ECONOMIC VALUATION ON MANGROVE ECOSYSTEM IN MEMPAWAH REGENCY, WEST PROVINCE: THE DETERMINATION OF AREA FOR OPTIMIZING INTENSIVE VANNAMEI SHRIMP PONDS.

Muhammad Husnul Aini ([email protected]) Absctract Mangrove ecosystem is an ecosystem that buffering the coastal area that need to be protect and conserve due to its function, however mangrove ecosystem in the coastal area can be utilize for economic use for development. That why an economic valuation for mangrove ecosystem and its utility need to be done with more comprehenship and complited. The valuation on mangrove ecosystem must include Financial, environtmental and social economic with assurance concept and futurevalue. This research are aiming to: 1) To find up and analyze Net Present Value (NPV) of vannamei aquaculture in Mempawah Regency if the vannamei aquaculture is open with conversion on mangrove if the valuation count with assurance concept and analyze with Head to Head Comparative Analysis (HHCA). 2) To find and Anaylize NPV to conserve mangrove ecosystem if the conversion to be a vannamei shrimp pond is denied. 3) To find and Analyzed how many area that can be used as vannamei shrimp ponds in Mempawah Regency if that activity is done with mangrove conversion. The result of this research show that the aquaculture activity for intensive vannamei shrimp ponds with mangrove conversion is not feasible to be done, because it has B/C ratio <1, If this activity is force to be done it will be contribute to a negative impact to environtment and social economic with a negative NPV Rp. (350,761,634,627)/Ha for 10 years. In the other hand if mangrove is conserve it will contribute to a posistive NPV Rp 68,893,201,352 /Ha for 10 years with B/C ratio >1. Conversion mangrove ecosystem to be vannamei shrimp ponds is still possible to be done in particular area. Based on Social Economic Environtment Indeks (SEECI) analyzed on ecosystem mangrove in Mempawah regency conclude that an area with large 109.09 Ha is possible to converse into vannamei shrimps ponds and area with 555.42 Ha is must be conserve. With this composition the impact from the shrimp ponds to environtment and social economic can be reduced from the benefit of mangrove conserve area so that the development in coastal area can be done with sustainable principt on environtment and social economic.

Keywords: Mangrove ecosytem, Economic valuation, Development, Assurance concept, Shrimp ponds, Coastal area, Sustainable.

1

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN MEMPAWAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT: PENENTUAN LUAS OPTIMAL KEGIATAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG VANNAMEI INTENSIF

Muhammad Husnul Aini ([email protected])

Abstrak. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem penyangga wilayah pesisir yang harus dijaga dan dilestarikan, namun demikian ekosistem mangrove di wilayah pesisir juga dapat dimanfaatkan guna kepentingan pembangunan. Untuk itu perlu dilakukan valuasi ekonomi yang komprehensip terhadap ekosistem mangrove dan pemanfaatannya ditinjau dari aspek finansial, lingkungan dan sosial ekonomi dengan menggunakan konsep asuransi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui dan menganalisis berapa besar nilai manfaat bersih kegiatan budidaya Tambak udang di Kabupaten Mempawah, jika dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan mangrove, apabila valuasinya dilakukan berdasarkan konsep nilai asuransi dengan pendekatan HHCA. 2) Mengetahui dan menganalisis berapa besar nilai manfaat bersih mempertahankan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Mempawah jika tidak dikonversi menjadi tambak udang, apabila valuasinya dilakukan berdasarkan konsep nilai asuransi dengan pendekatan HHCA.3) Mengetahui dan menganalisis kelayakan luas kawasan budidaya tambak udang di Kabupaten Mempawah apabila kegiatan tersebut dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan budidaya tambak udang vannamei intensif tidak layak untuk dilakukan dengan jalan mengkonversi ekosistem mangrove. Jika hal ini dilakukan, maka kan menimbulkan kerugian terhadap lingkungan dan sosial ekonomi dengan Net Present Value (NPV) sebesar Rp. (350,761,634,627)/Ha selama 10 tahun. Sementara jika mempertahankan ekosistem mangrove maka akan diperoleh manfaat bersih sebesar Rp. 68,893,201,352 /Ha selama 10 tahun. Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak udang vannamei masih dimungkinkan dengan batas luasan tertentu. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Social Economi Environtment Indeks (SEECI) maka total luas ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan sebagai tambak udang di Kabupaten Mempawah adalah seluas 109.09 Ha dan luas ekosistem yang harus di pertahankan adalah seluas 555.42 Ha. Dengan menggunakan komposisi luasan ini, dampak kerusakan lingkungan dapat diimbangi dengan luasan ekosistem mangrove yang dipertahankan, sehingga pembangunan dapat dijalankan dengan tetap memperhatikan asas sustainabilitas bagi lingkungan dan sosial.

Kata Kunci: Ekosistem mangrove, Valuasi ekonomi, Pembangunan, Konsep asuransi, Tambak udang, Wilayah pesisir, Keberlanjutan.

2

PENDAHULUAN Tingkat produksi barang dan jasa yang dihasilkan dunia, pada tahun 2000 meningkat tujuh kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 1950. Meskipun demikian, pembangunan sosial sangat tertinggal, pada tahun 2002 tercatat 2,2 Miliar dari 6 Miliar manusia di muka bumi menderita kelaparan dan hidup dibawah garis kemiskinan, selain itu kondisi Lingkungan juga menurun, akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. (Salim dalam Azis dkk, 2010:21-22). Salah satu wilayah yang memiliki fungsi penting, dan selalu bersinggungan dengan aktivitas perekonomian manusia adalah wilayah pesisir. Wilayah pesisir dikenal memiliki kekayaan sumberdaya alam, dan sejak dulu di manfaatkan untuk kepentingan ekonomi, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Secara ekologis, mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat arus dan gelombang, (coastal protection) serta penyuplai nutrient (nutrient source) bagi lingkungan. Secara ekonomis, mangrove berfungsi sebagai penyedia material dan pangan bagi manusia. Secara estetika, ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan sebagai ekowisata bahari (marine ecotourism). Luas mangrove di sekitar 3,244,018.46 Ha. (Hartini, S dkk, 2010). Mangrove di Indonesia terdiri dari 43 spesies mangrove sejati, yang mewakili keanekaragaman mangrove di Indonesia dan dunia. Ekosistem Mangrove di Indonesia dapat ditemukan di seluruh penjuru wilayahnya, baik di daerah dengan tingkat kepadatan ekosistem mangrove yang rendah, maupun di daerah dengan tingkat kepadatan ekosistem mangrove yang tinggi seperti Irian Jaya, Pesisir timur Kalimantan dan Pesisir timur Sumatra. (FAO, 2007). Menurut Menteri Lingkungan Hidup periode 2011-2014, Balthasar Kambuaya, hampir 40 persen hutan mangrove di berbagai wilayah Indonesia kondisinya rusak. (Antaranews.com). Kalimantan Barat sendiri memiliki hutan mangrove seluas 149,344.189 Ha. (Hartini, S. dkk, 2010). Ekosistem hutan mangrove tersebut tersebar di 7 Kabupaten/Kota Pesisir yang ada di Kalimantan Barat, antara lain Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Mempawah, Kota , Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang. Ekosistem mangrove di Kalimantan Barat, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjadi areal pertambakan, pemukiman, perkebunan dan tempat usaha. Menurut hasil penelitian WWF Indonesia, sekitar 2,137.203 Ha Ekosistem mangrove yang berada di Kalimantan Barat kondisinya rusak. (www.wwf.or.id). Berdasarkan hasil pengukuran dan intepretasi luas ekosistem mangrove yang dilakukan dengan menggunakan citra Alos Avnir tanggal 18 Mei tahun 2010, maka diperoleh luasan Ekosistem mangrove di Pesisir Kabupaten yaitu seluas 1,521.39 ha. Kerapatan vegetasi pohon mangrove di Pesisir Kabupaten Pontianak adalah 648,09 btg/ha untuk pohon, Jika kerapatan vegetasi pohon mangrove di Pesisir Kabupaten Pontianak dibandingkan dengan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove dari Kementerian

3

Lingkungan Hidup, maka untuk tingkatan pohon dapat dikategorikan jarang/rusak karena kerapatannya dibawah 1000 batang/ha. (BPSPL Pontianak, 2011). Udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai jual yang tinggi, sedangkan usaha tambak udang, dapat membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat serta menambah devisa Negara melalui export. Usaha budidaya udang vannamae secara finansial bila dihitung dengan menggunakan pendekatan Cost Benefit Analysis memiliki B/C ratio yang tinggi, yakni dapat mencapai 1.83 per siklus budidaya (DJPB, 2012). Pada tanggal 12 Juli 2001 melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.41/2001, pemerintah secara resmi melepas udang vanamei (Litopeneaus Vannamei) sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di Indonesia. Usaha untuk meningkatkan produksi udang terus digalakkan, baik dengan mengaktifkan kembali tambak-tambak yang tidur, maupun dengan membuka tambak baru di kawasan hutan mangrove. Statistik Produksi udang vannamei nasional dari tahun 2009-2013 menunjukkan trend yang meningkat. Nilainya dapat dilihat pada tabel 2 . Tabel 2. Statistik produksi udang vannamei nasional. Tahun Produksi (Ton) 2009 170,969 2010 206,578 2011 246,420 2012 251,763 2013 386,314 Sumber: DJPB, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) Sedangkan Total luas lahan yang digunakan untuk usaha tambak dan produksi udang di Kabupaten Mempawah, dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Luas, jumlah unit dan produksi tambak di Kabupaten Mempawah Tahun Luas Unit Produksi (ha) (ton) 2008 215,60 85 732,40 2009 215,60 85 421,42 2010 215,60 85 451,00 Sumber DKP Kab. Mempawah dalam BPSPL Pontianak (2011).

Namun demikian kegiatan budidaya udang, memiliki dampak terhadap lingkungan, tambak udang menghasilkan limbah yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan. Sisa pakan yang tidak dicerna udang dan feses udang yang dihasilkan pada dasar tambak, merupakan penyebab penurunan kualitas lingkungan, yang pada akhirnya dapat menurunkan produktifitas kegiatan budiaya tambak udang itu sendiri. Usaha budidaya udang juga lebih mengarah ke Capital

4

Intensif, kurang menyerap tenaga kerja serta membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian tertentu. Deforestasi kawasan mangrove untuk pembukaan tambak udang juga berpotensi untuk menyebarkan penyakit malaria, karena kawasan mangrove merupakan habitat bagi nyamuk Anopheles.(Sudomo, 1994). Valuasi ekonomi hutan harus menganut prinsip nilai asuransi dan bersifat komprehensip (Yani, 2011). Penilaian kesesuaian lahan untuk budidaya udang yang mengabaikan nilai asuransi kawasan hutan mangrove dan hanya mementingkan keuntungan finansial saja, akan memicu laju konversi kawasan hutan mangrove menjadi lahan budidaya tambak udang dan berimplikasi pada kerusakan lingkungan pesisir, social dan ekonomi. Salah satu bentuk kerusakan lingkungan pesisir adalah abrasi. Di Kabupaten Mempawah pada tahun 1997 terjadi abrasi pantai, tepatnya di Kecamatan Mempawah Hilir, abrasi pantai tersebut menyebabkan kerugian materil berupa hilangnya fasilitas pemerintah dan masyarakat seperti sekolah dan pemukiman warga. Ancaman abrasi juga menyebabkan munculnya biaya pencegahan yang tidak murah, Pemerintah membangun penahan gelombang guna mencegah abrasi yang mengancam keberadaan jalan raya yang memiliki peranan strategis bagi perekonomian. Penilaian kesesuaian lahan untuk tambak udang di kawasan pesisir belum melihat manfaat ekonomi kawasan hutan mangrove secara utuh. Demikian juga penelitian tentang valuasi ekonomi hutan mangrove yang ada di Indonesia saat ini hanya menilai kawasan hutan mangrove dari output nya saja, belum menerapkan nilai asuransi dalam valuasi jasa ekosistem hutan mangrove. Selain itu valuasi ekosistem mangrove yang ada saat ini juga hanya menghitung besaran nilai ekonomi dari hutan mangrove saja, tanpa membandingkan alternative pengelolaan hutan mangrove dengan aktivitas ekonomi salah satunya tambak udang. Penghitungan kesesuaian kawasan pesisir yang meliputi mangrove untuk tambak udang saat ini hanya menggunakan pendekatan kesesuaian lahan secara geografi, biologi, fisika dan kimia lingkungan pesisir serta pendekatan kelayakan usaha secara finansial, untuk itu agar ekosistem mangrove dapat lestari dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya tambak udang, perlu menambahkan penghitungan manfaat ekonomi total dari ekosistem hutan mangrove yang meliputi manfaat Sosial, finansial, dan lingkungan dan kemudian membandingkan manfaat- manfaat tersebut dengan menggunakan pendekatan Head to Head Comperative Analysis (HHCA) seperti yang dilakukan oleh Yani (2011). Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan menganalisis berapa besar nilai manfaat bersih kegiatan budidaya Tambak udang di Kabupaten Mempawah, jika dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan mangrove, apabila valuasinya dilakukan berdasarkan konsep nilai asuransi dengan pendekatan HHCA. 2. Mengetahui dan menganalisis berapa Berapa besar nilai manfaat bersih mempertahankan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Mempawah jika tidak dikonversi menjadi tambak udang, apabila valuasinya dilakukan berdasarkan konsep nilai asuransi dengan pendekatan HHCA?.

5

3. Mengetahui dan menganalisis kelayakan luas kawasan budidaya tambak udang di Kabupaten Mempawah apabila kegiatan tersebut dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan.

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lingkungan, Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi. Perekonomian memiliki hubungan yang sangat erat dengan lingkungan. Lingkungan berperan sebagai penyuplai bahan baku produksi, maupun sebagai tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian, aktivitas-akvitas ekonomi tersebut berdampak pada lingkungan. Permasalahan utama Lingkungan adalah berkaitan dengan sumberdaya alam yang dalam kondisi normal mampu untuk pulih sendiri, namun membutuhkan waktu yang lama. (Maitra, 2009). Kegiatan produksi di bidang ekonomi, membutuhkan bahan baku yang disediakan oleh alam atau lingkungan, demikian juga kegiatan konsumsi dalam bidang ekonomi, akan menghasilkan sampah pada lingkungan. Disisi lain, kualitas lingkungan juga akan mempengaruhi produksi dan konsumsi. Kondisi sumberdaya alam yang menipis dapat mengurangi jumlah bahan baku yang berakibat berkurangnya Produksi, demikian juga bila kondisi lingkungan tidak sehat, maka akan menimbulkan penyakit, sehingga dapat mempengaruhi konsumsi masyarakat. (Maitra, 2009 ). Pada tahun 1991, mulai dikembangkan kurva lingkungan kuznet (Environtmental Kuznet Curve), merupakan kurva berbentuk U terbalik, yang menggambarkan pola hubungan antara kerusakan lingkungan dan pendapatan perkapita (Yandel et all, 2002). Kurva ini menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah yang pada awalnya dipicu oleh industrialisasi dan penggunaan bahan baku yang berasal dari alam (Bhattarai dan Hammig, 2001).

2. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Sumberdaya alam jumlahnya sangat terbatas, dan kondisinya sangat rentan. Untuk itu sangat penting untuk diingat, bahwa sumberdaya alam yang terdapat dilingkungan, harus dimanfaatkan secara bijak agar lestari, dan dapat digunakan untuk memenuhi pertumbuhan sistem perekonomian global, seperti diketahuai bahwa sumberdaya alam yang terdapat dilingkungan tersebut merupakan penyuplai utama bahan baku produksi. (Maitra, 2009). Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) menyatukan tujuan antara Ekonomi, Sosial dan Lingkungan agar menjadi seimbang. Lebih lanjut Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) diartikan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengenyampingkan kebutuhan yang akan dipenuhi oleh generasi mendatang. (WCED dalam OECD, 2001). Pembangunan yang

6

berkesinambungan (sustainable development) menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Lingkungan Hidup yang disempurnakan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat tercapai dengan suatu syarat bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus berasaskan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang.

3. Valuasi Ekonomi Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Bagi sebagian besar masyarakat disekitar hutan, keberadaaan ekosistem hutan mempunyai keterkaitan erat dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat. (Yani, 2011). Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan yang memiliki peranan penting dalam menyangga kehidupan. Valuasi Ekonomi alam dan lingkungan merupakan instrumen ekonomi yang menggunakan teknik valuasi untuk mengestimasi nilai moneter dari barang dan jasa yang diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Garrod dan Willis dalam Rachmansyah, 2010). Dilihat dari sudut pandang ekonomi, nilai (atau sistem nilai) suatu ekosistem harus memperhitungkan dua aspek yang berbeda, Aspek pertama nilai agregate manfaat jasa ekosistem dalam suatu kondisi tertentu, dinyatakan dengan konsep total nilai ekonomi (Total Economic Value). Nilai jasa ekosistem yang manfaatnya diterima oleh masyarakat dan penduduk dunia disebut dengan nilai output (Output value). Aspek kedua terkait kapasitas sistem untuk mempertahankan kondisi dalam menghadapi perubahan dan gangguan. Nilai kemampuan sistem dalam mempertahan kondisi sistem disebut dengan nilai asuransi. Konsep nilai asuransi adalah suatu konsep nilai yang melihat kondisi yang dinamis dari suatu ekosistem sebagai penyedia jasa ekosistem (Gren et al., Turner et al., 2003; Balmford et all., dalam Yani, 2011). Lebih lanjut konsep ini menggunakan pendekatan nilai asuransi dari perspektif sustainabilitas serta apresiasi nilai dari ekosistem hutan tersebut. (Yani, 2011). Dalam konteks valuasi ekonomi, nilai-nilai budaya masyarakat menyumbang kontribusi dalam menentukan nilai dari suatu jasa ekosistem hutan. Nilai warisan dan nilai eksistensi yang merupakan bagian dari nilai non penggunaan, merupakan pencerminan dari bentuk nilai yang berasal dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem hutan. Nilai warisan merupakan nilai ekonomi jasa ekosistem hutan yang diperoleh dari manfaat pelestarian ekosistem hutan untuk kepentingan generasi mendatang. Sedangkan nilai eksistensi adalah nilai ekonomi jasa ekosistem hutan yang diperoleh dari persepsi masyarakat (masyarakat tradisional) untuk tetap mempertahankan keberadaan suatu sumberdaya

7

(ekosistem hutan), terlepas dari sumberdaya (ekosistem hutan) tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dengan pemahaman nilai warisan dan nilai eksistensi ekosistem hutan tersebut, secara implisit nilai yang terkandung dari kedua nilai tersebut menganut nilai-nilai keberlanjutan yang secara konsepsinya merupakan konsep dari nilai asuransi. (Yani, 2011).

4. Suku Bunga (Interest rate). Salah satu hal penting yang digunakan terkait dengan masalah finansial dan investasi adalah nilai waktu dari uang. Mengevaluasi transaksi keuangan membutuhkan penilaian terhadap aliran kas dari sejumlah uang yang tak pasti jumlahnya dimasa yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah uang memiliki nilai yang berbeda dari waktu ke waktu. Salah satu komplikasi nilai waktu dari uang adalah nilai satu dolar hari ini tidak sama dengan nilai satu dolar esok hari atau bahkan tahun depan. Komplikasi lainnya adalah sejumlah uang yang dijanjikan untuk dibayarkan dimasa yang akan datang memiliki ketidakpastian, bahkan memiliki resiko untuk tidak kembali. (Drake&Fabozzi, 2009). Lebih lanjut Drake&Fabozzi (2009) menyatakan bahwa dengan menggunakan tingkat suku bunga, nilai uang dari satu periode ke periode waktu tertentu akan memiliki nilai yang sama. Tingkat suku bunga merupakan kompensasi dari biaya oportunitas (Opportunity Cost) dari uang dan dari ketidakpastian pembayaran uang yang dipinjam. Hal ini mencerminkan harga dari waktu dan harga dari resiko yang diterima oleh si pemberi pinjaman. Harga dari waktu merupakan kompensasi dari biaya opportunitas sejumlah dana dan harga dari resiko merupakan kompensasi dari resiko yang akan dihadapi oleh pemberi pinjaman.

5. Tingkat Diskonto (Discount rate). Discount rate memiliki nilai yang penting dalam penghitungan Net Present Value, oleh karena itu pemilihan discount rate harus mencerminkan biaya opportunitas penggunaan dananya. (Agus dalam Yani, 2011). Discount rate yang terlalu tinggi akan menyebabkan NPV yang rendah untuk proyek jangka panjang sebaliknya jika discount rate yang terlalu rendah akan memprioritaskan proyek yang cepat memberikan imbal hasil. (Yani, 2011). Discount rate merupakan parameter ekonomi yang menyatakan laju bunga yang dialami akibat pinjaman modal yang diivestasikan (Edwaren dalam Yani, 2011). Parameter ini memberikan ilustrasi nilai uang terhadap waktu yang digunakan untuk mengkonversikan manfaat dan biaya yang terjadi dalam waktu yang berbeda. Discount rate biasanya juga menggambarkan opportunity cost dari modal yang diinvestasikan dan dapat diatur nilainya melalui kebijakan pemerintah. (Yani, 2011).

8

6. Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai pohon, semak belukar, pakis, palem, umumnya memiliki tinggi batang yang lebih dari 1 meter, tumbuh diatas permukaan laut, pada zona intertidal di kawasan pesisir. (duke dalam Mc leod dan Salm, 2006). Pengertian lainnya adalah formasi tumbuhan dengan karakteristik pesisir yang terdapat pada sepanjang garis pantai di daerah tropis dan subtropis (FAO, 1994), Sedangkan menurut Direktorat Bina Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2008) adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir seperti pohon api-api (Avicennia spp.), bakau (Rhizophora spp). Ekosistem mangrove merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir, dan sistem penyangga kehidupan dan kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi. Oleh karena itu perlu upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Ekosistem mangrove mempunyai berbagai fungsi penting, di antaranya sebagai sistem penyangga kehidupan, sumber pangan, pelindung pesisir, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, berkontribusi sebagai pengendali iklim global melalui penyerapan karbon. (sosia et all, 2014).

7. Budidaya Udang Vannamae Udang merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor perikanan Indonesia. Komoditas ini sangat strategis dalam menopang perekonomian nasional melalui penciptaan devisa nasional, perluasan lapangan kerja dan usaha, serta peningkatan pendapatan pembudidaya. Pada tanggal 12 Juli 2001 melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.41/2001, Pemerintah melepas dan menetapkan udang vanamei (Litopeneaus Vannamei) sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di Indonesia. Usaha untuk meningkatkan produksi udang terus digalakkan, baik dengan mengaktifkan kembali tambak-tambak yang tidur, maupun dengan membuka tambak baru di kawasan hutan mangrove. Statistik Produksi udang vannamei nasional dari tahun 2009-2013 menunjukkan trend yang meningkat. Untuk mencapai target budidaya udang vaname digunakan pola intensif atau superintensif, pola ini menggunakan tambak dengan padat penebaran tinggi (Rachmansyah et al., 2013). Salah satu dampak dari maraknya pembukaan tambak udang di kawasan pesisir adalah penebangan hutan mangrove. Hal ini berakibat pada munculnya penyakit malaria di masyarakat. (Sudomo, M. 1994). Kondisi hutan mangrove yang buruk akibat deforestasi dapat menyebabkan migrasi dari nyamuk Anopheles sp. bermigrasi ke

9

pemukiman penduduk dan menjadi vector penyakit malaria (Putra, Agung P dkk 2015). Selain berdampak pada kesehatan manusia, Budidaya udang juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pada lingkungan perairan pesisir. Menurut Barg dalam Suwoyo, H.S dkk (2014) pemberian pakan pada budidaya intensif dan semi entensif, merupakan pemasok limbah bahan organik dan nutrien utama ke lingkungan perairan pesisir yang menyebabkan eutrofikasi dan perubahan ekologi plankton, peningkatan sedimentasi, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas bentos. Tambak udang vanamae dengan padat tebar 1000 ekor/m2 dapat menghasilkan limbah nitrogen sebanyak 325 Kg, 253 Kg Phosfor dan 2,042 Kg sendimen Karbon organik. (www.antaranews.com).

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipilih dalam penyusunan Tesis ini adalah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif. Menurut hussy dan hussy dalam hermawan (2005) penelitian deskriftif bertujuan untuk memaparkan suatu karakterisitik tertentu dari suatu fenomena, sedangkan menurut Kumar (2008) penelitian deskriftif melibatkan survey dan pencarian fakta, karakteristik utama dari penelitian ini adalah tidak adanya kontrol atas variabel penelitian dan hanya melaporkan atas apa yang telah terjadi di lokasi penelitian. Tahapannya adalah Identifikasi terhadap komponen manfaat dan biaya finansial, lingkungan dan sosial ekonomi bagi tambak udang vannamei dan ekosistem mangrove, kemudian penghitungan NPV dari upaya konversi mangrove menjadi tambak udang seluas 1 Ha ataupun konservasi kawasan mangrove apabila tidak jadi dikonversi menjadi tambak udang. Analisis kelayakan yang digunakan adalah B/C ratio dan HHCA. Untuk penghitungan luas optimalisasi ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak udang, digunakan Indeks Ky.

HASIL DAN PEMBAHASAN NPV total mempertahankan ekosistem mangrove seluas 1 Ha selama 10 tahun, memiliki Nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan NPV untuk mengkonversi mangrove menjadi tambak udang vannamei intensif seluas 1 Ha selama 10 tahun. Nilai B/C ratio mempertahankan ekosistem mangrove seluas 1 Ha juga lebih besar jika dibandingkan dengan nilai B/C ratio mengkonversi mangrove menjadi tambak udang vannamei intensif seluas 1 Ha selama 10 tahun. Dengan tidak mengkonversi 1 Ha kawasan ekosistem mangrove menjadi tambak vannamei intensif, maka akan diperoleh nilai manfaat bersih selama 10 tahun sebesar Rp.64,241,034,411.78 sedangkan jika mengkonversi 1 Ha kawasan ekosistem

10

mangrove menjadi tambak vannamei intensif selama 10 tahun, akan didapat kerugian lingkungan dan sosial ekonomi sebesar Rp.(346,629,493,739.56). Oleh karena itu upaya mempertahankan kawasan ekosistem mangrove untuk tidak dikonversi menjadi tambak udang patut dilakukan. Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak udang vannamei masih dimungkinkan dengan batas luasan tertentu. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan pendekatan Social Economi Environtment Indeks (SEECI) maka total luas ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan sebagai tambak udang di Kabupaten Mempawah adalah seluas 103.90 Ha dan luas ekosistem yang harus di pertahankan adalah seluas 560.61 Ha. Dengan menggunakan komposisi luasan ini, dampak kerusakan lingkungan dapat diimbangi dengan luasan ekosistem mangrove yang dipertahankan, sehingga pembangunan dapat dijalankan dengan tetap memperhatikan asas sustainabilitas bagi lingkungan dan sosial.

KESIMPULAN Kesimpulan penelitian ini antara lain: 1. Manfaat bersih (NPV) budidaya tambak udang vannamei di Kabupaten Mempawah jika dilakukan dengan mengkonversi lahan mangrove selama 10 tahun adalah sebesar Rp. (346,629,493,739.56)/Ha, B/C ratio sebesar 0,13. Bila ditinjau dari sisi sosial ekonomi dan lingkungan, maka kegiatan ini tidak layak untuk dilakukan. 2. Manfaat bersih (NPV) mempertahankan kawasan mangrove di Kabupaten Mempawah jika tidak dikonversi menjadi tambak udang selama 10 tahun adalah sebesar Rp 64,241,034,411.78 /Ha, B/C ratio sebesar 2.04. Kegiatan ini layak untuk dilakukan. 3. Kelayakan luas kawasan budidaya tambak udang di Kabupaten Mempawah apabila kegiatan tersebut tetap dilakukan dengan jalan mengkonversi kawasan mangrove adalah 103.9 Ha, sedangkan luasan hutan mangrove yang wajib di pertahankan keberadaannya adalah seluas 560.61 Ha.

11

DAFTAR PUSTAKA

Antaranews.com. Hampir 40% Mangrove Indonesia Rusak. 17 Oktober 2016. http://Antaranews.com/berita/453668/hampir-40%-mangrove-Indonesia-rusak. Azis, I.J., Napitupulu, L.M., Patunru, A.A., Resosudarmo, B.P. 2010. Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Bhattarai, M., Hammig, M. 2001. Institution and Environtmental Kuznet Curve for deforestation: A Cross Country Analysis for Latin America, Africa and Asia. World Development vol 29. Great Britain. Elsevier Science ltd. BPSPL Pontianak. 2011. Dokumen Final Penyusunan RZWP3K Kabupaten. Pontianak. Pontianak. Drake, P.P. & Fabozzi, F.J. 2009. Foundations and Applications of the Time Value of Money. John Wiley & Sons. Canada. FAO. 1994. Mangroves Forest Management Guidelines. FAO. Roma. Italia. FAO. 2007. Mangroves of Asia 1980-2005: Country Reports. FAO. Roma. Italia. Hartini S.,Guridno B., M. Yulianto, Suprajaka. 2010. Assesing The Used of remotely Data for Mapping Mangrove Indonesia. Selected topic for remote sensing in 6th WSEAS International Confrence on remote sensing (Remote 10). Iwate Prefectural University. Japan. Hermawan, A. 2005. Penelitian Bisnis Paradigma Kuantitatif. PT. Grasindo. Jakarta Kumar, R.C. 2008. Research Methodology. APH. Publishing Corporation. New Delhi Maitra, Pushkar. 2009. Sustainable Development, Enviromental Regulation and International Trade, International Economics, Finance and Trade Volume II. OECD. 2001. Policies to Enhance Sustainable Development, OECD Putra, Agung P., Bakri, Samsul., Kurniawan, Betta. 2015. Peranan Ekosistem Hutan Mangrove Pada Imunitas Terhadap Malaria: Studi di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari Vol. 3. Rachmansyah, E.Susianingsih, Mangampa, M., Tahe, S., Makmur, Undu, M.C., Suwoyo, H.S., Asaad, A.I.J.,.Tampangallo, B.R., Septiningsih, E., Safar, Ilham. St. Rohani, Rosni, & Nurjannah. (2013). Laporan Teknis Akhir Kegiatan Pengembangan Budidaya Udang Vaname SuperIntensif di Tambak Kecil. Balai

12

Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Sosia dkk. 2014. Mangrove Siak dan Kepualauan Meranti. Environmental and regulatory complianciance division safety, health and Environtment Departemen Energi Mega Persada. Jakarta. Sudomo, M. 1994. Perusakan Hutan Mangrove dan Penularan Malaria. Media Litbangkes Vol. IV No. 04/1994. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Lingkungan Hidup yang disempurnakan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. WWF Indonesia. Mari menanam, cegah abrasi dengan mangrove. 18 Oktober 2016. http://www.wwf.co.id./?39882/Mari-Menanam-Cegah-Abrasi-Dengan- Mangrove. Yandle, B. Vijayaraghavan, M., Bhattarai, M. 2002. Environtmental Kuznet Curve. PERC Research Study 02-01. Yani, A. 2011. Penilaian Ekonomi Kawasan Hutan di Indonesia: Pendekatan Dalam Penentuan Kelayakan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus Di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat). Disertasi. Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia.

13