Mekanisme Pengangkatan Hakim Konstitusi

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Mekanisme Pengangkatan Hakim Konstitusi Mekanisme Pengangkatan Hakim Konstitusi Bagus Joko Puruitomo Fitra Arsil Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Pada tahun 2013, terdapat sebuah kasus mengenai mekanisme pengangkatan hakim konstitusi oleh Presiden. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peraturan perundang-undangan yang paling sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945, serta mekanisme pengangkatan hakim konstitusi yang secara praktik dapat diterapkan di Indonesia. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi pustaka yang dilengkapi dengan wawancara terhadap narasumber. Berdasarkan penelitian ini, dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945 adalah UU Nomor 24 Tahun 2003 dan UU Nomor 8 Tahun 2011. Sifat transparan dan partisipatif juga sangat menentukan mekanisme pengangkatan hakim konstitusi yang diterima di masyarakat Indonesia. Kata kunci: mekanisme; pengangkatan; hakim konstitusi; transparan; partisipatif. Abstract In 2013, there is a case regarding the constitutional judges appointing mechanism by the President of Indonesia. This research is focused on analyzing the regulations according to Article 24C Constitution of Indonesia, and the most applicable mechanism on appointing a constitutional judge. The method that is used for this research are literature studies and interview with the informants. Through this research, it can be ascertained that regulations according to Article 24C Constitution of Indonesia are Law Number 24 Year 2003 and Law Number 8 Year 2011. Transparancy and participative mechanism are needed to be applied on appointing constitutional judge that can be accepted by the citizens of Indonesia. Keywords: mechanism; appointing; constitutional judges; transparent; participative. Pendahuluan Pengaturan mengenai mekanisme pengangkatan hakim konstitusi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus sesuai dan berdasarkan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945), serta secara praktik dapat diterapkan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan hakim konstitusi menyangkut hajat hidup masyarakat di Indonesia, Mekanisme pengangkatan…, Bagus Joko Puruitomo, FH UI, 2014 sehingga dibutuhkan mekanisme pengangkatan hakim konstitusi yang terbaik agar mendapatkan hakim konstitusi yang terbaik pula. Dalam sistem kekuasaan kehakiman (yudisial), disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.1 Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa disamping Mahkamah Agung dan badang- badan peradilan yang berada di bawahnya, telah terdapat pelaku kekuasaan kehakiman yang baru yakni Mahkamah Konstitusi. Komposisi dari hakim konstitusi diatur dalam pada Pasal 24C UUD 1945 ayat (3) yang menyebutkan: “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.” Pada praktiknya sejak awal terbentuknya Mahkamah Konstitusi hingga saat ini, hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang tersebut diangkat berdasarkan pengaturan yang terdapat dalam: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 24 Tahun 2003); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 8 Tahun 2011); dan 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2013) yang telah disahkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (UU Nomor 4 Tahun 2014). 1 Indonesia (1), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 ayat (2). Mekanisme pengangkatan…, Bagus Joko Puruitomo, FH UI, 2014 Dalam perjalanan Mahkamah Konstitusi, terdapat sebuah kasus yang berhubungan dengan pengangkatan dua orang hakim konstitusi yaitu Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. dan Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H. Kasus tersebut terjadi pada Agustus 2013 dan diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan nomor putusan 139/G/2013/PTUN-JKT. Penggugat pada kasus ini adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Corruption Watch.2 Keputusan Tata Usaha Negara yang dipermasalahkan oleh penggugat adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia Nomor 87/P Tahun 2013, tanggal 22 Juli 2013.3 Surat tersebut berisi pemberhentian dengan hormat jabatan hakim konstitusi atas nama Prof. Maria Farida Indrati, S.H. dan Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H., serta pengangkatan hakim konstitusi atas nama Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. dan Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.4 Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis ingin meneliti mengenai mekanisme pengangkatan hakim konstitusi yang paling sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945 sebagai aturan dasar negara. Penulis juga akan menganalisa praktik pengangkatan hakim konstitusi yang telah diterapkan di Indonesia semenjak berdirinya Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, penulis harapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui mekanisme pengangkatan hakim konstitusi apa yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Selain itu, penulis juga akan membandingkannya dengan pengaturan yang terdapat dalam konstitusi negara selain Indonesia dengan tujuan didapatkannya gambaran yang lebih luas mengenai mekanisme pengangkatan hakim konstitusi. Tinjauan Teoritis Dalam sebuah negara hukum dibutuhkan adanya mekanisme pengujian konstitusional. Hal tersebut juga didukung dengan adanya gagasan Hans Kelsen untuk membentuk lembaga uji konstitusional tersendiri yang memiliki wewenang untuk menjalankan tugas uji konstitusional. Tugas uji tersebut akan dijalankan oleh hakim konstitusi yang perlu menerapkan prinsip kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dibutuhkan terdapat adanya 2 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 139/G/2013/PTUN-JKT, hlm. 1. 3 Ibid., hlm. 5. 4 Ibid., hlm. 5-6. Mekanisme pengangkatan…, Bagus Joko Puruitomo, FH UI, 2014 mekanisme pengangkatan hakim konstitusi yang bisa mengakomodir jalannya tugas uji konstitusionalitas tersebut. Secara teoritis terdapat tiga pola rekrutmen hakim konstitusi yang diterapkan di berbagai negara., antara lain:5 1. Single body mechanisms 2. Cooperative appointment mechanisms 3. Representative Model pengangkatan ini melibatkan sejumlah lembaga negara. Pengangkatan tersebut adalah representatif yang sepertiga diangkat oleh masing-masing lembaga negara. Sebagai contoh, di Italia Hakim Konstitusi diangkat tiga orang oleh Presiden, tiga orang oleh Parlemen, dan tiga orang oleh Mahkamah Agung.6 Mahkamah konstitusi memiliki hakim konstitusi yang melakukan tugas dan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi sebanyak sembilan orang. Komposisi pengajuan sembilan anggota hakim konstitusi adalah tiga orang diajukan oleh Mahkamah Agung, tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.7 Ketua serta Wakil Ketua dari Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.8 Dalam UUD 1945 juga dijelaskan mengenai syarat yang perlu dimiliki oleh hakim konstitusi tersebut adalah kewajiban untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.9 Mengenai teknis lebih lanjut mengenai mekanisme pengangkatan serta pemberhentian hakim konstitusi diatur lebih lanjut dalam undang-undang.10 Dari keenam ayat yang ada dalam Pasal 24C UUD 1945, terdapat empat ayat yang mengatur perihal mekanisme pengangkatan hakim konstitusi di Indonesia, yakni ayat (3) hingga ayat (6). Untuk membandingkan secara lebih komperhensif mengenai mekanisme pengangkatan hakim konstitusi apa yang paling sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945, penulis menggunakan landasan berupa pendapat serta pembahasan yang dilakukan oleh tim perumus 5 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi – Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, cet. 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hlm. 259-265. 6 Ibid. 7 Indonesia (1), Op.cit., Ps. 2C ayat (3). 8 Ibid., Ps. 24C ayat (4). 9 Ibid., Ps. 24C ayat (5). 10 Ibid., Ps. 24C ayat (6). Mekanisme pengangkatan…, Bagus Joko Puruitomo, FH UI, 2014 amandemen UUD 1945 yang terdapat dalam “Naskah Komperhensif Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 – Buku VI Kekuasaan Kehakiman”.11 Berikut adalah beberapa pendapat serta pembahasan yang berkaitan dengan Pasal 24C ayat (3) yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Presiden”, antara lain:12 1. Ketiga lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) telah diberikan masing- masing porsi untuk menentukan calon hakim konstitusi dengan
Recommended publications
  • UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi No
    UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 “TATA CARA PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI DITINJAU DARI PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA MENURUT UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN” OLEH FRIDA KHAERANI NPM : 2011 200 136 PEMBIMBING Dr. W. M. Herry Susilowati, S.H., M.Hum Penulisan Hukum Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2017 i Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Pembimbing DR. W. M. Herry Susilowati, S.H., M.Hum. ·./) ~ PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang setinggi-tingginya, maka saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Frida Khaerani No. Pokok : 2011 200 136 Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan pikiran, bahwa karya ilmiah/karya penulisan hukum yang berjudul : “TATA CARA PENGISIAN JABATAN HAKIM KONSTITUSI DITINJAU DARI PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA MENURUT UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN” Adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah/karya Penulisan Hukum yang telah saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan, dan pengetahuan akademik saya pribadi, dan sekurang- kurangnya tidak dibuat melalui dan atau mengandung hasil dari tindakan-tindakan
    [Show full text]
  • Risalah Sidang Perkara Nomor 42/Puu-Xii/2014
    MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI DARI PEMOHON (IV) J A K A R T A SELASA, 30 SEPTEMBER 2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum [Pasal 1 angka 10] terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Soedarno 2. Zulhasril Nasir 3. Soetopo Ronodiharjo, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon (IV) Selasa, 30 September 2014, Pukul 11.13 – 11.38 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Hamdan Zoelva (Ketua) 2) Maria Farida Indrati (Anggota) 3) Patrialis Akbar (Anggota) 4) Wahiduddin Adams (Anggota) 5) Aswanto (Anggota) Saiful Anwar Panitera Pengganti i Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Soetopo Ronodiharjo 2. Zulhasril Nasir 3. Benggol Martonohadi 4. Pekik Denjatmiko 5. Hidayat B. Saksi dari Pemohon: 1. Syamsuddin Slamet C. Pemerintah: 1. Nasrudin 2. Rulita 3. Triyono 4. Aslan Noor 5. Bugi Riyanto ii SIDANG DIBUKA PUKUL 11.13 WIB 1. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 42/PUU- XII/2014 dibuka dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon hadir, ya? Hadir. Dari Pemerintah, hadir? Hadir. DPR? Tidak hadir. Sebelum sidang dilanjutkan saya perlu menyampaikan hari ini hanya dihadiri oleh 5 Hakim, satu hakim sedang melaksanakan Ibadah Haji, satu hakim sedang bertugas di luar negeri, satu hakim hari ini sakit, satu hakim sebelumnya memang izin suatu acara yang tidak bisa ditinggalkan.
    [Show full text]
  • IJCS 2 No2 2009
    The Face of Law Supremacy: A Media Content Analysis on Artalyta’s Luxurious Prison Case on The Jakarta Globe Newspaper Rino Febri STIKOM the London School of Public Relations-Jakarta Ariesa Lie A professional Abstract This research looks at the potrayal of the Indonesian government, particularly the law en- forcement institution that was responsible for the luxurious prison case of Artalyta and some other wealthy inmates. This issue came to surface when a sudden inspection was conducted by a newly established Judicial Mafia Eradication Task Force on Sunday, 10 January 2010 at Pondok Bambu Penitentiary. The discovery of the inspection was actually no big sudden as it has become a public secret. However, it still disgraced the image of the government since the media blew this issue up and eventually gained public’s attention. This research used a quantitative media content analysis method. This method used numbers as the basis of data interpretation and elaboration to the rel- evant theories. Precisely 53% of the total articles written contained unfavorable impressions of the Indonesian government. Government’s dishonest and corrupt were impressions appeared in the news. Nonetheless, some articles appeared favorable toward the Ministry of Justice and Human Rights as a result of strict action taken against corrupted officials. Introduction sudden inspection to a women’s penitentiary in Life in a jail has always been projected Pondok Bambu, East Jakarta. as a nightmare by common people and mass The task force discovered Artalyta, the media. The smell, the dirt and even the room- convict of the bribery to Urip Tri Gunawan case, mates are always told to be awful.
    [Show full text]
  • Upaya Memulihkan Kewibawaan Mahkamah Konstitusi Pasca Tertangkapnya Akil Mochtar
    Tundjung HS. Upaya Memulihkan... 293 Upaya Memulihkan Kewibawaan Mahkamah Konstitusi Pasca Tertangkapnya Akil Mochtar Tundjung Herning Sitabuana Fakultas Hukum Universitas Semarang Jl. Arteri Soekarno-Hatta Semarang Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. Letjen S. Parman No. 1 Jakarta Barat [email protected] Abstract This research was to study and find an attempt to recover the authority of Constitutional Court after the apprehension of Akil Mochtar. The method used in this research was normatif legal research which was descriptive qualitative with statute approach. The secondary data were primary and secondary legal materials which were collected by literature study and analyzed normatively and qualitatively. The research result showed that the recovery of the authority of Constitutional Court must be conducted in a correct way, namely by using 1945 Constitution of Republic Indonesia as the guideline in order to ensure the implementation of the norms contained in 1945 Constitution as the standard. This was in accordance with the principle of constitution supremacy applied in Indonesia. Key words : Constitutional Court. principle of constitution supremacy Abstrak Penelitian Penelitian yang bertujuan mengkaji dan menemukan upaya untuk memulihkan kewibawaan Mahkamah Konstitusi pasca tertangkapnya Akil Mochtar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan perundang- undangan. Data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka, dan dianalisis secara normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemulihan kewibawaan Mahkamah Konstitusi harus dilakukan dengan cara yang tepat, yaitu dengan menggunakan UUD NRI Tahun 1945 sebagai panduannya, sehingga tolok ukur yang dipakai adalah norma-norma yang ada di dalam UUD NRI Tahun 1945.
    [Show full text]
  • KETETAPAN Nomor 70/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN
    KETETAPAN Nomor 70/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah mencatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, permohonan dari: 1. Nama : Ishak Malak Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Jabatan : Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Distrik Moraid Alamat : Kampung Mega Distrik Moraid Kabupaten Sorong Selanjutnya disebut sebagai ----------------------- Pemohon I; 2. Nama : Aristoteles Bisulu Pekerjaan : Wiraswasta Jabatan : Wakil Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Distrik Moraid Alamat : Kampung Mega Distrik Moraid Kabupaten Sorong Selanjutnya disebut sebagai ---------------------- Pemohon II; 3. Nama : Halim Warwey Pekerjaan : Wiraswasta Jabatan : Tokoh Pemuda Islam Moraid Alamat : Kampung Mega Distrik Moraid Kabupaten Sorong Selanjutnya disebut sebagai --------------------- Pemohon III; 4. Nama : Arius Paa Pekerjaan : Wiraswasta Jabatan : Tokoh Pemuda Kristen Moraid Alamat : Kampung Mega Distrik Moraid Kabupaten Sorong 2 Selanjutnya disebut sebagai --------------------- Pemohon IV; 5. Nama : Hj. Hawa Sangaji Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Jabatan : Tokoh Perempuan Muslim Moraid Alamat : Kampung Mega Distrik Moraid Kabupaten Sorong Selanjutnya disebut sebagai ---------------------- Pemohon V; 6. Nama : Maria Malak Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Jabatan : Tokoh Perempuan Kristen Moraid Alamat : Kampung Mega Distrik Moraid Kabupaten Sorong Selanjutnya disebut sebagai --------------------- Pemohon VI; 7. Nama : Zakues Suu Pekerjaan
    [Show full text]
  • PUTUSAN Nomor 05-14-22/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 (Provinsi Kalimantan Selatan)
    PUTUSAN Nomor 05-14-22/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 (Provinsi Kalimantan Selatan) DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014, yang diajukan oleh: [1.2] Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili oleh: 1. Nama : Dr. M.S. Kaban, S.E., M.Si.; Jabatan : Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang; Alamat : Jalan Raya Pasar Minggu Km. 18 Nomor 1B Jakarta Selatan; 2. Nama : BM. Wibowo, S.E., M.M.; Jabatan : Sekretaris Umum DPP Partai Bulan Bintang; Alamat : Jalan Raya Pasar Minggu Km. 18 Nomor 1B Jakarta Selatan. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor B-1220/DPP-Sek/07/1435 bertanggal 12 Mei 2014 memberikan kuasa kepada Abdurrahman Tardjo, S.H., Panhar Makawi, S.H., M.H., Drs. Baginda Siregar, S.H., Samsudin, S.H., Damrah Mamang, S.H., M.H., Edigius NS. Sadipun, S.H., Kornerlis K. Saran, S.H., Mahfudin, S.H., dan M. Yasin, S.H. adalah Tim Kuasa Hukum Partai Bulan Bintang beralamat di Jl. Raya Pasar Minggu Km. 18 Nomor 1B, Jakarta Selatan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa Partai Bulan Bintang peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014 dengan Nomor Urut 14 (empat belas). Selanjutnya disebut sebagai …………….................................................... Pemohon; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl.
    [Show full text]
  • Law and Politics of Constitutional Courts: Indonesia and the Search for Judicial Heroes / Stefanus Hendrianto
    “With rare exceptions, such as the courts headed by John Marshall and Earl Warren, it was not common until recently to explain the work-product of consti- tutional courts by focusing on their leadership. Now, however, a number of writ- ers have begun to emphasize the importance of the chief justice in guiding courts to be bold or cautious, expansive or restrictive, in their constitutional decisions. With his extensive knowledge and with great judiciousness, Stefanus Hendrianto has examined the important role of chief justices of the Constitutional Court of Indonesia. He shows convincingly that leadership can indeed make a major dif- ference in the emergence of constitutional doctrine, as he examines the work of the Court and compares it to similar courts elsewhere. This is an important work of comparative constitutional law and politics that will repay careful study.” Donald L. Horowitz, Duke University, USA and author of Constitutional Change and Democracy in Indonesia “This book is a major contribution to comparative constitutional studies. It pro- vides a crisp and authoritative account of the early jurisprudence of the Indonesian Constitutional Court, a highly active and creative court operating in one of the world’s largest democracies. It also offers a fascinating account of the role of Chief Justice Jimly Asshiddiqie as the leader of that court, and in doing so makes an important contribution to broader debates about the role of constitutional judges—and different styles of constitutional judging—in the consolidation of constitutional democracy.” Rosalind Dixon, UNSW Sydney, Australia “This fascinating study of the Indonesian Constitutional Court introduces an entirely new concept for understanding judicial power: the judge as a heroic figure.
    [Show full text]
  • KETETAPAN Nomor 103/PUU-XIII/2015
    SALINAN KETETAPAN Nomor 103/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 11 Agustus 2015 dari Imran, S.H dan H. Muklisin, S.Pd dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 4 Agustus 2015, memberi kuasa kepada M. Husni Chandra, S.H., M.Hum., Moh. Irson, S.H., Herdian Asmi, S.H., M. Jayanto, S.H., Firman Raharja, S.H., David Afrizal, S.H., Mujaddid Islam, S.H., Aprili Firdaus Sakamta, S.H., M.H., Djarot Indra Kurnia, S.H dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 103/PUU-XIII/2015 pada tanggal 26 Agustus 2015, perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa terhadap Perkara dengan registrasi Nomor 103/PUU- XIII/2015 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan: 1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 215/TAP. MK/2015 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Nomor 103/PUU-XIII/2015, bertanggal 26 Agustus 2015; 2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 216/TAP.MK/2015 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk Pemeriksaan Pendahuluan, bertanggal 1 September 2015; c. bahwa terhadap Perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 2 tanggal 8 September 2015 dan sidang perbaikan permohonan pada tanggal 21 September 2015; d.
    [Show full text]
  • Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesian Democracy
    Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesian Democracy Dissertation Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy in the Graduate School of The Ohio State University By Djayadi Hanan, M.A. Graduate Program in Political Science The Ohio State University 2012 Dissertation Committee: R. William Liddle, Adviser Richard Paul Gunther Goldie Ann Shabad Copyright by Djayadi Hanan 2012 i Abstract This study explores the phenomenon of executive – legislative relations in a new multiparty presidential system. It seeks to understand why, contrary to arguments regarding the dysfunctionality of multi-party presidential systems, Indonesia’s governmental system appears to work reasonably well. Using institutionalism as the main body of theory, in this study I argue that the combination of formal and informal institutions that structure the relationship between the president and the legislature offsets the potential of deadlock and makes the relationship work. The existence of a coalition-minded president, coupled with the tendency to accommodative and consensual behavior on the part of political elites, also contributes to the positive outcome. This study joins the latest studies on multiparty presidentialism in the last two decades, particularly in Latin America, which argue that this type of presidential system can be a successful form of governance. It contributes to several parts of the debate on presidential system scholarship. First, by deploying Weaver and Rockman’s concept of the three tiers of governmental institutions, this study points to the importance of looking more comprehensively at not only the basic institutional design of presidentialism (such as dual legitimacy and rigidity), but also the institutions below the regime level which usually regulate directly the daily practice of legislative – executive relations such as the legislative organizations and the decision making process of the legislature.
    [Show full text]
  • The Function of Judicial Dissent in Indonesia's Constitutional Court
    Constitutional Review, Volume 4, Number 1, May 2018 P-ISSN: 2460-0016 (print), E-ISSN: 2548-3870 (online) https://doi.org/10.31078/consrev411 The Function of Judicial Dissent in Indonesia’s Constitutional Court Simon Butt Sydney Law School [email protected] Abstract Indonesian judges are permitted to issue dissenting opinions. Constitutional Court judges regularly hand them down. However, neither judges nor academics have outlined the purposes of dissenting opinions in Indonesia. This article aims to promote discussion about what these purposes are, or should be, in Indonesia, with a view to increasing the utility of dissents. It begins by considering the international scholarly literature details some purposes recognised in other countries, such as increased transparency and accountability, but also some disadvantages, such as the perceived weakness of a divided court. It then considers how the Constitutional employs dissents, before exploring some of the uncertainties and unanswered questions about dissents and their use in Indonesia. Keywords: Constitutional Court, Indonesia, Judicial Dissent I. INTRODUCTION The judgments of Indonesia’s Constitutional Court often contain ‘dissenting opinions’ (pendapat berbeda). In them, one of more judges writes reasons indicating why they would have decided the case differently to the way a majority of the Court decided it. However, there is, to my knowledge, no consensus amongst Indonesian judges and academics about the significance and purpose of dissents. In one sense, this is unsurprising: publishing dissenting opinions alongside majority or other opinions in a single judgement document have long been a feature of the common law tradition. Yet Indonesia is a civil law country.
    [Show full text]
  • Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (KOALISI-MK) Jl
    Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (KOALISI-MK) Jl. Diponegoro No. 74 Menteng, Jakarta Pusat 10320 Telp. 021-3929840 Fax. 021-31930140 No. : 1 /Koalisi-MK/VIII/2013 Jakarta, 6 Agustus 2013 Perihal : Somasi Kepada, YTH. Presiden Republik Indonesia SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Di,- J A K A R T A Dengan Hormat, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK), yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia, dengan ini hendak menyampaikan SOMASI kami, sebagai berikut: 1. Bahwa Presiden Republik Indonesia, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO telah menerbitkan Keputusan Presiden No. 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013 yang isinya pada pokoknya: PERTAMA: Memberhentikan dengan hormat dari Jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama: 1) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. 2) Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H., M.H. disertai ucapan terimakasih atas pengabdian dan jasa-jasanya selama memangku jabatan tersebut KEDUA: Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama: 1) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. 2) Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H. 2. Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu dari 2 organ yang menjalankan kekuasaan kehakiman berdasarkan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam menjalankan fungsinya, Mahkamah Konstitusi diisi oleh Hakim Konstitusi yang syarat-syarat menjadi Hakim Konstitusi dan Pemberhentiannya diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945; 3. Bahwa pengangkatan tersebut kami nilai melanggar ketentuan yang terdapat pada pasal 9 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 19 Undang- undang No. 24 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (kemudian disebut: “UU MK”); 4.
    [Show full text]
  • KETETAPAN Nomor 103/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimb
    KETETAPAN Nomor 103/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 8 Oktober 2014 dari Budhi Sutardjo, Komar Hermawan, H. Tato Hartato Supriatna, Dendin Haryana, Agus Raya Priatna, Denny Rahadian P., Mujiono, Yayak Priasmoro, H. Yayat Supriatna, S.E., M.M., Drs. Puji Widodo, Danny Ramang MRM, dan Fahruroji, yang kesemuanya memberi kuasa kepada Sirra Prayuna, S.H., dkk., pada tanggal 8 Oktober 2014, dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 103/PUU- XII/2014 pada tanggal 9 Oktober 2014 perihal permohonan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5586, selanjutnya disebut UU 22/2014), terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa terhadap permohonan Registrasi Nomor 103/PUU- XII/2014 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan: 1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 366/TAP.MK/2014 tentang Pembentukan Panel Hakim untuk memeriksa permohonan Nomor 103/PUU-XII/2014, bertanggal 9 Oktober 2014; 2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 368/Tap.MK/2014 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk pemeriksaan pendahuluan, bertanggal 9 Oktober 2014; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected] 2 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id c.
    [Show full text]