SEJARAH DOMINASI NEGARA DALAM PENGELOLAAN CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR (History of State Domination on Cendana Management in Nusa Tenggara Timur) *"* S

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

SEJARAH DOMINASI NEGARA DALAM PENGELOLAAN CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR (History of State Domination on Cendana Management in Nusa Tenggara Timur) * J. MANUSIA DAN LINGKLINGAN, Vol. 20, No.l, Maret. 2013: I -10 SEJARAH DOMINASI NEGARA DALAM PENGELOLAAN CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR (History of State Domination on Cendana Management in Nusa Tenggara Timur) *"* S. Agung Sri Raharjo*, San Afri Awang**rAgus Pramusinto --"- dan Ris Hadi Purwanto * Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa Tenggara Timur * Mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ** Gu* Besar pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. *** Direktur Program Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, **** Dosen pada Fakultas Gadjah Mada, yogyak arta. -) renutl?itllillhitas Bagian Disertasi pada Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas CiOjatr Mada, Yogyakarta. E-mail : agung-sriraharjo @yaho o. co. id Abstrak Pengelolaan sumberdaya alam seringkali dihadapkan pada konflik antarpemangku kepentingan. Kepentingan tersebut mencakup tiga dimensi yaitu kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. Cendana merupakan salah satu hasil hutan yang memiliki peran sangat penting dalam sejarah pembangunan di NTT. Pemanfaatan cendana ini juga tidak lepas dari konflik. Bahkan konflik tersebut telah membuat masyarakat trauma terhadap pengelolaan cendana. lJpaya pemulihan potensi dan peran cendana dalam perekonomian mengalami hambatan berkaitan dengan trauma masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk meldiskipsikan, menganalisis dan menginterpreasikan pengelolaan cendana dimasa lalu yang me,rgakibatkan konflik dan ftaurna masyarakat terhadap pengelolaan cendana oleh pemerintah. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif terhadap purgelolaan cendana di masa lalu. Penelitian dilakukan di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, observasi dan wawancara dengan informan kunci. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan cendana dimasa lalu terjadi ketidakadilan dalam pembagian keuntungan penjualan cendana, dominasi negara (penguasa), tidak adanya ruang komunikasi dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan cendana. Hal ini membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap pengelolaan cendana oleh pemerintah. Kata Kunci: Pengelolaan, Cendana, Sejarah, Konflik Abstract Contlict between stakeholder interests is inevitable in natural resources management. Stakehnlder interest covers ecological, economic and social interest. Cendana is non woodforest product which plays important role on East Nusa Tenggaro development. Cendana managenxent doesn't free of conJlict. Instead the conflict on cendana management leads to community traunu. Efort for increasing the potencies foces the negative perception of comnrunities. This research aim to describe, analysis and interprets the history of cendana managentent.The research was conducted in Timor Island, East Nusa Tenggara Province. Data collection done by documentary study, obserttation and interviews. Data were analyzed with descriptive qualitative analysis.The result shows that the past cendana management was inequity of profit sharing, state dotnination, no space for communication and public participation on cendqna management. This condition leads to conflict and community trauma on cendanq management bl Swerlment. Keywords : Management, Cendana, History, conJlict J. MANUSIA DAN LINGKLINGAN Vol. 20, No. I PENDAHULUAN 51.417 batang (Darmokusumo dkh 2001 :509). Hal ini mengindikasikan ancaman kepunahan Latar Belakang cendana setelah dieksploitasi selama 30 tahun. Penelitian ini akan mengkaji dominasi Upaya pemerintah untuk mengembalikan negara dalam pengelolaan cendana di NTT peran cendana sebagai penyumbang PAD yang menyebabkan konflik dan trauma di mengalami banyak kesulitan. Hal ini salah rnasyarakat. Pengelolaan sumberdaya alam satunya disebabkan oleh perubahan persepsi tidak bisa lepas dari konflik (Yasmi, 2007; masyarakat terhadap cendana. Kayu cendana Wibowo et dl., 2009; Gritten et ?1, 2009). yang awalnya dianggap sebagai "putri rumah", Konflik tersebut berkaitan dengan perbedaan putri yang selalu melindungi seluruh anggota kepentingan antara stakeholder dalam keluarga dengan mengeluarkan aroma wangi, pengelolaan sumberdaya alam Kepentingan berubah menjadi "kayu masalah", kayu yang stakeholder berkaitan dengan pengelolaan selalu mendatangkan masalah di mana pohon sumberdaya alam khususnya hutan mencakup tersebut tumbuh (Pello, 2001). Perubahan dimensi kepentingan ekologi, kepentingan persepsi masyarakat ini mengakibatkan peran ekonomi dan kepentingan sosial (Krott, 2005). serta masyrakat dalam budidaya cendana Konflik pengelolaan hutan di Indonesia sangat rendah. dis,$abkan oleh dominasi negara dalam Persepsi masyarakat sangat dipengaruhi pengelolaan hutan. Menurut Awang (2003) hal oleh tingkat pemahaman terhadap tersebut dikarenakan mono interpretasi permasalahan dan pengalaman mereka pemerintah mengenai penguasaan hutan. berkaitan dengan pengelolaan cendana. Pengelolaan hutan diatur dan ditetapkan Penelitian ini akan mengkaji sejarah berdasarkan kepentingan dan ekonomi politik pengelolaan cendana dalam membentuk pemerinta[ sehingga yang lebih dominan persepsi negatif masyarakat terhadap adalah kepentingan ekonomi terhadap hutan. pengelolaan cendana. Menurut CIFOR (2004) dalam Wibowo dkk.(2009) konflik yang terjadi di kawasan Tujuan dan Kegunaan konservasi (hutan konservasi) adalah Penelitian ini bertujuan untuk perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini mengdeskripsikan, menganalisis dan dikarenakan penetapan kawasan konservasi menginterpretasikan: dilakukan sepihak oleh pemerintah tanpa 1. Sejarah pengelolaan Cendana melibatkan masyarakat. Dari dua penelitian ini 2. Hubungan produksi Cendana antara terlihat bahwa dominasi negara pemerintah (pemegang kekuasaan) dengan mengakibatkan konflik dalam pengelolaan masyarakat hutan dan rnengakibatkan rusaknya sumberdaya hutan. Penelitian ini berguna untuk memberikan Cendana merupakan salah satu hasil hutan gambaran yang jelas sehingga dapat yang memiliki peran yang sangat penting bagi digunakan sebagai salah satu masukan untuk provinsi Nusa Tenggara Tirnur. Cendana menyusun kebijakan pengelolaan cendana menyumbang PAD Provinsi NTT rata-rata yang lebih berpihak kepada masyarakat sebesar 25 % / tahun pada kurun waktu'1990 sampai dengan tahun 1998 (BanoEt, Kerangka Pemikiran 2001 :471). Sumbangan cendana terhadap Persepsi masyarakat dibentuk oleh PAD Provinsi NTT tertinggi mencapai 40 % infonnasi yang diterima dan nilai yang (Suripto, 1992:15). Namun pada saat ini dianutnya. Salah satu sumber informasi sumbangan cendana sangat rendah atau bisa rnasyarakat adalah pengalannn. Pengalaman dianggap tidak ada. Potensi cendana juga yang menyenangkan tentunya akan terus mengalami penurunan, hasil inventarisasi menghasilkan persepsi yang baik mengenai Dinas Kehutanan Provinsi NTT pada tahun sesuatu hal, sebaliknya pengalarnan yang 1990 terdapat 176949 pohon induk namun menyakitkan tentunya akan mengakibatkah pada tahun 1998 jumlah pohon induk tinggal persepsi negatif terhadap hal tersebut. Maret 2013 RAHARJO, S.A.S., DKK.: SEJARAH DOMINASI NEGARA Dominasi Konflik, Trauma Gambar l. Kerangka Pemikiran Salah satu bentuk pengalaman negatif dilakukan oleh negara untuk melaksanakan adalah konflik yang terjadi secara berulang penertiban, mengusahakan kesejahteraan dan terus menerus, sehingga menimbulkan dan kemakmuran rakyatnya, pertahanan dan trauma. Konflik dapat terjadi karena menegakkan keadilan. kesenjangan antara harapan dan kemampuan. Negara sebagai alat untuk mencapai tujaun kesejahteraan bersama ini menurut Dasar Teori pandangan Marxisme salah. Menurut Menurut Budiardjo (1977) yang dikutip pandangan Marxis negara adalah alat Ebyhara (2010) negara adalah asosiasi yang pencapain tujuan kelas berkuasa. Kelas menyelenggarakan penertiban di dalam suatu berkuasa memainkan peran negara untuk masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan mencapai tujuannya dengan menggunakan sistem hukum yang diselenggarakan oleh alat dan sifat memaksa, monopoli dan suatu pemerintahan yang diberi kekuasaan pembuatan hukum yang dimiliki negara. memaksa. Eksistensi negara terdiri dari empat Kelas berkuasa di zaman perbudakan adalah unsur yaitu wilayall rakyat, pemerintah yang raja, pada zaman feodal dengan sistem berdaulat dan pengakuan dari negara lain (de monarki yang berkuasa adalah raja dan para facto dan de jure). Tugas negara yang pertama tuan tanah, sedangkan pada r;iman kapitalis adalah untuk mengendalikan dan mengatur maka yang berkuasa adalah para pemilik gejala-gejala kekuasaan yang a-sosial, yang modal (Ebyhara, 2010). Dalam kontek ini bertentangan satu sama lain, supaya tidak maka terjadi pertentangan antara kelas terjadi antagonisme yang membahayakan. penguasa dengan kelas pekerja. Kedua adalah mengorganisasikan dan Dalam tingkat tertentu pertentangan kelas mengintegrasikan kegiatan manusia dan ini akan melahirkan konflik. Menurut Pruit kelompok-kelompok ke arah tercapainya dan Rubin (2009) konflik adalah persepsi tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. mengenai perbedaan kepentingan. Negara memiliki sifat memaksa, yang Dijelaskan lebih lanjut bahwa kepentingan berarti bahwa negara dapat memaksakan terealisasikan dalam bentuk aspirasi. supaya seluruh undang-undang ditaati Aspirasi ini berisi berbagai tujuan dan sehingga ketertiban dapat tercapai. Sifat standar. Tujuan adalah akhir dari arah kedua adalah monopoli, negara memiliki perjuangan seseorang, sedangkan standar monopoli untuk menetapkan tujuan bersama adalah tingkat pencapaian minimal yang dari masyarakat. Sifat
Recommended publications
  • Ethonobotany of People Live in Amarasi of Kupang, Mollo And
    Media Konscrvasi Vol. VI, No. I, Agustus 1999 : 27 - 35 ETHNOBOTANY OF PEOPLE LIVE IN AMARASI OF KUPANG, MOLLO AND AMANATUNA OF SOUTH CENTRAL TIMOR, WEST TIMOR, INDONESIA (Etnobotani Penduduk Amarasi di Kabupaten Kupang, Penduduk Mollo dun Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Barat ,Indonesia) Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture - IPB .N. Raya Pajajaran - Bogor, Telp. (0251) 312612 ABSTRAK Studi ethnobotani. khususnya hubungan antara penduduk dengan hutan telah dilakukan di Amarasi, Kabupaten Kupang; Mollo dan Amanatun. Kabupaten Tinior Tengah Selatan. Penduduk desa umulnnya adalah suku Dawan. Rumah-rumah di lokasi menipunyai pekarangan dan berdekatan. Desa- desa ini biasanya dikelilingi oleh kebun, ladang, dan hutan pada batas luarnya. Pemahaman penduduk tentang lingkungan dan konservasinya telah ada dan dilakukan secara baik sejak dahulu. Penduduk memanfaatkan hutan sebagai sumber untuk obat-obatan tradisional, pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kayu bakar, makanan ternak dan kayu bangunan. Mereka niengambil tun~buhanuntuk obat tradisional. daun dan kulit kayu merupakan bagian yang paling banyak digunakan kenludian getah, akar dan kayu. Untuk kayu bakar adalah jenis pohon yang dianggap tidak berguna untuk penggunaan lain, sedangkan jenis pohon untuk kayu bangurlan lebih spesifik dibandingkan untuk penggunaan kayu bakar. Anggota suku Leguminosae dan Meliaceae digunakan secara luas dala~npembangunan rumah, demikian juga gewang (Corypha rrtan) yang daunnya digunakan untuk atap rumah. Makanan ternak yang penting adalah kabesak (Acacia leucophloea),gala-gala (Sesbaniagrandiflora) dan petis (Leucaena leucochephala)" Kata kunci : etnobotani.tumbuhan obat. makanan ternak. kayu bakar, kayu bangunan INTRODUCTION between the people and the forest. The ethnobotanical study is intended to reveal the local condition and knowledge The dependency of people on their natural environ- about understanding of environment and plant resource ment is determined by geographical location where they utilization.
    [Show full text]
  • 4. Old Track, Old Path
    4 Old track, old path ‘His sacred house and the place where he lived,’ wrote Armando Pinto Correa, an administrator of Portuguese Timor, when he visited Suai and met its ruler, ‘had the name Behali to indicate the origin of his family who were the royal house of Uai Hali [Wehali] in Dutch Timor’ (Correa 1934: 45). Through writing and display, the ruler of Suai remembered, declared and celebrated Wehali1 as his origin. At the beginning of the twentieth century, the Portuguese increased taxes on the Timorese, which triggered violent conflict with local rulers, including those of Suai. The conflict forced many people from Suai to seek asylum across the border in West Timor. At the end of 1911, it was recorded that more than 2,000 East Timorese, including women and children, were granted asylum by the Dutch authorities and directed to settle around the southern coastal plain of West Timor, in the land of Wehali (La Lau 1912; Ormelling 1957: 184; Francillon 1967: 53). On their arrival in Wehali, displaced people from the village of Suai (and Camenaça) took the action of their ruler further by naming their new settlement in West Timor Suai to remember their place of origin. Suai was once a quiet hamlet in the village of Kletek on the southern coast of West Timor. In 1999, hamlet residents hosted their brothers and sisters from the village of Suai Loro in East Timor, and many have stayed. With a growing population, the hamlet has now become a village with its own chief asserting Suai Loro origin; his descendants were displaced in 1911.
    [Show full text]
  • The Making of Middle Indonesia Verhandelingen Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- En Volkenkunde
    The Making of Middle Indonesia Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte KITLV, Leiden Henk Schulte Nordholt KITLV, Leiden Editorial Board Michael Laffan Princeton University Adrian Vickers Sydney University Anna Tsing University of California Santa Cruz VOLUME 293 Power and Place in Southeast Asia Edited by Gerry van Klinken (KITLV) Edward Aspinall (Australian National University) VOLUME 5 The titles published in this series are listed at brill.com/vki The Making of Middle Indonesia Middle Classes in Kupang Town, 1930s–1980s By Gerry van Klinken LEIDEN • BOSTON 2014 This is an open access title distributed under the terms of the Creative Commons Attribution‐ Noncommercial 3.0 Unported (CC‐BY‐NC 3.0) License, which permits any non‐commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author(s) and source are credited. The realization of this publication was made possible by the support of KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies). Cover illustration: PKI provincial Deputy Secretary Samuel Piry in Waingapu, about 1964 (photo courtesy Mr. Ratu Piry, Waingapu). Library of Congress Cataloging-in-Publication Data Klinken, Geert Arend van. The Making of middle Indonesia : middle classes in Kupang town, 1930s-1980s / by Gerry van Klinken. pages cm. -- (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, ISSN 1572-1892; volume 293) Includes bibliographical references and index. ISBN 978-90-04-26508-0 (hardback : acid-free paper) -- ISBN 978-90-04-26542-4 (e-book) 1. Middle class--Indonesia--Kupang (Nusa Tenggara Timur) 2. City and town life--Indonesia--Kupang (Nusa Tenggara Timur) 3.
    [Show full text]
  • Kebijakan Pengelolaan Cendana Di Nusa Tenggara Timur
    KEBIJAKAN PENGELOLAAN CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : S. Agung S. Raharjo Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan LHK Kupang Jln. Alfons Nisnoni No. 7B Airnona Kupang Telp. 0380-823357 Fax 0380-831068 Email : [email protected] A. Pengantar Sumber daya hutan merupakan salah satu modal pembangunan bangsa. Pada era orde baru hutan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber devisa untuk pembangunan. Seperti telah kita ketahui bersama sumber daya hutan yang besar terdapat di Kalimantan, Sumatra dan Papua, maka pada saat itu (orde baru) pemerintah melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap hutan di kawasan tersebut. Hasil eksploitasi hutan tersebut digunakan sebagai modal pembangunan. Berkaca dari praktek eksploitasi hutan sebagai sumber pendapatan negara tersebut, maka bagaimana dengan Nusa Tenggara Timur(NTT)? Hasil hutan apa yang di eksploitasi dan menopang pembangunan di NTT? Ya kita punya Cendana. Selama masa orde baru cendana menjadi penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTT. Bagaimana eksploitasi cendana di NTT? apakah hasilnya digunakan untuk modal pembangunaan di NTT? bagaimana kebijakan pengelolaan cendana di NTT dan implikasinya?. Makalah ini akan memberikan gambaran pengelolaan cendana di NTT, implikasi dan alternatif solusi pengelolaan cendana sesuai dengan kondisi kontemporer. Makalah dibagi menjadi lima bagian yaitu pengantar, yang berisi latar belakang umum makalah ini. Bagian ke dua memberikan gambaran pengelolaan cendana sebelum reformasi, hal ini terutama berkaitan dengan kebijakan atau aturan yang berlaku dan implikasinya. Kemudian pada bagian ketiga akan memberikan gambaran pengelolaan cendana pasca reformasi. Pada bagian ke empat akan memberikan gambaran alternatif kebijakan pengelolaan cendana sesuai dengan kondisi politik konteporer yang berkembang di Indonesia. Sebagai penutup pada bagian ke lima akan disampaikan beberapa rekomendasi dan kebutuhan respon pemerintah terhadap pengelolaan cendana ke depan.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/25/2021 08:57:46PM Via Free Access | Lords of the Land, Lords of the Sea
    3 Traditional forms of power tantalizing shreds of evidence It has so far been shown how external forces influenced the course of events on Timor until circa 1640, and how Timor can be situated in a regional and even global context. Before proceeding with an analysis of how Europeans established direct power in the 1640s and 1650s, it will be necessary to take a closer look at the type of society that was found on the island. What were the ‘traditional’ political hierarchies like? How was power executed before the onset of a direct European influence? In spite of all the travel accounts and colonial and mission- ary reports, the seventeenth- and eighteenth-century source material for this region is not rich in ethnographic detail. The aim of the writers was to discuss matters related to the execution of colonial policy and trade, not to provide information about local culture. Occasionally, there are fragments about how the indigenous society functioned, but in order to progress we have to compare these shreds of evidence with later source material. Academically grounded ethnographies only developed in the nineteenth century, but we do possess a certain body of writing from the last 200 years carried out by Western and, later, indigenous observers. Nevertheless, such a comparison must be applied with cau- tion. Society during the last two centuries was not identical to that of the early colonial period, and may have been substantially different in a number of respects. Although Timorese society was low-technology and apparently slow-changing until recently, the changing power rela- tions, the dissemination of firearms, the introduction of new crops, and so on, all had an impact – whether direct or indirect – on the struc- ture of society.
    [Show full text]
  • Daftar Wilayah Pnpm Perdesaan Yang Mendapatkan 4 (Empat) Siklus Keatas Program Pengembangan Kecamatan (Ppk)
    DAFTAR WILAYAH PNPM PERDESAAN YANG MENDAPATKAN 4 (EMPAT) SIKLUS KEATAS PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN (PPK) Jml Kapasitas Provinsi Kabupaten Kecamatan Siklus Fiskal PPK NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Trumon 4 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Labuhan Haji 4 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Kluet Selatan 4 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Tapak Tuan 4 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Bakongan 4 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Pasie Raja 4 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Kluet Utara 5 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Meukek 5 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Sama Dua 5 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Selatan Sawang 5 rendah NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Barat Daya Tangan-Tangan 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Barat Daya Susoh 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Barat Daya Kuala Batee 5 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Barat Daya Blang Pidie 5 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Idi Rayeuk 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Simpang Ulim 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Birem Bayeun 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Julok 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Darul Aman 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Sungai Raya *) 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Rantau Peureulak *) 4 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Banda Alam 5 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Peureulak 5 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur Nurussalam 5 sedang NANGROE ACEH DARUSSALAM Aceh Timur
    [Show full text]
  • Mining the WOMB of the Earth: Struggles of Indigenous Women Against Destructive Mining
    Mining the WOMB of the Earth: Struggles of Indigenous Women against destructive mining 1 Mining the WOMB of the Earth: Struggles of Indigenous Women against destructive mining Mining the Womb of the Earth: Struggles of Indigenous Women against destructive mining Copyright ©Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) Foundation, 2013 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced in any form or by any means without the written permission of the copyright holder. ACKNOWLEDGEMENTS Charlotte Hinterberger– Editor Contributors: 1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesia 2. Cordillera Peoples Alliance (CPA), Philippines 3. Environmental Legal Assistance Center, Inc. (ELAC), Philippines 4. Philippine Task Force for Indigenous Peoples Rights (TFIP), Philippines 5. Harue thai Buakhiao, Laos PDR Design and Layout: HRCPA Team Publisher: Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) Foundation 108 Moo 5, Tambon Sanpranate Amphur Sansai, Chiang Mai 50210 THAILAND Tel: 66 5338 0168 Fax: 66 5338 0752 Web: www.aippnet.org Cover Photo Credits:Robie Halip, Rep. Teddy Baguilat Disclaimer: The opinions expressed in this report do not necessarily represent those of the European Commission, the European Instrument for Democracy and Human Rights or any other European Union affiliated organizations. The text and data in this report may be reproduced for non-­‐ commercial purposes with attribution to the copyright holder. The content of this publication is the sole responsibility of the Asia Indigenous Peoples Pact. Printed in Chiang Mai, Thailand by AIPP Printing Press 2 Mining the WOMB of the Earth: Struggles of Indigenous Women against destructive mining Mining the WOMB of the Earth: Struggles of Indigenous Women against destructive mining 1.
    [Show full text]
  • Lords of the Land, Lords of the Sea Voorstellen DEF.Indd 1 11-01-12 14:01 LORDS of the LAND, LORDS of the SEA
    Lords of the land, lords sea Lords of the land, lords of the sea 1600-1800 and adaptation in early colonial Timor, Conflict Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800 European traders and soldiers established a foothold on Timor in the course of the seventeenth century, motivated by the quest for the commercially vital sandalwood and the intense competition between the Dutch and the Portuguese. Lords of the land, lords of the sea focuses on two centuries of contacts between the indigenous polities on Timor and the early colonials, and covers the period 1600-1800. In contrast with most previous studies, the book treats Timor as a historical region in its own right, using a wide array of Dutch, Portuguese and other original sources, which are compared with the comprehensive corpus of oral tradition recorded on the island. From this rich material, a lively picture emerges of life and death in early Timorese society, the forms of trade, slavery, warfare, alliances, social life. The investigation demonstrates that the European groups, although having a role as ordering political forces, were only part of the political landscape of Timor. They relied on alliances where the distinction between ally and vassal was moot, and led to frequent conflicts and uprisings. During a slow and complicated process, the often turbulent political conditions involving Europeans, Eurasians, and Hans Hägerdal Timorese polities, paved the way for the later division of Timor into two spheres of roughly equal size. Hans Hägerdal (1960) is a Senior Lecturer in History at the Linnaeus University, Sweden. He has written extensively on East and Southeast Asian history.
    [Show full text]
  • 5.000 Desa Tertinggal
    Data Status Kemajuan dan Kemandirian 15.000 Desa Prioritas ( 5.000 Desa Tertinggal) KD KODE PROVINSI KABUPATEN/KOTA KODE KEC KECAMATAN KODE DESA NAMA DESA IKL IKE IKS IDM STATUS PROV KAB 11 ACEH 11005 ACEH TIMUR 1100670 PANTE BIDARI 11006715 PANTE PANAH 0,6000 0,5696 0,6272 0,5989 Tertinggal 11 ACEH 11012 ACEH BARAT DAYA 1101260 BABAH ROT 11012607 ALUE PEUNAWA 0,6000 0,5823 0,6145 0,5989 Tertinggal 11 ACEH 11017 BENER MERIAH 1101711 GAJAH PUTIH 11017115 UMAH BESI 0,6000 0,5316 0,6651 0,5989 Tertinggal 11 ACEH 11005 ACEH TIMUR 1100680 SIMPANG ULIM 11006818 PUCOK ALUE DUA 0,6000 0,5190 0,6777 0,5989 Tertinggal 11 ACEH 11018 PIDIE JAYA 1101870 PANTERAJA 11018709 TU PANTEE RAJA 0,6667 0,5316 0,5980 0,5988 Tertinggal 11 ACEH 11008 ACEH BESAR 1100821 LEUPUNG 11008212 PULOT 0,6000 0,5696 0,6267 0,5988 Tertinggal 11 ACEH 11008 ACEH BESAR 1100821 LEUPUNG 11008211 LAYEUN 0,7333 0,4810 0,5819 0,5987 Tertinggal 11 ACEH 11018 PIDIE JAYA 1101860 TRIENGGADENG 11018610 REUSEB 0,6667 0,5190 0,6101 0,5986 Tertinggal 11 ACEH 11009 PIDIE 1100971 GLUMPANG BARO 11009711 MANYANG 0,6667 0,5570 0,5720 0,5986 Tertinggal 11 ACEH 11004 ACEH TENGGARA 1100420 LAWE SIGALA‐GALA 11004224 LAWE KESUMPAT 0,6667 0,5190 0,6099 0,5985 Tertinggal 11 ACEH 11075 SUBULUSSALAM 1107530 RUNDENG 11075305 TELADAN BARU 0,6667 0,4557 0,6729 0,5984 Tertinggal 11 ACEH 11015 NAGAN RAYA 1101510 DARUL MAKMUR 11015117 SERBA JADI 0,6667 0,4304 0,6981 0,5984 Tertinggal 11 ACEH 11005 ACEH TIMUR 1100610 PEUREULAK 11006126 MATANG GLEUM 0,6667 0,5063 0,6217 0,5982 Tertinggal 11 ACEH 11008 ACEH BESAR
    [Show full text]
  • 5. Imam Budiman 26(3) 244
    Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 26(3), 244-253, December 2020 Scientific Article EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469 DOI: 10.7226/jtfm.26.3.244 Another Law in Indonesia: Customary Land Tenure System Coexisting with State Order in Mutis Forest Imam Budiman1*, Takahiro Fujiwara2, Noriko Sato2, Dani Pamungkas3 1Graduate School of Bioresource and Bioenvironmental Sciences, Kyushu University, 744 Motooka Nishiku Fukuoka, Japan 819-0395 2Faculty of Agriculture, Kyushu University, 744 Motooka Nishiku Fukuoka, Japan 819-0395 3Forestry Research Development and Innovation Agency of Kupang, Jl. Alfons Nisnoni No. 7B Airnona Kotaraja Kupang, Indonesia 85119 Received June 30, 2020/Accepted October 7, 2020 Abstract Local wisdom has been coexisting with the state system in several places in Indonesia. The Mountain Mutis Nature Reserve in East Nusa Tenggara province is the strict nature reserves, but a customary land tenure system, called suf, exists so far in the nature reserve. The objectives of this study are (1) to organize the historical territorialization process, (2) to clarify the customary land tenure system and activities for livelihoods by local people, and (3) to discuss the challenges of its land tenure system to manage forests sustainably as well as policy methods to harmonize legal pluralism in Mutis Area. Field observation and in-depth interviews with key informants were employed for data collection, and the collected data were analyzed by a qualitative descriptive method. The findings showed the traditional reward and punishment systems regarding extracting non-timber forest products, grazing livestock, and preventing forest fires were working well for sustainable forest management. However, increased pressure on forests due to future population growth appears to have an impact on the traditional system.
    [Show full text]
  • Book Reviews - G.N
    Book Reviews - G.N. Appell, Michael B. Leigh, Checklist of holdings on Borneo in the Cornell University Libraries. Made with the assistance of John M. Echols. Data paper: Number 62, Southeast Asia Program. Department of Asian Studies. Ithaca, Cornell University, 1966. 62 pages. - R.E. Downs, P. Middelkoop, Headhunting in Timor and its historical implications. Oceania Linguistic Monograph No. 8. The Univeristy of Sydney, Sydney, 1964. 423 pp. - M.G. Swift, Rosemary Firth, Housekeeping among Malay peasants. London School of Economics Monographs on Social Anthropology, No. 7. The Athlone Press, London 1966. Pp. xiv and 242. - Umar Junus, Harsja W. Bachtiar, Negeri Taram: A Minangkabau village community in Koentjaraningrat, ed., Villages in Indonesia. Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967. 445 pp. - William R. Roff, Judith Djamour, The Muslim matrimonial court in Singapore. London School of Economics, Monographs on Social Anthropology. No. 31. Athlone Press, London, 1966. 189 pp. - Paul Wheatley, O.W. Wolters, Early Indonesian commerce: A study of the origins of Srivijaya. Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967. 404 pp., 4 maps. - M.P.H. Roessingh, Th. P.M. de Jong, De krimpende horizon van de Hollandse kooplieden. Hollands Welvaren in het Caribisch Zeegebied (1780-1830). Van Gorcum en Comp., Assen, 1966. 352 pp., 2 ills., 1 krt. Oorspr. proefschrift Groningen, met een voorwoord van de schrijver; tevens verschenen als Anjerpublicatie nr. 9, met een woord vooraf van de promotor, Prof. Dr. H. Baudet. - M. Leifer, James de V. Allen, The Malayan Union. Yale University, Southeast Asia Studies, 1967. Monograph Series No. 10. XIV + 181 pp., with appendices.
    [Show full text]
  • Buku Induk Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Per Provinsi, Kabupaten/Kota Dan Kecamatan Seluruh Indonesia
    LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG KODE DAN DATA WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BUKU INDUK KODE DAN DATA WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN PER PROVINSI, KABUPATEN/KOTA DAN KECAMATAN SELURUH INDONESIA NAMA PROVINSI, J U M L A H LUAS JUMLAH PENDUDUK NO KODE KABUPATEN / KOTA, IBUKOTA WILAYAH K ET E R A N G A N KECAMATAN KAB KOTA KEC KEL DESA (Km2) (Jiwa) *) I 11 ACEH 18 5 289 6.464 57.956,00 5.015.234 UU. No. 11 Tahun 2006 11.01 1 KAB. ACEH SELATAN Tapak Tuan 18 260 3.841,60 222.849 11.01.01 1 Bakongan 7 11.01.02 2 Kluet Utara 21 11.01.03 3 Kluet Selatan 17 11.01.04 4 Labuhan Haji 16 11.01.05 5 Meukek 23 11.01.06 6 Samadua 28 11.01.07 7 Sawang 15 11.01.08 8 Tapaktuan 16 11.01.09 9 Trumon 11 11.01.10 10 Pasi Raja 21 11.01.11 11 Labuhan Haji Timur 12 11.01.12 12 Labuhan Haji Barat 15 11.01.13 13 Kluet Tengah 13 11.01.14 14 Kluet Timur 9 11.01.15 15 Bakongan Timur 8 11.01.16 16 Trumon Timur 8 11.01.17 17 Kota Bahagia 10 Pemekaran Kec Perda No. 3/2010 11.01.18 18 Trumon Tengah 10 Pemekaran Kec Perda No. 4/2010 11.02 2 KAB. ACEH TENGGARA Kutacane 16 385 4.231,43 211.171 11.02.01 1 Lawe Alas 28 11.02.02 2 Lawe Sigala-Gala 35 11.02.03 3 Bambel 33 11.02.04 4 Babussalam 27 11.02.05 5 Badar 18 11.02.06 6 Babul Makmur 21 11.02.07 7 Darul Hasanah 28 11.02.08 8 Lawe Bulan 24 11.02.09 9 Bukit Tusam 23 11.02.10 10 Semadam 19 1 NAMA PROVINSI, J U M L A H LUAS JUMLAH PENDUDUK NO KODE KABUPATEN / KOTA, IBUKOTA WILAYAH K ET E R A N G A N KECAMATAN KAB KOTA KEC KEL DESA (Km2) (Jiwa) *) 11.02.11 11 Babul Rahmah 27 11.02.12 12 Ketambe 25 Qanun No.
    [Show full text]