TESIS PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT,

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh :

FABIOLA SINTHYA SEITTE 076322002

UNIVERSITAS SANATA DHARMA PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA YOGYAKARTA 2009

ii

Prof. Dr. A. Supratiknya

Lembaran Pernyataan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Fabiola Sinthya Seitte, NIM: 076322002, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 11 Desember 2009,

Penulis

iii

iv

Motto

Takut akan Tuhan

adalah permulaan Pengetahuan,

(Amsal 1: 7a)

v

vi

Kata Pengantar

Ide penulisan tesis ini berawal dari rasa keprihatinan yang saya pendam dari Ambon terhadap nasib salah seorang adik (dan ribuan tenaga kerja lainnya) yang mengalami PHK pada pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Kabupaten Seram Bagian Barat. Rasa keprihatinan ini kemudian menjadi suatu hal yang menarik ketika saya diperhadapkan pada mata kuliah Marxisme. Ide ini kemudian oleh Pa‟ Budiawan diarahkan bukan pada masalah ketidakadilan yang dialami tetapi pada bagaimana para mantan pekerja ini bergulat dengan identitas-identitas mereka sebagai mantan pekerja pabrik maupun sebagai etnis mayoritas dan minoritas dalam sebuah kabupaten baru. Saya mengakui untuk sampai pada tahap ini, saya sangat tertolong oleh berbagai bantuan yang diberikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, secara pribadi saya ingin mengucapkan danke banya voor semua orang yang telah membantu saya selama saya berstudi di IRB yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Danke voor Direktur Program Pasca Sarjana, Kaprodi dan Wakaprodi IRB. Untuk semua dosen yang selama ini telah membekali saya dengan sejumlah ilmu, Pa‟ Nardi, Romo Bas, Bu‟ Katrin, Romo Moko, Pa‟George, Romo Hary Susanto, Mbak Devi dan Mbak Stefani, khususnya untuk Pa‟ Budiawan dan Pa‟ Anton Haryono yang begitu sabar membimbing saya serta mengajarkan saya banyak hal baik, termasuk secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh kalian. Bahkan penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan arahan kalian berdua. Untuk Romo Banar atas diskusi-diskusi menarik yang semakin menambah wawasan saya. Untuk mbak Hengki atas pelayanannya serta mas-mas dan mbak pada WS dan perpustakaan. Danke voor Ketua STAKPN Ambon, R. Souhaly, SH,MH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar, serta para Pembantu Ketua I,II dan III. Pemda Propinsi Maluku Bidang Kesra yang telah membantu dengan dukungan dana pada awal saya berstudi. Sesama rekan dari STAKPN Ambon di Jogja, Bapa Agus, Bu Angky, Usi Udi, Usi Ko, Usi Echi dan Ona, serta untuk Nn Venty atas semua bantuannya. Teman-teman IRB angkatan 2007, Vivin, Novel,

vii

Sansan, Tia, Uul, Anas, Karin, Trisno, Boy, Mas Dedy, Wahyu, khusus buat Bu Risma untuk dorongannya yang tak henti-hentinya. Danke voor Drs.Nataniel Elake, M.Si (Bu‟ Tanel) yang selalu memberikan bantuan setiap kali saya perlukan, bahkan untuk semua informasi yang diberikan termasuk membagi pengalaman selama berstudi di Makasar untuk saya. Semua kebaikan itu saya tidak bisa membalasnya, hanya doa yang dapat saya berikan semoga engkau tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Juga untuk para informan serta perangkat Desa Waisarisa dan staf kantor Bupati SBB yang telah memberikan sejumlah informasi yang saya butuhkan untuk kelengkapan penulisan ini. Khusus untuk Mas Yanto dan Usi Nonce atas kesediaan menjadi bapa dan mama piara saya selama penelitian di Waisarisa. Juga untuk Keluarga Kakisina di Piru, Bapa Agus, Mama Ati, Bu Ade dan Usi Moni yang selalu memberikan bantuan dan dukungan untuk saya. Juga untuk Keluarga Ahyate (Angky, Erna dan anak-anak). Untuk sahabatku Pdt. Lita Tuamely (ingatlah “viva forever together”), Jus Anamofa, Fani dan Wien, Plavius, Eby H serta semua teman-teman lain atas kebersamaan selama ini. Juga untuk Keluarga Anguarmase untuk bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Danke banya voor kakak-kakak dan adik-adikku, Bu Ampi, Usi Lisa, Ade Nova, O64N dan Bu Cila serta semua keponakanku, Icky, Ge, Bapin, Adri (Topilus), Dave (Rambo), Dinda, Ona Kety atas semua bantuan dan dorongan semangat yang tak terkira, terutama dalam mengurus kedua buah hatiku serta menjadi teman bermain mereka. Keluarga besar Seitte-Frans (khusus untuk Opa Cada) dan keluarga Lekitoo (Mama Yo dan Son), Keluarga Suryaman serta Nn Ema T. Natalis Mathias Lekitoo, suamiku tercinta serta kedua buah hatiku, Jovi dan Ona Tasya, atas semua pengorbanan yang diberikan selama ini, untuk doa yang tak henti-hentinya, untuk cinta dan kepercayaan yang berwujud pada kerelaan kalian mengizinkan mama pergi belajar jauh di tana orang, untuk celoteh yang menguatkan ketika kerinduan menyergap hati bahkan untuk kesabaran kalian menanti mama pulang. Pada akhirnya kesuksesan ini merupakan buah dari pengorbanan kalian.

viii

Papa Agus dan Mama Sien Seitte, nama kalian yang saya cantumkan terakhir dalam lembaran ini, bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran dan pengorbanan kalian tapi saya tetap meyakini bahwa yang terakhir akan menjadi yang pertama. Karena itu kalian adalah orang pertama dalam hati saya. Karena kalianlah saya ada. Untuk semua keringat, doa dan air mata yang kalian taruhkan hanya untuk hidup anak-anakmu. Semuanya tidak akan sia-sia, teriring doa yang tulus, semoga Tete Manis mau kasih umur panjang voor papa deng mama supaya tetap menjadi sombar untuk anak- cucu.

ix

ABSTRAK

Setelah terjadi reformasi, otonomisasi daerah seakan-akan memberikan peluang bagi daerah-daerah untuk berkembang. Dari sisi jumlah, terjadi peningkatan jumlah propinsi diikuti dengan peningkatan kabupaten kota dan kecamatan-kecamatan yang merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya pemekaran. Dari aspek tujuan, pemekaran bertujuan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan- pembangunan diberbagai bidang. Tapi Otonomi daerah yang berwujud pada pemekaran wilayah menyisakan banyak persoalan. Daerah-daerah yang merasa tidak puas beramai-ramai menuntut mekar lepas dari kabupaten atau propinsi induk dengan harapan dapat mengatur diri sendiri. Pemekaran daerah juga setidaknya ikut memberikan harapan bagi masyarakat di daerah mekaran baru, khususnya akses ke sumber-sumber daya publik. Etnis yang termarjinalkan mulai bangkit dan memperjuangkan hak-haknya. Terjadi tegangan antara para pendatang dan putera daerah. Masalah tegangan antara para pendatang dan putera daerah juga terjadi pada Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Perebutan sumber-sumber daya publik pasca pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah arena pertarungan identitas “asli” dan bukan. Isu pengutamaan putera daerah yang beredar bersamaan dengan perjuangan pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah harga mati. Putera daerah mengklaim hak mereka pada sumber-sumber daya publik. Tesis ini bermaksud menunjukkan bahwa motivasi pemekaran kabupaten Seram Bagian Barat untuk kepentingan masyarakat, yakni agar masyarakat SBB dapat menikmati pembangunan yang setara dengan daerah-daerah lainnya. Selain itu motif lainnya adalah memperjuangkan nasib putera daerah yang setiap kali harus kalah dan tersingkir dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Namun motivasi motivasi terselubung yang dibawa oleh masing-masing tokoh pemekaran justru menjadikan putera daerah berada pada tingkatan yang sama dengan para pendatang. Identitas sebagai yang asli/lokal bukan menjadi sebuah jaminan kesuksesan dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Putera daerah pada

x

akhirnya harus mengalami hal yang sama ketika masih berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Masyarakat Waisarisa yang adalah mantan pekerja pabrik turut merasakannya. Bagi mereka ketika bersama dalam perebutan sumber daya publik, sesama mantan pekerja pabrik yang merupakan etnis lain dianggap merupakan saingan. Tetapi ketika mereka sama-sama gagal dalam perebutan sumber daya publik tersebut, kebersamaa mereka wujudkan dalam kehidupan yang harmonis sebagai sesama mantan pekerja pabrik.

xi

Daftar Isi

Halaman Judul ……………………………………………………....………i Lembar Persetujuan ....…..…………………………………………....…...…ii Lembar Pengesahan ...... iii Lembar Pernyataan ...... iv Lembar Motto …....……………………………………………………...... v Kata Pengantar ………………………………………………………....……..vi Abstrak ……………...……………………………………..………….....…..ix Daftar Isi ……………………………………………………………....……...xi Bab I. Pendahuluan 1. Latar Belakang ..…… …………………....……………....…...1 2. Perumusan Masalah ...... …………………….....……...5 3. Tujuan Penelitian .……...... ………………………....……...6 4. Kerangka Konseptual ....……………………………....…....6 5. Tinjauan Pustaka ...... 13 6. Metodologi Penelitian ...... 17 7. Sistematika Penulisan ...... 20 Bab II. Seram Bagian Barat: Geografi, Demografi dan Mitos-Sejarah 1. Pengantar ...... 21 2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat ...... 24 A. Letak Geografis ...... 24 B. Kondisi Demografi ...... 26 C. Sumber Daya dan Pembangunan ...... 29 3. Sejarah Lokal Masyarakat Seram Bagian Barat ...... 31 A. Mitos Yang Berkembang Dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat ...... 33 B. Masa Kolonial Belanda ...... 38 4. Sejarah Panjang Yang berujung Pada Pemekaran ...... 41 5. Catatan Penutup ...... 43 xii

Bab III. Menuju Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian Barat: Proses Politik dan Proses Administif 1. Pengantar ...... 45 2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat ...... 47 A. Di Awal Perjuangan ...... 49 B. Pemekaran Kabupaten Baru ...... 51 C. Alasan-alasan di balik Usulan Pemekaran ...... 57 3. Catatan Penutup ...... 64 Bab IV. Pergumulan Kabupaten Baru dan Politik Identitas 1. Pengantar ...... 66 2. Mengenal Masyarakat Waisarisa A. Geografis dan Demografis ...... 69 B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa ...... 71 3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik ...... 72 4. Proses Pengidentifikasian Diri „Lokal/Asli‟ dan „Pendatang (Orang dagang) „ ...... 75 A. Penduduk „Lokal/Asli‟ ...... 76 B. „Pendatang‟ ...... 78 5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik ...... 84 6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan hidup ...... 91 A. Berjuang Untuk Hidup ...... 91 B. Kesamaan Identifikasi Diri ...... 94 7. Catatan Penutup ...... 95 Bab V. Penutup ...... 98 Daftar Pustaka ...... 105 Lampiran-lampiran

xiii

BAB I

P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang

Sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan, banyak pengamat menyatakan bahwa Indonesia memasuki suatu era baru dalam bidang pemerintahan, yakni dari pemerintahan yang tersentralisasi ke pemerintahan yang terdesentralisasi. Artinya, daerah di beri kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dirinya sendiri (otonom). Ini jelas terlihat dengan adanya undang-undang otonomi daerah, walaupun garis pemisah tentang tanggung jawab dan klaim-klaim antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum begitu jelas1.

Sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, Propinsi Maluku yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga kabupaten dan satu kotamadya, dimekarkan menjadi 9 kabupaten, 2 kota dan 1 propinsi baru yakni Maluku Utara.

Pemekaran wilayah-wilayah ini cukup membawa dampak bagi kehidupan masyarakat di daerah-daerah hasil pemekaran, terutama berkaitan dengan distribusi akses terhadap sumber-sumber daya publik. Ini dikarenakan tingginya angka pengangguran akibat konflik yang melanda propinsi ini beberapa waktu sebelumnya. Pengangguran di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mencapai

120.000 orang atau 13, 34% dari angkatan kerja. Jumlah ini meningkat di tahun

2001 mencapai 17,40%, jumlah ini kemudian mulai menurun, seiring mulai membaiknya kondisi keamanan. Sampai akhir tahun 2003, pengangguran

1 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, , Jakarta, KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.13. mencapai 15,43% dari jumlah usia kerja. Pada Desember 2004, Tingkat

Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebanyak 505.296 orang dengan penggangguran hampir mencapai 76.000 orang atau sekitar 15%.2 Jumlah ini perlahan-lahan mulai turun namun jumlah pengangguran termasuk kategori cukup tinggi dibandingkan yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lainnya.

Masalah perebutan akses sumber-sumber daya publik juga melanda

Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Di kabupaten ini bukan hanya berdiam masyarakat lokal SBB serta orang Maluku sendiri, tetapi juga etnis lain dari luar

Maluku. Adanya etnis lain yang berdiam di daerah ini karena bermacam-macam alasan. Alasan terbesar adalah mengikuti program pemerintah Orde Baru, yakni transmigrasi nasional. Kehadiran etnis lain di daerah ini pada awalnya tidak bermasalah. Antara penduduk lokal dengan pendatang hidup saling berdampingan.

Demikian pula dengan apa yang terjadi di „negeri‟3 Waisarisa. Waisarisa adalah satu daerah di wilayah kabupaten SBB dengan komposisi penduduk yang sangat beragam karena adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti

Group. Pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja yang bukan hanya etnis SBB atau Maluku, tetapi juga banyak dari etnis Jawa, Toraja, Minahasa, dll. Mereka yang berasal dari etnis luar Maluku, terutama Jawa dan Toraja, didatangkan secara besar-besaran dengan menggunakan sistem angkatan kerja. Ketika mereka tiba

2 www.detiknews.com/ dan www.disnakertrans-jateng.go.id/ , tanggal 2 April 2009 dan www.hamline.edu/apakhabar/ dan http//74.125.153.132/ tanggal 27 Oktober 2009. 3 Negeri merupakan sebutan umum untuk desa di Maluku. Ketika pemerintahan orde baru, negeri- negeri di Maluku mengalami perubahan nama menjadi desa dan sistem pemerintahannya pun diseragamkan dengan desa-desa di Jawa.. 2

untuk pertama kalinya, tidak pernah ada rasa iri dan perasaan tersaingi dari penduduk lokal. Selain itu, karena merupakan tenaga kerja yang khusus didatangkan dari luar Maluku oleh perusahaan, maka keberadaan mereka sangat dilindungi oleh pihak perusahaan yang bersangkutan. Lagipula keberadaan mereka di sana hanya untuk bekerja, bukan untuk hal-hal lain yang dapat menyusahkan kehidupan mereka bersama.

Kemp-kemp yang disediakan pihak perusahaan dihuni bersama-sama baik etnis lokal maupun pendatang. Dalam kehidupan bersama ini terjadi perjumpaan multietnik dan multikultural. Ketika konflik Ambon yang mengedepankan isu agama terjadi, daerah Waisarisa boleh dikatakan tidak terjamah sama sekali.

Masyarakat telah belajar dari perjumpaan-perjumpaan yang terjadi, sehingga konflik relatif dapat dihindari.

Dengan kondisi keamanan yang mulai membaik, undang-undang otonomi daerah mulai diberlakukan. Atas perjuangan tokoh-tokoh masyarakat, lahirlah kabupaten-kabupaten baru. Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini membawa harapan baru tentang akan adanya perbaikan dalam setiap bidang kehidupan buat masyarakat yang bermukim di daerah hasil pemekaran tersebut. Salah satunya adalah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang beribukota di Piru, yang disahkan dengan UU No. 40 Tahun 2003. Kasus inipun terjadi pada kabupaten ini

(SBB). Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini selalu diikuti dengan perekrutan tenaga kerja baru pada instansi pemerintah kabupaten dalam jumlah besar. Wacana yang berkembang sebelum pelaksanaan proses seleksi penerimaan pegawai adalah pengutamaan “anak daerah”4 dan bukan “orang dagang”5. Walaupun sudah hidup

4 Istilah ini artinya sejajar dengan putera daerah 3

bertahun-tahun di Maluku bahkan di SBB, para pendatang tetap dianggap orang luar. Dengan kata lain berhembusnya isu ini seakan-akan menutup peluang bagi etnis lain dari luar SBB, bahkan dari luar Maluku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Proses perjumpaan yang telah terjadi bertahun-tahun seolah-olah tidak lagi diperhitungkan. Perbedaan etnis menjadi isu utama dalam seleksi penerimaan PNS bukan perbedaan agama dan keyakinan.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh warga Waisarisa.

Tes yang pertama kali dilakukan diikuti oleh ribuan pelamar, termasuk orang- orang Waisarisa yang pada saat itu masih berstatus sebagai karyawan PT. Jayanti grup. Bukan hanya anak daerah yang berlomba-lomba, tetapi juga menarik minat orang-orang dari luar SBB. Ada rasa optimis “anak daerah” SBB bahwa mereka akan diterima sebagai PNS. Tapi kenyataan yang terjadi di luar dugaan mereka.

Dari hasil yang diumumkan, muncul nama-nama yang berasal dari luar SBB. Hal ini tentu saja membawa rasa kecewa di kalangan orang Waisarisa. Mereka beranggapan bahwa sebagai orang Seram dan putera daerah SBB, mereka lebih berhak atas sumber-sumber daya publik tersebut daripada orang-orang luar. Rasa kekecewaan semakin diperkuat ketika pada tahun 2006 pabrik mengadakan PHK besar-besaran terhadap dua ribu lebih karyawannya dan disusul dengan penutupan pabrik itu pada tahun berikutnya. Mereka menilai pemerintah seakan-akan menutup mata terhadap nasib mereka.

5 Istilah ini selalu dikenakan kepada orang asing atau bukan penduduk asli setempat yang berdiam ditengah-tengan penduduk asli. Misalnya saja orang Waisarisa menyebut orang dari etnis luar yang berdiam ditengah-tengah mereka dengan sebutan ini. Istilah ini bukan saja ditujukan pada orang- orang dari luar propinsi Maluku tetapi juga kepada sesama orang Maluku, yang berlainan pulau maupun negeri/kampung. 4

Dengan gambaran di atas, identitas seseorang kembali dipertanyakan.

Sebelum pemekaran wilayah tidak ada wacana penguatan identitas etnis. Tetapi setelah pemekaran wilayah, penguatan identitas etnis ini kemudian dimunculkan dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Fenomena inilah yang akan saya kaji.

2. Perumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang diatas maka pertanyaan masalah yang muncul adalah: Sejauh mana politik identitas berperan dalam perebutan sumber-sumber daya publik paska pemekaran wilayah di kabupaten Seram Bagian Barat?

Pertanyaan umum tersebut diuraikan kedalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana etnis “pendatang” dan etnis “lokal” saling memandang?

Bagaimana masing-masing mendefinisikan identitas mereka?

2. Bagaimana pandangan etnis “pendatang” dan etnis “lokal” terhadap isu

“putra daerah” yang digulirkan dalam proses penerimaan Calon Pegawai

Negeri Sipil pasca pemekaran?

3. Bagaimana identifikasi diri yang dibangun oleh orang Waisarisa (pendatang

maupun lokal) dalam menjembatani penguatan-penguatan identitas etnis

pasca seleksi CPNS?

3. Tujuan Penelitian

5

Dengan melihat gambaran permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan proses politisasi identitas pasca pemekaran kabupaten baru.

2. Mengungkapkan fungsi politisasi identitas dalam proses perebutan

sumber- sumber daya publik.

4. Kerangka Konseptual Ketika pada akhirnya pemerintah pusat menyetujui usulan pemekaran

Kabupaten Seram Bagian Barat dengan UU No.40 tahun 2003, ada rasa lega yang tersirat dari ungkapan-ungkapan oleh orang-orang yang berasal dari Seram Bagian

Barat. Rasa lega itu dikaitkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan, “Syukurlah, dengan berdiri sendiri maka setidaknya anak-anak daerah SBB punya peluang besar untuk mendapat pekerjaan di negeri sendiri”. Demikianlah ungkapan seorang ibu asal SBB bahkan mungkin orang-orang SBB lainnya. Sekali lagi kata anak daerah ini patut digarisbawahi. Ungkapan “anak daerah” telah menjadi kata kunci bagi orang-orang yang merasa berasal dari Seram Bagian Barat (SBB). Ini merupakan pembeda mereka yang mengaku berasal dari SBB dengan orang lain yang bukan berasal dari SBB berdasarkan nama keluarga (fam)6 yang diwariskan.

Anak daerah dan nama keluarga (fam) merupakan dua hal yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan berkaitan erat dengan masalah yang terjadi di kabupaten baru hasil pemekaran. Kedua hal ini juga yang menjadi instrumen pengidentifikasian diri. Menurut Stuart Hall, pada dasarnya identitas

6 Kata ini sengaja penulis cetak miring. Fam bagi orang Maluku merupakan sebutan untuk nama keluarga/marga, dan masing-masing etnis Maluku memilikinya dibelakang nama depannya, misalnya nama keluarga yang penulis pakai. 6

selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris, karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.7 Artinya, identitas seseorang dapat merepresentasikan banyak hal dan oleh karena itu tidak tunggal serta selalu berproses. Identitas itu bersifat cair, ia akan berubah ketika situasi yang dihadapi berbeda pula. Dengan banyak komponen itulah maka kita dapat menggambarkan diri kita dan orang lain sehingga dapatlah dikatakan bahwa identitas menurut Hall selalu bersifat relasional. Defenisi tentang “diri” itu selalu terkait dengan siapa yang dilihat/dibayangkan sebagai yang “lain”.

Sejalan dengan pikiran Hall, Robin Tolmach Lakoff menyatakan bahwa identitas manusia adalah sebuah „proses‟ yang dikonstruksi dan dapat berubah oleh pengalaman hidup. Identitas dikonstuksi lewat sebuah cara yang sangat kompleks dengan maupun tanpa kesadaran. Dalam beberapa kasus, ia menyatakan bahwa identitas sama dengan proses pengidentifikasian seseorang terhadap keanggotaan dari komunitasnya.8 Dengan melihat pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Hall dan Lakoff memiliki pandangan bahwa identitas itu disamakan dengan pengidentifikasian diri dan melewati sebuah proses yang dikonstruksi berulang- ulang oleh pengalaman yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, bagi Hall dan

Lakoff, identitas itu bersifat cair. Seperti yang diungkapkan oleh Kobena Mercer bahwa identitas itu merupakan sebuah kata kunci dalam perkembangan politik, bahkan kata identitas juga bisa ditafsirkan dalam makna yang berbeda maupun

7 Stuart Hall, “Old and New Indentities, Old And New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed), Culture, Globalization And The World-System, Binghamton ,The Macmillan Press Ltd, 1991, hlm. 49. 8 Robin Tolmach Lakoff, “Identity: „You Are What You Eat”, dalam Anna de Fina, dkk (ed) Discourse and Identity, Crambridge, Cambridge University, 2006, hlm. 142-143. 7

sama tergantung siapa pelakunya.9 Artinya, bahwa identitas bersifat cair karena ia bebas diartikan oleh siapa saja tergantung kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial pun terbentuk bila seseorang menggunakan identitas etnisnya dalam mengkategorikan/mengidentifikasi dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi.10

Pada kasus Waisarisa, asumsinya adalah bahwa yang dipakai sebagai tanda identifikasi diri adalah nama keluarga (fam). Tanda ini akan dipakai jika berkaitan dengan upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Lain lagi jika masalah yang dihadapi secara komunal sebagai sebuah masyarakat (sosial) bekas pekerja, tentunya indikator pengidentifikasian diri itupun berbeda pula. Misalnya saja yang dipakai adalah buruh pabrik yang terkena PHK gelombang pertama dan kedua atau kelompok kerja pada bagian alat berat di pabrik. Akhirnya dapat dikatakan bahwa nama keluarga (fam) yang dipakai sebagai penanda hanya merupakan salah satu dari begitu banyak penanda-penanda yang lain misalnya etnis, agama, pekerjaan, dll.

Dalam pengidentifikasian diri yang menggunakan nama keluarga (fam), orang selalu mengaitkannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik untuk membedakan yang asli dan pendatang. Banyak contoh menunjukkan bahwa nama keluarga (fam) ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut etnis. Etnis pendatang dan etnis lokal itu yang selalu bergaung setelah pemekaran kabupaten

Seram Bagian Barat. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan dengan etnis itu sendiri?

9 Kobena Mercer, “1968”:Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed), Cultural Studies, New York & London, Roudledge, 1992, hlm. 424. 10 Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, Bergen and London, Universitets Forlaget and George Allen & UNWIN, 1970, hlm.14. 8

Menurut Anthony D. Smith, etnis atau komunitas etnis dapat diartikan sebagai penamaan populasi manusia yang memiliki mitos, sejarah dan budaya yang sama, memiliki tanah tumpah darah (homeland) dan memiliki rasa solidaritas11.

Dengan demikian komunitas ini juga lebih mengacu pada sistem primodial yang telah berlangsung lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar bahwa pada dasarnya suatu kelompok etnis memiliki enam sifat dasar diantaranya adalah memiliki nama khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat serta terikat dengan tanah tumpah darah.12 Mengacu pada kedua pendapat ini maka, mereka yang mengaku sebagai anak daerah Seram Bagian Barat merasa bahwa mereka adalah etnis Seram Barat karena mereka memiliki nama keluarga dan mitos terutama tentang tiga batang air/aer: Tala (Kecamatan ), Eti (Kecamatan

Seram Barat) dan Sapalewa (Kecamatan ), sejarah dan budaya yang sama, tanah tumpah darah (homeland) yang telah berdiri menjadi daerah otonom. Dari sinilah rasa solidaritas sebagai orang Seram Bagian Barat dibangun. Dengan demikian ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber-sumber daya publik, etnis SBB mulai membangun benteng pertahanan dengan isu putera asli daerah.

Asumsinya bahwa dengan adanya isu ini memungkinkan putera-puteri daerah memiliki kesempatan besar dalam perebutan sumber-sumber daya publik.

Ketika telah berdiri menjadi sebuah kabupaten yang mandiri, dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik tersebut, masalah identitas mulai mencuat.

Seiring dengan berjalannya waktu, kontestasi politik lokal yang mengetengahkan isu identitas kembali dimunculkan. Politik identitas ini seakan-akan merupakan

11 Anthony D. Smith, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat Guibernau dan John Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge, Polity Press, 1997, hlm.27 12 H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT.Rineka Cipta, 2007, hlm.6. 9

jalan terakhir dalam perebutan lapangan pekerjaan. Politik identitas itu mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.13

Mengacu pada kasus Waisarisa dimana banyak penduduknya berasal dari luar Seram, maka hal ini tentulah dapat dipahami. Mereka yang merasa sebagai orang lokal/putera asli daerah mengklaim bahwa mereka lebih berhak bekerja di negeri mereka sendiri ketimbang etnis/orang lain. Asumsi mereka adalah bahwa negeri mereka akan maju jika dipimpin oleh orang-orang mereka sendiri. Sejalan dengan itu Gustiana Kambo, mengutip Halls dan Gay, mengatakan bahwa politik identitas merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya sering disembunyikan, ditekan, diabaikan baik oleh kelompok dominan yang terdapat dalam sebuah sistem demokrasi liberal atau oleh agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi yang lebih progresif.14

Mengacu pada pendapat tadi pertanyaan yang muncul adalah apakah memang selama ini orang/etnis Seram Bagian Barat merasa selalu menyembunyikan identitas kolektifnya, karena selalu ditekan dan diabaikan oleh etnis lain yang dominan? Bukankah politik identitas selalu dikaitkan dengan sentimen primordialisme? Sentimen primordialisme bukan hanya berbicara tentang diri sendiri atau siapa kami, tetapi juga cenderung untuk melihat relasi kekuasaan terutama berkaitan dengan siapakah yang dianggap “the other”. Bagi

13 Ari Setyaningrum, „Memetakan lokasi Bagi Politik Identitas dalam Wacana Politik Poskolonial‟, Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, 2005, hlm.18. 14 Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008. 10

penduduk “asli” Waisarisa, ketika masih sama-sama bekerja di pabrik, mungkin ia tidak merasa bahwa sesama pekerja etnis pendatang adalah “orang lain”, tetapi ia menjadi “orang lain“ ketika konteks yang dihadapi mulai berubah, sama-sama dalam urusan memperjuangkan hidup.

Masalah etnisitas telah menjadi sebuah hal penting dalam membicarakan berbagai fenomena di seputar masalah otonomi daerah. Otonomi daerah selalu dikaitkan dengan kebijakan daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep otonomi daerah pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa sendiri.15 Secara normatif otonomi daerah lebih menekankan aspek kemandirian daerah dalam mengurus dirinya sendiri, tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Otonomi daerah memicu terjadinya pemekaran wilayah-wilayah. Pemekaran wilayah sendiri merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan.16 Sejalan dengan pemikiran itu, Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken menyatakan bahwa pemekaran daerah merupakan sebutan untuk subdivisi distrik-distrik dan provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.17 Dari kedua pendapat ini terlihat bahwa yang menjadi alasan adanya pemekaran sebuah daerah baru bukan cuma keinginan mengatur dirinya sendiri, tetapi secara administratif lebih mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

15 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm.7. 16 Yadi Surya Diputra, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa”, makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008, hlm.11 17 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, op.cit, hlm.25. 11

Bagi masyarakat Seram Bagian Barat, menjadi sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten induk, secara administratif sangat mempermudah mendapatkan pelayanan birokrasi, karena jarak yang harus ditempuh tidaklah jauh dibandingkan ke , ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Jarak antara Kairatu

(kecamatan SBB yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah) kurang lebih sekitar 148 km18, belum lagi dengan kecamatan-kecamatan yang tidak berbatasan langsung. Selama ini untuk mengurus keperluan administrasi maka orang dari Seram Bagian Barat harus ke Masohi. Secara geografis, jarak yang harus ditempuh cukup jauh dengan kondisi jalan raya yang rusak cukup parah sehingga memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu prasarana jalan raya ini tidak langsung menghubungkan beberapa daerah dengan Masohi disebabkan kondisi geografis yang tidak memungkinkan, belum lagi sarana transportasi yang sulit menyebabkan pengurusan bisa memakan waktu berhari-hari dan mahal. Jadi, alasan pemekaran ini bukan karena masalah perbedaan etnis semata, tetapi lebih pada alasan pelayanan atministratif yang lebih efisien. Dengan kata lain, untuk mempersempit rentang kendali pemerintahan.

5. Tinjauan Pustaka

Ketika berbicara tentang otonomisasi daerah yang berwujud pada pemekaran wilayah, pemikiran kita akan dibawa pada adanya kemandirian dan desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi ini maka daerah mendapat kewenangan yang lebih besar untuk mengatur jalannya roda pembangunan di daerah bersangkutan. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan baik pribadi

18 http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008. 12

maupun berkelompok untuk melihat persoalan yang terjadi di seputar otonomisasi daerah. Mulai dari perlunya merevisi UU Otonomi Daerah yang selama ini telah digunakan sampai pada masalah kontestasi politik lokal.

Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa masalah otonomisasi daerah selalu ditinjau dari aspek yuridisnya (Lili Romli,2007; Ni‟matul

Huda,2007), tetapi ada beberapa tulisan yang berbicara dari sisi kontestasi politik lokal, misalnya tentang bagaimana para elit lokal mulai melebarkan pengaruhnya untuk turut mengambil bagian dalam setiap proyek daerah paska otonomisasi (John

F. McCarthy, 2007; Erwiza Erman, 2007; Akiko Morishita, 2006, dll). Dari sisi kontestasi politik ini ada beberapa orang yang sudah mulai berbicara tentang politik identitas (Yadi Surya Diputra, 2008; Gustiana A. Kambo, 2008; Carole Foucher,

2007; Myrna Eindhoven,2007). Tulisan-tulisan mengenai otonomisasi daerah dan kaitannya dengan politik identitas ini semuanya sangat menarik karena kasus yang dihadapi oleh setiap daerah berdasarkan hasil penelitian ini hampir sama. Alasan sebuah daerah ingin mekar atau terlepas dari daerah induk (entah propinsi atau kabupaten), selalu dikaitkan dengan identitas etnis dan rasa termarjinalkan dalam bidang sosial maupun bidang ekonomi oleh etnis “dominan”.

Dalam tulisan Myrna Eindhoven misalnya, alasan terpisahnya kepulauan

Mentawai sebagai sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten Padang Pariaman di daratan Sumatera disebabkan kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten

Padang Pariaman yang berada di daratan Sumatra terhadap pembangunan di kepulauan ini. Selain itu juga adanya diskriminasi agama yang dimunculkan sebagai sebuah persyaratan, yakni dengan adanya peraturan daerah yang

13

mengharuskan para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus beragama

Islam.

…Selain itu, untuk bisa melamar menjadi pegawai negeri, ada syarat yang bersangkutan harus orang Muslim, dan hal ini membuat sebagaian besar orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi-posisi di pemerintahan. Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20, mayoritas orang Mentawai sekarang memandang Kristenitas sebagai bagian integral dari identitas mereka. Meskipun begitu, ada beberapa kasus yang diketahui ketika orang-orang Mentawai beralih memeluk agama Islam atau setidak-tidaknya mengubah nama Kristen menjadi nama Islam-agar bisa memenuhi syarat sebagai pegawai negeri.19

Hal ini menyebabkan etnis Mentawai merasa terpinggirkan karena mayoritas beragama Kristen. Seiring dengan masalah tersebut identitas yang dipolitisir ikut menentukan dalam pengambilan kebijakan tentang kepemimpinan “putra daerah”.

Tulisan Gustiana A. Kambo juga mencirikan hal yang sama yakni adanya ketidakpuasan etnis Mandar yang merasa didominasi oleh etnis Bugis. Padahal etnis Mandar merasa memiliki sejarah kolektif tentang asal usul dan keberadaan mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan bahwa politik perbedaan (politik identitas) antaretnik di Sulawesi Selatan didasarkan atas dominasi etnik dominan

(Bugis) atas kelompok minoritas dan marginal (Mandar). Dengan alasan inilah mereka lepas dari Propinsi Sulawesi Selatan dan membentuk Propinsi Sulawesi

Barat.20

Dari kedua kajian di atas dapat kita lihat betapa identitas dapat menjadi sebuah kekuatan untuk menentukan nasib sendiri lewat pemekaran sebuah daerah

19 Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan YOI, 2007, hlm.92. 20 Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008. 14

baru. Artinya, identitas etnis dan atau agama telah menjadi alasan utama pemekaran. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh

Kabupaten Seram Bagian Barat. Isu tentang perbedaan etnis bukan menjadi alasan mendasar pemekaran. Isu identitas etnis baru dimunculkan setelah terjadi pemekaran dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik antara etnis “asli” dan “pendatang” (orang dagang). Bagi orang Maluku sendiri, penyebutan seseorang dengan istilah “orang dagang” bukan cuma ditujukan bagi orang-orang yang berasal dari etnis di luar Maluku (etnis Jawa, Buton, Bugis-Makasar, dll).

Sebutan ini juga dikenakan bagi orang-orang Maluku sendiri yang berasal dari bahkan pulau bahkan negeri yang berbeda.21 Misalnya, orang memanggil orang-orang Seram atau orang Kei dengan sebutan ini (baca: orang dagang). Hal ini pun terjadi di Waisarisa yang dihuni bukan saja oleh penduduk lokal, tetapi oleh berbagai suku bekas pekerja pabrik. Seorang mantan pekerja yang berasal dari desa

Allang dan menikah dengan perempuan Waisarisa, oleh keluarga istrinya tetap disebut orang dagang.22 Identitas menjadi salah satu variabel kunci. Penduduk lokal (asli Waisarisa dan Seram Bagian Barat) akhirnya menggunakan variabel kunci ini sebagai justifikasi untuk dapat menjadi CPNS bahkan PNS.

Selain hal itu, yang menarik dari daerah Seram Bagian Barat khususnya

Waisarisa adalah bahwa daerah ini tidak terjamah konflik sama sekali sehingga ketika terjadi pemekaran wilayah, agama bukanlah sebuah alasan yang cukup penting untuk membedakan yang lokal dan pendatang. Hal ini disebabkan karena

21 Maluku merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 972 pulau, dengan Pulau Seram sebagai pulau terbesar (Sumber: Asisten I Sekda Maluku 2007, http://www.malukuprov.go.id/) tanggal 12 Desember 2008. 22 Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja pabrik berinisial AS, tanggal 13 Januari 2009. 15

dalam kehidupan masyarakat pada umumnya terjadi pembauran, dimana tempat tinggal tidak berdasar pada agama yang dipeluk. Hal ini berbeda dengan negeri- negeri lainnya di Maluku, terutama pasca-konflik Ambon.23

6. Metodologi Penelitian

A. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

kasus, dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni:

1. Observasi lapangan dengan mengamati langsung kehidupan

penduduk Waisarisa baik orang lokal maupun pendatang yang

sampai saat ini masih bertahan di kemp perusahaan serta wacana-

wacana seputar pemekaran wilayah.

2. Wawancara; teknik ini diharapkan dapat menggali sejumlah

informasi penting melalui interaksi dengan para informan.

3. Pendalaman berbagai dokumen tertulis untuk mendapatkan

gambaran tentang sejarah adat masyarakat SBB sampai pada upaya-

upaya pemekaran dan seputar politisasi identitas dalam perebutan

sumber-sumber daya publik.

23 Pada umumnya negeri-negeri di Maluku, memiliki pemeluk agama yang homogen. Artinya bahwa sebuah agama menjadi agama tunggal di sebuah negeri tertentu pula sehingga ketika menyebut sebuah nama negeri maka orang akan langsung tahu agama yang dianut oleh masyarakat negeri tersebut. Misalnya negeri Kamariang, orang langsung tahu bahwa ia merupakan sebuah negeri Kristen sedangkan Mamala, orang langsung tahu bahwa itu adalah negeri Islam. Kalaupun pada akhirnya ada dua negeri yang memiliki kesamaan nama mungkin karena adanya pertalian darah antara leluhur negeri-negeri tersebut (ade-kaka) maka akan ada penambahan nama berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat negeri tersebut, misalnya negeri Sirisori Sarane (Sirisori Kristen) dan Sirisori Salam (Sirisori Islam). Agama Islam telah lebih dulu ada dibandingkan agama Kristen. Agama tersebar lewat jalur perdagangan yang dikembangkan oleh para pedagang dari Jawa dan Gowa (Sulawesi Selatan) dan juga pengaruh dari kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku Utara. Sedangkan agama Katolik dan Protestan disebarkan oleh bangsa Portugis dan Belanda yang cukup giat mengadakan pengkristenan terhadap negeri-negeri yang pada awalnya telah beragama Islam. 16

Kombinasi ketiga teknik pengumpulan data ini digunakan untuk

mendapatkan data yang tidak dapat digali dari satu teknik tertentu.

B. Yang menjadi informan adalah penduduk Waisarisa baik pendatang maupun

lokal, yang telah memiliki pekerjaan maupun belum, teristimewa mantan

tenaga kerja pabrik kayu lapis, aparat pemerintahan setempat (bisa dari

negeri Waisarisa maupun dari pemerintah kabupaten). Hal ini guna

mendapat data yang akurat tentang pemekaran dan implikasinya pada

politisasi identitas. Selain dari masyarakat Waisarisa dan pemerintah,

penulis juga berupaya mendapat data dari beberapa orang tua asal SBB

guna penyempurnaan data mengenai sejarah adat masyarakat SBB. Penulis

merasa tertarik menulis tentang kondisi kabupaten baru ini karena walaupun

sebagai etnis Seram Bagian Barat yang tidak pernah merasakan pahit

getirnya hidup di negeri asal, kondisi pasca pemekaran ini dengan berbagai

permasalahan yang terjadi menimbulkan pertanyaan besar tentang politik

identitas yang sedang dipraktekkan. Walaupun para informannya sebagian

berasal dari etnis lain, penulis tetap pada posisi tidak berpihak dan

menganggap bahwa informasi yang didapatkan dari setiap informan itu

penting. Mungkin akan ada keraguan dari etnis pendatang tentang

keberadaan penulis sebagai putera daerah SBB dan rasa subjektivitas

sebagai seorang peneliti bisa saja muncul. Untuk mengatasi masalah

tersebut, penulis menggunakan seorang mantan pekerja pabrik etnis Jawa

yang mendampingi penulis melakukan wawancara awal dengan para

informan.

17

C. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan pertanyaan semi terstruktur.

Artinya informasi digali lewat wawancara berdasarkan pertanyaan-

pertanyaan penelitian tetapi bisa juga terjadi pengembangan pertanyaan

berdasarkan informasi yang diberikan. Kesemuanya bertujuan untuk

menggali lebih jauh sejumlah informasi penting yang belum terdapat dalam

lampiran pertanyaan-pertanyaan operasional. Selain itu juga agar para

informan dapat mengemukakan apa yang mereka tahu dan rasakan serta

harapan-harapan mereka tanpa harus diintervensi oleh penulis terlebih

dulu.

D. Penelitian ini dilakukan di negeri Waisarisa, Kecamatan Kairatu, Kabupaten

Seram Bagian Barat. Lokasi ini dipilih karena memiliki keunikan.

Penduduknya bukan hanya penduduk asli/lokal, tetapi terdiri dari berbagai

etnis karena dulunya di wilayah ini berdiri pabrik pengolahan kayu lapis

yang mempekerjakan banyak orang dari berbagai etnis. Ketika pabrik ini

tutup, orang-orang tersebut tetap tinggal dan menetap di negeri ini

bersamaan dengan pemekaran wilayah Kabupaten SBB. Selain itu pula

yang cukup menarik dari Waisarisa adalah penduduk asli Waisarisa juga

bukan merupakan etnis SBB, melainkan orang-orang yang berasal dari

Pulau Nusalaut di Kecamatan Maluku Tengah. Mereka sudah menempati

tanah ini sekitar dua generasi.

7. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri atas 5 bab dengan sistematika sebagai berikut : bab I merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penilitian, kerangka teori yang memaparkan sejumlah kata kunci yang menjadi 18

sandaran penulisan ini, tinjauan pustaka yang mengupas penelitian-penelitian dengan topik yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda, serta metodologi penelitian. Bab II akan memaparkan gambaran Kabupaten Seram

Bagian Barat baik letak dan kondisi geografis, demografi, serta deskripsi sejarah lokal. Deskripsi sejarah lokal diawali dengan mitos tentang asal-usul etnis Seram sampai pada perjuangan mengusir Belanda dari Seram Barat serta penentuan batas wilayah yang dirunut dari sejarah tersebut. Bab III akan membahas proses pemekaran wilayah baik secara administratif maupun secara politik ditingkat birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah dan dalam lingkup masyarakat SBB sendiri serta implikasinya dengan isu politik identitas. Bab IV akan menyoroti identifikasi pendatang dan penduduk lokal dalam kaitannya dengan proses rekrutmen pegawai negeri, indikator-indikator yang dipakai Pemda untuk mengetahui pendatang dan penduduk lokal serta upaya-upaya untuk meredam kemungkinan terjadinya ketegangan antar etnis akibat politisasi identitas dalam rekrutmen CPNS. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh hasil penulisan serta saran-saran.

19

B A B II

SERAM BAGIAN BARAT:

GEOGRAFI, DEMOGRAFI DAN MIT0S-SEJARAH

Sejarah harus dihormati,….. Sejarah tidak bersinonim dengan nostalgia hampa atau pemujaan tanpa pandang bulu pada masa lalu. Sebaliknya, ia mewadahi semua yang telah dibangun selama berabad-abad: ingatan, lambang-lambang, pranata-pranata, bahasa, karya seni dan semua hal lain tempat orang bisa terikat secara sah. (Amin Maalouf, 2004)

1. Pengantar

Desentralisasi pemerintahan yang terjadi saat ini turut membuka artikulasi keberadaan suatu kelompok etnis yang selama ini merasa didominasi etnis lain.

Berbagai upaya dilakukan etnis itu untuk menggali kembali simbol-simbol budaya yang sebelumnya terkungkung oleh budaya Orde Baru. Penggalian simbol budaya ini kemudian menjadi sebuah pemicu ide pemekaran karena adanya kesamaan budaya yang dianggap berbeda dengan budaya mayoritas/dominan. Oleh sebab itu setiap komunitas yang relatif homogen mempunyai kebudayaan tersendiri yang merupakan ciri khas dari kelompok etnis tersebut.24 Dari sinilah perasaan primordial dibangun, entah itu secara kesukuan ataupun kepercayaan/religi.

24 H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007, hlm.2. 20

Bab ini akan memaparkan gambaran Seram Bagian Barat (SBB) bukan semata-mata sebagai satu kesatuan administratif (geografis, demografi) tetapi juga sebagai sebuah kesatuan kultural-historis. Hal ini karena pemekaran wilayah yang berlangsung di tahun 2004 membagi Pulau Seram menjadi tiga wilayah administratif. Tetapi secara kultural historis masyarakat Seram tetap satu yang terbagi dalam dua suku, yakni Alune dan Wemale. Kultur historis masyarakat

Seram ini menarik karena sama seperti masyarakat lainnya, masyarakat Seram pun memiliki sejarah panjang dengan warisan budaya yang sampai saat ini tetap dipelihara dari generasi ke generasi. Bahkan sejarah awal masyarakat Seram dapat ditelusuri dari mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Diantaranya mitos Nunusaku.25

Mitos Nunusaku masyarakat Seram sampai saat ini masih dipercaya merupakan cikal bakal masyarakat Maluku pada umumnya. Dalam tuturan mitos ini terkandung patokan yang dijadikan penentuan batas wilayah administratif

Seram Bagian Barat pada saat kabupaten ini sedang diperjuangkan menjadi sebuah wilayah administratif baru. Mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat ini menjadi gambaran kehidupan etnis Seram, bagaimana mereka memandang diri mereka dan orang-orang lain di sekitar mereka. Mitos Nunusaku merupakan gambaran kehidupan dalam kebersamaan dengan orang luar.

Mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat Seram dan sejarah panjang mereka menjadi bukti bahwa sejak dulu etnis Seram bukan etnis yang menutup diri terhadap etnis lain yang ada disekitarnya, walaupun mereka merupakan etnis

25 Nunusaku secara etimologi berarti pohon beringin. Nunu artinya beringin dan saku artinya pohon. 21

mayoritas. Nunusaku yang menjadi mitos sentral26 etnis Seram merupakan sebuah gambaran keterbukaan etnis Seram terhadap orang luar. Sehingga pada akhirnya ketika kabupaten Seram Bagian Barat berdiri, nilai-nilai filosofis Nunusaku diharapkan dapat tertanam dalam setiap kehidupan etnis Seram, yakni mereka tetap memandang etnis lain sebagai sesama mereka, kendati terjadi perebutan sumber- sumber daya publik di Seram Bagian Barat.

Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum Seram

Bagian Barat. Gambaran SBB akan dimulai dengan mengenal SBB lebih dekat baik letak wilayah, kondisi demografinya serta potensi yang dimiliki oleh SBB berupa sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Selain itu bab ini juga berisikan sejarah panjang masyarakat Seram yang dapat ditelusuri lewat mitos- mitos berkembang dalam kehidupan masyarakat Seram dan yang merupakan dasar masyarakat Seram berpikir tentang diri mereka. Sejarah ini juga akan menyinggung perjuangan masyarakat Seram ketika berada dalam penguasaan kolonial Belanda sampai pada perjuangan untuk mekar menjadi sebuah kabupaten baru.

2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat27

A. Letak Geografis Seram Bagian Barat (SBB) adalah salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Wilayahnya meliputi Pulau Seram bagian barat serta beberapa pulau kecil yang berada diseputarnya namun sebagian besar wilayahnya berada di Pulau Seram. Secara geografis kabupaten ini terletak

26 Kata ini sengaja penulis miringkan untuk menunjukan pentingnya mitos Nunusaku dalam kehidupan etnis Seram 27 Data diambil dari Buku Seram Bagian Barat Dalam Angka 2007, hasil kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat serta beberapa sumber lainnya.

22

antara 2˚ 55‟ – 3˚ 30‟ Lintang Selatan dan 127˚ - 55˚ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah;

b. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Buru;

c. Sebelah utara dengan Laut Seram;

d. Sebelah selatan dengan Laut Banda.

Ketika melihat peta Seram Bagian Barat maka sudah dapat dipastikan bahwa kabupaten ini memiliki luas laut yang lebih besar dibandingkan luas daratannya. Luas laut mencapai 79.005 km² dan luas daratan sekitar 5.176 km² dari total keseluruhan luas wilayahnya sekitar 84.181 km². Kabupaten ini juga terbagi atas 4 kecamatan yakni:

1. Kecamatan Huamual Belakang seluas 569,36 km²;

2. Kecamatan Seram Barat seluas 879,92 km²;

3. Kecamatan Kairatu seluas 1.811,60 km² dan,

4. Kecamatan Taniwel seluas 1.915,12 km²

Kabupaten ini terdiri dari 62 pulau dengan Pulau Seram sebagai pulau yang terbesar dan yang berpenghuni hanya sekitar 10 pulau dan yang tidak berpenghuni sekitar 52 pulau. Kabupaten ini banyak dialiri aliran sungai besar dan kecil, tetapi yang menjadi pusat cerita yang diwariskan turun temurun adalah Sungai Tala di

Kecamatan Kairatu, Sungai Eti di Kecamatan Seram Barat dan Sungai Sapalewa di

Kecamatan Taniwel yang oleh Bupati Seram Bagian Barat dikatakan sebagai

“aliran sungai kehidupan”.28

28 Disampaikan pada acara pembukaan seminar Sejarah dan Bahasa Tiga Batang Air tanggal 15 Januari 2009, Tabloid Umum Nusa Ina, Kamis 22 s/d Selasa, 27 Januari 2009. 23

Dengan beribukota di Piru maka pelayanan publik dipermudah. Jarak yang ditempuh dari masing-masing kecamatan ke ibukota kabupaten tidaklah jauh jika dibandingkan ke ibukota kabupaten lama (Masohi ibukota Kabupaten Maluku

Tengah). Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat yang memakan waktu beberapa jam saja. Kalaupun ada yang masih menggunakan transportasi laut, hal ini lebih disebabkan pada belum tersedianya akses jalan raya ke Piru (sampai draf ini ditulis sementara masih dikerjakan) misalnya beberapa desa di kecamatan Huamual Belakang. Berikut jarak masing-masing kecamatan dengan Piru selaku ibukota kabupaten :

a. Waesala (Kec. Huamual Belakang) 35,0 km;

b. Piru (Kec. Seram Barat) 1,0 km;

c. Kairatu (Kec. Kairatu) 48,0 km;

d. Taniwel (Kec. Taniwel) 76,7 km.

Dengan melihat jarak antara kecamatan-kecamatan yang ada dengan Piru selaku ibukota kabupaten maka dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah ini setidaknya memang telah membantu masyarakat memperpendek jarak untuk urusan pelayanan publik. Walaupun demikian, ketika Surat Keputusan Menteri

Dalam Negeri tentang pemekaran kabupaten ini disahkan, sempat terjadi polemik seputar letak ibukota kabupaten yang baru tersebut.

B. Kondisi Demografi

Dalam setiap pembangunan, yang menjadi sasaran pembangunan adalah masyarakat. Di sisi lain penduduk atau masyarakat juga adalah pelaku pembangunan itu sendiri. Sedangkan pemerintah adalah fasilitator dan pelayan masyarakat, menampung aspirasi masyarakat dan memberikan pelayanan bagi

24

aktivitas warga masyarakat. Oleh karena itu sumber daya manusialah yang selalu diperhatikan oleh pemerintah yang sedang membangun. Hal ini terjadi mengingat masyarakat di daerah-daerah yang baru dimekarkan selalu menuntut untuk dapat berperan dalam bidang-bidang pemerintahan.29 Hal ini menjadi masalah apabila pada daerah-daerah ini kualitas sumber daya manusianya dianggap belum layak untuk berperan dalam bidang pemerintahan tersebut. Ditambah pula dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga terjadi pada Kabupaten SBB.

Jumlah penduduk SBB menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal

Daerah (BKPMD) Maluku tahun 2004-2005 adalah sekitar 148.988 jiwa dengan klasifikasi laki-laki :75.115 jiwa sedangkan perempuan 73.873 jiwa yang tersebar pada empat kecamatan. Kecamatan Seram Barat: 53.909 jiwa; Kecamatan Kairatu:

49.481 jiwa; Kecamatan Taniwel: 16.936 jiwa dan Kecamatan Huamual Belakang:

28.662 jiwa.. Penduduk ini tersebar pada 89 desa serta 126 dusun.30 Jumlah ini mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun-tahun berikutnya. Data yang diperoleh dari Seram Bagian Barat Dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa pada tahun 2006 jumlah penduduk SBB sebanyak 157.318 jiwa dan menjadi

158.478 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan sebesar 0,62 persen pada tahun 2006 menjadi 0,74 persen pada tahun

2007. Faktor peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi ini pendukungnya adalah penerimaan pegawai yang cukup banyak tetapi berasal bukan dari

Kabupaten SBB sendiri, melainkan berasal dari Maluku tengah dan kota Ambon,

29 J.W.Ajawaila, “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah”, opini dalam Harian Siwalima, Selasa 23 September 2003 Edisi 243/IX Tahun IV. 30 http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009. 25

bahkan luar propinsi Maluku. Selain itu juga masih kurang kesadaran sebagian penduduk (terutama yang bermukim di pedesaan) untuk membatasi jumlah anak.

Hal ini disebabkan mereka membutuhkan banyak tenaga untuk berkebun dan yang diharapkan untuk membantu adalah anak-anak mereka sendiri. Selain itu adanya proses pewarisan nama keluarga/fam yang mengikuti garis keturunan laki-laki, sehingga setiap keluarga tetap berupaya memiliki anak laki-laki.

Pemda SBB telah berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk tersebut.

Hal ini dilakukan mengingat tingginya angka pertumbuhan penduduk selalu tidak berimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, baik pada birokrasi pemerintah maupun pada sektor swasta. Oleh karena itu salah satu cara yang ditempuh pemda adalah dengan menggalakkan program Keluarga Berencana

(KB). Program KB ini diharapkan dapat menggugah masyarakat demi alasan perbaikan hidup anak cucu di kemudian hari.

Selain program KB, perhatian Pemda SBB juga diarahkan pada upaya pemerataan penyebaran penduduk. Hal ini dikarenakan sekitar 36 persen penduduk

SBB terkonsentrasi di Kecamatan Seram Barat. Padahal luas kecamatan ini hanya

17 persen dari luas kabupaten. Keadaan ini kontras dengan kecamatan Taniwel.

Kecamatan Taniwel memiliki luas sekitar 37 persen dari luas seluruh kabupaten tetapi hanya dihuni oleh sekitar 11 persen dari jumlah penduduk SBB. Pemda

Kabupaten SBB boleh saja berupaya melakukan penyebaran penduduk agar tidak hanya terkonsentrasi pada Kecamatan Seram Barat yang dianggap sudah padat.

Namun tindakan nyata pemda untuk mengurangi kepadatan itu belumlah nampak.

Program ini akan menemui kesulitan jika pemda tidak memiliki gambaran jelas penyebab terjadinya ketimpangan penyebaran penduduk tersebut.

26

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan penyebaran penduduk. Misalnya, Piru sebagai ibukota kabupaten, sedikit banyak memberikan sumbangan bertambahnya jumlah penduduk yang mendiami Piru dan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tentu dapat dipahami mengingat semua kegiatan administrasi pemerintahan maupun ekonomi berpusat di Piru. Selain itu akses jalan raya yang menghubungkan Piru dengan dua kecamatan lainnya

(Huamual belakang dan Taniwel) rusak parah, apalagi di musim hujan. Ini menyebabkan lambatnya pembangunan di dua kecamatan ini. Pembangunan yang berjalan lambat di dua kecamatan ini tentu saja akan menghambat laju perekonomian karena pengusaha lokal yang berasal dari luar kecamatan ini enggan berinvestasi di daerah-daerah ini. Tingginya modal yang harus dikeluarkan tidak seimbang dengan daya dukung masyarakat. Akibatnya justru mereka akan merugi.

Dalam bidang pendidikan, Pemda SBB telah berupaya semaksimal mungkin mengupayakan pendidikan yang layak bagi warganya. Upaya-upaya itu diantaranya dengan mengadakan program pemberantasan buta huruf serta penambahan jumlah tenaga pengajar (guru) dan sejumlah gedung sekolah yang pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah siswa. Hal ini dilakukan dengan harapan ketersediaan fasilitas-fasilitas pendidikan akan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Jumlah sekolah sampai tahun 2005 adalah 274 buah dengan rincian

TK: 17, SD/MI: 183, SLTP/MTS: 52 dan SMU/MA: 22.31

C. Sumber Daya dan Pembangunan

Sebagaimana diungkapkan Bosko bahwa dengan adanya permintaan akan persediaan sumber daya alam menyebabkan adanya pencarian dan gerakan

31 http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009. 27

eksploitasi sumber-sumber ini sampai pada daerah-daerah terpencil.32 Di sela-sela upaya peningkatan dan optimaliasi SDM yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemda SBB, berdasarkan hasil survei para ahli yang khusus didatangkan dari

Jakarta, kabupaten ini bukan hanya berlimpah dengan hasil hutan, perkebunan atau hasil laut (ikan dan mutiara), tetapi juga telah ditemukan sejumlah titik yang mengandung hasil tambang bernilai jual tinggi, diantaranya nikel dan emas.

Bahkan menurut seorang informan, hasil tambang nikel dan emas jika nantinya diolah hasilnya dapat dipakai untuk membangun Kota Piru sebagai ibukota kabupaten, terutama di bidang infrastruktur. Apalagi dalam merancang tata kota ini pemda mengadakan kerja sama dengan ITB.33 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bisa jadi suatu saat nanti ada perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi dan bekerja sama dengan pemda SBB. Keuntungannya dapat dipakai untuk pembangunan daerah.

Pembangunan di bidang infrastruktur ini ditegaskan karena memang sampai saat ini kantor-kantor masih dibangun secara bertahap. Misalnya saja kantor bupati masih menggunakan bekas kantor Camat Seram Barat karena kantor definitifnya masih belum dibangun (sementara masih dalam penggusuran jalan ke lokasi kantor). Bahkan ada sebagaian instansi yang masih mengontrak/menyewa rumah- rumah warga sebagai kantor (misalnya Kesbanglinmas, kantor Pendidikan dan

Olahraga, dll). Dalam pandangan penulis sendiri sebenarnya tidak layak disebut kantor apalagi dalam konteks kabupaten. Hal ini dikarenakan dengan ruangan yang sempit dan jumlah ruangan yang terbatas sangat menyulitkan pelayanan

32 Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam (terjem), Jakarta, Elsam, 2006, hlm. 84. 33 Wawancara dengan seorang bapak berinisial MS, tanggal 21 Desember 2008. 28

administrasi kepada warga. Belum lagi pada siang hari sering terjadi pemadaman listrik dari PLN sehingga semakin memperumit pengurusan. Dari kondisi ini terlihat belum adanya kesiapan SBB sebagai kabupaten baru dalam hal persiapan infrastukturnya, bahkan sampai ulang tahun yang ke-5 tanggal 07 Januari 2009 lalu.

3. Sejarah Lokal Masyarakat SBB

Terbentuknya kabupaten Seram Bagian Barat tidak dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat adat yang ada sampai saat ini. Bagi masyarakat adat SBB, sejarah tentang asal-usul mereka tidak akan terlupakan. Apalagi konflik yang mendera Propinsi Maluku beberapa waktu lalu ikut menegaskan keberadaan mereka sebagai penjaga “Nusa Ina”34.

Sampai saat ini etnis Seram masih mempercayai cerita tentang Nunusaku dan asal-muasal mereka sebagai orang Seram. Bahkan bukan cuma etnis Seram tetapi orang Maluku pada umumnya. Walaupun demikian mereka tidak dapat mengatakan bahwa cerita ini merupakan sebuah mitos ataukah sejarah. Bagi mereka itu tidak terlalu penting dibandingkan makna filosofis yang terkandung dalam cerita tersebut.35 Hal ini tentu dapat dipahami mengingat cerita ini sudah turun temurun diwariskan oleh orang-orang tua mereka. Penulispun mendengar tuturan cerita yang sama oleh orang tua yang adalah etnis Seram, dan penulispun menganggap bahwa cerita Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos. Sebab sampai saat ini ada beberapa versi cerita tentang Nunusaku tersebut. Pertanyaan

34 Nusa Ina merupakan sebutan untuk Pulau Seram. Nusa Ina sendiri artinya Pulau Ibu. Nusa artinya pulau dan Ina artinya Ibu. Ada banyak cerita yang berkembang seputar penyebutan Pulau Seram sebagai “Pulau Ibu” 35 Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009 29

yang muncul adalah benarkah Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos? Lalu apakah sebenarnya mitos itu?

Menurut Eliade, mitos adalah sejarah mengenai apa yang terjadi di masa lalu. Sejarah di sini dipahami sebagai sejarah kudus/sakral karena berbicara tentang sesuatu yang bersifat mistis. Ia hadir untuk memproklamirkan kehadiran sebuah situasi kosmis baru atau sebuah kejadian kuno.36 Dengan demikian dapat dipahami dari pemikiran Eliade bahwa mitos merupakan cara masyarakat arkais menceritakan keberadaan mereka melintasi dunia yang supra-natural menuju kenyataan dunia ini dan cerita ini dianggap kudus sehingga perlu adanya pewarisan bagi generasi berikutnya. Bahwa untuk mengetahui keberadaan/asal usul maupun segala ritus-ritus dan tindakan mereka di dunia dapat dipahami melalui kenyataan-kenyataan yang ditunjukkan oleh mitos tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Eliade di atas ketika dibenturkan dengan pandangan etnis Seram tentang Nunusaku, maka akan dijumpai sebuah makna mendalam. Makna inilah yang diyakini merupakan kosmologi etnis Seram tentang keberadaan mereka. Cerita Nunusaku hadir untuk menceritakan kejadian kuno etnis Seram. Kejadian ini adalah cerita tentang awal mula kehidupan etnis Seram dibawah pemerintahan sebuah kerajaan besar namun akhirnya hancur karena adanya perpecahan dalam masyarakat. Berdasarkan pandangan Eliade, Susanto mengelompokkan mitos ke dalam beberapa tipe, yakni mitos kosmogoni

(menceritakan tentang penciptaan alam semesta secara keseluruhan) dan mitos asal-usul (menceritakan tentang asal mula segala sesuatu, asal mula makluk hidup, pulau-pulau, tempat-tempat suci, dsb). Tipe mitos asal-usul ini melengkapi mitos

36 Mircea Eliade, Sakral dan Profan (terjemahan), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002, hlm. 94. 30

kosmogoni, menceritakan tentang bagaimana dunia itu diubah, ditambah atau dikurangi.37

Dari pengertian mitos serta beberapa tipenya, cerita Nunusaku dapat dikatagorikan sebagai mitos asal-usul. Sebab cerita Nunusaku inilah yang menjadi dasar kepercayaan masyarakat Seram dan Maluku pada umumnya tentang asal- usul keberadaan mereka sebagai penduduk pribumi yang menempati pulau-pulau di

Maluku. Selain itu keberadaan Nunusaku tidak dapat dibuktikan secara faktual, walaupun banyak tetua adat menyatakan bahwa Nunusaku berada di salah satu gunung di Seram Bagian Barat. Bagi sebagian etnis Seram, ada yang merasa takut untuk menceritakan kisah Nunusaku bahkan untuk mencari tahu letak Nunusaku tersebut melebihi apa yang diketahui. Karena bagi mereka ini merupakan sebuah hal yang tabu (mengandung sanksi baik bagi individu maupun kelompoknya).

A. Mitos yang Berkembang dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat

Menurut tuturan para tetua adat bahwa pada awalnya di Pulau Seram (Nusa

Ina) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Nunusaku. Diperkirakan bahwa

Nunusaku ini berada di wilayah Seram Bagian Barat.38 Dalam kerajaan ini terdapat kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaannya. Kelompok yang pertama adalah kelompok menenun atau dalam bahasa tana39 disebut kelompok Auna

(yang akhirnya melahirkan suku Alune) dan kelompok kedua adalah kelompok berburu atau kelompok Wema (menurunkan suku Wemale). Kelompok ini timbul

37 Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hlm. 74,76-77. 38 J. E. Lokollo, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998, hlm. 3. 39 Bahasa tana merupakan istilah masyarakat lokal yang menunjuk pada bahasa daerah setempat (Seram/Alune dan Wemale). Bahasa ini umumnya dipakai pada upacara-upacara adat. 31

karena adanya kebiasaan yang sama. Walaupun demikian bahasa yang digunakan saat itu masih satu artinya bahasa komunikasi mereka masih sama. Dari dua kebiasaan yang berbeda ini mulailah terjadi segregesi dalam masyarakat

Nunusaku.40

Suatu ketika terjadi kekacauan (perang saudara) di Nunusaku. Alasan peperangan karena kedua kelompok (Wema dan Auna) memperebutkan Rapie

Hainuwele41, perempuan yang terkenal paling cantik di kerajaan tersebut. Karena terjadi peperangan, seluruh penduduknya menyebar ke seluruh pulau (Pulau

Seram) bahkan ada yang sampai meninggalkan pulau dan menyeberang ke pulau- pulau lainnya di Maluku.42 Setelah perpisahan tersebut, para orang tua dari kedua kelompok kemudian menurunkan bahasa yang berbeda kepada anak cucu mereka.

Kelompok Auna kemudian menurunkan suku Alune dengan bahasa Alune dan kelompok Wema menurunkan suku Wemale dengan bahasa Wemale. Lama kelamaan bahasa asli yang mereka gunakan ketika masih sama-sama di Nunusaku perlahan-lahan mulai hilang.43 Pengakuan bahwa penduduk yang mendiami pulau-pulau di Maluku berasal dari Pulau Seram bukan hanya milik orang Seram semata. Pengakuan ini juga milik orang Maluku pada umumnya. Mereka juga menganggap bahwa memang tete nene moyang44 mereka berasal dari Pulau Seram

40 Wawancara dengan beberapa orang tua etnis SBB, tanggal 25 Februari 2009 dan 2 Maret 2009 41 Mitos tentang Rapie Hainuwele ini merupakan awal terjadinya peperangan antara kedua kelompok dalam masyarakat Nunusaku. Rapie Hainuwele sendiri artinya putri yang berasal dari kuming kelapa. Mitos Rapie Hainuwele ini sudah ditulis oleh Agustina Kakiay dalam tesis tahun 2001. 42 Wawancara dengan Bapak AS, tanggal 18 Desember 2008, hal ini ikut pula menegaskan keyakinan masyarakat Maluku bahwa mereka berasal dari Pulau Seram. 43 Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat SBB berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009. 44 Tete nene adalah sebutan lokal untuk kakek nenek, tetapi dalam konteks bahasa diatas diterjemahkan sebagai nenek moyang atau para leluhur. 32

dan setelah beranak pinak, mereka akhirnya menyebar ke seluruh wilayah

Maluku.45

Menurut Lokollo, ada beberapa perkembangan kehidupan sosial di

Nunusaku yang ikut membuat masyarakatnya berpencar. Diantaranya adalah adanya pertambahan jumlah penduduk, dasar ucapan dan cara rumpun Patasiwa dan Patalima berbahasa dan adanya perbedaan ketrampilan, antara lain cara menenun pakaian diantara anggota kedua rumpun tersebut.46 Patasiwa adalah kelompok sembilan dan patalima adalah kelompok lima. Masyarakat Maluku

Tengah (termasuk Seram Barat) umumnya termasuk salah satu kelompok ini.

Adapun susunan sosial kelompok sembilan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil, misalnya sembilan pemukiman, dsb. Begitu pula dengan kelompok lima.47

Itu berarti bahwa susunan dan perangkat negeri/desa atau adat tersebut termasuk dalam kelompok Patasiwa atau Patalima.

Dari pembagian itu dapatlah dikatakan bahwa penghuni Pulau Seram pada umumnya terdiri dari dua suku, yakni Alune dan Wemale. Terjadinya perpecahan dalam masyarakat Nunusaku ikut menentukan terbentuknya kelompok-kelompok baru. Terbentuknya kelompok baru ini dengan membawa pola kehidupan sama dari kelompok asal mereka yang pada akhirnya mereka pelihara sampai menyebar ke pulau-pulau lainnya di Maluku, terutama Ambon-Lease (Saparua, Haruku dan

Nusalaut).

45 Pemda Propinsi Maluku, The Wondeful Islands Maluku, Jakarta-Ambon, Gibon Books dan Pemprov Maluku, 2008, hlm. 82. 46 J. E. Lokollo, op cit, hlm. 8, hal ini juga diungkapkan oleh NE, tanggal 2 Maret 2009 47 Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta (terjemahan), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 118. 33

Menurut Cooley, kelompok Patasiwa menghuni wilayah Seram sebelah barat Sungai Mala, sedangkan orang-orang Patalima menghuni daerah-daerah sebelah timurnya.48 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan salah satu tokoh masyarakat SBB bahwa kelompok Patalima menghuni wilayah sebelah timur

Sungai Makina (perbatasan Kecamatan Taniwel Kabupaten SBB dengan

Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah) dan di sebelah selatannya dengan Sungai Mala. Jadi wilayah sebelah timur sungai Mala merupakan wilayah

Patalima. Sedangkan sebelah barat Sungai Mala dan Makina merupakan wilayah

Patasiwa. Walaupun demikian ada juga kelompok patasiwa yang pada akhirnya masuk pada wilayah patalima dan begitu pula sebaliknya. Dalam pandangan masyarakat Seram, kelompok patasiwa dan patalima merupakan nama lain dari suku Wemale dan Alune. Tetapi ada perkecualian untuk suku Wemale, misalnya saja tidak semua suku Wemale termasuk dalam kelompok Patasiwa, Wemale

Ulipatai49 ada sebagian Patasiwa dan ada sebagian Patalima.50

Kelompok Patasiwa dan Patalima ini mungkin merupakan gabungan dari beberapa sub-sub suku dari Alune dan Wemale dan mungkin juga merupakan sebuah bentuk kelompok politik yang berupaya membendung serangan dari Utara

(empat kerajaan besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo/Halmahera).

Hal lain yang berkembang juga adalah bahwa ketika terjadi perang antara Patasiwa dan Patalima yang memakan banyak korban, orang-orang tua dari kedua kelompok bersepakat untuk melupakan permusuhan dan mengangkat sumpah

48 Frank L. Cooley, ibid, hlm. 119 49 Ini merupakan nama sub suku yang diberikan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Selain Wemale Ulipatai ada juga Wemale Yapioupatai yang menghuni daerah Elpaputi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku tengah, sedangkan Wemale Ulipatai masuk dalam wilayah administratif Kabupaten SBB (Kecamatan Taniwel). 50 Wawancara tanggal 2 Maret 2009. 34

untuk hidup bersatu dalam perdamaian satu dengan yang lain dan tidak ada lagi bakalai51 apalagi dalam skala besar seperti konflik Maluku.

Perjanjian orang-orang tua antara dua kelompok tadi dilakukan di batas wilayah kedua kelompok, yakni di Kali Makina dan Kali Mala. Janji ini dipegang teguh supaya pada gilirannya nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Bahkan menurut penuturan salah satu orang tua, adanya janji ini dapat memotivasi seluruh aparatur SBB agar memiliki kinerja yang baik. Dari peristiwa itu diperkirakan muncul istilah miloku atau maloku, yang artinya diikat menjadi satu. Diduga bahwa kedua kata ini ikut melahirkan kata Maluku yang diambil menjadi nama propinsi.52 Selain itu pula bahwa kata miloku dan maloku dianggap pula berasal dari bahasa Maluku Utara atau setidaknya telah mendapat pengaruh dari bahasa Maluku Utara. Hal ini dapat dipahami mengingat pada saat itu telah terjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.

B. Masa Kolonial Belanda

Ketika Belanda menguasai Maluku, seluruh etnis Seram/Nusa Ina mengadakan perlawanan. Kekuasaan Kolonial Belanda menghancurkan sistem

Pata/Uli. Sebagai gantinya Belanda mendirikan negeri-negeri/desa yang berdiri sendiri yang langsung tunduk kepada pejabat-pejabat VOC.53 Hal ini dilakukan

Belanda guna mempersempit ruang gerak masyarakat pribumi supaya tidak mengadakan perlawanan. Dengan kata lain, untuk mempermudah penguasaan daerah-daerah yang dianggap potensial mengadakan perlawanan, pemerintah kolonial menyeragamkan bentuk-bentuk pemerintahan lokal. Selain itu juga untuk

51 Pertengkaran/perkelahian 52 Wawancara tanggal 2 Maret 2009 53 Frank L. Cooley, op.cit, hlm. 224 35

membantu Belanda memperlancar monopoli perdagangan rempah-rempah yang sangat laku di pasaran Eropa.

Ketika Belanda datang dan menggantikan Portugis, mereka membentuk

Inama-inama (semacam kantong-kantong pemerintahan) dengan tujuan untuk dapat menguasai Seram dan memadamkan perlawanan-perlawanan masyarakat yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Di daerah Seram Bagian Barat dibentuk tiga inama besar yang meliputi tiga sungai besar di daerah itu, yakni

Inama Etibatai (secara administratif masuk Kecamatan Seram Barat), Inama

Talabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Kairatu) dan Inama

Sapalewabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Taniwel). Dari ketiga

Inama ini diangkatlah lembaga tua-tua adat (Saniri) yang nantinya mengatur kehidupan masyarakat yang berada pada ketiga Inama tersebut, tetapi tetap tunduk secara mutlak kepada pejabat VOC.

Adapun pembentukan ketiga inama ini berdasarkan pada aliran ketiga sungai tersebut, yakni Tala, Eti dan Sapalewa. Menurut informasi seorang bapak bahwa pembentukan berdasarkan sungai-sungai ini karena menurut cerita yang dia terima dari orang-orang tua, kapala air (hulu) ketiga sungai berasal dari

Nunusaku tersebut. Air yang keluar dari sebelah bawah akar beringin (nunu) kemudian tertampung dalam sebuah danau dimana danau inilah yang menjadi kapala air ketiga sungai.54 Itulah mengapa sampai ketiga air ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat. Mereka tetap menganggap diri mereka satu, karena berasal dari satu kapala.

54 Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009 36

Selain itu menurut informan tersebut, Belanda juga ingin membentuk

Inama Ulipatai yang meliputi wilayah seputar Sungai Uli. Namun ini tidak jadi dilaksanakan entah apa sebabnya. Tetapi pada intinya inama-inama dibentuk

Belanda guna pengendalian kekuasaan. Hal ini dilakukan karena sebelum Belanda menguasai Seram, telah terjadi perang antara etnis Seram/Nusa Ina melawan

Portugis yang dikenal dengan nama Perang Sahulau. Bahkan menurut tuturan orang-orang tua, hal ini merupakan perang pertama kalinya di Maluku, walaupun kepastian tahunnya tidak jelas dan tidak pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.55

Ternyata usaha Belanda untuk menaklukkan Seram Barat melalui pendekatan pada daerah-daerah adat sama seperti cara yang dipakai di Kalimantan.

Dengan menggunakan pendekatan adat, yakni mengayau (headhunting) yang memiliki citra yang mampu menimbulkan dampak psikologis kepada publik sangat besar untuk kemudian dipakai mencapai kepentingan kolonial.56 Kedua cara ini memang kelihatannya cukup berhasil dengan makin bertambahnya wilayah- wilayah jajahan.

Walaupun inama-inama telah dibentuk namun masih saja terjadi berbagai perlawanan masyarakat ketiga inama tersebut. Salah satunya adalah perlawanan masyarakat Taniwel yang pada saat itu masih berdiam di daerah pegunungan.

Daerah yang menjadi incaran Belanda adalah Riring-Romasoal dan Uweng

Pegunungan. Hal ini dikarenakan kedua daerah ini merupakan pusat perlawanan dari daerah Taniwel. Pada tahun 1820 terjadi perang Romasoal, dan di tahun 1825-

55 Wawancara tanggal 18 Desember 2008 dan 2 Maret 2009. 56 John Bamba, “Borneo Headhunters : Imej dan Manipulasi” dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan Dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Universitas Kyoto, 2006, hlm. 117-118. 37

1826 Belanda mengadakan ekspedisi ke Romasoal dan berhasil menaklukannya.57

Selain itu juga daerah-daerah lain di Seram Barat dapat ditaklukkan oleh Belanda.

Dari penaklukan inilah, Belanda semakin memperketat keamanan dengan membentuk Saniri Tiga Batang Air (Tala, Eti dan Sapalewa) yang sangat berperan dalam menggalang persatuan di antara masyarakat adat ketiga inama tersebut.

Selain itu ketiga inama ini memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan peraturan- peraturan yang berlaku pada ketiga wilayah ini. Kepemimpinan Saniri Tiga Batang

Air ini merupakan contoh besarnya peran lembaga-lembaga adat dalam kehidupan masyarakat Maluku.58

4. Sejarah Panjang yang Berujung Pada Pemekaran Wilayah Ketika pada akhirnya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia dan meninggalkan Indonesia, akar masyarakat adat ketiga inama itu telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat hingga saat ini. Ketika pada akhirnya otonomisasi daerah yang memungkinkan pengembangan daerah propinsi dan kabupaten/kota muncul, ada suatu pemikiran untuk berdiri sendiri lepas dari kabupaten Maluku Tengah. Dengan bermodalkan sejarah panjang itu masyarakat

Seram Bagian Barat menuntut hak untuk dapat mengatur kehidupan mereka sendiri.

Dengan meletakkan dasar pada perjanjian orang-orang tua setelah turun dari Nunusaku dan juga inama-inama yang dibentuk oleh Belanda, diletakkanlah batas administratif wilayah Kabupaten SBB. Secara administratif, wilayah SBB sebelah selatan (Kecamatan Kairatu) berbatasan dengan Sungai Tala dan sebelah

57 Wawancara tanggal 2 Maret dan 25 pebruari 2009. 58 Bandingkan tulisan Paschalis Maria Laksono tentang kehidupan masyarakat Kei yang patuh pada lembaga adat mereka dan menjunjung setiap keputusan lembaga adat mereka dalam The Common Ground In The Kei Islands, Yogyakarta, Galang Press, 2002, hlm. 19-23. 38

utara (Kecamatan Taniwel) berbatasan dengan Sungai Makina. Menurut seorang tokoh pemekaran bahwa secara normatif (administratif) memang batas wilayahnya di Kali Tala, tapi berdasarkan pendekatan adat/historis, letaknya di Sungai Mala.59

Hal ini dipertahankan berdasarkan sejarah perjalanan orang-orang tua yang mengikat perjanjian di Makina Mala. Janji ini kemudian dipegang teguh oleh anak- anak adat yang disebut etnis Nusa Ina.

Oleh karena itu, sampai sekarang masih terjadi polemik antara Pemda

SBB dengan Pemda Kabupaten Maluku Tengah tentang batas wilayah. Hal ini dapat dimengerti karena secara normatif administratif batas antara Kecamatan

Kairatu dengan Samasuru adalah Kali Tala ketika masih sama-sama dalam wilayah administratif Maluku Tengah. Alasan Pemda SBB berjuang untuk peletakan batas wilayah ini bukan saja karena nilai filosofis yang dikandung, tetapi juga karena adanya perbedaan letak batas antara kedua kabupaten ini seperti yang tercantum dalam rekomendasi Bupati Maluku Tengah (Rudolf Ruka) dengan lampiran UU

No. 40 tahun 2003 ( Undang-undang Pemekaran Kabupaten SBB, SBT dan

Kepulauan Aru). Sampai saat ini ketika ada pertanyaan seputar batas wilayah

SBB, apakah di Tala ataukah di Mala, banyak yang masih bingung dan enggan menjawab, termasuk orang-orang yang duduk pada birokrasi pemerintahan SBB sendiri. Alasannya karena hal ini masih bersifat rahasia dan sedang diperjuangkan oleh pemda SBB.60

Dengan demikian dari gambaran tentang Nunusaku dan perjalanan tete- nene moyang dalam membentuk kehidupan bersama yang damai, etnis Seram tetap berada dalam satu pemikiran bersama bahwa mereka semua adalah satu dan sama.

59 Wawancara tanggal 2 Maret 2009 60 Wawancara dengan seorang Birokrat Pemda SBB yang berinisial JK, tanggal 24 Januari 2009. 39

Dari informasi-informasi yang dikumpulkan terlihat dengan jelas bahwa usaha pewarisan nilai-nilai filosofis orang-orang tua selalu menjadi dasar pijakan bagi mereka yang menamakan dirinya anak-anak adat. Bahkan dasar filosofis Makina-

Mala inilah yang dijadikan dasar dalam proses peletakan batas kabupaten baru walaupun sampai draf ini ditulis sengketa antara Kabupaten SBB dan Maluku

Tengah belum juga ada penyelesaian. Makina Mala merupakan sebuah teritori yang memiliki makna bagi kehidupan anak-anak adat setempat.

Lewat kepemimpinan Saniri Tiga Batang Air yang ikut mewariskan nilai- nilai kearifan lokal, orang Seram Bagian Barat semakin merasa mantap untuk berdiri sendiri. Bahkan banyak harapan yang disandarkan ketika kabupaten ini berdiri. Nilai filosofis dari Makina Mala adalah bahwa seluruh masyarakat SBB terutama pemerintah daerah merasa semakin perlu menggali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah ada dan terpelihara dalam kehidupan bersama. Mereka boleh berbeda dalam wilayah administratif pemerintahan, tetapi tetap merupakan etnis Seram/Nusa Ina yang dalam tuturan orang tua adalah satu.

5. Catatan Penutup

Kehidupan masyarakat Seram dapat dipelajari melalui mitos-mitos yang berkembang selama ini. Nunusaku yang merupakan mitos sentral masyarakat

Seram menjadi salah satu narasi munculnya rasa primordialisme kesukuan.

Masyarakat Seram Bagian Barat memandang Nunusaku sebagai asal mereka baik

Suku Alune maupun Wemale. Bagi mereka itu bukan sebuah hal yang penting.

Terlebih lagi dengan adanya pembentukan Saniri Tiga Batang Air oleh Belanda, hal ini semakin memperkokoh rasa kebersamaan mereka sebagai etnis Seram.

Perjalanan sejarah orang-orang tua itu mereka abadikan dalam ingatan yang selalu

40

diwariskan kepada generasi berikutnya, dengan harapan agar anak cucu kelak tetap mengingat Nunusaku sebagai perlambang orang Seram, serta dapat menjadi sebuah pengikat rasa kebersamaan sebagai etnis Seram.

Sejarah adat masyarakat SBB akhirnya turut memberikan sumbangan terhadap cara pandang masyarakat Seram. Bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka memandang orang lain yang berada di lingkungan mereka. Secara keseluruhan, masyarakat Seram Bagian Barat memandang bahwa mereka adalah satu. Mereka boleh berbeda dalam wilayah administratif pemerintahan (Kabupaten SBB, Kabupaten SBT/Seram Bagian Timur dan Kabupaten Maluku Tengah), tapi dalam budaya dan sejarah mereka tetap satu karena keluar dari Nunusaku. Hal itu terjadi ketika berbicara tentang asal usul mereka sebagai etnis Seram. Tapi bagaimana jika rasa kesamaan dan kebersamaan etnis Seram ini dipertaruhkan dalam perebutan sumber-sumber ekonomi?

Perjalanan panjang yang berujung pada pemekaran setidaknya meninggalkan sebuah pertanyaan besar. Apakah perjuangan pemekaran Kabupaten

SBB dan SBT merupakan sebuah bukti atas makin menipisnya rasa kebersamaan etnis Seram yang berada pada wilayah Seram Barat, Tengah dan Timur?

Pertanyaan ini mengemuka sebab selama ini mereka selalu mengagung-agungkan

Nunusaku sebagai lambang pemersatu seluruh masyarakat Seram. Selain itu ketika nantinya diperhadapkan pada perebutan sumber daya publik, apakah kebersamaan dan kesatuan mereka masih bisa dipertahankan. Kalau memang makin menipisnya rasa kebersamaan ini sebagai pemicu ide pemekaran, berarti dapat dikatakan

Nunusaku hanyalah sebuah fantasi masyarakat Seram akan kehidupan kebersamaan yang akrab seperti pada masa lampau.

41

B A B III

MENUJU TERBENTUKNYA KABUPATEN SBB :

PROSES POLITIK DAN PROSES ADMINISTRATIF

1. Pengantar

Angin segar reformasi yang sedang berhembus di Indonesia membawa pesan demokrasi dan otonomisasi daerah yang selama ini diperjuangkan masyarakat. Banyak daerah yang selama pemerintahan otoriter Orde Baru merasa dikungkung kebebasannya kini mulai bangkit memperjuangkan hak untuk mengatur sumber daya lokal. Entah atas nama rakyat atau atas nama pribadi yang diselewengkan dengan kepentingan rakyat. Di atas semua itu pemekaran wilayah menjadi satu alternatif untuk meredam keinginan beberapa daerah yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bab ini akan membahas proses perjuangan masyarakat Seram Bagian Barat menjadi sebuah kabupaten baru, terpisah dari Kabupaten Maluku Tengah.

Perjuangan masyarakat SBB untuk mekar sangat menarik karena memiliki alasan- alasan cukup rasional. Pertama, rentang kendali pemerintahan yang cukup jauh antara beberapa kecamatan dengan Masohi sebagai ibukota. Dengan akses jalan raya yang rusak cukup parah, bahkan ada beberapa kecamatan yang tidak dapat dicapai melalui jalur darat menyebabkan lambatnya pembangunan infrastruktur yang berpengaruh pada proses pelayanan administratif dalam berbagai hal.

Kedua, sebagai etnis asli Seram, justru dalam setiap kali perebutan sumber- sumber daya publik (dalam birokrasi pemerintahan) mereka selalu terdesak dan 42

kalah. Mereka selalu menjadi kaum nomor dua dan keberadaannya tidak diperhitungkan sama sekali. Mereka merasa terpinggirkan di negeri sendiri. Tidak banyak etnis asli Seram yang duduk dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan seakan sudah menjadi tradisi bahwa yang berperan di birokrasi pemerintahan Kabupaten

Maluku tengah adalah orang-orang Haturima Hatuhaha (sebutan untuk nama kampung-kampung tertentu di Pulau Haruku seperti Pelau, Kailolo, dll).61 Dari sinilah muncul sebuah ide besar tentang pemekaran wilayah SBB yang diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada putera-puteri Seram, khususnya SBB, untuk dapat bekerja pada birokrasi pemerintahan.

Bab ini terlebih dahulu akan memaparkan proses pemekaran wilayah

Seram Bagian Barat. Pemekaran ini diawali dengan adanya saling lempar opini antar anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah dan masyarakat tentang kemungkinan pemekaran kabupaten SBB. Selain itu juga akan dibahas tentang perjuangan masyarakat dan elit-elit SBB di tingkat birokrasi, terutama di tingkat kabupaten induk (Maluku Tengah) yang enggan melepaskan Seram Bagian Barat, serta proses pengusulan pemekaran di tingkat pusat. Bab ini juga akan menyoroti motivasi-motivasi pemekaran dan sebuah resume sebagai catatan penutup.

2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat

Pemekaran wilayah di Indonesia entah pada tingkat kabupaten/kota ataupun propinsi dewasa ini mengacu pada Undang-undang nomor 32 tahun 2004.

Berdasarkan UU ini, untuk mengusulkan pemekaran sebuah daerah baru setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Ketiga syarat itu adalah syarat administrasi, syarat teknis dan syarat fisik, yang semuanya selalu ditunjukkan

61 Seperti ungkapan seorang pemuda berinisial OS, tanggal 17 Agustus 2009. 43

dengan angka-angka.62 Artinya, dalam pemekaran ini yang selalu menjadi acuan adalah berapa jumlah kecamatan yang dipunyai oleh sebuah wilayah jika ingin menjadi sebuah kabupaten otonom. Demikian halnya dengan propinsi. Sebuah wilayah yang hendak mekar menjadi kabupaten, sekurang-kurangnya ia harus memiliki paling sedikit lima kecamatan dan empat kecamatan untuk kota serta lima kabupaten untuk propinsi.63

Menurut Giri A. Taufik bahwa tujuan dari pemekaran dapat ditinjau dari beberapa aspek, yakni:64

1. Aspek sosial budaya, salah satunya diharapkan dapat

mengakomodasikan identitas-identitas lokal yang pada gilirannya dapat

berpengaruh pada masyarakat lokal untuk menentukan tujuan-tujuan

pembangunannya.

2. Aspek politik, diharapkan bisa melibatkan dan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam mengambil kebijakan karena rentang kendali

menjadi lebih pendek.

3. Aspek ekonomi, diharapkan bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas

proses pengambilan keputusan, sehingga pemerintah dengan cepat dapat

merespon kepentingan-kepentingan masyarakat.

Dengan demikian pemekaran wilayah ini adalah untuk kepentingan masyarakat, yakni untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat serta pemberdayaan

62Giri Ahmad Taufik, “Konsepsi Pemekaran Aceh (ALA ABAS) Dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan dan Kehidupan Kultural Masyarakat”, dalam Ning Retnaningsih, dkk (ed), Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008, hlm.128- 129. 63Sebagaimana yang tercantum dalam UU No 32 tahun 2004, pasal 5. Selain persyaratan fisik tentang jumlah kecamatan dan kabupaten maka syarat lainnya adalah mengenai lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. 64 Giri Ahmad Taufik, loc cit. 44

masyarakat pada aras lokal dengan selalu memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, yang pada gilirannya menjadikan masyarakat sebagai penentu kebijakan daerahnya sendiri.65

Jika mengacu pada undang-undang tersebut, maka SBB sebenarnya tidak layak untuk dimekarkan menjadi sebuah kabupaten baru sebab syarat fisik berupa jumlah kecamatan yang harus dipunyai oleh sebuah daerah jika ingin mekar menjadi kabupaten otonom tidak terpenuhi. Pada awalnya kabupaten ini hanya terdiri dari tiga kecamatan yakni kecamatan Seram Barat I (Kairatu), Kecamatan

Seram Barat II (Piru) dan Kecamatan Taniwel. Selain itu belum adanya sarana dan prasarana pemerintahan yang memadai yang dapat menunjang SBB sebagai kabupaten baru. Belum lagi adanya polemik seputar lokasi calon ibukota kabupaten jika merujuk pada UU No.40 tahun 2003 pasal 9, sebab dalam undang-undang tersebut dicantumkan bahwa lokasi ibukota kabupaten berada pada Dataran

Hunipopu, sedangkan Dataran Hunipopu sampai saat ini masih merupakan sebuah lahan kosong (tidak berpenghuni).66 Dengan demikian sebagai kabupaten baru

SBB jauh dari kesiapan, tetapi karena desakan anak-anak adat yang menginginkan pemekaran kabupaten cukup kuat, maka undang-undang ini pun tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah apakah masyarakat SBB siap membangun kabupaten yang baru.

65Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia Di Masa Perubahan, Yogyakarta dan Jakarta, Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik LIPI, 2006, hlm. 87 66Wawancara dengan salah satu orang tua yang bermukim di Piru berinisial MS tanggal 21 Desember 2008, selain itu penulispun telah melihat langsung dataran ini. 45

A. Di Awal Perjuangan

Sejarah terbentuknya Kabupaten SBB setidaknya hampir sama dengan sejarah pemekaran kabupaten /kota bahkan propinsi lainnya di Indonesia. Selalu didahului dengan ketidakpuasan dan keluhan-keluhan para elit lokal daerah bersangkutan. Hal ini kemudian mendapat dukungan masyarakat. Sebuah wilayah yang merasa kepentingannya selalu diabaikan oleh pemerintah daerah dengan sendirinya akan berupaya memekarkan diri lepas dari kabupaten induk. Belum lagi penyelenggaraan otonomi daerah lebih didominasi oleh pemerintah daerah yang kurang melibatkan masyarakat dan beranggapan bahwa keterlibatan masyarakat telah terwakili oleh DPRD.67

Hal ini pun terjadi pada daerah Seram Bagian Barat yang merupakan salah satu daerah Kabupaten Maluku Tengah. Wilayah Kabupaten Maluku Tengah meliputi seluruh Pulau Seram serta beberapa gugusan pulau di seputarnya, bahkan sampai pada beberapa kepulauan di Laut Banda (untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran). Dengan rentang kendali yang cukup luas dan tidak didukung akses sarana dan prasarana transportasi yang memadai, inilah yang menjadi alasan utama tuntutan pemekaran oleh masyarakat SBB. Selain itu, pembangunan di beberapa pulau bahkan di Pulau Seram sendiri berjalan sangat lambat. Seperti yang diungkapkan oleh seorang putera daerah SBB, Ir. Niko Puttileihalat, bahwa kalau

SBB dan SBT (Seram Bagian Timur) tidak dimekarkan, maka sampai kapan pembangunan yang sudah berjalan kurang lebih 50 tahun ini bisa dinikmati oleh orang-orang di ujung Seram Timur dan ujung Seram Barat.68 Pernyataan tersebut

67 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009, hlm.315. 68 Harian Umum Siwalima, Kamis 9 Januari 2003, Edisi 048/XII tahun IV. 46

menunjukkan bahwa salah satu cara mempercepat pembangunan di bagian Pulau

Seram adalah dengan pemekaran wilayah menjadi beberapa wilayah administratif baru lepas dari Kabupaten Maluku Tengah.

Dengan adanya isu-isu yang sengaja dihembuskan oleh tokoh-tokoh tertentu yang menyatakan bahwa SBB dan SBT belum siap untuk berdiri menjadi sebuah kabupaten baru, banyak putera-puteri daerah SBB yang membantah hal tersebut dengan semakin memperjuangkan pemekaran daerah ini. Misalnya saja pernyataan seorang anggota DPRD Propinsi Maluku yang berinisial JT bahwa jika dibandingkan SBB dan SBT, sebenarnya Kepulauan Aru jauh lebih siap menjadi kabupaten baru. Pernyataan ini pun tidak dapat dibenarkan mengingat SBB dan

SBT sangat kaya sumber daya alam, baik hasil hutan dan perkebunan maupun bahan tambang (minyak bumi, nikel dan emas).

Isu-isu lain yang berkembang di seputar wacana pemekaran Kabupaten

SBB adalah kesiapan masyarakat dan anak-anak daerah SBB. Maksudnya adalah apakah seluruh masyarakat SBB sudah siap untuk dimekarkan lepas dari Maluku

Tengah. Namun isu inipun tidak berlangsung lama. Sebab, isu ini dibalas dengan pernyataan masyarakat SBB lewat latupati-latupati (raja-raja/bapa raja/kepala desa) se-SBB yang menyatakan kesungguhan mereka untuk lepas dari Maluku Tengah dan berdiri sebagai sebuah daerah otonom baru. Demikianlah awal pemekaran kabupaten ini penuh dengan adu argumentasi antara masyarakat SBB dengan masyarakat non-SBB ataupun dengan Pemerintah Maluku Tengah yang menyebabkan hampir terjadinya perkelahian antar anggota DPRD Maluku Tengah

47

pada saat membahas rencana pemekaran SBB dan SBT pada tanggal 27 Pebruari

2003.69

B. Pemekaran Kabupaten Baru70

Berbekalkan keyakinan untuk mengatur diri sendiri sebagai daerah otonom, para elit lokal dan masyarakat SBB bertekad untuk mekar dari Kabupaten Maluku

Tengah. Hal ini tak lepas dari semangat reformasi yang mengedepankan desentralisasi kekuasaan untuk kepentingan masyarakat. Kondisi ini semakin diperkuat dengan adanya kebijakan pemerintah pusat maupun daerah untuk memekarkan daerah-daerah baru. Sebagaimana respon pemerintah Propinsi

Maluku yang akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Maluku

Nomor 1 tahun 1997 tentang pemekaran 5 daerah otonom di Propinsi Maluku.

Di setiap awal proses pemekaran suatu daerah, kekuatan masyarakat menjadi salah satu faktor penentu. Seperti yang diungkapkan oleh Yaya Mulyana bahwa sinergi kekuatan-kekuatan masyarakat dapat menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pemekaran propinsi Banten yang lepas dari Propinsi Jawa

Barat.71 Demikian juga dengan Kabupaten SBB yang ingin mekar dari Kabupaten

Maluku Tengah sebagai wujud pelaksanaan surat keputusan Pemerintah Daerah

Propinsi Maluku.

Para elit lokal SBB dan masyarakat SBB ingin berdiri sendiri sebagai sebuah wilayah administrasi baru. Pemekaran wilayah SBB berangkat dari sebuah idealisme elit-elit SBB yang mengidam-idamkan adanya sebuah kabupaten yang

69 Harian Umum Siwalima, Jumat 28 Februari 2003, Edisi: 028/II Tahun IV 70 Sebagian sejarah pemekaran ini diperoleh dari arsip Sekda SBB bagian pemerintahan. 71 Yaya Mulyana, “Dimensi Gerakan Dalam Pembentukan Propinsi Banten”, dalam Erick Hiariej, Ucu Martanto, Ahmad Musyaddad (Ed), Politik Transisi Pasca Soeharto, Yogyakarta, FISIPOL UGM, 2004, hlm.202. 48

bisa menjadi sarana bagi putera-puteri daerahnya untuk berkarya di birokrasi pemerintahan tanpa takut tersaingi oleh orang luar. Selain itu, walaupun tidak memiliki organisasi resmi yang dapat menjadi sarana penggerak, ide pemekaran ini tetap dimantapkan dalam setiap pertemuan para elit SBB.72 Ide ini kemudian mereka satukan dalam perjuangan di tingkat birokrasi pemerintahan maupun di tingkat masyarakat yang memang selama ini menginginkan sebuah perubahan bagi daerah mereka.

Pada awalnya keputusan Pemda Propinsi tidak dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Padahal telah dilakukan uji kelayakan oleh Tim Studi Kelayakan Seram Bagian Barat Propinsi Maluku dan Bappeda

Propinsi Maluku pada bulan Oktober sampai Nopember 2000.73 Terhadap uji kelayakan ini, menurut pendapat Ketua Tim Kerja Otonomi Daerah Komisi II

DPR-RI sebagaimana dikutip Makagansa, penentuan kelayakan daerah merupakan titik awal dan sangat menentukan daya mandiri daerah itu untuk membangun ke depan dan tidak menjadi beban dan tanggung jawab negara.74 Dengan dukungan pemerintah propinsi, SBB dinilai layak berdiri menjadi sebuah kabupaten otonom.

Dengan kondisi yang demikian, Consorsium Nusa Ina (CNI) selaku NGO dan putera-puteri daerah SBB yang berdiam di luar SBB bersama sejumlah institusi kemasyarakatan, para latupati75 yang ada di empat kecamatan (Huamual Belakang,

Kairatu, Seram Barat dan Taniwel), mulai melakukan tekanan-tekanan politik ke

72 Wawacara tanggal 17 Januari 2009, dengan seorang pemuda yang juga turut bekerja untuk proses ini berinisial OS 73 Harian Umum Siwalima, Selasa 19 Agustus 2003, Edisi 214/VIII Tahun IV. 74 Makagansa, op.cit, hlm. 165. 75 Latupati adalah raja yang membawahi beberapa orang raja. 49

berbagai institusi pemerintahan. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan guna proses pemekaran tersebut.

Sikap Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah yang tidak segera merespons keputusan Pemerintah Maluku dan segala aspirasi masyarakat SBB merupakan salah satu faktor kendala desentralisasi. Menurut Edie Toet Hendratno, kendala tersebut adalah adanya ketidaktulusan di kalangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mendudukkan masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Posisinya yakni sebagai elemen penting dalam proses pengambilan keputusan.76 Atau dengan kata lain bahwa adanya kecenderungan Pemerintah

Kabupaten Maluku Tengah tidak rela melepaskan SBB dan SBT menjadi kabupaten otonom baru mengingat daerah-daerah ini kaya sumber daya alam, merupakan salah satu faktor yang dapat menyumbang kemandirian ekonomi suatu daerah.77

Selain itu, perjuangan masyarakat yang dimotori CNI ini menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tingkat lokal memiliki pengaruh yang begitu kuat karena didukung berbagai tokoh masyarakat yang sudah diakui (cukup terkenal di kalangan masyarakat Seram bahkan Maluku).78 Tokoh-tokoh masyarakat ini bukan saja yang berdiam di SBB sendiri, melainkan juga melibatkan sejumlah tokoh-

76 Edie Toet Hendratno, op.cit, hlm. 69. Menurutnya selain adanya ketidaktulusan pemerintah baik pusat maupun daerah, faktor lain yang menjadi kendala desentralisasi adalah skala besaran wilayah operasi pemerintah daerah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi kurang efektif terutama dalam menangani persoalan sosial dan ekonomi. 77 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 58. 78 Bandingkan dengan tulisan Yaya Mulyana tentang proses pemekaran Propinsi Banten yang dimotori oleh kelompok-kelompok masyarakat, LSM-LSM, himpunan-himpunan maupun forum- forum serta mahasiswa yang setidaknya telah mengecap pendidikan metropolitan yang mencetuskan pikiran-pikiran guna pemekaran tersebut, Dalam Dimensi Gerakan dalam Pembentukan Propinsi Banten, op.cit, hlm. 208. 50

tokoh yang berada di luar SBB (Ambon dan sekitarnya) yang cukup vokal bersuara tentang pemekaran.

Dengan adanya tekanan-tekanan yang dilakukan oleh masyarakat SBB melalui perwakilan CNI dicapailah hasil-hasil yang cukup menggembirakan.

Diantaranya adalah Rekomendasi Bupati Maluku Tengah (Rudolf Ruka) Nomor :

100/87/Rek/2002 tanggal 21 Juni 2002 tentang dukungan pemekaran Kabupaten

Seram Bagian Barat. Dukungan ini bukan saja diperoleh dari Bupati Maluku

Tengah tetapi juga dari Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Hasbullah Selan,

SHi (Sarjana Hukum Islam). Menurut informasi yang didapat bahwa rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bupati Rudolf Ruka adalah berdasarkan tulisan salah satu tokoh pemekaran SBB.79

Menurut para elit SBB, Rekomendasi Bupati Maluku Tengah dan dukungan ketua DPRD merupakan titik awal pengusulan kabupaten SBB ke DPR-RI.

Adapun pengusulan ini nantinya akan masuk dalam agenda pembahasan dewan.

Dengan dukungan 20 anggota DPR-RI sebagai hak usul inisiatif dewan maka dalam Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 27 Nopember 2002 telah diambil keputusan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemekaran Kabupaten

SBB. Keputusan ini sebagai hak usul inisiatif dewan dan didukung semua fraksi.

Demikianlah secara politis Seram Bagian Barat telah final dan hanya menunggu proses administrasi.

79 Wawancara dengan seorang tokoh pemekaran berinisial NE tanggal 2 Maret 2009. Dari penjelasan tokoh inilah tersingkap jelas kenapa sampai saat ini masih ada beda pendapat antara Pemerintah Kabupaten SBB dengan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah tentang tapal batas kedua kabupaten ini. 51

Consorsium Nusa Ina (CNI) dalam gerakan pemekaran berjalan tanpa dukungan dana dari pemerintah daerah. Namun dengan tekad dan semangat telah memfasilitasi dokumen administrasi mulai dari pengumpulan dukungan masyarakat

SBB, membuat studi kelayakan, pembuatan lambang kabupaten80 serta memfasilitasi kelengkapan normatif lainnya. Kelengkapan itu antara lain dukungan pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah. Dukungan Pemerintah

Maluku Tengah yang dirasakan lambat mengindikasikan kekurangseriusan dalam proses tersebut.

Tanggapan yang kurang serius dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menyebabkan adanya campur tangan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat yang selalu memberikan tekanan politik dan hukum. Pemerintah Propinsi Maluku menyatakan dukungannya dengan mengeluarkan SK Gubernur Maluku Nomor 139 tahun 2003 tentang kesanggupan pemenuhan Propinsi Maluku atas dukungan dana bagi kabupaten baru. Selain itu juga dukungan datang dari Komisi II DPR-RI.

Terhadap dukungan DPR-RI ini banyak suara yang mempertanyakan dukungan mereka. Misalnya dalam kasus pemekaran salah satu kabupaten di Sumba (Propinsi

NTT) ditemukan bahwa kedatangan anggota DPR di daerah tersebut bukan dalam rangka penilaian layak atau tidak, melainkan dalam fungsi konsultatif. Maksudnya adalah mengarahkan dan memberikan saran-saran bagaimana pemekaran dapat mulus dan digolkan.81 Hal ini tentu saja akan berpengaruh ketika daerah tersebut jadi dimekarkan.

80 Pembuatan lambang kabupaten ini dikerjakan oleh tokoh-tokoh pemekaran serta tokoh-tokoh masyarakat SBB, salah satu tokoh tersebut yang menjadi responden. Dengan motto Saka Mese Nusa (bahasa Wemale) artinya Jaga Pulau Bai-bai (jaga pulau dengan baik). 81 Makagansa, op.cit, hlm.187-188. 52

Dengan dukungan dari semua pihak, maka semua kelengkapan administratif dari pemerintah kabupaten induk dan pemerintah propinsi pada waktunya dapat dipenuhi. Pada tanggal 10 – 20 Nopember 2003 diadakan pembahasan Rancangan

Undang-Undang Pemekaran. Pembahasan RUU ini menyangkut pemekaran 24 kabupaten dari 13 propinsi di seluruh Indonesia oleh pemerintah pusat bersama

DPR-RI. Pembahasan ini dihadiri oleh LO (Liason Officer) dan perwakilan tiap propinsi. Propinsi Maluku diwakili ketua CNI (Jacobus Fredik Puttileihalat, S.Sos).

Oleh Dr. Sijagor Situmorang yang mewakili pemerintah pusat, ditunjuklah ketua

CNI untuk mempresentasikan tiga kabupaten di propinsi Maluku, yakni Seram

Bagian Barat (SBB), Seram Bagian Timur (SBT) dan Kepulauan Aru.

Pada tanggal 7 Januari 2004 di Jakarta telah diresmikan berlakunya 24 daerah otonom baru di seluruh Indonesia. Oleh karena tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya kedua puluh empat daerah itu. Pengukuhan tanggal 7 Januari

2004 sebagai hari lahirnya Kabupaten SBB ditetapkan dengan Surat Keputusan

Bupati SBB Nomor: 141-04 tanggal 25 Agustus 2005.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menuju sebuah perubahan sangat diperlukan dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat tentunya dapat menjadi daya dorong untuk maju di bawah pengawasan pemerintah daerah dan pusat. Perjuangan panjang masyarakat SBB dan masyarakat daerah lain hasil pemekaran ini setidaknya telah membuktikan bahwa kekuatan masyarakat di era desentralisasi kekuasaan cukup mampu membawa perubahan bagi masyarakat itu sendiri tanpa menunggu perubahan dari pemerintah. Sebab, yang menjadi sasaran pemekaran adalah masyarakat itu sendiri.

C. Alasan-alasan di Balik Usulan Pemekaran 53

Ketika tercetus keinginan untuk berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom, dalam pengajuan proposal untuk mekar setidaknya tercantum alasan- alasan mendasar. Alasan-alasan ini dapat menjadi dasar pijakan bagi pemerintah daerah maupun pusat guna persetujuan pemekaran. Alasan utama yang sering dikemukakan dalam proses pemekaran suatu daerah menurut Makagansa adalah peningkatan pelayanan publik dengan memperpendek rentang kendali pemerintahan dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil. Selain itu juga peningkatan kesejahteraan menjadi salah satu alasan cukup populer terkait dengan pembagian pendapatan daerah dari hasil sumber daya alam yang tidak seimbang antara daerah dengan pusat. Masalah identifikasi etnis juga disebut-sebut sebagai salah satu alasan utama.

Bagi para elit SBB alasan utama pemekaran adalah memperkecil rentang kendali guna pelayanan publik. Hal ini tentulah dapat dipahami mengingat rentang kendali wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah yang terbentang dari timur ke barat sangat luas. Belum lagi akses sarana dan prasarana transportasi yang tidak memadai. Hal inilah yang mendorong timbulnya gerakan pro pemekaran yang disponsori oleh CNI dan tokoh-tokoh masyarakat SBB lainnya. Jadi alasan yang dikemukakan disini bukan semata-mata copy- paste dari alasan pemekaran daerah lain.

Di antara alasan yang diberikan tersebut, muncul pertanyaan lain yang cukup penting untuk mendapat perhatian. Apakah hanya alasan itu yang mendorong tokoh-tokoh elit SBB berjuang untuk lepas dari Kabupaten Maluku

Tengah? Atau adakah alasan lain yang cukup kuat memotivasi para tokoh pejuang

54

pemekaran? Semua itu nantinya dapat terjawab ketika daerah SBB telah resmi berdiri sebagai sebuah kabupaten baru.

Ada beberapa alasan/sebab terjadinya pemekaran. Seperti yang diungkapkan oleh Aloysius Gunadi Brata, alasan tersebut adalah penyebaran geografis (wilayah administratif yang cukup luas), keragaman politik etnis, kekayaan sumber daya alam dan juga soal korupsi elit-elit lokal yang memburu peluang-peluang ekonomis pemekaran.82 Dari pendapat tersebut kelihatannya alasan yang mendasar hampir selalu ada di setiap proses pemekaran. Walaupun demikian belum tentu semua alasan dimasukkan sebagai alasan resmi pemekaran

(tercatat dalam proposal pemekaran yang diajukan kepada pemerintah daerah maupun pemerintah pusat). Banyak daerah ketika hendak mekar selalu mengajukan diri dengan alasan yang kelihatannya sangat logis. Tetapi di balik semua alasan- alasan yang kelihatannya logis tersebut, terselip alasan-alasan yang tidak pernah disinggung di depan publik.

Seperti yang diungkapkan oleh Makagansa bahwa memang di luar alasan formal yang sering digembar-gemborkan ada beberapa alasan yang tidak diucapkan namun sesungguhnya menjadi semangat pemekaran daerah.83 Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah:

1. Motif politik identitas kultural; selama ini banyak etnis dan sub-etnis

yang merasa terpinggirkan dalam akses terhadap sumber-sumber daya

publik. Ini kemudian mendorong para elit mereka berupaya menggalang

82 Aloysius Gunadi Brata, “Konsolidasi Daerah dan Pelayanan Publik”, dalam Ning retnaningsih, dkk (ed), Penataan Daerah (Territorial Reform) Dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008, hlm. 59. 83 Makagansa, op.cit, hlm. 165-166. 55

dukungan masyarakat dengan menghembuskan isu etnis tersebut.

Misalnya saja dalam tulisan Gustiana Kambo yang memperlihatkan

betapa Suku Mandar ingin mekar menjadi sebuah propinsi baru lepas

dari dominasi Suku Bugis di Propinsi Sulawesi Selatan karena merasa

memiliki identitas budaya sendiri, Pemekaran Kabupaten Mentawai

yang lepas dari Padang Pariaman dan kasus pada daerah-daerah

mekaran lainnya.

2. Motif menciptakan peluang perekrutan jabatan bagi elit lokal; dari motif

ini terlihat dengan jelas keinginan menciptakan posisi kekuasaan yang

lebih banyak di daerah tertentu. Hal ini dapat dipahami mengingat

pembentukan daerah administratif baru semakin menciptakan peluang

bagi perekrutan kepala daerah baru dan berbagai jabatan-jabatan

strategis lainnya sampai pada sejumlah besar tenaga kerja pada birokrasi

pemerintahan. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa seringkali para

pemrakarsa pemekaran tersebut akhirnya terpilih menjadi kepala daerah

dan wakilnya, entah itu bupati ataupun gubernur.

Dari alasan-alasan ini terlihat dengan jelas bahwa pemekaran yang selalu dikatakan untuk masyarakat sebenarnya hanya merupakan bagian kecil yang ingin dicapai oleh tokoh-tokoh pejuang pemekaran suatu daerah. Dengan kata lain, pemekaran diboncengi kepentingan pribadi. Atau, tujuan-tujuan pragmatis sangat dominan dalam pemekaran wilayah di era reformasi dan sebaliknya kepentingan

56

publik hanya sebagai „tumpangan‟ bagi aktor-aktor dalam mencapai self-interest mereka yang sesungguhnya.84

Dengan melihat alasan-alasan/motif pemekaran di atas, baik yang tersurat maupun tidak, hal ini dapat dipakai untuk membedah kondisi pemekaran

Kabupaten SBB yang merupakan salah satu kabupaten mekaran baru di Propinsi

Maluku bersama dengan Kabupaten SBT dan Kepulauan Aru. Benarkah SBB mekar semata-mata hanya karena alasan pelayanan publik yang mempermudah masyarakat serta mendekatkan pemerintah dengan masyarakat? Apakah tidak ada motivasi lain selain hal tersebut? Pertanyaan ini kemudian mengemuka setelah kabupaten SBB mekar.

Menurut seorang responden yang juga adalah seorang tokoh gerakan pemekaran, sebenarnya alasan yang dikemukakan dalam draf usulan pemekaran hanya bersifat umum. Maksudnya, yang dikemukakan dalam draf tersebut hanyalah demi alasan pelayanan publik dengan memperkecil rentang kendali dari

Masohi sampai ke Seram Barat (bahkan beberapa pulau sekitarnya) dan Taniwel, tetapi ada alasan mendasar yang tidak dicantumkan. Kalau alasannya untuk memperkecil rentang kendali pemerintahan maka sebenarnya yang menjadi permasalahan adalah pada sarana dan prasarana transportasi. Pemerintah

Kabupaten Maluku Tengah bisa saja diminta untuk membuat jalan raya dari Tala langsung ke Taniwel. Selain itu juga, memperbaiki jalan raya yang menghubungkan Masohi dengan kecamatan-kecamatan lain. Sedangkan untuk mengatasi jauhnya jarak yang ditempuh untuk pelayanan administratif maka dapat dibangun beberapa kantor camat pembantu di wilayah-wilayah tersebut, biaya yang

84 Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah, Politik Lokal & Beberapa Isu terseleksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hlm.34-35. 57

dikeluarkan untuk pembangunan ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya pemekaran kabupaten baru.85

Dari penjelasan itu setidak-tidaknya dapat diketahui beberapa hal menyangkut keinginan masyarakat SBB untuk mekar. Diantaranya adalah bahwa selama berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah, tidak adanya kesetaraan dalam pembangunan. Maksudnya pembangunan itu lebih banyak menjangkau daerah-daerah seputar Masohi. Contohnya jalan trans-Seram yang menghubungkan Masohi dengan Wahai (Kecamatan Seram Utara) yang diaspal hotmix sehingga mempermudah akses ke Masohi.

Selain lambatnya pembangunan menjangkau wilayah barat dan timur Pulau

Seram, memperkecil rentang kendali sebenarnya bukan merupakan sebuah alasan yang kuat untuk pemekaran. Alasan sebenarnya muncul dalam pertanyaan awal yang tokoh (Bapak NE) ini lontarkan bahwa selama dalam Kabupaten Maluku

Tengah, ada berapa banyak Anak Seram yang duduk pada birokrasi pemerintahan?

Hal ini tentunya menyiratkan alasan-alasan yang sebenarnya menjadi dasar pijakan tokoh-tokoh pemekaran untuk bertindak. Dengan mempertanyakan berapa banyak

Anak Seram pada birokrasi Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah mengindikasikan adanya rasa ketidakpuasan diperlakukan tidak adil oleh

Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Oleh karena itulah maka para tokoh ini berjuang agar setidaknya SBB dapat menjadi sebuah kabupaten baru yang dapat menampung aspirasi masyarakat SBB terlebih khusus memperhatikan semua nilai- nilai kearifan lokal yang terdapat dalam kultur masyarakat SBB.

85 Wawancara dengan seorang tokoh pemekaran yang berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009. 58

Dengan alasan yang diungkapkan tersebut telah terjawab apa yang selama ini melatarbelakangi perjuangan pemekaran. Seperti yang diungkapkan oleh

Makagansa bahwa alasan yang tidak digembar-gemborkan adalah perjuangan atas nama etnis dan masyarakat yang termarjinalkan. Perjuangan ini adalah upaya agar anak-anak Seram mendapat pengakuan bahwa mereka juga mampu berkarya pada birokrasi pemerintahan hanya saja tidak diberi kesempatan oleh Pemerintah

Maluku Tengah. Selain itu juga mereka berhak untuk bekerja di daerah mereka tanpa takut disaingi oleh orang lain.

Ketika pada akhirnya SBB berdiri menjadi sebuah kabupaten otonom, dan berhadapan dengan proses pilkada yang pertama di tahun 2005, calon-calon yang maju dalam perebutan kursi bupati dan wakil bupati semuanya diisi oleh tokoh- tokoh pemekaran. Menurut salah seorang informan yang turut bekerja untuk pemekaran kabupaten ini, adanya tokoh-tokoh pemekaran yang maju sebagai calon bupati dan wakil bupati hanya untuk menyiasati undang-undang pemilihan kepala daerah. Sebab jika ini tidak dilakukan, maka akan ada calon yang berasal dari luar

SBB (bukan etnis SBB) dan tidak tertutup kemungkinan bisa saja orang yang berasal dari luar SBB tersebut yang menjadi bupati pertama kabupaten SBB. Hal inilah yang diantisipasi oleh para tokoh pemekaran tersebut, sehingga siapapun yang memenangkan kursi bupati dan wakil bupati pertama SBB adalah orang SBB sendiri.86

Informasi ini kelihatannya sangat rasional, namun ketika dibenturkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, misalnya besarnya biaya kampanye yang dikeluarkan oleh masing-masing calon bahkan sampai dengan masalah tarik-

86 Wawancara tanggal 17 Agustus 2009. 59

ulur hasil pemilihan, informan ini hanya mampu mengatakan bahwa ini sudah menyangkut masalah politik dan ia tidak dapat menjawabnya. Itu berarti bahwa tujuan pemekaran yang pada awalnya baik telah berubah menjadi sebuah arena perebutan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh pemekaran itu sendiri.

Dari sinilah awal alasan pengutamaan putera-puteri daerah ini dimunculkan. Putera-puteri Seram merasa bahwa pemekaran itu hanya untuk mereka. Hanya mereka yang berhak duduk dalam birokrasi pemerintahan karena memang itulah yang sejak awal diperjuangkan. Tetapi di atas semua itu putera- puteri Seram harus siap bersaing dengan orang lain akibat adanya niat-niat tersembunyi yang dibawa sejak awal perjuangan pemekaran daerah.

3. Catatan Penutup

Dengan paparan di atas, pemekaran Kabupaten SBB merupakan bukti kerjasama masyarakat dengan tokoh elit masyarakat SBB baik yang bermukim di

SBB maupun di Ambon dan sekitarnya. Para elit SBB dalam memperjuangkan pemekaran kabupaten baru tidak sendirian. Mereka mendapat dukungan dari masyarakat SBB terlebih lagi oleh para latupati, meskipun pada awalnya proses pemekaran ini tersendat-sendat karena adanya ketidaktulusan Pemda Kabupaten

Maluku Tengah.

Adapun tujuan pemekaran Kabupaten SBB adalah untuk kesejahteraan masyarakat SBB, yakni mempermudah pelayanan administratif dan mendekatkan pemerintah dengan masyarakat. Tetapi tujuan utama yang menjadi ide dasar pemekaran ini adalah memperjuangkan nasib putera-puteri Seram, khususnya

Seram Bagian Barat, yang termarjinalkan di daerah sendiri. Keprihatinan ini berawal dari sebuah kenyataan sangat minimnya putera-puteri Seram yang duduk

60

pada birokrasi pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah. Dari adanya keprihatinan tersebut, di awal pemekaran telah berhembus isu adanya pengutamaan putera- puteri daerah. Mereka yang merasa sebagai etnis SBB semakin yakin adanya suatu perbaikan kondisi dengan berdiri sebagai sebuah kabupaten otonom lepas dari

Maluku Tengah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan adanya pemekaran kabupaten baru, banyak peluang putera-puteri daerah SBB untuk bekerja dan mengabdi di negeri sendiri khususnya pada birokrasi pemerintahan. Mereka yang merasa sebagai putera-puteri daerah SBB sangat menyakini hal tersebut. Bahkan mereka merasa yakin bahwa isu pengutamaan putera daerah ini akan benar-benar dilaksanakan. Itu berarti akan menutup peluang bagi para pendatang.

61

B A B IV

PERGUMULAN KABUPATEN BARU

DAN POLITISASI IDENTITAS

1. Pengantar

Terbentuknya kabupaten baru melambungkan banyak harapan, teristimewa di kalangan warga daerah SBB. Bab ini akan menyoroti politisasi identitas dalam kaitannya dengan upaya-upaya perebutan sumber-sumber daya publik, terutama di kalangan masyarakat Waisarisa. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat

Waisarisa yang penulis angkat disini. Pertama, masyarakat Waisarisa merupakan masyarakat yang sangat heterogen. Artinya, mereka bukan merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan-kesamaan tertentu sebagaimana layaknya masyarakat pada negeri-negeri87 di Maluku pada umumnya.88 Mereka tidak terdiri atas satu etnis, tetapi beberapa etnis dengan kepercayaan dan budaya yang berbeda pula.

Adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti Group di daerah ini menyebabkan banyak orang dari berbagai daerah, bahkan dari luar propinsi

Maluku, datang bekerja di sini.

Kedua, politisasi identitas paska pemekaran SBB sebagai kabupaten baru sangat marak dibicarakan. Artinya, politisasi identitas dalam kaitannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik menjadi isu krusial dalam wacana

87 Lihat catatan kaki 3 pada Bab I. 88 Perbedaan Waisarisa dengan negeri-negeri lain di Maluku yang lebih spesifik sudah penulis utarakan pada bab I secara terperinci (lihat catatan kaki 21) 62

pemekaran wilayah.89 Politisasi identitas ini menjadi menarik karena etnis

Maluku pada umumnya memiliki nama keluarga (fam)90 yang melekat pada diri masing-masing orang sejak lahir. Dengan fam ini antar orang Maluku sendiri dapat saling mengenali asal negeri masing-masing. Fam ini kemudian menjadi sebuah penanda identitas etnis seseorang.

Pada waktu SBB mekar menjadi kabupaten baru, berkembang wacana penerimaan CPNS hanya untuk putera daerah91 SBB. Salah satu indikator putera daerah dalam pandangan masyarakat SBB adalah mereka yang memakai fam etnis

SBB. Syarif Ibrahim Aqadrie92 merumuskan pengertian putera daerah dengan mengemukakan dua indikator. Indikator pertama adalah keterikatan melalui hubungan vertikal dari garis ayah. Berdasarkan indikator ini ia merumuskan, bahwa putera daerah adalah semua orang yang memiliki hubungan darah atau ikatan genealogis dengan kelompok etnis yang menjadi kelompok mayoritas atau yang dianggap asli, dan telah sangat lama mendiami daerah atau lokasi domisili kelompok etnis itu.93

Indikator kedua adalah bahwa putera daerah tidak hanya ditentukan oleh hubungan genealogis, tetapi juga oleh faktor tempat kelahiran. Artinya, setiap

89 Kalimat yang tercetak miring ini sengaja penulis lakukan untuk menjelaskan adanya kepentingan-kepentingan masyarakat yang ingin bekerja di birokrasi pemerintahan. Kepentingan masyarakat ini selalu terkait dengan adanya pandangan umum dalam kehidupan masyarakat Maluku bahwa lebih baik menjadi PNS daripada bekerja pada sektor swasta karena alasan lebih terjaminnya masa depan. Selain pandangan umum tersebut, sampai saat ini masih sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sektor-sektor swasta yang turut mengambil peranan dalam pembangunan masyarakat di SBB, menyebabkan hampir sebagian besar warga SBB berorientasi menjadi PNS dan bukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. 90 Lihat catatan kaki 6 Bab I. 91 Kata ini sengaja penulis miringkan karena sampai sekarang masih ada kerancuan pengertiaannya dalam pandangan masyarakat awam SBB. 92 Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura Pontianak. 93 Syarif Ibrahim Aqadrie, “Pemekaran Wilayah: Masalah dan Implementasinya Dalam Pembangunan Daerah Di Kalimantan Barat”, dalam Ning Retnaningsih, dkk (ed), Penataan Daerah dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008, hlm. 57-58. 63

orang yang lahir dan berdomisili di tempat tersebut minimal sekitar satu generasi atau 25 tahun adalah juga putra daerah yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.94 Dari pengertian ini jelas bahwa putera daerah bukan hanya mereka yang menggunakan fam etnis SBB saja, melainkan juga setiap orang yang telah bermukim lama sekitar satu generasi di daerah SBB.

Selain adanya nama fam yang melekat di belakang setiap nama individu yang merupakan ciri khas orang Maluku, hal yang cukup menarik adalah bahwa walaupun orang-orang Nusalaut sudah sekitar dua generasi menempati tanah

Waisarisa, mereka tetap mengenakan nama fam dari negeri asal mereka

(Nusalaut). Di satu sisi mereka merasa telah menjadi orang SBB, tetapi di sisi lain mereka tetap menyadari keberadaan mereka sebagai orang Nusalaut. Hal ini selalu membuat mereka berada dalam ambivalensi “siapakah kami sebenarnya”. Hal ini semakin rumit ketika diperhadapkan pada seleksi penerimaan CPNS. Wacana yang beredar jauh hari sebelum pemekaran adalah pengutamaan putera daerah SBB dalam seleksi penerimaan pegawai.95

Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum

Waisarisa, baik geografi, demografi serta sejarah lokal masyarakat Waisarisa.

Selain itu bab ini juga memaparkan kehidupan mantan pekerja pabrik baik masyarakat lokal maupun pendatang yang sampai saat ini masih tinggal bersama di

Waisarisa sampai pada pengidentifikasian penduduk lokal/asli dan pendatang

(orang dagang) berdasarkan daerah asal dan tempat kelahiran. Proses

94ibi d, Pendapat ini Ia dipakai untuk membedah permasalahan siapakah yang dikatakan putera daerah Kalimantan Barat, karena adanya etnis-etnis lain (tionghoa dan Melayu-Arab) yang menghuni Kalimantan Barat sejak abad-18 M. (Syarif Ibrahim Aqadrie, Pemerintahan, Otonomi Daerah, Idenetifikasi Etnis dan Konflik Horizontal di Kalimantan, dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI Press, 2007, hlm.188). 95 Issu inipun sempat penulis dengar sewaktu para elit masyarakat SBB sedang memperjuangkan pemekaran kabupaten tersebut sekitar tahun 2003. 64

pengidentifikasian penduduk asli dan pendatang ini sampai pada upaya perebutan sumber-sumber daya publik serta proses negosiasi antara penduduk lokal dan pendatang.

2. Masyarakat Waisarisa A. Geografis dan Demografis

Waisarisa adalah sebuah negeri yang terletak di Kecamatan Kairatu,

wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat. Daerah ini dapat ditempuh

sekitar kurang lebih 3-4 jam perjalanan dari Ambon selaku ibukota propinsi

Maluku dan 20-25 menit dari Piru, ibukota kabupaten SBB. Secara

geografis, Waisarisa berbatasan dengan Air Aru di sebelah barat, Kali

Waisarisa di sebelah timur. Sebelah utara dengan hutan rimba (kurang lebih

berjarak 15 km dari tepi pantai) dan sebelah selatan dengan laut teluk

Piru.96 Ketika pada tahun 1983 pabrik pengolahan kayu lapis mulai

beroperasi97 di Waisarisa dan Kamal, Waisarisa menjadi sebuah negeri

industri yang ramai karena begitu banyak pendatang yang bermukim di sini.

Waisarisa akhirnya menjadi sebuah negeri yang terdiri dari berbagai macam

etnis dan sub etnis. Mereka hidup bersama dengan pola budaya yang

berbeda. Baik yang menempati kemp perusahaan maupun yang tinggal di

rumah penduduk.

Dengan adanya pabrik itu, jumlah penduduk Waisarisa pun

bertambah. Jumlah penduduk Waisarisa sebanyak 1.712 jiwa dari 481 KK

(Kepala Keluarga), laki-laki sebanyak 896 jiwa, perempuan sebesar 816

jiwa yang tersebar pada 3 RW dan lokasi kemp. Selain itu Waisarisa

96 Sumber: Kantor Desa Waisarisa, tanggal 17 Januari 2009. 97 http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008. 65

dikenal sebagai sebuah negeri Kristen. Tetapi data yang diperoleh

menunjukkan bahwa hal ini tidak benar. Selain Kristen Protestan ada juga

pemeluk agama-agama lainnya. Islam merupakan agama mayoritas kedua

dengan jumlah 579 jiwa. Walaupun tingkat keragaman agama dan

kepercayaan cukup tinggi, namun tidak pernah sekalipun para pemeluk

agama yang berbeda ini saling cekcok satu dengan yang lain. Satu hal yang

tidak dapat dipungkiri bahwa banyak penduduk Waisarisa yang dulu

bekerja di pabrik, akhirnya memilih menjadi petani dan beberapa sektor

swasta lainnya (tukang ojek dan pengumpul batu, dll).

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Waisarisa telah menjadi

sebuah negeri majemuk dengan adanya pembangunan pabrik pengolahan

kayu lapis. Kendati demikian berdasarkan pengamatan langsung Waisarisa

tetap sama seperti negeri-negeri lainnya di Maluku, yakni agak lambat

tersentuh pembangunan walaupun jaraknya cukup dekat ke Piru bahkan ke

Ambon. Selain itu walaupun terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang

berbeda, semuanya dapat hidup berdampingan tanpa mengalami

persinggungan yang dapat membawa perpecahan dalam masyarakat.

Pendek kata, berbeda dari Ambon dan beberapa kawasan lain di Maluku,

keragaman penduduk di Waisarisa tidak menimbulkan konflik kekerasan.

B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa98

Keberadaan suatu etnis di suatu tempat memiliki sejarahnya secara

tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki oleh suatu etnis

98 Bahan-bahan paparan sejarah lokal ini diperoleh dari penulusuran arsip pada kantor Desa Waisarisa, serta wawancara dengan orang-orang tua yang termasuk dalam rombongan kedua yang datang ke Waisarisa serta kepala desa. 66

dalam hubungannya dengan etnis lain.99 Pada awal bab ini telah penulis

ungkapkan bahwa penduduk lokal Waisarisa bukan etnis SBB. Mereka

merupakan orang-orang Nusalaut.100 Adapun keberadaan mereka di tanah

Waisarisa ini sudah sekitar dua generasi terhitung sejak tahun 1949. Tanah

yang mereka tempati merupakan pemberian secara adat oleh Raja Eti, Raja

Kaibobo dan Waesamu (diwakili oleh salah satu Kapala Soa101).

Penyerahan tanah Waisarisa secara adat dilakukan pada tanggal 23

Oktober 1949 sekaligus mengukuhkan bahwa anak-anak Nusahulawano

resmi sebagai pemilik tanah Waisarisa sejak tahun 1949. Menurut seorang

Oma (nenek) bermarga Leiwakabessy, ketika suaminya pensiun dan

kembali dari Sorong, setelah ke Nalahia102, mereka langsung Waisarisa di

awal tahun 1960. Ketika mereka datang sudah ada beberapa rumah orang

Nusalaut, lama-kelamaan makin bertambahlah orang-orang Nusalaut yang

mendiami tanah ini.103

Karena sudah menempati tanah ini cukup lama, orang-orang

Waisarisa tetap menyatakan diri sebagai orang Waisarisa. Mereka merasa

sebagai orang Waisarisa tetapi sekaligus mereka juga tahu bahwa orang-

orang tua mereka berasal dari Nusalaut. Walaupun menyadari keberadaan

mereka sebagai generasi yang berasal dari Nusalaut, banyak yang tidak

99 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 84. 100 Kata-kata ini sengaja penulis miringkan karena ini merupakan ungkapan orang Maluku terhadap asal etnis yang lebih merujuk pada nama pulau tempat mereka berasal bahkan ada yang merujuk pada nama negeri (kampung) ia berasal. Dapat dibandingkan dengan asal fam (catatan kaki 5 Bab I). 101 Soa adalah suatu bagian administratif dalam desa/negeri dalam lingkup tradisional terdiri dari sejumlah mata-rumah (klen), kapala Soa berarti, pemimpin sebuah Soa. 102 Salah satu nama negeri di Nusalaut. 103 Wawancara tanggal 14 Januari 2009. 67

pernah tahu bagaimanakah negeri asal mereka di Nusalaut. Hal ini

dikarenakan mereka tidak pernah diajak pulang untuk sekedar menengok

kampung halaman. Kalaupun pernah rata-rata baru sekali.104 Tetapi bagi

seorang perempuan Waisarisa, ketika menikah harta kawinnya harus tetap

dibawa kembali ke rumah tua105 asal perempuan tersebut yakni di

Nusalaut.106

3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik

Sejak awal pemberiannya, Waisarisa hanya dihuni oleh masyarakat lokal

(yang berasal dari Nusalaut). Tetapi pada tahun 1983, pabrik pengolahan kayu lapis milik PT.Djayanti Group didirikan di daerah ini (dan juga Kamal). Daerah inipun menjadi ramai, penduduk Waisarisa bertambah, dan terjadi perjumpaan antar budaya yang berbeda. Perbedaan latar belakang ini tidak pernah menjadi alasan untuk tidak saling berkomunikasi, apalagi mereka sama-sama bekerja di pabrik.

Ketika bekerja di pabrik, antar sesama pekerja tidak pernah saling bentrok, seperti yang diungkapkan para informan bahwa mereka sama-sama bekerja di pabrik untuk hidup. Oleh pihak perusahaan mereka disediakan kemp-kemp tempat tinggal. Kalau sampai terjadi pertengkaran diantara mereka resikonya adalah dikeluarkan dari kemp tersebut.107 Selain itu, oleh pihak perusahaan selalu diadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan semua pekerja, baik penduduk lokal

104 Wawancara dengan beberapa orang, diantaranya berinisial AP, OP, HL, tanggal 14,15,16 Januari 2009. 105 Rumah Tua merupakan sebutan untuk rumah yang dibangun dan dihuni oleh pendiri pertama, rumah itu dianggap sebagai pusat klen. Selanjutnya rumah itu akan dijaga oleh anak laki-laki tertua. Saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan boleh menempati rumah tersebut bersama- sama dengan dia selama belum menikah. (Frank L. Cooley, Mimbar dan Tahta (terjm), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm.47). 106 Seperti pengakuan ibu WS dan HL, tanggal 14 Januari 2009. 107 Wawancara dengan seorang bapak berinisial ANM (etnis Flores), dan seorang ibu yang berinisial MTS (etnis Toraja, mantan bendahara pabrik), tanggal 15 Januari 2009. 68

maupun pendatang. Kegiatan tersebut misalnya pasar murah yang dilaksanakan di lingkungan pabrik, lomba-lomba olah raga pada saat-saat tertentu bahkan panggung hiburan setiap hari Jumat.108 Dari keterangan ini dapat dibayangkan bahwa mereka memang betul-betul dapat saling berinteraksi dengan baik.

Perbedaan tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama. Selain itu, untuk bekerja pada sektor swasta, penduduk lokal harus bisa hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka (budaya dan agama).

Ketika kerusuhan melanda di berbagai bagian Maluku bahkan juga di Kota

Ambon, daerah Waisarisa tenang-tenang saja. Padahal daerah ini dikelilingi oleh negeri-negeri Kristen. Bahkan ketika kerusuhan sedang berlangsung, para penghuni kemp-kemp perusahaan yang berlokasi di Nurue dan Waesamu, terutama yang beragama Islam, mengungsi ke kemp Waisarisa dan Kamal (lokasi pabrik).109

Hal ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa dekat ke lokasi pabrik, selalu ada jaminan keamanan dari pihak perusahaan. Dan memang daerah ini tetap aman kendati penduduknya sangat beragam baik dari segi etnis maupun agama.110

Pada tahun 2004 ketika terjadi pemekaran kabupaten baru (SBB), perusahaan ini masih beroperasi. Tetapi pada tahun 2006, perusahaan dinyatakan mengalami kerugian sehingga harus mengurangi ribuan tenaga kerjanya.111 Pada tahun 2007, perusahaan dinyatakan pailit.112 Kekecewaan di hati para mantan pekerja bukan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetapi mereka kecewa lantaran hak-hak mereka belum tuntas diselesaikan oleh pihak perusahaan.

108 Wawancara dengan MTS dan FM, AS, Y, tanggal 15 Januari 2009. 109 Wawancara dengan seorang bapak berinisial YR, tanggal 23 Desember 2008. 110 Hal ini dapat dimengerti karena kerusuhan Maluku dan Ambon pada khususnya oleh hampir semua masyarakat dikatakan merupakan perang agama yakni Islam dan Kristen. 111 Diperkirakan jumlahnya mencapai 2.362 tenaga kerja pada masing-masing bagian. 112 wawancara dengan mantan pekerja yang berinisial AS, AP, Y dan OP, tanggal 14, 15 dan 17 Januari 2009. 69

Pemilik perusahaan berjanji akan membayarnya setelah perusahaan laku dilelang.

Sampai draf ini ditulis, mantan pekerja ini belum menerima pembayaran sisa gaji

11 bulan dan uang pesangon padahal perusahaan telah laku dilelang pada bulan

Oktober 2008.113 Selain itu, oleh pemilik perusahaan yang baru, mantan pekerja yang masih menghuni kemp harus segera keluar karena kemp akan dibersihkan.114

Pada akhirnya industri yang telah mengumpulkan mereka, hanya membiarkan mereka hidup selama diperlukan, tetapi akan segera meninggalkan mereka ketika sudah tidak diperlukan.115 Hal ini yang terjadi pada pekerja pabrik Waisarisa yang masih terikat kontrak dengan PT. Djanyanti Group sampai saat ini.

4. Proses Pengidentifikasian Diri “Lokal/Asli” dan “Pendatang” Dalam kehidupan sehari-hari, orang Waisarisa sama seperti orang Maluku lainnya tetap membedakan seseorang berdasarkan nama keluarganya (fam). Dari nama keluarga, mereka mampu mengidentifikasikan asal seseorang. Misalnya saja nama-nama keluarga (fam) etnis SBB (Puttileihalat, Kermite). Dalam penyebutan sehari-hari, sebutannya langsung dispesifikkan dengan menyebut negeri asal fam tersebut. Hal ini nampak dalam wawancara dengan beberapa informan yang langsung menyebut dirinya dan orang-orang tertentu dengan negeri asalnya, misalnya „orang Alang‟ (sebuah negeri di Pulau Ambon), „orang Kaibobo‟ (sebuah negeri di SBB) atau „orang Porto‟ (sebuah negeri di Pulau Saparua). Hal ini menunjukkan bahwa memang nama keluarga/fam yang merupakan salah satu identitas pribadi dapat menjadi sebuah identitas kolektif, yakni negeri asal. Seperti

113 Wawancara tanggal 21 Desember 2008 dengan seorang bapak berinisial MS dan tanggal 15 dan 17 Januari 2009 dengan OP, Y , AP (ketiganya mantan pekerja pabrik). 114 Wawancara dengan bapak ANM (etnis Flores) dan ibu S (etnis Jawa) tanggal 14 Januari 2009. 115 Karl Marx, Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat Tahun 1844 (terjm), Jakarta, Hasta Mitra, hlm.34. 70

diungkapkan Erikson, identitas pribadi dapat menjadi sebuah identitas kolektif.116

Identitas pribadi yang kemudian menjadi identitas kolektif ini tergambar dalam kehidupan sehari-hari orang Maluku pada umumnya. Tetapi identitas ini kemudian semakin berperan pada saat-saat tertentu, salah satunya adalah pada saat perebutan sumber-sumber daya publik, seperti yang terjadi di Kabupaten SBB.

A. Penduduk “Lokal/Asli”

Siapakah kami sebenarnya? Demikianlah ungkapan masyarakat Waisarisa terhadap diri mereka sendiri. Lahir dan besar di Waisarisa bukan merupakan sebuah pilihan hidup melainkan sebuah kenyataan yang harus diterima. Betapa tidak; karena dilahirkan dan dibesarkan di Waisarisa, generasi orang-orang

Nusalaut yang mendiami Waisarisa ini telah merasa menjadi orang Seram. Mereka bukan hanya merasakan tetapi juga mengakui bahwa mereka adalah orang Seram walaupun tete-nene117 mereka berasal dari Nusalaut. Mereka mengaku sebagai orang Seram, tetapi mereka juga tidak menyangkal bahwa nama fam yang mereka bawa/pakai adalah nama fam orang-orang Nusalaut, seperti ungkapan beberapa mantan pekerja pabrik:

“…beta pikir yang dinamakan putra daerah itu jua termasuk katong karena katong lahir basar di Waisarisa. Memang katong pung fam orang Nusalaut, tapi katong rasa katong ini orang Seram, jadi kalau tanya katong, katong bilang katong ini orang Seram…”118

“...Katong ini memang dari Nusalaut, barang fam yang katong pake kan dari Nusalaut, tapi katong ini su jadi orang Seram...abis katong lahir deng

116 Hans Mol, “Religion and Identity”, dalam Victor Hayes (ed), Identity Issues and World Religion, Bedford Park South Australia, AASRSA, 1986, hlm. 65. 117 Lihat catatan kaki 20 bab II. 118 Wawancara dengan OP tanggal 14 Januari 2009, terjemahannya kira-kira demikian”…Saya pikir yang dinamakan putra daerah SBB itu juga termasuk kita di sini karena kita lahir dan besar di Waisarisa. Memang nama marga kita adalah nama marga Nusalaut, tapi kami merasa sebagai orang Seram, jadi kalau ditanya, ya kami ini orang Seram…” 71

basar di sini. Beta sa baru pulang ka Nusalaut satu kali..jadi ya mau bilang apa katong ini orang Seram jua...”119

Dari ungkapan di atas jelas bahwa mereka tetap mengaku sebagai putera daerah

SBB karena memang mereka lahir dan dibesarkan di SBB walaupun mereka bukan etnis SBB. Seperti yang diungkapkan oleh Isaach bahwa nama-nama pribadi atau perorangan biasanya akan menjadi sebuah tanda dari identitas kelompok.120 Nama fam orang Waisarisa secara pribadi menunjukan identitas kelompok entah sebagai orang Waisarisa ataupun orang Nusalaut.

Terkait dengan pertanyaan siapakah putera daerah SBB sebenarnya dan apakah orang Waisarisa masuk dalam kategori putera SBB atau tidak, banyak pendapat dari orang-orang tua yang adalah tokoh-tokoh pemekaran tentang hal tersebut. Menurut seorang bapak yang adalah etnis SBB, yang dimaksud dengan orang Seram Bagian Barat adalah setiap orang yang lahir, besar dan tinggal di wilayah SBB. Sedangkan yang dimaksud dengan etnis SBB adalah mereka yang memikul fam (nama marga/keluarga) asli SBB. Orang-orang ini walaupun tidak dilahirkan dan dibesarkan bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di SBB tetapi mereka tetap dikatagorikan sebagai etnis SBB.121 Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu orang tua bahwa orang SBB adalah setiap orang yang telah menjadi penduduk SBB (ia lahir dan berdiam/tinggal di SBB). Dengan kata lain, mereka yang memiliki hak politiknya di SBB. Sedangkan yang dimaksud

119 Wawancara dengan seorang Ibu berinisial HL, tanggal 14 Januari 2009, diterjemahkan kira-kira demikian: “...Kami ini memang asal dari Nusalaut, karena nama fam yang kami pakai adalah dari Nusaut, tapi kami ini sudah menjadi orang Seram..karena kami lahir dan dibesarkan di sini (Waisarisa). Saya saja baru ke Nusalaut satu kali...jadi mau bilang apapun kami ini orang Seram juga...” 120 Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hlm.97. 121 Wawancara dengan NE, yang adalah tokoh pemekaran tanggal 2 Maret 2009. 72

dengan etnis SBB adalah mereka yang nenek moyangnya berasal dari SBB atau mereka yang memikul nama fam/marga SBB.122

Mengacu pada kedua pendapat orang tua di atas, dapat dikatakan bahwa putera daerah SBB adalah orang-orang SBB dan etnis SBB.123 Demikianlah tergambar dengan jelas bahwa apa yang diungkapkan oleh masyarakat Waisarisa tentang keberadaan diri mereka, didukung oleh pendapat kedua tokoh SBB tadi.

Dengan sendirinya orang-orang Waisarisa juga termasuk dalam kelompok orang

SBB karena sudah sejak 1949 menempati daerah ini. Bahkan mereka telah memiliki hak politik yang digunakan setiap Pemilu Legislatif dan Pilkada termasuk pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati SBB yang pertama tahun 2005. Mereka juga berhak atas segala potensi daerah ini sebanding dengan etnis SBB lainnya.

B. “Pendatang (Orang Dagang)”

Ketika orang Waisarisa memandang diri mereka sebagai orang Seram, maka terhadap para pekerja pabrik yang baru datang bekerja ketika ada pabrik, mereka menyebutnya dengan sebutan pendatang atau dalam bahasa lokalnya sebagai orang dagang.124 Istilah ini mereka tujukan kepada semua pendatang yang berada di tengah-tengah mereka (Jawa, Flores, Toraja, bahkan Maluku lainnya).

Contohnya, seorang asal Waisarisa menikah dengan orang dari luar Waisarisa, tetapi kemudian menetap di Waisarisa, maka mereka akan disebut dengan istilah ini. Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja yang menikah dengan perempuan asal Waisarisa demikian:

122 Wawancara dengan bapak MS, tanggal 21 Desember 2008. 123 Pengertian putera daerah ini sama seperti yang diungkapkan oleh Syarif Ibrahim Aqadrie, dapat dilihat pada catatan kaki 6 dan 7. 124 Lihat catatan kaki 5 Bab I tentang arti dan penggunaan istilah ini. 73

“…kalau beta bukang orang Waisarisa, beta orang Alang-Ambon, beta datang karja disini dari taong 1995, beta kaweng deng parampuang sini, beta pung ipar-ipar…bini pung sudara-sudara panggel beta orang dagang, karna beta seng asal dari sini……Istilah orang dagang ini jua dong pake waktu pemilihan bapa raja baru-baru, barang waktu itu ada calon bukang orang Waisarisa tapi dari Porto, amper-amper kaco gara-gara sebutan orang dagang ini, dong pake istilah ini supaya orang Waisarisa pili dong pung orang sandiri, supaya bisa menang….”125

Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa istilah orang dagang dapat menjadi pemicu terjadinya perpecahan.

Istilah orang dagang pada awalnya hanya ditujukan pada semua pendatang yang berada di tengah-tengah suatu komunitas negeri/kampung tanpa adanya pikiran untuk mempolitisirnya, kecuali untuk menunjukan bahwa mereka yang disebut orang dagang itu bukan berasal dari komunitas mereka. Tetapi, dalam sebuah pertarungan untuk memperebutkan sumber daya publik (umumnya berupa jabatan atau kesempatan kerja pada birokrasi pemerintahan), istilah ini berubah menjadi hal yang menguntungkan bagi komunitas mayoritas dan sangat merugikan serta menyulitkan komunitas minoritas. Sebagai suatu etnis yang merupakan kelompok pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat di suatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang dalam posisi yang relatif lemah. Namun demikian, etnis tersebut memiliki status yang relatif seimbang dengan etnis lain pada saat mereka sama-sama berstatus sebagai pendatang dalam

125 Diterjemahkan kira-kira seperti ini : “…kalau saya bukan orang Waisarisa, saya orang Alang- Ambon, saya kerja disini sejak tahun 1995, saya menikah dengan perempuan disini (Waisarisa), saudara-saudara istri saya menyebut saya orang dagang karena memang saya tidak berasal dari sini…istilah ini juga mereka pakai sewaktu pemilihan bapa raja (kepala desa) karena waktu itu ada calon lain asal negeri Porto, hampir terjadi perkelahian karena sebutan ini..mereka pakai istilah ini supaya orang Waisarisa tetap memilih orang mereka sendiri, supaya bisa menang…” Wawancara dengan AS, tanggal 14 Januari 2009. 74

lingkungan sosial yang baru.126 Walaupun sama-sama orang Maluku tetapi tetap ada klasifikasi yang spesifik lagi berdasarkan daerah asal seseorang yang ditandai dengan nama fam. Proses penamaan ini juga menunjukan bahwa tetap ada perbedaan antara kami dengan mereka, kendati telah menikah dan menjadi bagian dari keluarga.

Orang dagang dan bukan orang dagang menurut seorang tokoh pemekaran yang juga adalah etnis SBB merupakan sebuah istilah yang pada umumnya digunakan oleh orang-orang Ambon-Lease (Ambon, Saparua, Haruku dan

Nusalaut), tetapi bukan oleh orang Seram.

“…Istilah orang dagang deng bukang orang dagang ini istilah orang Ambon-Lease…atau lebe banya dipake orang-orang Ambon-Lease, katong orang Seram seng pernah kanal istilah orang dagang. Sebab berdasarkan sejarah, katong bukang cuma kanal istilah kaweng kaluar127 tetapi juga katong kanal apa yang katong biasa bilang kaweng maso128 atau dalam katong pung bahasa bilang masawang…”129

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah orang dagang ini bukan merupakan sebuah istilah lokal etnis Seram, melainkan sapaan yang dikenal di lingkungan sosial masyarakat Ambon-Lease. Tidak heran jika orang Waisarisa yang merupakan keturunan masyarakat Lease tampak akrab dengan istilah ini,

126 Irwan Abdullah, loc cit. 127 Kaweng kaluar (kawin keluar) artinya bahwa seorang perempuan ketika menikah, ia harus mengikuti suaminya, entah suaminya itu berasal masih satu kampung dengannya ataupun dari daerah berbeda. Ia tidak berhak atas dusun (sebutan lain untuk kebun yang cukup luas dan biasanya berisikan tanaman umur panjang seperti kelapa, cengkeh, pala, dll) yang dimiliki oleh orang tuanya melainkan atas dusun yang menjadi bagian suaminya. 128 Kaweng maso/masawang (kawin masuk) artinya seorang laki-laki ketika menikah ia mengikuti istrinya, menetap di kampung istrinya dan ia juga dapat berhak atas dusun yang dimiliki istrinya. Sekalipun demikian nama marga (fam) tetap ia pakai demikian juga dengan anak-anak yang dilahirkan baginya. 129 Diterjemahkan kira-kira demikian,“…Istilah orang dagang dan bukan orang dagang ini lebih banyak dipakai oleh orang-orang Ambon-Lease, kita orang Seram tidak kenal (tidak pakai) istilah ini. Sebab berdasarkan sejarah, kita bukan cuma mengenal kawin keluar tapi kita juga kenal kawin masuk atau dalam bahasa daerah kita (baca: bahasa Wemale) disebut masawang…” Wawancara dengan salah satu orang tua dan juga tokoh pemekaran berinisial NE, tanggal 1 Januari 2009. 75

bahkan istilah ini mampu dimanfaatkan sebagai senjata untuk menaklukkan orang- orang yang berasal dari luar dalam perebutan posisi sebagai kepala desa.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Warnaen Suwarsi bahwa konflik antar etnis lebih banyak bersumber pada persaingan dalam bidang ekonomi dan perebutan sumber daya umum.130 Perebutan kekuasaan di tingkat lokal dalam masyarakat

Waisarisa dapat membawa perpecahan dalam lingkup sosial antara pendatang dan penduduk asli.

Selain adanya kawin masuk tadi, filosofi yang berkembang seputar siapakah yang lokal dan pendatang sebenarnya tergambar dalam mitos tentang Nunusaku131 atau pohon beringin. Bahwa pohon beringin yang dipunyai orang Seram ini berbeda dengan pohon beringin dari daerah lain. Pohon beringin ini akarnya mampu mengikat segala jenis tumbuhan yang tumbuh di dekatnya tanpa mematikan tumbuhan tersebut.132 Demikian juga yang terjadi dan mewarnai pola pikir orang Seram. Dari uraian ini hendak digambarkan bahwa pohon beringin yang merupakan perlambang orang Seram mampu menerima dan merangkul orang lain dan hidup berdampingan dengan mereka tanpa sedikitpun memperdulikan latar belakang mereka. Bahkan mereka semua dipandang sebagai bagian dari orang

Seram. Penerimaan orang Seram terhadap orang luar Seram juga nampak dari tradisi maro-maro.133 Dengan demikian ada celah etnisitas orang Seram yang bisa di „masuki‟ oleh orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Barth bahwa

130 Warnaen Suwarsi, Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, Yogyakarta, Mata Bangsa, 2002, hlm. 36. 131 Telah dibahas pada bab II. 132 Wawancara tanggal 1 Januari 2009. 133 Bernyanyi dengan menggunakan bahasa tana (daerah setempat) sambil berangkulan satu dengan yang lain mengelilingi lampu (pelita). Setiap orang yang dirangkul termasuk orang luar Seram dengan sendirinya diterima sebagai saudara. 76

etnisitas itu bisa diseberangi karena etnisitas itu ditentukan oleh interaksi antar masyarakat.134

Bagi mereka yang berasal dari Toraja, Jawa, Flores, dll, mereka tetap menyadari keberadaan diri mereka. Mereka sadar bahwa mereka adalah pendatang. Alasan mereka adalah karena mereka memang tidak berasal dari situ

(SBB/Waisarisa). Mereka ada di situ karena tuntutan pekerjaan. Berdasarkan angkatan kerja mereka didatangkan dari negeri-negeri mereka. Berdasarkan budaya, jelas-jelas mereka berbeda. Walaupun demikian ada yang telah menikah dengan penduduk lokal namun tetap saja menganggap diri mereka pendatang.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja yang telah menikah dengan perempuan Waisarisa bahwa memang sudah begitu, mereka harus menyadari diri bahwa mereka ini cuma pendatang.135

Mereka menyadari diri sebagai pendatang, karena itu mereka tetap mengajari anak-anak mereka cerita tentang asal-usul dan adat-istiadat mereka.

Contohnya, sebagai orang Toraja, mereka mulai memperkenalkan adat dengan memutar kaset CD tentang adat istiadat orang Toraja kepada anak-anak mereka, bahkan ada yang pernah mengajak anak-anaknya pulang ke kampung halaman di

Toraja. Selain itu juga walaupun telah jauh dari kampung halaman namun adat istiadat mereka tidak pernah mereka lupakan. Bahkan sedikit-sedikit masih mereka praktekkan, misalnya saja pada saat orang meninggal ataupun acara syukuran dari salah satu komunitas mereka.136 Hal serupa juga dilakukan oleh mantan pekerja etnis Jawa yang menikah dengan perempuan asal negeri Kaibobo (SBB). Ia bahkan

134 Fredrik Barth, Ethnic Groups and Boundaries, Bergen dan London, Universitets Forlaget dan George Allen & UNWIN, 1970, hlm.10. 135 Wawancara dengan mantan pekerja etnis Toraja berinisial LT tanggal 11 Januari 2009. 136 Wawancara dengan mantan pekerja berinisial MTS dan LT tanggal 15 dan 11 Januari 2009. 77

sudah pernah mengajak istri anaknya pulang ke Jawa saat kerusuhan terjadi di

Ambon, bahkan anak-anaknya dinamai dengan ciri khas kejawaannya, misalnya

Eko dan Yudi Saputra.137 Adanya perkawinan campur antar etnis dan upaya memperkenalkan budaya masing-masing, menurut Irwan Abdullah, bagi anak-anak mereka menjadi tidak begitu jelas etnisnya dalam setting kultural tertentu.138

Artinya, anak-anak lebih sering menjadi terpengaruh dengan sebuah budaya yang lebih dominan, entah budaya ayah ataupun ibu.

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun jauh dari negeri mereka tetapi budaya yang mereka miliki tidak akan hilang. Proses pengenalan daerah asal tetap mereka lakukan terhadap keturunan mereka yang lahir di negeri orang dengan harapan kelak si anak tahu bahwa mereka berasal dari daerah A atau B dan bukan penduduk asli Seram/SBB. Selain usaha mengenalkan anak pada budaya leluhur mereka, upaya menunjukkan kepada anak adalah dengan mengajak mereka pulang menjenguk kampung halaman. Dengan demikian walaupun telah bertahun-tahun di negeri orang, status mereka sebagai pendatang tetap melekat sampai kapanpun.

Hanya saja status ini tidak terlalu dipermasalahkan ketika masih sama-sama menjadi pekerja pabrik.

5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik

Ketika muncul upaya memekarkan kabupaten ini di kalangan elit masyarakat SBB, isu yang mengiringi perjuangan adalah pengutamaan putera daerah di setiap birokrasi pemerintahan. Ada rasa kepuasan dan kelegaan dalam diri masing-masing putera-puteri SBB ketika pada akhirnya negeri ini dimekarkan dengan Undang-undang No.40 Tahun 2003. Setidaknya demikianlah ungkapan

137 Wawancara dengan mantan pekerja berinisial Y etnis Jawa, tanggal 10 Januari 2009. 138 Irwan Abdullah, op cit, hlm. 17 78

yang dikeluarkan oleh orang SBB terhadap keadaan ini. Hal ini dapat dipahami mengingat betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan di birokrasi pemerintahan, baik propinsi maupun kabupaten. Walaupun sudah dinyatakan mekar tahun 2003

(tanggal 18 Desember) namun peresmiannya baru berlangsung pada awal tahun

2004. Pada awal pemekaran ini, ditunjuklah seorang Pejabat Sementara (PJS) bupati hingga berlangsungnya pemilihan bupati di tahun 2005.

Pada saat pemekaran mulai terjadi, pabrik pengolahan kayu lapis masih beroperasi. Meskipun demikian ketika pada tahun 2005 diadakan tes penerimaan

CPNS pertama kalinya untuk duduk pada birokrasi pemerintahan kabupaten, banyak orang Waisarisa yang adalah pekerja pabrik mengikuti tes tersebut.

“…kabupaten mekar kamuka dolo kalau seng salah sekitar taong 2003- 2004, tes pertama taong 2005, waktu itu katong masih karja di pabrik, tapi rame-rame katong iko…par nasib ni! Katong disini iko banya lai… tapi seng lolos. Tes-tes selanjutnya beta seng iko lai, macam beta su pamalas lai…”139

Dari pernyataan di atas terungkap alasan mereka mengikuti tes tersebut. Mereka hanya ingin kesejahteraan hidup dan alasan terjaminnya masa depan.140 Hal ini disadari oleh hampir semua pekerja pabrik yang merasa sebagai orang SBB dan berhak atas sumber-sumber daya publik. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang putera daerah SBB:

139 Diterjemahkan kira-kira demikian,“…Kabupaten mekar duluan, kalau tidak salah sekitar 2003-2004, tes pertama tahun 2005, waktu itu kami masih kerja dipabrik, tapi kami mengikutinya berramai-ramai…semua untuk hidup! Kami disini banyak yang ikut…tapi tidak lolos. Tes-tes selanjutnya saya tidak mengikutinya lagi soalnya saya sudah malas…” Seperti yang diungkapkan oleh OP, tanggal 14 Januari 2009. 140 Selain OP ada beberapa mantan pekerja pabrik yang berpendapat sama yakni Y, FM, MTS, AS yang diwawancarai pada waktu yang berbeda-beda 79

“…baru-baru tes pertama beta iko…waktu itu masih karja di pabrik, beta pikir kan beta putra daerah asli, baru beta ni kan kamareng termasuk tim sukses par Bob ni, baru beta satu kampong lai, sama-sama orang Kaibobo…”141

Merasa sebagai orang SBB asli menyebabkan banyak etnis SBB mengklaim hak- hak mereka terhadap sumber daya publik. Mereka merasa lebih berhak untuk bekerja di birokrasi pemerintahan lebih dari pendatang yang telah bermukim di

SBB maupun orang luar yang baru datang untuk mengikuti tes tersebut.

Menurut informasi, yang diterima pada birokrasi pemerintahan SBB kebanyakan berasal dari luar SBB. Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa pejabat pada birokrasi pemerintahan SBB bahwa yang diterima bekerja pada birokrasi SBB bukan orang SBB saja. SBB terbuka menerima pelamar dari mana saja. Jadi yang dipentingkan bukan cuma orang SBB saja yang bisa bekerja di sini

(SBB).142 Pernyataan para birokrat ini bukan isapan jempol semata melainkan didukung dengan daftar nama hasil seleksi CPNS pada birokrasi SBB untuk pertama kalinya tanggal 24 Maret 2006. Selain itu, para birokrat juga membandingkan banyaknya orang luar SBB yang menduduki posisi-posisi strategis bidang pemerintahan Kabupaten SBB. Misalnya saja Sekda dan beberapa orang stafnya berasal dari Ambon, Kepala BKD berasal dari Saparua, Kadis Pendidikan dan Pariwisata berasal dari Buton, Kadis PU berasal dari Saparua dan beberapa jabatan strategis lainnya. Mereka beranggapan bahwa untuk menduduki jabatan

141 Wawancara dengan seorang mantan pekerja pabrik berinisial FM, asal desa Kaibobo (Kabupaten SBB) yang diterjemahkan kira-kira demikian: “...Tes yang diselenggarakan pertama kali saya mengikutinya..pada waktu itu saya masih bekerja di pabrik, saya berpikir bahwa saya putera daerah SBB, kemudian pada waktu pemilihan bupati saya menjadi tim sukses untuk Bob, saya juga berasal dari kampung yang sama dengan beliau (baca: Bob, bupati SBB saat ini), sama-sama berasal dari Kaibobo...” 142 Wawancara dengan birokrat pemda SBB berinisial JL dan JK, tanggal 9 dan 24 Januari 2009. Kedua orang birokrat ini juga bukan etnis asli SBB. 80

struktural, orang SBB belum ada yang bisa/mampu. Bahkan informasi yang penulis peroleh mengenai gambaran kabupaten SBB semuanya diperoleh dari para pegawai etnis luar bukan SBB misalnya dari Kisar (Kabupaten Maluku Barat

Daya), dan etnis Toraja.

Dari 178 nama yang dinyatakan lolos, 144 orang diantaranya bukan marga

(fam) asli SBB, sedangkan etnis SBB hanya sekitar 64 orang. Itu berarti bahwa sekitar 64,1% bukan etnis SBB sedangkan etnis SBB hanya sekitar 35,9%. Yang lolos ini ada yang berasal dari Jawa, Buton bahkan daerah lainnya di Maluku.

Nama-nama yang berasal dari luar Maluku misalnya Suprianto, Suprapto,

Yuningsih, Zainudin, Nyoman Riswan, dll yang merupakan etnis Jawa dan Bali.

Nama-nama etnis Buton misalnya Wa Rosna,Wa Ica, La Abugafar, dll. Nama- nama fam orang Maluku yang bukan etnis asli SBB adalah Manuhutu,

Latumahina, Luhukay, Sahetapy, dll (asal Pulau Saparua Kabupaten Maluku

Tengah), Lambiombir, Anaktototy, Barlajery, Bulokroy (dari Kabupaten Maluku

Tengara Barat dan Kabupaten Maluku Barat Daya). Sedangkan fam asli SBB baik

Islam maupun Kristen yang lolos tidak sebanding dengan para pendatang.

Marga/fam SBB yang lolos misalnya Souhali, Pocerattu, Putirulan, Tuamely,

Mawene, Samal, dll.143

Dengan melihat daftar nama hasil seleksi CPNS tersebut, dapat dikatakan bahwa etnis SBB memiliki peluang lebih kecil dibandingkan dengan para pendatang. Isu pengutamaan putera-puteri daerah tidak pernah terlaksana. Salah satu faktor yang menyebabkan diterimanya pendatang lebih banyak dari putera- puteri SBB adalah pada panitia pelaksana seleksi tes CPNS tersebut. Menurut

143 Untuk lebih jelas nama-nama fam yang merupakan etnis SBB asli dan bukan SBB yang lolos dalam seleksi CPNS tahun 2006 dapat dilihat pada lampiran 1. 81

infomasi, setiap seleksi penerimaan CPNS di lingkungan birokrasi Pemkab SBB yang menjadi panitianya selalu Kepala dan pegawai di lingkungan Badan

Kepegawaian Daerah (BKD). Kepala BKD ini bukan etnis/orang SBB, melainkan berasal dari Pulau Saparua yang berinisial JL. Selain itu ia juga merupakan seorang birokrat di Masohi semasa masih bergabung dalam Kabupaten Maluku

Tengah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak-anak daerah akhirnya harus berbagi kesempatan dengan pendatang meskipun di daerahnya sendiri. Sedikit banyak tergambar apa yang berlaku di Kabupaten Maluku Tengah mulai dipraktekkan di SBB. Peluang putera puteri daerah tergantung pada kekuasaan yang berlaku dalam birokrasi SBB.

Hasil seleksi CPNS menunjukkan bahwa dari Waisarisa hanya dua orang yang lolos. Itupun mereka bukan orang Waisarisa. Mereka yang lolos ini berasal dari Saparua. Mereka ada di Waisarisa justru karena mereka sudah menjadi guru kontrak lebih dulu dan ditempatkan pada Sekolah Dasar Sarihalawane.144 Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang mantan pekerja etnis Flores bahwa keponakannya juga lolos karena ia dari tenaga kesehatan yang memang sangat diperlukan.145

Terlepas dari semua itu, apakah memang diterimanya seseorang karena pada birokrasi pemerintahan tenaganya diperlukan (secara intelektual dan motivasinya), ataukah juga yang memiliki latar belakang tertentu (punya koneksi orang dalam) yang dapat dinyatakan lolos? Pertanyaan ini setidaknya dapat membantu menjawab persoalan terkait dengan penerimaan „orang luar‟ (bukan

144 Wawancara dengan AS, OP tanggal 14 Januari 2009. 145 Wawancara dengan seorang bapak ANM, tanggal 14 Januari 2009. 82

berasal dan tinggal di SBB) yang menurut masyarakat SBB sangat tidak adil bagi mereka;

“…hasil tes yang diumumkan beta seng puas skali lia akang… kalau katong lia nama-nama PNS di atas pada umumnya orang Buton, Bugis, sedangkan anak daerah dipinggirkan…Anak-anak daerah yang honor saja banya, bolom pengangkatan, nanti sapa yang dapa SK tu...”146

“…lia hasil tes memang seng puas, kalau tanya adil k seng, pasti seng adil tapi mau bagimana…. Memang su bagitu jua, tergantung dia pung pendekatan…”147

Seperti yang diungkapkan oleh informan di atas bahwa mereka tidak puas dan merasa diperlakukan tidak adil. Ketidakpuasan ini disebabkan harapan yang demikian besar sewaktu pemekaran kabupaten (wacana pengutamaan putera daerah), namun harapan ini tidak menjadi kenyataan. Entah mengapa, ketidakpuasan ini bukan cuma milik orang-orang yang pernah gagal dalam tes penerimaan CPNS semata, tetapi juga orang-orang yang belum pernah mengikuti tes sama sekali. Akibat kekecewaan ini, menurut beberapa informasi yang diperoleh, sempat terjadi demo oleh para tenaga honorer etnis SBB yang tidak kunjung menjadi CPNS setelah sekian tahun bekerja. Tetapi hal ini kemudian dibantah oleh birokrat SBB bahwa itu bukanlah demo, melainkan hanya keributan

146 Diterjemahkan kira-kira demikian,“…hasil tes yang diumumkan sangat tidak memuaskan, kalau kita lihat, nama-nama PNS di atas (baca: Piru) pada umumnya orang Buton, Bugis, sedangkan anak daerah terpinggirkan…Anak-anak daerah yang menjadi tenaga honorer saja banyak tapi tidak ada pengangkatan, tidak tahu nanti siapa yang mendapat SK (sebagai CPNS)...” Wawancara dengan mantan pekerja berinisial AP, tanggal 17 Januari 2009. 147 “…lihat hasil tes memang tidak puas, kalau ditanya adil atau tidak , ya pasti tidak adil tapi mau bagaimana lagi… Memang sudah begitu, tergantung pendekatannya…” Wawancara dengan OP tanggal 14 Januari 2009. Bahkan yang lebih ekstrim lagi seorang mantan pekerja mengatakan bahwa ia tidak pernah akan mengikuti tes CPNS lagi selama Yakobus Puttileihalat masih menjadi bupati. 83

biasa sebagai bentuk ketidakpuasan orang-orang SBB yang tidak diterima sebagai

CPNS.148

Dengan kenyataan ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah isu putera daerah ini hanya sebuah wacana yang sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu guna suatu kepentingan? Berdasarkan informasi yang didapat dari mereka yang berjuang untuk pemekaran ini menunjukan bahwa tujuan awal pemekaran ini sebenarnya adalah untuk memperjuangkan nasib orang-orang SBB yang selama ini termarjinalkan.149 Berdasarkan tujuan inilah, orang-orang SBB seakan-akan memiliki kesempatan besar untuk bekerja di negeri sendiri. Dari sinilah kekecewaan itu berawal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu orang tua demikian;

“…tapi skarang ini setiap kali ada tes, yang datang orang dari luar lalu mereka yang diterima sedangkan katong pung ana-ana hanya dudu nganga sa. Ini tidak bisa dibiarkan. Ini namanya perampokan. Dong rampok katong pung ana-ana jatah. Dong musti inga kalu dong waktu pemilihan bupati kan dong pilih untuk Maluku Tengah yo skarang pulang ka Maluku Tengah karna dong pung hak politik disana. Disini katong pung ana-ana pung hak politik, selain itu orang-orang yang pung tanah kabong dong su lapas akang par bangun kantor-kantor, bupati musti inga supaya ganti tanah itu dengan angka orang-orang ini pung ana-ana jadi PNS bukan trima orang luar….(sambil menyalahkan Kepala BKD yang menurutnya banyak menerima orang luar).”150

148 Wawancara dengan AP dan Y tanggal 17 Januari 2009 dan birokrat berinisial JK tanggal 24 Januari 2009. 149 Wawancara dengan tokoh pemekaran NE tanggal 1 Januari 2009. 150 Diterjemahkan kira-kira demikian,“…tapi sekarang ini setiap kali ada tes yang datang orang dari luar lalu mereka yang di terima sedangkan anak-anak kita hanya lihat saja. Ini tidak bisa dibiarkan, ini namanya perampokan. Mereka merampok jatah anak-anak kita. Mereka mestinya ingat kalau mereka sewaktu pemilihan bupati, mereka memilih untuk wilayah Maluku Tengah karena memang hak politiknya disana. Disini menjadi hak politik anak-anak kita, selain itu banyak orang yang sudah melepaskan hak tanah atas kebun-kebun mereka untuk pembangunan kantor- kantor bupati mestinya mengganti tanah tersebut dengan mengangkat anak-anak pemilik kebun tersebut menjadi PNS bukan menerima para pendatang...”, wawancara dengan seorang bapak berinisial MS, tanggal 21 Desember 2008. 84

Dari ungkapan kedua orang tua ini tampak ada semacam keyakinan dan harapan bahwa alasan hakikat pemekaran adalah untuk warga SBB dan bahwa yang lebih berhak adalah anak-anak SBB sendiri. Tapi kenyataannya banyak orang yang berasal dari luar menganggap bahwa orang SBB itu sebenarnya tidak punya potensi karena minimnya jumlah sarjana. Maka ketika ada isu putera daerah, mereka menanggapinya dengan santai.151 Ternyata hal ini juga didukung oleh keterangan para birokrat sambil merujuk contoh bahwa sekda, kepala BKD dan ada beberapa yang lain juga bukan orang SBB. Mereka beranggapan bahwa sampai saat ini orang SBB belum ada yang mampu.

Pendapat beberapa informan di atas menunjukkan adanya suatu keyakinan bahwa memang putera-puteri SBB sendiri belum memiliki daya saing dengan pendatang yang dalam pandangan mereka lebih layak menjadi PNS. Hal ini kemudian mereka buktikan dengan banyaknya pendatang yang bekerja di birokrasi

SBB. Terhadap informasi ini, anak-anak daerah SBB bereaksi, mereka beranggapan bahwa mereka cukup mampu dan berpotensi untuk bekerja pada birokrasi pemerintahan, hanya saja kesempatan itu tidak ditunjang oleh birokrat

SBB yang lebih banyak menerima orang luar.152 Dari pendapat-pendapat ini, kelihatan adanya upaya pembelaan diri dari anak daerah tentang potensi diri mereka, pendatang juga tetap memandang orang Seram belum layak untuk bekerja di negeri sendiri.

6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan Hidup A. Berjuang Untuk Hidup

151 Wawancara dengan seorang guru honorer Waihatu berinisial M, tanggal 20 Desember 2008. 152 Wawancara dengan putera-putri SBB berinisial NA, KS dan FM , tanggal 20 Desember 2008, 7 dan 13 Januari 2009. 85

Ketidakpuasan terhadap hasil tes menyebabkan banyak orang merasa

„kapok‟ mengikuti tes-tes berikutnya. Memang benar bahwa mengikuti tes punya alasan cukup kuat, yakni untuk perbaikan hidup ke depan. Tetapi ketika dihadapkan pada realita ini, mereka tampak tak lagi punya harapan, walaupun keinginan menjadi pegawai negeri tetap ada. Banyak yang sudah tidak tertarik mengikuti tes CPNS, tapi bagi seorang mantan pekerja asal Allang (sebuah negeri di Pulau Ambon) misalnya, yang sudah menjadi warga Waisarisa mengaku bahwa ia akan mencoba terus sampai kapanpun, seperti yang dikatakannya berikut ini:

“…taong-taong depan kalau ada tes par SMA, beta tetap iko, iya...samua par perbaikan hidup. Abis di Seram ni kalu katong seng usaha cari karja lalu nanti bagimana sedangkan kacil dong su skola….?”153

Dari penuturan itu, sangat jelas bahwa walaupun merasa diperlakukan tidak adil, namun demi hidup yang lebih baik ke depan, mereka harus tetap berjuang. Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa orang lainnya bahwa kalau ada tes berikutnya dengan formasi SMA, mereka akan mengikutinya sampai batas usia maksimal untuk tes.154 Walaupun tidak dekat dengan pejabat manapun atau keuangan yang cukup namun mereka tetap berniat mencoba peruntungan dengan mengikuti tes.

Karena masih adanya keinginan mengikuti tes, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh masyarakat Waisarisa mantan pekerja pabrik untuk hal tersebut. Di antaranya adalah menjadi tenaga honorer pada instansi pemerintah, walaupun mereka pesimis bahwa nasib mereka akan lebih baik.

153 Diterjemahkan kira-kira demikian,“…tahun-tahun depan kalau ada tes ( baca : CPNS) untuk tamatan SMA, saya akan tetap ikut..ya semuanya untuk perbaikkan hidup. Habis di Seram ini kalau kami tidak usaha mencari pekerjaan lalu kedepannya bagaimana sedangkan anak-anak saya sudah sekolah..,?” Wawancara dengan AS tanggal 14 Januari 2009. 154 Wawancara dengan OP, tanggal 14 Januari 2009. 86

“…keinginan untuk iko tes masih ada…ya skarang katong masih usaha- usaha ni usi, beta ada honor di kantor kecamatan pembantu di Kamal sini… tapi masih bagitu-bagitu jua abis seng ada kejelasan pengangkatan baru yang honor banya…”155

Mereka masih berupaya mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Tetap menjadi tenaga honorer belum jelas pengangkatannya sebagai CPNS. Hal ini dikarenakan banyaknya tenaga honorer yang melebihi kapasitas pada setiap instansi. Karena jumlahnya cukup banyak, ada keraguan tentang siapakah yang akan mengantongi

Surat Keputusan pengangkatan CPNS dan hal ini menyebabkan banyak yang akhirnya memilih berhenti.

Bagi penduduk Waisarisa yang sudah di-PHK dan yang selalu gagal dalam tes CPNS, saat ini untuk tetap menjaga kestabilan ekonomi keluarga mereka berupaya menciptakan pekerjaan sendiri. Banyak diantara mereka yang kemudian menjadi tukang ojek. Menurut pengakuan diantara mereka, dalam sehari ia bisa mengantongi uang paling rendah sekitar Rp.40.000,- Jumlah ini termasuk lumayan dibandingkan ia harus menunggu tes CPNS. Selain itu ia bisa juga membagi sedikit waktunya untuk berkebun. Dari penghasilan ojeknya ini sebagian dapat di tabung untuk masa depan anak-anaknya. Memang ia masih berkeinginan menjadi Pegawai

Negeri tapi dengan keadaan yang seperti ini ia tidak berjanji bahwa ia akan

155 Diterjemahkan kira-kira demikian, “…keinginan untuk mengikuti tes itu masih tetap ada..ya sekarang ini kami masih berusaha, sekarang saya lagi honor di kantor kecamatan pembantu di Kamal, tapi keadaannya masih begitu saja sebab sampai sekarang tidak ada kejelasan (pengangkatan sebagai CPNS) sedangkan tenaga honorer saja banyak…” Wawancara tanggal 17 Januari 2009. 87

mengikuti tes lagi di SBB melainkan saat ini ia telah ditawari oleh saudara istrinya yang berada di Buru untuk dapat mengikuti tes Pol.PP (Pamong Praja).156

Selain menjadi tukang ojek, banyak diantara mereka yang akhirnya berprofesi sebagai pengumpul batu untuk dijual ke proyek-proyek pembangunan.

Mereka bekerja serabutan untuk menyambung hidup, antara lain sebagai buruh pada pembangunan sekolah dan selokan-selokan di kampung sendiri.157

Sungguhpun demikian mereka masih tetap memiliki harapan ke depan, kalau pemerintah mau melihat nasib mereka terutama berkaitan dengan segala hak-hak mereka pada PT.Djayanti Group. Inilah kalimat yang selalu terdengar setiap kali mereka diingatkan akan keberadaan mereka sebagai mantan pekerja.

B. Kesamaan Identifikasi Diri

Ketika masih bersama-sama bekerja di pabrik, penduduk asli Waisarisa dan

SBB lainnya tidak pernah memandang sesama pekerja dari luar sebagai saingan mereka. Sampai akhirnya mereka di-PHK bersama-sama, keharmonisan hidup ini tetap mereka pelihara. Mereka, sesama pekerja merasa senasib bahkan keberadaan mereka yang berasal dari luar ini juga menimbulkan keprihatinan di hati orang

Waisarisa.

“…Iya Usi, katong di sini rasa kasiang lia dong lai, katong di sini bai biar bagitu katong masih bisa karja kabong voor makan ka seng masih bisa ojek ka karja yang laeng tapi dong mau karja apa…tanah sa seng punya… mau pulang ka Jawa sana su seng ada kepeng, apalai ana-ana su skola di sini, pokoknya kasiang…”158

156 Wawancara dengan seorang mantan pekerja yang berinisial AP, tanggal 17 Januari 2009. 157 Informasi dari seorang ibu rumah tangga mantan pekerja berinisial HL yang suaminya bekerja pada proyek pembangunan gedung sekolah dasar tanggal 14 Januari 2009 dan mantan pekerja lainnya etnis toraja berinisial LT tanggal 11 Januari 2009. 158 Diterjemahkan kira-kira demikian,“…ya Usi, kami di sini (Waisarisa) merasa kasihan melihat mereka, kami di sini kondisinya masih untung biarpun begitu kami masih bisa kerja kerja di kebun untuk makan, kalau tidak kami masih bisa ojek atau kerja yang lain tapi mereka mau kerja apa… tanah saja tidak punya …mau pulang ke Jawa sudah tidak punya uang apalagi anak-anak sudah bersekolah di sini…” Wawancara dengan seorang mantan pekerja orang Waisarisa berinisial AP, tanggal 17 Januari 2009. 88

Betapa memprihatinkan nasib para pekerja teristimewa bagi mereka yang berasal dari Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Mereka bertahan di kemp-kemp tanpa kejelasan kapan hak mereka akan dibayarkan.

Sebagian etnis non-SBB yang masih memiliki sedikit tabungan, akhirnya memilih pulang ke kampung halaman di Jawa, Toraja dan Manado. Mereka yang masih bertahan di kemp mendapat dukungan rekan-rekan sesama pekerja asal

Waisarisa. Hal ini dilakukan oleh orang Waisarisa mengingat nasib mereka sama.

Tetapi orang Waisarisa merasa lebih beruntung karena berada di kampung halaman sendiri. Bagi yang tidak kembali ke kampung-kampung halaman di luar

Maluku, mereka tetap bertahan di kemp-kemp sambil bekerja serabutan dengan mengikuti penduduk lokal sebagai buruh bangunan maupun sebagai pengumpul batu demi bertahan hidup.

Penduduk lokal Waisarisa akhirnya memandang sesama mantan pekerja dari etnis lain sebagai pihak yang senasib. Oleh karena itu mereka mengharapkan bantuan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah mereka. Perkawinan yang terjadi antar etnis sesama pekerja, baik antara pendatang dengan orang Waisarisa maupun pendatang dengan sesama pendatang juga tidak menimbulkan masalah.

Kebanyakan yang berasal dari luar akhirnya memilih tinggal di rumah mertua yang adalah orang Waisarisa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merasa senasib

(sebagai sesama mantan pekerja pabrik) akhirnya menyebabkan orang Waisarisa tetap memandang etnis lain bukan sebagai saingan yang perlu ditakuti.

89

7. Catatan Penutup

Walaupun berasal dari daerah yang berbeda namun perbedaan ini bukan merupakan sebuah hal yang menjadi sumber konflik antara orang Waisarisa dengan pendatang yang ada di tengah-tengah mereka. Bahkan ketika berada sebagai mantan pekerja pabrik, orang Waisarisa memandang etnis lain sebagai bagian dari mereka karena merasa senasib. Ke”kita”an ini mereka wujudkan dengan sama- sama memperjuangkan hak-hak yang belum mereka dapatkan.

Mereka kemudian akan berdiri pada posisi yang berseberangan ketika berbicara tentang perebutan sumber-sumber daya publik. Orang Waisarisa memandang orang lain yang baru datang untuk mengikuti tes adalah saingan.

Mereka tetap dikatakan sebagai pendatang. Identitas putera daerah kembali mereka pertanyakan. Mereka juga merasa sebagai orang Seram karena sudah bertahun- tahun hidup di SBB. Ke”kita”an orang Waisarisa akhirnya bergeser. Mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang juga berhak atas sumber daya publik tersebut sedangkan orang-orang yang berasal dari luar tidak berhak sama sekali.

Ke”kita”an orang Waisarisa dengan sesama mantan pekerja ini dapat dikatakan bersifat sementara . Artinya, ke”kita”an ini mungkin akan berubah ketika hak-hak mereka tuntas diselesaikan oleh perusahaan dan mereka semua bersaing mengikuti tes memperebutkan posisi pada birokrasi pemerintahan SBB.

Ketika masih sama-sama memperjuangkan hak mereka, istilah orang dagang tetap mereka pakai untuk sesama mantan pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sama-sama sebagai mantan pekerja, tetapi mereka tetap memandang pendatang sebagai orang yang berasal dari luar, walaupun ada solidaritas.

90

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa identitas masyarakat Waisarisa sangat tergantung pada relasi dengan siapa yang dibayangkan sebagai “the other”.

Dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai mantan karyawan PT.

Djayanti Group, identifikasi diri mereka adalah sebagai mantan pekerja. Identitas mereka menjadi berbeda ketika sama-sama berada dalam upaya perebutan sumber- sumber daya publik. Dasar identifikasi mereka adalah „orang Seram‟ dan „bukan orang Seram‟. Atau, dengan kata lain dasar pengidentifikasian masyarakat

Waisarisa berubah-ubah, bersifat cair dan relasional, tergantung pada konteks kontestasi perebutan sumber-sumber daya publik.

91

BAB V

CATATAN PENUTUP

Desentralisasi yang terjadi saat ini ikut memberikan peluang bagi daerah- daerah untuk mengembangkan diri agar kurang bergantung pada pemerintah pusat.

Pengembangan diri ini mau tidak mau menyisakan rasa ketidakpuasan pada daerah- daerah yang selama ini merasa kepentingannya selalu diabaikan, yang berujung pada tuntutan untuk mekar. Pemekaran wilayah seakan-akan menjadi hak mutlak daerah-daerah yang merasa termarjinalkan selama pemerintahan Rezim

Orde Baru. Pemekaran wilayah ini kemudian dianggap menjadi sebuah kata kunci penyelesaian masalah-masalah daerah dan dinilai sebagai sebuah jalan yang dapat memecahkan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya persoalan di bidang sosial dan ekonomi. Banyak daerah yang ingin mekar entah itu menjadi sebuah kecamatan, kabupaten/kota bahkan propinsi. Alasan yang diungkapkan cukup logis, yakni untuk memperkecil rentang kendali pemerintahan serta mendekatkan pelayanan pemerintah dengan rakyatnya.

Pemekaran wilayah yang terjadi pada umumnya membawa sebuah harapan baru bagi masyarakat yang selama ini merasa tertindas oleh etnis dominan baik secara kultural maupun ekonomi. Etnis-etnis yang selama ini merasa didominasi etnis dominan mulai bangkit dan memperjuangkan kepentingannya. Identitas etnis kembali menguat. Salah satu cara adalah perjuangan untuk mekar lepas dari propinsi atau kabupaten induk. Pemekaran diharapkan dapat menjadi sebuah sarana bagi etnis yang selama ini merasa didominasi oleh etnis lain untuk berkarya

92

di daerah sendiri, entah sebagai PNS atau di sektor swasta. Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa setiap pemekaran yang terjadi merupakan inisiatif para elit lokal yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat setempat.

Dalam menggalang dukungan masyarakat, alasan yang dipakai bukanlah menyangkut suatu kondisi yang jauh dari kehidupan masyarakat setempat melainkan bersumber pada kondisi riil masyarakat. Salah satu isu menarik yang sering kali dipakai dalam merebut perhatian masyarakat adalah sentimen primordial. Isu identitas menjadi sebuah hal menarik dan menjadi alat yang mampu mengikat setiap anggota komunitas entah itu etnis ataupun agama.

Misalnya saja bagi para pemuka masyarakat di Kepulauan Riau (Kepri), identitas yang dianggap mampu menyatukan seluruh masyarakat Kepri (dalam hal territorial) adalah identitas Melayu.159 Walaupun pada akhirnya identitas Melayu ini kemudian akan berbenturan dengan identitas China yang jelas-jelas unggul dalam bidang ekonomi.

Bagi tokoh-tokoh elit Masyarakat SBB, pemekaran wilayah Seram Bagian

Barat (SBB) menjadi sebuah harga mati bagi pengembangan daerah ini ke depan baik di sektor pembangunan maupun untuk kesejahteraan manusianya. Hidup bersama dalam Kabupaten Maluku Tengah menyebabkan etnis Seram seakan- akan tidak punya pilihan hidup dan harus tersingkir dalam setiap perebutan sumber-sumber daya publik di daerah sendiri. Hanya sedikit etnis Seram yang duduk pada birokrasi pemerintahan, itupun hanya sebagai pegawai rendahan.

Persoalan yang dihadapi bukan pada mampu atau tidaknya mereka bersaing dengan

159 Carole Foucher, “Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau”, dalam Henk Schulte Nordhold dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 585. 93

orang-orang luar melainkan pada kesempatan yang diberikan, siapakah yang berkuasa dan pola kekuasaan yang dijalankan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemekaran wilayah mampu menjembatani kesenjangan antara pemerintah dengan rakyatnya, namun di sisi lain pemekaran wilayah justru merupakan sebuah „batu loncatan‟ bagi sebagian elit masyarakat lokal mencapai keinginannya berkuasa tanpa mempertimbangkan apa yang hendak diperjuangkan. Keadaan inipun terjadi pada pemekaran kabupaten Mentawai. Para elit lokal yang berkuasa akhirnya memilih berkoalisi dengan orang-orang asing yang oleh masyarakat setempat dianggap tidak mempedulikan budaya dan sumber daya alam mereka. Para elit ini kemudian dengan mudah melupakan ide-ide awal pemekaran daerah tentang hak menentukan nasib sendiri serta hak mendapat akses menuju sumber-sumber daya alam.160

Pemekaran wilayah dengan berbasis identitas kultural kemudian melahirkan isu pengutamaan putera daerah. Setiap warga yang selama ini tersingkir dalam perebutan sumber daya publik kembali memiliki kesempatan tersebut. Orang SBB dan khususnya Waisarisa mulai membentengi diri dengan isu putera daerah tersebut. Ada garis pemisah yang jelas antara orang lokal dan pendatang meskipun selama ini telah terjadi interaksi antara mereka. Untuk menegaskan hal itu mereka menyebut diri dengan penduduk asli sedangkan pendatang dengan sebutan orang dagang, begitu pula sebaliknya. Berangkat dari isu ini semua putera daerah SBB berlega hati dengan asumsi bahwa mereka memang lebih berhak atas sumber- sumber daya publik. Banyak harapan putera daerah yang disandarkan pada daerah

160 Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordhold dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.115 94

baru dengan pemerintahan baru. Tapi ketika kabupaten baru tidak menjanjikan apa- apa, semua harapan seakan-akan pupus. Putera daerah dan bukan putera daerah bukan menjadi sebuah hal penting dalam perebutan sumber-sumber daya publik pada kabupaten baru. Putera daerah diperhadapkan pada kenyataan bahwa bukan mereka saja yang memiliki hak untuk bekerja di daerah sendiri. Mereka menjadi kecewa. Pemerintah baru yang diharapkan akan berpihak pada mereka justru berpihak pada orang luar yang dianggap sebagai saingan.

Dalam perebutan sumber-sumber daya publik jumlah putera asli daerah yang diterima sebagai CPNS selalu menjadi perhatian masyarakat. Justru karena dalam prosentase kelulusan jumlah orang luar yang lebih banyak dari putera daerah. menyebabkan munculnya pertanyaan kritis masyarakat tentang tujuan pemekaran wilayah ini. Bukankah pemekaran wilayah ini bertujuan untuk memperjuangkan nasib putera-puteri daerah yang selama ini dianggap tidak mampu dan termarjinalkan? Pemekaran wilayah ini seakan-akan merupakan perpanjangan tangan penguasa dari Maluku Tengah yang tetap dipertahankan pada pemerintahan baru di SBB.

Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran daerah justru telah menjadi ajang pelebaran sayap kekuasaan. Pemekaran ini bukan menghasilkan para birokrat baru dengan membawa ide-ide awal perjuangan pemekaran, melainkan tetap mempertahankan birokrat lama yang bukan putera asli daerah SBB. Perebutan sumber-sumber daya publik pada akhirnya menempatkan putera asli daerah dan orang-orang luar pada arena yang sama. Bukan saja putera daerah (etnis SBB dan warga SBB) yang berhak atas sumber-sumber daya publik, melainkan siapa saja bahkan yang berasal dari luar Maluku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam level

95

tertentu antar orang Maluku sendiri ada perbedaan dan batas-batas yang cukup jelas. Identitas seseorang yang didasarkan pada nama fam merupakan penanda asal seseorang sekaligus juga sebagai pembeda. Namun dalam kasus perebutan sumber-sumber daya publik di SBB, batas-batas ini hilang dan digantikan dengan batas-batas yang diciptakan oleh pemerintah sendiri. Siapakah yang dianggap layak menduduki birokrasi pemerintahan tergantung ketentuan penguasa. Atau dengan kata lain berhak atau tidaknya seseorang bukan tergantung pada asli atau tidaknya melainkan pada pemegang kekuasaan. Bagi penduduk Waisarisa harapan yang pernah ada akhirnya hilang. Penduduk lokal maupun pendatang akhirnya harus merasa senasib kembali. Walaupun mereka berbeda secara etnis dan agama namun dipersatukan oleh nasib, yakni sebagai mantan pekerja maupun sebagai orang- orang yang gagal dalam perebutan sumber-sumber daya publik di kabupaten baru.

Hal ini menunjukkan bahwa identitas dapat mengental pada satu sisi namun bisa mencair pada sisi lainnya tergantung kondisi (suhu sosial-politik) yang dihadapi. Identitas bisa berubah wujud seperti layaknya benda-benda padat.

Tetapi perubahannya itu berlawanan dengan hukum alam. Jika benda padat akan mencair pada suhu yang panas, dan membeku pada suhu dingin, tetapi identitas itu sebaliknya: memadat pada suhu (politik) yang memanas, dan akan mencair pada suhu (politik) yang normal. Identitas sebagai orang SBB mengental ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber daya publik, namun akan mencair kembali ketika kompetisi memperebutkan sumber-sumber daya publik ini telah lewat/selesai.

Pada akhirnya orientasi pemekaran wilayah bukan lagi pada kesejahteraan masyarakat, melainkan pada ambisi tokoh-tokoh masyarakat untuk berkuasa.

96

Pemekaran wilayah akhirnya menyisakan banyak hal yang masih harus diperjuangkan. Kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran adalah satu diantaranya. Penulis mengakui bahwa penelitian tentang pemekaran wilayah yang diawali dengan isu politisasi identitas ini membawa penulis pada suatu pengalaman berbagi masalah dengan masyarakat yang selama ini tetap terpinggirkan setiap kali terjadi perebutan sumber-sumber daya publik baik semasa masih bergabung dalam Kabupaten Maluku Tengah maupun saat ini di kabupaten baru yang katanya didirikan untuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka seakan-akan tidak berdaya melawan rezim kekuasaan lama yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan pada birokrasi pemerintahan kabupaten baru. Bagi mereka kesempatan mereka untuk bekerja pada birokrasi pemerintahan hanya mereka dapatkan ketika menjadi sebuah kabupaten baru. Tapi hal itu jauh dari apa yang mereka bayangkan. Ide awal pemekaran tentang memperjuangkan nasib putera-puteri daerah hanya sebuah retorika. Orang-orang yang berasal dari luar

SBB bahkan dari luar Maluku yang memiliki peluang itu lebih besar. Pandangan mereka bukan lagi diarahkan pada siapakah kami dan siapakah sesama kami melainkan lebih pada siapakah yang berkuasa dan yang berhak menentukan kelulusan tersebut. Sebagai sesama orang Maluku, mereka tidak bisa menentukan siapakah yang berhak atas sumber-sumber daya publik di SBB walaupun itu merupakan motif awal perjuangan pemekaran kabupaten ini. Tetapi sekali lagi yang menentukan berhak atau tidaknya itu ada di tangan penguasa dan bukan masyarakat lokal.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan identitas kultural pada level masyarakat SBB telah mengantarkan SBB menjadi sebuah kabupaten

97

otonom. Namun pendekatan ini akhirnya tidak menghasilkan apa-apa bagi etnis

SBB setiap kali terjadi perebutan sumber-sumber daya publik. Ini menunjukkan bahwa pemekaran yang terjadi (Kabupaten SBB) bukanlah murni untuk kepentingan masyarakat. Kepentingan ini ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu untuk melebarkan kekuasaan. Pada akhirnya etnis dan masyarakat SBB yang telah termarjinalkan setiap kali perebutan sumber-sumber daya publik selama masih berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah kini harus mengalaminya lagi. Mereka mengalami remarjinalisasi ini di daerah sendiri.

98

Daftar Pustaka

A. Buku

Abdullah, Irwan, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006. Aqadrie Syarif I, “ Pemekaran Wilayah: Masalah dan Implementasinya dalam Pembangunan Daerah di Kalimantan Barat”, dalam Ning Retnaningsih dkk (ed), Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008. ------“Pemerintahan, Otonomisasi Daerah, Identifikasi Etnis dan Konflik Horisontal di Kalimantan”, dalam Syamsuddin Haris (ed), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI Press, 2007. Bamba, John, “ Borneo Headhunters: Imej dan Manipulasi”, dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press, 2006.

Barth, Fredrik, Ethnic Groups and Boundaries, Bergen dan London, Universitets Forlaget dan George Allen & UNWIN, 1970.

Bosko, Rafael Edy, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jakarta, ELSAM dan AMAN, 2006. BPS dan Bappeda Kabupaten SBB, Seram Bagian Barat Dalam Angka 2007, Piru, BPS dan Bappeda Kabupaten SBB, 2008. Brata, Aloysius Gunadi, “Konsolidasi Daerah dan Pelayanan Publik”, dalam Ning Retnaningsih, dkk (ed), Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008. Cooley, Frank L, Mimbar dan Takhta (terjem), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987. Eindhoven, Myrna, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk S. Nordholt dan 99

Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV & Yayasan Obor Indonesia, 2007. Eliade, Mircea, Sakral dan Profan (terjem), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002. Foucher, Carole, “Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau”, dalam Henk S. Norddholt dan Gerry van Klinken, (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV & Yayasan Obor Indonesia, 2007. Hall, Stuart, “Old ang New Identities, Old and New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed), Culture, Globalization and The World-System Contemporary Conditions For The Representation of Identity, Hampshire & London, The Macmillan Press Ltd, 1991. Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, Jakarta & Yogyakarta, Universitas Pancasila & Graha Ilmu, 2009 Isaacs, Harold, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993. Lakoff, Robin Tolmach, “Identity: You Are, What You Eat”, dalam Anna de Finna, dkk (ed), Discourse and Identity, Cambridge, Cambridge University Press, 2006. Laksono, Paschalis Maria, The Common Ground in The Kei Islands, Yogyakarta, Galang Press., 2002 Lokollo, J.E, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1996. Maalouf, Amin, Atas Nama Identitas (terjem), Yogyakarta, Resist Book, 2004. Makagansa, H.R, Tantangan Pemekaran Daerah, Yogyakarta, FusPad, 2008. Marx, Karl, Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat Tahun 1844 (terjem), Jakarta, Hasta Mitra. Mercer, Kobena, “1968‟: Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed), Cultural Studies, New York & London, Routledge, 1992. Mol, Hans, “Religion and Identity” dalam Victor Hayes (ed), Identity Issues and World Religions, South Australia, AASRSA College of Advanced Education, 1986.

100

Mulyana, Yaya, “Dimensi Gerakan dalam Pembentukan Propinsi Banten”, dalam Erick Hiariej, dkk (ed), Politik Transisi Pasca Soeharto, Yogyakarta, FISIPOL UGM, 2004. Nordholt, Henk Schulte & Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV & Yayasan Obor Indonesia, 2007 Pemda Propinsi Maluku, The Wonderful Islands Maluku, Jakarta & Ambon, Gibon Books & Pemda Propinsi Maluku, 2008. Ratnawati, Tri, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009 ------, Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan, 2006, Jakarta & Yogyakarta, P3LIPI & Pustaka Pelajar. Romli, Lili, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007. Smith, Anthony D, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat Guibernau dan John Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge & Malden, Polity Press & Blackwell Publishers inc, 1997. Susanto, Hary, Mitos Menurut Pemikiran Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987. Suwarsi, Warnaen, Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, Yogyakarta, Mata Bangsa, 2002. Taufik, Giri A, “Konsepsi Pemekaran Aceh (ALA ABAS) dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kesejahteraan dan Kehidupan Kultural Masyarakat”, dalam Ning Retnaningsih, dkk (ed), Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008. Tilaar, H.A.R., Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007.

B. Artikel, Makalah, dll. Ajawaila J.W., “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah” Harian Umum Siwalima, Selasa, 23 September 2003, Edisi 243/IX Tahun IV. Diputra, Yadi Surya, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa”, disampaikan dalam Seminar 101

Internasional Percik dengan tema “ Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15- 17 Juli 2008. Harian Umum Siwalima, “Gara-gara Pemekaran Seram Barat-Timur, Anggota DPRD Malteng Nyaris Adu Jotos”, Jumat, 28 Februari 2003. ------, “Soal Peluang Seram Barat-Timur Jadi Kabupaten”, Kamis, 9 Januari 2003. ------, “Hasil Studi Kelayakan, Piru Jadi Ibukota Kabupaten SBB”, Selasa, 19 Agustus 2003. Kambo, Gustiana, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian Identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat”, disampaikan dalam Seminar Internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008. Pemda Kabupaten SBB, “Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian Barat”, 7 Januari 2005. Setyaningrum, Arie, “Memetakan Lokasi bagi „Politik Identitas‟ dalam Wacana Politik Poskolonial”, 2005, dalam Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, hlm.18 Tabloid Nusa Ina, “Pemda SBB Gelar Seminar Sejarah dan Bahasa Tiga Batang Air”, 22-27 Januari 2009. Tapilatu Wim, “Sejarah Penyerahan Tanah Sarihalawane”, Arsip Kantor Desa Waisarisa. http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008. http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009. http://www.detiknews.com/ tanggal 2 April 2009. http://www.disnakertrans-jateng.go.id/ tanggal 2 April 2009. http://www.hamline.edu/apakhabar/ tanggal 27 Oktober 2009. http://www.malukuprov.go.id/ tanggal 12 Desember 2008.

102

LAMPIRAN 1 DAFTAR NAMA LULUS CPNS 2006

103

104

LAMPIRAN III PULAU SERAM BAGIAN BARAT

105

LAMPIRAN IV PULAU SERAM

106

LAMPIRAN V PULAU MALUKU SETELAH PEMEKARAN

107

LAMPIRAN VI PULAU MALUKU SEBELUM PEMEKARAN

108

LAMPIRAN VII WAISARISA

109

LAMPIRAN VIII KAMP PEKERJA PABRIK PENGOLAHAN KAYU LAPIS

110

LAMPIRAN IX

Daftar Nama Informan

1. Agus Kakisina 2. Agus Seite 3. Amos Sabandar 4. Ates Parihala 5. Agus NM. 6. Bace Mailoa 7. Nengsih Ahiyate 8. Kace Silaya 9. Fery Manait 10. Marta Tamu Salempang 11. Sri 12. Mon Souhuken 13. Nataniel Elake 14. Poly Leiwakabessy 15. Lius Tanan 16. Yanto 17. Oce Parihala 18. Oce Sapasuru 19. Herly Leiwakabessy/Kainama 20. Jems Kapuate 21. Judith Louhanapessy

111