Tari Kebyar, Counter Culture Masyarakat

Tuesday, 23 Agustus 2011 WIB, Oleh: Agung

Dalam kurun waktu hampir seratus tahun terakhir, berbagai bentuk dan genre seni pertunjukan di Bali tumbuh dan berkembang begitu pesat dan ekstensif. Pada awalnya, pertumbuhan berbagai genre seni ini dimotivasi oleh munculnya upaya pembaruan dalam garap tabuh pada dekade kedua abad XX di Bali Utara, berupa tabuh Kebyar. "Komposisi tabuh Kebyar ini merupakan perpaduan antara melodi gending-gending kuno dengan gending-gending baru yang tersusun dalam suatu permainan yang sangat variatif dan dinamis, berupa penggunaan jenis barungan gong kebyar yang berlaras pelog saih lima," ujar Bambang Pudjasworo di Sekolah Pascasarjana UGM belum lama ini.

Dosen Institut Seni (ISI) Yogyakarta ini mengatakan hal tersebut saat menempuh ujian terbuka program doktor UGM. Dalam disertasi 'Tari Kebyar dalam Perkembangan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Budaya di Bali Abad XX', promovendus mengungkapkan kehadiran genre tabuh baru ini pada akhirnya berhasil menggugah semangat kreatif para seniman seni pertunjukan di Bali. Di antara mereka tercatat nama I Wayan Peraupan yang dikenal dengan nama I Wayan Wandres atau Pan Wandres, seorang seniman tari dari Desa Jagaraga, Buleleng. "Ia dianggap sebagai pencipta tari Kebyar pertama kali, dengan hasil karyanya tari Kebyar ," tutur Bambang.

Selain itu, dikenal pula I Ketut Maria atau I Mario, seorang seniman tari dari Tabanan. Ia menawarkan hasil interprestasi kreatif tari Kebyar Duduk dan Kebyar Terompong, Capung Manjus, dan Oleg Tambulilingan. Berikutnya, I Gde Manik, seorang seniman tari dan ahli tabuh dari Jagaraga (Bali Utara). Selain mencipta tari Palawakya, ia secara kreatif menyempurnakan koreografi karya I Wayan Wandres untuk selanjutnya digubah menjadi tari Taruna Jaya. Ada pula I Nyoman Kaler, seorang pelatih tari Legong dan ahli tabuh terkenal dari Banjar Kelandis, Denpasar. Ia menciptakan beberapa tarian Kebyar, antara lain Mergapati, Wiranata, Candrametu dan Panji Semirang.

Selanjutnya, I Wayan Beratha, yang dikenal sebagai seniman tari dan ahli tabuh dari Sumerta, Denpasar. I Wayan Beratha berhasil menciptakan gending Kebyar, tari Tani, dan berbagai macam bentuk sendratari. "Semenjak saat itulah istilah Kebyar atau Kekebyaran dipakai untuk memberi nama pada ansambel baru dan tari kreasi baru dalam kesenian Bali karena memiliki ciri karakteristik serba rumit, keras, menghentak, tajam, dan dinamis. Kedua jenis kesenian, baik tabuh maupun tari, menekankan pada pengungkapan emosi yang meluap-luap dan aksi dramatis yang menakjubkan," kata Bambang.

Perkembangan genre tabuh dan tari Kebyar pada abad XX, dalam pandangan Bambang Pudjasworo, dipengaruhi oleh berbagai persoalan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Pengaruh yang dimaksud, antara lain, datang dari kebijakan politik kebudayaan kolonial yang disebut Baliseering, berupa perjuangan kelas sosial di Bali, gerakan pendidikan, gerakan sosial perempuan, diplomasi kebudayaan model Sukarno, propaganda politik yang dilakukan LEKRA dan LKN, perkembangan industri budaya dan pariwisata di Bali. "Dan tentu saja strategi kebudayaan pemerintah melalui festival-festival kesenian, khususnya Pekan Kesenian Bali," jelasnya.

Melalui pendekatan etnokoreologi, Bambang mengatakan sebagai genre baru, kehadiran tari dan tabuh Kebyar dalam kesenian Bali menunjukkan fakta bahwa tabuh Kebyar merupakan ekspresi budaya rakyat Bali Utara yang terjajah. Sebagai kelompok yang tertindas, masyarakat Bali Utara memanfaatkan Kebyar sebagai simbol gerakan budaya dalam menemukan identitas diri dan mencari alternatif kehidupan masyarakat yang lebih baik. "Sebagai ekspresi budaya, Kebyar merupakan counter culture, yaitu suatu bentuk perlawanan yang dilakukan secara simbolik masyarakat Bali Utara terhadap tatanan sosial, budaya, dan ideologi politik kolonial Belanda," terangnya. (Humas UGM/ Agung)

Berita Terkait

● KMHD UGM Kampanyekan Cinta Tari Pendet ● Suasthi Widjaja : Sebagai Sumber Tari dan Dramatari di Bali ● Raih Doktor Usai Teliti Tari Legong Keraton di Bali ● Festival Tari Bali UGM 2015 ● Festival Nusantara: Mengembalikan Antusiasme Remaja Terhadap Kearifan Lokal