PENGHARGAAN KEBUDAYAAN TAHUN 2015

Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015

TIM PENYUSUN PROFIL PENERIMA PENGHARGAAN KEBUDAYAAN TAHUN 2015

Pengarah Kacung Marijan

Penanggung Jawab Dyah Chitraria Liestyati

Penulis Binsar Simanullang Citra Smara Dewi Dewi Nova Dita Darfianti Dyah Chitraria Liestyati Mohamad Atqa Willy Hangguman

Kameramen Franky Maxi Kiswanto M. Soleh Rulli

Fotografer Dede Semiawan Denison Wisaksono Desy Wulandari Rahmat Gunawan Retno Raswati Yoki R. Priantoko

Editor M. Yoesoev (Teks) Siti Turmini Kusniah (visual)

Sekretariat dan Pengolah Data Haris Liza Ariesta M

Desain Cover & Layout Nicholas Wila Adi (Red Studio Desain)

Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KATA PENGANTAR

Hakikat suatu kebudayaan yang diperoleh melalui proses belajar, mencakup seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Eksistensi kebudayaan bergantung pada peranserta dan kepedulian masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Dalam berbagai kondisi, perubahan yang terjadi di tengah masyarakat ditentukan oleh political will semua pihak untuk menjaga nilai – nilai budaya bangsa sebagai acuan dalam merespon perubahan tersebut. Dari sisi pemerintah, kebijakan pengembangan kebudayaan diarahkan pada terciptanya iklim yang kondusif bagi pembangunan kebudayaan. Bagaimana meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap nilai – nilai budaya yang tumbuh di seluruh nusantara, diharapkan menjadi dasar pembangunan berwawasan kebudayaan.

Program apresiasi, bukan sekedar ajang pertemuan, lebih dari itu merupakan proses pertukaran pengetahuan, keterampilan dari pengalaman seseorang kepada orang lain. Di dalamnya terkandung penilaian, pengenalan melalui perasaan, kepekaan batin, pengakuan terhadap nilai – nilai keindahan yang diungkapkan oleh seseorang dalam penciptaan suatu karya. Melalui program apresiasi ini, orang lain mendapatkan wacana baru untuk lebih mengerti, memahami, mengenali tokoh, karya dan proses berkarya. Dalam konteks ini, diharapkan terbangun kesadaran kolektif. Kita dapat menyaksikan kesungguhan dari penikmat karya melalui penjiwaan yang benar – benar dalam menilai, menghargai, menghayati suatu karya, sekaligus bertemu dengan tokoh baik secara individual maupun komunitas dan lembaga yang patut diteladani.

Ada dua jenis penghargaan kebudayaan. Pertama yang diberikan langsung oleh Presiden berdasarkan usulan kepada Sekretariat Negara untuk Penerima Tanda Kehormatan, baik untuk Bintang Mahaputera Utama, Bintang Budaya Parama Dharma, maupun Satyalancana Kebudayaan. Kedua, Penghargaan Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Cq Direktorat Jenderal Kebudayaan, dengan 7 kategori, yaitu Pencipta, Pelopor dan Pembaru; Pelestari; Anak dan Remaja, Maestro Seni Tradisi, Pemerintah Daerah, Media, Komunitas dan Perorangan Asing. Khusus 4 kategori terakhir merupakan kategori baru tahun 2015.

Prosedur dan mekanisme dua penghargaan kebudayaan ini tidak sama. Untuk memperoleh Gelar Tanda Kehormatan, ada tim penilai internal yang dibentuk melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan tim dari Dewan Tanda Kehormatan yang dibentuk berdasarkan SK Presiden. Setelah diseleksi oleh tim internal, dilakukan verifikasi oleh instansi berwenang, yaitu Badan Intelegen Nasional, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI. Kemudian diproses lebih lanjut oleh Dewan Tanda Kehormatan untuk selanjutnya diberikan kepada Presiden. Dalam hal ini, Presiden dapat saja menolak, atau menyetujui. Sedangkan untuk penghargaan kebudayaan, Tim Penilai yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, melakukan penilaian terhadap masing – masing calon setelah proses seleksi awal oleh Sekretariat, selanjutnya verifikasi data langsung ke lapangan sebagai bahan penetapan berdasarkan Surat Keputusan Penetapan Penerima Penghargaan Kebudayaan.

Untuk tahun 2015 penerima penghargaan dari Presiden terdiri atas kelas Mahaputera Utama adalah 1 orang, Kelas Bintang Budaya Parama Dharma berjumlah 3 orang, sedangkan untuk kelas Satyalancana Kebudayaan berjumlah 9 orang. Penghargaan Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berjumlah 43 orang, terdiri atas Kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru berjumlah 11 orang, Pelestari berjumlah 10 orang, Anak dan Remaja berjumlah 5 orang, Maestro Seni Tradisi berjumlah 5 orang, termasuk 12 penghargaan untuk 4 kategori yang baru, yaitu.

. Pemerintah Daerah. Diberikan kepada 3 Pemerintah Daerah: Kabupaten atau Kota yang memiliki dan mengelola sumber daya alam dan budaya secara kreatif, berkeseimbangan, dan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat dan menginspirasi masyarakat luas.

. Media. Diberikan kepada 3 institusi baik media cetak, media elektronik (radio dan televisi) yang memiliki kepedulian terhadap kebudayaan.

. Komunitas. Ditekankan kepada 3 komunitas yang memiliki jaringan sosial dan keterlibatan masyarakat di dalamnya yang lebih bersifat independen. Selain itu, komunitas memiliki tokoh atau inisiator yang dikenal luas, serta kegiatannya tidak terpaku pada satu bidang kebudayaan saja

. Perorangan Asing. Diberikan kepada 3 perorangan asing di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan tentang Indonesia, dan bidang-bidang lain yang bermanfaat besar bagi bangsa dan negara Indonesia.

Terkait dengan penerima penghargaan kebudayaan ini, setiap tokoh atau lembaga yang mendapatkan penghargaan memiliki keistimewaan karya yang cukup bervariatif, mencakup ide/gagasan/pikiran dan pengetahuan yang sampai sekarang masih digunakan; pengetahuan tradisi yang tertuang dalam karya – karya sastra baik tertulis maupun lisan, perwujudan ekspresi, seperti tarian, musik, lukisan, patung, keramik, desain grafis maupun karya dalam bentuk fisik, seperti bangunan, gedung, yang diantaranya bersifat monumental. Mereka semua adalah tokoh dan lembaga yang patut dihargai, karena memiliki keteladanan dan prestasi sesuai dengan karakternya masing – masing. Untuk itu patut didokumentasikan dan dibuatkan profil masing – masing sebagai inspirasi bagi kita semua.

Sebagai sebuah proses, hal yang patut digarisbawahi selama tiga tahun terakhir adalah semakin banyaknya wakil pemangku kepentingan yang terlibat dan dilibatkan dalam penyelenggaraan program dan kegiatan apresiasi yang diharapkan semakin mendekati harapan masyarakat. Kepedulian masyarakat terhadap kebudayaan merupakan kunci pokok dalam penguatan karakter bangsa, jatidiri dan identitas budaya bangsa.

Selamat kepada penerima Penghargaan Kebudayaan Tahun 2015.

Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI SAMBUTAN SELINTAS TENTANG APRESIASI TIM PENILAI PROFIL PENERIMA

Tanda Kehormatan Kelas Bintang Mahaputera Utama . Franz Magnis Suseno, Rohaniawan, Pemikir Lintas Agama, Filsuf dan Budayawan

Tanda Kehormatan Kelas Bintang Budaya Parama Dharma

. Goenawan Susatyo Mohamad, Sastrawan/Jurnalis/Pendiri Majalah Berita Tempo . Petrus Josephus Zoetmulder (alm) Pakar Sastra Jawa Kuno . KPH Notoprojo atau Ki Tjokrowasito (alm.) Empu Karawitan

Tanda Kehormatan Kelas Satyalancana Kebudayaan . Augustin Sibarani (alm.) Karikaturis Sosial - Politik . Hildawati Sumantri (alm.) Seniman Keramik Kontemporer . I Nyoman Tjokot (alm.) Perupa, Pembaharu Seni Patung . Josef Prijotomo, Perintis Arsitektur Nusantara . Kotot Sukardi (alm.) Perintis Pembuatan Film anak-anak . Moh Sjafe’i (alm.) Perintis Pendidikan Seni dan Keterampilan . M. Junus Melalatoa (alm.) Penyusun ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia. . Sauti (alm.) Pencipta Tari Serampang Dua Belas . Suryo Sumanto (alm.) Perintis Perfilman Indonesia

Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru . Ananda Sukarlan, Pianis dan Komponis Musik . Avip Priatna, Konduktor Musik dan Pelopor Aransemen Paduan Suara . FrIederich Silaban, Perintis Arsitektur Kontemporer . Irvan Noe’man (alm.), Pelopor Pengembangan Ekonomi Kreatif . ., Pelopor penulisan sastra popular Indonesia . Marselli Sumarno,Kritikus dan Penulis Skenario Film . Oscar Mutuloh, Pelopor Fotografi Jurnalistik . Saini Kosim, Sastrawan, Pembaru Teater Modern berdasarkan tradisi Teater Sunda . Sitor Situmorang (alm.), Sastrawan, Penyair dan Pembaru Sastra . Syahrinur Prinka (alm.), Ilustrator dan Pelopor Infografis . Wa Ode Siti Marwiah Sipala, Koreografer dan Peneliti Tari

Kategori Pelestari . Agus Nuramal (Agus Pm Toh), Penerus Tradisi Lisan . Anna Kumari, Pelestari Seni dan Budaya Palembang, . Hayatunufus Tobing, Ahli Kuliner Tradisional DKI . Muhammad Djafar, Perajin Perahu tradisional Pa’dewakang . Ni Ketut Arini, Pelestari Tari Bali Klasik . Semuel Laufa, Pelestari Budaya Alor NTT . Saur Marlina Manurung (Butet Manurung), Perintis dan Pelaku Pendidikan Alternatif Bagi Masyarakat Terasing . Viani Subiyat, Koreografer dan Pelestari Tari . . Vincentius Kirdjito, Pelestari Tradisi dan Ritus Alam . Yahya Andi Saputra, Seniman Tradisi Lisan dan Pelestari Budaya Betawi

Kategori Anak dan Remaja . Bathara Saverigadi Dewandoro, Penari dan Koreografer Tari Tradisional . Elan Saputra Merdeka, Pelukis Muda Berbakat . Putri Yumna Salsabila Uphadana, Pelukis Muda Berprestasi . Sherina Salsabila, Penulis Remaja yang Produktif . Vicky Wahyu Hermawan Ramadhan, Penari dan Dalang Cilik

Kategori Maestro Seni Tradisi . Abdul Wahab Lihu, Penutur Tuja’i, Seni Tradisi Lisan Gorontalo . Arang Imang, Pemain Sampe’ Alat Musik Tradisional Dayak . Jan Malibela, Penari, Penyair, Perupa Sorong, Papua Barat . Mael Aya, Pencipta Syair Karungut, Sastra Lisan Tengah . Justinus Hokey, Pemusik dan Penyanyi Kakula Poso, Sulawesi Tengah

Kategori Pemerintah Daerah . SIAK, The Truly ol Malay . Banyuwangi, The Sunrise of Java . Ternate, Kota Pusaka Dunia

Kategori Media . , Rubrik Pendidikan dan Kebudayaan: Mencerdaskan Bangsa dan Mensejahterakan Masyarakat . NET. Televisi Masa Kini “Indonesia Bagus” . Radio Republik Indonesia (RRI) Palembang, Program Budayo Wong Kito: “Pempek Palembang”

Kategori Komunitas 1. Maha Bajra Sandhi, Membangun Proses Kreatif Seni Tari melalui sinergisme Artikulasi, Linguistik dan Mistik 2. Lemah Putih, Celebration Ethnic Art in Time, Merayakan Kesenian – kesenian Etnik di di dalam Perjalanan Waktu 3. International Dance Festival (IDF), Mengeksplorasi Tari Kontemporer dan Melahirkan seniman kreatif dengan Idiom Baru

Kategori Perorangan Asing 1. Anthony H. Johns, Ahli Sastra Indonesia Modern dan Pengembang Studi Bahasa Indonesia dan Jawa Kuno di Australia. 2. Henri Chambert-Loir, Ahli Naskah Bima dan Kesusasteraan Melayu Kuno 3. Sandra Niessen, Pelestari Ulos dan Tenunan Indonesia lainnya

PENUTUP SUSUNAN TIM PENILAI PER KATEGORI

Tim Penilai Gelar Tanda Kehormatan Adhi Moersid Azyumardi Azra Edi Sedyawati Mudji Sutrisno Wagiono Sunarto

Tim Penilai Kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru Bens Leo Dolorosa Sinaga Garin Nugroho Riyanto Julianti Laksmi Parani M. Yoesoef

Tim Penilai Kategori Pelestari Bre Redana Hasan Alwi Junus Satrio Atmodjo Linda F. Adimidjaja Wa Ode Siti Marwiah Sipala (Wiwiek Sipala)

Tim Penilai Kategori Anak dan Remaja Ahmadun Yosi Herfanda, Jabatin Bangun Nina Mutmainnah Armando Niniek L Karim W. Djuwita Ramelan

Tim Penilai Kategori Maestro Seni Tradisi Elly Luthan Kenedi Nurhan Nobertus Riantiarno Pudentia Maria P Sulistyo S. Tirtokusumo

Tim Penilai Kategori Pemerintah Daerah Adhi Moersid Meutia Farida Hatta Swasono Komaruddin Hidayat Ryass Rasyid Suroso M.P.

Tim Penilai Kategori Media Billy Sarwono Edi Sedyawati Efix Mulyadi Imam Wahyudi Seno Gumira Adji Dharma

Tim Penilai Kategori Komunitas Endo Suanda Gendro Nurhadi Mudji Sutrisno Taufik Rahzen Wagiono Sunarto

Tim Penilai Kategori Perorangan Asing Artauli Tobing, Azyumardi Azra, Mundardjito Taufik Abdullah, Toeti Heraty Noerhadi Roosseno

BINTANG MAHAPUTERA UTAMA

Bintang Mahaputera merupakan Tanda Kehormatan tertinggi setelah Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia.

Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera memiliki 5 (lima) kelas, yaitu:

1. Bintang Mahaputera Adipurna 2. Bintang Mahaputera Adipradana 3. Bintang Mahaputera Utama 4. Bintang Mahaputera Pratama 5. Bintang Mahaputera Nararya

Syarat Khusus

Sesuai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, yaitu:

1. Berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara; 2. Pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara; dan/atau 3. Darmabakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional. FRANZ MAGNIS-SUSENO

BERANI MENGHORMATI PERBEDAAN

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. adalah rohaniawan dan budayawan yang turut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sekitar 600 tulisan populer dan imliahnya tersebar di berbagai media. Puluhan buku karyanya menjadi acuan akademisi dalam bidang filsafat etika dan politik. Pakar filsafat etika yang rajin mengirim surat kritik kepada presiden RI ini juga bekerja untuk perdamaian bersama tokoh-tokoh dari berbagai golongan dan agama/keyakinan. Franz yang optimis dengan kedalaman dan kemampuan berkembang budaya Indonesia mengajak bangsa Indonesia untuk berani menghormati perbedaan.

Franz Magnis-Suseno, SJ lahir di Eckersdorf, Jerman pada tahun 1936. Sesudah menyelesaikan Humanistisches Gymnasium(setingkat SMA) Franz masuk tarekat Katolik Ordo Jesuit yang mengabdi di berbagai negara, antara lain Indonesia. Saat Franz mengetahui para Jesuit yang bersemangat mengabarkan Indonesia, ia tergerak untuk membantu pelayanan gereja di Indonesia. Ia belajar bahasa Jawa dan Indonesia di Giri Sonta dan Bara. Selanjutnya 1962--1964 mengajar agama di SMA Knaisius di Jakarta dan mengurus asrama siswa. Pada tahun1964--1968 Franz melanjutkan studi teologi di dan ditahbiskan menjadi imam (pastor) di Yogyakarta pada 1967.Franz merasakan perlakuan amat baik dan semakin tertarik deangn Indonesia, kemudian menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1977.

Pada tahun 1969, Franz turut membuka Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan para calon imam Katolik yang harus belajar filsafat. Saat itu para Jesuit di Indonesia harus belajar filsafat ke Pune, India di Ordo Fransiskan. Bersama Ordo Fransiskan, Franz dan Nicolos Driyarkara—profesor Filsafat Sanata Dharma Yogjakarta, guru besar Psikolog UI—dengan dukungan (alm) Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Wakil Rektor UI, pejabat kopertis saat itu, dan Prof. Dr. Fuad Hassan (saat itu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) membuka STF Driyarkara. Sejak mula pedirian, sekolah ini terbuka menerima mahasiswa dari agama apapun karena bercita-cita ingin menyumbangkan warga intelektual untuk bangsa Indonesia.

Franz kemudian diminta mengajar etika filsafat di sekolah yang ia dirikan. Hal itu membuatnya semakin tertarik mendalami pandangan etis di Indonesia. Mengingat keluasan dan keragaman budaya Indonesia, Franz memilih budaya Jawa, sebagai pintu masuk pertama ia ke Indonesia. Untuk minatnya itu, iamendapat beasiswa penelitian dari suatu yayasan dari Jerman. Ia merancang penelitian yang menghasilkan buku Etika Jawa yang kemudian mendapat sambutan hangat di Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat. Beasiswa itu ia gunakan juga untuk pertumbuhan STF Driyarkara. Dari penelitian pertamanya, minatnya terus berkembang ke wayang dan menghasilkan puluhan buku mengenai wayang. Franz yang dikenal sebagai budayawan memandang penting budaya dalam membangun Indonesia. Karena, menurutnya setiap orang belajar apa yang adil, picik, curang, jujur itu dari budaya. Yang akan ia bawa sejak dari rumah hingga keluar—bagaimana ia membawa diri. Budaya di Indonesia sedang berkembang karena masyarakat terus berubah, berinteraksi dengan modernisasi dan globalisasi.

“Di situ pemantapan dan ketangguhan budaya menjadi penting supaya tidak latah karena konsumerismeatau ekstrimis yang semuanya dapat mengakibatkan disintegrasi budaya,” tutur Franz.

Pakar filsafat etika ini juga memandang filsafat sebagai refleksi yang muncul belakangan setelah penghayatan pada budaya. Filsafat dibutuhkan di segala zaman agar manusia memahami bagaimana ia hidup danapa yang menjadi tantangan pemikiran di zamannya. Lebih jauh dikatakan Franz, bahwa universitas-universitas di Indonesia masih sangat kurang memberi tempat pada filsafat. Padahal filsafat dibutuhkan untuk menjernihkan pikiran bangsa. Berpikir secara bertanggung jawab,kritis, dan terbuka.

Franz yang mengamati dinamika politik Indonesia sejak kedatangannya (1961) memberikan beberapa refleksi. Sejak masa akhir Soekarno hingga Jokowi, Indonesia mengalami pasang surut dan beberapa peristiwa mengerikan. Dan saat ini bangsa Indonesia hidup dengan tantangan baru. Tetapi penerimaan Pancasila oleh bangsa Indonesia jauh lebih kuat.

“Waktu saya datang ada beberapa garis (1961). Ada yang kiri dengan komunis, ada yang anti komunis—saya termasuk, ada pemerintah otoriter, ada nasionalis dan islamis. Ini pembagian yang tidakbaik bagi masa depan,” kata Franz. Tetapi saat ini hadir blok NKRI—mereka yang mantap sebagai orang Indonesia dengan negara berdasar Pancasila dan mantap dalam perbedaan. Mereka berasal dari nasionalis, Islam arus utama, dan nonmuslim mungkin mencapai 90%. Blok ini solid tidak mau pecah, sehingga peristiwa 1998 tidak menimbulkan integrasi. Indonesia cukup solid, radikalisme mungkin 10% saja.

“Kami yang Katolik belum pernah memiliki hubungan sebaik sekarang dengan Muhammadiyah dan NU dibandingkan masa dulu,” tambah Franz.

Adapun tantangan bangsa yang perlu dikelola bersama, yang pertama kehidupan bangsa yang masih ada dalam budaya kekerasan. Misalnya karena dua sepeda motor bersentuhan dapat menimbukan perkelahian. Kita perlu lebih membawa diri beradab sebagaimanasila ke-2 Pancasila. Kedua, belum berhasilnya bangunan komunikasi antaretnik yang berbeda.Pada pilkada,orang masih memainkan identitas etnik dan agama, bukan program. Ketiga, tantangan yang dihadapi di seluruh dunia, yaitu konsumerisme global. Suatu ketertarikan, ketagihan pada tawaran kapitalisme internasional. Apa yang orang lihat di mal atau iklan yang dicapai dari pada bercita ia mau berbuat apa. Merasa minder bila tidak memiliki tigahp. Hal itu akan mengeringkan kesadaran nasional, solidaritas bangsa, dsb., dan selalu membutuhkan uang lebih banyak yang akan mendorong tindak korupsi. Keempat, ekstrimisme agamis, suatu reaksi terhadap kekacauan budaya atau identitas dengan pandangan sempit, merasa mendapatkan kepastian melalui pemaksaaan kehendak kepada orang lain. Namun demikian, Franz mengajak bangsa untuk tidak kehilangansemangat. Indonesia memiliki kekuatan besar, kedalaman budaya, dan kemampuan berkembang. Dan mesti berani saling menerima dalam keanekaan.

Menanggapi penghargaan yang diterimanya, Franz yang berani mengirim surat kritik pada presiden SBY dan Jokowi ini memberikan pernyataan berikut “Saya mau minta maaf kadang-kadang saya menyinggung perasaan. Saya menerima anugerah ini dengan gembira dan saya akan terus berkarya sebagai kewajiban yang harus berjalan terus selagi masih ada waktu.”

BIODATA Nama : Franz Magnis-Suseno (nama lahir: Franz Ferdinand Graf von Magnis; nama di paspor: Franz Ferdinand von Magnis) Tempat/Tanggal Lahir : Eckersdorf, Jerman, 26 Mei 1936

Pendidikan: - 1951–1960 Studi filsafat di Philosophische Hochschule Pullach (S1 & S2) - 1964--1968 Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi di Yogyakarta - 1971--1973: studi doctoral di Ludwig Maximilians Universitat di Munchen (S3). - 1975 Doctor Philosophia summa cum laude (S3) dari Ludwig Maximilians-Universitat di Munchen dengan disertasi “Die Funktion normativer Voraussetzungen im Denkes des Jungen Marx (1843 – 1848) dengan Promotor Prof. Dr. Nikolaus Lobkowicz dan Compromotir Prof. Dr. Hnas Baumgartner

KEGIATAN, antara lain - 2008–sekarang Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Driyarkara1990-2000 - 1990–2000 Dosen tidak tetap pada Program Magister Fakultas PascasarjanaLingkungan Hidup Universitas Indonesia - 1995—2007 Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara

KARYA-KARYA PENTING 1. 1975 Etika Umum. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. 2. 1986 Kuasa dan Moral (kumpulan karangan). Jakarta: Gramedia. 3. 2006 Berebut Jiwa Bangsa. Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, Jakarta; Kompas. 4. 2014 Dari Mao ke Marcuse Percikan Filsafat Marxis Pasca- Lenin.Jakarta: Kompas Gramedia. 5. 2015 Christlicher Glaube und Islam in Indonesien. Erfahrungen und Reflexionen zu Mission und Dialog (kumpulan karangan), (Salzburger Theologische Studien 53–interkulturell 15) innsbruck-Wien: Tyrolia Verlag, 224 S

PENGHARGAAN 1. 1986 Satyalancana Dwidya Sistha dari Menhankam 2. 2001 Dag grobe Verdienstkreuz des Verdienstordens Republik Federasi Jerman 2001 3. 2004 Menerima Gelar Doktor Honoris Causa bidang Teologi dari Fakultas Teologi Universitas Luzern, Swiss (2004) 4. 2007 Korban Lumpur Lapindo Award dari korban lumpur Lapindo 5. 2010 Habibi Award dalam bidang harmonisasi kehidupan beragama 6. 2014 Penghargaan dari Harian Kompas hal sumbangan kecendiakawanan

TANDA KEHORMATAN BINTANG BUDAYA PARAMA DHARMA

Adalah tanda kehormatan yang dianugerahkan pemerintah Indonesia sebagai tanda kehormatan yang tertinggi bagi mereka yang berakhlak dan berbudi pekerti baik serta berjasa besar di bidang budaya. Dianugerahkan bagi mereka yang telah menyumbangkan nilai-nilai luhur sebagai darma baktinya dalam bidang kebudayaan. Merupakan Bintang tertinggi di bidang kebudayaan.

Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma hanya dapat dianugerahkan kepada WNI yang memenuhi persyaratan.

Sesuai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, yaitu: 1. Berjasa besar dalam meningkatkan, memajukan dan membina kebudayaan bangsa dan negara; 2. Pengabdian dan pengorbanannya dalam bidang kebudayaan, baik kesenian, nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal bermanfaat bagi bangsa dan Negara; dan/ atau 3. nilai tradisional, dan kearifan lokal bermanfaat bagi bangsa dan negara; dan/atau 4. Darmabakti dan jasanya diakui secara luas dan nasional.

GOENAWAN SUSATYO MOHAMAD

Goenawan Soesatyo Mohamad atau lebih dikenal dengan Goenawan Mohamad adalah salah seorang penyair kelahiran Batang, 29 Juli 1941, yang terkemuka di tanah air, yang memiliki pemikiran kritis baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan. Keluasan pengetahuan dan wawasannya dalam bidang sastra, seni, dan kebudayaan telah melahirkan wacana pemikiran yang bernas dan semua itu dapat kit abaca dalam kolom “Catatan Pinggir” di majalah mingguan Tempo.

Sikap konsistensi dalam memperjuangkan kebebasan berfikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual, diujudkan Goenawan Mohamad dalam mendirikan komunitas senipertama di tanah air yang bersifat multidisiplin, yaitu Teater Utan Kayu (TUK). Menurutnya kebebasan berpikir dan berekspresi masih sering terancam dari atas (dari aparat Negara) maupun dari samping (dari sektor masyarakat sendiri, khususnya sejumlah kelompok yang mengatasnamakan agama atau suku.

Goenawan Mohamad sejak kelas 6 Sekolah Dasar sudah menyukai acara berbau sastra, seperti acara pembacaan puisi di RRI atau membaca majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Bahkan sejak ia berusia 17 tahun, kira-kira tahun 1960-an, sudah pandai menulis dan menerjemahkan puisi karya penyair perempuan Amerika, Emily Dickinson. Sikap kritis sebagai penyair sudah terlihat sejak muda, karena pada tahun 1963 bersama para penyair angkatan 1960-an lainnya, antara lain TaufiqIsmail, Arief Budiman, Wiratmo Soekito menandatangani Manifesto Kebudayaan. Manifesto Kebudayaan adalah sebuah konsep kebudayaan nasional yang mengusung semangat humanisme universal.

Keluasan pengetahuan Goenawan Mohamad tak bisa dipisahkan dari latar belakang pendidikan akademis yang ditempuhnya. Ia belajar psikologi di Universitas Indonesia, dan memperdalam ilmu politik di Belgia,menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat.

Jenjang karir Goenawan Mohamad, yang juga dikenal dengan sebutan “GM”, dalam bidang jurnalistik dirintis sejak tahun 1969-an. Dimulai sebagai Redaktur Harian KAMI (1969-1970), Redaktur Majalah SastraHorison (1969- 1974), Pemimpin Redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985).Sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme ala majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

Lebih dari 40 tahun menyelami dunia sastra dan jurnalistik, Goenawan menghasilkan banyak tulisan yang sudah dipublikasikan, seperti kumpulan puisi Parikesit (1969) dan Interlude (1971), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Banyak sudah kumpulan puisinya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Terjemahan sajak- sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

Selain menjadi penyair, ia juga bertindak sebagai kritikus sastra dan budaya. Berbagai pemikirannya dalam bentuk esai terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).

Tulisan Goenawan yang tak kalah populer adalah “Catatan Pinggir,” sebuah artikel pendek yang dimuat secara berkala pada halaman paling belakang majalah Tempo. Konsep dari “catatan pinggir” adalah sekadar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap fenomena sosial, budaya, seni, politik, lingkungan yang berkembang di sekelilingnya. Secara filosofis, “catatan pinggir” memposisikan diri di tepi atau di (garis) pinggir, bukan posisi sentral, sehingga terkesan “tidak penting.” Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1970-an, rubric “Catatan Pinggir” telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot. Belakangan karena para pembaca Tempo merasa belum pas jika belum membaca “catatan pinggir”-nya Goenawan, maka untuk mendokumentasi sekaligus memenuhi kebutuhan para pembaca, tulisan “catatan pinggir” itu diterbitkan dengan tajuk Kumpulan Catatan Pinggirdan hingga saat ini sudah beberapa jilid dan menjadi bacaan yang mengasyikan sambil meneroka berbagai isu, persoalan, dan wacana kritis yang dikemukakan Goenawan Mohamad.

Setelah pembredelan majalah Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan berekspresi. Secara sistematis, di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen, seperti para aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan.Berbagai aktivitas diselenggarakan di tempat itu, sehingga muncullah sebutan “Komunitas Utan Kayu.” Aktivitas di Teater Utan Kayu dirasakan sangat padatdan tidak lagi mampu menampung masyarakat yang berminat dalam setiap kegiatan, maka lokasi komunitas ini pindah ke kawasan Jakarta Selatan, di bilangan Pasar Minggu. Seiring dengan perpindahan lokasi komunitas itu, kemudian berganti nama menjadi Komunitas Salihara pada tahun 2008. Komunitas Salihara adalah sebuah kantong seni-budaya Indonesia yang berlandaskan konsep kebebasan berekspresi dengan menekankan pada kesenian yang bersifat lintas bidangatau multidisiplin.

Salah satu kegelisahan Goenawan Mohamad dalam dunia sastra dewasa ini adalah, keprihatiannya terhadap telaah sastra yang dinilai kian jarang ditulis. Menurutnya hampir tak ada lagi media yang bersedia memuat kritik sastra berhalaman-halaman, seperti dalam majalah Budaya Jaya yang terbit antara 1968-1979; kini hanya berkala Kalam yang meneruskan tradisi itu, dalam bentuk majalah on-line. Meskipun tak mudah mendapatkan tulisan yang layak, media seperti itu menyimpan harapan akan bisa memelihara dialog kesusastraan yang bersungguh-sungguh tentang pokok-pokok yang mempersoalkan estetika, genre, pemikiran para sastrawan seperti di masa 1930-an sampai dengan 1970-an. Ketika gagasan dan bentuk ekspresi adalah topik yang dibahas, bukan sastrawan dan kehidupan pribadinya, bukan pula anekdotnya atau pertengakarannya (lewat media sosial) dengan sastrawan lain.

Sebagai sastrawan intelektual yang selalu mengusung kebebasan berekspresi tanpa meninggalkan kesejarahannnya, Goenawan memiliki keyakinan bahwa seni sastra sebagaimana halnya kesenian pada umumnya menurutnyadapat menjadi berarti, “Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.”

Penghargaan : 2006, Anugerah Sastra Dan David Prize, bersama antara lain esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo- Ma.

2005, Penghargaan Wertheim Award.

KPH. NOTOPROJO/ KI TJOKROWASITO

“Seni itu tidak boleh mandeg dan harus bergulir seirama perkembangan zaman, seni ibarat bola salju, kian menggelinding akan kian membesar.” Ungkapan tersebut merupakan spirit yang diyakini KPH. Notoprojo atau Tjakrawasita, nama yang dipakai dalam berkarya. Pak Tjokro, demikian KPH. Notoprojo sering dipanggil, adalah Empu Karawitan dan merupakan seniman visioner. Atas kehendak sejarahlah ia terlahir sebagai komponis inovatif sehingga mampu menembus batas-batas tradisi karawitan Jawa yang penuh dengan kaidah dan aturan ketat.

Gamelan Jawa bagi Pak Tjokro bukan semata alunan musik klasik, namun berfungsi sebagai media ekspresi dalam menyikapi perkembangan sosial budaya pada zamannya. Hal itu dibuktikan melalui karya-karyanya yang memiliki kekuatan lintas budaya dan lintas karawitan tanpa meninggalkan hakikat budaya Jawa. Pak Tjokro juga dikenal sebagai narasumber penting, sekaligus sebagai pendidik yang sangat dihormati anak didiknya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Semangat berkesenian yang tinggi menggugah Pak Tjokro melakukan inovasi genre baru, yaitumusik sendratari pada tahun 1960 bersama koreografer Bagong Kussudiardjo. Lebih dari 250 komposisi musik telah diciptakannya dengan komposisi gamelan ringan (lagu dolanan) dan karya eksperimental "kreasi baru". Dia menghidupkan kembali beberapa bentuk seni yang hampir punah dari sejarah Yogyakarta, termasuk wayang gedhog. Banyak karya komposisi musiknya dan dua-volume notasi musik vokalnya diterbitkan oleh American Gamelan Institute ("Institut Gamelan Amerika").

Pak Tjokro lahir pada 17 Maret 1909 di Gunungketur, Yogyakarta. Saat itu ia diberi nama Wasi Jolodoro, kemudian namanya berubah sesuai dengan gelar kehormatan yang diterimanya. Misalnya pada tahun 1925, ketika menjadi calon abdi dalem Langen Praja di Pura Pakualaman ia mendapat gelar nama Tjokrowasito. Gelar lainnya: Raden Bekel Tjokrowasito, K.R.T. Wasitodipuro, K.R.T. Wasitodiningrat. Pada tahun 2001 secara resmi ia diakui sebagai anak kandung Paku Alam VII, dan saudara seayah dari Paku Alam VIII, sehingga ia mendapat gelar mirip dengan Pangeran, yaitu Kanjeng Pangeran Haryo Notoprojo.

Pak Tjokro dibesarkan di Pura Paku Alaman, dan mulai belajar gamelan pada usia lima tahun dari ayahnya, RW Padmowinangum, yang kala itu menjadi pemimpin gamelan istana. Selain menempuh pendidikan formal di sekolah menengah Taman Siswa, ia juga banyak menimba ilmu karawitan dari kalangan istana.

Sejak muda ia dipercaya memimpin gamelan Pura Paku Alaman serta gamelan untuk Radio Republik Indonesia Yogyakarta.Pada tahun 1964, ia dipercaya Presiden Soekarno memimpin orkes gamelan di stan Perwakilan Indonesia dalam New York World's Fair. Setelah itu ia aktif menjadi duta budaya dengan tugas memperkenalkan seni tradisi ke berbagai negara, antara lain ke Filipina, Czekoslovakia, Polandia, Rusia, Mesir, Lebanon, dan Jepang.

Sebagai pendidik Pak Tjokro memiliki kharismayang kuat di mata para anak didiknya, karena selalu sabar, banyak mendengar, dan mendukung semua anak didiknya untuk maju dan terus berkembang. Perannya dalam dunia pendidikan sangat besar, antara lain pada Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta, ASKI Surakarta, Konservatori Tari dan Asti Yogyakarta. Pada tahun 1971 setelah selesai menjabat di RRI, ia menerima tawaran mengajar di beberapa universitas luar negeri, antara lain California Institute of The Arts, San Diego State University, dan Simon Fraser University Canada. Jumlah mahasiswa di luar negeri mencapai 4.000 mahasiswa dan sebagiannya telah mencapai gelar Ph.D dalam bidang seni dan musik.

Peran yang paling menonjol Pak Tjokro dan sangat besar jasanya adalah upayanya memperkenalkan seni karawitan di Amerika Serikat. Ia menyusun kurikulum gamelan pada beberapa Perguruan Tinggi Seni di negara tersebut. Melalui upayanya itu seni karawitan telah menjelma sebagai kekuatan baru pada percaturan musik dunia dan menjadikan seni tradisional itu mengglobal. Atas jasa-jasanya itu, pada tahun 1980-an beliau dikukuhkan sebagai Profesor bidang Musik di California Institute of The Arts.

Komposisi musik yang telah diciptakan Pak Tjokro, mulai dari karya pertamanya yang legendaris dan diciptakan pada tahun 1952, berjudul “Jaya Manggala Gita,” hingga yang merakyat seperti "Kuwi Opo Kuwi", "Gugur Gunung," dan "Modernisasi Desa". Karya gendhing-nyadi antaranya"Hanrang Yuda" (pelog pathet barang), "Gumarang" (pelog pathet barang), "Jahnawi" (pelog pathet nem), "Janger" (pelog pathet barang), "Kemanak Mangkungkung" (slendro pathet sanga), "Mbangun Kuta" (pelog pathet nem), "Pangeran Diponegoro" (pelog pathet nem), dan "Windu Kencana" (pelog pathet lima).

Kekuatan karya ciptaan Pak Tjokro antara lain pada pesan moral yang terselip, baik melalui syair maupun irama. Keberpihakannya terhadap masyarakat kelas bawah membuat ia menghayati setiap gugahan dan berkontribusi pada gubahan yang diciptakannya. Salah satu penghargaan tertinggi yang dipreolehnya adalah ketika tahun 1992, karya gendhing “Purnomosidi” dipilih oleh NASA (Badan Antariksa Amerika Serikat). Karyanya itu secara khusus dikirimkan ke angkasa luar bersamaan dengan komposisi Johann Sebastian Bach dan Ludwig van Beethoven. Sehingga tak heran jika kemudian ia disejajarkan dengan musisi-musisi besar dunia tersebut.

Sebagai orang Jaya yang masih sangat mencintai tanah kelahirannya, pada tahun 1992 ia memutuskan kembali ke Yogyakarta, tatkala usianya menginjak 83 tahun. PakTjokro menyadari bahwa ia masih diperlukan di tanah air, sehingga rumahnya sangat terbuka bagi seniman dalam dan luar negri. Mereka datang untuk “ngelmu”dalam arti bukan sekadar belajar teknik memukul gamelan atau olah vokal, namun juga mendalami filosofi gamelan.Meski kondisi fisiknya sangat menurun, namun binarjiwanya tak pernah redup. Tangannya secara refleks selalu bergerak bak konduktor mengikuti irama hidup yang terus mengalir. Alunan mistis dan dinamis dari gendhing Ki Tjakrawasita, membisu seketika, tatkala ia sempat terjatuh dan tangannya patah sehingga tak mampu lagi meng-gendhing. Sejak itu kondisinya terus menurun hingga ia tutup usia pada tanggal 30 Agustus 2007, dalam usia 104 tahun menurut hitungan kalender Jawa.

Penghargaan: - 2002, Penghargaan Nugraha Bhakti Musik Indonesia, UNICEF , sebuah penghargaan karya musik yang hanya diterima sedikit musisi di Indonesia - 2005, Anugerah Seni, Dewan Kesenian Jakarta

PETRUS JOSEPHUS ZOETMULDER

Kemauan dan niatnya yang sungguh–sungguh telah mengantarkan sosok Petrus Josephus Zoetmulder kelahiran Utrecht, Belanda pada tanggal 29 Januari 1906 dan meninggal di Yogyakarta, 8 Juli 1995. Ia lebih dikenal dengan Romo Zoet adalah seorang ilmuwan, peneliti sastra Jawa Kuna yang sejati dan tangguh, serta njawani. Melalui ketekunan, bakat, dan kecerdasannya serta perasaan kejawaannya berhasil menuntaskan karya besarnya, yaitu Kamus Jawa Kuna, Manunggaling Kawula Gusti, dan Kalangwan. Ia tinggal dan menetap di pastoran Kemetiran lebih dari 9 tahun, Karya–karyanya tersebut menjadi gerbang bagi para peneliti sastra Jawa Kuna dari dalam dan luar negeri untuk menelusuri lebih dalam tentang khazanah sastraJawa Kuna.

Jasa Romo Zoet, yang telah menjadi Warga Negara Indonesia sejak 13 Maret 1951,dalam menyingkap tabir sastra Jawa Kuna telah melampaui orang– orang Jawa kebanyakan di zamannya. Tingkat kesulitan yang dihadapinya dalam mengumpulkan naskah dan microfilm di Universitas Leiden, berhasil diatasi untuk mengupas kehidupan empu dan karya–karya sastra Jawa Kuna ke dalam Kalangwan. Melalui karyanya itu Romo Zoet berhasil menghimpun dan mengkaji karya satra Jawa Kuna sebagai warisan budaya takbenda yang takternilai. Di dalam karya itu termuat pandangan tentang ketuhanan, politik, masyarakat, maupun hubungan asmara pada masyarakat Jawa Kuna, baik dalam bentuknya yang tersurat maupun tersirat.

Hampir sepertiga usianya didedikasikan untuk menyusun Kamus Jawa Kuna- Indonesia yang sekarang menjadi rujukan penting bagi penelitian sastra Jawa Kuna. Kamus tersebut terbit dalam dua edisi, yaitu edisi Bahasa Inggris (1982) dan edisi Bahasa Indonesia(1995). Jasanya tidak berhenti dalam pembuatan buku, Romo Zoet juga aktif memperkenalkan sastra Jawa Kuna di forum internasional sebagai pembicara dengan menekankan pentingnya sastra Jawa Kuna yang mengandung nilai–nilai fiolosofis kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau, yang dapat diwariskan untuk kehidupan saat ini bahkan untuk kehidupan di masa datang.

Meski terlahir di negeri Belanda namun jiwa dan raga Romo Zoet seakan telah diserahkan sepenuhnya kepada tanah Jawa. Ia rela menanggalkan kewarganegaraan Belanda, dan meletakkan jiwa raganya untuk Indonesia, lebih spesifik lagi Yogyakarta yang konon sangat cocok dengan perasaan kejawaannya. Bahkan pada batu nisannya tertulis kalimat dalam bahasa Jawa Kuna yang diambil dari Kakawin Sumanasantaka, pupuh XXVIII bait 11: “Wiku haji jěněkangheringśūnya” yang artinya “Pendeta Raja dengan nyaman bersemayamkan di ketiadaan.” Bagi beberapa orang yang sempat mengenalnya, sikap dan perilaku Romo Zoet sangat njawani bahkan melebih orang Jawa asli. Ia kerap kali menggunakan bahasa kramainggil untuk berkomunikasi dengan mahasiswanya.

Kecintaan Zoetmulder pada sastra Jawa Kuna tidak terlepas dari peranJ. Willekens S.J, yang menyarankan Zoetmulder untuk mempelajari filsafat dan bahasa Jawa Kuna; C.C. Berg yang membantu bahkan menjadi promoter dalam studi Bahasa Jawa Kuna. Saat ia mengajar di AMS Yogyakarta, beberapa muridnya menjadi tokoh yang juga sangat dikenal dalam bidang humaniora, yaitu Koentjaraningrat, Soekmono, dan Supomo. Dalam konteks inilah, peran Romo Zoet dalam bidang pendidikan tak dapat diabaikan, ia memiliki kepedulian dalam membuka dan mengembangkan program studi sastra di Universitas Gajah Mada.

Jenjang karier Romo Zoet dalam bidang pengajaran dimulai tahun 1926 sebagai Pengajar di Seminari Menengah Yogyakarta dan pada tahun 1940 sebagai Dosen Filsafat, Kesusastraan Timur, kebatinan dan Islam di di Seminari Tinggi Yogyakarta. Tahun 1949 diangkat menjadi Dosen Bahasa dan Sastra Jawa Kuno, di Universitas Indonesia. Puncak karier diraih ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar di UGM dalam bidang bahasa dan sastra Jawa Kuno.

Sebagai pendidik ia dikenal sebagai pribadi yang menyenangkan, penuh perhatian kepada mahasiswa. Romo Zoet rela meninggalkan sesaat pekerjaaan menulisnya jika ada mahasiswa yang ingin berdiskusi tentang ilmu sastra atau tentang sastraJawa. Meskipunreputasi internasional sudah disandang, ia tetap rendah hati dan selalu berbagi ilmu di berbagai kesempatan. Beberapa muridnya memberikan kesaksian jika mengajar satu bait puisi dapat memakan waktu hingga 2 jam, karena Zoetmulder menjelaskan kata per kata hingga ke akar kata. Bagaimana sebuah kata lahir dan makna filosofi apa yang di kandung sebuah kata baginya penting untuk dijelaskan kepada mahasiswa.

Selain sebagai peneliti dan pendidik,menjadi pastur juga merupakan impian Romo Zoet. Sejak duduk di bangku Gymnasium (semacam SMU) College Kanisiusia sudah memimpikan hal tersebut. Memasuki usia senja, Romo Zoet, menghabiskan sisa waktu di kediamannya yang sekaligus sebagai perpustakaan di Yogyakarta. Mengabdi pada bidang penelitian adalah garishidup yang sudah ditorehkan. Romo Zoet menghembuskan nafas terakhir di RS. Panti Rapih Yogyakarta, pada 8 Juli 1995, setelah menderita sakit. Dua buku karangan Romo Zoet yang belum sempat dituntaskan, merupakan saksi bisu, bagaimana dedikasi dan integritas Petrus Josephus Zoetmulder dalam penelitian sastra Jawa Kuna tidak perlu diragukan lagi.

Kini kuburan Romo Zoet berada di pemakaman gereja Muntilan, Kabupaten Magelang di atas gundukan tanah Jawa. Seluruh koleksi buku milik Romo Zoet dihibahkan ke Perpustakaan Pascasarjana, Universitas Sanata Dharma dan menjadi sumber referensi penting yang sangat berharga. Sebagai bentuk apresiasi kepada Romo Zoet, perpustakaan tersebut diberi nama “Artati”,yaitu nama samara Romo Zoet. Meskipun telah pergi selama- lamanya, namun ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya tak akan pernah “membeku”. Berkat Romo Zoet, dunia memahami akan pentingnya sastra Jawa Kuna.

Penghargaan: - 1985 Penghargaan dari Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta - 1993 International Man of the Year 1992/1993 dari International Biographical Centre, Cambrige, Inggris - 1983 Bintang “Commandeur in de Orde van Oranje Nassau”, Dari Pemerintah Belanda - 1970 Anugerah Pendidikan, Pengabdian dalam Ilmu Pengetahuan, Menteri Pendidikan dan Kebudajaan

TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KEBUDAYAAN

Adalah penghargaan kepada WNI yang berjasa dalam lapangan kebudayaan pada umumnya atau dalam sesuatu lapangan kebudayaan tertentu pada khususnya.

Sesuai Pasal 20 PP No. 35 Tahun 2010, yaitu:

Tanda penghargaan yang dikeluarkan dan diberikan kepada warga negara Republik Indonesia yang telah berjasa dalam bidang kebudayaan.

AUGUSTIN SIBARANI

Ia lahir di Pematangsiantar, 20 Agustus 1945 dan meninggal di Depok (Jawa Barat), pada tanggal 19 Desember 2014. “Seniman Sejati” itulah julukan yang tepat diberikan kepada Augustin Sibarani, karena sikap idealis yang sangat tinggi dalam bidang seni, khususnya seni lukis dan karikatur.

Bakat dalam bidang seni sudah terlihat sejak kecil. Ia pandai menggambar sejak usia 10 tahun. Meski darah seninya mengalir dari sang ibu yang pandai menyanyi, mendongeng, mahir menyulam dan melukis motif ulos, namun sang ibu tidak mengharapkan Augustin Sibarani memiliki pendidikan seni lukis. Hal tersebut tidak menyurutkan tekadnya menjadi seniman, dan berkat kepiawaian dalam melukis ia menerima penghargaan Bintang Emas dari Asisten Residen Tichelman karena melukis Pangeran Willem Van Oranje. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda pun pernah memberikan beasiswa kepadanya untuk belajar di Akademi Seni Rupa Belanda. Namun, karena situasi politik pada Perang Dunia II tahun 1940-an, ketika Jerman berhasil menduduki Negeri Belanda, maka kesempatan beasiswa tersebut tidak dapat terwujud.

Perjalanan berkesenian Augustin Sibarani bisa dikatakan penuh tantangan, khususnya tatkala ibunya minta agar ia tidak memperdalam pendidikan dalam bidang seni, tetapi lebih baik belajar di MIS (Middelbare Landouw Schoolatau Sekolah Menengah Pertanian) di Buitenzorg (Bogor). Sang ibu berharap anaknya dapat menjadi Ajunct Landbouw Consulent (wakil penyuluh pertanian) di perkebunan milik ayahnya seluas 300 hektar di Pariasan. Bulan April 1945 ia menyelesaikan pendidikannya, kemudian bekerja di perkebunan Merbuh, sebelah Selatan kota Semarang. Setelah itu menjadi karyawan di United States Information Service (USIS) Jakarta sebagai ilustrator. Menurut Sanggam Gorga Sibarani, anak pertama Sibarani, ayahnya juga pernah tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada masa tersebut.

Disela-sela aktivitas bekerja, Sibarani terus berkarya melukis dan pada umur 25 tahun Sibarani mencoba menggambar karikatur. Peristiwa tersebut diawali ketika suatu hari seorang teman, aktivis Partai Sosialis Indonesia, mengajak Sibarani menghadiri sidang Parlemen Indonesia di aula Hotel Des Indes. Ditengah kejenuhan mendengarkan pidato-pidato, Sibarani membuat coretan sketsa diatas kertas dan tanpa sengaja gambar tersebut tertangkap mata seorang wartawan, Del Bassa Pulungan dari koran Merdeka. Wartawan tersebut menantang Sibarani untuk membuat karikatur Mr. Mohammad Yamin dan beberapa politisi. Gaya karikatur Sibarani yang lucu dan menggambarkan situasi politik saat itu akhirnya dimuat di halaman surat kabar Merdeka dan sejak itu Sibarani seakan menemukan sisi lain dari dunia seni, yaitu dunia karikatur.

Profesi sebagai penggambar karikatur selain memberi tambahan penghasilan juga memiliki kepuasan tersendiri karena dapat menyalurkan kritik sosial. Akhirnya ia memutuskan menjadi karikaturis lepas untuk banyak surat kabar pada masa itu, seperti Kader, Gelanggang Masyarakat, dan Pewarta Djakarta. Sejalan dengan karya-karya karikatur yang dihasilkan Sibarani, maka pada awal tahun 1953 ia menerbitkan tiga buku kartun untuk anak- anak, yaitu Si Kasmin Pergi ke Kota, Musik Si Beber, dan Rumah Si Bolang. Buku-buku itu diterbitkan oleh sehabatnya (sepasang suami istri), yaitu Alex Sutantio dan Lily (putri mantan Perdana Menteri RI PertamaSutan Syahrir).Tak lama setelah itu, ia berkenalan dengan seorang Belanda, pemilik toko buku dan sekaligus penerbit, yang kemudian ia biasa panggil sebagai "Tuan Gotfried" saja. Tuan Gotfried mengagumi ketiga bukunya, sebab laku dibeli anak-anak gedongan, dan menawarinya menerbitkan buku baru, dengan konsep yang berbeda agar tidak berkesan melakukan plagiat. Buku kumpulan gambar lelucon berikutnya, yang ia kumpulkan dari majalah Aneka, terbit dengan judul Senyum, Kasih, Senyum. Karya-karya karikaturnya pada era 50-an hingga awal 70-an tersebar di sejumlah penerbitan dan sering menjadi perbincangan orang.

Pilihan Sibarani sebagai kartunis juga tak bisa dilepaskan dari peran Presiden Soekarno yang memberi dukungan serta motivasi kepada SIbarani. Pertemuan pertamanyadengan Soekarno terjadi ketika Sibarani diundang ke Istana Negara dan orang pertama yang disalami Soekarno adalah dirinya, seraya mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada Sibarani yang kala itu baru saja melangsungkan pernikahan dengan Sanibar Tobing atau “Sani”. Pada perjumpaan tersebut Soekarno memuji karya-karya Sibarani dan sebagai pengagum Soekarno tentu saja pujian tersebut sangat membesarkan hati, terlebih Soekarno berharap Sibarani dapat sejajar dengan David Low, seorang kartunis dunia terkenal pada zamannya.

Karya karikatur menentang dominasi imperialisme Augustin Sibarani memiliki jiwa idealis yang tinggi dan selalu bersemangat tatkala bicara masalah politik di tanah air. Tak jarang karikatur yang dibuat merupakan bentuk ekspresi dan keberpihakan Sibarani terhadap rakyat kecil. Karya–karya Sibarani sangat kuat memperlihatkan pandangan pribadinya menentang dominasi imperialisme dan neo-kolonialisme pada zamannya. Sibarani juga tampil memperagakan proses pengerjaan karikatur dalam penampilan khusus di media televisi (TVRI) secara reguler, terutama pada masa-masa Indonesia melancarkan kampanye anti Nekolim.

Memilih profesi sebagai seniman pada saat situasi politik ditanah air masih belum menentu memang bukan tanpa risiko.Hal seperti itu dialami Sibarani, bagaimana ia berjuang menghidupi keluarga dengan karya seninya. Sibarani pernah menjual beberapa lukisan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan istri, bahkan tak jarang menerima pesanan lukisan potret dari para kerabat. Masa-masa sulit Sibarani terjadi pada masa Orde Baru, karena kartun-kartun Sibarani yang dimuat di surat kabar mendapat sorotan pemerintah dan berujung pada pemberedelan.

Salah satu derita hidup Sibarani terjadi tatkala anaknya dirawat di rumah sakit dan butuh biaya yang cukup besar dan pada saat bersamaan karikatur Sibarani ditolak di salah satu media massa terkenal pada waktu itu atas instruksi Menteri Penerangan pada masa Orde Baru. Sebagai seniman yang mengandalkan keahlian dalam menggambar untuk mendapatkan uang tentu saja kenyataan tersebut sangat sulit dihadapi. Namun demikian, Sibarani tidak pernah menyerah dan ia terus berkarya. Sikap konsisten dan keberpihakan kepada seni sebagai media kritik sosial akhirnya membuahkan hasil, karena di saat runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, beberapa media internasional, antara lainLe Monde, Reporters Sans Frontiers serta L’Humanite (Perancis), Jurnal Indonesia (Cornell University, USA) memuat karya karikatur Sibarani.

Salah satu prestasi Sibarani yang sangat membanggakan adalah ketika ia dipercaya membuat lukisan Raja Sisingamangaraja XII untuk ilustrasi uang kertas Rp1000,00 (seribu rupiah). Melukis seorang Raja dengan keterbatasan dokumentasi bukanlah hal mudah, sehingga Sibarani secara khusus mencari data dan melakukan wawancara kepada saksi sejarah yang sempat mengenal wajah Raja Sisingamangaraja. Melalui informasi dan cerita itulah Sibarani berhasil melukis wajah Raja Sisingamangaraja. Lukisan itu diselesaikannya pada tahun 1962, dan diserahkan kepada pemerintah pada saat diumumkannya pengakuan Raja Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.

Menurut Sanggam, ayahnya itu adalah seorang ayah yang luar biasa dan menjadi panutan anak-anaknya. Sikap idealis yang sangat tinggi merupakan cermin seniman sejati. “Mental ayah saya luar biasa, kemudian keteguhan hatinya ketika dia melakukan sesuatu yang menurut dia benar. Kualitasnya juga luar biasa. Dia tidak pernah terpancing untuk membicarakan hal-hal yang provokatif, nasionalis sejati, yang luar biasa menurut hemat saya. Dan semangat nasionalisme itu bukan semata ditujukan untuk keluarga namun kepada seluruh bangsa Indonesia, di mana intergritas, semangat juang, selalu membela yang lemah menjadi prioritas hidupnya.”

Dengan pemberian penghargaan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pihak keluarga Augustin Sibarani sangat mengapresiasi bahkan tak pernah terpikir sebelumnya akan mendapat penghargaan yang sangat tinggi tersebut. Semoga Satyalancana Kebudayaan yang diterima Augustin Sibarani dapat menginspirasi seniman-seniman muda lainnya agar terus berkarya dengan penuh dedikasi dan komitmen, khususnya memperjuangkan kaum lemah melalui karya seni.

Karya  Rumah Si Bolang (1953)  Musik Si Beber (1953)  Si Kasimin Pergi Ke Kota (1953)  Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII (1979)  Karikatur dan Politik (2001)

Penghargaan  Bintang Emas dari Assisten Residen Tichelman  Beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda untuk belajar di Akademi Seni Rupa di Belanda HILDAWATI SUMANTRI

Sosok Hildawati Sumantri menjadi sangat penting dalam perkembangan seni rupa Indonesia karena ia memiliki reputasi mengisi kekosongan perkembangan seni rupa Indonesia, terutama pada tahun 1980-an tidak banyak perupa yang mengunakan medium keramik sebagai ekspresi pribadi. Hildawati mumpuni dalam dua hal sekaligus, yaitu sebagai perupa keramik kontemporer dengan karya-karyanya yang avant-garde, mencerahkan, dan sebagai sejarahwan seni serta peneliti keramik terakota, Jawa kuno, peninggalan zaman Majapahit. Bukunya yang berjudul Majapahit Terracotta Art, diterbitkan oleh Asosiasi Keramik pada 1997, sangat dihargai sebagai sumber yang bermanfaat dan memberi kontribusi bagi perkembangan dunia pendidikan untuk menelaah sesuatu yang baru.

Hildawati tercatat sebagai perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar Doktor dalam bidang kajian Sejarah Seni Rupa, ia telah memperlihatkan bahwa yang berskala kecil dan termarjinalkan seperti terakota Majapahit dapat menjadi sesuatu yang “besar” dan menjadi perhatian para intelektual dalam dan luar negeri. Peran lain yang signifikan adalah mengembangkan pendidikan keramik sehinggadisiplin ilmu keramik tidak dipandang sebelah mata dalam dunia akademik. Jiwa petualang ke berbagai pelosok di tanah air, yaitu mengunjungi berbagai komunitas perajin keramik telah mendorong Hildawati melakukan pengabdian masyarakat. Salah satu sentra kerajinan keramik terbesar di tanah air, yaitu Keramik Pejaten di Tabanan, Bali, merupakan saksi sejarah kepedulian Hildawati terhadap perajin keramik di daerah. Kesabarannya memberikan pelatihan dan bimbingan teknis kepada para perajin di daerah tersebut telah membuahkan hasil. Berkat perannya dalam membuka jalur dengan NGO, keramik Pejaten Bali terus tumbuh berkembang hingga dikenal di dunia internasional.

Hildawati lahir pada tanggal 26 November 1945 dari keluarga pecinta seni dan sejak kecil senang dengan bidang seni, khususnya seni arsitektur. Pada tahun 1964 Hildawati melanjutkan studi di Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, awalnya ia memilih jurusan Arsitektur, namun entah mengapa akhirnyajurusan seni rupa(keramik) yang menjadi pilihannya. Disaat teman-teman kuliahnya sibuk memilih studio favorit, seperti desain grafis, desain interior, seni grafis, dan lain sebagainya, Hildawati justru memilih jurusan yang sepi peminatnya, yaitu studio seni keramik.

Pada tahun 1972, setelah lulus kuliah, Hildawati sempat menjadi Sekretaris Akademik di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (saat ini IKJ), kemudian pada tahun 1973, ia berhasil menerima beasiswa Fullbright untuk menempuh pendidikan selama satu tahun, setelah itu ia melanjutkan pendidikan atas biaya sendiri hingga mendapat gelar Master of Fine Art di Rhode Island School of Design Institute (RISDI), di Pratt, New York, Amerika Serikat. Di sini ia menyadari betapa sedikit yang diketahuinya tentang seni keramik. Selama kurang lebih tiga tahun ia memperdalam seluk beluk seni keramik modern dengan memperdalam teori dan praktik. Tahun 1977 Hildawati memutuskan kembali ke Indonesia untukmengajar dan mempelopori lahirnya pendidikan seni keramik di LPKJ. Di studio keramik inilah tempat ia mengabdikan segala ilmu dan keahliannya. Ia bercita-cita kelak bidang ini dapat melahirkan pekeramik-pekeramik muda, yang tak hanya terampil tapi juga diperhitungkan dalam percaturan seni rupamasa kini.

Sebagai pendidik, Hildawati dikenal sebagai pribadi yang tegas dan penuh disiplin. Perjalanan karir akademiknya mencapai puncak ketika terpilih sebagai Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ untuk periode 1987—1989.

Doktor Perempuan Pertama Kajian Sejarah Seni Rupa Sebagai pribadi yang selalu ingin maju dan berkembang, pada tahun 1993 Hilda memutuskan untuk melanjutkan pendidikan program doktoral di Cornell University, hingga meraih gelar Ph.D. dari Departemen Art History, Cornell University, Amerika Serikat dengan disertasi “The Terracotta Art of Majapahit,” yang dahsyat. Sebagai peneliti yang juga perupa keramik, Hilda berhasil menangkap cara kerja para potter dan sculptor Majapahit dan menyajikan suatu permukaan Majapahit yang hidup. Dia telah memungkinkan kita melihat genesis figurines itu dari dalam, dan mendapatkan pengertian yang utuh mengenai hubungan skill dan karya kreatif.

Medium tanah liat yang dikenalnya semasa studi ternyata membawa ketertarikannya pada artefak-artefak peninggalan sejarah yang menggunakan bahan dari tanah liat (terakota). Kecintaannya pada peninggalan budaya, candi dan artefaknya, terutama patung-patung kecil terakota Majapahit, yang selama ini diabaikan dalam studi Majapahit menjadi perhatiannya untuk lebih dalam lagi menggali nilai-nilai historis dan estetis, serta menggambarkan sebuah perkembangan dari kehidupan Majapahit. Disertasi doktornya tentang seni Majapahit sangat membanggakan.Menurut Stanley O’Connor, mentornya, sejarahwan seni termasyhur dari Cornell University, Amerika Serikat, Hildawati telah memungkinkan kita melihat genesis figurines; artefak patung-patung kecil peninggalan Majapahit dalam sudut pandang yang memberikan pengertian yang utuh tentang hubungan keterampilan dan kreativitas. Sementara Pakar sejarah seni National University of Singapore, John M. Micsic memuji karya ilmiah “The Terracota Art of Majapahit” sebagai sumber penting bagi generasi ilmuwan berikutnya. Astri Wright, pakar seni rupa modern Indonesia melihat sosok Hildawati sebagai tokoh penggerak dan pembaharu seni keramik modern Indonesia.

Hilda pernah mengungkapkan bahwa kedekatannya dengan tanah liat merupakan jalan mencari eksistensi diri. Dalam karyanya, ia mempertanyakan siapa dia sebenarnya, di mana posisinya dalam alam dan ke mana ia akan pergi setelah kehidupan ini berakhir. Ia mencari pusat kekuatan alam semesta yang membangun sistem dan keteraturan dan baginya hal itu adalah sesuatu yang sangat fenomenal.Karya-karya awalnya didominasi bentuk-bentuk formal, kemudian melalui penjelajah estetika modern, karyanya dipandang sebagai sebuah proyek eksperimen bentuk dan warna yang pada waktu itu tidak dipahami benar. Melalui studinya di Amerika Serikat, ia menemukan banyak teknik dan pengertian baru tentang filosofi media. Ia menjadi sangat akrab dengan pemikiran dan ide dari Soetsu Yanagi dan Bernard Leach, keramikus yang paling berpengaruh pada masanya, terutama dalam konsep revitalisasi mingei (kesenian rakyat Jepang).

Secara perlahan sekitar tahun 1976, ia berpindah dari bentuk bejana ke kecenderungan instalasi dan multimedia dengan menggunakan keramik utuh dan pecahan-pecahan keramik. Pencapaian kreatifnya itu merupakan puncak penjelajahan “transformasi” medium tanah liat. Karya Hilda ini menembus gaya konvensional dan memperluas persepsi tentang seni keramik di Indonesia. Upaya lain yang dilakukan adalah melibatkan diri dalam gerakan Revival of The Craft atau kebangkitan kembali seni kriya yang mencoba mengubah persepsi dalam forum perempuan internasional dan ikut menentang persepsi yang menghubung-hubungkan seni keramik dengan keperempuanan.

Dalam kapasitasnya sebagai kurator, pada 1980-an dan 1990-an, ia menggalang para pekeramik Indonesia, menyelenggarakan pameran- pameran besar keramik sebagai upaya untuk meluaskan pandangan masyarakat tentang seni keramik dan semua dimensinya. Pameran itu didukung dengan penjelasan bahwa kuratornya sangat menguasai bidang sejarah seni yang pada saat itu boleh dikatakan belum ada. Hildawati adalah sebuah harapan baru untuk perkembangan dunia teori, kritik, dan kurator seni rupa di Indonesia.

Sebulan sebelum menghadap Yang Maha Kuasa, Desember 2002, ia sempat menggelar pameran tunggal, di Galeri Cemara 6, Jakarta. Itulah untuk terakhir kali pecinta dan perupa keramik di tanah air melihat sosok Hildawati di publik. Kehadiran kolega, sahabat, mahasiswa dan para budayawan, seperti Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Fuad Hassan dan Prof. Dr. Toeti Heraty Nurhadi pada pameran tunggal tersebut seakan melepas kepergian Hildawati dan menciptakan bingkai kenangan yang abadi. Seniman Keramik dan pendiri Studio Keramik IKJ ini meninggal pada tanggal 17 Januari 2003 di Jakarta.

Buku yang pernah ditulis Hildawati adalah: 1. Majapahit Terracotta Art (diterbitkan oleh Asosiasi Keramik,1997) 2. Indonesian Heritage:Visual Art (Archipelago Press, 1999)

I NYOMAN TJOKOT

I Nyoman Tjokot lahir sebagai pematung atas kehendak Alam. Betapa tidak ditengah sunyinya perkembangan seni patung pada tahun 1920-an di tanah air, ia hadir seakan menyelinap menyibak tabir kebekuan sejarah. Tidak ada guru yang mengajari ia mematung, sesuai dengan namanya “Tjokot” yang berarti “ambil”, begitu pulasejarah seni patung dengan aliran “tjokotisme” dimulai, karena awalnya Tjokot mematung dengan hanya “mengambil” sebongkah kayu yang ditemukan di aliran sungai kemudian instingnya bergerak mengikuti bentuk dan tekstur kayu. Panggilan alamlah yang menghantarnya menjadi pematung otodidak tulen.

Karya-karya patung Tjokot hadir memberi pemahaman baru mengenai gagasan kreativitas yang hadir dari interpretasi sebuah material. Sikap kontemplatif dan meditatifTjokot banyak dipengaruhi oleh pemahamannya yang sangat baik terhadap naskah-naskah lontar Bali kuno yang memberikan inspirasi dalam berkarya. Karya-karya patungnya lebih dulu menggetarkan jagad seni rupa dunia seperti Amerika, Filipina, dan beberapa negara ketimbang negara asalnya, terutama Bali. Berkat peran pelukis I Nyoman Tusan, maka karya patung Tjokot perlahan mulai diapresiasi dan dihargai oleh dunia seni rupa Indonesia dan masyarakat Indonesia umumnya.

Tjokot terlahir dari keluarga petani pasangan I Gentar dan Ni Kinut, di Banjar Jati, Desa Sebatu, Tegallalang, Gianyar sekitar tahun 1886. Tidak ada silsilah keluarga seni di keluarga Tjokot. Sebagai anak desa, yang tidak pernah mendapat pendidikan seni secara formal, tentu saja pahatan patung Tjokot pada awalnya kurang baik terlebih pahatannya dianggap tidak lazim, yaitu terlihat kasar, spontan, dan terkesan belum selesai (unfinish). Bahkan ejekan yang diterimanya dari pelukis kondang I Gusti Nyoman Lempad kala itu, tidak menyurutkan Tjokot terus berkarya.

Memilih hidup sebagai seniman pada awala abad ke-20 (sekitar tahun 1920- an) memang bukan perkara mudah karena apresiasi masyarakat pribumi terhadap karya seni kala itu belum tinggi. Sejalan dengan kebutuhan hidup yang terus meningkat,karena harus menghidupi anak dan isteri, Tjokot mulai menjual sendiri karya-karya patungnya ke daerah Kintamani, Sanur, dan Ubud, bahkan tak jarang karya patungnya dibeli dengan harga sangat murah atau bahkan dicicil. Konon di daerah Ubud inilah Tjokot berkenalan dengan seniman asing yang menetap di Ubud Bali, Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Pertemuan Tjokot dengan dua seniman asing tersebut memberi pengaruh yang besar pada penciptaan patung-patungnya kemudian, karena mereka memberikan dorongan dan spirit tentang kekuatan patung Tjokot.

Ketekunan dan perjuangan Tjokot membuahkan hasil ketika karyanya mulai diapresiasi diluar negri, justru di dalam negeri (terutama Bali), patung- patung Tjokot kurang mendapat penghargaan. Pada tahun 1960-an justru karya-karya Tjokot sudah dikenal di Amerika Serikat dan ia sudah disebut sebagai seorang maestro dalam bidang seni patung. Adalah pelukis Nyoman Tusan yang tanpa sengaja menemukan karya patung Tjokot di Filipina, ketika ditugaskan membawa misi kesenian Indonesia.Sejak itu Nyoman Tusan terus memperjuangkan dan meyakinkan masyarakat Bali bahwa karya patung Tjokot memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Usaha Nyoman Tusan ternyata tidak sia-sia karena secara perlahan masyarakat Indonesia menyadarai kekuatan dan kelebihan karya Tjokot. Atas perannya terhadap perkembangan seni patung Indonesia, pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan berupa Anugerah Seni Wijaya Kusuma.

Kekuatan karya patung Tjokot terletak pada ekspresi bentuk yang sangat dinamis, ekspresif tapi cenderung magis. Tjokot tidak menggagas sebuah bentuk rupa dalam pikirannya ketika menemukan sebongkah kayu atau akar pohon, namun sebaliknya bentuk bongkahan kayu atau akar tersebutlah yang memberikan inspirasi. Sejalan dengan kualitas hidupnya yang semakin meningkat terutama akan nilai-nilai kehidupan, Tjokot mulai menyadari pentingya mensinergikan antara ajaran Hindu dan proses berkesenian.

Sebagai orang Bali, I Nyoman Tjokot memiliki keyakinan bahwa hukum Karmaphala dan reinkarnasi (punarbhawa) merupakan bagian dari ajaran Hindu yang melandasi kehidupan. Pada siklus kehidupan dalam ajaran itu, sebab akibat dari perbuatan manusia bisa dibaca lewat mitos-mitos yang melahirkan simbol dalam bentuk mitis atau magis. Keyakinan tersebut membawa Tjokot memperdalam naskah-naskah kuno pada tulisan daun lontar sampai akhirnya ia memiliki kemantapan hati bahwa cerita-cerita klasik pada naskah daun lontar merupakan sumber inspirasi yang paling hakiki dalam berkarya.

Beberapa karya patung Tjokot yang terinspirasi dari mitologi Hindu atau cerita rakyatantara lain,"Betari Durga," "Panca Resi," "Garuda," "Tri Murti", "Bima Bertapa," "Singa Butasiu," dan patung-patung binatang. Figur-figur mitologi sarat akan makna simbolis yang dipahat dengan tekstur kasar dan pewarnaan natural kehitaman dengan polesan air kapur pada karya Tjokot seakan menghadirkan kekuatan magis sekaligus primitif yang kuat.

Guna mendapatkan pemurnian jiwa dalam berkarya, Tjokot sering melakukan meditasi dan kontemplasi di Pura Agung sebelum membuat karya patung. Bahkan tak jarang ide gagasan berkarya hadir dalam jelmaan mimpi dan biasanya esok hari Tjokot langsung membuat patung yang terinsirasi melalui mimpinya.

I Nyoman Tjokot menjadi sangat penting dalam peta perkembangan seni rupa Indonesia karena ia adalah seniman yang memiliki kesadaran berkarya dengan mempelajari dan membaca kembali naskah-naskah kuno daun lontar sebagai sumber inspirasi. Selain itu, Tjokot juga memperlakukan material kayu atau akar pohon sebagai media ekspresi dan komunikasi dalam berkarya, ia tidak mengeksploitasi bentuk bongkahan kayu tersebut namun justru merespon dan memperkuat karakter material tersebut menjadi sebuah karya seni yang ekspresif.

Sikap konsisten sebagai pematung sejati ditunjukkan Tjokot hingga akhir hayat (Oktober 1971). Tjokot menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam kondisi lumpuh, dengan posisi tubuh sedang mematung, yaitu kedua kaki ditekuk. Seperti takdir yang sudah digariskan ia mematung dari kekuatan alam, begitu pula ia kembali menghadap-Nya tak ubahnya posisi janin dalam tubuh seorang ibu. Tjokot memang benih sejati dalam arti sesungguhnya, ia mengawali tradisi baru seni patung Bali. Kini benih itu telah tersemai karena telah lahir pematung-pematung aliran “Tjokotisme” di tanah Bali yang diwariskan kepada anak-anaknya: I Wayan Sawat, I Ketut Nongos, dan I Nyoman Lantas. Keterampilan dan gaya patung Tjokot juga terus dikembangkan oleh cucunya, yaituI Nyoman Gede Amerjaya dan beberapa generasi penerus lainnya.

Penghargaan - 1969 Piagam Anugerah Seni, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

JOSEF PRIJOTOMO

SUMBANGAN ARSITEKTUR NUSANTARA BAGI DUNIA

Prof.Dr.Ir.Josef Prijotomo, M.Arch. adalah guru besar yang membangun pengetahuan budaya Nusantara menjadi referensi para arsitek dalam mendesain rumah. Ia melakukan kajian lapangan arsitektur Nusantara di berbagai provinsi. Kecintaanya pada arsitektur Nusantara ia tuangkan ke dalam 9 buku. Menurutnya arsitektur Nusantara harus duduk setara dengan arsitektur Barat yang selama ini menjadi kiblat; era globalisasi adalah peluang mengolah arsitektur Nusantara kekinian untuk disumbangkan pada dunia.

Profesor Josef Prijotomo lahir di pada tahun 1948. Ia menyelesaikan studi arsitektur untuk Program S1 dan S2 di Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan meraih gelar Master untuk bidang arsitektur di Iowa State University (ISU), Amerika Serikat. Sebagaimana cita-cita ayahnya yang juga pengajar, Josef mengabdikan hidupnya menjadi dosen di ITS dan sejak 2008 diangkat menjadi Guru Besar dalam Arsitektur. Bidang yang menjadi minat dan perhatiannya adalah sejarah dan teori arsitektur, arsitektur Nusantara, arsitektur Kolonial di Indonesia, dan semiotik.

Berkiprah dalam bidang pengajaran baginya bukan sekadar profesi tetapi merupakan sebuah pengabdian yang dilandasi oleh kecintaan.Profesor Josef telah menulis 9 buku tentang arsitektur Nusantara. Buku kesepuluhnya berjudul Pengantar Arsitektur Nusantara akan terbit bulan September 2015. Pengabdian pada masyarakat yang ia lakukan adalah melaksanakan pendampingan arsitektur terhadap Kampung Kemasan, Gresik yang dijadikan daerah Wisata Arsitektur pada tahun 2013–2014. Tidak kurang dari 13 penelitian telah dikerjakannya, antara lain Design Guidelines on Jawanese Architecture: Case Study of Primbon (1985), Identification of Architectural Structural System of Architecture (1990), dan ObservasidanDokumentasiPembangunanKembali Lobo di Ngata Toro (2013). Josef juga melakukan kajian lapangan di berbagai wilayah di Indonesia yaitu di Toba-Karo (Sumatera Utara), Sumpur-Padang (Sumatera Barat), Boyolali- Grobogan (Jawa Tengah), Kotagede, Yogyakarta, Klungkung, Karang Asem, dan Badung (Bali), Bima, Dompu, dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Toraja (Sulawesi Selatan), Mamasa-Ngatatoro (Ternate), Halmahera ( Utara), Moni-Flores dan Timor (Nusa Tenggara Timur).

Kecintaan Josef pada arsitektur Nusantara bermula saat tahun 1982 ketika ia menemukan buku primbon yang isinya mengenai arsitektur Jawa. Ia menyusun temuannya menjadi makalah seminar yang mendapat sambutan hangat dari para peserta. Sejak itu ia bertekad untuk menjadikan arsitektur Nusantara menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Mengapa arsitektur Nusantara ini penting digali kembali? Menurutnya, sedikitnya ada dua arsitektur yang tidak bisa disatukan, yaitu arsitektur empat musim seperti di Eropa dan arsitektur dua musim di wilayah tropis. Arsitektur empat musim harus memisahkan diri dari alam, sebab kalau tidak manusia bisa mati karena ada musim dingin yang mengancam hidup. Sedangkan arsitektur dua musim cukup perlindungan atau berteduh dari panas kemarau atau hujan. Arsitektur telanjang di negara-negara tropis tidak akan mengancam keselamatan penghuninya. Oleh karena itu, fungsi bangunannya adalah untuk bernaung.

“Bernaung itu menempatkan sesuatu di atas kepala kita agar tidak lagi terguyur hujan/terik matahari, itu saja jadi nggak perlu dinding,” kata Josef. Khusus untuk Indonesia yang secara alam akrab dengan gempa, nenek moyang kita juga telah mendesain arsitektur sedemikian rupa sehingga tahan gempa. Kiblat arsitektur yang telanjur ke Barat itu yang kemudian banyak rumah mudah roboh ketika terjadi gempa.

Sayangnya pemikiran seperti itu belum dipahami dalam sistem pendidikan dan media arsitektur. Berbagai tantangan dihadapi Josef, karena pendidikan dan publikasi yang tersedia di Indonesia malah tidak berbicara arsitektur Nusantara dan lebih berkiblat pada arsitektur Barat.

“Saya harus berjuang mengubah mind set bahwa Indonesia punya arsitektur tersendiri, yang beda dengan Barat. Karena beda,maka tidak boleh diletakkan di bawah Barat. Arsitektur Nusantara harus sejajar dengan arsitektur Barat,” kata Josef. Lebih lanjut, menurut Josef, universitas harus memiliki keberanian memunculkan arsitektur Nusantara. Itulah obsesi lima tahun terakhirnya yang baru mendapat dukungan dari sejumlah kecil arsitek.

Arsitektur Nusantara juga dapat diolah menjadi arsitektur kekinian dan sejak lama sudah ada yang melakukannya, antara lain J.B. Mangunwijaya dengan Sendang Songo-nya. Bahkan pada tahun 2014 terbit buku bagaimana arsitektur Nusantara dimodernkan berjudul Eksplorasi Desain Arsitektur Nusantara (Propan& Kompas Gramedia). Buku ituberisi kumpulan karya peserta sayembara arsitektur Nusantara yang diselenggarakan sebuah perusahaan cat.

“Jadi sudah ada ini mode blat-nya dengan segala kekurangannya. Tidak ada lagi alasan untuk mengatakan yang mana arsitektur Nusantara dan apa bisa? Semua terjawab karena ada publikasinya,” tutur Josef. Pendukung lain datang dari perusahaan cat, PT Propan Raya Jakarta, yang memfasilitasi Josef melakukan kajian lapangan arsitektur Nusantara di berbagai provinsi dan melaksanakan sayembara yang salah satu produknya adalah buku tersebut.

Pengalaman dan pemikiran Josef menjadikannya sebagai kontributor untuk dua ensklopedia, yaitu Editor for the ChapterIndonesia's Classical Heritage' of Encyclopaedia of Indonesian Heritage, vol 6. Architecture (Archipelago Press) dan Contributor on Java, 'Baduy', 'Madura' in Encyclopaedia of the Vernacular Architecture of the World(Oxford).

Guru besar yang banyak menulis di jurnal internasional ini juga berharap para arsitek di Indonesia mau mengenali arsitektur Nusantara. Mau dan mampu menyejajarkan secara setara antara arsitektur Nusantara dengan arsitektur di Jepang, Eropa, dan negara lain.

“Jadi globalisasi bukan membawa arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan Indonesia. Globalisasi mengolah yang Nusantara untuk disumbangkan pada dunia,” tutur Josef.

Josef juga masih ingin melanjutkan pengabdiannya untuk mengawal gagasannya tentang arsitektur Nusantara, sedikitnya melalui penulisan buku ke-11 hingga ke-13. Ia ingin pada purnatugasnya di usia 70 tahun sudah mewarisi 13 buku teori arsitektur Nusantara yang memadai. Ia juga masih ingin melakukan kajian lapangan di wilayah lain Nusantara.

Josef mengaku penghargaan yang diterimanya mulanya menjadi beban karena hal itu merupakan pengakuan bangsa dan negara kepadanya. “Saya belum berbuat banyak. Karena itu, izinkan saya menggunakan penghargaan ini sebagai titik berangkat, supaya saya berbuat banyak. Terima kasih bangsaku, negeriku, semoga ini menjadi pemicu lebih banyak, lebih baik, dan lebih sempurna” katanya dengan bersemangat.

BIODATA Nama : Prof.Dr.Ir.Josef Prijotomo, M.Arch. Tempat/tanggal lahir : Malang, 12 Maret 1948 Pendidikan : S1 Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya, S2Program Arsitektur ISU (AmerikaSerikat), S3 Program Arsitektur ITS, Surabaya.

KEGIATAN, antara lain  Anggota Dewan Juri untuk Kompetisi Desain Arsitektur tingkat Asia  Anggota Dewan Juri Kompetisi Arsitektur “Desa Wisata”  Kepala Editor Indonesia Design (majalah arsitektur, teknik, dan interior)  Kolumnis untuk Harian Jawa Pos

KARYA (Buku yang ditulis)  Eksplorasi Desain Arsitektur Nusantara Meng-Kini. Jakarta: Gramedia, 2014  Nusantara Architecture. Surabaya: ITS Press, 2011  Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Surabaya: Wastu LaNas Grafika, 2008  Kembara Kawruh Arsitektur Jawa(Musing the Jawanese Knowledge of Architecture). Surabaya: Wastu LaNas Grafika, 2004  Arsitektur Nusantara–Menuju Keniscayaan. Surabaya: Wastu LaNas Grafika,2004  Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995

KOTOT SUKARDI

SUTRADARA FILM, SANG PERINTIS PEMBUATAN FILM ANAK-ANAK

Dalam sejarah perfilman Indonesia, khususnya pada periode 1950–1964-an, ada beberapa tokoh perfilman dan karyanya yang tidak dapat dilupakan begitu saja, salah satu tokoh tersebut adalah Kotot Sukardi dengan karya filmnya yang sangat dikenal saat itu adalah “Si Pintjang” dan “Lajang– lajangku Putus.” Kedua film tersebut bertemakan semangat nasionalisme yang tinggi.

“Si Pintjang” merupakan film Indonesia pertama yang diputar pada Festival Film Internasional di Cekoslavia (Festival Film Karlovy-Vary, Ceko) pada tahun 1951. Film anak–anak ini pun menjadi catatan penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Film ini menceritakan Giman yang pincang sejak lahir. Ia anak keluarga petani yang berkecukupan, tetapi karena situasi pada saat itu perang, keluarganya pun porak-poranda. Giman terlunta–lunta, namun dengan keterbatasannya ia tetap berusaha mencari sesuap nasi. Dalam cerita tersebut digambarkan pula ayah dan kakaknya yang ternyata masih hidup, dan berhasil menemukan Giman, Si Pincang yang tinggal di asrama anak–anak telantar. Meski “Si Pintjang” adalah film anak–anak, namun di dalamnya menggambarkan perjuangan yang sarat dengan nilai–nilai ideologis, dengan genre “oldies drama” dan berdurasi 67 menit.

Film garapan Kotot lainnya berjudul “Lajang–lajangku Putus” (1958). Film ini menceritakan tentang layang–layang milik Amat (Nurdjojo) yang putus. Narasi film ini menonjolkan pentingnya persatuan Indonesia yang terdiri atas pulau–pulau dan suku-suku bangsa yang mendiami pulau tersebut. Melalui pengembaraan ke Mentawai, Jakarta, Jawa Tengah, hingga ke Bali dan lain– lain, Kotot ingin mengesankan bahwa Indonesia itu satu. Layang–layang itu dikejar Amat hingga ke Ambon dan ketika layang–layangnya kembali kepada Amat, Amat pun terbangun dari mimpinya.

Berdasarkan konsistensinya dalam berkarya, tampaknya Kotot Sukardi memiliki ketekunan dalam menggarap ide cerita, penata skenario, dan sutradara. Sebagai Pegawai Kementerian Penerangan di zamannya, sehingga memungkinkan sebagian besar karya–karya filmnya diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PFN). Seperti film “Si Pintjang” yang diproduksi tahun 1951, “Lajang–lajangku Putus” tahun 1958. Demikian pula dengan karya–karya Kotot lainnya, seperti film “Sepandjang Malioboro” (1951), “Si Mientje” (1952), “Djajaprana” (1955), “Ni Gowok” (1958), “Tiga Nol” (1958), “Kantjil Mentjuri Mentimun” (1959), “Melati di Balik Terali” (1961), “Dibalik Dinding Sekolah” (1961), “Sajem (sebuah kisah di kota Kudus)” dan “Sampai Berdjumpa Kembali.”

Selain sebagai sutradara film ia aktif berkarya dalam bidang kesusastraan Indonesia, ia banyak menghasilkan naskah sandiwara, antara lain mengisahkan tentang Bende Mataram yang berlatar belakang masa Perang Diponegoro (1825–1830). Sandiwara itu pun kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul yang sama, yaitu “Bende Mataram”.

Hal yang patut dicatat adalah Kotot sangat produktif membuat film, tetapi jejak–jejak karyanya banyak yang tidak sampai ke tangan kita. Berdasarkan penelusuran terhadap beberapa caption foto koleksi keluarga, yang direproduksi oleh Yayasan Idayu, terbukti adanya fakta sejarah aktivitas Kotot dalam dunia perfilman Indonesia. Tepatnya sekitar tahun 1956 hingga 1959, Kotot dengan timnya tengah menyiapkan film tentang Ki Hadjar Dewantoro sebagai Tokoh Pendidikan Nasional yang diproduksi oleh PFN. Dari foto–foto yang ada itu, dapat dimaknai bahwa Kotot saat proses pembuatan film juga mendiskusikan berbagai hal tentang film itu langsung dengan narasumbernya, yaitu Ki Hadjar Dewantoro, Tokoh Pendidikan Nasional kita.

Dari data-data yang ada, dapat ditafsirkan bahwa sebagai seorang penulis cerita, penata skenario, dan juga sutradara, Kotot bersungguh– sungguh untuk mengangkat sebuah realitas sosial-politik ke dalam layar bioskop. Bagaimana ia mengangkat sosok Ki Hadjar Dewantoro, sebagai pelopor pendidikan, untuk masyarakat pribumi di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Atas jasa kepeloporan Ki Hadjar Dewantoro itulah, maka setiap tanggal 2 Mei—yang merupakan tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantoro— diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Pada saat itu, tampaknya sudah ada upaya dari beberapa insan perfilman untuk membangun emosi penonton yang bersifat dinamis, terlepas dari kondisi sosial politik yang sedang terjadi. Sebagai catatan dalam hal produksi, pada awal 1950-an terjadi lompatan produksi film nasional yang melonjak tajam. Lonjakan produksi itu terlihat, antara lain selama tahun 1949 diproduksi hanya 8 film, tetapi setahun kemudian meningkat menjadi 23 judul. Selanjutnya pada tahun 1951 jumlahnya menjadi 40 judul. Perusahaan film yang aktif memproduksi adalah Djakarta Film, Samudra Film Golden Arrow, Bintang Surabaya (semuanya milik pengusaha etnis Tionghoa). Juga perusahaan film yang dimiliki negara, seperti Perusahaan Film Negara, Kino Drama Atelier, dan yang terbanyak produksi Persari. Dengan iklim yang sangat kondusif di masa itu, hampir setiap tahunnya Kotot—baik sebagai penulis cerita, penata skenario maupun sebagai sutradara—aktif berkarya, setidaknya dalam kurun waktu selama 10 tahun lebih, yaitu sejak tahun 1951 sampai dengan 1961.

Satu ciri terpenting dari Kotot melalui karya-karyanya adalah semangat nasionalisme dalam skenario ataupun film yang disutradarinya dan sangat kental melandasi proses kreativitasnya, khususnya pada periode 1950–1964- an. Semangat tersebut direpresentasikan melalui sekitar 12 film, yaitu “The Long March” (Darah dan Doa),1950 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Bunga Bangsa,” 1951 (Sutradara Nawi Ismail, produser Persari); “Enam Djam di Djogdja,” 1951, (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Sepandjang Malioboro,” 1951, (Sutradara H. Asby, Produser Persari); “Kafedo,” 1953 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Lewat Djam Malam,“ 1954 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Turang,” 1957 (Sutradara Bachtiar Siagian, Produser Rencong Film Corp. Yayasan Gedung Pemuda Medan (Refic Film, Abubakar Abdy); “Pedjuang,” 1960 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Badja Membara,” 1961 (Sutradara Bachtiar Siagian, Produser Rencong Film Corp. Yayasan Gedung Pemuda Medan (Refic Film, Abubakar Abdy); “Di Lereng Gunung Kawi,” 1961 (Sutradara Tandu Honggonegoro, Produser Gema Masa Film); “Toha, Pahlawan Bandung Selatan,” 1961 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Anak–anak Revolusi,” 1964 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini).

PROF. DR. M. JUNUS MELALATOA

KEBUDAYAAN YANG BERAGAM ADALAH KEKAYAAN BANGSA

Malam telah larut. Nyanyian mesin ketik “tiktaktiktak” masih terdengar. Seisi rumah pun tahu Prof. Dr. M. Junus Melalatoa masih bekerja, menulis laporan hasil penelitian tentang berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Tak banyak cakap, bekerja keras dan semangatnya bernyala-nyala, serta total berdidikasi baik sebagai pengajar, peneliti kebudayaan maupun seniman. Itulah gambaran almarhum M. Junus Melalatoa di mata anak- anaknya dan rekan-rekan kerjanya. Kerja keras dan giat mencari ilmu itu pulalah yang diwariskannya kepada anak-anaknya.

“Dia (Junus Melalatoa) sama sekali tidak memberikan warisan harta. Dia memberikan sebuah kebanggaan dan pengabdian yang luar biasa pada ilmunya. Orangnya tidak mengejar materi. Dia cuma bekerja, bekerja, dan bekerja serta hanya hidup dari gaji sebagai pegawai negeri. Dia menulis buku.Diameninggalkan kami banyak buku, banyak ilmu, banyak pelajaran tentang hidup,” ujar putra pertamanya, Winaldha Ervino Melalatoa, yang kini bekerja sebagai kameramen dan sutradara film.

Karenaitu, ketika mendapat kabar bahwa Pemerintah Indonesia akan memberikan Penghargaan Satyalencana Kebudayaan tahun 2015 kepada M. Junus Melalatoa atas dedikasinya dalam bidang kebudayaan semasa hidupnya, anak-anaknya merasa sangat bangga dan berbahagia.

“Saya berterimakasih karena Pemerintah member penghargaan kepada orang-orang yang berdedikasi. Ini adalah penghargaan yang bias diapresiasi oleh bangsa ini. Penghargaan ini mewakili bangsa. Kami bangga karya-karya bapak dihargai, meskipun ia sudah meninggal,” kata Winaldha dengan suara yang bergetar karena haru.

Semasa hidupnya, Junus telah meneliti sekitar 520 suku bangsa yang ada di Indonesia. Salah seorang putri antropolog ini menuturkan bahwa ayahnya sangat bersemangat bercerita tentang berbagai suku yang baru saja dikunjungi dan ditelitinya serta sangat tertarik pada nilai-nilai luhur dari suku-suku itu.

Di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Junus mengasuh mata kuliah Etnografi Indonesia. Ia mempunyai pandangan bahwa “kebudayaan yang beragam adalah kekayaan bangsa. ”Pandangan itu pulalah yang memandu langkahnya dalam menekuni ilmu antropologi dan berbagai aktivitas penelitiannya.

Junus Melalatoa menyadari betapa berharganya keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Kesatuan bangsa hanya tercipta melalui penghargaan atas keberagaman kebudayaan itu. Ia mewujudkan kesadarannya itu dengan melakukan penelitian tentang aneka suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Buku yang telah ditulisnya berkaitan dengan itu adalah Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (dua jilid) yang diterbitkan pada tahun 1995. “Kita ini satu bangsa tetapi beraneka ragam. Kemajemukan itu apa? Seperti apa bentuknya? Itu harus diketahui agar tidak salah dalam menata bangsa ini,” katanya.1

Selain dikenal sebagai dosen dan peneliti yang ulet dan tekun, Junus juga dikenal sebagai sastrawan. Ia menulis cerita, seperti Batu Belah: Cerita Rakyat Gayo (1979) dan sejumlah cerita pendek. Buku puisinya Luka Sebuah Negeri (Yayasan Obor, 2007) diterbitkan oleh anak-anak didiknya setelah ia meninggal dunia. Ny Asiah Melalatoa membacakan sebuah puisi karya almarhum suaminya saat peluncuran buku puisi itu di FISIP UI Depok.

Junus juga sempat ikut main dalam film “Puisi Tak Terkuburkan” karya Garin Nugroho tahun 1999. Winaldha yang menjadi cameramen dalam film tersebut menuturkan, semula ayahnya diminta oleh Garin sebagai konsultan. Namun Garin kemudian meminta Junus untuk ikut main dalam film yang berkisah tentang seorang penyair didong, Ibrahim Kadir, yang dijebloskan kedalam penjara tahun 1965 di Tanah Gayo, Aceh. Pengalaman Ibrahim di dalam penjara selama 22 hari menjadi kisah film ini, sampai saat ia dilepaskan karena ternyata salah tangkap.

Junus Melalatoa yang dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Departemen Antropologi FISIP UI itu mendapat gelar Doktor pada tahun 1983 dengan disertasinya bertajuk “Peudo Moiety Gayo, Satu Analisa Tentang Hubungan Sosial Menurut Kebudayaan Gayo. ”Konsultan Penelitian pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-1983) ini juga pernah mengajar di Sesko ABRI Bagian Laut (1977-1982), Fakultas Pasca sarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado (1987), Fakultas Pasca sarjana Universitas Negeri Semarang, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Di bidang publikasi, Junus pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Berita Antropologi dan Jurnal Antropologi Indonesia terbitan Departemen Antropologi FISIP UI selama beberapa periode.

BIODATA PROF DR MUHAMMAD JUNUS MELALATOA Lahir :Takengon, Gayo, Aceh, 26 Juli 1932 Meninggal :Jakarta, 13 Juni 2006 Istri :Ny Asiah Abubakar Melalatoa

PEKERJAAN: - Guru Besar pada Departemen Antropologi FISIP UI - Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia - Dosen Institut Kesenian Jakarta

KARYA TULIS: - Luka Sebuah Negeri(2007)

1(Kompas, 22 November 2004). - Gayo:Etnografi Budaya Malu (2003) - Didong: Pentas Kreativitas Gayo (2001) - Sistem Budaya Indonesia (1997) - Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (2 Jilid, 1995)

PENGHARGAAN: - Satyalancana Kebudayaan dari Pemerintah RI (2015) - Piagam Penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan (2003) - Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI Soeharto (1996) - Surat Penghargaan Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985) - Surat Tanda Penghargaan dari Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal TNI M Jusuf (1981)

MOH SJAFE’I

MENELADANI PENDIDIKAN KARAKTER MOH SJAFE’I DAN INS KAYUTANAM

Saat ini gaung pendidikan karakter kian menggema. Pendidikan karakter dinilai sangat penting ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini, dan pendidikan karakter adalah jawaban dari berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu, mulailah sekolah-sekolah dan instansi pendidikan menerapkan konsep pendidikan karakter ke dalam kurikulum yang terus dikembangkan.

Namun, jauh sebelumnya, Moh Sjafe’i, tokoh pendidikan nasional yang sekaligus pendiri INS Kayutanam,sudah menerapkan konsep pendidikan karakter kepada murid-muridnya di sekolah tersebut.

Sekolah itu dinamakan “INS Ruang Pendidik,” yang biasa disebut orang “Ruang Pendidik INS Kayutanam.” Didirikan di desa Kayutanam pada tanggal 31 Oktober 1926. Sjafe’i memampangkan papan nama “INS Ruang Pendidik” dengan kepanjangan “Indonesis Nederlandse School,” sebagai ungkapan harga diri sebagai Bangsa Indonesia, yaitu mendahulukan kata “Indonesis”. Hal itu berlawanan dengan nama-nama sekolah jajahan pada masa itu, seperti H.I.S., H.I.K., H.C.S, dan sebagainya, yang “Inlandse”-nya dinomor- duakan.

Pendirian INS Kayutanam sebenarnya sudah lama menjadi bahan pemikirannya. Namun, niat mulia itu baru bisa teraplikasi setelah Sjafe’i menamatkan pendidikannya di Belanda, sekitar tahun 1920-an.Ia bukanlah sosok pro-kolonialisme, melainkan tokoh yang secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam mencapai kemerdekaan.

Saat itu dia melihat sistem pendidikan dan persekolahan yang diadakan oleh Pemerintah Jajahan untuk anak-anak Indonesia memang sesuai untuk kepentingan penjajah, bertentangan dan bertolak punggung dengan alam Indonesia serta hasrat dan cita-cita bangsa Indonesia.

Konsep pendidikan Sjafe’i tampak dalam filosofi yang ia gagas, “Jangan minta buah mangga pada pohon rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon berbuah manis.” Apa yang diungkapkan oleh Sjafe’i itu memiliki makna yang begitu mendalam dan terkesan sangat demokratis, bahwa setiap individu, sebagai peserta didik, tentu tidak akan terlepas dari berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan, serta mempunyai keistimewaan masing- masing.Watak (characteristic), kegemaran, cita-cita, keterampilan (skill) serta pandangan hidup (way of life) manusia tentu berbeda satu sama lain. Pendidikan yang diberikan tentu tidak akan mencapai sasaran jika konsep yang ditanamkan tidak mampu ‘memahami’ segala perbedaan tersebut.

Pendidikan yang diajarkan oleh Sjafe’i di INS Kayutanam menekankan siswa untuk bisa menyeimbangkan antara kerja, pikiran, dan perasaan. Hal itu kemudian diwujudkannya ke dalam tiga bidang pendidikan, yakni ‘tangan’, ‘otak’, dan ‘hati’. Tangan merupakan merupakan metafora dari kreativitas dan kerja keras; otak merupakan perlambangan dari pendidikan akademis dan hal-hal yang berkaitan dengan psikomotor; sedangkan hati merupakan simbolisasi dari spritualitas atau hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi, akhlak mulia, dan ibadah. Ketiga bidang inilah, menurut Sjafe’i yang akan membentu anak didik menjadi sosok yang kreatif, pintar, serta berakhlak mulia. Kekurangan salah satunya akan membuat seseorang sulit diterima dengan baik di dalam masyarakat.

Pada hakikatnya Ruang Pendidik INS ialah pendidikan kearah pengembangan bakat. Oleh karena itu, Ruang Pendidik INS Kayutanam dilengkapi dengan segala macam sarana tugas yang terdapat dimasyarakat luas, seperti di bidang-bidangperusahaan (kayu, besi, tanah liat, benang, rotan, karet dll), kesenian (melukis, mengukir, musik, tari, pementasan/sandiwara,dll), dan grafika (percetakan, mengarang, kewartawanan, dll), serta segala macam bidang lainnya, seperti olahraga, manajemen, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, teknologi, dasar-dasar ketentaraan dan kepolisian, perdagangan, dan perkoperasian.

Pendidikan ala Sjafe’i tidak terbatas hanya pada ruang kelas. Pendidikan merupakan proses panjang yang melibatkan keseluruhan aktivitas sehari- hari, mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Jika ada yang kedapatan melakukan kesalahan, maka yang bersangkutan akan ditanyai “Apakah ia tahu dan sadar akan kesalahan yang telah ia perbuat?” Hukuman kemudian diberikan bukan sekadar ‘efek jera’ belaka, namun juga sebagai bagian dari proses pendidikan itu sendiri.

Oleh para peserta didiknya, sosok Sjafe’i memiliki semangat juang dan jiwa pendidik yang tak pernah luntur. Ia tak pernah mengenal kata menyerah. Segala keterbatasan yang ada, oleh Sjafe’i justru dijadikan sebagai cambuk untuk lebih memotivasi diri demi tercapainya cita-cita luhur yang telah dirancangnya sejak dulu, yaitu menciptakan anak didik yang cerdas, terampil,tangguh, mandiri, beretos kerja keras, berakhlak mulia, dan tidak lagi menjadi ‘buruh’ bagi Belanda.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Matan, Pontianak, Kalimantan Barat/ 31 Oktober 1893 Tempat/Tanggal Meninggal : Jakarta/ 5 Maret 1969 Istri : Yohanna Sirie (kemenakan dari Moh Natsir, mantan Perdana Menteri RI) Anak : Yusyafri Sjafe’i, Elvira Sjafe’i, dan Linda Sjafe’i

PEKERJAAN: - Ketua Wakil Rakyat seluruh Pulau Sumatera (Cuo Sangi In Gi Co) - Kepala Pemerintahan Daerah (Propinsi) Sumatera Barat Republik Indonesia yang pertama dengan pangkat Residen - Ketua KNIP - Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan RI dalam kabinet Sutan Syahril - Kepala Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan Sumatera - Anggota Dewan Pertimbangan Agung - Anggota Parlemen

KARYA: - Pencipta lagu wajib nasional “Indonesia Subur” - Buku pelajaran untuk Sekolah Dasar: o Rumah dan Halaman, Di Kampung I, Di Kampung II, Kampung dan Kota, Kuntum Budi, Pelita, Tegap I hingga Tegap III, Arah Aktif (Semua buku itu terpakai di sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia sampai pecah pergolakan di daerah-daerah).

PENGHARGAAN: Memperoleh Bintang Mahaputera Adipradana tahun 2000

SAUTI

MAHAKARYA GURU SAUTI BERNAMA SERAMPANG DUA BELAS

Bila membicarakan kesenian Melayu, khususnya seni tari, maka nama Sauti dan “Serampang 12” tentu tidak dapat dihindari untuk dijadikan rujukan. Di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, mahakarya tari yang terkenal itu tercipta dan berkembang. Di kota ini pula seniman tari Melayu yang kerap dipanggil Guru Sauti itu lahir.

Ketika Sauti masih hidup, tarian ini pernah melanglang ke negara-negara Asean, bahkan hingga ke Jepang, Cina, dan ke beberapa negara Eropa. Dalam setiap pergelarannya nama Sauti kian populer. Pada masa keemasannya, keberadaan Tari “Serampang 12” mendapat sambutan yang luar biasa di seluruh tanah air dan berbagai negara. Banyak seniman dari banyak kota dan negara datang kepada Sauti untuk belajar menari.

“Serampang 12” adalah tarian tradisional Melayu yang berkembang di masa Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan diubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama “Serampang 12”, tarian ini bernama “Tari Pulau Sari”, sesuai dengan judul lagu yang mengiringinya, yaitu lagu “Pulau Sari”.

Tarian ini mengutamakan gerakan yang lincah. Gerak kaki yang banyak melompat-lompat, gerak tangan yang cepat serta lirikan mata. Disebut tari “Serampang 12”, karena terdiri dari 12 ragam, yaitu (I) tari permulaan pertemuan pertama dua orang muda-mudi, (II) tarian berjalan, menceritakan ketika cinta meresap, (III) tari pusing yang menggambarkan tentang pemuda yang sedang kasmaran, (IV) tari gila karena perasaan mabuk kepayang,(V) tari berjalan bersipat, menceritakan isyarat tanda cinta, (VI) tari goncet-goncet yang merupakan simbol pihak si gadis membalas isyarat yang disampaikan si pemuda, (VII) tari sebelah kaki kiri/kanan yang menunjukkan bahwa dalam hati sepasang pemuda mulai tumbuh kesepahaman atas isyarat-isyarat yang mereka kirimkan, (VIII) tari langkah tiga melonjak maju mundur yang merupakan simbol dari proses meyakinkan diri terhadap calon pasangannya, (IX) tari melonjak sebagai simbol menunggu restu kedua orang tua, (X) tari datang mendatangi atau pinang meminang, (XI) tari rupa-rupa jalan yang menggambarkan proses mengantar pengantin ke pelaminan, dan (XII) tari sapu tangan yang dilakukan dengan menyatukan sapu tangan sebagai simbol telah menyatunya dua hati yang saling mencintai dalam ikatan perkawinan.

Menurut satu-satunya murid Sauti yang masih hidup, Sauti merupakan penari tradisi sejak muda dan dia berinteraksi dengan seniman-seniman pada masa itu sehingga mampu menari dengan sangat baik. Ketika sudah remaja, Sauti dan OK Adram sama-sama gelisah melihat tarian yang ada waktu itu. Tari- tarian itu hanya merupakan tarian lepas, hanya stimulasi untuk kegembiraan atau upacara. Selain itu, Presiden Soekarno getol sekali ingin menggantikan tarian-tarian dansa yang kebarat-baratan pada waktu itu. Dengan surat resmi pada tahun 1955, Soekarno meminta daerah-daerah mengirimkan tarian- tarian untuk dipopulerkan. “Sauti yang waktu itu bekerja di Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara menawarkan “Serampang 12”. Ketika itu terjadi konflik antara dia dan pasangannya, OK Adram, yang meminta agar tarian itu tidak diajarkan sembarangan, dikhawatirkan akan mengalami degradasi kualitas. Sauti justru berpendapat agar disebarkan terlebih dahulu tarian itu, nanti setelah menyebar lalu dikembalikan kualitasnya seperti awalnya,” kata Jose Rizal Firdaus.

Sauti bertekad menyebar tari “Serampang 12” ke seluruh Indonesia dengan menurunkan kualitasnya, artinya sedikit memudahkan untuk orang-orang di luar Sumatera Utara. “Misalnya orang Bandung boleh menarikannya dengan cara Bandung, orang Makassar dengan cara Makassar. Ketika Festival “Serampang 12” pertama dibuat di Surabaya, yang kedua di Jakarta, yang ketiga di Medan. Dalam penyelenggaraan festival tersebut selalu terjadi konflik dengan daerah-daerah dari luar. Mereka komplain, bahwa mereka belajar menari langsung dari Sauti, tetapi kenapa bisa kalah,” jelas Jose Rizal.

Apalagi waktu itu, salah satu jurinya adalah Sultan Deli yang berprinsip bahwa nuansa melayu tari “Serampang 12” harus kental. “Sehingga terjadilah konflik yang mengakibatkan berhentinya Festival Tari Serampang 12 pada tahun 1963. Barulah kami murid-muridnya belakangan ingin kembali menggalakkan tari “Serampang 12”, maka ketika Pesta Budaya Melayu kita undang seluruh provinsi dan negara-negara tetangga untuk menarikan “Serampang 12” kembali,” tambah Jose Rizal.

Jose Rizal memiliki kenangan yang mendalam terhadap sosok gurunya, Sauti. Kepribadiannya yang istimewa membuat Sauti memiliki kharisma tersendiri. Banyak murid dan pengagumnya menjadikan Sauti sebagai idola. Dimanapun ia mengajar, pasti banyak orang terkesan dengan Sauti. Umumnya orang yang belajar tidak puas kalau tidak dituntun Sauti secara langsung.

“Sauti merupakan pembaharu tari Melayu yang dihormati orang bila berkunjung ke berbagai tempat,” imbuhnya.

Oleh karena ia tokoh yang dipuja, ia jadi perhatian banyak orang. Sampai cara berpakaiannya sering ditiru untuk memberi kesan bahwa mereka pengagum Sauti. Hal yang kemudian dicontoh secara massal oleh murid- muridnya adalah pengunaan peci yang dikenakan secara miring ketika menari. Padahal penggunaan peci seperti itu tidak lazim sebelum dikenakan para penari “Serampang 12”.

BIODATA Nama : Sauti Tempat/tanggal lahir : Pantai Cermin, Sumatra Utara, 1903. Istri : Sabridjat Anak : M.Adham Sauti, Achiruddin Sauti, Zubir Sauti, Siti Sinoro, Makmur Sauti, Mardijah, Rahmatu’llah

KEGIATAN

- Tahun 1941: Memimpin dan menarikan tari “Serampang 12” bersama O.K. Adram pada pertunjukan Kesenian oleh Comito Bandjin Serdang di Medan. - Tahun 1942-1944: Memimpin dan mempertunjukan tarian-tarian Melayu pada acara besar Nippon dan berbagai pertunjukan anak sekolah oleh pemerintah pendudukan Jepang waktu itu. - Tahun 1955: Pertunjukan Serampang Dua Belas pada anggota Konperensi Djawatan Kebudayaan se-Indonesia. - Tahun 1954: Mengajarkan Tari “Lenggang Patah Sembilan” dan tari biasa pada Akademi Seni Tari di Tiongkok. Memimpin Kursus Tari Perwakilan Djawatan Kebudayaan Sumatera Utara. - Pulang dari Tiongkok mempertunjukan tari “Serampang Dua Belas: pada anggota Kongres Bahasa Indonesia di Medan. - Tahun 1955: Memimpin rombongan ke Jakarta untuk merencanakan Hari Proklamasi ke-10 RI serta menyambut kedatangan tamu agung dari Mesir. - Tahun 1956: Memimpin, mengajarkan, dan menarikan tari serampang XII dalam film “Serampang 12” yang dikeluarkan oleh Radial Film Coy. - Memimpin dan mempertunjukan tari-tarian menyambut Misi Kebudayaan India di Jakarta. - Mengajar Ibu Fatmawati Sukarno dan Ibu Rahmi Hatta serta penggemar-penggemar tari “Serampang 12”. - Memberikan kursus-kursus tari di Medan dan mengajarkan tari-tarian Melayu pada perkumpulan pelajar Tionghoa. - Mengajar “Serampang 12”diJakarta. - Tahun 1956- 1957: mengembangkan tari-tarian “Serampang 12” dan iringannya di Tanjung Pinang. - Tahun 1958: Membantu kader-kader tarian “Serampang 12”di Bandung. - Berkeliling Kota Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, dan kota-kota di Sumatera Utara.

Karya-Karya: 1. Tari “Lenggang Patah Sembilan” merupakan tari dengan rentak yang paling lambat dengan iringan lagu Kuala Deli 2. Tari “Lenggok” diiringi dengan lagu Tanjung Katung atau Jambu Merah 3. Tari “Mak Inang” dengan lagu “Mak Inang Pulau Kampai” atau “Mak Inang Kampung” 4. Tari “Serampang 12” 5. Tari lagu dua atau tari biasa 6. Tari “Melenggok” dengan iringan lagu “Hitam Manis” 7. Tari “Mak Inang Pak Malau” dengan iringan lagu “Mak Inang Pak Malau” 8. Tari “Campak Bunga” 9. Tari “Pelipur Lara” dengan iringan lagu “Anak Kala” 10. Tari “Sapu Tangan” dengan iringan lagu “Cik Na Sayang” atau “Bercerai Kasih”.

SURYO SUMANTO

“BAPAK” ARTIS FILM INDONESIA

Suryo Sumanto bukan seorang bintang film, namun justru dia yang mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) dan memimpin organisasi ini selama beberapa periode sampai akhir hayatnya. Organisasi para artis ini diresmikan oleh Ibu Negara, Fatmawati Soekarno.

Pak Manto, begitu biasa dia dipanggil oleh rekan-rekannya, memang bukan artis, tetapi ia orang yang aktif dalam berorganisasi. Ia bersama dengan H. Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik mendirikan Persatuan Film Indonesia (Perfini) pada tahun 1950. Kemudian pada 10 Maret 1956 ia mendeklarasikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) di Gedung SBKA, Manggarai, Jakarta Selatan, sedangkan sekretariatnya di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, yang tidak lain adalah rumahnya. Kedua organisasi ini memberi andil dalam membangun perfilman Indonesia.

Dedikasinya di organisasi artis itu dan keterlibatannya dalam meletakkan perfilman nasional membuatnya dijuluki “Bapak Artis Film Indonesia” oleh para insan film. Lahirnya PARFI berawal dari vakumnya kegiatan SARI (Serikat Artis Indonesia) sejak Pemerintah Balatentara Jepang berkuasa di Indonesia. Kongres pertama organisasi tempat para artis film bernaung itu akhirnya memilih Suryo Sumanto sebagai Ketua Umum.

Pak Manto yang pandai bergaul dan berwibawa sekaligus memilki sahabat mulai dari tukang becak sampai Presiden (Soekarno), membuat PARFI sebagai rumah seniman film karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan di antara mereka. Ia juga berusaha membersihkan organisasi itu dari kegiatan politik seperti menolak ikut campur tangan PKI dan organisasi-organisasi di bawahnya.

Melalui PARFI Pak Manto juga ikut memperjuangkan nasib film Indonesia dari cengkeraman film impor. Organisasi para artis itu pernah menggelar demonstrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang dinilai dapat merugikan industri perfilman Indonesia, dan mendorong agar para insan film mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film produksi anak negeri.

Penulis Skenario dan Produser Pak Manto yang ikut berjuang saat revolusi kemerdekaan berlangsung dan sempat mendapat pangkat ketentaraan sebagai Kapten, dikenal sebagai penulis skenario yang kuat.Pria yang suka humor itu memenangkan penghargaan Skenario Terbaik lewat film yang ditulisnya “Harimau Tjampa” (1953) pada Festival Film Indonesia pertama tahun 1955. Ia juga pengarang cerita dan penulis skenario film “Putri Dari Medan” (1954), “Mertua Sinting” (1954), “Lagi-lagi Krisis” (1955), dan “Tamu Agung” (1955). Pak Manto juga sempat menjadi produser untuk film “Embun” dan bertindak sebagai Pemimpin Produksi untuk film “Dosa Tak Berampun” (1951) dan “Tamu Agung”.

Soal penulisan skenario, menurut Sakti Sawung Umbaran, anak kedua Sumanto, “Almarhum Pak Misbach Yusa Biran pernah berkata, Pak Sumanto sangat kuat dalam penulisan-penulisan satir-satir dan komedi sosial. Salah satu filmya yang fenomenal, namun tidak terlalu meledak adalah ‘Lagi-lagi Krisis.’ Film ini telah mendapatkan apresiasi luar biasa dari para seniman saat itu. Waktu itu para seniman biasanya nongkrong di Senen, karena itu disebut seniman Senen. ”Suryo yang lahir di Klaten, Jawa Tengah, adalah putra dari Raden Ngabehi Mangunsuromo, dan salah seorang kakaknya, yaitu SK Trimurti dikenal sebagai tokoh pers nasional dan tokoh politik.

Pada tahun 2015, pemerintah RI menganugerahkan Penghargaan Satyalancana Kebudayaan kepada Suryo Sumanto sebagai Perintis Perfilman Indonesia. Menanggapi penghargaan tersebut, Sakti yang ditemui di rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan, “Dari pihak keluarga, kami patut menyatakan terima kasih sebesar-besarnya. Masih ada perhatian terhadap seniman yang pernah berkarya untuk negara ini.”

Lebih lanjut Sakti mengatakan, bahwa pengalamannya bersama ayahnya tidak banyak. “Beliau meninggal ketika saya masih berusia belasan tahun. Kalau misal ia masih hidup sampai sekarang, dengan sifatnya itu, tentu kami bisa jadi teman. Apa yang saya dapatkan dari bapak adalah keprihatinan dan kemerdekaan sebagai hal yang paling berharga,” katanya.

“Kami dulu tinggal di rumah yang kecil, numpang di rumah seorang komodor yang sudah seperti saudara bagi kami. Tetapi itu tidak menghalangi kinerja bapak. Apakah itu rumah kecil atau besar, ia bekerja, bekerja saja. Ia bergaul, bergaul saja. Rasanya, pengalaman itu yang tidak bisa hilang dari ingatan saya. Keprihatinan dan kemerdekaan itu merupakan harta bernilai yang luar biasa buat saya,” kenang Sakti tentang ayahnya, yang sempat mencapai pangkat kapten saat revolusi kemerdekaan.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Klaten, Jawa Tengah, 15 September 1918 Meninggal : Jakarta, 13 Juni 1971 Istri : Rully Sumanto Anak : Manon Dianti Sakti Sawung Umbaran SKENARIO FILM - “Harimau Tjampa” (1953) - ”Putri Dari Medan” (1954) - “Mertua Sinting” (1954) - “Lagi-lagi Krisis” (1955) - “Tamu Agung” (1955)

PENGHARGAAN -Skenario Terbaik untuk film “Harimau Tjampa” pada FFI pertama tahun 1955

KATEGORI PENCIPTA, PELOPOR, DAN PEMBARU

Adalah penghargaan Kebudayaan yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada seseorang di bidang: seni rupa, seni tari, seni musik/karawitan, seni teater/pedalangan, seni sastra, seni film/multimedia, seni arsitektur, dan mode busana (fashion). Prestasinya memperlihatkan pembaruan penciptaan dalam konteks kemajuan bidang yang ditekuninya, memiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan menunjukkan kepeloporan yang menjadi inspirasi monumental bagi masyarakat.

ANANDA SUKARLAN

MUSIK TIDAK KALAH PENTING DARI POLITIK DAN EKONOMI

Siang itu, pianis kelas dunia asal Indonesia, Ananda Sukarlan memberi semangat kepadaanak-anak yang sedang berlatih menggesek biola di Ananda Sukarlan Center for Music and Dance, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Di tempat ini diberikan pendidikan musik secara gratis.

Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) yang didirikan pada 10 Februari 2010 oleh Pia Alisjahbana, Chendra Panatan, Dedi Panigoro, dan Ananda Sukarlan telah mendidik lebih dari 100 anak lewat program “Children in Harmony”, sebuah program pendidikan musik secara gratis bagi anak-anak berusia 6-11 tahun dari keluarga tidak mampu dengan bimbingan guru yang mumpuni.

“Tujuan kami yang utama bukan menjadikan mereka musisi, tetapi lebih mengatifkan otak mereka agar lebih cerdas dan disiplin. Mereka anak kurang mampu, seperti anak tukang bakso, supir bajaj, pelayan. Biasanya mereka rendah diri. Kalau mereka bisa memainkan satu instrumen musik, hal itu akan menaikkan kebanggaan mereka dan rasa percaya diri. Kepercayaan diri penting untuk suatu perkembangan bagi anak,” ujar Ananda Sukarlan tentang kegiatan pendidikan musik gratisnya itu.

Melalui program tersebut Andy, begitu Ananda biasa disapa, juga ingin menegaskan bahwa musik memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. “Musik tidak kalah penting sama seperti ekonomi, bisnis, dan politik. Kalau semuanya sudah terpenuhi, yang kita cari adalah kebahagiaan. Kebahagiaan itulah yang membuat hidup kita makin sempurna. Dan, musik bisa memberikan kebahagiaan itu. Di sini letak pentingnya musik,” tegas Andy.

“Saya membuat yayasan ini karena teringat masa lalu saya dari keluarga kurang mampu. Salah satu yang banyak membantu saya adalah Bapak Fuad Hassan, dulu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1980-an. Saya berutang budi kepada beliau. Banyak orang memotivasi saya untuk bisa maju. Saya selalu mendapat rezeki berlimpah dari Tuhan. Dulu saya mengambil, sekarang tugas saya memberi,” ucap putra bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Letkol Sukarlan dan Poppy Kumudastuti itu.

Selain sebagai pianis kelas dunia, Andy juga seorang komposer, pendidik, dan inspirator bagi generasi muda. Untuk peran dan prestasi itulah, Pemerintah RI memberinya Penghargaan Kebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru tahun 2015. “Penghargaan ini memicu saya untuk berbuat lebih banyak lagi dalam musik,” kata Andy.

Saat ini Andy giat memajukan Musik Sastra Indonesia, begitu ia menyebut musik klasik Indonesia. Peluang Indonesia sangat bagus untuk menawarkan musik baru kepada dunia seperti karyanya “Rapsodia Nusantara” yang telah dimainkan ratusan pianis di seluruh dunia. Sejak usia 5 tahun Andy belajar piano dari kakaknya, Martani Widjajanti. Ia kemudian berguru pada Soetarno Soetikno dan juga Rudy Laban di Yayasan Pendidikan Musik, Jakarta. Lulus dari SMA Kanisius tahun 1986, ia mendapat beasiswa dari Petrof Piano untuk belajar di Konservatori Walter Hautzig di kota Hartford, Connecticut, AS.

Andy berangkat ke Belanda pada usia 17 tahun untuk kuliah di Konservatori Kerajaan, Den Haag dibawah bimbingan Naum Grubert, Ellen Corver, Geoffrey Madge hingga lulus pada tahun 1993 dengan predikat summa cum laude dan diganjar Hadiah Cuypers. Sejak itu, namanya mulai dikenal dunia dan kariernya gemilang sampai sekarang. Pada masa awal kuliahnya, 1988, ia telah memenangkan kompetisi musik nasional Belanda dan dianugerahi Hadiah Edward Elipse.

Sepanjang 1993-1995, selain konser dan membuat rekaman CD, ia banyak bertarung dalam ajang kompetisi internasional di seantero Eropa: suatu tradisi yang harus dijalankan oleh setiap musisi muda untuk menguji kemampuan diri. Prestasi yang diperolehnya di antaranya: pada tahun 1993, Hadiah Pertama “Nadia Boulanger”, kompetisi internasional Orleans, Perancis; masih pada tahun 1993, Hadiah Pertama “ Xavier Montsalvatge”, kompetisi musik abad XX di Ginora, Spanyol. Pada tahun 1994, Hadiah Pertama “Kompetisi Piano Blanquefort”, di Bordeaux, Perancis; kemudian tahun 1995, Hadiah Pertama dan Hadiah Khusus untuk penafsir terbaik musik Spanyol “Ciudad de El Ferrol” di Galicia, Spanyol dan banyak lagi penghargaan yang diterimanya.

Tahun 1995 ia mementas-perdanakan 38 karya baru dari 38 komponis Spanyol dan Portugis dalam sebuah konser; kemudian dicatat oleh Guiness Book of World Record. Suatu rekor yang mungkin untuk selamanya tidak akan pernah terpatahkan!

Pada 1996-2006 ia sepenuhnya berkiprah sebagai pianis dan mengadakan konser sebanyak 50 hingga 60 kali dalam setahun di seluruh dunia, kecuali Afrika. Hanya segelintir orang di dunia ini yang sanggup membuat konser sekali seminggu sambil mempersiapkan repertoar yang baru untuk minggu berikutnya, karena untuk itu diperlukan kemampuan yang hebat, disiplin ketat, dan tenaga serta energi yang sangat besar. Dari ribuan komposisi yang dimainkannya, 300 lebih di antaranya adalah pentas perdana dari karya-karya yang digubah khusus untuknya oleh para komponis dunia. Beratus-ratus komponis terkemuka dunia keranjingan menggubah musik yang dipersembahkan kepada seorang pianis adalah suatu fenomena yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah! Tak heran bila namanya dicantumkan— orang Indonesia pertama dan satu-satunya—dalam buku The International Who’s Who In Music dan juga dalam 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century. Oleh banyak media mancanegara ia didaulat sebagai salah satu pianis paling terkemuka di dunia dan kampiun dalam musik baru untuk piano. Ketika hubungan diplomatik Indonesia-Portugal dibuka kembali pada tahun 2000, ia jugalah yang diminta oleh Kemenbud Portugal untuk membuat konser, sebagai solois bersama Orkes Simfoni Nasional Portugis. Sebagai komponis ia sangat produktif dan telah menghasilkan ratusan karya yang mencakup semua alat musik. Di antaranya adalah “Rapsodia Nusantara,” sekumpulan komposisi untuk piano solo dengan teknik tinggi, hingga kini telah selesai 18 nomor. Dalam setiap nomor ia mengambil lagu daerah dari setiap provinsi di Indonesia sebagai tema dasar.

Ananda juga seorang pendidik. Bekerjasama dengan Fundacion Musica Abierta membuat karya piano yang dimainkan satu tangan tanpa pedal/kaki untuk anak-anak difabel, yaitu anak-anak cacat berkebutuhan khusus. “Rapsodia Nusantara No.15” yang mengambil lagu daerah , juga dibuat untuk tangan kiri saja. Bersama teman-teman mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) yang bergerak di bidang pendidikan dan pengembangan musik klasik di Indonesia, termasuk pendidikan gratis bagi anak-anak tidak mampu, serta memberi beasiswa bagi anak-anak berbakat. Ia juga merancang aplikasi pendidikan musik untuk anak-anak autis, menulis artikel dan menjadi pembicara berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri sebagai seorang penyandang Tourette-Asperger Syndrome.

Sebagian besar kegiatannya dilaksanakan di luar Indonesia —bersama istrinya, Raquel Gomez menetap di Cantabria, Spanyol—maka ia patut disebut sebagai duta musik dan kebudayaan Indonesia yang paling penting saat ini dan kedepan. Ananda Sukarlan adalah seorang seniman dan pendidik yang meyakini bahwa keindahan musik memiliki daya penyembuh yang menguatkan manusia bukan hanya bagi para penyandang autism dan difabel tapi juga bagi orang kebanyakan!

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 10 Juni 1968 Istri : Raquel Gomez Anak : Alicia Pirena Sukarlan Alamat : Cantabria, Spanyol, dan Jakarta, Indonesia

PENDIDIKAN - Koninklijk Conservatorium Den Haag, Belanda - University of Hartford, Connecticut, Amerika Serikat - Canisius College, Jakarta

PENGHARGAAN - Penghargaan Kebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru dari Pemerintah RI (2015) - Pianis Indonesia pertama yang tercatat dalam The International Who's Who in Music Book - Nominee Unesco Prize (2001) - Outstanding Musicians on the 20th Century (2000) - Juara Kedua "Vienna Modern Master Performers Recording Award" (1996) - Juara Pertama dan Juara Favorit kategori The Best Interpreter of Spanish Music "City of Ferrol Piano Competition" di Galicia, Spanyol (1995)

KOMPOSISI MUSIK - Rapsodia Nusantara for piano solo - “Pro Patria” (opera for 6 soloists, male choir, dancers and chamber orchestra) in 7 scenes, libretto by Sutan Takdir Alisjahbana adapted by Ananda Sukarlan, from his book "Kalah dan Menang" - “Mengapa Kau Culik Anak Kami” (opera for soprano & baritone soloists, 3 dancers & 9 instrumentalists) in 2 acts, based on a play by Seno Gumira Ajidarma - Libertas (for baritone soloist & mixed choir, accompanied by 8 instrumentalists) based on poems by Chairil Anwar, Ilham Malayu, Sapardi Djoko Damono, Walt Whitman, Luis Cernuda, WS Rendra, Hasan Aspahani

AVIP PRIATNA

MEMBANGUN INDONESIA LEWAT MUSIK KLASIK

Begitu menyebut nama Avip Priatna, langsung teringat profesinya sebagai konduktor. Avip memang seorang konduktor jempolan yang dimiliki negara kita. Bahkan paduan suara di luar negeri memintanya jadi konduktor. Meskipun ada tawaran dari luar negeri, ia memilih “mengarsiteki” perkembangan musik klasik di Indonesia.

Avip yang juga pandai bermain piano memutuskan untuk menjadi konduktor karena ia merasa telah “terlambat” untuk menekuni karier musik sebagai pianis. Kesempatan menjadi konduktor diperolehnya ketika bergabung dengan Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahyangan, Bandung (PS UNPAR). Ia memulai sebagai konduktor profesional tahun 1991 saat mementaskan “Requiem” karya Wolfgang Amadeus Mozart bersama PS UNPAR.

Di bawah Avip, PSM UNPAR mencetak prestasi membanggakan di tingkat dunia, seperti merebut tiga medali emas Olimpiade Koor di Linz, Austria sebagai Juara Pertama dan Juara Interpretasi Lagu Sakral Terbaik pada Kompetisi Paduan Suara Kamar di Marktodberdorf, Jerman (2003).

Setelah menamatkan kuliahnya di bidang arsitektur padatahun 1995, Avip terbang ke Vienna, Austria, untuk belajar konduktor paduan suara kepada Profesor Gunther Theuring dan orchestral conducting kepada Leopold Hager di Hochschule fur Muzick und Darstellende Kunst dan lulus pada 1998 dengan predikat high distinction.

“Jadi, waktu saya mendapat kesempatan sekolah di Vienna, timbulniat saya untuk memajukan Indonesia melalui musik klasik. Saya bersyukur dapat menimba ilmu di tempat musik klasik berasal. Saya memang telah selesai kuliah di sana. Saya memang mau kembali ke tanah air, melihat potensi di Indonesia yang luar biasa. Potensi musisi di Indonesia sangat luar biasa,” tekad Avip yang bercita-cita menjadi “arsitek” musik klasik Indonesia.

Avip sudah mengetahui belantara musik klasik di Tanah Air, memutuskan pulang ke Bandung untuk memulai kariernya di bidang musik. Kemudian pindah ke Jakarta dan pada tahun 2001 ia memimpin Batavia Madrigal Singers (BMS). Di bawah konduktor Avip, BMS mencetak banyak prestasi tidak saja di dalam negeri, tetapi di panggung internasional, seperti memperoleh empat penghargaan dalam kompetisi paduan suara internasional 57th Certamen International De Habaneras Y Polifonia di Torrevieja, Spanyol tahun 2011. Saat itu Avip terpilih sebagai konduktor terbaik.

Tahun 2002 Avip dan Prof.Dr.Toeti Heraty Roosseno mendirikan Jakarta Concert Orchestra yang semula bernama Jakarta Chamber Orchestra. JCO didirikan untuk menjadi orkes standar yang representatif dan menjadi bagian dari ikon Jakarta.

Saat ini, Avip menjadi Direktur Musik dan Konduktor dari JCO dan BMS dan belakangan memimpin The Resonanz Children Choir (TRCC) yang memborong sejumlah gelar juara dalam kompetisi The Golden Gate International Choral Festival pada 12-18 Juli 2015 di AS. TRCC di bawah konduktor Devi Fransisca meraih juara pertama pada kategori folk, juara kedua untuk Gospel dan Spiritual, serta juara ketiga pada kategori Contemporary.

Tahun 2015 Pemerintah RI memberikan Penghargaan Kebudayaan Ketegori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru untuk Avip Priatna sebagai orkestrator dan komponis. Avip merasa sangat terhormat mendapat penghargaan itu meskipun ia merasa belum berbuat banyak untuk bangsa ini.

“Sekarang saya merasa didukung sekali oleh pemerintah dengan adanya penghargaan ini. Mudah-mudahan semua musisi klasik lebih merasa di- support. Ini tantangan saya buat mengembangkan musik ini di Indonesia,” ujar Avip yang tumbuh di tengah keluarga pecinta musik klasik di Bogor. Kini kesibukan barunya adalah mengelola pendidikan musik di The Resonanz Music Studio.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 29 Desember 1964 Alamat : Jl Kartanegara No. 28, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12180

PENDIDIKAN - Magister Artium University of Music and Performing Art, Vienna, Austria - SarjanaArsitektur Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

PEKERJAAN - Konduktor - Direktur Musik Jakarta Concert Orchestra dan Batavia Madrigal Singers - Direktur The Resonanz Music Studio

PENGHARGAAN - Penghargaan Kebudayaan dari Pemerintah RI (2015) - The Best Conductor at 34th International May Choir Competition “Prof. Georgi Dimitrov,” Varna, Bulgaria (2012) - The Best Conductor in the 57th International Contest of Habaneras and Polyphony of Torrevieja, Spain (2011)

PRESTASI Bersama Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung - Juara Pertama Kategori Lagu Rakyat pada Lomba Koor Guiodo d’Arezzo, Italia (1997) - Tiga Medali Emas Olimpiade Koor di Linz, Austria sebagai Juara Pertama dan Juara Interpretasi Lagu Sakral Terbaik pada Kompetisi Paduan Suara Kamar di Marktodberdorf, Jerman (2003)

Bersama Batavia Madrigal Singers - Festival Padua Suara La Fabrica de Canton di Legnano, Italia (2006) - Juara Umum Kompetisi Paduan Suara Internasional Prof Georgi Dimitrov di Varna, Bulgaria, satu dari Grand Prix untuk Paduan Suara Eropa (2013) - Grand Prix championship, Arezzo, Italia (2013)

FRIEDERICH SILABAN

FILOSOFI TROPIS DALAM KARYA ARSITEKTUR FRIEDERICH SILABAN

Nama arsitek Friederich Silaban menjulang tinggi berkat karya arsitekturnya, yaitu Masjid Istiqlal, yang menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara. Melalui sayembara arsitektur Masjid Istiqlal pada tahun 1955, karyanya yang berjudul “Ketuhanan” dipilih sebagai pemenang.

Masjid Istiqlal adalah karya arsitekturnya yang paling fenomenal. Salah satu putranya yang mengikuti jejaknya sebagai arsitek, Ir. Panogu Silaban (lulusan Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Bandung), menuturkan bahwa ayahnya pernah bercerita, saat mau mengikuti sayembara itu ia melakukan survey sampai ke Cianjur dan bertemu dengan banyak kyai untuk bertanya tentang masjid.

Silaban waktu itu, kata Panogu, mempunyai prinsip bahwa masjid yang hendak dibangun itu adalah masjid Indonesia. Oleh karena itu, ia tidak menggunakan pakem-pakem tradisional. Untuk menopang kubahnya, Silaban mengusulkan 8 tiang. Namun, insinyur yang mengerjakan bangunan meminta 16 tiang. Akhirnya disepakati 12 tiang.

Filosofi tropis yang selalu menjadi ciri kuat dari karya arsitektur Silaban diterapkan untuk Masjid Istiqlal, yaitu penggunaan atap-atap lebar dan koridor besar, sehingga suasana dalam Masjid Istiqlal terasa sejuk. Apalagi bangunan monumental itu memiliki pekarangan yang sangat luas. Sejak tahun 1967 hingga akhir hayatnya Silaban tercatat sebagai Wakil Kepala Proyek Masjid Istiqlal, Jakarta.

Banyak bangunan monumental lain yang telah dibangunnya. Pembangunan pada masa itu umumnya dilakukan lewat sayembara, bukan ditunjuk. Beberapa kali Silaban memenangkan sejumlah sayembara. Jelas, itu menunjukkan kelasnya sebagai seorang arsitek pada era itu.

Panogu, yang biasa diajak main catur oleh Silaban,mengatakan bahwa ayahnya selalu menggali unsur tropis dalam karya-karyanya. “Matahari sebagai faktor yang sangat penting baginya dalam mewujudkan atap bangunan. Papi berpendapat, bahwa atap tidak hanya menaungi manusia dari iklim, tetapi juga dinding bangunan. Karena itu, banyak karyanya beratap lebar. Ia mendesain agar udara bisa masuk ke ruangan, semacam pre-cooling, lalu berhembus dalam bangunan. Makanya, karya-karyanya selalu ada koridor. Tentu saja itu menjadi ciri khasnya,” Panogu menjelaskan karya ayahnya.

Silaban adalah arsitek yang hidup pada tiga fase, yaitu Hindia Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka. Pada zaman Hindia Belanda, ia sudah memenangkan sayembara pembuatan “Monumen Khatulistiwa” di Pontianak. Pada masa kemerdekaan, ia membangun sesuai dengan tuntutan saat itu, terutama ketika Presiden Soekarno sedang gencar dengan character building.

Silaban waktu itu mampu menawarkan bentuk arsitektur sesuai dengan keinginan Presiden Soekarno. Ia juga mampu menerjemahkan karakter bangsa dalam bentuk arsitektur yang hasilnya selalu monumental.

Kalau melihat bangunan yang dibuat Silaban, ada kesan keteraturan dan terstruktur. “Jadi berkaitan dengan nation building. Kebetulan bangunan- bangunan yang dipercayakan kepada Pak Silaban itu bangunan-bangunan yang monumental. Ia menerjemahkan ke dalam rancang bangun dengan struktur yang berirama, kokoh, dan dilihat dari ukurannya memang agak super gede. Itu untuk memberi suasana wibawa. Monumental memang. Karakternya, begitu. Pencerminan bangsa yang kuat,” kata Panogu.

Tahun 2015 ini Pemerintah RI memberikan penghargaan kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru untuk Arsitek ini. “Tentu saya sangat bangga, sebagai anaknya, atas penghargaan bidang kebudayaan yang didapat oleh Papi,“ kata Panogu Silaban.

Panogu menuturkan, ayahnya yang sangat menggemari aransemen musik karya Ludwig van Beethoven adalah seorang pekerja keras dan sangat berdedikasi dengan profesinya, di samping memiliki bakat dan talenta di bidang arsitektur. Pukul empat pagi ia sudah bangun dan mulai bekerja, lalu kemudian berangkat ke kantor.

Pada 1942-1947 ia pernah menjabat sebagai Kepala Pekerjaan Umum dan Direktur Pekerjaan Umum Kota Bogor dan pensiun pada bulan Mei 1965. Silaban yang menikah dengan Letty Kievits pada 18 Oktober 1946 telah dikaruniai sepuluh orang anak (dua perempuan dan delapan laki-laki).

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir: Bonandolok, Tapanuli, 16 Desember 1912 Meninggal : Jakarta, 14 Mei 1984 Istri : Letty Kievits (meninggal 2009)

PENDIDIKAN - Holland Inlandsche School (Sekolah Dasar Belanda dahulu), Narumonda, Sumut (1927) - Koninginlijke Wilhelmina School, KWS (Sekolah Tehnik zaman Belanda), Batavia (1931) - Academie voor Bouwkunst, Amsterdam (1950)

KARYA - Masjid Istiqlal (1954-1978) - Rumah Dinas Walikota Bogor (1935) - Tugu Khatulistiwa di Pontianak (1938) - Bank Indonesia di Jalan Thamrin di Jalan H Thamrin, Jakarta Pusat (1958) - Gedung BNI 1946, Jakarta (1960) - Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) di Pancoran, Jakarta Selatan (1962) - Stadion Gelora Bung Karno (1962) - Monumen Pembebasan Irian Barat, Lapangan Banteng (1963) - Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (1953) - Makam Raden Saleh, Bondongan, Bogor

PENGHARGAAN -Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil berupa Bintang Jasa Utama

IRVAN NOE’MAN

MENJADIKAN INDONESIA TERHORMAT DI MATA DUNIA

Irvan Noe’man (alm) adalah pendidik, maestro desain, pemikir progresif humanis yang membawa bangsa Indonesia pada pemikiran ekonomi kreatif. Penerima penghargaan “Good Design Award” dari pemerintah Jepang ini, dipercaya sebagai juri dalam berbagai perlombaan desain tingkat dunia antara lain Mobility Vision International Student’s Vehicle-Design Competition 2015. Ia juga menjadi narasumber dalam berbagai forum internasional, seperti pada Asia: World Genius Culture. Irvan juga genius mengawinkan pemikiran desainnya dengan penumbuhan komunitas- komunitas kreatif di tingkat lokal dan jaringan dunia, antara lain Bandung Creatif City Forum (BCCF), yang melahirkan Bandung City Branding danThe Design Alliance, sebuah jaringan kerjasama dan kolaborasi antar konsultan desain yang berasal dari 12 negara Asia danTimur Tengah. Ayah dari tiga anak ini juga dikenal dengan kebaruan pemikirannya, ia mengkreasi radio FM pertama di Indonesia KLCBS (Karang Layung Citra Budaya Suara), sebuahstasiun radio yang khusus menyiarkan musik Jazz. Karyanya yang menjadi soko guru perekonomian Indonesia saat ini adalah konsep ekonomi kreatif. Bagi Irvan “Seni adalah jendela jiwa kehidupan dan desain adalah cermin kecerdasan manusia.” Sedangkan cita-citanya terkait bangsa ini membuat Indonesia terhormat dalam bidang apapun di mata dunia.

Irvan Noe’man memperoleh gelar Master of Industrial Design dari Rhode Island School of Design, Providence, Rhode Island, USA pada tahun 1985. Sekembalinya ke Indonesia, ia mendirikan perusahaan BD+A Design (1988), perusahaan yang menciptakan brand dan corporate identity terbaik. Produknya digunakan sejumlah nama bank, perusahaan telekomunikasi, dan bandara-bandara internasional di Indonesia. Perusahaannya kemudian berafiliasi dengan EURO RSCG Design, perusahaan desain terkemuka di Perancis dan perusahaan furniture ternama di Italia Vivere. Pada tahun 1996 menggagas berdirinya FGD (Forum Grafika Digital), forum yang menyebarkan pengetahuan dan perkembangan desain, industri grafika digital. Forum ini dikenal sebagai penyelenggara EXPO Desain terbesar di Indonesia. Pada pamerannya yang ke-3 tahun 2007, Irvan Noe’man didaulat dan bertanggung jawab sebagai Ketua Umum FGD Expo. Acara itu dipandang sebagai pameran industri grafika digital terbesar di Asia Tenggara.

Dikalangan akademisi, Irvan dikenal sebagai guru, maestro desain, pemikir progresif dan humanis. Ipang Wahid, creativeprener/film director, salah seorang muridnya, terinspirasi dengan prinsip hidup Irvan, yaitu “FAST” yang diambil dari sifat-sifat Rasulullah, yaitu Fatonah (cerdas), Amanah (terpercaya), Sidiq (benar), Tabligh (menyampaikan). Di bidang kependidikan Irvan pernah menjabat Ketua Jurusan Desain di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) periode 1994-1998, turut mendirikan Jurusan Desain Universitas Paramadina, menjadi Dosen dan Pembimbing di Pascasarjana IKJ dan menjabat Ketua Program Pascasarjana IKJ –IDS untuk bidang Industri Kreatif. Pada tahun 2011 terpilih menjadi Ketua Umum IASR- ITB (Ikatan Alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung).

Putra pertama arsitek Masjid Salman ITB dan masjid TIM, Achmad Noe’man ini juga sering menjadi pembicara di forum internasional, antara lain pada Forum Congress ICOGRADA di Nagoya, Jepang mengenai Design and Trend Forcasting dan workshop desain di Tung Fang Institute Kaohsiung Taiwan. Ia juga menjadi narasumber pada Business of Design Week di Hongkong (2012) dan merancang konsep Indonesia Fashion Week (IFW) (2012). Menjadi panitia pengarah dalam pameran besar Biennale Desain dan Kriya Indonesia (2013) dan narasumber di Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) dan The Future of Our Creative Industry. Pada tahun 2012 menjadi salah satu narasumber dalam Asia: World Genius Culture. Irvan dipercaya menjadi juri di tingkat lokal dan internasional, antara lain pada Indonesia Good design Selection 2004, British Council Design Entrepreneur Award 2006 – 2007, Indonesia Good Design Selection (IGDS) Competition 2011– 2012, Asia Student Package Design Competition (ASPAC) 2014 di Tokyo, Jepang, Mobility Vision International Student’s Vehicle-Design Competition 2015.

Irvan juga menyamak pemikiran-pemikiran progresifnya dengan kekuatan jaringan kerja di tingkat lokal hingga internasional, dengan para pekerja seni dan kekuatan pemerintah-negara. Ia menjadi salah satu anggota Pembina KICK (Kreatif Independent Clothing Community) dan telah menyelenggarakan tiga kali “KICK Festival” yang diikuti 400 distro di Bandung sejak tahun 2006. Pada tahun 2008, ia aktif membina Bandung Creatif City Forum (BCCF), yang melahirkan Bandung City Branding dan menyelenggarakan “Helar Fest,”yaitu kegiatan festival yang diikuti 31 komunitas kreatif di Bandung selama 40 hari di berbagai lokasi di kota Bandung. Di tingkat dunia ia melahirkan The Design Alliance, sebuah jaringan kerjasama dan kolaborasi antarkonsultan desain yang berasal dari 12 negara Asia dan Timur Tengah.

Irvan juga aktif melakukan pelatihan dan pendampingan peningkatan mutu kualitas desain di kalangan UKM (Unit Kerja Masyarakat) sebagai implementasi dari konsep monumentalnya tentang ekonomi kreatif. Menurut isterinya, Rani Hazar No’man, gagasan ekonomi kreatif Irvan lahirkan saat ia diminta Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, untuk melakukan pameran di Shiang Hai. “Apa yang bisa kita jual. Sesunguhnya kita sudah tidak punya apa-apa, sumber daya alam Indonesia tinggal sedikit jadi yang mungkin dikuatkan sumber daya manusia,” begitu tutur Irvan kepada isterinya. Dari pijakan itu, Irvan menyusun konsep ekonomi kreatif yang diadopsi pemerintah dan menjadi soko guru perekonomian bangsa hingga kini pemerintahan Jokowi.

Rani mengenang di masa penggodokan konsep itu, Irvan bekerja dengan tim Ibu Mari hingga pukul 2–3 subuh. Hasil brainstroming-nya ia serahkan kepada Rani untuk diketik-rapikan, dan pukul 10 pagi sudah bisa dibawa ke kantor. Mereka melakukannya secara sukarela selama 23 bulan, dengan harapan agar menjadi solusi untuk bangsa. Kerja kerasnya itu membawa Irvan pada posisi strategis sebagai Ketua Komite Industri Kreatif KADIN Pusat, Jakarta (2011) dan panitia pengarah konsep Reka Baru Desain Indonesia selama dua tahun (2013–2015). Ia juga diundang DPD-RI untuk ikut menyusun Rancangan Undang-Undang Industri Kreatif (awal 2015) dan belum sempat mengawal RUU ini sepenuhnya, Irvan berpulang ke pangkuan Tuhan, Mei 2015.

Di masa akhir hidupnya, Irvan sedang ingin mengangkat pengrajin dan karya rotan ke tingkat dunia. Ia sedang bergiat mendampingi para pengusaha rotan di Cirebon untuk menghasilkan produk rotan unggulan dan prestisius yang akan ia promosikan di tingkat dunia. Bila tidak dipanggil Tuhan, di hari-hari akhirnya itu Irvan berencana mengunjungi pameran tahunan International Design Product di Milan, Italia yang dia anggap penting untuk disimak dan dihadiri dalam rangka mengikuti perkembangan desain sebagai hasil percakapan global terutama memaknainya dalam konteks berkembangnya industri furnitur di Indonesia yang memiliki peran besar dalam ekonomi Indonesia, termasuk industri rotan.

Rani juga menyampaikan bahwa masih ada beberapa impian yang pernah Irvan sampaikan, antara lain di bidang arsitektur dan perfilman. Adapun terkait penghargaan kebudayaan yang (alm) Irvan terima, Rani menyampaikan “Pertama, penghargaan ini membuat kami terharu ternyata selama ini orang menghargai apa yang beliau lakukan walaupun beliau tidak mengharapkan apa-apa. Terima kasih sekali lagi.”

BIO DATA Nama : Irvan A. Noe’man, M. ID Lahir : Bandung, meninggal Mei 2015 Pendidikan : Desain Arsitektur-Interior di ITB dan Master of Industrial Design, S2 di Rhode Island School of Design Kota Providence USA.

KEGIATAN  Anggota profesi profesional: ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia); ADPII, (Asosiasi Desainer Produk Industri Indonesia); HDII, (Himpunan Desainer Interior Indonesia)  Pernah menjabat Ketua Jurusan Desain di IKJ (1994-1996) dan Ketua Pasca Sarjana IKJ-IDS bidang Industri kreatif; mendirikan jurusan desain di Universitas Paramadina; Ketua Umum IASR-ITB (2011)  Memprakarsai radio FM pertama di Indonesia (1980); perusahaan BD+A Design (1988); Bandung Creative City Forum yang melahirkan Bandung City Branding dan HelarFest kegiatan 31 komunitas kreatif di Bandung, Indonesia Fashion Week, VIVERE Connext.  Juri : GAIKINDO Automotive Styling and Design Competition (2005- 2008); Asian Student Package Design Competition (2014); Mobility Vision International Student’s Vehicles-Design Competition (2015)

PENGHARGAAN Pernah menerima penghargaan dari Gaikindo, How Design, Apple, IdN, Citra Pariwara, G-Mark Good Design Award 2012 dari Jepang.

MARGA T

Pada era 1970-an hingga 1990-an siapa yang tak mengenal nama Marga T, penulis novel popular yang menonjol dan karya–karyanya laris karena acap ditunggu para penggemarnya. Sebut saja Karmila, Badai Pasti Berlalu, Tesa, Gaun Sutra Ungu, dan Bukan Impian Semusim adalah sedikit dari karya Marga T. yang paling dikenal, bahkan novel-novel dengan judul itu diangkat ke layar layar lebar sebagai film yang memesona khalayak pada tahun 1980- an.

Marga T, belum lama ini meluncurkan buku berjudul Sine Qua Non. Dancing with the Holy Spirit 1964—2014. Dari buku tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa karier seorang penulis tidak mengenal pensiun. Marga T dapat dikatakan sebagai pelopor Sastrawan Perempuan yang berhasil mendedikasikan dirinya lebih dari 50 tahun berkarya. Pelopor fiksi romantis yang produktif dan imajinatif ini menunjukkan prestasi yang sangat luar biasa dalam perjalanan seorang penulis yang konsisten dan telah memasuki usia emas dalam berkarya (golden anniversary).

Marga T, kelahiran Jakarta, 27 Januari 1943, memulai debutnya sejak tahun 1964 dengan cerita pertama berjudul “Kamar 27.” Namanya mulai dikenal pada tahun 1971 lewat cerita bersambung “Karmila” yang dimuat di surat kabar Kompas, yang kemudian dibukukan dan bahkan difilmkan. Kisah tentang Karmila merupakan karya yang bagus dan menyentuh hati.Dalam filmnya para aktor dan aktris papan atas, seperti Rae Sita, Yenni Rachman, dan memerankan tokoh-tokoh ceritan. Para pembaca ataupun penonton tentunya akan membekas, dan bahkan seseorang dapat saja terinspirasi karena tokoh dan penokohan yang ada dalam novel ataupun film tersebut mampu memberikan imajinasi melambung seakan ia adalah tokoh tersebut.

Sebagai sastrawan perempuan yang produktif kebiasannya menulis mengalir begitu saja, spontan dinarasikan karena pengamatan dan pengalamannya. Di dalam buku terakhir yang diterbitkan tersebut, tergambar sebagian perjalanan kariernya yang dituangkan dalam tiga tahapan berkarya.

Berikut ini adalah proses kreatif yang dijalani selama lebih dari separuh abad. Bagian Pertama, merupakan cuplikan masa perantauan. Diberikan judul “Di Mana Waktu Membeku,”memuat 9 buah karyanya yang dimulai dengan debutnya yang pertama kali dalam menulis dan diterbitkan, yaitu pada tanggal 31 Mei 1964, dengan judul “Kamar 27,” di muat pada Warta Bhakti. Selanjutnya berturut–turut pada majalah Gadis (1974–1977), yaitu “Secercah Sinar Pagi,”“Bila Bapak Mekanika Ngamuk,”“Ketika Hati Susi Membeku,” dan “Hatiku dan Hatimu.” Kemudian, pada majalah MIDI, nomor 67–76 dimuat cerita bersambung “Gerimis Permulaan Musim.” Untuk majalah Femina tahun 82–83 dimuat dua cerita bersambungnya, yaitu “Di Mana Waktu Membeku” dan “Dalam Ruang Tunggu,” serta pada majalah Mitra tahun 1987, yaitu “Sebuah Noktah di Hati.”

Selanjutnya pada bagian Kedua, berjudul “Lukisan Kehidupan” (kenangan dari mereka yang telah berlalu). Di sini disebutkan 8 judul cerita dalam bahasa Indonesia disertai dengan judul aslinya dalam Bahasa Inggris. Berturut–turut adalah “Doa Istimewa” (A Special Prayer); “Kalau Memang Jodoh” (To Each His Own); “Ketika Fajar Berlalu” (When Aurora Shines No More); “Lukisan Kehidupan” (The Silhouette of Life); “Riwayat Masa Lalu” (The Days Long Gone); “Sepucuk Surat Kelabu” (A Letter of Tears); “Gaun Sutra Ungu” (A Purple Silk Dress); “Jam Tujuh Tepat” (Seven O’clock Sharp).

Sebagai sastrawan Indonesia, ternyata Marga T juga memiliki kapasitas internasional, dan ini dibuktikan dari karya–karyanya yang banyak dimuat pada media berbahasa Inggris, seperti The Djakarta Times, bahkan berhasil menjadi finalis dalam majalah Asia Week. Sebagaimana dituangkan pada bagian ketiga, dengan judul The Djakarta Times (gone but unforgetable). Delapan karyanya yang memang awalnya berbahasa Inggris dimuat kembali pada media bahasa Inggris terkemuka di Indonesia saat itu. Berturut–turut adalah “A Special Prayer” (The Djakarta Times, 13 Mei’72); “To Each His Own” (The Djakarta Times, 3 Juni’72); “When Aurora Shines No More”(The Djakarta Times, 24 Juni’72); “The Silhouette of Life” (The Djakarta Times, 29 Juli’72); “The Days Long Gone” (The Djakarta Times, 7 Oktober’72); “A Letter of Tears” (The Djakarta Times, 28 April’73); “A Purple Silk Dress” (100 Finalis Asia Week Competition’84); “Seven O’clock Sharp” (100 Finalis Asia Week Competition’84).

Sebagai penulis yang kreatif, tentu karya-karyanya tidak lahir begitu saja. Setidaknya ada sikap dasar yang memengaruhi kehidupannya sehingga hampir dalam setiap novelnya memiliki ciri–ciri khusus. Seperti kebanyakan novel Marga T, tokoh utamanya adalah seorang perempuan dan dalam ceritanya penuh dengan romantika. Karya–karya novelnya ini digolongkan sebagai novel popular, yang mengutamakan sisi romantik dan melodramatik. Hal yang menarik dari sosok Marga T dalam berkarya, adalah bahwa ketika ia menulis, ia tak memiliki kiat–kiat tertentu, tetapi semuanya mengalir begitu saja, “spontan tanpa latihan” itu pernyataannya yang dituliskan dalam buku Sin Qua Non “Serba–serbi Lima Puluh Tahun”, ketika ada pembaca yang ingin diajari cara menulis cerita bersambung seperti “Karmila.”

Proses berpikir kreatif memang tidak semua orang memiliki kemampuan ini, tetapi bukan berarti tidak dapat dilatih. Paling tidak dimulai dari tradisi membaca, khususnya membaca karya sastra di kalangan remaja. Bagaimana mengajak seseorang sehingga memiliki kebiasaan membaca, tanpa disadari sedikit banyak dipengaruhi juga oleh cara seseorang menyajikan tulisannya. Ini yang tercermin dari karya–karya Marga T yang mengandung cerita percintaan romantis dan sebagian besar disajikan sebagai cerita bersambung yang dimuat pada media–media yang juga cukup ternama dan populer di kalangan remaja pada zaman itu, seperti Majalah Gadis, majalah MIDI, Femina, dan Mitra. Bahkan dari mereka yang tidak biasa membaca, setelah menonton film “Karmila” akhirnya berusaha mencari novel tersebut untuk dibacanya. Terlebih lagi film tersebut mendapatkan nominasi untuk sutradara (Nico Pelamonia), dan aktris terbaik (Tanty Josepha), dalam Festival Film Indonesia 1982. Sebenarnya bukan hanya Novel Karmila yang kemudian diangkat ke layar lebar, dan dirilis pada tahun 1981, tetapi juga beberapa novel lainnya, yaitu Badai Pasti Berlalu pada tahun 1997 dan tahun 2003, Bukan Impian Semusim, Ranjau–ranjau Cinta, serta Tesa yang ditayangkan sebagai film dan serial televisi. Ironisnya, sampai dengan usia 50 tahun berkarya, Marga T belum pernah menyaksikan semua film–film berdasarkan novelnya itu yang sebagian besar diproduksi oleh Auvikom (Avicom).

Demikian selintas tentang Marga T, Sastrawan Perempuan Indonesia yang berhasil menyirap perhatian kalangan muda di tahun 1970–1980, bahkan menjadikan sebagain karya–karyanya menjadi bacaan “wajib” para remaja dan kaum ibu pada masa itu.

MARSELLI SUMARNO

MENDORONG MASYARAKAT YANG MAMPU MENGKRITISI FILM

Marselli Sumarno penulis, pembuat film, kritikus film, dan pendidik. Pendiri Fakultas Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta ini, memandang pendidikan sebagai kunci bagi kemampuan masyarakat untuk memilih dan mengkritisi film dan tontonan dalam kesehariannya. Sedangkan para pembuat film, menurutnya, perlu melengkapi kemampuan teknis mereka dengan mengenali masyarakat dan kebutuhannya, antara lain menyajikan film-film soal kemanusiaan menuju jalan rekonsiliasi. Sementara itu, pemerintah perlu mendukung perfilman nasional dari hulu hingga hilir, seperti memfasilitasi jaringan bioskop rakyat yang dapat dinikmati masyarakat sampai ke pelosok.

Marselli lahir di Solo, 10 Oktober 1956. Lulusan Departemen Sinematografi IKJ (dahulu LPKJ) ini sejak 1979 aktif sebagai pengamat film dan teve. Sebagian tulisannya mengenai kritik dan perfilman selama 10 tahun kerja di harian Kompas diterbitkan dalam buku Suatu Sketsa: Perfilman Indonesia (1997). Ia juga menerbitkan buku Dasar-dasar Apresiasi Film (1996) dan D.A. Peransi & Film (1996). Juga menulis di harian The Jakarta Post, dan di tahun 80-an pernah menjadi koresponden majalah film India, Cinemaya, serta buku tahunan International Film Guide (Inggris). Di tahun 80-an pula, Marselli menulis 30 cerita pendek yang dimuat di harian Kompas dan sejumlah skenario film TV, antara lain ”Pertemuan Dua Hati”, ”Sang Bapak,” kemudian skenario film bioskop, seperti ”Malioboro,” ”Tragedi Bintaro” (yang menjadi skenario unggulan dan cerita asli terbaik dalam Festival Film Iindonesia, 1988), dan ”Oom Pasikom”.

Menurut Marselli posisi film dalam pembentukan karakter bangsa sangat strategis. Karena, film itu populer dan pengaruhnya kuat terhadap masyarakat, sehingga jangan sampai salah menempatkan. Film yang menghibur secara dangkal bahkan menyesatkan, seperti iklan di TV yang hanya demi penjualan, apakah betul untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat juga sering heboh dengan keributan besar akibat film yang dibuat hanya untuk mengejek kelompok tertentu. Tontonan saat ini yang dibanjiri cerita intrik, kemewaahan, dan konflik yang disuguhkan pada 50 juta TV yang tersebar di rumah-rumah di Indonesia dari pagi sampai malam, maknanya apa untuk bangsa? Tidakah hal itu malah membuat masyarakat was-was, terpancing kemarahan, dan konsumerisme yang semakin tak terkendali.

Karena itu, menurutnya guru-guru perlu dibekali kritik film, agar masyarakat sejak sekolah dasar sudah dikenalkan pada bagaimana mengapresiasi, memilih, dan akhirnya mengkritik film. Mengetahui film dan tontonan yang baik dan buruk, sebagaimana pengajaran sastra sejak SD. Sehingga ketika pulang ke rumah masyarakat tidak larut begitu saja dalam banjir tontonan di TV.

“Makanya saya menulis buku Dasar Dasar Apresiasi Film, syukur-syukur jadi pelajaran tambahan di sekolah atau kampus,” tutur Marselli berharap dengan serius.

Film itu juga bisa bermata dua. Idealnya film itu hasil dari kesatuan baru artistik untuk mengungkapkan pesan, tapi kadang-kadang hanya mengolok tokoh, suku lain yang hampir-hampir tidak bermanfaat sama sekali. Terutama dalam menanggapi dinamika situasi masyarakat, pembuat film harus bertegur sapa dengan orang lain. Kemampuan teknisnya perlu mendapatkan masukan pihak lain agar dapat diterima. Misalnya, masyarakat yang sedang bersengketa dan masyarakat internasional dan membuka jalan rekonsiliasi. Dan diperlukan sertifikasi kompetensi.

“Belakangan ini tumbuh juga kelengkapan kelembagaan industri film dari hulu ke hilir, khususnya perlengkapannya, bioskopnya, dan manusianya. Antara lain seritifikasi kameramen. Jangan sampai dia tukang apa lalu bikin film sehingga merusak sistem industri film. Makanya sekarang ada asosiasi untuk profesi masing-masing, seperti untuk penulis skenario, kameramen, dll,” tutur Marselli.

Peran lembaga sensor juga diharapkan dapat melibatkan masyarakat – perwakilan orang tua, perempuan, anak, dll. Menurut Marselli, Lembaga Sensor Film saat ini ada kemajuan dibandingkan era sebelumnya. Sebelumnya, LSF menyensor dengan cara memotong film dan menyambungkan potongan-potongan itu menjadi film baru yang bukan kewenangannya.

“Yang benar lembaga sensor mengembalikan film ke produser supaya menjadi lebih bagus. Tidak main potong atau tolak. Karena penolakan akan menimbulkan masalah terkait kebebasan berekspresi,” tutur Marselli. Tambahnya, “Saat ini LSF sudah lebih baik dengan melakukan pengklasifikasian film anak-anak, remaja dan dewasa. Konsekuensinya perlu diatur agar di bioskop jangan sampai menjual tiket film dewasa kepada anak-anak. Dan ada batasan yang perlu dikelola, seperti film “Senyap” yang dimasukkan pada klasifikasi diputar untuk kalangan terbatas. Tapi sebagian Rektor menolak pemutarannya di kampus, karena belum ada penjelasan mengenai pengertian “kalangan terbatas.”

Marselli juga berharap pemerintah berpihak lebih tegas terhadap film nasional. “Memang peraturan sudah ada. Potensi juga tersedia antara lain melalui Fakultas Film dan Televisi di IKJ. Pemerintah perlu mengundang investor untuk mendukung teknologi film. Juga bagaimana memerankan film dan tontonan untuk mendukung pendidikan. Seperti film Si Unyil. “TVRI yang paling sadar soal itu, tapi TVRI menghadapi kendala SDM dan pendanaaan,” kata Marselli.

Di tengah kesibukannya saat ini Marselli sedang menangani produksi film dokumenter panjang berjudul ”Menuju Rekonsiliasi Indonesia” sambil menekuni studi S3-nya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Menanggapi penghargaan Kebudayaan yang diterimanya, Marselli menyampaikan pernah ada yang bertanya padanya mengapa ia larut sekali dalam film. Ia menjawab bahwa semua orang kalau menekuni harus habis- habisan. Termasuk ia yang penulis cerpen, skenario, kemudian menjadi juri film, dekan fakultas film dan TV, dan sampai saat ini terus membuat film dokumenter. Ada ketulusan dengan suatu proses panjang yang tidak melelahkan. Ia sangat mengapresiasi Pemerintah yang memberikan penghargaan pada yang pantas menyumbangkan sesuatu tanpa harus berteriak-teriak. Menurutnya itu membanggakan dan ia berterima kasih.

BIODATA Nama : Marselli Sumarno Tempat, tanggal lahir : Solo, Jawa Tengah, 10 Oktober 1956 Pendidikan terakhir : Magister Seni Program S2 Institut Seni Indonesia Surakarta dengan nilai A+ lewat karya film Dokumenter 38 menit yang berjudul “Sang Budha Bersemayam di Borobudur.”

KEGIATAN Anggota Dewan Kesenian Jakarta Anggota Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) Dekan Fakultas Film & Televisi IKJ Pengajar di FFTV-IKJ, program studi S2 Institut Seni Indonesia-Surakarta, dan STIKOM Interstudi-Jakarta. Pendiri Yayasan Sri Sumedi dengan misi: membangun masyarakat toleran berdasarkan keberagaman lewat pendidikan formal dan informal.

KARYA Buku Suatu Sketsa Perfilman Indonesia (1995), bunga rampai pilihan dari sekitar 500 tulisannya di harian Kompas. Dasar-Dasar Apresiasi Film (1996) D.A. Peransi dan Film (1997), sebagai editor.

Filmografi Film pendek Suatu Ketika dalam Kehidupan Seorang Wartawan (pemenang harapan Lomba Film Mini DKJ tahun 1979). Film pertamanya berjudul Sri (1999) yang bertemakan kesetiaan wanita Jawa. Film ini mendapat piala penghargaan sebagai film dengan kontribusi budaya pada Festival Film Asia Pasifik ke-44 di Bangkok tahun 1999.

Film-film dokumenter/pendek yang pernah disutradarainya: 1. KPK Berdaya(2011); 2. GerebekSudiro (2011); 3. PameranSketsaMudjiSutrisno(dokumenter, 2010, 2011, 2012); 4. IndomesiaRaya (filmpendek, 2012); 5. HUT PDI-P ke40 (2013); 6. Driyarkara :Filsuf dari Kedunggubah (2013); 7. Jurumudi Indonesia (2014); 8. Enampuluh Tahun Mudji Sutrisno(2014) OSCAR MOTULOH

FOTOGRAFI HARUS BISA BERI MAKNA KEHIDUPAN

Di dunia fotografi Indonesia siapa yang tak kenal laki-laki gondrong ini. Ia adalah Oscar Motuloh, salah seorang pelopor fotografi jurnalisme terkemuka saat ini. Saat melamar di Kantor Berita Antara tahun 1988, ia ingin menjadi wartawan tulis. Sebelum terjun ke lapangan ia sempat mengikuti kursus dasar untuk pewarta.

Cita-cita menjadi wartawan tulis harus ia tinggalkan tahun 1990. Divisi fotografi di Kantor Berita Antara membutuhkan tenaga baru, karena para senior fotografi jurnalisme di kantor tersebut memasuki masa pensiun.

“Kebetulan kaderisasi kurang dipersiapkan. Lalu saya dicomot. Mungkin saya dilihat gondrong, lalu ditaruh di situ,” tutur Oscar saat ditemui di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta.

Oscar tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dipercayakan kepadanya. Selain banyak berguru kepada para senior fotografi jurnalisme, ia juga belajar secara otodidak. Waktu itu, belum ada sekolah fotografi. Barulah tahun 1991 dan 1993 ia belajar foto jurnalistik di Hanoi dan Tokyo.

Baru dua tahun—ketika itu tahun 1992—ia memegang Divisi Fotografi Antara, pemimpin kantor berita itu memintanya untuk “menghidupkan” gedung lama, yaituKantor Berita Antara di Pasar Baru. Waktu itu, Kantor Berita Antara telah memiliki gedung baru. Menurut Oscar, di gedung lama itulah sebenarnya roh jurnalisme Antara dimulai.

“Tiba-tiba saya yang masih bau kencur ditunjuk. Saya mengundang sejarawan, tokoh-tokoh permuseuman untuk memberikan masukan bagaimana mengelola gedung itu. Ini adalah lokasi Proklamasi Kemerdekaan RI disiarkan pertama kali. Maka semangat itu yang kami pakai. Semangat sejarah bukan masa lalu, tetapi sejarah harus menjadi sendi- sendi kita untuk melihat masa depan. Itu yang penting,” tutur Oscar sembari menginformasikan bahwa pameran “70th Histori Masa Depan” yang tengah berlangsung di galeri itu, juga mengambil semangat kemerdekaan itu. Pada pameran ini Oscar berperan sebagai Kurator Kepala.

Tidak hanya karya-karya fotografi yang keluar dari tangannya, tetapi Oscar juga aktif menggelar pameran tunggal dan bersama. Karya lain yang muncul dari tangannya adalah buku fotografi. Selain menulis buku, ia juga sering diminta untuk memberi kata pembuka dari buku fotografi karya-karya fotografi jurnalisme. Tidak cuma itu. Ia tergabung pula dalam komunitas fotografer, seperti Pewarta Foto Indonesia dan Liga Merah Putih. Tahun 2011, bersama sembilan fotografer Liga Merah Putih, ia ikut dalam pameran foto dan peluncuran buku foto “Indonesia A Surprise” di Galeri Salihara.

Fotografi bagi Oscar harus bisa memberi makna kepada kehidupan. Karena itu, seorang fotografi jurnalisme harus bisa menggunakan medium foto sama fasihnya seperti ia berkata-kata tetapi dengan gayanya sebagai seorang fotografer. Dengan demikian, seorang fotografi jurnalisme bisa menjadi agen kebudayaan, bisa menjadi agen kebenaran. Karena itu, Oscar selalu mewajibkan seorang fotografi jurnalisme harus bisa menulis.

“Ketika ia menggunakan matanya sebagai pena, maka ‘see is believing’. Ketika kita menuliskannya, deskripsi itu menjadi opini kita. Dua-dua pendekatan itu, yaitu sastra dan imaji tetap satu,” kata Oscar.

Ia mengatakan awal mula dari kegiatan seorang anak adalah melihat setelah selaput matanya bersih, dan bukan kata. “Pada mulanya, anak yang dilahirkan melihat ibunya. Tentu setelah selaput matanya bersih ia melihat. Jadi, yang pertama dilakukan adalah melihat. Atmosfir itulah yang membuat nyawa seseorang bisa berkembang sebelum datangnya pendidikan dan sebagainya, sebelum mereka bisa merangkai kata-kata,” jelas Oscar.

Salah satu kegiatan Oscar saat ini adalah mendidik para fotografi jurnalisme di Galeri Foto Jurnalis Antara. Sampai 2015, pendidikan fotografi jurnalisme itu telah memasuki angkatan ke-21. Tiap angkatan diikuti oleh 14-16 orang untuk kelas dasar. Pendidikan ini berlangsung selama setahun. Enam bulan mereka di kelas, enam bulan berikutnya mereka terjun ke lapangan. Pada akhir pendidikan, porfofolionya menyelenggarakan pameran bersama.

Berkaitan dengan Penghargaan Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Oscar memberi apresiasi setinggi-tingginya dan berharap penghargaan seperti ini bisa diberikan setiap tahun, sehingga bisa menjadi barometer bagi fotografi Indonesia maupun kelompok-kelompok yang memajukan fotografi sebagai salah satu bahasa.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir: Surabaya, 17 Agustus 1959

PEKERJAAN - Redaktur Divisi Fotografi Kantor Berita Antara - Direktur Antara Photo News Agency - Direktur Eksekutif Galeri Fotografi jurnalismetik Antara - Kurator dan dosen fotografi

PAMERAN TUNGGAL FOTOGRAFI - “Chansons Périphériques” (2002) - “The Art of Dying” (2003) - “Soulscape Road” atau “Lintasan Saujana Jiwa” (2009)

BUKU FOTOGRAFI JURNALISMETIK - “The Struggle Continues, 100 Days On” (2005) - “Viewpoints” (2005) - “Soul Odyssey” (2005) - “The Loved Ones” (karya 7 fotografer, 2005) SAINI KOSIM

KEBULATAN MANUSIA PEMIKIR, PENGKHAYAL, DAN BERPERASA

Saini Kosim, atau kerap dipanggil Saini KM adalah seorang penyair, pengarang cerpen, novel, lakon, dan penulis esai. Sejumlah karya kreatifnya ditulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Saini juga menerjemahkan karya sastra dunia ke dalam bahasa Indonesia. Pengetahuan dan kecintaannya terhadap sastra Sunda dan sastra Indonesia ia tuangkan dalam rubrik sastra yang diasuhnya di sebuah harian yang terbit di Jawa Barat. Sebagai akademikus, Saini KM menjadi pengajar yang juga turut serta membidani lahirnya Jurusan Teater di ASTI Bandung.

Ia mendapat penghargaan FTI Awards dari Federasi Teater Indonesia atas dedikasi dan sumbangsihnya terhadap kemajuan teater Indonesia. Perhatiannya terhadap dunia teater ia tuangkan dalam sejumlah buku seperti Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1984), Teater Indonesia Modern dan Beberapa Masalahnya (1988). Ia juga pernah menjabat Direktur Direktorat Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat.

Saini KM lahir di Kampung Gending, Desa Kota Kulon, Sumedang, Jawa Barat. Kakeknya menulis lirik (rumpaka pupuh), ayah dan paman-pamannya memainkan lirik-lirik itu dengan musik Sunda gaya Cianjuran. “Kampung itu terdiri dari saudara-saudara, mereka senang musik, tari, sandiwara. Itu mereka lakukan begitu saja. Semua dilakukan karena kecintaan pada kesenian,” kenang Saini. Sedangkan kecintaannya pada sastra bermula dari kebiasaan kakaknya yang menyukai puisi, cerita, dan karya sastra lainnya.

Di masa kecil mereka sering menghabiskan waktu di perpustakaan dekat rumah yang dikelola swasta. Uang jajannya lebih banyak digunakan untuk meminjam buku di perpustakaan daripada dihabiskan untuk keperluan lain. Hamka dan Sitor Situmorang, antara lain penulis favorit Saini kecil. Laki-laki kelahiran 16 Juni 1983 ini mulai menulis puisi dan bermain musik sejak sekolah menengah pertama.Karya sandiwaranya yang pertama “Rasima” ia pentaskan di lingkungannya dan mendapat sambutan hangat. Menurutnya, seni adalah kebutuhan dan kecintaan, seni bukan sesuatu untuk mengejar penghargaan atau popularits lainnya.

Gejolak politik tahun 1950-1960-an di Indonesia, mengusik nurani Saini yang mulai dewasa. Ia prihatin dengan situasi itu karena ia anggap telah menjauhkan bangsa dari cita-cita kemerdekaan, sebagai jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran. Pertentangan politik yang menjatuhkan banyak korban rakyat kecil mendorong ia menulis puisi yang diterbitkan dalam buku Nyanyian Tanah Air (1962). Buku itu mendapat penghargaan pertama sayembara dan mendapat sambutan hangat pembaca.

Selain membaca, mencipta karya sastra, ia aktif menerjemahkan buku-buku yang menurutnya perlu dibaca masyarakat. Di antaranya adalah Bulan di Luar Penjara (1965), yang mendampingkan antara pemikiran Lekra yang menyeragamkan puisi dengan pemikiran Ho Tji Minh yang menghargai keragamaan puisi. Sebelumnya ia juga menerjemahkan karya Milovan Djilas menjadi Percakapan dengan Stalin (1963).

Persoalan di dalam negeri, seperti inflansi, tiadanya kebutuhan dasar, dan bahaya kelaparan akibat pergolakan politik saat itu ditanggapi Saini melalui puisi protesnya, antara lain “Menuju Jakarta,” “Sajak Kanak-kanak,” dan “L’enfant Terrible.” Memasuki masa awal Orde Baru, Saini mengkritik kebijakan Orde Baru melalui lakon-lakonnya “Ben Go Tun,” “Egon,” “Serikat Kaca Mata Hitam,”Siapa Bilang Saya Godot,” dan “Panji Koming”. Di masa yang sama Saini menulis puisi terkait pergulatan eksistesialnya dengan masalah metafisik, antara lain Rendesvous dan Orang Tua yang juga Bernama Zakaria.

Saini juga dikenal sebagai “Menteri Penerangan Teater Indonesia.” Kecintaannya pada teater dilandaskan pada pandangannya bahwabanyak kehidupan masyarakat yang layak dipentaskan. Refleksinya itu membawa ia pada cita-cita indahnya tentang teater hidup yang diupayakan melalui berbagai unsur penting, yaitu penonton, sutradara, pengarang, pemain, kritikus, dramaturg, dan lain-lain. Sedangkan menulis cerita baginya karena ada masalah di masyarakat yang harus diselesaikan.

Saini juga turut merawat sastra Sunda melalui keterlibatannya dalam majalah berbahasa Sunda Mangle, menulisan cerita pendek dan esai. “Saya menulis cerita pendek berbahasa Sunda dalam rangka mengimbangi keterlambatan ketertarikan orang pada Sastra Sunda,” tutur Saini.

Saini juga dikenal-dicintai sebagai guru. Tidak hanya sebagai pengajar di universitas, ia juga mengajar di kalangan masyarakat. Buku-bukunya terkait pengajaran puisi dan sastra, serta rubrik sastra yang diasuhnya belasan tahun di harian Pikiran Rakyat berkontribusi pada lahirnya para penulis generasi selanjutnya. Ketelatenannya itu tak lepas dari pandangannya akan pentingnya sastra dalam merawat peradaban dan membangun bangsa.

“Kalau kita bergerak di bidang sastra dengan sungguh-sungguh, maka kita akan memberi pada sastra. Memberi gambaran manusia yang berpikir, berkhayal, dan merasakan. Sastrawan akan selalu sadar bahwa ia membawa tiga visi manusia yang lengkap, yaitu berpikir, berkhayal, dan berperasaan. Dan dengan kebulatannya itu manusia dapat menyelesaikan soal-soal dengan baik,” tutur Saini.

Oleh karena itu, Saini memandang penting pemberian penghargaan dari pemerintah kepada kebudayaan, sastra khususnya. Supaya masyarakat tahu sastra itu penting. “Saya sangat berterima kasih atas penghargaan baik kepada saya sebagai manusia, maupun sastrawan dan kepada sastra masyarakat. Penghargaan kepada saya itu penghargaan pada manusia. Karena jika ilmunya saja yang dihargai itu tidak benar. Pemerintah harus menghargai manusia yang membuat manusia menjadi bulat (berpikir, berkhayal, dan berperasa). Mudah-mudahan pendapat saya ini tidak hanya untuk diterima tapi juga dikritik agar nanti berkembang terus,” kata Saini.

BIODATA Tempat/tanggal lahir : Sumedang, 16 Juni 1938 Pendidikan : Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Bandung

KEGIATAN  Direktur Direktorat Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995-1999)  Anggota Akademi Jakarta. Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (1967- 1971)  Anggota Dewan Kebudayaan Jawa Barat (1969 – 1973)  Anggota Artistic Board Art Summit Indonesia (1995-sekarang)  Ketua Kalam Budaya Jawa Barat (2003-sekarang)  Anggota Badan Pekerja Kongres Kebudayaan (BPKK) (2003-sekarang)  Anggota Akademi Jakarta

KARYA Lakon Dunia Orang-Orang Mati (1986), Orang Baru (1988), Ciung Wanara (1992), Damarwulan (1995), The family of the Pure (1998), Darah di Taman Firdaus (2000)

Puisi Nyanyian Tanah Air ( 1969), Rumah Cermin (1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), Rumah Cermin (edisi II, 1996), Nyanyian Tanah Air (2000)

Novel Puragabaya (1976), Cerita Rakyat Jawa Barat(1993), Sehelai Daun di Pohon Kehidupan (1999), Berkas yang Hilang (2001), Hari-hari Jeruk, Hari-hari Ulat (2002)

Esai Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993), Peristiwa Teater (1996), Seni Teater 1-6 (bersama Ade Puspa dan Isdaryanto, 1989-1990)

PENGHARGAAN: 1. Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991. 2. Lakon Ken Arok (Balai Pustaka, 1985) mendapat penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1990. 3. Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 2001 (SEA Writte Awards 2001) 4. Penghargaan dari Masyarakat Teater Indonesia sebagai Tokoh Teater Nasional (2012)

SITOR SITUMORANG

PEMBARU DENGAN KEKHASAN MANUSIA INDONESIA

Sitor Situmorang (1924–2014) berkontribusi pada sastra Indonesia karena keluasan hamparan karyanya. Karya-karyanya lahir dari keluasan jangkauan geografi, pengamatan terhadap perkembangan di tanah asalnya, dan pembentukan bangsa Indonesia dan dunia.

Sitor melalui masa kecilnya di Harianboho, sebuah lembah yang menghadap Danau Toba, di Kaki Gunung Pusuk Buhit, Sumatera Utara. Desa ini dalam tradisi Batak merupakan satu dari tritunggal “tanah leluhur.” Ayah Sitor, Ompu Babiat, bergerilya bersama Si Singamangaraja XII melawan penjajah Belanda. Saat Sisingamangaraja dibunuh Belanda, kemudian perang gerilya dihentikansaat para pejuang menyetujui margondang, yaitu upacara perdamaian dengan Belanda, 1908. Status Harianboho menjadi setengah merdeka. Ayah Sitor yang berperan sebagai pemangku adat menjadi kawula Ratu Belanda. Sitor lahir dalam suasana krisis dan konflik antikolonialisme.

Masa kecilnya disebut Sitor sebagai masa “revolusi kebudayaan,” yang ditandai masuknya kolonialisme dan Kristen. Pengamatan atas perubahan sosial dan lingkungan akibat “revolusi kebudayaan” itu, kelak ia tuangkan antara lain pada karya antropologisnya, yaitu Toba Na Sae (1981). Buku antropologinya itu kemudian menjadi salah satu rujukan para peneliti dari Eropa dan telah melahirkan para doktor terkait Toba.

Suasana antikolonialis itu juga memengaruhi interaksi Sitor dengan pusat- pusat pergerakan di Jawa dan kota-kota besar Sumatera. Benih kecintaan pada nasionalisme itu, Sitor pupuk dengan mengamati gerak-gerik, perkembangan pemikiran tokoh dan pergerakan politik nasional saat ia masuk Christelijke Hollandsc Inlandsche School di Batavia. Kedatangan Jepang dan penutupan sekolah-sekolah pada masa itu mengakibatkan Sitor pulang kampung pada usia 24 tahun. Kesempatan pulang kampung itulah yang mendorong Sitor menjadi wartawan harian Waspada yang antikolonial.

Kemudian ia menjadi koresponden harian Waspada di Yogyakarta, yang saat itu menjadi lokasi pusat pemerintahan RI. Di penginapan Hotel Merdeka, Yogyakarta, Sitor merasakan langsung zaman gerilya dan zaman perundingan melalui percakapan yang bisa ia lakukan 24 jam dengan tokoh-tokoh bangsa dari berbagai aliran yang tinggal di hotel yang sama. Kelak ia membawa pengalaman masa revolusinya itu antara lain dalam cerita yang ia tulis bersama Usmar Ismail sebagai skenario film “Darah dan Doa”. Film itu menjadi tonggak perfilman Indonesia, sehingga hari pertama pengambilan gambar film itu, yaitu 11 Oktober 1962, ditetapkan Dewan Film Indonesia sebagai “Hari Film Indonesia.”

Masa revolusi berikut dinamikanya, gesekan, dan perebutan pengaruh ideologi untuk pembentukan Indonesia, menurut Heinschke juga mendorong Sitor merenungkan kembali tugas seniman modern dalam masyarakat, yaitu untuk menemukan “ide nasional.” Dalam hal itu, kesenian dapat melahirkan rasa keterikatan antaranggota masyarakat, karena mampu menyadarkan manusia akan kondisinya sekaligus menawarkan makna yang memberi bentuk pada kehidupan.

Hal itu Sitor tegaskan sebagai penyelesaian masalah kemajemukan budaya dalam cakrawala nasional. Barangkali berangkat dari pemikiran itulah Sitor melibatkan diri sebagai pendiri dan ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), anak organisasi Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Menurut JJ Rizal penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia 1949 membangkitan kepercayaan diri Sitor untuk merangkul dunia modern berikut aneka ragam pilihan budaya yang ditawarkan dan diolah untuk membentuk kebudayaan modern Indonesia. Sitor menyatakan bahwa kebudayaan Eropa dan Barat tidak lagi dikaitkan dengan kolonialisme, tetapi modernitas dan kemajuan.

Sajaknya tersebar di majalah Zenith, Siasat Indonesia, Konfrontasi, dan Mimbar Indonesia. Puisinya terkumpul dalam buku Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955) dan Wajah Tak Bernama (1956) yang menurut A. Teeuw karya-karya tersebut membawa reputasi Sitor sebagai penyair terkemuka setelah Chairil Anwar.

Kumpulan sajak pertamanya Kertas Hijau mendapat hadiah pertama Sastra Nasional untuk bentuk prosa tahun 1955/1956 dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), sedangkan Peta Perjalanan (1977) memenangkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976/77.

Ajip Rosidi melukiskan kelahiran Sitor di dalam dunia kesusastraan Indonesia sebagai yang tiba-tiba muncul seperti gunung baru yang meledak dari dasar lautan, timbul kepermukaan lautan kesusatraan Indonesia. A. Teeuw menyebutkan beberapa cerpen Sitor dalam Pertempuran dan Salju di Paris tergolong cerita yang terbaik di antara cerita-cerita lainnya yang pernah ditulis dalam kesusastraan Indonesia dan harus diperhitungkan oleh siapapun yang hendak membuat kumpulan cerpen terbaik di dunia.

Sitor merbitkan buku naskah drama Djalan Mutiara (1954). Pada tahun 1950- an Sitor juga menerjemahkan beberapa karya sastra dunia, antara lain karya John Wyndham, M. Nijhoff, Eduard du Perron, Wiliam Saroyan, Maencol, Dorothy Sayers, John Galworthy, J.A. Rimbaud, Rabidranath Tagore, Hoornik, dan Shen Chi Shi.

Karya-karya Sitor juga menjadi pembaru karena berhasil meninggalkan zamannya dan membawa pada zaman yang baru. Menurut JJ Rizal, pada saat 1950-an ada semangat menampilkan warna lokal. Sajak-sajak Sitor dari segi tema dan bentuk termasuk berhasil dengan halus, tanpa disadari, dan tidak dipermasalahkan orang, memanfaatkan semua yang baik dalam puitika bahasa Melayu dan menjadikannya bagian integral dalam puitika bahasa Indonesia. Pada pidatonya di depan Simposium Fakultas Sastra UI pada 5 Desember 1954,Sitor membahas “Pengaruh Luar terhadap Sastra Indonesia Jang Terbaru” Sitor menegaskan “sastra sebagian dari usaha budaja jang berudjud pentjiptaan ruang hidup asli dalam mana kita merasakan kekhasan kemanusiaan kita.”

Bagi keluarga, pemikiran Sitor merupakan perjuangan yang harus dilanjutkan. Terkait dengan proses kreatifnya Sitor, Iman mengenang ayahnya sebagai pengagum sufi, “Dia pernah bilang Raja Ali Haji yang menulis “Gurindam Dua Belas” buat dia hebat. Kecerdasan menyampaikan pemikiran secara tertib dan diisi dengan kedalaman.“

Menanggapi penghargaan yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI kepada Sitor Situmorang, Iman Situmorang menyampaikan terima kasih atas penghargaan yang diberikan dengan niat yang tulus. Tapi menurutnya jauh lebih penting untuk mempublikasikan karya-karya kreatif, bukan hanya karya Sitor tapi juga karya sastrawan-budayawan lainnya di Indonesia.

BIODATA Tempat/tanggal lahir : Sumatra Utara, 2 Oktober 1924 Meninggal : Belanda pada tanggal 21 Desember 2014, dalam usia 91 tahun.

KEGIATAN - Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai wakil golongan seniman - Pengajar di Universitas Leiden, Belanda

KARYA Puisi Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977), Biksu tak Berjubah (2004), Lembah Kekal/Euwig Valley (2004) dan Kumpulan Sajak 1948 – 2005 (2006)

Cerpen Cerita Anak Anak Gajah, Harimau dan Ikan (1981), Pertempuran dan Salju di Paris (1994), Kisah Surat dari Legian (2001)

Autobiografi Sitor Situmorang Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1981)

PENGHARGAAN:  Hadiah Francophonie, yaitu penghormatan serta pengembangan keanekaragaman budaya, perdamaian, demokrasi, dan hak asasi dari masyarakat penutur bahasa Perancis Sedunia.  Master Card-Saraswati Literary Award for Lifetime Achievement (2010).  Penghargaan Ahmad Bakrie Award (2010) tetapi kemudian ditolaknya.

SYAHRINUR PRINKA

Menggambar mengkhayalkan kenyataan, tetapi juga dapat menyatakan khayalan. Syahrinur Prinka atau sering dipanggil S. Prinka menjadi sangat penting dicatat dalam perkembangan seni rupa Indonesia karena perannya sangat besar dalam “membentuk wajah” desain grafis di tanah air. Ia merupakan pionir dalam desain infografis pada media berita di Indonesia. Infografis yang baik dapat menjelaskan lebih ringkas dan jelas ketimbang teks verbal. Pada gambaran peristiwa, infografis dapat menjelaskan secara ringkas diagram situasi dan proses kejadiannya lewat gambar. Prinsip dalam berkarya yang menempatkan ilustrasi dan desain grafis pada sebuah majalah berita, harus memiliki kekuatan yang sama dengan artikel yang dibuat jurnalis, telah merubah paradigma, bahwa peran desainer grafis sangat signifikanpada sebuah artikel berita.

Ditengah eksistensi profesi desainer yang belum populer pada tahun 1980- an, S.Prinka hadir dengan wacana baru dalam bidang editorial art & design media cetak. Mensinergikan antara jurnalisme dan seni rupa pada media cetak, sehingga “enak dibaca dan perlu” membuatnya ia mendapat julukan “arsitek” majalah Tempo.Kariernya sebagai desainer grafis dan ilustrator dimulai ketika ia bekerja Win Advertising, Matari Advertising, dan Sanggar Prativi.Pada tahun 1977 ia diminta untuk mengisi ilustrasi cover majalah Tempo dan akhirnya bergabung resmi di majalah mingguan itu sebagai desainer dan ilustrator hingga menjadi Redaktur Artistik.

Selain memiliki peran yang signifikan pada perkembangan desain grafis di tanah air, S.Prinka juga mempunyai komitmen dalam memajukan pendidikan seni rupa khususnya Desain Grafis. Pada tahun 1976 ia mulai mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Ia merintis pendirian studio desain grafis pada tahun 1977, kemudian berkembang menjadi Program Studi Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta. Melalui pemikirannya yang visioner, ia menciptakan kurikulum desain grafis yangmemadukan perkembangan sosial budaya, teknologi, dan konsep estetika. Memadukan ketiga hal itu, sangat penting untuk menjawab kebutuhan dunia industri atas tenaga-tenaga profesional dalam bidang desain grafis. S.Prinka telah melahirkan para desainer, illustrator, dan komikus muda profesional yang saat ini menjadi pilar kekuatan industri kreatif.

S. Prinka lahir di kota Bogor, 27 Februari 1947, dari keluarga Minang dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil ia gemar menggambar, membaca, dan mengoleksi komik. Karir S.Prinka sebagai desainer grafis dimulai setelah ia menyelesaikan pendidikan Seni Grafis, di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB) pada tahun 1974. Gagasannya tentang infografis pada media berita dalam mengilustrasikan peristiwa atau situasi melalui tahapan yang sistematis, proses, akurasi data, dan sebagainya menjadi hal penting. Melalui peran ilustrator, infografis dapat menjelaskan lebih akurat, penggambaran suatu peristiwa. Inilah hal baru yang menempatkan infografis sebagai kemampuan khusus dalam desain grafis.

S.Prinka juga aktif dalam organisasi profesi, yaitu sebagai salah satu penggagas berdirinyaPersekutuan Seniman Gambar Indonesia (PERSEGI)pada tanggal 9 Desember 1976 di Bandung,Sejarah juga mencatat peran S.Prinka sebagai salah satu penggagas lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (GSBR). GSRB merupakan momentum bangkitnya kesadaran berkarya dengan pendekatan “estetika pembebasan” pada tahun 1975-an.Berbagai pameran juga aktif diselenggarakan S.Prinka bersama para desainer dan seniman, misalnya pada tahun 1978 mengadakan pameran bersama T. Sutanto, Priyanto, Wagiono, Harjadi Soeadi, Djodjo Gozali, Diddo Kusdinar, Sukamto, Rusmadi, Rachmat Gazali, Danarto, Harianto I.R.dalam rangka memperingati empat puluh tahun “PERSAGI” (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang tokoh- tokohnya antara lain S. Soedjojono, Otto Djaja, Agus Djaja, yang terdiri dari para seniman lukis Indonesia. Pada 24 September 1980 mendirikan Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersama deainer Wagiono Soenarto, Priyanto Soenarto, Hani Kardinata, Karnadi, Sajirun, Tjahyono Abdi, Gauri Nasution, dan Didit Chris.

Karya gambar ilustrasi S.Prinka, memiliki karakter dan kekuatan tersendiri. Gambar ilustrasi Prinka tak bisa segera dihubungkan dengan sebuah artikel atau opini. BagiS. Prinka gambar bukan hanya berfungsi menerangkan isi teks, namun lebih jauh, gambar merupakan komentar terhadap teks untuk memberi kesempatan kepada pembaca merambah imajinasinya seluas mungkin.Garis Prinka selalu halus dan rapih, dengan teknik gambar dan kepekaan terhadap ruang yang tinggi. Melalui kehalusan itu Prinka lebih sering menampilkan gambar dalam suasana yang tenang, cenderung sepi, obyek-obyek terpampang di ruang hampa. Obyeknya sendiri muncul dalam konfigurasi yang janggal, baik cara gambar, skala, peranan, maupun relasi antarobyek. Secara keseluruhan gambar tersebut seperti di alam mimpi, ketika berbagai ikon berbaur dan berinteraksi bebas dari kungkungan makna obyek tersebut di alam nyata. Menurut kurator Jim Supangkat, gambar S. Prinka dapat berdiri sendiri sebagai karya seni gambar yang dilepaskan dari teks. Dalam karya Prinka, pelihat diajak mengenali obyek sesuai perbendaharaan pengalamannya. Hanya saja obyek tersebut kemudian diolah dan digabung dengan unsur lain hingga muncul kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Dalam situasi yang gamang itulah pelihat dapat ikut bermain menebak makna gambar. Kejutan dan interpretasi bebas membuat gambar Prinka selalu menarik untuk dinikmati.

S.Prinka tutup usia pada tanggal 22 Desember 2004 di Jakarta dalam usia 57 karena penyakit yang diderita sejak lama. Menurut istri almarhum S.Prinka, Iriene Halimah Srilestari Radjab, menjelang tutup usia semangat untuk mendidik tak pudar masih mensuport mahasiswa, meskipun dengan bahasa isyarat mengingat keterbatasan-keterbatasan fisik. Iriene berharap semangat dari S. Prinka dapat dijadikan teladan bagi generasi muda sehingga ”belajarlah dengan rajin tanpa pamrih, karena dengan merancang desain grafis kita dapat mencipta dunia,” demikian Irene mengutip kata- kata S.Prinka, seraya menutup perbincangan kami. PENGHARGAAN Dalam mengemban tugasnya sebagai Redaktur Artistik di majalah Tempo, melalui S. Prinka dan tim artistiknya, majalah Tempo pernah meraih penghargaan dengan mendapat piala pada Penerbitan Majalah se-Asia di Singapura untuk Kulit Muka Tempo, edisi 7 Maret 1987, dan Pemenang Sampul Depan Majalah (The Best Front Cover) Tempo, edisi 28 Juli 1990, pada Kongres Penerbitan Asia Pasifik ke-3. S. Prinka pada tahun 2010 memperoleh Penghargaan sebagai Tokoh Pendidik dan Pelopor, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta.

WA ODE SITI MARWIYAH SIPALA

“MENARI ITU KEHIDUPAN SAYA”

Perjalanan karir Wa Ode Siti Marwiyah Sipala baik sebagai penari, koreografer, maupun sebagai peneliti tari tak pernah jauh dari tari Pakarena. Hampir seluruh waktu, tenaga, dan pikiran Wiwiek Sipala, begitu itu biasa disapa, untuk tari itu.

Wiwiek sudah menari Pakarena sejak tahun 1962 sebagai bagian dari kegiatan belajar untuk muatan lokal setelah tari itu dipentaskan oleh Andi Siti Nurhani Sapada di Istana Negara tahun 1950.

“Kata ‘pakarena’, menurut dia, sebenarnya berarti ‘penari’. Namun dalam perjalanannya kata tersebut menjadi nama seni tari dari Sulawesi Selatan,” tutur Wiwiek di laboratorium seni tari lantai III, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di sela-sela kegiatannya melatih tari Pakarena untuk lima penari sanggarnya.

Tahun 1963, putri seorang guru ini mulai mengkreasi gaya Pakarena versinya. Namun orangtuanya tidak pernah mengizinkannya menjadi penari. Ia terpaksa berlatih tari sembunyi-sembunyi. “Mengaku pergi kursus, tahu- tahunya pergi latihan menari,” kenangnya dengan tawa berderai.

Ia pun mengambil kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Haluhuleo, Kendari, sampai memperoleh gelar BA (Bachelor of Art, sarjana muda). Lalu, ia minta izin kepada orangtuanya untuk meneruskan kuliah perbankan di Jakarta tahun 1972. Saat mau menikmati nasi bungkus, ia membaca iklan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ)-- sekarang IKJ-- dari koran pembungkus nasi bungkusnya. LPKJ membuka pendaftaran mahasiswa baru. Ia berubah pikiran dan berpendapat LPKJ tempat yang tepat untuk dirinya, bukan akademi perbankan. Tentu saja keputusan itu membuat kecewa orangtuanya.

Wiwiek mengisahkan dirinya tak punya uang untuk membayar kuliah. Pihak LPKJ memberi keringanan, boleh membayar uang kuliah kalau sudah punya uang. Ia kemudian mendapat informasi, peserta tes masuk yang terbaik akan mendapatkan beasiswa dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Setelah ia mengikuti tes tersebut, ia dinyatakan berhasil mendapat bea siswa.

Pada Festival Penata Tari Muda tahun 1978, namanya mulai dikenal berkat karyanya yang mengangkat tari tradisi Pakarena. Ia juga menjadi staf pengajar di almamaternya. Dari tangan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1997-2002) itu telah muncul banyak versi tari Pakarena dengan gayanya seperti “Pakarena Se’reang Bori” (2011), “Pakarena Bulan’ne (2011), dan “Pakarena Simombala” (2000). Di samping itu, Wiwiek menemukan ada tiga versi Pakarena, yaitu Pakarena gaya pegunungan, pesisir dan kepulauan.

Sambil memperagakan perbedaan tiga gaya itu, ia menjelaskan, Pakarena pesisir selalu menunjukkan gerak tubuh condong ke depan. Sedangkan gaya pegunungan, seperti yang ditelitinya di Malino, gerak tubuh selalu tegak. Gaya kepulauan seperti di Pulau Selayar, sikap tubuh agak condong ke belakang. Tetapi pada dasarnya, filosifinya tetap sama. Yang berbeda hanya gayanya.

Filosofi Pakarena, menurut dia, mengajarkan orang untuk bisa mengendalikan diri. Musik yang mengiringi tari itu keras, sedangkan gerak tarinya sendiri lembut. Hal itu menggambarkan gejolak seperti pinisi yang tengah berada tengah gelombang samudera. “Kembali ke manusianya, seberat apapun badai di hadapan kita, kita harus tetap bisa mengendalikan diri,” tegasnya.

Hari-hari Wiwiek diisi dengan menari. “Menari itu kehidupan saya. Seni tari mengajarkan saya kehidupan diri sendiri, secara sosial, masyarakat luas dan juga secara vertikal. Jadi, buat saya itu sudah utuh,” ujar penerima Penghargaan Kebudayaan bidang Pencipta, Pelopor dan Pembaru tahun 2015 dari Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pencipta tari kolosal untuk Pekan Olah Raga Nasional, Festival Film Indonesia, dan Sea Games ini tidak hanya mempelajari tari dari daerah asalnya tetapi juga dari banyak daerah di Indonesia, termasuk balet. “Semua ini menjadi vocabulary tari yang bisa memperkaya karya cipta tari saya,” ujar Wiwiek penuh semangat.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Raha, Muna, Sulawesi Tenggara, 17 Februari 1953 Suami : Sukma Prawiranegara Anak : Marisky Nur Andini

PENDIDIKAN -Fakultas Ekonomi Universitas Haluhuleo, Kendari, Sulawesi Tenggara -LPKJ (sekarang IKJ) -Dance Departemen New York University, New York -Martha Graham Dance School, New York -Canadian Dance School

PEKERJAAN -Dosen di Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Film dan Televisi IKJ (1976-sekarang) -Penari, Koreografer, dan Peneliti Seni Tari

KARYA -Pakarena Se’reang Bori (2011) -Pakarena Bulan’ne (2011) -Akkarena Sombali (2010) -Pakarena Simombala (2000) -Image (Durham, North Carolina, AS, 1983) PENGHARGAAN -Anugerah Seni Maestro Seni Tari Pakarena dari Kesenian Jakarta. -Anugerah Seni, Seniman Tari, Anida Award dari Yayasan Andi Nurhani Sapada, Makassar, Sulawesi Selatan. -Penghargaan Seni dari The Society for American-Indonesian Frendship, Inc., Jakarta. -Penghargaan Seni dari The Asean CCI, Bangkok.

KATEGORI PELESTARI

Adalah penghargaan kebudayaan yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada tokoh atau beberapa orang yang memiliki integritas (personalitas dan kreativitas) untuk menggali, menjaga, mengembangkan, dan melindungi karya budaya. Antara lain dalam hal kuliner, kerajinan dan tata rias tradisional. Prestasinya memperlihatkan dedikasi dalam konteks pelestarian: menjaga, melindungi, dan menggali karya budaya yang telah ada sesuai dengan aslinya/mempertahankan keberadaannya sehingga mendorong pelibatan masyarakat.

AGUS NURAMAL

Agus Nuramal atau dikenal dengan PM TOH, lahir di Sabang (Aceh) pada tanggal 17 Agustus 1969. Ia adalah seniman muda yang memilih seni tutur (tradisi lisan) sebagai jalur kesenimanannya. Menurutnya seni tutur di tanah Aceh sudah mulai punah dan tidak banyak orang yang memperhatikan. Agus menekuni seni tutur ini sejak lulus dari Institut Kesenian Jakarta dan berguru kepada Teuku Adnan, salah seorang tokoh penutur hikayat.

Bakat seni yang dimilikinya diperkaya dengan pengetahuan dan pengalamannya selama kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Hal itulah yang membentuk Agus Nuramal sebagai seorang seniman Seni Tutur yang profesional saat ini. Seni Tutur yang dikembangkan Agus berangkat dari karakter sastra lisan Aceh yang sarat dengan spontanitas dan ia padukan dengan konsep seni pertunjukan modern, yang mementingkan imajinasi, vokal, dan akting. Keunikan yang ditampilkan Agus dalam seni tuturnya adalah pada penggunaan benda sehari-hari untuk menunjang ekspresi tuturannya. Dalam setiap pertunjukannya, ia menggarap tema-tema yang bersumber dari kehidupan masyarakat, khususnya fenomena-fenomena yang sedang berkembang di kota-kota besar.

Agus menekuni jenis sastra lisan ini hampir 25 tahun dan telah membawakan lebih dari 600 pertunjukan, baik di media elektronik (televisi), di lingkungan komunitas seni, dan berbagai acara kesenian yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Selain sebagai solo performance, Agus Nuramal juga aktifdalam bidang seni teater. Dalam bidang teater ini, ia mengembangkan konsep antara lain teater on the class room, teater untuk resolusi konflik, dan model teater pemberdayaan masyarakat. Profesi lainnya yang digeluti Agus adalah sebagai salah satu pelatih utama dan narasumber untuk teater object international. Agus aktif mengisi berbagai acara, misalnya menjadi instruktur pertunjukan dan fasilitator workshoppada Second International Story Telling Festival Mahasarakam University Bangkok (Januari 2014), menjadisebagai Sutradara untuk pertunjukan Saman Summit, di Museum Kota Tua, Jakarta (Desember 2012). Prestasi lainnya adalah terpilih sebagai peserta program residensi seniman tingkat internasional, pada kegiatan Aseasuk Conference (Brighton 2014).

Ketertarikan Agus terhadap seni tradisi tutur lisan tak dapat dipisahkan dari pengalaman masa kecil terutama tatkala menyaksikan pertunjukan seni tradisi di kampung halamannya, di Sabang, Aceh. “Saya sering melihat tokoh-tokoh penghikayat Aceh, salah satunya adalah Teuku Adnan dan semasa kuliah penampilan beliau selalu terbayang-bayang. Terlebih pada tahun 1988 sosok beliau tampil dimajalah Tempo, tulisan Sihar Lubis.Hal tersebut mendorong saya untuk mengenal sosok beliau dengan mengunjungi kampung Teuku Adnan pada tahun 1990-an.”Nyantrik dengan penghikayat tenar merupakan pengalaman berharga bagi Agus, karena banyak pembelajaran hidup yang didapatnya mulai dari pergi ke sawah, ikut urusan bisnis seperti menjual berbagai jenis minyak (minyak lawang, minyak cengkeh, minyak pala) dengan cara keliling ke seluruh pelosok Aceh. Pada suatu waktu Agus dilatih cara mendongeng di pinggir laut di belakang rumahnya, Agus juga diminta untuk berbicara dengan benda-benda yang dijumpainya, seperti batu karang, kayu, pepohonan, tanah dan sebagainya. Itulah mengapa dalam setiap pertunjukannya, Agus memperlengkapi dengan barang-barang sehari-hari.

Pengalaman pertama tampil membawakan hikayat di pendopo Gubernur dan Taman Budaya Banda Aceh dan mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat pada saat itu. Setelah merasa cukup nyantrik dan menimba ilmu kepada para tokoh penghikayat di Aceh, maka pada tahun 1991 Agus memutuskan kembali ke Jakarta dan sejak itulah awal karir Agus sebagai seniman profesional dimulai.

Agus menyadari membawakan seni pertunjukan tradisional di kota besar seperti Jakarta tanpa diberi sentuhan kreativitas dan inovasi yang tinggi, maka pertunjukan itu tidak memiliki daya tarik. Oleh karena itu, agar pertunjukannya memiliki daya tarik, Agus mulai mengembangkan tradisi tutur lisan Aceh dengan pendekatan modern tanpa menghilangkan karakter seni tradisinya.Membawakan hikayat modern yang disesuaikan dengan fenomena sosial masyarakat kota besar bukanlah hal mudah, namun Agus percaya dengan berbekal pengetahuan yang diperolehnya semasa kuliah di Program Studi Teater, Institut Kesenian Jakarta, seperti belajar akting, pantomim, penulisan, dan penyutradaraan, ia berkeyakinan bahwa seni tradisi tutur lisan dapat dikembangkan lebih menarik dengan pendekatan yang modern.

Lebih jauh Agus menjelaskan, “Pertama saya harus menyerap, mendengar, melihat, merasa persoalan-pesoalan yang ada dimasyarakat dan persoalan tersebut saya padukan dengan cerita, kemudian cerita tersebut saya kembalikan kepada masyarakat. Hal terpenting adalah dimensi imajinasi, kalau seni bertutur itu pemainnya berlaku sendiri sehingga harus memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Kemudian bercerita atau dimensi oral menjadi dimensi imajinasi dengan mengunakan berbagai benda yang saya temukan sehari-hari, seperti sabuk kelapa, gayung, boneka, dan lain-lain.”

Selanjutnya dikatakannya, “Prinsipnya seni yang tidak mahal yang tidak perlu beli apa-apa untuk sekali pakai kemudian dibuang, dengan imajinasi ini saya yakin waktu itu saya bisa mempopulerkan kesenian yang berakar dari seni tradisi. ”Seni tutur yang dibawakan Agus menjadi lebih menarik karena mengolah kekuatan unsur vokal dengan cara bernyanyi. Unsur vokal berupa lantunan-lantunan irama, seperti irama angin, gunung atau irama ombak dilaut membuat hikayat yang diceritakan Agus lebih hidup dan dinamis, sehingga tak sadar membuat penonton terlena dengan pertunjukan yang dibawakannya.

Seni Tradisi mulai kehilangan Panggung Agus Nuramal adalah segelintir dari seniman yang memiliki kepedulian dalam melestarikan seni tradisi. Menurut Agus saat ini seni tradisi sudah kehilangan panggung dan diambil alih televisi. Hal tersebut kian diperburuk dengan realitas bahwa tidak banyak seniman muda yang menekuni seni tutur. Keprihatinannya itu tercurah dalam ungkapan hati berikut ini, “Selama hampir 25 tahun menekuni seni hikayat, saya merasa sendiri, kesepian karena tidak ada teman penghikayat dari wilayah lain di tanah air.” Sedikitnya seniman-seniman muda yang bergiat dalam “lading” seni tutur tentu membuat Agus sulit menjalin diskusi, komunikasi, atau tukar pengalaman. Namun hal tersebut tidak menyurutkan Agus untuk terus berkarya dan berbagi ilmu, seperti yang dilakukan saat ini yaitu mengajak masyarakat untuk mencintai seni tradisi. Mimpi Agus suatu saat kelak ia dapat mendirikan sekolah yang bisa mengajarkan kepada banyak orang tentang seni tradisi, sehingga akan ditemukan bakat-bakat baru yang akan melanjutkan tradisi bangsa Indonesia.

Agus Nuramal adalah sosok seniman muda yang patut dihargai karena kepedulian pada seni tradisi. Melestarikan seni tradisi dengan pendekatan pertunjukan modern yang khas, yaitu kekuatan spontanitas, imajinasi dan lantunan syair-syair serta irama alam, seakan membawa kesadaran bagi kita bersama untuk ikut hanyut dalam renungan seni hikayat yang lama dilupakan orang. Semoga dimasa mendatang akan lahir seniman seni tutur dari berbagai daerah sebagai upaya melestarikan seni tradisi bangsa Indonesia. KecintaanAgus pada seni tradisi didukung kemampuan akting yang mumpuni serta sikap rendah hati untuk belajar dengan para tokoh hikayat ternama di bumi serambi Aceh merupakan sinergi cermin bagi generasi muda.

Terkait dengan penghargaan yang diterima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk kategori Penghargaan Seni Tradisi, Agus mengatakan “Hal tersebut merupakan sebuah apresiasi kerja bukan hanya untuk dirinya sendiri namun apresiasi terhadap sahabat-sahabat, para tokoh seni tradisi dan masyarakat dibidang seni. Disisi lain penghargaan tersebut sekaligus tantangan untuk berkerja lebih baik lagi.Apresiasi ini bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi untuk generasi-generasi Nusantara, untuk mencintai seni tradisi, ketika satu orang mendapatkan apresiasi mudah-mudahkan makin banyak lagi yang mendapatkan apresiasi lagi.”

Beberapa buku yang telah dihasilkan Agus Nuramal:  Appa Jadi BOSS. Penerbit Penabur, Jakarta. 2009. (buku komik)  Manusia Bersarung Kodok. Penerbit Tikar Pandan. Banda Aceh. Mei 2006. (Buku Dongeng Anak); Versi bahasa Perancis. Contes Populaires D’ Aceh (Comite du Livre, Français, 2006).  Panduan Pelatihan Menjadi Tukang Cerita. Penerbit : Tikar Pandan. Juni 2004. (Buku Panduan)

ANNA KUMARI

TAK SIA-SIA APA YANG KULAKUKAN SELAMA INI

Anna Kumari dikenal sebagai pelestari tradisi mulai dari seni tari, silat sampai songket di kota kelahirannya, Palembang. Tak hanya itu. Cek Anna, begitu ia populer dipanggil di kota pempek itu, dikenal sebagai pencipta tari yang produktif dan untuk itu tidak kurang 50 tari telah diciptakannya.

Anna yang tumbuh sebagai anak yang mencintai kesenian sering tampil dalam sejumlah acara kenegaraan. Ia menjadi penari Istana Negara tahun 1961-1962. Bagaimana ceritanya? Salah seorang kakak Cek Anna tinggal di daerah Setia Budi, Jakarta. Hal itu membuatnya sering mondar-mandir Jakarta-Palembang. Suatu ketika, ada kesempatan untuk menjadi penari Istana. Setelah melewati tes, Anna terpilih.

“Tetapi waktu itu saya tidak membawakan tari Sumatera Selatan, tetapi tari Bali seperti Tari Kecak, Tari Pendet, dan Panji Semirang. Guru saya waktu itu Nyoman Suwarni dan I Wayan Linggih. Kami latihan di Istana Merdeka dan Presiden kadang ikut periksa,” tuturnya. Pada tahun 1963 ia tampil dalam acara pembukaan pesta olahraga internasional Ganefo yang digagas Bung Karno.

Saat kembali ke Palembang, ia diminta menjadi pemimpin grup kesenian Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Sriwijaya yang beranggotakan sekitar 30 orang. Tahun 1966 Komandan Inmindam IV Sriwijaya, Kolonel Makmur Rasjid, memintanya menciptakan tarian baru untuk menyambut Panglima Kodam IV Sriwijaya yang baru, Jenderal Isak Juarsa. Karena alasan politik, tari “Gending Sriwijaya”yang biasa dipakai untuk menyambut tamu terhormat dilarang dipentaskan.

Ia kemudian mendapat inspirasi untuk menciptakan tari pengganti “Gending Sriwijaya” yang kemudian diberinya nama “Tepak Keraton” yang menampilkan kejayaan Kerajaan Palembang Darussalam yang dipimpin oleh Mahmud Badaruddin II sekitar abad ke-16. Sampai sekarang, tari tersebut kerap dipentaskan untuk tarian penyambutan tamu terhormat.

Mantan bintang RRI tahun 1967 ini kemudian mendirikan Sanggar Tari Anna Kumari pada awal tahun 1970-an. Ia mencari anak-anak gadis dari rumah ke rumah untuk berlatih menari di sanggarnya. Namun, banyak orangtua tidak membolehkan anak perempuan mereka menari karena takut anak mereka bakal jadi ronggeng. Cek Anna tidak menyerah. Akhirnya ada yang mau berlatih di sanggar.

Sanggar Tari Anna Kumari maju pesat. Mereka bisa tampil di mana-mana, tidak saja di sejumlah kota di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Prestasi itu membuat banyak anak gadis mau berlatih tari di sanggarnya. Apalagi banyak penari dari sanggar ini mudah mendapatkan pekerjaan di bank dan kantor-kantor lainnya. Pada tahun 2015, Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari. “Saya merasa tersanjung bahwa apa yang sudah saya lakukan selama ini dari kecil sampai sekarang, bisa mendapat penghargaan dari pemerintah. Itu suatu hal yang bagus. Tidak sia-sia apa yang saya lakukan selama ini. Sejak kecil saya senang dengan seni dan budaya,” katanya.

Inspirasi Tari Anna yang telah menciptakan lebih dari 50 tarian tidak mencari-cari inspirasi saat menciptakan seni tari baru. Ia pernah menciptakan tari massal yang ditarikan oleh anak SD untuk merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei pada tahun 1980-an.

Inspirasi yang mengawali kreativitasnya kadang diperoleh secara tidak sengaja, seperti yang dituturkannya berikut ini.

“Saya duduk di depan rumah saya. Saya melihat ada elang terbang. Karena elang terbang itulah, saya terinspirasi untuk mengambil gerakan elang untuk tari saya. Jadi, nama tarinya “Tari Elang Terbang.” Inspirasinya tidak dibuat, tidak dipikir-pikir, tetapi datang sendiri. Begitulah, saya langsung tulis, saya langsung ajarkan kepada 1.800 anak pada Festival Tari Se-Kota Palembang tahun 1980-an,” kata Anna tentang kreasi tarinya.

Cek Anna juga senang mengoleksi songket. Beberapa lembar songket dari nenek dan ibunya telah berusia 75 sampai 250 tahun. Ia memiliki koleksi songket bungo cino, jando beraes, nago besaun, bungo pacik, dan sebagainya. “Tiap motif songket itu beda-beda pemakaiannya. Motif jando beraes, misalnya, dipakai oleh pengantin perempuan yang sudah pernah nikah sebelumnya,” kata Anna.

Tahun 2013, ia mendapat bantuan dana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dengan dana itu ia merenovasi rumah dan sanggar tarinya. Ia mendirikan Rumah Budaya Nusantara Dayang Merindu yang dijadikan sebagai museum bagi aneka songket miliknya, dan sebagai tempat pelatihan membuat songket.

BIODATA ANNA KUMARI Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 10 November 1945 Suami : Almarhum H Hakky Alian BA

ALAMAT Sanggar Anna Kumari dan Rumah Budaya Nusantara Dayang Merindu Business Listing JL. K.H. Azhari, No. 14 A, RT. 018, 14 Ulu, Seberang Ulu 2, Palembang, 30264

KARYA TARI - Tepak Keraton - Tari Elang Terbang

PENGHARGAAN -Penghargaan Seni dari Gubernur Sumatera Selatan (2001) -Penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto (1993) -Penghargaan Perkumpulan seni Singapura (1991)

HAYATINUFUS TOBING

MAKANAN INDONESIA BELUM DIHARGAI

Hayatinufus Tobing di kalangan pencinta dan pemerhati kuliner Indonesia dijuluki “kamus berjalan” soal kuliner Indonesia. Julukan itu tak berlebihan. Ia telah menulis puluhan buku kuliner sebagai upaya untuk melestarikan kuliner asli Indonesia.

Ibu Nufus, begitu ia biasa disapa, tak habis pikir kenapa makanan Indonesia tidak dilestarikan. Ia sangat prihatin dengan kenyataan tersebut. Dengan pakar kuliner William Wongso, ia sering membahas soal ini. Memang ada juga upaya-upaya untuk melestarikan kuliner Indonesia. Namun demikian, menurut Ibu Nufus, apa yang dilakukan itu tidak benar-benar melestarikan makanan Indonesia. Makanan yang ada itu diubah, sehingga tidak sesuai lagi dengan aslinya.

“Makanan Thailand, biar di kaki lima, tidak berubah, tetap sesuai aslinya. Indonesia tidak. Sudah tidak dihargai, diubah-ubah lagi. Rasanya sakit saya melihatnya,” kata Ibu Nufus saat ditemui di rumahnya di Jakarta.

Tahun 2015 Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Penghargaan Kebudayaan untuk Kategori Pelestari kepada Ibu Nufus atas upayanya melestarikan kuliner atau makanan Indonesia.

“Saya tentu senang sekali. Saya tahu, selama ini tidak banyak orang menghargai makanan Indonesia. Saya itu senang karena paling tidak, orang akan mulai menghargai bahwa makanan Indonesia itu ada,” katanya menanggapi ketika ia diberi tahu mengenai penghargaan tersebut.

Ia mulai tertarik pada makanan Indonesia saat mendampingi suaminya, Alif Lumban Tobing, seorang inspektur kesehatan di Kementerian Kesehatan, ketika melakukankunjungan ke daerah. Ia sering menemukan banyak cerita dan jenis makanan yang enak, namun orang tidak begitu tertarik. Di setiap daerah memiliki makanan yang menarik. Lagi-lagi, tidak ada yang memperhatikannya.

“Yang menarik dari makanan Indonesia itu rasanya. Makanan di Indonesia memakai bumbu. Bumbu itu adalah jamu, obat. Jadi, di seluruh Indonesia makan itu pada umumnya memakai bumbu. Berarti, ia sudah mengobati diri. Saya tertarik. Dan tiap daerah punya rasa berbeda, walaupun jenis makanannya sama. Ada empon-empon, daun-daun. Semua pakai itu, tetapi jumlah dan kualitasnya tidak sama sehingga tiap-tiap daerah menghasilkan banyak rasa, beragam rasa. Saya tertarik jadinya,” kata Ibu Nufus yang pernah menciptakan burger dari tahu.

Menurut dia, pada dasarnya makanan Indonesia menyehatkan karena penggunaan bumbu-bumbu yang tidak lain adalah jamu juga. Jamu adalah obat. Bumbu sepertikunyit, lengkuas, jahe, dan daun salam jelas dapat membuat makanan jadi sehat. Namun, belakangan makanan Indonesia sudah banyak menggunakan minyak jelantah dan santan. Kedua hal itu membuatnya jadi kurang sehat.

Ia mengatakan, bahwa banyak orang tidak suka masakan Indonesia karena ribet mengulek bumbu. “Bumbu itu bisa dijadikan bubuk, tetapi tidak dikembangkan. Saya sendiri juga pakai yang bubuk. Yang segar juga ada. Bagi yang malas, pakai bubuk bisa. Tetapi kita harus mempelajari berapa ukurannya. Ini yang orang kurang perhatikan,” ujarnya.

Banyak rekannya mendorongnya untuk membuka usaha katering. Namun ia menolak karena mengaku tak pandai berdagang. Dalam soal belanja saja ia mengaku tak percaya pada orang, bukan karena soal harga, tetapi kualitas barangnya. Dalam membuat makanan ia mengaku tidak bisa mengurangi- ngurangi bumbu agar bisa mendapatkan untung besar.

“Ya, itu tadi, saya tidak pandai berdagang. Berdagang dalam pengetahuan saya bisa. Artinya buat buku. Saya tidak bergantung pada orang. Saya bergantung pada otak saya sendiri. Saya hanya bergantung pada orang untuk mengedit buku saya. Buku saya sudah banyak. Sekarang saya sedang menulis buku tentang kue-kue, dan sudah dalam proses cetak,” tutur Ibu Nufus yang dua bukunya telah dibeli oleh Time Life. Ia telah menikmati royalti dari buku-bukunya.

Lulusan dari Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) ini sempat mengajar di beberapa sekolah, seperti di Kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, di SMK St Maria, dan SMA Cikini, Jakarta. Kemudian, ia menangani rubrik kuliner dan menjadi koordinator Dapur Uji Majalah Femina. Setelah pensiun dari majalah itu, ia sempat mengajar masakan Indonesia untuk orang-orang asing di International Community Activity Center, Kemang, Jakarta Selatan, selain menjadi dosen tamu di Jurusan Perhotelan Bidang Masakan Indonesia dan Pastry, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung. Buku-buku karyanya terbilang laris di toko buku dan bahkan beberapa bukunya diminati di luar negeri.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Jember, Jawa Timur, 29 Maret 1936 Suami : AL Tobing

PEKERJAAN -Guru/Dosen -Wartawan -Penulis buku kuliner

KARYA BUKU -Ensiklopedi Masakan Indonesia (2010) -Masak Sehat dengan Bumbu Penyedap -Masakan Indonesia untuk Jamuan -Variasi Menu Sehari-hari -Camilan Tradisional Indonesia MUHAMMAD DJAFAR

PERAHU ITU SEPERTI TUBUH MANUSIA

Usianya sudah 85 tahun, namun otot-otot dan jari-jari tangannya yang kuat masih tampak. Di usia yang sudah terbilang sepuh, ia masih aktif membuat perahu atau kapal kayu tradisional yang kokoh dan sempurna. Dia adalah Haji Muhammad Djafar yang dijuluki “panrita lopi,” tokoh adat yang juga ahli membuat perahu, di Kelurahan Tanah Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

“Ini kapal kayu yang saya buat,” kata laki-laki itu dengan bangga sambil menunjukkan sebuah perahu kayu yang terbuat dari kayu mahoni tua di “bantilang” (galangan perahu tradisional), kira-kira lima ratus meter dari rumah panggungnya siang itu.

Lantas Pak Haji, begitu ia biasa disapa di desanya, melangkahkan kakinya ke bantilang yang lain, untuk menunjukkan “lunas,” kerangka utama perahu dari kayu besi, yang dibuat bersama putranya, Bahari Djafar. Ia memandang jauh ke laut siang itu. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Pada tahun 2015 ini Pemerintah memberi penghargaan kepada Pak Haji Djafar, yaitu Pelestari Kebudayaan. “Saya merasa sangat berterima kasih mendapat penghargaan ini. Saya tidak pernah menyangka apa yang saya lakukan selama hidup saya mendapat penghargaan dari Pemerintah,” ujar ayah tujuh anak ini penuh haru.

Haji Djafar yang sudah mulai membuat perahu sejak tahun 1945 menuturkan, kepandaiannya membuat perahu diperolehnya dari orangtua dan lingkungannya. “Boleh dibilang saya belajar membuat perahu sejak saya dalam kandungan. Lingkungan saya semuanya membuat perahu. Waktu kecil saya bermain di sekitar tempat pembuatan perahu. Saya bisa melihat bagaimana orangtua membuat perahu. Dari situ saya belajar bagaimana membuat perahu dengan segala ilmunya. Seluruh hidupnya hanya untuk membuat kapal,” tutur Haji Djafar yang sempat duduk di kelas dua sekolah rakyat.

Lelaki dari Tanah Beru itu mampu membuat berbagai jenis perahu, seperti pinisi, pa’dewakang, dan perahu tradisional lainnya. Ia tidak ingat lagi berapa perahu kayu yang telah dibuatnya. Yang dia masih ingat adalah beberapa pinisi yang dibuatnya pernah dipesan oleh Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan Dinas Perikanan setempat. Pesanan perahu pinisinya juga datang dari Australia, Jepang, Tiongkok, Singapura, dan Eropa. “Perahu pinisi terbesar yang pernah saya buat panjangnya 40 meter, tingginya 4 meter, dan lebarnya 9 meter. Tonasenya sekitar 600 ton,” kenangnya.

Hati Harus Bersih Apakah Haji Djafar harus melakukan puasa sebelum membuat perahu? Ia menegaskan, “Hati harus bersih, harus baik saat membuat perahu.” “Kenapa?” “Perahu itu seperti tubuh manusia, tubuh kita. Kita selalu menyayangi tubuh kita. Maka, kita juga harus membuat perahu dengan baik, dengan hati bersih.”

Ia menjelaskan, “Lunas” yang menjadi tiang konstruksi utama perahu ibarat tulang punggung pada manusia. Bagian depan “lunas” merupakan simbol lelaki, sedang “lunas” bagian belakang sebagai simbol wanita. Sedangkan tiang-tiang kerangka untuk badan perahu ibarat tulang rusuk manusia. Papan-papan yang membentuk badan perahu ibarat tubuh manusia.”

Lebih lanjut Pak Haji Djafar menjelaskan, “Tidak cuma itu. Perahu juga diberi “puser” lewat suatu upacara yang disebut “amossi”, yakni penetapan dan pemberian pusat pada pertengahan “lunas” perahu. Upacara ini biasanya dilakukan tengah malam, dihadiri oleh dukun, pemilik kapal dan pembuat kapal yang biasa disebut punggawa atau panrita lopi. Semua itu menunjukkan perahu seperti tubuh manusia.”

Agar ilmunya tak punah, Haji Djafar menegaskan telah mewariskan kemampuannya, termasuk kepada Bahri Djafar, puteranya yang mengikuti jejaknya membuat kapal kayu, walaupun belum seluruhnya. Ia juga dengan senang hati membagi ilmunya kepada para peneliti yang datang ke Tanah Beru.

Bahri sendiri mengatakan, selain belajar langsung dari ayahnya, dirinya juga belajar dengan mengamati perahu-perahu buatan ayahnya. “Dari perahu- perahu itu, saya menemukan, papan-papan yang dipakai untuk pengapit lunas, misalnya, mulai dari papan berukuran kecil sampai ke ukuran yang lebar. Maksudnya, agar rezeki terus bertambah. Jangan sampai papan yang dipasang di atas lebih kecil dari papan di bawahnya. Rezeki akan terjepit. Memang ada mantra-mantra yang belum diberikan ayah,” ujar Bahri.

Pembuatan kapal kayu atau perahu di Tanah Beru tak sekadar pekerjaan teknis membuat perahu atau kapal kayu. Pekerjaan itu disertai sejumlah upacara yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang penting. Upacara itu bahkan sudah dimulai dari pemotongan kayu untuk “lunas” sampai peluncuran kapal ke laut. Haji Djafar menuturkan, saat upacara pemotongan “lunas” harus dilakukan pagi hari agar rezeki itu terbit bersama matahari. Sedangkan upacara peluncuran perahu biasa dilakukan saat air laut naik agar rezeki ikut naik.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Tanah Beru, Bulukumba, 1930 Istri : Hajjah Andi Hani

PEKERJAAN -Pembuat kapal kayu tradisional NI KETUT ARINI

“Sejak kecil saya selalu bermimpi menjadi penari dan sudah berperan sebagai asisten guru tari dari Paman saya, seorang guru sekaligus penari terkenal Wayan Rindi,” begitu Arini menceritakan cita-citanya sejak kecil. Kini ia dapat dikatakan sebagai maestro dalam tari klasik Bali. Penampilannya yang sederhana, hangat, dan terbuka adalah kesan pertama yang menunjukkan kebersahajaan sekaligus merupakan aura yang terpancar dari seorang Arini.

Ni Ketut Arini, tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan seni tari Indonesia, karena perannya sangat signifikan dalam melestarikan sekaligus mempromosikan Tari Bali ke dunia internasional. Sejak tahun 1965-an Arini aktif melakukan diplomasi budaya melalui seni tari keluar negeri. Arini juga memiliki komitmen dalam menghidupkan kembali beberapa tarian klasik Bali yang hampir punah, antara lain tarian Condong dan tari Legong. Jiwa mengajar Arini yang telah tumbuh sejak usia dini kian kokoh seiring dengan kepiawaiannya menguasai tari Bali klasik yang ikut memperkokoh sosok Arini sebagai salah satu maestro seni tari Bali Klasik.

Ni Ketut Arini lahir di Denpasar, Bali, 15 Maret 1943. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Saplug, adalah guru penabuh gamelan, sementara pamannya merupakan penari sekaligus guru terkenal di Bali pada tahun 1930-an, yaitu Wayan Rindi dan juga I Wayan Pogog, penabuh gendang. Ketiga anggota keluarga tersebut membentuk grup tari yang sering mengisi acara pementasan di puri-puri keraton dan berbagai desa. Sejak kecil Arini sudah sangat senang melihat pertunjukan yang dibawakan keluarganya tersebut dan selalu memperhatikan pamannya saat menari dan mengajar.

Sejak usia dini Arini sudah terlibat dalam pertunjukan tari dan sering membantu pamannya mengajar, sehingga kesenian sudah mendarah daging sejak kecil. Menjadi penari adalah keinginan Arini sejak kecil, sehingga ketika mendapat kesempatan menari ketika kelas 3 Sekolah Dasar, tentunya Arini senang luar biasa. Itulah momen berharga yang tak terlupakan, terlebih yang dibawakannya adalah Tarian Condong.

Prestasi yang membanggakan dicapai Arini, pada tahun 1957, ia terpilih menjadi “Sang Hyang Dedari” di Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja (Denpasar, Bali) dan sejak itu ia resmi menjadi penari Bali. Menjadi “Sang Hyang Dedari” sangat dihormati dan dianggap sakral dan bukan hal mudah untuk mencapainya karena harus memiliki kompetensi dan perilaku yang baik.

Debut Arini sebagai penari profesional juga tak dapat dipisahkan dari guru tari yang sangat dihormati, yaitu I Nyoman Kaler yang banyak memberi dorongan kepada Arini; dan Nyoman Kaler pulalah yang meminta Arini untuk menjadi pengajar tari pada usia dini karena dinilainya memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Guna memperdalam seni tari secara akademis, Arini mendaftar di sekolah Konservatori Karawitan (Kokar), Bali. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia(STSI) Denpasar. Di sekolah ini, ia mempelajari teknik tari Bali secara teoretis dan praktik sebagai disiplin studi dan ekspresi seni, sehingga pemikiran-pemikirannya mengenai tari Bali semakin berkembang.

Merasa memiliki tanggung jawab moral agar seni tari Bali dapat terus diturunkan kepada generasi muda, maka pada tahun 1973, Arini mendirikan sanggar tari bali yang diberi nama Sanggar Tari Warini. Bagi Arini mengajarkan tarian bali kepada generasi muda bukan sekadar penguasaan teknik semata, namun juga bagaimana menanamkan nilai-nilai kecintaan generasi muda terhadap seni adi luhung. Arini memiliki strategi agar tari klasik Bali tetap dipelajari generasi muda, yaitu menggunakan gamelan dan gong sebagai pengiring gerakan. Ia tak memakai hitungan untuk setiap gerakan yang dilakukan, Dengan iringan gamelan, anak-anak merasa sudah menari dan itu membuat mereka bersemangat. Menyikapi perkembangan globalisasi, Arini juga tidak menutup mata dan memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk mempelajari tarian bali modern, namun dengan syarat harus menguasai tarian klasik lebih dahulu. Sanggar Tari Warini setiap tahun meluluskan sekitar 100 siswa tari yang saat ini sudah tersebar di seluruh Indonesia bahkan mancanegara.

Selain berperan aktif dalam pendidikan nonformal yaitu sanggar, Arini juga memiliki dedikasi dan komitmen dalam pendidikan formal. Hal tersebut dibuktikan ketika ia membuat buku Teknik Tari Bali yang dijadikan buku pegangan baik bagi mahasiswa maupun masyarakat. Pada tahun 2014, bersama salah seorang muridnya dari Amerika Serikat, Rucina Balinger, mengangkat kembali karya gurunya, I Nyoman Kaler, antara lain tari Panji Semirang, Mregapati, Wiranata, Demang Miring, Candrametu, Puspawarna, Bayan Nginte, Kupu-kupu Tarum, dan Legong Kebyar. Legong Kebyar sendiri pernah terkenal di Bali, lalu hilang karena tak ada yang menarikannya. Keberadaan dan keindahan tarian-tarian itu hanya diceritakan di buku-buku. Oleh karena itu, untuk “menikmati kembali” karya-karya itu mereka kemudian menggali lagi karya I Wayan Kaler melalui penyelenggaraan simposium dan pementasan yang ditarikan oleh tiga generasi penari (lanjut usia, dewasa, dan remaja). Kemudian pada tahun 2010, mendokumentasikan enam tari Legong yang dikuasainya untuk arsip Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan menjadi bahan ajar bagi mahasiswa tari.

Sebagai penari dan koreografer yang lahir dan dibesarkan dalam kultur masyarakat Bali yang sangat kental, Arini paham betul perkembangan seni tari Bali di tanah kelahirannya, sehingga ia menyampaikan protes ketika Malaysia menggunakan Tari Pendet sebagai media promosi pariwisatanya. Keinginan Arini sebagai penari profesional kini sudah terwujud berkat bimbingan para guru terbaiknya. Kini usia Arini genap 72 tahun, namun ia bertekad akan terus menari dan melestarikan seni tari Bali Klasik. Menjadi sang Maestro Seni Tari Bali Klasik seolah merupakan kehendak sejarah karena ia ditakdirkan menjadi perpanjangan tangan para leluhur untuk melestarikan dan membesarkan tradisi klasik Bali. Arini merasa apa yang telah diraih saat ini merupakan pengabdian semata, sehingga penghargaan yang diterima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai tokoh pelestari merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa.

PENGHARGAAN - 1969, Merdangga Utsava , Gong Festival Bali-1 st Place - 1988, Kerti Budaya Award on Balinese Dance, Bali - 1992, Dharma Kusuma Madya Award, Bali

KARYA - Tari Dharma Putri (1973) - Tari Galang Kasih (1980) - Tari Legong Kreasi Suprabha Duta (1990) - Revitalisasi Tari Legong Bapang Durga (1996) - Revitalisasi Tari Putri dan Bebancihan (2004) - Merekam enam tari Legong untuk materi kuliah mahasiswa STSI Denpasar

BUTET MANURUNG

PERLU LANDASAN KEBUDAYAAN UNTUK MEMBANGUN

Sebuah film bisa mempengaruhi cita-cita seseorang. Film “Indiana Jones” yang suka ditonton oleh Saur Marlina Manurung, yang kemudian lebih populer dengan nama Butet Manurung, pada masa kecilnya telah ikut membentuk cita-citanya untuk bertualang ke suku-suku terasing.

“Entah kenapa, waktu melihat film itu, saya melihat masyarakat terasing itu bahagia banget. Senyum mereka lebar-lebar. Kalau melihat filmnya semuanya baik-baik. Saya pingin pekerjaan seperti itu,” tutur Butet di rumahnya di Kranji, Jakarta Timur.

Setelah menamatkan pendidikan sarjana antropologi dan sastra Indonesia dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Butet yang telah aktif dalam kegiatan pecinta alam masih mencari-cari pekerjaan yang cocok dengan dirinya. Ada petualangannya, tetapi juga membawa manfaat bagi orang lain.

Suatu ketika pada pertengahan tahun 1999, saat ia sedang jenuh dengan pekerjaanya sebagai pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon, sebuah iklan lowongan kerja di Harian Kompas menarik perhatiannya. Iklan itu berbunyi: "Dicari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi." Iklan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warung Informasi Konservasi (Warsi) itu menggetarkan hatinya dan merasa mungkin itulah pekerjaan yang sedang dicarinya sesuai dengan impian masa kecilnya.

Tiga tahun bersama Warsi, ia kemudian mengundurkan diri dan bersama beberapa rekannya membentuk LSM pendidikan bagi suku terasing, dimulai dengan orang Rimba. Biaya kegiatan itu mereka tanggung dari kantong sendiri. Butet terpaksa menjual barang miliknya, seperti laptop untuk membiayai kegiatannya. Sampai-sampai untuk pulang merayakan Natal dengan keluarganya di Jakarta, sulung dari Viktor Manurung dan Tiur Samosir itu, terpaksa meminta dikirimi tiket.

Butet berpendapat pendidikan dapat membantu orang Rimba mengatasi masalah saat mereka berhubungan dengan masyarakat luar. “Saya melihat mereka tidak bisa membaca timbangan. Mereka memberikan cap jempol karena tidak bisa membaca surat perjanjian. Padahal surat itu mau mengambil tanah mereka,” katanya.

Kemudian, Butet mengambil suatu keputusan yang mengejutkan: ia mau tinggal di hutanbersama masyarakat Rimba untuk mengajar mereka membaca, menulis, dan berhitung.Tahun 2004 ia membuka Sokola Rimba.

Namun demikian, rencananya tidak berjalan mulus. Kehadirannya ditolak karena dianggap sebagai orang luar yang dapat membawa malapetaka. Selama tujuh bulan ia berkali-kali mengalami “diterima” dan “diusir.” Pengusiran itu terjadi, menurut dia, karena adanya kesalahan budaya yang dilakukannya dalam kaca mata orang Rimba.

“Pernah saya melihat anak bayi. Saya puji, aduh anak ini cakep sekali, sehat. Mereka langsung marah. Dalam pandangan mereka, kalau saya bilang cakep dan sehat, makaakan terjadi sebaliknya. Karena itu, saya diusir. Saya datang membawa sabun. Ternyata tidak boleh pakai sabun di sana,” kenang Butet, penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari tahun 2015 dari Pemerintah RI lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Meski terus ditolak, ia tidak pernah mau menyerah. Belajar dari “kesalahan budaya” itu, ia mulai berjuang untuk “merebut” hati orang Rimba. “Sampai suatu saat, ada satu kelompok kecil diam-diam datang ke saya, minta belajar angka-angka dan huruf. Murid pertama saya itu tiga orang. Kami pakai ranting dan menulis di tanah.Mereka sebenarnya dilarang orangtua mereka, karena sekolah itu tabu,” kata Butet.

Butet benar-benar mulai diterima ketika salah seorang muridnya bernama Penyuruk meminta Temenggung, pemimpin suku, agar tidak buru-buru memberi cap jempol untuk perjanjian dengan orang luar.

Dengan terbata-bata, Penyuruk membaca surat perjanjian tersebut dan semua yang hadir jadi paham, perjanjian itu bakal merugikan mereka. “Peristiwa itu membuat orang Rimba jadi sadar pentingnya baca tulis,” tutur “Bu Guru”, begitu anak-anak orang Rimba memanggilnya.

Selama sembilan tahun “Bu Guru” mengajar di sana. Butet mengatakan ia bisa diterima di tengah orang Rimba karena jalan budaya. Setiap suku, termasuk suku terasing,kata dia, memiliki kekhasan masing-masing dan itu harus dihormati. Butet menyebut itu sebagai relativisme kebudayaan. “Perlu landasan kebudayaan untuk membangun kebudayaan fisik,” katanya.

Setelah sukses dengan Sokola Rimba, Butet membuka sejumlah sekolah untuk suku terasing di Pulau Besar, Sikka, Flores, NTT, lalu suku Asmat (Papua), suku Kajang (Sulawesi Selatan), dan Makassar. Kisah perjalanan Butet telah pula difilmkan dengan judul “Sokola Rimba”.

BIODATA Nama : Saur Marlina Manurung (Butet Manurung) Tempat/TanggalLahir : Jakarta, 21 Februari 1972 Suami : Kevin James Milne Anak : Marley Rimbayu Manurung Milne

KARYA BUKU -The Jungle School (Sokola Rimba) (2012)

FILM - “Sokola Rimba” (2015)

PENGHARGAAN -Penghargaan Magsaysay (2014) -Kartini Indonesia Award (2005) -Heroes of Asia Award dari TIME Asia (2004) -The Man and Biosphere Award dari LIPI-UNESCO (2001)

SEMUEL LAUFA

PELESTARI BUDAYA DAERAH SEBAGAI PUNCAK BUDAYA NASIONAL

Semuel Laufa, kelahiran Atoita, Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Sem dikenal sebagai “kamus budaya” Alor. Ia mendokumentasikan pengetahuan budaya Alor ke dalam buku-buku yang ditulisnya. Sem juga menjadi tempat bertanya masyarakat, pemerintah, peneliti dari dalam dan luar negeri guna menggali pengetahuan budaya Alor. Pensiunan Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas PPO Alor ini juga membentuk kelompok budaya dan mewariskan pengetahuannya kepada kelompok-kelompok anak muda. Menurut Sem budaya penting untuk merawat daya cipta dan nilai luhur bangsa. Ia juga mendokumentasikan rumpun bahasa daerah Alor untuk menghindari dari ancaman kepunahan.

Sem menghayati budaya Alor sejak ia masih anak-anak. Di usia belum masuk sekolah, Sem sudah sering diajak ayahya (alm) Karel Falau menghadiri acara adat. Tugas Sem saat itu menenteng saima, wadah sirih pinang. Makan sirih pinang adalah bagian interaksi sosial di budaya Alor, sebagaimana budaya NTT lainnya. Rupanya menenteng saima bukan satu-satunya hal yang dihayati Sem. Di acara adat itu, Sem mengamati, memelajari budaya leluhurnya. Sem mulai belajar memainkan alat musik tradisional, sehinggadi usia SD ia sudah mampu melatih teman sebayanya meniup kani, sejenis suling kecil untuk nada melodi, dan menabuh gong.

“Kepekaan pendengaran saya pada bunyi gong, sudah terasah sejak saya belum sekolah,” kenang Sem. Bapak empat anak ini juga mengenang ibunya yang sering menyanyikan lagu-lagu daerah di kampung mereka, yang juga mendekatkannya pada seni.

Lulus dari SD, Sem melanjutkan pendidikan ke SMEA dan mengikuti program setahun Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Kemudian, pekerjaannya sebagai PNS di Bagian Kesenian, Kanwil Depdikbud NTT, di Kupang, selanjutnya menjadi Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas PPO Alor yang mempermudah jalan kecintaannya pada budaya Alor. Di masa dinasnya itu, Sem menyusun buku Mengenal Obyek Situs dan Benda Sejarah Purbakala Alor (2008) dan Moko Alor: Bentuk, Ragam Hias dan Nilai Berdasarkan Urutan (2009) yang kemudian menjadi rujukan di Museum Jakarta.

Moko, sebuah benda kuno mirip gendang yang terbuat dari perunggu telah menjadi ikon kebudayaan Alor. Bila kita mengunjungi Museum 1000 Moko di Pulau Alor, kita akan mendapatkan koleksi moko dari ukuran besar hingga kecil yang berasal dari negara-negara tetangga yang dibuat berabad lampau. Menurut Sem, moko masuk ke Alor antara abad 18 dan 19. Hal itu dimungkinkan karena di masa itu Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya menjadi bagian dari jalur pelayaran perdagangan internasional, yang menghubungkan Asia dengan kawasan Samudera Pasifik. Masyarakat Alor mengelompokkan moko menjadi dua jenis. Pertama, moko awal peninggalan zaman perundagian dari kebudayaan Dongson. Kedua, kelompok moko hasil pengrajin Gresik, Jawa Timur (awal abad 20) yang didatangkan Belanda guna memperkokoh posisinya di jajahan baru, Alor. Fungsi moko juga dibedakan menjadi dua, yaitu moko adat yang bersifat sakral dan mokobelis yang dapat dipertukarkan, digunakan sebagai mas kawin secara turun- temurun.

“Tidak ada orang Alor sejak leluhur hingga sekarang yang pernah menjadi pengrajin moko. Tapi moko telah menjadi status sosial, benda sakral hingga menjadi ikon Alor. Keberadaan moko sebagai belis atau mahar tidak tergantikan sampai sekarang,” tutur Sem.

Sem juga memberikan perhatian pada rumpun bahasa daerah di Alor. Bersama Dr. Anthonetha Sapar dari Universitas Leiden, Belanda, Sem menyusun Kamus Bahasa Daerah Kemang(2014) dan menjadi editor buku Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah Abui untukSekolahDasardan Madrasah Ibtidaiyah kelas IV (2013). Minatnya pada bahasa daerah berangkat dari keprihatinannya akan ancaman punahnya bahasa-bahasa tersebut. “Anak zaman sekarang bicara dengan suku yang sama saja menggunakan bahasa Indonesia. Karena, bapak mamanya ajarkan mereka bahasa Indonesia. Untuk itu perlu ada penulisan bahasa daerah sehingga bahasa daerah tetap ada. Dikhawatirkan 10 tahun ke depan bahasa daerah ini akan hilang,” tutur Sem.

Selain mendokumentasikan pengetahuan budaya Alor dalam buku-buku tersebut, Sem juga sering menjadi tempat bertanya masyarakat, pemerintah, dan para peneliti dari dalam dan luar negeri. Antara lain peneliti Emilia, asal Swedia yang melakukan penelitian antropologi budaya Alor (2013). Sem juga menjadi narasumber buku: Sistem Pemerintahan Tradisional Alor (Bidang Arkeologi, Sejarah dan Nilai Budaya NTT, 2005), Moko dalam Tatanan kehidupan Masyarakat Adat Alor, karya Made Purna (2013).

Sem sangat telaten membentuk kelompok yang merawat adat budaya Alor. Bersama pemangku adat di kampungnya, Sem membentuk Lembaga Perunggu Budaya, yaitu kelompok adat yang memungkinkan masyarakat dan generasi selanjutnya untuk melestarikan dan terlibat dalam upacara adat belanja moko. Juga menari Lego-lego, sebuah tarian massal rakyat yang dipentaskan pada berbagai syukuran atau saat masyarakat mendapatkan berkat yang lebih dari biasanya. Sem juga mewariskan pengetahuan dan kecintaannya terhadap budaya Alor dengan mempersiapkan generasi muda, termasuk salah satu putranya untuk membentuk kelompok seni. Antara lain kelompok suling melodi di Alor dan Kupang yang kini sering tampil mengiringi lagu di gereja-gereja. Kelompok binaanya juga sering tampil dalam acara-acara penting, antara lain menjemput Sultan Palembang pada Pertemuan Raja-raja Nusantara di Kupang; pementasan musik bambu dan perangkat gong untuk penyambutan kunjungan Mendikbud Fuad Hassan di Kupang (1998). Atas anugerah kebudayaan yang ia terima, Sem menyatakan “Berterima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena ini merupakan perwakilan dari negara Indonesia. Kami tidak pernah pergi ke Jakarta tapi berbahagia karena bawahannya mengunjungi kami di Timur. Kami bersyukur.”

BIODATA Nama : Semuel Laufa Lahir : Atoita, Desa Waisika, Alor, NTT, 27 April 1950 Isteri : Mehelin Bulan Anak : Mathias (31); Akurius (30); Fivilia (23); dan Karel (alm).

PENDIDIKAN SD Negeri Atoita (1967) SMEP Negeri Kalabahi, Alor (1970) SMEA Nasional Kalabahi (1973) PGSLP program setahun di Kupang (1974).

JABATAN TERAKHIR Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas PPO Alor.

KEGIATAN  Ketua Koordinator penulis cerita rakyat versi anak sekolah Kabupatan Alor (2015)  Narasumber penyusunan Kamus Rumpun Bahasa Daerah Kamang(2014)  Editor Bahasa dan Sastra Daerah Abui untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah kelas IV (2013)  Pendiri kelompok budaya Lembaga Perunggu Budaya

KARYA - Kamus Pengantar Bahasa Kamang-Indonesia-Inggris, yang disusun bersama-sama dengan Dr. Anthonetha Sapar dari Universitas Leiden Belanda (2014); (2) Moko dalam Tradisi Masyarakat Alor (Narasumber, 2014) - Bahasa dan Sastra Daerah Abui untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kelas IV (Editor, 2013) - “Moko Alor Nusa Tenggara Timur” dalam Lintas Historis (2012) - Sistem Pemerintahan Tradisional di Kabupaten Alor (2009), - Mengenal Obyek Situs dan Benda Sejarah Purbakala di Kabupaten Alor (Seri I) (2008)

ROMO VINCENTIUS KIRJITO, PR

MELESTARIKAN BUDAYA AIR HUJAN DENGAN PENELITIAN ILMIAH

Budaya menggunakan air hujan cukup banyak di Indonesia, seperti di Kalimantan, Papua, dan di Jawa, yaitu di sekitar Lereng Gunung Merapi dan Wonosari. Budaya menggunakan air hujan selama ini belum mendatangkan suatu bencana. Paling tidak, selama ini kita tidak mendengar orang yang menggunakan air hujan mengalami gangguan kesehatan. Budaya menggunakan air hujan itu umumnya dianggap rendah dan semakin diremehkan. Dari hal itu timbullah pertanyaan, seperti benarkah demikian? Apa memang harus ditinggalkan? Kalau diteruskan, bagaimana?

“Saya mengalami pengalaman yang sama di daerah Klaten, di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kemalang, Karangnongko, dan Jatinom. Sejauh pengamatan saya selama dua tahun sejak 2011 sampai 2012, masyarakatnya sehat. Timbul kecurigaan bagi saya, apakah salah satu faktornya penggunaan air hujan,” kata Romo Vincentius Kirjito, PR saat ditemui di Pusat Pastoral Sanjaya, Muntilan.

Kemudian Romo Kirjito berdiskusi dengan temannya, Agus Bimo, seorang seniman dari Klaten dan pecinta lingkungan. Agus Bimo juga sangat mengagumi air. Mereka berdua sama-sama menaruh perhatian terhadap masalah ini. Lantas mereka berkunjung ke sejumlah penduduk.

Dari data-data yang mereka peroleh, kesimpulannya bahwa orang-orangdi tiga kecamatan itu jarang kena stroke.Tubuh mereka kuat-kuat, sehat-sehat fisiknya. Dan ketika diajak berdiskusi atau berdialog “nyambung” dan mereka juga menemukan beberapa anak sekolah yang berprestasi dari daerah itu.

“Kami berdua bertekad untuk tidak membiarkan budaya mereka ini dipinggirkan. Tetapi bagaimana caranya? Tidak mungkin kami memakai kata agama yang mengatakan, “air itu suci,” atau“air itu sumber hidup.” Sudah terlalu biasa mengatakan itu. Kemudian, kami mempelajari bagaimana air sehat itu, baik menurut WHO maupun Kementerian Kesehatan,” kisah Romo Kirjito.

“Ternyata ada dua alat ukur yang sangat penting dalam dunia air, yaitu TDS (total dissolve solid, alat untuk mengukur kandungan mineral dalam air) dan alat untuk pengukur ph air, yaitu unsur basanya. Menurut kami berdua, masyarakat perlu diajak untuk meneliti air yang mereka minum dengan menggunakan kedua alat itu. Kami mencoba. Kemudian, kami mengambil satu dusun, yaitu Dusun Bunder, Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, sebagai pilot project. Kami mengadakan pertemuan dan mengukur air hujan yang ditampung di keluarga-keluarga sambil memproses ionisasi.Dengan bertambahnya pengetahuan mereka, kemudian mereka mencoba hasil-hasilnya bahwa TDS air hujan rendah, sedangkan unsur ph- nya tinggi. Hanya itu yang saya dan Pak Bimo lakukan. Itu bukan promosi, itu bukan iklan, tetapi mereka datang ke laboratorium untuk latihan. Kegiatan hanya itu,” ujarnya.

Romo Kirjito mengungkapkan, setelah masyarakat melakukan pengukuran sendiri air hujan yang mereka konsumsi dengan TDS dan alat pengukur ph, mereka mengambil kesimpulan sendiri: “mau pakai air hujan saja.” Itu keputusan mereka sendiri.

Budaya meneliti air hujan yang akan dikonsumsi muncul dalam kehidupan masyarakat pengguna air hujan. Putri, salah seorang pengguna air hujan di Muntilan, misalnya, menjadikan kegiatan meneliti air hujan secara ilmiah sebagai budayanya. Budaya menggunakan TDS dan ph itu juga tumbuh di keluarga Aleksius Ariskusnadi di Dusun Gemer, Desa Ngargomulio, Kecamatan Dukun, Magelang. Budaya mengukur dan meneliti itu telah tumbuh di tengah masyarakat Dusun Bunder, Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom.

Romo Kirjito dan Agus Bimo selalu menekankan kepada masyarakat di kedua lokasi di Lereng Merapi itu untuk selalu mengukur unsur mineral dan ph air hujan, serta melakukan ionisasi air hujan yang mau dipakai. Budaya menggunakan air hujan dengan penelitian ilmiah telah tumbuh di tengah masyarakat yang sederhana seperti itu. Menurut Romo Kirjito, “Masyarakat seperti itu jarang-jarang berperilaku demikian. Biasanya masyarakat kecil percaya saja. Bagus, ya, diminum.”

Bersama Agus Bimo, ia telah melestarikan budaya menggunakan air hujan, yaitu membentuk atau mengajak pelan-pelan masyarakat untuk meneliti air. Soal hasilnya, tergantung masing-masing. Dalam kaitan dengan itulah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI memberi Penghargaan Kebudayaan sebagai Pelestari kepada Romo Kirjito.

Menurut dia, penilaian bukan pada hasil sehat tidak sehatatas penggunaan air itu, tetapi air hujan diteliti kembali. Penelitian tersebut tidak perlu dipercayakan kepada universitas, BMKG, LIPI, atau pada perusahaan, tetapi kepada masyarakat itu sendiri.

“Melakukan penelitian terhadap air hujan yang mau dipakai adalah hak azasi tiap orang. Kalau hasilnya baik, dipakai. Kalau tidak baik tak usah dipakai. Tapi rata-rata yang sudah melakukan penelitian, sudah tidak mau menggunakan air tanah lagi,” kata Romo Kirjito.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir: Dusun Boro Gunung, Kulon Progo, Yogyakarta, 18 November 1953

PENGHARGAAN -Ma’arif Award (2010)

YAHYA ANDI SAPUTRA MELESTARIKAN KEBUDAYAAN BETAWI DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISME

Di tengah serbuan globalisasi yang luar biasa, Yahya Andi Saputra berjuang melestarikan kebudayaan Betawi dengan melakukan berbagai penelitian dan kemudian menuliskannya dalam sejumlah buku serta aktif dalam kegiatan sastra lisan. Kegiatan yang dipilih Yahya adalah jalan “sunyi.” Apa yang jadi perhatiannya jelas bukan “trending topic.” Kegiatan itu pun tidak begitu menjanjikan secara ekonomis. Bahkan untuk itu, ia tidak jarang merogoh sakunya dalam-dalam untuk membiayai kegiatan.

Yahya justru merasa harus berpacu dengan waktu untuk mencatat berbagai tradisi Betawi, mulai dari soal kuliner, kesenian, sampai berbagai ritual budaya yang terancam punah oleh gelombang globalisme yang menyerbu kota megapolitan Jakarta. Apalagi tidak banyak orang yang berminat menggeluti bidang ini. Rekan-rekan seangkatannya yang masih bertahan di bidang ini bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

“Saya mencintai budaya saya, khususnya kesenian dan kebudayaan Betawi pada umumnya. Saya tumbuh bersama itu. Sejak masih duduk di SD saya mengikuti pertunjukan rombongan kesenian tradisional, seperti lenong. Dan, hal itu membuat saya dari hari ke hari makin menyadari bahwa saya memiliki sesuatu yang khas. Saya terpanggil untuk mengenalnya lebih dalam dan memperkenalkannya kepada orang lain. Saya mempunyai niat untuk melakukan itu,” kata mantan wartawan di sejumlah media ini.

Dengan semangat yang bernyala-nyala, Yahya aktif mencatat tradisi Betawi yang masih bertahan sampai sekarang dan menggali dari ingatan para narasumber yang umumnya sudah sepuh. Dari ibunya yang sudah sepuh, ia mempelajari bagaimana memelihara obat-obat Betawi, teknik urut orang yang hamil tujuh bulan, anak yang tidak bisa jalan, dan bagaimana nyapi anak yang sudah berumur tiga tahun, dan kebiasaan menanam daun sirih, daun teleng, daun kelor, jambu, dan belimbing di sekitar halaman rumah.

“Itu bukan semata-mata ditanam oleh nenek moyang, tetapi memiliki makna sosial yang luar biasa. Ketika anak bengek, anak cukup diberi daun sirih. Kalau lagi kerja bakti, buah-buah yang kita tanam, seperti belimbing dan jambu bisa dipetik untuk orang-orang kerja bakti,” kata Yahya yang telah menulis banyak buku tentang budaya Betawi.

Demi pelestarian itu, tidak jarang Yahya harus bepergian jauh. Ia meneliti budaya Betawi di Depok, Bogor, dan komunitas Betawi lainnya, meskipun daerah-daerah tersebut sudah secara administratif tidak masuk Jakarta, namun secara kultural masih sebagai budaya Betawi. Bahkan ia pergi jauh sampai ke Pakis Jaya, di Kerawang, Jawa Barat, karena di sana terdapat kampung Melayu yang budayanya masih sama dengan budaya Betawi di Jakarta.

Kegiatan yang juga ia geluti adalah mengembangkan seni tutur Shohibul Hikayat, salah satu bentuk sastra lisan. Ia pernah mempunyai pengalaman buruk ketika harus bercerita di depan anak-anak di sebuah sekolah internasional di mana anak-anak biasa dicampur dengan anak-anak autis. Ia harus kerja keras untuk membangkitkan imajinasi anak-anak tersebut lewat kata-kata. Namun, pengalaman itu justru membuat Yahya semakin meningkatkan keterampilan bertuturnya. Saat ini ia menjabat Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta.

Berbagai hal yang telah dilakukan Yahya Andi Saputra itu berkaitan dengan upayanya melestarikan kebudayaan Betawi, pada 2015 ini Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Penghargaan Kebudayaan untuk Kategori Pelestari kepadanya. Ia mengaku terkejut dengan penghargaan itu. “Saya berterima kasih kepada Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya merasa belum melakukan apa-apa. Penghargaan ini bisa menjadi pelecut atau cambuk buat saya untuk lebih membuka hati, lebih bergairah memelihara milik kita,” katanya tentang penghargaan tersebut.

Mengenai globalisasi yang menyerbu Jakarta, dengan tegas ia mengatakan, “Saya nggak khawatir dengan datang menggebu-gebu seperti budaya popular, tetapi lebih pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kebudayaan. Sejak 2011, kami mengupayakan adanya Perda untuk pelestarian Budaya Betawi. Namun hal itu belum menjadi fokus utama dalam sidang-sidang DPRD. Dalam struktur (Pemda DKI) belum ada bidang khusus budaya Betawi.”

Yahya yang aktif dalam berbagai organisasi, seperti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) selalu optimistis dengan kehidupan budaya Betawi karena ia berpandangan bahwa kebudayaan memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri meski orang tidak mempedulikan.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Desember 1961 Istri : Suli Setiawati Anak : Sausan Yusria

PEKERJAAN - Peneliti kebudayaan Betawi - Seniman tradisi lisan Betawi - Pelestari sastra lisan Sohibul Hikayat

KARYA BUKU - Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Demi Anak Cucu (2014) - Warisan Kuliner Betawi (2012) - Folklore Permainan Anak (2011) - Profil Seni Budaya Betawi (2009) - Upacara Daur Hidup Adat Betawi (2008)

PENGHARGAAN - Penghargaan Kebudayaan sebagai Peneliti Kebudayaan Betawi (2012) - Penghargaan Walikota Jakarta Selatan sebagai Penulis Sejarah Betawi dan Jakarta (2009) - Penerima Betawi Award (2007)

KATEGORI ANAK DAN REMAJA

Adalah penghargaan kebudayaan yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada seorang anak dan remaja di bidang kebudayaan Indonesia.

Pelaku kebudayaan menekuni bidang budaya tertentu dan secara langsung atau tidak langsung memotivasi orang lain untuk aktif dalam budaya tertentu.

BATHARA SAVERIGADI DEWANDORO

MAU MEMBAWA SENI TARI NUSANTARA KE PANGGUNG DUNIA

Senja itu beberapa orang anak muda sedang tekun berlatih menari di Sanggar Swargaloka, Cilangkap, Jakarta Timur. Dengan penuh disiplin mereka menyempurnakan gerak tari Kuda Lumping. Mereka dipimpin oleh seorang anak muda yang masih berusia 18 tahun bernama Bathara Saverigadi Dewandoro.

Ara, begitu ia biasa disapa, adalah seorang penari. Seperti kata pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohon,” demikian pula dengan Ara. Ayahnya, Suryandoro yang berasal dari Yogyakarta, adalah jebolan Jurusan Seni Tari dari ISI Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Dewi Lestari, lulusan ISI Yogyakarta, selain dikenal sebagai penari Istana Negara juga seorang koreografer. Ara memperlihatkan talenta menari yang luar biasa dan telah membawanya menari di India bersama ibunya saat ia masih duduk di kelas 5 SD pada tahun 2008 atas prakarsa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Sejak kecil saya sudah suka menari, mengamati bapak dan ibu menari,” kata anak ketiga dari pasangan seniman tari itu tentang bakatnya. Selain dia, adiknya Bhatari Putri Surya Dewi juga gemar menari. Sedangkan kedua kakaknya bergerak di bidang musik.

Senja itu Ara sedang melatih rekan-rekanya membawakan tari kreasinya, yaitu “Janturan Indang Jaran.” Ia mendapat inspirasi dari permainan kuda lumping dan tarian ini bakal ditampilkannya di Changshu, Tiongkok, pada September 2015. “Kami berlatih seminggu tiga kali. Dan setiap latihan bisa berlangsung 4 sampai 5 jam,” tutur Ara di tengah latihan itu.

Dalam latihannya, Ara tidak saja melatih olah gerak, pengaturan napas, tetapi juga mengajak peserta tarinya untuk melakukan meditasi. “Biasanya kami bermeditasi diiringi dengan musik yang akan dipakai untuk mengiringi tari. Dengan begitu, para penari bisa meresapi dan menghayati tari yang akan dipentaskannya,” tuturnya.

Remaja ini sangat inspiratif. Apa saja yang ada di sekitarnya bisa menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan kreasi baru seni tari. Gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta tahun 2006 telah pula memberinya inspirasi menciptakan tari “Lindu,” saat melihat pemandangan petani dan sawah, ia menciptakan “Laskar Tani”.

Salah satu karya yang membesarkan namanya adalah “Gama Gandrung” (Perjalanan Gandrung), sebuah tari yang mengisahkan perjalanan tari gandrung di Banyuwangi, Jawa Timur. Ara menggarapnya sebagai tari kontemporer yang disesuaikan dengan selera anak muda sekarang. Banyak pujian diterimanya untuk kreasinya itu, termasuk dari Mari Elka Pangestu (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). “Gama Gandrung” dipentaskannya di Gedung Kesenian Jakarta pada 11 Juni 2014. Pergelaran itu pulalah yang mendorong MURI memberinya gelar sebagai koreografer kelas dunia termuda berbasis seni tari tradisi.

Prestasi yang mengagumkan dari Ara telah mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberinya Penghargaan Kebudayaan untuk kategori Anak dan Remaja pada 2015. “Saya sangat bangga dengan penghargaan ini. Penghargaan ini makin melecut saya untuk menciptakan kreasi tari baru di masa datang. Saya tertantang untuk membawa seni tari Nusantara ke panggung dunia,” tekadnya.

Ara adalah satu fenomena menarik. Seorang remaja yang tumbuh di kota metropolitan Jakarta seperti dia justru tertarik untuk menggarap tari tradisi yang ada di Nusantara ini menjadi tari kontemporer. “Saya tertarik dengan seni tari tradisi, namun saya kemudian mengolahnya menjadi tari baru yang sesuai dengan selera yang berkembang saat ini,” katanya.

Lulusan SMA Angkasa 2, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, ini akan mengikuti kuliah di STIKOM The London School of Public Relations. Kenapa bukan mengikuti jejak orangtuanya kuliah di ISI? “Untuk belajar tari, saya akan berguru langsung pada pakarnya. Tari apa saja. Yang saya pikir selama ini, tari kita kurang sekali dikomunikasikan kepada publik dengan baik. Saya percaya, dengan komunikasi yang baik, saya bisa mengangkat tari tradisi ke panggung dunia. Salah satu faktor penting untuk itu adalah bagaimana mempromosikannya. Di sinilah peran penting ilmu komunikasi atau public relation yang hendak saya pelajari,” ujar Ara penuh parcaya diri.

Keputusannya itu sesuai dengan motto hidupnya: “Berani melangkah dengan pikiran, hati dan tindakan. Ribuan langkah lebih maju untuk menikmati masa tua sebelum tua”.

BIODATA Nama : BHATARA SAVERIGADI DEWANTORO Tempat/Tanggal Lahir : Bantul (Yogyakarta), 7 Februari 1997 Ayah : Suryandoro Ibu : Dewi Sulastri

PEKERJAAN -Penari dan penata tari -Pelatih tari diklat Seni Swargaloka

KARYA TARI CIPTAAN - “Abhirontak” (2015) - “Gama Gandrung” (2014) - “Salam Damai dari Papua” (2014) - “Lindu” (2013) - “Laskar Tani” (2012) - “Tekad” (2012)

PENGHARGAAN -Rekor MURI sebagai Koreografer Kelas Dunia Termuda Berbasis Seni Tari Tradisi (2014) -Juara I Lomba Tari Kreasi Kelompok Nasional di UI, Depok (2013) -Juara I Lomba Tari Kreasi se-Jabodetabek – Festival Selaras Pinang (2012) -Juara I Lomba Tari Kreasi Pesta Seni Pelajar Tingkat DKI (2011) -Juara 2 Lomba Tari Jawa Tengah se-Jabodetabek untuk tari “Buru Kijang” (2005)

ELANSYAH PUTRA MERDEKA

MELUKIS MEMBERI DAMAI JIWA

Elansyah Putra Merdeka mengikuti perlombaan melukis sejak kelas 3 SD. Pada usianya yang ke-17, Elan telah memenangkan 28 perlombaan di tingkat Kota Palu hingga nasional. Penghargaan yang diraihnya, antara lain memenangkan juara I lomba lukis tingkat provinsi pada Pekan Budaya Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, juara 1 tingkat nasional pada lomba lukis bertema “Keren Tanpa Narkoba” diselenggarakan Yayasan Seni Rupa Indsonesia. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai provinsi di Indonesia. Melukis bagi Elan bukan saja untuk meraih penghargaan, tetapi juga baginya melukis merupakan kesenangan yang memberi damai pada jiwa.

Elansyah Putra Merdeka, lahir di Palu pada 5 Maret 1998. Anak pertama dari pelukis Endeng Mursalin dan guru TK, Haryanti, ini tertarik pada dunia lukis sejak kanak-kanak. Saat itu ia sering mengamati ayahnya melukis. Atas dukungan kuat dari ibunya, Elan mulai mengikuti lomba melukis sejak berumur 9 tahun. Lomba lukis pertama yang ia ikuti adalah lomba menggambar BNS di Kota Palu dan ia memenangkan juara III (2007). Pengalaman pertamanya itu memicu Elan untuk terus berkarier. Di tahun yang sama tak kurang dari 8 kejuaran yang ia raih, dengan prestasi juara II dan III.

Pada tahun 2013 Elan mulai memenangkan kejuaran di tingkat provinsi dan selanjutnya di tingkat nasional. Elan juga mendapatkan penghargaan spesial dari satu perlombaan melukis di Semarang, Jawa Tengah. Dari 28 perlombaan dan kejuaran yang ia raih, ada satu perlombaan yang paling berkesan bagi Elan,yaitu saat ia mengikuti perlombaan tingkat nasional bertema “Keren tanpa Narkoba” yang diselenggarakan Yayasan Seni Rupa Indonesia di Jakarta. Pada perlombaan itu untuk pertama kalinya, Elan pergi meninggalkan Palu, Sulawesi Selatan, seorang diri.

“Saya pergi ke Jakarta sendiri, seperti merantau,” kenang Elan. Di Jakarta ia berjumpa banyak teman sesama pelukis dan banyak mendapat pengetahuan baru. Tetapi yang mengejutkan Elan dan orang tuanya, pada perjalanan “merantau” pertama kali itu Elan memperoleh kemenangan sebagai Juara I.

Selain mengikuti berbagai perlombaan, Elan juga melakukan beberapa pameran. Lukisannya telah dipamerkan di Palu, Donggala, Poso, Morowali, Ampana, Bangkep, , Semarang, dan Jakarta. Pameran terakhirnya bertema “Lintas Generasi” diselenggarakan di Palu Golden Hotel, Kota Palu.

Perjalanan karier Elan, tak lepas dari dukungan keluarganya. Elan bersama kedua adiknya, yang juga banyak meraih kejuaran melukis, tinggal di rumah yang menyerupai galeri seni. Orang tua mereka mendesain rumah sedemikian rupa sehingga membangun suasana yang mendukung anak- anaknya kreatif dan menghasilkan karya. Dinding rumah mereka dipenuhi lukisan Elan, adik-adiknya, dan tentu saja lukisan ayahnya. Kanvas, kuas, dan aroma pewarna menjadi bagian suasana rumah mereka. Ibunya Elan juga senantiasa menemani Elan dan adik-adiknya dalam berbagai perlombaan. Sementara ayah mereka memperkenalkan Elan pada pelukis lain dan berbagai sumber pengetahuan yang mendukung.

Untuk melahirkan karya-karyanya, Elan sering melakukan perjalanan yang berkaitan dengan budaya dan adat. Kemudian ia memotret momen-momen yang menarik perhatiannya dan menuangkannya ke dalam lukisan. “Ini lukisan perempuan yang saya lihat di acara adat di Kalimantan,” kata Elan mencontohkan sambil menceritakan ia tertarik menjadikan perempuan itu sebagai objek, karena penampilan adatnya, antara lain telinganya yang panjang dibebani giwang yang berat. Terkait kekhasan karya, Elen mengaku masih mencari bentuk, walaupun saat ini ia lebih suka melukis potret. Ia masih ingin mengembangkan dan terus mencari kekhasannya sebagai pelukis. Tantangan teknis yang sering ia hadapi dalam proses melukis adalah ketika ia merasa lukisannya kurang sesuai dengan kenyataan objek lukisannya. Ia mengatasinya dengan cara beristirahat atau sholat untuk memulihkan energi dan passion-nya.

Dalam pengembangan karyanya, Elan ingin menghasilkan lukisan-lukisan realis dalam ukuran yang besar dan dapat melakukan pameran karyanya hingga ke luar negeri. Elan juga berharap pemerintah dan masyarakat lebih mendukung tumbuhnya para pelukis dan apreasiasi pada karya lukis. “Saya ingin di Kota Palu ini ada galeri-galeri seperti di Jakarta. Supaya karya-karya itu ada tempatnya, tidak terbuang sia-sia. Orang juga bisa melihat kalau di Palu itu ada juga tempat untuk melihat lukisan,” kata Elen.

Kecintaannya pada seni lukis itu tak lepas dari makna melukis bagi Elan. “Melukis itu membuat damai. Kalau saya bosan, saya melukis. Dan ternyata hasilnya bagus,” kata Elen. Ya melukis itu oase bagi Elan, semoga juga oase bagi kebudayaan bangsa kita. Karena itu ia juga berpesan kepada sesama remaja, “Kalau memang ada yang bisa melukis, terus lakukan itu. Karena kalau kita ikuti pasti ada selanjutnya. Ke depan masih banyak jalan, pokoknya jangan menyerah,” tutur Elan.

Terkait penghargaan yang ia terima, Elan menanggapi: “Saya merasa bangga mendapat anugerah kebudayaan kategori remaja dan anak dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan saya berharap di Palu ada sekolah seni seperti ISI di Jogja dan IKJ di Jakarta, supaya saya dan teman-teman tidak jauh-jauh harus sekolah ke Jawa.”

BIO DATA Nama : Elansyah Putra Merdeka Tempat dan tanggal lahir : Palu, 5 Maret 1998 Nama Ayah : Endeng Mursalin Nama Ibu : Haryanti Pendidikan terakhir : Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako (Semester I)

PENGHARGAAN: Juara I tingkat nasional bertema “Keren tanpa Narkoba” diselenggarakan Yayasan Seni Rupa Indonesia di Jakarta (2013) Juara I lomba lukis tingkat Provinsi pada Pekan Budaya Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (2013) Juara II lomba lukis tingkat Provinsi pada Pekan Budaya Kabupaten Bangkep, Sulawesi Tengah (2012) Juara III lomba lukis tingkat Provinsi pada Pekan Budaya Kabupaten Ampana, Sulawesi Tengah (2012) Juara I lomba menggambar “Keindahan Dunia Anak” (2008)

PAMERAN LUKISAN Pamerkan lukisan di Palu, Donggala, Poso, Morowali, Ampana, Bangkep, Balikpapan, Semarang dan Jakarta. Pameran terakhirnya bertema “Lintas Generasi” diselenggarakan di Palu Golden Hotel, Kota Palu.

PUTRI YUMNA SALSABILA UPHADANA

MELUKIS INDONESIA UNTUK DUNIA

Putri Yumna Salsabila Uphadana mengawali karir melukis melalui perlombaan tingkat internasional di Hongaria, saat ia berusia lima tahun. Lomba pertama yang menghasilkan penghargaan medali perak itu, menjadi tonggak semangatnya untuk terus berkarya. Kini dalam usianya yang ke-13 Yumna telah meraih lima penghargaan di tingkat internasional, dua penghargaan nasional, dan 18 penghargaan dalam berbagai lomba di tempat asalnya, Gresik. Yumna bertekad akan terus melukiskan hingga ia mampu melakukan pameran di tingkat internasional. Karena, bagi Yumna melukis adalah cara dia memperkenalkan keanekaragaman suku dan budaya Indonesia ke panggung dunia.

Yumna akrab dengan lukisan sejak balita. Yumna lahir dari seorang ibu bernama Ratna Damayanti, seorang pengajar dan pengelola play group.Ayahnya, Komang Jaya Uphadana, seorang pelukis, pendongeng, dan pendidik. Komang mengenang masa balita Yumna yang sering menemani dan memperhatikannya melukis di kediaman mereka. Tak jarang Yumna memainkan alat-alat melukisnya. Hingga ia memberikan spidol dan kertas kepada Yumna untuk menggambar. Pada umur dua tahun Yumna pernah membuat coretan berupa empat lingkaran. Saat Komang menanyakan apa artinya. Yumna menceritakan bulatan pertama adalah Umi, bulatan kedua Bapak, bulatan ketiga dirinya, dan bulatan keempat kucing yang tinggal di rumah mereka. Sejak itu Komang menyadari potensi Yumna dalam merekam lingkungannya dan menvisualkan dengan caranya sendiri.

“Ini lukisan kanvas pertamaku saat berumur dua tahun judulnya Buto Ijo,” tutur Yumna sambil menunjukan lukisannya. Lukisan kanvas pertamanya terinspirasi dari cerita Buto Ijo yang sering didongengkan ayahnya saat ia balita.

Ratna dan Komang terus merawat dan memberikan dukungan pada potensi yang dimiliki Yumna. Mereka menyediakan krayon, spidol, dan kertas untuk merangsang Yumna menggambar. Yumna juga mereka ajak jalan ke tempat terbuka untuk mendapatkan inspirasi melukis.

“Aku punya banyak lukisan karena banyak pengalaman. Bapak dan Umi sering ajak aku ke pantai, pelabuhan, dan gunung. Di tempat itu aku bersemangat melukis. Apalagi Bapak dan Umi selalu membawa cat dan kanvas saat kami jalan,” tutur Yumna.

Komang banyak mengajari Yumna berbagai teknik baru dalam melukis. Sedangkan dukungan dari ibu dan adik-adiknya, bagi Yumna merupakan penggerak untuk terus berkarya yang terbaik. Adik-adiknya juga mengikuti jejaknya. Ayah dan ibu mengajak Yumna untuk menghadiri pameran- pameran lukisan dan mempertemukannya dengan para pelukis yang berpameran untuk memperkaya pengetahuannya. “Dukungan yang penting juga menjaga mood dan membangun antusiasme Yumna dalam melukis,” tutur Ratna. Komang menambahkan penting juga menjaga feel happy-nya. Apapun lukisannya akan selalu bagus kalau Yumna dapat melakukannya dengan rasa gembira.

Ketika Yumna sudah menghasilkan banyak lukisan, ayahnya menyarankan Yumna untuk mengikuti perlombaan. Pada umur lima tahun Yumna memulai karirnya dengan mengikuti perlombaan Rainbow Internasional Applied and Fine Art di Hongaria.Saat itu, Yumna mendapatkan penghargaan medali perak. Pengalaman pertamanya membuat Yumna bersemangat untuk terus berkarya dan mengikuti berbagai perlombaan.

“Dengan ikut perlombaan aku lebih percaya diri dan bangga karena dapat memberikan lukisanku pada banyak orang. Harapanku memang aku ingin lukisanku dilihat orang di seluruh dunia,” tutur Yumna.

Perlombaan yang membuatnya paling berkesan adalah perlombaan bertema “Children Helping Children” yang diselenggarakan di tingkat nasional oleh Tupperware. Pada perlombaan itu, Yumna melukis ibu yang hamil dan terdapat visual dunia di perutnya. “Waktu itu ibu sedang hamil adikku. Aku ingin menggambar ibu dan adikku. Karena aku tahu ibu sangat menyayangi anak yang di kandungnya. Dan aku tahu adikku generasi selanjutnya yang akan menjaga bumi tetap sejuk dan utuh,” tutur Yumna.

Rupanya selain mencintai suku dan budaya Indonesia, Yumna juga penyayang bumi. Lukisan sayang bumi selanjutnya ia visualkan dalam lukisan anak memeluk bumi untuk menghalangi terjadinya pemanasan global. Lukisan ini memenangkan penghargaan di London pada perlombaan bertema “Global Warming.”

Dalam perjalanan karir melukisnya, Yumna tak lepas dari tantangan. “Aku paling benci kalau salah gores saat melukis. Tetapi dari salah gores itu aku bisa menciptakan bentuk yang baru,” tutur Yumna.

Menurut Ratna, tantangan yang dihadapai Yumna sebagaimana anak-anak saat ini, terlalu padatnya proses belajar di sekolah berikut berbagai les yang harus anak-anak ikuti. Oleh karena itu, sebagai orang tua, Ratna harus mencarikan waktu luang agar Yumna tenang dalam berkarya. Padahal menurut Komang, seni itu penting buat anak. Apalagi saat ini anak menghadapi dunia global, mereka harus punya satu poin yang diterima semua manusia dalam menghasilkan karya.

“Sekaligus mendekatkan anak pada budaya Indonesia, meskipun jarak antarpulau berjauhan. Kita harus kenalkan budaya Indonesia pada anak, agar ia dekat dengan budayanya,” tambah Ratna.

Selain rajin mengikuti berbagai perlombaan Yumna juga mulai memamerkan karya-karyanya. Pameran pertamanya bertajuk “TigaGenerasi” ia lakukan bersama ayah dan kakeknya yang juga pelukis. Menurut Komang pameran tiga generasi ini penting untuk mengestafetkan hal-hal yang berguna, seperti adat budaya ketimuran yang multikultural. Bahkan mengeskspornya ke luar negeri. Bagi Yumna pameran itu kegiatan yang menyenangkan. Karena ia bisa menunjukkan karyanya pada semua orang.

“Ternyata banyak yang menyukai lukisan aku kemudian memajang di rumahnya. Aku senang, karena karyaku berhak dinikmati orang lain,” ujarnya bersemangat.

Selain melukis, Yumna juga menyukai musik dan teater. Ia bersama timnya di sekolah telah memenangkan berbagai kejuaran dalam main drum dan teater. Dan bagi Yumna, semua prestasinya itu baru permulaan.

“Aku masih ingin berkarya terus, karena aku ingin sekolah di luar negeri dan punya cita-cita pameran di luar negeri. Agar orang sedunia bisa melihat lukisan Indonesia. Aku ingin melukis budaya dan suku yang banyak sekali di Indonesia.”

Yumna mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung dan mengapresiasi karyanya. “Terima kasih Umi sama Bapak atas dukungan sehingga aku dapat penghargaan. Juga terima kasih adik-adik dan teman- teman yang membuatku ceria dan semangat. Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena telah mempercayai saya untuk mendapatkan penghargaan anugerah kebudayaan untuk kategori anak dan remaja."

BIO DATA Nama : Putri Yumna Salsabila Uphadana Tempat/tanggal lahir : Gresik, 18 Nopember 2002 Pendidikan terakhir : Kelas 1, SMPN I Gersik

PAMERAN LUKISAN TUNGGAL  “1st Anniversary Kumpul Balita Matahari,” di Hotel Sapta Nawa Gresik pada 26 November 2006  “Corat Coret Yumna Kecil,” di Sanggar Lukis Uphadana Young Artist Gresik pada 10 Desember 2006  “Karyaku Merdeka,” di PT Smelting Gresik pada 17 Agustus 2007  “Warna Ceria Yumna,” di TKIT Al Ibrah pada 20 Desember 2008  “Open School SDIT Al Ibrah,” di SDIT Al Ibrah pada 4 Jnauari 2009  “Pameran Tunggal Pelukis dari Gresik” di Museum dan Gallery Pak Ketut Jember pada 16-18 November 2009

PAMERAN BERSAMA  “Pasar Seni Lukis I” di Gedung Dewan Kesenian Surabaya pada 2 – 12 Mei 2008  “Pasar Seni Lukis II” di Gedung Dewan Kesenian Surabaya pada 5 April 2009  “Pasar Seni Lukis III” di Gedung Dewan Kesenian Surabaya pada 7 – 17 Mei 2009  “Pasar Seni Lukis IV” di Gedung & Pelataran Balai Pemuda Surabaya 6 – 16 Mei 2009  “Pasar Seni Lukis VI” di Gedung Jatim Expo Surabaya pada 3 – 13 Mei 2009

PENGHARGAAN:  Silver Diploma pada “Rainbow 2008” Internasional Applied and Fine Art Competition dari Gyermekalkotasok Galeriaja, Hongaria  Highly commende entrant in the October 2008 international children’s art competition on the theme of ‘Global warming’ in the Junior age category dari Laurence Heywarth Publisher – Look and Learn, London  Highly commende entrant in the September 2008 international children’s art competition on the theme of ‘Elephant on a bicycle’ in the Junior age category dari Laurence Heywarth Publisher – Look and Learn, London  Highly commende entrant in the January 2009 international children’s art competition on the theme of ‘Potrait of Barack Obama’ in the Junior (0-7) age category dari Laurence Heywarth Publisher – Look and Learn, London  Highly commende entrant in the June 2012 international children’s art competition on the theme of ‘Clown’ in the Middle (8-11) age age category dari Laurence Heywarth Publisher – Look and Learn, London  Juara I Tingkat SD Lomba Menggambar Children Helping Children 2012 dari Tupperware Indonesia.  Juara II Lomba Melukis di atas Kipas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik

SHERINA SALSABILA

JADIKAN BACA TULIS BUDAYA ANAK INDONESIA

Sherina Salsabila, di tahun ke-5 berkarya, telah melahirkan 16 novel dan mendapat lima penghargaan untuk kejuaraan tingkat nasional. Remaja berumur 15 tahun ini bertekad akan terus menulis hingga akhir hayat. Menulis baginya adalah kesenangan sekaligus kemerdekaan berpikir, “Saat menulis aku dapat menyampaikan pikiran dan krtitik. Aku merasa kuat dan senang. Aku menjadikan menulis sebagai kebiasaan,” tegasnya.

Bermula dari kesukaan Sherina pada cerita kancil dan buaya, sebuah kisah yang sering didongengkan ibundanya menjelang tidur, yang kemudian membangun imajinasi Sherina tumbuh dengan baik. Ketika umur satu tahun ia sudah senang mengamati lingkungan, menonton televisi, dan bergaya membaca buku sambil menceritakan amatannya, sehingga teman-teman ibunya mengira Sherina sudah bisa membaca. Sejak balita, ibundanya memang sudah memperkenalkan Sherina pada buku.

Sherina mulai menulis diary dan cerita pendek pada umur 8 tahun. Pada umur 10 tahun, Sherina mulai mengikuti lomba cerpen. Cerpen yang dilombakannya bertema menolong sesama teman dari buta huruf sampai dapat membaca. Cerpennya itu, kemudian diterbitkan oleh Airlangga for Kid. Setelah itu, Sherina rajin mengikuti lomba dan mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat kota, provinsi, dan nasional. Bersamaan dengan penghargaan yang diraihnya, karya-karya Sherina juga semakin menarik minat berbagai penerbit. Prestasinya itu mendorong Sherina untuk memperluas jenis karyanya. Sherina kemudian menulis novel. Hingga saat ini Sherina telah menyelesaikan 18 novel, yaitu 16 novel telah terbit dan 2 novel sedang dalam proses penerbitan. Sherina juga menjadi tim penulis untuk komik “Serial Raffa” yang terbit di harian Sinar Harapan sejak 2014 hingga sekarang.

Pertumbuhan prestasi Sherina itu mendapatkan rawatan dan dukungan dari orang tua dan kedua adiknya. Menurut Sherina ayah ibunya selalu membelikan buku-buku bacaan yang ia perlukan. Lebih dari itu, keluarganya adalah tim konsultan yang hebat bagi pertumbuhan kepenulisannya. Ibunya telaten untuk membaca draf tulisan Sherina dan memberikan masukan dari aspek kebahasaan. Utamanya logika bahasa dan nalar yang sesuai bagi anak- anak sesuai dengan target pangsa pasar buku-buku Sherina. Kesulitan itu, wajar Sherina hadapi, karena kini ia sudah mulai memasuki alam pikir remaja. Sedangkan adik-adiknyanya memberi masukan terutama pada karakter tokoh-tokoh yang Sherina tulis. Sherina sangat senang dengan masukan dari adik-adiknya.Karena, adik-adiknya masih dalam usia anak- anak, sehingga dari masukan mereka itu, ia dapat menilai secara akurat pangsa pembacanya. Sherina juga meminta masukan dari ayahnya, biasanya terkait alur cerita.

Sherina mendapatkan inspirasi cerita dari pengalamannya sehari-hari, dari hal-hal yang terdekat dengan hidupnya. Menurutnya tema keluarga, persahabatan, dan sosial tema yang paling mudah dikenali. Selain itu, ia juga berharap dapat memengaruhi lingkungan terdekat pembaca dari tema- tema yang ia angkat. Salah satu bukunya yang mengangkat toleransi hidup beragama terinspirasi dari lingkungan perumahan tempat neneknya tinggal. Di lingkungan itu, Sherina bertemu teman bermain yang berbeda suku dan agama. “Kita miris kalau orang Indonesia cuma satu agama, satu suku. Perbedaan itu jadi unik. Karena itu, aku ngajak pembaca bertoleransi,” tutur Sherina.

Menurut Sherina mengangkat tema toleransi itu penting, karena anak-anak Indonesia penting mengerti toleransi karena manusia makhluk sosial. Sherina juga rajin menulis tentang keanekaragaman budaya dan alam Indonesia, “Aku ingin membuktikan kalau di negeri sendiri itu –Indonesia—lebih keren daripada di tempat lain,” kata Sherina optimis.

Sherina juga dapat menulis di tempat dan situasi apapun. Ia menulis di malam hari di rumahnya atau di saat rehat sekolah, sambil mengamati teman-temannya yang bermain sebagai sumber inspirasi. Menulis sudah menjadi kebutuhan sekaligus kesenangan. “Aku pusing tidak bisa tidur, kalau dalam satu hari belum menulis,” kata Sherina. Tantangan utama yang Sherina hadapi saat ini menyesuaikan bahasanya yang remaja ke bahasa anak-anak yang menjadi sasaran pembacanya. Beruntunglah ibu dan adiknya banyak membantu mengatasi kebahasaan itu.

Kecintaan Sherina menulis ini juga digerakan oleh kecintaannya pada anak- anak Indonesia. “Aku ingin anak Indonesia menjadikan baca tulis sebagai budaya. Aku ingin anak Indonesia berbagi harapan melalui tulisan. Bahkan anak Indonesi banyak sekali bakatnya, selain menulis, ada yang menari, menyanyi dan lain-lain. Aku ingin apa yang mereka mampu, ditularkan ke anak-anak yang lain.” Selanjutnya Sherina ingin menulis tentang negeri Indonesia, tentang situasi sosial, pemerintah dan alamnya. “Aku ingin anak Indonesia kembali cinta dan bangga dengan negerinya melalui buku-buku yang kutulis,” kata Sherina. Ia juga berharap anak-anak dan remaja lebih peka dengan keadaan di sekelilingnya, globalisasi yang membuat batas dunia menyempit tapi pandangan anak-anak dan remaja bisa semakin luas.“Budaya Indonesia tidak akan hilang kalau generasi muda tetap bangga, cinta dengan budaya,” kata Sherina penuh harap.

Komentar Sherina atas penghargaan kebudayaan kategori anak dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai berikut: “Semoga anugerah kebudayaan membuat Kemendikbud lebih dekat dengan anak- anak. Karena anak-anak butuh suasana dan dukungan. Penghargaan kebudayaan semoga lebih melihat kepada anak-anak yang berdedikasi pada budaya.”

BIODATA Nama : Sherina Salsabila Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 29 Oktober 2000 Alamat : Komplek TVRI Poris Blok B3 No. 42 Jatirahayu, Pondok, Melati, Bekasi 17414

KEGIATAN Sahabat SOCA, Pembina Sahabat Cilik Berbakat Seluruh Indonesia, Sinar Harapan (dari 2013 sampai saat ini)

SEKOLAH SMA Negeri 67 Jakarta (melalui Jalur Prestasi)

PENGALAMAN Ketua OSIS SMP Negeri 180, Jakarta (2013/2014)

KARYA Novel Petualangan Hati Jelajahi Pelangi (Zettu, 2012), My Best Friend Forever (Zettu, 2013), Mami Kepo (Zettu, 2013), My Diary (Zettu, 2013), Big Brother (Zettu, 2013), Rumah Baca (Zettu, 2013), Berlibur Ke Rumah Nenek (Zettu, 2013), Kakek Penjaga Palang Kereta (Zettu, 2013), Cita-Cita Langit (Zettu, 2013), Love You Dad (Zettu, 2013), Cinderella & SnowWhite (Zettu, 2014), LegendaUlar Putih (Zettu, 2014), Fairy, Putri Planet Searth (Pelangi Indonesia, 2015), Misteri Rumah No. 66 (Noura Book, 2015), Clown Terror (Noura Book, 2015), Hola, Meksiko (Noura Book, 2015)

Cerpen dan Dongeng Sebatang Pohon Seri Agar Bumi Berseri (Ogan Ilir Ekspres, 2012), Uli Si Ulat Baik Hati (Majalah SOCA, 2014), Sebutir Telur Kejujuran (Lampung Post, 2014), Bawang Putih & PR Bawang Merah (Sinar Harapan, 2014)

Antologi Aku, Daun dan Sahabatku (Erlangga For Kids, 2011), 7 Pohon 7 Impian (Mizan, 2013), Pelangi untukJingga (Kemendikbud, 2013), Rindu Ayah (Zettu, 2013), RinduIbu (Zettu, 2013)

Serial Komik Serial Raffa (SinarHarapan, 2014 – sampai sekarang)

Artikel Anak Negeri dan Sastra Indonesia (Sinar Harapan, 2014)

PENGHARGAAN  Juara III Nasional Green Pen Award Perhutani (2015)  Juara III Cipta Cerpen Provinsi DKI Jakarta, Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N)(2014)  Juara III Cipta Cerpen Jakarta Timur FLS2N (2014)  Juara Harapan I Cipta Cerpen, Jakarta Timur FLS2N (2013)  Juara I Nasional Lomba Menulis Cerita, Kemendikbud (2012)  Juara I Nasional Children Helping Children Tupperware (2012)  Juara III Nasional Children Helping Children Tupperware (2010) VICKY WAHYU HERMAWAN RAMADHAN

MAU JADI DALANG UNTUK LESTARIKAN BUDAYA INDONESIA

“Anak luar biasa!” Predikat itu pantas diberikan kepada Vicky Wahyu Hermawan Ramadhan. Meski tak berasal dari keluarga seniman, Vicky memperlihatkan kemampuannya untuk mendalang sejak usia tiga tahun. Siswa sekolah dasar ini kini menjadi salah satu dalang cilik yang cukup dikenal. Bahkan ia sudah pentas sampai di Jakarta.

Vicky mulai tertarik pada dunia wayang bermula dari nonton VCD wayang yang dibeli ayahnya, almarhum Sunarto, seorang pedagang roti yang meninggal saat Vicky duduk di kelas 1 SD Muhammadiyah 1, Surakarta. Acara wayang yang ditayangkan televisi juga jadi santapannya sejak kecil. Kini, Vicky duduk di kelas 6 SD Muhammadiyah 1 tersebut.

Bocah yang masih malu-malu dan manja ini hanya menjawab singkat “Senang ceritanya,” ketika ditanya mengapa ia suka wayang dan mau jadi dalang. “Saya juga mau jadi dalang untuk melestarikan budaya Indonesia,” lanjut Vicky yang sangat mengidolakan dalang Ki Manteb Soedarsono, Ki Anon Suroto, dan Ki Bayu Aji Anom Suroto. Selain sebagai dalang, ia bercita- cita menjadi guru dalang.

Ibunya, Nyonya Eni Triatmani, mengisahkan bahwa sejak masih kecil putra bungsu dari tiga bersaudara itu sudah tertarik pada wayang kulit melalui VCD yang dibelikan ayahnya. “Waktu itu ayahnya beli kaset. Diastel. Saya ingat banget, ada pertunjukan dari dalang Joko E dan.Vicky dengar dania tertarik. Lalu ia meminta ayahnya untuk dibelikan wayang dari kardus. Sedangkan untuk kelirnya dipakai dinding tembok rumah yang dicat putih. Lihat televisi, ia coba mempraktikkan. Praktiknya kok benar. Tiap hari itu berlangsung waktu ia kecil,” tutur ibunya yang sekarang jadi tulang punggung keluarga.

Ketika Vicky minta masuk sekolah pedalangan, permintaannya itu membuat orangtuanya bingung mencari sekolah pedalangan. Semula Nyonya Eni memasukkannya di sanggar tari, yaitu Sanggar Seni Meta Budaya. Namun, Vicky kecil terus merengek mau sekolah dalang. Ibunya mencari informasi di Taman Budaya Solo, tetapi sekolah di sana sudah penuh.

Perempuan itu kemudian mendapat kabar ada sekolah pedalangan untuk anak-anak, yaitu di Padepokan Seni Sarotama, di Karanganyar. Sejak 1Juli 2009 ia dititipkan di padepokan tersebut. Jarak dari rumah Vicky di Laweyan, Surakarta, kepadepokan itu sekitar 15 km lebih. Jarak yang jauh itu tak membuat Vicky malas, apalagi patah semangat. Semangatnya untuk belajar justru bernyala-nyala.

“Saya tidak boleh alpa berlatih,” tutur Vicky yang ikut ambil bagian dalam pemecahan rekor MURI kurang lebih 3.000 anak ikut tari Kelinci di kediaman Wali Kota Solo, Joko Widodo (sekarang Presiden) pada tahun 2009. Hal itu dibenarkan ibunya. “Ia selalu paksa saya untuk mengantarnya kesini biar sedang capek. Ia senang kalau sudah ada di sini,” kata ibunya.

Dalang cilik itu bekerja keras untuk berlatih wayang. Pemilik Padepokan Seni Sarotama Mudjiono S.Kar., yang melatihnya memuji Vikcy sebagai anak yang tekun berlatih. Padahal, ia bukan anak dari seniman. Anak itu, kata Mudjiono, juga sangat antusias menekuni seni tradisi. Bila ada rencana pementasan Vicky bisa berlatih di padepokan sampai lima jam. Bahkan untuk menyuruhnya berhenti berlatih tidak mudah. Ibunya menuturkan, padepokan terpaksa mematikan lampu sebagai tanda latihan sudah selesai. Barulah Vicky mau pulang. Setelah Vicky pulang, latihan di padepokan untuk peserta dewasa kembali dilanjutkan.

Lewat kerja kerasnya, Vicky akhirnya bisa memetik buah prestasi.Mulai tampil di panggung di Laweyan, kini ia merambah sampai ke Jakarta. Saat ini ia sudah mampu memainkan lakon “Gathut kaca Jedhi,” “Guwarso Guwarsi,” “Nggeguru”, “Kuntowijoyondanu,” dan “Sesaji Rojo Suryo”.

Tentang Penghargaan Kebudayaan untuk Anak yang diberikan kepadanya, dengan kalimat yang pendek, ia mengatakan, “Senang sekali mendapat penghargaan.” Ketika ditanyakan apa yang akan dilakukannya dengan hadiah uang yang akan diperoleh, Vicky mengatakan, “Pertama-tama uang itu untuk uang sekolah. Sisanya akan dipakai untuk memperbaiki rumah kami.”

Seusai percakapan itu, Vicky kembali melebur dengan teman-temannya untuk berlatih sampai jauh malam. Demikianlah, prestasi tidak jatuh dari langit, tetapi diraih lewat kerja keras.

BIODATA Tempat/TanggalLahir : Surakarta, 23 November 2002 Ayah : Sunarto (Almarhum) Ibu : Eni Triatmani

PENDIDIKAN - TK Aisyiah, Karangasem, Surakarta - SD Muhammadiyah 1, Surakarta - Sanggar Seni Meta Budaya, Surakarta - Pedalangan di Padepokan Seni Sarotama (2009-sekarang)

PENGHARGAAN - Penghargaan peserta Festival Dolanan Tradisional dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (2014) - Penghargaan sebagai Dalang Ngabehi dari Kemendikbud (2013) - Penghargaan sebagai Artis Peserta Gelar Wayang Orang Seribu Peserta di RRI Surakarta (2011)

KATEGORI MAESTRO

Seseorang yang berkiprah dan sebagai pelopor dalam bidang kreativitas di bidang seni tradisi, langka, atau hampir punah.

Kriteria yang ditentukan adalah: a. Berusia di atas 60 tahun dan telah berkiprah di bidangnya sekurang- kurangnya 25 tahun. b. Memiliki kemampuan sebagai pelopor dalam bidang kreativitas yang ditekuninya. c. Seni tradisi yang ditekuninya adalah langka atau hampir punah (Kelangkaan seni yang ditangani/ditekuni).

ABDUL WAHAB LIHU

“Tuja’i adalah sastra lisan yang berisi syariat ajaran-ajaran agama Islam dan petuah hidup yang harus dipertahankan guna keberlangsungan adat istiadat di tanah Gorontalo,” ujar Abdul Wahab “Lihu” mengawali perbincangan kami di teras Rumah Adat Gorontalo. Abdul Wahab memperoleh penghargaan kategori Maestro Seni Tradisi, karena konsisten mempelajari, melestarikan,dan mewariskan sastra lisan Tuja’i di daerah adat Gorontalo.

Sebagai salah satu daerah adat dari 19 daerah adat di Indonesia, Gorontalo dan sastra lisannya, Tuja’i termasuk sastra lisan yang menonjol di Gorontalo. Oleh karena itu, sastra lisan ini merupakan modal budaya yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Hal itu terkait dengan peranan, karena melalui Tuja’i itu masyarakat mendapat arahan mengenai ajaran agama Islam secara puitis dalam bentuk syair-syair. Tuja’i tak dapat dipisahkan dari cara pandang masyarakat Gorontalo. Pepatah Minangkabau “Adat Bersendi Sara, Sara Bersendi Kitabullah,” tercermin pula dalam tradisi masyarakat Gorontalo ini, khususnya korelasi antara aspek adat dan aspek agama.

Pria kelahiran Limboto, Gorontalo, 7 Oktober 1937 ini sejak kecil memang memiliki ketertarikan pada adat Gorontalo, karena sering menyaksikan pertunjukan adat istiadat, khususnya di lingkungan keluarga.

“Pertama saya bersentuhan dengan adat Gorontalo karena barangkali memang bakat ketertarikan saya dengan adat Gorontalo. Meski awalnya ketika muda saya belum memahami betul berbagai jenis adat istiadat, namun saya selalu memperhatikan para senior saya, dengan cara melihat, mendengar, memperhatikan dengan saksama pelaksanaan adat istiadat. Bahkan saya juga membantu mereka dalam beberapa upacara meski sekadar membawakan minuman atau makanan para tokoh adat,” ungkap Abdul Wahab dengan penuh ketenangan.

Mempelajari seni Tuja’i, menurut Abdul Wahab, bukan hal yang mudah karena dibutuhkan ketekunan sekaligus komitmen, terlebih terbatasnya sumber referensi, seperti buku bacaan dan belum adanya pendidikan formal merupakan tantangan yang tidak ringan. Hal tersebut dialami Abdul Wahab, ketika mempelajari seni Tuja’i pada tahun 1960-an. Namun demikian, ia tidak patah semangat dan terus belajar dari para gurunya. Abdul wahab muda selalu memperhatikan dengan saksama bagaimana tokoh adat membawakan seni Tuja’i mulai dari syair hingga lantunan bermakna aksara.

Menyadari berharganya sastra lisan Tuja’i, Abdul Wahab berinisiatif menerbitkan teks lisan menjadi teks tertulis (naskah) sastra lisan Tuja’i dan sastra lisan Gorontalo lainnya agar dapat dipelajari. Saat ini telah berhasil didokumentasikan beberapa teks kuno sastra lisan Tuja’i sehingga dapat dijadikan bahan referensi baik oleh para mahasiswa, peneliti, pemerintah hingga masyarakat luas. Peran Abdul Wahab sangat besar dalam melestarikan sekaligus meningkatkan seni satralisan Gorontalo, karena dari pemikiran dan pengetahuan yang dikembangkan telah lahir para sarjana dan guru besar dalam sastra lisan di Indonesia.

Menjadi seorang tokoh adat sekaligus mengusasi sastra lisan Tuja’i harus menguasai dua hal, yaitu memahami betul tentang adat istiadat dan memahami syariat agama Islam. Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan upacara kelahiran, perkembangan anak, perkawinan, penokohan dan penobatan atau pengangkatan pemimpin hingga upacara kematian selalu disertai dengan Tuja’i. Penguasaan Abdul Wahab terhadap kesenian Tuja’i tidak diragukan lagi mengingat beliau sangat menguasai semua syair-syair Tuja’i dan makna simbolis yang terkandung di dalamnya. Ia juga merupakan narasumber yang kompeten bagi para peneliti dan intelektual. Komitmen yang luar biasa tinggi dalam menjaga dan melestarikan sastra alisan Tuja’i juga tercermin melalui upaya pewarisan sastra lisan Tuja’i kepada generasi muda dengan harapan sastralisan Tuja’i tidak punah dan tetap terjaga.

Menurut Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo, Prof. Nani Tuloli, tokoh adat ini, Abdul Wahab, layak mendapatkan penghargaan Maestro Seni Tradisi karena selain sangat menguasai seni tradisi lisan Tuja’i dan merupakan salah satu narasumber yang langka di Gorontalo. Abdul Wahab juga memenuhi persyaratan sebagai tokoh adat yang dituakan karena pemahaman keagamaannya sangat kuat. Syair-syair dan lantunan Tuja’i dan ajaran agama Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan bisa dikatakan saling mengisi. Pada sisi lain Prof. Nani Tuloli menilai bahwa Abdul Wahab menunjukkan pribadi yang rendah hati dan memiliki hubungan silaturahmi yang sangat baik, yaitu hubungan dengan pihak Pemda maupun dengan masyarakat. Abdul Wahab adalah figur yang patut diteladani oleh generasi muda.

Sebagai upaya mewariskan sastra lisan Tuja’i beliau juga aktif sebagai narasumber berbagai aktivitas seni budaya dan aktif menulis makalah- makalah tentang sastra lisan. Abdul Wahab juga membimbing para generasi muda yang memiliki kepedulian pada seni tradisi antara lain dalam bentuk pelatihan sastra lisan dan memberi arahan serta masukan yang konstruktif. Kecintaannya terhadap bahasa Gorontalo mendorong Abdul Wahab, bersama beberapa tokoh adat yang memiliki visi pelestarian adat Gorontalo, menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Gorontalo. Terjemahan tersebut sangat berguna bagi masyarakat Gorontalo, khususnya dalam memahami ajaran agama Islam secara utuh dan dengan demikian ajaran itu mampu menjadi penuntun hidup.

Terkait dengan penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi yang diterimanya, Abdul Wahab sempat tidak mempercayai hal tersebut karena yang dilakukan selama ini tanpa pamrih. Abdul Wahab berharap di masa mendatang akan lahir tokoh-tokoh adat yang menguasai sastra lisan Tuja’i agar sastra lisan tersebut tetap lestari dalam menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat Gorontalo.

Memasuki usianya yang ke-78 pada tahun 2015 ini, kondisi fisik Abdul Wahab “Lihu” semakin menurun. Namun demikian, semangatnya untuk berupaya melestarikan adat dan tradisi Gorontalo tak pernah padam.

ARANG

Setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam melintas darat, menembus angkasa, dan membelah sungai, akhirnya Tim Verifikasi sampai di desa Mejun Sanjai, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tempat kediaman pemusik tradisi, Arang yang lahir di Apan Baru, Kalimantan Utara pada tanggal 10 September 1942.

“Bapak sedang ke lading menggarap sawah dan harus dijemput karena jarak rumah ke lading sangat jauh,” begitu anak Arang menyambut kami.

Sementara menunggu Arang, mengalir cerita dari anaknya, bagaimana Arang sebagai seniman tradisi harus bekerja di ladang demi menghidupI keluarga.Setiap pagi Arang berjalan kaki menuju ladang sejauh 20 km, bahkan terkadang harus menginap demi menghemat tenaga.

Potongan cerita tersebut member gambaran, betapa ironi seksistensi seniman tradisi yang hidup dipelosok tanah air. Pak Arang, begitu masyarakat memanggilnya, merupakan satu dari segelintir pemusik Sampe’ yang tinggal di desa Mejun Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Sampe’ adalah alat musik tradisional suku Dayak yang berfungsi untuk menyatakan perasaan, baik perasaan riang gembira, rasa sayang, kerinduan, bahkan rasa duka nestapa. Dalam bahasa lokal suku Dayak, Sampe’ dapat diartikan “memetik dengan jari".

Lebih dari 50 tahun, Arang memainkan Sampe’ tanpa mengenal pamrih. Sebagai seniman tradisi, ia tidak berharap pujian atau penghargaan, baginya bermain Sampe’ adalah pengabdian yang tulus. Keinginannya mempunyai murid, yang dapat melanjutkan bermain Sampe’, hingga menginjak usia 70 belum juga terwujud. Entah siapa yang harus disalahkan, Arang pun tak mampu mengurai kondisi tersebut. Sebersit asa muncul ketika anak pertamanya, Mendan, mempunyai ketertarikan pada seni musik Sampe’. Selain memainkan musik Sampe’, ia juga membuat sendiri alat musik tersebut. Satu-satunya alat musik yang dibuat adalah yang dimainkannya sendiri.

Darah seni Arang mengalir dari ayahnya, seorang pemain musik tradisi Sampe’ di Kalimantan Utara. Sejak kecil ia sering melihat ayahnya memainkan Sampe’ sehingga lahirlah keinginannya mencoba alat musik tersebut. “Saya mencoba sendiri alat musik tersebut ketika usia tahun dan tidak pernah diajarkan ayah,” jelas Arang mengenang masa kecilnya.

Tidak seperti kebanyakan anak-anak di kampungnya, Arang hanya sempat mengecap pendidikan sekolah hingga sampai kelas 4 Sekolah Dasar. Ia tidak melanjutkan pendidikan karena harus menjaga dan membantu kedua orang tuanya berladang. Di tengah membantu tersebut Arang mulai belajar secara otodidak. Jemari tangannya yang lincah didukung kemauan keras agar dapat menguasai alat musik tersebut, membuat Arang mampu memainkan dengan baik alat Sampe’pada umur 17-an tahun. Ketika pertama kali memainkan Sampe’ dimuka umum, Arang sangat senang karena merasa dihargai dengan tepuk tangan penonton. Setelah kepergian ayah tercinta, Arang memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan tradisi tersebut. Musik Sampe’ yang dibawakan Arang selain untuk mengiringi tarian juga dimainkan untuk acara keagamaan di gereja.

Saat ini Arang menguasai sepuluh jenis lagu, antara lain lagu-lagu bernuansa sedih seperti kematian, kehilangan orang yang dicinta; lagu bernada gembira, seperti perayaan pernikahan, suka cita; dan nuansa lagu rohani keagamaan. Alunan lagu tersebut dapat dibawakan secara kolaborasi dengan alat musik lain ataupun dibawakan secara tunggal. Selain membawakan musik Sampe’ pada kegiatan seni pertunjukan, Arang juga bermain di kalangan gereja. Dahulu, memainkan Sampe’ pada siang hari dan malam hari memiliki perbedaan. Apabila dimainkan pada siang hari, umumnya irama yang dihasilkan Sampe’ menyatakan perasaan gembira dan suka-ria. Sedangkan jika Sampe’ dimainkan pada malam hari biasanya akan menghasilkan irama yang bernada sendu, syahdu, atau sedih.

Meskipun terbilang tidak produktif tampil pada beberapa pertunjukan, namun Arang tetap setia melestarikan seni musik Sampe’. Ia tidak menghiraukan apakah hari ini, esok, atau tahun mendatang ada tawaran mengisi pertunjukan di satu tempat. Ia seniman yang mengikuti kehendak zamannya, mengalir tanpa menentang arus. Dari sisi keterampilan, Arang memiliki kelebihan dalam memainkan alat musik itu dibandingkan seniman lain. Kelincahannya dalam memetik tali senar dan penghayatan dalam membawakan alunan musik merupakan karakter tersendiri yang dimiliki Arang.

Memasuki usia yang ke-73 tahun, Arang memilki kegelisahan mendalam, karena saat ini tidak banyak generasi muda yang tertarik pada alat musik Sampe’. Harapan satu-satunya adalah anak pertamanya yang mengikuti jejak Arang. Namun demikian, memainkan Sampe’ juga tidak didalami secara konsisten karena harus bekerja mencari nafkah. Arang mengakui menjadi seniman Sampe’ di Kalimantan Utara, belum dapat menjanjikan masa depan yang baik. Penghargaan masyarakat mau pun pemerintah masih sangat rendah.

“Jika bermain Sampe’ saya hanya dibayar Rp50.000,00 hingga Rp100.000,00 dan itu tidak cukup untuk keluarga saya,” jelas Arang dengan mata berbinar.

Penghargaan Maestro yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Arang, sesungguhnya merupakan momentum bagi semua pihak untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya menghargai seniman tradisi. Menurut Kepala Desa, Mejun Sanjau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Heriyanto Siang, penghargaan tersebut merupakan motivasi bagi pemda untuk mengambil langkah strategis pelestarian seni Sampe’.

“Kami sangat berterima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas penghargaan ini. Di masa mendatang kami akan menghidupkan kembali sanggar-sanggar seni tradisi agar tumbuh kembali kesadaran yang baik di kalangan masyarakat”.

Arang adalah potret seniman tradisi yang terperangkap pada pusaran dilematis. Semangatnya yang sangat besar untuk melestarikan seni musik tradisi tidak berbanding lurus dengan realitas sekitarnya. Itulah sosok Arang. Seniman tradisi, pemetik Sampe’. Seusai seharian bekerja di ladang, ketika bumi tanah Dayak tertidur lelap, Arang mulai memainkan Sampe’ di tengah gulita malam. Petikan tali senar Sampe’malam hari nan sendu, syahdu, dan kadang terdengar mistis, menembus sampai ke dinding-dinding rumah penduduk. Ironisnya, dentingan Sampe’ tersebut tak mampu jua menggugah masyarakat sekitar untuk mempelajarinya. Arang tak peduli dengan situasi tersebut, karena ia tetap setia memetik Sampe’ meski terkadang jemari tangannya harus terluka, “Hingga ajal mejemput saya akan terus memainkan alat musik Sampe’ ini,” lirih Arang mengucap sebuah tekad seraya mendekap erat alat Sampe’ yang dibuatnya sendiri.

JAN MALIBELA

PENYELAMAT TERDEPAN BUDAYA SUKU MALAMOI, PAPUA

Pria ramah dan murah senyum ini sudah lama dijuluki maestro dalam dunia kesenian Papua, khususnya tari tradisional Papua. Jan Malibela bisa dianggap melebihi julukan maestro itu sendiri apabila melihat ia merupakan sosok terakhir yang mampu menyelamatkan kesenian dan nilai-nilai budaya suku Malamoi, yang sebagian besar sudah atau nyaris punah.

Menari sejak awal tahun 1970, Jan Malibela menguasai gerakan tari-tari dan syair-syair suku Malamoi yang saat ini dianggap telah punah. Bahkan pria bertubuh tinggi ini telah mencipta lebih dari 180 syair-syair dan lagu-lagu suku Malamoi. Tarian Jan Malibela adalah tarian rakyat yang saat ini sulit untuk ditemukan, bahkan di tengah-tengah suku Malamoi sendiri. Tarian yang dikuasai oleh Jan Malibela adalah tarian adat yang bisa dikatakan telah ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.

Beberapa puluh tahun terakhir ini, dari hasil gajinya yang sudah pas-pasan sebagai seorang guru, Jan Malibela rela menyisihkan penghasilannya untuk mendirikan sanggar berupa bangunan rumah kayu berukuran 3x4 meter persegi. Kendati sudah berdiri bangunan sanggar itu, dalam beraktivitas, Jan dan kelompoknya sebagian besar dikerjakan di luar rumah, terutama di bawah pohon rindang.

Namun hal tersebut bukanlah hambatan bagi Jan Malibela untuk mewariskan ilmunya kepada puluhan anak didiknya yang sangat antusias dan giat dalam mengikuti materi-materi pengajaran yang diberikannya. Materi bahasa Moi (kamus) dan cerita rakyat atau dongeng diajarkan oleh Jan Malibela setiap hari Selasa.Untuk menggambar serta melukis diajarkannya setiap hari Rabu, sedangkan materi mengukir atau memahat, menganyam atau menjahit serta menghafal syair-syair dan menyanyi diadakan setiap hari Kamis.

Pria lulusan Dorop School ( SR ), J.V.V.S (Joungens Ver Voolk Schools), dan Sekolah Guru (O.D.O) ini adalah saksi sejarah masuknya dunia pendidikan formal di Papua Barat. Orangtuanya adalah salah satu murid pertama dari Sekolah Rakyat yang didirikan pemerintah Hindia Belanda saat itu. Jan Malibela tumbuh dan besar dari keluarga pemuka adat suku Malamoi yang tersebar di kepulauan Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Tambrauw dan sebagian Maybrat. Pengalamannya membuat ia sangat memahami berbagai unsur budaya dan adat istiadat Malamoi Raya.

Pada tahun 1978, Jan Malibela mengabdikan hidupnya sebagai guru di pedalaman Papua Barat. Dengan suara lantang ia mengaku sebagai pencipta mata pelajaran muatan lokal bagi murid-murid SD di Papua Barat, mulai bahasa daerah, syair,dan adat, serta tarian. Pada tahun 2002, Jan Malibela yang pernah bekerja di Yayasan Pendidikan Kristen dan puluhan tahun berprofesi sebagai pengajar ini. Ia pun diangkat sebagai penasihat Lembaga Masyarakat Adat Suku Malamoi di Papua Barat. Tahun 2006, Jan Malibela pensiun dari mengajar, akan tetapi ia masih terus membina kebudayaan, terutama di daerah atau tempat yang pernah ditinggalinya.

Pada tahun 2015, Jan Malibela diundang ke Surakarta, Jawa Tengah untuk mengisi acara "Solo 24 Jam Menari". Acara yang dimeriahkan oleh tiga ribu penari ini dihadiri penari-penari legendaris, di antaranya Suwitri (Tegal), Temu (Banyuwangi), Mulyani (Surakarta), Nyi KRT Sasminta Murti (Yogyakarta), dan Bulan Trisna Jelantik (Bali).

Sebagai saksi sejarah dan budayawan suku Malamoi, kehadiran Jan Malibela saat ini sangat penting untuk keberlangsungan budaya dan adat Papua yang sangat beragam dan penuh dengan dinamika. Perannya sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar kebudayaan bagi masyarakat suku Malamoi.

Jan Malibela sudah melakukan pewarisan kebudayaan kepada ratusan generasi muda yang sudah tersebar ke seluruh penjuru Nusantara. Ia terus berkarya dan semangatnya dalam berkarya seolah tak pernah padam. Hal itu terlihat dan terpampang dengan indah puluhan ukiran, lukisan, dan kerajinan tangan di bangunan lembaga masyarakat adat suku Malamoi.

BIODATA Nama Adat : Mansele (anak laki-laki adat) Tempat/Tanggal Lahir :Seget, Sorong, 22 Januari 1944 Ayah dan Ibu :Steven Malibela dan Lina Wali

Karya-Karya: 1. Para-Para Per, ISI Yogyakarta, Concert Hall Yogyakarta SMA D Britto, Hari Tari Dunia, Surakarta, 2015. 2. Menciptakan tarian adat untuk suku Moi:tarian adat suku Moi Karon (1978), tarian adat suku Moi Madik (1978), tarian adat suku Moi Mare (1978), tarian adat suku Moi Moraid (1979), tarian adat suku Moi Kelim (1979), tarian adat suku Moi Klasa (1979), tarian adat suku Moi Madele (1980), tarian adat suku Moi Masinsa(1980), tarian adat suku Moi Amber (1981), tarian adat suku Moi Amber(1981), tarian adat suku Moi Maya(1982), tarian adat suku Moi Batbat (1982). 3. Tarian Mala Wai Gii, Borekali, Kasas Wombik, Kidiso, Kiwi, Miting Kelem, Persembahan, Dayung, dan lainnya. 4. Lagu-lagu daerah: Dikaki Gunung (1963), Kami Siap sedia (1969), Wein Lane, Wombik (1975) Moriko (1976), Maladum, Teges Maladum, Tsadan Polok Pau (1977), Luwe, Malawai Malafun, Maken soo (1978), Anak Buah Hati, Kidiso, Kaban lebe, Nona manis (1987), Oh Tuhan, Keluhan Cendrawasih (2002), dan lainnya. 5. Lagu-lagu rohani: Kasih Tanganmu Indah (2002), Firman Tuhan Berkata, Pembebasan Dari Perbudakan, Jesus Bimbinglah Aku (2003), Iman Anak Kota, Pengakuan Iman Rusuli, Bapa Kami, Ratapan Kasih, Ratapan Kampungmu (2004), Jesus Sang Penebus, Di Muka Tuhan Jesus (2006), Pertolongan Tuhan (2008). 6. Lukisan: Potret diri 1, 2 , 3, Angkuh, Seleber, Tiga sahabat, Sang Penerang, Murka, Maladum, Berburu, Burung Surga kembali, Penguasa, dan lainnya. 7. Tulisan: Pengelompokan Sub Suku Malamoi dilihat dari Budaya (2008), Hak-Hak Asasi Tanah Adat (2009).

JUSTINUS HOKEY

MAESTRO HOKEY MERAWAT SENI TRADISI DAN PERDAMAIAN

Justinus Hokey adalah budayawan dan perawat perdamaian,yang lahir di Dulumai, tepian Danau Poso, Sulawesi Tengah. Ia memberi hidupnya untuk menggali dan merawat tarian tradisi yang semakin punah, yaitu Motaro, Torompio, dan Moende. Justinus juga telaten mengajarkan Geso-geso, rebab Poso kepada generasi muda. Kecintaanya pada sastra tradisi mendorong ia melahirkan cerita-cerita rakyat yang dipertunjukan melalui seni teater. Syair-syair dalam bahasa Pamona yang diaransemen menjadi lagu-lagu daerah, bahkan lagu pop sehingga lebih mudah ditangkap anak muda. Melampaui itu, pendiri Sanggar Seni Sesedongi ini juga menggunakan tarian dan kegiatan budaya lainnya sebagai perjumpaan akar rumput untuk meretas dan merawat perdamaian guna memulihkan konflik yang pernah terjadi di Poso antara kelompok Muslim dan Kristen.

Lima pasang muda-mudi menari dan bernyanyi dalam bahasa Pamona. Mereka mengatur langkah dan nafas sambil melenggak-lenggokkan badannya. Mereka bersitatap mengatur harmoni, menghadirkan hatinya dalam tarian. Seorang pemuda memainkan gitar, dua lainnya menabuh alat menyerupai gendang, mengiringi para penari. Semuanya mengenakan pakaian adat Pamona, suku yang menempati tepi Danau Poso. Pemandangan ini berlangsung di teras rumah Justinus Hokey di Kota Tentena, tempat Danau Poso anggun terhampar.

Masyarakat Poso dekat dengan Om Justinus atau kakek Hokey, dari anak- anak hingga pejabat pemerintah setempat. Tidak ada peristiwa kebudayaan di Tentena yang luput dari rawatan Om Justinus. Baik peristiwa besar seperti perayaan Festival Danau Poso, pengajaran budaya di ruang-ruang kelas, maupun peristiwa sehari-hari berlatih bermain musik, bernyanyi dan menari di teras rumah Om Justinus.

Justinus berkat Tuhan lahir 10 Agustus 1945 di Dulumai, tepi Danau Poso. Menurut Asyer Tandapai, dalam bukunya Narasi Kemanusiaan dalam Karya Sastra Justinus Hokey, orang-orang Dulumai bangga menyebut diri Tolongkea. Identitas yang mengingatkan pada kemasyhuran peradaban silam,antara lain peradaban mokayori yaitu kearifan bertutur. Bahkan dengan tradisi mokayori, di masa lalu, seorang tawanan yang mampu bertutur arif di Dulumai dapat dibebaskan. Kearifan bertutur leluhur Tolongkea inilah yang Justinus warisi.

Budayawan lulusan IKIP Manado Cabang Poso ini, bergiat merawat seni tradisi Pamona sejak tahun 1970-an. Terdorong menampilkan pertunjukan pada festival tari tradisional di Jakarta, pada 1978 Justinus meramu tiga tarian tradisi Motaro, Torompio, dan Moende dalam satu pertunjukan yang ia sebut Petomo. Pertunjukan itu meraih juara III dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 1980, Justinus juga diminta TVRI Manado untuk mempersiapkan materi lagu dan tarian Poso untuk mereka tayangkan. Rangsangan kebudayaan itu juga menggerakannnya untuk menggali kembali tradisi nyanyi atau tembang klasik Doni Dole yang nadanya pas untuk mengiringi pantun-pantun tradisi Poso.

Ketelatenan Yustinus dalam merawat tari tradisi ini menyeluruh, dari mulai bagaimana permainan musik yang memadai. Sehingga musik itu dapat menggerakan para penari terbawa alunan dan mengalami serupa trance. Dengan begitu pelestarian gerak tari tak dapat melepaskan pelestarian alat dan cara memainkan musik tradisi. Menurut Justinus, saat ini tarian serupa masih sering dimainkan, tetapi anak-anak muda yang dipengaruhi budaya lain, sering tak sampai ke hati untuk menghayati permainan musik dan gerak tari. Mereka bermain musik dan menarikannya dengan terlalu banyak gerak (blingsatan). Padahal tarian itu sejatinya bersifat profan dan sedikit erotik. Karena itu, Justinus menggali dan mendokumentasikan panduan tari tradisi yang ia sebarkan dalam bentuk brosur ke sekolah-sekolah, agar para guru dapat mengajarkan seni tradisi sesuai pedoman dan anak-anak akan mewarisi tradisi Pamona.

Justinus juga melalui sanggar seni Sesedongi menggali, merawat, dan mewariskan seni musik tradisi Geso-geso, rebab khas asal Poso dan Karambangan, seni yang ia duga mendapat pengaruh Jawa yang masuk ke Poso melalui pertemuan dengan kebudayaan Makassar. Ia menduga demikian, karena dalam bahasa Pamona tidak mengenal huruf mati diakhir kata. Bila kesenian itu asli dari budaya Pamona, kemungkinan ia akan bernama Karambangan. “Tetapi, karena sampai sekarang tidak ada yang komplain dari luar, ya sudahlah jadilah bagian dari seni orang Poso,” tutur Justinus.

Dalam hal merawat sejarah, cerita, dan bahasa Pamona, Justinus menulis cerita rakyat antara lain Tapo Bada yang mengisahkan seorang isteri yang rela menyaksikan suaminya dipancung dan menjadi batu. Naskah cerita Tapo Bada pernah ditampilkan dalam bentuk teater di Taman Mini Indonesia Indah yang penontonnnya selain masyarakat Indonesia juga perwakilan duta besar negara lain. Naskah sejarah yang ia tulis antara lain Rumongi, tentang pejabat pemerintah adat Pamona 1917-1921, yang kemudian menjadi asal- usul mengapa bahasa dan kebudayaan setempat bernama Pamona, yang diambil dari enam pejabat tersebut, yaitu Paimona.

Justinus juga mendokumentasikan kecantikan alam Danau Poso dan kisah manusianya melalui lagu-lagu daerah dan lagu pop yang ia ciptakan. Tak terhitung lagu yang ia ciptakan, sebagian terdokumentasi di Dinas Pariwisata Kabupaten Poso yang berjudul “Pop Daerah Poso.” Tema-tema yang menarik minat anak muda terasa di kumpulan lagu ini, antara lain “Matia Ndano” tentang kecantikan Danau Poso dan dara-dara setempat, “Katowe I Ine,” perjuangan seorang ibu pada anaknya, kenangan para muda mudi menjaga air di sawah dalam lagu “Kasoyo Ndeme,” hingga kisah turis Jerman yang jatuh hati pada pemuda Poso dalam lagu “Arawenu.”

Sebagai bagian dari penduduk yang didera konflik bersenjata, Justinus juga mengkreasi kegiatan budaya sebagai media untuk mengeratkan kembali yang terpecah-belah. Justinus mengenang masa kecilnya, sebagai keluarga Kristen yang hidup berdampingan dengan muslim. “Kalau sudah waktu makan mama-mama baku tanya, apa laukmu? Mari saling tukar. Ketika Idul Fitri bukan keluarga sesama Muslim yang saling berkunjung. Satu desa Kristen beridul fitri, datang ke desa muslim dan sebaliknya,” kenang Justinus. Semua itu tercerabut dan porak-poranda ketika terjadi konflik. Kemudian karena konflik itu festival tahunan yang menunjukkan peristiwa budaya Danau Poso pun sempat terhenti selama 7 tahun (2000–2006). Rekonsiliasi di kalangan elit, seperti kesepakatan Malino belum mampu memulihkan konflik di akar rumput. Berangkat dari situasi itu, Justinus bersama Dinas Pariwisata setempat membuat lomba pantun perdamaian dalam bahasa Pamona. Kegiatan kebudayaan dihidupkan kembali, tarian rakyat, dan penyelenggaraan kembali festival Danau Poso. “Banyak jalur yang ditempuh untuk rekonsiliasi tapi jalur budaya lebih mempan dan mengena. Ternyata bahasa seni dan budaya lebih cepat merekat kembali keadaan yang sudah terbelah dan cepat dipahami,” tutur Justinus sambil menitikan air mata haru.

Kegiatannya untuk merawat perdamaian di Poso terus ia lanjutkan hingga saat ini. Antara lain dengan memberi pengajaran budaya dan perdamaian kepada perempuan-perempuan desa, yang dikerjasamakan dengan sekolah perempuan Institut Mosintuwu.

Atas penghargaan kebudayaan kategori maestro yang ia terima Justinus menanggapi, “Saya pikir ini anugerah Tuhan lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Harapan saya kepada pemerintah supaya dalam program pembangunan, seni dan budaya hendaknya diberi porsi memadai. Karena itu perlu untuk pembentukan kepribadian dan citra bangsa umumnya, citra Poso pada khususnya.”

BIO DATA Tempat, tanggal lahir : Dulumai, Poso, 10 Agustus 1945 Pendidikan terakhir : IKIP Manado Cabang Poso

KEGIATAN  Memberikan konsultasi kebudayaan pada masyarakat dan pemerintah  Pendiri sanggar seni Sesedongi

KARYA Antara lain:  Lagu-lagu daerah dalam proses pendokumentasian dan rekaman  Kompilasi 29 lagu pop dalam bahasa Pamona “Pop Daerah Poso”  Naskah cerita rakyat Tapo Bada  Naskah sejarah masyarakat Pamona Rumongi

PENGHARGAAN  Penghargaan Pengembang dan Pelestari Budaya dari Pemerintah Kabupaten Poso – Bupati Poso Piet Inkriwangan, M.M (2014)  Penghargaan sebagai Budayawan Poso dari Bupati Poso (2013) MAEL AYA

MAESTRO KARUNGUT DARI KALIMANTAN TENGAH

“Bermain karungut adalah panggilan jiwa saya sejak kecil. Dari dulu, saya kalau bermain tidak mengenal waktu, dalam arti begitu ada waktu senggang saya langsung berkarungut. Berkarungut saya anggap sebagai hiburan pelepas lelah setelah bekerja, tidak memikirkan uang atau bayaran dari apa yang saya lakukan. Saya bisa, karena belajar sendiri dengan melihat orang lain, tidak pernah ada yang mengajari. Setelah itu akhirnya saya bisa dan diundang untuk bermain pada acara-acara tertentu, baik ketika acara adat maupun acara yang diselenggarakan oleh pemerintah.”

Demikian ungkapan polos dari Mael Aya, pria kelahiran Handiwung tanggal 23 Mei 1942, yang tinggal di desa Tumbang Liting, Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.

Mael Aya menjelaskan bahwa “karungut” itu berasal dari kata ‘karunya’ berasal dari bahasa Sangiang dan bahasa Sangen/Ngaju Kuno yang berati “tembang.” Puisi tradisional atau puisi rakyat yang dikenal di pulau Kalimantan ini diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk syair yang dilagukan oleh pemainnya. Karungut berfungsi sebagai media pengajaran, karena syair–syair yang ditembangkan adalah berupa nasihat tentang kehidupan dalam masyarakatnya. Biasanya, puisi rakyat yang ditembangkan ini diiringi alat musik kecapi, rebab, dan suling. Namun bisa juga campursari dengan kenong, kolintang, dan orgen.

Mael Aya, tidak hanya mahir dalam menyanyikan syair tetapi juga memainkan alat musik kecapi, biola, gitar, kendang, dan rebab. Menurut Haliadi, salah satu putranya yang sekarang sering bermain karungut dengannya, Bapak Mael Aya memiliki bakat dalam memainkan berbagai alat musik meskipun baru dikenalnya. Hal ini dikarenakan Bapak Mael Aya sempat belajar notasi musik semasa bersekolah di Sekolah Rakyat.

Ia tergolong produktif berkarya menciptakan tembang-tembang yang bertemakan sejarah, kepahlawanan, nasihat dalam hidupan bermasyarakat dan nasihat untuk menghargai lingkungan alam. Karya-karyanya telah didokumentasikan dengan sederhana, berupa hasil cetakkan yang dijilid seadanya. Beliau juga pernah merekam tembang-tembangnya di RRI dan didokumentasikan dalam bentuk kaset. Adapun karya tembang yang diciptakannya antara lain (1) “Ujau Betung Bukei Hamberang,” (2) “Kasusah Belum Jadi Ingkeme,” (3) “Pahlawan Cilik Riwut,” (4) “Saritan Tamparan Mambelum Arep,” (5) “Riwayat Mamantat Gita,” (6) “Pelantikan Presiden Dayak,” (7) “Ujau Betung Bukei Hamberang,” (8) “Proyek Dayak Misik,” (9) “Bawin Kameluh,” dan (10) “Cerita Sejak Dulu Kala.”

Mael Aya dahulu pernah memiliki sanggar musik karungut, namun sayangnya seluruh peralatan musiknya habis tenggelam ketika kapal yang mengangkut mereka beserta peralatannya karam saat pulang dari tempat pertunjukan. “Untung kami selamat,” ungkapnya. Namun demikian, ia tetap bangkit dan beraktivitas dengan menggunakan peralatan musik seadanya.

Mael Aya hidup sederhana bersama istri dan anak-anaknya di desa Tumbang Liting, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Ia bertekad akan tetap bermain sampai akhir hayatnya, dan berjanji dalam hati akan mewariskan pengetahuannya kepada anaknya dan bersedia membina atau mengajari siapapun yang ingin belajar darinya. Semoga demikian dan tetap sukses pak Mael Aya.

BIO DATA Tanggal Lahir : Handiwung, 23 Mei 1942 Tempat Tinggal : Desa Tumbang Liting, Kasongan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Karya : 1. Ujau Betung Bukei Hamberang 2. Kasusah Belum Jadi Ingkeme 3. Pahlawan Cilik Riwut 4. Saritan Tamparan Mambelum Arep 5. Riwayat Mamantat Gita 6. Pelantikan Presiden Dayak 7. Ujau Betung Bukei Hamberang 8. Proyek Dayak Misik 9. Bawin Kameluh 10. Cerita Sejak Dulu Kala

KATEGORI PEMERINTAH DAERAH

Penghargaan Kebudayaan yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Pemerintah Daerah: Kabupaten atau Kota yang memiliki dan mengelola sumber daya alam dan budaya secara kreatif, berkeseimbangan, dan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat sehingga berdampat pada tingkat kesejahteraan masyarakat dan menginspirasi masyarakat luas.

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI

BANYUWANGI “THE SUNRISE OF JAVA”

“The Sunrise of Java” adalah slogan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam menyikapi kelahiran kembali semangat kejayaan kerajaan Blambangan yang pernah berbinar di Banyuwangi abad ke-17. Wilayah ujung Timur Pulau Jawa ini memiliki pesona alam dan budaya yang kaya dan menarik. Menyadari potensi ini sejak lima tahun terakhir dengan gaya kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas yang dinamis dan aktif, Banyuwangi melesat pesat. “Terwujudnya masyarakat Banyuwangi yang mandiri, sejahtera, dan berakhlak mulia melalui peningkatan perekonomian dan kualitas Sumber Daya Manusia” adalah visi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang secara bertahap direalisasikan dalam berbagai kebijakan dan program kerja yang terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2014 Banyuwangi berhasil meraih penghargaan sebagai “Kota WelasAsih” (Compassionate City) dan penghargaan tersebut merupakan yang pertama kali di Indonesia. Semangat dari “welasasih” adalah bagaimana membangun sebuah peradaban wilayah dengan fondasi prinsip kemanusiaan yang kokoh, yaitu tanpa sekat suku, agama, dan status golongan. Di tengah perkembangan masyarakat Indonesia yang cenderung individualism dewasa ini, menghadirkan kembali semangat “welasasih” berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika merupakan angin segar yang dirindukan banyak pihak.

Sebagaimana dinyatakan seorang budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, bahwa menumbuhkan semangat Bhinneka Tunggal Ika sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat seperti kerusuhan dan pelanggaran HAM bersumber dari pemahaman budaya yang sangat rendah. Banyuwangi mencoba hadir dengan menumbuhkan semangat bhinneka (keberagaman) dalam membangun kota yang lebih manusiawi tanpa mengabaikan ajaran dan nilai-nilai agama yang telah tertanam di masyarakat dengan kokoh.

Komitmen tersebut harus diterapkan pada semua sektor baik menyangkut sumber daya manusia, pendidikan, agama, ekonomi, sarana dan prasarana, serta ruang publik untuk berbagai aktivitas seni budaya.Salah satu program prioritas Banyuwangi dalam mewujudkan hal tersebut adalah Gerakan Siswa Asuh Sebaya, yaitu bagaimana menjalin solidaritas antarsiswa, kemudian menciptakan sekolah yang bebas diskriminasi, kekerasan, sehingga menghadirkan rasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah. Selain itu program pemberantasan buta aksara dan anak putus sekolah juga menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sehingga semua masyarakat dapat menikmati pendidikan secara layak.

Membangun kesadaran publik di tengah masyarakat plural bukan hal mudah, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengatasihal tersebut melalui pendekatan humanisme, yaitu mengajak partisipasi publik untuk menyusun beberapa program. Mensinergikan antara berbagai pemangku kepentingan dilakukan pihak pemerintah dengan merangkul masyarakat, pelaku usaha, kelompok dan komunitas seni untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini diakui salah satu Ketua Adat Desa Olehsari, Ansori, bahwa pemerintah telah memberi ruang ekspresi dan dana bagi seniman tradisi Banyuwangi dan kami harapkan dimasa mendatang pemerintah dapat meningkatkan dukungan untuk semua sektor, bukan hanya prasarana dan sarana namun juga dukungan finansial bagi kelangsungan hidup seniman tradisi.

Layanan publik diwujudkan dalam berbagai ruang publik yang hijau terbukadi beberapasudutkota. Kehadiran ruang publik ini selain berfungsi sebagai ruang silaturahmi juga bersifat multifungsi, seperti untuk sarana olah raga, ekonomi, sosial, ekologis hingga seni budaya. Berkat penyediaan fasilitasi ini Pemerintah Kabupaten Banyuwangi meraih penghargaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai Kabupaten dengan Penataan Ruang Terbaik se-Indonesia.

Hal lain yang patut diapresiasi mengenai program Pemerintah Kabupaten Banyuwangi adalah dengan tersedianya ruang publik ini—bahkan sampai ke tingkatdesa—mampu menumbuhkan program–program revitalisasi yang menghidupkan kembali dimensi seni dan budaya di masyarakat. Konsep “Wisata Berbasis Rakyat” direalisasikan dengan berbasis pada partisipasi aktif masyarakat, sehingga melahirkan komitmen yang kuat dalam setiap kegiatan. Strategi tersebut memacu generasi muda untuk ikut terlibat dalam berbagai pertunjukan seni tradisi. Kini hampir diseluruh pelosok Banyuwangi telahtumbuh komunitas seni sebagai pilar kekuatan berkesenian untuk mengembangan budaya dan tradisi di Banyuwangi. Wisata berbasis rakyat itu diselenggarakan dalam bentuk festival. Sepanjang tahun 2015 Banyuwangi berhasil berhasil menggagas 38 program seni budaya yang spektakuler dan menjadi event yang ditunggu-tunggu masyarakat serta wisatawan mancanegara, antara lain Indonesia Fashion Week Batik Banyuwangi, Banyuwangi Art Week, Banyuwangi Ethno Carnival dan beberapa festival kesenian lainnya.

Berbagai kegiatan berbasis sport-tourism juga digagas, mengingat letak geografis Banyuwangi yang sangat beruntung, yaitu diapit gunung, laut dan hutan, serta pada savanah. Salah satu event internasional yang mendapat perhatian dunia adalah International Banyuwangi tour deIjen. Kegiatan menjadi agenda dari Union Cycliste Internationale (UCI) sejak tahun 2012.

Komitmen dan kerja keras semua pihak membuahkan hasil, karena beberapa penghargaan diraih Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir. The Sunrise of Java, telah menerangi ufuk Timur Pulau Jawa, sehingga kemilaunya menjadi pesona tersendiri. Banyuwangi telah menjelma menjadi salah satu destinasi unggulan di JawaTimuryang bersaing dengan daerah-daerah di sekitarnya. Membangun kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan mengoptimalkan sumber daya daerah yang berpijak pada pemberdayaan masyarakat, berkelanjutan, dan aspek kelestarian lingkungan adalah misi yang diemban. Kebijakan tersebut berdampak positif terhadap peningkatkan nilai investasi dari berbagai sektor. Diharapkan spirit The Sunrise of Java, dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah lain di tanah air sehingga peningkatan kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat dapat terwujud.

Penghargaan yang diraih antara lain :

- 2014, Indonesia Marketing Champion, MarkPlusInc - 2014, Tata Ruang Terbaik se-Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

PEMERINTAH KABUPATEN SIAK

SIAK THE TRULY MALAY

Sebuah fakta menandai perjalanan sejarah Siak sebagai pusat kebudayaan Melayu. Siak the truly Malay ungkapan yang tengah digaungkan Pemerintah Kabupaten Siak yang menjiwai grand design pengembangan budaya Melayu di Kabupten Siak. Syamsuar, Bupati Siak menandaskan bahwa budaya merupakan identitas suatu daerah. Di , khususnya Kabupaten Siak budaya Melayu merupakan payung negeri. Oleh karena itu, budaya yang disandingkan dengan agama perlu dijunjung tinggi oleh semua pihak untuk menjaga perdamaian yang selama ini sudah terwujud. Arah visioner mewujudkan Kabupaten Siak sebagai pusat kebudayaan Melayu di Indonesia tahun 2025, adalah dengan meningkatkan pelibatan masyarakat untuk secara bersama menggali, membangun, dan mengembangkan kampung– kampung lama Melayu, demikian pula dengan kampung suku Asli (Sakai dan Akit). Kuatnya akar budaya Melayu tidak sekadar menopang kehidupan masyarakat, tetapi menjadi penguat karakter bangsa untuk menyikapi intervensi budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Pelibatan masyarakat sebagai pendukung kebudayaan Melayu menjadi sangat penting.

Kilas balik, Kabupaten Siak yang terletak di Riau, awalnya adalah sebuah kerajaan yang berdiri tahun 1723 dengan raja pertama Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Bekas–bekas kerajaan ini, antara lain ditandai adanya bangunan Istana Siak yang berwarna kuning gading yang di dalamnya masih tersimpan berbagai macam benda koleksi kerajaan sebagai peninggalan sejarah. Perpaduan tiga gaya arsitektur Eropa, Arab, dan Cina terlihat nyata dari berbagai elemen bangunan dan ornamennya. Tatkala raja terakhir, Sultan Syarif Khasim II menyerahkan istana Siak sebagai aset nasional kepada Pemerintah Republik Indonesia sebelum akhir khayatnya, maka istana Siak yang berdiri megah itu pun, semakin kuat memiliki simbol payung negeri melayu di Indonesia.

Sebagai titik simpul sejarah budaya Melayu hampir di semua kampung- kampung, masih ada komunitasnya yang memiliki tradisi pembuatan alat- alat musik gambus sebagai pengiring tarian zapin, tarian khas masyarakat Melayu. Secara turun–temurun keahlian membuat dan memainkan alat musik tersebut masih dapat kita lihat dan saksikan dalam kompetisi pertunjukan zapin internasional yang sudah beberapa tahun diselenggarakan.

Sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Siak, yaitu mewujudkan masyarakat Siak yang sehat, cerdas dan sejahtera dalam lingkungan masyarakat yang agamis dan berbudaya Melayu serta mewujudkan pelayaan publik terbaik, Bupati Syamsuar pun menekankan beberapa program yang sudah dan sedang dilaksanakan. Bahkan Syamsuar yang menyadari potensi Siak yang kaya akan nilai–nilai tradisi, sejarah, dan budaya, pemerintah telah mengusulkan daerah ini sebagai kawasan heritage city atau kota yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang harus dilestarikan.

Beberapa strategi kebijakan yang diterapkan semuanya diarahkan pada terwujudnya masyarakat yang sejahtera, baik itu menyangkut perhatiannya terhadap budaya benda maupun budaya tak benda. Untuk budaya tak benda, pengembangan budaya Melayu melalui pengembangan sikap mental dan perilaku masyarakat berdasarkan nilai-nilai kerifan lokal. Contohnya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola museum sekaligus meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kampung adat. Sedangkan untuk budaya benda, beberapa program terkait dengan pencatatan benda cagar budaya, pemeliharaan situs–situs sejarah purbakala, demikian pula dengan upaya merevitalisasi produk budaya Melayu termasuk kampung-kampung lama dan kampung suku asli (Sakai dan Akib).

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Siak berharap Siak menjadi destinasi wisata yang semakin ramai dikunjungi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan ekonomi kerakyatan, sesuai dengan amanah Undang–Undang Nomor 10 tahun 2009, tentang kepariwisataan yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Beberapa periode terakhir ini banyak kegiatan yang bersifat nasional dari pemerintah pusat memilih Kabupaten Siak sebagai venue atau host.

Diharapkan ke depan generasi muda, semakin menyadari dan mencintai kekayaan budaya bangsa. Termasuk upayanya mengetahui dan menumbuhkan rasa bangga, bahwa di negeri Siak ini, pada masa yang lalu, pernah hadir dan jaya dalam naungan Kerajaan Siak. Fakta sejarah dan bukti peninggalan kerajaan nyata masih terlihat lengkap dan terpelihara. Kebanggan bahwa kita dapat melestarikan peninggalan kerajaan Melayu yang sangat besar, memiliki andil di dalam suasana persaudaraan, beradaptasi dengan semua suku bangsa, dan agama yang beraneka ragam, sehingga kedamaian pun dapat terpelihara dengan baik. Untuk menjaga komitmen ini sehingga memiliki manfaat yang berkelanjutan, sepatutnya dapat disarikan untuk menjadi muatan lokal. Seperti mata pelajaran sejarah Kerajaan Siak yang diberikan sejak dari SD sampai SLTA. Paralel dengan itu kemitraan yang dibangun, misalkan saat ini ada beberapa event tentang SIAK, Siak bermadah (menjelang ulang tahun SIAK), dialog– keterlibatan seluruh masyarakat bisa terlihat dari bibit–bibitnya, sehingga setiap tahun terlihat perkembangannya, festival zapin internasional melibatkan negara– negara jiran, dan lembaga adat Melayu Riau.

Meski ada beberapa kendala yang dihadapi terutama berkaitan dengan adat istiadat, yaitu masih saja ada sebagian orang yang berupaya menyederhanakan adat, tetapi pemerintah tidak boleh berhenti berupaya untuk selalu mengingatkan. Bupati Syamsuar tetap konsisten, bahwa tekad besar untuk mewujudkan cita–cita Siak sebagai pusat Budaya Melayu di Indonesia tahun 2025 sebagai implementasi dari grand desaign yang bersifat integrated antarsektor harus dapat menjadikan kebudayaan sebagai leading sector. Dan semua itu hanya dapat terwujud, apabila ada kerjasama dan uluran tangan dari semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, serta peran aktif masyarakat. PEMERINTAH KOTA TERNATE

TERNATE: KOTA PUSAKA DUNIA

Ternate adalah kota yang dimekarkan pada tahun 1999, sebelumnya adalah bagian dari ibukota kabupaten Maluku Utara. Dengan UU No. 11 Thn 1999, kota Ternate dimekarkan menjadi salah satu daerah otonom. “Setelah dimekarkan, kota ini terus membenahi diri dan sejak tahun 2010 sejak dilantik menjadi Walikota, saya dan Wakil Walikota, serta seluruh masyarakat menerapkan visi dan misi Kota Ternate sebagai kota yang disingkat dengan “bahari berkesan,” yakni kota yang berbudaya, agamais, harmonis, mandiri, berkeadilan dan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, salah satu misinya adalah menjadikan kota Ternate sebagai kota budaya, sehingga banyak program prioritas yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota, khususnya di dalam menjadikan Ternate sebagai kota budaya.” ungkap Walikota Ternate, Dr. Burhan Abdurrahman, SH.,MM. (Periode 10 Agustus 2010–10 Agustus 2015), disela-sela melakukan aktivitas barifola, yaitu gotong royong membangun rumah warga di kota Ternate.

Dr. Burhan Abdurrahman mengatakan bahwa tugas pemerintah tidak hanya mengelola program kegiatan yang didanai APBN/APBD, tetapi juga bagaimana memberdayakan masyarakat dengan segala potensi yang dimilikinya, termasuk potensi nilai budaya “barifola” yang mereka anut. Komitmen itu diwujudkan Pak Walikota melalui wadah organisasi sosial (paguyuban) yang dipimpinnya, yaitu Ikatan Keluarga Tidore (IKT). Melalui wadah organisasi ini lahirlah suatu gerakan sosial sekaligus gerakan kultural masyarakat lokal berupa “barifola”, yang berasal dari bahasa Tidore, yang artinya ‘bari’ adalah gotong-royong dan ‘fola’ adalah rumah. Menurutnya, ada tiga hal penting yang ingin dicapai dalammelaksanakan program barifola. Pertama, membantu orang-orang yang rumahnya tidak layak huni dengan memperbaiki atau membangun kembali. Kedua, menjalin silaturahmi antaranggota paguyuban. Ketiga adalah mengaktualkan kembali semangat gotong-royong yang merupakan nilai-nilai budaya leluhur, yang sudah mulai bergeser, menjadi suatu kekuatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dijelaskannya, program barifola ini tidak menggunakan anggaran pemerintah. Para tukang dan masyarakat mengerjakannya dengan bergotong-royong. Bahan material rumah dibeli dengan menggunakan sumbangan anggota paguyuban, caranya dengan gerakan 1000 rupiah, yang dalam bahasa Ternate disebut gerakan jalamong. Rumah yang dikerjakan bisa selesai dalam tiga hari bila lokasinya di kota Ternate, dan 6- 7 hari bila lokasinya di luar kotaTernate. Setelah itu kunci diserahkan kepada pemilik rumah dan menjadi hak milik yang punya rumah.

Program ini digagas sejak tahun 2008 ketika Dr. Burhanmenjabat Sekretaris Daerah Kota Ternate dan sampai saat initelah berhasil membangun 153 rumah. Barifora sejak awal pendiriaannya memiliki 40 orang anggota tetap, sekarang masih eksis dan telah memiliki puluhan ribu anggota. Pada awal dimulainya bariforahanya terbatas pada rumah paraanggota IKT. Akan tetapi, setelah pembangunan rumah keenam, peruntukannya tidak hanya lagi untuk anggota, juga suku lain, seperti suku Ambon, Bugis, Tenggara, Tual dan lain-lain. Bahkan paguyuban ini kini telah melebarkan sayapnya hingga ke beberapa wilayah di luar kota Ternate, seperti di Pulau Bacan, Morotai, dan sebagian wilayah Maluku Utara.

Selain program yang dibiayai masyarakat, Pemerintah Kota Ternate juga banyak melakukan kegiatan kebudayaan. Program itu antara lain Festival Bahari “Kora-Kora”; Festival Ela-Ela (Bakar Lampu); Festival Legu Gam;Festival Gendang Sahur; Lomba Mewarnai dan Cerita Rakyat Ternate; Parade Budaya; Expo dan Pentas Seni Budaya “Gebyar Nusansara”; Pameran Budaya dan Pariwisata Bertajuk Expo Ekonomi Kreatif; Menyelenggaraan Ternate Award; Revitalisasi Benteng Oranje dan Pembangunan Museum Rempah-rempah, serta Museum Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah, termasuk Museum Memorial Kesultanan Ternate.

Pak Walikota juga menjelaskan, bahwa sebagai kota jajahan yang sejak ratusan tahun lalu terkenal dengan rempah-rempahnya, di kota Ternate ditemukan banyak peninggalan Portugis dan Belanda yang harus dikelola. Melalui APBD Kota Ternate dan bantuan Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Kota Ternate berhasil merevitalisasi beberapa peninggalan cagar budaya berupa benteng-benteng (ada sekitar lima benteng besar di Ternate), sementara iniyang direvitalisasi adalah salah satu benteng Portugis dan Belanda, yaitu “Benteng Oranje” yang sebelumnnya merupakan asrama dari TNI dan Polri. Berkat koordinasi dan kerjasama yang baik, antara pemerintah kota dan jajaran TNI/Polri, akhirnya asrama TNI dan Polri tersebut direlokasi ke tempat lain dan benteng ini direvitalisasi untuk menjadi salah satu ikon pariwisata kota Ternate.

Selain program dalam bentuk kegiatan, Pemerintah Kota Ternate juga mengeluarkan regulasi kebijakan pembangunan kebudayaan daerah, antara lain Peraturan Walikota No. 09 Tahun 2007 tentang Pembentukan Balai Bahasa Daerah Ternate dan Peraturan Walikota No. 16 Tahun 2011 tentang Organisasi Balai Bahasa Daerah Kota Ternate; Wajib belajar bahasa daerah dengan memasukkannya sebagai pelajaran muatan lokal di tingkat Sekolah Dasar; Perda No. 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.

Ditambahkannya, “Dalam rangka melestarikan budaya yang ada di Ternate, ke depan seluruh benteng yang ada di Ternate ini akan direvitalisasi sebagai cagar budaya. Kita berharap dengan merevitalisasi cagar budaya itu,sektor kepariwisataan Ternate akan meningkat dengan datangnya para wisatawan mancanegara berkunjung ke Ternate. Hal itu akan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota Ternate,” tandasnya.

Ia berharap, agar aset budaya berupa peninggalan sejarah dan budaya lokal yang ditinggalkan oleh para leluhur dapat dilestarikan sepanjang masa. Imbauan itu ditujukan kepada suluruh warga masyarakat supaya sama-sama melestarikan budaya masing-masing. “Kita sama-sama punya tanggung jawab untuk tetap mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkannya di masa-masa yang akan datang,” katanya dengan bersemangat.

PROFIL: Kota Ternate : Dimekarkan dengan UU No. 11 Thn 1999 Terdiri dari : 7 Kecamatan, dan 77 Kelurahan. Jumlah Penduduk : 202.728 Jiwa Luas Wilayah : 111,39 km2

PENGHARGAAN: - Raih Penghargaan bersama Panitia Festival Legu Gam 2011, kategori Penari Terbanyak di Dunia, 8.000 Penari, Rekor MURI. - Raih Penghargaan bersama Panitia Festival Legu Gam 2013 kategori Penyelenggara Tarian Bawah Laut (Soya-soya Underwater) Rekor MURI. - Raih Penghargaan Bersama Panitia Festival Legu Gam 2013 Kategori Nasi Jaha Terpanjang di Dunia. - Raih Penghargaan Bersama Panitia Festival Legu Gam 2015 Kategori Penyelenggara Tarian Terpanjang di Dunia, Rekor MURI. - Raih Penghargaan Goverment Award II (Sindo Weekly 2015), Kategori Heritage.

KATEGORI MEDIA

Penghargaan Kebudayaan yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada televisi, radio, dan media cetak dengan kriteria sebagai berikut:

a. Sudah diterbitkan/disiarkan selama 6 bulan berturut-turut;

b. Mengandung edukasi kepada masyarakat tentang cinta budaya bangsa;

c. Menciptakan iklim yang kondusif untuk pelestarian (perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan) kebudayaan;

d. Memuat pendalaman pemahaman mengenai ungkapan budaya Indonesia dengan berbagai suku bangsanya.

HARIAN KOMPAS

JURNALISTIK CINTA TANAH AIR

Di usianya yang ke-50, harian Kompas sedikitnya mendapatkan 45 penghargaan dari dalam dan luar negeri. Penghargaan tersebut beragam dari penggunaan bahasa hingga konten yang disajikan. Posisinya sebagai intermediasi antara masyarakat dan negara senantiasa menjujung konten yang integritasnya dapat dipertanggungjawabkan, sehingga hal itu memungkinkan Kompas terus melangkah. Kompas juga menjadi media harian pertama yang mendapat anugerah kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2015 atas sajian seni, budaya, dan sosok. Anugerah ini tak lepas dari semangat para pendiri Kompas yang mencita-citakan masyarakat Indonesia yang cerdas dengan menempatkan kebudayaan sebaik-baiknya dalam pembangunan bangsa.

Tepat pada tahun 2015, Harian Kompas berumur 50 tahun. Gagasan awal harian ini dicetuskan oleh Jenderal Ahmad Yani kepada Frans Seda, yang menginginkan penerbitan surat kabar berimbang, kredibel, dan independen. Frans Seda mengemukakan gagasan itu kepada P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Ojong menyetujui dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertama. Menurut Budiman Tanueredjo, editor-in Chief saat ini, sebagaimana ia tangkap dari pikirannya Jakob Oetama, visi dan misi berdirinya Kompas untuk mencerdaskan bangsa dan mensejahterakan masyarakat. Kompas mengambil peran intermediasi antara masyarakat dan negara dengan nadi kecintaan pada tanah dan air.

“Pak Jakob punya keinginan besar. Mengapa penetrasi asing bisa mendapatkan tempat di Indonesia? Padahal tanah sudah banyak tahu, air tidak banyak yang tahu. Pak Jakob galau kalau ada teve internasional yang menyebut Malaysia is a trully Asean. Indonesia is a trully Asean,” kata Pak Budiman. Atas kegelisahan itu maka dalam editorial Kompas meliput tanah air Indonesia dengan keunikannya, keindahannya, dan problematiknya. Intinya aktivitas jurnalistik yang mengedepankan cinta tanah air. Antara lain bagaimana membuat liputan yang melihat Indonesia dari sungainya, gunungnya, dan kedalaman lautannya, untuk memperkenalkan tanah air.

Harian Kompas dikenal juga oleh pembacanya, sebagai media yang konsisten menyajikan rubrik kebudayaan. Hal itu tak lepas dari visi Kompas untuk mencerdaskan bangsa, dan karenanya pendidikan menjadi sangat krusial khususnyatentang pendidikan kebudayaan. Menurut Budiman, Jakob Oetama pernah membincang tentang negara Ghana dan Korea Selatan yang berangkat dari situasi yang sama, tetapi dalam 30 tahun kemudian, Korea Selatan maju melesat meninggalkan Ghana, karena kekuatan mereka dalam memajukan kebudayaannya. Karena itu, Jakob juga menyarankan agar perkembangan Kompas fokus pada pendidikan dan memberikan tempat sebaik-baiknya untuk kebudayaan. Karena, selain sajian politik dan ekonomi, masyarakat juga perlu memperhalus budinya. Semua itu dirawat melalui rubrik sastra, seni, dan esai kebudayaan. “Kita tidak ingin semuanya hanya dibayangkan dalam rasionalitas tapi juga bagaimana perasaan. Kadang-kadang terlalu rasionalitas akan kurang mengimbangi perasaan,” kata Budiman. Kompas mendapatkan anugerah kebudayaan karena rubrik “Pendidikan dan Kebudayaan” ini juga memandang memunculkan sosok manusia Indonesia itu penting. Dengan mengangkat anak bangsa diharapkan juga kekuatan manusia Indonesia dapat melakukan penetrasi ke negara lain. Demikian juga dalam hal pembentukan karakter bangsa. Kompas menyelenggarakan berbagai kegiatan yang melibatkan anak muda. Seperti program mengajak anak-anak SMA di seluruh daerah untuk membangun kebun kota atau writing competition yang mendorong anak muda membayangkan Indonesia tanpa korupsi. Kegiatan itu bertujuan agar generasi muda mencintai tanah airnya dengan tujuan akhir mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan masyarakat.

Sebagai media yang mengambil peran intermediasi masyarakat dan negara Kompas juga melihat manusia dengan keagungan dan kekerdilannya yang kemudian tercermin dalam praktik kerja editorial critic with understanding. Kompas memosisikan sebagai media yang menampung perbedaan pendapat sehingga terdapat debat publik untuk infrastruktur demokrasi. Sebuah ruang yang akan merubah noise menjadi voice yang memberi manfaat. Sikap seperti itu juga yang membuat Kompas bertahan hingga tahun ke-50.

Walaupun di tahun ke-50 dengan perkembangan era digital yang pesat, Kompas perlu mengembangkan berbagai strategi untuk tetap dapat berkomunikasi dengan pembacanya. “Digital mengubah cara mengakses informasi. Sehingga saat ini Kompas juga menyajikan editorial yang dapat didistribusikan melalui platform digital, televisi, dll. Itu cara kita tetap hadir dan relevan di kalangan muda,” kata Budiman. Lebih lanjut Budiman mengemukakan bahwa “Tajuk Rencana Kompas” yang semula hanya hadir di halaman 6 paper, sekarang dilengkapi juga dalam format video yang dapat diakses baik dalam format digital maupun broadcast. Bahkan menjelang Masyarakat Ekonomi Asean, pada 2016, Kompas juga akan tampil dalam bilingual, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris untuk jangkauan pembaca yang lebih luas.

Selain pendekatan multiplatform tersebut, yang utama adalah Kompas terus merawat integritas, kejujuran, dan kredibilitas konten yang mereka sajikan. Dalam mengikuti dinamika bangsa, Kompas juga menyadari di masa lalu Editor dianggap tahu segalanya, karena pembaca dulu konsumen pasif. Sekarang pembaca telah menjadi produsen konten, mereka bisa menjadi pelapor warga. Walaupun perbedaannya, pelapor warga ini tidak terikat etik dan institusional values. “Sehingga kita harus jalan bersama. Mungkin kita hanya produksi 140 berita per hari tapi Kompas tidak menghadirkan seks dan darah. Kami menghadirkan voice-voice yang bermanfaat bukan kegaduhan yang tidak perlu,” tutur Budiman.

Adapun mengenai anugerah kebudayaan yang Kompas terima Budiman menyampaikan “Tentunya sebuah pengakuan ini harus diapresiasi. Bukan tujuan Kompas untuk mendapat rekognisi, tapi kami berterima kasih dan bersyukur atas apa yang kami lakukan ini ternyata bermanfaat. Mudah- mudahan apa yang dilakukan ini diikuti media lain. Dan bagaimana penghargaan ini kontinu harus diteruskan semacam social movement agar kebudayaan menjadi sentral.”

BIO DATA Nama : Kompas Jenis : Surat Kabar Harian Pemilik : Kompas Gramedia Pendiri : P.K. Ojong & Jacob Oetama Penerbit : PT Kompas Media Nusantara Didirikan : 26 Juni 1965 Alamat web : http://www.kompas.com/

PENGHARGAAN Penghargaan untuk Kompas, dalam lima tahun terakhir (2010–2015), mendapatkan 45 penghargaan dan di antaranya adalah:  Media Award dalam Pekan Lingkungan Indonesia (2010) sebagai Media yang Peduli Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup  Gold Award, International Asia Media Awards 2011 sebagai Penghargaan untuk kategori surat kabar desain terbaik halaman satu. Penghargaan diterima Redaktur Pelaksana Kompas Budiman Tanuredjo dari Co-Chairman Thomas Jakob dan Chairman WAN-IFRA Pitchai Chuensuksawadi di Thailand dari WAN-IFRA  Anugerah Bahasa Indonesia Terbaik 2011 Media massa pengguna Bahasa Indonesia terbaik dari Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional  Penghargaan dalam rangka 15 tahun Ombudsman, mendapat penghargaan karena berkontribusi dan memberikan perhatian dalam publikasi pelayanan publik dari Ombudsman

Penghargaan jurnalis perorangan yang terbit di Kompas, dari 2010– 2015, mendapatkan 48 penghargaan antara lain:  Penghargaan Jurnalistik Tahun IV Mochtar Lubis Award kategori Pelayanan Publik kepada Neli Triana dan Pingkan Elita Dundu, kategori Pelayanan Publik dengan tulisan berjudul Kisah Kelabu Bus Oranye dan Kategori Hijau dimuat Kompas, 30 Mei 2011, dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)  International Asia Media Awards 2011, Thailand kepada Raditya Helabumi sebagai Bronze award, foto karya Raditya, pertandingan sepak bola antara Persiba Balikpapan dan (Kompas, 5 Maret 2010) dan kepada Lucky Pransiska sebagai Bronze Award, foto karya Lucky Pransiska yang menggambarkan kesedihan penduduk Kepulauan Mentawai yang tersapu tsunami memenangi kategori foto berita (Kompas, 30 Oktober 2010) dari WAN-IFRA  Penghargaan kepada pemenang Peliputan Media Terbaik tentang Isu Keadilan Pangan kepada Raditya Mahendra Yasa sebagai Kategori foto dengan karyanya "Terdesak Pasar Modern" dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Oxfam

NET TV

CINTA MENJADI INDONESIA

Di tengah lautan konten acara televisi nasional yang mempercayai bad news is a good news, dan tayangan impor yang membawa ajaran konsumerisme, Net TV hadir memulihkan bangsa ini. Stasiun televisi swasta yang menyebut diri “TV Masa Kini” ini memberi harapan pada bangsa Indonesia melalui tayangan yang membuat bangga menjadi penduduk dan bangsa Indonesia. Seratus prosenkonten dan pembuatan program bersumber dan diproduksi di tanah air. Acara “Indonesia Bagus,”adalah salah satu tayangannya yang mengangkat kekayaan dan persoalan alam budaya Indonesia langsung dari tangan pertama, yaitu penduduk setempat. Net TV juga terdepan dalam teknologi melalui HD(high definition) dan TV Multiplatform yang menyesuaikan dengan era digital. Oleh karena itu, saluran Net TV dapat dinikmati melalui handphone. Kebaruan Net TV ini guna menghadiahi bangsa Indonesia dengan tayangan menghibur yang merawat karakter bangsa dan kecintaan pada tanah dan air.

Menurut Dede Apriyadi, Pemimpin Redaksi, Net TV lahir dari kejenuhan para pekerja industri televisi—yang sudah lama berkecimpung di televisi nasional--terhadap program televisi yang berjalan selama ini. Karena industri televisi dinilai tidak banyak berubah. “Perubahan itu harus dilakukan kalau kita buat TV baru. Karena, kalau membuat TV baru tapi tidak beda dengan TV yang lama, tidak akan ada yang nonton,” kata Dede.

Sedikitnya dua kebaruan yang ditunjukkan televisi swasta ini. Pertama, kebaruan secara teknologi. Sebagai televisi yang lahir di era digital, Net TV melengkapi aplikasi High Definition (HD) sehingga menjadi saluran TV yang gambarnya paling jelas. Kemudian televisi ini juga mengembangkan teknologi digital, dari hulu ke hilir sudah digital. Menjadi TV multiplatform yang salurannya dapat dinikmati melalui handphone. Kedua, Net TV mengembangkan konten yang berbeda dengan saluran televisi lainnya. Para pediri Net TV meyakini bahwa industri televisi punya tanggung jawab moral agar bangsa ini lebih dan tidak semata-mata mencari keuntungan. Karena itu, televisi ini mengembangkan program yang kontennya memberi harapan masa depan kepada anak bangsa. Antara lain melalui tayangan “Indonesia Bagus” yang mengangkat hal-hal yang membuat bangga menjadi bagian negeri ini. Walaupun media yang berkembang bad news is good news, Net TV percaya negeri ini punya sisi positif dan masyarakat rindu menontonnya.

Keberhasilan tayangan “Indonesia Bagus” juga tak lepas dari tangan dingin produser dan orang lapangan yang sebelumnya pernah membuat magazine tentang keindahan Indonesia. Tim “Indonesia Bagus” rata-rata memiliki kemampuan mengolah gambar dengan bagus. Juga melihat Indonesia dari penduduk setempat bukan dari seleb atau wisatawan dari Jakarta. “Orang Jakarta jika mengunjungi daerah, dia menjadi wisata, makan, lalu kembali ke Jakarta. Tapi orang lokal, merekalah yang tahu kondisinya. Misalnya wisatawan melihat loncat baru di Nias itu hebat. Ternyata dari perspektif orang lokal, banyak yang semakin tidak menyukainya karena alasan ekonomi,” tutur Dede. Tantangan utama dari produksi “Indonesia Bagus” adalah bagaimana mencari talent yang dapat menuturkan kekayaan lokal dengan gayanya, dialeknya sekaligus bisa dipahami penonton nasional kita. Untuk itu, kadang-kadang tim perlu mekakukan pelatihan pada talent agar menghasilkan tayangan optimal.

Net berprinsip menayangkan program yang aman. “Kalau saya merasa Net nggak aman ditonton anak, berarti itu sudah nggak benar. Paling tidak harus nyaman untuk keluarga,” tutur Dede. Karena itu Net TV tidak mengembangkan sinetron yang umum berkembang, tetapi lebih ke drama yang lebih dekat dengan realitas penonton. Net juga mencoba membidik realita dari sudut pandang lain, misalnya liputan TNI di perbatasan Papua, NTT, Timor Leste yang menjadi pengajar karena terbatasnya guru.

Ke depan Net TV akan terus mengembangkan program yang lebih menarik dan mengikuti perkembangan teknologi yang akan semakin pesat. Dukungan ide-ide kreatif dari pekerjanya akan menjadi nadi Net TV. Karena itu, pimpinan Net TV memberikan apresiasi melalui ungkapan kata-kata kepada para pekerjanya. Gagasan kreatif pekerja juga mendapat apresiasi bonus. “Walaupun kesulitannya, banyak ide bagus tapi ketika dieksekusi jadi tidak menarik–sulit dieksekusi,” kata Dede.

Sebagai televisi pertama yang mendapatkan penghargaan Kebudayaan, Dede berkomentar penghargaan seperti ini harus terus dikembangkan. Jangan sampai media terlena dengan kesibukannya sendiri. Banyak media yang rating-nya bagus padahal dampaknya ke masyarakat kurang bagus. “Penghargaan Kebudayaan juga dapat menarik pengiklan, tetapi yang utama memberi semangat pada Net TV karena apa yang kami lakukan ada penghargaannya, sehingga tumbuh program TV yang makin konstruktif dan bangga menjadi bangsa ini. Di sisi lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban untuk merangsang ke arah sana,” kata Dede.

BIO DATA Pemilik : Indika Group Diluncurkan : 26 Mei 2013 Slogan : Televisi Masa kini NET TV berdiri 2012. Didirikan oleh Agus Lasmono dan Co-Founder Wishnutama Kusubadio yang bersepakat membangun stasiun televisi baru di Indonesia dengan konsep dan format yang berbeda dan menyajikan konten program kreatif, inspiratif, informatif, sekaligus menghibur. NET TV resmi mengudara 26 Mei 2013. (sumber: http://www.netmedia.co.id/about)

PENGHARGAAN  2014, Pemenang The New Alternative di Rolling Stone Editors’ Choice Awards 2014  2014, Asian TV Awards-Highly Commended Best Music Programme untuk program “Music Everywhere” Episode Nidji.  2014, Asian TV Awards - Highly Commended Best Entertainment (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/NET.) NURHANUDDIN (Kepala RRI Palembang)

MEDIA HARUS BISA JADI ETALASE DAN BENTENG BUDAYA

Siapa yang tak kenal kuliner asal Palembang, yaitu pempek? Nikmatnya terasa “maknyus.”Kalau dari Palembang takmembawa oleh-oleh pempek, rasanya ada yang kurang. Begitulah, pempek tidak saja membumi di Palembang, tetapi di negeri ini. Suatu makanan khas daerah tersebar ke daerah lain salah satunya melalui media massa.

Media massa mempunyai peran penting dan strategis dalam memasyarakatkan dan mengembangkan kuliner khas di suatu daerah. Peran itulah yang telah dilakoni oleh Programa 4 Radio Republik Indonesia (RRI) Palembang lewat Program “Budaya Wong Kito” yang mengangkat budaya lokal mulai tradisi, pesta-pesta adat sampai makanan lokal.

Salah satu bagian dari program tersebut adalah “Pempek Palembang: Nikmatnya Kapal Selam” yang mulai disiarkan sejak tahun 2014. Acara yang diasuh oleh penyiar Rukiah secara live dan interaktif ini telah menarik dan mendapat sambutan yang bagus dari para pendengar radio di Palembang dan sekitarnya.

Program ini dinilai telah mampu memanfaatkan elemen-elemen audio secara optimal dan kreatif sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman budaya. Karena itulah, pada tahun 2015 ini Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Penghargaan Kebudayaan untuk Kategori Media kepada RRI Palembang.

Kepala RRI Palembang, Drs. H. Nurhanuddin, MM , mengaku merasa bangga dan bergembira atas penghargaan tersebut. “Sebagai media publik, tugas kami adalah sebagai media pembangun karakter bangsa. Karakter bangsa yang dibangun oleh RRI adalah karakter Indonesia yang mau kita bangun. Salah satunya bagaimana menghargai, melestarikan, dan mengembangkan budaya yang ada, termasuk budaya makanan. Itulah bagian dari pengembangan budaya kita,” ungkap Nurhanuddin.

Ia mengaku cukup risau dengan intervensi negara lain lewat produk makanan dan media dari negara lain itu ikut juga mengambil peran sebagai wahana yang mempromosikan dan memperkenalkan produk tersebut. Oleh sebab itu, pada tahun 2014 Programa 4 RRI Palembang meluncurkan program “Pempek Palembang: Nikmatnya Kapal Selam. ”Melalui acara itu, Nurhanuddin berharap akan lahir kesadaran masyarakat akan kuliner asli setempat yang tidak kalah dengan makanan impor dari Jepang dan Korea, misalnya. “Ini merupakan bagian dari ketahanan budaya dan, ingat, budaya makanan itu adalah aset. Apalagi makanan asli itu tidak hanya steril tetapi juga kandungan gizinya bagus,” katanya.

“Di Indonesia, media harus mampu menjadi etalase dan benteng budaya. RRI itu harus jadi etalase dan benteng budaya, khususnya untuk Program 4,” tegasnya.

Derasnya serbuan makanan impor, kata dia, menuntut media seperti RRI harus ikut berperan sebagai benteng dan etalase budaya. Media harus ikut membentengi bangsa dari sudut budaya, termasuk budaya kuliner. Media mempunyai tugas memperkenalkan makanan sehat di tiap daerah yang diproduksi oleh bangsa sendiri.

Kenapa pempek? Nurhanuddin mengungkapkan, di Palembang tidak semua penduduknya asli setempat, banyak pendatang. Penduduk pendatang ini perlu disuguhi informasi mengenai makanan khas Palembang, yaitu pempek yang memang nikmat. Selain nikmat, pempek juga memiliki kandungan gizi yang baik. Bahan pembuatannya sederhana, yaitu daging atau ikan, sagu, telur ayam, air panas, dan garam.

“Sederhana bahan pokoknya, tetapi setelah dirakit jadi makanan, nikmatnya luar biasa. Makanan ini tidak kalah dengan makanan dari Jepang atau Korea. Alhamdulillah, dengan program ini pendengar kami, termasuk saya yang pendatang, sekarang suka dengan pempek. Rasanya tidak makan sehari, kalau belum makan pempek. Dan di Palembang, hampir seluruh wilayah Sumsel, tidak ada acara tanpa pempek. Menjamu tamu itu pasti ada pempek. Itu menu kehormatan,” kata Nurhanuddin yang asalnya dari Sulawesi Selatan. Pempek, kata dia, telah menjadi makanan identitas Palembang.

Selain sebagai makanan identitas, hal penting lain dari kuliner tersebut adalah aspek historisnya yang menarik. Nurhanuddin menuturkan, pempek diperkenalkan oleh seorang perantau asal Tiongkok sekitar abad ke-16 di pesisir sungai Musi. Tatkala ia melihat panen ikan di sungai Musi yang berlimpah dan penduduk setempat hanya mengolahnya sebatas digoreng dan dipindang, ia tergerak mencoba cara lain mengolah ikan. Ia menggiling ikan dan mencampur daging ikan giling tersebut dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek. Karena penjualnya dipanggil apek, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai “empek-empek” atau “pempek”.

“Makna historis yang bisa dipetik juga, warga Palembang itu selalu terbuka kepada pendatang, bahkan itu sudah diperlihatkan sejak abad ke-16, ketika Kesultanan Palembang Darussalamdipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Masyarakat Palembang menerima pendatang siapa saja, termasuk orang Tionghoa. Juga makanan buatannya. Pempek itu bukan makanasli orang Palembang. Ini perlu apresiasi,” imbaunya. Pempek Palembang kini tidak hanya membumi di negeri ini, tetapi malah juga sudah diekspor ke luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

KATEGORI KOMUNITAS

Komunitas dalam penghargaan kebudayaan ini ditekankan kepada jaringan sosial dan keterlibatan masyarakat di dalamnya secara sukarela serta dapat memberikan dampak berupa interpretasi baru terhadap kebudayaan dan tujuannya melampaui kepentingan internal kelompoknya sendiri. Selain itu, komunitas memiliki tokoh atau inisiator yang dikenal luas, serta kegiatannya tidak terpaku pada satu bidang kebudayaan saja.

Dalam penghargaan ini, Komunitas Budaya diartikan sebagai: a. Memiliki spesifikasi aktivitas pelestarian bidang kebudayaan minimal selama 10 (sepuluh) tahun; b. Memelihara, mengembangkan, dan melestarikan asset nasional yang menjadi potensi kebudayaan dan asset potensial yang belum tergali; c. Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kebudayaan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

INDONESIAN DANCE FESTIVAL (IDF)

Indonesian Dance Festival (IDF) merupakan salah satu komunitas seni dalam bidang seni tari yang didirikanpada tahun 1992 dengan tujuan memajukan dunia seni tari di tanah air. IDF memiliki visi untuk meningkatkan karya seni tari kontemporer khususnya di Indonesia dan meningkatkan kreativitas tari kontemporer bagi kaum muda maupun penata tari di indonesia. Misi IDF yang terpenting adalah mewujudkan tari kontemporer di Indonesia yang berlandaskan pada nilai-nilai tradisi.

Sebagai komunitas seni independen, yang didirikan oleh para tokoh dan akademisi seni tari, IDF patut mendapatkan apresasi karena keberadaannya selama 24 tahun telah memberi sumbangan besar bagi perkembangan dunia tari di Indonesia, khususnya dengan memberi kesempatan para piñata tari muda untuk bersaing di ajang internasional.

Kelahiran IDF berangkat dari keresahan beberapa tokoh dan akademisi tariyang menghadapi kenyataan bahwa programPenata Tari Muda yang pernah digagas Komite Seni Tari, Dewan Kesenian Jakarta (Sal Murgiyanto, Edi Sedyawati) dan pernah berjalan dengan baik pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1987, kemudian terhenti pada tahun 1990.

Menghadapi situasi tersebut beberapa tokoh dan akademisi tari terkemuka Indonesia dari Institut Kesenian Jakarta, seperti Sal Murgiyanto (baru menyelesaikan studi pengkajian tari Amerika Serikat), Nungki Kusumastuti, Melina Surja Dewi, Maria Darmaningsih, Deddy Lutan, dan Tom Ibnur menginisiasi sebuah wadah seni. Prakarsa ini didukung oleh beberapa tokoh tari Indonesia, di antaranya Sardono W. Kusumo, Julianti Parani, Edi Sedyawati, dan Farida Oetoyo merasa terpanggil untuk mendirikan sebuah wadah apresasi seni yang kemudian diberi nama Indonesian Dance Festival (IDF).

Penyelengaraan IDF pertama pada tahun 1992, hanya diikuti para koreografer dari Indonesia.Namun, pada penyelenggaran tahun berikutnya (1993), IDF mengundang para koreografer dunia dengan harapan akan terjadi proses pembelajaran satu sama lain. Dalam penyelenggaraan kedua itu memiliki nilai sejarah dengan mengadakan program showcase, yaitu program yang dirancang untuk menampung bibit-bibit berbakat para koreografer muda Indonesia.

Kepengurusan IDF tahun 1992—2002 diketuai oleh Sal Murgiyanto, lalu oleh Nungki Kusumastuti pada tahun 2004—2008, dan Maria Darmaningsih dari tahun 2010—sekarang. IDF yang diadakan setiap dua tahun sekali telah berhasil menampilkan karya-karya terpenting para koreografer Indonesia yang sudah mapan maupun yang sedang berkembang di antaranya M. Miroto, Mugiyono Kasido, Eko Supriyanto, Boi G Sakti, dan Jecko Siompo. Para koreografer dari mancanegara antara lain Ku Ming-Shen (Taiwan), Min Tanaka dan Takiko Iwabuchi (Jepang), Cezerine Barry (Australia), Janis Brenner (Amerika Serikat), Arco Renz (Belgia), Jerome Bel (Prancis). IDF juga melibatkan para kurator dari luar Indonesia sebagai anggota artistic board, di antaranya Tang Fu Kuen dari Singapura dan Daisuke Mutoh dari Jepang.

Hal terpenting dari kegiatan IDF adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada pengembangan pendidikan seni tari yang bertolak dari berbagai khazanah, baik yang tradisional maupun modern dan kontemporer melalui program-program kerjasama antara seniman Indonesia dengan seniman dari negara lain, program workshop, presentasi, seminar, kompetisi, master class, stimulasi karya-karya baru serta berbagai presentasi karya-karya inovatif. Program-program itu didesain sebagai upaya mengangkat potensi para seniman muda sekaligus ruang mediasi antara karya-karya koreografi dengan masyarakat luas yang memiliki latar belakang kultur yang beragam pula.

IDF adalah perayaan karya kreatif sebagai wahana untuk membuka diri terhadap segala perbedaan identitas. Dari perbedaan itu akan tercipta berbagai kemungkinan dialog atau bentuk-bentuk kolaborasi dalam tingkat apa pun guna mendorong kreativitas kebudayaan secara luas di masa depan. Dengan latar belakang pendiriannya, khususnya sebagai bagian dari pengembangan pendidikan tari, IDF meletakkan tujuan-tujuan tersebut pada perluasan pengetahuan dan pengalaman para kreatornya agar dapat memperluas jangkaun artistiknya dengan memanfaatkan segala khazanah yang ada sesuai perkembangan kreativitas seni secara umum maupun sebagai ruang pertemuan antara karya seni dengan masyarakat luas. Suatu pertemuan yang akan membangun dialog antara para seniman dan masyarakat untuk lebih memahami perkembangan budaya yang terbuka dari segala arus kreativitas yang bermacam-macam.

Membesarkan IDF dengan semangat integritas Sebagai komunitas seni tari, yang tumbuh, dibesarkan secara independen oleh sekelompok seniman tari, dan bertahan selama hampir 24 tahun merupakan bukti dari kuatnya dedikasi dan komitmen yang tinggi. Kondisi itu diakui Melina Surja Dewi, bahwa IDF tumbuh dan berkembang selain didirikan para penggagas --para penari profesional-- juga komitmen dan integritas yang tinggi dari para pendiri. “Kami memiliki komitmen untuk memajukan dunia tari di Indonesia, khususnya dalam mendukung penata tari muda untuk terus melakukan karya kereatifnya melalui tari kontemporer, sehingga lebih banyak penata tari yang bisa berbicara atau bisa berekspresi dengan karya tarinya dan dengan karya koreografinya di dunia internasional. Selain itu, kami juga memberikan program pendampingan yaitu bagaimana meningkatkan kualitas diri dalam berkarya, sehingga menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan.”

“Lalu bagaimana dengan tantangan yang dihadapi IDF?”

“Tantangan paling besar adalah bagaimana memberikan keyakinan kepada masyarakat tentang pentingnya seni tari kontemporer sebagai identitas bangsa. Berbagai upaya kreatif dan inovasi terus diupayakan penyelenggara IDF, khususnya terkait dengan pembinaan seni di masyarakat. Salah satu kegiatan tambahan IDF yang visioner adalah “Indonesia Menari.” Menari itu bukan sekadar arti secara fisik, yaitu menari, tapi menari adalah pikiran kita semua menari,hati kita menari, dalam rangka membangun Indonesia, membentuk kreativitas, dan bahwa menari itu tidak harus selalu dilakukan oleh orang yang pandai menari, bahwa pada tingkatan tertentu mereka harus dilakukann oleh panari-penari profesional itu betul, tetapi semua orang bisa menari dengan semangat membangun Indonesia dengan kreativitas yang tinggi, itu adalah menari. Selain itu tantangan yang luar biasa adalah dukungan penyandang dana, khususnya dari pihak swasta, karena mereka selalu bertanya, benefit apa yang akan kami dapatkan? Namun demikian,para penggagas IDF tak penah lelah memberi pemahaman tentang pentingnya keterlibatan pihak swasta dalam memberikan apresiasi seni. Beberapa pihak yang tercatat sebagai mitra IDF, antara lain Gedung Kesenian Jakarta, PKJ-TIM, The National Institute of The Art Taipei, Asian Cultural Council, American Dance Festival, dan Durham North Carolina.”

Di luar berbagai tantangan tersebut para pendiri IDF senantiasa optimis dan bekerja keras untuk terus mempertahankan keberlangsungan IDF, seperti dikatakan Maria Darmaningsih, “Kami tahu bahwa kami harus jalan terus karena dibelakang kami ada sekian banyak komunitas tari yang selalu menanti-nantisupaya bisa ikut berpartisiasi pada kegiatan IDF,karena dengan bisa ikut IDF mereka dapat dikenal secara internasional.”

Maria menambahkan bahwa sejak IDF tahun 2014, dicanangkan program "Koreografer Muda Potensial." Untuk kegiatan itu IDF mengundang 20 koreografer muda dari berbagai kota, memberi fasilitas berupa akomodasi dan kesempatan menonton semua pertunjukan serta mengikuti rogram IDF (master classes). Selain itu,para peserta bertemudan berdiskusi dengan para tokoh seni tari, seperti Sal Murgiyanto, Eko Supriyanto, Helly Minarti, dan lain-lain. Program itu bertujuan untuk mengenalkan, melibatkan, dan memberi pengalaman kepada para koreografer muda untuk berinteraksi dalam acara internasional.

Menghadapi tantangan ke depan, para penggagas IDF berkomitmen untuk terus berjuang dan bekerja keras dengan keikhlasan, seperti diungkapkan Nungki Kusumastuti, “Dengan integritas dan komitmen yang tinggi kehadiran IDF itu penting sebagai identitas bangsa Indonesia. Harus ditumbuhkan keyakinan bersama bahwa bangsa Indonesia mempunyai tari kontemporer yang berakar dari nilai-nilai tradisi, bakat-bakat tinggi yang harus terus ditampilkan didunia internasional. IDF di masa mendatang akan terus meningkatkan diri, dan lebih berbagi, baik kepada masyarakat luas, komunitas seni, khususnya para koreografer, penata tari muda yang sedang terus berproses dalam kreativitasnya. Sehingga diharapkan akan lahir para penata tari yang akan muncul dari berbagai penyelenggaraan IDF.”

Terkait dengan penghargaan Kebudayaan tahun 2015 untuk ketegori Komunitas Seni, para pendiri IDF mengungkapkan rasa gembiranya sebagaia berikut, “Dengan bangga dan bahagia, kami dari IDF menyampaikan terima kasih atas penghargaan yang kami terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan ini akan semakin memotivasi kami menjadi semakin besar. Maju Terus IDF dan Dunia Tari Indonesia!”.

PENGHARGAAN Tahun 2010 Mendapat penghargaan MURI untuk Penyelenggara Festival Tari Terlama di Indonesia.

Tahun 2014 Penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk Penyelenggara Kegiatan Seni Pertunjukan dalam Kurun Waktu 10 Tahun Terakhir.

PADEPOKAN LEMAH PUTIH

KOMUNITAS ADALAH KEKUATAN TRADISI KITA

Pedepokan Lemah Putih telah menjadi salah satu institusi seni yang dikenal luas tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Suprapto Suryodarmo mendirikan pedepokan ini di Kampung Bonorejo, Desa Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, tahun 1986.

“Saya memberi nama Padepokan Lemah Putih karena saya menghargai istri bernama Siti, itu tanah. Istri yang baiklah,” kata Suprapto tentang asal-usul nama padepokannya.

Padepokan ini telah menjadi wadah berbagai lintas kesenian dan telah menjadi ruang terbuka untuk ajang kolaborasi karya, pelatihan, pameran, dan pertunjukan seni. Sejumlah program tetap diselenggarakan di sini, seperti program programLir-Ilir, Macaning, Performance Art Laboratory Project, Undisclosed Territory, dan Performance Art Event.

Program kegiatan Padepokan Lemah Putih, menurut dia, diarahkan pada merayakan kesenian-kesenian etnik di dalam perjalanan waktu atau celebration ethnic art in time. Di sini etnik tidak diletakkan pada masa lalu, tapi justru diarahkan ke masa depan, dijadikan satu tumpuan dari sebuah proses memajukan kemanusiaan kita. “Saya mencoba mengangkat itu dengan banyak kegiatan yang kami namakan seni srawung, saling berbagi,” jelasnya. Tahun 2015 ini Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberi Penghargaan Kebudayaan untuk kategori komunitas bagi Padepokan Lemah Putih. “Saya sangat gembira pemerintah memberikan penghargaan dengan titik tolak pada komunitas. Karena, justru kekuatan bangsa Indonesia terletak pada nilai-nilai tradisi yang ada di komunitas, seperti nilai gotong royong. Komunitas adalah kekuatan tradisi kita.” katanya menanggapi penghargaan yang diberikan Kemendikbud untuk Padepokan Lemah Putih.

Srawungdapat diartikan sebagi “berbagi pengalaman”. Di sini para seniman pendukung tidak dilihat hanya sebagai profesional, tetapi nilai-nilai kemanusiaan mereka. Berbagi pengalaman inilah yang giat dilakukan oleh padepokan ini, seperti srawung pasar dan srawung candi. Diikuti berbagai seniman dari dalam dan luar negeri, Padepokan Lemah Putih menggelar Srawung Pasar.

Pesan apa yang mau disampaikan lewat srawung pasar dengan menggelar seni pertunjukan di pasar? Suprapto menjelaskan, kita tahu pasar tradisi punya nilai “Kamu rugi sedikit, tetapi untungnya kita mempunyai sanak saudara.” Jadi menurutnya, di pasar tradisi orang dimaknai sebagai manusia, bukan hanya pembeli barang. Bukan hanya sebagai uang. Pasar tradisi diprediksi akan hilang kumandangnya. Pasar tradisi akan runtuh.

“Sejak sepuluh tahun lalu saya berusaha agar nilai pasar tradisi masih tetap berjalan. Tidak hanya mal atau supermarket. Pasar modern itu “pasar bisu.” Tidak ada tawar menawar di situ, tidak ada interaksi sebuah kemanusiaan yang kalau Anda beli di pasar tradisi,Anda akan tanya, oh, ini jeruk dari mana. Kalau dulu di Solo, orang bilang dari Tawamangu. Dari Boyolali. Itu berarti ada semangat sejarah dari apa yang dijajakan. Batik juga, dari Pekalongan, dari gaya ini, Imogiri atau gaya Lasem, Solo, Solo mana, apa Sragen, Lawean, atau apa itu. Itu tradisi di sini diletakkan dalam konteks kemanusiaan, spiritual kapitalisme di sini itu masih terjaga. Bukan kapitalisme yang hanya menekankan kepada materi. Ini yang sebenarnya itu yang dibangun pasar tradisi saja, tetapi lebih pada spirit semangat dari bermanusia, berkemanusaan lewat kapitalisme itu.

PENDIRI Suprapto Suryodarmo

BERDIRI Tahun 1986

ALAMAT Kampung Bonorejo, Desa Plesungan Rt 02/ RW 02, Karanganyar, Jawa Tengah

MAHA BAJRA SHANDI

Hakikat menari bukan sekadar lekuk tubuh gemulai, namun di dalam menari ada keterkaitan yang erat dengan pembentukan sikap dan perilaku para pelakunya, terutama dalam memaknai kehidupan sekaligus upaya menguatkan jati diri dalam konteks pembangunan karakter bangsa. Hal itu merupakan esensi yang tertangkap dalam spirit Ida Wayan Oka Granoka Gong. Ia adalah pendiri Maha Bajra Shandi, yang secara konsisten mengusung tradisi teks Sutasoma karya Mpu Tantular.

Estetika keseimbangan hidup menjadi hal prinsipil dalam menyerap sinergi positif antara agama, seni, dan pengetahuan. Jika ketiganya dibenturkan akan mendatangkan kehancuran pada bumi ini. Granoka menandaskan bahwa untuk membangun peradaban bangsa, pada jiwa setiap manusia Indonesia sepatutnya dikobarkan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang melibatkan kemampuan musik (artikulasi), linguistik, dan mistik (spiritual) untuk menangkap hikmah dari substansi ketiga unsur tersebut, dan tidak mengkotak-kotakan.

Pemikiran Granoka ini pun mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat di Banjar Batukandik, Desa Padangsambian, Denpasar, Bali yang kemudian meluas ke berbagai wilayah di Indonesia melalui pergelaran “Grebek Aksara” sebagai ajang pembelajaran ribuan anggota komunitas, ratusan desa, dan puluhan festival.

Proses Kreatif “Komunitas Bajra Sandhi” Sebagaimana prinsip kalangan seniman dan budayawan, baik dalam kapasitasnya sebagai individual ataupun komunal, dalam berkarya sesungguhnya tidak ditujukan untuk mendapatkan penghargaan, tetapi lebih pada upaya pengungkapan secara ekspresif terhadap dunia sekitarnya. Hal itulah yang dilakukan oleh Granoka dengan komunitas Bajra Sandhi-nya.

Pada awal didirikan, yaitu pada 5 Oktober 1991, komunitas budaya yang semula bernama Sanggar Kreativitas Bajra Sandhi menyelenggarakan pergelaran perdana “Panedeng Masa Kartika” di SD 8 Padangsambian Kaja, Denpasar Barat. Pergelaran itu pada mulanya bersifat terbatas, yaitu di lingkungan keluarga Ida Wayan Oka Granoka Gong. Namun, karena keteguhan Granoka dalam memegang prinsip estetika keseimbangan hidup, dan upayanya itu didukung TVRI Stasiun Denpasar yang mempublikasikan karya perdana tersebut, akhirnya ia mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat. Sanggar seni bertaksa taksu “Wyakti ni Prayoga” dengan nama kebesarannya: Maha Bajra Sandhi, menekankan pada setiap hela nafas spirit kreativitas yang merujuk pada fenomena alam semesta. Senyampang dengan upaya Granoka yang tiada henti menebar benih-benih kesadaran moral kepada muridnya, sanggar ini pun menjelma menjadi pintu gerbang moral seni tradisi Bali.

Kilas balik pada fase 1991—2000 bagi Granoka merupakan masa-masa pencarian bentuk karya dan upaya membangun arah proses kreatif. Banyak karya yang telah dilahirkannya, beberapa di antaranya tercatat dalam buku Memori Perburuan Ke Prana Jiwa, namun demikian banyak juga karyanya yang tidak tercatat dan luput dari ingatan. Pemberitaan media cetak juga cerita dari mulut ke mulut mengkondisikan fase ini sebagai fase yang sangat padat dengan agenda ngayah ke desa-desa, mengisi acara-acara seminar baik di wilayah Denpasar, Yogyakarta, Jakarta, dan Lombok.

Fase 2000 hingga sekarang adalah fase pengukuhan karya Granoka dengan Bajra Sandhi yang semakin mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak yang memiliki visi yang sama. Semangat ini pun kian memberikan ruang pengabdian dan persembahan buah pikiran Granoka bagi kepentingan yang lebih luas, yaitu desa dan negeri (desantara prasada tatwa).

Mengawali Program Mahkota Budaya bertema “7 Abad Bhinneka Tunggal Ika, Sutasoma, Mpu Tantular” yang juga disebut sebagai “Program Garba 2000-2020” yang dikukuhkan di Pura Luhur Uluwatu, Badung. Berturut–turut menggelar acara terkait dengan Grebeg Aksara, dari tingkat banjar, kabupaten, provinsi, ke beberapa provinsi hingga menebar spirit ke tingkat dunia. Di beberapa Negara, Granoka dengan Maha Bajra Shandi melakukan perjalanan “Proses Kreatif Bangsa.” Bentuknya semacam prosesi berisi kekuatan dan keunggulan lokal genius setempat, utamanya karakter yang terkait dengan “Aksara” (A-ksara); “Yuganadakalpa: Gelar Ritus Musik Baru” (pergelaran); “Parum Param” semacam mimbar dialog yang mempertemukan wacana pada tindakan nyata/karya, membangun supremasi desa ideal; “Linggacala Prabha”: mendaki bukit/gunung menyambut matahari terbit, sebagai simbol mencerap energi murni, kelahiran kesadaran baru di setiap langkah ke depan. Keempat agenda tersebut kemudian menjadi satu rangkaian utuh dalam setiap program selanjutnya yang disingkat “Grebeg Aksara”.

Sebagai titik simpul, pada tahun 2004 ia berhasil merealisasikan wujud barungan Gamelan yang disebutnya “Pakarana Gamelan,” serta penguatan kembali perjalanan proses kreatif dalam konsep Yoga dengan mengukuhkan diri sebagai Perguruan Yoga Musik Yuganadakalpa Maha Bajra Sandhi. Pergelaran perdana dilakukan di titik Trinadi Desa Budakeling. Sejak saat ini, terdapat Maha Bajra Sandhi untuk proses kreatif yang bersifat idealisme dan Bajra Sandhi untuk proses kreatif yang bersifat pengembangan dan pelayanan.

Berbeda dengan tahun–tahun sebelumnya, maka pada tahun 2014 komunitas ini memulai program epistemik TARKA, yaitu ruang diskusi dengan tujuan mentaksonomi butir-butir pemikiran Granoka menuju ke arah pelembagaan institusional yang dilaksanakan di beberapa tempat. Hampir semua kegiatannya menyuarakan hakikat nilai–nilai budaya, strategi penerapannya dalam konteks kehidupan masyarakat, dengan mengambil contoh proses kehidupan manusia Bali, dalam beberapa perspektif, baik secara nasional maupun dalam konteks global. Granoka secara konsisten menerapkan konsep ekologi dari beberapa spektrum humaniora, sejarah, dan ekonomi. Begitulah Spirit Maha Bajra Sandhi yang seakan tak pernah padam, bahkan telah membangkitkan gelora kebangsaan hingga menyentuh agenda penting dunia di antaranya Cultural Olympiade di Athena, Yunani (2004); “50 tahun Hubungan Diplomatik Indonesia–Vietnam Memasuki Babak Baru,” yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam (2005); “Pencitraan Kembali Bali di Mata Eropa,” yang diselenggarakan di Belgia, Perancis, Belanda, Jerman, dan Luxemburg (2006).

Penghargaan : Penghargaan Maestro Seni Tradisi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

ANTHONY H. JOHNS

PELOPOR STUDI ISLAM DI INDONESIA

Anthony H. Johns adalah seorang ahli sastra Indonesia modern dan naskah- naskah Islam klasik Indonesia. Ia juga sangat berjasa dalam mengembangkan studi bahasa Indonesia dan Jawa kuno di Australia. Pria yang lahir di Wimbledon, Inggris pada tahun 1928 ini pertama kali berkenalan dengan budaya Islam dan Melayu ketika ditempatkan di Singapura dan Malaysia pada saat mengikuti wajib militer. Di waktu luangnya, ia mengajar bahasa Inggris kepada rekan-rekan Malaysianya. Sebagai gantinya, mereka memperkenalkan kepadanya mengenai Ramadhan dan nilai-nilai Islam lainnya yang ia saksikan dalam kehidupan sehari-hari orang Malaysia. Perkenalan dengan budaya baru itu membuatnya memperpanjang masa tugas selama satu tahun di Malaysia untuk memperluas pemahamannya terhadap Islam. Saat itu dirinya sudah memiliki minat yang tinggi dan memiliki ketertarikan yang kuat terhadap sejarah Islam.

Sekembalinya dari Malaysia, Tony menyelesaikan pendidikan di Universitas London di bidang Melayu dan Arab, dilanjutkan dengan gelar Ph.D di universitas yang sama dengan disertasi berjudul “Islam in the Malay World: A Study if 17th Century Sufi Tracts.” Pada tahun 1954, Tony kembali ke Indonesia sebagai pengajar bahasa (dan juga sebagai siswa) yang didukung Ford Foundation. Pada tahun 1958, ia bertemu dengan Professor Jim Davidson dari Sekolah Riset Asia Pasifik, Australian National University. Hal itu kemudian memotivasi dirinya untuk menjadi dosen di Canberra University College, yang kemudian berubah nama menjadi School of General Studies (SGS), Australian National University. Pada tahun 1963, Tony ditunjuk sebagai profesor di Fakultas Studi Asia SGS, karena ia berperan penting dalam pengembangan studi di bidang bahasa dan sastra Indonesia, Cina, Jepang, Melayu, Arab, dan Mongolia. Di sana, ia mengampu mata kuliah “Sejarah dan Institusi Islam,” “Dasar Naskah Islam,” dan “Pembiasaan Islam di Asia Tenggara.” Ia mengajar di Australian National University hingga tahun 1993.

Selama rentang masa tersebut, Tony membangun reputasinya di kalangan dunia internasional dan menjadi ahli yang diakui dalam bidang Al Quran serta Sejarah dan Institusi Islam di Asia, sekaligus sebagai guru bahasa untuk negara-negara yang memberikan beasiswa di bidang tersebut (Melayu, Indonesia, dan Arab). Dari sekian banyak artikel dan tulisan yang dibuat oleh Anthony Johns, buku yang ia anggap sebagai karya yang paling menonjol adalah buku Islam in World Politics (2005), yang ia edit bersama dengan Nely Lahoud. Buku ini membahas tentang pengaruh agama Islam kepada dunia. Di dalam buku tersebut, ia menuliskan sebuah artikel yang berjudul “The World of Islam and the Challenge of Islamism.” Selain itu, Tony juga pernah mengadakan konferensi internasional pada tahun 1980 yang mengkaji 14 abad turunnya Al Quran. Pada tahun 1993, ia menjadi terkenal di kalangan peneliti internasional melalui kumpulan artikel berjudul Transmissions of Islam yang diterbitkan pada tahun 1997. Setelah pensiun dari Australian National University pada tahun 1994, Anthony tetap mengabdi di universita itu sebagai Visiting Fellow dalam bidang Sejarah Asia Pasifik. Ia terus melanjutkan penelitiannya tentang Al- Quran, perkembangan pembelajaran Islam dan spiritualitas di Indonesia dan Malaysia serta menyebarkan hasil penelitiannya kepada komunitas Islam dan non-Islam. Ia masih memberikan workshop, kuliah, dan briefing kepada anggota dewan pertahanan dan diplomat serta publik Australia mengenai Islam, dan giat mempromosikan kerja sama antarkepercayaan melalui dialog agama Islam dan Kristen.

Sejak tahun 2007, Tony mulai mengajarkan komponen agama Islam dalam mata kuliah yang berkaitan dengan hubungan antaragama di Australian Catholic University. Saat ini ia adalah anggota dari Inter-Religious Dialogue Network di Australian Catholic University, suatu lembaga yang mempromosikan dialog antaragama melalui penelitian, pengajaran, dan keterlibatan komunitas. Salah satu tulisan mengenai tema ini tertuang di dalam artikel “Holy Ground: A Space to Share,” yang terdapat di ANU Emeritus Faculty Newsletter No. 24, diterbitkan pada Maret 2010. Artikel ini diterbitkan juga bersama-sama dengan artikel lain di dalam Essays on Islam: Understanding the Quran yang diterbitkan oleh Hamdard Foundation.

BIODATA Tempat/Tanggal Lahir : Wimbledon, Inggris, 1928

AKTIVITAS: - Anggota Emeritus Faculty Australian National University - Anggota editorial board of the Journal of Qur'anic Studies - Visiting Fellow in the Division of Pacific and Asian History, RSPAS of the ANU - Keahlian pada konsentrasi: Islamic History and Institutions, the foundation texts of Islam, and the vernacularisation of Islam in Southeast Asia.

KARYA BUKU: - “Shams al-Din al-Samatra'i,” dalam Essays in Arabic Literary Biography 1350-1850, J. Lowry and D. Stewart (eds) Wiesbaden: Harrassowitz, 2009, pp.355-68 - “The world of Islam and the challenge of Islamism,” Anthony H. Johns & Nelly Lahoud in Islam in World Politics, 2005 pp 7-28.

ARTIKEL: - “Abraham - Our Father in Faith? A Reflection on Christian-Muslim Consociation,” dalam St. Mark's Review, St Mark's National Theological Centre, Canberra no. 206, November, 2008 (3) pp 5-22. - “Aspects of the Prophet Job in the Qur'an: A Rendering of Tabari's Exegesis of Surah al-Anbiya' (XXI:83-84)” dalam Hamdard Islamicus Vol:XXVIII January March 2005 No.1, pp7-51. - “Jonah in the Qur'an: An Essay on Thematic Counterpoint” dalam Journal of Qur'anic Studies Vol. 5 Issue 2 2003, pp. 48-71.

Sumber: http://www.anu.edu.au/emeritus/ohp/interviews/tony_johns.html diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 http://www.csimcnz.ac.nz/speakers.html diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 http://www.anu.edu.au/emeritus/members.html diakses tanggal 25 Agustus 2015 http://www.acu.edu.au/about_acu/faculties,_institutes_and_centres/centres/centre_for_early_ christian_studies/inter-religious_dialogue/centre_members diakses tanggal 25 Agustus 2015

HENRI CHAMBERT-LOIR

PENGUAK SEJARAH KESULTANAN BIMA DARI PERANCIS

Henri Chambert-Loir lahir pada tahun 1945. Ia adalah ahli naskah Bima dan Melayu berkebangsaan Perancis. Henri adalah peneliti di Ecole Françaised 'Extrême-Orient (EFEO) sejak tahun 1971. Henri juga menjabat sebagai anggota Dewan Ilmiah di dalam jurnal Archipel.

Sebelum menjadi anggota EFEO, Henri Chambert-Loir mengajar bahasa Indonesia di School of Oriental Language sambil menyelesaikan pendidikan Master di bidang Sastra Modern di Universitas Sorbonne, Perancis dan sambil mengambil gelar diploma di École des Hautesétudes en Sciences Sociales (EHESS). Dengan sejarah pendidikannya itu, bukan hal yang aneh jika Henri membahas Indonesia melalui karya sastra kontemporer.

Sejak direkrut sebagai anggota EFEO pada tahun 1971 dan ditempatkan di Indonesia, Henri memfokuskan penelitiannya pada literatur Melayu kuno, terutama Filologi Melayu. Ia bertujuan untuk mempublikasikan karya-karya sastra yang belum terungkap atau diketahui oleh publik, dengan alasan bahwa masih ada koleksi literatur Melayu Kuno yang belum ditemukan. Tidak hanya itu, Henri juga berkontribusi untuk menjabarkan suatu metode Filologi (ilmu yang mempelajari tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana yang tercantum di dalam bahan-bahan tertulis) yang secara teliti disesuaikan dengan tradisi tertulis Melayu.

Henri menerjemahkan sejumlah buku, artikel, dan karya sastra dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Perancis dan sebaliknya. Beberapa karya terjemahannya adalah Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi (Voyage de Noces,1975),Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam (Javanaises, 1992),Telegram karya Putu Wijaya (Télégramme, 1992), Le Petit Princekarya A. de Saint-Exupéry (Pangeran Cilik, 2011). Tidak hanya menerjemahkan, Henri juga tertarik untuk melakukan penelitian terhadap sastra Indonesia. Ia menerbitkan beberapa penelitian mengenai karya sastra dari penulis Indonesia, seperti Mas Marco Kartodikromo (Mas Marco Kartodikromo ou l'éducation politique) pada tahun 1974 dan Syamsudin Saleh (Les nationalistes indonésiens vus par un romancier malais: Shamsuddin Saleh, diterjemahkan dalam bahasa Malaysia dengan judul Kaum Nasionalis Indonesia di Mata Seorang Novelis Melayu: Shamsuddin Saleh) pada tahun 1976 dan 1977.

Henri juga melakukan penelitian mengenai sebuah taman bacaan kuno di Batavia yang beroperasi antara tahun 1860 hingga tahun 1910. Taman bacaan itu dikelola oleh sebuah keluarga yang mengarang dan menyalin naskah-naskah Melayu gaya sastra lama (hikayat dan syair) untuk kemudian disewakan kepada warga kampung di sekelilingnya. Dari penelitian ini, Henri menulis empat artikel (beberapa di antaranya berjudul: “Pemerintahan Hindia Belanda di Mata seorang Pengarang Melayu, Muhammad Bakir: a Batavian Scribe and Author in the Nineteenth Century, dan Dunia Penerbitan Indonesia pada Abad XVII” yang terbit antara tahun 1948 dan 1992) dan sebuah buku. Baru-baru ini, Henri mengumpulkan 60 orang dari berbagai bidang (sastra, linguistik, sejarah, agama, hukum, dll) untuk meneliti tentang terjemahan yang pernah dilakukan di Indonesia (Nusantara) dari segala bahasa Nusantara, dalam segala bidang, dan sepanjang masa. Hasil penelitian tersebut tertuang dalam sebuah buku berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan Indonesia dan Malaysia yang terbit pada tahun 2009.

Penelitian Henri mengenai kesultanan Bima bisa dikatakan memberikan sumbangsih amat besar terhadap pengetahuan sejarah Indonesia.Tulisan Henri mengenai Kesultanan Bima pertama kali tercantum dalam buku berjudul Syair Kerajaan Bima yang terbit pada tahun 1982. Penelitiannya, yang tercantum dalam buku Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima (1999),menunjukkan bahwa bahasa Melayu adalah bahasa politik dan budaya yang digunakan oleh kerajaan yang letaknya ada di wilayah timur Indonesia ini. Penelitian ini juga mengungkapkan sebuah manuskrip dalam bahasa Melayu yang menceritakan sejarah Kesultanan Bima. Hasil penemuan itu membuat Henri kemudian menganalisis kembali sejarah Kerajaan Bima yang pernah ditulisnya dalam artikel berjudul “Negara, Kota, Perdagangan: Kasus Bima” yang terbit pada tahun 1989 (diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1994 dengan judul: “State, City, Commerce: The Case of Bima”). Secara total, Henri telah menerbitkan lima buku dan sejumlah artikel mengenai Kesultanan Bima.

Di luar bidang filologi dan sastra, Henri juga menerbitkan studi-studi tentang bahasa Indonesia Modern, seperti bahasa gaul Jakarta (Kamus Bahasa Prokem, 1988) dan mengenai agama Islam. Penelitiannya mengenai agama Islam berfokus pada dua aspek. Kedua aspek tersebut adalah tradisi ziarah kubur dan perjalanan naik haji ke Mekkah. Mengenai ziarah kubur, Henri mengunjungi lebih dari seratus situs keramat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi. Penelitian ini berlangsung selama tiga tahun dan dilakukannya bersama-sama dengan seorang rekan Perancis yang bernama Claude Guillot. Hasil penelitian tersebut kemudian terbit pada tahun 1995 dalam bahasa Perancis dan tahun 2007 dalam bahasa Indonesia dengan judul Ziarah dan Wali Dunia Islam. Buku ini berisi 29 artikel yang tidak hanya memuat hasil penelitian Henri dan Claude saja, namun juga memuat artikel dari 15 rekan Henri lainnya. Di dalam buku ini diperlihatkan bahwa fenomena ziarah kubur tidak hanya ada di Indonesia saja, namun terdapat juga dalam semua negara dunia Islam tanpa terkecuali dengan berbagai variasi lokal.

Aspek yang kedua, yaitu perjalanan naik haji. Henri melakukan pengamatan terhadap kisah-kisah perjalanan naik haji yang pernah dilakukan oleh orang Indonesia baik di masa lalu maupun masa sekarang. Ia kemudian menuliskan hasil pengamatannya tersebut ke dalam artikel tentang kisah-kisah modern (dari tahun 1970-an sampai sekarang) yang diterbitkan pada tahun 1996. Kemudian ia menerbitkan tiga jilid buku yang berisi tentang 29 kisah naik haji yang mencakup periode 1482-1964 (kisah lama).

KARYA: - Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Bima (berkolaborasi dengan Massir Q. Abdullah, Suryadi, Oman Fathurahman, Maryam Salahuddin, 2010) - “Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Manuskrip Lama” Kertas Kerja Pilihan daripada Simposium Antarabangsa Pernaskahan Nusantara di Bima 2007 (2009) - “Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah” (dalam Koleksi Naskah dan Dokumen Nusantara, 2004) - “The Potent Dead: ancestors, saints and heroes in contemporary Indonesia” (ditulis bersama dengan Anthony Reid, 2002) - “Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima” (ditulis bersama dengan Siti Maryam Salahuddin sebagai bagian dari Koleksi Naskah Nusantara, 1999 - “Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia” (ditulis bersama dengan Oman Fathurrahman sebagai bagian dari koleksi Naskah dan Dokumen Nusantara, 1999)

Sumber: http://www.efeo.fr/biographies/notices/chambert.htm diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 http://www.penerbitkpg.com/penulis/detil/66/Henri-Chambert-Loir diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 http://adab.uin-suka.ac.id/index.php/page/berita/detail/16/kuliah-umum- bersama-prof-henri-chambert-loir diakses pada tanggal 25 Agustus 2015

SANDRA NIESSEN

Sandra Niessen adalah perempuan Belanda-Kanada kelahiran tahun 1954. Ia mendapatkan penghargaan kebudayaan untuk kategori Perorangan Asing atas jasanya dalam pelestarian ulos (kain tenun etnis Batak) dan tenunan Indonesia lainnya, serta upayanya mengembangkan penenun ulos.

Apa yang memotivasi perempuan yang lebih suka menyebut dirinya sebagai freelance, dan konsultan antropologi ini untuk melestarikan kain ulos? Dalam wawancara yang dimuat tempo.com pada Agustus 2013 lalu, Sandra menyatakan bahwa sebagai antropolog ia bisa memilih apa saja di seluruh dunia, hanya kebetulan saja dia meneliti kain Batak. Ia bisa saja meneliti tentang Toraja, Batik, ataupun Bali. Intinya adalah kecintaannya atas apa saja yang ada di Nusantara. Terlebih lagi, dalam sebuah publikasi di Wisdom Conference, Yogyakarta Sandra menyatakan keprihatinannya terhadap usaha penyelamatan warisan-warisan budaya yang terancam punah di tengah meningkatnya jumlah antropolog saat ini.“Indonesia was cloaked in magic for me when I was growing up”

Sandra sudah mengenal Indonesia sejak masih kecil, ayahnya adalah seorang peneliti hortikultura tropis berkebangsaan Belanda yang sepanjang hidupnya memimpikan datang ke Indonesia. Perjalanan Sandra dengan Indonesia dimulai ketika profesornya di Universitas Toronto yang memperkenalkannya pada buku berjudul The Structure of the Toba Batak High Godkarya Philip Tobing. Sejak saat itulah Sandra tertarik untuk meneliti tentang budaya Batak. Dengan alasan yang sama, Sandra memilih belajar di Universitas Leiden, yang dianggap sebagai kiblat studi Indonesia, pada tahun 1977.

Pada tahun 1979, Sandra mendatangi Indonesia untuk kali pertama. Masih terpengaruh buku karya Tobing, awalnya Sandra berkeinginan untuk meneliti buku kulit kayu yang digunakan oleh “orang pintar” Batak sebagai pengingat dan rujukan dalam ramalan serta upacara ritual lainnya. Karena merasa bahwa akses terhadap tekstil Batak relatif lebih mudah dibandingkan dengan ilmu sihir yang mengalami penurunan sejak masuknya agama Kristen, Sandra akhirnya mengubah topik penelitiannya menjadi tekstil Batak. Dari penelitian tersebut, Sandra mendapatkan gelar Ph.D. dengan predikat cumlaude dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1985 dengan disertasi berjudul “Motifs of Life in Toba Batak Texts and Textiles.”

Setelah menyelesaikan disertasinya, Sandra kemudian memulai proyek baru untuk mendokumentasikan tekstil Batak yang tersimpan di museum-museum Eropa. Proyek ini didasari atas masalah yang ia temukan ketika melakukan riset sebelumnya, yaitu adanya gejala mulai menghilangnya rekaman pola- pola lama tekstil Batak. Sulitnya untuk mengembalikan tekstil kuno Batak kepada generasi sekarang membuat Sandra berpikir, “Jika orang-orang (penenun) ini tidak bisa pergi ke museum, biarkan museumnya yang mendatangi mereka!” Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa buku Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia dibuat untuk memenuhi kebutuhan visual penenun yang membutuhkan pola untuk mereplikasi desain-desain kain tenun. Sebagai tambahan, buku ini dibuat juga untuk memenuhi kebutuhan museum untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan koleksi tekstil Batak yang mereka miliki. Agar menjadi lebih bermanfaat, Sandra berharap agar ensikopedia ini kelak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Di tengah usahanya untuk mendokumentasikan tekstil Batak, Sandra menerbitkan buku berjudul Batak Cloth & Clothing: A Dynamic Indonesian Traditionpada tahun 1993. Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah alasan orang Batak tidak lagi menggunakan kain tradisional dan proses perubahan ke pakaian bergaya Melayu-Barat menjadi pakaian umum sehari- hari. Pada tahun 2003, Sandra meninggalkan posisi mengajarnya di Departement Human Ecology, Universitas Alberta, Kanada yang telah ditempatinya selama 15 tahun untuk menyelesaikan buku Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia. Buku yang terbit pada tahun 2009 ini, merupakan puncak dari riset yang telah ia lakukan selama 30 tahun. Buku ini mendokumentasikan ratusan tipe tekstil Batak, beserta sejarah, dan teknik produksinya, yang dikumpulkan Sandra dari museum-museum etnografi di seluruh Eropa, pasar-pasar, lemari-lemari pakaian, dantempat- tempatpenenun di Sumatera Utara.

Perjalanan Sandra dengan kain tenun Batak tidak terhenti sampai terbitnya buku Legacy in Cloth saja. Pada tahun 2010, Sandra memulai proyek PulangKampung. Proyek ini bertujuan untuk membawa dan menyebarkan Buku Legacy in Cloth kepada orang-orang yang berkaitan dengan produksi tenun Batak, sehingga mereka memiliki akses terhadap warisan tekstil mereka. Ada lebih dari40 eksemplar dari buku ini yang diberikan kepada penenun,pewarna, mantan penenun, desainer, dan bahkan kepada produsen tekstil.

Proyek itu didasarkan atas rasa tanggung jawab dan penghargaan Sandra terhadap tradisi tenun Batak. Penelitiannya mengenai tenun Batak memberinya rasa apresiasi tak terhingga terhadap kemampuan penenun dan warisan budaya kuno Batak. Baginya, sejarah desain tekstil merupakan kode sejarah budaya yang ditemukan dan diterapkan oleh wanita-wanita Batak. Di dalam buku ini, Sandra berusaha menampilkan wajah manusia di balik kain yang tampak diproduksi secara anonim. Dengan adanya buku Legacy in Clothitu, Sandra berharap agar para penenun Batak lebih mendapatkan pengakuan dari orang-orang sekitar mereka. Baginya, rasa kebanggaan terhadap tradisi hal yang paling pentingdalam kelangsungan hidup warisan tradisi.

Proyek Pulang Kampung memberikan dampak yang cukup besar kepada Sandra dalam memahami perannya sebagai antropolog. Ia menyaksikan secara langsung betapa pentingnya membagikan hasil penelitian kepada orang-orang yang merupakan sumber informasi penelitian tersebut. Ia merasa memiliki kewajiban moral untuk melaksanakan perjalanan Pulang Kampung II pada tahun 2011 untuk membagikan publikasi mengenai perjalanan Pulang Kampung I, termasuk katalog pameran Erasmus Huis lebih utamanya lagi, volume yang ditulis oleh fotografer proyek ini, MJA Nashir, yang berjudul Berkelana dengan Sandra MenyusuriUlos Batak. Sandra percaya bahwa orang-orang Batak berhak tahu apa yang ditulis tentang mereka dan pada akhirnya mereka akan merasa bangga terhadap warisan budaya tenun mereka.

Dalam rentang waktu tersebut, Sandra bekerjasama dengan fotografer asal Pekalongan, MJA Nashir, memproduksi film tentang seni tenun Batak sebagaimana dideskripsikan oleh pakar Batak lebih dari seabad yang lalu. Film dan buku mengenai pembuatan film tersebut selesai pada tahun 2013, tepat ketika ekspedisi Pulang Kampung III akan dimulai. Proyek Pulang Kampung III memutarkan film tentang seni tenun Batak ke desa-desa di sekitar danau Toba dan mendistribusikan hampir 100 eksemplar buku maupun film.

Masih dalam semangat “Pulang Kampung,” Sandra bertindak sebagai saluran untuk mengembalikan batik-batik yang dimiliki oleh seorang perempuan Australia, Stephanie Belfrage, ke Museum Batik di Pekalongan, Jawa Tengah. Sebagai tambahan, ia selalu bersedia untuk mengirimkan versi digital materi kebudayaan dari Belanda ke Indonesia untuk melengkapi informasi tentang budaya dan sejarah. Sandra juga bekerjasama dengan Museum Tekstil di Jakarta untuk mengingatkan kepada orang-orang Indonesia tentang buku klasik yang diterbitkan seabad lalu karangan J. E. Jasper dan Mas Pirngadie tentang seni tenun Indonesia.

Sandra mengundang empat orang anak muda Batak yang tertarik dengan warisan budaya mereka untuk terlibat dalam perjalanan Pulang Kampung yang ketiga. Ia terus mendorong dan menginspirasi mereka dan anak-anak muda Batak lainnya untuk terus mengejar cita-cita budaya mereka. Rencana masa depan Sandra didasarkan pada dua tema utama dalam pekerjaannya selama lima tahun ini: pengembalian pengetahuan dan keterlibatan anak muda. Sandra berencana untuk terus menyelenggarakan workshop yang bertujuan untuk meneruskan pengetahuan budaya (terutama tenun) dari generasi tua kepada generasi muda. Ia percaya bahwa kombinasi anak muda, perangkat desa, dan transfer pengetahuan adalah kunci bagi kelangsungan hidup budaya Batak.