Eksistensi Dan Peranan Undagi Pangarung
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 2 3 EKSISTENSI DAN PERANAN UNDAGI PANGARUNG DALAM SEJARAH PERSUBAKAN DI BALI I Nyoman Wardi Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected] Abstrak Makalah ini bertujuan mengungkap eksistensi dan peranan undagi pengarung (ahli/tukang terowongan) dalam sejarah persubakan di Bali. Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data (undagi pengarung) dari prasasti-prasasti Bali Kuno. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang teknologi pengarung, pengumpulan data juga dibantu dengan teknik observasi ke Museum Subak di Kabupaten Tabanan, dan pengumpulan data Etnoarkeologi melalui wawancara mendalam (depth-interview) dengan narasumber (tukang aungan) sebagai pelaku sejarah dalam persubakan di Bali. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, kemudian diintepretasikan dan hasilnya disintesiskan untuk mendapatkan gambaran umum tentang keberadaan undagi pengarung di Bali. Hasil kajian menunjukkan bahwa berdasarkan data yang terekam dalam prasasti, keberadaan undagi pengarung sudah disebutkan secara eksplisit dalam prasasti Bali Kuno awal, yaitu Prasasti Bebetin AI (Çaka 818 atau 896 M ). Eksistensi dan peranan undagi pengarung pada Zaman Bali Kuno belakangan semakin kuat dan penting sejalan dengan menguatnya keberadaan lembaga subak dan kebutuhan negara (kerajaan) pada ekonomi agraris untuk menjaga stabilitas stok pangan (beras) dan sebagai komoditas dalam perdagangan. Selain peralatan teknologi, sebagai seorang undagi (tukang) yang profesional, maka pengalaman, kepemilikan pengetahuan teknis terkait dengan tanah, geodesi dan hidrologi, serta pengetahuan kultural-spiritual sangat dibutuhkan dan menentukan keberhasilannya dalam berkarya. Hingga Era Modern ini keberadaan tukang aungan (undagi pengarung) di Bali masih dapat disaksikan walaupun jumlahnya sangat langka dan nyaris punah. Teknologi pembangunan terowongan (undagi pengarung) yang menghubungkan air sungai ke lahan-lahan para petani yang sebelumnya dihadang oleh perbukitan, jurang, dan rintangan alam lainnya, mempunyai peranan penting untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat petani dan kestabilan ekonomi-politik pemerintahan sejak zaman Bali Kuno. Atas keterampilan teknis dan jerih payahnya, serta resiko dan bahaya alam yang dihadapinya, tampaknya para undagi pengarung sejak Zaman Bali Kuno mendapatkan penghargaan (pendapatan) yang cukup layak. Hal ini diindikasikan dari pajak pendapatan (drwya haji) yang dikenakan oleh penguasa kerajaan pada saat itu. 4 Kini sejalan dengan berkembanganya industri pariwisata, hasil karya para undagi pengarung (aungan), dapat dijadikan sebagai atraksi budaya subak dalam rangka pengembangan wisata agroekologi untuk menunjang pariwisata budaya di Bali. Kata kunci : subak, air irigasi, undagi pengarung, wisata agroekologi 1. Pendahuluan Menurut ahli geologi dari Belanda, yaitu Mohr ( dalam Geertz, C.1983: 38-42), secara fisik ada empat unsur alam yang penting terkait dengan kegiatan pertanian, khususnya budidaya padi sawah, yaitu : api, air, tanah dan udara. Api terkait dengan aktivitas gunung berapi (vulkanisme) berkontribusi pada kesuburan tanah dan sebagai pensuplai zat-zat makanan untuk tumbuh-tumbuhan. Air berkaitan dengan terbentuknya danau vulkanis dan sungai-sungai pendek, air deras mengandung lumpur yang mengalir dari lembah-lembah deretan gunung berapi menuju sawah atau hilir (samudera). Lembah-lembah sungai yang kecil di celah-celah gunung berapi menjadi pendorong kuat untuk menempatkan sawah di bentanglahan tersebut. Tanah dengan topografi yang berbukit atau bergunung-gunung, dan landai dengan drainase yang baik terbentuk oleh alur sungai di antara pegunungan, sangat cocok untuk pengembangan teknik irigasi yang tradisional ( Bali: teknologi persubakan). Demikian pula udara terkait dengan iklim khatulitiswa dengan suhu udara yang lembab dan curah hujan yang cukup memadai dalam musim monsoon, merupakan pensuplai air untuk irigasi pertanian dan kegiatan ekonomi dan budaya lainnya. Tampaknya Bali sebagai pulau yang kecil dengan luas wilayah 5.636,66 km2, kegiatan pertanian (subak) dan kulturnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pembatas ekologis tersebut. Di antaranya, subak dengan teknologi pengarungnya (terowongan irigasi) harus dapat menembus bukit-bukit untuk dapat mengalirkan air sungai ke lahan-lahan petani dari kawasan hulu (pegunungan.perbukitan) ke zone tengah dan di hilir. Gejala keberadaan subak pada Zaman Bali Kuno, di antaranya ditandai oleh kehadiran kelompok undagi pengarung (tukang terowongan irigasi) yang telah disebutkan dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Di antaranya, yaitu prasasti Sukawana AI ( Çaka 804 ), prasasti Bebetin AI (Çaka818 ), dan prasasti lainnya (Goris, R.,1954: 5 53-55). Bahkan hingga di Era Modern ini, jasa dan hasil karya para undagi pengarung (tukang aungan/terowongan irigasi) masih dinikmati oleh para petani di Bali. Sebagai seorang undagi pengarung, selain terampil secara teknis, mereka mesti mempunyai pengetahuan yang memadai terkait dengan tanah, geodesi, dan aspek lingkungan alam lain. Demikian pula dalam melakukan tugasnya, berbagai tantangan, resiko dan bahaya yang mesti dihadapi dalam proses membuat aungan (terowongan) tersebut. Atas jerih payah, resiko dan bahaya yang dihadapinya, sudah sepatutnya mereka mendapatkan penghargaan dari masyarakat dan pemerintah. Secara sosial ekonomi dan politik, peran subak dan khususnya undagi pengarung pada Zaman Bali Kuno mendapatkan penghargaan yang cukup penting. Dengan berkembangnya industri pariwisata di Bali, khususnya pariwisata budaya, maka warisan budaya agroekologi tersebut (teknologi dan hasil karya para undagi pengarung) dapat djadikan daya tarik wisata alternatif untuk mendukung pariwisata budaya yang telah dikembangkan di Bali sejak tahun 1970-an. 2. Metodelogi Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data tentang undagi pengarung dari prasasti-prasasti Bali Kuno. Karena data dalam prasasti sangat terbatas, maka untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang teknologi pengarung (undagi pengarung), pengumpulan data juga dibantu dengan teknik observasi ke Museum Subak di Kabupaten Tabanan, dan pengumpulan data Etnoarkeologi melalui wawancara mendalam (depth-interview) dengan narasumber (tukang aungan) sebagai pelaku sejarah dalam persubakan di Bali. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif, kemudian data diintepretasikan dan hasilnya disintesiskan guna mendapatkan gambaran umum tentang keberadaan undagi pengarung di Bali. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Subak dan Eksistensi Undagi Pengarung Dalam Prasasti Bali Keberadaan subak dan undagi pengarung (tukang terowongan air irigasi) merupakan dua komponen yang sangat terkait erat dalam dunia pertanian (agriculture). Rekaman data prasasti yang memuat tentang persubakan, khususnya tentang undagi 6 pengarung cukup sering disebutkan, tetapi sangat sumir dan keterangannya sangat terbatas. Secara implisit gejala keberadaan subak, sudah ada disebutkan sejak prasasti Bali Kuno pertama dikeluarkan oleh penguasa (raja) pada saat itu. Di antaranya, yaitu prasasti Sukawana AI (Çaka 804), prasasti Bebetin AI (Çaka818 ), dan prasasti lainnya ( Goris, R.,1954: 53-55). Di antaranya, dalam prasasti Sukawana A.I (Çaka 804 atau 882 M) ada disebutkan : “… sesan yalapna marhatuangna paneken di hyang api, kajadyan atithi. An ada huma, parlak, padang, ngmal, kajadyan tmuan hyang tanda, tathapi tua bilang, paneken ditu di satra, pyunyanangku kajadyan pamli pulu, tiker pangjakanyan anak jalan almangen…” ( Goris, R. 1954: 53-54). Artinya: ‘… sisa (harta kekayaan dari orang meninggal) yang diambil untuk ritual kematian marhantu (penyucian roh/ngaben), agar dipersembahkan sebagai harta kekayaan milik Dewa Api (Hyang Api), dijadikan biaya untuk penyambutan tamu (atithi). Jika ada (harta warisan berupa harta tidak bergerak), yaitu huma (sawah), parlak (kebun), padang (hamparan padang rumput), mmal (kebun campuran), agar dijadikan ritual (piodalan) untuk Dewa Hyang Tanda. Tetapi jika ada (harta warisan) uang (bilang/wilang), agar dipersembahkan untuk kebaikanku (pyunyanangku) ke satra (pesanggrahan) sebagai biaya untuk membeli isi pulu (beras) untuk dimasak dan membeli tikar bagi orang-orang bepergian (ngalu) yang kemalaman (menginap) di sana…’. Selain itu dalam prasasti Sukawana AI (Çaka 804) dan prasasti-prasasti Bali Kuno lainnya cukup sering disebutkan adanya kegiatan manutu yang artinya menumbuk padi (Bhs. Bali Lumrah: nebuk). Berdasarkan teks prasasti di atas dan prasasti lainnya menunjukkan, bahwa sejak awal Bali Kuno sudah dikenal tiga jenis lahan pertanian, yaitu pertanian basah yaitu huma ( sawah), pertanian kering, yaitu parlak (kebun), padang (hamparan lahan yang ditumbuhi semak dan rumput), dan mmal (kebun campuran). Pada sisi lain, penyebutan 7 pamli pulu (membeli isi tempayan /pulu atau beras) untuk dimasak pada teks prasasti di atas menunjukkan, bahwa beras sudah menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasaran. Artinya produksi beras di Bali sudah cukup maju. Lembaga tradisional yang membudidayakan padi dan produksi beras di Bali yaitu Subak. Sementara itu dalam prasasti Bebetin AI yang berangka tahun Çaka 818 atau 896 M (Goris, R., 1954: 55), untuk pertama kalinya sudah ada disebutkan keberadaan undagi pengarung, yaitu tukang yang ahli membuat terowongan air irigasi. Undagi pangarung juga disebutkan dalam prasasti Batuan (Çaka 944) bersama dengan undagi kayu (tukang kayu), undagi watu (tukang batu), dan kelompok profesional lainnya (Goris, R., 1954: 96-97). Sebagai kelompok pekerja