KEGAGALAN MODERNISASI PARTAI POLITIK DI ERA REFORMASI

THE FAILURE OF POLITICAL PARTIES MODERNIZATION IN THE RE F ORM ERA

Moch. Nurhasim

Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail: [email protected] Diterima: 12 Februari 2013; direvisi: 15 April 2013; disetujui: 12 Juni 2013

Abstract

The development of political parties in the reform era tends to confirm the growth of catch all parties rather class-based parties. The presence of strong man or charismatic leader that overtakes party’s constitution and sometimes terimates legal-formal process also becomes an iconic phenomenon in this era. In this regard, such a phenomenon over time has obscured institutionalization process and makes the development of institutions left behind. Some “traditional ways” which overshadow democratic and rational process still play important roles in creating party structures or committees. Even though the present of charismatic leaders to some extent provide some advantages, in particular to attract traditional voters, in the long run it creates more damages for parties’ existence. Keywords: traditional party, modern party, personalization, factionalization

Abstrak

Pertumbuhan partai-partai politik di era reformasi cenderung mengarah pada partai yang tidak memiliki basis kelas (class-based parties). Partai yang tumbuh lebih mirip sebagai catch all party. Partai politik juga dibayang- bayangi oleh personalisasi yang dapat berasal dari orang yang berpengaruh atau orang kuat. Pengarah personalisasi yang kuat menyebabkan masuknya unsur-unsur tradisional dalam struktur partai yang menyebabkan kelembagaan partai tidak berfungsi bahkan hampir tidak memiliki institusi kelembagaan. Walaupun pengarah tradisional tersebut dijadikan sebagai strategi dalam mendulang suara, dalam kenyataannya justru lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Kata Kunci: partai tradisional, partai modem, personalisasi, faksionalisasi

Pendahuluan kannya. Dari segi pendirian partai politik dapat Partai politik adalah instrumen demokrasi yang dibedakan menjadi dua tipe, yakni pertama, mendasar. Melalui partai-partai politik itulah partai politik yang muncul secara alamiah; dan sejumlah posisi jabatan di pemerintahan dan kedua adalah partai politik yang kelahiran­ parlemen akan diisi. Sebagai sumber produksi nya dipaksakan oleh negara. Tipe pertama dan reproduksi kekuasaan menjadikan partai terjadi minimal pada awal kemerdekaan setelah politik diminati oleh banyak kalangan, khususnya pemerintah melalui Maklumat 10 November bagi mereka yang ingin berkuasa. 1945 yang ditandatangani oleh Mohammad Hatta membuka kebebasan berserikat. Kondisi Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, itu hampir mirip dengan era reformasi, setelah pertumbuhan partai-partai politik tidak dapat kebebasan berserikat dibuka, partai-partai politik dicegah, apalagi jika aturan formal memboleh­ tumbuh dan berkembang. Tipe kedua terjadi di

Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 17 era Orde Baru, di mana Orde Baru yang ditopang melatarbelakangi lahirnya partai-partai politik oleh militer melakukan pemaksaaan peleburan di era reformasi. Kedua, pengaruh faktor per­ (fusi) partai politik warisan Orde Lama. Pendirian sonal terhadap pendirian partai politik. Ketiga, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai personalisasi terhadap modernitas partai politik. Persatuan Pembangunan (PPP) yang pertama kali ikut pada Pemilu 1977 adalah hasil pemaksaan Faktor Pembelahan Masyarakat dalam oleh negara.1 Pendirian Parpol Proses itu dilakukan untuk mengakhiri Politik aliran seperti pernah disinggung oleh politik aliran warisan Orde Lama. Sayangnya, Clifford Geertz dalam hasil penelitiannya proses yang dilakukan secara paksa itu ternyata di Mojokuto, Jawa Timur, tahun 1950-an tidak memudarkan politik aliran itu. Fusi dan memperlihatkan pemilahan sosial yang bersifat kanalisasi politik melalui dua partai besar, PDI cummulative atau Consolidated karena prosesnya dan PPP, hanya secara semua mengelompokkan telah berlangsung lama. Dari dikotomi santri partai ke dalam wadah yang rapuh. versus abangan—walaupun telah banyak kritik Politik aliran ini pada hakikatnya adalah dilontarkan, kategorisasi itu masih dianggap metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik relevan dalam menjelaskan politik aliran di Indonesia, di mana partai-partai yang tumbuh di Indonesia. Afan Gaffar menyebut bahwa pada awal kemerdekaan melakukan mobilisasi orang-orang abangan memiliki orientasi politik dengan membentuk sejumlah auziliary organiza- dan ekonomi yang berbeda dengan orang- tions dalam rangka pemilihan umumi 955.* 2 Meta­ orang santri. Orang-orang abangan cenderung fora itu digambarkan oleh Afan Gaffar sebagai memilih untuk berpihak pada partai politik yang “Partai politik merupakan sebuah sungai besar, tradisional, sekular, dan nasionalistik. Sementara di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, itu, orang-orang santri cenderung memilih untuk baik yang besar maupun kecil. Dalam kehidupan berpihak pada partai-partai Islam.5 Frasa tersebut kepartaian, aliran merupakan perwujudan dari memang dapat disebut simplistik, namun hal itu pembentukan dukungan melalui mobilisasi merupakan gambaran umum walaupun tidak massa.”3 Basis pembentukan organisasi sosial ajeg karena dalam sejarah politik di Indonesia, dan politik di awal kemerdekaan adalah orientasi Islam sebagai kekuatan mayoritas tidak pernah dan perilaku keagamaan.4 mendukung sepenuhnya terhadap partai-partai Perkembangan selanjutnya, setelah Orde yang berbasis agama. Sejarah pemilu-pemilu di Baru “runtuh” pada 1998—dengan mundurnya Indonesia mengilustrasikan bahwa partai-partai Soeharto, gejala pertumbuhan organisasi sosial yang didasari oleh agama tidak pernah menjadi dan politik era reformasi mirip dengan yang pemenang pemilu. terjadi pada awal kemerdekaan. Orientasi dan Dalam konteks pertumbuhan partai politik perilaku keagamaan sebagai basis politik bahkan mungkin yang disebut Afan Gaffar ada benarnya, makin menguat dan membesar. Fenomena pengu­ bahwa suasana itu merefleksikan orientasi elit langan dan penguatan kembali partai politik atas politik. Refleksi dari elit politik dalam pertum­ dasar aliran seperti itu perlu penjelasan secara buhan partai politik di era reformasi disebut oleh akademik, minimal, mengapa hal itu terjadi? World Encyclopedia of Political Systems and Lebih jauh, apa implikasinya bagi partai politik Parties mirip dengan gejala tumbuhnya partai di era transisi? Atas dasar dua hal itu, tulisan era 1950-an.6 Pada era itu kehidupan partai-partai ini akan memfokuskan pembahasannya pada politik ditandai oleh pertumbuhan partai politik tiga hal, yaitu p erta m a , faktor-faktor yang yang sangat besar, di mana ideologinya mewakili keberagamaan yang ada di masyarakat. Gejala ' Tim Peneliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, (Bandung: seperti yang pernah diungkap oleh Feith dan Mizan, 1999), hlm. 141-142.

2 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, 5 Ibid., hlm. 126. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 125. 6Neil Schlager and Jayne Weisblatt (Eds.), World Encyclopedia 1 Ibid. o f Political Systems and Parties, fourth edition, (New York: 4 Ibid. Facts on File, Inc., 2006), hlm. 611.

18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28 Castle yang kemudian dielaborasi oleh Daniel kekuatan yang ada di masyarakat secara terbalik Dhakidae menggambarkan bahwa pertumbuhan diwakili pula pada organisasi kepartaian yang partai-partai politik di era reformasi masih didirikan. Artinya, partai politik yang didirikan mewakili fragmentasi dan polarisasi berdasarkan adalah proses penyerapan pembelahan yang jalur kelas aliran.7 Walaupun dalam catatan terjadi pada masyarakat, baik karena atas dasar Dhakidae, relatif ada modifikasi dari ideologi agama, etnik, kebangsaan, maupun kota/desa. lama yang digambarkan oleh Feith dan Castle Dalam praktik politik di Indonesia, khususnya bukan lagi atas dasar Islam, nasionalisme radikal, sejak era pendirian partai awal kemerdekaan komunisme, sosialisme demokrat, dan tradisio­ dan reformasi, umumnya partai-partai politik nalisme Jawa. Dhakidae membaginya menjadi lebih mewakili agama, kelas, dan kebangsaan. dua sumbu, yaitu sumbu vertikal dan sumbu Sementara itu, dimensi kota/pedesaan jarang horizontal. Sumbu vertikal memisahkan dua menjadi alasan yang mendorong pendirian kutub partai yang berdasarkan agama dan partai sebuah partai politik. Kecuali pada satu kasus yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horizontal menjelang Pemilu 2009, fenomena desa sebagai memisahkan dua kutub lainnya berdasarkan alasan dalam mendirikan partai dapat diwakili kelas, yaitu developmentalisme dan sosialisme oleh berdirinya Partai Parade Nusantara. Sayang, radikal.8 Parade Nusantara tidak lolos sebagai partai Gejala tumbuh kembangnya partai politik politik pada saat mendaftarkan diri di Kemenkum yang terjadi di Indonesia, baik pada era 1950-an HAM karena dianggap tidak memenuhi syarat. maupun era reformasi tersebut mirip dengan hasil Faktor yang memengaruhi pendirian partai- studi S.M. Lipset dan Rokkan (social cleavage partai politik sebenarnya berbeda-beda. Di era approaches to party systems), khususnya di penjajahan, pendirian organisasi dan kepartaian wilayah Eropa Barat, bahwa sistem kepartaian di antaranya dimaksudkan sebagai alat perjuang­ pada era 1960-an di wilayah itu adalah sebuah an politik melawan penjajah. Sementara itu, di refleksi atas pembelahan struktur masyarakat.9 masa awal kemerdekaan, khususnya setelah Teori pembelahan sosial dari Lipset me­ maklumat 7 November 1945 berdirilah banyak nyebut bahwa dalam sistem kepartaian, pemilih partai politik, seperti Masyumi, NU, PKI, dan mengidentifikasi kepentingan mereka atas dasar PNI. Selain didorong oleh faktor kepentingan posisi sosiologi masyarakat atas dasar kelas, aliran, juga disebabkan oleh adanya peluang agama, etnik, kebangsaan, dan kota/desa. diperbolehkannya pendirian partai politik. Pembentukan partai politik juga didasari pre­ Adanya peluang itulah yang mendorong ferensi mereka atas posisi sosial tersebut (kelas, tumbuhnya partai-partai politik baru di era refor­ agama, etnik atau kebangsaan dan sektor kota/ masi. Di era ini, pertumbuhan partai-partai politik pedesaan).10 11 ibarat jamur di musim hujan. Menyongsong Alasan-alasan kepentingan dan posisi sosial Pemilu 1999 pemilu pertama era reformasi, 141 inilah yang mendorong munculnya partai politik partai tercatat sebagai organisasi yang memiliki yang cenderung mewakili basis sosial-politiknya. badan hukum partai politik dan tercatat di Pengaruh pembelahan struktur masyarakat Departemen Kehakiman dan HAM. terhadap kepartaian itu di antaranya disebabkan Dari 141 partai politik tersebut, orientasi dan oleh berlakunya prinsip cermin, bahwa kekuatan- politik keagamaan yang menjadi basis pendirian partai sangat beragam. Ada yang didirikan 7 Mengenai hal ini dapat dilihat pada Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” atas dasar gender, seperti Partai Perhimpunan Jurnal Demokrasi dan HAM., 2000, hlm. 124-125. Indonesia; ada yang merupakan sempalan dari 8 Ibid. , seperti Partai MKGR; ada partai yang 9 Peter Mair, Party System Change, Aprroaches and Interpre- dibentuk atas identitas seperti Partai Tionghoa tations, (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 3. Indonesia (PARTI).'1 Ada partai yang didirikan 10 Scott Mainwaring and Mariano Torcal, “Party System In­ stitutionalization and Party System Theory After the Third atas dasar orientasi politik masa lalu, seperti Wave of Democratization”, Working Paper #319-April 2005, Partai Bulan Bintang (PBB) dengan mengusung Kellogg Institute (The Helen Kellogg Institute for International Studies), hlm. 12. 11 Afan Gaffar, op. cit., hlm. 316.

Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 19 Tabel 1. Perbandingan Peserta Pemilu 1999, 2004, dan 2009

Pemilu 1999 Pemilu 2004 Pemilu 2009 44 Partai Peserta Pemilu 24 Partai Peserta Pemilu 38 Partai Peserta Pemilu Partai Partai Lama Partai Baru Berdiri Partai Lama Partai Baru Berdiri PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PDIP, Partai Demokrat, PKPB, Gerindra, Partai Keadilan, PKP, PNU, PDKB, Golkar, PKS, PKPI, Hanura, PBI, PDI, PP, PDR, PSII, PNI Front PPP, PKPI, PPNUI, PD, PPRN, Marhaenis, PNI Massa Marhaen, PKB, PDS, Golkar, Barnas, RepublikaN, IPKI, PKU, Masyumi, dan PKD, PAN, PBSD, PDI-P, PKDI, Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, PBB, Partai Merdeka, PKS, PKNU, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai PNI Marhaenisme, PBR, PAN, PPNU, KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, PBB, PSI, PIB, PIS, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PIB, PKPB, PPP, PMB PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, PNBK, PBK, PKB, Partai Kedaulatan SPSI, PUMI, PSP, dan PARI. Partai Pelopor Partai Pariot Pan­ PNI Marhaenis­ casila, me, PKP, PPD, PPDI, PDK, Partai Pelopor, PDS, PBB, PBR, P P, Partai Merdeka, PSi, Partai Buruh kembali idiom-idiom Partai Masyumi yang telah IPKI, PKU, Masyumi, dan PKD.13 Sisanya, 27 lama “mati”. Di kalangan umat Islam misalnya, partai politik tidak memperoleh dukungan suara Deliar Noer (alm.) menghendaki didirikannya yang signifikan, dan gagal mendulang kursi sebuah partai Islam sebagai penampung aspirasi DPR.14 Rata-rata perolehan suara mereka sangat umat. Didukung oleh beberapa aktivis Islam, kecil, bahkan dari 27 partai yang tidak mendapat mereka akhirnya mendirikan Partai Umat Islam kursi jumlah suaranya hanya 706.447 atau 0,67% (PUI).12 Kalangan Islam tradisionalis, yakni dari suara yang sah. Dalam perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya memelopori selanjutnya, partai-partai tersebut tetap tercatat berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). sebagai partai politik, tetapi sebenarnya hanya PKB dapat disebut lahir dari rahim tokoh-tokoh tinggal papan nama. NU, khususnya . Demikian pula dengan lahirnya partai-partai agama Perkembangan Partai Tradisional lainnya, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Pasca-Pemilu 1999 Partai Keadilan (PK)—Partai Keadilan Sejahtera Pendirian partai-partai politik di era awal (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai reformasi, khususnya menjelang Pemilu 1999 Bintang Reformasi (PBR). yang dicirikan oleh kuatnya faktor pembelahan Setelah dilakukan verifikasi partai politik masyarakat dan kepentingan politik serta politik yang memiliki badan hukum tersebut, 48 partai aliran, hampir “tidak” mencolok menjelang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu. Hasil Pemilu 2004 dan 2009. Memang masih ada Pemilu 1999 mencatat bahwa dari 48 partai beberapa partai baru yang tumbuh atas dasar peserta pemilu, hanya 21 partai yang mampu mendudukkan calonnya sebagai anggota DPR, 13 Komisi Pemilihan Umum, www.kpu.go.id. yakni PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, Partai 14 Data KPU menyebut bahwa di partai yang tidak mem­ Keadilan, PKP, PNU, PDKB, PBI, PDI, PP, PDR, peroleh kursi adalah Partai Keadilan, PNU. PBI, PDI, Masyumi, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, P KM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI. Sumber Komisi 12 Ibid. Pemilihan Umum, www.kpu.go.id.

20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28 orientasi dan kepentingan keagamaan atau Dari fenomena pasang surut partai politik kepentingan kelompok, tetapi ada faktor lain sejak Pemilu 1999,2004, dan 2009, terdapat pola yang menyebabkan munculnya partai baru, yakni bahwa partai-partai politik baru yang merupakan perpecahan pada tubuh partai politik dan ambisi pecahan ideologi nasionalis dan pembangunan beberapa tokoh di luar partai untuk mendirikan relatif memperoleh dukungan ketimbang partai- partai politik. Sebagian besar partai-partai baru partai baru yang mengusung ideologi agama, yang lahir setelah Pemilu 1999, 2004, dan 2009 seperti Islam dan Kristen. Sebagai contoh, disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. lahirnya PD pada Pemilu 2004 merupakan Tabel 1 menggambarkan eksistensi partai partai yang lahir dari sebagian orang yang men­ tertentu pada setiap Pemilu. Data tersebut dukung ideologi nasionalis dan sebagian yang juga menggambarkan hilang dan tumbuhnya mendukung ideologi religius (keagamaan). partai politik khususnya setelah Pemilu 1999 Sementara itu, pada Pemilu 2009, dua partai dan menjelang Pemilu 2004 dan 2009. Hasil yang merupakan pecahan partai Golkar, yakni Pemilu 1999 merupakan titik awal bagi sejumlah Gerindra dan Hanura memperoleh dukungan partai politik menjadi partai yang memiliki dari masyarakat walaupun tidak sespektakuler dukungan atau memiliki eksistensi. Dari 21 kemunculan Partai Demokrat. Sebaliknya, parpol yang memperoleh kursi DPR dan sejumlah partai-partai yang mengusung ideologi agama kursi DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, terseleksi atau identitas keagamaan seperti PKNU, PMB, menjadi 13 parpol peserta Pemilu 2004. Tiga PBB, dan PBR, justru tidak mampu menggeser belas partai itu adalah Partai Golkar, PDI-P, dukungan partai-partai yang bersandar pada du­ PKB, PPP, PD, PKS, PAN, PBB, PBR, PDS, kungan pemilih tradisional dari umat Islam. PKPB, PKPI, PPDK, PNBK, PNI Marhaen, Pertumbuhan partai politik baru di Indonesia Partai Pepolor, dan Partai Penegak Demokrasi dapat dikatakan akibat konflik internal partai Indonesia. Dari 13 parpol, hanya beberapa partai yang memicu terjadinya faksionalisasi dari yang eksistensinya teruji, yakni pertama, partai dalam. Partai-partai baru yang lahir pada lama seperti Golkar, PDI-P, PPP, PKB, dan PAN. Pemilu 2004, 2009, dan 2014 adalah akibat Pemilu 2004 mengantarkan dua partai baru yang dari faksionalisasi tersebut. Perpecahan dan memiliki dukungan yang relatif besar, tergolong konflik adalah sumber awalnya. Beberapa sebagai partai menengah, padahal kedua partai kasus menunjukkan kecenderungan itu, seperti ini adalah partai baru, yaitu Partai Demokrat dan keluarnya sebagian kader Partai Golkar pada Partai Keadilan Sejahtera walaupun PKS tidak Pemilu 2009 yang kemudian mendirikan Partai bisa disebut sebagai “partai baru” karena PKS Gerindra dan Hanura, dan menjelang Pemilu adalah metamorfosis dari Partai Keadilan. 2014 mendirikan Partai NasDem. Demikian pula Sementara itu, dari hasil Pemilu 2009, 38 pada kasus PDI-P yang juga pernah mengalami partai politik lolos sebagai peserta pemilu, di perpecahan, termasuk lahirnya Partai Demokrasi antaranya adalah 22 partai yang dapat dibilang Indonesia oleh Soerjadi dan beberapa partai yang lama dan 16 partai baru serta 6 partai lokal yang mengusung ideologi Marhaenisme. PKB, PPP, khusus berkompetisi di Aceh. Seperti pada kasus dan PAN juga mengalami masalah yang sama. Pemilu 2004, pada Pemilu 2009 partai yang Sebagian kader PAN terlibat dalam pendirian Par­ sudah eksis memperoleh dukungan pada Pemilu tai Matahari Bangsa (PMB) yang akhirnya mati 2004 kembali menjadi partai yang berhasil lolos suri. Munculnya PKNU yang berbasis di Jawa Parlementary Threshold (PT) 2,5%. Sembilan Timur adalah pembelahan lain dari kasus konflik partai yang lolos tersebut dapat dibagi menjadi PKB yang berlarut-larut, termasuk lahirnya partai lama seperti PD, Golkar, PDI-P, PKS, PAN, partai yang diusung oleh Yenny Wahid, putri PPP, dan PKB. Dua partai baru yang mengikuti Abdurrahman Wahid (alm.). Partai Demokrat fenomena partai baru sebelumnya pada Pemilu juga tak luput dari perpecahan itu seperti lahirnya 2004 adalah Gerindra dan Hanura. Sisanya, 29 partai yang didirikan oleh Syn NS, yakni Partai partai politik tidak lolos PT karena suara mereka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak sangat kecil. lolos verifikasi pemilu. Demikian pula partai

Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 21 yang didirikan oleh salah seorang pendiri Partai gerbong Jusuf Kalla dan para pendukung Surya Demokrat yang juga mendirikan partai politik Paloh tersingkir, tidak menjadi bagian dari kepe­ dan akhirnya kembali lagi ke PD. ngurusan. Salah satu contoh kader Partai Golkar Perbedaan dan konflik internal mendorong yang keluar adalah Ferry Mursidan Baldan, yang kader-kader partai keluar dan mendirikan partai mengikuti jejak Surya Paloh, ikut mendirikan baru. Perkembangan ini menunjukkan bahwa Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sementara partai yang terpecah-pecah disebabkan oleh me­ itu, pada kasus Partai Demokrat, setelah Anas nonjolnya tipe catch all party. Partai tergantung mengundurkan diri, label orang-orang Anas pun pada figur seseorang sehingga perkembangan mulai tersingkir, sebagian tetap di dalam dengan organisasi partai disibukkan oleh perseteruan mencari patron baru dan sebagian keluar masuk figur-figur yang memiliki pengaruh. ke Flanura dan NasDem. Konflik internal partai di antaranya dipenga­ Perkembangan partai politik seperti itu ruhi oleh faktor pengaruh kuatnya seorang tokoh menurut Sartori bukanlah sebuah kecelakaan. yang menjadi penggerak utamanya. Personalisasi Sartori pernah mengasumsikan bahwa perso­ partai politik ini mengubah cara pengelolaan nalisasi partai politik bukan terjadi karena ke­ partai ke arah tradisional. Dominasi figur ketua celakaan, tetapi karena keterbatasan kemampuan umum partai politik amat menentukan bentuk dan partai politik dalam menentukan pilihan dan pengisian gerbong kepengurusannya. Beberapa perubahan terhadap lembaganya.15 Selain karena kasus menunjukkan gejala itu, seperti pada saat belum melembaganya organisasi partai politik, Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar, nyaris partai tergantung pada figur seseorang. orang-orang dekatnya menduduki posisi strategis Personalisasi partai tersebut sekurang- di partai politik. kurangnya dicirikan oleh beberapa karakter. Faksionalisasi internal partai terbuka secara Pertama, kesulitan dalam melakukan suk­ luas hampir pada sebagian besar partai politik. sesi atau pergantian kepemimpinan. Pergantian Terhadap kasus Golkar, David Reeve melihat kepemimpinan cenderung dilakukan secara bahwa konflik yang melanda tubuh Golkar di impersonal. Dalam beberapa kasus, partai politik masa lalu adalah konflik yang terjadi antar- bahkan kesulitan mencari sosok pemimpin partai pendiri parpol. Di era reformasi, faksionalisasi dan calon presiden. Kedua, pergantian kepe­ dan konflik menyebabkan beberapa pengurusnya mimpinan di tubuh partai politik menciptakan mengundurkan diri dan keluar dari partai, lahirnya faksi-faksi politik. Faksi politik ini suatu perkembangan yang tidak pernah terjadi akhirnya mendorong sebagian kadernya keluar sebelumnya. Sejak era reformasi, pada saat Akbar dari partai dan mendirikan partai baru. Ketiga, Tanjung menjadi ketua Golkar, benih-benih kuatnya pengaruh budaya dan perilaku masyara­ perpecahan sudah ada dengan munculnya faksi kat yang terbelah di antaranya dicirikan oleh Iramasuka Marwah Daud Ibrahim yang dibantu kuatnya referensi politik atas dasar etnik, agama, oleh kelompok Habibie. kelas, dan kota/desa. Sebagai sebuah organisasi, partai politik tidak berada dalam ruang yang Faksionalisasi dan pengaruh tokoh seperti kosong. Masyarakat dan civil society, termasuk itu juga terjadi pada partai politik lainnya. Pada organisasi-organisasi kemasyarakatan, menjadi saat Anas Urbaningrum memenangkan perebutan salah satu sumber kader dan kepemimpinan posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Gerbong partai. Oleh karena itu, faktor-faktor budaya Anas masuk ke sebagian struktur pengurus patrimonial, patron-klien, dan patriaki yang ma­ DPP Partai Demokrat. Ada istilah orang-orang sih lekat pada sebagian masyarakat Indonesia Anas, orang-orang Marzuki, dan orang-orang menjadi pengaruh tersendiri bagi menguatnya Andi. Pada kasus yang sama juga menimpa partai sebagai organisasi yang makin tertutup PDI-P setelah Kongres PDI di Bali yang kembali dan makin menguatnya oligarki partai. Keempat, mengusung Megawati Soekarno Puteri sebagai masuknya keluarga atau kekerabatan ke dalam Ketua Umum. Beberapa orang yang dekat dengan Taufik Kiemas juga tersingkir. Ketika Golkar dipimpim oleh Abu Rizal Bakrie, gerbong lama 15 Peter Mair, op. cit.. hlm.9.

22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28 struktur partai politik dan menguasai politik di partai juga “tidak jelas”, dalam arti basis poli­ tingkat nasional dan lokal. tiknya tidak kuat. Dari segi internal ada dorongan Pertumbuhan partai-partai politik Indonesia dari beberapa kadernya yang mempertanyakan di atas cukup menarik. Tilly dalam mengkaji legitimasi kepengurusan partai dan kepemimpin­ pertumbuhan partai-partai politik di Amerika an partai. Lembaganya juga dipenuhi dengan Latin yang oleh Scott Mainwaring disebut sumber daya yang terbatas dan kuatnya pengaruh sebagai huge coparison—sebuah perbandingan pemimpin partai secara personal.18 19 Pada sisi yang sistem kepartaian pada negara demokrasi dan lain, prinsip hukum besi yang pernah dibahas semi-demokrasi pada negara-negara yang oleh Robert Michels, justru makin menguat. belum berkembang dengan negara-negara yang Ciri dari menguatnya hukum besi itu adalah demokrasinya sudah maju, menilai bahwa eksis “Organisasilah yang melahirkan dominasi si atau tidaknya partai politik dipengaruhi oleh terpilih atas pemilihnya, antara si mandataris tiga indikator utama. Ketiga indikator itu adalah dan si pemberi mandat serta antara si penerima tingkat institusionalisasi (institusionalization), kekuasaan dan sang pemberi. Siapa saja yang volatilitas pemilihan (electoral volatility), dan berbicara tentang organisasi maka sebenarnya pilihan ideologi (ideological voting). ia berbicara tentang oligarki".19 Dalam konteks teoretik lainnya, partai mengalami kegagalan Studi ini menyebut bahwa sistem kepartaian dalam membangun sistem internal partai yang di negara-negara yang belum berkembang lebih demokratis dan modern. Partai justru menunjukkan polarisasi pelembagaan yang terjebak pada pengaruh oligarki yang makin disebut tidak stabil, tidak memiliki akar rumput menguat dari waktu ke waktu. yang kuat, dan legitimasi yang disesuaikan oleh aktor-aktor politik partai.16 Pada konteks pilihan Pengaruh kekuatan tradisional pada partai ideologi (ideological voting), berbagai literatur politik di era reformasi dapat dilihat dari be­ perilaku memilih menggambarkan bahwa kom­ berapa kasus yang menonjol. Dalam praktiknya, petisi antarpartai lebih didominasi oleh dua pengaruh tradisionalisme partai ini tecermin dari asumsi, yakni berbasis program (programmatic) adanya politik kekeluargaan pada partai politik, atau ideologi/keyakinan pemilih (ideological baik di tingkat nasional maupun lokal. voters). Pada negara-negara yang belum maju Studi yang dilakukan oleh Dirk Tomsa demokrasinya, umumnya faktor personalisasi tentang Golkar pasca-Soeharto menggambarkan begitu besar dan menonjol. Perilaku pemilih lebih satu kecenderungan bahwa beberapa contoh men­ didasari pada pengaruh personal atau figur dalam cirikan aparatus partai Golkar yang didominasi menentukan pilihan-pilihannya.17 Sementara itu, oleh praktik tradisional patron-klien. Keberadaan partai yang mengarah modem, pengaruh figur mereka terdapat pada struktur formal partai yang seseorang makin mengecil dan institusi partai dipengaruhi oleh struktur sosial atas dasar tradisi­ (kelembagaan dan pelembagaan partai) menjadi onalisme sebuah hubungan hierarki pada suatu lebih kuat. struktur sosial yang memengaruhi struktur partai. Apa yang disebut oleh Tilly di atas dapat Kecenderungan ini oleh Tomsa didasari oleh menjelaskan fenomena tidak didukungnya kasus kuatnya keluarga Yasin Linpo di Sulawesi sejumlah partai yang muncul pada setiap pemilu Selatan yang menguasai struktur partai Golkar di Indonesia dan menjelaskan pula eksistensi di sana.20 Tomsa menyebut adanya pertarungan partai-partai yang tetap eksis dari pemilu ke tiga kubu kekuatan keluarga di Sulawesi Selatan pemilu. Dari ketiga indikator yang digunakan, antara keluarga Yasin Limpo, Halid, Baramuli, diperlihatkan bahwa dimensi tradisionalisme dan keluarga Kalla. kelembagaan partai makin kelihatan. Indika­ tornya jelas, pertama, tidak ada pola yang stabil w Ibid. hasil pemilu dari waktu ke waktu atau volatilitas 19 Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis pemilihannya rendah. Selain itu, akar rumput dalam Birokrasi, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1984), hlm. xxvii 20 Dirk Tomsa, Party Politics and Democratization in Indonesia, 16 Scott Mainwaring, op. cit., hlm. 4-14. Golkar in the post-Suharta era, (New York: Routledge, 2008), xlIbid„ hlm. 18-19. hlm. 40-42.

Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 23 "... Traditionallypowerfitlfcimilies like the Yasin kepengurusan PDI-P. Gejala serupa juga terjadi Limpo family, the Halidfamily, the Baramuli family di Partai Demokrat, di mana unsur keluarga juga or the Kalla family have mfluenced local politics and business for decades. At the time o f writing Syahrul memiliki pengaruh pada struktur partai, mulai Yasin Limpo had ju st been elected as governor o f dari sebagai Ketua South Sulawesi, his brother was the bupati o f Gowa Umum, Edi Baskoro (Ibas) sebagai Sekjen, adik district and members of the family occupied vari- ipar Ketua Umum, dan beberapa keponakannya ous positions in local parUaments and the national legislature in Jakarta. According to local journalists, juga dicalonkan serta sebelumnya saudara the prestige o f the Yasin Limpos is based primarily on ipar SBY juga telah menjabat sebagai Ketua 'a lot o f money, a lot o f followers and a lot o f loyal Umum PD. Bagaimana dengan partai lainnya, preman (thugs). And naturally, all family members are Golkar cadres. In fact, some observers have gone gambaran yang hampir mirip juga terjadi seperti so far as to assert that at least in Gowa district ‘the pada Partai Gerindra, ketua umumnya adalah Golkar party and the Limpo family have virtually Prabowo Subianto, sedangkan adiknya, Hasim become o n e ” Djojohadikusomo, menempati posisi penasihat sekaligus penyandang dana partai. Kekuatan keluarga tradisional seperti keluarga Yasin Limpo, keluarga Halid, keluarga Baramuli atau Data yang dikeluarkan oleh Harian Kompas keluarga Kalla dalam politik lokal dan bisnis selama juga menyebut hal yang serupa, bahwa dari 37 beberapa dekade. Pada saat penulisan, Syahnil Yasin kepala daerah terpilih memiliki hubungan ke­ Limpo baru saja terpilih sebagai Gubernur Sulawesi kerabatan dengan pejabat negara lainnya. Mereka Selatan, saudaranya adalah bupati dari Kabupaten Gowa dan anggota keluarga yang lainnya duduk se­ tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi bagai anggota DPRD dan DPR di tingkat nasional. Selatan, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, Jambi, Pamor Yasin Limpo didasarkan karena banyak uang, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, banyak pengikut dan punya pendukung preman yang setia. Semua anggota keluarga adalah kader Golkar. Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Bahkan beberapa pengamat mengatakan, di Kabu­ Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan paten Gowa, Partai Golkar dan keluarga Limpo telah Timur, dan Maluku. Sementara itu, beberapa menjadi satu bagian yang utuh].21 kerabat yang meneruskan jabatan yang sama ter­ Risiko lahirnya patron-klien dalam struktur jadi di Indramayu, Anna Sophanah meneruskan partai politik semacam itu juga terjadi pada Gol­ jabatan dari suaminya, Irianto M.S. Syaifuddin. kar di Provinsi Banten. Kuatnya pengaruh dinasti Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya politik Ratu Atut pada Golkar adalah sebuah Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, gambaran lain masuknya pola patron-klien dalam Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan struktur politik Golkar. Luasnya dinasti politik Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melan­ Ratu Atut di Provinsi Banten digambarkan dari jutkan posisi suami masing-masing. Adapun bukan saja kekuasaan di tubuh partai Golkar, Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan tetapi juga penguasaan pada jabatan bupati/wakil ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan. bupati di sejumlah kabupaten. Sebuah gejala pe­ Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan nguasaan patron-klien yang masuk dalam proses posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa pemilihan di era demokrasi. Gejala yang hampir terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur mirip sebenarnya juga teijadi pada struktur partai Lampung Sjachroedin Z.R, anaknya, Rycko di tingkat pusat, dengan pergantian ketua partai Menoza, menjadi Bupati Lampung Selatan. mendorong terjadinya perubahan gerbong dan Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan penyingkiran orang-orang tertentu. anaknya, Ivan S.J. Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo Keluarga dalan struktur politik juga melanda dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa. partai-partai lain, seperti PDI-P yang dikuasai Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur oleh trah Soekarno di bawah kekuasaan Mega­ Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya wati Soekarno Puteri. Keluarga mereka seperti menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali kota Taufik Kiemas (alm.). Puan Maharani, Guruh Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Soekarno, Guntur Soekarno, dan M. Prananda Wali kota Serang. Data tersebut belum mema­ Prabowo memiliki pengaruh kuat pada struktur sukkan kekerabatan yang duduk di lembaga 21 Ibid., hlm. 42.

24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28 Tabel 2. Karakteristik Ideal Partai yang Terlembaga dan Tidak Terlembaga

Sistem yang Terlembaga Sistem yang Tak Terlembaga Indikator (Well Institutionalized System) (Weakly Institutionalized (Fiuid) System) Pola stabilitas kompetisi Stabilitas tinggi: Partai besar eksis selama Agak stabil: beberapa partai mengalami internal partai puluhan tahun. Volatilitas pemilu rendah. penurunan yang tajam, sedangkan yang (Stability in patterns ofinter- Highly stable: Major parties remain on the lainnya menikmati peningkatan yang tiba- party competition) scene fordecades; electoral volatility is low. tiba pada pemilu. Quite volatile: Some parties suffer preci- pitous declines, while other parties enjoy sudden electoral upsurges. Akar partai pada masyarakat Partai berakar kuat dalam masyarakat. Akar partai lemah dalam masyarakat. (Party roots in society) Sebagian besar warga memilih partai yang Hanya sebagian warga memilih partai yang sama dari waktu ke waktu dan karena pilihan sama. Sebaliknya, warga memilih sesuai partai. Organisasi kepentingan terasosiasi dengan calon atau jika mereka memilih ka­ dengan partai. rena label partai, mereka beralih ke partai Parties are strongly rooted in society. Most preferensi. citizens vote for the same party over time and Parties are weakly rooted in society. Only a vote because of party. Organized interests minority of citizens vote for the same party. tend to be associated with a party. Instead, citizens vote according to candi- dates or, ifthey vote because ofthe party label, they switch party preferences. Legitimasi partai pada pemilu Legitimasi partai dan pemilu tak tergoyahkan. Beberapa individu dan kelompok mem­ (The legitimacy of parties Partai dipandang sebagai institusi demokrasi pertanyakan legitimasi partai dan pemilu. andelections) yang diinginkan dan diperlukan. Sebagian kecil warga percaya bahwa partai Parties and elections enjoy unassailable legi­ tidak diinginkan. timacy. Parties are seen as a necessary and Many individuals and groups question the desirable democratic institution. legitimacy of parties and elections. Asig- nificant minority of citizens believe that parties are neither necessary nor desirable. Organisasi partai Partai memiliki materi dan sumber daya Partai memiliki sumber yang terbatas. Par­ (Party organization) manusia yang signifikan. Seorang pemimpin tai melakukan kreasi dan tergantung pada kendati penting, tidak membayangi partai. seorang pemimpin. Proses intrapartai tidak Parties have significant material and human dilembagakan. resources. Party processes are well institutio­ Parties have few resources. Parties are the nalized. Individual leaders, while important, creation of, and remain at the disposal do not overshadow the party. of, individual political leaders. Intraparty processes are not well institutionalized. Sumber: Scott Mainwaring, “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization”, Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue: 7.

legislatif.22 Sementara itu, menurut data dari tisi perebutan kekuasaan merupakan salah satu Kementerian Dalam Negeri disebutkan kurang faktor yang memengaruhi. Inilah situasi yang lebih 57 kepala/wakil kepala daerah memiliki pernah dikhawatirkan oleh Lipset dan Rokkan hubungan keluarga. saat melakukan studi perkembangan partai politik di Eropa Barat. Menguatnya pengaruh Mendorong ke Arah Partai Modern kekuatan tradisional dari beberapa studi yang dilakukan oleh para ahli seperti oleh Tomsa di Berbagai kasus pengaruh kekuatan tradisional antaranya mengakibatkan de-institusionalisasi pada partai di atas di antaranya disebabkan oleh partai politik. Artinya, kelembagaan partai strategi mendulang dukungan suara pada politik “tergerus” dan hampir mengarah pada pemilu. Penggunaan instrumen orang kuat situasi tidak berfungsinya institusi partai. lokal dan kelompok-kelompok yang memiliki Partai politik menjadi tergantung pada figur dan jaringan kekeluargaan yang luas dalam kompe­ politik kekeluargaan, baik sebagai basis sumber kepemimpinan maupun sumber pendanaan. 22 Laksono Hari Wiwoho”Politik Dinasti, Cacat Demokrasi”, Hampir sulit ditemukan tipe pendanaan partai Kompas, 19 Oktober 2013.

Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 25 Tabel 3. Contoh Volatilitas Hasil Pemilu 2004-2009

Naik/Turun Partai Pemilu 1999 Pemilu 2004 Pe m i l U Hasil Volatilitas Pemilihan 1999-2004 2004—2009

Demokrat - 7,45 20,85 - +13,4 6,7 Golkar 22,4 21,58 14,45 0,82 -7,13 3,9 PDIP 33,74 18,53 14,03 -15,21 -4,5 9,8 PKS 1,36 7,34 7,88 5,98 -0,54 3,26 PAN 7,12 6,44 6,01 0,68 -0,43 0,55 PPP 10,71 8,15 5,32 2,56 -2,83 2,6 PKB 12,61 10,57 4,94 -2,04 -5.25 3,6

Gerindra - - 4,46 - +4,77 -

Hanura = - 3,77 - +3,77 - Keterangan: Hasil volatilitas pemilihan merupakan hasil penjumlahan volatilitas 1999-2004 dan 2004-2009 ke­ mudian dibagi 2.

yang bersumber dari donasi, baik yang berasal persentase yang bertambah atau berkurang dari dari anggota maupun sumber aktivitas lain. setiap pemilu, kemudian dibagi menjadi dua.23 Pada derajat tertentu, kuatnya pengaruh Artinya, ada partai-partai politik yang mengalami kekeraban politik melahirkan fenomena ketaatan penumnan hasil pemilihan yang tajam, bahkan pada figur, loyalitas tidak dibangun pada ideologi, beberapa partai menikmati peningkatan yang program dan institusi partai politik. Dampak dari tiba-tiba pada suatu pemilu. semua itu melahirkan satu fenomena penting di Kastis volatilitas pemilihan ini dapat kita era reformasi bahwa partai-partai politik yang lihat di awal-awal Orde Baru, sejak Pemilu berdiri hampir memiliki kecenderungan umum, 1999-2009. Partai Golkar mengalami volatilitas partai tidak memiliki basis kelas (class-based pemilihan pada Pemilu 1999, dari 74,51% (1997) parties) yang jelas. Padahal basis ini menjadi menjadi 22,44%. PDI-P termasuk yang me­ ukuran seberapa kuat partai politik memiliki akar ngalami peningkatan tiba-tiba, dari 3,06% (1997) riil pada masyarakat. menjadi 33,74% (1999). Sementara itu, pada Dari kasus pertumbuhan dan perkembangan pemilu 2004, kecendemngan terjadi penumnan partai politik di Indonesia di atas, bagaimana pada beberapa partai yang sejak 1999 menjadi mendorong partai agar mulai menata diri untuk peserta pemilu, yakni Golkar 21,58 (2004) atau menjadi partai yang modem, dan tidak teijerumus -0,86%, PDI-P termasuk yang paling tajam, pada tipe partai tradisional. Salah satu ukuran turun (-15,21%) karena pada Pemilu 2004 yang dapat digunakan modern atau tidaknya hanya memperoleh 18,53%. PKB turun (-2,04%), partai politik dapat dilihat dari empat (4) kategori PPP (-2,56%), dan PAN (-0,68%). Partai yang yang telah disusun oleh Scott Mainwaring dalam mengalami peningkatan suara adalah PKS dari membahas karakteristik ideal—partai yang 1,36% (Pemilu 1999) menjadi 7,34% pada Pemilu terlembaga dan tidak terlembaga. 2004 (+5,98%). Partai bam yang langsung melejit adalah Partai Demokrat (7,45%). Sementara itu, Dari Tabel 2, kita dapat melihat empat hal pada Pemilu 2009, volatilitas pemilihan justru mendasar secara umum, bahwa partai-partai terjadi cukup tajam. politik yang tumbuh di era transisi, misalnya dari pola stabilitas kompetisi internal partai, Dari Tabel 3 tersebut, jika melihat volatilitas cenderung mengalami volatilitas pemilihan hasil Pemilu 2004-2009, tampak terlihat bahwa (celectoral volatility). Przeworksi dan Pedersen kecenderungan angka volatilitas yang tinggi mengartikan volatilitas pemilihan adalah agregat 53 Scott Mainwaring, “Rethinking Party Systems Theory In pergantian dari satu partai ke partai lain dari The Third Wave of Democratization: The Importance of Party suatu pemilihan ke pemilihan berikutnya. Hal System Institutionalization”, Working Paper #260 - October ini dihitung dengan menambahkan pembahan 1998, Kellogg Institue, hlm. 9.

26 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28 terjadi pada dua partai, yakni PDI-P dan PD. stabilitas kompetisi internal, akar partai pada Dari segi agregat, PDI-P lebih tinggi diban­ masyarakat, legitimasi partai pada pemilu, dingkan dengan partai-partai lainnya. Artinya, dan organisasi partai, akan sangat menentukan kedua partai ini memiliki volatilitas yang tinggi apakah sebuah partai politik disebut modem atau dibandingkan dengan Partai Golkar, PKS, PAN, masih tradisional. PPP, dan PKB. Untuk Gerindra dan Hanura Dari kasus di Indonesia, khususnya perkem­ belum dapat dihitung karena baru ikut pada satu bangan pendirian partai politik dan volatilitas pe­ pemilu. PAN memiliki tingkat volatilitas yang milihan sebagaimana disebutkan di atas—tanpa rendah, yang menggambarkan bahwa penurunan mengikutkan hasil Pemilu 2014 dan berbagai dan penaikan suara mereka tidak terjadi lonjakan persoalan yang menghingapi partai politik, tam­ yang besar. Dalam konteks itu, partai yang pak jelas bahwa kecenderungan terlembaganya pemah berkuasa, yakni PDI-P dan PD, memiliki partai politik (dari hasil pemilu 1999,2004, dan volatilitas pemilihan yang cukup besar. 2009) hanya terjadi pada beberapa partai, yakni Volatilitas pemilihan tersebut dapat dipe­ PKS, PPP, PKB, Golkar, dan PAN. Dari data hasil ngaruhi oleh adanya kecenderungan beralihnya Pemilu 1999, 2004, dan 2009, yakni PDI-P dan pemilih ke partai lain. Perpecahan pada tubuh PD justru menggambarkan dua partai yang paling partai, konflik, atau ketidakstabilan partai memiliki problem institusionalisasi. menyebabkan hal itu terjadi. Salah satu partai yang menderita cukup tajam adalah Partai Golkar Penutup yang kehilangan 7,13% suara. Penurunan yang Sebagai sebuah institusi penyangga demokrasi hampir sama tajamnya pemah terjadi pada PDI-P yang strategis, perkembangan kelembagaan pada Pemilu 2004, di mana PDI-P kehilangan partai politik di Indonesia seperti digambarkan hampir separuh suaranya. Dalam situasi seperti di atas, tentu saja memprihatinkan. Selain karena itu, seperti disebut oleh Scott Mainwaring, ada sebagian besar terkoyak oleh kasus-kasus korupsi kecenderungan akar partai yang lemah atau tidak dan perilaku kader-kadernya di parlemen, baik stabil pada negara-negara yang pertumbuhan di pusat maupun di daerah, partai politik justru partainya belum modem. sering dianggap sebagai instrumen demokrasi Kompetisi yang ketat antarpartai pada yang paling bermasalah. satu sisi dan di sisi lain, munculnya pertanyaan Kecenderungan tersebut perlu dibenahi beberapa individu dan kelompok terhadap agar partai tidak terjebak pada situasi de-institu- legitimasi partai politik menyebabkan timbulnya sionalisasi, yang justru akan berdampak buruk ketidakyakinan pemilih untuk tetap menentukan bagi perkembangan demokrasi dan keyakinan pilihan yang sama. Padahal sebuah partai politik para pemilih terhadap partai dan demokrasi. disebut terinstitusionalisasi apabila kecenderung­ Di antara strategi yang dapat dilakukan adalah annya sebagai partai besar terus eksis dari waktu membenahi organisasi kepartaian. Strategi ke waktu. Artinya, perolehan suara pada pemilu pembenahan yang dapat dilakukan di antaranya relatif sama dengan pemilu sebelumnya dan tidak adalah membenahi rekrutmen internal partai mengalami penumnan atau kenaikan yang tajam. agar partai politik memiliki sumber kader yang Dalam konteks itu, pengaruh seorang pemimpin, berkualitas. Selain itu, partai politik, suka atau atau figur jelas menjadi salah satu bagian yang tidak suka, harus memiliki sumber materi yang penting dari beberapa kecenderungan yang telah jelas dan halal. Betapapun ada seorang pemimpin, disebut di atas. Melejitnya perolehan PD pada kehadirannya bukan “mengosongkan” gerbong Pemilu 2009 di antaranya dipengaruhi oleh institusional partai, tetapi proses pengisian faktor elektabilitas SBY yang tinggi, dibanding jabatan-jabatan strategis lebih didasarkan pada dengan calon presiden lainnya seperti Mega dan kemampuan kader. Artinya, proses kaderisasi Jusuf Kalla. harus berkembang sehingga kelembagaan dan Dari indikator terlembaga atau tidaknya struktur partai tidak dikooptasi oleh kepentingan sebuah partai politik, empat indikator yang individual atau pemimpinnya, apalagi dimasuki telah dikemukan pada tabel di atas, yakni pola oleh kepentingan politik kekerabatan.

Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 27 Selain menata organisasi, partai politik Michels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderung­ juga perlu menata akarnya pada masyarakat. an Oligarkis dalam Birokrasi. Jakarta: Raja­ Hal ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan wali. terhadap partai politik. Di antara persoalan Schlager, Neil dan Jayne Weisblatt (Eds.). 2006. World Encyclopedia o f Political Systems and Parties, yang berat adalah kuatnya praktik transaksi fourth edition. New York: Facts on File, Inc. politik sebagai dampak hubungan partai dengan Tim Peneliti PPW-LIPI. 1999. Tentara Mendamba konstituen beberapa dekade terakhir. Dalam Mitra. Bandung: Mizan. praktik ini, partai politik perlu mengubah dirinya Tomsa, Dirk. 2008. Party Politics and Democratiza­ sebagai organisasi partai yang memiliki fungsi. tion in Indonesia, Golkar in the post-Suharta Selain itu, partai perlu menata ideologinya dan Era. New York: Routledge. program-programnya agar dapat memutus mata rantai transaksi politik yang pada derajat tertentu Jurnal justru menggerus ideologi dan basis partai politik. Romli, Lili. 2000. “Peta Kekuatan Politik Setelah Re­ Dalam menjalankan fungsi dan kelembagaannya, formasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol”, partai tidak mendasarkan pada faktor personal, Jurnal Demokrasi dan HAM: 124-125. tetapi lebih mengedepankan faktor agenda atau program-program partai politik. Pembenahan Laporan dan Makalah cara pengaderan dan kualitas sumber daya partai Mainwaring, Scott dan Mariano Torcal. 2005. “Party politik menjadi salah satu keniscayaan sebab System Institutionalization and Party System partai politik adalah instrumen yang menjadi Theory After the Third Wave of Democratiza­ sumber calon-calon pemimpin politik yang akan tion”. Working Paper, 319-April 2005, Kel­ mengisi jabatan pemerintahan, legislatif, dan logg Institute. kepemimpinan daerah. Mainwaring, Scott. 1998. “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutio­ Daftar Pustaka nalization”. Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue. Buku Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Surat Kabar dan Website Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wiwoho, Laksono Hari. 2013. “Politik Dinasti, Cacat Mair, Peter. 2002. Party System Change, Aprroaches Demokrasi”. Kompas, 19 Oktober. and lnterpretations. New York: Oxford Uni­ Komisi Pemilihan Umum, dalam www.kpu.go.id versity Press.

28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28