Quick viewing(Text Mode)

Naskah Kebijakan Perlindungan

Naskah Kebijakan Perlindungan

ANALISIS KEBIJAKAN

KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non Apendiks CITES)

DIREKTORAT KONSERVASI DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN RUANG LAUT KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2016

i

KATA PENGANTAR

Tingkat keanekaragaman hayati laut diperkirakan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia sehingga dapat dikatakan sebagai the center of marine biodiversity in the world . Salah satu sumber daya laut yang telah dimanfaatkan, baik untuk kepentingan penelitian, budaya dan ekonomi, oleh masyarakat adalah ikan hiu. Wilayah perairan Indonesia sendiri memiliki hampir sepertiga dari total spesies hiu di seluruh dunia. Memperhatikan jumlah atau keberadaan spesies hiu yang banyak di perairan Indonesia, maka sudah seyogyanya pemerintah, masyarakat, serta seluruh pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mengupayakan keberlangsungan atau kelestarian sumber daya ikan hiu itu sendiri. Sehingga, sumber daya ikan hiu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan terus memperhatikan prinsip konservasi atau aspek pengelolaan dan perlindungannya. Upaya perlindungan dan pengelolaan perikanan hiu secara komprehensif di Indonesia merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Selain itu, implementasi rencana aksi perlindungan dan pengelolaan sumber daya ikan hiu secara nasional dapat ditempuh dalam beberapa tahapan atau paling tidak dengan membuat proyek-proyek percontohan yang mengarah pada pelaksanaan yang utuh dari Rencana Aksi Nasional. Selanjutnya, sebagai salah satu negara yang telah mengesahkan konvensi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered of Wild Fauna and Flora (CITES), Indonesia tentu perlu menyesuaikan peraturan atau legislasi nasional di dalam negeri dengan regulasi internasional, secara khusus yang menangani perdagangan satwa liar, dalam hal ini ikan hiu. Penetapan status perlindungan ikan hiu di Indonesia perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk memastikan bahwa sumber daya ikan hiu dapat dimanfaatkan secara lestari tanpa mengesampingkan upaya perlindungannya. Dokumen ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk penyusunan peraturan perlindungan ikan hiu di Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dokumen ini.

Jakarta, Maret 2016

Penyusun

i DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1 1.2. Maksud, Tujuan dan Sasaran 3 1.3. Ruang Lingkup 3

II. DATA, INFORMASI DAN STATUS PENGELOLAAN TERKINI 4

2.1. Informasi Biologi Hiu 4 2.2. Perikanan Hiu di Indonesia 10 2.3 Regulasi Nasional Tentang Perlindungan Hiu 29

III. RANCANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HIU 34

3.1 Landasan Hukum 34 3.2 Tujuan Penyusunan Regulasi 37 3.3 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hiu 37 3.4 Kebutuhan dan Pilihan Pengaturan 39 3.5 Usulan Kerangka Kebijakan/Pengaturan 52 IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 55 REFERENSI 79

ii

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2015), Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, total produksi perikanan tangkap untuk kelompok hiu di Indonesia pada Tahun 2014 mencapai 49.020 Ton dengan nilai produksi mencapai Rp. 677.900.570.000,-. Dari jumlah tersebut, kelompok hiu lanjaman ( spp.) merupakan hiu yang paling banyak ditangkap dengan prosentase sebesar 63,47%, kemudian hiu Tikus/Monyet ( Alopias spp.) sebesar 22,54% dan yang ketiga terbesar ditempati oleh kelompok hiu botol (Squalus spp.) sebesar 11,21% dari total tangkapan (sumber: Buku Data Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2015). Tingginya produksi ini cukup beralasan karena Indonesia mempunyai wilayah penangkapan yang luas dan merupakan salah satu habitat utama hiu di dunia. Perairan Indonesia, berdasarkan data yang dipublikasi oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat 114 jenis hiu di ditemukan di perairan Indonesia (Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2013). Hal ini tentu membuktikan bahwa perairan laut Indonesia memiliki tingkat keragaman spesies hiu yang tinggi. Sumberdaya hiu telah menjadi sumber penghasilan utama bagi beberapa kalangan masyarakat tertentu, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada produk perikanan tersebut, mulai dari nelayan penangkap, pengumpul, penjual dan pengolah hasil perikanan hiu dan pari di beberapa daerah. Hampir semua bagian tubuh hasil tangkapan dimanfaatkan oleh nelayan setempat, namun sirip menjadi produk utama yang di proses secara lokal dan dijual dalam bentuk kering ke kota-kota besar di Indonesia, bahkan kemudian diekspor ke negara-negara seperti Hongkong, Singapura dan Jepang (Suzuki, 2002). Sementara dagingnya diasap atau dikeringkan untuk dijual di pasar lokal, begitu pula kulit, hati dan rahangnya dimanfaatkan untukberbagai keperluan. Dalam beberapa dekade terakhir, tren penangkapan hiu telah makin berkembang mulai dari perikanan longline berskala kecil menjadi perikanan komersial dengan target tangkapanbeberapa jenis hiu yang bernilai tinggi seperti hiu botol ( dan ), hiu/pari lontar ( Rhynchobatidae ) dan hiu-hiu besar (Carcharhinidae, , Alopiidae dan Sphyrnidae ), baik sebagai target maupun tangkapan sampingan.

1

Hal tersebut menandakan bahwa secara sosial ekonomi, komoditas perikanan hiu merupakan salah satu komoditas penting bagi sebagian masyarakat, serta telah memberikan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat yang terkait dengan perikanan hiu. Walaupun kebanyakan kegiatan penangkapan ikan tidak menangkap ikan hiu sebagai target tangkapannya, namun komoditas tersebut menjadi komponen penting bagi hasil tangkapan mereka. Kondisi ini lambat laun telah meningkatkan tingkat eksploitasi terhadap sumber daya hiu di perairan Indonesia. Di lain pihak, ikan hiu umumnya menempati posisi puncak didalam rantai makanan di laut dan diyakini berperan penting didalam menjaga dan mengatur keseimbangan ekosistem, sehinggaapabila keberadaannya di alam terancam, dikhawatirkan dapatmerubah tatanan alamiah dalam struktur komunitas yangberakibat pada terganggunya keseimbangan suatu ekosistem. Secara umum ancaman terhadap kelangsungan hidup ikan hiu di alam telah mengakibatkan penurunan jumlah populasi yang dikarenakan beberapa hal sebagai berikut: a. Eksploitasi hiu yang berlebihan dan dilaksanakan secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kelangsungan hidup dari populasi hiu di alam (Stevens dkk. 2000; Jackson dkk. 2001; ); b. Kurangnya peraturan pengelolaan dan perlindungan sumber daya ikan hiu yang mendukung kelangsungan hidup spesies hiu pada habitatnya (Techera and Klein, 2011); c. Permintaan pasar internasional yang mengakibatkan harga jual sirip hiu yang tinggi dan cenderung memicu upaya perburuan dan perdagangan ilegal (Clarke dkk. 2005; Giangaspero and Ghafri, 2014); d. Kerusakan habitat, polusi dan degradasi lingkungan (Storelli dkk. 2002; Gallagher dkk. 2012; Dulvy dkk. 2014; Vegter dkk. 2014); e. Rendahnya pemahaman dan kepedulian dari masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan dan masyarakat umum terkait peran ekologis dari spesies hiu dalam ekosistem laut dan terbatasnya upaya untuk melakukan konservasi spesies (Simpfendorfer dkk. 2011; Barbosa-Filho dkk. 2014). f. Adanya praktek finning yang dilakukan oleh nelayan yaitu sirip ikan hiu diambil namun bagian tubuh hiu yang lain tidak dimanfaatkan dan dibuang kembali ke laut (Clarke dkk. 2005; Biery dan Pauly, 2012; Dharmadi dkk. 2015).

2

Memperhatikan pentingnya sumber daya hiu baik secara ekonomi maupun lingkungan bagi bangsa Indonesia, maka sudah seyogyanya pemerintah, masyarakat, serta seluruh pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mengupayakan keberlangsungan atau kelestarian sumber daya ikan hiu itu sendiri. Sehinggga, sumber daya ikan hiu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan terus memperhatikan aspek pengelolaan dan perlindungan serta kelestariannya.

1.2. Maksud, Tujuan dan Sasaran

Maksud : mengkaji isu dan permasalahan pengelolaan hiu di tingkat nasional dikaitkan dengan ancaman kepunahan spesies hiu tertentu, status pengelolan, regulasi yang ada saat ini dan tuntutan pemenuhan ketentuan CITES dalam perdagangan internasional hiu. Tujuan : sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan untuk memformulasikan regulasi dalam pengelolaan perikanan hiu dengan mempertimbangkan kepentingan nasional untuk memanfaatkan potensi ekonominya secara lestari serta memenuhi ketentuan internasional terkait, seperti CITES. Sasaran : pengguna dokumen ini adalah pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha dan pihak-pihak lain yang terkait dengan mata rantai pengelolaan hiu di Indonesia.

1.3. Ruang Lingkup

Target Spesies : hiu yang dimaksudkan dalam dokumen ini adalah spesies hiu dan pari ekonomis penting, tidak termasuk hiu yang dilindungi berdasarkan regulasi nasional. Sistematika : dokumen naskah kebijakan konservasi hiu disajikan dalam 4 (empat) bab, yaitu: Bab 1. Pendahuluan; memuat latar belakang, maksud, tujuan, sasaran dan ruang lingkup. Bab 2. Data, Informasi dan Status Pengelolaan Terkini; memuat informasi biologi, informasi biologi, status perikanan hiu dan regulasi yang terkait dengan perikanan hiu. Bab 3. Rancangan Kebijakan Pengelolaaan Hiu Bab 4. Kesimpulan

3

II. DATA, INFORMASI DAN STATUS PENGELOLAAN TERKINI

2.1. Informasi Biologi Hiu

2.1.1 Klasifikasi

Ikan hiu merupakan anggota kelompok ikan-ikan bertulang rawan yang termasuk ke dalam Kelas . Sebagian besar jenis hiu yang umum dikenal berasal dari sub Kelas . Sub Kelas ini terdiri dari dua kelompok besar yaitu kelompok ikan hiu () dan pari (rays). Lebih dari 500 jenis hiu ditemukan pada perairan di seluruh dunia, mulai dari perairan tawar hingga ke laut dalam (Compagno, 2001; Compagno et al., 2005). Adapun klasifikasi kelompok ikan hiu menurut Last et al. (2010) adalah sebagai berikut: Kelas : Chondrichthyes Sub Kelas : Holocephali (Hiu hantu) Bangsa : Chimaeriformes Suku : Chimaeridae Sub Kelas : Elasmobranchii (Hiu dan pari) Bangsa : Suku : Hexanchidae Bangsa : Suku : Centrophoridae (hiu botol) Suku : Suku : Etmopteriidae Suku : Suku : Squalidae (hiu taji) Bangsa : Squatiniformes Suku : Squatinidae Bangsa : Lamniformes Suku : Pseudocarcharinidae Suku : Suku : Megachasmidae Suku : Lamnidae (hiu mako) Suku : Alopiidae (hiu tikus) Bangsa : Heterodontiformes Suku : Heterodontidae Bangsa : Orectolobiformes Suku : Orectolobidae Suku : Suku : Hemiscyllidae Suku : Stegostomatidae Suku : Rhincodontidae (hiu paus) Bangsa : Carcharhiniformes Suku : Scyliorhinidae (Hiu tokek) Suku :

4

Suku : Triakidae Suku : Suku : Carcharhinidae (hiu buas) Suku : Sphyrnidae (hiu martil)

Wilayah Indo Pasifik Barat diyakini merupakan pusat dari keanekaragaman ikan-ikan bertulang rawan (chondrichthyan) di dunia (Compagno, 1984). Jumlah jenis ikan Elasmobranchii di wilayah Indo Pasifik Barat diperkirakan sekitar 245 jenis, dengan jumlah jenis hiu mencapai 41% dari jumlah tersebut (Compagno, 1990; Compagno, 2002). Sebagai salah satu negara yang berada di dalam kawasan tersebut, perairan Indonesia juga diyakini memiliki keragaman jenis ikan hiu dan pari yang tinggi. Berdasarkan studi dari berbagai literatur dan hasil penelitian hingga tahun 2010, telah mencatat setidaknya 218 jenis ikan hiu dan pari ditemukan di perairan Indonesia, yang terdiri dari 114 jenis hiu, 101 jenis pari dan tiga jenis ikan hiu hantu yang termasuk ke dalam 44 suku (Fahmi, 2010; 2011; Allen & Erdman, 2012). Dari 44 suku ikan bertulang rawan tersebut di atas, hanya sekitar 26 jenis hiu dari 10 marga dan enam suku yang bernilai nilai ekonomi tinggi untuk diperdagangkan siripnya di pasaran nasional maupun internasional. Jenis-jenis hiu dari suku Carcharhinidae, Lamnidae, Alopiidae dan Sphyrnidae merupakan kelompok hiu yang umum dimanfaatkan siripnya karena anggota dari kelompok-kelompok ikan hiu tersebut umumnya berukuran besar. Di lain pihak, terdapat beberapa jenis pari yang memiliki bentuk tubuh seperti hiu ( like) seperti ikan-ikan dari suku Rhynchobatidae, Rhinobatidae, Rhinidae dan Pristidae, banyak dimanfaatkan pula siripnya bahkan ada yang memiliki harga yang relatif lebih tinggi di pasaran dibandingkan sirip ikan hiu itu sendiri. Adanya kelompok-kelompok pari yang mempunyai morfologi seperti hiu dan oleh orang awam mengkategorikan sebagai jenis hiu, menyebabkan adanya kesalahpahaman mengenai istilah hiu secara umum. Sebagai contoh, Suku Rhynchobatidae lebih dikenal dengan sebutan hiu lontar atau hiu bandrong, Suku Rhinidae dikenal dengan sebutan hiu pari, hiu barong atau hiu kupu-kupu, sedangkan Suku Pristidae lebih dikenal dengan sebutan hiu gergaji dibandingkan dengan nama aslinya yaitu pari gergaji atau ikan gergaji (Gambar 1). Salah satu ciri yang membedakan antara kelompok hiu dan pari adalah letak insangnya. Walaupun pada beberapa jenis ikan pari memiliki bentuk tubuh seperti hiu, namun letak insangnya selalu berada di bawah (ventral), berbeda dengan letak insang dari kelompok hiu yang selalu berada di bagian sisi kiri dan kanan (lateral) tubuhnya.

5

Secara umum, kelompok ikan hiu merupakan kelompok ikan bertulang rawan yang paling beragam jenisnya di Indonesia. Kelompok ikan hiu terbagi dalam tujuh bangsa (ordo) dan 26 suku (famili). Kelompok ikan hiu yang paling umum dijumpai dan paling beragam jenisnya adalah dari Suku Carcharhinidae. Suku tersebut berkontribusi sekitar 14% dari total jumlah jenis ikan bertulang rawan yang ditemukan di Indonesia atau sekitar 27% dari jumlah total jenis hiu yang ada di Indonesia. Jumlah total jenis hiu dari suku ini di Indonesia tercatat sekitar 31 jenis.

Gambar 1. Pristis microdon Latham, 1794 Sumber: Economically Important Shark and Rays of Indonesia (White, W.T., Last, P.R., Stevens, J.D., Yearsley, G.K., Fahmi and Dharmadi, 2006)

2.1.2 Keanekaragaman

Keanekaragaman jenis hiu bervariasi tergantung dari kedalaman, habitat dan kondisi geografisnya (Compagno, 2001). Kelompok ikan hiu menempati habitat yang sangat luas dan dapat ditemukan pada hampir semua tipe perairan (Last & Compagno, 2002). Beberapa jenis hiu ada yang hidup di daerah paparan benua, dari daerah pasang surut hingga kedalaman 200 m; daerah lereng benua (slope) mulai dari kedalaman 200 meter hingga lebih dari 2000 meter; ada yang hidup bebas sebagai ikan di laut lepas (oseanik) atau menghuni berbagai macam habitat tergantung dari pola adaptasi dan tingkah lakunya (Compagno, 2002, Last & Compagno, 2002). Sementara menurut Priede et al. (2006), kedalaman tertinggi yang pernah tercatat dimana ikan hiu pernah ditemukan adalah pada kedalaman 3700 meter di bawah permukaan laut. Secara umum, kondisi hidrografi merupakan faktor penting dalam menentukan keragaman dan komunalitas fauna hiu di dunia (Compagno, 2002). Keragaman tertinggi ikan hiu di Indonesia umumnya berada di daerah paparan benua, mulai dari perairan pantai hingga tepian benua (kedalaman hingga 150 m). Wilayah paparan benua di Indonesia meliputi perairan-perairan di sekitar pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa,

6 yang merupakan bagian dari paparan benua Asia, sedangkan Pulau Irian merupakan bagian dari paparan benua Australia. Sekitar 51% dari kelompok ikan hiu yang ada di perairan Indonesia ditemukan di daerah paparan benua tersebut. Hal ini berarti kebanyakan ikan-ikan hiu yang banyak diburu nelayan karena siripnya, berada pada wilayah perairan ini. Sebagai contoh, dari 31 jenis ikan hiu dari Suku Carcharhinidae, terdapat 20 jenis (64%) yang ditemukan di perairan paparan benua. Beberapa jenis hiu yang biasa dimanfaatkan siripnya dan ditemukan di perairan paparan benua antara lain adalah dari kelompok ikan hiu lanjaman seperti Carcharhinus amblyrhynchos, C. brevipinna, C. falciformis, C. limbatus dan C. Sorrah (Fahmi & Dharmadi, 2013). Bentuk tubuh dan ukuran ikan hiu bervariasi tergantung dari jenis dan pengelompokannya. Secara umum, ikan hiu memiliki bentuk tubuh memanjang dan terdiri dari tiga bagian tubuh, yaitu kepala, badan dan ekor. Ukuran tubuhnya sangat bervariasi, mulai dari yang terkecil sebesar lebar tangan orang dewasa (sekitar 15 cm) seperti hiu pigmi ( laticaudus), hingga hiu terbesar dengan tubuh mencapai panjang belasan meter seperti hiu paus (Rhyncodon typus). Namun pada umumnya ukuran ikan hiu adalah sekitar satu meter. Dari sekitar 114 jenis hiu yang diketahui ditemukan di wilayah perairan Indonesia, lebih dari separuhnya merupakan jenis ikan hiu yang berukuran kecil, yaitu yang memiliki panjang tubuh maksimum sekitar satu meter. Sedangkan ikan hiu yang berukuran sedang (panjang maksimum sekitar 2,5 meter) dan hiu yang berukuran besar (panjang maksimum di atas 2,5 meter) memiliki proporsi yang hampir sama, yaitu sekitar 20%. Tabel 1 di bawah merupakan pengelompokan suku dan jenis hiu berdasarkan ukuran panjang maksimumnya.

Tabel 1. Pengelompokan suku dan jumlah jenis ikan hiu berdasarkan ukuran maksimumnya (panjang total, m) di perairan Indonesia (Fahmi & Dharmadi, 2013).

Kecil Sedang Besar SUKU < 1m < 2,5m > 2,5m Hexanchidae - 2 1 Centophoridae 4 4 - Dalatiidae 2 - - 4 - - Somniosidae 2 1 - Squalidae 4 1 - Squatinidae - 2 - Heterodontidae - 1 - Ginglymostomatidae - - 1 Hemiscyllidae 12 1 -

7

Kecil Sedang Besar SUKU < 1m < 2,5m > 2,5m Orectolobidae - 3 - Rhincodontidae - - 1 Stegostomatidae - - 1 Megachasmidae - - 1 - - 1 Mitsukurinidae - - 1 Alopiidae - - 2 Lamnidae - - 2 Odontaspididae - - 2 Pseudocarchariidae 1 - - Scyliorhinidae 12 - - Proscylliidae 1 - - Triakidae 5 - - Hemigaleidae 3 1 - Carcharhinidae 10 10 11 Sphyrnidae - 2 2 TOTAL 60 28 26

Ikan-ikan hiu yang berukuran besar umumnya adalah ikan yang hidup di perairan lepas pantai, memiliki sebaran yang luas ataupun memiliki kemampuan bermigrasi. Sangat jarang ditemui ikan hiu yang berukuran besar di perairan dekat pantai, kecuali jenis-jenis tertentu yang memiliki sebaran luas seperti jenis hiu macan ( Galeocerdo cuvier ), hiu lembu ( Carcharhinus leucas ) maupun hiu paus ( Rhincodon typus ). Umumnya mereka berada dekat dengan pantai pada saat bereproduksi maupun mencari makan, makanan ikan hiu dapat berupa ikan-ikan dan invertebrata kecil maupun hewan laut lainnya seperti penyu, lumba-lumba ataupun anjing laut yang berada dekat perairan pantai. Sebagai hewan predator, umumnya ikan hiu dilengkapi oleh deretan gigi-gigi yang tajam dan rahang yang kuat, agar dapat menangkap mangsanya dengan efektif dan cepat. Morfologi ikan hiu yang ada sekarang ini merupakan hasil evolusi dan adaptasi selama beribu-ribu tahun. Oleh karena itu kelompok ini diposisikan sebagai predator puncak di dalam rantai makanan. Secara alamiah, ikan hiu tidak memiliki predator atau musuh alami yang harus mereka hindari, sehingga di dalam siklus hidupnya, kelompok ikan ini tidak mengembangkan strategi khusus untuk melindungi diri dari predator pemangsa. Tidak seperti halnya ikan-ikan bertulang sejati yang beradaptasi terhadap ancaman predator dengan memiliki jumlah anak yang banyak agar kemungkinan bertahan hidup hingga dewasanya ( survival rate ) tinggi, kelompok ikan hiu

8 umumnya memiliki jumlah anak yang sedikit dengan pertumbuhan yang lambat. Kondisi tersebut terbentuk secara evolusioner dan alamiah agar populasi ikan hiu secara alami tetap stabil di alam. Salah satu strategi ikan hiu untuk menghindar dari predator lain adalah dengan cara menempatkan anak-anak hiu di tempat yang jauh dari hiu-hiu dewasa yang berukuran besar. Ikan hiu betina yang sedang mengandung biasanya memisahkan diri dari kelompoknya dan akan melahirkan anaknya di perairan dangkal atau perairan pantai yang jauh dari habitat dimana hiu- hiu dewasa berada. Hal ini dilakukan agar anak-anaknya tidak dimangsa oleh ikan-ikan hiu yang lebih besar. Induk hiu berada di perairan dangkal atau peraian pantai hanya untuk melahirkan anaknya kemudian langsung kembali ke habitat asalnya, bahkan mereka tidak makan atau mencari makan selama periode melahirkan tersebut. Ikan hiu umumnya hidup secara soliter, namun beberapa jenis ada yang ditemukan hidup secara mengelompok. Banyak jenis ikan hiu yang hidup secara mengelompok hanya berdasarkan umur, ukuran atau jenis kelamin yang sama. Ikan hiu jantan akan hidup terpisah dari ikan-ikan hiu betina sepanjang siklus hidupnya. Mereka akan hidup bersama pasangannya hanya pada saat musim kawin dan bukan untuk mencari makan. Perilaku seperti ini ditemukan antara lain pada ikan hiu biru/hiu karet ( Prionace glauca ) dan beberapa jenis ikan hiu taji ( Squalus spp.). Ikan-ikan hiu tersebut dapat menemukan pasangannya walaupun dalam jarak yang berjauhan dengan mengandalkan sistem sensor yang kompleks dan tingkah laku khusus selama musim kawin.

2.1.3 Peranan Hiu dalam Ekosistem

Secara umum, hiu merupakan predator tingkat pertama yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan di laut. Sebagai predator puncak, hiu memangsa hewan-hewan yang berada pada tingkat tropik di bawahnya. Secara alamiah, hiu umumnya memangsa hewan-hewan yang lemah dan sakit sehingga hanya menyisakan hewan-hewan yang masih sehat untuk tetap bertahan hidup di alam. Selain itu, hiu cenderung memangsa hewan yang tersedia di alam dalam jumlah yang melimpah sehingga menjadi relatif lebih mudah ditangkap. Dengan demikian, secara tidak langsung hiu ikut menjaga dan mengatur keseimbangan ekosistem laut dengan melakukan seleksi dalam ekosistem dan mengatur jumlah populasi hewan-hewan di dalam tingkat tropik yang lebih rendah. Berkurangnya jumlah predator puncak di suatu lokasi, dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan tertentu yang menjadi mangsanya, sehingga terjadi dominansi jenis tertentu yang memonopoli sumber daya yang ada di dalam suatu komunitas.

9

Dengan demikian, keberadaan predator dalam suatu ekosistem dapat menjaga keragaman dan kekayaan jenis di alam (Steenhof & Kochert, 1988; Frid et al ., 2007). Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas penangkapan hiu oleh manusia, keberadaan hiu di alam semakin terancam dan populasinya semakin lama semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian, berkurangnya jumlah hiu di dalam suatu ekosistem berdampak pada berubahnya tatanan alamiah dalam struktur komunitas yang berakibat pada terganggunya keseimbangan suatu ekosistem. Sebagai contoh, berkurangnya jumlah hiu yang memangsa gurita di perairan Tasmania, Australia berdampak pada meningkatnya populasi gurita di alam, namun di lain pihak, populasi lobster yang merupakan mangsa dari gurita semakin lama semakin menurun akibat pemangsaan oleh gurita yang melimpah tersebut (Mojetta, 1997). Contoh lain adalah di dalam ekosistem terumbu karang, hilangnya hiu sebagai predator puncak di perairan terumbu karang di wilayah Karibia mengakibatkan meningkatnya populasi ikan-ikan herbivora dan omnivora di lokasi tersebut yang mengakibatkan vegetasi di laut menjadi berkurang sehingga ikan-ikan yang masih muda (juvenil) dan biota bentik lainnya kehilangan makanan dan tempat perlindungannya. Hal ini akhirnya berdampak pada kolapsnya ekosistem terumbu karang tersebut (Bascompte et al., 2005). Jejaring makanan merupakan penghubung keterkaitan antar organisme-organisme yang hidup di suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat rantai-rantai makanan yang saling berhubungan. Terputusnya rantai makanan yang ada di puncak dapat merusak jejaring makanan yang sudah terbentuk dan seimbang sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem (Paine, 1996; Myers & Worms, 2005; Ferretti et al., 2010). Dengan demikian, mempertahankan keseimbangan di dalam ekosistem sangatlah penting karena semua organisme yang hidup di dalamnya saling membutuhkan dan saling ketergantungan satu sama lain.

2.2 Perikanan Hiu di Indonesia

2.2.1 Produksi

Berdasarkan Data Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2014, produksi hiu selama periode 2004 sampai dengan 2014 secara garis besar menunjukkan tren penurunan (Gambar 2). Data produksi ikan hiu di dalam statistik perikanan nasional sudah dibagi ke dalam masing-masing kelompok jenis hiu. Kelompok jenis hiu tersebut antara lain adalah cucut botol (Squalus spp .), cucut lanjaman (Carcharhinus spp .), cucut martil/capingan (Eusphyra blochi, Sphyna spp .) cucut

10 tikus/monyet (Alopias spp .), dan mako ( spp ). Data produksi ikan hiu selama periode tersebut sebagaimana Tabel 2 dan grafik di bawah ini.

Tabel 2. Data Produksi Perikanan Hiu 2010 – 2014 (dalam Ton)

TAHUN No Nama Lokal Nama Ilmiah 2010 2011 2012 2013 2014

1 Cucut botol Squalus spp. 2,585 4,014 3,281 3,863 5,494

2 Cucut lanjaman Carcharhinus spp. 26,454 23,934 28,116 33,681 31,113

Cucut 3 Eusphyra blochi, Sphyna spp. 3,438 3,394 1,497 529 658 martil/capingan Cucut tikus / 4 Alopias spp. 12,890 18,240 8,792 13,229 11,051 monyet 5 Mako Makaira mazarra 733 632 350 966 704

Total 46,100 50,214 42,036 52,268 49,020

Gambar 2. Volume Produksi Perikanan Hiu 2004 – 2014

11

2.2.2 Daerah Penangkapan

Penangkapan hiu dilakukan hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, namun luasnya perairan Indonesia tersebut menjadi salah satu kendala dalam melakukan pengelolaan perikanan hiu. Untuk mempermudah dalam melakukan pengelolaan perikanannya, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan satuan wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia (Gambar 3). Peraturan Menteri tersebut telah menetapkan wilayah Indonesia terbagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang terbentang dari perairan Selat Malaka hingga Laut Arafura.

Gambar 3. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia

Wilayah-wilayah potensial perikanan hiu di Indonesia meliputi wilayah barat Sumatera (WPP 572), selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (WPP 573), Laut Natuna dan Selat Karimata (WPP 711), Laut Jawa (WPP 712) dan Laut Arafura (WPP 718). Secara umum, wilayah perikanan yang paling dieksploitasi sumber daya hiunya adalah di perairan selatan Indonesia (Samudera Hindia), yang merupakan habitat dari ikan-ikan hiu oseanik dan semi oseanik, yang menjadi target buruan nelayan untuk diambil siripnya. Setiap wilayah pengelolaan perikanan memiliki potensi perikanan dan jenis hiu yang berbeda-beda, tergantung dari karakteristik perairan dan habitat

12 yang ada di dalamnya. Daerah-daerah yang menjadi sentra produksi perikanan hiu dan wilayah pengelolaan perikanannya di Indonesia tercantum pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Sentra produksi perikanan hiu di Indonesia beserta WPPnya.

Daerah Sentra Produksi Hiu Cakupan WPP

Sibolga, Sumatera utara WPP 572 Muara Baru, Jakarta WPP 712, WPP 718, WPP 573 Muara Angke, Jakarta WPP 712, WPP 713, WPP 711, WPP 573 Palabuhanratu, Jawa Barat WPP 573, WPP 572 Cilacap, Jawa Tengah WPP 573 Prigi, Jawa Timur WPP 573 Surabaya, Jawa Timur WPP 712, WPP 713, WPP 573 Benoa, Bali WPP 573, WPP 713, WPP 714 Tanjungluar, NTB WPP 573 Kupang, NTT WPP 573

Hampir seluruh wilayah perairan Samudera Hindia merupakan daerah penangkapan potensial untuk ikan hiu. Hal ini terlihat dari sebagian besar sentra produksi hiu di Indonesia mendapatkan hasil tangkapan hiu dari wilayah perairan tersebut. Walaupun memiliki wilayah tangkapan hiu yang sama, namun setiap daerah memiliki tujuan daerah penangkapan yang berbeda-beda karena berbagai pertimbangan, antara lain ukuran kapal yang digunakan, kemampuan jelajah kapal, lama waktu operasional penangkapan selama di laut, dan jenis tangkapan ikan dari waktu ke waktu.

2.2.3 Alat Penangkapan Ikan

Hiu dapat tertangkap dengan berbagai tipe Alat Penangkap Ikan (API) Umumnya tipe API yang digunakan untuk menangkap hiu adalah pancing dan jaring (Dharmadi & Fahmi, 2003). Alat penangkap ikan pancing terdiri dari berbagai macam alat tangkap, mulai dari pancing tangan, pancing rawai dasar dan rawai permukaan. Pancing rawai memiliki berbagai macam model tergantung dari tujuan penggunaannya, namun dalam konteks ini, pancing rawai dibagi menjadi pancing rawai yang digunakan khusus untuk menangkap hiu atau yang lebih dikenal dengan

13 rawai hiu, dan pancing rawai yang kadang dapat menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan seperti rawai tuna. Sedangkan alat tangkap jaring juga terdiri dari berbagai tipe alat tangkap dan peruntukannya, baik yang khusus digunakan untuk menangkap hiu seperti jaring hiu, maupun berbagai alat tangkap jaring yang menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan seperti trawl, jaring dasar (fish net), pukat cincin (purse seine) dan jaring insang tuna.

2.2.4 Produk Ekspor Hiu

a. Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serang

Produk hiu diekspor dijumpai dalam berbagai bentuk produk, baik hiu hidup, glondongan utuh, potongan bagian-bagian organ tertentu, maupun dalam bentuk olahan siap saji. Dalam rangka dalam rangka melaksanakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus ) dan Hiu Martil ( Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia serta permintaan surat keterangan dari Badan Karantina Ikan, maka Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang telah menyelenggarakan pelayanan identifikasi hiu dan pari terhadap berbagai bentuk produk yang dikelompokkan menjadi 8, antara lain : a. Produk utuh hiu, termasuk hiu hidup untuk akuarium hias dan hiu utuh glondongan beku. b. Produk daging olahan hiu, termasuk daging steak , daging slice , dan daging potongan. c. Produk sirip hiu, termasuk sirip hiu kering dan hisit beku. d. Produk tulang hiu, termasuk tulang dari bagian kepala, tulang punggung, tulang sirip, tulang ekor. e. Produk jebreng, merupakan bagian jaringan elastis kartilage yang terdapat pada tulang belakang. f. Produk minyak hiu. g. Produk kulit hiu, baik dalam bentuk lembaran maupun potongan kecil.

14

Produk-produk dapat dijelaskan secara rinci (Gambar 4), sebagai berikut : a. Produk Utuh Hiu 1) Produk Hiu Hidup

2) Produk Hiu Utuh Beku Tanpa Sirip dan Kepala

15

b. Produk Daging Olahan Hiu

c. Produk Sirip Hiu 1) Produk Sirip Hiu Kering

16

2) Produk Hisit Hiu Beku

d. Produk Tulang Hiu 1) Produk Tulang Kepala Hiu

17

2) Produk Tulang Punggung Hiu

3) Produk Tulang Sirip Hiu

4) Produk Tulang Ekor Hiu

18

e. Produk Jebreng Hiu

f. Produk Minyak Hiu

g. Produk Kulit Hiu

19

Pengawasan perdagangan produk perikanan Indonesia baik di dalam maupun luar negeri dilakukan dibawah Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Seluruh perdagangan hasil perikanan ke luar negeri pada hakikatnya diatur dan diawasi oleh Direktorat Perdagangan Internasional KKP, namun pencatatan data ekspor dan impor hasil perikanan dilakukan oleh Pusat Data statistik dan Informasi Perikanan KKP yang bekerja sama dengan Biro Pusat Statistik (BPS). Data ekspor impor hasil perikanan, termasuk di dalamnya data ekspor produk ikan hiu, dikumpulkan dan dikompilasi oleh Kantor Bea dan Cukai dan Badan Karantina Ikan, KKP. Pada data statistik ekspor perikanan Indonesia, komoditi ekspor hiu dibedakan atas empat kelompok yaitu produk sirip hiu kering ( dried fins ), sirip hiu basah ( salted fins ), daging hiu beku (frozen sharks nei ) dan kelompok produk hiu ( sharks fresh or chiled ). Produk perikanan hiu yang paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip hiu kering, yang mana di dalamnya juga termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (Suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Di dalam data statistik ekspor perikanan Indonesia, hanya sirip hiu yang tercatat secara khusus, sedangkan bagian tubuh hiu ataupun pari seperti tulang rawan, kulit dan insang, dikelompokkan bersama-sama dengan bagian hiu lainnya (kelompok produk hiu). Sementara itu, minyak hiu dikelompokkan bersama dengan jenis minyak ikan lainnya, sehingga sangat sulit untuk dapat diketahui jumlah produksinya (Blaber, 2006). Produk sirip hiu biasanya diekspor ke beberapa negara di Asia seperti Jepang, Hong Kong, Singapura, Cina, dan Taiwan. Daging hiu yang berupa fillet biasanya diekspor ke Singapura selain diperdagangkan di dalam negeri, sedangkan daging yang telah dikeringkan dan diasinkan kadang dikirim juga ke Banglades dan Sri Lanka. Berdasarkan komposisi jenis produknya, terdapat pergeseran jenis produk hiu yang diperdagangkan. Sejak tahun 1991 hingga 1998, produk ekspor daging hiu lebih mendominasi dalam hal jumlah ekspornya, namun setelah tahun 1999, ekspor sirip hiu semakin meningkat dan mendominasi jumlah produk hiu yang diekspor ke luar negeri. Sejak tahun 2003, jumlah ekspor sirip hiu di Indonesia mulai mengalami penurunan. Sebagai contoh, pada tahun 2005, jumlah ekspor sirip hiu baik yang kering maupun yang basah (diasinkan) sejumlah 829.162 kg, namun pada tahun 2006 menurun menjadi hampir 50% yaitu 485.092 kg. Hampir separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian diikuti oleh Hong Kong, Singapura dan Malaysia. Di lain pihak, Provinsi Jawa Timur diketahui sebagai daerah eksportir sirip hiu terbesar di Indonesia, diikuti oleh Jakarta, Sulawesi Selatan,

20

Sumatera Utara dan Riau. Surabaya merupakan daerah yang menjadi tempat para pengumpul besar sirip hiu yang mengekspor barang komoditas hiu tersebut ke luar negeri. Sirip-sirip hiu yang dikumpulkan di Surabaya umumnya berasal dari beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, Bali dan Kalimantan. Para pengumpul sirip hiu di daerah umumnya mengirimkan barang dagangannya ke pengumpul besar yang ada di Kota Surabaya untuk kemudian diekspor.

• Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serang

Dalam rangka melaksanakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus ) dan Hiu Martil ( Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia, serta permintaan surat keterangan dari Badan Karantina Ikan, maka Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang menyelenggarakan pelayanan identifikasi hiu dan pari untuk membuktikan apakah produk hiu dan pari yang akan diekspor bukan termasuk jenis yang dilarang diekspor atau jenis yang dilindungi Peraturan Perundangan. Pelayanan tersebut diselenggarakan sejak keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus ) dan Hiu Martil ( Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia yang efektif dilakukan pada bulan November 2014. Namun, saat itu Loka PSPL Serang hanya menyelenggarakan identifikasi dan pemeriksaan sampai dengan penerbitan Berita Acara Pemeriksaan, sedangkan Surat Keterangan Rekomendasi Ekspor masih diterbitkan oleh Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Sejak bulan Maret 2015, Loka PSPL Serang efektif menyelenggarakan pelayanan identifikasi hiu dan pari, penerbitan Berita Acara Pemeriksaan, hingga penerbitan Surat Keterangan Rekomendasi Ekspor untuk wilayah kerja Loka PSPL Serang (Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta). Diagram jumlah pelayanan identifikasi terhadap waktu dapat menunjukkan frekuensi ekspor seperti pada gambar berikut ini :

21

Gambar 5. Jumlah BAP Identifikasi (pelayanan identifikasi terhadap waktu serta grafik frekuensi yang menunjukkan trend ekspor meningkat).

22

Sejak bulan November 2014 hingga April 2016, jumlah ekspor hiu dalam kilogram berdasarkan jenis produk dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Jumlah Ekspor Tiap Produk (kg) November 2014 - April 2016 1,400,000 1,300,000 1,277,095.35

1,200,000

1,100,000

1,000,000

900,000

800,000

700,000

600,000 500,000 468,310.07 400,000 300,000

200,000 134,655.20 100,000 10,363.50 1,876.00 50.00 5,035.00 0 Hiu Utuh Daging Hiu Sirip Hiu Tulang Hiu Jebreng Hiu Min yak Hiu Kulit Hiu

Gambar 6. Jumlah produk yang dieskpor (satuan: kg) berdasarkan bentuk produk.

23

Persentase jumlah produk diekspor juga dapat disajikan pada diagram lingkaran seperti gambar berikut ini :

Gambar 7. Persentase jumlah produk diekspor sejak November 2014 sampai April 2016

24

Data produksi ekspor per-bulan tiap produk sejak bulan November 2014 sampai dengan bulan April 2016 dapat disajikan pada diagram batang sebagai berikut :

450,000.00

400,000.00

350,000.00

300,000.00 Hiu Utuh Daging Hiu 250,000.00 Sirip Hiu Tulang Hiu 200,000.00 Jebreng Hiu Minyak Hiu 150,000.00 Kulit Hiu

100,000.00

50,000.00

-

Gambar 8. Jumlah produk yang dieskpor (kilogram) tiap bulan berdasarkan bentuk produk.

25

Spesies hiu yang terekspor oleh beberapa perusahaan eksportir dan melalui beberapa pintu keluar ekspor (Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Bandara Ahmad Yani Semarang, dan Bandara Adi Sucipto Yogyakarta) adalah sebagai berikut : 1) Aetoplatea zonura 2) Alopias Superciliosus 3) Alopias spp. 4) Carcharhinus albimatginatus 5) Carcharhinus amblyrhincoides 6) Carcharhinus brevipinna 7) Carcharhinus dussumieri 8) Carcharhinus falciformis 9) Carcharhinus leucas 10) Carcharhinus limbatus 11) Carcharhinus melanopterus 12) Carcharhinus obscurus 13) Carcharhinus plumbeus 14) Carcharhinus signatus 15) Carcharhinus sorrah 16) punctatum 17) Galeocerdo cuvier 18) Galeocerdo spp. 19) Galeorhinus 20) Hemiscylium halmahera 21) Isurus calukus 22) Isurus oxyrinchus 23) Morullus chryophekadi 24) Nebrius ferugineus 25) brevirotris 26) ornatus 27) Prionace glauca

26

2.2.5 Rantai Perdagangan Hiu

Rantai perdagangan hiu di Indonesia cenderung panjang dan kompleks, mulai dari tingkat nelayan, pengepul, unit pengolahan, eksportir hingga negara pengimpornya. Rantai perdagangan di tingkat pengepul adalah tingkat perdagangan hiu paling kompleks di Indonesia. Menurut Zainudin (2011), banyaknya tingkatan dalam pengepul menyebabkan susahnya membangun sistem keterlacakan untuk mengetahui asal-usul ikan hiu yang ditangkap. Sistem keterlacakan ikan (tracibility) adalah sangat penting saat ini dalam sistem pengelolaan dan perdagangan perikanan, karena beberapa negara pembeli ikan sudah menerapkan dan mensyaratkan adanya dokumen keterlacakan bagi semua jenis ikan yang akan masuk ke negara tersebut seperti halnya catch certificate yang diterapkan oleh Uni Eropa sejak awal tahun 2010. Catch certificate adalah sistem yang dibangun oleh para ahli perikanan untuk mengurangi ancaman penurunan sumberdaya perikanan yang diakibatkan oleh perikanan yang illegal, tak terlaporkan dan tak diatur ( illegal, unreported and unregulated – IUU fishing). Beberapa bandara internasional, seperti di Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Medan, merupakan bandara-bandara utama yang digunakan oleh banyak eksportir ikan hiu mengirim produknya ke luar negeri. Untuk produk hiu dari Cilacap, umumnya diekspor melalui Jakarta dan sebagian kecil lainnya diekspor melalui transportasi laut ke Jepang, sedangkan produk hiu dari Lombok (Tanjungluar) dikirim melalui Surabaya dan Jakarta. Negara-negara utama tujuan ekspor produk hiu dari Indonesia antara lain adalah Jepang, Cina, Taiwan dan Hong Kong, selain itu juga diekspor ke Korea Selatan, Singapura dan Malaysia . Bandara-bandara utama tersebut dapat dijadikan basis untuk mendukung sistem pengendalian dan pemantauan pengelolaan perikanan hiu di Indonesia dengan melakukan sistem pengontrolan dan pengawasan di pintu keluar (ekspor) produk hiu Indonesia ke luar negeri. Sedangkan produk hiu yang dihasilkan oleh kapal penangkap ikan di beberapa wilayah di Indonesia, tidak hanya ditujukan untuk ekspor, namun juga untuk pemenuhan kebutuhan konsumen domestik, seperti halnya produk hiu yang didaratkan di Juwana, Pati, Rembang, Pontianak, Wakatobi dan beberapa daerah lainnya (Zainudin, 2011). Namun demikian untuk memperoleh data dan informasi produk hiu yang dipasarkan di dalam negeri dan luar negeri masih perlu dikembangkan metode yang tepat agar diperoleh hasil kajian yang dapat menjawab permasalahan tentang pemasaran hiu .

27

2.2.6 Sosial Ekonomi Perikanan Hiu

Analisis studi aspek sosial-ekonomi perikanan hiu telah dilakukan pada tahun 2004-2005 di beberapa daerah di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi hiu memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan nelayan, baik yang menghasilkan hiu sebagai target utama ataupun merupakan tangkapan sampingan. Pendapatan yang diterima oleh nelayan umumnya tergantung pada sistem bagi hasil yang berlaku, meskipun pada beberapa lokasi ada pula yang menganut sistem gaji. Adapun sistem bagi hasil diberlakukan secara umum pada beberapa lokasi produksi hiu di Indonesia. Misalnya untuk seorang anak buah kapal (ABK) di Tanjungluar (NTB), Sungai Liat (Kalsel), dan Sungai Kakap (Kalbar) setiap tahunnya mendapatkan masing-masing sebanyak Rp 20,8 juta, Rp 24,1 juta, dan Rp 8,5 juta. Sedangkan ABK yang menangkap hiu yang hanya sebagai hasil tangkapan sampingan di Kedonganan (Bali) dan Batang (Jawa Tengah) masing-masing memperoleh penghasilan Rp 27,7 juta dan Rp 22,4 juta per tahun. Perbandingan nilai tambah dari hasil komoditas perikanan tersebut di beberapa daerah adalah 3,5% di Kedonganan dan 290% dari ikan hiu di Sungai Kakap. Tinggi rendahnya pendapatan nelayan hiu di beberapa daerah tersebut berkaitan dengan frekuensi kegiatan penangkapan ikan. Pendapatan berdasarkan tipe usaha produk hiu di beberapa daerah juga berbeda. Untuk usaha pengasinan memberikan pendapatan lebih tinggi (Rp. 32 juta/tahun) dibanding usaha fillet daging hiu yang masing-masing memperoleh pendapatan Rp. 17 juta/tahun. Implikasi dari kajian sosial ekonomi perikanan hiu adalah bahwa upaya dapat diarahkan pada penciptaan nilai tambah dan perumusan mekanisme teknis untuk mengurangi produksi menjadi penting dalam mengembangkan Rencana Aksi Pengelolaan Hiu dan Pari (NPOA sharks and rays). (Purnomo & Apriliani, 2007). Pengurangan produksi dan meningkatkan nilai tambah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas pengolahannya. Berdasarkan analisis ekonomi disimpulkan bahwa komoditi ikan hiu telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan nelayan yang menangkap ikan hiu sebagai target tangkapan atau sampingan. Pentingnya komoditas ikan hiu bagi sebagian nelayan yang terkait dengan perikanan hiu perlu menjadi catatan khusus bagi pemangku kepentingan di dalam menerapkan langkah-langkah pengelolaan hiu di Indonesia. Dengan adanya tekanan internasional untuk menyelamatkan populasi hiu di alam, pemerintah Indonesia diminta untuk menerapkan upaya-upaya konservasi dan pembatasan tangkapan hiu di wilayah perairannya. Untuk itu pemerintah perlu mengkaji lebih dalam seberapa besar implikasi dari adanya peraturan yang akan membatasi atau memperketat

28 usaha penangkapan hiu terhadap nelayan yang terlibat langsung dengan komoditi tersebut. Selain itu, perlu diupayakan alternatif sumber pendapatan selain dari perikanan hiu dengan tanpa merubah terlalu banyak pola dan budaya kerja nelayan tersebut apabila diterapkan pembatasan atau pengelolaan perikanan secara lebih ketat di wilayah-wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

2.3 Regulasi Nasional Tentang Perlindungan Hiu

Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk melakukan upaya perlindungan terhadap beberapa spesies yang statusnya terancam punah.Penyebab ancaman kepunahan dapat disebabkan oleh beberapa hal, ada yang disebabkan karena penangkapan berlebih dan kerusakan habitat, namun ada juga spesies tertentu yang rentan terancam punah karena karakteristik biologinya yaitu spesies tertentu yang secara alami jumlahnya di habitat alam sedikit. Penetapan status perlindungan terhadap suatu spesies pada dasarnya bertujuan untuk menjamin agar spesies tersebut tetap berada dihabitatnya sehingga dapat berkembang biak secara alamiah dengan melarang segala bentuk pemanfaatan yang bersifat ekstraktif. Beberapa keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang perlindungan hiu diantaranya adalah: a. Kepmen KP Nomor 18 Tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan hiu paus. b. Permen KP Nomor 57 Tahun 2014 tentang larangan pengeluaran hiu martil dan hiu koboi dari wilayah negara Republik Indonesia dengan masa berlaku sampai dengan 31 Nopember 2015. c. Permen KP Nomor 34 Tahun 2015 tentang perubahan Permen KP No. 57 tahun 2014 tentang larangan pengeluaran hiu martil dan hiu koboi dari wilayah negara Republik Indonesia yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2016.

2.3.1 Kepmen KP Nomor 18 Tahun 2013

Ikan hiu paus atau Rhincodon typus terdistribusi di perairan tropis yang hangat di seluruh dunia, kecuali di Laut Mediterania. IUCN mengklasifikasikan ikan hiu paus dalam kelompok vulnerable atau rentan terhadap ancaman kepunahan (IUCN 2014). Selanjutnya, ikan hiu paus telah dimasukan dalam daftar apendik II CITES pada Konferensi Para Pihak ( Conference of Parties ) ke-12 tahun 2002 di Santiago, Chile dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 13 Februari 2003.

29

Dengan demikian, sebagai negara anggota Konvensi CITES, Indonesia perlu mengimplementasikan peraturan perlindungan untuk ikan hiu paus yang berlaku secara nasional. Dalam rangka menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan hiu paus (Rhincodon typus ), perlu dilakukan perlindungan penuh terhadap ikan hiu paus. Hal ini dilakukan oleh Indonesia setelah 10 tahun ikan hiu paus dimasukan dalam daftar apendik II CITES. Peraturan terkait perlindungan terhadap ikan hiu paus di Indonesia telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/Kepmen-Kp/2013 Tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus ( Rhincodon typus ). Oleh karena itu, pemanfaatan ikan hiu paus pada seluruh atau sebagian siklus hidupnya, pemanfaatan bagian tubuhnya beserta produk turunannya dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pemanfaatan ikan hiu paus dapat dilakukan untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Kendala yang dihadapi dalam implementasi peraturan di Indonesia terkait perlindungan penuh ikan hiu paus adalah wilayah migrasi ikan hiu paus yang sangat luas (dari Australia bagian barat sampai pada perairan laut di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia), kegiatan perikanan hiu atau penangkapan hiu untuk tujuan komersial, perdagangan produk turunan ikan hiu karena permintaan pasar yang tinggi dan rendahnya pemahaman masyarakat nelayan untuk melakukan upaya konservasi jenis ikan khususnya ikan hiu paus.

2.3.2 Permen KP Nomor 57 Tahun 2014

Dalam rangka menjamin dan mendukung pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan secara optimal dari potensi sumber daya ikan, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 57/Permen-KP/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Secara umum, peraturan ini dibuat untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan yang bertanggung jawab dan untuk menanggulangi kegiatan Illegal, Unrepoted and Unregulated ( IUU ) Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Secara khusus, Peraturan Menteri ini mengatur hasil tangkapan sampingan ( bycatch ) yang secara ekologi terkait dengan (ecologically related species ) perikanan tuna. Salah satu hasil tangkapan sampingan dari perikanan tuna adalah ikan hiu yaitu hiu monyet ( atau Alopias spp. ). Dengan adanya

30

Peraturan Menteri in diharapkan setiap kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesiaakan melakukan upaya perlindungan atau konservasi terhadap hasil tangkapan sampingan yaitu ikan hiu. Namun demikian, sanksi administratif berupa pencabutan SIPI yang diberikan terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan terhadap hasil tangkapan sampingan ini kemungkinan kurang memberikan efek jera terhadap pelaku/kapal penangkap ikan, sehingga praktek ilegal masih akan terus berlanjut tanpa mempertimbangkan kelestarian sumber daya ikan hiu di habitat alamnya.

2.3.3 Permen KP Nomor 34 Tahun 2015

Hal-hal yang menjadi pertimbangan terhadap pengimplementasian Peraturan Menteri No.34 Tahun 2015 adalah dampak dari pelaksanaan peraturan menteri ini terhadap perekonomian masyarakat nelayan, pengawasan terhadap peredaran spesies (hiu koboi: Carcharhinus longimanus ; dan hiu martil: Sphyrna spp .) serta produk turunannya, dan persiapan implementasi ketentuan CITES terhadap perdagangan internasionalikan hiu dan produk turunannya. Peraturan

Menteri ini hanya mengatur larangan untuk kegiatan ekspor dan tidak mempengaruhi sumber pendapatan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan penangkap hiu. Dengan demikian, masyarakat masih diperbolehkan untuk melakukan kegiatan penangkapan dan perdagangan di dalam negeri. Namun, tidak bisa dipastikan volume produksi dari setiap wilayah perikanan pengelolaan perikanan dikarenakan luas wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas. Selain itu, adanya kecenderungan pengetahuan pada level nelayan bahwa seluruh spesies hiu telah dilarang untuk ditangkap/diperdagangkan atau dilindungi. Pemahaman ini sangat perlu untuk diubah melalui upaya sosialisasi yang intensif dari pemerintah sehingga impelementasi dari Peraturan Menteri ini akan menjadi efektif di tingkat nelayan. Selanjutnya, upaya pengawasan terhadap implementasi Peraturan Menteri ini telah dilakukan dengan mengatur mekanisme tata cara pemberian rekomendasi perdagangan hiu melalui Keputusan Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan No.1519/KP3K.2/VIII/2015 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Tata Cara Pemberian Rekomendasi Perdagangan Hiu dan Pari. Melalui mekanisme ini, diharapkan dapat mendukung proses pengawasan dan penegakan hukum terkait larangan ekspor beberapa spesies hiu yang masuk dalam appendiks CITES. Hiu koboi ( Carcharhinus longimanu ) dan hiu martil Sphyrna spp ) yang dilarang untuk diekspor telah berlaku efektif dalam appendiks II CITES sejak tanggal 14 September 2014. Sebagai

31 negara yang telah meengesahkan konvensi internasional, dalam hal ini CITES, maka Indonesia perlu melakukan tindakan konservasi terhadap spesies yang masuk dalam daftar appendiks CITES sehingga perdagangan spesies tersebut tidak akan mengancam kelestarian di habitat alamnya. Untuk mendukung implementasi dari Peraturan Menteri ini, maka diperlukan data atau informasi yang akurat tentang spesies yang diperdagangkan dalam appendiks II CITES terkait distribusi spesies, status populasi, tren populasi, tingkat keterancaman, status perdagangan dan pemanfaatan spesies, informasi aktual/terkini tentang dampak perdagangan, monitoring populasi, dan upaya pengaturan dan pengelolaan. Data tersebut merupakan bagian penting dari dokumen non-detriment findings (NDF). Selain itu, penetapan kuota ekspor spesimen dari spesies yang masuk dalam appendix II CITES (secara khusus spesies hiu yang diatur dalam Peraturan Menteri ini) diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan perdagangan spesies tersebut tidak akan mengakibatkan ancaman, kepunahan spesies atau mengganggu kelestarian spesies tersebut di alam.

2.3.4 Permen KP Nomor 12 Tahun 2012

Disamping pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ikan hiu, pada wilayah perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia juga memiliki hak yang sama dengan negara lain untuk memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas (bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia).Adapun pemanfaatan sediaan ikan yang beruaya jauh ( highly migratory fish stocks ) dan sediaan ikan yang beruaya terbatas ( straddling fish stocks ) di laut lepas perlu dilaksanakan berdasarkan standar internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dimana pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Peraturan Menteri ini secara spesifik mengatur bahwa setiap kapal penangkap ikan yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan sampingan (bycatch ) yang secara ekologis terkait dengan ( ecologically related species ) perikanan tuna berupa hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan upaya perlindungan atau tindakan konservasi. Selanjutnya, setiap kapal penangkap ikan yang

32 menangkap, memindahkan, mendaratkan, menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet ( Thresher sharks ) dari semua family Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi (peringatan, pembekuan sementara SIPI atau SIKPI dalam periode 2 sampai 3 bulan, pencabutan SIPI atau SIKPI). Namun, sanksi tersebut masih cukup ringan karena tidak menyertakan sanksi denda ataupun pidana penjara sehingga kemungkinan tidak memberikan efek jera yang signifikan kepada kapal penangkap dan kapal pengangkut ikan yang tidak mematuhi persyaratan dan/atau standar internasional yang ditetapkan oleh Regional Fisheries Management Organization (RFMO)serta tidak melakukan tindakan konservasi terhadap sumber daya ikan hiu.

2.3.5 Permen KP Nomor 48 Tahun 2014 tentang Log Book Penangkapan Ikan

Log book penangkapan ikan merupakan laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan perikanan dan operasional harian kapal penangkap ikan. Data dan informasi dari log book penangkapan ikan merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya ikan.

Peraturan Menteri No.48 Tahun 2014 merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor No.18 Tahun 2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan. Untuk efektifitas implementasi Peraturan Menteri ini, sangat diharapkan setiap kapal penangkap ikan untuk memberikan informasi yang akurat tentang data hasil tangkapan ikan, termasuk ikan hiu, sehingga akan mendukung dan mempermudah proses pendataan terhadap hasil tangkapan ikan hiu yang didaratkan oleh kapal penangkap ikan.Dalam hal ini, hasil tangkapan sampingan ( bycatch ), yaitu ikan hiu, harus dilaporkan oleh nakhoda kepada kepala pelabuhan pangkalan sesuai dengan SIPI.Selain itu, terjaganya kualitas data tersebut menjadi sangat penting agar log book dapat memberi gambaran pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ikan hiu, sehingga dapat menjadi dasar pengelolaan perikanan, khususnya pengelolan perikanan hiu di Indonesia.

33

III. RANCANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HIU

3.1 Landasan Hukum

3.1.1 UU No.45/2009 jo UU No.31/2004 tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 merupakan payung hukum dalam pengelolaan sumber daya ikan. Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan Menteri mempunyai beberapa otoritas, diantaranya : jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; a. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; b. kawasan konservasi perairan; c. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan kedan dari wilayah Republik Indonesia; d. jenis ikan yang dilindungi.

Mandat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan Menteri dapat menetapkan suatu aturan dalam rangka melindungi dan melestarikan jenis ikan. Kegiatan penangkapan hiu yang terjadi saat ini belum ada aturan yang secara tegas mengatur tata kelola perikanan hiu yang dikhawatirkan dapat menyebabkan spesies tersebut terancam punah. Upaya pemantauan dan pengendalian terhadap penangkapan hiu masih belum dapat dilakukan dengan baik. Data-data dasar yang menjadi landasan pengelolaan belum tersedia secara memadai, hal ini diperparah lagi dengan adanya indikasi kuat telah terjadinya IUU fishing dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya hiu di Indonesia.

3.1.2 PP No. 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan merupakan aturan turunan dari Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Konservasi sumber daya ikan adalah upaya untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

34

Konservasi sumber daya ikan pada level ekosistem saat sudah cukup berkembang dengan dicadangkan dan ditetapkannya beberapa kawasan konservasi perairan, baik yang dikelola oleh pusat dalam bentuk Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) maupun yang dikelola oleh daerah dalam bentuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Program konservasi pada level jenis dan level genetik belum begitu banyak dilakukan. Sebelum adanya Kementerian Kelautan dan Perikanan program konservasi jenis dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui Ditjen PHKA, dengan ditetapkannya status perlindungan beberapa jenis ikan melalui Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Sejak disyahkannya Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, mandat konservasi sumber daya ikan menjadi urusan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa konservasi sumber daya ikan dilakukan dengan tujuan untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah, mempertahankan keanekaragaman jenis ikan, memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem, dan memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Program konservasi jenis ikan pada dasarnya tidak hanya mengatur tentang perlindungan semata, tetapi juga ditekankan bahwa sumber daya jenis ikan tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, tentu saja dengan cara-cara yang berkelanjutan. Beberapa hal yang dilakukan di antaranya dengan mengembangkan alat penangkap ikan ramah lingkungan, sehingga kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak sampai pada tahap membahayakan kelestarian sumber daya ikan itu sendiri. Penetapan status perlindungan jenis ikan merupakan salah satu upaya dalam rangka implementasi program konservasi jenis ikan, dengan ditetapkannya status perlindungan ini diharapkan dapat memberikan pembatasan yang jelas dalam rangka pemanfaatan jenis ikan tertentu yang mengalami ancaman kepunahan, langka dan endemik. Aturan pelaksanaan dalam penetapan status perlindungan jenis ikan terancam punah, langka dan endemik ini diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.35/MEN/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.

3.1.3 Permen KP No. 35/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis

Ikan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 35 tahun 2013 merupakan perubahan dari Permen KP No. 3 tahun 2010 tentang “Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan” (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013). Proses penetapan status perlindungan

35 jenis ikan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 tahun 2013. Terdapat 5 tahapan yang harus dilalui dalam penetapan status perlindungan, yaitu: a. Usulan inisitif; b. Konsultasi publik; c. Penyusunan dokumen analisis kebijakan; d. Permintaan rekomendasi ilmiah ke Otoritas Keilmuan; e. Penetapan status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan; Usulan inisiatif penetapan status perlindungan dapat diajukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat ataupun individu. Konsultasi publik dilakukan untuk mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan terkait usulan penetapan status perlindungan. Hasil kegiatan konsultasi publik dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan kebijakan usulan status perlindungan. Pemangku kepentingan dapat berasal dari pemerintah daerah, pakar, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha dan tokoh masyarakat. Penyusunan dokumen analisis kebijakan dimaksudkan untuk mengkaji usulan inisiatif dan memberikan bahan pertimbangan kepada Menteri sebelum suatu spesies ditetapkan status perlindungannya. Selain itu, dokumen analisis kebijakan juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan dampak yang ditimbulkan, terutama dampak ekonomi kepada masyarakat dan pelaku usaha. Pemerintah dan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah antisipasi agar penetapan status perlindungan tersebut tidak memberikan dampak ekonomi yang besar kepada masyarakat. Permintaan rekomendasi ilmiah ke Otoritas Keilmuan dimaksudkan untuk mendapatkan masukan ilmiah terkait usulan penetapan status perlindungan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 otoritas ilmiah yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Rekomendasi ilmiah dari otoritas keilmuan tersebut menjadi salah satu pertimbangan penting bagi menteri dalam menindaklanjuti usulan inisiatif dan menentukan tipe status perlindungan. Penetapan status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dilakukan dengan mempertimbangkan hasil telaah dalam dokumen analisis kebijakan dan surat rekomendasi ilmiah yang diterbitkan oleh Otoritas Keilmuan.

36

3.1.4 Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1987 Tentang Ratifikasi CITES

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Faunda and Flora (CITES) merupakan konvensi tentang perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978. Sebagai signatory member state CITES, Indonesia berkewajiban untuk mengikuti dan mengimplementasikan keputusan yang telah disepakati oleh para pihak dalam sidang konvensi CITES. Pada Conference of the Parties 16 (CoP-16) CITES di Bangkok yang dilaksanakan pada bulan Maret 2013, lima spesies hiu masuk dalam daftar Apendiks II, empat spesies diantaranya terdapat di wilayah Indonesia yaitu : tiga spesies hiu martil ( Sphyrna lewini, S. mokarran, dan S. zygaena ) dan Hiu Koboi ( Carcharhinus longimanus ). Pada konvensi tersebut dua spesies pari manta juga masuk dalam daftar apendiks II yaitu manta oseanik (Manta birostris ) dan manta karang (Manta alfredi ).

3.2 Tujuan Penyusunan Regulasi

Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan regulasi terkait kebijakan pengelolaan hiu adalah, sebagai berikut: a. Memberikan kepastian hukum dan menghilangkan rasa takut nelayan dan pelaku usaha dalam memanfaatkan sumberdaya ikan hiu secara berkelanjutan sesuai dengan ketentuan perundangan; b. Mengurangi praktek finning , yaitu penangkapan hiu yang hanya mengambil bagian sirip, bagian lainnya dibuang ke laut; c. Mencegah terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ikan hiu; d. Meningkatkan ketelusuran produk hiu yang dimanfaatkan dan diedarkan; dan e. Mengendalikan perdagangan internasional sumber daya ikan hiu melalui perijinan khusus bagi pedagang pengumpul dan eksportir.

3.3 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hiu

Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pengelolaan,penerapan regulasi dan ketentuan internasional terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan hiu diantaranya adalah: a. Regulasi : Indonesia mempunyai keragaman spesies hiu yang cukup besar yaitu lebih dari 100 spesies. Ketersediaan regulasi yang ada saat ini baru mengatur tujuh spesies hiu yaitu: perlindungan penuh hiu paus ( Rhincodon typus ), larangan ekspor tiga spesies hiu martil

37

(Sphyrna lewini, S. mokarran dan S. zygaena ), dan hiu koboi ( Carcarhinus longimanus ) serta larangan menangkap dua spesies hiu tikus genus Alopias diwilayah Samudera Hindia. b. CITES : Tiga aspek ketentuan CITES terkait perdagangan internasional spesies yang masuk dalam apendiks II yaitu aspek ketelusuran, aspek keberlanjutan dan aspek legalitas belum dapat diimplementasikan dalam perdagangan produk olahan hiu. Hambatan yang dihadapi diantaranya adalah:  Ketelusuran : aspek ketelusuran menyangkut semua informasi dalam mata rantai pemanfaatan yang meliputi : lokasi penangkapan, alat tangkap yang digunakan, data kapal penangkap, identitas nelayan yang menangkap, lokasi pendaratan, identitas pengolah, hingga mata rantainya sampai ke tingkat eksportir. Produk olahan hiu diekspor dalam berbagai bentuk seperti: sirip kering, sirip kering sudah diolah tanpa kulit, daging, tulang dan kulit. Produk-produk olahan tersebut sulit dibedakan berdasarkan spesies, karena belum ada aturan yang mewajibkan adanya pembedaan berdasarkan spesies. Selain itu pengelompokan olahan produk hiu umumnya berdasarkan bentuk dan proses pengolahannya, seperti sirip asin, sirip beku dan lain- lain.  Keberlanjutan : aspek keberlanjutan terkait dengan mekanisme pemanfaatan yang dilakukan untuk menjaga agar sumber daya ikan hiu dapat tetap lestari. Ada beberapa contoh penerapan aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya ikan, seperti : perlindungan habitat penting, pengaturan ukuran dan musim tangkap hingga pengaturan kuota tangkap. Sampai dengan ini Indonesia belum mempunyai regulasi yang secara spesifik mengatur pemanfaatan sumber daya ikan hiu. Berdasarkan hasil kegiatan pendataan yang dilakukan oleh Badan Litbang Kelautan dan Perikanan serta UPT B/L Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan hiu sebagian besar merupakan ikan hiu anakan. Dalam konteks pengelolaan sumber daya, semua sumber daya ikan yang ditangkap sebaiknya diberikan kesempatan untuk melakukan pemijahan secara alami, sehingga laju rekrutmen tetap terjaga.  Legalitas : aspek legalitas terkait dengan pelaku usaha, dalam artian semua pelaku usaha hiu harus mempunyai ijin khusus untuk pemanfaatan hiu dan membentuk sebuah assosiasi usaha, sehingga pengendalian terhadap pemanfaatan lebih mudah dilakukan. Saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur mekanisme tersebut.

38

c. Bycatch : berdasarkan hasil beberapa kajian diketahui bahwa hiu bukan target penangkapan nelayan, namun karena adanya kesamaan tempat hidup maka hiu sering kali tertangkap dalam kegiatan penangkapan ikan, bahkan dalam jumlah yang besar. Tingginya harga sirip hiu di pasar internasional menyebabkan hiu menjadi tangkapan sampingan yang diharapkan dalam kegiatan penangkapan ikan.

3.4 Kebutuhan dan Pilihan Pengaturan

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan regulasi yang akan diambil untuk menjaga kesinambungan sumber daya ikan hiu diantaranya adalah: a. Sumber daya ikan hiu merupakan jenis sumber daya yang dapat diperbaharui, ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya ini dapat tetap dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya. b. Secara biologi (jumlah anakan yang dihasilkan relatif sedikit) sehingga kelompok ikan hiu rawan mengalami ancaman kepunahan dan diperlukan penerapan prinsip kehati-hatian

dalam melakukan pengelolaannya. c. Secara global telah terjadi penurunan populasi sumber daya ikan hiu, termasuk di wilayah Indonesia. Perlindungan terhadap jenis hiu tertentu yang saat ini telah terancam punah perlu dilakukan sehingga tidak mengalami kepunahan. d. Sorotan internasional terhadap perikanan hiu di Indonesia cukup tinggi oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat melakukan langkah pengelolaan yang lebih baik dalam menjawab isu internasional tersebut. e. Konvensi tentang perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar (CITES) mempunyai perhatian yang besar terhadap ancaman kepunahan hiu yang disebabkan karena perdagangan internasional. Ada kecenderungan untuk memasukkan semua jenis hiu yang diperdagangkan secara internasional ke dalam apendiks CITES. f. Berdasarkan beberapa kajian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa produksi hiu di Indonesia terutama berasal dari hasil tangkapan sampingan, hal ini disebabkan karena kesamaan habitat antara hiu dan ikan yang menjadi target penangkapan. g. Kepentingan ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya ikan hiu agar tetap diperhatikan sehingga regulasi yang akan disusun dan diimplementasikan tidak memberikan dampak yang besar terhadap penurunan sumber pendapatan masyarakat;

39

h. Regulasi yang akan disusun diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan perikanan hiu. i. Regulasi yang disusun harus dapat diimplementasikan di tingkat lapangan dan dapat diawasi dengan mudah sehingga regulasi tersebut dapat berlaku secara efektif.

3.4.1 Penetapan Menjadi Jenis Dilindungi

Penetapan suatu spesies menjadi spesies yang dilindungi dapat menjadi salah satu opsi pilihan regulasi dalam pengelolaan hiu. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan status perlindungan hiu diantaranya adalah: a. Penetapan suatu spesies menjadi jenis yang dilindungi harus memenuhi kriteria sebagai berikut: terancam punah, langka, endemik, fekunditas rendah dan populasi yang mengalami penurunan secara drastis. Selain itu, penetapan status perlindungan dapat dilakukan untuk spesies tertentu yang dianggap lebih bernilai penting keberadaannya di alam dibandingkan dimanfaatkan sebagai sebuah produk perikanan, ataupun sebagai komitmen nasional terhadap

resolusi yang bersifat internasional. . b. Penetapan status perlindungan mempunyai payung hukum yang kuat sebagaimana telah dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. c. Pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan mempunyai konsekuensi hukum yang jelas sehingga lebih mudah dalam pengimplementasiannya di tingkat lapangan; d. Penetapan status perlindungan dapat menjadi kurang efektif untuk mengurangi laju jumlah tertangkapnya hiu karena banyaknya hiu tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan; e. Adanya resistensi sebagian masyarakat nelayan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP, apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak disertai dengan solusi jangka pendek bagi masyarakat nelayan, sehingga penerbitan status perlindungan perlu mempertimbangkan waktu yang sesuai dan pertimbangan yang matang.

3.4.2 Tata Kelola dan Pengendalian Pemanfaatan

Jika memperhatikan dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015- 2020, potensi keanekaragaman hayati di Indonesia harus dapat dikelola secara baik dan bijaksana

40 sehingga dapat tetap lestari dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Masuknya beberapa spesies hiu dalam daftar apendik CITES tidak dimaknai bahwa sumber daya tersebut tidak boleh dimanfaatkan, namun pemanfaatannya harus dilakukan dengan kontrol yang ketat. Ada tiga aspek utama yang harus dilakukan Indonesia jika ingin memanfaatkan sumber daya hiu dengan tetap memenuhi ketentuan CITES, yaitu: a. Aspek Keberlanjutan ; Menyiapkan regulasi dan upaya pengelolaan yang dapat menjamin agar sumber daya ikan hiu dapat tetap lestari; b. Ketelusuran ; Menyiapkan instrumen pengelolaan agar mata rantai perdagangan hiu mempunyai keterlacakan yang tinggi, mulai dari kegiatan penangkapan, pengolahan sampai produk tersebut diperdagangkan secara internasional; c. Legalitas ; Menyiapkan regulasi dan instrumen pengelolaan yang mewajibkan semua pemanfaat hiu mempunyai legalitas dan mempunyai izin resmi. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam melakukan kontrol pemanfaatan.

Beberapa opsi pengaturan atau tata kelola perikanan hiu yang dapat dilakukan dalam rangka pemenuhan ketentuan internasional dan mendukung upaya pengelolaan sumber daya ikan hiu di Indonesia adalah, sebagai berikut: a. Penentuan Ukuran Tangkap Minimum dan Nilai Ekonomisnya Penentuan ukuran tangkapan minimum (Tabel 4) bagi jenis-jenis hiu ditetapkan berdasarkan ukuran ketika mencapai tingkat kedewasaan, yang diasumsikan hasil tangkapan pada ukuran tersebut merupakan ukuran ikan yang sudah bereproduksi sehingga proses rekrutmen diharapkan tetap berlangsung.Langkah tersebut diharapkan merupakan upaya agar populasi di alam tetap terjaga sehingga pemanfaatannya dapat tetap lestari. Penetapan ukuran tangkapan minimum dibagi berdasarkan tiga kelompok ukuran maksimum ikan hiu (Lampiran 1) untuk memudahkan implementasi dan pengawasan di lapangan (Fahmi & Dharmadi, 2013). Selanjutnya, sumber daya ikan hiu yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan nilai ekonomisnya (Tabel 5).

41

Tabel 4. Penentuan Ukuran Minimum Tangkap Ikan Hiu Berdasarkan Kelompok Ukurannya

Ukuran Ukuran saat No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal minimum dewasa tangkap KELOMPOK HIU KECIL 1 marmoratus Coral Hiu tokek, Hiu tokek karang 45-50 cm 60 cm

2 Carcharhinus dussumieri / tjutjot Whitecheek Shark Hiu lanjaman 75 cm 75 cm

3 Carcharhinus macloti Hardnose Shark Hiu aron 70–75 cm 75 cm 4 Carcharhinus sealei Blackspot Shark Hiu lanjaman 70-80 cm 75 cm 5 Whitespotted Chiloscyllium plagiosum Bambooshark Hiu bongo, cucut dolok 50–65 cm 75 cm 6 Chiloscyllium punctatum Brownbanded Hiu batu, hiu bongo, hiu gedok 67–70 cm 75 cm Bambooshark 7 microstoma Sicklefin Weasel Shark Hiu kacang, hiu pilus 75-80 cm 75 cm 8 indroyonoi Indonesian Hiu kacang, hiu meong, karil 90-100 cm 75 cm 9 Pseudocarcharias kamoharai Hiu tongar 74-90 cm 75 cm 10 acutus Milk Shark Hiu pilus, hiu plen,mungsing, hiu pisang 70–80 cm 75 cm 11 Scoliodon laticaudus Hiu plen, hiu kejen 45–50 cm 75 cm 12 Squalus spp. sharks Hiu taji, hiu senget 60-80 cm 75 cm 13 Loxodon macrorhinus Hiu kejen 80–90 cm 90 cm 14 Sparse-spotted Mustelus manazo Smoothhound Hiu kacang, hiu air, cucut londer 85-100 cm 90 cm 15 Carcharhinus melanopterus Blacktip Reef Shark Hiu karang sirip hitam, hiu mada, kluyu 95–120 cm 100 cm karang

42

Ukuran Ukuran saat No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal minimum dewasa tangkap 16 Orectolobus leptolineatus Indo Hiu kodok, hiu lepang 85–95 cm 100 cm 17 Heptranchias perlo Sharpnose Sevengill Hiu kucing, Hiu areuy 75–105 cm 100 cm Shark 18 spp. Gulper sharks Hiu botol, cucut botol 80-100 cm 100 cm

KELOMPOK HIU SEDANG

1 Carcharhinus amblyrhynchoides Graceful Shark Hiu lanjaman 105–115 cm 150 cm 2 Carcharhinus amblyrhynchos Grey Reef Shark Hiu lanjaman karang, merak bulu 125–140 cm 150 cm

3 Carcharhinus sorrah Spot-tail Shark Hiu lanjaman, lanyam 105–120 cm 150 cm 4 Dalatias licha Hiu botol, hiu beurit, cucut botol 100-120 cm 150 cm 5 Hemipristis elongata Fossil Shark Hiu monas, hiu buas 110-120 cm 150 cm 6 Hiu minyak, Hiu meong, kejen pasir, hiu nakamurai Bigeye Sixgill Shark areuy 125-145 cm 150 cm 7 Triaenodon obesus Hiu karang sirip putih, hiu bokem,hiu 105–120 cm 150 cm coklat 8 Stegostoma fasciatum Hiu belimbing 170 cm 200 cm

KELOMPOK HIU BESAR 1 Alopias pelagicus Pelagic Thresher Hiu monyet, hiu lancur , hiu tikus , 240-260 cm; 250 cm cucut pedang, tikusan 2 Alopias superciliosus Bigeye Thresher Hiu monyet, hiu lancur, hiu tikus, paitan 275-341 cm 250 cm

3 Carcharhinus albimarginatus Silvertip Shark Hiu sonteng, lanjaman 190–200 cm 250 cm 4 Carcharhinus brevipinna Spinner Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor, merak bulu 190–220 cm 250 cm

43

Ukuran Ukuran saat No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal minimum dewasa tangkap 5 Carcharhinus falciformis Silky Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor 183–225 cm 250 cm

6 Carcharhinus leucas Bull Shark Hiu buas, Cucut bekeman, Hiu bujit , 200–220 cm 250 cm hiu kebo 7 Carcharhinus limbatus Common Blacktip Shark Hiu kejen, merak bulu, hiu lanjaman 165–195 cm 250 cm

8 Carcharhinus longimanus Oceanic Whitetip Shark Hiu koboy 180–200 cm 250 cm 9 Carcharhinus obscurus Dusky Shark Hiu merak bulu, hiu lanjaman 257–300 cm 250 cm 10 Galeocerdo cuvier Hiu macan, mungsing jara 250–350 cm 250 cm 11 Isurus oxyrinchus Shortfin Mako Hiu tenggiri, hiu anjing, hiu mako 195- 240 cm 250 cm Hiu tenggiri, hiu mako bersirip panjang, 12 Isurus paucus Longfin Mako hiu anjing 205–230 cm 250 cm 13 Prionace glauca Hiu karet, hiu selendang, hiu biru 210–220 cm 250 cm 14 Sphyrna lewini Scalloped Hammerhead Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu 170–230 cm 250 cm bingkoh 15 Sphyrna mokarran Great Hammerhead Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu bingkoh 235–300 cm 250 cm 16 Sphyrna zygaena Smooth Hammerhead Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu bingkoh 250-265 cm 250 cm

44

Tabel 5. Kelompok Ikan Hiu Berdasarkan Nilai Ekonomisnya

Ekonomis Penting No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ya Tidak KELOMPOK HIU KECIL 1 Atelomycterus marmoratus Coral Catshark Hiu tokek, Hiu tokek ˅ karang 2 Carcharhinus dussumieri / tjutjot Whitecheek Shark Hiu lanjaman ˅ 3 Carcharhinus macloti Hardnose Shark Hiu aron ˅ 4 Carcharhinus sealei Blackspot Shark Hiu lanjaman ˅ 5 Chiloscyllium plagiosum Whitespotted Hiu bongo, cucut dolok ˅ Bambooshark 6 Chiloscyllium punctatum Brownbanded Hiu batu, hiu bongo, hiu Bambooshark gedok ˅ 7 Hemigaleus microstoma Sicklefin Weasel Shark Hiu kacang, hiu pilus ˅ 8 Hemitriakis indroyonoi Indonesian Houndshark Hiu kacang, hiu meong, karil ˅ 9 Pseudocarcharias kamoharai Crocodile Shark Hiu tongar ˅ 10 Rhizoprionodon acutus Milk Shark Hiu pilus, hiu plen,mungsing, hiu ˅ pisang

45

Ekonomis Penting No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ya Tidak 11 Scoliodon laticaudus Spadenose Shark Hiu plen, hiu kejen ˅ 12 Squalus spp. Spurdog sharks Hiu taji, hiu senget ˅ 13 Loxodon macrorhinus Sliteye Shark Hiu kejen ˅ 14 Mustelus manazo Sparse-spotted Hiu kacang, hiu air, cucut Smoothhound londer ˅ 15 Carcharhinus melanopterus Blacktip Reef Shark Hiu karang sirip hitam, hiu mada, kluyu karang ˅ 16 Orectolobus leptolineatus Indo Wobbegong Hiu kodok, hiu lepang ˅ 17 Heptranchias perlo Sharpnose Sevengill Hiu kucing, Hiu areuy Shark ˅ 18 Centrophorus spp. Gulper sharks Hiu botol, cucut botol ˅ KELOMPOK HIU SEDANG

1 Carcharhinus amblyrhynchoides Graceful Shark Hiu lanjaman ˅ 2 Carcharhinus amblyrhynchos Grey Reef Shark Hiu lanjaman karang, merak bulu ˅ 3 Carcharhinus sorrah Spot-tail Shark Hiu lanjaman, lanyam ˅ 4 Dalatias licha Kitefin Shark Hiu botol, hiu beurit, ˅ cucut botol

46

Ekonomis Penting No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ya Tidak 5 Hemipristis elongata Fossil Shark Hiu monas, hiu buas ˅ 6 Hexanchus nakamurai Bigeye Sixgill Shark Hiu minyak, Hiu meong, kejen pasir, hiu areuy ˅ 7 Triaenodon obesus Whitetip Reef Shark Hiu karang sirip putih, hiu bokem,hiu coklat ˅ 8 Stegostoma fasciatum Zebra Shark Hiu belimbing ˅ KELOMPOK HIU BESAR 1 Alopias pelagicus Pelagic Thresher Hiu monyet, hiu lancur , ˅ hiu tikus , cucut pedang, tikusan 2 Alopias superciliosus Bigeye Thresher Hiu monyet, hiu lancur, ˅ hiu tikus, paitan Carcharhinus albimarginatus Silvertip Shark Hiu sonteng, lanjaman ˅ 3 4 Carcharhinus brevipinna Spinner Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor, ˅ merak bulu 5 Carcharhinus falciformis Silky Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor ˅ 6 Carcharhinus leucas Bull Shark Hiu buas, Cucut ˅ bekeman, Hiu bujit , hiu kebo 7 Carcharhinus limbatus Common Blacktip Shark Hiu kejen, merak bulu, ˅ hiu lanjaman

47

Ekonomis Penting No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ya Tidak 8 Carcharhinus longimanus Oceanic Whitetip Shark Hiu koboy ˅ 9 Carcharhinus obscurus Dusky Shark Hiu merak bulu, hiu lanjaman ˅ 10 Galeocerdo cuvier Tiger Shark Hiu macan, mungsing jara ˅ 11 Isurus oxyrinchus Shortfin Mako Hiu tenggiri, hiu anjing, hiu mako ˅ Isurus paucus Longfin Mako Hiu tenggiri, hiu mako 12 bersirip panjang, hiu ˅ anjing 13 Prionace glauca Blue shark Hiu karet, hiu selendang, ˅ hiu biru 14 Sphyrna lewini Scalloped Hammerhead Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu bingkoh ˅ 15 Sphyrna mokarran Great Hammerhead Hiu martil, hiu caping, ˅ hiu caping, hiu bingkoh 16 Sphyrna zygaena Smooth Hammerhead Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu bingkoh ˅

48

b. Kewajiban Pendaratan Hiu Secara Utuh Sebagai salah satu upaya pengelolaan perikanan hiu yang berkelanjutan, jumlah upaya tangkapan haruslah terkontrol dan terdata dengan baik. Dalam upaya perbaikan pendataan hasil tangkapan hiu di Indonesia, penerapan upaya ketelusuran serta mempermudah upaya pengawasan dan identifikasi, pendaratan hasil tangkapan ikan hiu baik sebagai target maupun hasil tangkapan sampingan haruslah dalam bentuk utuh. Hal ini berarti setiap individu hiu yang didaratkan harus tetap memiliki sirip, kepala dan ekor yang masih melekat di tubuhnya. Kebijakan ini perlu dilakukan sebagai langkah Indonesia dalam menyikapi sorotan negatif dunia internasional terkait adanya praktek finning yang dilakukan sebagian nelayan penangkap hiu di Indonesia. Selain itu, upaya ini dapat mengurangi jumlah hiu yang tertangkap (kapasitas palka umumnya terbatas dan umumnya diperuntukkan bagi ikan target, misalnya tuna), juga dapat mendorong agar pemanfaatan hiu menjadi optimal karena bagian tubuh hiu lainnya (selain sirip) dapat diolah menjadi produk lain yang bernilai ekonomi. Tentu saja ketentuan pendaratan hiu dalam kondisi utuh ini ditujukan bagi semua jenis hiu yang ditemukan di perairan Indonesia (Lampiran 2), terutama yang berukuran dewasa dan jenis hiu yang tidak dilindungi undang-undang, sementara hiu yang dalam kondisi hamil dan anakan tetap harus dilepaskan kembali dalam kondisi hidup.

Ciri Tanda Lahir

Gambar 9. Contoh Tanda Lahir pada spesies Hiu Lanjaman, Carcharhinus amblyrhynchos Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

49

Gambar 10. Contoh spesies hiu Triaenodon obesus yang sedang hamil Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

c. Pembatasan Pelabuhan Pengeluaran Pengelolaan perikanan hiu di Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan pelabuhan pengeluaran. Tujuan pengaturan ini adalah untuk memudahkan pendataan terhadap perdagangan sumber daya ikan hiu (fokus utama pada pelabuhan laut dan udara). Untuk mendukung implementasi pengaturan pelabuhan pengeluaran, pemerintah dan stakeholders terkait perlu mengidentifikasi dan menetapkan pelabuhan pengeluaran hiu yang dominan, memperkuat kapasitas sumber daya manusia pada pelabuhan pengeluaran yang telah ditentukan, membangun komunikasi dalam membuat kebijakan tentang pelabuhan pengeluaran dilintas kementrian terkait, penyiapan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bersama antar kementrian dalam memperkuat sistem ketelusuran ( traceability ) produk yang akan diperdagangkan, sinergitas program bersama dengan kementerian atau lembaga yang memiliiki kewenangan di pelabuhan dan bandara, integrasi tim dan program pengawasan kepada sistem Kementerian Perhubungan yang terdapat di pelabuhan, pembentukan sistem terpadu untuk pelabuhan pengeluaran, dan komunikasi terbuka lintas kementerian dengan melakukan pertemuan khusus untuk pemberian mandat pengawasan sumber daya ikan hiu.

50 d. Penerapan Kuota Tangkap dan Kuota Ekspor Pengelolaan perikanan hiu melalui kuota hasil tangkapan perlu dilakukan, mengingat beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan yaitu menurunnya produksi hiu, hilangnya salah satu jenis pari dari suku Pristidae (pari gergaji), banyaknya tangkapan hiu yang hanya diambil siripnya dan dagingnya dibuang ke laut pada perikanan rawai tuna. Kuota terhadap total hasil tangkapan tahunan sering dilakukan untuk hewan yang berumur panjang seperti hiu, pari, paus, halibut, cod, sehingga kuota terhadap hasil tangkapan hiu baik diterapkan di Indonesia. Kuota tahunan akan mengontrol kematian karena penangkapan, tetapi mungkin akan mendorong nelayan untuk menangkap lebih intensif pada saat musim penangkapan karena mengejar target jumlah kuota yang dibatasi. Namun demikian metode ini memerlukan perhatian melalui pemantauan ketat agar penegakan hukum dapat berjalan efektif. Sampai saat ini kuota hasil tangkapan (misalnya dalam jumlah individu per spesies dan produk turunannya seperti sirip) belum dapat diterapkan untuk perikanan hiu, mengingat keterbatasan sistem pendataan hasil tangkapan. Salah satu cara yang lebih mudah adalah dengan memberlakukan kuota ekspor, dimana kuota diterapkan terhadap produk-produk hiu yang akan di ekspor ke pasaran luar negeri. e. Larangan Penangkapan Hiu di Dalam Kawasan Konservasi Perlindungan habitat perlu dilakukan terhadap lokasi-lokasi yang diduga sebagai tempat memijah atau berkembang biak bagi ikan hiu. Penentuan suatu kawasan suaka hiu merupakan komponen penting dalam langkah pengelolaan sebagai tindakan yang paling mudah untuk memberikan perlindungan dan tempat untuk hiu dapat berkembang biak dan mengembalikan jumlah populasinya di alam. Penerapan ini dapat dilakukan pada daerah yang telah menetapkan larangan tangkap jenis ikan hiu dan seluruh kawasan konservasi perairan di Indonesia. f. Penerapan Mekanisme CITES untuk Semua Spesies Hiu Sebagai negara yang telah mengesahkan konvensi internasional yaitu CITES, pemerintah berkewajiban mengikuti mekanisme perdagangan internasional khusus spesimen dan produk turunan yang masuk apendiks CITES. Pengaturan ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap pelaku usaha yang melakukan perdagangan (ekspor, impor, re-ekspor

51

dan introduksi dari laut) sumber daya ikan hiu. Selain itu, pengaturan ini mendukung posisi pemerintah dalam hal kepatuhan terhadap konvensi internasional. Sehubungan dengan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi Otoritas Pengelola CITES atau Management Authority khusus spesies akuatik, maka pengaturan ini berkaitan dengan implementasi teks konvensi CITES yang fokus pada regulasi perdagangan spesimen (Artikel III, IV, V dan VI) dan implementasi regulasi terkait resolusi ( resolution ) dan keputusan ( decision ) yang dimandatkan oleh Conference of the Parties (CoP) dan komite CITES.

3.5 Usulan Kerangka Kebijakan/Pengaturan

Salah satu isu yang banyak mendapat sorotan dunia internasional adalah isu " shark finning ". Praktek finning ini selain dianggap kejam juga merupakan pemborosan sumber daya, karena hanya bagian sirip saja yang dimanfaatkan sedangkan bagian lainnya dibuang ke laut (discard). Praktek ini disinyalir banyak dilakukan oleh armada kapal berukuran besar seperti kapal tuna longline yang menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan. Praktek ini dilakukan karena sirip memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta keterbatasan palka yang diperuntukkan untuk ikan target. Salah satu opsi untuk menghentikan praktek finning yaitu dengan memberlakukan ketentuan peraturan yang mempersyaratkan untuk mendaratkan hasil tangkapan hiu secara utuh. Beberapa negara yang telah memberlakukan ketentuan terkait dengan pendaratan hiu secara utuh diantaranya: Kostarika, Ekuador, Oman, Afrika Selatan, Uni Eropa, dan beberapa negara bagian di Australia. Ketentuan tersebut memberikan keuntungan yang antara lain: • Sumber daya ikan hiu yang tertangkap, baik sebagai tangkapan sampingan maupun sebagai target penangkapan, dapat dimanfaatkan seutuhnya untuk kepentingan ekonomi; • Menurunkan jumlah tangkapan hiu secara drastis, dikarenakan adanya pembatasan jumlah tangkapan sesuai dengan kapasitas palka kapal; • Ketentuan pendaratan hiu secara utuh pada umumnya tidak akan memberatkan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil di Indonesia, dikarenakan selama ini nelayan tersebut hampir semuanya memanfaatkan seluruh bagian tubuh hiu yang tertangkap; • Regulasi ini memberikan dampak positif dalam meningkatkan kemudahan dan akurasi data perikanan hiu serta dapat mendukung upaya monitoring perikanan hiu di tingkat lokal dan

52

nasional. Pengawasan terhadap jenis-jenis hiu yang dilarang/dilindungi lebih mudah dilakukan, dikarenakan hiu akan lebih mudah untuk diindentifikasi.

Kesulitan yang mungkin timbul dalam penerapan peraturan dimaksud antara lain: • Perlunya kesiapan dan jumlah personil aparat pengawasan serta enumerator/petugas pencatatan di sentra-sentra pendaratan ikan untuk melakukan pengawasan dan proses identifikasi seluruh spesies hiu yang didaratkan; • Belum tersedianya peraturan yang mengatur kewenangan untuk melakukan penyitaan dan penanganan barang sitaan, terutama untuk bagian tubuh hiu yang didaratkan tidak secara utuh dan jenis hiu yang dilindungi, menyulitkan petugas pengawas dalam penindakan terhadap pelanggaran di lapangan.

3.5.1 Ketentuan Pelarangan Penangkapan Hiu Anakan/Juvenil:

Berdasarkan sifat biologinya, hiu pada umumnya memiliki laju pertumbuhan yang lambat, berumur panjang, lambat dalam mencapai matang seksual dan memiliki jumlah anakan yang sedikit (Coleman, 1996; Camhi et al., 1998; Stevens et al., 2000; Bonfil, 2002; Cavanagh et al., 2003). Dengan demikian, hiu menjadi sangat rentan terhadap laju kematian karena penangkapan (Hoenig & Gruber, 1990). Apabila sudah tereksploitasi secara berlebihan, akan mengakibatkan ikan hiu menjadi sangat mudah terancam punah jika dibandingkan dengan kelompok ikan yang lain. Oleh karena itu, populasi hiu hanya dapat terpelihara dengan mengontrol tingkat upaya penangkapan yang tidak mengganggu jumlah sediaannya (Camhi et al., 1998; Musick, 2003; Cortes, 2000). Banyaknya hiu yang masih muda atau belum dewasa yang tertangkap dapat menggangu keseimbangan populasi ikan di alam karena dapat menyebabkan terjadinya pengurangan populasi ikan-ikan dewasa yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya proses rekrutmen dan jumlah populasinya di alam. Membatasi atau melarang kegiatan penangkapan ikan hiu yang berukuran kecil dengan pertimbangan bahwa proses pencapaian kematangan secara biologi yang lambat (Senko dkk. 2013) atau usia pertama kali matang seksual ikan hiu tergolong lama (Stevens dkk. 2000). Regulasi perlindungan spesies hiu berdasarkan ukuran tangkapan terutama pada fase juvenil akan berdampak pada menurunnya ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu dan meningkatnya populasi hiu di alam.

53

Keuntungan pelarangan penangkapan hiu pada fase juvenile. Yaitu: • Menurunkan tingkat ancaman terhadap populasi hiu anakan dan menjaga proses rekrutmen dan ketersediaan ikan-ikan dewasa; • Target penangkapan hiu berukuran juvenile dapat dialihkan kepada target penangkapan hiu yang memiliki daur hidup pendek yang secara alami, ukurannya tidak terlalu besar seperti hiu yang berada di habitat karang. Namun hal ini juga harus disikapi secara hati-hati dalam pelaksanaannya.

Kesulitan yang mungkin timbul dalam penerapan peraturan dimaksud antara lain: • Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap hiu dewasa yang tertangkap pada saat kondisi mengandung, sehingga ketika didaratkan dan dilakukan pengolahan terdapat ikan hiu juvenil yang dikeluarkan dari dalam tubuh hiu tersebut; • Bagaimana cara membedakan dan mengidentifikasi antara hiu juvenile dengan jenis-jenis hiu yang memiliki daur hidup pendek dan secara ukuran biasanya ukurannya kecil;

54

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan paparan dan analisa sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a. Perlunya pengaturan untuk penentuan ukuran tangkap minimum, kewajiban pendaratan hiu secara utuh, pembatasan pelabuhan pengeluaran, penerapan kuota tangkap dan kuota ekspor, larangan penangkapan hiu di dalam kawasan konservasi, dan penerapan mekanisme CITES untuk semua spesies hiu dalam hal ketelusuran produk. b. Untuk spesies hiu tertentu yang status populasinya sudah mengalami ancaman kepunahan dapat ditetapkan menjadi spesies yang dilindungi. Pemilihan tipe status perlindungan harus dipertimbangkan secara cermat, mengingat hiu tertangkap sebagai by-catch sehingga sulit pengimplementasiannya di tingkat lapangan. c. Penetapan regulasi yang mengatur tata kelola perikanan hiu secara keseluruhan, mulai dari kegiatan penangkapan, pendaratan, pengolahan dan perdagangan merupakan

pilihan regulasi yang paling sesuai dalam rangka pemenuhan ketentuan internasional dengan tetap memerhatikan aspek kelestarian sumberdaaya dan kepentingan ekonomi masyarakat. d. Penetapan habitat penting hiu sebagai kawasan konservasi (suaka perikanan) serta penerapan no take zone di kawasan-kawasan konservasi.

Langkah pertama yang harus ditindaklanjuti adalah menetapkan status perlindungan jenis ikan hiu secara keseluruhan. Upaya penetapan perlindungan terbatas pada ikan hiu anakan dan indukan hiu yang sedang hamil perlu mendapat perhatian. Selain itu, pilihan untuk perlindungan secara utuh/penuh ikan hiu di dalam kawasan konservasi perairan perlu segera ditetapkan.

55

Lampiran 1. Gambar ikan hiu berdasarkan kelompok ukurannya

Hiu Berukuran Kecil

Atelomycterus marmoratus Carcharhinus dussumieri / tjutjot

Carcharhinus macloti Carcharhinus sealei

Carcharhinus melanopterus Rhizoprionodon acutus

Hemigaleus microstoma Hemitriakis indroyonoi

Loxodon macrorhinus Mustelus manazo

Scoliodon laticaudus Orectolobus leptolineatus

56

Chiloscyllium plagiosum Chiloscyllium punctatum

Heptranchias perlo Pseudocarcharias kamoharai

Squalus spp. Centrophorus spp.

Hiu Berukuran Sedang

Carcharhinus amblyrhynchoides Carcharhinus amblyrhynchos

Carcharhinus sorrah Triaenodon obesus

Hemipristis elongata Stegostoma fasciatum

Hexanchus nakamurai Dalatias licha

57

Hiu Berukuran Besar

Alopias pelagicus Alopias superciliosus

Carcharhinus albimarginatus Carcharhinus brevipinna

Carcharhinus falciformis Carcharhinus leucas

Carcharhinus limbatus Carcharhinus longimanus

Carcharhinus obscurus Prionace glauca

Isurus oxyrinchus Isurus paucus

58

Galeocerdo cuvier Sphyrna lewini

Sphyrna mokarran Sphyrna zygaena

59

Lampiran 2. Daftar 113 (Seratus Tiga Belas) Spesies Ikan Hiu di Indonesia

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

1 Heptranchias perlo Sharpnose sevengill shark Hiu areuy (Jawa Barat), Hiu kucing (Bali), cucut kapukan (Jakarta)

2 Hexanchus griseus Bluntnose sixgill shark Cucut meong (Jawa), Hiu tahu putih (Lombok)

3 Hexanchus nakamurai Bigeyed sixgill shark Hiu areuy (Jawa Barat), Hiu minyak, meong, kejen pasir (Lombok) 4 Centrophorus Dwarf gulper shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu atromarginatus taji (Lombok), Hiu senget (Bali)

5 Centrophorus lusitanicus Lowfin Gulper Shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), cucut botol (Jakarta)

6 Centrophorus isidon Blackfin gulper shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), cucut botol (Jakarta)

60

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

7 Centrophorus Smallfin gulper shark Hiu botol danten (Jawa moluccensis Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu senget (Bali), cucut botol

8 Centrophorus niaukang Taiwan gulper shark Hiu botol karang (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu senget (Bali) 9 Centrophorus squamosus Leafscale gulper shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), cucut botol (Jakarta)

10 calcea Birdbeak dogfish Hiu botol monyong (Jawa Barat)

11 Deania quadrispinosum Longsnout dogfish Hiu botol

12 Dalatias licha Kitefin shark Hiu beurit (Jawa Barat)

13 brasiliensis Cookiecutter shark Hiu pemotong

14 evansi Blackmouth lanternshark Hiu lentera

61

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

15 Etmopterus lucifer Blackbelly lanternshark Hiu perut hitam

16 Etmopterus pusillus Smooth lanternshark Hiu lentera

17 Etmopterus splendidus Splendid lanternshark Hiu lentera

18 Zameus squamulosus Hiu beurit (Jawa Barat), cucut botol (Jakarta)

19 Centroselachus crepidater Hiu botol

20 barbifer Mandarin dogfish Hiu tinggam hitam (Sumatra), Hiu taji (Lombok)

21 Squalus edmundsi Western longnose spurdog Hiu botol (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu senget (Bali)

62

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

22 Squalus hemipinnis Indonesian shortsnout Hiu botol spurdog

23 Squalus megalops Shortnose spurdog Hiu botol (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu senget (Bali), cucut botol (Jakarta)

24 Squalus montalbani spurdog Hiu botol

25 Squalus nasutus Western longnose spurdog Hiu botol (Jawa Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu senget (Bali)

26 Squatina legnota Indonesian Hiu kodok (Lombok)

63

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

27 Nebrius ferrugineus Tawny Hiu gedebong, Hiu gedok (Lombok), Hiu bisu (Jawa)

28 Heterodontus zebra Zebra Hiu zebra

29 Chiloscyllium arabicum Arabian carpetshark Hiu bongo hitam, cucut dolok hitam (Jawa)

30 Chiloscyllium griseum Grey bamboo shark Hiu tekok

31 Chiloscyllium hasselti Indonesian bambooshark Hiu Tekok

32 Chiloscyllium plagiosum Whitespotted bamboo shark Hiu bongo, cucut dolok (Jawa)

33 Chiloscyllium indicum Ridgebacked bamboo shark Hiu bongol, cucut dolok (Jawa)

34 Chiloscyllium punctatum Grey carpetshark Hiu batu, Hiu bongo, Hiu gedok (Lombok), cucut

64

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

dolok (Jawa) 35 galei Cenderwasih epaulette shark Hiu tokek

36 Hemiscyllium henryi Henry's epaulette shark Hiu tokek

37 Hemiscyllium halmahera Halmahera epaulette shark Hiu tokek

38 Hemiscyllium freycineti Indonesian speckled carpet Hiu tokek shark

39 Hemiscyllium hallstromii Papuan epaulette shark Hiu tokek

65

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

40 Hemiscyllium strahani Hooded carpetshark Hiu tokek

41 Hemiscyllium trispeculare Speckled carpetshark Hiu tokek

42 Orectolobus leptolineatus Indonesian wobbegong Hiu kodok, Hiu lepang (Lombok), Hiu jenggot (Jawa)

43 Eucrossorhinus Tasselled wobbegong Hiu kodok dasyapogon

44 Stegostoma fasciatum Zebra shark Hiu belimbing (Jawa), kluyu blimbingan (Lombok)

66

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

45 Megachasma pelagios Hiu mulut besar

46 Pseudotriakis microdon Hiu tahu (Lombok)

47 Alopias pelagicus Pelagic thresher shark Hiu monyet, Hiu lancur (Bali), Hiu tikus (Lombok), cucut pedang (Jakarta), tikusan (Cilacap)

48 Alopias superciliosus Bigeye thresher shark Hiu monyet, Hiu lancur (Bali), Hiu tikus (Lombok), paitan (Cilacap)

49 Isurus oxyrhynchus Shortfin Mako shark Hiu tenggiri, Hiu anjing, Hiu mako, Hiu kakap

50 Isurus paucus Longfin mako shark Hiu tenggiri, Hiu mako bersirip panjang, Hiu anjing

67

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

51 Carcharodon Great white shark Hiu putih

52 Mitsukurina owstoni Hiu hantu

52 Cetorhinus maximus Hiu penjemur

55 Carcharhias taurus Sand tiger shark Hiu lanjaman

56 ferox Smalltooth sand tiger shark Hiu anjing

57 Pseudocarcharias Crocodile shark Hiu tongar (Jawa Barat) kamoharai

68

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

58 platyrhynchus Flatnose catshark Hiu mulut datar

59 Apristurus sibogae Pale catshark Hiu tokek

60 Apristurus spongiceps Spongehead catshark Hiu tokek

61 Atelomycterus baliensis Bali catshark Hiu tokek (Bali)

62 Atelomycterus erdmanni Spotted-belly catshark Hiu tokek

63 Atelomycterus Coral catshark cucut tokek, Hiu tokek marmoratus

64 cooki Cook’s swellshark Hiu tokek

69

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

65 Cephaloscyllium pictum Painted swellshark Hiu tokek

66 boesemani Speckled catshark Hiu tokek

67 Halaelurus maculosus Indonesian speckled catshark Hiu tokek

68 lanatus Velvet catshark Hiu tokek

69 garmani Brownspotted catshark Hiu tokek

70 Proscyllium habereri Graceful catshark Hiu tokek

70

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

71 Hemitriakis indroyonoi Indonesian houndshark Hiu kacang (Bali), Hiu meong (Lombok), karil (Jawa Barat), cucut londer

72 garricki Longnose hound shark Hiu karang, karil (Jawa Barat)

73 Mustelus griseus Spotless smooth-hound Hiu tokek

74 Mustelus manazo Starspotted smooth -hound Hiu karang, karil (Jawa Barat)

75 Mustelus widodoi Whitefin smoothhound Hiu kacang (Bali), Hiu air (Lombok), cucut londer (Jawa)

76 Chaenogaleus Hiu pilus, Hiu kacang (Jawa) macrostoma

77 Hemipristis elongata Fossil shark Hiu monas

71

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

78 tengi Straight-tooth weasel shark Hiu kacang, Hiu pasir

79 Carcharhinus Silvertip shark Hiu plen (Bali), Hiu sonteng albimarginatus (Lombok), cucut lanjaman, Hiu lanyam (Jawa)

80 Carcharhinus altimus Bignose shark merak bulu (Lombok)

81 Carcharhinus Graceful shark cucut lanjaman (Jawa) amblyrhynchoides

82 Carcharhinus Grey reef shark Hiu lonjor, merak bulu amblyrhynchos (Lombok), cucut lanjaman, Hiu lanyam (Jawa)

83 Carcharhinus Pigeye shark Hiu buas (Jawa), merak bulu amboinensis (Lombok)

72

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

84 Carcharhinus borneensis Borneo shark Hiu lanjaman

85 Carcharhinus brevipinna Spinner shark Hiu plen (Bali), Hiu lonjor, merak bulu (Lombok), cucut lanjaman (Jawa)

86 Carcharhinus dussumieri Widemouth blackspot shark cucut lanjaman (Jawa)

87 Carcharhinus falciformis Silky shark mungsing (Bali), Hiu lonjor (Lombok), cucut lanjaman, Hiu lanyam (Jawa)

88 Carcharhinus hemiodon Pondicherry shark Cucut Lanjaman, Hiu Bujit, Lanyam, Merak Bulu, Mungsing (Indonesian)

89 Carcharhinus leucas Bull shark Hiu buas, cucut bekeman (Jawa)

90 Carcharhinus limbatus Blacktip Shark Hiu kejen, merak bulu (Lombok), cucut lanjaman, Hiu lanyam (Jawa)

73

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

91 Carcharhinus longimanus Oceanic whitetip shark Hiu koboy, cucut koboy (Jawa)

92 Carcharhinus macloti Hardnose shark Hiu aron (Jawa)

93 Carcharhinus Blacktip reef shark Hiu mada, kluyu karang melanopterus (Lombok)

94 Carcharhinus obscurus Dusky shark merak bulu (Lombok), cucut lanjaman, Hiu lanyam (Jawa)

95 Carcharhinus plumbeus Sandbar shark Hiu teteri (Lombok), cucut lanjaman (Jawa)

96 Carcharhinus sealei Blackspot shark Cucut lanjaman (Jawa)

74

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

97 Carcharhinus sorrah Spottail shark mungsing (Bali), merak bulu (Lombok), cucut lanjaman, lanyam (Jawa)

98 Galeocerdo cuvier Tiger shark mungsing jara (Bali), Hiu macan (Lombok), Hiu omas (Jawa)

99 Glyphis glyphis Speartooth shark Hiu lanjaman

100 Glyphis sp. Speartooth shark Hiu lanjaman

101 Lamiopsis tephrodes Borneo Hiu bujit

102 Loxodon macrorhinus Slender dog shark Hiu kejen

75

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

103 Negaprion acutidens Sharptooth lemon shark Hiu lanjaman

104 Prionace glauca Blue shark Hiu aer (Bali), Hiu karet (Lombok), Hiu lalaek, cucut selendang (Jawa)

105 Rhizoprionodon acutus Milk shark Hiu pilus, Hiu plen,mungsing, Hiu pisang

106 Rhizoprionodon oligolinx Grey sharpnose shark Hiu pilus, Hiu pisang

107 Rhizoprionodon taylori Australian sharpnose shark Hiu pilus

108 Scoliodon laticaudus Spadenose shark mungsing, Hiu kejen

109 Triaenodon obesus Whitetip reef shark Hiu bokem, Hiu karang (Bali), Hiu coklat (Lombok), Hiu karang buas (Jawa)

76

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

109 Eusphyra blochii Hiu caping (Jawa), Hiu capil (Bali), Hiu bingkoh (Lombok)

110 Sphyrna lewini Scalloped hammerhead Hiu caping (Jawa), Hiu capil (Bali), Hiu bingkoh (lombok)

111 Sphyrna mokarran Great hammerhead Hiu caping (Jawa), Hiu capil (Bali), Hiu bingkoh (Lombok)

112 Sphyrna zygaena Smooth hammerhead Hiu caping (Jawa), Hiu capil (Bali), Hiu bingkoh (Lombok)

77

REFERENSI

Barbosa-Filho, M. L. V., Schiavetti, A., Alarcon, D. T. & Costa-Neto, E. D. (2014). Shark is the man!”: Ethnoknowledge of Brazil’s South Bahia fishermen regarding shark

behaviors. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, DOI: 10.1186/1746-4269-10- 54.

Biery, L. & Pauly, D. (2012). A global review of species-specific shark-fin-to-body-mass

ratios and relevant. Journal of Fish Biology, 80, 1643–1677.

Blaber, S. J. M., Dichmont, C. M., White, W., Buckworth, R., Sadiyah, L., Iskandar, B. (2009).

Elasmobranchs in southern Indonesianfisheries: the fisheries, the status of the stocks and managementoptions. Review of Fish Biology and Fisheries , 19 , 367–391.

Clarke, S. C., McAllister, M. K., & Michielsens, C. G. J. (2005). Estimates of shark species composition and numbers associated with the shark fin trade based on Hong Kong

auction data. J. Northw. Atl. Fish. Sci , 35 , 453–465. Dharmadi., Fahmi., & Satria, F. (2015). Fisheries management and conservation of sharks in

Indonesia. African Journal of Marine Science, 37 , 249-258. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. (2015). Statistik perikanan tangkap di laut menurut

wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP-NRI), 2005-2014. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2013). Tinjauan status perikanan hiu dan upaya konservasinya di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dulvy, N. K., Fowler, S. L., Musick, J. A., Cavanagh, R. D., Kyne, P. M., Harrison, L. R.,

Carlson, J. K., Davidson, L. N. K., Fordham, S. V., Francis, M. P., Pollock, C. M., Simpfendorfer, C. A., Burgess, G. H., Carpenter, K. E., Compagno, L. J. V., Ebert, D.

A., Gibson, C., Heupel, M. R., Livingstone, S. R., Sanciangco, J. C., Stevens, J. D. Valenti, S., White, W. T. (2014). Extinction risk and conservation of the world’s

sharks and rays. DOI: http://dx.doi.org/10.7554/eLife.00590 Fahmi., & Dharmadi. (2015). Pelagic shark fisheries of Indonesia's eastern indian ocean

fisheries management region. African Journal of Marine Science, 37 , 259–265.

78

Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M.R, & Lotze, H. K. (2010). Patterns and ecosystem consequences of shark declines in the ocean. Ecology Letters, 13 , 1055–

1071. Gallagher, A. J., Kyne, P. M. & Hammerschlag, N. (2012). Ecological risk assessment and its

application to elasmobranch conservation and management. Journal of Fish Biology , doi:10.1111/j.1095-8649.2012.03235.x.

Giangaspero, M., & Salim Al Ghafri, M. K. (2014). Poaching: A threat for vulnerable wild

species in Oman. Trop Med Surg . doi:10.4172/2161-1173.1000e121.

IUCN. (2014). A quarter of sharks and rays threatened with extinction. Accessed on

February 23, 2016 at http://www.iucn.org/?14311/A-quarter-sharks-and-rays- threatened-with-extinction.

Jackson, J. B. C., Kirby, M. X., Berger, W. H., Bjorndal, K. A., Botsford, L. W., Bourque, B. J., & Warner, R. R. (2001). Historical overfishing and the recent collapse of coastal

ecosystems. Science, 293 , 629–637. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2013). Peraturan menteri nomor 35 tahun 2013

tentang tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan . Senko, J., White, E. R., Heppell, S. S., & Gerber, L. R. (2013). Comparing bycatch mitigation

strategies for vulnerable marine megafauna. Animal Conservation, 17 , 5–18. Simpfendorfer, C. A., Heupel, M. R., White, W. T., & Dulvy, N. K. (2011). The importance of

research and public opinion to conservation management of sharks and rays a synthesis. Marine and Freshwater Research, 62 , 518–527.

Stevens, J. D., Bonfil, R., Dulvy, N. K., & Walker, P. A. (2000). The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine

ecosystems. Journal of Marine Science, 57 , 476–494. Storelli, M., Giacominelli-Stuffler, R., Marcotrigiano, G. (2002). Mercury accumulation and

speciation in muscle tissue of different species of sharks from Mediterranean Sea, Italy. Bull Environ Contam Toxicol, 68 , 201–10.

Techera, E. J., & Klein, N. (2011). Fragmented governance: Reconciling legal strategies for shark conservation and management. Marine Policy, 35 , 73–78.

79

Vegter, A. C., Barletta, M., Beck, C., Borrero, J., Burton, H., Campbell, M. L., Costa, M. F., Eriksen, M., Eriksson, C., Estrades, A., Gilardi, K. V. K., Hardesty, B. D., Ivar do Sul, J.

A., Lavers, J. L., Lazar, B., Lebreton, L., Nichols, W. J., Ribic, C. A., Ryan, P. G., Schuyler, Q. A., Smith, S. D. A., Takada, H., Townsend, K. A., Wabnitz, C. C. C.,

Wilcox, C., Young, L. C., & Hamann, M. (2014). Global research priorities to mitigate plasticpollution impacts on marine wildlife. Endangered Species Research, 25 , 225–

247.

80