Daniel S. Lev
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Load more
Recommended publications
-
6157 Tapols Held on Plantations
Tapol bulletin no, 31, Dec-Jan 1978-9 This is the Published version of the following publication UNSPECIFIED (1978) Tapol bulletin no, 31, Dec-Jan 1978-9. Tapol bulletin (31). pp. 1-16. ISSN 1356-1154 The publisher’s official version can be found at Note that access to this version may require subscription. Downloaded from VU Research Repository https://vuir.vu.edu.au/26380/ British Campaign for the Release of Indonesian Political Prisoners TAPOL Bulletin No 31 Dec-Jan 1978-9 6157 Tapols Held on Plantations A total of 6,157 men officially described as "released for many years been engaged in the practice of sending Category-C political prisoners" from Central and East 'released' prisoners as forced labour to work in conditions Java are being held as forced labour on State-owned and of captivity. It confirms that there are far more political military-run plantations in North Sumatra and Aceh. They prisoners being held than the 10,239 officially acknowledged are among 18,000 contract labourers all of whom are being after the reported release of 10,005 prisoners in 1978. held against their will at the plantations. It confirms moreover that thousands of Cate_gory-C This is reported by two Jakarta newspapers Merdeka and prisoners are still being held despite government claims that Kompas (21 October, 1978) which said that the men had all people in this category were freed by 1972. Reports signed 5-year contracts, in some cases as long as 10 or 15 received in the past that prisoners were being used on plan years ago, but had been unable to return home after their tations have now been confirmed indisputably, but it is not contracts expired because the employers failed to buy them possible to estimate how many people are involved. -
Dari Nasionalisme Cina Hingga Indonesierschap: Pemikiran Liem Koen Hian Tentang Kedudukan Orang Tionghoa Di Indonesia (1919 – 1951)
UNIVERSITAS INDONESIA DARI NASIONALISME CINA HINGGA INDONESIERSCHAP: PEMIKIRAN LIEM KOEN HIAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG TIONGHOA DI INDONESIA (1919 – 1951) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana MICHAEL AGUSTINUS 0706279875 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JULI 2012 i Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 ii Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 iii Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 iv Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat kasih sayangnya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang sarjana di Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang begitu dalam kep ada keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan materil demi rampungnya masa studi penulis. Rasa terima kasih ini khususnya kepada kedua kakak penulis, Aileen, dan Aime, yang dengan penuh kasih sayang terus memberi semangat penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dari sisi akademis, penulis banyak ucapkan terima kasih kepada para dosen Program Studi Ilmu Sejarah yang telah membimbing hingga rampungnya skripsi ini. Kepada Tri Wahyuning Mudaryanti, M.Si. sebagai dosen pembimbing, penulis banyak mengucapkan terima kasih atas kesediaan waktu dan juga arahannya selama pengerjaan tugas akhir ini, mulai dari kelas Bimbingan Bacaan hingga skripsi. Dosen-dosen lain juga sangat berjasa melalui perkuliahan dan diskusi yang mereka berikan selama sepuluh semester ini. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada semua dosen di Program Studi Ilmu Sejarah. Dalam menjalankan penelitian lapangan, penulis sangat berterima kasih kepada para pengurus Perpustakaan FIB UI dan Perpustakaan Nasional atas pelayanannya yang sangat baik. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian lapangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, penulis ucapkan banyak terima kasih. -
Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MASA AKHIR KEPEMIMPINAN SUKARNO 1965 - 1968 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: ALOYSIUS BRAM WIDYANTO NIM: 021314041 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus yang selalu menuntun dan menunjukan jalan bagiku. Bunda Maria yang selalu memberi kekuatan dan pengharapan dalam setiap langkahku. Kedua orang tuaku yang telah membesarkanku, mendoakanku, mendorong dan mendukungku. Adikku Widi dan Pupung yang selalu mendoakanku. Aie yang selalu mendoakan dan mendukungku. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO Banyaklah rencana manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19: 21) “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.” (Sukarno) Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setelah kita jatuh (Confusius) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 2 Februari 2010 Penulis, Aloysius Bram Widyanto vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Aloysius Bram Widyanto 021314041 Masa Akhir Kepemimpinan Sukarno 1965-1968 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: (1) latar belakang yang menyebabkan kepemimpinan Sukarno berakhir; (2) proses berakhirnya kepemimpinan Sukarno; (3) akibat politik, sosial, dan ekonomi dari berakhirnya kepemimpinan Sukarno. -
Bab Iv Kiprah Abdul Rahman Baswedan Dalam Memperjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1934- 1947
BAB IV KIPRAH ABDUL RAHMAN BASWEDAN DALAM MEMPERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1934- 1947 A. Peran Abdul Rahman Baswedan Pada Masa Kolonial Belanda Tahun 19341942 Abdul Rahman Baswedan lahir ditengah-tengah masyarakat yang diisolasi oleh pemerintah kolonial, namun pergaulan yang ia rintis jauh melampaui batas-batas etnisnya, Ia bergaul erat dengan kawan-kawan dari golongan Tionghoa, terutama dengan sesama aktifis. Abdul Rahman Baswedan berkawan baik dengan Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang kemudian menginspirasinya untuk mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) suatu saat nanti. Sejak muda A.R. Baswedan kerap berkomunikasi dengan siapapun dari kalangan manapun karena ia tidak pernah membeda-bedakan seseorangan untuk diajak berteman dan 91 92 bertukar pikiran.1Abdul Rahman Baswedan banyak belajar tentang keindonesiaan semenjak berkenalan dengan tokoh nasionals yaitu Dr. Sutomo. Di tambah lagi dengan mondoknya dalam keluarga tokoh Partai Syarikat Islam (PSI) Soerowijono.2 Sebelum abad ke-20, lingkungan kehidupan untuk masing-masing etnis dibedakan satu dengan yang lainnya oleh pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan kebijakan politik segregasi yaitu membagi penduduk menjadi tiga golongan berdasarkan rasnya, kelas paling rendah adalah Inheemschen (atau Inlender), golongan bumi putra (pribumi) ; diatasnya adalah Vreemede Oosterlingen (Timur Asing ) yang meliputi suku Arab ,Tionghoa, India, dan yang paling tinggi adalah golongan warga kulit putih yaitu Eropa, Amerika, Jepang. Dimasukanya orang-orang Arab ke dalam golongan Timur Asing Vreemde Oosterlingen, mereka sering mendapat perlakuan yang diskriminatif dari penguasa Eropa.3Setatus 1 Didi Kwartanada, “Dari Timur Asing ke orang Indonesia :Pemuda Tionghoa dan Arab dalam Pergerakan Nasional (1900-1942).” Perisma: Jurnal ,Vol. 30. 2 (Agustus 2011),p. 31 2Muhamamad Husnil, Melunasi Janji Kemerdekaan Indonesia Biografi Anis Rasyid Baswedan,( Jakarta: Zaman, 2014), p. -
The Role of Ethnic Chinese Minority in Developntent: the Indonesian Case
Southeast Asian Studies. Vol. 25, No.3, December 1987 The Role of Ethnic Chinese Minority in Developntent: The Indonesian Case Mely G. TAN* As recent writIngs indicate, the term Introduction more commonly used today is "ethnic Chinese" to refer to the group as a Despite the manifest diversity of the whole, regardless of citizenship, cultural ethnic Chinese in Southeast Asia, there orientation and social identification.2) is still the tendency among scholars The term ethnic or ethnicity, refers to focusing on this group, to treat them a socio-cultural entity. In the case of as a monolithic entity, by referring to the ethnic Chinese, it refers to a group all of them as "Chinese" or "Overseas with cultural elements recognizable as Chinese." Within the countries them or attributable to Chinese, while socially, selves, as In Indonesia, for instance, members of this group identify and are this tendency is apparent among the identified by others as constituting a majority population in the use of the distinct group. terms "orang Cina," "orang Tionghoa" The above definition IS III line with or even "hoakiau."D It is our conten the use in recent writings on this topic. tion that these terms should only be In the last ten years or so, we note a applied to those who are alien, not of revival of interest In ethnicity and mixed ancestry, and who initially do ethnic groups, due to the realization not plan to stay permanently. We also that the newly-developed as well as the submit that, what terminology and what established countries In Europe and definition is used for this group, has North America are heterogeneous socie important implications culturally, so ties with problems In the relations cially, psychologically and especially for policy considerations. -
Perancangan Film Dokumenter Biografi Yap Thiam Hien
PERANCANGAN FILM DOKUMENTER BIOGRAFI YAP THIAM HIEN Welli Wijaya1, Erandaru2, Ryan Pratama Sutanto3 Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra, Jl. Siwalankerto 121 – 131, Surabaya, Email: [email protected] Abstrak Yap Thiam Hien adalah seorang advokat peranakan Tionghoa. Beliau dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 25 Mei 1913 dan meninggal pada tanggal 25 April 1989. Semasa hidupnya, Yap berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Yap sesungguhnya memiliki kesempatan untuk memiliki hidup yang lebih mudah dan tenang dengan latar belakang pendidikan hukum Belanda yang ia miliki. Namun ia memilih untuk menempuh jalur berbeda, yaitu berjuang melawan kesewenang-wenangan. Perjuangan Yap masih terus berjalan bahkan hingga 25 tahun setelah ia meninggal. Saat ini nama Yap Thiam Hien diabadikan sebagai penghargaan yang diberikan kepada tokoh yang dianggap berjasa di Bidang HAM setiap tahunnya. Film Dokumenter ini dibuat untuk mengenal Yap Thiam Hien. Kata kunci: Film, Film Dokumenter, Yap Thiam Hien, Tionghoa, Pengacara, Hukum Abstract Title: Yap Thiam Hien’s Biography Documentary Film Yap Thiam Hien was a Chinese Indonesian lawyer. He was born in Banda Aceh on the 25th of May 1913 and passed away on April 25th 1989. Yap fought for Human Rights all his life. As Netherlands - Law Graduate,Yap did have an easier and happier option opened to him. But he chose otherwise, fought the oppression. He may have passed away, but his legacy carries on, even 25 years after his death. Yap Thiam Hien’s name was immortalized as an award given to those who are meritorious to the Indonesian Human Rights. This documentary film was made to be acquainted with Yap Thiam Hien. -
ORANG TIONGHOA DALAM NEGARA INDONESIA YANG DIBAYANGKAN: Analisis Percakapan Para Pendiri Bangsa Dalam Sidang-Sidang BPUPKI Dan PPKI
VERITAS 10/2 (Oktober 2009) 259-284 ORANG TIONGHOA DALAM NEGARA INDONESIA YANG DIBAYANGKAN: ANALISIS PERCakapan Para PENDIRI BANGSA dalam Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI MARKUS D. L. DAWA PENDAHULUAN Pada 1995, Institut DIAN/Interfidei menerbitkan sebuah buku yang sebagian besar berisi makalah yang didiskusikan dalam seminar bertajuk “Konfusianisme di Indonesia,” yang diadakan pada tahun sebelumnya oleh Institut DIAN/Interfidei juga. Judul buku itu adalah Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri.1 Buku ini memang khusus bicara soal Konfusianisme di Indonesia. Namun, percakapan tentang Konfusianisme tidak bisa dilepaskan dari percakapan tentang orang-orang Tionghoa, yang sebagian besar memeluk keyakinan ini. Karena itu, bicara tentang pergulatan Konfusianisme yang mencari jati dirinya di bumi Indonesia tidak bisa tidak juga menyentuh para pemeluknya, orang-orang Tionghoa. Buku itu hanya salah satu dari sekian banyak buku yang pernah ditulis tentang orang-orang Tionghoa. Sejak terbitnya buku itu, persoalan siapa dan di mana orang Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pun tidak pernah selesai dibicarakan. Tiga tahun setelah buku itu diterbitkan, menyusul jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, terjadi kerusuhan hebat di beberapa kota di Indonesia, yang mana salah satu korbannya adalah orang-orang Tionghoa. Terlepas dari pahit-getirnya peristiwa itu, bagi orang-orang Tionghoa, kerusuhan itu hanyalah sekadar letupan di permukaaan dari isu yang sebenarnya belum pernah tuntas diselesaikan, yaitu soal tempat atau -
History, Memory, and the "1965 Incident" in Indonesia
HISTORY, MEMORY, AND THE “1965 INCIDENT” IN INDONESIA Mary S. Zurbuchen With the events of 1998 that climaxed in the stunning moment of President Suharto’s resignation, Indonesia embarked on a transi- tion from a tenacious authoritarianism. These changes have prompted re- examination of assumptions and tenets that have shaped the state, its laws and institutions, and the experience of being a citizen. They have also spurred calls for justice and retribution for persistent patterns of violence. Suharto’s New Order is the only government that most Indonesians alive today have ever known, and its passing has sparked notable interest in reviewing and assessing earlier chapters in the national story. This retrospective moment has not been systematic, and there are indications that it may not be sustained under the administration of President Megawati Sukarnoputri. 1 Nonetheless, public discourse continues to spotlight key actors and events from the past, including some that have long been hidden, suppressed, or unmentionable. Among these topics, the killings of 1965–66 are a particularly difficult and dark subject. In this essay, I will discuss some of the recent representations of this particular element of the collective past and offer some thoughts on how “1965” figures in contemporary public discourse, in social and private Mary S. Zurbuchen is Visiting Professor and Acting Director of the Center for Southeast Asian Studies at the University of California, Los Angeles. Asian Survey , 42:4, pp. 564–582. ISSN: 0004–4687 Ó 2002 by The Regents of the University of California. All rights reserved. Send Requests for Permission to Reprint to: Rights and Permissions, University of California Press, Journals Division, 2000 Center St., Ste. -
338 Oei Hiem Hwie Compared to Biographies Of
338 Book Reviews Oei Hiem Hwie Memoar Oei Hiem Hwie: Dari Pulau Buru Sampai Medayu Agung. Surabaya: Wastu Lanas Grafika, 2015, x + 258 pp. isbn 9786028114561. For further information, contact Medayu Agung, tel. +62318703505, e-mail: [email protected]. Compared to biographies of “national heroes”, there are only a few biographies or memoirs dealing with the lives of Indonesia’s ethnic Chinese. This does not mean that the Chinese or Tionghoa—as I would like to address the Indone- sian Chinese based on their own preference—have not made any contribution to the nation. On the contrary, it only reflects the exclusion of Tionghoa in our historiography, as a result of New Order policies directed against this particular ethnic group. However, some biographies on progressive Tionghoa individuals have succeeded in countering this legacy. Among them is OeiTjoeTat’s Memoir (Toer 1995), who was one of the Ministers under Sukarno. The other is Siauw Giok Tjhan, who was the head of baperki (Badan Permusyawaratan Kewar- ganegaraan Indonesia; Deliberative Association for Indonesian Citizenship), an organization that emphasized the participation of the Tionghoa commu- nity in nation-building. Both Oei Tjoe Tat and Siauw Giok Tjhan were impris- oned after the so-called 30 September Movement (Gerakan 30 September) in 1965 because of their involvement in baperki. The organization was accused of cooperating with the pki (Partai Komunis Indonesia; Indonesian Commu- nist Party), which was blamed for the killings of six generals on October 1, 1965. This act has been repeatedly stressed by the state as a form of treachery by the communists, while excluding the resultant killings of around 500.000 Indonesians in the military-led anti-communist operations. -
Bab Ii Riwayat Hidup Abdul Rahman Baswedan
BAB II RIWAYAT HIDUP ABDUL RAHMAN BASWEDAN A. Asal –Usul Hidup Abdul Rahman Baswedan Abdul Rahman Baswedan lahir di Surabaya tanggal 11 September 1908 dari pasangan Awad Baswedan dan Aliyah Binti Abdullah Jahrum anak ke tiga dari 7 tujuh bersudara. Nama lengkap Abdul Rahman Baswedan adalah Abdul Rahman Awad Baswedan. Nama Awad adalah nama ayahnya, sedangkan Baswedan adalah nama keluarga. Baswedan merupakan salah satu nama keluarga atau marga di masyarakat Arab.1Sebutan Baswedan sebagai nama suku diperkenalkan untuk pertama kalinya di Indonesia oleh kakek Abdul Rahman Baswedan yang bernama Umar bin Abubakar bin Mohammad bin Abdullah Baswedan bersama kakaknya Ali Baswedan. Umar Baswedan dan kakaknya adalah seorang saudagar berasal dari Hadramaut Yaman. Kakek Abdul Rahman Baswedan seorang pedagang dan ulama yang luas hubunganya. Mereka 1 Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R.Baswedan Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014), p.20 24 25 datang di Indonesia dengan tujuan ekonomi dan juga menyiarkan agama Islam.2 Beberapa orang yang menyandang nama Baswedan merupakan pribadi-pribadi yang cukup dikenal di kota Surabaya. Berdasarkan geneologi, marga Baswedan bukan termasuk golongan sayid, atau bukan keturunan langsung dari Nabi Muhammad, sehingga status sosial mereka lebih rendah didalam komunitas Arab karena pelapisan sosial dikalangan Arab terbagi menjadi empat golongan, yang pertama yaitu golongan Sayid (Keturunan langsung dari Nabi Muhamad SAW), golongan Gabli (bersenjata), golongan Syekh (Ulama), golongan Petani dan Buruh.3 Keluarga Abdul Rahman Baswedan termasuk keluarga yang berada dalam hal materi karena kakek Abdul Rahman Baswedan seorang pedagang atau Saudagar kaya di Surabaya. Ayahnya dan Abdul Rahman Baswedan mendapatkan warisan dari kakeknya. -
State and Civil Society in Indonesia
Downloaded from <arielheryanto.wordpress.com> STATE AND CIVIL SOCIETY IN INDONESIA edited by Arief Budiman Monash Papers on Southeast Asia - No. 22 Downloaded from <arielheryanto.wordpress.com> TABLE OF CONTENTS Dedication v Preface vi Acknowledgments xi Notes on Contributors xiii Introduction: © 1990 Arid Budiman CHAPTER 1 I.S.B.N ...............O 7326 0233 5 I.S.S.N ...............0727668O From Conference to a Book Ariel Budiman 1 PART I: Typeset by Theories of the Capitalist Nature of the State Centre of Southeast Asian Studies in Indonesia Monash University CHAPTER 2 The Political Economy of the New Order State Pierre Janzes 15 Printed and bound by AriSIOC Press Ply. Ltd. CHAPTER 3 Glen Waverley, Australia. Rent Capitalism, State, and Democracy OIle Tornquist 29 CHAPTER 4 For information on other publications from the Centre, write to: Oil, Iggi and US Hegemony: The Publications Officer Global Pre-Conditions 51 Centre of Southeast A~ian studies Richard Tanter Monash University Clayton, Victoria 3168 Australia Downloaded from <arielheryanto.wordpress.com> ii iii CHAPTER 5 PART III: Thinking about Gender, State The Cultural Aspect of State and Society and Civil Society in Indonesia Maila Srivens 99 CHAPTER 11 Introduction Ariel Heryanto 289 CHAPTER 12 PART II: The Construction of an Indonesian National Culture: The Nature of State Control Patterns of Hegemony and Resistance Keith Foulcher 301 CHAPTER 6 CHAPTER 13 In trod uction Theatre as Cultural Resistance Harold Crouch 115 in Contemporary Indonesia Barbara Hatley 321 CHAPTER 7 The -
Chinese and Indigenous Indonesians on Their Way to Peace? a Peace and Conflict Analysis According to the Transcend Method
Conflict Formation and Transformation in Indonesia: Chinese and Indigenous Indonesians on Their Way to Peace? A Peace and Conflict Analysis According to the Transcend Method Dissertation zur Erlangung des Doktorgrades Dr. rer. soc. des Fachbereichs Sozial- und Kulturwissenschaften der Justus-Liebig-Universität Giessen. vorgelegt von Yvonne Eifert Memelstr. 37 45259 Essen Gutachten durch Prof. Dr. Hanne-Margret Birckenbach Prof. Dr. Dieter Eißel Oktober 2012 Content Glossary and Abbreviations ......................................................................................................... 1 List of Figures, Tables and Pictures ............................................................................................. 5 1. Introduction .............................................................................................................................. 7 1.1 Conflict Case Study ............................................................................................................ 7 1.2 Subjects and Focus ............................................................................................................. 8 1.3 Theoretical Background of the Research ......................................................................... 26 1.4 Research Method .............................................................................................................. 32 1.5 Thesis Outline .................................................................................................................. 34 2. Analysis of the