At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Hermeneutika Tubuh (Studi Kritis Atas Tayangan Kecantikan Putri )

Achmad Nur1, Muahammad Taufiq2 1,2STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo [email protected]

Abstract The purpose of this article is to describe the body image of women in Indonesian women's beauty contest shows. The method used is the phenomenological hermeneutic analysis of Paul Ricoer which emphasizes the search for unspeakable traces behind the surface structure attached to the appearance of the Indonesian women's beauty contest. There were three authors who were analyzed, namely, the executive committee, owner of garment garments, cosmetics and producers of television programs. The results obtained include; First, the image of the State and the Indonesian nation through intelligence (brain); Second, imaging through beauty (beauty); Third, imaging through attitudes or behavior (behavior); Fourth, the body as a medium for commodity or there has been commodification in the body; Fifth, television as a dual commodity medium that facilitates various commodification practices to be managed and become public consumption. With this practice, television is also as popular as beauty contestants. Body image is shown as a representation of the State of Indonesia. This means that the selected Indonesian princess is part of Indonesia, because she has held the title of best Indonesian woman Kata Kunci: Hermeneutics, Putri Indonesia, Body Commodication.

Abstrak Tujuan artikel ini untuk menggambarkan citra tubuh perempuang yang ada dalam tayangan kontes kecantikan putri Indonesia. Metode yang digunakan analisis hermeneutika fenomenologis Paul Ricoer yang menekankan pada pencarian jejak tidak terkata dibalik surface structure yang melekat pada tampilan kontes kecantikan putri Indonesia. Ada tiga author yang dianalisis yaitu, panitia pelaksana, pemilik garments pakaian, kosmetik dan produsen program televisi. Hasil yang didapatkan lain; Pertama, pencitraan Negara dan bangsa Indonesia melalui kecerdasan (brain); Kedua, pencitraan melalui kecantikan (beauty); Ketiga, pencitraan melalui sikap atau prilaku ( behavior); Keempat, tubuh sebagai media komoditi atau telah terjadi komodivikasi pada Tubuh; Kelima, televisi sebagai media komodivikasi ganda yang memfasilitasi pelbagai praktik komodivikasi untuk dikelola dan menjadi konsumsi khalayak. Dengan adanya praktik inilah televisi juga ikut populer sebagaimana populernya para kontestan kecantikan. Citra tubuh ditampakkan sebagai representasi Negara Indonesia. Artinya, putri Indonesia terpilih merupakan bagian dari Indonesia, karena telah menyandang gelar putri terbaik Indonesia Kata Kunci: Hermeneutika, Putri Indonesia, Komodivikasi Tubuh.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 158 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Pendahuluan Dewasa ini, dunia dalam pandangan George Ritzer berisi kehampaan, segala jarak bisa dilipat menjadi satu tempat1, begitu kata Yasraf Amir Pilliang, dan sifat mendasar manusia di ciutkan menjadi satu dimensi atau one dimensional man2 dalam istilah Herbert Marcus yaitu beralihnya dimensi organik manusia menjadi dimensi mekanik. Beberapa istilah diatas bukanlah asumsi yang tanpa dasar melainkan, asumsi yang berangkat dari realitas kehidupan manusia di dunia global atau modern. Realitas masyarakat global diatas, membuktikan bahwa “globalization as aconsep referest both to the compression of the world and the intensification of the world as a whole” 3. Saat ini secara implisit, disadari atau tidak, dunia telah dikelilingi oleh ranjau ranjau budaya global yang akan menjerat penghuni dunia melalui pelbagai citra pemberdayaan, kemajuan, kenikmatan atau hasrat pemenuhan akan kebutuhan hidup. Dalam konteks komunikasi informasi, ranjau budaya tersebut dapat dilihat pada beberapa media yang didalamnya tersimpan makna yang tak terkatakan dibalik pelbagai program tayangan yang di sajikan pada audiens . oleh karena banyaknya program media televisi, dalam tulisan ini akan difokuskan pada kontes kecantikan putri Indonesia yang ditayangkan oleh media televisi. Tulisan ini akan membaca secara kritis pertarungan makna yang ada dalam kontes kecantikan putri Indonesia dengan menggunakan pendekatan hermeneutika fenomenologis Paul Ricoeur4, yang menekankan pada pencarian makna yang takterkatakan dibalik jejak jejak peristiwa. Pendekatan ini dalam kajian metodologi penelitian komunikasi, masuk pada paradigma konstruktivisme yang menunjukkan bahwa segala kreasi kehidupan merupakan konstruksi social. Berbicara tentang kontes kecantikan, secara implisit kita akan berbicara tentang budaya visualisasi tubuh yang memiliki dua tipologi diantaranya adalah pertama, skema tubuh (body schema) yang aksentuasinya pada penyesuaian diri yang instingtif dan nir sadar terhadap lingkungan seseorang. Kedua, citra tubuh (body image) yang mengacu pada tindakan tindakan badaniah yang ditampilkan secara sadar, di rancang dan direncanakan5. Berdasar tipologi diatas, penulis akan lebih berenergi pada tipologi yang kedua yaitu bagaimana tubuh divisualkan, dicitrakan dan dipopulerkan melalui media Televisi, dan bagaimana makna bertarung dalam sebuah peristiwa. Agar tulisan ini tampak sstematis, akan dimulai dengan penyajian data data tentang seputar tayangan kontes kecantikan putri Indonesia, dilanjutkan dengan penyajian data teoritis pendekatan hermeneutika, dan dikhiri dengan pengujian teori terhadap data yang didalamnya berisi analisis dan solusi sebagai rumusan temuan baru.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 159 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Seputar Dunia Pemilihan Putri Indonesia Dalam dunia kontes kecantikan, di Indonesia ada dua istilah yang sama sama berperan menyeleksi calon putri Indonesia yang siap membawa negara Indonesia kedunia internasional. Pemilihan pertama kali diadakan pada tahun 1967 dan mulai sejak itu Indonesia secara aktif mengikuti kontes kecantikan bertaraf internasional. Seiring dengan berjalannya waktu, pada akhir tahun 1970-an pemerintah melarang wakil Indonesia bertanding diajang kontes kecantikan internasional sampai tahun 1992. melihat stagnasi tersebut dan menggugah semangat perempuan Indonesia , mustika ratu sebagai salah satu produk kecantikan kembali menyelenggarakan pemilihan putri Indonesia, walaupun putri Indonesia terpilih tidak dikirim keajang internasional, namun hanya sebagai peninjau. Tahun 1996 Yayasan putri Indonesia (YPI) kembali memberanikan diri untuk mengirim putri Indonesia keajang miss univers, walaupun masih menuai kontroversi atas pengiriman sebagai putri Indonesia ke ajang internasional di Las Vegas. Pasaca orde baru dan dimasa transisi reformasi YPI dan putri Indonesia 2005 memberanikan diri sampai pada saat ini putri Indonesia masih tampil di ajang miss univers melalui pengiriman Zivanna Letisha Siregar sebagai putri Indonesia 2008. Klasifikasi dan nama nama wakil Indonesia mulai sejak awal sampai saat ini dapat dilihat pada matrik dibawah ini6.

Tabel 1. Klasifikasi Putri Indonesia No Tahun Nama Gelar Nasional Prestasi

1 1974 Nia Kurniasi Tidak ada (pemilihan tertutup) - Ardikoesoema

2 1975 Lydia Arlini Wahab Tidak ada (pemilihan tertutup) -

3 1976 Juliarti Rahayu Tidak ada (pemilihan tertutup) -

4 1977 Siti Mirza Nuria Arifin Tidak ada (pemilihan tertutup) -

5 1980 Andi Nana Riwayati Tidak ada (pemilihan tertutup) -

6 1982 Sri Yulianti Tidak ada (pemilihan tertutup)

7 1983 Andi Botenri Tidak ada (pemilihan tertutup)

8 1994 Venna Melinda 1994 Sebagai pengamat

At-Turost: Journal of Islamic Studies 160 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

9 1995 Susanty Manuhuttu Puteri Indonesia 1995 Sebagai pengamat

10 1996 Alya Rohali Puteri Indonesia 1996 Sebagai pengamat

11 2005 Artike Sari Devi Puteri Indonesia 2004 -15 Besar -Runner-up I Miss - Congeniality

12 2006 Puteri Indonesia 2005 - Runer-up I Best National Costume - Runner-up I Miss Congeniality

13 2007 Agni Prastistha Puteri Indonesia 2006 Runner-up I Miss Congeniality

14 2008 Putri Raemawasti Puteri Indonesia 2007 -

15 2009 Zivanna Letisha Siregar Puteri Indonesia 2008 Peringkat Pertama Polling Internet

Adapun aturan main atau prasyarat menjadi putri Indonesia antara lain: a) warga negara Indonesia. B)berusia 20-25 tahun. C) belum menikah. d) mahasiswi /karyawati dengan tinggi badan minimum 168 cm. E) peserta daerah harus berdomisili atau berasal dari daerah yang diwakilinya. F) memiliki pengetahuan umum dan wawasan luas tentang objek pariwisata dan wacana kebudaya Indonesia. G) berpenampilan menarik (beauty), cerdas (brain), dan berprilaku baik(behavior)7. Selain komponen diatas, ada komponen penting yang juga menunjang terealisasinya kontes kecantikan putri Indonesia yaitu media televisi sebagai mediasi tayangan tayang kontes kecantikan putri Indonesia. Artinya televisi sebagai agen of publication dalam memebentuk opini publik. Tanpanya kontes tersebut tidak akan bertaraf nasional, karena tidak mungkin bisa diakses oleh khalayak secara luas dan merata.

Hermeutika Sebaga Metode Membaca Hermeneutika berasal dari bahasa yunani yaitu hermeinia yang bermakna seni menafsirkan. Istilah ini diderivasikan dari kata hermes sebagai nama dari sebuah dewa8. Pada

At-Turost: Journal of Islamic Studies 161 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 awalnya hermeneutika digunakan oleh para teolog untuk mengkaji dan menafsirkan kitab suci (bible)9. Namun setelah mengalami perjalanan panjang, hermeneutika tidak lagi digunakan untuk mengkaji kitab suci, melainkan juga digunakan untuk mengkaji fenomena kehidupan, dan pengalaman pengalaman hidup. Hermeneutika bukan hanya proses interpretasi tetapi juga bagaimana cara memahami sebuah makna. Dengan kata lain hermeneutika adalah understanding of understanding. Oleh karena merupakan proses pemahaman, hermeneutika berkaiatan erat dengan bahasa. Bahasa merupakan elemen penting untuk memahami dan mengerti. Tanpa bahasa tidak akan ada pengertian dan pemahaman. Tanpa bahasa tidak akan ada kehidupan, dan ekspresi kehidupan tidak akan membentuk kebudayaan tanpa melalui bahasa. Disamping berkaitan dengan bahasa, hermeneutika juga berkaitan dengan meaning. Makna merupakan sesuatu yang dicari dalam proses memahami dan mengerti. Berdasar pengertian hermeneutika yang disajikan secara kikir diatas, dalam pembahasan ini penulis ingin fokus pada akasentuasi hermeneutika yang dirumuskan oleh Paul Ricoeur. Menurutnya hermeneutika merupakan teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Dengan demikian kata kuncinya adalah realisasi diskursus sebagai teks. 10 Dalam konteks ini, teks tidak hanya dimaknai sebagai sebuah tulisan, melainkan sebagai sebuah tindakan yang bermakna yang didalamnya berisi karakter yang terdapat dalam sebuah teks tulis. Karakter tersebut menekankan pada teks sebagai sebuah peristiwa pemaknaan. Dengan kata lain sebuah tindakan berisi peristiwa dan makna yang menurut Ricoeour saling berdialektika. Dalam kerangka inilah hermeneutika fenomenologis Ricoeur dibangun dalam rangka membaca sebuah fenomena sosial sebagai sebuah tindakan yang mengandung peristiwa dan makna. Berbicara tentang sebuah teks atau tindakan ada tiga dunia yang saling melingkar,dan saling melengkapi diantaranya adalah pengarang (author), teks dan pembaca(reader). Seorang author pada awalnya adalah pemilik otoritas makna,selama makna tersebut masih berada dalam dunia ide. Artinya makna melekat pada seorang pengarang,dan hanya pengaranglah yang mengetahui makna yang sebenarnya. Namaun ketika konsep atau gagasan pengarang di fiksasikan kedalam bentuk tulis, atau di ekspresikan kedalam sebuah tindakan, maka dengan sendirinya akan membentuk dunianya sendiri yaitu dunia teks. Pada posis inilah pengarang mengalami distansiasi atau jarak dengan teks. Karena terjadi distansiasi, maka pengarang tidak lagi memiliki otoritas makna yang telah lepas darinya, karena makna telah berada dalam dunianya sendiri yaitu dunia teks. Peristiwa inilah yang oleh Michel Foucault disebut sebagai the dead of author matinya

At-Turost: Journal of Islamic Studies 162 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 seorang pemilik otoritas makna. Setelah makna lepas dari author,dan menjadi sebuah teks, maka dengan sendirinya teks mengalami alinasi, atau menjadi asing, karena dia tidak lagi memiliki siapa siapa. Pada posisi inilah teks atau tindakan menjadi otonom, atau Ricoeur menyebut sebagai otonomisasi teks atau otonomisasi tindakan yang memiliki dimensi sosial, atau ruang publik 11. Oleh karena teks asing dan otonom, maka dia bebas didekati oleh siapun, dan terjadilah proses appropriasi atau pendakuan. Artinya terjadilah peristiwa penyelamatan teks, agar kembali hidup dan bermakna. Proses inilah yang mennyebabkan lahirnya pembaca. Setelah teks atau tindakan di selamatkan oleh pembaca, maka teks berada dalam dunia pembaca. Pada saat inilah pembaca berhak memberikan makna pada teks yang dirawatnya. Dalam konteks ini, Ricoeur berbeda dengan Gadamer yang memberikan kebebasan penuh pada pembaca untuk memperkosa teks,sesuai dengan selera pembaca, Namun menurut Ricoeur, walaupun memiliki kebebasan untuk memberikan makna, pembaca harus melakukan distansiasi terhadap teks, karena menurutnya, sebuah tindakan atau teks meninggalkan jejak, dan menciptakan tanda12 Dengan kata lain, didalam teks tersimpan jejak pengarang,yang juga harus menjadi pertimbangan dalam memaknai sebuah teks, sehingga makna yang bersemayam dalam sebuah teks bisa terungkap, dengan tidak merusak makna luar teks. Berdasar hermeneutika Ricoeur diatas, dalam tulisan ini, penulis akan membaca tindakan atau ekspresi tubuh dalam kontes kecantikan yang ditayangkan di televisi sebagai sebuah jejak peristiwa yang terkatakan, sehingga bisa mengetahui pertarungan makna yang ada didalamnya, dan jejak yang takterkatakan bisa terungkap.

Pertarungan Makna Dibalik Perayaan Citra Tubuh Berdasar pada data tayangan kontes kecantikan putri Indonesia yang secara kikir telah dipaparkan diatas, dapat dikatakan bahwa didalam kontes tersebut terdapat representasi citra citra yang divisualkan melalui media televisi. Citra yang dimaksud adalah sebuah proses siginifikasi yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam menyampaikan sebuah pesan. Dengan kata lain, citra bukanlah pesan itu sendiri melainkan representasi atas sebuah pesan. Artinya makna atau jejak takterkata dalam sebuah tindakan kontes kecantikan putri Indonesia sengaja disembunyikan, dan yang ditampakkan hanyalah bumbu bumbu pesan yang bersifat sosial atau atau jejak terkatakan. Pemahaman diatas senada dengan Roland Barthes, bahwa ”an image which argues draws from signs that are full, formed whit a view to the optimum reading 13. Menurutnya citra merupakan sebuah penggambaran,penampakan atau visualisasi tanda yang

At-Turost: Journal of Islamic Studies 163 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 lahir dari proses pembacaan secara optimal. Dengan kata lain sebuah citra merupakan peristiwa signifikasi yang didalamnya terdiri dari dunia author, teks,dan pembaca. Oleh karena merupakan proses signifikasi, maka penulis akan melacak proses signifikasi citra negara dan bangsa Indonesia yang terdapat dalam 3 B (brain, beauty,behaviour ). Pertama, peristiwa pencitraan negara melalui kecerdasan. Seorang putri Indonesia harus memiliki kecerdasan yang berbentuk wawasan pengetahuan yang luas, tentang budaya dan penguasaan bahasa serta kemampuannya dalam merespon persoalan sosial. Artinya, didalam putri Indonesia terdapat kapabilitas,kredibilitas dan akuntabilitas dalam merespon dan mengembangkan nalar pengatahuan yang dia miliki,yang disesuaikan dengan prasarat panitia pelaksana. Pada posisi inilah audiens secara tidak sadar digerakkan, dan digiring oleh author kedalam dunia citra yaitu asumsi tentang sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh putri Indonesia. Artinya siapa saja yang terpilih sebagai putri Indonesia, merekalah putri tercerdas Indonesia. Asumsi tesebut menurut hemat penulis dapat mengkaburkan dan mempersempit ruang pemaknaan tentang kecerdasaan. Seakan akan ukuran kecerdasan hanya sesuai dengan kriteria yang dibuat oleh panitia, diluar kriteria itu tidak dianggap cerdas. Disisi lain kata ”cerdas”bersifat oposisi biner, yang memiliki lawan kata bodoh atau tidak cerdas. Dengan demikian merujuk pada oposisi diatas, maka yang tidak terpilih sebagai Putri Indonesia secara implisit bisa dikatakan tidak cerdasa atau masih diragukan kecerdasannya. Dari analisis diatas, tampak jelas bahwa model kecerdasan yang divisualkan dalam kontes kecantikan, bukanlah inti pesan sang author melainkan bumbu bumbu teks,atau citra yang dapat mengkaburkan audiens. Hal ini sejalan dengan pernyataan ”visual culture are not primarily concerned with how people see the world, but with how people see still and moving images 14. Pernyataan diatas menyiratkan bahwa budaya visual lebih mengedepankan penampilan dasariah teks,dari pada makna hakikat teks yang didalamnya terdapat shadow(bayangan kepribadian author). Standarisasi kecerdasan versi panitialah,yang lebih ditampakkan dan diutamakan dari pada makna hakikat kecerdasan secara social. Kecurigaan analitis ini terbukti ketika Nadin putri Indonesia 2005 salah atau kurang tepat menggunakan istilah city untuk sebuah Negara dalam ajang Miss Univers. Dari kesalahan tersebut, tampak jelas bahwa kriteria kecerdasan panitia tidak sesuai dengan hakikat kecerdasan yang ada dalam diri Nadin sebagai representator putri Indonesia. Kedua peristiwa pencitraan Negara Indonesia melalui beauty. Ketika mendengar istilah cantik maka yang terbayang dalam memori masyarakat adalah bagusnya bentuk tubuh, halusnya wajah,dan agresif dalam berpenampilan. Secara social ukuran atau standarisasi kecantikan belum

At-Turost: Journal of Islamic Studies 164 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 ada kesepakatan yang sama, melainkan kecantikan hanya tergantung pada selera individu. Hal ini sama halnya dengan ukuran kecantikan yang disesuaikan dengan selera panitia kontes kecantkan putri Indonesia. Dalam konteks kontes kecantikan, ukuran kecantikan adalah tinggi badan minimal 168, berpenampilan menarik, belum menikah, artinya masih memiliki tubuh yang segar,dan masih orginal. Hal ini dapat dilihat pada gambar agni putri Indonesia 2006 dibawah ini.

Gambar 1. Agni Putri Indonesia 2006

Sumber:https://www.ardianyud.com/2012/09/putri-indonesia-itu-arek-its-cak.html Gambar di atas tidak bermaksud memparah kontroversi dikalangan akademisi dan tokoh agama, melainkan ingin menunjukkan bentuk selera panitia pelaksana tentang tipologi cantik. Menurut asumsi penulis, standarisasi kecantikan yang dibuat oleh panitia, dapat mengkaburkan dan mempersempit audiens,yang hanya tertuju pada tubuh yang “seksi”. Pengkaburan makna cantik inilah yang lambat laun akan membentuk mitos, dan terpatri dalam memori masyarakat. Dengan demikian , panitia sebagai pemegang otoritas makna, menyembunyikan pesan ideologis dibalik citra kecantikan tubuh. Disisi lain, tubuh tidak akan dikatakan menarik ketika tidak ada aksesoaris yang melekat padanya. Aksesoris itu adalah fashion atau busana yang terdiri dari pakaian,make up,dan benda yang dapat mendukung bertambahnya pemaknaan terhadap tubuh. Dalam fashion system, Barthes, mengatakan bahwa fashion is an inscription, resulting from a technique and normalized by code15.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 165 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Pernyataan ini menyiratkan bahwa fashion bukanlah sesuatu itu sendiri, melainkan citra akan sesuatu. Orang dikatakan cantik tergantung sejauh mana fashion yang digunakan mampu merayakan citra citra. Dalam konteks ini, Barthes menyebutnya sebagai image clothing,yang merujuk pada clothes as fotographed yaitu pakaian sebagai sebuah gambar atau foto. Dengan demikan, tampak jelas bahwa bahasa fashion bersifat pseudo real garrment yang membawa makna tertentu. Dalam pandangan lain, fashion merupakan media komunikasi untuk menyuarakan identitas dan memberikan stereotip pada seseorang. Kenyataan inilah yang oleh Malcombarnard di sinyalir mampu mengikat satu komunitas tertetu dalam satu ikatan sosial dengan berdasar pada consensus sosial. Disaat berada dalam ikatan sosial, maka kelompok tertentu akan masuk dalam stereotip yang telah menjadi kesepakatan. Ketika, putri Indonesia menggunakan fashion yang berasal dari garment A, kemudian tampil keajang internasional, maka secara implisit pesan pesan yang berisi karakter bangsa Indonesia sebagai perwakilan Negara Indonesia, terwakili dan terbaca melalui model fashion yang digunakan. Misalnya: putri Indonesia menggunakan pakaiaan muslimah yang menutup aurat, maka pesan yang hendak disampaikan adalah bangsa Indonesia bersifat religious, dan mayoritas umat Islam. Begitu juga ketika putri Indonesia menggunakan pakaiaan jawa, maka secara implisit adat dan budaya jawa menjadi karakter utama bangsa dan Negara Indonesia. Pola komunikasi seperti ini disebut sebagai komunikasi semiotik, yaitu komunikasi yang menggunakan simbol simbol sebagai wujud penyampaian pesan 16. Kalau kita melihat gambar yang bergerak seorang kontestan putri Indonesia, maka kecantikan dirinya ditentukan oleh pakaiaan yang digunakannya. Artinya citra pakaiaan yang divisualkan atau ditampakkan bukanlah pesan utama, melainkan pengkabur makna yang menciptakan hasrat audiens untuk memilikinya. Dengan kata lain, menurut asumsi penulis,pesan utama yang ingin disampaikan adalah mutu kualitas sebuah garment, melalui produk produk yang dilahirkannya, baik produk pakaiaan, kosmetik atau asesoaris yang lain. Lihatlah gambar Nadin.putri Indonesia 2005 dibawah ini. Gambar 2. Nadin Putri Indonesia 2005

At-Turost: Journal of Islamic Studies 166 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Nadine_Chandrawinata.jpg

Menurut hemat penulis, Gambar diatas, Secara implisit, Nadin mengatakan bahwa inilah produk pakaiaan dan kosmetik yang saya gunakan dari garment tertentu yang membuat tubuh saya cantik, sehingga terpilih dan pantas menyandang putri Indonesia. Inilah yang oleh Ricoeur disebut sebagai jejak yang tak terkatakan,yang bersembunyi dibalik peristiwa pencitraan. Berdasar analisis diatas, dapat dikatakan bahwa representator utama dalam kontes tersebut, bukanlah putri Indonesia dengan kecantikannya melainkan produsen produsen fashion. Dalam bahasa hermeneutik, produsen fashion disebut sebagai author pemilik otoritas makna, dan visualisasi kecantikan putri Indonesia sebagai sebuah teks atau tindakan yang bermakna menyimpan dan menyalurkan pesan otoritasnya kepada audiens. Ketiga, perisitwa pecitraan bangsa dan Negara Indonesia melalui behavior. Berbicara tentang prilaku, banyak mengandung interpretasi dan standarisasi tetentu. Kalau tolak ukurnya adalah moral, sejauh mana tindakan itu bermoral, kalau diukur dari kesopanan, sejauh mana kesopanan itu dipandang. Pelbagai pertanyaan ini dapat melahirkan beberapa pendekatan yang berbeda dikalangan akademisi dan agamawan, maupun masyarakat. Namun dibalik itu semua, tampak jelas bahwa panitia tidak memilik konsep yang jelas tetentang prilaku. Kalau realitas analitisnya demikian, dapat dikatakan bahwa citra bangsa Indonesia dalam kontes tersebut dibangun melalui penyegaran kembali citra tubuh perempuan sebagai sesuatu yang cantik, berpenampilan menarik, berbadan langsing, berpakaian seksi sebagai representasi budaya Indonesia. Prilaku hanya menjadi bumbu pesan atau prasarat yang tidak Primer. Dalam paradigma cultural studies, fashion dan kode kecantikan menggiurkan seorang gadis dalam melihat, memilih, dan menggunakan pakaiaan dan alat kecantikan sebagai bntuk esensi dari eksistensi perempuan17. Senada dengan konsep di atas, Baudrillad seorang tokoh postmodern mengatakan bahwa struktur produksi dan konsumsi tubuh masa kini menyesatkan pada subjek. Dikatakan demikian, karena dalam pencitraan dan penampilan tubuh terjadi praktik ganda yang menampilkan tubuh pada dua ranah, yaitu penyajian tubuh sebagai modal, dan penyajian tubuh sebagai JIMAT yaitu benda konsumsi18. Asumsi ini yang pada akhirnya akan melahirkan mitos mitos kecantikan baru dalam kehidupan. Apalagi di era global saat ini, mitos tersebut semakin kuat dan terpatri dalam memori

At-Turost: Journal of Islamic Studies 167 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 masyarakat karena dia beroperasi dalam dunia teknologi visualitas secara repetitive. Tatkala kecantikan dibiarkan menjadi tumpukan mitos mitos, maka peluang kolonisasi Negara Indonesia semakin banyak dan terbuka lebar Komodifikasi Popularitas Tubuh: Sebuah Negosiasi Global Berpijak pada analisa diatas,sebenarnya yang ingin ditonjolkan dalam kontes kecantikan tersebut adalah bagaimana tubuh perempuan menjadi popular, dan populis dikalangan khalayak. Keinginan tersebut dilakukan dengan melakukan negosiasi kebudayaan local dengan kebudayaan global. Dikatakan demikian karena,salah satu rangkaiaan tujuan diselenggarakannya kontes putri Indonesia adalah untuk mewakili negara Indonesia ketaraf internasional(miss univers). Pada posisi inilah secara implisit terjadi negosiasi budaya global dengan budaya local. Negosiasi tersebut berlangsung melalui proses komodifikasi citra tubuh yang didalamnya ada produk pakaiaan dan alat kecantikan yang lain. Dalam konteks miss Indonesia, pelaku kapitalnya adalah Mustika Ratu, Sari Ayu Marta Thilaar dan garmen pakaian. Sedangkan di Mss univers pelaku kapitalnya adalah produk produk swimswuit seperti Oscar de la renta, endless sun apparel, dan BSC. Bentuk negosiasi global dengan local, oleh George Ritzer disebut sebagai glokalisasi, yaitu proses bertemunya budaya local dengan budaya global. Dengan mengikuti Robertson, Ritzer menampilkan karakter esnsial yang terdapat pada budaya glokal, diantaranya: dunia tumbuh lebih pluralistik, individu dan kelompok local memiliki kekuasaan besar untuk menyesuaikan dri, memperbaharui dan melakukan manuver budaya,proses sosial kerapkali berhubungan dan saling tergantung, komoditas komoditas dan media dijadikan sarana untuk mengembangkan dan menggerakkan kreativitas individu19. Analisis diatas menunjukkan bahwa popularitas tubuh menjadi sebuah komoditi yang bergantung pada ekspansi pasar, dan membentuk budaya konsumtif dengan pelbagai kehampaan yang ada didalamnya. Kehampaan yang dimaksud adalah mengkonsumsi citra citra, atau pada kenyataannya masyarakat mengkonsumsi benda benda, namun pada hakikatnya mereka mengkonsumsi citra atau nilai komoditas yang melekat pada benda atau barang tersebut. Busana dan peralatan kecantikan yang digunakan oleh para kontestan putri Indonesia, mengandung nilai komoditas, karena dirancang untuk menunjukkan budaya baru yang menjadi karakter masyarakat baru atau modern. Para audiens yang menikmati tayangan tersebut, dengan sendirinya tertarik untuk memilikinya. Pada saat mereka memiliki busana yang digunakan oleh putri Indonesia, maka pada saat itulah nilai kehampaan mengendap dalam diri audiens. Audiens telah menjadi masyarakat konsumsi yang tiap langkah acap kali berkeinginan mengkonsumsi sesuatu yang baru. Sedangkan produsen telah menjadi penguasa atau kapitalis yang setiap detiknya kerapkali dihiasi dengan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 168 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 keuntungan dan kesenangan. Untuk meningkatkan keuntungan dan modal, para produsen berusaha merebut kekuatan dengan mengeksploitasi tubuh melalui produk fashion yang melekat pada tubuh itu sendiri. Popularitas tubuh yang dibangun secara global mengajak audiens untuk membayangkan sebuah Negara tertentu. Melalui popularitas tubuh putri Indonesia, amerika bisa membayangkan kebudayaan Indonesia, sebaliknya popularitas tubuh putri amerika, bisa membuat orang Indonesia membayangkan kebudayaan amerika. Besar tidaknya suatu bangsa tergantung pada sejauh mana semangat pembayang dibangun terhadap bangsa tertentu. Kembali pada ekspansi pasar,popularitas tubuh menjadi bagian dari praktik konsumsi yang kerap terjadi di era industrialisasi. Masyarakat yang melihat tayangan kontes kecantikan, secara tidak sadar dia digiring kealam bawah sadar melalui citra keindahan fashion, mode mode terbaru, poster tubuh dan sebagainya, sehingga dia ingin memiliki produk produk yang dipakai oleh sang kontestan. Proses industrialisasi inilah yang oleh Adorno disebut sebagai mass deception (penipuan massa), dimana masyarakat digiring kedunia kehampaan yang isinya hanyalah visualisasi citra citra yang menggiurkan dan menarik simpati masyarakat untuk mengikutinya. Saat ini masyarakat dalam membeli produk, tidak lagi melihat barangnya, melainkan pada mereknya. Ketika merek itu popular, maka dengan sendirinya klaim kebaikan, kesempurnaan tercipta. Ditengah kondisi kehampaan inilah, kapitalisme global semakin memperkuat citra tersebut sehingga menjadi mitos mitos global yang diyakini kebenaranya, dan mampu mendominasi budaya budaya local. Sehingga lambat laun masyarakat local, atau Indonesia menjadi pengikut setia kapitalisme global. Media Televisi Sebagai Agen Komodifikasi Ganda Komodifikasi citra citra yang dilakukan oleh para “agen agen kapital” tidak akan terealisasi dan terpublikasi tanpa adanya media yang memediasi antara produk komoditi dengan konsumen. Sebagaimana kita saksikan bersama, kontes kecantikan baik bertaraf nasional maupun internasional juga didukung dan disiarkan oleh televisi. Sebagai salah satu produk budaya visual televisi sangat berperan aktif dalam membangun mitos mitos atau citra citra tubuh. Dalam kacamata cultural studies, produksi media televisi dibingkai oleh makna dan ide pengetahuan yang di gunakan untuk produksi yang secara historis dianggap sebagai kemammpuan tekhnis, ideology professional, pengetahuan institusional, definisi dan asumsi tentang audiens, dan juga dalam bingkai konstitusi program sebagai struktur produksi20. Pandangan ini menyiratkan bahwa program televisi dibuat berdasar pertimbangan segmentatif, ideologis, dan juga kapitalis. Artinya tidak semua peristiwa disiarkan oleh televisi sebelum peristiwa mengalami proses signifikasi yang menguntungkan bagi televisi itu sendiri. John Fiske, memetakkan alur produksi

At-Turost: Journal of Islamic Studies 169 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 makna yang melibatkan televisi sebagai media komunikasi kedalam beberapa tahapan dibawah ini: Dalam konteks kontes kecantikan putri Indonesia, televisi telah melakukan proses komodifikasi dari pelbagai segmen, dan arah. Pertama, komodifikasi program televisi itu sendiri kepada khalayak, yang menuai keuntungan tinggi ketika semua penjuru daerah,bahkan dunia melihat tayangan tersebut dan mereka tertarik karena tayangan tersebut dianggap sebuah tayangan kebangsaan yang masing masing putri akan membawa nama baik negaranya masing masing. Kedua, komodifikasi produk produk fashion yang berupa pakaiaan dan kosmetik, yang melekat pada citra tubuh putri Indonesia. Ketika sang putri Indonesia terpilih, dan melanjutkan kepentas internasional, maka produk produk pakaian dan kosmetik yang digunakan akan semakin popular karena menunjukkan mutu, mode dan kualitas yang disajikannya, dan bisa dikatakan terbaik seluruh Indonesia, kerena telah lulus seleksi dari pertarungan kualitas dengan pelbagai produk pakaiaan dan kosmetik yang lain. Dari dua bentuk komodifikasi yang dilakukan oleh televisi, dapat dikatakan bahwa televisi dalam menayangakan kontes kecantikan putri Indonesia, dan penampilan putri Indonesia terpilih di ajang internasional, telah menuai keuntungan besar yang diperoleh dari sponsor, dan juga dapat hasil yang luar biasa dari garment pakaiaan dan kosmetik kecantikan. Selain itu televisi tersebut menjadi populer dan populis akibat tayangannya yang meneyebabkan mayoritas masyarakat Indonesia memilih program tersebut untuk dilihat dan diamati. Dikatakan demikian karena, tidak semua media televisi menayangkan kontes kecantikan putri Indonesia. Guna memberikan panduan kepada para audiens dalam menikmati tayangan televisi termasuk juga kontes kecantikan Indonesia, akan disajikan konsep encoding and decoding yang dirumuskan oleh Stuart Hall21. Pesan yang ada dalam media menurutnya mengalami rangkaiaan proses, yang diawali dengan produksi pesan. Artinya pesan diproduksi oleh pemilik, atau pekerja media. Hasil produksi pesan tersebut kemudian didistribusikan oleh pekerja media sesuai dengan segmentasi audiens. Setelah pesan itu didistribusikan, maka pesan tersebut diresepsi oleh khlayak. Hasil resepsi pesan tersebut kemudian ditafsirkan, dipikirkan, dan dikonsumsi sesuai dengan selera masing masing khlayak atau Hall menyebutnya sebagai use (pengguna pesan). Pada tahap use ini, muncullah pelbagai macam model dalam menerima dan menggunakan pesan tersebut. Hall membagi model tersebut menjadi tiga: a) conform, yaitu sebuah sikap penerimaan pesan yang dilakukan oleh masyarakat secara taken for granted. Artinya masyarakat tidak lagi berpikir tentang pesan tersebut yang penting dia mengikuti dan menerima apa adanya. Audiens dengan menggunakan model ini menerima dan mengikuti pesan pesan yang disampaikan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 170 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 dalam tayangan kontes kecantikan, tanpa mempedulikan dan mempertanyakan lagi pesan apa yang sebenarnya ingin dikatakan dalam kontes tersebut. Model ini biasanya kerap terjadi pada masyarakat awam yang hanya sebagai penikmat televisi. Dia menganggap informasi dan tayangan yang ada di televisi sebagai fakta yang mewakili kenyataan tentang kejuaraan kontes kecantikan sang putri Indonesia. Artinya, tampilan kontes tersebut memang benar benar menunjukkan prestasi anak bangsa tanpa memuat kepentingan kepentingan yang lain. b) opposited, yaitu sebuah penerimaan dan penggunaan pesan yang dilakukan untuk melakukan perlawanan terhadap pesan tersebut. Model ini kerapkali dilakukan oleh para elit, tokoh agama, kolompok keagamaan, yang memiliki kepentingan, dan bertentangan dengan pesan atau media tersebut. Dalam tayangan kontes kecantikan putri Indonesia, banyak para elit dan tokoh agama yang menolak dengan tayangan tersebut karena dianggap tidak etis dan tidak pantas menyandang perwakilan putri Indonesia.. Perlawanan ini terjadi karena audiens dan pemilik media memiliki prinsip, dan kepentingan yang berbeda. c) negosiated, yaitu sebuah pembacaan audiens terhadap pesan media yang dilakukan secara negosiatif-komunikatif. Audiens disini tidak menerima begitusaja pesan media, juga tidak menolaknya melainkan memanfaatkan pesan media tersebut untuk menyalurkan kepentingannya, dan meningkatkan popularitas dirinya. Audiens dengan model ini, oleh Giddens disebut sebagai agent yang menegosiasikan makna kepentingan dirinya dengan makna kepentingan pemilik media. Kesimpulan Dari hasil analisa diatas, dapat ditemukan bahwa dalam tayangan kontes kecantikan putri Indonesia, tubuh menjadi objek utama dalam perayaan citra citra yang didukung oleh asesoris yang melekat padanya. Dalam perayaan tersebut, terjadi pelbagai pertarungan makna yang oleh penulis ditengarai ada tiga “author”pemengang otoritas makna yang bertarung didalamnya, diantaranya adalah: pertama “otoritas makna” panitia pelaksana kontes kecantikan putri Indonesia yang dalam hal ini Yayasan Putri Indonesia. Otoritas ini dapat dibuktikan dari peraturan atau prasarat pemilihan putri Indonesia, dan otoritasnya dalam menentukan pemenang putri Indonesia. Kedua, “otoritas makna”pemilik garment fashion baik pakaiaan maupun produk kosmetik kecantikan, dan asesoris yang digunakannya. Ketiga, otoritas makna produsen televisi, yang dapat membentuk opini public tentang citra citra tubuh dan membuat audiens larut dalam program yang ditayangkan. Ketiga otoritas itulah yang mewarnai dan mengerakkan tayangan kontes kecantikan putri Indonesia,sehingga sampai saat ini kontes tersebut masih langgeng walaupun banyak menuai kritik. Oleh karena kontes kecantikan tersebut merupakan tindakan yang bermakna sebagai mana dijelaskan diatas, maka sebagai sebuah tindakan yang bermakna, tayangan tersebut bebas untuk kita

At-Turost: Journal of Islamic Studies 171 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 baca, kita jadikan teman kritis sehingga membuka ruang baru,rujukan baru, model baru, dan membuat relevansi baru sesuai dengan perkembangan zaman. Pernyataan di atas senada dengan pernyataan Ricoeur bahwa tindakan manusia merupakan karya terbuka yang dipersembahkan bagi siapapun yang membaca untuk melakukan interpretasi, dan signifikasi dengan tanpa merusak makna tindakan itu sendiri22. Sikap ini menurut penulis sangatlah tepat untuk mengeluarkan audiens dari penjara citra citra yang terdapat dalam sebuah teks atau tindakan, agar mereka tidak terjebak dan larut dalam pelbagai pertarungan otoritas makna, sehingga kesadaran manusia tetap terpelihara, dan secara bertahap akan melahirkan pembacaan pembacaan baru, dan penemuan penemuan baru.

Daftar Pustaka Walker, J. A & and Caplin, S. (1997). Visual Culture: An Introduction. New York: Manchester University Prees. Barthes, R. (1997). Rhetoric of The Image “Image, Music, Text. New York: Hill and Wang. Baudrillard, J. P. (2009). Masyarakat Konsumsi, terj. :Kreasi Wacana. Cavallaro, D. (2004). Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya, terj. Yogyakarta: Niagara. Fiske, J. (2006). Cultural and Communication Studies: Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta :Jalasutra, 2006 Gadamer, H. G. (1997). Philosophical Hermenutics. London: University of California Press. Marcus,H. (2001). Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta: Bentang,. Ricoeur, P. (2006). Hermeneutika Ilmu Sosial, terj. Yogyakarta:Kreasi Wacana. Ritzer, G. (2006). The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Atmajaya Press. Robertson, R. (1987). Globalization : Social Theory and Global Culture. London:Sage Publication. Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Storey, J. (1996). Culture Studies and Study of Popular Culture: Theories and Methods. Athens Georgia: Edinburgh University Press.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 172 At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.06 No.02, Agustus 2019 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

At-Turost: Journal of Islamic Studies 173