PENYEBARAN DI CAGAR ALAM TANGKOKO, SUAKA MARGASATWA TANJUNG AMOLENGO DAN SUAKA MARGASATWA TANJUNG PEROPA DENGAN PENDEKATAN DUET CALL

ANNISA AL MAIDAH

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2020 / 1441 H

i

PENYEBARAN TARSIUS DI CAGAR ALAM TANGKOKO, SUAKA MARGASATWA TANJUNG AMOLENGO, DAN SUAKA MARGASATWA TANJUNG PEROPA DENGAN PENDEKATAN DUET CALL

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ANNISA AL MAIDAH 11160950000047

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M / 1441 H

ii

PEYEBARAN TARSIUS DI CAGAR ALAM TANGKOKO, SUAKA MARGASATWA TANJUNG AMOLENGO DAN SUAKA MARGASATWA TANJUNG PEROPA DENGAN PENDEKATAN DUET CALL

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ANNISA AL MAIDAH 11160950000047

Menyetujui:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Drs. Paskal Sukandar, M.Si NIP. 196903172003122001 NIP. 195103251982101001

Mengetahui, Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si NIP. 197505262000122001

iii

iv

ABSTRAK

Annisa Al Maidah. Penyebaran Tarsius di Cagar Alam Tangkoko, Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dengan Pendekatan Duet Call. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Dibimbing oleh Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. dan Drs. Paskal Sukandar, M.Si.

Tarsius memiliki perilaku vokal mencolok yang disebut dengan duet call. Karakteristik duet call akan menghasilkan bentuk spektrum yang berbeda-beda tiap jenisnya. Informasi mengenai jenis dan sebaran Tarsius dengan pendekatan duet call di Utara dan Sulawesi Tenggara saat ini masih kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran Tarsius di Cagar Alam Tangkoko, Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dengan pendekatan duet call. Pengumpulan duet call Tarsius dilakukan pada pukul 04.30- 06.30 WITA serta dilakukan analisis vegetasi dengan metode kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bentuk duet call Tarsius di Cagar Alam Tangkoko merupakan kelompok Tarsius jenis Tarsius spectrumgurskyae. Hasil analisis suara Tarsius sp., di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa tidak ditemukan adanya kemiripan bentuk duet call dengan Tarsius (synonym T.spectrum). Tarsius sp., yang tersebar di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa diduga merupakan kelompok Tarsius jenis Tarsius sp., yang ditemukan di Pulau Buton. Kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan bentuk duet call Tarsius di Cagar Alam Tangkoko merupakan jenis T.spectrumgurskyae, sedangkan Tarsius sp., di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa merupakan kelompok Tarsius yang sama dengan jenis Tarsius sp., yang ditemukan di Pulau Buton jenis ini berpotensi dideskripsikan sebagai jenis Tarsius.

Kata kunci: Cagar Alam Tangkoko; Duet call; Suaka Margasatwa Tanjung. Amolengo; Suaka Margasatwa Tanjung Peropa; Tarsius sp.,; T.spectrumgurskyae.

vi

ABSTRAK

Annisa Al Maidah. Distribution of in Tangkoko Nature Reserve, Tanjung Amolengo Wildlife Reserve, and Tanjung Peropa Wildlife Reserve with Duet Call Approach. Undergraduate Thesis. Biology Study Program. Science and Technology Faculty. Syarif Hidayatullah Jakarta State Islamic University. 2019. Suppervised Dr. Fahma WIjayanti, M.Si. and Drs. Paskal Sukandar, M.Si.

Tarsiers has a striking vocal behavior called the duet call. The characteristics of a duet call will produce different forms of the spectrum for each type. Information about the types and distribution of Tarsiers using the duet call approach in North Sulawesi is currently lacking. The purpose of this study to determine the distribution of Tarsiers in Tangkoko Nature Reserve, Tanjung Amolengo Wildlife Reserve, and Tanjung Peropa Wildlife Reserve with a duet call approach. Tarsiers duet call were collected at 04.30-6.30 WITA and vegetation analysis was perfomed using the quadrat method. The result showed that the duet call of Tarsiers in Tangkoko Nature reserve was a Tarsiers group of Tarsiers spectrumgurskyae. The results of the analysis of the saound of Tarsiers sp., at Tanjung Amolengo and Tanjung Peropa did not find any similarities between the duet call form with Tarsius Tarsiers (synonym T.spectrum). Tarsiers sp., scattered in Tanjung Amolengo and Tanjung Peropa is suspected to be a Tarsius species of Tarsiers sp., which are scattered in Buton Island. The conclusion of this study is that based on the duet call form of Tarsiers in Tangkoko is a type of T.spectrumgurskyae and Tarsiers sp., in Tanjung Amolengo and Tanjung Peropa is the same Tarsius group as the Tarsius sp., which is in Buton Island, this type has the potential to be describe as a type of Tarsiers.

Keynotes: Duet call; Tangkoko Nature Reserve; Tanjung Amolengo Wildlife Reserve; Tanjung Peropa Wildlife Reserve; Tarsius sp., ; T.spectrumgurskyae.

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wwr. wwb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya yang telah memberikan nikmat luar biasa kepada kita. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya. Dengan ini mengucap syukur Alhamdulillah telah selesainya penelitian dengan judul “Penyebaran Tarsius di Cagar Alam Tangkoko dan Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa Dengan Pendekatan Duet call” Dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis telah banyak mendapatkan dukungan, partisipasi dan bantuan dari semua pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dengan tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri M.Env.Stud. Selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Priyanti, M. Si. selaku ketua Program Studi Biologi dan Narti Fitriana, M. Si. sebagai sekretaris Program Studi Biologi. 3. Dr. Fahma Wijayanti, M. Si. selaku dosen Pembimbing Utama, terimakasih atas waktu dan bimbingannya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi ini dengan baik. 4. Drs. Paskal Sukandar, M.Si selaku Pembimbing kedua, terimakasih atas sarannya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi ini dengan baik 5. Myron Shekelle, Ph.D dari Universitas Westren Washington yang telah menyumbangkan sebagian dana agar terselesaikannya penelitian ini. 6. Pak Van, Pak Noldi, Pak La Tie, Pak Sahidin, Pak Jumadi dan Seluruh Anggota BKSDA Sulawesi Tenggara yang telah mengawal penelitian ini sampai selesai. 7. Motivator terbesar dalam hidup saya Ayahanda Masril Chaniago dan Ibunda Yenti yang selalu menemani dalam kegiatan lapangan selama di lokasi penelitian juga tak henti memberikan dukungan baik moril dan materil. Serta adik saya Vito Alghani Chaniago penghibur dan penyemangat penulis.

viii

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan khususnya Mahasiswa/i Biologi Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, November 2020

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii HALAMAN PENGESAHAN ...... iv HALAMAN PERNYATAAN ...... v ABSTRAK ...... vi KATA PENGANTAR ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR GAMBAR ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 2 1.3 Tujuan Penelitian ...... 2 1.4 Manfaat Penelitian ...... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioegeografi Sulawesi ...... 4 2.2 Tarsius Sulawesi (Tarsius, Strorr 1777) ...... 4 2.3 Perilaku ...... 6 2.4 Panggilan Duet Tarsius “Duet Call” ...... 7 2.5 Populasi ...... 8 2.6 Peran Bioakustik Pada Tarsius ...... 8 2.7 Tarsius Sebagai Primata Primitif ...... 9

BAB III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...... 11 3.2. Alat dan Bahan ...... 13 3.3. Teknik Pengumpulan Data ...... 13 3.3.1 Penentuan Titik Sampling ...... 13 3.3.2 Pengumpulan Data Duet Call ...... 14 3.3.3 Identifikasi Vokalisasi Duet Call ...... 14 3.3.4 Pengukuran Faktor Lingkungan Fisik ...... 15 3.4. Analisis Data ...... 16

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Habitat Hutan Dataran Rendah ...... 18

x

4.2. Komposisi Vegetasi dan Karakteristik Pohon Tidur ...... 20 4.3. Faktor Fisik Lingkungan Sekitar Pohon Tidur ...... 29 4.4. Perjumpaan Dengan Tarsius ...... 28 4.5. Morfologi ...... 30 4.6. Pengamatan dan Analisis Suara ...... 33

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...... 41 5.2. Saran ...... 41

DAFTAR PUSTAKA ...... 42

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Parameter Yang Digunakan Untuk Kuantifikasi Vokalisasi Tarsius . 17 Tabel 2. Indeks Nilai Penting Hutan Dataran Rendah CA Tangkoko ...... 25 Tabel 3. Indeks Nilai Penting Hutan Dataran Rendah SM Tj. Amolengo ...... 26 Tabel 4. Indeks Nilai Penting Hutan Dataran Rendah SM Tj. Peropa ...... 27 Tabel 5. Titik Koordinat dan Lokasi Pohon Tidur Tarsius ...... 27 Tabel 6. Diameter dan Ketinggian Pohon Tidur Tarsius ...... 30 Tabel 7. Faktor Fisik Lingkungan Sekitar Pohon Tidur Tarsius ...... 32 Tabel 8. Waktu Perjumpaan Dengan Tarsius ...... 34

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Cakar Grooming Pada Jari Kaki Tarsius ...... 11 Gambar 2. Lokasi Penelitian CA Tangkoko, Sulawesi Utara ...... 12 Gambar 3. Lokasi Penelitian SM Tj. Amolengo, Sulawesi Tenggara ...... 13 Gambar 4. Lokasi Penelitian SM Tj. Peropa, Sulawesi Tenggara ...... 13 Gambar 5. Transek Jalur Lokasi Pengamatan ...... 15 Gambar 6. Pola Vokalisasi Tarsius ...... 18 Gambar 7. Hutan Dataran Rendah ...... 21 Gambar 8. Grafik Hasil Analisis Vegetasi CA Tangkoko ...... 23 Gambar 9. Garifk Hasil Analisis Vegetasi SM Tj. Amolengo ...... 24 Gambar 10. Grafik Hasil Analisis Vegetasi SM Tj. Peropa ...... 24 Gambar 11. Lokasi Persebaran Tarsius di CA Tangkoko ...... 28 Gambar 12. Lokasi Persebaran Tarsius di SM Tj. Amolengo & SM Tj. Peropa ...... 28 Gambar 13. Pohon Tidur Tarsius Pada Alstonia scholaris ...... 29 Gambar 14. Morfologi Tarsius ...... 36 Gambar 15. Bentuk Duet Call T.spectrumgurskyae (Tangkoko) ...... 38 Gambar 16. Bentuk Duet Call T.spectrumgurskyae (Shekelle et al., 2019) ... 39 Gambar 17. Bentuk Duet Call Tarsius sp., (Tj. Amolengo) ...... 40 Gambar 18. Bentuk Duet Call Tarsius sp., (Burton & Nietsch, 2010) ...... 40 Gambar 19. Bentuk Duet Call T.tarsier (synonym T.spectrum) (Burton Nietsch, 2010) ...... 41 Gambar 20. Bentuk Duet Call Tarsius sp., (Tj. Peropa) ...... 42 Gambar 21. Bentuk Duet Call Tarsius sp., (Puuwatu) ...... 42 Gambar 22. Bentuk Spektrum Tarsius sp., (Air Terjun Moramo) ...... 43 Gambar 23. Bentuk Spektrum Tarsius sp., (Kamarora) ...... 44

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Faktor Fisik Lingkungan Sekitar Pohon Tidur ...... 50 Lampiran 2. Gambar Pintu Masuk CA Tangkoko, Bitung Batuputih ...... 51 Lampiran 3. Gambar Pintu Masuk Resort KSDAE KONSEL I ...... 51 Lampiran 4. Gambar Pintu Masuk Moramo Water Fall ...... 52 Lampiran 5. Gambar Pintu Masuk SM Tj. Amolengo ...... 52

xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tarsius tergolong kedalam satwa primitif, genus satu-satunya dari famili Tarsiidae yang saat ini masih ada di dunia dan tersebar secara endemis di Sulawesi (Bumbungan, Annawaty, & Duma, 2017). Studi penyebaran dan jumlah Tarsius di Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya belum banyak dilakukan (Merker & Groves, 2014). Tarsius merupakan kelompok monomorfik primata nokturnal sama seperti primata pada umumnya, satwa ini sulit dibedakan dari segi morfologi antara satu dengan yang lainnya (Nietsch, 1999). Studi secara akustik belakangan ini banyak menarik perhatian para ilmuan khususnya ilmuwan taksonomi. Tarsius memiliki perilaku vokal yang mencolok yang disebut dengan duet call (Nietsch, 1999). Vokalisasi sahut-menyahut didahului suara melengking tinggi dari jantan dan induk kemudian diikuti suara bersahut-sahutan dari segala penjuru, vokalisasi inilah yang dikenal sebagai duet call (Wirdateti & Dahrudin, 2006). Karakteristik duet call dari Tarsius akan menghasilkan bentuk spektrum yang khas dan berbeda-beda tiap jenisnya. Sehingga, mendorong para peneliti untuk menggunakan struktur vokal Tarsius sebagai teknik pembeda antar spesies (Nietsch, 1999). Pada tahun 2010 (Burton & Nietsch) pernah melakukan perekaman duet call Tarsius di Sulawesi Tenggara. Dari hasil penelitiannya memperkirakan masih ada 2 spesies cryptic baru di Sulawesi Tenggara. (Burton & Nietsch, 2010).

Hingga kini teknik bioakustik masih terus dikembangkan dan telah banyak membantu para ilmuwan taksonomi untuk mengindentifikasi banyak jenis baru (Nietsch, 1999). Studi secara akustik lebih lanjut di Sulawesi Tenggara berpotensi untuk dideskripsikannya jenis Tarsius. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui jenis Tarsius di Sulawesi Utara khususnya area CA Tangkoko dan di Sulawesi Tenggara khususnya area SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa dengan pendekatan duet call.

1

2

Pulau Sulawesi memiliki penyebaran hewan yang unik dibandingkan dengan Pulau lain di dunia. Hal ini disebabkan oleh sejarah geologi Sulawesi yang menarik, sehingga Sulawesi memiliki tingkat endemistas yang sangat tinggi (Supriatna & Wahyono, 2000). Menurut Hall (2001) Sulawesi pada masa lampau diduga tidak pernah bersatu dengan daratan manapun. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan terisolasinya berbagai spesies yang ada di Sulawesi, sehingga memungkinkan munculnya spesies baru dan unik yang berbeda dari spesies lainnya.

Penelitian Tarsius dengan pendekatan duet call pernah dilakukan di CA Tangkoko oleh Saroyo, Tallei, & Koneri (2017) namun, duet call digunakan sebagai estimasi kepadatan Tarsius, sedangkan penelitian Tarsius di SM Tj Amolengo dan SM Tj. Peropa saat ini belum pernah dilakukan. Menurut Supriatna & Wahyono (2000) telah memasukkan Tarsius ke dalam kategori endangered. Status konservasi Tarsius dapat berubah sewaktu-waktu karena sampai saat ini data mengenai Tarsius masih kurang khususnya di Sekitar Sulawesi Tenggara (Gursky, Shekelle, & Nietsch, 2008). Oleh karena itu, penelitian mengenai keberadaan Tarsius terutama mengenai jenis dan sebarannya perlu dilakukan di tempat ini. Selanjutnya, dalam penelitian ini jenis dan sebaran Tarsius akan ditinjau berdasarkan data base duet call.

1.2 Rumusan Masalah 1) Bagaimana bentuk akustik duet call Tarsius di CA Tangkoko dan SM Tj. Amolengo dan Peropa? 2) Bagaimana sebaran akustik Tarsius di CA Tangkoko dan SM Tj. Amolengo dan Peropa? 3) Apakah duet call Tarsius dapat digunakan sebagai alat identifikasi?

1.3 Tujuan Penelitian 1) Mengidentifikasi bentuk akustik duet call Tarsius di CA Tangkoko dan SM Tj. Amolengo dan Peropa

3

2) Mengetahui sebaran akustik Tarsius di di CA Tangkoko dan SM Tj. Amolengo dan Peropa 3) Mengetahui jenis Tarsius berdasarkan bentuk duet call

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi pihak CA Tangkoko dan SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa dalam membuat strategi konservasi Tarsius di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Data persebaran akustik Tarsius juga dapat digunakan selanjutnya untuk memperkirakan suatu daerah endemisitas, Dengan mengetahui daerah-daerah endemisitas tersebut secara teoritis akan memberikan perlindungan terhadap biodiversitas di wilayah tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biogeografi Sulawesi Pada tahun 1852 – 1862 Alfred Rusel Wallacea mengadakan ekpedisi ilmiah di Indonesia. Berdasarkan hasil ekpedisi tersebut Wallacea AR membuat garis "hayal" yang membatasinya dan dikenal dengan sebutan garis Wallacea. Garis ini dimulai dari Utara di sebelah Timur Filipina melaIui selat Makasar, sampai ke Selatan antara Pulau Bali dan Lombok. Dengan cara yang hampir sama, Lydekker juga menetapkan garis yang merupakan batas Barat fauna Australia. Batas ini terletak antara Kepulauan Maluku dengan Irian Jaya ke Selatan sampai Australia. Sehingga melalui pendekatan ini Sulawesi termasuk kedalam biogeografi Wallacea (Waryono, 2008). Biogeografi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran flora dan fauna secara menyeluruh. Flora dan fauna dapat tersebar secara tidak acak, dapat dijumpai pada daerah-daerah tertentu. Proses geologi yang kompleks telah menyebabkan Sulawesi menjadi wilayah dengan presentase jenis-jenis flora dan fauna endemik yang dibandingkan pulau lainnya di Indonesia (Kinnaird, 1997). Sebelum menjadi Sulawesi yang modern, Sulawesi merupakan kepulauan yang terbentuk dari beberapa daratan, yang timbul dari dasar lautan yang melalui proses pergerakan lempeng tektonik. Kemudian daratan ini mengalami isolasi karena naik dan turunnya samudera (Hall, 2001). Pergerakan lempeng tektonik pada zaman pleistosen inilah yang mempengaruhi penyebaran Tarsius di Sulawesi. Penyebaran Tarsius juga dipengaruhi oleh terisolasinya pulau-pulau yang berada di daratan sulawesi. Hal ini menyebabkan hambatan geografis, yang berpotensi memecah populasi Tarsius Sulawesi dan membentuk kembali keanekaragaman dan distribusi spesies (Hall, 2001)

2.2 Tarsius Sulawesi (Tarsius, Storr 1777) Tarsius adalah spesies primata yang ditemukan menghuni hutan yang tumbuh dengan baik di sejumlah pulau di Asia Tenggara. Hewan ini merupakan endemik Sulawesi. Penduduk lokal sering memanggil hewan ini dengan sebutan tangkasi,

4

5

penduduk siau menyebutnya gasi-seng atau higo (Shekelle, Groves et al., 2008). Tarsius adalah hewan yang bersifat Crepuscular (aktif pada keadaan cahaya matahari yang sedikit) dan Nocturnal (sangat aktif di malam hari). Umumnya hewan ini hidup di pohon (arboreal). Klasifikasi Tarsius, Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Class Mammalia, Ordo Primata Subordo Haplorrhini, Infraordo Tarsiiformes, Family Tarsiidae, Genus Tarsius (Dahang & Siswanto, 2016). Hasil revisi taksonomi genus Tarsius oleh Shekelle & Groves (2010) mengklasifikasikan Tarsius menjadi 3 genus, yaitu Tarsius yang ditemukan di pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, Chephalopacus ditemukan di Sumatera bagian selatan dan Pulau Kalimantan, dan Carlito ditemukan di pulau-pulau bagian selatan Filipina. Oleh karena itu, hanya spesies yang tersebar di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian dari genus Tarsius. Hasil penelitian Shekelle & Groves (2010) juga memisahkan Tarsius menjadi 2 bagian wilayah yaitu, Tarsius di Sulawesi termasuk kedalam Eastren Tarsier sedangkan Tarsius di Kalimantan dan Pulau Belitung termasuk kedalam Western Tarsiers Menurut penelitian Shekelle et al., (2019) terdapat 11 jenis Tarsius yang telah teridentifikasi keberadaannya di Sulawesi. T. Sangirensis, T. Tumpara, T. Wallacei, T. Lariang, T. Pumilus, T. Fuscus, T. Tarsier, T. Dentatus, T. Pelengensis, T. Supriatnai, T. Spectrumgurskyae, dan T. Niemitz. Tarsius memiliki ciri khas yang unik, sehingga hewan ini banyak diburu, diperdagangkan secara ilegal. Penduduk Siau bahkan menyajikan T. Tumpara sebagai makanan ringan yang mereka sebut dengan “tola-tola”. Hal ini menyebabkan T.Tumpara termasuk kedalam kategori Critically Endangered dalam Red List IUCN (Shekelle, Groves, et al., 2008). Jika kebiasaan penduduk Siau ini terus berlanjut sangat besar kemungkinan status hewan ini berubah bahkan mendekati kategori punah. Bukan hanya sebagai “Flagship species” menurut Shekelle & Leksono, (2004) Tarsius juga menjadi penyeimbang ekosistem. Tarsius juga memiliki peran penting sebagai satwa yang dapat mengendalikan populasi serangga dengan statusnya sebagai pemakan serangga (Insectivore) Hal ini diperkuat oleh penelitian Bumbungan et al., (2017) bahwa Tarsius lebih menyukai jangkrik di bandingkan

6

belalang, selain itu dalam penelitian Lowing, Rimbing, Rembet, & Nangoy (2013) menyatakan bahwa pakan Tarsius 90% jenis Arthopoda atau seranggga dan 10% Vertebrata seperti tikus, ular, kadal, burung.

Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung- burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat- umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.” (Al An’aam: 38)

Struktur sosial Tarsius bersifat monogamous, dalam jangka waktu tertentu (Gursky, 2015). Biasanya Tarsius ditemukan bersarang pada rongga-rongga pohon terutama pohon Ficus sp., atau pada tumpukan akar yang membentuk lubang kecil. Tarsius di alam akan membentuk kelompok, berjumlah 3-7 ekor dalam 1 kelompoknya yang terdiri dari Induk, anakan dan jantan dewasa (Lowing et al., 2013). Pada saat keluar sarang atau menjelang masuk sarang, Tarsius mengeluarkan suara lengkingan dengan nada yang tinggi. Hal ini merupakan sistem komunikasi akustik yang dimiliki Tarsius, suara terdengar sahut menyahut di antara anggota keluarga terutama saat berburu mencari makan (Gursky, 2015).

2.3 Perilaku Tarsius Menurut Niemitz & Verlag (2016) Tarsius mengeluarkan suara khas untuk berkomunikasi antar spesies. Tarsius memiliki komunikasi vokal sebagai siulan kepada kelompok yang tidak dikenal atau sebagai tanda bila ada gangguan, komunikasi calling concerts dan family chouruses. Terdapat nada panggil yang dikeluarkan Tarsius, baik sebagai alarm call untuk memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, territorial call, fear call, threat call, nada-nada yang

7

dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan, nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan (Gursky, 2015). Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi sehingga berada di luar jangkauan atau tangkapan manusia. Menurut Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa dalam kondisi normal suara Tarsius dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh dan saling bersahut-sahutan antar satu kelompok dengan kelompok yang lain atau antar individu dalam satu kelompok.

2.4 Panggilan Duet Tarsius “Duet Call” Perilaku yang paling mencolok dari Tarsius di Sulawesi adalah perilaku vokal. Berbeda hal nya dengan morning call pada Owa Jawa, suara betina menjadi penanda daerah teritori, sedangkan duet call selalu didahului dengan nyanyian bernada tinggi dari jantan baik untuk menandakan teritori atau melakukan aktivitas bersuara lainnya. Suara khas yang dikeluarkan Tarsius memiliki karakteristik yang rumit dengan berbagai nada, nyanyian ini sering terdengar saat Tarsius kembali ke sarangnya di pagi hari (pukul 04.00) dan saat akan memulai penjelajahan untuk mencari makan dan beraktifitas sekitar (pukul 01.00). Suara Tarsius sepintas terdengar seperti cicitan suara mencit namun dengan suara lengkingan yang lebih tinggi (Santoso, 2010). Studi karakteristik tentang vokalisasi Tarsius ini sejak lama telah menarik banyak perhatian dari para peneliti. Perbedaan vokalisasi atau suara yang terekam lalu di tambah dengan perbandingan data genetika, merupakan metode yang digunakan para peneliti taksonomi dunia saat ini. Metode ini digunakan untuk menemukan perbedaan dari spesies Tarsius yang belum dikenal taksanya. Peneliti telah lama menduga bahwa panggilan duet Tarsius di Sulawesi menunjukkan keragaman taksonomi (MacKinnon & MacKinnon, 1980; Niemitz, Nietsch, & Warter, 1991; Shekelle, 2008). Menurut penelitian Shekelle (2008) dengan metode perbandingan duet vokal dapat mencirikan spesies yang berbeda. Sebagaimana banyak spesies nokturnal lainnya, Tarsius sulit untuk diidentifikasi hanya berdasarkan morfologi karena terlihat sangat mirip antara individu satu dan individu lainnya. Struktur vokal yang

8

diproduksi oleh hewan memiliki tujuan yang berbeda–beda. Suara yang dihasilkan Tarsius digunakan untuk berkomunikasi dengan kelompoknya. Lengkingan suara yang dikeluarkan Tarsius memiliki naluri atau tingkat kepekaan terhadap suara pasangannya, sehingga suara juga menjadi tanda pengenal pasangan satu sama lain. Vokalisasi tarisus digunakan sebagai indikator informasi kepada keluarga Tarsius yang lain ataupun yang bukan keluarga untuk tidak memasuki wilayahnya. Sesekali suara Tarsius dapat terdengar ketika mereka sedang mencari makan. Aktivitas bersuara juga diduga sebagai suatu perilaku teritorial (Santoso, 2010).

2.5 Populasi Tarsius Menurut penelitian Shekelle & Groves (2010) sampai saat ini telah ditemukan 17 populasi Tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersediri dan baru 12 spesies diantaranya yang sudah mempunyai nama. Pemberian nama yang baru-baru ini dilakukan oleh Shekelle et al., (2019) Tarsius yang ditemukan di Pulau Togean ini diberi nama T.niemitz. Lima spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk keperluan konservasi dan satu diantaranya masih diduga sebagai jenis yang sama dengan T.tarsier, jenis ini ditemukan di sekitar Pulau Selayar, Pulau Buton dan kemungkinan daratan Sulawesi Tenggara. Menurut Wirdateti & Dahrudin (2006) mengatakan satu sarang Tarsius terdapat 3-6 individu terdiri dari anak, remaja, dan induk atau dalam bentuk keluarga. Daerah kebun palm hingga hutan pantai Tangkoko juga banyak ditemukan Tarsius dalam satu kelompok sedikitnya berjumlah 3 individu. Sifat ini akan mempercepat pemusnahan spesies karena mereka akan sulit beradaptasi dengan kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial T.spectrum pada umumnya membentuk pasangan sebanyak 80% monogamous (Supriatna & Wahyono, 2000).

2.6 Peran Bioakustik Pada Tarsius Teknik Bioakustik dalam taksonomi dapat dilakukan dengan cara melakukan perekaman suara untuk setiap individu yang akan diteliti. Perekaman duet call dilakukan pertama kali oleh MacKinnon & MacKinnon (1980). Metode Perekaman

9

duet call untuk mengetahui keberadaan Tarsius ini terus berkembang, hingga pada tahun 1991 dimana Niemitz mulai mengkaji duet call sebagai teknik pembeda antar spesies. Tenik bioakustik sampai saat ini masih terus dikembakan dan telah banyak membantu ilmuwan khususnya para taksonomis dalam mengenal suatu jenis baru, sehingga tidak perlu adanya dilakukan penangkapan terhadap jenis yang ingin diteliti. Penelitian bioakustik pada Tarsius juga pernah dilakukan oleh Gursky (2015) di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Dalam hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa T.spectrum menggunakan vokalisasi ultrasonik untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Menurut Gursky (2015) perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang vokalisasi ultrasonic dengan spesies Tarsius yang berbeda seperti T. Borneanus yang kini berubah genus menjadi Cephalopacus borneanus yang ada di Kalimantan. Penelitian mengenai bentuk akustik Tarsius di Indonesia masih jarang dilakukan, Sehingga perlu adanya kontribusi para peneliti untuk ikut melestarikan satwa endemis tersebut. Peran Bioakustik juga dapat digunakan untuk membuat peta sebaran biogeografi suatu wilayah untuk beberapa spesies salah satunya Tarsius. Dengan melihat melihat hasil rekaman Tarsius yang ditemukan pada tiap-tiap petak di sepanjang jalur penelitian. membantu para ilmuwan untuk mengidentifikasi banyak jenis baru (Burton & Nietsch, 2010).

2.8 Tarius Sebagai Primata Primitif Salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki peran penting dalam kehidupan alam adalah primata. Keberadaan primata tidak hanya penghias alam saja, namun penting dalam regenerasi hutan tropis. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada, 40 jenis yang ditemukan di Indonesia, dan 24 jenis diantaranya merupakan satwa endemis yang hidup di Indonesia. Ordo Primata berasal dari kata latin yaitu , yang berarti “yang pertama” Primata dibagi menjadi dua kelompok yaitu Prosimii dan Anthropoid. Prosimii adalah kelompok primata sebelum kera sedangkan Anthropoid adalah kelompok primata termasuk monyet dan kera. Kelompok prosimii dianggap sebagai kelompok yang lebih primitif dibandingkan dengan Anthropoid. Subordo Prosimii terdiri dari Lemuriformes,

10

Lorisiformes dan Tarsiiformes. Sementara Subordo Anthropoid dibagi lagi menjadi, Platyrrhini (New World Monkeys) dan Catarrhini (Old World Monkeys). Keunikan dari subordo prosimii adalah gaya hidup mereka yang nokturnal (aktif di malam hari). Selain itu, mereka juga mempunyai mata yang besar dengan lensa yang memantulkan cahaya, seperti kucing. Salah satu contoh sub-ordo ini adalah Nycticebus coucang dan Tarsius Tarsius dianggap sebagai primata primitif, hal ini dikarenakan Tarsius memiliki karakter campuran antara Prosimians dan Anthropoids. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa Tarsius adalah hewan primitif adalah masih adanya cakar grooming yang ditemukan pada jari kaki ke-2 dan ke-3 Tarsius (gambar 1), sedangkan karakteristik primata Anthropoid (New world monkeys) cakar yang tajam telah diganti dengan kuku yang pipih sama seperti monyet capuchin. Selain itu Tarsius juga memiliki gigi geraham dengan puncak yang tinggi serta puting susu yang ganda, hal ini menunjukkan kesamaan karakteristik dengan kelompok Prosimians

Gambar 1. Cakar grooming pada jari kaki Tarsius (Shekelle et al., 2008)

BAB III METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian lapangan berupa kegiatan survey lapangan yang dilakukan untuk memperoleh data primer berupa karakteristik bioakustik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Februari. Lokasi penelitian di Cagar Alam Tangkoko, Bitung Utara, Bitung, Sulawesi Utara. Secara geografis Sulawesi Utara terletak 1º23'23''- 1º35'39'' Lintang Selatan, dan 125°1'43''-125º18'13'' Bujur Timur dan 3º. Lokasi kedua di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dan lokasi ketiga di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Kolono, Sulawesi Tenggara. Secara geografis Sulawesi Tenggara terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45' – 06°15' Lintang Selatan dan 120°45'-124°30' Bujur Timur.

Gambar 2. Lokasi penelitian CA Tangkoko (Google Earth, 2020)

11

12

Gambar 3. Lokasi penelitian SM Tj. Amolengo (Google Earth, 2020)

Gambar 4. Lokasi penelitian SM Tj. Peropa (Google Earth, 2020)

13

3.2. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu weather meter, higrometer, global positioning system (GPS) garmin 60 CSX, digital recorder zoom H1N, kamera nikon D3400, compass map, microphone, meteran, tali rapia, buku identifikasi Jenis- Jenis Tumbuhan di Sulawesi Tenggara, dan alat tulis.

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Penentuan Titik Sampling Penentuan titik sampling pertama diawali di CA Tangkoko (1250 ha) Kawasan ini membujur sepanjang pantai Utara Bitung pengamatan dimulai dengan menyusuri daerah hutan kebun, hutan pantai dan daerah pegunungan. Selanjutnya, tiap pohon yang diduga sebagai pohon tidur Tarsius ditandai. Penentuan lokasi pohon tidur Tarsius diperoleh dari asisten lapangan, wawancara penduduk asli yang pernah melihat keberadaan Tarsius, serta informasi dari penelitian terdahulu. Di pagi hari mulai dilakukan perekaman suara sekaligus dilakukan pengamatan perilaku Tarsius dan siang harinya dilakukan analisis vegetasi. Pengamatan di lakukan selama 10 atau 12 Hari di masing-masing lokasi penelitian. Titik sampling kedua berpindah di SM Tj. Amolengo (605 ha) dan titik sampling ketiga di SM Tj. Peropa (38.937 ha). Kawasan SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa memiliki tipe kawasan yang sama dengan CA Tangkoko yaitu terdiri dari hutan kebun, hutan pantai dan pegunungan. Pada titik sampling kedua dan ketiga menggunakan cara kerja yang hampir sama dengan titik sampling pertama. Selain perekeman suara dan analisis vegetasi di titik sampling kedua dan ketiga dilakukan playback test dengan rekaman suara Tarsius yang didapat sebelumnya. Playback test berfungsi untuk melihat apakah suara Tarsius yang didapatkan di ketiga titik sampling memiliki bentuk akustik yang sama atau berbeda. Jika mereka memiliki bentuk akustik yang sama maka akan membalas panggilan playback test tadi dengan mengeluarkan lengkingan yang sama namun jika bentuk akustik tersebut berbeda maka tidak akan ada balasan panggilan. Playback test juga dapat digunakan

14

sebagai asumsi awal untuk menduga Tarsius yang ditemukan merupakan jenis yang sama atau berbeda. Transek jalur yang digunakan di ketiga lokasi penelitian memiliki proporsi luas pengamatan yang hampir sama ± 25 ha (gambar 5). Selain itu dicatat titik koordinat tiap lokasi yang ditemukan suara atau kenampakkan Tarsius dengan GPS Garmin CSX 60

Gambar 5. Transek jalur lokasi pengamatan

3.3.2 Pengumpulan Data Duet Call Pengamatan dilakukan pada pagi hari (pukul 04.30-07.00). Pengambilan data duet call dilakukan pada masing-masing titik yang dianggap sebagai situs tidur atau pohon sarang Tarsius. Hanya panggilan duet atau duet call yang terdengar secara spontan di pagi hari saja yang direkam, hal ini mengurangi kemungkinan biasnya data dalam analisis (Nietsch, 2003) Suara Tarsius yang terdengar direkam menggunakan digital recorder zoom H1N yang dibantu dengan microphone. Pencatatan data meliputi waktu Tarsius mulai bersuara dan waktu Tarsius selesai bersuara, jarak ,dan sudut arah datangnya suara. Jarak antara pengamat dan suara diukur secara estimasi dan sudutnya diukur menggunakan kompas. Jarak dan sudut arah datangnya suara juga dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan keberadaan Tarsius.

3.3.3 Identifikasi Vokalisai Duet Call Identifikasi vokalisiasi duet call mengacu pada program Audacity 2.0 yang diawali dengan menentukan lokasi pohon sarang. Pohon sarang dapat ditemukan dengan mengikuti arah datangnya duet call yang dikeluarkan Tarsius ketika kembali ke sarang (pukul 04.30-16.30). Suara Tarsius yang dapat diidentifikasi memiliki beberapa kategori, yaitu suaranya yang tidak terlalu banyak tumpang tindih dengan

15

suara individu lain dan tingkat kebisingan yang tidak terlalu tinggi (Burton & Nietsch, 2010). Perekaman untuk setiap kelompok Tarsius dilakukan 2 -3 kali. Pada beberapa titik perekaman pola vokalisasi juga dilakukan playback test untuk memastikan kelompok Tarsius yang diamati merupakan spesies yang sama atau berbeda.

3.3.4 Pengukuran Faktor Lingkungan Fisik dan Analisis Vegetasi Pengukuran faktor lingkungan fisik secara biotik dan abiotik. Komponen abiotik meliputi suhu udara, kelembapan udara, intensitas cahaya, dan kecepatan angin. Pengukuran dilakukan pada pagi hari (pukul 04.30) dengan 3 kali pengulangan pada masing-masing titik. Suhu udara, kelembapan udara dan kecepatan angin diukur menggunakan weathermeter. Tekanan udara di hitung menggunakan higrometer. Komponen biotik berupa data komposisi dan struktur vegetasi. Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode kuadrat. Metode kuadrat, merupakan teknik survey vegetasi yang paling umum dilakukan untuk semua tipe komunitas tumbuhan. Petak contoh yang dibuat dalam teknik sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Tahapan kegiatan analisis vegetasi dilakukan dengan cara : a. Penentuan lokasi sarang tidur Tarsius. Penentuan lokasi ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu mendengarkan suara Tarsius pada pagi hari untuk memastikan lokasi tersebut adalah sarang Tarsius. b. Pembuatan petak bertingkat (1x1 m), (5x5 m), (10x10 m), (20x20 m) c. Data yang diambil dalam petak tersebut adalah semua tingkatan tumbuhan yang ada di dalamnya, yaitu pancang, tiang dan pohon dengan uraian sebagai berikut: 1. Pancang permudaan tinggi > 1,5 m sampai anakan berdiameter <10 cm. 2. Tiang : pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. 3. Pohon: pohon dewasa berdiameter 20 cm atau lebih. Jenis data yang dicatat dalam pengamatan vegetasi adalah jenis tumbuhan, jumlah individu setiap jenis, diameter batang setinggi dada, tinggi bebas cabang

16

dan tinggi total. Untuk vegetasi tingkat pertumbuhan semai dan pancang, pengamatan hanya dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis. Pengukuran dimensi diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, meter tajuk dan jarak antar tajuk hanya dilakukan terhadap vegetasi pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon.

3.4. Analisis Data 1) Vokalisasi Duet Call Variabel penelitian meliputi pola vokalisasi dengan parameter jumlah phrase, durasi, frekuensi maksimum dan frekuensi minimum (Tabel 1). Data vokalisasi duet call dari masing-masing spesies dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Audacity 2.0 untuk memperoleh data kuantitatif spektogram (gambar 6).

Tabel 1. Parameter yang digunakan untuk kuantifikasi vokalisasi Tarsius

Parameter Definisi Jumlah phrase Jumlah phrase yang terdengar dari akhir fragmen duet call yang tidak lengkap hingga phrase terakhir dari fragmen lengkap

Frekuensi maksimum Frekuensi tertinggi pada phrase fragmen lengkap (kHz)

Frekuensi minimum Frekuensi terendah pada phrase fragmen lengkap (kHz)

Durasi Durasi dari satu phrase ke phrase berikutnya (detik)

Gambar 6. Bentuk spektogram dari vokalisasi T.supriatnai (Shekelle, 2003).

17

2) Vegetasi Data hasil pengamatan tumbuhan yang dikumpulkan dari lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi, dan indeks nilai penting, 푁푖 퐾퐽푖 = 퐴 Keterangan: KJi :Kerapatan jenis ke-i (individu/m2) Ni :Jumlah total individu dari jenis ke-i (individu) A :Luas area/titik pengambilan sampel (m2). 푛푖 퐾푅 = 푥100% ∑ 푛 Keterangan: KR : Kerapatan relatif (%) ni : Jumlah individu jenis ke-i (ind/m2) Σn :Jumlah individu seluruh jenis (ind/m2). 푃푖 퐹퐽푖 = ∑ 푃 Keterangan: FJi :Frekuensi jenis ke-i Pi :Jumlah petak sampel tempat ditemukan jenis ke-i ΣP :Jumlah total petak sampel yang diamati.

Setelah itu dilakukan analisis keragaman jenis tumbuhan digunakan indeks Keanekaragaman Shanon Wiener (H’), dengan persamaan berikut : n H′ = − ∑(pi log pi) i=1 Keterangan: H’ : Nilai indeks keanekaragaman Pi : Proporsi individu Ni : Jumlah individu N : Jumlah total individu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Habitat Tarsius Secara umum habitat Tarsius di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara berada di area hutan dataran rendah. Hutan Dataran Rendah merupakan hutan yang tumbuh di daerah dataran rendah dengan ketinggian 0-1000 m. Hutan dataran rendah adalah bentuk hutan yang terletak setelah hutan pantai. Kawasan hutan dataran rendah terdiri dari kawasan hutan kebun, hutan pantai, dan pegunungan. Pada umumnya kawasan hutan dataran rendah memiliki tingkat keanekeragaman yang tinggi dan komplek sehingga, biasa disebut juga sebagai hutan hujan tropis (Asrianny et al., 2019) Di bagian tenggara Sulawesi Utara masih dapat dijumpai kawasan hutan dataran rendah berstatus hutan konservasi seperti CA Tangkoko (gambar 7) selain itu, di bagian selatan Sulawesi Tenggara masih dapat dijumpai kawasan hutan dataran rendah berstatus konservasi seperti SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa.

Landai sampai berbukit merupakan topografi yang dimiliki hutan dataran rendah CA Tangkoko, SM Tj Amolengo dan SM Tj. Peropa dengan tipe tanah yang relatif subur. Lokasi hutan ini merupakan kawasan yang di dominasi oleh tumbuhan berbagai jenis tingkatan. Pada umumnya, hutan dataran rendah ditandai dengan adanya tumbuhan pemanjat pohon yang banyak dan lebat (Asrianny et al., 2019)

B C A

Gambar 7. Hutan dataran rendah. A. CA Tangkoko; B. SM Tj. Amolengo; C. SM Tj. Peropa.

18 C D 19

Sebagian kawasan hutan dataran rendah di CA Tangkoko termasuk dalam kawasan hutan pasca terbakar. Sehingga didominasi dengan tumbuhan tingkat semai, sedangkan pada tingkat pohon tinggi kerapatannya lebih rendah dibandingkan dengan SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa. Tumbuhan tingkat semai memiliki peranan penting untuk Tarsius, banyaknya serangga yang hinggap pada tumbuhan tersebut dapat menjadi sumber pakan Tarsius (Hakim, 2010). Tumbuhan tingkat pohon pada kawasan hutan dataran rendah CA Tangkoko, SM Tj. Amolengo dan SM. Tj Peropa memiliki diameter yang mencapai 2 meter sehingga dapat membentuk tajuk yang berlapis-lapis. Di CA Tangkoko jenis Canaga odorata merupakan tumbuhan yang berperan penting di sekitar CA Tangkoko, hal ini dikarenakan menurut Kurniawan, Undaharta, & Pendit (2008) hasil perhitungan asosiasi tumbuhan di CA Tangkoko di antara 7 jenis tumbuhan yang memiliki INP >10% hanya 1 jenis tumbuhan saja yang berasosiasi positif dengan tumbuhan yang lainnya. Hanya jenis C. odorata yang berasosiasi positif dengan kayu kapur, jenis yang berasosiasi positif memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan khususnya dalam pembagian ruang hidup. Dengan adanya jenis C.odorata maka kemungkinan besar akan ditemukan jenis lainnya tumbuh di dekatnya. Suku Ebenaceae adalah suku yang memiliki peran penting dalam ekosistem SM Tj. Peropa. Salah satunya jenis Diospyros tumbuhan berhabitus pohon yang termasuk kedalam kelas awet atau kelas kuat, Diospyros malabarica atau bahasa lokal disebut dengan “kasu meeto” banyak disukai para konsumen untuk dijadikan bahan meubel (Mustari, 2019) . Alasan lain megapa tumbuhan ini penting karena Diospyros memiliki sistem perakaran yang sangat kuat sehingga kemampuannya untuk menyimpan cadangan air saat musim penghujan sangatlah baik (Oka, 2002). Ficus sp., merupakan marga terbesar dari famili Moraceae jenis ini memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi peranannya dalam ekosistem SM Tj. Amolengo karena tumbuha ini termasuk kedalam keystone species (Baskara & Wicaksono, 2013). Menurut (Baskara & Wicaksono, 2013) Ficus sp., atau dalam

20

bahasa lokal disebut dengan “coro” menjadi relung bagi banyak satwa salah satunya burung. Selain itu, pohon yang berbuah setiap tahun ini termasuk kedalam kategori tumbuhan penopang karena menyediakan sumber pakan alami untuk beberapa jenis mamalia seperti tupai, primata atau reptilia yang hidup pada rongga-rongga pohon Ficus sp., (Baskara & Wicaksono, 2013).

5.2. Komposisi Vegetasi dan Karakteristik Pohon Tidur Vegetasi merupakan komponen habitat yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup Tarsius, yang berfungsi sebagai tempat mencari makan, bermain, dan beristirahat. Analisis vegetasi perlu dilakukan untuk mengetahui tipe-tipe habitat sebaran Tarsius. Selama pergerakannya Tarsius membutuhkan pohon berdiameter kecil (<10 cm) untuk berburu dan berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain, sedangkan, pohon berdiameter sedang (10-30 cm) hingga besar (>50 cm) biasanya dimanfaatkan Tarsius sebagai pohon tidur atau tempat beristirahat. Lokasi petak pengamatan yang dipilih berada di sekitar pohon tidur Tarsius dalam satu wilayah terdiri dari 2 petak . Selanjutnya, dilakukan analisis vegetasi pada tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Hasil analisis vegatasi ditemukan 266 jenis tumbuhan yang terdiri tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon.. Hasil analisis vegetasi pada ke-3 wilayah menunjukkan bahwa, lokasi penelitian di CA Tangkoko didominasi dengan tumbuhan tingkat semai. Selanjutnya di CA Tangkoko jumlah tertinggi kedua adalah tumbuhan tingkat pancang, ketiga tiang dan terakhir pohon (gambar 8), sedangkan di SM Tj. Amolengo (gambar 9), dan SM Tj. Peropa didominasi oleh pohon (gambar 10). Selanjutnya di SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa tertinggi kedua adalah semai, ketiga pancang, dan terakhir tiang.

21

CA TANGKOKO 35

30

25 Semai 20 Pancang 15 Tiang

10 Pohon

5

0 Semai Pancang Tiang Pohon

Gambar 8. Grafik hasil analisis vegetasi CA Tangkoko

30 SM Tj. Amolengo

25

20 Semai

15 Pancang Tiang 10 Pohon

5

0 Semai Pancang Tiang Pohon

Gambar 9. Grafik hasil analisis vegetasi SM Tj. Amolengo

22

SM Tj. Peropa 30

25

20 Semai

15 Pancang Tiang 10 Pohon 5

0 Semai Pancang Tiang Pohon

Gambar 10. Grafik hasil analisis vegetasi SM Tj. Peropa

Tumbuhan tingkat semai mendominasi area CA Tangkoko hal ini dikarenakan CA Tangkoko merupakan kawasan hutan pasca terbakar, sehingga banyak bibit baru yang baru mulai tumbuh (Pasetha, Farajallah, & Gholib, 2019). Di SM Tj. Amolengo dan Peropa di dominasi oleh tumbuhan tingkat pohon karena kawasan ini banyak ditumbuhi oleh tumbuhan pencekik (strangler) atau tumbuhan berumpun seperti bambu dan pandan hutan dimana anakan tumbuhan ini memiliki tinggi yang sama dengan pohon induknya, berdiameter besar, dan tinggi pohon diatas 1 meter (Purba, Patana, & Jumilawaty, 2015) Jenis tumbuhan yang paling sering ditemukan di CA Tangkoko pada tingkat pohon adalah Arenga pinnata dengan kerapatan jenis sebesar 0,26 dan INP 25,03%. Pohon aren biasanya digunakan Tarsius sebagai pohon tidur karena sifat tumbuhan ini memiliki akar yang kuat serta batang pohon yang besar (Saroyo et al., 2017). Hal yang sama ditemukan oleh Mustari, Mansyur, & Rinaldi (2013) sarang Tarsius yang ditemukan di Resort Balocci TN Bantimurung-Bulusaraung pada umumnya di rumpun bambu dan pohon aren. Pada tingkat tiang kerapatan tertinggi adalah jenis Cananga odorata dengan kerapatan sebesar 0,15 dan INP 17,90%. Pada tingkat pancang kerapatan tertinggi adalah jenis Cananga odorata

23

dengan kerapatan terbesar 0,18 dan INP 18,66%. Kenanga memiliki diameter yang sedang dan sering digunakan Tarsius sebagai tempat istirahat dan menandai daerah jelajah. Menurut Mustari et al., (2013) selama pergerakannya Tarsius membutuhkan pohon dengan diameter sedang (> 10 cm) untuk menjelajah. Pedangkan pada tingkat semai nilai kerapatan tertinggi adalah jenis Palaquium spp., dengan nilai kerapatan sebesar 0,44 dan INP 14,97% pohon berbuah ini merupakan tempat berkumpulnya serangga yang menjadi sumber pakan utama Tarsius. Menurut Mustari et al., (2013) tumbuhan penghasil buah menjadi tempat yang paling disukai Tarsius karena banyaknya serangga yang hinggap pada pohon tersebut (Tabel 2).

Tabel 2. Indeks nilai penting hutan dataran rendah CA Tangkoko

Tingkat Nama Ilmiah Kerapatan jenis (KI) INP (%) Pohon A. pinnata 0,26 25,03 Tiang C. odorata 0,15 17,90 Pancang C. odorata 0,18 18,66 Semai Palaquium spp., 0,44 14,97

Jenis tumbuhan yang paling sering ditemukan di SM Tj. Amolengo pada tingkat pohon adalah Diospyros malabarica dengan kerapatan jenis sebesar 0,28 dan INP sebesar 26,60 %. Pada tingkat tiang kerapatan tertinggi adalah Cleistanthus sumatranus dengan kerapatan sebesar 0,17 dan INP sebesar 34,79 %. Pada tingkat pancang kerapatan tertinggi adalah Cleistanthus sumatranus dengan kerapatan sebesar 0,29 dan INP sebesar 24,71. Menurut Mansyur, Mustari, & Prasetyo (2016) tumbuhan tingkat pohon dijadikan tempat bersarang dan tumbuhan tingkat tiang dan pancang digunakan sebagai tempat beristirahat, bermain dan mencari pakan, sedangkan pada tingkat semai nilai kerapatan tertinggi adalah jenis Elastotema rostratum dengan kerapatan sebesar 0,45 dan INP sebesar 19,64%. Menurut Wirdateti & Dahrudin, (2006) Tumbuhan berdiameter kecil dimanfaatkan Tarsius untuk membantu lokomosinya (Tabel 3).

24

Tabel 3. Indeks nilai penting hutan dataran rendah SM Tj. Amolengo

Tingkat Nama Ilmiah Kerapatan jenis (KI) INP (%) Pohon D. malabarica 0,28 26,60 Tiang C. sumatranus 0,17 34,79 Pancang C. sumatranus 0,29 24,71 Semai E. rostratum 0,45 19,64

Jenis tumbuhan yang paling sering ditemukan di SM Tj. Peropa pada tingkat pohon adalah Ficus sp., dengan kerapatan jenis sebesar 0,22 dan INP sebesar 25,93. Menurut Wirdateti & Dahrudin (2006) pohon tidur yang ditempati Tarsius umumnya adalah dari jenis tumbuhan Ficus sp., ditambahkan oleh Alferi, Fahri, & Annawaty (2017) yang mengatakan bahwa Ficus sp., merupakan tumbuhan berongga dan memiliki akar gantung yang banyak sehingga cocok dengan karakteristik pohon tidur Tarsius. Pada tingkat tiang kerapatan tertinggi adalah Pandanus sp., dengan kerapatan sebesar 0,17 dan INP sebesar 33,50 %. Pada tingkat pancang kerapatan tertinggi adalah Calamus sp., dengan kerapatan sebesar 0,22 dan INP sebesar 23,26, sedangkan pada tingkat semai nilai kerapatan tertinggi adalah jenis Calamus zollingeri dengan kerapatan sebesar 0,37 dan INP sebesar 16,51%. Pandanus sp., dan Calamus sp., merupakan tumbuhan berumpun. Tumbuhan ini sering dimanfaatkan Tarsius sebagai pohon tidur jika, memiliki diameter sedang (>10 cm), sedangkan diameter (<10 cm) digunakan Tarsius sebagai tempat beristirahat ataupun mencari pakan serangga (Tabel 4).

Tabel 4. Indeks nilai penting hutan dataran rendah SM Tj. Peropa

Tingkat Nama Ilmiah Kerapatan jenis (KI) INP (%) Pohon Ficus sp., 0,22 25,93 Tiang Pandanus sp., 0,17 33,50 Pancang Calamus sp., 0,22 23,26 Semai C. zollingeri 0,37 16,51

Lokasi pohon tidur didapatkan dengan melakukan wawancara dengan penduduk setempat, dan studi pustaka dari penelitian Tarsius terdahulu. Keberadaan

25

lokasi pohon tidur juga dapat diketahui dengan mengikuti nyanyian Tarisus pada pagi hari (duet call). Selanjutnya pohon tidur Tarsius yang ditemukan di CA Tangkoko, SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa ditandai dengan GPS dan dicatat titik koordinatnya (Tabel 5). Titik koordinat pohon tidur Tarsius yang telah terkumpul akan digunakan untuk membuat peta persebaran Tarsius di masing- masing titik lokasi penelitian (gambar 11)&(gambar 12).

Tabel 5. Titik koordinat dan lokasi pohon tidur Tarsius

Titik koordinat Sarang Titik koordinat (BT) Lokasi (LU&LS) PT1 01º 33’ 47.2” 125º 10’ 26.8” Post 3 Tangkoko PT2 01º 33’ 44.9” 125º 10’ 31.6” Post 2 Tangkoko PT3 01º 33’ 99.0” 125º 10’ 36.6” Post 1 Tangkoko PT4 03º 57’ 59,9” 122º 48’ 50.5” Tj. Amolengo PT5 03º 35’ 35,8” 122º 21’ 35,9” Tj. Peropa

Gambar 11. Lokasi persebaran Tarsius di CA Tangkoko (Google Earth, 2020)

26

Gambar 12. Lokasi persebaran Tarsius di SM Tj. Amolengo & SM Tj. Peropa (Google Earth, 2020)

Tumbuhan yang sering dijadikan habitat dan pohon tidur Tarsius berbeda- beda tergantung pada topografi tiap wilayah. Pada kawasan CA Tangkoko pohon tidur lebih banyak menempati jenis Ficus benjamina, Alstonia scholaris, dan Ficus sp., (gambar 13), sedangkan pohon tidur yang ditemukan di kawasan SM TJ. Amolengo dan Peropa meliputi jenis Bambusae sp., dan Ficus sp. Jenis Ficus sp., menjadi jenis tumbuhan yang paling dominan digunakan Tarsius sebagai pohon tidur pada ke-2 wilayah. Tarsius lebih banyak mendiami pohon-pohon besar yang sesuai dengan kebutuhan Tarsius. Pemilihan pohon Ficus sp., sebagai pohon tidur Tarsius di CA Tangkoko juga ditemukan oleh (Lowing et al., 2013)

Menurut Wirdateti & Dahrudin (2006) mengatakan penyebab Tarsius lebih menyukai Ficus sp., sebagai pohon tidur karena tumbuhan ini memiliki akar yang kuat serta beberapa lubang kecil yang dapat dimanfaatkan Tarsius sebagai tempat berlindung dari semua predator. Lubang-lubang kecil ini juga membuat penetrasi cahaya yang masuk lebih sedikit sehingga, nyaman untuk ditempati oleh Tarsius.

27

Gambar 13. Pohon tidur Tarsius di CA Tangkoko pada Alstonia scholaris

Kondisi pohon tidur Tarsius memiliki sedikit pencahyaan Menurut (Qiptiyah & Setiawan, 2012) Intensitas cahaya dalam pohon tidur Tarsius berkisar antara 246,67-236,33 saat musim penghujan. Menurut Alferi et al., (2017) karakter pohon tidur Tarsius berongga dan relatif gelap, terdapat tempat perlindungan dari angin maupun hujan dan beberapa pintu keluar untuk melindungi diri dari predator salah satunya ular. Karekteristik umum yang dimiliki pohon tidur Tarsius adalah diameter pohon berukuran 1,18-2,6 m. Ketinggian lubang sarang Tarsius bervariasi berkisar antara 3-20 m. Hasil ini tidak berbeda signifikan dengan penelitian (Wirdateti & Dahrudin, 2006) yang mengatakan diameter pohon tidur Tarsius di kawasan CA Tangkoko berkisar antara 1,5-2,5 m dan ketinggian lubang sarang 3-15 m (Tabel 6.)

Tabel 6. Diameter dan ketinggian pohon tidur Tarsius

Ketinggian di atas Sarang Species Diameter (m) permukaan tanah (m) PT1 F. benjamina 2,6 30 PT2 A. scholaris 1,18 20 PT3 Ficus sp., 1,21 23 PT4 Bambusae sp., 1,5 15 PT5 Gmnelia arborea 1,28 25

28

Pada sekitar letak pohon tidur Tarsius banyak ditemukan tumbuhan tingkat semai-pancang dengan diameter kecil (4-10 cm). Tumbuhan berdiameter kecil ini berfungsi sebagai perantara Tarsius agar mudah berpindah dari satu cabang pohon ke cabang pohon yang lain. Jenis tumbuhan tingkat semai dan pancang juga berfungsi sebagai sumber pakan Tarsius karena biasa dihinggapi oleh serangga hutan. Tarsius tidak hanya mendiami satu pohon untuk setiap aktivitasnya, hewan ini aktif berpindah untuk menemukan sumber pakan. Tarsius tergolong kedalam satwa arboreal yang 95% aktivitasnya di lakukan di atas pohon (Supriatna, 2000). Bentuk dari pohon tidur Tarsius bervariasi, ada yang terbentuk dari lilitan akar-akar pohon Ficus, terbentuk dari tumpukan liana, atau ada yang berdiri sendiri tanpa ada asosiasi dari tumbuhan lain. Selain itu, menurut hasil wawancara penduduk disekitar SM Tj. Amolengo selain pohon Ficus sp., Tarsius juga menggunakan rongga-rongga dari kayu yang sudah lapuk sebagai pohon tidurnya. Pernyataan ini sebanding dengan penelitian Saroyo et al., (2017) dalam penelitiannya mengatakan bahwa Tarsius biasa menggunakan lubang-lubang dari pohon yang sudah mati sebagai sarangnya. Hasil pengamatan di SM Tj. Amolengo ditemukan Tarsius di pohon bambu dengan diameter pohon berkisar antara 1-1,5 m. Biasanya bambu yang digunakan sebagai pohon tidur terdiri dari 4-9 rumpun bambu dengan ketinggian berkisar antara 10-15 m. Perhitungan yang akurat pada tumbuhan jenis bambu sulit dilakukan karena bambu ini termasuk kedalam jenis bambu berduri. Hasil pengamatan ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Wirdateti & Dahrudin, (2006) yang menemukan ketinggian pohon tidur Tarsius berupa bambu di TWA Patunuang dapat mencapai 15 m sedangkan ketinggian lubang sarang berkisar antara 2-3 m. Tarsius juga terlihat di SM Tj. Peropa sedang melompat dari satu cabang pohon Gmelina arborea ke cabang pohon yang lain. Belum dapat dipastikan apakah G. arborea digunakan Tarsius sebagai pohon tidur atau hanya sebagian dari pohon habitat. Karena keterbatasan pengamat untuk melihat keseluruhan batang pohon yang terlalu tinggi. G. arborea memiliki diameter (> 1 m) sehingga, tumbuhan ini termasuk dalam tingkatan pohon.

29

5.3. Faktor Fisik Lingkungan Sekitar Pohon Tidur Faktor lingkungan mempengaruhi kehidupan satwa baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap kehidupan satwa liar akan didukung oleh komponen biotik maupun abiotik yang disesuaikan dengan kebutuhan satwa liar tersebut (Alikodra, 2002). Data komponen fisik disekitar pohon tidur Tarsius di CA Tangkoko, SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa terdiri iklim,suhu, kelembaban udara dan tekanan udara (tabel 7). Pengumpulan data faktor fisik lingkungan pada tiap lokasi pengamatan dan dilakukan berulang sebanyak 3 kali (lampiran 1). Penelitian dilakukan pada bulan maret, dimana bulan ini sudah memasuki musim penghujan. Lokasi penelitian pada kedua wilayah memiliki curah hujan sebesar 2.500-3.000 mm per tahun. Menurut Pasetha et al., (2019) faktor iklim salah satunya curah hujan mempengaruhi keberadaan artropoda disekitar pohon tidur Tarsius, hasil uji statistika curah hujan berkorelasi negatif dengan keberadaan artropoda. Jika curah hujan tinggi maka komposisi artropoda rendah dan sebaliknya.

Tabel 7. Faktor fisik lingkungan sekitar pohon tidur Tarsius

Faktor fisik (rata rata) CA Tangkoko SM Tj. Amolengo SM Tj. Peropa

Suhu (ºC) 26 27 27 Kelembaban (%) 95 90 90 Tekanan Udara (HPa) 996,57 1.026, 40 1.026, 40

Hasil pengamatan suhu disekitar pohon tidur di CA Tangkoko dan SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa berkisar antara 26-27ºC, angka ini merupakan rentang suhu pada pagi hari dan sore hari. Suhu mempengaruhi terhadap aktifitas dan sebaran Tarsius dihabitatnya. Hasil ini sebanding dengan penelitian Qiptiyah & Setiawan, (2012) yang mengatakan suhu udara habitat Tarsius berkisar antara 27,63-28,73ºC pada musim penghujan. Menurut Clarke et al., (2010) suhu udara yang umum digunakan oleh mamalia pada hutan hujan tropis adalah 25ºC, setiap spesies memiliki batas toleransi suhu max dan min. Pada Tarsius, Perubahan suhu berkorelasi negatif

30

dengan keberadaan serangga. Menurut Pasetha et al., (2019) ketika suhu tinggi maka komposisi artropoda disekitar pohon tidur rendah begitu pula sebaliknya. Kelembaban juga berpengaruh pada pertumbuhan Tarsius dialam. Selain itu, kelembaban menjadi faktor penting Tarsius dalam memilih pohon tidur, Tarsius cenderung memilih tempat yang sejuk dan agak lembab untuk dijadikan sebagai tempat bersarang (Alferi et al., 2017). Data hasil pengukuran kelembaban pada pagi hari berkisar antara 90-95 %. Tingkat kelembaban tertinggi terjadi pada pagi hari sedangkan tingkat kelembabapan terendah terjadi pada sore hari. Hal ini dikarenakan pada pagi hari hutan menjadi lebih basah sehingga, suhu lebih rendah dan kelembaban cenderung tinggi. Pada sore hari seiring adanya peningkatan suhu menyebabkan suhu menjadi lebih tinggi dan kelembaban semakin rendah Tekanan udara disekitar pohon tidur CA Tangkoko, SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa berkisar antara 996,579-1.026, 40 HPa. Hasil ini sesuai dengan penelitian Qiptiyah & Setiawan (2012) yang mengatakan bahwa, tekanan udara disekitar sarang berkisar antara 975,10-1.035,33 HPa di musim Penghujan. Faktor fisik lingkungan tersebut berpengaruh secara tidak langsung terhadap ciri kehidupan Tarsius.

5.4. Perjumpaan dengan Tarsius Dari penelitian yang dilakukan di ke-2 wilayah yaitu, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Menunjukkan Tarsius di Sulawesi Utara lebih mudah dijumpai dibandingkan dengan Tarsius Sulawesi Tenggara (tabel 8). Bahkan, di CA Tangkoko dalam satu pohon tidur bisa ditemukan 3-6 individu sedangkan di SM Tj. Amolengo dan Peropa hanya ditemukan 1 individu dalam 1 pohon tidur. Pohon tidur merupakan tempat dengan kemungkinan tertinggi dapat berjumpa Tarsius, hal ini dikarenakan pada pagi hingga petang hewan ini menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk beristirahat di atas pohon. Aktivitas menjelajah dan berburu lebih banyak dilakukan pada malam hari, menurut penelitian Niemitz & Verlag (2016) pada malam hari penglihatan Tarsius lebih tajam dibandigkan siang hari.

31

Tabel 8. Waktu perjumpaan dengan Tarsius

Individu yang Waktu Sarang Tgl Lokasi ditemukan perjumpaan PT1 03-03-2020 5 04.40 CA Tangkoko PT1 04-03-2020 5 04.36 CA Tangkoko PT2 05-03-2020 6 04.52 CA Tangkoko PT2 06-03-2020 6 04.48 CA Tangkoko PT3 07-03-2020 3 04.33 CA Tangkoko PT1 08-03-2020 5 04.36 CA Tangkoko PT1 09-03-2020 5 04.03 CA Tangkoko PT1 10-03-2020 5 04.33 CA Tangkoko PT3 11-03-2020 3 04.40 CA Tangkoko PT4 14-03-2020 1 04.57 Tj. Amolengo PT5 21-03-2020 1 05.10 Tj. Peropa

Selain itu, perjumpaan dengan Tarsius akan lebih mudah jika kita dapat mendengarkan arah datangnya suara Tarsius dari mana. Namun, ada beberapa faktor yang dapat menghalangi perjumpaan dengan Tarsius yaitu, adanya keberadaan dari predator. Berdasarkan hasil pengamatan di SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa sering kali Tarsius enggan mengeluarkan suara jika keberadaanya terancam oleh predator, salah satunya babi hutan. Predator lainnya seperti ular, jika Tarsius melihat ular di sekitar habitatnya maka Tarsius akan mengeluarkan suara yang berbeda dari biasanya. Hal ini bertujuan sebagai alarm peringatan untuk satwa yang lain. Kesempatan berjumpa dengan Tarsius di setiap wilayah berbeda-beda, hal ini diduga karena adanya perbedaan hubungan sosial diantara T. spectrumgursky di CA Tangkoko dengan Tarsius sp., di SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa. Kemungkinan adanya perbedaan sikap sosial diantara 2 jenis ini sangat terlihat, Tarsius di bagian Sulawesi Utara lebih bersifat social sehingga sering ditemukan sedang berkelompok. Tarsius di bagian Sulawesi Tenggara lebih bersifat unsocial dan sulit bergabung dengan kelompoknya (Shekelle, komunikasi pribadi). Hal inilah yang membuat Tarsius di Sulawesi Tenggara lebih sulit ditemukan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi keterbatasan perjumpaan dengan Tarsius adalah adanya gangguan yang disebabkan aktivitas warga sekitar. Sehingga, Tarsius jarang memunculkan keberadaannya dengan para pengamat. Di dalam

32

Kawasan SM Tj. Peropa terdapat air terjun yang cukup terkenal karena keindahannya. Air Terjun ini di juluki sebagai Nirwana Kendari, yaitu air terjun Moramo tempat ini sering dijadikan camping ground atau kegiatan wisata lainnya. Pada pagi hari kawasan ini mulai dipenuhi oleh pengunjung dan penduduk lokal yang berjualan di sekitar pintu masuk sampai area camping ground. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan respon Tarsius terhadap manusia secara langsung. Akan tetapi penelitian mengenai respon Tarsius terhadap gangguan pernah dilakukan oleh Yustian (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa Tarsius bisa beradaptasi dengan keberadaan manusia, jika warga sekitar tetap menjaga habitat alami Tarsius dan tidak mencoba untuk merusak pohon tidurnya. Cara ini lah yang digunakan warga sekitar CA Tangkoko agar bisa terus hidup berdampingan dengan Tarsius tanpa mengganggu keberadaannya.

5.5. Morfologi Berdasarkan pengamatan morfologi dari hasil gambar Tarsius yang didapatkan selama di lokasi penelitian, Tarsius yang ditemukan di CA Tangkoko memiliki kemiripan dalam segi morfologi dengan Tarsius di SM Tj. Amolengo. Tarsius yang berasal dari Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lainnya yaitu, adanya rambut warna putih dibelakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu. Menurut Supriyatna & Wahyono (2000) Tarsius memiliki bobot tubuh sekitar 75-165 g, panjang ekor 135-275 mm, dan panjang tubuh 86-160 mm. Panjang tubuh Tarsius memang lebih pendek daripada panjang ekornya. Selain itu, panjang kaki jauh lebih panjang dibandingkan dengan tangan, hal ini berkaitan dengan cara bergeraknya yaitu melompat. Bagian bawah jari-jari tangan dan kaki Tarsius terdapat tonjolan seperti pada cicak, yang berguna membantu Tarsius untuk melekat pada permukaan pohon yang licin dan vertical. Pada jari kaki ke-2 dan ke-3 Tarsius juga masih ditemukan adanya cakar grooming.

33

A B C

Gambar 14. Morfologi Tarsius. A. Tarsius CA Tangkoko; B. Tarsius SM Tj. Amolengo. Dokumentasi Pribadi ; C. T.tarsier (Shekelle, Brandon, & Groves, 2008)

Pada gambar 14. terlihat bahwa terdapat tiga foto Tarsius yang diambil di tempat yang berbeda yaitu di CA Tangkoko provinsi Sulawesi Utara, SM Tj. Amolengo provinsi Sulawesi Tenggara dan Pulau Selayar. Pengamatan morfologi hanya berdasarkan pada foto yang didapatkan selama pengamatan, sehingga perlu adanya pemeriksaan morfologi yang lebih spesifik dengan cara menangkap Tarsius di daerah Sulawesi Tenggara. Sejauh ini belum ada peneltian mengenai Tarsius sp., di Sulawesi Tenggara, secara umum Tarsius yang ditemukan di Sulawesi Tenggara termasuk ke dalam Jenis T. Tarsier. Namun, hal ini di bantah oleh Shekelle et al., (2008b) yang mengatakan disisi lain Tarsius di Sulawesi Tenggara salah satunya Tarsius di Buton telah lama terisolasi dari pulau utama yaitu pulau Sulawesi dan memiliki bentuk vokalisasi yang berbeda. Berdasarkan kecocokan bentuk duet call Tarsius sp., di Pulau Buton sama dengan bentuk duet call Tarsius sp., di Tj. Amolengo.

5.6. Pengamatan dan Analisis suara Hasil pengamatan menunjukkan Tarsius lebih aktif bersuara saat pagi hari menjelang subuh pukul (04.30-06.30) dibandingkan sore hari. Hal ini dibuktikan dengan 3 kali percobaan disore hari sampai menjelang malam (pukul 06.30-07.30). Pada pukul tersebut Tarsius belum memulai pergerakan atau menimbulkan suara.

34

Keuntungan lain jika perekaman dilakukan saat pagi hari bentuk duet call yang didapatkan sangat jelas dan jarang sekali tumpang tindih dengan suara satwa lain seperti tonggeret atau burung. Terlebih lagi jika perekaman dilakukan disekitar pohon tidur maka lengkingan suara Tarsius akan lebih nyaring terdengar. Hasil rekaman suara Tarsius dianalisis dengan Aplikasi Audacity 2.0 selanjutnya diidentifikasi bentuk duet call betina dan jantan . Jarak antara alat rekam dengan sumber suara diusahakan hanya berjarak 1 meter, metode ini digunakan jika Tarsius berada dalam pohon tidur, untuk Tarsius yang ditemukan diselain pohon tidur maka jarak antara alat rekam dengan sumber suara maksimal berjarak 20 meter. Suara Tarsius terdengar saling bersahut-sahutan dimulai dengan nyanyian jantan terlebih dahulu selanjutnya diikuti dengan betina dan anak. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Wirdateti & Dahrudin (2006), yang mengatakan bahwa pada pagi hari (pukul 04.30) terdengar vokalisasi dimulai suara melengking tinggi dari jantan dan induk kemudian diikuti suara bersahut- sahutan dari segala penjuru. Terlihat adanya perbedaan karakteristik vokalisasi antara Tarsius di Sulawesi Utara dengan Tarsius di Sulawesi Tenggara. T.spectrumgurskyae yang tersebar di Sulawesi Utara memiliki lengkingan suara yang lebih nyaring dan bersahut-sahutan antar kelompok. Tarsius sp., yang di Tersebar di Sulawesi Tenggara memiliki lengkingan suara yang lebih kecil dan tidak bersahut-sahutan, hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan hubungan sosial pada kedua jenis Tarsius ini. Curah hujan yang tinggi saat pengamatan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Tarsius sedikit mengeluarkan suara. Ketika terjadi hujan Tarsius jarang mengeluarkan suara dan hanya berlindung didalam pohon tidurnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret, yang sudah memasuki musim penghujan sehingga intensitas hujan yang tinggi terjadi pada ke-2 wilayah. Hasil pengamatan ini sesuai dengan hasil penelitian Mansyur (2012) ketika musim kemarau vokalisasi Tarsius lebih sering terdengar dibandingkan dengan musim hujan. Selain itu, saat intensitas hujan lebih tinggi, Tarsius memilih berada di pucuk-pucuk pohon dan bersembunyi diantara batang pohon yang lebih tinggi.

35

Perekaman suara dan Pengamatan perilaku Tarsius di CA Tangkoko dilakukan di sekitar Pohon tidur Tarsius, informasi letak pohon tidur Tarsius didapatkan dari asisten peneliti dan masyarakat sekitar CA Tangkoko. Ketika dilakukan analisis suara, perbedaan bentuk duet call betina dan jantan juga terlihat jelas dan tidak tumpang tindih dengan suara satwa yang lain (gambar 15). Frekeunsi maksimum duet call berada pada nilai 20 KHz, sedangkan frekuensi minimum berada pada nilai 5 KHz. Jumlah phrase 1 dan 2 durasi, nilai frekuensi yang tinggi menggambarkan semakin jelas bentuk spektrum dan semakin kerasnya suara Tarsius yang terekam. Rekaman ini termasuk kedalam fragmen yang lengkap karena terdapat durasi dan phrase dalam hasil spektrum. Tarsius yang ditemukan di CA Tangkoko merupakan jenis T.spectrumgurskyae spesies ini tersebar dari mulai area perkebunan hingga perbukitan (20 ha).

Gambar 15. Bentuk duet call T. spectrumgurskyae (Tangkoko). Tanda panah merah betina, tanda panah hitam jantan

Gambar 16. Bentuk duet call T. spectrumgurskyae (Shekelle et al., 2019)

Spektrum pada (gambar 16) Menunjukkan duet call yang didapatkan pengamat sama dengan duet call yang didapatkan oleh Shekelle et al., (2019). Tarsius di Indonesia terus mengalami revisi khususnya Tarsius di daerah Sulawesi hal ini dikarenakan sulitnya membedakan hewan ini selain itu, masih banyak

36

diperkirakan Tarsius yang belum di beri nama karena kurangnya data. Sehingga para peneliti khusunya dibidang Taksonomi mengalami banyak perdebatan untuk memberikan nama jenis tiap Tarsius yang ditemukan. Salah Satunya Tarsius di CA Tangkoko ini, Pada awal tahun 2010 Shekelle & Groves (2010) belum memberikan nama untuk jenis Tarsius yang ditemukan di Sulawesi Utara. Penamaan Tarsius di Sulawesi Utara terus berkembang menurut penelitian Gursky (2015) yang mengatakan bahwa Tarsius yang berada di CA Tangkoko merupakan jenis T.tarsiers atau persamaan dari jenis T.spectrum. Sementara itu, penelitian yang dilakkukan oleh Shekelle & Groves (2010) mengatakan bahwa T.tarsier hanya tersebar di Pulau Selayar. Selain itu Sulawesi Selatan juga memiliki jenis Tarsius lain yaitu T.fuscus jenis ini dapat dijumpai di TN Bantimurung Bulusaraung. Dari kebingungan Taksonomi ini (Shekelle et al., 2019) merevisi nama T.spectrum menjadi T.spectrumgurskyae untuk Tarsius yang tersebar di CA Tangkoko, Pulau Talise dan Pulau Manado Tua. Sehingga jenis T.tarsiers (synonym T.spectrum) tersebar hanya di Pulau Selayar, Pulau Buton dan kemungkinan daratan Sulawesi Tenggara. Hasil rekaman suara yang didapatkan di SM Tj. Amolengo tidak terlalu jelas terlihat dari hasil frekeunsi maksimum yang rendah 10 KHz, dan frekeunsi minimum 5 KHz (gambar 17). Hal ini disebabkan semua lengkingan suara Tarsius yang didapatkan di Sulawesi Tenggara tidak terlalu nyaring dan tidak saling bersahut-sahutan. Namun, rekaman ini termasuk kedalam fragmen yang lengkap karena terdapat durasi dan phrase dalam bentuk spektrumnya. Hasil analisis rekaman suara Tarsius sp., SM Tj. Amolengo dibandingkan dengan bentuk vokalisasi Tarsius sp., Pulau Buton yang ditemukan oleh (Burton & Nietsch, 2010) dan terlihat adanya kemiripan bentuk vokalisasi (gambar 18). Hal ini menandakan bahwa Tarsius sp., di SM Tj. Amolengo sama dengan jenis Tarsius sp., yang ditemukan di Pulau Buton. Namun, dari hasil tersbut tidak dapat diidentifikasi adanya bentuk duet call betina dalam rekaman suara Tarsius di SM Tj. Amolengo. Selain itu, saat dilapangan hanya ditemukan 1 individu saja didalam pohon tidur dan diduga individu tersebut adalah jantan.

37

Gambar 17. Bentuk duet call Tarsius sp., (Tj. Amolengo)

Gambar 18. Bentuk duet call Tarsius Buton (Burton & Nietsch, 2010)

Menurut (Mansyur et al., 2016) Secara umum, Tarsius sp., yang ditersebar di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara merupakan jenis yang sama dengan T.tarsiers (synonym T.spectrum) yang tersebar di daratan utama Sulawesi dan Pulau Selayar (Brandon-jones et al., 2004). Namun jika dilihat berdasarkan hasil analisis, suara Tarsius sp., memiliki bentuk duet call yang berbeda dengan T.tarsiers (synonym T.spectrum) yang tersebar di Pulau Selayar (gambar 19).

Gambar 19. Bentuk duet call T.tarsiers (synonym T.spectrum) (Selayar) (Burton & Nietsch, 2010)

Tarsius sp., yang ditersebar di Pulau Buton telah lama terisolasi dari Pulau utama yaitu Sulawesi. Sehingga dicurigai jenis Tarsius yang tersebar di Sulawesi Tenggara berbeda jenis dengan Tarsius yang tersebar di daratan Sulawesi dan Pulau Selayar (Mansyur et al., 2016). Secara akustik bentuk duet call Tarsius sp., yang

38

tersebar di Tj. Amolengo sama dengan Tarsius sp., yang tersebar di Pulau Buton maka besar kemungkinan adanya kecocokan secara genetik diantara 2 jenis Tarsius ini. Sampai saat ini masih banyak perdebatan diantara para Taksonomis mengenai penamaan Tarsius di setiap wilayah persebarannya (Shekelle et al., 2008b). Hasil rekaman suara Tarsius sp., di SM Tj. Peropa memperlihatkan bentuk duet call yang sedikit berbeda dengan bentuk duet call yang ditemukan di SM Tj. Amolengo. Gambar 20 (b) menunjukkan vokalisasi pada tanggal tesebut, dan terlihat bentuk duet call ini memiliki bagian ujung yang lebih panjang panjang. Karakteristik vokalisasi seperti ini sering ditemukan pada suara betina. Namun, rendahnya nilai frekuensi maksimum hanya 10 KHz pada hasil spektrum membuat bentuk duet call menjadi samar-samar. Selain itu gambar 20 (b) menunjukkan hasil fragmen yang tidak lengkap karena hanya terdapat phrase dalam rekamannya. Perjumpaan Tarsius di SM Tj. Peropa hanya sekali, suara yang terekam selain dari tanggal 21 Maret diambil tanpa terlihat wujud Tarsius yang sedang mengeluarkan suara.

Gambar 20. Bentuk duet call Tarsius sp., Tanjung peropa. A. Suara Tarsius jantan; B. Tanda panah merah diduga suara Tarsius betina

39

Gambar 21. Bentuk duet call Tarsius sp., Puuwatu (Burton & Nietsch, 2010)

Hasil rekaman dianalisis bentuk duet call Tarsius sp., di SM Tj. Peropa dibandingkan dengan duet call Tarsius sp., di Puuwatu yang ditemukan oleh Burton & Nietsch (2010) (gambar 21). Kemiripan yang sama terlihat dari perbandingan kedua duet call ini, hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan Tarsius sp., di SM Tj. Peropa merupakan jenis yang sama dengan Tarsius sp., yang tersebar di Puuwatu. Jika dilihat dari hasil analisis rekaman suara Tarsius di SM Tj. Amolengo, Tj. Peropa, Buton dan Puuwatu menunjukkan karakteristik vokalisasi yang sama. Selain itu, menurut Burton & Nietsch (2010) yang melakukan analisis statistic dengan SPSS 11.0, mengatakan bahwa nyanyian frekuensi Tarsius Buton, Kabaena, dan Puuwatu sangatlah mirip. Berdasarkan bentuk akustik dapat dipastikan jenis Tarsius sp., yang ditemukan pada lokasi SM Tj. Amolengo, Peropa, Pulau Buton dan Puuwatu merupakan jenis yang sama, kemungkinan jenis ini tersebar di seluruh daratan Sulawesi Tenggara dan Pulau satelitnya. Berbeda hal nya dengan CA Tangkoko di SM Tj. Amolengo dan Peropa tidak ditemukan keberadaan Tarsius maupun pohon tidur Tarsius di sekitar hutan pantai. Pengamatan di sekitar air terjun sebelumnya pernah dilakukan oleh pengamat sebanyak 2 kali. Lokasi rekaman pertama adalah air terjun yang berada di luar kawasan CA Tangkoko. Lokasi kedua adalah air terjun Moramo (Moramo Water Fall) yang masih termasuk ke dalam kawasan SM Tj. Peropa. Pengamatan dilakukan pada sore hari sampai menjelang malam (pukul 05.30-07.30). Namun, Kualitas hasil rekaman yang didapatkan kurang baik selain itu, suara gemuruh air terjun membuat hasil rekaman tumpang tindih dengan suara satwa. Sehingga pengamatan di sekitar air terjun tidak lagi lagi dilakukan.

40

Hasil rekaman yang didapatkan di sekitar air terjun Moramo dianalisis dan dari hasil rekaman ini terdengar suara yang sekilas mirip dengan lengkingan Tarsius (gambar 22). Rekaman didekat air terjun moramo memiliki nilai frekeunsi maksimum yang paling rendah diantara rekaman yang lainnya, yaitu 5 Khz dan frekuensi minimum juga yang paling rendah yaitu 2 KHz. Namun, rekaman ini termasuk ke dalam fragmen yang lengkap karena terdapat 2 phrase dan 2 durasi. Hasil analisis memperlihatkan bentuk vokalisasi yang berbeda dari bentuk vokalisasi Tarsius yang tersebar Sulawesi Utara maupun Sulawesi Tengggara.

Gambar 22. Bentuk spektrum Tarsius sp., di sekitar air terjun moramo

Gambar 23. Bentuk spektrum Tarsius Kamarora (Shekelle, 2008a)

Pengamat mencoba membandingkan dengan vokalisasi Tarsius Kamarora yang didapatkan oleh (Shekelle, 2008a) (gambar 23). Hasilnya Terdapat adanya kemiripan dengan bentuk vokalisasi Tarsius yang tersebar di Kamarora, Sulawesi Tengah. Spesies ini termasuk kedalam jenis T.dentatus. Identifikasi bentuk duet call jantan dengan duet call betina belum dapat dilakukan, karena belum dapat dipastikan apakah ini suara Tarsius atau bukan. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk para ahli dibidangnya agar lebih mendalami kasus seperti ini. Kemungkinan lain adalah adanya kesalahan atau kekeliaruan dari pengamat dalam melakukan analisis.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan dan Saran Tarsius aktif bersuara di pagi hari saat mereka kembali ke sarang (pukul 04.30-06.30). Rekaman suara Tarsius di Sulawesi Utara sangat jelas, tidak tumpang tindih, dan saling sahut-menyahut antar kelompok. Dilihat dari bentuk duet call Tarsius di CA Tangkoko merupakan kelompok Tarsius jenis T.spectrumgurskyae. Di CA Tangkoko T.spectrumgurskyae tersebar dari area perkebunan hingga area perbukitan. Tarsius di SM Tj. Amolengo dan SM Tj. Peropa merupakan kelompok Tarsius yang sama dengan jenis Tarsius sp., yang ditemukan di Pulau Buton dilihat dari bentuk duet call dan jenis ini berpotensi dideskripsikan sebagai jenis Tarsius.

5.2. Saran Faktor musim menjadi sangat berpengaruh ketika melakukan penelitian dengan objek Tarsius, sebaiknya penelitian mengenai Tarsius tidak dilakukan saat musim hujan karena ketika hujan untuk mendapatkan hasil vokalisasi yang lebih jernih. Penelitian lanjutan dibidang molekuler perlu dilakukan pada Tarsius sp., yang tersebar di SM Tj. Amolengo dan Peropa, Pulau Buton, dan Puuwatu untuk mengetahui perbandingan secara genetik antara T.tarsier (synonym T.spectrum) yang tersebar di daratan utama Sulawesi dan Pulau Selayar.

41

DAFTAR PUSTAKA

Alferi, Fahri, & Annawaty. (2017). Karakteristik Sarang Tarsius wallacei di Lebanu , Sigi , Sulawesi Tengah. Natural Science, 6(3), 206–213. https://doi.org/10.22487/25411969.2017.v6.i3.9193 Alikodra, H. S. (2002). Satwa Liar (IPB Press). Bogor, Jawa Barat, Indonesia: IPB Press. Asrianny, Paweka, C. B., Achmad, A., Oka, N. P., Nida, & Achmad, S. (2019). Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi Hutan Dataran Rendah di Kompleks Gunung Bulusaraung Sulawesi Selatan. Perennial, 15(1), 32–41. Retrieved from http://journal.unhas.ac.id/index.php/perennial Baskara, M., & Wicaksono, K. P. (2013). Tumbuhan Ficus : Penjaga Keberlanjutan Budaya dan Ekonomi di Lingkungan Karst. ILMIAH IPLBI, 3(1), 21–25. Brandon-jones, D., Researcher, I., Melnick, D. J., Morales, J. C., Network, G. F., & Shekelle, M. (2004). An Asian Classification. International Journal of Primatology, 25(1), 98–164. https://doi.org/10.1023/B Bumbungan, N., Annawaty, & Duma, Y. (2017). KERAGAMAN PAKAN TARSIUS (Tarsius wallacei Merker., 2010 ) DI LEBANU, MARAWOLA, SIGI, SULAWESI TENGAH. Biocelebes, 12(2), 34–41. Burton, J. A., & Nietsch, A. (2010). Geographical Variation in Duet Songs of Sulawesi Tarsiers : Evidence for New Cryptic Species in South and Southeast Sulawesi. 31, 1123–1146. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9449-8 Dahang, D., & Siswanto, A. (2016). Posisi Pergerakan Tarsius Tarsier Erxleben 1777. Saintech, 08(January 2016), 33–42. Gursky, S. (2015). Ultrasonic Vocalizations by the Spectral Tarsier , Tarsius spectrum. Folia Primatologica, 4352(4), 153–163. https://doi.org/10.1159/000371885 Gursky, S., Shekelle, M., & Nietsch, A. (2008). THE CONSERVATION STATUS OF INDONESIA ’ S TARSIERS. International Journal of Primatology, 1(6), 105–114. Hall, R. (2001). Cenozoic reconstructions of SE Asia and the SW Pacific : changing patterns of land and sea. Faunal and Floral Migrations and Evolution in SE Asia-Australasia, (1), 35–56. Kinnaird, M. F. (1997). Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam (Pertama).

46

47

Jakarta, Indonesia: Percetakan Redi Utama. Kurniawan, A., Undaharta, E. K. N., & Pendit, R. M. i. (2008). Asosiasi Jenis-jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. BIODIVERSITAS, 9(3), 199–203. https://doi.org/10.13057/biodiv/d090310 Lowing, A. E., Rimbing, S. C., Rembet, G. D. G., & Nangoy, M. . (2013). KARAKTERISTIK SARANG TARSIUS (Tarsius spectrum) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BITUNG SULAWESI UTARA. Jurnal Zootek, 32(5), 1– 13. MacKinnon, J., & MacKinnon, K. (1980). The Behavior of Wild Spectral Tarsiers. International Journal of Primatology, 1(4), 361–362. https://doi.org/0164- 0291/80/1200-0361503.00/0 9 Mansyur, F. I. (2012). KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI TARSIUS (Tarsius fuscus Fischer 1804 ) DI RESORT BALOCCI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG SULAWESI SELATAN. (IPB Press; F. I. Mansyur, ed.). Bogor, Jawa Barat, Indonesia: IPB Press. Mansyur, F. I., Mustari, A. H., & Prasetyo, L. B. (2016). KARAKTERISTIK HABITAT TARSIUS ( Tarsius Sp .) BERDASARKAN SARANG TIDUR DI HUTAN LAMBUSANGO PULAU BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA. Media Konservasi, 21(2), 135–142. Merker, S., & Groves, C. P. (2014). Tarsius lariang : A New Primate Species from Western Central Sulawesi Tarsius lariang : A New Primate Species. International Journal of Primatology ·, 27(2), 465–485. https://doi.org/10.1007/s10764-006-9038-z Mustari, A. H. (2019). Checklist Jenis-Jenis Tumbuhan di Sulawesi Tenggara (Maret 2018; A. W. Gumelar, ed.). Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Mustari, A. H., Mansyur, F. I., & Rinaldi, D. (2013). Karakteristik habitat dan populasi Tarsius fuscus Fischer 1804 di Resort Balocci, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Media Konservasi, 18(1), 47–53. Niemitz, C., & Verlag, F. G. (2016). Biology of Tersiers. Newyork City: Pustet Reagensburg. Nietsch, A. (1999). Vokalisasi Duet di antara Populasi yang Berbeda di Sulawesi Tarsius. 20(4), 567–568. https://doi.org/0154-0291 / 99 / 0800-0567 $ l6.00 / 0 1999 Oka, N. P. (2002). PENDEKATAN TEKNIS PELESTARIAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) SECARA EX-SITU. Berita Biologi, 6(1), 353–361.

48

Pasetha, A., Farajallah, D. P., & Gholib. (2019). Perilaku Harian Monyet Hitam Sulawesi ( Macaca nigra ) pada Masa Kebuntingan di Cagar Alam Tangkoko- Batuangus , Sulawesi Utara. Sumberdaya HAYATI, 5(1), 25–34. Purba, S. D., Patana, P., & Jumilawaty, E. (2015). KELIMPAHAN JENIS DAN ESTIMASI PRODUKTIVITAS Ficus spp. SEBAGAI SUMBER PAKAN ALAMI ORANGUTAN SUMATERA ((Pongo abelii) DI PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA (PPOS), TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER. BIODIVERSITAS, 6(3), 1–13. Qiptiyah, M., & Setiawan, H. (2012). Kepadatan Populasi dan Karakteristik Habitat Tarsius (Tarsius spectrum Pallas 1779) di Kawasan Patunuang, Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 9(4), 364–371. Santoso, S. (2010). STUDI POPULASI DAN PERILAKU TARSIUS (Tarsius spectrum) DAN PENGEMBANGANNYA SEBAGAI OBYEK ATRAKSI SAFARI MALAM DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG SULAWESI SELATAN. Media Konservasi, 15(3), 126–130. Saroyo, Tallei, T. E., & Koneri, R. (2017). Density of Spectral Tarsier (Tarsius spectrum) in Agricultural Land, Mangrove, and Bush Habitats in North Sulawesi, Indonesia. Innovative Scientific Information & Services Network, 2(14), 310–314. Shekelle, M. (2008). The History and Mystery of the Mountain Tarsier , Tarsius pumilus The History and Mystery of the Mountain Tarsier , Tarsius pumilus. Primate Conservation, 23(1), 121–124. Shekelle, M., Brandon, J., & Groves, C. (2008). TAXONOMIC HISTORY OF THE TARSIERS , EVIDENCE FOR THE ORIGINS OF BUFFON ’ S TARSIER , AND THE FATE OF Tarsius spectrum Pallas , 1778. Primates of The Oriental Night, 3, 1–12. Shekelle, M., & Groves, C. (2010). The Genera and Species of Tarsiidae. International Journal of Primatology, 31(February), 1071–1082. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9443-1 Shekelle, M., Groves, C., Merker, S., Supriatna, J., Shekelle, M., Groves, C., … Supriatna, J. (2008). Tarsius tumpara : A New Tarsier Species from Siau Island , North Sulawesi Tarsius tumpara : A New Tarsier Species from Siau Island , North Sulawesi. 23(1), 55–64. https://doi.org/10.1896/052.023.0106 Shekelle, M., Groves, C. P., Maryanto, I., Mittermeier, R. A., Salim, A., & Springer, M. S. (2019). A New Tarsier Species from the Togean Islands of Central Sulawesi , Indonesia , with References to Wallacea and Conservation on Sulawesi. Primate Conservation, 2019(33), 1–9.

49

Shekelle, M., & Leksono, S. M. (2004). Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies (Conservation strategy in Sulawesi Island using Tarsius as Flagship Species). https://doi.org/ISSN 0853-8670 Sinaga, W. S. (2009). HABITAT DAN POPULASI MENTILIN ( Cephalopachus bancanus bancanus ) DI KABUPATEN BANGKA, PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Indonesian Journal of Conservation, 14(3), 12–19. Supriatna, J., & Wahyono, H. E. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia (Pertama, Vol. 44). Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor Indonesia. Waryono, T. (2008). BIOGEOGRAFI ALGA MAKRO DI KAWASAN PESISIR. Makalah Dalam Seminar IKATAN GEOGRAFI INDONESIA, 1–6. Wirdateti, & Dahrudin, H. (2006). Pengamatan Pakan dan Habitat Tarsius spectrum ( Tarsius ) di Kawasan Cagar Alam Tangkoko-Batu Angus, Sulawesi Utara. BIODIVERSITAS, 7(4), 373–377. https://doi.org/10.13057/biodiv/d070414 Yustian, I. (2008). Estimasi Populasi dan Habitat Tarsius Sumatera (Tarsius bancanus bancanus). Penelitian Sains, 17(1), 14–19.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Faktor fisik lingkungan sekitar sarang

Tgl Suhu udara (°C) Kelembapan udara (%) Tekanan udara (HPa)

02-03-2020 26 (sore) 95 996,57 03-03-2020 26 (sore) 95 996,57 03-03-2022 26 (pagi) 83 996,57 04-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 05-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 06-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 07-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 08-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 09-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 10-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 11-03-2020 26 (pagi) 95 996,57 12-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 13-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 13-03-2020 25 (sore) 95 996,579 14-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 15-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 16-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 17-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 18-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 19-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 20-03-2020 27 (pagi) 90 1. 026,40 21-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 22-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40 23-03-2020 27 (pagi) 90 1.026, 40

50

51

Lampiran 2. Gambar pintu masuk CA Tangkoko, Bitung Batuputih

Lampiran 3. Gambar pintu masuk Resort KSDA KONSEL 1

52

Lampiran 4. Gambar pintu masuk Moramo Water Fall

Lampiran 5. Gambar pintu masuk SM Tj. Amolengo

.