JHECDs, 3(2) 2017, hal .63-70

Review

Program Eliminasi Lymphatic di Indonesia

Lymphatic Filariasis Elimination Program in Indonesia

Gusti Meliyanie*, Dicky Andiarsa

Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Kementerian Kesehatan RI Kawasan Perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan *Korespondensi: [email protected] DOI : http://dx.doi.org/10.22435/jhecds.v3iI2.1790

Tanggal masuk 10 Oktober 2017, Revisi pertama 22 Oktober 2017, Revisi terakhir 20 November 2017, Diterima 23 November 2017, Terbit daring 19 Januari 2018

Abstract. Filariasis has been a public health problem in Indonesia for a long time and WHO has established this disease as a neglected disease which is a public health problem in the world, therefore a global filariasis elimination program that must be achieved in 2020. This article compiles 44 literatures for writing references related to the development of global filariasis elimination and the progress of filariasis elimination in Indonesia particularly. Filariasis elimination program in Indonesia has been running at least 51 districts that have stopped implementing mass drug administration (MDA) from 236 endemic filariasis districts. The remaining districts are expected to have implemented MDA start from 2015 so that the year 2020 is completed and verified also given predicates of filariasis elimination according to global target of filariasis elimination. Management-based and community-based research is important to determine the best model of elimination. There are still many challenges in increasing coverage, so that sustainability education efforts on filariasis and the importance of treatment will motivate communities to play an active role in achieving maximum coverage targets, and national filariasis elimination targets can be achieved by 2020. Keywords: Filariasis Elimination, MDA, neglected disease, problem of public health.

Abstrak. Filariasis telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia sejak lama dan WHO telah menetapkan penyakit ini sebagai penyakit yang terabaikan dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, untuk itu dicanangkan program Eliminasi filariasis secara global dengan target eliminasi pada tahun 2020. Artikel ini menghimpun 44 literatur sebagai bahan utama penulisan terkait perkembangan eliminasi filariasis global secara umum dan kemajuan eliminasi filariasis di Indonesia khususnya. Program eliminasi filariasis di Indonesia sudah berjalan setidaknya ada 51 kabupaten yang telah berhenti melaksanakan POPM dari 236 kabupaten yang endemis filariasis. Kabupaten tersisa diharapkan sudah melaksanakan POPM sejak 2015 sehingga tahun 2020 selesai dan dilakukan verifikasi dan diberikan predikat eliminasi filariasis sesuai target global eliminasi filariasis. Penelitian berbasis manajemen dan komunitas penting dilakukan untuk menentukan model terbaik dalam eliminasi. Masih banyak tantangan dalam meningkatkan cakupan, karenanya upaya edukasi berkelanjutan tentang filariasis dan pentingnya pengobatan akan menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam pencapaian target cakupan secara maksimal, dan target eliminasi filariasis nasional dapat tercapai di tahun 2020. Kata kunci: Eliminasi filariasis, POPM, penyakit terabaikan, masalah kesehatan masyarakat.

DOI : http://dx.doi.org/10.22435/jhecds.v3iI2.1790 Cara sitasi : Meliyanie G, Andiarsa D. Studi Literatur: Program Eliminasi di (How to cite) Indonesia. J.Health.Epidemiol.Commun.Dis. 2017;3(2): 63-70.

63

G Melyanie, D Andiarsa Program Eliminasi Lymphatic Filariasis…..

Pendahuluan Keputusan Menkes RI Nomor: 157/Menkes/SK/ X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lymphatic Filariasis (LF) telah menjadi masalah Kesehatan di Kabupaten/Kota yaitu kesehatan masyarakat di Indonesia sejak lama, Penatalaksanaan Kasus Kronis Filariasis dan bahkan sejak 1997 WHO telah menetapkan Keputusan Nomor: 1582/Menkes/SK/Xi/2005 penyakit ini sebagai neglected disease yang menjadi tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit masalah kesehatan masyarakat di dunia.1 Indonesia Kaki Gajah)6 yang kemudian digantikan dengan merupakan negara endemis LF satu-satunya di Permenkes No. 94 Tahun 2014 tentang dunia yang ditemukan tiga spesies cacing filaria Penanggulangan Filariasis pada tahun 2014. pada manusia yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori2 yang dapat ditularkan oleh Program eliminasi filariasis yang diupayakan lima genera nyamuk: Aedes, Culex, Armigeres, Kemenkes telah diikuti oleh sebagian besar Mansonia dan Anopheles.3 LF ditemukan di hampir kabupaten terutama kabupaten/kota endemis seluruh provinsi di Indonesia dengan total kasus filariasis. Laporan tahun 2016 menyebutkan bahwa yang teregistrasi hingga tahun 2013 sebanyak dari 514 kabupaten/kota terdapat 236 11.912 kasus.3 kabupaten/kota yang endemis filariasis dan hanya 181 kabupaten/kota yang sedang melaksanakan Lymphatic filariasis secara umum tidak Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) menyebabkan kematian, namun dapat filariasis 51 kabupaten/kota telah selesai mengakibatkan kecacatan permanen dan disabilitas melakukan POPM, dan dari 51 kabupaten/kota pada penderita sehingga dapat menurunkan yang selesai POPM, 8 Kabupaten/kota telah produktivitas dan berdampak langsung pada mendapatkan sertifikasi filariasis dan 43 lainnya perekonomian keluarganya. Bagi keluarga miskin, pada tahap Survey (preTAS danTAS).7 total kerugian ekonomi keluarga mencapai 67% dari total pengeluaran keluarga per bulan.4 Dari Proses tersebut masih sedang berlangsung untuk aspek psikologi, penyakit ini berdampak terhadap sebagian besar kabupaten/kota endemis dalam stigma sosial masyarakat terkait kekhawatiran upayanya mengentaskan penyakit filariasis hingga masyarakat sekitar penderita tentang penularan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di penyakit ini yang berujung pada pengucilan oleh wilayahnya. Artikel ini akan membahas progres masyarakat sehingga menambah beban psikologis kegiatan eliminasi filariasis di Indonesia meliputi penderita. sejarah dan awal mula penyakit ini serta upaya yang telah dilakukan oleh manusia hingga saat ini; Laporan P2PL untuk jumlah kasus klinis elefantiasis beberapa tantangan, hambatan dan kemungkinan terbanyak pada tahun 2009 terdapat di kabupaten potensi yang akan dihadapi dalam upaya eliminasi; Aceh Utara (1,353) selanjutnya diikuti oleh kebutuhan dasar dan komplementer untuk kabupaten Manokwari (667), Mappi (652), Sikka mensukseskan program eliminasi agar Indonesia 5 (619) dan Ende (244). Jumlah kabupaten/kota yang bisa terbebas dari salah satu penyebab masalah endemis filariasis tahun 2009 adalah 356 kesehatan masyarakat kita. kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota (71,9%) Artikel ini ditulis untuk mendeskripsikan dan 139 kabupaten/kota (28,1%) yang tidak perkembangan progam eliminasi filariasis di endemis filariasis.5 Daerah dengan microfilaria rate Indonesia, tantangan apa yang dihadapi, strategi tertinggi tahun 2009 adalah kabupaten yang dilakukan serta proyeksi kebutuhan dan Bonebolango (40%) selanjutnya diikuti oleh harapan target di tahun 2020. kabupaten Manokwari (38,57%) Kota Cilegon (37,50 %), Mamberamo Raya (31.46) dan Kutai Metode Kertanegara (26,00%).5 Artikel merupakan naskah yang berasal dari review Hampir 2 dekade yang lalu, WHO telah beberapa literatur rujukan yang diambil sebagai meluncurkan program eliminasi filariasis secara bahan utama penulisan. Beberapa peramban ilmiah global (Global Program to Eliminate Lymphatic dan publisher terindeks global digunakan untuk Filariasis/ GPELF) yang bertujuan untuk mengurangi mencari beberapa artikel ilmiah yang berkaitan kasus LF hingga tidak lagi menjadi masalah dengan Filariasis, program eliminasi filariasis kesehatan masyarakat di dunia pada tahun 2020. nasional dan global, sejarah, dan perkembangan Hal ini ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan program eliminasi yang telah dilakukan secara Republik Indonesia dengan mengeluarkan global. Peramban tersebut antara lain: Pubmed,

64

JHECDs Vol. 3, No. 2, Desember 2017

Google scholar, Springer, NCBI, PLos One dan menemukan mikrofilaria dalam darah; tahun 1896 WHO official website serta beberapa data utama Yushitaro Matsuura menemukan cacing betina tentang program eliminasi filariasis di Indonesia dewasa pada inguinal lymph node (di Kumamoto); yang didapatkan dari Pusdatin Kemenkes RI. dan tahun 1903 Shichiro Hida menemukan filaria Artikel yang didapatkan dipilah dan dipilih hanya jantan dalam hydrocele di kelenjar seminiferus yang relevan dengan topik artikel yang ditulis. bagian kiri.8 Artikel yang berhasil didapatkan sebanyak 65 Filariasis di Indonesia sendiri awalnya dilaporkan naskah dengan kata kunci Filariasis di Indonesia, Haga dan Van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta Lymphatic filariasis, ancient filariasis, Global Program bahwa telah ditemukan penderita filariasis to Eliminate Lymphatic Filariasis/ GPELF, program skrotum.10 Tahun 1937 Brug menyimpulkan dalam nasional eliminasi filariasis, MDA/pengobatan laporannya tentang filariasis di seluruh Indonesia massal, dan Community empowerment to filariasis. pada waktu itu telah diketahui dua jenis cacing Dari naskah yang ditemukan hanya 44 dokumen filaria sebagai penyebabnya yaitu Wuchereria yang relevan terhadap tujuan dan topik penulisan. bancrofti (W. Bancrofti) dan Brugia malayi (B. malayi).10 Kasus filariasis pertama kali dilaporkan di Hasil Nusa Tenggara Timur pada tahun 1965 sebagai “filariasis timor”11,12 dan belum diketahui spesies Sejarah Filariasis penyebabnya hingga tahun 1977.13,14 Pada tahun itu Filariasis telah diketahui sejak jaman sebelum pula diketahui bahwa Anopheles barbirostris masehi dari beberapa peninggalan kuno yang merupakan vektor utama dari penyakit ini.13 menggambarkan bagaimana masyarakat di masa itu sudah ada yang menderita filariasis kronis Penelitian Sudomo et al. di Bengkulu pada tahun (elephantiasis). Sekitar tahun 1501-1480 sebelum 1982 menyebutkan bahwa Mansonia annulata, M. masehi (SM) ditemukan sebuah relief kuno di bonneae, M. dives, M. uniformis dan Anopheles sebuah kuil pemakaman ratu Hatshepsut di lereng nigerrimus mungkin bertindak sebagai vektor gunung di Thebes, Mesir. Dalam relief itu filariasis dan infeksi B. malayi terdapat pada kucing digambarkan putri Punt yang menderita elephatiasis dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada bagian kakinya.8 Sekitar tahun 600 SM sebuah serta 3 dari 5 M. fascicularis yang diperiksa telah gejala klinis filariasis bancrofti diceritakan telah terinfeksi Edesonfilaria malayensis yang merupakan terjadi pada masyarakat oleh seorang tabib Hindu kasus pertama yang ditemukan di Indonesia.15 8 Persia. Pada awal tahun 600–700 SM masa Pada tahun 2002, tepat dua tahun setelah WHO pemerintahan dinasti Sui, digambarkan secara mencanangkan target eleminasi filariasis secara lengkap gejala mirip LF termasuk filarial acute global pada tahun 2020, Indonesia berkomitmen lymphadenitis/lymphangitis (ADL), untuk ikut serta dalam agenda ini yang ditandai lymphedema/elephantiasis, chyluria, dan hydrocele dengan pencanangan dimulainya eliminasi filariasis dalam “General treatise on the cause and symptoms di Indonesia oleh Menteri Kesehatan pada tanggal of diseases: yang diterbitkan tahun 610 M oleh tabib 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan 9 terkenal masa itu. Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Pada awal pencatatan temuan ilmiah mulai Selatan.16 Ketetapan Pemerintah tentang Program terekam, filiariasis telah dilaporkan sebagai berikut: Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas tahun 1863 Demarquay di Paris menemukan nasional pemberantasan penyakit menular ini microfilaria pada cairan hydrocele pada seorang dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik berkebangsaan Kuba; tahun 1866 Wucherer Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana menemukan microfilaria di chyluria; tahun 1872 Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun Lewis menemukan microfilaria dalam darah; tahun 2004-2009, Bab 28, D.5, serta diterbitkannya Surat 1877 Bancroft menemukan cacing filaria betina Edaran Mendagri No.443.43/875/SJ tentang dewasa pada ulcer nodus limfatik di bagian lengan; Pedoman Pelaksanaan pengobatan Massal Filariasis tahun 1877 Manson menemukan mikrofilaria di dalam rangka Eliminasi Filariasis di Indonesia abdomen nyamuk sekaligus menjadi awal kelahiran sebagai pengikat komitmen bersama dari ilmu medical entomology; tahun 1879 Manson pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota.16 menemukan periodisitas nokturnal microfilaria; Indonesia telah 15 tahun berkecimpung dalam tahun 1888 Sibthorpe menemukan cacing jantan Program GPELF, namun masih tercatat kurang dewasa; tahun 1876 di Tokyo Erwin Von Baelz lebih 14 ribu orang telah menderita kecacatan

65

G Melyanie, D Andiarsa Program Eliminasi Lymphatic Filariasis…..

akibat filariasis dan diperkirakan lebih dari 1,2 juta dilaksanakan oleh beberapa kabupaten/kota penduduk telah terinfeksi penyakit ini, serta 120 endemis filariasis di Indonesia sejak tahun 2002, juta penduduk tinggal di daerah endemis filariasis sebagian telah dinyatakan berhenti melanjutkan dan berpotensi tertular.17 Penduduk Indonesia POPM dan sebagian lagi masih perlu melanjutkan yang telah minum obat pencegahan filariasis POPM karena gagal dalam evaluasi TAS-1. dengan sasaran pengobatan sekitar 102 juta Perkembangan upaya pengobatan filariasis di orang.18 Untuk meningkatkan cakupan minum Indonesia sampai dengan tahun 2016 meliputi 236 obat, maka dicanangkanlah Bulan Eliminasi Kaki kabupaten kota endemis, masih 4 kabupaten/kota Gajah (BELKAGA) pada Bulan Oktober periode yang belum melaksanakan POPM sama sekali, Tahun 2015–2020, BELKAGA adalah saat seluruh dengan demikian mereka baru melakukan POPM penduduk sasaran di wilayah endemis filariasis pada bulan Juli 2017. Adapun kriteria minum obat pencegahan filariasis.17 Pencanangan kabupaten/kota yang telah berhenti melakukan BELKAGA telah dilaksanakan pada tanggal 1 POPM selama lima tahun berturut-turut harus Oktober 2015 dan diharapkan semua memenuhi persyaratan microfilaria rate (Mf rate) kabupaten/kota endemis filariasis mulai kurang dari 1% untuk selanjutnya akan dilakukan melaksanakan POPM Filariasis paling lambat tahun rangkaian evaluasi Pre TAS dengan menggunakan 2016 sehingga pada tahun 2020. Rangkaian siklus metode pemeriksaan slide darah jari dan TAS 1, 2, POPM selama 5 tahun diharapkan selesai dan 3 dalam selang setiap 2 tahun dengan dilaksanakan, sehingga pada tahun 2021-2025 menggunakan rapid diagnostic test, jika dinyatakan dapat dilakukan proses sertifikasi eliminasi filariasis lolos maka dapat diberikan sertifikasi eliminasi untuk kabupaten/kota yang belum lulus TAS 1, 2, filariasis secara nasional dan akan diverifikasi dan 3.17 kembali oleh WHO untuk mendapatkan predikat

eliminasi filariasis sebagai masalah kesehatan Upaya Eliminasi dan Membangun masyarakat.7 Selama selang 2 tahun menunggu Jejaring evaluasi TAS berikutnya dilaksanakan surveilans, Upaya eliminasi filariasis sesuai dengan strategi dan jika tidak lulus pre TAS dan TAS, maka akan yang ditetapkan oleh WHO yaitu menghambat dilakukan POPM selama 2 tahun. Beberapa transmisi penyakit berdasarkan kegiatan kabupaten/kota yang telah berhasil berhenti pengobatan massal dan mengurangi dampak melakukan POPM antara lain adalah Kabupaten 20,21 5,22 kecacatan akibat filariasis. Pengobatan ini Bandung, Pulau Alor, Tanggerang Selatan, dilaksanakan selama 5 tahun berturut-turut, diikuti Kabupaten Kolaka Utara, Kab. Bombana, dan Kota 18 oleh survei penilaian hasil pengobatan (TAS), dan Bogor. Perkembangan eliminasi filariasis ini selanjutnya dilakukan verifikasi eliminasi filasiasis setidaknya ada 8 kab/kota yang telah mendapatkan 7 pada wilayah tersebut.19 Kegiatan ini telah sertifikasi Eliminasi Filariasis (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Program Eliminasi Filariasis di Indonesia Tahun 2017

Kabupaten Endemis Filariasis di Indonesia (N=236)

Selesai POPM 5 Tahun (n=51) Sedang Belum Tahap Menjalani Melaksanakan Stop POPM surveilans POPM POPM 4 (Juli 2017 51 43 181 POPM) Sumber: Subdit Filariasis dan Kecacingan. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dalam Multi center Filariasis tahun 2107.

Program eliminasi filariasis tidak akan berjalan baik sosial-ekonomi-budayanya.26 Hal ini menunjukkan jika hanya satu lembaga tertentu saja yang bahwa untuk dapat mengeliminasi filariasis melaksanakan kegiatan ini.23–25 Filariasis secara diperlukan kerja sama lintas sektor kegiatan dan epidemiologis meliputi beberapa aspek biologis program, misalnya peran sektor kesehatan harus yang terlibat, agen cacing filaria itu sendiri, vektor terjalin baik dengan sektor pendidikan guna dan lingkungan habitatnya, reservoir, lingkungan meningkatkan pengetahuan dan edukasi pemukiman penduduk berserta segenap aspek masyarakat tentang pentingnya pengendalian

66

JHECDs Vol. 3, No. 2, Desember 2017

penyakit ini. Gerakan ‘dokter kecil’ dan Usaha terlambatnya daerah tersebut melaksanakan Kesehatan Sekolah (UKS) di sekolah dianggap POPM. cukup efektif untuk menjadi ‘agent of change’ bagi keluarga masing-masing dalam mengkonsumsi obat Cakupan pengobatan yang rendah salah satu faktor pencegah dan meningkatkan cakupan pemantauan penyebab kegagalan program eliminasi filariasis di jentik dan secara tidak langsung memberikan suatu wilayah. Berbagai alasan atas rendahnya pengetahuan mengenai pengendalian nyamuk cakupan ini antara lain petugas yang tidak 27 menyaksikan langsung masyarakat meminum kepada orang tua murid. Pemberian edukasi yang 31 terus menerus kepada anak ini diharapkan akan obatnya, ketakutan akan efek samping obat, disampaikan kepada orang tua dan keluarganya masyarakat merasa tidak sakit sehingga tidak harus sehingga meningkatkan pengetahuan dan meminum obat tersebut, dan sebagainya. Hal kewaspadaan masyarakat tentang filariasis secara tersebut disebabkan karena kurangnya informasi luas. dari petugas tentang pentingnya pengobatan massal ini sehingga tidak menjadi perhatian penting Kerjasama dengan sektor pemukiman dan tata bagi masyarakat.32 kota guna meningkatkan kualitas infrastruktur dan sanitasinya. Industri farmasi berperan besar dalam Lemahnya surveilans filariasis dalam ketersediaan obat untuk pengobatan massal mengendalikan lingkungan perkembangbiakan 28 nyamuk serta rendahnya kualitas sanitasi selama program eliminasi dilakukan. Filariasis 33 tampakmya paling mungkin terjadi transmisi masyarakat yang mendukung meningkatnya apabila wilayah tersebut memiliki lingkungan dan tempat perkembangbiakan akan berdampak pada iklim yang baik bagi perkembangbiakan vektor,29 meningkatnya transmisi filariasis di wilayah hal ini menjadi peran penting bagi badan tersebut. Surveilans yang responsif dan cepat klimatologi memberikan informasi kepada sektor merupakan kunci keberhasilan program dalam pengendalian penyakit tropis termasuk lain yang berkompeten dalam merekayasa 34,35 lingkungan untuk mencegah perkembangbiakan filariasis. Mobilisasi masyarakat yang dinamis vektor tersebut. Hal yang menjadi perhatian semakin menyulitkan surveilans dalam menentukan asal kasus pada suatu wilayah penting adalah target program TAS harus 36 diprioritaskan kepada wilayah dengan intensitas bermula. Penapisan penderita secara rutin menggunakan metode yang tepat pada beberapa penularan tertinggi dan cakupan pengobatan 37 terendah.30 TAS dilakukan secara random pada pintu masuk suatu wilayah endemis dapat beberapa SD pada anak kelas 1 dan 2. Hal ini tidak meminimalkan adanya transmisi baru pada wilayah dapat terjadi tanpa kerja sama semua elemen non endemis. masyarakat dan pihak terkait sehingga program Distribusi reservoir pada wilayah pemukiman dapat berjalan dengan baik. sebagai akibat dari meluasnya pemukiman penduduk hingga pada habitat hewan tersebut Pembahasan memaksa mereka harus hidup berbagi bersama manusia, dan ini dapat meningkatkan daya Tantangan dan Potensi transmisi filariasis (B. malayi) pada ekosistem baru Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara tersebut sedangkan sistem surveilans pada yang telah lama memerangi penyakit filariasis ini. reservoir belum berjalan dengan maksimal. Hambatan dan tantangan yang bervariasi dan Meskipun demikian banyak penelitian bergerak dinamis mengikuti perkembangan sosial menyebutkan bahwa secara alami filariasis pada budaya masyarakat menjadi faktor penting manusia tidak mudah terjadi transmisi pada keberhasilan eliminasi filariasis di wilayah ini. binatang reservoir.38–40 Sebagian besar hambatan akan muncul pada saat implementasi program dilaksanakan. Setiap wilayah Kebutuhan Utama untuk Mensukseskan tentu memiliki hambatan tersendiri, namun Program beberapa rintangan ini akan memunculkan potensi Keberhasilan program eliminasi filariasis jelas solusi unik setiap wilayah dalam penyelesaiannya. mensyaratkan pengobatan lokus massal dalam Beberapa pemerintah daerah endemis filariasis jangka panjang untuk memutus mata rantai 41 tidak memberikan prioritas utama pada program penularan. Program ini membutuhkan beberapa aspek riset dan evaluasi dalam perbaikan program pengobatan massal terutama terkait penganggaran selanjutnya. Menurut Kyelem et al. (2008) kegiatan pengobatan massal. Hal ini mengakibatkan

67

G Melyanie, D Andiarsa Program Eliminasi Lymphatic Filariasis…..

setidaknya ada 3 penelitian penting yang harus pada masyarakat di sekitar dapat meningkatkan diprioritaskan dalam mendukung program kesadaran tentang pengobatan massal ini.47 eliminasi filariasis antara lain: penelitian ‘biologis’ Masyarakat yang mengetahui secara langsung dari terkait perkembangan cacing dan vektornya; petugas manfaat pengobatan massal akan dengan penelitian terkait program itu sendiri; dan sadar dan sukarela terlibat langsung dalam penelitian berbasis komunitas sebagai bahan program pengobatan.31 strategi cakupan pengobatan maksimal.42 Hal yang terpenting lainnya adalah pada daerah Beberapa penelitian terkait agen penyakit ini telah endemis B. Malayi mengalami kesulitan untuk banyak dilakukan hingga yang terbaru bagaimana eliminasi karena masih adanya reservoar di kita memerangi cacing dengan menyerang bagian lingkungan misalnya kucing, anjing, kera ekor organ yang berfungsi sebagai pertahanan cacing panjang, dan lutung alias hirangan. Indonesia sudah terhadap antibodi kita menggunakan anthelmintic mengusulkan ke WHO agar target eliminasi golongan macrolide, obat ini juga bekerja sebagai ditunda 5 tahun lagi yaitu 2025, namun usulan penyebab paralisis faring dan lokomotorik cacing.43 tersebut belum ada jawaban dari WHO. Namun Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa macrolid demikian, upaya keras dilakukan untuk dapat ini menghambat pengeluaran protein excretory mencapai target maksimal pada eliminasi Filariasis secretory (ES) di bagian ES apparatus pada tubuh tahun 2020. larva cacing filaria.44 Protein ini berfungsi sebagai kamuflase cacing terhadap system imun host Kesimpulan dan Saran sehingga cacing dapat berkembang di tubuh host Filariasis merupakan penyakit yang cukup rumit tanpa terdeteksi. Hambatan dari macrolide ini penanganannya, melibatkan banyak pihak dan kerja mengakibatkan system imun kita dapat mengenali sama serta komunikasi yang baik untuk dapat parasit dan dapat segera menghancurkannya. mencapai keberhasilan program baik nasional Penelitian berbasis program adalah bagaimana maupun global pada 2020. Keberhasilan ini pengelolaan manajemen dalam pelaksanaan ditentukan oleh komitmen semua pihak terkait dan program eliminasi, tantangan di lapangan, peran serta yang cukup dari masyarakat untuk manajemen dana dan obat-obatan menjadi sorotan mengatasi permasalahan ini. Kemajuan Program penting untuk mengembangkan beragam model Eliminasi Filariasis masih sekitar 72,1% kabupaten desain, strategi dan implementasi. Beberapa endemis filariasis yang telah berhenti melakukan tantangan ini terkait dengan konsistensi komitmen POPM dan menunggu hasil evaluasi dan pemerintah saat menghadapi masalah dan mendapatkan predikat eliminasi, namun demikian bagaimana mengelola masalah tersebut dengan kabupaten endemis lainnya diharapkan segera sumber daya yang tersedia.45 Sebagaimana strategi menyusul dan pada tahun 2020 semua kabupaten yang di canangkan oleh Pacific program to di Indonesia telah selesai melaksanakan POPM. eliminate LF (PacELF)46 yang memusatkan strategi Aspek obat dan agen telah banyak diketahui dan pada pertolongan mandiri penderita filariasis yang telah diimplementasikan dalam produk farmasi berbasis komunitas, pelaksanaan program yang siap digunakan. Aspek surveilans masih perlu pengobatan massal yang fleksibel dan sesederhana ditingkatkan kewaspadaan untuk mendeteksi mungkin, serta penyelarasan kegiatan promosi, adanya transmisi baru. Aspek manajemen masih surveilans dan penanganan penderita oleh petugas menjadi pembelajaran bersama dalam pencarian kesehatan harus terus dievaluasi dan model terbaik guna meningkatkan cakupan dikembangkan model, metode dan pengobatan. Promosi dan kampanye yang terus implementasinya. menerus dan berkelanjutan untuk memberikan Pengobatan massal yang panjang dan dilakukan pengetahuan dan pemahaman terkait filariasis pada setiap tahun menimbulkan beberapa keluhan dan masyarakat serta pentingnya pengobatan untuk kejenuhan masyarakat yang dilibatkan, hal ini memutus mata rantai dianggap cukup efektif dalam menyebabkan rendahnya cakupan pengobatan di meningkatkan cakupan dan mencapai keberhasilan suatu wilayah. Penelitian berbasis riset operasional program eliminasi filariasis secara nasional dan sangat dibutuhkan dalam menemukan model global. terbaik untuk meningkatkan cakupan pengobatan tersebut. Model edukasi pada penderita lymphedema dan kampanye secara terus menerus

68

JHECDs Vol. 3, No. 2, Desember 2017

Diseases. Hindawi; 2017. p. 1–8. Ucapan Terimakasih 15. Sudomo M, Hanifah A, Mak J, Lim B. A study of malayan filariasis in Lubuk Mumpo and Datar Terimakasih disampaikan kepada Kepala Balai Lebar villages in Lais Regency, North Bengkulu, Litbang P2B2 Tanah Bumbu yang telah Sumatera, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med memfasilitasi penulisan naskah review ini. Public Heal. 1982;13(4):584–9. 16. Elytha F. Transmission assessment survey sebagai salah satu langkah penentuan eliminasi filariasis. J Kontribusi Penulis Kesehat Masy Andalas. 2014;8(2):85–92. 17. Ditjen PP & PL. Rencana aksi program DA membuat kerangka konsep, penelusuran pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. artikel, kompilasi data, penulisan draf naskah. GM Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit melakukan kompilasi data dan penulisan dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI; 2015. manuskrip. 59 p. 18. Kemenkes RI. Menkes hadiri puncak BELKAGA DI Gunung Mas. Halo Kemkes [Internet]. 2016; Daftar Pustaka Available from: 1. World Health Organization (WHO), Global http://www.depkes.go.id/article/print/161005000 Programme to Eliminate. Monitoring and 02/menkes-hadiri-puncak-belkaga-di-gunung- Epidemiological Assessment of Mass Drug mas.html Administration: Lymphatic Filariasis, Manual for 19. Addiss D. The 6th Meeting of the Global Alliance National Elimination Programmes. World Health to Eliminate Lymphatic Filariasis: A half-time Organization; 2011. review of lymphatic filariasis elimination and its 2. Balitbangkes. Pedoman pengumpulan data studi integration with the control of other neglected model pengembangan eliminasi filariasis. Jakarta: tropical diseases. Parasit Vectors. 2010;3(1):100. Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, 20. Astuti EP, Ipa M, Wahono T, Ruliansyah A. Analisis Balitbangkes, Kemenkes RI; 2017. perilaku masyarakat terhadap kepatuhan minum 3. Wibawa T, Baskoro T, Satoto T. Magnitude of obat filariasis di tiga desa Kecamatan Majalaya Neglected Tropical Diseases in Indonesia at Kabupaten Bandung Tahun 2013. Media Litbang Postmillennium Development Goals Era. J Trop Kesehat. 2014;24(4):199–208. Med. 2016;2016(Article ID 5716785):1–9. 21. Ipa M, Astuti EP, Hakim L, Fuadzy H. Analisis 4. Masrizal. Penyakit filariasis. J Kesehat Masy. Cakupan Obat Massal Pencegahan Filariasis di 2013;7(1):32–8. Kabupaten Bandung dengan Pendekatan Model 5. Supali T. Keberhasilan program eliminasi filariasis Sistem Dinamik. BALABA. 2016;12(1):31–8. di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Buletin 22. Tuti S, Sismadi P, Ekowatiningsih R, Manumpil P. Jendela Epidemiologi. 2010;1(Juli):20–3. Situasi filariasis di pulau alor pada tahun 2006. 6. Ditjen PP & PL. Pedoman Program Eliminasi BulPenelSistemKes. 2010;13(1):69–76. Filariasis di Indonesia. Jakarta: Ditjen PP & PL, 23. Hotez PJ, Remme JHF, Buss P, Alleyne G, Morel Depkes RI; 2009. C, Breman JG. Combating Tropical Infectious 7. Pusdatin. Situasi filariasis di Indonesia tahun 2015. Diseases: Report of the Disease Control Priorities Infodatin. 2016;8. in Developing Countries Project. Clin Infect Dis. 8. Otsuji Y. History , Epidemiology and Control of 2004;38(6):871–8. Filariasis. Trop Med Health. 2011;39(1, 24. Krentel A, Fischer PU, Weil GJ. A Review of supplement 02):3–13. Factors That Influence Individual Compliance with 9. De-jian S, Xu-li D, Ji-hui D. The history of the Mass Drug Administration for Elimination of elimination of lymphatic filariasis in China. Infect Lymphatic Filariasis. PLoS Negl Trop Dis. Dis Poverty. 2013;2(1):30. 2013;7(11). 10. Arsin AA. Epidemiologi Filariasis. 1st ed. 25. Njomo DW, Mukoko DA, Nyamongo NK, Makassar: Masagena Press Makassar; 2016. 126 p. Karanja J. Increasing Coverage in Mass Drug 11. David HL, Edeson JF. Filariasis in Portuguese Administration for Lymphatic Filariasis Elimination Timor, with observations on a new microfilaria in an Urban Setting: a Study of Malindi Town, found in man. Ann Trop Med Parasitol. Kenya. PLoS One. 2014;9(1):e83413. 1965;59:193–204. 26. Yimer M, Hailu T, Mulu W, Abera B. Epidemiology 12. Paily KP, Hoti SL, Das KP. A review of the of elephantiasis with special emphasis on complexity of biology of lymphatic fi larial podoconiosis in ethiopia: A literature review. J parasites. J Parasit Dis. 2009;33(1&2):3–12. Vector Borne Dis. 2015;52(2):111–5. 13. Partono F, Aennis DT, Atmosoedjono S, Oemijati 27. Goodwin NJ. Effects of participation and sense of S, J.H. Cross. Brugia timori sp.n. (Nematoda: community on change agents in an Indonesian Filarioidea) from Flores Island, Indonesia. J sanitation behaviour change communications Parasitol. 1977;63(3):540–6. program. University of Sidney; 2016. 14. Chavatte J, Jureen R. Imported Asymptomatic 28. Bhullar N, Maikere J. Challenges in mass drug Bancroftian Filariasis Discovered from a administration for treating lymphatic filariasis in Plasmodium vivax Infected Patient: A Case Report Papua, Indonesia. Parasit Vectors. 2010;3(70):1–7. from Singapore. Vol. 2017, Hindawi Infectious 29. Cano J, Rebollo MP, Golding N, Pullan RL, Crellen

69

G Melyanie, D Andiarsa Program Eliminasi Lymphatic Filariasis…..

T, Soler A, et al. The global distribution and essential elements and research needs. Am J Trop transmission limits of lymphatic filariasis: past and Med Hyg. 2008;79(4):480–4. present. Parasit Vectors. 2014;7(466):1–19. 43. Carithers DS. Examining the role of macrolides 30. Jambulingam P, Subramanian S, de Vlas SJ, Vinubala and host immunity in combatting filarial parasites. C, Stolk WA. Mathematical modelling of lymphatic Parasite Immunol. 2017;10(183):1–13. filariasis elimination programmes in India: required 44. Moreno Y, Nabhan JF, Solomon J, Mackenzie CD, duration of mass drug administration and post- Geary TG. Ivermectin disrupts the function of the treatment level of infection indicators. Parasit excretory-secretory apparatus in microfilariae of Vectors. 2016;9(1):501. Brugia malayi. Proc Natl Acad Sci U S A. 31. Modi A, Gamit S, Jesalpura BS, Kurien G, 2010;107(46):20120–5. Kosambiya JK. Reaching endpoints for lymphatic 45. Noodin R. Editorial: Lymphatic Filariasis and The filariasis elimination- results from mass drug Global Elimination. Malaysian J Med Sci. administration and nocturnal blood surveys, South 2007;14(1):1–3. Gujarat, India. PLoS Negl Trop Dis. 2017;11(4):1– 46. Allen T, Taleo F, Graves PM, Wood P, Taleo G, 14. Baker MC, et al. Impact of the Lymphatic Filariasis 32. Ojha CR, Joshi B, Kc KP, Dumre SP, Yogi KK, Control Program towards elimination of filariasis Bhatta B, et al. Impact of mass drug administration in. Trop Med Health. 2017;45(8):1–11. for elimination of lymphatic filariasis in Nepal. 47. Cantey PT, Rout J, Rou G, Williamson J, Fox LM. PLoS Negl Trop Dis. 2017;1–12. Increasing compliance with mass drug 33. Silumbwe A, Zulu JM, Halwindi H, Jacobs C, administration programs for lymphatic filariasis in Zgambo J, Dambe R, et al. A systematic review of India through education and lymphedema factors that shape implementation of mass drug management programs. PLoS Negl Trop Dis. administration for lymphatic filariasis in sub- 2010;4(6):e728. Saharan Africa. BMC Public Health. 2017;17(1):484. 34. Tambo E, Ai L, Zhou X, Chen J-H, Hu W, Bergquist R, et al. Surveillance-response systems: the key to elimination of tropical diseases. Infect Dis Poverty. 2014;3(1):17. 35. Wang J-L, Li T-T, Huang S-Y, Cong W, Zhu X-Q. Major parasitic diseases of poverty in mainland China: perspectives for better control. Infect Dis Poverty. 2016;5(1):67. 36. Bhumiratana A, Intarapuk A, Koyadun S, Maneekan P, Sorosjinda-nunthawarasilp P. Current Bancroftian Filariasis Elimination on Thailand-Myanmar Border: Public Health Challenges toward Postgenomic MDA Evaluation. ISRN Trop Med. 2013;2013(Article ID 857935):13 p. 37. Carme B. Rapid Assessment Procedure for Loiasis and Mapping Lymphatic Filariasis: Two Perfect Illustrations of “To Be in English or Not to Be.” PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(12):1–4. 38. Chandra G. Nature limits filarial transmission. Parasit Vectors. 2008;1(1):13. 39. Ravindran R, Varghese S, Nair SN, Balan VM, Lakshmanan B, Ashruf RM, et al. Canine filarial infections in a human Brugia malayi endemic area of India. Biomed Res Int. 2014;2014. 40. Erickson SM, Thomsen EK, Keven JB, Vincent N, Koimbu G, Siba PM, et al. Mosquito-Parasite Interactions Can Shape Filariasis Transmission Dynamics and Impact Elimination Programs. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7(9):1–7. 41. Mitjà O, Paru R, Hays R, Griffin L, Laban N, Samson M, et al. The impact of a filariasis control program on Lihir Island, Papua New Guinea. PLoS Negl Trop Dis. 2011;5(8):1–8. 42. Kyelem D, Biswas G, Bockarie MJ, Bradley MH, El- Setouhy M, Fischer PU, et al. Determinants of success in national programs to eliminate lymphatic filariasis: a perspective identifying

70