11 2. TINJAUAN DATA 2.1 Data Literatur Berikut Adalah Beberapa

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

11 2. TINJAUAN DATA 2.1 Data Literatur Berikut Adalah Beberapa 2. TINJAUAN DATA 2.1 Data Literatur Berikut adalah beberapa data literatur dan survey yang dapat membantu serta berkaitan dengan perancangan : 2.1.1 Pengertian yang berhubungan dengan Anime Film animasi Jepang ( anime ) pertama dibuat dengan teknik paper-cut sangat dipengaruhi oleh film-film animasi karya Emile Cohl dari Prancis. Pada tahun 1920-an, masuknya film-film animasi Amerika (Hollywood) dengan karakter-karakter seperti Felix the Cat, Mickey Mouse, Betty Bob, dan Popeye di Jepang mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Bahkan dengan pengaruh film-film animasi tersebut, Jepang kemudian mengadaptasi gaya mata pie-cut Mickey Mouse atau Felix the Cat dalam karya manga atau anime. Perkembangan dunia animasi Jepang sudah dimulai sejak masa Taisho (1911-1925). Pada masa itu industri film animasi dapat dikatakan sebagai metode industri kerajinan tangan ( handycraft ) seiring dengan berkembangnya berbagai macam bakat kemampuan dan keahlian. Sejarah karya animasi di Jepang diawali dengan dilakukannya percobaan film animasi pertama oleh Shimokawa Bokoten, Koichi Junichi, dan Kitayama Seitaro pada tahun 1913. Kemudian dengan adanya pengaruh dari kepopuleran film animasi asing, pengusaha dunia hiburan film di Jepang mulai tergerak untuk memulai produksi anime di dalam negeri. Yang diwujudkan dengan didirikannya perusahaan Tennen Shoku Katsudo Shashin (Tenkatsu ) pada tahun 1914 oleh Shimokawa Bokoten yang merupakan murid dari kartunis terkenal Jepang Kitazawa Rakuten. Hingga pada tahun 1916 ( Taisho 5) Tenkatsu mulai ikut aktif dalam produksi anime dalam negeri. Anime pertama yang mencapai kepopuleran yang luas adalah Astro Boy karya Ozamu Tezuka pada tahun 1963. Sekarang anime sudah sangat berkembang jika dibandingkan dengan anime jaman dulu. Dengan grafik yang sudah berkembang sampai alur cerita yang lebih menarik dan seru. Masyarakat Jepang sangat antusias menonton anime. Dari anak-anak sampai orang dewasa. Mereka menganggap, anime itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Untuk bisa 11 Universitas Kristen Petra 12 mendapatkan anime, mereka harus membeli dvd/vcd anime atau mereka bisa men- download anime itu dari situs-situs penyedia layanan Direct Download Link (DDL). Sekarang anime menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan bagi semua orang. Pembuat anime itu sendiri disebut animator. Para Animator itu bekerja disebuah perusahaan media untuk memproduksi sebuah anime. Di dalam perusahaan itu, terdapat beberapa animator yang saling bekerja sama untuk menghasilkan sebuah anime yang berkualitas.Tapi sangat disayangkan, gaji dari para animator tersebut kecil jika dibandingkan dengan kerja keras mereka. Hal ini yang membuat para animator enggan untuk bekerja secara professional. Mereka merasa hal itu tidak sebanding dengan usaha yang telah mereka lakukan. Para animator itu sendiri sering disebut ”Seniman Bayangan”. Karena mereka bekerja seperti seorang seniman yang berusaha mengedepankan unsur cerita dan unsur intrinsiknya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Anime) 2.1.2 Pengertian yang Berhubungan dengan Manga Majalah-majalah manga di Jepang biasanya terdiri dari beberapa judul komik yang masing-masing mengisi sekitar 30-40 halaman majalah itu (satu bab). Majalah-majalah tersebut sendiri biasanya mempunyai tebal berkisar antara 200 hingga 850 halaman. Jika sukses, sebuah judul manga bisa terbit hingga bertahun- tahun. Setelah beberapa lama, cerita-cerita dari majalah itu akan dikumpulkan dan dicetak dalam bentuk buku berukuran biasa, yang disebut tankōbon (atau kadang dikenal sebagai istilah volume). Komik dalam bentuk ini biasanya dicetak di atas kertas berkualitas tinggi dan berguna buat orang-orang yang tidak atau malas membeli majalah-majalah manga yang terbit mingguan yang memiliki beragam campuran cerita/judul. Dari bentuk tankōbon inilah manga biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di negara-negara lain seperti Indonesia. • Manga yang khusus ditujukan untuk laki-laki disebut shonen • sedangkan yang untuk perempuan disebut shoujo . Dua penerbit manga terbesar di Jepang adalah Shogakukan dan Shueisha. Dua penerbit manga terbesar di Indonesia adalah Elex Media Komputindo dan m&c Comics yang merupakan bagian dari kelompok Gramedia. Sekitar tahun 2005, Universitas Kristen Petra 13 kelompok Gramedia juga telah menghadirkan Level Comics, yang lebih terfokus pada penerbitan manga -manga bergenre Seinen (dewasa). Ada beberapa penerbit ilegal di Indonesia, namun tampaknya peredarannya hanya sebatas di wilayah kota kota besar, karena untuk beberapa daerah tidak ditemukan komik-komik jenis ini. Perbedaan yang mencolok dari penerbit ilegal ini, mereka tampak lebih terbuka terhadap sensor dibandingkan dengan manga terbitan Elex yang jauh lebih ketat dalam hal sensor. Rata-rata mangaka di Jepang menggunakan gaya/ style sederhana dalam menggambar manga . Tetapi, gambar latar belakangnya hampir semua manga digambar serealistis mungkin, biarpun gambar karakternya benar-benar sederhana. Para mangaka menggambar sederhana khususnya pada bagian muka, dengan ciri khas mata besar, mulut kecil dan hidung sejumput. Tidak semua manga digambarkan dengan sederhana. Beberapa mangaka menggunakan style yang realistis, walaupun dalam beberapa elemen masih bisa dikategorikan manga . Seperti contohnya Vagabond, karya Takehiko Inoue yang menonjolkan penggunaan arsir, proporsi seimbang dan setting yang realistis. Vagabond dikategorikan manga karena gaya penggambaran mata, serta beberapa bagian yang simpel. Manga juga biasa digambar dalam monochrome dan gradasinya yang biasa disebut tone . Untuk komik jangka panjang atau yang memiliki ratusan volume, umumnya seiring dengan perkembangan waktu, para mangaka akan mengalami perubahan goresan yang cukup signifikan. Contoh yang umum di Indonesia mungkin karaya Hojo Tsukasa yang dari Cat Eyes berubah menjadi seperti dalam City Hunter. Atau karya lain Ah ! My Goddess yang dimulai sejak 1988 dan sampai sekarang masih terus berjalan. One Piece and Naruto pun cukup berubah bila dibandingkan pada goresan volume-volume awal. Doujinshi adalah sebutan bagi manga yang dibuat oleh fans manga tersebut yang memiliki alur cerita atau ending yang berbeda dari manga aslinya. Para fans ini biasa mendistribusikannya dari tangan ke tangan, dijual secara indie di toko doujinshi , atau mengikuti konvensi akbar doujinshi yang biasa disebut Comic Market . Disini dijual ribuan judul doujinshi tiap tahunnya. Pengunjungnya bisa mencapai 400.000 orang. Universitas Kristen Petra 14 Doujinshi sendiri kadang menjadi batu loncatan seseorang/kelompok untuk menjadi mangaka . Ken Akamatsu ( Love Hina , Negima ) juga sering membuat dojin karyanya sendiri. Karena banyaknya manga yang diterbitakan di Indonesia sejak dari zaman Doraemon, Candy Candy, maupun Kungfu Boy yang membanjiri pasar Indonesia yang berlangsung selama bertahun-tahun dengan distribusi yang cukup teratur sehingga menyebabkan manga terbitan Elex Media Komputindo sangat mudah diperoleh apabila dibandingkan dengan peredaran komik Eropa/Amerika yang relatif lebih susah dan lebih mahal, kecuali Donal Bebek yang masih bisa didapat secara teratur tiap minggunya. Hal ini mengakibatkan terjadinya debat kusir pada proses pembentukan komik karya "Indonesia", karena secara tidak langsung banyak generasi komikus muda di Indonesia baik tanpa sadar maupun sadar, terpengaruh oleh gaya aliran Jepang ( manga ) ini. Hal ini pun masih diperdebatkan, namun mengingat dengan beberapa pengarang asal Korea dan Hong Kong yang memiliki goretan yang cukup mirip dengan manga Jepang, harusnya hal ini tidak dipermasalahkan. Di Indonesia juga terdapat komunitas-komunitas penggemar manga dan anime. Biasanya mereka berkumpul dan berbagi dengan penggemar lain lewat internet atau berkumpul di suatu tempat. Para penggemar yang bertemu di internet/forum biasa mengadakan gathering (pertemuan) untuk saling berjumpa satu sama lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Manga) 2.1.3 Pengertian yang berhubungan dengan Cosplay Cosplay (Kosupure ) adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang ( Wasei- eigo ) yang berasal dari gabungan kata " costume " (kostum) dan " play " (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime , manga , permainan video, atau penyanyi dan musisi idola. Pelaku cosplay disebut cosplayer , Di kalangan penggemar, cosplayer juga disingkat sebagai layer . Di Jepang, peserta cosplay bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar ( dōjin circle ), seperti Comic Market , atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei . Penggemar cosplay Universitas Kristen Petra 15 termasuk cosplayer maupun bukan cosplayer sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika, RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia Kegiatan cosplay ada sejak paruh kedua tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat sering mengadakan konvensi fiksi ilmiah. Peserta konvensi mengenakan kostum seperti yang yang dikenakan tokoh-tokoh film fiksi ilmiah seperti Star Trek. Budaya Amerika Serikat sejak dulu mengenal bentuk-bentuk pesta topeng ( masquerade ) seperti dalam perayaan Haloween dan Paskah. Tradisi penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah sampai ke Jepang pada dekade 1970-an dalam bentuk acara peragaan kostum (costume show ). Di Jepang, peragaan " cosplay " pertama kali dilangsungkan tahun 1978 di Ashinoko, Prefektur Kanagawa dalam bentuk pesta topeng konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai ke-17. Kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum seperti tokoh dalam gambar
Recommended publications
  • JKA918 Manga Studies (JB, VT2019) (1) Studying Manga: Introduction to the Research Field Inside and Outside of Japan JB (2007)
    JKA918 Manga Studies (JB, VT2019) (1) Studying manga: Introduction to the research field inside and outside of Japan JB (2007), “Considering Manga Discourse: Location, Ambiguity, Historicity”. In Japanese Visual Culture, edited by Mark MacWilliams, pp. 351-369. Armonk, NY: M. E. Sharpe [e-book]; JB (2016), Chapter 8 “Manga, which Manga? Publication Formats, Genres, Users,” in Japanese Civilization in the 21st Century. New York: Nova Science Publishers, ed. Andrew Targowski et al., pp. 121-133; Kacsuk, Zoltan (2018), “Re-Examining the ‘What is Manga’ Problematic: The Tension and Interrelationship between the ‘Style’ Versus ‘Made in Japan’ Positions,” Arts 7, 26; https://www.mdpi.com/2076-0752/7/3/26 (2) + (3) Archiving popular media: Museum, database, commons (incl. sympos. Archiving Anime) JB (2012), “Manga x Museum in Contemporary Japan,” Manhwa, Manga, Manhua: East Asian Comics Studies, Leipzig UP, pp. 141-150; Azuma, Hiroki ((2009), Otaku: Japan’s Database Animals, UP of Minnesota; ibid. (2012), “Database Animals,” in Ito, Mizuko, ed., Fandom Unbound: Otaku Culture in a Connected World, Yale UP, pp. 30–67. [e-book] (4) Manga as graphic narrative 1: Tezuka Osamu’s departure from the ‘picture story’ Pre- reading: ex. Shimada Keizō, “The Adventures of Dankichi,” in Reading Colonial Japan: Text, Context, and Critique, ed. Michele Mason & Helen Lee, Stanford UP, 2012, pp. 243-270. [e-book]; Natsume, Fusanosuke (2013). “Where Is Tezuka?: A Theory of Manga Expression,” Mechademia vol. 8, pp. 89-107 [e-journal]; [Clarke, M.J. (2017), “Fluidity of figure and space in Osamu Tezuka’s Ode to Kirihito,” Journal of Graphic Novels and Comics, 26pp.
    [Show full text]
  • Il Giappone Dei Manga LO SPECCHIO DELLA SOCIETÀ GIAPPONESE NEL FUMETTO E NEL CINEMA DI ANIMAZIONE Di Gianluca Di Fratta
    Il Giappone dei Manga LO SPECCHIO DELLA SOCIETÀ GIAPPONESE NEL FUMETTO E NEL CINEMA DI ANIMAZIONE di Gianluca Di Fratta Università degli Studi di Milano-Bicocca 11 ottobre 2018 L’utilizzo di testo e immagini è riservato Le origini del manga in Giappone sono fatte risalire all’epoca Meiji (1868-1912) e riportate all’esempio dei primi disegnatori stranieri che furono attivi in quegli anni. La nascita di un giornalismo illustrato favorisce la diffusione di una vignetta, spesso umoristica o satirica, interessata agli avvenimenti politici e all’evoluzione dei costumi, che vede tra i suoi principali esponenti Kitazawa Rakuten. In epoca Taisho (1912-1926) il manga risente del clima di fermento culturale che caratterizza il periodo: - grande editoria - edizioni economiche - produzione di massa - movimenti di avanguardia occidentali Emergono i primi esempi di manga indirizzati a un pubblico giovanile grazie ad autori quali Kabashima Katsuichi (Shochan no boken) e Aso Yutaka (Nonkina tosan): - fukidashi - linguaggio scritto e iconico - convenzioni grafiche - katei manga Gli anni Trenta vedono l’affermazione del potere militare in Giappone e il manga è utilizzato per la propaganda imperialistica del paese. Ciò non influisce sulla qualità dei disegni e dei contenuti come dimostra l’opera di Tagawa Suiho (Norakuro) e di Sakamoto Gajo (Tanku Tankuro) e l’abbondante produzione di manga per ragazzi che continuerà fino al diretto coinvolgimento degli autori nelle azioni di sostegno alla guerra. Soggetto favorito dei manga del dopoguerra è la realtà quotidiana colta con toni realistici, intenti satirici o caricaturali, vigore polemico: - nuovi costumi - situazione economica - bilancio delle vittime - interrogativi sulle responsabilità Nella seconda metà degli anni Quaranta nei manga emerge l’immagine di un Giappone in ricostruzione di cui si fanno portavoce Nanbu Shotaro e Hasegawa Machiko (Sazae-san) attraverso la loro produzione umoristica.
    [Show full text]
  • History 146C: a History of Manga Fall 2019; Monday and Wednesday 12:00-1:15; Brighton Hall 214
    History 146C: A History of Manga Fall 2019; Monday and Wednesday 12:00-1:15; Brighton Hall 214 Insufficient Direction, by Moyoco Anno This syllabus is subject to change at any time. Changes will be clearly explained in class, but it is the student’s responsibility to stay abreast of the changes. General Information Prof. Jeffrey Dym http://www.csus.edu/faculty/d/dym/ Office: Tahoe 3088 e-mail: [email protected] Office Hours: Mondays 1:30-3:00, Tuesdays & Thursdays 10:30-11:30, and by appointment Catalog Description HIST 146C: A survey of the history of manga (Japanese graphic novels) that will trace the historical antecedents of manga from ancient Japan to today. The course will focus on major artists, genres, and works of manga produced in Japan and translated into English. 3 units. GE Area: C-2 1 Course Description Manga is one of the most important art forms to emerge from Japan. Its importance as a medium of visual culture and storytelling cannot be denied. The aim of this course is to introduce students and to expose students to as much of the history and breadth of manga as possible. The breadth and scope of manga is limitless, as every imaginable genre exists. With over 10,000 manga being published every year (roughly one third of all published material in Japan), there is no way that one course can cover the complete history of manga, but we will cover as much as possible. We will read a number of manga together as a class and discuss them.
    [Show full text]
  • Articulations of Salaryman Masculinity in Shôwa and Post-Shôwa Japan by Romit Dasgupta, University of Western Australia
    Volume 15, Number 1 • Fall 2017 Articulations of Salaryman Masculinity in Shôwa and Post-Shôwa Japan by Romit Dasgupta, University of Western Australia Abstract: This paper looks at Japan over the Shôwa (1925—1989) and post- Shôwa, Heisei (1989— ) periods through the discourse of masculinity embodied in the urban, middle-class white- collar “salaryman.” As a sort of “Everyman” of corporate Japan, particularly over the 1960s-1990s, the salaryman came to signify both Japanese masculinity in general, and more specifically Japanese corporate culture. In this regard the discourse of masculinity signified by the salaryman could have been regarded as the culturally privileged hegemonic masculinity. Moreover, despite the corporate re- structurings and socio-economic and cultural shifts in Japan since the 1990s, the salaryman continues to be pivotal to the ways in which Japanese corporate culture, Japanese masculinity, and indeed Japanese national identity continue to be framed. This paper traces the emergence of the discourse of the salaryman in the first decades of the twentieth century, its entrenchment in the post-World War II (postwar) decades as the hegemonic blueprint for Japanese masculinity, and its apparent fragmentation over the decades of economic slowdown since the 1990s. Permalink: Date of Publication: Vol. 15, no. 1, Fall 2017 usfca.edu/center-asia-pacific/perspectives/v15n1/dasgupta Citation: Keywords: Japan, twentieth-century, twenty- Dasgupta, Romit. “Articulations of Salaryman first century, masculinity, hegemonic masculinity,
    [Show full text]
  • Drawing the Line: Manga and Censorship
    Drawing the Line: Manga and Censorship Akiko Walley East Asian Popular Culture Workshop August 19, 2016 - First use of the term “manga” 漫画 • Appears in late 18th-early 19th century • Katsushika Hokusai, Hokusai Manga (1814-) - Change in the meaning of the term “manga” 漫画 • 1890: “manga” = transla0on of the term “caricature” • 1902: column “Manga News” on Daily News - 1903: Kitazawa Rakuten (1876-1955) = first professional “manga arMst” - 1915: Okamoto Ippei (1886-1948) and Tokyo Manga Associaon Meiji-Shōwa manga booms (a quick overview) • 1868: Meiji Restoraon • 1894-1895: Sino-Japanese War I • 1904-1905: Russo-Japanese War • Early 20th century: Cartoon Magazine Boom • [1914-1918: WWI] • 1923: Great Kanto Earthquake • 1926-1936: Comic Strips Boom Tezuka Osamu • 1941-1945: Pacific War gekiga (dramac picture) • 1946-50: Comics Boom resumes • [1945-1952: Occupaon period] Tezuka Osamu (1928-1989) – Shin Takarajima (New Treasure Island). someMmes referred to as the “god of Story by Sakai Shichima. Art by Tezuka manga” Osamu. Published originally from Ikuei Shuppan, 1947. Warau manga: Pyonsuke no chin keiba (Manga for Laughs: Pyonsuke’s Strange Horse Race). Published from Shunkôdô, 1942. gekiga Black Blizzard (Kuroi fubuki). By Tatsumi Yoshihiro. First published as Rental Book in 1956. Manga censorship Manga Censorship: An Overview • 1947: New Treasure Island – popularity of Manga • 1949: CriMcism against akahon (“Red Book”) manga • 1955: Banning of “bad books” (akusho) • 1959: CriMcism against kashihon (“rental books”) gekiga • 1970: Shameless
    [Show full text]
  • The Evolution of the Comic Panel in Japanese Manga
    THE EVOLUTION OF THE COMIC PANEL IN JAPANESE MANGA by GRACE SHUM A THESIS Presented to the Department of English and the Robert D. Clark Honors College in partial fulfillment of the requirements for the degree of Bachelor of Arts Spring 2017 An Abstract of the Thesis of Grace Shum for the degree of Bachelor of Arts in the department of English to be taken June 2017 Title: The Evolution of the Comic Panel in Japanese Manga Approved: _________________________________________ Dr. Elizabeth Wheeler The comic panel is an integral but not always obvious part of comic literacy. This is especially true in Japanese manga, in which panel layouts can be extremely abstract. I endeavored to examine the history of manga to observe its panel evolution to discover how manga panel layouts evolved to what they are today. At the same time, I created a manga of my own, Kaguya, which is adapted from the folktale, The Tale of the Bamboo Cutter, to showcase the evolution of panel examples throughout manga history. Through my research, I discovered that manga panels were at first confined to the dimensions of their media formats like in the proto-panels of emaki scrolls and ukiyo-e prints. Later, due to the influence of European and American comics, Japanese comic panels diversified, with the caption-picture format becoming the most popular. Japanese manga panels evolved even further when shôjo and shonen manga developed with panel layouts designed to emote emotion and action, respectively. Today’s manga panels are variations of the shôjo and shonen panels that evolved after WWII, but with Japan’s deep cultural roots in manga and habit of intermixing manga into different media, perhaps it is only a matter of time before manga panels develop even further.
    [Show full text]
  • Hayao Miyazaki
    Corso di Laurea M agistrale in Interpretariato e Tr aduzione Editoriale, Settor Settoriale Hayao Miyazaki e i classici d ’animazione Pro posta di traduzione e commento traduttologico di articoli sul del maestro de ll'animazione e la creazione del suo “ mondo fantastico ” Relatore Prof. Ch. Nicoletta Pesaro Correlatore Prof.ssa Federica Passi Laureando Gianmarco Negro Matri cola 8 37115 Anno Accademico 2015 / 2016 Indice Abstract ................................ ................................ ................................ ................................ ................................ ..... 4 摘要 ................................ ................................ ................................ ................................ ................................ ........... 5 1. Introduzione: la storia del manga e dell’anime ................................ ................................ .............................. 7 1.1 Il concetto di animazione ................................ ................................ ................................ ........................ 7 1.2 Il concetto di manga e la relazione con l’animazione ................................ ................................ ......... 12 1.3 La classificazione degli anime ................................ ................................ ................................ .............. 14 2. Hayao Miyazaki (1941 -- ) ................................ ................................ ................................ .............................. 17 2.1 La vita ...............................
    [Show full text]
  • Chinese Modern Cartoon. a Transcultural Approach to Modern Sketch
    Chinese Modern Cartoon. A transcultural approach to Modern Sketch by Martina Caschera After the Opium Wars (1839-1984; 1856-1860) and the opening of the Treaty Ports, new printing technologies and new kinds of economic and cultural exchanges substantially modified Chinese society and revolutionized its media context, especially in the so-called contact-zones (i.e. colonial and semi colonial liminal spaces characterized by transcultural flows). In those years, the city of Shanghai stood out among the Treaty Ports, quickly becoming the Chinese capital of modern editorial print. As a result, it also became the cradle of the cartoon (single-panelled, mainly satirical vignette), a form of visual communication historically interwoven with the evolution of journalism and mass culture. The Chinese modern cartoon, which emerged and flourished in the Treaty Ports at the turn of the twentieth century1, represents a locus of re-negotiation of powers and reflects the process of bridging cultural boundaries through adaptive and integrative communication strategies. Being produced in the context of the contact- zones, we can say, borrowing Bhabha's words, that cartoons “also deploy the cultural hybridity of their borderline conditions to ‘translate’, and therefore reinscribe, the social imaginary of both metropolis and modernity” (1994: 6). While contact-zones 1 The information regarding Chinese cartoon historiography is mainly drawn on Bi and Huang (2006). Saggi/Ensayos/Essais/Essays CONfini, CONtatti, CONfronti – 02/2018 85 have been central for critically re-considering colonialism and anti-colonialism as Western-centred discursive formations (Said 1978), a more recent postcolonial scholarship shifted the focus from unilateral dynamics to bilateral and pluralist processes so that (semi)colonialism can now be considered as “rather a multilateral, interlocking relation” (Volz and Lee 2010: 2).
    [Show full text]
  • Japanese Media Cultures in Japan and Abroad Transnational Consumption of Manga, Anime, and Media-Mixes
    Japanese Media Cultures in Japan and Abroad Transnational Consumption of Manga, Anime, and Media-Mixes Edited by Manuel Hernández-Pérez Printed Edition of the Special Issue Published in Arts www.mdpi.com/journal/arts Japanese Media Cultures in Japan and Abroad Japanese Media Cultures in Japan and Abroad Transnational Consumption of Manga, Anime, and Media-Mixes Special Issue Editor Manuel Hern´andez-P´erez MDPI • Basel • Beijing • Wuhan • Barcelona • Belgrade Special Issue Editor Manuel Hernandez-P´ erez´ University of Hull UK Editorial Office MDPI St. Alban-Anlage 66 4052 Basel, Switzerland This is a reprint of articles from the Special Issue published online in the open access journal Arts (ISSN 2076-0752) from 2018 to 2019 (available at: https://www.mdpi.com/journal/arts/special issues/japanese media consumption). For citation purposes, cite each article independently as indicated on the article page online and as indicated below: LastName, A.A.; LastName, B.B.; LastName, C.C. Article Title. Journal Name Year, Article Number, Page Range. ISBN 978-3-03921-008-4 (Pbk) ISBN 978-3-03921-009-1 (PDF) Cover image courtesy of Manuel Hernandez-P´ erez.´ c 2019 by the authors. Articles in this book are Open Access and distributed under the Creative Commons Attribution (CC BY) license, which allows users to download, copy and build upon published articles, as long as the author and publisher are properly credited, which ensures maximum dissemination and a wider impact of our publications. The book as a whole is distributed by MDPI under the terms and conditions of the Creative Commons license CC BY-NC-ND.
    [Show full text]
  • MANGA and ART Zur Entwicklung Eines Mediums Und Dessen Einfluss Auf Die Kunst Yoshitomo Naras
    DIPLOMARBEIT Titel der Diplomarbeit MANGA AND ART Zur Entwicklung eines Mediums und dessen Einfluss auf die Kunst Yoshitomo Naras Verfasserin Elisabeth Pippan angestrebter akademischer Grad Magistra der Philosophie (Mag.phil.) Wien, 2008 Studienkennzahl: A 315 Studienrichtung lt. Studienblatt: Kunstgeschichte Betreuerin: Ao. Univ.-Prof. Dr. Martina Pippal 1 2 DANKSAGUNG Mein Dank gilt meiner Betreuerin Dr. Martina Pippal für ihre Unterstützung, die Annahme eines gewissermaßen fächerübergreifenden, nicht „rein kunsthistorischen“ Themas und für konstruktive Kritik am richtigen Ort. Besonders bedanken möchte ich mich weiters bei meiner Familie: Bei meinem Vater, der mich gelehrt hat, dass man mit einer Kombination aus Willen und Humor viel weiter kommt und dass manche Dinge gar nicht so wichtig sind, bei meiner Mutter, die mit Stärke, Hilfsbereitschaft und positiver Energie irgendwie alles auf die Reihe bekommt und bei meiner Schwester, die meist der Fels in der Brandung ist. Danke auch an Jasmin für jegliche Unterstützung und insbesondere an Thomas, auf den ich immer zählen kann, für überhaupt alles! 3 4 Inhaltsverzeichnis 1. EINLEITUNG.........................................................................................7 2. MANGA – DAS MEDIUM...........................................................................10 2.1. Begriffsdefinition..........................................................................10 2.2. Geschichte...................................................................................10 2.2.1. „Vorformen“
    [Show full text]
  • Japan Pop: La Cultura Popular Japonesa De Masses
    Japan Pop: la cultura popular japonesa de masses. Manga, anime i més Dani Madrid Morales i Guillermo Martínez Taberner 1. Breu introducció al Japó contemporani 1.1. El Japó del segle XXI 1.2. Revisitant la societat japonesa: el debat homogeneïtat vs. diversitat cultural 1.3. La cultura popular japonesa: definició, evolució i noves manifestacions 2. Manga, el còmic japonès 2.1. 60 o 1000 anys de manga? Una història del còmic al Japó 2.2. El manga avui en dia: gèneres, estils i públics 2.3. Els grans autors de la postguerra a l’actualitat 2.4. Deu títols bàsics de manga 2.5. El manga més enllà del Japó 3. L’animació japonesa: l’anime 3.1. L’animació japonesa al llarg de la història 3.2. L’anime al cinema i l’anime a la televisió 3.3. La relació entre manga i anime 3.4. La internacionalització de l’anime 3.5. Els clàssics: autors, pel·lícules i sèries 4. Les múltiples cares del Japan Pop 4.1. El cinema japonès de terror ( j-horror ) 4.2. La música pop ( j-pop ) 4.3. Els culebrons i sèries de televisió ( j-drama ) 5. Un fenomen global: l’èxit de la cultura popular japonesa al món 5.1. El soft power japonès: la influència del Japó al món a través de la diplomàcia cultural 5.2. La globalització del Japan Pop . El fenomen a Àsia, els Estats Units i Europa 5.3. L’impacte de la cultura popular japonesa a Espanya i Catalunya Quan a la dècada dels setanta van arribar a les llars espanyoles personatges d’animació com Heidi, la nena de les muntanyes suïsses, o Maya, l’abella, gairebé ningú no sabia dir d’on venien, però tots dos personatges es van integrar ràpidament a la llista de referents culturals compartits de tota una generació, com ho havien fet abans Pere Picapedra o, més endavant, Scooby-Doo.
    [Show full text]
  • The Sloppy Realities of 3.11 in Shiriagari Kotobuki's Manga し り
    Volume 11 | Issue 26 | Number 1 | Article ID 4140 | Jun 30, 2013 The Asia-Pacific Journal | Japan Focus The Sloppy Realities of 3.11 in Shiriagari Kotobuki’s Manga し りあがり寿がマンガで描く3.11のぞんざいな現実 Mary Knighton “What is important, I think, is to feel that – and deepened a quotidian experience of something is real. I feel that “sloppy” things are malaise at a crisis constantly in the news, with real. If I were asked “Why?,” though, I could no end in sight. Emerging at a time of national only reply, “Because that’s who I am.” I crisis when many hesitated to speak up was the suppose I could puff myself up and say manga artist, Shiriagari Kotobuki. Although “Because the world is a sloppy place, that’s published three years ago, Shiriagari’s Manga why.” This world is half-baked, half-assed, all Ever Since: 2011.3.11 (Ano hi kara no manga: Buddhist “impermanence” – such that when 2011.3.11, 2011), received recognition just this you say this, it is really that, and when you past May with the 2014 Medal of Honor for think you have it here, it is over there. So yes, Culture (Purple Ribbon) from the Emperor.2 all that we know for sure is that we are always Manga Ever Since collects manga that, in the process of change. So what happens beginning mere days after March 11, 2011, when the world changes? Well, the world is steadily folded the experience of the disaster going to end, of course. So there you have it, into readers’ everyday lives.
    [Show full text]