IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM PENGELOLAAN PURA TAMAN AYUN SEBAGAI DAYA TARIK WISATA

Ni Made Ayu Erna Tanu Ria Sari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail: [email protected]

ABSTRACT In improving the economic resilience of the Balinese people, especially in the field of tourism, in addition to seeing the potential that exists the government must also improve the social fabric of the local community, culture, and mentality. Therefore a strong concept is needed which becomes the basic foundation in the development of tourism in the form of Ecotourism. The foundation can be built in accordance with the local wisdom of the local community, or through a philosophical concept that is believed by the Hindu community in that leads to a harmonious community life. One of the philosophical concepts of which is also used as local wisdom is THK ("Tri Hita Karana"). Etymologically, the concept of Tri Hita Karana is Tri meaning three, Hita means prosperity, and Karana is the cause, consisting of parhyangan (spiritual environment), pawongan (social environment) and palemahan (natural environment). Broadly the concept of Tri Hita Karana can be interpreted as three harmonious relationships between humans and God, humans and other humans, and humans and the environment to achieve the safety and peace of the universe.

Keywords: Tri Hita Karana, Taman Ayun Temple, Tourist Attraction

I. PENDAHULUAN UNESCO dalam Konvensi Hita Karana. Beberapa situs yang telah Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia ditetapkan sebagai warisan budaya dunia di Paris pada tahun 1972 menegaskan bahwa meliputi , Kawasan warisan budaya dunia sebagai hasil karya tinggalan arkeologi di Daerah Aliran manusia atau alam adalah sebagai berikut. Sungai Pakerisan di Kabupaten Gianyar, “Hasil karya manusia atau gabungan antara pura Taman Ayun di Kabupaten Badung, alam dan hasil karya manusia termasuk dalam dan Kawasan Catur Angga Pura hal ini adalah situs purbakala yang mempunyai Batukaru, di Kabupaten Tabanan. nilai keunggulan universal dan istimewa dari Tujuan utama penetapan kawasan segi sejarah, kebudayaan atau ilmu tersebut sebagai warisan budaya dunia adalah pengetahuan”. meningkatkan pelestarian kawasan,

Terkait dengan hal di atas, pada tanggal pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan 29 Juni 2012 UNESCO telah menetapkan kawasan, mempertahankan keseimbangan landskap budaya Bali sebagai warisan budaya ekologis dan mewujudkan revitalisasi pertanian. dunia. Penetapan landskap budaya Bali sebagai Tujuan tersebut harus bersesuaian dengan warisan budaya dunia oleh Unesco dilandasi falsafah Tri Hita Karana selanjutnya disebut oleh nilai keunggulan universal (outstanding (THK) yang menekankan pentingnya universal value) yang dimiliki oleh filosofi Tri keharmonisan hubungan manusia dengan

41 Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2598-0203

Tuhan (Parhyangan), dengan sesamanya Pertanggalan pembangunan Pura Taman (Pawongan), dan dengan Wartian Dudays Ayun dipahatkan pada pintu masuk pura Dun lingkungan alam (Palemahan). Ini tersebut dalam bentuk kronogram yang berarti, falsafah THK sangat penting untuk bunyinya : Sad Butha Yaksa Dewa, yang diterapkan dalam pengelolaan warisan maknanya 6551 atau tahun Saka 1556 budaya dunia sebagai daya tarik wisata. sama dengan tahun 1634 Masehi. Kawasan warisan budaya dunia di Bali Raja Mengwi yakni I Gusti Agung Putu berpotensi sebagai daya tarik wisata sehingga menyuruh Ing Khang Choew, seorang ahli pengelolaannya harus berlandaskan nilai-nilai pertamanan dari Banyuwangi untuk membangun keunggulan universal THK. Namun kenyataan taman. Ing Khang Coew memilih lokasi berupa di lapangan, masyarakat, industri pariwisata bukit kecil atau gundukan tanah yang dikelilingi dan pemerintah mungkin saja tidak memahami oleh sungai pada sisi timur, selatan, dan barat dan menerapkan dan secara utuh nilai-nilai tempat tersebut. Tempat yang baru itu dianggap THK yang telah diakui oleh Unesco dalam strategis karena lokasinya dekat dengan istana, pengelolaan kawasan tersebut sebagai daya cukup luas, dan terdapat sumber air yang cukup tarik wisata. melimpah. Keindahan taman tersebut juga Pemerintah Provinsi Bali telah dipersembahkan kepada leluhur raja, sehingga menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Bali dibangun palinggih-palinggih pada kontur tanah Nomor 2 Tahun 2012 tentang yang tertinggi di bagian hulu, dan dikelilingi oleh Kepariwisataan Budaya Bali. Bab II, Pasal 2 tembok atau penyengker. Pada awalnya hanya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 dibangun dua palinggih yaitu paibon sebagai Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya tempat untuk memuja roh leluhur raja, dan Bali dilaksanakan berdasarkan kelestarian, Gedong Sari untuk memuja roh Pasek Badak partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, yang telah disucikan. Pertamanan ini sangat demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang indah sesuai dengan keinginan (ahyun) sang raja dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu dengan dan dilengkapi dengan sejumlah palinggih untuk menerapkan falsafah Tri Hi Karana” memuja roh leluhurnya maka dinamakan Taaman (Pemerintah Provinsi Bali, 2012). Ahyun, dan selanjutnya diucapkan menjadi Berdasarkan hal tersebut bahwa nilai- Taman Ayun (Babad Mengwi, 2007:149). nilai keunggulan universal warisan budaya dunia Pura Taman Ayun selaras dengan Pada saat Kerajaan Mengwi dikalahkan penyelengaaraan kepariwisataan budaya Bali olah Badung, pura Pada tahun 1911 pura itu yang juga dilandasi oleh falsafah Tri Hita baru direhabilitasi oleh keturunan Raja karana. Dengan kata lain, pengelolaan Pura Mengwi, Gempa dasyat yang terjadi pada Taman Ayun sebagai daya tarik wisata harus tahun 1917 telah menimbulkan kerusakan berlandaskan pada falsafah Tri Hita Karana. yang sangat parah pada beberapa pura di Bali, termasuk Pura Taman Ayun. Pemugaran dan II. PEMBAHASAN perbaikan terus dilakukan di Pura Taman Ayun 2.1 Sejarah Pura Taman Ayun sehingga tampak indah seperti sekarang ini Pura Taman Ayun dibangun tahun 1634 (Surata, 2013:74). yakni pada masa pemerintahan I Gusti Agung Putu, ketika beliau memindahkan istananya dari Balahayu (Belayu) ke mengwi. Nama Pura Taman Ayun secara harfiah artinya pura yang dibangun didalam area taman yang indah.

42 IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM....(Ni Made Ayu Erna Tanu Ria Sari, 41-48)

2.2 Pura Taman Ayun sebagai bagian palinggih Dewi Danuh, di Pura Taman Warisan Budaya Dunia Ayun. Setelah dilakukan upacara selama Pada tanggal 29 Juni 2012 Unesco telah tiga hari di Pura Taman Ayun, selanjutnya menetapkan lanskap budaya Bali sebagai air suci tersebut dibagikan kepada warisan budaya dunia yang dilandasi oleh nilai- anggota subak dan dipercikkan di lahan nilai keunggulan universal (outstansding sawah mereka (Surata, 2013:75-77). universal value) Tri Hita Karana secara harfiah Nangluk merana atau upacara berarti tiga penyebab kesejahteraan atau keagamaan yang berkaitan dengan pengendalian kebahagiaan (Lancing dan Watson, 2012:11; hama dan penyakit tanaman juga dilakukan di Madiasworo dkk. 2014 :219). Nilai-nilai Tri Hita Pura Taman Ayun. Keluarga raja Mengwi sampai Karana diimplementasikan pada tiga aspek yakni kini masih melakukan upacara tersebut, karena parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. masyarakat terutama anggota subak Parhyangan adalah hubungan yang harmonis berkeyakinan bahwa raja memiliki kekuatan antara manusia dengan Tuhan atau Ida magis untuk mengendalikan hama dan penyakit Sanghyang Widi Wasa. Aspek Pawongan adalah tanaman. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep hubungan yang harmonis dan “Dewa Raja” bahwa raja adalah titisan atau berkesinambungan antara manusia dengan manifestasi Dewa/Tuhan di dunia. sesamanya, dan Palemahan adalah hubungan Pura Taman Ayun juga berfungsi sebagai antara manusia dengan lingkungannya. Pura bedugul subak Batan Badung. Air yang

Nilai-nilai Tri Hita Karana dipraktikan dalam terdapat pada kolam di sekitar Pura Taman Ayun kegiatan organisasi subak di Bali. Subak di Bali merupakan sumber air untuk subak tersebut. memiliki tiga komponen. Palemahan adalah area atau Oleh sebab itu, anggota subak Batan Badung dan wilayah subak (Surata, 2013:8-31). Dalam kaitannya subak lainnya yang sumber airnya berasal dari dengan lanskap budaya dunia oleh Unesco terdiri atas kolam di Pura Taman Ayun menjadi pangemong sejumlah pura dan kawasan subak. Pura yang dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dimaksud adalah Pura Ulun Danu Batur, Pura Tirtha upacara bersama keluarga Raja Mengwi di Pura tersebut. Empul dan pura Taman Ayun, serta Subak dan Pura Subak Batukaru (Catur Angga) (Surata, 2013:33-78). Selain palinggih untuk Dewi Danuh, di Pura Taman Ayun juga terdapat palingggih Ida Pura Taman Ayun adalah pura yang Bhatara Tengahing Segara (Tuhan dalam terkait dengan subak di wilayah Mengwi manifestasinya sebagai penguasa lautan) dan yakni subak Batan Badung, Beringkit, dan palinggih Ulun Suwi (Dewi Sri). Upacara Batan Asem (Surata, 2013:76; Madiasworo dilakukan di palinggih tersebut untuk dkk. 2014:221) beberapa kegiatan upacara di keberhasilan pertanian. Berdasarkan uraian di Pura Taman Ayun yang terkait dengan atas dapat diketahui bahwa Pura Taman Ayun juga berfungsi sebagai pura subak. subak antara lain sebagai berikut. Krama atau anggota dari 21 subak di Implementasi Tri Hita Karana di Pura sekitar Mengwi setiap tahun mendak Tirtha atau Taman Ayun sebagai bagian warisan budaya mohon air suci di Pura Taman Ayun. Tirtha atau dunia yang berfungsi sebagai daya tarik wisata. air suci tersebut sesungguhnya dimohon kepada Pura Taman Ayun sesungguhnya telah menjadi Dewi Danuh (manifestasi Tuhan sebagai daya tarik wisata mengalami konstruksi dan penguasa danau Beratan) di Danau Beratan. Air interpretasi ulang karena berbagai kepentingan suci dimohon kepada Dewi Danuh dan diambil (Hitchcock dkk. 2010; Park, 2014). oleh delegasi subak bersama keluarga raja Mengwi untuk ditempatkan di

43 Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2598-0203

2.3 Implementasi Tri Hita Karana dalam Wisatawan menyarankan agar canang Pengelolaan Pura Taman Ayun sari juga dihaturkan pada setiap palinggih, sehingga dapat menambah kesan dan aura sebagai Daya Tarik Wisata Penetapan Lanskap Budaya Bali oleh kesakralan destinasi tersebut. Usulan yang Unesco sebagai Warisan Budaya Dunia dilandasi sangat menarik juga disamaikan oleh wisatawan oleh filosofi Tri Hita Karana, yang selaras dengan Prancis agar wisatawan yang datang ke Pura peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun Taman Ayun tetap memakai kain/ sarong dan 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali selendang/selempot. Hal ini sangat penting (Lancing dan Watson, 2012; Pemerintah Provinsi untuk ditindaklanjuti mengingat Pura Taman Bali 2012; Surata, 2013). Nilai-nilai filosofi Tri Hita Ayun sebagai tempat suci sehingga Karana terdiri atas tiga aspek yakni hubungan kesakralannya harus tetap dijaga. yang selaras dan harmonis antara manusia Sebagai upaya menjaga kesucian pura, dengan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa wisatawan dilarang memasuki halaman utama/ (Parhyangan), hubungan manusia dengan jeroan di utara Taman Ayun. Wisatawan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan diizinkan memasuki halaman utama/jeroan, manunia dengan lingkungan (Palemahan) namun ada area yang terbatas.

Pura Taman Ayun adalah warisan budaya Larangan memasuki halaman utama/ dan sekaligus sebagai tempat suci. Pura dan jeroan pura Taman Ayun ternyata tidak warisan budaya tersebut sudah tentu dikonstruk menimbulkan kekecewaan di kalangan dan diinterpretasi ulang ketika berfungsi sebagai wisatawan. Wisatawan sangat puas daya tarik wisata (Hitchcock, M.Victor T. King and menikmati keindahan dan arsitektur pura. Michael Parnwell, 2010; Park 2014). Kontruksi Wisatawan masih tetap dapat dan interpretasi ulang itu mungkin saja mengambil foto palinggih yang ada di halaman menimbulkan komodifikasi, yakni suatu benda utama/jeroan pura Taman Ayun, meskipun yang sebelumnya bukan merupakan komoditi dilakukan dari luar tembok keliling / kemudian diubah sehingga dapat menghasilkan penyengker atau pembatas yang ditentukan uang. Meminjam istilahnya Michael Picard (2006 untuk wisatawan di pura tersebut. Disisi utara :164) bahwa Pura Taman Ayun dan Tirtha Empul atau pada bagian belakang halaman utama/ telah mengalami proses turistifikasi atau sebagai jeroan pura Taman Ayun dibuat semacam produk pariwisata. teras atau undangan sehingga wisatawan lebih mudah mengambil foto palinggih atau kegiatan keagamaan yang dilaksanakan pada halaman utama/jeroan pura. 2.3.1 Aspek Parhyangan Aspek Parhyangan terkait dengan Kemudahan wisatawan untuk hubungan manusia dengan Tuhan atau Ida mengambil foto / palinggih ataupun kegiatan Sanghyang Widi Wasa. Pihak pengelola Pura upacara yang dilaksanakan di halaman Taman Ayun telah menetapkan aturan-aturan utama/ jeroan pura Taman Ayun dapat atau rambu-rambu untuk wisatawan yang dikatakan sebagai bentuk turisfikasi atau memasuki pura tersebut. Di Pura Taman Ayun komodifikasi. Wisatawan meskipun dilarang pihak pengelola tidak menyediakan kain dan atau dibatasi aksesnya memasuki halaman selendang untuk wisatawan yang memasuki utama /jeroan, namun mereka tetap dengan pura tersebut. Dalam konteks ini, petugas leluasa dapat mengambil foto. sebaiknya menyiapkan kain dan selendang, Konsep Tri Hita Karana agar betul- sehingga wisatawan diwajibkan memakainya. betul diimplementasikan dalam pengelolaan Pura Taman Ayun. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ukiran ataupun relief yang kelihatan

44 IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM....(Ni Made Ayu Erna Tanu Ria Sari, 41-48) rusak /patah pada palinggih agar dilaporkan selendang kepada wisatawan adalah bentuk kepada Unesco untuk dapat dipugar. pelayanan dan representasi aspek Pawongan.

Berdasarkan uraian di depan bahwa Selain pelayanan tiket masuk dan penyediaan pihak pengelola Pura Taman Ayun telah kain dan selendang, para petugas di bagian tiket berupaya menjaga kesucian pura, terutama masuk juga menyiapkan brosur terkait sejarah, bagian utama mandala atau halaman utama/ palinggih dan upacara di Pura Taman Ayun. jeroan. Pembatasan akses dan larangan Observasi di lapangan menunjukkan bahwa yang diberlakukan keada wisatawan adalah pemberian brosur oleh petugas kepada bentuk implementasi Tri Hita Karana dari wisatawan sering kali diabaikan di Pura Taman aspek Parhyangan untuk menjaga kesucian Ayun. Wisatawan yang tidak diantar oleh pura tersebut. pemandu akan kesulitan memperoleh informasi tentang pura tersebut. Hal ini juga menjadi sumber kekecewaan wisatawan, terutama yang 2.3.2 Aspek Pawongan Pariwisata dipandang sebagai sebuah diantar oleh pemandu. sistem yang terdiri atas elemen wisatawan/turis, Wisatawan mancanegara maupun elemen geografis, dan industri pariwisata nusantara terutama pengadaan booklet (Cooper et.al.2005:8-9;Pitana dan Diarta, sistem atau brosur tentang sejarah dan fungsi itu karena menyangkut pengalaman, sesuatu palinggih di pura Taman Ayun. Mereka yang menyenangkan untuk dinikmati, tidak memperoleh informasi yang lengkap diharapkan, dikenang atau diingat sebagai yang dan benar, karena brosur yang tersedia terpenting dalam kehidupan seseorang. Menurut ditulis dalam bahasa . Leiper (dalam Cooper, et.al. 2005 :9) elemen Terkait dengan booklet / brosur Pura geografis dapat dikelompokkan menjadi tiga Taman Ayun, sesungguhnya telah disiapkan aspek yakni a) daerah yang dapat menstimulasi oleh petugas penjaga tiket/karcis masuk. dan mendorong motivasi kunjungan wisatawan, Petugas terlihat kurang cekatan dalam b) destinasi atau tempat yang menjadi daya tarik memberikan pelayanan ketika wisatawan wisatawan, dan c) rute transit yakni tempat membeli tiket/karcis, dan semestinya singgah sementara yang dapat dikunjungi oleh sekaligus diberikan booklet atau brosur wisatawan dalam perjalanan menuju destinasi. tentang pura tersebut. Elemen ketiga dari sistem Leiper tersebut adalah Pemandu lokal tidak disiapkan oleh industri pariwisata. Industri pariwisata ini pihak pengelola di Pura Taman Ayun. mencakup kegiatan bisnis dan organisasi yang Keberadaan pemandu atau guide lokal di pura mengantarkan dan/atau menyediakan produk Taman Ayun sebetulnya sangat diperlukan. pariwisata. Pemandu atau guide lokal akan dapat menjelaskan sejarah pura, fungsi masing-masing Aspek Pawongan dalam filosofi Tri Hita palinggih atau bangunan suci dan upacara yang Karana dimaknai sebagai hubungan yang dilaksanakan pada hari tertentu di pura tersebut. harmonis antara manusia dengan sesamanya. Informasi tersebut akan sangat penting dan Dalam konteks pariwisata, aspek Pawongan menarik bagi wisatawan, sehingga mereka akan dapat dikaitkkan dengan hubungan yang memberitahu teman atau kerabatnya untuk harmonis antara pengelola dan wisatawan mengunjungi pura tersebut. Sebagian besar yang diwujudkan dalam bentuk keramah- wisatawan mancanegara melakukan kunjungan tamahan (hospitality) dan pelayanan (service). pertama kali ke Pura Taman Ayun. Dalam konteks Pelayanan tiket masuk ke pura sebagai Pawongan, keberadaan pemandu lokal di Pura daya tarik wisata, penyediaan kain dan Taman Ayun

45 Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2598-0203 sangat diperlukan, selain pemandu Daerah Kabupaten Badung dan bekerjasama dengan pemilik dan/atau masyarakat setempat. dari biro perjalanan atau travel agent. Informasi tertulis baik berupa larangan Seperti telah dijelaskan pada sub bab maupun anjuran juga dipasang di Pura Taman Pawongan bahwa pembangunan gapura atau Ayun. informasi ini sangat diperlukan oleh candi kurung pada jalan di depan Pura Taman wisatawan yang berkunjung ke pura tersebut. Ayun telah menimbulkan dinamika dan gejolak

Isu yang pernah terjadi terkait dengan antara masyarakat dan pemilik serta pengelolaan Pura Taman Ayun adalah pemerintah Kabupaten Badung. Berkat adanya pembongkaran undag atau anak tangga sebelah negoisasi dan solusi di antara para pihak maka selatan di depan Pura Taman Ayun. masalah akses di depan pura Taman Ayun Pembangunan undag/anak tangga pada gapura telah dapat diselesaikan dengan baik. tersebut dimaksudkan untuk melarang semua Penataan jalan di depan Pura Taman Ayun, jenis kendaraan roda empat yang melewati jalan pemindahan pedagang, dan tempat parkir di depan Pura Taman Ayun. Masyarakat merasa menimbulkan kesan yang lebih baik, asri dan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, nyaman bagi wisatawan. dan warga juga mengeluhkan kurangnya Adanya pedagang asongan yang sosialisasi dari pemerintah. Warga berjualan di jalan setapak menuju Pura Taman mengungkapkan kekecewaannya tentang Ayun. Fenomena ini dapat dikatakan sebagai keberadaan anak tangga/undag pada gapura resitensi para pedagang setelah mereka disepakati untuk dibongkar. Bupati yang direlokasi ke sebelah selatan jalan di depan Pura menjabat ketika itu adalah Gde Agung bersedia Taman Ayun. Petugas keamanan tidak menegur membongkar anak tangga karena warga pedagang tersebut sehingga mengurangi menjamin tidak akan terjadi kebut-kebutan di keindahan panorama jalan setapak menuju ke depan Pura Taman Ayun. Anak tangga diganti Pura Taman Ayun. (lihat foto 2.12 di bawah). Para dengan portal di tengah gapura agar sepeda petugas perlu konsisten dalam penataan motor saja jenis kendaraan yang bisa lewat. pedagang di sekitar kawasan Pura Taman Ayun

Solusi ini juga ditolak oleh warga Desa agar tidak menimbulkan kesan lingkungan yang Gulingan, masyarakat menginginkan agar mobil kumuh dan semerawut sehingga menjadi masalah di belakang hari. atau kendaraan pribadi mereka bisa melintas di depan Pura Taman Ayun. Pemerintah Kabupaten Penataaan lingkungan di kawasan Badung akhirnya bersedia membongkar portal. Pura Taman Ayun dilakukan dengan baik. Implementasi aspek Pawongan tampaknya Sebelas orang (11) petugas kebersihan masih perlu ditingkatkan dalam pengelolaan dipekerjakan untuk merawat taman dan daya tarik wisata di Pura Taman Ayun. Kesigapan menjaga kebersihan lingkungan kawasan Pura petugas dalam melayani wisatawan, memberikan Taman Ayun. Keberadaan tukang kebun dan informasi yang lengkap dan menarik kepada petugas yang membersihkan toilet di Pura wisatawan perlu mendapat perhatian. Taman Ayun telah berperan aktif menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan pura 2.3.3 Aspek Palemahan Taman Ayun sehingga menghilangkan kesan Pasca ditetapkan Pura Taman Ayun kumuh sebagai daya tarik wisata. sebagai Warisan Budaya Dunia oleh Unesco Penataan lingkungan di pura Taman pada tanggal 29 Juni 2012, sejumlah Ayun pasca penetapa Dunia dapat dikatakan pembenahan telah dilakukan oleh Pemerintah semakin baik, sehingga wisatawanpun mengapresianya sebagaimana persepsi mereka terhadap kebersihan di destinasi tersebut.

46 IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM....(Ni Made Ayu Erna Tanu Ria Sari, 41-48)

III PENUTUP Dherana, Tjokorda Raka, 1982: Aspek Sosial Kesimpulan dari penerapan konsep Tri Budaya dalam Kepariwisataan di Bali, Hita Karana pada pariwisata budaya Bali adalah Penerbit: UP. Visva Vira Denpasar. sebuah pembelajaran bagi seluruh masyarakat, Erawan, I Nyoman, 1999: Perimbangan pemerintah dan instansi terkait dalam bidang Keuangan Pusat dan Daerah Untuk pariwisata untuk mengedepankan keseimbangan Mendukung Otonomi Daerah Menuju dan keharmonisan yang bisa memberi banyak Peningkatan Kesejahteraan Rakyat, manfaat bagi kelestarian Alam dan Manusia Makalah disampaikan pada Seminar sebagai penghuni jagad raya ini tanpa Nasional “ Otonomisasi daerah yang melupakan Tuhan sebagai penciptanya, maka Diperluas dalam rangka Mewujudkan dari itu Tri Hita Karana adalah solusi terbaik yang Pemerintah Daerah yang Mandiri”, bisa di terapkan dalam industri pariwisata dalam Denpasar 9 April 1999. melestarikan budaya Bali. Elashmawi, Farid & Philip R. Harris, 1998: Multicultural Essential Cultural Insights DAFTAR PUSTAKA For Global Business Success Management 2000, Gulf Publishing Abdullah, Irwan, 2006, Konstruksi dan Company Houston: Texas. Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Featherstone, Mike, 2001, Posmodernisme Pelajar: Yogyakarta dan Budaya Konsumen, Yogyakarta: Agger, Ben, 2006, Teori Sosial Kritis, Kritik, Pustaka Pelajar Penerapan dan Implikasinya, Yogyakarta: Gatner, William C., 1996: Tourism Kreasi Wacana Development, Principles, Processes, and Ardika, I Wayan, 1999: Pelestarian dan Policies, an International Thomson Pemanfaatan Tinggalan Arkeologi Publishing Company: London

dalam Pengembangan Pariwisata Giddens, Anthony, 2000, Runaway World, Budaya di Bali, artikel dalam Majalah Bagaimana Globalisasi Merombak Ilmiah Pariwisata, Volume 2, Tahun Kehidupan Kita, Terjemahan Andry 1999, Penerbit: Program Studi Kristiawan S dan Yustina Koen S, Pariwisata Universitas Udayana. Jakarta: Gramedia —————, 2003, “Komponen Budaya Bali Jenkins, Richard, 2004, Membaca sebagai Daya Tarik Wisata”. I Wayan Pikiran Pierre Bourdieu, Ardika Penyunting. Pariwisata Budaya Yogyakarta, Kreasi Wacana Berkelanjutan, Refleksi dan Harapan di Koentjaraningrat, 2000. Bunga Rampai Tengah Perkembangan Global, Kebudayaan Mentalitet dan Denpasar, Program Studi Magister (S2) Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia. Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Korn. V.E. 19323. Het Adatect van Bali. Ardika, I Gede, 2001: Pembangunan S-Gravenage : G. Naeff. Pariwisata Bali Berkelanjutan yang Kleden, Ignas, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Berbasis Kerakyatan, Makalah pada Kebudayaan, Jakarta : Gramedia Seminar Nasional Bali, The Last or Lastra, I Made, 1997, Peraturan The Lost Paradise, di Denpasar, 1 Kepariwisataan, Denpasar: STP Desember 2001. Nusa Dua Barker, Chris, 2005, Cultural Studies Teori Mantra, IB.1993. Bali : Masalah Sosial Budaya dan Praktik, Yogyakarta : Bentang. dan Modernisasi. Denpasar : Upada Sastra.

47 Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2598-0203

Pitana, I Gede 1997. Internasionalisasi Desa Adat dan Balinisasi Budaya Global.. Paper disampaikan pada Lokal Karya Internasional Pelestarian Warisan Budaya Bali. Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta,: Jalasutra. Pitana, I Gde, 1994, Editor: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar: BP …………, 2000: Cultural Tourism In Bali, A Critical Appreciation, Denpasr: Universitas Udayana Denpasar. Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu.G, 2005, Sosiologi Pariwisata, Yogyakarta: ANDI Ratna Kutha, 2006, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Richards, Greg and Derek Hall, 2002, Tourism and Sustainable Community Development, London: Routledge. Swarsi, Geriya dan I Wayan Geriya, 2003, “Nilai Dasar dan Nilai Instrumental dalam Keragaman Kearifan Lokal Daerah Bali”, makalah Dialog Budaya, Denpasar: Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Bali. Sirtha, I Nyoman, 2001, Pariwisata dalam kaitannya dengan Sosiokultural Masyarakat Bali, makalah disampaikan pada matrikulasi Program Studi Magister Kajian Pariwisata Unud, Tahun 2001/

2002, tanggal 11 Agustus 2001.