SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh: HAFDA ZURAIDA NIM: 034314007

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2010

i

ii iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Teruntuk

Alm. Bapakku tercinta, terima kasih atas semuanya...

Ibuku tercinta, yang tak hentinya mendoakan dan menanyakan

perkembangan skripsiku... Terima kasih atas semuanya, bu...

Serta tak lupa kepada adik-adikku, Satria Dharmana dan Setyo Bekti

Nugroho, aku sayang kalian...

Serta,

Almamater Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

MOTTO

Penentu keberhasilan adalah kamu sendiri.

Ketika semua sudah berlalu, sesal kemudian tiada guna.

iv

v

ABSTRAK

Hafda Zuraida UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Skripsi yang berjudul “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942” ini membahas tentang tiga permasalahan. Pertama membahas tentang latar belakang kemunculan batik di Yogyakarta, kedua tentang monopoli kraton terhadap batik dan yang ketiga membahas tentang peran Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri pada tahun 1935 sampai 1942. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan batik yang muncul di Yogyakarta dan menyebar sampai ke daerah Imogiri. Sehingga dari permasalahan diatas akan terlihat proses kemunculan dan perkembangan batik di Yogyakarta. Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan diatas, akan digunakan metode penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya. Skripsi ini ditulis secara deskriptif analitis. Dari penulisan ini, dapat dilihat bahwa batik tidak hanya dihasilkan oleh para perempuan dari kraton. Batik juga dihasilkan oleh wanita dari luar kraton. Feodalisme kraton terhadap batik mengakibatkan motif batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan keluarga raja. Tetapi setelah sistem feodal kraton mengalami kemerosotan, akhirnya batik bisa dinikmati oleh semua kalangan. Salah satu tokoh yang menyebabkan meluasnya motif dan menyebarnya kesenian batik adalah Djogo Pertiwi. Meskipun pada awalnya membuat motif khusus kraton, beliau juga mengajarkan seni membatik kepada masyarakat Imogiri.

Kata kunci: Feodalisme, Djogo Pertiwi, Sejarah Batik.

vi

ABSTRACT

Hafda Zuraida SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

The title of this thesis is “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”. This thesis is focused on three problems: 1. the background of the appearance of Batik in Yogyakarta. 2. The kraton’s monopoly the batik. 3. Djogo Pertiwi’s role to expand batik in Imogiri on 1935 to 1942. The aim of this thesis is to describe the development of batik that appear in Yogyakarta and spread to Imogiri. From the problems above, it will be seen the process of the appearance and the development of batik in Yogyakarta. To get answer of the problem above, it will be used the research method such as the form of book study and interview. The method which is used on this thesis writing is historical method including heuristic, verification, interpretation and historiography. The approach which used is social and culture approach. This thesis is written by descriptive analytive. From this thesis, we can see that batik is not only produced by women from Kraton. Batik is also produced by women from outer Kraton. Kraton have feudalism to batik that certain batik motif just can wear by the Royal family. However, after Kraton’s feudal system of batik had experince decline. Finally, batik can enjoy by all people. Djogo Pertiwi is one of the figures who spread motif and art of batik. Beside of making special motif Kraton, she also teaches the art of making batik to Imogiri people.

Keyword: Feudalism, Djogo Pertiwi, History of Batik

vii

viii

KATA PENGANTAR

Puncak pencapaian penulisan skripsi ini telah berakhir. Tidak luput, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada penulis dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Penulis juga tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja

yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi

ini.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi ini.

3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing, dengan penuh

kesabaran telah memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu

untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M. Hum., selaku dosen pembimbing

akademik yang telah meluangkan waktu untuk senantiasa membantu memberi

dukungan dan saran pada penulis, sejak awal kuliah sampai menyelesaikan

skripsi.

5. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A., Bapak (Alm.) Drs. G.

Moedjanto M. A., Bapak (Alm.) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Bapak Drs.

Ign. Sandiwan Suharso, Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra.

ix

Lucia Juningsih, M. Hum., Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi,

Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo. Serta

dosen-dosen lain yang telah memberikan ilmu bagi penulis selama penulis

menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan

administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

7. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

8. Teman-teman Jurusan Ilmu Sejarah, Mbak Upi, Mbak Yus, Ajeng, Mamik,

Nana, Ekarama, Hananto, Markus, Daniel, Yuhan, Yossi, Yasser, Halim,

Elang, Darwin, Agus, Aloy, Banar, Ifa, Theo, dan semua yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya.

9. Teman-teman angkatan 2003 Sundari, Reni, Mariati, Anggi, Yoga, Domi,

Dedy, Ruperno, terima kasih atas dorongannya. Kalian akan selalu menjadi

teman-teman yang akan selalu ku-ingat. Keep contact ya...

10. Inneke dan Irena, terima kasih atas semuanya, baik kala suka dan duka

persahabatan kita selama ini. Keep contact ya...

11. Keluarga besar Ibuku di Magelang dan Yogyakarta. Pakde-Budhe, Oom-

Tante, sepupuku Iing dan suami, Mas Isa, Mbak Ayu, dan Angga, terima

kasih atas semangat dan doanya.

12. Keluarga besar Bapakku di Purworejo, Magelang, Bandung, Jakarta, dan

Serang. Pakde-Budhe, Oom-Tante, sepupuku Andre, ‘teh Ranti, Indah, Sari,

Mira, Aji, Widi, Putra, Ria, Indra, terima kasih atas doa dan semangatnya.

x

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO...... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... v

ABSTRAK ...... vi

ABSTRACT ...... vii

LEMBAR PUBLIKASI ILMIAH ...... viii

KATA PENGANTAR ...... ix

DAFTAR ISI...... xii

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Batasan Masalah ...... 7 C. Rumusan Masalah ...... 8 D. Tujuan Penelitian ...... 8 E. Manfaat Penelitian ...... 9 F. Landasan Teori ...... 10 G. Kajian Pustaka ...... 13 H. Metode Penelitian ...... 15 I. Sistematika Penulisan ...... 16

BAB II. SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA ...... 18 A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik ...... 19 B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram ...... 23 C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung ...... 29 D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik ...... 34

BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA ...... 40 A. Sistem Feodal Kraton ...... 40

xii

B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton ...... 43 C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan ...... 51

BAB IV. PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM PENGEMBANGAN SENI MEMBATIK 1935-1942 ...... 54 A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian ...... 55 B. Perkembangan Batik di Imogiri ...... 56 C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik ...... 60 D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan ...... 65 E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942 ...... 73 F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi ...... 82

BAB V. PENUTUP ...... 87

DAFTAR PUSTAKA ...... 91

LAMPIRAN ...... 95

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas keseniannya masing-masing. Salah satu kesenian yang terkenal adalah batik.

Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, bahkan menjadi salah satu kemampuan asli manusia Indonesia sebelum masuknya budaya asing. Batik merupakan suatu bentuk dari kesenian yang dalam pembuatannya mempunyai nilai tersendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur yaitu, bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Seni batik tulis termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan dan menjadi salah satu ciri khas suatu wilayah tertentu.

Membatik adalah sebuah seni yang mengungkapkan ekspresi untuk menorehkan canthing yang berisi malam ke dalam sebuah kain putih. Tentunya tidak sembarangan orang bisa membuat kain batik. Dalam membuat batik, seseorang harus memiliki kemampuan atau skill khusus untuk menumpahkan segala curahan ekspresi seninya dalam kain itu. Tidak hanya skill atau kemampuan saja yang dibutuhkan oleh pembatik tetapi juga imajinasi setiap pembatik diperlukan agar bisa membantu mereka dalam menorehkan berbagai bentuk motif lewat canthing tersebut.

1

2

Proses pembuatan pola atau motif yang rumit, membuat seorang pembatik harus lebih sabar dan telaten demi menghasilkan sebuah karya seni. Kemudian dalam wilayah teknologi, batik mampu memadukan nilai seninya. Dalam sebuah kain batik, setiap garis yang digambarkan untuk membuat corak atau motif diperhitungkan sehingga bisa tergambar rapi dan teratur. Menurut Kartini Parmono, keindahan bentuk tercipta karena perpaduan yang harmonis dari variasi susunan bentuk, garis, titik-titik, dan warna yang terpadu secara harmonis yang ditangkap dengan penglihatan atau panca indra.1

Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi.

Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna dan simbol. Pastinya seorang pembatik dalam membuat kain batik memiliki alasan, mengapa dia membuat corak yang seperti itu. Menurut Kartini Parmono, seni batik tradisional merupakan sistem simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke generasi penerus sebagai pembentuk watak dan kepribadian.2 Setiap corak yang dilukiskan bisa dianggap sebagai simbol untuk memberikan arti yang bermakna bagi setiap individu yang melihat maupun yang memakainya.

1 Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23, November, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995, hlm 30. 2 Ibid., hlm. 31.

3

Menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam yaitu batik pedalaman (juga disebut sebagai batik kraton) dan batik pesisiran.3 Batik pedalaman adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kraton dengan dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang serasi, tertib dan seimbang.4 Motif yang digunakan adalah motif-motif yang diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan warna yang digunakan adalah warna coklat, biru, hitam, dan putih. Sedangkan batik pesisiran adalah batik berkembang di luar kraton dan tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Para pembatik bebas untuk mengungkapkan ekspresi dalam karyanya.5

Di Jawa, perkembangan batik kraton (pedalaman) lebih dikenal di Yogyakarta dan Solo. Selama ini dua daerah tersebut menjadi pusat kebudayaan di mana sistem pemerintahan kerajaannya masih bertahan. Di dalam istana atau kraton sendiri, para penguasa, keluarga dekat beserta para abdi dalemnya masih memegang teguh adat dan tradisinya. Tradisi itu telah disampaikan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Dari kebiasaan yang turun temurun itulah, batik yang menjadi salah satu unsur budaya kraton, masih tetap eksis.

3 Ibid., hlm 29. 4 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5. 5 Ibid., hlm. 6.

4

Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi salah satu tempat penyebaran batik. Batik yang berasal dari wilayah ini disebut dengan batik kraton.

Kraton menjadi salah satu pusat kebudayaan di Yogyakarta. Kesenian batik merupakan suatu bentuk kerajinan tangan yang berasal dari lingkungan kraton dan dalam pemakaiannya tidak bisa sembarangan orang bisa mengenakannya. Sehingga ketika seseorang mengenakan kain batik kraton maka mereka mempunyai hak istimewa yang dapat mengangkat kedudukannya.

Pada awal mulanya, batik merupakan sebuah kesenian tulis tradisional yang hanya dibuat oleh perempuan-perempuan dari kraton. Batik dihasilkan dari tangan- tangan perempuan di lingkungan kraton yang memiliki keahlian khusus dalam menorehkan canting. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan karya batik ini, batik menjadi busana keprabon (busana kebesaran) para raja-raja di Kraton. Keahlian mereka telah diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun. Pekerjaan membatik dilakukan sebagai suatu kerja sambilan ketika para perempuan kraton itu mempunyai waktu luang.

Motif atau corak yang diajarkan dalam ketrampilan membatik sangat bermacam-macam. Masing-masing motif yang dihasilkan juga mempunyai makna yang sangat mendalam. Hal itu disebabkan karena batik diciptakan agar pemakainya dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan.6 Batik muncul dari konsep estetika seni

Jawa yang adiluhung sehingga mencerminkan nilai-nilai ketradisian dan dinamika

6 Ibid, hlm. 28.

5

masyarakat pendukungnya.7 Orang-orang kraton mempunyai kekhasan tersendiri dalam membuat karya batik tulis. Mereka mengamalkan hal-hal yang menurut mereka masih dianggap sebagai tradisi nenek moyang.

Motif-motif batik yang sudah dibuat tidak bisa dipakai oleh sembarangan orang. Hanya beberapa kalangan saja yang bisa memakai motif-motif tertentu itu.

Contoh motif-motif larangan, biasa untuk menyebut kain batik yang hanya dipakai oleh kalangan tertentu, misalnya seperti parang rusak, kawung, sidomukti, udan liris, semen rama, dan sawat. Batik dengan motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh raja dan keluarga dekatnya saja.

Raja memerintah rakyatnya dengan kekuasaan feodal. Salah satu bentuk feodalisme suatu kerajaan dapat dilihat dari pemakaian batik ini. Dari gambar motif sebuah kain batik tersebut, bisa diketahui kedudukan sosialnya. Dengan kata lain, jika seorang raja memakai suatu motif batik yang menunjukkan kebesarannya maka rakyat harus menghormatinya. Kekuasaan feodal seorang raja membuat rakyat akan selalu patuh dan tidak melawan penguasa yang saat itu sedang memerintah, sehingga penguasa bisa melakukan kontrol terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya.

Kekuasaan feodal raja semakin lama semakin berkurang sehingga terjadilah proses defeodalisasi.

Proses pembatikan kemudian mengalami perkembangan, yang semula dikerjakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan kraton dan berkembang

7 Biranul Anas, op. cit., hlm. 33.

6

menjadi dikerjakan oleh perempuan di luar kraton. Motif-motif kebesaran raja tidak hanya dibuat oleh kalangan terbatas saja. Motif-motif larangan, seperti parang rusak, sawat, dan semen, sudah bisa dibuat dan dipakai oleh masyarakat luas.

Perluasan kemampuan membatik ini salah satunya dipelopori oleh Djogo

Pertiwi. Seni pembuatan batik tidak hanya berada di kraton saja tetapi juga menyebar di beberapa wilayah di Yogyakarta. Salah satu wilayah yang masih bertahan untuk memproduksi batik adalah Imogiri. Imogiri terletak di sebelah selatan Kota

Yogyakarta, tepatnya di dusun Pajimatan, kelurahan Girirejo. Di dusun Pajimatan itu juga terdapat suatu pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Penyebaran seni membatik ini terjadi ketika seseorang dari luar kraton bekerja menjadi abdi dalem kraton. Mereka mempunyai istri dari kalangan orang kraton yang mempunyai keahlian membatik. Dari istri-istri mereka, kesenian membatik kemudian menyebar luas ke wilayah-wilayah lain saat suaminya ditugaskan untuk menjaga dan merawat makam raja-raja Mataram.

Di Imogiri, Djogo Pertiwi adalah seorang pembatik yang dianggap sebagai perintis batik. Pada mulanya Djogo Pertiwi adalah seorang perempuan yang berasal dari luar kraton, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem kraton yang bekerja sebagai juru kunci makam Imogiri. Sejak kecil sudah tertarik dengan batik dan mulai belajar membatik. Selain dianggap sebagai perintis batik, Djogo Pertiwi dianggap sebagai pelestari kesenian batik tulis tradisional. Sejak sekitar tahun 1930, Djogo

Pertiwi mengajarkan tentang bagaimana cara membatik kepada masyarakat sekitar

7

Imogiri. Atas usaha dan kerja kerasnya untuk melestarikan batik, Djogo Pertiwi mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden pada tahun 1994.

B. Batasan Masalah

Batik merupakan salah satu hasil kerajinan yang adiluhung (bernilai tinggi) sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Pihak kraton telah membuat batik menjadi suatu bentuk monopolinya. Tetapi hal ini tidak bisa berlangsung lama, karena kemunculan Djogo Pertiwi yang kemudian menyebarkan keahlian membatik kepada masyarakat sekitar wilayah Imogiri. Batik yang awalnya hanya dimonopoli oleh kraton, mulai lepas dari monopoli kraton ketika di Imogiri muncul seorang tokoh bernama Djogo Pertiwi.

Dia adalah seorang istri abdi dalem kraton yang mulai berkarya sejak tahun

1935. Skill atau kemampuan membatik dan imajinasi yang dimiliki oleh Djogo

Pertiwi mampu mengubah kehidupan masyarakat di sekitar Imogiri. Pada sekitar tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia. Negara Indonesia- pun tidak luput dari pengaruh krisis tersebut. Salah satunya berimbas pada industri batik di Yogyakarta yang mengalami kelesuan selama beberapa tahun. Pada tahun

1939, muncul beberapa badan koperasi yang membantu pembatik dalam menghadapi krisis ekonomi akibat serangan produk impor dari luar negeri seperti Jepang dan

Belanda. Industri batik di wilayah Yogyakarta dan juga wilayah pembatikan yang lain mulai bangkit kembali. Kemudian, ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942,

8

industri batik mengalami kelesuan kembali. Bahan baku untuk pembuatan batik sangat sulit untuk didapatkan.

C. Rumusan Masalah

Dalam menjelaskan judul skripsi ”Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-

1942”, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta ?

2. Bagaimana dinamika perkembangan batik gaya Yogyakarta?

3. Bagaimana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di

Imogiri tahun 1935-1942?

D. Tujuan Penelitian

Batik merupakan kesenian asli dari Indonesia meskipun banyak juga yang berpendapat bahwa batik berasal dari luar Indonesia. Terlepas dari pendapat-pendapat itu, batik mengalami proses yang sangat panjang baik dalam sejarah maupun dalam proses pembuatannya.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Kemudian mengetahui dinamika batik gaya Yogyakarta, dan mengetahui sejauh mana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Dusun Pajimatan, Imogiri.

9

E. Manfaat Penelitian

Penulisan ini merupakan salah satu bagian dari latihan kerja ilmiah. Pada pokok ini, ditempuh dengan cara, mulai dari pemilihan tema, perumusan masalah, pengumpulan bahan, sampai dengan pengolahannya sesuai dengan cara kerja ilmu sejarah. Penulisan ini difokuskan pada tema seperti tersebut diatas. Diolah melalui tahap-tahap yang akan diurai pada bagian selanjutnya sampai dengan tahap penulisannya.

Hasil penelitian yang disusun dalam skripsi ini diharapkan agar masyarakat bisa membuka pengetahuan baru dalam wacana kesejarahan mengenai sejarah batik terutama tentang proses sosial yang terjadi dalam perkembangan batik di Imogiri.

Pengetahuan tentang batik sebagian besar hanya ditinjau dari proses pembuatannya, dan diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat tahu akan sejarah kemunculan batik gaya Yogyakarta, dinamika batik gaya Yogyakarta, dan juga peran dan fungsi

Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935 sampai 1942.

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber sejarah sosial mengenai perkembangan batik di Imogiri.

Penulis berharap bahwa tulisan ini mampu membuka pengetahuan masyarakat luas mengenai peran kraton yang mendominasi seluruh lapisan rakyat, khususnya di

Yogyakarta, dengan sistem feodalnya. Kekuasaan feodal yang diterapkan oleh kraton terhadap batik sedikit demi sedikit bisa bergeser dan batik mulai bisa dipakai oleh semua kalangan masyarakat luas. Manfaat penulisan ini bagi masyarakat luas adalah agar masyarakat mampu menambah pengetahuannya tentang tokoh yang bernama

10

Djogo Pertiwi yang mengembangkan batik di Imogiri dan dianggap sebagai perintis batik. Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga tidak hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi saja.

F. Landasan Teori

Untuk menguraikan pertanyaaan-pertanyaan diatas, beberapa teori yang digunakan adalah sebagai berikut.

Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Sartono

Kartodirdjo mengemukakan bahwa

Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian terhadap komoditi, nilai, atau ideologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kulturalnya, yang kesemuanya merupakan faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru.8

Masyarakat Imogiri yang awalnya mempunyai suatu budaya sendiri, kemudian mendapat pengaruh dari kraton akibat masuknya budaya kraton, salah satunya adalah batik. Dalam perkembangannya, tradisi membatik menyebar luas ke masyarakat di wilayah Imogiri. Batik dari kraton masih sesuai dengan pakemnya, tetapi setelah masuk ke masyarakat Imogiri batik kraton mendapat pengaruh kultural dari budaya setempat sehingga mengakibatkan munculnya jenis atau motif batik yang baru.

8 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 160.

11

Kemudian A.L. Kroeber membuat teori difusi/penyebaran unsur budaya.

Teori ini berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat dengan cara mencari asal/aslinya dalam masyarakat lain. Difusi adalah suatu proses yang biasanya tetapi tak seharusnya perlahan apabila unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu disebarkan. Apabila suatu penemuan yang baru diadopsi di suatu tempat maka adopsi berlangsung pula di daerah tetangga sehingga dalam berbagai kasus pengadopsian tersebut berjalan terus. Kemudian tersebar dalam lingkup waktu tertentu sehingga tempo penyebaran lewat ruang ditentukan oleh waktu.9 Batik merupakan suatu ekspresi seni yang awalnya dibuat hanya oleh wanita-wanita di lingkungan kraton.

Kemudian hal ini menyebar melalui proses penyebaran ke daerah lainnya, seperti ke

Imogiri dalam waktu tertentu.

Dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, Astrid Susanto menyebutkan bahwa Proses penyebaran unsur-unsur budaya adalah merujuk pada pengembangan/growth dan tradisi sebagai suatu proses merujuk pada pemeliharaan.10

Batik yang merupakan salah satu wujud dari unsur kesenian, disebarkan kepada masyarakat luas agar bisa mengalami perkembangan. Motif atau coraknya dapat berganti-ganti sesuai dengan perkembangan batik. Batik juga merupakan tradisi dari nenek moyang yang diturunkan baik kepada anak-cucunya maupun kepada masyarakat demi terpeliharanya kesenian membatik. Pemeliharaan kesenian batik

9 Judistira K. Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, 1992, hlm. 73-74. 10 Ibid., hlm. 6.

12

bisa dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Begitu juga batik di

Yogyakarta yang diwariskan ketrampilannya secara turun temurun kemudian akan senantiasa berkembang.

Menurut Astrid Susanto lagi dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan perubahan tertuju kepada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga akan dinikmati pula oleh individu.11 Perkembangan batik kemudian menyebar ke wilayah Imogiri. Di Imogiri, batik membuat perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Keahlian membatik yang dikuasai oleh Djogo Pertiwi membuat masyarakatnya tertarik untuk mempelajari seni batik. Masyarakat yang diberi pelajaran tentang membatik itu mengakibatkan terjadinya perkembangan batik di

Imogiri dan menyebabkan perubahan yang membawa mereka ke arah kemajuan.

Sartono juga mengemukakan tentang teori perubahan sosial yaitu sebagai berikut

Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan dan pertumbuhan (development). Teori developmentalisme menggambarkan bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan atau perkembangan, suatu proses yang analog dengan proses organis; tidak hanya ada tambahan besarnya entitas, tetapi juga meningkatnya kemampuan serta kapasitas untuk mempertahankan eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan, serta lebih efektif mencapai tujuannya.12

Setiap kehidupan masyarakat pasti mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat pengaruh dari suatu proses kehidupan. Kemampuan yang

11 Ibid., hlm. 7. 12 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 162.

13

dimiliki oleh setiap individu dalam suatu lingkungan masyarakat juga dipengaruhi oleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi. Seperti halnya Djogo

Pertiwi, kemampuan yang dimilikinya meningkat sehingga dia akan terus mempertahankan eksistensinya dalam dunia batik. Perubahan sosial di dalam masyarakat Imogiri juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat masuknya ketrampilan membatik. Mereka mampu mempelajarinya dan mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik.

G. Kajian Pustaka

Pembahasan tentang batik telah banyak dibahas dalam buku atau pustaka.

Diantaranya adalah buku berjudul Sejarah Batik Yogyakarta, karangan A. N.

Suyanto. Buku ini membahas tentang sejarah perkembangan batik di Yogyakarta pada masa pemerintahan sultan-sultan Yogya. Selain itu juga berisi tentang faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan batik, bentuk dan fungsi batik di Yogyakarta. dalam buku ini periode yang dibahas adalah sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII sampai zaman pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono X. Pada masa-masa itu dapat dilihat bagaimana perubahan dan perkembangan bentuk, motif maupun fungsi kain batik dari setiap pemerintahan yang berkuasa.

Kemudian tesis yang berjudul Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri

Yogyakarta (Kajian bentuk dan Gaya Seni) yang ditulis oleh Sugiyamin, Program

Pascasarjana UGM, 2002. Tesis ini menuliskan tentang sejarah munculnya batik yang

14

awal mulanya hanya dikerjakan oleh orang-orang kraton sehingga kemudian menyebar sampai Imogiri dengan mengungkapkan peran abdi dalem penjaga makam raja-raja Mataram. Masyarakat Imogiri mendapat ilmu dengan mempelajari seni membatik. Sebuah proses sosial penyebaran ketrampilan membatik dari orang-orang kraton kepada masyarakat Imogiri. Tesis ini juga menyinggung sedikit tentang peranan Djogo Pertiwi dalam melestarikan ketrampilan membatik kepada masyarakat

Imogiri.

Buku Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah

Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat Istiadat dan Seni

Budaya, karangan Biranul Anas dari Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII. Buku ini menerangkan tentang kesenian membatik yang muncul di Jawa pada sekitar akhir abad 18, dan kemudian batik mengalami proses penyebaran. Dari proses tersebut bisa dibedakan antara batik kraton dengan batik pasisiran. Buku ini juga menjelaskan tentang tujuan dan fungsi batik, cara membuat batik, dan hubungan antara batik dengan kraton.

Terdapat sebuah artikel yang berjudul Pasang Surut Batik Tulis Tadisional

Bantul: Studi Kasus batik Tulis Imogiri tahun 1970-1998 ditulis oleh Suhartinah

Sudjiono, diambil dari Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya “Patra

Widya”, Vol. 7 No. 3, September 2006. Artikel ini membahas tentang awal mula munculnya batik di Imogiri dan juga menyinggung sedikit tentang Djogo Pertiwi.

Buku-buku lain yang mengulas tentang batik kebanyakan hanya menjelaskan tentang proses pembuatan batik beserta alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Selain

15

itu juga menggunakan artikel-artikel yang terdapat pada Jurnal Filsafat, Jurnal

Kebudayaan “Selarong”, dan artikel-artikel dalam internet. Dengan bantuan buku- buku tersebut, skripsi ini secara khas akan membahas tentang hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan batik di Yogyakarta, sistem feodal kraton yang menguasai batik, serta peran seorang Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan studi lapangan. Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis dari buku-buku yang relevan sehingga dapat membantu dalam menganalisis dan mendeskripsikan sejarah penulisan batik ini. Bahan-bahan yang dipakai/digunakan antara lain telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Dokumen-dokumen lain yang digunakan adalah seperti artikel-artikel dalam jurnal, koran, dan juga melalui situs- situs di internet.

Kemudian proses pengumpulan selanjutnya adalah studi lapangan yang dilakukan melalui metode wawancara. Narasumber yang diwawancarai diantaranya adalah anak menantu Djogo Pertiwi yang menjadi penerus usaha batik Djogo Pertiwi sekaligus muridnya, kemudian ketua Dusun Pajimatan, dan pemerhati batik.

Narasumber tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dengan topik dan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam metode penulisan karya ilmiah ini adalah pertama heuristik/pengumpulan sumber, yaitu dengan mengumpulkan data-

16

data baik yang primer maupun yang sekunder. Kedua, kritik sumber, yaitu dari sekian banyak sumber tersebut dipilih dan diperbandingkan kembali sumber-sumber yang lebih relevan agar lebih dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (sumber dapat dipercaya kebenarannya) guna penulisan skripsi ini. Ketiga, interpretasi, yaitu penafsiran atas sumber maupun data yang telah ditemukan. Keempat, adalah historiografi yang merupakan tahap terakhir, yaitu tahap penulisan.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab dengan urut- urutan sebagai berikut:

Bab I, membahas tentang latar belakang yang menjadi dasar penelitian ini.

Bab II, membahas tentang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana keadaan masyarakat

Yogyakarta pada saat kemunculan batik, batik sebagai suatu warisan dari kerajaan

Mataram, motif atau pola batik yang bersifat adiluhung, dan pembatasan pemakaian kain batik.

Bab III, membahas tentang dinamika batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana sistem feodal kraton

Yogyakarta, kemudian bagaimana penerapan feodalisme dalam kehidupan kraton dan yang terakhir akan dibahas sub bab mengenai kemerosotan feodalisme dalam kehidupan kerajaan.

17

Bab IV, membahas tentang peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942. Dalam bab ini juga akan diuraikan menjadi sub-sub bab yang meliputi keadaan geografis wilayah penelitian, kemudian kemunculan batik di Imogiri, proses pembelajaran Djogo Pertiwi dalam membatik, proses penyebaran seni membatik di dusun Pajimatan, proses sosial dalam mengembangkan batik di dusun Pajimatan pada tahun 1935-1942. Sub bab terakhir membahas unsur-unsur kebaruan yang diciptakan oleh Djogo Pertiwi.

Bab V, tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari bab-bab yang sudah ditulis. Bab terakhir ini antara lain berisi uraian mengenai hasil penelitian sekaligus jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan pada awal bab.

BAB II

SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA

Banyak kontroversi mengenai kapan munculnya batik di Indonesia. Ada beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mengenai kemunculan batik. Masih terdapat perdebatan mengenai kapan tepatnya batik mulai ada di Indonesia. Namun ada yang menyebutkan bahwa batik merupakan hasil budaya dari orang Indonesia sendiri.

Apapun hal yang menjadi perdebatan mengenai kapan kemunculan batik, batik telah menjadi suatu seni yang telah banyak dipelajari oleh banyak orang di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta.

Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memproduksi kain batik tradisional. Selain itu juga terdapat berbagai macam motif batik yang dihasilkan. Salah satu institusi yang giat dalam memproduksi batik adalah Kraton

Yogyakarta. Sejak di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I, batik telah menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan kraton, khususnya oleh para kaum wanita. Kegiatan membatik oleh para wanita ini diwariskan secara turun temurun. Para abdi dalem yang menguasai kesenian membatik ini kemudian mengajarkannya kepada wanita-wanita di lingkungan itu sebagai salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh mereka.

18

19

A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik

Corak (gaya) batik di Yogyakarta tidak lepas dari perpecahan yang terjadi dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut kemudian berakhir dengan adanya

Perjanjian Giyanti. Konflik suksesi atau perebutan kekuasaan mewarnai perpecahan dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya konflik antara

Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi yang memperebutkan tahta Kerajaan

Mataram. Kerajaan Mataram memang sudah sejak lama mengalami konflik perebutan kekuasaan. Perdebatan mengenai siapa yang pantas menduduki tahta Kerajaan

Mataram selalu terjadi. Hal itu tidak lepas juga dari campur tangan dari pihak

Pemerintah Belanda antara lain dengan memanas-manasi salah satu pihak keluarga

Raja. Pihak Belanda mengambil keuntungan dari terjadinya konflik ini karena mereka bisa dekat dengan pihak kraton sehingga bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk memperluas wilayah jajahannya.

Puncak dari konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi itu diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Mei tahun 1755. Hasil yang dicapai dalam perjanjian Giyanti adalah terbaginya wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan . Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan

Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III karena sebelum terlaksananya Perjanjian Giyanti, Paku Buwono II telah meninggal

20

dunia. Peristiwa yang juga disebut dengan Palihan Nagari ini juga menjadi titik tolak berdirinya Kraton Yogyakarta.1

Sebelum terjadi perpecahan, Kerajaan Mataram mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram dibagi menjadi beberapa daerah kekuasaan dengan kraton sebagai pusatnya. Daerah-daerah kekuasaan tersebut diurutkan menjadi sebagai berikut: daerah pertama, di mana

Kraton menjadi pusatnya disebut dengan wilayah Kutanegara. Di sinilah didirikan istana kerajaan atau kraton. Raja mengatur segala urusan pemerintahannya di dalam istana. Daerah kedua yang mengitari Kutanegara disebut dengan Negara Agung, kemudian wilayah yang berada diluar Negara Agung disebut dengan Mancanegara, dan yang terakhir wilayah kekuasaan yang paling luar dari Kerajaan Mataram disebut dengan Pasisiran.2 Konflik dengan pihak Kolonial Belanda membuat wilayah kekuasaan kerajaan Mataram menjadi semakin sempit dengan diadakannya Perjanjian

Giyanti.

Batik sebenarnya sudah digunakan pada masa Kerajaan Majapahit dan berkembang sampai pada masa kerajaan-kerajan Jawa seperti Mataram. Seiring dengan terjadinya perpecahan dalam Kerajaan Mataram, batik juga kemudian tetap diproduksi dan digunakan di Kraton Yogyakarta. Hanya saja terdapat motif-motif

1 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 13-15. 2 Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 1-2.

21

tertentu dan berbeda yang dipakai oleh orang-orang Kraton dan oleh masyarakat biasa.

Diferensiasi pemakaian batik pada masa itu tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat Jawa yang terbagi dalam kelas-kelas atau yang biasa disebut dengan stratifikasi yang didasarkan pada kedudukan dan status. Masyarakat Jawa sendiri digolongkan menjadi beberapa kelas atau lapisan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagian pertama adalah lapisan atas atau biasa disebut dengan lapisan orang

besar (wong agung, priyayi). Kelompok ini masih dibagi lagi menjadi dua

golongan, yaitu bangsawan atau ningrat dan abdi dalem. Orang-orang

yang termasuk dalam lapisan bangsawan atau ningrat ini didasarkan pada

kerabat atau keturunan yang masih sedarah dengan raja. Kemudian orang-

orang yang termasuk golongan abdi dalem, mereka sebetulnya priyayi

tetapi berasal dari wong cilik.

2. Bagian kedua adalah lapisan bawah, yang termasuk dalam lapisan ini ialah

rakyat biasa atau wong cilik. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh,

perajin, pedagang, dan pegawai rendahan. Di lapisan ini juga masih dibagi

lagi penggolongannya berdasarkan pada kepemilikan tanah. Mereka

adalah petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.3

3 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 24-25.

22

Penduduk Jawa khususnya pedalaman, menganut sistem pertanian agraris yang berarti bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting. Tanah telah menjadi sesuatu hal yang sangat berperan penting dalam masa itu. Raja, yang memegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai pemilik semua tanah yang ada di wilayahnya. Pejabat-pejabat daerah yang diserahi kekuasaan untuk mengatur salah satu wilayah suatu kerajaan akan mendapat gaji berupa tanah untuk digarap. Pejabat tersebut dipilih yang masih mempunyai darah bangsawan dari kerajaan. Para petani cilik yang menduduki lapisan masyarakat paling bawah, nantinya yang akan menggarap tanah itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan pokoknya yaitu beras. Padi menjadi tanaman yang wajib untuk ditanam oleh masyarakat Jawa.

Setiap butir padi yang tumbuh, akan diberikan kepada Raja sebagai bagian dari upeti yang diambil dari sawah merupakan salah satu dari sistem feodal yang berlaku selama ratusan tahun.4 Rakyat kecil yang berada di lapisan masyarakat paling bawah mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang yang diperintahkan oleh pejabat daerah. Hasil-hasil dari tanah garapan itu kemudian akan diserahkan kepada raja dan disebut dengan upeti. Penguasa pusat akan selalu mengawasi pekerjaan peajabat- pejabatnya di daerah sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan.

4 Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of , Singapore: Periplus, 2004, hlm. 24.

23

B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau

Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah

Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban,

Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.5

Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah

Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa

Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga, motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu

Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang, tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah mengakar dalam masyarakat.

5 Ibid., hlm. 30.

24

Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan, kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi, pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi).6 Batik ternyata memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia.

Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri tersendiri.

Kemudian ketika Islam mulai masuk ke Pulau Jawa, batik juga mendapat pengaruh dari Islam. Batik juga mengalami perkembangan pada masa Kerajaan

Mataram. Sultan Agung menjadi seorang raja yang juga berperan dalam bidang kebudayaan. Di samping kegiatannya dalam berpolitik, Sultan Agung mencurahkan sebagian perhatiannya dalam hal seni batik. Ketika kebudayaan Islam masuk, kesenian membatik yang terlebih dahulu mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buda dan juga kebudayaan Indonesia lama juga mendapat pengaruh dari budaya Islam.

Pada perkembangannya, agama-agama tersebut memberi banyak pengaruh dalam perkembangan batik. Masuknya pengaruh Islam memperkaya kesenian tersebut.

Dalam dunia seni batik, Sultan Agung mengilhami pembuatan motif parang- parangan,7 dan menciptakan motif sembagen huk.8 Meskipun Yogyakarta dan

6 Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988, hlm. 29. 7 Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 131.

25

Surakarta tadinya merupakan satu kerajaan, tetapi warna batik buatan dari dua daerah kerajaan ini berbeda. Batik khas dari Yogyakarta warna yang lebih dominan adalah putih terang dan untuk batik khas Solo, warna yang lebih dominan adalah coklat.

Peran Sultan Agung dalam bidang kesenian membatik ini menjadikan beliau sebagai seorang budayawan. Selain sebagai orang yang berperan dalam bidang budaya, Sultan Agung juga memiliki minat dalam hal ilmu militer, filsafat, sastra, hukum, dan astronomi. Hasil karya dari Sultan Agung dalam bidang budaya antara lain perpaduan penanggalan tarikh Jawa (saka) dengan Islam (hijriyah) yang disebut dengan tarikh Jawa, kitab sastra gending, dan upacara garebeg. Selain itu Sultan

Agung juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena kekuasaannya yang besar dengan daerah taklukan yang luas.

Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan besar ditangan pemerintahan Sultan Agung. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi pada masa Sultan

Agung. Setelah Mataram terbagi menjadi dua, Pangeran Mangkubumi, yang setelah dinobatkan menjadi raja berganti nama menjadi Sultan Hamengku Buwono I, membawa semua barang-barang pusaka yang ada di kerajaan Mataram. Beliau hendak merawat barang-barang tersebut, termasuk kain batik. Sedangkan Paku

8 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 66.

26

Buwono III, membuat kain batik dengan motif baru dan juga mendesain busana yang menjadi khas busana Jawa gaya Surakarta sampai sekarang.9

Ketika Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, menetapkan pemakaian batik sebagai sebuah tradisi yang membudaya sejak zaman kerajaan Mataram.10 Batik tak hanya digunakan sebagai busana sehari-hari, tetapi juga dipakai dalam upacara-upacara resmi kerajaan atau upacara ageng seperti upacara supitan, jumenengan dalem, garebeg, tingalan dalem, dan perkawinan11.

Peranan batik sebagai busana pada masa itu sangat penting karena penggunaannya dipakai hampir dari sejak manusia itu lahir sampai meninggal dunia. Ketika manusia itu lahir, meskipun belum bisa memakai batik, bayi sudah digendong dengan kain batik. Ketika sudah menginjak dewasa, batik digunakan untuk upacara supitan, kemudian pada saat mau menikah batik juga dipakai. Sampai pada akhirnya meninggal dunia, jenazah orang tersebut juga ditutup menggunakan kain batik.

9 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 13. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa kemudian terdapat perbedaan antara pakaian orang Yogyakarta dengan Surakarta atau Solo yang menimbulkan olok-olok antara keduanya. 10 A. N. Suyanto, op.cit., hlm 3. 11 Ibid., hlm. 6-7. Penggunaan kain batik yang berfungsi baik dalam kegiatan sehari-hari maupun resmi telah diterapkan dalam kehidupan di dalam keraton maupun oleh masyarakat. Lihat juga dalam buku Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877- 1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 8. Lalu dalam buku Inger Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore: Periplus, 2004, hlm. 32, juga disebutkan bahwa batik digunakan hampir sebagai pakaian dan busana pada saat upacara atau ceremonial.

27

Tentunya motif yang dipakai dalam upacara-upacara tersebut berbeda-beda dan disesuaikan dengan arti atau makna motif batik dalam satu kain.

Batik kemudian menjadi salah satu alat-alat kebesaran yang menjadi simbol kebangsawanan dan memiliki peran yang sangat penting selain barang-barang seperti payung, pakaian adat, keris, dan tombak. Kegiatan upacara di Kraton memang sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun. Perlengkapan yang dipakai pada setiap upacara harus selalu diperhatikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Kraton.

Sehingga penggunannya tidak boleh terlewatkan karena akan mempengaruhi kedudukan raja di lingkungannya. Raja merupakan pemimpin yang kharismatik dan sangat disegani oleh rakyatnya. Jika ketika ada kejanggalan dalam penyelenggaraan seperti misalnya upacara ageng, maka raja akan kehilangan kewibawaannya.12

Di Kraton, batik sangat akrab dengan perempuan. Batik merupakan sebuah karya seni yang berasal dari tangan para perempuan. Sejak pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono I, batik telah dipakai sebagai busana keprabon atau busana kebesaran. Batik mulanya dibuat sebagai kebutuhan sandang para keluarga kerajaan.

Kain batik juga mempunyai kaitan yang erat dengan kesenian tari. Kesenian ini juga sudah mulai ada sejak kerajaan Mataram berdiri. Kesenian batik dan tari merupakan salah satu bahan pendidikan yang diajarkan kepada para perempuan di Kraton. Tak hanya diajari membatik, mereka juga diajari untuk menari, pemakaian bahasa Jawa dengan benar, serta kesusastraan. Tarian yang diajarkan antara lain tari wayang wong,

12 Ibid., hlm. 30.

28

Beksan Lawung, dan Bedhaya. Kain batik yang dipakai pada saat menari juga berbeda-beda motifnya tergantung dengan peran yang akan dimainkan.

Materi pendidikan yang diajarkan itu merupakan upaya dari pihak Kraton untuk melestarikan kebudayaan Mataram yang telah mengakar kuat dalam kehidupan di dalam kraton.13 Pengamalan nilai-nilai pendidikan ini berfungsi untuk memberikan contoh kepada masyarakat di sekitar Kraton. Dengan kata lain, warga di dalam

Kraton yang dianggap sebagai priyayi atau bangsawan, mempunyai martabat yang tinggi, dapat menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat sekitar.14 Batik Kraton juga menjadi produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh bangsawan Kraton berikut segenap tata budaya. Perilaku dan penampilan (termasuk dalam berbusana) dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan kedudukan raja.15

Kesenian membatik telah diajarkan secara turun temurun sejak kekuasaan

Mataram masih tetap dijaga kelestariannya oleh raja-raja berikutnya. Sehingga batik menjadi salah satu warisan kerajaan Mataram. Mataram telah menjadi pusat pengembangan budaya yang berpusat pada Kraton dan kebudayaannya merupakan hasil dari percampuran budaya Indonesia lama, Hindu-Buda, dan Islam.

13 Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 13. 14 Diibaratkan seperti para anggota dewan terhormat, DPR. Mereka telah dipilih oleh rakyat sehingga diharapkan agar dalam menjalankan pekerjaannya dapat menyampaikan aspirasi dari rakyat untuk disampaikan kepada presiden. 15 Biranul Anas, op.cit., hlm 59.

29

C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung

Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu sangat menjunjung tinggi ajaran nenek moyang. Begitu juga dalam menjalani kehidupannya, mereka memperhatikan beberapa hal. Hal ini berkaitan dengan adat dan tradisi nenek moyang yang tercermin dalam masyarakat Jawa. Adat dan tradisi tersebut adalah suatu peraturan yang tidak tertulis. Peraturan itu mengatur tentang hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan lingkungannya. Pelanggaran terhadap peraturan itu akan mendapat sangsi dari masyarakat setempat maupun dari

Sang Pencipta. Hal ini kemudian berpengaruh pada nilai-nilai budaya adiluhung.

Setiap manusia harus saling menghormati, rukun, dan menjaga perdamaian dengan sesamanya maupun dengan lingkungan. Sikap ini merupakan dasar dari kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dalam segala aspek kehidupannya lebih dikenal dengan sebutan kejawen. Masyarakat Jawa sangat mendalami ilmu yang menjadi falsafah hidup mereka sehingga dapat menjadi manusia Jawa seutuhnya. Awalnya kepercayaan ini disebut dengan ilmu kebatinan yang merupakan percampuran antara budaya asli Jawa dengan Hindu, Budha, dan

Islam.16 Sebelum melakukan sesuatu, masyarakat terkadang akan melaksanakan sebuah ritual untuk memenuhi suatu persyaratan. Ritual tersebut sering mendekati

16 Ibid., hlm. 56.

30

hal-hal yang berbau mistik. Hal-hal yang berbau mistik atau gaib sangat melekat pada kehidupan masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa ada beberapa tempat yang dihuni oleh makhluk gaib. Di tempat-tempat tertentu dipercaya menjadi tempat yang sakral atau keramat sehingga masyarakat wajib meletakkan sesaji agar makhluk gaib itu tidak menganggu. Makhluk-makhluk gaib itu dipercaya dan dianggap sebagai roh leluhur atau nenek moyang yang akan menjaga anak cucu mereka. Sebelum melakukan ritual itu, masyarakat juga mengenal ilmu titen yaitu dengan mencermati tanda-tanda alam. Alam merupakan suatu hal yang tidak bisa diremehkan peranannya. Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dalam ritual masyarakat Jawa adalah laku prihatin. Mereka harus melakukan sesuatu agar keinginannya tercapai.

Misalnya orang akan berpuasa agar keinginannya tercapai.

Masyarakat Jawa juga sangat memperhatikan keharmonisan, keseimbangan, dan keserasian dalam menjalankan hidup. Ketika membuat batik, para perempuan menerapkan ajaran-ajaran hidup yang diajarkan oleh nenek moyang mereka. Motif atau pola yang digambarkan lewat sebuah canthing mengekspresikan segala curahan hati pembatiknya. Susunan bentuk garis, titik-titik dan warnanya yang terpadu secara harmonis menimbulkan keindahan tersendiri maka terkandung pesan dan harapan ke arah kehidupan yang baik bagi pemakainya.17 Sehingga tidak sembarang orang bisa menggambar suatu motif batik tanpa mengetahui maknanya.

17 Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23, edisi November 1995, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta, hlm. 30.

31

Berdasarkan motifnya, batik pedalaman atau yang lebih dikenal dengan batik kraton, biasanya bersifat simbolik, filosofis dan mempunyai arti-arti magis yang ada maknanya. Motif ini diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan bersifat monumental. Warna-warna yang digunakan lebih bersifat sederhana. Warna pada batik kraton biasanya terdiri dari tiga unsur, yaitu coklat atau merah, biru atau hitam, dan putih. Dalam agama Hindu, ketiga warna ini merupakan simbol dari sumber kehidupan. Warna-warna itu dapat diartikan Brahma untuk warna merah, Syiwa untuk warna biru atau hitam, dan Wisnu untuk warna putih.18 Tetapi, pada sebagian besar kain batik warna yang lebih dominan adalah warna coklat soga.

Motif-motif yang ditorehkan dengan canthing dalam sebuah kain, dibuat dengan konsep yang adiluhung atau memiliki nilai yang indah dan tinggi. Tidak ada motif yang dibuat dengan asal-asalan tanpa ada makna dibalik pembuatannya. Proses pembuatan batik dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Mereka mencurahkan segala kemampuannya untuk membuat batik. Tidak jarang seorang pembatik harus melakukan ritual puasa terlebih dahulu agar dapat membuat kain batik yang bermakna. Proses ini juga menjadi sebuah pencapaian kemurnian serta kemuliaan dalam rangka mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa.19 Di dalam sebuah kain batik, terkandung makna simbolik yang berguna bagi kesejahteraan hidup manusia. Kehendak dan kemampuan yang dimiliki para pembatik menghasilkan suatu

18 Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, 1980, hlm. 174. 19 Biranul Anas, op.cit., hlm. 60.

32

karya yang indah. Keindahan suatu kain batik tercipta dari perpaduan bentuk garis- garis dan warna yang serasi. Sehingga maknanya akan membawa kebaikan bagi pemakainya.20

Kegiatan membatik yang dikerjakan dengan sepenuh hati melalui tahap-tahap seperti puasa dan meditasi, nantinya sangat berpengaruh pada hasil kain batiknya.

Semakin penting arti pembuatan suatu kain batik, maka semakin lama puasa dan meditasi yang dilakukan oleh pembatik. Pengaruh budaya yang diilhami oleh seni- seni dari kraton, membuat masyarakatnya, baik yang bekerja di dalam maupun masyarakat luar tembok kraton, merasa dekat dengan pihak kraton dan menyadari bahwa budaya ini (seperti misalnya tradisi membatik, menari, dan tata krama) wajib dilestarikan. Masyarakat Jawa pedalaman atau yang dekat dengan wilayah Kraton, mempunyai ungkapan yaitu mbathik manah, yang berarti menciptakan batik melalui totalitas pencurahan jiwa dan raga.21

Motif-motif yang dihasilkan oleh pembatik ada bermacam-macam dan setiap motif tersebut ada maknanya masing-masing. Beberapa motif yang sering dipakai di antaranya adalah:

1. Parang Rusak

Motif ini mempunyai makna yang dalam dan luhur sehingga pemakaian

motif ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan dalam acara-acara

20 Kartini Parmono, loc.cit. 21 Biranul Anas, loc.cit.

33

tertentu. Sesuai dengan arti parang rusak, yaitu perang atau menyingkirkan

segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Makna dari motif

ini adalah agar manusia di dalam hidupnya dapat mengendalikan nafsunya

sehingga mempunyai watak dan perilaku yang luhur. b. Kawung

Motif ini diilhami oleh sebuah pohon kawung atau sejenis pohon palem

atau yang lebih dikenal dengan kolang kaling. Maknanya adalah jika

dilihat semua bagian dari pohon kawung sangat bermanfaat bagi manusia

sehingga penggunanya diharapkan bisa berguna bagi bangsa dan

negaranya. c. Grompol

Grompol berarti berkumpul atau bersatu. Pemakai kain ini diharapkan

agar semua hal-hal yang baik seperti rezeki, kebahagiaan, dan keturunan

sehingga bisa berkumpul menjadi satu dan hidup secara rukun. d. Sido Mukti

Motif ini biasa dipakai oleh pengantin wanita dan pria ketika akan

menikah. Dari kata sido berarti terus menerus dan mukti berarti hidup

dalam kecukupan dan kebahagiaan. Sehingga diharapkan pada pemakai

agar masa depannya berjalan dengan lancar dan bahagia.

34

e. Semen Rama

Motif ini terdiri dari berbagai macam, seperti semen gedhe, sawat gurda,

dan semen huk. Motif ini melambangkan kesetiaan seorang istri.

f. Truntum

Motif ini melambangkan cinta yang bersemi kembali. Bagi pemakainya,

motif ini berarti akan menuntun kedua mempelai pengantin dalam

memasuki kehidupan rumah tangganya sehingga diharapkan akan terus

langgeng dengan kasih sayang yang akan terus bersemi atau tumbuh

(truntum).22

D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik

Beberapa motif batik tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang siapa-siapa yang berhak memakai motif-motif tersebut. Sebagian besar motif-motif itu diciptakan dalam lingkungan kraton sehingga nilai dan maknanya sangat tinggi. Batik telah menjadi bagian yang tidak lepas dari kehidupan kraton. Pembuatnya juga berasal dari dalam kraton. Sejak zaman kerajaan

Mataram, batik telah menjadi bagian dari busana para raja dan keluarganya. Selain itu pemakaian batik juga berfungsi untuk menyelenggarakan upacara-upacara kraton, seperti grebeg, daur hidup, penyambutan tamu, dan pertunjukan tari.

22 Kartini Parmono, op. cit.., hlm. 33-34.

35

Batik menjadi salah satu bagian dari barang-barang kebesaran dan diciptakan untuk memperkuat kedudukan dan peranan kosmis raja, istana, dan pemerintahan. Ini adalah salah satu upaya untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan kesejahteraan raja, kerajaan dan rakyatnya. Batik juga berfungsi untuk menunjukkan kewibawaan raja dan kraton.23 Setiap orang yang memakai suatu kain batik akan dapat dilihat tinggi rendahnya kedudukannya dalam pemerintahan.

Dari beberapa motif batik itu, ada yang digolongkan menjadi motif larangan.

Motif ini hanya boleh dipakai oleh raja dan para keluarganya. Jadi mereka yang mempunyai keturunan raja dan ningrat yang bisa memakai motif itu. Masyarakat biasa dilarang dan tidak boleh memakainya. Beberapa motif larangan itu adalah

Parang Rusak, yang digambarkan seperti “pedang” yang tidak sempurna atau rusak;

Sawat, digambarkan dengan bentuk sayap-sayap besar seperti burung garuda;

Cemukiran, digambarkan dengan bentuk teratai dan digunakan sebagai ragam hias pinggir kain; Udan Liris digambarkan dengan garis-garis sejajar diagonal; Rujak

Sente, mirip dengan Udan Liris dengan bentuk garis diagonal; Kawung, digambarkan dengan bentuk bulat lonjong24; dan Semen, digambarkan dengan sulur-suluran tanaman. Motif ini sering digabungkan dengan ragam hias tambahan seperti Sawat

(sayap).25 Pemakaian motif-motif tersebut ditulis dalam peraturan sebagai berikut:

23 A. N. Suyanto, op.cit., hlm 30. 24 Biranul Anas, op. cit., hlm. 64-65. 25 GBRA Murywati Darmokusumo, “Batik Kraton Yogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 34.

36

a. Motif yang digunakan untuk raja, putra mahkota dan permaisuri atau istri:

- Semua jenis dari motif Parang Rusak

- Sembagen Huk

- Garuda Ageng

b. Khusus untuk para anggota keluarga yang bergelar pangeran serta

keturunan penguasa:

- Semua corak Semen dengan sayap garuda berganda maupun tunggal

- Udan Liris

c. Keluarga jauh yang bergelar Raden Mas atau Raden:

- Semua corak Semen tanpa bentuk-bentuk sayap

- Kawung

- Rujak Sente, mirip Udan Liris yang umumnya menggunakan garis-

garis diagonal bercorak.26

Kraton Yogyakarta dan Solo mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam menentukan pemakaian motif batik tertentu, tetapi pada dasarnya sama. Tindakan ini dibuat agar kedudukan raja yang kharismatik bisa tetap terjaga. Pihak kraton

Yogyakarta kemudian pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (tahun 1921-1939), peraturan ini dibuat dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang penggunaan busana

26 Biranul Anas, op.cit., hlm. 62-63.

37

keprabon yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton

Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927.27 Dalam undang undang ini diatur tentang pemakaian busana keprabon dan larangan motif-motif batik tradisional tertentu. Sehingga melalui pakaiannya dapat dibedakan status dan kedudukannya.

Selain mengatur tentang pemakaian kain batik, undang-undang ini juga mengatur tentang pakaian, peralatan, dan aksesoris yang dipakai para bangsawan beserta abdi dalemnya.

Motif Parang Rusak bervariasi terutama sesuai dengan ukuran “pedangnya”.

Motif ini dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, yang terkecil dinamakan Parang Rusak

Klithik (berukuran kecil) dengan ukuran 4 cm, yang berukuran sedang adalah Parang

Rusak Gendreh dengan ukuran 8-10 cm, dan yang paling besar disebut Parang Rusak

Barong dengan ukuran 10-12 cm.28 Menurut tradisi Parang Rusak Barong adalah sebuah corak sakral, digunakan hanya untuk busana raja yang paling megah atau sebagai bagian persembahan bagi arwah-arwah leluhur kerajaan yang dihormati.

Motif yang terakhir ini hanya diperuntukkan bagi raja atau sultan. Sedangkan untuk

Parang Klithik boleh dipakai oleh keluarga sultan, seperti istri dan putra-putri raja.29

Masyarakat Jawa tradisional pada khususnya mempunyai pakaian yang didasarkan pada kegunaannya. Wujud kain batik pada dasarnya dapat dibuat menjadi

27 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 7. 28 Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 19. 29 GBRA Murywati Darmokusumo, loc.cit.

38

berbagai macam bahan busana yang memiliki fungsinya masing-masing. Beberapa wujud dari kain itu adalah sebagai berikut:

- Bebet, tapih (bahasa Jawa ngoko/kasar), atau sinjang (bahasa Jawa krama

madya/bahasa halus tengah), atau nyamping (bahasa Jawa krama

inggil/bahasa halus) adalah kain panjang yang biasa digunakan oleh kaum

pria dan wanita. Bebet adalah kain yang digunakan oleh para pria,

sedangkan tapih adalah yang digunakan oleh para wanita.

- Dodot (bahasa Jawa ngoko), atau kampuh (bahasa Jawa krama inggil) adalah

sejenis kain batik dalam wujud ukuran yang besar. Kain dodot digunakan

bagi bangsawan dan abdi dalem.

- Iket, atau udheng (bahasa Jawa ngoko), atau dhestar (bahasa Jawa krama

inggil) adalah kain batik yang dipakai untuk ikat kepala.

- Kemben (bahasa Jawa ngoko), atau semekan (bahasa Jawa krama inggil)

adalah kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita.

- Selendang atau slendhang (bahasa Jawa krama) adalah kain batik yang juga

digunakan oleh wanita sebagai kain hias di bagian bahu. Disamping itu bisa

juga untuk menggendong anak, bakul (jualan memakai keranjang), dan lain-

lain.

39

- Sarung (bahasa Jawa ngoko) atau sande (bahasa Jawa krama) adalah kain

batik yang kedua ujungnya dijahit sehingga bentuknya menyerupai tabung.30

Jenis-jenis pakaian di atas sangat melekat pada kehidupan masyarakat Jawa tradisional. Penggunaannya juga hanya pada acara-acara tertentu, mulai dari acara resmi maupun untuk pakaian sehari-hari. Tidak semua masyarakat dapat menggunakan pakaian-pakaian tersebut, karena jenisnya disesuaikan dengan status dan kedudukan si pemakai. Misalnya untuk kampuh, yang dibuat dengan motif larangan, masyarakat biasa tidak boleh memakai dan hanya kaum bangsawan saja yang boleh memakainya. Kampuh termasuk dalam busana kebesaran raja.

Pemakaiannya-pun hanya pada saat acara-acara tertentu.

30 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 32-34. Lihat juga dalam buku Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 37-39.

BAB III

DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA

Sejak zaman kerajaan Mataram, batik telah menjadi busana kebesaran bagi para penguasa. Ketentuan-ketentuan penggunaan batik dengan motif tertentu tertuang dalam undang-undang. Peraturan ini dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat umum tidak boleh melanggarnya. Sebelum Mataran pecah menjadi dua, raja terbesar pada masa itu adalah Sultan Agung yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas. Kemudian setelah Mataram terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan

Surakarta, banyak terjadi perebutan kekuasaaan antar keluarga sendiri. Tetapi hal itu tidak mengurangi wibawa sang raja.

A. Sistem Feodal Kraton

Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, raja merupakan penguasa atas tanah beserta isinya di seluruh wilayah kekuasaannya. Raja juga mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak pada bawahannya. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, feodal berarti hal yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan yang berhubungan dengan sikap dan cara hidup.1

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 241.

40

41

Sistem ini sudah berlaku sejak Indonesia dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda di sekitar abad 18.

Seperti diketahui pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi beberapa lapisan sosial. Pembentukan lapisan-lapisan ini berdasarkan pada tingkat ekonomi masyarakat. Lapisan pertama adalah golongan bangsawan atau priyayi dan lapisan kedua adalah lapisan wong cilik atau rakyat jelata. Mereka berada pada posisi yang berbeda. Golongan bangsawan berada pada lapisan teratas kehidupan sosial masyarakat dan golongan wong cilik berada pada lapisan terbawah kehidupan sosial masyarakat.2 Golongan bangsawan ini menduduki posisi teratas karena mereka mempunyai pertalian darah dengan raja. Di dalam lingkungan kraton- pun masih terdapat pembagian kelas-kelas, yang pertama adalah golongan ningrat, yang ditentukan oleh sistem kekerabatan dan pangkat serta kedudukan dalam pemerintahan, sedangkan yang kedua adalah abdi dalem, yang merupakan pejabat dari tingkat atas sampai bawah.

Pembagian sistem sosial di atas, menyebabkan timbulnya sikap feodalisme.

Dalam pemerintahan kerajaan Jawa, kelas bangsawan akan selalu menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka berhak menentukan apa yang harus dikerjakan oleh rakyat meskipun kekuasaannya berada di bawah perintah langsung raja. Pada lapisan ini terdiri dari anggota keluarga raja dan juga para pejabat kerajaan, Mereka dapat bekerja di dalam kerajaan secara turun temurun.

2 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 24-25.

42

Sedangkan kelas rakyat hanya akan selalu menjadi pihak yang selalu tunduk kepada raja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab terbentuknya feodalisme.

Kekuasaan raja bersifat absolut. Pada zaman Hindu-Buda, raja dianggap sebagai titisan Tuhan atau dewa yang mempunyai kesaktian dan berkuasa atas semua wilayah yang menjadi taklukannya. Adanya pembagian kelas dalam masyarakat mengakibatkan feodalisme tumbuh subur. Mereka yang berada dalam lapisan atas akan terus menjadi pihak yang selalu berkuasa dan dihormati, sedangkan yang berada di lapisan bawah akan selalu menjadi pihak yang diperintah dan harus menghormati yang berkuasa. Hubungan ini juga disebut dengan hubungan antara lord (penguasa) dan vazal (hamba/rakyat).

Feodalisme juga berarti suatu sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat sehingga mereka yang menjadi bangsawan maupun priyayi mempunyai kekuasaan yang besar setelah raja. Rakyat yang sebagian besar terdiri dari wong cilik, harus tetap menghormati kelas ningrat tersebut. Hal ini menimbulkan jurang perbedaan antara bangsawan dengan rakyat.

Sistem feodalisme di Jawa didasarkan pada kosmologi kekuasaan Jawa yang bersumber pada paham dewa raja kultus. Raja yang dianggap sebagai titisan dewa dengan segala kesaktian yang dimilikinya sangat diagung-agungkan. Seperti dalam buku Moedjanto, kekuasaan raja-raja Jawa mempunyai konsep yang disebut dengan

Raja Gung Binathara. Kekuasaan ini menunjukkan bahwa raja-raja mempunyai kekuasaan yang sangat besar sehingga rakyatnya mengakui raja sebagai pemilik

43

segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia.3 Tak hanya itu kekuasaan raja digambarkan sebagai bau dhendha nyakrawati yang berarti raja adalah pemelihara hukum dan penguasa dunia, berbudi bawa leksana berarti meluap budi luhur mulianya, dan ambeg adil paramarta berarti bersikap adil terhadap sesama.4

Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan raja tidak terlalu absolut dengan sistem pemerintahan yang tidak terlalu mengekang.

Besarnya kekuasaan raja yang disebut di atas, membuat rakyat hanya bisa patuh terhadap apa yang diperintahkan raja kepadanya. Tanah yang hanya dimiliki oleh raja dikelolakan kepada para pejabat kerajaan dan kemudian rakyat yang menggarapnya. Setelah menghasilkan sesuatu, misalnya hasil bumi, maka harus diserahkan kembali pada raja. Kekuasaan tetap berpusat pada raja, meskipun ada beberapa pegawai yang ditunjuk untuk menjadi wakil raja di daerah.

B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton

Dalam memperkuat kekuasaan raja, ada beberapa cara untuk melakukan pembinaan kekuasaan.5 Salah satunya adalah pengembangan kebudayaan kraton.

3 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm 77. 4 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 29. Kekuasaan raja yang besar terlihat dalam 7 kekuasaan, salah satunya adalah gelar-gelar yang disandang. 5 Moedjanto, op. cit., hlm. 86-90.

44

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan kebudayaan kraton tampak dalam cara berpakaian, cara mengambil sikap, dan cara berbicara.6 Menurut

Biranul Anas, berbagai ketentuan tentang perilaku yang mengatur keluarga raja beserta para pejabat kraton dalam bertindak, berbicara dan berbusana bisa menumbuhkan feodalisme.7 Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahannya,

Raja juga mempunyai simbol-simbol yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Barang atau simbol kekuasaan itu antara lain seperti payung, tombak, pakaian, keris, dan kain batik yang merupakan bagian dari penunjang kelengkapan gaya. Tiap barang mempunyai fungsinya masing-masing ketika sudah dipakai pada acara tertentu.

Batik tradisional adalah suatu kain yang pada umumnya dihasilkan oleh para perempuan. Tak terkecuali perempuan di dalam kraton, yang juga mempunyai ketrampilan dalam membuat batik. Bagi para perempuan kraton, batik diproduksi untuk keperluan kraton. Ketrampilan ini sangat penting untuk dimiliki oleh kaum perempuan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, batik merupakan salah satu alat kelengkapan yang berguna untuk mendukung kebesaran seorang raja yang memakainya.

6 Ibid., hlm. 88. 7 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.

45

Beberapa alat atau simbol menjadi sesuatu hal yang dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja. Pemakaian motif batik dalam lingkungan masyarakat

Jawa termasuk dalam feodalisasi kerajaan. Pemakaian batik dibedakan menjadi dua, batik yang dipakai oleh bangsawan dan batik yang dipakai oleh rakyat. Kedua jenis batik yang dibedakan itu didasarkan pada motifnya.

Ketika Sultan Hamengku Buwono II memerintah, pada tanggal 2 Agustus

1792 dikeluarkanlah perintah bagi para pejabat yang berisi etiket yang benar dan terperinci dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan senior, dan para pengikutnya. Dalam peraturan ini terdapat 18 ketentuan (prakara) yang berhubungan dengan hukum pemerintahan seperti penggunaan tandu, payung, kuda, tipe atau motif batik, dan keris.8

Pengaturan tentang pemakaian batik terdapat pada ketentuan nomor 17.

Ketentuan ini mencakup tentang pakaian yang dipakai oleh keluarga raja terutama anak dari raja. Disini juga terdapat larangan-larangan pemakaian motif batik. Dalam peraturan ini tertulis larangan pemakaian sebagai berikut9:

…ana dening mungguh kang rupa jajarit, kang ingsun larangi, bathik sawat, bathik parang rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik telacap, bathik huk, bathik sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik semen, bathik barong kang mawa lar, lan lurik ginggang kenthing, lurik ireng…

8 P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University Press, 1980, hlm. 104. 9 Ibid., hlm. 107. Kutipan ini diterjemahkan bebas oleh penulis.

46

(jarit atau kain yang saya larang untuk dipakai adalah batik sawat, batik parang rusak, batik cumengkirang, batik kawung, batik telacap, batik huk, batik sembagen dengan motif lung-lungan, batik semen, batik barong dengan motif lar, dan kain lurik ginggang kenthing, kain lurik hitam)

Peraturan ini juga menjelaskan tentang pakaian yang dipakai oleh putra keturunan dari Ki Adipati Anom Hamengkunegara yaitu batik modang, dan lurik larog. Hal ini juga berlaku pada putra Mantri Jero Pinilih yang dilarang memakai batik dengan motif-motif tersebut.10

Peraturan yang serupa dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII yang memerintah tahun 1927, beliau mengeluarkan lagi undang-undang baru yang memuat aturan pemakaian busana dan kain batik. Masyarakat biasa tidak boleh memakai motif-motif yang hanya dipakai oleh raja.

Kedudukan pejabat yang berada di dalam kraton berbeda-beda menurut tingkat sosialnya. Pegawai kerajaan ada yang berasal dari keluarga sultan dan ada juga yang diangkat dari rakyat biasa. Hubungan antara para pejabat tersebut diatur pula dalam Instruction for Royal Officials.11 Para pejabat ketika akan bertemu dengan pejabat yang lebih tinggi ataupun sebaliknya, ketika pegawai bawahan ketika bertemu

10 Ibid. 11 Ibid., hlm. 104. Peraturan ini judulnya ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi isi atau pasal-pasal ketentuan yang termuat dalam peraturan ini, tetap tertulis dalam bahasa Jawa.

47

dengan pejabat tinggi, sikapnya berbeda-beda. Sampai pada pembantunya pun, di situ ditulis bagaimana caranya bersikap ketika bertemu dengan bangsawan. 12

Pada bab II telah disebutkan bahwa ada beberapa bentuk pakaian yang dipakai oleh raja dan pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Pemakaian ini ditentukan oleh upacara kebesaran atau ceremonial, atau pada saat-saat tertentu. Salah satu pakaian kebesaran raja adalah kampuh. Kain ini sangat besar ukurannya dan sering dipakai pada saat melaksanakan upacara resmi kraton.

Keperluan pemakaian kain batik tertentu diberlakukan pula pada acara-acara tertentu. Busana yang dipakai oleh kalangan kraton dibagi menjadi dua yaitu busana resmi dan tak resmi. Busana resmi yaitu busana yang dipakai pada saat upacara adat maupun acara kerajaan. Sedangkan busana tak resmi yaitu busana yang dipakai pada kegiatan sehari-hari.

Busana resmi pada saat upacara adat kraton dibagi menjadi dua yaitu upacara alit dan upacara ageng.

1. Upacara alit dilaksananakan seperti pada saat upacara tetesan, dan tarapan.

Upacara tetesan adalah upacara sunat/khitan yang dilakukan oleh anak

perempuan yang berusia 6-8 tahun. Busana yang dikenakan adalah

sabukwala. Sedangkan upacara tarapan adalah upacara inisiasi haid pertama

bagi anak perempuan yang berusia 9-12 tahun. Busana yang dikenakan yaitu

12 Ibid., hlm. 104-108.

48

pinjung. Namun, pemakaian busana ini berbeda berdasarkan tingkatan

kedudukan setiap anak.

2. Upacara ageng dilaksananakan seperti pada upacara garebeg, jumenengan

dalem (penobatan raja), pasowanan, sedan (upacara kematian saat

pemakaman), dan upacara daur hidup seperti perkawinan, mitoni, dan supitan.

Pada upacara jumenengan (penobatan raja) dan saat menerima tamu agung,

memakai busana sikepan beludru, celana cindhe dengan kampuh bermotif

parang rusak barong dan ngumbar kunca. Dan bagian kepala memakai kuluk

kanigoro serta sumping emas berbentuk daun mangkara yang menghiasi

kedua telinga.13 Sebenarnya busana yang dipakai dalam upacara ageng

sebagian besar hampir sama dengan busana kebesaran beserta kelengkapan

yang disebutkan seperti di atas. Untuk anggota keluarga yang lain, kain yang

dipakai dibedakan motifnya. Misalnya untuk para putra mahkota kain batik

yang dipakai adalah parang rusak gendreh. Upacara supitan dilakukan oleh

anak laki-laki yang berusia 13-15 tahun, dengan memakai baju srimpi. Pada

saat upacara perkawinan, kedua mempelai memakai motif truntum, grompol

dan semen. Seni pertunjukan tari juga termasuk dalam upacara ageng.

Pertunjukan tari wayang wong, Beksan Lawung dan Bedhaya ditampilkan

dalam acara-acara ageng seperti yang telah disebutkan di atas. Motif-motif

yang dipakai seperti parang rusak, kawung dan slobok. Motif-motif itu hanya

13 A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 64.

49

boleh dipakai oleh raja, namun pada saat akan digunakan untuk pertunjukan,

motif tersebut bisa dipakai sesuai dengan peran yang akan dimainkan.14

Sedangkan untuk busana tak resmi yaitu untuk pakaian sehari-hari, kain yang dipakai berupa motif semen, ceplok, atau gringsing.15 Pemakaian busana maupun kain batik berbeda-beda menurut kedudukan sosial dalam kraton dan juga besar kecilnya usia

(anak-anak, remaja, dewasa).

Penyelenggaraan upacara telah dilaksanakan secara turun temurun walaupun nantinya akan ada pengurangan tata cara oleh Belanda. Prosesi upacara yang dilaksanakan oleh kraton mempunyai nilai kesakralan tersendiri. Sehingga kelengkapan alat maupun simbol-simbolnya sangat menentukan dalam proses upacara.

Sikap-sikap lain yang menjadi kefeodalan di sekitar lingkungan kerajaan adalah cara mengambil sikap badan, yaitu ketika menghadap pada raja semua orang yang lebih rendah kedudukannya harus menyembah. Kemudian dalam hal berbicara, ada beberapa jenis penggunaan bahasa dalam kehidupan orang Jawa. Pemakaian bahasa dalam masyarakat dibedakan menjadi tiga yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Ketika berbicara kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukannya, maka

14 Ibid., hlm. 67. 15 Untuk lebih jelas mengenai busana resmi dan tak resmi dalam lingkungan kraton, lihat dalam Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 21-38 dan A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 35-41.

50

seseorang harus menggunakan bahasa halus atau krama inggil. Penggunaan bahasa krama madya digunakan ketika lawan bicaranya orang yang hampir sejajar tetapi bermaksud ingin tetap menghormati orang itu. Kemudian ketika berbicara dengan orang yang sama kedudukannya bisa menggunakan bahasa ngoko.16

Jadi kekuatan feodal pada kerajaan di Jawa khususnya Mataram, terdapat pada unsur kekuasaan yang turun temurun, disertai dengan gelar-gelar yang disandang oleh raja, dan kekuasaan absolut.17 Ketika Islam masuk ke Indonesia, raja dianggap sebagai wali Allah sehingga dia mempunyai gelar yaitu Ngarso Dalem Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga

Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping.18 Gelar tersebut berarti bahwa sultan atau raja mempunyai peran untuk memelihara atau melindungi dunia, merangkap sebagai pimpinan utama angkatan perang, sebagai wakil Tuhan, dan juga sebagai pimpinan serta pengatur agama.

16 Untuk melihat tingkatan-tingkatan bahasa yang digunakan dalam masyarakat Jawa, lihat dalam G. Moedjanto, The Concept of Power In Javanese Culture, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 55-59. 17 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 88. 18 Pemberian gelar ini tergantung pada Sultan/raja yang memerintah. Misalnya untuk Sultan Hamengku Buwono VIII, gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping VIII (wolu). Begitu juga dengan seterusnya.

51

C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara jajahan Belanda. untuk melancarkan misinya, pemerintah kolonial Belanda melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat. Pemerintah kolonial menginginkan agar rakyat patuh dengan mereka. Tujuan para penjajah datang ke Indonesia adalah untuk mengambil sumber daya alam dengan memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia.

Kehidupan rakyat semakin menderita akibat penjajahan Belanda. Sehingga mengakibatkan perlawanan-perlawanan yang diadakan oleh rakyat. Timbul peperangan antara pihak rakyat Indonesia dan pemerintah Belanda. Namun hal ini tak mengurangi minat Pemerintah kolonial untuk terus mengeksploitasi sumber daya di

Indonesia. Untuk memperlancar proses itu, salah satunya diadakanlah perjanjian politik dengan pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah kraton. Perjanjian ini mengontrol seluruh kehidupan pemerintah dan juga masyarakat.

Pemerintah Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire pada tahun 1904.19

Peraturan ini dikeluarkan karena Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal dalam masyarakat Jawa. Pemerintah Belanda mengurangi berbagai cara penghormatan rakyat terhadap kaum bangsawan dan menjadikan kemerosotan kekuasaan para bangsawan. Rakyat juga rupanya sudah ingin lepas dari belenggu feodalisme.

19 Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia Jilid II, Jakarta, hlm. 220.

52

Orang-orang Belanda mulai menduduki posisi dalam pemerintahan menggantikan para bangsawan. Dengan pendidikan yang sudah didapat, orang-orang

Belanda ditempatkan pada struktur birokrasi kerajaan. Hal ini menimbulkan posisi pemerintah kolonial Belanda yang juga harus dipatuhi oleh rakyat.

Perubahan-perubahan dalam pemakaian alat-alat kebesaran raja dan tata cara penyelenggaraan upacara dilaksanakan sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh

Belanda. Pemakaian segala perlengkapan busana yang dipakai untuk upacara ageng sudah mulai berkurang. Misalnya ketika mengadakan upacara penyambutan tamu dan

Garebeg, Sultan tidak lagi memakai berbagai perlengkapan tanda dan pakaian kebesaran.20 Hanya barang-barang tertentu saja yang masih dipakai, seperti misalnya kain kampuh yang bermotif parang rusak barong. Tata cara upacara pada masa ini telah disederhanakan dan harus seizin pemerintah Belanda.

Ketika Pemerintah Belanda akan menghadap Raja, mereka diharuskan melakukan penghormatan. Namun, setelah dikeluarkan peraturan ini mereka tidak harus melakukan penghormatan. Meskipun pemerintah Belanda menetapkan peraturan undang-undang yang mengurangi kekuasaan feodal bangsawan, batik masih menjadi kain eksklusif yang dipakai dan menunjukkan tingkat sosial pemakainya.

Pemakaian batik tidak lagi terbatas pada kalangan kraton saja. Ketrampilan membatik dan motif-motif larangan-pun menyebar ke daerah-daerah. Motif dan

20 Lihat dalam A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 62. Pemakaian atribut pakaian bagi pejabat-pejabat kraton tidak lagi lengkap seperti sebelumnya.

53

ketrampilan batik tidak lagi menjadi suatu hal yang hanya dikuasai pihak kraton.

Semua kalangan mulai dapat menikmati hasil budaya Jawa itu tanpa takut dibayang- bayangi kekuasaan feodal.

BAB IV

PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM

PENGEMBANGAN SENI MEMBATIK 1935-1942

Batik di Yogyakarta telah mengalami perluasan dalam hal seni dan pembuatannya. Ketrampilan membatik ini tidak hanya dibuat oleh wanita-wanita di lingkungan kraton, sampai meluas di seluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Salah satunya adalah wilayah Kabupaten Bantul, tepatnya di Dusun Pajimatan, Desa

Girirejo, Kecamatan Imogiri.

Di wilayah ini pada zaman dahulu merupakan daerah yang terkenal dengan batiknya, dan sampai sekarang-pun masih terkenal. Banyak para penduduknya yang bekerja sebagai pembatik karena bersuamikan abdi dalem kraton. Hal ini berhubungan dengan pembangunan makam raja-raja Mataram yang terletak di perbukitan Imogiri. Para abdi dalem tersebut bertugas sebagai juru kunci makam raja- raja Mataram. Imogiri menjadi salah satu pusat industri pembuatan batik sehingga kerajinan ini sangat berpotensi bagi penduduk sekitarnya.

54

55

A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian

Dusun Pajimatan termasuk dalam wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri,

Kabupaten Bantul. Batas-batas wilayah Dusun Pajimatan adalah sebagai berikut1:

- Sebelah utara dibatasi oleh Desa Wukirsari

- Sebelah timur dibatasi oleh Dusun Kedungbuweng, Desa Wukirsari

dan Dusun Banyu Sumurup, Desa Girirejo

- Sebelah selatan dibatasi oleh Dusun Payaman Selatan, Desa Girirejo,

dan Dusun Tegalrejo

- Sebelah barat dibatasi oleh Dusun Kradenan dan Dusun Ndronco

Kecamatan Imogiri mempunyai delapan desa yang berada di lingkup wilayahnya. Selain desa Girirejo, ada desa Selopamioro, Imogiri, Karang Talun,

Karang Tengah, Kebon Agung, Sriharjo dan Wukirsari. Masing-masing daerah tersebut mempunyai khasnya. Seperti Desa Selopamioro, masyarakatnya terkenal sebagai penghasil tembakau. Desa Girirejo, dengan Dusun Pajimatan dan Desa

Wukirsari dengan Dusun Giriloyo, kedua-duanya terkenal sebagai penghasil batik tulis. Selain itu juga terkenal sebagai penghasil aneka kerajinan seperti keris dan kulit.

Wilayah Dusun Pajimatan mempunyai luas wilayah 53 hektar, terletak di dekat makam raja-raja Mataram, salah satunya adalah makam Raja terbesar Mataram

Islam yaitu Sultan Agung. Letak geografis wilayah ini termasuk daerah perbukitan

1 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn, Kepala Dukuh/Dusun Girirejo, tanggal 2 November 2009.

56

dengan keadaan lingkungannya yang dikelilingi dengan bukit. Status daerah Dusun

Girirejo masih tergolong pedesaan. Dusun ini terletak kira-kira 17-20 kilometer ke arah selatan dari Kota Yogyakarta. Penduduk Dusun Pajimatan mempunyai mata pencaharian di antaranya sebagai petani, buruh dan wiraswasta. Meskipun keadaan lingkungan Dusun Pajimatan dikelilingi oleh bukit, mata pencaharian penduduknya bertumpu pada kegiatan pertanian. Ada juga penduduk yang bekerja sebagai buruh tani yaitu sebagai penggarap lahan, dan bekerja sebagai penggarap batik atau buruh batik. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai wiraswastawan sebagian besar bekerja sebagai pembatik.2

B. Perkembangan Batik di Imogiri

Membatik merupakan sebuah bentuk seni yang telah muncul sejak berabad- abad lalu. Batik juga merupakan kesenian yang dikerjakan oleh wanita untuk mengisi waktu senggangnya. Ketika Kraton mengembangkan seni tersebut di lingkungannya, batik juga kemudian meluas ke wilayah-wilayah di sekitarnya, seperti di Dusun

Pajimatan, kecamatan Imogiri.

Awal mula penyebaran kesenian batik di Imogiri dimulai ketika Sultan Agung yang berkuasa atas Kerajaan Mataram pada tahun 1613-1645. Beliau menginginkan pembangunan makam yang nantinya diperuntukkan baginya. Makam ini dibangun

2 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn, tanggal 2 November 2009.

57

sekitar tahun 1630-an oleh Sultan Agung.3 Bukit yang akan digunakan untuk membangun calon makam Sultan Agung kelak, berada di perbukitan di sekitar wilayah Imogiri. Setelah selesai dibangun, ternyata ada keluarga raja yang meninggal yaitu Panembahan Juminah, yang kemudian malah menjadi orang pertama yang dimakamkan di bukit itu. Sultan Agung merasa kecewa karena makam yang akan dipakai untuk memakamkannya kelak, sudah digunakan untuk memakamkan saudaranya. Panembahan Juminah adalah paman dari Sultan Agung. Meskipun mereka bersaudara, Sultan Agung yang menjadi raja terbesar pada saat itu, tidak mau berbagi tempat makam. Sebelumnya memang Sultan Agung menginginkan agar dia dapat menjadi orang yang pertama kali dimakamkan di situ.

Akhirnya Sultan Agung memerintahkan untuk membangun lagi tempat pemakaman yang baru. Tempat itu berada di dekat pemakaman yang pertama. Kalau tempat yang digunakan oleh Panembahan Juminah berada di Dusun Giriloyo, sedangkan makam baru yang akan dibangun berada di Dusun Pajimatan.4 Makam ini terletak diatas perbukitan sehingga dibangunlah makam yang dihubungkan dengan ratusan anak tangga untuk mencapai makam para raja. Penduduk sekitar mengenal bukit itu dengan nama bukit Merak.5 Pada perkembangan selanjutnya kompleks

3 H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1986, hlm. 299. 4 Ibid., hlm. 300. Lihat juga dalam Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 12. 5 Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 12. Lihat juga dalam artikel Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri, Selarong, Vol. 4, 2005, hlm. 164.

58

pemakaman Imogiri ini digunakan tidak hanya dari pihak Kesultanan Yogyakarta tetapi juga dari pihak Kasunanan Surakarta.

Adanya pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri ini membutuhkan tenaga untuk merawat dan menjaga. Pihak kraton mengutus beberapa abdi dalem yang ditugaskan untuk bekerja disini. Mereka ditugaskan sebagai juru kunci makam

Imogiri. Para penjaga makam itu diambil dari kedua pihak, baik dari kraton

Yogyakarta maupun Surakarta. Anggota keluarga para abdi dalem itu, seperti istri, kemudian diajak untuk pindah mengikuti tempat para suami ditugaskan.

Abdi dalem tersebut memang berasal dari kalangan rakyat biasa. Mereka kemudian diangkat menjadi pegawai kerajaan oleh raja. Pengangkatan abdi dalem sebagai pegawai kerajaan ini dianggap menjadi suatu jabatan yang memiliki keistimewaan (prestise) khusus. Selain dianggap dapat menaikkan status sosial seseorang, jabatan ini juga dapat menjadi suatu penghargaan yang bisa menjadi kebanggaan jika nantinya mereka berjasa pada kerajaan.

Para istri dari abdi dalem yang bertugas di makam Imogiri, sudah memiliki keahlian membatik dan sudah mempelajari bermacam-macam motif dari kraton sejak mereka tinggal di dalam tembok kraton. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan ketika mereka tinggal di Dusun Pajimatan. Seni batik merupakan salah satu pendidikan wajib bagi wanita Jawa, begitu pula di dalam kraton. Dari sini-lah, kesenian membatik mulai menyebar di wilayah Imogiri, khususnya di Dusun Pajimatan.

59

Batik mulai menyebar di wilayah Imogiri ini diperkirakan pada tahun 16326, ketika Sultan Agung memerintahkan pembangunan makam di Imogiri. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa, kegiatan membatik ini mulai ada sejak tahun 1645, ketika banyak abdi dalem yang ditugaskan sebagai juru kunci makam.7 Hubungan para abdi dalem (beserta istri) dengan kraton sangat dekat, maka kepandaian yang didapat selama berada di kraton tetap diterapkan. Lama kelamaan, ketrampilan membatik ini juga dimiliki oleh masyarakat sekitar.

Semula, para istri abdi dalem hanya membuat pakaian raja beserta keluarganya, bangsawan, dan orang-orang yang berada di dalam kraton.

Pembuatannya disesuaikan dengan motif-motif yang terbatas. Seperti dalam bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa pemakaian batik ini tidak bisa sembarangan memakainya karena tergantung dengan status sosial pemakai batik. Ketika sudah berada di luar wilayah kraton, mereka masih membuat batik dengan motif-motif yang hanya dibuat untuk kalangan raja. Tidak mengherankan jika masyarakat di sekitar

Dusun Pajimatan yang melihat cara pembuatannya bisa membuat motif yang sama, dan motif tersebut merupakan motif-motif dari kraton.

Pada perkembangannya, penguasaan seni membatik di wilayah ini dilakukan secara turun temurun. Kebanyakan para pembatik di Dusun Pajimatan memang

6 Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri, Selarong, Vol. 4, 2005, hlm. 164. 7 Ibid., hlm164-165. Lihat juga dalam Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 47.

60

mendapat ketrampilan ini dari pendahulu atau nenek moyangnya. Di samping itu, para pembatik ini juga memang berasal dari keluarga pembatik. Tak hanya itu, penduduk yang bukan berasal dari keluarga pembatik juga belajar membuat kain batik. Sehingga banyak bermunculan para perajin batik. Hal ini menjadikan wilayah

Imogiri yang termasuk dalam Kabupaten Bantul sebagai daerah yang patut diperhitungkan dalam dunia batik. Hasil batik dari wilayah ini kemudian disebut dengan Batik Bantulan. Dari sini muncul kemudian seorang perempuan, warga Dusun

Pajimatan yang berperan dalam mengembangkan batik yaitu Djogo Pertiwi.

C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik

Ketrampilan membatik tidak hanya dikuasai oleh perempuan-perempuan dari kraton tetapi perempuan dari luar kraton pun juga mempunyai andil.8 Antara kraton dengan rakyat itu yang muncul terlebih dahulu adalah rakyatnya, karena tidak mungkin pihak raja beserta keluarganya dapat menyediakan kebutuhan pakaiannya sendiri. Peran perempuan di luar kraton tidak bisa diabaikan begitu saja. Bisa saja mereka yang lebih dahulu menemukan motif-motif klasik yang sudah ada. Tetapi raja merupakan penguasa terbesar, bisa saja mengklaim motif klasik itu buatan wanita kraton selama dia masih memerintah.9 Raja-raja Jawa pada zaman dahulu memang

8 Lihat N. Tirtaamidjaja. Batik: Pola dan Tjorak, Jambatan, hlm. 4. Kita tidak bisa mengabaikan daya cipta yang dihasilkan oleh masyarakat yang berada di luar kraton. 9 Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, Ketua Paguyuban Batik Sekar Jagad, 75 tahun, tanggal 1 November 2009.

61

terkenal sebagai penguasa atas tanah dan segala yang ada di atasnya. Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, posisi raja sangat berkuasa sehingga sah-sah saja bila misalnya, motif parang rusak itu dibuat oleh raja dan diperuntukkan bagi raja. Jadi masyarakat tetap bisa menikmati kain batik dengan motif yang lebih beragam.

Ketika meletus perang Diponegoro pada tahun 1830, banyak para anggota keluarga baik dari kalangan bangsawan maupun abdi dalem yang mengungsi. Hal ini mengakibatkan ketrampilan membatik yang dimiliki oleh mereka menyebar ke beberapa wilayah. Para pegawai kerajaan atau abdi dalem, umumnya berasal dari luar kraton. Mereka nantinya mempunyai istri yang berasal dari kalangan kraton. Ketika para pegawai tersebut ditugaskan bekerja di luar kraton, maka istrinya akan ikut menemani suaminya. Dalam waktu luangnya, seorang istri di samping mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya juga membuat batik. Dari awal itulah, keahlian membatik bisa dikuasai oleh perempuan-perempuan dari luar kraton. Seorang istri yang ikut suaminya bekerja di luar kraton berinteraksi dengan masyarakat di sekitar tempat suaminya bekerja dan mulai mengajarkan mereka tentang cara membatik.

Salah satu penduduk Dusun Pajimatan, berhasil menguasai ketrampilan membatik. Dia adalah Djogo Pertiwi. Menurut Sardjuni, Djogo Pertiwi lahir pada tahun 1910.10 Djogo Pertiwi mulai mempelajari seni membatik sekitar tahun 1920,

10 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, penerus usaha batik Djogo Pertiwi, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

62

dan ketika itu beliau berumur 9 tahun.11 Menurut Sarjuni, Djogo Pertiwi memang sudah belajar membatik di umurnya yang masih sangat muda, 8-9 tahun. Ketrampilan ini didapat secara turun temurun. Dahulu, ibu dari ibunya, tepatnya nenek dari Djogo

Pertiwi adalah seorang pembatik. Ibunya Djogo Pertiwi yang bernama Dayat Atmojo, juga merupakan pembatik di daerahnya. Sehingga keluarga Djogo Pertiwi dapat digolongkan menjadi keluarga pembatik. Mereka juga dulunya tergolong sebagai juragan besar batik. Proses pembuatan kain batik dari awal sampai akhir dikerjakan sendiri.

Pada usia itu Djogo Pertiwi mulanya belajar secara sederhana, yaitu dengan menggoreskan pola atau motif di atas telapak tangannya. Lalu kemudian membatik diatas kain dengan mengikuti pola yang sudah digambarnya. Ketika melihat wanita- wanita di lingkungannya membatik, membuat Djogo Pertiwi ingin mencoba membatik. Pada saat itu ketrampilan membatik sedang ditekuni oleh para wanita di

Dusun Pajimatan.

Ketrampilan ini tidak lepas dari peranan ibunya yang juga mempunyai keahlian membatik. Telah menjadi adat kebiasaan yang turun temurun bahwa ibu dan bapak-lah yang bertanggung jawab atas segala hal ikhwal kehidupan anaknya.12

11 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Lihat juga dalam Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta 2002, hlm. 156. 12 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendididkan dan Kebudayaaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977, hlm. 227.

63

Orang tua sangat besar peranannya dalam mendidik putra-putrinya. Keberhasilan seorang anak dapat dicapai apabila mendapat dukungan dari orang tua.

Ketika sudah dewasa, kira-kira pada tahun 1927, Djogo Pertiwi tergerak untuk mengembangkan bakatnya dalam membatik. Saat itu Djogo Pertiwi berusia 17 tahun, yang bagi seorang perempuan pada umumnya, sudah bisa mulai bekerja. Djogo

Pertiwi menjadi seorang buruh batik di Yogyakarta. Dia pergi ke kota untuk bekerja sekaligus belajar membatik di toko batik Tjokro Soeharto.13 Selain sudah mendapat ilmu membatik dari ibunya, Djogo Pertiwi juga menimba ilmu membatik di sana.

Pada saat itu Tjokro Soeharto sudah menjadi toko seorang juragan batik besar di

Yogyakarta. Kemampuannya dalam membatik telah meningkat sedikit demi sedikit, maka Djogo Pertiwi ingin mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik dengan mengajarkan batik di daerahnya, Dusun Pajimatan.

Setelah memperoleh ilmu dan pengalaman yang cukup, Djogo Pertiwi mulai membuat usaha membatik di rumahnya. Berbekal pengalamannya, Djogo Pertiwi berhasil membuat pesanan yang berasal dari masyarakat sekitar. Saudara-saudara terdekatnya juga meminta Djogo Pertiwi untuk membuatkan kain batik dengan motif- motif yang sudah dipelajarinya.14 Dalam perkembangan berikutnya, Tjokro Soeharto juga memesan batik buatan Djogo Pertiwi.15 Toko-toko batik lainnya yang ada di

Yogyakarta juga menjadi tempat untuk menyetorkan kain batik buatan Djogo Pertiwi.

13 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/02/opi03.html 14 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 15 Ibid.

64

Menurut Sarjuni dalam wawancaranya, mengatakan bahwa keluarga kraton

Yogyakarta ikut memesan batik, tetapi motif-motifnya juga motif tertentu, motif kraton, sesuai dengan pesanan.

Djogo Pertiwi menikah kira-kira tahun 1927. Ketika itu, perempuan desa pada umumnya sudah menikah diumur sekitar 17 tahun. Dia, yang aslinya bernama

Salasatun16, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem yang bernama Suhadi.

Ketika menjadi abdi dalem, nama itu diganti dengan nama Paringan Dalem17 yaitu

Djogo Mustopo. Atas jasanya dalam mengabdikan diri menjadi abdi dalem, nama

Paringan Dalem itu berganti menjadi Djogo Pertiwi.18 Wanita yang sudah menikah biasanya akan dipanggil dengan menggunakan nama suaminya.19 Akhirnya

Salawatun lebih dikenal dengan nama Djogo Pertiwi. Djogo Pertiwi meninggal pada usia 93 tahun pada tahun 2003.

Zaman dahulu, seorang perempuan mempunyai kewajiban untuk mempelajari beberapa ketrampilan yang mendidik mereka ketika sudah memasuki usia dewasa.

Mulai pada usia 7 tahun, perempuan tidak diperkenankan untuk keluar rumah. Hal ini biasa disebut dengan pingitan. Mereka dipersiapkan untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya kelak. Perempuan diharapkan agar dapat macak (berhias atau

16 Ibid. 17 Paringan Dalem berarti pemberian dari Kraton Yogyakarta. 18 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 19 Tri Subagya, The Javanese Notions of Human Labor and Productivity, Retorika, No. 2, Th. I, Januari-April, 2002, hlm. 82.

65

mempercantik diri), manak (melahirkan), masak (memasak), serta dapat menguasai ketrampilan seperti membatik, menenun dan menganyam. Ketrampilan ini juga harus dikuasai oleh para perempuan di dalam kraton.

D. Proses Penyebaran Seni Batik Di Dusun Pajimatan.

Djogo Pertiwi telah mempunyai pengalaman yang sangat banyak dalam seni membatik. Ilmu tersebut sangat berguna bagi penduduk sekitar Imogiri. Sehingga

Djogo Pertiwi ingin membagi ilmunya kepada penduduk di sekitarnya. Kemudian dia mengajarkan cara membatik kepada masyarakat di sekitar Imogiri khususnya di

Dusun Pajimatan. Orang-orang dulu yang pintar membatik biasanya mengajarkan ilmunya kepada orang lain.20

Ketrampilan membatik yang diperoleh dari ibunya kemudian ketika dia bekerja sekaligus juga belajar membatik di Tjokro Soeharto, membuat penduduk sekitar Pajimatan tertarik dengan ketrampilan yang dimiliki olehnya. Maka ada beberapa orang yang berdatangan. Mereka dibina langsung oleh Djogo Pertiwi. Ada beberapa yang memang bekerja membatik di rumahnya dan ada pula yang berniat untuk belajar.21 Menurut Sarjuni, dari pihak Djogo Pertiwi maupun masyarakatnya juga sama-sama belajar membuat batik, jadi saling memenuhi kebutuhan antara yang mengajar dan yang diajar.

20 Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009. 21 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

66

Pembuatan kain batik dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu dari proses pengolahan kain sampai pada proses pelepasan atau penghilangan malam pada kain.

Sebelum membatik, alat-alat yang lebih dahulu, antara lain gawangan, wajan, kompor atau anglo, dan canthing. Gawangan adalah alat yang dibuat dari kayu untuk membentangkan kain ketika dibatik. Wajan adalah tempat yang dibuat dari baja, digunakan untuk mencairkan malam. Kompor atau anglo adalah tempat perapian atau pemanas, nantinya wajan yang sudah berisi malam ditaruh diatasnya. Terakhir adalah canthing, berfungsi untuk menggambar dan menuliskan cairan malam pada kain.

Canthing mempunyai beberapa jenis yang dibedakan menurut fungsinya dan banyaknya cucuk atau tempat keluarnya malam.

Jenis canthing menurut fungsinya dibagi menjadi dua. Pertama, canthing reng-rengan adalah canthing yang berfungsi untuk ngengreng atau menulis dengan canthing mengikuti pola. Kedua, canthing isen-isen adalah canthing yang digunakan untuk mengisi pola-pola yang sudah dibatik. Lalu jenis canthing menurut banyaknya cucuk atau tempat keluarnya malam dibagi menjadi enam. Pertama, canthing cecekan, bentuk cucuknya tunggal dengan lubang kecil. Fungsinya untuk membuat titik-titik kecil dan membuat garis kecil. Kedua, canthing loron, bentuk cucuknya ada dua yang berfungsi untuk membuat garis rangkap. Ketiga, canthing telon, bentuk cucuk ada tiga. Pada saat digambarkan di atas kain batik akan terlihat tiga buah titik.

Keempat, canthing prapatan, bentuk cucuknya ada empat yang nantinya dipergunakan untuk menggambar empat buah titik yang membentuk bujur sangkar.

Kelima, canthing liman, bentuk cucuknya ada lima, gunanya untuk menggambar

67

bujur sangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik ditengahnya. Keenam, canthing byok, bentuk cucuknya ada tujuh, gunanya untuk menggambar lingkaran yang terdiri dari titik-titik.22

Hasil batikan agar menjadi bagus akan ditentukan oleh kualitas malam yang bagus juga. Malam yang digunakan ada dua jenis berdasarkan penggunaannya, pertama adalah malam klowongan, dipakai untuk membuat garis-garis klowong atau garis-garis pola. Kedua adalah malam tembokan, dipakai untuk menutupi bidang pada pola. Cairan malam yang digunakan berasal dari campuran gandarukem, damar mata kucing, malam tawon dan parafin. Semua bahan ini dicampur menjadi satu menurut takaran yang ditetapkan dalam pembuatan batik agar dapat menghasilkan batik yang berkualitas.23

Setelah menyiapkan alat-alat keperluan membatik, barulah dilakukan pekerjaan membatik. Berikut ini adalah tahap-tahap yang dilakukan untuk membuat batik:

1. Pengolahan Kain Mori

Pada tahap pertama sebelum membatik, kain yang akan dipakai harus

dipersiapkan terlebih dahulu. Bahannya yaitu berupa kain mori. Untuk

menghasilkan satu kain batik dibutuhkan panjang kurang lebih 2,5 meter

22 Hamzuri, Batik Klasik, Jakarta: Djambatan, 1981, hlm. 6-8. Lihat juga dalam Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 18-19. 23 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 25.

68

dan lebarnya kurang lebih 105 cm.24 Kain batik dengan ukuran panjang dan

lebar tersebut akan dihasilkan kain yang biasa dipakai, biasa disebut dengan

jarik, atau kain batik yang biasa digunakan seperti dalam penggunaannya

bersamaan dengan baju kebaya. Berbeda lagi ukurannya untuk kain batik

dodot yang panjangnya mencapai 3,5 meter dan lebarnya 210 cm. Kain yang

dipakai oleh pembatik biasanya menggunakan jenis kain mori khusus batik

primissima. Kain ini adalah salah satu jenis kain yang berkualitas bagus.

Biasanya pembatik membeli dalam bentuk gulungan besar atau biasa

disebut dengan piece25, dan nantinya dipotong-potong sesuai dengan ukuran

kain batik pada umumnya. Dalam 1 gulung kain mori nantinya bisa dibuat

menjadi 13 kain batik. Kain ini kemudian, pertama-tama, pada tepi kain

dijahit atau diplipit agar serat-serat kain tidak mudah lepas. Baru kemudian

kain dicuci dengan air panas. Hal ini bertujuan untuk mengilangkan

kotoran-kotoran yang menempel pada kain sehingga tidak menghambat

proses pembatikan. Proses kedua adalah menganji. Kain mori yang sudah

dicuci harus dikanji agar lilin/malam batik tidak meresap ke dalam kain dan

dalam proses selanjutnya lilin/malam dapat mudah dihilangkan. Cara yang

ketiga, adalah mengemplong. Kain yang sudah dikanji akan menjadi kaku

setelah kering. Cara selanjutnya adalah mengemplong, kain itu dipukul-

24 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 25 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

69

pukul dengan tongkat kayu agar menjadi lemas dan mudah untuk dibatik.26

Kain yang sudah dikemplong tersebut siap untuk dibuatkan pola.

2. Tahap Pembuatan Pola

Djogo Pertiwi mulai mengajarkan membatik pada tahap ini.27 Tahap ini

mengenai cara menggambar pola-pola batik. Dalam mengajarkan membuat

pola, Djogo Pertiwi mula-mula menggambar di atas kain, dengan pensil.

Cara ini kemudian ditiru oleh anak-anak didiknya. Untuk membuat pola

yang sudah pakem, seperti motif kraton, adalah dengan cara menggambar

pola yang sudah diberikan dan ditentukan oleh Djogo Pertiwi sehingga

murid tinggal menjiplaknya.28 Djogo Pertiwi mengajarkan cara membuat

pola dengan tekun kepada para muridnya. Untuk membuat kain batik harus

dengan cermat dan telaten, begitu juga ketika pertama kali menggambar

suatu pola. Ketelitian dan ketekunan dalam membuat pola harus

diperhatikan. Agar bisa menggambar satu pola dengan bagus, maka

pembuatannya digambar secara berulang-ulang sampai murid itu bisa.29

Motif-motif yang dibuat seperti pola ceplok, kawung, lereng, dan semen.

Setelah kain mori digambar pola menggunakan pensil sampai seluruh

26 Biranul Anas, op. cit., hlm. 20-23. 27 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 28 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Proses ini juga dibenarkan oleh Ibu Siti Jariyah Asih dalam wawancaranya. 29 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

70

permukaan mori penuh dengan pola beserta isiannya.. Kemudian

dilanjutkan membatik menggunakan canthing.30

3. Proses Pembatikan

Setelah selesai melakukan proses membuat pola, mulailah proses membatik.

Djogo Pertiwi mengajari para murid cara untuk memegang canthing.

Canthing tidak bisa dipegang secara sembarangan. Canthing harus dipegang

secara lurus mendatar atau horizontal agar cairan malam yang di dalamnya

tidak menggumpal.31 Cara memegang canthing berbeda dengan memegang

pulpen maupun pensil seperti ketika menulis. Perbedaan itu disebabkan

ujung cucuk canthing bentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang

pensil atau pulpen lurus. Memegang canthing dengan ujung-ujung ibu jari,

jari telunjuk, dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis tetapi

tangkai canthing horizontal. Posisi ini bertujuan agar menjaga agar malam

tidak tumpah.32 Proses selanjutnya adalah membatikkan malam ke atas kain

mori. Malam yang berada di panci, di ambil dengan menggunakan canthing,

tetapi harus ditiup terlebih dahulu. Akan tetapi, proses-proses selanjutnya

dalam pembuatan batik masih dibagi lagi menjadi beberapa tahap, sebagai

berikut:

30 Ibid.. 31 Ibid. 32 Hamzuri, op.cit., hlm. 15.

71

a. Nglowongi adalah proses ketika pola yang sudah digambar, dibatik

dengan malam sehingga membentuk kerangka dari motif batik

yang dibuat. Malam yang dipakai khusus untuk nglowongi yaitu

malam klowongan.

b. Nerusi adalah membatik dengan mengikuti pola pembatikan

pertama pada bekas tembusnya. Jadi kain sebelumnya telah dibalik

lebih dahulu.

c. Tahap selanjutnya memberi isen-isen dan cecek pada kain. Tahap

ini disebut juga dengan ngiseni dan nyeceki. Cara ini dengan

menggunakan jenis-jenis canthing yang sudah dijelaskan diatas.

d. Nemboki adalah proses menutup permukaan kain dengan lilin. Hal

ini dilakukan agar pada saat pewarnaan, kain tidak berubah warna

dan tetap putih. Malam yang digunakan adalah malam tembokan.

Malam ini kualitasnya sangat bagus karena akan menempel kuat

pada kain dan tidak akan merusak pola yang sudah dibuat.

Diantara proses membatikkan malam diatas kain, pembatik harus memperhatikan tungku yang digunakan, dan harus sering ditipasi. Hal ini dilakukan agar bara api di tungku tetap menyala dan memanasi cairan malam sehingga tidak membeku.

Djogo Pertiwi hanya mengajarkan sampai disini saja. Untuk proses penyelesaiannya yaitu proses pewarnaannya, kain batik dibawa ke tukang yang biasa menangani pewarnaan. Biasanya kain batik yang sudah selesai dibatik, dibawa ke

72

Yogyakarta untuk diwarnai.33 Begitu pula dengan proses mbabar yang juga harus dibawa ke Yogyakarta. Daerah yang biasanya ditunjuk sebagai tempat untuk bagian ini seperti Prawirotaman dan Tirtodipuran.34 Kebanyakan yang melayani proses ini adalah para juragan besar batik. Disini juga dilakukan pembatikan dari tahap awal sampai tahap akhir ketika sudah jadi kain batik siap pakai, mampu mereka lakukan dengan tenaga sendiri.

Di Yogyakarta, warna yang dominan untuk kain batik adalah soga. Warna soga merupakan warna coklat yang didapat dari kulit pohon soga. Proses pewarnaan kain dengan warna coklat ini disebut nyoga dan kain batiknya disebut dengan batik sogan. Para pembatik sampai pada akhir abad ke 19, masih menggunakan pewarna alam. Meskipun pada akhir abad ini menyusul ditemukannya pewarna sintetis. Para pengusaha batik pada akhir abad 19, masih tetap menggunakan pewarna alam karena tingkat warnanya lebih bagus daripada pewarna sintetis. Warna lain adalah biru tua yang didapat dari daun tanaman indigo. Proses pewarnaan dengan warna biru ini disebut medel atau diwedel, dan kain batiknya biasa disebut dengan batik wedelan.

Warna-warna ini merupakan warna khas kain batik gaya kraton, seperti Yogyakarta dan Surakarta.

Proses terakhir dari pembuatan kain batik ini adalah mbabar. Mbabar merupakan proses penghilangan lilin dengan cara dilorod, nglorod atau dikerok.

33 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 34 Ibid. Lihat juga Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm.19.

73

Melorod lilin yang menempel pada kain dilakukan dengan cara mencelup-celupkan kain pada air yang sudah mendidih secara berulang-ulang. Tentunya air panas yang digunakan untuk melorod bukan hanya air biasa, tetapi juga dicampur dengan zat kimia.

E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942

Mereka yang belajar di tempat Djogo Pertiwi ada beberapa tingkat usia, tetapi pada dasarnya perempuan yang sudah menginjak usia dewasa diharuskan menguasai suatu ketrampilan. Menurut Sarjuni, karena memang ketrampilan membatik dilakukan secara turun temurun, rata-rata perempuan kalau sudah agak besar lalu belajar membatik. Perempuan dari umur las-lasan atau belasan tahun, sampai yang sudah tua kira-kira umur 50 tahun datang untuk belajar membatik.35

Sarjuni merupakan salah seorang murid dari Djogo Pertiwi. Ia sekarang meneruskan usaha ibunya menjadi pembatik dan penjual batik. Meskipun ia hanya seorang anak menantu dari Djogo Pertiwi, selalu berusaha untuk melestarikan budaya membatik. Dari pernikahannya, Djogo Pertiwi memang tidak bisa mendapatkan keturunan.36 Karena tidak ada lagi yang meneruskan usahanya, maka anak menantunya yaitu Sarjuni-lah yang mengikuti jejaknya. Dia menikah dengan anak angkat Djogo pertiwi yaitu Sarjuni. Nama aslinya adalah Duriah. Ia lebih dikenal

35 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 36 Ibid.

74

dengan Ibu Sarjuni, sama seperti pada Djogo Pertiwi yang lebih dikenal dengan nama suaminya.

Menurut Ibu Slamet,37 pengajaran seni membatik Djogo Pertiwi sangat membantu dalam bidang pendidikan bagi perempuan. Seperti yang dikatakan pada sub bab sebelumnya, bahwa perempuan wajib mempunyai ketrampilan yang berhubungan dengan kodratnya sebagai wanita. Sarana pendidikan itu memberikan kesempatan pada perempuan sekitar Imogiri untuk meningkatkan kemampuan agar bisa menghadapi tuntutan zaman. Mereka ingin ikut berpartisipasi dalam melestarikan budaya Jawa di lingkungan Pajimatan. Karena ingin membantu kesejahteraan keluarganya, Ibu Slamet yang mulanya hanya belajar membatik, akhirnya juga ikut bekerja pada Djogo Pertiwi.

Kemajuan ketrampilan membatik yang mulai dimiliki oleh penduduk di

Imogiri, khususnya oleh sebagian kaum wanita, disadari sebagai suatu proses untuk memelihara dan melestarikan budaya yang telah ada secara turun temurun.38 Selain itu perkembangan seni membatik di Pajimatan merupakan usaha untuk mempertahankan hidup atau sebagai penopang kehidupan rumah tangga ditiap individu maupun keluarga. Sebagain besar penduduk Pajimatan juga menggunakan batik sebagai mata pencaharian pokok.39

37 Wawancara dengan Ibu Slamet, murid dari Djogo Pertiwi, 70 tahun, tanggal 3 Februari 2010. 38 Hal ini juga disampaikan dalam wawancara dengan Ibu Sarjuni. 39 Ibid.

75

Perempuan sangat besar perannya dalam kehidupan. Meskipun kadang perempuan hanya dianggap konco wingking, kita tidak bisa menyepelekan peran wanita. Kebudayaan ditentukan oleh perempuan. Salah satunya adalah membatik.

Dahulu sebelum munculnya cap, batik dibuat oleh perempuan. Meskipun mereka tidak sekolah, para perempuan bisa pintar dalam mengurus rumah tangga.40 Pada umumnya ibu mempunyai sumber penghidupan sendiri yaitu berjual beli di pasar, membuka warung bahan makanan, membatik, dan lain-lain.41

Pembelajaran ketrampilan membatik yang diajarkan oleh Djogo Pertiwi membantu para perempuan untuk mendapatkan penghasilan sehingga bisa membantu meringankan beban suami yang menjadi kepala keluarga.42 Masyarakat Pajimatan tertarik dengan keahlian Djogo Pertiwi sehingga mereka tertarik dan mulai ikut belajar membatik. Meskipun sudah banyak yang belajar kepadanya, tidak banyak juga pembatik yang mampu mengikuti jejaknya meskipun sudah lama bekerja dengannya. Cara ini sedikit demi sedikit dapat membantu mengembangkan usaha batik milik Djogo Pertiwi.

Orang-orang yang datang ke tempat Djogo Pertiwi di Pajimatan ada yang berniat untuk belajar dan untuk bekerja. Orang-orang itu menyadari bahwa kelak dia harus tahu mengenai kewajibannya untuk berbakti kepada suami karena hanya

40 Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009. 41 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op.cit., hlm..228. 42 Fungsi dalam pembelajaran membatik ini juga disampaikan oleh Ibu Sarjuni, Ibu Jariyah Asih dan Ibu Slamet dalam wawancaranya.

76

dengan jalan itu mereka bisa mendapatkan kebahagiaan hidup sehingga dapat melayani keperluan suami. Para perempuan ini juga akan menjadi calon ibu bagi anak-anaknya kelak. Pada sekitar tahun 1900-1942, pendidikan yang diterapkan bagi anak perempuan adalah pendidikan rumah tangga. Anak-anak perempuan diharuskan selalu membantu pekerjaan ibunya menjalankan urusan rumah tangga, serta urusan yang berkenaan dengan mata pencaharian ibunya.43 Pada tahap selanjutnya dengan ketrampilan yang dimiliki, perempuan mempunyai sumber penghidupan sendiri.

Mereka termotivasi untuk membantu suami dalam mendapatkan penghasilan untuk membantu kebutuhan rumah tangga.

Djogo Pertiwi menjadikan murid-muridnya sebagai anak angkat, dengan memberikan modal kecil untuk membuat batik. Mereka sering diberi kain oleh Djogo

Pertiwi dan diminta untuk membuat karya batik apapun. Setelah selesai, kain-kain itu dibeli oleh Djogo Pertiwi dan disetorkan ke toko-toko batik di Yogyakarta. Ketika itu

Djogo Pertiwi banyak mendapat pesanan batik sehingga membuat dirinya dikenal sebagai juragan batik di Dusun Pajimatan. Menurut Sarjuni, ada juga juragan batik yang memesan kain yang masih berupa mori batikan (masih setengah jadi), lalu mereka beli dan diproses sendiri. Proses untuk membuat satu kain batik saja membutuhkan waktu antara 6 sampai 8 bulan, dan itu-pun tergantung dari motifnya.

Dalam mengembangkan usaha batiknya, Djogo Pertiwi mulanya hanya mempekerjakan sekitar 5 orang perajin. Lama kelamaan, dia juga memberi bantuan

43 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op. cit., hlm. 228-229.

77

pendidikan dan batik tulis, terutama motif tradisional. Sehingga jumlahnya meningkat menjadi 100 orang. Mereka tersebar di Dusun Pajimatan, Giriloyo dan Banyu

Sumurup.44 Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan seni membatik di wilayah

Imogiri mengalami perkembangan dan pertumbuhan seiring minat masyarakat untuk mempelajari batik.

Ketika para pembatik Pajimatan mendapat banyak pesanan dari kraton, mereka kewalahan sehingga mendatangkan pembatik yang berasal dari Giriloyo.

Perempuan Giriloyo belajar kemudian bekerja membatik di Pajimatan. Bahkan batik

Giriloyo lebih terkenal daripada batik Pajimatan. Padahal awalnya mereka belajar membatik di Pajimatan.45

Antara tahun 1935-1942, Yogyakarta diperintah oleh Sultan Hamengku

Buwono VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika Yogyakarta berada di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), kekuasaannya semakin dipersempit oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan Sultan menanda-tangani kontrak politik dengan Belanda pada tahun 1921, yang disebut dengan Acte van

Verband, yang isinya mengatur tentang bahwa pemerintah kolonial Belanda turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan.46 Kontrak politik ini

44 Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 158. 45 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn,, tanggal 2 November 2009. Lihat Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 13. 46 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 60-61.

78

mengakibatkan merosotnya kewibawaan Sultan Hamengku Buwono VIII. Pemerintah kolonial Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal dalam masyarakat Jawa dengan cara mengurangi berbagai cara penghormatan rakyat kepada kaum bangsawan. Tak hanya kekuasaan Sultan yang merosot tetapi juga kaum bangsawan atau priyayi. Golongan bangsawan atau priyayi yang semula dianggap mempunyai derajat yang tinggi, mulai berkurang.

Dalam lingkungan kraton, tradisi batik pada masa ini masih tetap lestari. Hal ini berkaitan dengan pembelajaran ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap wanita kraton. Masa pingitan juga dikenal dalam lingkungan kraton. Ketrampilan yang dikuasai seperti dalam hal berumah tangga yaitu memasak, menyiapkan sajian di meja makan, menyulam, dan membatik. Ketrampilan membatik dianggap sebagai kepandaian utama, karena suatu kain batik yang dikerjakan merupakan kebanggaan bagi seorang suami.

Lingkungan di luar kraton Yogyakarta, seperti misalnya pada Dusun

Pajimatan, memang banyak yang mendapat suami sebagai seorang abdi dalem.

Secara tidak langsung, perempuan di Pajimatan mendapat pengaruh dari kraton ketika membuat batik. Di Dusun ini juga, kraton memenuhi kebutuhannya akan batik.

Menurut Sarjuni, pihak kraton sering memesan batik, modelnya beli sekaligus pesan sekalian mbatikke (disuruh membatikkan). Orang-orang dahulu masih banyak yang memakai kain batik atau jarikan, jadi masih agak gayeng atau maju.47 Apalagi ketika

47 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

79

makam raja-raja Imogiri sudah banyak dikunjungi orang yang mau ziarah maupun para wisatawan. Sebelum masuk ke makam, para pengunjung diharuskan mengganti pakaiannya dengan kemben dan jarik atau kain batik. Hal ini membuktikan bahwa peran makam yang sangat penting, kebutuhan batik sangat diperlukan dan masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan.

Kalangan masyarakat pedesaan mengalami sedikit kekurangan modal mengingat banyak perubahan yang terjadi pada saat itu. Mulanya pada abad 20-an, berdiri perusahaan batik yang didirikan oleh Jepang di Yogyakarta. Hal ini menyebabkan Jepang mengekspor produk kain mori ke Indonesia pada tahun 1927 dan menggeser kain batik mori dari Belanda yang telah mendahului. Kemudian China yang sudah masuk ke Indonesia, menguasai sistem pemasaran kain mori. Pembatik- pembatik di Yogyakarta mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produksi kain batik perusahaan-perusahaan asing. Sehingga mereka membutuhkan modal agar bisa terus berproduksi untuk menyaingi perusahaan-perusahaan tersebut. Pada tahun 1939 didirikanlah gabungan koperasi batik yang membantu para pembatik agar bisa membeli mori dan bahan batik langsung pada importir.48

Kehidupan dunia usaha batik milik Djogo Pertiwi juga mengalami apa yang dinamakan pasang surut. Sarjuni tidak mengemukakan secara persis, kapan usaha

48 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 69-70. Lihat juga dalam Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia, Jilid II, Jakarta, hlm. 196. Industri batik di Yogya, Solo, dan Pekalongan mengalami penurunan, tidak seperti industri lainnya, sehingga mengakibatkan para pembatik itu tergabung dalam koperasi. Untuk pembentukan koperasi lihat juga dalam Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 264.

80

batik milik Djogo Pertiwi mengalami masa kemajuan maupun kemunduran antara tahun 1935-1942. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang mengiringi tahun-tahun tersebut menunjukkan bahwa memang usaha pembatikan pada sekitar tahun 1930 mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan terjadinya Malaise yaitu krisis ekonomi yang sangat besar pada masa itu. Sebelumnya batik mengalami masa kejayaan, ketika berdirinya koperasi batik. Industri batik pada tahun-tahun terjadinya Malaise, mengalami penurunan. Harga-harga bahan yang mahal dan pasaran yang lesu mengakibatkan jumlah usaha batik menjadi berkurang pada tahun 1935.49 Industri batik milik Djogo Pertiwi masih tergolong kecil sehingga membutuhkan modal yang dipinjam dari koperasi agar usaha tersebut bisa lebih berkembang.

Sultan Hamengku Buwono VIII sangat memperhatikan seni yang lainnya seperti seni tari dan karawitan. Seni tari erat kaitannya dengan seni batik. Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa kain batik juga digunakan untuk keperluan tari pertunjukan seperti tari beksan lawung dan bedhaya. Pertunjukan tari ini semula hanya dipertunjukkan di kalangan bangsawan dan priyayi saja, tetapi

Sultan kemudian mengijinkan agar seni ini diajarkan pada masyarakat umum.50

Sultan Hamengku Buwono VIII memerintah sampai tahun 1939, selanjutnya digantikan oleh anaknya yaitu G.R.M. Dorojatun yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono IX memerintah dari

49 W. J. O’Malley, Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an, Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII, hlm. 45. 50 Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990. hlm. 15.

81

tahun 1939-1988. Pada masa ini, sultan masih terikat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda. Pihak Belanda dibawah pemerintahan Gubernur Lucien Adam, masih ikut campur dalam pemerintahan Sultan. Sehingga pemerintahan sultan berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IX melanjutkan hal-hal yang dirintis oleh ayahnya dalam bidang kebudayaan. Pemakaian motif kain batik tertentu yang berdasarkan pada kedudukan dan status sosial masyarakat masih diperhatikan. Namun ada motif- motif lain yang sudah ditiru oleh masyarakat meskipun ada yang termasuk dalam motif larangan. Keluarnya motif ini salah satunya karena pertunjukan tari yang sejak pemerintahan Hamengku Buwono VIII dipertunjukkan kepada masyarakat umum.

Pada awal masa Sultan Hamengku Buwono IX, para remaja perempuan di sekitar Imogiri berminat untuk belajar membatik kepada tangga terdekat. Mulanya para perempuan ini belajar dari tahap nerusi. Lama kelamaan ketrampilannya meningkat sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, misalnya nglowong atau memberi isen-isen.51 Di tempat usaha batik Djogo

Pertiwi juga didatangi para perempuan yang berniat belajar membatik. Mereka yang datang tak hanya berasal dari Pajimatan, tetapi juga dari daerah-daerah lain di sekitar

Pajimatan. Pada masa ini pekerjaan membatik dilakukan sebagai mata pencaharian pokok dan juga pekerjaan sambilan pada waktu senggang.

51 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 79.

82

Ketika Jepang melakukan pendudukan di Indonesia pada tahun 1942, situasi sosial ekonomi memprihatinkan dan tidak menentu, seperti halnya di Yogyakarta.

Barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi sangat mahal dan sulit didapatkan.52

Bahkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membatik pada umumnya sangat sulit didapatkan. Sehingga untuk menghemat proses, bahan yang dipakai disederhanakan, seperti misalnya ukuran kain yang dipakai lebih kecil yaitu dengan panjang 180 cm dan lebar 90 cm. Kain ini kemudian diberi nama kain keci (kecil) dan ketika sudah selesai dibatik disebut dengan batik becak.53

Pelaksanaan upacara-upacara kebesaran di kraton seperti Pasowanan,

Garebeg, dan Jumenengan tidak lagi diadakan secara lengkap sesuai dengan tata caranya seperti zaman dahulu. Upacara-upacara tersebut bahkan sempat ditiadakan selama Jepang berkuasa. Untuk upacara seperti pernikahan, tata caranya masih seperti biasanya dengan memakai kain motif khusus untuk pernikahan. Hal ini bertujuan agar pernikahan pengantin itu mendapat berkah dari makna motif batik yang dipakai.

F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi

Djogo Pertiwi sudah mulai akrab dengan dunia batik ketika masih berusia muda. Seni ini mengalir dalam dirinya karena ibu dan neneknya adalah seorang pembatik. Hal ini juga didukung oleh lingkungan sekitar rumahnya yang banyak

52 Ibid., hlm 72. 53 Nian S. Djoemena, “Selayang Pandang Batik”, Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, hlm. 50. Lihat juga dalam A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 72-73.

83

terdapat pembatik. Mereka adalah para istri dari abdi dalem kraton yang ikut suaminya bekerja untuk menjaga makam raja-raja Imogiri. Keahlian membatik yang dimiliki oleh para istri tersebut juga turun temurun berasal dari pendahulunya.

Ketrampilan membatik akhirnya menyebar hampir ke semua wanita di Imogiri.

Lingkungan sekitar Imogiri banyak didapati para perempuan yang menggunakan ketrampilannya dalam membatik sebagai pekerjaan sampingan maupun pekerjaan sehari-hari. Ketika melihat-lihat orang membatik di sekitar rumahnya, timbullah keinginan Djogo Pertiwi untuk ikut membatik. Djogo Pertiwi sangat terkenal karena dalam membuat kreasi kain batik tidak menggunakan sketsa ataupun dipola di atas kain batik. Semuanya dikerjakan langsung dengan menarikan canthing pada kain batik.

Ketrampilan membatik yang didapat Djogo Pertiwi antara lain melalui ibunya,

Dayat Atmojo yang merupakan pembatik pada masanya, dan kemudian ketika beliau bekerja sebagai buruh batik toko Tjokro Soeharto di Yogyakarta. Ketrampilan yang telah didapat dari ibunya semakin diasah ketika bekerja di Tjokro Soeharto sehingga pengalamannya bertambah. Setelah dirasa cukup, Djogo Pertiwi berniat untuk mengembangkan seni membatik di Pajimatan, Imogiri.

Motif-motif dari kraton yang biasa dibuat Djogo Pertiwi untuk kraton dan berdasarkan pesanan dari kraton yaitu seperti Sidomukti, Sidoasih, Sidoluhur, Semen

Sinom dan Semen Rejo.54 Motif-motif tersebut termasuk dalam motif-motif yang

54 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

84

bersifat klasik dengan pola-pola yang rumit dan makna yang indah. Dalam Suluk

Perawan Mbatik55, disebutkan bahwa sebelum memulai membatik seorang pembatik harus melihat mata batinnya, lalu konsep pola yang akan dibuat seperti apa yang telah didapat dari pengetahuan tentang motif sehingga hasilnya tidak berbeda dengan yang diharapkan. Ketika jiwa dan raga bersatu, akan dihasilkan seperti yang diimpikan.

Dasain batik itu akan mewujudkan keinginan pembatik dan yang diramalkan akan terlaksana.56 Djogo Pertiwi sangat berhati-hati ketika mengerjakan pola klasik dari kraton. Motif yang sudah tersedia mengandung makna tertentu. Kekurangan maupun kesalahan dalam menggambar pola akan mengurangi maknanya. Proses pengerjaannya juga harus sesuai dengan pakem-pakem dalam pola dan warna.57

Dalam proses pengerjaan suatu kain, pembatik tidak hanya terbatas untuk mengerjakan pola-pola yang sudah ada. Pembatik juga dituntut untuk menciptakan motif atau pola yang baru. Hal ini tergantung pada imajinasi yang dihasilkan oleh setiap pembatik. Setiap pembatik pasti memiliki alam pemikiran yang berbeda-beda tergantung dengan keadaan sekitarnya.

Motif klasik yang selama ini sudah ada dimodifikasi sedemikian rupa oleh

Djogo Pertiwi sehingga hasilnya tetap menarik. Karya modifikasi ini terlihat dalam motif-motif seperti Sekar Jagad, Sidomukti, Sidomulyo, Kawung Picis, Semen Romo

55 Suluk Perawan Mbatik adalah sebuah syair tentang seorang perempuan yang membuat kain batik. 56 Tri Subagya, op.cit., hlm. 70. 57 Sugiyamin, loc.cit.

85

dan Babon Angrem. Djogo Pertiwi juga menciptakan motif baru yang dibuat sendiri.

Beliau memang pintar membatik dan karya batik kreasinya digambar tanpa menggunakan pola jadi langsung digambar pada kain.58 Motif itu adalah motif Irian,

Adiluhung, Semar Mesem dan Sekar Jagad. Motif Irian ini dibuat karena Djogo

Pertiwi membayangkan kerindangan hutan di Irian dengan pohon-pohonnya yang berdaun lebar.59 Kemudian motif Sekar Jagad dibuat karena beliau mendapat ide ketika sedang berjalan-jalan untuk ziarah di makam raja-raja Imogiri bersama orang tuanya.60

Kualitas warna dan desain batik yang dibuat harus tetap dijaga. Menurut

Larasati Suliantoro, Djogo Pertiwi juga bertugas sebagai quality control terhadap hasil batiknya. Kualitas batik yang bermutu dipilih, karena dia peduli/concern terhadap dunia batik.

Pembatik di Imogiri mempunyai ciri tersendiri dan motif-motif yang dibuat harus menggambarkan jati diri baik dari pengaruh lingkungan maupun masyarakatnya. Sehingga ketika ada seorang turis yang membeli batik, akan teringat- ingat bahwa motif yang dia beli itu bisa menjadi kenang-kenangan yang menggambarkan ciri khas daerah Imogiri.

Motif batik di wilayah Imogiri dibuat berdasarkan pada pengaruh lingkungannya. Pengaruh kraton yang timbul dari kedatangan abdi dalem sedikit

58 Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009. 59 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 60 Sugiyamin, op.cit., hlm. 159.

86

demi sedikit merasuk ke diri pembatik Pajimatan. Batik Pajimatan identik dengan batik gaya kraton karena adanya budaya feodalisme yang masuk dalam filosofi pembatik. Dengan mempertahankan motif kraton berarti para pembatik mewujudkan rasa hormat dan menembah pada leluhurnya.61 Kehidupan masyarakat Imogiri yang sebagian besar bertahan pada kehidupan agraris, mempengaruhi hasil batik buatan mereka. Selain itu pola-pola dari kraton juga dipadu-padankan dengan ragam hias yang terdapat dalam lingkungan sekitar. Tetapi motif-motif yang awalnya hanya dipakai oleh kalangan raja, pada perkembangannya bisa dipakai juga oleh masyarakat luar kraton seperti di Pajimatan.

Djogo Pertiwi menggunakan sarana olah batin dengan meditasi atau tirakat maupun puasa agar batik yang dibuatnya dapat membawa harapan bagi pemakainya.

Nilai-nilai religius dijunjung tinggi oleh Djogo Pertiwi. Hal ini merupakan salah satu perwujudan untuk memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar apa yang dilakukannya dapat berhasil.

61 Ibid., hlm. 122-123.

BAB V

PENUTUP

Sejarah batik memang tidak akan selesai untuk dibahas dalam satu buku.

Pendapat pendapat yang menyebutkan tentang kemunculan batik di Indonesia masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Batik gaya Yogyakarta telah muncul sejak kerajaan Mataram. Dan kerajinan batik menjadi salah satu warisan dari kerajaan

Mataram. Sejak itu, batik menjadi busana kebesaran kraton seperti upacara-upacara besar kraton. Batik merupakan suatu ketrampilan yang dibuat oleh kaum wanita.

Pola-pola yang mempunyai makna adiluhung dibuat secara halus dengan penuh ketelitian dan ketekunan, sehingga ketika dipakai bisa dilihat makna dari suatu motif.

Mulanya motif-motif batik tertentu di-undangkan dalam peraturan-peraturan kraton. Pertama adalah peraturan tentang berisi etiket yang benar dan terperinci dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan senior, dan para pengikutnya. Peraturan ini dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 Agustus 1792. kemudian Sultan Hamengku Buwono VIII juga mengeluarkan undang-undang baru yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo

Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927. Undang undang ini mengatur tentang siapa-siapa saja yang boleh memakai motif larangan.

Orang-orang yang boleh memakai motif itu didasarkan pada kedudukan sosialnya.

87

88

Masyarakat masih belum bisa memakai kain dengan motif batik larangan secara sembarangan.

Simbol-simbol kelengkapan dalam tata cara penyelenggaraan upacara seperti tombak, keris, payung dan kain batik menjadi syarat untuk menentukan wibawa raja.

Perbedaan mengenai pemakaian motif batik terdapat di lingkungan golongan bangsawan dan rakyat.

Namun, ketika Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire tahun 1904, kekuasaan feodal raja beserta bangsawan mengalami kemerosotan. Alat-alat kelengkapan upacara yang menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan raja tidak banyak lagi yang digunakan seperti sebelumnya. Pemerintah kolonial rupanya tidak mau wibawa kekuasaannya dipandang rendah. Sehingga rakyat harus patuh terhadap

Belanda.

Ketrampilan membatik tidak hanya dilakukan di dalam tembok kraton saja.

Masyarakat luar juga bisa menguasai ketrampilan tersebut. Salah satu daerah yang menjadi tempat penyebaran batik adalah di Imogiri, tepatnya Dusun Pajimatan.

Kemunculan batik di wilayah ini disebabkan karena pembangunan makam bagi raja- raja Mataram pada tahun 1632. Ketika Sultan Agung berkuasa, beliau memerintahkan untuk membangun makam yang berada di perbukitan dusun Girirejo. Setelah Sultan

Agung meninggal, ditugaskanlah para abdi dalem untuk menjaga makam tersebut.

Keberadaan seni batik di Pajimatan dipengaruhi oleh masuknya abdi dalem ke wilayah Imogiri. Para istri abdi dalem yang ikut dengan suaminya menguasai seni

89

membatik. Dan selama bertahun-tahun berikutnya ketrampilan membatik ini berlangsung secara turun temurun kepada anak cucunya.

Keahlian membatik ini juga menular kepada Djogo Pertiwi yang memang berasal dari keturunan membatik. Berawal dari neneknya, kemudian ibunya yang bekerja sebagai membatik. Dan akhirnya ketrampilan itu dimiliki oleh Djogo Pertiwi berkat didikan ibunya. Untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki, Djogo Pertiwi bekerja membatik di toko Tjokro Soeharto yang berada di Yogyakarta. Beliau memang pandai dalam membuat pola batik tanpa menggunakan sketsa., baik motif klasik dari kraton maupun kreasinya sendiri. Motif yang dia ciptakan sendiri adalah motif Irian. Djogo Pertiwi juga banyak membuat pola-pola klasik kraton Yogyakarta seperti motif parang, kawung dan sembagen. Akibatnya pola-pola tersebut meluas ke luar tembok kraton.

Dalam perkembangannya, keahlian yang dimilikinya itu disebarkan kepada penduduk Pajimatan. Maka kemudian dia melatih para perempuan untuk menjadi pembatik sepertinya. Djogo Pertiwi mengajarkan mereka dari tahap awal yaitu membuat pola sampai pada tahap nemboki. Hasilnya, banyak perempuan yang berminat untuk mempelajari batik dan mereka berhasil menjadi pembatik di sekitar

Imogiri. Selain mengajar, dia juga mempunyai usaha sendiri yang tempatnya berada di rumahnya. Banyak buruh batik yang bekerja disana. Mereka juga termotivasi untuk membantu menambah pemasukan bagi kehidupan keluarganya.

Meskipun banyak pesanan batik yang datang, Djogo Pertiwi tidak melupakan kualitas kain hasil batikannya. Kehalusan batik yang dibuat oleh Djogo Pertiwi diakui

90

oleh para pembelinya. Pakem-pakem dalam membatik tetap diperhatikan yaitu dengan menjaga kualitas desain dan warna.

Usaha batik di daerah Yogyakarta mengalami kemunduran ketika zaman

Malaise pada tahun 1930. Selain diakibatkan oleh krisis ekonomi, pada waktu itu juga karena banyaknya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia. Krisis ini terjadi sampai pada tahun 1935. Kemudian ketika muncul koperasi, industri batik mengalami kemajuan sekitar tahun 1939.

Ada kalanya usaha batik di Yogyakarta mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan yang menyertainya. Usaha ini sempat mengalami masa kejayaan sebelum akhirnya Jepang datang. Pada tahun 1942, Jepang datang menggantikan pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu, usaha batik mengalami penurunan lagi karena bahan-bahan yang sulit untuk didapatkan.

Dapat dikatakan bahwa batik bukan hanya ketrampilan dari kraton tetapi peran pembatik-pembatik di daerah seperti di Pajimatan, Imogiri juga tidak bisa dikesampingkan. Pengaruh itu datang dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk menjaga makam raja-raja Imogiri. Pengaruh kraton mempengaruhi gaya batik

Pajimatan yang agraris. Motif-motif yang tadinya hanya dibuat untuk kalangan kraton, meluas sampai wilayah Imogiri. Pemakaiannya-pun sudah digunakan oleh kalangan luas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anas, Biranul. Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII. 1997.

Asmito. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Depdikbud. 1988.

Carey, P.B. R. (ed). The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University Press. 1980

De Graaf, H. J. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. 1986.

Elliot, Inger McCabe. Batik Fabled Cloth of Java. Singapore: Periplus. 2004.

Garna, Judistira K. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran. 1992.

Hamzuri. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan, 1981.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. 2001.

Majlis, Brigitte Khan. Javanese Batik: An introduction dalam Batik From The Courts of Java and Sumatra, Rudolf G. Smend (koleksi). Singapore: Periplus. 2004.

Mari S. Condronegoro. Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 1995.

Marwati Djoened Poesponegoro, dkk.. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: PN Balai Pustaka. 1984.

Moedjanto. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Kanisius. 1994.

______. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. 1987

______. The Concept of Power In Javanese Culture. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1986.

Pranata. Sultan Agung Hanyokrokusumo: Raja Terbesar Kerajaan Mataram Abad ke-17. Jakarta: Yudha Gama Corp. 1977.

91 92

Prajudi Atmosudirdjo. Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia. Jilid II. Jakarta.

Purwadi. Sultan Agung: Hidup, Mistik dan Kematian. Yogyakarta: Tugu. 2005.

Santosa Doellah. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: Batik Danar Hadi. 2001.

Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Sedyawati, Edi. Sejarah Kebudayaan Jawa. Jakarta: Depdikbud RI. 1993.

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendididkan dan Kebudayaaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977.

Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema. 1990.

Selo Soemardjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986.

Soekamto, Chandra Irawan. Pola Batik. Jakarta: Akadoma. 1984.

Soekanto. Perdjandjian Gianti. Jakarta: Soeroengan. 1952.

Soemarsaid Moertono. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. 1985.

Soetopo. Batik. Jakarta: Indira. 1983.

Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media. 2001.

Susanto, Sewan. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri. 1980.

Suyanto, A. N. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi. 2002.

Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Balai Pustaka. 1988.

Tirtaamidjaja, N. Batik: Pola dan Tjorak. Jambatan.

93

Majalah dan Buletin

Anonimus. “Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri”. Selarong. Vol. 4, Dewan Kebudayaan Bantul. 2005.

Kitley, P. Th. “Batik dan Kebudayaan Populer”. Prisma. edisi 5, Volume 16, 1987.

O’Malley, W. J. “Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an”. Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII.

Parmono, Kartini. “Simbolisme Batik Tradisional”. Jurnal Filsafat. No. 23, edisi November, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 1995.

Subagya, Tri. “The Javanese Notions of Human Labor and Productivity”. Retorika. No. 2, Th. I, Januari-April, 2002.

Suhartinah Sudijono. “Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul”. Patra Widya. Vol. 7, No. 3, September 2006.

Skripsi/Tesis

Astuti, Hermin Widya. Batik Klasik Ragam Hias Yogyakarta 1927-2005. Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial. UNY. Yogyakarta. 2005.

Sugiyamin. Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002.

Internet http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/02/opi03.html. Diakses tanggal 30 Agustus 2009. http://heritageofjava.com/log/?p=96. Diakses tanggal 30 Agustus 2009. http://duniabatik.multiply.com/journal/item/5/Sejarah_Batik_Solo_dan_Yogya_. Sejarah Batik Solo dan Yogya. Diakses tanggal 20 Juni 2009. http://www.batikmarkets.com/batik.php. Sejarah Batik Indonesia. Diakses tanggal 20 Juni 2009.

94

Daftar Informan

1. Nama : Sarjuni (Duriah) Pekerjaan : Pembatik Umur : 63 tahun Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul 2. Nama : Siti Jariyah Asih Pekerjaan : Kepala Dukuh Pajimatan Umur : 59 tahun Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul 3. Nama : Slamet Pekerjaan : Pembatik Umur : 70 tahun Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul 4. Nama : Larasati Suliantoro Pekerjaaan : Ketua Paguyuban Batik Sekar Jagad Umur : 75 tahun Alamat : Hotel Mustokoweni, Jl. Monjali Yogyakarta

Peraturan Yang Dikeluarkan Oleh Hamengku Buwono II - 2 Agustus 1792 (14 Besar A. J. 1718) Tentang Larangan Pemakaian Batik

Prakara ping pitulas, mungguh anggon-/anggoning jaran kalebu larangan-Ingsun, larab baludru, larab nganggo kasuran, larab palisir cindhe, sarung gilig, tetapong jujuluk naga, kang mawa elar, lan cacarang kasuran athik-athikan, ebeg pu(n)dhak wangkong, sungging sawat sungging modhang, su(ng)ging suwiri dhasar putih, dhasar kuning, lan kendharat lawang abang, ana dening kang Sun kawenangake anglarangi, saanggon-anggoning jaran ika mau, bocah Ingsun gamel, lan maninge mungguh anggon-anggon kang Sun larangi, ukiran tunggak semi, lan werangka keris kemalo abang, lan werongka keris pupulasan dhasar kayu, sungging sawat, ana dening mungguh kang rupa jajarit, kan Ingsun larangi, bathik sawat, bathik parang rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik telacap, bathik huk, bathik sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik semen, bathik barong kang mawa lar, lan lurik ginggang kenthing, lurik ireng penganggone bocah Ingsun Mantri Jero Pinilih, bocah Katanggung, ana dening kang Sun wenangake anglarangi, bocah- Ingsun Mantri Jero Pinilih, lan maninge mungguh ing larangan, kang Sun Patedhakake putraningsun Ki Adipati Anom Hamengkunegara, bathik modang, lan lurik larog, ana dening kang anglarangi, iya bocahe putraningsun Ki Adipati Anom, iku sarupane bocah-Ingsun kang padha Sun wenangake anglarangi iki mau, yen marengi anglarangi padha tutura marang Wedanane, lan maninge putraningsun Bok Ratu Bendara.

(Sumber: P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University Press, 1980, hlm. 107.)

MOTIF-MOTIF BATIK LARANGAN

Motif Garuda Ageng

Motif Kawung

Motif Parang Rusak

Motif Sawat

Motif Udan Liris

MOTIF CIPTAAN SULTAN AGUNG

Motif Parang

Motif Sembagen Huk

MOTIF BATIK CIPTAAN DJOGO PERTIWI

Motif Irian

Motif Sekar Jagad

Motif Adiluhung

Motif Semar Mesem

Motif Gegot

(Sumber: Koleksi Museum Joglo Ciptowening, Imogiri, Bantul)