explain each other. (Florida: Sahel Working Research Group, 2014), 12-13.

2

kampanye menentang pemerintah Mali dengan tuntutan yang lebih besar, yaitu kemerdekaan wilayah Utara Mali yang diberi nama Azawad. Kelompok pemberontak Tuareg ini kemudian membentuk Mouvement National de Libération de l'Azawad (MNLA), sebuah organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan

Azawad dan menjadikannya tanah air bagi orang-orang Tuareg. Azawad sendiri merupakan provinsi yang berada di Utara Mali yang didalamnya terdiri dari wilayah

Timbuktu, Kidal, Gao dan sebagian wilayah Mopti. Azawad mencakup 60% dari total wilayah Mali atau lebih dari setengah luas wilayah Mali.5

Selama Januari dan Februari 2012, konflik terjadi dalam intensitas yang masif dan meluas di Utara Mali. Kelompok MNLA pada saat itu berhasil meraih kendali atas beberapa Kota di wilayah Utara seperti; Menaka, Tessalit, Tinzawaten, dan Aguelhok. MNLA mengambil alih kekuasaan dengan cepat dan terstruktur.

Pada awal Maret, MNLA kembali melakukan penyerangan dan berhasil mengambil alih kekuasaan di Kota Dire dan Goundam. Sejumlah serangan tersebut dapat dikatakan sebagai kerugian yang sangat besar bagi pemerintah Mali. Berbagai upaya serangan balik telah dilakukan, tetapi tidak berdampak signifikan. Secara tidak langsung, pihak militer Mali telah gagal melindungi kedaulatan wilayah di

Utara Mali. Wilayah tersebut secara de facto berada dalam kekuasaan pihak

MNLA.6

5 Grégory Chauzal dan Thibault Van Damme. The Roots of Mali’s Conflict: Moving beyond The 2012 Crisis. (Den Haag: Cligendael Netherlands Institute of Internastional Relations Report, 2015), 9. 6 Alexander Thurston dan Andrew Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis. (Illinois: ISITA Working Paper Series, 2013), 28-32

3

Kegagalan pemerintah Mali di bawah kepemimpinan Presiden Amadou

Toumani Toure dalam mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh MNLA menyebabkan kalangan militer Mali merasa kecewa. Militer Mali beranggapan bahwa kebijakan pemerintah yang melakukan penyelesaian dengan cara bernegoisasi antara perwakilan pemerintah dan pihak pemberontakan tidak dapat mengakhiri konflik. Sebaliknya, negosiasi yang dilakukan sebenarnya hanya akan merugikan pemerintah Mali dan memperburuk konflik yang ada. Oleh sebab itu, pada tanggal 22 Maret 2012, Presiden Amadou Toumani Touré digulingkan dalam sebuah kudeta sebulan sebelum pemilihan umum dilaksanakan.7

Pemimpin kudeta yang dilakukan kelompok militer tersebut bernama

Amadou Sanogo. Kelompok militer kemudian membentuk komisi pemerintahan sendiri dengan nama Comité National pour le Redressement de la Démocratie et la

Restauration de l’État (CNRDRE). Komisi ini mengambil alih dan menghapus konstitusi Mali pada 2 April 2012. Selama itu, terjadi kekosongan kekuasaan yang sah dan hanya dipimpin sementara oleh kelompok militer. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan kegaduhan dalam politik dalam negeri Mali.8

Akibat dari ketidakstabilan di internal pemerintah Mali, MNLA berhasil mengambil alih lebih banyak wilayah Azawad dan mendeklarasikan kemerdekaan pada 6 April 2012. Perjuangan MNLA dalam mendapatkan kemerdekaan Azawad kemudian dibantu oleh kelompok koalisi Islam, yaitu Ansar Dine, the Movement for Unity and Jihad in West Africa (MUJWA), dan Al-Qaida in the Islamic

7 Alexis Arieff. Crisis in Mali. (Washington: Congressional Research Service Report for Congress, 2013), 2-4. 8 Arieff, Crisis In Mali, 7.

4

Maghreb (AQIM). Setelah mendapatkan kendali dan mendelarasikan kemerdekaan

Azawad, MNLA tidak dapat berkuasa penuh karena di beberapa wilayah Azawad muncul beberapa usaha perebutan kota oleh kelompok koalisi Islam. 9

Kelompok koalisi Islam yang awalnya membantu MNLA justru berusaha mengambil alih Azawad dan membuat kelompok MNLA menarik diri. Keinginan dari kelompok koalisi Islam Ansar Dine untuk menerapkan hukum Islam di Mali yang tidak disetujui oleh MNLA merupakan penyebab utama perlawanan kelompok koalisi Islam terhadap MNLA. Pada Juni 2012, pertempuran Gao yang melibatkan pihak MNLA melawan kelompok koalisi Islam membuat MNLA mengalami kekalahan dan harus menarik diri dari kota Gao serta memutuskan kerjasama dengan kelompok koalisi Islam. Kondisi ini akhirnya memaksa MNLA bekerja sama dengan pemerintah Mali untuk merebut kembali wilayah Awazad dari tangan kelompok koalisi Islam. MNLA menilai bahwa kelompok koalisi Islam cenderung menjadi kelompok fundamentalis yang ekstrem.10

Konflik yang terjadi di Mali awalnya adalah konflik internal. Namun, seiring berjalannya waktu, konflik ini meluas menjadi isu internasional. Kegagalan pemerintah Mali dalam menyelesaikan konflik dengan pemberontak menyebabkan aktor asing masuk dalam konflik tersebut, salah satunya adalah Perancis. Perancis menjadi negara yang paling keras menunjukan kekhawatiran terhadap konflik dan krisis politik yang terjadi di Mali. Ini dibuktikan dengan inisiatif rencana

9 BBC News, Mali Crisis dalam http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-21894117, diakses pada 9 April 2017 10 Nivedita Ray. The Rise of Islamic Terorism in Mali.(Indian Council of World Affairs: New Delhi, 2016), 3-6

5

pengiriman pasukan militer oleh Perancis ke Mali pada 11 Januari 2013. Ketika para pemberontak mengancam maju dan menyerang ibu kota Mali, Bamako,

Perancis menjadi negara pertama yang mengirimkan bantuan ke Mali dan dukungan dari negara lain berdatangan setelah itu.11

Kondisi di Mali menyebabkan Perancis harus mengambil tindakan-tindakan politis untuk menghadapi hal-hal yang kemungkinan besar akan berdampak langsung terhadap kepentingan Perancis. Mulai dari tindakan diplomatis sampai ke pola intervensi militer telah dilakukan oleh pemerintah Perancis. Dalam Konferensi

Union for the Mediterranean (UFM) tahun 2012 di Malta, Presiden Perancis,

François Hollande, menyatakan bahwa perlu ada campur tangan militer untuk menyelesaikan masalah di Mali utara agar tercipta stabilitas dan isu keamanan dapat diselesaikan. Pernyataan itu menunjukan kekhawatiran terkait keadaan di Mali yang akan berpotensi menyebabkan ancaman yang lebih serius bagi kawasan Afrika

Barat atau lebih luas hingga ke Eropa.12

Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mengeluarkan beberapa resolusi di akhir tahun 2012 dan awal tahun 2013 yang mendukung intervensi Perancis dalam konflik Mali. Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mengatakan bahwa intervensi tersebut diharapkan dapat memulihkan integritas wilayah dan ketertiban konstitusi Mali. Dewan keamanan PBB juga menggelar rapat darurat atas permintaan anggota tetap dan tidak tetap dewan keamanan PBB,

11 Signe Marie Cold-Ravnkilde. War and Peace in Mali. (Copenhagen: DIIS Report, 2013), 38. 12 VOA Indonesia. Perancis Desak Intervensi Militer di Mali Utara. Dalam https://www.voaindonesia.com/a/perancis-inginkan-campur-tangan-militer-di-mali/1521848.html, diakses pada tanggal 3 Maret 2018.

6

khususnya Perancis pada 14 Januari 2013 di New York. Setelah pertemuan itu, Duta besar Perancis untuk PBB, Gerard Araud, mengatakan bahwa Perancis mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan PBB lain. Dia menambahkan pula bahwa Perancis menginginkan pengiriman pasukan dari aliansi negara-negara

Afrika Barat secepat mungkin. Pasukan ini akan dikirim di bawah payung resolusi

Dewan Keamanan PBB 2085, yang memungkinkan digerakkannya pasukan yang beranggotakan minimal 3.000 personil untuk mengamankan Mali karena situasi yang nyaris hampa hukum dan penguasa yang sah.13

Perancis yang bekerjasama dengan militer Mali meluncurkan operasi militer di ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok pemberontak di wilayah

Utara Mali. Pada Maret 2013, Perancis berhasil memukul mundur pasukan pemberontak di beberapa wilayah Azawad dengan hampir 4.000 personil digerakkan. Pasukan Perancis juga tetap ditempatkan di wilayah tersebut untuk menjaga stabilitas keamanan dan mencegah serangan balasan dari kelompok pemberontak. 14 Tindakan yang dilakukan oleh Perancis ini merupakan bukti konkret bahwa Perancis merasa tidak aman dengan kondisi yang ada di Mali saat ini. Kondisi tersebut memiliki tendensi untuk mempengaruhi dan mengganggu kepentingan Perancis di Mali.

13 United Nations Security Council. Resolution 2085. (New York: United Nations Security Council Resolution, 2012) 14 Republika, Sukses Intervensi Mali, Prancis Dapat Pujian AS. Dalam http://www.republika.co.id/amp_version/mi85t4, diakses pada tanggal 10 April 2017

7

Melihat dari kondisi tersebut, krisis yang terjadi di Mali dan Intervensi militer Perancis menjadi perhatian penting bagi Amerika Serikat di kawasan Afrika

Barat. Amerika Serikat sendiri merupakan salah satu negara yang menjalin hubungan yang baik dengan Mali dan Perancis. Oleh karena itu, kebijakan atau permasalahan dari kedua negara tersebut turut menjadi perhatian bagi Amerika

Serikat. Amerika Serikat melihat bahwa kondisi di Mali dapat menimbulkan ancaman nyata bagi keamanan regional. Kepala Departemen Pertahanan Amerika

Serikat, Leon Panetta, pada Januari 2013 menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak berencana untuk menempatkan pasukan di Mali. Namun di sisi lain, mengakui bahwa kemajuan pasukan yang berafiliasi dengan Al-Qaeda telah membangkitkan kekhawatiran mengenai meningkatnya ancaman terorisme.15

Meskipun kekhawatiran meningkat, penggulingan pemerintahan di Mali pada Maret 2012 membuat Amerika Serikat berada dalam dilema hukum, sehingga keputusan formal belum bisa dibuat. Pemerintah Amerika Serikat dilarang untuk memberikan bantuan luar negeri kepada Mali sampai demokrasi dan kestabilan politik di negara tersebut dipulihkan. Amerika Serikat diperkirakan menghentikan bantuan luar negeri ke Mali dengan nilai mencapai 60 hingga 70 juta Dollar

Amerika Serikat.16

Terlepas dari hal tersebut, Amerika Serikat telah bekerjasama dengan

Economic Community of West African States (ECOWAS) untuk mempercepat

15 NPR News, How Mali’s Conflict Affects Americans (2013). Dalam http://www.npr.org/2013/01/15/169392116/how-malis-conflict-affects-americans, diakses pada tanggal 10 April 2017 16 Reuters, U.S. suspends Mali aid as post-coup limbo deepens (2012). Dalam https://www.reuters.com/article/us-mali-us/u-s-suspends-mali-aid-as-post-coup-limbo-deepens- idUSBRE82P15920120326, diakses pada tanggal 13 April 2017

8

rencana penempatan pasukan perdamaian di Mali. Amerika Serikat juga telah mendesak pemerintah sementara di Bamako, untuk melakukan pemilihan umum secepat mungkin, tetapi Amerika Serikat juga memahami bahwa pemilu tersebut tidak dapat dilakukan sampai dikatakan layak secara teknis. Amerika Serikat menghimbau bahwa warga Mali seharusnya menahan diri untuk tidak melakukan serangan balasan terhadap kaum minoritas etnik, saat tentara Perancis membantu membebaskan kota-kota utama dari para militan dan pemberontak.17

Pada Januari 2013, Amerika Serikat akhirnya memutuskan untuk turun tangan dalam konflik Mali. Menteri Pertahanan Amerika Serikat, leon Panetta, mengatakan kepada Menteri Pertahanan Perancis, Jean-Yves Le drian, bahwa komando Amerika Serikat di Afrika akan memberikan dukungan pengisian bahan bakar udara dan transportasi pengiriman logistik. Pesawat pengisi bahan bakar

Amerika Serikat akan memberi dukungan udara untuk pasukan darat Perancis saat mereka memasuki wilayah Mali yang dikuasai oleh kelompok militan dan pemberontak. Meskipun begitu, Amerika Serikat menyatakan tidak akan mengirim pasukan tempur atau terlibat secara langsung membantu intervensi militer

Perancis. 18 Amerika Serikat dapat dikatakan memberikan respon yang positif, tetapi respon tersebut cenderung terbatas. Respon tersebut akan menjadi latar belakang utama dalam penelitian ini.

17 Kompas, AS Siap Bantu Perancis di Mali. Dalam http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/15/12520475/as.siap.bantu.perancis.di.mali, diakses pada tanggal 12 April 2017 18 Tempo, Amerika Serikat Bantu Prancis Serbu Mali. Dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/01/27/116457223/Amerika-Serikat-Bantu-Prancis-Serbu- Mali, diakses pada tanggal 12 April 2017

9

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini membatasi masalah pada respon Amerika Serikat terhadap intervensi

Perancis dalam konflik Mali yang positif tetapi terbatas, serta merumuskan masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut: Apa yang melatarbelakangi respon positif Amerika Serikat terhadap kebijakan luar negeri

Perancis terkait intervensi militer dalam Konflik Mali periode 2013-2015 dan apa faktor-faktor yang melatarbelakangi Amerika Serikat untuk membatasi respon tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan respon Amerika Serikat terkait

intervensi militer Perancis dalam Konflik Mali periode 2013-2015

2. Untuk mengetahui dan menganalisa beberapa faktor yang melatarbelakangi

Amerika Serikat dalam merespon intervensi militer Perancis dalam Konflik

Mali Utara periode 2013-2015

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan menjadi bentuk sumbangan penelitian untuk

perkembangan ilmu hubungan internasional khususnya pada kajian politik

luar negeri Amerika Serikat dan Studi Kawasan Afrika.

10

2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi para peneliti dan

pengamat isu-isu internasional dalam pengembangan penelitian sejenis

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian yang akan dibahas. Beberapa dari tulisan tersebut juga dapat digunakan sebagai rujukan utama dalam studi pustaka penelitian ini.

Pertama, skripsi yang berjudul Peranan Perancis Dalam Upaya

Penyelesaian Konflik Di Mali Karya Citra N. Fariaty pada Tahun 2014 dari

Universitas Hasanuddin. Penelitian tersebut menjelaskan keterlibatan Perancis dalam upaya penyelesaian konflik di Mali didukung oleh kepentingan nasional

Perancis di Mali. Kepentingan nasional Perancis di Mali adalah kepentingan ekonomi untuk mengamankan sumber daya alam, kepentingan politik untuk mengembalikan pengaruhnya di negara-negara Afrika, dan kepentingan keamanan untuk mencegah Mali menjadi tempat berkembangnya paham-paham radikal.

Perancis telah menjalankan dua strategi dalam membantu penyelesaian konflik

Mali, yaitu melalui hard power dengan melakukan intervensi militer dan soft power dengan melakukan diplomasi untuk menarik bantuan dari negara lain dan organisasi internasional.

Dalam penelitian tersebut, terdapat penekanan terhadap kepentingan nasional sangat relevan dalam menganalisa kebijakan luar negeri Perancis. Hal ini mememiliki keterkaitan dengan penelitian yang membahas mengenai respon

11

Amerika Serikat terhadap Intervensi Militer Perancis di Konflik Mali. Pembahasan akan fokus pada analisa beberapa faktor yang melatarbelakangi Amerika Serikat dalam merespon kebijakan intervensi Perancis tersebut dengan penekanan pada kepentingan nasional Amerika Serikat baik terhadap negara Perancis maupun Mali.

Letak perbedaan yang cukup signifikan adalah penelitian milik Citra N. Fariaty hanya fokus pada kepentingan nasional Perancis di Mali . Hal ini tentu saja berbeda dengan pembahasan penelitian yang fokus pada kepentingan Amerika Serikat terhadap Perancis dan Mali.

Kedua, sebuah laporan yang berjudul Crisis in Mali karya Alexis Arieff tahun 2013 dari CRS Report. Laporan ini menjelaskan dan memberikan gambaran umum tentang konflik atau krisis yang terjadi di Mali serta bagaimana implikasi dari konflik tersebut terhadap perekonomian dan stabilitas kawasan Afrika Barat.

Selain itu, peranan Perancis di konflik Mali juga menjadi topik pembahasan dalam laporan tersebut. Walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit, peranan Perancis dalam konflik Mali dapat dipahami secara umum. Hal terpenting dalam laporan tersebut adalah penjelasan tentang bagaimana konflik di Mali memiliki implikasi terhadap perkembangan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Afrika, khususnya di Afrika Barat tempat negara Mali berada.

Hal yang dapat disetujui dari laporan tersebut adalah konflik Mali berpotensi memiliki dampak tidak langsung terhadap kebijakan luar negeri

Amerika Serikat di kawasan Afrika Barat dan di Negara Mali sendiri. Namun, hal yang mungkin perlu dikritik adalah kepentingan nasional Amerika Serikat di Mali dijelaskan secara normatif dan mengesampingkan isu ekonomi dan politik dalam

12

kepentingan nasional Amerika Serikat di Mali. Dalam laporan tersebut, penekanan kepentingan nasional hanya bertumpu pada isu demokrasi dan terorisme. Walaupun kedua isu tersebut dapat dibenarkan, isu ekonomi dan politik dapat pula dimasukan dalam kepentingan nasional Amerika Serikat di Mali. Hal ini menjadi salah satu pembeda dalam penelitian terkait respon Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali.

Ketiga, sebuah jurnal yang berjudul A New U.S. Policy Approach Toward

Africa Karya Dapo Oyewole tahun 2009 dari Yale Journal of International Affairs.

Poin penting dalam Jurnal ini adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat di

Afrika perlu dikaji ulang dan mendapat perhatian lebih. Jurnal ini pada umunya berisi kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang tidak efektif dan kurang berhasil di Afrika. Ketidakefektifan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak hal yang sumbernya berasal dari internal Amerika Serikat dan eksternal yang terkait pengaruh Cina di Afrika.

Selain kritik, terdapat pula beberapa solusi terkait pendekatan baru yang dapat dilakukan Amerika Serikat dalam menerapkan kebijakan luar negerinya di

Afrika. Beberapa solusi tersebut adalah menghindari tindakan atau kebijakan yang bersifat unilateral, memberi bantuan luar negeri ke negara–negara di Afrika tanpa persyaratan politik, mengutamakan jalur diplomasi dan konsensus dalam menangani permasalahan di Afrika, pemberian bantuan finansial dan sumber daya manusia terhadap organisasi pemerintah yang dalam hal ini melalui United States

Agency for International Development (USAID), serta pemberian otonomi khusus terhadap organisasi tersebut. Jurnal ini berkaitan dengan penelitian Amerika Serikat

13

dan konflik Mali. Keterkaitan tersebut terletak pada analisa mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait berbagai macam isu di Afrika. Selain itu, dapat pula memberikan gambaran bahwa terdapat perubahan kebijakan luar negeri

Amerika Serikat di Afrika, khususnya yang menyangkut isu konflik di Mali.

E. Kerangka Teoretis

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini akan menggunakan teori konflik, konsep kebijakan luar negeri, dan konsep kepentingan nasional sebagai kerangka pemikiran untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian.

1. Konflik

Konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin conflictus yang diartikan sebagai sebuah benturan atau pertentangan. Meskipun begitu, perdebatan tentang definisi konflik juga masih terjadi, sehingga tidak ada definis mutlak yang dapat diterima secara universal. Terdapat perbedaan sudut pandang atau perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan konflik itu sendiri. Dapat diambil contoh misalkan melalui definisi konflik dari Lewis A. Coser dan Johan Galtung. Menurut Coser, konflik didefinisikan sebagai perjuangan antara pihak yang bertikai untuk masalah nilai, status, kekuasaan, dan sumber daya. Coser dalam hal ini menekankan pada adanya oposisi, ide, dan kepentingan yang mendorong terjadinya konflik. Berbeda dengan Galtung, konflik didefinisikan oleh beliau sebagai proses dinamika perubahan sosial yang melibatkan perubahan struktur, pola perilaku, dan tradisi dalam suatu masyarakat, serta mempengaruhi masyarakat lain. Penekanan Galtung

14

dalam definisi tersebut terletak pada proses perubahan dan interaksi sosial yang dinamis. Terlepas dari perbedaan tersebut, secara umum konflik dapat diartikan sebagai pertentangan akibat perjuangan dan proses dinamika sosial.19

Dalam hubungan internasional, konflik berkaitan erat dengan konflik bersenjata internasional yang melibatkan setidaknya dua pihak antara aktor negara melawan negara, negara melawan non-negara, dan non-negara melawan non- negara. Selain itu, konflik tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi internal dan eksternal suatu negara. Apabila dilihat dari penyebab konflik tersebut, terdapat enam faktor yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu etnis, agama, ideologi, teritorial, pemerintahan, dan ekonomi. Faktor etnis, agama, dan ideologi masuk dalam kategori conflict of ideas, sedangkan faktor teritorial, pemerintahan, dan ekonomi masuk dalam kategori conflict of interest. Perlu dipahami bahwa konflik yang dilandasi oleh ide atau kepentingan dapat terjadi baik secara terpisah maupun bersamaan sebagai sebuah kombinasi. Hal ini karena pada dasarnya konflik merupakan suatu hal yang kompleks, sehingga tidak menutup kemungkinan dilandasi oleh banyak faktor. 20

Dilihat dari level analisisnya, terdapat empat level analisis konflik yang menjadi framework untuk memahami bagaimana konflik dapat terjadi. Pertama, level individual, yang menekankan pada murni rasionalitas dari individu yang memegang kekuasaan dan kewenangan dalam proses pengambilan keputusan.

Individu tersebut biasanya dikaitkan dengan sosok pemimpin dari aktor negara atau

19 Ho-Won Jeong. Understanding Conflict and Conflict Analysis. (London: SAGE Publications Ltd, 2008), 3-8 20 Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse. International Relations TENTH EDITION. (Phoenix: Pearson, 2014), 160-162

15

non-negara. Kedua, level domestik, yang menekankan pada karakteristik atau atribut nasional dari aktor yang terlibat serta konstruksi sosialnya. Ketiga, level interstate, yang memahami konflik sebagai bentuk dari power struggle antara satu aktor dengan yang lainnya dalam lingkup sistem internasional. Sistem internasional yang anarki memaksa negara untuk mempertahankan eksistensinya dengan segala cara termasuk dengan berperang. Keempat, level global, yang memahami konflik sebagai suatu hal yang alamiah dan tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan bernegara. Perubahan struktural dalam era globalisasi seperti; perubahan teknologi atau norma internasional menimbulkan pro dan kontra dalam menanggapi perubahan tersebut.21

2. Kebijakan Luar Negeri

Definisi kebijakan luar negeri menurut Holsti adalah gagasan atau tindakan yang dirancang oleh pembuat keputusan suatu negara untuk menyelesaikan permasalahan maupun mempromosikan sejumlah perubahan, pada perilaku sebuah atau beberapa aktor negara lain maupun non negara; ataupun juga mengubah atau mempertahankan sebuah objek, kondisi atau praktek di lingkungan eksternal.

Kebijakan luar negeri tidak hanya mengandung komponen gagasan, tetapi juga komponen tindakan karena hal yang dilakukan pemerintah kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Tindakan pada dasarnya merupakan satu bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung perilaku pemerintah negara lain

21 Goldstein dan Pevehouse. International Relations TENTH EDITION., 157-160

16

yang sangat berperan untuk menentukan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pemerintah yang bersangkutan. Tindakan dapat juga dianggap sebagai isyarat yang dikirimkan oleh seorang aktor untuk mempengaruhi pandangan si penerima mengenai si pengirim. 22

Menurut Holsti, Dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri terdapat dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam pemerintahan suatu negara dan dalam wilayah domestik, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dalam ruang lingkup internasional dan bukan dari dalam negara. Beberapa faktor yang internal mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, yaitu Social

Economic/Security needs, National Attributes, Goverment Structure/Philosophy,

Geographical and Topoghraphic Caracteristic, Public Opinion and Bureaucracy, dan Ethical Consideration.23 Faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, yaitu Structure of System, Structure of World Economic,

Purpose and actions of other actor, Global and Regional Problem, dan

International Law and World Opinion. 24

Holsti juga didukung oleh pandangan lain dari Alex Mintz dan Karl

DeRouen yang memandang bahwa memang terdapat faktor internasional dan domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain. Hanya saja Mintz menambahkan adanya faktor psikologi, gender, dan

22 Kalevi J. Holsti. International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. (New Jersey: Prentice Hall International, 1992), 82 23 Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6 ed., 274-341 24 Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6 ed., 271-274

17

kebudayaan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri selain faktor internasional dan domestik. Faktor internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negeri meliputi Deterrence, Arms races, Strategic surprise, Alliance formation, dan Regime type of the adversary. 25 Sedangkan faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri meliputi Diversionary tactics, Economic interests, Public opinion, Electoral cycles, dan The Effect of Domestic and

International Factors on Foreign Policy Decisions: Two-Level Games.26

Apabila dilihat berdasarkan level analisis kebijakan luar negeri, terdapat tiga level analisis, yaitu level individu, negara, dan sistem internasional. Pertama, level analisis individu. fokus analisis ini terletak pada sosok pemimpin selaku pembuat kebijakan luar negeri. Individu diasumsikan memiliki kapabilitas untuk menentukan masa depan negaranya melalui kebijakan yang diambil berdasarkan penilaiannya secara pribadi. Penilaian tersebut dibentuk oleh psikologi, ideologi, agama, interaksi kelompok, norma, dan nilai yang akhirnya menjadi sebuah persepsi dalam pemikiran individu tersebut. Kedua, level analisis negara. Fokus analisis ini terletak pada faktor internal negara yang akhrinya membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Faktor internal yang dimaksud seperti; hubungan lembaga eksekuti dengan legislatif, keadaan ekonomi atau geografi, hubungan dengan kelompok atau organisasi non-pemerintah, sejarah, dan kebudayaan negara. Ketiga, level analisis sistem internasional. Fokus level analisis ini terletak pada perbandingan dan interaksi aktor-aktor dalam sebuah sistem dunia. Level analisis

25 Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr. Understanding Foreign Policy Decision Making. (New York: Cambridge University Press, 2010), 121-129 26 Mintz dan DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making, 130-134

18

ini melihat bahwa sistem internasional merupakan suatu faktor eksternal yang ikut menentukan pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri berdasarkan hubungan aksi dan reaksi akibat interaksi antar negara.27

Dari penjelasan konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri adalah sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan internasional dalam bentuk strategi dan rencana yang dirumuskan oleh para pembuat kebijakan suatu negara. Dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri, suatu negara sangat bergantung dan dipengaruhi oleh segala komponen yang muncul dari dalam dan luar negeri. Perhitungan terhadap hal tersebut merupakan suatu hal yang penting dan mutlak dalam proses pengambilan keputusan untuk kebijakan luar negeri.

3. Kepentingan Nasional

Interaksi merupakan inti dari hubungan internasional. Dibalik suatu interaksi tentu ada kepentingan yang melatarbelakangi interaksi tersebut. Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, pada dasarnya memiliki kepentingan yang melatarbelakangi mereka dalam melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Kepentingan tersebut umumnya disebut dengan kepentingan nasional. Kepentingan nasional merupakan salah satu dari esensi hubungan internasional selain actor dan power. Konsep kepentingan nasional

27 Marijke Breuning. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 11-17

19

merujuk pada tujuan kesejahteraan negara atau segala yang menjadi kepeduliaan suatu negara dalam berinteraksi dengan aktor lain dalam sistem internasional. 28

Dalam menjalankannya, kepentingan nasional harus dilandasi dengan rasionalitas dan moralitas. Jika pelaksanaan kepentingan nasional hanya dilandasi oleh rasionalitas, maka suatu kepentingan nasional bisa saja tidak bermoral karena rasionalitas mengacu pada preferensi aktor itu sendiri. Moralitas dapat menjawab hal ini. Dengan dilaksanakannya national interest with morality atau kepentingan nasional yang dijalankan sesuai dengan moral-moral yang berlaku dalam masyarakat.29

Menurut Donald E. Nuechterlein, ada empat kepentingan dasar yang memotivasi suatu negara untuk menjalankan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan pertahanan, kepentingan pertahanan adalah kepentingan suatu negara untuk melindungi bangsa-negara dan penduduk dari ancaman kekerasan fisik oleh negara lain. Kedua, kepentingan ekonomi, kepentingan ekonomi adalah kepentingan suatu negara untuk meningkatkan ekonomi negaranya dengan menumbuhkan relasi atau kerjasama dengan negara lain. Ketiga, kepentingan tatanan dunia, kepentingan tatanan dunia adalah kepentingan untuk mempertahankan politik internasional dan sistem ekonomi dimana suatu bangsa- negara merasa aman dan dimana penduduk bisa beroperasi secara damai di luar negaranya. Keempat, kepentingan ideologis, kepentingan ideologis adalah

28 Felix E. Oppenheim. National Interest, Rationality, and Morality. (Political Theory. Vol. 15. No. 3, 1987), 370. 29 Felix E. Oppenheim. National Interest, Rationality, and Morality, 371-373

20

kepentingan negara untuk melindungi nilai-nilai kebangsaan yang dianggap sebagai bagian dari moral dan ideologi bangsa.30

Dilihat dari dimensi atau sudut pandang prioritasnya, kepentingan nasional dibagi menjadi dua, yaitu vital interest dan secondary interest. Vital interest atau kepentingan vital. Kepentingan vital merupakan kepentingan yang menjadi prioritas utama dan bernilai tinggi sehingga suatu negara bersedia untuk melakukan segala cara untuk mencapainya, bahkan ketika harus berperang. Secondary interest atau kepentingan sekunder. Kepentingan sekunder adalah kepentingan yang meliputi segala macam keinginan yang hendak dicapai masing-masing negara, tetapi tidak menjadi prioritas utama. Kepentingan ini pada umumnya dapat dicapai melalui diplomasi dan proses bargaining antarnegara.31

Dalam kepentingan nasional, peran negara adalah sebagai aktor yang mengambil keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya.

30 Donald E. Nuechterlein. “National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for Analysis and Decision Making.” Dalam British Journal of International Studies Vol. 2, No. 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 248 31 Michael G. Roskin. National Interest: From Abstraction to Strategy. (Pennsylvania: US Army War College, 1994), 5-7

21

Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat menjadi terbatasi.32

F. Metode Penelitian

Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah dalam hal ini berarti penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional (penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal), empiris (pengamatan menggunakan indera manusia atau data faktual), dan sistematis (proses penelitian menggunakan langkah-langkah yang terstruktur).33 Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian merupakan salah satu instumen penting dalam melakukan penelitian guna menjawab petranyaan penelitian.

Dalam penetlitan ini, metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif itu sendiri adalah sebuah cara untuk mengeksplorasi dan memahami suatu peristiwa yang berdasarkan penilaian yang tidak hanya berdasarkan perhitungan matematis dari sebagian sampel. Metode kualitatif bertujuan untuk memperlihatkan gambaran yang lengkap dan komprehensif. Selain itu, metode ini berkaitan erat dengan menjawab pertanyaan penelitian melalui penetapan kebenaran atau perumusan umum mengenai suatu gejala dan

32 Robert Jackson dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 89. 33 Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta, 2006), 2-4.

22

mempelajari kasus atas kejadian khusus yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian.34

Fokus metode penelitian kualitatif dalam bidang kelimuan hubungan internasional berada pada tataran komparasi dan studi kasus dari perspektif positivis. Berawal dari berkembangnya metode penelitian kualitatif pada tahun

1950 hingga 1960an yang lebih mendekati pendekatan sejarah dibandingkan dengan pendekatan teoritis, sehingga lebih subjektif. Dalam ranah hubungan internasional sendiri, sebuah kasus dapat diartikan sebagai serangkaian persitiwa yang terikat ruang dan waktu, serta merupakan sebuah konstruksi analisis.35

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berarti data tersebut bukan data yang didapat melalui riset lapangan atau langsung. Data sekunder yang dibutuhkan berasal data yang diperoleh dari beberapa sumber seperti; buku, jurnal, laporan, sebagai referensi utama dan surat kabar, artikel online atau dan dokumen lainnya yang terkait objek penelitian sebagai referensi pendukung. Untuk mendapatkan data sekunder tersebut, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang berdasarkan metode penelitian kepustakaan. Metode penelitian kepustakaan dalam hal ini adalah teknik pengumpulan data dari berbagai literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya.36

34 John W. Cresswell. Research design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. The Third Edition. (Los Angeles: Sage Publications Inc., 2009), 4-7 35 Jack S. Levy. “Qualitative Methods in International Relations”, dalam Frank P. Harvey dan Micheal Brecher (ed.), Evaluating Methodology in International Studies, (Ann Arbor: the University of Michigan Press, 2002), 131-134 36 Mestika Zed. Metode Penelitian kepustakaan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 4-5

23

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini berisi tentang gambaran secara umum isi dari penelitian ini yang berupa Bab dengan susunan yang sesuai dalam aturan urutan penyusunan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN

Bab I akan membahas mengenai latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Kemudian, terdapat pula tinjauan pustaka dari penelitian terdahulu, kerangka teoritis yang berisi beberapa konsep, yang akan digunakan dalam menganalisa masalah dalam penelitian. Selain itu, terdapat penjelasan tentang metode dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK MALI

Bab II akan dijelaskan bagaimana sejarah konflik di Mali, profil dari negara

Mali. Sejarah konflik dan profil Mali akan menjelaskan tentang bagaimana konflik di Mali terjadi dan dilakukan oleh pihak yang berkaitan erat dengan salah satu etnis tertentu. Konflik Mali juga akan digambarkan sebagai konflik bersenjata yang kemudian berubah menjadi konflik bersenjata internasional. Konflik ini kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi stabilitas kawasan Afrika Barat.

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI PERANCIS DALAM UPAYA

PENYELESAIAN KONFLIK DI MALI

24

Bab III berisi penjelasan akan fokus pada bagaimana peranan Perancis dalam upaya penyelesaian konflik di Mali. Bab ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana strategi dari Perancis dalam upaya penyelesaian konflik di Mali, baik dengan soft power maupun hard power. Kemudian ada pula pembahasan tentang respon internasional terhadap kebijakan Perancis terkait upaya penyelesaian konflik di Mali

BAB IV ANALISIS RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP

INTERVENSI MILITER PERANCIS DALAM KONFLIK MALI

Bab IV ini berisi analisis mengenai respon Amerika Serikat terhadap intervensi militer di konflik Mali. Pembahasan akan fokus pada analisis kepentingan nasional dibalik respon Amerika Serikat dan beberapa faktor yang melatarbelakangi keterbatasan respon tersebut dilihat melalui konsep kebijakan luar negeri.

BAB V PENUTUP

Bab V ini berisi kesimpulan dan saran dari pembahasan penelitian mengenai respon Amerika Serikat terhadap kebijakan luar negeri Perancis terkait intervensi militer dalam konflik Mali periode 2013–2015. Kesimpulan tersebut akan menjawab pertanyaan penelitan secara singkat dan dapat dipahami dengan berbagai konsep yang telah digunakan dalam penelitian ini

25

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK MALI

A. Profil Negara Mali

1. Geografi

Mali adalah sebuah negara landlocked atau tidak memiliki wilayah laut yang terletak di Afrika Barat. Luas wilayah Mali sebesar 1.240.192 km2 dan berbatasan dengan tujuh negara, yaitu Aljazair di Utara, Niger di Timur, Burkina

Faso di Tenggara, Pantai Gading di Selatan, Guinea di Barat Daya, serta Senegal dan Mauritania di Barat. Mali sendiri dibagi menjadi 8 provinsi yang terdiri dari

Timbuktu, Kidal, Gao, Mopti, Ségou, Kayes, Sikasso, dan Koulikoro, serta sebuah distrik ibukota Bamako.37

Topografi Mali dibagi menjadi tiga area, yaitu area sabana di Selatan, area datar yang cenderung berpasir di Utara, dan area perbukitan kasar di Timur Laut.

Sekitar 65% dari wilayah Mali merupakan wilayah gurun yang cenderung dapat dijadikan tempat hidup. Terdapat dua sungai besar yang melintasi Mali, yaitu

Sungai Niger di Tenggara dan Sungai Senegal di Barat. Iklim Mali adalah tropis dan kering yang memiliki jangka waktu 4-5 bulan dalam satu musim hujan.38

37 CIA, The World Factbook. Dalam https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/geos/ml.html, diakses pada 23 Februari 2018 38 Federal Research Division. Country Profile: Mali. (Washington: Library of Congress, 2005), 4-5

26

Gambar I.A.1. Peta Negara Mali

Sumber: Global Affairs Canada, Map – Mali, dalam

https://www.international.gc.ca/cil-cai/country_insights-apercus_pays/map-

carte_ml.aspx?lang=eng, diakses pada tanggal 20 Maret 2018

2. Masyarakat

Pada tahun 2016, jumlah penduduk Mali diperkirakan sebanyak 17.994.837 orang dengan komposisi yaitu, 9.001.951 adalah penduduk pria dan 8.992.886 adalah penduduk wanita. Dari total keseluruhan jumlah penduduk, terdapat

27

6.932.710 penduduk yang berada dalam usia produktif dalam suatu angkatan kerja. 39 Terkait dengan kualitas sumber daya manusia, indeks pengembangan

Manusia di Mali masih rendah pada angka 0.442 dan menempatkannya pada urutan

175 dari 188 negara.40

Dalam hal etnisitas, Mali merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam kelompok etnis yang berasal dari Sub-Sahara Afrika dan memiliki kemiripan budaya, bahasa, sejarah, dan kepercayaan satu sama lain. Kelompok etnis tersebut di antaranya adalah Bambara 36,5%, Fulani (Peul) 13,9%, Senoufo

9%, Soninke 8,8%, Dogon 8%, Songhai 7,2%, Malinke 6,6%, Tuareg 4,7%, Diola

2,9%, dan Bobo 2,4%. Dalam hal kepercayaan, 90% penduduk Mali menganut agama Islam (Mayoritas Sunni), 9% penganut animisme, 0,9% penganut agama

Kristen (Katolik/Protestan), dan 0,1% penganut atheisme.41

3. Ekonomi

Mali saat ini tergolong sebagai salah satu negara berkembang yang termiskin di dunia dengan jumlah penduduk miskin berjumlah 7.845.748 orang atau

43,6% dari total keseluruhan penduduk. Ekonomi Mali sendiri belum dapat dikatakan mapan dan masih membutuhkan dana bantuan luar negeri. Terlepas dari hal tersebut, Mali masih memiliki sejumlah sektor yang dapat diandalkan untuk menopang ekonominya. Tercatat pada tahun 2016, sektor pertanian dan

39 World Bank. Data on Mali Population. Dalam https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?locations=ML, diakses pada tanggal 23 Februari 2018 40United Nations Development Programme. Human Development Reports: Mali. Dalam http://hdr.undp.org/en/countries/profiles/MLI, diakses pada tanggal 23 Februari 2018 41 Federal Research Division. Country Profile: Mali, 6.

28

pertambangan adalah sektor yang paling besar menyumbang devisa negara, yaitu sekitar 60% dari total ekspor negara. Kemudian, sektor jasa atau pelayanan 27%, sektor industri 18%, dan sektor pariwisata 5%.42 Pada tahun 2016, Gross Domestic

Product (GDP) Mali mencapai 14,03 miliar USD (US Dollar) dan GDP per kapita

Mali masih berkisar pada 2.100 USD dengan tingkat pengangguran sebesar 8,1%.

Neraca pembayaran internasional Mali hingga saat ini berada dalam kondisi defisit sebesar 3,4% dari total GDP.43

4. Politik dan Pemerintahan

Mali merupakan negara yang menganut sistem politik semi presidensial yang memiliki presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Presiden dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan 5 tahun dan perdana menteri ditunjuk oleh presiden terpilih dengan masa jabatan yang sama. Bentuk parlemen Mali adalah unicameral atau satu kamar yang juga dipilih melalui pemilihan umum dengan masa jabatan 5 tahun. Anggota parlemen Mali berjumlah 147 orang dan berasal dari berbagai macam partai. Sistem pemilihan umum di Mali menganut sistem multi partai dengan larangan keikutsertaan bagi partai yang berlandaskan pada suku, ras, dan agama.44

42 World Trade Organization. Trade Profiles: Mali. Dalam http://stat.wto.org/CountryProfile/WSDBCountryPFView.aspx?Country=ML&Language=S, diakses pada tanggal 24 Februari 2018. 43 World Bank. Country Profile: Mali. Dalam http://databank.worldbank.org/data/Views/Reports/ReportWidgetCustom.aspx?Report_Name=, diakses pada tanggal 24 Februari 2018 44 Federal Research Division. Country Profile: Mali, 14-16.

29

Terkait dengan Dinamika politik Mali, semua dimulai sejak kemerdekaan

Mali pada 22 September 1960 yang diberikan oleh Perancis. Presiden pertama Mali adalah Modibo Keïta yang mengusung ideologi sosialisme dan Pan-Afrikasnisme.

Pada era Keita, sistem pemilihan umum Mali adalah sistem satu partai dengan dipimpin partai Union Soudanaise-Rassemblement Démocratique Africain (US-

DRA). Era kepemipinan Keita berakhir pada tahun 1968 melalui sebuah kudeta oleh kalangan militer yang kecewa dengan permasalahan ekonomi dan stabilitas keamanan Mali. Era Keita dikenal dengan First Republic of Mali.45

Kudeta tahun 1968 dipimpin oleh Letnan Moussa Traoré yang kemudian membentuk komisi pemerintahan bernama Committee for National Liberation dengan dirinya sebagai presiden. Sejak saat itu, Mali dipimpin oleh junta militer dan kondisi politik tidak jauh berbeda dengan era Keita. Mali masih dipimpin oleh satu golongan saja dan kurang demokratis. Kepemimpinannya berakhir pada tahun

1991 melalui kudeta lain oleh kalangan sipil. Era Traore dikenal dengan Second

Republic of Mali.46

Kudeta tahun 1991 merupakan tahap awal bagi politik Mali yang sedang dalam proses transisi ke sistem demokrasi multi partai. Kudeta ini dilakukan oleh

Congrès National d’Initiative démocratique (CNID) yang dipimpin oleh Mountaga

Tall dan Alliance pour la démocratie au Mali (ADEMA) yang dipimpin oleh Alpha

Oumar Konaré. Kudeta ini berakhir dengan mundurnya Traore sebagai presiden dan diadakan pemilihan umum serta pembentukan konstitusi baru pada tahun 1992.

45 Federal Research Division. Country Profile: Mali, 2. 46 Federal Research Division. Country Profile: Mali, 3.

30

Presiden Mali sejak saat itu adalah Alpha Oumar Konaré yang memimpin hingga tahun 2002.47

B. Sejarah Konflik di Mali Pasca Era Kolonialisme

Sejarah konflik di Mali memiliki keterkaitan erat dengan masalah pemberontakan oleh kelompok etnis Tuareg yang dimulai sejak adanya inisiasi kemerdekaan Mali. Terhitung sejak kemerdekaan Mali pada tahun 1960, Mali telah mengalami empat kali konflik dan pemberontakan dengan etnis Tuareg dalam intensitas yang besar. Konflik tersebut terjadi terjadi pada tahun 1963-1964, 1990-

1996, 2006-2009, dan 2012-Sekarang (pihak yang terlibat bukan hanya dari etnis

Tuareg saja, melainkan juga dari kelompok radikal Islam).48

1. Etnis Tuareg

Etnis Tuareg merupakan sebuah etnis yang hidup di gurun Sub-Sahara

Afrika dan terkenal sebagai kelompok manusia gurun. Etnis Tuareg memiliki keterkaitan dengan etnis Berber yang juga berada di gurun Sahara. Etnis Tuareg dan Berber memiliki kesamaan bahasa, yaitu bahasa Tamasheq. Selain itu, mereka juga memiliki kesamaan warna kulit yang cenderung gelap kecoklatan. Namun, mereka memiliki perbedaan dalam hal pola kehidupan. Etnis Tuareg menerapkan pola hidup nomaden dan kegiatan ekonominya bertumpu pada perdagangan. Hal ini

47 Federal Research Division. Country Profile: Mali, 4. 48 Thurston dan Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis, 19-20

31

berbeda dengan etnis Berber yang hidupnya menetap dan menggantungkan hidupnya pada pertanian dan peternakan.49

Etnis Tuareg hidup menyebar dan tidak hanya berada dalam satu wilayah.

Kehidupan sosial mereka masih terpisah oleh adanya perbedaan kasta dan klan. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab persebaran mereka terjadi secara masif dan tidak terpusat di satu titik. Etnis Tuareg hidup di sejumlah negara seperti; Niger,

Mali, Burkina Faso, Aljazair, Mauritania, Chad, dan Tunisia. Jumlah keseluruhan mereka diperkirakan berjumlah 3.000.000 hingga 4.000.000 jiwa. Persebaran etnis

Tuareg paling banyak berada di Niger dan Mali. Diperkirakan jumlahnya mencapai

2.000.000 jiwa di Niger dan 500.000 jiwa di Mali.50

Terkait dengan relasi antaretnis, Tuareg memiliki hubungan yang erat dengan etnis Bobo dan Malinke. Kedua etnis tersebut memiliki persebaran wilayah yang sama dengan etnis Tuareg, yaitu di Utara Mali. Kedua etnis tersebut juga ikut aktif dalam pemberontakan Tuareg terhadap pemerintahan kolonial Perancis pada awal abad 20. Meskipun begitu, etnis Bobo dan Malinke tidak hidup nomaden seperti etnis Tuareg. Dalam hal rivalitas etnis, Fulani dan Songhai merupakan dua etnis yang memiliki hubungan konfliktual dengan etnis Tuareg. Kedua etnis tersebut memiliki persebaran wilayah Selatan Mali. Pejabat Pemerintah Mali juga kebanyakan berasal dari dua etnis tersebut sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Selain itu, etnis Fulani dan Songhai sempat terlibat konflik dengan etnis

Tuareg di masa kolonial Perancis terkait dukungan atau perlawanan terhadap koloni

49 Kalifa Keita. Conflict And Conflict Resolution in The Sahel: The Tuareg Insurgency in Mali. (Washington: Diane Publishing, 1998), 6 50 John A. Shoup III. Ethnic Groups of Africa and the Middle East. (California: ABC- CLIO, 2011), 295.

32

Perancis. Tuareg ingin melawan, sedangkan Fulani dan Songhai ingin mendukung koloni Perancis.51

2. Konflik Mali Pertama (1963-1964)

Konflik Mali pertama terjadi pada tahun 1963 dikenal dengan sebutan

Alfellaga. Konfik ini terjadi antara pihak Mali dengan etnis Tuareg yang terdiri dari tujuh klan utama. Tujuh klan ini adalah , , , Kel

Gres, Kel Owey, Kel Ataram, Kel Dinnik. Konflik ini terjadi di wilaya Utara Mali, lebih tepatnya di provinsi Kidal. Pihak Mali dipimpin oleh Presiden Mali yang pertama, Modibo Keita, sedangkan pihak Tuareg dipimpin oleh Zeid Ag Attaher dari klan Kel Adagh.52

Sesungguhnya konflik ini sudah mulai terjadi sejak tahun 1961. Namun, hal tersebut bukan sebuah konflik bersenjata, melainkan sebuah sengketa wilayah antara otoritas Mali dengan salah satu klan Tuareg, yaitu Kel Adagh. Kel Adagh, klan Tuareg terbesar di Mali yang dipimpin oleh Attaher Ag Illi, tidak menyetujui kebijakan reformasi lahan Mali. Pemerintah Mali sendiri tidak memberikan respon positif dan cenderung mengabaikan tuntutan Kel Adagh, sehingga pada tahun 1963 terjadilah konflik bersenjata melawan pemerintahan Mali. Setelah kejadian tersebut, pemerintah Mali mendeklarasikan kelompok tersebut sebagai kelompok separatis dan menjadi awal dari konflik pertama Mali. 53

51 Shoup III. Ethnic Groups of Africa and the Middle East, 298. 52 Lecocq. Disputed Desert: Decolonisation, Competing Nationalisms and Tuareg Rebellions in Northern Mali, 153-154 53 Thurston dan Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis, 21-22

33

Konflik Alfellaga terjadi selama satu tahun dengan melibatkan hampir 2.000 pasukan dari pihak Mali dan Tuareg. Pasukan Tuareg memiliki jumlah pasukan yang lebih kecil dari pasukan Mali dan dari segi persenjataan sangat tertinggal jauh.

Konflik ini berakhir pada tahun 1964 melalui tindakan represif dari pemerintah

Mali. Tindakan tersebut menimbulkan korban lebih dari 400 jiwa di pihak etnis

Tuareg dan 60 jiwa di pihak Mali. Selain itu, Mali juga berhasil menangkap Zeid

Ag Attaher di Aljazair pada tahun 1964. Penangkapan tersebut menjadi simbol pemberontakan etnis Tuareg telah berakhir. Hal tersebut juga dideklarasikan secara resmi oleh Mali bahwa konflik telah berakhir pada tanggal 15 Agustus 1964.

Namun, akhir konflik ini dapat dikatakan kurang baik karena menimbulkan rasa dendam dan mentalitas warga tertindas di kalangan etnis Tuareg.54

3. Konflik Mali Kedua (1990-1996)

Konflik Mali yang kedua terjadi pada tahun 1990 dan dikenal dengan sebutan Al-Jebha. Sesungguhnya konflik ini terjadi tidak hanya di Mali, tetapi juga di Niger. Hal ini dikarenakan besarnya persebaran kelompok pemberontak Tuareg di kedua wilayah tersebut. Konflik ini melibatkan beberapa pihak yang jauh lebih banyak dan memiliki struktur organisasi yang lebih baik daripada konflik pertama.

Konflik ini berlangsung selama kurang lebih 6 tahun dengan tuntutan utama tentang

54 Kalifa Keita. Conflict And Conflict Resolution in The Sahel: The Tuareg Insurgency in Mali, 11

34

kemerdekaan wilayah Utara Mali yang diberi nama Azawad. 55 Secara umum, terdapat tiga fase dalam konflik ini.

Fase pertama terjadi pada Juni 1990 hingga Januari 1991 di Gao, Kidal, dan

Menaka. Konflik ini melibatkan pihak Front Islamique Arabe de l’Azawad (FIAA) dan Mouvement Populaire de Libération de l’Azawad (MPLA) melawan Militer

Mali. Fase pertama berakhir dengan kesepakatan gencatan senjata antara pihak

Mali, FIAA, dan MPLA yang dimediasi oleh Aljazair. Kesepakatan tersebut bernama Tamanrasset Agreement dan ditandatangani pada Januari 1991 oleh Iyad

Ag Ghali selaku pimpinan MPLA, Ould Sisi Mohamed selaku pimpinan FIAA, dan

Amadou Toumani Toure selaku Presiden Mali semetara.56

Fase kedua terjadi pada awal tahun 1991 hingga awal tahun 1994. Pada tahun 1992 pemerintah Mali membentuk National Pact 1992 antara pihak Mali dengan pemberontak Tuareg yang merupakan kelanjutan dari Tamanrasset

Agreement. Hal tersebut ternyata tidak mendapat persetujuan dari semua faksi tuareg, sehingga terjadi perbedaan pendapat terkait hal tersebut. Pada fase ini muncul gerakan persatuan pemberontak bernama Mouvements et Fronts unifiés de l’Azawad (MFUA) melawan kelompok pemberontak Tuareg lainnya yang menolak perdamaian dengan Mali seperti; Front uni de libération de l’Azawad (FULA),

55 Oumar Ba. Tuareg Nationalism and Cyclical Pattern of Rebellions: How the past and present explain each other, 10 56 Lecocq. Disputed Desert: Decolonisation, Competing Nationalisms and Tuareg Rebellions in Northern Mali, 252-262.

35

Front de Libération de l’Aïr et de l’Azawad (FLAA), dan Front de libération du

Tamoust (FLT).57

Fase ketiga terjadi pada Oktober 1994 hingga Maret 1996. Fase ini merupakan fase menuju perjanjian damai yang lebih mengikat antara pihak pemberontak Tuareg dengan pemerintah Mali. Selama kurun waktu dua tahun, proses pembicaraan dan dialog dilakukan dengan didampingi pihak ketiga, yaitu

Aljazair. Pada akhirnya, konflik kedua Mali berakhir di fase keempat dengan implementasi National Pact 1992 dan ditandai dengan peristiwa Flamme de la Paix atau pembakaran 3.000 pucuk senjata dan atribut perang para pemberontak didampinging delegasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.58

4. Konflik Mali Ketiga (2006-2009)

Perdamaian di Mali pasca konflik kedua Mali ternyata tidak berlangsung lama. Konflik kembali terjadi di Mali pada tahun 2006 dan ini merupakan konflik ketiga Mali yang berlangsung dengan pemberontak Tuareg. Konflik ini terjadi pada

23 Mei 2006 saat dua pos penjagaan militer yang terletak di Kidal dan Menaka diserang oleh pasukan yang bernama Alliance Démocratique pour le Changement du 23 mai (ADC). ADC merupakan pasukan pemberontak Tuareg yang dibentuk oleh Hassan Ag Fagaga dan Ibrahim Ag Bahanga. Keduanya merupakan anggota dari Militer Mali yang dahulu merupakan pemberontak Tuareg pada masa Al-Jebha.

57 Dario Cristiani and Riccardo Fabiani. From Disfunctionality to Disaggregation and Back? The Malian Crisis, Local Players and European Interests. (Milan: IAI Working Papers, 2013), 11-12 58 Pierre Buyoya. The Recurrent Security Crisis in Mali and the Role of the African Union. (Washington: Prism a Journal of the Center for Complex Operations, 2015), 63-64

36

Mereka menuntut adanya perubahan ketentuan tertentu dalam National Pact 1992 karena kurang relevan dengan perubahan zaman. Dalam usaha mewujudkan hal tersebut, ADC juga ikut mengajak para pemberontak terdahulu seperti; Iyad Ag

Ghali dan Ahmed Ag Bibi.59

Meskipun begitu, konflik yang lebih luas berhasil diredam tatkala muncul mediasi dari Aljazair untuk masalah ini. Pada 4 Juli 2006, Algiers Accord berhasil dibuat dan disepakati bersama dengan pemerintah Mali dan ADC. Algiers Accord ditandatangani oleh Kafougouna Koné sebagai Menteri Wilayah Administrasi dan

Kolektivitas lokal Mali, Ahmada Ag Bibi sebagai perwakilan ADC, dan Abdelkrim

Gheraieb sebagai Duta Besar Aljazair untuk Mali. Namun, perjanjian damai ini gagal menyelesaikan masalah yang ada.60

Pada awal tahun 2007 sebuah pasukan yang dipimpin Ag Bahanga kembali menyerang Kidal dan eskalasi konflik pun terjadi. Hal ini terjadi karena implementasi dari Algiers Accord kurang memuaskan. Meskipun begitu konflik ternyata berubah menjadi lebih rumit karena tejadi perpecahan di tubuh organisasi

ADC. Ag Fagaga dan Iyag Ag Ghali tidak menyetujui atau mendukung cara yang dilakukan oleh Ag Bahanga dan pendukungnya. Ag Fagaga dan Ag Ghali lebih mendukung jalan negosiasi damai yang persuasif. Pada akhirnya Ag Bahanga dikeluarkan dari ADC dan membentuk kelompok baru bernama Alliance

Touaregue Niger-Mali pour le Changement (ATNMC). ATNMC menggunakan

59 Ferdaous Bouhlel-Hardy, Yvan Guichaoua, dan Abdoulaye Tamboura. Tuareg Crises in Niger and Mali. (Paris: Ifri, 2008), 4-5 60 Thurston dan Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis, 24

37

kata “Niger” karena Ag Bahanga membentuk kelompok ini dengan bantuan dari pemberontak Tuareg yang berada di Niger.61

Konflik ini mulai mereda saat memasuki tahun 2009 ketika Militer Mali berhasil menyerang pangkalan militer ATNMC di Tessalit dan Menaka. Serangan tersebut menyebabkan banyak pasukan ATNMC tertangkap dan tewas. Ag

Bahanga sendiri akhirnya memutuskan untuk kabur dan hidup dalam pengasingan di Libya hingga meninggal pada tahun 2011. ADC pada akhirnya dibubarkan lalu

Iyad Ag Ghali dijadikan sebagai Diplomat Mali di Jeddah. Ag Fagaga juga pada akhirnya dikembalikan ke batalion pasukannya di Militer Mali dan diberikan kenaikan pangkat.62

C. Konflik Mali 2012

Konflik Mali 2012 dapat dikatakan konflik keempat Mali yang kembali melibatkan kelompok pemberontak Tuareg sebagai salah satu pihak yang ikut bertikai dalam konflik. Konflik ini berbeda dengan beberapa konflik sebelumnya karena dampak yang ditimbulkan jauh lebih parah dan mengkhawatirkan. Tercatat

143.567 orang kehilangan tempat tinggal akibat konflik Mali 2012 sehingga harus mencari suaka ke negara lain sebagai pengungsi. Selain itu, konflik ini juga menyebabkan stabilitas keamanan Mali menjadi lumpuh dan masuk dalam keadaan darurat militer. Pada konflik sebelumnya, Mali tidak pernah dalam keadaan darurat militer dan masih mampu menanganinya. Hal yang membedakan lainnya adalah

61Thurston dan Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis, 25-26 62 Cold-Ravnkilde. War and Peace in Mali, 31-32

38

keterlibatan beberapa pihak yang masuk dalam kategori kelompok teroris dan fundamentalis dalam konflik Mali. Oleh karena itu, konflik Mali 2012 tidak bisa diselesaikan dengan cara yang biasa seperti pada konflik sebelumnya.63

Gambar I.C.2. Peta Persebaran Konflik Mali 2012

Sumber: Brendan Fish, Northern Mali Conflict Map, Borders, dalam https://apps.cndls.georgetown.edu/projects/borders/items/show/1016, diakses pada

tanggal 20 Maret 2018.

63 United Nations High Comission on Refugees. Malian Refugees. Dalam https://www.humanitarianresponse.info/system/files/documents/files/20170430-unhcr- mali_infographie_poc_en_rev.pdf, diakses pada tanggal 7 Maret 2018.

39

1. Fase Pra Konflik

Sebelum lebih jauh membahas tentang Konflik Mali 2012, perlu dibahas tentang serangkaian hal yang menjadi pemicu konflik tersebut. Dalam kasus Mali, salah satu peristiwa penting yang memicu terjadinya konflik Mali 2012 adalah peristiwa perang sipil Libya tahun 2011. Perlu diketahui bahwa hampir seluruh kaum nomaden di Sub-Sahara Afrika ikut terlibat dalam perang sipil Libya sebagai tentara bayaran. Salah satu kaum nomaden tersebut adalah kaum Tuareg yang ada di Niger, Chad, dan Mali. Sejak kejatuhan Muammar Gaddafi di Libya, kaum nomaden tersebut selesai bertempur dan akhirnya pulang kembali ke negara asalnya. Sering kali ditemukan fakta bahwa kaum tersebut pulang ke negaranya tidak hanya dengan pengalaman perang saja, tetapi juga dengan senjata yang mereka gunakan. Di Mali, 2/3 yang kembali pulang cenderung menginginkan untuk direkrut sebagai anggota militer Mali, sedangkan 1/3 sisanya tidak tahu akan mengerjakan apa.64

Hal ini menyebabkan pengangguran dan akhirnya menuntun pada masalah ekonomi. Selain itu, mereka pada akhirnya terinspirasi untuk menggulingkan pemerintahan Mali, khususnya di Utara seperti ketika Muammar Gaddafi digulingkan di Libya tahun 2011. Dapat dikatakan apa yang terjadi di Libya berdampak pada terjadinya konflik di Mali dan ini terkait dengan pasokan senjata yang dibawa pasca perang sipil Libya tahun 2011. Para pasukan yang pulang membawa senjata dari Libya kemudian membentuk kelompok-kelompok untuk

64 Raul-Ionuţ Badale dan Diana-Cristina Isvoranu. Mali: Conflict Analysis. (Clujnapoca: Conflict Studies Quarterly, 2013), 15

40

melakukan pemberontakan yang berujung pada konflik Mali 2012. Kelompok- kelompok penting di antaranya adalah Mouvement National pour la Libération de l'Azawad (MNLA) dan Ansar Dine yang dibantu oleh Al-Qaeda in the Islamic

Maghreb (AQIM) serta Movement for Unity and Jihad in West Africa (MUJWA).

Semua pihak yang terlibat memiliki motif dan karakteristik organisasi yang berbeda, sehingga tidak menjadi satu kesatuan sebagai kelompok yang terlibat dalam konflik.65

MNLA terbentuk pada Oktober 2011 setelah adanya merger antara

Mouvement national de l’Azawad (MNA) dengan Mouvement Touareg du Nord

Mali (MTNM). Keanggotaan MNLA kemudian bertambah banyak seiring dengan kedatangaan pasukan tentara yang baru kembali dari Libya pada tahun 2011.

MNLA tidak pernah menyatakan bahwa mereka adalah kelompok pemberontak

Tuareg. Meskipun begitu, mayoritas anggota MNLA berasal dari etnis Tuareg.

MNLA sendiri mempunyai visi untuk membentuk negara di Utara Mali dengan pemerintahan yang sekuler dan merepresentasikan semua etnis di Utara Mali.

Wilayah yang akan dijadikan negara tersebut dinamai Azawad. MNLA saat ini dipimpin oleh Bilal Ag Acherif. MNLA sempat menjalin kerjasama dengan Ansar

Dine pada awal konflik Mali 2012.66

Ansar Dine dibentuk oleh Iyad Ag Ghali ketika MNLA menolaknya untuk bergabung bersama pada tahun 2010 karena perbedaan ideologi. Selama 2 tahun

Iyad Ag Ghali mengumpulkan pengikutnya dan pada akhirnya terbentuklah Ansar

65 Badale dan Isvoranu. Mali: Conflict Analysis, 8-11 66 Ibrahim Maïga. Armed groups in Mali: Beyond the labels. (Pretoria: ISS Report, 2016),2

41

Dine pada Januari 2012. Ansar Dine berideologi Islam Salafi dan mempunyai tujuan untuk menerapkan hukum Islam di Mali. Kelompok ini memiliki hubungan kerjasama yang cukup erat dengan AQIM dan MUJWA. Saat ini Ansar Dine termasuk kategori kelompok teroris.67

AQIM adalah cabang dari Al-Qaeda di kawasan Afrika Barat dan Sub-

Sahara Afrika yang terbentuk pada tahun 2007. Sebelum terbentuk, kelompok ini sesungguhunya bernama Groupe Salafiste pour la Prédication et le Combat

(GSPC) dan merupakan kelompok teroris di Aljazair. Namun, pada akhirnya GSPC memutuskan untuk bergabung dengan Al-Qaeda dan kemudian dipimpin oleh

Abdelmalek Droukdel atau Abu Musab Abdel Wadoud. Anggota AQIM mayoritas berasal dari Aljazair, Libya, Mauritania, dan Maroko. Dalam konflik Mali 2012,

AQIM berperan penting dalam membantu Ansar Dine dalam perencanaan serangan dan strategi pemerintahan.68

MUJWA merupakan kelompok hasil fragmentasi dari AQIM yang terbentuk pada Desember 2011. Alasan pemisahan dari AQIM adanya perbedaan fokus wilayah dan marjinalisasi anggota kulit hitam yang berasal dari beberapa suku di Afrika. Hal ini cukup wajar karena dalam kepemimpinan elit AQIM, tidak ada yang berkulit hitam atau berasal dari suku asli Afrika. Selain itu, MUJWA sendiri memiliki fokus pada jihad di Afrika Barat saja. MUJWA saat ini dipimpin oleh Hamada Ould Kheiru yang berasal dari Mauritania.69

67 Mike McGovern. Understanding Conflict Drivers and Resilience Factors in the Sahel: Desk Study. (Washington: Navanti Group, 2013), 32 68 Oliver Guitta. Al-Qaeda in the Islamic Maghreb: A Threat for the West. (Defence Against Terrorism Review Vol.3, No. 1, Spring 2010), 54-56 69 Badale dan Isvoranu. Mali: Conflict Analysis, 10.

42

2. Fase Terjadinya Konflik

Awal mula konflik Mali 2012 terjadi pada tanggal 17 Januari 2012 ketika

MNLA menyerang dan menguasai Ménaka, Aguelhok, dan Tessalit di Utara Mali.

Namun, sehari setelahnya Militer Mali berhasil merebut kembali ketiga wilayah tersebut. Kemudian pada 24 Januari 2012 MNLA kembali berkuasa di Tessalit dan

Aguelhok. Pada 8 Februari 2012 MNLA berhasil memperluas cakupan wilayah hingga ke Tinzawaten dan Hombori. Selanjutnya pada 1 Maret 2012 MNLA berhasil merebut kembali Menaka dari Militer Mali. Perluasan wilayah terus dilakukan hingga ke Kidal, Gao, dan Timbuktu pada akhir Maret 2012 dan awal

April 2012. Hal ini merupakan suatu pencapaian terbesar dalam sejarah pemberontakan Tuareg di Mali sejak pasca kolonialisme Perancis. Selain itu, perlu diketahui bahwa keberhasilan yang cepat ini bukan dilakukan oleh pihak MNLA saja, melainkan juga dibantu oleh faksi Islam Ansar Dine, AQIM, dan MUJWA pada awal Februari 2012.70

Aliansi antara MNLA dengan faksi Islam sesungguhnya sudah mulai muncul sejak diadakannya sebuah pertemuan di Kidal pada 7 Desember 2011.

Pertemuan ini dihadiri oleh Abdelkrim Targui, Emir dari pihak AQIM, Iyad Ag

Ghali, pemimpin Ansar Dine, Mohamed Ag Najim, komandan militer MNLA, dan

Intalla Ag Attaher, tetua adat di Kidal. Pertemuan ini membahas tentang rencana penyerangan yang akan dilakukan pada Januari 2012. Pada pertemuan ini, perwakilan MUJWA ikut diwakilkan dari pihak AQIM. Hal ini dikarenakan,

MUJWA pada dasarnya cabang dari AQIM yang hanya khusus beroperasi di Afrika

70 Thurston dan Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis, 1-4

43

Barat dengan anggotanya mayoritas orang asli Afrika. Pertemuan ini pada akhirnya menghasilkan cetak biru dari skema penyerangan yang akan dilakukan nanti.71

Keberhasilan penyerangan yang dilakukan sejak Januari hingga awal April membuat cakupan wilayah yang dikuasai menjadi cukup besar. Wilayah yang diklaim untuk Republik Azawad sudah berhasil dikuasai dan dijaga ketat. Oleh karena itu, pada 6 April 2012, MNLA mengumumkan penghentian operasi militer dan mendeklarasikan kemerdekaan Republik Azawad. Patok wilayah perbatasan dengan negara lain pun sudah dibuat dan komitmen untuk tidak meneruskan serangan ke Selatan Mali. Wilayah perbatasan antara Republik Azawad dan Mali terletak di distrik Douantza, provinsi Mopti. Walaupun Republik Azawad telah dideklarasikan sebagai sebuah negara, belum pengakuan terhadap kedaulatan

Republik Azawad dari negara lain.72

Sebelum deklarasi kemerdekaan Azawad, sesungguhnya terdapat suatu peristiwa penting yang ikut mempengaruhi keberhasilan MNLA dan Faksi Islam dalam merebut wilayah Utara Mali, yaitu kudeta Mali 2012. Kudeta tersebut terjadi pada 22 Maret 2012 oleh kalangan Militer Mali terhadap pemerintahan Presiden

Amadou Toumani Touré (ATT). Sejak kudeta tersebut, Mali dipimpin oleh junta militer bernama le Comité National pour le Redressement de la Démocratie et la

Restauration de l’État (CNRDRE) yang dipimpin oleh Amadou Haya Sanogo.

71 David Alvarado. INDEPENDENT AZAWAD: Tuaregs, Jihadists, and an Uncertain Future for Mali. (Barcelona: Notes Internacionals CIDOB 54, 2012), 4 72 Alvarado. INDEPENDENT AZAWAD: Tuaregs, Jihadists, and an Uncertain Future for Mali, 5

44

Penyebab terjadinya kudeta ini karena kalangan Militer Mali frustasi terhadap ketidakmampuan rezim ATT dalam menanggulangi konflik di Utara Mali.73

Kudeta tersebut pada akhirnya berakhir dengan damai melalui negosiasi antara CNRDE dengan Rezim ATT yang dimediasi oleh ECOWAS pada 7 April

2012. Pada 8 April 2012 tercapailah kesepakatan bahwa Presiden Amadou Toumani

Touré mundur sebagai Presiden Mali dan Kapten Amadou Sanogo resmi menarik kembali pasukannya dan membubarkan CNRDE. Kemudian pada 12 April 2012,

Dioncounda Traoré ditunjuk sebagai Presiden Sementara serta pada 17 April 2012

Cheick Modibo Diarra ditunjuk juga sebagai Perdana Menteri Sementara. Hal dapat tercapai setelah adanya berbagai tekanan dari negara lain dan organisasi internasional.74

Selain permasalahan kudeta, dalam Konflik Mali juga terdapat peristiwa yang membuat Konflik Mali 2012 semakin rumit, yaitu perpecahan aliansi MNLA dengan Ansar Dine, AQIM, dan MUJWA pada 26 Mei 2012. Perpecahan ini terjadi ketika MNLA dan faksi Islam gagal menemui kesepakatan terkait sistem pemerintahan Republik Azawad. MNLA menginginkan sistem pemerintahan yang sekuler, sedangkan faksi Islam yang berdasarkan hukum Islam dan menjadikan

Azawad sebagai negara Islam. Tidak lama setelah itu, Ansar Dine memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan di Timbuktu dan Kidal dari MNLA serta mulai menerapkan hukum Islam yang ketat secara sepihak. Selain itu, MUJWA juga ikut mengambil alih kekuasaan di Gao dari MNLA dengan bantuan dari AQIM. Pada

73 Signe Marie Cold-Ravnkilde. War and Peace in Mali, 13 74 Thurston dan Lebovich. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis, 29

45

akhirnya, ketiga wilayah tersebut dideklarasikan sebagai wilayah kekuasaan faksi

Islam.75

Pasca perpecahan tersebut, Konflik di Mali berubah menjadi sebuah konflik segitiga antara MNLA, faksi Islam, dan pemerintah Mali. Kondisi ini menjadi semakin rumit karena konflik kepentingan antara semua pihak semakin luas. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran yang lebih besar terkait potensi meluasnya konflik ini ke negara lain, khususnya yang berada di Afrika Barat.

Pada 5 Juli 2012, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi 2056 terkait situasi di Mali yang dapat dikatakan sebagai bentuk pernyataan kekhawatiran terhadap Konflik Mali. Kemudian pada 12

Oktober 2012, resolusi 2071 juga dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Resolusi 2071 berisi tentang perencanaan untuk intervensi militer dalam Konflik

Mali yang dipimpin oleh ECOWAS dan African Union dalam kurun waktu 45 hari terhitung setelah resolusi dikeluarkan. Realisasi rencana tersebut dapat dilihat melalui resolusi 2085 terkait pengiriman pasukan African-led International Support

Mission to Mali (AFISMA) ke Mali sebagai tindakan awal dari intervensi militer yag akan dilakukan nanti. Perlu diketahui bahwa semua resolusi tersebut diinisiasi oleh ECOWAS, African Union, dan Perancis. Pada 2013, Perancis menjadi salah satu pihak yang paling penting dalam intervensi militer Mali.76

75 Laura Grossman. Into the Abyss in Mali. (Washington DC: The Journal of International Security Affairs, 2014), 68-69 76 Marina Caparini. The Mali Crisis and Responses by Regional Actors. (Oslo: Norwegian Institute of International Affairs, 2015), 7-9

46

BAB III

KETERLIBATAN PERANCIS DALAM UPAYA PENYELESAIAN

KONFLIK MALI

A. Kebijakan Intervensi Militer Perancis Dalam Konflik Mali 2012

Kebijakan intervensi militer Perancis dalam konflik Mali 2012 secara resmi dimulai pada awal tahun 2013. Perlu dipahami bahwa kebijakan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba atau sepihak. Intervensi militer Perancis dilakukan melalui jalur bilateral dan multilateral dengan melibatkan banyak pihak yang berkaitan baik yang berada di Afrika maupun dunia. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan proses persiapan, implementasi, dan pengawasan dari kebijakan intervensi militer Perancis dalam upaya penyelesaian konflik Mali 2012.

1. Tahap Inisiasi dan Persiapan

Pada umumnya, kebijakan intervensi oleh suatu negara terhadap negara lain merupakan suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Hal ini wajar karena tindakan tersebut dapat melanggar kedaulatan negara yang menjadi tujuan intervensi. Segala bentuk tindakan intervensi baik yang sifatnya militer ataupun kemanusiaan tidak dapat dilakukan begitu saja secara sepihak. Dalam kaitannya dengan konflik Mali, intervensi militer yang dilakukan Perancis memiliki justifikasi yang jelas. Hal ini dibuktikan dengan adanya permintaan dari pemerintah Mali dan melalui resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

47

Permintaan intervensi militer Perancis dalam konflik Mali diajukan tidak lama setelah perjanjian damai antara pihak junta militer Mali dan rezim Amadou

Toumani Touré (ATT) pada 6 April 2012. Permintaan intervensi militer dalam konflik Mali secara resmi dilakukan pada 13 April 2012 oleh Presiden Mali

Sementara, Dioncounda Traore. Permintaan tersebut secara resmi ditujukan untuk

Perancis, Economic Community of West African States (ECOWAS), dan African

Union dengan misi stabilisasi wilayah Utara Mali. Permintaan tersebut telah dikonfirmasi oleh Perwakilan Khusus Perancis untuk Wilayah Sahel, Jean Felix-

Paganon.77

Pemerintahan Perancis sendiri merespon permintaan tersebut dengan positif dan menginginkan peran aktif dari seluruh pihak yang berkaitan. Presiden Perancis,

François Hollande, bahkan menganggap bahwa intervensi militer Perancis merupakan salah satu bentuk balas budi terhadap Mali yang sempat merasakan kolonialisme Perancis. Selain itu, menurutnya Perancis juga memiliki kewajiban secara moral dan politik untuk menerima permintaan tersebut. Melalui intervensi tersebut, pemerintah Mali secara sadar harus membatasi kedaulatan negaranya agar

Perancis dan pihak yang lain dapat menjalankan misi secara efektif.78

Setelah melalui undangan pemerintah Mali, kebijakan intervensi militer dalam konflik Mali juga dilakukan secara multilateral melalui Dewan Keamanan

PBB. Resolusi Dewan Keamanan PBB yang pertama, yaitu resolusi 2056 diajukan

77 Daily Nation. Mali president asks African forces to intervene: diplomat. Dalam https://www.nation.co.ke/News/africa/Mali+president+requests+intervention/-/1066/1496742/- /86sl3pz/-/index.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2018 78 Susanna D. Wing. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term regional presence?. (Cambridge: Routledge, 2016), 71-72

48

oleh Perancis pada 5 Juli 2012. Sebelumnya ECOWAS dan African Union juga sudah berusaha mengajukan resolusi tersebut pada awal Juni 2012, tetapi ditolak karena tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen. Kemudian Perancis ikut membantu sebagai inisiator resolusi tersebut hingga akhirnya dapat disetujui.

Resolusi 2056 secara umum berisi penolakan keras terhadap kudeta Mali pada

Maret 2012 dan meminta ECOWAS secara khusus memimpin upaya restorasi konstitusi dan keamanan Mali. Melalui resolusi tersebut, seluruh pihak yang terlibat diharapkan dapat membuat rencana atau proposal yang lebih rinci untuk pelaksanaan intervensi militer beberapa bulan selanjutnya.79

Kelanjutan dari resolusi 2056 adalah resolusi 2071 yang diajukan pada 12

Oktober 2012. Pada resolusi tersebut, terdapat persetujuan terkait rencana pembentukan pasukan yang bernama African-led International Support Mission to

Mali (AFISMA). Pasukan tersebut akan diberi mandat oleh PBB untuk melakukan intevensi militer dalam konflik Mali dengan dipimpin oleh ECOWAS dan African

Union serta negara tetangga sekitar Mali. Intervensi tersebut diharapkan dapat disiapkan dalam kurun waktu 45 hari ke depan. Resolusi ini kembali didukung oleh

Perancis sebagai penasihat strategis untuk intervensi militer oleh AFISMA.80

Pada akhirnya, tahapan inisiasi intervensi militer dalam konflik Mali dapat diwujudkan melalui resolusi 2085 yang diajukan pada 20 December 2012. Resolusi tersebut secara resmi menyetujui pengiriman dan otorisasi AFISMA untuk

79 United Nations. Security Council Calls for ‘Road Map’ for Restoration of Constitutional Order in Mali, Unanimously Adopting Resolution 2056. Dalam http://www.un.org/press/en/2012/sc10698.doc.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2018 80 UN News. Security Council paves way for possible intervention force in northern Mali. Dalam https://news.un.org/en/story/2012/10/423482-security-council-paves-way-possible- intervention-force-northern-mali#.UHnwscWHJ8E, diakses pada tanggal 21 Maret 2018

49

intervensi militer dalam konflik Mali dengan bantuan dari Uni Eropa dan Perancis sebagai pedukung utama resolusi tersebut. AFISMA sendiri pada awalnya baru dapat memungkinkan beroperasi pada September 2013, tetapi kemudian dipercepat menjadi Januari 2013. Hal ini dikarenakan adanya serangan tak terduga oleh kelompok pemberontak Mali dan permintaan dari Perancis. Pada akhirnya

AFISMA dapat memulai intervensi militer pada Januari 2013 bersama Perancis.

AFISMA dipimpin oleh Mayor Jenderal Abdulkadir Shehu yang berasal dari

Nigeria dan Perancis dipimpin oleh Marsekal Édouard Guillau. Diperkirakan

AFISMA membawa pasukan kurang lebih berjumlah 3.000 tentara dari berbagai negara di Afrika dan Perancis mengirim pasukan kurang lebih berjumlah 4.000 tentara.81

2. Tahap Pelaksanaan Intervensi Militer

Intervensi militer dalam konflik Mali dimulai pada 11 Januari 2013 dengan kode nama Operasi Serval dan dilakukan oleh AFISMA dan Perancis. Dalam

Operasi Serval, terjadi beberapa perubahan terkait peran dari AFISMA. Pada dasarnya dalam operasi ini, peran AFISMA digeser sebagai pasukan pendukung dan Perancis menjadi pasukan utama. Hal ini terjadi karena AFISMA dinilai masih belum memiliki kapabilitas yang baik dan belum siap dalam hal alusista. Penyebab dari hal tersebut adalah dipercepatnya intervensi militer yang sebelumnya dijadwalkan pada September 2013. Pada akhirnya, Perancis akan lebih berperan

81 United Nations. Security Council Authorizes Deployment of African-Led International Support Mission in Mali for Initial Year-Long Period. Dalam https://www.un.org/press/en/2012/sc10870.doc.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2018

50

dalam melakukan serangan besar terhadap wilayah yang dikuasai oleh pihak pemberontak dan AFISMA bertugas menduduki serta melakukan restorasi sementara terhadap wilayah tersebut.82

Operasi Serval dilakukan selama 19 bulan dari Januari 2013 hingga Juli

2014 dan secara umum terdapat tiga fase dalam pelaksanaannya. Fase pertama adalah usaha untuk menghalau dan mencegah pihak pemberontak sampai ke ibukota Bamako. Fase kedua adalah upaya serangan terhadap markas-markas dan wilayah yang dikuasai pemberontak yang berada di Utara Mali serta mengembalikan kedaulatan pemerintah Mali. Terakhir fase ketiga adalah fase pengamanan dan perpindahan tanggung jawab ke pihak PBB.83

Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanan Operasi Serval, Uni Eropa juga ikut terlibat secara tidak langsung melalui program pelatihan militer bagi tentara nasional Mali. Program pelatihan tersebut bernama European Union led Training mission in Mali (EUTM) dan dimulai pada Februari 2013 yang terdiri dari 550 pelatih militer dari 23 negara Eropa. EUTM ditugaskan untu melatih empat batalion pasukan tentara nasional Mali, yaitu Waraba, Elou, Sigui, dan Balanzan dengan proyeksi penambahan batalion yang dilatih menjadi delapan batalion.84

Operasi Serval sendiri dapat dikatakan sebuah kesuksesan yang signifikan bagi upaya penyelesaian konflik Mali. Hanya dalam kurun waktu 4 bulan, operasi ini berhasil mendesak para pemberontak keluar dari wilayah kekuasaannya dan

82 Isaline Bergamaschi. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet Insufficient. (Pennsylvania: International Journal of Security & Development, 2016), 6-7 83 Rachel E. Utley. Mali: vive la Coloniale?. (Leed: International Journal of Francophone Studies, 2016), 28 84 Modibo Goita. French Intervention, EU, and UN. African Solutions for African Problem?. (Sevilla: ieee.es ,2014), 12

51

melakukan gerilya. Jumlah pasukan para pemberontak berkurang cukup drastis, sehingga tidak dapat mempertahankan kota atau provinsi yang besar. Oleh karena itu, pada 25 April 2013, Perancis mengajukan resolusi ke Dewan keamanan PBB untuk pembentukan pasukan khusus dalam misi perdamaian dan stabilisasi keamanan. Hal ini wajar karena Mali sudah jauh lebih aman dari para pemberontak terlepas dari berbagai pertempuran dalam intensitas kecil. Pembentukan pasukan tersebut diharapkan dapat menciptakan stabilitas keamanan untuk masa yang akan datang.85

3. Tahap Implementasi Misi Perdamaian dan Keamanan

Pada tahap ini, Perancis mulai melakukan transisi dari misi penyerangan terhadap pemberontak menjadi misi menjaga perdamaian dan keamanan. Misi ini dilaksanakan melalui dua instrumen penting, yaitu Mission multidimensionnelle

Intégrée des Nations Unies pour la Stabilisation au Mali (MINUSMA) dan Operasi

Barkhane. Kedua instrumen tersebut nantinya berperan penting dalam pengawalan perjanjian gencatan senjata antara Mouvement national de libération de l'Azawad

(MNLA) dengan pemerintah Mali pada Juni 2013 serta ikut mengawal jalannya pemilihan umum Mali pada Juli dan Agustus 2013. Dapat dikatakan tahap ini dimulai pada akhir April 2013. Walaupun begitu, Operasi Serval juga masih tetap dilakukan hingga Juli 2014. Jadi, dilakukan secara bersamaan dan saling melengkapi sebagai sebuah misi.

85 Bergamaschi. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet Insufficient, 8-10

52

MINUSMA secara resmi dikirim ke Mali berdasarkan pada resolusi Dewan

Keamanan PBB nomor 2100 yang diajukan pada 25 April 2013. Tujuan dari misi perdamaian MINUSMA adalah untuk mendukung proses transisi otoritas Mali dalam masa stabilisasi keamanan, fokus menjaga pusat kehidupan masyarakat dan jalur komunikasi, melindungi warga sipil, pengawasan terhadap hak asasi manusia, penciptaan kondisi yang memungkinkan untuk membuka jalur bantuan kemanusiaan dan pengembalian pengungsi, dan yang terpenting adalah membantu mengawal jalannya pemilihan umum Mali pada pertengahan dan akhir 2013. Pada awal penempatannya, MINUSMA akan ditempatkan di dua wilayah , yaitu di

Timbuktu dan Gao dengan misi perlindungan terhadap warga sipil sebagai misi utama. Selain itu, hampir 80% dari staff dan personel MINUSMA diproyeksikan akan ditempatkan di wilayah Utara Mali yang lainnya.86

MINUSMA sendiri memiliki pasukan berjumlah 12.640 personel yang terdiri dari 11.200 personel militer dan 1.440 personel kepolisian yang dipimpin oleh seorang Mayor Jenderal dari Rwanda bernama Jean-Bosco Kazuran. Meskipun begitu, hingga 28 Februari 2015 misi perdamaian MINUSMA tidak sepenuhnya mengirimkan jumlah personel yang dimiliki. Hanya 8.831 personel militer dan

1.052 personel kepolisian yang dikirim bertugas di Mali. Hal ini dikarenakan kurangnya logistik dan pemetaan misi yang masih belum lengkap. Dengan jumlah pasukan tersebut, MINUSMA akan menjalankan fungsi stabilisasi sebagai fungsi utama dari MINUSMA yang kembali merujuk pada resolusi Dewan Keamanan

86 Lotte Vermeij. MINUSMA: Challenges on the Ground. (Oslo: Norwegian Institute of International Affairs, 2015), 1-2

53

PBB nomor 2100. Namun, perlu dipahami pula bahwa berdasarkan resolusi tersebut

MINUSMA tidak melakukannya sendiri. MINUSMA akan berbagi tugas dengan

Operasi Serval yang dibawah komando Perancis. Pembagian kerja tersebut menugaskan Operasi Serval sebagai misi penegakan perdamaian dan perebutan kendali, sedangkan MINUSMA akan bertugas dalam misi mencegah timbulnya ancaman dan mengahalu kedatangan para pemberontak yang akan kembali menyerang. Oleh karena itu, Operasi Serval tidak dihentikan dan dilakukakan bersamaan dengan MINUSMA hingga akhirnya Operasi Serval dihentikan pada

Juli 2014.87

Seperti yang sempat dijelaskan sebelumnya, salah satu misi yang paling penting dari MINUSMA adalah membantu pengawalan pemilihan umum Mali yang berlangsung pada pertengahan dan akhir 2013. Pemilihan umumm Mali itu sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Pemilihan

Presiden diselenggarakan pada 28 Juli 2013 dengan Ibrahim Boubacar Keïta sebagai presiden terpilih. Kemudian pemilihan legislatif diselenggarakan pada 24

November 2013 dan dimenangkan oleh partai pimpinan Boubacar Keita, Rally for

Mali, dengan mendapatkan 66 kursi dari total keseluruhan 147 kursi parlemen yang diperebutkan. Pemilihan umum ini cukup substansial karena menjadi simbol bahwa demokrasi di Mali masih bertahan dari serangan para pemberontak dan dapat menjalankan fungsi pemerintahan yang baik dan sesuai dengan kehendak rakyat.88

87 Isaline Bergamaschi. MINUSMA: initial steps, achievements, and challenges. (Oslo: Norwegian Peacebuilding Resource Centre, 2013), 2-3 88 The New York Times. Mali Holds Elections After Year of Turmoil. Dalam http://www.nytimes.com/2013/07/29/world/africa/mali-holds-elections-after-year-of-turmoil.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2018

54

Pasca pemilihan umum 2013, Mali berada dalam kondisi yang jauh lebih baik sejak terjadinya konflik pada tahun 2012. Sejak akhir tahun 2013 hingga pertengah 2014, tidak terlalu banyak aksi serangan yang masif. Walaupun begitu, pada masa itu masih terjadi beberapa aksi teror terhadap warga sipil dan juga aksi bom bunuh diri. Tindakan ini meyebabkan kerusakan yang relatif kecil, tetapi terjadi dalam intensitas yang cukup sering. Oleh karena itu, pada 1 Agustus 2014,

Perancis memutuskan untuk menjalankan operasi baru yag bernama Operasi

Barkhane. Operasi Barkhane sendiri adalah sebuah operasi yang melawan terorisme dan mencegah terjadinya konflik sektarian di wilayah Sahel. Operasi ini merupakan operasi gabungan dari beberapa operasi militer Perancis di Afrika seperti; Operasi

Serval di Mali, Epervier di Chad, dan Sangaris di Republik Afrika Tengah.89

Operasi Barkhane dapat dikatakan bentuk regionalisasi respon terhadap terorisme di wilayah Sahel. Pasukan Perancis yang menjalankan operasi ini memiliki pusat komando yang terbagi di dua wilayah, yaitu N’Djamena di Chad untuk wilayah Timur dan Gao di Mali untuk wilayah Barat yang dapat digunakan dalam misi perlawanan terhadap terorisme di wilayah Sahel. Al-Qaeda in the

Islamic Maghreb (AQIM), Al-Shabab, dan Boko Haram hingga saat ini masih menjadi ancaman utama yang harus dihadapi dalam Operasi Barkhane. Selain itu, terdapat pula kekhawatiran terhadap potensi kemunculan kelompok-kelompok fundamentalis di beberapa negara sekitar Sahel seperti; Libya, Niger, Kamerun, dan Republik Afrika Tengah. Dalam menjalankan misinya, Operasi Barkhane tidak

89 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, 2015), 24-25

55

memiliki masa waktu dan baru dianggap berakhir ketika keadaan aman dari bahaya terorisme.90

Satu tahun setelah dilakukannya Operasi Barkhane, intensitas konflik di

Mali berangsur mengurang dan membaik. Basis militer para pemeberontak semakin kecil hingga menyisakan kurang dari tiga kota saja. Oleh karena itu, sepanjang akhir tahun 2014 hingga 2015 terjadi serangkaian usaha diplomasi dengan berbagai kelompok pemberontak, tetapi tidak dengan kelompok teroris. Pada masa diplomasi tersebut, terbentuklah sebuah koalisi pemberontak Tuareg bernama Coordination of Movements for Azawad (CMA) yang mengisyaratkan pembentukan perjanjian damai dengan pemerintah Mali. Koalisi CMA sendiri terdiri dari MNLA yang merupakan kelompok Tuareg sekuler, Haut conseil pour l'unité de l'Azawad

(HCUA) yang merupakan kelompok islam pecahan Ansar Dine, dan Mouvement arabe de l’Azawad (MAA) yang merupakan kelompok Arab sekuler. Kemudian koalisi tersebut secara resmi menandatangani perjanjian dengan pemerintah Mali pada 20 Juni 2015 dan perjanjian ini disebut dengan Bamako Agreement. Perjanjian ini dimediasi oleh Aljazair dan direncanakan sejak Mei 2015. Selama kurun waktu

Mei hingga Juni, Aljazair dan dibantu PBB ikut berperan aktif dalam pembentukan berbagai dialog dan forum konsultasi terkait perjanjian damai tersebut. Semua berakhir ketika tercapai kesepakatan bahwa pihak koalisi pemberontak akan menyerahkan basis militer mereka yang ada di Kidal dan Menaka kepada pasukan

PBB dan ikut aktif membantu pemerintah Mali dalam melawan kelompok teroris

90 Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel, 25

56

di Utara Mali. Pihak koalisi pemberontak sendiri meminta agar diberikan otonomi khusus di wilayah Kidal nantinya. Perjanjian ini pada akhirnya diharapkan dapat berlangsung lama dan tidak seperti perjanjian terdahulu yang gagal menciptakan perdamaian.91

B. Respon Internasional Terhadap Kebijakan Intervensi Militer Perancis

Kebijakan luar negeri Perancis terkait intervensi militer dalam konflik Mali

2012 dapat dikatakan cukup menarik perhatian dunia. Berbagai respon kemudian muncul terhadap intervensi militer tersebut dan apa yang melatarbelakanginya.

Respon tersebut dapat berupa sebuah dukungan atau penolakan yang dapat dilakukan baik melalui pernyataan sikap maupun sebuah kebijakan luar negeri.

Pada bagian ini, akan dibahas beberapa respon dari dunia internasional terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali 2012 dari pihak yang mendukung atau yang menolak kebijakan tersebut.

1. Cina

Respon yang diberikan Cina terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali dapat dikatakan cukup positif. Respon Cina ditunjukan melalui kesediaan untuk ikut berkontribusi dalam MINUSMA dengan mengirim 395 personel yang terdiri pasukan infanteri khusus, tenaga medis, ahli strategis, dan ahli tehnik. Pasukan tersebut secara resmi dapat beroperasi pada Juli 2013 hingga

91 The Guardian. Mali's peace deal represents a welcome development, but will it work this time?. Dalam https://www.theguardian.com/global-development/2015/jul/01/mali-peace-deal-a- welcome-development-but-will-it-work-this-time, diakses pada tanggal 23 Maret 2018

57

November 2013. Kontribusi Cina dapat dikatakan relatif kecil, tapi cukup signifikan dalam perkembangan pada misi perdamaian dunia. Hal ini dikarenakan untuk pertama kalinya Cina secara resmi mengirim pasukan tempur ke dalam sebuah misi perdamaian. Pada umumnya Cina hanya akan mengirim pasukan yang berkerja di balik layar atau hanya sekadar sebagai penasihat, sehingga pengiriman yang dilakukan Cina dalam MINUSMA merupakan suatu momen yang penting dalam pergeseran arah kebijakan misi perdamain Cina.92

Meskipun Cina merespon positif intervensi Perancis, terdapat suatu pandangan yang melihat bahwa bahwa intervensi Perancis dapat dikatakan tidak bersifat altruistik dan cenderung dimotivasi kepentingan yang berada dibalik misi tersebut. Apa yang menjadi kekhawatiran Cina adalah intervensi tersebut dapat menjadi suatu preseden tersendiri terhadap legitimasi suatu negara untuk melakukan intervensi di negara lain, khususnya di Afrika yang sedang terjadi perebutan pengaruh secara kompetitif. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip non-intervensi yang dianut dalam kerangka kebijakan luar negeri Cina.

Kebijakan non-intervensi Cina sendiri sudah dilakukan sejak pasca perang dingin dan komitmen untuk menjaga prinsip tersebut adalah suatu hal yang mutlak.93

2. NATO

North Atlantic Treaty Organizations (NATO) sebagai sebuah organisasi pertahanan yang memiliki pengaruh besar bagi dunia, memiliki respon tersendiri

92 Frans Paul van der Putten. China’s Evolving Role in Peacekeeping and African Security The Deployment of Chinese Troops for UN Force Protection in Mali. (The Hague: Clingendael Report, 2015), 9 93 Theo Neetling. China’s International Peacekeeping Contributions and The Evolution of Contemporary Chinese Strategic Considerations. (Bloemfontein: Strategic Review for Southern Africa, Vol 37, No 2, 2014), 20-21

58

terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali 2012. Pada Maret 2013,

Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen, menyatakan bahwa NATO tidak akan ikut terlibat dalam intervensi militer Perancis. Meskipun begitu, NATO mengapresiasi langkah Perancis dalam mengambil kebijakan intervensi militer dalam konflik Mali. Penolakan NATO untuk terlibat dalam intervensi militer

Perancis didasarkan pada konsep division of labour di bidang pertahanan dunia.

Keberadaan pasukan AFISMA yang dibentuk melalui resolusi Dewan Keamanan

PBB dapat dikatakan sudah cukup untuk menangani konflik di Afrika. Selain itu,

Perancis yang juga salah satu anggota NATO, dianggap memiliki kapabilitas yang baik dan mampu melakukan intervensi militer secara mandiri tanpa melibatkan

NATO.94

Respon dari NATO sendiri sebelumnya diharapkan positif dan mau ikut terlibat baik secara aktif. Hal ini disampaikan oleh ketua African Union, Thomas

Boni Yayi, ketika bertemu dengan Perdana Menteri Kanada, Stephen Harper, pada

Januari 2013 dalam sebuah kunjungan ke Ottawa, Kanada. Yayi mengatakan bahwa konflik Mali sudah menjadi suatu isu internasional dan NATO seharusnya dapat ikut membantu intervensi militer dalam konflik Mali. Yayi juga mengatakan bahwa pasca perang dingin, NATO juga sudah pernah terlibat dalam secara aktif dalam

Perang Afghanistan tahun 2003 dan Libya tahun 2011. Keterlibatan NATO di

94 RFI. Nato rules out Mali role but backs French intervention. Dalam http://en.rfi.fr/africa/20130201-nato-rules-out-mali-role-backs-french-intervention, diakses pada tanggal 26 Maret 2018

59

Afghanistan dan Libya dianggap mampu menyelesaikan konflik lebih cepat dan menyeluruh.95

3. Mauritania

Mauritania dapat dikatakan menjadi satu-satunya negara terdekat Mali yang merespon negatif kebijakan intervensi militer Perancis dalam konflik Mali. Respon negatif tersebut tidak hanya sekadar pernyataan, tetapi juga melalui kebijakan untuk menolak ikut serta dalam membantu intervensi militer Perancis. Presiden

Mauritania, Mohamed Ould Abd al-Aziz, sendiri merupakan salah satu mediator antara pemerintah Mali dan pemberontak Tuareg yang lebih mendukung negosiasi terbuka daripada jalur militer. Oleh sebab itu, alasan utama penolakan Mauritania adalah lebih mendahulukan jalur damai ketimbang intevensi militer yang dianggap melanggar kedaulatan negara Mali. Selain itu, penolakan tersebut dapat dikatakan muncul akibat tekanan domestik yang menggambarkan intervensi militer yang dipimpin Perancis, selaku pihak barat, merupakan usaha global melawan pengaruh

Islam dan Mali hanyalah salah satu cabang tersebut. Hal ini sudah menjadi suatu preseden bagi kebijakan luar negeri Mauritania yang sangat dipengaruhi oleh nilai- nilai Islam. Mauritania sendiri adalah sebuah Republik Islam, sehingga lebih menginginkan perlawanan terhadap terorisme tanpa ada campur tangan negara non- muslim yang salah satunya adalah Perancis.96

95 BBC. Nato forces needed in Mali, says AU's Thomas Boni Yayi. Dalam http://www.bbc.com/news/world-africa-20957063, diakses pada tanggal 26 Maret 2018 96 Al-Akhbar. Mauritanian Consensus Against France Intervention in Mali. Dalam https://english.al-akhbar.com/Archive_Justice/90082, diakses pada tanggal 26 Maret 2018

60

Tekanan domestik terhadap Presiden Ould Abd Al-Aziz dapat dilihat secara rinci melalui sebuah fatwa yang berjudul Haqiqat al-Harb ‘ala al-Muslimin fī

Shimal Mali (Realitas Perang Terhadap Muslim di Utara Mali). Fatwa tersebut dibuat oleh kaum alim ulama di Mauritania berdasarkan pengalaman kolonialisme

Perancis di Mali. Terlibat atau mendukung intervensi militer Perancis dianggap dapat menimbulkan perpecahan dalam komunitas muslim di Utara Mali. Selain itu, fatwa tersebut berkaitan erat dengan doktrin al-walā’ wa al-barā’ yang menekankan pentingnya loyalitas terhadap kerjasama antar kaum muslim daripada kaum non-muslim. Walaupun tidak tertuju pada pemerintah Mauritania, fatwa tersebut secara tersirat diwajibkan bagi kaum Muslim Mauritania, termasuk

Presiden Ould Abd Al-Aziz.97

4. Mesir:

Tidak jauh berbeda dengan Mauritania, Mesir juga ikut menjadi salah satu negara yang menolak mendukung intervensi militer Perancis dalam konflik Mali

2012. Penolakan tersebut ditunjukan melalui pernyataan dari Presiden Mesir,

Mohamed Mursi, saat Arab Economic Summit yang diselenggarakan pada 21

Januari 2013 di Riyadh, Arab Saudi. Mursi menyatakan intervensi militer Perancis dapat memperburuk konflik dan membuat keterasingan suatu kelompok etnis semakin besar. Ketika hal tersebut terjadi, akan timbul resiko gerakan separatis yang lebih besar dan menyebar dengan sentimen terhadap pihak barat. Mursi sendiri

97 Maydan. A Mauritanian Fatwa against the French-Led Military Intervention in Mali. Dalam https://www.themaydan.com/2017/01/mauritanian-fatwa-french-led-military-intervention- mali/, diakses pada tanggal 26 Maret 2018

61

lebih menganjurkan adanya pendekatan yang lebih persuasif dan jalan damai dengan mengalihkan dana intervensi militer ke program kesejahteraan dan mediasi konflik.98

Sebagai Presiden Mesir, Mursi dikenal dengan sosok yang sering kali mengeluarkan kebijakan atau pernyataan yang berseberangan dengan pihak Barat.

Walaupun begitu, Mursi adalah satu-satunya Presiden Mesir yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis, lebih tepatnya pada pemilihan umum Juni 2012.

Mursi sendiri merupakan politisi dari partai Freedom and Justice Party (FJP) dengan dukungan penuh dari Ikhwanul Muslimin yang terkenal selalu bersebrangan dengan pihak barat. Hal inilah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penolakan terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali. Penolakan

Mesir kemudian menjadi salah satu topik pembicaraan ketika melakukan kunjungan kenegaraan Mesir ke Perancis pada 1 Februari 2013.99

5. Amerika Serikat

Sebagai salah satu kekuatan dunia, respon Amerika Serikat merupakan suatu hal yang patut diperhatikan secara seksama. Dalam kaitannya dengan intervensi militer Perancis dalam konflik Mali, Amerika Serikat memberikan respon yang cukup menarik. Amerika merespon intervensi militer Perancis dengan positif melalui instrumen kebijakan luar negerinya. Amerika Serikat akan

98 Reuters. Egypt says Mali intervention will inflame conflict. Dalam https://www.reuters.com/article/us-sahara-crisis-egypt/egypt-says-mali-intervention-will-inflame- conflict-idUSBRE90K0SB20130121, diakses pada tanggal 26 Maret 2018. 99 France 24. Egypt’s Morsi opposes French intervention in Mali. http://www.france24.com/en/20130122-egypt-morsi-opposes-france-intervention-mali, diakses pada tanggal 26 Maret 2018.

62

menyediakan intelijen, bantuan logistik udara, pengangkutan pasukan, dan pendanaan militer untuk mempermudah intervensi Perancis. Selain itu, Amerika

Serikat juga ikut berkontribusi melalui dukungannya di Dewan Keamanan PBB dengan menyetujui resolusi–resolusi yang diajukan oleh Perancis terkait tentang intervensi militer dalam konflik Mali salah satunya seperti; resolution 2085 yang memberikan kewenangan bagi AFISMA untuk memimpin intervensi militer dari negara–negara Afrika. Persetujuan ini penting karena Amerika Serikat secara resmi ikut mendukung adanya usaha intervensi militer dalam konflik Mali berdasarkan framework PBB.100

Dalam upaya membantu intervensi militer Perancis dalam konflik Mali,

Amerika Serikat akan memberikan kewenangan khusus bagi U.S Africa Command

(AFRICOM) untuk menjalankan peran tersebut. AFRICOM sendiri merupakan sebuah satuan unit komando pasukan Amerika Serikat yang ditugaskan untuk menjaga stabilitas dan mencegah penyebaran terorisme di regional Afrika.

AFRICOM dibentuk pada 2008 dengan persetujuan kongres Amerika Serikat dan memiliki kantor pusat di Stuttgart, Jerman. AFRICOM berada di bawah otoritas langsung dari departemen pertahanan Amerika Serikat. Dalam usahanya membantu intervensi Perancis, AFRICOM berkomitmen untuk menjalankan secara efisien dan menggunakan pendekatan yang tidak melibatkan pasukan Amerika Serikat secara

100 Dona J. Stewart. What Is Next For Mali? The Roots of Conflict and Challenges to Stability. (Carlisle Barracks, PA : Strategic Studies Institute and U.S. Army War College Press, 2013), 3

63

langsung. AFRICOM akan membantu melalui jaringan intelijen, logistik, dan pelatihan militer101

Lebih lanjut lagi, Amerika Serikat juga telah berkoordinasi dengan pemerintah Niger untuk upaya bantuan intervensi Perancis dalam hal intelijen. Pada

Januari 2013, Amerika Serikat telah menandatangani kesepakatan terkait status daerah operasi militer Amerika Serikat. Kesepakatan ini pada intinya dapat membuka jalan bagi Amerika Serikat untuk membuat sebuah basis pangkalan drone untuk mengumpulkan data intelijen yang nantinya dapat membantu Perancis. Tidak lama setelah itu, pada Maret 2013 basis pangkalan drone tersebut berhasil didirikan dalam sebuah rancangan pembangunan sementara. Nantinya basis drone ini juga akan berperan aktif dalam mengembangkan sistem intelijen yang ada di Niger dan sekitarnya.102

Dalam hal logistik dan bantuan pengangkutan militer, Amerika Serikat secara resmi menggunakan tiga pesawat kargo Air Force C17 Globemasters yang sejak Januari 2013 hingga Februari 2013 telah melakukan misi penerbangan sebanyak 47 kali dengan berhasil mengangkut 975 pasukan Perancis dan membawa kurang lebih 1.200 ton perlengkapan militer. Air Force C17 Globemasters juga telah berhasil melakukan 83 misi pengisian bahan bakar pesawat induk Perancis dan membawa kurang lebih 544.000 tabung gas untuk pesawat bombardir Rafale

101 AFRICOM. U.S. Airlift of French forces to Mali. Dalam http://www.africom.mil/media- room/article/10206/us-airlift-of-french-forces-to-mali, diakses pada tanggal 4 April 2018 102 Council on Foreign Relations. Destabilization of Mali. Dalam https://www.cfr.org/interactives/global-conflict-tracker#!/conflict/destabilization-of-mali, diakses pada tanggal 4 April 2018

64

dan Mirage milik Perancis.103 Dalam kurun waktu 2008 hingga 2012, Amerika

Serikat melalui AFRICOM telah menghabiskan dana yang cukup besar bagi misi pengentasan terorisme dan ekstrimisme. Dana sebesar $550.000.000 sebagian besar digunakan untuk pelatihan militer dan perlengkapan militer yang terlibat pula dalam program Africa Contingency Operations Training & Assistance

(ACOTA).104

Berdasarkan pernyataan resmi dari Departemen Pertahanan Amerika

Serikat, Respon ini diberikan atas dasar kepedulian terhadap konflik yang terjadi di

Mali dan menjadi wujud nyata dukungan terhadap usaha penegakkan kedaulatan pemerintahan Mali secara utuh. Respon Amerik Serikat terhadap intervensi militer

Perancis dapat dikatakan cukup paralel dengan strategi Amerika Serikat dalam memecahkan solusi berkelanjutan dalam penanggulangan terorisme, khususnya di kawasan Afrika Barat dengan tidak melupakan situasi kemanusiaan yang ada.

Selain itu, Amerika Serikat juga telah menjalin kemitraan strategis dengan sejumlah negara di Afrika Barat seperti; Niger, Burkina Faso, dan Chad dalam membantu jalannya intervensi militer Perancis. Walaupun begitu, Departemen Pertahanan juga menyatakan secara resmi bahwa Amerika Serikat tidak akan terlibat secara aktif dalam pengiriman pasukan tempur dalam sebuah operasi militer.105

103 International Policy Digest. Assessing U.S. Foreign Policy in Mali. Dalam https://intpolicydigest.org/2013/03/04/assessing-u-s-foreign-policy-in-mali, diakses pada tanggal 4 April 2018 104 CBS News. U.S. increasing involvement in Mali conflict. Dalam https://www.cbsnews.com/news/us-increasing-involvement-in-mali-conflict/, diakses pada tanggal 4 April 2018 105 United States Department of Defense. The Crisis in Mali: U.S. Interests and the International Response. Dalam http://docs.house.gov/meetings/FA/FA00/20130214/100248/HHRG-113-FA00-Wstate-DoryA- 20130214.pdf, diakses pada tanggal 4 April 2018

65

Respon Amerika Serikat dapat disimpulkan sebagai sebuah respon yang positif, tetapi perlu dipahami bahwa respon tersebut cenderung terbatas dan hanya bersifat pasif. Hal ini cukup menarik karena dalam sejak peristiwa September 11

2001 Amerika Serikat selalu aktif terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di suatu negara baik sebagai pemimpin maupun sebagai pendukung sebuah intervensi militer. Keterlibatan Amerika Serikat secara aktif dalam mendukung intervensi militer NATO di Libya pada tahun 2011 merupakan salah satu bukti nyata bahwa sesungguhnya ada pola tersendiri apabila menangani suatu konflik. Dalam kaitannya dengan konflik Mali, dukungan pasif Amerika Serikat terhadap Perancis merupakan suatu hal yang tidak biasa, terlebih lagi konflik Mali ikut melibatkan beberapa kelompok teroris dan ekstrimis yang menjadi fokus Amerika Serikat dalam kerangka War on Terror, khususnya di Afrika. Pada bab selanjutnya, respon

Amerika Serikat ini akan menjadi pembahasan utama yang akan diteliti secara seksama.

66

BAB IV

ANALISIS RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP

INTERVENSI MILITER PERANCIS DALAM KONFLIK MALI

Respon yang diberikan oleh Amerika Serikat terhadap intervensi militer

Perancis dalam konflik Mali merupakan sebuah respon yang cukup positif.

Meskipun begitu, hal yang perlu dipahami dari respon tersebut adalah Amerika

Serikat mendukung intervensi militer Perancis dengan cara yang pasif dan cenderung terbatas. Keterbatasan tersebut merupakan suatu hal yang tidak biasa apabila dilihat dari riwayat keterlibatan militer Amerika Serikat dalam suatu konflik bersenjata sejak peristiwa 9/11 tahun 2001. Sebelum terjadinya konflik Mali 2012 dan intervensi Perancis 2013, Amerika Serikat tercatat memiliki keterlibatan yang aktif dalam beberapa konflik seperti; Afghanistan dengan kode Operation Enduring

Freedom Afghanistan (OEF-A) periode 2001-2014, Irak dengan kode Operation

Iraqi Freedom periode 2003-2011, dan Libya dengan kode Operation Odyssey

Dawn periode 2011. Dalam kurun waktu tersebut, Amerika tidak membatasi keterlibatan militernya baik sebagai pemimpin maupun pendukung operasi.106

Oleh karena itu, pada bab ini pembahasan akan fokus pada respon Amerika

Serikat terhadap intervensi militer Perancis. Pembahasan akan dimulai dengan

106 Barbara Salazar Torreon. U.S. Periods of War and Dates of Recent Conflicts. (Washington: CRS Report, 2017), 6-9

67

penjelasan tentang bagaimana respon Amerika Serikat dikaitkan dengan kepentingan nasional dibalik respon tersebut, kemudian dilanjutkan pada pembahasan mengenai faktor-faktor apa yang mempengaruhi atau melatarbelakangi keterbatasan respon Amerika Serikat.

A. Kepentingan Nasional Dalam Respon Amerika Serikat Terhadap

Intervensi Militer Perancis

Konsep kepentingan nasional merupakan suatu konsep yang sering kali digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan suatu tindakan negara dalam hubungan internasional. Kepentingan nasional tersebut mampu menggambarkan aspirasi negara dan aplikasinya dapat dilihat melalui kebijakan negara yang dituju.

Namun dalam aplikasinya, kepentingan nasional tersebut juga dapat menjadi justifikasi dalam tindakan negara. 107 Apabila dikaitkan dengan respon positif

Amerika Serikat terhadap intervensi Perancis dalam konflik Mali, konsep kepentingan nasional membantu melihat, menggambarkan, dan mengelaborasi hal apa yang melatarbelakangi respon tersebut.

Selain itu, perlu dipahami bahwa kepentingan nasional lekat dengan usaha negara untuk mengejar power yang dapat diartikan sebagai segala usaha untuk mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Hal tersebut kemudian akan menggambarkan eksistensi negara dalam dunia internasional serta orientasinya di masa depan. Amerika Serikat terkait dengan hal

107 James N. Rosenau. “National Interest.” Dalam David L. Sills. International Encyclopedia of Social Science, Vol. 2. (New York: The Macmillan Company, 1964), 35

68

ini berusaha menjaga eksistensinya dengan memenuhi kepentingan nasionalnya dalam konflik Mali melalui kebijakan luar negeri yang merespon positif intervensi militer Perancis. Salah satu hal yang turut diperhatikan bahwa hal ini adalah suatu hal yang wajar karena kerjasama internasional tidak dapat dihindari oleh aktor- aktor hubungan internasional termasuk negara.108

1. Perang Melawan Terorisme di Mali dan Kawasan Afrika Barat

Sebelum dan sesudah era Perang dingin, Amerika Serikat memandang

Afrika sebagai sebuah wilayah penting bagi kepentingan nasionalnya. Kepentingan tersebut pada umumnya hanya berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan keamanan energi serta tidak ada indikasi bahwa Amerika Serikat memiliki kepentingan yang lain. Kemudian pandangan tersebut berubah pasca peristiwa ledakan bom kedutaan besar Amerika Serikat di Nairobi, Kenya, dan Dar es

Salaam, Tanzania pada tahun 1998. Ledakan bom yang menewaskan 224 orang tersebut dilakukan oleh kelompok Egyptian Islamic Jihad (EIJ) dan melibatkan

Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiri dari Al-Qaeda. Peristiwa ini tercatat sebagai persitiwa pertama yang menarik perhatian publik Amerika Serikat terhadap

Al-Qaeda dan menempatkan Osama bin Laden sebagai orang yang paling dicari oleh Federal Bureau of Investigation (FBI). 109 Perubahan pandangan Amerika

Serikat terhadap kepentingan di Afrika pada akhirnya berubah drastis pasca

108 Hans J. Morgenthau. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. (New York: Knopf, 1948), 5-7 109 CNN. 1998 US Embassies in Africa Bombings Fast Facts. Dalam https://edition.cnn.com/2013/10/06/world/africa/africa-embassy-bombings-fast-facts/index.html, diakses pada tanggal 6 April 2018

69

peristiwa 9/11 tahun 2001. Sejak peristiwa tersebut, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan war on teror yang digaungkan secara global. Sejak saat itu, fokus

Amerika Serikat terhadap terorisme di Afrika juga menjadi lebih terlihat aktif.

Pada akhir tahun 2002, Amerika Serikat membentuk sebuah kontingen pasukan Amerika Serikat yang bernama Combined Joint Task Force–Horn of

Africa (CJTF-HOA) di Djibouti khusus untuk wilayah Afrika Timur. Kebijakan war on teror di Afrika kemudian semakin digaungkan ketika kelompok teroris

Islamic Court Union dan Oromo Liberation Front menyerang dan menguasai ibukota Somalia, Mogadishu, pada tahun 2006. Pada saat itu, Ethiopia yang merupakan negara tetangga Somalia, memutuskan untuk melakukan intervensi militer dalam konflik tersebut melalui persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa Bangsa (PBB). Intervensi tersebut didukung penuh oleh Amerika Serikat dengan menempatkan personel militer CJTF-HOA dan memberikan pendanaan militer terhadap Ethiopia. Selain itu, pada tahun 2007 Amerika Serikat memutuskan untuk memperluas dan menyatukan berbagai program atau operasi militer di Afrika melalui sebuah unit komando bernama Africa Command (AFRICOM) yang merupakan bukti bahwa Amerika Serikat tidak hanya akan fokus di satu bagian wilayah Afrika, tetapi juga di seluruh wilayah Afrika.110

Fokus Amerika Serikat terhadap ancaman terorisme di Afrika merupakan suatu hal yang dapat dimengerti. Kondisi Afrika yang mayoritas berada dalam kemiskinan, keberagaman etnis dan agama, serta kurangnya pembangunan sumber

110 Princeton N. Lyman. “The War on Terrorism in Africa.” Dalam John W. Haberson. Africa in World Politics: Engaging A Changing Global Order. (London: Routledge, 2013), 1-3

70

daya manusia menyebabkan ideologi yang radikal dapat tumbuh subur dan mendapat infiltrasi dari kelompok teroris di luar wilayah Afrika. Dalam kasus

Afrika Barat, terdapat salah satu faktor khusus yang menjadikan wilayah tersebut sebagai lahan subur bagi kelompok teroris, yaitu faktor ungoverned space. Faktor yang dimaksudkan tersebut adalah keadaan dimana suatu wilayah tanpa keberadaan kontrol atau kedaulatan yang efektif dari negara. Bila diambil contoh dari konflik

Mali, wilayah utara Mali yang terdiri dari wilayah gurun merupakan ungoverned space karena wilayah tersebut terlalu luas dan tanpa sumber logistik yang memadai, sehingga sulit dijangkau dan diawasi oleh pemerintah pusat. Dapat dikatakan hal ini menjadikan wilayah tersebut sebagai safe heaven bagi kelompok teroris di

Afrika Barat.111

Di Afrika Barat sendiri, terdapat dua kelompok yang menjadi fokus utama

Amerika Serikat, yaitu Boko Haram yang beroperasi di Nigeria dan Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM) yang beroperasi di Sahel dan Maghreb. Kedua kelompok tersebut memiliki kesamaan, yaitu merupakan kelompok militan jihadis yang anti-Amerika atau anti-Barat dalam kerangka ideologinya. Keduanya bertanggung jawab terhadap sejumlah serangan dan konflik di Afrika Barat seperti;

Pemberontakan Boko Haram di Nigeria tahun 2009 dan keterlibatan AQIM dalam konflik Mali 2012. Dalam hal pendanaan, kedua kelompok ini menggunakan instrumen yang kurang lebih sama, yaitu melalui uang tebusan dari penculikan dan penyelundupan. Tercatat sejak tahun 2008 hingga 2014, kurang lebih $180 Juta

111 Clionadh Raleigh dan Caitriona Dowd. Governance and Conflict in the Sahel’s Ungoverned Space. (Stability: International Journal of Security & Development, 2013), 13

71

telah diterima dari hasil penculikan dan penyelundupan. Oleh karena itu, keberadaan kedua kelompok ini menjadi salah satu fokus utama dalam perlawanan terhadap terorisme, khususnya di Afrika Barat.112

Apabila dikaitkan dengan konflik Mali, Amerika Serikat memiliki kepentingan nasional dalam melawan terorisme yang secara khusus ditujukan kepada AQIM di Utara Mali. AQIM sendiri sudah lama menggunakan sebagian wilayah Utara Mali yang berbatasan dengan Aljazair sebagai safe heaven mereka.

Wilayah Utara Mali yang merupakan ungoverned space memudahkan AQIM dalam merekrut pendukung mereka dan mengekspor semangat militan jihadis ke wilayah lain. Hal ini juga menyebabkan AQIM dapat menguasai dan mengendalikan jaringan penyelundupan yang menjadi salah satu sumber pendanaan mereka.113

Dalam perspektif Amerika Serikat, keberadaan AQIM di Utara Mali dapat menganggu kepentingan nasional Amerika Serikat dan sekutunya di wilayah Afrika

Barat dan sekitarnya, sehingga harus mendapat perhatian penting. Hal ini kemudian dipertegas oleh seorang anggota Kongres Amerika Serikat yang bernama Michael

McCaul dari Partai Republik. McCaul yang juga memimpin U.S. House Committee on Homeland Security, menyatakan bahwa wilayah Afrika telah menjadi sasaran selanjutnya dalam perang melawan terorisme dan bukti bahwa Afrika telah menjadi wilayah aman yang digunakan oleh kelompok teroris dalam berorganisasi adalah sebuah bukti nyata. McCaul bahkan juga meyakini bahwa AQIM ikut terlibat dalam membantu Ansar al-Sharia saat penyerangan Kedutaan Besar Amerika Serikat di

112 Grant T. Harris. Why Africa Matters to U.S National Security. (Washington D.C: Atlantic Council, 2017), 3-6 113 Clionadh Raleigh dan Caitriona Dowd. Governance and Conflict in the Sahel’s Ungoverned Space, 8-10

72

Benghazi, Libya tahun 2012 yang menewaskan Duta Besar Amerika Serikat untuk

Libya, J. Christopher Stevens.114

Berdasarkan dimensi atau sudut pandang dari kepentingan nasional, terorisme masih menjadi sebuah ancaman terhadap vital interest atau kepentingan vital Amerika Serikat. Berdasarkan pernyataan tertulis Direktur Intelijen Nasional

Amerika Serikat, Daniel R. Coats, kepentingan vital yang menjadi ancaman terorisme adalah kepentingan dalam upaya melindungi warga dan fasilitas negara

Amerika Serikat, baik yang berada di dalam maupun luar negeri secara efektif.115

Terkait dengan ancaman di Afrika Barat, Boko Haram dan AQIM dianggap menjadi ancaman terhadap stabilitas keamanan yang berpotensi membahayakan warga dan fasilitas negara Amerika Serikat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, perhatian terhadap ancaman tersebut masuk dalam kerangka kepentingan vital

Amerika Serikat khususnya di luar negeri.116

Dalam menangani ancaman terorisme di Afrika Barat, Amerika Serikat tercatat memiliki dua strategi dan program yang pada akhirnya terintegrasi dengan

AFRICOM, yaitu Pan-Sahel Initiative (PSI) dan Trans-Saharan Counterterrorism

Partnership (TSCTP). PSI adalah sebuah program yang dibentuk Amerika Serikat dalam membantu usaha dalam peningkatan mutu pengamanan perbatasan dan kemampuan menanggulangi terorisme di Afrika Barat pada tahun 2002. Terdapat empat negara di Afrika Barat yang ikut serta dalam program ini seperti; Mali, Chad,

114 Better World Campaign. Mali: The Next Front in the War on Terror. (Washington D.C: Better World Campaign, 2013), 3-4 115 Daniel R. Coats. Statement for the Record: Worldwide Threat Assessment of the U.S Intelligence Community. (Washington D.C: Congressional Testimonies 2018), 9 116 Coats. Statement for the Record: Worldwide Threat Assessment of the U.S Intelligence Community, 26

73

Niger, dan Mauritania. Kemudian pada tahun 2005 ruang lingkup kemitraaan strategis dari PSI diperluas hingga ke negara-negara yang berada di wilayah perbatasan Gurun Sahara dan berganti nama menjadi TSCTP. Negara yang tergabung dalam TSCTP lalu bertambah menjadi sepuluh anggota negara yang terdiri dari Aljazair, Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, Morocco, Niger,

Nigeria, Senegal, dan Tunisia. Pada tahun 2008, TSCTP diintergrasikan dengan

AFRICOM dan memiliki fungsi utama dalam hal peningkatan kapabilitas militer dari negara-negara

anggota AFRICOM.117

Selain menggunakan program-program tersebut, Amerika Serikat sesungguhnya juga dapat melakukan upaya lain dalam melawan terorisme di Afrika

Barat terkait dengan konflik Mali, yaitu dengan mendukung penuh intervensi militer Perancis yang secara khusus ditujukan terhadap AQIM dan sekutunya. Hal ini dapat dianalogikan dengan contoh kasus saat Amerika Serikat mendukung penuh intervensi militer Ethiopia dalam konflik Somalia tahun 2006 silam. Pada saat itu, Amerika Serikat secara resmi mendukung intervensi militer Ethiopia melalui bantuan pasukan dan penasihat militer dari CJTF-HOA yang memiliki basis militer di Djibouti dan pasukan angkatan laut Amerika Serikat dari pesisir timur

Somalia karena mengingat Ethiopia adalah negara yang tidak memiliki wilayah

117 Lauren Ploch. Africa Command: U.S. Strategic Interests and the Role of the U.S. Military in Africa. (Washington D.C: CRS Report, 2011), 23-24

74

laut. Selain itu, Amerika Serikat juga memberikan dana $19 juta Dollar untuk logistik dan $1,5 juta Dollar untuk perlengkapan militer.118

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Amerika Serikat Terhadap

Intervensi Militer Perancis Dalam Konflik Mali

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang tidak akan terlibat aktif untuk membantu intervensi militer Perancis dalam konflik Mali merupakan sebuah kebijakan yang dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang dan telah melalui berbagai tahapan penting dalam perumusannya. Pertimbangan yang melibatkan banyak pihak itu tentu dipengaruhi oleh banyak hal penting yang patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Hal ini dapat dicermati melalui konsep kebijakan luar negeri.

Konsep kebijakan luar negeri dapat digunakan untuk melihat bagaimana proses pengambilan keputusan Amerika Serikat dalam kebijakan luar negerinya.

Kebijakan luar negeri itu sendiri pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan nasional suatu negara. 119 Namun, dalam perkembangannya kebijakan luar negeri tidak lagi hanya atas dasar petimbangan kepentingan nasional, tetapi juga berdasarkan pertimbangan lain. Pertimbangan tersebut terkadang membuat suatu kebijakan luar negeri tidak dilandasi oleh kepentingan nasional. Menurut Holsti, kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh dua

118 Napoleon A. Bamfo. Ethiopia’s invasion of Somalia in 2006: Motives and lessons learned. (African Journal of Political Science and International Relations Vol. 4 (2), February 2010), 61 119 Joseph Frankel. International Relations in a Changing World. (Oxford: Oxford University Press, 1988), 93

75

faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi domestik suatu negara, sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi dunia secara keseluruhan yang terbentuk melalui adanya interaksi antarnegara.120

1. Faktor Internal

Faktor internal yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah faktor yang melibatkan sosok pemimpin sebagai individu dan kondisi domestik yang ikut mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan laur negeri.

Dilihat dari level analisis kebijakan luar negeri, faktor internal yang akan dibahas dalam bagian ini ada pada level analisis individu dan negara. Individu digolongkan sebagai faktor internal dalam pembahasan ini karena pada hakikatnya individu merupakan bagian penting dari negara. Walaupun terkadang individu mengambil kebijakan luar negeri tidak berdasarkan kondisi domestik suatu negara, individu cenderung bertindak sebagai representasi suatu negara.121

a. Doktrin Obama Dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Dalam kerangka kebijakan luar negeri, sering kali ditemui suatu istilah yang berkaitan erat dengan arah, pendirian, dan tujuan kebijakan luar negeri, yaitu istilah doktrin kebijakan luar negeri. Doktrin itu sendiri sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan politik luar negeri yang menjadi inti dari kebijakan luar negeri. Letak perbedaannya adalah doktrin kebijakan luar negeri mengacu pada arah, pendirian,

120 Holsti. International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed., 271-341 121 Breuning. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, 11-12

76

dan tujuan kebijakan luar negeri pada masa jabatan tertentu dari seorang pemimpin negara. Doktrin kebijakan luar negeri hingga saat ini masih dipakai untuk menggambarkan bagaimana kebijakan luar negeri suatu negara berdasarkan ideologi dan pemikiran sosok pemimpinnya. Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, doktrin kebijakan luar negeri dapat dikatakan memainkan peran yang cukup penting. Doktrin itu sendiri lekat dengan Amerika

Serikat dan memainkan peran penting dalam menentukan arah interaksi Amerika

Serikat dengan dunia. Dokrin juga menuntun Amerika Serikat dalam memberikan respon terhadap fenomena internasional yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat. Doktrin dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat sudah cukup lama digunakan sejak abad ke-19 hingga sekarang.122

Memasuki abad ke-21, doktrin memainkan peranan penting dan signifikan bagi kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Doktrin yang dimaksud adalah doktrin kebijakan luar negeri yang diagungkan oleh Presiden George W.

Bush pada tahun 2001. Doktrin Bush membuka jalan bagi Amerika Serikat untuk menerapkan kebijakan luar negeri yang bersifat unilateral. Selain itu, Doktrin Bush berkaitan erat dengan langkah pre-emptive dan penggunaan hard power dalam melawan ancaman terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat. 123 Dapat dikatakan doktrin dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat bersifat temporal dan berakhir ketika terjadi pergantian pemimpin.

122 Joseph Siracusa. Presidential Doctrines, the Use of Force, and International Order. (Zurich: ISN, 2015), 1-4 123 Mark Rigstad. The ‘Bush Doctrine’ as a Hegemonic Discourse Strategy. (Critical Review of International Social and Political Philosophy, Volume 12, Number 3, June 2009), 1-3

77

Apabila dikaitkan dengan respon Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali, doktrin yang berperan penting dalam respon tersebut adalah Doktrin Obama. Berbeda dengan terdahulu, doktrin yang dikaitkan dengan Presiden Barrack Obama ini tidak dinyatakan melalui pernyataan resmi sebagai bagian resmi dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Meskipun begitu, Doktrin Obama dapat dilihat secara tersirat dari berbagai pidato dan pernyataan tidak resmi di berbagai kesempatan.

Salah satu momen penting yang mengawali perbincangan tentang adanya Doktrin

Obama adalah ketika wawancara dengan Associated Press pada tahun 2007 terkait

Perang Irak saat masa kampanye Pemilihan Presiden 2008. Berikut adalah pernyataan yang menyiratkan adanya indikasi Doktrin Obama:

When you have civil conflict like this, military efforts and protective forces can play an important role, especially if they're under an international mandate as opposed to simply a U.S. mandate. But you can't solve the underlying problem at the end of a barrel of a gun. There's got to be a deliberate and constant diplomatic effort to get the various factions to recognize that they are better off arriving at a peaceful resolution of their conflicts.124

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, Obama secara tersirat sudah menunjukan pendiriannya terkait penggunaan operasi militer dalam suatu konflik yang seharusnya dikurangi. Secara tidak langsung, Obama menyatakan kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Doktrin

Bush. Doktrin Obama berusaha mengedepankan collective security melalui PBB dan sebisa mungkin menghindari keterlibatan langsung secara aktif dalam suatu konflik. Keterlibatan hanya akan dilakukan ketika keadaan mendesak. Apabila

124 The Washington Post. Obama: Don't Stay in Iraq Over Genocide. Dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2007/07/20/AR2007072000831.html, diakses pada tanggal 16 April 2018

78

memang harus telibat secara langsung, gaya yang dikembangkan dalam Doktrin

Obama terkait hal tersebut adalah leading from behind. Gaya tersebut memastikan bahwa Amerika Serikat tidak akan melakukannya sendirian dan berusaha untuk berperan sebagai pendukung saja.125

Pada awal masa jabatan kedua Obama, konflik Mali menjadi salah satu perhatian Amerika Serikat dalam kaitannya dengan isu keamanan regional. AQIM yang terlibat dalam konflik tersebut sudah menjadi salah satu target Amerika

Serikat dalam garis besar strategi penanggulangan terorisme di wilayah Afrika

Barat sejak tahun 2011. Walaupun begitu, respon Amerika Serikat terhadap Mali tetap terbatas. 126 Apabila dikaitkan dengan intervensi militer Perancis, Doktrin

Obama cukup tercermin dan ikut mempengaruhi respon Amerika Serikat. Respon tersebut diwujudkan melalui kebijakan luar negeri yang menyatakan akan mendukung Perancis dengan bantuan intelijen dan logistik, tetapi berkomitmen tidak akan menempatkan pasukan militer Amerika Serikat untuk bertempur langsung membantu Perancis. Ini dapat dikatakan sebagai wujud implementasi gaya leading from behind dalam Doktrin Obama.

Perlu dipahami bahwa pada intinya melalui doktrin yang dijalankannya,

Obama berkomitmen untuk menjadikan diplomasi sebagai instrumen utama dalam kebijakan Amerika Serikat. Doktrin Obama mengakhiri pola pikir yang menganggap bahwa hard power adalah instrumen utama dalam kebijakan luar

125 The Washington Post. The Obama doctrine: Leading from behind. Dalam https://www.washingtonpost.com/opinions/the-obama-doctrine-leading-from behind/2011/04/28/AFBCy18E_story.html, diakses pada tanggal 16 April 2018 126 Sarah Bernard. National Strategy for Counterterrorism. (Washington D.C: Obama White House, 2011), 16

79

negeri untuk mewujudkan kepentingan nasional Amerika Serikat. Obama menerapkan strategi yang jauh berbeda dengan Bush dan tidak lagi mengambil langkah pre-emptive atau bertindak secara unilateral, serta mulai menggunakan smart power127 demi mendapatkan legitimasi politik maupun sosial atas tindakan

Amerika Serikat dalam politik internasional.128

b. Peran Kongress Amerika Serikat Dalam Respon Amerika Serikat

Terhadap Intervensi Militer Perancis

Dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, Amerika

Serikat membagi kewenangan tersebut pada dua branch pemerintah, yaitu eksekutif dan legislatif. Kelembagaaan eksekutif diberikan kepada Presiden Amerika Serikat dan beberapa perwakilan departemen atau instansi terkait seperti; Menteri Luar

Negeri, Penasihat Keamanan Nasional Presiden, Menteri Pertahanan, Kepala Staff

Kepresidenan, dan Direktur Central Intelligence Agency (CIA). Seluruh pihak tersebut kemudian tergabung dalam suatu badan khusus perumusan kebijakan luar negeri bernama National Security Council. Secara khusus, pertimbangan Presiden dan Menteri Luar Negeri menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Peran kelembagaan eksekutif yang secara resmi ditujukan kepada Presiden adalah memangku jabatan commander in chief of the

127 Smart Power didefinisikan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengacu pada pendekatan yang tidak hanya memanfaatkan kekuatan militer, tetapi juga memanfaatkan aliansi, kemitraan, institusi, dan diplomasi untuk meningkatkan pengaruh atau melegitimasi tindakan suatu negara. 128 Michał Woźniak. The Obama Doctrine – U.S. Strategic Retrenchment and Its Consequences. (Warsawa: Collegium Civitas & European Association for Security, 2015), 58-64

80

armed forces, melakukan negosiasi atau perjanjian, dan penunjukan Duta Besar atau utusan resmi lainnya.129

Berbeda dengan eksekutif, wewenang kelembagaan legislatif diberikan kepada Kongres Amerika Serikat yang terdiri dari dua kamar, yaitu House of Senate dan House of Representatives. Kongres Amerika Serikat diberikan wewenang untuk mendeklarasikan perang, memutuskan program atau misi internasional, menetapkan anggaran untuk misi atau program internasional, dan membentuk serta mengatur regulasi hubungan dagang. Secara terpisah, Senat Amerika Serikat memiliki peran tersendiri, yaitu bertanggung jawab untuk menyediakan saran dan kritik terhadap kebijakan Presiden, meratifikasi perjanjian internasional dan menyediakan nominasi calon Duta Besar atau utusan resmi Amerika Serikat.130

Pembagian kewenangan bagi lembaga negara untuk memutuskan kebijakan luar negeri sesungguhnya memiliki maskud tersendiri. Pembagian tersebut dilakukan pada dasarnya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Presiden dalam memutuskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Salah satu contoh pembagian wewenang yang berkaitan dengan isu militer adalah War Powers

Resolution. Pada saat era Perang Dingin, Presiden Amerika Serikat sering kali menggunakan kewenangannya untuk terlibat aktif dalam konflik di luar wilayah

Amerika Serikat. Kebijakan tersebut pada umumnya diwujudkan tanpa melalui persetujuan dari Kongres Amerika Serikat. Oleh karena itu, guna mencegah adanya penyalahgunaan wewenang kebijakan luar negeri oleh Presiden dikeluarkanlah atas

129 U.S Foreign Policy Agenda. The Making of U.S Foreign Policy. (Washington D.C: An Electronic Journal of the U.S. Department of State, Volume. 5, No. 1, MARCH 2000), 5-8 130 Kay King. Congress and National Security. (New York: Council on Foreign Realtions Special Report No. 58, November 2010), 6

81

persetujuan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1973. War Powers Resolution itu sendiri pada intinya mengharuskan Presiden untuk mencapai konsensus terlebih dahulu dengan Kongres Amerika Serikat.131

Berdasarkan penjelasan mengenai peranan lembaga eksekutif dan legislatif dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri yang terbentuk pasti ada peran dari Kongres Amerika Serikat. Walaupun perdebatan tentang lembaga mana yang dominan dalam kebijakan luar negeri

Amerika Serikat masih ada, Presiden sebagai perwakilan lembaga eksekutif akan ikut dipengaruhi oleh Kongres Amerika Serikat sebagai perwakilan lembaga legislatif.

Terkait dengan respon Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali. Kongres Amerika Serikat memiliki satu pandangan yang sama dengan Presiden Obama yang berkomitmen bahwa Amerika Serikat tidak akan terlibat secara langsung untuk membantu intervensi militer Perancis.132 Amerika

Serikat hanya akan mendukung melalui bantuan intelijen dan logistik. Sebelum keputusan tersebut diambil, konflik Mali dan intervensi militer Perancis sudah melalui diskusi dan jajak pendapat oleh Kongres Amerika Serikat ke-113 melalui

Commitee On Foreign Affairs pada Februari 2013. Jajak pendapat tersebut bertajuk

The Crisis in Mali: U.S. Interests and the International Response dan dihadiri oleh

131 Matthew C. Weed. The War Powers Resolution: Concepts and Practice. (Washington D.C: CRS Report, 2017), 6-8 132 United States Department of Defense. The Crisis in Mali: U.S. Interests and the International Response. Dalam http://docs.house.gov/meetings/FA/FA00/20130214/100248/HHRG-113-FA00-Wstate-DoryA- 20130214.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2018

82

utusan U.S. Department of State dan U.S. Department of Defense sebagai perwakilan lembaga eksekutif.133

Selain komitmen untuk tidak terlibat secara langsung, keterbatasan respon

Amerika Serikat juga dapat dilihat tatkala kongres Amerika Serikat mengeluarkan keputusan untuk mengurangi anggaran untuk pendanaan operasi militer di luar negeri. Pada April 2013, Presiden Obama menyerahkan rancangan anggaran untuk

Fiscal Year 2014 (FY2014) kepada Kongres Amerika Serikat. Dalam rancangan tersebut, terdapat pengurangan anggaran untuk State, Foreign Operations, and

Related Programs (SFOP) yang berada di bawah naungan U.S. Department of

State. Dalam rancangan anggaran tersebut, SFOP akan mendapat anggaran sebesar

$51,84 miliar. Jumlah tersebut menurun sebesar 0,8% dibandingkan dengan rancangan anggran Fiscal Year 2013 (FY2013) yang berjumlah $52,24 miliar.

Secara rinci, anggaran untuk operasi militer luar negeri yang berada di bawah sub- bagian Overseas Contingency Operations (OCO) mengalami penurunan anggaran secara drastis. Pada rancangan anggran FY2014, OCO diberikan anggaran sebesar

$3,81 milliar, sedangkan pada rancangan anggaran FY2013 OCO diberikan anggaran sebesar $11,91 miliar yang menunjukan adanya penurunan sebesar

68%.134 Kongres Amerika Serikat yang memiliki wewenang untuk persetujuan anggaran tersebut lebih memilih untuk menyetujui rancangan anggaran tersebut dan tidak menunjukan keberatan terhadap Presiden Obama. Keputusan Kongres secara

133 Commitee on Foreign Affairs. House Hearing, 113TH Congress – The Crisis in Mali: U.S. Interests and the International Response. (Washington D.C: U.S Government Publishing Office, 2013), 19 134 Susan B. Epstein, Alex Tiersky, dan Marian L. Lawson . State, Foreign Operations, and Related Programs: FY2014 Budget and Appropriations. (Washington D.C: CRS Report, 2014), 3- 5

83

resmi terwujud ketika disahkan untuk menjadi bagian dari Consolidated

Appropriations Act, 2014 (H.R. 3547) pada akhir 2013 dan awal 2014.135

Dilihat melalui konsep kebijakan luar negeri, peran Kongres Amerika

Serikat dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri adalah suatu hal yang lumrah dan wajar. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat tidak memiliki karakterisktik sebagai kebijakan yang berasal dari satu aktor saja seperti dalam struktur pemerintahan yang otoriter. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat terbentuk melalui proses bargaining antar lembaga pemerintah yang terkait melalui perdebatan dan konsultasi yang tidak singkat.136 Dalam kaitannya dengan respon

Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali, lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kesamaan pandangan untuk membatasi keterlibatan Amerika Serikat. Oleh karena itu, peranan Kongres yang ikut menekankan keputusan Presiden merupakan sebuah hal yang penting dalam usaha merespon tindakan Perancis dalam sebuah kerangka kebijakan luar negeri.

c. Peran Opini Publik Dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Opini publik dalam konsep kebijakan luar negeri diartikan sebagai peranan masyarakat umum terhadap pembentukan kebijakan luar negeri dengan mempengaruhi berbagai aktor yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa opini publik memiliki hubungan tidak langsung terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Secara

135 Congress.Gov. H.R.3547 - Consolidated Appropriations Act, 2014. Dalam https://www.congress.gov/bill/113th-congress/house-bill/3547, diakses pada tanggal 18 april 2018. 136 Holsti. International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed, 278-279

84

umum, ada tiga perhatian penting mengenai opini publik yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu siapa yang mengungkapkan pendapat, apa substansi masalahnya, dan bagaimana situasi kondisinya.137

Sesungguhnya peranan opini publik dalam kebijakan luar negeri tidak dapat dijelaskan secara pasti dan mutlak. Hal ini dikarenakan masih adanya perdebatan yang cukup sengit tentang bagaimana opini publik tersebut ikut mempengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Sejauh ini Terdapat tiga sudut pandang untuk melihat bagaimana opini publik ikut berperan dalam proses pengambilan keputusan luar negeri. Pertama, pandangan yang pesimis terhadap peranan opini publik dalam kebijakan luar negeri. Pandangan ini terkenal melalui

Almond-Lippmann Consensus pasca perang dunia kedua yang menilai bahwa opini publik kurang memiliki struktur dan kedalaman infromasi yang baik, serta rapuh oleh manipulasi media atau elit politik.138

Kedua, pandangan yang optimis terhadap peranan opini publik dalam kebijakan luar negeri. Pandangan ini muncul di awal era Perang Vietnam dan menanggap bahwa masyarakat sesusungguhnya memiliki struktur dan pemahaman tersendiri dalam membangun opini. Terkait hal tersebut, Charles W. Kegley, Jr. dan

Eugene R. Wittkopf menggunakan contoh masyarakat Amerika Serikat untuk menjelaskannya. Menurut Kegley dan Wittkopf, kebanyakan warga Amerika

Serikat dapat membedakan dan mengidentifikasi berbagai isu penting. Publik memiliki opini yang kuat terhadap isu-isu yang menjadi kepeduliannya dan opini

137 Holsti. International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed, 280 138 Joshua D. Kertzer dan Thomas Zeitzoff. A Bottom-Up Theory of Public Opinion about Foreign Policy. (American Journal of Political Science, Volume 61, Issue 3, 2017), 3

85

tersebut seringkali stabil dari masa ke masa. Apabila opini tersebut berubah, perubahan terjadi melalui proses pembelajaran informasi. Hal ini kemudian disebut

Kegley dan Wittkopf sebagai the American people learn. Dalam pandangan ini, opini publik pada dasarnya digambarkan sebagai sebuah keteraturan bukan kekacauan.139

Ketiga, Pandangan yang menggabungkan optimisime dan pesimisme terhadap opini publik. Maksud menggabungkan dalam hal ini adalah adanya anggapan bahwa opini publik memang memiliki pengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan luar negeri, tetapi apresiasi tetap diberikan kepada elit politik yang mengabil keputusan dalam kebijakan luar negeri. Pandangan ini memandang bahwa publik adalah aktor yang rationally ignorant terhadap isu kebijakan luar negeri karena pada dasarnya hal tersebut adalah sesuatu yang asing dan jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Publik secara rasional mengetahui suatu isu penting, tetapi tidak terlalu mempedulikan berbagai hal yang melatarbelakangi isu tersebut, sehingga mengurangi kedalaman pengetahuan terhadap suatu isu. Pada akhirnya opini publik yang digaungkan kepada elit politik menjadi sesuatu yang perlu diartikulasikan kembali. Elit poltik dalam hal ini yang berperan penting dalam memahami apa yang menjadi opini publik dan mewujudkannya dalam kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, opini publik dianggap penting hanya ketika elit politik yang dituju mampu melihat substansi dari opini tersebut.140

139 Charles W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf. American Foreign Policy, Fifth Edition (New York: St. Martin’s Press, 1996), 273-276 140 Kertzer dan Zeitzoff. A Bottom-Up Theory of Public Opinion about Foreign Policy, 4- 5

86

Dalam kaitannya dengan keterbatasan respon Amerika Serikat terhadap intevensi militer Perancis dalam konflik Mali, sudut pandang optimis dapat digunakan untuk melihat bagaimana peran opini publik Amerika Serikat dalam merespon intervensi militer Perancis. Peran opini publik dalam respon tersebut digambarkan sebagai peranan penting yang mendukung pandangan Obama dan

Kongres dalam membatasi keterlibatan Amerika Serikat untuk membantu intervensi militer Perancis. Sesungguhnya tidak ada survei yang secara khusus menanyakan opini publik terkait bagaimana Amerika Serikat merespon intervensi militer Perancis dalam konflik Mali, tetapi terdapat dua survei yang berkaitan dengan keinginan untuk membatasi keterlibatan Amerika Serikat. Walaupun tidak berhubungan secara langsung, kedua survei tersebut membantu pemerintahan

Obama untuk melihat apa yang menjadi kehendak masyarakat terkait keterlibatan

Amerika Serikat dalam suatu operasi militer luar negeri, baik sebagai pemimpin maupun pendukung.

Pertama, pergeseran opini publik terhadap keterlibatan Amerika Serikat untuk membantu interevensi militer NATO dalam konflik Libya tahun 2011. Pada

19 Maret 2011 hingga 31 Maret 2011, Amerika Serikat terlibat dalam usaha membantu intervensi militer NATO dalam konflik Libya dengan kode Operation

Odyssey Dawn.141 Keterlibatan tersebut kemudian menimbulkan pro-kontra yang cukup sengit, baik sebelum maupun sesudah operasi militer Amerika Serikat dilakukan, sehingga penting untuk mengetahui apa yang dikehendaki masyarakat

141 Jeremiah Gertler. Operation Odyssey Dawn (Libya): Background and Issues for Congress. (Washington D.C: CRS Report, 2011), 1

87

terhadap kebijakan tersebut. Berikut adalah data terkait opini publik terhadap operasi militer Amerika Serikat yang berdasarkan pertanyaan: Do you approve or disapprove of the current U.S military Actions against Libya?.142

Tabel IV.B.1 Hasil Survei Terkait Keterlibatan Amerika Serikat dalam

Konflik Libya Tahun 2011

Respon 21 Maret, 2011 22 Juni, 2011

Menyetujui (%) 47 39

Menolak (%) 37 46

Tidak Tahu (%) 16 15

Sumber: GALLUP, Americans Shift to More Negative View of Libya Military

Action, dalam http://news.gallup.com/poll/148196/americans-shift-negative view-

libya-military-action.aspx, diakses pada tanggal 20 April 2018

Dari tabel tersebut, Pada Maret 2011, terlihat bahwa opini publik Amerika

Serikat lebih banyak menyetujui daripada menolak kebijakan yang melibatkan militer Amerika Serikat dalam konflik Libya. Terdapat selisih perbedaan hingga mencapai 10% antara menyetujui atau menolak. Kemudian pada Juni 2011, opini publik yang menyetujui keterlibatan militer Amerika Serikat dalam konflik Libya mengalami penurunan hingga mencapai sebelas 8%, sedangkan di pihak yang

142 GALLUP. Americans Shift to More Negative View of Libya Military Action. Dalam http://news.gallup.com/poll/148196/americans-shift-negative-view-libya-military-action.aspx, diakses pada tanggal 20 April 2018

88

menolak mengalami kenaikan sebesar 9% dan menyebabkan terjadi selisih perbedaan mencapai 7% antara yang menolak dan menyetujui. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa ada pergeseran opini publik Amerika Serikat terhadap ketelibatan Amerika Serikat dalam konflik Libya ke arah yang negatif.143

Kedua, survei terkait kebijakan Obama untuk menarik hampir seluruh pasukan Amerika Serikat di Irak tahun 2011. Kebijakan ini penting untuk diperhatikan karena melalui kebijakan ini secara tidak langsung Presiden Obama telah mengakhiri kebijakan Bush di Irak dan penting untuk mengetahui bagaimana opini publik dalam memandang hal tersebut. Berikut adalah opini publik dan anggota Kongres Amerika Serikat terhadap penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak tahun 2011 dengan pertanyaan: Do you approve or disapprove of

President’s Obama Decision to withdraw nearly all U.S Troops from Iraq by the end of the year?144

Tabel IV.B.2. Hasil Survei Terkait Penarikan Pasukan

Amerika Serikat Dari Irak

Responden Menyetujui (%) Menolak (%)

Masyarakat Amerika 75 21

Kongres Partai Demokrat 96 2

143 GALLUP. Americans Shift to More Negative View of Libya Military Action. Dalam http://news.gallup.com/poll/148196/americans-shift-negative-view-libya-military-action.aspx, diakses pada tanggal 20 April 2018 144 GALLUP. Three in Four Americans Back Obama on Iraq Withdrawal. Dalam http://news.gallup.com/poll/150497/three-four-americans-back-obama-iraq-withdrawal.aspx, diakses pada tanggal 20 April 2018

89

Kongres Non-Partai (Independen) 77 17

Kongres Partai Republik 43 52

Sumber: GALLUP, Three in Four Americans Back Obama on Iraq Withdrawal,

dalam http://news.gallup.com/poll/150497/three-four-americans-back-obama-

iraq-withdrawal.aspx, diakses pada tanggal 20 April 2018

Dari tabel tersebut, terlihat bahwa mayoritas masyarakat dan anggota

Kongres Amerika Serikat menyetujui kebijakan Obama. Penarikan pasukan

Amerika Serikat dari Irak dinilai cukup relevan dan mendapat penilaian yang terbilang tinggi dengan rata-rata sebesar 72, 75%. Penolakan terhadap kebijakan

Obama berdasarkan data tersebut muncul dari Partai Republik dengan 52% penolakan dan 43% persetujuan. Penolakan Republik pada umumnya didasarkan pada pandangan bahwa pemerintah Irak belum mampu menjaga stabilitas keamanan, sehingga pasukan Amerika Serikat masih harus berada di sana. 145

Dalam tradisi demokrasi, masyarakat merupakan salah satu aktor yang mendapatkan porsi untuk terlibat dalam kegiatan politik dan proses perumusan kebijakan. Sebagai seorang pengambil keputusan di negara demokrasi, opini publik juga sudah pasti mendapat perhatian karena publik memiliki peran untuk memastikan bahwa demokrasi mampu dipraktikan dalam proses pengambilan kebijakan. Publik pada dasarnya memiliki tiga kemampuan untuk mendorong para pengambil keputusan melalui opininya, yaitu kemampuan untuk mengganti sang

145 GALLUP. Three in Four Americans Back Obama on Iraq Withdrawal. Dalam http://news.gallup.com/poll/150497/three-four-americans-back-obama-iraq-withdrawal.aspx, diakses pada tanggal 20 April 2018

90

pengambil keputusan melalui pemilihan umum, kemampuan untuk menekan atau mendukung sang pengambil keputusan melalui konstituen mereka di institusi pemerintah, dan kemampuan untuk menciptakan kepopuleran sang pengambil keputusan melalui dukungan atau penolakan terhadap kebijakanya.146

Dalam kaitannya dengan dengan respon Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali, publik menunjukan peranannya melalui opininya terhadap isu-isu sebelumnya seperti; di Libya dan Irak. Kesamaan pandangan antara sang pengambil keputusan dengan opini publik akan menciptakan output kebijakan yang populer, sehingga membuka peluang untuk pencapaian yang lebih di masa jabatannya. Presiden Obama dapat dikatakan membatasi keterlibatan

Amerika Serikat dalam konflik Mali berdasarkan pada riawayat opini publik yang kurang mendukung operasi militer dan lebih memilih mengurangi keterlibatan

Amerika Serikat di negara lain. Oleh karena itu, secara tidak langsung opini publik ikut mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali.

1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah segala faktor dari luar negara dan berkaitan erat dengan interaksi dalam sistem internasional yang ikut mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri.

Menurut Holsti, faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri adalah

146 Michael R. Tomz dan Jessica L. P. Weeks. Public Opinion and the Democratic Peace. (American Political Science Review, November 2013), 2.

91

Structure of System, Structure of World Economic, Purpose and actions of other actor, Global and Regional Problem, dan International Law and World Opinion.147

Dilihat dari level analisis kebijakan luar negeri, faktor eksternal yang akan dibahas dalam bagian ini berada pada level analisis sistem interansional. Fokus level analisis ini terletak pada perbandingan dan interaksi aktor-aktor dalam sebuah sistem dunia. Level analisis ini melihat bahwa sistem internasional merupakan suatu faktor yang ikut menentukan pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri berdasarkan hubungan aksi dan reaksi akibat interaksi antar negara.148

a. Kebijakan North Atlantic Treaty Organization (NATO) Terkait

Keterlibatan langsung Dalam Intervensi Militer Perancis

North Atlantic Treaty Organization (NATO) adalah sebuah aliansi militer intergovernmental antar negara-negara di kawasan Utara Samudera Atlantik yang berbasis pada sistem keamanan kolektif. NATO dibetnuk secara resmi pada 24

Agustus 1949 setelah penandatanganan The North Atlantic Treaty yang dilakukan pada 4 April 1949 di Washington D.C, Amerika Serikat. Pada saat itu terdapat 12 negara yang menandatanganinya, yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Inggris,

Perancis, Belgia, Belanda, Luksemburg, Italia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan

Portugal. Sejak saat itu NATO kemudian mengalami penambahan anggota negara hingga saat ini berjumlah 29 negara. Tugas utama NATO adalah untuk melindungi keamanan Eropa dan Amerika Utara. Secara spesifik, NATO memiliki mandat

147 Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6 ed., 271-274 148 Breuning. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, 11-17

92

untuk menjaga kebebasan dan keamanan anggotanya, menjaga stabilitas wilayah

Euro-Atlantic, mencegah dan menangani krisis internasional, bertindak sebagai wadah konsultasi terkait isu keamanan Eropa, dan menjaga nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, serta penghormatan terhadap hukum internasional.149

Dalam memahami tugas NATO terkait isu keamanan, NATO memiliki konsep strategis yang dihasilkan melalui konsensus bersama anggotanya. Konsep strategis NATO pada intinya berisi tentang persepsi terhadap ancaman keamanan dan bagaimana code of conduct dalam menanganinya.150 Pada era Perang Dingin,

NATO belum memiliki konsep strategis yang diklasifikasikan secara jelas untuk diterapkan dalam kaitannya dengan isu keamanan. Meskipun begitu, pada era tersebut terlihat jelas bahwa NATO memiliki satu persepsi yang sama terkait ancaman keamanan, yaitu pengaruh komunisme Uni Soviet, kebangkitan militer

Jerman, dan senjata nuklir. Amerika Serikat saat itu memainkan peranan penting untuk memastikan ancaman tersebut dapat dibendung melalui berbagai macam containment policy bersama negara-negara Eropa. Pada saat itu terjadi pula perubahan yang besar dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Eropa melalui komitmen untuk aktif terlibat dalam isu keamanan secara permanen dan menghilangkan stigma bahwa Amerika Serikat cenderung menghindari keterlibatan dalam suatu aliansi.151

149 Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan. International Relations: Key Concepts. (London: Routledge, 2002), 219-221 150 Zdeněk Kříž. NATO after the End of the Cold War. (Brno: Masaryk University Press, 2015), 8 151 Trine Flockhart. After the Strategic Concept: Towards A. NATO Version 3.0. (Copenhagen: DIIS Report, 2011), 32-34

93

Pasca era Perang Dingin, NATO mengalami tantangan berat terkait identitas krisis dari aliansi tersebut. Ketika Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar, muncul pertanyaan tentang bagaimana relevansi NATO terhadap perubahan sistem internasional yang turut mengubah persepsi ancaman keamanan di Eropa. Oleh sebab itu, pada November 1991, NATO mengeluarkan konsep strategis yang memperbarui konsep strategis sebelumnya. Pada konsep strategis ini NATO merevisi persepsi ancaman keamanan dan menambahkan beberapa ancaman seperti; senjata pemusnah massal, penggunaan rudal balistik jarak jauh, dan tindakan terorisme. Hal yang cukup penting dari konsep strategis tersebut adalah adanya bahwa tindakan terorisme untuk pertama kali dianggap sebagai ancaman keamanan oleh NATO. Selain itu, Rusia juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi

NATO yang melihat Uni Soviet tidak sepenuhnya bubar, tetapi hanya mengalami perubahan wilayah, ideologi, dan sistem politik. Rusia sebagai pewaris utama dari

Uni Soviet tetap menyimpan potensi sebagai ancaman keamanan di masa depan.

Oleh karena itu, NATO berkomitmen untuk tetap menjalin dialog dengan Rusia terkait isu keamanan di Eropa.152

Setelah berakhirnya perang dingin, sistem dunia menjadi unipolar dengan hegemoni Amerika Serikat di hampir seluruh wilayah dunia. Peran NATO perlahan mulai berkurang dan hanya menjalankan peran yang fungsional saja. Namun, keadaan ini kemudian berubah ketika terjadi peristiwa 9/11 tahun 2001. Tindakan terorisme yang dianggap sebagai ancaman keamanan menjadi sorotan utama pasca peristiwa tersebut. Amerika Serikat sebagai anggota NATO pada saat itu

152 Kříž. NATO after the End of the Cold War. 11

94

menyerukan dan menekan agar counterterrorism juga dimasukan dalam agenda strategis NATO. Respon terhadap ancaman terorisme kemudian dikeluarkan oleh

NATO dengan menyatakan bahwa terorisme adalah suatu ancaman yang nyata dan karena itu penanganan masalah tersebut akan menggunakan jalur militer dalam framework multinasional dan berlaku di seluruh dunia. Hal ini kemudian diimplementasikan melalui keterlibatan NATO dalam Perang Afghanistan tahun

2001 dengan kode Operation Eagle Assist dan Operation Active Endeavour.153

Dari penjelasan mengenai konsep strategis tersebut, dapat dipahami bahwa

NATO telah bertransformasi menjadi sebuah organisasi pertahanan yang fleksibel dan tidak hanya beroperasi di satu wilayah saja. Sesungguhnya tidak ada kepastian masa depan dari NATO terkait bagaimana peranannya dalam keamanan internasional. NATO cenderung fleksibel dan memiliki ketergantungan terhadap aktor lain dalam sistem internasional. Secara simetris, NATO juga dapat mempengaruhi aktor lain dalam mengambil keputusan kebijakan luar negeri karena

NATO secara tidak langsung memiliki legitimasi tersendiri.

Dikaitkan dengan intervensi militer Perancis dalam konflik Mali 2012,

NATO sebagai sebuah organisasi pertahanan yang memiliki pengaruh besar bagi dunia, memiliki respon tersendiri terhadap. Pada Maret 2013, Sekretaris Jenderal

NATO, Anders Fogh Rasmussen, menyatakan bahwa NATO tidak akan ikut terlibat dalam intervensi militer. Penolakan NATO untuk terlibat dalam intervensi militer Perancis dapat dikatakan mengacu pada konsep division of labour dalam

153 NATO. Operations and missions: past and present. Dalam https://www.nato.int/cps/en/natohq/topics_52060.htm#, diakes pada tanggal 20 April 2018

95

bidang pertahanan dan keamanan dunia. Pasukan Perancis dan AFISMA yang dibentuk melalui resolusi Dewan Keamanan PBB dapat dikatakan sudah cukup untuk menangani konflik di Mali. Selain itu, Perancis yang juga salah satu anggota

NATO, dianggap memiliki kapabilitas yang cukup baik dan mampu melakukan intervensi militer secara mandiri, sehingga tidak perlu melibatkan NATO dalam konflik tersebut.154

Dalam sudut pandang Amerika Serikat, respon yang diberikan oleh NATO dapat dijadikan salah satu acuan dalam mengambil kebijakan luar negeri Amerika

Serikat. Respon NATO dipandang sebagai sebuah legitimasi tersendiri bagi tindakan Amerika Serikat. Legitimasi tersebut berkaitan tentang apakah perlu dilakukannya burden sharing dari intervensi militer Perancis dalam konflik Mali.

Terkait hal ini, NATO melihat bahwa tidak perlu ada campur tangan berlebih dalam usaha mengurangi beban Perancis. Berdasarkan hal ini, Amerika Serikat juga pada akhirnya akan mempertimbangkan pandangan NATO yang merasa tidak diperlukan adanya kekuatan yang lebih terhadap intervensi militer Perancis. Oleh karena itu, dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, NATO memainkan peranan penting dalam mempengaruhi pertimbangan dari proses pengambilan keputusan.155

Dalam konsep kebijakan luar negeri, pertimbangan kebijakan NATO sesungguhnya berkaitan dengan apa yang disebut Holsti sebagai faktor eksternal pengaruh dari Purpose and actions of other actor. Pada umumnya, negara akan

154 RFI. Nato rules out Mali role but backs French intervention. Dalam http://en.rfi.fr/africa/20130201-nato-rules-out-mali-role-backs-french-intervention, diakses pada tanggal 20 April 2018 155 Kristina Klinkforth. NATO in U.S. Policymaking and Debate – An Analysis: ‘Drawing the Map’ of the U.S. Think Tank Debate on NATO since 9/11. (Berlin: Osteuropa-Institut der Freien Universität Berlin, 2006), 69-73

96

akan merespon tindakan dan kebijakan luar negeri dari aktor lain, baik aktor negara maupun non-negara. Hal ini dapat diartikan bahwa negara tersebut merasakan dampak terhadap kepentingannya atau memiliki perhatian sendiri untuk menentukan tindakannya sendiri. Meskipun begitu, terkadang negara juga dapat memilih untuk tidak merespon tindakan atau kebijakan aktor lain. Dalam hal ini, tindakan NATO sebagai aktor non-negara menjadi perhatian bagi Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan terhadap intervensi militer Perancis dalam Konflik

Mali.156

156 Holsti. International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed., 274

97

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik Mali terjadi pada Januari 2012 ketika kelompok pemberontak dari etnis Tuareg menuntut kemerdekaan wilayah Utara Mali. Kelompok pemberontak

Taureg yang terlibat dalam konflik ini terdiri dari dua faksi, yaitu faksi sekuler dan

Islam. Faksi sekuler diwakili oleh kelompok MNLA, sedangkan faksi Islam diwakili oleh Ansar Dine, AQIM, dan MUJWA. Pada Maret 2012, konflik Mali diperparah dengan adanya kudeta dari pihak militer terhadap Presiden Amadou

Toumani Toure dan membentuk pemerintahan dengan nama CNRDRE.

Ketidakstabilan politik membuat kelompok pemberontak Tuareg berhasil menguasai beberapa wilayah Utara Mali dan mendeklarasikan wilayah tersebut dengan nama Republik Azawad pada 6 April 2012. Tidak lama setelah itu, terjadi kesepakatan damai antara CNRDRE dengan rezim Amadou Toumani Toure pada 8

April 2012 setelah muncul tekanan dari ECOWAS dan negara lain. Pada Mei 2012 koalisi pemberontak Tuareg pecah dan saling memusuhi satu sama lain. Hal ini dikarenakan pihak MNLA tidak menemui kesepakatan dengan faksi Islam terkait penerapan hukum Islam di Republik Azawad. Setelah kejadian itu, keadaan semakin rumit dan tercipta segitiga konflik antara MNLA, faksi Islam, dan pemerintah Mali.

98

Konflik Mali pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran bagi stabilitas keamanan di Afrika Barat. Banyaknya korban yang kehilangan tempat tinggal akibat dari konflik tersebut menyebabkan gelombang pengungsi ke negara sekitar.

Oleh karena itu, ECOWAS selaku wadah organisasi negara-negara Afrika Barat, menyatakan kekhawatiran tersebut pertama kali melalui Resolusi Dewan

Keamanan PBB Nomor 2056 yang juga diinisiasi oleh Perancis dan African Union.

Perancis dalam hal ini menjadi inisiator utama untuk melakukan intervensi militer dalam konflik Mali 2012 karena menjadi salah satu dari anggota tetap Dewan

Keamanan PBB.

Selain itu, pada 13 April 2012 Perancis secara resmi mendapat permintaan intervensi militer dari Presiden Mali sementara, Dioncounda Traore. Intervensi militer dalam konflik Mali dilakukan pada Januari 2013 oleh pasukan Perancis sebagai pasukan penyerang dan AFISMA sebagai pasukan bentukan PBB yang bertugas mengamankan wilayah yang telah diserang. Pada April 2013, MINUSMA dibentuk oleh PBB untuk misi peacekeeping yang didasarkan pada anggapan bahwa

Mali sudah lebih kondusif. Selama dua tahun misi pengamanan, pada akhirnya

Perancis secara resmi menarik pasukan dari Mali pada tahun 2015.

Intervensi militer Perancis dalam konflik Mali dapat dikatakan sebagai sebuah keberhasilan. Meskipun begitu, intervensi tersebut tidak selalu menuai respon yang positif. Respon negatif muncul dari beberapa negara yang menanggap bahwa kebijakan intervensi militer Perancis tidaklah altruistik dan didorong oleh kepentingan. Dalam hal ini, Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan dunia memiliki respon tersendiri terhadap intervensi militer Perancis dalam konflik Mali.

99

Amerika Serikat merespon intervensi militer Perancis dengan cukup positif, tetapi cenderung terbatas dan pasif. Keterbatasan tersebut dilihat melalui komitmen

Amerika Serikat untuk tidak mengirimkan pasukan tempur dalam upaya membantu intervensi militer Perancis. Selain itu, dukungan juga hanya akan diberikan dalam urusan logistik saja. Respon ini sesungguhnya cukup menarik untuk dikaji karena

Amerika Serikat memiliki riwayat yang aktif dalam terlibat dalam konflik di suatu negara.

Dilihat melalui konsep kepentingan nasional, konflik Mali memiliki signifikansi bagi Amerika Serikat. Keterlibatan AQIM dalam konflik Mali sesungguhnya menjadi perhatian tersendiri bagi kepentingan nasional Amerika

Serikat. Perlu dipahami bahwa perang terhadap terorisme telah menjadi bagian penting dalam kepentingan vital Amerika Serikat. AQIM yang merupakan cabang

Al-Qaeda di Afrika Barat sudah pasti menjadi perhatian penting. Dengan membantu intervensi militer Perancis secara aktif, Amerika Serikat dapat menanggulangi ancaman AQIM yang merupakan salah satu perwujudan dari perang melawan terorisme.

Respon Amerika Serikat yang terbatas dalam membantu intervensi militer

Perancis pada akhirnya menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Respon tersebut dianalisis menggunakan konsep kebijakan luar negeri yang dapat membantu mengetahui segala faktor yang melatarbelakanginya. Berdasarkan hasil analisis terhadap respon Amerika Serikat, secara umum terdapat dua faktor yang melatarbelakangi respon tersebut, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam hal ini berkaitan dengan segala faktor yang muncul dari dalam negara

100

Amerika Serikat, sedangkan ekternal adalah segala faktor yang muncul dari luar negara dan erat kaitannya dengan sistem internasional.

Secara spesifik, penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi keterbatasn respon Amerika Serikat. Pertama, Doktrin

Obama dalam kerangka kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Doktrin tersebut memiliki karakteristik yang mengedepankan diplomasi dan multilateralisme.

Doktrin Obama berperan penting dalam mempengaruhi keputusan Amerika Serikat untuk mengambil kebijakan yang membatasi keterlibatan militer Amerika Serikat.

Kedua, peran Kongres Amerika Serikat. Dalam kebijakan luar negeri Amerika

Serikat, Kongres menjadi salah satu bagian penting selain presiden. Terlebih lagi jika menyangkut tentang anggaran untuk program dan operasi militer. Dalam hal ini, Kongres Amerika Serikat memutuskan untuk menggurangi anggaran SFOP yang menyebabkan pembatasan penggunaan anggaran militer untuk program dan operasi di luar negeri, termasuk dalam konflik Mali. Ketiga, peran opini publik.

Sesungguhnya opini publik tidak memainkan peranan secara langsung dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, tetapi opini publik memainkan peran untuk mengangkat suatu isu atau pokok pemikiran masyarakat ke hadapan para pembuat kebijakan.

Berbeda dengan internal, faktor eksternal yang melatarbelakangi respon

Amerika Serikat terhadap intervensi militer Perancis tidak terlalu banyak ditemukan. Secara spesifik hanya ada satu faktor eksternal yang melatarbelakangi respon tersebut, yaitu berkaitan dengan NATO. Sebelumnya, NATO mengeluarkan komitmen untuk tidak membantu intervensi militer Perancis dalam konflik Mali.

101

Respon NATO didasarkan pada alasan bahwa harus ada division of labour dalam misi perdamaian dunia dan Perancis dianggap mampu melakukan tersebut dalam konflik Mali secara mandiri. Respon tersebut dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dalam hal ini,

Kebijakan tersebut dipengaruhi oleh tujuan dan tindakan aktor lain dalam sisitem internasional, yaitu NATO. Respon NATO dapat dikatakan menjadi acuan tersendiri bagi Amerika Serikat dalam mengambil keputusan. Terlebih lagi,

Amerika Serikat memiliki kedekatan khusus sebagai pihak yang memprakarsai pembentukan NATO.

B. Saran

Respon Amerika Serikat yang terbatas dan pasif terhadap intervensi militer

Perancis dalam konflik Mali adalah fokus utama dalam penelitian ini.. Saran penelitian ini adalah mencari fokus pembahasan lain yang berkaitan dengan respon aktor lain terhadap intervensi militer Perancis seperti; Mesir, Mauritania, NATO, bahkan Cina. Respon dari aktor-aktor tersebut cukup menarik dan memiliki signifikansi masalah. Kemudian respon tersebut dapat dianalisis menggunakan kerangka teoretis lain dan dihubungkan dengan dinamika politik internasional.

Apabila ingin kembali membahas respon Amerika Serikat, dapat disarankan untuk meneliti lebih dalam tentang bagaimana dinamika hubungan Amerika Serikat dan

Perancis ikut mempengaruhi keterbatasan respon tersebut.

102

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Alvarado, David. 2012. INDEPENDENT AZAWAD: Tuaregs, Jihadists, and an Uncertain Future for Mali. Notes Internacionals CIDOB 54 Arieff, Alexis. 2013. Crisis in Mali. Washington: Congressional Research Service Report for Congress. Bamfo, Napoleon A. 2010. Ethiopia’s invasion of Somalia in 2006: Motives and lessons learned. African Journal of Political Science and International Relations Vol. 4 (2) Bernard, Sarah. 2011. National Strategy for Counterterrorism. Washington D.C: Obama White House Better World Campaign. 2013. Mali: The Next Front in the War on Terror. Washington D.C: Better World Campaign, Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Palgrave Macmillan Ba, Oumar. 2014. Tuareg Nationalism and Cyclical Pattern of Rebellions: How the past and present explain each other. Florida: Sahel Working Research Group. Badale, Raul-Ionuţ dan Diana-Cristina Isvoranu. 2013. Mali: Conflict Analysis. Conflict Studies Quarterly Bergamaschi, Isaline. 2013. MINUSMA: initial steps, achievements, and challenges. Oslo: Norwegian Peacebuilding Resource Centre, Bergamaschi, Isaline. 2016. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet Insufficient. Pennsylvania: International Journal of Security & Development Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Palgrave Macmillan, Bouhlel-Hardy, Ferdaous, et al. 2008. Tuareg Crises in Niger and Mali. Ifri Buyoya, Pierre. 2015. The Recurrent Security Crisis in Mali and the Role of the African Union. Prism a Journal of the Center for Complex Operations Chauzal, Grégory dan Thibault Van Damme. 2015. The Roots of Mali’s Conflict: Moving beyond The 2012 Crisis. Den Haag: Cligendael Netherlands Institute of Internastional Relations Report. Clinton, W. David. 1986. The National Interest: Normative Foundations. The Review of Politics, Vol. 48, No. 4.

CIII

Coats, Daniel R. 2018. Statement for the Record: Worldwide Threat Assessment of the U.S Intelligence Community. Washington D.C: Congressional Testimonies Cold-Ravnkilde, Signe Marie. 2013. War and Peace in Mali. Copenhagen: DIIS Report. Commitee on Foreign Affairs. 2013. House Hearing, 113TH Congress – The Crisis in Mali: U.S. Interests and the International Response. Washington D.C: U.S Government Publishing Office Cresswell, John W. 2009. Research design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. The Third Edition. Los Angeles: Sage Publications Inc. Cristiani, Dario dan Riccardo Fabiani. 2013. From Disfunctionality to Disaggregation and Back? The Malian Crisis, Local Players and European Interests. IAI Working Papers Epstein, Susan B., Alex Tiersky, dan Marian L. Lawson. 2014. State, Foreign Operations, and Related Programs: FY2014 Budget and Appropriations. Washington D.C: CRS Report Federal Research Division. 2005. Country Profile: Mali. Library of Congress Flockhart, Trine. 2011. After the Strategic Concept: Towards A. NATO Version 3.0. Copenhagen: DIIS Report Frankel, Joseph. 1988. International Relations in a Changing World. Oxford: Oxford University Press Gaddis, John L.. 1974. Reconsiderations: The Cold War Was the Truman Doctrine a Real Turning Point?. Foreign Affairs: an American Quarterly Review, Volume. 52, Issue. 2 Gertler, Jeremiah. 2011. Operation Odyssey Dawn (Libya): Background and Issues for Congress. Washington D.C: CRS Report, Goita, Modibo. 2014. French Intervention, EU, and UN. African Solutions for African Problem?. Sevilla: ieee.es Goldstein, Joshua S. dan Jon C. 2014. Pevehouse. International Relations TENTH EDITION. Phoenix: Pearson Grossman, Laura. 2014. Into the Abyss in Mali. Washington DC: The Journal of International Security Affairs Griffin, Christopher. 2015. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel. Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: Key Concepts. London: Routledge, Guitta, Oliver. 2010. Al-Qaeda in the Islamic Maghreb: A Threat for the West. Defence Against Terrorism Review Vol.3, No. 1, Spring Harris, Grant T. 2017. Why Africa Matters to U.S National Security. Washington D.C: Atlantic Council

CIV

Holsti, Kalevi J. 1992. International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. New Jersey: Prentice Hall International Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jeong, Ho-Won. 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis. London: SAGE Publications Ltd Keita, Kalifa. 1998. Conflict And Conflict Resolution in The Sahel: The Tuareg Insurgency in Mali. Diane Publishing Kegley, Jr, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 1996. American Foreign Policy, Fifth Edition. New York: St. Martin’s Press Kertzer, Joshua D. dan Thomas Zeitzoff. 2017. A Bottom-Up Theory of Public Opinion about Foreign Policy. American Journal of Political Science, Volume 61, Issue 3 King, Kay. 2010. Congress and National Security. New York: Council on Foreign Realtions Special Report No. 58. Klinkforth, Kristina. 2006. NATO in U.S. Policymaking and Debate – An Analysis: ‘Drawing the Map’ of the U.S. Think Tank Debate on NATO since 9/11. Berlin: Osteuropa-Institut der Freien Universität Berlin Kříž, Zdeněk. 2015. NATO after the End of the Cold War. Brno: Masaryk University Press, Lecocq, Baz. 2010. Disputed Desert: Decolonisation, Competing Nationalisms and Tuareg Rebellions in Northern Mali. Leiden: Koninklijke Brill NV Levy, Jack. S. 2002. “Qualitative Methods in International Relations”, dalam Frank P. Harvey and Micheal Brecher (ed.), Evaluating Methodology in International Studies, Ann Arbor: the University of Michigan Press Lyman, Princeton N. 2013. “The War on Terrorism in Africa.” Dalam John W. Haberson. Africa in World Politics: Engaging A Changing Global Order. London: Routledge Maïga, Ibrahim. 2016. Armed groups in Mali: Beyond the labels. ISS Report Matthew C. Weed. 2017. The War Powers Resolution: Concepts and Practice. Washington D.C: CRS Report, McGovern, Mike. 2013. Understanding Conflict Drivers and Resilience Factors in the Sahel: Desk Study. Navanti Group Mintz, Alex dan DeRouen Jr, Karl. 2010. Understanding Foreign Policy Decision Making. New York: Cambridge University Press Morgenthau, Hans J. 1948. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Knopf Moelong, Lexi. 2000. Metode Penelitian Kulitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Neetling, Theo. 2014. China’s International Peacekeeping Contributions and The Evolution of Contemporary Chinese

CV

Strategic Considerations. Bloemfontein: Strategic Review for Southern Africa, Vol 37, No 2, Nuechterlein, Donald E. 1976. “National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for Analysis and Decision Making.” Dalam British Journal of International Studies Vol. 2, No. 3 Cambridge: Cambridge University Press Oppenheim, Felix E. 1987. National Interest, Rationality, and Morality. Political Theory Vol. 15 No. 3. Ploch, Lauren. 2011. Africa Command: U.S. Strategic Interests and the Role of the U.S. Military in Africa. Washington D.C: CRS Report Putten, Frans Paul van der. 2015. China’s Evolving Role in Peacekeeping and African Security The Deployment of Chinese Troops for UN Force Protection in Mali. The Hague: Clingendael Report,) Raleigh, Clionadh dan Caitriona Dowd. 2013. Governance and Conflict in the Sahel’s Ungoverned Space. Stability: International Journal of Security & Development Ray, Nivedita. 2016. The Rise of Islamic Terorism in Mali. New Delhi: Indian Council of World Affairs Rigstad, Mark. 2009. The ‘Bush Doctrine’ as a Hegemonic Discourse Strategy. Critical Review of International Social and Political Philosophy, Volume 12, Number 3 Rosenau, James N. 1964. “National Interest.” Dalam David L. Sills. International Encyclopedia of Social Science, Vol. 2. New York: The Macmillan Company Roskin, Michael G. 1994. National Interest: From Abstraction to Strategy. Pennsylvania: US Army War College Shoup III, John A. 2011. Ethnic Groups of Africa and the Middle East. ABC-CLIO Siracusa, Joseph. 2015. Presidential Doctrines, the Use of Force, and International Order. Zurich: ISN Stewart, Dona J. 2013. What Is Next For Mali? The Roots of Conflict and Challenges to Stability. Carlisle Barracks, PA : Strategic Studies Institute and U.S. Army War College Press. Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Thurston, Alexander dan Andrew Lebovich. 2013. A Handbook on Mali's 2012-2013 Crisis. Illinois: ISITA Working Paper Series Tomz, Michael R. dan Jessica L. P. Weeks. 2013. Public Opinion and the Democratic Peace. American Political Science Review Torreon, Barbara Salazar. 2017. U.S. Periods of War and Dates of Recent Conflicts. Washington: CRS Report

CVI

U.S Foreign Policy Agenda. 2000. The Making of U.S Foreign Policy. Washington D.C: An Electronic Journal of the U.S. Department of State, Volume. 5, No. 1 Utley, Rachel E.. 2016. Mali: vive la Coloniale?. Leeds: International Journal of Francophone Studies Vermeij, Lotte. 2015. MINUSMA Challenges on the Ground. Oslo: Norwegian Institute of International Affairs Wing, Susanna D. 2016. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term regional presence?. Cambridge: Routledge Woźniak, Michał. 2015. The Obama Doctrine – U.S. Strategic Retrenchment and Its Consequences. Warsawa: Collegium Civitas & European Association for Security Zed, Mestika, 2008. Metode Penelitian kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Artikel Media

AFRICOM. U.S. Airlift of French forces to Mali. Dalam http://www.africom.mil/media-room/article/10206/us-airlift-of- french-forces-to-mali, Al-Akhbar. Mauritanian Consensus Against France Intervention in Mali. Dalam https://english.al- akhbar.com/Archive_Justice/90082 BBC News, Mali Crisis. Dalam http://www.bbc.co.uk/news/world- africa-21894117. BBC. Nato forces needed in Mali, says AU's Thomas Boni Yayi. Dalam http://www.bbc.com/news/world-africa-20957063 Borders. Northern Mali Conflict Map. Dalam https://apps.cndls.georgetown.edu/projects/borders/items/show/1 016. CBS News. U.S. increasing involvement in Mali conflict. Dalam https://www.cbsnews.com/news/us-increasing-involvement-in- mali-conflict/, CIA. The World Factbook. Dalam https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world- factbook/geos/ml.html, CNN. 1998 US Embassies in Africa Bombings Fast Facts. Dalam https://edition.cnn.com/2013/10/06/world/africa/africa-embassy- bombings-fast-facts/index.html. Congress.Gov. H.R.3547 - Consolidated Appropriations Act, 2014. Dalam https://www.congress.gov/bill/113th-congress/house- bill/3547 Council on Foreign Relations. Destabilization of Mali. Dalam https://www.cfr.org/interactives/global-conflict- tracker#!/conflict/destabilization-of-mali,

CVII

Daily Nation. Mali president asks African forces to intervene:diplomat. Dalam https://www.nation.co.ke/News/africa/Mali+president+requests +intervention/-/1066/1496742/-/86sl3pz/-/index.html Deutsche Welle. German cabinet approves Mali mission. Dalam http://www.dw.com/en/german-cabinet-approves-mali- mission/a-16610795 France 24. Egypt’s Morsi opposes French intervention in Mali. http://www.france24.com/en/20130122-egypt-morsi-opposes- france-intervention-mali GALLUP. Americans Shift to More Negative View of Libya Military Action. Dalam http://news.gallup.com/poll/148196/americans- shift-negative-view-libya-military-action.aspx, GALLUP. Three in Four Americans Back Obama on Iraq Withdrawal. Dalam http://news.gallup.com/poll/150497/three-four- americans-back-obama-iraq-withdrawal.aspx, Global Affairs Canada. Map – Mali. Dalam https://www.international.gc.ca/cil-cai/country_insights- apercus_pays/map-carte_ml.aspx?lang=eng, International Policy Digest. Assessing U.S. Foreign Policy in Mali. Dalam https://intpolicydigest.org/2013/03/04/assessing-u-s- foreign-policy-in-mali, Kompas. Perancis di Mali. Dalam http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/15/12520475/as.siap.b antu.perancis.di.mali, Maydan. A Mauritanian Fatwa against the French-Led Military Intervention in Mali. Dalam https://www.themaydan.com/2017/01/mauritanian-fatwa-french- led-military-intervention-mali/ NATO. Operations and missions: past and present. Dalam https://www.nato.int/cps/en/natohq/topics_52060.htm#, NPR News, How Mali’s Conflict Affects Americans (2013). Dalam http://www.npr.org/2013/01/15/169392116/how-malis-conflict- affects-americans Office of the Historian. Monroe Doctrine,1823. Dalam https://history.state.gov/milestones/1801-1829/monroe. Republika, Sukses Intervensi Mali, Prancis Dapat Pujian AS. Dalam http://www.republika.co.id/amp_version/mi85t4 Reuters. Egypt says Mali intervention will inflame conflict. Dalam https://www.reuters.com/article/us-sahara-crisis-egypt/egypt- says-mali-intervention-will-inflame-conflict- idUSBRE90K0SB20130121 Reuters, U.S. suspends Mali aid as post-coup limbo deepens (2012). Dalam https://www.reuters.com/article/us-mali-us/u-s-suspends- mali-aid-as-post-coup-limbo-deepens idUSBRE82P15920120326

CVIII

RFI. Nato rules out Mali role but backs French intervention. Dalam http://en.rfi.fr/africa/20130201-nato-rules-out-mali-role-backs- french-intervention Tempo, Amerika Serikat Bantu Prancis Serbu Mali. Dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/01/27/116457223/Amerik a-Serikat-Bantu-Prancis-Serbu-Mali The New York Times. Mali Holds Elections After Year of Turmoil. Dalam http://www.nytimes.com/2013/07/29/world/africa/mali- holds-elections-after-year-of-turmoil.html The Guardian. Mali's peace deal represents a welcome development, but will it work this time?. Dalam https://www.theguardian.com/global- The Washington Post. Obama: Don't Stay in Iraq Over Genocide. Dalam http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2007/07/ 20/AR2007072000831.html, The Washington Post. The Obama doctrine: Leading from behind. Dalam https://www.washingtonpost.com/opinions/the-obama- doctrine-leading-from behind/2011/04/28/AFBCy18E_story.html development/2015/jul/01/mali-peace-deal-a-welcome development- but-will-it-work-this-time United Nations Development Programme. Human Development Reports: Mali. Dalam http://hdr.undp.org/en/countries/profiles/MLI, VOA. Perancis Desak Intervensi Militer di Mali Utara. Dalam https://www.voaindonesia.com/a/perancis-inginkan-campur- tangan-militer-di-mali/1521848.html, World Bank. Country Profile: Mali. Dalam http://databank.worldbank.org/data/Views/Reports/ReportWidge tCustom.aspx?Report_Name=CountryProfile World Bank. Data on Mali Population. Dalam https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?locations= ML, World Trade Organization. Trade Profiles: Mali. Dalam http://stat.wto.org/CountryProfile/WSDBCountryPFView.aspx? Country=ML&Language=S, United States Department of Defense. The Crisis in Mali: U.S. Interests and the International Response. Dalam http://docs.house.gov/meetings/FA/FA00/20130214/100248/HH RG-113-FA00-Wstate-DoryA-20130214.pdf, United Nations High Comission on Refugees. Malian Refugees.Dalam https://www.humanitarianresponse.info/system/files/documents/ files/20170430-unhcr-mali_infographie_poc_en_rev.pdf, United Nations. Security Council Calls for ‘Road Map’ for Restoration of Constitutional Order in Mali, Unanimously Adopting

CIX

Resolution 2056. Dalam http://www.un.org/press/en/2012/sc10698.doc.html United Nations. Security Council Authorizes Deployment of African- Led International Support Mission in Mali for Initial Year-Long Period. Dalam https://www.un.org/press/en/2012/sc10870.doc.html UN News. Security Council paves way for possible intervention force in northern Mali. Dalam https://news.un.org/en/story/2012/10/423482-security-council- paves-way-possible-intervention-force-northern- mali#.UHnwscWHJ8E

CX