KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU (: PAPILIONOIDEA) PADA EMPAT PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI, SUMATERA

RAWATI PANJAITAN

ENTOMOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2020

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keanekaragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2020

Rawati Panjaitan NRP A361160021

RINGKASAN

RAWATI PANJAITAN. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT, DAMAYANTI BUCHORI, DJUNIJANTI PEGGIE, IDHAM SAKTI HARAHAP.

Keberadaan kupu-kupu di alam sangat dipengaruhi oleh keberadaan pakan larva dan pakan imago. Perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian memiliki dampak bagi keanekargaman hayati termasuk tumbuhan yang berhubungan erat dengan kehidupan kupu-kupu. Langkah konservasi yang dapat dilakukan oleh pelaku pertanian adalah dengan sistem agroforestri yang ramah lingkungan. Agroforestri dapat membantu kehadiran fauna yang lebih beragam dibandingkan dengan pertanian yang monokultur. Perubahan struktur habitat akan memengaruhi keanekaragaman spesies kupu-kupu, sehingga kupu-kupu juga sebagai salah satu bioindikator kerusakan lingkungan. Ordo Lepidoptera, terdiri atas 45 superfamili, dua diantaranya adalah Superfamili Papilionoidea dan Hesperioidea merupakan kupu-kupu. Superfamili Papilionoidea terdiri atas Famili Papilionidae, Pieridae, , , dan . Kupu-kupu dapat hidup pada berbagai kondisi lingkungan, tetapi pada umumnya, keanekaragaman kupu-kupu tinggi pada daerah hutan hujan tropis. Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan merupakan bagian dari hutan tropis yang terdapat di Jambi, Sumatera. Lanskap Bukit Duabelas memiliki beberapa tipe penggunaan lahan, yaitu hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet. Lanskap Hutan Harapan merupakan salah satu kawasan bekas pembalakan kayu yang direstorasi menjadi hutan dimulai sejak tahun 2008, dengan maksud untuk mengembalikan kondisi hutan sehingga mampu untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan di kawasan Jambi. Hutan Harapan diharapkan menjadi kawasan plasma nutfah bagi sumber daya alam yang terdapat di Jambi. Dengan demikian kajian keanekaragaman kupu-kupu pada berbagai penggunaan lahan: hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet yang terdapat pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengkaji keanekaragaman dan kelimpahan kupu- kupu pada empat penggunaan lahan, yaitu hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Penelitian ini juga mengkaji pengaruh fragmentasi habitat terhadap kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu. Fragmentasi habitat telah menyebabkan perubahan lanskap sehingga timbul “pulau-pulau ekologis” (ecological islands) diantara perkebunan kelapa sawit. Penelitian dilakukan dengan eksplorasi langsung pada plot pengamatan yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas, lanskap Hutan Harapan, dan Biodiversity Enrichment Experiment Plots (BEEP) di kebun sawit lanskap hutan Harapan. Identifikasi kupu-kupu hasil eksplorasi dari lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan dilakukan juga secara molekuler dengan sekuens DNA gen Mitochondrial cytochrome c oxidase-1 (mtCO1) yang terdapat pada kupu-kupu spp. untuk melengkapi hasil identifikasi secara morfologi. Penelitian pertama dilakukan di 16 plot pengamatan di lanskap Bukit Duabelas yang terdiri atas empat penggunaan lahan, yaitu hutan heterogen, hutan

karet, kebun sawit, dan kebun karet (masing-masing empat plot). Pengamatan di lanskap Hutan Harapan dilakukan pada 28 plot, yang terdiri atas 16 plot penggunaan lahan hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet, dan penambahan khusus 12 plot riparian, yaitu: hutan riparian, kebun sawit riparian dan kebun karet riparian. Masing-masing penggunaan lahan terdiri atas empat plot. Setiap plot diamati sebanyak 2 hari. Pengamatan dilakukan dari pukul 08.00- 17.00 WIB. Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan jaring serangga dan perangkap buah. Empat perangkap buah dipasang di setiap plot mulai dari pukul 08.00-17.00 WIB (2 hari) dengan menggunakan umpan buah pisang dan nenas yang telah difermentasi selama dua hari. Penelitian menghasilkan tangkapan 198 spesies dari 6.653 individu yang terdiri atas 106 genera, 19 subfamili dan 5 famili. Keanekaragaman spesies kupu- kupu berdasarkan indeks Shannon pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan tergolong tinggi (Hˈ=4,15). Berdasarkan penggunaan lahan, indeks keanekaragaman kupu-kupu tertinggi ditemukan di hutan heterogen (Hˈ=4,06) dibandingkan dengan hutan karet (Hˈ=3,88), kebun sawit (Hˈ=3,40), dan kebun karet (Hˈ=3,49). Perbedaan penggunaan lahan mengakibatkan perbedaan kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu yang ada di dalamnya. Identifikasi spesies kriptik secara molekuler dengan menggunakan sekuens DNA gen mtCO1 Arhopala spp. mempertegas hasil identifikasi secara morfologi. Hasil identifikasi Arhopala spp. secara morfologi dan molekuler menunjukkan terdapat lima spesies, yaitu: Arhopala agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Hasil matriks identitas untuk semua spesies berkisar antara 94-99% dan didukung dengan kemiripan identitas yang terdapat di Genbank berkisar antara 94-99%. Khusus untuk spesies A. trogon belum ada sekuens DNA mtCO1 di Genbank. Data sekuens DNA mtCO1 dari spesies A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon yang berasal dari Sumatera juga belum tersedia di Genbank, sehingga hasil penelitian ini merupakan data yang pertama masuk ke Genbank. Fragmentasi habitat menyebabkan munculnya “pulau-pulau ekologis”, dengan berbagai ukuran. Dalam penelitian ini ukuran yang diteliti adalah ukuran pulau (plot) 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, dan 40m x 40m. Kelimpahan vegetasi dan kupu-kupu terlihat berbeda secara signifikan antara ukuran plot 5m x 5m dengan 40m x 40m. Korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan vegetasi menunjukkan korelasi positif pada plot perlakuan dan plot kontrol. Analisa korelasi lebih lanjut menunjukkan bahwa luas plot berkorelasi positif dengan keberadaan spesies dan kelimpahan vegetasi dan kupu-kupu. Artinya semakin besar ukuran plot, akan semakin mendukung keberadaan kupu- kupu. Pembuatan “pulau-pulau ekologis” diantara kebun sawit dapat menjadi tempat “refugia” bagi berbagai spesies flora dan fauna, antara lain kupu-kupu, sehingga dapat mengurangi dampak negatif kebun sawit terhadap hilangnya keanekaragaman hayati. Kata kunci: Bukit Duabelas, Hutan Harapan, keanekaragaman, kupu-kupu, Sumatera.

SUMMARY

RAWATI PANJAITAN. Diversity and Abundance of (Lepidoptera: Papilionoidea) in Four Land Use in the Bukit Duabelas and Hutan Harapan Landscape, Jambi, Sumatera. Supervised by PURNAMA HIDAYAT, DAMAYANTI BUCHORI, DJUNIJANTI PEGGIE, IDHAM SAKTI HARAHAP.

The existence of butterflies in nature is greatly influenced by the presence of larval food plants and adults nectar plants. Changes in the function of forests into agricultural have impacts on biodiversity, including plants that provide source of food for larvae and nectars for butterflies. Agroforestry offers a model of agriculture that includes conservation principles. A good agroforestry practice may help to preserve more diverse fauna than monoculture agriculture. Changes in habitat structures will affect the diversity of species, so that butterflies are also as a bioindicator of environmental damage. Lepidoptera consists of 45 superfamilies and two of them are Papilionoidea which together with Hesperioidea form the butterfly group. The Papilionoidea consists of the family Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, and Nymphalidae. Butterflies can live in various environmental conditions. The most diverse habitats for butterflies are in tropical rainforests. Bukit Duabelas National Park and Hutan Harapan landscapes are part of tropical forest in Indonesia located in Jambi Province, Sumatera. The Bukit Duabelas NP landscape has several types of habitats, namely primary forest, secondary forest, rubber jungle, oil palm plantation and rubber plantation. Various habitats on the Bukit Duabelas landscape allow for a high diversity of butterfly species. Studies related to butterfly diversity in various habitats in Jambi tropical forests are still limited. The Harapan Forest landscape in Jambi is one of the former logging areas that has been restored to become a forest. The Harapan Forest in Jambi is a restoration forest in Indonesia, which began in 2008 and has been restored so that it can maintain the balance of the forest ecosystem in the Jambi region. Harapan Forest is expected to be a germplasm habitats for natural resources found in Jambi, Sumatera. Reports regarding the diversity of butterflies in various habitats in tropical forests in Jambi were still limited. Thus the study of butterfly diversity on various land functions: heterogeneous forests, jungle rubber, rubber, and palm plantations found in the Bukit Duabelas landscape and Harapan forest in Jambi needs to be done. This study aims to examine the diversity and abundance of butterfly populations on four land use systems, namely heterogeneous forests, jungle rubber, rubber plantations and oil palm plantations in the Bukit Duabelas landscape and Harapan Forest in Jambi, Sumatera. Molecular analysis with cytochrome c oxidase 1 (CO1) on the Mitochondrial DNA (mtDNA) in Arhopala spp. of the Lycaenidae was conducted to support morphological identification to obtain more accurate species identification results. This research has also examined the effect of habitat fragmentation on species richness and abundance of butterflies. Habitat fragmentation has led to changes in the landscape resulting in "ecological islands" between oil palm plantations. The research was carried out in direct exploration of the core plots found in the Bukit Duabelas landscape and the

Harapan Forest landscape and in the Biodiversity Enrichment Experiment Plots (BEEP) in the Harapan forest landscape oil palm plantation, Jambi. The study was carried out in 16 observation plots in the Bukit Duabelas landscape consisting of four land uses, namely forests, rubber forests, oil palm plantations, and rubber plantations (four plots each). Observations in the Harapan Forest landscape were conducted at 28 plots, consisting of 16 plots of heterogeneous forest, jungle rubber, oil palm plantation, and rubber plantation (four plot each), and additionally 12 riparian plots, i.e. riparian forests, riparian palm plantations, and riparian rubber plantations (four plots each). Each plot was observed for 2 days. Observations were made from 08.00-17.00 Western Indonesian time. Sample collection was carried out using nets and fruit traps. Fruit traps were placed in 4 traps in each observation plot using banana and pineapple baits that had been fermented for two days. The results showed that there were 198 species of 6,653 individuals consisting of 106 genera, 19 subfamilies, and 5 families of butterflies found in the field. The diversity index based on the Shannon index on the Bukit Duabelas and Harapan Forest landscapes was high (Hˈ=4.15). Based on land use, the highest butterfly diversity index was found in heterogenous forests (Hˈ=4.06) compared to jungle rubber (Hˈ=3.88), oil palm plantations (Hˈ=3.40), and rubber plantations (Hˈ=3.49). The difference in land use results in differences in species richness and abundance of butterflies. The complexity and transformation of land functions have an impact on butterfly diversity. Molecular identification of cryptic species by using the mtDNA character of CO1 gen from Arhopala spp. is able to confirm morphological identification. The identification of Arhopala spp. based on morphological and molecular resulted in five species, namely: Arhopala agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, and A. trogon. The results of the identity matrix for all species between 94-99% and supported by similar identities found in Genbank ranging from 94-99%. Specifically for A. trogon species, there is no mtCO1 sequence in Genbank. Data mtCO1 DNA sequence from A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, and A. trogon species from Sumatera are not available in Genbank, so the results of this study are the first record of gene sequence in the Genbank. Habitat fragmentation leads to the emergence of "ecological islands" of varying sizes. In this study, the size studied was the size of the island (plot) 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, and 40m x 40m. Vegetation and butterfly abundance was seen to differ significantly between the 5m x 5m and the 40m x 40m plot sizes. The correlation of species richness and abundance of butterflies with vegetation showed a positive correlation on the treatment and control plots. Further, correlation analysis showed that plot area was positively correlated with vegetation and butterfly abundance. This means that the larger the plot size, the more it will support the presence of butterflies. The creation of "ecological islands" between oil palm plantations can become a place of "refugia" for various species of flora and fauna, including butterflies, thereby reducing the negative impact of oil palm plantations on the loss of biodiversity. Keywords: Bukit Duabelas, butterflies, diversity, Harapan Forest, Sumatera.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2020

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA: PAPILIONOIDEA) PADA EMPAT PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI, SUMATERA

RAWATI PANJAITAN

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi

ENTOMOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2020

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Sih Kahono, M.Sc 2. Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi: 1. Dr. Keliopas Krey, S.Pd, M.Si 2. Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan atas tuntunan dan kasih-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2017 sampai tahun 2019 ini ialah, dengan judul “Disertasi ini berjudul “Keanekaragaman dan kelimpahan kupu- kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera”. Penyusunan disertasi ini diarahkan oleh komisi pembimbing. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada ketua komisi pembimbing Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc, atas waktu, ilmu, dan bimbingan yang sangat berarti bagi saya dalam meneliti, menulis ilmiah dan menjadi seorang yang profesional. Penghargaan dan terima kasih juga saya ucapkan kepada anggota komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc, Djunijanti Peggie, M.Sc, Ph.D, dan Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si yang sudah memberikan ilmu, waktu, mengarahkan penulis dengan sabar dan tulus untuk menyusun disertasi ini dan menyelesaikan studi saya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Sih Kahono, M.Sc dan Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi doktor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Keliopas Krey, S.Pd, M.Si atas kesediannya sebagai penguji pada sidang promosi doktor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Ketua Departemen Proteksi Tanaman (PTN), Ketua Program Studi Entomologi, Staf pengajar Program Studi Entomologi, serta staf administrasi PTN dan Pascasarjana atas dukungan dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Unipa yang telah memberikan izin tugas belajar. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kemenristek Dikti atas beasiswa yang telah diberikan melalui LPDP BUDI-DN. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan CRC 990 EFForTS yang telah memberikan bantuan dana penelitian. Terimakasih juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Stefan Scheu dan Dr. Jochen Drescher (Tim Z02 CRC 990, Georg-August- Universitat Gottingen) yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada Keluarga besar Laboratorium Biosistematika Serangga, Ibu Aisyah, Ibu Ati, Lia Nurul Alya, M.Si, Lindung Tri Puspasari, Kiki Marceria, Mahindra Dewi, Bettari, Kiki Simamora, Basten, Dedi, Fathan, Faiz, Rohimatun, Sawaluddin, Ciptadi, Rizki Firmansyah dan teman- teman lainnya atas bantuan dan kebersamaannya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga besar Laboratorium Virologi Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB, Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Sc, Prof. Dr. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Teman-teman: Ibu Latifah, Hani, Reva, Nurul yang selalu memberikan dukungan, waktu, tenaga dan persaudaraan yang indah selama penulis berada di Bogor. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Juwita Sri Maranatha Sihombing, Davig Darusman, Norman Tambunan, dan Somad atas bantuannya selama penelitian di Jambi. Terima kasih saya sampaikan juga kepada keluarga Hendra Tampubolon, keluarga Dika, dan keluarga Bang Sahroji yang telah memberikan fasilitas tempat tinggal selama penelitian di Jambi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Herlina Panjaitan dan Nurbetty Tampubolon yang telah membantu saat penelitian di Jambi. Terima kasih juga penulis vi sampaikan kepada Bapak Endang Cholik (teknisi senior Laboratorium Entomologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong) yang telah membantu penulis dalam penelitian. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada orangtua terkasih, Bapak S. Panjaitan (alm) dan mama R. Siagian yang telah mencurahkan kasih sayang yang tulus dan doa yang tidak pernah putus sehingga saya bisa berdiri hingga saat ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang, kakak dan adikku serta keluarga besar Panjaitan yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan doa kepada penulis. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu mertua Ny. Toga Dance Tampubolon br Gultom dan keluarga besar Tampubolon atas dukungannya kepada penulis. Penulis menyampaikan terima kasih kepada suami terkasih, Jeckson Kennedy Tampubolon atas doa, cinta, kesabaran dan dukungan semangat yang telah diberikan khususnya selama saya menempuh pendidikan ini. Saya menyampaikan terima kasih kepada anada tercinta Rachel Easter Berliana Tampubolon dan Teresa Ratu Juliana Tampubolon atas doa, pengertiannya dan pengorbanannya selama mama menempuh pendidikan. Semoga kalian dapat bertumbuh seperti tunas pohon zaitun yang tumbuh di tepi aliran sungai, berbuah untuk kesejahteraan umat manusia. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian pendidikan ini, semoga Bapak/Ibu dan saudara diberkati Tuhan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Desember 2020

Rawati Panjaitan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN ix 1 PENDAHULUAN UMUM 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Kebaruan Penelitian 4 Ruang lingkup Penelitian 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Biologi Kupu-kupu 7 Klasifikasi dan Deskripsi Kupu-kupu 9 Biodiversitas Kupu-kupu pada Lanskap yang Berbeda 10 3 KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU 17 PADA EMPAT TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI, SUMATERA Abstrak 17 Abstract 17 Pendahuluan 18 Rumusan Masalah 19 Tujuan Penelitian 19 Metode 20 Metode Penelitian 20 Preservasi dan Identifikasi Spesimen Kupu-kupu 21 Analisis Data 22 Hasil dan Pembahasan 23 Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Penggunaan 23 Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Bukit 23 Duabelas Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Hutan Harapan 38 Keanekaragaman Kupu-kupu dengan Metode Perangkap 54 Buah pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi Simpulan 59 4 IDENTIFIKASI KUPU-KUPU Arhopala spp. 61 (LYCAENIDAE: ) DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI BERDASARKAN MORFOLOGI DAN GEN mtCO1 Abstrak 61 Abstract 61 Pendahuluan 62 vi

Rumusan Masalah 63 Tujuan Penelitian 63 Metode 64 Metode Penelitian 64 Preservasi Sampel Kupu-kupu 64 Identifikasi Kupu-kupu Berdasarkan Karakter Morfologi 64 Identifikasi Kupu-kupu Berdasarkan Karakter 64 Molekuler Analisis Data 65 Hasil dan Pembahasan 65 Spesies Arhopala spp. yang Ditemukan di Lanskap 65 Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Identifikasi Arhopala spp. Berdasarkan Morfologi dan 66 Gen mtCO1 Simpulan 77 5 FRAGMENTASI HABITAT DAN PENGARUHNYA PADA 79 STRUKTUR DAN KOMPOSISI KUPU-KUPU DI DALAM “PULAU-PULAU EKOLOGIS” (ECOLOGICAL ISLAND) DI JAMBI, SUMATERA Abstrak 79 Abstract 79 Pendahuluan 80 Rumusan Masalah 81 Tujuan Penelitian 82 Manfaat Penelitian 82 Metode 82 Analisis Data 84 Hasil dan Pembahasan 85 Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Tipe Ukuran 87 Plot BEEP Pengaruh Ukuran dan Jenis Vegetesi Terhadap 87 Keanekaragaman Kupu-kupu di Dalam Plot Perlakuan dan Plot Kontrol BEEP Korelasi Kekayaan Spesies dan Kelimpahan Antara 93 Kupu-kupu dan Tumbuhan pada “Pulau-pulau Ekologis” Simpulan 101 6 PEMBAHASAN UMUM 103 7 SIMPULAN DAN SARAN 105 Simpulan 105 Saran 105 DAFTAR PUSTAKA 107 LAMPIRAN 113 RIWAYAT HIDUP 161

vii

DAFTAR TABEL

3.1 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe 23 penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas 3.2 Estimasi kekayaan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan di 25 lanskap Bukit Duabelas 3.3 Nilai rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD) spesies kupu-kupu 30 yang ditemukan pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas 3.4 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe 38 penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan 3.5 Estimasi kekayaan kupu-kupu pada beberapa tipe penggunaan lahan 40 di lanskap Hutan Harapan 3.6 Spesies kupu-kupu yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan 45 3.7 Keanekaragaman kupu-kupu yang ditangkap dengan perangkap 55 buah di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan 4.1 Identifikasi sampel Arhopala spp berdasarkan data NCBI BLASTn 67 dan identitas matrix 4.2 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 8D, 9A, 10A dan 69 F2 4.3 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel Gc, Ga dan A1 72 4.4 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 12b dan 8A 73 4.5 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 14A 75 5.1 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu di plot perlakuan dan plot 87 kontrol BEEP Jambi 5.2 Daftar spesies kupu-kupu yang ditemukan pada plot BEEP 92 5.3 Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu 95 dengan tumbuhan pada plot perlakuan dan plot kontrol 5.4 Tumbuhan yang dikunjungi kupu-kupu di dalam plot BEEP 97

DAFTAR GAMBAR

1.1 Alur penelitian 5 3.1 Peta lokasi penelitian di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan 20 Harapan Jambi 3.2 Kekayaan spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan 24 di lanskap Bukit Duabelas 3.3 Kelimpahan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan di lanskap 24 Bukit Duabelas 3.4 Kurva akumulasi spesies di lanskap Bukit Duabelas 26 3.5 Kemiripan komposisi kupu-kupu berdasarkan analisis Bray Curtis 27 di lanskap Bukit Duabelas 3.6 Jumlah spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan 28 yang ditemukan di lanskap Bukit Duabelas

viii

3.7 Spesies kupu-kupu Trogonoptera brookiana dan Troides 29 amphrysus 3.8 Kekayaan spesies pada empat penggunaan lahan dan riparian di 39 lanskap Hutan Harapan 3.9 Kelimpahan individu kupu-kupu pada empat penggunaan lahan 40 dan riparian di lanskap Hutan Harapan 3.10 Kurva akumulasi spesies di lanskap Hutan Harapan 41 3.11 Kemiripan komposisi kupu-kupu di lanskap Hutan Harapan 42 3.12 Kekayaan dan kemiripan spesies kupu-kupu pada empat tipe 43 penggunaan lahan yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan 3.13 Kekayaan dan kemiripan spesies kupu-kupu pada riparaian dan 44 tidak riparian (hutan, kebun sawit, dan kebun karet) di lanskap Hutan Harapan 4.1 Kelimpahan individu Arhopala spp. yang ditemukan di Lanskap 66 Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi 4.2 Hasil visualisasi DNA mtCO1 dengan primer LepF1 dan LepR1 67 dengan marker 1kb (thermo scientific US), (F2,7D, 8D,10A: sampel A. paraganesa), (A1, Ga, Gc: A. agesias), (8A, 12b: A.agesilaus), (9A) A.trogon, dan (14A) A. pseudocentaurus. 4.3 Sayap dan genitalia pada jantan A. paraganesa 68 4.4 Filogeni sampel 7D, 8D, 9A, 10A, dan F2 menggunakan 69 perangkat lunak MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x 4.5 Sayap dan genitalia pada jantan A. trogon 70 4.6 Sayap dan genitalia pada jantan A. agesias 71 4.7 Filogeni sampel Gc, Ga dan A1 menggunakan perangkat lunak 72 MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x 4.8 Sayap dan genitalia pada jantan A. agesilaus 73 4.9 Filogeni sampel 12b dan 8A menggunakan perangkat lunak 74 MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1 000x 4.10 Sayap dan genitalia pada jantan A. pseudocentaurus 75 4.11 Filogeni sampel 14A menggunakan perangkat lunak MEGA 7 76 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x 5.1 Sketsa plot pengamatan di antara kebun kelapa sawit di Jambi 83 5.2 Kurva akumulasi spesies pada plot perlakuan dan kontrol BEEP; 86 a) plot perlakuan; b) plot kontrol. 5.3 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu pada empat tipe plot 88 perlakuan BEEP 5.4 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu pada empat tipe plot 89 kontrol BEEP 5.5 Korelasi antara luas plot dengan jumlah spesies dan jumlah 90 individu kupu-kupu pada plot BEEP 5.6 Komposisi spesies kupu-kupu pada tiap plot berdasarkan Bray 91 Curtis di BEEP 5.7 Korelasi antara luas plot dengan jumlah spesies dan jumlah 94 ix

individu pada plot BEEP 5.8 Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu 96 dengan tumbuhan di dalam plot perlakuan 5.9 Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu 96 dengan tumbuhan di dalam plot kontrol 5.10 Penyebaran kekayaan spesies kupu-kupu pada plot perlakuan 99 BEEP 5.11 Penyebaran kekayaan spesies kupu-kupu pada plot kontrol BEEP 100

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar spesies kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan 114 Harapan, Jambi, Sumatera. 2 Gambar spesies kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan 120 Harapan, Jambi, Sumatera. 3 Kunci identifikasi untuk lima spesies Arhopala dari Subfamili 156 Theclinae. 4 Vegetasi yang terdapat di dalam plot perlakuan BEEP 158 5 Vegetasi yang terdapat di dalam plot kontrol BEEP 160

1 PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Keanekaragaman hayati penting untuk dilindungi guna menjaga keseimbangan kehidupan di alam. Hutan tropis telah mengalami gangguan manusia dari kondisi ringan hingga berat (Laurance et al. 2001). Gangguan yang paling umum adalah perburuan, penebangan, dan pembukaan lahan untuk pertanian (Whitworth et al. 2018). Perubahan penggunaan hutan menjadi lahan pertanian memiliki dampak buruk bagi keanekaragaman hayati (Koh et al. 2009). Semua lapisan masyarakat diperlukan kerjasamanya untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati (Kareiva & Marvier 2012). Salah satu langkah nyata konservasi dilakukan melalui interaksi antara manusia dengan ekosistem pada strategi konservasi. Langkah konservasi yang dapat dilakukan oleh pelaku pertanian adalah dengan sistem agroforestri yang ramah lingkungan. Agroforestri yang ramah lingkungan dapat membantu kehadiran fauna yang lebih beragam dibandingkan dengan pertanian yang monokultur (Tscharntke et al. 2005). Hutan yang tersisa perlu dijaga untuk mendukung keanekaragaman hayati, terutama di daerah tropis dimana laju konversi lahan yang tinggi (Daily & Ehrlich 1995). Perubahan habitat alami menjadi semi alami menyebabkan beberapa spesies hilang dari habitat tersebut, sehingga dibutuhkan langkah konservasi (Laurance et al. 2001). Salah satu langkah konservasi di lanskap pertanian adalah dengan membuat “pulau-pulau ekologis” (ecological islands). Pulau-pulau ekologis yang dimaksudkan adalah plot dengan beberapa ukuran di dalam dan diantara lanskap pertanian. Percobaan pengayaan keanekaragaman hayati (Biodiversity Enrichment Experiment Plots/BEEP) di PT. Humusindo Jambi dengan mengggunakan “pulau- pulau ekologis” telah dilakukan. Percobaan dilakukan berupa plot yang merupakan “pulau-pulau ekologi” dengan berbagai ukuran plot yang ditanami bermacam-macam tanaman perkebunan sejak tahun 2013 (Teuscher et al. 2016). Tanaman perkebunan ditanam di antara kebun sawit. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menemukan tanaman yang dapat bergabung ditanam bersamaan dengan kelapa sawit. Manfaat dari percobaan BEEP diharapkan dapat menjadi habitat tumbuhan dan hewan termasuk kupu-kupu, sebagai sumber penghasilan yang beragam dan memberikan keuntungan secara tidak langsung kepada manusia karena dengan adanya keberagaman tumbuhan maka akan dapat mengendalikan hama secara alami dan juga sebagai penyimpan air (Teuscher et al. 2016). Penelitian keanekaragaman kupu-kupu juga perlu dilakukan di dalam BEEP. Sistem agroforestri dapat diterapkan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan yang kini telah didominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan karet. Lanskap Bukit Duabelas merupakan bagian dari salah satu taman nasional yang terdapat di Indonesia, yaitu Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Lanskap Bukit Duabelas memiliki beberapa penggunaan lahan, yaitu: hutan heterogen, hutan karet, kebun kelapa sawit, dan kebun karet. Penggunaan lahan yang beragam ini memungkinkan keanekaragaman spesies kupu-kupu yang terdapat di lahan tersebut juga beranekaragam. Pada tahun 2001 Badan Informasi Kehutanan melaporkan 12 spesies kupu-kupu di TNBD (Balai Taman Nasional Bukit 2

Duabelas 2001). Jumlah tersebut dianggap terlalu sedikit untuk sebuah taman nasional di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi data kupu-kupu. Lanskap Hutan Harapan merupakan salah satu kawasan bekas pembalakan kayu yang direstorasi menjadi hutan (Origia et al. 2012). Hutan Harapan Jambi merupakan hutan restorasi tertua di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2008, dengan maksud untuk mengembalikan kondisi hutan lebih baik untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan di kawasan Jambi. Hutan Harapan diharapkan menjadi kawasan plasma nutfah bagi sumber daya alam yang terdapat di Jambi. Hal ini dikarenakan banyaknya wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan dari hutan primer menjadi lahan perkebunan. Penelitian yang sudah dilakukan adalah tentang keanekaragaman semut di kawasan Hutan Harapan oleh Alamsari (2014) yang melaporkan 66 spesies semut di area tersebut. Penelitian keanekaragaman kadal juga telah dilakukan dan berhasil menemukan 14 spesies (Origia et al. 2012). Hingga saat ini belum ada data tentang keanekaragaman kupu-kupu di kawasan Hutan Harapan. Lepidoptera terdiri atas 45 superfamili dan satu di antaranya adalah superfamili Papilionoidea, yang bersama Hesperioidea merupakan kupu-kupu (Kristensen et al. 2007). Superfamili Papilionoidea terdiri atas Famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Nymphalidae (Kristensen et al. 2007). Identifikasi kupu-kupu hingga tingkat spesies memerlukan data karakter morfologi, dan juga molekuler, sehingga hasil identifikasi lebih akurat. Pada beberapa spesies kriptik, seperti Arhopala, karakter molekuler seperti fragmen DNA mitochondria yaitu cytocrome c oxidase subunit 1 gen (mtCO1) akan menambah akurasi hasil identifikasi (Megens et al. 2004a). Keberadaan kupu-kupu di alam sangat dipengaruhi oleh keberadaan tanaman inang atau host plant. Beberapa spesies kupu-kupu memiliki jenis tanaman inang yang spesifik untuk meletakkan telurnya. Keberadaan tanaman inang sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat (Peggie & Harmonis 2014). Habitat kupu-kupu adalah hutan primer, hutan sekunder, dan daerah perkebunan yang heterogen. Perubahan struktur habitat akan memengaruhi keanekaragaman spesies kupu-kupu (Nidup et al. 2014). Oleh karena itu kupu-kupu dapat dijadikan bioindikator kerusakan lingkungan (Brown & Freitas 2000). Kupu-kupu memiliki penyebaran yang luas, termasuk wilayah tropis. Penyebaran kupu-kupu tergantung pada iklim dan kondisi fisik yang memengaruhi distribusi dan perkembangan tumbuhan. Kupu-kupu dapat hidup pada berbagai kondisi lingkungan, tetapi paling banyak di daerah hutan hujan tropis (D‟Abrera 1990). Penyebaran kupu-kupu di suatu kawasan dipengaruhi oleh keadaan geografis, kemampuan spesies untuk menyebar dan preferensi habitat yang berbeda. Umumnya, kupu-kupu lebih menyukai daerah yang terbuka atau tipe habitat dengan tutupan kanopi yang tidak rapat. Kupu-kupu membutuhkan cahaya matahari untuk membantu pergerakan sayap. Perpindahan (migrasi) populasi kupu-kupu dari suatu tempat ke tempat yang lain dapat disebabkan oleh faktor iklim yang kurang sesuai di habitat lama atau jumlah makanan yang berkurang pada musim tertentu. Beberapa spesies dapat berkembang biak selama dalam perjalanan (Parsons 1999). Data kupu-kupu di Indonesia yang telah diketahui sebanyak lebih kurang 2000 spesies yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia (Peggie 2014). Jumlah 3

kupu-kupu diperkirakan yang terdapat di Jawa sekitar 640 spesies, di Kalimantan sekitar 800 spesies, Sulawesi sekitar 560 spesies, di Nusa Tenggara sekitar 350 spesies, di Maluku sekitar 400 spesies, di Papua sekitar 500 spesies dan di Sumatera sekitar 890 spesies yang sudah diketahui (Peggie 2014). Spesies endemik tertinggi terdapat di Sulawesi 239 spesies (42-43%) (Vane-Wright & de Jong 2003). Data jumlah spesies ini kemungkinan masih bertambah, mengingat masih banyak wilayah yang belum dilakukan penelitian kupu-kupu. Penelitian kupu-kupu di Jambi yang sudah dilakukan yaitu, di hutan kota Muhammad Sabki ditemukan 43 spesies (Estalita & Basukriadi 2012), dan di Taman Nasional Kerinci Seblat (sebagian dari Jambi) ditemukan 230 spesies (Helmiyetti et al. 2014). Sedangkan penelitian kupu-kupu di TNBD dan hutan Harapan belum pernah dilakukan. Kupu-kupu memiliki peranan penting dalam ekosistem sebagai polinator (Fukano et al. 2016). Kupu-kupu juga berperan sebagai indikator dalam perubahan ekologi (Brown & Freitas 2000). Kupu-kupu di Indonesia mempunyai keindahan warna dan corak sayap yang bervariasi sehingga banyak digemari oleh kolektor baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa kupu-kupu yang bernilai ekonomi dan dilindungi di Sumatera adalah kupu-kupu raja dari genus Troides dan Trogonoptera yang tergolong spesies yang dilindungi (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia 2018; IUCN 2020). Kupu-kupu juga mempunyai nilai estetika yang dapat dijadikan sebagai objek wisata dan objek studi yang menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat umum dan pelajar di Jambi.

Rumusan Masalah

Kupu-kupu penting secara ekologi sebagai polinator dan indikator perubahan ekosistem. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan kupu-kupu adalah ketika terjadi transformasi penggunaan lahan. Transformasi hutan heterogen menjadi lahan perkebunan yang homogen berdampak negatif terhadap eksistensi dan keanekaragaman kupu-kupu. Salah satu kawasan hutan yang telah mengalami transformasi hutan yang ada di Sumatera terdapat di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Terkait dampak transformasi habitat yang terjadi di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan dari hutan menjadi lahan pertanian diperlukan suatu kajian ilmiah tentang keanekaragaman kupu- kupu yang ada di dalamnya. Perubahan penggunaan lahan berdampak pada kehilangan bahkan punahnya spesies kupu-kupu. Hingga saat ini, belum ada informasi tentang keanekaragaman kupu-kupu dari Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Penggunaan lahan yang terdapat di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan ada empat, yaitu: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet dan kebun sawit. Dengan demikian perlu dikaji keanekaragaman kupu-kupu pada empat penggunaan lahan: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet dan kebun sawit yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Proses identifikasi spesies kupu-kupu dilakukan dengan melihat karakter morfologi, yaitu pola warna dan venasi sayap. Namun, khususnya untuk beberapa spesies kriptik seperti Genus Arhopala, diperlukan data karakter molekuler untuk menambah akurasi hasil identifikasi. Salah satu karakter molekuler yang umum digunakan adalah fragmen DNA mitokondria yaitu mtCO1.

4

Menyikapi dampak kehilangan spesies kupu-kupu yang terdapat di Jambi, Sumatera, maka diperlukan kerjasama pihak pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi dampak negatif dari kebun sawit adalah dengan menyediakan “pulau-pulau ekologis” sebagai rumah bagi keanekaragaman flora dan fauna di antara kebun sawit. Kajian korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan tumbuhan di dalam plot dengan berbagai ukuran di antara kebun sawit pada areal percobaan BEEP yang terdapat di kebun sawit perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan populasi kupu-kupu pada empat penggunaan lahan, yaitu hutan, hutan karet, kebun karet dan kebun sawit di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Sumatera. 2. Mengidentifikasi spesies kriptik Arhopala spp. (Lycaenidae: Theclinae) berdasarkan karakter morfologi dan gen mtCO1 yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Indonesia. 3. Menganalisis korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan tumbuhan di dalam plot dengan berbagai ukuran pada “pulau-pulau ekologis” yang menjadi rekomendasi sebagai habitat keanekaragaman spesies kupu-kupu di antara kebun sawit pada area percobaan BEEP di Jambi, Sumatera.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan data baru tentang komunitas dan keanekaragaman kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi. Penelitian ini akan menambah informasi baru tentang penyebaran kupu-kupu di Jambi, Sumatera yang dapat digunakan untuk mendukung upaya dalam pengambilan kebijakan menyangkut konservasi kupu-kupu di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas dan Hutan Harapan bagi instansi pemerintah setempat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi korelasi “pulau- pulau ekologis” terhadap kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu sebagai habitat kupu-kupu dan spesies lainnya di dalam kebun kelapa sawit.

Kebaruan Penelitian

Penelitian yang dilakukan menghasilkan kebaruan dan sumbangan bagi perkembangan informasi dalam ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Informasi keanekaragaman kupu-kupu pada empat penggunaan lahan, yaitu hutan, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Sumatera sebanyak 198 spesies serta koleksi spesimennya. 2. Keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu lebih tinggi di hutan dibandingkan dengan di kebun sawit dan kebun karet. Penggunaan lahan yang berbeda menunjukkan perbedaan kekayaan spesies dan kelimpahan populasi kupu-kupu. 5

3. Diperoleh data gen mtCO1 dari Genus Arhopala, sebanyak 5 spesies : yaitu Arhopala agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon yang ditemukan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera. 4. Keberadaan “pulau-pulau ekologis” pada kebun sawit dapat dijadikan sebagai habitat bagi kupu-kupu.

Ruang Lingkup Penelitian

Secara umum alur penelitian keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu yang terdapat pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan terdiri atas empat tahap kegiatan, yaitu: 1) pengambilan sampel kupu- kupu; 2) preservasi sampel; 3) identifikasi berdasarkan karakter morfologi; 4) identifikasi secara molekuler khusus genus Arhopala. Secara skematis alur penelitian disajikan pada Gambar 1.1.

Studi Pustaka dan survei lokasi penelitian

Pengambilan data Pengambilan sampel Mencatat data mikrohabitat morfologi kupu-kupu kupu-kupu

Preservasi dan Identifikasi kupu-kupu Pengamatan kunjungan perentangan sampel Arhopala spp. secara kupu-kupu pada kering kupu-kupu morfologi dan molekuler tumbuhan di BEE plot

Identifikasi kupu-kupu Variasi karakter Pengukuran secara morfologi molekuler kupu-kupu parameter ligkungan: suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan Verifikasi nama tutupan kanopi spesies

Gambar karakter kupu-kupu

Deskripsi, klasifikasi, dan kunci identifikasi kupu-kupu

Analisis data

Gambar 1.1 Alur penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Kupu-kupu

Kupu-kupu merupakan salah satu serangga dalam ordo Lepidoptera. Kata Lepidoptera berasal dari bahasa Latin yaitu lepido yang artinya sisik dan ptera dari bahasa Yunani yang berarti sayap, dengan demikian Lepidoptera berarti serangga yang memiliki sayap bersisik (Triplehorn & Johnson 2005). Jumlah spesies kupu-kupu yang telah diidentifikasi di dunia sekitar 17.500 spesies atau sekitar 12% dari total 155.000 spesies Lepidoptera yang sudah di identifikasi di dunia. Kupu-kupu lebih banyak dikenal secara umum karena aktif pada siang hari dan corak warnanya yang cantik dan menarik (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Tubuh kupu-kupu dewasa atau yang disebut dengan imago terdiri atas 3 bagian, yaitu: kepala, toraks (thorax), dan abdomen. Kepala kupu-kupu dilengkapi dengan sepasang mata majemuk (compound eyes), mata tunggal (ocellus), sepasang antena (antenna), sepasang palpi labialis (sebagai organ peraba), dan alat isap (proboscis). Mata majemuk umumnya lebih besar dan terdiri atas banyak mata faset (ommatidia). Fungsi mata majemuk yaitu untuk mengenali bentuk, warna dan gerakan. Mata tunggal berfungsi untuk mengetahui intensitas cahaya. Kupu-kupu memiliki ujung antena yang membesar, dan berbentuk seperti gada (clubbed) dan berbentuk filamen panjang (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Thorax terdiri atas 3 segmen, yaitu: prothorax, mesothorax, dan metathorax. Pada prothorax terdapat sepasang tungkai depan, sepasang tungkai kedua terdapat pada mesothorax dan sepasang tungkai ketiga terdapat pada metathorax (Triplehorn & Johnson 2005). Tungkai kupu-kupu terdiri atas 9 ruas, yaitu ruas pertama disebut koksa, ruas kedua disebut dengan trokanter, ruas selanjutnya disebut femur dan tibia, serta tarsus 5 ruas dengan dua cakar di ruas tarsus yang paling ujung (Peggie 2014). Pasangan tungkai kedua (tengah) dan ketiga (belakang) berkembang dengan sempurna, sedangkan tungkai pertama (depan) tidak berkembang dengan baik untuk beberapa suku kupu-kupu, sehingga dijadikan sebagai karakteristik untuk membedakan dan mengelompokkan kupu- kupu ke tingkat suku (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Tungkai terdapat di thorax sebanyak 3 pasang, 2 pasang sayap, dan sekumpulan otot yang digunakan untuk terbang (Triplehorn & Johnson 2005). Ukuran sayap depan dan sayap belakang kupu-kupu berbeda. Ukuran sayap depan biasanya lebih besar dari pasangan sayap belakang. Seluruh sayap kupu-kupu ditutupi oleh sisik yang berfungsi sebagai pengatur suhu tubuhnya. Posisi sayap pada saat hinggap vertikal atau tegak di atas tubuhnya. Umumnya kupu-kupu hinggap di atas daun atau ranting, kecuali dari genus Cyrestis sering hinggap di bawah permukaan bawah daun (Parson 1999). Pada saat istirahat umumnya sayap kupu-kupu dilipat secara horizontal di atas tubuhnya, namun ada beberapa kupu- kupu seperti dari genus Junonia sering merentangkan sayapnya secara vertikal dengan tubuhnya pada saat istirahat (Peggie 2014). Sisik yang terdapat pada sayap memberi warna yang berfungsi untuk perlindungan dengan melakukan kamuflase, mimikri dan juga sebagai alat komunikasi pada kupu-kupu. Warna sisik yang

8

dihasilkan berasal dari hasil metabolisme senyawa kimia tumbuhan yang dimakan oleh kupu-kupu tersebut (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Warna juga dihasilkan dari penyerapan cahaya oleh sel pembawa warna (chromophore) yang berisi pigmen yang terdapat di dalam sisik. Sayap memiliki bagian-bagian yang penting yang digunakan sebagai karakter untuk identifikasi, yaitu bagian tepi sayap dan venasi atau urat sayap (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Bagian tepi sayap kupu-kupu meliputi: tepi atas pada sayap disebut sebagai costa, tepi luar disebut tepi distal, tepi bawah disebut sebagai tepi posterior atau tepi anal pada sayap belakang, sudut atas pada sayap disebut sebagai apex dan sayap belakang yang membentuk sudut bawah yang terbentuk oleh tepi distal dan tepi anal disebut sebagai tornus (Triplehorn & Johnson 2005). Venasi atau urat sayap pada kupu-kupu dinamakan berdasarkan letaknya yaitu, subcosta (Sc), radius (R), median (M), cubitus (Cu), dan vena anal (A). Pada sayap kupu-kupu juga terdapat 5 area lengkungan yang dimulai dari pangkal sayap ke arah luar yaitu, area basal, discal, postdiscal, submarginal dan marginal (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Bagian samping tubuh kupu-kupu terdapat spirakel yang tertutup sisik (Triplehorn & Johnson 2005). Spirakel berfungsi sebagai alat pernafasan berupa lubang yang terhubung dengan trachea di dalam tubuh yang membawa oksigen keseluruh tubuh kupu-kupu. Spirakel berjumlah 9 pasang yang terdapat pada ruas dada tengah (mesothorax), ruas dada terakhir (metathorax), dan pada ruas abdomen tubuh kupu-kupu (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Abdomen kupu-kupu terdiri atas 10 ruas yang di dalamnya terdapat alat pencernaan, pembuangan dan alat reproduksi. Alat reproduksi luar juga terdapat 3 ruas pada ujung tubuhnya (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Pada jantan berupua valva (clasper) di ujung dan kupu-kupu betina berupa lubang genitalia di ruas kedua sebelum ruas terakhir abdomen (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Siklus hidup kupu-kupu tergolong holometabola yaitu, metamorfosis lengkap yang diawali dengan telur, larva (ulat), pupa (kepompong) dan tahap terakhir yaitu imago (dewasa). Lama waktu siklus hidup kupu-kupu setiap spesies berbeda-beda tergantung spesies dan musim (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Contohnya kupu-kupu sayap burung yang terdapat di Papua dari Genus Ornithoptera siklus hidupnya dapat mencapai 108 hari dan Graphium agamemnon hanya 38 hari. Dengan demikian kupu-kupu dapat menyelesaikan siklus hidup hingga beberapa generasi dalam satu tahun (multivoltine) (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Telur kupu-kupu memiliki bentuk yang bervariasi tergantung spesiesnya, ada yang membulat dan memanjang (Peggie 2014). Kupu-kupu meletakkan telur satu per satu dan ada juga yang berkelompok di atas permukaan daun, ranting dan serasah yang terdapat di sekitar tanaman pakan larva (Triplehorn & Johnson 2005). Jumlah telur yang dihasilkan sekitar 30 butir hingga 200 butir (tergantung spesiesnya). Telur akan menetas menjadi larva setelah sekitar 7 – 10 hari (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Larva aktif makan dan memiliki bagian-bagian tubuh. Kepala larva terdapat mata dan alat mulut yang digunakan untuk menggigit dan mengunyah makanan (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Thorax terdapat 4 pasang kaki semu (prolegs) yang terletak pada ruas ke-3 sampai ruas ke-6 pada abdomen (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Kaki semu juga terdapat pada ujung 9

abdomen yang disebut anal prolegs. Fase pergantian kulit dapat terjadi hingga 5 fase yang disebut sebagai instar. Larva kupu-kupu dari beberapa spesies juga terdapat duri atau bulu. Larva yang telah melewati instar terakhir maka akan berkembang menjadi pre-pupa yang melekat pada ranting, daun, batang atau substrat lainnya yang terdapat di sekitarnya pada saat instar terakhir (Peggie 2014). Fase pre-pupa akan berkembang menjadi pupa yang menggantung dengan menggunakan benang penyangga (Parsons 1999; Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Fase pupa sering disebut sebagai kepompong. Pada fase pupa terlihat diam dan istirahat, namun yang terjadi sesungguhnya adalah proses perubahan sehingga akan terbentuk kupu-kupu dewasa (imago) yang akan keluar dari kepompongnya setelah sekitar 10-12 hari (tergantung spesiesnya). Fase imago adalah fase terakhir pada perkembangan kupu-kupu. Setelah imago, aktivitas kupu-kupu adalah mencari nektar sebagai makanannya dan jantan akan mencari pasangannya kemudian melakukan perkawinan. Kemudian betina akan bertelur untuk kelanjutan siklus hidupnya (Parsons 1999; Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

Klasifikasi dan Deskripsi Kupu-kupu

Kupu-kupu merupakan bagian dari ordo Lepidoptera yang terdiri atas dua subfamili yaitu, Hesperioidea dan Papilionoidea. Subfamili Hesperioidea hanya terdapat satu famili yaitu Hesperiidae. Papilionoidea terdiri atas famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Nymphalidae (Kristensen et al. 2007). Hesperiidae memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang, antena kiri dan kanan berjauhan dan memiliki siku pada ujungnya. Umumnya tubuh berwarna coklat dan terkadang bercak putih atau kuning. Hesperiidae aktif pada siang hingga sore hari (krepuskular). Karakter yang membedakan Hesperiidae dengan famili kupu-kupu yang lainnya adalah terdapat cakar pada tarsi depan (Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Famili Papilionidae memiliki karakteristik dengan warna yang menarik dan ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan famili yang lainnya (Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Beberapa spesies memiliki ekor pada ujung sayap belakang yang menyerupai sendok spatula yang disebut papil (Peggie 2014). Ukuran sayap kupu-kupu dapat mencapai 19 cm, misalnya dari genus Ornithoptera sehingga disebut sebagai kupu-kupu sayap burung (Parson 1999). Ciri khas dari Papilionidae adalah antena berdekatan, sayap depan dengan 2 vena yang bercabang setelah sel. Pada tibia belakang terdapat sepasang duri ujung (terminal spurs). Tibia depan dengan 1 duri median (epiphysis), sayap depan dengan vena 2A mencapai tepi bawah (posterior) (Peggie 2014). Karakteristik ini yang membedakan Papilionidae dengan Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae dan Nymphalidae. Famili Papilionidae terdiri atas 3 subfamili, yaitu Papilioninae (terdapat di seluruh dunia), subfamili Baroniinae (hanya 1 spesies di Meksiko) dan Subfamili Parnassiinae (terdapat di Eropa, Amerika Utara dan beberapa negara di Asia Tenggara, tidak terdapat di Indonesia) (Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Pieridae memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang dengan corak warna umumnya kuning dan putih (Parson 1999). Ciri khas dari Pieridae yang membedakannya dengan famili lainnya adalah tibia depan tanpa duri median,

10

sayap depan dengan vena 2A membentuk lengkung gabungan yang sangat pendek dengan vena 1A, tungkai depan berkembang dengan baik, dan tarsi dengan cakar bercabang dua. Famili Pieridae terdiri atas 4 subfamili, yaitu: Pierinae, Coliadinae, Dismorphiinae dan Pseudopontiinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Riodinidae memiliki ukuran tubuh kecil sampai sedang. Tarsus dari tungkai depan pada jantan seperti sikat (Triplehorn & Johnson 2005). Tarsus berkembang baik dengan 5 ruas pada betina. Pangkal antena dekat dengan tepi mata, ruas antena tanpa rigi memanjang, sayap belakang dengan vena humeral. Tungkai depan pada jantan mereduksi kurang dari setengah panjang tungkai tengah dan belakang, dengan koksa memanjang secara mencolok. Famili Riodinidae terdiri atas Subfamili Riodininae dan Nemeobiinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Famili Lycaenidae miliki karakteristik berukuran tubuh kecil, bewarna biru, ungu atau oranye dengan bercak metalik, hitam atau putih (Peggie 2014). Beberapa spesies mempunyai ekor sebagai perpanjangan sayap belakang. Tungkai depan pada kupu-kupu jantan tidak terlalu mengecil tetapi dengan tarsi yang pendek dan koksa tidak terlalu memanjang (Peggie 2014). Sayap belakang biasanya tanpa vena humeral. Keunikan dari famili Lycaenidae adalah pada fase ulat tidak semua memakan tumbuhan, namun ada yang memakan semut pohon (Subfamili Lyphyrinae), memakan kutu daun dan kutu sisik atau Coccidae (Subfamili Miletinae) (Peggie 2014). Famili Lycaenidae terdiri atas 8 subfamili, yaitu: Curetinae, Poritiinae, Lipteninae, Miletinae, Lyphyrinae, Lycaeninae, Theclinae dan Polyommatinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Famili Nymphalidae memiliki ukuran tubuh dari kecil hingga besar, dengan corak warna umumnya coklat, oranye, kuning, dan hitam Ciri khas Nymphalidae adalah pangkal antena terpisah dari tepi mata, ruas antena memiliki tiga rigi memanjang (tricarinate) pasangan tungkai depan pada kupu-kupu jantan dan betina biasanya tidak berkembang baik sehingga tidak berfungsi untuk berjalan (Peggie 2014). Pada kupu-kupu jantan, biasanya sepasang tungkai depan tertutup oleh kumpulan sisik yang padat menyerupai sikat, sehingga kupu-kupu ini juga dikenal sebagai kupu-kupu bertungkai sikat. Famili Nymphalidae terdiri atas 12 subfamili, yaitu Calinaginae (hanya terdapat di Himalaya dan Cina), Apaturinae, Biblidinae, , Cyrestinae, Danainae, Heliconiinae, Libytheinae, , Nymphaliae, Pseudergolinae, dan Satyrinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

Biodiversitas Kupu-kupu pada Lanskap yang Berbeda

Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang tinggi, sehingga dikenal sebagai mega diversity country (Paknia et al. 2015). Biodiversitas mengacu kepada variasi sumber daya hayati yang dapat dilihat dari tingkat ekosistem (ecosystem biodiversity), spesies (species diversity), dan genetik (genetic diversity). Deforestasi menyebabkan kehilangan, kerusakan/degradasi dan fragmentasi habitat, yang memicu kepada penurunan biodiversitas. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan deforestasi, namun belum menunjukkan hasil yang optimal. Saat ini kawasan konservasi dan hutan lindung terfragmentasi 11

sehingga konektivitas habitat di dalam dan antara kawasan terganggu yang memicu penurunan biodiversitas. Inisiatif pengelola berbasis lanskap ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Upaya ini mencoba mengakomodasikan berbagai kepentingan dalam pengelolaan wilayah dalam skala lanskap (Wheeler et al. 2013). Lanskap dengan biodiversitas memiliki hubungan yang erat. Lanskap adalah sebuah area heterogen yang terbentuk dari berbagai tipe ekosistem yang saling berinteraksi (Forman & Godron 1986). Struktur lanskap berkaitan dengan tipe, distribusi, dimensi, dan bentuk komponen penyusun lanskap (Forman & Godron 1986). Fungsi lanskap berkaitan dengan barang dan jasa lingkungan yang disediakan oleh lanskap, meliputi fungsi produksi (pangan, sandang, papan, energi), habitat (tempat hidup biodiversitas), regulator (berbagai siklus di biosfer dan atmosfer) dan informasi (keindahan/rekreasi/kultural). Fungsi lanskap dalam hal distribusi energi, materi, dan spesies ditentukan oleh perbedaan struktur lanskap (Forman & Godron 1986). Perubahan lanskap adalah perubahan yang disebabkan oleh alterasi/gangguan (disturbance) pada struktur dan atau fungsi lanskap, baik berupa peristiwa alam ataupun gangguan manusia (Forman & Godron 1986). Gangguan terhadap fungsi tidak selalu mengubah struktur, namun gangguan pada struktur pasti akan mengubah fungsi lanskap (Forman & Godron 1986). Sebagai contoh, perubahan struktur lanskap melalui proses deforestasi hutan alam pasti akan mengubah penggunaan lanskap hutan (Forman & Godron 1986). Deforestasi tidak hanya menyebabkan pada penurunan biodiversitas dan kelimpahan flora dan fauna serta stok karbon, tetapi juga mengubah aliran permukaan/erosi (Prasetyo et al. 2009). Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman spesies interior, sebaliknya akan meningkatkan keragaman edge spesies dan spesies yang membutuhkan dua atau lebih elemen lanskap (Forman & Godron 1986). Selain dari itu akan meningkatkan total potensi keberadaan spesies. Ekspansi dan kontraksi spesies diantara elemen lanskap dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh heterogenitas lanskap (Forman & Godron 1986). Laju distribusi/perpindahan hara mineral diantara elemen lanskap meningkat dengan adanya peningkatan intensitas gangguan (disturbance). Bila tidak terganggu, horisontal lanskap mempunyai kecenderungan untuk menjadi lebih homogen (Forman & Godron 1986). Sedangkan bila ada gangguan yang moderat, maka akan menjadi lebih heterogen, dan bila terjadi gangguan yang sangat besar maka akan dapat meningkatkan/menurunkan heterogenitas (Forman dan Godron 1986). Forman dan Godron (1986) mengungkapkan bahwa struktur lanskap dapat dibedakan menjadi patch atau fragmen, matriks dan koridor. Fragmen adalah area homogen yang dapat dibedakan dari daerah di sekitarnya, matriks adalah fragmen yang dominan sedangkan koridor adalah fragmen yang berbentuk memanjang (Forman & Godron 1986). Batas antara fragmen yang berbeda atau antara fragmen dan matriks disebut edge/tepi. Struktur lanskap dapat berubah karena adanya gangguan. Perubahan ini akan membawa konsekuensi pada perubahan komposisi spesies yang terdapat di dalamnya (Forman and Godron 1986). Edge adalah wilayah yang sangat istimewa, karena daerah ini dipengaruhi dua iklim mikro dari dua fragmen yang berbeda atau dari matriks (Forman & Godron 1986). Disturbance fragment adalah fragmen yang terbentuk sebagai hasil dari alterasi/gangguan pada matriks. Remnant fragment adalah fragmen yang

12

terbentuk dari matriks yang masih tersisa karena adanya gangguan (Forman and Godron 1986). Disturbance fragment akan mengubah sebagian kecil habitat asli menjadi habitat baru, yang memicu proses emigrasi, imigrasi spesies, tumbuhan dan satwa (Forman & Godron 1986). Spesies yang tidak bisa beradaptasi dengan habitat baru akan berpindah (emigrasi) atau menghilang (mati). Sebaliknya terbentuknya habitat baru mendorong kedatangan (imigrasi) spesies lain yang cocok dengan habitat baru (Forman & Godron 1986). Sebagian besar habitat asli pada remnant fragment telah hilang dan digantikan dengan habitat baru. Contoh dari pembentukan fragmen ini misalnya aktivitas pertambangan yang menyisakan sebagian kecil fragmen hutan, pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan luas puluhan ribu hektar menggantikan hutan alam (Forman & Godron 1986). Habitat asli berupa hutan alam hanya tersisa berupa fragmen-fragmen pada areal yang sangat sempit. Proses pembentukan remnant fragmen seperti ini menyebabkan kehilangan, fragmentasi dan isolasi habitat yang mendorong kepunahan spesies (Forman & Godron 1986). Fragment hutan mempunyai fungsi hidrologi di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), sekaligus mempunyai fungsi konservasi sebagai habitat satwa yang bisa bergerak melintas batas DAS, melintas batas administrasi wilayah, dan mempunyai fungsi ekonomi sebagai sumber nafkah masyarakat yang hidup di sekitarnya atau dari luar daerah, serta menyimpan karbon yang berperan pada siklus karbon global (Forman & Godron 1986). Dalam konteks tersebut, menjadi jelas bahwa struktur lanskap dapat dibatasi namun fungsi lanskap dapat melampui batas DAS, administrasi pemerintahan kabupaten, propinsi, negara bahkan kontinen (Forman & Godron 1986). Hal ini membawa konsekuensi bahwa menentukan batasan lanskap (landscape boundary) sangat tergantung dengan proses yang berkaitan dengan fungsi lanskap tersebut. Pemahaman mengenai proses (misalnya aspek hidrologi) dan bioekologi spesies kajian (movement, dispersal, homerange/minimum habitat) menjadi bagian penting dalam menentukan batas lanskap. Wilayah jelajah (Homerange) spesies dapat berkisar bebarapa meter persegi hingga ribuan km2 (Forman & Godron 1986). Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi menimbulkan permasalahan bagi konservasi biodiversitas, yaitu kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi dan isolasi spesies di dalam dan diantara kawasan konservasi/kawasan lindung/kawasan yang menjadi pusat biodiversitas (Wheeler et al. 2013). Akibatnya spesies interior terisolasi pada habitat sempit, yang dapat memicu kepunahan terutama spesies yang berbadan besar. Selain dari itu, spesies yang mempunyai wilayah jelajah luas mengalami kesulitan berpindah dari satu kawasan konservasi ke kawasan yang lain. Tidak jarang terjadi konflik dengan masyarakat karena satwa tersebut masuk ke perkampungan/perkebunan dan menyebabkan kematian. Tidak jarang spesies tersebut juga menjadi target perburuan karena bernilai ekonomi tinggi (Allen & Barnes 2009). Faktor yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan secara langsung (pressure) diantaranya; kepadatan populasi/demografi (Allen & Barnes, 2009), kepadatan penduduk bermata pencarian petani (Rudel & Roper, 1997; Sulistiyono, 2015), perluasan lahan pertanian (Allen & Barnes 2009; Verbist et al. 2005). Faktor pendorong secara tidak langsung diantaranya; harga komoditas kayu dan kelapa sawit yang tinggi (Wheeler et al. 2013), krisis ekonomi, destabilisasi makro- ekonomi (Sunderlin 2001) dan kebijakan serta kelembagaan (Geist & Lambin 13

2002). Barier (penghalang) yang menjadi aspek fisik yang bisa menahan laju deforestasi misalnya lereng dan elevasi (Wheeler et al. 2013; Purwanto et al. 2015). Pendekatan lanskap adalah pendekatan yang mengakomodasikan berbagai kepentingan terkait dengan penggunaan lahan yang saling bertentangan, yaitu antara fungsi ekonomi yang ekstraktif dan jasa lingkungan yang konservatif (Forman & Godron 1986). Pendekatan ini melalui proses yang partisipatif, sehingga memakan waktu lama karena tarik ulur berbagai kepentingan. Pada akhirnya diharapkan akan terbentuk sebuah tata ruang dan tata kelola yang merupakan kompromi dari berbagai kepentingan, yang didukung oleh semua pihak yang berperan di dalam lanskap tersebut. Namun masih banyak yang belum mengetahui hakekat lanskap dan pengaruhnya pada konservasi biodiversitas (Wheeler et al. 2013). Berbagai pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi deforestasi dengan mengajukan konsep berbasis lanskap diantaranya: landscape approach dari WWF, Sustainable Landscape Approach (SLP) dari Conservation International (CI), Integrated Landscape Management (ILM) dari UNEP, integrated landscape approach dari CIFOR (Reed et al. 2016), sustainable landscape dari USAID, pengembangan konservasi bentang alam skala besar (Prasetyo 2017; Reed et al. 2016). Walaupun dengan terminologi berbeda-beda pendekatan tersebut di atas sepakat bahwa lanskap adalah multi fungsi, dan multi pihak sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif (Prasetyo 2017). Konsep menentukan batasan lanskap prioritas berdasarkan luas wilayah jelajah spesies dikenal dengan pendekatan menggunakan spesies payung (umbrella species) (Simberloff, 1998). Asumsi pendekatan ini adalah bahwa apabila spesies payung dilindungi maka spesies lain akan selamat. Hipotesa ini memiliki kelemahan, karena wilayah jelajah spesies lain tidak selalu sama dengan spesies payung (Fontaine et al. 2007). Apabila tidak ada habitat yang tumpang tindih (overlap) maka konsep ini tidak efektif, sehingga pengelolaan lanskap dengan menggunakan lebih dari satu spesies payung (multi-species umbrella) akan lebih baik (Lambeck 1997). Membedakan lanskap menjadi elemen penyusunnya pada dasarnya adalah pandangan anthropocentris (human centris), yaitu memilah struktur lanskap dari perspektif manusia. Hidupan liar memandang heterogenitas dan skala lanskap dengan cara yang berbeda. Persepsi lingkungan, heterogenitas dan skala burung elang dan kupu-kupu sangat berbeda (McGarigal & Marks 1994). Penelitian biodiversitas di habitat tepi di Indonesia masih sedikit. Walaupun habitat tepi mempunyai peranan yang sangat penting. Edge mempunyai kelimpahan jenis dan species yang besar, karena efek aditif dari fauna disebabkan adanya pertemuan fragmen/matriks yang berbeda (Chen et al. 1992). Primata yg umumnya adalah interior spesies, lebih membutuhkan interior area dari pada edge dan setiap spesies mempunyai respon yang berbeda terhadap edge (Malcolm 1994). Proses fragmentasi adalah perubahan struktur lanskap dari lanskap homogen menjadi lanskap heterogen yang tersusun dari beragam tipe, ukuran dan bentuk fragmen membawa konsekuensi pada perubahan penggunaan lanskap (Forman & Godron 1986). Lanskap homogen/kompak (compact) mempunyai interior yang

14

luas namun area edge sempit, sebaliknya lanskap heterogen (fragmented) akan mempunyai interior area kecil dan edge yang sangat luas (Malcolm 1994). Sehingga akan terjadi perubahan komposisi spesies (Forman & Godron, 1986). Fragmentasi habitat akan meningkatkan biodiversitas dan kelimpahan edge spesies serta menurunkan interior spesies (Malcolm 1994). Lanskap yang terfragmentasi akan rentan dengan invasi spesies tumbuhan invasif, karena semakin banyak tempat yang terbuka (Forman & Godron, 1986). Perubahan lanskap dari homogen menjadi heterogen menyebabkan perubahan biodiversitas habitat yang membawa konsekuensi pada perubahan sumber daya (resources) (Forman & Godron, 1986). Dalam kaitannya dengan proses tersebut, ecologist membedakan spesies menjadi spesies specialis dan generalis (Forman & Godron, 1986). Spesies generalis dapat memanfaatkan lebih banyak resources dibandingkan dengan spesies spesialis (Forman & Godron, 1986). Spesies generalis mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dan tidak terisolasi dibandingkan dengan spesialis karena keterbatasan sumber daya yang bisa dimanfaatkan (Forman & Godron, 1986). Konsekuensinya adalah spesies spesialis akan menghadapi kepunahan apabila terjadi perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986). Kehadiran spesies interior spesialis hutan pada hutan yang sebelumya terganggu bisa menjadi indikasi bahwa ekosistem hutan tersebut telah membaik. Penelitian di Kalimantan Timur pada areal bekas kebakaran tahun 1998, dapat menemukan Maxomys whiteheadi dan Niniventre cremoriventer (Prasetyo et al., 2015), spesies mamalia kecil yang hanya dapat ditemukan di hutan. Pada level fragmen, proses fragmentasi akan menurunkan ukuran fragmen. Berdasarkan pada teori biogeografi pulau, biodiversitas spesies ditentukan oleh luas dan biodiversitas habitat (MacArthur & Wilson 1963). Biodiversitas juga dipengaruhi jarak dari pulau utama (main land). Semakin dekat dengan pulau utama maka semakin tinggi biodiversitasnya. Teori di atas diperkuat dengan penelitian Diamond (1975), menemukan jumlah spesies yang dapat ditampung oleh kawasan lindung dipengaruhi oleh luas kawasan lindung dan kedekatannya dengan kawasan lindung lain. Penelitian di Cianjur menemukan bahwa biodiversitas, kelimpahan, kemerataan spesies parasitoid Hymenoptera dipengaruhi oleh struktur lanskap (Yaherwandi et al. 2012). Ada kecenderungan semakin heterogen semakin tinggi biodiversitas parasitoid Hymenoptera (Yaherwandi et al. 2012). Pengelolaan biodiversitas pada sebuah lanskap membutuhkan informasi spasial berbagai aspek barkaitan dengan fisik, biologi, sosial dan ekonomi sebagai dasar untuk menentukan pilihan manajemen (Forman and Godron, 1986). Sebuah lanskap dengan jumlah Number Patch (NP) hutan yang tinggi dan Class Area (CA) yang kecil di lapangan akan tampak lebih terfragmentasi dibandingkan dengan sebuah lanskap dengan nilai NP rendah dan CA tinggi (Franklin 2010). Lanskap dengan nilai Shanon Diversity Index (SDI) tinggi akan lebih heterogen dibandingkan dengan yang bernilai lebih rendah (Franklin 2010). Kombinasi dua atau lebih nilai indeks akan dapat memberikan gambaran struktur lanskap secara lebih lengkap (Franklin 2010). Indeks lanskap ini juga dapat digunakan sebagai proxy untuk mengetahui kondisi biodiversitas (Franklin 2010). Nilai struktur lanskap dapat juga digunakan sebagai alternatif variabel bebas dalam analisis kuantitatif yang berhubungan dengan keberadaan spesies (presence/absence), kelimpahan dan biodiversitas spesies (Franklin 2010). Untuk objek yang bergerak, 15

diperlukan sebuah pendekatan dan biasanya menggunakan sebuah model spasial eksplisit (spatial explicit model), diantaranya Model Distribusi Spesies/Species Distribution Model (SDM), disebut juga species niche model atau ecological niche model atau niche theory model (Franklin, 2010). Model ini menghubungkan keberadaan spesies dengan berbagai komponen habitat yang memengaruhi keberadaan spesies (Franklin 2010). Mengingat laju konversi penggunaan lahan hutan alam di Pulau Sumatera menjadi peruntukkan perkebunan, hutan tanaman, lahan pertanian, transmigrasi, pertambangan, dan infrastruktur lain, sangat mungkin kehilangan bahkan punahnya spesies endemik di Pulau Sumatera, sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin (Teuscher et al. 2016). Salah satu cara adalah dengan memadukan lanskap dengan fungsi ekologis (Franklin 2010).

3 KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU PADA EMPAT TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI, SUMATERA

Abstrak

Transformasi habitat di hutan hujan dapat memengaruhi keanekaragaman hayati dan struktur komunitas kupu-kupu. Perubahan ini akan menyebabkan kualitas jasa ekosistem menjadi menurun. Penelitian ini mengkaji pengaruh transformasi hutan terhadap keanekaragaman kupu-kupu. Penelitian dilakukan pada empat jenis penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit. Penelitian di lanskap Hutan Harapan juga terdapat empat penggunaan lahan, yaitu: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit, serta adanya tambahan plot riparian khususnya di hutan riparian, kebun karet riparian, dan kebun sawit riparian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode: menangkap kupu-kupu menggunakan jaring serangga dan menggunakan perangkap buah. Jumlah plot pengambilan sampel di lanskap Bukit Duabelas adalah 16 plot dan di Hutan Harapan 28 plot dengan luas per plot adalah 50m x 50m. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode scan sampling untuk setiap penggunaan lahan. Kupu-kupu yang ditemukan dalam penelitian ini berjumlah 6.653 individu 198 spesies yang terdiri atas 106 genus, 19 subfamili, dan 5 famili (Lycaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae dan Riodinidae). Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi di lanskap Hutan Harapan (Hˈ=4,12; S=170, dan N= 3.310 individu) dibandingkan dengan di Bukit Duabelas (Hˈ=3,88; S=141, dan N=3.343 individu). Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi pada penggunaan hutan (Hˈ=4,06) dibandingkan dengan penggunaan lahan hutan karet (Hˈ=3,88), kebun sawit (Hˈ=3,4), dan kebun karet (Hˈ=3,49). Pada plot pengamatan riparian dan tidak riparian tidak terdapat perbedaan keanekaraaman kupu-kupu yang signifikan. Kata kunci: bioindikator, hutan, kebun sawit, kebun karet, kupu-kupu, Sumatera

Abstract

Habitat transforming from the rainforest to other land use type can affect biodiversity and the structure of butterfly communities. This change will cause the quality of ecosystem services to decrease. This research aims to study the effect of rainforest transformation on butterfly diversity. Four types of land use in the Bukit Duabelas National Park and Hutan Harapan landscape were studied: forests, rubber forests, rubber plantations, and oil palm plantations. Riparian sites were also studied (riparian forest, riparian rubber plantation, and riparian oil palm plantation). The study was conducted using two methods: catching butterflies using insect nets and using fruit traps. The number of sampling plots in the Bukit Duabelas landscape are 16 plots and in Harapan Forest there are 28 plots with plot

18

size of 50m x 50m. Random sampling was carried out for each land use. The butterflies found in this study were 6,653 individuals from 198 species consisting of 106 genera of 19 subfamilies, and 5 families (Lycaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae and Riodinidae). Butterfly diversity was higher in the Harapan Forest landscape (Hˈ=4.12; S=170, and N=3,310 individuals) compared to Bukit Duabelas (Hˈ=3.88; S=141, and N=3,343 individuals). Butterfly diversity was higher in forest (Hˈ=4.06) compared to land use for jungle rubber (Hˈ=3.88), oil palm plantations (Hˈ=3.4), and rubber plantations (Hˈ=3.49). In the riparian and non-riparian observation plots, there are no significant differences in the diversity of butterflies. Keywords: bioindicator, butterfly, forest, oil palm plantations, rubber, Sumatera

Pendahuluan

Daerah tropis merupakan habitat yang tepat untuk keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu negara yang memiliki keanekargaman hayati yang kaya adalah Indonesia (Teuscher et al. 2016). Perubahan hutan tropis dalam skala besar menjadi lahan perkebunan berdampak pada berkurangnya dan bahkan hilangnya keanekaragaman hayati. Pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit telah mengubah struktur komunitas ekosistem yang beranekaragam menjadi homogen (Sodhi et al. 2010; Teuscher et al. 2016). Perubahan lanskap dari heterogen menjadi homogen menyebabkan perubahan biodiversitas habitat yang membawa konsekuensi pada perubahan sumber daya. Perubahan ini berdampak bagi flora dan fauna yang ada di dalam ekosistem tersebut. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi menimbulkan permasalahan bagi konservasi biodiversitas, yaitu kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi dan isolasi spesies di dalam dan diantara kawasan konservasi yang menjadi pusat biodiversitas (Wheeler et al. 2013). Salah satu dampak deforestasi dapat mengurangi populasi atau bahkan punahnya suatu spesies yang rentan terhadap perubahan habitat yang drastis yaitu spesies endemik (Sodhi et al. 2010). Hilangnya spesies endemik dari suatu habitat menandakan bahwa terjadi degradasi habitat. Dampak perubahan habitat berpengaruh pada tingkat populasi keanekaragaman hayati termasuk kupu-kupu. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi ikut memengaruhi perubahan penggunaan lahan (Laurance 2007). Faktor pendorong perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung adalah harga komoditas kelapa sawit yang tinggi (Wheeleret al. 2013). Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit, akan memengaruhi populasi dan kelimpahan spesies kupu-kupu. Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi ditemukan di hutan dibandingkan dengan habitat perkebunan (Spitzer et al. 1993; Panjaitan 2011). Habitat hutan memiliki struktur komunitas yang kompleks. Salah satu kriteria habitat kupu-kupu yang optimum adalah hutan karena mampu menyediakan ruang dan makanan yang cukup untuk keberlangsungan hidup kupu- kupu. Dengan demikian perlu dilakukan kajian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap keanekaragaman kupu-kupu. Kupu-kupu digolongkan ke dalam superfamili Papilionoidea terdiri atas Famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae dan Nymphalidae (Borror et al. 1996; Kristensen et al. 2007). Kehadiran kupu-kupu sangat berkorelasi 19

dengan kehadiran tanaman inang tertentu, yang digunakan oleh imago untuk bertelur. Kehadiran tanaman inang tersebut, bergantung pada habitatnya. Dengan demikian, transformasi struktur habitat akan memengaruhi keanekaragaman hayati kupu-kupu (Nidup et al. 2014). Tanaman inang yang spesifik dan relatif mudah untuk diidentifikasi, membuat kupu-kupu menarik untuk dijadikan penilaian keanekaragaman hayati yang cepat di lapangan, dan sekaligus sebagai bio-indikator untuk perubahan lingkungan. Kupu-kupu penting secara ekologis sebagai polinator (Fukano et al. 2016). Laporan tentang populasi kupu-kupu disuatu areal juga penting untuk diketahui karena beberapa larva spesies kupu- kupu dapat menjadi hama pada lahan pertanian. Salah satu spesies kupu-kupu yang menjadi hama penting adalah Papilio demoleus yang dapat menurunkan produktivitas jeruk (Homziak & Homziak 2006). Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (2001) telah melakukan survei kupu- kupu di sebagian wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas dan ditemukan 12 spesies kupu-kupu. Jumlah ini, mungkin merupakan perkiraan yang sedikit, mengingat 756 spesies telah dilaporkan terdapat di Sumatera pada tahun 1895 (de Nicéville & Martin 1895). Penelitian kekayaan spesies kupu-kupu juga pernah dilakukan di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi, ditemukan 43 spesies (Estalita & Basukriadi 2012) dan di Taman Nasional Kerinci Seblat, ditemukan 230 spesies (Helmiyetti et al. 2014). Terlepas dari ketiga penelitian ini, belum ada data tentang kekayaan spesies dan keanekaragaman kupu-kupu yang mengkaji tentang perbedaan penggunaan lahan hutan, hutan karet, kebun sawit dan kebun karet di Jambi. Dengan demikian, perlu adanya kajian tentang keanekaragaman dan kelimpahan spesies kupu-kupu pada penggunaan lahan yang berbeda di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi.

Rumusan Masalah

Perubahan penggunaan lahan akan meyebabkan perubahan komposisi penyusun ekosistem suatu lanskap. Struktur komunitas kupu-kupu yang terdapat pada ekosistem hutan berbeda dengan komunitas kupu-kupu yang terdapat di areal lahan pertanian. Tingginya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan akan berdampak pada komunitas kupu-kupu yang ada di kawasan tersebut. Perubahan penggunaan hutan sebagai habitat keanekaragaman flora dan fauna menjadi lahan perkebunan karet dan perkebunan sawit telah terjadi di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Hingga saat ini belum ada kajian keanekaragaman dan populasi kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Dengan demikian perlu ada penelitian untuk mengkaji keanekaragaman kupu-kupu pada lahan yang masih hutan, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan populasi kupu-kupu pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi. Penelitian ini juga bertujuan menentukan keanekaragaman dan kelimpahan

20

kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan, yaitu: hutan, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet.

Metode

Penelitian dilaksanakan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi (Gambar 3.1) pada bulan Juli–Oktober 2017. Identifikasi dan preservasi spesimen dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi (Drescher et al. 2016)

Metode Penelitian Koleksi dan pengamatan keanekaragaman kupu-kupu dilakukan dengan survei langsung dengan menggunakan metode scan sampling (Martin & Bateson 1993) dan memasang banana trap (Daily & Ehrlich 1995). Metode scan sampling, dilakukan dengan mendata langsung spesies di sepanjang jalur yang sudah ada pada plot pengamatan. Plot pengamatan di lanskap Bukit Duabelas terdiri atas 4 tipe penggunaan lahan, yaitu hutan (4 plot), hutan karet (4 plot), kebun karet (4 plot), dan kebun kelapa sawit (4 plot). Plot pengamatan yang 21

terdapat di lanskap Hutan Harapan terdapat 7 tipe penggunaan lahan, yaitu hutan (4 plot), hutan riparian (4 plot), hutan karet (4 plot), kebun karet (4 plot), kebun karet riparian (4 plot), kebun kelapa sawit (4 plot), dan kebun kelapa sawit riparian (4 plot). Ukuran plot pengamatan 50m x 50m sebanyak 16 plot di lanskap Bukit Duabelas dan 28 plot di lanskap Hutan Harapan. Pengamatan kupu-kupu dilakukan dengan menghitung jumlah individu dan spesies kupu-kupu yang terlihat pada plot pengamatan (mengamati 10 m ke arah kiri dan ke kanan atau disesuaikan dengan jarak pandang dan keadaan lokasi pengamatan). Kupu-kupu dikoleksi dengan menggunakan pinset setelah dimatikan dengan memencet toraks kupu-kupu dan dimasukkan ke dalam amplop spesimen. Jumlah spesimen yang diambil mencakup 2 individu per spesies (sampel kering untuk keperluan identifikasi morfologi) dan 5 individu (bagian tungkai, toraks dan abdomen) ke dalam botol sampel yang telah diisi alkohol 98% (sampel basah untuk keperluan identifikasi secara molekuler). Kupu-kupu yang spesiesnya sama dengan yang telah dikoleksi, dihitung dan dilepaskan kembali ke luar plot pengamatan. Pengamatan keanekaragaman kupu-kupu dilakukan sebanyak 2 kali di setiap plot, pada dua periode, yaitu pagi dan siang hari. Periode pagi dilakukan pada pukul 08.00 – 12.00 WIB dan siang dilakukan pada pukul 13.00 – 17.00 WIB. Metode perangkap buah mengacu pada Daily dan Ehrlich (1995) yang dipasang di setiap plot yang sudah ditentukan. Perangkap sebanyak 2 buah dengan umpan pisang dan 2 buah perangkap dengan umpan nenas. Umpan yang dimasukkan ke dalam perangkap buah adalah buah pisang (untuk perangkap pisang) dan nenas (untuk perangkap nenas) yang telah difermentasi sebelumnya dengan menggunakan ragi selama 2 hari. Perangkap buah dipasang sebanyak 2 kali (2 hari) dan diamati setiap jam dari pagi (pukul 08.00 WIB) hingga sore hari dilepas (17.00 WIB), kemudian dipasang kembali pada hari kedua dan pada waktu yang sama. Kupu-kupu yang terperangkap di dalam perangkap buah dimasukkan ke dalam amplop spesimen untuk selanjutnya diidentifikasi.

Preservasi dan Identifikasi Spesimen Kupu-kupu Preservasi kupu-kupu dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB dan di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, LIPI Cibinong. Spesimen yang sudah dikoleksi dari lapangan dikeluarkan dari amplop spesimen, kemudian ditusuk pada bagian torak dengan menggunakan jarum serangga dengan posisi kupu-kupu tegak lurus dengan jarum. Jarum ditusuk kembali ke celah papan perentang dengan posisi sayap sejajar dengan kiri dan kanan papan perentang kemudian sayap, kepala, dan abdomen ditata sejajar dengan papan perentang dibantu dengan kertas papilot dan jarum pentul. Spesimen dan papan perentang dimasukkan ke dalam oven pada suhu 370C sampai spesimen kering sekitar satu minggu. Kemudian spesimen dikeluarkan dan dibuka dari papan perentang dan dimasukkan ke dalam kotak spesimen atau lemari penyimpanan spesimen. Spesimen kupu-kupu hasil penelitian disimpan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB, Bogor. Buku identifikasi yang digunakan adalah Parsons (1999), D‟Abrera (1990), Tsukada & Nishiyama (1981), Tsukada & Nishiyama (1982), Tsukada & Nishiyama (1985), Tsukada (1991), dan Seki et al. (1991).

22

Analisis Data

Keanekaragaman kupu-kupu dihitung dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Hˈ), indeks Simpson (1-D) dan nilai Evenness (E) (Magurran 1988). Nilai dari indeks Shannon berkisar antara 1,5 – 3,5 dan jarang mencapai nilai 4.0 (Margalef 1972). Semakin tinggi nilai indeks H‟ maka semakin tinggi pula keanekaragaman spesies, produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem yang terdapat pada suatu lokasi. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan nilai indeks Shannon-Wiener (Margalef 1972) adalah: Hˈ> 3= keragaman spesies tinggi; 1

pi =

E =

Keterangan: Hˈ : Indeks Shannon – Wiener ni : Jumlah individu untuk spesies yang diamati N : Jumlah total individu E : Nilai Evenness S : Jumlah spesies pada habitat Analisis kesamaan dan perbedaan komposisi spesies kupu-kupu yang terdapat pada empat tipe penggunaan lahan yang berbeda digunakan diagram venn yang diolah pada website http://bioinfogp.cnb.csic.es/tools/venny/. Pendugaan kekayaan spesies kupu-kupu yang terdapat pada suatu tipe penggunaan lahan digunakan incidence-based coverage estimator (ICE) yang diacak sebanyak 100 kali terhadap jumlah spesies yang ditemukan pada setiap plot pengamatan dengan menggunakan perangkat lunak Estimate S version 9.1.0 (Colwell & Coddington 1994). Analisis pengaruh penggunaan lahan terhadap distribusi jumlah spesies kupu-kupu pada masing-masing lanskap digunakan Anova dan disajikan dalam box-plot. Uji lanjut untuk mengetahui kemiripan struktur kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan berbeda dilakukan dengan uji ANOSIM (analysis of similarity). Kemiripan kekayaan spesies kupu-kupu antar ekosistem berdasarkan kedekatan jarak antar objek yang digambarkan pada grafik non-metric multidimensional scalling (NMDS). Ketepatan objek pada posisinya ditunjukkan dari nilai stress, dimana semakin rendah nilai stress (mendekati nol) maka posisi objek semakin tepat (Rizali 2006). Penghitungan indeks keanekaragaman dan analisis NMDS dihitung dengan menggunakan perangkat lunak R statistic 3.0.2 paket “vegan” (Hothorn & Everitt 2009). 23

Hasil dan Pembahasan

Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi Kupu-kupu yang ditemukan dalam penelitian ini berjumlah 6.653 individu dan 198 spesies yang terdiri atas 106 genus, 19 subfamili, dan 5 famili (Lycaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae, dan Riodinidae) di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera (Lampiran 1; Lampiran 2). Semua spesies tersebut tersebar pada penggunaan lahan hutan, hutan karet, kebun sawit dan kebun karet yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Kupu-kupu yang paling banyak ditemukan dari Famili Nymphalidae (114 spesies), Lycaenidae (51 spesies), Papilionidae (16 spesies), Pieridae (11 spesies), dan Riodinidae (6 spesies). Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi di lanskap Hutan Harapan (Hˈ=4,12; S=170, dan N=3.310 individu) dibandingkan dengan di Bukit Duabelas (Hˈ=3,88; S=141, dan N=3.343 individu). Secara keseluruhan keanaekaragaman kupu-kupu pada penelitian ini tergolong tinggi (Hˈ=4,15).

Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Bukit Duabelas Jumlah kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas ditemukan sebanyak 5 famili, 17 subfamili, 85 genus, 141 spesies dan 3.343 individu (Tabel 3.1). Kelimpahan kupu-kupu yang ditemukan berbeda-beda dan terdapat perbedaan yang signifikan antara hutan dan kebun karet (p=0,001). Kupu-kupu ada yang ditemukan hanya 1 individu hingga 304 individu per spesies selama pengamatan pada 4 penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas.

Tabel 3.1 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas

Indeks Penggunaan Kelimpahan Indeks Evenness Spesies Simpson Lahan (Mean±SD) (Hˈ) (E) (1-D) Hutan 86 258,25±82,50 3,78 0,85 0,97 Hutan karet 85 210,75±34,99 3,70 0,83 0,96 Kebun sawit 74 246,5 ±46,88 3,15 0,73 0,92 Kebun karet 59 119,5 ±27,9 3,47 0,85 0,95 Total 141 208,75±73,21 3,89 0,78 0,96 Ket: Mean±SD: nilai rata-rata dan standar deviasi

Indeks keanekaragaman berdasarkan indeks Shannon-Wiener untuk lanskap Bukit Duabelas tergolong tinggi (Hˈ=3,89) (Tabel 3.1; Gambar 3.2). Indeks pada semua penggunaan lahan juga tergolong tinggi dengan nilai indeks di atas 3 dan mendekati nilai 4. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi dari ke empat penggunaan lahan terdapat pada hutan (Hˈ=3,78) dibandingkan dengan indeks

24

keanekaragaman pada penggunaan lahan hutan karet, kebun karet dan kebun sawit. Kekayaan spesies antara hutan dan hutan karet berbeda secara signifikan dengan kebun karet dan kebun sawit (p=0,001). Nilai evenness berkisar antara 0,73-0,85. Nilai indeks Simpson juga menunjukkan nilai yang tinggi dan medekati angka 1, artinya bahwa keanekaragaman spesies pada lanskap Bukit Duabelas tergolong tinggi.

Gambar 3.2 Kekayaan spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas; Huruf yang berbeda di atas boxplot menunjukkan perbedaan nyata dengan uji ganda Duncan.

Berdasarkan analisis anova dengan uji kisaran ganda Duncan (nilai F=5,72), terdapat perbedaan yang signifikan kelimpahan kupu-kupu antara hutan dan kebun karet dengan nilai p=0,01, sedangkan hutan, hutan karet, dan kebun sawit tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,01) (Gambar 3.3). Kelimpahan kupu-kupu pada penggunaan lahan antara kebun karet dengan kebun sawit terdapat perbedaan yang siginifikan (p=0,01).

Gambar 3.3 Kelimpahan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas; Huruf yang berbeda di atas boxplot menunjukkan perbedaan nyata dengan uji ganda Duncan (p=0,01). 25

Perhitungan data berdasarkan estimasi antara data yang sudah dicatat dibandingkan dengan yang tersedia di lapangan, untuk lanskap Bukit Duabelas mencapai 79,01% (Tabel 3.2; Gambar 3.4). Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan masih ada sekitar 20,99% data yang belum tercatat. Data yang sudah didapatkan untuk masing-masing penggunaan lahan bervariasi. Data yang sudah didapatkan dari kebun karet 80,82% dan kebun sawit mencapai 80,43%, sedangkan di hutan mencapai 77,48% dan di hutan karet mencapai 69,92%. Perbedaan estimasi data yang didapatkan bervariasi karena sulitnya akses untuk masuk ke hutan dan ke hutan karet, plot yang terdapat di hutan lebih rapat sehingga agak menyulitkan untuk menangkap kupu-kupu. Kondisi vegetasi di kebun sawit dan kebun karet lebih terbuka dibandingkan dengan hutan dan hutan karet dan tumbuhan yang tumbuh hanya berupa herba sehingga lebih leluasa dan mudah untuk menangkap kupu-kupu di kebun sawit dan kebun karet. Faktor yang memengaruhi keaktifan kupu-kupu juga adalah tutupan kanopi, tutupan kanopi di hutan dan hutan karet lebih tinggi dibadingkan dengan tutupan kanopi yang terdapat di kebun sawit dan kebun karet. Tutupan kanopi memengaruhi intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan dan kebun. Kebanyakan kupu-kupu lebih menyukai hinggap pada tumbuhan herba yang terpapar dengan sinar matahari untuk berjemur sebelum melakukan aktivitas terbang yang lebih tinggi.

Tabel 3.2 Estimasi kekayaan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas Total Spesies Lokasi penelitian Obs ACE Sp (%) Hutan 86 111 (77,48) Hutan karet 85 123 (69,11) Kebun sawit 74 92 (80,43) Kebun karet 59 73 (80,82) Total 141 181 (77,9) Keterangan: Obs (Observasi), ACE (Abundace Coverage Estimate)

26

200

150

100 Spesies ACE 77.9% Estimasispesies 50

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516 Plot Pengamatan

Gambar 3.4 Kurva akumulasi spesies di lanskap Bukit Duabelas

Berdasarkan analisis NMDS, komposisi penyusun setiap tipe penggunaan lahan terlihat berbeda-beda (Gambar 3.5). Perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan perbedaan karakteristik penggunaan lahan. Karakteristik yang dimaksudkan, yaitu: vegetasi dan tutupan kanopi. Kemiripan komposisi spesies kupu-kupu antar penggunaan lahan yaitu berdasarkan Bray Curtis dengan nilai anosim = 0,649 dan nilai stress = 0,1596. Analisis NMDS yang digunakan dinilai lebih dapat menggambarkan hubungannya dengan karakteristik setiap penggunaan lahan dibandingkan hanya berdasarkan jumlah spesies kupu-kupu. Vegetasi yang beragam akan memungkinkan kupu-kupu juga beragam. Perbedaan komposisi vegetasi pada penggunaan lahan yang berbeda diduga sebagai penyebab perbedaan komposisi kupu-kupu yang terdapat di dalam setiap penggunaan lahan. Pada kebun sawit dan kebun karet terlihat vegetasi lebih homogen dibandingkan dengan hutan dan hutan karet. 27

Stress: 0,1596

Gambar 3.5 Kemiripan komposisi kupu-kupu berdasarkan analisis Bray Curtis di lanskap Bukit Duabelas (Keterangan: BF: hutan; BJ: hutan karet; BR: kebun karet dan BO: kebun sawit).

Berdasarkan analisis diagram Venny (Gambar 3.6), kekayaan spesies pada beberapa tipe penggunaan lahan terdapat kesamaan spesies. Namun terdapat juga spesies yang hanya ditemukan pada satu tipe penggunaan lahan dan tidak ditemukan pada penggunaan lahan lainnya. Penggunaan lahan hutan mempunyai keunikan sendiri, terdapat 23 spesies yang hanya ditemukan berada di hutan, yaitu: Abisara savitri, Appias pandione, Ariadne ariadne, Charaxes durnfordi, Coelites euptychioides, Eliotia jalindra, penanga, Euploea radamanthus, Faunis gracilis, Faunis kirata, Ideopsis gaura, Loxura atymnus, Lycaenopsis haraldus, Mycalesis maianeas, Mycalesis marginata, Neorina lowii, Parantica luzonensis, Rapala dieneces, Rapala domitia, Rapala rhodopis, Trogonoptera brookiana, Troides amphrysus, dan Xanthotaenia busiris. Spesies kupu-kupu yang ditemukan hanya berada di hutan karet sebanyak 15 spesies, yaitu: Arhopala paraganesa, pravara, Chersonesia rahria, Discophora necho, Euripus nyctelius, merta, Graphium antiphates, Junonia almana, Lebadea martha, Miletus gopara, Nacaduba kurava, Neopithecops zalmora, Spalgis epius, Spindasis lohita, dan Thaumantis noureddin. Penggunaan lahan sebagai kebun karet, juga memiliki spesies yang hanya ditemukan pada kebun tersebut sebanyak 5 spesies, yaitu: Appias olferna, Charaxes (Polyura) hebe, Euthalia adonia, Graphium ramaceus, dan . Spesies kupu-kupu yang juga hanya ditemukan pada kebun sawit terdapat 12 spesies, yaitu: Acytolepis puspa, Doleschallia bisaltide, Euchrysops cnejus, Eurema alitha, Euthalia agnis, Euthalia mahadeva, Euthalia whiteheadi, Hypolimnas bolina, Lethe mekara, Logania marmorata, Neptis harita, dan Ypthima philomela. Spesies kupu-kupu yang sama juga ditemukan pada keempat penggunaan lahan

28

sebanyak 28 spesies. Spesies kupu-kupu tersebut, yaitu: Amathusia binghami, Amathusia perakana, Charaxes bernardus, Cupha erymanthis, Elymnias panthera, Eooxylides tharis, Euploea mulciber, Euploea phaenareta, Eurema hecabe, Eurema simulatrix, Gandaca harina, Graphium agamemnon, Ideopsis juventa, Jamides alecto, Jamides celeno, Lasippa tiga, Lexias pardalis, Miletus gaetulus, Mycalesis fusca, Mycalesis mineus, Mycalesis anapita, Neptis nata, Papilio demolion, Papilio nephelus, Parantica aspasia, Paralaxita orphna, elone, dan Tanaecia palguna. Spesies kupu-kupu yang ditemukan pada semua penggunaan lahan merupakan spesies yang umum dan sering juga ditemukan hingga ke pemukiman.

Gambar 3.6 Jumlah spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan yang ditemukan di lanskap Bukit Duabelas

Dua spesies kupu-kupu yang dilindungi (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia 2018; IUCN 2020) ditemukan di lanskap Bukit Duabelas, Trogonoptera brookiana Wallace, 1855 dan Troides amphrysus (Cramer, 1779) (Gambar 3.7). Kedua spesies ditemukan di habitat hutan heterogen yang terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.

29

Gambar 3.7 Spesies kupu-kupu Trogonoptera brookiana (a) dan Troides amphrysus (b). (b: Foto spesimen yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor LIPI)

Sebaran spesies kupu-kupu pada lanskap Bukit Duabelas berbeda-beda sesuai dengan spesies. Spesies kupu-kupu ada yang ditemukan hanya pada satu penggunaan lahan, ada juga yang ditemukan tersebar pada semua penggunaan lahan (Tabel 3.3). Spesies yang tersebar pada semua penggunaan lahan merupakan spesies yang umum dan memiliki sebaran yang luas sehingga dapat beradaptasi pada semua tipe penggunaan lahan. Spesies kupu-kupu yang ditemukan pada setiap penggunaan lahan yang diamati di lanskap Bukit Duabelas dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3 Nilai rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD) spesies kupu-kupu yang ditemukan pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas. Kebun Hutan Hutan karet Kebun karet Famili/Subfamili/Spesies sawit Total (mean±SD) (mean±SD (mean±SD) (mean±SD) (mean±SD) Papilionidae Papilioninae Graphium agamemnon (Linnaeus, 1758 ) 4,0±3,5 1,8±2,4 1,0±0,8 0,3±0,5 1,8±2,4 Graphium antiphates Cramer (1885) 0,0±0,0 1,0±2,0 0,8±1,5 0,0±0,0 0,4±1,2 Graphium eurypylus (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Graphium ramaceus Westwood, 1872 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,3 Graphium sarpedon (Linnaeus, 1758) 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,2±0,4 Pachliopta antiphus (Fabricius, 1793) 1,0±1,4 0,0±0,0 0,5±0,6 1,3±1,0 0,7±0,9 Papilio demoleus Linnaeus, 1758 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,5 0,5±1,0 0,3±0,9 Papilio demolion Cramer, [1776)] 7,8±8,5 3,8±1,7 7,0±3,9 2,8±3,6 5,3±5,1 Papilio memnon Linnaeus, 1758 1,3±2,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,4±1,3 Papilio nephelus Boisduval, 1836 4,8±2,6 3,8±1,7 2,8±3,5 2,5±1,9 3,4±2,4 Papilio polytes Linnaeus, 1758 0,0±0,0 2,3±4,5 4,0±3,7 4,8±3,8 2,8±3,6 Trogonoptera brookiana (Wallace, 1855) 4,0±3,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±2,4 Troides amphrysus (Cramer, [1782]) 3,3±1,3 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,6 Pieridae Coliadinae Catopsilia pomona (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±2,0 1,0±2,0 0,5±1,4 Eurema alitha (Felder & Felder, 1862) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Eurema hecabe (Linnaeus, 1758 ) 19,0±9,4 19,5±5,3 24,0±7,8 13,5±3,1 19,0±7,2 Lanjutan Tabel 3.3...... Eurema simulatrix Staudinger, 1891 11,5±10,8 8,8±4,2 16,5±7,2 2,8±1,9 9,9±8,0 Gandaca harina (Horsfield, 1829) 5,5±1,0 4,0±2,7 1,3±1,5 1,5±1,7 3,1±2,5 Pierinae Appias olferna Swinhoe, 1890 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,0 0,2±0,5 Appias pandione Geyer, 1832 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Leptosia nina (Fabricius, 1793) 0,3±0,5 0,0±0,0 1,5±1,9 0,0±0,0 0,4±1,1 Nymphalidae Apaturinae Eulaceura osteria (Westwood, 1850) 3,0±4,2 2,8±4,9 0,0±0,0 0,3±0,5 1,5±3,2 Euripus nyctelius (Doubleday, 1845) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Biblidinae Ariadne ariadne (Linnaeus, 1763) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Charaxinae Agatasa calydonia (Hewitson, 1855) 0,5±0,6 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,4 Charaxes durnfordi Distant, 1884 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Charaxes bernardus (Fabricius, 1793) 4,0±2,2 5,0±6,2 2,8±1,5 0,5±0,6 3,1±3,5 Charaxes (Polyura) hebe (Butler, 1865) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,5±1,3 0,4±0,9 Prothoe franck (Godart, [1825]) 4,0±2,7 1,5±3,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,4±2,5 Cyrestinae Chersonesia rahria (Moore, [1858]) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Danainae Danaus melanippus (Cramer, 1777) 0,0±0,0 1,5±1,3 0,0±0,0 0,3±0,5 0,4±0,9 Euploea crameri Lucas, 1853 0,0±0,0 0,3±0,5 0,5±1,0 2,5±1,9 0,8±1,4 Euploea phaenareta (Schaller, 1785) 1,3±1,5 0,3±0,5 0,8±1,0 0,5±1,0 0,7±1,0

Lanjutan Tabel 3.3...... Euploea mulciber (Cramer, [1777]) 7,3±5,1 4,3±4,2 2,5±1,3 1,8±0,5 3,9±3,7 Euploea radamanthus (Fabricius, 1793) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Idea lynceus (Drury, 1773) 12,8±3,9 3,0±3,4 0,0±0,0 0,0±0,0 3,9±5,9 Ideopsis gaura (Horsfield, [1829]) 2,3±2,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,6±1,5 Ideopsis juventa (Cramer, [1777]) 1,8±3,5 1,0±0,0 3,5±3,4 3,0±3,8 2,3±3,0 Ideopsis vulgaris (Butler, 1874) 0,5±0,6 0,3±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,4 Parantica aspasia (Fabricius, 1787) 2,0±1,8 1,0±2,0 0,3±0,5 0,5±1,0 0,9±1,5 Parantica luzonensis (Felder & Felder, 1863) 1,0±1,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,8 Heliconiinae Acraea terpsicore (Linnaeus, 1758 ) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,8±1,5 0,3±0,8 Cethosia hypsea Doubleday, 1847 0,8±1,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,5±1,0 0,4±0,9 Cirrochroa emalea (Guerin-Meneville, 1843) 0,3±0,5 3,0±6,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±3,0 Cupha erymanthis (Drury, 1773) 3,8±2,2 8,3±3,0 1,0±0,8 3,3±3,2 4,1±3,5 Terinos terpander Hewitson, 1862 1,5±2,4 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,5±1,3 Vindula erota (Fabricius, 1793) 1,8±1,5 0,8±1,0 1,0±1,4 0,0±0,0 0,9±1,2 Limenitidinae Athyma kanwa (Moore, 1858) 0,3±0,5 0,0±0,0 1,8±1,7 0,3±0,5 0,6±1,1 Athyma pravara (Moore, 1857) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Athyma perius (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,5±1,0 0,2±0,5 Dophla evelina (Stoll, 1790) 2,5±2,4 3,0±2,9 0,0±0,0 0,3±0,5 1,4±2,2 Euthalia adonia (Cramer, 1782) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,3 Euthalia agnis (Vollenhoven, 1862) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Euthalia alpheda Godart, 1823 0,5±1,0 0,0±0,0 0,8±0,5 1,3±2,5 0,6±1,3 Euthalia mahadeva Moore, 1859 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,1±0,5 Lanjutan Tabel 3.3...... Euthalia merta Moore, 1859 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Euthalia monina (Fabricus, 1787) 0,0±0,0 1,0±1,4 4,5±2,6 2,5±1,3 2,0±2,3 Euthalia whiteheadi Grose-Smith, 1889 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Lasippa tiga (Moore, 1858) 7,0±2,9 6,8±7,2 4,3±1,5 1,8±1,7 4,9±4,3 Lebadea martha (Fabricius, 1787) 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,5 Lexias pardalis Moore, 1878 5,3±4,3 7,3±4,6 2,0±2,0 1,5±1,9 4,0±3,9 Moduza procris (Cramer, 1777) 0,0±0,0 0,0±0,0 2,3±1,0 3,3±2,4 1,4±1,9 Neptis harita Moore, 1874 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Neptis hylas (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,0±0,0 1,3±2,5 0,3±0,5 0,4±1,3 Neptis nata Moore, 1857 8,5±6,4 3,5±2,6 1,0±1,4 2,8±2,8 3,9±4,4 Pandita sinope Moore, 1857 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±0,8 0,5±0,6 0,4±0,6 Tanaecia coelebs Corbet, 1941 0,0±0,0 2,0±2,3 0,8±1,5 0,0±0,0 0,7±1,5 Tanaecia elone de Niceville, 1893 3,3±2,8 3,3±1,5 4,8±3,9 3,0±2,9 3,6±2,7 Tanaecia palguna (Moore, 1857) 5,5±2,6 9,5±4,2 3,5±4,5 2,0±1,6 5,1±4,2 Tanaecia pelea (Fabricius, 1787) 5,5±4,1 4,3±7,2 0,0±0,0 0,0±0,0 2,4±4,5 Morphinae Amathusia binghami Fruhstorfer, 1904 1,5±1,3 0,3±0,5 1,3±1,0 0,8±1,0 0,9±1,0 Amathusia perakana Honrath, 1888 0,3±0,5 0,5±1,0 1,5±2,4 0,3±0,5 0,6±1,3 Discophora necho Felder, 1866 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Faunis canens Hübner, 1826 7,8±6,4 4,3±4,2 0,3±0,5 0,0±0,0 3,1±4,8 Faunis gracilis Butler, 1867 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Faunis kirata de Nicéville, 1891 1,0±1,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,8 Xanthotaenia busiris Westwood, 1858 5,3±6,8 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,3±3,9 Thaumantis klugius Zinken-Sommer, 1831 0,8±1,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,6

Lanjutan Tabel 3.3...... Thaumantis noureddin Westwood, 1851 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Zeuxidia amethystus Butler, 1865 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Nymphalinae Doleschallia bisaltide (Cramer, 1779) 0,0±0,0 0,0±0,0 3,3±3,6 0,0±0,0 0,8±2,2 Hypolimnas bolina (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Junonia almana (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Junonia atlites (Linnaeus , 1763) 0,0±0,0 1,3±2,5 1,0±1,4 0,0±0,0 0,6±1,4 Satyrinae Coelites epiminthia Westwood, 1851 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Coelites euptychioides Felder, 1867 1,8±2,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,4±1,3 Elymnias hypermnestra (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 0,8±1,5 7,0±5,9 2,0±2,2 2,4±4,0 Elymnias nesaea (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 1,3±2,5 3,8±3,5 3,8±7,5 2,2±4,2 Elymnias panthera (Fabricius, 1787) 0,3±0,5 0,8±1,0 1,0±1,4 1,5±3,0 0,9±1,6 Elymnias penanga (Westwood, 1851) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Erites argentina Butler, 1868 2,8±4,9 1,8±2,1 0,0±0,0 0,0±0,0 1,1±2,7 Lethe mekara Moore, 1857 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Melanitis leda (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Melanitis phedima (Cramer, 1780) 0,0±0,0 0,5±1,0 0,8±1,0 0,0±0,0 0,3±0,7 Mycalesis anapita Moore, 1857 4,5±3,1 7,8±5,7 1,8±2,1 0,8±1,5 3,7±4,2 Mycalesis dohertyi Elwes, 1891 0,8±1,0 0,5±0,6 0,0±0,0 0,8±1,5 0,5±0,9 Mycalesis fusca Felder, 1860 2,0±2,4 1,3±2,5 1,0±1,4 4,8±7,1 2,3±3,9 Mycalesis horsfieldi Moore, 1880 0,0±0,0 0,8±1,0 4,0±8,0 0,0±0,0 1,2±4,0 Mycalesis maianeas Hewitson, 1864 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Mycalesis marginata Moore, 1881 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Lanjutan Tabel 3.3...... Mycalesis mineus (Linnaeus, 1758) 6,0±5,5 17,0±6,1 42,5±23,9 9,3±2,6 18,7±18,6 Mycalesis perseus (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 6,5±7,0 5,3±6,2 0,0±0,0 2,9±5,2 Neorina lowii (Doubleday, 1849) 1,3±2,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±1,3 Orsotriaena medus (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Ragadia makuta Fruhstorfer, 1911 6,0±6,9 1,6±2,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,9±4,4 Ypthima philomela (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 0,0±0,0 1,3±2,5 0,0±0,0 0,3±1,3 Ypthima horsfieldii Moore, 1884 0,3±0,5 0,0±0,0 41,8±8,9 8,3±3,3 12,6±18,2 Lycaenidae Curetinae Curetis tagalica Felder, 1862 0,3±0,5 1,5±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 0,4±1,1 Miletinae Allotinus substrigosus Moore, 1884 0,5±1,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,7 Allotinus unicolor Felder & Felder, 1865 14,5±18,7 3,3±5,3 0,0±0,0 0,0±0,0 4,4±10,7 Logania marmorata Moore, 1884 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Miletus gaetulus de Niceville, 1894 10,5±10,5 2,5±3,8 0,3±0,5 0,3±0,5 3,4±6,6 Miletus gopara de Niceville, 1890 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Spalgis epius (Westwood, 1851) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Polyommatinae Acytolepis puspa (Horsfield, 1828) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,1±0,5 Euchrysops cnejus (Fabricius, 1798) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Everes lacturnus (Godart, [1824]) 0,8±1,5 0,0±0,0 0,5±0,6 0,0±0,0 0,3±0,8 Jamides alecto Felder, 1860 3,0±4,2 5,5±3,1 3,5±3,7 3,0±2,4 3,8±3,3 Jamides celeno (Cramer, 1775) 22,0±13,9 16,5±7,9 17,3±6,4 12,0±9,8 16,9±9,6 Lycaenopsis haraldus (Fabricius, 1787) 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,5

Lanjutan Tabel 3.3...... Nacaduba kurava (Moore, 1857) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Neopithecops zalmora (Butler, 1870) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Prosotas gracilis (Rober, 1886) 0,3±0,5 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,6 Zizula hylax (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±0,6 0,8±1,5 0,3±0,8 Theclinae Arhopala agesias Hewitson, 1862 0,0±0,0 1,0±2,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±1,0 Arhopala paraganesa de Niceville, 1882 1,8±1,3 1,5±1,7 0,0±0,0 0,5±1,0 0,9±1,3 Drupadia niasica (Rober, 1886) 0,3±0,5 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,4 Drupadia ravindra (Horsfield, 1829) 4,5±3,1 5,8±3,0 0,3±0,5 0,0±0,0 2,6±3,3 Eliotia jalindra (Horsfield, 1829) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Eooxylides tharis (Geyer, 1837) 0,8±1,0 0,3±0,5 0,8±1,0 0,3±0,5 0,5±0,7 Loxura atymnus (Cramer, 1780) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Rapala dieneces (Hewitson, 1878) 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,5 Rapala domitia (Hewitson, 1863) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Rapala rhodopis de Nicéville, 1896 1,0±1,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,8 Sithon nedymond (Cramer, 1782) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,3 Spindasis lohita (Horsfield, 1829) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Riodinidae Nemeobiinae Abisara echerius (Stoll, 1790) 1,3±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 2,8±3,6 1,0±2,2 Abisara savitri Felder & Felder, 1860 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 Paralaxita orphna (Boisduval, 1836) 0,8±1,0 1,0±1,4 0,3±0,5 0,3±0,5 0,6±0,9 Zemeros emesoides Felder & Felder, 1860 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,2±0,4

Lanjutan Tabel 3.3...... Zemeros flegyas (Cramer, 1780) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,3 Grand Total 258,3±82,5 211,5±35,5 246,5±46,9 119,5±27,9 208,9±73,3

38

Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Hutan Harapan Penelitian dilakukan pada empat penggunaan lahan (plot inti) dan juga di plot riparian di lanskap Hutan Harapan. Plot inti (plot yang lebih tinggi dan kering dari riparian) yang diamati yaitu, hutan, hutan karet, kebun kelapa sawit, dan kebun karet dengan total 16 plot. Plot riparian yang diamati adalah hutan riparian, kebun sawit riparian, dan kebun karet riparian dengan total 12 plot. Jumlah kupu-kupu yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan sebanyak 170 spesies dan 3 310 individu (Tabel 3.4). Indeks keanekaragaman spesies pada plot inti (Hˈ=4,02) dan plot riparian tergolong tinggi (Hˈ=4,0). Nilai indeks keanekaragman pada setiap penggunaan lahan yang diamati baik pada plot inti dan plot riparian juga menunjukkan nilai Hˈ mencapai tiga, dengan nilai indeks tertinggi di hutan (Hˈ=3,89). Keanekaragaman spesies pada setiap penggunaan lahan dipengaruhi oleh keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di lokasi tersebut. Tersedianya tumbuhan berbunga sebagai pakan imago dan pakan larva menjadi faktor pendukung kehadiran kupu-kupu pada lokasi tersebut. Tabel 3.4 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan Kelimpahan Indeks Indeks Indeks Lokasi penelitian Spesies Individu Shannon Simpson Evenness (Mean±SD) (H’) (1-D) (E) Plot inti

Hutan 89 150,00 ±34,07 3,89 0,97 0,87 Hutan karet 81 118,30±40,51 3,61 0,95 0,82 Kebun sawit 64 92,00±53,76 3,39 0,94 0,81 Kebun karet 53 98,00±48,67 3,00 0,89 0,76 Subtotal 144 114,56±46,47 4,02 0,96 0,78 Riparian

Hutan riparian 91 126,50±51 ,91 3,86 0,97 0,85 Kebun sawit riparian 60 107,00±36,26 3,57 0,96 0,87 Kebun karet riparian 60 134,25±20,04 3,10 0,91 0,76 Subtotal 133 122,58±36,69 4,00 0,96 0,82 Total 170 118,00±42,01 4,15 0,96 0,80 Ket: Mean±SD: nilai rata-rata dan standar deviasi

Perhitungan berdasarkan analisis anova (dengan uji kisaran ganda Duncan) dengan nilai F=5,86 (Gambar 3.8). Kekayaan spesies antara hutan dengan kebun sawit terdapat perbadaan yang siginifikan (p=0,001). Kekayaan spesies juga terdapat perbedaan yang signifikan antara hutan dengan kebun sawit (p=0,001). Pada hutan dengan hutan riparian tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,001). Namun, antara kebun sawit dengan kebun sawit riparian terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,001. Demikian juga dengan kebun karet dan kebun karet riparian terdapat perbedaan yang siginifikan (p=0,001). Komposisi kekayaan spesies dan populasi pada penggunaan lahan hutan lebih kompleks dibandingkan dengan kebun sawit dan karet. Tersedianya tumbuhan berbunga sebagai pakan imago dan pakan larva menjadi faktor pendukung 39

kehadiran kupu-kupu pada lokasi tersebut. Populasi kupu-kupu antara hutan riparian dan perkebunan kelapa sawit riparian terlihat berbeda. Konfigurasi bentang alam yang menghubungkan patch hutan, memelihara beragam habitat dan mempertahankan kompleksitas struktural dan floristik yang tinggi umumnya melindungi lebih banyak spesies daripada lanskap yang tidak memiliki konektivitas kompleksitas habitat seperti kebun sawit dan kebun karet.

Gambar 3.8 Kekayaan spesies pada empat penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan; Huruf yang berbeda di atas boxplot menunjukkan perbedaan nyata dengan uji ganda Duncan.

Kelimpahan individu pada penggunaan lahan antara riparian dan tidak riparian tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan analisis anova dengan tes perbedaan signifikan menurut Duncan dengan nilai F=0,97; p=0,47 (Gambar 3.9). Hal ini diduga dikarenakan adanya spesies yang memiliki kelimpahan yang tinggi pada setiap penggunaan lahan. Kelimpahan jumlah individu dari setiap spesies berbeda-beda pada setiap penggunaan lahan.

40

Gambar 3.9 Kelimpahan individu kupu-kupu pada empat penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan.

Berdasarkan analisis estimasi, bahwa total sampel kupu-kupu yang ditemukan di lapangan mencapai 85,22% dari total sampel yang diperkirakan terdapat dilapangan. Jumlah sampel pengamatan yang paling rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan lahan lainnya adalah pada penggunaan lahan kebun sawit, yaitu 67,37% (Tabel 3.5; Gambar 3.10). Pengamatan di kebun sawit memiliki tutupan kanopi yang lebih rapat dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Selain itu, pada kebun sawit vegetasi yang ditemukan lebih homogen dan bahkan terkadang lantai kebun bersih dari vegetasi pada saat pengematan sehingga sampel yang didapatkan lebih sedikit. Tabel 3.5 Estimasi kekayaan kupu-kupu pada beberapa tipe penggunaan lahan di lanskap Hutan Harapan Lokasi penelitian Spesies observasi ACE Spesies (%) Hutan 89 105 (84,76) Hutan karet 81 108 (75,00) Kebun sawit 64 95 (67,37) Kebun karet 53 72 (73,61) Hutan riparian 91 128 (71,09) Kebun sawit riparian 60 70 (85,71) Kebun karet riparian 60 71 (84,51) Total 170 203 (83,74) 41

250

200

150

100 Estimasi spesies Estimasi Spesies 50 ACE 83.74%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Plot pengamatan

Gambar 3.10 Kurva akumulasi spesies di lanskap Hutan Harapan

Analisis NMDS digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik penggunaan lahan dengan keanekaragaman kupu-kupu yang ada di dalamnya pada lanskap Hutan Harapan. Analisis NMDS yang digunakan berdasarkan indeks kemiripan Sorensen. Hal yang menarik terlihat sangat jelas adanya perbedaan spesies antara hutan dan kebun sawit maupun kebun karet (Gambar 3.11). Tumpang tindih terlihat antara kebun sawit, kebun karet dan riparian kebun sawit. Hutan karet juga teramati saling tumpang tindih dengan kebun sawit. Tidak terlihat adanya tumpang tindih antara hutan karet dengan kebun karet dan kebun karet riparian walaupun ketiga lahan tersebut memiliki tumbuhan utama yang sama, yaitu tumbuhan karet. Hal ini kemungkinan karena lantai kebun karet berbeda vegetasi yang tumbuh dengan vegetasi yang terdapat pada hutan karet.

42

Stress: 0,15

Gambar 3.11 Kemiripan komposisi kupu-kupu di lanskap Hutan Harapan; HF (hutan), HFr (hutan riparian), HJ (hutan karet), HR (kebun karet), HRr (kebun karet riparian), HO (kebun sawit), HOR (kebun sawit riparian).

Penyebaran spesies pada empat penggunaan lahan berbeda-beda. Setiap penggunaan lahan memiliki keunikan spesies masing-masing yang terdapat di lanskap Hutan Harapan. Diagram venny (Gambar 3.12) menunjukkan pengelompokan dan kemiripan spesies pada masing-masing penggunaan lahan. Spesies yang terdapat hanya berada di hutan (37 spesies), yaitu: Agatasa calydonia, Allotinus substrigosus, Amathusia schoenbergi, Anthene licaenina, Athyma pravara, A. reta, Bassarona dunya, B. teuta, Caleta elna, Charaxes durnfordi, freja, Chersonesia rahria, Cirrochroa emalea, C. orissa, Curetis freda, Dacalana vidura, Danaus genutia, Dichorragia nesimachus, Erites argentina, Euploea algea, Euripus nyctelius, Laringa horsfieldi, Lebadea martha, Lethe mekara, Lexias pardalis, Loxura atymnus, Mycalesis dohertyi, M. mnasicles, Neorina lowii, Pantoporia aurelia, Parantica aspasia, Paralaxita orphna, Prothoe franck, Ragadia makuta, Thamala marciana, Ypthima nebulosa, dan Zeuxidia doubledayi. Spesies yang hanya ditemukan berada di hutan karet sebanyak 12 spesies, yaitu: Atrophaneura priapus, Charaxes solon, Euthalia alpheda, Flos fulgida, Jamides talinga, Laringa castelnaui, Mycalesis janardana, Nacaduba calauria, Papilio helenus, Thaumantis klugius, T. noureddin, dan Zemeros emesoides. Spesies yang hanya terdapat di kebun sawit ada 9 spesies, yaitu: Ariadne ariadne, Euploea phaenareta, Euthalia adonia, E. agnis, Iraota rochana, Jamides philatus, Junonia almana, J. atlites, dan Melanitis leda. Jumlah spesies yang hanya terdapat di kebun karet adalah sebanyak 5 spesies, yaitu: Catopsilia pomona, Discolampa ethion, Euthalia kanda, E. monina, dan Ypthima philomela. Hal yang menarik bahwa pada semua penggunaan lahan juga ditemukan spesies yang sama sebanyak 17, yaitu: Abisara echerius, Drupadia 43

ravindra, Euploea mulciber, Eurema hecabe, E. simulatrix, Gandaca harina, Graphium agamemnon, Jamides alecto, Mycalesis fusca, M. mineus, Neptis hylas, Papilio demolion, P. memnon, P. polytes, Tanaecia coelebs, Tanaecia palguna, dan Ypthima horsfieldii (Tabel 1.5).

Gambar 3.12. Kekayaan dan kemiripan spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan

Kemiripan spesies antara plot inti dan riparian juga ditemukan. Spesies yang ditemukan pada hutan dan hutan riparian ditemukan 63 spesies. Sedangkan spesies yang hanya ditemukan di hutan 26 spesies dan hanya di hutan riparian sebanyak 28 spesies (Gambar 3.12). Spesies yang sama yang ditemukan pada kebun sawit dan kebun sawit riparian sebanyak 39 spesies. Spesies yang hanya ditemukan pada kebun sawit sebanyak 25 spesies dan yang ditemukan hanya pada kebun sawit riparian sebanyak 21 spesies. Spesies yang sama juga ditemukan antara kebun karet dan kebun karet riparian sebanyak 39 spesies. Spesies yang hanya ditemukan di kebun karet sebanyak 14 spesies dan yang ditemukan hanya di kebun karet riparian sebanyak 21 spesies (Gambar 3.12; Tabel 3.6).

44

Gambar 3.13. Kekayaan dan kemiripan spesies kupu-kupu pada riparian dan tidak riparian (hutan, kebun sawit, dan kebun karet) di lanskap Hutan Harapan.

45

Tabel 3.6 Spesies kupu-kupu yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan; (Mean: nilai rata-rata; SD: standar deviasi) Kebun Kebun Hutan Kebun Kebun Hutan Hutan sawit karet karet sawit karet riparian Famili/Subfamili/Spesies (Mean± riparian riparian (Mean± (Mean± (Mean± (Mean ± SD) (Mean± (Mean± SD) SD) SD) SD) SD) SD) Papilionidae Papilioninae Atrophaneura priapus (Boisduval, 1836) 0,0±0,0 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Graphium agamemnon (Linnaeus, 1758 ) 0,5±0,6 1,8±1,5 0,5±1,0 0,5±1,0 0,8 ±1,0 1,5±1,0 0,0±0,0 Graphium antiphates Cramer, (1885) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,8±1,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 1,3±2,5 0,8±1,5 Graphium eurypylus (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Graphium ramaceus (Westwood, 1872) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Graphium sarpedon (Linnaeus, 1758) 0,3±0,5 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Pachliopta antiphus (Fabricius, 1793) 1,0±0,8 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,8 ±1,0 0,0±0,0 0,5±1,0 Papilio demoleus Linnaeus, 1758 0,0±0,0 0,3±0,5 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,0 0,5±1,0 Papilio demolion Cramer, [1776)] 1,3±1,0 0,5±1,0 0,5±1,0 0,8±1,0 1,0 ±1,2 0,3±0,5 1,0±1,4 Papilio helenus Linnaeus, 1758 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Papilio iswaroides Fruhstorfer, 1898 0,8±0,5 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 1,8 ±1,3 0,5±1,0 0,5±1,0 Papilio memnon Linnaeus, 1758 0,3±0,5 0,3±0,5 1,0±1,2 0,3±0,5 0,5 ±0,6 0,3±0,5 0,8±0,5 Papilio nephelus Boisduval, 1836 0,5±1,0 1,5±2,4 3,0±1,4 2,3±1,0 0,5 ±1,0 3,3±3,9 0,8±0,5 Papilio polytes Linnaeus, 1758 26,3±4,5 31,8±20,9 20,8±17,6 17,8±8,8 20,5 ±8,2 23,8±1,3 22,0±15,0 Pieridae Coliadinae Catopsilia pomona (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 45 46 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Catopsilia scylla (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±1,2 0,3±0,5 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 Eurema alitha (Felder & Felder, 1862) 1,0±1,4 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Eurema hecabe (Linnaeus, 1758 ) 18,0±5,4 17,3±10,9 14,8±14,9 9,5±3,9 11,5 ±3,8 8,0±5,2 12,5±8,5 Eurema simulatrix Staudinger, 1891 0,5±1,0 12,0±12,2 2,3±3,2 2,0±2,4 0,0±0,0 2,0±2,8 2,8±4,3 Gandaca harina (Horsfield, 1829) 6,8±2,9 1,8±1,7 0,3±0,5 1,8±3,5 8,5 ±4,7 0,0±0,0 0,0±0,0 Pierinae Appias lyncida (Cramer, 1777) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±1,2 0,0±0,0 Appias olferna Swinhoe, 1890 0,0±0,0 0,3±0,5 1,8±2,1 2,5±2,1 0,3 ±0,5 6,0±6,9 1,8±2,1 Leptosia nina (Fabricius, 1793) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 1,5±1,9 0,0±0,0 4,8±5,7 4,5±5,8 Udaiana cynis Hewitson, 1866 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 Nymphalidae Apaturinae Eulaceura osteria (Westwood, 1850) 3,0±2,2 1,0±1,2 0,0±0,0 0,5±1,0 1,8±1,7 0,0±0,0 0,3±0,5 Euripus nyctelius (Doubleday, 1845) 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Biblidinae Ariadne ariadne (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 Laringa castelnaui (Felder, 1860) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Laringa horsfieldi (Boisduval, 1833) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Charaxinae Agatasa calydonia (Hewitson, 1855) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Charaxes durnfordi Distant, 1884 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Charaxes bernardus (Fabricius, 1793) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Charaxes solon (Fabricius) 1793 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Charaxes (Polyura) hebe (Butler, 1865) 0,8±1,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Prothoe franck (Godart, [1825]) 1,5±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Cyrestinae Chersonesia rahria (Moore, [1858]) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Dichorragia nesimachus (Doyere, 1840) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Danainae Danaus genutia (Cramer, [1779]) 1,8±2,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Danaus melanippus (Cramer, 1777) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 Euploea algea (Godart, [1819]) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Euploea crameri Lucas, 1853 0,0±0,0 0,8±1,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Euploea phaenareta (Schaller, 1785) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,5±3,0 Euploea mulciber (Cramer, [1777]) 3,5±2,4 0,5±0,6 0,5±0,6 1,0±1,4 2,5±3,3 0,5±1,0 1,5±2,4 Ideopsis gaura (Horsfield, [1829]) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 Ideopsis juventa (Cramer, [1777]) 0,0±0,0 0,5±0,6 1,5±1,7 1,8±1,7 0,0±0,0 1,0±1,4 2,3±1,5 Ideopsis vulgaris (Butler, 1874) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 1,0±2,0 1,0±1,4 Parantica aspasia (Fabricius, 1787) 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 Heliconiinae Acraea terpsicore (Linnaeus, 1758 ) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 1,8±3,5 0,5±1,0 Cethosia hypsea Doubleday, 1847 0,5±0,6 0,8±1,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 Cirrochroa emalea (Guerin-Meneville, 1843) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Cirrochroa orissa Felder, 1860 2,0±1,8 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 2,5 ±2,6 0,0±0,0 0,0±0,0 Cupha erymanthis (Drury, 1773) 0,8±1,0 2,0±2,8 0,0±0,0 0,5±1,0 0,5 ±1,0 0,8±1,0 0,3±0,5 Phalanta phalantha (Drury, 1773) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 Terinos terpander Hewitson, 1862 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Vindula erota (Fabricius, 1793) 1,0±2,0 1,5±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8 ±1,0 0,5±1,0 0,0±0,0 47

48 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Limenitidinae Athyma kanwa (Moore, 1858) 1,0±1,2 1,3±1,5 0,5±0,6 0,0±0,0 1,3 ±1,9 0,3±0,5 0,0±0,0 Athyma asura (Moore, 1858) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Athyma pravara (Moore, 1857) 0,8±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5 ±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 Athyma perius (Linnaeus, 1758) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 2,0±2,4 0,0±0,0 Athyma reta (Moore, 1858) 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Bassarona dunya (Doubleday, 1848) 4,5±2,9 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Bassarona teuta (Doubleday, 1848) 2,0±1,8 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 5,5 ±9,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Dophla evelina (Stoll, 1790) 0,5±0,6 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Euthalia adonia (Cramer, 1782) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Euthalia agnis (Vollenhoven, 1862) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,5±1,0 Euthalia alpheda Godart, 1823 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 Euthalia kanda Moore, 1859 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Euthalia mahadeva Moore, 1859 0,0±0,0 0,8±1,5 0,0±0,0 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±0,6 Euthalia monina (Fabricus, 1787) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±0,6 0,8 ±1,0 0,0±0,0 0,3±0,5 Lasippa tiga (Moore, 1858) 2,0±1,4 1,3±1,9 0,0±0,0 1,3±1,0 7,3 ±5,7 0,0±0,0 0,3±0,5 Lebadea martha (Fabricius, 1787) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Lexias pardalis Moore, 1878 4,8±1,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 2,8 ±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 Moduza procris (Cramer, 1777) 0,8±1,0 0,3±0,5 0,0±0,0 1,3±1,5 0,5 ±1,0 0,5±1,0 1,3±1,5 Neptis hylas (Linnaeus, 1758) 1,3±1,5 0,8±1,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3 ±0,5 1,3±1,9 0,0±0,0 Neptis nata Moore, 1857 2,0±2,7 0,0±0,0 1,3±1,0 2,8±2,5 2,0 ±2,2 0,0±0,0 0,0±0,0 Neptis duryodana Moore, 1858 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±1,4 Pandita sinope Moore, 1857 0,5±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,8 ±1,0 0,3±0,5 0,5±1,0 Pantoporia aurelia Staudinger, 1886 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Tanaecia coelebs Corbet, 1941 2,5±4,4 0,5±0,6 0,3±0,5 0,3±0,5 1,0 ±1,4 0,3±0,5 1,0±1,4 Tanaecia elone de Niceville, 1893 3,8±2,2 1,5±3,0 0,0±0,0 0,5±1,0 2,3 ±1,7 0,8±1,5 0,5±1,0 Tanaecia palguna (Moore, 1857) 5,3±3,2 3,3±1,5 1,0±1,4 5,0±4,8 6,8 ±5,6 1,0±2,0 1,8±2,1 Tanaecia pelea (Fabricius, 1787) 2,3±1,3 3,0±2,9 0,3±0,5 0,0±0,0 1,8 ±1,7 0,0±0,0 0,0±0,0 Morphinae Amathusia binghami Fruhstorfer, 1904 0,0±0,0 0,3±0,5 2,0±2,0 0,3±0,5 0,0±0,0 1,3±1,9 0,0±0,0 Amathusia phidippus (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0±2,0 0,0±0,0 Amathusia schoenbergi Honrath, 1888 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Discophora necho Felder, 1866 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Faunis canens Hübner, 1826 2,5±1,9 2,0±3,4 0,0±0,0 1,3±1,9 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 Thaumantis klugius Zinken-Sommer, 1831 0,0±0,0 0,6±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Thaumantis noureddin Westwood, 1851 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Thaumantis odana (Godart, 1824) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Zeuxidia amethystus Butler, 1865 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Zeuxidia doubledayi Westwood, 1851 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Nymphalinae Doleschallia bisaltide (Cramer, 1779) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±0,6 0,3±0,5 0,0±0,0 2,5±2,1 1,3±1,0 Hypolimnas bolina (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,3±0,5 1,0±1,4 1,5±1,9 0,0±0,0 4,0±4,9 2,3±2,9 Junonia almana (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,0±0,0 2,0±4,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Junonia atlites (Linnaeus , 1763) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 4,5±4,5 9,0±10,7 Junonia hedonia (Linnaeus, 1764) 0,0±0,0 0,0±0,0 1,5±3,0 0,3±0,5 0,0±0,0 1,8±2,9 0,8±1,5 Junonia orithya (Linnaeus, 1764) 0,0±0,0 0,0±0,0 2,0±3,4 0,3±0,5 0,0±0,0 2,3±2,1 0,8±1,5 Rhinopalpa polynice (Cramer, 1780) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0

49

50 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Satyrinae Coelites euptychioides Felder, 1867 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Elymnias hypermnestra (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 1,3±2,5 4,0±3,3 4,3±3,0 0,0±0,0 2,0±4,0 2,5±1,3 Elymnias esaca (Westwood, 1851) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Elymnias nesaea (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,3±0,5 2,3±2,2 1,5±3,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Elymnias panthera (Fabricius, 1787) 0,0±0,0 1,0±1,4 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 Erites argentina Butler, 1868 3,0±3,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 3,8 ±6,8 0,0±0,0 0,0±0,0 Lethe mekara Moore, 1857 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Melanitis leda (Linnaeus, 1758) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,3±0,5 Melanitis phedima (Cramer, 1780) 0,0±0,0 0,5±0,6 0,0±0,0 0,8±1,0 0,0±0,0 1,0±0,8 0,3±0,5 Mycalesis fusca Felder, 1860 2,0±2,7 0,5±1,0 0,5±1,0 1,5±1,7 0,0±0,0 1,3±1,9 1,0±2,0 Mycalesis dohertyi Elwes, 1891 1,5±3,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Mycalesis anapita Moore, 1857 2,8±2,2 1,3±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 4,5 ±5,9 2,8±4,9 1,0±1,2 Mycalesis janardana Moore, 1857 0,0±0,0 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Mycalesis orseis Hewitson, 1864 0,0±0,0 5,0±8,7 2,0±4,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,5±0,6 0,3±0,5 Mycalesis maianeas Hewitson, 1864 0,8±1,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,8 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Mycalesis mineus (Linnaeus, 1758) 1,3±1,5 5,3±3,2 2,8±3,8 5,0±5,0 0,8 ±1,0 5,0±4,8 11,0±9,9 Mycalesis mnasicles Hewitson, 1864 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Mycalesis oroatis Hewitson, 1864 0,0±0,0 0,5±0,6 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 Mycalesis perseus (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 1,8±1,7 0,8±1,0 1,3±2,5 0,8 ±1,5 5,0±5,9 6,5±7,9 Mycalesis horsfieldi Moore, 1880 0,0±0,0 1,5±3,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Neorina lowii (Doubleday, 1849) 2,0±2,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 3,5 ±4,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Orsotriaena medus (Fabricius, 1775) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 2,3±2,1 0,0±0,0 Ragadia makuta Fruhstorfer, 1911 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0 ±0,8 0,0±0,0 0,0±0,0 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Ypthima nebulosa Aoki &Uemura, 1982 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,8±1,5 2,0±4,0 Ypthima philomela (Linnaeus, 1763) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 7,3±9,5 0,3 ±0,5 6,3±7,2 11,0±10,7 Ypthima horsfieldii Moore, 1884 0,3±0,5 9,8±6,8 11,8±11,5 27,5±16,3 1,0±2,0 9,8±6,6 31,8±6,7 Lycaenidae Curetinae Curetis tagalica Felder, 1862 1,0±2,0 1,0±1,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Curetis freda Eliot, 1959 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Miletinae Allotinus substrigosus Moore, 1884 4,0±4,1 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5 ±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 Allotinus unicolor Felder & Felder, 1865 2,0±3,4 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 1,3 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Logania marmorata Moore, 1884 0,0±0,0 0,5±1,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Miletus gaetulus de Niceville, 1894 2,0±2,8 0,5±1,0 1,0±2,0 0,0±0,0 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Polyommatinae Acytolepis puspa (Horsfield, 1828) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 Anthene licaenina Felder, 1868 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Caleta elna (Hewitson, 1876) 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,5 ±1,9 0,0±0,0 0,0±0,0 Discolampa ethion (Westwood, 1851) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Jamides alecto Felder, 1860 8,5±7,3 2,5±3,1 7,8±9,3 2,0±4,0 5,3±3,4 4,3±3,9 1,8±2,1 Jamides celeno (Cramer, 1775) 1,8±3,5 5,3±3,5 3,3±3,6 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,8±1,5 Jamides talinga Kheil, 1884 0,0±0,0 1,5±3,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Jamides caeruleus Druce, 1873 0,0±0,0 1,0±1,2 1,0±1,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Jamides philatus Snellen, 1878 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Lycaenopsis haraldus (Fabricius, 1787) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Nacaduba kurava (Moore, 1857) 1,3±1,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,5 0,5±0,6 0,5±1,0 1,5±2,4 51

52 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Nacaduba calauria (Felder, 1860) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 Neopithecops zalmora (Butler, 1870) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Prosotas gracilis (Rober, 1886) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Poritiinae Poritia Sumaterae (Felder & Felder, 1865) 2,8±2,4 0,8±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Theclinae Arhopala agesias Hewitson, 1862 0,8±1,0 1,5±3,0 0,0±0,0 0,0±0,0 2,0 ±0,8 0,0±0,0 0,0±0,0 Arhopala agesilaus Staudinger, 1889 2,5±2,6 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 3,0 ±3,2 1,5±3,0 0,0±0,0 Arhopala paraganesa de Niceville, 1882 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 1,0 ±0,8 0,0±0,0 0,5±1,0 Arhopala pseudocentaurus Doubleday, 1847 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Arhopala trogon Distant, 1884 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Catapaecilma elegans (Druce, 1873) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Cheritra freja (Fabricius, 1793) 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Dacalana vidura (Horsfield, 1828) 0,8±1,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5 ±0,6 0,0±0,0 0,0±0,0 Deudorix epijarbas (Moore, 1858) 1,0±1,4 0,8±1,5 0,0±0,0 0,0±0,0 2,0 ±3,4 0,0±0,0 0,0±0,0 Drupadia ravindra (Horsfield, 1829) 9,5±6,1 3,0±1,8 0,3±0,5 1,5±1,9 6,8 ±4,8 0,0±0,0 0,0±0,0 Eooxylides tharis (Geyer, 1837) 0,0±0,0 3,0±3,8 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Flos fulgida (Hewitson, 1863) 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Hypolycaena merguia Doherty, 1889 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Iraota rochana (Horsfield, 1829) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Loxura atymnus (Cramer, 1780) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Rapala dieneces (Hewitson, 1878) 0,3±0,5 0,8±0,5 2,8±5,5 0,0±0,0 0,3 ±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Rapala manea (Hewitson, 1863) 1,5±3,0 0,3±0,5 2,0±4,0 0,0±0,0 0,5 ±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Lanjutan Tabel 3.6 ...... Sithon nedymond (Cramer, 1782) 0,0±0,0 0,8±0,5 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 Spindasis lohita (Horsfield, 1829) 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,3 ±1,9 0,5±0,6 0,0±0,0 vivarna (Hewitson, 1862) 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 Thamala marciana (Hewitson, 1863) 1,8±3,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 Riodinidae Nemeobiinae Abisara echerius (Stoll, 1790) 2,0±1,4 1,0±1,2 0,8±1,0 0,5±0,6 1,5 ±1,9 0,0±0,0 0,3±0,5 Paralaxita orphna (Boisduval, 1836) 2,0±2,7 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 2,8 ±3,1 0,0±0,0 0,0±0,0 Taxila haquinus (Fabricius, 1793) 0,0±0,0 0,5±1,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,8 ±1,0 0,3±0,5 0,0±0,0 Zemeros emesoides Felder & Felder, 1860 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,0±0,0 Total 150,3±33,7 118,3±40,5 92,0±53,8 98,0±48,7 127,8 ±52,8 107,0±36,3 134,3±2

53

54

Keanekaragaman Kupu-kupu dengan Metode Perangkap Buah pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi

Hasil penangkapan kupu-kupu dengan menggunakan perangkap buah juga melengkapi data penangkapan dengan menggunakan jaring serangga. Perangkap buah digunakan untuk menjangkau kupu-kupu yang terbang tinggi dan sulit untuk ditangkap. Tingginya kanopi yang terdapat di hutan dan hutan karet, dengan menggunakan perangkap buah akan mempermudah untuk menangkap kupu-kupu yang sering terbang di atas kanopi. Perangkap buah juga berfungsi untuk mengetahui jenis kupu-kupu yang aktif di atas kanopi khususnya untuk famili Nymphalidae. Umpan buah yang digunakan adalah buah tropis yang dapat mengeluarkan aroma yang kuat atau menyengat. Perangkap buah biasanya lebih disukai oleh famili Nymphalidae. Perangkap buah yang diletakkan pada setiap plot pengamatan mampu menarik perhatian kupu-kupu masuk ke dalam perangkap. Spesies kupu-kupu yang ditemukan dengan menggunakan perangkap buah semuanya dari famili Nymphalidae sebanyak 418 individu dan 53 spesies dari 6 subfamili (Tabel 3.6). Kupu-kupu dari famili Lycaenidae, Pieridae, Papilionidae, dan Riodinidae tidak tertangkap dengan menggunakan perangkap buah. Spesies dari famili Papilionidae sering terbang tinggi (misalnya Graphium spp.), namun sesekali masih sering hinggap di tumbuhan yang rendah, namun sepertinya tidak tertarik dengan aroma buah. Hal ini membuktikan bahwa kupu-kupu dari famili Papilionidae dan Pieridae kurang tertarik dengan buah. Pada saat pengamatan, kupu-kupu Papilionidae dan Pieridae lebih sering mengisap nektar yang terdapat di bunga. Perangkap buah yang digunakan adalah nenas dan pisang. Jumlah spesies yang ditangkap dengan menggunakan perangkap buah nenas (44 spesies) lebih tinggi dibandingkan dengan perangkap buah pisang (37 spesies). Perangkap buah nenas diduga lebih mengeluarkan aroma yang menyengat dan lebih disukai oleh kupu-kupu dibandingkan dengan aroma dari buah pisang. Penelitian dengan menggunakan perangkap buah yang dilakukan juga menambah data kelimpahan kupu-kupu yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Menurut Alexander & DeVries (2012), penelitian dengan menggunakan perangkap buah digunakan untuk mengkaji kelimpahan dan perilaku terbang dan ketinggian tangkapan dari famili Nymphalidae. Perangkap buah dapat juga digunakan untuk memonitoring perubahan ekosistem hutan tropis (Hughes et al. 1998). Menurut Freitas et al. (2014), pada dasarnya, perangkap umpan dapat menangkap kupu-kupu khususnya pemakan buah, yang meliputi kelompok kupu-kupu imago terutama pemakan buah-buahan busuk dan bahan getah lainnya, dan dapat dengan mudah tertarik dengan perangkap berumpan berupa buah. Keuntungan penggunaan perangkap buah adalah kemungkinan pengambilan sampel kupu-kupu dengan mudah di sepanjang lereng vertikal di hutan tinggi, termasuk hutan yang berkanopi tinggi.

Tabel 3.7 Keanekaragaman kupu-kupu yang ditangkap dengan perangkap buah di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan: Mean±SD = nilai rata dengan standar deviasi Bukit Duabelas Hutan Harapan Subtotal Total Subfamili/ Pisang Nenas Pisang Nenas Pisang Nenas Spesies Subtotal Subtotal Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD Caraxinae A. calydonia 0,3±0,5 0,3±0 ,5 0,3±0 ,5 0,0±0 ,0 0,1±0 ,4 0,1±0 ,3 0,1±0 ,3 0,2±0 ,4 0,1±0 ,4 C. durnfordi 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,4 0,2±0,4 0,1±0,3 0,1±0,4 C. bernardus 2,0±2,7 1,3±1,9 1,6±2,2 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,8±1,8 0,5±1,2 0,6±1,5 C. solon 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 0,0±0,0 0,05±0,2 C. hebe 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3±0,5 0,1±0,4 0,2±0,4 0,3±0,5 0,2±0,4 0,23±0,4 P. franck 0,8±1,0 0,3±0,5 0,5±0,8 0,3±0,8 0,3±0,5 0,3±0,6 0,5±0,8 0,3±0,5 0,36±0,7 Morphinae

D. necho 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,4±0,9 0,5±0,8 0,1±0,3 A. binghami 0,3±0,5 1,0±0,8 0,6±0,7 0,4±1,1 0,3±0,8 0,4±0,9 0,5±0,7 0,2±0,6 0,5±0,9 A. phidippus 1,3±0,5 0,5±1,0 0,9±0,8 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,3±0,6 A. schoenbergi 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 F. gracilis 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 F. canens 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 Z. amethystus 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 0,0±0,0 0,05±0,2

Limenitidinae B. dunya 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,5 0,3±0,8 0,3±0,6 0,2±0,4 0,2±0,6 0,2±0,5 B. teuta 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 1,6±3,7 1,9±3,5 1,7±3,5 1,0±3,0 1,2±2,9 1,1±2,9 D. necho 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 55 56 Lanjutan Tabel 3.6 ... D. evelina 1,8±1,7 1,5±1,9 1,6±1,7 0,1±0,4 0,3±0,5 0,2±0,4 0,7±1,3 0,7±1,3 0,7±1,2 E. adonia 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 0,0±0,0 0,05±0,2 E. agnis 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,3 0,1±0,3 0,09±0,3 E. alpheda 0,8±1,0 0,0±0,0 0,4±0,7 0,4±0,5 0,6±1,1 0,5±0,9 0,5±0,7 0,4±0,9 0,45±0,8 E. mahadeva 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,4 0,4±0,8 0,3±0,6 0,2±0,4 0,3±0,6 0,23±0,5 E. merta 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,0±0,0 0,05±0,2 E. monina 0,3±0,5 1,5±2,4 0,9±1,7 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,1±0,3 0,6±1,5 0,36±1,1 E. whiteheadi 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 L. pardalis 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 M. procris 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,3 0,1±0,3 0,09±0,3 N. hylas 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 N. nata 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 0,0±0,0 0,05±0,2 T. coelebs 0,5±1,0 0,0±0,0 0,3±0,7 0,6±1,1 0,6±0,8 0,6±0,9 0,5±1,0 0,4±0,7 0,45±0,9 T. elone 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,3±0,5 0,3±0,8 0,3±0,6 0,2±0,4 0,3±0,6 0,23±0,5 T. palguna 0,8±1,0 0,8±1,0 0,8±0,9 1,1±1,2 1,0±1,4 1,1±1,3 1,0±1,1 0,9±1,2 0,95±1,1 T. pelea 0,0±0,0 0,5±1,0 0,3±0,7 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3±0,5 0,2±0,4 0,4±0,7 0,27±0,6 Satyrinae

C. euptychioides 0,0±0,0 0,5±1,0 0,3±0,7 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,6 0,1±0,4 E. hypermnestra 1,5±1,3 1,3±1,9 1,4±1,5 1,9±2,8 5,3±10,7 3,6±7,7 1,7±2,3 3,8±8,6 2,8±6,2 E. esaca 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 E. nesaea 1,3±1,0 1,0±1,2 1,1±1,0 0,7±1,1 0,7±1,3 0,7±1,1 0,9±1,0 0,8±1,2 0,86±1,1 E. panthera 1,5±1,3 0,5±0,6 1,0±1,1 0,1±0,4 0,1±0,4 0,1±0,4 0,6±1,0 0,3±0,5 0,45±0,8 M. leda 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,0±0,0 0,4±0,7 0,05±0,2 M. phedima 0,0±0,0 0,5±1,0 0,3±0,7 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,1±0,4 0,0±0,0 0,18±0,5 Lanjutan Tabel 3.6 ...... M. fusca 0,8±1,0 0,3±0,5 0,5±0,8 0,3±0,5 0,4±0,8 0,4±0,6 0,5±0,7 0,4±0,7 0,41±0,7 M. anapita 1,3±1,5 0,3±0,5 0,8±1,2 0,1±0,4 0,3±0,8 0,2±0,6 0,5±1,0 0,3±0,6 0,41±0,9 M. orseis 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 0,0±0,0 0,05±0,2 M. mineus 6,5±4,7 8,0±12,8 7,3±8,9 1,0±1,2 2,4±2,8 1,7±2,2 3,0±3,9 4,5±7,9 3,73±6,1 M. mnasicles 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 M. oroatis 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 M. perseus 0,5±1,0 0,0±0,0 0,3±0,7 0,9±1,2 0,7±1,5 0,8±1,3 0,7±1,1 0,5±1,2 0,59±1,1 M. horsfieldi 1,3±1,9 0,3±0,5 0,8±1,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,5±1,2 0,1±0,3 0,27±0,9 N. lowii 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3±0,5 0,6±1,1 1,1±2,3 0,9±1,7 0,5±0,9 0,8±1,8 0,64±1,4 R. makuta 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 Y. philomela 0,3±0,5 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,4 0,0±0,0 0,1±0,3 0,2±0,4 0,0±0,0 0,09±0,3 Y. horsfieldii 0,3±0,5 0,3±0,5 0,3±0,5 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,1±0,3 0,09±0,3 Apaturinae

E. osteria 0,0±0,0 0,3±0,5 0,1±0,4 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2 Nymphalinae

H. bolina 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,1±0,4 0,1±0,3 0,0±0,0 0,1±0,3 0,05±0,2

Total 24,8±11,7 22,8±19,9 23,8±15,1 13,0±4,9 19,4±15,7 16,2±11,6 17,3±9,5 20,6±16,4 18,95±13,2 Spesies 25 29 36 31 34 41 37 44 53 Individu 99 91 190 91 137 228 190 228 418

57

58

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kupu-kupu yang ditemukan lebih tinggi pada hutan. Hutan adalah habitat yang heterogen sehingga komponen penggunaan lahannya kompleks. Heterogenitas suatu ekosistem dapat mendukung kehidupan berbagai spesies kupu-kupu (Chahyadi & Bibas 2016). Salah satu faktor yang mendukung keberadaan kupu-kupu di komunitas adalah ketersediaan tanaman inang untuk larva dan nektar untuk imago (Kremen 1992). Kelimpahan kupu-kupu juga tinggi di hutan karet. Hutan karet adalah perkebunan karet yang kurang dikelola secara intensif oleh pemiliknya dibandingkan dengan kebun karet sehingga suksesi dapat terjadi di hutan karet serta meningkatkan heterogenitas ekosistem. Di hutan karet tidak ada penyemprotan gulma dan hama berbeda dengan di kebun karet. Pemilik kebun karet melakukan perawatan kebun, seperti: penyemprotan herbisida dan pestisida secara teratur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kupu-kupu dapat hidup dalam berbagai penggunaan lahan dengan spesies kupu-kupu yang berbeda-beda. Hutan dan penggunaan lahan pertanian dapat menjadi habitat kupu-kupu jika ada konektivitas antara habitat dan integrasi yang dikelola dengan konsep konservasi keanekaragaman hayati (Teuscher et al. 2016). Perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu di hutan dan perkebunan mengindikasikan bahwa kupu-kupu peka terhadap perubahan ekosistem terestrial (Kerr 2001). Kupu-kupu memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap perubahan lingkungan (Merckx et al. 2006). Salah satu indikator yang menjadikan kupu-kupu sebagai indikator kualitas lingkungan karena keberadaan kupu-kupu terkait erat dengan spesies tanaman yang ditemukan dalam ekosistem (Kremen 1992). Semakin tinggi keanekaragaman tumbuhan yang ditemukan dalam ekosistem, semakin tinggi keanekaragaman kupu-kupu dalam ekosistem (Kremen 1992), kemungkinan karena kompleksitas penggunaan lahan yang berbeda (Hector et al. 2011). Hasil penelitian Graça et al. (2017) menunjukkan bahwa, komposisi kupu-kupu di hutan berbeda dan lebih tinggi dibandingkan dengan habitat taman. Karena itu kupu-kupu sering digunakan sebagai model penting dalam ekologi dan konservasi (Ehrlich 1992). Situs riparian berbeda dari situs nonriparian. Di riparian ada aliran air atau habitatnya sering terendam air. Ketersediaan air mendukung kehidupan flora dan fauna. Populasi kupu-kupu antara hutan riparian dan perkebunan kelapa sawit riparian terlihat sangat berbeda. Populasi dan kekayaan spesies di perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet tidak menunjukkan perbedaan (p=0,47). Konfigurasi bentang alam yang menghubungkan patch hutan, memelihara beragam habitat dan mempertahankan kompleksitas struktural dan floristik yang tinggi umumnya melindungi lebih banyak spesies daripada lanskap yang tidak memiliki konektivitas dan kompleksitas habitat (Harvey et al. 2008). Komposisi kekayaan spesies dan populasi dalam penggunaan lahan hutan dan hutan riparian adalah unik. Spesies yang hanya ditemukan di hutan dan hutan riparian lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Spesies kupu-kupu yang hanya ditemukan dalam pemanfaatan lahan hutan adalah spesies yang menutup habitat dan jauh dari gangguan manusia. Terdapat dua spesies berada dalam daftar merah IUCN (Iucn 2006) ditemukan di lanskap Bukit Duabelas, yaitu: T. brookiana dan T. amphrysus. Kedua spesies ditemukan di lanskap Bukit Duabelas yang berada di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas. 59

Tanaman inang untuk T. brookiana dan T. amphrysus adalah Aristholochia spp. (Parsons 1999). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kupu-kupu dapat hidup dalam berbagai penggunaan lahan. Hutan dan penggunaan lahan pertanian dapat menjadi habitat kupu-kupu jika ada konektivitas antara habitat dan integrasi yang dikelola dengan konsep konservasi keanekaragaman hayati (Teuscher et al. 2016). Penggunaan lahan pertanian juga bisa menjadi habitat kupu-kupu jika penggunaan lahan dikelola dengan cara yang ramah lingkungan, misalnya dengan tidak menyemprotkan pestisida dan herbisida (Gerard et al. 2017).

Simpulan

Hutan adalah ekosistem yang kompleks dan mendukung keanekaragaman kupu-kupu yang tinggi. Penggunaan lahan yang berbeda dapat mendukung kehidupan keanekaragaman kupu-kupu. Lahan pertanian dapat mendukung kehidupan keanekaragaman kupu-kupu jika dikelola secara ramah lingkungan. Penggunaan perangkap buah pisang dan nenas dapat digunakan untuk menangkap spesies kupu-kupu dari famili Nymphalidae yang terbang tinggi untuk memaksimalkan data penelitian.

4 IDENTIFIKASI KUPU-KUPU Arhopala spp. (LYCAENIDAE: THECLINAE) DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI BERDASARKAN MORFOLOGI DAN GEN mtCO1

Abstrak

Genus Arhopala diperkirakan terdiri atas sekitar 200 spesies yang telah diidentifikasi di dunia. Arhopala juga merupakan kelompok spesies kriptik yang memiliki kesamaan secara morfologis walaupun secara genetik berbeda antar spesies. Hal ini dipengaruhi oleh wilayah geografis yang beragam dan terisolasi, sehingga memungkinkan untuk membentuk variasi dalam ekspresi ekotipik pada spesies Arhopala. Isolasi geografis yang terjadi di Indonesia juga menyebabkan endemisitas spesies yang tinggi. Tingginya variasi ekspresi morfologis pada sayap kupu-kupu membuatnya sulit bagi para ahli untuk mengidentifikasi secara morfologis. Dengan demikian analisis molekuler diperlukan untuk mendukung identifikasi secara morfologis. Proses ekstraksi mengacu pada Megens et al. (2004a) dan Takáts dan Mølgaard (2015) yang dimodifikasi. Produk PCR yang mengandung DNA akan diurutkan untuk menentukan pengaturan dasar nukleotida dari fragmen sampel kupu-kupu. Hasil urutan DNA terdiri atas urutan forward dan reverse, kemudian proses countig dilakukan dengan Urutan CLC. Hasil nukleotida kemudian dianalisis dengan menyelaraskan dengan urutan nukleotida serangga lain yang ada dalam GenBank. Proses analisis filogeni dilakukan menggunakan perangkat lunak MEGA (v.7.0) menggunakan metode Neighbor- Joining dengan 1.000 bootstrap. Identifikasi morfologis berdasarkan saling mendukung dengan identifikasi molekuler. Spesies kupu-kupu yang diidentifikasi secara morfologi dan gen mtCO1 adalah 5 spesies, yaitu A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Kata kunci: Arhopala, gen mtCO1, spesies kriptik, Sumatera

Abstract

The Arhopala genus is estimated to consist of around 200 species that have been identified in the world. Arhopala is also a group of cryptic species that have similarities morphologically even though they are genetically different between species. This is influenced by diverse and isolated geographical regions, making it possible to form variations in ecotypic expressions in Arhopala species. Geographic isolation that occurs in Indonesia also causes high endemicity of species. It is estimated that in the New Guinea region there are around 40 species of Arhopala that are endemic. The high variation of morphological expression on the butterfly wing makes it difficult for experts to identify morphologically. Thus molecular analysis is needed to support identification morphologically. The extraction process adopted at Megens et al. (2004a) and Takáts dan Mølgaard (2015) with modification. PCR products that contain DNA were sequenced to determine the nucleotide base arrangement of the butterfly sample fragments. The results of DNA sequences consist of forward and reverse sequences, then a

62

countig process are continued with the CLC Sequence. The nucleotide results have then been analyzed by aligning with other insect nucleotide sequences that have been published in GenBank. The phylogeny analysis process was carried out using MEGA (v.7.0) software using the Neighbor-Joining method with 1,000 bootstrap. Morphological identification based on mutual support with molecular identification. The butterfly species identified based on morfology and gen mtCO1 were 5 species, namely A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, and A. trogon. Keywords: Arhopala, cryptic species, mtCOI, Sumatera

Pendahuluan

Identifikasi kupu-kupu secara molekuler penting untuk mendukung identifikasi secara morfologi khususnya Arhopala spp. yang ditemukan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi. Arhopala spp. termasuk kelompok spesies kriptik, yaitu kelompok spesies yang terlihat sangat mirip secara morfologi namun memiliki perbedaan secara genetik (Bickford et al. 2007). Spesies kriptik memiliki leluhur yang sama, dan mewarisi gen yang mirip dengan masing-masing spesies, kelompok spesies tersebut sering hidup di daerah yang sama atau geografis dan kondisi lingkungan yang sama. Spesies kriptik merupakan spesies yang telah menjadi sukses secara evolusioner sehingga tidak segera berubah atau bermutasi (Bickford et al. 2007). Distribusi Arhopala berkisar dari Sri Lanka ke Jepang, dan dari Nepal selatan, di seluruh kepulauan di daerah tropis hingga Australia bagian urhodopis. Arhopala yang telah diidentifikasi terdapat sekitar 200 spesies di dunia (Megens et al. 2004b), dan terdapat 82 spesies yang terdapat di Indo-Malaya (Corbet 1946). Arhopala berperan sebagai oligophagus dan polyphagus. Selain itu, Arhopala memiliki hubungan simbiosis dengan semut yang terdapat pada tumbuhan Macaranga. Semut tinggal dan membangun sarang pada ranting Macaranga sedangkan Arhopala betina meletakkan telur pada daun Macaranga. Semut berperan melindungi larva Arhopala dari predator lainnya. Larva Arhopala memakan daun muda Macaranga dan juga menghasilkan sejenis embun madu yang dibutuhkan oleh semut (Maschwitz et al. 1984; Hill 1993). Arhopala merupakan salah satu genus kupu-kupu dengan jumlah spesies terbanyak (sekitar 200 spesies) dibandingkan dengan genus yang lainnya. Arhopala spp. juga memiliki subspesies yang banyak, yang dipengaruhi oleh wilayah geografis yang dipisahkan oleh lautan sehingga terbentuk variasi ekotipik akibat isolasi geografis yang tidak pernah bersatu hingga sekarang (Megens et al. 2004b). Kupu-kupu Arhopala spp. merupakan salah satu genus dari famili Lycaenidae yang memiliki corak warna sayap yang hampir sama, sehingga diperlukan ketelitian yang tinggi untuk mengidentifikasi perbedaan karakter morfologi sayap (Megens et al. 2004b). Morfologi Arhopala sangat seragam, yang mengakibatkan kesulitan membagi genus menjadi spesies dengan cara yang tepat. Awalnya genus Arhopala dimasukkan ke dalam genus Amblypodia, namun dilakukan revisi pertama dari seluruh genus dan mengelompokkan Arhopala berdasarkan bentuk sel sayap belakang, bentuk bintik-bintik di bagian sayap bawah dan bentuk genital jantan spesies yang memiliki bentuk sama dikelompokkan menjadi genus Arhopala (Megens et al. 2004b). Namun 63

pengelompokkan ini kurang konsisten, karena beberapa spesies seperti Arhopala centaurus dan Arhopala hercules menjadi kelompok yang berbeda karena memiliki ekor pada sayap belakang (Megens et al. 2004b). Kedekatan Arhopala dengan genus Flos juga menjadi perdebatan namun kedua genus tersebut akhirnya dipisahkan karena Flos tidak memiliki makula pada sayap bawah dan bentuk genitalia jantan berbeda dengan genus Arhopala (Megens et al. 2004b). Biasanya sayap jantan Arhopala bagian atas berwarna biru berkilau terang ke biru violet dengan tepi hitam lurus (Corbet 1946). Betina memiliki warna violet biru yang sedikit lebih buram dan margin hitam tidak beraturan dan lebar pada sayap atas. Bagian sayap bawah berwarna coklat dengan tanda-tanda coklat gelap yang terdapat pada banyak spesies. Meskipun ada beberapa pengecualian yang mencolok, misalnya, pada jantan memiliki tanda hijau di sisi atas sayap atau di bagian bawah biasa gelap atau tidak ada (Corbet 1946; D‟Abrera 1990; Parsons 1999). Meskipun karakter morfologi dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies, namun perlu dilengkapi dengan karakter genetik untuk memastikan identifikasi dengan tepat. Identifikasi secara molekuler dapat dilakukan dengan mengamplifikasi fragmen gen cytochrome oxidase subunit 1 (mtCO1) pada DNA mitokondria (mtDNA) dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Gen mtCO1 digunakan karena fragmen tersebut tidak mengalami subtitusi asam amino walaupun dapat terjadi mutasi silent yaitu mutasi yang tidak mengubah asam amino, serta memiliki sedikit perbedaan basa nukleotida (Zein & Prawiradilaga 2013). Dengan demikian fragmen mtCO1 dapat digunakan untuk merekonstruksi keanekaragaman filogenetik pada cabang evolusi di bawah spesies serangga.

Rumusan Masalah

Genus Arhopala diperkirakan terdiri atas sekitar 200 spesies yang telah teridentifikasi di dunia. Arhopala juga merupakan kelompok spesies kriptik yang memiliki kemiripan secara morfologi walaupun secara genetik berbeda antar spesies. Hal ini dipengaruhi oleh wilayah geografis yang beragam dan terisolasi sehingga memungkinkan untuk membentuk variasi ekspresi ekotipik pada spesies Arhopala. Isolasi geografis yang terjadi di Indonesia juga dapat menyebabkan tingginya endemisitas spesies. Diperkirakan terdapat sekitar 40 spesies Arhopala yang endemik di wilayah New Guinea. Tingginya variasi ekpresi morfologi pada sayap kupu-kupu membuat para ahli kesulitan untuk mengidentifikasi secara morfologi. Dengan demikian diperlukan analisis molekuler untuk mendukung identifikasi secara morfologi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakter kupu-kupu dari spesies kriptik Arhopala spp. (Lycaenidae: Theclinae) berdasarkan karakter morfologi dan molekuler berdasarkan gen mtCO1 yang didapatkan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Sumatera.

64

Metode

Sampel Arhopala spp. yang telah dikoleksi dari lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan diidentifikasi secara molekuler di Laboratorium Virologi Tumbuhan Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober 2018.

Metode Penelitian

Preparasi Sampel Kupu-kupu Sampel Arhopala spp. dikoleksi dari empat tipe penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi. Identifikasi berdasarkan morfologi digunakan sampel kering yang disimpan di dalam amplop spesimen. Sampel basah digunakan untuk identifikasi berdasarkan gen mtCO1. Sampel terdiri atas bagian tubuh imago (bagian toraks atau tungkai) yang dikoleksi di dalam botol sampel 50 ml yang berisi alkohol 98 %. Identifikasi Kupu-kupu Berdasarkan Karakter Morfologi Kupu-kupu Arhopala spp. diidentifikasi dengan menggunakan karakter morfologi. Karakter yang digunakan adalah berdasarkan pola warna, venasi sayap, dan pola alat reproduksi genital pada imago. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku panduan yang memuat spesies Arhopala spp. (Lampiran 3), yaitu: Seki et al. (1991) dan D‟Abrera (1990). Identifikasi juga dilakukan dengan melihat atau mencocokkan sampel dengan koleksi acuan yang terdapat di laboratorium Entomologi Bidang Zoologi LIPI Cibinong. Identifikasi Kupu-kupu Berdasarkan Karakter Molekuler Ekstraksi DNA Total. Proses ekstraksi mengacu pada Megens et al. (2004a) dan Takáts dan Mølgaard (2015) yang dimodifikasi. Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengambil toraks atau dua buah tungkai dan 100µl buffer ekstraksi CTAB dan digerus dengan menggunakan proteinase K, lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 56 oC. Selanjutnya ditambahkan 100 µl kloroform, isoamil alcohol (24:1), dikocok selama 3 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Supernatant yang tersisa 60 µl dipindahkan ke tabung yang baru dan ditambahkan 6 µl potassium asetat (CH3COOK 3M Ph 4), kemudian ditambahkan isopropanol sebanyak 44 µl dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu -20 oC. Langkah selanjutnya, tabung disentrifugasi lagi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dibuang. Pellet dicuci dengan 100 µl etanol 80% dan disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm selama 1 menit dan tersisa supernatant dan pellet, supernatant dibuang lagi sehingga yang tersisa pellet, kemudian dikeringanginkan pada suhu ruangan selanjutnya ditambah TE 20 µl. Amplifikasi DNA. PCR dilakukan dengan volume total 25 µl, yang terdiri atas Redmix 12,5 µl, MgCl2 0,25 µl, ddH2O 9,25 µl, forward primer 1,00 µl, reverse primer 1,00 µl, dan templatt DNA 1.00 µl. Selanjutnya merujuk kepada Takáts dan Mølgaard (2015) menggunakan primer spesifik LepF1 (5‟-ATT CAA CCA ATC ATA AAG ATA TTG G-3‟) dan LepR1 (5‟-TAA ACT TCT GGA TGT CCA AAA AAT CA-3‟) dapat mengamplifikasi sampel DNA pada 679-715 65

bp. Amplifikasi dilakukan dengan: denaturasi inisiasi selama 3 menit 94 oC, 35 siklus, denaturasi pada 30 detik 94 oC, penempelan primer selama 30 detik pada 49 oC, pemanjangan selama 1 menit pada suhu 72 oC; dan pemanjangan terakhir selama 5 menit pada suhu 72 oC. Visualisasi hasil PCR. Visualisasi dilakukan dengan elektroforesis gel agarose 1,5%. Gel agarose dibuat dengan mencampurkan 0,3 gr powder agarose ke dalam 30 ml TBE 0,5%. Kemudian larutan dipanaskan dengan menggunakan microwave selama 2 menit pada kondisi suhu medium. Selanjutnya larutan gel agarose didinginkan hingga hangat kuku, lalu ditambahkan 0,5 µl Gel Red Nucleic Acid stain, kemudian diaduk hingga rata. Selanjutnya larutan dituang ke dalam cetakan dan didinginkan dengan suhu ruang hingga berbentuk gel yang padat. Langkah selanjutnya, gel agarose dimasukkan ke dalam mesin elektroforesis. Kemudian 0,5 µl marker Gen roller 1 kb, dan 0,5 µl DNA hasil PCR dimasukkan ke dalam masing- masing sumur gel. Selanjutnya eletrovoresis dilakukan dengan voltase 50 V selama 50 menit. Selanjutnya gel divisualisasi dengan sinar UV transiluminator dan difoto dengan kamera. Produk PCR yang telah mengandung DNA disekuens di Genetika science untuk mengetahui susunan basa nukleotida dari fragmen sampel kupu-kupu.

Analisis Data

Hasil sekuens DNA terdiri atas runutan forward dan reverse, selanjutnya dilakukan proses countig dengan perangkat lunak CLC Sequence Viewer (v.7.8.1) untuk mendapatkan satu runutan nukleotida. Hasil runutan nukleotida kemudian dianalisis dengan melakukan penyejajaran (alignment) dengan runutan nukleotida serangga lain yang ada dipublikasikan di GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov/blast) dengan bantuan program Basic Local Alignment Search Tools Nucleotide (BLAST- N). Data runutan nukleotida yang terpilih dianalisis dengan program multiple alignment, ClustalW dengan perangkat lunak Bioedit (v.7.2.5) untuk mengetahui nilai homologi masing-masing sampel, selanjutnya dibentuk matriks nukleotida dengan bantuan perangkat lunak ClustalX (v.2.1). Proses analisis filogeni dilakukan menggunakan perangkat lunak MEGA (v.7.0) dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1.000 kali.

Hasil dan Pembahasan

Spesies Arhopala spp. yang Ditemukan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jumlah spesies dari genus Arhopala yang ditemukan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan adalah sebanyak 5 spesies dan 76 individu. Spesies yang ditemukan yaitu: A. agesias, A. agesilaus, Arhopala paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Semua spesies dari Arhopala tersebar pada penggunaan lahan hutan, hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit riparian (Gambar 4.1). Arhopala spp. lebih banyak ditemukan hutan riparian (5 spesies) dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Menurut Corbet (1946), D‟Abrera (1990), dan Parsons (1999) Arhopala memiliki habitat hutan heterogen dan hutan sekunder. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusman (2015), Arhopala lebih banyak ditemukan pada hutan karet dan hutan pinus. A. agesias

66

ditemukan di hutan, hutan karet, hutan riparian dan kebun karet. A. agesilaus ditemukan di hutan, hutan karet, hutan riparian dan kebun sawit riparian. A. paraganesa ditemukan di hutan, hutan karet, hutan riparian, dan kebun karet riparian. A. pseudocentaurus dan A. trogon hanya ditemukan di hutan riparian.

Arhopala agesias 12 Arhopala agesilaus 10 Arhopala paraganesa

8 Arhopala pseudocentaurus 6 Arhopala trogon

Penggunaan 4 2 0 Hutan Hutan Hutan Kebun Kebun Kebun karet riparian sawit karet karet riparian riparian Fungsi lahan

Gambar 4.1 Kelimpahan individu Arhopala spp. yang ditemukan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi

Identifikasi Arhopala spp. Berdasarkan Morfologi dan Gen mtCO1 Jumlah spesies dari genus Arhopala yang diidentifikasi secara morfologi dan molekuler sebanyak 5 spesies, yaitu A. agesias, A. agesilaus, Arhopala paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Identifikasi morfologi dilakukan dengan melihat karakter sayap, yaitu: ukuran sayap, pola warna dan pola titik pada venasi sayap. Karakter morfologi lainnya adalah genitalia. Identifikasi molekuler dengan menggunakan gen mtCO1. Jumlah sampel yang di gunakan untuk analisis molekuler sebanyak 32 sampel, yaitu: A. paraganesa (10 individu), A. agesias (7 sampel), A. agesilaus (8 individu), A. pseudocentaurus (5 individu), dan A. trogon (2 individu sesuai jumlah sampel yang ditemukan di Jambi). Namun, jumlah sampel yang berhasil hingga tahap sekuensing sebanyak 11 sampel. Selanjutnya merujuk kepada Takáts dan Mølgaard (2015) menggunakan primer spesifik LepF1 (5‟-ATT CAA CCA ATC ATA AAG ATA TTG G-3‟) dan LepR1 (5‟-TAA ACT TCT GGA TGT CCA AAA AAT CA-3‟) dapat mengamplifikasi sampel DNA pada 679-715 bp (Gambar 4.1). Keberhasilan sekuensing DNA juga didasarkan pada proses ekstraksi, amplifikasi, dan primer yang digunakan. Penggunaan primer universal seperti HCO dan LCO pada saat penelitian kurang optimal. Menurut Wilson et al. (2013) juga menggunakan primer yang lebih spesifik seperti “Lep” sangat efisien dengan bahan segar (<3 thn). Hasil penyejajaran sekuens DNA dengan menggunakan program BLAST-N pada situs NCBI, didapatkan persentase kemiripin antara sampel F2 (94%), 7D (94,29%), 8D (96,74%), dan 10A (93%) dengan spesies A. paraganesa yang terdapat di Genbank. Sampel A1 (97,42%), Ga (97,8%), dan Gc (97,23%) menunjukkan persentase kemiripan dengan A. agesias yang terdapat di Genbank. 67

Sampel 12b (99,37%) dan 8A (98,33%) menunjukkan persentase kemiripan yang tinggi dengan A. agesilaus. Sampel 9A menunjukkan persentase kemiripan 93,21% dengan A. paraganesa. Namun, berdasarkan karakter morfologi menunjukkan perbedaan dengan A. paraganesa dan kemiripan morfologi dengan A. trogon (Seki et al. 1991). Data molekuler spesies A. trogon belum tersedia di Genbank dan rendahnya persentasi kemiripan dengan A. paraganesa, sehingga disimpulkan bahwa sampel 9A merupakan spesies A. trogon. Sampel 10A menunjukkan persentase kemiripan 93.96% dengan A. pseudocentaurus (Tabel 4.2).

F2 A1 8. 12b 7D 8D 9A 10A 14A Gr

750bp 6. 500bp Graphi 250bp

Gambar 4.2 Hasil visualisasi gen mtCO1 dengan primer LepF1 dan LepR1 dengan marker 1kb (thermo scientific US), (F2,7D, 8D,10A: sampel A. paraganesa), (A1, Ga, Gc: A. agesias), (8A, 12b: A. agesilaus), (9A) A. trogon, dan (14A) A. pseudocentaurus.

Tabel 4.1 Identifikasi sampel Arhopala spp. berdasarkan data NCBI BLASTn dan identitas matrix Kode Identifikasi Query Identitas kemiripan (Blast-n Sampel (morfologi sayap) cover (%) NCBI) (%) F2 A. paraganesa 98 94,00 A. paraganesa 7D A. paraganesa 98 94,29 A. paraganesa 8D A. paraganesa 94 96,74 A. paraganesa 9A A. trogon 99 93,21 A. paraganesa 10A A. paraganesa 98 92,80 A. paraganesa 8A A. agesilaus 93 98,00 A. agesilaus 12b A. agesilaus 90 99,37 A. agesilaus A1 A. agesias 93 97,42 A. agesias Ga A. agesias 90 97,80 A. agesias Gc A. agesias 92 97,23 A.agesias 14A A. pseudocentaurus 77 94,96 A. pseudocentaurus

Arhopala paraganesa. Distribusi A. paraganesa hingga saat ini baru diketahui di , Malay, Sumatera, Jawa, Palawan (Seki et al. 1991) dan di

68

India Timur (Bethune‐ Baker 1903). Ciri khas A. paraganesa secara morfologi berdasarkan venasi sayap, yaitu: panjang sayap sekitar: 32-35 mm. Sayap atas berwarna biru tua mulai dari pangkal sayap hingga marginal (tepi sayap). Sayap bawah memiliki warna dasar coklat muda dan terdapat bintik-bintik coklat tua yang kontras dengan warna dasar (Gambar 4.3). Pada bagian bawah sayap bawah bagian belakang terdapat dua titik berwarna biru muda dan bagian tengah terdapat pita hitam. Pada ujung sayap belakang juga terdapat papil. Alat kelaminnya cukup khas dari spesies ini dibandingkan yang lainnya, dengan valva yang agak lebih besar dari biasanya Arhopala; penis terlihat seperti ditekuk di bagian tengah.

Gambar 4.3 Sayap dan genitalia pada jantan A. paraganesa (a) sayap atas; (b) sayap bawah; (c) gambar genitalia; (d) gambar genitalia berdasarkan Bethune‐ Baker (1903).

Identifikasi sampel F2, 8D, 9A dan 10 A secara molekuler dilakukan dengan gen mtCO1. Hasil penyejajaran sekuens gen mtCO1 dengan data GenBank menggunakan program BLAST-N pada situs NCBI memiliki nilai persentase kemiripan berkisar antara 93-97% dengan A. paraganesa yang berasal dari . Hasil penyejajaran dengan menggunakan perangkat lunak Bioedit menunjukkan kemiripan sampel 8D 95%, 9A 93%, 10A 92% dan F2 93% dengan A. paraganesa (Tabel 4.3).

69

Tabel 4.2 Homologi sekuens gen mtCO1 Arhopala sampel 8D, 9A, 10A dan F2 Sequence Identity KT23 HQ96 KF22 Matrix 7D 8D 6371 9A 10A F2 2188 6296 ID 7D_Arhopala_Jambi 0,93 ID 8D_Arhopala_Jambi KT236371_ 0,94 0,96 ID Arhopala_paraganesa 0,91 0,92 0,93 ID 9A_Arhopala_Jambi 0,91 0,92 0,92 0,89 ID 10A_Arhopala_Jambi 0,92 0,93 0,94 0,92 0,91 ID F2_Arhopala_Jambi HQ962188_ 0,94 0,93 0,95 0,92 0,92 0,93 ID Arhopala_agesilaus KF226296_ 0,94 0,93 0,95 0,91 0,91 0,93 0,94 ID Arhopala_agesias AY235996_ 0,39 0,39 0,39 0,39 0,38 0,38 0,39 0,40 Surendra_vivarna

Hasil penyusunan pohon filogeni dengan menggunakan dengan metode Neighbor-Joining menujukkan sampel F2, 7D, 8D, 9A, dan 10A satu cabang dengan A. paraganesa dari China (Gambar 4.4). Sampel F2, 7D, 8D dan 10A, berdasarkan kemiripan morfologi sayap dan genitalia lebih mirip dengan A. paraganesa. Sampel 9A berdasarkan ciri morfologi jauh berbeda dengan A. paraganesa, namun lebih mirip dengan A. trogon. Walaupun nilai matriks identitas menunjukkan 93% namun tidak satu cabang dengan A. paraganesa.

Gambar 4.4 Filogeni sampel 7D, 8D, 9A, 10A, dan F2 menggunakan perangkat lunak MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x

70

Arhopala trogon. Distribusi A. trogon ditemukan di Borneo, Malay, Singapura dan Sumatera (Seki et al. 1991). Panjang rentang sayap sekitar 38 mm. Spesies ini dapat langsung dibedakan karena memiliki sayap atas warna hijau metalik yang tidak terdapat pada sampel spesies lainnya (Gambar 4.5). Warna sayap bawah coklat muda, terdapat pita melintang hingga tepi sayap atas bagian depan. Baris submersinal terlihat sempit sepanjang pita melintang. Pada baris median terdapat bintik sel. Spot basal kostal terlihat memudar. Belum banyak informasi anatomi genitalia dan data DNA dari spesies A.trogon, sehingga sulit untuk membandingkannya secara molekuler dan identifikasi berdasarkan organ genitalianya.

Gambar 4.5 Sayap dan genitalia pada jantan A. trogon (a) sayap atas; (b) sayap bawah; (c) gambar genitalia

Identifikasi sampel 9A yang di duga A. trogon secara molekuler dilakukan dengan gen mtCO1. Hasil penyejajaran sequens gen mtCO1 dengan data GenBank menggunakan program BLAST-N pada situs NCBI memiliki nilai persentase kemiripan 94% dengan A. paraganesa yang berasal dari China. Data A. trogon belum ada pada situs Gen Bank. Hasil penyejajaran dengan menggunakan perangkat lunak Bioedit menunjukkan sampel 9A memiliki kemiripan 93% dengan A. paraganesa (Tabel 4 2). Namun secara morfologi memiliki perbedaan. Hasil penyusunan pohon filogeni dengan menggunakan dengan metoge UPGMA menujukkan sampel 9A tidak satu cabang dengan A. paraganesa dari China (Gambar 4.4). Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang terdapat antara A. trogon dan A. paraganesa juga berbeda (Gambar 4.5). Dengan demikian belum bisa dipastikan sampel 9A merupakan A. paraganesa. 71

Arhopala agesias. Distribusi A. agesias berada di Borneo, Malaka, Singkep, Philipina dan Sumatera (Bethune-Baker 1903; Seki et al. 1991). Panjang sayap berkisar antara 35-41 mm. Warna sayap kupu-kupu jantan memiliki variasi warna dengan bintik-bintik sayap yang banyak. Warna sayap atas ada yang biru hingga menjadi ungu. Warna sayap jantan dan betina persis sama. Sayap bagian bawah semuanya coklat dengan margin internal lebih pucat. Diskoseluler bintik-bintik tiga dengan jarak yang agak jauh, coklat tua, dikelilingi oleh abu-abu, bertambah besar dan yang terakhir tidak menutup sel. Pita transversal dari kosta ke saraf median bawah dibatasi pada setiap sisi dengan abu-abu. Band submarginal berbeda tetapi tidak jelas dengan posterior agak lebar. Pada sayap terdapat 3 bintik gelap basal kecil dikelilingi dengan pucat di bawahnya satu sama lain. Pada submarginal terdapat bintik-bintik warna biru dan dibawahnya bintik hitam. Marginnya berwarna abu-abu yang halus yang merupakan perbatasan dengan abdomen. Alat kelaminnya khas; tegumen kecil dengan jepit yang sangat luas, jepit panjang, dengan garis melambai, dan penis bengkok seperempat dari lubang (Gambar 4.6).

Gambar 4.6 Sayap dan genitalia pada jantan A. agesias (a) sayap atas; (b) sayap bawah; (c) gambar genitalia; (d) gambar genitalia berdasarkan Bethune‐ Baker (1903).

Identifikasi sampel A1, Ga, dan Gc secara molekuler dilakukan dengan gen mtCO1. Hasil penyejajaran sequens gen mtCO1 dengan data GenBank menggunakan program BLAST-N pada situs NCBI memiliki nilai persentase 97% kemiripan dengan A. agesias. Hasil penyejajaran dengan menggunakan perangkat lunak Bioedit menunjukkan kemiripan sampel A1 97%, Ga 96%, dan Gc 96% dengan A.agesias (Tabel 4.3).

72

Tabel 4.3 Homologi sekuens gen mtCO1 Arhopala sampel Gc, Ga dan A1 KT23 HQ96 KF22 Sequence Identity Matrix Gc Ga A1 6371 2188 6296 Gc_Arhopala_Jambi ID Ga_Arhopala_Jambi 0,97 ID A1_Arhopala_Jambi 0,98 0,98 ID KT236371_Arhopala_paraganesa 0,94 0,94 0,94 ID HQ962188_Arhopala_agesilaus 0,93 0,94 0,94 0,95 ID KF226296_Arhopala_agesias 0,96 0,96 0,97 0,95 0,94 ID AY235996_Surendra_vivarna 0,39 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40

Hasil penyususnan pohon filogeni dengan menggunakan dengan metode Neighbor-Joining menujukkan sampel Gc, Ga, dan A1 satu cabang dengan A. agesias (Gambar 4.7). Hal ini di dukung dengan identifikasi berdasarkan morfologi sayap dengan anatomi genitalia yang mirip dengan A. agesias.

Gambar 4.7 Filogeni sampel Gc, Ga dan A1 menggunakan perangkat lunak MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1 000x

Arhopala agesilaus. Distribusi A. agesilaus berada di Palawan, Sumatera, Mindano, Kalimantan, Malaka (Bethune‐ Baker 1903). Panjang sayap berkisar antara 27-37 mm. Deskripsi sayap jantan, ukuran sayapnya lebih kecil dibandingkan dengan A. philander. Sayap atas berwarna biru pada bagian median dan bagian margin hitam ke arah coklat (Gambar 4.8). Sayap bagian bawah semuanya coklat dengan margin internal lebih pucat. Diskoseluler bintik-bintik tiga yang halus, coklat tua, dikelilingi oleh abu-abu. Pita transversal dari kosta ke saraf median bawah, semakin menyempit dan dibatasi pada setiap sisi dengan abu-abu. Band submarginal berbeda tetapi tidak jelas dengan posterior sempit. Pada sayap terdapat empat bintik gelap basal kecil dikelilingi dengan pucat di 73

bawahnya satu sama lain. Pada submarginal terdapat bintik-bintik warna biru dan dibawahnya bintik hitam. Marginnya berwarna abu-abu yang merupakan perbatasan dengan abdomen. Alat kelaminnya kecil, kaitnya memiliki kecenderungan ke atas, dan penis lurus, dengan lubang berbentuk terompet.

Gambar 4.8 Sayap dan genitalia pada jantan A. agesilaus (a) sayap atas; (b) sayap bawah; (c) gambar genitalia; (d) gambar genitalia berdasarkan Bethune‐ Baker (1903).

Identifikasi sampel 12b dan 8A secara molekuler dilakukan dengan gen mtCO1. Hasil penyejajaran sekuens gen mtCO1 dengan data GenBank menggunakan program BLAST-N pada situs NCBI memiliki nilai persentase 98% kemiripan dengan A. agesilaus. Hasil penyejajaran dengan menggunakan perangkat lunak Bioedit menunjukkan kemiripan sampel 12b 98% dan 8A 98% juga dengan A.agesilaus (Tabel 4.4). Tabel 4.4 Homologi sekuens gen mtCO1 Arhopala sampel 12b dan 8A HQ96 KT23 KF22 AY23 Sequence Identity Matrix 12b 8A 2188 6371 6296 5967 12b_Arhopala_Jambi ID 8A_Arhopala_Jambi 1 ID HQ962188_Arhopala_agesilaus 0,99 0,98 ID KT236371_Arhopala_paraganesa 0,95 0,95 0,954 ID KF226296_Arhopala_agesias 0,95 0,94 0,947 1 ID AY235967_Arhopala_labuana 0,38 0,38 0,383 0,4 0,39 ID AY235996_Surendra_vivarna 0,39 0,38 0,386 0,4 0,39 0,89

Hasil penyusunan pohon filogeni dengan menggunakan dengan metode Neighbor-Joining menujukkan sampel 12b dan 8A satu cabang dengan A.

74

agesilaus (Gambar 4.9). Hal ini di dukung dengan identifikasi berdasarkan morfologi sayap dengan anatomi genitalia yang mirip dengan A. agesilaus.

Gambar 4.9 Filogeni sampel 12b dan 8A menggunakan perangkat lunak MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x

Arhopala pseudocentaurus. Distribusi A. pseudocentaurus yang sudah diketahui berasal dari , , Burma, Malaya, Singapura, Sumatera, dan Belitung (Bethune-Baker 1903; Seki et al. 1991). Panjang sayap untuk jantan dan betina sekitar 26-30 mm. Kedua sayap atas pada jantan terlihat terang keunguan- biru, kusam di sisi cahaya (Gambar 4.10). Bagian primer dengan costa hitam sempit dan margin posterior yang luas. Bagian sekunder dengan titik di setiap sisi ekor, yang berwarna hitam, agak panjang dan berujung dengan putih. Bawah coklat pucat, dengan ungu muda pucat, dengan bintik-bintik gelap berbintik pucat. Pada costa ada dua titik kecil, satu di atas yang ketiga dan yang lain lebih dekat ke titik sel kedua.

75

Gambar 4.10 Sayap dan genitalia pada jantan A. pseudocentaurus (a) sayap atas; (b) sayap bawah; (c) gambar genitalia

Identifikasi sampel 14A secara molekuler dilakukan dengan gen mtCO1. Hasil penyejajaran sequens gen mtCO1 dengan data GenBank menggunakan program BLAST-N pada situs NCBI memiliki nilai persentase 94% kemiripan dengan A. pseudocentaurus. Hasil penyejajaran dengan menggunakan perangkat lunak Bioedit menunjukkan kemiripan sampel 14A 94% dengan A. pseudocentaurus (Tabel 4.5). Tabel 4.5 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 14A 14A_ HQ96 KF22 KF22 KU18 AY23 Sequence Identity Matrix COI 2188 6297 6296 9172 5996 14A_COI_Arhopala_Jambi ID HQ962188_Arhopala_agesilaus 0,92 ID KF226297_Arhopala_allata 0,91 0,96 ID KF226296_Arhopala_agesias 0,92 0,95 0,965 ID KU189172_Arhopala_hercules 0,91 0,92 0,917 0,9 ID AY235996_Surendra_vivarna 0,33 0,34 0,341 0,3 0,33 ID KU189181_Arhopala_ pseudocentaurus 0,94 0,93 0,933 0,9 0,93 0,34

Hasil penyusunan pohon filogeni dengan menggunakan dengan metode Neighbor-Joining menujukkan sampel 14A satu cabang dengan A. pseudocentaurus (Gambar 4.11). Hal ini di dukung dengan identifikasi berdasarkan morfologi sayap dengan anatomi genitalia yang mirip dengan A. pseudocentaurus.

76

Gambar 4.11 Filogeni sampel 14A menggunakan perangkat lunak MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1.000x

Arhopala spp. merupakan kelompok spesies kriptik yang sulit dibedakan berdasarkan karakter morfologi. Spesies Arhopala di Indo-Malaya (termasuk Malaya, Sumatera dan Kalimantan) pada dasarnya banyak ditemukan di dataran rendah dan bukan pegunungan (Corbet 1946; Seki et al. 1991). Penelitian yang dilakukan berada pada darhodopisn rendah di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan yang merupakan bagian dari wilayah Sumatera. Spesies yang ditemukan tersebar pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan sebanyak 5 spesies, yaitu A. paraganesa, A. agesias, A. agesilaus, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Arhopala sebagai spesies kriptik sulit dibedakan untuk beberapa spesies secara morfologi sehingga dilakukan identifikasi molekuler dengan menggunakan DNA Mitokondria Citochrome-1. Penelitian identifikasi dengan menggunakan molekuler DNA mitokondria menunjukkan nilai dalam memastikan nama spesies. DNA mitokondria semakin banyak digunakan sebagai alat identifikasi taksonomi tambahan dalam survei Lepidoptera terutama spesies kriptik yang sulit untuk dibedakan secara morfologi. Selain itu, analisis DNA juga dapat mengungkapkan sejarah konsep taksonomi dan mengekspos unit penting keanekaragaman hayati (Wilson et al. 2013). Data DNA per spesies jumlahnya di perpustakaan referensi akan meningkat. Analisis filogeni yang digunakan adalah dengan metode Neighbor-Joining. Kerangka evolusi atau filogeni dapat disimpulkan menggunakan sejumlah pendekatan analisis (Goldsmith & Marec 2009). Analisis filogenetik menggunakan serangkaian karakter yang dapat diwariskan dan independen, seperti urutan molekuler (mis. DNA, RNA, dan asam amino), fenotipik (misalnya, struktur morfologi, alozim), dan sifat perkembangan (misalnya, tahapan ontogenetik atau jalur) untuk menyimpulkan hubungan evolusi antara organisme 77

tersebut (Goldsmith & Marec 2009). Filogenetik juga menyajikan sarana untuk merekonstruksi keadaan karakter leluhur dan dapat memberikan wawasan tentang polaritas karakter dan homologi organisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ke-5 spesies yang ditemukan merupakan berhubungan dengan dekat dengan kelompok Arhopala lainnya.

Simpulan

Identifikasi berdasarkan morfologi saling mendukung dengan identifikasi secara molekuler. Spesies kupu-kupu yang diidentifikasi berdasarkan morfologi dan gen mtCO1 terdapat 5 spesies, yaitu A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Keterbatasan informasi yang tersedia tentang spesies Arhopala menjadi kendala untuk identifikasi secara morfologi dan molekuler.

79

5 FRAGMENTASI HABITAT DAN PENGARUHNYA PADA STRUKTUR DAN KOMPOSISI KUPU-KUPU DI DALAM “PULAU-PULAU EKOLOGIS” (ECOLOGICAL ISLANDS) DI JAMBI, SUMATERA

Abstrak

Penelitian yang dilakukan di Plot Percobaan Pengayaan Keanekaragaman Hayati (BEEP) di PT. Humusindo Jambi adalah untuk mengkaji pengaruh fragmentasi habitat pada struktur dan komposisi kupu-kupu pada “pulau-pulau ekologis” atau plot BEEP. Percobaan dilakukan dengan mengamati plot dari berbagai ukuran yang ditanami berbagai tanaman perkebunan. Tanaman perkebunan ditanam di antara kelapa sawit dan tidak dilakukan penyemprotan herbisida dan pestisida. Tujuan dari penanaman tanaman perkebunan adalah untuk menemukan tanaman yang dapat disatukan dengan kelapa sawit dan tanaman tersebut juga berguna secara ekonomi. Manfaat uji coba BEEP diharapkan menjadi habitat bagi tanaman dan hewan, termasuk kupu-kupu, sebagai sumber pendapatan yang beragam dan memberikan manfaat tidak langsung bagi manusia karena keanekaragaman tanaman yang dapat mengendalikan hama secara alami. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keanekaragaman kupu-kupu dengan “pulau-pulau ekologis” di Plot BEEP di perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan pada Agustus- Oktober 2018. Penelitian ini dilakukan di Plot BEEP yang terdapat di perkebunan kelapa sawit PT. Humusindo Bungku, Jambi, Sumatera. Plot pengamatan memiliki ukuran 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, dan 40m x 40m dengan masing-masing plot 4 plot (3 plot perlakuan dan 1 plot kontrol). Jumlah spesies kupu-kupu yang diidentifikasi dari plot pengamatan sebanyak 54 spesies dan 4.379 individu. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan dalam plot 10m x 10m (H‟=2,15). Nilai indeks Simpson berkisar 0,74 - 0,79, ini menunjukkan bahwa komunitas kupu-kupu di semua jenis ukuran plot kompleks. Nilai Evenness adalah 0,17 - 0,27, ini menunjukkan bahwa nilai Evenness spesies dalam perlakuan plot rendah. Spesies yang memiliki jumlah populasi tertinggi adalah Ypthima horsfieldii (555 individu) pada plot perlakuan 40m x 40m. Komposisi spesies kupu-kupu yang ditemukan di setiap ukuran plot berbeda-beda. Analisis korelasi antara ukuran plot dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu kupu-kupu serta vegetasi menunjukkan adanya korelasi positif. Semakin luas ukuran plot maka semakin tinggi kekayaan spesies dan kelimpahan individu kupu- kupu dan vegetasi yang terdapat di dalam plot. Kata Kunci: BEEP, kupu-kupu, kebun sawit, “pulau-pulau ekologis”

Abstract

Research was carried out in the Biodiversity Enrichment Experiment Plot (BEEP) at PT. Humusindo Jambi is to study the effect of habitat fragmentation on the structure and composition of butterflies on islands or BEEP plots. The experiment was carried out by observing plots of various sizes planted with various plantation

80

crops. Plantation crops are planted between oil palms and no spraying of herbicides and pesticides is carried out. The purpose of planting plantation crops is to find plants that can be integrated with oil palm and these plants are also economically useful. The benefits of the BEEP trial are expected to be a habitat for plants and , including butterflies, as a diverse source of income and provide indirect benefits for humans because of the diversity of plants that can control pests naturally. This aims of this study is to measure the diversity of butterflies in different patche sizes (dubbed ecological islands) in the BEEP plots within a matrix of oil palm plantations. This research was conducted from August-October 2018 and was carried out in the BEEP plots located at PT. Humusindo Bungku, Jambi, Sumatera. The observation plots sizes were 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, and 40m x 40m with 4 plots each (3 treatment plots and 1 control plot). Altogether, the number of butterfly species identified from the BEEP plot was 54 species from 4,379 individuals. The highest diversity index value was found in a 10m x 10m plot (Hˈ=2.15). The Simpson index value between 0.74 – 0.79, this shows that the butterfly community in all tipes of plot sizes was complex. The Evenness Index value are 0.17 – 0.27, this shows that the Evenness value of the species in the treatment plot was low. The species that has the highest population number are Ypthima horsfieldii (555 individuals) in the 40m x 40m treatment plot. The composition of butterfly species found in each plot size was different. Correlation analysis between plots size and species richness and abundance of individual butterflies and vegetation showed positive correlation. The larger the plot size, the higher the species richness and abundance of individual butterflies and vegetation in the plot. Keywords: BEEP, butterfly, ecological islands, oil palm plantations.

Pendahuluan

Perubahan tata guna lahan telah mengubah struktur dankomposisi lanskap. Kawasan hutan alami yang tadinya mencakup luasan ratusan ribu hektar, telah terfragmetnasi menjadi pecahan-pecahan atau sisa-sisa habitat alami di tengah- tengah kawasan pertanian (matrix) buatan manusia, seperti kebun sawit dan hutan tanam industri (HTI). Perubahan lanskap ini menyebabkan gangguan-gangguan pada keberadaan keanakeragamana hayati berbagai satwa di kawasn tersebut. Kupu-kupu adalah salah satu kompoonen dari ekosistem yang terpengaruh akibat perubahan tata guna lahan ini. Sebagai konssekuensi dari perubahan tata guna lahan, telah muncul kantong-kantong ekologis sebagai dampak dari terpecahnya (terfragemnetasinya) kawasan hutan yang tadinya merupakan matriks di sebuah lanskap. Pulau-pulau ekologis di antara lautan habitat buatan (sawit dan akasia) merupakan tempat atau habitat yang penting bagi kehidupan berbagai satwa, antara lain kupu-kupu. Ekosistem hutan merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan heterogen. Ketika hutan dikonversi menjadi lahan perkebunan yang homogen (misalnya lahan perkebunan kelapa sawit) maka akan terjadi perubahan struktur komunitas yang drastis. Perubahan yang terjadi adalah menurunnya keanekaragaman spesies bahkan hilangnya dan punahnya spesies endemik (Laurance 2007). Kenaekaragaman kupu-kupu di „pulau-pulau ekologis yang berada di tengah matrix pertanian (seperti sawit) dapat dengan teori biogeografi kepulauan 81

(MacArthur & Wilson 2001). Menurut teori biogeografi kepulauan, menyebutkan bahwa ukuran pulau dan jarak pulau dari sumber keanekaragaman akan berpengaruh terhadap proses imigrasi dan kematian di dalam pulau. Semakin luas ukuran suatu pulau, maka kekayaan spesies yang terdapat di dalamnya juga akan semakin tinggi (MacArthur & Wilson 2001). Hal ini dikarenakan peluang suatu organisme mengubah lingkungannya sendiri (niche) semakin tinggi. Jauhnya jarak suatu pulau dari sumber keanekaragaman, maka akan menjadi hambatan bagi spesies tertentu untuk melakukan migrasi ke pulau tersebut, hanya spesies yang memiliki mobilisasi yang tinggi yang dapat melakukan migrasi (Hubbell 2005). Sebaliknya, semakin dekat pulau semakin mudah terjadi migrasi dari sumber keanekaragaman hayati ke pulau tersebut. Namun, semakin kecil pulau, maka peluang kepunahan akan semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena terbatasnya sumber daya yang ada di pulau maupun karena kompetisi maupun random effect. Menurut Lomolino (2000), kekayaan spesies pada suatu pulau juga dipengaruhi oleh karakteristik pulau yang lain. Karakteristik pulau akan memengaruhi migrasi, kepunahan, spesiasi, dan keberadaan spesies endemik di suatu pulau atau wilayah tertentu (Lomolino 2000). Teori biogeografi pulau ini menjadi menarik untuk diterapkan dalam pemahaman fragmentasi habitat. Penanaman spesies-spesies pohon lain di antara kebun sawit menyebabkan terbentuknya „pulau-pulau ekologis” di antara matrix monokultur sawit yang sekaligus juga dapat menjadi langkah konservasi sumberdaya hayati lokal (Teuscher et al. 2016). Pohon-pohon yang di tanam akan membentuk seperti suatu pulau-pulau kecil yang membentuk mozaik-mozaik untuk memungkinkan hadirnya spesies-spesies lainnya di ekosistem tersebut, seperti: burung, reptil dan kupu-kupu. Pulau-pulau ekologis yang terdapat di antara kebun kelapa sawit akan lebih efektif dibandingkan dengan menanam pohon di hamparan lahan kosong atau padang rumput yang luas. Pulau-pulau pohon tersebut akan dapat memperkaya spesies pada lahan perkebunan kelapa sawit (Sodhi et al. 2010; Teuscher et al. 2016), termasuk spesies kupu-kupu. Langkah konservasi di lahan perkebunan dapat dilakukan dengan merancang heterogenitas habitat. Hal ini kemungkinan akan mengurangi dampak negatif lahan perkebunan (Teuscher et al. 2016). Heterogenitas habitat akan membantu menambah kelimpahan populasi pada habitat perkebunan (Sodhi et al. 2010; Teuscher et al. 2016). Heterogenitas habitat dapat dilakukan di antara kebun kelapa sawit untuk menjaga keseimbangan dan untuk memulai suksesi alami pada ekosistem. Beberapa pertanyaan kunci yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah pengaruh dari fragmentasi habitat ini terhadap komposisi dan keanekaragaman spesies?. Adakah spesies-spesies kunci yang kemudian hilang?. Apakah dampak dari ukuran-ukuran habiat terhadap keanekragaman kupu-kupu? Pertanyaan kunci ini penting untuk dipelajari agar dapat diketahahui pengaruh dari perubahan tata guna lahan terhadap konservasi kupu-kupu. Rumusan Masalah

Hutan Sumatera yang tersisa saat ini terancam oleh perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian. Perkebunan yang berkembang di Sumatera saat ini salah satunya adalah perkebunan kelapa sawit. Perubahan penggunaan lahan dapat mengubah struktur komunitas dan siklus rantai makanan yang terdapat pada ekosistem tersebut. Perubahan penggunaan hutan juga dapat mengakibatkan

82

kehilangan spesies yang rentan terhadap perubahan habitat pada daerah tersebut. Hilangnya spesies juga diakibatkan tingkat adaptasi yang rendah, rendahnya tingkat generatif dan spesifikasi pakan. Dengan demikan perlu adanya kajian ekologi pada berbagai lanskap untuk menentukan metode yang tepat untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan penggunaan hutan menjadi lahan perkebunan. Salah satu metode yang diterapkan adalah menyediakan habitat bagi spesies di antara perkebunan kelapa sawit. Untuk menjembatani masalah ini, CRC- EFForTS secara eksperimental membangun “pulau-pulau ekologis” dalam berbagai ukuran (5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, dan 40m x 40m) di dalam perkebunan kelapa sawit konvensional dan mengurangi kepadatan kelapa sawit di “pulau-pulau ekologis” ini dengan penjarangan. Pulau-pulau ekologis telah terbukti sebagai langkah yang hemat biaya untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan penggunaan ekosistem (Gérard et al. 2017). Membentuk “pulau-pulau ekologis” di antara lahan kebun sawit diharapkan dapat membantu mengembalikan dan memulihkan kondisi habitat flora dan fauna yang terdapat di dalam lanskap itu sebelumnya. Selain itu, juga diharapkan terjadi suksesi yang bertahap untuk melengkapi rantai makanan yang kompleks. Dengan menyediakan ruang yang memiliki variasi vegetasi yang tinggi diantara kebun sawit, diharapkan dapat menjadi rumah dan tempat mencari makan bagi spesies hewan lainnya termasuk kupu-kupu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh fragmentasi habitat pada struktur dan komposisi kupu-kupu serta keanekaragaman kupu-kupu pada “pulau-pulau ekologis” di beberapa ukuran plot pengamatan di dalam kebun sawit. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan pengaruh fragmentasi habitat terhadap keanekaragaman kupu-kupu. secara spesifik, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan baru mengenai pengaruh ukuran “patch” ataukah kekayaan spesies vegetasi yang lebih berpengaruh terhadap keanekaragaman kupu-kupu. Metode BEEP adalah sebuah metode baru yang dapat diterapkan di perkebunan untuk mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati.

Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Sepetember 2018. Plot pengamatan dilakukan di dalam plot Biodiversity Enrichment Experiment Plots (BEEP) atau percobaan pengayaan keanekaragaman hayati, yang terletak di 01,95° S dan 103,25° E di Provinsi Jambi, Sumatera dengan ketinggian plot eksperimental 47±11m dpl (Teuscher et al. 2016 ). Plot pengamatan di buat pada perkebunan kelapa sawit konvensional di Bungku Jambi. Luas plot 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, dan 40m x 40m dengan masing-masing plot sebanyak 3 plot (Gambar 5.1). Pada bulan Desember 2013, telah dilakukan penanaman pohon- 83

pohon untuk membuatkan “pulau-pulau ekologis” di perkebunan kelapa sawit dengan menanam satu hingga enam spesies pohon serba guna yang berasal dari Sumatera. Spesies pohon yang dipilih ini asli dari Sumatera dan karenanya bermanfaat bagi ekosistem lokal, dan juga dipilih berdasarkan nilai ekonomisnya bagi populasi lokal. Tiga dari spesies pohon yang ditanam menghasilkan buah yang dapat dimakan (Fabaceae), Archidendron pauciflorum (Fabaceae), Durio zibethinus (Malvaceae), dua spesies yang menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi (Peronema canescens (Lamiaceae), Shorea leprosula (), dan satu spesies yang menghasilkan getah alam Dyera polyphylla (Apocynaceae). Preservasi dan identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB, Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi, LIPI, Cibinong. Selain ke enam spesies tersebut, terdapat berbagai gulma yang tumbuh di masing-masing plot dan penelitian ini juga mencatat spesies gulma yang ada di masing-masing ukuran plot.

A

B

Gambar 5.1 Sketsa plot pengamatan di antara kebun kelapa sawit di Jambi; A. Plot pengamatan yang terdapat di antara pohon kelapa sawit; B. Plot kontrol yaitu kebun kelapa sawit yang dibiarkan ditumbuhi semak dan tumbuhan lainnya tanpa penyemprotan pestisida; C. Plot perlakuan kelapa sawit yang ditanami tanaman asli Sumatera dan semak tanpa penyemprotan pestisida

84

Pengamatan dan pengambilan data kupu-kupu dilakukan dengan cara survei langsung di dalam plot pengamatan yang telah di tentukan di dalam area perkebunan kelapa sawit. Penelitian dilakukan pada 20 plot perlakukan dan 4 plot kontrol di Biodiversity Enrichment Experiment Plots (BEEP). Plot pengamatan terdiri atas: ukuran 5m x 5m terdapat 4 plot perlakuan dan 1 plot kontrol, ukuran 10m x 10m sebanyak 4 plot perlakuan dan 1 plot kontrol, plot ukuran 20m x 20m terdapat 4 plot perlakuan dan 1 plot kontrol, dan ukuran plot 40m x 40m terdapat 4 plot dan 1 plot kontrol. Plot penelitian dengan perlakuan yaitu plot yang terdapat di antara kebun kelapa sawit dan ditanami 1 spesies tanaman pertanian dengan jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan ukuran plot. Tanaman telah ditanam pada plot sejak Desember 2013 oleh EFForTS-BEEP. Pada plot perlakuan tidak dilakukan penyemprotan herbisida dan pestisida sehingga tumbuhan seperti rumput, liana dan perdu dapat tumbuh di dalam plot. Setiap lokasi dilakukan pengamatan selama 3 hari dari pukul 08.00 – 16.00 WIB. Pengamatan kupu-kupu mencakup spesies, jumlah individu, waktu hinggap, lama hinggap, dan jenis tumbuhan yang dikunjungi. Sampel kupu-kupu dikoleksi dengan menggunakan jaring serangga. Kupu-kupu yang diawetkan sebanyak 2 individu per spesies untuk keperluan identifikasi. Kupu-kupu yang telah diidentifikasi akan dihitung dan diberi tanda dengan red nail polish pada thoraks kemudian dilepaskan kembali. Pengukuran faktor lingkungan akan dilakukan selama pengamatan kupu- kupu dengan interval waktu setiap 1 jam dimulai dari pukul 08.00-16.00 WIB. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu dan kelembapan udara menggunakan alat termohigrometer, intensitas cahaya menggunakan luxmeter, dan kecepatan angin menggunakan anemometer. Pengambilan sampel tumbuhan dilakukan pada sore hari setelah selesai pengamatan kupu-kupu.

Analisis Data

Kupu-kupu yang sudah diidentifikasi dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman kupu-kupu yang dikaitkan dengan faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Keanekaragaman kupu-kupu dihitung dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Hˈ) dan Indeks Simpson (D) (Magurran 1988). Nilai dari indeks Hˈ berkisar antara 1,5 – 3,5 dan jarang mencapai nilai 4 (Margalef 1972). Semakin tinggi nilai indeks Hˈ maka semakin tinggi pula keanekaragaman spesies, produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem yang terdapat pada suatu lokasi. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan nilai indeks Hˈ adalah: Hˈ>3= keanekaragaman spesies tinggi; 1

pengamatan dengan menggunakan perangkat lunak Estimate S version 9.1.0 (Colwell & Coddington 1994; Colwell 1997). Analisis ANOVA (One Way) digunakan untuk mengaji pengaruh perbedaan ukuran plot terhadap distribusi jumlah spesies kupu-kupu pada masing-masing ukuran plot disajikan dalam bentuk box-plot. Uji lanjut untuk mengetahui kemiripan struktur kupu-kupu pada empat tipe ukuran plot yang berbeda dilakukan dengan uji ANOSIM (analysis of similarity). Analisis multidimensional scaling (MDS) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik tipe ukuran plot dengan keanekaragaman kupu- kupu yang ada di dalamnya. Kemiripan kekayaan spesies kupu-kupu antar ukuran plot adalah berdasarkan kedekatan jarak antar objek yang digambarkan pada grafik non metric multidmensional scalling (NMDS). Ketepatan objek pada posisinya ditunjukkan dari nilai stress, yaitu: semakin rendah nilai stress (mendekati nol) maka posisi objek semakin tepat (Rizali 2006). Penghitungan indeks keanekaragaman dan analisis MDS, korelasi antara luas plot dengan populasi kupu-kupu dianalisis dengan korelasi Pearson dan nilai signifikansi (p=0,05), dihitung dengan menggunakan perangkat lunak R statistic 3.0.2 paket vegan (Hothorn & Everitt 2009). Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan individu kupu-kupu dengan tumbuhan berbunga yang terdapat di dalam plot perlakuan dan plot kontrol berdasarkan korelasi Pearson dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 22.

Hasil dan Pembahasan

Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Tipe Ukuran Plot BEEP Jumlah spesies kupu-kupu yang telah diidentifikasi dari seluruh plot BEEP sebanyak 54 spesies dan 4.379 individu. Kupu-kupu tersebar pada 4 tipe ukuran plot, yaitu 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, dan 40m x 40m. Pengambilan sampel secara keseluruhan pada plot perlakuan dan plot kontrol menunjukkan nilai mendekati 100%. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode tangkap, hitung dan lepas kembali. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring serangga. Persentase kekayaan spesies yang berhasil ditemukan pada plot perlakuan berdasarkan analisis abundace based coverage estimator (ACE) adalah 79,76% dari total kupu-kupu yang terdapat pada semua plot tersebut. Kekayaan spesies yang ditemukan pada plot kontrol terdapat ACE 85,42% dari total spesies yang diprediksi terdapat pada plot kontrol (Gambar 5.2).

86

Gambar 5.2 Kurva akumulasi spesies pada plot perlakuan dan kontrol BEEP; a) plot perlakuan; b) plot kontrol.

Kehadiran kupu-kupu di kebun kelapa sawit ini menunjukkan bahwa adanya plot BEEP memberikan pengaruh positif terhadap kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu. Melindungi hutan tropis untuk konservasi keanekaragaman hayati itu penting, namun mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati ke dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit skala besar yang ada juga sangat penting. Keberadaan plot BEEP kemungkinan mampu berkontribusi untuk mengurangi kehilangan akibat dampak negatif kebun sawit sebagai integrasi konservasi keanekaragaman hayati (Fitzherbert et al. 2008; Teuscher et al. 2016). Jumlah spesies yang ditemukan pada plot kontrol sebanyak 32 spesies dan 3374 individu (Tabel 5.1). Jika dilihat dari perbandingan antar ukuran (di dalam plot perlakuan), maka terlihat bahwa ukuran tidak begitu berpengaruh terhadap jumlah species. Hasilnya adalah inkonklusif. Tetapi jika dibandingkan dengan plot kontrol (misalnya sesama ukuruan, yaitu 5m x 5m tapi natara perlakuan dengan kontrol maka jelas ada perbedaan dalam jumlah spesies. Artinya yang berpegnaruh bukan ukuran, tapi jenis vegetasi. 87

Tabel 5.1 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu di plot perlakuan dan plot kontrol BEEP Indeks Indeks Kelimpahan Indeks Shannon Deskripsi Spesies Evenness Simpson Mean±SD (Hˈ) (E) (1-D) Plot Perlakuan (m2) 05x05 31 140 ± 19,5b 2,13 0,27 0,79 10x10 34 206 ± 40,0ab 2,15 0,25 0,76 20x20 31 211 ± 8,1ab 2,08 0,26 0,75 40x40 40 285 ± 117,0a 2,05 0,19 0,74 Subtotal 51 66,16±30,56 2,16 0,17 0,76 Plot Kontrol (m2) 05x05 13 41,3±5,5ab 1,64 0,39 0,66 10x10 18 58,7±7,6b 2,51 0,69 0,89 20x20 25 138±64,7a 1,63 0,2 0,59 40x40 20 97,0±20,7ab 2,05 0,39 0,82 Subtotal 32 31,41±14,29 2,15 0,27 0,77 Total 54 218,9±87,3 2,17 0,54 0,76 Keterangan: huruf diatas angka menunjukkan perbedaan yang signifikan antar ukuran plot pengamatan di dalam plot perlakuan dan plot kontrol berdasarkan uji anova diikuti dengan uji Duncan.

Pengaruh Ukuran dan Jenis Vegetasi Terhadap Keanekaragaman Kupu- kupu di Dalam Plot Perlakuan dan Plot Kontrol BEEP

Jumlah spesies yang ditemukan pada plot perlakuan sebanyak 51 spesies dan 3.374 individu (Tabel 5.1). Nilai indeks keanekaragaman pada plot perlakuan yang paling tinggi terdapat pada plot 10m x 10m (Hˈ=2,15). Nilai indeks Simpson hampir mendekati nilai 1 (berkisar antara 0,74-0,79), hal ini menunjukkan bahwa komunitas kupu-kupu pada semua tipe ukuran plot tergolong kompleks. Jumlah tumbuhan yang terdapat di dalam plot pengamatan sebanyak 24 famili dari 41 spesies (Tabel 5.4) dan 3324 individu, pada plot perlakuan terdapat 40 spesies (2482 individu) (lampiran 4) dan pada plot kontrol 19 spesies (842 individu) (Lampiran 5). Penanaman tanaman pertanian lainnya pada plot perlakuan hingga saat ini belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu. Diharapkan nantinya akan memberikan dampak seiring dengan waktu, maka tanaman tersebut akan menghasilkan bunga dan dapat mengundang kupu-kupu di dalam plot perlakuan. Merancang lanskap tanaman di mana zona agroforestri menyangga vegetasi alami dari perkebunan monokultur telah diusulkan sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian sambil meningkatkan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis (Koh et al. 2009). Dengan meningkatkan kompleksitas habitat, dampak negatif lingkungan dari sistem produksi tanaman komersial yang dikelola secara intensif seperti kelapa sawit dapat dikurangi (Teuscher et al. 2016). Nilai indeks Evenness

88

berkisar antara 0,17 - 0,27, hal ini menunjukkan bahwa nilai kemerataan spesies pada plot perlakuan tergolong rendah. Jika dilihat sebaran populasi kupu-kupu yang paling tinggi terdapat pada plot perlakuan dengan ukuran 40m x 40m. Populasi kupu-kupu di dalam setiap plot memiliki perbedaan yang signifikan (p=0,04) antara plot ukuran 5m x 5m dengan 40m x 40m pada plot perlakuan. Namun antara plot 10m x 10m dengan 20m x 20m pada plot perlakuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,9 (Gambar 5.3). Spesies yang memiliki jumlah populasi tertinggi sama halnya dengan di plot perlakuan dan di plot kontrol adalah Ypthima horsfieldii (555 individu) pada plot kontrol dengan ukuran 40x40 m. Spesies Ypthima horsfieldii merupakan spesies yang umum ditemukan pada semua plot. Menurut D‟Abrera (1990), Ypthima horsfieldii merupakan spesies yang umum dan memiliki penyebaran yang luas di Sumatera.

Gambar 5.3 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu pada empat tipe plot perlakuan BEEP; a: Kekayaan spesies; b: Kelimpahan individu (huruf yang di atas violin menunjukkan nilai perbedaan nyata berdasarkan uji ganda Duncan) 89

Jumlah spesies kupu-kupu di plot kontrol yang paling banyak ditemukan di plot ukuran 20m x 20m (25 spesies dan 414 individu) dibandingkan dengan plot dengan ukuran lainnya (Tabel 5.1). Indek Shannon (H‟) pada empat plot berkisar antara 1,63 - 2,51 artinya bahwa kekayaan spesies pada plot tersebut tergolong rendah (Gambar 5.4) . Kekayaan spesies yang terdapat pada plot 5m x 5m dan 10m x 10m terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,02, demikian juga dengan plot ukuran antara 10m x 10m dengan 20m x 20m terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,02). Populasi kupu-kupu pada plot kontrol pada ukuran 10m x 10m dengan 20m x 20m memiliki perbedaan populasi kupu-kupu yang signifikan dengan nilai p=0,03. Sedangkan plot ukuran 5m x 5m dengan 10m x 10m tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,03). Spesies kupu-kupu yang paling tinggi populasinya pada plot kontrol ukuran 20m x 20m adalah Ypthima horsfieldii dengan jumlah individu mencapai 435 individu.

Gambar 5.4 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu pada empat tipe plot kontrol BEEP; a: Kekayaan spesies; b: Kelimpahan individu; keterangan: huruf yang di atas violin menunjukkan nilai perbedaan nyata berdasarkan uji ganda Duncan

90

Hasil anova menunjukkan bahwa kekayaan spesies paling tinggi ada di plot 10m x 10m. Namun, analisa korelasi lebih lanjut menemukan bahwa luas plot berkorelasi positif dengan keberadaan spesies dan kelimpahan vegetasi dan kupu- kupu (Gambar 5.5). Artinya makin besar ukuran plot, masih memungkinkan makin tinggi kekayaan spesies dan kelimpahan individu.

Gambar 5.5 Korelasi antara luas plot dengan jumlah spesies dan jumlah individu kupu-kupu pada plot BEEP; a) Jumlah spesies kupu-kupu pada plot perlakuan; b) Jumlah individu kupu-kupu pada plot perlakuan; c) Jumlah spesies kupu-kupu pada plot kontrol; d) Jumlah individu kupu-kupu pada plot kontrol.

Komposisi spesies kupu-kupu yang ditemukan pada masing-masing tipe plot memiliki perbedaan. Perbedaan komposisi dan kekayaan spesies diduga berhubungan dengan karakteristik masing-masing tipe plot yang berbeda juga. Karakteristik yang dimaksud adalah ukuran luas plot dan ketersediaan tumbuhan pakan kupu-kupu. Hasil analisis multidimensional scaling (MDS) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan ukuran plot memengaruhi keanekaragaman kupu- kupu. Komposisi spesies kupu-kupu pada plot 40m x 40m dan 5m x5m berbeda pengelompokannya dengan tipe plot lainnya (Gambar 5.6). Adanya irisan antara plot 10m x 10m dan 20m x 20m menunjukkan adanya kemiripan komposisi spesies kupu-kupu yang terdapat pada kedua plot tersebut.

91

Gambar 5.6 Komposisi spesies kupu-kupu pada tiap plot berdasarkan Bray- Curtis di BEEP

Kupu-kupu yang paling banyak ditemukan di dalam plot pengamatan adalah Ypthima horsfieldii sebanyak 1.999 individu (Mean±SD: 499,8±85,6) (Tabel 5.2). Kupu-kupu ini sering ditemukan sedang berjemur pada daun dan juga kerap kali ditemukan sedang mengisap nektar pada bunga. Kupu-kupu lainnya yang juga sering ditemukan adalah Mycalesis mineus (348 individu), Elymnias hypermnestra (272 individu), dan Leptosia nina (245 individu). Ketiga spesies tersebut sering ditemukan sedang mengisap nektar dari bunga yang terdapat di dalam plot pengamatan. Kupu-kupu ada juga yang ditemukan hanya 1 individu di dalam plot pengamatan sebanyak 15 spesies, yaitu: Cethosia hypsea, Elymnias nesaea, Graphium sarpedon, Lasippa tiga, Lexias pardalis, Papilio demolion, Papilio memnon, Surendra vivarna, Tanaecia coelebs, Arhopala agesias, Pachliopta antiphus, Junonia orithya, dan Mycalesis fusca. Kupu-kupu tersebut ada yang ditemukan hanya terbang di atas plot pengamatan, dan ada juga yang hanya hinggap pada tumbuhan yang berada di dalam plot.

92

Tabel 5.2 Daftar spesies kupu-kupu yang ditemukan pada plot BEEP

5mx5m 10mx10m 20m x20m 40mx40m Total Spesies Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD Mean±SD A. agesias 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,3±0,3 A. binghami 1,4±0,9 4,0±0,4 3,2±1,2 8,8±3,1 21,8±7,9 A. lyncida 0,2±0,2 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,5±0,3 A. olferna 3,2±0,8 6,2±2,7 4,4±1,2 2,0±0,7 19,8±4,5 A. perius 0,0±0,0 0,4±0,2 0,4±0,2 0,6±0,2 1,8±0,6 A. terpsicore 1,0±0,8 2,8±1,7 0,4±0,2 0,4±0,2 5,8±2,8 C. epiminthia 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,3±0,3 C. erymanthis 0,4±0,2 0,6±0,4 0,6±0,4 0,2±0,2 2,3±0,5 C. hypsea 0,2±0,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,3 C. pomona 0,8±0,4 1,8±0,9 0,0±0,0 1,8±1,8 5,5±2,2 D. bisaltide 0,4±0,2 1,2±0,4 1,0±0,5 0,4±0,2 3,8±1,0 D. genutia 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,3±0,3 D. ravindra 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,4±0,4 0,5±0,5 E. hecabe 10,8±1,0 13,4±3,8 14,0±1,0 11,4±1,3 62,0±3,9 E. hypermnestra 8,2±1,2 19,6±3,2 11,0±3,4 34,8±9,7 92,0±29,9 E. mulciber 0,6±0,4 1,2±0,5 2,2±0,7 2,6±1,4 8,3±2,3 E. nesaea 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,3±0,3 E. sari 0,0±0,0 0,0±0,0 0,4±0,4 0,0±0,0 0,5±0,5 E. simulatrix 0,2±0,2 0,2±0,2 1,0±0,6 0,8±0,8 2,8±1,0 F. canens 0,0±0,0 0,4±0,2 0,0±0,0 0,2±0,2 0,8±0,5 G. agamemnon 0,4±0,2 0,0±0,0 0,4±0,4 0,4±0,2 1,5±0,5 G. antiphates 0,4±0,2 0,8±0,8 3,2±0,6 0,8±0,5 6,5±3,2 G. harina 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,6±0,4 0,8±0,8 G. sarpedon 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,3±0,3 H. bolina 0,2±0,2 0,6±0,2 0,2±0,2 0,4±0,2 1,8±0,5 I. juventa 2,0±0,7 4,6±1,1 4,2±0,7 2,8±0,7 17,0±3,0 J. alecto 1,8±0,8 3,2±1,1 6,0±2,1 3,6±1,4 18,3±4,4 J. atlites 1,4±0,7 3,0±1,2 0,4±0,2 0,0±0,0 6,0±3,3 J. celeno 0,2±0,2 0,2±0,2 0,2±0,2 1,0±1,0 2,0±1,0 J. hedonia 2,4±1,2 0,2±0,2 1,8±0,9 1,4±0,2 7,3±2,3 J. orithya 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,3 L. nina 15,0±3,2 14,8±3,0 16,8±5,4 11,8±2,4 73,0±5,2 L. pardalis 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,3 L. tiga 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,3±0,3 M. fusca 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,3±0,3 M. horsfieldi 0,6±0,4 1,4±0,7 0,8±0,6 9,4±5,1 15,3±10,6 M. mineus 11,4±1,0 18,2±2,8 18,6±3,2 44,8±7,1 116,3±36,9 M. perseus 0,8±0,8 3,8±1,3 3,6±2,7 2,2±1,5 13,0±3,5 M. phedima 0,2±0,2 0,6±0,6 0,0±0,0 1,0±0,8 2,3±1,1 93

Lanjutan Tabel 5.2 ...... M. procris 0,0±0,0 0,4±0,2 0,6±0,4 0,2±0,2 1,5±0,6 O. medus 0,2±0,2 2,6±2,4 2,0±1,5 1,4±0,6 7,8±2,6 P. antiphus 0,0±0,0 0,2±0,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,3 P. demoleus 0,0±0,0 0,4±0,4 0,2±0,2 0,2±0,2 1,0±0,4 P. demolion 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,3±0,3 P. memnon 0,2±0,2 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,3±0,3 P. nephelus 0,0±0,0 0,4±0,4 0,0±0,0 0,2±0,2 0,8±0,5 P. polytes 0,2±0,2 1,4±0,5 1,0±0,4 0,2±0,2 3,5±1,5 S. lohita 0,0±0,0 0,0±0,0 5,2±5,2 6,4±5,9 14,5±8,5 S. vivarna 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,3±0,3 T. coelebs 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 0,3±0,3 T. palguna 0,0±0,0 0,0±0,0 0,2±0,2 1,0±0,5 1,5±1,2 U. cynis 0,2±0,2 0,4±0,4 0,8±0,2 0,8±0,4 2,8±0,8 Y. horsfieldii 60,4±4,2 82,6±13,0 132,6±33,7 124,2±26,6 499,8±85,6 Y. nebulosa 11,8±7,8 8,0±3,7 13,4±4,4 6,4±3,7 49,5±8,1 Total 137,2±8,3 200,0±16,6 251,8±40,7 286,8±45,3 1094,8±162,8 Jumlah Spesies 31 35 37 42 54 Jumlah Individu 686 1.000 1.259 1.434 4.379

Korelasi Kekayaan Spesies dan Kelimpahan Antara Kupu-kupu dan Tumbuhan pada “Pulau-pulau Ekologis" Kehadiran kupu-kupu di dalam plot (“pulau-pulau ekologis”) dipengaruhi oleh ketersediaan tumbuhan sebagai pakan. Berdasarkan analisis korelasi Pearson, terlihat bahwa kekayaan spesies dan kelimpahan antara kupu-kupu dan tumbuhan memiliki korelasi (Tabel 5.3). Korelasi antara kekayaan spesies kupu- kupu dengan spesies tumbuhan pada plot perlakuan (5m x 5m dan 20m x 20m) terlihat berkorelasi negatif, namun tidak menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyata (-0,95 dan -0,38). Berbeda halnya pada plot ukuran 10m x 10m dan 40m x 40m, terlihat adanya korelasi positif antara kekayaan spesies kupu-kupu dengan tumbuhan (0,66 dan 0,88). Jika ditinjau korelasi kelimpahan kupu-kupu dengan tumbuhan pada plot perlakuan menunjukkan korelasi positif dan sangat berpengaruh nyata khususnya pada plot 5m x 5m dan 40m x 40m (0,99* dan 0,99**). Artinya bahwa jika kelimpahan tumbuhan tinggi maka kelimpahan kupu- kupu juga akan tinggi. Hasil analisa korelasi lebih lanjut menemukan bahwa luas plot berkorelasi positif dengan keberadaan spesies dan kelimpahan vegetasi (Gambar 5.7). Artinya bahwa, semakin besar ukuran plot, masih memungkinkan makin tinggi kekayaan spesies dan kelimpahan individu tumbuhan yang terdapat di dalam plot.

94

Gambar 5.7 Korelasi antara luas plot dengan jumlah spesies dan jumlah individu tumbuhan pada plot BEEP; a) Jumlah spesies tumbuhan pada plot perlakuan; b) Jumlah individu tumbuhan pada plot perlakuan; c) Jumlah spesies tumbuhan pada plot kontrol; d) Jumlah individu tumbuhan pada plot kontrol.

Korelasi kekayaan spesies tumbuhan dengan kupu-kupu pada plot kontrol menunjukkan korelasi negatif pada plot 5m x 5m, 20m x 20m, dan 40m x 40m (- 0,28, -0,99, dan -1,00). Hal ini kemungkinan dikarenakan bahwa keanekaragaman tumbuhan pada plot kontrol belum tinggi sehingga kupu-kupu yang ada di dalamnya juga belum beranekaragam. Namun, pada plot 10m x 10m menunjukkan adanya korelasi positif (0,97) antara kekayaan spesies tumbuhan dengan kupu-kupu. Korelasi positif terlihat antara kelimpahan tumbuhan dengan kupu-kupu pada plot kontrol. Artinya bahwa jika kelimpahan tumbuhan tinggi maka kelimpahan kupu-kupu juga tinggi di dalam plot. Pada saat pengamatan terlihat adanya kupu-kupu Ypthima horsfieldii (449 individu) dan Mycalesis mineus (117 individu) yang memiliki kelimpahan tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam plot pengamatan. Tumbuhan yang paling tinggi kelimpahannya pada plot kontrol adalah (191 individu) dan Clibadium surinamensis (159 individu) sedang berbunga sehingga banyak kupu- kupu (Ypthima horsfieldii dan Mycalesis mineus) yang hinggap mengisap nektar.

95

Tabel 5.3 Korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan antara kupu-kupu dan tumbuhan pada plot perlakuan dan plot kontrol Perlakuan Kontrol Plot Nilai Nilai Nilai Nilai Sp Indv Sp Indv p p p p 5m x 5m -0,95 0,01 0,99* 0,05 -0,28 0,05 0,86 0,05 10m x 10m 0,66 0,01 0,91 0,05 0,97 0,05 0,99 0,05 20m x 20m -0,38 0,01 0,55 0,05 -0,99* 0,05 0,99 0,05 40m x 40m 0,88 0,01 0,99** 0,05 -1,000** 0,05 0,53 0,05 Keterangan: Analisis korelasi berdasarkan Pearson correlation. Tanda ** menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyata pada α=0,01 dan * menunjukkan adanya korelasi yang nyata pada α=0,05; Sp=spesies; indv=individu.

Tumbuhan yang dikunjungi oleh kupu-kupu pada saat pengamatan di dalam plot terdapat 41 spesies dan 24 famili (Tabel 5.4). Tumbuhan yang dikunjungi kupu-kupu umumnya sedang berbunga pada saat penelitian. Jumlah spesies tumbuhan dan kupu-kupu lebih banyak pada plot pengamatan perlakukan pada ukuran 40m x 40m (27 dan 40 spesies). Namun, jumlah spesies tumbuhan pada plot 5m x 5m, 10m x 10m dan 20m x 20m tidak berbeda jauh jumlahnya (18, 24, dan 23 spesies) (Tabel 5.4). Korelasi antara jumlah spesies kupu-kupu dengan jumlah spesies tumbuhan terlihat tidak menunjukkan hubungan yang linear dengan nilai R2 yaitu 0,3063 (Gambar 5.8a). Hal ini kemungkinan dikarenakan pengaruh perbedaan ukuran plot pengamatan yang memuat keanekaragaman spesies tumbuhan yang terdapat di dalam plot juga bervariasi, namun seiringnya waktu di kemudian hari akan terjadi peningkatan keanekaragaman tumbuhan sehingga dapat mendukung kehadiran kupu-kupu yang lebih beragam juga. Korelasi antara kelimpahan individu kupu-kupu berkorelasi positif dengan kelimpahan tumbuhan dengan nilai R2 yaitu 0,9462 (Gambar 5.8b). Artinya bahwa terdapat hubungan yang linear antara kelimpahan tumbuhan dengan kelimpahan kupu-kupu. Semakian tinggi kelimpahan tumbuhan dalam plot perlakuan, maka semakin tinggi juga kelimpahan kupu-kupu di dalam plot tersebut.

96

Gambar 5.8 Korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan antara tumbuhan dengan kupu-kupu di dalam plot perlakuan; a) korelasi antara spesies tumbuhan dengan spesies kupu-kupu; b) korelasi antara kelimpahan tumbuhan dengan kelimpahan kupu-kupu.

Pengamatan di dalam plot kontrol terlihat tidak menunjukkan hubungan yang linear antara jumlah spesies kupu-kupu dengan jumlah spesies tumbuhan dengan nilai R2 yaitu 0,2628 (Gambar 5.9a). Korelasi positif terlihat antara kelimpahan individu kupu-kupu dengan kelimpahan tumbuhan dengan nilai R2 yaitu 0,967 dan menunujukkan hubungan yang linear antara kelimpahan tumbuhan dan kelimpahan kupu-kupu (Gambar 5.9b). Semakian tinggi kelimpahan tumbuhan dalam plot kontrol, maka semakin tinggi juga kelimpahan kupu-kupu di dalam plot tersebut. Nilai R2 yang terdapat pada Gambar 5.9b menunjukkan bahwa kelimpahan tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi kupu-kupu dewasa dan juga pakan bagi larva (tumbuhan inang) turut mempengaruhi kelimpahan kupu-kupu di dalam plot kontrol.

Gambar 5.9 Korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan antara tumbuhan dengan kupu-kupu di dalam plot kontrol; a) korelasi antara kekayaan spesies tumbuhan dengan kekayaan spesies kupu-kupu; b) korelasi antara kelimpahan tumbuhan dengan kelimpahan kupu-kupu

Keberadaan kupu-kupu di suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang ada pada ekosistem tersebut. Pakan bagi larva dan imago 97

kupu-kupu berbeda-beda tergantung spesies kupu-kupu tersebut. Imago kupu- kupu membutuhkan nektar sebagai pakan utamanya untuk memenuhi kebutuhan energi. Salah satu aktivitas kupu-kupu untuk menemukan pakannya adalah dengan mencari bunga, menemukan dan mengisap nektar dengan menggunakan proboscis (Schoonhoven et al. 2005). Kemampuan kupu-kupu untuk menemukan nektar dipengaruhi oleh bentuk mahkota bunga tumbuhan dan panjangnya proboscis kupu-kupu (Tiple et al. 2009). Kupu-kupu dari famili Nymphalidae juga sering mengisap cairan dari buah yang sudah membusuk seperti buah pisang, nangka, sawit, dan nenas yang mengeluarkan aroma yang tajam (Sculley & Boggs 1996). Kelimpahan tumbuhan yang terdapat di setiap plot berbeda-beda, saat penelitian kelimpahan tumbuhan paling banyak (894) terdapat pada plot 40m x 40m, kemudian 20m x 20m (695 individu) dan 10m x 10m (573 individu). Tumbuhan yang sedang berbunga di dalam plot yang paling banyak ditemui adalah Clidemia hirta (plot kontrol 191 individu dan plot perlakuan 677 individu). Namun, ada juga tumbuhan sedang berbunga yang hanya ditemukan satu individu dalam plot perlakuan 20m x 20m, yaitu: Echinochloa colonum (rumput), Molineria latifolia (anggrek tanah), dan Shorea leprosula (pohon meranti). Pada plot perlakuan 40m x 40m juga ditemukan tumbuhan yang sedang berbunga, yaitu: Senna alata dan Stachytarpheta jamaicensis (pecut kuda biru). Tumbuhan Senna alata merupakan tanaman inang untuk kupu-kupu Catopsilia pomona yang juga ditemukan pada plot tersebut (Parsons 1999). Hal ini membuktikan bahwa kehadiran tumbuhan inang di dalam plot akan dapat meningkatkan keanekaragaman kupu-kupu di dalam “pulau-pulau ekologis”.

Tabel 5.4 Tumbuhan yang dikunjungi kupu-kupu di dalam plot BEEP 5m 10m 20m 40m Famili Spesies x5m x10m x20m x40m Acanthaceae Asystasia gangetica √ √ √ √ Adiantaceae Adiantum latifolium - √ - - Apocynaceae Alstonia scholaris √ √ - - Dyera polyphylla √ - - - Elaeis guineensis √ √ √ √ Asteraceae Ageratum conyzoides - - √ - Chromolaena odorata - √ √ - Clibadium surinamensis - - √ √ Mikania micrantha - - √ √ Cyperaceae Scleria levis - √ - √ Dipterocarpaceae Shorea leprosula - - √ - Macaranga sp √ √ √ √ Mallotus peltatus - - √ - Archidendron Fabaceae pauciflorum - √ - √ Centrosema pubescens - √ √ - Parkia speciosa - - - √ Senna alata - - - √

98

Lanjutan Tabel 5.4...... Hypoxidaceae Molineria latifolia - - √ - Lamiaceae Hyptis capitata - - √ - Lygodium cf Lygodiaceae salicifolium √ √ √ √ Malvaceae Durio zibathinus √ - √ √ Clidemia hirta √ √ √ √ Melastoma malabathricum √ √ √ √ Moraceae Ficus sp √ √ - √ Musaceae Musa paradisiaca - √ - - Nephrolepidaceae Nephrolepis bisserta √ √ √ √ Nephrolepis exaltata √ √ √ √ Phyllanthaceae Phyllanthus sp - √ √ √ Poaceae Bambusa sp - √ √ √ Cystococcum patens √ √ √ √ Centotheca lappacea √ - √ √ Echinochloa colonum - - √ - Imperata cylindrica - √ √ √ Paspalum conjugatum - - - √ Scleria cf sumatrensis √ √ √ √ Selaginellaceae Selaginella intermedia √ √ - √ Solanaceae Solanum jamaicense - √ √ - Thelypteridaceae Christella parasitica - - - √ Verbeaceae Peronema canescens √ √ √ √ Stachytarpheta jamaicensis - - - √ Etlingera Zingiberaceae hamisphaerica √ √ - √ Note: √ : ada di plot; - : tidak ada di plot

Spesies kupu-kupu yang ditemukan memiliki penyebaran yang berbeda- beda. Kupu-kupu ada yang hanya ditemukan pada satu tipe ukuran plot saja, namun ada juga spesies yang ditemukan pada keempat tipe plot tersebut. Kupu- kupu yang ditemukan hanya pada plot perlakuan terdapat 20 spesies, yaitu: Appias lyncida, Chetosia hypsea, Doleschallia bisaltide, Drupadia ravindra, Elymnias nesaea, Eurema sari, Eurema simulatrix, Faunis canens, Gandaca harina, Jamides celeno, Lasippa tiga, Lexias pardalis, Papilio demoleus, Papilio demolion, Papilio memnon, Papilio nephelus, Surendra vivarna, Tanaecia coelebs, Arhopala agesias, Pachliopta antiphus, Junonia orithya, dan Mycalesis fusca. Kupu-kupu yang ditemukan pada empat plot perlakuan yang sama sebanyak 21 spesies (41,2%), yaitu: Acraea terpsicore, Amathusia binghami, Appias olferna, Doleschallia bisaltide, Elymnias hypermnestra, Euploea mulciber, Eurema hecabe, Eurema simulatrix, Graphium antiphates, Ideopsis juventa, Jamides alecto, Jamides celeno, Junonia hedonia, Leptosia nina, Mycalesis 99

mineus, Mycalesis perseus, Mycalesis horsfieldi, Orsotriaena medus, Papilio polytes, Ypthima nebulosa, dan Ypthima horsfieldii dari total spesies yang ditemukan pada seluruh plot perlakuan (51 spesies). Kupu-kupu yang ditemukan hanya pada plot perlakuan dengan ukuran 40m x 40m sebanyak sembilan spesies (17,6%), yaitu: Drupadia ravindra, Gandaca harina, Lasippa tiga, Mycalesis fusca, Papilio demolion, Spindasis lohita, Surendra vivarna, Tanaecia coelebs, dan Tanaecia palguna. Kupu-kupu yang hanya ditemukan pada plot 20m x 20m terdapat tiga spesies, yaitu: Arhopala agesias, Elymnias nesaea, dan Eurema sari. Kupu-kupu yang hanya ditemukan pada plot 10m x 10m tiga spesies, yaitu: Junonia orythia, Lexias pardalis, dan Pachliopta antiphus; dan pada 5m x 5m sebanyak dua spesies, yaitu: Chetosia hypsea dan Papilio memnon (Gambar 5.10).

Gambar 5.10 Penyebaran spesies kupu-kupu pada plot perlakuan BEEP

Spesies kupu-kupu pada plot kontrol juga memiliki penyebaran yang unik. Terdapat tiga spesies kupu-kupu yang hanya ditemukan pada plot kontrol dan tidak ditemukan di plot perlakukan, yaitu: Coelites epiminthia, Danaus genutia, dan Graphium sarpedon. Spesies kupu-kupu yang tersebar pada semua tipe plot sebanyak 6 spesies (Gambar 5.11), yaitu: Elymnias hypermnestra, Euploea mulciber, Eurema hecabe, Leptosia nina, Mycalesis mineus, dan Ypthima horsfieldii dari 32 spesies yang ditemukan pada seluruh plot kontrol. Spesies kupu-kupu yang hanya ditemukan pada plot 40m x 40m terdapat empat spesies, yaitu: Athyma perius, Coelites epiminthia, Melanitis phedima, dan Mycalesis perseus. Kupu-kupu yang hanya ditemukan pada plot 20m x 20m ada lima spesies, yaitu: Danaus genutia, Graphium sarpedon, Hypolimnas bolina,

100

Orsotriaena medus, dan Graphium antiphates. Kupu-kupu yang terdapat pada plot 5m x 5m dan 10m x 10m juga ditemukan pada plot kontrol lainnya.

Gambar 5.11 Penyebaran spesies kupu-kupu pada plot kontrol BEEP

Kupu-kupu yang ditemukan pada plot pengamatan yang dibuat di dalam kebun sawit konvensional merupakan spesies yang umum. Kupu-kupu yang ditemukan di dominasi oleh famili Nymphalidae. Hal ini dikarenakan pada kawasan ini tersedia banyak tumbuhan pakannya, baik sebagai pakan larva maupun pakan imago. Sumber pakan kupu-kupu famili Nympalidae adalah tanaman dari famili Annonaceae, Leguminoceae, Compositae dan Poaceae. Selain itu, Nymphalidae merupakan famili kupu-kupu yang bersifat kosmopolitan yaitu memiliki distribusi tersebar di banyak wilayah dunia serta memiliki kemampuan bertahan hidup yang tinggi pada berbagai jenis habitat karena bersifat polifag (D‟Abrera 1990; Chahyadi & Bibas 2016). Berdasarkan analisis indeks Shanonn, menunjukkan tingkat keanekaragaman kupu-kupu pada plot pengamatan tergolong rendah. Hal ini kemungkinan dikarenakan masih rendahnya keanekaragaman tumbuhan berbunga yang terdapat di dalam plot pengamatan. Menurut hasil penelitian Gérard et al. (2017), juga tidak ada dampak yang dapat terdeteksi dari penanaman pohon secara keseluruhan dan tingkat keanekaragaman pohon yang ditanam pada hasil kelapa sawit pada tahap awal. Keberadaan tumbuhan berbunga dan tumbuhan inang pada suatu habitat akan mengundang kehadiran kupu-kupu di tempat tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa walaupun saat ini keanekaragaman kupu-kupu yang ditemukan masih rendah, akan berpotensi dimasa yang akan datang lebih tinggi jika pengelolaan “pulau-pulau ekologis” tersebut tetap dijaga. Hal ini akan berguna untuk membantu 101

mengembalikan fungsi ekosistem di dalam kebun sawit tersebut sebagai salah satu akibat konversi hutan menjadi kebun sawit. Hilangnya hutan secara dramatis mengurangi luas habitat yang memadai untuk flora dan fauna unik Indonesia (Sodhi et al. 2010), salah satunya kupu-kupu yang termasuk yang kaya spesies di dunia. Perkebunan kelapa sawit adalah ancaman besar bagi keanekaragaman hayati di Asia Tenggara (Wilcove & Koh 2010). Populasi kupu-kupu pada plot perlakuan dengan ukuran 40m x 40m lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran lainnya. Hal ini dikarenakan semakin luas plot maka jumlah tumbuhan (tumbuhan bawah) juga akan semakin banyak. Selain itu, area untuk terbang kupu-kupu lebih luas. Spesies yang terdapat di dalam ukuran plot 40m x 40m juga berbeda dengan spesies yang terdapat di dalam plot lainnya. Namun, jumlah spesies pada seluruh plot pengamatan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini kemungkinan dikarenakan semua plot pengamatan memiliki vegetasi yang hampir sama. Dengan demikian spesies kupu-kupu yang terdapat di dalamnya juga kemungkinan memiliki kesamaan yang tinggi. Indeks keanekaragaman spesies menunjukkan bahwa pada ukuran 10m x 10m lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran plot lainnya. Kelimpahan dan kekayaan spesies pada ukuran 10m x 10m dengan 40m x 40m tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,9). Ukuran plot 10m x 10m tidak terlalu lebar (dibandingkan dengan plot 40m x 40m) dan tidak terlalu sempit (dibandingkan dengan plot 5m x 5m), dan secara ekonomi juga tidak teralu merugikan bagi petani (perusahaan) kelapa sawit. Tumbuhan berbunga yang ditemukan pada saat pengamatan di dalam plot perlakukan dan plot kontrol ada yang sama namun ada juga yang berbeda. Jumlah spesies tumbuhan paling banyak terdapat pada plot ukuran 10m x 10m yaitu sebanyak 25 spesies, kemudian plot 40m x 40m sebanyak 21, plot 20m x 20m sebanyak 18 spesies dan plot 5m x 5m sebanyak 13 spesies (Lampiran 4; Lampiran 5) .

Simpulan

Keanekaragaman kupu-kupu yang terdapat di berbagai ukuran plot tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kelimpahan kupu-kupu terlihat berbeda secara signifikan antara ukuran plot 5m x 5m dengan 40m x 40m. Namun, perbedaan kelimpahan kupu-kupu didukung dengan perbedaan ukuran plot. Analisa korelasi lebih lanjut menemukan bahwa luas plot berkorelasi positif dengan keberadaan spesies dan kelimpahan vegetasi dan kupu-kupu. Artinya makin besar ukuran plot, masih memungkinkan makin tinggi kekayaan spesies dan kelimpahan individu. Keberadaan “pulau-pulau ekologis” mendukung keanekaragaman kupu-kupu dan vegetasi di antara kebun sawit.

Keanekaragaman kupu-kupu yang terdapat di berbagai ukuran plot tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kelimpahan kupu-kupu terlihat berbeda secara signifikan antara ukuran plot 5m x 5m dengan 40m x 40m. Analisa korelasi lebih lanjut menunjukkan bahwa luas plot berkorelasi positif dengan keberadaan spesies dan kelimpahan vegetasi dan kupu-kupu. Artinya makin besar ukuran plot, akan semakin mendukung keberadaan kupu-kupu.

103

6 PEMBAHASAN UMUM

Transformasi dari ekosistem alami menjadi penggunaan lahan pertanian dan intensifikasi yang berkelanjutan telah menyebabkan kerugian besar terhadap keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem yang mengakibatkan degradasi kesejahteraan manusia (Barnes et al. 2014). Transformasi hutan hujan tropis daratan rendah menjadi perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) telah mendapatkan perhatian lebih baru-baru ini sebagai ancaman yang sangat parah terhadap keanekaragaman hayati tropis (Koh & Wilcove 2007). Dalam 25 tahun terakhir total luas perkebunan kelapa sawit meningkat tiga kali lipat, dengan perkiraan global saat ini lebih dari 15 juta hektar, menjadikan tanaman ini salah satu bentuk pertanian paling berkembang pesat di dunia (Gilbert 2012). Perluasan pertanian kelapa sawit adalah salah satu penyebab terbesar deforestasi dan ancaman ini tampaknya meningkat tanpa jeda ketika Indonesia, salah satu pemimpin dunia dalam kelapa sawit (Koh & Wilcove 2008). Ekspansi yang cepat dari transformasi penggunaan lahan skala besar seperti itu menimbulkan pertanyaan tentang implikasi yang akan terjadi terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem di daerah tropis (Wilcove & Koh 2010). Tidak ada pendekatan tunggal terbaik untuk menangani krisis kelapa sawit di Asia Tenggara; campuran peraturan, insentif, dan disinsentif yang ditargetkan di semua sektor industri kelapa sawit diperlukan untuk melindungi hutan yang hilang dengan cepat di kawasan itu (Wilcove & Koh 2010). Banyak peneliti menyoroti perlunya lanskap kelapa sawit yang lebih beragam untuk mengurangi konsekuensi lingkungan negatif. Perkebunan kelapa sawit yang diperkaya dengan pohon bisa menjadi pilihan manajemen yang menjanjikan, karena sistem seperti agroforestri meningkatkan kompleksitas struktural dan dengan demikian dapat membuat lanskap lebih ramah untuk spesies asli (Koh et al. 2009). Terlepas dari upaya para pencinta lingkungan, kelapa sawit terus berkembang di seluruh daerah tropis. Dampak kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati harus menghadapi beberapa kenyataan sosial, ekonomi, dan ekologi yang keras. Kelapa sawit telah menjadi tanaman yang sangat menguntungkan dan minyaknya digunakan dalam banyak produk (Wilcove & Koh 2010). Dengan demikian perlu adanya usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati. Penelitian keanekaragaman kupu-kupu yang dilakukan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan terlihat adanya penurunan keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu yang signifikan antara hutan heterogen dengan kebun kelapa sawit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barnes et al. (2014), dengan menggunakan model efek campuran linier umum, menunjukkan bahwa transformasi hutan hujan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerugian besar pada kekayaan spesies (penurunan 45%), kepadatan hewan (penurunan 48%) dan biomassa (penurunan 52%). Penelitian sebelumnya juga mengindikasikan bahwa transformasi penggunaan lahan menjadi kelapa sawit merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati global (Gilbert 2012). Selain efek keanekaragaman, transformasi penggunaan lahan juga mengubah kepadatan hewan dan biomassa, yang mengancam tidak

104

hanya mendorong kepunahan spesies tetapi juga menghilangkan fungsi-fungsi ekologis yang vital. Efek dari transformasi penggunaan lahan pada kekayaan spesies dan kepadatan hewan juga tergantung pada rantai makan fungsional dengan predator juga menyebabkan penurunan kekayaan dan kelimpahan spesies paling cepat (Barnes et al. 2014). Kehadiran kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang merupakan vegetasi di dalam penggunaan lahan. Penelitian yang dilakukan oleh Sjodin et al. (2008) juga menunjukkan bahwa kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu dan beberapa jenis serangga lainnya dipengaruhi oleh tingginya vegetasi dan tutupan kanopi lanskap semi alami. Keanekaragaman kupu-kupu juga tergolong tinggi di hutan karet yang merupakan kebun karet yang tidak dirawat dan bisa digolongkan sebagai hutan sekunder. Hutan karet memiliki vegetasi yang lebih beragam dibandingkan dengan kebun karet dan masih dikelola oleh masyarakat. Keanekaragaman serangga lebih tinggi juga ditemukan pada habitat semi alami (Sjodin et al. 2008). Penelitian juga menggunakan perangkap buah untuk memaksimalkan data. Penggunaan perangkap buah telah banyak digunakan oleh para peneliti ekologi untuk melihat interaksi kupu-kupu dengan ekosistem (Hughes et al. 1998; Brown & Freitas 2000; Alexander & DeVries 2012). Penelitian dengan metode perangkap buah yang dilakukan mampu mendapatkan data dari famili Nymphalidae. Studi perangkap buah untuk kupu-kupu Nymphalidae yang diberi pakan buah tropis telah menunjukkan variasi spasial dan temporal dalam keanekaragaman spesies, dan stratifikasi vertikal antara kanopi hutan dan tumbuhan bawah (Alexander & DeVries 2012). Nymphalidae lebih tertarik dengan aroma bau yang dikeluarkan oleh buah dibandingkan dengan kupu-kupu dari famili Lycaenidae, Papilionidae, Pieridae dan Riodinidae. Kupu-kupu dewasa Nymphalidae selain menyukai nektar, juga menyukai getah dan cairan dari buah (Hughes et al. 1998).

105

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kehadiran kupu-kupu memiliki peranan penting di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalam lanskap tersebut. Keanekaragaman kupu-kupu dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Keanekaragaman kupu- kupu lebih tinggi di hutan dibandingkan dengan di hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet. Kehadiran riparian pada plot hutan, kebun sawit dan kebun karet tidak berbeda secara signifikan dengan yang tidak riparian pada penggunaan lahan tersebut. Kupu-kupu juga dapat hadir pada kebun sawit dan kebun karet yang dikelola dengan ramah lingkungan. Kehadiran “pulau-pulau ekologis” di dalam kebun kelapa sawit memberikan dampak positif terhadap keanekaragaman kupu-kupu. Spesies Arhopala yang berhasil diidentifikasi secara morfologi dan molekuler sebanyak 5 spesies, yaitu: A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon.

Saran

Diharapkan adanya penelitian lanjutan keanekaragaman kupu-kupu di bagian lainnya dari Taman Nasional Bukit Duabelas. Perlu dilakukan monitoring spesies kupu-kupu di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Kehadiran kupu-kupu di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan penting demi menjaga eksistensi ekosistem, sehingga diharapkan adanya perhatian khusus terhadap penggunaan (konversi) hutan heterogen sebagai habitat kupu-kupu di Sumatera.

107

DAFTAR PUSTAKA

Alamsari W. 2014. Keanekaragaman semut pada berbagai tipe penggunaan lahan di Jambi. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Alexander LG, DeVries PJ. 2012. Variation in capture height and trap persistence among three Costa Rican understorey butterfly species. J Trop Ecol. 28(6):585-589. Allen JC, Barnes DF. 2009. The causes of deforestation in developing countries. Ann Assoc Am Geogr. 75(2):163-184. doi:2562560. Barnes AD, Jochum M, Mumme S, Haneda NF, Farajallah A, Widarto TH, Brose U. 2014. Consequences of tropical land use for multitrophic biodiversity and ecosystem functioning. Nat commun. 5(1):1-7. doi: 10.1038/ncomms6351. Bethune‐ Baker GT. 1903. I. A Revision of the Amblypodia Group of Butterflies of the Family Lycæenidæ. Trans Zool Soc London. 17(1):1-164. doi:10.1111/j.1096-3642.1903 .tb00038.x. Bickford D, Lohman DJ, Sodhi NS, Ng PK, Meier R, Winker K, Ingram KK, Das I. 2007. Cryptic species as a window on diversity and conservation. Trends ecol evol. 22(3):148- 155. doi:10.1016/j.tree.2006.11.004. Boggs C. 1988. Rates of nectar feeding in butterflies: effects of sex, size, age and nectar concentration. Func Ecol.289-295. doi:http://www.jstor.org/stable/2389400 . Borror D, Triplehorn CH, Johnson NF. 1996. An Introduction to the Study of . Ohio [US]: Saunders College Publishing. Brown Jr KS, Freitas AVL. 2000. Atlantic forest butterflies: indicators for landscape conservation 1. Biotropica. 32(4b):934-956. doi:10.1111/j.1744-7429.2000.tb00631.x. Chahyadi E, Bibas E. 2016. Jenis-Jenis Kupu-Kupu (Sub Ordo Rhopalocera) yang Terdapat di Kawasan Hapanasan, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Jurnal Riau Biologia. 1(1):50-56. Chen J, Franklin JF, Spies TA. 1992. Vegetation responses to edge environments in old‐ growth Douglas‐ fir forests. Ecol appl. 2(4):387-396. doi:10.2307/ 1941873. Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation. Phil. Trans. R. Soc. Lond. B. 345(1311):101-118. doi:https://www.jstor.org/stable/56143. Corbet AS. 1946. Observations on the Indo-malayan species of the genus Arhopala boisduval (Lepidoptera: Lycaenidae). Ecol Entomol. 96(5):73-88. doi:https://10.1111/j. 1365- 2311.1946.tb00444.x. D‟Abrera. 1990. Butterflies of the Australian Region. London [GB]: Hill House. Daily GC, Ehrlich PR. 1995. Preservation of biodiversity in small rainforest patches: rapid evaluations using butterfly trapping. Biodivers Conserv. 4(1):35-55. doi:https://link.springer.com/article/10.1007/BF00115313. de Nicéville L, Martin L. 1895. A List of the Butterflies of Sumatera: With Special Reference to the Species Occurring in the North-east of the Island. India [IN]: Baptist Mission Press. Diamond JM. 1975. The island dilemma: lessons of modern biogeographic studies for the design of natural reserves. Biol conserv. 7(2):129-146. Drescher J, Rembold K, Allen K, Beckschäfer P, Buchori D, Clough Y, Faust H, Fauzi AM, Gunawan D, Hertel D. 2016. Ecological and socio-economic functions across tropical

108

land use systems after rainforest conversion. Phil Trans R. Soc. Lond B. 371(1694):1-8. doi:http://dx.doi.org/10.1098/rstb.2015.0275. Ehrlich PR. 1992. Population biology of checkerspot butterflies and the preservation of global biodiversity. Oikos. 63(1):6-12. doi:https://www.jstor.org/stable/3545510. Estalita RS, Basukriadi A. 2012. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Kupu-Kupu (Lepidoptera; Rhopalocera) Pada Berbagai Tipe Habitat di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi. Biospecies. 5(2). Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Brühl CA, Donald PF, Phalan B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity? Trends ecol evol. 23(10):538-545. doi:10.1016/j.tree.2008.06.012. Folmer O, Black M, Hoeh W, Lutz R, Vrijenhoek R. 1994. DNA primers for amplification of mitochondrial cytochrome c oxidase subunit I from diverse metazoan invertebrates. Mol mar biol biotechnol. 3(5):294-299. Fontaine B, Gargominy O, Neubert E. 2007. Priority sites for conservation of land snails in Gabon: testing the umbrella species concept. Divers Distrib. 13(6):725-734. doi: 10.1111/j.1472-4642.2007.00376.x. Forman RT, Godron M. 1986. Landscape Ecology. New York [US]: John Wiley& Sons Franklin J. 2010. Mapping species distributions: spatial inference and prediction: Cambridge [US]: University Press. Freitas L, Victor A, Iserhard A, Santos CP, Jessie C, Yasmin O, Ribeiro JB, Melo DA, Rosa DH, Henrique B et al. . 2014. Studies with butterfly bait traps: an overview. Rev Colomb Entomol. 40(2):203-212. doi:http://www.scielo.org.co/scielo.php?script=sci_ arttext&pid=S0120-04882014000200013. Fukano Y, Tanaka Y, Farkhary SI, Kurachi T. 2016. Flower-Visiting Butterflies Avoid Predatory Stimuli and Larger Resident Butterflies: Testing in a Butterfly Pavilion. Plos one. 11(11):1-16. Geist HJ, Lambin EF. 2002. Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical DeforestationTropical forests are disappearing as the result of many pressures, both local and regional, acting in various combinations in different geographical locations. Biosci J. 52(2):143-150. doi: 10.1098/rsbl.2008.0691. Gérard A, Wollni M, Hölscher D, Irawan B, Sundawati L, Teuscher M, Kreft H. 2017. Oil-palm yields in diversified plantations: Initial results from a biodiversity enrichment experiment in Sumatera, Indonesia. Agric ecosys environ. 240:253-260. doi:http://dx.10.1016/ j.agee.2017.02.026. Gilbert N. 2012. Palm-oil boom raises conservation concerns. Nature. 487(7405):14. Goldsmith MR, Marec F. 2009. Molecular biology and genetics of the Lepidoptera. New York [US]: CRC Press. Graça MB, Souza JL, Franklin E, Morais JW, Pequeno PA. 2017. Sampling effort and common species: optimizing surveys of understorey fruit-feeding butterflies in the Central Amazon. Ecol indic. 73(1):181-188. doi:http://dx.10.1016/j. ecolind.2016. 09.040. Harvey CA, Komar O, Chazdon R, Ferguson BG, Finegan B, Griffith DM, Martínez‐ Ramos M, Morales H, Nigh R, Soto‐ Pinto L. 2008. Integrating agricultural landscapes with biodiversity conservation in the Mesoamerican hotspot. Conserv biol. 22(1):8-15. doi:http://dx10.1111/j.1523-1739.2007.00863.x. 109

Hector A, Philipson C, Saner P, Chamagne J, Dzulkifli D, O'Brien M, Snaddon JL, Ulok P, Weilenmann M, Reynolds G. 2011. The Sabah Biodiversity Experiment: a long-term test of the role of tree diversity in restoring tropical forest structure and functioning. Philos Trans R Soc Lond B: Biol Sci. 366(1582):3303-3315. doi:http://dx.10.1098/rstb. 2011.0094. Helmiyetti H, Manaf S, Sinambela KH. 2014. Jenis-jenis Kupu-kupu (Butterflies) yang terdapat di Taman Nasional Kerinci Seblat Resor Ketenong Kekanwatan Pinang Belapis Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Konservasi Hayati. 8(1):22-28. Hill C. 1993. The Myrmecophilous Organs of Arhopala Madytus Fruhstorfer (Lepidoptera: Lycaenidae). Austral Entomol. 32(3):283-288. Homziak NT, Homziak J. 2006. Papilio demoleus (Lepidoptera: Papilionidae): a new record for the United States, commonwealth of Puerto Rico. Fla Entomol. 89(4):485-488. Hothorn T, Everitt BS. 2009. A handbook of statistical analyses using R. London [GB]: Chapman and Hall/CRC. Hubbell SP. 2005. The neutral theory of biodiversity and biogeography and Stephen Jay Gould. Paleobiology. 31(S2):122-132. Hughes J, Daily G, Ehrlich P. 1998. Use of fruit bait traps for monitoring of butterflies (Lepidoptera: Nymphalidae). Rev biol trop. 46(3):697-704. IUCN (International Union for Conservation of Nature's). 2020. IUCN Red List of Species. https://www.iucnredlist.org/ search?query=trogonoptera&searchTipe=species Kareiva P, Marvier M. 2012. What is conservation science? Bioscience. 62(11):962-969. Kerr JT. 2001. Butterfly species richness patterns in Canada: energy, heterogeneity, and the potential consequences of climate change. Conserv Ecol. 5(1):1-14. https://www.jstor.org/stable/26271787. Koh LP, Wilcove DS. 2007. Cashing in palm oil for conservation. Nature. 448(7157):993. Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity?. Conserv lett. 1(2):60-64. Koh L, Levang P, Ghazoul J. 2009. Designer landscapes for sustainable biofuels. Trend Ecol Evol. 24(8):431-438. Kremen C. 1992. Assessing the indicator properties of species assemblages for natural areas monitoring. Ecol appl. 2(2):203-217. Kristensen NP, Scoble MJ, Karsholt O. 2007. Lepidoptera phylogeny and systematics: the state of inventorying moth and butterfly diversity. Zootaxa. 1668(1):699-747. Lambeck RJ. 1997. Focal Species: A Multi‐ Species Umbrella for Nature Conservation: Especies Focales: Una Sombrilla Multiespecífica para Conservar la Naturaleza. Conserv biol. 11(4):849-856. Laurance WF. 2007. Have we overstated the tropical biodiversity crisis? Trend Ecol Evol. 22(2):65-70. Laurance WF, Pérez-Salicrup D, Delamônica P, Fearnside PM, D'Angelo S, Jerozolinski A, Pohl L, Lovejoy TE. 2001. Rain forest fragmentation and the structure of Amazonian liana communities. Ecology. 82(1):105-116. doi:https://10.1890/0012-9658(2001)082 [0105:RFFATS]2.0.CO;2. Lomolino MV. 2000. A call for a new paradigm of island biogeography. Glob Ecol Biogeogr. 9(1):1-6.

110

MacArthur RH, Wilson EO. 2001. The theory of island biogeography. New Jersey [US]: Princeton university press. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey [US]: Princeton University Press. Malcolm JR. 1994. Edge effects in central Amazonian forest fragments. Ecology. 75(8):2438- 2445. doi:https//org/10.2307/1940897. Margalef R. 1972. Homage to Evelyn Hutchinson, or why there is an upper limit to diversity. Trans Con Acad Arts Sci. 44: 211-235 Martin, Bateson. 1993. Measuring Behaviour: An Introductory Guide. Second edition Cambridge [GB]: Cambridge University Press. Maschwitz U, Schroth M, Hänel H, Pong TY. 1984. Lycaenids parasitizing symbiotic plant-ant partnerships. Oecologia. 64(1):78-80. McGarigal K, Marks BJ. 1994a. Fragstats: spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. Version 2.0. Forest Science Department, Corvallis [US]: Oregon State University Press. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 2018. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta [ID]: hlm 1-24 Megens HJ, van Moorsel CH, Piel WH, Pierce NE, de Jong R. 2004a. Tempo of speciation in a butterfly genus from the Southeast Asian tropics, inferred from mitochondrial and nuclear DNA sequence data. Mol Phylogenet Evol. 31. doi:10.1016/j.ympev.2003.10.002. Megens HJ, van Nes WJ, van Moorsel CHM, Pierce NE. 2004b. Molecular phylogeny of the Oriental butterfly genus Arhopala (Lycaenidae, Theclinae) inferred from mitochondrial and nuclear genes. Syst Entomol. 29. doi:10.1111/j.1365-3113.2004.00228.x. Merckx T, Karlsson B, Van Dyck H. 2006. Sex‐ and landscape‐ related differences in flight ability under suboptimal temperatures in a woodland butterfly. Funct Ecol. 20(3):436- 441. doi:http://dx.10.1111/j.1365-2435.2006.01124.x. Nidup T, Dorji T, Tshering U. 2014. Taxon diversity of butterflies in different habitat tipes in Royal Manas National Park. Entomol Zoo Stud J. 2(6):292-298. Origia K, Novarino W, Tjong DH. 2012. Jenis-jenis kadal (sub-ordo Sauria) di Hutan Harapan Jambi. Jurnal Biologi Unand. 1(1). Paknia O, Sh HR, Koch A. 2015. Lack of well-maintained natural history collections and taxonomists in megadiverse developing countries hampers global biodiversity exploration. Org Divers Evol. 15(3):619-629. Panjaitan R. 2011. Komunitas kupu-kupu superfamili Papilionoidea (Lepidoptera) di Kawasan Hutan Wisata Alam Gunung Meja Manokwari, Papu Barat. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Parsons M. 1999. The Butterflies of Papua New Guinea (Their Sistematics dan Biology). . London [GB]: Academic Press. Peggie D. 2014. Mengenal Kupu-kupu. Jakarta (ID): Pandu Aksara Publishing. Peggie D, Harmonis H. 2014. Butterflies of Gunung Halimun-Salak National Park, Java, Indonesia, with an overview of the area importance. Treubia. 41:17-30. Prasetyo L. 2017. Pendekatan ekologi lanskap untuk konservasi biodiversitas. hlm. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 111

Purwanto J, Rusolono T, Prasetyo LB. 2015. Spatial model of deforestation in Kalimantan from 2000 to 2013. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 21(3):110-118. Reed J, Van Vianen J, Deakin EL, Barlow J, Sunderland T. 2016. Integrated landscape approaches to managing social and environmental issues in the tropics: learning from the past to guide the future. Glob change biol. 22(7):2540-2554. Rizali A. 2006. Keanekaragaman Semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rudel T, Roper J. 1997. The paths to rain forest destruction: crossnational patterns of tropical deforestation, 1975–1990. World Dev. 25(1):53-65. Rusman R. 2015. Kupu-Kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) di Gunung Sago, Sumatera Barat: Keanekaragaman dan Preferensi Kunjungan pada Bunga [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Schoonhoven ML, van Loon JJA, Dicke M. 2005. Insect-Plant Biology Second Edition. New York [US]: Oxford University Press. Sculley CE, Boggs CL. 1996. Mating systems and sexual division of foraging effort affect puddling behaviour by butterflies. Ecol Entomol. 21(2):193-197. Seki Y, Takanami Y, Otsuka K. 1991. Butterflies of borneo Vol. 2, No. 1 Lycaenidae. Japan [JP]: Tobishima Corporation. Simberloff D. 1998. Flagships, umbrellas, and keystones: is single-species management passé in the landscape era? Biol conserv. 83(3):247-257. Sjödin NE, Bengtsson J, Ekbom B. 2008. The influence of grazing intensity and landscape composition on the diversity and abundance of flower‐ visiting insects. J Appl Ecol. 45(3):763-772. Sodhi NS, Posa MRC, Lee TM, Bickford D, Koh LP, Brook BW. 2010. The state and conservation of Southeast Asian biodiversity. Biodiv Conserv. 19(2):317-328. Spitzer K, Novotny V, Tonner M, Leps J. 1993. Habitat preferences, distribution and seasonality of the butterflies (Lepidoptera, Papilionoidea) in a montane tropical rain forest, Vietnam. J Biogeogr. 20 (1):109-121. Sulistiyono N, Jaya INS, Prasetyo LB, Tiryana T. 2015. Spatial model of deforestation in Sumatera Islands using typological approach. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 21(3):99-109. Sunderlin WD, Angelsen A, Resosudarmo DP, Dermawan A, Rianto E. 2001. Economic crisis, small farmer well-being, and forest cover change in Indonesia. World Dev. 29(5):767- 782. Takáts K, Mølgaard M. 2015. Partial mtCOI-sequences of Balkanic species of Pseudochazara (Lepidoptera: Nymphalidae, Satyrinae) reveal three well-differentiated lineages. Entomologica romanica. 19:21-40. doi:http://ER1920141504. Teuscher M, Gérard A, Brose U, Buchori D, Clough Y, Ehbrecht M, Hölscher D, Irawan B, Sundawati L, Wollni M. 2016. Experimental biodiversity enrichment in oil-palm- dominated landscapes in Indonesia. Front plant sci. 7:1538. Tiple AD, Khurad AM, Dennis RL. 2009. Adult butterfly feeding–nectar flower associations: constraints of taxonomic affiliation, butterfly, and nectar flower morphology. J Nat Hist. 43(13-14):855-884. Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and DeLong's Introduction to the Study of Insects. Belmont [US] Thomson Brooks Cole.

112

Tscharntke T, Klein A, Kruess A, Steffan‐ Dewenter I, Thies C. 2005. Landscape perspectives on agricultural intensification and biodiversity–ecosystem service management. Ecol lett. 8(8):857-874. Tsukada E. 1991. Butterflies of the South East Asian Islands: Nymphalidae (II): Minatok, Tokyo [JP]. Palapa Co. Ltd. Tsukada E, Nishiyama Y. 1981. Butterflies of the South East Asian Island: Pieridae-Danaidae, Part II. Minatok, Tokyo [JP]. Palapa Co. Ltd. Tsukada E, Nishiyama Y. 1982. Butterflies of the South East Asian islands, Vol. 1, Papilionidae. English edition.:1-457. Minatok, Tokyo [JP]. Palapa Co. Ltd. Tsukada E, Nishiyama Y. 1985. Butterflies of the South East Asian Island, Part IV Nympalidae (I). Minatok, Tokyo [JP]. Palapa Co. Ltd. Vane-Wright RI, de Jong R. 2003. The butterflies of Sulawesi: annotated checklist for a critical island fauna. Zoologische Verbandelingen, Leiden (343): 1-267. Veddeler D, Schulze CH, Steffan-Dewenter I, Buchori D, Tscharntke T. 2005. The contribution of tropical secondary forest fragments to the conservation of fruit-feeding butterflies: effects of isolation and age. Biodiv Conserv. 14(14):3577-3592. Verbist B, Putra AED, Budidarsono S. 2005. Factors driving land use change: Effects on watershed functions in a coffee agroforestry system in Lampung, Sumatera. Agric Syst. 85(3):254-270. doi:10.1016/j.agsy.2005.06.010 Wheeler D, Hammer D, Kraft R, Dasgupta S, Blankespoor B. 2013. Economic dynamics and forest clearing: A spatial econometric analysis for Indonesia. Ecol Econ. 85:85-96. Whitworth A, Huarcaya RP, Mercado HG, Braunholtz LD, MacLeod R. 2018. Food for thought. Rainforest carrion-feeding butterflies are more sensitive indicators of disturbance history than fruit feeders. Biol conserv. 217:383-390. Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the threats to biodiversity from oil-palm agriculture. Biodiv conserv. 19(4):999-1007. Wilson J-J, Sing K-W, Sofian-Azirun M. 2013. Building a DNA barcode reference library for the true butterflies (Lepidoptera) of Peninsula Malaysia: What about the subspecies? Plos one. 8(11):1-10. doi:10.1371/journal.pone.0079969. Yaherwandi SM, Buchori D, Hidayat P, Prasetyo L. 2012. Struktur komunitas hymenoptera parasitoid pada tumbuhan liar di sekitar pertanaman padi di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 8(2):90-101. Zein MSA, Prawiradilaga DM. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta [ID]: Kencana prenadamedia group.

LAMPIRAN

114

Lampiran 1 Daftar spesies kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera, Indonesia (F: hutan, J: hutan karet, R: kebun karet, O: kebun sawit). Famili/ Penggunaan Spesies kupu-kupu Gambar Subfamili lahan PAPILIONIDAE

PAPILIONINAE Atrophaneura priapus (Boisduval, 1836) F, J 1 Graphium agamemnon F, J, O, R 2 (Linnaeus, 1758 ) Graphium antiphates Cramer (1885) F, J 3 Graphium eurypylus (Linnaeus, 1758) F, R 4 Graphium ramaceus Westwood, 1872 F, J, O 5 Graphium sarpedon (Linnaeus, 1758) F, J, O, R 6 Pachliopta antiphus (Fabricius, 1793) J, O, R 7 Papilio demoleus Linnaeus, 1758 F, J, O, R 8 Papilio demolion Cramer, [1776)] J 9 Papilio helenus Linnaeus, 1758 F, J, O, R 10 Papilio iswaroides Fruhstorfer, 1898 F, J, O, R 11 Papilio memnon Linnaeus, 1758 F, J, O, R 12 Papilio nephelus Boisduval, 1836 F, J, O, R 13 Papilio polytes Linnaeus, 1758 F, J, O, R 14 Trogonoptera brookiana (Wallace, 1855) F 15 Troides amphrysus (Cramer, [1782]) F 16 PIERIDAE COLIADINAE Catopsilia pomona (Fabricius, 1775) O, R 17 Catopsilia scylla J, O, R 18 (Linnaeus, 1763) Eurema alitha (Felder & Felder, 1862) F, J, O 19 Eurema hecabe (Linnaeus, 1758 ) F, J, O, R 20 Eurema simulatrix Staudinger, 1891 F, J, O, R 21 Gandaca harina (Horsfield, 1829) F, J, O, R 22 PIERINAE Appias lyncida (Cramer, 1777) O 23 Appias olferna Swinhoe, 1890 F, J, O, R 24 Appias pandione Geyer, 1832 F 25 Leptosia nina (Fabricius, 1793) F, J, O, R 26 Udaiana cynis Hewitson, 1866 R 27 NYMPHALIDAE

APATURINAE Eulaceura osteria (Westwood, 1850) F, J, R 28 Euripus nyctelius F, J 29 (Doubleday, 1845) BIBLIDINAE Ariadne ariadne (Linnaeus, 1763) F, J, O, R 30 Laringa castelnaui J 31 (Felder, 1860) 115

Lanjutan Lampiran 1...... Laringa horsfieldi (Boisduval, 1833) F 32 CHARAXINAE Agatasa calydonia (Hewitson, 1855) F, J 33 Agatasa calydonia F 34 (Hewitson, 1855) Charaxes durnfordi F, J, O, R 35 Distant, 1884 Charaxes bernardus (Fabricius, 1793) J 36 Charaxes solon (Fabricius) 1793 F, J, O, R 37 Charaxes (Polyura) hebe (Butler, 1865) F, J 38 CYRESTINAE Chersonesia rahria (Moore, [1858]) F, J 39 Dichorragia nesimachus (Doyere, 1840) F 40 DANAINAE Danaus genutia (Cramer, [1779]) F 41 Danaus melanippus J, O, R 42 (Cramer, 1777) Euploea algea (Godart, [1819]) F 43 Euploea crameri Lucas, 1853 F, J, O, R 44 Euploea phaenareta (Schaller, 1785) F, J, O, R 45 Euploea mulciber (Cramer, [1777]) F, J, O, R 46 Euploea radamanthus (Fabricius, 1793) F 47 Idea lynceus (Drury, 1773) F, J 48 Ideopsis gaura (Horsfield, [1829]) F, J, O 49 Ideopsis juventa (Cramer, [1777]) F, J, O, R 50 Ideopsis vulgaris (Butler, 1874) F, J, O, R 51 Parantica aspasia (Fabricius, 1787) F, J, O, R 52 Parantica luzonensis (Felder & Felder, 1863) F 53 HELICONIINAE Acraea terpsicore (Linnaeus, 1758 ) J, O, R 54 Cethosia hypsea Doubleday, 1847 F, J, O, R 55 Cirrochroa emalea (Guerin-Meneville, 1843) F, J 56 Cirrochroa orissa Felder, 1860 F 57 Cupha erymanthis (Drury, 1773) F, J, O, R 58 Phalanta phalantha (Drury, 1773) R 59 Terinos terpander Hewitson, 1862 F, J, O 60 Vindula erota (Fabricius, 1793) F, J, O 61 LIMENITIDINAE Athyma kanwa (Moore, 1858) F, J, O, R 62 Athyma asura (Moore, 1858) F 63 Athyma pravara (Moore, 1857) F, J 64 Athyma perius (Linnaeus, 1758) F, O, R 65 Athyma reta (Moore, 1858) F 66 Bassarona dunya (Doubleday, (1848)) F 67 Bassarona teuta (Doubleday, 1848) F 68 Dophla evelina (Stoll, 1790) F, J, R 69

116

Lanjutan Lampiran 1...... Euthalia adonia (Cramer, 1782) J, O, R 70 Euthalia agnis (Vollenhoven, 1862) F, J, O, R 71 Euthalia alpheda Godart, 1823 F, J, O, R 72 Euthalia kanda Moore, 1859 R 73 Euthalia mahadeva Moore, 1859 J, O, R 74 Euthalia merta Moore, 1859 J 75 Euthalia monina (Fabricus, 1787) F, J, O, R 76 Euthalia whiteheadi Grose-Smith, 1889 O 77 Lasippa tiga (Moore, 1858) F, J, O, R 78 Lebadea martha (Fabricius, 1787) F, J 79 Lexias pardalis Moore, 1878 F, J, O, R 80 Moduza procris (Cramer, 1777) F, J, O, R 81 Neptis harita Moore, 1874 O 82 Neptis hylas (Linnaeus, 1758) F, J, O, R 83 Neptis nata Moore, 1857 F, J, O, R 84 Neptis duryodana Moore, 1858 R 85 Pandita sinope Moore, 1857 F, O, R 86 Pantoporia aurelia Staudinger, 1886 F 87 Tanaecia coelebs Corbet, 1941 F, J, O, R 88 Tanaecia elone de Niceville, 1893 F, J, O, R 89 Tanaecia palguna (Moore, 1857) F, J, O, R 90 Tanaecia pelea (Fabricius, 1787) F, J, O 91 MORPHINAE Amathusia binghami Fruhstorfer, 1904 F, J, O, R 92 Amathusia perakana Honrath, 1888 F, J, O, R 93 Amathusia phidippus (Linnaeus, 1763) O 94 Amathusia schoenbergi Honrath, 1888 F 95 Discophora necho Felder, 1866 F, J 96 Faunis canens Hübner, 1826 F, J, O, R 97 Faunis gracilis Butler, 1867 F 98 Faunis kirata de Nicéville, 1891 F 99 Xanthotaenia busiris Westwood, 1858 F 100 Thaumantis klugius Zinken-Sommer, 1831 F, J 101 Thaumantis noureddin Westwood, 1851 J 102 Thaumantis odana (Godart, 1824) F 103 Zeuxidia amethystus Butler, 1865 F, J 104 Zeuxidia doubledayi Westwood, 1851 F 105 NYMPHALINAE Doleschallia bisaltide (Cramer, 1779) J, O, R 106 Hypolimnas bolina (Linnaeus, 1758) J, O, R 107 117

Lanjutan Lampiran 1 ...... Junonia almana (Linnaeus, 1758) J, O 108 Junonia atlites (Linnaeus , 1763) J, O, R 109 Junonia hedonia (Linnaeus, 1764) J, O, R 110 Junonia orithya (Linnaeus, 1764) J, O, R 111 Rhinopalpa polynice (Cramer, 1780) F 112 SATYRINAE Coelites epiminthia Westwood, 1851 F, J 113 Coelites euptychioides Felder, 1867 F 114 Elymnias hypermnestra (Linnaeus, 1763) J, O, R 115 Elymnias esaca (Westwood, 1851) F 116 Elymnias nesaea (Linnaeus, 1758) J, O, R 117 Elymnias panthera (Fabricius, 1787) F, J, O, R 118 Elymnias penanga (Westwood, 1851) F 119 Erites argentina Butler, 1868 F, J 120 Lethe mekara Moore, 1857 F, O 121 Melanitis leda (Linnaeus, 1758) J, O, R 122 Melanitis phedima (Cramer, 1780) J, O, R 123 Mycalesis fusca Felder, 1860 F, J, O, R 124 Mycalesis dohertyi Elwes, 1891 F, J, R 125 Mycalesis anapita Moore, 1857 F, J, O, R 126 Mycalesis janardana Moore, 1857 J 127 Mycalesis orseis Hewitson, 1864 J, O, R 128 Mycalesis maianeas Hewitson, 1864 F, J, O 129 Mycalesis mineus (Linnaeus, 1758) F, J, O, R 130 Mycalesis mnasicles Hewitson, 1864 F 131 Mycalesis marginata Moore, 1881 F 132 Mycalesis oroatis Hewitson, 1864 J, O 133 Mycalesis perseus (Fabricius, 1775) F, J, O, R 134 Mycalesis horsfieldi Moore, 1880 J, O 135 Neorina lowii (Doubleday, 1849) F 136 Orsotriaena medus (Fabricius, 1775) J, O 137 Ragadia makuta Fruhstorfer, 1911 F, J 138 Ypthima nebulosa Aoki &Uemura, 1982 F, O, R 139 Ypthima philomela (Linnaeus, 1763) F, O, R 140 Ypthima horsfieldii Moore, 1884 F, J, O, R 141 CURETINAE Curetis tagalica Felder, 1862 F, J 142 Curetis freda Eliot, 1959 F 143

118

Lanjutan Lampiran 1 ...... MILETINAE Allotinus substrigosus Moore, 1884 F, J 144 Allotinus unicolor F, J 145 Felder & Felder, 1865 Logania marmorata J, O 146 Moore, 1884 Miletus gaetulus F, J, O, R 147 de Niceville, 1894 Miletus gopara de Niceville, 1890 J 148 Spalgis epius (Westwood, 1851) J 149 POLYOMMATINAE Acytolepis puspa (Horsfield, 1828) O, R 150 Anthene licaenina F 151 Felder, 1868 F 152 Caleta elna (Hewitson, 1876) Discolampa ethion R 153 (Westwood, 1851) Euchrysops cnejus O 154 (Fabricius, 1798) Everes lacturnus ( F, O 155 Godart, [1824]) Jamides alecto F, J, O, R 156 Felder, 1860 Jamides celeno F, J, O, R 157 (Cramer, 1775) Jamides talinga J 158 Kheil, 1884 Jamides caeruleus J, O 159 Druce, 1873 Jamides philatus Snellen, 1878 J, O 160 Lycaenopsis haraldus (Fabricius, 1787) F 161 Nacaduba kurava (Moore, 1857) F, J, O, R 162 Nacaduba calauria (Felder, 1860) J, R 163 Neopithecops zalmora (Butler, 1870) F, J 164 Prosotas gracilis (Rober, 1886) F, J 165 Zizula hylax (Fabricius, 1775) O, R 166 PORITIINAE Poritia sumatrae (Felder Felder, 1865) F, J 167 THECLINAE Arhopala agesias Hewitson, 1862 168 F, J, R Arhopala agesilaus 169 Staudinger, 1889 Arhopala paraganesa F, J 170 de Niceville, 1882 Arhopala pseudocentaurus F, J, R 171 Doubleday, 1847 Arhopala trogon Distant, 1884 F 172 Catapaecilma elegans (Druce, 1873) F 173 Cheritra freja F 174 (Fabricius, 1793) Dacalana vidura F 175 (Horsfield, 1828) Deudorix epijarbas F, J 176 (Moore, 1858) Drupadia niasica F, J 177 (Rober, 1886) Drupadia ravindra F, J, O, R 178 (Horsfield, 1829) Eliotia jalindra F 179 (Horsfield, 1829) Eooxylides tharis F, J, O, R 180 (Geyer, 1837) Flos fulgida J 181 (Hewitson, 1863) 119

Lanjutan Lampiran 1 ...... Hypolycaena merguia F 182 Doherty, 1889 Iraota rochana J, O 183 (Horsfield, 1829) Loxura atymnus (Cramer, 1780) F 184 Rapala dieneces (Hewitson, 1878) F, J, O 185 Rapala domitia (Hewitson, 1863) F 186 Rapala rhodopis de Nicéville, 1896 F 187 Rapala manea (Hewitson, 1863) F, J, O 188 Sithon nedymond (Cramer, 1782) J, O, R 189 Spindasis lohita (Horsfield, 1829) F, J, O 190 Surendra vivarna (Hewitson, 1862) F, R 191 Thamala marciana (Hewitson, 1863) F 192 RIODINIDAE NEMEOBIINAE Abisara echerius (Stoll, 1790) F, J, O, R 193 Abisara savitri Felder & Felder, 1860 F 194 Paralaxita orphna (Boisduval, 1836) F, J, O, R 195 Taxila haquinus (Fabricius, 1793) F, J, O 196 Zemeros emesoides Felder & Felder, 1860 F, J, O, R 197 Zemeros flegyas (Cramer, 1780) R 198

120

Lampiran 2 Gambar spesies kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera (Gambar mengacu pada Lampiran 1)

Famili Papilionidae

i. Subfamili Papilioninae

1. Atrophaneura priapus 2. Graphium agamemnon

3. Graphium antiphates 4. Graphium eurypylus

121

5. Graphium ramaceus 6. Graphium sarpedon

7. Pachliopta antiphus 8. Papilio demoleus

9. Papilio demolion 10. Papilio helenus

122

11. Papilio iswaroides 12. Papilio memnon

13. Papilio nephelus 14. Papilio polytes

16. Troides amphrysus Foto: Spesimen yang tersimpan di Museum 15. Trogonoptera brookiana Zoologi Bogor (LIPI).Cibinong

123

Famili Pieridae

i. Subfamili Coliadinae

17. Catopsilia pomona 18. Catopsilia scylla

20. Eurema hecabe 19. Eurema alitha

21. Eurema simulatrix 22. Gandaca harina

124

i. Subfamili Pierinae

23. Appias lyncida 24. Appias olferna

25. Appias pandione 26. Leptosia nina

27. Udaiana cynis

125

Famili Nymphalidae

i. Subfamili Aparturinae

28. Eulaceura osteria 29. Euripus nyctelius

ii. Biblidinae

30. Ariadne ariadne 31. Laringa castelnaui

32. Laringa horsfieldi

126

iii. Charaxinae

33. Agatasa calydonia 34. Charaxes durnfordi

35. Charaxes bernardus 36. Charaxes solon

37. Charaxes (Polyura) hebe 38. Prothoe franck 127

iv. Cyrestinae

39. Chersonesia rahria 40. Dichorragia nesimachus

v. Danainae

41. Danaus genutia 42. Danaus melanippus

128

43. Euploea algea 44. Euploea crameri

45. Euploea phaenareta 46. Euploea mulciber

47. Euploea radamanthus 48. Idea lynceus

129

Fig. 52. Ideopsis vulgaris. Fig. 53. Parantica aspasia.

49. Ideopsis gaura 50. Ideopsis juventa

Ideopsis vulgaris 51. 52. Parantica aspasia

53. Parantica luzonensis.

130

vi. Heliconiinae

Fig. 82. Cirrochroa emale. Fig. 83. Cupha arias.

54. Acraea terpsicore 55. Cethosia hypsea

56. Cirrochroa emalea 57. Cirrochroa orissa

58. Cupha erymanthis 59. Phalanta phalanta 131

60. Terinos terpander 61. Vindula erota

vii. Subfamili Limenitidinae

62. Athyma kanwa 63. Athyma asura

64. Athyma pravara 65. Athyma perius

132

66. Athyma reta 67. Bassarona dunya

68. Bassarona teuta 69. Dophla evelina

70. Euthalia adonia Euthalia agnis 71. 133

72. Euthalia alpheda 73. Euthalia kanda

74. Euthalia mahadeva 75. Euthalia merta

76. Euthalia monina 77. Euthalia whiteheadi

134

78. Lasippa tiga 79. Lebadea martha

80. Lexias pardalis 81. Moduza procris

Fig. 106. Lexias pardalis. Fig. 107. Moduza procris.

82. Neptis harita 83. Neptis hylas

135

84. Neptis nata 85. Neptis duryodana

86. Pandita sinope 87. Pantoporia aurelia

88. Tanaecia coelebs 89. Tanaecia elone

136

90. Tanaecia palguna 91. Tanaecia pelea

viii. Subfamili Morphinae

92. Amathusia binghami 93. Amathusia perakana

94. Amathusia phidippus 95. Amathusia schoenbergi 137

96. Discophora necho 97. Faunis canens

98. Faunis gracilis 99. Faunis kirata

100. Xanthotaenia busiris 101. Thaumantis klugius

138

102. Thaumantis noureddin 103. Thaumantis odana

104. Zeuxidia amethystus 105. Zeuxidia doubledayi

139 139

ix. Subfamili Nymphalinae

106. Doleschallia bisaltide 107. Hypolimnas bolina

108. Junonia almana 109. Junonia atlites

110. Junonia hedonia 111. Junonia orithya

140

112. Rhinopalpa polynice

x. Subfamili Satyrinae

113. Coelites epiminthia 114. Coelites euptychioides

115. Elymnias hypermnestra 116. Elymnias esaca 141

117. Elymnias nesaea 118. Elymnias panthera

119. Elymnias penanga 120. Erites argentina

142

121. Lethe mekara 122. Melanitis leda

123. Melanitis phedima 124. Mycalesis fusca

125. Mycalesis dohertyi 126. Mycalesis anapita

143

127. Mycalesis janardana 128. Mycalesis orseis

129. Mycalesis maianeas 130. Mycalesis mineus

131. Mycalesis mnasicles 132. Mycalesis marginata

144

133. Mycalesis oroatis 134. Mycalesis perseus

135. Mycalesis horsfieldi 136. Neorina lowii 145

137. Orsotriaena medus 138. Ragadia makuta

139. Ypthima nebulosaa 140. Ypthima philomela

141. Ypthima horsfieldii

146

Famili Lycaneidae

i. Subfamili Curetinae

142. Curetis tagalica 143. Curetis freda

ii. Subfamili Miletinae

144. Allotinus substrigosus 145. Allotinus unicolor

8 146. Logania marmorata 147. Miletus gaetulus

147

Fig. 150. Miletus gopara.

Spalgis epius 148. Miletus gopara 149.

iii. Subfamili Polyommatinae

150. Acytolepis puspa 151. Anthene licaenina

152. Caleta elna 153. Discolampa ethion

148

154. Euchrysops cnejus Everes lacturnus 155.

156. Jamides alecto 157. Jamides celeno

158. Jamides talinga 159. Jamides caeruleus

149

160. Jamides philatus 161. Lycaenopsis haraldus

162. Nacaduba kurava 163. Nacaduba calauria

164. Neopithecops zalmora 165. Prosotas gracilis

150

166. Zizula hylax

iv. Subfamili Poritiinae

167. Poritia Sumaterae

v. Subfamili Theclinae

168. Arhopala agesias 169. Arhopala agesilaus 151

170. Arhopala paraganesa 171. Arhopala pseudocentaurus

. 172. Arhopala trogon 173. Catapaecilma elegans

Fig. 176. Cheritra freja. Cheritra freja Dacalana vidura 174. 175.

152

176. Deudorix epijarbas 177. Drupadia niasica

178. Drupadia ravindra 179. Eliotia jalindra

180. Eooxylides tharis 181. Flos fulgida

153

182. Hypolycaena merguia 183. Iraota rochana

184. Loxura atymnus 185. Rapala dieneces

186. Rapala domitia 187. Rapala rhodopis

154

188. Rapala manea 189. Sithon nedymond

190. Spindasis lohita 191. Surendra vivarna

192. Thamala marciana 155

Famili Riodinidae

i. Subfamili Nemeobiinae

19 3. Abisara echerius 194 . Abisara savitri

195. Paralaxita orphana 196 . Taxila haquinus

197. Zemeros emesoides 198. Zemeros flegyas

156

Lampiran 3 Kunci identifikasi untuk lima spesies Arhopala dari subfamili Theclinae

Identifikasi Arhopala yang dilakukan merujuk pada Seki et al. (1991) dengan menggunakan kunci identifikasi sebagai berikut: 1 (2) Palpi segmen kedua berbulu. 2 (5) Sayap depan dengan sebelas vena; sayap belakang hanya berekor di vena 2...... THECLINI 3 Sayap depan dengan sepuluh vena; sayap belakang berekor pada vena lb, 2 dan 3...Catapaecilmatini 4 Sayap depan dengan vena 6 dan 7 terhubung dari apex sel; sayap belakang tak berekor. Antena nudum dilintasi oleh band-band segmental yang dimulai pada bagian bawah ...... LUCIINI 5 (6) vena 6 dan 7 pada sayap depan terpisah pada asalnya; sayap belakang biasanya berekor. Antena nudum tidak diikat di klub. 6 (8) Sayap belakang tidak berekor pada vena 1b atau, (dapat bergigi sebentar di sana); ekor pada vena 2, jika ada, relatif pendek (kurang dari setengah sayap). Sayap bagian bawah bukan putih...... ARHOPALINI 7 Sayap belakang berekor pada vena lb atau, il berekor hanya pada vena 2, baik ekornya lebih panjang dari hall aula atau Un pada umumnya putih. Perbedaan utama terletak pada alat kelamin pria...... LOXURINI, CHERITRINI, HORAGINI 8 (9) Sayap depan dengan asal vena 5 lebih dekat ke vena 6 daripada vena 4. 9 (11) Bagian bawah pada sayap depan dengan bilah sel akhir dan biasanya dengan tempat sentral dan subbasal di dalam sel. Sayap depan dengan vena 9 relatif panjang, timbul berlawanan, atau tepat sebelum, akhir vena l0...... Arhopala 10 Bagian bawah pada sayap depan dengan sel lebih atau kurang dihitamkan atau ditutup oleh pita gelap. Sayap depan Vena 9 pendek, timbul jauh melampaui ujung vena 10...... Flos 11 (12) Tidak ada ekor berujung putih di bagian ujungnya 3. Bagian bawah pada sayap depan tidak terdapat spot atau bintik pada vena 1a. 12 (13) Sel pada sayap belakang pendek, kurang dari setengah sayap pada kedua jenis kelamin. Bagian bawah pada sayap depan dengan bintik-bintik sel berwarna perak kehijauan. 13 Sayap belakang terdapat tornus bulat, lobus sobek vestigial. Khusus jantan, sayap atas berwarna violet-blue, berbatasan utas; betina ungu biru. Panjang sayap 26-30 mm...... A. pseudocentaurus 14 (15) Sel 4 pada sayap belakang sekitar setengah panjang sayap atau lebih panjang. Bintik-bintik sel bagian bawah pada sayap depan tidak bewarna perak kehijauan. 15 (16) Kedua sayap dengan batang di ujung sel.

157

16 Sayap bawah terdapat rambut coklat dan bintik-bintik bulat ...... A. agesias 17 Bagian bawah pada sayap depan dengan spot sel basal, seperti biasa, Sayap bagian atas jantan berwarna ungu, batas sayap depan 2mm pada tornus meningkat menjadi 4 mm di puncak. Bagian atas sayap belakang pada betina sekitar 5mm, panjang sayap depan 20 mm ...... A. agesilaus 18 Bagian bawah pada sayp berwarna ungu pucat. Sayap bagian atas pada jantan berwarna biru di pangkalan sayap kuat; Sayap depan membatasi sebuah spot coklat. Panjang sayap depan 18-21 mm ...... A. trogon 19 Warna sayap cokelat pucat. Warna sayap pada jantan berwarna biru pucat dengan sedikit ungu, di tornus meningkat menjadi 3 mm dari apex. Panjang sayap depan 15 mm ...... A paraganesa.

158

Lampiran 4 Vegetasi yang terdapat di dalam plot perlakuan pada BEEP 5m X 5m Total 10m x 10m Total 20m x 20m Total 40m x 40m Total Total Nama spesies P06 P18 P31 P42 05x05 P04 P11 P13 P20 10x10 P12 P15 P17 P30 20x20 P01 P05 P43 P45 40x40 Adiantum latifolium - - - - - 7 - 6 - 13 ------13 Ageratum conyzoides ------2 - - - 2 - - - - - 2 Alstonia scholaris - 3 - - 3 - - 1 - 1 ------4 Archidendron pauciflorum* ------1 1 - 7 - - 7 - 10 - - 10 18 Asystasia gangetica 19 15 11 12 57 6 12 17 15 50 15 15 16 27 73 17 29 16 15 77 257 Bambusa sp - - - - - 35 - 44 - 79 - - 22 - 22 52 - - 20 72 173 Centotheca lappacea - 1 - 2 3 - - - - - 4 - - - 4 7 - - - 7 14 Centrosema pubescens ------4 4 - - 4 - 4 - - - - - 8 Christella parasitica ------13 2 - - 15 15 Chromolaena odorata ------3 3 ------3 Clibadium surinamensis ------171 - - - 171 171 Clidemia hirta 26 33 35 35 129 27 28 55 50 160 46 65 52 35 198 46 69 31 44 190 677 Cystococcum patens 3 8 9 15 35 2 1 8 25 36 1 39 13 4 57 6 8 16 21 51 179 Durio zibathinus* - - 11 - 11 - - - - - 4 - - - 4 - - 6 - 6 21 Dyera polyphylla* - - - 5 5 ------5 Echinochloa colonum ------1 - - - 1 - - - - - 1 Etlingera hamisphaerica - 2 - - 2 - 4 - - 4 ------6 Ficus sp - - 1 - 1 ------1 1 2 Hyptis capitata ------2 - 2 - - - - - 2 Imperata cylindrica ------1 1 ------2 - 2 3 Lygodium cf salicifolium - 9 - - 9 - 14 1 5 20 2 4 2 4 12 4 1 4 1 10 51 Macaranga sp 7 - - - 7 2 8 2 7 19 12 2 - 5 19 2 2 3 - 7 52 Mallotus peltatus ------2 - - - 2 - - - - - 2 Melastoma malabathricum - 2 1 3 6 19 12 - 25 56 38 25 43 - 106 33 21 38 9 101 269 Mikania micrantha ------37 - 3 - 40 4 - 11 - 15 55 Molineria latifolia ------1 - - - 1 - - - - - 1 Lanjutan lampiran 4 Musa paradisiaca ------4 2 - 6 ------6 Nephrolepis bisserta 4 - 9 - 13 4 1 1 34 40 7 10 9 2 28 7 19 10 1 37 118 Nephrolepis exaltata 9 13 32 25 79 13 23 6 12 54 15 14 17 42 88 5 15 8 36 64 285 Parkia speciosa* ------3 - - - 3 3 Paspalum conjugatum ------4 - - 4 4 Peronema canescens* 5 3 - - 8 - - 4 - 4 - - - 6 6 - - - 13 13 31 Phyllanthus sp ------4 - 4 ------2 2 6 Scleria cf sumatrensis 1 1 - - 2 1 - - 1 2 - 1 - 1 2 - 1 1 - 2 8 Scleria levis - - - - - 2 - - - 2 - - - - - 1 1 - - 2 4 Selaginella intermedia - - 1 1 2 - - 2 - 2 ------4 - 4 8 Senna alata ------1 1 1 Shorea leprosula* ------1 - 1 - - - - - 1 Solanum jamaicense ------2 - 2 ------2 Stachytarpheta jamaicensis ------1 1 1 Total Individu 74 90 110 98 372 118 107 155 183 563 187 182 184 126 679 371 182 150 165 868 2482 Total Spesies 8 11 9 8 17 11 10 15 13 23 15 10 12 9 22 15 13 13 13 26 40 Keterangan: * (Tanaman yang ditanam di dalam plot) - (tidak ditemukan di dalam plot)

159

160

Lampiran 5 Vegetasi yang terdapat di dalam plot kontrol pada BEEP 05X05 10X10 20X20 40x40 Nama Spesies Total P40 P37 P10 P35 Asystasia gangetica 7 12 7 10 36 Bambusa sp - - - 48 48 Centrosema pubescens 2 - - - 2 Chromolaena odorata - - 25 - 25 Clibadium surinamensis - - 159 - 159 Clidemia hirta 30 45 85 31 191 Cystococcum patens 8 10 - 35 53 Ficus sp - 16 - 17 33 Imperata cylindrica - - 1 - 1 Lygodium cf salicifolium - 5 5 12 22 Macaranga sp - - 11 - 11 Melastoma malabathricum - - 55 46 101 Mikania micrantha - - 11 - 11 Nephrolepis bisserta 3 1 1 6 11 Nephrolepis exaltata 32 44 2 35 113 Phyllanthus sp - - 10 - 10 Scleria cf sumatrensis 1 2 9 - 12 Selaginella intermedia 2 - - - 2 Solanum jamaicense - - 1 - 1 Total Individu 85 135 382 240 842 Total Spesies 8 8 14 9 19 Keterangan: - (tidak ditemukan pada plot)

161

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan (Lumban Baringin) 7 Juni 1982 dari pasangan Bapak S. Panjaitan (alm) dan Ibu R. Siagian. Penulis merupakan anak ke-6 dari delapan bersaudara. Penulis menikah dengan Jackson Kennedy Tampubolon dan telah dikaruniai Tuhan dengan 2 orang putri, yaitu: Rachel Easter Berliana Tampubolon dan Teresa Ratu Juliana Tampubolon. Penulis memperoleh gelar sarjana (S.Si) dari Universitas Cenderawasih Jayapura Papua pada tahun 2004. Gelar master (M.Si) diperoleh dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011. Pada tahun 2016 penulis mengikuti program Doktor Entomologi di Institut Pertanian Bogor. Pada saat pendidikan, penulis mendapatkan beasiswa dari LPDP melalui program BUDI-DN selama empat tahun. Penelitian juga didukung oleh proyek CRC 990 EFForTS. Penulis merupakan staf dosen tetap di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Papua Manokwari sejak Tahun 2005. Penulis pernah menjabat sebagai Kepala laboratorium Zoology Unipa dan Ketua Jurusan Biologi di Universitas Papua periode 2012-2016. Penulis juga aktif dalam pertemuan ilmiah nasional dan internasional yang berhubungan dengan entomologi dan biologi selama pendidikan. Penulis telah menulis publikasi yang berjudul “Diversity of butterflies (Lepidoptera) caught by using fruit traps in Bukit duabelas and Harapan Forest landscape, Jambi” dan telah terbit pada AIP Conference Proceedings. Penulis juga telah menulis publikasi yang berjudul “How will oil palm expansion affect to butterflies diversity in Jambi, Indonesia?” dan telah terbit pada Prosiding AIP Conference Proceeding. Penulis juga ikut sebagai Author dalam publikasi yang berjudul” Trade-offs between multifunctionality and profit in tropical smallholder landscapes dan telah terbit pada Nature Communications. Hasil dari penelitian ini juga di publikasi dan telah terbit di Jurnal Internasional terindeks scopus (Q3) Biodiversitas Volume 21, halaman 5119-5127 tahun 2020 dengan judul “Diversity of butterflies (Lepidoptera) across rainforest transformation systems in Jambi, , Indonesia”. Selain itu, penulis juga sedang menyusun buku yang berjudul “The butterflies of Eastern Jambi, Sumatera, Indonesia (An EFForTS Field Guide)” yang akan diterbitkan oleh LIPI Press pada tahun 2021.