HIGEIA 5 (1) (2021)

HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia

Iklim, Sumber Agen, Breeding Places dan Resting Places Sekitar Penderita Filariasis Pesisir

Tri Putri Nur Milati1, Arum Siwiendrayanti1

1Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri ,

Info Artikel Abstrak ______Sejarah Artikel: Data filariasis tiga tahun terakhir di Kabupaten Demak yaitu 14 kasus (2016), 6 kasus (2017), dan Diterima 20 Oktober 3 kasus (2018). Meskipun jumlah kasus setiap tahun mengalami penurunan, keberadaan penderita 2020 dapat menjadi sumber penularan dengan faktor lingkungan yang mendukung keberadaan vektor. Disetujui 30 Desember Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui iklim, sumber agen, breeding places dan resting places 2020 sekitar penderita filariasis pesisir Demak. Jenis penelitian ini merupakan deskriptif kuantitatif. Dipublikasikan 31 Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus – Oktober 2019. Sampel berjumlah 13 rumah Januari 2021 penderita filariasis dengan menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan ______adalah lembar observasi dan Global Positioning System (GPS). Hasil penelitian menunjukan Kabupaten Demak memiliki iklim tropis. Rata-rata jarak variabel penelitian terhadap rumah Keywords: penderita yaitu genangan air (4,15 m); sungai (24,31 m); selokan (1,92 m); sawah (1,46 km); Environmental Factors, semak-semak (3,23 m); kandang ternak (7,92 m); dan penderita ke penderita lainnya (2,2 km). Patient of Filariasis Keberadaan faktor lingkungan yang ditemukan di sekitar penderita mendukung adanya potensi ______penularan filariasis. Hal ini disebabkan adanya faktor lingkungan dapat mempengaruhi DOI: keberadaan nyamuk sebagai vektor penularan filariasis. https://doi.org/10.15294 /higeia/v5i1/36329 ______Abstract ______Filariasis data in the last three years in Demak were 14 cases (2016), 6 cases (2017) and 3 cases (2018). Even though the numbers of cases decrease each year, the patients of lymphatic filariasis can be the sources of transmission through mosquito vectors. The purpose of study was to determine climate, source agents, breeding places, and resting places around patients of filariasis Demak coastal. This research used descriptive quantitative. This research was conducted in August – October 2019. Samples were 13 houses of patients using purposive sampling. The instruments used observation sheets and the Global Positioning System (GPS). The results showed Demak Regency has a tropical climate. The average distance from the patient’s house is puddle (4.15 m); river (24.31 m); drain (1.92 m); rice field (1.46 km); bushes (3.23 m); cattle pen (7.92 m); and patient to other patients (2.2 km). The environmental factors around patients support the potential for transmission of lymphatic filariasis, due to environmental factors can affect the existence mosquitoes as a vector of filariasis transmission.

© 2021 Universitas Negeri Semarang

  Alamat korespondensi: p ISSN 1475-362846 Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 e ISSN 1475-222656 E-mail: [email protected]

133

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

PENDAHULUAN Demak melaksanakan program eliminasi pemberian obat pencegahan massal (POPM) Filariasis limfatik merupakan penyakit filariasis (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa menular menahun yang disebabkan oleh cacing Tengah, 2018). Data kasus filariasis di filaria melalui nyamuk. Tiga spesies cacing Kabupaten Demak tiga tahun terakhir terdapat penyebab penyakit filariasis limfatik yaitu sebanyak 23 kasus, dengan rincian 13 kasus Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia (2016), 6 kasus (2017), dan 3 kasus (2018) timori (WHO, 2018a). Filariasis limfatik dapat (Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, 2019). menimbulkan peradangan kelenjar dan saluran Hasil analisis Bhunu dan Mushayabasa getah bening, seperti di kaki, ketiak, lengan, (2012), menunjukkan bahwa pelaksanaan payudara, buah zakar (scrotum) maupun program pengobatan filariasis dapat mengurangi kelamin wanita (Arsin, 2016). adanya kasus baru, akan tetapi tidak dapat Menurut WHO (2018a), terdapat 856 juta mencapai tingkat untuk menghilangkan orang dari 52 negara tetap berisiko terkena penyakit filariasis. Menurut Model Gordon atau filariasis limfatik. Diperkirakan pula, terdapat segitiga epidemiologi, terjadinya penularan 25 juta pria menderita hidrokel dan lebih dari 15 penyakit pada masyarakat dipengaruhi oleh tiga juta orang menderita limfedema. Sekitar 36 juta elemen utama yaitu host (pejamu/manusia), orang menunjukkan manifestasi kronis dari agent (penyebab penyakit), dan environment infeksi cacing filaria (WHO, 2018a). Kasus (lingkungan) (Arsin, 2016). Dalam penularan filariasis di Indonesia menempatkan Indonesia filariasis, keberadaan penderita filariasis dapat menjadi negara kedua endemis filariasis setelah menjadi sumber penular, dikarenakan pada India (WHO, 2018b). darah penderita filariasis mengandung Lebih dari 120 juta penduduk Indonesia mikrofilaria sebagai penyebab penyakit (agent) berada di daerah yang berisiko tinggi tertular (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan teori HL filariasis (Kemenkes RI, 2014). Pada tahun Blum, faktor lingkungan mempengaruhi 45% 2017, terdapat 12.677 kasus filariasis yang terhadap status kesehatan manusia tersebar di 34 provinsi. Provinsi Jawa Tengah dibandingkan dengan faktor perilaku (30%), merupakan salah satu provinsi yang belum faktor pelayanan kesehatan (20%) dan faktor satupun berhasil menurunkan Mf Rate < 1 % di genetik (5%) (Hapsari, 2009). Pada penularan kabupaten/kota endemis filariasis (Kemenkes filariasis, faktor lingkungan berperan dalam RI, 2018). Secara kumulatif, kasus filariasis di menciptakan tempat perkembangbiakan dan Jawa Tengah meningkat dari tahun 2016 tempat peristirahatan nyamuk sebagai vektor sebanyak 501 kasus filariasis menjadi 521 kasus penular dari penderita filariasis ke manusia pada tahun 2017 (Dinas Kesehatan Provinsi sehat lainnya. Jawa Tengah, 2018). Terdapat 2 Spesies nyamuk dominan di Kabupaten kabupaten/kota endemis filariasis di Jawa Demak yaitu Culex quinquefasciatus sebesar Tengah yaitu Kota dan Kabupaten 72,86% (Nurjazuli, 2018) dan Culex Vishnui Pekalongan pada tahun 2010 (Siwiendrayanti, sebesar 87 (Fitriyana, 2018). Menurut 2016) dan saat ini meningkat menjadi 9 Kemenkes RI (2014), menyatakan bahwa vektor kabupaten/kota (Dinas Kesehatan Provinsi filariasis dengan mikrofilaria Wuchereria bancrofti Jawa Tengah, 2018). di Jawa Tengah yaitu nyamuk Culex Kabupaten Demak dinyatakan sebagai quinquefasciatus. Nyamuk Culex biasanya salah satu kabupaten endemis di Jawa Tengah berkembang biak di genangan air. Culex dan memiliki Mf Rate > 1% berdasarkan hasil quinquefasciatus lebih menyukai habitat pemeriksaan yang dilakukan oleh Kementerian lingkungan yang kumuh, padat penduduk, dan Kesehatan RI pada tahun 2014 dengan banyak genangan air kotor (Arsin, 2016). menggunakan Imunocromatograhic Test (ICT) Berdasarkan pengamatan awal, (Nurjazuli, 2018). Pada tahun 2016, Kabupaten lingkungan pemukiman lokasi penelitian di

134

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

Kabupaten Demak sangat mendukung untuk Tujuan penelitian ini adalah untuk tempat perkembangbiakan dan peristirahatan mengetahui iklim, sumber agen, breeding places nyamuk, yaitu keberadaan genangan air, sungai, dan resting places sekitar penderita filariasis selokan, sawah, semak-semak, dan kandang pesisir Demak. Variabel yang diteliti adalah ternak. Selain itu, suhu, kelembapan udara dan kondisi iklim (suhu, kelembapan dan curah curah hujan juga mempengaruhi keberadaan hujan), jarak genangan air, sungai, selokan, nyamuk vektor. Jarak tempat tinggal di sekitar sawah, semak-semak, kandang ternak dan rumah penderita filariasis juga dapat penderita ke penderita lain. Perbedaan meningkatkan risiko penularan filariasis. penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah Keberadaan nyamuk sebagai vektor tidak dapat waktu pelaksanaan dilakukan pada tahun 2019 menularkan filariasis, apabila tidak terdapat dan variabel yang belum diteliti di penelitian sumber penular di sekitarnya, yaitu penderita sebelumnya. filariasis. Secara umum, terdapat 3 komponen METODE penting yang perlu diketahui dalam siklus penularan penyakit filariasis, yaitu 1) sumber Jenis penelitian yang digunakan dalam penularan, manusia atau hospes reservoir yang penelitian ini adalah penelitian deskriptif mengandung mikrofilaria dalam darahnya; 2) kuantitatif. variabel yang digunakan dalam vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan penelitian ini adalah faktor lingkungan di sekitar filariasis; dan 3) manusia yang rentan terhadap rumah penderita filariasis tahun 2016-2018 di filariasis (Ipa & Hendri, 2017; Kemenkes RI, Kabupaten Demak. Faktor lingkungan yang 2014). Nyamuk yang menjadi vektor penularan diamati adalah kondisi iklim (suhu, kelembapan harus menggigit penderita filariasis yang dan curah hujan), jarak genangan air, jarak mengandung mikrofilaria dalam darahnya. sungai, jarak selokan, jarak semak-semak, jarak Mikrofilaria dalam tubuh nyamuk larva cacing kandang ternak, jarak sawah, dan jarak tidak segera menjadi infektif, akan tetapi penderita ke penderita lain. memerlukan perkembangan menjadi larva Penelitian dilakukan pada Bulan Agustus stadium 1 (L1), larva stadium 2 (L2) dan – Oktober 2019 di tiga kecamatan di Kabupaten akhirnya enjadi larva stadium 3 (L3) yang Demak, yaitu Kecamatan Bonang, Kecamatan bersifat infektif. Waktu yang dibutuhkan untuk Sayung, dan Kecamatan Wedung. Tiga menjadi larva infektif bagi spesies Brugia kecamatan tersebut terletak di daerah pesisir berkisar 8 – 10 hari dan Wuchereria berkisar 10 – yang berpotensi adanya genangan rob karena 14 hari. Larva yang sudah infektif (L3) letaknya berbatasan dengan Laut Jawa di kemudian berada di probosis nyamuk dan akan sebelah utaranya. Berdasarkan laporan data berpindah ke manusia saat nyamuk menggigit kasus filariasis tiga tahun terakhir di Kabupaten (Arsin, 2016; Ipa & Hendri, 2017; Kemenkes Demak, Kecamatan Bonang dan Kecamatan RI, 2014). Sayung merupakan dua kecamatan yang Kemampuan nyamuk untuk memiliki kasus filariasis tertinggi di Kabupaten mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah Demak, yaitu Kecamatan Bonang dengan manusia yang positif mikrofilaria sangat jumlah sebanyak 7 kasus, dan Kecamatan terbatas. Apabila terlalu banyak mikrofilaria Sayung sebanyak 5 kasus. Kecamatan Wedung yang terhisap oleh nyamuk, dapat menyebabkan sebanyak 2 kasus pada tahun 2016 dan kematian nyamuk tersebut. Sebaliknya, apabila mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk terlalu filariasis, karena tahun sebelumnya tidak sedikit, maka kemungkinan terjadinya ditemukan kasus filariasis di Kecamatan penularan menjadi kecil karena stadium larva Wedung. Jumlah kasus filariasis pada tahun L3 yang dihasilkan juga sedikit (Arsin, 2016; Ipa 2016-2018 di tiga kecamatan tersebut yaitu 14 & Hendri, 2017; Kemenkes RI, 2014). penderita.

135

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

Sampel penelitian ini adalah rumah dan Tabel 1 Kondisi Iklim (Suhu Udara, lingkungan sekitar rumah dari penderita Kelembapan Udara dan Curah Hujan) Saat filariasis di tiga lokasi penelitian di Kabupaten Penelitian (Agustus-Oktober 2019) Demak pada tahun 2016-2018 dengan jumlah Suhu Kelembapa Curah N Udar n Udara Hujan sebanyak 13 orang. Teknik pengambilan sampel Bulan yang digunakan yaitu purposive sampling. Kriteria o a (%) (mm) (oC) * sampel yang digunakan antara lain rumah 1 Agustus 27,74 82,5 0 penderita filariasis tahun 2016-2018, penderita 2 Septembe 27,83 82,75 0 filariasis yang menjadi sampel masih hidup, dan r rumah penderita yang bersangkutan masih 3 Oktober 27,4 83,67 0 dapat diteliti lingkungannya. *Sumber: Data curah hujan didapatkan dari Sumber data menggunakan data primer Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dan data sekunder. Data primer diperoleh dari (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang. hasil pengamatan dan pengukuran suhu, kelembapan, jarak genangan air, jarak sungai, Ridha (2018) yang melaporkan bahwa kondisi jarak selokan, jarak semak-semak, jarak iklim di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas kandang ternak, jarak sawah terhadap rumah Barat, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan penderita dan jarak penderita ke penderita lain Tengah memiliki suhu berkisar 27,30oC – di sekitar rumah sampel. Pengukuran dilakukan 28,70oC, kelembapan udara berkisar 79,10%- menggunakan thermohygrometer untuk 87,67%, dan currah hujan antara 28,27-239,35 mendapatkan data suhu dan kelembapan, dan mm/hari. global positioning system (GPS) untuk Suhu dan kelembapan mempengaruhi mendapatkan data jarak faktor lingkungan frekuensi nyamuk menggigit manusia untuk terhadap rumah penderita. Sedangkan data melakukan siklus gonotropiknya. Siklus sekunder diperoleh dari data Dinas Kesehatan gonotropik merupakan waktu yang diperlukan Kabupaten Demak berupa data penderita oleh nyamuk untuk proses pematangan telur. filariasis dan Badan Meteorologi, Klimatologi Biasanya waktu pada siklus gonotropik ini juga dan Geofisika berupa data curah hujan Bulan merupakan interval menggigit nyamuk. Untuk Agustus – Oktober 2019. iklim tropis biasanya siklus gonotropik akan Analisis data yang digunakan dalam berlangsung selama sekitar 48-96 jam, penelitian ini adalah analisis univariat, untuk bergantung pada spesies nyamuknya (Mutiara & mengetahui iklim, sumber agen, breeding places Anindita, 2016). dan resting places sekitar penderita filariasis Terjadinya hujan akan menyebabkan pesisir Demak. Analisis univariat dalam adanya genangan air dan kelembapan yang penelitian ini menghasilkan nilai rata-rata, ideal bagi kelangsungan hidup nyamuk. Hujan minimum, maksimum, modus dan median dari mempengaruhi perkembangan nyamuk hasil pengukuran dalam bentuk tabel. berdasarkan deras atau tidaknya hujan. Pada curah hujan yang tinggi, genangan-genangan air HASIL DAN PEMBAHASAN sebagai tempat perkembang biakan nyamuk menjadi tidak tenang dan air nya akan selalu Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terganti, sehingga telur atau larva yang ada pada suhu udara pada bulan Agustus-Oktober 2019 genangan ikut terbawa aliran air hujan. Pada berkisar antara 27,40 – 27,83oC, kelembapan curah hujan yang rendah menyebabkan adanya udara berkisar antara 82,5 – 82,75%, dan curah genangan-genangan air yang lebih tenang hujan selama penelitian yaitu 0 mm. Pada saat daripada curah hujan tinggi. Pada penelitian penelitian dilaksanakan tidak terjadi hujan di Shidqon (2016) di Kelurahan Banyurip Kabupaten Demak (musim kemarau). Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Penelitian ini sejalan dengan penelitian Pekalongan bahwa telur dan atau larva nyamuk

136

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

Tabel 2 .Hasil Pengukuran Jarak dari Rumah Penderita Filariasis Modus Median Min Max No Variabel Penelitian Rata-rata (m) (m) (m) (m) (m) 1 Genangan air 4,15 0 4 0 11 2 Sungai 24,31 15 20 7 46 3 Selokan 1,92 1 2 0 5 4 Sawah 1.460 3.230 115 0 5400 5 Semak-semak 3,23 2 2 0 12 6 Kandang ternak 7,92 1 7 1 25 7 Penderita ke Penderita 2.200 0 1.500 0 5.500 Lainnya

Culex sp berkembang biak pada suhu 25oC – akan tinggal di kelenjar ludah (saliva glandula) 28oC, kelembapan udara 50% - 90%, dan curah nyamuk vektor untuk menjaga kelembapan hujan berkisar 40 – 300 mm per tahun. yang diperlukan agar tidak mati. Sedangkan Menurut penelitian Manyi (2015), larva pada suhu yang terlalu dingin, mikrofilaria mikrofilaria dapat berkembang optimal menjadi dalam tubuh nyamuk menjadi tidak terlalu aktif larva infektif pada suhu 26,9oC dan kelembapan sehingga perkembangan menjadi larva infektif 90%. Pada suhu yang terlalu panas, mikrofilaria menjadi terhambat. Genangan Air nyamuk, seperti larva nyamuk Culex Jarak rata-rata genangan air dengan quinquefasciatus (Yanuarini, 2015) dan larva rumah penderita filariasis di wilayah penelitian Anopheles spp (Sattler, 2005). pada bulan Agustus-Oktober 2019 yaitu 4,15 Menurut Anggraini dan Cahyati (2017), meter. Penelitian yang telah dilakukan oleh larva Aedes Aegypti dapat berkembang baik Roziyah (2015) di Kabupaten Pekalongan yang pada berbagai kondisi pH air dengan rentang dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis, pH 4 – pH 10, dengan perkembangan larva genangan air merupakan faktor risiko kejadian tertinggi terjadi pada pH 9. Jenis limbah rumah filariasis. Dengan jumlah air yang sedikit (50cc), tangga yang dialirkan di genangan air salah nyamuk dapat menggunakannya sebagai tempat satunya merupakan air hasil cucian yang berkembangbiak pada fase akuatik (Mulyono, bersifat basa. Merujuk pada penelitian tersebut, 2011 dalam penelitian Tallan & Mau, 2016). maka genangan air yang bercampur dengan air Fase akuatik mempengaruhi jumlah populasi sabun masih memiliki kemungkinan menjadi nyamuk karena nyamuk dewasa lahir dari tempat perkembangan. Ragam Anopheles sp perkembangan fase akuatik. Populasi akuatik juga dapat ditemukan di air limbah nyamuk akan bertambah seiring dengan jumlah (Gunathilaka, 2013), seperti larva Anopheles telur yang dihasilkan nyamuk dewasa dan vagus yang ditemukan pada limbah domestik air bertahan hidup di lingkungan akuatik nyamuk yang tercemar olffeh detergen (Cooper, 2010). (Palit, 2018). Selain di genangan air kotor, menurut Berdasarkan hasil pengamatan, genangan Masela (2012) menyatakan bahwa nyamuk air yang ditemukan di wilayah penelitian Aedes sp., Anopheles sp., dan Culex sp. juga dapat memiliki jenis air tawar dan jenis air payau. berkembang biak pada kondisi lingkungan air Selain itu, kondisi genangan air yang ditemukan payau. Air payau merupakan air yang sebagian besar bercampur dengan sampah dan mempunyai salinitas antara 0,5 ppt – 17 ppt limbah rumah tangga. Menurut Syuhada (2012), (Astuti, 2007). Hasil penelitian Ramasamy nyamuk genus Culex sp menyukai genangan air (2011) di Sri Lanka bahwa larva Aedes Aegypti dengan polusi tinggi. Hal ini dikarenakan dan Aedes Albopictus dapat bertahan hidup genangan air limbah yang bercampur dengan hingga dewasa pada air payau dengan salinitas sampah organik dapat menjadi tempat 2-15 ppt. Berdasarkan penelitian di Kecamatan perindukan yang baik sekali karena masih Rajabasa, Anopheles sundaicus dapat tumbuh mengandung nutrisi dan bahan organik bagi optimal pada air payau dengan kadar garam 12

137

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021) ppt – 18 ppt (Pratama, 2015). banyak larva Aedes dan Culex di sekitar Keberadaan eceng gondok dan ikan mas pemukiman. Adapun salah satu faktor yang juga mampu mempengaruhi perkembangan menyebabkan banyak ditemukannya larva yaitu nyamuk pada fase akuatik. Larva atau jentik adanya bantaran sungai, dengan spesies larva nyamuk yang ditemukan pada saat penelitian dominan yang ditemukan adalah Culex ditemukan pada genangan air yang bercampur quinquefasciatus (Islamiyah, 2013). dengan limbah rumah tangga dan terdapat Selain itu, juga ditemukan kondisi sungai tanaman eceng gondok. Keberadaan eceng dengan jumlah air yang sedikit dan hanya gondok (Eichhornia crassipes) pada genangan air menggenang terutama dekat dengan aliran pipa mampu menjadi media peletakkan telur Aedes limbah rumah tangga. Menurut Inunggita aegypti (Agustin, 2017). Sedangkan ikan mas (2019), kondisi sungai yang kering tergolong ikan pemakan segalanya (omnivora) menghasilkan cekungan air di tepi sungai atau (Sofiana, 2013). di bebatuan retak. Hal ini menyebabkan Sungai munculnya potensi habitat Anopheles sp. Jarak rata-rata sungai dengan rumah Akan tetapi, keberadaan sungai sebagai penderita filariasis di wilayah penelitian yaitu tempat perkembangbiakan nyamuk juga 24,31 m. Berdasarkan penelitian Rahanyamtel dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sungai (2019) menyatakan bahwa sungai yang memiliki dan sekitarnya. Lokasi sungai yang dekat aliran air yang tenang dapat digunakan sebagai dengan pesisir biasanya menjadi jalur tempat berkembang nyamuk yang terdapat di transportasi kapal atau perahu para nelayan sekitar rumah responden. Keberadaan tempat disekitarnya. Sehingga aliran sungai menjadi berkembang nyamuk di sekitar rumah tidak tenang dan tidak ideal untuk responden sangat mempengaruhi kehidupan perkembangbiak nyamuk. Keberadaan ikan dan nyamuk, antara lain sebagai tempat meletakkan tanaman air di sungai juga mempengaruhi telur, tempat mencari makan, berlindung bagi keberadaan larva nyamuk, seperti ikan cere jentik dan tempat hinggap nyamuk dewasa. (Gambusia affinis) dan eceng gondok (Eichhornia Berdasarkan hasil observasi lingkungan, crassipes). Ikan cere merupakan jenis ikan dari terdapat sungai di sekitar rumah penderita famili Poeciliidae. Ikan ini mampu hidup di air memiliki kondisi yang kotor dan tidak mengalir, yang kotor dan dapat menjadi predator larva akibat dari pembuangan air limbah rumah nyamuk. Sedangkan, keberadaan eceng gondok tangga dan sampah. Letak tempat pembuangan dapat menjadi media peletakkan telur nyamuk. sampah yang berdekatan dengan sungai dan Selokan ditemukannya tempat pembuangan sampah Jarak rata-rata selokan terhadap rumah tanpa wadah seharusnya, juga mengakibatkan penderita adalah 1,92 meter. Penelitian ini sampah yang menumpuk jatuh ke badan sungai. sejalan dengan penelitian Yanuarini (2015) di Kondisi tersebut mengakibatkan air tidak Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan, rata- mengalir, bahkan meluap hingga belakang rata keberadaan selokan di sekitar rumah rumah penderita. responden memiliki jarak kurang lebih 3 meter Jenis nyamuk Culex spp memiliki dari rumah dan kondisi selokan terbuka. Ridha kesukaan berkembangbiak pada genangan air (2016) melaporkan pula jarak selokan ke kotor seperti tempat pembuangan air limbah pemukiman berkisar antara 5 – 10 meter. (Munawwaroh dan Pawenang, 2016). Valiant Hasil pengamatan menunjukkan bahwa (2010) juga menyatakan bahwa nyamuk Culex selokan yang ditemukan di sekitar rumah sp. lebih menyukai air yang kotor seperti penderita sebagian besar masih dalam kondisi genangan air kotor, limbah pembuangan mandi, terbuka dan sebagian kecil sudah tertutup. Air got dan sungai yang penuh sampah. Penelitian selokan yang ditemukan berasal dari air yang dilakukan di kawasan Kecamatan pembuangan domestik yang tidak mengalir atau Dlanggu, Kabupaten Mojokerto, menemukan mengalir pelan, karena pada saat penelitian

138

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021) berlangsung terjadi musim kemarau sehingga pesisir dan wilayah yag jauh dari pantai. Hasil tidak terdapat air hujan di selokan. Keberadaan penelitian tersebut menunjukkan pada wilayah drainase yang buruk di Menshiat Al-Qanater penelitian yang jauh dari pantai, keberadaan menjadi tempat perkembang biakan nyamuk penderita memiliki jarak yang cukup dekat dominan Culex quinquefasciatus dan dengan area persawahan dan dapat menjadi mempengaruhi penularan filariasis (Dahesh dan faktor risiko penularan penyakit filariasis. Ibrahim, 2018). Penelitian Salim (2016) melaporkan bahwa Ridha (2016) melaporkan penangkapan responden yang bertempat tinggal dekat dengan nyamuk yang telah dilakukan di Desa sawah (≤200 meter) berisiko terinfeksi filariasis Mandomai, Kabupaten Kapuas Provinsi 0,21 kali dibandingkan responden yang tidak Kalimantan Tengah menemukan genus Culex sp bertempat tinggal dekat dengan sawah. yang dominan, dengan spesies tertinggi yaitu Keberadaan sawah memiliki kondisi yang Culex tritaeniorhynchus, Culex quinquefasciatus, dan cocok sebagai tempat perkembang biakan Culex bitaeniorhynchus. Hal ini diduga nyamuk vektor karena air yang terdapat di disebabkan karena lokasi sekitar pemukiman persawahan memiliki dasar tanah dan biasanya ditemukan selokan yang merupakan habitat mengalir lambat atau cenderung menggenang potensial bagi ketiga spesies nyamuk tersebut. (kecuali aliran irigasi). Berdasarkan survei fauna Spesies larva Culex quinquefasciatus tidak yang dilakukan oleh Dharma (2004) di Desa terpengaruh dengan adanya kekeruhan air, Marga Mulya, Kecamatan Mauk Tangerang, karena spesies ini mempunyai daya adaptasi tempat perindukan yang banyak ditemukan yang cukup tinggi (Novianto, 2007). spesies nyamuknya adalah sawah. Spesies Keberadaan lumut hijau (Enleroinorplia sp) nyamuk yang ditemukan yaitu Anopheles dan ikan kepala timah di selokan dapat subpictus, Anopheles vagus, Culex bitaeniorhynchus, mempengaruhi keberadaan dan kepadatan larva dan Culex tritaeniorhynchus. nyamuk. Lumut dapat mempengaruhi Semak-semak kehidupan larva karena lumut dapat Jarak rata-rata semak-semak terhadap menghalangi sinar matahari dan melindungi rumah penderita adalah 3,23 meter. Menurut dari predator sehingga dapat meningkatkan penelitian Sipayung (2014) di Kabupaten Sarmi, kepadatan larva. Adanya ikan kepala timah menyatakan bahwa keberadaan semak liar yang (Panchax sp) merupakan predator larva dan terdapat di sekitar rumah dengan jarak kurang menyebabkan berkurangnya kepadatan larva dari 500 meter berhubungan dengan kejadian (Arsin, 2016). filariasis pada daerah endemis di Kabupaten Sawah Sarmi. Jarak rata-rata keberadaan sawah Semak-semak yang ditemukan terhadap rumah penderita filariasis adalah 1,46 merupakan tumbuhan rerumputan liar dan kilometer. Lokasi penelitian yang diamati tanaman hias. Vegetasi yang ditemukan di merupakan daerah pesisir yang berbatasan semak-semak berperan sebagai tempat dengan Laut Jawa, sehingga penderita yang peristirahatan nyamuk setelah perkembang bertempat tinggal di kawasan rawan rob biakan fase akuatik dan sebagai pelindung agar memiliki jarak dengan keberadaan sawah lebih tidak terkena sinar matahari secara langsung jauh daripada penderita yang tidak tinggal di yang dapat menyebabkan peningkatan suhu kawasan rawan rob. Oleh karena itu, rentang (Tallan & Mau, 2016). Penelitian Paiting (2012) antara pengukuran jarak terdekat dan terjauh juga menyatakan bahwa semak-semak memiliki memiliki selisih yang sangat banyak. kelembapan yang ideal bagi perkembang biakan Penelitian ini sejalan dengan penelitian nyamuk untuk mencari tempat peristirahatan Wulandhari dan Pawenang (2017) di Kota yang lembap dan basah di luar rumah. Pekalongan dengan wilayah lokasi penelitian Selain itu, kondisi semak-semak yang yang memiliki dua karakteristik yaitu wilayah tidak terurus dan beberapa ditemukan

139

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021) bercampur dengan sampah serta terdapat zooantropofilik (zoofilik dan antropofilik) genangan air di bawahnya dari limbah rumah (Kemenkes RI, 2014). Spesies nyamuk yang tangga. Kondisi semak-semak yang terdapat air memiliki sifat zoofilik lebih menyukai menggigit yang tergenang dibawahnya dapat hewan ternak daripada manusia. Sehingga mempengaruhi kepadatan vektor. Menurut keberadaan hewan ternak disekitar rumah akan Harmendo (2009), kondisi ini merupakan menjadi barrier atau penangkal dari gigitan termpat yang baik bagi nyamuk karena nyamuk terhadap manusia. Sedangkan spesies ditemukannya tempat peristirahatan nyamuk nyamuk dengan sifat antropofilik lebih (resting place) dan juga tempat perindukan menyukai menggigit manusia daripada hewan nyamuk (breeding place). Pada penelitian ternak. Sehingga keberadaan kandang ternak di Windiastuti (2013) melaporkan bahwa spesies sekitar rumah dapat menjadi tempat Culex quinquefasciatus memilih semak-semak peristirahatan nyamuk setelah dan sebelum sebagai tempat beristirahat jika berada di luar menggigit manusia, menunggu pematangan rumah setelah menggigit manusia. telur atau perkembangan parasit menjadi Kandang Ternak infektif. Jarak rata-rata kandang ternak terhadap Penelitian Maksud (2018) di Kecamatan rumah penderita filariasis sebesar 7,92 meter. Mantikulore Kota Palu melaporkan bahwa hasil Hewan ternak yang ditemukan di dekat lokasi penangkapan nyamuk di empat lokasi penelitian yaitu ayam dan kuda. Pada penelitian penangkapan di sekitar kandang ternak Ginandjar (2005) menyatakan bahwa orang ditemukan spesies nyamuk yang banyak yang bertempat tinggal di dekat kandang ternak ditemukan adalah Culex vishnui. Sedangkan satu dengan jarak kurang dari 10 meter memiliki lokasi penangkapan lainnya, spesies yang paling risiko tertular filariasis 4,829 kali. Menurut melimpah adalah Culex quinquefasciatus. Febrianto (2008), keberadaan kandang ternak di Menurut Febrianto (2008), menyatakan bahwa sekitar rumah dapat mempengaruhi terjadinya hewan ternak yang dipelihara ternyata tidak penularan filariasis di Desa Samborejo, memberikan pengaruh terhadap penularan Kabupaten Pekalongan. Hasil penelitiannya filariasis, karena spesies nyamuk Culex juga menunjukkan bahwa orang yang tinggal di quinquefasciatus sebagai nyamuk vektor di sekitar kandang ternak berisiko sembilan kali Kabupaten Pekalongan merupakan spesies dibandingkan orang yang di sekitar rumahnya nyamuk antropofilik, artinya nyamuk vektor tidak memiliki kandang ternak. lebih menyukai untuk menggigit manusia. Pengamatan lingkungan di sekitar Keberadaan ternak akan berpengaruh kandang ternak, ditemukan pula adanya pada penularan filariasis, karena adanya genangan air di bawah kandang ternak. Kotoran kandang ternak dapat digunakan nyamuk yang dihasilkan dari hewan ternak langsung sebagai tempat peristirahatan bagi nyamuk. Hal jatuh ke genangan air yang menggenang. ini karena suhu, kelembapan dan pencahayaan Kondisi tersebut mempengaruhi pada kepadatan di dalam kandang ternak merupakan kondisi nyamuk dan penularan filariasis, karena optimal bagi perkembangan nyamuk vektor ditemukannya tempat perkembangbiakan dan (Ambarita dan Sitorus, 2006). Sehingga, adanya peristirahatan nyamuk di lokasi yang hewan ternak tidak dapat digunakan sebagai berdekatan dengan sumber penularan filariasis. barrier dari gigitan nyamuk. Keberadaan Keberadaan hewan ternak disekitar kandang ternak di sekitar penderita filariasis rumah dapat digunakan sebagai barrier terhadap justru mendukung untuk perkembang biakan gigitan nyamuk atau sebaliknya, keberadaan nyamuk, kepadatan nyamuk dan penularan ternak dapat digunakan sebagai tempat filariasis oleh nyamuk vektor. perkembangan yang ideal bagi nyamuk. Hal ini Penelitian lain dari Indriyati (2017) bergantung pada sifat spesies nyamuk yang menyatakan bahwa kepadatan tertinggi nyamuk ditemukan, yaitu zoofilik, antropofilik dan yang tertangkap di Desa Siayuh (Trans)

140

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan perkembangbiakan nyamuk. Selain itu, menurut Selatan terdapat di kandang ternak. Populasi Syuhada (2012), kepadatan hunian yang tinggi tertinggi yang ditemukan adalah Anopheles sp akan mendatangkan nyamuk yang lebih banyak, dengan spesies dominan Anopheles vagus. Dalam hal ini bisa disebabkan karena kelembapan penelitian tersebut, genus Anopheles sp memiliki udara tinggi dan disukai nyamuk. sifat zoofilik, yang lebih menyukai menggigit Berdasarkan pengamatan di wilayah hewan daripada manusia. Hasil penelitian penelitian, lokasi antar penderita yang Kusuma dan Widyanto (2016), juga berdekatan memiliki lingkungan sekitar menyatakan bahwa spesies Anopheles vagus penderita yang masih ditemukan tempat banyak ditemukan di kandang ternak di perkembangbiakan nyamuk. Nyamuk yang Kabupaten Pangandaran. Sifat menggigit dapat menularkan filariasis merupakan nyamuk nyamuk dapat berubah sesuai dengan kondisi yang mengandung larva infektif (L3) cacing lingkungan yang ditemukan dan adaptasi yang filaria. Menurut CDC (2019), dibutuhkan dilakukan oleh nyamuk. Penelitian Sukendra beberapa kali gigitan nyamuk selama beberapa dan Shidqon (2016) di Kecamatan Pekalongan bulan hingga tahun untuk menderita filariasis. Selatan menyatakan bahwa genus Culex sp Meskipun filariasis ditularkan oleh nyamuk menghisap darah hewan dan manusia sama seperti dengan beberapa penyakit vektor (zooantropofilik). lainnya, namun pada kenyataannya seseorang Penderita ke Penderita lainnya dapat terkena filariasis apabila ia mendapatkan Menurut Arsin (2016), salah satu ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk yang penularan filariasis dapat terjadi apabila adanya mengandung L3 (Arsin, 2016). Oleh karena itu, sumber penularan. Sumber penularan yakni seseorang yang tinggal diantara kedua penderita manusia atau hospes reservoir yang memiliki potensi penularan yang tinggi dan mengandung mikrofilaria dalam darahnya. kemungkinan lebih terpapar dengan nyamuk Ditemukannya penderita positif microfilaria yang menggigit kedua penderita (sumber dapat mengindikasi adanya potensi penularan penularan) daripada seseorang yang tinggal filariasis (Suryaningtyas, 2018). tidak diantara kedua penderita. Hasil penelitian menunjukkan jarak rata- Menurut WHO (2013), kemampuan rata antar penderita filariasis tahun 2016-2018 jarak terbang nyamuk vektor berkisar 200 meter yaitu sebesar 2,2 km. Menurut hasil penelitian hingga 3 kilometer. Jarak terbang nyamuk Sularno (2017) bahwa tinggal disekitar penderita tersebut dapat mencapai lebih dari kemampuan filariasis merupakan salah satu faktor risiko jarak terbangnya apabila dipengaruhi adanya penularan filariasis. Lokasi antar penderita yang angin. Menurut Mangguang (2015), kecepatan berdekatan memberikan kemungkinan lebih angin berkisar 11 m/s hingga 14 m/s akan berpotensi terkena filariasis. Selain itu, tinggal menghambat kemampuan terbang nyamuk. atau berada di sekitar penderita dengan Kecepatan angin yang tinggi dapat memperluas kepadatan vektor tentunya akan lebih berisiko jarak terbang nyamuk hingga jarak 30 km. dan lebih banyak berinteraksi dengan nyamuk Penelitian oleh Verdonschot dan Besse- yang menggigit penderita, yang selanjutnya Lototskaya (2014), melaporkan bahwa rata-rata akan menggigit manusia sehat lain yang dekat jangkauan penerbangan maksimal nyamuk dengan penderita. berkisar 50 meter hingga 50 km, bergantung Hasil penelitian dari Yunarko dan pada spesies nyamuk. Berdasarkan hasil Patanduk (2016) menyatakan bahwa pengukuran pada penelitian ini, jarak genangan penyebaran filariasis di Desa Kahale berada air, sungai, selokan, sawah, semak-semak, pada zona penyangga tempat potensial kandang ternak dan penderita lain terhadap perkembangbiakan nyamuk. Berdasarkan rumah penderita filariasis menunjukkan nilai pengamatan lingkungan sekitar rumah penderita rata-rata yang masih dalam jangkauan terbang masih banyak ditemukan tempat nyamuk vektor. Sehingga potensi penularan

141

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021) masih dapat terjadi apabila nyamuk menghisap Endemis Filariasis), Sumatera Selatan Tahun darah penderita dan menularkan ke manusia 2004. Jurnal Ekologi Kesehatan, 5(1): 368–375. sehat lainnya melalui gigitan nyamuk. Oleh Anggraini, T. S., & Cahyati, W. H. 2017. karena itu, perlu dilakukan pencegahan Perkembangan Aedes Aegypti pada Berbagai pH Air dan Salinitas Air. HIGEIA (Journal of penularan filariasis dengan melakukan proteksi Public Health Research and Development), 1(3): diri dan pengelolaan lingkungan yang baik. 1–10. Arsin, A. A. (2016). Epidemiologi Filariasis di Indonesia. PENUTUP (A. P. Duhri, Ed.) (1st ed.). Makassar: Masagena Press. Simpulan dalam penelitian ini adalah Astuti, W., Jamali, A., & Amin, M. 2007. Desalinasi faktor lingkungan yang ditemukan masih Air Payau Menggunakan Surfactant Modified mendukung untuk terjadinya penularan Zeolite (SMZ). Jurnal Zeolit Indonesia, 6(1): 32–37. filariasis. Kondisi iklim pada Bulan Agustus- Bhunu, C. P., & Mushayabasa, S. 2012. Transmission Oktober 2019 menunjukkan suhu, kelembapan Dynamics of Lymphatic Filariasis : A udara dan curah hujan di Kabupaten Demak Mathematical Approach. International sesuai dengan kondisi iklim yang dibutuhkan Scholarly Research Network (ISRN) nyamuk vektor untuk perkembang biakan dan Biomathematics, 1–9. mikrofilaria bertahan hidup dalam tubuh CDC. 2019. Parasites - Lymphatic Filariasis. nyamuk. Jarak faktor lingkungan (genangan air, https://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis sungai, selokan, sawah, semak-semak, kandang /epi.html diakses pada tanggal 15 Oktober ternak dan rumah penderita lain) terhadap 2019. Cooper, R. D., Edstein, M. D., Frances, S. P., & rumah penderita filariasis memiliki nilai rata- Beebe, N. W. 2010. Malaria vectors of Timor- rata yang masih termasuk dalam jangkauan Leste. Malaria Journal, 9(40): 1–11. kemampuan terbang nyamuk vektor. Sehingga Dahesh, S. M., & Ibrahim, B. E. F. 2018. Update on penularan filariasis masih berpotensi terjadi Filariasis in Villages of Menshiat Al Qanater dengan faktor lingkungan yang mendukung. District, Giza Governorate, Egypt. Penelitian ini hanya menggambarkan Parasitologists United Journal, 11(1): 32–43. faktor lingkungan dan jarak faktor lingkungan Dharma, W., Hoedojo, Abikusno, N., Suriptiastuti, terhadap rumah penderita. Peneliti selanjutnya Inggrid, A., & Sutanto, B. A. 2004. Survei diharapkan dapat melakukan penelitian lebih Fauna Nyamuk di Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk, Tangerang. Jurnal lanjut terkait larva nyamuk dan nyamuk vektor Kedokteran Trisakti, 23(2): 57–62. yang ditemukan pada tempat perindukkan, Dinas Kesehatan Kabupaten Demak. 2019. Laporan sehingga dapat mengetahui faktor lingkungan Kasus Penderita Filariasis (Klinis) Dinas dominan bagi perkembangbiakan nyamuk. Kesehatan Kabupaten Demak Tahun 1995- 2018. Selain itu, perlu dilakukan kegiatan survei darah Demak. jari (SDJ) untuk mengetahui masih ada atau Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Profil tidaknya sumber penularan dan melakukan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. evaluasi dan monitoring terhadap program Febrianto, B., Maharani, A., & Widiarti. 2008. pencegahan yang sudah dilaksanakan. Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan,

Jawa Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan, DAFTAR PUSTAKA 36(2): 48–58. Fitriyana, Sukendra, D. M., & Windraswara, R. Agustin, I., Tarwotjo, U., & Rahadian, R. 2017. 2018. Distribusi Spasial Vektor Potensial Perilaku Bertelur dan Siklus Hidup Aedes Filariasis dan Habitatnya di Daerah Endemis. aegypti pada Berbagai Media Air. Jurnal HIGEIA (Journal of Public Health Research and Biologi, 6(4): 71–81. Development), 2(2): 320–330. Ambarita, L. P., & Sitorus, H. 2006. Studi Ginandjar, P., Hidayati, & Gambiro. 2005. Faktor Komunitas Nyamuk di Desa Sebubus (Daerah Lingkungan Yang Berkaitan Dengan

142

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

Kejadian Malaria (Studi Di Wilayah Kerja Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR), Puskesmas Kepil I Kabupaten 22(1),:241–256. Tahun 2004). Jurnal Kesehatan Lingkungan Manyi, M. M.-T., Imandeh, G. N., & Onekutu, A. Indonesia, 4(1): 1–8. 2015. Variability of Microfilarial Infection and Gunathilaka, N., Fernando, T., Hapugoda, M., Infectivity Rates in Some Anophelinae of Wickremasinghe, R., Wijeyerathne, P., & Makurdi, North Central Nigeria. International Abeyewickreme, W. 2013. Anopheles Journal of Science Innovations and Discoveries, 5, Culicifacies Breeding in Polluted Water 1–13. Bodies in Trincomalee District of Sri Lanka. Masela, D. F. 2012. Pengaruh Struktur dan Malaria Journal, 12(285): 1–6. Komposisi Mangrove bagi Kerapatan Hapsari, D., Sari, P., & Pradono, J. 2009. Pengaruh Nyamuk di Desa Kopi dan Desa Minanga Lingkungan Sehat, dan Perilaku Hidup Sehat Kecamatan Bintauna. Cocos, 1(2): 1–8. terhadap Status Kesehatan. Buletin Penelitian Munawwaroh, L., & Pawenang, E. T. 2016. Evaluasi Kesehatan Supplement, 40–49. Program Eliminasi Filariasis dari Aspek Harmendo, Endah W, N., & Mursid, R. 2009. Faktor Perilaku dan Perubahan Lingkungan. Unnes Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Journal of Public Health, 5(3): 195–204. Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat Mutiara, H., & Anindita. 2016. Filariasis : Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Majority, Bangka Belitung. Jurnal Kesehatan Lingkungan 5(3): 11–16. Indonesia, 8(1): 15–19. Novianto, I. W. 2007. Kemampuan Hidup Larva Culex Indriyati, L., Sembiring, W. S. R., & Rosanji, A. quinquefasciatus Say. pada Habitat Limbah Cair 2017. Keanekaragaman Anopheles spp. di Rumah Tangga. . Daerah Endemis Malaria Desa Siayuh (Trans) Nurjazuli, Dangiran, H. L., & Bari’ah, A. A. 2018. Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Analisis Spasial Kejadian Filariasis di Selatan. Aspirator, 9(1): 11–20. Kabupaten Demak Jawa Tengah. Jurnal Inunggita, R., Saraswati, L. D., & Martini. (2019). Kesehatan Lingkungan Indonesia, 17(1): 46–51. Breeding Places Characteristic of Anopheles Paiting, Y. S. S., Setiani, O., & Sulistiyani. 2012. Mosquito in Bagelen Subdistrict , Purworejo. IOP Faktor Risiko Lingkungan dan Kebiasaan Conf. Series: Earth and Environmental Science. Penduduk Berhubungan dengan Kejadian Ipa, M., & Hendri, J. 2017. Menghapus Jejak Kaki Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Gajah. Yogyakarta: PT Kanisius. Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Jurnal Islamiyah, M., Leksono, A. S., & Gama, Z. P. 2013. Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1): 76–81. Distribusi dan Komposisi Nyamuk di Palit, C. L. 2018. Sistem Dinamik Penyebaran Penyakit Wilayah Mojokerto. Jurnal Biotropika, 1(2): DBD yang Melibatkan Daur Hidup Akuatik 80–85. Nyamuk. Bogor. Kemenkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Pratama, G. Y. 2015. Nyamuk Anopheles sp dan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 tentang Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Penanggulangan Filariasis. Rajabasa, Lampung Selatan. Majority, 4(1): Kemenkes RI. 2018. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 20–27. 2017. . Rahanyamtel, R., Nurjazuli, & Sulistiyani. 2019. Kusuma, U., & Widyanto, A. 2016. Deskripsi Faktor Lingkungan dan Praktik Masyarakat Bionomik Nyamuk Anopheles sp di Wilayah Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran Kabupaten Semarang. Jurnal Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016. Jurnal Lingkungan Indonesia, 18(1): 8–11. Kesehatan Lingkungan, 35, 383–388. Ramasamy, R., Surendran, S. N., Jude, P. J., Maksud, M., Udin, Y., Mustafa, H., & Risti. 2018. Dharshini, S., & Vinobaba, M. 2011. Larval Diversitas Nyamuk di Sekitar Kandang Development of Aedes aegypti and Aedes Ternak di Kecamatan Mantikulore Kota Palu. albopictus in Peri-Urban Brackish Water and Aspirator, 10(2): 111–118. Its Implications for Transmission of Arboviral Mangguang, M. D., Kusnanto, H., & Lazuardi, L. Diseases. PLOS Neglected Tropical Diseases, 2015. The Relations of Climate and Land Use 5(11): 1–10. with the Incident of Filariasis in Pasaman Barat 2007-2013. International Journal of

143

Tri, P. N. M., Arum, S. / Iklim, Sumber Agen/ HIGEIA 5 (1) (2021)

Ridha, M. R. 2016. Vektor Potensial Filariasis dan Suryaningtyas, N. H., Arisanti, M., Satriani, A. V., Habitatnya di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Inzana, N., Santoso, & Suhardi. 2018. Provinsi Kalimantan Tengah. Bogor. Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Ridha, M. R., Juhairiyah, & Fakhrizal, D. 2018. Pasca- Transmission Assessment Survey Pengaruh Iklim terhadap Peluang Umur (TAS) -2 Menuju Eliminasi Filariasis di Nyamuk Mansonia spp di Daerah Endemis Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung. Filariasis di Kabupaten Kapuas. Jurnal Buletin Penelitian Kesehatan, 46(1): 35–44. Kesehatan Lingkungan Indonesia, 17(2): 74–79. Syuhada, Y., Nurjazuli, & Endah W, N. 2012. Studi Roziyah, I. A. 2015. Hubungan Kondisi Fisik Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Masyarakat sebagai Faktor Risiko Kejadian Kejadian Filariasis di Kelurahan Padukuhan Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kraton Kota Pekalongan Tahun 2015. Semarang. Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Salim, M. F., Santoso, T. B. T., & Kusnanto, H. Lingkungan Indonesia, 11(1): 95–101. 2016. Zona Kerentanan Filariasis Berdasarkan Tallan, M. M., & Mau, F. 2016. Karakteristik Habitat Faktor Risiko dengan Pendekatan Sistem Perkembangbiakan Vektor Filariasis di Informasi Geografis. Journal of Information Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Systems for Public Health, 1(1): 16–24. Barat Daya. Aspirator, 8(2): 55–62. Sattler, M. A., Mtasiwa, D., Kiama, M., Premji, Z., Valiant, M., Soeng, S., & Tjahjani, S. 2010. Efek Tanner, M., Killeen, G. F., & Lengeler, C. Infusa Daun Pepaya (Carica papaya L.) 2005. Habitat Characterization and Spatial terhadap Larva Nyamuk Culex sp. Jurnal Distribution of Anopheles sp. Mosquito Kesehatan Masyarakat, 9(2): 155–160. Larvae in Dar es Salaam (Tanzania) during Verdonschot, P. F. M., & Besse-Lototskaya, A. A. An Extended Dry Period. Malaria Journal, 15, 2014. Flight Distance of Mosquitoes 1–15. (Culicidae): A metadata Analysis to Support Shidqon, M. A. 2016. Bionomik Nyamuk Culex sp the Management of Barrier Zones around sebagai Vektor Penyakit Filariasis Wuchereria Rewetted and Newly Constructed Wetlands. bancrofti (Studi di Kelurahan Banyurip Limnologica, 45: 69–79. Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan WHO. 2013. A Handbook for National Elimination Tahun 2015). Semarang. Programmes. Italia. Sipayung, M., Wahjuni, C. U., & Devy, S. R. 2014. WHO. 2018. Global Programme to Eliminate Lymphatic Pengaruh Lingkungan Biologi dan Upaya Filariasis: Progress Report, 2017 (Vol. 93). Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Switzerland. Filariasis Limfatik di Kabupaten Sarmi. Jurnal Windiastuti, I. A., Suhartono, & Nurjazuli. 2013. Berkala Epidemiologi, 2(2): 263–273. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah, Siwiendrayanti, A., Pawenang, E. T., & Indarjo, S. Sosial Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat 2016. The Community Diagnosis of Filariasis dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Endemic Villages in Pekalongan City. Jurnal Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 12(1): 100–110. Kesehatan Lingkungan Indonesia, 12(1): 51–57. Sofiana, L. 2013. Uji Lapangan Ikan sebagai Predator Wulandhari, S. A., & Pawenang, E. T. 2017. Analisis Alami Larva Aedes aegypti di Masyarakat Spasial Aspek Kesehatan Lingkungan dengan (Studi Kasus di Daerah Endemis DBD Kejadian Filariasis di Kota Pekalongan. Unnes Kelurahan Gajahmungkur Kota Semarang). Journal of Public Health, 6(1): 59–67. Unnes Journal of Public Health, 2(4): 1–9. Yanuarini, C. 2015. Faktor-Faktor yang Sukendra, D. M., & Shidqon, M. A. 2016. Gambaran Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Perilaku Menggigit Nyamuk Culex sp. sebagai Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan. Vektor Penyakit Filariasis Wuchereria Jurnal Keperawatan, 8(1): 73–86. bancrofti. Jurnal Pena Medika, 6(1): 19–33. Yunarko, R., & Patanduk, Y. 2016. Distribusi Sularno, S., Nurjazuli, & Raharjo, M. 2017. Faktor- Filariasis Brugia Timori dan Wuchereria Bancrofti Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Filariasis di Kecamatan Buaran Kabupaten Kabupaten Sumba Barat Daya , NTT. BALABA, Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan 12(2): 89–98. Indonesia, 16(1): 22–28.

144