<<

Paradoks Hubungan antara Manusia, Lingkungan, dan Sains dalam Enam Sekuel Film (Sebuah Pendekatan Self-Deconstruction)

PARADOX OF RELATIONSHIP AMONG HUMAN, ENVIROMENT, AND SCIENCE IN SIX SERIES OF FINAL DESTINATION MOVIE (AN APPROACH OF SELF-DECONSTRUCTION)

Zulkifli Makmur

STAI DDI Kota Makassar, Islamic Family Law Dapartment

[email protected]

ABSTRACT

This article tries to examine the sequel movies of Final Destination in representing human-being crisis and error in facing environment. In this 5-series sequel film, human-being both explicitly and implicitly creates trace in his effort to control nature. To find traces, the researcher first extracted the formulas contained in the five series of Final Destination. After that, these formulas were composed and read by Derrida's deconstruction. It is found paradoxical relationship between human and science. Human is considered so far to have left nature by being trapped in utopia and and science mechanism which cannot only save human life, but also destruct themselves.

Keywords:Paradox, Deconstruction, Final Destination, Environment, Self-deconstruction

A. PENDAHULUAN

Sejak tahun 2018, sesorang gadis berusia 15 tahun, Greta Thunberg, mencuri perhatian warga dunia dengan bahayanya perubahan iklim bagi umat manusia(Thunberg). Perlawanan dengan agensi anak-anak bukanlah hal biasa, terbukti ini menciptakan arus isu internasional, yakni kelompok peduli perubahan iklim dan kelompok yang menganggap itu aneh (Holmberg and Alvinius). Gerakan ini terbukti efektif. Perubahan iklim ini memberi kesadaran baru, terutama di dunia tafsir. Dengan itu alam dapat dieksplorasi secara bertanggungjawab(Lestari et al.).

Telah diketahui bahwa yang paling bertanggungjawab atas perubahan iklim dan berbagai kerusakan yang muncul di muka bumi adalah manusia. Namun, kesadaran itu tidak hadir karena sejak awal pengetahuan manusia cenderung dibangun atas hubungan dirinya dan alam sebagai hubungan metafisika(Yasser). Anggapan-anggapan tradisional menghubungkan manusia sebagai pemimpin di alam semesta, sedangkan Tuhan, Kosmos, atau Ibu Alam melindunginya melalui ketersediaan pangan dan air yang melimpah. Sainspun demikian.(Yuono) Mengenali Hukum mekanika alam memberikan peluang bagi manusia mengeksploitasi lingkungannya. Alam dipandang sebagai objek pemenuhan kebutuhan, alat-alat produksi, dan properti. Ia menjadi sarana, tambang kekayaan, sumber energi, sumber kekayaan yang harus diekploitasi demi kebutuhan manusia.

Antroposentrisme demikian juga didukung oleh fiksi pop yang berkembang saat ini, meskipun fiksi pop lebih banyak memberi hiburan(Cantini) daripada sekadar memberi pesan kritis(Ramadhan). Namun, sebagai sebuah karya seni fiksi/sastra pop mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan kenyataan dengan cara yang baru(Manshur). Itu dibutuhkan agar penyegaran etika lingkungan tetap berjalan. Film seperti Armagedon, 2012, Godzilla dan Battleship, Contagion, A Quiet Place adalah fiksi Hollywood yang mencitrakan krisis yang dialami manusia akibat alam atau makhluk lain yang berusaha merebut posisi Alpha dari manusia sebagai puncak rantai makanan di alam semesta(Di Feo). Namun, seperti film- film tersebut, selama tiga puluh ribu tahun manusia mampu keluar dari krisis yang ada.

Fiksi/sastra merepresentasikan fenomena masyarakat(Ffrench). Maraknya fiksi- fiksi bertema apokaliptik bukanlah persoalan baru. Manusia, melalui imajinasinya, menyadari kelemahan dirinya sebagai makhluk yang belum banyak menguak rahasia alam. Namun, dengan daya adaptasi yang dimiliki, manusia mampu belajar untuk mengurai masalah, sekaligus menemukan solusi untuk melestarikan spesiesnya. Pola-pola ini dipakai untuk memperlihatkan sejauh mana manusia di samping menemukan kemungkinan-kemungkinan untuk mempertahankan generasinya di sisi lain dia juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menghancurkan dirinya. Salah satu dari berbagai kemungkinan yang dapat menghancurkan manusia adalah takdir.

Film sekuel Final Destination merupakan film pop thriller dengan tema khas, yaitu takdir. Film ini pertama kali muncul di tahun 2000. Awalnya film ini berasal dari sebuah naskah yang tidak sempat ditayangkan di dalam serial The X-Files. Namun karena film ini mendapat penonton dan permintaan yang besar, tiga tahun kemudian film lanjutan pertamanya dibuat dan seterusnya sampai . Sedangkan Final destination 6 dijadwalkan tayang bulan maret. Karena alasan wabah Covid 19, belum ada konfirmasi resmi kapan film ini akan tayang. Adapun film-film sekuel Final Destination sebagai berikut: , You Can’t Cheat The Death Twice (2003); Film ketiga tayang di tahun 2006, berjudul , The Ride Will Be The Death of You; Film keempat Final Destination 4 (2009), Rest in Peace, dan; Final Destination 5 (2011).

B. Analisis

Struktur Formula Sekuel Final Destination

Sekuel Final Destination (FD) memiliki formula khas yang dimiliki setiap filmnya. Untuk mendapatkan formulanya adalah dengan memperhatikan konvensi dan invensi suatu genre dalam rangka melihat perkembangan suatu genre. Konvensi ditujukan untuk menemukan regularitas, sedangkan invensi ditujukan untuk melihat perubahan- perubahan yang ada. Formula sendiri merupakan kombinasi atau sintesis dari sejumlah konvensi kultur yang spesifik yang bentuknya meliputi cerita secara universal, atau dalam hal ini disebut arketipe.

Sekuel FD disusun dari 7 formula. Yang pertama, kecelakaan massif. Kedua, firasat. Ketiga para penyintas. Keempat, peringatan awal. Kelima, peramal. Keenam pola kematian. Ketujuh takdir baru. Film-film ini dimulai dengan berkumpulnya sekelompok orang yang homogen. FD 1, FD 3, dan FD 5 berasal dari institusi yang sama sedangkan di FD 2 dan FD 4 masing-masing adalah pengguna kendaraan di jalan tol dan penonton balapan. Sebelum kecelakaan terjadi, salah seorang dari komunitas merasakan kecelakaan massif tersebut lebih awal apakah itu melalui mimpi atau berhayal. Adanya firasat tersebut, protagonis menciptakan kekacauan yang membuatnya diusir dari arena kematian, seperti yang terjadi pada FD 1, FD 3, dan FD 4. Sedangkan di FD 2 dan FD 5, masing-masing protagonis memblokir jalan agar kendaraan lain tidak meninggalkan lampu merah dan keluar dari bus. Karena kekacauan yang dibuat, protagonis dan beberapa orang mengikutinya dengan berbagai motivasi yang menyebabkan mereka gagal tewas. kecuali di FD 2 para penyintas terpaksa menghentikan kendaraan mereka karena protagonis menutup jalan mereka. Para penyintas bertemu di pemakaman kerabat mereka kecuali di FD 2 dimana pertemuan terjadi di kantor polisi. Formula selanjutnya muncul ketika penyintas kembali ke rumah masing-masing. Kecuali protagonis, di semua sekuel tidak ada satupun penyintas menyadari bahaya yang akan mereka hadapi. Peringatan bagi penyintas adalah kematian awal di antara mereka. Jumlah kematian di awal kebanyakan dua orang, sedangkan di FD 3 terjadi dua peristiwa kematian. Yang pertama kematian kembar Ashlyn dan Ashley yang terpanggang di tunning bed dan kedua kematian Frankie di sebuah kecelakaan drive thru, sehingga kematian tanpa peringatan di FD3 sebanyak tiga orang. Namun, jumlah korban ini tidak dihitung dari kematian penyintas yang kejadiannya masih di area kematian massal seperti yang terjadi di FD 2 dan FD 4. Di FD 2 Tiga penyintas tewas sesaat setelah kecelakaan massal. Dari firasat protagonis, kematian mereka hanya tertunda beberapa saat, bahkan mereka belum sempat keluar dari arena kematian, sehingga ini memberi kesan kematian mereka masih bagian dari kecelakaan massal di jalan tol meskipun kematian tiga kawan Kimberly itu telah membentuk pola yang dibentuk oleh Clear. Kejadian berikutnya adalah kematian yang terjadi di scene tribun penonton arena balapan di FD 4. Satu penyintas tewas tertimpa ban setelah mereka baru saja terbebas dari kecelakaan massal di tribun penonton. Berbeda dari kematian 3 orang di FD 2, kematian Nadia FD 4 tidak membentuk desain tertentu. Setelah menyadari kematian akan mendatangi mereka. Penyintas secara misterius bertemu peramal. Profesinya secara fiski bukan seorang peramal, melainkan pengurus jenasah/Coroner. Pertemuan antara penyintas dan peramal acak. Di FD 1 dan FD 2, penyintas sendiri menemui peramal, sedangkan di FD 5 penyintas bertemu dengan peramal sebanyak tiga kali di luar rencana. Peramal hadir menyampaikan sabda kematian. Sabda ini selanjutnya ditafsirkan menjadi teori para penyintas membuat pola kematian mereka, atau mensiasati kematian masing-masing. Di FD 3 dan FD 4, pengurus jenazah tidak hadir, namun penyintas mengandalkan instingnya untuk memahami maksud Takdir. Di FD 3, protagonis menghubungkan garis yang melintas di foto Abraham Lincoln, dan peristiwa WTC dengan foto-foto penyintas sebelum mereka Formula lain yang selalu hadir di setiap film Final Destination adalah kematian berpola. Disini setiap penyintas sadar kematian akan menjemput mereka. Di scene ini, satu-satunya harapan mereka adalah firasat dan Sabda peramal untuk menghindari maut. Satu persatu penyintas tumbang. Di FD 1, FD 2, dan FD 5, beberapa penyintas berhasil selamat dari desain takdir sehingga takdir melompat ke daftar selanjutnya, bahkan di FD 1 dan FD 5 urutan tersebut diurut kembali setelah kematian terakhir. Di FD 3 dan FD 4, desain takdir tidak bisa dicurangi, bahkan di FD 4 diceritakan sisa penyintas didesain oleh takdir untuk berkumpul di tempat awal mereka mendiskusikan takdir mereka. Di fase terakhir formula dibentuk lebih beragam dan tak-tertebak. Meskipun begitu, secara keseluruhan memiliki persoalan yang sama yaitu takdir yang belum terbaca. Di FD1, tiga penyintas tersisa Alex (protagonis), Clear, dan Carter merayakan kebebasan mereka dari maut di Paris. Padahal desain takdir ternyata tidak berhenti sampai ketiganya tewas (diceritakan oleh Clear di FD 2, Alex dan Carter tewas di Paris, lalu Clear tewas di scene rumah sakit di FD 2). Di detik-detik penghabisan film, mereka satu persatu menerima kecelakaan dari sang takdir. Saat Carter berhasil lolos, maka takdir menyusun rencana membunuh Alex. Di FD 2 Kimberly (protagonis) dan Burke selamat dari kematian karena berhasil memecahkan pesan peramal, namun tanpa disadari keduanya, Bryan adik Burke ternyata masuk ke dalam daftar maut dari penyintas yang selamat kecelakaan massal di jalan raya. Kematian Bryan menandakan desain kematian masih bekerja untuk Kimberly dan Burke. Berbeda dari sekuel sebelumnya di FD 3, Wendy (protagonis) menganggap berhasil menyelamatkan dirinya dan dua penyintas yang tersisa Julie dan Kevin. Bukannya kembali ke kehidupan normal, mereka bertemu di kereta bawah tanah. Wendy mendapatkan firasat untuk terakhir kalinya bahwa akan ada kecelakaan massal di kereta yang mereka tumpangi. Sayangnya, kereta sudah melaju kencang. Lalu di FD 4, Nick (protagonis), Lori, dan Janet merayakan kebebasan mereka di sebuah café setelah berhasil mencurangi kematian. Mendapatkan firasat Nick sadar bahwa mereka tidak bisa lari dari kematian. Sebuah truk menabrak mereka. Yang cukup mengejutkan adalah FD 5. Molly dan Sam (Protagonis) menyaksikan tragedi Alex protagonis FD 1 diusir dari pesawat flight 180 karena mendapatkan firasat bahwa pesawat mereka akan meledak. Molly dan Sam tewas di pesawat, sedangkan Nathan penyintas terakhir dijatuhi jog pesawat.

Memperhatikan desain di atas, dapat disimpukan bahwa tujuh formula tersebut bekerja di setiap sekuel film Final Destination. Hubungan antar formula itu dapat digambarkan sebagaimana bagan berikut,

Firasat Kecelakaan Massal Penyintas dan Penyelamat

Desain Kematian Peramal Peringatan awal

Firasat/ Takdir Lain Dengan urutan struktur plot ini, dapat diurai keterhubungan alam, manusia, dan sains sebagai sebuah keterkaitan yang ketat. Alam, dalam hal ini takdir Tuhan, bekerja melalui sistematika tertentu untuk menciptakan apapun termasuk kematian. Awalnya, manusia menyaksikan kejadian-kejadian tersebut sebagai peristiwa luar biasa. Sampai peristiwa itu berulang, membentuk pola, dan memiliki kategori-kategori, manusia berusaha menerka apa yang akan diperbuat alam untuk dirinya. Pelajaran-pelajaran dari generasi sebelumnya dapat berbentuk ungkapan-ungkapan alegoris, dapat pula berupa pengalaman teknis. Ungkapan alegoris cenderung menyuplai beragam penafsiran, selanjutnya menjadi pengalaman batin yang sebagian terbukukan menjadi kitab suci dan sebagian lain menjadi tindakan-tindakan spiritual (Piper and Richard). Di era pencerahan, menjawab rahasia alam berarti menjawab semua peristiwa melalui pendekatan teknis. Alam dianggap bekerja berdasarkan sistem mekanik. Hukum dan teori diciptakan demi memudahkan manusia mengenali, mengakrabkan diri dengan, dan mengendalikan takdir mereka sendiri. Kematian bukan lagi persoalan misterius yang perlu ditakuti. Dengan pengetahuan yang cukup di dunia medis manusia dapat menunda takdir kematiannya(Di Feo). Pengetahuan objektif menjadi proyek penting manusia dalam mempelajari gejala- gejala alam yang terjadi, sampai pada akhirnya menemukan solusi bencana atau langkah pencegahan untuk mengurangi jumlah korban dari dampak kerusakannya. Namun, kecanggihan pemikiran manusia tetap tidak dapat menandingi ketika alam bekerja di luar dari fenomena yang telah dikuasai manusia, sehingga manusia tetap tidak berdaya melawan takdirnya sendiri.

Dekonstruksi dan Etika Lingkungan

Untuk membaca secara radikal relasi hirarki tersebut, maka dibutuhkan pembacaan dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan yang pertama kali dirumuskan oleh Derrida(Segal). Pemikiran ini bekerja dengan membalikkan hirarki simbol di dalam teks yang selama ini dianggap menguasai atau menutup kemungkinan hadirnya tafsir baru di balik teks(Rohmatin). Karena adanya pembalikan tersebut kemungkinan menyuarakan simbol-simbol yang teropresi selama ini dapat mengemuka. Secara luwes bahasa, dalam kaidah dekonstruksi, bertindak seperti seorang Joker dalam pengertian yang mendalam sekaligus menciptakan pembelahan hidup yang beraneka ragam (kesadaran diri sekaligus kebenaran pada alam) dan sebuah antologi yang berisikan peremajaan-diri, peniruan, dan kepalsuan(Jurgutienė). Kehadiran (Being) di dalam teks/fiksi, yakin Derrida, tidak berada di dalam struktur teks. Ia berada di luar teks. Oleh karena itu Pusat ini dipecah ke segala penjuru, sehingga teks dibaca tidak lagi secara menyeluruh. Dampaknya, Being meninggalkan jejak/trace yang dapat dibaca sebagai penanda-penanda utama yang berbalik arah menegaskan kuasa untuk mengutarakan agenda yang mengopresinya secara simbolik.

Gagasan lingkungan dalam penelitian ini menggunakan gagasan Sony Keraf yang memandang lingkungan ke dalam 5 etik, yaitu antroposentris sebagai gagasan yang memandang alam adalah obyek eksploitasi demi sebesar-besarnya kebutuhan manusia; biosentris sebagai sebuah pandangan yang menganggap seluruh kehidupan bernilai bagi dirinya sendiri sehingga pantas untuk mendapat kepedulian secara moral; ekosentris sebagai pandangan yang menganggap pentingnya memusatkan perhatian pada ekosistem dimana habitat dan kehidupan lain dapat hidup disana; hak asasi alam sebagai tawaran pemikiran bahwa makhluk hidup selain manusia juga memiliki hak yang sama untuk memiliki ekosistem dan kehidupan yang layak buat dirinya, dan; ekofeminis sebagai gagasan kritis yang meyakini bahwa eksploitasi alam terjadi karena manusia memiloki rasio seperti halnya laki-laki. (Yuono). Di antara kelima etika lingkungan yang berkembang hari ini, antroposentris merupakan gagasan yang paling realistis diterima manusia untuk tetap bertahan hidup. Gagasan yang mengizinkan manusia berlaku vandalistik terhadap alam ini berakar dari gagasan Aristotelian yang dikembangkan lagi melalui filsafat Cartesian dan teknokrasi Newtonian. Reason yang mekanistik ini membuat manusia mampu memijakkan alam sebagai objek meskipun tidak dapat dipungkiri sebagai sebuah logika penting bahwa tak ada yang superior di alam semesta selain alam itu sendiri. (Sihombing) Kodrat manusia adalah menjadi bagian dari alam semesta sehebat apapun manusia mampu mencurangi gerak naturalnya karena sesungguhnya apapun tindakan destruktif manusia terhadap alam akan kembali menghancurkan diri mereka sendiri. pentingnya menggali wacana-wacana ekologis, oleh karena itu, merupakan langkah awal membangun sikap etis manusia menjaga alam dan juga kelestarian rasnya.

Struktur plot sekuel Final Destination yang dibangun di awal merupakan representasi superioritas alam. Hal ini tampak dari ketidak-mampuan tokoh-tokoh dalam film berhadapan dengan takdirnya. Namun, jika diperhatikan melalui kacamata dekonstruksi, struktur ini menghasilkan jejak dengan menelaah oposisi-oposisi hirarki yang ada seperti alam lebih kuasa daripada manusia, Sabda lebih mulia daripada Hamba, logos lebih utama daripada liyan, dan seterusnya. Jika oposisi-oposisi ini dibalik, maka cenderung manusia/protagonis dengan reason-nya dapat secara mandiri memproyeksi gejala-gejala yang hadir sebelum terjadinya insiden.

Di semua film, peristiwa-peristiwa kecelakaan tidak hadir dari sesuatu yang alami, tetapi melalui kerusakan mekanis yang tentu saja menimbulkan kegagalan mekanis. Inilah yang nantinya membunuh banyak orang.

Wendy: No. It’s gonna crash. It’s gonna crash. The hydraulics will rupture. The tracks will collapse. Please..

(Final Destination 3, 00:19:23)

Dari dialog ini bahkan Wendy memiliki kecemasan yang logis. Ia menyadari ada kerusakan dari roller coster tersebut di saat yang lain tidak menyadari ada kecenderungan kecelakaan itu akan muncul, sehingga apa yang muncul sebelumnya dari visinya itu tidak lain adalah prediksi. Kecelakaan pun terjadi, menandakan prediksi protagonis berhasil. Dari kecelakaan massal, adapun yang tersisa adalah orang-orang yang mengikuti prediksi logis protagonis. Peramal sendiri bukanlah seorang peramal, tetapi seorang pengurus jenasah/coroner. Dia juga tidak memberikan pola kematian. Pepatah itu tidak lain adalah pepatah kehidupan, bukan ramalan kematian.

Coroner: In death there are no accidents. No coincidents. No mishaps. And no escapes. What you have to realize is that we’re all just a mouse that a cat has by the tail. Every single move you make, from the mundane to the monumental. The red light we are stop at or run. The people we have sex with, or won’t with us. The airplane we ride or walk out of. It’s all part of death’s sadistic design leading to the grave.

(Final Destination, 00:44:10) Pernyataan ini tidak lain adalah peringatan bahwa setiap peristiwa merupakan peristiwa yang berbahaya yang didesain secara kausal. Takdir tidak lain adalah peristiwa mekanis. Manusia tidak mampu keluar dari hukum alam, namun begitu bukan berarti manusia tidak mempelajari desainnya. Begitupun peringatan awal dan kematian-kematian yang lain pun dibangun secara mekanis. Tidak ada satu pun peristiwa kematian yang disebabkan oleh benda-benda di luar buatan manusia. Sedangkan desain kematian cenderung tidak sesuai dengan prediksi. Kesalahan-kesalahan prediksi protagonist kerap terjadi, yang pada akhirnya berpuncak pada formula terakhir, yaitu melakukan hipotesis kembali.

Pembacaan Self-Deconstruction

Mendesain pemahaman etik terhadap lingkungan, tafsir ini tidak cukup. Dengan membuat suatu pola dekonstruksi-diri, dapat ditemukan suatu paradoks dimana sains menjadi fungsi yang ambivalen(Swasono Ph). Dia menjadi kemudahan sekaligus kehancuran, utopis sekaligus distopis. Bangunan hirarki sebagaimana yang dilakukan sebelumnya dan yang akan dilakukan yaitu tiga tahap. Yang pertama adalah membuat konstruksi hirarki Sekuel FD yaitu Alam >< Manusia. Di tahap kedua, dilakukan pembalikan dengan memosisikan Sains (sebagai representasi tafsir manusia menerjemahkan alam) >< Alam. Di tahap ketiga, untuk menemukan paradoks sains maka hirarki tersebut dibalik lagi, Alam >< Sains.

Pemosisian Alam lebih di atas daripada Sains adalah sebagai strategi tafsir untuk mengembalikan lagi superioritas alam untuk menyandingkan mekanisme sains itu tidak memberikan dampak apa-apa terhadap manusia dalam memahami isi alam, atau sekadar menyelamatkan dirinya. Pada FD 2 jam ke 1:12:01, Kat Jennings mengalami kematian saat dia terperangkap di dalam mobil oleh air bag. Pukulan keras oleh pekerja dengan menggunakan palu ke arah ban mobil secara otomatis membuat air bag di stir mobilnya mengembang, mendorong kepala Kat untuk tertusuk oleh pipa tajam yang menembus jog mobilnya. Padahal air bag sendiri diciptakan manusia untuk menyelamatkan dirinya dari kemungkinan bahaya yang datang. Ini juga bertolak belakang dengan pepatah di poster di sebuah tempat gym di FD 3 menit 54:18 “what doesn’t kill you make you stronger”. Kepongahan manusia ini hanya menciptakan sesuatu yang dapat menghancurkan dirinya. Padahal alam sendiri belum menciptakan apa-apa untuk membuat manusia luka ataupun punah. Manusia menciptakan sesuatu yang mendekatkan dia dari kematian.

NO Struktur Formula Dekonstruksi Self-dekonstruksi 1 Firasat Hipotesis Insting 2 Kecelakaan Massal Kecerobohan Kematian biasa 3 Penyintas dan penyelamat Saintis dan pengikut Kesempatan kedua 4 Peramal Pepatah hidup Kebijaksanaan 5 Peringatan awal Kecerobohan lain Mengabaikan insting 6 Desain kematian Prediksi Paradoks 7 Firasat/takdir lain Hipotesis baru Kelemahan manusia Sekuel Final Destination mengajarkan bahwa manusia berusaha melestarikan rasnya dengan mengandalkan sains sebagai pintu dalam memelajari alam sebagai sistem mekanik. Dengan reason itu manusia mampu menguasai percepatan dan menjadikan alam sebagai obyek eksploitasi demi kemakmurannya. Dia mengabaikan manusia berasal dari proses panjang mengenali alam, lalu lupa bahwa pengubung dirinya dan alam adalah insting hewaninya. Keterlupaan terhadap insting membuat manusia tak mampu membaca gejala lingkungannya. Itulah sebabnya di tengah perjalanan, manusia disorientasi setelah menyaksikan kematian orang-orang di sekitarnya. Krisis ini menjadikan manusia belajar untuk menghindari kematian, atau mungkin membaca kebijaksanaan dari agama atau kisah-kisah epos mengenai kehidupan setelah-kematian demi mengobati krisis dalam dirinya. Di sisi lain, Manusia berusaha menghindari kematian dengan merekayasa alam melalui sains, namun produk sains ini tidak sedikit menciptakan kehancuran untuk dirinya sendiri, salah satunya, karena manusia lupauntuk memperbaiki alam demi kelestarian rasnya. Oleh karena itu, sains yang berorientasi memperbaiki atau ramah terhadap alam tentu dapat menyelamatkan umat manusia, seperti yang dilakukan Kimberly di FD 2 yang mencari tempat yang paling alami, yaitu danau, lalu menceburkan diri ke dalamnya. Ini merupakan penyimbolan penting bahwa dengan kepedulian yang kecil terhadap alam sesungguhnya sudah cukup untuk menyelamatkan manusia yang lain.

C. Kesimpulan

Film Final Destination yang terdiri dari lima seri ini merupakan satu dari sekian banyak film yang memberi pesan agar manusia sebagai makhluk yang mengalami fase melejit melampau spesies lain yang ada di bumi ini ternyata memiliki krisis baik sebagai makhluk yang individu maupun yang menyeluruh. Namun sebelumnya untuk membaca secara keseluruhan film ini dibutuhkan formula untuk mengekstraksi kelima film tersebut. Dengan menggunakan formula Cawelty, ditemukan tujuh formula yang mengkonstruksi seluruh sekuel film tersebut, yaitu Firasat, Kematian massal, penyintas, peramal, peringatan awal, desain kematian, dan takdir yang lain. Ketujuh struktur formula ini selanjutnya dibaca melalui dua tahap yaitu dekonstruksi dan self-dekonstruksi.

Melalui dekonstruksi, tujuh formula tersebut ternyata menghasilkan gagasan reason yang merupakan akar dari teknokrasi manusia dalam memandang alam. Hal ini disebabkan oposisi hirarki dibalik sains di atas alam. Dari pembacaan ini, terlihat alam tampak dieksploitasi sedemikian rupa karena tawaran etik yang digunakan adalah antroposentrisme, sehingga hanya menghasilkan tujuh formula dekonstruksi, yaitu hipotesis, kecerobohan yang berakibat fatal bagi yang lain, saintis dan para pengikut, untuk menantang naturalitas dirinya manusia kerap membutuhkan pepatah-pepatah bijak untuk menopang perjuangannya, sikap anti-sains menghasilkan kecerobohan yang lain, membaca gejala alam sehingga memunculkan prediksi, dan dari kegagalan prediksi itu dibuat hipotesis yang baru.

Namun itu tidak cukup. Pembacaan selanjutnya adalah menggunakan self- deconstruction, yaitu mengembalikan superioritas alam di atas sains. Dari ketujuh formula di atas ternyata ditemukan tafsir baru yaitu insting sebagai jembatan manusia dan sikap natural dalam dirinya; Kematian di sekitar yang membuat manusia sadar bahwa dirinya mengalami krisis dalam menjalani kehidupan; dengan selamat dari kematian manusia mampu menggunakan kesempatan kedua untuk memperbaiki kehidupan; Kitab suci dan kisah-kisah epos mengajarkan manusia tentang kerendahan hati dan tak takut menghadapi kematian; mengabaikan isyarat alam membuat manusia disorientasi dan berakhir tragis; sains menghasilkan paradoks, sebagai pencapaian sekaligus proyek apokaliptik; semakin manusia berusaha memelajari alam semakin sadar dirinya lemah. Tentunya bukan suatu kesia-siaan jika sains dapat berorientasi pada pemeliharaan alam demi keberlangsungan hidup manusia di alam semesta.

Daftar Pustaka

Cantini, Cucum. “MENGUNGKAP KEBUNGKAMAN DALAM PRODUKTIVITAS FIKSI POP ISLAMI PENERBIT MIZAN.” Jurnal POETIKA, vol. 5, no. 1, 2017, doi:10.22146/poetika.25697.

Di Feo, Marzio. “Homo Deus. A Brief History of Tomorrow by Yuval N. Harari.” Politikon: IAPSS Journal of Political Science, vol. 41, 2019, doi:10.22151/politikon.41.5.

Ffrench, Patrick. “Literary Theory.” The Cambridge History of French Thought, 2019, doi:10.1017/9781316681572.054.

Holmberg, Arita, and Aida Alvinius. “Children’s Protest in Relation to the Climate Emergency: A Qualitative Study on a New Form of Resistance Promoting Political and Social Change.” Childhood, vol. 27, no. 1, 2020, doi:10.1177/0907568219879970.

Jurgutienė, Aušra. “The Deconstruction of National Identity in Lithuanian Literature: Marius Ivaškevičius’ Plays.” Interlitteraria, vol. 20, no. 1, 2015, doi:10.12697/il.2015.20.1.3.

Lestari, Okti Ayu, et al. “Mitos Dan Kritik Lingkungan Dalam Film Aquaman (2018).” Buletin Al-Turas, 2020, doi:10.15408/bat.v26i1.14452.

Manshur, Fadlil Munawwar. “KAJIAN TEORI FORMALISME DAN STRUKTURALISME.” SASDAYA: Gadjah Mada Journal of Humanities, 2019, doi:10.22146/sasdayajournal.43888.

Piper, and Richard. “Sapiens : Yuval Noah Harari.” Dr. Richard Piper, 2016.

Ramadhan, Afra Suci. “Blog Sebagai Medium Karya Fiksi Erotis Penggemar K-Pop Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Indonesia, vol. 2, no. 2, 2017, doi:10.7454/jki.v2i2.7835.

Rohmatin, Fatkhu. “Dekonstruksi Wacana Patriarki Dan Kebungkaman Perempuan Dalam Manuskrip Hikayat Darma Tasiyah.” Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, vol. 10, no. 2, 2019, doi:10.37014/jumantara.v10i2.598.

Segal, Alex. “Deconstruction, Literature, and Wittgenstein’s Privileging of Showing.” Advances in Language and Literary Studies, vol. 8, no. 6, 2017, doi:10.7575/aiac.alls.v.8n.6p.112.

Sihombing, Edy Syahputra. “Reposisi Paradigma Terhadap Alam Semesta: Tawaran Refleksi Filosofis Dan Teologis.” Societas Dei: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 2019, doi:10.33550/sd.v6i1.110. Swasono Ph, Ign. Hening. “DEKONSTRUKSI DIRI SENDIRI DALAM PROSES PENCIPTAAN KARYA SENI.” Imaji, vol. 5, no. 2, 2015, doi:10.21831/imaji.v5i1.6679.

Thunberg, Greta. “Greta Thunberg’s Speech At The U.N. Climate Action Summit : NPR.” Npr, 2019.

Yasser, Muhammad. “Etika Lingkungan Dalam Perspektif Teori Kesatuan Wujud Teosofi Transenden.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism, 2014, doi:10.20871/kpjipm.v4i1.54.

Yuono, Yusup Rogo. “ETIKA LINGKUNGAN : MELAWAN ETIKA LINGKUNGAN ANTROPOSENTRIS MELALUI INTERPRETASI TEOLOGI PENCIPTAAN YANG TEPAT SEBAGAI LANDASAN BAGI PENGELOLAAN- PELESTARIAN LINGKUNGAN.” FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 2019, doi:10.34081/fidei.v2i1.40.

Makmur, Z. (2020, October 10). Karenang di atas Canon (sebuah Apresiasi). https:// doi.org/10.31219/osf.io/k6r94

Makmur, Z. (2020, October 10). Film Snowden; antara Paranoia dan Tipuan-Tipuan Klasik Amerika. https://doi.org/10.31219/osf.io/86794

HERIANTO, H., Jusmiana, A., Jusmawati, J., & Makmur, Z. (2020, June 21). Comparing Learning-at-home Activities of Students Living in Cities and Those Living in Villages during the Covid-19 Pandemic. https://doi.org/10.31219/osf.io/ m4x9b

Alwi, A. M. S., Arsyam, M., Sainuddin, I. H., S, & Makmur, Z. (2020, August 18). PELESTARIAN LINGKUNGAN SEBAGAI IMPLEMETASI DAKWAH BI AL-HAL DAN WUJUD KESADARAN MASYARAKAT. https://doi.org/10.31219/osf.io/vf6qm

Makmur, Z. (2020, August 2). Membangun Kesadaran Apokaliptik melalui Sastra di Masa Pandemi. https://doi.org/10.31219/osf.io/utvyk

Makmur, Z., Sainuddin, I. H., S, Arsyam, M., & HERIANTO, H. (2020, July 4). Paradoxical Relationship between Humans, the Environment, And Science in Final Destination (Movies).